Petualang Asmara Jilid 38 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Petualang Asmara Jilid 38
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
DUA hari kemudian, sudah empat hari empat malam Kun Liong melalui padang pasir. Hari itu panasnya bukan main, tubuhnya sudah mulai lemah, kerongkongannya terasa kering dan haus, dan perutnya lapar.

"Uh-uhh... masih berapa jauhnya?" dia menggumam, berhenti di dekat batu besar untuk berteduh di bayangan batu itu, menghapus keringatnya dengan kain leher yang sudah basah. Tubuhnya gemetar dan matanya setengah terpejam karena silau oleh pasir yang berkilauan tertimpa panas terik matahari!

Kun Liong menjatuhkan diri duduk di atas pasir yang panas. Dikeluarkannya bungkusan emas permata dari sakunya.

"Sialan!" gerutunya memandang bungkusan itu dan mengantonginya kembali. "Aku akan senang sekali menukar bungkusan ini dengan semangkok bubur dan sepoci air jernih!"

Teringatlah dia betapa nilai sesuatu benda ditentukan oleh kebutuhan. Pada saat seperti itu, dalam keadaan kehausan dan kelaparan, semangkok bubur dan sepoci air jernih lebih berharga dari pada emas permata!

Betapa tololnya manusia di tempat ramai. Untuk memperebutkan emas permata mereka tidak segan-segan untuk saling bunuh! Padahal, dalam keadaannya sekarang ini, semua harta benda tidak ada gunanya, tidak lebih berharga dari pada semangkok bubur sepoci air.

Dia bangkit lagi. Makin lama dia beristirahat, makin berbahayalah keadaannya. Dia harus cepat-cepat keluar dari gurun pasir itu, kalau tidak, besar kemungkinannya dia akan mati konyol di tempat ini. Di depan sudah nampak pegunungan dan di balik pegunungan pasir ini, tampak samar-samar puncak sebuah gunung menghijau, akan tetapi masih amat jauh. Dia harus cepat-cepat mencapai gunung menghijau itu sebelum dirinya roboh dan mati di atas pasir.

Makin tinggi matahari naik, makin panaslah sinarnya menimpa pasir sehingga Kun Liong merasa makin tersiksa karena dia diserang hawa panas dari atas dan bawah. Pasir yang tertimpa sinar matahari menjadi panas dan hawa dari dalam bumi yang keluar membuat tubuh Kun Liong terasa seperti dipanggang. Peluhnya bercucuran dan pandang matanya berkunang-kunang.

"Celaka...!" keluhnya ketika dia terpaksa menjatuhkan tubuhnya yang kehabisan tenaga akibat terlalu banyak mengeluarkan keringat itu ke atas pasir.

Sejenak dia merebahkan dirinya di belakang batu besar yang agak teduh, rebah miring, pipinya menyentuh pasir hangat. Betapa nikmatnya! Betapa nikmatnya melepaskan lelah di tempat itu, tidak bangkit lagi, rebah di dalam pelukan bayangan batu, ditilami pasir yang lembut dan hangat. Dia memejamkan matanya, tubuhnya terasa nikmat, mengendur dan lepas semua urat tubuhnya.

"Eh, apakah aku harus mati dalam keadaan begini?" Tiba-tiba terbayang wajah Hong Ing dan cepat dia membuka mata dan bangkit duduk.

"Tidak! Aku tidak boleh mati seperti ini!" hardiknya di dalam hati kepada dirinya sendiri. Dia meloncat berdiri, akan tetapi terguling lagi karena matanya berkunang dan kepalanya pening sekali.

"Aku harus cepat keluar dari neraka ini! Aku harus mencari Hong Ing!" Ketekadan hati ini membuat Kun Liong merangkak-rangkak meninggalkan tempat itu. Kepalanya pening, dia tidak dapat berdiri dan berjalan, maka merangkak pun jadilah asal dia dapat melanjutkan perjalanan meninggalkan tempat berbahaya itu, menuju ke gunung menghijau di depan itu.

Akan tetapi, pasir tertimpa matahari yang membuat matanya silau, kembali memaksa dia menghentikan usahanya merangkak. Ia rebah lagi dan memejamkan matanya. Terlampau nikmat rebah begini, dan terlampau sengsara melanjutkan perjalanan!

Tiba-tiba dia menjadi terkejut. Telinganya yang menempel di atas pasir mendengar suara bergemuruh. Dia segera mengangkat tubuhnya dan terdengarlah lapat-lapat suara derap kaki kuda. Tak lama kemudian, dari sebelah depan muncullah sepasukan orang, sebagian kecil berkuda, menuju ke tempat itu! Di depan sendiri tampak seorang laki-laki bangsa asing dengan rambut putih kekuningan membalapkan kudanya.

Ketika tiba di tempat di mana Kun Liong masih berlutut dan menyangga tubuhnya dengan kedua tangan seperti orang merangkak, laki-laki itu berseru keras, meloncat turun dari kuda dan menghampiri. Dia berkata dalam bahasa asing yang tidak dimengerti oleh Kun Liong. Ketika Kun Liong menoleh, orang itu memaki,

"Keparat! Tentu orang ini sudah merampok anak buahku, lalu membunuh dan merampas pakaiannya!" Dengan gerakan sangat cepat, orang itu mencabut beberapa batang anak panah yang tergantung di punggung, memasangnya di busur.

"Wir-wir-wir... cuat-cuat-cuatt!"

Bukan main cepatnya orang itu mainkan anak panah dengan busur.

Kun Liong yang masih pening itu hanya melihat sinar-sinar kilat berkelebat dan anak anak panah menyambar lantas menancap di sekeliling tempat dia berlutut! Dia telah dikurung pagar anak panah. Bukan main pandainya orang asing itu menggunakan busur dan anak panah dan teringatlah dia akan pesan orang asing yang ditolongnya beberapa hari yang lalu. Dewa Panah! Agaknya orang inilah yang dijuluki Dewa Panah, dan ilmu panahnya memang hebat!

Kemudian orang yang memegang anak panah itu meloncat dan hanya dengan dua kali loncatan saja dia sudah berdiri di hadapan Kun Liong yang kini sudah berhasil bangkit berdiri di dalam pagar anak panah yang menancap di atas pasir di sekelilingnya itu. Loncatan orang itu pun membuktikan bahwa selain lihai ilmu panahnya, orang asing yang masih muda itu juga memiliki kepandaian yang tinggi.

Akan tetapi hal ini tidak menarik hati Kun Liong yang tentu saja menganggap kepandaian seperti itu tidak ada artinya. Yang menarik hati Kun Liong adalah ketika dia mengenal orang asing itu yang bukan lain adalah Marcus, bekas kekasih Kim Seng Siocia!

Dugaannya ini memang tidak keliru. Orang itu adalah Marcus, pemuda bangsa Portugis bekas anak buah Legaspi yang tadinya menjadi kekasih Kim Seng Siocia kemudian ketika Kim Seng Siocia tewas, dia berhasil melarikan diri sambil membawa kitab-kitab pusaka dan barang berharga dari nona gemuk itu. Dan di antara ilmu kepandaiannya Kim Seng Siocia yang dapat dia warisi, di antaranya adalah ilmu panah yang lihai!

Marcus berhasil pula menghimpun beberapa orang bekas rekannya sehingga terkumpul lima orang Portugis yang masih berkeliaran, kemudian bersama lima orang anak buahnya itu dia menggabungkan diri dengan gerombolan orang Mongol yang berniat memberontak dan menyerbu ke selatan.

Gerombolan pemberontak ini terdiri dari ribuan orang dan merupakan pasukan yang kuat, dan sudah siap untuk bergerak ke selatan. Dalam usaha pemberontakan ini, gerombolan orang Mongol yang disebut Pasukan Tombak Maut mengadakan kontak dan persekutuan dengan kaum Pek-lian-kauw!

Berkat ilmu silat dan ilmu panahnya yang cukup lihai, Marcus memperoleh kedudukan terhormat di dalam Pasukan Tombak Maut dan sebentar saja dia terkenal sebagai Dewa Panah karena ilmu panahnya memang hebat dan dikagumi oleh semua orang Mongol.

Pada hari itu Marcus sedang mengiringi komandannya bersama sepasukan orang Mongol berjumlah dua puluh orang lebih dan pasukan ini secara kebetulan melalui gurun pasir di antara pegunungan itu dan bertemu dengan Kun Liong yang telah terancam bahaya maut karena lelah, lapar dan terutama sekali haus.

Melihat Kun Liong mengenakan pakaian seorang anak buahnya, dia menjadi curiga dan langsung mengancam Kun Liong dengan anak panahnya. Kini dia menghadapi Kun Liong ada pun di belakangnya, duduk di atas kuda sambil memandang tajam, Sang Komandan Pasukan Tombak Maut menyaksikan tanpa membuka suara. Komandan ini masih muda, tampan dan gagah, matanya tajam dan gerakan biji matanya liar.

Kun Liong masih nanar dan pening, pandang matanya masih berkunang sehingga ketika dia memandang kepada Marcus dan kepada komandan itu, hatinya terkejut sekali dan dia mengira berada dalam mimpi. Dia mengenal pula komandan itu. Tentu saja dia tidak akan pernah dapat melupakan wajah Ouwyang Bouw putera Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok Si Raja Ular!

"Hemm, dia tentu mata-mata dari selatan yang menyamar. Tangkap saja dia, kita periksa di markas!" bentak Ouwyang Bouw tanpa turun dari kudanya.

Agaknya baik Ouwyang Bouw mau pun Marcus tidak mengenal Kun Liong, bukan hanya karena pakaiannya yang aneh akan tetapi terutama sekali karena Kun Liong yang dulunya gundul pelontos itu kini telah memiliki rambut hitam lebat.

Ketika beberapa orang anggota Pasukan Tombak Maut, yaitu orang-orang Mongol anak buah Ouwyang Bouw, berhasil menghampiri dan mentaati perintah Ouwyang Bouw untuk menangkapnya, Kun Liong sama sekali tak mau melawan. Dia maklum bahwa andai kata dia mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk melawan, tak mungkin dia yang kelaparan dan kehausan itu mampu mengalahkan Ouwyang Bouw yang dia tahu amat lihai.

Pula, begitu melihat Ouwyang Bouw, teringatlah dia akan cerita Hong Ing mengenai suci dara itu, yaitu Lauw Kim In, wanita cantik manis pendiam yang berhati keras dan galak. Menurut cerita Hong Ing, Nona Lauw Kim In sudah ditangkap oleh Ouwyang Bouw dan sudah dibawa pergi menjadi isteri orang berotak miring ini. Teringat akan ini, selain tidak kuat untuk melawan, Kun Liong membiarkan dirinya diringkus dan ditawan karena dia pun ingin sekali mengetahui bagaimana dengan nasib suci dari Hong Ing, di samping ingin memulihkan tenaganya lebih dulu sebelum melawan.

"Beri dia makan dan minum, jangan sampai dia mati kelaparan dan kehausan. Kita perlu mengorek semua rahasia musuh dari mulutnya!" kata pula Ouwyang Bouw dan diam-diam Kun Liong merasa berterima kasih dengan perintah ini.

Dapat dibayangkan betapa segar rasanya air dari guci yang diberikan kepadanya, betapa nikmat roti kering dan daging yang dimakannya. Diam-diam di dalam hatinya dia berjanji sendiri bahwa untuk makan dan minum saja dia sudah berhutang nyawa pada Ouwyang Bouw.

Biar pun dahulu Ouwyang Bouw menggunakan jarum merah beracun menyerangnya dan membuat kepalanya menjadi gundul, namun sekali ini Ouwyang Bouw dianggapnya telah menyelamatkannya maka dia pun berjanji takkan mengganggu keselamatan putera Raja Ular itu.

Kun Liong dibawa oleh rombongan itu sebagai seorang tawanan, dan melihat bahwa dia tidak melakukan perlawanan bahkan sama sekali tidak membayangkan sebagai seorang yang pandai ilmu silat, biar pun dia dianggap sebagai seorang mata-mata musuh namun dia tidak diperlakukan kasar, hanya disuruh berjalan kaki mengikuti rombongan itu, tanpa dibelenggu kedua tangannya, hanya rantai yang dihubungkan dengan belenggu sebelah kakinya dipegang oleh seorang anggota pasukan.

Kiranya markas Pasukan Tombak Maut itu berada di pegunungan yang dari jauh tampak kehijauan tadi. Perjalanan untuk menuju ke pegunungan itu masih memakan waktu sehari semalam sehingga diam-diam Kun Liong bergidik. Kalau saja dia tidak bertemu dengan gerombolan ini, menjadi tawanan dan diberi makan, agaknya belum tentu dia akan dapat tiba di pegunungan ini dalam keadaan masih bernyawa. Barulah dia mengalami sendiri betapa bahayanya melakukan perjalanan melintasi gurun pasir tandus tanpa membawa bekal secukupnya.

Ketika rombongan itu sampai di puncak gunung, dengan kaget Kun Liong melihat bahwa puncak itu merupakan sebuah perkampungan gerombolan yang sangat besar dan kuat. Bangunan-bangunan yang kokoh kuat dilingkari tembok benteng dan dijaga bagai sebuah benteng tentara saja. Dia dibawa ke dalam sebuah kamar tahanan dan didorong masuk ke dalam sebuah kamar itu, pintu ditutup rapat dan tempat itu dijaga kuat.

