Petualang Asmara Jilid 34
PADA malam pertama mereka pindah ke pondok, kebetulan malam terang bulan. Hampir dua bulan Kun Liong membangun pondok itu, dibantu oleh Hong Ing yang menganyam dinding dan atap. Sesudah makan malam, mereka berdua duduk di luar pondok, di atas pasir yang bersih dan putih tertimpa sinar bulan purnama.
Hong Ing menarik napas panjang, menggunakan sebuah sisir bambu buatan Kun Liong menyisiri rambutnya yang panjangnya sudah ada sejari.
"Hemm, betapa senangnya. Kita sudah punya rumah! Baru aku merasa sebagai manusia, bukan seperti binatang yang bersarang di dalam goa kotor!"
Kun Liong menoleh dan memandang wajah dara itu. Kebetulan cahaya bulan menimpa wajah itu sepenuhnya, membuat wajah dara itu tampak seperti disepuh emas, cemerlang dan indah sekali. Senyum di bibir yang manis itu kelihatan sangat indahnya, indah dan halus seperti sajak sasterawan di jaman dahulu. Kun Liong terpesona!
Pada waktu Hong Ing melirik, pandang mata mereka bertemu dan dara itu memperlebar senyumnya. Kun Liong gelagapan karena senyum dan pandang mata dara itu membuat dia merasa seperti seorang maling tertangkap basah!
Cepat dia menutupi kecanggungannya dengan pertanyaan. "Benar-benarkah kau merasa senang, Hong Ing?"
Dara itu menunda sisirnya dan memandang wajah Kun Liong, senyumnya masih cerah dan dia mengangguk. "Senang sekali. Engkau pandai sekali, Kun Liong. Apakah tidak ada yang tak dapat kau lakukan? Apa saja engkau bisa! Ilmu silatmu tinggi, kau juga pandai kesusastraan. Bahkan pandai berfilsafat. Dapat mengobati kakiku, pandai menghibur dan sekarang kau bahkan menjadi tukang kayu, tukang batu, pembuat sisir, penangkap ikan dan burung, pemasak daging... wah, apa yang kau tidak bisa?"
Merah wajah Kun Liong saking senangnya dengan pujian ini. Dia menunduk dan sambil tersenyum dia berkata, "Ahh, kau melebih-lebihkannya saja. Sebuah pondok butut seperti ini..."
"Tapi kokoh kuat... bukan, Kun Liong?"
"Ya, cukup kuat. Tak usah kau khawatir. Ular dan segala binatang takkan dapat masuk. Lagi pula, di sini tidak ada binatang buasnya."
"Kau memang pandai dan rendah hati..."
Kun Liong senang sekali, kepalanya menunduk. Hong Ing tidak berbicara lagi, dan ketika diam-diam Kun Liong mengerling, dara itu tidak memandangnya, melainkan sedang sibuk menyisir rambutnya dan memandang ke arah bulan purnama. Betapa indahnya gerakan itu menyisir rambut!
Kepalanya agak dimiringkan sehingga separuh mukanya tertimpa cahaya bulan. Kedua matanya terlihat berkilauan dan memantulkan sinar bulan yang redup dan sejuk. Bibirnya bergerak-gerak, kadang-kadang mulut yang manis itu agak terbuka menahan rasa perih ketika sisirnya macet pada rambut yang lengket. Walau pun rambut itu panjangnya baru sejari, sudah kelihatan berombak, maka sering kali sisirnya macet. Dengan tangan kanan memegang sisir dan tangan kiri menata rambut, dara itu mengangkat kedua lengannya sehingga tampaklah sedikit bulu halus di ketiaknya yang tidak tertutup.
Kun Liong terpesona. Betapa hebatnya daya tarik seorang wanita kalau sedang bersolek! Dan Hong Ing adalah seorang wanita yang luar biasa, memiliki kecantikan yang khas dan aneh. Apa lagi kini hanya mengenakan pakaian yang tidak lengkap itu.
Aku cinta kepadanya! Kun Liong terkejut sendiri. Bodoh, bantah suara lain di kepalanya yang gundul. Kau hanya menganggap saja ini cinta, padahal tak lain dan tak bukan hanya perasaan tertarik oleh keindahan bentuk tubuh yang bulat itu, kecantikan wajah yang telah dipercantik lagi oleh cahaya bulan purnama, dan suasana yang sunyi di mana hanya ada mereka berdua!
Bukan! Bukan cinta! Dia tidak akan dapat mencinta seorang yang bagaimana pun, karena dia tahu sekali bahwa cintanya itu dikotori oleh keinginan memiliki, keinginan membelai dan merayu, keinginan yang terdorong nafsu birahi!
Tidak! Dia tidak mencinta, hanya memang dia suka, bahkan tergila-gila oleh kecantikan Hong Ing. Sama saja dengan rasa sukanya kepada dara-dara yang lain, termasuk Lim Hwi Sian yang bahkan sudah menyerahkan badannya kepadanya.
Hwi Sian telah menyerahkan tubuhnya kepadanya karena mencintanya, kata data itu! Dan bagaimana dengan Hong Ing? Hong Ing telah merasa berhutang budi kepadanya, dan mereka hanya tinggal menyendiri di pulau kosong ini, dengan pakaian yang begitu minim! Bagaimana kalau mereka berdua terseret oleh godaan nafsu birahi?
"Tidak boleh!"
Hong Ing terkejut sekali, sisirnya hampir terlepas ketika mendadak Kun Liong menampar kepala gundulnya sendiri! Kun Liong sendiri merasa terkejut dan baru sadar bahwa dia tadi menjadi begitu gemas kepada dirinya sendiri sampai dia menampar kepalanya!
"Ehh, ada apakah?"
Tentu saja wajah pemuda itu menjadi merah sekali, merah sampai ke kepalanya bukan hanya merah karena tamparannya. "Ehh... ohh... tidak apa-apa, aku hanya termenung..."
"Mengapa termenung sambil menampar kepala sendiri?"
"Eh... anu... tadi ada seekor nyamuk menggigit kepalaku..." Kun Liong menggosok-gosok telapak tangannya seolah-olah ada nyamuk mati mengotori tangan itu.
"Hi-hik, kau memang aneh. Mengapa ada nyamuk diajak bicara dan kau membentak tidak boleh? Lucu sekali!"
"Aku tidak ingat lagi, mungkin karena termenung tadi..."
Kembali terdengar dara itu terkekeh geli. Hemmm, dia mulai menertawakan aku. Aku Si Kepala Gundul ini, pemuda miskin, yatim piatu, mana ada harganya bagi seorang dara seperti Hong Ing? Bayangkan saja! Seorang pangeran gagah tampan, putera seorang Kaisar yang tentu saja kaya raya, namun masih ditolak Hong Ing! Apa lagi dia! Seperti seekor anjing merindukan kelinci di bulan!
"Kun Liong, kau jangan suka melamun seperti itu. Orang melamun, sering bicara sendiri, memukul kepala sendiri hemmm, seperti orang tidak waras saja..."
Ahh, dia bahkan mulai mengatakan aku tidak waras, sama dengan memaki gila!
"Memang, kadang-kadang aku seperti gila, Hong Ing."
Hong Ing cepat-cepat memandang wajah Kun Liong, agaknya dapat menangkap nada marah di dalam ucapan pemuda itu, alisnya diangkat tinggi-tinggi dan matanya menyapu penuh selidik.
Akan tetapi Kun Liong sudah menunduk dan tidak bicara lagi. Dia tidak melihat betapa dara itu tersenyum geli melihat dia menunduk dengan wajah bersungut-sungut dan mulut cemberut.
Hening sampai agak lama. Kadang-kadang apa bila Kun Liong mencuri pandang dengan kerling sekilat, dia melihat dara itu masih bersila dan menengadah, memandang ke bulan.
Rasa mendongkol di hati Kun Liong tidak dapat bertahan lama. Mana mungkin dia dapat marah lama-lama kepada seorang dara yang kelihatan begitu tidak berdaya, yang sudah mengalami penderitaan seperi itu dan amat membutuhkan perlindungan? Tidak mungkin dia bisa sekejam itu.
Heran dia. Kenapa Hong Ing memilih menjadi nikouw, bahkan sekarang memilih menjadi seorang buruan yang terlunta-lunta, dari pada menjadi isteri seorang pangeran yang kaya raya dan berkuasa? Mengapa memilih hidup sengsara kalau kehidupan mulia terbentang di depan kakinya?
Tiba-tiba dia teringat. Sebetulnya dia belumlah mengenal gadis ini sungguh-sungguh, dan dia mengerti dan mengenalnya hanya menurut cerita gadis itu sendiri. Hong Ing adalah murid Go-bi Sin-kouw, seorang tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi. Siapa tahu isi hati gadis itu?
Kakak seperguruan gadis ini, yaitu nona Lauw Kim In, menurut cerita Hong Ing, juga mau diambil kekasih oleh seorang pemuda iblis macam Ouwyang Bouw! Siapa tahu, gadis ini mendekatinya karena memang ada pamrih sesuatu. Bokor emas! Semua tokoh kang-ouw agaknya menduga keras bahwa dialah yang menyembunyikan bokor emas asli, pusaka Panglima The Hoo yang diperebutkan itu!
Dia mengerling kembali dan melihat bahwa Hong Ing sudah berhenti menyisir rambutnya. Rambut itu hitam mengkilap, menghias kepala dara itu sehingga kepala itu tampak seperti setangkai bunga mawar! Manisnya bukan main!
"Hong Ing..." Kun Liong berhenti sebentar karena jantungnya berdebar oleh dugaan yang bukan-bukan tadi dan oleh ketegangan usahanya untuk memancing dan menyelidiki.
"Hemm..." Hong Ing menoleh, mereka saling berpandangan dan kembali Kun Liong yang terlebih dahulu harus menundukkan kepalanya yang gundul karena pandang mata dara itu seolah-olah memiliki daya menembus sampai ke dalam dadanya.
"Mengapa engkau menolak pinangan Pangeran Han Wi Ong? Dia putera Kaisar dan..."
"...dan aku tidak mencintanya!" Hong Ing menyambung cepat.
"Tapi… dia putera Kaisar, berkuasa dan kaya raya, dia tampan dan gagah pula."
"Biar pun dia seratus kali lebih berkuasa, kaya raya, dan tampan gagah, kalau aku tidak mencinta, apakah aku harus memaksa diri?"
"Agaknya engkau amat mementingkan cinta dalam perjodohan."
"Tentu saja! Menikah tanpa cinta sama dengan memasuki gerbang neraka."
"Hemmm..."
"Apakah kau tidak berpendapat demikian, Kun Liong?"
"Entahlah. Hanya... kasihan Pangeran Han Wi Ong..."
"Ahhh, salah mereka sendiri! Laki-laki yang tidak tahu diri! Betapa banyaknya pria yang hendak memaksakan cintanya kepada seorang wanita. Kalau ditolak, adalah kesalahan mereka sendiri, mengapa harus dikasihani?"
Kun Liong mengangkat muka memandang wajah itu dan tampak olehnya betapa wajah yang cantik itu dihias senyum mengejek, agaknya merasa jijik terhadap cinta kaum pria!
"Banyakkah sudah kau dicinta orang?"
"Banyak sekali!"
"Hemmmm..."
"Mengapa mengeluh?"
"Pantas kau berani menolak cinta seorang pangeran. Kiranya banyak pria yang tergila-gila kepadamu!"
"Apa salahnya?"
"Tidak apa-apa, aku hanya... hemmm, tidak ada seorang pun yang mencintaku."
"Ahh masa?! Kau seorang pemuda yang gagah dan tampan, pandai mengendalikan diri, berbudi mulia suka menolong orang lain tanpa pamrih..."
"Betapa pun, tidak ada yang mencintaku seperti begitu banyak pria mencintamu..."
"Kalau ada yang mencintamu...?"
"Tidak mungkin! Gundul miskin seperti aku, lebih pantas disebut jembel, mana mungkin... Ahh, betapa pun juga aku tidak sudi menikah selama hidupku."
"Heiii! Mengapa?"
"Perempuan di dunia ini sama saja..."
"Wah, agaknya mendalam sekali pengetahuanmu tentang perempuan! Dari mana semua pengetahuanmu itu? Dari buku pula?" Nada suara Hong Ing amat mengejek dan pandang matanya seperti seorang ibu guru memandang seorang murid cilik yang bodoh dan nakal!
Akan tetapi Kun Liong tak mempedulikan nada suara dan pandangan itu, lalu melanjutkan dengan keras kepala, "...sekali seorang laki-laki mengambil perempuan sebagai isterinya, maka akan celakalah dia! Hidupnya akan merupakan siksaan, karena perempuan yang menjadi isterinya akan selalu menguasainya, mengikatnya, merongrongnya. Akhirnya dia akan kehilangan kebebasannya dan menyesal pun sudah terlambat!"
"Wah! Seperti itukah penilaianmu terhadap perempuan? Kau menganggap bahwa semua wanita itu seperti yang kau ceritakan tadi? Dan kau mengira bahwa semua pria memiliki pendirian seperti engkau, hidupnya dirusak oleh isteri? Betapa sombongmu, Kun Liong!"
Akan tetapi Kun Liong tak peduli. Betapa pun menariknya Hong Ing hingga membuat dia terpesona, membuat hatinya lemah, namun yang di hadapannya ini tidak lain juga hanya seorang wanita! Maka dia melanjutkan kembali, suaranya penuh semangat seakan-akan dia mempertahankan pendiriannya mati-matian terhadap serangan dari luar.
"Aku tak akan sudi menikah, kecuali dengan seorang wanita yang selalu menjadi idaman hatiku semenjak aku kecil!"
"Waduh! Kecil-kecil sudah mengidamkan seorang wanita! Hebat kau, Kun Liong!" Suara Hong Ing mengejek sekali, bahkan diperkuat dengan senyum simpulnya, membuat hati Kun Liong makin panas. "Wanita seperti apa sih, idaman hatimu itu?"
