Petualang Asmara Jilid 20 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Petualang Asmara Jilid 20
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
HEK-BIN-THIAN-SIN diam saja dan terus mengejar. Dia mendongkol sekali kenapa Legaspi Selado, tokoh asing botak yang sangat lihai itu, yang sudah berjanji akan membantunya memperebutkan bokor emas, masih juga belum muncul. Apa bila ada Si Botak Asing itu bersama pasukannya, tentu dia akan dapat merampas bokor dan mengatasi empat orang datuk lainnya.

Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang mengejar di sebelah belakang, tiba-tiba mengeluarkan suara melengking tinggi dua kali. Dari jauh terdengar lengkingan tinggi yang hampir sama, juga dua kali.

Bu Leng Ci tersenyum girang dan dia mempercepat larinya, akan tetapi tidak mengambil jalan yang sama seperti yang dilalui Kwi-eng Niocu dan tiga orang pengejarnya. Kwi-eng Niocu mengambil jalan mendaki naik ke pegunungan, ada pun Siang-tok Mo-li memotong jalan melalui sebelah bawah dari mana tadi dia mendengar suara melengking tinggi yang menyambut tanda rahasianya. Pada waktu dia tiba di seberang sebuah jurang, tampaklah olehnya di sebelah atas, terhalang oleh jurang itu, bayangan Kwi-eng Niocu sedangkan tiga orang pengejarnya sudah hampir menyusul Ketua Kwi-eng-pang itu.

"Ang-cici...! Lekas lemparkan ke sini...!" Bu Leng Ci berseru.

Ang Hwi Nio sedang gelisah karena tiga orang datuk itu sudah dekat sedangkan dia tidak melihat bayangan adik angkatnya. Saat mendengar suara ini dia menengok dan giranglah hatinya melihat orang yang dicari-carinya itu berada di sebelah bawah, terhalang jurang yang amat curam dan cukup lebar. Dia percaya bahwa dia mampu melemparkan bokor itu sampai ke seberang jurang dan dia percaya pula bahwa adik angkatnya cukup lihai untuk dapat menangkap bokor itu.

Melihat betapa tiga orang datuk pria sudah dekat, dia segera melontarkan bokor itu ke seberang jurang. Benda itu meluncur dengan cepat sekali ke arah Bu Leng Ci yang sudah berdiri dan siap menyambut. Bagaikan seekor burung garuda menyambar seekor burung dara, Siang-tok Mo-li meloncat dan berhasil menangkap bokor emas yang melayang dari atas itu.

"Ehh, ke mana kau membuang pusaka itu?" Toat-beng Hoatsu berteriak kaget, mengira bahwa Kwi-eng Niocu membuang bokor yang mereka perebutkan. Juga Ban-tok Coa-ong dan Hek-bin Thian-sin terkejut.

Bukan hanya tiga orang kakek itu yang terkejut, bahkan Kwi-eng Niocu juga kaget sekali ketika melihat betapa Siang-tok Mo-li setelah menerima bokor itu lalu melemparkan bokor itu ke seberang jurang lain dan bokor itu lenyap! Siang-tok Mo-li menoleh dan tersenyum lebar penuh ejekan, kemudian membalikkan tubuh dan sekali melompat tubuhnya lenyap di antara pohon-pohon!

Timbul kecurigaan di dalam hati Ang Hwi Nio, akan tetapi dia sudah dapat menghadapi tiga orang kakek itu sambil berkata mengejek, "Kalian ini tua-tua bangka mau apa lagi? Kalian tak akan dapat merampas bokor itu!"

Tiga orang kakek itu maklum bahwa mereka tidak mungkin melompati jurang ini tanpa bahaya maut mengancam mereka, namun untuk melakukan pengejaran, mereka harus menuruni bukit dan mengambil jalan memutar yang makan waktu lama dan tentu orang termuda dari lima datuk itu sudah pergi jauh entah ke mana!

"Ha-ha-ha-ha, sekali ini Kwi-eng Niocu menjadi seorang yang amat tolol dan mudah saja ditipu orang. Ha-ha-ha!"

Kwi-eng Niocu memandang Kakek Raja Ular itu dengan mata mendelik. Biar pun hatinya makin tidak enak, akan tetapi dia membentak, "Ban-tok Coa-ong! Engkau bicara seenak perutmu sendiri. Apa kau kira Kwi-eng Niccu takut menghadapi ular-ularmu yang hanya dapat kau pakai menakuti kanak-kanak itu?"

Akan tetapi kini Toat-beng Hoatsu juga berkata penuh penyesalan. "Ucapan Si Raja Ular benar sekali. Kwi-eng Niocu, apa kau kira Siang-tok Mo-li akan sedemikian lemah hatinya untuk membagi bokor itu denganmu? Hemmm…, aku berani bertaruh dua jari tangan! Dia tentu sudah lari minggat dengan membawa bokor itu bersama seorang sekutunya yang tadi menyambut bokor di seberang jurang di bawah itu."

Wajah Kwi-eng Niocu menjadi pucat sekali. "Celaka...! Giok-hong-cu...!"

"Siapa? Siapa itu Giok-hong-cu?" Hek-bin Thian-sin berseru.

"Siapa lagi? Muridnya. Celaka, perempuan iblis itu telah menipuku. Kalian benar. Mari kita kejar mereka sebelum mereka berlari terlalu jauh!" Kwi-eng Niocu segera meloncat dan berlari cepat turun dari bukit. Tiga orang kakek itu juga tidak mau ketinggalan dan mereka berempat segera lari bersicepat seperti berlomba menuruni bukit untuk mencari Bu Leng Ci dimulai di tempat di mana tadi Siang-tok Mo-li menerima bokor.

Empat orang datuk sesat ini laksana orang-orang yang lupa diri dan mereka melakukan pengejaran dan pencarian tanpa mengenal lelah. Seolah-olah hidup mereka bergantung kepada bokor emas itu! Seolah-olah hidup mereka akan menjadi hampa dan tak berarti apa bila mereka tidak mendapatkan bokor emas yang diperebutkan itu.

Bokor emas itu, yang mengandung rahasia besar yang didongengkan orang, pusaka dari Panglima Besar The Hoo yang sudah terkenal di seluruh dunia, merupakan satu-satunya tujuan bagi para datuk ini. Mereka merasa yakin bahwa bila mereka berhasil menguasai bokor emas, tentu mereka menjadi orang yang terkuat, terpandai, dan terkaya di dunia ini, dan tentu mereka tak akan kekurangan apa-apa lagi, dan karenanya dapat hidup bahagia!

Betapa tersesatnya pendapat seperti ini, dan betapa menyedihkan bahwa kita semua ini, disadari mau pun tidak, kita hidup dalam cengkeraman tujuan dan cita-cita seperti para datuk itu! Kita mengharapkan sesuatu, selalu mengharapkan, menginginkan sesuatu yang kita beri nama cita-cita muluk!

Padahal, mengapa kita harus bercita-cita? Mengapa kita harus mengharap dan beringin? Bukankah pengharapan dan keinginan ini akan menjadi penyebab dari kekecewaan dan kekhawatiran? Bila kita mengejar sesuatu yang dinamakan cita-cita, maka hati kita selalu diliputi kekhawatiran kalau-kalau kita gagal! Dan kalau sampai gagal, kita akan dirundung kecewa, merasa sengsara.

Padahal, kalau kita berhasil menguasai apa yang kita kejar dan kita namakan cita-cita itu, benarkah kita akan menemukan kebahagiaan? Berhasilnya cita-cita yang kita kejar itu, benarkah akan membebaskan kita dari duka dan kecewa, dari bosan dan dari khawatir?

Biasanya, sesuatu yang amat diinginkan, kalau sudah tergenggam tangan, hanya akan mendatangkan kepuasan sejenak saja, kemudian kita menjadi bosan dan kita mengejar yang lain lagi sehingga cita-cita menjadi lingkaran setan yang tiada putusnya, yang selalu mencengkeram selama hidup kita dan membuat hidup kita tak pernah bebas dan tenang!

Pengejaran cita-cita menandakan bahwa kita masih tidak dapat menghadapi dan mengerti keadaan apa adanya, dan sekali kita tidak merasa puas dengan keadaan apa adanya, maka selamanya kita takkan pernah merasa puas, apa dan bagaimana pun keadaan kita. Sekali kita dicengkeram oleh pengejaran cita-cita, maka hidup hanyalah merupakan derita karena kita tidak pernah dapat melihat dan menikmati saat sekarang, saat demi saat di mana kita sesungguhnya hidup, karena mata kita hanya ditujukan jauh ke depan, kepada esok, lusa, dan masa depan, sehingga saat ini, sekarang, tidak ada artinya lagi. Padahal saat ini atau sekarang inilah kita hidup!


Para datuk kaum sesat itu, demi untuk memperoleh bokor emas yang menjadi tujuan dan cita-cita mereka, tak segan-segan melakukan apa pun juga. Tak segan untuk membunuh, kalau perlu antara kawan sendiri.

Dan demikian pula dengan kita yang berlomba dalam mengejar cita-cita. Untuk berhasil dalam pengejaran ini, kita pun akan selalu menyingkirkan segala aral yang melintang di tengah jalan! Maka timbullah pertentangan, permusuhan, dan kebencian, dan semua itu dilapisi dengan kedok kebenaran dan keadilan yang pada hakekatnya adalah kebenaran dan keadilan demi kepentingan pribadi dan karenanya palsu. Bahkan di dalam kesesatan kita, tak segan-segan pula di antara kita manusia ada yang berpegang kepada semboyan ‘tujuan menghalalkan segala cara’!

Semboyan dan pendapat yang sungguh tidak patut! Cara tidaklah berbeda garis dengan tujuan. Mungkinkah mengusahakan perdamaian dengan peperangan? Apakah mungkin menghilangkan permusuhan dengan penindasan? Mengusahakan persahabatan dengan kemenangan? Cara yang buruk tidak mungkin sama sekali memperoleh tujuan yang baik, demikian pula, tujuan yang buruk tidak mungkin dilakukan dengan cara yang baik!


Sebulan kemudian, usaha pencaharian yang tekun dari keempat orang datuk itu dibagi menjadi dua kelompok. Sebetulnya mereka itu berpencar, akan tetapi karena saling curiga dan tidak ingin kalau orang lain menemukan tempat persembunyian Siang-tok Mo-li tanpa yang lain mengetahuinya, maka diam-diam mereka saling membayangi, atau lebih tepat lagi, Kwi-eng Niocu dan Hek-bin Thian-sin melanjutkan pencaharian mereka dengan arah yang sama, demikian pula Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong saling membayangi.

Hek-bin Thian-sin dan Kwi-eng Niocu lebih tepat menentukan arahnya. Karena itu setelah mencari keterangan di sana sini, akhirnya pada suatu hari mereka tiba di depan goa di Bukit Burung Walet. Bukit itu terkenal sebagai sarang burung walet, maka dinamakan demikian, dan di situ terdapat banyak goa dan di dalam goa-goa inilah burung-burung itu bersarang. Sebuah di antara goa-goa itu kini dijadikan tempat sembunyi Siang-tok Mo-li dan Giok-hong-cu muridnya!

Hari sudah sore dan burung-burung walet beterbangan memasuki goa-goa yang sangat banyak itu. Kedua orang datuk kaum sesat itu masih belum tahu benar goa yang mana yang dijadikan tempat sembunyi orang yang dicarinya. Mereka berdiri di depan goa-goa dan memasuki goa yang gelap.

"Hemm, tak salah lagi, tentu di sana dia bersembunyi." Akhirnya Kwi-eng Nio-cu berkata sambil menuding ke arah sebuah goa yang agak besar di tengah-tengah kumpulan goa itu.

Hek-bin Thian-sin memandang. Mula-mula dia tidak dapat menduga mengapa Kwi-eng Niocu dapat menentukan demikian, akan tetapi dia pun bukan orang bodoh dan segera dia dapat melihat perbedaan keadaan goa yang satu ini dengan yang lain. Burung-burung walet yang beterbangan itu, memasuki goa-goa yang lain dengan cepat tanpa ragu-ragu, akan tetapi burung-burung yang hendak memasuki goa yang dimaksudkan itu, tak segera terbang masuk melainkan beterbangan ke sana-sini di depan goa, seakan-akan mereka segan masuk atau ada sesuatu di dalam goa itu yang mereka takuti.

"Memang, di sanalah dia bersembunyi!"

Seperti dikomando saja, keduanya berloncatan dan dengan beberapa loncatan saja, dua orang datuk yang berilmu tinggi itu telah tiba di depan goa yang dimaksudkan tadi. Goa itu besar dan gelap, juga karena agak dalam maka ujungnya tidak kelihatan dari luar.

"Bu Leng Ci, keluarlah engkau! Kami telah tahu bahwa engkau bersembunyi di dalam goa ini! Apa kau minta kami membakar dan mengasapi goa lebih dulu sehingga kau terpaksa keluar seperti seekor kelinci dari dalam lubang? Ha-ha-ha!" Hek-bin Thian-sin berteriak.

"Plok! Plok!"

Dua ekor burung walet yang sedang beterbangan di atas kepala kedua orang datuk itu, tiba-tiba jatuh di depan kaki mereka dan ternyata dua ekor burung itu telah tewas dengan tubuh berlubang-lubang terkena Siang-tok-soa (Pasir Beracun Wangi).

"Bu Leng Ci, engkau anjing betina, pengkhianat!" Kwi-eng Niocu memaki dengan marah.

"Ang-cici, aku sudah menantimu sampai lama sekali di sini! Aku tetap menjadi sekutumu! Mari kita bunuh Si Muka Hitam itu dan bokor ini kita nikmati berdua!"

Akan tetapi Kwi-eng Niocu sudah terlalu marah karena dikhianati dan dia tidak percaya lagi kepada Siang-tok Mo-li, maka dia berkata, "Tidak perlu banyak cerewet. Aku datang untuk membunuhmu dan merampas bokor!"

"Serrr... serrr...!"

Sinar hijau menyambar ke arah kedua orang datuk itu. Tentu saja dua orang sakti yang sudah bersiap sedia ini dapat cepat mengelak dan menghindarkan diri dari ancaman maut Siang-tok-soa. Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak dengan nada mengejek.

"Hek-bin Thian-sin!" terdengar teriakan Bu Leng Ci dari dalam goa, "Mari kau bantu aku membunuh Kwi-eng Niocu, dan bokor kita nikmati berdua! Kalau kau tidak mau bersekutu dengan aku, mana mungkin engkau menghadapi dia dan dua orang kakek tua bangka yang lain?"

Kwi-eng Niocu terkejut sekali dan dia sudah siap menghadapi kalau-kalau Si Muka Hitam itu dapat terkena bujukan Bu Leng Ci yang amat licik itu. Hek-bin Thian-sin meraba-raba dagunya sambil mengerutkan alisnya, kelihatan ragu-ragu sekali kembali memandang ke arah Kwi-eng Niocu. Kemudian dia mengomel,

"Hemm... hemm, usulmu itu sebetulnya baik juga... tapi..."

"Thian-sin, jangan gila kau!" Kwi-eng Niocu langsung berseru. "Begitu bodoh tertipu oleh anjing betina itu!"

Saat itu dari dalam goa berkelebat bayangan Bu Leng Ci, didahului pedang samurainya yang menjadi sinar terang menyambar ke arah Kwi-eng Niocu. Tentu saja Kwi-eng Niocu sudah cepat meloncat ke belakang untuk menghindar, kemudian kembali menerjang maju mempergunakan senjatanya yang tidak kalah ampuhnya dengan segala macam senjata tajam, yaitu kuku-kuku tangannya yang panjang dan beracun!

"Hek-bin Thian-sin, kau pilih saja! Mau tikus betina tua yang berbahaya ini atau aku yang memegang bokor emas!" Bu Leng Ci masih berteriak sambil menggerakkan samurainya menghadapi Kwi-eng Niocu.

Hek-bin Thian-sin masih berdiri termangu dan memandang dua orang wanita yang sudah bertanding dengan hebat itu.

Di dalam pikirannya terjadi perang sendiri. Membantu yang mana? Kalau dia membantu, tentu seorang di antara dua wanita ini akan kalah dan tewas, dan dia memperhitungkan kemungkinan-kemungkinannya, tentu saja dengan menekankan keuntungan bagi dirinya sendiri. Senjatanya yang sangat menyeramkan, yakni sebatang golok besar yang tajam mengkilap, telah siap di tangan kanannya.

Pertandingan yang terjadi antara dua orang wanita lihai itu, amat seru dan mati-matian. Pedang samurai yang panjang melengkung sedikit itu sudah lenyap bentuknya, berubah menjadi segulung cahaya terang yang berkeredepan.

Akan tetapi, gerakan Kwi-eng Niocu bukan main gesitnya. Memang, datuk wanita ini amat terkenal dengan ilmu ginkang-nya sehingga tubuhnya menjadi amat ringan, gerakannya cepat sampai bayangannya lenyap dan karena kelihaian ilmu ginkang-nya inilah maka dia dijuluki Si Bayangan Hantu!

Biar pun dia tidak memegang senjata, tapi sepuluh buah kuku jari tangannya merupakan senjata-senjata yang amat ampuh, karena jangankan sampai terkena tusukan, tapi baru terkena guratan sebuah di antaranya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan! Namun, menghadapi Bu Leng Ci yang dia tahu amat lihai ilmu pedang samurainya yang tajam itu, dia harus berhati-hati, karena betapa pun kuat kukunya, kalau sampai terkena sabetan samurai tentu akan patah.

Kedua orang wanita ini bertanding dengan bimbang, terutama sekali Kwi-eng Niocu yang khawatir kalau-kalau Si Muka Hitam itu terkena bujukan Bu Leng Ci sehingga akan maju mengeroyoknya. Rasa bimbang inilah yang membuat pertandingan itu menjadi seimbang, biar pun sebenarnya tingkat kepandaian Ketua Kwi-eng-pang ini masih menang setingkat dibandingkan dengan lawannya.

Tiba-tiba Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak dan berseru nyaring, "Ha-ha-ha! Mampuslah kau!" Goloknya berkelebat menyambar ke arah leher Kwi-eng Niocu!

Ketua Kwi-eng-pang ini kaget dan cepat mengelak, akan tetapi tahu-tahu golok itu sudah menyeleweng dan dengan kecepatan yang tidak terduga-duga sudah membacok ke arah tubuh Bu Leng Ci! Kiranya kakek muka hitam itu tadi hanya menyerang Kwi-eng Niocu secara palsu untuk mengalihkan perhatian Bu Leng Ci, padahal yang menjadi sasaran goloknya sebenarnya adalah Siang-tok Mo-li.

Keputusan ini diambil dan membuktikan kelihaian dan kecerdikan Si Muka Hitam ini. Biar pun bokor berada di tangan Bu Leng Ci, akan tetapi dia telah mengambil keputusan untuk membantu Kwi-eng Niocu. Dia teringat akan keterangan Kwi-eng Niocu bahwa Bu Leng Ci mempunyai seorang murid yang berjuluk Giok-hong-cu, dan dia sudah mendengar pula akan kelihaian Giok-hong-cu.

Bu Leng Ci muncul sendirian dan bokor emas tidak berada di tangannya, tentu berada di tangan Giok-hong-cu itu. Kalau dia membantu Bu Leng Ci dan mereka berdua berhasil membunuh Kwi-eng Niocu, berarti bahwa dia akan berhadapan dengan Bu Leng Ci dan muridnya itu. Ilmu kepandaiannya hanya menang setingkat dibandingkan dengan Bu Leng Ci, maka kalau Siang-tok Mo-li itu dibantu oleh muridnya yang lihai juga, mana dia akan mampu menang?

Sebaliknya, kalau dia membantu Kwi-eng Niocu, tentu Bu Leng Ci serta muridnya dapat dirobohkan, dan kemudian dia hanya akan berhadapan dengan Kwi-eng Niocu seorang! Tentu saja lebih ringan dan lebih besar harapannya untuk dapat merampas bokor.

Bu Leng Ci terkejut bukan main. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Si Muka Hitam itu akan menyerangnya. Tadi ketika mendengar seruan kakek itu dan melihat golok menyambar ke arah Kwi-eng Niocu, dia sudah merasa girang bukan main. Siapa mengira bahwa golok itu tiba-tiba membalik dan menyerangnya sedemikian cepat dan hebatnya! Karena itu dia agak terlambat menggerakkan samurainya menangkis.

"Cringggg...!"

Bu Leng Ci berhasil menyelamatkan diri dari sambaran golok dengan tangkisannya, akan tetapi karena dia terlambat menangkis dan kedudukannya tidak baik, maka dia terhuyung dan pada saat itu dia merasa pundaknya perih dan panas!

"Siluman betina...!" Dia memaki dan terdengar suara ketawa Kwi-eng Niocu yang sudah berhasil mencengkeram dan melukai pundak Bu Leng Ci.

Dengan kemarahan meluap, Bu Leng Ci tak mempedulikan lagi sambaran golok di tangan Hek-bin Thian-sin, samurainya lantas meluncur bagai sambaran halilintar ke arah Kwi-eng Niocu. Serangan nekat ini membuat Kwi-eng Niocu terkejut, dan terpaksa dia mengelak. Melihat samurai masih mengancamnya, terpaksa dia menggunakan ujung kuku tangan kirinya menangkis.

"Trakkk...!"

Dia berhasil menyelamatkan dirinya, akan tetapi dia harus mengorbankan lima kuku jari tangan kirinya yang terbabat putus semua! Dan pada saat itu, golok Hek-bin Thian-sin telah melukai paha kanan Bu Leng Ci. Wanita ini terguling, akan tetapi sambil memutar samurainya, dia sudah meloncat lagi, tidak mempedulikan darah yang muncrat-muncrat keluar dari luka di pahanya.

"Bi Kiok...! Lari...!" Dia menjerit.

Tepat seperti diduga oleh Hek-bin Thian-sin, murid Siang-tok Mo-li memang bersembunyi di dalam goa sambil menunggu tanda dari gurunya. Kalau bujukan gurunya berhasil dan Kwi-eng Niocu dapat dirobohkan, dia akan keluar untuk membantu gurunya mengeroyok Hek-bin Thian-sin.

Akan tetapi betapa terkejutnya ketika dari tempat pengintaiannya dara ini melihat keadaan berubah dan terbalik sama sekali. Malah gurunya yang dikeroyok oleh dua orang datuk itu, dan kini gurunya terluka hebat. Sebetulnya ingin dia mengamuk, membela gurunya, akan tetapi karena memang semua telah diatur gurunya, semenjak mereka melarikan diri setelah berhasil menguasai bokor emas, Bi Kiok tidak berani melanggar perintah dan dia lalu melompat keluar dari dalam goa dan terus melarikan diri.

"Haii, hendak ke mana engkau?!"

Hek-bin Thian-sin yang memang telah memperhitungkan hal ini bisa bergerak lebih cepat dari pada Kwi-eng Niocu. Dia sengaja mendekati mulut goa sambil membiarkan Kwi-eng Niocu melampiaskan kemarahannya kepada Bu Leng Ci karena kehilangan kuku-kuku jari tangan kiri, sedangkan dia sendiri begitu melihat berkelebatnya bayangan seorang dara cantik, cepat menubruk maju.

