Petualang Asmara Jilid 13 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Petualang Asmara Jilid 13
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
BIARPUN lengan kanannya sudah lumpuh dan dia hanya mampu melawan dengan pit di tangan kirinya, akan tetapi Cong San masih mengamuk hebat sehingga pit-nya berhasil melukai pundak Hek-bin Thian-sin, biar pun dia sendiri sudah menerima pukulan-pukulan dari senjata lawan yang membuat pakaiannya robek-robek dan penuh darah.

"Jahanam Yap Cong San, mampuslah!"

Bu Leng Ci yang marah sekali karena tadi dia hampir celaka oleh pit di tangan Cong San, menggerakkan tangan kirinya dan nampak sinar hijau menyambar. Ketika itu Cong San sedang terhimpit oleh karena Toat-beng Hoatsu yang marah akibat jubahnya robek sudah mendesaknya. Karena itu pendekar ini tidak dapat menghindarkan diri lagi dari sambaran Siang-tok-soa (Pasir Beracun Wangi) yang disambitkan oleh Bu Leng Ci dari jarak dekat.

"Aduhhh...!" Dia berseru ketika pasir itu memasuki dadanya.

Hidungnya mencium bau yang wangi sekali dan tahulah dia bahwa nyawanya tidak akan tertolong lagi. Dengan sekuat tenaga dia lantas menyambitkan pit-nya ke arah lawan yang terdekat, yaitu Ban-tok Coa-ong. Begitu hebat sambitan ini sehingga meski pun Ban-tok Coa-ong meloncat ke atas, tetap saja pit yang tadinya dimaksudkan oleh penyambitnya untuk menembus dadanya itu masih menembus betisnya!

"Auuuww... setan kau!" Ban-tok Coa-ong menubruk dan pedang ularnya membacok.

Cong San mengelak, akan tetapi kurang cepat hingga pinggangnya robek. Dengan luka parah ini Cong San masih belum roboh, melainkan menubruk ke arah jenazah isterinya dan memeluk isterinya.

"Yan Cu... tunggu... Yan Cu...!" Dengan tubuh isterinya dalam pelukan ketat, pendekar ini menghembuskan napas terakhir!

Suami isteri pendekar gagah perkasa yang saling mencinta dan yang sepanjang hidupnya banyak mengalami kemalangan itu tewas dalam keadaan menyedihkan sekali bagi yang melihatnya.

"Huh, menjemukan!" Bu Leng Ci yang masih marah itu menendang mayat Cong San.

Mayat itu terlempar, akan tetapi mayat Yan Cu juga ikut terbawa. Ternyata bahwa pelukan Cong San itu ketat sekali, seolah-olah sampai mati pun dia tak mau melepaskan isterinya dan lengannya telah menjadi kaku.

"Ha-ha-ha, mesra-mesra... auggghh..." Ban-tok Coa-ong mencabut pit dari betisnya dan mengobati lukanya.

"Suhu...! Subo...! Uhuhuhuh...!" Cui Lin yang masih memondong tubuh In Hong menangis mengguguk sambil berlutut di atas lantai.

Di luar pintu tampak Phoa-ma berlutut. Wajahnya pucat sekali, matanya terbelalak dan mulutnya mewek-mewek menahan tangis saking ngeri dan takutnya. Dia tadi bersama Cui Lin berlari-lari pulang ketika mendengar laporan dari seorang tetangga bahwa di rumah keluarga Theng terdengar ribut-ribut seperti orang berkelahi.

"Hemm, bocah ini murid mereka, tidak boleh hidup!" Bu Leng Ci berkata dan samurainya sudah menggetar di tangannya.

"Mo-li, jangan! Sayang kalau dibunuh begitu saja. Hemm, berikan dia kepadaku sebelum dibunuh!" Yang berkata demikian adalah Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu.

Bu Leng Ci membuang ludah. "Cuhh! Laki-laki kotor!"

"Aahhh, masa kau tidak mau mengalah kepadaku? Kalau mau bunuh bayi itu, bunuhlah, akan tetapi sayang jika dara ini dibunuh begitu saja. Aku bukan seorang mata keranjang, akan tetapi melihat kemulusan seperti ini disia-siakan dan dibunuh tanpa dimanfaatkan, sungguh amat sayang."

Bu Leng Ci membuang muka dengan sebal, sedangkan Kwi-eng Nio-cu cemberut. Kedua orang wanita yang sudah banyak melihat kepalsuan laki-laki terhadap wanita ini merasa muak dan kebenciannya terhadap pria bertambah dengan sikap Si Muka Hitam itu.

Cui Lin yang mendengar percakapan itu mengangkat mukanya yang pucat, memandang kelima orang pembunuh keluarganya dan gurunya itu. Dia maklum bahwa melawan akan percuma. Yang penting sekarang adalah menyelamatkan In Hong.

Perintah gurunya terakhir adalah menyelamatkan atau melarikan In Hong. Akan tetapi dia tak dapat lari dan sekarang dia harus menggunakan segala usaha untuk menyelamatkan puteri gurunya. Dia tidak takut lagi, yang ada hanya benci. Dendam sedalam lautan yang sulit untuk ditebusnya, mengingat betapa lihainya kelima orang itu. Akan tetapi kini yang paling penting adalah menyelamatkan In Hong.

Dia bangkit berdiri dengan In Hong di pelukannya. Suaranya tidak gemetar takut ketika dia berkata,

"Ampunilah anak kecil yang tidak berdosa ini. Aku bersedia mentaati perintah kalian, biar disuruh mati sekali pun, asal adikku ini diampuni dan dibiarkan pergi bersama Phoa-ma."

"Ha-ha-ha, Nona manis, engkau tabah sekali. Benarkah engkau bersedia menuruti semua kehendakku?" Si Muka Hitam yang buruk rupa itu terkekeh dan bertanya.

"Asal adikku dibebaskan." Cui Lin mengangguk.

"Anak itu tentu anak mereka. Dulu orangku mengatakan bahwa ketika mereka menyerbu, Gui Yan Cu sedang mengandung. Anak ini harus dibunuh, kalau tidak, kelak hanya akan mendatangkan kerepotan saja," kata Kwi-eng Nio-cu.

Cui Lin terkejut. Cepat dia memutar otaknya lalu berkata nyaring dengan nada mengejek, "Aih, orang-orang lihai macam kalian takut kepada seorang anak bayi, takut kalau kelak membalas dendam? Tak kusangka kalian penakut seperti itu!"

"Budak hina!" Kwi-eng Nio-cu telah menggerakkan tangan menampar, akan tetapi Hek-bin Thian-sin sudah meloncat ke depan menghalangi.

"Nio-cu, dia tidak boleh dibunuh dulu sebelum aku selesai dengannya."

"Kau... hendak membelanya? Kau kira aku takut kepadamu, Hek-hin Thian-sin?!" Kwi-eng Nio-cu membentak.

"Takut atau tidak bukan urusanmu, akan tetapi tadi sudah kunyatakan bahwa aku tidak ingin melihat gadis ini dibunuh begitu saja."

"Kalau begitu, majulah!" Si Bayangan Hantu menantang.

"Uhh-uhhh!" Toat-beng Hoatsu terbatuk-batuk. "Apakah kalian ini anak-anak kecil yang karena urusan sepele saja hendak saling hantam?"

Ditegur demikian oleh orang tertua di antara mereka, keduanya mundur lagi, dan Hek-bin Thian-sin berkata kepada Cui Lin, "Dara manis, siapa takut kepada bocah itu? Biarkan dia hidup dan belajar seratus tahun, kami tidak akan takut! Siapa bilang Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu takut akan pembalasan seorang anak bayi? Entah kalau yang lain takut!"

"Sombong! Aku pun tidak takut!" Si Bayangan Hantu membentak.

"Hi-hik, biarkan bayi itu besar, kelak masih belum terlambat kita membunuhnya. Ingin aku melihat bagaimana dia hendak membalas dendam!" kata pula Bu Leng Ci.

Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak. "Nah, begitu barulah sikap orang gagah! Tidak takut dan pantang mundur menghadapi tantangan pendendam! Eh, Nona, benarkah kau akan menurut segala perintahku kalau kami membebaskan bocah itu?"

"Aku Tan Cui Lin adalah keturunan orang gagah dan murid pendekar perkasa, sekali bicara tidak akan ditarik kembali!" Cui Lin yang sudah mengambil keputusan tetap untuk menyelamatkan In Hong sebagai perbuatan terakhir itu menjawab dengan sikap gagah.

"Ha-ha-ha-ha, bagus! Kalau begitu, hayo kau tanggalkan semua pakaianmu, bertelanjang bulat di depan kami!" Hek-bin Thian-sin memerintah.

Dapat dibayangkan betapa perasaan seorang dara berusia enam belas tahun seperti Cui Lin mendengar perintah biadab seperti itu. Hampir dia pingsan membayangkan betapa dia harus menanggalkan semua pakaian di hadapan mereka. Penghinaan yang tiada taranya bagi seorang dara. Akan tetapi ketekadan bulat didorong putus asa dan kedukaan melihat semua orang yang dikasihinya tewas, membuat dia menjawab dengan suara tenang,

"Bebaskan dulu adikku. Biarkan dia dibawa pergi Phoa-ma. Ehh, Phoa-ma, bawa pergi In Hong, jaga baik-baik dan hati-hatilah memelihara dia."

Dengan tubuh menggigil Phoa-ma menerima In Hong dari tangan Cui Lin, memondong bayi itu, kemudian bergegas pergi keluar dari rumah itu dengan tubuh gemetar.

Sesudah melihat Phoa-ma pergi tak tampak lagi, Cui Lin melangkah maju dan perlahan-lahan, jari jemari tangannya mulai menanggalkan pakaiannya, satu demi satu. Ia sengaja melakukan ini dengan lambat sekali karena dia hendak menarik perhatian mereka sambil memberi kesempatan kepada Phoa-ma untuk lari jauh di tempat yang aman. Tidak akan sulit bagi Phoa-ma untuk bersembunyi dan andai kata iblis-iblis ini melanggar janji, belum tentu mereka akan dapat mencari Phoa-ma di kota sebesar Tai-goan.

Andai kata keadaan tidak seperti itu, dan hatinya tidak seduka itu, agaknya sampai mati pun dia tidak akan sudi menanggalkan pakaian, lebih baik dia mati. Akan tetapi, perasaan duka membuat perasaan lain membeku, lupa akan rasa malu dan lain-lainnya, yang ada hanyalah keinginannya untuk menyelamatkan In Hong didorong perasaan sengsara dan duka.

Kwi-eng Nio-cu dan Siang-tok Mo-li membuang muka.

"Menyebalkan, perempuan hina!" Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci berkata.

"Perempuan tak tahu malu seperti pelacur!" Kwi-eng Nio-cu juga memaki.

Akan tetapi Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu menonton pertunjukan itu dengan kedua mata melotot. Makin lambat dara muda itu menanggalkan pakaian, terasa makin menarik dan menggairahkan, menimbulkan nafsu birahi yang berkobar-kobar. Toat-beng Hoatsu hanya terbatuk-batuk sama sekali tidak tertarik, juga tidak membenci pertunjukan yang baginya sudah tidak ada daya penariknya sama sekali itu.

Akan tetapi Ban-tok Coa-ong juga tertarik dan tersenyum kagum. Betapa hati pria tidak akan terpesona menyaksikan tubuh dara muda yang ramun itu tampak sedikit demi sedikit seperti itu?

Akhirnya Cui Lin sudah menanggalkan seluruh pakaiannya dan berdiri dengan telanjang bulat. Bagaikan seorang wanita berpengalaman yang biasa menggoda pria, dara remaja yang masih mentah ini dan yang mendadak menjadi matang karena himpitan duka itu, mencabut tusuk konde, membiarkan rambut yang hitam panjang itu terurai lepas di atas kedua pundaknya, sebagian menutupi dadanya yang padat, akan tetapi bahkan nampak semakin menggairahkan.

"Aduh, nona manis, engkau hebat sekali!" Hek-bin Thian-sin meraih pinggang dara itu dan menarik lalu memeluknya. Tanpa malu-malu lagi dia menciumi bibir Cui Lin.

Dara itu hampir pingsan. Selama hidupnya belum pernah dia melakukan semua itu dan belum pernah pula dicium pria, dalam mimpi pun belum. Kini, muka yang hitam kasar itu menciuminya, membuat dia hampir muntah. Akan tetapi dia segera mengeraskan hatinya, memejamkan mata agar tidak melihat muka hitam berkilat itu, tangannya bergerak.

"Manis, cantik jelita... ahhh... hemm... aughhhh…!" Hek-bin Thian-sin berteriak dan cepat mengerahkan sinkang ke ulu hatinya, tangannya dengan jari tangan miring menghantam kepala Cui Lin.

"Trakkk!"

Tanpa dapat mengeluh lagi, tubuh Cui Lin yang telanjang bulat itu terpelanting dan roboh dengan kepala retak dan tewas seketika. Hek-bin Thian-sin menyumpah-nyumpah ketika dari ulu hatinya dia mencabut tusuk konde yang hampir saja membunuhnya itu. Untung dia cepat-cepat mengerahkan sinkang sehingga tusuk konde itu hanya masuk sedalam tiga senti saja. Sambil mengobati lukanya dia memaki-maki.

"Perempuan jahat! Curang! Ahhh, mana anak kecil itu? Harus dibunuh sekali!" teriaknya sambil mencak-mencak.

Kwi-eng Nio-cu dan Siang-tok Mo-li tertawa terkekeh-kekeh dengan hati girang sekali.

"Rasakan kau sekarang, laki-laki kotor!" Bu Leng Ci bersorak.

"Wah, sayang. Jika tidak mati, mau rasanya aku mengambil dara ini sebagai murid!" kata Si Bayangan Hantu.

Orang-orang berkerumun di depan rumah keluarga Kakek Theng ketika lima orang aneh ini meninggalkan rumah itu. Tadi Phoa-ma yang membawa lari In Hong, setelah tiba di luar dan bertemu dengan orang-orang, tidak dapat berkata apa-apa kecuali suara lirih,

"Pembunuhan...! Pembunuhan...!"

Phoa-ma berkata tanpa berhenti menoleh dan tidak peduli pertanyaan orang, melainkan terus melarikan diri sambil memeluk anak itu erat-erat. Karena inilah, maka orang-orang berkumpul di depan rumah itu. Ketika mereka melihat lima orang aneh itu keluar dengan sikap angkuh dan seenaknya, tidak ada yang berani bertanya, dan setelah lima orang itu pergi, barulah berbondong-bondong mereka memasuki rumah.

Dapat dibayangkan betapa gegernya pada waktu mereka melihat bahwa rumah itu penuh dengan darah serta mayat berserakan! Mayat-mayat dalam keadaan mengerikan sekali, terutama Cui Lin yang mati dalam keadaan telanjang bulat dan kepala pecah!

Banyak yang tidak kuat menyaksikan dan ada yang jatuh pingsan, ada pula yang jatuh berlutut karena kedua kaki terasa lemas dan lumpuh. Akan telapi ada beberapa orang yang cepat berlari keluar untuk mengejar lima orang aneh itu.

Setibanya di luar, tidak ada nampak bayangan seorang pun di antara dua orang wanita dan tiga orang kakek yang menyeramkan tadi. Tentu saja mereka segera berlari melapor kepada yang berwajib dan gegerlah kota Tai-goan, apa lagi karena Kakek Theng terkenal sebagai orang terhormat, bekas pengawal kaisar!

"Kejam sekali!"

"Bukan manusia!"

"Lebih kejam dari pada iblis!"

Demikian komentar para penduduk Tai-goan. Dan agaknya ada pula para pembaca yang memberi komentar seperti itu.

Kejamkah Lima Datuk kaum sesat itu? Tentu saja kejam sekali. Akan tetapi marilah kita menyelidiki keadaan kita manusia hidup ini. Bukankah dengan cara masing-masing serta menurutkan pendapat masing-masing, kita ini juga merupakan orang-orang yang kejam? Mari kita tengok di sekeliling kita. Bukankah hidup manusia penuh dengan segala macam kejahatan?

Pembunuhan terjadi di mana-mana. Ada pembunuhan karena perkelahian, juga karena iri, karena perampokan, karena kebencian, karena permusuhan dan lain sebagainya. Banyak pula pembunuhan massal karena perang. Perang antar bangsa yang pada hakekatnya mencerminkan perang dan pertentangan antar kelompok, antar perorangan, dan akhirnya bersumber pada pertentangan dalam diri kita masing-masing!

Tidak kejamkah kita kalau kita mengiri kepada atasan dan menghina kepada bawahan? Kalau kita suka kepada yang baik dan jijik terhadap yang buruk, termasuk manusia? Tidak kejamkah kita kalau milik kita berlimpah dan berlebihan tetapi hati kita tidak terusik sama sekali melihat sesama manusia kurang makan kurang pakaian dan tiada tempat tinggal seperti kaum jembel dan gelandangan? Tidak kejamkah kita jika untuk sebuah kedudukan saja kita sampai hati untuk saling jegal, saling fitnah, saling benci, dan saling bunuh?

Kalau kita mau belajar mengalihkan pandangan kita ke dalam diri sendiri, mau mengenal keadaan hati dan pikiran sendiri secara jujur, akan tampaklah bahwa selain kejam, kita pun munafik-munafik besar. Mulut bicara tentang saling kasih antar manusia, namun mata memandang penuh rasa iri dan benci, tangan dikepal siap saling hantam, hanya untuk memperebutkan uang, kedudukan, nama dan juga memperebutkan kebenaran yang tidak lain hanyalah kebenaran diri sendiri masing-masing dan karenanya menjadi kebenaran palsu.

Mari kita ingat betapa kejamnya kita ini! Digigit seekor nyamuk ingin membunuh semua nyamuk, berdasarkan dendam dan kebencian. Berdasarkan jijik dan takut akan terkena penyakit, kalau bisa semua lalat hendak dibasmi! Berdasarkan nafsu makan enak yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kesehatan, kita membunuh segala binatang untuk kita makan bangkainya. Apakah kita tidak kejam? Apakah alasan bahwa ‘semua itu sudah umum’ dapat dipakai untuk menghapus kekejaman ini?

Dapatkah kita berusaha menghapus kekejaman? Dengan ilmu apa pun tidak akan dapat! Karena keadaan bebas dari kekejaman bukanlah keadaan yang dibuat dan diusahakan. Orang tidak akan mungkin dapat berhasil kalau dia berusaha menjadi orang baik!

Usaha menjadi baik hanya menjadikan orang munafik yang merasa diri baik, dan segala usaha dan keinginan selalu mengandung pamrih atau tujuan yang semuanya bersumber kepada keuntungan lahir mau pun batin bagi diri pribadi. Kekejaman akan terhapus apa bila kita mengerti sampai ke akarnya kenapa kita kejam, apa bila kita mengenal keadaan diri kita pribadi, mengenal gerak pikiran dan hati kita pribadi.

Marilah kita bersama memulai dari detik ini juga. Karena hidup adalah dari detik ke detik. Hidup adalah sekarang ini. Perubahan adalah saat ini, bukannya ingin mengubah namun perubahan yang terjadi harus dengan sendirinya sesudah kita membuka mata, waspada penuh kesadaran tentang keadaan kita lahir batin, keadaan sekeliling kita.

Apa itu kemarin? Sudah lalu! Hanya menimbulkan kenangan yang mengeruhkan pikiran. Apa itu besok? Bukan urusan kita! Hanya menimbulkan bayangan khayal yang kemudian melahirkan kekhawatiran dan ketakutan. Yang penting sekarang, saat ini!


********************

Marilah kita kembali ke Siauw-lim-si. Di kuil itu telah dipersiapkan untuk menerima tamu yang diduga tentu akan membanjiri kuil itu untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah Tiong Pek Hosiang dan Thian Lee Hwesio.

Yap Kun Liong masih berada di kuil itu karena dia hendak membantu sampai upacara pembakaran jenazah dan penguburan selesai. Selain ini, dia pun hendak menanti ayah bundanya karena menduga bahwa sekali ini ayah bundanya pasti akan datang ke Siauw-lim-si.

Tiong Pek Hosiang adalah guru ayahnya, mustahil ayahnya tidak datang bila mendengar gurunya meninggal dunia. Dan ayahnya pasti akan mendengarnya karena berita ini tentu tersiar luas di kalangan kang-ouw. Juga dia ingin bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang diduga akan membanjiri kuil itu.

Kasihan sekali pemuda ini. Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa ayah bundanya yang dirindukannya itu sudah tewas kurang lebih tiga tahun yang lalu!

Kun Liong merasa gembira sekali melihat tokoh-tokoh kang-ouw mulai berdatangan. Dia kini telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang bertubuh tegap dengan dada bidang penuh kesehatan dan kekuatan. Wajahnya tampan dan kepala gundulnya sama sekali tidak menyuramkan ketampanan wajahnya bahkan memberi ciri ketampanan yang khas!

Sinar matanya berubah-ubah, kadang--kadang lembut seperti mata kanak-kanak, kadang-kadang bersinar tajam dan keras. Mata itu lebar, sesuai dengan dahinya yang lebar dan kepalanya yang bulat. Alisnya hitam tebal dan berbentuk golok, hidungnya mancung dan mulut serta dagunya membayangkan watak kuat dan kemauan membaja.

