Petualang Asmara Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Petualang Asmara Jilid 05
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
KETIKA Kun Liong melihat ke depan, Matanya terbelalak dan mukanya menjadi agak pucat. Dia melihat betapa sungai memuntahkan airnya dari arah kiri hingga membanjir. Air yang masuk ke sungai itu berwarna coklat kemerahan, amat keruh.

Dia harus membawa perahunya ke pinggir. Akan tetapi terlambat! Arus sudah demikian kuatnya sehingga betapa pun dia mendayung perahunya agar minggir, perahu itu masih terseret ke dalam dan akhirnya disambar oleh air bah ketika sampai di tempat pertemuan antara anak sungai dan sungai itu.

Kun Liong berusaha mengatur keseimbangan perahunya. Tapi tenaga air yang menyeret perahunya terlalu besar, gelombang terlalu hebat dan dia lalu berteriak keras pada waktu perahunya terguling dan dia sendiri terlempar ke dalam air!

Kun Liong gelagapan, cepat dia menahan napas dan menggerakkan kakinya. Tubuhnya timbul ke permukaan air, melihat perahunya tadi sudah pecah, agaknya terbanting pada batu karang. Melihat sepotong papan pecahan perahu di dekatnya, Kun Liong segera menyambarnya dan berpegang erat-erat pada papan itu. Arus air bukan main derasnya, dan gelombang amat besar sehingga dia tidak dapat berdaya apa-apa kecuali bergantung pada papan yang membawanya hanyut cepat sekali.

Entah berapa lamanya dia hanyut itu, dia sendiri tidak ingat lagi. Akan tetapi setelah hari hampir senja, air sungai tidak sehebat tadi gelombangnya, sungguh pun arusnya masih kuat. Sudah hampir seharian dia hanyut!

Kun Liong berusaha untuk berenang ke pinggir sambil berpegang pada papan itu. Namun usahanya gagal. Arus masih terlalu kuat, apa lagi dibebani papan itu, tidak mungkin dia sanggup melawan arus berenang ke pinggir. Untung sedikit banyak dia dapat berenang, kalau tidak, tentu dia akan celaka!

Setelah tiba pada bagian yang airnya tidak bergelombang lagi, hanya arusnya masih agak kuat, Kun Liong segera mencari akal. Dia melepaskan papan yang dianggapnya sudah menyelamatkan nyawanya tadi, kemudian menyelam. Niatnya hendak berenang ke tepi sambil menyelam, tentu arus di bawah tidak sekuat di permukaan.

Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia sudah menyelam sampai ke dasar sungai, arus di bawah makin kuat! Dia terseret dan melihat benda putih di dekat kakinya, disangkanya batu karang maka cepat dia menangkap benda yang putih itu dan berpegang kuat-kuat. Akan tetapi, ‘batu karang’ itu jebol dan dia terbawa hanyut.

Dalam kepanikannya, dia masih merangkul batu itu sambil menendang-nendangkan dua kakinya sehingga tubuhnya mumbul lagi dan timbul di permukaan air. Dia gelagapan dan menyemburkan air dari mulut. Banyak juga air terminum olehnya tadi. Jika tidak tertolong, dia tentu tewas sekarang, pikirnya.

"Tolooonggg...!" Tanpa disadarinya lagi, dia berteriak dengan sekuat tenaga, kemudian menggerakkan kaki tangan agar tidak tenggelam, terpaksa membiarkan tubuhnya terseret dan hanyut. Masih tak disadarinya bahwa lengan kirinya tetap saja memeluk ‘batu karang’ putih tadi!

Dia hanyut memperhatikan ke sekeliling dan alangkah girangnya ketika tiba-tiba tampak sebuah perahu tak jauh dari situ.

"Pegang tali ini...!"

Dia mendengar ada orang berteriak dan melihat seorang laki-laki tua melempar tali sambil berdiri membungkuk di pinggir perahu. Seorang anak perempuan dengan mata terbelalak memandang dan agaknya anak itu khawatir sekali, dia berpegang pada ujung baju di belakang tubuh kakek tua, telunjuknya menuding ke arah Kun Liong yang sudah berhasil menyambar dan memegang tali dengan tangan kanannya.

Kakek itu memandang Kun Liong yang sedang berpegang pada tali dengan muka penuh keheranan, apa lagi ketika dia melihat benda yang berada dalam pelukan lengan kiri anak itu.

"Heiiii! Engkau ini bocah yang luar biasa sekali! Bagaimana engkau bisa berada di tengah sungai dan apa yang kau bawa itu?"

Hati Kun Liong mendongkol. Kakek yang luar biasa masih mengatakan dia yang luar biasa. Masa menolong orang, belum juga orangnya naik sudah menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan. Dan dia baru teringat bahwa batu dari dasar sungai tadi masih dipeluknya!

"Naikkan aku dulu, baru kita bicara!" katanya marah. "Dan batu ini..."

Tiba-tiba dia terbelalak dan tidak melanjutkan kata-katanya karena ketika dia melirik ke arah batu yang sudah hampir dilemparkannya itu, dia mendapat kenyataan bahwa batu itu sama sekali bukanlah batu, melainkan sebuah benda yang aneh, agaknya sebuah bokor atau tempat abu, terbuat dari benda mengkilap kuning dan dihias batu-batu putih yang berkilauan!

"Kakek yang baik, tolong naikkan aku dulu!" kembali dia berkata.

Tiba-tiba tubuhnya melayang ke atas dan sebuah tangan yang kuat menyambutnya dari udara dan dia diturunkan dengan tenang oleh kakek itu. Kiranya kakek itu bukan orang sembarangan! Dia tidak ditarik naik seperti biasa, melainkan dilontarkan ke atas dengan renggutan kuat sekali sehingga tubuhnya terlempar ke atas.

Mereka saling pandang penuh perhatian. Bagi Kun Liong, tidak ada apa-apa yang aneh pada diri kakek itu dan anak perempuan yang berdiri dengan matanya yang terbelalak itu.

Seorang kakek yang usianya tentu ada enam puluh tahun, tubuhnya tinggi tegap dan terlihat kuat. Pakaiannya sederhana sekali, bahkan membayangkan kemiskinan, seperti pakaian nelayan-nelayan miskin, tak bersepatu pula! Rambutnya sudah banyak putihnya, disatukan menjadi gelung kecil di atas kepala, jenggot dan kumisnya juga kelabu dan pendek, tidak terpelihara. Akan tetapi gerak-gerik kakek ini, dan caranya menaikkan Kun Liong ke perahu, jelas membuktikan bahwa kakek ini bukan seorang nelayan biasa.

Ada pun anak perempuan itu terlihat manis sekali, rambutnya hitam dan gemuk panjang, dikepang dua, akan tetapi angin membuat rambutnya awut-awutan menambah manis. Pakaiannya juga sederhana dan kakinya tidak bersepatu.

Kakek itu menggeleng-gelengkan kepala, seakan-akan masih tidak mau percaya dengan pandang matanya sendiri. "Heran... ajaib... engkau siapakah, Nak?"

"Namaku Yap Kun Liong, tadinya aku berperahu, perahuku pecah dan aku terguling ke dalam air, hanyut sampai hampir satu hari lamanya. Untung di tempat ini engkau dapat menyelamatkan aku, Kek. Siapakah engkau dan mengapa tidak takut berperahu di tempat berbahaya ini?"

"Aku Kakek Yo, orang menyebutku Yo-lokui (Setan Tua Yo) dan ini cucuku bernama Yo Bi Kiok."

"Kun Liong, Kong-kong (Kakek) memang tinggal di daerah ini dan sudah biasa berperahu, tidak aneh kalau kami berperahu di sini. Akan tetapi engkau, seorang diri berperahu di tempat ini yang ditakuti orang, telah hanyut sehari masih hidup dan membawa benda itu, benar-benar engkau seorang yang aneh sekali!"

"Bokor itu... dari mana engkau mendapatkannya?" Kakek itu bertanya sambil memandang kagum. Sekilas pandang saja dia sudah tahu bahwa benda itu terbuat dari emas murni dan hiasannya adalah batu-batu kemala putih yang amat berharga!

"Ah, ini? Aku menyelam untuk membebaskan diri dari gelombang dan arus, tapi malah terseret arus di bawah yang amat kuat. Aku berpegang pada batu karang dan ternyata batu itu adalah benda inilah. Aku sendiri tidak tahu benda apa ini, akan tetapi sungguh indah..."

"Coba aku melihat sebentar," kakek itu berkata.

Kun Liong menyerahkan benda itu dan selagi Yo-lokui memeriksa bokor itu, Kun Liong duduk di atas papan berhadapan dengan Bi Kiok, menatap wajah anak perempuan itu yang memandang kepadanya dengan mata lebar dan jeli bersinar-sinar dan bibir anak itu tersenyum. Hemmm...

"Bi Kiok, engkau manis sekali!" Kun Liong berkata dengan tulus.

Sepasang mata itu makin melebar, senyumnya makin manis dan Bi Kiok menjawab, "Kun Liong engkau... lucu sekali!"

Hati Kun Liong agak tersinggung. Dia dianggap apakah? Masa disebut lucu? Akan tetapi dia melanjutkan, "Engkau memang manis, terutama sekali rambutmu dan matamu."

"Dan engkau memang amat lucu, terutama sekali kepalamu."

Kedua pipi Kun Liong menjadi merah dan ingin dia menampar anak itu kalau tidak ingat bahwa anak itu adalah cucu Yo-lokui yang telah menyelamatkannya dan bahwa anak itu adalah seorang perempuan. Akan tetapi, disinggung kepalanya, dia lalu membuang muka dan cemberut, tidak lagi mempedulikan Bi Kiok dan kini memandang kakek yang agaknya menjadi arca memandang kepada bokor di kedua tangannya.

"Bagaimana, Kek? Berhargakah benda yang kutemukan itu?"

Kakek itu membalikkan tubuh memandang pada Kun Liong, mukanya berubah sungguh-sungguh, dan dia berkata dengan suara gemetar. "Berharga? Aihhh, anak baik. Engkau telah menemukan pusaka yang tak ternilai harganya!"

"Hemm... pusaka? Apa sih harganya benda kuno seperti itu? Hanya mengkilap dan bagus dipandang, akan tetapi tidak dapat mengenyangkan perutku."

"Ahhh, laparkah engkau, Kun Liong?" tiba-tiba Bi Kiok bertanya.

Kemarahannya terhadap anak itu masih mengganjal di dalam perutnya, maka cepat-cepat Kun Liong menggeleng kepalanya dan menjawab dingin, "Tidak!"

"Tadi kau bilang..."

"Bi Kiok, perlukah kau bertanya lagi? Dia hanyut di sungai selama sehari dan kau masih bertanya apakah dia lapar?" Kakek itu mencela cucunya dan diam-diam dia memandang Kun Liong penuh perhatian.

Maklumlah dia bahwa anak laki-laki ini bukanlah bocah sembarangan, bukan anak dusun yang bermain-main dengan perahu dan hanyut. Sikapnya jauh berbeda, dan kata-katanya menunjukkan bekas pendidikan orang pandai.

"Yap-kongcu, pakaianmu basah semua, engkau tentu sangat lelah dan lapar. Marilah ikut bersama kami. Ketua kami tentu akan gembira sekali kalau melihat bokor ini, dan akan memberimu apa saja sebagai penukarannya. Engkau telah menemukan harta yang tidak ternilai harganya dan yang sudah bertahun-tahun dicari oleh ketua kami."

Kun Liong mengerutkan alisnya. "Apakah sesungguhnya bokor ini, Kek? Apanya yang berharga?"

"Kalau hanya dinilai dari emas dan batu kemalanya saja, sudah cukup membuat orang kaya. Akan tetapi bukan itulah sebabnya. Lihat, Kongcu, lihat melalui celah tutupnya ini."

Kun Liong menerima bokor itu dan mengintai melalui celah penutup bokor yang terbuka sedikit. Dia melihat coret-coret seperti huruf-huruf dan goresan-goresan di sebelah dalam. Karena dari celah itu tidak mungkin melihat jelas, apa lagi membaca huruf-hurufnya, Kun Liong hendak membuka penutup bokor, ternyata tutup itu melekat kuat sekali seolah-olah menjadi satu dengan bokornya! Kakek itu cepat mencegah,

"Tidak mungkin dibuka oleh yang tidak mengetahui rahasianya, Yap-kongcu. Ketua kami tentu mengetahui rahasia untuk membukanya. Ketahuilah, kalau aku tak salah menduga, bokor inilah yang oleh ketua kami dicari-cari selama bertahun-tahun. Entah sudah berapa ratus kali kami bergantian menyelam dan mencari namun selalu tanpa hasil. Siapa kira, engkau yang tidak sengaja mencari, malah berhasil menemukannya. Benar-benar yang dinamakan jodoh tak dapat ditolak oleh manusia!"

Kakek itu lalu mendayung perahunya dan Kun Liong tidak berkeberatan diajak oleh kakek penolongnya itu. Akan tetapi ucapan kakek itu membuat dia duduk bengong memandangi bokor yang dipangkunya. Ahhh, tentu sebuah pusaka kuno yang amat langka, pikirnya.

"Kakek yang baik, apakah engkau tahu akan asal-usul bokor ini?"

Kakek itu menghela napas panjang sebelum menjawab. Sambil tetap mendayung perahu, dia kemudian berkata perlahan, "Yap-kongcu, keadaan ini sungguh-sungguh luar biasa anehnya. Selama bertahun-tahun kami semua menutup mulut dan bokor ini tidak pernah disebut-sebut, sungguh pun kami tak pernah berhenti mencarinya. Orang luar sama sekali tidak tahu akan bokor ini karena kami dilarang untuk menceritakannya kepada siapa saja dengan ancaman hukuman mati! Akan tetapi, karena engkaulah orang yang kebetulan menemukan bokor ini, agaknya engkau juga berhak untuk mengetahui riwayatnya. Tentu saja kalau dugaanku betul bahwa bokor inilah yang kami cari-cari selama ini. Yang dapat memastikan asli atau pun tidaknya hanyalah ketua kami, satu-satunya orang yang pernah melihat bokor ini."

Sejenak Kun Liong melupakan rasa dingin serta laparnya. Hatinya tertarik sekali karena dari kata-kata dan sikap kakek ini, dia dapat menduga bahwa tentu bokor ini mempunyai riwayat yang amat menarik. Pula, sikap dan kata-kata kakek itu mendatangkan rasa suka di hatinya terhadap kakek itu yang dia duga tentulah orang yang berwatak jujur dan baik.

"Bokor ini mula-mula dikenal orang ketika Panglima Besar The Hoo yang diangkat oleh Kaisar menjadi laksamana memimpin armada yang berlayar ke barat dan selatan belasan tahun yang lalu. Karena mengandung rahasia yang amat berharga, bokor ini lalu dijadikan rebutan orang-orang dunia persilatan yang memiliki kesaktian tinggi dan akhirnya lenyap. Laksamana The Hoo sendiri mengutus para pembantunya mencari, akan tetapi hasilnya kosong belaka. Menurut penuturan kepala kami, akhirnya bokor itu berhasil didapatkan oleh kepala kami yang menjadi seorang di antara anggota pengawal Laksamana The Hoo yang bertugas mencari bokor. Akan tetapi malang baginya, ketika dia membawa bokor itu dengan perahu melalui sungai ini, perahunya diserang banjir seperti yang baru kau alami, perahunya pecah dan bokor itu terjatuh ke dalam sungai. Demikianlah, ketua kami tidak berani melapor, takut menerima hukuman. Dia mengajak kami dan para anak buah untuk mencari bokor, sampai sekarang sudah berjalan lima enam tahun tanpa hasil, dan hari ini tahu-tahu engkau muncul dengan bokor di tangan, muncul dari dalam air! Bukankah hal itu amat ajaib dan mengejutkan sekali?"

Kun Liong memandang bokor di tangannya. "Rahasia apakah yang dikandung benda ini?" Dia mengintai lagi dari celah di bawah tutup, akan tetapi sesudah air yang membasahi sebelah dalam bokor mengering, huruf-huruf itu lenyap dan tidak tampak lagi.

Kakek itu menggeleng kepala. "Aku sendiri pun tidak tahu apa rahasianya, hanya yang pasti, rahasia itu amat berharga sehingga orang-orang seluruh kang-ouw saling berlomba mendapatkan bokor ini."

Tidak lama kemudian mereka mendarat di sebelah kiri sungai, di dalam sebuah hutan. Tampak beberapa orang laki-laki menyambut dan begitu mereka mendengar penuturan singkat dari Yo-lokui, mereka lantas berlari-lari dengan air muka berubah tegang. Sambil memondong bokornya dan tahu bahwa benda itu sangat dihargai sehingga dia merasa dirinya penting, Kun Liong mendarat dan mengikuti kakek Yo bersama cucunya. Dengan wajah berseri-seri Kun Liong melihat betapa ada belasan orang muncul dan mengiringkan mereka sambil berbisik-bisik dan mata semua orang itu memandang ke arah bokor di tangannya dengan penuh takjub.

Mereka memasuki sebuah rumah papan yang amat besar dan agaknya rumah itu adalah satu-satunya bangunan di tempat sunyi itu sehingga diam-diam Kun Liong menjadi heran sekali. Tempat itu sangat sunyi, hanya ada sebuah rumah besar dan tampak tiga buah perahu lainnya di pinggir sungai. Tak mungkin perkampungan nelayan hanya dihuni oleh belasan orang ini dengan sebuah rumah! Juga dia tidak melihat wanita atau anak-anak di tempat itu kecuali Bi Kiok, cucu kakek Yo! Tempat apakah ini?

Seorang laki-laki setengah tua yang gemuk menyambut mereka. Yo-lokui cepat memberi hormat kepada laki-laki gendut ini sambil berkata, "Saya membawa berita baik sekali untuk Phoa-sicu!"

"Ahh, aku sudah mendengar pelaporan orang-orang kita, Yo-twako. Inikah anak itu? Dan bokor itu... hemmm, harus diperiksa dulu asli atau tidaknya." Si Gendut itu tertawa-tawa ramah dan wajahnya berseri.