"Singggg...!"

Sinar terang meluncur ke arah kakek itu saat Yo Bi Kiok atau yang berjuluk Giok-hong-cu menusukkan pedangnya kepada kakek yang menghadang di depannya.

"Trangggg...!"
Golok besar itu menangkis dengan pengerahan tenaga hebat sekali, membuat pedang itu terpental dan hampir terlepas dari tangan Bi Kiok! Dara itu maklum bahwa dia tidak boleh terlalu lama melayani lawannya yang amat tangguh, maka sesuai dengan rencana yang telah diatur gurunya, dia melemparkan bokor emas jauh ke kiri.

Melihat hal ini, Hek-bin Thian-sin segera mendorongkan tangan kirinya ke arah Bi Kiok. Pukulan jarak jauh ini dahsyat sekali dan Bi Kiok yang tidak menyangkanya, dilanda hawa pukulan sehingga terjengkang. Dadanya terasa panas dan napasnya sesak, akan tetapi dia dapat meloncat bangun dan cepat melarikan diri dari tempat itu. Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak ketika dia menyambar bokor emas dengan tangan kirinya, lalu cepat membalikkan tubuh ke arah Kwi-eng Niocu dengan golok siap di tangan kanan.

Kwi-eng Niocu sudah berhasil merobohkan Bu Leng Ci. Kegemasannya terhadap adik angkat yang sebenarnya diangkat adik hanya untuk memenuhi muslihat masing-masing, karena Bu Leng Ci telah mengkhianatinya dan telah mematahkan lima kuku jari tangan kirinya, membuat Ketua Kwi-eng-pang ini seperti gila.

Mula-mula, sebuah tangannya berhasil melemparkan samurai dari genggaman tangan Bu Leng Ci yang terluka parah, terkena racun kuku jari Kwi-eng-pang dan pahanya terluka hebat oleh golok Hek-bin Thian-sin. Namun Bu Leng Ci yang sudah maklum akan bahaya maut yang mengancam nyawanya, masih nekat melakukan perlawanan, justru menubruk maju dengan kedua tangan hendak mencengkeram, kedua tangan yang sudah merobek banyak dada pria untuk mengambil jantungnya dan memakannya itu, jari tangan yang amat kuat seperti baja.

Akan tetapi karena dia sudah terluka, maka gerakannya kurang cepat dan Kwi-eng Niocu yang maklum pula betapa bahayanya lawan yang sudah menjadi nekat, cepat miringkan tubuh mengelak sehingga tubuh Bu Leng Ci terdorong ke depan oleh gerakannya sendiri. Saat itu dipergunakan oleh Kwi-eng Niocu untuk mencengkeram ubun-ubun kepala lawan dari samping.

"Krekkk...! Auuugghhh...!"

Bu Leng Ci yang sangat terkenal dengan julukan Siang-tok Mo-li, yang di daerah pantai laut selatan namanya amat terkenal dan ditakuti seperti iblis, kini menjerit mengerikan dan agaknya nyawanya melayang pergi bersama jeritannya itu.

Setelah melihat lawannya tewas, Kwi-eng Niocu lalu memandang Hek-bin Thian-sin yang tersenyum-senyum memandangi bokor emas di tangannya.

"Hek-bin Thian-sin, karena kita berdua yang menemukan bokor itu, dan aku pula yang membunuh Siang-tok Mo-li, maka sudah sepatutnya kalau kita berdua yang berhak atas pusaka itu."

"Ha-ha-ha, Kwi-eng Niocu. Terhadap Siang-tok Mo-li saja aku sudah tidak dapat terbujuk, apa lagi menghadapi engkau. Tentu saja aku tidak percaya. Jika kau mampu, boleh kau coba merampas bokor ini dari tanganku!" Kakek muka hitam itu memegang bokor dengan tangan kiri sedangkan golok di tangan kanannya dikelebatkan.

Kwi-eng Niocu bukanlah seorang bodoh. Ketika dalam keadaan tidak terluka sekali pun, kekuatannya seimbang dibandingkan dengan Si Muka Hitam itu dan meski pun dia tidak takut, agaknya dia harus mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya untuk memenangkan datuk timur ini.

Akan tetapi sekarang dia sudah kehilangan lima buah kuku jari tangan kirinya. Meski pun dia tak terluka, akan tetapi mala petaka ini baginya lebih hebat dari pada kalau dia terluka karena kini dia kehilangan separuh dari senjatanya dan karenanya dia tidak akan dapat bergerak secara leluasa.

Dalam keadaan seperti sekarang ini, melawan Hek-bin Thian-sin sama artinya dengan membunuh diri secara konyol. Tentu saja dia tidak sudi membunuh diri. Masih banyak waktu untuk kelak berusaha merampas bokor itu dari tangan Si Muka Hitam. Bukankah tidak ada orang lain yang tahu bahwa bokor yang diperebutkan itu kini berada di tangan Hek-bin Thian-sin? Maka dia tidak menjawab, bahkan cepat dia membalikkan tubuh dan lari pergi dari tempat itu sebelum datuk dari timur itu berpikir lain.

Dan memang kepergian Kwi-eng Niocu ini tidak terlambat dan tepat sekali karena setelah datuk wanita itu pergi, Hek-bin Thian-sin mengerutkan alis dan merasa menyesal kenapa dia tidak membunuh saja Kwi-eng Niocu yang ketika itu sudah kehilangan semua kuku tangan kirinya. Sekarang dia maklum bahwa setidaknya masih ada bahaya mengancam kepadanya dari satu jurusan, yaitu dari Kwi-ouw tempat tinggal Ketua Kwi-eng-pang itu.

Akan tetapi kegembiraan memperoleh bokor emas yang diidam-idamkan itu membuat dia segera melupakan hal ini dan cepat dia pun lari pergi menuju ke timur karena dia berniat untuk bersembunyi di pantai timur, tempat di mana dia menjadi datuknya dan diam-diam memeriksa rahasia bokor emas yang kabarnya di samping mengandung rahasia tempat penyimpanan harta karun yang jumlahnya amat besar, juga mengandung rahasia tempat penyimpanan kitab-kitab pelajaran kesaktian dari Panglima Besar The Hoo!

Dia harus cepat-cepat menyelamatkan diri dan menghindarkan diri dari pengejaran dua orang kakek datuk lainnya, yaitu Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong, dua orang yang dia tahu sangat sakti dan lebih lihai dari pada dia sendiri. Di samping ini, juga dia harus menghindarkan pertemuan dengan kakek asing botak Legaspi Selado yang selain lihai juga mempunyai banyak kaki tangan, bahkan bersekutu dengan pasukan pemberontak.

Tadinya memang dia telah menceritakan tentang bokor kepada Legaspi sehingga menarik perhatian kakek itu yang telah berjanji untuk membantunya. Akan tetapi setelah kini bokor terjatuh ke dalam tangannya, dia merasa tidak perlu lagi untuk berurusan dengan kakek asing itu!

Ternyata bahwa Hek-bin Thian-sin terlalu memandang rendah pada Legaspi Selado. Dia sama sekali tidak mengira bahwa kakek asing yang botak itu selain berkepandaian tinggi, juga sangat cerdik, jauh lebih cerdik dari pada datuk timur ini! Maka, dapat dibayangkan betapa kaget hati Hek-bin Thian-sin ketika dia menuruni bukit dan sampai di hutan yang mengurung kaki bukit, mendadak muncul Legaspi Selado di depannya sambil tersenyum lebar!

Terlambat bagi Hek-bin Thian-sin untuk menyembunyikan bokor emas itu, maka dengan jantung berdebar dia mendengar kakek asing botak itu menegurnya. "Ahai sahabatku yang baik Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu! Siapa mengira bahwa kita bertemu di sini dan ternyata engkau sudah berhasil menemukan bokor emas itu. Bagus! Mari kita bawa ke kapalku dan di sana kita mencari rahasia bokor itu, sahabatku yang baik!"

Biar pun dia terkejut dan khawatir melihat munculnya kakek asing yang sama sekali tidak disangka-sangkanya ini, namun mendengar ucapan itu, Hek-bin Thian-sin menjadi marah. Dia maklum bahwa Legaspi memiliki kepandaian tinggi, namun dia tidak takut.

"Legaspi Selado, bokor ini adalah aku sendiri yang mendapatkannya, maka tidak mungkin dapat kubagi dengan siapa pun juga."

"Hemmm, begitukah...?" Kakek botak itu tiba-tiba mengeluarkan suara bersuit nyaring dan bermunculanlah belasan orang dari balik pohon-pohon di sekeliling tempat itu.

Mereka ini adalah para perwira pemberontak yang berhasil menyelamatkan diri dan lari pada saat Ceng-to diserbu oleh pasukan pemerintah yang dipimpin sendiri oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Bekas perwira ini menyamar dengan pakaian preman, kemudian dipergunakan oleh Legaspi Selado yang juga dapat melarikan diri bersama teman-teman sebangsanya. Kini, atas isyarat yang diberikan kakek botak itu, mereka sudah mencabut senjata golok dan pedang, mengurung Hek-bin Thian-sin.

"Legaspi Selado, mau apa kau?!" Hek-bin Thian-sin membentak.

"Ha-ha-ha, Tuan Low Ek Bu! Engkau memang seorang yang murka dan khianat. Ketika di Ceng-to engkau telah meninggalkan kami. Sekarang, dengan baik aku mengajakmu untuk bersama-sama menyelidiki rahasia bokor, akan tetapi engkau ingin menguasainya sendiri saja. Karena itu, aku tidak sudi lagi bersahabat denganmu. Engkau adalah musuhku dan kau harus menyerahkan bokor atau nyawamu!"

"Anjing biadab asing keparat!" Hek bin Thian-sin memaki dan golok di tangannya sudah diputar cepat sekali, berubah menjadi segulung sinar menyilaukan mata dan datuk timur ini pun mengamuk.

Dua orang bekas perwira yang menangkis goloknya, berteriak pada saat pedang mereka patah-patah dan golok terus menyambar ke arah tubuh mereka, merobek dada dan perut sehingga mereka roboh dan tewas seketika. Seorang lain yang menusukkan pedang dari belakang dapat dielakkan oleh Hek-bin Thian-sin, dan goloknya menyambar lagi. Pedang itu kena dihantam dari samping sehingga mencelat dan pedang itu menancap di dada kiri seorang pengeroyok yang memekik nyaring dan roboh telentang, tewas pula.

Amukan Hek-bin Thian-sin amat hebat. Kepandaian datuk ini tak dapat dilawan oleh para bekas perwira. Melihat ini, Legaspi menjadi marah sekali. Segera dilolosnya pecut dari pinggangnya, lalu pecut itu digerakkan cepat sekali, meledak-ledak, menyambar ke atas kepala Hek-bin Thian-sin.

"Tar-tar-tar-tarrr...!"

Hek bin Thian-sin cepat mengelak dan membabatkan golok di sekeliling tubuhnya dengan kecepatan luar biasa. Kembali ada tiga orang pengeroyok roboh dan darah muncrat dari luka-luka mereka.

"Mundur semua...!" Legaspi Selado berteriak marah melihat enam orang anak buahnya tewas akibat sepak terjang lawan yang hebat itu. Dia sendiri sudah menerjang maju dan terjadilah kini pertandingan yang amat seru.

Legaspi Selado memperoleh ilmu cambuknya dari Nepal, dilatih oleh seorang ahli cambuk yang banyak terdapat di negara itu. Selain ini, Legaspi sudah banyak mempelajari ilmu silat dan mempunyai sinkang serta ginkang yang tinggi.

Namun, Hek-bin Thian-sin adalah seorang datuk timur yang lihai. Dengan bokor di tangan kiri kakek ini menggerakkan goloknya, kadang-kadang bertubi-tubi menyerang, kadang kala golok diputarnya sedemikian rupa sehingga tubuhnya terlindung oleh gulungan sinar, membuat ancaman dan serangan ujung cambuk gagal semua.

Selama berkenalan dengan Hek-bin Thian-sin, baru sekali ini Legaspi Selado bertanding melawan bekas sekutu ini. Maka, dia yang terlalu mengandalkan kepandaian sendiri dan memandang rendah orang lain, ketika melihat betapa cambuk saktinya yang selama ini sukar menemukan tanding namun kini tak dapat berbuat banyak menghadapi datuk timur ini, menjadi terkejut bukan main.

"Tar-tar-tar... wuuttttt...!"

Sekarang dia merobah gerakan pecutnya. Ujung cambuk itu menjadi cahaya hitam yang melingkar-lingkar di atas, kemudian meluncur ke bawah dan tahu-tahu telah melibat golok Hek-bin Thian-sin. Datuk ini kaget sekali, tentu saja mempertahankan goloknya dengan pengerahan sinkang-nya. Terjadi tarik-menarik, keduanya mengerahkan tenaga sinkang.

"Trakkk...! Brettt...!"

Golok patah tengahnya, ada pun cambuk juga putus bagian tengahnya. Kedua orang itu mendengus marah, melempar gagang golok dan gagang cambuk, lantas mereka saling menerjang dengan tangan kosong!

Akan tetapi karena Hek-bin Thian-sin menggunakan tangan kirinya untuk memeluk bokor emas, maka dia hanya mempergunakan tangan kanan dan hal ini membuat dia terdesak hebat. Selagi kakek ini mencari jalan ke luar untuk melarikan diri, tiba-tiba terdengar suara tertawa halus dan dari atas melayang sesosok tubuh yang langsung menerjang dua orang yang sedang bertanding. Begitu terjun dari atas, tangan kiri orang itu mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Hek-bin Thian-sin dengan gerakan yang dahsyat sekali.

"Aihhh...!"

Hek-bin Thian-sin berteriak kaget, maklum bahwa serangan ke arah ubun-ubun kepalanya itu dapat mendatangkan maut! Maka segera dia menangkis dengan tangan kirinya dan pada saat itu juga, tangan kanan Toat-beng Hoatsu sudah merampas bokor emas yang dipegang erat-erat oleh tangan kiri datuk timur.

"Heii... kembalikan!" Hek-bin Thian-sin berseru.

"Serahkan bokor itu kepadaku!" Legaspi Selado juga berteriak.

Dua orang kakek ini mengulurkan tangan untuk merampas bokor, akan tetapi dengan gerakan sangat ringan, Toat-beng Hoatsu sudah mencelat ke atas, berjungkir balik dan tertawa melihat betapa Legaspi dan Hek-bin Thian-sin bertumbukan pada waktu berebut merampas bokor.

Tubrukan ini digunakan oleh Legaspi untuk menghantam ke arah dada Hek-bin Thian-sin. Melihat gerakan ini, Toat-beng Hoatsu yang sudah meluncur turun itu pun menggunakan telapak tangan kirinya untuk menghantam punggung Hek-bin Thian-sin. Diserang secara berbareng oleh kedua orang kakek sakti itu, dari depan dan belakang, Hek-bin Thian-sin terkejut, mengerahkan sinkang dan berusaha menangkis.

Namun terlambat. Dada dan punggungnya terpukul, dia berkelojot, matanya terbelalak, mulutnya menyemburkan darah segar, kedua tangannya masih berusaha untuk memukul kedua orang lawan itu. Namun, begitu Legaspi dan Toat-beng Hoatsu meloncat mundur, Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu terguling roboh dan tewas seketika. Tentu saja isi dadanya remuk terkena hantaman dua orang sakti dari depan dan belakang itu.

Legaspi Selado memandang kepada Toat-beng Hoatsu dengan mata terbelalak lebar. Dia belum pernah bertemu dengan kakek ini, akan tetapi dari keterangan Hek-bin Thian-sin ketika masih menjadi sekutunya, dia telah mendengar tentang empat orang datuk kaum sesat lainnya, maka kini melihat Toat-beng Hoatsu, segera dia dapat menduganya.

"Toat-beng Hoatsu, berikan bokor itu kepadaku!" bentaknya sambil meloncat ke depan dan serta merta dia memukul dengan kedua tangannya bergantian.

"Ha-ha-ha, anjing asing kau hendak ikut-ikut memperebutkan bokor?!" Toat-beng Hoatsu menangkis.

"Dess! Dess! Plak-plak-plakkk!"

Pertemuan kedua tangan secara bertubi ini membuat keduanya terhuyung ke belakang dan keduanya terkejut sekali. Pertemuan tangan mereka tadi telah membuktikan betapa masing-masing memiliki tenaga sinkang yang berimbang atau kalau ada selisihnya pun tidak banyak. Toat-beng Hoatsu yang sudah berhasil merampas bokor, segera meloncat jauh ke belakang dan melarikan diri keluar dari hutan itu.

"Kejar...!" Legaspi Selado berseru sambil lari mengejar, diikuti oleh sisa anak buahnya.

Akan tetapi, tiba-tiba tampak beberapa orang yang riap-riapan rambutnya melepas anak panah berapi sehingga terjadilah kebakaran di hutan itu yang menghadang Legaspi dan anak buahnya. Ternyata mereka itu adalah orang-orang Nepal yang menjadi anak buah Toat-beng Hoatsu!

Pada saat Toat-beng Hoatsu bersama tiga orang datuk lain secara berpencar menyelidiki larinya Siang-tok Mo-li, dia bersama Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok telah berunding dan bermufakat untuk bekerja sama. Mereka maklum bahwa kalau seorang di antara mereka berhasil mendapatkan bokor, tentu mereka akan terpaksa saling bunuh dan mereka tidak akan pernah dapat hidup aman dengan bokor di tangan.

Maka, mereka mengambil keputusan untuk bekerja sama sehingga kedudukan mereka kuat, dan Ban-tok Coa-ong malah menawarkan tempat persembunyiannya di Pulau Ular. Orang-orang Nepal itu merupakan para pembantu Ban-tok Coa-ong pula yang kemudian dibagi menjadi dua, sebagian membantu Toat-beng Hoatsu dan sebagian pula membantu Ban-tok Coa-ong untuk mencari secara terpisah.

Akhirnya Toat-beng Hoatsu yang berhasil lebih dulu dan bersama anak buah orang-orang Nepal itu dia melarikan diri ke pantai di mana sudah menanti sebuah perahu besar yang diberi nama Angin Barat. Toat-beng Hoatsu beserta anak buahnya disambut oleh Ban-tok Coa-ong yang telah kembali ke perahu dulu. Tentu saja Ban-tok Coa-ong menjadi girang sekali.

"Biarkan Angin Barat berangkat sendiri, kita berdua menggunakan perahu kecilku!" kata Ouwyang Kok Si Raja Ular itu.

"Mengapa begitu? Bukankah lebih aman naik Angin Barat yang besar?" Toat-beng Hoatsu bertanya.

"Benda ini dicari oleh banyak sekali orang pandai di dunia kang-ouw dan menurutkan ceritamu tadi, tentu Legaspi Selado tak akan tinggal diam begitu saja. Orang-orang asing itu memiliki kapal besar yang jauh lebih kuat dari pada perahu kita, maka kalau sampai kita tersusul di tengah lautan, tentu akan berbahaya sekali. Kapal asing itu mempunyai senjata api besar berupa meriam dan kalau perahu besar kita tenggelam, apa yang dapat kita lakukan? Lebih baik kita naik perahu kecil, perahu nelayan sehingga tidak ada yang menaruh curiga. Kalau kita sudah tiba di Pulau Ular, kita tidak perlu khawatir lagi terhadap serbuan musuh."

Toat-beng Hoatsu mengangguk-angguk, memuji kecerdikan dan sikap yang berhati-hati ini. Mereka mendahului berangkat dengan sebuah perahu layar kecil yang meluncur cepat walau pun pagi itu tiada angin, karena dua batang dayung digerakkan oleh dua pasang tangan yang memiliki kekuatan dahsyat.

Enam orang Nepal itu segera memasang layar, memberangkatkan perahu Angin Barat yang meluncur seenaknya di atas air laut meninggalkan pantai. Akan tetapi, sebelum jauh dari pantai, orang-orang Nepal yang rambutnya riap-riapan tertiup angin laut itu melihat perahu kecil dengan penumpang tiga orang. Orang yang tadinya duduk di tengah, yaitu seorang kakek kurus, tiba-tiba merampas dayung dari tangan temannya dan dialah yang kini mendayung perahu itu mendekati perahu besar Angin Barat.

"Wah, jangan-jangan mereka adalah mata-mata musuh!" Pemimpin orang Nepal berkata. "Jelas bukan perahu nelayan, akan tetapi, kalau perahu pelancong kenapa sampai begini jauh meninggalkan pantai?"

"Kita tabrak saja biar terguling dan menjadi mangsa ikan!" kata temannya.

Pemimpin orang-orang Nepal itu memegang kemudi perahu, lalu diputarnya perahu Angin Barat sehingga kini membelok dan dengan lajunya meluncur ke arah perahu kecil. Kakek yang memegang dayung segera menggunakan kedua tangan mendayung perahu untuk menghindari tubrukan. Perahu kecil itu memang terhindar, akan tetapi ombak yang dibuat oleh Angin Barat membuat perahu kecil oleng.

"Berpegang erat-erat!" kakek itu berseru, kemudian dayung di tangannya bergerak cepat dan... perahu kecil itu meluncur terbang ke atas perahu besar Angin Barat!

Dapat dibayangkan betapa kagetnya orang-orang Nepal itu melihat perahu kecil itu dapat ‘terbang’ ke atas perahu besar mereka. Tentu saja perahu kecil itu bukan terbang, akan tetapi terlempar ke atas ketika kakek kurus itu menggunakan dayungnya untuk menekan langkan perahu Angin Barat dan menggunakan kakinya untuk mengait papan di dalam perahu kecilnya. Dari kenyataan ini saja dapat dibayangkan betapa lihainya kakek kurus itu.

Dua orang Nepal hendak menyerbu, akan tetapi kakek itu mempergunakan dayungnya menampar sehingga kedua orang itu roboh pingsan! Terdengar suara keras ketika perahu kecil itu mendarat di atas dek perahu Angin Barat, dan empat orang Nepal dengan marah datang menerjang. Kembali dayung itu bergerak empat kali dan keempat orang ini pun roboh tak dapat bangkit kembali!

Tentu saja pemimpin orang Nepal yang roboh dan patah tulang pundaknya itu terkejut sekali sehingga timbul rasa takut di hatinya pada saat kakek tinggi kurus itu melangkah menghampirinya.

"Hayo katakan, di mana adanya Toat-beng Hoatsu!"

Pemimpin orang Nepal itu makin terkejut pada waktu mendengar orang tinggi kurus ini membentak kepadanya dalam bahasa Nepal yang cukup baik! Tahulah dia bahwa orang tinggi kurus ini adalah seorang aneh yang berkepandaian tinggi, maka sambil merintih dia berkata, "Ampunkan... hamba... hamba tidak tahu... kami hanyalah nelayan-nelayan..."

"Hemmm... masih berani membohong? Kalian tentu pelarian dari penjara di Nepal yang belum lama ini memberontak dengan bantuan Ban-tok Coa-ong, bukan? Jangan mengira aku tidak mengerti. Kau berhadapan dengan pengawal pertama dari Panglima Besar The Hoo."