Perangainya juga aneh dan berubah-ubah. Kadang-kadang dia pelamun, pendiam seperti orang pemurung, akan tetapi ada kalanya dia lincah jenaka penuh kegembiraan dan kalau sudah begini, muncul pula kenakalannya seperti ketika masih kanak-kanak.

Karena dia berdiri seperti orang berjaga di ruangan tamu di mana Ketua Siauw-lim-pai sendiri menerima tamu, maka dengan jelas dia dapat melihat tokoh-tokoh kang-ouw yang namanya disebut setiap kali menghadap Ketua Siauw-lim-pai kemudian bersembahyang di depan kedua peti jenazah. Yang datang adalah tokoh-tokoh besar, utusan partai-partai Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain partai persilatan yang terkenal. Juga banyak dari perkumpulan-perkumpulan silat, dari perorangan yang telah mengenal pribadi kedua orang tokoh Siauw-lim-pai yang meninggal dunia atau yang hanya datang untuk menghormati Siauw-lim-pai. Akan tetapi hatinya sangat kecewa karena dia tidak melihat ayah bundanya.

"Locianpwe, mengapa ayah bunda teecu belum juga tiba?" akhirnya dia tidak sabar lagi, bertanya lirih kepada Thian Kek Hwesio.

Hwesio ketua Siauw-lim-pai ini menarik napas panjang. "Ayahmu bukan lagi murid Siauw-lim-pai, andai kata berhalangan datang pun tidak mengapa. Lihat, itu Cia-taihiap datang!" Hwesio tua itu bangkit berdiri menyambut dengan wajah berseri.

Mendengar disebutnya Cia-taihiap, jantung Kun Liong berdebar keras dan cepat-cepat dia mengangkat muka memandang. Sinar matanya berseri dan dia menahan senyumnya saat dia mengenal dara cantik jelita dan gagah perkasa yang berjalan di belakang suami isteri setengah tua itu. Mana mungkin dia pangling? Wajah itu masih sama cantik jelita dan berseri-seri penuh kenakalan seperti dahulu, bahkan makin cantik dan matang! Cia Giok Keng, siapa lagi?

Dara itu pun memandang kepadanya, kelihatan terkejut dan terheran yang dapat dilihat dari diangkatnya sepasang alis yang seperti bulan muda itu. Sepasang mata yang jernih itu berkilat, akan tetapi dara itu segera membuang muka mengalihkan pandang dengan alis berkerut!

Hampir saja Kun Liong tertawa karena dia teringat dengan pertemuannya yang pertama dahulu dengan gadis itu. Mengertilah dia bahwa gadis itu tentu merasa khawatir melihat Kun Liong di situ, khawatir kalau-kalau pemuda ini akan membuka rahasianya dahulu, akan wataknya yang buruk menyambut tamu dengan kurang ajar!

Teringat ini, Kun Liong tersenyum penuh kemenangan. Sedikitnya, ada sesuatu yang dia kuasai, yang membuat dara itu tidak akan berani lagi berkurang ajar seperti dahulu, atau memandang rendah kepadanya!

Bagaimana Giok Keng dapat muncul di Siauw-lim-si? Seperti telah diceritakan di bagian depan, dara ini disuruh menjaga adiknya di Cin-ling-pai. Akan tetapi, dasar anak manja, sehari kemudian setelah ayah bundanya pergi, dia tidak dapat lagi menahan keinginannya untuk pergi.

Karena gadis ini melakukan perjalanan mengejar ayah bundanya dengan sangat cepat, maka tiga hari kemudian dia dapat menyusul mereka.
Cia Keng Hong akan menegur, akan tetapi kembali isterinya yang membela anaknya.

"Dia sudah menyusul, biarlah dia ikut dengan kita."

"Hmm... disuruh menjaga rumah malah nekat menyusul! Seperti anak kecil saja engkau, Keng-ji!"

Giok Keng memegang lengan ayahnya dan berkata halus manja, "Maaf, Ayah. Saya ingin sekali bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw untuk menambah pengalaman."

"Hemm...!" Terpaksa Keng Hong tidak melarang lagi dan berangkatlah mereka ke Siauw-lim-si bertiga.

Setelah melalui basa-basi upacara penyambutan di mana Thian Kek Hwesio Ketua Siauw-lim-pai mengucapkan selamat datang dan pendekar sakti itu menyatakan duka cita atas kematian Tiong Pek Hosiang dan Thian Lee Hwesio, suami isteri dan puterinya itu lalu memberi hormat dengan memasang hio (dupa wangi) dan bersembahyang di depan peti mati. Kemudian mereka bertiga dipersilakan duduk di tempat kehormatan sejajar dengan beberapa orang ketua partai yang berkenan hadir dan tidak mewakilkan kepada murid-muridnya.

Kun Liong memperhatikan dengan pandang matanya. Pendekar sakti yang amat dikagumi dan dijunjung tinggi oleh ayah dan ibunya itu kelihatan seperti seorang laki-laki sebaya dengan ayahnya sekarang, setengah tua dan pakaiannya sederhana sekali. Sama sekali tak seperti para ketua partai yang datang diiringkan anak buahnya yang membawa-bawa bendera tanda partai segala. Ketua Cin-ling-pai ini datang seperti orang biasa bersama isteri dan puterinya.

Pakaiannya bagai sastrawan sederhana atau lebih tepat seperti seorang petani terpelajar, tidak membawa senjata dan kelihatannya biasa saja. Tubuhnya memang tegap berisi, wajahnya tampan dan kumis serta jenggotnya pendek, masih hitam semua.

Wajah itu membayangkan kesabaran, dan hanya sepasang alisnya yang membayangkan kegagahan, alis yang tebal dan bentuknya kereng. Rambutnya masih hitam, digelung ke atas dan diikat dengan sapu tangan sutera berwama kuning tua. Bajunya yang longgar berwarna kuning muda dan celananya hitam, ikat pinggangnya juga kuning tua.

Sungguh di luar perkiraan Kun Liong yang membayangkan supek-nya itu sebagai seorang tokoh yang hebat dan luar biasa! Kiranya seorang yang sederhana sekali, baik pakaian, gerak-gerik mau pun sikapnya.

Isterinya lebih istimewa lagi. Cantik dan penuh semangat, pakaiannya serba putih dengan hiasan warna merah dan biru di sana sini, sikapnya agak dingin namun justru menambah kekerengannya.

Pribadi nyonya ini jelas membayangkan kegagahan penuh, yang membuat orang merasa sungkan dan jeri untuk berurusan dengannya. Sambaran sinar matanya penuh wibawa. Melihat wajah nyonya ini, Kun Liong mendapat kenyataan betapa Giok Keng mirip ibunya, cahtik, gagah, dan jelas menonjol sifat terbuka dan penuh keberanian.

Dengan jantung berdebar Kun Liong melangkah perlahan, menghampiri Cia Keng Hong yang duduk dengan tenang sambil memandang para tamu yang baru saja datang dan bersembahyang. Pemuda ini melihat betapa Giok Keng menengok padanya dan kembali alis dara itu berkerut, sinar matanya menyambar penuh peringatan! Hal ini terasa sekali oleh Kun Liong sehingga tanpa disadarinya, kepalanya yang gundul itu mengangguk! Dan dia tersenyum ketika melihat dara itu sekilas tersenyum, kelihatan lega!

"Maafkan apa bila teecu mengganggu, Supek. Teecu adalah Yap Kun Liong, dan merasa berbahagia sekali mendapat kesempatan berjumpa dengan Supek berdua Supek-bo." Dia berlutut di depan Keng Hong dan Biauw Eng.

Keng Hong dan Biauw Eng terbelalak memandang kepala yang gundul itu karena ketika pemuda itu berlutut dan menundukkan muka, yang tampak hanya kepalanya yang gundul licin saja!

"Apa...? Siauw-suhu (Bapak Pendeta Muda)...?"

Telinga Kun Liong menjadi merah ketika menangkap suara ketawa ditahan dari sebelah kiri, Cia Giok Keng yang menahan ketawa itu, tak salah lagi!

"Supek, teecu bukan hwesio biar pun kepala teecu gundul. Teecu Yap Kun Liong..."

Keng Hong memegang pundak pemuda itu. Kun Liong mengangkat muka dan melihat betapa wajah yang tampan dan gagah itu diliputi keharuan.

"Engkau putera Yan Cu...?" Biauw Eng juga berseru lirih.

Keng Hong memberi isyarat kepada isterinya dan puterinya, kemudian dia bangkit berdiri. "Bawa kami ke tempat sunyi agar leluasa bicara."

Kun Liong mengangguk dan mendahului pergi ke ruangan samping yang sunyi. Ketua Siauw-lim-pai melihat ini, akan tetapi hanya tersenyum saja karena dia maklum betapa pentingnya pertemuan antara paman guru dengan murid keponakan itu. Sesudah tiba di tempat sunyi itu, Keng Hong memegang lengan Kun Liong dan memandang dengan sinar mata tajam.

"Benarkah engkau Yap Kun Liong? Di mana ayah bundamu?"

Kun Liong menunduk dan menarik napas panjang kemudian menggeleng kepalanya yang gundul, "Teecu tidak tahu, Supek. Sudah sepuluh tahun ini teecu tidak berjumpa dengan mereka."

Biauw Eng melangkah ke depan, kedua tangannya yang halus kulitnya itu meraba dagu Kun Liong, mengangkat muka pemuda yang menjadi kaget dan terheran itu. "Dia memang putera mereka. Lihat!" Biauw Eng menggunakan telapak tangan kanan menutupi bagian atas dari muka Kun Liong, memperlihatkan hidung dan mulutnya saja.

"Persis Yan Cu sumoi!" Keng Hong berseru kagum.

"Dan lihat ini!" Sekarang tangan Biauw Eng menurun dan menutupi bagian bawah muka pemuda itu.

"Benar! Mata dan dahi itu persis Cong San, hanya bedanya dia gundul. Eh, Kun Liong, ke mana saja engkau pergi? Kenapa kepalamu gundul? Hemmm... agaknya engkau menjadi korban hawa beracun! Dan bagaimana pula sampai sepuluh tahun engkau tidak berjumpa dengan ayah bundamu?"

"Panjang sekali ceritanya, Supek." Kun Liong menarik napas panjang dan melirik ke arah Giok Keng. Kalau dia menceritakan pengalaman-pengalamannya, apakah dia tidak harus bercerita tentang kunjungannya ke Cin-ling-san?

Gerakan ini dianggap oleh Keng Hong bahwa pemuda itu sungkan bercerita karena di situ ada Giok Keng yang tentu disangka orang lain karena belum diperkenalkan.

"Kun Liong, dia ini bukan orang lain, dia adalah puteri kami, bernama Giok Keng. Keng-ji (Anak Keng), ini adalah Yap Kun Liong, putera pamanmu Yap Cong San seperti yang telah kami ceritakan kepadamu. Dia lebih tua darimu."

"Glok Keng, beri salam kepada kakakmu!" Biauw Eng berkata.

Biar pun hatinya tidak suka karena dia masih curiga kalau-kalau pemuda gundul itu akan membuka rahasia kesalahannya lima tahun yahg lalu, terpaksa Giok Keng mengangkat kedua tangan dengan kaku dan berkata lirih, "Liong-ko (Kakak Liong)!"

Kun Liong cepat membalas penghormatan itu sambil tersenyum. "Keng-moi (Adik Keng), maafkan tadi aku diam saja karena tidak mengenal engkau siapa."

Ucapan pemuda ini seketika membuat wajah Giok Keng menjadi berseri gembira karena hatinya lega. Setelah mengatakan tidak mengenal berarti pemuda itu akan merahasiakan pertemuan mereka lima tahun yang lalu. Karena itu dengan ramah dan juga tersenyum dia menjawab, "Tidak mengapa, Liong-ko. Akulah yang seharusnya menyapa lebih dulu."

Atas desakan Keng Hong dan Biauw Eng yang ingin sekali mendengar apa yang sudah dialami pemuda itu, Kun Liong lantas menuturkan dengan singkat semua pengalamannya semenjak anjing peliharaannya menumpahkan obat dan karena takut dia melarikan diri sampai berturut-turut terjadi hal-hal hebat yang menimpa dirinya sehingga dia makin tidak berani pulang. Dia juga menceritakan betapa dia diambil murid oleh Bun Hwat Tosu dan dipesan agar jangan mempergunakan nama kakek itu sebagai gurunya.

"Hanya kepada Supek, dan Supek-bo, juga Adik Giok Keng, saya berani menceritakan," sambungnya. Dia tidak menceritakan mengenai bokor emas, dan juga beberapa hal yang dianggapnya kurang perlu, di antaranya kenakalannya yang menyebabkan kebakaran dan lain-lain, tidak diceritakannya!

"Kau beruntung sekali dapat menjadi muridnya sampai lima tahun!" Keng Hong berseru girang.

Kun Liong melanjutkan penuturannya, betapa dia kembali ke Leng-kok akan tetapi tidak dapat berjumpa dengan ayah bundanya yang sudah melarikan diri menjadi orang buruan karena telah berani menentang Ma-taijin.

"Hemm, kurasa sekarang manusia busuk she Ma itu tidak akan berani banyak tingkah lagi sesudah kuhancurkan sebelah telinganya!" Biauw Eng berkata sehingga Kun Liong amat terkejut.

"Supek-bo melakukan hajaran itu karena ayah ibu?" tanyanya.

Biauw Eng mengangguk. "Mestinya engkau yang melakukannya, karena lima tahun yang lalu mungkin engkau masih terlalu muda, aku mewakilimu."

"Ahh, Supek-bo, Terima kasih atas pembelaan Supek-bo, akan tetapi teecu rasanya tidak akan mau melakukan hal itu."

"Kenapa? Kau takut?" Biauw Eng bertanya dengan kening berkerut penuh kecewa.

"Teecu tidak takut apa-apa, hanya... teccu tidak akan menggunakan kekerasan ilmu silat untuk memukul orang..."

Keng Hong dan Biauw Eng terbelalak dan saling pandang, sedang Giok Keng tersenyum mengejek. Ketika Biauw Eng yang penasaran hendak membantah, dia sudah didahului Keng Hong.

"Lanjutkan ceritamu, Kun Liong. Setelah tidak bertemu dengan orang tuamu, apakah kau tidak mencari mereka? Mengapa? Kalau ada ibumu, agaknya kepala gundulmu itu dapat disembuhkan dan dapat tumbuh rambut. Kenapa pula kau bisa berada di sini?"

"Teecu telah berusaha mencari mereka, akan tetapi sia-sia belaka. Akhirnya teecu pergi ke Siauw-lim-si dan secara kebetulan sekali teecu diambil murid oleh mendiang sukong Tiong Pek Hosiang selama lima tahun."

"Apa?" Kembali Keng Hong dan Biauw Eng sangat terkejut. "Bukankah beliau selama itu mengurung diri dalam Ruang Kesadaran?"

Kun Liong lalu menceritakan pengalamannya sampai dia bisa menjadi murid sukong-nya sendiri. Keng Hong mendengarkan penuh kagum dan diam-diam dia memuji nasib baik bocah ini yang secara kebetulan saja digembleng oleh dua orang paling sakti di dunia ini pada jaman itu!

"Hemm, jadi yang membuatmu keracunan sampai gundul begini adalah Ban-tok Coa-ong dan puteranya? Dia adalah seorang di antara Lima Datuk kaum sesat! Lalu, sesudah selesai upacara penyempurnaan jenazah Tiong Pek Hosiang dan Thian Lee Hwesio, apa yang hendak kau lakukan, Kun Liong? Engkau hendak pergi ke mana?"

"Teecu belum tahu harus pergi ke mana. Yang jelas teecu akan mencari ayah dan ibu, juga berusaha mencari dua buah pusaka Siauw-lim-si yang hilang seperti dipesankan oleh mendiang Sukong."

"Tapi, kalau betul dugaan Ketua Siauw-lim-pai bahwa yang mencuri adalah orang-orang dari Kwi-eng-pang, berbahaya sekali kalau kau pergi ke sana. Si Bayangan Hantu, ketua Kwi-eng-pang adalah seorang lihai, seorang di antara Lima Datuk kaum sesat."

"Teecu tidak takut, Supek. Teecu harus mencarinya dan dapat membawanya kembali ke sini untuk membalas budi kebaikan mendiang Sukong."

"Bagus! Begitu baru pantas menjadi putera Yap Cong San dan Gui Yan Cu sumoi. Akan tetapi, sebelum berangkat biarlah kulihat dahulu sampai di mana tingkat kepandaianmu, kalau perlu biar kutambah untuk bekal."

Kun Liong menghaturkan terima kasihnya. Keng Hong lalu mengajak mereka kembali ke ruangan tamu. Akan tetapi Giok Keng berkata,

"Ayah, karena Liong-ko adalah orang dalam kuil ini, saya ingin sekali melihat-lihat kuil yang disohorkan amat besar dan indah ini. Juga saya ingin melihat Ruang Kesadaran di mana mendiang Tiong Pek Hosiang bertapa dan di mana Liong-ko digembleng selama lima tahun."

Keng Hong mengerutkan alisnya, akan tetapi Biauw Eng mendahuluinya. "Pergilah, dan kau yang ceritakan kepada kakakmu tentang keadaan kita selama ini agar dia mengetahui bahwa aku dan ayahmu sudah berusaha pula mencari orang tuanya."

Sesudah berkata demikian, Biauw Eng mengajak suaminya kembali ke tempat tadi. Ada pun Giok Keng dan Kun Liong berjalan keluar memasuki kebun di samping kuil.

"Dia cukup tampan dan gagah, bukan? Kalau saja Keng-ji dan dia dapat saling cocok..." Biauw Eng berkata lirih setelah mereka duduk berdampingan di tempat tamu tadi. Hatinya sudah ingin sekali mempunyai seorang mantu, mengingat bahwa usia puterinya itu sudah sembilan belas tahun. Sudah perawan tua menurut ukuran waktu itu!

"Tapi... tapi..."

"Tapi apa?" Biauw Eng mendesak dan melirik ke arah suaminya.

"Dia... ehh, kepalanya gundul. Bagaimana kalau sampai selamanya tetap gundul seperti hwesio?"

"Hemmm, heran sekali aku, masa engkau meributkan soal kepala gundul atau berambut gondrong! Tidak biasanya engkau seperti ini. Pula, bukankah engkau masih menyimpan kitab ilmu pengobatan peninggalan gurumu yang kau temukan di Cin-ling-san pada waktu membangun pondok itu? Apa bila kau berikan kitab itu kepadanya, tentu dia akan dapat mencari obatnya sendiri. Suamiku, apa sesungguhnya yang membuat kau kecewa? Aku yakin bukan soal kepala gundul!" Biauw Eng mendesak. Dia sudah mengenal betul watak suaminya.

Keng Hong menarik napas panjang. "Betapa mungkin bagiku menyembunyikan sesuatu darimu? Sebenarnya, aku agak kecewa mendengar pernyataannya tadi bahwa dia tidak suka menggunakan ilmu silat untuk memukuli orang. Kurasa ucapan itu timbul dari hati penakut dan watak yang lemah. Benar-benar aku tidak suka!"

"Hemm, suka atau tidak, bukankah yang kita pentingkan adalah perjodohan Giok Keng? Biarkan dia yang menentukan, bukan kita karena dialah yang akan melaksanakan, untuk selamanya, yang akan mengalami baik buruknya, suka dukanya."

Keng Hong menarik napas panjang. "Mudah-mudahan dugaanku itu keliru."

Mereka tidak melanjutkan percakapan itu karena merasa kurang leluasa setelah kini tamu berdatangan dan banyak yang duduk dekat mereka…..

********************

Setelah mereka berdua memasuki kebun, Giok Keng berkata, "Kun Liong, kau baik sekali tidak..."

Kun Liong memandang dengan mata melotot dibesarkan, mulut cemberut dan menegur, "Eh, berani kau menyebut namaku begitu saja? Kalau aku mengutukmu, kau bisa menjadi kelelawar!"

"Habis, bukankah namamu Kun Liong?"

"Siapa menyangkal? Akan tetapi kau juga tidak bisa menyangkal bahwa aku lebih tua dari pada engkau dan tadi pun kau sudah menyebutku koko. Kau bilang aku baik karena tidak membuka rahasiamu di depan ayah bundamu, akan tetapi beginikah balasannya? Kau menyebutku begitu saja seolah-olah kau yang lebih tua!" Kun Liong tidak marah sungguh-sungguh, hanya untuk menggoda saja karena dilihatnya bahwa dara ini masih lincah dan nakal! "Ataukah barang kali aku tidak perlu membohong kepada Supek? Untuk mengaku tentang pertemuan kita dahulu itu sekarang pun masih belum terlambat!" Kun Liong lalu membalikkan tubuh seolah-olah hendak pergi menemui supek-nya.

"Eh, eh... nanti dulu, Kun... ehh, Liong-koko! Maafkan aku, aku terima salah. Biarlah aku menyebutmu koko! Nah, kau dengar? Koko! Koko! Koko!"

