Petualang Asmara Jilid 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Petualang Asmara Jilid 03
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
DENGAN mempergunakan ilmunya berlari cepat, tanpa mempedulikan seruan-seruan dan pandang mata penuh keheranan dari para penduduk Leng-kok yang kebetulan melihat nyonya ini berlari demikian cepatnya bagaikan terbang, Yan Cu menuju gedung kepala daerah yang berada di ujung kota sebelah utara. Sebuah rumah gedung yang mewah dan megah, paling besar di dalam kota Leng-kok.

"Berhenti!" Seorang penjaga pintu gerbang di depan gedung itu membentak.

Lima orang kawannya sudah muncul ke luar dari tempat penjagaan menghadapi Yan Cu dengan tombak ditodongkan. Pada saat mereka mengenal nyonya itu, timbul dua macam perasaan yang tampak dalam sikap mereka yang ragu-ragu.

Mereka itu sedikit banyak merasa segan dan menghormat nyonya cantik jelita yang telah terkenal banyak menolong orang sakit di kota Leng-kok ini, bahkan di antara mareka tidak ada seorang pun yang tidak pernah ditolong, ketika seorang di antara keluarga mereka atau mereka sendiri sakit.

Di samping ini, mereka juga sudah tahu bahwa suami nyonya ini sudah ditahan dan kini dimasukkan di dalam rumah penjara, dijaga ketat atas perintah Ma-taijin sendiri dengan tuduhan memberontak dan bersekutu dengan Pek-lian-kauw! Tuduhan yang sangat berat dan menakutkan, sehingga tidak ada seorang pun di antara para penjaga ini yang berani memperlihatkan sikap yang lunak dan bersahabat terhadap seorang sekutu Pek-lian-kauw karena khawatir dituduh bersekutu pula.

"Eh... Toanio... hendak ke manakah?" Komandan jaga, yang berkumis tebal dan bertubuh tinggi besar, menegur ragu-ragu.

"Aku hendak bertemu dan bicara dengan Ma-taijin!" jawab Yan Cu singkat.

"Tapi... tapi..." Komandan jaga itu membantah, semakin meragu dan bingung karena dia maklum bahwa kalau dia melapor ke dalam tentu dia akan didamprat oleh atasannya.

"Tidak ada tapi, tinggal kau pilih saja. Kau akan melapor ke dalam minta Ma-taijin keluar menyambutku, atau aku yang akan langsung masuk untuk mencarinya sendiri di dalam gedungnya!"

"Wah, Toanio membuat kami serba susah. Untuk menemui Ma-taijin tentu saja tak begitu mudah. Jika memang Toanio ada keperluan dan ingin menghadap, harap suka membuat surat permohonan dan besok siang, sesudah Ma-taijin berada di kantornya, Toanio boleh saja menghadap melalui peraturan biasa. Sekarang, sudah malam begini..."

"Dia pun hanya manusia biasa, mengapa aku tidak bisa bertemu dan bicara dengan dia sekarang juga? Sudahlah, biar aku mencarinya sendiri!"

Yan Cu segera melangkah memasuki halaman depan gedung itu, akan tetapi enam orang penjaga itu sudah melompat ke depan, menghadangnya dengan tombak di tangan yang dipalangkan agar menghalangi majunya nyonya itu.

"Toanio, kami tak bermaksud bersikap kasar terhadap seorang wanita, apa lagi terhadap Toanio. Akan tetapi, jangan Toanio mendesak kami dan membuat kami tersudut..., kami hanya memenuhi kewajiban kami..."

"Minggirlah!" Yan Cu berseru nyaring, kedua tangannya bergerak secepat kilat ke kanan kiri dan enam orang penjaga itu roboh terpelanting ke kanan kiri bagai segenggam rumput tertiup angin! Pada saat mereka merangkak bangun dengan mata terbelalak mencari-cari, ternyata bayangan nyonya itu telah lenyap dari situ!

Dengan cepat sekali, sesudah berhasil merobohkan enam orang penjaga dengan sekali dorong, Yan Cu meloncat ke depan, langsung dia menyerbu ke ruangan depan gedung yang megah itu. Akan tetapi, baru saja kedua kakinya yang tadinya melompat dari jauh itu menyentuh lantai, belasan orang penjaga telah muncul lantas menghadangnya dengan golok di tangan.

Komandan pengawal di ruangan depan itu pun mengenal nyonya itu, dan memang dia telah mendapat perintah dari atasan untuk berjaga-jaga dengan anak buahnya berhubung dengan ditangkapnya Yap Cong San. Mereka semua telah mendengar bahwa tidak hanya Yap-sinshe yang pandai ilmu silat, juga isterinya adalah seorang pendekar wanita yang lihai.

"Tangkap isteri pemberontak!" Komandan itu berseru dan anak buahnya yang berjumlah selosin orang itu telah bergerak mengurung Yan Cu dengan golok di tangan, sikap mereka mengancam sekali karena betapa pun juga, mereka memandang rendah kalau lawannya hanya seorang wanita cantik seperti ini.

