Petualang Asmara Jilid 36 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Petualang Asmara Jilid 36
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
"Sudahlah, Keng-moi... sudahlah kekasihku yang tercinta. Perlu apa kau menangis lagi? Tangismu menghancurkan hatiku, Keng-moi. Bukankah aku berada di sini, di sampingmu selalu?"

"Liong-koko...!" Giok Keng menangis semakin terisak, menyandarkan kepalanya di atas dada Liong Bu Kong yang mengelus-elus rambutnya dengan penuh kemesraan. "Engkau tidak merasakan betapa sakit hatiku... betapa sengsaranya hati orang yang diusir dan tak diakui lagi oleh ayah bundanya... hu-hu-huuk..."

"Aku mengerti, Moi-moi... aku mengerti... Memang tak semestinya engkau mengorbankan diri sedemikian rupa hanya untuk seorang seperti aku... maka sekarang belum terlambat kalau kau tinggalkan aku dan pulang, minta ampun kepada ayah bundamu, Moi-moi..."

Cia Giok Keng mengangkat mukanya yang basah air mata dan matanya yang agak merah karena tangis itu memandang wajah yang tampan dari Bu Kong. Malam itu bulan sudah muncul dan di bawah sinar bulan wajah itu kelihatan tampan sekali.

"Apa... apa maksudmu...? Meninggalkanmu...?"

Bu Kong menundukkan mukanya dan berkata, suaranya halus menggetar, "Keng-moi, aku cinta kepadamu, aku cinta kepadamu dengan seluruh jiwa ragaku... dan demi cinta kasihku yang murni, aku tidak ingin melihat kau menderita. Tidak! Aku hanya ingin melihat engkau berbahagia, maka melihat engkau menangis dan bersengsara seperti ini... ahhh, biarlah aku yang menderita, Moi-moi, kau kembalilah kepada orang tuamu..."

"Koko...!" Giok Keng menangis lagi sambil merangkul leher pemuda itu. Hatinya merasa perih dan terharu, juga sangat bahagia karena ucapan pemuda itu meyakinkan hatinya akan cinta kasih yang murni dari pemuda itu kepada dirinya. "Aku rela berkorban apa pun, Koko... biarlah aku tidak diakui anak lagi oleh ayah bundaku asalkan engkau benar-benar mencintaku..."

"Moi-moi...!" Bu Kong mendekap tubuh itu dan mencium pipinya, "…aku bersumpah demi bumi dan langit bahwa aku benar mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku. Biarlah aku bersumpah, kalau ternyata aku berhati palsu kepadamu, kelak Thian akan menghukumku dengan..."

"Husshh, tidak perlu bersumpah, aku percaya kepadamu, Koko..." Giok Keng menutup mulut pemuda itu dengan telapak tangan kanannya.

"Moi-moi... ahhh…, Moi-moi tersayang..."

Bu Kong memegang dan menciumi tangan itu, kemudian ciumannya berpindah-pindah, dari tangan ke leher dan akhirnya dia menciumi bibir Giok Keng dengan penuh nafsu. Mula-mula Giok Keng membalas ciuman pemuda itu dengan sepenuh hati karena cinta kasihnya, penuh penyerahan dan kemesraan. Akan tetapi ketika ciuman-ciuman penuh nafsu yang membuat dia terengah-engah itu disusul dengan gerakan jari-jari tangan Bu Kong yang nakal, dia menjadi sangat terkejut.

"Moi-moi... ahhh... Moi-moi yang tercinta...!" Bu Kong berkata dengan napas mendengus-dengus, kemudian dengan gerakan halus dia mendorong kedua pundak dara itu sehingga Giok Keng rebah terlentang di atas tanah berumput.

Giok Keng merangkulnya, menciumnya, dan jari-jari tangan Bu Kong mulai meraba-raba dan hendak membuka pakaian Giok Keng.

"Koko... jangan...!" Giok Keng tiba-tiba bangkit duduk, menolak kedua tangan pemuda itu yang meraba dada dan pahanya. "Jangan begitu, Koko...!" suaranya penuh permohonan dan nafasnya masih terengah-engah dibakar nafsu birahi.

"Mengapa, Moi-moi? Bukankah kita berdua saling mencinta?" Bu Kong mengecup pipi yang kemerahan dan halus serta panas karena terbakar darah muda yang menggelora tadi.

"Memang aku cinta padamu, Koko, dan aku yakin bahwa engkau pun mencintaku, akan tetapi kita... kita... tidak boleh begini... sebelum kita menikah dengan sah!"

Bu Kong melepaskan kedua tangannya dan usahanya, membelai dan memegang kedua pundak dara itu, lalu memandang wajah yang jelita itu dengan mata tajam dan suaranya terdengar mencela, "Aihh, kenapa pendirianmu begini kuno, Moi-moi? Di mana ada cinta, di situ tidak ada pelanggaran apa-apa lagi, apa pun boleh kita lakukan kalau kita saling mencinta! Bahkan cinta tidak selalu harus dihubungkan dengan pernikahan! Cinta dan pernikahan itu adalah dua hal yang berlainan, Moi-moi!"

Giok Keng cemberut dan menggerakkan pundaknya hingga pegangan Bu Kong terlepas. Dia menggeser duduknya agak menjauhi pemuda itu, kemudian berkata, suaranya juga sungguh-sungguh,

"Liong-koko, memang enak saja berkata demikian karena engkau adalah seorang lelaki! Kau bilang bahwa cinta dan pernikahan adalah dua hal yang berlainan, dan sungguh pun anggapanmu ini ada benarnya, namun lebih benar lagi adalah bahwa cinta dan bermain cinta adalah dua hal yang lebih berlainan lagi! Bermain cinta hanyalah permainan nafsu birahi, dan seperti juga pernikahan, hanya merupakan pelengkap dari cinta kasih belaka."

"Moi-moi, kita saling mencinta, kita berdua seakan-akan sudah tidak memiliki orang tua lagi, perlu apa urusan pernikahan direpotkan lagi? Kita saling mencinta, sehidup semati, dan kalau aku ingin memiliki dirimu, demi cinta kita, apa salahnya itu?"

"Karena engkau seorang laki-laki, maka pendapatmu mengenai hal ini menjadi demikian mudah, Koko. Bagi pria, memang tidak ada cacad celanya melakukan hubungan di luar nikah, akan tetapi begitukah bagi wanita? Memang dunia ini kejam, terutama sekali kejam terhadap wanita! Bila sepasang muda-mudi, karena cinta mereka, karena dorongan nafsu birahi mereka, melakukan hubungan dan bermain cinta di luar nikah, selalu si wanita yang menjadi korban. Ia diejek, diolok-olok, dianggap manusia rendah. Sebaliknya, si pria tidak apa-apa, malah perbuatannya itu akan dijadikan kebanggaan di antara kawan-kawannya, dipamerkan sebagai bukti kejantanan! Sekali saja seorang wanita terpeleset dan bermain cinta di luar nikah, kehormatannya akan cemar, namanya akan buruk. Sebaliknya, walau pun seorang laki-laki melakukan hubungan di luar nikah sampai seribu kali, tetap tak akan berbekas apa-apa! Apa lagi kalau hubungan itu sampai menghasilkan kandungan, maka celakalah si wanita!"

"Ahh, Moi-moi, kau berpikir terlampau jauh dan mengkhawatirkan hal yang bukan-bukan. Apakah kau kira aku yang mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku akan meninggalkanmu begitu saja? Kita sudah sehidup semati, Moi-moi!"

"Bukan aku tidak percaya kepadamu, Koko. Hanya aku tidak ingin kehilangan harga diriku yang merupakan kehormatan bagi seorang wanita, biar pun hanya kita berdua saja yang mengetahui. Aku akan merasa sangat rendah dan murah! Pula, kalau engkau memang mencintaku, mengapa engkau tidak mau menaruh hormat akan pendirianku ini? Mengapa engkau tidak mau menjaga supaya kehormatanku tetap terjunjung tinggi dan kita dapat benar-benar menikmati masa pengantin baru? Koko, aku hanya mau menyerahkan diriku kepadamu setelah kita menikah, sungguh pun hatiku sudah kuserahkan kepadamu."

"Keng-moi... kau mengecewakan hatiku, akan tetapi demi cintaku yang murni, biarlah aku akan menahan diri dan akan mentaati permintaanmu itu."

"Koko, engkau memang baik sekali!" Giok Keng merangkul dan mereka saling berciuman dengan penuh kemesraan, akan tetapi api nafsu birahi yang tadinya hampir membakar mereka berdua itu kini dapat dipadamkan atau setidaknya diperkecil sehingga tidak akan timbul bahaya kebakaran.

Bu Kong duduk di atas tanah bersandarkan pohon, Giok Keng duduk dan menyandarkan tubuh di atas dada pemuda itu. Sampai lama keduanya tidak berkata-kata, hanya duduk seperti itu dengan hati tenang, masing-masing tenggelam dalam lamunan.

Tidak lama kemudian terdengar Bu Kong berkata, "Moi-moi, aku heran sekali bagaimana seorang dara remaja seperti engkau ini dapat memiliki pandangan sedemikian mendalam tentang hubungan antara pemuda dan pemudi seperti yang kita bicarakan tadi."

"Ibu yang telah bicara kepadaku tentang semua itu, Koko. Dan Ibu adalah seorang wanita yang keras hati, seorang wanita yang telah mempunyai banyak pengalaman hidup, tahu akan pahit getirnya hidup sebagai seorang wanita. Semua yang dikatakannya memang tepat dan benar, menurut kenyataan. Betapa banyak kenyataannya bahwa wanita selalu terancam di dalam hidupnya, banyak sekali bahaya menghadang di depan langkah hidup kaki wanita. Sebutan-sebutan yang merendahkan kaum wanita sudah menjadi kembang bibir. Ada gadis kehilangan keperawanannya tetapi tidak ada sebutan perjaka kehilangan keperjakaannya. Ada sebutan isteri tidak setia, akan tetapi suami yang tidak setia tidak disebut-sebut. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami saja, tapi seorang pria boleh saja mempunyai seratus orang isteri! Sebagai akibat hubungan, wanitalah yang harus mengandung, melahirkan dengan segala penderitaannya, sedangkan pria hanya tahu enaknya saja. Ada makian pelacur dan sampah masyarakat bagi wanita, akan tetapi laki-laki hidung belang tukang melacur tetap dianggap sebagai manusia terhormat."

Liong Bu Kong mengangguk-angguk dan mengelus rambut kekasihnya dengan mesra.

"Engkau memang hebat dan pantas menjadi puteri suami isteri pendekar seperti ayah bundamu itu. Sayang sekali ayahmu keras dan tidak suka kepadaku, Moi-moi, sehingga aku menjadi bingung sekali kalau memikirkan hubungan kita ini. Aku sendiri sudah tidak mempunyai orang tua, lalu bagaimanakah dengan perjodohan antara kita?"

"Sebagai seorang laki-laki engkau harus dapat mencari jalan, Koko. Betapa pun besarnya cintaku kepadamu, hubungan kita ini harus dilanjutkan dengan pernikahan, barulah aku secara syah menjadi isterimu, dan aku tidak akan mengingkari lagi kewajibanku sebagai seorang isteri yang mencinta. Bersama-sama kita akan membentuk keluarga, karena itu pertama-tama kita harus dapat menjaga kehormatan diri kita sendiri dulu. Kita harus dapat menjaga nama baik keturunan kita kelak, karena engkau tentu juga mengerti apa sebutan bagi keturunan orang di luar nikah. Hanya penderitaan batin saja yang akan kita rasakan sebagai akibatnya."