Pada keesokan harinya, barulah dia diambil oleh empat orang penjaga dan dia diiringkan memasuki sebuah ruangan besar di mana tampak duduk Marcus, Ouwyang Bouw, serta beberapa orang Mongol berpakaian perwira dan di tengah-tengah mereka, di atas sebuah kursi tinggi dan berukir indah, duduk seorang wanita cantik yang berpakaian indah seperti seorang ratu.

Melihat wanita ini, Kun Liong terkejut karena dia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Lauw Kim In! Wanita cantik ini, dengan sikapnya yang agung, kecantikannya yang dingin, memandang dan dari sinar matanya yang bercahaya itu Kun Liong dapat menduga bahwa suci dari Hong Ing itu agaknya mengenalnya.

Bagaimanakah Lauw Kim In dapat berada di sana dan agaknya menjadi tokoh tertinggi, menjadi pucuk pimpinan di antara gerombolan orang Mongol itu? Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lauw Kim In dan sumoi-nya, Pek Hong Ing, bertemu dengan Ouwyang Bouw di tengah hutan dan dengan kepandaiannya yang tinggi, Ouwyang Bouw berhasil merobohkan dua orang kakak beradik seperguruan itu.

Ouwyang Bouw jatuh cinta kepada Kim In, maka dia mengancam untuk membunuh Hong Ing dan akhirnya secara tidak terduga-duga oleh Hong Ing sendiri, suci-nya itu menyerah dan menerima menjadi isteri Ouwyang Bouw! Hong Ing dibebaskan oleh Ouwyang Bouw yang kegirangan dan sambil tertawa-tawa, Ouwyang Bouw lalu berlari cepat memondong tubuh Lauw Kim In meninggalkan Pek Hong Ing.

Kim In memejamkan matanya dan menguatkan hatinya. Dia menerima semua perlakuan Ouwyang Bouw kepadanya, bahkan dia tak membantah atau melawan sedikit pun ketika Ouwyang Bouw mencumbunya, menciuminya dan menjadikan dia sebagai isterinya pada malam hari itu juga, di dalam hutan, di sebuah kuil tua.

Kim In sengaja mengorbankan kehormatannya, bukan semata-mata untuk menolong dan menyelamatkan sumoi-nya, bukan pula semata-mata hendak menyelamatkan nyawanya sendiri melainkan karena dia melihat keuntungan jika dia menjadi isteri pemuda tampan akan tetapi setengah gila ini.

Dia melihat betapa Ouwyang Bouw mempunyai kepandaian yang sangat tinggi. Dia ingin mempelajari ilmu dari pemuda yang menjadi suaminya ini, suami yang diterimanya bukan karena cinta. Sama sekali bukan. Bahkan dia merasa muak dan jijik setiap kali Ouwyang Bouw mendekatinya dan menidurinya, namun semua itu dipertahankannya dengan tabah dan dengan mematikan segala perasaannya.
Bagi Ouwyang Bouw sendiri, kerelaan hati Kim In menerimanya sebagai seorang suami meski tanpa pernikahan resmi, membuat dia makin tergila-gila sehingga pemuda sinting ini benar-benar jatuh cinta kepada Lauw Kim In.

Setelah menderita siksaan batin pada masa ‘pengantin baru’ tanpa menjadi pengantin ini, Kim In mulai mempergunakan pengaruh kekuasaan tubuhnya kepada Ouwyang Bouw. Dia minta diajari ilmu-ilmu tertinggi dari suaminya itu dan Ouwyang Bouw dengan suka hati mengajarinya, bahkan dapat dikatakan dia terpaksa menuruti permintaan isterinya karena Kim In selalu mengancam tidak mau melayaninya kalau tidak mau menurunkan ilmunya yang paling tinggi!

Kim Ing mulai mempergunakan tubuhnya yang membuat Ouwyang Bouw tergila-gila itu sebagai alat untuk memeras! Semua ini dilakukannya hanya dengan satu niat, yaitu untuk membalas dendam terhadap musuh yang dibencinya, yang dianggapnya mendatangkan segala malapetaka yang dideritanya sampai sekarang. Dan musuh itu adalah Thian-ong Lo-mo!

Dahulu, Lauw Kim In telah bertunangan dengan seorang pemuda yang tampan dan yang diam-diam sudah menjatuhkan hati Lauw Kim In. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa hancur hati dara ini ketika mendengar berita bahwa tunangannya itu tewas dibunuh oleh Thian-ong Lo-mo akibat tertangkap basah sedang bercinta dengan selir muda yang cantik dari Thian-ong Lo-mo!

Peritiwa itu akhirnya mendatangkan dua akibat di dalam hati Lauw Kim In. Pertama, dia menjadi seorang dara yang berwatak dingin dan bahkan selalu kelihatan membenci kaum pria yang dianggapnya semua hidung belang dan tidak setia seperti tunangannya itu. Kedua, dia menaruh dendam yang amat mendalam terhadap Thian-ong Lo-mo yang sudah membunuh tunangannya.

Anggapannya bahwa kalau tidak ada Thian-ong Lo-mo, tentu tak ada pula selirnya yang cantik sehingga tunangannya tidak berjinah dan tidak akan terbunuh mati. Akan tetapi, pada saat itu untuk dapat membalas dendam merupakan hal yang mustahil sebab tingkat kepandaian kakek itu adalah setingkat kepandaian subo-nya sendiri, mana mungkin dia dapat menang menghadapi kakek itu?

Itulah yang menyebabkan Kim In tidak peduli lagi bahwa dia telah menyerahkan tubuhnya kepada seorang pria seperti Ouwyang Bouw yang sama sekali tidak dicintanya. Baginya, semua pria sama saja! Dan dia lalu mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi dari ‘suaminya’ itu dengan tekun sampai dia merasa bahwa ilmu kepandaiannya sudah maju pesat sekali. Terutama dia mempelajari pukulan-pukulan beracun dari suaminya yang ahli dalam hal ini.

Setahun kemudian, dengan memaksa suaminya yang semakin tunduk dan semakin takut kepadanya karena makin tergila-gila, Lauw Kim In dapat membujuk Ouwyang Bouw untuk pergi ke kaki Pegunungan Go-bi-san mencari Thian-ong Lo-mo! Pada saat itu, Thian-ong Lo-mo telah melarikan diri karena gagal membantu Kwi-eng Niocu. Dia berhasil lolos dari maut ketika pasukan pemerintah menyerbu Kwi-eng-pang dan karena merasa telah putus harapan, dia segera melarikan diri kembali ke tempat pertapaannya semula, yaitu di kaki Pegunungan Go-bi-san.

Kagetlah hati Thian-ong Lo-mo ketika pagi hari itu, di depan goanya muncul dua orang muda, seorang pria dan seorang wanita. Tempat itu biasanya sunyi sekali dan dia tidak mengharapkan kedatangan siapa pun juga. Apa lagi dia sama sekali tidak mengenal pria dan wanita muda itu. Dia baru memandang penuh perhatian ketika wanita itu membentak,

"Thian-ong Lo-mo, aku datang untuk mencabut nyawamu!"

Thian-ong Lo-mo menggerakkan kakinya dan tubuhnya melayang keluar dari goa, berdiri menghadapi dua orang itu dan dia memandang penuh perhatian kepada Lauw Kim In. Akhirnya dia ingat akan dara ini dan dia menegur, "Ehh, bukankah engkau ini seorang di antara dua orang murid Go-bi Sin-kow?"

"Benar, aku Lauw Kim In, dan aku datang untuk mencabut nyawamu, membalas kematian tunanganku!"

Thian-ong Lo-mo mengangguk-angguk maklum. Teringatlah dia akan tunangan dara yang telah berani bermain gila dengan selirnya sehingga terpaksa dibunuhnya. Tertawalah dia.

"Ha-ha-ha, sungguh lucu, murid Go-bi Sin-kouw berani mengancam hendak membunuh aku! Ehhh, bocah. Kau lumayan juga, selain manis juga pemberani. Akan tetapi, melihat engkau telah memperoleh seorang tunangan baru, kenapa engkau masih meributkan soal kematian tunanganmu yang lama? Apakah tunanganmu yang baru ini kurang mampu? Kalau begitu, lebih baik kau berganti pacar lagi, dan bagaimana kalau dengan aku saja? Ha-ha-ha, biar pun aku sudah tua, kiranya kemampuanku tidak akan kalah dibandingkan dengan pacarmu yang pucat ini, ha-ha-ha!"

"Thian-ong Lo-mo, kematian sudah di depan mata, engkau masih mengeluarkan kata-kata sombong. Makanlah ini!" Ouwyang Bouw berkata tenang akan tetapi tahu-tahu dari kedua tangannya menyambar sinar-sinar merah. Itulah jarum-jarum merah beracun yang dilepas dan digerakkan dengan sentilan jari-jari tangannya secara lihai sekali.

"Heiii...!" Thian-ong Lo-mo terkejut sekali ketika dia mengelak, tercium olehnya bau harum memuakkan, dan jarum itu sedemikian cepat luncurannya sehingga meski pun dia sudah cepat mengelak, ada sebatang yang hampir mengenai lehernya. Dia memandang dengan mata terbelalak kaget lalu bertanya, "Engkau siapa...?"

Ouwyang Bouw tidak menjawab segera, melainkan mencabut pedangnya perlahan-lahan, pedangnya yang berbentuk seekor ular. Kemudian dia berkata, suaranya seperti orang tidak acuh, akan tetapi nadanya penuh ancaman. "Dia adalah isteriku, engkau tua bangka berani menghina isteriku, karenanya harus mampus!"

Thian-ong Lo-mo kini mulai memandang orang muda yang tadinya dipandang rendah itu dengan penuh perhatian. Sikap orang muda itu membuat dia marah, akan tetapi serangan jarum itu tadi sangat mengejutkannya dan pada waktu dia melihat pedang berbentuk ular di tangan Ouwyang Bouw, dia mengerutkan alisnya.

"Apa hubunganmu dengan Ban-tok Coa-ong?" tanyanya karena dia langsung mengenal pedang ular itu.

"Mau apa kau menyebut-nyebut nama julukan ayahku?"

Thian-ong Lo-mo terkejut sekali. Kiranya gadis murid Go-bi Sian-kouw yang mendendam kepadanya karena tunangannya dahulu dibunuhnya itu telah menjadi isteri putera Ban-tok Coa-ong! Dia merasa gentar juga karena dia sudah mendengar betapa lihainya putera Raja Ular itu, tidak berbeda dengan ayahnya!

"Ahh, kalau begitu kita adalah orang sendiri!" serunya. "Orang muda, kalau engkau putera Ouwyang Kok, tentu engkau yang bernama Ouwyang Bouw dan ketahuilah bahwa antara ayahmu dan aku terdapat tali persahabatan yang erat."

"Hemmm, tidak seerat tali hubungan antara aku dan isteriku!" bantah Ouwyang Bouw.

"Kau keliru! Antara ayahmu dan aku terdapat hubungan seperjuangan! Ayahmu tewas di tangan Cia Keng Hong dan Panglima The Hoo, dan aku pun musuh dari pemerintah lalim yang sekarang berkuasa. Bahkan kita harus bersatu padu untuk merobohkan pemerintah ini, untuk membalas dendam kematian ayahmu. Jangan kau sampai terseret oleh urusan pribadi isterimu. Sebetulnya antara dia dan aku pun tidak terdapat permusuhan apa-apa. Tunangannya dulu kubunuh karena tunangannya itu telah berani berjinah dengan selirku, mereka tertangkap basah, maka kubunuh."

Mendengar ucapan ini, Ouwyang Bouw kelihatan meragu. Memang dia menaruh dendam kepada Cia Keng Hong dan Panglima The Hoo atas kematian ayahnya.

"Ouwyang Bouw, kau masih diam seperti patung? Hayo cepat bantu aku merobohkan tua bangka ini, akan tetapi awas, jangan sampai dia terbunuh di dalam tanganmu. Aku harus membunuhnya dengan tanganku sendiri." Lauw Kim In berkata dengan suara dingin dan pandang mata marah kepada suaminya.

Mendengar kata-kata ini, lenyaplah semua keraguan dari wajah Ouwyang Bouw. Pedang ularnya berkelebat dan dia sudah menyerang Thian-ong Lo-mo dengan tusukan maut.

"Tranggg...!"

Kakek tinggi besar brewok ini sudah menggunakan sabuk rantai gergaji untuk menangkis. "Ouwyang Bouw jangan bodoh kau! Ingat, banyak orang gagah yang roboh hanya karena bujukan mulut wanita!"

"Tua bangka keparat!" Lauw Kim In memekik nyaring lantas pedangnya berubah menjadi sinar putih ketika meluncur ke arah leher Thian-ong Lo-mo dengan kecepatan kilat.

Kakek itu cepat meloncat dan mengelak, diam-diam terkejut karena mendapat kenyataan bahwa gerakan wanita itu hebat bukan main. Mengertilah dia bahwa wanita itu tentu telah memperdalam ilmunya setelah menjadi isteri Ouwyang Bouw. Dia adalah seorang tokoh dunia kaum sesat yang terkenal, memiliki banyak pengalaman dan tentu saja dia menjadi marah melihat dua orang muda itu mendesaknya.