Biar pun mereka telah mendengar bahwa wanita ini pandai main silat, akan tetapi mereka yang berjumlah tiga belas orang itu, masih ditambah pula dengan para pengawal yang dipersiapkan di dalam menjaga keselamatan Ma-taijin, tentu saja tidak perlu merasa jeri terhadap seorang wanita!

Yan Cu mengerling ke kanan kiri, sikapnya angker penuh wibawa, sepasang pipinya yang halus itu menjadi merah ada pun matanya yang indah mengeluarkan sinar berkilat. Sudah bertahun-tahun dia hidup aman tenteram di sisi suaminya, tidak pernah lagi menggunakan ilmu silatnya untuk bertempur dan dia hampir lupa akan semua pengalamannya dulu pada waktu dia masih seorang gadis, pengalaman yang penuh dengan pertempuran hebat dan mati-matian.

Sudah sebelas tahun dia tidak pernah memukul orang, dan tadi di pintu gerbang adalah gerakan pertama selama ini, gerakan untuk merobohkan orang biar pun dia merobohkan enam orang tadi bukan dengan maksud membunuh, hanya cukup untuk membuat mereka agar tidak menghalanginya. Kini, dikurung oleh belasan orang, timbul kembali semangat kependekarannya.

Kini dia bergerak untuk membela suaminya. Jangankan hanya belasan orang pengawal, biar di sana ada barisan setan dan iblis sekali pun dia tidak akan menjadi gentar dan akan dilawannya! Timbulnya semangat ini menimbulkan pula kegembiraannya! Kegembiraan yang hanya dapat dirasakan oleh seorang pendekar, atau seorang tentara dalam medan perang yang sudah kebal akan rasa takut.

"Apakah kalian sudah bosan hidup?" Pertanyaan ini keluar dari mulutnya dengan suara halus, bagaikan suara seorang ibu menegur anaknya, akan tetapi nadanya mengandung penghinaan dan sindiran. "Aku mau bertemu dan bicara dengan Ma-taijin! Dia mau atau tidak tetap harus menjumpai aku, dan jika kalian hendak mencoba menghalangiku, jangan persalahkan aku bila kaki tanganku yang tidah bermata akan membuat kalian jatuh untuk tidak bangun kembali!"

"Tangkap pemberontak sombong!" Komandan yang bertubuh tinggi gendut dan mukanya penuh bopeng bekas penyakit cacar itu kembali berteriak.

Komandan ini adalah seorang perwira pengawal yang baru saja datang dari kota raja. Dia belum mengenal Yap-sinshe dan isterinya, maka dia pun tidak merasa sungkan terhadap suami isteri itu seperti yang dirasakan oleh banyak pengawal yang sudah mengenal dan sedikit banyak berhutang budi kepada mereka.

Dua belas orang anak buahnya yang semua bersenjata golok karena memang mereka adalah anggota pasukan bergolok besar, segera maju menyerbu, akan tetapi mereka itu masih merasa sungkan, hanya menggerakkan tangan kiri yang tidak bersenjata, berlomba menangkap nyonya yang meski pun usianya sudah tiga puluh tahun namun masih amat cantik jelita dan kelihatan seperti seorang dara berusia dua puluh tahun saja!

Dahulu, ketika masih dara remaja, Gui Yan Cu mempunyai watak halus namun jenaka dan juga tegas menghadapi penjahat atau musuh. Akan tetapi, sekarang, setelah sepuluh tahun lebih menjadi isteri Yap Cong San, setelah dia menjadi seorang ibu dan sudah lama tidak pernah bertempur atau bermusuhan, walau pun dia masih memiliki keberanian dan ketegasan bertindak, akan tetapi hatinya menjadi makin lembut dan dia tidak tega untuk menjatuhkan tangan besi terhadap para pengawal ini.

Dia bukan seorang dara muda yang ganas lagi, yang berpemandangan sempit dan suka merobohkan orang tanpa perhitungan lagi. Dia kini berpemandangan luas dan jauh, maka dia maklum bahwa semua pengawal ini hanya menjalankan tugas masing-masing, sama sekali tidak mempunyai permusuhan pribadi terhadap dirinya atau suaminya.

Melihat cara mereka bergerak menyerbunya, tidak menggunakan golok melainkan hanya menggunakan tangan kiri untuk menangkapnya saja sudah membuktikan bahwa mereka itu sedikit banyak memiliki rasa segan terhadap dirinya. Hal ini mengurangi banyak nafsu amarahnya dan meniup lenyap niatnya memberi hajaran keras kepada mereka.

Melihat semua orang menubruk maju, Yan Cu menggerakkan dua kakinya menekan lantai dan tiba-tiba saja tubuhnya melesat serta meluncur ke atas, melewati kepala mereka dan gegerlah para pengawal yang saling tubruk dan saling pandang karena tahu-tahu ‘burung’ di tengah yang mereka kurung tadi telah terbang lenyap begitu saja! Cepat-cepat mereka membalikkan tubuh mencari-cari dan berlari-larian menyerbu ke arah komandan gemuk mereka yang berteriak-teriak kesakitan karena sedang ditampari oleh Yan Cu, seperti seorang anak kecil yang nakal dipukuli ibunya!