Mendengar ini, orang Nepal itu dan juga kawan-kawannya yang sudah siuman menjadi sangat terkejut dan mereka langsung menjatuhkan diri berlutut minta-minta ampun. Orang kurus tinggi itu bukan lain adalah Pengawal Tio Hok Gwan, Si Pengantuk yang lihai itu! Dan orang yang datang bersamanya dalam perahu itu adalah dua orang pengawal yang selalu menemaninya, yaitu Si Muka Pucat Kui Siang Han dan Si Muka Merah Song Kim!

Sesudah selesai menggempur para pemberontak di Sungai Huang-ho, dan mendengar bahwa bokor emas dilarikan Kwi-eng Niocu, Si Pengantuk ini mengajak dua orang teman itu untuk segera melakukan pengejaran dan hal itu disetujui oleh Souw Li Hwa. Memang pengawal suhu-nya itu bertugas untuk mencari kembali bokor emas, maka dia mengalah dan dialah yang akan mengawal tawanan ke kota raja, setelah dia membebaskan Yuan de Gama.

"Aku sudah tahu bahwa pagi tadi Kakek Toat-beng Hoatsu telah kalian bantu di hutan, kemudian lari ke perahu Angin Barat ini. Hayo katakan, ke mana dia pergi bersembunyi."

Tahulah kini orang-orang Nepal itu bahwa mereka tidak mungkin dapat membohong lagi. "Dia bersama dengan Ban-tok Coa-ong sudah pergi dengan perahu layar kecil ke Pulau Ular."

"Pulau Ular? Di mana itu? Tempat apa?" Tio Gwan membentak.

"Kami sendiri belum lama ini dibawa oleh Ban-tok Coa-ong ke tempat itu, dan letaknya di bagian selatan Teluk Pohai. Pulau kosong yang amat berbahaya, penuh ular berbisa."

Tio Hok Gwan tidak berani sembrono melakukan pengejaran ke pulau itu. Dia tahu betapa lihainya Toat-beng Hoatsu. Menghadapi datuk pertama ini saja belum tentu dia dan dua orang pembantunya dapat menang, apa lagi di sana masih ada Ban-tok Coa-ang yang amat lihai dan berbahaya, bahkan kabarnya putera dari Raja Ular itu juga amat lihai, dan ditambah lagi dengan tempat berbahaya penuh ular dan mungkin anak buah mereka yang banyak jumlahnya.

Dia lantas memerintahkan dua orang pembantunya untuk melayarkan perahu Angin Barat itu ke tepi pantai, kemudian menyerahkan enam orang Nepal itu sebagai tahanan di kota terdekat dan dia sendiri bersama dua orang pembantunya, segera kembali ke kota raja untuk melaporkan kepada Panglima Besar The Hoo akan bokor emas yang kini berada di Pulau Ular.

********************

Kun Liong berjalan seorang diri sambil kadang-kadang tersenyum geli. Dia masih teringat akan nikouw yang diobatinya dan merasa geli bila mana teringat betapa tanpa disangka-sangkanya, dia berkesempatan untuk meraba-raba pinggul seorang wanita yang demikian halus dan mulus! Biar pun dia tidak berniat melakukan perbuatan itu melainkan terpaksa untuk mengobatinya, namun kini teringat akan itu, teringat pula betapa nikouw itu menjadi malu, dia tersenyum sendiri.

Betapa anehnya semua hal yang dialaminya, pikirnya. Hal-hal yang berhubungan dengan wanita! Dia selalu merasa senang berurusan dengan kaum wanita! Banyak sudah terjadi hal yang menyenangkan.

Dengan Liem Hwi Sian yang diciumnya dan yang ternyata menyatakan cinta kepadanya! Dengan Cia Giok Keng yang cantik jelita akan tetapi galak dan gagah perkasa. Dengan Yo Bi Kiok yang juga menyatakan cinta kepadanya! Dengan Souw Li Hwa yang angkuh. Kemudian dengan nikouw yang hanya dikenal sebelah pinggulnya saja! Aneh semua itu! Sudah ada dua orang dara cantik jelita yang mengaku cinta kepadanya. Akan tetapi mana mungkin dia membohongi mereka dan mengaku cinta? Tidak, dia tidak sekejam itu! Dia tidak mau membohongi dara-dara yang amat disukanya itu.

Mengenangkan kedua orang dara itu, dia merasa kasihan kepada Hwi Sian dan Bi Kiok. Mengapa dua orang dara itu begitu bodoh dan jatuh cinta kepadanya? Benarkah bahwa mereka mencintanya? Mengapa ketika dia berterus terang menyatakan bahwa dia suka akan tetapi tidak cinta, ketika ternyata bahwa dia tidak membalas cinta mereka, kedua orang dara itu menjadi marah dan berduka? Apakah cinta itu menuntut balasan?

Cintakah atau nafsu birahikah itu yang mendorong pria dan wanita saling mendekat dan masing-masing mencurahkan perasaannya dengan tuntutan yang menjadi dasar, tuntutan untuk saling memiliki, saling menguasai, saling menyenangkan dan disenangkan? Kalau ada tuntutan seperti itu, sudah pasti sekali akan tercipta rasa kecewa, duka, cemburu dan benci. Benarkah bahwa cinta dapat menimbulkan semua kesengsaraan ini? Kalau begitu, bukanlah cinta namanya, karena yang menimbulkan kecewa, duka, cemburu, benci dan iri adalah pikiran, ingatan.

Apa bila pikiran memasuki hati, semuanya akan menjadi keruh dan rusak, karena pikiran memperkuat si aku sehingga segala gerak tubuh, segala gerak hati serta pikiran selalu ditujukan demi kepentingan dan kesenangan si aku. Maka cinta pun menjadi bukan cinta lagi karena di situ terkandung tuntutan agar aku dicinta, aku diperhatikan, aku dipuaskan, engkau menjadi milikku, dan aku menggantungkan semua harapan akan kepuasan serta kenikmatan hidup kepadamu.

Selama engkau melayani segala kebutuhan lahir batin, selama engkau memuaskan aku, selama engkau menyenangkan aku, selama engkau menjadi milikku pribadi, mulut ini tak segan-segan menyatakan ‘aku cinta padamu’. Akan tetapi bila engkau mengingkari semua tuntutanku itu, kalau engkau tak mau melayani kebutuhan lahir batin dariku, kalau engkau mengecewakan aku, kalau engkau tidak menyenangkan aku, kalau engkau melepaskan diri dariku dan lari kepada orang lain, cintaku berubah menjadi cemburu dan benci!


Kun Liong menggaruk-garuk kepalanya. Yang begitukah cinta? Betapa rendah, dangkal, tipis dan tidak bermutu! Betapa pun juga, dia menyesal teringat bahwa dia menyebabkan dua orang dara itu merasa berduka dan kecewa. Akan tetapi, nanti dulu! Benarkah dia yang menyebabkan mereka merasa berduka? Bukankah yang menjadi penyebab adalah pikiran mereka sendiri?

Di dunia ini apa pun yang menimpa diri secara batiniah, yang menimbulkan perasaan girang-sedih, cinta-benci, puas-kecewa dan suka-duka, sama sekali tidak disebabkan dari luar, melainkan disebabkan oleh ingatannya sendiri. Ingatanlah yang menimbulkan semua itu. Kalau orang tidak mengingat akan masa lalu apakah ada itu yang dinamakan benci, duka dan sebagainya? Membenci seorang lain tentu ditimbulkan oleh ingatan akan masa lalu, apa yang sudah dilakukan oleh orang itu terhadap dirinya, tentu saja yang merugikan aku-nya. Ingatannya yang menjadi gara-gara kesengsaraan hidup. Dapatkah manusia hidup bebas dari ingatan, bebas dari pikiran?

Kun Liong menggerakkan kedua pundaknya dan melanjutkan perjalanannya memasuki hutan terakhir di kota Liok-bun. Agaknya kota ini dinamakan Liok-bun (Enam Pintu) oleh karena pintu gerbangnya berjumlah enam buah.

Ingatan memang ada perlunya, dia menjawab pertanyaannya sendiri sambil melangkah ke dalam hutan yang indah itu. Akan tetapi ingatan itu hanya perlu untuk menghadapi urusan lahiriah yang nyata, untuk keperluan pemeliharaan dan kelangsungan hidup ini. Tanpa ingatan tentu akan kacau-balau kehidupan lahiriah ini. Akan tetapi, sekali ingatan membayangkan segala hal yang lalu dan yang akan datang, membayangkan peristiwa-peristiwa yang dibagi dua sebagai hal yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, kalau pikiran memasuki batin, maka terciptalah segala perasaan yang bertentangan dan menjadikan hidup manusia ini seperti dalam neraka yang diceritakan dongeng.

Tiba-tiba Kun Liong sadar dari lamunannya oleh suara yang datang terbawa angin. Suara tambur dan terompet, suara banyak orang, suara pasukan yang besar! Suara itu datang dari arah depan, dari dalam kota Liok-bun. Agaknya di kota itu terdapat banyak pasukan, pikirnya sambil mempercepat langkahnya karena dia menjadi ingin sekali tahu mengapa tempat itu penuh dengan pasukan.

Pada saat dia sedang melangkah secara tergesa-gesa itu, tiba-tiba terdengar suara orang memanggilnya. "Ehh, bukankah kau Kun Liong...?"

Kun Liong cepat menahan langkahnya dan menoleh ke kiri. Betapa girangnya ketika dia mengenal Pendekar Sakti Cia Keng Hong sedang duduk seorang diri di bawah pohon! Cepat dia menghampiri dan memberi hormat.

"Cia-supek...! Mengapa Supek berada di sini seorang diri?"

Cia Keng Hong yang berpakaian sederhana dan membungkus rambut kepalanya dengan sutera kuning itu tersenyum. "Duduklah, Kun Liong. Aku sekarang sedang mengaso dan menjauhkan diri dari kesibukan pasukan. Betapa indah menyenangkan di tempat sunyi ini sesudah berpekan-pekan sibuk menghadapi banyak orang, juga melihat kekerasan dan perang. Sungguh benar ucapan seorang pujangga kuno bahwa di mana ada manusia, di situ tentu timbul kekerasan, kekejaman, dan kekacauan. Kebenaran itu terasa sekali kalau kita duduk menyendiri di tempat yang sunyi dari kehadiran manusia seperti di tempat ini."

Kun Liong duduk di atas rumput, di depan pendekar sakti itu. "Memang tepat sekali apa yang Supek katakan. Teecu (murid) sendiri juga telah berkali-kali menyaksikan kekerasan dan kekejaman yang terjadi antara manusia. Apakah semenjak kita berpisah di Ceng-to dahulu itu keadaan Supek baik-baik saja?"

Cia Keng Hong menarik napas panjang.

"Entah bagaimana aku harus menjawab pertanyaanmu itu. Sesudah aku melapor ke kota raja, pasukan dikirim dan aku ditugaskan untuk membantu. Pasukan pemerintah berhasil menghancurkan pemberontak, sisanya melarikan diri cerai-berai memasuki hutan-hutan. Mereka sudah terpecah belah, jadi tidak membahayakan keamanan negara lagi. Bahkan orang-orang asing itu sudah menghubungi pemerintah dan dengan perintah langsung dari kota raja mereka diperbolehkan untuk mendarat dan berdagang, akan tetapi terbatas di sekitar pantai Pohai saja. Aku melihat perang, melihat ratusan orang roboh dan tewas, saling bunuh dan saling sembelih. Entah keadaan seperti itu baik atau buruk." Pendekar sakti itu menarik napas panjang lagi.

Kun Liong juga menghela napas. Dia sendiri merasa ngeri saat menyaksikan keganasan manusia saling bunuh.

"Bagaimana dengan engkau sendiri?" Cia Keng Hong bertanya. "Apa yang terjadi dengan gadis yang kita tolong dari rumah Hek-bin Thian-sin di Ceng-to dahulu itu?"

"Nona itu bernama Liem Hwi Sian dan bersama kedua orang suheng-nya dia menerima tugas dari gurunya yang bernama Gak Liong di Secuan supaya membantu pemerintah untuk menyelidiki para pemberontak."

"Hemmm, jadi murid dari pendekar Secuan itu! Pantas dia gagah dan berani sekali, biar pun kurang perhitungan dan hampir celaka. Pendekar Gak Liong di Secuan adalah murid keponakan dari Panglima Besar The Hoo dan namanya sudah terkenal, sungguh pun dia sendiri tidak pernah terjun ke dunia ramai. Bagaimana dengan usahamu mencari kedua orang tuamu?"

Kun Liong mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepalanya yang gundul.

"Belum ada hasilnya sama sekali, Supek. Teecu merasa heran sekali ke mana perginya Ayah dan Ibu."

Cia Keng Hong memandang pemuda itu dengan sinar mata tajam, kemudian terdengar dia berkata, "Kun Liong, aku merasa khawatir sekali akan keadaan orang tuamu. Apa bila mereka itu masih hidup, tidak mungkin mereka berdua terus menyembunyikan diri selama bertahun-tahun, setidaknya mereka tentu akan datang mengunjungi kami di Cin-ling-san."

Kun Liong terkejut dan memandang wajah pendekar itu. "Maksud... maksud Supek...?"

"Aku khawatir bahwa telah terjadi sesuatu dengan mereka, Kun Liong."

"Bagaimana Supek dapat menduga begitu?" Kun Liong bertanya, wajahnya agak pucat.

"Pertama, ayah bundamu adalah orang-orang gagah yang tak mungkin menyembunyikan diri karena takut sampai bertahun-tahun. Ke dua, kalau mereka menghadapi kesukaran, ada dua tempat di mana mereka dapat datang, yaitu di Cin-ling-san atau di Siauw-lim-si. Akan tetapi di kedua tempat itu mereka tidak pernah muncul. Dan ke tiga, kedaan dunia makin kacau, orang-orang golongan sesat bermunculan dan mereka memiliki kepandaian yang tinggi, apa lagi dengan munculnya orang-orang asing. Oleh karena itu, sesudah aku sendiri berusaha menyelidiki dan mendengar-dengar tentang mereka, namun tanpa hasil seolah-olah orang tuamu itu lenyap ditelan bumi tanpa meninggalkan jejak, maka mulailah aku ragu-ragu apakah mereka itu masih hidup."

"Supek...!"
"Kun Liong, sebagai manusia kita harus berani menghadapi kenyataan hidup yang bagai mana pun juga. Kita tidak perlu melarikan diri dari kenyataan, kita harus berani membuka mata menyambut datangnya segala sesuatu yang kita hadapi, baik itu merupakan hal yang semanis-manisnya atau sepahit-pahitnya. Tidak perlu mencari-cari hiburan kosong bagi hati yang dirundung kekhawatiran, karena dengan demikian rasa takut akan makin menggerogoti hati. Kenyataannya adalah orang tuamu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas, dan ini adalah tidak wajar sama sekali kecuali tentu saja kalau mereka itu sudah tewas."

Kun Liong memejamkan kedua mata-nya. Sampai lama dia duduk mengatur napas untuk menahan pukulan batin yang timbul dari kekhawatirannya mendengar kata-kata pendekar sakti itu. Cia Keng Hong memandang dengan penuh rasa terharu dan juga kagum.

Pemuda ini menarik hatinya dan makin condong hatinya untuk menjodohkan puterinya dengan pemuda ini. Dia mendiamkan saja sampai pemuda itu membuka kembali kedua matanya dan sepasang mata yang tajam itu kelihatan membasah.

"Supek benar. Kita harus berani menghadapi kenyataan hidup, betapa pun pahitnya. Dan setelah teecu pikir-pikir, memang tidak mungkin kalau Ayah dan Ibu bersembunyi sampai bertahun-tahun ini. Besar sekali kemungkinan bahwa kedua orang tua teecu itu, telah... telah tewas. Namun tetap teecu akan mencarinya, setidaknya mencari tahu bagaimana hal itu terjadi, kalau benar-benar mereka telah tewas."

Cia Keng Hong mengangguk. "Memang semestinya begitu, dan aku pun akan berusaha mencari keterangan dari kenalan-kenalanku. Kini engkau hendak ke mana, Kun Liong?"

"Pertama-tama, teecu akan melanjutkan usaha teecu untuk mengambil kembali dua buah pusaka Siauw-lim-pai yang dicuri oleh Kwi-eng-pang. Selain itu, juga teecu harus minta kembali pusaka bokor emas yang terjatuh ke tangan Kwi-eng Niocu."

"Bokor emas? Pusaka The-taiciangkun yang hilang?" Cia Keng Hong bertanya.

Kun Liong mengangguk dan dengan singkat dia segera menceritakan tentang perebutan pusaka yang telah berada di tangannya itu namun terpaksa dia melemparkannya kepada Kwi-eng Niocu dengan harapan kelak dapat dia minta kembali.

Mendengar penuturan itu, Cia Keng Hong menarik napas panjang. "Aihhhh, tugasmu ini sungguh amat berbahaya dan berat, Kun Liong. Telaga Kwi-ouw sangat terkenal sebagai tempat yang amat berbahaya, sesuai dengan namanya. Dan entah sudah berapa hanyak tokoh kang-ouw tewas ketika berusaha mendatangi pulau di tengah telaga yang dijadikan sarang Kwi-eng-pang."

"Teecu pernah mendarat di pulau itu, Supek."

Cia Keng Hong kelihatan terkejut. "Heh? Benarkah?"

Kun Liong lalu menceritakan pengalamannya ketika dia pergi ke pulau di tengah Telaga Setan itu, betapa di tepi telaga dalam hutan dia bertemu dengan Toat-beng Hoatsu yang tidak dikenalnya, kemudian betapa dia ditipu oleh pelayan wanita Kwi-eng Niocu sehingga tertawan dan dia dijadikan rebutan antara Siang-tok Mo-li dan Toat-beng Hoatsu sehingga akhirnya dia menjadi tawanan kakek datuk kaum sesat nomor satu itu.

"Aihhhh, kalau begitu engkau sama sekali belum mengenal Telaga Setan dan pulaunya itu," kata Cia Keng Hong. "Dan masih untung engkau tertawan secara itu karena andai kata engkau yang belum mengenal rahasia Telaga Setan itu datang sendiri ke sana dan melakukan pendaratan, mungkin engkau akan celaka dan tewas dalam jebakan-jebakan rahasia yang amat berbahaya. Aku pernah mendengar penuturan seorang sahabat yang telah berhasil menyelidiki rahasia itu maka bila kau hendak mendarat ke sana, sebaiknya engkau mempelajari rahasia-rahasia yang akan kulukiskan untukmu."

Pendekar sakti itu lalu bertepuk tangan dan menggapai kepada seorang penjaga di luar pintu gerbang kota Liok-bun yang tampak dari situ. Prajurit yang memegang tombak itu lari mendatangi dan memberi hormat kepada pendekar ini. Cia Keng Hong menyuruhnya mengambilkan kertas dan alat tulis.

Penjaga itu cepat berlari memasuki pintu gerbang kota Liok-bun. Tak lama kemudian dia datang berlari-lari membawa kertas lebar bergulung dan alat tulis yang diminta pendekar itu. Kemudian, penjaga itu melangkah agak menjauh lalu berdiri dengan tombak tetap di tangan, berjaga dan menanti perintah selanjutnya dari pendekar itu.

Cia Keng Hong lalu mulai membuat gambaran telaga beserta pulaunya sambil memberi petunjuk kepada Kun Liong yang memandang penuh perhatian.

"Tepi Telaga Kwi-ouw dari tiga jurusan, yaitu barat, selatan dan timur, merupakan daerah yang kelihatannya datar dan aman, tetapi justru tiga bagian inilah yang paling berbahaya bagi para pendatang dari luar. Tiga daerah ini penuh dengan alat-alat jebakan yang amat berbahaya sekali."

"Akan tetapi, Supek. Ketika teecu ikut dengan perahu pelayan itu, teecu juga melalui dari selatan."

"Karena pelayan itu sudah sangat mengenal daerahnya, tentu saja dia dapat mendayung perahunya dengan aman. Di bagian selatan itu, di bawah permukaan air terdapat banyak sekali ranjau yang berupa batu karang di bawah permukaan air, akan tetapi sekali saja disentuh oleh perahu asing, anak panah yang banyak sekali dan yang sudah dipasang di dalam batu karang buatan itu akan meluncur ke luar dan menyerang penumpang perahu secara tiba-tiba dan hebat sekali. Di samping itu, begitu orang mendarat di pulau itu dari selatan, walau pun di situ penuh pasir, namun terdapat bagian pasir yang berputar dan menyedot kaki orang yang menginjaknya sehingga tanpa petunjuk orang yang mengenal daerah itu, sekali kakimu terseret, sukarlah bagimu untuk menyelamatkan diri."

Kun Liong terbelalak dan bergidik ngeri.

"Daerah barat juga sangat berbahaya karena penuh dengan lubang-lubang jebakan yang tertutup dengan rumput hidup, dan di dalam setiap lubang terisi banyak ular berbisa yang siap menyambut setiap orang yang terjeblos masuk. Juga air di bagian itu banyak sekali terdapat ganggang yang hidup di bawah permukaan air, penuh dan dapat mendamparkan perahu yang lewat. Tentu saja bagi mereka yang sudah hafal, mereka tahu bagian mana yang tumbuhan ganggangnya tak begitu banyak sehingga dapat dilalui perahu. Kemudian bagian timur, biar pun tidak dipasangi jebakan pada permukaan air telaga, namun di situ terdapat air berpusing yang amat berbahaya, dapat menyeret dan menyedot perahu ke dalam pusingan air. Agaknya ada sebuah lubang besar di bagian ini yang menciptakan air berpusing. Sedangkan di daratan pulau di timur ini terdapat alat-alat rahasia yang kalau dilanggar kaki asing, akan membuat timbunan batu besar yang menggunung di bagian ini runtuh ke bawah dan tentu saja akan langsung menyerang para pendatang, sukar untuk menyelamatkan diri dari serangan batu-batu besar itu."

"Ihhh, keji sekali!" Kun Liong berseru dan merasa lega bahwa dia telah diberi tahu akan hal-hal yang membahayakan itu sehingga dia dapat lebih berhati-hati.

"Satu-satunya jalan adalah melalui utara. Akan tetapi bagian yang bersih dari jebakan ini merupakan daerah yang sangat sukar didatangi. Tepi daratan pulau pada bagian ini amat terjal, merupakan tebing tinggi yang curam sekali dan tidak mudah didaki dari bawah." Cia Keng Hong membuat lukisan tebing tinggi itu sambil memberi penjelasan. "Akan tetapi, sahabatku itu pernah melihat beberapa kera memanjat ke atas dan hal ini memberi dia petunjuk bagaimana caranya mendatangi pulau dengan aman. Yaitu dengan memanjat akar-akar yang menonjol keluar di dinding tebing itu, memanjat melalui akar dan batu menonjol. Tentu saja hal ini harus dilakukan dengan hati-hati, membutuhkan keringanan tubuh dan kecekatan, karena biasanya hanya monyet saja yang dapat memanjat ke atas. Sekali injakan kaki atau pegangan tangan terlepas, engkau akan terjatuh ke bawah dan tentu takkan dapat menghindarkan diri lagi dari maut."