"Bagus! Jangan kira Thian-ong Lo-mo takut kepada kalian!" Dia lalu memutar senjatanya sabuk rantai gergaji yang mengeluarkan bunyi berkerincing nyaring itu, segera membalas serangan lawan sehingga terjadilah pertandingan yang seru, hebat dan mati-matian.

"Cringgg... wuuuttt…! Wuuutttt…!"

Senjata rantai gergaji itu menyambar dahsyat ke arah Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In dengan suara berdencingan nyaring, akan tetapi kedua orang muda itu dapat mengelak dengan baik, bahkan meloncat ke kanan kiri dan dari dua jurusan ini pedang mereka menusuk ke lambung kiri dan leher kanan! Diserang dari dua jurusan ini, Thian-ong Lo-mo meloncat ke belakang, memutar senjatanya ke kanan kiri dengan cepat untuk menangkis.

"Cringg…! Tranggg...!"

Namun, pedang ular di tangan Ouwyang Bouw yang tertangkis itu sudah meluncur seperti ular hidup, membalik dan menusuk ke arah pelipis kanan lawan, sedangkan Lauw Kim In dengan gerakan yang sama, juga sudah membacokkan pedangnya ke arah mata kaki kiri kakek brewok itu.

"Cring… cringgg...! Wuuut…! Wuuuttt…!"

Hanya dengan kecepatan luar biasa dan dengan susah payah saja kakek itu baru berhasil menangkis serangan dua batang pedang dari kanan kiri itu. Dia lalu memutar senjatanya, namun juga dapat dielakkan oleh dua orang pengeroyoknya yang mempunyai keringanan tubuh mengagumkan sekali.

Kini terjadilah serang-menyerang dengan gencar, kedua pihak mengeluarkan jurus-jurus maut dan berkali-kali terdengar suara berdencingan senjata yang saling bertemu dengan kerasnya diselingi bersiutnya senjata menyambar yang membelah udara karena berhasil dielakkan oleh sasarannya.

Thian-ong Lo-mo yang maklum bahwa dua orang lawannya itu, sungguh pun masih muda akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, telah mengeluarkan semua tenaga dan kepandaiannya. Berkat pengalamannya yang amat banyak selama puluhan tahun malang melintang di dunia kang-ouw, dia masih dapat mempertahankan diri, biar pun usia tuanya mulai memperlihatkan kelemahan daya tahannya dan napasnya yang mulai memburu.

"Hyaaahhhh…!" Tiba-tiba saja kakek itu memekik nyaring, pekik yang dikeluarkan dengan pengerahan khikang sehingga mengandung tenaga mukjijat yang menggetarkan lawan, sementara rantai gergaji di tangannya menyambar-nyambar ganas sekali.

"Sing-sing... wuuuttt... brettt!"

"Aihhh...!"

Saking dahsyatnya serangan Thian-ong Lo-mo tadi, meski Lauw Kim In sudah menangkis dan mengelak seperti yang dilakukan suaminya, tetap saja baju di punggungnya tercium rantai dan terobek lebar.

"Ha-ha-ha!" Thian-ong Lo-mo tertawa, sengaja mengeluarkan suara tawa untuk mengejek lawan, sungguh pun dia merasa kecewa bahwa senjatanya hanya berhasil merobek baju, tidak melukai tubuh lawan.

Di lain pihak, Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In marah bukan main. Sambil berteriak keras mereka maju mendesak, mengirim serangan-serangan bertubi dan mengerahkan tenaga sinkang mereka. Thian-ong Lo-mo terpaksa memutar senjatanya melindungi tubuhnya.

"Cring-cring-cringggg...!"

Thian-ong Lo-mo dan Lauw Kim In berteriak keras sambil meloncat ke belakang. Senjata rantai gergaji itu patah, juga pedang Kim In patah. Hanya pedang ular di tangan Ouwyang Bouw yang masih utuh. Melihat senjatanya sudah patah dan rusak, Thian-ong Lo-mo lalu membuang senjatanya. Juga Lauw Kim In membuang pedang yang tinggal sepotong.

"Ha-ha-ha, bersiaplah kau untuk mampus, tua bangka Thian-ong Lo-mo!" Ouwyang Bouw tertawa bergelak sambil menyimpan pedang ularnya.

Menyaksikan kesombongan Ouwyang Bouw yang tidak mau menghadapi dia yang sudah bertangan kosong itu dengan pedangnya, diam-diam hati Thian-ong Lo-mo menjadi amat girang. Pemuda sombong, pikimya, kesombonganmu ini akan kau tebus dengan jiwamu!

Tanpa banyak cakap lagi Thian-ong Lo-mo menggereng, kemudian maju menyerang dua orang pengeroyoknya dengan kedua tangannya. Hebat bukan main serangan kakek ini.

Mula-mula dia menggerak-gerakkan sepasang tangannya saling bersilang dengan jari-jari tangan terbuka. Jari-jari tangan itu tergetar, menggigil terisi penuh dengan tenaga sinkang yang sangat kuat sehingga dalam keadaan seperti itu, bahkan kuku-kuku jari tangannya berubah menjadi sekuat cakar baja! Thian-ong Lo-mo lantas menyerbu ke depan, tangan kanannya mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Ouwyang Bouw sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah dada Kim In. Gerakannya benar-benar berupa serangan maut!

Akan tetapi kedua orang lawannya sudah siap. Mereka berdua maklum bahwa dalam hal kekuatan sinkang mungkin mereka masih kalah setingkat melawan kakek yang amat lihai itu. Akan tetapi keduanya memiliki andalan dan andalan ini pula yang membuat Ouwyang Bouw berani memandang rendah hingga tadi dia menyimpan pedangnya. Mereka berdua mengandalkan tok-ciang (tangan beracun) mereka!

Baru kurang lebih setahun bersama-sama dengan suaminya, Lauw Kim In telah memiliki sepasang tangan beracun yang amal lihai. Hal ini hanya dapat terjadi karena bujukannya terhadap Ouwyang Bouw yang sebetulnya merahasiakan ilmu keturunan ini. Akan tetapi karena dia sudah tergila-gila kepada Kim In, dia memenuhi permintaan isterinya tercinta itu dan setiap hari dia merendam kedua tangan dan lengan istrinya sampai ke batas siku dengan cairan ramuan obat yang mengandung racun ular Cobra!

Di samping ini dia melatih istrinya dengan pukulan-pukulan dari tok-ciang itu. Baru berlatih setahun saja, dengan sekali pukul, tangan kiri atau kanan wanita muda ini dapat membuat lawan roboh dan tewas dengan tubuh bengkak-bengkak seperti tergigit ular Cobra! Dapat dibayangkan betapa hebat dan berbahayanya kedua tangan Ouwyang Bouw yang sudah dilatih belasan tahun itu!

"Dukk! Dukkk!" Kedua lengan kakek Thian-ong Lomo tertangkis oleh lengan kedua orang lawannya.

Ketika tadi dia melihat dua orang muda itu berani menangkisnya, diam-diam dia menjadi girang sehingga dia cepat mengerahkan sinkang-nya. Benturan lengan mereka membuat Ouwyang Bouw dan Kim In terhuyung ke belakang dan segera terdengarlah suara ketawa Thian-ong Lo-mo yang merasa girang karena benturan lengan tadi membuktikan bahwa sinkang-nya masih lebih kuat dari pada kedua orang lawannya.

"Ha-ha-ha... ehhh...?" Suara ketawanya tiba-tiba terhenti dan berganti teriakan kaget.

Dia memandang kedua buah lengannya dan matanya terbelalak. Ketika menyingsingkan lengan baju, dia melihat lengannya merah dan terasa gatal-gatal. Kini tahulah dia bahwa kedua kulit tengannya telah terkena hawa beracun!

"Ha-ha-ha-ha!" Ouwyang Bouw tertawa.

"Hi-hik-hik, tua bangka, bersiaplah untuk mampus!" Kim In juga mengejek dan wanita ini sudah menerjang maju bersama suaminya.

"Haiiitit... hehhh!" Thian-ong Lo-mo cepat mengelak kesana kemari, lantas membalas dengan pukulan-pukulan maut.

Namun dia segera terdesak hebat karena kakek ini merasa ragu-ragu untuk menangkis pukulan-pukulan lawan. Dia hanya mengelak ke sana-sini sehingga tentu saja hal ini tidak memberi banyak kesempatan kepadanya untuk balas menyerang, tidak seperti kalau dia menangkis lalu membalas langsung.

Kadang-kadang, secara terpaksa Thian-ong Lo-mo menangkis juga, namun kalau hal ini dilakukan, dia mengisi lengannya dengan hawa sinkang sepenuhnya untuk menolak hawa beracun dari lengan lawan. Betapa pun juga, tetap saja kulit lengan yang terbentur lengan lawan terasa gatal-gatal, tanda bahwa biar pun hawa beracun itu tidak meresap ke daging dan tulang, namun tetap saja meracuni kulitnya. Semakin banyak dia menangkis, makin hebat pula rasa gatal yang menyiksa kedua lengannya.

Di antara perasaan yang biar pun tidak berapa nyeri namun sukar dipertahankan manusia adalah rasa gatal. Mungkin kalau kedua lengan Thian-ong Lo-mo itu terasa nyeri betapa hebat pun, kakek ini masih dapat mempertahankan. Akan tetapi diserang rasa gatal yang membuat seluruh bulu di tubuhnya bangkit meremang, sukar untuk dipertahankan tanpa digaruk, maka hal ini tentu saja sangat menyiksanya dan membuat gerakan ilmu silatnya menjadi kacau balau tidak karuan.

Dia sudah terkena pukulan sampai tiga kali, dua kali oleh Ouwyang Bouw dan sekali oleh Kim In. Namun, berkat ilmunya I-kiong Hoan-hiat (Ilmu Memindahkan Jalan Darah) yang sempurna, Thian-ong Lo-mo sanggup membuat tubuhnya kebal dan jalan darahnya tidak terluka oleh pukulan-pukulan itu, hanya bagian kulitnya yang terkena pukulan saja yang menjadi merah kehitaman dan terasa gatal bukan main.
"Hyaaahhhh... robohlah...!" Tiba-tiba Thian-ong Lo-mo membentak dan kedua tangannya bergerak ke depan.

Ouwyang Bouw dan Kim In cepat mengelak ketika melihat berkelebatnya sinar dari kedua tangan kakek itu dan mendengar suara bercuitan. Namun karena jaraknya sangat dekat, meski pun mereka mengelak, tetap saja pangkal lengan kiri Ouwyang Bouw keserempet dan betis kanan Kim In ketika meloncat terkena senjata rahasia yang dilepas oleh kakek itu. Kiranya senjata rahasia itu hanyalah kancing-kancing baju kakek itu sendiri.

Karena tadi terdesak hebat, terutama sekali disiksa rasa gatal-gatal, Thian-ong Lo-mo kemudian memperoleh akal. Tanpa diketahui kedua lawannya, diam-diam dia mencabuti kancing-kancing bajunya dan menanti kesempatan baik, lalu secara tiba-tiba menyerang kedua lawannya dengan kancing-kancing itu. Sayang baginya, kedua lawannya terlampau gesit sehingga hanya terluka ringan saja.

Celakanya, menyerang kedua orang suami isteri ini dengan senjata rahasia sama halnya dengan menantang ikan berlomba renang! Penggunaan kancing-kancing sebagai senjata rahasia oleh Thian-ong Lo-mo itu sama saja dengan menantang Ouwyang Bouw dan Kim In, padahal kedua suami isteri ini adalah ahli-ahli senjata rahasia jarum merah beracun!

Maka mereka berdua langsung menggerakkan kedua lengan bergantian dan sinar-sinar merah menyambar ke arah tubuh Thian-ong Lo-mo. Kakek ini masih berusaha mengelak, namun terlalu banyak jarum-jarum kecil halus itu menyambar, dan terlalu dekat jaraknya sehingga akhirnya dia berteriak keras dan roboh bergulingan di atas tanah.

Ouwyang Bouw tertawa dan dua kali tangannya bergerak. Seketika tubuh itu tidak dapat bergerak lagi, telentang di atas tanah karena pada sambungan lutut dan paha, masing-masing telah dimasuki sebatang jarum merah yang amat beracun, membuat kaki tangan kakek itu menjadi lumpuh tak mampu digerakkan lagi!

"Ha-ha-ha, isteriku sayang. Dia sudah tak berdaya, sekarang lakukanlah apa yang ingin kau lakukan!" Ouwyang Bouw berkata sambil mencari tempat duduk di atas sebuah batu untuk mengaso dan menonton isterinya membalas dendam.

Lauw Kim In memang merasa sakit hati sekali terhadap Thian-ong Lo-mo. Kakek inilah yang dianggapnya sudah menjadi biang keladi perubahan hidupnya. Betapa dia tak akan menyesal. Sampai saat itu pun, kalau diingat, dia menjadi berduka dan penasaran sekali.

Dia seorang murid Go-bi Sin-kouw, seorang wanita yang tergolong gagah perkasa dan cantik, terpaksa harus menyerahkan dirinya menjadi isteri seorang berotak miring seperti Ouwyang Bouw, dan semua itu adalah gara-gara kakek Thian-ong Lo-mo ini! Kalau saja dulu tunangannya tidak dibunuh, tentu dia telah menjadi isteri tunangannya itu dan hidup bahagia! Dengan dendam membara di dada wanita ini lalu mengambil pedangnya yang tinggal sepotong, kemudian menghampiri tubuh kakek yang rebah telentang itu.