"Plak! Plak! Plak!"

Kedua pipi komandan gendut itu menjadi bengkak-bengkak dan dari ujung kedua bibirnya mengalir darah yang keluar dari bekas tempat gigi yang coplok!

Yan Cu menendang tubuh komandan Itu yang terlempar dan terbanting mengaduh-aduh meraba sepasang pipinya dengan kedua tangan, matanya terbelalak memandang kepada nyonya itu karena dia masih kaget dan heran akan serangan itu. Tadi dia melihat betapa tubuh nyonya itu melayang melalui kepala para pengepungnya, menyambar ke arahnya. Dia cepat menggerakkan goloknya menyambut dengan bacokan ke arah muka nyonya itu, akan tetapi entah bagaimana, tahu-tahu goloknya direnggut lepas dari pegangannya, dan seperti kilat menyambar-nyambar, kedua tangan nyonya itu telah menggaplok kedua pipinya sampai matanya menjadi gelap dan berkunang-kunang!

"Biarlah itu menjadi pelajaran bagimu agar jangan lancang menggunakan mulut!" Yan Cu berkata.

Akan tetapi pada waktu itu, dua belas pengawal yang melihat betapa komandan mereka ditampari dan dirobohkan, menjadi kaget sekali dan terpaksa mereka kini menerjang maju dengan golok besar mereka di tangan. Kalau mereka tidak menyerang dengan sungguh-sungguh, tentu mereka akan ditegur dan dihukum, dikira menaruh kasihan dan membela seorang isteri pemberontak!

Terjadilah pengeroyokan yang kacau balau, diselingi suara hiruk-pikuk teriakan-teriakan mereka. Yan Cu melompat ke sana sini mengelak sambaran-sambaran golok, kemudian dengan sentuhan ujung kaki mengenai pergelangan tangan seorang pengeroyok, cukup membuat jari tangan yang memegang terbuka dan goloknya terlepas.

Yan Cu menyambar golok ini dan terdengarlah suara berdenting-denting nyaring disusul teriakan-teriakan para pengeroyok karena begitu nyonya itu telah menggerakkan goloknya menghadapi para pengeroyok, dalam beberapa jurus saja, empat batang golok yang kena ditangkis terlempar ke sana sini, dua orang lagi terpaksa melepaskan golok karena lengan mereka tergores ujung golok Yan Cu dan berdarah sungguh pun bukan merupakan luka yang parah.

Dalam sekejap mata saja tujuh orang pengeroyok dibuat tidak berdaya. Tentu saja lima orang yang lainnya menjadi gentar, dan dengan muka pucat mereka itu masih mengurung tanpa berani bergerak! Pada saat itu tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan dan muncullah puluhan orang pengawal dari dalam, diikuti oleh Ma-taijin sendiri!

Pembesar ini tentu saja berani keluar dari kamarnya karena dia dijaga oleh empat puluh orang pengawal yang berkepandaian tinggi! Dengan sikap tenang tapi jelas menyinarkan kemarahan dia mengikuti pasukan pengawal itu keluar ke ruangan depan,

"Tangkap pemberontak itu!" Terdengar Ma-taijin sendiri mengeluarkan aba-aba.

"Tahan semua...!"

Bentakan Yan Cu mengandung tenaga khikang yang hebat, membuat semua pengawal yang sudah mulai bergerak itu terkejut dan terguncang jantungnya, memandang kepada nyonya yang sudah berdiri tegak dan memalangkan golok rampasan di depan dada, tidak mempedulikan para pengawal yang sudah membuat gerakan mengurungnya, melainkan menunjukkan perhatian dan pandang matanya ke arah Ma-taijin.

"Ma-taijin, aku datang bukan untuk berkelahi, bukan untuk mengamuk, akan tetapi untuk bertemu dan bicara denganmu!"

"Hemmm, perempuan tak berbudi!" Pembesar itu membentak karena merasa sangat malu mendengar kata-kata dan melihat sikap yang sama sekali tidak menghormatinya itu, malu kepada para pengawalnya oleh karena sikap wanita itu benar-benar telah menyeret turun wibawa dan derajatnya! "Seorang pemberontak dan berdosa besar seperti suamimu dan engkau, apa lagi setelah berani datang mengacau di sini, mau bicara apa lagi?"

"Ma-taijn, seorang pembesar tentu mengerti akan hukum pemerintah, akan tetapi kenapa engkau berbicara tanpa bukti, melainkan fitnah yang bukan-bukan? Engkau tahu sendiri bahwa suamiku dan aku telah menjadi penduduk Leng-kok selama sebelas tahun. Siapa di antara penduduk Leng-kok yang pernah melihat perbuatan kami yang memberontak? Pernahkan kami melakukan sesuatu yang merugikan negara dan rakyat? Baru sekarang ini ada orang yang melakukan fitnah, menuduh kami pemberontak, dan orang itu adalah engkau, Taijin. Apakah engkau tidak takut terhadap bayangan sendiri menjatuhkan fitnah palsu kepada kami?"