"Agaknya, memang jalan melalui tebing itu yang paling aman," Kun Liong berkata sambil memandang lukisan supek-nya.

"Betapa pun juga, engkau harus berhati-hati sekali karena siapa tahu kalau Kwi-eng-pang yang kuat itu kini telah memasangi jebakan pula pada jalan paling sukar akan tetapi paling aman ini."

Mendadak prajurit yang tadi berdiri berjaga dengan tombak di tangan berseru, "Taihiap, Liu-ciangkun datang menghadap!"

Kun Liong menoleh dan Cia Keng Hong memandang seorang perwira yang bertubuh tinggi besar. Perwira itu cepat memberi hormat kepada pendekar sakti itu dan berkata, "Ada seorang utusan dari kerajaan datang membawa sepucuk surat untuk disampaikan kepada Taihiap, dari Panglima Besar The Hoo sendiri."

Cia Keng Hong menggulung gambar itu, menyerahkannya kepada Kun Liong, kemudian dia bangkit berdiri dan menerima sampul tertutup. Setelah mengucapkan terima kasih dan perwira itu pergi pula, kemudian berdua dengan Kun Liong, pendekar itu kembali duduk di bawah pohon dan membuka surat dari Panglima Besar The Hoo.

Wajahnya yang masih tampan dan gagah tidak membayangkan sesuatu ketika membaca surat itu sehingga sukar bagi Kun Liong untuk menduga apakah surat itu membawa berita baik ataukah buruk. Setelah selesai membaca, Cia Keng Hong melipat surat, menyimpan ke dalam saku jubahnya, memandang Kun Liong dan berkata,

"Ahh, sungguh hebat luar biasa, bokor emas itu benar-benar menimbulkan geger di dunia kang-ouw. Kun Liong, bokor itu telah terlepas lagi dari tangan Kwi-eng Niocu seperti yang kau ceritakan kepadaku dan sekarang bokor itu berada di tangan Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong. Mereka membawa bokor itu ke Pulau Ular! Panglima Besar The Hoo mendengar laporan ini dari Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan. Hemm, Pulau Ular di Teluk Pohai. Berbahaya sekali! Dan Nona Souw secara lancang pergi sendiri melakukan penyelidikan ke sana!"

Kun Liong terkejut. "Apakah Supek maksudkan Nona Souw Li Hwa?"

"Engkau sudah mengenalnya?"

"Sudah beberapa kali teecu berjumpa dengan Nona Souw Li Hwa," Kun Liong menjawab singkat. Dia merasa malu kalau harus menceritakan betapa dia pernah menjadi tawanan nona cantik itu! "Bukankah dia murid Panglima Besar The Hoo?"

"Memang dari gurunya dia mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi. Akan tetapi dia masih amat muda dan belum berpengalaman. Bagaimana dia begitu lancang untuk pergi seorang diri ke Pulau Ular? Betapa mungkin dia dapat melawan dua orang datuk kaum sesat yang lihai itu? Ahh, sungguh mengkhawatirkan sekali. Panglima The Hoo minta kepadaku untuk merampas kembali bokor itu, akan tetapi berita tambahan tentang kepergian nona itu ke Pulau Ular, benar-benar membikin gelisah."

"Supek, kalau begitu, biarlah teecu lebih dulu menyusulnya ke sana."

Cia Keng Hong memandang kepadanya. Dia maklum bahwa pemuda ini mempunyai ilmu kepandaian yang hebat, apa lagi kini telah menjadi pewaris Thi-khi I-beng sehingga boleh diandalkan. Dia sendiri harus mengepung Pulau Ular itu sebab kalau dia menyerbu begitu saja, kedua orang datuk itu akan dapat melarikan diri dan membawa bokor emas. Maka dia harus mengepung ketat pulau itu, barulah dia akan turun tangan. Dengan demikian, dua orang datuk itu tidak akan mendapat kesempatan untuk membawa lari bokor emas milik Panglima The Hoo itu.

"Bagus sekali kalau kau suka membantu, Kun Liong. Memang bokor itu perlu sekali untuk diselamatkan. Jika sampai terjatuh ke tangan penjahat, bisa berbahaya. Bokor itu selain mengandung petunjuk tempat rahasia penyimpan harta pusaka terpendam yang sangat besar jumiahnya, juga penyimpanan kitab-kitab pusaka pelajaran ilmu silat yang mukjijat. Demikian menurut keterangan yang kuperoleh dari Panglima The Hoo sendiri. Bokor itu dahulu milik seorang pendeta perantau berilmu tinggi yang kemudian meninggal dunia di Nepal. Sesudah berpindah-pindah tangan, akhirnya bokor itu terjatuh ke tangan Panglima The Hoo dan hingga kini belum ada yang dapat membuka rahasia tempat penyimpanan pusaka itu."

Kun Liong mengangguk-angguk. "Memang teecu harus ikut berusaha mendapatkannya kembali, bukan hanya mengingat bahwa teecu ikut bersalah membiarkan bokor terjatuh ke tangan datuk kaum sesat, juga dahulu teecu sudah berjanji kepada perwira pengawal Tio Hok Gwan untuk kelak menghaturkan bokor itu kepada Panglima The Hoo sendiri!"

Kun Liong tidak mendapat keterangan sejelasnya tentang letak Pulau Ular, kemudian dia menerima bekal secukupnya dari Cia Keng Hong, karena untuk keperluan itu dia harus membeli sebuah perahu di pantai Pohai. Setelah menerima petunjuk dan nasehat, Kun Liong berangkat secepatnya seorang diri menuju ke daerah Teluk Pohai, sedangkan Cia Keng Hong segera berunding dengan para perwira yang memimpin pasukan pemerintah untuk mengatur siasat, mengepung Pulau Ular dan mengatur persiapan.

********************

Air laut bergelombang amatlah indah dan megahnya. Mempunyai keindahan yang khas. Air laut itu seolah-olah bernafas, tak kunjung henti bergerak dan terayun-ayun, bersenda gurau tertawa-tawa. Anak-anak ombak bagai sekumpulan kanak-kanak yang masih belum mengenal pikiran susah, kepala ombak memercik dan membuih putih menari-nari dengan riangnya.

Akan tetapi, di balik keriangan yang nampak di atas gulungan ombak itu, bersembunyilah keangkeran dan kebesaran yang sangat dalam dan menyeramkan, penuh rahasia, penuh kediaman, namun penuh pengertian.

Air laut itu, yang oleh manusia dikatakan benda mati, sesungguhnya hidup. Itulah baru hidup yang sungguh-sungguh hidup namanya! Sangat bebas dan hidup, melakukan apa saja, bergerak bagaimana saja sewajarnya, bebas tanpa ikatan, tanpa perintah, tidak ada yang terpecahkan antara gerakan salah dan gerakan benar.

Justru kita manusia ini yang hidupnya seperti boneka. Segala gerak kita tidak wajar, tidak bebas. Setiap gerak kita adalah gerakan menjiplak atau gerakan yang dikendalikan, bagai boneka yang digerakkan dengan tali-tali pengikat, ‘didalangi’ oleh tradisi dan kebudayaan uang, hukum yang sudah karatan, peradaban tua, sedemikian tuanya sehingga semua gerak-gerik kita hanya merupakan kepalsuan, kedok-kedok yang tidak wajar!

Kita berbuat baik bukan karena memang baik, melainkan karena ingin baik. Keinginan selalu berpamrih (menyembunyikan kehendak tertentu) sehingga perbuatan itu sendiri lalu menjadi kedok kebaikan yang menyembunyikan pamrih yang sebenarnya. Kita bersikap manis dan ramah kepada orang bukan karena keadaan kita memang demikian, melainkan karena kita ingin mentaati hukum sopan santun dan kesusilaan sehingga sikap manis kita itu adalah palsu, dan hidup kita seperti benda mati yang digerakkan. Alangkah bedanya dengan air laut itu!


Matahari baru saja muncul dari permukaan laut sebelah timur. Cahaya bola api yang amat besar itu membuat segala benda menjadi berkilau seperti diselaput emas, kuning merah keemasan. Cahaya yang hangat ini menyelimuti permukaan air laut yang bergerak rata dan halus seperti napas seorang bayi tidur.

Sebuah perahu kecil berbentuk meruncing meluncur cepat ke arah selatan, digerakkan oleh hembusan angin pada layar yang berkembang dan melengkung penuh menampung angin. Perahu itu meluncur di atas permukaan air yang keemasan, menuju ke sebuah pulau yang sudah nampak dari perahu itu, sebuah pulau memanjang yang kelihatannya bagai sepotong balok dan di atasnya terdapat sebuah bukit yang berbentuk seperti seekor ular melingkar di atas balok itu. Itulah Pulau Ular!

Dara yang berada seorang diri di perahu itu cantik jelita. Sepasang pipinya kemerahan, karena mengemudi perahu yang mula-mula didayungnya dari daratan itu membutuhkan pengerahan tenaga. Setelah perahu meluncur dekat pulau yang ditujunya, ia menggulung layar dan membiarkan perahunya terkatung-katung sambil memandang penuh perhatian ke arah Pulau Ular.

Dara ini bukan lain adalah Souw Li Hwa, dara cantik jelita yang gagah perkasa itu, murid Panglima Besar The Hoo yang sakti. Li Hwa memang terkenal memiliki keberanian yang luar biasa. Pada saat mendengar dari pengawal Tio Hok Gwan bahwa bokor emas milik gurunya itu telah terampas oleh datuk kaum sesat Toat-beng Hoatsu dan disembunyikan di Pulau Ular, serta merta dia pergi seorang diri untuk melakukan penyelidikan ke pulau itu.

Gurunya, Panglima Besar The Hoo, merasa terkejut dan khawatir sekali mendengar akan kelancangan muridnya ini. Karena itu panglima besar ini lalu cepat minta bantuan kepada Pendekar Sakti Cia Keng Hong, bahkan dia sendiri lantas memimpin pasukan istimewa untuk menyusul muridnya.

Li Hwa dengan nekat melakukan ke Pulau Ular begitu mendengar berita tentang bokor itu, karena dia merasa penasaran sekali. Bokor itu seakan-akan sudah berada di tangannya ketika dia telah berhasil menawan Kun Liong, karena hanya pemuda gundul itu sajalah yang tahu di mana adanya pusaka itu. Akan tetapi pada saat-saat terakhir dia pun gagal mendapatkan bokor, maka begitu mendengar bahwa benda pusaka itu sekarang berada di Pulau Ular, tanpa mengingat bahayanya, dia cepat melakukan pengejaran ke tempat berbahaya itu.

Keadaan pulau itu memang menyeramkan. Sebuah pulau yang tadinya kosong sebelum ditemukan oleh Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan dijadikan sarangnya. Ketika Si Raja Ular ini menemukan pulau itu, dia girang bukan main melihat bahwa pulau yang kosong itu di samping memiliki tanah yang subur juga penuh dengan ular berbisa dan pulau itu merupakan sebuah benteng yang kuat.

Memang dulu, ratusan tahun yang lalu, pulau ini pernah dijadikan benteng oleh pasukan-pasukan daratan Tiongkok ketika barisan menyerang ke Kolekok (Korea) di jaman cerita Sam-kok. Karena beberapa kali pasukan daratan terpukul mundur oleh pasukan Kolekok yang dipimpin oleh panglima wanita yang sakti bernama Hoan Lee Hwa, maka pulau itu dijadikan benteng ketika mereka mundur, demikianlah menurut dongeng.

Kini pulau itu menjadi sebuah tempat tinggal yang indah akan tetapi juga menyeramkan bagi orang luar. Pulau itu bertanah subur, bahkan sebagian tanahnya telah diolah menjadi ladang yang subur dan yang menghasilkan bahan makanan, dikerjakan oleh anak buah Ban-tok Coa-ong.

Akan tetapi, datuk kaum sesat ini pun telah menangkap banyak ular-ular beracun dan ular-ular ini kemudian dilepas di pulaunya sehingga beberapa tahun kemudian, pulau ini penuh dengan ular dari segala macam ukuran dan warna, kesemuanya mengandung bisa yang amat jahat. Maka terkenallah Pulau Ular dan tidak ada seorang pun pelancong atau nelayan yang berani mendekati pulau itu.

Oleh karena sudah bertahun-tahun tak ada orang berani mendekati pulau, ditambah pula dengan keadaan pulau yang terlindung oleh tembok benteng tebal, serta mengandalkan nama besarnya yang ditakuti, maka Ban-tok Coa-ong tidak melakukan penjagaan dan membiarkan pulau itu ‘terbuka’. Namun, semenjak Toat-beng Hoatsu datang dan berhasil membawa bokor emas, anak buah Ban-tok Coa-ong segera dikerahkan untuk melakukan penjagaan di sekeliling pulau, di atas tembok-tembok benteng.

Anak buah Ban-tok Coa-ong yang tinggal di Pulau Ular terdiri dari orang-orang Nepal dan pribumi, tentu saja mereka adalah orang-orang dari golongan hitam. Mereka berjumlah kurang lebih lima puluh orang dan sebagian di antara mereka ada pula yang membawa keluarga mereka. Bahkan di antara orang-orang Nepal ada pula yang membawa isteri dan tinggal di Pulau Ular dengan beberapa orang anak mereka.

Karena bertahun-tahun tak ada orang luar berani memasuki Pulau ular, maka anak buah Ban-tok Coa-ong tidak pernah menghadapi serangan musuh. Hal ini membuat mereka sangat percaya kepada kekuatan sendiri, terutama mengandalkan nama besar pemimpin mereka.

Walau pun kini mereka menerima tugas untuk berjaga-jaga, namun karena mereka tidak percaya akan ada orang yang berani datang ke pulau itu, mereka melakukan penjagaan dengan malas-malasan. Apa lagi di pulau itu selain pemimpin mereka, Ban-tok Coa-ong yang sangat sakti, masih terdapat pula putera pemimpin mereka itu yang mereka sebut Ouwyang-kongcu (Tuan Muda Ouwyang), bahkan masih ada lagi kakek tua renta yang kabarnya tidak kalah lihai dibandingkan pemimpin mereka, yaitu Toat-beng Hoatsu.

Penjagaan yang tidak ketat itu memudahkan Li Hwa untuk mendaratkan perahunya di tepi Pulau Ular tanpa diketahui oleh para penjaga. Sesudah menyembunyikan perahunya di dalam semak-semak di pinggir telaga, Li Hwa lalu mulai dengan penyelidikannya, menuju ke tengah pulau di mana tampak olehnya bangunan-bangunan pondok.

Dia melihat para penjaga, makin ke tengah makin banyak, akan tetapi para penjaga itu sedang bercakap-cakap dan agaknya sama sekali tak memperhatikan penjagaan mereka. Apa lagi ketika dia tiba di antara pondok-pondok yang berdiri berjajar di tengah pulau, dia melihat betapa banyak penjaga sedang tertarik dengan sebuah peristiwa yang terjadi di tempat terbuka depan sebuah pondok terbesar.

Li Hwa segera menyelinap di antara pobon-pohon dan pondok-pondok, kemudian berhasil meloncat naik ke atas sebuah pohon besar dan mengintai ke bawah. Ada belasan orang laki-laki membentuk sebuah lingkaran lebar tempat itu. Mereka itu terdiri dari tujuh orang Nepal yang berambut panjang dan selebihnya adalah orang Han biasa. Mereka rata-rata bersikap kasar dan ketika itu mereka tersenyum menyeringai lebar seakan-akan sedang menghadapi sebuah tontonan yang menarik hati.

Di ujung sana duduk seorang pemuda berwajah tampan yang menyeringai lebar dan mata pemuda tampan ini bergerak-gerak liar menyeramkan. Melihat sikap dan pakaiannya yang seperti pakaian seorang putera bangsawan itu, mudah diduga bahwa dia tentulah seorang yang tinggi kedudukannya di antara mereka, dan bahkan Li Hwa dapat menduga bahwa agaknya pemuda itu adalah Ouwyang Bouw, yaitu pemuda iblis putera Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang kabarnya memiliki kekejaman melebihi ayahnya.

Akan tetapi pada saat itu, yang menarik perhatian Li Hwa adalah tontonan yang membuat belasan orang itu tertarik, yaitu yang terdapat di tengah-tengah lingkaran mereka. Dia melihat dua orang laki-laki dan wanita. Melihat bentuk wajah dan model rambut mereka, mudah diketahui bahwa laki-laki dan wanita itu tentulah bangsa asing Nepal seperti tujuh orang pria yang menonton di situ.

Laki-laki itu tinggi besar, usianya antara empat puluh tahun, sedangkan wanitanya berkulit putih tidak seperti kaum prianya, berusia antara tiga puluh tahun. Yang mengherankan hati Li Hwa adalah bahwa bahwa kedua orang itu bertelanjang bulat sama sekali! Wanita itu kelihatan takut, wajahnya pucat dan matanya terbelalak lebar memandang ke sana-sini seperti orang minta tolong. Sedangkan yang pria hanya menunduk, kelihatannya seperti orang yang sudah putus harapan dan menyerahkan diri kepada nasib.

Tiba-tiba pemuda tampan yang bermata liar, yang memang bukan lain adalah Ouwyang Bouw itu, mengangkat tangan ke atas dan agaknya ini merupakan isyarat karena semua orang yang tadinya menonton sambil berbisik-bisik, sekarang terdiam semua, dan hanya memandang ke arah wanita telanjang bulat.

Wanita ini berusaha sedapat mungkin mempergunakan kedua tangannya untuk menutupi tubuhnya. Lengan kirinya melintang di depan dada dan tangan kanannya menutupi bagian bawah pusarnya, kedua kaki dirapatkan dan wanita itu berlutut setengah menelungkup, hanya mukanya diangkat ke atas memandang kepada para penonton dengan sinar mata minta pertolongan. Ada pun laki-laki telanjang itu hanya mempergunakan kedua tangan menutupi bawah pusarnya sambil berlutut dan menundukkan muka.

"Hemmm, kalian sudah tertangkap basah. Sanghida, kau mau bilang apa lagi? Mengapa engkau berjinah dengan isteri Rajid?"

Laki-laki telanjang itu semakin menunduk dan dengan suara lemah dia menjawab, "Saya mencinta dia, Ouwyang-kongcu."

"Betulkah? Apa engkau menganggap dia cukup berharga untuk kau bela dengan nyawa?"

Sanghida, orang Nepal itu, mengangguk. "Saya bersedia membelanya dengan nyawa."

"Ha-ha-ha, agaknya Madhula pandai sekali melayanimu hingga engkau sudah tergila-gila, ha-ha-ha!" Ouwyang Bouw tertawa dan semua orang yang menonton ikut pula tertawa, kecuali seorang di antara mereka yang bertubuh gemuk, seorang Nepal yang mukanya merah.

"Heii, Madhula! Engkau yang berjinah dengan laki-laki lain, apakah lebih senang kepada Sanghida dari pada kepada suamimu sendiri?" Kembali Ouwyang Bouw bertanya dan kini ditujukan kepada wanita itu.

Wanita itu menoleh dan memandang kepada Ouwyang Bouw dengan sinar mata penuh kemarahan. Dari atas Li Hwa dapat melihat bahwa wanita itu ternyata memang cantik sekali, kecantikan yang aneh, khas dan menarik.

"Ouwyang-kongcu, engkau tentu lebih tahu apa yang sudah terjadi! Karena aku sudah menolak cintamu, menolak bujukan dan rayuanmu untuk berjinah denganmu karena aku selalu setia kepada suamiku, maka engkau telah mempergunakan Si Jahanam Sanghida ini untuk memperkosaku! Engkau menaruh racun dalam minuman kami sehingga kami berdua teracun dan mabok, melakukan perbuatan di luar kesadaran kami berdua selagi suamiku kau suruh berjaga di luar. Kemudian kau sendiri yang sengaja menangkap kami dan menuduh kami berjinah. Tentu semua ini kau lakukan untuk membalas penolakanku terhadap bujukanmu!"

"Tutup mulutmu!" Ouwyang Bouw membentak marah sekali, akan tetapi kemudian dia tertawa-tawa lagi.

Sikap yang berubah-ubah ini amat menyeramkan, dan Li Hwa yang berada di atas pohon menduga bahwa agaknya pemuda itu memang benar-benar gila seperti disohorkan dunia kang-ouw.

"Semua tuduhan itu tidak ada buktinya. Akan tetapi perjinahan kalian sudah jelas terbukti. Kalau kalian tidak berjinah, mana mungkin kalian berdua berada di dalam satu kamar dan satu pembaringan tanpa pakaian sama sekali?" Dia tertawa dan semua orang tertawa pula.

Wanita itu tidak menjawab, hanya memandang dengan mata terbelalak penuh kemarahan kepada Ouwyang Bouw.

Pemuda ini kembali tertawa bergelak, kemudian secara tiba-tiba menghentikan tawanya, memandang wanita itu dan berkata, "Madhula, engkau memang cantik sekali dan pantas diperebutkan oleh kaum pria. Heii, Rajid, apa katamu? Setelah kau melihat sendiri betapa isterimu dipeluk dan ditiduri oleh Sanghida, beranikah engkau mempertahankannya dan melawan Sanghida?"

Orang Nepal yang bermuka merah dan bertubuh gemuk, yang sejak tadi bermuka muram dan tidak ikut tertawa seperti yang lain, meloncat ke depan, memandang kepada dua orang yang telanjang itu, kemudian meludah ke bawah dan berkata, "Perbuatan mereka yang terkutuk ini sudah jelas! Anjing jantan ini harus dibunuh dan anjing betina ini pun tak patut dibiarkan hidup!"

"Ha-ha-ha, kalau begitu, kuberikan Sanghida kepadamu, Rajid!" kata Ouwyang Bouw.

Mendengar ucapan ini, orang Nepal yang gemuk itu mengeluarkan suara teriakan keras dan tubuhnya sudah cepat menerjang maju, mengirim pukulan dengan tangan terkepal ke arah kepala Sanghida yang telanjang. Biar pun tubuhnya gemuk, akan tetapi orang Nepal bermuka merah ini gerakannya amat cepat, menunjukkan bahwa dia memiliki kepandaian tinggi.

Akan tetapi, dengan tangan kiri masih menutupi bawah pusarnya, Sanghida mengelak dengan meloncat ke belakang. Gerakannya sigap sekali dan ketika Rajid menerjang lagi, Sanghida menangkis dengan lengan kanan. Tubuh Rajid terhuyung-huyung ke belakang dan ternyata bahwa dia kalah tenaga.