Kun Liong tertawa dan kembali ke depan dara itu yang sudah cemberut. "Kau ceriwis dan manja sekali, ah! Benci aku melihatmu! Urusan dulu itu hendak kau pakai untuk memeras aku selamanya ya? Awas kau, kalau keterlaluan sampai aku kehabisan kesabaran, sekali ini aku tidak hanya merobohkan engkau, tetapi akan kuketuk kepala gundulmu itu sampai retak!"

"Wah, jangan marah, dong, Moi-moi yang baik. Kau manis sekali, tahukah kau? Cantik bagaikan bidadari, seperti dalam dongeng yang pernah kubaca, tentang dewi yang turun dari kahyangan melalui tangga pelangi!"

"Kau mengejek ya?"

"Sungguh mati disumpah tujuh kali pun mau! Kau memang cantik sekali, Moi-moi. Bukan mengejek bukan apa, akan tetapi secara jujur. Biar aku bersumpah demi langit dan bumi bahwa kau memang cantik jelita. Hemmm..."

"Hemm apa?!" Giok Keng membentak, akan tetapi sebenarnya hatinya berdebar girang bukan main. Kalau lain orang yang memujinya seperti itu, apa lagi kalau orang itu laki-laki, tentu akan dianggapnya kurang ajar dan bisa dibunuhnya! Akan tetapi sikap Kun Liong yang jujur dan sama sekali tidak menjilat itu mendatangkan kesan lain!

"Ehhh, aku hanya mau bilang bahwa... selama ini aku tidak pernah dapat melupakanmu, maka begitu tadi kau muncul, aku terus saja mengenalmu. Yang selalu terbayang olehku adalah..."

"Apa? Mengapa bicara putus-putus begitu? Jangan main gila, ya?" Giok Keng pura-pura marah untuk menutupi kegirangan dan kebanggaan hatinya.

"Yang tidak pernah kulupakan adalah ketika kau dahulu... menempiling kepalaku tiga kali! Ha-ha-ha!"

Merah kedua pipi dara itu. Dahulu itu dia sama sekali bukan menempiling, tetapi hanya menyentuh saja setelah dia ketakutan setengah mati,.

"Aku pun tidak dapat lupa kepadamu, terutama... kepalamu."

"Gundul ini? Ha-ha-ha, memang di dunia tidak ada keduanya, ya?"

Giok Keng cemberut, lantas menjebikan bibirnya yang merah. "Kau memang manja dan ceriwis sekali. Kau tadi bilang kalau mengutuk aku maka aku bisa menjadi kelelawar. Apa maksudmu?"

Kun Liong tertawa, tertawa bebas dan inilah yang menambah daya tarik pribadinya, tidak ada pura-pura, tidak ada penahanan diri, bebas dan wajar. "Kau tahu bagaimana kalau kelelawar tidur? Kakinya tergantung, kepala di bawah, bukan? Nah, apa bila kau berani kepada aku yang lebih tua, yang mesti kau panggil kakak, maka kau bisa kualat, seperti kelelawar tidur, kaki di atas kepala di bawah!"

"Huhh!" Giok Keng menampar pundak Kun Liong, tamparan main-main, akan tetapi Kun Liong yang kena ditampar pundaknya mengaduh-aduh.

"Aduhhh... aduhhh...!"

"Ehh?!" Giok Keng amat khawatir dan terbelalak. "Aku tidak menggunakan sinkang, masa sakit?"

Kun Liong menghentikan aksinya kesakitan. "Untunglah kau tidak mengerahkan tenaga, kalau demikian, bukankah aku akan menderita nyeri sekali?"

Giok Keng merasa dipermainkan dan mendongkol. "Dasar sinting!"

Kun Liong tertawa. "Entah mengapa, biasanya aku tidak begini, Moi-moi. Bila berada di dekatmu aku merasa gembira sekali dan ingin bersenda gurau saja. Rasanya aku seperti mau bernyanyi-nyanyi, mau menari-nari!"

"Engkau bisa gila kalau terus begini. Ehh, Kun Liong... Koko! Kenapa sih kau suka sekali disebut Koko olehku?"

"Tentu saja. Engkau anak tunggal, aku pun juga. Engkau tidak punya kakak, dan aku tidak punya adik, sudah sepatutnya..."

"Ngawur! Aku bukan anak tunggal! Aku mempunyai seorang adik laki-laki bernama Cia Bun Houw, sekarang sudah empat tahun usianya."

"Benarkah? Mana dia?"

"Di rumah. Di Cin-ling-san. Hemmm, aku sampai lupa menceritakan kepadamu keadaan kami seperti dipesan ibu tadi." Gadis itu bersama Kun Liong duduk di atas bangku dan mulailah dia menceritakan keadaan keluarga Cia itu dengan singkat.

Mendengar penuturan ini, Kun Liong teringat akan keadaan keluarganya sendiri. Seketika lenyaplah kegembiraannya bagai awan tipis yang ditiup angin. Wajahnya menjadi muram, matanya sayu dan dia mendadak menjadi pendiam.

Perubahan sembilan puluh derajat (bumi langit) ini mengherankan Giok Keng yang telah selesai bercerita. "Ihh, kau kenapa? Kok suram muram seperti lampu kehabisan minyak?"

Kelakar Giok Keng yang juga mempunyai watak lincah gembira itu tidak membuyarkan kedukaan hati Kun Liong.

"Aku teringat akan ayah bundaku. Sudah sepuluh tahun tidak berjumpa. Harapan terakhir di sini, akan tetapi mereka tak juga muncul. Aku khawatir sekali, jangan-jangan ada mala petaka menimpa mereka."

Giok Keng mengerutkan alis, seketika dia pun tidak bernafsu untuk main-main lagi karena merasa turut khawatir dan berduka. Entah mengapa, menghadapi sikap Kun Liong yang tidak pura-pura, wajar dan seadanya itu, dia jadi mudah terseret. Kini dia merasa kasihan sekali dan tanpa disadarinya, tangannya memegang lengan Kun Liong sambil berkata,

"Ayah bundamu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, mala petaka apa yang dapat menimpa mereka? Tidak perlu khawatir, Liong-ko."

"Aihhh, kau tidak tahu, Moi-moi. Baru berurusan dengan pembesar rendah Ma-taijin saja mereka sudah terpaksa harus menjadi pelarian. Dunia sudah kotor dengan polah tingkah manusia-manusia yang menyalah gunakan kedudukan atau kekuatannya."

Sampai lama mereka terdiam dan sama sekali tidak sadar bahwa tangan kiri Giok Keng memegang lengan kanan Kun Liong dan ketika menjawab tadi Kun Liong menumpangkan tangan kirinya di atas punggung tangan kiri dara itu!

"Ihhh...!" Tiba-tiba Giok Keng merenggutkan tangannya dan meloncat berdiri, memandang Kun Liong dengan muka kemerahan.

"Lho, kenapa?" Kun Liong juga kaget, seketika kedukaannya buyar.

"Kenapa kau memegang tanganku?"

"Hehhh...?!" Kun Liong bengong, lalu teringat dan sesudah kedukaannya membuyar, dia tertawa geli dan sifatnya suka menggoda kembali timbul. "Kau juga memegang lenganku sejak tadi tidak apa-apa, tetapi kalau aku memegang tanganmu sebentar saja, kau sudah mencak-mencak. Apakah tanganku kotor? Apakah bau?" Kun Liong lalu mencium telapak tangannya sendiri, lalu mengangguk-angguk dan berkata, "Memang bau...!"

"Huh! Pantas! Menjijikkan, tangannya bau...!"

"Wangi! Bau wangi kataku! Tentu saja pantas, dan sama sekali tidak menjijikkan."

"Bohong! Masa tanganmu bau wangi?"

"Ehh, tidak percaya? Boleh cium sesukamu!" Dia mengulur tangannya.

"Tidak sudi! Ehh, kenapa kau seperti orang sinting menggoda aku? Bukankah kau mau memperlihatkan kuil ini dan Ruang Kesadaran kepadaku?"

"Wah, sampai lupa kita! Bukan aku saja yang lupa, kau juga, jadi sama-sama. Mari...!"

Mereka berjalan menuju ke bagian belakang kuil. Di situ amat sunyi karena semua hwesio sedang berkumpul di tempat upacara sembahyang, dan baru siap-siap untuk melakukan upacara memperabukan jenazah di tempat yang telah disediakan khusus, yaitu di sebuah puncak bukit.

Mereka berjalan perlahan-lahan dan Kun Liong membawa gadis itu melihat-lihat ruangan perpustakaan, ruangan sembahyang dan bagian-bagian lain di dalam kuil besar itu yang memang sangat megah dan indah, juga tampak aneh bagi Giok Keng yang belum pernah melihatnya.

Setelah mereka meninjau Ruang Kesadaran yang kini terbuka dan bukan menjadi tempat larangan lagi, hati Kun Liong terharu. Melihat kamar di mana dia hidup selama lima tahun bersama Tiong Pek Hosiang menimbulkan kenangan yang menggores kalbu.

Giok Keng merasa ngeri mengenangkan betapa Kun Liong harus tinggal di dalam kamar itu selama lima tahun, apa lagi Tiong Pek Hosiang yang telah bertapa di kamar itu selama dua puluh tahun! Seperti orang hukuman saja! Ia bergidik dan cepat-cepat mengajak Kun Liong meninjau tempat lain.

Tampak asap mengebul di atas bukit di belakang kuil.

"Pembakaran jenazah telah dimulai," kata Kun Liong. "Apakah kau tidak ingin menonton? Ayah bundamu dan semua tamu tentu ikut pergi ke tempat pembakaran."

Giok Keng menggelengkan kepalanya. "Apakah itu tontonan? Aku tidak suka melihat hal yang mengerikan itu. Lebih baik kita menunggu saja di sini."

Kun Liong tidak berani memaksa walau pun hatinya ingin sekali turut menonton jenazah sukong-nya diperabukan, takut kalau-kalau gadis ini menjadi marah. Dia merasa senang sekali berdekatan dan bercakap-cakap dengan dara ini. Hatinya terasa tenang dan sejuk nyaman. Mengapa manusia tidak bisa saling mengasihi seperti dia dan gadis itu dalam saat ini? Mengapa di mana-mana timbul permusuhan dan kebencian, menyebabkan maut seperti yang dialami oleh Thian Lee Hwesio?

"Baiklah kalau begitu. Memang benar pendapatmu bahwa pembakaran jenazah bukan tontonan, akan tetapi soalnya manusia selalu ingin melihat dan menonton hal-hal yang tidak bisa mereka lihat. Mari kita ke kebun belakang itu, di sanalah para hwesio menanam sayur dan bercocok tanam."

Ladang itu luas sekali dan dengan kagum Giok Keng melihat segala macam sayur yang hidup subur gemuk berkat perawatan yang teliti. Mereka duduk di atas sebuah batu besar sambil menyegarkan mata dengan memandang sayur-sayuran yang kehijau-hijauan amat sedap dipandang mata.

"Keng-moi, berapakah usiamu sekarang?"

"Hemm, menanyakan usia orang mau apa sih?"

"Ah, jangan terlalu galak, Moi-moi. Kita adalah kakak adik misan seperguruan, aku adalah piauw-suheng-mu (kakak misan seperguruan) dan engkau adalah piauw-sumoi-ku (adik misan seperguruan), malah oleh ibumu lebih didekatkan lagi sehingga aku menyebutmu adik dan engkau menyebutku kakak. Apa salahnya bagi seorang kakak mengetahui usia adiknya? Aku berusia hampir dua puluh tahun, dan engkau tentu tidak lebih tua dari aku, biar pun aku ingat ibuku dulu mengatakan bahwa puteri Cia-supek lebih muda beberapa bulan dariku."

"Kalau sudah tahu begitu, mengapa bertanya lagi? Usiaku hanya lebih muda beberapa bulan, nah, berarti sembilan belas tahun."

"Wah, sudah sembilan belas tahun! Keng-moi, mengapa engkau belum menikah? Tentu sudah mempunyai tunangan, ya?"

"Wuuuttt... plakkk!"

Kun Liong tidak mau mengelak dan pipinya kena ditampar sampai terasa panas dan ada tanda merah-merah bekas tamparan itu di pipi kirinya. Ia mengelus pipinya dan berkata sambil tersenyum, "Wah, engkau marah benar agaknya. Tamparanmu tidak seperti lima tahun yang lalu."

Agaknya Giok Keng menyesal juga sesudah menampar pemuda yang sama sekali tidak melawan mau pun mengelak itu. Padahal sebagai seorang ahli silat, dia mengerti bahwa tamparannya yang biasa tadi tentu akan dapat mudah dielakkan kalau Kun Liong mau. Dia cemberut, memandang tajam penuh selidik lalu bertanya, "Agaknya engkau disuruh Ayah dan Ibu untuk membujukku, ya?"

"Eh, Keng-moi, apa artinya ini? Kau melihat sendiri bahwa mereka tidak berkata apa-apa kepadaku, dan apa yang harus dibujuk? Pertanyaanku adalah wajar, keluar dari hatiku sendiri, apa sih salahnya bertanya begitu?"

Dan tiba-tiba Giok Keng menutupi muka dengan kedua tangan, menangis!

Bingunglah Kun Liong. Sejenak dipandangnya muka yang bersembunyi di balik sepasang tangan itu, kemudian tanpa disadarinya dia menggaruk-garuk kepala gundulnya karena tidak dapat menemukan jawaban atas keanehan ini di dalam kepalanya.

"Adik Cia Giok Keng, mari kau tampar lagi aku, malah kau boleh pukul kepalaku akan tetapi jangan menangis! Maafkanlah kalau aku bermulut lancang. Memang aku seorang yang tolol dan kasar dan kurang ajar! Nah, ini, pukullah!" Kun Liong sudah mengulur leher mendekatkan kepalanya yang gundul.

Giok Keng bukan seorang dara cengeng. Sama sekali bukan. Dia memiliki kekerasan hati luar biasa, berani dan galak seperti ibunya di waktu muda, akan tetapi dia pun lincah gembira dan pandai bicara seperti ayahnya pada waktu muda. Sebentar saja dia sudah dapat menguasai dirinya, menghapus air matanya dan ketika memandang kepala gundul yang dijulurkan seperti seekor kura-kura menjulurkan kepala itu, serta sikap Kun Liong yang minta maaf dan menyerahkan kepala untuk dipukul, kejengkelannya lenyap dan dia tersenyum, menggunakan telapak tangan dengan halus mendorong kepala Kun Liong.

"Tidak! Satu kali saja menampar kepalamu aku sudah kapok (jera)!"

Mendengar suara yang bening dan hangat itu Kun Liong mengangkat muka dan betapa girangnya melihat wajah itu sudah tersenyum lagi biar pun kedua pipinya masih basah air mata. Kini dia benar-benar bingung dan tidak mengerti.

Giok Keng tersenyum lebar sebagai jawaban, kemudian berkata setelah menghela napas panjang. "Tadi aku memang menangis. Habis pertanyaanmu membuat aku jengkel sekali sih! Ayah dan Ibuku selalu membujuk-bujukku untuk menikah. Alangkah menjengkelkan! Mereka marah karena pinangan yang puluhan kali datangnya selama beberapa tahun ini, semua kutolak mentah-mentah!"

Kun Liong mengerutkan alisnya. "Hemm... kalau boleh aku bertanya, kenapa kau lakukan itu, Keng-moi? Tentu saja menolak pinangan merupakan hakmu, akan tetapi jika sampai berlarut-latut, bukankah engkau menyakitkan hati ayah-bundamu?"

"Yang mau kawin itu aku ataukah mereka?" Tiba-tiba Giok Keng bertanya dengan nada keras dan pandang mata penuh tantangan, membuat Kun Liong terkesiap dan khawatir kalau-kalau membikin marah lagi.

"Ehh, tentu saja engkau!"

"Kalau sudah jelas begitu, berarti ini urusanku dan aku sendiri yang akan menentukan."

"Engkau benar, Moi-moi. Akan tetapi sampai kapan?"

"Sampai aku mau dan... dan cocok."

"Apakah belum juga ada yang cocok?"

Giok Keng menunduk dengan muka merah, kemudian mengangkat muka secara tiba-tiba dan cemberut. "Sudahlah, perlu apa membicarakan hal yang bukan-bukan? Kalau kau bisa menyerangku dengan pertanyaan tentang itu, agaknya engkau sendiri sudah kawin atau setidaknya tentu sudah bertunangan."

"Aku?" Kun Liong terbelalak dan menggaruk kepalanya di belakang telinga kanan, sebuah kebiasaan yang tidak disadarinya. "Siapakah orangnya yang sudi kepada seorang gundul macam aku?"

"Hemmm... sssttt, Koko, lihat sana itu...!"

Kun Liong mengangkat muka memandang ke arah kuil yang ditunjuk oleh Giok Keng. Tampak olehnya berkelebatnya bayangan beberapa orang di atas atap kuil!

"Ahh, tentu bukan orang baik-baik kalau datang melalui atap. Aku harus menyelidiki ke sana!" Setelah berkata demikian, Kun Liong meloncat dan berlari cepat sekali.

Giok Keng terkejut, bukan terkejut karena adanya orang-orang yang disangka buruk itu, melainkan kaget menyaksikan gerakan Kun Liong yang demikian cepatnya!

"Liong-ko, tunggu!"
Akan tetapi Kun Liong tidak memperlambat larinya karena dia teringat akan peristiwa lima tahun yang lalu ketika maling-maling menyerbu Siauw-lim-si dan berhasil melarikan dua buah benda pusaka. Saat itu, para tokoh Siauw-lim-pai sedang sibuk menghadiri upacara pembakaran jenazah, demikian pula para tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh besar.

Sekarang kuil dalam keadaan kosong, hanya tinggal beberapa orang hwesio pelayan dan kacung-kacung yang hanya mempunyai kepandaian rendah. Agaknya, kekosongan kuil ini sudah diperhitungkan oleh orang-orang jahat itu sehingga kini dijadikan kesempatan oleh mereka untuk melaksanakan niat buruk mereka.

Dugaan Kun Liong tidak meleset sama sekali. Memang demikianlah, di antara para tamu terdapat serombongan orang-orang dari golongan hitam yang menyelundup, dan mereka ini terdiri dari sepuluh orang yang merupakan orang-orang berkepandaian tinggi, yang tergabung dalam persekutuan Pek-lian-kauw dan para anggota Kwi-eng-pang.

Karena telah diperhitungkan oleh para pimpinan persekutuan gelap itu bahwa amat sukar untuk menyerbu Siauw-lim-si yang kuat, apa lagi pada saat sekarang setelah Siauw-lim-si pernah diseribu oleh orang-orang Kwi-eng-pang lima tahun yang lalu, maka kaum sesat yang cerdik itu menggunakan siasat yang sangat berani ini. Mereka bahkan mengutus orang-orang yang dipercaya, mereka yang memiliki kepandaian tinggi akan tetapi belum dikenal oleh tokoh-tokoh kang-ouw, untuk menggunakan kesempatan selagi banyak tamu datang ke Siauw-lim-si untuk melakukan aksi mereka.

Tentu saja mereka tidak berani berterang. Menghadapi para hwesio Siauw-lim-pai secara terang-terangan saja mereka merasa jeri, apa lagi pada saat di kuil itu berkumpul banyak sekali tokoh-tokoh besar dunia persilatan! Tetapi mereka ini cerdik sekali, menggunakan kesempatan selagi semua hwesio dan para tamu tengah melakukan upacara pembakaran jenazah di bukit sebelah belakang kuil yang makan waktu sedikitnya dua jam.

Mereka meninggalkan rombongan tamu dan berpencar, lalu menyelundup ke dalam kuil. Jumlah mereka sepuluh orang, dan yang menjadi pemimpin penyerbuan ini ialah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, tampan dan bermata liar, sikapnya seperti orang yang tidak waras otaknya. Akan tetapi, dia ini bukanlah orang sembarangan, oleh karena dia bukan lain adalah Ouwyang Bou, putera tunggal dari Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, seorang di antara Lima Datuk!

Yang menjadi sasaran mereka adalah kamar pusaka. Bukan semata-mata untuk mencuri pusaka-pusaka Siauw-lim-si, melainkan terutama sekali untuk mencari bokor emas milik Panglima The Hoo yang dijadikan perebutan.

Sesudah mereka berunding, menurut perhitungan para datuk, besar sekali kemungkinan bahwa bokor emas itu kini berada di gedung pusaka Siauw-lim-si, karena kenyataan yang terakhir diketahui oleh Bu Leng Ci adalah bahwa bokor emas itu dibawa oleh seorang bocah yang ternyata adalah putera Yap Cong San, sedangkan Yap Cong San yang telah mereka bunuh tiga tahun yang lalu itu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai.

Besar kemungkinannya bokor emas itu terjatuh ke tangan Yap Cong San, dan sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai mungkin saja bokor itu lalu diserahkan kepada Siauw-lim-pai untuk disimpan di Siauw-lim-si. Pikiran inilah yang membuat rombongan kaum sesat yang dipimpin Ouwyang Bouw itu menggunakan kesempatan pelayatan itu untuk turun tangan!