"Berani benar engkau berkata demikian, perempuan berdosa! Sudah terang bahwa Yap Sinshe suamimu telah melakukan dua kali pelanggaran dosa terhadap pemerintah, dan sekarang ditambah lagi dengan sebuah pelanggaran yang dilakukan olehmu sendiri!"

"Sebutkan dosa-dosa itu, Ma-taijin, agar tidak membikin hati penasaran!" Yan Cu berkata, menahan kemarahannya.

"Dosa pertama suamimu adalah bahwa dia tidak mau membunuh tosu Pek-lian-kauw, dia melindungi Pek-lian-kauw atau kemungkinan besar dia bersekutu dengan Pek-lian-kauw."

"Bohong besar!" Yan Cu berteriak, "Adakah dalam hukum pemerintah bahwa setiap orang warga diharuskan dan berkewajiban untuk membunuh tiap orang anggota Pek-lian-kauw? Pek-lian-kauw adalah musuh pemerintah, dan menjadi tugas orang-orang seperti engkau dan para pengawalmulah untuk memusuhi serta membasminya! Kami, atau dalam hal ini suamiku, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Pek-lian-kauw, bahkan sebagai seorang warga negara yang baik sudah menolong ketiga orang perwira pengawalmu yang akan dibunuh. Mencegah pembunuhan merupakan kewajiban setiap orang, apa lagi kami yang berjiwa Pendekar. Tetapi, membunuh tosu Pek-lian-kauw bukanlah tugas suamiku."

"Dosa kedua adalah kegagalan suamimu menyembuhkan tiga orang perwiraku. Tiga orang perwira pemerintah."

"Sungguh tak masuk akal! Sejak kapan pemerintah mengeluarkan undang-undang bahwa kegagalan menyembuhkan merupakan dosa dan pelanggaran hukum?"

"Suamimu, terutama engkau, sudah terkenal sekali di Leng-kok sebagai ahli pengobatan. Jarang ada penyakit yang tidak terobati sampai sembuh oleh kalian berdua! Akan tetapi justru mengobati tiga orang perwira pemerintah, kalian gagal! Bukankah ini merupakan kesengajaan dan perbuatan yang condong membantu Pek-lian-kauw? Dosa yang ke tiga adalah engkau yang berani memberontak dan melawan kami!"

"Bohong semua! Suamiku dan aku bukanlah seorang malaikat pengatur nyawa yang bisa memanjangkan usia manusia! Juga kami bukanlah malaikat maut yang dapat mencabut nyawa! Selama ini kami sudah berusaha mati-matian mengobati, akan tetapi tiga perwira yang menderita luka pukulan beracun Pek-tok-ci tak dapat ditolong dan mati, itu bukanlah urusan dan wewenang kami. Mengatur nyawa sendiri pun tidak mampu, bagaimana harus mengatur nyawa orang lain? Ada pun aku ke sini dengan maksud untuk bicara denganmu dan minta supaya suamiku yang tidak berdosa dibebaskan, akan tetapi para anjing-anjing penjagamu menghalangi sehingga aku menggunakan kekerasan, siapakah yang bersalah dalam hal ini? Ma-taijin, sekali lagi kuminta, karena suamiku tidak berdosa, sekarang juga harus kau bebaskan dia!"

"Sombong! Pemberontak rendah! Tangkap dia...!"

Akan tetapi sebelum para pengawal bergerak mentaati perintah ini, tubuh Yan Cu sudah berkelebat dengan kecepatan yang tidak tersangka-sangka oleh semua orang. Tahu-tahu wanita perkasa itu telah meloncat ke dekat Ma-taijin!

"Toloooonggg... tangkap... ahhhh!" Ma-taijin tak berani bergerak atau berteriak lagi karena golok tajam telah menempel di kulit lehernya, terasa dingin sekali!

"Mundur semua!!" Yan Cu melengking dengan suara mengandung getaran hebat. "Kalau kalian maju, dia akan kubunuh lebih dulu sebelum kubasmi kalian semua!""

Para pengawal menjadi bingung, sementara Ma-taijin merasa ngeri dan takut bukan main. Terbayang di depan matanya selir-selir yang masih muda-muda dan banyak, gedungnya, gudangnya, harta benda dan kedudukannya, dan tiba-tiba perutnya terasa mulas dan air matanya bercucuran.

"Jangan bunuh aku...," ratapnya.

"Suruh mereka mundur, dan suruh kepala pengawal membebaskan suamiku, kemudian membawanya ke sini. Cepat, apa bila aku kehabisan sabar, lehermu akan putus dan aku sanggup membebaskan suamiku dengan kekerasan!" Yan Cu membentak dan memberi sedikit tekanan pada goloknya sehingga pembesar itu merasa kulit lehernya perih dan sedikit darah mengucur!