"Aku baru mau menikah dengan seorang wanita yang halus budi bahasanya, manis tutur sapanya, lemah lembut geraknya, suaranya seperti nyanyian burung di waktu pagi, tutur sapanya bagaikan hembusan angin lalu sepoi-sopi, gerak-geriknya seperti batang pohon yangliu tertiup angin, tidak hanya cantik jelita pada lahir saja, melainkan lebih cantik lagi di batinnya, penyabar, ramah, tidak pernah cemburu, keibuan, taat, setia, dan..."
"Pendeknya, wanita yang luar biasa tidak ada cacat celanya, seperti bidadari kahyangan yang diceritakan di dalam dongeng! Seperti... seperti Kwan Im Pouwsat sendiri! Seperti... ah, perempuan idamanmu itu harus dilahirkan lebih dulu, Kun Liong. Thian harus membuat perempuan itu khusus untukmu seorang, untuk seorang pria sombong yang sesombong-sombongnya, tolol yang setolol-tololnya dan.. dan..."
"Maaf, Hong Ing..." Kun Liong terkejut juga melihat dara itu bangkit berdiri, menegakkan kepala dan matanya seperti dua bola api hendak membakarnya. Seluruh sikapnya jelas menunjukkan kemarahan yang ditahan-tahan, ada pun suaranya bercampur napas sesak seperti mau menangis!
"...dan... dan... perutku menjadi mual melihatmu!" Setelah melontarkan kata-kata terakhir itu, dengan langkah gontai, dengan pinggul menonjol padat terbayang di balik kain yang sederhana dan pendek itu, Hong Ing pergi meninggalkan Kun Liong, menaiki anak tangga lalu masuk ke pondok kecil itu. Terdengar dia menutupkan pintu kamar keras-keras, dan tampak dari luar daun jendela juga dihempaskan kuat-kuat!
Kun Liong masih duduk di pasir, bengong terlongong memandang ke arah pondok, hatinya bingung sekali. Akhirnya dia pun menarik napas panjang, menekan penyesalan hatinya. Kenapa dia harus menyesal melihat Hong Ing marah-marah? Biarlah, bila dara itu merasa sakit hati, dia sudah menguras isi hatinya, sudah mengemukakan pendapatnya tentang wanita. Dia tidak akan jatuh cinta seperti pria-pria tolol itu, seperti Pangeran Han Wi Ong, seperti Yuan, dan yang lain-lain. Dia ingin terus bebas!
Kembali dia menarik napas panjang. Betapa sunyinya setelah Hong Ing pergi ke pondok. Alangkah menjemukan keadaan sekelilingnya. Cahaya bulan tidak gemilang seperti sinar keemasan lagi, melainkan mendatangkan kepucatan yang hampa!
Mengapa dia menyesal telah menyakitkan hati Hong Ing? Bukankah dara itu malah yang menyakitkan hatinya? Mula-mula mengatakannya tidak waras alias gila! Kemudian apa yang dikatakannya dalam kalimat-kalimat terakhir ketika marah tadi? Bahwa dia adalah seorang pria yang ‘sombong sesombong-sombongnya, tolol setolol-tololnya’ dan bahwa dia ‘memualkan perutnya’!
"Hemmm...!" Keluhan ini keluar dari dadanya menyesak kerongkongannya.
Dia menengadah. Bulan purnama tersenyum mengejek kepadanya, seperti senyum Hong Ing yang tadi mengejeknya. Dia memandang marah. Ingin dia dapat melumuri muka bulan dengan pasir di tangannya. Akan tetapi awan membantunya. Awan putih tebal merayap lewat, menyembunyikan bulan yang kini hanya tampak sebagai bulatan yang pucat tak berdaya. Seperti Hong Ing!
Dara itu menderita hebat! Di pulau kosong, hanya bersama dia, namun apa yang sudah dia lakukan? Menyakitkan hatinya! Ah, betapa kejamnya dia! Biar pun dia tidak mau jatuh cinta kepada wanita mana pun juga, akan tetapi tidak selayaknya dia menyakitkan hati Hong Ing seperti itu!
Kun Liong mulai merasa menyesal, bukan menyesal karena pendiriannya tentang wanita seperti yang telah diucapkannya itu, melainkan menyesal terdorong oleh rasa iba kepada nasib Pek Hong Ing yang tak semestinya dia tambah lagi dengan ucapan yang membuat dara itu sakit hati.
Teringatlah dia akan sekumpulan batu bulat putih yang selama beberapa hari ini sudah dikumpulkannya secara diam-diam, yang didapatnya di dasar laut yang jernih dan dangkal di sudut pulau saat dia mencari ikan. Batu-batu seperti mutiara besar itu dikumpulkannya dengan maksud untuk kelak setelah cukup banyak akan diuntai menjadi kalung dan akan diberikan kepada Hong Ing! Kini, mengingat betapa dara itu mungkin menangis di dalam pondok, perasaan menyesal membuat Kun Liong segera teringat akan benda yang akan dihadiahkannya kepada gadis itu.
Maka dia lalu cepat-cepat meninggalkan tempat itu, menuju ke sudut pulau dan di bawah penerangan bulan purnama, mulailah dengan tekun dia mengumpulkan batu-batu bulat putih yang berkilauan itu. Dia melupakan hawa dingin, menanggalkan semua pakaiannya yang hanya berupa celana semacam cawat lebar, menyelam ke dalam air dan mencari batu-batu itu sampai semalam suntuk!
Dia sama sekali tidak tahu bahwa dari tempat yang agak jauh, Hong Ing bersembunyi di balik batu karang sambil mengintai. Berulang kali dara ini menghela napas panjang akan tetapi tak berani mendekat mau pun memanggil karena melihat betapa pemuda itu dalam keadaan telanjang bulat!
Akhirnya Hong Ing pergi meninggalkan tempat persembunyiannya. Ia menggeleng-geleng kepalanya dan terdengar berkata seorang diri, sangat lirih, "Orang aneh dia... apa-apaan malam-malam begini mandi seorang diri dan menyelam sampai begitu lama!"
Hubungan antara kedua orang muda itu agak renggang semenjak pertengkaran di malam bulan purnama itu. Hong Ing bersikap menunggu keramahan Kun Liong, agaknya tak mau tunduk dan tidak mau atau enggan untuk ‘berbaik dulu’. Sebaliknya, Kun Liong merasa malu akan sikap dan kata-katanya pada malam hari itu, karena itu dia seolah menghindari percakapan dengan dara itu.
Mereka hanya tampak berdua di waktu Kun Liong menyerahkan ikan atau burung yang ditangkapnya, dengan beberapa ikat daun yang sudah dipilihnya dan yang ternyata dapat dimasak dan dimakan. Atau mereka berkumpul hanya pada waktu Hong Ing telah selesai memanggang daging atau memasak sayur menggunakan panci-panci tanah yang dibuat oleh Kun Liong. Tetapi mereka berdua seolah-olah membatasi percakapan, mungkin juga khawatir kalau-kalau mereka terpancing dan bentrok lagi dalam perbantahan.
Akan tetapi pada malam hari itu, sepekan setelah mereka seolah-olah saling menjaga diri, Kun Liong berjalan menghampiri Hong Ing yang duduk seorang diri di luar pondok sambil memandangi bulan yang sudah tidak bulat lagi, tapi masih mampu menerangi permukaan laut dan pulau itu, membuat pasir kelihatan putih dan di sana-sini ada kerlipan pasir yang seperti menyembunyikan permata-permata kecil.
"Hong Ing..."
Dara itu terkejut. Kun Liong datang menghampirinya tanpa suara tadi, dan agaknya dia tidak menyangka-nyangka pemuda itu akan menghampirinya dan memanggilnya.
"Ehh, ada apa...?"
Kun Liong menghela napas panjang, duduk di depan dara itu dan mengulurkan tangan kanan yang memegang seuntai kalung batu putih yang berkilauan. Batu-batu itu sudah terkumpul dan sudah diasah sehingga rata dan sama, dilubangi dan diuntai dengan serat kulit pohon yang kuat, merupakan seuntai kalung batu putih yang indah sekali.
"Aku membuatkan kalung ini untukmu. Terimalah..."
Wajah itu berseri, sepasang mata itu terbelalak ketika tangannya menerima kalung itu, mulutnya tersenyum lebar dan hati Kun Liong berbunga!
"Aihhh... bagus sekali kalung ini...! Ehh, jadi selama berhari-hari ini kau tampak murung dan diam, kiranya kau sibuk membuat kalung ini, Kun Liong?"
"Ya... begitulah."
"Ahh, kusangka kau marah-marah."
"Kenapa mesti marah?"
"Malam itu aku telah membuatmu marah, mengatakan sombong dan tolol..."
"Dan bahwa aku memualkan perutmu. Mengapa, Hong Ing?"
"Masih adakah perempuan yang kau angan-angankan itu?"
"He... hemmm..."
"Jangan kau sebut-sebut lagi dia, atau perutku akan mual lagi."
"Maaf..."
"Kun Liong..."
"Hemm...?"
"Kau terlalu... terlalu canggung! Kau laki-laki jantan yang lemah! Kau... orang muda yang berpikiran tua! Kau... pria pandai yang tolol!"
"Hemm... maaf..." Kun Liong gagap dan bingung, tak tahu harus berkata apa.
"Dan engkau..." Hong Ing melanjutkan, matanya sayu menatap wajah Kun Liong seperti mengintai dari balik bulu mata yang hampir saling bertemu bagian atas dan bawahnya, suaranya agak tergetar akan tetapi bibirnya tersenyum mesra, "kau... kelak akan melihat bahwa perempuan khayalmu itu, yang tanpa cacad, akan hancur lebur, membuyar seperti awan tipis tersapu angin, bila mana sudah muncul seorang wanita dari darah daging yang hangat lembut, yang akan membuatmu bertekuk lutut, dan yang akan membuatmu suka mencium tapak kakinya..."
"Hemmm, tak mungkin!" Kun Liong menghardik, ditujukan kepada diri sendiri.
"Lihat sajalah kelak...!" Hong Ing tertawa kecil dan bersenandung, senandung yang dulu itu, tentang cinta. Suaranya merdu sekali, lirih dan seolah-olah bukan dari mulutnya suara itu mengalun, melainkan dari tengah lautan, datang menunggang angin yang bertiup silir semilir.
Cinta adalah Kehidupan
tanpa cinta hidup sama dengan mati
Cinta adalah Cahaya
tanpa cinta hidup gelap gulita
Cinta adalah Suci
tanpa cinta hidup bergelimang dosa
Hanya orang bijaksana saja mengenal Cinta
si dungu hanya mengejar nafsu!
Dahulu ketika Hong Ing menyanyikan lagu cinta ini di atas perahu peti mati, dia hanya mengagumi suara Hong Ing tetapi memandang rendah isi nyanyian itu yang dianggapnya sebagai pantun seorang buta yang memuji-muji setangkai bunga. Akan tetapi sekali ini, isi nyanyian itu seperti menyindirnya, terutama sekali baris terakhir ‘si dungu hanya mengejar nafsu!’
Entah kenapa, karena dia tidak mengakui cinta suci, dia merasa seolah-olah dialah yang dimaki ‘si dungu’ dalam nyanyian itu! Merasa seolah-olah tadi Hong Ing bukan bernyanyi, melainkan menuduh dan memakinya, otomatis dia menjawab,
"Memang aku dungu!"
"Heiiihhh... mengapa, Kun Liong?"
Ketika melihat wajah pemuda itu muram dan bersungut-sungut, Hong Ing tertawa geli sambil menutupi mulutnya. "Kau... ngambek (murung) lagi?"
"Tidak!"
Akan tetapi jawaban Kun Liong itu jelas menunjukkan kejengkelan hatinya, jawaban yang disentakkan dan pendek keras seperti batu karang! Hong Ing tertawa terkekeh, dan dia lalu berkata. "Kau sama sekali tidak dungu! Betapa bodohnya merasa diri dungu!"
Mulut Kun Liong semakin cemberut. Seenak perutnya sendiri saja! Dia memaki di dalam hati. Mengatakan tidak dungu akan tetapi memaki bodoh!
"Kun Liong..."
Tadinya Kun Liong tidak ingin menjawab, begitu marahnya hatinya. Akan tetapi panggilan itu drmikian merdu, terasa olehnya seperti mengelus hatinya, maka mau tidak mau dia menjawab,
"Apa?" Jawaban yang masih kaku.
"Maukah engkau menolongku?"
Kun Liong menoleh, memandang dan mereka saling pandang.
"Menolong apa, Hong Ing?" Lenyap sama sekali kemurungan dari wajah Kun Liong yang mengira bahwa dara itu tentu mengalami suatu kesulitan.
"Tolong kau kalungkan ini di leherku."
Sepasang mata Kun Liong terbelalak. Kalau saja tidak begitu girang hatinya dan begitu berdebar jantungnya, ingin dia menolak mentah-mentah untuk memperlihatkan perasaan marahnya. Akan tetapi dia girang sekali maka tanpa menjawab dia menerima kalung itu. Kalung yang begitu panjang, masa perlu dibantu untuk mengalungkannya?
Diterimanya kalung, didekatinya Hong Ing dan dikalungkannya benda itu melalui kepala yang berambut pendek itu, dikalungkan pada lehernya. Karena gerakan ini, kedua lengan Kun Liong seolah-olah hendak merangkul leher Hong Ing.
Dia menunduk, Hong Ing menengadah. Muka mereka saling berdekatan, begitu dekatnya sehingga terasa oleh Kun Liong hembusan napas hangat pada dagunya. Sepasang mata yang indah itu terpejam, bulu mata yang panjang lentik itu menebal karena merangkap, mulut itu sedikit terbuka.
Hampir Kun Liong tidak kuat menahan. Kalau bukan Hong Ing dara itu, tentu dia takkan sanggup bertahan lagi untuk tidak mendekap tubuh itu, mencium bibir itu. Namun dengan sentakan tiba-tiba dia menarik kedua tangannya dan melangkah mundur.
Hong Ing membuka matanya, tersenyum. "Terima kasih, kau baik sekali, Kun Liong,"
"Hemmm, aku seorang yang bodoh dan kasar, Hong Ing."
"Tidak! Akulah yang suka menggodamu, aku gadis tidak tahu budi orang. Kau maafkan aku, ya? Dan kau maafkan pula kesalahan-kesalahanku yang akan datang, mau kan?"