Melihat Lauw Kim In datang membawa pedang buntung, Thian-ong Lo-mo maklum bahwa dia tentu akan dibunuh, maka dia berkata, "Aku sudah kalah oleh kecurangan kalian yang menggunakan racun. Nah, mau bunuh lekas bunuh, aku sudah tua, tidak kau bunuh pun tak lama lagi tentu mati!" Ucapan ini dikeluarkan untuk menutupi rasa ngeri dan takutnya.

Tanpa mengeluarkan kata-kata tetapi kedua matanya mengeluarkan sinar menyeramkan, Kim In melangkah maju menghampiri tubuh yang telentang tidak berdaya itu. Tangannya menggenggam gagang pedang erat-erat, pedang yang buntung, tidak runcing akan tetapi tentu saja masih amat tajam. Tangannya lalu bergerak, pedang pun berkelebat ke depan.

"Haiiittt...!" Tiba-tiba saja tubuh yang sudah tak berdaya dan lumpuh itu mencelat ke atas, mulutnya terpentang lebar dan ternyata kakek yang amat lihai itu kini menggunakan mulut untuk menyerang dan menggigit ke arah tenggorokan Kim In!

"Plakk! Desss...!"

Untung Kim In bersikap waspada dan dapat melihat serangan lawan, lalu tangan kirinya menampar dan memukul, membuat tubuh itu terbanting keras dalam keadaan telentang lagi. Kalau saja dia tidak waspada dan lehernya sampai tergigit, tentu gigitan itu tak akan dilepaskan sebelum kakek itu tewas, dan ini dapat berarti tewasnya Kim In pula! Dengan penuh kemarahan Kim In melangkah maju, tangan kanannya yang memegang pedang bergerak.

"Blesss... rettt...!"

Kim In meloncat muncur pada saat darah muncrat-muncrat dari tubuh depan kakek itu. Dari dada sampai ke bawah perut, tubuh itu terobek dan terkuak lebar, darah muncrat dan isi perutnya keluar.

Mata kakek itu terbelalak melotot, kaki tangannya yang lumpuh berkelojotan sebentar lalu dia pun terdiam. Hanya isi perutnya yang keluar itu masih sedikit bergerak-gerak bersama gerakan darah muncrat dan mengalir.

"Ha-ha-ha!" Ouwyang Bouw tertawa bergelak-gelak, menambah seramnya pemandangan di saat itu.

Lauw Kim In hanya menunduk, berdiri dengan muka pucat dan menunduk, tanpa berkata apa-apa lalu membuang pedang buntung yang berlumuran darah, kemudian membalikkan tubuhnya dan berkelebat pergi dari tempat itu, diikuti oleh suaminya yang tertawa-tawa.

Mayat Thian-ong Lo-mo ditinggalkan menggeletak di tempat itu, dengan dada dan perut terbuka. Dari jauh terdengar suara gerengan binatang hutan dan nampak beberapa ekor burung nazar pemakan bangkai yang beterbangan di atas tempat itu, binatang-binatang itu agaknya dapat mencium bau darah dan mayat.

Sementara itu, puas karena telah berhasil membalas dendam, Kim In bersama Ouwyang Bouw hendak kembali ke timur. Namun, serombongan orang Mongol dan beberapa orang barat yang dikepalai oleh Marcus yang dikenal sebagai Dewa Panah telah menghadang mereka di tengah jalan! Dengan amat mudah, Ouwyang Bouw dan Kim In merobohkan para pimpinan gerombolan ini.

Oleh karena Marcus mendengar bahwa laki-laki tampan gagah yang memiliki kepandaian amat tinggi itu adalah putera Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang tewas di tangan Cia Keng Hong yang membantu Panglima The Hoo, dia menggunakan kesempatan itu untuk menarik tenaga Ouwyang Bouw. Dia lalu menyatakan takluk dan membawa semua anak buahnya beserta para pemberontak Mongol, mengangkat Ouwyang Bouw sebagai kepala dari gerombolan yang semuanya berjumlah tidak kurang dari seribu orang Mongol!

Demikianlah, suami isteri ini menjadi pimpinan gerombolan orang Mongol. Dan tentu saja puncak pimpinan segera berada di tangan Lauw Kim In sebab suaminya tunduk padanya, sehingga Ouwyang Bouw yang memiliki kepandaian tinggi itu seakan-akan hanya menjadi pembantunya!

Setelah dendamnya terlaksana dan dia dapat membunuh musuhnya, Kim In menganggap bahwa hidupnya tidak ada artinya lagi. Tapi, mengingat betapa suaminya telah bersikap baik kepadanya, biar pun dia tidak mencintanya, bahkan telah membantunya membunuh Thian-ong Lo-mo, dia merasa kasihan juga mendengar bahwa suaminya itu tidak akan tenteram hatinya sebelum membalas kematian ayahnya.

Ouwyang Bouw maklum bahwa agaknya tidak akan mungkin baginya untuk membunuh Cia Keng Hong dan Panglima Sakti The Hoo, namun setidaknya dia akan merongrong kewibawaan panglima itu, akan mengganggu pemerintah!

Dan Kim In merasa berhutang budi kepada Ouwyang Bouw, maka dari pada menderita hidup yang kosong, dia lalu membantu suaminya, bahkan kini dia menikmati kedudukan sebagai orang paling terhormat di dalam Pasukan Tombak Maut yang dipimpin suaminya. Ia diperlakukan seperti ratu dan lama-kelamaan kedudukan atau kemuliaan ini merupakan kebutuhan baginya, membuat dirinya mabok dan tidak ingin melepaskannya lagi karena menganggapnya sebagai kebahagiaan hidupnya!

Memang demikianlah kehidupan manusia, seperti Lauw Kim In itu…..

Kita manusia dibikin mabok oleh pikiran kita sendiri, oleh kenangan yang melahirkan keinginan. Kita melihat, mendengar atau merasakan sesuatu yang menyenangkan, lalu kita ingin hal itu berlangsung terus atau berulang kembali, dan kita takut kehilangan itu sehingga kita mati-matian membelanya atau mencarinya kalau yang menyenangkan itu meninggalkan kita. Dalam membela atau mencari ini, kita tak segan-segan merobohkan siapa saja yang menghalang di tengah jalan.

Dan celakanya, kita menganggap bahwa yang menyenangkan itu adalah kebahagiaan! Kita lupa bahwa kesenangan tidak akan terpisah dari kekecewaan, kekhawatiran mau pun kedukaan. Bukan berarti bahwa kita tidak boleh menikmati kesenangan, tetapi bodohlah bila kita mengikatkan diri pada kesenangan yang berarti kita menghambakan diri kepada nafsu kesenangan.

Hanya dia yang bebas dari segala ikatan lahir mau pun batin, dialah yang benar-benar hidup, karena bagi dia yang bebas dari segala ikatan tidak membutuhkan apa-apa lagi, juga tidak membutuhkan kebahagiaan karena sudah bahagia!


Demikianlah pengalaman Lauw Kim In sampai pada suatu hari ketika suaminya dengan Marcus menangkap seorang tawanan dan pada keesokan harinya pagi-pagi tawanan itu dibawa menghadap ke dalam satu ruangan di mana dia hadir bersama Ouwyang Bouw, Marcus, dan lima orang pemimpin bangsa Mongol yang siap hendak memeriksa tawanan yang mencurigakan itu.

Ketika Lauw Kim In mengangkat mukanya memandang wajah tawanan itu, seketika dia teringat. Tawanan itu adalah Yap Kun Liong, bocah gundul yang dahulu menjadi sahabat sumoi-nya! Biar pun Kun Liong memakai pakaian bangsa kulit putih, biar pun kepala yang dulunya gundul pelontos itu kini sudah berambut, Kim In tidak pangling lagi. Jantungnya berdebar tegang. Betapa pun juga, bertemu dengan pemuda ini membuat dia teringat akan sumoi-nya, satu-satunya orang yang dikasihinya.

"Kalian sudah salah menangkap orang!" mendadak terdengar Kim In berkata, "Dia adalah teman sumoi-ku." Ia menoleh kepada suaminya kemudian berkata, "Harap kau buka dulu belenggunya dan biar aku yang menanyainya."

Ouwyang Bouw tidak membantah. Sekali tangannya bergerak meraba belenggu, patahlah belenggu kaki tangan Kun Liong. Diam-diam Kun Liong mencatat di dalam hatinya bahwa Ouwyang Bouw akan merupakan lawan yang sangat tangguh. Akan tetapi dia bersikap tenang, tersenyum dan menjura ke arah Lauw Kim In.

"Nona Lauw Kim In sungguh bermata tajam, dapat mengenalku. Apakah selama ini Nona berada dalam keadaan baik-baik saja?"

"Heh, dia itu isteriku, bukan nona lagi. Hati-hati menjaga mulutmu, jangan kau kurang ajar terhadap isteriku!" Ouwyang Bouw menegur dengan hati cemburu melihat tawanan itu tersenyum-senyum dan bicara kepada isterinya.

Kun Liong lalu menoleh kepada laki-laki yang memandangnya dengan biji mata berputar-putaran liar itu, masih tersenyum dan berkata, "Saudara Ouwyang Bouw, engkau makin galak saja sekarang. Aku tidak bermaksud kurang ajar kepada isterimu."

"Kau... kau mengenal namaku?" Ouwyang Bouw berseru kaget dan memandang penuh perhatian.

Kun Liong mengelus rambut di kepalanya. "Siapa tidak mengenal engkau dan ayahmu, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok? Sampai sekarang masih terbayang di hadapan mataku kematian semua orang dusun yang dahulu bersama aku menangkap ular-ular berbisa, kematian mengerikan dan masih terasa olehku jarum-jarum merahmu yang amat hebat. Tentu sekarang Ang-tok-ciam (Jarum Merah Beracun) milikmu itu semakin hebat saja! Jarum merah yang membuat kepalaku gundul sampai bertahun-tahun lamanya!"

Ouwyang Bouw semakin terheran dan dia merenung, mengingat-ingat, akan tetapi tentu saja tidak dapat teringat olehnya. Sudah terlampau banyak dia dan ayahnya membunuhi orang, tentu saja dia tidak teringat lagi akan peristiwa pembunuhan orang-orang dusun ketika Kun Liong masih kecil, belasan tahun yang lalu. Hal ini membuat dia penasaran dan dia tidak bicara lagi, melainkan termenung-menung dan berusaha mengingat kembali peristiwa yang dikatakan orang tawanan itu.

Sementara itu, Marcus yang mendengarkan dan melihat dengan penuh perhatian, begitu mendengar tawanan itu mengatakan bahwa kepalanya pernah gundul, segera teringat, "Haiiit! Bukankah engkau Si Gundul itu? Yap Kun Liong?"

Kun Liong berpaling kepadanya sambil tersenyum lebar. "Dan engkau Marcus yang kini berjuluk Si Dewa Panah, ya? Bagus, agaknya tak percuma pula engkau pernah menjadi kekasih Kim Seng Siocia, kiranya telah mewarisi ilmu kepandaiannya."

Merahlah muka Marcus mendengar kata-kata itu. "Kalau begitu engkau tentu mata-mata musuh! Engkau perlu dihajar agar suka mengaku!" Marcus meloncat ke depan, langsung menghantamkan kepalan tangan kanannya ke arah muka Kun Liong.

Tanpa mengelak tanpa berkedip pemuda ini menghadapi serangan itu. Sesudah kepalan tangan Marcus menyambar dekat sekali dengan mukanya, mendadak jari tangan kirinya bergerak menyambar dari bawah.

"Takkk...! Augghhh...!" Marcus berteriak kesakitan dan melangkah mundur, tangan kirinya memegang pergelangan tangan kanan yang terasa seperti patah tulangnya. Ternyata Kun Liong telah mendahuluinya dan menotok pergelangan tangan yang memukul itu sehingga tangan itu menjadi lumpuh dan terasa nyeri sekali.

"Hemm, berani engkau kurang ajar?" Ouwyang Bouw berseru dan tangannya menyambar ke depan.

Kun Liong maklum akan kelihaian orang ini, maka dia segera menggerakkan tubuhnya miring dan dari samping dia menyampok lengan yang menyambar dahsyat itu.

"Dukkk...!"

Tubuh Ouwyang Bouw tergeser ke belakang dan wajahnya menjadi merah sekali ketika dia memandang kepada lawannya. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa tawanan itu ternyata memiliki kepandaian hebat, mampu menangkis pukulannya, bahkan tangkisan itu membuat dia tergeser!

"Ouwyang Bouw, aku tidak ingin bertanding dengan orang yang telah menyelamatkan aku dari padang pasir. Bahkan pertolonganmu itu telah memaafkan semua perbuatanmu yang lalu terhadap diriku." Kun Liong berkata, suaranya nyaring.

"Manusia sombong!" Ouwyang Bouw meraba gagang pedangnya, juga Marcus dan lima orang pimpinan gerombolan Mongol sudah bangkit dari tempat duduk masing-masing dan menyambar senjata.