"Aihhhh... jangan... haiiiii, semua mundur, dengar tidak? Mundur semua kataku, bedebah! Dan kau, Kwa-ciangkun, lekas kau pergi ke penjara dan bebaskan Yap-sinshe, ehh... ajak dia ke sini... cepat!"

Semua pengawal terpaksa mengundurkan diri dan hanya menjaga dari sekeliling ruangan depan itu sambil saling pandang dengan bingung. Sebagian besar antara mereka merasa lega dengan perintah Ma-taijin itu, karena tadi mereka merasa khawatir sekali, menyerbu berarti membahayakan keselamatan Ma-taijin, jika tidak bergerak bagaimana pula melihat pembesar itu diancam!

"Duduklah, Ma-taijin, kita menunggu suamiku datang. Engkau lihat, bagaimana mudahnya untuk membunuhmu bersama pengawal-pengawalmu kalau kami benar-benar merupakan pemberontak-pemberontak atau sekutu Pek-lian-kauw. Kami bukan pemberontak, namun aku tahu bahwa dengan perbuatan ini, kami takkan dapat tinggal di Leng-kok lagi. Hanya pesanku, lain kali janganlah engkau sebagai kepala daerah mempergunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata. Aku bersama suamiku terpaksa menjadi orang-orang kang-ouw lagi karena engkau, dan sesudah kami kembali ke dunia kang-ouw, begitu aku mendengar bahwa engkau bertindak sewenang-wenang menindas dan menjatuhkan fitnah kepada rakyat, aku akan datang sendiri untuk mencabut jiwamu!"

Ma-taijin tidak dapat menjawab dan berterima kasih sekali dibolehkan duduk di atas kursi karena kedua kakinya menggigil dan terutama sekali, yang sangat menyiksanya adalah perutnya yang mulas sejak tadi dan hampir dia tidak dapat menahan segala kotoran yang hendak membanjir keluar dari dalam perutnya! Dia hanya mengangguk-angguk saja tanpa bicara, seperti seekor ayam makan jagung.

Yan Cu berdiri di dekatnya, menodongkan ujung golok pada lehernya sambil mengawasi gerak-gerik para pengawal. Diam-diam dia mengharapkan supaya jangan ada pengawal yang lancang berani menyerangnya, karena sesungguhnya dia tidak ingin membebaskan suaminya dengan jalan melakukan pembunuhan. Semua ini dia lakukan hanya sebagai ancaman belaka, agar suaminya dapat segera bebas.

Tidak lama kemudian, datang kepala pengawal bersama Yap Cong San. Melihat isterinya menodong Ma-taijin, Cong San melompat dan menegur,

"Aihhh, apa yang kau lakukan, isteriku? Aku sengaja tidak mau menggunakan kekerasan. Aku yakin akan dibebaskan karena tidak bersalah. Akan tetapi engkau..."

"Hemm, orang seperti dia ini mana bisa dipercaya akan menggunakan keadilan suamiku? Pula, aku ingin engkau segera bebas, sekarang juga karena aku tidak berhasil mencari Liong-ji! Mari kita pergi!"

Sebelum Cong San sempat membantah, Yan Cu sudah menarik tangan suaminya lantas mengajaknya melompat pergi dari tempat itu, melemparkan golok rampasan tadi yang langsung menancap di hadapan kaki Ma-taijin sampai ke gagangnya! Demikian cepatnya gerakan suami isteri itu sehingga yang tampak hanya dua bayangan mereka berkelebat dan lenyap.

"Kejar mereka! Kumpulkan semua pengawal! Minta bantuan pasukan! Tangkap, cepattt…! Tolol kalian semuanya!" Ma-taijin berteriak-teriak sambil menuding-nudingkan telunjuknya, akan tetapi dia sendiri memasuki ruangan dalam, terus ke kamar kecil karena perutnya yang memberontak sudah mengeluarkan sebagian isinya ke dalam celananya!

Para pengawal tersebar dan berlari-lari mencari, akan tetapi tentu saja dengan hati kebat kebit dan penuh keraguan. Setelah bala bantuan datang dan jumlah mereka ada seratus orang, barulah mereka berani melakukan pengejaran dan mendatangi rumah obat tempat tinggal Yap-sinshe.

Akan tetapi tentu saja mereka hanya mendapatkan sebuah toko yang kosong, tak ada lagi penghuninya kecuali dua orang pelayan yang tidak tahu apa-apa. Dalam kemarahannya, Ma-taijin hanya menyita toko itu, merampas barang-barang di toko serta mengumumkan nama Yap Cong San dan Gui Yan Cu sebagai dua orang pelarian.