"Rajid... aku tak ingin bertempur denganmu...!" Sanghida berkata dan dia menangkis lagi, kini sambil menangkis, tangan kanannya berhasil menangkap pergelangan tangan Rajid dan sekali menariknya, tubuh Rajid terdorong ke depan dan hampir terbanting jatuh. Rajid makin marah, mukanya makin merah pada saat dia meloncat membalik sambil mencabut senjatanya yang berbentuk sebatang golok melengkung dan tajam sekali...
Selanjutnya,

Petualang Asmara Jilid 20

Petualang Asmara Jilid 20
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
HEK-BIN-THIAN-SIN diam saja dan terus mengejar. Dia mendongkol sekali kenapa Legaspi Selado, tokoh asing botak yang sangat lihai itu, yang sudah berjanji akan membantunya memperebutkan bokor emas, masih juga belum muncul. Apa bila ada Si Botak Asing itu bersama pasukannya, tentu dia akan dapat merampas bokor dan mengatasi empat orang datuk lainnya.

Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang mengejar di sebelah belakang, tiba-tiba mengeluarkan suara melengking tinggi dua kali. Dari jauh terdengar lengkingan tinggi yang hampir sama, juga dua kali.

Bu Leng Ci tersenyum girang dan dia mempercepat larinya, akan tetapi tidak mengambil jalan yang sama seperti yang dilalui Kwi-eng Niocu dan tiga orang pengejarnya. Kwi-eng Niocu mengambil jalan mendaki naik ke pegunungan, ada pun Siang-tok Mo-li memotong jalan melalui sebelah bawah dari mana tadi dia mendengar suara melengking tinggi yang menyambut tanda rahasianya. Pada waktu dia tiba di seberang sebuah jurang, tampaklah olehnya di sebelah atas, terhalang oleh jurang itu, bayangan Kwi-eng Niocu sedangkan tiga orang pengejarnya sudah hampir menyusul Ketua Kwi-eng-pang itu.

"Ang-cici...! Lekas lemparkan ke sini...!" Bu Leng Ci berseru.

Ang Hwi Nio sedang gelisah karena tiga orang datuk itu sudah dekat sedangkan dia tidak melihat bayangan adik angkatnya. Saat mendengar suara ini dia menengok dan giranglah hatinya melihat orang yang dicari-carinya itu berada di sebelah bawah, terhalang jurang yang amat curam dan cukup lebar. Dia percaya bahwa dia mampu melemparkan bokor itu sampai ke seberang jurang dan dia percaya pula bahwa adik angkatnya cukup lihai untuk dapat menangkap bokor itu.

Melihat betapa tiga orang datuk pria sudah dekat, dia segera melontarkan bokor itu ke seberang jurang. Benda itu meluncur dengan cepat sekali ke arah Bu Leng Ci yang sudah berdiri dan siap menyambut. Bagaikan seekor burung garuda menyambar seekor burung dara, Siang-tok Mo-li meloncat dan berhasil menangkap bokor emas yang melayang dari atas itu.

"Ehh, ke mana kau membuang pusaka itu?" Toat-beng Hoatsu berteriak kaget, mengira bahwa Kwi-eng Niocu membuang bokor yang mereka perebutkan. Juga Ban-tok Coa-ong dan Hek-bin Thian-sin terkejut.

Bukan hanya tiga orang kakek itu yang terkejut, bahkan Kwi-eng Niocu juga kaget sekali ketika melihat betapa Siang-tok Mo-li setelah menerima bokor itu lalu melemparkan bokor itu ke seberang jurang lain dan bokor itu lenyap! Siang-tok Mo-li menoleh dan tersenyum lebar penuh ejekan, kemudian membalikkan tubuh dan sekali melompat tubuhnya lenyap di antara pohon-pohon!

Timbul kecurigaan di dalam hati Ang Hwi Nio, akan tetapi dia sudah dapat menghadapi tiga orang kakek itu sambil berkata mengejek, "Kalian ini tua-tua bangka mau apa lagi? Kalian tak akan dapat merampas bokor itu!"

Tiga orang kakek itu maklum bahwa mereka tidak mungkin melompati jurang ini tanpa bahaya maut mengancam mereka, namun untuk melakukan pengejaran, mereka harus menuruni bukit dan mengambil jalan memutar yang makan waktu lama dan tentu orang termuda dari lima datuk itu sudah pergi jauh entah ke mana!

"Ha-ha-ha-ha, sekali ini Kwi-eng Niocu menjadi seorang yang amat tolol dan mudah saja ditipu orang. Ha-ha-ha!"

Kwi-eng Niocu memandang Kakek Raja Ular itu dengan mata mendelik. Biar pun hatinya makin tidak enak, akan tetapi dia membentak, "Ban-tok Coa-ong! Engkau bicara seenak perutmu sendiri. Apa kau kira Kwi-eng Niccu takut menghadapi ular-ularmu yang hanya dapat kau pakai menakuti kanak-kanak itu?"

Akan tetapi kini Toat-beng Hoatsu juga berkata penuh penyesalan. "Ucapan Si Raja Ular benar sekali. Kwi-eng Niocu, apa kau kira Siang-tok Mo-li akan sedemikian lemah hatinya untuk membagi bokor itu denganmu? Hemmm…, aku berani bertaruh dua jari tangan! Dia tentu sudah lari minggat dengan membawa bokor itu bersama seorang sekutunya yang tadi menyambut bokor di seberang jurang di bawah itu."

Wajah Kwi-eng Niocu menjadi pucat sekali. "Celaka...! Giok-hong-cu...!"

"Siapa? Siapa itu Giok-hong-cu?" Hek-bin Thian-sin berseru.

"Siapa lagi? Muridnya. Celaka, perempuan iblis itu telah menipuku. Kalian benar. Mari kita kejar mereka sebelum mereka berlari terlalu jauh!" Kwi-eng Niocu segera meloncat dan berlari cepat turun dari bukit. Tiga orang kakek itu juga tidak mau ketinggalan dan mereka berempat segera lari bersicepat seperti berlomba menuruni bukit untuk mencari Bu Leng Ci dimulai di tempat di mana tadi Siang-tok Mo-li menerima bokor.

Empat orang datuk sesat ini laksana orang-orang yang lupa diri dan mereka melakukan pengejaran dan pencarian tanpa mengenal lelah. Seolah-olah hidup mereka bergantung kepada bokor emas itu! Seolah-olah hidup mereka akan menjadi hampa dan tak berarti apa bila mereka tidak mendapatkan bokor emas yang diperebutkan itu.

Bokor emas itu, yang mengandung rahasia besar yang didongengkan orang, pusaka dari Panglima Besar The Hoo yang sudah terkenal di seluruh dunia, merupakan satu-satunya tujuan bagi para datuk ini. Mereka merasa yakin bahwa bila mereka berhasil menguasai bokor emas, tentu mereka menjadi orang yang terkuat, terpandai, dan terkaya di dunia ini, dan tentu mereka tak akan kekurangan apa-apa lagi, dan karenanya dapat hidup bahagia!

Betapa tersesatnya pendapat seperti ini, dan betapa menyedihkan bahwa kita semua ini, disadari mau pun tidak, kita hidup dalam cengkeraman tujuan dan cita-cita seperti para datuk itu! Kita mengharapkan sesuatu, selalu mengharapkan, menginginkan sesuatu yang kita beri nama cita-cita muluk!

Padahal, mengapa kita harus bercita-cita? Mengapa kita harus mengharap dan beringin? Bukankah pengharapan dan keinginan ini akan menjadi penyebab dari kekecewaan dan kekhawatiran? Bila kita mengejar sesuatu yang dinamakan cita-cita, maka hati kita selalu diliputi kekhawatiran kalau-kalau kita gagal! Dan kalau sampai gagal, kita akan dirundung kecewa, merasa sengsara.

Padahal, kalau kita berhasil menguasai apa yang kita kejar dan kita namakan cita-cita itu, benarkah kita akan menemukan kebahagiaan? Berhasilnya cita-cita yang kita kejar itu, benarkah akan membebaskan kita dari duka dan kecewa, dari bosan dan dari khawatir?

Biasanya, sesuatu yang amat diinginkan, kalau sudah tergenggam tangan, hanya akan mendatangkan kepuasan sejenak saja, kemudian kita menjadi bosan dan kita mengejar yang lain lagi sehingga cita-cita menjadi lingkaran setan yang tiada putusnya, yang selalu mencengkeram selama hidup kita dan membuat hidup kita tak pernah bebas dan tenang!

Pengejaran cita-cita menandakan bahwa kita masih tidak dapat menghadapi dan mengerti keadaan apa adanya, dan sekali kita tidak merasa puas dengan keadaan apa adanya, maka selamanya kita takkan pernah merasa puas, apa dan bagaimana pun keadaan kita. Sekali kita dicengkeram oleh pengejaran cita-cita, maka hidup hanyalah merupakan derita karena kita tidak pernah dapat melihat dan menikmati saat sekarang, saat demi saat di mana kita sesungguhnya hidup, karena mata kita hanya ditujukan jauh ke depan, kepada esok, lusa, dan masa depan, sehingga saat ini, sekarang, tidak ada artinya lagi. Padahal saat ini atau sekarang inilah kita hidup!


Para datuk kaum sesat itu, demi untuk memperoleh bokor emas yang menjadi tujuan dan cita-cita mereka, tak segan-segan melakukan apa pun juga. Tak segan untuk membunuh, kalau perlu antara kawan sendiri.

Dan demikian pula dengan kita yang berlomba dalam mengejar cita-cita. Untuk berhasil dalam pengejaran ini, kita pun akan selalu menyingkirkan segala aral yang melintang di tengah jalan! Maka timbullah pertentangan, permusuhan, dan kebencian, dan semua itu dilapisi dengan kedok kebenaran dan keadilan yang pada hakekatnya adalah kebenaran dan keadilan demi kepentingan pribadi dan karenanya palsu. Bahkan di dalam kesesatan kita, tak segan-segan pula di antara kita manusia ada yang berpegang kepada semboyan ‘tujuan menghalalkan segala cara’!

Semboyan dan pendapat yang sungguh tidak patut! Cara tidaklah berbeda garis dengan tujuan. Mungkinkah mengusahakan perdamaian dengan peperangan? Apakah mungkin menghilangkan permusuhan dengan penindasan? Mengusahakan persahabatan dengan kemenangan? Cara yang buruk tidak mungkin sama sekali memperoleh tujuan yang baik, demikian pula, tujuan yang buruk tidak mungkin dilakukan dengan cara yang baik!


Sebulan kemudian, usaha pencaharian yang tekun dari keempat orang datuk itu dibagi menjadi dua kelompok. Sebetulnya mereka itu berpencar, akan tetapi karena saling curiga dan tidak ingin kalau orang lain menemukan tempat persembunyian Siang-tok Mo-li tanpa yang lain mengetahuinya, maka diam-diam mereka saling membayangi, atau lebih tepat lagi, Kwi-eng Niocu dan Hek-bin Thian-sin melanjutkan pencaharian mereka dengan arah yang sama, demikian pula Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong saling membayangi.

Hek-bin Thian-sin dan Kwi-eng Niocu lebih tepat menentukan arahnya. Karena itu setelah mencari keterangan di sana sini, akhirnya pada suatu hari mereka tiba di depan goa di Bukit Burung Walet. Bukit itu terkenal sebagai sarang burung walet, maka dinamakan demikian, dan di situ terdapat banyak goa dan di dalam goa-goa inilah burung-burung itu bersarang. Sebuah di antara goa-goa itu kini dijadikan tempat sembunyi Siang-tok Mo-li dan Giok-hong-cu muridnya!

Hari sudah sore dan burung-burung walet beterbangan memasuki goa-goa yang sangat banyak itu. Kedua orang datuk kaum sesat itu masih belum tahu benar goa yang mana yang dijadikan tempat sembunyi orang yang dicarinya. Mereka berdiri di depan goa-goa dan memasuki goa yang gelap.

"Hemm, tak salah lagi, tentu di sana dia bersembunyi." Akhirnya Kwi-eng Nio-cu berkata sambil menuding ke arah sebuah goa yang agak besar di tengah-tengah kumpulan goa itu.

Hek-bin Thian-sin memandang. Mula-mula dia tidak dapat menduga mengapa Kwi-eng Niocu dapat menentukan demikian, akan tetapi dia pun bukan orang bodoh dan segera dia dapat melihat perbedaan keadaan goa yang satu ini dengan yang lain. Burung-burung walet yang beterbangan itu, memasuki goa-goa yang lain dengan cepat tanpa ragu-ragu, akan tetapi burung-burung yang hendak memasuki goa yang dimaksudkan itu, tak segera terbang masuk melainkan beterbangan ke sana-sini di depan goa, seakan-akan mereka segan masuk atau ada sesuatu di dalam goa itu yang mereka takuti.

"Memang, di sanalah dia bersembunyi!"

Seperti dikomando saja, keduanya berloncatan dan dengan beberapa loncatan saja, dua orang datuk yang berilmu tinggi itu telah tiba di depan goa yang dimaksudkan tadi. Goa itu besar dan gelap, juga karena agak dalam maka ujungnya tidak kelihatan dari luar.

"Bu Leng Ci, keluarlah engkau! Kami telah tahu bahwa engkau bersembunyi di dalam goa ini! Apa kau minta kami membakar dan mengasapi goa lebih dulu sehingga kau terpaksa keluar seperti seekor kelinci dari dalam lubang? Ha-ha-ha!" Hek-bin Thian-sin berteriak.

"Plok! Plok!"

Dua ekor burung walet yang sedang beterbangan di atas kepala kedua orang datuk itu, tiba-tiba jatuh di depan kaki mereka dan ternyata dua ekor burung itu telah tewas dengan tubuh berlubang-lubang terkena Siang-tok-soa (Pasir Beracun Wangi).

"Bu Leng Ci, engkau anjing betina, pengkhianat!" Kwi-eng Niocu memaki dengan marah.

"Ang-cici, aku sudah menantimu sampai lama sekali di sini! Aku tetap menjadi sekutumu! Mari kita bunuh Si Muka Hitam itu dan bokor ini kita nikmati berdua!"

Akan tetapi Kwi-eng Niocu sudah terlalu marah karena dikhianati dan dia tidak percaya lagi kepada Siang-tok Mo-li, maka dia berkata, "Tidak perlu banyak cerewet. Aku datang untuk membunuhmu dan merampas bokor!"

"Serrr... serrr...!"

Sinar hijau menyambar ke arah kedua orang datuk itu. Tentu saja dua orang sakti yang sudah bersiap sedia ini dapat cepat mengelak dan menghindarkan diri dari ancaman maut Siang-tok-soa. Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak dengan nada mengejek.

"Hek-bin Thian-sin!" terdengar teriakan Bu Leng Ci dari dalam goa, "Mari kau bantu aku membunuh Kwi-eng Niocu, dan bokor kita nikmati berdua! Kalau kau tidak mau bersekutu dengan aku, mana mungkin engkau menghadapi dia dan dua orang kakek tua bangka yang lain?"

Kwi-eng Niocu terkejut sekali dan dia sudah siap menghadapi kalau-kalau Si Muka Hitam itu dapat terkena bujukan Bu Leng Ci yang amat licik itu. Hek-bin Thian-sin meraba-raba dagunya sambil mengerutkan alisnya, kelihatan ragu-ragu sekali kembali memandang ke arah Kwi-eng Niocu. Kemudian dia mengomel,

"Hemm... hemm, usulmu itu sebetulnya baik juga... tapi..."

"Thian-sin, jangan gila kau!" Kwi-eng Niocu langsung berseru. "Begitu bodoh tertipu oleh anjing betina itu!"

Saat itu dari dalam goa berkelebat bayangan Bu Leng Ci, didahului pedang samurainya yang menjadi sinar terang menyambar ke arah Kwi-eng Niocu. Tentu saja Kwi-eng Niocu sudah cepat meloncat ke belakang untuk menghindar, kemudian kembali menerjang maju mempergunakan senjatanya yang tidak kalah ampuhnya dengan segala macam senjata tajam, yaitu kuku-kuku tangannya yang panjang dan beracun!

"Hek-bin Thian-sin, kau pilih saja! Mau tikus betina tua yang berbahaya ini atau aku yang memegang bokor emas!" Bu Leng Ci masih berteriak sambil menggerakkan samurainya menghadapi Kwi-eng Niocu.

Hek-bin Thian-sin masih berdiri termangu dan memandang dua orang wanita yang sudah bertanding dengan hebat itu.

Di dalam pikirannya terjadi perang sendiri. Membantu yang mana? Kalau dia membantu, tentu seorang di antara dua wanita ini akan kalah dan tewas, dan dia memperhitungkan kemungkinan-kemungkinannya, tentu saja dengan menekankan keuntungan bagi dirinya sendiri. Senjatanya yang sangat menyeramkan, yakni sebatang golok besar yang tajam mengkilap, telah siap di tangan kanannya.

Pertandingan yang terjadi antara dua orang wanita lihai itu, amat seru dan mati-matian. Pedang samurai yang panjang melengkung sedikit itu sudah lenyap bentuknya, berubah menjadi segulung cahaya terang yang berkeredepan.

Akan tetapi, gerakan Kwi-eng Niocu bukan main gesitnya. Memang, datuk wanita ini amat terkenal dengan ilmu ginkang-nya sehingga tubuhnya menjadi amat ringan, gerakannya cepat sampai bayangannya lenyap dan karena kelihaian ilmu ginkang-nya inilah maka dia dijuluki Si Bayangan Hantu!

Biar pun dia tidak memegang senjata, tapi sepuluh buah kuku jari tangannya merupakan senjata-senjata yang amat ampuh, karena jangankan sampai terkena tusukan, tapi baru terkena guratan sebuah di antaranya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan! Namun, menghadapi Bu Leng Ci yang dia tahu amat lihai ilmu pedang samurainya yang tajam itu, dia harus berhati-hati, karena betapa pun kuat kukunya, kalau sampai terkena sabetan samurai tentu akan patah.

Kedua orang wanita ini bertanding dengan bimbang, terutama sekali Kwi-eng Niocu yang khawatir kalau-kalau Si Muka Hitam itu terkena bujukan Bu Leng Ci sehingga akan maju mengeroyoknya. Rasa bimbang inilah yang membuat pertandingan itu menjadi seimbang, biar pun sebenarnya tingkat kepandaian Ketua Kwi-eng-pang ini masih menang setingkat dibandingkan dengan lawannya.

Tiba-tiba Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak dan berseru nyaring, "Ha-ha-ha! Mampuslah kau!" Goloknya berkelebat menyambar ke arah leher Kwi-eng Niocu!

Ketua Kwi-eng-pang ini kaget dan cepat mengelak, akan tetapi tahu-tahu golok itu sudah menyeleweng dan dengan kecepatan yang tidak terduga-duga sudah membacok ke arah tubuh Bu Leng Ci! Kiranya kakek muka hitam itu tadi hanya menyerang Kwi-eng Niocu secara palsu untuk mengalihkan perhatian Bu Leng Ci, padahal yang menjadi sasaran goloknya sebenarnya adalah Siang-tok Mo-li.

Keputusan ini diambil dan membuktikan kelihaian dan kecerdikan Si Muka Hitam ini. Biar pun bokor berada di tangan Bu Leng Ci, akan tetapi dia telah mengambil keputusan untuk membantu Kwi-eng Niocu. Dia teringat akan keterangan Kwi-eng Niocu bahwa Bu Leng Ci mempunyai seorang murid yang berjuluk Giok-hong-cu, dan dia sudah mendengar pula akan kelihaian Giok-hong-cu.

Bu Leng Ci muncul sendirian dan bokor emas tidak berada di tangannya, tentu berada di tangan Giok-hong-cu itu. Kalau dia membantu Bu Leng Ci dan mereka berdua berhasil membunuh Kwi-eng Niocu, berarti bahwa dia akan berhadapan dengan Bu Leng Ci dan muridnya itu. Ilmu kepandaiannya hanya menang setingkat dibandingkan dengan Bu Leng Ci, maka kalau Siang-tok Mo-li itu dibantu oleh muridnya yang lihai juga, mana dia akan mampu menang?

Sebaliknya, kalau dia membantu Kwi-eng Niocu, tentu Bu Leng Ci serta muridnya dapat dirobohkan, dan kemudian dia hanya akan berhadapan dengan Kwi-eng Niocu seorang! Tentu saja lebih ringan dan lebih besar harapannya untuk dapat merampas bokor.

Bu Leng Ci terkejut bukan main. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Si Muka Hitam itu akan menyerangnya. Tadi ketika mendengar seruan kakek itu dan melihat golok menyambar ke arah Kwi-eng Niocu, dia sudah merasa girang bukan main. Siapa mengira bahwa golok itu tiba-tiba membalik dan menyerangnya sedemikian cepat dan hebatnya! Karena itu dia agak terlambat menggerakkan samurainya menangkis.

"Cringggg...!"

Bu Leng Ci berhasil menyelamatkan diri dari sambaran golok dengan tangkisannya, akan tetapi karena dia terlambat menangkis dan kedudukannya tidak baik, maka dia terhuyung dan pada saat itu dia merasa pundaknya perih dan panas!

"Siluman betina...!" Dia memaki dan terdengar suara ketawa Kwi-eng Niocu yang sudah berhasil mencengkeram dan melukai pundak Bu Leng Ci.

Dengan kemarahan meluap, Bu Leng Ci tak mempedulikan lagi sambaran golok di tangan Hek-bin Thian-sin, samurainya lantas meluncur bagai sambaran halilintar ke arah Kwi-eng Niocu. Serangan nekat ini membuat Kwi-eng Niocu terkejut, dan terpaksa dia mengelak. Melihat samurai masih mengancamnya, terpaksa dia menggunakan ujung kuku tangan kirinya menangkis.

"Trakkk...!"

Dia berhasil menyelamatkan dirinya, akan tetapi dia harus mengorbankan lima kuku jari tangan kirinya yang terbabat putus semua! Dan pada saat itu, golok Hek-bin Thian-sin telah melukai paha kanan Bu Leng Ci. Wanita ini terguling, akan tetapi sambil memutar samurainya, dia sudah meloncat lagi, tidak mempedulikan darah yang muncrat-muncrat keluar dari luka di pahanya.

"Bi Kiok...! Lari...!" Dia menjerit.

Tepat seperti diduga oleh Hek-bin Thian-sin, murid Siang-tok Mo-li memang bersembunyi di dalam goa sambil menunggu tanda dari gurunya. Kalau bujukan gurunya berhasil dan Kwi-eng Niocu dapat dirobohkan, dia akan keluar untuk membantu gurunya mengeroyok Hek-bin Thian-sin.

Akan tetapi betapa terkejutnya ketika dari tempat pengintaiannya dara ini melihat keadaan berubah dan terbalik sama sekali. Malah gurunya yang dikeroyok oleh dua orang datuk itu, dan kini gurunya terluka hebat. Sebetulnya ingin dia mengamuk, membela gurunya, akan tetapi karena memang semua telah diatur gurunya, semenjak mereka melarikan diri setelah berhasil menguasai bokor emas, Bi Kiok tidak berani melanggar perintah dan dia lalu melompat keluar dari dalam goa dan terus melarikan diri.

"Haii, hendak ke mana engkau?!"

Hek-bin Thian-sin yang memang telah memperhitungkan hal ini bisa bergerak lebih cepat dari pada Kwi-eng Niocu. Dia sengaja mendekati mulut goa sambil membiarkan Kwi-eng Niocu melampiaskan kemarahannya kepada Bu Leng Ci karena kehilangan kuku-kuku jari tangan kiri, sedangkan dia sendiri begitu melihat berkelebatnya bayangan seorang dara cantik, cepat menubruk maju.