"Tahan, jangan bertempur!" Tiba-tiba Lauw Kim In berseru.
Selanjutnya,

Petualang Asmara Jilid 38

Petualang Asmara Jilid 38
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
DUA hari kemudian, sudah empat hari empat malam Kun Liong melalui padang pasir. Hari itu panasnya bukan main, tubuhnya sudah mulai lemah, kerongkongannya terasa kering dan haus, dan perutnya lapar.

"Uh-uhh... masih berapa jauhnya?" dia menggumam, berhenti di dekat batu besar untuk berteduh di bayangan batu itu, menghapus keringatnya dengan kain leher yang sudah basah. Tubuhnya gemetar dan matanya setengah terpejam karena silau oleh pasir yang berkilauan tertimpa panas terik matahari!

Kun Liong menjatuhkan diri duduk di atas pasir yang panas. Dikeluarkannya bungkusan emas permata dari sakunya.

"Sialan!" gerutunya memandang bungkusan itu dan mengantonginya kembali. "Aku akan senang sekali menukar bungkusan ini dengan semangkok bubur dan sepoci air jernih!"

Teringatlah dia betapa nilai sesuatu benda ditentukan oleh kebutuhan. Pada saat seperti itu, dalam keadaan kehausan dan kelaparan, semangkok bubur dan sepoci air jernih lebih berharga dari pada emas permata!

Betapa tololnya manusia di tempat ramai. Untuk memperebutkan emas permata mereka tidak segan-segan untuk saling bunuh! Padahal, dalam keadaannya sekarang ini, semua harta benda tidak ada gunanya, tidak lebih berharga dari pada semangkok bubur sepoci air.

Dia bangkit lagi. Makin lama dia beristirahat, makin berbahayalah keadaannya. Dia harus cepat-cepat keluar dari gurun pasir itu, kalau tidak, besar kemungkinannya dia akan mati konyol di tempat ini. Di depan sudah nampak pegunungan dan di balik pegunungan pasir ini, tampak samar-samar puncak sebuah gunung menghijau, akan tetapi masih amat jauh. Dia harus cepat-cepat mencapai gunung menghijau itu sebelum dirinya roboh dan mati di atas pasir.

Makin tinggi matahari naik, makin panaslah sinarnya menimpa pasir sehingga Kun Liong merasa makin tersiksa karena dia diserang hawa panas dari atas dan bawah. Pasir yang tertimpa sinar matahari menjadi panas dan hawa dari dalam bumi yang keluar membuat tubuh Kun Liong terasa seperti dipanggang. Peluhnya bercucuran dan pandang matanya berkunang-kunang.

"Celaka...!" keluhnya ketika dia terpaksa menjatuhkan tubuhnya yang kehabisan tenaga akibat terlalu banyak mengeluarkan keringat itu ke atas pasir.

Sejenak dia merebahkan dirinya di belakang batu besar yang agak teduh, rebah miring, pipinya menyentuh pasir hangat. Betapa nikmatnya! Betapa nikmatnya melepaskan lelah di tempat itu, tidak bangkit lagi, rebah di dalam pelukan bayangan batu, ditilami pasir yang lembut dan hangat. Dia memejamkan matanya, tubuhnya terasa nikmat, mengendur dan lepas semua urat tubuhnya.

"Eh, apakah aku harus mati dalam keadaan begini?" Tiba-tiba terbayang wajah Hong Ing dan cepat dia membuka mata dan bangkit duduk.

"Tidak! Aku tidak boleh mati seperti ini!" hardiknya di dalam hati kepada dirinya sendiri. Dia meloncat berdiri, akan tetapi terguling lagi karena matanya berkunang dan kepalanya pening sekali.

"Aku harus cepat keluar dari neraka ini! Aku harus mencari Hong Ing!" Ketekadan hati ini membuat Kun Liong merangkak-rangkak meninggalkan tempat itu. Kepalanya pening, dia tidak dapat berdiri dan berjalan, maka merangkak pun jadilah asal dia dapat melanjutkan perjalanan meninggalkan tempat berbahaya itu, menuju ke gunung menghijau di depan itu.

Akan tetapi, pasir tertimpa matahari yang membuat matanya silau, kembali memaksa dia menghentikan usahanya merangkak. Ia rebah lagi dan memejamkan matanya. Terlampau nikmat rebah begini, dan terlampau sengsara melanjutkan perjalanan!

Tiba-tiba dia menjadi terkejut. Telinganya yang menempel di atas pasir mendengar suara bergemuruh. Dia segera mengangkat tubuhnya dan terdengarlah lapat-lapat suara derap kaki kuda. Tak lama kemudian, dari sebelah depan muncullah sepasukan orang, sebagian kecil berkuda, menuju ke tempat itu! Di depan sendiri tampak seorang laki-laki bangsa asing dengan rambut putih kekuningan membalapkan kudanya.

Ketika tiba di tempat di mana Kun Liong masih berlutut dan menyangga tubuhnya dengan kedua tangan seperti orang merangkak, laki-laki itu berseru keras, meloncat turun dari kuda dan menghampiri. Dia berkata dalam bahasa asing yang tidak dimengerti oleh Kun Liong. Ketika Kun Liong menoleh, orang itu memaki,

"Keparat! Tentu orang ini sudah merampok anak buahku, lalu membunuh dan merampas pakaiannya!" Dengan gerakan sangat cepat, orang itu mencabut beberapa batang anak panah yang tergantung di punggung, memasangnya di busur.

"Wir-wir-wir... cuat-cuat-cuatt!"

Bukan main cepatnya orang itu mainkan anak panah dengan busur.

Kun Liong yang masih pening itu hanya melihat sinar-sinar kilat berkelebat dan anak anak panah menyambar lantas menancap di sekeliling tempat dia berlutut! Dia telah dikurung pagar anak panah. Bukan main pandainya orang asing itu menggunakan busur dan anak panah dan teringatlah dia akan pesan orang asing yang ditolongnya beberapa hari yang lalu. Dewa Panah! Agaknya orang inilah yang dijuluki Dewa Panah, dan ilmu panahnya memang hebat!

Kemudian orang yang memegang anak panah itu meloncat dan hanya dengan dua kali loncatan saja dia sudah berdiri di hadapan Kun Liong yang kini sudah berhasil bangkit berdiri di dalam pagar anak panah yang menancap di atas pasir di sekelilingnya itu. Loncatan orang itu pun membuktikan bahwa selain lihai ilmu panahnya, orang asing yang masih muda itu juga memiliki kepandaian yang tinggi.

Akan tetapi hal ini tidak menarik hati Kun Liong yang tentu saja menganggap kepandaian seperti itu tidak ada artinya. Yang menarik hati Kun Liong adalah ketika dia mengenal orang asing itu yang bukan lain adalah Marcus, bekas kekasih Kim Seng Siocia!

Dugaannya ini memang tidak keliru. Orang itu adalah Marcus, pemuda bangsa Portugis bekas anak buah Legaspi yang tadinya menjadi kekasih Kim Seng Siocia kemudian ketika Kim Seng Siocia tewas, dia berhasil melarikan diri sambil membawa kitab-kitab pusaka dan barang berharga dari nona gemuk itu. Dan di antara ilmu kepandaiannya Kim Seng Siocia yang dapat dia warisi, di antaranya adalah ilmu panah yang lihai!

Marcus berhasil pula menghimpun beberapa orang bekas rekannya sehingga terkumpul lima orang Portugis yang masih berkeliaran, kemudian bersama lima orang anak buahnya itu dia menggabungkan diri dengan gerombolan orang Mongol yang berniat memberontak dan menyerbu ke selatan.

Gerombolan pemberontak ini terdiri dari ribuan orang dan merupakan pasukan yang kuat, dan sudah siap untuk bergerak ke selatan. Dalam usaha pemberontakan ini, gerombolan orang Mongol yang disebut Pasukan Tombak Maut mengadakan kontak dan persekutuan dengan kaum Pek-lian-kauw!

Berkat ilmu silat dan ilmu panahnya yang cukup lihai, Marcus memperoleh kedudukan terhormat di dalam Pasukan Tombak Maut dan sebentar saja dia terkenal sebagai Dewa Panah karena ilmu panahnya memang hebat dan dikagumi oleh semua orang Mongol.

Pada hari itu Marcus sedang mengiringi komandannya bersama sepasukan orang Mongol berjumlah dua puluh orang lebih dan pasukan ini secara kebetulan melalui gurun pasir di antara pegunungan itu dan bertemu dengan Kun Liong yang telah terancam bahaya maut karena lelah, lapar dan terutama sekali haus.

Melihat Kun Liong mengenakan pakaian seorang anak buahnya, dia menjadi curiga dan langsung mengancam Kun Liong dengan anak panahnya. Kini dia menghadapi Kun Liong ada pun di belakangnya, duduk di atas kuda sambil memandang tajam, Sang Komandan Pasukan Tombak Maut menyaksikan tanpa membuka suara. Komandan ini masih muda, tampan dan gagah, matanya tajam dan gerakan biji matanya liar.

Kun Liong masih nanar dan pening, pandang matanya masih berkunang sehingga ketika dia memandang kepada Marcus dan kepada komandan itu, hatinya terkejut sekali dan dia mengira berada dalam mimpi. Dia mengenal pula komandan itu. Tentu saja dia tidak akan pernah dapat melupakan wajah Ouwyang Bouw putera Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok Si Raja Ular!

"Hemm, dia tentu mata-mata dari selatan yang menyamar. Tangkap saja dia, kita periksa di markas!" bentak Ouwyang Bouw tanpa turun dari kudanya.

Agaknya baik Ouwyang Bouw mau pun Marcus tidak mengenal Kun Liong, bukan hanya karena pakaiannya yang aneh akan tetapi terutama sekali karena Kun Liong yang dulunya gundul pelontos itu kini telah memiliki rambut hitam lebat.

Ketika beberapa orang anggota Pasukan Tombak Maut, yaitu orang-orang Mongol anak buah Ouwyang Bouw, berhasil menghampiri dan mentaati perintah Ouwyang Bouw untuk menangkapnya, Kun Liong sama sekali tak mau melawan. Dia maklum bahwa andai kata dia mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk melawan, tak mungkin dia yang kelaparan dan kehausan itu mampu mengalahkan Ouwyang Bouw yang dia tahu amat lihai.

Pula, begitu melihat Ouwyang Bouw, teringatlah dia akan cerita Hong Ing mengenai suci dara itu, yaitu Lauw Kim In, wanita cantik manis pendiam yang berhati keras dan galak. Menurut cerita Hong Ing, Nona Lauw Kim In sudah ditangkap oleh Ouwyang Bouw dan sudah dibawa pergi menjadi isteri orang berotak miring ini. Teringat akan ini, selain tidak kuat untuk melawan, Kun Liong membiarkan dirinya diringkus dan ditawan karena dia pun ingin sekali mengetahui bagaimana dengan nasib suci dari Hong Ing, di samping ingin memulihkan tenaganya lebih dulu sebelum melawan.

"Beri dia makan dan minum, jangan sampai dia mati kelaparan dan kehausan. Kita perlu mengorek semua rahasia musuh dari mulutnya!" kata pula Ouwyang Bouw dan diam-diam Kun Liong merasa berterima kasih dengan perintah ini.

Dapat dibayangkan betapa segar rasanya air dari guci yang diberikan kepadanya, betapa nikmat roti kering dan daging yang dimakannya. Diam-diam di dalam hatinya dia berjanji sendiri bahwa untuk makan dan minum saja dia sudah berhutang nyawa pada Ouwyang Bouw.

Biar pun dahulu Ouwyang Bouw menggunakan jarum merah beracun menyerangnya dan membuat kepalanya menjadi gundul, namun sekali ini Ouwyang Bouw dianggapnya telah menyelamatkannya maka dia pun berjanji takkan mengganggu keselamatan putera Raja Ular itu.

Kun Liong dibawa oleh rombongan itu sebagai seorang tawanan, dan melihat bahwa dia tidak melakukan perlawanan bahkan sama sekali tidak membayangkan sebagai seorang yang pandai ilmu silat, biar pun dia dianggap sebagai seorang mata-mata musuh namun dia tidak diperlakukan kasar, hanya disuruh berjalan kaki mengikuti rombongan itu, tanpa dibelenggu kedua tangannya, hanya rantai yang dihubungkan dengan belenggu sebelah kakinya dipegang oleh seorang anggota pasukan.

Kiranya markas Pasukan Tombak Maut itu berada di pegunungan yang dari jauh tampak kehijauan tadi. Perjalanan untuk menuju ke pegunungan itu masih memakan waktu sehari semalam sehingga diam-diam Kun Liong bergidik. Kalau saja dia tidak bertemu dengan gerombolan ini, menjadi tawanan dan diberi makan, agaknya belum tentu dia akan dapat tiba di pegunungan ini dalam keadaan masih bernyawa. Barulah dia mengalami sendiri betapa bahayanya melakukan perjalanan melintasi gurun pasir tandus tanpa membawa bekal secukupnya.

Ketika rombongan itu sampai di puncak gunung, dengan kaget Kun Liong melihat bahwa puncak itu merupakan sebuah perkampungan gerombolan yang sangat besar dan kuat. Bangunan-bangunan yang kokoh kuat dilingkari tembok benteng dan dijaga bagai sebuah benteng tentara saja. Dia dibawa ke dalam sebuah kamar tahanan dan didorong masuk ke dalam sebuah kamar itu, pintu ditutup rapat dan tempat itu dijaga kuat.