Kun Liong menjadi gemas, akan tetapi melihat wajah itu berseri dan tersenyum nakal, dia terpaksa tersenyum juga. Kiranya Hong Ing hanya pura-pura saja ketika marah, ketika diam, dan lain-lain. Hanya untuk menggodanya!
"Hong Ing, mari kita mencari telur."
"Ihhh, kau tahu aku tidak suka telur."
"Bukan untuk kau. Aku paling doyan telur. Kemarin aku melihat kura-kura besar sekali mendarat. Tentu dia akan bertelur. Senang sekali mencari telur kura-kura, seperti mencari pusaka saja. Kalau kita tepat menggali dan melihat telur di bawah pasir, aku tanggung kau akan menari kegirangan! Marilah!"
Seperti kanak-kanak keduanya berlari-larian di sepanjang pantai. Bahkan Kun Liong yang sudah terobati kemarahannya, memegang tangan Hong Ing. Mereka bergandeng tangan sambil berlari dan terdengar Hong Ing tertawa-tawa. Suasana memang amat romantis dan menggembirakan. Pasir yang lemas dan bersih. Laut yang tenang. Sinar bulan yang sejuk lembut.
Akan tetapi, tak jauh dari pondok itu Kun Liong sudah berhenti. "Di sinilah."
"Ahh, begini dekat? Kukira jauh!"
"Malam kemarin aku melihat ada kura-kura mendarat di sini."
"Akan tetapi beberapa hari yang lalu aku melihat binatang seperti ular merayap, hitam dan panjang. Ihh, aku masih ngeri kalau mengingatnya."
"Ular? Di sini? Benarkah itu?" Kun Liong bertanya, heran sekali. "Kenapa kau tidak bilang padaku?"
Hong Ing tersenyum lebar dan memicingkan sebelah matanya. "Habis, kau lagi ngambek sih! Aku tidak berani bicara padamu!"
Kun Liong tertawa. "Ahh, mungkin hanya belut atau ular laut yang terdampar dan terbawa oleh ombak ke darat. Hayo kita mencari telur kura-kura."
Kembali mereka bergembira, berlarian ke sana-sini, menggali-gali pasir dengan kaki dan tangan, seperti orang berlomba ingin lebih dulu menemukan telur kura-kura. Tidak mudah mencari telur kura-kura hanya dengan mengira-ngira seperti iiu. Biasanya orang mudah mencari telur kura-kura dengan jalan mengintai kalau ada kura-kura mendarat dan akan bertelur. Akan tetapi kalau tidak tahu di mana binatang itu bertelur, tidak ada terdapat tanda-tanda di mana tempat telur-telur itu. Kini pasir sudah rata kembali, diratakan oleh binatang yang mempunyai kebiasaan yang cerdik untuk menyembunyikan telur mereka terdorong naluri untuk menjaga lancarnya perkembang biakan mereka itu.
"Heii... Hong Ing...! Lihat ini...!"
Hong Ing yang sedang mencari di bagian yang agak jauh, datang berlari-lari menghampiri Kun Liong ketika mendengar teriakan pemuda itu.
"Ahh, kau sudah menemukannya...!" teriaknya sambil berlari.
Kalung panjang itu bergoyang-goyang, rambutnya yang pendek bergerak-gerak dan dua tangannya memegangi ujung kain yang menutupi tubuhnya agar tidak terbuka ketika dia berlari itu.
"Ya, lihat ini. Banyak sekali telur dan... dan lihat apa yang kudapatkan di bawah telur-telur ini...!"
"Ehhh...?" Sepasang mata yang indah itu terbelalak lebar. "Ada sebuah peti? Mengapa...? Bagaimana...?"
"Entahlah, Hong Ing. Mari bantu aku mengumpulkan telur-telur ini. Aku akan mengangkat petinya. Yang jelas, tempat ini dahulu pernah didatangi orang sebelum kita, buktinya peti ini terpendam di sini."
Hong Ing mengumpulkan telur-telur itu sambil memandang peti yang tidak berapa besar, yang sudah diangkat oleh Kun Liong dari dalam lubang itu.
"Apa isinya?"
"Kita bawa ke pondok dan kita buka di sana," kata Kun Liong.
Setelah mengangkat peti itu ke depan pondok, Kun Liong menunggu sampai Hong Ing menyimpan telur-telur itu ke dalam pondok dan keluar lagi. Kemudian mereka berdua membuka peti yang dipaku kuat-kuat itu. Namun dengan pengerahan tenaganya, mudah saja bagi Kun Liong untuk membuka penutup peti yang terbuat dari kayu yang tua dan kuat. Tutup peti terbuka, hati mereka tegang, dan mata mereka menjadi silau oleh cahaya berkeredepan ketika isi peti itu sudah tampak.
"Aihh..., harta pusaka yang amat banyak...!" Hong Ing berseru kaget, heran dan gembira. "Emas, perak, permata..., ahhh, kau menjadi orang kaya raya, Kun Liong!"
Akan tetapi Kun Liong tidak segembira Hong Ing. "Hemmm, untuk apa semua ini? Aku tidak butuh, dan yang menemukan adalah kita berdua. Biarlah semua ini untukmu, Hong Ing. Ambillah."
Hong Ing sudah memeriksa benda-benda itu, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri. Tentu saja dia senang sekali melihat benda-benda yang amat indah itu, yang merupakan perhiasan-perhiasan yang biasanya dipakai oleh puteri kerajaan! Dia tidak memperhatikan ucapan Kun Liong tadi, berkali-kali dia menggelengkan kepala dan mengeluarkan pujian sambil meneliti benda-benda itu berganti-ganti.
"Sayang...!"
Ucapan Kun Liong ini mengejutkan dan menyadarkan Hong Ing. Dia mengangkat muka dan memandang wajah pemuda gundul itu.
"Apa? Mengapa kau mengatakan sayang sesudah menemukan harta pusaka yang tak ternilai harganya ini?"
"Di sini, benda-benda ini tidak ada harganya sama sekali, Hong Ing. Aku akan jauh lebih bergembira kalau saja isi peti ini berupa alat-alat seperti gergaji, linggis, catut, golok dan lain-lain. Aku lebih membutuhkannya. Akan tetapi perhiasan..."
Dia lalu mengeluarkan benda itu satu demi satu dan ternyata pada bagian bawah masih terdapat tumpukan uang emas yang terukir aneh dan belum pernah mereka melihatnya. Kun Liong terus mengeluarkan semua benda itu dan tiba-tiba dia tertarik sekali kemudian mengambil sebuah benda yang terletak paling bawah, di dasar peti dan tadi tertutup oleh segala benda yang berkilauan itu. Sebuah kitab! Kitab yang sampulnya hitam dan sudah tua sekali.
Melihat betapa wajah Kun Liong berseri dan matanya bercahaya ketika melihat kitab tua yang butut itu, Hong Ing tertawa. "Waahhh, dasar kutu buku menemukan sebuah kitab kuno! Hemmm, sudah kubayangkan betapa engkau nanti tentu tak akan pernah berhenti membaca."
Akan tetapi Kun Liong tidak mempedulikan kata-kata Hong Ing. Dengan jantung berdebar tegang dia telah membalik sampul kitab dan membaca judul kitab itu yang tertulis tangan dengan huruf yang sangat kuat coretannya. Seolah-olah bukan tinta lagi yang membuat coretan itu dapat dibaca karena warna tinta hitam ini mulai meluntur, akan tetapi jelas tampak guratan-guratan yang kuat dan dengan kagum Kun Liong dapat melihat betapa tapak mauwpit (pensil bulu) meninggalkan guratan pada kertas seperti ukiran, sehingga andai kata tinta itu lenyap sama sekali pun, huruf-hurufnya masih dapat dibaca dengan jelas!
Judul itu hanya terdiri dari empat huruf saja yang berbunyi KENG LUN TAI PUN. Baru membaca judul ini saja, Kun Liong sudah harus memutar otaknya, alisnya berkerut dan dia berusaha untuk memecahkan artinya.
Huruf-huruf ini memiliki arti yang kalau dipecahkan banyak sekali maknanya, akan tetapi dia mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan Keng Lun adalah mengurai dan mengumpulkan yang dapat pula diartikan dengan menyelidiki atau menyusun setelah mengerti benar. Ada pun Tai Pun adalah pokok dasar atau aslinya!
Mulailah dia membuka-buka dan membalik-balik lembaran kitab itu dan betapa kaget dan girangnya ketika mendapatkan keterangan di sebelah delamnya bahwa kitab itu adalah kitab ilmu peninggalan dari Raja Bun Ong yang sakti dan bijaksana! Tepat seperti yang dikatakan oleh Hong Ing, segera Kun Liong lupa akan segala sesuatu dan ‘tenggelam’ di dalam kitab kuno itu!
Karena Hong Ing maklum akan kesukaan Kun Liong membaca kitab, yang diketahui dari percakapan-percakapan dengan pemuda itu, maka dara ini tidak mau mengganggunya. Setelah menaruh kembali benda-benda berharga itu di dalam peti dan menyimpan peti itu dalam kamarnya, tanpa berkata apa-apa Hong Ing lalu merebus sepuluh butir telur untuk Kun Liong. Setelah telur-telur itu masak, disuguhkannya kepada Kun Liong tanpa berkata apa-apa karena dia tidak mau mengganggu.
Akan tetapi Kun Liong menurunkan kitab itu dan memandang, tersenyum, lalu berkata, "Aihh... sudah kau rebus matang? Engkau juga harus makan telur, Hong Ing, baik untuk kesehatan."
Hong Ing tersenyum. "Tidak, Kun Liong. Aku tidak lapar, dan aku masih ingin menikmati dan mengagumi benda-benda pusaka tadi. Kau teruskanlah membaca kitab. Kitab apa sih itu?"
"Kitab kuno yang sukar sekali dimengerti isinya. Akan tetapi semakin sukar dimengerti, semakin menarik pula. Kitab kuno mempunyai sifat seperti wanita..." Kun Liong tertegun dan berhenti bicara, merasa telah kelepasan kata-kata.
"Hemmm, pendapatmu selalu aneh-aneh. Jadi kau anggap wanita itu sama dengan kitab kuno, makin sukar dimengerti makin menarik? Apakah aku sukar dimengerti, Kun Liong?"
Kun Liong tertawa. "Maaf, aku tidak bermaksud menyindir dirimu, Hong Ing. Wah, sedap baunya telur ini. Benarkah kau tidak mau mencicipi?" Kun Liong mengupas kulit telur yang masih panas itu.
Hong Ing menggerakkan kedua pundaknya. "Ihhh, aku selalu merasa tidak enak kalau menghadapi telur, apa lagi harus dimakan. Dan telur ini... mengapa agak lonjong dan ada bintik-bintiknya? Bukankah telur kura-kura bulat bentuknya? Jangan-jangan telur ular..."
"Ha-ha-ha, telur apa pun sama saja, sama enaknya. Asal jangan telur manusia!"
"Ihh! Jorok kau...!" Hong Ing mendengus lalu lari ke pondok, mengeluarkan perhiasan dari dalam peti dan mengaguminya di bawah sinar bulan.
Kun Liong tertawa-tawa, melanjutkan makan telur yang terasa enak sekali dan tahu-tahu sepuluh butir telur telah habis, pindah semua ke dalam perutnya!
Tengah malam baru saja lewat. Sinar bulan tinggal remang-remang karena tertutup awan. Akan tetapi Kun Liong masih belum memasuki pondok. Sudah sejak tadi Hong Ing rebah di atas dipan, tidak lagi mengagumi benda-benda berharga. Dia merasa heran mengapa Kun Liong belum juga memasuki pondok. Tak mungkin lagi untuk membaca kitab di luar karena sinar bulan terlalu suram. Dia lalu turun dari pembaringannya dan membuka pintu kamar, keluar pondok.
"Ahhh, benar-benar kutu buku." pikirnya ketika melihat Kun Liong rebah terlentang di atas pasir. Dia cepat menghampiri dan betapa herannya melihat Kun Liong tidak lagi membaca kitab, melainkan rebah terlentang, tertidur dengan kitab itu terletak di atas dadanya yang telanjang.
"Hemm, tertidur di sini, angin begini keras bertiup. Bisa masuk angin engkau! Kun Liong, bangunlah!"
Akan tetapi Kun Liong yang biasanya amat peka itu kini sama sekali tidak bergerak.
"Kun Liong...!"
Tetap saja pemuda itu tidak menjawab, bahkan bergerak pun tidak.
"Kun Liong..., bangunlah!" Hong Ing menyentuh lengan pemuda itu, dan dia terkejut bukan main. Lengan pemuda itu panas sekali! Celaka, pikirnya, tentu dia sakit, masuk angin dan terserang demam.
"Kun Liong...!" Dia memanggil dengan suara nyaring, akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak sadar, biar pun tubuhnya telah diguncang-guncang.
"Wah, dia pingsan...!" Hong Ing menjadi gelisah sekali.
Diamblinya kitab itu, diselipkan pada dadanya di balik kain, kemudian dia mengerahkan tenaga dan memondong tubuh Kun Liong yang sama sekali tak bergerak, tubuhnya panas dan mukanya merah seperti orang mabuk kebanyakan minum arak!
Semalam itu Kun Liong tidak sadar. Tidak tahu betapa Hong Ing menjaga dan duduk di sebelahnya dengan muka pucat dan penuh kekhawatiran. Hampir saja gadis ini menangis saking bingung hatinya. Diguncang-guncangnya tubuh Kun Liong, berkali-kali dipanggilnya namanya, dibasahinya muka pemuda itu dengan air, namun semalam suntuk Kun Liong tidak sadar, tenggelam ke dalam kepulasan yang amat dalam.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, barulah Kun Liong siuman. Dia membuka mata dan tiba-tiba mengeluh, "Aduhhh... gatalnya.. bukan main...!"
Bermacam perasaan mengaduk hati Hong Ing. Lega karena melihat pemuda itu siuman, mendongkol karena dia sampai harus menderita kekhawatiran semalam suntuk, dan juga geli mendengar keluh yang aneh itu!