Akan tetapi ketika sepasang matanya memandang ke arah bokor, Kun Liong menangkap cahaya berkilat yang aneh dan kejam sehingga dia terkejut bukan main dan mengambil keputusan untuk bersikap waspada terhadap Si Gemuk yang mencurigakan ini. Lagi pula, dia benar-benar tidak mengerti apa hubungan Kakek Yo dengan Si Gendut, yang disebut Phoa-sicu (tuan yang gagah she Phoa) ini.

"Kakek Yo, siapakah dia ini?" tanyanya dan kelihatan ragu-ragu untuk memasuki rumah besar itu.

"Yap-kongcu, inilah ketua kami, Phoa Sek It Si Golok Maut yang amat terkenal di dunia kang-ouw," jawab Yo-lokui, kelihatan tidak enak menyaksikan sikap Kun Liong demikian kurang hormat terhadap ketuanya.

Akan tetapi Phoa Sek It tersenyum lebar dan membungkuk ke arah Kun Liong, berkata ramah, "Silakan, Yap-kongcu. Silakan masuk dan harap jangan khawatir. Kita berada di antara sahabat-sahabat sendiri dan kedatanganmu seperti kedatangan seorang malaikat pembawa berkah terhadap kami. Heii! Lekas carikan pakaian pengganti Yap-kongcu yang basah dan persiapkan hidangan panas untuk kita sekalian, juga bersihkan kamar untuk tempat tidur tamu kita!" Teriakan itu ditujukan kepada anak buahnya yang segera pergi melaksanakan perintah itu.

"Biarlah aku tidur bersama Kakek Yo saja, harap tidak perlu repot-repot, Paman Phoa," kata Kun Liong kepada Si Gendut itu.

Si Gendut mengangguk-angguk. "Terserah kepadamu, Yap-kongcu, sesuka hatimulah. Bolehkah aku melihat bokor itu?"

Kun Liong yang masih curiga, menoleh ke arah kakek itu dan kakek itu mengangguk kepadanya. Kun Liong menyerahkan bokor yang dipegangnya kepada Si Gendut yang menerimanya dengan mulut tersenyum lebar, akan tetapi kembali tampak oleh Kun Liong cahaya mata aneh yang menyeramkan menyorot keluar dari sepasang mata Si Gendut ketika dia menerima bokor.

"Yo-twako, harap suka melayani dan menjamu makan Yap-kongcu. Aku harus meneliti bokor ini dengan tenang di dalam kamar, untuk menentukan apakah benda ini asli atau bukan. Engkau tahu, sudah bertahun-tahun aku tak melihatnya sehingga aku hampir lupa lagi." Tanpa menanti jawaban, Si Gendut membawa bokor masuk ke dalam dan lenyap di ruangan dalam.

Yo-lokui, ditemani oleh cucunya dan para anggota rombongan itu, mengajak Kun Liong makan minum setelah memberinya serangkai pakaian yang lantas dipakai oleh Kun Liong sebagai pengganti pakaiannya yang basah kuyup. Mereka makan minum sambil ngobrol gembira dan kembali Kun Liong merasa heran karena masakan yang dihidangkan cukup mewah seperti masakan kota. Padahal tempat itu amat sunyi.

Dari mana mereka mendapatkan bumbu-bumbu yang lengkap ini? Mungkin membeli dari kota, pikirnya. Betapa pun juga, dia merasa makin terheran benar karena di tempat itu ternyata benar-benar hanya ada sebuah rumah ini yang dihuni bersama-sama sebanyak lima belas orang termasuk Kakek Yo beserta cucunya, sedangkan Si Gendut itu menjadi pimpinan mereka. Semua ini dia ketahui dari percakapan antara mereka.

"Mengapa Cuwi (Kalian) tinggal di tempat yang amat sunyi ini, tinggal serumah dan tidak mempunyai keluarga?" Ia mengajukan pertanyaan sambil memandang ke arah sekeliling.

Orang-orang itu terdiam, tidak dapat menjawab. Yo-lokui yang duduk di sebelah kanannya segera menjawab,

"Kami memang tidak memiliki keluarga, dan tanpa keluarga, perlu apa membuat rumah sendiri-sendiri? Satu-satunya keluarga hanyalah cucuku ini yang sudah yatim piatu pula."

"Akan tetapi pekerjaan Cuwi sebenarnya apakah?"

"Aihhh, perlukah kau bertanya lagi, Kongcu? Kami adalah nelayan-nelayan dan... seperti telah kau ketahui, di samping mencari ikan, kami pun berusaha mencari bokor itu..."

Tiba-tiba kakek Yo menghentikan kata-katanya, karena tanpa mereka ketahui, Phoa Sek It yang gemuk itu telah berdiri di pintu dan memandang ke arah Kakek Yo dengan mata mengandung sinar menakutkan! Di dalam pandangan itu sudah tercurah semua teguran ketua ini, maka Kakek Yo cepat berkata dengan suara gugup,
"Phoa-sicu, saya rasa sebagai penemu benda itu, dia berhak untuk..."

"Cukup! Kalau sudah selesai makan, kalian tidurlah dulu. Aku sedang sibuk mengadakan penelitian, tak suka diganggu suara-suara ribut!" kata Si Gendut yang kembali menghilang ke dalam.

Suasana menjadi hening seketika, dan agaknya semua orang merasa takut bukan main terhadap Sang Ketua itu. Kembali Kun Liong merasa heran dan tidak senang. Dia melihat betapa semua orang mulai menyingkirkan sisa-sisa makanan tanpa banyak cakap lagi dan mulai mengundurkan diri.

"Yap-kongcu, marilah kita mengaso ke kamarku," berkata Kakek Yo sambil menyentuh tangan Kun Liong.

Anak itu mengerutkan alisnya dan membantah perlahan, "Kakek Yo, aku minta supaya bokor tadi dikembalikan dulu kepadaku."

Kakek itu kelihatan terkejut dan khawatir, memegang tangan anak itu sambil berkata lirih, "Benda itu sedang diteliti oleh ketua kami, Kongcu. Percayalah, besok tentu akan ditukar dengan benda-benda berharga lain. Jangan kau khawatir, aku yang menanggung bahwa benda itu tidak akan hilang."

Mendengar ini, terpaksa Kun Liong menurut. Dia memandang kepada Bi Kiok dan timbul rasa kasihan di hatinya. Anak ini tinggal tanpa kawan di antara orang-orang ini! Bi Kiok juga memandang kepadanya dengan matanya yang lebar dan jernih. Seketika lenyaplah kemarahan Kun Liong terhadap anak perempuan itu dan digandengnya tangan Bi Kiok. Gadis cilik itu tersenyum dan kelihatan girang sekali pada saat mereka berdua mengikuti Yo-lokui masuk ke dalam sebuah kamar di bagian belakang rumah itu.

Kamar itu cukup bersih, akan tetapi amat sederhana dan baunya tidak enak, amis karena di sudut-sudut kamar itu terdapat keranjang-keranjang, jala, peti-peti, dayung dan lain-lain perlengkapan mencari ikan. Agaknya keranjang-keranjang kosong bekas ikan itulah yang bau amis. Akan tetapi karena sudah biasa, Bi Kiok dan Yo-lokui tidak terganggu oleh bau ini, berbeda dengan Kun Liong yang begitu masuk kamar, cuping hidungnya berkembang-kempis diserang bau amis.

Di sudut kamar itu terdapat sebuah pembaringan yang dikerudung tirai tua, dan di situlah Bi Kiok tidur. Sedangkan Kakek Yo sendiri tidur di sebuah pembaringan yang terbuat dari bambu, beralaskan tikar, berbeda dengan pembaringan Bi Kiok yang diberi kasur tipis dari daun kering.

"Pakailah pembaringan Bi Kiok, biarlah dia sementara tidur bersamaku, Yap-kongcu," kata kakek itu.

"Ahh, tidak, Kek. Aku tidak mau mengganggu Adik Bi Kiok."

"Tidak apa, Kun Liong..."

"Ihh, jangan kurang ajar engkau, Bi Kiok. Sebut dia Yap-kongcu!" kakeknya menghardik.

"Aaahhh, biarlah, Kakek Yo. Aku pun tak ingin disebut kongcu."

"Setidaknya dia lebih tua dari pada kau, Bi Kiok."

"Kalau begitu biarlah aku menyebutnya twako (kakak), bolehkah Kongkong?"

"Aaahh, tentang sebutan, mengapa repot-repot benar? Tentu saja kau boleh menyebutku apa saja, Bi Kiok."

"Kalau begitu, aku seperti adikmu sendiri, Liong-twako (Kakak Liong). Maka, jangan kau sungkan-sungkan, pakailah pembaringanku. Aku tidur bersama Kongkong, dan memang kadang-kadang aku mengungsi ke pembaringan Kongkong kalau aku takut."

"Takut? Takut apa?" Kun Liong bertanya.

"Hi-hi-hik, kadang-kadang aku takut pada... pada setan. Apa lagi sehabis diceritakan oleh Kongkong tentang siluman dan iblis."

Kakek beserta cucunya itu tertawa sehingga Kun Liong juga ikut tertawa. Berada di antara kakek dan cucunya ini, mendengarkan kata-kata Bi Kiok yang lucu dengan suaranya yang merdu, maka lenyaplah segala ketegangan dan kekhawatiran yang tadi timbul di ruangan tengah ketika Sang Ketua muncul tadi.

"Biarlah aku tidur bersama kakekmu, Bi Kiok. Kau tidurlah di pembaringanmu sendiri. Aku tidak malu atau sungkan, melainkan aku masih ingin bercakap-cakap dengan Kakek Yo."

Akhirnya Kun Liong berbaring di dekat kakek itu dan tak lama kemudian sudah terdengar pernapasan yang panjang halus dari Bi Kiok, anak itu telah tidur pulas.

"Kasihan sekali cucumu itu, Kek. Mengapa kau ajak dia hidup di tempat seperti ini?" Kun Liong berbisik, menegur Kakek di sebelahnya itu.

Yo-lokui menghela napas paniang, "Ya, memang kasihan sekali dia. Akan tetapi, aku tak dapat berbuat lain, Kongcu. Karena terpaksalah maka aku membawanya hidup tempat ini. Akan tetapi tidak lama lagi. Benda itu telah ditemukan, selain kau akan menerima hadiah besar, juga kami akan mendapat bagian sehingga aku dapat mengajak Bi Kiok pindah ke kota besar, hidup cukup dan seperti manusia lumrah, tidak seperti sekarang ini." Kembali kakek itu menarik napas panjang penuh harapan.

"Mengapa engkau terpaksa harus mengajaknya hidup di tempat ini, Kek? Dan siapakah sebetulnya Phoa Sek It itu? Kulihat dia bukan manusia baik-baik..."

"Ssstt... perlahan bicara dan berhati-hatilah. Dengarkan baik-baik, saya akan menuturkan segalanya kepadamu, akan tetapi hanya dengan bisik-bisik. Saya melihat engkau bukan anak biasa, Kongcu. Biar pun aku telah menyelamatkanmu tanpa sengaja dan hal itu tak perlu kuingat-ingat lagi, akan tetapi besar sekali harapanku bahwa kelak engkau akan dapat membantuku mengawasi cucuku, kalau aku sudah tidak ada lagi..."

Kun Liong mengangguk dan mulailah kakek itu bercerita dengan berbisik-bisik. Ternyata bahwa kakek itu bersama putera dan mantunya adalah bekas bajak-bajak sungai yang telah dibasmi oleh pasukan pemerintah setelah perang saudara berakhir dan Kaisar Yung Lo memegang tampuk pemerintahan Kerajaan Beng-tiauw. Putera dan mantunya tewas dalam perlawanan dan dia sendiri dalam keadaan luka-luka berhasil melarikan diri sambil membawa cucunya, Yo Bi Kiok yang waktu itu baru berusia tiga tahun.

Sebagai seorang pelarian dia terpaksa mengajak cucunya untuk hidup secara sembunyi-sembunyi. Keadaannya yang miskin itu tentu akan menimbulkan kecurigaan orang, tidak demikian kiranya kalau kakek ini memiliki banyak uang, tentu dia akan berani mengajak cucunya ke kota dan tinggal di kota seperti keluarga baik-baik.

Dalam perantauannya inilah dia bertemu dengan Phoa Sek It! Orang gendut ini memiliki kepandaian lihai sekali dan perkenalan mereka pun sangat luar biasa, karena Kakek Yo berusaha merampok Si Gemuk ini dan dia bahkan dikalahkan, ditaklukkan dan dijadikan pembantu oleh Phoa Sek It yang berjuluk Golok Maut.

Si Gemuk ini adalah salah seorang bekas anggota pasukan pengawal yang mengiringkan Laksamana The Hoo. Pada saat mendapat kesempatan, Phoa Sek It yang menyeleweng karena ingin menjadi seorang kaya raya ini, mencuri dan membawa lari bokor emas yang mengandung rahasia penyimpanan harta pusaka terpendam yang tak ternilai harganya!

Tidak ada orang yang tahu, juga Laksamana The Hoo sendiri tidak mengira, bahwa dialah orangnya yang mencuri dan membawa lari bokor. Dunia persilatan geger karena memang bokor itu sudah terkenal sekali, bahkan ada pula tokoh-tokoh penjahat sakti yang berani mencoba untuk mencari bokor, akan tetapi mereka kesemuanya gagal, bahkan ada juga yang tewas di tangan pengawal-pengawal dan para pembantu Laksamana The Hoo yang berilmu tinggi.

Phoa Sek It melarikan diri dan karena takut dikejar, dia menggunakan perahu memasuki sungai yang berbahaya itu, mengandalkan kepandaiannya mengemudikan perahu. Akan tetapi, banjir menyerang perahunya sehingga terguling, bokornya hilang dan Phoa Sek It menjadi bingung.

Sesudah berbulan-bulan mencari dan menyelam di sekitar tempat itu tanpa hasil, dia lalu mengambil keputusan untuk mencari anak buah dan pada waktu itulah dia dirampok oleh Yo-lokui yang kemudian dijadikan pembantunya. Mereka berdua berhasil mengumpulkan bekas bajak-bajak sungai, tiga belas orang jumlahnya dan semenjak itulah, lima belas orang itu tinggal di tempat tersembunyi, menyambung hidupnya dengan menangkap ikan atau kadang-kadang juga membajak ke Sungai Huang-ho.

"Selama bertahun-tahun kami terus mencari bokor itu. Karena janji-janji yang muluk dari Phoa-sicu, maka kami terus bertahan dan sekarang bokor sudah ditemukan, berarti akan berakhirlah penderitaan kami. Aku telah dijanjikan pembagian yang cukup untuk kumakan selama hidup bersama cucuku. Kami akan pindah ke kota!" Kakek itu menutup ceritanya dengan wajah yang keriput itu berseri penuh harapan dan kebahagiaan untuk cucunya.

"Mudah-mudahan saja engkau dan Bi Kiok akan berhasil dan bahagia, Kek," Kun Liong berkata.

Akan tetapi kakek itu sudah mulai mendengkur. Agaknya dia lelah bercerita dan harapan yang amat baik membuat hatinya lega dan puas sehingga mudah dia jatuh pulas.

Sebaliknya Kun Liong tidak dapat tidur, gelisah bergulingan di atas pembaringan. Dengkur kakek itu sangat mengganggunya. Apa lagi hawanya panas di dalam kamar itu, ditambah pula bau amis keranjang bekas ikan, membuatnya semakin gelisah.

Akhirnya dengan perlahan supaya jangan mengagetkan kakek dan cucunya itu, dia turun dari atas pembaringan, dengan maksud untuk keluar dari rumah itu mencari hawa segar di tepi sungai. Akan tetapi baru saja dia sampai di pintu kamar, lapat-lapat dia mendengar suara orang mengeluh dari kamar di depan, kemudian tampak bayangan yang berkelebat keluar dari kamar itu, bayangan seorang yang mukanya ditutup oleh kain hitam mulai dari bawah mata, terus ke bawah dan tangannya membawa sebatang golok yang berlepotan darah!

Melihat betapa bayangan itu berkelebat lari ke arah kamar Kakek Yo, Kun Liong cepat meloncat ke dalam dan keadaan yang tiba-tiba itu membuat dia tidak sempat berpikir lagi, terus saja dia membuka tutup peti bundar, memasukinya kemudian menutup kembali dari dalam!

Setelah mendekam di dalam peti teringat olehnya bahwa seharusnya dia membangunkan Kakek Yo lebih dahulu. Akan tetapi baru saja dia mau membuka tutup peti, pintu kamar terbuka, bayangan hitam berkelebat masuk dan dari bentuk tubuh yang gendut itu Kun Liong dapat menduga bahwa itu tentulah Phoa Sek It. Dia hendak berteriak mengagetkan dan membangunkan Yo-lokui, namun terlambat!

Orang berkedok itu telah melompat ke dekat pembaringan Kakek Yo, lalu menggerakkan golok besar dengan kedua tangan dan... Kun Liong merasa kepalanya pening dan hampir pingsan ketika melihat darah muncrat dari perut Kakek Yo yang dihujam golok. Kakek itu tampak terkejut kaku, terbelalak dan seperti hendak bangkit, tetapi kembali golok terayun dan kali ini membacok leher sehingga hampir putus.

Cepat seperti ketika masuk, bayangan hitam itu sudah melompat dan menyingkap tirai, melihat Bi Kiok yang menjadi kaget dan bingung lalu menoleh ke kanan kiri mencari-cari. Agaknya dia mencari Kun Liong, lalu mendengus marah dan menyambar lengan tangan Bi Kiok.

"Aihhh..., lepaskan aku...! Kongkong...!" Bi Kiok menjerit-jerit, akan tetapi orang gendut berkedok itu telah membawanya lari keluar.