Karena Giok Keng duduk bersandar pada Bu Kong, dia tidak tahu betapa ucapannya tadi, terutama tentang anak yang lahir di luar nikah, membuat wajah Bu Kong menjadi pucat dan pemuda ini memejamkan matanya. Dia segera teringat akan keadaan dirinya sendiri dan ucapan dara itu seolah-olah menyindir dan mengejeknya!

Dia sendiri pun tidak pernah mengenal ayah kandungnya, dan biar pun dia diaku sebagai anak angkat oleh Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, akan tetapi sesungguhnya dia adalah anak kandung Ketua Kwi-eng-pang itu, anak yang terlahir tanpa ayah yang syah! Seorang anak haram!

Pandang mata Bu Kong melirik ke arah jalan darah di tengkuk dan pundak kekasihnya. Betapa akan mudah kalau pada saat itu dia menotok jalan darah dan membuat Giok Keng lemas tak berdaya. Betapa mudahnya kalau dia hendak menikmati tubuh kekasihnya ini dengan kekerasan.

Akan tetapi tidak, dia tidak ingin berbuat demikian. Dia tergila-gila kepada Giok Keng, dia harus memiliki tubuh dara ini, akan tetapi Giok Keng harus menyerahkan diri secara suka rela. Dia terlampau mencinta dara ini dan ingin memiliki selamanya, bukan hanya sekedar memenangkannya dengan kekerasan yang pasti berakibat dengan permusuhan.

"Engkau benar sekali, Moi-moi. Dan karena aku sudah tiada ayah bunda lagi, sedangkan orang tuamu tidak bersedia menikahkan kita, maka jalan satu-satunya kita harus minta pertolongan sebuah perkumpulan besar agar menikahkan kita secara syah."

"Terserah padamu, Koko. Bagiku, asal ikatan jodoh antara kita disyahkan dalam sebuah pernikahan dan disaksikan oleh umum, semua itu sudah cukup. Akan tetapi perkumpulan manakah yang akan mau menikahkan kita, Koko?"

"Tentu perkumpulan besar sekali yang akan mengatur pernikahan kita dengan meriah dan mengundang seluruh tokoh dunia kang-ouw sehingga pemikahan kita akan menjadi syah benar-benar."

"Bagus sekali, perkumpulan manakah itu, Koko?"

"Perkumpulan terbesar saat ini, yaitu Pek-lian-kauw."

"Heh...?" Giok Keng langsung meloncat bangun, membalikkan tubuhnya dan memandang kekasihnya dengan mata terbelalak kaget. "Pek-lian-kauw...? Perkumpulan pemberontak itu?"

"Keng-moi, tenanglah dan duduklah. Mari kita bicara dengan tenang dan berpikir secara wajar."

Sesudah Giok Keng duduk di depan kekasihnya, Bu Kong baru berkata. "Engkau jangan memandang dari sebelah pihak saja. Ketahuilah bahwa memang pemerintah menganggap Pek-lian-kauw sebagai pemberontak, akan tetapi banyak rakyat menganggapnya sebagai pejuang melawan pemerintah yang lalim. Kita jangan turut menjerumuskan diri ke dalam pertikaian yang sebenarnya hanyalah perebutan kekuasaan antara orang-orang kalangan atas saja. Permusuhan antara Pek-lian-kauw dengan pemerintah sama sekali tidak ada hubungannya dengan pernikahan kita bukan? Aku yakin hanya Pek-lian-kauw yang akan sanggup menikahkan kita, karena kalau kita memilih perkumpulan yang menjadi sahabat orang tuamu, mereka tentu akan menolak tanpa ijin orang tuamu. Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang besar dan diakui, maka kalau perkumpulan ini yang menikahkan kita, yang diundang tentulah orang-orang besar dan yang akan menyaksikan pernikahan kita adalah tokoh-tokoh kang-ouw, sehingga pernikahan itu akan menjadi syah sama sekali!"

"Tapi... tapi... apakah kita lalu menjadi anggota Pek-lian-kauw?"

"Ha-ha-ha, tentu saja tidak, Moi-moi!"
"Dan... aku tidak diharuskan membantu mereka menjadi pemberontak?"

“Ahh, tentu saja tidak. Hal seperti itu timbul dari hati sendiri, mana bisa diharuskan dan dipaksa?"

"Kalau begitu... terserah padamu, Koko. Aku percaya kepadamu dan bagiku yang paling penting, asal pernikahan kita disyahkan dan disaksikan banyak orang, cukuplah."

"Kalau begitu, mari kita mengunjungi Pek-lian-kauw dan menghadap kepada Thian Hwa Cinjin."

"Thian Hwa Cinjin? Siapa itu, Koko?"

"Ha-ha-ha, engkau belum mendengar namanya? Memang dia tidak pernah maju sendiri, akan tetapi dialah yang mengatur segalanya, dialah Ketua Pek-lian-kauw yang memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa, sukar diukur berapa tingginya. Dia adalah Ketua Pek-lian-kauw wilayah timur dan bertempat tinggal di tepi pantai Laut Kuning, di muara Sungai Huang-ho. Besok pagi kita berangkat ke sana, Moi-moi."

"Baiklah, Liong-koko, akan tetapi hanya dengan syarat yaitu..."

"Kita tidak akan bermain cinta sebelum menikah!" Bu Kong memotong sambil tertawa.

"Bukan itu saja, Koko, melainkan bahwa pengesahan pernikahan kita oleh Pek-lian-kauw itu tidak mengharuskan kita bersekutu dengan Pek-lian-kauw. Aku tak sudi terlibat dalam pemberontakan."

"Baik, aku mengerti, Moi-moi. Sekarang tidurlah, biar aku membuat api unggun dulu untuk mengusir nyamuk."

Giok Keng merebahkan diri dan Bu Kong membuat api unggun, lalu menyelimuti tubuh kekasihnya dengan mantelnya. Hatinya merasa amat kecewa sebab hasrat hatinya, nafsu birahinya, tidak dapat terlaksana. Tapi karena Giok Keng sudah setuju untuk bersamanya pergi menghadap Thian Hwa Cinjin, hatinya merasa lega. Memang lebih baik kalau dia memiliki Giok Keng sebagai isteri syah, sehingga tidak akan ada yang menggugatnya lagi pada kemudian hari!

Pada waktu itu memang Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan yang amat terkenal dan kuat, mempunyai banyak cabang serta anggota. Pek-lian-kauw dipimpin oleh orang-orang pandai dan mereka ini mengadakan pemberontakan serta menentang pemerintah dengan dalih membela rakyat dari pemerintah lalim.

Karena pengaruhnya yang besar, boleh dibilang seluruh tokoh kaum sesat berlindung di bawah sayap Pek-lian-kauw dan para orang gagah juga segan untuk berurusan dengan perkumpulan yang berpengaruh dan sangat kuat ini. Biar pun perkumpulan-perkumpulan bersih dan orang-orang gagah di dunia kang-ouw tidak sudi menggabung dan bersekutu dengan pemberontak, akan tetapi mereka pun tidak mau melibatkan diri dan tidak mau bermusuhan dengan Pek-lian-kauw yang amat kuat.

Hampir di setiap kota-kota besar terdapat ranting Pek-lian-kauw. Pimpinan Pek-lian-kauw terbagi menjadi empat, yaitu utara, barat, selatan, dan timur. Pek-lian-kauw wilayah timur ini dipimpin oleh Thian Hwa Cinjin, yaitu seorang tokoh baru yang belum lama muncul dan merupakan tokoh besar di wilayah timur.

Setelah Pek-lian-kaw wilayah timur ini berada di bawah pimpinan Thian Hwa Cinjin, maka terjadilah perubahan besar yang menyenangkan anggota-anggotanya. Dahulu, sebelum dipegang oleh Thian Hwa Cinjin, Pek-lian-kauw di wilayah timur ini hanya mementingkan pemberontakan dan urusan agama saja. Akan tetapi, sesudah Thian Hwa Cinjin menjadi ketua, kepentingan para anggota diperhatikan dan terdapat banyak peraturan baru yang menyenangkan para anggotanya. Bahkan ada kecenderungan bahwa Pek-lian-kauw yang tadinya khusus memusatkan kekuatannya untuk perjuangan menentang pemerintah yang dianggapnya lalim dan menindas rakyat, kini menjadi perkumpulan yang mementingkan kesejahteraan pribadi.

Thian Hwa Cinjin adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, bertubuh kurus jangkung, berpakaian seperti tosu dan dia datang dari seberang lautan. Tidak ada yang tahu jelas dari mana dia datang, akan tetapi ada kabar bahwa dia datang dari Korea. Selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga dia memiliki kepandaian sihir yang membuat para anggotanya menjadi makin tunduk dan takut.

Tadinya sebelum munculnya ketua baru ini, di Pek-lian-kauw hanya ada pendeta-pendeta pria saja yang mempraktekkan ajaran agama campuran antara Buddha dengan To-kauw. Setelah Thian Hwa Cinjin menjadi ketua, dia memperbolehkan masuknya pendeta wanita. Anehnya, pendeta-pendeta wanita Pek-lian-kauw semuanya muda dan cantik, dan hanya pakaian pendeta saja yang menunjukkan bahwa mereka adalah pendeta Pek-lian-kauw. Padahal sebetulnya pendeta-pendeta wanita ini merupakan wanita-wanita yang bertugas menghibur para pimpinan Pek-lian-kauw dan sebutan pendeta itu hanya sebagai kedok belaka.

Juga Thian Hwa Cinjin menghapuskan pantangan menikah bagi pendeta Pek-lian-kauw, bahkan dibolehkan pula memelihara selir sesuai dengan kekuatan tubuh dan isi kantung mereka. Thian Hwa Cinjin sendiri tidak beristeri, akan tetapi dia memiliki dua orang selir yang cantik sekali di samping pelayan-pelayan wanita yang terdiri dari gadis-gadis muda cantik yang diakuinya sebagai pelayan, juga murid, juga penghibur di dalam kamarnya sebagai selingan kedua orang selirnya!

Dua orang selir itu pun bukan orang sembarangan dan mereka diambil sebagai bukti dari ketua itu bahwa dia adalah seorang yang anti pembesar pemerintah dan memusuhi para pembesar pemerintah. Belum lama sesudah dia menjadi ketua, dia menculik dua orang wanita itu, yaitu puteri dari seorang pembesar di kota Sin-yang, seorang dara muda yang masih gadis, dan juga selir pembesar itu, selir termuda dan tercantik! Dia memperkosa kedua orang wanita muda dan cantik itu, kemudian dengan paksa membawa mereka ke markas Pek-lian-kauw dan mengangkat mereka menjadi selir-selirnya.

Dua orang wanita itu hanya dapat menangisi nasib mereka, karena mereka sama sekali tidak berdaya untuk melawan, bahkan hendak membunuh diri pun tidak mungkin karena selalu terjaga. Kemudian, di bawah kekuasaan sihir Thian Hwa Cinjin, kedua orang wanita itu akhirnya malah menurut dan dengan senang hati melayani Si Kakek sebagai suami mereka yang tercinta!