********************

"Aihh, semua ini gara-gara Kun Liong, anak bengal itu! Jika saja dia tidak menumpahkan obat, tentu tidak terjadi semua ini! Dan setelah melakukan perbuatan yang menimbulkan bencana kepada ayah bundanya, dia malah lari minggat, mendatangkan kepusingan baru bagi kita!"

Yan Cu cemberut. Mereka telah berlari ke luar dari kota Leng-kok, menuju ke selatan dan tadi dia sudah menceritakan suaminya tentang kegagalan usahanya mencari Kun Liong sehingga dia terpaksa pulang dulu karena mengkhawatirkan suaminya. Dia sengaja tidak menceritakan suaminya tentang perbuatan Kun Liong yang terbaru, yang dilakukannya di dusun yang ditemuinya, yaitu menjadi penyebab terbakarnya rumah kepala dusun yang sedang berpesta! Tanpa membicarakan hal itu pun suaminya sudah marah-marah dan mengomel tentang anak mereka.

"Siapa bilang gara-gara Kun Liong? Memang anak itu menumpahkan obat, akan tetapi apakah dia sengaja menumpahkannya? Kalau dipikir-pikir semua peristiwa ada sebabnya dan jangan kau menyalahkan peristiwa itu. Kalau aku ikut-ikut engkau, tentu aku mencari sebabnya dan kiranya engkaulah yang menjadi gara-garanya."

"Aku....?" Cong San bertanya mengalah dan selalu bersikap sabar kepada isterinya sejak terjadinya peristiwa hebat yang hampir saja menghancurkar cinta kasih di antara mereka karena dia telah dibuat gila oleh cemburu.

Oleh karena dia merasa berdosa dan bersalah kepada isterinya yang tercinta, maka dia bertobat dan bersikap hati-hati sekali, selalu mengalah kepada isterinya sebagai tebusan dosanya pada masa lalu. Akan tetapi ketika dalam urusan dengan Ma-taijin ini isterinya mengatakan bahwa dia yang menjadi gara-gara, dia terkejut juga dan merasa penasaran sehingga dia menghentikan langkah kakinya.

"Ya, engkau..." Yan Cu berkata.

Mereka telah lari jauh dan malam telah hampir pagi, kedua kakinya sudah lelah. Yan Cu berhenti dan duduk di atas sebuah batu besar di dalam hutan itu. Suaminya juga duduk di depannya. Sinar matahari pagi sudah mulai mengusir kegelapan malam, disambut dengan riang gembira oleh suara burung hutan.

"Mengapa aku...?"

"Kalau dicari-cari sebabnya menjadi panjang sekali. Kun Liong melarikan diri karena takut padamu, karena engkau terlalu keras padanya. Engkau marah karena dia menumpahkan obat. Dia menumpahkan obat karena dia bermain-main dengan Pek-pek, dan dia murung dan merasa bosan di kamamya, bermain-main dengan Pek-pek sebab dia merasa betapa engkau memarahinya ketika dia pergi dan berjumpa dengan tosu Pek-lian-kauw. Andai kata engkau tidak marah kepadanya, tentu dia tidak murung dan juga tidak bermain-main dengan anjing, lalu tidak menumpahkan obat, dan para perwira tidak mati, dan aku tidak mengamuk di gedung Ma-taijin, dan anak itu tidak minggat, dan..."

"Stoppp...!" Cong San mengangkat kedua tangan ke atas, lalu merangkul dan menciumi isterinya. "Pusing aku! Sudah... jangan bicara tentang sebab akibat, kalau ditelusur terus, bisa-bisa akibatnya dimulai semenjak nenek moyang kita..."

"Mungkin dimulai sejak dunia ada, sejak manusia pertama..." Yan Cu juga tertawa.

Keduanya lantas tertawa, saling rangkul dan saling berciuman, kemudian saling pandang dengan sinar mata penuh cinta kasih, akan tetapi juga penuh keheranan, dan akhirnya menjadi penuh pengertian.

"Aihhh... apa yang kita lakukan ini...?" Yan Cu berkata lirih.

Cong San melepaskan pelukannya dan memandang isterinya. "Mengertikah engkau apa yang kumengerti? Apakah engkau merasakan apa yang kurasakan saat ini?"

Yan Cu mengangguk. Suaminya mengangguk. Akan tetapi suaminya penasaran sehingga mendesak,

"Kalau memang mengerti, apa?"

"Keanehan yang sama kita rasakan! Peristiwa hebat melanda kita, memaksa kita menjadi orang-orang pelarian, dianggap seperti pemberontak, kehilangan rumah, kehilangan toko, kehilangan harta benda, bahkan anak tunggal lari entah ke mana. Akan tetapi sesaat tadi yang terasa hanya kegembiraan. Aneh!"

"Memang aneh bagi umum, akan tetapi sebenarnya tidaklah aneh. Setiap peristiwa yang terjadi, terjadilah! Tergantung kita yang menghadapinya, kita yang tertimpa oleh peristiwa itu. Diterima dengan marah, boleh. Diterima dengan susah, juga tak ada yang melarang. Diterima dengan sikap tenang seperti kita sekarang ini pun bisa. Tidak perlu kita saling menyalahkan, kita hadapi saja segala yang terjadi sebagai kewajaran dan kita bertindak sesuai dengan gerak hati dan pikiran yang benar."