Kun Liong cepat keluar dari peti. Melihat kakek itu sudah tewas dalam keadaan sangat mengerikan, dia cepat menyelinap keluar. Terdengar suara gaduh dan teriakan-teriakan di kamar-kamar lain seperti suara orang berkelahi.

Kun Liong cepat berlari keluar menuju ke sungai. Tanpa banyak pikir lagi karena maklum bahwa kalau Phoa Sek It melihatnya tentu dia akan dibunuh, dia meloncat ke atas sebuah perahu, melepas tali ikatan dan mendayung perahu ke tengah, mendayung sekuat tenaga mengikuti aliran sungai.

Untung baginya bahwa bagian berbahaya dari sungai ini sudah lewat, yaitu bagian yang dilewatinya ketika sehari lamanya dia hanyut kemarin. Air di bagian ini cukup dalam dan tidak begitu deras arusnya sehingga dia dapat menguasai perahunya. Ketika hatinya telah merasa lega dan aman karena tidak melihat adanya orang mengejarnya, Kun Liong yang merasa betapa kedua lengannya kaku dan lelah karena tadi mendayung sekuat tenaga, mengatur tempat duduk yang lebih enak dan mendayung perahunya agak di pinggir agar aman.

Pada saat dia pindah tempat duduk inilah kakinya menyentuh sesuatu. Karena gelap, dia tidak dapat melihat benda apa itu, maka dia mengambil dan mengangkatnya. Hampir dia tertawa bergelak dan membayangkan betapa lucu wajah Si Gendut nanti. Kiranya benda itu adalah bokor emas!

Dia mulai dapat menduga apa yang terjadi. Karena ingin memiliki bokor itu sendiri tanpa membagi-bagi kepada anak buahnya, timbullah pikiran jahat di dalam hati Si Gemuk itu. Karena dia memang lihai, maka dia melakukan pembunuhan-pembunuhan dan bokor itu sudah disembunyikannya ke dalam perahu ini. Agaknya, kalau sudah selesai membunuh semua bekas anak buahnya, Si Gendut itu akan melarikan diri dengan perahu ini.

Siapa sangka, dia mendahuluinya dan tanpa disengaja, kembali bokor terjatuh ke dalam tangannya! Ingin dia mentertawakan Si Gendut, akan tetapi teringat akan nasib Kakek Yo, dan akan nasib Bi Kiok, alis Kun Liong pun berkerut dan dia merasa kasihan sekali. Akan tetapi, apa yang dapat dia lakukan?

Memang tepat dugaan Kun liong, orang gemuk bertopeng itu bukan lain adalah Phoa Sek It. Begitu melihat bokor emas itu, Phoa Sek It segera mengenalnya sebagai bokor pusaka milik bekas atasannya, Laksamana The Hoo, benda berharga yang menjadi rebutan, yang dahulu berhasil dia curi dan larikan kemudian lenyap di sungai ketika perahunya terguling diterjang air bah.

Begitu melihat benda itu, timbul sudah kemurkaannya, timbul niat jahat untuk membunuh semua pembantunya termasuk anak yang datang membawa bokor itu. Mereka itu harus dibunuhnya karena dia tak ingin kehilangan sebagian dari harta benda untuk menghadiahi mereka.

Akan tetapi terutama sekali karena mereka sudah tahu akan rahasia bokor itu. Apa bila mereka tidak dibunuh kemudian rahasia itu sampai tersiar, tentu dia akan menjadi buruan orang-orang sakti sedunia kang-ouw dan yang lebih mengerikan lagi, tentulah Laksamana The Hoo yang banyak dibantu orang-orang sakti itu akan mencari, lalu menemukan, dan menghukumnya.

Tadi Phoa Sek It telah berhasil membunuh Kakek Yo-lokui selagi kakek ini tidur sehingga satu-satunya orang yang dapat melakukan perlawanan itu dibunuhnya secara mudah, dan ketiga belas orang pembantu lainnya dengan mudah saja menjadi korban goloknya tanpa mereka dapat memberi perlawanan yang berarti.

Akan tetapi ketika melihat Bi Kiok, dia tidak membunuhnya. Bukan karena dia tidak tega atau hatinya menaruh iba melihat anak perempuan itu, melainkan karena timbul birahinya kalau dia membayangkan betapa Bi Kiok beberapa tahun lagi akan menjadi seorang dara yang amat cantik jelita. Karena inilah dia tidak membunuh Bi Kiok!

Dapat dibayangkan betapa takut, duka dan ngeri rasa hati anak perempuan itu ketika dia melihat kongkong-nya sudah tewas dalam keadaan sangat mengerikan, dan betapa orang bertopeng yang dia tahu adalah Phoa Sek It, orang yang selama dia tinggal di situ paling dia takuti, sambil menggandengnya membunuh paman-paman yang lain hingga bajunya sendiri terkena percikan darah yang muncrat dari tubuh setiap orang korban.

"Lepaskan aku...! Lepaskan...! Kongkong...!" Dia menjerit-jerit sampai suaranya menjadi parau.

"Diam! Anak bodoh! Engkau sudah beruntung sekali tidak kubunuh, tahu? Apakah minta kubunuh juga?" Dia mendekatkan golok yang berlepotan darah ke depan muka Bi Kiok hingga anak itu terbelalak dengan muka pucat, hampir pingsan ketika hidungnya mencium bau darah yang memuakkan.

"Katakan di mana adanya bocah iblis gundul itu?"

Bi Kiok menggelengkan kepala dan menelan ludah karena sukar sekali dia mengeluarkan suara, lehernya seperti tercekik dan mulutnya tiba-tiba menjadi kering saking takutnya.

"Ti... tidak tahu...," akhirnya dapat juga dia bersuara.

"Bukankah dia juga tidur di kamar kakekmu?" kembali Si Gemuk menghardik dan kini dia merenggut penutup mukanya. Semua pembantunya sudah dibunuhnya sehingga dia tidak perlu lagi menyembunyikan muka.

"Aku tidak tahu... tadi dia masih bercakap-cakap dengan Kongkong... uhu-hu-huuu... !" Bi Kiok menangis lagi, teringat akan kakeknya yang telah tewas.

"Diam! Kalau kau menangis terus dan kesabaranku habis, golok ini akan minum darahmu! Hayo kita pergi!"

"Tidak mau... hu-hu-huhhh... tidak mau...!"

"Plakkk!"

Pipi anak perempuan itu ditampar sehingga tubuhnya terguling ke atas lantai. "Engkau hendak membandel, ya? Baik, lebih baik begitu, kau mampus sekalian supaya kelak tidak merepotkan. Akan tetapi sebelum mati, sayang kalau dibunuh begitu saja. Engkau masih kecil, akan tetapi sudah manis sekali!"

Laksana seekor harimau yang buas menubruk seekor anak domba yang ketakutan, Phoa Sek It menubruk Bi Kiok, tangannya merenggut, terdengar kain terkoyak ketika dengan penuh nafsu binatang buas dia merenggut pakaian gadis cilik itu.

"Breetttt...! Aihhhh... tolong...!" Bi Kiok menjerit, tidak mengerti bahaya apa yang sedang mengancam dirinya, hanya mengira bahwa Phoa Sek it tentu hendak membunuhnya.

"Babi gendut memuakkan! Plakkk!"

Phoa Sek It terkejut bukan main. Pundaknya terasa seperti akan remuk ketika menerima sebuah tamparan yang datangnya tiba-tiba dan tak mungkin dapat dielakkannya tadi, apa lagi karena dia sedang diamuk nafsu. Ketika dia menyambar golok yang tadi diletakkan di atas tanah ketika ia hendak memperkosa gadis cilik itu, melompat sambil membacokkan golok dengan tubuh diputar, dia melihat seorang wanita berdiri dengan sikap tenang.

Wanita itu pakaiannya amat indah dan bersih. Rambutnya yang panjang tersisir rapi dan digelung seperti model puteri bangsawan, di punggungnya tampak sebatang pedang yang panjang melengkung dan aneh, tubuhnya kecil pendek dan meski pun usianya sudah tiga puluh tahun lebih, akan tetapi masih kelihatan cantik menarik, dan kerling matanya serta senyumnya kelihatan genit sekali. Dia berdiri memandang Phoa Sek It sambil mengerling dan tersenyum-senyum!

"Iblis betina!" Phoa Sek It membentak marah. "Siapakah engkau berani main gila dengan Golok Maut?"

"Babi kotor, anjing hina yang hendak memperkosa anak kecil! Aku tahu engkau Phoa Sek It bekas pengawal Laksamana The Hoo! Sudah lama kuawasi engkau dan setelah malam ini kau membunuhi anak buahmu, tentu engkau telah menemukan bokor itu! Hayo cepat keluarkan bokor itu dan serahkan kepada Nona Bu!"

Seketika pucat wajah Phoa Sek It mendengar ucapan itu. Bukan hanya rahasianya telah bocor, bahkan wanita ini adalah orang yang tak pernah disangka-sangkanya akan pernah berhadapan dengan dia.

"...kau... kau... Siang-tok Mo-li...?"

Wanita itu menjebikan bibirnya yang merah segar dengan lagak genit sekali, kemudian mengulur tangan kiri minta bokor tanpa bicara lagi. Tentu saja Phoa Sek It terkejut dan merasa ngeri karena wamta cantik yang biasanya menyebut dirinya sendiri ‘Nona Bu’ ini bukan lain adalah Bu Leng Ci yang berjuluk Siang-tok Mo-li (Iblis Betina Racun Wangi), yang pada waktu itu merupakan datuk ke lima di dunia persilatan, sangat terkenal bukan hanya karena kesaktiannya saja, akan tetapi juga karena banyak sepak terjangnya yang menggegerkan dan kekejamannya terhadap lawan-lawannya!

"Aku... ehh, siauwte... tidak tahu tentang bokor... harap Nona yang sakti mengampuni..." Phoa Sek It berkata dengan suara gemetar, namun sepasang matanya bergerak-gerak mencari akal. Meski pun nama perempuan ini menggegerkan dunia kang-ouw, akan tetapi dia belum begitu percaya apakah seorang wanita yang cantik dan terlihat lemah ini tidak dapat dilawannya.

"Bohong! Lekas serahkan!" Wanita itu melangkah maju sehingga kini berdiri dekat sekali, dan lengan kirinya masih diulurkannya ke depan untuk menerima bokor yang agaknya dia merasa yakin pasti akan diserahkan oleh Phoa Sek It kepadanya.

Karena dia sudah mendengar akan keganasan dan kekejaman wanita iblis ini, Phoa Sek It yang sejak tadi sudah siap, begitu tangan wanita itu berada dekat sekali sehingga tidak mungkin menghindar lagi, secepat kilat dia menyabetkan golok besarnya ke arah lengan yang terulur itu!

"Siuuuuttt...!" Golok lenyap berubah menjadi sinar saking cepat gerakannya.

"Capppp!"

Mata Phoa Sek It terbelalak. Dia merasa seperti dalam mimpi dan dia memandang tak percaya, biar pun dia sudah melotot dan melihat jelas betapa jari tangan yang halus kecil dengan kuku meruncing terpelihara bagus itu ‘menjemput’ goloknya tadi dan kini jari-jari tangan itu menangkap mata goloknya seperti lagak seorang dara jelita menangkap seekor kupu-kupu pada sayapnya!

Dengan hati penuh rasa tak percaya sehingga perasaan ini mengalahkan kegentarannya, Phoa Sek It mengerahkan tenaganya menarik untuk membetot lepas goloknya dari jepitan jari-jari tangan yang kecil mungil itu.

"Hemmm...!" Suara ini keluar sebagai ejekan dari tenggorokan wanita itu dan mendadak terdengar suara.

"Krekkkk!" dan golok itu telah diremasnya patah-patah menjadi tiga potong!

Phoa Sek It menjadi bengong, kemudian dia bergidik, bulu tengkuknya berdiri dan dia pun mengeluarkan suara bagai keluhan penuh rasa gentar dan ngeri, kemudian membalikkan tubuhnya dan melarikan diri seperti seorang anak kecil takut melihat bayangan setan.

"Wuuuuttt...! Krekkk....!"

Tubuh Phoa Sek It yang gendut dan sedang melarikan diri itu tiba-tiba saja gerakannya terhenti dan matanya mendelik karena mendadak dia tidak dapat bernapas lagi, lehernya terasa tercekik. Ketika dia meraba lehernya, ternyata lehernya telah terlibat benda yang lemas sekali. Tiba-tiba ada tenaga raksasa yang menarik tubuhnya ke belakang, tanpa dapat dilawannya hingga akhirnya dia terbanting ke belakang, terjengkang ke depan kaki wanita itu.

Ketika dia sempat melihat, ternyata rambut wanita ini sudah terurai lepas, panjang halus dan harum, dan rambut itulah yang tadi menangkapnya dengan membelit lehernya. Tanpa menggunakan kaki tangan, hanya menggunakan rambutnya yang halus panjang itu saja, Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci telah berhasil merobohkannya! Seketika lenyaplah nyali Phoa Sek It dan dia merangkak, berlutut di depan kedua kaki yang kecil dan bersepatu baru itu.

"Ampunkan nyawa hamba...," suaranya seperti orang merengek dan menangis.

"Crottt! Augghhh...!"

Phoa Sek It mendekam dan tubuhnya menggigil saking nyerinya. Pundak kanannya telah berlubang dengan tulang pundak remuk ketika wanita ltu mempergunakan jari telunjuknya menusuk pundak itu. Jari yang tadi meremas patah golok itu kini dengan mudah sekali menembus kulit daging, bahkan meremukkan tulang pundaknya!

"Katakan di mana bokor itu dan cepat serahkan kepadaku!" Kembali Bu Leng Ci berkata, suaranya masih merdu dan kerling mata serta senyumnya masih genit, tapi justru itulah yang membuat dia amat menyeramkan.

Sungguh pun diancam maut, akan tetapi tentu saja tidak mudah buat Phoa Sek It untuk melepaskan bokornya. Bertahun-tahun dia dengan susah payah mencari benda pusaka itu dan bahkan sampai saat ini pun kiranya belum dapat ia temukan kalau tidak kebetulan bocah gundul itu datang membawa pusaka itu. Mana mungkin sekarang diberikan begitu saja kepada wanita iblis ini?

"Ham... hamba... tidak tahu..."

"Adduuuhhh... am... ampuuuunnnn...!" jerit yang keluar dari mulut Phoa Sek It terdengar mengerikan sekali, melengking atau melolong bagaikan serigala menangis dan rasa nyeri yang dideritanya ini membuat dia hampir tidak kuat bertahan.

Dengan masih tersenyum wanita iblis itu sudah menggerakkan jari tangannya yang amat kuat. Sebelum Si Gendut tahu apa yang terjadi, tahu-tahu jari tangan itu dengan kukunya yang runcing sudah mencubit dan merobek kulit kepalanya bagian pelipis, terus merobek ke atas sehingga kulit kepalanya dari pelipis ke atas, sepanjang sepuluh senti, terkupas dari kepala.

Bukan main hebat kenyerian yang dideritanya, sulit dilukiskan, perih dan panas, kiut-miut rasanya sampai ke jantung yang seperti ditusuk-tusuk, isi kepala seperti diremas-remas, seluruh tubuhnya menggigil.

Dengan kedua mata terbelalak dan muka pucat sekali penuh kengerian, Bi Kiok melihat siksaan ini. Sambil memegangi bajunya yang koyak-koyak menutupi tubuh bagian depan yang terbuka, gadis cilik itu melihat Phoa Sek It. Segera lenyaplah segala kebenciannya terhadap orang gendut itu. Lupa lagi dia betapa Si Gendut itu telah membunuh kakeknya secara keji dan biadab, betapa semua pembantunya telah dibunuh pula, dan betapa tadi Phoa Sek It akan membunuhnya juga. Dia lupa akan semua itu, kebenciannya berubah menjadi perasaan tidak tega dan kasihan menyaksikan Si Gendut itu mengalami siksaan yang mengerikan itu.

"Paman Phoa Sek It, mengapa kau tidak mengaku? Engkau telah membunuh Kakek dan semua pembantumu, engkau telah menyembunyikan bokor itu. Katakan saja di mana!" Bi Kiok berkata.

Mendengar ini, Phoa Sek It terkejut dan dia masih sempat memandang ke arah Bi Kiok dengan mata mendelik penuh kemarahan, dan saking marahnya dia sampai lupa diri dan keadaan, bahkan dia memaki, "Anjing kecil, tutup mulutmu...!"

Akan tetapi kembali dia meraung karena jari-jari tangan yang seperti ujung-ujung pisau runcing itu telah mencengkeram dadanya, menghujam ke dalam kulit daging, akan tetapi gerakan itu tidak dilanjutkan dan terdengar suara wanita itu,

"Di mana bokor itu?"
"Di... dalam perahu... di tepi sungai..." Kata-katanya disusul suaranya melengking, lantas tubuhnya berkelojotan.

Bi Kiok menutupi muka dengan kedua tangannya. Terlampau hebat dan mengerikan apa yang dia lihat dan saksikan itu. Wanita itu menggerakkan tangannya yang mencengkeram sehingga lima jari tangan itu berikut lengannya telah memasuki rongga dada Phoa Sek It, kemudian setelah tangan dicabut kembali, jari-jari tangan itu telah menggenggam sebuah benda merah yang berlepotan darah dan terus benda itu dimakannya!

Itulah jantung yang masih hangat dan agak bergerak menggelepar, yang dicabutnya dari dalam rongga dada Phoa Sek It. Dan beginilah salah satu di antara cara-cara Bu Leng Ci membunuh lawannya. Tidak mengherankan apa bila dia menjadi tokoh atau datuk ke lima dari dunia persilatan, dan dijuluki Mo-li (Iblis Betina) karena memang dia berhati keras dan ganas seperti iblis!

"Mari kita cari bokor itu."

Bi Kiok yang merasa betapa pundaknya disentuh oleh tangan halus dan mendengar suara yang merdu ramah, lalu menurunkan kedua tangan dan memandang. Wanita itu kelihatan ramah dan cantik sekali, tersenyum kepadanya dan kedua tangan wanita itu bersih putih, entah ke mana perginya darah yang tadi membasahi tangannya.