Pada keesokan harinya, barulah dia diambil oleh empat orang penjaga dan dia diiringkan memasuki sebuah ruangan besar di mana tampak duduk Marcus, Ouwyang Bouw, serta beberapa orang Mongol berpakaian perwira dan di tengah-tengah mereka, di atas sebuah kursi tinggi dan berukir indah, duduk seorang wanita cantik yang berpakaian indah seperti seorang ratu.

Melihat wanita ini, Kun Liong terkejut karena dia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Lauw Kim In! Wanita cantik ini, dengan sikapnya yang agung, kecantikannya yang dingin, memandang dan dari sinar matanya yang bercahaya itu Kun Liong dapat menduga bahwa suci dari Hong Ing itu agaknya mengenalnya.

Bagaimanakah Lauw Kim In dapat berada di sana dan agaknya menjadi tokoh tertinggi, menjadi pucuk pimpinan di antara gerombolan orang Mongol itu? Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lauw Kim In dan sumoi-nya, Pek Hong Ing, bertemu dengan Ouwyang Bouw di tengah hutan dan dengan kepandaiannya yang tinggi, Ouwyang Bouw berhasil merobohkan dua orang kakak beradik seperguruan itu.

Ouwyang Bouw jatuh cinta kepada Kim In, maka dia mengancam untuk membunuh Hong Ing dan akhirnya secara tidak terduga-duga oleh Hong Ing sendiri, suci-nya itu menyerah dan menerima menjadi isteri Ouwyang Bouw! Hong Ing dibebaskan oleh Ouwyang Bouw yang kegirangan dan sambil tertawa-tawa, Ouwyang Bouw lalu berlari cepat memondong tubuh Lauw Kim In meninggalkan Pek Hong Ing.

Kim In memejamkan matanya dan menguatkan hatinya. Dia menerima semua perlakuan Ouwyang Bouw kepadanya, bahkan dia tak membantah atau melawan sedikit pun ketika Ouwyang Bouw mencumbunya, menciuminya dan menjadikan dia sebagai isterinya pada malam hari itu juga, di dalam hutan, di sebuah kuil tua.

Kim In sengaja mengorbankan kehormatannya, bukan semata-mata untuk menolong dan menyelamatkan sumoi-nya, bukan pula semata-mata hendak menyelamatkan nyawanya sendiri melainkan karena dia melihat keuntungan jika dia menjadi isteri pemuda tampan akan tetapi setengah gila ini.

Dia melihat betapa Ouwyang Bouw mempunyai kepandaian yang sangat tinggi. Dia ingin mempelajari ilmu dari pemuda yang menjadi suaminya ini, suami yang diterimanya bukan karena cinta. Sama sekali bukan. Bahkan dia merasa muak dan jijik setiap kali Ouwyang Bouw mendekatinya dan menidurinya, namun semua itu dipertahankannya dengan tabah dan dengan mematikan segala perasaannya.
Bagi Ouwyang Bouw sendiri, kerelaan hati Kim In menerimanya sebagai seorang suami meski tanpa pernikahan resmi, membuat dia makin tergila-gila sehingga pemuda sinting ini benar-benar jatuh cinta kepada Lauw Kim In.

Setelah menderita siksaan batin pada masa ‘pengantin baru’ tanpa menjadi pengantin ini, Kim In mulai mempergunakan pengaruh kekuasaan tubuhnya kepada Ouwyang Bouw. Dia minta diajari ilmu-ilmu tertinggi dari suaminya itu dan Ouwyang Bouw dengan suka hati mengajarinya, bahkan dapat dikatakan dia terpaksa menuruti permintaan isterinya karena Kim In selalu mengancam tidak mau melayaninya kalau tidak mau menurunkan ilmunya yang paling tinggi!

Kim Ing mulai mempergunakan tubuhnya yang membuat Ouwyang Bouw tergila-gila itu sebagai alat untuk memeras! Semua ini dilakukannya hanya dengan satu niat, yaitu untuk membalas dendam terhadap musuh yang dibencinya, yang dianggapnya mendatangkan segala malapetaka yang dideritanya sampai sekarang. Dan musuh itu adalah Thian-ong Lo-mo!

Dahulu, Lauw Kim In telah bertunangan dengan seorang pemuda yang tampan dan yang diam-diam sudah menjatuhkan hati Lauw Kim In. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa hancur hati dara ini ketika mendengar berita bahwa tunangannya itu tewas dibunuh oleh Thian-ong Lo-mo akibat tertangkap basah sedang bercinta dengan selir muda yang cantik dari Thian-ong Lo-mo!

Peritiwa itu akhirnya mendatangkan dua akibat di dalam hati Lauw Kim In. Pertama, dia menjadi seorang dara yang berwatak dingin dan bahkan selalu kelihatan membenci kaum pria yang dianggapnya semua hidung belang dan tidak setia seperti tunangannya itu. Kedua, dia menaruh dendam yang amat mendalam terhadap Thian-ong Lo-mo yang sudah membunuh tunangannya.

Anggapannya bahwa kalau tidak ada Thian-ong Lo-mo, tentu tak ada pula selirnya yang cantik sehingga tunangannya tidak berjinah dan tidak akan terbunuh mati. Akan tetapi, pada saat itu untuk dapat membalas dendam merupakan hal yang mustahil sebab tingkat kepandaian kakek itu adalah setingkat kepandaian subo-nya sendiri, mana mungkin dia dapat menang menghadapi kakek itu?

Itulah yang menyebabkan Kim In tidak peduli lagi bahwa dia telah menyerahkan tubuhnya kepada seorang pria seperti Ouwyang Bouw yang sama sekali tidak dicintanya. Baginya, semua pria sama saja! Dan dia lalu mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi dari ‘suaminya’ itu dengan tekun sampai dia merasa bahwa ilmu kepandaiannya sudah maju pesat sekali. Terutama dia mempelajari pukulan-pukulan beracun dari suaminya yang ahli dalam hal ini.

Setahun kemudian, dengan memaksa suaminya yang semakin tunduk dan semakin takut kepadanya karena makin tergila-gila, Lauw Kim In dapat membujuk Ouwyang Bouw untuk pergi ke kaki Pegunungan Go-bi-san mencari Thian-ong Lo-mo! Pada saat itu, Thian-ong Lo-mo telah melarikan diri karena gagal membantu Kwi-eng Niocu. Dia berhasil lolos dari maut ketika pasukan pemerintah menyerbu Kwi-eng-pang dan karena merasa telah putus harapan, dia segera melarikan diri kembali ke tempat pertapaannya semula, yaitu di kaki Pegunungan Go-bi-san.

Kagetlah hati Thian-ong Lo-mo ketika pagi hari itu, di depan goanya muncul dua orang muda, seorang pria dan seorang wanita. Tempat itu biasanya sunyi sekali dan dia tidak mengharapkan kedatangan siapa pun juga. Apa lagi dia sama sekali tidak mengenal pria dan wanita muda itu. Dia baru memandang penuh perhatian ketika wanita itu membentak,

"Thian-ong Lo-mo, aku datang untuk mencabut nyawamu!"

Thian-ong Lo-mo menggerakkan kakinya dan tubuhnya melayang keluar dari goa, berdiri menghadapi dua orang itu dan dia memandang penuh perhatian kepada Lauw Kim In. Akhirnya dia ingat akan dara ini dan dia menegur, "Ehh, bukankah engkau ini seorang di antara dua orang murid Go-bi Sin-kow?"

"Benar, aku Lauw Kim In, dan aku datang untuk mencabut nyawamu, membalas kematian tunanganku!"

Thian-ong Lo-mo mengangguk-angguk maklum. Teringatlah dia akan tunangan dara yang telah berani bermain gila dengan selirnya sehingga terpaksa dibunuhnya. Tertawalah dia.

"Ha-ha-ha, sungguh lucu, murid Go-bi Sin-kouw berani mengancam hendak membunuh aku! Ehhh, bocah. Kau lumayan juga, selain manis juga pemberani. Akan tetapi, melihat engkau telah memperoleh seorang tunangan baru, kenapa engkau masih meributkan soal kematian tunanganmu yang lama? Apakah tunanganmu yang baru ini kurang mampu? Kalau begitu, lebih baik kau berganti pacar lagi, dan bagaimana kalau dengan aku saja? Ha-ha-ha, biar pun aku sudah tua, kiranya kemampuanku tidak akan kalah dibandingkan dengan pacarmu yang pucat ini, ha-ha-ha!"

"Thian-ong Lo-mo, kematian sudah di depan mata, engkau masih mengeluarkan kata-kata sombong. Makanlah ini!" Ouwyang Bouw berkata tenang akan tetapi tahu-tahu dari kedua tangannya menyambar sinar-sinar merah. Itulah jarum-jarum merah beracun yang dilepas dan digerakkan dengan sentilan jari-jari tangannya secara lihai sekali.

"Heiii...!" Thian-ong Lo-mo terkejut sekali ketika dia mengelak, tercium olehnya bau harum memuakkan, dan jarum itu sedemikian cepat luncurannya sehingga meski pun dia sudah cepat mengelak, ada sebatang yang hampir mengenai lehernya. Dia memandang dengan mata terbelalak kaget lalu bertanya, "Engkau siapa...?"

Ouwyang Bouw tidak menjawab segera, melainkan mencabut pedangnya perlahan-lahan, pedangnya yang berbentuk seekor ular. Kemudian dia berkata, suaranya seperti orang tidak acuh, akan tetapi nadanya penuh ancaman. "Dia adalah isteriku, engkau tua bangka berani menghina isteriku, karenanya harus mampus!"

Thian-ong Lo-mo kini mulai memandang orang muda yang tadinya dipandang rendah itu dengan penuh perhatian. Sikap orang muda itu membuat dia marah, akan tetapi serangan jarum itu tadi sangat mengejutkannya dan pada waktu dia melihat pedang berbentuk ular di tangan Ouwyang Bouw, dia mengerutkan alisnya.

"Apa hubunganmu dengan Ban-tok Coa-ong?" tanyanya karena dia langsung mengenal pedang ular itu.

"Mau apa kau menyebut-nyebut nama julukan ayahku?"

Thian-ong Lo-mo terkejut sekali. Kiranya gadis murid Go-bi Sian-kouw yang mendendam kepadanya karena tunangannya dahulu dibunuhnya itu telah menjadi isteri putera Ban-tok Coa-ong! Dia merasa gentar juga karena dia sudah mendengar betapa lihainya putera Raja Ular itu, tidak berbeda dengan ayahnya!

"Ahh, kalau begitu kita adalah orang sendiri!" serunya. "Orang muda, kalau engkau putera Ouwyang Kok, tentu engkau yang bernama Ouwyang Bouw dan ketahuilah bahwa antara ayahmu dan aku terdapat tali persahabatan yang erat."

"Hemmm, tidak seerat tali hubungan antara aku dan isteriku!" bantah Ouwyang Bouw.

"Kau keliru! Antara ayahmu dan aku terdapat hubungan seperjuangan! Ayahmu tewas di tangan Cia Keng Hong dan Panglima The Hoo, dan aku pun musuh dari pemerintah lalim yang sekarang berkuasa. Bahkan kita harus bersatu padu untuk merobohkan pemerintah ini, untuk membalas dendam kematian ayahmu. Jangan kau sampai terseret oleh urusan pribadi isterimu. Sebetulnya antara dia dan aku pun tidak terdapat permusuhan apa-apa. Tunangannya dulu kubunuh karena tunangannya itu telah berani berjinah dengan selirku, mereka tertangkap basah, maka kubunuh."

Mendengar ucapan ini, Ouwyang Bouw kelihatan meragu. Memang dia menaruh dendam kepada Cia Keng Hong dan Panglima The Hoo atas kematian ayahnya.

"Ouwyang Bouw, kau masih diam seperti patung? Hayo cepat bantu aku merobohkan tua bangka ini, akan tetapi awas, jangan sampai dia terbunuh di dalam tanganmu. Aku harus membunuhnya dengan tanganku sendiri." Lauw Kim In berkata dengan suara dingin dan pandang mata marah kepada suaminya.

Mendengar kata-kata ini, lenyaplah semua keraguan dari wajah Ouwyang Bouw. Pedang ularnya berkelebat dan dia sudah menyerang Thian-ong Lo-mo dengan tusukan maut.

"Tranggg...!"

Kakek tinggi besar brewok ini sudah menggunakan sabuk rantai gergaji untuk menangkis. "Ouwyang Bouw jangan bodoh kau! Ingat, banyak orang gagah yang roboh hanya karena bujukan mulut wanita!"

"Tua bangka keparat!" Lauw Kim In memekik nyaring lantas pedangnya berubah menjadi sinar putih ketika meluncur ke arah leher Thian-ong Lo-mo dengan kecepatan kilat.

Kakek itu cepat meloncat dan mengelak, diam-diam terkejut karena mendapat kenyataan bahwa gerakan wanita itu hebat bukan main. Mengertilah dia bahwa wanita itu tentu telah memperdalam ilmunya setelah menjadi isteri Ouwyang Bouw. Dia adalah seorang tokoh dunia kaum sesat yang terkenal, memiliki banyak pengalaman dan tentu saja dia menjadi marah melihat dua orang muda itu mendesaknya.