Dengan dalih berjuang demi kepentingan rakyat jelata dan demi pembebasan rakyat dari penindasan pemerintah yang lalim, Pek-lian-kauw dapat mengumpulkan banyak dana dari sumbangan rakyat. Terutama sekali rakyat yang kaya banyak menyumbangkan hartanya, bukan semata-mata karena demi perjuangan, namun karena mereka ini mengharapkan jaminan bahwa harta bendanya tidak akan diganggu oleh Pek-lian-kauw!

Demikianlah, kata-kata ‘perjuangan’ kehilangan kemurnian maknanya, kemudian dijadikan ‘modal’ bagi mereka yang menghendaki cita-citanya tercapai, cita-cita demi kepentingan diri sendiri, baik berupa ambisi mencapai kedudukan tinggi mau pun mencari kekayaan. Hal seperti ini terjadi semenjak sejarah berkembang, dari jaman dahulu sampai sekarang, dan di seluruh pelosok dunia.

Pada suatu hari, saat menjelang tengah hari, sepasang orang muda datang mengunjungi markas Pek-lian-kauw wilayah timur itu. Mereka berdua bukan lain adalah Liong Bu Kong dan Cia Giok Keng. Ketika tiba di pintu gerbang perkumpulan itu, dara ini terheran-heran dan kagum melihat keadaan Pek-lian-kauw.

Tempat itu merupakan sebuah perkampungan di pinggir pantai laut, perkampungan yang terkurung oleh pagar tembok yang kokoh kuat dan tinggi, dengan pintu-pintu gerbang yang terjaga kuat dalam bentuk benteng yang terjaga siang malam dengan kuatnya.

Ketika Liong Bu Kong memperkenalkan namanya pada pintu gerbang pertama, mereka berdua diharuskan menunggu sampai seorang penjaga melapor ke dalam melalui pintu gerbang yang berlapis lima dan terjaga kuat menuju ke dalam. Mereka harus menunggu agak lama karena untuk menentukan apakah seorang tamu diperbolehkan masuk, apa lagi tamu yang ingin berjumpa dengan ketua, haruslah diputuskan oleh ketua sendiri dan pelaporan kepada ketua harus melalui beberapa orang komandan jaga!

Thian Hwa Cinjin sedang makan siang, ditemani oleh dua orang selirnya yang cantik dan dilayani oleh gadis-gadis muda yang cantik pula. Mendengar pelaporan bahwa seorang bernama Liong Bu Kong, putera Ketua Kwi-eng-pang di Telaga Kwi-ouw hendak berjumpa dengannya, ketua ini mengangguk-angguk.

Dia belum pernah bertemu dengan pemuda itu, akan tetapi dia sudah mendengar akan nama Kwi-eng-pang, bahkan dia pernah mendengar betapa perkumpulan kaum sesat itu pernah bersekutu dengan Pek-lian-kauw, meski pun persekutuan itu belum menghasilkan sesuatu.

Tadinya dia agak malas untuk bertemu dengan pemuda putera datuk kaum sesat itu. Akan tetapi karena teringat akan cerita tentang perebutan bokor emas milik Panglima The Hoo dan kabarnya bokor emas itu pernah terjatuh ke tangan ibu pemuda yang datang ini, hatinya jadi tertarik dan mengatakan kepada pengawal agar Liong Bu Kong dipersilakan menunggunya di ruangan tamu.

Dengan cara berantai, perintah ini akhirnya disampaikan kepada Liong Bu Kong yang bersama Cia Giok Keng masih menunggu di luar pintu gerbang pertama dengan hati tidak sabar. Mereka dikawal masuk pintu gerbang pertama sampai di pintu gerbang ke dua, di mana mereka dikawal oleh penjaga yang lain lagi menuju ke pintu gerbang ke tiga dan seterusnya sampai mereka melalui pintu gerbang ke lima. Di sini mereka disambut oleh tiga orang pendeta laki-laki dan tiga orang pendeta wanita yang lantas mengawal mereka ke ruangan tamu di bangunan khusus.

Giok Keng terheran-heran. Tiga orang pendeta pria itu rata-rata berusia lima puluh tahun, sikap mereka halus dan terang membayangkan bahwa mereka memiliki kepandaian silat tinggi. Akan tetapi tiga orang pendeta wanita itu masih muda, paling tua tiga puluh tahun usianya, dan wajah mereka cantik-cantik! Biar pun mereka juga kelihatan halus pendiam, namun Giok Keng dapat menangkap kerling mata yang menyambar tajam dan penuh arti ke arah wajah Bu Kong yang tampan!

Setibanya di ruang tamu dan dipersilakan duduk, Giok Keng makin kagum. Kalau tadi dia mengagumi kekuatan dan ketertiban penjagaan di benteng Pek-lian-kauw, sekarang dara ini mengagumi keindahan ruangan itu. Selain meja dan kursi-kursinya terbuat dari kayu berukir dan merupakan perabot rumah yang sangat mahal, juga tiga ruangan itu terhias oleh lukisan-lukisan dan tulisan indah-indah yang tentu tidak murah pula harganya, seperti ruang tamu gedung seorang hartawan atau bangsawan saja layaknya!

Lapat-lapat di sebelah kiri, dari sebuah bangunan di mana nampak asap hio mengepul, terdengar suara merdu orang membaca doa, suara yang menggetarkan kalbu dan seperti biasanya suara orang berdoa, selalu mendatangkan keharuan yang khas.

Di sebelah kanan, agak jauh dari tempat yang sangat luas itu, nampak beberapa orang sedang berlatih silat di sebuah lapangan rumput yang luas. Gerakan mereka sigap dan kuat, dan biar pun dari jauh, Giok Keng dapat mengenal ilmu silat yang baik.

Diam-diam dia menjadi makin kagum. Tak disangkanya sama sekali bahwa Pek-lian-kauw yang terkenal sebagai perkumpulan pemberontak, dan amat dibenci oleh ayah bundanya, ternyata merupakan perkumpulan yang teratur rapi dan agaknya memiliki keuangan yang kuat!

"Selamat datang, sepasang orang muda yang tampan dan cantik, yang keduanya gagah perkasa!"

Suara ini datang dari dalam dan sepertinya orang yang bicara sudah berada di hadapan mereka, akan tetapi Giok Keng tidak melihat apa-apa! Bulu tengkuknya lantas meremang. Setankah yang bicara itu?

Akan tetapi, Bu Kong segera memegang tangannya dan mengajaknya berdiri. Pemuda ini sudah menjura ke depan, ke arah pintu lalu berkata, "Mohon Locianpwe sudi memaafkan kedatangan kami yang lancang ini dan sudi memperlihatkan diri. Harap Locianpwe tidak mempermainkan kami berdua yang muda dan bodoh."

"Ha-ha-ha, engkau boleh juga, orang muda. Merendahkan diri, menghormat, akan tetapi sekaligus juga menegur. Nah, kalian pandanglah Pinto (aku)!"

"Wussshhh...!"

Tampak asap putih mengepul tebal dan dari dalam asap itu, seorang kakek berusia enam puluh tahun, jenggotnya panjang, pakaiannya model pakaian pendeta tosu dan berwarna kuning dengan gambar bunga teratai putih di depan dadanya. Biar pun jenggotnya sudah banyak ubannya, akan tetapi rambut, jenggot serta pakaian kakek ini terpelihara rapi dan bersih, bahkan sepatunya juga masih baru. Ada bau harum keluar dari kakek itu, tanda bahwa kakek ini masih pesolek, suka memakai wangi-wangian di tubuhnya.

Tetapi, kakek kurus jangkung itu mempunyai sepasang mata yang amat tajam, sepasang mata yang mengandung wibawa amat kuat sehingga dalam pertemuan pandang pertama, Giok Keng merasa jantungnya berdebar dan bulu tengkuknya meremang sehingga dia cepat menundukkan mukanya.

"Tok! Tok! Tok!" Tongkat hitam mengkilap di tangan kanan kakek itu mengeluarkan bunyi ketika dia melangkah maju menghampiri Bu Kong dan Giok Keng.

"Saya Liong Bu Kong bersama Nona Cia Giok Keng ini menyampaikan hormat kepada Tung-kauwcu (Ketua Agama Timur)." Kembali Bu Kong berkata sambil menjura dengan hormat, diturut oleh Giok Keng.

"Ha-ha-ha-ha, tidak perlu banyak sungkan, orang-orang muda. Kita adalah orang sendiri, bukan? Benarkah engkau putera Kwi-eng Pangcu?"

"Benar, Locianpwe. Mendiang ibu saya adalah Ketua Kwi-eng-pang."

Ketua Pek-lian-kauw itu mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya dengan tangan kiri. "Hemmm, pinto sudah mendengar akan kematian itu... kalau pinto tidak salah, dalam perebutan bokor pusaka bukan? Hemmm, sayang sekali...! Mari silakan duduk agar enak kita mengobrol!"

Dua orang muda itu lalu duduk di atas kursi berhadapan dengan tuan rumah dan tak lama kemudian muncullah pelayan-pelayan wanita menghidangkan minuman. Giok Keng amat terheran melihat betapa pelayan-pelayan wanita ini masih muda-muda dan cantik-cantik, juga gerak-gerik para pelayan ini serta lirikan mata mereka yang dilontarkan kepada Bu Kong membayangkan sikap genit.

Setelah dipersilakan minum, Thian Hwa Cinjin, kakek itu, kemudian menanyakan maksud kedatangan kedua orang muda itu dan apa keperluan mereka minta bertemu dengan dia sendiri.

Bu Kong lalu bangkit berdiri, memegang tangan Giok Keng dan mengajak dara itu untuk menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil berkata, "Kami berdua sengaja datang menghadap Locianpwe dengan harapan agar Locianpwe sudi menolong kami, dan atas budi kebaikan Locianpwe, kami berdua tidak akan melupakannya."

Sejenak kakek itu kelihatan tercengang, lalu tertawa, "Ha-ha-ha, bangkitlah, duduklah dan ceritakan apa kehendak kalian. Mengingat akan hubungan baik antara Pek-lian-kauw dan Kwi-eng-pang, tentu saja Pinto akan memperhatikan permintaanmu dan kalau mungkin tentu saja kami akan suka sekali membantu Sicu."

Bu Kong dan Giok Keng bangkit, kemudian duduk kembali. "Permohonan kami tidak lain agar Locianpwe sudi menikahkan kami berdua di sini secara resmi."

Kakek itu membelalakkan matanya kemudian tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha, ternyata hanya untuk keperluan itu! Aihh, mengapa kalian hendak menikah memilih tempat ini dan minta perantaraan Pek-lian-kauw? Bukankah urusan pernikahan adalah urusan orang tua dan keluarga kalian?"

"Locianpwe, saya sudah tidak mempunyai orang tua dan keluarga, saya sebatang kara di dunia ini..."

"Akan tetapi, sesudah ibumu meninggal, bukankah sekarang engkau yang menggantikan ibumu memimpin Kwi-eng-pang?"

"Seperti Locianpwe tentu telah mendengar, perkumpulan kami itu sudah dihancurkan oleh pemerintah dan di samping sekarang saya belum berkesempatan untuk menghimpunnya kembali, juga dalam pernikahan ini, jika bukan Pek-lian-kauw yang mengadakan, kiranya tidak ada lagi yang akan berani..."

"Hemm, mengapakah?" Kakek itu sekarang menoleh dan memandang kepada Giok Keng dengan penuh perhatian.

"Karena calon isteri saya, Nona Cia Giok Keng ini... dia... adalah puteri dari Locianpwe Cia Keng Hong..."

"Hahh...?" Thian Hwa Cinjin terkejut sekali dan memandang dengan mata terbelalak. "Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai...?"