Bagaikan dalam mimpi, Bi Kiok melangkah dan menurut saja ketika diajak oleh wanita itu, digandeng tangannya. Wanita itu melangkahi mayat Phoa Sek It hingga Bi Kiok terpaksa meloncatinya juga tanpa memandangnya.

"Di sini hanya ada empat buah perahu... ehh…, mengapa hanya ada tiga? Mana yang sebuah lagi?" Bi Kiok berkata ketika mereka tiba di tepi sungai.

"Mari kita mencari bokor itu," kata Bu Leng Ci.

Mereka segera memeriksa tiga buah perahu itu, akan tetapi tentu saja mereka tak dapat menemukan bokor yang telah terbawa ke dalam perahu yang dilarikan Kun Liong!

"Hemm, tentu berada di dalam perahu ke empat yang tidak ada lagi di sini. Anak yang baik, siapakah di antara kalian yang tidak mati terbunuh oleh Phoa Sek It, kecuali engkau sendiri?"

Bi Kiok menggelengkan kepala dan mengerutkan alisnya, "Semua sudah mati, termasuk kakekku. Aku melihat sendiri, semuanya berjumlah empat belas orang dengan kakekku, dibunuh oleh Paman Phoa... ehh, agaknya dia yang membawa perahu! Aihh! Benar, aku sampai lupa! Tentu Liong-twako dan dia telah selamat. Syukurlah! Ia bisa menyelamatkan diri, membawa perahu dan..." Tiba-tiba Bi Kiok berhenti bicara dan memandang wanita itu dengan kaget.

"Dan bokor itu dibawanya pula?" Wanita itu mendesak.

"Aku tidak tahu..."

"Siapa itu Liong-twako?"

"Liong-twako adalah anak laki-laki yang telah menemukan bokor..."

"Ehh? Coba ceritakan yang jelas!"

Bi Kiok kemudian menuturkan bagaimana dia dan kakeknya secara kebetulan menolong Yap Kun Liong yang sedang hanyut di sungai dan betapa tanpa disengaja Kun Liong telah menemukan bokor itu di dasar sungai. Semua dia tuturkan dengan jelas dan didengarkan oleh Bu Leng Ci dengan penuh perhatian.

"Demikianlah. Semalam dia masih bercakap-cakap dengan Kakek, kemudian aku tertidur dan entah ke mana perginya Liong-twako. Pada waktu aku terbangun tahu-tahu dia telah lenyap, Kakek terbunuh oleh Paman Phoa dan aku ditariknya keluar dari kamar."

Iblis betina itu mengangguk-angguk. "Aku yakin sekarang. Tentu Yap Kun Liong itu yang membawa bokor. Entah bagaimana dia dapat mengambilnya dari tangan Phoa Sek It, akan tetapi seorang bocah seaneh dia, yang telah menemukan bokor dan selama sehari hanyut di sungai yang banjir tapi bisa keluar dalam keadaan selamat, bukan tak mungkin dapat melakukan hal-hal yang luar biasa. Mari kita cari dia!"

"Aku... apakah aku... harus ikut?"

"Anak baik. Siapa namamu?"

"Namaku Yo Bi Kiok."

"Hemmm, nama yang manis seperti orangnya. Engkau hanya berdua dengan kakekmu, bukan? Sudah lama kulihat engkau bersama rombongan itu."

Bi Kiok mengangguk. "Aku yatim piatu."

"Bagus!"

"Mengapa bagus?" Bi Kiok memandang dengan penasaran. Yatim piatu, tak berayah tak beribu sekarang kehilangan kakek pula, dikatakan bagus!

"Jadi engkau sebatang kara, tiada sanak kadang, hidup seorang diri di dunia?"

Bi Kiok masih memandang penasaran, akan tetapi dia mengangguk juga.

"Bagus!"

Bi Kiok merenggut lepas tangannya yang digandeng wanita itu, kepalanya ditegakkan dan suaranya nyaring penuh keberanian saat dia berkata, "Bibi, engkau sungguh kejam sekali, mengejek dan mempermainkan seorang anak-anak seperti aku! Aku memang yatim piatu, tiada sanak kadang, hidup seorang diri di dunia, akan tetapi tidak ada sangkut pautnya dengan Bibi. Tidak perlu Bibi mengejek dan mengatakan bagus!"

Sepasang mata wanita cantik itu bersinar-sinar, kemudian dia mengangkat kedua tangan ke atas, dibentuk bagaikan sepasang cakar garuda, agaknya siap untuk mencengkeram kepala Bi Kiok. Gadis cilik itu menatap tajam, sedikit pun tidak takut.

"Hi-hi-hik, engkau tidak takut? Kalau tanganku ini turun, kepalamu akan pecah-pecah!"

"Aku tidak takut! Aku tidak takut mati, tidak takut padamu!" Bi Kiok berkata lantang.

"Heh-heh-heh, bagus!" Wanita itu kembali memuji dan menurunkan kedua tangannya lagi.

"Lagi-lagi bagus! Apanya yang bagus?!" Bi Kiok membentak, kini marah sekali, sepasang tangannya dikepal seolah-olah dia hendak menyerang iblis betina itu!

"Tentu saja bagus, anak baik. Engkau hidup seorang diri di dunia, seperti aku! Tadinya kukira engkau penakut, tidak tahunya tadi engkau kelihatan takut karena dilanda duka dan ngeri, sebenarnya engkau seorang pemberani yang bernyali besar. Orang seperti engkau ini sungguh sudah pantas sekali menjadi muridku."

"Muridmu?"

"Ya, muridku, murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci, hal yang belum tentu terjadi di antara selaksa orang anak perempuan!"

Bi Kiok seorang yang cerdik sekali. Biar pun usianya baru delapan tahun, akan tetapi dia maklum bahwa keadaannya yang sebatang kara itu akan sukar sekali, dari mana-mana akan muncul bahaya yang mengancamnya. Kini muncul wanita cantik ini, yang biar pun kejam seperti iblis akan tetapi mempunyai ilmu kepandaian yang menakjubkan, sehingga orang seperti Phoa Sek It dibuat permainan, dan wanita ini mengambilnya sebagai murid. Serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

"Teecu (murid) senang sekali menjadi murid Subo (Ibu Guru)!"

Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci tertawa gembira. Ia menarik bangun muridnya, menggandeng tangan muridnya sambil meloncat ke atas sebuah di antara tiga perahu itu sambil berkata, "Mari kita kejar bocah she Yap itu!"

Perahu Kun Liong sudah memasuki sungai Huang-ho. Hatinya merasa tenteram karena sudah lama dia berlayar tetapi tidak ada yang tampak mengejarnya. Hari telah siang dan sinar matahari yang terik membuat seluruh tubuhnya berpeluh. Akan tetapi dia tidak mau berhenti dan terus melayarkan perahunya.

Pagi tadi ada empat orang yang ikut dengan perahunya dan untuk itu dia telah menerima sedikit uang dan makanan. Kini perutnya tidak lapar lagi dan sewaktu-waktu dia dapat berhenti untuk membeli makanan.

Menjelang sore, tampak dua orang di pinggir sungai yang memanggilnya. "Harap minggir! Kami hendak ikut menumpang!" Demikian teriakan laki-laki itu. Yang seorang lagi, wanita masih muda, berdiri di dekat laki-laki itu.

Kun Liong meminggirkan perahunya. Lumayan, pikirnya. Semakin banyak penghasilannya semakin baik pula karena melakukan perjalanan tanpa bekal sungguh berbahaya sekali, kadang-kadang dia menderita kelaparan. Lagi pula, melihat bahwa yang ingin menumpang di perahunya adalah sepasang suami isteri, dia merasa kasihan. Hari sangat panas dan amat tidak patut membiarkan seorang wanita kepanasan menanti perahu.

"Bisakah engkau mengantarkan kami ke kota Liok-ek-tung? Perahumu hendak ke sana, bukan?" tanya laki-laki itu dengan ramah.

Kun Liong hanya mengangguk. Dia tidak tahu di mana itu Liok-ek-tung, akan tetapi karena laki-laki itu menudingkan jari telunjuknya ke depan, berarti arah yang mereka tuju sama karena dia pun tidak mempunyai tujuan tertentu, asal menurutkan ke mana air Sungai Huang-ho mengalir!

"Silakan, Ji-wi naik," kata Kun Liong tanpa banyak komentar.

Laki-laki itu kelihatan galak. Wajahnya biasa saja, mungkin pedang yang tergantung pada punggungnya itulah yang membuat dia kelihatan galak. Akan tetapi isterinya, yang paling banyak berusia dua puluh tahun, sepuluh tahun lebih muda dari pada suaminya, amat cantik dengan pakaian sederhana namun tidak menyembunyikan bentuk tubuhnya yang bagus.

Sang suami dengan sikap penuh kasih sayang membantu isterinya melangkah naik ke dalam perahu. Setelah isterinya naik dan duduk di bangku perahu, barulah dia sendiri naik sambil membawa buntalan besar yang agaknya bekal pakaian mereka.

Setelah mereka duduk, Kun Liong menggerakkan dayungnya, hendak mendayung perahu ke tengah. Kini dia sudah mulai biasa mengemudikan perahu, sesudah beberapa kali dia terpaksa menjadi tukang perahu, sejak membantu para nelayan, sampai terpaksa harus melarikan perahu dua kali!

"Heeei, bung cilik gundul tukang perahu! Tunggu dulu, aku mau ikut!" Tiba-tiba terdengar teriakan dan Kun Liong menghentikan dayungnya, menoleh dan melihat seorang laki-laki berpakaian sastrawan naik ke atas perahunya.

Sekali pandang saja, dia merasa tidak suka kepada sastrawan muda itu, dan mungkin sekali rasa tidak suka ini timbul ketika mendengar sebutan ‘gundul’. Lagi pula, seorang sastrawan semestinya tahu aturan, tidak sekasar itu, apa lagi bila melihat bahwa di dalam perahu itu sudah ada seorang wanita yang menumpang.

Dia melihat bahwa sastrawan itu lebih muda dari pada orang yang membawa pedang. Usianya antara dua puluh lima dan tiga puluh tahun. Pakaiannya indah, dari kain halus, wajahnya tampan dengan kulit muka putih, sepasang matanya selalu bersinar-sinar. Akan tetapi mulut yang agak terlalu lebar dan selalu tersenyum itu menimbulkan rasa tidak suka di hati Kun Liong. Gerak senyum pada mulut lebar itu mengandung ejekan, bahkan terbayang kekejaman! Akan tetapi dia tidak peduli dan bertanya,

"Tuan hendak ke mana?"

"Ke mana saja perahumu menuju, heh-heh-heh!"

Kun Liong tak bertanya lagi, terus mendayung perahunya ke tengah dan memasang layar. Setelah perahunya meluncur, dia segera duduk memegang kemudi dan mengambil sikap seolah-olah tidak memperhatikan tiga orang penumpangnya itu.

Si Sastrawan itu sudah menghadapi suami-isteri yang duduk di atas papan, membungkuk dan mengangkat kedua tangan di depan dada, akan tetapi matanya mengerling tajam ke arah dada membusung yang tertutup pakaian sederhana wanita itu. "Harap Ji-wi (Kalian Berdua) sudi memaafkan saya kalau kehadiran saya mengganggu Ji-wi."

Dengan muka merah dan malu-malu wanita itu hanya menunduk, membiarkan suaminya yang menjawab. Dia tidak biasa berhadapan dengan laki-laki asing, apa lagi seorang pria muda dan tampan menarik seperti sastrawan ini!

"Ah, harap Kongcu jangan bersikap sungkan. Kita sama-sama hanya penumpang perahu ini. Kami suami-isteri hendak pergi ke Liok-ek-tung, tidak tahu Kongcu hendak pergi ke manakah?" Lelaki berpedang itu membalas penghormatan dan menjawab dengan suara ramah pula.

"Ah, saya hanya seorang pelancong, ke mana pun baik saja. Dan kalau perahu ini pergi ke Liok-ek-tung, ke sanalah saya pergi. Sungguh merupakan keuntungan dan kehormatan besar sekali bagi saya dapat bersama Ji-wi naik perahu. Sungguh menyenangkan sekali!"

Isteri itu mencuri pandang, mengangkat mata yang tadinya menunduk saja dan kebetulan siucai (sastrawan) itu pun mengerling ke arahnya sehingga dalam waktu satu dua detik, dua pasang mata itu bertemu pandang. Wanita itu semakin merah mukanya dan cepat melempar pandang ke bawah lagi, memandangi lantai perahu kemudian ke luar perahu, seolah-olah dia tertarik oleh bayangan ikan-ikan yang berenang di pinggir perahu, bibirnya yang tipis merah itu tersenyum-senyum dikulum.

"Kami yang merasa terhormat sekali dapat melakukan perjalanan bersama Kongcu," Si Suami berkata lagi. "Silakan duduk, Kongcu."

"Terima kasih." Sastrawan itu lantas mengambil tempat duduk di atas papan, berhadapan dengan suami isteri itu. "Congsu (Tuan) sungguh baik hati. Perkenalkan, saya Ouw Ciang Houw, tinggal di Nam-cu di selatan dan sekarang setelah selesai menempuh ujian dengan hasil baik, sebelum pulang, saya hendak melancong dulu."

"Ahh, kiranya seorang siucai (sastrawan lulus ujian), harap maafkan kalau kami berlaku kurang hormat, Ouw-siucai. Nama saya Gui Tiong, dan ini isteri saya. Kami tinggal di kota Liok-ek-tung dan di sana saya membuka perguruan silat."

Ouw-siucai membelalakkan matanya, kelihatan terkejut. "Wah, kiranya saya berhadapan dengan seorang ahli silat yang lihai dan menjadi guru! Maaf, maafkan saya, Gui-kauwsu (Guru Silat Hui)."

"Ahh..., Ouw-siucai terlalu merendah. Saya hanya membuka perguruan silat kecil-kecilan saja karena kebisaanku pun tidak seberapa. Pula, kata orang, sekarang ini kepandaian bun (sastra) lebih berharga dari pada bu (silat), dan gerakan sebatang pit (alat tulis) jauh lebih berbahaya dari pada gerakan sebatang pedang!"

Yang dimaksudkan dengan ucapan ini adalah bahwa kepandaian menulis lebih berbahaya dari pada pedang, karena dengan kepandaian menulis seorang dapat menjatuhkan fitnah yang lebih berbahaya dari pada serangan pedang, lagi pula kepandaian menulis dapat pula membawa orang kepada kedudukan yang lebih tinggi.

Ouw-siucai tertawa, sengaja dibuat-buat agar terdengar enak dan gagah, dan tentu saja ini dimaksudkan untuk mendatangkan kesan di hati wanita cantik yang duduk menunduk di depannya. "Ha-ha-ha, Gui-kauwsu bisa saja! Akan tetapi, mungkin benar juga kata-kata itu. Aku tidak memiliki kepandaian apa-apa kecuali sedikit coret-coret dan kesenanganku yang lain adalah bermain dadu dan minum arak"

"Wah, kesenangan itu cocok dengan kesenanganku. Sayang tidak ada dadu dan jika ada tentu kita berdua dapat melewatkan waktu dengan gembira sambil menunggu sampainya perahu ini ke Liok-ek-tung..."

"Jangan khawatir, Gui-kauwsu. Saya selalu membawa bekal!" Seperti orang main sulap saja, dari dalam saku jubahnya yang lebar siucai itu mengeluarkan seguci besar arak dan sebuah dadu dengan mangkoknya.

Melihat ini, guru silat itu tertawa bergelak dan dengan gembira mereka lalu bermain dadu. Mula-mula mereka bermain dengan taruhan minum arak, dan dalam hal ini, peruntungan mereka agaknya seimbang karena mereka yang menang menerima secawan arak hampir bergantian. Karena kemasukan arak, mereka berdua menjadi makin gembira dan sering kali terdengar suara mereka tertawa bergelak.

Isteri guru silat itu hanya menonton dan kadang-kadang dia pun ikut tersenyum sehingga tampak deretan giginya yang putih dan kadang-kadang juga tampak ujung lidah yang kecil merah. Beberapa kali dia bertemu pandang dengan Si Siucai, tadinya secara tak sengaja, akan tetapi lambat laun terjadi permainan mata di antara keduanya, sungguh pun nyonya muda itu bersikap malu-malu dan hal ini baru pertama kali dia lakukan selama hidupnya.

Kesempatan memang merupakan penggoda yang amat kuat dan berbahaya. Kalau tidak ada kesempatan seperti ini, agaknya sampai mati pun nyonya muda itu tidak ada pikiran untuk bermain mata dan bertukar senyum dengan seorang laki-laki muda!

Sekarang arak sudah habis, kegembiraan mereka berdua memuncak sehingga akhirnya, atas persetujuan berdua, mereka melanjutkan permainan dadu dengan taruhan uang! Kun Liong yang mengemudikan perahu hanya menonton dari jauh, dari ujung perahu dan dia pun terbawa oleh kegembiraan mereka berdua itu.

Akan tetapi setelah mereka berdua mempertaruhkan uang, dia mengerutkan alisnya dan diam-diam merasa tidak senang. Sekarang wajah kedua orang itu sungguh-sungguh dan tegang, tidak segembira tadi, dan bagaimana kalau seorang di antara mereka kalah dan kehabisan uang? Tentu tidak akan mampu membayar upah kepadanya!

Sesudah kini permainan dadu disertai taruhan uang, agaknya bintang peruntungan siucai itu lebih terang dan dia lebih sering menarik uang guru silat itu sampai-sampai Si Guru Silat kehabisan uang dari saku bajunya dan harus mengambil bekal dari buntalan pakaian. Sementara itu, sore telah mendatang dan sungai mulai sunyi karena perahu-perahu telah kembali ke pelabuhan masing-masing. Hanya ada tampak beberapa buah perahu nelayan agak jauh...
Selanjutnya,

Petualang Asmara Jilid 05

Petualang Asmara Jilid 05
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
KETIKA Kun Liong melihat ke depan, Matanya terbelalak dan mukanya menjadi agak pucat. Dia melihat betapa sungai memuntahkan airnya dari arah kiri hingga membanjir. Air yang masuk ke sungai itu berwarna coklat kemerahan, amat keruh.