Kun Liong lalu menggaruk-garuk kepalanya dengan sepuluh kuku jari tangannya sampai terdengar suara "kroook-krookk!" seolah-olah kuku jari tangannya itu akan mengupas kulit kepalanya! Akan tetapi mendadak dia meloncat turun dari pembaringan dan memandang kepada Hong Ing dengan mata terbelalak.
"Aihhh...! Kau... kenapa berada di kamarku? Ehhh, dan aku kenapa di sini, tidak di luar pondok?" Dia masih menggaruk-garuk kepalanya yang gatal-gatal akan tetapi matanya memandang Hong Ing penuh selidik.
Dara itu cemberut. "Hemm, kau tidak merasakan susah payahnya orang lain! Aku melihat kau pingsan di luar situ, maka terpaksa kupondong kau ke dalam kamarmu dan semalam suntuk aku tidak dapat tidur, gara-gara engkau yang seperti orang mati! Seluruh tubuhmu panas-panas dan kau sama sekali tidak dapat dibangunkan. Apa sih yang terjadi?"
Kun Liong melongo. "Ehh, mana kitabku?"
"Kitab...?" Tiba-tiba Hong Ing teringat dan dengan muka merah dia mengeluarkan kitab yang saking gelisahnya, semalam suntuk kitab itu masih terus menyelip di balik kainnya, menempel pada dadanya!
Kun Liong menerima kitab itu, merasakan betapa kitab itu hangat, maka mukanya pun menjadi merah, akan tetapi dia segera berkata, "Sungguh aneh. Aku sendiri tidak ingat. Ketika aku membaca kitab sambil makan telur, tiba-tiba aku merasa kepalaku pening dan mataku mengantuk. Tak tertahankan lagi kantuknya maka aku rebah di pasir dan... tidak tahu apa-apa lagi sampai sekarang ini, tahu-tahu sudah berada di sini. Jadi semalam aku pingsan...?"
"Hemm, tentu ada sesuatu dalam kitab itu!" Hong Ing berkata.
Kun Liong membalik-balik lembaran kitab dan menggelengkan kepala. "Kurasa tidak ada apa-apanya yang aneh, meski pun kitab ini adalah sebuah kitab yang mukjijat! Kitab yang mengandung pelajaran mengenai hidup, tentang perbintangan, dan latihan gerakan kaki tangan untuk membuat tubuh sehat dan panjang umur. Juga ada latihan pernapasan akan tetapi tidak mungkin membacanya karena membuat aku pusing dan mengantuk."
"Wah, jangan-jangan telur-telur itu...!"
Kun Liong teringat dan mengangguk-angguk. "Hemmm, mungkin saja, siapa tahu, tetapi... tubuhku terasa enak, hanya kepalaku ini, wah... gatalnya!" Dia menggaruk-garuk lagi.
"Biar kubuang saja telur-telur itu! Mungkin itu telur ular yang kulihat kemarin dulu."
"Eh, jangan! Jangan dibuang, Hong Ing. Buktinya aku tidak apa-apa. Telur itu enak sekali, menyehatkan badan."
"Kau benar-benar tidak apa-apa? Tidak panas lagi tubuhmu?"
"Tidak, aku merasa sehat segar."
"Hemm... syukurlah, aku lelah dan mengantuk, mau tidur..." Hong Ing lalu meninggalkan kamar itu.
"Hong Ing...!" Kun Liong melangkah maju dan memegang lengannya.
"Ada apa?" Dara itu mengerutkan alisnya dan memandang lengannya yang dipegang
Kun Liong melepaskan pegangannya. "Harap jangan marah, aku berterima kasih sekali kepadamu, Hong Ing. Maafkan aku, aku tidak tahu bahwa engkau telah bersusah payah menjagaku. Kau baik sekali dan..."
"Sudahlah, aku senang bahwa kau tidak apa-apa. Aku mau tidur, kau boleh membaca kitabmu sepuas hatimu."
Kun Liong yang ditinggal pergi menjatuhkan diri duduk di atas dipannya. Alisnya berkerut dan dia membolak-balik kitab di tangannya. Benar-benar ada persamaannya antara kitab ini dengan wanita! Mengapa Hong Ing kelihatan tidak senang sesudah melihat dia sehat dan tidak apa-apa, padahal gadis itu semalam suntuk mengkhawatirkan keadaannya?
Tentu saja dia tidak tahu! Memang wanita itu mempunyai sifat yang aneh. Wanita itu ingin sekali merasakan bahwa dia dibutuhkan, bahwa dia diperlukan dan ingin dia lihat bahwa tanpa dia, pria akan kehilangan dan tidak berdaya!
Tanpa disadarinya sendiri, perasaan demikian itu ada pula di dalam lubuk hati Hong Ing. Melihat Kun Liong pingsan dan tak berdaya, dia merasa amat khawatir, akan tetapi dalam melakukan pertolongan itu, dia merasa betapa pemuda itu amat membutuhkan dia. Kini, biar pun hatinya lega bahwa Kun Liong tidak sakit, namun ada juga perasaan kecewa karena kini dia tidak dibutuhkan lagi! Memang aneh, namun demikian kenyataannya.
Dua bulan lewat dengan cepatnya. Semua telur yang ditemukan itu telah habis dimakan Kun Liong, dan dia makin tekun membaca kitab kuno peninggalan Kaisar Bun Ong. Dapat dibayangkan betapa girang hatinya ketika dia mulai melatih diri dengan ilmu pernapasan dan gerakan kaki tangan yang terdapat di dalam kitab, dia merasa tubuhnya makin segar dan kuat, penglihatannya terang dan semangatnya tinggi, membuat wajahnya selanjutnya selalu berseri dan matanya bersinar-sinar, memandang dunia ini sebagai tempat yang amat indah.
Beberapa kali dia membujuk Hong Ing untuk mempelajari isi kitab, akan tetapi dara itu tidak mau, apa lagi setelah mendengar penuturan Kun Liong tentang isi kitab yang hanya mengajarkan urusan kebatinan dan latihan pernapasan. Bahkan gerakan kaki tangan itu sama sekali bukan gerakan ilmu silat, hanya ditujukan untuk menyehatkan tubuh seperti yang dimaksudkan oleh kitab itu.
Bun Ong adalah seorang Kaisar yang maha besar dan amat bijaksana. Kebijaksanaannya amat terkenal semenjak sejarah berkembang, bahkan kebijaksanaan Kaisar Bun Ong ini dipuji-puji dan dijadikan contoh oleh Nabi Khong Hu Cu!
Kaisar Bun Ong adalah Kaisar pertama dari Kerajaan Cou (tahun 1050 sebelum Masehi), lima ratusan tahun sebelum Nabi Khong Hu Cu, seorang Kaisar yang terkenal sebagai seorang manusia setengah dewa, bahkan terkenal pula sebagal Thian-cu (Utusan Tuhan) yang bijaksana dan amat pandai! Juga puteranya, Kaisar Bu Ong, amat terkenal sebagai pengganti dan penerus kebijaksanaan ayahnya. Maka, sungguh merupakan kebahagiaan besar bagi Kun Liong yang secara kebetulan bisa menemukan sebuah kitab peninggalan Kaisar itu!
Kitab itu berisi petunjuk-petunjuk tentang hidup, tentang kebatinan, tentang perbintangan. Semakin terbuka mata hati Kun Liong ketika membaca kitab kuno ini, semakin mendalam pengertiannya tentang kekuasaan yang disebut Tao. Hanya namanya saja yang berbeda, akan tetapi pada hakekatnya, Tao dapat juga disebut Tuhan, Kebenaran, Cinta Kasih, dan sebagainya.
Cinta Kasih tak dapat juga diraba, tak dapat dikejar. tak dapat dimiliki atau digenggam, tak dapat dilatih atau dipelihara. Cinta Kasih tidak mempunyai sasaran seperti benci, duka, marah, iri dan lain-lain. Cinta Kasih yang sudah mempunyai sasaran bukanlah cinta kasih lagi namanya.
Sasaran (object) timbul karena adanya ‘aku’, dan ‘aku’ tidak mungkin mencinta, karena kalau ada ‘aku’ yang mencinta, cinta itu hanya menjadi alat untuk mencapai sesuatu demi keuntungan lahir mau pun batin dari si ‘aku’ ini. Cinta Kasih, Tao, Tuhan, Kebenaran dan sebagainya sudah ada, akan tetapi menjadi tidak ada atau tidak dapat dimengerti karena terselubung oleh asap nafsu keinginan yang dibuat oleh si ‘aku’, asap yang membuat mata kita menjadi buta.
Tentu saja tidak mungkin dalam keadaan seperti buta itu hendak mencari dan mengerti Tao, mengerti Cinta Kasih, mengerti Tuhan. Segala macam asap itu yang dapat berupa kebencian, kemarahan, kekerasan, kekejaman, iri hati, kedukaan, keinginan, semua ini harus lenyap dulu, barulah mata akan menjadi terang untuk dapat melihat Cinta Kasih. Barulah Cahaya itu akan cemerlang dan tampak.
Segala macam bentuk nafsu tidak dapat dilenyapkan dengan paksaan, dengan kemauan, karena hal itu akan sama halnya dengan api dalam sekam, memang tidak bernyala lagi, tapi masih ada dan membara, dan sewaktu-waktu akan bernyala lagi kalau mendapatkan angin dan bahan bakarnya!
Untuk terbebas dari itu semua, kita harus menghadapinya langsung, memperhatikannya, mengenalnya dari awal sampai akhir, mengenal sampai ke akar-akarnya segala nafsu itu, berarti kita harus MENGENAL DIRI SENDIRI berikut segala macam nafsu yang bukan lain adalah si ‘aku’ atau si pikiran.
Setiap hari Kun Liong tenggelam ke dalam isi kitab ini, dan sungguh pun itu terlalu dalam, bahkan kadang-kadang membuat dia termangu-mangu, merasa mengerti akan tetapi juga masih merasa bingung dan ruwet, namun dia sadar bahwa isi kitab itu penting bukan main dan bahwa kitab itu merupakan peninggalan yang amat berharga, malah ribuan kali lebih berharga dari pada sepeti emas permata yang disimpan oleh Hong Ing itu. Maka mulailah timbul kekhawatirannya kalau-kalau kitab itu akan terampas oleh orang lain dan mulailah dia mencarikan tempat penyimpanan yang tersembunyi dan rahasia di atas pulau itu.
Pada suatu pagi, Kun Liong bangun sambil menggaruk-garuk kepalanya. Entah mengapa, selama dua bulan ini, semenjak dia menemukan kitab dan harta pusaka, kepalanya selalu terasa gatal kalau dia bangun tidur di waktu pagi. Sudah beberapa kali dia memeriksanya, akan tetapi tidak ada perubahan sesuatu pada kepalanya, masih tetap licin dan halus, tidak ada tanda luka atau bintik yang menimbulkan gatal-gatal. Dia menggaruk kepalanya dan perutnya berkeruyuk.
Hemm, sepagi itu, seperti biasa setelah dia mandi, tentu dia akan menghadapi sarapan yang sudah dibuat oleh Hong Ing. Teringat akan ini, dia tersenyum. Sudah terbayang dia akan melihat dara yang makin lama semakin cantik jelita itu, makin panjang rambutnya, dengan pakaian yang sederhana, menampakkan bentuk serta lekuk lengkung tubuhnya yang makin matang sehingga sering kali membuat Kun Liong terpesona dan memaksanya menelan ludah. Tapi anehnya, tidak seperti ketika menghadapi gadis-gadis lain, terhadap Hong Ing dia tak pernah berani menggodanya, bahkan selalu berjaga-jaga agar bersikap sopan!
Dia meloncat turun, lari melalui pintu belakang ke sumber air yang berada di tengah pulau di dalam hutan kecil, menanggalkan pakaiannya dan sebelum terjun ke air, lebih dulu dia berjongkok di tepi kolam air yang jernih untuk memandangi bayangan mukanya sendiri. Kemarin sore dia melihat dari jauh, secara sembunyi, betapa Hong Ing juga berjongkok seperti itu, bercermin di permukaan air sambil mengatur-atur rambutnya.
Seraut wajah yang kurus menyambutnya di air. Yang mula-mula menarik ialah sepasang mata bayangan itu. Mata yang seperti mata setan, celanya di dalam hatinya. Mata yang hitamnya terlalu hitam dan putihnya terlalu putih, seperti mata seorang penyelidik. Tentu mendatangkan rasa tidak senang, terutama sekali Hong Ing, kalau dipandang oleh mata semacam ini! Muka yang dagunya agak meruncing dan terlalu halus untuk seorang pria! Lebih-lebih kepala itu. Menjijikkan! Tak pernah dicukur akan tetapi kelimis. Lalat pun akan terpeleset hinggap di atasnya! Tentu menjijikkan, apa lagi dalam hati seorang dara seperti Hong Ing.
Akan tetapi sikap Hong Ing kadang-kadang manis sekali kepadanya, malah terlalu manis! Mungkinkah wajah yang begini dapat menarik hati seorang dara sejelita Hong Ing? Tidak mungkin! Tentu hanya karena kasihan. Phuhh, dia tidak membutuhkan rasa iba dari siapa pun juga. Meski pun dari Hong Ing sekali pun, dia tidak mau seperti seorang pengemis yang mengulurkan tangan mohon kasihan!
"Hah! Sialan...!" Dia membenamkan kepalanya ke dalam air, dalam-dalam dan lama-lama, sampai dia gelagapan dan mengangkat lagi kepalanya dari dalam air untuk bernapas.
Air kembali diam setelah tadi berombak keras ketika dimasuki kepalanya dan kembali dia memandang ke bawah. Muka itu kini basah kuyup, air menetes-netes dari hidung, dan muka itu agak kemerahan, mata itu menjadi agak merah, dan mulut itu mengejek. Huh, makin buruk!
"Biarlah si buruk rupa tinggal dalam keburukannya!" Dia berkata keras-keras dan kembali dia membenamkan kepalanya, kini bahkan sambil meloncat ke depan.