Tentu saja dia terkejut bukan main. Meski pun dia sendiri belum pernah bertemu dengan Pendekar Sakti Cia Keng Hong, namun nama besar pendekar itu telah didengarnya lama sekali. Dengan sinar mata penuh selidik dia memandang kepada Giok Keng dan kini tentu saja dengan pandang mata lain setelah dia mendengar bahwa dara yang cantik jelita dan bersikap gagah perkasa ini merupakan puteri dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai.

Giok Keng mengangkat mukanya dan memandang kakek itu. "Benar, Ketua Cin-ling-pai adalah ayah saya, akan tetapi karena dia tidak menyetujui perjodohan kami, maka kami datang ke sini mohon pertolongan Pek-lian-kauw."
"Tapi... tentu ayahmu akan marah kepada Pek-lian-kauw dan menuduhnya lancang..."

"Saya yang akan bertanggung jawab kalau orang tua saya marah. Mereka telah mencuci tangan mengenai perjodohan saya, maka saya sendiri yang bertanggung jawab mengenai urusan jodoh saya, Locianpwe," Giok Keng menjawab dengan suara mengandung rasa penasaran mengingat akan sikap ayahnya terhadap perjodohannya dengan pemuda yang dipilihnya sendiri.

Kakek itu mengangguk-angguk. "Bukan karena kami takut terhadap Cin-ling-pai, hanya... ahhh, biarlah urusan ini kami bicarakan lebih dahulu. Urusan ini bukanlah urusan remeh, maka kami persilakan kepada Nona Cia untuk beristirahat, dan kami akan mengadakan perundingan dulu dengan Liong-Sicu."

Ketua itu lalu memanggil pelayan wanita, memerintahkan para pelayan untuk mengantar Giok Keng ke dalam sebuah kamar tamu yang cukup mewah dan bersih. Dara ini tidak berani membantah, maka setelah bertukar pandang dengan Bu Kong, dia mengikuti para pelayan itu menuju ke sebuah kamar tamu yang berada di sebelah belakang bangunan besar itu.

Giok Keng mendapat pelayanan istimewa, disuguhi hidangan makan siang yang lengkap dan lezat, bahkan ada dua orang pendeta wanita Pek-lian-kauw yang menemaninya dan ternyata mereka itu selain muda dan cantik, juga mempunyai pengetahuan luas mengenai ilmu silat dan ilmu sastra. Makin kagumlah hati Giok Keng terhadap Pek-lian-kauw yang sebelumnya dianggap sebagai perkumpulan para pemberontak liar.

Akan tetapi, hatinya mulai khawatir ketika malam tiba dan belum juga ada kabar tentang kekasihnya yang tadi ditinggalkannya karena hendak berunding dahulu dengan pimpinan Pek-lian-kauw mengenai permintaan mereka untuk menikah di perkumpulan itu.

"Di manakah adanya Liong-koko? Aku ingin bicara dengan dia dan mendengar keputusan perundingannya dengan pimpinan Pek-lian-kauw." tanyanya kepada dua orang pendeta wanita yang baru datang menggantikan dua pelayan yang pertama.

Seorang di antara mereka tersenyum manis. "Harap Kownio tenangkan hati, Liong-sicu sedang beristirahat di kamar sebelah dan dia berpesan supaya malam ini Kouwnio suka beristirahat melepaskan lelah dalam perjalanan."

"Hi-hik, baru berpisah sehari saja masa sudah rindu?" kata pendeta wanita ke dua.

Merah sekali muka Giok Keng mendengar ini dan dia makin curiga. Sikap dan kata-kata para pelayan muda serta pendeta wanita di tempat ini benar-benar mencurigakan, begitu genit!

"Harap suka panggil dia ke sini atau antarkan aku ke kamarnya, aku mau bicara sedikit dengan dia!" katanya pula tanpa mempedulikan dua orang pendeta wanita yang masih tersenyum-senyum penuh arti itu.

"Aih, Kouwnio. Apa tidak kasihan padanya? Dia baru beristirahat dan bersenang-senang... dia... tidak memilih kami dan menyuruh kami menemani Nona di sini..."

Mendengar ini hati Giok Keng semakin curiga dan merasa tidak enak. Namun karena dia mengharapkan pertolongan dari pihak Pek-lian-kauw untuk urusan pernikahannya dengan Bu Kong, maka dia berusaha menahan sabar. Bahkan dia lalu memijat pelipis kepalanya dengan alis berkerut dan berkata, "Harap Ji-wi (Kalian) suka meninggalkan saya karena saya merasa pening dan hendak tidur..."

"Perlukah kami pijiti badan dan kepalamu, Kouwnio?" seorang pendeta wanita bertanya dengan manis.

"Tidak usah, harap Ji-wi jangan repot-repot dan harap suka meninggalkan saya sendiri..."

Dua orang pendeta wanita itu lantas bertepuk tangan memanggil pelayan, membersihkan meja bekas perjamuan, kemudian sambil tersenyum-senyum mereka pergi meninggalkan kamar Giok Keng dan menutupkan daun pintu kamar itu.

"Selamat tidur, Kouwnio!"

"Selamat bermimpi, calon pengantin!"

"Jangan khawatir, pengantin pria akan tetap utuh..."

"Kecuali agak lemas tentunya, hi-hik!"

Giok Keng meloncat ke pintu dan memasang palang pintu, mukanya merah dan alisnya berkerut. Sikap dua orang wanita itu benar-benar mencurigakan. Apa yang terjadi dengan kekasihnya? Jangan-jangan Pek-lian-kauw berlaku curang dan mencelakai Bu Kong. Dia harus menyelidiki! Siapa tahu kalau-kalau dia dan Bu Kong terjebak ke dalam perangkap musuh.

Akan tetapi dia harus berlaku hati-hati. Tempat ini merupakan sarang orang-orang pandai. Baru para pendeta wanita genit yang menemaninya tadi saja jelas memiliki ilmu silat yang tinggi. Apa lagi ketuanya. Bergidik dia kalau mengingat kelihaian kakek itu, yang dalam pertemuan pertama siang tadi sudah mendemonstrasikan kepandaiannya, ilmu sihir yang mengerikan, yang membuat kakek itu pandai ‘menghilang’.

Giok Keng mengatur bantal guling di atas pembaringan, diseilmutinya sehingga kelihatan seperti orang tengah tidur, memadamkan lampu kamar, kemudian dengan gerakan ringan dan hati-hati sekali dia menyelinap keluar dari jendela kamar meloncat dengan gerakan seperti seekor burung.

Malam sudah larut, karena memang dia menanti sampai sepi dahulu barulah keluar dari kamarnya itu. Tidak kelihatan seorang pun manusia dan lorong-lorong di perkampungan Pek-lian-kauw itu cukup gelap sehingga dia dapat menyelinap di dalam bayang-bayang yang gelap sambil memandang ke kanan kiri dengan waspada.

Pertama-tama dia hendak mencari kamar di mana Bu Kong bermalam karena dia harus berbicara dengan kekasihnya itu, memperingatkan Bu Kong agar berhati-hati karena dia menaruh curiga terhadap Pek-lian-kauw dengan pendeta-pendeta wanitanya yang genit. Setelah mengintai di beberapa kamar dalam rumah-rumah yang berjajar di sekitar ruang tamu, akhirnya dia mendengar suara yang keluar dari salah satu kamar yang lampunya masih bernyala.

Mula-mula dia mendengar suara wanita saja, dan karena dia menganggap bahwa kamar itu tentulah kamar pendeta-pendeta wanita yang lihai, maka dia ingin melewatinya saja. Akan tetapi, ketika dia mendengar suara laki-laki yang dikenalnya seperti suara Bu Kong, dia terkejut dan cepat mendekati jendela kamar, merunduk sambil mendengarkan.

"Sudah cukup... ahh, sudah terlampau banyak aku minum... Ji-wi terlalu baik dan manis... ha-ha-ha...!" terdengar suara Bu Kong, suara orang yang sudah mulai mabok!

"Hayaaaa... seorang gagah seperti Sicu, masa mudah saja mabok? Sudah terlalu lama kami tidak bertemu dengan seorang lelaki jantan dan ganteng seperti Sicu... marilah Sicu, kupilihkan daging yang paling empuk...," terdengar suara merdu merayu seorang wanita.

"Dan minumlah secawan lagi, Sicu. Lihat, biar setengahnya aku yang minum... aihh, Sicu sungguh tampan sehingga gemas hatiku dibuatnya. Ingin aku menjadi cawan..."

"Ha-ha-ha-ha, sungguh aneh kau ini! Mengapa ingin menjadi cawan?" terdengar Bu Kong bertanya kepada wanita ke dua yang suaranya terdengar lebih halus dari pada wanita pertama.

"Hi-hik, kalau aku menjadi cawan, tentu akan berkenalan dengan bibir sicu..."

"Hih, Kui Lan, kalau memang kepingin dicium, bilang saja...!" kata wanita pertama sambil terkekeh genit.

"Ha-ha-ha, kenapa kalian berdua begini menantang? Ingat, aku sedang kelaparan, sudah berbulan-bulan tak pernah berdekatan dengan wanita. Kalau kalian menggoda terus, bisa kumakan habis kalian, ha-ha-ha!"

"Aihh, calon pengantin pria bicara bohong! Selama ini mengadakan perjalanan berduaan saja dengan calon pengantin wanita, asyik masyuk, tentu sampai kekenyangan. Masakah sekarang bilang kelaparan?"

"Sungguh mati! Biar pun dia calon isteriku, namun sialan sekali! Dia tidak mau disentuh sebelum kami menikah."

"Aihhh, benarkah itu?"

"Aku mau bersumpah, masa aku suka berbohong kepada dua orang nona manis seperti kalian?"

"Hi-hik, kalau begitu, kau benar-benar lapar sekali..."

"Lapar seperti harimau kelaparan!"

"Hi-hik benarkah itu?"

"Tentu saja aku mampu menerkam kalian berdua sekaligus."

"Aihhh, coba saja, Sicu! Kau kira kami berdua orang-orang lemah? Coba kau lawan kami, hendak kami lihat apakah benar calon pengantin prianya sudah siap dan kuat, hi-hik-hik!"

Wajah Giok Keng menjadi merah sekali, matanya bersinar-sinar mengeluarkan cahaya berapi. Hampir dia tidak dapat mempercayai pendengaran telinganya sendiri. Benarkah itu suara Bu Kong? Benarkah Bu Kong yang bicara seperti itu? Dia merasa penasaran karena dia tak percaya bahwa pria yang dicintanya, tunangannya, calon suaminya, dapat bicara seperti itu bersama dua orang wanita.

Maka dia lalu membuat lubang di jendela dengan jari yang dibasahi dengan lidahnya, lalu mengintai ke dalam. Hampir saja dia menjerit ketika menyaksikan apa yang nampak di dalam! Kamar itu masih terang, meja bekas makan minum yang kacau balau dan di atas pembaringan, Bu Kong sedang bergumul dengan dua orang pendeta wanita!

Hampir saja Giok Keng menghantam jendela kemudian menyerbu ke dalam. Akan tetapi sebagai puteri seorang pendekar besar, dia menekan perasaannya. Kalau dia membuat ribut, berarti dia akan mencoret hitam di mukanya sendiri! Semua orang di Pek-lian-kauw tentu akan tahu kalau dia membuat ribut di saat itu, dan dia akan menjadi buah tertawaan...
Selanjutnya,

Petualang Asmara Jilid 36

Petualang Asmara Jilid 36
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
"Sudahlah, Keng-moi... sudahlah kekasihku yang tercinta. Perlu apa kau menangis lagi? Tangismu menghancurkan hatiku, Keng-moi. Bukankah aku berada di sini, di sampingmu selalu?"