Pada waktu Kun Liong yang berlari cepat tiba di dalam kuil, dia sudah melihat apa yang dikhawatirkannya. Empat orang hwesio pelayan rebah di sudut dalam keadaan lemas tak mampu bergerak karena telah tertotok!

Kun Liong tidak membuang waktu lagi, cepat meloncat ke dalam lorong yang menuju ke bagian belakang dan langsung dia lari ke gudang pusaka. Akan tetapi baru saja dia tiba di ruangan tengah, tiba-tiba sinar merah menyambar dari kiri. Kun Liong cepat merendahkan diri berjongkok sehingga jarum-jarum merah yang kecil halus itu menyambar lewat di atas kepalanya.

Ada sesuatu yang mengingatkannya ketika melihat sambaran-sambaran jarum merah itu. Cepat dia meloncat lagi, membalik ke kiri dan berhadapan dengan seorang pemuda yang menyeringai kepadanya.

"Kau...!" Kun Liong teringat ketika melihat wajah tampan dengan mata liar berputaran itu. "Kau Ouwyang Bouw anak Ban-tok Coa-ong!"

Akan tetapi tentu saja Ouwyang Bouw tidak mengenal Kun Liong. Dahulu ketika dia dan ayahnya bertemu dengan Kun Liong, pemuda gundul ini baru berusia sepuluh tahun dan pada waktu itu belum gundul. Ada pun Kun Liong dapat mengenal Ouwyang Bouw karena peristiwa itu menyebabkan kepalanya menjadi gundul, maka tentu saja wajah Ouwyang Bouw dan ayahnya selalu teringat olehnya. Jarum-jarum merah tadi bahkan menambah keyakinannya, karena justru jarum-jarum merah itulah yang menjadi sebagian penyebab kenapa kepalanya tidak mau tumbuh rambut.

"Mau apa kau datang ke dalam kuil?" Kun Liong membentak

Akan tetapi pemuda bermata liar itu berterlak, "Bunuh dia!"

Dan dari belakangnya muncullah enam orang laki-laki yang serta-merta maju menerjang, mengepung dan mengeroyok Kun Liong dengan senjata pedang dan golok.

"Ehh-ehh, kalian orang-orang jahat!"

Kun Liong menggunakan kegesitan gerak tubuhnya mengelak ke kanan dan kiri. Dia tidak merasa khawatir menghadapi pengeroyokan enam orang itu yang walau pun semuanya menggunakan senjata, namun dia dapat melihat bahwa gerakan mereka itu masih terlalu lambat baginya dan dia akan dapat mengatasi mereka. Akan tetapi dia terkejut melihat bayangan Ouwyang Bouw melesat lantas lenyap dari situ melalui lorong yang menuju ke gudang pusaka!

Ia hendak mengejar, akan tetapi enam orang itu mengurungnya ketat dan menghujankan serangan ke tubuhnya. Semenjak mempelajari ilmu dari Bun Hwat Tosu dan Tiong Pek Hosiang, Kun Liong belum pernah menggunakan ilmu-ilmunya itu dalam perkelahian yang sungguh-sungguh. Ketika dahulu sebelum digembleng sukong-nya di Ruang Kesadaran, dia pernah menggunakan ilmu yang dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu melawan Cia Giok Keng, akan tetapi dalam pertandingan yang dianggapnya main-main saja karena dia tidak menganggap Giok Keng sebagai orang jahat. Ketika beberapa hari yang lalu dia mengadu tenaga dengan utusan Panglima The Hoo, juga pertandingan itu bukan sungguh-sungguh, apa lagi ketika melawan Tio Hok Gwan, hanya sekedar mengadu tenaga saja dan keburu dilerai oleh Thian Kek Hwesio.

Sekarang dia merasa ragu-ragu. Kalau saja dia mau, banyak sudah dia melihat lowongan untuk merobohkan enam orang itu. Akan tetapi dia sebetulnya paling tidak suka memukul orang, bahkan agak benci dengan permusuhan dan perkelahian yang dianggapnya tidak menyenangkan dan hanya dilakukan oleh orang-orang kejam.

Akan tetapi sekarang dia diserang oleh empat batang pedang serta dua buah golok yang semuanya menyerang untuk mencabut nyawanya. Tentu saja dia harus mempertahankan dan melindungi tubuhnya dari bahaya terkena bacokan atau tusukan. Dia masih ragu-ragu bagaimana dapat menghentikan enam orang pengeroyoknya itu tanpa membuat mereka menderita luka berat.

"Kalian orang-orang tolol, kalau ketahuan para suhu, kalian akan celaka. Lebih baik lekas pergi melarikan diri sebelum terlambat!" Dia mencoba mengusir mereka dengan kata-kata nasehat!

Tentu saja dia malah ditertawakan karena enam orang itu memandang ringan kepadanya. Pemuda gundul itu hanya mengelak ke sana sini, biar pun gerakannya cepat sekali sukar diserang, akan tetapi hal itu hanya menandakan bahwa pemuda gundul atau yang mereka sangka hwesio muda ini ketakutan. Serangan mereka makin gencar dan hebat sehingga enam batang senjata tajam itu menjadi sinar yang bergulung-gulung menyilaukan mata, menyambar-nyambar ke arah bayangan Kun Liong yang berloncatan ke sana-sini.

"Aihhh! Liong-ko...!"

Jeritan Giok Keng! Pucat wajah Kun Liong mendengar jeritan itu karena dia tahu bahwa dara itu tentu terancam bahaya. Jeritan itu terdengar dari arah belakang, dan teringatlah dia bahwa pada saat tadi mengajak gadis itu berkeliling, dia tidak memberi tahu bahwa di dalam kuil itu banyak dipasangi jebakan-jebakan rahasia untuk menjaga keamanan kuil itu kalau-kalau dimasuki orang jahat!

Karena mengkhawatirkan Giok Keng, Kun Liong tak peduli lagi. Kaki tangannya bergerak sehingga enam batang senjata itu terlempar beterbangan diikuti robohnya enam orang itu yang mengaduh-aduh karena sedikitnya mereka menderita tulang patah terkena ketukan jari tangan Kun Liong dan perut mulas oleh ujung kaki pemuda gundul itu!

Kun Liong tidak mempedulikan mereka, langsung meloncat dan lari melalui lorong ke arah Giok Keng tadi. Suara Giok Keng terdengar lagi, kini dari dalam kamar perpustakaan.

"Maling keparat!" Akan tetapi disusul suara terbatuk-batuk dara itu.

Ketika Kun Liong sampai di dalam kamar perpustakaan, dia melihat bayangan Ouwyang Bouw berlari ke luar. Bukan main kagetnya hati Kun Liong ketika dia meloncat ke dalam karena hidungnya segera bertemu dengan bau yang harum aneh menyesakkan napas! Tanulah dia bahwa di situ ada hawa beracun dan tampak olehnya asap hitam mengepul dari lubang di tengah ruang perpustakaan itu.

Lubang jebakan! Sudah terbuka dan dari dalam lubang mengepul asap beracun. Celaka, tentu Giok Keng yang terjebak oleh alat rahasia di situ dan... dia tidak mau berpikir lagi, langsung dia meloncat turun ke dalam lubang yang gelap itu dari mana keluar asap hitam.

Dengan menahan napas seperti yang diajarkan oleh mendiang Tiong Pek Hosiang, Kun Liong mempergunakan ginkang sehingga dengan ringannya dia melayang turun ke dalam jebakan yang berupa sumur sedalam empat meter dan tertutup oleh lantai yang dipasangi jebakan. Samar-samar dia melihat bayangan tubuh rebah miring. Melihat rambut yang panjang terurai itu, dia tidak ragu-ragu lagi.

Diangkatnya tubuh Giok Keng yang tidak dapat bergerak itu, dipondongnya kemudian dia pun meloncat ke atas sambil mengerahkan sinkang-nya. Tanpa pengerahan sinkang yang kuat, amatlah sulit meloncati sumur sempit sedalam empat meter dan masih memondong tubuh scorang gadis lagi! Pada saat dia melayang naik, terdengar suara di atas sumur,

"Bakar saja! Dan semua berkumpul di gudang pusaka!"

Pada waktu tubuh Kun Liong sudah tiba di dalam kamar perpustakaan, dengan marah dia melihat api telah membakar meja dan pintu. Ditendangnya meja itu, dan dua orang yang sedang membakar-bakar kertas dia robohkan dengan dua kali tendangan kakinya hingga mereka terlempar dan apinya padam.

Melihat seorang penjahat lainnya melarikan diri melalui pintu belakang, dia tidak mengejar melainkan meloncat ke depan di mana seorang penjahat lain sedang berusaha membakar pintu. Daun pintu itu sudah terbakar dan didorong menutup dari luar.

"Brakkk! Augghh...!"

Sambil memondong tubuh Giok Keng, Kun Liong menerjang daun pintu itu. Daun pintu bobol dan terlepas, menimpa penjahat yang berdiri di luar sehingga penjahat itu berteriak-teriak karena rambut dan sebagian pakaiannya terbakar!

Kun Liong berlari terus. Tubuh Giok Keng masih dipondongnya, hatinya gelisah melihat gadis itu seperti orang mati, akan tetapi dia juga gelisah memikirkan betapa penjahat-penjahat itu tentu merampok gudang pusaka. Maka sambil memondong Glok Keng, larilah dia ke arah gedung pusaka! Hatinya lega karena dia mendengar teriakan-teriakan dari atas bukit di belakang kuil, tanda bahwa peristiwa itu sudah ketahuan dan sebentar lagi tentu bala bantuan datang.

Agaknya hal ini diketahui pula oleh kawanan penjahat. Buktinya ketika Kun Liong tiba di gudang pusaka yang daun pintunya telah terbuka besar, dia melihat bayangan-bayangan para penjahat itu berkelebatan melarikan diri sambil menggendong teman-teman mereka yang terluka.

Dia tidak mempedulikan mereka lagi karena sibuk memeriksa Giok Keng yang dibawanya ke dalam taman. Direbahkannya tubuh Giok Keng ke atas bangku taman. Wajah dara itu pucat dan matanya terpejam, napasnya terhenti!

Kun Liong cepat memeriksa nadi pergelangan tangan. Ketukan nadi terasa lemah sekali, seolah-olah sebentar lagi terhenti. Ditempatkannya telinga di dada gadis itu, disentuhnya bibir dan cuping hidung. Tidak ada pernapasan!

Celaka, kalau gadis itu tidak cepat-cepat dapat bernapas kembali, tentu takkan tertolong lagi. Soal keracunan, mudah dan dapat diobati kelak, yang terpenting sekarang haruslah diusahakan agar supaya Giok Keng dapat bernapas lagi. Tidak ada cara lain kecuali yang diketahuinya dari pelajaran yang diterima dari ibunya dahulu.

Tanpa ragu-ragu lagi Kun Liong menggunakan jari tangannya, memaksa mulut Giok Keng terbuka, kemudian menjilat dan menutupi kedua lubang hidung yang kecil itu dan dia pun menunduk. Ditutupnya mulut yang telah dibukanya itu dengan mulutnya sendiri kemudian ditiupnya, mengerahkan hawa murni hingga tiupannya kuat. Terasa olehnya betapa dada dara itu membusung. Dilepasnya mulutnya dan dilepaskannya pula hidung dara itu untuk memberi jalan agar hawa yang sudah ditiupkannya itu dapat mengalir keluar. Kemudian diulanginya lagi sampai berkali-kali.

Saking gelisahnya dan karena seluruh perhatiannya dicurahkan kepada Giok Keng, Kun Liong sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu dua sosok bayangan berkelebat dan ayah bunda dara itu telah berdiri tak jauh di sebelah belakangnya!

Biauw Eng terbelalak, tubuhnya telah bergerak hendak mendorong pergi Kun Liong, akan tetapi Keng Hong memegang lengannya dan menaruh telunjuk di bibir. Biauw Eng yang mengira bahwa pemuda gundul itu melakukan penghinaan dan perbuatan kotor atas diri puterinya, menjadi heran dan dengan mata terbelalak memandang.

Sekali lagi Kun Liong menempelkan mulutnya di mulut Giok Keng, penuh harapan karena walau pun tersengal-sengal, dara itu sudah mulai bernapas. Ditiupkannya hawa murni ke dalam dada Giok Keng, lalu dilepaskannya mulutnya.

Giok Keng bernapas terengah-engah, kemudian mengeluh dan tubuhnya bergerak. Bukan main girangnya hati Kun Liong!

"Keng-moi... Keng-moi... sadarlah...! Ahhh, kau... kau tentu keracunan. Bedebah-bedebah itu...!"

Giok Keng membuka matanya, tetapi merasa pening sehingga menutupkannya kembali, "Liong-ko, mana maling-maling itu...?"

"Mereka sudah melarikan diri. Sayang aku tidak..." Dia membalikkan tubuh dan terkejut melihat Keng Hong dan Biauw Eng telah berdiri di situ! Otak di dalam kepala gundul yang dapat bekerja cepat itu segera teringat cara dia menolong gadis itu dan seketika mukanya berubah merah, jantungnya berdebar tegang karena tentu orang tua gadis itu akan marah sekali.

Akan tetapi Biauw Eng segera menghampiri puterinya dan membangunkannya. "Kau telah menyedot banyak hawa beracun."

"Aku tadi mengejar Liong-koko ketika kami melihat berkelebatnya orang-orang jahat. Aku segera masuk ke kamar perpustakaan, akan tetapi begitu meloncat ke tengah kamar itu, lantainya terjeblos dan aku terguling ke dalam sumur. Sebelum sempat meloncat ke luar, ada yang melempar sesuatu ke dalam sumur, baunya wangi dan aku tidak ingat apa-apa lagi."

"Untung Kun Liong menolongmu. Sudahlah, mari kubantu engkau membersihkan isi dada dan paru-parumu," Biauw Eng berkata.

Ibu dan anak itu lalu duduk bersila. Biauw Eng di belakang anaknya, menempelkan kedua telapak tangan pada punggung gadis itu yang mengatur napasnya, menyedot hawa murni untuk mengusir sisa-sisa hawa beracun dari dalam dadanya.

Keng Hong dan Kun Liong lalu menghampiri para hwesio yang mengadakan pemeriksaan. Thian Kek Hwesio menarik napas panjang.

"Untung kebakaran di ruangan perpustakaan tidak melenyapkan kitab-kitab penting, dan heran sekali. Tidak ada pusaka yang lenyap biar pun keadaannya kacau-balau. Agaknya mereka mencari sesuatu, tetapi mereka tidak menemukan yang mereka cari. Betapa pun juga, untuk yang kedua kalinya, sahabat muda Yap Kun Liong kembali menyelamatkan Siauw-lim-si."

"Ahh, Locianpwe harap jangan bersikap sungkan. Bukankah teecu adalah orang sendiri? Bahkan dua buah benda pusaka yang dulu tercuri belum dapat teecu cari. Teecu sendiri tidak mengerti kenapa mereka tadi datang membikin ribut dan tidak tahu apa yang dicari, akan tetapi teecu mengenal yang memimpin para perampok tadi."

Semua orang memandang kepada Kun Liong.

"Benarkah hal itu, Liong-ji (Anak Liong)? Kau mengenal pemimpin mereka?" tanya Keng Hong kagum, bangga dan heran melihat putera sahabat baiknya ini yang selain ujudnya aneh karena kepala gundulnya, ternyata banyak mengalami hal aneh-aneh. Pertama dia diambil murid Bun Hwat Tosu, ke dua digembleng sukong-nya sendiri, dan kini mengenal pimpinan para perusuh itu, pada saat tidak ada orang lain yang dapat mengenalnya.

"Teecu pernah berjumpa dengan dia sepuluh tahun yang lalu, Supek. Dia itulah yang dulu menyerang teecu dengan jarum merah sehingga kepala teecu tidak mau tumbuh rambut lagi. Dia adalah Ouwyang Bouw, putera dari Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok."

Tentu saja semua orang terkejut mendengar ini.

"Omitohud...! Sekarang kaum sesat sudah berani memusuhi Siauw-lim-pai!" Thian Kek Hwesio berkata nyaring, "Sute Thian Lee Hwesio terbunuh, dan kini bahkan kuil Siauw-lim-si diserbu perampok. Kita harus mempersiapkan diri!" Kata-kata terakhir ini ditujukan kepada para anak murid Siauw-lim-pai.

Kun Liong segera melangkah maju dan berkata, "Locianpwe, teecu sudah menyanggupi tugas untuk mencari serta mengembalikan dua buah pusaka yang dahulu tercuri. Juga teecu sudah menyanggupi untuk menyelidiki tentang kematian Thian Lee Losuhu. Biarlah sekarang teecu berjanji akan mencari Ouwyang Bouw dan menyelidiki apa yang dicarinya di kuil itu sehingga dia dan kaki tangannya menimbulkan kekacauan."

"Omitohud... tidak percuma mendiang Suhu mengangkatmu menjadi ahli waris tunggal, Yap-sicu. Siauw-lim-pai telah banyak menerima budi dan tidak akan melupakan budi itu."

"Teecu tidak mau menganggapnya sebagai budi, karena bukankah teecu juga menerima kebaikan dari mendiang sukong? Lagi pula, teecu tidak mempunyai pekerjaan tertentu dan akan berkelana mencari Ayah dan Ibu, maka sekalian teecu dapat melakukan semua tugas itu."

Para hwesio Siauw-lim-si sibuk membereskan serta memperbaiki kerusakan yang timbul akibat kebakaran itu, para tamu sudah mengundurkan diri dan berpamit. Kun Liong juga berangkat menunaikan tugasnya, ditemani oleh Cia Keng Hong!

"Engkau pulanglah lebih dahulu bersama Giok Keng." Pendekar sakti ini berkata kepada isterinya, "Aku akan membantu Kun Liong mencari orang tuanya."

Demikianlah, Kun Liong dan Keng Hong meninggalkan kuil Siauw-lim-si, ada pun Biauw Eng mengajak Giok Keng pulang ke Cin-ling-san karena dara itu masih perlu beristirahat dan minum obat. Cia Giok Keng masih merasa penasaran sekali karena dia tidak diberi kesempatan memperlihatkan kepandaiannya di kuil Siauw-lim-si itu, karena sebelum dia sempat menyerang para penjahat, dia sudah terjeblos ke dalam perangkap rahasia dan dipaksa pingsan akibat lemparan benda meledak yang mengandung hawa beracun oleh seorang di antara penjahat.

"Liong-ko, kalau kau bertemu dengan Ouwyang... siapa tadi namanya?"

"Ouwyang Bouw," jawab Kun Liong.

"Kalau kau bertemu dengan dia, jangan kau bunuh dia."

"Mengapa?" Kun Liong bertanya heran. "Aku tidak berniat membunuh siapa-siapa, hanya ingin bertanya mengapa dia mengacau Siauw-lim-si dan apa yang dicarinya."

"Bagiankulah untuk membunuhnya!" kata dara itu.

"Sebaiknya kita pergi ke Ceng-to untuk melakukan penyelidikan," di tengah jalan Keng Hong berkata kepada Kun Liong.

Kun Liong menoleh dan memandang wajah tampan dan berwibawa itu. Maka bertanyalah dia, pertanyaan yang sudah ditahannya sejak mereka meninggalkan Siauw-lim-si. "Supek, kalau boleh teecu bertanya, dengan menemani teecu dalam perjalanan ini, apakah yang Supek kehendaki?"

Cia Keng Hong menoleh, memandang dan mengangkat alisnya yang tebal.

"Maaf, Supek. Teecu merasa yakin bahwa ada sesuatu yang hendak Supek sampaikan kepada teecu."

Kini pandang mata pendekar sakti itu menjadi terheran-heran dan bertanyalah dia dengan kekaguman yang tidak disembunyikannya. "Kun Liong, bagaimana engkau bisa menduga demikian?"

"Supek dan Supek-bo pernah mencari Ayah dan Ibu tanpa hasil, demikian pula teecu. Sekarang pun teecu hanya mencari dengan mengawur karena memang tidak ada yang mengetahui di mana adanya mereka. Apa bila memang Supek hendak mencari mereka, karena kita sama-sama tidak tahu, tentu lebih baik kalau berpencar. Akan tetapi Supek menemani teecu, berarti bahwa Supek menyembunyikan niat lain. Dugaan ini akan selalu membayangi teecu kalau belum Supek jelaskan."

Keng Hong tersenyum dan mengangguk-angguk. "Engkau amat cerdik dan jujur. Memang demikianlah. Mendengar betapa pencuri pusaka Siauw-lim-si mungkin adalah orang-orang Kwi-eng-pang, dan kini mendengar pula bahwa penyerbu kuil itu adalah putera Ban-tok Coa-ong, maka engkau yang bertugas mencarinya berarti akan berhadapan dengan para datuk kaum sesat yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Sedangkan ayah bundamu pun belum diketahui ke mana perginya, bila engkau sebagai putera tunggalnya terancam bahaya, bagaimana aku dapat mendiamkannya saja? Aku akan membantumu menghadapi mereka, itulah tujuanku menemanimu sekarang. Dan apa bila kita beruntung bertemu dengan orang tuamu, aku pun ingin sekali bicara dengan mereka." Tentu saja Keng Hong tidak mengaku bahwa dia akan bicara tentang perjodohan puterinya!
Selanjutnya,

Petualang Asmara Jilid 13

Petualang Asmara Jilid 13
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
BIARPUN lengan kanannya sudah lumpuh dan dia hanya mampu melawan dengan pit di tangan kirinya, akan tetapi Cong San masih mengamuk hebat sehingga pit-nya berhasil melukai pundak Hek-bin Thian-sin, biar pun dia sendiri sudah menerima pukulan-pukulan dari senjata lawan yang membuat pakaiannya robek-robek dan penuh darah.