Air muncrat dan Kun Liong pun mandi, menggosok-gosok keras seluruh tubuhnya dengan penuh semangat, seolah-olah dia hendak melampiaskan kegemasannya kepada daki-daki yang dia bersihkan dari kulit tubuhnya...
Hong Ing menarik napas panjang, menggunakan sebuah sisir bambu buatan Kun Liong menyisiri rambutnya yang panjangnya sudah ada sejari.
"Hemm, betapa senangnya. Kita sudah punya rumah! Baru aku merasa sebagai manusia, bukan seperti binatang yang bersarang di dalam goa kotor!"
Kun Liong menoleh dan memandang wajah dara itu. Kebetulan cahaya bulan menimpa wajah itu sepenuhnya, membuat wajah dara itu tampak seperti disepuh emas, cemerlang dan indah sekali. Senyum di bibir yang manis itu kelihatan sangat indahnya, indah dan halus seperti sajak sasterawan di jaman dahulu. Kun Liong terpesona!
Pada waktu Hong Ing melirik, pandang mata mereka bertemu dan dara itu memperlebar senyumnya. Kun Liong gelagapan karena senyum dan pandang mata dara itu membuat dia merasa seperti seorang maling tertangkap basah!
Cepat dia menutupi kecanggungannya dengan pertanyaan. "Benar-benarkah kau merasa senang, Hong Ing?"
Dara itu menunda sisirnya dan memandang wajah Kun Liong, senyumnya masih cerah dan dia mengangguk. "Senang sekali. Engkau pandai sekali, Kun Liong. Apakah tidak ada yang tak dapat kau lakukan? Apa saja engkau bisa! Ilmu silatmu tinggi, kau juga pandai kesusastraan. Bahkan pandai berfilsafat. Dapat mengobati kakiku, pandai menghibur dan sekarang kau bahkan menjadi tukang kayu, tukang batu, pembuat sisir, penangkap ikan dan burung, pemasak daging... wah, apa yang kau tidak bisa?"
Merah wajah Kun Liong saking senangnya dengan pujian ini. Dia menunduk dan sambil tersenyum dia berkata, "Ahh, kau melebih-lebihkannya saja. Sebuah pondok butut seperti ini..."
"Tapi kokoh kuat... bukan, Kun Liong?"
"Ya, cukup kuat. Tak usah kau khawatir. Ular dan segala binatang takkan dapat masuk. Lagi pula, di sini tidak ada binatang buasnya."
"Kau memang pandai dan rendah hati..."
Kun Liong senang sekali, kepalanya menunduk. Hong Ing tidak berbicara lagi, dan ketika diam-diam Kun Liong mengerling, dara itu tidak memandangnya, melainkan sedang sibuk menyisir rambutnya dan memandang ke arah bulan purnama. Betapa indahnya gerakan itu menyisir rambut!
Kepalanya agak dimiringkan sehingga separuh mukanya tertimpa cahaya bulan. Kedua matanya terlihat berkilauan dan memantulkan sinar bulan yang redup dan sejuk. Bibirnya bergerak-gerak, kadang-kadang mulut yang manis itu agak terbuka menahan rasa perih ketika sisirnya macet pada rambut yang lengket. Walau pun rambut itu panjangnya baru sejari, sudah kelihatan berombak, maka sering kali sisirnya macet. Dengan tangan kanan memegang sisir dan tangan kiri menata rambut, dara itu mengangkat kedua lengannya sehingga tampaklah sedikit bulu halus di ketiaknya yang tidak tertutup.
Kun Liong terpesona. Betapa hebatnya daya tarik seorang wanita kalau sedang bersolek! Dan Hong Ing adalah seorang wanita yang luar biasa, memiliki kecantikan yang khas dan aneh. Apa lagi kini hanya mengenakan pakaian yang tidak lengkap itu.
Aku cinta kepadanya! Kun Liong terkejut sendiri. Bodoh, bantah suara lain di kepalanya yang gundul. Kau hanya menganggap saja ini cinta, padahal tak lain dan tak bukan hanya perasaan tertarik oleh keindahan bentuk tubuh yang bulat itu, kecantikan wajah yang telah dipercantik lagi oleh cahaya bulan purnama, dan suasana yang sunyi di mana hanya ada mereka berdua!
Bukan! Bukan cinta! Dia tidak akan dapat mencinta seorang yang bagaimana pun, karena dia tahu sekali bahwa cintanya itu dikotori oleh keinginan memiliki, keinginan membelai dan merayu, keinginan yang terdorong nafsu birahi!
Tidak! Dia tidak mencinta, hanya memang dia suka, bahkan tergila-gila oleh kecantikan Hong Ing. Sama saja dengan rasa sukanya kepada dara-dara yang lain, termasuk Lim Hwi Sian yang bahkan sudah menyerahkan badannya kepadanya.
Hwi Sian telah menyerahkan tubuhnya kepadanya karena mencintanya, kata data itu! Dan bagaimana dengan Hong Ing? Hong Ing telah merasa berhutang budi kepadanya, dan mereka hanya tinggal menyendiri di pulau kosong ini, dengan pakaian yang begitu minim! Bagaimana kalau mereka berdua terseret oleh godaan nafsu birahi?
"Tidak boleh!"
Hong Ing terkejut sekali, sisirnya hampir terlepas ketika mendadak Kun Liong menampar kepala gundulnya sendiri! Kun Liong sendiri merasa terkejut dan baru sadar bahwa dia tadi menjadi begitu gemas kepada dirinya sendiri sampai dia menampar kepalanya!
"Ehh, ada apakah?"
Tentu saja wajah pemuda itu menjadi merah sekali, merah sampai ke kepalanya bukan hanya merah karena tamparannya. "Ehh... ohh... tidak apa-apa, aku hanya termenung..."
"Mengapa termenung sambil menampar kepala sendiri?"
"Eh... anu... tadi ada seekor nyamuk menggigit kepalaku..." Kun Liong menggosok-gosok telapak tangannya seolah-olah ada nyamuk mati mengotori tangan itu.
"Hi-hik, kau memang aneh. Mengapa ada nyamuk diajak bicara dan kau membentak tidak boleh? Lucu sekali!"
"Aku tidak ingat lagi, mungkin karena termenung tadi..."
Kembali terdengar dara itu terkekeh geli. Hemmm, dia mulai menertawakan aku. Aku Si Kepala Gundul ini, pemuda miskin, yatim piatu, mana ada harganya bagi seorang dara seperti Hong Ing? Bayangkan saja! Seorang pangeran gagah tampan, putera seorang Kaisar yang tentu saja kaya raya, namun masih ditolak Hong Ing! Apa lagi dia! Seperti seekor anjing merindukan kelinci di bulan!
"Kun Liong, kau jangan suka melamun seperti itu. Orang melamun, sering bicara sendiri, memukul kepala sendiri hemmm, seperti orang tidak waras saja..."
Ahh, dia bahkan mulai mengatakan aku tidak waras, sama dengan memaki gila!
"Memang, kadang-kadang aku seperti gila, Hong Ing."
Hong Ing cepat-cepat memandang wajah Kun Liong, agaknya dapat menangkap nada marah di dalam ucapan pemuda itu, alisnya diangkat tinggi-tinggi dan matanya menyapu penuh selidik.
Akan tetapi Kun Liong sudah menunduk dan tidak bicara lagi. Dia tidak melihat betapa dara itu tersenyum geli melihat dia menunduk dengan wajah bersungut-sungut dan mulut cemberut.
Hening sampai agak lama. Kadang-kadang apa bila Kun Liong mencuri pandang dengan kerling sekilat, dia melihat dara itu masih bersila dan menengadah, memandang ke bulan.
Rasa mendongkol di hati Kun Liong tidak dapat bertahan lama. Mana mungkin dia dapat marah lama-lama kepada seorang dara yang kelihatan begitu tidak berdaya, yang sudah mengalami penderitaan seperi itu dan amat membutuhkan perlindungan? Tidak mungkin dia bisa sekejam itu.
Heran dia. Kenapa Hong Ing memilih menjadi nikouw, bahkan sekarang memilih menjadi seorang buruan yang terlunta-lunta, dari pada menjadi isteri seorang pangeran yang kaya raya dan berkuasa? Mengapa memilih hidup sengsara kalau kehidupan mulia terbentang di depan kakinya?
Tiba-tiba dia teringat. Sebetulnya dia belumlah mengenal gadis ini sungguh-sungguh, dan dia mengerti dan mengenalnya hanya menurut cerita gadis itu sendiri. Hong Ing adalah murid Go-bi Sin-kouw, seorang tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi. Siapa tahu isi hati gadis itu?
Kakak seperguruan gadis ini, yaitu nona Lauw Kim In, menurut cerita Hong Ing, juga mau diambil kekasih oleh seorang pemuda iblis macam Ouwyang Bouw! Siapa tahu, gadis ini mendekatinya karena memang ada pamrih sesuatu. Bokor emas! Semua tokoh kang-ouw agaknya menduga keras bahwa dialah yang menyembunyikan bokor emas asli, pusaka Panglima The Hoo yang diperebutkan itu!
Dia mengerling kembali dan melihat bahwa Hong Ing sudah berhenti menyisir rambutnya. Rambut itu hitam mengkilap, menghias kepala dara itu sehingga kepala itu tampak seperti setangkai bunga mawar! Manisnya bukan main!
"Hong Ing..." Kun Liong berhenti sebentar karena jantungnya berdebar oleh dugaan yang bukan-bukan tadi dan oleh ketegangan usahanya untuk memancing dan menyelidiki.
"Hemm..." Hong Ing menoleh, mereka saling berpandangan dan kembali Kun Liong yang terlebih dahulu harus menundukkan kepalanya yang gundul karena pandang mata dara itu seolah-olah memiliki daya menembus sampai ke dalam dadanya.
"Mengapa engkau menolak pinangan Pangeran Han Wi Ong? Dia putera Kaisar dan..."
"...dan aku tidak mencintanya!" Hong Ing menyambung cepat.
"Tapi… dia putera Kaisar, berkuasa dan kaya raya, dia tampan dan gagah pula."
"Biar pun dia seratus kali lebih berkuasa, kaya raya, dan tampan gagah, kalau aku tidak mencinta, apakah aku harus memaksa diri?"
"Agaknya engkau amat mementingkan cinta dalam perjodohan."
"Tentu saja! Menikah tanpa cinta sama dengan memasuki gerbang neraka."
"Hemmm..."
"Apakah kau tidak berpendapat demikian, Kun Liong?"
"Entahlah. Hanya... kasihan Pangeran Han Wi Ong..."
"Ahhh, salah mereka sendiri! Laki-laki yang tidak tahu diri! Betapa banyaknya pria yang hendak memaksakan cintanya kepada seorang wanita. Kalau ditolak, adalah kesalahan mereka sendiri, mengapa harus dikasihani?"
Kun Liong mengangkat muka memandang wajah itu dan tampak olehnya betapa wajah yang cantik itu dihias senyum mengejek, agaknya merasa jijik terhadap cinta kaum pria!
"Banyakkah sudah kau dicinta orang?"
"Banyak sekali!"
"Hemmmm..."
"Mengapa mengeluh?"
"Pantas kau berani menolak cinta seorang pangeran. Kiranya banyak pria yang tergila-gila kepadamu!"
"Apa salahnya?"
"Tidak apa-apa, aku hanya... hemmm, tidak ada seorang pun yang mencintaku."
"Ahh masa?! Kau seorang pemuda yang gagah dan tampan, pandai mengendalikan diri, berbudi mulia suka menolong orang lain tanpa pamrih..."
"Betapa pun, tidak ada yang mencintaku seperti begitu banyak pria mencintamu..."
"Kalau ada yang mencintamu...?"
"Tidak mungkin! Gundul miskin seperti aku, lebih pantas disebut jembel, mana mungkin... Ahh, betapa pun juga aku tidak sudi menikah selama hidupku."
"Heiii! Mengapa?"
"Perempuan di dunia ini sama saja..."
"Wah, agaknya mendalam sekali pengetahuanmu tentang perempuan! Dari mana semua pengetahuanmu itu? Dari buku pula?" Nada suara Hong Ing amat mengejek dan pandang matanya seperti seorang ibu guru memandang seorang murid cilik yang bodoh dan nakal!
Akan tetapi Kun Liong tak mempedulikan nada suara dan pandangan itu, lalu melanjutkan dengan keras kepala, "...sekali seorang laki-laki mengambil perempuan sebagai isterinya, maka akan celakalah dia! Hidupnya akan merupakan siksaan, karena perempuan yang menjadi isterinya akan selalu menguasainya, mengikatnya, merongrongnya. Akhirnya dia akan kehilangan kebebasannya dan menyesal pun sudah terlambat!"
"Wah! Seperti itukah penilaianmu terhadap perempuan? Kau menganggap bahwa semua wanita itu seperti yang kau ceritakan tadi? Dan kau mengira bahwa semua pria memiliki pendirian seperti engkau, hidupnya dirusak oleh isteri? Betapa sombongmu, Kun Liong!"
Akan tetapi Kun Liong tak peduli. Betapa pun menariknya Hong Ing hingga membuat dia terpesona, membuat hatinya lemah, namun yang di hadapannya ini tidak lain juga hanya seorang wanita! Maka dia melanjutkan kembali, suaranya penuh semangat seakan-akan dia mempertahankan pendiriannya mati-matian terhadap serangan dari luar.
"Aku tak akan sudi menikah, kecuali dengan seorang wanita yang selalu menjadi idaman hatiku semenjak aku kecil!"
"Waduh! Kecil-kecil sudah mengidamkan seorang wanita! Hebat kau, Kun Liong!" Suara Hong Ing mengejek sekali, bahkan diperkuat dengan senyum simpulnya, membuat hati Kun Liong makin panas. "Wanita seperti apa sih, idaman hatimu itu?"
"Aku baru mau menikah dengan seorang wanita yang halus budi bahasanya, manis tutur sapanya, lemah lembut geraknya, suaranya seperti nyanyian burung di waktu pagi, tutur sapanya bagaikan hembusan angin lalu sepoi-sopi, gerak-geriknya seperti batang pohon yangliu tertiup angin, tidak hanya cantik jelita pada lahir saja, melainkan lebih cantik lagi di batinnya, penyabar, ramah, tidak pernah cemburu, keibuan, taat, setia, dan..."