"Liong-koko...!" Giok Keng menangis semakin terisak, menyandarkan kepalanya di atas dada Liong Bu Kong yang mengelus-elus rambutnya dengan penuh kemesraan. "Engkau tidak merasakan betapa sakit hatiku... betapa sengsaranya hati orang yang diusir dan tak diakui lagi oleh ayah bundanya... hu-hu-huuk..."

"Aku mengerti, Moi-moi... aku mengerti... Memang tak semestinya engkau mengorbankan diri sedemikian rupa hanya untuk seorang seperti aku... maka sekarang belum terlambat kalau kau tinggalkan aku dan pulang, minta ampun kepada ayah bundamu, Moi-moi..."

Cia Giok Keng mengangkat mukanya yang basah air mata dan matanya yang agak merah karena tangis itu memandang wajah yang tampan dari Bu Kong. Malam itu bulan sudah muncul dan di bawah sinar bulan wajah itu kelihatan tampan sekali.

"Apa... apa maksudmu...? Meninggalkanmu...?"

Bu Kong menundukkan mukanya dan berkata, suaranya halus menggetar, "Keng-moi, aku cinta kepadamu, aku cinta kepadamu dengan seluruh jiwa ragaku... dan demi cinta kasihku yang murni, aku tidak ingin melihat kau menderita. Tidak! Aku hanya ingin melihat engkau berbahagia, maka melihat engkau menangis dan bersengsara seperti ini... ahhh, biarlah aku yang menderita, Moi-moi, kau kembalilah kepada orang tuamu..."

"Koko...!" Giok Keng menangis lagi sambil merangkul leher pemuda itu. Hatinya merasa perih dan terharu, juga sangat bahagia karena ucapan pemuda itu meyakinkan hatinya akan cinta kasih yang murni dari pemuda itu kepada dirinya. "Aku rela berkorban apa pun, Koko... biarlah aku tidak diakui anak lagi oleh ayah bundaku asalkan engkau benar-benar mencintaku..."

"Moi-moi...!" Bu Kong mendekap tubuh itu dan mencium pipinya, "…aku bersumpah demi bumi dan langit bahwa aku benar mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku. Biarlah aku bersumpah, kalau ternyata aku berhati palsu kepadamu, kelak Thian akan menghukumku dengan..."

"Husshh, tidak perlu bersumpah, aku percaya kepadamu, Koko..." Giok Keng menutup mulut pemuda itu dengan telapak tangan kanannya.

"Moi-moi... ahhh…, Moi-moi tersayang..."

Bu Kong memegang dan menciumi tangan itu, kemudian ciumannya berpindah-pindah, dari tangan ke leher dan akhirnya dia menciumi bibir Giok Keng dengan penuh nafsu. Mula-mula Giok Keng membalas ciuman pemuda itu dengan sepenuh hati karena cinta kasihnya, penuh penyerahan dan kemesraan. Akan tetapi ketika ciuman-ciuman penuh nafsu yang membuat dia terengah-engah itu disusul dengan gerakan jari-jari tangan Bu Kong yang nakal, dia menjadi sangat terkejut.

"Moi-moi... ahhh... Moi-moi yang tercinta...!" Bu Kong berkata dengan napas mendengus-dengus, kemudian dengan gerakan halus dia mendorong kedua pundak dara itu sehingga Giok Keng rebah terlentang di atas tanah berumput.

Giok Keng merangkulnya, menciumnya, dan jari-jari tangan Bu Kong mulai meraba-raba dan hendak membuka pakaian Giok Keng.

"Koko... jangan...!" Giok Keng tiba-tiba bangkit duduk, menolak kedua tangan pemuda itu yang meraba dada dan pahanya. "Jangan begitu, Koko...!" suaranya penuh permohonan dan nafasnya masih terengah-engah dibakar nafsu birahi.

"Mengapa, Moi-moi? Bukankah kita berdua saling mencinta?" Bu Kong mengecup pipi yang kemerahan dan halus serta panas karena terbakar darah muda yang menggelora tadi.

"Memang aku cinta padamu, Koko, dan aku yakin bahwa engkau pun mencintaku, akan tetapi kita... kita... tidak boleh begini... sebelum kita menikah dengan sah!"

Bu Kong melepaskan kedua tangannya dan usahanya, membelai dan memegang kedua pundak dara itu, lalu memandang wajah yang jelita itu dengan mata tajam dan suaranya terdengar mencela, "Aihh, kenapa pendirianmu begini kuno, Moi-moi? Di mana ada cinta, di situ tidak ada pelanggaran apa-apa lagi, apa pun boleh kita lakukan kalau kita saling mencinta! Bahkan cinta tidak selalu harus dihubungkan dengan pernikahan! Cinta dan pernikahan itu adalah dua hal yang berlainan, Moi-moi!"

Giok Keng cemberut dan menggerakkan pundaknya hingga pegangan Bu Kong terlepas. Dia menggeser duduknya agak menjauhi pemuda itu, kemudian berkata, suaranya juga sungguh-sungguh,

"Liong-koko, memang enak saja berkata demikian karena engkau adalah seorang lelaki! Kau bilang bahwa cinta dan pernikahan adalah dua hal yang berlainan, dan sungguh pun anggapanmu ini ada benarnya, namun lebih benar lagi adalah bahwa cinta dan bermain cinta adalah dua hal yang lebih berlainan lagi! Bermain cinta hanyalah permainan nafsu birahi, dan seperti juga pernikahan, hanya merupakan pelengkap dari cinta kasih belaka."

"Moi-moi, kita saling mencinta, kita berdua seakan-akan sudah tidak memiliki orang tua lagi, perlu apa urusan pernikahan direpotkan lagi? Kita saling mencinta, sehidup semati, dan kalau aku ingin memiliki dirimu, demi cinta kita, apa salahnya itu?"

"Karena engkau seorang laki-laki, maka pendapatmu mengenai hal ini menjadi demikian mudah, Koko. Bagi pria, memang tidak ada cacad celanya melakukan hubungan di luar nikah, akan tetapi begitukah bagi wanita? Memang dunia ini kejam, terutama sekali kejam terhadap wanita! Bila sepasang muda-mudi, karena cinta mereka, karena dorongan nafsu birahi mereka, melakukan hubungan dan bermain cinta di luar nikah, selalu si wanita yang menjadi korban. Ia diejek, diolok-olok, dianggap manusia rendah. Sebaliknya, si pria tidak apa-apa, malah perbuatannya itu akan dijadikan kebanggaan di antara kawan-kawannya, dipamerkan sebagai bukti kejantanan! Sekali saja seorang wanita terpeleset dan bermain cinta di luar nikah, kehormatannya akan cemar, namanya akan buruk. Sebaliknya, walau pun seorang laki-laki melakukan hubungan di luar nikah sampai seribu kali, tetap tak akan berbekas apa-apa! Apa lagi kalau hubungan itu sampai menghasilkan kandungan, maka celakalah si wanita!"

"Ahh, Moi-moi, kau berpikir terlampau jauh dan mengkhawatirkan hal yang bukan-bukan. Apakah kau kira aku yang mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku akan meninggalkanmu begitu saja? Kita sudah sehidup semati, Moi-moi!"

"Bukan aku tidak percaya kepadamu, Koko. Hanya aku tidak ingin kehilangan harga diriku yang merupakan kehormatan bagi seorang wanita, biar pun hanya kita berdua saja yang mengetahui. Aku akan merasa sangat rendah dan murah! Pula, kalau engkau memang mencintaku, mengapa engkau tidak mau menaruh hormat akan pendirianku ini? Mengapa engkau tidak mau menjaga supaya kehormatanku tetap terjunjung tinggi dan kita dapat benar-benar menikmati masa pengantin baru? Koko, aku hanya mau menyerahkan diriku kepadamu setelah kita menikah, sungguh pun hatiku sudah kuserahkan kepadamu."

"Keng-moi... kau mengecewakan hatiku, akan tetapi demi cintaku yang murni, biarlah aku akan menahan diri dan akan mentaati permintaanmu itu."

"Koko, engkau memang baik sekali!" Giok Keng merangkul dan mereka saling berciuman dengan penuh kemesraan, akan tetapi api nafsu birahi yang tadinya hampir membakar mereka berdua itu kini dapat dipadamkan atau setidaknya diperkecil sehingga tidak akan timbul bahaya kebakaran.

Bu Kong duduk di atas tanah bersandarkan pohon, Giok Keng duduk dan menyandarkan tubuh di atas dada pemuda itu. Sampai lama keduanya tidak berkata-kata, hanya duduk seperti itu dengan hati tenang, masing-masing tenggelam dalam lamunan.

Tidak lama kemudian terdengar Bu Kong berkata, "Moi-moi, aku heran sekali bagaimana seorang dara remaja seperti engkau ini dapat memiliki pandangan sedemikian mendalam tentang hubungan antara pemuda dan pemudi seperti yang kita bicarakan tadi."

"Ibu yang telah bicara kepadaku tentang semua itu, Koko. Dan Ibu adalah seorang wanita yang keras hati, seorang wanita yang telah mempunyai banyak pengalaman hidup, tahu akan pahit getirnya hidup sebagai seorang wanita. Semua yang dikatakannya memang tepat dan benar, menurut kenyataan. Betapa banyak kenyataannya bahwa wanita selalu terancam di dalam hidupnya, banyak sekali bahaya menghadang di depan langkah hidup kaki wanita. Sebutan-sebutan yang merendahkan kaum wanita sudah menjadi kembang bibir. Ada gadis kehilangan keperawanannya tetapi tidak ada sebutan perjaka kehilangan keperjakaannya. Ada sebutan isteri tidak setia, akan tetapi suami yang tidak setia tidak disebut-sebut. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami saja, tapi seorang pria boleh saja mempunyai seratus orang isteri! Sebagai akibat hubungan, wanitalah yang harus mengandung, melahirkan dengan segala penderitaannya, sedangkan pria hanya tahu enaknya saja. Ada makian pelacur dan sampah masyarakat bagi wanita, akan tetapi laki-laki hidung belang tukang melacur tetap dianggap sebagai manusia terhormat."

Liong Bu Kong mengangguk-angguk dan mengelus rambut kekasihnya dengan mesra.

"Engkau memang hebat dan pantas menjadi puteri suami isteri pendekar seperti ayah bundamu itu. Sayang sekali ayahmu keras dan tidak suka kepadaku, Moi-moi, sehingga aku menjadi bingung sekali kalau memikirkan hubungan kita ini. Aku sendiri sudah tidak mempunyai orang tua, lalu bagaimanakah dengan perjodohan antara kita?"

"Sebagai seorang laki-laki engkau harus dapat mencari jalan, Koko. Betapa pun besarnya cintaku kepadamu, hubungan kita ini harus dilanjutkan dengan pernikahan, barulah aku secara syah menjadi isterimu, dan aku tidak akan mengingkari lagi kewajibanku sebagai seorang isteri yang mencinta. Bersama-sama kita akan membentuk keluarga, karena itu pertama-tama kita harus dapat menjaga kehormatan diri kita sendiri dulu. Kita harus dapat menjaga nama baik keturunan kita kelak, karena engkau tentu juga mengerti apa sebutan bagi keturunan orang di luar nikah. Hanya penderitaan batin saja yang akan kita rasakan sebagai akibatnya."