"Jahanam Yap Cong San, mampuslah!"

Bu Leng Ci yang marah sekali karena tadi dia hampir celaka oleh pit di tangan Cong San, menggerakkan tangan kirinya dan nampak sinar hijau menyambar. Ketika itu Cong San sedang terhimpit oleh karena Toat-beng Hoatsu yang marah akibat jubahnya robek sudah mendesaknya. Karena itu pendekar ini tidak dapat menghindarkan diri lagi dari sambaran Siang-tok-soa (Pasir Beracun Wangi) yang disambitkan oleh Bu Leng Ci dari jarak dekat.

"Aduhhh...!" Dia berseru ketika pasir itu memasuki dadanya.

Hidungnya mencium bau yang wangi sekali dan tahulah dia bahwa nyawanya tidak akan tertolong lagi. Dengan sekuat tenaga dia lantas menyambitkan pit-nya ke arah lawan yang terdekat, yaitu Ban-tok Coa-ong. Begitu hebat sambitan ini sehingga meski pun Ban-tok Coa-ong meloncat ke atas, tetap saja pit yang tadinya dimaksudkan oleh penyambitnya untuk menembus dadanya itu masih menembus betisnya!

"Auuuww... setan kau!" Ban-tok Coa-ong menubruk dan pedang ularnya membacok.

Cong San mengelak, akan tetapi kurang cepat hingga pinggangnya robek. Dengan luka parah ini Cong San masih belum roboh, melainkan menubruk ke arah jenazah isterinya dan memeluk isterinya.

"Yan Cu... tunggu... Yan Cu...!" Dengan tubuh isterinya dalam pelukan ketat, pendekar ini menghembuskan napas terakhir!

Suami isteri pendekar gagah perkasa yang saling mencinta dan yang sepanjang hidupnya banyak mengalami kemalangan itu tewas dalam keadaan menyedihkan sekali bagi yang melihatnya.

"Huh, menjemukan!" Bu Leng Ci yang masih marah itu menendang mayat Cong San.

Mayat itu terlempar, akan tetapi mayat Yan Cu juga ikut terbawa. Ternyata bahwa pelukan Cong San itu ketat sekali, seolah-olah sampai mati pun dia tak mau melepaskan isterinya dan lengannya telah menjadi kaku.

"Ha-ha-ha, mesra-mesra... auggghh..." Ban-tok Coa-ong mencabut pit dari betisnya dan mengobati lukanya.

"Suhu...! Subo...! Uhuhuhuh...!" Cui Lin yang masih memondong tubuh In Hong menangis mengguguk sambil berlutut di atas lantai.

Di luar pintu tampak Phoa-ma berlutut. Wajahnya pucat sekali, matanya terbelalak dan mulutnya mewek-mewek menahan tangis saking ngeri dan takutnya. Dia tadi bersama Cui Lin berlari-lari pulang ketika mendengar laporan dari seorang tetangga bahwa di rumah keluarga Theng terdengar ribut-ribut seperti orang berkelahi.

"Hemm, bocah ini murid mereka, tidak boleh hidup!" Bu Leng Ci berkata dan samurainya sudah menggetar di tangannya.

"Mo-li, jangan! Sayang kalau dibunuh begitu saja. Hemm, berikan dia kepadaku sebelum dibunuh!" Yang berkata demikian adalah Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu.

Bu Leng Ci membuang ludah. "Cuhh! Laki-laki kotor!"

"Aahhh, masa kau tidak mau mengalah kepadaku? Kalau mau bunuh bayi itu, bunuhlah, akan tetapi sayang jika dara ini dibunuh begitu saja. Aku bukan seorang mata keranjang, akan tetapi melihat kemulusan seperti ini disia-siakan dan dibunuh tanpa dimanfaatkan, sungguh amat sayang."

Bu Leng Ci membuang muka dengan sebal, sedangkan Kwi-eng Nio-cu cemberut. Kedua orang wanita yang sudah banyak melihat kepalsuan laki-laki terhadap wanita ini merasa muak dan kebenciannya terhadap pria bertambah dengan sikap Si Muka Hitam itu.

Cui Lin yang mendengar percakapan itu mengangkat mukanya yang pucat, memandang kelima orang pembunuh keluarganya dan gurunya itu. Dia maklum bahwa melawan akan percuma. Yang penting sekarang adalah menyelamatkan In Hong.

Perintah gurunya terakhir adalah menyelamatkan atau melarikan In Hong. Akan tetapi dia tak dapat lari dan sekarang dia harus menggunakan segala usaha untuk menyelamatkan puteri gurunya. Dia tidak takut lagi, yang ada hanya benci. Dendam sedalam lautan yang sulit untuk ditebusnya, mengingat betapa lihainya kelima orang itu. Akan tetapi kini yang paling penting adalah menyelamatkan In Hong.

Dia bangkit berdiri dengan In Hong di pelukannya. Suaranya tidak gemetar takut ketika dia berkata,

"Ampunilah anak kecil yang tidak berdosa ini. Aku bersedia mentaati perintah kalian, biar disuruh mati sekali pun, asal adikku ini diampuni dan dibiarkan pergi bersama Phoa-ma."

"Ha-ha-ha, Nona manis, engkau tabah sekali. Benarkah engkau bersedia menuruti semua kehendakku?" Si Muka Hitam yang buruk rupa itu terkekeh dan bertanya.

"Asal adikku dibebaskan." Cui Lin mengangguk.

"Anak itu tentu anak mereka. Dulu orangku mengatakan bahwa ketika mereka menyerbu, Gui Yan Cu sedang mengandung. Anak ini harus dibunuh, kalau tidak, kelak hanya akan mendatangkan kerepotan saja," kata Kwi-eng Nio-cu.

Cui Lin terkejut. Cepat dia memutar otaknya lalu berkata nyaring dengan nada mengejek, "Aih, orang-orang lihai macam kalian takut kepada seorang anak bayi, takut kalau kelak membalas dendam? Tak kusangka kalian penakut seperti itu!"

"Budak hina!" Kwi-eng Nio-cu telah menggerakkan tangan menampar, akan tetapi Hek-bin Thian-sin sudah meloncat ke depan menghalangi.

"Nio-cu, dia tidak boleh dibunuh dulu sebelum aku selesai dengannya."

"Kau... hendak membelanya? Kau kira aku takut kepadamu, Hek-hin Thian-sin?!" Kwi-eng Nio-cu membentak.

"Takut atau tidak bukan urusanmu, akan tetapi tadi sudah kunyatakan bahwa aku tidak ingin melihat gadis ini dibunuh begitu saja."

"Kalau begitu, majulah!" Si Bayangan Hantu menantang.

"Uhh-uhhh!" Toat-beng Hoatsu terbatuk-batuk. "Apakah kalian ini anak-anak kecil yang karena urusan sepele saja hendak saling hantam?"

Ditegur demikian oleh orang tertua di antara mereka, keduanya mundur lagi, dan Hek-bin Thian-sin berkata kepada Cui Lin, "Dara manis, siapa takut kepada bocah itu? Biarkan dia hidup dan belajar seratus tahun, kami tidak akan takut! Siapa bilang Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu takut akan pembalasan seorang anak bayi? Entah kalau yang lain takut!"

"Sombong! Aku pun tidak takut!" Si Bayangan Hantu membentak.

"Hi-hik, biarkan bayi itu besar, kelak masih belum terlambat kita membunuhnya. Ingin aku melihat bagaimana dia hendak membalas dendam!" kata pula Bu Leng Ci.

Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak. "Nah, begitu barulah sikap orang gagah! Tidak takut dan pantang mundur menghadapi tantangan pendendam! Eh, Nona, benarkah kau akan menurut segala perintahku kalau kami membebaskan bocah itu?"

"Aku Tan Cui Lin adalah keturunan orang gagah dan murid pendekar perkasa, sekali bicara tidak akan ditarik kembali!" Cui Lin yang sudah mengambil keputusan tetap untuk menyelamatkan In Hong sebagai perbuatan terakhir itu menjawab dengan sikap gagah.

"Ha-ha-ha-ha, bagus! Kalau begitu, hayo kau tanggalkan semua pakaianmu, bertelanjang bulat di depan kami!" Hek-bin Thian-sin memerintah.

Dapat dibayangkan betapa perasaan seorang dara berusia enam belas tahun seperti Cui Lin mendengar perintah biadab seperti itu. Hampir dia pingsan membayangkan betapa dia harus menanggalkan semua pakaian di hadapan mereka. Penghinaan yang tiada taranya bagi seorang dara. Akan tetapi ketekadan bulat didorong putus asa dan kedukaan melihat semua orang yang dikasihinya tewas, membuat dia menjawab dengan suara tenang,

"Bebaskan dulu adikku. Biarkan dia dibawa pergi Phoa-ma. Ehh, Phoa-ma, bawa pergi In Hong, jaga baik-baik dan hati-hatilah memelihara dia."

Dengan tubuh menggigil Phoa-ma menerima In Hong dari tangan Cui Lin, memondong bayi itu, kemudian bergegas pergi keluar dari rumah itu dengan tubuh gemetar.

Sesudah melihat Phoa-ma pergi tak tampak lagi, Cui Lin melangkah maju dan perlahan-lahan, jari jemari tangannya mulai menanggalkan pakaiannya, satu demi satu. Ia sengaja melakukan ini dengan lambat sekali karena dia hendak menarik perhatian mereka sambil memberi kesempatan kepada Phoa-ma untuk lari jauh di tempat yang aman. Tidak akan sulit bagi Phoa-ma untuk bersembunyi dan andai kata iblis-iblis ini melanggar janji, belum tentu mereka akan dapat mencari Phoa-ma di kota sebesar Tai-goan.

Andai kata keadaan tidak seperti itu, dan hatinya tidak seduka itu, agaknya sampai mati pun dia tidak akan sudi menanggalkan pakaian, lebih baik dia mati. Akan tetapi, perasaan duka membuat perasaan lain membeku, lupa akan rasa malu dan lain-lainnya, yang ada hanyalah keinginannya untuk menyelamatkan In Hong didorong perasaan sengsara dan duka.

Kwi-eng Nio-cu dan Siang-tok Mo-li membuang muka.

"Menyebalkan, perempuan hina!" Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci berkata.

"Perempuan tak tahu malu seperti pelacur!" Kwi-eng Nio-cu juga memaki.

Akan tetapi Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu menonton pertunjukan itu dengan kedua mata melotot. Makin lambat dara muda itu menanggalkan pakaian, terasa makin menarik dan menggairahkan, menimbulkan nafsu birahi yang berkobar-kobar. Toat-beng Hoatsu hanya terbatuk-batuk sama sekali tidak tertarik, juga tidak membenci pertunjukan yang baginya sudah tidak ada daya penariknya sama sekali itu.

Akan tetapi Ban-tok Coa-ong juga tertarik dan tersenyum kagum. Betapa hati pria tidak akan terpesona menyaksikan tubuh dara muda yang ramun itu tampak sedikit demi sedikit seperti itu?

Akhirnya Cui Lin sudah menanggalkan seluruh pakaiannya dan berdiri dengan telanjang bulat. Bagaikan seorang wanita berpengalaman yang biasa menggoda pria, dara remaja yang masih mentah ini dan yang mendadak menjadi matang karena himpitan duka itu, mencabut tusuk konde, membiarkan rambut yang hitam panjang itu terurai lepas di atas kedua pundaknya, sebagian menutupi dadanya yang padat, akan tetapi bahkan nampak semakin menggairahkan.

"Aduh, nona manis, engkau hebat sekali!" Hek-bin Thian-sin meraih pinggang dara itu dan menarik lalu memeluknya. Tanpa malu-malu lagi dia menciumi bibir Cui Lin.

Dara itu hampir pingsan. Selama hidupnya belum pernah dia melakukan semua itu dan belum pernah pula dicium pria, dalam mimpi pun belum. Kini, muka yang hitam kasar itu menciuminya, membuat dia hampir muntah. Akan tetapi dia segera mengeraskan hatinya, memejamkan mata agar tidak melihat muka hitam berkilat itu, tangannya bergerak.

"Manis, cantik jelita... ahhh... hemm... aughhhh…!" Hek-bin Thian-sin berteriak dan cepat mengerahkan sinkang ke ulu hatinya, tangannya dengan jari tangan miring menghantam kepala Cui Lin.

"Trakkk!"

Tanpa dapat mengeluh lagi, tubuh Cui Lin yang telanjang bulat itu terpelanting dan roboh dengan kepala retak dan tewas seketika. Hek-bin Thian-sin menyumpah-nyumpah ketika dari ulu hatinya dia mencabut tusuk konde yang hampir saja membunuhnya itu. Untung dia cepat-cepat mengerahkan sinkang sehingga tusuk konde itu hanya masuk sedalam tiga senti saja. Sambil mengobati lukanya dia memaki-maki.

"Perempuan jahat! Curang! Ahhh, mana anak kecil itu? Harus dibunuh sekali!" teriaknya sambil mencak-mencak.

Kwi-eng Nio-cu dan Siang-tok Mo-li tertawa terkekeh-kekeh dengan hati girang sekali.

"Rasakan kau sekarang, laki-laki kotor!" Bu Leng Ci bersorak.

"Wah, sayang. Jika tidak mati, mau rasanya aku mengambil dara ini sebagai murid!" kata Si Bayangan Hantu.

Orang-orang berkerumun di depan rumah keluarga Kakek Theng ketika lima orang aneh ini meninggalkan rumah itu. Tadi Phoa-ma yang membawa lari In Hong, setelah tiba di luar dan bertemu dengan orang-orang, tidak dapat berkata apa-apa kecuali suara lirih,

"Pembunuhan...! Pembunuhan...!"

Phoa-ma berkata tanpa berhenti menoleh dan tidak peduli pertanyaan orang, melainkan terus melarikan diri sambil memeluk anak itu erat-erat. Karena inilah, maka orang-orang berkumpul di depan rumah itu. Ketika mereka melihat lima orang aneh itu keluar dengan sikap angkuh dan seenaknya, tidak ada yang berani bertanya, dan setelah lima orang itu pergi, barulah berbondong-bondong mereka memasuki rumah.

Dapat dibayangkan betapa gegernya pada waktu mereka melihat bahwa rumah itu penuh dengan darah serta mayat berserakan! Mayat-mayat dalam keadaan mengerikan sekali, terutama Cui Lin yang mati dalam keadaan telanjang bulat dan kepala pecah!

Banyak yang tidak kuat menyaksikan dan ada yang jatuh pingsan, ada pula yang jatuh berlutut karena kedua kaki terasa lemas dan lumpuh. Akan telapi ada beberapa orang yang cepat berlari keluar untuk mengejar lima orang aneh itu.

Setibanya di luar, tidak ada nampak bayangan seorang pun di antara dua orang wanita dan tiga orang kakek yang menyeramkan tadi. Tentu saja mereka segera berlari melapor kepada yang berwajib dan gegerlah kota Tai-goan, apa lagi karena Kakek Theng terkenal sebagai orang terhormat, bekas pengawal kaisar!

"Kejam sekali!"

"Bukan manusia!"

"Lebih kejam dari pada iblis!"

Demikian komentar para penduduk Tai-goan. Dan agaknya ada pula para pembaca yang memberi komentar seperti itu.

Kejamkah Lima Datuk kaum sesat itu? Tentu saja kejam sekali. Akan tetapi marilah kita menyelidiki keadaan kita manusia hidup ini. Bukankah dengan cara masing-masing serta menurutkan pendapat masing-masing, kita ini juga merupakan orang-orang yang kejam? Mari kita tengok di sekeliling kita. Bukankah hidup manusia penuh dengan segala macam kejahatan?

Pembunuhan terjadi di mana-mana. Ada pembunuhan karena perkelahian, juga karena iri, karena perampokan, karena kebencian, karena permusuhan dan lain sebagainya. Banyak pula pembunuhan massal karena perang. Perang antar bangsa yang pada hakekatnya mencerminkan perang dan pertentangan antar kelompok, antar perorangan, dan akhirnya bersumber pada pertentangan dalam diri kita masing-masing!

Tidak kejamkah kita kalau kita mengiri kepada atasan dan menghina kepada bawahan? Kalau kita suka kepada yang baik dan jijik terhadap yang buruk, termasuk manusia? Tidak kejamkah kita kalau milik kita berlimpah dan berlebihan tetapi hati kita tidak terusik sama sekali melihat sesama manusia kurang makan kurang pakaian dan tiada tempat tinggal seperti kaum jembel dan gelandangan? Tidak kejamkah kita jika untuk sebuah kedudukan saja kita sampai hati untuk saling jegal, saling fitnah, saling benci, dan saling bunuh?

Kalau kita mau belajar mengalihkan pandangan kita ke dalam diri sendiri, mau mengenal keadaan hati dan pikiran sendiri secara jujur, akan tampaklah bahwa selain kejam, kita pun munafik-munafik besar. Mulut bicara tentang saling kasih antar manusia, namun mata memandang penuh rasa iri dan benci, tangan dikepal siap saling hantam, hanya untuk memperebutkan uang, kedudukan, nama dan juga memperebutkan kebenaran yang tidak lain hanyalah kebenaran diri sendiri masing-masing dan karenanya menjadi kebenaran palsu.

Mari kita ingat betapa kejamnya kita ini! Digigit seekor nyamuk ingin membunuh semua nyamuk, berdasarkan dendam dan kebencian. Berdasarkan jijik dan takut akan terkena penyakit, kalau bisa semua lalat hendak dibasmi! Berdasarkan nafsu makan enak yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kesehatan, kita membunuh segala binatang untuk kita makan bangkainya. Apakah kita tidak kejam? Apakah alasan bahwa ‘semua itu sudah umum’ dapat dipakai untuk menghapus kekejaman ini?

Dapatkah kita berusaha menghapus kekejaman? Dengan ilmu apa pun tidak akan dapat! Karena keadaan bebas dari kekejaman bukanlah keadaan yang dibuat dan diusahakan. Orang tidak akan mungkin dapat berhasil kalau dia berusaha menjadi orang baik!

Usaha menjadi baik hanya menjadikan orang munafik yang merasa diri baik, dan segala usaha dan keinginan selalu mengandung pamrih atau tujuan yang semuanya bersumber kepada keuntungan lahir mau pun batin bagi diri pribadi. Kekejaman akan terhapus apa bila kita mengerti sampai ke akarnya kenapa kita kejam, apa bila kita mengenal keadaan diri kita pribadi, mengenal gerak pikiran dan hati kita pribadi.

Marilah kita bersama memulai dari detik ini juga. Karena hidup adalah dari detik ke detik. Hidup adalah sekarang ini. Perubahan adalah saat ini, bukannya ingin mengubah namun perubahan yang terjadi harus dengan sendirinya sesudah kita membuka mata, waspada penuh kesadaran tentang keadaan kita lahir batin, keadaan sekeliling kita.

Apa itu kemarin? Sudah lalu! Hanya menimbulkan kenangan yang mengeruhkan pikiran. Apa itu besok? Bukan urusan kita! Hanya menimbulkan bayangan khayal yang kemudian melahirkan kekhawatiran dan ketakutan. Yang penting sekarang, saat ini!


********************

Marilah kita kembali ke Siauw-lim-si. Di kuil itu telah dipersiapkan untuk menerima tamu yang diduga tentu akan membanjiri kuil itu untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah Tiong Pek Hosiang dan Thian Lee Hwesio.

Yap Kun Liong masih berada di kuil itu karena dia hendak membantu sampai upacara pembakaran jenazah dan penguburan selesai. Selain ini, dia pun hendak menanti ayah bundanya karena menduga bahwa sekali ini ayah bundanya pasti akan datang ke Siauw-lim-si.

Tiong Pek Hosiang adalah guru ayahnya, mustahil ayahnya tidak datang bila mendengar gurunya meninggal dunia. Dan ayahnya pasti akan mendengarnya karena berita ini tentu tersiar luas di kalangan kang-ouw. Juga dia ingin bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang diduga akan membanjiri kuil itu.

Kasihan sekali pemuda ini. Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa ayah bundanya yang dirindukannya itu sudah tewas kurang lebih tiga tahun yang lalu!

Kun Liong merasa gembira sekali melihat tokoh-tokoh kang-ouw mulai berdatangan. Dia kini telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang bertubuh tegap dengan dada bidang penuh kesehatan dan kekuatan. Wajahnya tampan dan kepala gundulnya sama sekali tidak menyuramkan ketampanan wajahnya bahkan memberi ciri ketampanan yang khas!

Sinar matanya berubah-ubah, kadang--kadang lembut seperti mata kanak-kanak, kadang-kadang bersinar tajam dan keras. Mata itu lebar, sesuai dengan dahinya yang lebar dan kepalanya yang bulat. Alisnya hitam tebal dan berbentuk golok, hidungnya mancung dan mulut serta dagunya membayangkan watak kuat dan kemauan membaja.