"Pendeknya, wanita yang luar biasa tidak ada cacat celanya, seperti bidadari kahyangan yang diceritakan di dalam dongeng! Seperti... seperti Kwan Im Pouwsat sendiri! Seperti... ah, perempuan idamanmu itu harus dilahirkan lebih dulu, Kun Liong. Thian harus membuat perempuan itu khusus untukmu seorang, untuk seorang pria sombong yang sesombong-sombongnya, tolol yang setolol-tololnya dan.. dan..."
"Maaf, Hong Ing..." Kun Liong terkejut juga melihat dara itu bangkit berdiri, menegakkan kepala dan matanya seperti dua bola api hendak membakarnya. Seluruh sikapnya jelas menunjukkan kemarahan yang ditahan-tahan, ada pun suaranya bercampur napas sesak seperti mau menangis!
"...dan... dan... perutku menjadi mual melihatmu!" Setelah melontarkan kata-kata terakhir itu, dengan langkah gontai, dengan pinggul menonjol padat terbayang di balik kain yang sederhana dan pendek itu, Hong Ing pergi meninggalkan Kun Liong, menaiki anak tangga lalu masuk ke pondok kecil itu. Terdengar dia menutupkan pintu kamar keras-keras, dan tampak dari luar daun jendela juga dihempaskan kuat-kuat!
Kun Liong masih duduk di pasir, bengong terlongong memandang ke arah pondok, hatinya bingung sekali. Akhirnya dia pun menarik napas panjang, menekan penyesalan hatinya. Kenapa dia harus menyesal melihat Hong Ing marah-marah? Biarlah, bila dara itu merasa sakit hati, dia sudah menguras isi hatinya, sudah mengemukakan pendapatnya tentang wanita. Dia tidak akan jatuh cinta seperti pria-pria tolol itu, seperti Pangeran Han Wi Ong, seperti Yuan, dan yang lain-lain. Dia ingin terus bebas!
Kembali dia menarik napas panjang. Betapa sunyinya setelah Hong Ing pergi ke pondok. Alangkah menjemukan keadaan sekelilingnya. Cahaya bulan tidak gemilang seperti sinar keemasan lagi, melainkan mendatangkan kepucatan yang hampa!
Mengapa dia menyesal telah menyakitkan hati Hong Ing? Bukankah dara itu malah yang menyakitkan hatinya? Mula-mula mengatakannya tidak waras alias gila! Kemudian apa yang dikatakannya dalam kalimat-kalimat terakhir ketika marah tadi? Bahwa dia adalah seorang pria yang ‘sombong sesombong-sombongnya, tolol setolol-tololnya’ dan bahwa dia ‘memualkan perutnya’!
"Hemmm...!" Keluhan ini keluar dari dadanya menyesak kerongkongannya.
Dia menengadah. Bulan purnama tersenyum mengejek kepadanya, seperti senyum Hong Ing yang tadi mengejeknya. Dia memandang marah. Ingin dia dapat melumuri muka bulan dengan pasir di tangannya. Akan tetapi awan membantunya. Awan putih tebal merayap lewat, menyembunyikan bulan yang kini hanya tampak sebagai bulatan yang pucat tak berdaya. Seperti Hong Ing!
Dara itu menderita hebat! Di pulau kosong, hanya bersama dia, namun apa yang sudah dia lakukan? Menyakitkan hatinya! Ah, betapa kejamnya dia! Biar pun dia tidak mau jatuh cinta kepada wanita mana pun juga, akan tetapi tidak selayaknya dia menyakitkan hati Hong Ing seperti itu!
Kun Liong mulai merasa menyesal, bukan menyesal karena pendiriannya tentang wanita seperti yang telah diucapkannya itu, melainkan menyesal terdorong oleh rasa iba kepada nasib Pek Hong Ing yang tak semestinya dia tambah lagi dengan ucapan yang membuat dara itu sakit hati.
Teringatlah dia akan sekumpulan batu bulat putih yang selama beberapa hari ini sudah dikumpulkannya secara diam-diam, yang didapatnya di dasar laut yang jernih dan dangkal di sudut pulau saat dia mencari ikan. Batu-batu seperti mutiara besar itu dikumpulkannya dengan maksud untuk kelak setelah cukup banyak akan diuntai menjadi kalung dan akan diberikan kepada Hong Ing! Kini, mengingat betapa dara itu mungkin menangis di dalam pondok, perasaan menyesal membuat Kun Liong segera teringat akan benda yang akan dihadiahkannya kepada gadis itu.
Maka dia lalu cepat-cepat meninggalkan tempat itu, menuju ke sudut pulau dan di bawah penerangan bulan purnama, mulailah dengan tekun dia mengumpulkan batu-batu bulat putih yang berkilauan itu. Dia melupakan hawa dingin, menanggalkan semua pakaiannya yang hanya berupa celana semacam cawat lebar, menyelam ke dalam air dan mencari batu-batu itu sampai semalam suntuk!
Dia sama sekali tidak tahu bahwa dari tempat yang agak jauh, Hong Ing bersembunyi di balik batu karang sambil mengintai. Berulang kali dara ini menghela napas panjang akan tetapi tak berani mendekat mau pun memanggil karena melihat betapa pemuda itu dalam keadaan telanjang bulat!
Akhirnya Hong Ing pergi meninggalkan tempat persembunyiannya. Ia menggeleng-geleng kepalanya dan terdengar berkata seorang diri, sangat lirih, "Orang aneh dia... apa-apaan malam-malam begini mandi seorang diri dan menyelam sampai begitu lama!"
Hubungan antara kedua orang muda itu agak renggang semenjak pertengkaran di malam bulan purnama itu. Hong Ing bersikap menunggu keramahan Kun Liong, agaknya tak mau tunduk dan tidak mau atau enggan untuk ‘berbaik dulu’. Sebaliknya, Kun Liong merasa malu akan sikap dan kata-katanya pada malam hari itu, karena itu dia seolah menghindari percakapan dengan dara itu.
Mereka hanya tampak berdua di waktu Kun Liong menyerahkan ikan atau burung yang ditangkapnya, dengan beberapa ikat daun yang sudah dipilihnya dan yang ternyata dapat dimasak dan dimakan. Atau mereka berkumpul hanya pada waktu Hong Ing telah selesai memanggang daging atau memasak sayur menggunakan panci-panci tanah yang dibuat oleh Kun Liong. Tetapi mereka berdua seolah-olah membatasi percakapan, mungkin juga khawatir kalau-kalau mereka terpancing dan bentrok lagi dalam perbantahan.
Akan tetapi pada malam hari itu, sepekan setelah mereka seolah-olah saling menjaga diri, Kun Liong berjalan menghampiri Hong Ing yang duduk seorang diri di luar pondok sambil memandangi bulan yang sudah tidak bulat lagi, tapi masih mampu menerangi permukaan laut dan pulau itu, membuat pasir kelihatan putih dan di sana-sini ada kerlipan pasir yang seperti menyembunyikan permata-permata kecil.
"Hong Ing..."
Dara itu terkejut. Kun Liong datang menghampirinya tanpa suara tadi, dan agaknya dia tidak menyangka-nyangka pemuda itu akan menghampirinya dan memanggilnya.
"Ehh, ada apa...?"
Kun Liong menghela napas panjang, duduk di depan dara itu dan mengulurkan tangan kanan yang memegang seuntai kalung batu putih yang berkilauan. Batu-batu itu sudah terkumpul dan sudah diasah sehingga rata dan sama, dilubangi dan diuntai dengan serat kulit pohon yang kuat, merupakan seuntai kalung batu putih yang indah sekali.
"Aku membuatkan kalung ini untukmu. Terimalah..."
Wajah itu berseri, sepasang mata itu terbelalak ketika tangannya menerima kalung itu, mulutnya tersenyum lebar dan hati Kun Liong berbunga!
"Aihhh... bagus sekali kalung ini...! Ehh, jadi selama berhari-hari ini kau tampak murung dan diam, kiranya kau sibuk membuat kalung ini, Kun Liong?"
"Ya... begitulah."
"Ahh, kusangka kau marah-marah."
"Kenapa mesti marah?"
"Malam itu aku telah membuatmu marah, mengatakan sombong dan tolol..."
"Dan bahwa aku memualkan perutmu. Mengapa, Hong Ing?"
"Masih adakah perempuan yang kau angan-angankan itu?"
"He... hemmm..."
"Jangan kau sebut-sebut lagi dia, atau perutku akan mual lagi."
"Maaf..."
"Kun Liong..."
"Hemm...?"
"Kau terlalu... terlalu canggung! Kau laki-laki jantan yang lemah! Kau... orang muda yang berpikiran tua! Kau... pria pandai yang tolol!"
"Hemm... maaf..." Kun Liong gagap dan bingung, tak tahu harus berkata apa.
"Dan engkau..." Hong Ing melanjutkan, matanya sayu menatap wajah Kun Liong seperti mengintai dari balik bulu mata yang hampir saling bertemu bagian atas dan bawahnya, suaranya agak tergetar akan tetapi bibirnya tersenyum mesra, "kau... kelak akan melihat bahwa perempuan khayalmu itu, yang tanpa cacad, akan hancur lebur, membuyar seperti awan tipis tersapu angin, bila mana sudah muncul seorang wanita dari darah daging yang hangat lembut, yang akan membuatmu bertekuk lutut, dan yang akan membuatmu suka mencium tapak kakinya..."
"Hemmm, tak mungkin!" Kun Liong menghardik, ditujukan kepada diri sendiri.
"Lihat sajalah kelak...!" Hong Ing tertawa kecil dan bersenandung, senandung yang dulu itu, tentang cinta. Suaranya merdu sekali, lirih dan seolah-olah bukan dari mulutnya suara itu mengalun, melainkan dari tengah lautan, datang menunggang angin yang bertiup silir semilir.
Cinta adalah Kehidupan
tanpa cinta hidup sama dengan mati
Cinta adalah Cahaya
tanpa cinta hidup gelap gulita
Cinta adalah Suci
tanpa cinta hidup bergelimang dosa
Hanya orang bijaksana saja mengenal Cinta
si dungu hanya mengejar nafsu!
Dahulu ketika Hong Ing menyanyikan lagu cinta ini di atas perahu peti mati, dia hanya mengagumi suara Hong Ing tetapi memandang rendah isi nyanyian itu yang dianggapnya sebagai pantun seorang buta yang memuji-muji setangkai bunga. Akan tetapi sekali ini, isi nyanyian itu seperti menyindirnya, terutama sekali baris terakhir ‘si dungu hanya mengejar nafsu!’
Entah kenapa, karena dia tidak mengakui cinta suci, dia merasa seolah-olah dialah yang dimaki ‘si dungu’ dalam nyanyian itu! Merasa seolah-olah tadi Hong Ing bukan bernyanyi, melainkan menuduh dan memakinya, otomatis dia menjawab,
"Memang aku dungu!"
"Heiiihhh... mengapa, Kun Liong?"
Ketika melihat wajah pemuda itu muram dan bersungut-sungut, Hong Ing tertawa geli sambil menutupi mulutnya. "Kau... ngambek (murung) lagi?"
"Tidak!"
Akan tetapi jawaban Kun Liong itu jelas menunjukkan kejengkelan hatinya, jawaban yang disentakkan dan pendek keras seperti batu karang! Hong Ing tertawa terkekeh, dan dia lalu berkata. "Kau sama sekali tidak dungu! Betapa bodohnya merasa diri dungu!"
Mulut Kun Liong semakin cemberut. Seenak perutnya sendiri saja! Dia memaki di dalam hati. Mengatakan tidak dungu akan tetapi memaki bodoh!
"Kun Liong..."
Tadinya Kun Liong tidak ingin menjawab, begitu marahnya hatinya. Akan tetapi panggilan itu drmikian merdu, terasa olehnya seperti mengelus hatinya, maka mau tidak mau dia menjawab,
"Apa?" Jawaban yang masih kaku.
"Maukah engkau menolongku?"
Kun Liong menoleh, memandang dan mereka saling pandang.
"Menolong apa, Hong Ing?" Lenyap sama sekali kemurungan dari wajah Kun Liong yang mengira bahwa dara itu tentu mengalami suatu kesulitan.
"Tolong kau kalungkan ini di leherku."
Sepasang mata Kun Liong terbelalak. Kalau saja tidak begitu girang hatinya dan begitu berdebar jantungnya, ingin dia menolak mentah-mentah untuk memperlihatkan perasaan marahnya. Akan tetapi dia girang sekali maka tanpa menjawab dia menerima kalung itu. Kalung yang begitu panjang, masa perlu dibantu untuk mengalungkannya?
Diterimanya kalung, didekatinya Hong Ing dan dikalungkannya benda itu melalui kepala yang berambut pendek itu, dikalungkan pada lehernya. Karena gerakan ini, kedua lengan Kun Liong seolah-olah hendak merangkul leher Hong Ing.
Dia menunduk, Hong Ing menengadah. Muka mereka saling berdekatan, begitu dekatnya sehingga terasa oleh Kun Liong hembusan napas hangat pada dagunya. Sepasang mata yang indah itu terpejam, bulu mata yang panjang lentik itu menebal karena merangkap, mulut itu sedikit terbuka.
Hampir Kun Liong tidak kuat menahan. Kalau bukan Hong Ing dara itu, tentu dia takkan sanggup bertahan lagi untuk tidak mendekap tubuh itu, mencium bibir itu. Namun dengan sentakan tiba-tiba dia menarik kedua tangannya dan melangkah mundur.
Hong Ing membuka matanya, tersenyum. "Terima kasih, kau baik sekali, Kun Liong,"
"Hemmm, aku seorang yang bodoh dan kasar, Hong Ing."
"Tidak! Akulah yang suka menggodamu, aku gadis tidak tahu budi orang. Kau maafkan aku, ya? Dan kau maafkan pula kesalahan-kesalahanku yang akan datang, mau kan?"