Karena Giok Keng duduk bersandar pada Bu Kong, dia tidak tahu betapa ucapannya tadi, terutama tentang anak yang lahir di luar nikah, membuat wajah Bu Kong menjadi pucat dan pemuda ini memejamkan matanya. Dia segera teringat akan keadaan dirinya sendiri dan ucapan dara itu seolah-olah menyindir dan mengejeknya!

Dia sendiri pun tidak pernah mengenal ayah kandungnya, dan biar pun dia diaku sebagai anak angkat oleh Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, akan tetapi sesungguhnya dia adalah anak kandung Ketua Kwi-eng-pang itu, anak yang terlahir tanpa ayah yang syah! Seorang anak haram!

Pandang mata Bu Kong melirik ke arah jalan darah di tengkuk dan pundak kekasihnya. Betapa akan mudah kalau pada saat itu dia menotok jalan darah dan membuat Giok Keng lemas tak berdaya. Betapa mudahnya kalau dia hendak menikmati tubuh kekasihnya ini dengan kekerasan.

Akan tetapi tidak, dia tidak ingin berbuat demikian. Dia tergila-gila kepada Giok Keng, dia harus memiliki tubuh dara ini, akan tetapi Giok Keng harus menyerahkan diri secara suka rela. Dia terlampau mencinta dara ini dan ingin memiliki selamanya, bukan hanya sekedar memenangkannya dengan kekerasan yang pasti berakibat dengan permusuhan.

"Engkau benar sekali, Moi-moi. Dan karena aku sudah tiada ayah bunda lagi, sedangkan orang tuamu tidak bersedia menikahkan kita, maka jalan satu-satunya kita harus minta pertolongan sebuah perkumpulan besar agar menikahkan kita secara syah."

"Terserah padamu, Koko. Bagiku, asal ikatan jodoh antara kita disyahkan dalam sebuah pernikahan dan disaksikan oleh umum, semua itu sudah cukup. Akan tetapi perkumpulan manakah yang akan mau menikahkan kita, Koko?"

"Tentu perkumpulan besar sekali yang akan mengatur pernikahan kita dengan meriah dan mengundang seluruh tokoh dunia kang-ouw sehingga pemikahan kita akan menjadi syah benar-benar."

"Bagus sekali, perkumpulan manakah itu, Koko?"

"Perkumpulan terbesar saat ini, yaitu Pek-lian-kauw."

"Heh...?" Giok Keng langsung meloncat bangun, membalikkan tubuhnya dan memandang kekasihnya dengan mata terbelalak kaget. "Pek-lian-kauw...? Perkumpulan pemberontak itu?"

"Keng-moi, tenanglah dan duduklah. Mari kita bicara dengan tenang dan berpikir secara wajar."

Sesudah Giok Keng duduk di depan kekasihnya, Bu Kong baru berkata. "Engkau jangan memandang dari sebelah pihak saja. Ketahuilah bahwa memang pemerintah menganggap Pek-lian-kauw sebagai pemberontak, akan tetapi banyak rakyat menganggapnya sebagai pejuang melawan pemerintah yang lalim. Kita jangan turut menjerumuskan diri ke dalam pertikaian yang sebenarnya hanyalah perebutan kekuasaan antara orang-orang kalangan atas saja. Permusuhan antara Pek-lian-kauw dengan pemerintah sama sekali tidak ada hubungannya dengan pernikahan kita bukan? Aku yakin hanya Pek-lian-kauw yang akan sanggup menikahkan kita, karena kalau kita memilih perkumpulan yang menjadi sahabat orang tuamu, mereka tentu akan menolak tanpa ijin orang tuamu. Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang besar dan diakui, maka kalau perkumpulan ini yang menikahkan kita, yang diundang tentulah orang-orang besar dan yang akan menyaksikan pernikahan kita adalah tokoh-tokoh kang-ouw, sehingga pernikahan itu akan menjadi syah sama sekali!"

"Tapi... tapi... apakah kita lalu menjadi anggota Pek-lian-kauw?"

"Ha-ha-ha, tentu saja tidak, Moi-moi!"
"Dan... aku tidak diharuskan membantu mereka menjadi pemberontak?"

“Ahh, tentu saja tidak. Hal seperti itu timbul dari hati sendiri, mana bisa diharuskan dan dipaksa?"

"Kalau begitu... terserah padamu, Koko. Aku percaya kepadamu dan bagiku yang paling penting, asal pernikahan kita disyahkan dan disaksikan banyak orang, cukuplah."

"Kalau begitu, mari kita mengunjungi Pek-lian-kauw dan menghadap kepada Thian Hwa Cinjin."

"Thian Hwa Cinjin? Siapa itu, Koko?"

"Ha-ha-ha, engkau belum mendengar namanya? Memang dia tidak pernah maju sendiri, akan tetapi dialah yang mengatur segalanya, dialah Ketua Pek-lian-kauw yang memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa, sukar diukur berapa tingginya. Dia adalah Ketua Pek-lian-kauw wilayah timur dan bertempat tinggal di tepi pantai Laut Kuning, di muara Sungai Huang-ho. Besok pagi kita berangkat ke sana, Moi-moi."

"Baiklah, Liong-koko, akan tetapi hanya dengan syarat yaitu..."

"Kita tidak akan bermain cinta sebelum menikah!" Bu Kong memotong sambil tertawa.

"Bukan itu saja, Koko, melainkan bahwa pengesahan pernikahan kita oleh Pek-lian-kauw itu tidak mengharuskan kita bersekutu dengan Pek-lian-kauw. Aku tak sudi terlibat dalam pemberontakan."

"Baik, aku mengerti, Moi-moi. Sekarang tidurlah, biar aku membuat api unggun dulu untuk mengusir nyamuk."

Giok Keng merebahkan diri dan Bu Kong membuat api unggun, lalu menyelimuti tubuh kekasihnya dengan mantelnya. Hatinya merasa amat kecewa sebab hasrat hatinya, nafsu birahinya, tidak dapat terlaksana. Tapi karena Giok Keng sudah setuju untuk bersamanya pergi menghadap Thian Hwa Cinjin, hatinya merasa lega. Memang lebih baik kalau dia memiliki Giok Keng sebagai isteri syah, sehingga tidak akan ada yang menggugatnya lagi pada kemudian hari!

Pada waktu itu memang Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan yang amat terkenal dan kuat, mempunyai banyak cabang serta anggota. Pek-lian-kauw dipimpin oleh orang-orang pandai dan mereka ini mengadakan pemberontakan serta menentang pemerintah dengan dalih membela rakyat dari pemerintah lalim.

Karena pengaruhnya yang besar, boleh dibilang seluruh tokoh kaum sesat berlindung di bawah sayap Pek-lian-kauw dan para orang gagah juga segan untuk berurusan dengan perkumpulan yang berpengaruh dan sangat kuat ini. Biar pun perkumpulan-perkumpulan bersih dan orang-orang gagah di dunia kang-ouw tidak sudi menggabung dan bersekutu dengan pemberontak, akan tetapi mereka pun tidak mau melibatkan diri dan tidak mau bermusuhan dengan Pek-lian-kauw yang amat kuat.

Hampir di setiap kota-kota besar terdapat ranting Pek-lian-kauw. Pimpinan Pek-lian-kauw terbagi menjadi empat, yaitu utara, barat, selatan, dan timur. Pek-lian-kauw wilayah timur ini dipimpin oleh Thian Hwa Cinjin, yaitu seorang tokoh baru yang belum lama muncul dan merupakan tokoh besar di wilayah timur.

Setelah Pek-lian-kaw wilayah timur ini berada di bawah pimpinan Thian Hwa Cinjin, maka terjadilah perubahan besar yang menyenangkan anggota-anggotanya. Dahulu, sebelum dipegang oleh Thian Hwa Cinjin, Pek-lian-kauw di wilayah timur ini hanya mementingkan pemberontakan dan urusan agama saja. Akan tetapi, sesudah Thian Hwa Cinjin menjadi ketua, kepentingan para anggota diperhatikan dan terdapat banyak peraturan baru yang menyenangkan para anggotanya. Bahkan ada kecenderungan bahwa Pek-lian-kauw yang tadinya khusus memusatkan kekuatannya untuk perjuangan menentang pemerintah yang dianggapnya lalim dan menindas rakyat, kini menjadi perkumpulan yang mementingkan kesejahteraan pribadi.

Thian Hwa Cinjin adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, bertubuh kurus jangkung, berpakaian seperti tosu dan dia datang dari seberang lautan. Tidak ada yang tahu jelas dari mana dia datang, akan tetapi ada kabar bahwa dia datang dari Korea. Selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga dia memiliki kepandaian sihir yang membuat para anggotanya menjadi makin tunduk dan takut.

Tadinya sebelum munculnya ketua baru ini, di Pek-lian-kauw hanya ada pendeta-pendeta pria saja yang mempraktekkan ajaran agama campuran antara Buddha dengan To-kauw. Setelah Thian Hwa Cinjin menjadi ketua, dia memperbolehkan masuknya pendeta wanita. Anehnya, pendeta-pendeta wanita Pek-lian-kauw semuanya muda dan cantik, dan hanya pakaian pendeta saja yang menunjukkan bahwa mereka adalah pendeta Pek-lian-kauw. Padahal sebetulnya pendeta-pendeta wanita ini merupakan wanita-wanita yang bertugas menghibur para pimpinan Pek-lian-kauw dan sebutan pendeta itu hanya sebagai kedok belaka.

Juga Thian Hwa Cinjin menghapuskan pantangan menikah bagi pendeta Pek-lian-kauw, bahkan dibolehkan pula memelihara selir sesuai dengan kekuatan tubuh dan isi kantung mereka. Thian Hwa Cinjin sendiri tidak beristeri, akan tetapi dia memiliki dua orang selir yang cantik sekali di samping pelayan-pelayan wanita yang terdiri dari gadis-gadis muda cantik yang diakuinya sebagai pelayan, juga murid, juga penghibur di dalam kamarnya sebagai selingan kedua orang selirnya!

Dua orang selir itu pun bukan orang sembarangan dan mereka diambil sebagai bukti dari ketua itu bahwa dia adalah seorang yang anti pembesar pemerintah dan memusuhi para pembesar pemerintah. Belum lama sesudah dia menjadi ketua, dia menculik dua orang wanita itu, yaitu puteri dari seorang pembesar di kota Sin-yang, seorang dara muda yang masih gadis, dan juga selir pembesar itu, selir termuda dan tercantik! Dia memperkosa kedua orang wanita muda dan cantik itu, kemudian dengan paksa membawa mereka ke markas Pek-lian-kauw dan mengangkat mereka menjadi selir-selirnya.

Dua orang wanita itu hanya dapat menangisi nasib mereka, karena mereka sama sekali tidak berdaya untuk melawan, bahkan hendak membunuh diri pun tidak mungkin karena selalu terjaga. Kemudian, di bawah kekuasaan sihir Thian Hwa Cinjin, kedua orang wanita itu akhirnya malah menurut dan dengan senang hati melayani Si Kakek sebagai suami mereka yang tercinta!