"Singggg...!"

Sinar terang meluncur ke arah kakek itu saat Yo Bi Kiok atau yang berjuluk Giok-hong-cu menusukkan pedangnya kepada kakek yang menghadang di depannya.

"Trangggg...!"
Golok besar itu menangkis dengan pengerahan tenaga hebat sekali, membuat pedang itu terpental dan hampir terlepas dari tangan Bi Kiok! Dara itu maklum bahwa dia tidak boleh terlalu lama melayani lawannya yang amat tangguh, maka sesuai dengan rencana yang telah diatur gurunya, dia melemparkan bokor emas jauh ke kiri.

Melihat hal ini, Hek-bin Thian-sin segera mendorongkan tangan kirinya ke arah Bi Kiok. Pukulan jarak jauh ini dahsyat sekali dan Bi Kiok yang tidak menyangkanya, dilanda hawa pukulan sehingga terjengkang. Dadanya terasa panas dan napasnya sesak, akan tetapi dia dapat meloncat bangun dan cepat melarikan diri dari tempat itu. Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak ketika dia menyambar bokor emas dengan tangan kirinya, lalu cepat membalikkan tubuh ke arah Kwi-eng Niocu dengan golok siap di tangan kanan.

Kwi-eng Niocu sudah berhasil merobohkan Bu Leng Ci. Kegemasannya terhadap adik angkat yang sebenarnya diangkat adik hanya untuk memenuhi muslihat masing-masing, karena Bu Leng Ci telah mengkhianatinya dan telah mematahkan lima kuku jari tangan kirinya, membuat Ketua Kwi-eng-pang ini seperti gila.

Mula-mula, sebuah tangannya berhasil melemparkan samurai dari genggaman tangan Bu Leng Ci yang terluka parah, terkena racun kuku jari Kwi-eng-pang dan pahanya terluka hebat oleh golok Hek-bin Thian-sin. Namun Bu Leng Ci yang sudah maklum akan bahaya maut yang mengancam nyawanya, masih nekat melakukan perlawanan, justru menubruk maju dengan kedua tangan hendak mencengkeram, kedua tangan yang sudah merobek banyak dada pria untuk mengambil jantungnya dan memakannya itu, jari tangan yang amat kuat seperti baja.

Akan tetapi karena dia sudah terluka, maka gerakannya kurang cepat dan Kwi-eng Niocu yang maklum pula betapa bahayanya lawan yang sudah menjadi nekat, cepat miringkan tubuh mengelak sehingga tubuh Bu Leng Ci terdorong ke depan oleh gerakannya sendiri. Saat itu dipergunakan oleh Kwi-eng Niocu untuk mencengkeram ubun-ubun kepala lawan dari samping.

"Krekkk...! Auuugghhh...!"

Bu Leng Ci yang sangat terkenal dengan julukan Siang-tok Mo-li, yang di daerah pantai laut selatan namanya amat terkenal dan ditakuti seperti iblis, kini menjerit mengerikan dan agaknya nyawanya melayang pergi bersama jeritannya itu.

Setelah melihat lawannya tewas, Kwi-eng Niocu lalu memandang Hek-bin Thian-sin yang tersenyum-senyum memandangi bokor emas di tangannya.

"Hek-bin Thian-sin, karena kita berdua yang menemukan bokor itu, dan aku pula yang membunuh Siang-tok Mo-li, maka sudah sepatutnya kalau kita berdua yang berhak atas pusaka itu."

"Ha-ha-ha, Kwi-eng Niocu. Terhadap Siang-tok Mo-li saja aku sudah tidak dapat terbujuk, apa lagi menghadapi engkau. Tentu saja aku tidak percaya. Jika kau mampu, boleh kau coba merampas bokor ini dari tanganku!" Kakek muka hitam itu memegang bokor dengan tangan kiri sedangkan golok di tangan kanannya dikelebatkan.

Kwi-eng Niocu bukanlah seorang bodoh. Ketika dalam keadaan tidak terluka sekali pun, kekuatannya seimbang dibandingkan dengan Si Muka Hitam itu dan meski pun dia tidak takut, agaknya dia harus mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya untuk memenangkan datuk timur ini.

Akan tetapi sekarang dia sudah kehilangan lima buah kuku jari tangan kirinya. Meski pun dia tak terluka, akan tetapi mala petaka ini baginya lebih hebat dari pada kalau dia terluka karena kini dia kehilangan separuh dari senjatanya dan karenanya dia tidak akan dapat bergerak secara leluasa.

Dalam keadaan seperti sekarang ini, melawan Hek-bin Thian-sin sama artinya dengan membunuh diri secara konyol. Tentu saja dia tidak sudi membunuh diri. Masih banyak waktu untuk kelak berusaha merampas bokor itu dari tangan Si Muka Hitam. Bukankah tidak ada orang lain yang tahu bahwa bokor yang diperebutkan itu kini berada di tangan Hek-bin Thian-sin? Maka dia tidak menjawab, bahkan cepat dia membalikkan tubuh dan lari pergi dari tempat itu sebelum datuk dari timur itu berpikir lain.

Dan memang kepergian Kwi-eng Niocu ini tidak terlambat dan tepat sekali karena setelah datuk wanita itu pergi, Hek-bin Thian-sin mengerutkan alis dan merasa menyesal kenapa dia tidak membunuh saja Kwi-eng Niocu yang ketika itu sudah kehilangan semua kuku tangan kirinya. Sekarang dia maklum bahwa setidaknya masih ada bahaya mengancam kepadanya dari satu jurusan, yaitu dari Kwi-ouw tempat tinggal Ketua Kwi-eng-pang itu.

Akan tetapi kegembiraan memperoleh bokor emas yang diidam-idamkan itu membuat dia segera melupakan hal ini dan cepat dia pun lari pergi menuju ke timur karena dia berniat untuk bersembunyi di pantai timur, tempat di mana dia menjadi datuknya dan diam-diam memeriksa rahasia bokor emas yang kabarnya di samping mengandung rahasia tempat penyimpanan harta karun yang jumlahnya amat besar, juga mengandung rahasia tempat penyimpanan kitab-kitab pelajaran kesaktian dari Panglima Besar The Hoo!

Dia harus cepat-cepat menyelamatkan diri dan menghindarkan diri dari pengejaran dua orang kakek datuk lainnya, yaitu Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong, dua orang yang dia tahu sangat sakti dan lebih lihai dari pada dia sendiri. Di samping ini, juga dia harus menghindarkan pertemuan dengan kakek asing botak Legaspi Selado yang selain lihai juga mempunyai banyak kaki tangan, bahkan bersekutu dengan pasukan pemberontak.

Tadinya memang dia telah menceritakan tentang bokor kepada Legaspi sehingga menarik perhatian kakek itu yang telah berjanji untuk membantunya. Akan tetapi setelah kini bokor terjatuh ke dalam tangannya, dia merasa tidak perlu lagi untuk berurusan dengan kakek asing itu!

Ternyata bahwa Hek-bin Thian-sin terlalu memandang rendah pada Legaspi Selado. Dia sama sekali tidak mengira bahwa kakek asing yang botak itu selain berkepandaian tinggi, juga sangat cerdik, jauh lebih cerdik dari pada datuk timur ini! Maka, dapat dibayangkan betapa kaget hati Hek-bin Thian-sin ketika dia menuruni bukit dan sampai di hutan yang mengurung kaki bukit, mendadak muncul Legaspi Selado di depannya sambil tersenyum lebar!

Terlambat bagi Hek-bin Thian-sin untuk menyembunyikan bokor emas itu, maka dengan jantung berdebar dia mendengar kakek asing botak itu menegurnya. "Ahai sahabatku yang baik Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu! Siapa mengira bahwa kita bertemu di sini dan ternyata engkau sudah berhasil menemukan bokor emas itu. Bagus! Mari kita bawa ke kapalku dan di sana kita mencari rahasia bokor itu, sahabatku yang baik!"

Biar pun dia terkejut dan khawatir melihat munculnya kakek asing yang sama sekali tidak disangka-sangkanya ini, namun mendengar ucapan itu, Hek-bin Thian-sin menjadi marah. Dia maklum bahwa Legaspi memiliki kepandaian tinggi, namun dia tidak takut.

"Legaspi Selado, bokor ini adalah aku sendiri yang mendapatkannya, maka tidak mungkin dapat kubagi dengan siapa pun juga."

"Hemmm, begitukah...?" Kakek botak itu tiba-tiba mengeluarkan suara bersuit nyaring dan bermunculanlah belasan orang dari balik pohon-pohon di sekeliling tempat itu.

Mereka ini adalah para perwira pemberontak yang berhasil menyelamatkan diri dan lari pada saat Ceng-to diserbu oleh pasukan pemerintah yang dipimpin sendiri oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Bekas perwira ini menyamar dengan pakaian preman, kemudian dipergunakan oleh Legaspi Selado yang juga dapat melarikan diri bersama teman-teman sebangsanya. Kini, atas isyarat yang diberikan kakek botak itu, mereka sudah mencabut senjata golok dan pedang, mengurung Hek-bin Thian-sin.

"Legaspi Selado, mau apa kau?!" Hek-bin Thian-sin membentak.

"Ha-ha-ha, Tuan Low Ek Bu! Engkau memang seorang yang murka dan khianat. Ketika di Ceng-to engkau telah meninggalkan kami. Sekarang, dengan baik aku mengajakmu untuk bersama-sama menyelidiki rahasia bokor, akan tetapi engkau ingin menguasainya sendiri saja. Karena itu, aku tidak sudi lagi bersahabat denganmu. Engkau adalah musuhku dan kau harus menyerahkan bokor atau nyawamu!"

"Anjing biadab asing keparat!" Hek bin Thian-sin memaki dan golok di tangannya sudah diputar cepat sekali, berubah menjadi segulung sinar menyilaukan mata dan datuk timur ini pun mengamuk.

Dua orang bekas perwira yang menangkis goloknya, berteriak pada saat pedang mereka patah-patah dan golok terus menyambar ke arah tubuh mereka, merobek dada dan perut sehingga mereka roboh dan tewas seketika. Seorang lain yang menusukkan pedang dari belakang dapat dielakkan oleh Hek-bin Thian-sin, dan goloknya menyambar lagi. Pedang itu kena dihantam dari samping sehingga mencelat dan pedang itu menancap di dada kiri seorang pengeroyok yang memekik nyaring dan roboh telentang, tewas pula.

Amukan Hek-bin Thian-sin amat hebat. Kepandaian datuk ini tak dapat dilawan oleh para bekas perwira. Melihat ini, Legaspi menjadi marah sekali. Segera dilolosnya pecut dari pinggangnya, lalu pecut itu digerakkan cepat sekali, meledak-ledak, menyambar ke atas kepala Hek-bin Thian-sin.

"Tar-tar-tar-tarrr...!"

Hek bin Thian-sin cepat mengelak dan membabatkan golok di sekeliling tubuhnya dengan kecepatan luar biasa. Kembali ada tiga orang pengeroyok roboh dan darah muncrat dari luka-luka mereka.

"Mundur semua...!" Legaspi Selado berteriak marah melihat enam orang anak buahnya tewas akibat sepak terjang lawan yang hebat itu. Dia sendiri sudah menerjang maju dan terjadilah kini pertandingan yang amat seru.

Legaspi Selado memperoleh ilmu cambuknya dari Nepal, dilatih oleh seorang ahli cambuk yang banyak terdapat di negara itu. Selain ini, Legaspi sudah banyak mempelajari ilmu silat dan mempunyai sinkang serta ginkang yang tinggi.

Namun, Hek-bin Thian-sin adalah seorang datuk timur yang lihai. Dengan bokor di tangan kiri kakek ini menggerakkan goloknya, kadang-kadang bertubi-tubi menyerang, kadang kala golok diputarnya sedemikian rupa sehingga tubuhnya terlindung oleh gulungan sinar, membuat ancaman dan serangan ujung cambuk gagal semua.

Selama berkenalan dengan Hek-bin Thian-sin, baru sekali ini Legaspi Selado bertanding melawan bekas sekutu ini. Maka, dia yang terlalu mengandalkan kepandaian sendiri dan memandang rendah orang lain, ketika melihat betapa cambuk saktinya yang selama ini sukar menemukan tanding namun kini tak dapat berbuat banyak menghadapi datuk timur ini, menjadi terkejut bukan main.

"Tar-tar-tar... wuuttttt...!"

Sekarang dia merobah gerakan pecutnya. Ujung cambuk itu menjadi cahaya hitam yang melingkar-lingkar di atas, kemudian meluncur ke bawah dan tahu-tahu telah melibat golok Hek-bin Thian-sin. Datuk ini kaget sekali, tentu saja mempertahankan goloknya dengan pengerahan sinkang-nya. Terjadi tarik-menarik, keduanya mengerahkan tenaga sinkang.

"Trakkk...! Brettt...!"

Golok patah tengahnya, ada pun cambuk juga putus bagian tengahnya. Kedua orang itu mendengus marah, melempar gagang golok dan gagang cambuk, lantas mereka saling menerjang dengan tangan kosong!

Akan tetapi karena Hek-bin Thian-sin menggunakan tangan kirinya untuk memeluk bokor emas, maka dia hanya mempergunakan tangan kanan dan hal ini membuat dia terdesak hebat. Selagi kakek ini mencari jalan ke luar untuk melarikan diri, tiba-tiba terdengar suara tertawa halus dan dari atas melayang sesosok tubuh yang langsung menerjang dua orang yang sedang bertanding. Begitu terjun dari atas, tangan kiri orang itu mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Hek-bin Thian-sin dengan gerakan yang dahsyat sekali.

"Aihhh...!"

Hek-bin Thian-sin berteriak kaget, maklum bahwa serangan ke arah ubun-ubun kepalanya itu dapat mendatangkan maut! Maka segera dia menangkis dengan tangan kirinya dan pada saat itu juga, tangan kanan Toat-beng Hoatsu sudah merampas bokor emas yang dipegang erat-erat oleh tangan kiri datuk timur.

"Heii... kembalikan!" Hek-bin Thian-sin berseru.

"Serahkan bokor itu kepadaku!" Legaspi Selado juga berteriak.

Dua orang kakek ini mengulurkan tangan untuk merampas bokor, akan tetapi dengan gerakan sangat ringan, Toat-beng Hoatsu sudah mencelat ke atas, berjungkir balik dan tertawa melihat betapa Legaspi dan Hek-bin Thian-sin bertumbukan pada waktu berebut merampas bokor.

Tubrukan ini digunakan oleh Legaspi untuk menghantam ke arah dada Hek-bin Thian-sin. Melihat gerakan ini, Toat-beng Hoatsu yang sudah meluncur turun itu pun menggunakan telapak tangan kirinya untuk menghantam punggung Hek-bin Thian-sin. Diserang secara berbareng oleh kedua orang kakek sakti itu, dari depan dan belakang, Hek-bin Thian-sin terkejut, mengerahkan sinkang dan berusaha menangkis.

Namun terlambat. Dada dan punggungnya terpukul, dia berkelojot, matanya terbelalak, mulutnya menyemburkan darah segar, kedua tangannya masih berusaha untuk memukul kedua orang lawan itu. Namun, begitu Legaspi dan Toat-beng Hoatsu meloncat mundur, Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu terguling roboh dan tewas seketika. Tentu saja isi dadanya remuk terkena hantaman dua orang sakti dari depan dan belakang itu.

Legaspi Selado memandang kepada Toat-beng Hoatsu dengan mata terbelalak lebar. Dia belum pernah bertemu dengan kakek ini, akan tetapi dari keterangan Hek-bin Thian-sin ketika masih menjadi sekutunya, dia telah mendengar tentang empat orang datuk kaum sesat lainnya, maka kini melihat Toat-beng Hoatsu, segera dia dapat menduganya.

"Toat-beng Hoatsu, berikan bokor itu kepadaku!" bentaknya sambil meloncat ke depan dan serta merta dia memukul dengan kedua tangannya bergantian.

"Ha-ha-ha, anjing asing kau hendak ikut-ikut memperebutkan bokor?!" Toat-beng Hoatsu menangkis.

"Dess! Dess! Plak-plak-plakkk!"

Pertemuan kedua tangan secara bertubi ini membuat keduanya terhuyung ke belakang dan keduanya terkejut sekali. Pertemuan tangan mereka tadi telah membuktikan betapa masing-masing memiliki tenaga sinkang yang berimbang atau kalau ada selisihnya pun tidak banyak. Toat-beng Hoatsu yang sudah berhasil merampas bokor, segera meloncat jauh ke belakang dan melarikan diri keluar dari hutan itu.

"Kejar...!" Legaspi Selado berseru sambil lari mengejar, diikuti oleh sisa anak buahnya.

Akan tetapi, tiba-tiba tampak beberapa orang yang riap-riapan rambutnya melepas anak panah berapi sehingga terjadilah kebakaran di hutan itu yang menghadang Legaspi dan anak buahnya. Ternyata mereka itu adalah orang-orang Nepal yang menjadi anak buah Toat-beng Hoatsu!

Pada saat Toat-beng Hoatsu bersama tiga orang datuk lain secara berpencar menyelidiki larinya Siang-tok Mo-li, dia bersama Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok telah berunding dan bermufakat untuk bekerja sama. Mereka maklum bahwa kalau seorang di antara mereka berhasil mendapatkan bokor, tentu mereka akan terpaksa saling bunuh dan mereka tidak akan pernah dapat hidup aman dengan bokor di tangan.

Maka, mereka mengambil keputusan untuk bekerja sama sehingga kedudukan mereka kuat, dan Ban-tok Coa-ong malah menawarkan tempat persembunyiannya di Pulau Ular. Orang-orang Nepal itu merupakan para pembantu Ban-tok Coa-ong pula yang kemudian dibagi menjadi dua, sebagian membantu Toat-beng Hoatsu dan sebagian pula membantu Ban-tok Coa-ong untuk mencari secara terpisah.

Akhirnya Toat-beng Hoatsu yang berhasil lebih dulu dan bersama anak buah orang-orang Nepal itu dia melarikan diri ke pantai di mana sudah menanti sebuah perahu besar yang diberi nama Angin Barat. Toat-beng Hoatsu beserta anak buahnya disambut oleh Ban-tok Coa-ong yang telah kembali ke perahu dulu. Tentu saja Ban-tok Coa-ong menjadi girang sekali.

"Biarkan Angin Barat berangkat sendiri, kita berdua menggunakan perahu kecilku!" kata Ouwyang Kok Si Raja Ular itu.

"Mengapa begitu? Bukankah lebih aman naik Angin Barat yang besar?" Toat-beng Hoatsu bertanya.

"Benda ini dicari oleh banyak sekali orang pandai di dunia kang-ouw dan menurutkan ceritamu tadi, tentu Legaspi Selado tak akan tinggal diam begitu saja. Orang-orang asing itu memiliki kapal besar yang jauh lebih kuat dari pada perahu kita, maka kalau sampai kita tersusul di tengah lautan, tentu akan berbahaya sekali. Kapal asing itu mempunyai senjata api besar berupa meriam dan kalau perahu besar kita tenggelam, apa yang dapat kita lakukan? Lebih baik kita naik perahu kecil, perahu nelayan sehingga tidak ada yang menaruh curiga. Kalau kita sudah tiba di Pulau Ular, kita tidak perlu khawatir lagi terhadap serbuan musuh."

Toat-beng Hoatsu mengangguk-angguk, memuji kecerdikan dan sikap yang berhati-hati ini. Mereka mendahului berangkat dengan sebuah perahu layar kecil yang meluncur cepat walau pun pagi itu tiada angin, karena dua batang dayung digerakkan oleh dua pasang tangan yang memiliki kekuatan dahsyat.

Enam orang Nepal itu segera memasang layar, memberangkatkan perahu Angin Barat yang meluncur seenaknya di atas air laut meninggalkan pantai. Akan tetapi, sebelum jauh dari pantai, orang-orang Nepal yang rambutnya riap-riapan tertiup angin laut itu melihat perahu kecil dengan penumpang tiga orang. Orang yang tadinya duduk di tengah, yaitu seorang kakek kurus, tiba-tiba merampas dayung dari tangan temannya dan dialah yang kini mendayung perahu itu mendekati perahu besar Angin Barat.

"Wah, jangan-jangan mereka adalah mata-mata musuh!" Pemimpin orang Nepal berkata. "Jelas bukan perahu nelayan, akan tetapi, kalau perahu pelancong kenapa sampai begini jauh meninggalkan pantai?"

"Kita tabrak saja biar terguling dan menjadi mangsa ikan!" kata temannya.

Pemimpin orang-orang Nepal itu memegang kemudi perahu, lalu diputarnya perahu Angin Barat sehingga kini membelok dan dengan lajunya meluncur ke arah perahu kecil. Kakek yang memegang dayung segera menggunakan kedua tangan mendayung perahu untuk menghindari tubrukan. Perahu kecil itu memang terhindar, akan tetapi ombak yang dibuat oleh Angin Barat membuat perahu kecil oleng.

"Berpegang erat-erat!" kakek itu berseru, kemudian dayung di tangannya bergerak cepat dan... perahu kecil itu meluncur terbang ke atas perahu besar Angin Barat!

Dapat dibayangkan betapa kagetnya orang-orang Nepal itu melihat perahu kecil itu dapat ‘terbang’ ke atas perahu besar mereka. Tentu saja perahu kecil itu bukan terbang, akan tetapi terlempar ke atas ketika kakek kurus itu menggunakan dayungnya untuk menekan langkan perahu Angin Barat dan menggunakan kakinya untuk mengait papan di dalam perahu kecilnya. Dari kenyataan ini saja dapat dibayangkan betapa lihainya kakek kurus itu.

Dua orang Nepal hendak menyerbu, akan tetapi kakek itu mempergunakan dayungnya menampar sehingga kedua orang itu roboh pingsan! Terdengar suara keras ketika perahu kecil itu mendarat di atas dek perahu Angin Barat, dan empat orang Nepal dengan marah datang menerjang. Kembali dayung itu bergerak empat kali dan keempat orang ini pun roboh tak dapat bangkit kembali!

Tentu saja pemimpin orang Nepal yang roboh dan patah tulang pundaknya itu terkejut sekali sehingga timbul rasa takut di hatinya pada saat kakek tinggi kurus itu melangkah menghampirinya.

"Hayo katakan, di mana adanya Toat-beng Hoatsu!"

Pemimpin orang Nepal itu makin terkejut pada waktu mendengar orang tinggi kurus ini membentak kepadanya dalam bahasa Nepal yang cukup baik! Tahulah dia bahwa orang tinggi kurus ini adalah seorang aneh yang berkepandaian tinggi, maka sambil merintih dia berkata, "Ampunkan... hamba... hamba tidak tahu... kami hanyalah nelayan-nelayan..."

"Hemmm... masih berani membohong? Kalian tentu pelarian dari penjara di Nepal yang belum lama ini memberontak dengan bantuan Ban-tok Coa-ong, bukan? Jangan mengira aku tidak mengerti. Kau berhadapan dengan pengawal pertama dari Panglima Besar The Hoo."