"Nah, itu baru cocok! Engkau suamiku yang hebat!" Yan Cu menarik leher suaminya dan mencium bibir suaminya penuh kasih sayang. Cong San membalasnya penuh rasa terima kasih dan bersyukur atas pernyataan cinta yang demikian mesra.

"Dari pada ribut-ribut saling menyalahkan, lebih baik kita pergi mencari Kun Liong dan melanjutkan perjalanan bertiga. Betapa senangnya!"

"Wah-wah, alangkah anehnya. Kehilangan segala-galanya, engkau malah bergembira! Di dunia ini mana ada wanita ke dua sehebat engkau, isteriku?"

"Hemm, wajahmu juga berseri-seri, engkau malah lebih bergembira dari pada aku! Uang tiada, rumah tak punya, pakaian pun hanya yang berada di dalam buntalan kita. Hayo jawab, mengapa engkau malah gembira?"

Cong San mengerutkan kulit di antara kedua alisnya, berpikir. "Hemmm... agaknya, yang paling menggirangkan adalah kini terbebas dari orang-orang penyakitan itu. Setiap saat mereka mengganggu kita, datang minta obat, minta periksa penyakitnya, membosankan!"

"Iihhhh, kalau begitu tipis peri kemanusiaanmu!" Isterinya mencela.

"Mungkin! Akan tetapi sebutan peri kemanusiaan itu pun hanya palsu saja, isteriku. Hanya digunakan untuk kedok, padahal sesungguhnya yang terpenting bagi kita kalau mengobati orang adalah jika orang itu sembuh. Kita merasa bangga, merasa senang, merasa lega dan puas. Bukan hanya karena upah dan keuntungannya, namun terutama sekali karena bangga itulah. Akan tetapi lambat laun menjadi membosankan juga..."

"Dan kau tidak menyesal kehilangan rumah dan harta benda?"

"Tidak sama sekali! Bahkan aku merasa lega! Seolah-olah semua harta benda itu tadinya menindih di atas kedua pundakku, membebani aku dengan penjagaan, rasa sayang, rasa khawatir kehilangan, dan lain-lain. Sekarang, habis semua, habis pula seluruh beban itu! Dan engkau, apa yang membuatmu begini gembira?"

"Agaknya, kebebasan seperti yang kau katakan tadi itulah. Akan tetapi terutama sekali, aku merasa bagaikan burung terbang di udara, seperti dahulu lagi, hidup bebas lepas di dunia kang-ouw menghadapi segala rintangan dan bahaya, mempergunakan ilmu untuk melindungi diri sendiri dan membela kebenaran, hidup malang melintang di dunia, tidak dikurung di dalam rumah seperti seorang nyonya sinshe yang setiap hari harus memasak obat!"

"Wah, celaka tiga belas!" Cong San memegang kepalanya.

"Mengapa?"

"Isteriku petualang! Dasar engkau berdarah petualang!"

"Ihhhh!" Yan Cu mencubiti lengan dan paha suaminya yang mengaduh-aduh, akan tetapi senda-gurau ini berakhir dengan peluk kasih sayang yang saling mereka curahkan di atas rumput tebal di bawah pohon pada waktu pagi itu. Tidak terasa lagi oleh mereka akan dinginnya embun yang berada di ujung-ujung rumput dan yang menyambut tubuh mereka. Matahari yang baru muncul tersenyum ria dan menyiram suami isteri itu dengan sinarnya yang keemasan.

"Aihhh, masa di tempat terbuka begini...? Seperti orang terlantar...," bisik Yan Cu.

"Memang kita adalah orang-orang terlantar... petualang-petualang yang tak berumah..." terdengar suara Cong San lirih. "Ingatkah kau saat malam-malam kita baru saja menikah? Beberapa malam kita berbulan madu di dalam hutan, di alam terbuka seperti ini... aihh... mesra...!"

"Ihhh, sudah tua tak tahu malu! ah!"

"Cinta tak mengenal usia..."

Demikianlah, suami isteri itu tenggelam dalam madu asmara yang membuat mereka lupa segala, membuat mereka seperti ketika berbulan madu dalam suasana pengantin baru yang mereka lewatkan di dalam hutan juga, seperti keadaan mereka pada saat itu.

Setelah matahari naik tinggi, barulah tampak suami isteri ini melanjutkan perjalanan lagi. Wajah mereka berseri-seri, mata bersinar-sinar, bibir pun tersenyum dan tangan mereka saling bergandengan pada waktu mereka melangkah keluar dari dalam hutan. Cong San mendengarkan cerita isterinya dengan sabar dan tenang.