Dia harus membawa perahunya ke pinggir. Akan tetapi terlambat! Arus sudah demikian kuatnya sehingga betapa pun dia mendayung perahunya agar minggir, perahu itu masih terseret ke dalam dan akhirnya disambar oleh air bah ketika sampai di tempat pertemuan antara anak sungai dan sungai itu.

Kun Liong berusaha mengatur keseimbangan perahunya. Tapi tenaga air yang menyeret perahunya terlalu besar, gelombang terlalu hebat dan dia lalu berteriak keras pada waktu perahunya terguling dan dia sendiri terlempar ke dalam air!

Kun Liong gelagapan, cepat dia menahan napas dan menggerakkan kakinya. Tubuhnya timbul ke permukaan air, melihat perahunya tadi sudah pecah, agaknya terbanting pada batu karang. Melihat sepotong papan pecahan perahu di dekatnya, Kun Liong segera menyambarnya dan berpegang erat-erat pada papan itu. Arus air bukan main derasnya, dan gelombang amat besar sehingga dia tidak dapat berdaya apa-apa kecuali bergantung pada papan yang membawanya hanyut cepat sekali.

Entah berapa lamanya dia hanyut itu, dia sendiri tidak ingat lagi. Akan tetapi setelah hari hampir senja, air sungai tidak sehebat tadi gelombangnya, sungguh pun arusnya masih kuat. Sudah hampir seharian dia hanyut!

Kun Liong berusaha untuk berenang ke pinggir sambil berpegang pada papan itu. Namun usahanya gagal. Arus masih terlalu kuat, apa lagi dibebani papan itu, tidak mungkin dia sanggup melawan arus berenang ke pinggir. Untung sedikit banyak dia dapat berenang, kalau tidak, tentu dia akan celaka!

Setelah tiba pada bagian yang airnya tidak bergelombang lagi, hanya arusnya masih agak kuat, Kun Liong segera mencari akal. Dia melepaskan papan yang dianggapnya sudah menyelamatkan nyawanya tadi, kemudian menyelam. Niatnya hendak berenang ke tepi sambil menyelam, tentu arus di bawah tidak sekuat di permukaan.

Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia sudah menyelam sampai ke dasar sungai, arus di bawah makin kuat! Dia terseret dan melihat benda putih di dekat kakinya, disangkanya batu karang maka cepat dia menangkap benda yang putih itu dan berpegang kuat-kuat. Akan tetapi, ‘batu karang’ itu jebol dan dia terbawa hanyut.

Dalam kepanikannya, dia masih merangkul batu itu sambil menendang-nendangkan dua kakinya sehingga tubuhnya mumbul lagi dan timbul di permukaan air. Dia gelagapan dan menyemburkan air dari mulut. Banyak juga air terminum olehnya tadi. Jika tidak tertolong, dia tentu tewas sekarang, pikirnya.

"Tolooonggg...!" Tanpa disadarinya lagi, dia berteriak dengan sekuat tenaga, kemudian menggerakkan kaki tangan agar tidak tenggelam, terpaksa membiarkan tubuhnya terseret dan hanyut. Masih tak disadarinya bahwa lengan kirinya tetap saja memeluk ‘batu karang’ putih tadi!

Dia hanyut memperhatikan ke sekeliling dan alangkah girangnya ketika tiba-tiba tampak sebuah perahu tak jauh dari situ.

"Pegang tali ini...!"

Dia mendengar ada orang berteriak dan melihat seorang laki-laki tua melempar tali sambil berdiri membungkuk di pinggir perahu. Seorang anak perempuan dengan mata terbelalak memandang dan agaknya anak itu khawatir sekali, dia berpegang pada ujung baju di belakang tubuh kakek tua, telunjuknya menuding ke arah Kun Liong yang sudah berhasil menyambar dan memegang tali dengan tangan kanannya.

Kakek itu memandang Kun Liong yang sedang berpegang pada tali dengan muka penuh keheranan, apa lagi ketika dia melihat benda yang berada dalam pelukan lengan kiri anak itu.

"Heiiii! Engkau ini bocah yang luar biasa sekali! Bagaimana engkau bisa berada di tengah sungai dan apa yang kau bawa itu?"

Hati Kun Liong mendongkol. Kakek yang luar biasa masih mengatakan dia yang luar biasa. Masa menolong orang, belum juga orangnya naik sudah menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan. Dan dia baru teringat bahwa batu dari dasar sungai tadi masih dipeluknya!

"Naikkan aku dulu, baru kita bicara!" katanya marah. "Dan batu ini..."

Tiba-tiba dia terbelalak dan tidak melanjutkan kata-katanya karena ketika dia melirik ke arah batu yang sudah hampir dilemparkannya itu, dia mendapat kenyataan bahwa batu itu sama sekali bukanlah batu, melainkan sebuah benda yang aneh, agaknya sebuah bokor atau tempat abu, terbuat dari benda mengkilap kuning dan dihias batu-batu putih yang berkilauan!

"Kakek yang baik, tolong naikkan aku dulu!" kembali dia berkata.

Tiba-tiba tubuhnya melayang ke atas dan sebuah tangan yang kuat menyambutnya dari udara dan dia diturunkan dengan tenang oleh kakek itu. Kiranya kakek itu bukan orang sembarangan! Dia tidak ditarik naik seperti biasa, melainkan dilontarkan ke atas dengan renggutan kuat sekali sehingga tubuhnya terlempar ke atas.

Mereka saling pandang penuh perhatian. Bagi Kun Liong, tidak ada apa-apa yang aneh pada diri kakek itu dan anak perempuan yang berdiri dengan matanya yang terbelalak itu.

Seorang kakek yang usianya tentu ada enam puluh tahun, tubuhnya tinggi tegap dan terlihat kuat. Pakaiannya sederhana sekali, bahkan membayangkan kemiskinan, seperti pakaian nelayan-nelayan miskin, tak bersepatu pula! Rambutnya sudah banyak putihnya, disatukan menjadi gelung kecil di atas kepala, jenggot dan kumisnya juga kelabu dan pendek, tidak terpelihara. Akan tetapi gerak-gerik kakek ini, dan caranya menaikkan Kun Liong ke perahu, jelas membuktikan bahwa kakek ini bukan seorang nelayan biasa.

Ada pun anak perempuan itu terlihat manis sekali, rambutnya hitam dan gemuk panjang, dikepang dua, akan tetapi angin membuat rambutnya awut-awutan menambah manis. Pakaiannya juga sederhana dan kakinya tidak bersepatu.

Kakek itu menggeleng-gelengkan kepala, seakan-akan masih tidak mau percaya dengan pandang matanya sendiri. "Heran... ajaib... engkau siapakah, Nak?"

"Namaku Yap Kun Liong, tadinya aku berperahu, perahuku pecah dan aku terguling ke dalam air, hanyut sampai hampir satu hari lamanya. Untung di tempat ini engkau dapat menyelamatkan aku, Kek. Siapakah engkau dan mengapa tidak takut berperahu di tempat berbahaya ini?"

"Aku Kakek Yo, orang menyebutku Yo-lokui (Setan Tua Yo) dan ini cucuku bernama Yo Bi Kiok."

"Kun Liong, Kong-kong (Kakek) memang tinggal di daerah ini dan sudah biasa berperahu, tidak aneh kalau kami berperahu di sini. Akan tetapi engkau, seorang diri berperahu di tempat ini yang ditakuti orang, telah hanyut sehari masih hidup dan membawa benda itu, benar-benar engkau seorang yang aneh sekali!"

"Bokor itu... dari mana engkau mendapatkannya?" Kakek itu bertanya sambil memandang kagum. Sekilas pandang saja dia sudah tahu bahwa benda itu terbuat dari emas murni dan hiasannya adalah batu-batu kemala putih yang amat berharga!

"Ah, ini? Aku menyelam untuk membebaskan diri dari gelombang dan arus, tapi malah terseret arus di bawah yang amat kuat. Aku berpegang pada batu karang dan ternyata batu itu adalah benda inilah. Aku sendiri tidak tahu benda apa ini, akan tetapi sungguh indah..."

"Coba aku melihat sebentar," kakek itu berkata.

Kun Liong menyerahkan benda itu dan selagi Yo-lokui memeriksa bokor itu, Kun Liong duduk di atas papan berhadapan dengan Bi Kiok, menatap wajah anak perempuan itu yang memandang kepadanya dengan mata lebar dan jeli bersinar-sinar dan bibir anak itu tersenyum. Hemmm...

"Bi Kiok, engkau manis sekali!" Kun Liong berkata dengan tulus.

Sepasang mata itu makin melebar, senyumnya makin manis dan Bi Kiok menjawab, "Kun Liong engkau... lucu sekali!"

Hati Kun Liong agak tersinggung. Dia dianggap apakah? Masa disebut lucu? Akan tetapi dia melanjutkan, "Engkau memang manis, terutama sekali rambutmu dan matamu."

"Dan engkau memang amat lucu, terutama sekali kepalamu."

Kedua pipi Kun Liong menjadi merah dan ingin dia menampar anak itu kalau tidak ingat bahwa anak itu adalah cucu Yo-lokui yang telah menyelamatkannya dan bahwa anak itu adalah seorang perempuan. Akan tetapi, disinggung kepalanya, dia lalu membuang muka dan cemberut, tidak lagi mempedulikan Bi Kiok dan kini memandang kakek yang agaknya menjadi arca memandang kepada bokor di kedua tangannya.

"Bagaimana, Kek? Berhargakah benda yang kutemukan itu?"

Kakek itu membalikkan tubuh memandang pada Kun Liong, mukanya berubah sungguh-sungguh, dan dia berkata dengan suara gemetar. "Berharga? Aihhh, anak baik. Engkau telah menemukan pusaka yang tak ternilai harganya!"

"Hemm... pusaka? Apa sih harganya benda kuno seperti itu? Hanya mengkilap dan bagus dipandang, akan tetapi tidak dapat mengenyangkan perutku."

"Ahhh, laparkah engkau, Kun Liong?" tiba-tiba Bi Kiok bertanya.

Kemarahannya terhadap anak itu masih mengganjal di dalam perutnya, maka cepat-cepat Kun Liong menggeleng kepalanya dan menjawab dingin, "Tidak!"

"Tadi kau bilang..."

"Bi Kiok, perlukah kau bertanya lagi? Dia hanyut di sungai selama sehari dan kau masih bertanya apakah dia lapar?" Kakek itu mencela cucunya dan diam-diam dia memandang Kun Liong penuh perhatian.

Maklumlah dia bahwa anak laki-laki ini bukanlah bocah sembarangan, bukan anak dusun yang bermain-main dengan perahu dan hanyut. Sikapnya jauh berbeda, dan kata-katanya menunjukkan bekas pendidikan orang pandai.

"Yap-kongcu, pakaianmu basah semua, engkau tentu sangat lelah dan lapar. Marilah ikut bersama kami. Ketua kami tentu akan gembira sekali kalau melihat bokor ini, dan akan memberimu apa saja sebagai penukarannya. Engkau telah menemukan harta yang tidak ternilai harganya dan yang sudah bertahun-tahun dicari oleh ketua kami."

Kun Liong mengerutkan alisnya. "Apakah sesungguhnya bokor ini, Kek? Apanya yang berharga?"

"Kalau hanya dinilai dari emas dan batu kemalanya saja, sudah cukup membuat orang kaya. Akan tetapi bukan itulah sebabnya. Lihat, Kongcu, lihat melalui celah tutupnya ini."

Kun Liong menerima bokor itu dan mengintai melalui celah penutup bokor yang terbuka sedikit. Dia melihat coret-coret seperti huruf-huruf dan goresan-goresan di sebelah dalam. Karena dari celah itu tidak mungkin melihat jelas, apa lagi membaca huruf-hurufnya, Kun Liong hendak membuka penutup bokor, ternyata tutup itu melekat kuat sekali seolah-olah menjadi satu dengan bokornya! Kakek itu cepat mencegah,

"Tidak mungkin dibuka oleh yang tidak mengetahui rahasianya, Yap-kongcu. Ketua kami tentu mengetahui rahasia untuk membukanya. Ketahuilah, kalau aku tak salah menduga, bokor inilah yang oleh ketua kami dicari-cari selama bertahun-tahun. Entah sudah berapa ratus kali kami bergantian menyelam dan mencari namun selalu tanpa hasil. Siapa kira, engkau yang tidak sengaja mencari, malah berhasil menemukannya. Benar-benar yang dinamakan jodoh tak dapat ditolak oleh manusia!"

Kakek itu lalu mendayung perahunya dan Kun Liong tidak berkeberatan diajak oleh kakek penolongnya itu. Akan tetapi ucapan kakek itu membuat dia duduk bengong memandangi bokor yang dipangkunya. Ahhh, tentu sebuah pusaka kuno yang amat langka, pikirnya.

"Kakek yang baik, apakah engkau tahu akan asal-usul bokor ini?"

Kakek itu menghela napas panjang sebelum menjawab. Sambil tetap mendayung perahu, dia kemudian berkata perlahan, "Yap-kongcu, keadaan ini sungguh-sungguh luar biasa anehnya. Selama bertahun-tahun kami semua menutup mulut dan bokor ini tidak pernah disebut-sebut, sungguh pun kami tak pernah berhenti mencarinya. Orang luar sama sekali tidak tahu akan bokor ini karena kami dilarang untuk menceritakannya kepada siapa saja dengan ancaman hukuman mati! Akan tetapi, karena engkaulah orang yang kebetulan menemukan bokor ini, agaknya engkau juga berhak untuk mengetahui riwayatnya. Tentu saja kalau dugaanku betul bahwa bokor inilah yang kami cari-cari selama ini. Yang dapat memastikan asli atau pun tidaknya hanyalah ketua kami, satu-satunya orang yang pernah melihat bokor ini."

Sejenak Kun Liong melupakan rasa dingin serta laparnya. Hatinya tertarik sekali karena dari kata-kata dan sikap kakek ini, dia dapat menduga bahwa tentu bokor ini mempunyai riwayat yang amat menarik. Pula, sikap dan kata-kata kakek itu mendatangkan rasa suka di hatinya terhadap kakek itu yang dia duga tentulah orang yang berwatak jujur dan baik.

"Bokor ini mula-mula dikenal orang ketika Panglima Besar The Hoo yang diangkat oleh Kaisar menjadi laksamana memimpin armada yang berlayar ke barat dan selatan belasan tahun yang lalu. Karena mengandung rahasia yang amat berharga, bokor ini lalu dijadikan rebutan orang-orang dunia persilatan yang memiliki kesaktian tinggi dan akhirnya lenyap. Laksamana The Hoo sendiri mengutus para pembantunya mencari, akan tetapi hasilnya kosong belaka. Menurut penuturan kepala kami, akhirnya bokor itu berhasil didapatkan oleh kepala kami yang menjadi seorang di antara anggota pengawal Laksamana The Hoo yang bertugas mencari bokor. Akan tetapi malang baginya, ketika dia membawa bokor itu dengan perahu melalui sungai ini, perahunya diserang banjir seperti yang baru kau alami, perahunya pecah dan bokor itu terjatuh ke dalam sungai. Demikianlah, ketua kami tidak berani melapor, takut menerima hukuman. Dia mengajak kami dan para anak buah untuk mencari bokor, sampai sekarang sudah berjalan lima enam tahun tanpa hasil, dan hari ini tahu-tahu engkau muncul dengan bokor di tangan, muncul dari dalam air! Bukankah hal itu amat ajaib dan mengejutkan sekali?"

Kun Liong memandang bokor di tangannya. "Rahasia apakah yang dikandung benda ini?" Dia mengintai lagi dari celah di bawah tutup, akan tetapi sesudah air yang membasahi sebelah dalam bokor mengering, huruf-huruf itu lenyap dan tidak tampak lagi.

Kakek itu menggeleng kepala. "Aku sendiri pun tidak tahu apa rahasianya, hanya yang pasti, rahasia itu amat berharga sehingga orang-orang seluruh kang-ouw saling berlomba mendapatkan bokor ini."

Tidak lama kemudian mereka mendarat di sebelah kiri sungai, di dalam sebuah hutan. Tampak beberapa orang laki-laki menyambut dan begitu mereka mendengar penuturan singkat dari Yo-lokui, mereka lantas berlari-lari dengan air muka berubah tegang. Sambil memondong bokornya dan tahu bahwa benda itu sangat dihargai sehingga dia merasa dirinya penting, Kun Liong mendarat dan mengikuti kakek Yo bersama cucunya. Dengan wajah berseri-seri Kun Liong melihat betapa ada belasan orang muncul dan mengiringkan mereka sambil berbisik-bisik dan mata semua orang itu memandang ke arah bokor di tangannya dengan penuh takjub.

Mereka memasuki sebuah rumah papan yang amat besar dan agaknya rumah itu adalah satu-satunya bangunan di tempat sunyi itu sehingga diam-diam Kun Liong menjadi heran sekali. Tempat itu sangat sunyi, hanya ada sebuah rumah besar dan tampak tiga buah perahu lainnya di pinggir sungai. Tak mungkin perkampungan nelayan hanya dihuni oleh belasan orang ini dengan sebuah rumah! Juga dia tidak melihat wanita atau anak-anak di tempat itu kecuali Bi Kiok, cucu kakek Yo! Tempat apakah ini?

Seorang laki-laki setengah tua yang gemuk menyambut mereka. Yo-lokui cepat memberi hormat kepada laki-laki gendut ini sambil berkata, "Saya membawa berita baik sekali untuk Phoa-sicu!"