Kun Liong menjadi gemas, akan tetapi melihat wajah itu berseri dan tersenyum nakal, dia terpaksa tersenyum juga. Kiranya Hong Ing hanya pura-pura saja ketika marah, ketika diam, dan lain-lain. Hanya untuk menggodanya!
"Hong Ing, mari kita mencari telur."
"Ihhh, kau tahu aku tidak suka telur."
"Bukan untuk kau. Aku paling doyan telur. Kemarin aku melihat kura-kura besar sekali mendarat. Tentu dia akan bertelur. Senang sekali mencari telur kura-kura, seperti mencari pusaka saja. Kalau kita tepat menggali dan melihat telur di bawah pasir, aku tanggung kau akan menari kegirangan! Marilah!"
Seperti kanak-kanak keduanya berlari-larian di sepanjang pantai. Bahkan Kun Liong yang sudah terobati kemarahannya, memegang tangan Hong Ing. Mereka bergandeng tangan sambil berlari dan terdengar Hong Ing tertawa-tawa. Suasana memang amat romantis dan menggembirakan. Pasir yang lemas dan bersih. Laut yang tenang. Sinar bulan yang sejuk lembut.
Akan tetapi, tak jauh dari pondok itu Kun Liong sudah berhenti. "Di sinilah."
"Ahh, begini dekat? Kukira jauh!"
"Malam kemarin aku melihat ada kura-kura mendarat di sini."
"Akan tetapi beberapa hari yang lalu aku melihat binatang seperti ular merayap, hitam dan panjang. Ihh, aku masih ngeri kalau mengingatnya."
"Ular? Di sini? Benarkah itu?" Kun Liong bertanya, heran sekali. "Kenapa kau tidak bilang padaku?"
Hong Ing tersenyum lebar dan memicingkan sebelah matanya. "Habis, kau lagi ngambek sih! Aku tidak berani bicara padamu!"
Kun Liong tertawa. "Ahh, mungkin hanya belut atau ular laut yang terdampar dan terbawa oleh ombak ke darat. Hayo kita mencari telur kura-kura."
Kembali mereka bergembira, berlarian ke sana-sini, menggali-gali pasir dengan kaki dan tangan, seperti orang berlomba ingin lebih dulu menemukan telur kura-kura. Tidak mudah mencari telur kura-kura hanya dengan mengira-ngira seperti iiu. Biasanya orang mudah mencari telur kura-kura dengan jalan mengintai kalau ada kura-kura mendarat dan akan bertelur. Akan tetapi kalau tidak tahu di mana binatang itu bertelur, tidak ada terdapat tanda-tanda di mana tempat telur-telur itu. Kini pasir sudah rata kembali, diratakan oleh binatang yang mempunyai kebiasaan yang cerdik untuk menyembunyikan telur mereka terdorong naluri untuk menjaga lancarnya perkembang biakan mereka itu.
"Heii... Hong Ing...! Lihat ini...!"
Hong Ing yang sedang mencari di bagian yang agak jauh, datang berlari-lari menghampiri Kun Liong ketika mendengar teriakan pemuda itu.
"Ahh, kau sudah menemukannya...!" teriaknya sambil berlari.
Kalung panjang itu bergoyang-goyang, rambutnya yang pendek bergerak-gerak dan dua tangannya memegangi ujung kain yang menutupi tubuhnya agar tidak terbuka ketika dia berlari itu.
"Ya, lihat ini. Banyak sekali telur dan... dan lihat apa yang kudapatkan di bawah telur-telur ini...!"
"Ehhh...?" Sepasang mata yang indah itu terbelalak lebar. "Ada sebuah peti? Mengapa...? Bagaimana...?"
"Entahlah, Hong Ing. Mari bantu aku mengumpulkan telur-telur ini. Aku akan mengangkat petinya. Yang jelas, tempat ini dahulu pernah didatangi orang sebelum kita, buktinya peti ini terpendam di sini."
Hong Ing mengumpulkan telur-telur itu sambil memandang peti yang tidak berapa besar, yang sudah diangkat oleh Kun Liong dari dalam lubang itu.
"Apa isinya?"
"Kita bawa ke pondok dan kita buka di sana," kata Kun Liong.
Setelah mengangkat peti itu ke depan pondok, Kun Liong menunggu sampai Hong Ing menyimpan telur-telur itu ke dalam pondok dan keluar lagi. Kemudian mereka berdua membuka peti yang dipaku kuat-kuat itu. Namun dengan pengerahan tenaganya, mudah saja bagi Kun Liong untuk membuka penutup peti yang terbuat dari kayu yang tua dan kuat. Tutup peti terbuka, hati mereka tegang, dan mata mereka menjadi silau oleh cahaya berkeredepan ketika isi peti itu sudah tampak.
"Aihh..., harta pusaka yang amat banyak...!" Hong Ing berseru kaget, heran dan gembira. "Emas, perak, permata..., ahhh, kau menjadi orang kaya raya, Kun Liong!"
Akan tetapi Kun Liong tidak segembira Hong Ing. "Hemmm, untuk apa semua ini? Aku tidak butuh, dan yang menemukan adalah kita berdua. Biarlah semua ini untukmu, Hong Ing. Ambillah."
Hong Ing sudah memeriksa benda-benda itu, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri. Tentu saja dia senang sekali melihat benda-benda yang amat indah itu, yang merupakan perhiasan-perhiasan yang biasanya dipakai oleh puteri kerajaan! Dia tidak memperhatikan ucapan Kun Liong tadi, berkali-kali dia menggelengkan kepala dan mengeluarkan pujian sambil meneliti benda-benda itu berganti-ganti.
"Sayang...!"
Ucapan Kun Liong ini mengejutkan dan menyadarkan Hong Ing. Dia mengangkat muka dan memandang wajah pemuda gundul itu.
"Apa? Mengapa kau mengatakan sayang sesudah menemukan harta pusaka yang tak ternilai harganya ini?"
"Di sini, benda-benda ini tidak ada harganya sama sekali, Hong Ing. Aku akan jauh lebih bergembira kalau saja isi peti ini berupa alat-alat seperti gergaji, linggis, catut, golok dan lain-lain. Aku lebih membutuhkannya. Akan tetapi perhiasan..."
Dia lalu mengeluarkan benda itu satu demi satu dan ternyata pada bagian bawah masih terdapat tumpukan uang emas yang terukir aneh dan belum pernah mereka melihatnya. Kun Liong terus mengeluarkan semua benda itu dan tiba-tiba dia tertarik sekali kemudian mengambil sebuah benda yang terletak paling bawah, di dasar peti dan tadi tertutup oleh segala benda yang berkilauan itu. Sebuah kitab! Kitab yang sampulnya hitam dan sudah tua sekali.
Melihat betapa wajah Kun Liong berseri dan matanya bercahaya ketika melihat kitab tua yang butut itu, Hong Ing tertawa. "Waahhh, dasar kutu buku menemukan sebuah kitab kuno! Hemmm, sudah kubayangkan betapa engkau nanti tentu tak akan pernah berhenti membaca."
Akan tetapi Kun Liong tidak mempedulikan kata-kata Hong Ing. Dengan jantung berdebar tegang dia telah membalik sampul kitab dan membaca judul kitab itu yang tertulis tangan dengan huruf yang sangat kuat coretannya. Seolah-olah bukan tinta lagi yang membuat coretan itu dapat dibaca karena warna tinta hitam ini mulai meluntur, akan tetapi jelas tampak guratan-guratan yang kuat dan dengan kagum Kun Liong dapat melihat betapa tapak mauwpit (pensil bulu) meninggalkan guratan pada kertas seperti ukiran, sehingga andai kata tinta itu lenyap sama sekali pun, huruf-hurufnya masih dapat dibaca dengan jelas!
Judul itu hanya terdiri dari empat huruf saja yang berbunyi KENG LUN TAI PUN. Baru membaca judul ini saja, Kun Liong sudah harus memutar otaknya, alisnya berkerut dan dia berusaha untuk memecahkan artinya.
Huruf-huruf ini memiliki arti yang kalau dipecahkan banyak sekali maknanya, akan tetapi dia mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan Keng Lun adalah mengurai dan mengumpulkan yang dapat pula diartikan dengan menyelidiki atau menyusun setelah mengerti benar. Ada pun Tai Pun adalah pokok dasar atau aslinya!
Mulailah dia membuka-buka dan membalik-balik lembaran kitab itu dan betapa kaget dan girangnya ketika mendapatkan keterangan di sebelah delamnya bahwa kitab itu adalah kitab ilmu peninggalan dari Raja Bun Ong yang sakti dan bijaksana! Tepat seperti yang dikatakan oleh Hong Ing, segera Kun Liong lupa akan segala sesuatu dan ‘tenggelam’ di dalam kitab kuno itu!
Karena Hong Ing maklum akan kesukaan Kun Liong membaca kitab, yang diketahui dari percakapan-percakapan dengan pemuda itu, maka dara ini tidak mau mengganggunya. Setelah menaruh kembali benda-benda berharga itu di dalam peti dan menyimpan peti itu dalam kamarnya, tanpa berkata apa-apa Hong Ing lalu merebus sepuluh butir telur untuk Kun Liong. Setelah telur-telur itu masak, disuguhkannya kepada Kun Liong tanpa berkata apa-apa karena dia tidak mau mengganggu.
Akan tetapi Kun Liong menurunkan kitab itu dan memandang, tersenyum, lalu berkata, "Aihh... sudah kau rebus matang? Engkau juga harus makan telur, Hong Ing, baik untuk kesehatan."
Hong Ing tersenyum. "Tidak, Kun Liong. Aku tidak lapar, dan aku masih ingin menikmati dan mengagumi benda-benda pusaka tadi. Kau teruskanlah membaca kitab. Kitab apa sih itu?"
"Kitab kuno yang sukar sekali dimengerti isinya. Akan tetapi semakin sukar dimengerti, semakin menarik pula. Kitab kuno mempunyai sifat seperti wanita..." Kun Liong tertegun dan berhenti bicara, merasa telah kelepasan kata-kata.
"Hemmm, pendapatmu selalu aneh-aneh. Jadi kau anggap wanita itu sama dengan kitab kuno, makin sukar dimengerti makin menarik? Apakah aku sukar dimengerti, Kun Liong?"
Kun Liong tertawa. "Maaf, aku tidak bermaksud menyindir dirimu, Hong Ing. Wah, sedap baunya telur ini. Benarkah kau tidak mau mencicipi?" Kun Liong mengupas kulit telur yang masih panas itu.
Hong Ing menggerakkan kedua pundaknya. "Ihhh, aku selalu merasa tidak enak kalau menghadapi telur, apa lagi harus dimakan. Dan telur ini... mengapa agak lonjong dan ada bintik-bintiknya? Bukankah telur kura-kura bulat bentuknya? Jangan-jangan telur ular..."
"Ha-ha-ha, telur apa pun sama saja, sama enaknya. Asal jangan telur manusia!"
"Ihh! Jorok kau...!" Hong Ing mendengus lalu lari ke pondok, mengeluarkan perhiasan dari dalam peti dan mengaguminya di bawah sinar bulan.
Kun Liong tertawa-tawa, melanjutkan makan telur yang terasa enak sekali dan tahu-tahu sepuluh butir telur telah habis, pindah semua ke dalam perutnya!
Tengah malam baru saja lewat. Sinar bulan tinggal remang-remang karena tertutup awan. Akan tetapi Kun Liong masih belum memasuki pondok. Sudah sejak tadi Hong Ing rebah di atas dipan, tidak lagi mengagumi benda-benda berharga. Dia merasa heran mengapa Kun Liong belum juga memasuki pondok. Tak mungkin lagi untuk membaca kitab di luar karena sinar bulan terlalu suram. Dia lalu turun dari pembaringannya dan membuka pintu kamar, keluar pondok.
"Ahhh, benar-benar kutu buku." pikirnya ketika melihat Kun Liong rebah terlentang di atas pasir. Dia cepat menghampiri dan betapa herannya melihat Kun Liong tidak lagi membaca kitab, melainkan rebah terlentang, tertidur dengan kitab itu terletak di atas dadanya yang telanjang.
"Hemm, tertidur di sini, angin begini keras bertiup. Bisa masuk angin engkau! Kun Liong, bangunlah!"
Akan tetapi Kun Liong yang biasanya amat peka itu kini sama sekali tidak bergerak.
"Kun Liong...!"
Tetap saja pemuda itu tidak menjawab, bahkan bergerak pun tidak.
"Kun Liong..., bangunlah!" Hong Ing menyentuh lengan pemuda itu, dan dia terkejut bukan main. Lengan pemuda itu panas sekali! Celaka, pikirnya, tentu dia sakit, masuk angin dan terserang demam.
"Kun Liong...!" Dia memanggil dengan suara nyaring, akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak sadar, biar pun tubuhnya telah diguncang-guncang.
"Wah, dia pingsan...!" Hong Ing menjadi gelisah sekali.
Diamblinya kitab itu, diselipkan pada dadanya di balik kain, kemudian dia mengerahkan tenaga dan memondong tubuh Kun Liong yang sama sekali tak bergerak, tubuhnya panas dan mukanya merah seperti orang mabuk kebanyakan minum arak!
Semalam itu Kun Liong tidak sadar. Tidak tahu betapa Hong Ing menjaga dan duduk di sebelahnya dengan muka pucat dan penuh kekhawatiran. Hampir saja gadis ini menangis saking bingung hatinya. Diguncang-guncangnya tubuh Kun Liong, berkali-kali dipanggilnya namanya, dibasahinya muka pemuda itu dengan air, namun semalam suntuk Kun Liong tidak sadar, tenggelam ke dalam kepulasan yang amat dalam.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, barulah Kun Liong siuman. Dia membuka mata dan tiba-tiba mengeluh, "Aduhhh... gatalnya.. bukan main...!"
Bermacam perasaan mengaduk hati Hong Ing. Lega karena melihat pemuda itu siuman, mendongkol karena dia sampai harus menderita kekhawatiran semalam suntuk, dan juga geli mendengar keluh yang aneh itu!