"Bagus! Jangan kira Thian-ong Lo-mo takut kepada kalian!" Dia lalu memutar senjatanya sabuk rantai gergaji yang mengeluarkan bunyi berkerincing nyaring itu, segera membalas serangan lawan sehingga terjadilah pertandingan yang seru, hebat dan mati-matian.

"Cringgg... wuuuttt…! Wuuutttt…!"

Senjata rantai gergaji itu menyambar dahsyat ke arah Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In dengan suara berdencingan nyaring, akan tetapi kedua orang muda itu dapat mengelak dengan baik, bahkan meloncat ke kanan kiri dan dari dua jurusan ini pedang mereka menusuk ke lambung kiri dan leher kanan! Diserang dari dua jurusan ini, Thian-ong Lo-mo meloncat ke belakang, memutar senjatanya ke kanan kiri dengan cepat untuk menangkis.

"Cringg…! Tranggg...!"

Namun, pedang ular di tangan Ouwyang Bouw yang tertangkis itu sudah meluncur seperti ular hidup, membalik dan menusuk ke arah pelipis kanan lawan, sedangkan Lauw Kim In dengan gerakan yang sama, juga sudah membacokkan pedangnya ke arah mata kaki kiri kakek brewok itu.

"Cring… cringgg...! Wuuut…! Wuuuttt…!"

Hanya dengan kecepatan luar biasa dan dengan susah payah saja kakek itu baru berhasil menangkis serangan dua batang pedang dari kanan kiri itu. Dia lalu memutar senjatanya, namun juga dapat dielakkan oleh dua orang pengeroyoknya yang mempunyai keringanan tubuh mengagumkan sekali.

Kini terjadilah serang-menyerang dengan gencar, kedua pihak mengeluarkan jurus-jurus maut dan berkali-kali terdengar suara berdencingan senjata yang saling bertemu dengan kerasnya diselingi bersiutnya senjata menyambar yang membelah udara karena berhasil dielakkan oleh sasarannya.

Thian-ong Lo-mo yang maklum bahwa dua orang lawannya itu, sungguh pun masih muda akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, telah mengeluarkan semua tenaga dan kepandaiannya. Berkat pengalamannya yang amat banyak selama puluhan tahun malang melintang di dunia kang-ouw, dia masih dapat mempertahankan diri, biar pun usia tuanya mulai memperlihatkan kelemahan daya tahannya dan napasnya yang mulai memburu.

"Hyaaahhhh…!" Tiba-tiba saja kakek itu memekik nyaring, pekik yang dikeluarkan dengan pengerahan khikang sehingga mengandung tenaga mukjijat yang menggetarkan lawan, sementara rantai gergaji di tangannya menyambar-nyambar ganas sekali.

"Sing-sing... wuuuttt... brettt!"

"Aihhh...!"

Saking dahsyatnya serangan Thian-ong Lo-mo tadi, meski Lauw Kim In sudah menangkis dan mengelak seperti yang dilakukan suaminya, tetap saja baju di punggungnya tercium rantai dan terobek lebar.

"Ha-ha-ha!" Thian-ong Lo-mo tertawa, sengaja mengeluarkan suara tawa untuk mengejek lawan, sungguh pun dia merasa kecewa bahwa senjatanya hanya berhasil merobek baju, tidak melukai tubuh lawan.

Di lain pihak, Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In marah bukan main. Sambil berteriak keras mereka maju mendesak, mengirim serangan-serangan bertubi dan mengerahkan tenaga sinkang mereka. Thian-ong Lo-mo terpaksa memutar senjatanya melindungi tubuhnya.

"Cring-cring-cringggg...!"

Thian-ong Lo-mo dan Lauw Kim In berteriak keras sambil meloncat ke belakang. Senjata rantai gergaji itu patah, juga pedang Kim In patah. Hanya pedang ular di tangan Ouwyang Bouw yang masih utuh. Melihat senjatanya sudah patah dan rusak, Thian-ong Lo-mo lalu membuang senjatanya. Juga Lauw Kim In membuang pedang yang tinggal sepotong.

"Ha-ha-ha, bersiaplah kau untuk mampus, tua bangka Thian-ong Lo-mo!" Ouwyang Bouw tertawa bergelak sambil menyimpan pedang ularnya.

Menyaksikan kesombongan Ouwyang Bouw yang tidak mau menghadapi dia yang sudah bertangan kosong itu dengan pedangnya, diam-diam hati Thian-ong Lo-mo menjadi amat girang. Pemuda sombong, pikimya, kesombonganmu ini akan kau tebus dengan jiwamu!

Tanpa banyak cakap lagi Thian-ong Lo-mo menggereng, kemudian maju menyerang dua orang pengeroyoknya dengan kedua tangannya. Hebat bukan main serangan kakek ini.

Mula-mula dia menggerak-gerakkan sepasang tangannya saling bersilang dengan jari-jari tangan terbuka. Jari-jari tangan itu tergetar, menggigil terisi penuh dengan tenaga sinkang yang sangat kuat sehingga dalam keadaan seperti itu, bahkan kuku-kuku jari tangannya berubah menjadi sekuat cakar baja! Thian-ong Lo-mo lantas menyerbu ke depan, tangan kanannya mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Ouwyang Bouw sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah dada Kim In. Gerakannya benar-benar berupa serangan maut!

Akan tetapi kedua orang lawannya sudah siap. Mereka berdua maklum bahwa dalam hal kekuatan sinkang mungkin mereka masih kalah setingkat melawan kakek yang amat lihai itu. Akan tetapi keduanya memiliki andalan dan andalan ini pula yang membuat Ouwyang Bouw berani memandang rendah hingga tadi dia menyimpan pedangnya. Mereka berdua mengandalkan tok-ciang (tangan beracun) mereka!

Baru kurang lebih setahun bersama-sama dengan suaminya, Lauw Kim In telah memiliki sepasang tangan beracun yang amal lihai. Hal ini hanya dapat terjadi karena bujukannya terhadap Ouwyang Bouw yang sebetulnya merahasiakan ilmu keturunan ini. Akan tetapi karena dia sudah tergila-gila kepada Kim In, dia memenuhi permintaan isterinya tercinta itu dan setiap hari dia merendam kedua tangan dan lengan istrinya sampai ke batas siku dengan cairan ramuan obat yang mengandung racun ular Cobra!

Di samping ini dia melatih istrinya dengan pukulan-pukulan dari tok-ciang itu. Baru berlatih setahun saja, dengan sekali pukul, tangan kiri atau kanan wanita muda ini dapat membuat lawan roboh dan tewas dengan tubuh bengkak-bengkak seperti tergigit ular Cobra! Dapat dibayangkan betapa hebat dan berbahayanya kedua tangan Ouwyang Bouw yang sudah dilatih belasan tahun itu!

"Dukk! Dukkk!" Kedua lengan kakek Thian-ong Lomo tertangkis oleh lengan kedua orang lawannya.

Ketika tadi dia melihat dua orang muda itu berani menangkisnya, diam-diam dia menjadi girang sehingga dia cepat mengerahkan sinkang-nya. Benturan lengan mereka membuat Ouwyang Bouw dan Kim In terhuyung ke belakang dan segera terdengarlah suara ketawa Thian-ong Lo-mo yang merasa girang karena benturan lengan tadi membuktikan bahwa sinkang-nya masih lebih kuat dari pada kedua orang lawannya.

"Ha-ha-ha... ehhh...?" Suara ketawanya tiba-tiba terhenti dan berganti teriakan kaget.

Dia memandang kedua buah lengannya dan matanya terbelalak. Ketika menyingsingkan lengan baju, dia melihat lengannya merah dan terasa gatal-gatal. Kini tahulah dia bahwa kedua kulit tengannya telah terkena hawa beracun!

"Ha-ha-ha-ha!" Ouwyang Bouw tertawa.

"Hi-hik-hik, tua bangka, bersiaplah untuk mampus!" Kim In juga mengejek dan wanita ini sudah menerjang maju bersama suaminya.

"Haiiitit... hehhh!" Thian-ong Lo-mo cepat mengelak kesana kemari, lantas membalas dengan pukulan-pukulan maut.

Namun dia segera terdesak hebat karena kakek ini merasa ragu-ragu untuk menangkis pukulan-pukulan lawan. Dia hanya mengelak ke sana-sini sehingga tentu saja hal ini tidak memberi banyak kesempatan kepadanya untuk balas menyerang, tidak seperti kalau dia menangkis lalu membalas langsung.

Kadang-kadang, secara terpaksa Thian-ong Lo-mo menangkis juga, namun kalau hal ini dilakukan, dia mengisi lengannya dengan hawa sinkang sepenuhnya untuk menolak hawa beracun dari lengan lawan. Betapa pun juga, tetap saja kulit lengan yang terbentur lengan lawan terasa gatal-gatal, tanda bahwa biar pun hawa beracun itu tidak meresap ke daging dan tulang, namun tetap saja meracuni kulitnya. Semakin banyak dia menangkis, makin hebat pula rasa gatal yang menyiksa kedua lengannya.

Di antara perasaan yang biar pun tidak berapa nyeri namun sukar dipertahankan manusia adalah rasa gatal. Mungkin kalau kedua lengan Thian-ong Lo-mo itu terasa nyeri betapa hebat pun, kakek ini masih dapat mempertahankan. Akan tetapi diserang rasa gatal yang membuat seluruh bulu di tubuhnya bangkit meremang, sukar untuk dipertahankan tanpa digaruk, maka hal ini tentu saja sangat menyiksanya dan membuat gerakan ilmu silatnya menjadi kacau balau tidak karuan.

Dia sudah terkena pukulan sampai tiga kali, dua kali oleh Ouwyang Bouw dan sekali oleh Kim In. Namun, berkat ilmunya I-kiong Hoan-hiat (Ilmu Memindahkan Jalan Darah) yang sempurna, Thian-ong Lo-mo sanggup membuat tubuhnya kebal dan jalan darahnya tidak terluka oleh pukulan-pukulan itu, hanya bagian kulitnya yang terkena pukulan saja yang menjadi merah kehitaman dan terasa gatal bukan main.
"Hyaaahhhh... robohlah...!" Tiba-tiba Thian-ong Lo-mo membentak dan kedua tangannya bergerak ke depan.

Ouwyang Bouw dan Kim In cepat mengelak ketika melihat berkelebatnya sinar dari kedua tangan kakek itu dan mendengar suara bercuitan. Namun karena jaraknya sangat dekat, meski pun mereka mengelak, tetap saja pangkal lengan kiri Ouwyang Bouw keserempet dan betis kanan Kim In ketika meloncat terkena senjata rahasia yang dilepas oleh kakek itu. Kiranya senjata rahasia itu hanyalah kancing-kancing baju kakek itu sendiri.

Karena tadi terdesak hebat, terutama sekali disiksa rasa gatal-gatal, Thian-ong Lo-mo kemudian memperoleh akal. Tanpa diketahui kedua lawannya, diam-diam dia mencabuti kancing-kancing bajunya dan menanti kesempatan baik, lalu secara tiba-tiba menyerang kedua lawannya dengan kancing-kancing itu. Sayang baginya, kedua lawannya terlampau gesit sehingga hanya terluka ringan saja.

Celakanya, menyerang kedua orang suami isteri ini dengan senjata rahasia sama halnya dengan menantang ikan berlomba renang! Penggunaan kancing-kancing sebagai senjata rahasia oleh Thian-ong Lo-mo itu sama saja dengan menantang Ouwyang Bouw dan Kim In, padahal kedua suami isteri ini adalah ahli-ahli senjata rahasia jarum merah beracun!

Maka mereka berdua langsung menggerakkan kedua lengan bergantian dan sinar-sinar merah menyambar ke arah tubuh Thian-ong Lo-mo. Kakek ini masih berusaha mengelak, namun terlalu banyak jarum-jarum kecil halus itu menyambar, dan terlalu dekat jaraknya sehingga akhirnya dia berteriak keras dan roboh bergulingan di atas tanah.

Ouwyang Bouw tertawa dan dua kali tangannya bergerak. Seketika tubuh itu tidak dapat bergerak lagi, telentang di atas tanah karena pada sambungan lutut dan paha, masing-masing telah dimasuki sebatang jarum merah yang amat beracun, membuat kaki tangan kakek itu menjadi lumpuh tak mampu digerakkan lagi!

"Ha-ha-ha, isteriku sayang. Dia sudah tak berdaya, sekarang lakukanlah apa yang ingin kau lakukan!" Ouwyang Bouw berkata sambil mencari tempat duduk di atas sebuah batu untuk mengaso dan menonton isterinya membalas dendam.

Lauw Kim In memang merasa sakit hati sekali terhadap Thian-ong Lo-mo. Kakek inilah yang dianggapnya sudah menjadi biang keladi perubahan hidupnya. Betapa dia tak akan menyesal. Sampai saat itu pun, kalau diingat, dia menjadi berduka dan penasaran sekali.

Dia seorang murid Go-bi Sin-kouw, seorang wanita yang tergolong gagah perkasa dan cantik, terpaksa harus menyerahkan dirinya menjadi isteri seorang berotak miring seperti Ouwyang Bouw, dan semua itu adalah gara-gara kakek Thian-ong Lo-mo ini! Kalau saja dulu tunangannya tidak dibunuh, tentu dia telah menjadi isteri tunangannya itu dan hidup bahagia! Dengan dendam membara di dada wanita ini lalu mengambil pedangnya yang tinggal sepotong, kemudian menghampiri tubuh kakek yang rebah telentang itu.