Dengan dalih berjuang demi kepentingan rakyat jelata dan demi pembebasan rakyat dari penindasan pemerintah yang lalim, Pek-lian-kauw dapat mengumpulkan banyak dana dari sumbangan rakyat. Terutama sekali rakyat yang kaya banyak menyumbangkan hartanya, bukan semata-mata karena demi perjuangan, namun karena mereka ini mengharapkan jaminan bahwa harta bendanya tidak akan diganggu oleh Pek-lian-kauw!

Demikianlah, kata-kata ‘perjuangan’ kehilangan kemurnian maknanya, kemudian dijadikan ‘modal’ bagi mereka yang menghendaki cita-citanya tercapai, cita-cita demi kepentingan diri sendiri, baik berupa ambisi mencapai kedudukan tinggi mau pun mencari kekayaan. Hal seperti ini terjadi semenjak sejarah berkembang, dari jaman dahulu sampai sekarang, dan di seluruh pelosok dunia.

Pada suatu hari, saat menjelang tengah hari, sepasang orang muda datang mengunjungi markas Pek-lian-kauw wilayah timur itu. Mereka berdua bukan lain adalah Liong Bu Kong dan Cia Giok Keng. Ketika tiba di pintu gerbang perkumpulan itu, dara ini terheran-heran dan kagum melihat keadaan Pek-lian-kauw.

Tempat itu merupakan sebuah perkampungan di pinggir pantai laut, perkampungan yang terkurung oleh pagar tembok yang kokoh kuat dan tinggi, dengan pintu-pintu gerbang yang terjaga kuat dalam bentuk benteng yang terjaga siang malam dengan kuatnya.

Ketika Liong Bu Kong memperkenalkan namanya pada pintu gerbang pertama, mereka berdua diharuskan menunggu sampai seorang penjaga melapor ke dalam melalui pintu gerbang yang berlapis lima dan terjaga kuat menuju ke dalam. Mereka harus menunggu agak lama karena untuk menentukan apakah seorang tamu diperbolehkan masuk, apa lagi tamu yang ingin berjumpa dengan ketua, haruslah diputuskan oleh ketua sendiri dan pelaporan kepada ketua harus melalui beberapa orang komandan jaga!

Thian Hwa Cinjin sedang makan siang, ditemani oleh dua orang selirnya yang cantik dan dilayani oleh gadis-gadis muda yang cantik pula. Mendengar pelaporan bahwa seorang bernama Liong Bu Kong, putera Ketua Kwi-eng-pang di Telaga Kwi-ouw hendak berjumpa dengannya, ketua ini mengangguk-angguk.

Dia belum pernah bertemu dengan pemuda itu, akan tetapi dia sudah mendengar akan nama Kwi-eng-pang, bahkan dia pernah mendengar betapa perkumpulan kaum sesat itu pernah bersekutu dengan Pek-lian-kauw, meski pun persekutuan itu belum menghasilkan sesuatu.

Tadinya dia agak malas untuk bertemu dengan pemuda putera datuk kaum sesat itu. Akan tetapi karena teringat akan cerita tentang perebutan bokor emas milik Panglima The Hoo dan kabarnya bokor emas itu pernah terjatuh ke tangan ibu pemuda yang datang ini, hatinya jadi tertarik dan mengatakan kepada pengawal agar Liong Bu Kong dipersilakan menunggunya di ruangan tamu.

Dengan cara berantai, perintah ini akhirnya disampaikan kepada Liong Bu Kong yang bersama Cia Giok Keng masih menunggu di luar pintu gerbang pertama dengan hati tidak sabar. Mereka dikawal masuk pintu gerbang pertama sampai di pintu gerbang ke dua, di mana mereka dikawal oleh penjaga yang lain lagi menuju ke pintu gerbang ke tiga dan seterusnya sampai mereka melalui pintu gerbang ke lima. Di sini mereka disambut oleh tiga orang pendeta laki-laki dan tiga orang pendeta wanita yang lantas mengawal mereka ke ruangan tamu di bangunan khusus.

Giok Keng terheran-heran. Tiga orang pendeta pria itu rata-rata berusia lima puluh tahun, sikap mereka halus dan terang membayangkan bahwa mereka memiliki kepandaian silat tinggi. Akan tetapi tiga orang pendeta wanita itu masih muda, paling tua tiga puluh tahun usianya, dan wajah mereka cantik-cantik! Biar pun mereka juga kelihatan halus pendiam, namun Giok Keng dapat menangkap kerling mata yang menyambar tajam dan penuh arti ke arah wajah Bu Kong yang tampan!

Setibanya di ruang tamu dan dipersilakan duduk, Giok Keng makin kagum. Kalau tadi dia mengagumi kekuatan dan ketertiban penjagaan di benteng Pek-lian-kauw, sekarang dara ini mengagumi keindahan ruangan itu. Selain meja dan kursi-kursinya terbuat dari kayu berukir dan merupakan perabot rumah yang sangat mahal, juga tiga ruangan itu terhias oleh lukisan-lukisan dan tulisan indah-indah yang tentu tidak murah pula harganya, seperti ruang tamu gedung seorang hartawan atau bangsawan saja layaknya!

Lapat-lapat di sebelah kiri, dari sebuah bangunan di mana nampak asap hio mengepul, terdengar suara merdu orang membaca doa, suara yang menggetarkan kalbu dan seperti biasanya suara orang berdoa, selalu mendatangkan keharuan yang khas.

Di sebelah kanan, agak jauh dari tempat yang sangat luas itu, nampak beberapa orang sedang berlatih silat di sebuah lapangan rumput yang luas. Gerakan mereka sigap dan kuat, dan biar pun dari jauh, Giok Keng dapat mengenal ilmu silat yang baik.

Diam-diam dia menjadi makin kagum. Tak disangkanya sama sekali bahwa Pek-lian-kauw yang terkenal sebagai perkumpulan pemberontak, dan amat dibenci oleh ayah bundanya, ternyata merupakan perkumpulan yang teratur rapi dan agaknya memiliki keuangan yang kuat!

"Selamat datang, sepasang orang muda yang tampan dan cantik, yang keduanya gagah perkasa!"

Suara ini datang dari dalam dan sepertinya orang yang bicara sudah berada di hadapan mereka, akan tetapi Giok Keng tidak melihat apa-apa! Bulu tengkuknya lantas meremang. Setankah yang bicara itu?

Akan tetapi, Bu Kong segera memegang tangannya dan mengajaknya berdiri. Pemuda ini sudah menjura ke depan, ke arah pintu lalu berkata, "Mohon Locianpwe sudi memaafkan kedatangan kami yang lancang ini dan sudi memperlihatkan diri. Harap Locianpwe tidak mempermainkan kami berdua yang muda dan bodoh."

"Ha-ha-ha, engkau boleh juga, orang muda. Merendahkan diri, menghormat, akan tetapi sekaligus juga menegur. Nah, kalian pandanglah Pinto (aku)!"

"Wussshhh...!"

Tampak asap putih mengepul tebal dan dari dalam asap itu, seorang kakek berusia enam puluh tahun, jenggotnya panjang, pakaiannya model pakaian pendeta tosu dan berwarna kuning dengan gambar bunga teratai putih di depan dadanya. Biar pun jenggotnya sudah banyak ubannya, akan tetapi rambut, jenggot serta pakaian kakek ini terpelihara rapi dan bersih, bahkan sepatunya juga masih baru. Ada bau harum keluar dari kakek itu, tanda bahwa kakek ini masih pesolek, suka memakai wangi-wangian di tubuhnya.

Tetapi, kakek kurus jangkung itu mempunyai sepasang mata yang amat tajam, sepasang mata yang mengandung wibawa amat kuat sehingga dalam pertemuan pandang pertama, Giok Keng merasa jantungnya berdebar dan bulu tengkuknya meremang sehingga dia cepat menundukkan mukanya.

"Tok! Tok! Tok!" Tongkat hitam mengkilap di tangan kanan kakek itu mengeluarkan bunyi ketika dia melangkah maju menghampiri Bu Kong dan Giok Keng.

"Saya Liong Bu Kong bersama Nona Cia Giok Keng ini menyampaikan hormat kepada Tung-kauwcu (Ketua Agama Timur)." Kembali Bu Kong berkata sambil menjura dengan hormat, diturut oleh Giok Keng.

"Ha-ha-ha-ha, tidak perlu banyak sungkan, orang-orang muda. Kita adalah orang sendiri, bukan? Benarkah engkau putera Kwi-eng Pangcu?"

"Benar, Locianpwe. Mendiang ibu saya adalah Ketua Kwi-eng-pang."

Ketua Pek-lian-kauw itu mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya dengan tangan kiri. "Hemmm, pinto sudah mendengar akan kematian itu... kalau pinto tidak salah, dalam perebutan bokor pusaka bukan? Hemmm, sayang sekali...! Mari silakan duduk agar enak kita mengobrol!"

Dua orang muda itu lalu duduk di atas kursi berhadapan dengan tuan rumah dan tak lama kemudian muncullah pelayan-pelayan wanita menghidangkan minuman. Giok Keng amat terheran melihat betapa pelayan-pelayan wanita ini masih muda-muda dan cantik-cantik, juga gerak-gerik para pelayan ini serta lirikan mata mereka yang dilontarkan kepada Bu Kong membayangkan sikap genit.

Setelah dipersilakan minum, Thian Hwa Cinjin, kakek itu, kemudian menanyakan maksud kedatangan kedua orang muda itu dan apa keperluan mereka minta bertemu dengan dia sendiri.

Bu Kong lalu bangkit berdiri, memegang tangan Giok Keng dan mengajak dara itu untuk menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil berkata, "Kami berdua sengaja datang menghadap Locianpwe dengan harapan agar Locianpwe sudi menolong kami, dan atas budi kebaikan Locianpwe, kami berdua tidak akan melupakannya."

Sejenak kakek itu kelihatan tercengang, lalu tertawa, "Ha-ha-ha, bangkitlah, duduklah dan ceritakan apa kehendak kalian. Mengingat akan hubungan baik antara Pek-lian-kauw dan Kwi-eng-pang, tentu saja Pinto akan memperhatikan permintaanmu dan kalau mungkin tentu saja kami akan suka sekali membantu Sicu."

Bu Kong dan Giok Keng bangkit, kemudian duduk kembali. "Permohonan kami tidak lain agar Locianpwe sudi menikahkan kami berdua di sini secara resmi."

Kakek itu membelalakkan matanya kemudian tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha, ternyata hanya untuk keperluan itu! Aihh, mengapa kalian hendak menikah memilih tempat ini dan minta perantaraan Pek-lian-kauw? Bukankah urusan pernikahan adalah urusan orang tua dan keluarga kalian?"

"Locianpwe, saya sudah tidak mempunyai orang tua dan keluarga, saya sebatang kara di dunia ini..."

"Akan tetapi, sesudah ibumu meninggal, bukankah sekarang engkau yang menggantikan ibumu memimpin Kwi-eng-pang?"

"Seperti Locianpwe tentu telah mendengar, perkumpulan kami itu sudah dihancurkan oleh pemerintah dan di samping sekarang saya belum berkesempatan untuk menghimpunnya kembali, juga dalam pernikahan ini, jika bukan Pek-lian-kauw yang mengadakan, kiranya tidak ada lagi yang akan berani..."

"Hemm, mengapakah?" Kakek itu sekarang menoleh dan memandang kepada Giok Keng dengan penuh perhatian.

"Karena calon isteri saya, Nona Cia Giok Keng ini... dia... adalah puteri dari Locianpwe Cia Keng Hong..."

"Hahh...?" Thian Hwa Cinjin terkejut sekali dan memandang dengan mata terbelalak. "Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai...?"