"Ahh, aku sudah mendengar pelaporan orang-orang kita, Yo-twako. Inikah anak itu? Dan bokor itu... hemmm, harus diperiksa dulu asli atau tidaknya." Si Gendut itu tertawa-tawa ramah dan wajahnya berseri.

Akan tetapi ketika sepasang matanya memandang ke arah bokor, Kun Liong menangkap cahaya berkilat yang aneh dan kejam sehingga dia terkejut bukan main dan mengambil keputusan untuk bersikap waspada terhadap Si Gemuk yang mencurigakan ini. Lagi pula, dia benar-benar tidak mengerti apa hubungan Kakek Yo dengan Si Gendut, yang disebut Phoa-sicu (tuan yang gagah she Phoa) ini.

"Kakek Yo, siapakah dia ini?" tanyanya dan kelihatan ragu-ragu untuk memasuki rumah besar itu.

"Yap-kongcu, inilah ketua kami, Phoa Sek It Si Golok Maut yang amat terkenal di dunia kang-ouw," jawab Yo-lokui, kelihatan tidak enak menyaksikan sikap Kun Liong demikian kurang hormat terhadap ketuanya.

Akan tetapi Phoa Sek It tersenyum lebar dan membungkuk ke arah Kun Liong, berkata ramah, "Silakan, Yap-kongcu. Silakan masuk dan harap jangan khawatir. Kita berada di antara sahabat-sahabat sendiri dan kedatanganmu seperti kedatangan seorang malaikat pembawa berkah terhadap kami. Heii! Lekas carikan pakaian pengganti Yap-kongcu yang basah dan persiapkan hidangan panas untuk kita sekalian, juga bersihkan kamar untuk tempat tidur tamu kita!" Teriakan itu ditujukan kepada anak buahnya yang segera pergi melaksanakan perintah itu.

"Biarlah aku tidur bersama Kakek Yo saja, harap tidak perlu repot-repot, Paman Phoa," kata Kun Liong kepada Si Gendut itu.

Si Gendut mengangguk-angguk. "Terserah kepadamu, Yap-kongcu, sesuka hatimulah. Bolehkah aku melihat bokor itu?"

Kun Liong yang masih curiga, menoleh ke arah kakek itu dan kakek itu mengangguk kepadanya. Kun Liong menyerahkan bokor yang dipegangnya kepada Si Gendut yang menerimanya dengan mulut tersenyum lebar, akan tetapi kembali tampak oleh Kun Liong cahaya mata aneh yang menyeramkan menyorot keluar dari sepasang mata Si Gendut ketika dia menerima bokor.

"Yo-twako, harap suka melayani dan menjamu makan Yap-kongcu. Aku harus meneliti bokor ini dengan tenang di dalam kamar, untuk menentukan apakah benda ini asli atau bukan. Engkau tahu, sudah bertahun-tahun aku tak melihatnya sehingga aku hampir lupa lagi." Tanpa menanti jawaban, Si Gendut membawa bokor masuk ke dalam dan lenyap di ruangan dalam.

Yo-lokui, ditemani oleh cucunya dan para anggota rombongan itu, mengajak Kun Liong makan minum setelah memberinya serangkai pakaian yang lantas dipakai oleh Kun Liong sebagai pengganti pakaiannya yang basah kuyup. Mereka makan minum sambil ngobrol gembira dan kembali Kun Liong merasa heran karena masakan yang dihidangkan cukup mewah seperti masakan kota. Padahal tempat itu amat sunyi.

Dari mana mereka mendapatkan bumbu-bumbu yang lengkap ini? Mungkin membeli dari kota, pikirnya. Betapa pun juga, dia merasa makin terheran benar karena di tempat itu ternyata benar-benar hanya ada sebuah rumah ini yang dihuni bersama-sama sebanyak lima belas orang termasuk Kakek Yo beserta cucunya, sedangkan Si Gendut itu menjadi pimpinan mereka. Semua ini dia ketahui dari percakapan antara mereka.

"Mengapa Cuwi (Kalian) tinggal di tempat yang amat sunyi ini, tinggal serumah dan tidak mempunyai keluarga?" Ia mengajukan pertanyaan sambil memandang ke arah sekeliling.

Orang-orang itu terdiam, tidak dapat menjawab. Yo-lokui yang duduk di sebelah kanannya segera menjawab,

"Kami memang tidak memiliki keluarga, dan tanpa keluarga, perlu apa membuat rumah sendiri-sendiri? Satu-satunya keluarga hanyalah cucuku ini yang sudah yatim piatu pula."

"Akan tetapi pekerjaan Cuwi sebenarnya apakah?"

"Aihhh, perlukah kau bertanya lagi, Kongcu? Kami adalah nelayan-nelayan dan... seperti telah kau ketahui, di samping mencari ikan, kami pun berusaha mencari bokor itu..."

Tiba-tiba kakek Yo menghentikan kata-katanya, karena tanpa mereka ketahui, Phoa Sek It yang gemuk itu telah berdiri di pintu dan memandang ke arah Kakek Yo dengan mata mengandung sinar menakutkan! Di dalam pandangan itu sudah tercurah semua teguran ketua ini, maka Kakek Yo cepat berkata dengan suara gugup,
"Phoa-sicu, saya rasa sebagai penemu benda itu, dia berhak untuk..."

"Cukup! Kalau sudah selesai makan, kalian tidurlah dulu. Aku sedang sibuk mengadakan penelitian, tak suka diganggu suara-suara ribut!" kata Si Gendut yang kembali menghilang ke dalam.

Suasana menjadi hening seketika, dan agaknya semua orang merasa takut bukan main terhadap Sang Ketua itu. Kembali Kun Liong merasa heran dan tidak senang. Dia melihat betapa semua orang mulai menyingkirkan sisa-sisa makanan tanpa banyak cakap lagi dan mulai mengundurkan diri.

"Yap-kongcu, marilah kita mengaso ke kamarku," berkata Kakek Yo sambil menyentuh tangan Kun Liong.

Anak itu mengerutkan alisnya dan membantah perlahan, "Kakek Yo, aku minta supaya bokor tadi dikembalikan dulu kepadaku."

Kakek itu kelihatan terkejut dan khawatir, memegang tangan anak itu sambil berkata lirih, "Benda itu sedang diteliti oleh ketua kami, Kongcu. Percayalah, besok tentu akan ditukar dengan benda-benda berharga lain. Jangan kau khawatir, aku yang menanggung bahwa benda itu tidak akan hilang."

Mendengar ini, terpaksa Kun Liong menurut. Dia memandang kepada Bi Kiok dan timbul rasa kasihan di hatinya. Anak ini tinggal tanpa kawan di antara orang-orang ini! Bi Kiok juga memandang kepadanya dengan matanya yang lebar dan jernih. Seketika lenyaplah kemarahan Kun Liong terhadap anak perempuan itu dan digandengnya tangan Bi Kiok. Gadis cilik itu tersenyum dan kelihatan girang sekali pada saat mereka berdua mengikuti Yo-lokui masuk ke dalam sebuah kamar di bagian belakang rumah itu.

Kamar itu cukup bersih, akan tetapi amat sederhana dan baunya tidak enak, amis karena di sudut-sudut kamar itu terdapat keranjang-keranjang, jala, peti-peti, dayung dan lain-lain perlengkapan mencari ikan. Agaknya keranjang-keranjang kosong bekas ikan itulah yang bau amis. Akan tetapi karena sudah biasa, Bi Kiok dan Yo-lokui tidak terganggu oleh bau ini, berbeda dengan Kun Liong yang begitu masuk kamar, cuping hidungnya berkembang-kempis diserang bau amis.

Di sudut kamar itu terdapat sebuah pembaringan yang dikerudung tirai tua, dan di situlah Bi Kiok tidur. Sedangkan Kakek Yo sendiri tidur di sebuah pembaringan yang terbuat dari bambu, beralaskan tikar, berbeda dengan pembaringan Bi Kiok yang diberi kasur tipis dari daun kering.

"Pakailah pembaringan Bi Kiok, biarlah dia sementara tidur bersamaku, Yap-kongcu," kata kakek itu.

"Ahh, tidak, Kek. Aku tidak mau mengganggu Adik Bi Kiok."

"Tidak apa, Kun Liong..."

"Ihh, jangan kurang ajar engkau, Bi Kiok. Sebut dia Yap-kongcu!" kakeknya menghardik.

"Aaahhh, biarlah, Kakek Yo. Aku pun tak ingin disebut kongcu."

"Setidaknya dia lebih tua dari pada kau, Bi Kiok."

"Kalau begitu biarlah aku menyebutnya twako (kakak), bolehkah Kongkong?"

"Aaahh, tentang sebutan, mengapa repot-repot benar? Tentu saja kau boleh menyebutku apa saja, Bi Kiok."

"Kalau begitu, aku seperti adikmu sendiri, Liong-twako (Kakak Liong). Maka, jangan kau sungkan-sungkan, pakailah pembaringanku. Aku tidur bersama Kongkong, dan memang kadang-kadang aku mengungsi ke pembaringan Kongkong kalau aku takut."

"Takut? Takut apa?" Kun Liong bertanya.

"Hi-hi-hik, kadang-kadang aku takut pada... pada setan. Apa lagi sehabis diceritakan oleh Kongkong tentang siluman dan iblis."

Kakek beserta cucunya itu tertawa sehingga Kun Liong juga ikut tertawa. Berada di antara kakek dan cucunya ini, mendengarkan kata-kata Bi Kiok yang lucu dengan suaranya yang merdu, maka lenyaplah segala ketegangan dan kekhawatiran yang tadi timbul di ruangan tengah ketika Sang Ketua muncul tadi.

"Biarlah aku tidur bersama kakekmu, Bi Kiok. Kau tidurlah di pembaringanmu sendiri. Aku tidak malu atau sungkan, melainkan aku masih ingin bercakap-cakap dengan Kakek Yo."

Akhirnya Kun Liong berbaring di dekat kakek itu dan tak lama kemudian sudah terdengar pernapasan yang panjang halus dari Bi Kiok, anak itu telah tidur pulas.

"Kasihan sekali cucumu itu, Kek. Mengapa kau ajak dia hidup di tempat seperti ini?" Kun Liong berbisik, menegur Kakek di sebelahnya itu.

Yo-lokui menghela napas paniang, "Ya, memang kasihan sekali dia. Akan tetapi, aku tak dapat berbuat lain, Kongcu. Karena terpaksalah maka aku membawanya hidup tempat ini. Akan tetapi tidak lama lagi. Benda itu telah ditemukan, selain kau akan menerima hadiah besar, juga kami akan mendapat bagian sehingga aku dapat mengajak Bi Kiok pindah ke kota besar, hidup cukup dan seperti manusia lumrah, tidak seperti sekarang ini." Kembali kakek itu menarik napas panjang penuh harapan.

"Mengapa engkau terpaksa harus mengajaknya hidup di tempat ini, Kek? Dan siapakah sebetulnya Phoa Sek It itu? Kulihat dia bukan manusia baik-baik..."

"Ssstt... perlahan bicara dan berhati-hatilah. Dengarkan baik-baik, saya akan menuturkan segalanya kepadamu, akan tetapi hanya dengan bisik-bisik. Saya melihat engkau bukan anak biasa, Kongcu. Biar pun aku telah menyelamatkanmu tanpa sengaja dan hal itu tak perlu kuingat-ingat lagi, akan tetapi besar sekali harapanku bahwa kelak engkau akan dapat membantuku mengawasi cucuku, kalau aku sudah tidak ada lagi..."

Kun Liong mengangguk dan mulailah kakek itu bercerita dengan berbisik-bisik. Ternyata bahwa kakek itu bersama putera dan mantunya adalah bekas bajak-bajak sungai yang telah dibasmi oleh pasukan pemerintah setelah perang saudara berakhir dan Kaisar Yung Lo memegang tampuk pemerintahan Kerajaan Beng-tiauw. Putera dan mantunya tewas dalam perlawanan dan dia sendiri dalam keadaan luka-luka berhasil melarikan diri sambil membawa cucunya, Yo Bi Kiok yang waktu itu baru berusia tiga tahun.

Sebagai seorang pelarian dia terpaksa mengajak cucunya untuk hidup secara sembunyi-sembunyi. Keadaannya yang miskin itu tentu akan menimbulkan kecurigaan orang, tidak demikian kiranya kalau kakek ini memiliki banyak uang, tentu dia akan berani mengajak cucunya ke kota dan tinggal di kota seperti keluarga baik-baik.

Dalam perantauannya inilah dia bertemu dengan Phoa Sek It! Orang gendut ini memiliki kepandaian lihai sekali dan perkenalan mereka pun sangat luar biasa, karena Kakek Yo berusaha merampok Si Gemuk ini dan dia bahkan dikalahkan, ditaklukkan dan dijadikan pembantu oleh Phoa Sek It yang berjuluk Golok Maut.

Si Gemuk ini adalah salah seorang bekas anggota pasukan pengawal yang mengiringkan Laksamana The Hoo. Pada saat mendapat kesempatan, Phoa Sek It yang menyeleweng karena ingin menjadi seorang kaya raya ini, mencuri dan membawa lari bokor emas yang mengandung rahasia penyimpanan harta pusaka terpendam yang tak ternilai harganya!

Tidak ada orang yang tahu, juga Laksamana The Hoo sendiri tidak mengira, bahwa dialah orangnya yang mencuri dan membawa lari bokor. Dunia persilatan geger karena memang bokor itu sudah terkenal sekali, bahkan ada pula tokoh-tokoh penjahat sakti yang berani mencoba untuk mencari bokor, akan tetapi mereka kesemuanya gagal, bahkan ada juga yang tewas di tangan pengawal-pengawal dan para pembantu Laksamana The Hoo yang berilmu tinggi.

Phoa Sek It melarikan diri dan karena takut dikejar, dia menggunakan perahu memasuki sungai yang berbahaya itu, mengandalkan kepandaiannya mengemudikan perahu. Akan tetapi, banjir menyerang perahunya sehingga terguling, bokornya hilang dan Phoa Sek It menjadi bingung.

Sesudah berbulan-bulan mencari dan menyelam di sekitar tempat itu tanpa hasil, dia lalu mengambil keputusan untuk mencari anak buah dan pada waktu itulah dia dirampok oleh Yo-lokui yang kemudian dijadikan pembantunya. Mereka berdua berhasil mengumpulkan bekas bajak-bajak sungai, tiga belas orang jumlahnya dan semenjak itulah, lima belas orang itu tinggal di tempat tersembunyi, menyambung hidupnya dengan menangkap ikan atau kadang-kadang juga membajak ke Sungai Huang-ho.

"Selama bertahun-tahun kami terus mencari bokor itu. Karena janji-janji yang muluk dari Phoa-sicu, maka kami terus bertahan dan sekarang bokor sudah ditemukan, berarti akan berakhirlah penderitaan kami. Aku telah dijanjikan pembagian yang cukup untuk kumakan selama hidup bersama cucuku. Kami akan pindah ke kota!" Kakek itu menutup ceritanya dengan wajah yang keriput itu berseri penuh harapan dan kebahagiaan untuk cucunya.

"Mudah-mudahan saja engkau dan Bi Kiok akan berhasil dan bahagia, Kek," Kun Liong berkata.

Akan tetapi kakek itu sudah mulai mendengkur. Agaknya dia lelah bercerita dan harapan yang amat baik membuat hatinya lega dan puas sehingga mudah dia jatuh pulas.

Sebaliknya Kun Liong tidak dapat tidur, gelisah bergulingan di atas pembaringan. Dengkur kakek itu sangat mengganggunya. Apa lagi hawanya panas di dalam kamar itu, ditambah pula bau amis keranjang bekas ikan, membuatnya semakin gelisah.

Akhirnya dengan perlahan supaya jangan mengagetkan kakek dan cucunya itu, dia turun dari atas pembaringan, dengan maksud untuk keluar dari rumah itu mencari hawa segar di tepi sungai. Akan tetapi baru saja dia sampai di pintu kamar, lapat-lapat dia mendengar suara orang mengeluh dari kamar di depan, kemudian tampak bayangan yang berkelebat keluar dari kamar itu, bayangan seorang yang mukanya ditutup oleh kain hitam mulai dari bawah mata, terus ke bawah dan tangannya membawa sebatang golok yang berlepotan darah!

Melihat betapa bayangan itu berkelebat lari ke arah kamar Kakek Yo, Kun Liong cepat meloncat ke dalam dan keadaan yang tiba-tiba itu membuat dia tidak sempat berpikir lagi, terus saja dia membuka tutup peti bundar, memasukinya kemudian menutup kembali dari dalam!

Setelah mendekam di dalam peti teringat olehnya bahwa seharusnya dia membangunkan Kakek Yo lebih dahulu. Akan tetapi baru saja dia mau membuka tutup peti, pintu kamar terbuka, bayangan hitam berkelebat masuk dan dari bentuk tubuh yang gendut itu Kun Liong dapat menduga bahwa itu tentulah Phoa Sek It. Dia hendak berteriak mengagetkan dan membangunkan Yo-lokui, namun terlambat!

Orang berkedok itu telah melompat ke dekat pembaringan Kakek Yo, lalu menggerakkan golok besar dengan kedua tangan dan... Kun Liong merasa kepalanya pening dan hampir pingsan ketika melihat darah muncrat dari perut Kakek Yo yang dihujam golok. Kakek itu tampak terkejut kaku, terbelalak dan seperti hendak bangkit, tetapi kembali golok terayun dan kali ini membacok leher sehingga hampir putus.

Cepat seperti ketika masuk, bayangan hitam itu sudah melompat dan menyingkap tirai, melihat Bi Kiok yang menjadi kaget dan bingung lalu menoleh ke kanan kiri mencari-cari. Agaknya dia mencari Kun Liong, lalu mendengus marah dan menyambar lengan tangan Bi Kiok.

"Aihhh..., lepaskan aku...! Kongkong...!" Bi Kiok menjerit-jerit, akan tetapi orang gendut berkedok itu telah membawanya lari keluar.