Mendengar ini, orang Nepal itu dan juga kawan-kawannya yang sudah siuman menjadi sangat terkejut dan mereka langsung menjatuhkan diri berlutut minta-minta ampun. Orang kurus tinggi itu bukan lain adalah Pengawal Tio Hok Gwan, Si Pengantuk yang lihai itu! Dan orang yang datang bersamanya dalam perahu itu adalah dua orang pengawal yang selalu menemaninya, yaitu Si Muka Pucat Kui Siang Han dan Si Muka Merah Song Kim!

Sesudah selesai menggempur para pemberontak di Sungai Huang-ho, dan mendengar bahwa bokor emas dilarikan Kwi-eng Niocu, Si Pengantuk ini mengajak dua orang teman itu untuk segera melakukan pengejaran dan hal itu disetujui oleh Souw Li Hwa. Memang pengawal suhu-nya itu bertugas untuk mencari kembali bokor emas, maka dia mengalah dan dialah yang akan mengawal tawanan ke kota raja, setelah dia membebaskan Yuan de Gama.

"Aku sudah tahu bahwa pagi tadi Kakek Toat-beng Hoatsu telah kalian bantu di hutan, kemudian lari ke perahu Angin Barat ini. Hayo katakan, ke mana dia pergi bersembunyi."

Tahulah kini orang-orang Nepal itu bahwa mereka tidak mungkin dapat membohong lagi. "Dia bersama dengan Ban-tok Coa-ong sudah pergi dengan perahu layar kecil ke Pulau Ular."

"Pulau Ular? Di mana itu? Tempat apa?" Tio Gwan membentak.

"Kami sendiri belum lama ini dibawa oleh Ban-tok Coa-ong ke tempat itu, dan letaknya di bagian selatan Teluk Pohai. Pulau kosong yang amat berbahaya, penuh ular berbisa."

Tio Hok Gwan tidak berani sembrono melakukan pengejaran ke pulau itu. Dia tahu betapa lihainya Toat-beng Hoatsu. Menghadapi datuk pertama ini saja belum tentu dia dan dua orang pembantunya dapat menang, apa lagi di sana masih ada Ban-tok Coa-ang yang amat lihai dan berbahaya, bahkan kabarnya putera dari Raja Ular itu juga amat lihai, dan ditambah lagi dengan tempat berbahaya penuh ular dan mungkin anak buah mereka yang banyak jumlahnya.

Dia lantas memerintahkan dua orang pembantunya untuk melayarkan perahu Angin Barat itu ke tepi pantai, kemudian menyerahkan enam orang Nepal itu sebagai tahanan di kota terdekat dan dia sendiri bersama dua orang pembantunya, segera kembali ke kota raja untuk melaporkan kepada Panglima Besar The Hoo akan bokor emas yang kini berada di Pulau Ular.

********************

Kun Liong berjalan seorang diri sambil kadang-kadang tersenyum geli. Dia masih teringat akan nikouw yang diobatinya dan merasa geli bila mana teringat betapa tanpa disangka-sangkanya, dia berkesempatan untuk meraba-raba pinggul seorang wanita yang demikian halus dan mulus! Biar pun dia tidak berniat melakukan perbuatan itu melainkan terpaksa untuk mengobatinya, namun kini teringat akan itu, teringat pula betapa nikouw itu menjadi malu, dia tersenyum sendiri.

Betapa anehnya semua hal yang dialaminya, pikirnya. Hal-hal yang berhubungan dengan wanita! Dia selalu merasa senang berurusan dengan kaum wanita! Banyak sudah terjadi hal yang menyenangkan.

Dengan Liem Hwi Sian yang diciumnya dan yang ternyata menyatakan cinta kepadanya! Dengan Cia Giok Keng yang cantik jelita akan tetapi galak dan gagah perkasa. Dengan Yo Bi Kiok yang juga menyatakan cinta kepadanya! Dengan Souw Li Hwa yang angkuh. Kemudian dengan nikouw yang hanya dikenal sebelah pinggulnya saja! Aneh semua itu! Sudah ada dua orang dara cantik jelita yang mengaku cinta kepadanya. Akan tetapi mana mungkin dia membohongi mereka dan mengaku cinta? Tidak, dia tidak sekejam itu! Dia tidak mau membohongi dara-dara yang amat disukanya itu.

Mengenangkan kedua orang dara itu, dia merasa kasihan kepada Hwi Sian dan Bi Kiok. Mengapa dua orang dara itu begitu bodoh dan jatuh cinta kepadanya? Benarkah bahwa mereka mencintanya? Mengapa ketika dia berterus terang menyatakan bahwa dia suka akan tetapi tidak cinta, ketika ternyata bahwa dia tidak membalas cinta mereka, kedua orang dara itu menjadi marah dan berduka? Apakah cinta itu menuntut balasan?

Cintakah atau nafsu birahikah itu yang mendorong pria dan wanita saling mendekat dan masing-masing mencurahkan perasaannya dengan tuntutan yang menjadi dasar, tuntutan untuk saling memiliki, saling menguasai, saling menyenangkan dan disenangkan? Kalau ada tuntutan seperti itu, sudah pasti sekali akan tercipta rasa kecewa, duka, cemburu dan benci. Benarkah bahwa cinta dapat menimbulkan semua kesengsaraan ini? Kalau begitu, bukanlah cinta namanya, karena yang menimbulkan kecewa, duka, cemburu, benci dan iri adalah pikiran, ingatan.

Apa bila pikiran memasuki hati, semuanya akan menjadi keruh dan rusak, karena pikiran memperkuat si aku sehingga segala gerak tubuh, segala gerak hati serta pikiran selalu ditujukan demi kepentingan dan kesenangan si aku. Maka cinta pun menjadi bukan cinta lagi karena di situ terkandung tuntutan agar aku dicinta, aku diperhatikan, aku dipuaskan, engkau menjadi milikku, dan aku menggantungkan semua harapan akan kepuasan serta kenikmatan hidup kepadamu.

Selama engkau melayani segala kebutuhan lahir batin, selama engkau memuaskan aku, selama engkau menyenangkan aku, selama engkau menjadi milikku pribadi, mulut ini tak segan-segan menyatakan ‘aku cinta padamu’. Akan tetapi bila engkau mengingkari semua tuntutanku itu, kalau engkau tak mau melayani kebutuhan lahir batin dariku, kalau engkau mengecewakan aku, kalau engkau tidak menyenangkan aku, kalau engkau melepaskan diri dariku dan lari kepada orang lain, cintaku berubah menjadi cemburu dan benci!


Kun Liong menggaruk-garuk kepalanya. Yang begitukah cinta? Betapa rendah, dangkal, tipis dan tidak bermutu! Betapa pun juga, dia menyesal teringat bahwa dia menyebabkan dua orang dara itu merasa berduka dan kecewa. Akan tetapi, nanti dulu! Benarkah dia yang menyebabkan mereka merasa berduka? Bukankah yang menjadi penyebab adalah pikiran mereka sendiri?

Di dunia ini apa pun yang menimpa diri secara batiniah, yang menimbulkan perasaan girang-sedih, cinta-benci, puas-kecewa dan suka-duka, sama sekali tidak disebabkan dari luar, melainkan disebabkan oleh ingatannya sendiri. Ingatanlah yang menimbulkan semua itu. Kalau orang tidak mengingat akan masa lalu apakah ada itu yang dinamakan benci, duka dan sebagainya? Membenci seorang lain tentu ditimbulkan oleh ingatan akan masa lalu, apa yang sudah dilakukan oleh orang itu terhadap dirinya, tentu saja yang merugikan aku-nya. Ingatannya yang menjadi gara-gara kesengsaraan hidup. Dapatkah manusia hidup bebas dari ingatan, bebas dari pikiran?

Kun Liong menggerakkan kedua pundaknya dan melanjutkan perjalanannya memasuki hutan terakhir di kota Liok-bun. Agaknya kota ini dinamakan Liok-bun (Enam Pintu) oleh karena pintu gerbangnya berjumlah enam buah.

Ingatan memang ada perlunya, dia menjawab pertanyaannya sendiri sambil melangkah ke dalam hutan yang indah itu. Akan tetapi ingatan itu hanya perlu untuk menghadapi urusan lahiriah yang nyata, untuk keperluan pemeliharaan dan kelangsungan hidup ini. Tanpa ingatan tentu akan kacau-balau kehidupan lahiriah ini. Akan tetapi, sekali ingatan membayangkan segala hal yang lalu dan yang akan datang, membayangkan peristiwa-peristiwa yang dibagi dua sebagai hal yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, kalau pikiran memasuki batin, maka terciptalah segala perasaan yang bertentangan dan menjadikan hidup manusia ini seperti dalam neraka yang diceritakan dongeng.

Tiba-tiba Kun Liong sadar dari lamunannya oleh suara yang datang terbawa angin. Suara tambur dan terompet, suara banyak orang, suara pasukan yang besar! Suara itu datang dari arah depan, dari dalam kota Liok-bun. Agaknya di kota itu terdapat banyak pasukan, pikirnya sambil mempercepat langkahnya karena dia menjadi ingin sekali tahu mengapa tempat itu penuh dengan pasukan.

Pada saat dia sedang melangkah secara tergesa-gesa itu, tiba-tiba terdengar suara orang memanggilnya. "Ehh, bukankah kau Kun Liong...?"

Kun Liong cepat menahan langkahnya dan menoleh ke kiri. Betapa girangnya ketika dia mengenal Pendekar Sakti Cia Keng Hong sedang duduk seorang diri di bawah pohon! Cepat dia menghampiri dan memberi hormat.

"Cia-supek...! Mengapa Supek berada di sini seorang diri?"

Cia Keng Hong yang berpakaian sederhana dan membungkus rambut kepalanya dengan sutera kuning itu tersenyum. "Duduklah, Kun Liong. Aku sekarang sedang mengaso dan menjauhkan diri dari kesibukan pasukan. Betapa indah menyenangkan di tempat sunyi ini sesudah berpekan-pekan sibuk menghadapi banyak orang, juga melihat kekerasan dan perang. Sungguh benar ucapan seorang pujangga kuno bahwa di mana ada manusia, di situ tentu timbul kekerasan, kekejaman, dan kekacauan. Kebenaran itu terasa sekali kalau kita duduk menyendiri di tempat yang sunyi dari kehadiran manusia seperti di tempat ini."

Kun Liong duduk di atas rumput, di depan pendekar sakti itu. "Memang tepat sekali apa yang Supek katakan. Teecu (murid) sendiri juga telah berkali-kali menyaksikan kekerasan dan kekejaman yang terjadi antara manusia. Apakah semenjak kita berpisah di Ceng-to dahulu itu keadaan Supek baik-baik saja?"

Cia Keng Hong menarik napas panjang.

"Entah bagaimana aku harus menjawab pertanyaanmu itu. Sesudah aku melapor ke kota raja, pasukan dikirim dan aku ditugaskan untuk membantu. Pasukan pemerintah berhasil menghancurkan pemberontak, sisanya melarikan diri cerai-berai memasuki hutan-hutan. Mereka sudah terpecah belah, jadi tidak membahayakan keamanan negara lagi. Bahkan orang-orang asing itu sudah menghubungi pemerintah dan dengan perintah langsung dari kota raja mereka diperbolehkan untuk mendarat dan berdagang, akan tetapi terbatas di sekitar pantai Pohai saja. Aku melihat perang, melihat ratusan orang roboh dan tewas, saling bunuh dan saling sembelih. Entah keadaan seperti itu baik atau buruk." Pendekar sakti itu menarik napas panjang lagi.

Kun Liong juga menghela napas. Dia sendiri merasa ngeri saat menyaksikan keganasan manusia saling bunuh.

"Bagaimana dengan engkau sendiri?" Cia Keng Hong bertanya. "Apa yang terjadi dengan gadis yang kita tolong dari rumah Hek-bin Thian-sin di Ceng-to dahulu itu?"

"Nona itu bernama Liem Hwi Sian dan bersama kedua orang suheng-nya dia menerima tugas dari gurunya yang bernama Gak Liong di Secuan supaya membantu pemerintah untuk menyelidiki para pemberontak."

"Hemmm, jadi murid dari pendekar Secuan itu! Pantas dia gagah dan berani sekali, biar pun kurang perhitungan dan hampir celaka. Pendekar Gak Liong di Secuan adalah murid keponakan dari Panglima Besar The Hoo dan namanya sudah terkenal, sungguh pun dia sendiri tidak pernah terjun ke dunia ramai. Bagaimana dengan usahamu mencari kedua orang tuamu?"

Kun Liong mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepalanya yang gundul.

"Belum ada hasilnya sama sekali, Supek. Teecu merasa heran sekali ke mana perginya Ayah dan Ibu."

Cia Keng Hong memandang pemuda itu dengan sinar mata tajam, kemudian terdengar dia berkata, "Kun Liong, aku merasa khawatir sekali akan keadaan orang tuamu. Apa bila mereka itu masih hidup, tidak mungkin mereka berdua terus menyembunyikan diri selama bertahun-tahun, setidaknya mereka tentu akan datang mengunjungi kami di Cin-ling-san."

Kun Liong terkejut dan memandang wajah pendekar itu. "Maksud... maksud Supek...?"

"Aku khawatir bahwa telah terjadi sesuatu dengan mereka, Kun Liong."

"Bagaimana Supek dapat menduga begitu?" Kun Liong bertanya, wajahnya agak pucat.

"Pertama, ayah bundamu adalah orang-orang gagah yang tak mungkin menyembunyikan diri karena takut sampai bertahun-tahun. Ke dua, kalau mereka menghadapi kesukaran, ada dua tempat di mana mereka dapat datang, yaitu di Cin-ling-san atau di Siauw-lim-si. Akan tetapi di kedua tempat itu mereka tidak pernah muncul. Dan ke tiga, kedaan dunia makin kacau, orang-orang golongan sesat bermunculan dan mereka memiliki kepandaian yang tinggi, apa lagi dengan munculnya orang-orang asing. Oleh karena itu, sesudah aku sendiri berusaha menyelidiki dan mendengar-dengar tentang mereka, namun tanpa hasil seolah-olah orang tuamu itu lenyap ditelan bumi tanpa meninggalkan jejak, maka mulailah aku ragu-ragu apakah mereka itu masih hidup."

"Supek...!"
"Kun Liong, sebagai manusia kita harus berani menghadapi kenyataan hidup yang bagai mana pun juga. Kita tidak perlu melarikan diri dari kenyataan, kita harus berani membuka mata menyambut datangnya segala sesuatu yang kita hadapi, baik itu merupakan hal yang semanis-manisnya atau sepahit-pahitnya. Tidak perlu mencari-cari hiburan kosong bagi hati yang dirundung kekhawatiran, karena dengan demikian rasa takut akan makin menggerogoti hati. Kenyataannya adalah orang tuamu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas, dan ini adalah tidak wajar sama sekali kecuali tentu saja kalau mereka itu sudah tewas."

Kun Liong memejamkan kedua mata-nya. Sampai lama dia duduk mengatur napas untuk menahan pukulan batin yang timbul dari kekhawatirannya mendengar kata-kata pendekar sakti itu. Cia Keng Hong memandang dengan penuh rasa terharu dan juga kagum.

Pemuda ini menarik hatinya dan makin condong hatinya untuk menjodohkan puterinya dengan pemuda ini. Dia mendiamkan saja sampai pemuda itu membuka kembali kedua matanya dan sepasang mata yang tajam itu kelihatan membasah.

"Supek benar. Kita harus berani menghadapi kenyataan hidup, betapa pun pahitnya. Dan setelah teecu pikir-pikir, memang tidak mungkin kalau Ayah dan Ibu bersembunyi sampai bertahun-tahun ini. Besar sekali kemungkinan bahwa kedua orang tua teecu itu, telah... telah tewas. Namun tetap teecu akan mencarinya, setidaknya mencari tahu bagaimana hal itu terjadi, kalau benar-benar mereka telah tewas."

Cia Keng Hong mengangguk. "Memang semestinya begitu, dan aku pun akan berusaha mencari keterangan dari kenalan-kenalanku. Kini engkau hendak ke mana, Kun Liong?"

"Pertama-tama, teecu akan melanjutkan usaha teecu untuk mengambil kembali dua buah pusaka Siauw-lim-pai yang dicuri oleh Kwi-eng-pang. Selain itu, juga teecu harus minta kembali pusaka bokor emas yang terjatuh ke tangan Kwi-eng Niocu."

"Bokor emas? Pusaka The-taiciangkun yang hilang?" Cia Keng Hong bertanya.

Kun Liong mengangguk dan dengan singkat dia segera menceritakan tentang perebutan pusaka yang telah berada di tangannya itu namun terpaksa dia melemparkannya kepada Kwi-eng Niocu dengan harapan kelak dapat dia minta kembali.

Mendengar penuturan itu, Cia Keng Hong menarik napas panjang. "Aihhhh, tugasmu ini sungguh amat berbahaya dan berat, Kun Liong. Telaga Kwi-ouw sangat terkenal sebagai tempat yang amat berbahaya, sesuai dengan namanya. Dan entah sudah berapa hanyak tokoh kang-ouw tewas ketika berusaha mendatangi pulau di tengah telaga yang dijadikan sarang Kwi-eng-pang."

"Teecu pernah mendarat di pulau itu, Supek."

Cia Keng Hong kelihatan terkejut. "Heh? Benarkah?"

Kun Liong lalu menceritakan pengalamannya ketika dia pergi ke pulau di tengah Telaga Setan itu, betapa di tepi telaga dalam hutan dia bertemu dengan Toat-beng Hoatsu yang tidak dikenalnya, kemudian betapa dia ditipu oleh pelayan wanita Kwi-eng Niocu sehingga tertawan dan dia dijadikan rebutan antara Siang-tok Mo-li dan Toat-beng Hoatsu sehingga akhirnya dia menjadi tawanan kakek datuk kaum sesat nomor satu itu.

"Aihhhh, kalau begitu engkau sama sekali belum mengenal Telaga Setan dan pulaunya itu," kata Cia Keng Hong. "Dan masih untung engkau tertawan secara itu karena andai kata engkau yang belum mengenal rahasia Telaga Setan itu datang sendiri ke sana dan melakukan pendaratan, mungkin engkau akan celaka dan tewas dalam jebakan-jebakan rahasia yang amat berbahaya. Aku pernah mendengar penuturan seorang sahabat yang telah berhasil menyelidiki rahasia itu maka bila kau hendak mendarat ke sana, sebaiknya engkau mempelajari rahasia-rahasia yang akan kulukiskan untukmu."

Pendekar sakti itu lalu bertepuk tangan dan menggapai kepada seorang penjaga di luar pintu gerbang kota Liok-bun yang tampak dari situ. Prajurit yang memegang tombak itu lari mendatangi dan memberi hormat kepada pendekar ini. Cia Keng Hong menyuruhnya mengambilkan kertas dan alat tulis.

Penjaga itu cepat berlari memasuki pintu gerbang kota Liok-bun. Tak lama kemudian dia datang berlari-lari membawa kertas lebar bergulung dan alat tulis yang diminta pendekar itu. Kemudian, penjaga itu melangkah agak menjauh lalu berdiri dengan tombak tetap di tangan, berjaga dan menanti perintah selanjutnya dari pendekar itu.

Cia Keng Hong lalu mulai membuat gambaran telaga beserta pulaunya sambil memberi petunjuk kepada Kun Liong yang memandang penuh perhatian.

"Tepi Telaga Kwi-ouw dari tiga jurusan, yaitu barat, selatan dan timur, merupakan daerah yang kelihatannya datar dan aman, tetapi justru tiga bagian inilah yang paling berbahaya bagi para pendatang dari luar. Tiga daerah ini penuh dengan alat-alat jebakan yang amat berbahaya sekali."

"Akan tetapi, Supek. Ketika teecu ikut dengan perahu pelayan itu, teecu juga melalui dari selatan."

"Karena pelayan itu sudah sangat mengenal daerahnya, tentu saja dia dapat mendayung perahunya dengan aman. Di bagian selatan itu, di bawah permukaan air terdapat banyak sekali ranjau yang berupa batu karang di bawah permukaan air, akan tetapi sekali saja disentuh oleh perahu asing, anak panah yang banyak sekali dan yang sudah dipasang di dalam batu karang buatan itu akan meluncur ke luar dan menyerang penumpang perahu secara tiba-tiba dan hebat sekali. Di samping itu, begitu orang mendarat di pulau itu dari selatan, walau pun di situ penuh pasir, namun terdapat bagian pasir yang berputar dan menyedot kaki orang yang menginjaknya sehingga tanpa petunjuk orang yang mengenal daerah itu, sekali kakimu terseret, sukarlah bagimu untuk menyelamatkan diri."

Kun Liong terbelalak dan bergidik ngeri.

"Daerah barat juga sangat berbahaya karena penuh dengan lubang-lubang jebakan yang tertutup dengan rumput hidup, dan di dalam setiap lubang terisi banyak ular berbisa yang siap menyambut setiap orang yang terjeblos masuk. Juga air di bagian itu banyak sekali terdapat ganggang yang hidup di bawah permukaan air, penuh dan dapat mendamparkan perahu yang lewat. Tentu saja bagi mereka yang sudah hafal, mereka tahu bagian mana yang tumbuhan ganggangnya tak begitu banyak sehingga dapat dilalui perahu. Kemudian bagian timur, biar pun tidak dipasangi jebakan pada permukaan air telaga, namun di situ terdapat air berpusing yang amat berbahaya, dapat menyeret dan menyedot perahu ke dalam pusingan air. Agaknya ada sebuah lubang besar di bagian ini yang menciptakan air berpusing. Sedangkan di daratan pulau di timur ini terdapat alat-alat rahasia yang kalau dilanggar kaki asing, akan membuat timbunan batu besar yang menggunung di bagian ini runtuh ke bawah dan tentu saja akan langsung menyerang para pendatang, sukar untuk menyelamatkan diri dari serangan batu-batu besar itu."

"Ihhh, keji sekali!" Kun Liong berseru dan merasa lega bahwa dia telah diberi tahu akan hal-hal yang membahayakan itu sehingga dia dapat lebih berhati-hati.

"Satu-satunya jalan adalah melalui utara. Akan tetapi bagian yang bersih dari jebakan ini merupakan daerah yang sangat sukar didatangi. Tepi daratan pulau pada bagian ini amat terjal, merupakan tebing tinggi yang curam sekali dan tidak mudah didaki dari bawah." Cia Keng Hong membuat lukisan tebing tinggi itu sambil memberi penjelasan. "Akan tetapi, sahabatku itu pernah melihat beberapa kera memanjat ke atas dan hal ini memberi dia petunjuk bagaimana caranya mendatangi pulau dengan aman. Yaitu dengan memanjat akar-akar yang menonjol keluar di dinding tebing itu, memanjat melalui akar dan batu menonjol. Tentu saja hal ini harus dilakukan dengan hati-hati, membutuhkan keringanan tubuh dan kecekatan, karena biasanya hanya monyet saja yang dapat memanjat ke atas. Sekali injakan kaki atau pegangan tangan terlepas, engkau akan terjatuh ke bawah dan tentu takkan dapat menghindarkan diri lagi dari maut."