Tentu saja dia terkejut bukan main. Meski pun dia sendiri belum pernah bertemu dengan Pendekar Sakti Cia Keng Hong, namun nama besar pendekar itu telah didengarnya lama sekali. Dengan sinar mata penuh selidik dia memandang kepada Giok Keng dan kini tentu saja dengan pandang mata lain setelah dia mendengar bahwa dara yang cantik jelita dan bersikap gagah perkasa ini merupakan puteri dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai.

Giok Keng mengangkat mukanya dan memandang kakek itu. "Benar, Ketua Cin-ling-pai adalah ayah saya, akan tetapi karena dia tidak menyetujui perjodohan kami, maka kami datang ke sini mohon pertolongan Pek-lian-kauw."
"Tapi... tentu ayahmu akan marah kepada Pek-lian-kauw dan menuduhnya lancang..."

"Saya yang akan bertanggung jawab kalau orang tua saya marah. Mereka telah mencuci tangan mengenai perjodohan saya, maka saya sendiri yang bertanggung jawab mengenai urusan jodoh saya, Locianpwe," Giok Keng menjawab dengan suara mengandung rasa penasaran mengingat akan sikap ayahnya terhadap perjodohannya dengan pemuda yang dipilihnya sendiri.

Kakek itu mengangguk-angguk. "Bukan karena kami takut terhadap Cin-ling-pai, hanya... ahhh, biarlah urusan ini kami bicarakan lebih dahulu. Urusan ini bukanlah urusan remeh, maka kami persilakan kepada Nona Cia untuk beristirahat, dan kami akan mengadakan perundingan dulu dengan Liong-Sicu."

Ketua itu lalu memanggil pelayan wanita, memerintahkan para pelayan untuk mengantar Giok Keng ke dalam sebuah kamar tamu yang cukup mewah dan bersih. Dara ini tidak berani membantah, maka setelah bertukar pandang dengan Bu Kong, dia mengikuti para pelayan itu menuju ke sebuah kamar tamu yang berada di sebelah belakang bangunan besar itu.

Giok Keng mendapat pelayanan istimewa, disuguhi hidangan makan siang yang lengkap dan lezat, bahkan ada dua orang pendeta wanita Pek-lian-kauw yang menemaninya dan ternyata mereka itu selain muda dan cantik, juga mempunyai pengetahuan luas mengenai ilmu silat dan ilmu sastra. Makin kagumlah hati Giok Keng terhadap Pek-lian-kauw yang sebelumnya dianggap sebagai perkumpulan para pemberontak liar.

Akan tetapi, hatinya mulai khawatir ketika malam tiba dan belum juga ada kabar tentang kekasihnya yang tadi ditinggalkannya karena hendak berunding dahulu dengan pimpinan Pek-lian-kauw mengenai permintaan mereka untuk menikah di perkumpulan itu.

"Di manakah adanya Liong-koko? Aku ingin bicara dengan dia dan mendengar keputusan perundingannya dengan pimpinan Pek-lian-kauw." tanyanya kepada dua orang pendeta wanita yang baru datang menggantikan dua pelayan yang pertama.

Seorang di antara mereka tersenyum manis. "Harap Kownio tenangkan hati, Liong-sicu sedang beristirahat di kamar sebelah dan dia berpesan supaya malam ini Kouwnio suka beristirahat melepaskan lelah dalam perjalanan."

"Hi-hik, baru berpisah sehari saja masa sudah rindu?" kata pendeta wanita ke dua.

Merah sekali muka Giok Keng mendengar ini dan dia makin curiga. Sikap dan kata-kata para pelayan muda serta pendeta wanita di tempat ini benar-benar mencurigakan, begitu genit!

"Harap suka panggil dia ke sini atau antarkan aku ke kamarnya, aku mau bicara sedikit dengan dia!" katanya pula tanpa mempedulikan dua orang pendeta wanita yang masih tersenyum-senyum penuh arti itu.

"Aih, Kouwnio. Apa tidak kasihan padanya? Dia baru beristirahat dan bersenang-senang... dia... tidak memilih kami dan menyuruh kami menemani Nona di sini..."

Mendengar ini hati Giok Keng semakin curiga dan merasa tidak enak. Namun karena dia mengharapkan pertolongan dari pihak Pek-lian-kauw untuk urusan pernikahannya dengan Bu Kong, maka dia berusaha menahan sabar. Bahkan dia lalu memijat pelipis kepalanya dengan alis berkerut dan berkata, "Harap Ji-wi (Kalian) suka meninggalkan saya karena saya merasa pening dan hendak tidur..."

"Perlukah kami pijiti badan dan kepalamu, Kouwnio?" seorang pendeta wanita bertanya dengan manis.

"Tidak usah, harap Ji-wi jangan repot-repot dan harap suka meninggalkan saya sendiri..."

Dua orang pendeta wanita itu lantas bertepuk tangan memanggil pelayan, membersihkan meja bekas perjamuan, kemudian sambil tersenyum-senyum mereka pergi meninggalkan kamar Giok Keng dan menutupkan daun pintu kamar itu.

"Selamat tidur, Kouwnio!"

"Selamat bermimpi, calon pengantin!"

"Jangan khawatir, pengantin pria akan tetap utuh..."

"Kecuali agak lemas tentunya, hi-hik!"

Giok Keng meloncat ke pintu dan memasang palang pintu, mukanya merah dan alisnya berkerut. Sikap dua orang wanita itu benar-benar mencurigakan. Apa yang terjadi dengan kekasihnya? Jangan-jangan Pek-lian-kauw berlaku curang dan mencelakai Bu Kong. Dia harus menyelidiki! Siapa tahu kalau-kalau dia dan Bu Kong terjebak ke dalam perangkap musuh.

Akan tetapi dia harus berlaku hati-hati. Tempat ini merupakan sarang orang-orang pandai. Baru para pendeta wanita genit yang menemaninya tadi saja jelas memiliki ilmu silat yang tinggi. Apa lagi ketuanya. Bergidik dia kalau mengingat kelihaian kakek itu, yang dalam pertemuan pertama siang tadi sudah mendemonstrasikan kepandaiannya, ilmu sihir yang mengerikan, yang membuat kakek itu pandai ‘menghilang’.

Giok Keng mengatur bantal guling di atas pembaringan, diseilmutinya sehingga kelihatan seperti orang tengah tidur, memadamkan lampu kamar, kemudian dengan gerakan ringan dan hati-hati sekali dia menyelinap keluar dari jendela kamar meloncat dengan gerakan seperti seekor burung.

Malam sudah larut, karena memang dia menanti sampai sepi dahulu barulah keluar dari kamarnya itu. Tidak kelihatan seorang pun manusia dan lorong-lorong di perkampungan Pek-lian-kauw itu cukup gelap sehingga dia dapat menyelinap di dalam bayang-bayang yang gelap sambil memandang ke kanan kiri dengan waspada.

Pertama-tama dia hendak mencari kamar di mana Bu Kong bermalam karena dia harus berbicara dengan kekasihnya itu, memperingatkan Bu Kong agar berhati-hati karena dia menaruh curiga terhadap Pek-lian-kauw dengan pendeta-pendeta wanitanya yang genit. Setelah mengintai di beberapa kamar dalam rumah-rumah yang berjajar di sekitar ruang tamu, akhirnya dia mendengar suara yang keluar dari salah satu kamar yang lampunya masih bernyala.

Mula-mula dia mendengar suara wanita saja, dan karena dia menganggap bahwa kamar itu tentulah kamar pendeta-pendeta wanita yang lihai, maka dia ingin melewatinya saja. Akan tetapi, ketika dia mendengar suara laki-laki yang dikenalnya seperti suara Bu Kong, dia terkejut dan cepat mendekati jendela kamar, merunduk sambil mendengarkan.

"Sudah cukup... ahh, sudah terlampau banyak aku minum... Ji-wi terlalu baik dan manis... ha-ha-ha...!" terdengar suara Bu Kong, suara orang yang sudah mulai mabok!

"Hayaaaa... seorang gagah seperti Sicu, masa mudah saja mabok? Sudah terlalu lama kami tidak bertemu dengan seorang lelaki jantan dan ganteng seperti Sicu... marilah Sicu, kupilihkan daging yang paling empuk...," terdengar suara merdu merayu seorang wanita.

"Dan minumlah secawan lagi, Sicu. Lihat, biar setengahnya aku yang minum... aihh, Sicu sungguh tampan sehingga gemas hatiku dibuatnya. Ingin aku menjadi cawan..."

"Ha-ha-ha-ha, sungguh aneh kau ini! Mengapa ingin menjadi cawan?" terdengar Bu Kong bertanya kepada wanita ke dua yang suaranya terdengar lebih halus dari pada wanita pertama.

"Hi-hik, kalau aku menjadi cawan, tentu akan berkenalan dengan bibir sicu..."

"Hih, Kui Lan, kalau memang kepingin dicium, bilang saja...!" kata wanita pertama sambil terkekeh genit.

"Ha-ha-ha, kenapa kalian berdua begini menantang? Ingat, aku sedang kelaparan, sudah berbulan-bulan tak pernah berdekatan dengan wanita. Kalau kalian menggoda terus, bisa kumakan habis kalian, ha-ha-ha!"

"Aihh, calon pengantin pria bicara bohong! Selama ini mengadakan perjalanan berduaan saja dengan calon pengantin wanita, asyik masyuk, tentu sampai kekenyangan. Masakah sekarang bilang kelaparan?"

"Sungguh mati! Biar pun dia calon isteriku, namun sialan sekali! Dia tidak mau disentuh sebelum kami menikah."

"Aihhh, benarkah itu?"

"Aku mau bersumpah, masa aku suka berbohong kepada dua orang nona manis seperti kalian?"

"Hi-hik, kalau begitu, kau benar-benar lapar sekali..."

"Lapar seperti harimau kelaparan!"

"Hi-hik benarkah itu?"

"Tentu saja aku mampu menerkam kalian berdua sekaligus."

"Aihhh, coba saja, Sicu! Kau kira kami berdua orang-orang lemah? Coba kau lawan kami, hendak kami lihat apakah benar calon pengantin prianya sudah siap dan kuat, hi-hik-hik!"

Wajah Giok Keng menjadi merah sekali, matanya bersinar-sinar mengeluarkan cahaya berapi. Hampir dia tidak dapat mempercayai pendengaran telinganya sendiri. Benarkah itu suara Bu Kong? Benarkah Bu Kong yang bicara seperti itu? Dia merasa penasaran karena dia tak percaya bahwa pria yang dicintanya, tunangannya, calon suaminya, dapat bicara seperti itu bersama dua orang wanita.

Maka dia lalu membuat lubang di jendela dengan jari yang dibasahi dengan lidahnya, lalu mengintai ke dalam. Hampir saja dia menjerit ketika menyaksikan apa yang nampak di dalam! Kamar itu masih terang, meja bekas makan minum yang kacau balau dan di atas pembaringan, Bu Kong sedang bergumul dengan dua orang pendeta wanita!

Hampir saja Giok Keng menghantam jendela kemudian menyerbu ke dalam. Akan tetapi sebagai puteri seorang pendekar besar, dia menekan perasaannya. Kalau dia membuat ribut, berarti dia akan mencoret hitam di mukanya sendiri! Semua orang di Pek-lian-kauw tentu akan tahu kalau dia membuat ribut di saat itu, dan dia akan menjadi buah tertawaan...
Selanjutnya,