Kun Liong cepat keluar dari peti. Melihat kakek itu sudah tewas dalam keadaan sangat mengerikan, dia cepat menyelinap keluar. Terdengar suara gaduh dan teriakan-teriakan di kamar-kamar lain seperti suara orang berkelahi.

Kun Liong cepat berlari keluar menuju ke sungai. Tanpa banyak pikir lagi karena maklum bahwa kalau Phoa Sek It melihatnya tentu dia akan dibunuh, dia meloncat ke atas sebuah perahu, melepas tali ikatan dan mendayung perahu ke tengah, mendayung sekuat tenaga mengikuti aliran sungai.

Untung baginya bahwa bagian berbahaya dari sungai ini sudah lewat, yaitu bagian yang dilewatinya ketika sehari lamanya dia hanyut kemarin. Air di bagian ini cukup dalam dan tidak begitu deras arusnya sehingga dia dapat menguasai perahunya. Ketika hatinya telah merasa lega dan aman karena tidak melihat adanya orang mengejarnya, Kun Liong yang merasa betapa kedua lengannya kaku dan lelah karena tadi mendayung sekuat tenaga, mengatur tempat duduk yang lebih enak dan mendayung perahunya agak di pinggir agar aman.

Pada saat dia pindah tempat duduk inilah kakinya menyentuh sesuatu. Karena gelap, dia tidak dapat melihat benda apa itu, maka dia mengambil dan mengangkatnya. Hampir dia tertawa bergelak dan membayangkan betapa lucu wajah Si Gendut nanti. Kiranya benda itu adalah bokor emas!

Dia mulai dapat menduga apa yang terjadi. Karena ingin memiliki bokor itu sendiri tanpa membagi-bagi kepada anak buahnya, timbullah pikiran jahat di dalam hati Si Gemuk itu. Karena dia memang lihai, maka dia melakukan pembunuhan-pembunuhan dan bokor itu sudah disembunyikannya ke dalam perahu ini. Agaknya, kalau sudah selesai membunuh semua bekas anak buahnya, Si Gendut itu akan melarikan diri dengan perahu ini.

Siapa sangka, dia mendahuluinya dan tanpa disengaja, kembali bokor terjatuh ke dalam tangannya! Ingin dia mentertawakan Si Gendut, akan tetapi teringat akan nasib Kakek Yo, dan akan nasib Bi Kiok, alis Kun Liong pun berkerut dan dia merasa kasihan sekali. Akan tetapi, apa yang dapat dia lakukan?

Memang tepat dugaan Kun liong, orang gemuk bertopeng itu bukan lain adalah Phoa Sek It. Begitu melihat bokor emas itu, Phoa Sek It segera mengenalnya sebagai bokor pusaka milik bekas atasannya, Laksamana The Hoo, benda berharga yang menjadi rebutan, yang dahulu berhasil dia curi dan larikan kemudian lenyap di sungai ketika perahunya terguling diterjang air bah.

Begitu melihat benda itu, timbul sudah kemurkaannya, timbul niat jahat untuk membunuh semua pembantunya termasuk anak yang datang membawa bokor itu. Mereka itu harus dibunuhnya karena dia tak ingin kehilangan sebagian dari harta benda untuk menghadiahi mereka.

Akan tetapi terutama sekali karena mereka sudah tahu akan rahasia bokor itu. Apa bila mereka tidak dibunuh kemudian rahasia itu sampai tersiar, tentu dia akan menjadi buruan orang-orang sakti sedunia kang-ouw dan yang lebih mengerikan lagi, tentulah Laksamana The Hoo yang banyak dibantu orang-orang sakti itu akan mencari, lalu menemukan, dan menghukumnya.

Tadi Phoa Sek It telah berhasil membunuh Kakek Yo-lokui selagi kakek ini tidur sehingga satu-satunya orang yang dapat melakukan perlawanan itu dibunuhnya secara mudah, dan ketiga belas orang pembantu lainnya dengan mudah saja menjadi korban goloknya tanpa mereka dapat memberi perlawanan yang berarti.

Akan tetapi ketika melihat Bi Kiok, dia tidak membunuhnya. Bukan karena dia tidak tega atau hatinya menaruh iba melihat anak perempuan itu, melainkan karena timbul birahinya kalau dia membayangkan betapa Bi Kiok beberapa tahun lagi akan menjadi seorang dara yang amat cantik jelita. Karena inilah dia tidak membunuh Bi Kiok!

Dapat dibayangkan betapa takut, duka dan ngeri rasa hati anak perempuan itu ketika dia melihat kongkong-nya sudah tewas dalam keadaan sangat mengerikan, dan betapa orang bertopeng yang dia tahu adalah Phoa Sek It, orang yang selama dia tinggal di situ paling dia takuti, sambil menggandengnya membunuh paman-paman yang lain hingga bajunya sendiri terkena percikan darah yang muncrat dari tubuh setiap orang korban.

"Lepaskan aku...! Lepaskan...! Kongkong...!" Dia menjerit-jerit sampai suaranya menjadi parau.

"Diam! Anak bodoh! Engkau sudah beruntung sekali tidak kubunuh, tahu? Apakah minta kubunuh juga?" Dia mendekatkan golok yang berlepotan darah ke depan muka Bi Kiok hingga anak itu terbelalak dengan muka pucat, hampir pingsan ketika hidungnya mencium bau darah yang memuakkan.

"Katakan di mana adanya bocah iblis gundul itu?"

Bi Kiok menggelengkan kepala dan menelan ludah karena sukar sekali dia mengeluarkan suara, lehernya seperti tercekik dan mulutnya tiba-tiba menjadi kering saking takutnya.

"Ti... tidak tahu...," akhirnya dapat juga dia bersuara.

"Bukankah dia juga tidur di kamar kakekmu?" kembali Si Gemuk menghardik dan kini dia merenggut penutup mukanya. Semua pembantunya sudah dibunuhnya sehingga dia tidak perlu lagi menyembunyikan muka.

"Aku tidak tahu... tadi dia masih bercakap-cakap dengan Kongkong... uhu-hu-huuu... !" Bi Kiok menangis lagi, teringat akan kakeknya yang telah tewas.

"Diam! Kalau kau menangis terus dan kesabaranku habis, golok ini akan minum darahmu! Hayo kita pergi!"

"Tidak mau... hu-hu-huhhh... tidak mau...!"

"Plakkk!"

Pipi anak perempuan itu ditampar sehingga tubuhnya terguling ke atas lantai. "Engkau hendak membandel, ya? Baik, lebih baik begitu, kau mampus sekalian supaya kelak tidak merepotkan. Akan tetapi sebelum mati, sayang kalau dibunuh begitu saja. Engkau masih kecil, akan tetapi sudah manis sekali!"

Laksana seekor harimau yang buas menubruk seekor anak domba yang ketakutan, Phoa Sek It menubruk Bi Kiok, tangannya merenggut, terdengar kain terkoyak ketika dengan penuh nafsu binatang buas dia merenggut pakaian gadis cilik itu.

"Breetttt...! Aihhhh... tolong...!" Bi Kiok menjerit, tidak mengerti bahaya apa yang sedang mengancam dirinya, hanya mengira bahwa Phoa Sek it tentu hendak membunuhnya.

"Babi gendut memuakkan! Plakkk!"

Phoa Sek It terkejut bukan main. Pundaknya terasa seperti akan remuk ketika menerima sebuah tamparan yang datangnya tiba-tiba dan tak mungkin dapat dielakkannya tadi, apa lagi karena dia sedang diamuk nafsu. Ketika dia menyambar golok yang tadi diletakkan di atas tanah ketika ia hendak memperkosa gadis cilik itu, melompat sambil membacokkan golok dengan tubuh diputar, dia melihat seorang wanita berdiri dengan sikap tenang.

Wanita itu pakaiannya amat indah dan bersih. Rambutnya yang panjang tersisir rapi dan digelung seperti model puteri bangsawan, di punggungnya tampak sebatang pedang yang panjang melengkung dan aneh, tubuhnya kecil pendek dan meski pun usianya sudah tiga puluh tahun lebih, akan tetapi masih kelihatan cantik menarik, dan kerling matanya serta senyumnya kelihatan genit sekali. Dia berdiri memandang Phoa Sek It sambil mengerling dan tersenyum-senyum!

"Iblis betina!" Phoa Sek It membentak marah. "Siapakah engkau berani main gila dengan Golok Maut?"

"Babi kotor, anjing hina yang hendak memperkosa anak kecil! Aku tahu engkau Phoa Sek It bekas pengawal Laksamana The Hoo! Sudah lama kuawasi engkau dan setelah malam ini kau membunuhi anak buahmu, tentu engkau telah menemukan bokor itu! Hayo cepat keluarkan bokor itu dan serahkan kepada Nona Bu!"

Seketika pucat wajah Phoa Sek It mendengar ucapan itu. Bukan hanya rahasianya telah bocor, bahkan wanita ini adalah orang yang tak pernah disangka-sangkanya akan pernah berhadapan dengan dia.

"...kau... kau... Siang-tok Mo-li...?"

Wanita itu menjebikan bibirnya yang merah segar dengan lagak genit sekali, kemudian mengulur tangan kiri minta bokor tanpa bicara lagi. Tentu saja Phoa Sek It terkejut dan merasa ngeri karena wamta cantik yang biasanya menyebut dirinya sendiri ‘Nona Bu’ ini bukan lain adalah Bu Leng Ci yang berjuluk Siang-tok Mo-li (Iblis Betina Racun Wangi), yang pada waktu itu merupakan datuk ke lima di dunia persilatan, sangat terkenal bukan hanya karena kesaktiannya saja, akan tetapi juga karena banyak sepak terjangnya yang menggegerkan dan kekejamannya terhadap lawan-lawannya!

"Aku... ehh, siauwte... tidak tahu tentang bokor... harap Nona yang sakti mengampuni..." Phoa Sek It berkata dengan suara gemetar, namun sepasang matanya bergerak-gerak mencari akal. Meski pun nama perempuan ini menggegerkan dunia kang-ouw, akan tetapi dia belum begitu percaya apakah seorang wanita yang cantik dan terlihat lemah ini tidak dapat dilawannya.

"Bohong! Lekas serahkan!" Wanita itu melangkah maju sehingga kini berdiri dekat sekali, dan lengan kirinya masih diulurkannya ke depan untuk menerima bokor yang agaknya dia merasa yakin pasti akan diserahkan oleh Phoa Sek It kepadanya.

Karena dia sudah mendengar akan keganasan dan kekejaman wanita iblis ini, Phoa Sek It yang sejak tadi sudah siap, begitu tangan wanita itu berada dekat sekali sehingga tidak mungkin menghindar lagi, secepat kilat dia menyabetkan golok besarnya ke arah lengan yang terulur itu!

"Siuuuuttt...!" Golok lenyap berubah menjadi sinar saking cepat gerakannya.

"Capppp!"

Mata Phoa Sek It terbelalak. Dia merasa seperti dalam mimpi dan dia memandang tak percaya, biar pun dia sudah melotot dan melihat jelas betapa jari tangan yang halus kecil dengan kuku meruncing terpelihara bagus itu ‘menjemput’ goloknya tadi dan kini jari-jari tangan itu menangkap mata goloknya seperti lagak seorang dara jelita menangkap seekor kupu-kupu pada sayapnya!

Dengan hati penuh rasa tak percaya sehingga perasaan ini mengalahkan kegentarannya, Phoa Sek It mengerahkan tenaganya menarik untuk membetot lepas goloknya dari jepitan jari-jari tangan yang kecil mungil itu.

"Hemmm...!" Suara ini keluar sebagai ejekan dari tenggorokan wanita itu dan mendadak terdengar suara.

"Krekkkk!" dan golok itu telah diremasnya patah-patah menjadi tiga potong!

Phoa Sek It menjadi bengong, kemudian dia bergidik, bulu tengkuknya berdiri dan dia pun mengeluarkan suara bagai keluhan penuh rasa gentar dan ngeri, kemudian membalikkan tubuhnya dan melarikan diri seperti seorang anak kecil takut melihat bayangan setan.

"Wuuuuttt...! Krekkk....!"

Tubuh Phoa Sek It yang gendut dan sedang melarikan diri itu tiba-tiba saja gerakannya terhenti dan matanya mendelik karena mendadak dia tidak dapat bernapas lagi, lehernya terasa tercekik. Ketika dia meraba lehernya, ternyata lehernya telah terlibat benda yang lemas sekali. Tiba-tiba ada tenaga raksasa yang menarik tubuhnya ke belakang, tanpa dapat dilawannya hingga akhirnya dia terbanting ke belakang, terjengkang ke depan kaki wanita itu.

Ketika dia sempat melihat, ternyata rambut wanita ini sudah terurai lepas, panjang halus dan harum, dan rambut itulah yang tadi menangkapnya dengan membelit lehernya. Tanpa menggunakan kaki tangan, hanya menggunakan rambutnya yang halus panjang itu saja, Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci telah berhasil merobohkannya! Seketika lenyaplah nyali Phoa Sek It dan dia merangkak, berlutut di depan kedua kaki yang kecil dan bersepatu baru itu.

"Ampunkan nyawa hamba...," suaranya seperti orang merengek dan menangis.

"Crottt! Augghhh...!"

Phoa Sek It mendekam dan tubuhnya menggigil saking nyerinya. Pundak kanannya telah berlubang dengan tulang pundak remuk ketika wanita ltu mempergunakan jari telunjuknya menusuk pundak itu. Jari yang tadi meremas patah golok itu kini dengan mudah sekali menembus kulit daging, bahkan meremukkan tulang pundaknya!

"Katakan di mana bokor itu dan cepat serahkan kepadaku!" Kembali Bu Leng Ci berkata, suaranya masih merdu dan kerling mata serta senyumnya masih genit, tapi justru itulah yang membuat dia amat menyeramkan.

Sungguh pun diancam maut, akan tetapi tentu saja tidak mudah buat Phoa Sek It untuk melepaskan bokornya. Bertahun-tahun dia dengan susah payah mencari benda pusaka itu dan bahkan sampai saat ini pun kiranya belum dapat ia temukan kalau tidak kebetulan bocah gundul itu datang membawa pusaka itu. Mana mungkin sekarang diberikan begitu saja kepada wanita iblis ini?

"Ham... hamba... tidak tahu..."

"Adduuuhhh... am... ampuuuunnnn...!" jerit yang keluar dari mulut Phoa Sek It terdengar mengerikan sekali, melengking atau melolong bagaikan serigala menangis dan rasa nyeri yang dideritanya ini membuat dia hampir tidak kuat bertahan.

Dengan masih tersenyum wanita iblis itu sudah menggerakkan jari tangannya yang amat kuat. Sebelum Si Gendut tahu apa yang terjadi, tahu-tahu jari tangan itu dengan kukunya yang runcing sudah mencubit dan merobek kulit kepalanya bagian pelipis, terus merobek ke atas sehingga kulit kepalanya dari pelipis ke atas, sepanjang sepuluh senti, terkupas dari kepala.

Bukan main hebat kenyerian yang dideritanya, sulit dilukiskan, perih dan panas, kiut-miut rasanya sampai ke jantung yang seperti ditusuk-tusuk, isi kepala seperti diremas-remas, seluruh tubuhnya menggigil.

Dengan kedua mata terbelalak dan muka pucat sekali penuh kengerian, Bi Kiok melihat siksaan ini. Sambil memegangi bajunya yang koyak-koyak menutupi tubuh bagian depan yang terbuka, gadis cilik itu melihat Phoa Sek It. Segera lenyaplah segala kebenciannya terhadap orang gendut itu. Lupa lagi dia betapa Si Gendut itu telah membunuh kakeknya secara keji dan biadab, betapa semua pembantunya telah dibunuh pula, dan betapa tadi Phoa Sek It akan membunuhnya juga. Dia lupa akan semua itu, kebenciannya berubah menjadi perasaan tidak tega dan kasihan menyaksikan Si Gendut itu mengalami siksaan yang mengerikan itu.

"Paman Phoa Sek It, mengapa kau tidak mengaku? Engkau telah membunuh Kakek dan semua pembantumu, engkau telah menyembunyikan bokor itu. Katakan saja di mana!" Bi Kiok berkata.

Mendengar ini, Phoa Sek It terkejut dan dia masih sempat memandang ke arah Bi Kiok dengan mata mendelik penuh kemarahan, dan saking marahnya dia sampai lupa diri dan keadaan, bahkan dia memaki, "Anjing kecil, tutup mulutmu...!"

Akan tetapi kembali dia meraung karena jari-jari tangan yang seperti ujung-ujung pisau runcing itu telah mencengkeram dadanya, menghujam ke dalam kulit daging, akan tetapi gerakan itu tidak dilanjutkan dan terdengar suara wanita itu,

"Di mana bokor itu?"
"Di... dalam perahu... di tepi sungai..." Kata-katanya disusul suaranya melengking, lantas tubuhnya berkelojotan.

Bi Kiok menutupi muka dengan kedua tangannya. Terlampau hebat dan mengerikan apa yang dia lihat dan saksikan itu. Wanita itu menggerakkan tangannya yang mencengkeram sehingga lima jari tangan itu berikut lengannya telah memasuki rongga dada Phoa Sek It, kemudian setelah tangan dicabut kembali, jari-jari tangan itu telah menggenggam sebuah benda merah yang berlepotan darah dan terus benda itu dimakannya!

Itulah jantung yang masih hangat dan agak bergerak menggelepar, yang dicabutnya dari dalam rongga dada Phoa Sek It. Dan beginilah salah satu di antara cara-cara Bu Leng Ci membunuh lawannya. Tidak mengherankan apa bila dia menjadi tokoh atau datuk ke lima dari dunia persilatan, dan dijuluki Mo-li (Iblis Betina) karena memang dia berhati keras dan ganas seperti iblis!

"Mari kita cari bokor itu."

Bi Kiok yang merasa betapa pundaknya disentuh oleh tangan halus dan mendengar suara yang merdu ramah, lalu menurunkan kedua tangan dan memandang. Wanita itu kelihatan ramah dan cantik sekali, tersenyum kepadanya dan kedua tangan wanita itu bersih putih, entah ke mana perginya darah yang tadi membasahi tangannya.