Perangainya juga aneh dan berubah-ubah. Kadang-kadang dia pelamun, pendiam seperti orang pemurung, akan tetapi ada kalanya dia lincah jenaka penuh kegembiraan dan kalau sudah begini, muncul pula kenakalannya seperti ketika masih kanak-kanak.

Karena dia berdiri seperti orang berjaga di ruangan tamu di mana Ketua Siauw-lim-pai sendiri menerima tamu, maka dengan jelas dia dapat melihat tokoh-tokoh kang-ouw yang namanya disebut setiap kali menghadap Ketua Siauw-lim-pai kemudian bersembahyang di depan kedua peti jenazah. Yang datang adalah tokoh-tokoh besar, utusan partai-partai Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain partai persilatan yang terkenal. Juga banyak dari perkumpulan-perkumpulan silat, dari perorangan yang telah mengenal pribadi kedua orang tokoh Siauw-lim-pai yang meninggal dunia atau yang hanya datang untuk menghormati Siauw-lim-pai. Akan tetapi hatinya sangat kecewa karena dia tidak melihat ayah bundanya.

"Locianpwe, mengapa ayah bunda teecu belum juga tiba?" akhirnya dia tidak sabar lagi, bertanya lirih kepada Thian Kek Hwesio.

Hwesio ketua Siauw-lim-pai ini menarik napas panjang. "Ayahmu bukan lagi murid Siauw-lim-pai, andai kata berhalangan datang pun tidak mengapa. Lihat, itu Cia-taihiap datang!" Hwesio tua itu bangkit berdiri menyambut dengan wajah berseri.

Mendengar disebutnya Cia-taihiap, jantung Kun Liong berdebar keras dan cepat-cepat dia mengangkat muka memandang. Sinar matanya berseri dan dia menahan senyumnya saat dia mengenal dara cantik jelita dan gagah perkasa yang berjalan di belakang suami isteri setengah tua itu. Mana mungkin dia pangling? Wajah itu masih sama cantik jelita dan berseri-seri penuh kenakalan seperti dahulu, bahkan makin cantik dan matang! Cia Giok Keng, siapa lagi?

Dara itu pun memandang kepadanya, kelihatan terkejut dan terheran yang dapat dilihat dari diangkatnya sepasang alis yang seperti bulan muda itu. Sepasang mata yang jernih itu berkilat, akan tetapi dara itu segera membuang muka mengalihkan pandang dengan alis berkerut!

Hampir saja Kun Liong tertawa karena dia teringat dengan pertemuannya yang pertama dahulu dengan gadis itu. Mengertilah dia bahwa gadis itu tentu merasa khawatir melihat Kun Liong di situ, khawatir kalau-kalau pemuda ini akan membuka rahasianya dahulu, akan wataknya yang buruk menyambut tamu dengan kurang ajar!

Teringat ini, Kun Liong tersenyum penuh kemenangan. Sedikitnya, ada sesuatu yang dia kuasai, yang membuat dara itu tidak akan berani lagi berkurang ajar seperti dahulu, atau memandang rendah kepadanya!

Bagaimana Giok Keng dapat muncul di Siauw-lim-si? Seperti telah diceritakan di bagian depan, dara ini disuruh menjaga adiknya di Cin-ling-pai. Akan tetapi, dasar anak manja, sehari kemudian setelah ayah bundanya pergi, dia tidak dapat lagi menahan keinginannya untuk pergi.

Karena gadis ini melakukan perjalanan mengejar ayah bundanya dengan sangat cepat, maka tiga hari kemudian dia dapat menyusul mereka.
Cia Keng Hong akan menegur, akan tetapi kembali isterinya yang membela anaknya.

"Dia sudah menyusul, biarlah dia ikut dengan kita."

"Hmm... disuruh menjaga rumah malah nekat menyusul! Seperti anak kecil saja engkau, Keng-ji!"

Giok Keng memegang lengan ayahnya dan berkata halus manja, "Maaf, Ayah. Saya ingin sekali bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw untuk menambah pengalaman."

"Hemm...!" Terpaksa Keng Hong tidak melarang lagi dan berangkatlah mereka ke Siauw-lim-si bertiga.

Setelah melalui basa-basi upacara penyambutan di mana Thian Kek Hwesio Ketua Siauw-lim-pai mengucapkan selamat datang dan pendekar sakti itu menyatakan duka cita atas kematian Tiong Pek Hosiang dan Thian Lee Hwesio, suami isteri dan puterinya itu lalu memberi hormat dengan memasang hio (dupa wangi) dan bersembahyang di depan peti mati. Kemudian mereka bertiga dipersilakan duduk di tempat kehormatan sejajar dengan beberapa orang ketua partai yang berkenan hadir dan tidak mewakilkan kepada murid-muridnya.

Kun Liong memperhatikan dengan pandang matanya. Pendekar sakti yang amat dikagumi dan dijunjung tinggi oleh ayah dan ibunya itu kelihatan seperti seorang laki-laki sebaya dengan ayahnya sekarang, setengah tua dan pakaiannya sederhana sekali. Sama sekali tak seperti para ketua partai yang datang diiringkan anak buahnya yang membawa-bawa bendera tanda partai segala. Ketua Cin-ling-pai ini datang seperti orang biasa bersama isteri dan puterinya.

Pakaiannya bagai sastrawan sederhana atau lebih tepat seperti seorang petani terpelajar, tidak membawa senjata dan kelihatannya biasa saja. Tubuhnya memang tegap berisi, wajahnya tampan dan kumis serta jenggotnya pendek, masih hitam semua.

Wajah itu membayangkan kesabaran, dan hanya sepasang alisnya yang membayangkan kegagahan, alis yang tebal dan bentuknya kereng. Rambutnya masih hitam, digelung ke atas dan diikat dengan sapu tangan sutera berwama kuning tua. Bajunya yang longgar berwarna kuning muda dan celananya hitam, ikat pinggangnya juga kuning tua.

Sungguh di luar perkiraan Kun Liong yang membayangkan supek-nya itu sebagai seorang tokoh yang hebat dan luar biasa! Kiranya seorang yang sederhana sekali, baik pakaian, gerak-gerik mau pun sikapnya.

Isterinya lebih istimewa lagi. Cantik dan penuh semangat, pakaiannya serba putih dengan hiasan warna merah dan biru di sana sini, sikapnya agak dingin namun justru menambah kekerengannya.

Pribadi nyonya ini jelas membayangkan kegagahan penuh, yang membuat orang merasa sungkan dan jeri untuk berurusan dengannya. Sambaran sinar matanya penuh wibawa. Melihat wajah nyonya ini, Kun Liong mendapat kenyataan betapa Giok Keng mirip ibunya, cahtik, gagah, dan jelas menonjol sifat terbuka dan penuh keberanian.

Dengan jantung berdebar Kun Liong melangkah perlahan, menghampiri Cia Keng Hong yang duduk dengan tenang sambil memandang para tamu yang baru saja datang dan bersembahyang. Pemuda ini melihat betapa Giok Keng menengok padanya dan kembali alis dara itu berkerut, sinar matanya menyambar penuh peringatan! Hal ini terasa sekali oleh Kun Liong sehingga tanpa disadarinya, kepalanya yang gundul itu mengangguk! Dan dia tersenyum ketika melihat dara itu sekilas tersenyum, kelihatan lega!

"Maafkan apa bila teecu mengganggu, Supek. Teecu adalah Yap Kun Liong, dan merasa berbahagia sekali mendapat kesempatan berjumpa dengan Supek berdua Supek-bo." Dia berlutut di depan Keng Hong dan Biauw Eng.

Keng Hong dan Biauw Eng terbelalak memandang kepala yang gundul itu karena ketika pemuda itu berlutut dan menundukkan muka, yang tampak hanya kepalanya yang gundul licin saja!

"Apa...? Siauw-suhu (Bapak Pendeta Muda)...?"

Telinga Kun Liong menjadi merah ketika menangkap suara ketawa ditahan dari sebelah kiri, Cia Giok Keng yang menahan ketawa itu, tak salah lagi!

"Supek, teecu bukan hwesio biar pun kepala teecu gundul. Teecu Yap Kun Liong..."

Keng Hong memegang pundak pemuda itu. Kun Liong mengangkat muka dan melihat betapa wajah yang tampan dan gagah itu diliputi keharuan.

"Engkau putera Yan Cu...?" Biauw Eng juga berseru lirih.

Keng Hong memberi isyarat kepada isterinya dan puterinya, kemudian dia bangkit berdiri. "Bawa kami ke tempat sunyi agar leluasa bicara."

Kun Liong mengangguk dan mendahului pergi ke ruangan samping yang sunyi. Ketua Siauw-lim-pai melihat ini, akan tetapi hanya tersenyum saja karena dia maklum betapa pentingnya pertemuan antara paman guru dengan murid keponakan itu. Sesudah tiba di tempat sunyi itu, Keng Hong memegang lengan Kun Liong dan memandang dengan sinar mata tajam.

"Benarkah engkau Yap Kun Liong? Di mana ayah bundamu?"

Kun Liong menunduk dan menarik napas panjang kemudian menggeleng kepalanya yang gundul, "Teecu tidak tahu, Supek. Sudah sepuluh tahun ini teecu tidak berjumpa dengan mereka."

Biauw Eng melangkah ke depan, kedua tangannya yang halus kulitnya itu meraba dagu Kun Liong, mengangkat muka pemuda yang menjadi kaget dan terheran itu. "Dia memang putera mereka. Lihat!" Biauw Eng menggunakan telapak tangan kanan menutupi bagian atas dari muka Kun Liong, memperlihatkan hidung dan mulutnya saja.

"Persis Yan Cu sumoi!" Keng Hong berseru kagum.

"Dan lihat ini!" Sekarang tangan Biauw Eng menurun dan menutupi bagian bawah muka pemuda itu.

"Benar! Mata dan dahi itu persis Cong San, hanya bedanya dia gundul. Eh, Kun Liong, ke mana saja engkau pergi? Kenapa kepalamu gundul? Hemmm... agaknya engkau menjadi korban hawa beracun! Dan bagaimana pula sampai sepuluh tahun engkau tidak berjumpa dengan ayah bundamu?"

"Panjang sekali ceritanya, Supek." Kun Liong menarik napas panjang dan melirik ke arah Giok Keng. Kalau dia menceritakan pengalaman-pengalamannya, apakah dia tidak harus bercerita tentang kunjungannya ke Cin-ling-san?

Gerakan ini dianggap oleh Keng Hong bahwa pemuda itu sungkan bercerita karena di situ ada Giok Keng yang tentu disangka orang lain karena belum diperkenalkan.

"Kun Liong, dia ini bukan orang lain, dia adalah puteri kami, bernama Giok Keng. Keng-ji (Anak Keng), ini adalah Yap Kun Liong, putera pamanmu Yap Cong San seperti yang telah kami ceritakan kepadamu. Dia lebih tua darimu."

"Glok Keng, beri salam kepada kakakmu!" Biauw Eng berkata.

Biar pun hatinya tidak suka karena dia masih curiga kalau-kalau pemuda gundul itu akan membuka rahasia kesalahannya lima tahun yahg lalu, terpaksa Giok Keng mengangkat kedua tangan dengan kaku dan berkata lirih, "Liong-ko (Kakak Liong)!"

Kun Liong cepat membalas penghormatan itu sambil tersenyum. "Keng-moi (Adik Keng), maafkan tadi aku diam saja karena tidak mengenal engkau siapa."

Ucapan pemuda ini seketika membuat wajah Giok Keng menjadi berseri gembira karena hatinya lega. Setelah mengatakan tidak mengenal berarti pemuda itu akan merahasiakan pertemuan mereka lima tahun yang lalu. Karena itu dengan ramah dan juga tersenyum dia menjawab, "Tidak mengapa, Liong-ko. Akulah yang seharusnya menyapa lebih dulu."

Atas desakan Keng Hong dan Biauw Eng yang ingin sekali mendengar apa yang sudah dialami pemuda itu, Kun Liong lantas menuturkan dengan singkat semua pengalamannya semenjak anjing peliharaannya menumpahkan obat dan karena takut dia melarikan diri sampai berturut-turut terjadi hal-hal hebat yang menimpa dirinya sehingga dia makin tidak berani pulang. Dia juga menceritakan betapa dia diambil murid oleh Bun Hwat Tosu dan dipesan agar jangan mempergunakan nama kakek itu sebagai gurunya.

"Hanya kepada Supek, dan Supek-bo, juga Adik Giok Keng, saya berani menceritakan," sambungnya. Dia tidak menceritakan mengenai bokor emas, dan juga beberapa hal yang dianggapnya kurang perlu, di antaranya kenakalannya yang menyebabkan kebakaran dan lain-lain, tidak diceritakannya!

"Kau beruntung sekali dapat menjadi muridnya sampai lima tahun!" Keng Hong berseru girang.

Kun Liong melanjutkan penuturannya, betapa dia kembali ke Leng-kok akan tetapi tidak dapat berjumpa dengan ayah bundanya yang sudah melarikan diri menjadi orang buruan karena telah berani menentang Ma-taijin.

"Hemm, kurasa sekarang manusia busuk she Ma itu tidak akan berani banyak tingkah lagi sesudah kuhancurkan sebelah telinganya!" Biauw Eng berkata sehingga Kun Liong amat terkejut.

"Supek-bo melakukan hajaran itu karena ayah ibu?" tanyanya.

Biauw Eng mengangguk. "Mestinya engkau yang melakukannya, karena lima tahun yang lalu mungkin engkau masih terlalu muda, aku mewakilimu."

"Ahh, Supek-bo, Terima kasih atas pembelaan Supek-bo, akan tetapi teecu rasanya tidak akan mau melakukan hal itu."

"Kenapa? Kau takut?" Biauw Eng bertanya dengan kening berkerut penuh kecewa.

"Teecu tidak takut apa-apa, hanya... teccu tidak akan menggunakan kekerasan ilmu silat untuk memukul orang..."

Keng Hong dan Biauw Eng terbelalak dan saling pandang, sedang Giok Keng tersenyum mengejek. Ketika Biauw Eng yang penasaran hendak membantah, dia sudah didahului Keng Hong.

"Lanjutkan ceritamu, Kun Liong. Setelah tidak bertemu dengan orang tuamu, apakah kau tidak mencari mereka? Mengapa? Kalau ada ibumu, agaknya kepala gundulmu itu dapat disembuhkan dan dapat tumbuh rambut. Kenapa pula kau bisa berada di sini?"

"Teecu telah berusaha mencari mereka, akan tetapi sia-sia belaka. Akhirnya teecu pergi ke Siauw-lim-si dan secara kebetulan sekali teecu diambil murid oleh mendiang sukong Tiong Pek Hosiang selama lima tahun."

"Apa?" Kembali Keng Hong dan Biauw Eng sangat terkejut. "Bukankah beliau selama itu mengurung diri dalam Ruang Kesadaran?"

Kun Liong lalu menceritakan pengalamannya sampai dia bisa menjadi murid sukong-nya sendiri. Keng Hong mendengarkan penuh kagum dan diam-diam dia memuji nasib baik bocah ini yang secara kebetulan saja digembleng oleh dua orang paling sakti di dunia ini pada jaman itu!

"Hemm, jadi yang membuatmu keracunan sampai gundul begini adalah Ban-tok Coa-ong dan puteranya? Dia adalah seorang di antara Lima Datuk kaum sesat! Lalu, sesudah selesai upacara penyempurnaan jenazah Tiong Pek Hosiang dan Thian Lee Hwesio, apa yang hendak kau lakukan, Kun Liong? Engkau hendak pergi ke mana?"

"Teecu belum tahu harus pergi ke mana. Yang jelas teecu akan mencari ayah dan ibu, juga berusaha mencari dua buah pusaka Siauw-lim-si yang hilang seperti dipesankan oleh mendiang Sukong."

"Tapi, kalau betul dugaan Ketua Siauw-lim-pai bahwa yang mencuri adalah orang-orang dari Kwi-eng-pang, berbahaya sekali kalau kau pergi ke sana. Si Bayangan Hantu, ketua Kwi-eng-pang adalah seorang lihai, seorang di antara Lima Datuk kaum sesat."

"Teecu tidak takut, Supek. Teecu harus mencarinya dan dapat membawanya kembali ke sini untuk membalas budi kebaikan mendiang Sukong."

"Bagus! Begitu baru pantas menjadi putera Yap Cong San dan Gui Yan Cu sumoi. Akan tetapi, sebelum berangkat biarlah kulihat dahulu sampai di mana tingkat kepandaianmu, kalau perlu biar kutambah untuk bekal."

Kun Liong menghaturkan terima kasihnya. Keng Hong lalu mengajak mereka kembali ke ruangan tamu. Akan tetapi Giok Keng berkata,

"Ayah, karena Liong-ko adalah orang dalam kuil ini, saya ingin sekali melihat-lihat kuil yang disohorkan amat besar dan indah ini. Juga saya ingin melihat Ruang Kesadaran di mana mendiang Tiong Pek Hosiang bertapa dan di mana Liong-ko digembleng selama lima tahun."

Keng Hong mengerutkan alisnya, akan tetapi Biauw Eng mendahuluinya. "Pergilah, dan kau yang ceritakan kepada kakakmu tentang keadaan kita selama ini agar dia mengetahui bahwa aku dan ayahmu sudah berusaha pula mencari orang tuanya."

Sesudah berkata demikian, Biauw Eng mengajak suaminya kembali ke tempat tadi. Ada pun Giok Keng dan Kun Liong berjalan keluar memasuki kebun di samping kuil.

"Dia cukup tampan dan gagah, bukan? Kalau saja Keng-ji dan dia dapat saling cocok..." Biauw Eng berkata lirih setelah mereka duduk berdampingan di tempat tamu tadi. Hatinya sudah ingin sekali mempunyai seorang mantu, mengingat bahwa usia puterinya itu sudah sembilan belas tahun. Sudah perawan tua menurut ukuran waktu itu!

"Tapi... tapi..."

"Tapi apa?" Biauw Eng mendesak dan melirik ke arah suaminya.

"Dia... ehh, kepalanya gundul. Bagaimana kalau sampai selamanya tetap gundul seperti hwesio?"

"Hemmm, heran sekali aku, masa engkau meributkan soal kepala gundul atau berambut gondrong! Tidak biasanya engkau seperti ini. Pula, bukankah engkau masih menyimpan kitab ilmu pengobatan peninggalan gurumu yang kau temukan di Cin-ling-san pada waktu membangun pondok itu? Apa bila kau berikan kitab itu kepadanya, tentu dia akan dapat mencari obatnya sendiri. Suamiku, apa sesungguhnya yang membuat kau kecewa? Aku yakin bukan soal kepala gundul!" Biauw Eng mendesak. Dia sudah mengenal betul watak suaminya.

Keng Hong menarik napas panjang. "Betapa mungkin bagiku menyembunyikan sesuatu darimu? Sebenarnya, aku agak kecewa mendengar pernyataannya tadi bahwa dia tidak suka menggunakan ilmu silat untuk memukuli orang. Kurasa ucapan itu timbul dari hati penakut dan watak yang lemah. Benar-benar aku tidak suka!"

"Hemm, suka atau tidak, bukankah yang kita pentingkan adalah perjodohan Giok Keng? Biarkan dia yang menentukan, bukan kita karena dialah yang akan melaksanakan, untuk selamanya, yang akan mengalami baik buruknya, suka dukanya."

Keng Hong menarik napas panjang. "Mudah-mudahan dugaanku itu keliru."

Mereka tidak melanjutkan percakapan itu karena merasa kurang leluasa setelah kini tamu berdatangan dan banyak yang duduk dekat mereka…..

********************

Setelah mereka berdua memasuki kebun, Giok Keng berkata, "Kun Liong, kau baik sekali tidak..."

Kun Liong memandang dengan mata melotot dibesarkan, mulut cemberut dan menegur, "Eh, berani kau menyebut namaku begitu saja? Kalau aku mengutukmu, kau bisa menjadi kelelawar!"

"Habis, bukankah namamu Kun Liong?"

"Siapa menyangkal? Akan tetapi kau juga tidak bisa menyangkal bahwa aku lebih tua dari pada engkau dan tadi pun kau sudah menyebutku koko. Kau bilang aku baik karena tidak membuka rahasiamu di depan ayah bundamu, akan tetapi beginikah balasannya? Kau menyebutku begitu saja seolah-olah kau yang lebih tua!" Kun Liong tidak marah sungguh-sungguh, hanya untuk menggoda saja karena dilihatnya bahwa dara ini masih lincah dan nakal! "Ataukah barang kali aku tidak perlu membohong kepada Supek? Untuk mengaku tentang pertemuan kita dahulu itu sekarang pun masih belum terlambat!" Kun Liong lalu membalikkan tubuh seolah-olah hendak pergi menemui supek-nya.

"Eh, eh... nanti dulu, Kun... ehh, Liong-koko! Maafkan aku, aku terima salah. Biarlah aku menyebutmu koko! Nah, kau dengar? Koko! Koko! Koko!"