Kun Liong lalu menggaruk-garuk kepalanya dengan sepuluh kuku jari tangannya sampai terdengar suara "kroook-krookk!" seolah-olah kuku jari tangannya itu akan mengupas kulit kepalanya! Akan tetapi mendadak dia meloncat turun dari pembaringan dan memandang kepada Hong Ing dengan mata terbelalak.
"Aihhh...! Kau... kenapa berada di kamarku? Ehhh, dan aku kenapa di sini, tidak di luar pondok?" Dia masih menggaruk-garuk kepalanya yang gatal-gatal akan tetapi matanya memandang Hong Ing penuh selidik.
Dara itu cemberut. "Hemm, kau tidak merasakan susah payahnya orang lain! Aku melihat kau pingsan di luar situ, maka terpaksa kupondong kau ke dalam kamarmu dan semalam suntuk aku tidak dapat tidur, gara-gara engkau yang seperti orang mati! Seluruh tubuhmu panas-panas dan kau sama sekali tidak dapat dibangunkan. Apa sih yang terjadi?"
Kun Liong melongo. "Ehh, mana kitabku?"
"Kitab...?" Tiba-tiba Hong Ing teringat dan dengan muka merah dia mengeluarkan kitab yang saking gelisahnya, semalam suntuk kitab itu masih terus menyelip di balik kainnya, menempel pada dadanya!
Kun Liong menerima kitab itu, merasakan betapa kitab itu hangat, maka mukanya pun menjadi merah, akan tetapi dia segera berkata, "Sungguh aneh. Aku sendiri tidak ingat. Ketika aku membaca kitab sambil makan telur, tiba-tiba aku merasa kepalaku pening dan mataku mengantuk. Tak tertahankan lagi kantuknya maka aku rebah di pasir dan... tidak tahu apa-apa lagi sampai sekarang ini, tahu-tahu sudah berada di sini. Jadi semalam aku pingsan...?"
"Hemm, tentu ada sesuatu dalam kitab itu!" Hong Ing berkata.
Kun Liong membalik-balik lembaran kitab dan menggelengkan kepala. "Kurasa tidak ada apa-apanya yang aneh, meski pun kitab ini adalah sebuah kitab yang mukjijat! Kitab yang mengandung pelajaran mengenai hidup, tentang perbintangan, dan latihan gerakan kaki tangan untuk membuat tubuh sehat dan panjang umur. Juga ada latihan pernapasan akan tetapi tidak mungkin membacanya karena membuat aku pusing dan mengantuk."
"Wah, jangan-jangan telur-telur itu...!"
Kun Liong teringat dan mengangguk-angguk. "Hemmm, mungkin saja, siapa tahu, tetapi... tubuhku terasa enak, hanya kepalaku ini, wah... gatalnya!" Dia menggaruk-garuk lagi.
"Biar kubuang saja telur-telur itu! Mungkin itu telur ular yang kulihat kemarin dulu."
"Eh, jangan! Jangan dibuang, Hong Ing. Buktinya aku tidak apa-apa. Telur itu enak sekali, menyehatkan badan."
"Kau benar-benar tidak apa-apa? Tidak panas lagi tubuhmu?"
"Tidak, aku merasa sehat segar."
"Hemm... syukurlah, aku lelah dan mengantuk, mau tidur..." Hong Ing lalu meninggalkan kamar itu.
"Hong Ing...!" Kun Liong melangkah maju dan memegang lengannya.
"Ada apa?" Dara itu mengerutkan alisnya dan memandang lengannya yang dipegang
Kun Liong melepaskan pegangannya. "Harap jangan marah, aku berterima kasih sekali kepadamu, Hong Ing. Maafkan aku, aku tidak tahu bahwa engkau telah bersusah payah menjagaku. Kau baik sekali dan..."
"Sudahlah, aku senang bahwa kau tidak apa-apa. Aku mau tidur, kau boleh membaca kitabmu sepuas hatimu."
Kun Liong yang ditinggal pergi menjatuhkan diri duduk di atas dipannya. Alisnya berkerut dan dia membolak-balik kitab di tangannya. Benar-benar ada persamaannya antara kitab ini dengan wanita! Mengapa Hong Ing kelihatan tidak senang sesudah melihat dia sehat dan tidak apa-apa, padahal gadis itu semalam suntuk mengkhawatirkan keadaannya?
Tentu saja dia tidak tahu! Memang wanita itu mempunyai sifat yang aneh. Wanita itu ingin sekali merasakan bahwa dia dibutuhkan, bahwa dia diperlukan dan ingin dia lihat bahwa tanpa dia, pria akan kehilangan dan tidak berdaya!
Tanpa disadarinya sendiri, perasaan demikian itu ada pula di dalam lubuk hati Hong Ing. Melihat Kun Liong pingsan dan tak berdaya, dia merasa amat khawatir, akan tetapi dalam melakukan pertolongan itu, dia merasa betapa pemuda itu amat membutuhkan dia. Kini, biar pun hatinya lega bahwa Kun Liong tidak sakit, namun ada juga perasaan kecewa karena kini dia tidak dibutuhkan lagi! Memang aneh, namun demikian kenyataannya.
Dua bulan lewat dengan cepatnya. Semua telur yang ditemukan itu telah habis dimakan Kun Liong, dan dia makin tekun membaca kitab kuno peninggalan Kaisar Bun Ong. Dapat dibayangkan betapa girang hatinya ketika dia mulai melatih diri dengan ilmu pernapasan dan gerakan kaki tangan yang terdapat di dalam kitab, dia merasa tubuhnya makin segar dan kuat, penglihatannya terang dan semangatnya tinggi, membuat wajahnya selanjutnya selalu berseri dan matanya bersinar-sinar, memandang dunia ini sebagai tempat yang amat indah.
Beberapa kali dia membujuk Hong Ing untuk mempelajari isi kitab, akan tetapi dara itu tidak mau, apa lagi setelah mendengar penuturan Kun Liong tentang isi kitab yang hanya mengajarkan urusan kebatinan dan latihan pernapasan. Bahkan gerakan kaki tangan itu sama sekali bukan gerakan ilmu silat, hanya ditujukan untuk menyehatkan tubuh seperti yang dimaksudkan oleh kitab itu.
Bun Ong adalah seorang Kaisar yang maha besar dan amat bijaksana. Kebijaksanaannya amat terkenal semenjak sejarah berkembang, bahkan kebijaksanaan Kaisar Bun Ong ini dipuji-puji dan dijadikan contoh oleh Nabi Khong Hu Cu!
Kaisar Bun Ong adalah Kaisar pertama dari Kerajaan Cou (tahun 1050 sebelum Masehi), lima ratusan tahun sebelum Nabi Khong Hu Cu, seorang Kaisar yang terkenal sebagai seorang manusia setengah dewa, bahkan terkenal pula sebagal Thian-cu (Utusan Tuhan) yang bijaksana dan amat pandai! Juga puteranya, Kaisar Bu Ong, amat terkenal sebagai pengganti dan penerus kebijaksanaan ayahnya. Maka, sungguh merupakan kebahagiaan besar bagi Kun Liong yang secara kebetulan bisa menemukan sebuah kitab peninggalan Kaisar itu!
Kitab itu berisi petunjuk-petunjuk tentang hidup, tentang kebatinan, tentang perbintangan. Semakin terbuka mata hati Kun Liong ketika membaca kitab kuno ini, semakin mendalam pengertiannya tentang kekuasaan yang disebut Tao. Hanya namanya saja yang berbeda, akan tetapi pada hakekatnya, Tao dapat juga disebut Tuhan, Kebenaran, Cinta Kasih, dan sebagainya.
Cinta Kasih tak dapat juga diraba, tak dapat dikejar. tak dapat dimiliki atau digenggam, tak dapat dilatih atau dipelihara. Cinta Kasih tidak mempunyai sasaran seperti benci, duka, marah, iri dan lain-lain. Cinta Kasih yang sudah mempunyai sasaran bukanlah cinta kasih lagi namanya.
Sasaran (object) timbul karena adanya ‘aku’, dan ‘aku’ tidak mungkin mencinta, karena kalau ada ‘aku’ yang mencinta, cinta itu hanya menjadi alat untuk mencapai sesuatu demi keuntungan lahir mau pun batin dari si ‘aku’ ini. Cinta Kasih, Tao, Tuhan, Kebenaran dan sebagainya sudah ada, akan tetapi menjadi tidak ada atau tidak dapat dimengerti karena terselubung oleh asap nafsu keinginan yang dibuat oleh si ‘aku’, asap yang membuat mata kita menjadi buta.
Tentu saja tidak mungkin dalam keadaan seperti buta itu hendak mencari dan mengerti Tao, mengerti Cinta Kasih, mengerti Tuhan. Segala macam asap itu yang dapat berupa kebencian, kemarahan, kekerasan, kekejaman, iri hati, kedukaan, keinginan, semua ini harus lenyap dulu, barulah mata akan menjadi terang untuk dapat melihat Cinta Kasih. Barulah Cahaya itu akan cemerlang dan tampak.
Segala macam bentuk nafsu tidak dapat dilenyapkan dengan paksaan, dengan kemauan, karena hal itu akan sama halnya dengan api dalam sekam, memang tidak bernyala lagi, tapi masih ada dan membara, dan sewaktu-waktu akan bernyala lagi kalau mendapatkan angin dan bahan bakarnya!
Untuk terbebas dari itu semua, kita harus menghadapinya langsung, memperhatikannya, mengenalnya dari awal sampai akhir, mengenal sampai ke akar-akarnya segala nafsu itu, berarti kita harus MENGENAL DIRI SENDIRI berikut segala macam nafsu yang bukan lain adalah si ‘aku’ atau si pikiran.
Setiap hari Kun Liong tenggelam ke dalam isi kitab ini, dan sungguh pun itu terlalu dalam, bahkan kadang-kadang membuat dia termangu-mangu, merasa mengerti akan tetapi juga masih merasa bingung dan ruwet, namun dia sadar bahwa isi kitab itu penting bukan main dan bahwa kitab itu merupakan peninggalan yang amat berharga, malah ribuan kali lebih berharga dari pada sepeti emas permata yang disimpan oleh Hong Ing itu. Maka mulailah timbul kekhawatirannya kalau-kalau kitab itu akan terampas oleh orang lain dan mulailah dia mencarikan tempat penyimpanan yang tersembunyi dan rahasia di atas pulau itu.
Pada suatu pagi, Kun Liong bangun sambil menggaruk-garuk kepalanya. Entah mengapa, selama dua bulan ini, semenjak dia menemukan kitab dan harta pusaka, kepalanya selalu terasa gatal kalau dia bangun tidur di waktu pagi. Sudah beberapa kali dia memeriksanya, akan tetapi tidak ada perubahan sesuatu pada kepalanya, masih tetap licin dan halus, tidak ada tanda luka atau bintik yang menimbulkan gatal-gatal. Dia menggaruk kepalanya dan perutnya berkeruyuk.
Hemm, sepagi itu, seperti biasa setelah dia mandi, tentu dia akan menghadapi sarapan yang sudah dibuat oleh Hong Ing. Teringat akan ini, dia tersenyum. Sudah terbayang dia akan melihat dara yang makin lama semakin cantik jelita itu, makin panjang rambutnya, dengan pakaian yang sederhana, menampakkan bentuk serta lekuk lengkung tubuhnya yang makin matang sehingga sering kali membuat Kun Liong terpesona dan memaksanya menelan ludah. Tapi anehnya, tidak seperti ketika menghadapi gadis-gadis lain, terhadap Hong Ing dia tak pernah berani menggodanya, bahkan selalu berjaga-jaga agar bersikap sopan!
Dia meloncat turun, lari melalui pintu belakang ke sumber air yang berada di tengah pulau di dalam hutan kecil, menanggalkan pakaiannya dan sebelum terjun ke air, lebih dulu dia berjongkok di tepi kolam air yang jernih untuk memandangi bayangan mukanya sendiri. Kemarin sore dia melihat dari jauh, secara sembunyi, betapa Hong Ing juga berjongkok seperti itu, bercermin di permukaan air sambil mengatur-atur rambutnya.
Seraut wajah yang kurus menyambutnya di air. Yang mula-mula menarik ialah sepasang mata bayangan itu. Mata yang seperti mata setan, celanya di dalam hatinya. Mata yang hitamnya terlalu hitam dan putihnya terlalu putih, seperti mata seorang penyelidik. Tentu mendatangkan rasa tidak senang, terutama sekali Hong Ing, kalau dipandang oleh mata semacam ini! Muka yang dagunya agak meruncing dan terlalu halus untuk seorang pria! Lebih-lebih kepala itu. Menjijikkan! Tak pernah dicukur akan tetapi kelimis. Lalat pun akan terpeleset hinggap di atasnya! Tentu menjijikkan, apa lagi dalam hati seorang dara seperti Hong Ing.
Akan tetapi sikap Hong Ing kadang-kadang manis sekali kepadanya, malah terlalu manis! Mungkinkah wajah yang begini dapat menarik hati seorang dara sejelita Hong Ing? Tidak mungkin! Tentu hanya karena kasihan. Phuhh, dia tidak membutuhkan rasa iba dari siapa pun juga. Meski pun dari Hong Ing sekali pun, dia tidak mau seperti seorang pengemis yang mengulurkan tangan mohon kasihan!
"Hah! Sialan...!" Dia membenamkan kepalanya ke dalam air, dalam-dalam dan lama-lama, sampai dia gelagapan dan mengangkat lagi kepalanya dari dalam air untuk bernapas.
Air kembali diam setelah tadi berombak keras ketika dimasuki kepalanya dan kembali dia memandang ke bawah. Muka itu kini basah kuyup, air menetes-netes dari hidung, dan muka itu agak kemerahan, mata itu menjadi agak merah, dan mulut itu mengejek. Huh, makin buruk!
"Biarlah si buruk rupa tinggal dalam keburukannya!" Dia berkata keras-keras dan kembali dia membenamkan kepalanya, kini bahkan sambil meloncat ke depan.
Air muncrat dan Kun Liong pun mandi, menggosok-gosok keras seluruh tubuhnya dengan penuh semangat, seolah-olah dia hendak melampiaskan kegemasannya kepada daki-daki yang dia bersihkan dari kulit tubuhnya...
Selanjutnya,