Bagaikan dalam mimpi, Bi Kiok melangkah dan menurut saja ketika diajak oleh wanita itu, digandeng tangannya. Wanita itu melangkahi mayat Phoa Sek It hingga Bi Kiok terpaksa meloncatinya juga tanpa memandangnya.

"Di sini hanya ada empat buah perahu... ehh…, mengapa hanya ada tiga? Mana yang sebuah lagi?" Bi Kiok berkata ketika mereka tiba di tepi sungai.

"Mari kita mencari bokor itu," kata Bu Leng Ci.

Mereka segera memeriksa tiga buah perahu itu, akan tetapi tentu saja mereka tak dapat menemukan bokor yang telah terbawa ke dalam perahu yang dilarikan Kun Liong!

"Hemm, tentu berada di dalam perahu ke empat yang tidak ada lagi di sini. Anak yang baik, siapakah di antara kalian yang tidak mati terbunuh oleh Phoa Sek It, kecuali engkau sendiri?"

Bi Kiok menggelengkan kepala dan mengerutkan alisnya, "Semua sudah mati, termasuk kakekku. Aku melihat sendiri, semuanya berjumlah empat belas orang dengan kakekku, dibunuh oleh Paman Phoa... ehh, agaknya dia yang membawa perahu! Aihh! Benar, aku sampai lupa! Tentu Liong-twako dan dia telah selamat. Syukurlah! Ia bisa menyelamatkan diri, membawa perahu dan..." Tiba-tiba Bi Kiok berhenti bicara dan memandang wanita itu dengan kaget.

"Dan bokor itu dibawanya pula?" Wanita itu mendesak.

"Aku tidak tahu..."

"Siapa itu Liong-twako?"

"Liong-twako adalah anak laki-laki yang telah menemukan bokor..."

"Ehh? Coba ceritakan yang jelas!"

Bi Kiok kemudian menuturkan bagaimana dia dan kakeknya secara kebetulan menolong Yap Kun Liong yang sedang hanyut di sungai dan betapa tanpa disengaja Kun Liong telah menemukan bokor itu di dasar sungai. Semua dia tuturkan dengan jelas dan didengarkan oleh Bu Leng Ci dengan penuh perhatian.

"Demikianlah. Semalam dia masih bercakap-cakap dengan Kakek, kemudian aku tertidur dan entah ke mana perginya Liong-twako. Pada waktu aku terbangun tahu-tahu dia telah lenyap, Kakek terbunuh oleh Paman Phoa dan aku ditariknya keluar dari kamar."

Iblis betina itu mengangguk-angguk. "Aku yakin sekarang. Tentu Yap Kun Liong itu yang membawa bokor. Entah bagaimana dia dapat mengambilnya dari tangan Phoa Sek It, akan tetapi seorang bocah seaneh dia, yang telah menemukan bokor dan selama sehari hanyut di sungai yang banjir tapi bisa keluar dalam keadaan selamat, bukan tak mungkin dapat melakukan hal-hal yang luar biasa. Mari kita cari dia!"

"Aku... apakah aku... harus ikut?"

"Anak baik. Siapa namamu?"

"Namaku Yo Bi Kiok."

"Hemmm, nama yang manis seperti orangnya. Engkau hanya berdua dengan kakekmu, bukan? Sudah lama kulihat engkau bersama rombongan itu."

Bi Kiok mengangguk. "Aku yatim piatu."

"Bagus!"

"Mengapa bagus?" Bi Kiok memandang dengan penasaran. Yatim piatu, tak berayah tak beribu sekarang kehilangan kakek pula, dikatakan bagus!

"Jadi engkau sebatang kara, tiada sanak kadang, hidup seorang diri di dunia?"

Bi Kiok masih memandang penasaran, akan tetapi dia mengangguk juga.

"Bagus!"

Bi Kiok merenggut lepas tangannya yang digandeng wanita itu, kepalanya ditegakkan dan suaranya nyaring penuh keberanian saat dia berkata, "Bibi, engkau sungguh kejam sekali, mengejek dan mempermainkan seorang anak-anak seperti aku! Aku memang yatim piatu, tiada sanak kadang, hidup seorang diri di dunia, akan tetapi tidak ada sangkut pautnya dengan Bibi. Tidak perlu Bibi mengejek dan mengatakan bagus!"

Sepasang mata wanita cantik itu bersinar-sinar, kemudian dia mengangkat kedua tangan ke atas, dibentuk bagaikan sepasang cakar garuda, agaknya siap untuk mencengkeram kepala Bi Kiok. Gadis cilik itu menatap tajam, sedikit pun tidak takut.

"Hi-hi-hik, engkau tidak takut? Kalau tanganku ini turun, kepalamu akan pecah-pecah!"

"Aku tidak takut! Aku tidak takut mati, tidak takut padamu!" Bi Kiok berkata lantang.

"Heh-heh-heh, bagus!" Wanita itu kembali memuji dan menurunkan kedua tangannya lagi.

"Lagi-lagi bagus! Apanya yang bagus?!" Bi Kiok membentak, kini marah sekali, sepasang tangannya dikepal seolah-olah dia hendak menyerang iblis betina itu!

"Tentu saja bagus, anak baik. Engkau hidup seorang diri di dunia, seperti aku! Tadinya kukira engkau penakut, tidak tahunya tadi engkau kelihatan takut karena dilanda duka dan ngeri, sebenarnya engkau seorang pemberani yang bernyali besar. Orang seperti engkau ini sungguh sudah pantas sekali menjadi muridku."

"Muridmu?"

"Ya, muridku, murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci, hal yang belum tentu terjadi di antara selaksa orang anak perempuan!"

Bi Kiok seorang yang cerdik sekali. Biar pun usianya baru delapan tahun, akan tetapi dia maklum bahwa keadaannya yang sebatang kara itu akan sukar sekali, dari mana-mana akan muncul bahaya yang mengancamnya. Kini muncul wanita cantik ini, yang biar pun kejam seperti iblis akan tetapi mempunyai ilmu kepandaian yang menakjubkan, sehingga orang seperti Phoa Sek It dibuat permainan, dan wanita ini mengambilnya sebagai murid. Serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

"Teecu (murid) senang sekali menjadi murid Subo (Ibu Guru)!"

Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci tertawa gembira. Ia menarik bangun muridnya, menggandeng tangan muridnya sambil meloncat ke atas sebuah di antara tiga perahu itu sambil berkata, "Mari kita kejar bocah she Yap itu!"

Perahu Kun Liong sudah memasuki sungai Huang-ho. Hatinya merasa tenteram karena sudah lama dia berlayar tetapi tidak ada yang tampak mengejarnya. Hari telah siang dan sinar matahari yang terik membuat seluruh tubuhnya berpeluh. Akan tetapi dia tidak mau berhenti dan terus melayarkan perahunya.

Pagi tadi ada empat orang yang ikut dengan perahunya dan untuk itu dia telah menerima sedikit uang dan makanan. Kini perutnya tidak lapar lagi dan sewaktu-waktu dia dapat berhenti untuk membeli makanan.

Menjelang sore, tampak dua orang di pinggir sungai yang memanggilnya. "Harap minggir! Kami hendak ikut menumpang!" Demikian teriakan laki-laki itu. Yang seorang lagi, wanita masih muda, berdiri di dekat laki-laki itu.

Kun Liong meminggirkan perahunya. Lumayan, pikirnya. Semakin banyak penghasilannya semakin baik pula karena melakukan perjalanan tanpa bekal sungguh berbahaya sekali, kadang-kadang dia menderita kelaparan. Lagi pula, melihat bahwa yang ingin menumpang di perahunya adalah sepasang suami isteri, dia merasa kasihan. Hari sangat panas dan amat tidak patut membiarkan seorang wanita kepanasan menanti perahu.

"Bisakah engkau mengantarkan kami ke kota Liok-ek-tung? Perahumu hendak ke sana, bukan?" tanya laki-laki itu dengan ramah.

Kun Liong hanya mengangguk. Dia tidak tahu di mana itu Liok-ek-tung, akan tetapi karena laki-laki itu menudingkan jari telunjuknya ke depan, berarti arah yang mereka tuju sama karena dia pun tidak mempunyai tujuan tertentu, asal menurutkan ke mana air Sungai Huang-ho mengalir!

"Silakan, Ji-wi naik," kata Kun Liong tanpa banyak komentar.

Laki-laki itu kelihatan galak. Wajahnya biasa saja, mungkin pedang yang tergantung pada punggungnya itulah yang membuat dia kelihatan galak. Akan tetapi isterinya, yang paling banyak berusia dua puluh tahun, sepuluh tahun lebih muda dari pada suaminya, amat cantik dengan pakaian sederhana namun tidak menyembunyikan bentuk tubuhnya yang bagus.

Sang suami dengan sikap penuh kasih sayang membantu isterinya melangkah naik ke dalam perahu. Setelah isterinya naik dan duduk di bangku perahu, barulah dia sendiri naik sambil membawa buntalan besar yang agaknya bekal pakaian mereka.

Setelah mereka duduk, Kun Liong menggerakkan dayungnya, hendak mendayung perahu ke tengah. Kini dia sudah mulai biasa mengemudikan perahu, sesudah beberapa kali dia terpaksa menjadi tukang perahu, sejak membantu para nelayan, sampai terpaksa harus melarikan perahu dua kali!

"Heeei, bung cilik gundul tukang perahu! Tunggu dulu, aku mau ikut!" Tiba-tiba terdengar teriakan dan Kun Liong menghentikan dayungnya, menoleh dan melihat seorang laki-laki berpakaian sastrawan naik ke atas perahunya.

Sekali pandang saja, dia merasa tidak suka kepada sastrawan muda itu, dan mungkin sekali rasa tidak suka ini timbul ketika mendengar sebutan ‘gundul’. Lagi pula, seorang sastrawan semestinya tahu aturan, tidak sekasar itu, apa lagi bila melihat bahwa di dalam perahu itu sudah ada seorang wanita yang menumpang.

Dia melihat bahwa sastrawan itu lebih muda dari pada orang yang membawa pedang. Usianya antara dua puluh lima dan tiga puluh tahun. Pakaiannya indah, dari kain halus, wajahnya tampan dengan kulit muka putih, sepasang matanya selalu bersinar-sinar. Akan tetapi mulut yang agak terlalu lebar dan selalu tersenyum itu menimbulkan rasa tidak suka di hati Kun Liong. Gerak senyum pada mulut lebar itu mengandung ejekan, bahkan terbayang kekejaman! Akan tetapi dia tidak peduli dan bertanya,

"Tuan hendak ke mana?"

"Ke mana saja perahumu menuju, heh-heh-heh!"

Kun Liong tak bertanya lagi, terus mendayung perahunya ke tengah dan memasang layar. Setelah perahunya meluncur, dia segera duduk memegang kemudi dan mengambil sikap seolah-olah tidak memperhatikan tiga orang penumpangnya itu.

Si Sastrawan itu sudah menghadapi suami-isteri yang duduk di atas papan, membungkuk dan mengangkat kedua tangan di depan dada, akan tetapi matanya mengerling tajam ke arah dada membusung yang tertutup pakaian sederhana wanita itu. "Harap Ji-wi (Kalian Berdua) sudi memaafkan saya kalau kehadiran saya mengganggu Ji-wi."

Dengan muka merah dan malu-malu wanita itu hanya menunduk, membiarkan suaminya yang menjawab. Dia tidak biasa berhadapan dengan laki-laki asing, apa lagi seorang pria muda dan tampan menarik seperti sastrawan ini!

"Ah, harap Kongcu jangan bersikap sungkan. Kita sama-sama hanya penumpang perahu ini. Kami suami-isteri hendak pergi ke Liok-ek-tung, tidak tahu Kongcu hendak pergi ke manakah?" Lelaki berpedang itu membalas penghormatan dan menjawab dengan suara ramah pula.

"Ah, saya hanya seorang pelancong, ke mana pun baik saja. Dan kalau perahu ini pergi ke Liok-ek-tung, ke sanalah saya pergi. Sungguh merupakan keuntungan dan kehormatan besar sekali bagi saya dapat bersama Ji-wi naik perahu. Sungguh menyenangkan sekali!"

Isteri itu mencuri pandang, mengangkat mata yang tadinya menunduk saja dan kebetulan siucai (sastrawan) itu pun mengerling ke arahnya sehingga dalam waktu satu dua detik, dua pasang mata itu bertemu pandang. Wanita itu semakin merah mukanya dan cepat melempar pandang ke bawah lagi, memandangi lantai perahu kemudian ke luar perahu, seolah-olah dia tertarik oleh bayangan ikan-ikan yang berenang di pinggir perahu, bibirnya yang tipis merah itu tersenyum-senyum dikulum.

"Kami yang merasa terhormat sekali dapat melakukan perjalanan bersama Kongcu," Si Suami berkata lagi. "Silakan duduk, Kongcu."

"Terima kasih." Sastrawan itu lantas mengambil tempat duduk di atas papan, berhadapan dengan suami isteri itu. "Congsu (Tuan) sungguh baik hati. Perkenalkan, saya Ouw Ciang Houw, tinggal di Nam-cu di selatan dan sekarang setelah selesai menempuh ujian dengan hasil baik, sebelum pulang, saya hendak melancong dulu."

"Ahh, kiranya seorang siucai (sastrawan lulus ujian), harap maafkan kalau kami berlaku kurang hormat, Ouw-siucai. Nama saya Gui Tiong, dan ini isteri saya. Kami tinggal di kota Liok-ek-tung dan di sana saya membuka perguruan silat."

Ouw-siucai membelalakkan matanya, kelihatan terkejut. "Wah, kiranya saya berhadapan dengan seorang ahli silat yang lihai dan menjadi guru! Maaf, maafkan saya, Gui-kauwsu (Guru Silat Hui)."

"Ahh..., Ouw-siucai terlalu merendah. Saya hanya membuka perguruan silat kecil-kecilan saja karena kebisaanku pun tidak seberapa. Pula, kata orang, sekarang ini kepandaian bun (sastra) lebih berharga dari pada bu (silat), dan gerakan sebatang pit (alat tulis) jauh lebih berbahaya dari pada gerakan sebatang pedang!"

Yang dimaksudkan dengan ucapan ini adalah bahwa kepandaian menulis lebih berbahaya dari pada pedang, karena dengan kepandaian menulis seorang dapat menjatuhkan fitnah yang lebih berbahaya dari pada serangan pedang, lagi pula kepandaian menulis dapat pula membawa orang kepada kedudukan yang lebih tinggi.

Ouw-siucai tertawa, sengaja dibuat-buat agar terdengar enak dan gagah, dan tentu saja ini dimaksudkan untuk mendatangkan kesan di hati wanita cantik yang duduk menunduk di depannya. "Ha-ha-ha, Gui-kauwsu bisa saja! Akan tetapi, mungkin benar juga kata-kata itu. Aku tidak memiliki kepandaian apa-apa kecuali sedikit coret-coret dan kesenanganku yang lain adalah bermain dadu dan minum arak"

"Wah, kesenangan itu cocok dengan kesenanganku. Sayang tidak ada dadu dan jika ada tentu kita berdua dapat melewatkan waktu dengan gembira sambil menunggu sampainya perahu ini ke Liok-ek-tung..."

"Jangan khawatir, Gui-kauwsu. Saya selalu membawa bekal!" Seperti orang main sulap saja, dari dalam saku jubahnya yang lebar siucai itu mengeluarkan seguci besar arak dan sebuah dadu dengan mangkoknya.

Melihat ini, guru silat itu tertawa bergelak dan dengan gembira mereka lalu bermain dadu. Mula-mula mereka bermain dengan taruhan minum arak, dan dalam hal ini, peruntungan mereka agaknya seimbang karena mereka yang menang menerima secawan arak hampir bergantian. Karena kemasukan arak, mereka berdua menjadi makin gembira dan sering kali terdengar suara mereka tertawa bergelak.

Isteri guru silat itu hanya menonton dan kadang-kadang dia pun ikut tersenyum sehingga tampak deretan giginya yang putih dan kadang-kadang juga tampak ujung lidah yang kecil merah. Beberapa kali dia bertemu pandang dengan Si Siucai, tadinya secara tak sengaja, akan tetapi lambat laun terjadi permainan mata di antara keduanya, sungguh pun nyonya muda itu bersikap malu-malu dan hal ini baru pertama kali dia lakukan selama hidupnya.

Kesempatan memang merupakan penggoda yang amat kuat dan berbahaya. Kalau tidak ada kesempatan seperti ini, agaknya sampai mati pun nyonya muda itu tidak ada pikiran untuk bermain mata dan bertukar senyum dengan seorang laki-laki muda!

Sekarang arak sudah habis, kegembiraan mereka berdua memuncak sehingga akhirnya, atas persetujuan berdua, mereka melanjutkan permainan dadu dengan taruhan uang! Kun Liong yang mengemudikan perahu hanya menonton dari jauh, dari ujung perahu dan dia pun terbawa oleh kegembiraan mereka berdua itu.

Akan tetapi setelah mereka berdua mempertaruhkan uang, dia mengerutkan alisnya dan diam-diam merasa tidak senang. Sekarang wajah kedua orang itu sungguh-sungguh dan tegang, tidak segembira tadi, dan bagaimana kalau seorang di antara mereka kalah dan kehabisan uang? Tentu tidak akan mampu membayar upah kepadanya!

Sesudah kini permainan dadu disertai taruhan uang, agaknya bintang peruntungan siucai itu lebih terang dan dia lebih sering menarik uang guru silat itu sampai-sampai Si Guru Silat kehabisan uang dari saku bajunya dan harus mengambil bekal dari buntalan pakaian. Sementara itu, sore telah mendatang dan sungai mulai sunyi karena perahu-perahu telah kembali ke pelabuhan masing-masing. Hanya ada tampak beberapa buah perahu nelayan agak jauh...
Selanjutnya,