Kun Liong tertawa dan kembali ke depan dara itu yang sudah cemberut. "Kau ceriwis dan manja sekali, ah! Benci aku melihatmu! Urusan dulu itu hendak kau pakai untuk memeras aku selamanya ya? Awas kau, kalau keterlaluan sampai aku kehabisan kesabaran, sekali ini aku tidak hanya merobohkan engkau, tetapi akan kuketuk kepala gundulmu itu sampai retak!"

"Wah, jangan marah, dong, Moi-moi yang baik. Kau manis sekali, tahukah kau? Cantik bagaikan bidadari, seperti dalam dongeng yang pernah kubaca, tentang dewi yang turun dari kahyangan melalui tangga pelangi!"

"Kau mengejek ya?"

"Sungguh mati disumpah tujuh kali pun mau! Kau memang cantik sekali, Moi-moi. Bukan mengejek bukan apa, akan tetapi secara jujur. Biar aku bersumpah demi langit dan bumi bahwa kau memang cantik jelita. Hemmm..."

"Hemm apa?!" Giok Keng membentak, akan tetapi sebenarnya hatinya berdebar girang bukan main. Kalau lain orang yang memujinya seperti itu, apa lagi kalau orang itu laki-laki, tentu akan dianggapnya kurang ajar dan bisa dibunuhnya! Akan tetapi sikap Kun Liong yang jujur dan sama sekali tidak menjilat itu mendatangkan kesan lain!

"Ehhh, aku hanya mau bilang bahwa... selama ini aku tidak pernah dapat melupakanmu, maka begitu tadi kau muncul, aku terus saja mengenalmu. Yang selalu terbayang olehku adalah..."

"Apa? Mengapa bicara putus-putus begitu? Jangan main gila, ya?" Giok Keng pura-pura marah untuk menutupi kegirangan dan kebanggaan hatinya.

"Yang tidak pernah kulupakan adalah ketika kau dahulu... menempiling kepalaku tiga kali! Ha-ha-ha!"

Merah kedua pipi dara itu. Dahulu itu dia sama sekali bukan menempiling, tetapi hanya menyentuh saja setelah dia ketakutan setengah mati,.

"Aku pun tidak dapat lupa kepadamu, terutama... kepalamu."

"Gundul ini? Ha-ha-ha, memang di dunia tidak ada keduanya, ya?"

Giok Keng cemberut, lantas menjebikan bibirnya yang merah. "Kau memang manja dan ceriwis sekali. Kau tadi bilang kalau mengutuk aku maka aku bisa menjadi kelelawar. Apa maksudmu?"

Kun Liong tertawa, tertawa bebas dan inilah yang menambah daya tarik pribadinya, tidak ada pura-pura, tidak ada penahanan diri, bebas dan wajar. "Kau tahu bagaimana kalau kelelawar tidur? Kakinya tergantung, kepala di bawah, bukan? Nah, apa bila kau berani kepada aku yang lebih tua, yang mesti kau panggil kakak, maka kau bisa kualat, seperti kelelawar tidur, kaki di atas kepala di bawah!"

"Huhh!" Giok Keng menampar pundak Kun Liong, tamparan main-main, akan tetapi Kun Liong yang kena ditampar pundaknya mengaduh-aduh.

"Aduhhh... aduhhh...!"

"Ehh?!" Giok Keng amat khawatir dan terbelalak. "Aku tidak menggunakan sinkang, masa sakit?"

Kun Liong menghentikan aksinya kesakitan. "Untunglah kau tidak mengerahkan tenaga, kalau demikian, bukankah aku akan menderita nyeri sekali?"

Giok Keng merasa dipermainkan dan mendongkol. "Dasar sinting!"

Kun Liong tertawa. "Entah mengapa, biasanya aku tidak begini, Moi-moi. Bila berada di dekatmu aku merasa gembira sekali dan ingin bersenda gurau saja. Rasanya aku seperti mau bernyanyi-nyanyi, mau menari-nari!"

"Engkau bisa gila kalau terus begini. Ehh, Kun Liong... Koko! Kenapa sih kau suka sekali disebut Koko olehku?"

"Tentu saja. Engkau anak tunggal, aku pun juga. Engkau tidak punya kakak, dan aku tidak punya adik, sudah sepatutnya..."

"Ngawur! Aku bukan anak tunggal! Aku mempunyai seorang adik laki-laki bernama Cia Bun Houw, sekarang sudah empat tahun usianya."

"Benarkah? Mana dia?"

"Di rumah. Di Cin-ling-san. Hemmm, aku sampai lupa menceritakan kepadamu keadaan kami seperti dipesan ibu tadi." Gadis itu bersama Kun Liong duduk di atas bangku dan mulailah dia menceritakan keadaan keluarga Cia itu dengan singkat.

Mendengar penuturan ini, Kun Liong teringat akan keadaan keluarganya sendiri. Seketika lenyaplah kegembiraannya bagai awan tipis yang ditiup angin. Wajahnya menjadi muram, matanya sayu dan dia mendadak menjadi pendiam.

Perubahan sembilan puluh derajat (bumi langit) ini mengherankan Giok Keng yang telah selesai bercerita. "Ihh, kau kenapa? Kok suram muram seperti lampu kehabisan minyak?"

Kelakar Giok Keng yang juga mempunyai watak lincah gembira itu tidak membuyarkan kedukaan hati Kun Liong.

"Aku teringat akan ayah bundaku. Sudah sepuluh tahun tidak berjumpa. Harapan terakhir di sini, akan tetapi mereka tak juga muncul. Aku khawatir sekali, jangan-jangan ada mala petaka menimpa mereka."

Giok Keng mengerutkan alis, seketika dia pun tidak bernafsu untuk main-main lagi karena merasa turut khawatir dan berduka. Entah mengapa, menghadapi sikap Kun Liong yang tidak pura-pura, wajar dan seadanya itu, dia jadi mudah terseret. Kini dia merasa kasihan sekali dan tanpa disadarinya, tangannya memegang lengan Kun Liong sambil berkata,

"Ayah bundamu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, mala petaka apa yang dapat menimpa mereka? Tidak perlu khawatir, Liong-ko."

"Aihhh, kau tidak tahu, Moi-moi. Baru berurusan dengan pembesar rendah Ma-taijin saja mereka sudah terpaksa harus menjadi pelarian. Dunia sudah kotor dengan polah tingkah manusia-manusia yang menyalah gunakan kedudukan atau kekuatannya."

Sampai lama mereka terdiam dan sama sekali tidak sadar bahwa tangan kiri Giok Keng memegang lengan kanan Kun Liong dan ketika menjawab tadi Kun Liong menumpangkan tangan kirinya di atas punggung tangan kiri dara itu!

"Ihhh...!" Tiba-tiba Giok Keng merenggutkan tangannya dan meloncat berdiri, memandang Kun Liong dengan muka kemerahan.

"Lho, kenapa?" Kun Liong juga kaget, seketika kedukaannya buyar.

"Kenapa kau memegang tanganku?"

"Hehhh...?!" Kun Liong bengong, lalu teringat dan sesudah kedukaannya membuyar, dia tertawa geli dan sifatnya suka menggoda kembali timbul. "Kau juga memegang lenganku sejak tadi tidak apa-apa, tetapi kalau aku memegang tanganmu sebentar saja, kau sudah mencak-mencak. Apakah tanganku kotor? Apakah bau?" Kun Liong lalu mencium telapak tangannya sendiri, lalu mengangguk-angguk dan berkata, "Memang bau...!"

"Huh! Pantas! Menjijikkan, tangannya bau...!"

"Wangi! Bau wangi kataku! Tentu saja pantas, dan sama sekali tidak menjijikkan."

"Bohong! Masa tanganmu bau wangi?"

"Ehh, tidak percaya? Boleh cium sesukamu!" Dia mengulur tangannya.

"Tidak sudi! Ehh, kenapa kau seperti orang sinting menggoda aku? Bukankah kau mau memperlihatkan kuil ini dan Ruang Kesadaran kepadaku?"

"Wah, sampai lupa kita! Bukan aku saja yang lupa, kau juga, jadi sama-sama. Mari...!"

Mereka berjalan menuju ke bagian belakang kuil. Di situ amat sunyi karena semua hwesio sedang berkumpul di tempat upacara sembahyang, dan baru siap-siap untuk melakukan upacara memperabukan jenazah di tempat yang telah disediakan khusus, yaitu di sebuah puncak bukit.

Mereka berjalan perlahan-lahan dan Kun Liong membawa gadis itu melihat-lihat ruangan perpustakaan, ruangan sembahyang dan bagian-bagian lain di dalam kuil besar itu yang memang sangat megah dan indah, juga tampak aneh bagi Giok Keng yang belum pernah melihatnya.

Setelah mereka meninjau Ruang Kesadaran yang kini terbuka dan bukan menjadi tempat larangan lagi, hati Kun Liong terharu. Melihat kamar di mana dia hidup selama lima tahun bersama Tiong Pek Hosiang menimbulkan kenangan yang menggores kalbu.

Giok Keng merasa ngeri mengenangkan betapa Kun Liong harus tinggal di dalam kamar itu selama lima tahun, apa lagi Tiong Pek Hosiang yang telah bertapa di kamar itu selama dua puluh tahun! Seperti orang hukuman saja! Ia bergidik dan cepat-cepat mengajak Kun Liong meninjau tempat lain.

Tampak asap mengebul di atas bukit di belakang kuil.

"Pembakaran jenazah telah dimulai," kata Kun Liong. "Apakah kau tidak ingin menonton? Ayah bundamu dan semua tamu tentu ikut pergi ke tempat pembakaran."

Giok Keng menggelengkan kepalanya. "Apakah itu tontonan? Aku tidak suka melihat hal yang mengerikan itu. Lebih baik kita menunggu saja di sini."

Kun Liong tidak berani memaksa walau pun hatinya ingin sekali turut menonton jenazah sukong-nya diperabukan, takut kalau-kalau gadis ini menjadi marah. Dia merasa senang sekali berdekatan dan bercakap-cakap dengan dara ini. Hatinya terasa tenang dan sejuk nyaman. Mengapa manusia tidak bisa saling mengasihi seperti dia dan gadis itu dalam saat ini? Mengapa di mana-mana timbul permusuhan dan kebencian, menyebabkan maut seperti yang dialami oleh Thian Lee Hwesio?

"Baiklah kalau begitu. Memang benar pendapatmu bahwa pembakaran jenazah bukan tontonan, akan tetapi soalnya manusia selalu ingin melihat dan menonton hal-hal yang tidak bisa mereka lihat. Mari kita ke kebun belakang itu, di sanalah para hwesio menanam sayur dan bercocok tanam."

Ladang itu luas sekali dan dengan kagum Giok Keng melihat segala macam sayur yang hidup subur gemuk berkat perawatan yang teliti. Mereka duduk di atas sebuah batu besar sambil menyegarkan mata dengan memandang sayur-sayuran yang kehijau-hijauan amat sedap dipandang mata.

"Keng-moi, berapakah usiamu sekarang?"

"Hemm, menanyakan usia orang mau apa sih?"

"Ah, jangan terlalu galak, Moi-moi. Kita adalah kakak adik misan seperguruan, aku adalah piauw-suheng-mu (kakak misan seperguruan) dan engkau adalah piauw-sumoi-ku (adik misan seperguruan), malah oleh ibumu lebih didekatkan lagi sehingga aku menyebutmu adik dan engkau menyebutku kakak. Apa salahnya bagi seorang kakak mengetahui usia adiknya? Aku berusia hampir dua puluh tahun, dan engkau tentu tidak lebih tua dari aku, biar pun aku ingat ibuku dulu mengatakan bahwa puteri Cia-supek lebih muda beberapa bulan dariku."

"Kalau sudah tahu begitu, mengapa bertanya lagi? Usiaku hanya lebih muda beberapa bulan, nah, berarti sembilan belas tahun."

"Wah, sudah sembilan belas tahun! Keng-moi, mengapa engkau belum menikah? Tentu sudah mempunyai tunangan, ya?"

"Wuuuttt... plakkk!"

Kun Liong tidak mau mengelak dan pipinya kena ditampar sampai terasa panas dan ada tanda merah-merah bekas tamparan itu di pipi kirinya. Ia mengelus pipinya dan berkata sambil tersenyum, "Wah, engkau marah benar agaknya. Tamparanmu tidak seperti lima tahun yang lalu."

Agaknya Giok Keng menyesal juga sesudah menampar pemuda yang sama sekali tidak melawan mau pun mengelak itu. Padahal sebagai seorang ahli silat, dia mengerti bahwa tamparannya yang biasa tadi tentu akan dapat mudah dielakkan kalau Kun Liong mau. Dia cemberut, memandang tajam penuh selidik lalu bertanya, "Agaknya engkau disuruh Ayah dan Ibu untuk membujukku, ya?"

"Eh, Keng-moi, apa artinya ini? Kau melihat sendiri bahwa mereka tidak berkata apa-apa kepadaku, dan apa yang harus dibujuk? Pertanyaanku adalah wajar, keluar dari hatiku sendiri, apa sih salahnya bertanya begitu?"

Dan tiba-tiba Giok Keng menutupi muka dengan kedua tangan, menangis!

Bingunglah Kun Liong. Sejenak dipandangnya muka yang bersembunyi di balik sepasang tangan itu, kemudian tanpa disadarinya dia menggaruk-garuk kepala gundulnya karena tidak dapat menemukan jawaban atas keanehan ini di dalam kepalanya.

"Adik Cia Giok Keng, mari kau tampar lagi aku, malah kau boleh pukul kepalaku akan tetapi jangan menangis! Maafkanlah kalau aku bermulut lancang. Memang aku seorang yang tolol dan kasar dan kurang ajar! Nah, ini, pukullah!" Kun Liong sudah mengulur leher mendekatkan kepalanya yang gundul.

Giok Keng bukan seorang dara cengeng. Sama sekali bukan. Dia memiliki kekerasan hati luar biasa, berani dan galak seperti ibunya di waktu muda, akan tetapi dia pun lincah gembira dan pandai bicara seperti ayahnya pada waktu muda. Sebentar saja dia sudah dapat menguasai dirinya, menghapus air matanya dan ketika memandang kepala gundul yang dijulurkan seperti seekor kura-kura menjulurkan kepala itu, serta sikap Kun Liong yang minta maaf dan menyerahkan kepala untuk dipukul, kejengkelannya lenyap dan dia tersenyum, menggunakan telapak tangan dengan halus mendorong kepala Kun Liong.

"Tidak! Satu kali saja menampar kepalamu aku sudah kapok (jera)!"

Mendengar suara yang bening dan hangat itu Kun Liong mengangkat muka dan betapa girangnya melihat wajah itu sudah tersenyum lagi biar pun kedua pipinya masih basah air mata. Kini dia benar-benar bingung dan tidak mengerti.

Giok Keng tersenyum lebar sebagai jawaban, kemudian berkata setelah menghela napas panjang. "Tadi aku memang menangis. Habis pertanyaanmu membuat aku jengkel sekali sih! Ayah dan Ibuku selalu membujuk-bujukku untuk menikah. Alangkah menjengkelkan! Mereka marah karena pinangan yang puluhan kali datangnya selama beberapa tahun ini, semua kutolak mentah-mentah!"

Kun Liong mengerutkan alisnya. "Hemm... kalau boleh aku bertanya, kenapa kau lakukan itu, Keng-moi? Tentu saja menolak pinangan merupakan hakmu, akan tetapi jika sampai berlarut-latut, bukankah engkau menyakitkan hati ayah-bundamu?"

"Yang mau kawin itu aku ataukah mereka?" Tiba-tiba Giok Keng bertanya dengan nada keras dan pandang mata penuh tantangan, membuat Kun Liong terkesiap dan khawatir kalau-kalau membikin marah lagi.

"Ehh, tentu saja engkau!"

"Kalau sudah jelas begitu, berarti ini urusanku dan aku sendiri yang akan menentukan."

"Engkau benar, Moi-moi. Akan tetapi sampai kapan?"

"Sampai aku mau dan... dan cocok."

"Apakah belum juga ada yang cocok?"

Giok Keng menunduk dengan muka merah, kemudian mengangkat muka secara tiba-tiba dan cemberut. "Sudahlah, perlu apa membicarakan hal yang bukan-bukan? Kalau kau bisa menyerangku dengan pertanyaan tentang itu, agaknya engkau sendiri sudah kawin atau setidaknya tentu sudah bertunangan."

"Aku?" Kun Liong terbelalak dan menggaruk kepalanya di belakang telinga kanan, sebuah kebiasaan yang tidak disadarinya. "Siapakah orangnya yang sudi kepada seorang gundul macam aku?"

"Hemmm... sssttt, Koko, lihat sana itu...!"

Kun Liong mengangkat muka memandang ke arah kuil yang ditunjuk oleh Giok Keng. Tampak olehnya berkelebatnya bayangan beberapa orang di atas atap kuil!

"Ahh, tentu bukan orang baik-baik kalau datang melalui atap. Aku harus menyelidiki ke sana!" Setelah berkata demikian, Kun Liong meloncat dan berlari cepat sekali.

Giok Keng terkejut, bukan terkejut karena adanya orang-orang yang disangka buruk itu, melainkan kaget menyaksikan gerakan Kun Liong yang demikian cepatnya!

"Liong-ko, tunggu!"
Akan tetapi Kun Liong tidak memperlambat larinya karena dia teringat akan peristiwa lima tahun yang lalu ketika maling-maling menyerbu Siauw-lim-si dan berhasil melarikan dua buah benda pusaka. Saat itu, para tokoh Siauw-lim-pai sedang sibuk menghadiri upacara pembakaran jenazah, demikian pula para tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh besar.

Sekarang kuil dalam keadaan kosong, hanya tinggal beberapa orang hwesio pelayan dan kacung-kacung yang hanya mempunyai kepandaian rendah. Agaknya, kekosongan kuil ini sudah diperhitungkan oleh orang-orang jahat itu sehingga kini dijadikan kesempatan oleh mereka untuk melaksanakan niat buruk mereka.

Dugaan Kun Liong tidak meleset sama sekali. Memang demikianlah, di antara para tamu terdapat serombongan orang-orang dari golongan hitam yang menyelundup, dan mereka ini terdiri dari sepuluh orang yang merupakan orang-orang berkepandaian tinggi, yang tergabung dalam persekutuan Pek-lian-kauw dan para anggota Kwi-eng-pang.

Karena telah diperhitungkan oleh para pimpinan persekutuan gelap itu bahwa amat sukar untuk menyerbu Siauw-lim-si yang kuat, apa lagi pada saat sekarang setelah Siauw-lim-si pernah diseribu oleh orang-orang Kwi-eng-pang lima tahun yang lalu, maka kaum sesat yang cerdik itu menggunakan siasat yang sangat berani ini. Mereka bahkan mengutus orang-orang yang dipercaya, mereka yang memiliki kepandaian tinggi akan tetapi belum dikenal oleh tokoh-tokoh kang-ouw, untuk menggunakan kesempatan selagi banyak tamu datang ke Siauw-lim-si untuk melakukan aksi mereka.

Tentu saja mereka tidak berani berterang. Menghadapi para hwesio Siauw-lim-pai secara terang-terangan saja mereka merasa jeri, apa lagi pada saat di kuil itu berkumpul banyak sekali tokoh-tokoh besar dunia persilatan! Tetapi mereka ini cerdik sekali, menggunakan kesempatan selagi semua hwesio dan para tamu tengah melakukan upacara pembakaran jenazah di bukit sebelah belakang kuil yang makan waktu sedikitnya dua jam.

Mereka meninggalkan rombongan tamu dan berpencar, lalu menyelundup ke dalam kuil. Jumlah mereka sepuluh orang, dan yang menjadi pemimpin penyerbuan ini ialah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, tampan dan bermata liar, sikapnya seperti orang yang tidak waras otaknya. Akan tetapi, dia ini bukanlah orang sembarangan, oleh karena dia bukan lain adalah Ouwyang Bou, putera tunggal dari Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, seorang di antara Lima Datuk!

Yang menjadi sasaran mereka adalah kamar pusaka. Bukan semata-mata untuk mencuri pusaka-pusaka Siauw-lim-si, melainkan terutama sekali untuk mencari bokor emas milik Panglima The Hoo yang dijadikan perebutan.

Sesudah mereka berunding, menurut perhitungan para datuk, besar sekali kemungkinan bahwa bokor emas itu kini berada di gedung pusaka Siauw-lim-si, karena kenyataan yang terakhir diketahui oleh Bu Leng Ci adalah bahwa bokor emas itu dibawa oleh seorang bocah yang ternyata adalah putera Yap Cong San, sedangkan Yap Cong San yang telah mereka bunuh tiga tahun yang lalu itu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai.

Besar kemungkinannya bokor emas itu terjatuh ke tangan Yap Cong San, dan sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai mungkin saja bokor itu lalu diserahkan kepada Siauw-lim-pai untuk disimpan di Siauw-lim-si. Pikiran inilah yang membuat rombongan kaum sesat yang dipimpin Ouwyang Bouw itu menggunakan kesempatan pelayatan itu untuk turun tangan!