Melihat Lauw Kim In datang membawa pedang buntung, Thian-ong Lo-mo maklum bahwa dia tentu akan dibunuh, maka dia berkata, "Aku sudah kalah oleh kecurangan kalian yang menggunakan racun. Nah, mau bunuh lekas bunuh, aku sudah tua, tidak kau bunuh pun tak lama lagi tentu mati!" Ucapan ini dikeluarkan untuk menutupi rasa ngeri dan takutnya.

Tanpa mengeluarkan kata-kata tetapi kedua matanya mengeluarkan sinar menyeramkan, Kim In melangkah maju menghampiri tubuh yang telentang tidak berdaya itu. Tangannya menggenggam gagang pedang erat-erat, pedang yang buntung, tidak runcing akan tetapi tentu saja masih amat tajam. Tangannya lalu bergerak, pedang pun berkelebat ke depan.

"Haiiittt...!" Tiba-tiba saja tubuh yang sudah tak berdaya dan lumpuh itu mencelat ke atas, mulutnya terpentang lebar dan ternyata kakek yang amat lihai itu kini menggunakan mulut untuk menyerang dan menggigit ke arah tenggorokan Kim In!

"Plakk! Desss...!"

Untung Kim In bersikap waspada dan dapat melihat serangan lawan, lalu tangan kirinya menampar dan memukul, membuat tubuh itu terbanting keras dalam keadaan telentang lagi. Kalau saja dia tidak waspada dan lehernya sampai tergigit, tentu gigitan itu tak akan dilepaskan sebelum kakek itu tewas, dan ini dapat berarti tewasnya Kim In pula! Dengan penuh kemarahan Kim In melangkah maju, tangan kanannya yang memegang pedang bergerak.

"Blesss... rettt...!"

Kim In meloncat muncur pada saat darah muncrat-muncrat dari tubuh depan kakek itu. Dari dada sampai ke bawah perut, tubuh itu terobek dan terkuak lebar, darah muncrat dan isi perutnya keluar.

Mata kakek itu terbelalak melotot, kaki tangannya yang lumpuh berkelojotan sebentar lalu dia pun terdiam. Hanya isi perutnya yang keluar itu masih sedikit bergerak-gerak bersama gerakan darah muncrat dan mengalir.

"Ha-ha-ha!" Ouwyang Bouw tertawa bergelak-gelak, menambah seramnya pemandangan di saat itu.

Lauw Kim In hanya menunduk, berdiri dengan muka pucat dan menunduk, tanpa berkata apa-apa lalu membuang pedang buntung yang berlumuran darah, kemudian membalikkan tubuhnya dan berkelebat pergi dari tempat itu, diikuti oleh suaminya yang tertawa-tawa.

Mayat Thian-ong Lo-mo ditinggalkan menggeletak di tempat itu, dengan dada dan perut terbuka. Dari jauh terdengar suara gerengan binatang hutan dan nampak beberapa ekor burung nazar pemakan bangkai yang beterbangan di atas tempat itu, binatang-binatang itu agaknya dapat mencium bau darah dan mayat.

Sementara itu, puas karena telah berhasil membalas dendam, Kim In bersama Ouwyang Bouw hendak kembali ke timur. Namun, serombongan orang Mongol dan beberapa orang barat yang dikepalai oleh Marcus yang dikenal sebagai Dewa Panah telah menghadang mereka di tengah jalan! Dengan amat mudah, Ouwyang Bouw dan Kim In merobohkan para pimpinan gerombolan ini.

Oleh karena Marcus mendengar bahwa laki-laki tampan gagah yang memiliki kepandaian amat tinggi itu adalah putera Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang tewas di tangan Cia Keng Hong yang membantu Panglima The Hoo, dia menggunakan kesempatan itu untuk menarik tenaga Ouwyang Bouw. Dia lalu menyatakan takluk dan membawa semua anak buahnya beserta para pemberontak Mongol, mengangkat Ouwyang Bouw sebagai kepala dari gerombolan yang semuanya berjumlah tidak kurang dari seribu orang Mongol!

Demikianlah, suami isteri ini menjadi pimpinan gerombolan orang Mongol. Dan tentu saja puncak pimpinan segera berada di tangan Lauw Kim In sebab suaminya tunduk padanya, sehingga Ouwyang Bouw yang memiliki kepandaian tinggi itu seakan-akan hanya menjadi pembantunya!

Setelah dendamnya terlaksana dan dia dapat membunuh musuhnya, Kim In menganggap bahwa hidupnya tidak ada artinya lagi. Tapi, mengingat betapa suaminya telah bersikap baik kepadanya, biar pun dia tidak mencintanya, bahkan telah membantunya membunuh Thian-ong Lo-mo, dia merasa kasihan juga mendengar bahwa suaminya itu tidak akan tenteram hatinya sebelum membalas kematian ayahnya.

Ouwyang Bouw maklum bahwa agaknya tidak akan mungkin baginya untuk membunuh Cia Keng Hong dan Panglima Sakti The Hoo, namun setidaknya dia akan merongrong kewibawaan panglima itu, akan mengganggu pemerintah!

Dan Kim In merasa berhutang budi kepada Ouwyang Bouw, maka dari pada menderita hidup yang kosong, dia lalu membantu suaminya, bahkan kini dia menikmati kedudukan sebagai orang paling terhormat di dalam Pasukan Tombak Maut yang dipimpin suaminya. Ia diperlakukan seperti ratu dan lama-kelamaan kedudukan atau kemuliaan ini merupakan kebutuhan baginya, membuat dirinya mabok dan tidak ingin melepaskannya lagi karena menganggapnya sebagai kebahagiaan hidupnya!

Memang demikianlah kehidupan manusia, seperti Lauw Kim In itu…..

Kita manusia dibikin mabok oleh pikiran kita sendiri, oleh kenangan yang melahirkan keinginan. Kita melihat, mendengar atau merasakan sesuatu yang menyenangkan, lalu kita ingin hal itu berlangsung terus atau berulang kembali, dan kita takut kehilangan itu sehingga kita mati-matian membelanya atau mencarinya kalau yang menyenangkan itu meninggalkan kita. Dalam membela atau mencari ini, kita tak segan-segan merobohkan siapa saja yang menghalang di tengah jalan.

Dan celakanya, kita menganggap bahwa yang menyenangkan itu adalah kebahagiaan! Kita lupa bahwa kesenangan tidak akan terpisah dari kekecewaan, kekhawatiran mau pun kedukaan. Bukan berarti bahwa kita tidak boleh menikmati kesenangan, tetapi bodohlah bila kita mengikatkan diri pada kesenangan yang berarti kita menghambakan diri kepada nafsu kesenangan.

Hanya dia yang bebas dari segala ikatan lahir mau pun batin, dialah yang benar-benar hidup, karena bagi dia yang bebas dari segala ikatan tidak membutuhkan apa-apa lagi, juga tidak membutuhkan kebahagiaan karena sudah bahagia!


Demikianlah pengalaman Lauw Kim In sampai pada suatu hari ketika suaminya dengan Marcus menangkap seorang tawanan dan pada keesokan harinya pagi-pagi tawanan itu dibawa menghadap ke dalam satu ruangan di mana dia hadir bersama Ouwyang Bouw, Marcus, dan lima orang pemimpin bangsa Mongol yang siap hendak memeriksa tawanan yang mencurigakan itu.

Ketika Lauw Kim In mengangkat mukanya memandang wajah tawanan itu, seketika dia teringat. Tawanan itu adalah Yap Kun Liong, bocah gundul yang dahulu menjadi sahabat sumoi-nya! Biar pun Kun Liong memakai pakaian bangsa kulit putih, biar pun kepala yang dulunya gundul pelontos itu kini sudah berambut, Kim In tidak pangling lagi. Jantungnya berdebar tegang. Betapa pun juga, bertemu dengan pemuda ini membuat dia teringat akan sumoi-nya, satu-satunya orang yang dikasihinya.

"Kalian sudah salah menangkap orang!" mendadak terdengar Kim In berkata, "Dia adalah teman sumoi-ku." Ia menoleh kepada suaminya kemudian berkata, "Harap kau buka dulu belenggunya dan biar aku yang menanyainya."

Ouwyang Bouw tidak membantah. Sekali tangannya bergerak meraba belenggu, patahlah belenggu kaki tangan Kun Liong. Diam-diam Kun Liong mencatat di dalam hatinya bahwa Ouwyang Bouw akan merupakan lawan yang sangat tangguh. Akan tetapi dia bersikap tenang, tersenyum dan menjura ke arah Lauw Kim In.

"Nona Lauw Kim In sungguh bermata tajam, dapat mengenalku. Apakah selama ini Nona berada dalam keadaan baik-baik saja?"

"Heh, dia itu isteriku, bukan nona lagi. Hati-hati menjaga mulutmu, jangan kau kurang ajar terhadap isteriku!" Ouwyang Bouw menegur dengan hati cemburu melihat tawanan itu tersenyum-senyum dan bicara kepada isterinya.

Kun Liong lalu menoleh kepada laki-laki yang memandangnya dengan biji mata berputar-putaran liar itu, masih tersenyum dan berkata, "Saudara Ouwyang Bouw, engkau makin galak saja sekarang. Aku tidak bermaksud kurang ajar kepada isterimu."

"Kau... kau mengenal namaku?" Ouwyang Bouw berseru kaget dan memandang penuh perhatian.

Kun Liong mengelus rambut di kepalanya. "Siapa tidak mengenal engkau dan ayahmu, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok? Sampai sekarang masih terbayang di hadapan mataku kematian semua orang dusun yang dahulu bersama aku menangkap ular-ular berbisa, kematian mengerikan dan masih terasa olehku jarum-jarum merahmu yang amat hebat. Tentu sekarang Ang-tok-ciam (Jarum Merah Beracun) milikmu itu semakin hebat saja! Jarum merah yang membuat kepalaku gundul sampai bertahun-tahun lamanya!"

Ouwyang Bouw semakin terheran dan dia merenung, mengingat-ingat, akan tetapi tentu saja tidak dapat teringat olehnya. Sudah terlampau banyak dia dan ayahnya membunuhi orang, tentu saja dia tidak teringat lagi akan peristiwa pembunuhan orang-orang dusun ketika Kun Liong masih kecil, belasan tahun yang lalu. Hal ini membuat dia penasaran dan dia tidak bicara lagi, melainkan termenung-menung dan berusaha mengingat kembali peristiwa yang dikatakan orang tawanan itu.

Sementara itu, Marcus yang mendengarkan dan melihat dengan penuh perhatian, begitu mendengar tawanan itu mengatakan bahwa kepalanya pernah gundul, segera teringat, "Haiiit! Bukankah engkau Si Gundul itu? Yap Kun Liong?"

Kun Liong berpaling kepadanya sambil tersenyum lebar. "Dan engkau Marcus yang kini berjuluk Si Dewa Panah, ya? Bagus, agaknya tak percuma pula engkau pernah menjadi kekasih Kim Seng Siocia, kiranya telah mewarisi ilmu kepandaiannya."

Merahlah muka Marcus mendengar kata-kata itu. "Kalau begitu engkau tentu mata-mata musuh! Engkau perlu dihajar agar suka mengaku!" Marcus meloncat ke depan, langsung menghantamkan kepalan tangan kanannya ke arah muka Kun Liong.

Tanpa mengelak tanpa berkedip pemuda ini menghadapi serangan itu. Sesudah kepalan tangan Marcus menyambar dekat sekali dengan mukanya, mendadak jari tangan kirinya bergerak menyambar dari bawah.

"Takkk...! Augghhh...!" Marcus berteriak kesakitan dan melangkah mundur, tangan kirinya memegang pergelangan tangan kanan yang terasa seperti patah tulangnya. Ternyata Kun Liong telah mendahuluinya dan menotok pergelangan tangan yang memukul itu sehingga tangan itu menjadi lumpuh dan terasa nyeri sekali.

"Hemm, berani engkau kurang ajar?" Ouwyang Bouw berseru dan tangannya menyambar ke depan.

Kun Liong maklum akan kelihaian orang ini, maka dia segera menggerakkan tubuhnya miring dan dari samping dia menyampok lengan yang menyambar dahsyat itu.

"Dukkk...!"

Tubuh Ouwyang Bouw tergeser ke belakang dan wajahnya menjadi merah sekali ketika dia memandang kepada lawannya. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa tawanan itu ternyata memiliki kepandaian hebat, mampu menangkis pukulannya, bahkan tangkisan itu membuat dia tergeser!

"Ouwyang Bouw, aku tidak ingin bertanding dengan orang yang telah menyelamatkan aku dari padang pasir. Bahkan pertolonganmu itu telah memaafkan semua perbuatanmu yang lalu terhadap diriku." Kun Liong berkata, suaranya nyaring.

"Manusia sombong!" Ouwyang Bouw meraba gagang pedangnya, juga Marcus dan lima orang pimpinan gerombolan Mongol sudah bangkit dari tempat duduk masing-masing dan menyambar senjata.

"Tahan, jangan bertempur!" Tiba-tiba Lauw Kim In berseru.
Selanjutnya,