"Agaknya, memang jalan melalui tebing itu yang paling aman," Kun Liong berkata sambil memandang lukisan supek-nya.

"Betapa pun juga, engkau harus berhati-hati sekali karena siapa tahu kalau Kwi-eng-pang yang kuat itu kini telah memasangi jebakan pula pada jalan paling sukar akan tetapi paling aman ini."

Mendadak prajurit yang tadi berdiri berjaga dengan tombak di tangan berseru, "Taihiap, Liu-ciangkun datang menghadap!"

Kun Liong menoleh dan Cia Keng Hong memandang seorang perwira yang bertubuh tinggi besar. Perwira itu cepat memberi hormat kepada pendekar sakti itu dan berkata, "Ada seorang utusan dari kerajaan datang membawa sepucuk surat untuk disampaikan kepada Taihiap, dari Panglima Besar The Hoo sendiri."

Cia Keng Hong menggulung gambar itu, menyerahkannya kepada Kun Liong, kemudian dia bangkit berdiri dan menerima sampul tertutup. Setelah mengucapkan terima kasih dan perwira itu pergi pula, kemudian berdua dengan Kun Liong, pendekar itu kembali duduk di bawah pohon dan membuka surat dari Panglima Besar The Hoo.

Wajahnya yang masih tampan dan gagah tidak membayangkan sesuatu ketika membaca surat itu sehingga sukar bagi Kun Liong untuk menduga apakah surat itu membawa berita baik ataukah buruk. Setelah selesai membaca, Cia Keng Hong melipat surat, menyimpan ke dalam saku jubahnya, memandang Kun Liong dan berkata,

"Ahh, sungguh hebat luar biasa, bokor emas itu benar-benar menimbulkan geger di dunia kang-ouw. Kun Liong, bokor itu telah terlepas lagi dari tangan Kwi-eng Niocu seperti yang kau ceritakan kepadaku dan sekarang bokor itu berada di tangan Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong. Mereka membawa bokor itu ke Pulau Ular! Panglima Besar The Hoo mendengar laporan ini dari Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan. Hemm, Pulau Ular di Teluk Pohai. Berbahaya sekali! Dan Nona Souw secara lancang pergi sendiri melakukan penyelidikan ke sana!"

Kun Liong terkejut. "Apakah Supek maksudkan Nona Souw Li Hwa?"

"Engkau sudah mengenalnya?"

"Sudah beberapa kali teecu berjumpa dengan Nona Souw Li Hwa," Kun Liong menjawab singkat. Dia merasa malu kalau harus menceritakan betapa dia pernah menjadi tawanan nona cantik itu! "Bukankah dia murid Panglima Besar The Hoo?"

"Memang dari gurunya dia mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi. Akan tetapi dia masih amat muda dan belum berpengalaman. Bagaimana dia begitu lancang untuk pergi seorang diri ke Pulau Ular? Betapa mungkin dia dapat melawan dua orang datuk kaum sesat yang lihai itu? Ahh, sungguh mengkhawatirkan sekali. Panglima The Hoo minta kepadaku untuk merampas kembali bokor itu, akan tetapi berita tambahan tentang kepergian nona itu ke Pulau Ular, benar-benar membikin gelisah."

"Supek, kalau begitu, biarlah teecu lebih dulu menyusulnya ke sana."

Cia Keng Hong memandang kepadanya. Dia maklum bahwa pemuda ini mempunyai ilmu kepandaian yang hebat, apa lagi kini telah menjadi pewaris Thi-khi I-beng sehingga boleh diandalkan. Dia sendiri harus mengepung Pulau Ular itu sebab kalau dia menyerbu begitu saja, kedua orang datuk itu akan dapat melarikan diri dan membawa bokor emas. Maka dia harus mengepung ketat pulau itu, barulah dia akan turun tangan. Dengan demikian, dua orang datuk itu tidak akan mendapat kesempatan untuk membawa lari bokor emas milik Panglima The Hoo itu.

"Bagus sekali kalau kau suka membantu, Kun Liong. Memang bokor itu perlu sekali untuk diselamatkan. Jika sampai terjatuh ke tangan penjahat, bisa berbahaya. Bokor itu selain mengandung petunjuk tempat rahasia penyimpan harta pusaka terpendam yang sangat besar jumiahnya, juga penyimpanan kitab-kitab pusaka pelajaran ilmu silat yang mukjijat. Demikian menurut keterangan yang kuperoleh dari Panglima The Hoo sendiri. Bokor itu dahulu milik seorang pendeta perantau berilmu tinggi yang kemudian meninggal dunia di Nepal. Sesudah berpindah-pindah tangan, akhirnya bokor itu terjatuh ke tangan Panglima The Hoo dan hingga kini belum ada yang dapat membuka rahasia tempat penyimpanan pusaka itu."

Kun Liong mengangguk-angguk. "Memang teecu harus ikut berusaha mendapatkannya kembali, bukan hanya mengingat bahwa teecu ikut bersalah membiarkan bokor terjatuh ke tangan datuk kaum sesat, juga dahulu teecu sudah berjanji kepada perwira pengawal Tio Hok Gwan untuk kelak menghaturkan bokor itu kepada Panglima The Hoo sendiri!"

Kun Liong tidak mendapat keterangan sejelasnya tentang letak Pulau Ular, kemudian dia menerima bekal secukupnya dari Cia Keng Hong, karena untuk keperluan itu dia harus membeli sebuah perahu di pantai Pohai. Setelah menerima petunjuk dan nasehat, Kun Liong berangkat secepatnya seorang diri menuju ke daerah Teluk Pohai, sedangkan Cia Keng Hong segera berunding dengan para perwira yang memimpin pasukan pemerintah untuk mengatur siasat, mengepung Pulau Ular dan mengatur persiapan.

********************

Air laut bergelombang amatlah indah dan megahnya. Mempunyai keindahan yang khas. Air laut itu seolah-olah bernafas, tak kunjung henti bergerak dan terayun-ayun, bersenda gurau tertawa-tawa. Anak-anak ombak bagai sekumpulan kanak-kanak yang masih belum mengenal pikiran susah, kepala ombak memercik dan membuih putih menari-nari dengan riangnya.

Akan tetapi, di balik keriangan yang nampak di atas gulungan ombak itu, bersembunyilah keangkeran dan kebesaran yang sangat dalam dan menyeramkan, penuh rahasia, penuh kediaman, namun penuh pengertian.

Air laut itu, yang oleh manusia dikatakan benda mati, sesungguhnya hidup. Itulah baru hidup yang sungguh-sungguh hidup namanya! Sangat bebas dan hidup, melakukan apa saja, bergerak bagaimana saja sewajarnya, bebas tanpa ikatan, tanpa perintah, tidak ada yang terpecahkan antara gerakan salah dan gerakan benar.

Justru kita manusia ini yang hidupnya seperti boneka. Segala gerak kita tidak wajar, tidak bebas. Setiap gerak kita adalah gerakan menjiplak atau gerakan yang dikendalikan, bagai boneka yang digerakkan dengan tali-tali pengikat, ‘didalangi’ oleh tradisi dan kebudayaan uang, hukum yang sudah karatan, peradaban tua, sedemikian tuanya sehingga semua gerak-gerik kita hanya merupakan kepalsuan, kedok-kedok yang tidak wajar!

Kita berbuat baik bukan karena memang baik, melainkan karena ingin baik. Keinginan selalu berpamrih (menyembunyikan kehendak tertentu) sehingga perbuatan itu sendiri lalu menjadi kedok kebaikan yang menyembunyikan pamrih yang sebenarnya. Kita bersikap manis dan ramah kepada orang bukan karena keadaan kita memang demikian, melainkan karena kita ingin mentaati hukum sopan santun dan kesusilaan sehingga sikap manis kita itu adalah palsu, dan hidup kita seperti benda mati yang digerakkan. Alangkah bedanya dengan air laut itu!


Matahari baru saja muncul dari permukaan laut sebelah timur. Cahaya bola api yang amat besar itu membuat segala benda menjadi berkilau seperti diselaput emas, kuning merah keemasan. Cahaya yang hangat ini menyelimuti permukaan air laut yang bergerak rata dan halus seperti napas seorang bayi tidur.

Sebuah perahu kecil berbentuk meruncing meluncur cepat ke arah selatan, digerakkan oleh hembusan angin pada layar yang berkembang dan melengkung penuh menampung angin. Perahu itu meluncur di atas permukaan air yang keemasan, menuju ke sebuah pulau yang sudah nampak dari perahu itu, sebuah pulau memanjang yang kelihatannya bagai sepotong balok dan di atasnya terdapat sebuah bukit yang berbentuk seperti seekor ular melingkar di atas balok itu. Itulah Pulau Ular!

Dara yang berada seorang diri di perahu itu cantik jelita. Sepasang pipinya kemerahan, karena mengemudi perahu yang mula-mula didayungnya dari daratan itu membutuhkan pengerahan tenaga. Setelah perahu meluncur dekat pulau yang ditujunya, ia menggulung layar dan membiarkan perahunya terkatung-katung sambil memandang penuh perhatian ke arah Pulau Ular.

Dara ini bukan lain adalah Souw Li Hwa, dara cantik jelita yang gagah perkasa itu, murid Panglima Besar The Hoo yang sakti. Li Hwa memang terkenal memiliki keberanian yang luar biasa. Pada saat mendengar dari pengawal Tio Hok Gwan bahwa bokor emas milik gurunya itu telah terampas oleh datuk kaum sesat Toat-beng Hoatsu dan disembunyikan di Pulau Ular, serta merta dia pergi seorang diri untuk melakukan penyelidikan ke pulau itu.

Gurunya, Panglima Besar The Hoo, merasa terkejut dan khawatir sekali mendengar akan kelancangan muridnya ini. Karena itu panglima besar ini lalu cepat minta bantuan kepada Pendekar Sakti Cia Keng Hong, bahkan dia sendiri lantas memimpin pasukan istimewa untuk menyusul muridnya.

Li Hwa dengan nekat melakukan ke Pulau Ular begitu mendengar berita tentang bokor itu, karena dia merasa penasaran sekali. Bokor itu seakan-akan sudah berada di tangannya ketika dia telah berhasil menawan Kun Liong, karena hanya pemuda gundul itu sajalah yang tahu di mana adanya pusaka itu. Akan tetapi pada saat-saat terakhir dia pun gagal mendapatkan bokor, maka begitu mendengar bahwa benda pusaka itu sekarang berada di Pulau Ular, tanpa mengingat bahayanya, dia cepat melakukan pengejaran ke tempat berbahaya itu.

Keadaan pulau itu memang menyeramkan. Sebuah pulau yang tadinya kosong sebelum ditemukan oleh Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan dijadikan sarangnya. Ketika Si Raja Ular ini menemukan pulau itu, dia girang bukan main melihat bahwa pulau yang kosong itu di samping memiliki tanah yang subur juga penuh dengan ular berbisa dan pulau itu merupakan sebuah benteng yang kuat.

Memang dulu, ratusan tahun yang lalu, pulau ini pernah dijadikan benteng oleh pasukan-pasukan daratan Tiongkok ketika barisan menyerang ke Kolekok (Korea) di jaman cerita Sam-kok. Karena beberapa kali pasukan daratan terpukul mundur oleh pasukan Kolekok yang dipimpin oleh panglima wanita yang sakti bernama Hoan Lee Hwa, maka pulau itu dijadikan benteng ketika mereka mundur, demikianlah menurut dongeng.

Kini pulau itu menjadi sebuah tempat tinggal yang indah akan tetapi juga menyeramkan bagi orang luar. Pulau itu bertanah subur, bahkan sebagian tanahnya telah diolah menjadi ladang yang subur dan yang menghasilkan bahan makanan, dikerjakan oleh anak buah Ban-tok Coa-ong.

Akan tetapi, datuk kaum sesat ini pun telah menangkap banyak ular-ular beracun dan ular-ular ini kemudian dilepas di pulaunya sehingga beberapa tahun kemudian, pulau ini penuh dengan ular dari segala macam ukuran dan warna, kesemuanya mengandung bisa yang amat jahat. Maka terkenallah Pulau Ular dan tidak ada seorang pun pelancong atau nelayan yang berani mendekati pulau itu.

Oleh karena sudah bertahun-tahun tak ada orang berani mendekati pulau, ditambah pula dengan keadaan pulau yang terlindung oleh tembok benteng tebal, serta mengandalkan nama besarnya yang ditakuti, maka Ban-tok Coa-ong tidak melakukan penjagaan dan membiarkan pulau itu ‘terbuka’. Namun, semenjak Toat-beng Hoatsu datang dan berhasil membawa bokor emas, anak buah Ban-tok Coa-ong segera dikerahkan untuk melakukan penjagaan di sekeliling pulau, di atas tembok-tembok benteng.

Anak buah Ban-tok Coa-ong yang tinggal di Pulau Ular terdiri dari orang-orang Nepal dan pribumi, tentu saja mereka adalah orang-orang dari golongan hitam. Mereka berjumlah kurang lebih lima puluh orang dan sebagian di antara mereka ada pula yang membawa keluarga mereka. Bahkan di antara orang-orang Nepal ada pula yang membawa isteri dan tinggal di Pulau Ular dengan beberapa orang anak mereka.

Karena bertahun-tahun tak ada orang luar berani memasuki Pulau ular, maka anak buah Ban-tok Coa-ong tidak pernah menghadapi serangan musuh. Hal ini membuat mereka sangat percaya kepada kekuatan sendiri, terutama mengandalkan nama besar pemimpin mereka.

Walau pun kini mereka menerima tugas untuk berjaga-jaga, namun karena mereka tidak percaya akan ada orang yang berani datang ke pulau itu, mereka melakukan penjagaan dengan malas-malasan. Apa lagi di pulau itu selain pemimpin mereka, Ban-tok Coa-ong yang sangat sakti, masih terdapat pula putera pemimpin mereka itu yang mereka sebut Ouwyang-kongcu (Tuan Muda Ouwyang), bahkan masih ada lagi kakek tua renta yang kabarnya tidak kalah lihai dibandingkan pemimpin mereka, yaitu Toat-beng Hoatsu.

Penjagaan yang tidak ketat itu memudahkan Li Hwa untuk mendaratkan perahunya di tepi Pulau Ular tanpa diketahui oleh para penjaga. Sesudah menyembunyikan perahunya di dalam semak-semak di pinggir telaga, Li Hwa lalu mulai dengan penyelidikannya, menuju ke tengah pulau di mana tampak olehnya bangunan-bangunan pondok.

Dia melihat para penjaga, makin ke tengah makin banyak, akan tetapi para penjaga itu sedang bercakap-cakap dan agaknya sama sekali tak memperhatikan penjagaan mereka. Apa lagi ketika dia tiba di antara pondok-pondok yang berdiri berjajar di tengah pulau, dia melihat betapa banyak penjaga sedang tertarik dengan sebuah peristiwa yang terjadi di tempat terbuka depan sebuah pondok terbesar.

Li Hwa segera menyelinap di antara pobon-pohon dan pondok-pondok, kemudian berhasil meloncat naik ke atas sebuah pohon besar dan mengintai ke bawah. Ada belasan orang laki-laki membentuk sebuah lingkaran lebar tempat itu. Mereka itu terdiri dari tujuh orang Nepal yang berambut panjang dan selebihnya adalah orang Han biasa. Mereka rata-rata bersikap kasar dan ketika itu mereka tersenyum menyeringai lebar seakan-akan sedang menghadapi sebuah tontonan yang menarik hati.

Di ujung sana duduk seorang pemuda berwajah tampan yang menyeringai lebar dan mata pemuda tampan ini bergerak-gerak liar menyeramkan. Melihat sikap dan pakaiannya yang seperti pakaian seorang putera bangsawan itu, mudah diduga bahwa dia tentulah seorang yang tinggi kedudukannya di antara mereka, dan bahkan Li Hwa dapat menduga bahwa agaknya pemuda itu adalah Ouwyang Bouw, yaitu pemuda iblis putera Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang kabarnya memiliki kekejaman melebihi ayahnya.

Akan tetapi pada saat itu, yang menarik perhatian Li Hwa adalah tontonan yang membuat belasan orang itu tertarik, yaitu yang terdapat di tengah-tengah lingkaran mereka. Dia melihat dua orang laki-laki dan wanita. Melihat bentuk wajah dan model rambut mereka, mudah diketahui bahwa laki-laki dan wanita itu tentulah bangsa asing Nepal seperti tujuh orang pria yang menonton di situ.

Laki-laki itu tinggi besar, usianya antara empat puluh tahun, sedangkan wanitanya berkulit putih tidak seperti kaum prianya, berusia antara tiga puluh tahun. Yang mengherankan hati Li Hwa adalah bahwa bahwa kedua orang itu bertelanjang bulat sama sekali! Wanita itu kelihatan takut, wajahnya pucat dan matanya terbelalak lebar memandang ke sana-sini seperti orang minta tolong. Sedangkan yang pria hanya menunduk, kelihatannya seperti orang yang sudah putus harapan dan menyerahkan diri kepada nasib.

Tiba-tiba pemuda tampan yang bermata liar, yang memang bukan lain adalah Ouwyang Bouw itu, mengangkat tangan ke atas dan agaknya ini merupakan isyarat karena semua orang yang tadinya menonton sambil berbisik-bisik, sekarang terdiam semua, dan hanya memandang ke arah wanita telanjang bulat.

Wanita ini berusaha sedapat mungkin mempergunakan kedua tangannya untuk menutupi tubuhnya. Lengan kirinya melintang di depan dada dan tangan kanannya menutupi bagian bawah pusarnya, kedua kaki dirapatkan dan wanita itu berlutut setengah menelungkup, hanya mukanya diangkat ke atas memandang kepada para penonton dengan sinar mata minta pertolongan. Ada pun laki-laki telanjang itu hanya mempergunakan kedua tangan menutupi bawah pusarnya sambil berlutut dan menundukkan muka.

"Hemmm, kalian sudah tertangkap basah. Sanghida, kau mau bilang apa lagi? Mengapa engkau berjinah dengan isteri Rajid?"

Laki-laki telanjang itu semakin menunduk dan dengan suara lemah dia menjawab, "Saya mencinta dia, Ouwyang-kongcu."

"Betulkah? Apa engkau menganggap dia cukup berharga untuk kau bela dengan nyawa?"

Sanghida, orang Nepal itu, mengangguk. "Saya bersedia membelanya dengan nyawa."

"Ha-ha-ha, agaknya Madhula pandai sekali melayanimu hingga engkau sudah tergila-gila, ha-ha-ha!" Ouwyang Bouw tertawa dan semua orang yang menonton ikut pula tertawa, kecuali seorang di antara mereka yang bertubuh gemuk, seorang Nepal yang mukanya merah.

"Heii, Madhula! Engkau yang berjinah dengan laki-laki lain, apakah lebih senang kepada Sanghida dari pada kepada suamimu sendiri?" Kembali Ouwyang Bouw bertanya dan kini ditujukan kepada wanita itu.

Wanita itu menoleh dan memandang kepada Ouwyang Bouw dengan sinar mata penuh kemarahan. Dari atas Li Hwa dapat melihat bahwa wanita itu ternyata memang cantik sekali, kecantikan yang aneh, khas dan menarik.

"Ouwyang-kongcu, engkau tentu lebih tahu apa yang sudah terjadi! Karena aku sudah menolak cintamu, menolak bujukan dan rayuanmu untuk berjinah denganmu karena aku selalu setia kepada suamiku, maka engkau telah mempergunakan Si Jahanam Sanghida ini untuk memperkosaku! Engkau menaruh racun dalam minuman kami sehingga kami berdua teracun dan mabok, melakukan perbuatan di luar kesadaran kami berdua selagi suamiku kau suruh berjaga di luar. Kemudian kau sendiri yang sengaja menangkap kami dan menuduh kami berjinah. Tentu semua ini kau lakukan untuk membalas penolakanku terhadap bujukanmu!"

"Tutup mulutmu!" Ouwyang Bouw membentak marah sekali, akan tetapi kemudian dia tertawa-tawa lagi.

Sikap yang berubah-ubah ini amat menyeramkan, dan Li Hwa yang berada di atas pohon menduga bahwa agaknya pemuda itu memang benar-benar gila seperti disohorkan dunia kang-ouw.

"Semua tuduhan itu tidak ada buktinya. Akan tetapi perjinahan kalian sudah jelas terbukti. Kalau kalian tidak berjinah, mana mungkin kalian berdua berada di dalam satu kamar dan satu pembaringan tanpa pakaian sama sekali?" Dia tertawa dan semua orang tertawa pula.

Wanita itu tidak menjawab, hanya memandang dengan mata terbelalak penuh kemarahan kepada Ouwyang Bouw.

Pemuda ini kembali tertawa bergelak, kemudian secara tiba-tiba menghentikan tawanya, memandang wanita itu dan berkata, "Madhula, engkau memang cantik sekali dan pantas diperebutkan oleh kaum pria. Heii, Rajid, apa katamu? Setelah kau melihat sendiri betapa isterimu dipeluk dan ditiduri oleh Sanghida, beranikah engkau mempertahankannya dan melawan Sanghida?"

Orang Nepal yang bermuka merah dan bertubuh gemuk, yang sejak tadi bermuka muram dan tidak ikut tertawa seperti yang lain, meloncat ke depan, memandang kepada dua orang yang telanjang itu, kemudian meludah ke bawah dan berkata, "Perbuatan mereka yang terkutuk ini sudah jelas! Anjing jantan ini harus dibunuh dan anjing betina ini pun tak patut dibiarkan hidup!"

"Ha-ha-ha, kalau begitu, kuberikan Sanghida kepadamu, Rajid!" kata Ouwyang Bouw.

Mendengar ucapan ini, orang Nepal yang gemuk itu mengeluarkan suara teriakan keras dan tubuhnya sudah cepat menerjang maju, mengirim pukulan dengan tangan terkepal ke arah kepala Sanghida yang telanjang. Biar pun tubuhnya gemuk, akan tetapi orang Nepal bermuka merah ini gerakannya amat cepat, menunjukkan bahwa dia memiliki kepandaian tinggi.

Akan tetapi, dengan tangan kiri masih menutupi bawah pusarnya, Sanghida mengelak dengan meloncat ke belakang. Gerakannya sigap sekali dan ketika Rajid menerjang lagi, Sanghida menangkis dengan lengan kanan. Tubuh Rajid terhuyung-huyung ke belakang dan ternyata bahwa dia kalah tenaga.

"Rajid... aku tak ingin bertempur denganmu...!" Sanghida berkata dan dia menangkis lagi, kini sambil menangkis, tangan kanannya berhasil menangkap pergelangan tangan Rajid dan sekali menariknya, tubuh Rajid terdorong ke depan dan hampir terbanting jatuh. Rajid makin marah, mukanya makin merah pada saat dia meloncat membalik sambil mencabut senjatanya yang berbentuk sebatang golok melengkung dan tajam sekali...
Selanjutnya,