Pada waktu Kun Liong yang berlari cepat tiba di dalam kuil, dia sudah melihat apa yang dikhawatirkannya. Empat orang hwesio pelayan rebah di sudut dalam keadaan lemas tak mampu bergerak karena telah tertotok!

Kun Liong tidak membuang waktu lagi, cepat meloncat ke dalam lorong yang menuju ke bagian belakang dan langsung dia lari ke gudang pusaka. Akan tetapi baru saja dia tiba di ruangan tengah, tiba-tiba sinar merah menyambar dari kiri. Kun Liong cepat merendahkan diri berjongkok sehingga jarum-jarum merah yang kecil halus itu menyambar lewat di atas kepalanya.

Ada sesuatu yang mengingatkannya ketika melihat sambaran-sambaran jarum merah itu. Cepat dia meloncat lagi, membalik ke kiri dan berhadapan dengan seorang pemuda yang menyeringai kepadanya.

"Kau...!" Kun Liong teringat ketika melihat wajah tampan dengan mata liar berputaran itu. "Kau Ouwyang Bouw anak Ban-tok Coa-ong!"

Akan tetapi tentu saja Ouwyang Bouw tidak mengenal Kun Liong. Dahulu ketika dia dan ayahnya bertemu dengan Kun Liong, pemuda gundul ini baru berusia sepuluh tahun dan pada waktu itu belum gundul. Ada pun Kun Liong dapat mengenal Ouwyang Bouw karena peristiwa itu menyebabkan kepalanya menjadi gundul, maka tentu saja wajah Ouwyang Bouw dan ayahnya selalu teringat olehnya. Jarum-jarum merah tadi bahkan menambah keyakinannya, karena justru jarum-jarum merah itulah yang menjadi sebagian penyebab kenapa kepalanya tidak mau tumbuh rambut.

"Mau apa kau datang ke dalam kuil?" Kun Liong membentak

Akan tetapi pemuda bermata liar itu berterlak, "Bunuh dia!"

Dan dari belakangnya muncullah enam orang laki-laki yang serta-merta maju menerjang, mengepung dan mengeroyok Kun Liong dengan senjata pedang dan golok.

"Ehh-ehh, kalian orang-orang jahat!"

Kun Liong menggunakan kegesitan gerak tubuhnya mengelak ke kanan dan kiri. Dia tidak merasa khawatir menghadapi pengeroyokan enam orang itu yang walau pun semuanya menggunakan senjata, namun dia dapat melihat bahwa gerakan mereka itu masih terlalu lambat baginya dan dia akan dapat mengatasi mereka. Akan tetapi dia terkejut melihat bayangan Ouwyang Bouw melesat lantas lenyap dari situ melalui lorong yang menuju ke gudang pusaka!

Ia hendak mengejar, akan tetapi enam orang itu mengurungnya ketat dan menghujankan serangan ke tubuhnya. Semenjak mempelajari ilmu dari Bun Hwat Tosu dan Tiong Pek Hosiang, Kun Liong belum pernah menggunakan ilmu-ilmunya itu dalam perkelahian yang sungguh-sungguh. Ketika dahulu sebelum digembleng sukong-nya di Ruang Kesadaran, dia pernah menggunakan ilmu yang dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu melawan Cia Giok Keng, akan tetapi dalam pertandingan yang dianggapnya main-main saja karena dia tidak menganggap Giok Keng sebagai orang jahat. Ketika beberapa hari yang lalu dia mengadu tenaga dengan utusan Panglima The Hoo, juga pertandingan itu bukan sungguh-sungguh, apa lagi ketika melawan Tio Hok Gwan, hanya sekedar mengadu tenaga saja dan keburu dilerai oleh Thian Kek Hwesio.

Sekarang dia merasa ragu-ragu. Kalau saja dia mau, banyak sudah dia melihat lowongan untuk merobohkan enam orang itu. Akan tetapi dia sebetulnya paling tidak suka memukul orang, bahkan agak benci dengan permusuhan dan perkelahian yang dianggapnya tidak menyenangkan dan hanya dilakukan oleh orang-orang kejam.

Akan tetapi sekarang dia diserang oleh empat batang pedang serta dua buah golok yang semuanya menyerang untuk mencabut nyawanya. Tentu saja dia harus mempertahankan dan melindungi tubuhnya dari bahaya terkena bacokan atau tusukan. Dia masih ragu-ragu bagaimana dapat menghentikan enam orang pengeroyoknya itu tanpa membuat mereka menderita luka berat.

"Kalian orang-orang tolol, kalau ketahuan para suhu, kalian akan celaka. Lebih baik lekas pergi melarikan diri sebelum terlambat!" Dia mencoba mengusir mereka dengan kata-kata nasehat!

Tentu saja dia malah ditertawakan karena enam orang itu memandang ringan kepadanya. Pemuda gundul itu hanya mengelak ke sana sini, biar pun gerakannya cepat sekali sukar diserang, akan tetapi hal itu hanya menandakan bahwa pemuda gundul atau yang mereka sangka hwesio muda ini ketakutan. Serangan mereka makin gencar dan hebat sehingga enam batang senjata tajam itu menjadi sinar yang bergulung-gulung menyilaukan mata, menyambar-nyambar ke arah bayangan Kun Liong yang berloncatan ke sana-sini.

"Aihhh! Liong-ko...!"

Jeritan Giok Keng! Pucat wajah Kun Liong mendengar jeritan itu karena dia tahu bahwa dara itu tentu terancam bahaya. Jeritan itu terdengar dari arah belakang, dan teringatlah dia bahwa pada saat tadi mengajak gadis itu berkeliling, dia tidak memberi tahu bahwa di dalam kuil itu banyak dipasangi jebakan-jebakan rahasia untuk menjaga keamanan kuil itu kalau-kalau dimasuki orang jahat!

Karena mengkhawatirkan Giok Keng, Kun Liong tak peduli lagi. Kaki tangannya bergerak sehingga enam batang senjata itu terlempar beterbangan diikuti robohnya enam orang itu yang mengaduh-aduh karena sedikitnya mereka menderita tulang patah terkena ketukan jari tangan Kun Liong dan perut mulas oleh ujung kaki pemuda gundul itu!

Kun Liong tidak mempedulikan mereka, langsung meloncat dan lari melalui lorong ke arah Giok Keng tadi. Suara Giok Keng terdengar lagi, kini dari dalam kamar perpustakaan.

"Maling keparat!" Akan tetapi disusul suara terbatuk-batuk dara itu.

Ketika Kun Liong sampai di dalam kamar perpustakaan, dia melihat bayangan Ouwyang Bouw berlari ke luar. Bukan main kagetnya hati Kun Liong ketika dia meloncat ke dalam karena hidungnya segera bertemu dengan bau yang harum aneh menyesakkan napas! Tanulah dia bahwa di situ ada hawa beracun dan tampak olehnya asap hitam mengepul dari lubang di tengah ruang perpustakaan itu.

Lubang jebakan! Sudah terbuka dan dari dalam lubang mengepul asap beracun. Celaka, tentu Giok Keng yang terjebak oleh alat rahasia di situ dan... dia tidak mau berpikir lagi, langsung dia meloncat turun ke dalam lubang yang gelap itu dari mana keluar asap hitam.

Dengan menahan napas seperti yang diajarkan oleh mendiang Tiong Pek Hosiang, Kun Liong mempergunakan ginkang sehingga dengan ringannya dia melayang turun ke dalam jebakan yang berupa sumur sedalam empat meter dan tertutup oleh lantai yang dipasangi jebakan. Samar-samar dia melihat bayangan tubuh rebah miring. Melihat rambut yang panjang terurai itu, dia tidak ragu-ragu lagi.

Diangkatnya tubuh Giok Keng yang tidak dapat bergerak itu, dipondongnya kemudian dia pun meloncat ke atas sambil mengerahkan sinkang-nya. Tanpa pengerahan sinkang yang kuat, amatlah sulit meloncati sumur sempit sedalam empat meter dan masih memondong tubuh scorang gadis lagi! Pada saat dia melayang naik, terdengar suara di atas sumur,

"Bakar saja! Dan semua berkumpul di gudang pusaka!"

Pada waktu tubuh Kun Liong sudah tiba di dalam kamar perpustakaan, dengan marah dia melihat api telah membakar meja dan pintu. Ditendangnya meja itu, dan dua orang yang sedang membakar-bakar kertas dia robohkan dengan dua kali tendangan kakinya hingga mereka terlempar dan apinya padam.

Melihat seorang penjahat lainnya melarikan diri melalui pintu belakang, dia tidak mengejar melainkan meloncat ke depan di mana seorang penjahat lain sedang berusaha membakar pintu. Daun pintu itu sudah terbakar dan didorong menutup dari luar.

"Brakkk! Augghh...!"

Sambil memondong tubuh Giok Keng, Kun Liong menerjang daun pintu itu. Daun pintu bobol dan terlepas, menimpa penjahat yang berdiri di luar sehingga penjahat itu berteriak-teriak karena rambut dan sebagian pakaiannya terbakar!

Kun Liong berlari terus. Tubuh Giok Keng masih dipondongnya, hatinya gelisah melihat gadis itu seperti orang mati, akan tetapi dia juga gelisah memikirkan betapa penjahat-penjahat itu tentu merampok gudang pusaka. Maka sambil memondong Glok Keng, larilah dia ke arah gedung pusaka! Hatinya lega karena dia mendengar teriakan-teriakan dari atas bukit di belakang kuil, tanda bahwa peristiwa itu sudah ketahuan dan sebentar lagi tentu bala bantuan datang.

Agaknya hal ini diketahui pula oleh kawanan penjahat. Buktinya ketika Kun Liong tiba di gudang pusaka yang daun pintunya telah terbuka besar, dia melihat bayangan-bayangan para penjahat itu berkelebatan melarikan diri sambil menggendong teman-teman mereka yang terluka.

Dia tidak mempedulikan mereka lagi karena sibuk memeriksa Giok Keng yang dibawanya ke dalam taman. Direbahkannya tubuh Giok Keng ke atas bangku taman. Wajah dara itu pucat dan matanya terpejam, napasnya terhenti!

Kun Liong cepat memeriksa nadi pergelangan tangan. Ketukan nadi terasa lemah sekali, seolah-olah sebentar lagi terhenti. Ditempatkannya telinga di dada gadis itu, disentuhnya bibir dan cuping hidung. Tidak ada pernapasan!

Celaka, kalau gadis itu tidak cepat-cepat dapat bernapas kembali, tentu takkan tertolong lagi. Soal keracunan, mudah dan dapat diobati kelak, yang terpenting sekarang haruslah diusahakan agar supaya Giok Keng dapat bernapas lagi. Tidak ada cara lain kecuali yang diketahuinya dari pelajaran yang diterima dari ibunya dahulu.

Tanpa ragu-ragu lagi Kun Liong menggunakan jari tangannya, memaksa mulut Giok Keng terbuka, kemudian menjilat dan menutupi kedua lubang hidung yang kecil itu dan dia pun menunduk. Ditutupnya mulut yang telah dibukanya itu dengan mulutnya sendiri kemudian ditiupnya, mengerahkan hawa murni hingga tiupannya kuat. Terasa olehnya betapa dada dara itu membusung. Dilepasnya mulutnya dan dilepaskannya pula hidung dara itu untuk memberi jalan agar hawa yang sudah ditiupkannya itu dapat mengalir keluar. Kemudian diulanginya lagi sampai berkali-kali.

Saking gelisahnya dan karena seluruh perhatiannya dicurahkan kepada Giok Keng, Kun Liong sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu dua sosok bayangan berkelebat dan ayah bunda dara itu telah berdiri tak jauh di sebelah belakangnya!

Biauw Eng terbelalak, tubuhnya telah bergerak hendak mendorong pergi Kun Liong, akan tetapi Keng Hong memegang lengannya dan menaruh telunjuk di bibir. Biauw Eng yang mengira bahwa pemuda gundul itu melakukan penghinaan dan perbuatan kotor atas diri puterinya, menjadi heran dan dengan mata terbelalak memandang.

Sekali lagi Kun Liong menempelkan mulutnya di mulut Giok Keng, penuh harapan karena walau pun tersengal-sengal, dara itu sudah mulai bernapas. Ditiupkannya hawa murni ke dalam dada Giok Keng, lalu dilepaskannya mulutnya.

Giok Keng bernapas terengah-engah, kemudian mengeluh dan tubuhnya bergerak. Bukan main girangnya hati Kun Liong!

"Keng-moi... Keng-moi... sadarlah...! Ahhh, kau... kau tentu keracunan. Bedebah-bedebah itu...!"

Giok Keng membuka matanya, tetapi merasa pening sehingga menutupkannya kembali, "Liong-ko, mana maling-maling itu...?"

"Mereka sudah melarikan diri. Sayang aku tidak..." Dia membalikkan tubuh dan terkejut melihat Keng Hong dan Biauw Eng telah berdiri di situ! Otak di dalam kepala gundul yang dapat bekerja cepat itu segera teringat cara dia menolong gadis itu dan seketika mukanya berubah merah, jantungnya berdebar tegang karena tentu orang tua gadis itu akan marah sekali.

Akan tetapi Biauw Eng segera menghampiri puterinya dan membangunkannya. "Kau telah menyedot banyak hawa beracun."

"Aku tadi mengejar Liong-koko ketika kami melihat berkelebatnya orang-orang jahat. Aku segera masuk ke kamar perpustakaan, akan tetapi begitu meloncat ke tengah kamar itu, lantainya terjeblos dan aku terguling ke dalam sumur. Sebelum sempat meloncat ke luar, ada yang melempar sesuatu ke dalam sumur, baunya wangi dan aku tidak ingat apa-apa lagi."

"Untung Kun Liong menolongmu. Sudahlah, mari kubantu engkau membersihkan isi dada dan paru-parumu," Biauw Eng berkata.

Ibu dan anak itu lalu duduk bersila. Biauw Eng di belakang anaknya, menempelkan kedua telapak tangan pada punggung gadis itu yang mengatur napasnya, menyedot hawa murni untuk mengusir sisa-sisa hawa beracun dari dalam dadanya.

Keng Hong dan Kun Liong lalu menghampiri para hwesio yang mengadakan pemeriksaan. Thian Kek Hwesio menarik napas panjang.

"Untung kebakaran di ruangan perpustakaan tidak melenyapkan kitab-kitab penting, dan heran sekali. Tidak ada pusaka yang lenyap biar pun keadaannya kacau-balau. Agaknya mereka mencari sesuatu, tetapi mereka tidak menemukan yang mereka cari. Betapa pun juga, untuk yang kedua kalinya, sahabat muda Yap Kun Liong kembali menyelamatkan Siauw-lim-si."

"Ahh, Locianpwe harap jangan bersikap sungkan. Bukankah teecu adalah orang sendiri? Bahkan dua buah benda pusaka yang dulu tercuri belum dapat teecu cari. Teecu sendiri tidak mengerti kenapa mereka tadi datang membikin ribut dan tidak tahu apa yang dicari, akan tetapi teecu mengenal yang memimpin para perampok tadi."

Semua orang memandang kepada Kun Liong.

"Benarkah hal itu, Liong-ji (Anak Liong)? Kau mengenal pemimpin mereka?" tanya Keng Hong kagum, bangga dan heran melihat putera sahabat baiknya ini yang selain ujudnya aneh karena kepala gundulnya, ternyata banyak mengalami hal aneh-aneh. Pertama dia diambil murid Bun Hwat Tosu, ke dua digembleng sukong-nya sendiri, dan kini mengenal pimpinan para perusuh itu, pada saat tidak ada orang lain yang dapat mengenalnya.

"Teecu pernah berjumpa dengan dia sepuluh tahun yang lalu, Supek. Dia itulah yang dulu menyerang teecu dengan jarum merah sehingga kepala teecu tidak mau tumbuh rambut lagi. Dia adalah Ouwyang Bouw, putera dari Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok."

Tentu saja semua orang terkejut mendengar ini.

"Omitohud...! Sekarang kaum sesat sudah berani memusuhi Siauw-lim-pai!" Thian Kek Hwesio berkata nyaring, "Sute Thian Lee Hwesio terbunuh, dan kini bahkan kuil Siauw-lim-si diserbu perampok. Kita harus mempersiapkan diri!" Kata-kata terakhir ini ditujukan kepada para anak murid Siauw-lim-pai.

Kun Liong segera melangkah maju dan berkata, "Locianpwe, teecu sudah menyanggupi tugas untuk mencari serta mengembalikan dua buah pusaka yang dahulu tercuri. Juga teecu sudah menyanggupi untuk menyelidiki tentang kematian Thian Lee Losuhu. Biarlah sekarang teecu berjanji akan mencari Ouwyang Bouw dan menyelidiki apa yang dicarinya di kuil itu sehingga dia dan kaki tangannya menimbulkan kekacauan."

"Omitohud... tidak percuma mendiang Suhu mengangkatmu menjadi ahli waris tunggal, Yap-sicu. Siauw-lim-pai telah banyak menerima budi dan tidak akan melupakan budi itu."

"Teecu tidak mau menganggapnya sebagai budi, karena bukankah teecu juga menerima kebaikan dari mendiang sukong? Lagi pula, teecu tidak mempunyai pekerjaan tertentu dan akan berkelana mencari Ayah dan Ibu, maka sekalian teecu dapat melakukan semua tugas itu."

Para hwesio Siauw-lim-si sibuk membereskan serta memperbaiki kerusakan yang timbul akibat kebakaran itu, para tamu sudah mengundurkan diri dan berpamit. Kun Liong juga berangkat menunaikan tugasnya, ditemani oleh Cia Keng Hong!

"Engkau pulanglah lebih dahulu bersama Giok Keng." Pendekar sakti ini berkata kepada isterinya, "Aku akan membantu Kun Liong mencari orang tuanya."

Demikianlah, Kun Liong dan Keng Hong meninggalkan kuil Siauw-lim-si, ada pun Biauw Eng mengajak Giok Keng pulang ke Cin-ling-san karena dara itu masih perlu beristirahat dan minum obat. Cia Giok Keng masih merasa penasaran sekali karena dia tidak diberi kesempatan memperlihatkan kepandaiannya di kuil Siauw-lim-si itu, karena sebelum dia sempat menyerang para penjahat, dia sudah terjeblos ke dalam perangkap rahasia dan dipaksa pingsan akibat lemparan benda meledak yang mengandung hawa beracun oleh seorang di antara penjahat.

"Liong-ko, kalau kau bertemu dengan Ouwyang... siapa tadi namanya?"

"Ouwyang Bouw," jawab Kun Liong.

"Kalau kau bertemu dengan dia, jangan kau bunuh dia."

"Mengapa?" Kun Liong bertanya heran. "Aku tidak berniat membunuh siapa-siapa, hanya ingin bertanya mengapa dia mengacau Siauw-lim-si dan apa yang dicarinya."

"Bagiankulah untuk membunuhnya!" kata dara itu.

"Sebaiknya kita pergi ke Ceng-to untuk melakukan penyelidikan," di tengah jalan Keng Hong berkata kepada Kun Liong.

Kun Liong menoleh dan memandang wajah tampan dan berwibawa itu. Maka bertanyalah dia, pertanyaan yang sudah ditahannya sejak mereka meninggalkan Siauw-lim-si. "Supek, kalau boleh teecu bertanya, dengan menemani teecu dalam perjalanan ini, apakah yang Supek kehendaki?"

Cia Keng Hong menoleh, memandang dan mengangkat alisnya yang tebal.

"Maaf, Supek. Teecu merasa yakin bahwa ada sesuatu yang hendak Supek sampaikan kepada teecu."

Kini pandang mata pendekar sakti itu menjadi terheran-heran dan bertanyalah dia dengan kekaguman yang tidak disembunyikannya. "Kun Liong, bagaimana engkau bisa menduga demikian?"

"Supek dan Supek-bo pernah mencari Ayah dan Ibu tanpa hasil, demikian pula teecu. Sekarang pun teecu hanya mencari dengan mengawur karena memang tidak ada yang mengetahui di mana adanya mereka. Apa bila memang Supek hendak mencari mereka, karena kita sama-sama tidak tahu, tentu lebih baik kalau berpencar. Akan tetapi Supek menemani teecu, berarti bahwa Supek menyembunyikan niat lain. Dugaan ini akan selalu membayangi teecu kalau belum Supek jelaskan."

Keng Hong tersenyum dan mengangguk-angguk. "Engkau amat cerdik dan jujur. Memang demikianlah. Mendengar betapa pencuri pusaka Siauw-lim-si mungkin adalah orang-orang Kwi-eng-pang, dan kini mendengar pula bahwa penyerbu kuil itu adalah putera Ban-tok Coa-ong, maka engkau yang bertugas mencarinya berarti akan berhadapan dengan para datuk kaum sesat yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Sedangkan ayah bundamu pun belum diketahui ke mana perginya, bila engkau sebagai putera tunggalnya terancam bahaya, bagaimana aku dapat mendiamkannya saja? Aku akan membantumu menghadapi mereka, itulah tujuanku menemanimu sekarang. Dan apa bila kita beruntung bertemu dengan orang tuamu, aku pun ingin sekali bicara dengan mereka." Tentu saja Keng Hong tidak mengaku bahwa dia akan bicara tentang perjodohan puterinya!
Selanjutnya,