"Dia melepas ular beracun di dalam pesta tentu karena lapar, dan secara tidak sengaja menimbulkan kebakaran. Menurut penuturan orang-orang di dusun depan, dia ditangkap dan dipukuli sampai bengkak-bengkak dan koyak-koyak pakaiannya, akan tetapi dia bisa membebaskan diri dan lari entah ke mana."

"Hemm, untung dia masih bisa melarikan diri. Dia mengalami banyak kesukaran, biarlah, hitung-hitung untuk gemblengan jiwanya."

"Tetapi kasihan sekali dia. Kita harus dapat cepat-cepat menemukannya, kalau tidak, aku khawatir dia akan mengalami bencana. Dia masih terlalu kecil untuk merantau seorang diri, dan kepandaiannya juga masih terlalu rendah untuk dipakai melindungi diri."

"Tentu saja kita akan mencarinya sampai dapat, isteriku. Akan tetapi, biarlah kesempatan ini kita pergunakan untuk membicarakan pendidikan terhadap anak kita itu. Biasanya, aku menuduhmu terlalu memanjakan dia, sedangkan kau menuduhku terlalu keras. Ketika kita beristirahat tadi, aku meneropong kenyataan ini dan agaknya kita berdua sudah berlaku terlalu mementingkan diri sendiri, isteriku."

"Apa maksudmu?" Yan Cu memegang tangan suaminya dan menengadah, memandang wajah orang yang berjalan di sampingnya.

"Baik caramu yang menyatakan kasih sayang kepada anak dengan cara terang-terangan sehingga kelihatan memanjakannya, mau pun aku yang ingin melihat anak kita menjadi seorang anak baik sehingga aku kelihatan keras terhadap dia, sesungguhnya sikap kita berdua yang lalu itu hanya mencerminkan pendahuluan kepentingan kita sendiri."

"Coba terangkan, aku masih belum mengerti. Bukankah apa pun cara yang kita berdua pergunakan, sebagai ayah dan ibu, kita mementingkan anak kita? Bukankah kita, dengan cara kita masing-masing, ingin melihat dia menjadi seorang anak yang baik?"

Cong San menarik napas panjang. "Itulah dia, isteriku sayang. Itulah salahnya, dan itulah kesalahan kita. Kita INGIN MELIHAT dia menjadi ini, menjadi itu. Kita ingin MEMBENTUK dia sesuai dengan keinginan dan selera kita sehingga kita lupa bahwa dia itu, sebagai seorang yang hanya kebetulan terlahir sebagai anak kita, dia memiliki hak untuk tumbuh sendiri, dia mempunyai kepribadian sendiri, dia berhak menentukan sendiri, bukan hanya menjiplak seperti yang kita paksakan untuk membentuk dia. Dia bukan boneka, bukan tanah liat yang boleh kita bentuk sekehendak hati kita! Kita sudah keliru dalam mendidik putera kita itu, Yan Cu!"

Yan Cu termenung. Dia dapat mengerti apa yang dimaksudkan suaminya. Memang harus dia akui bahwa selama ini, baginya yang terpenting hanyalah keinginan hatinya sendiri! Dia ingin melihat puteranya begini, begitu, penurut, tekun belajar, dan sebagainya. Tidak pernah satu kali juga dia memperhatikan, apa sebenarnya yang disukai dan dikehendaki puteranya! Segala ingin dia atur sehingga jejak langkah hidup puteranya itu harus tepat seperti yang digariskannya! Betapa picik dan terlalu mementingkan diri sendiri itu! Dia mulai merasa menyesal dan terharu.

"Habis, bagaimana baiknya dalam mendidik anak-anak kita, suamiku?"

"Anak-anak kita? Anak kita hanya seorang Yan Cu."

"Hemmm, siapa tahu? Apakah engkau sudah merasa puas dan cukup hanya mempunyai seorang anak saja?"

Cong San tersenyum dan merangkulkan lengannya pada pundak isterinya, lalu mereka melangkah lagi perlahan-lahan.

"Kita harus memberi kebebasan kepada anak kita, kita harus menuntun mereka supaya mereka mengerti dan tahu akan arti dan pentingnya hidup bebas! Agar dia tahu belajar mengenai dirinya sendiri sehingga di dalam dirinya dia akan menemukan guru. Agar dia hidup wajar, tidak berpura-pura, tidak munafik dan yang terpenting, tidak seperti seekor kambing yang dituntun, atau seperti batang pohon lemah yang hanya bergerak mengikuti ke mana angin bertiup. Agar dia berkepribadian, kepribadiannya sendiri, bukan menjiplak kepribadianku atau kepribadianmu, karena kalau hidupnya hanya kita bentuk supaya dia menjadi penjiplak saja, tiada bedanya dengan membentuk dia menjadi sebuah boneka hidup. Mengertikah engkau, isteriku?"

Yan Cu tidak menjawab, mengerutkan alisnya, kemudian baru berkata ragu-ragu.

"Entah suamiku, aku tidak berani bilang sudah mengerti, akan tetapi rasanya aku dapat menerima, aku dapat melihat kebenarannya."

Cong San menunduk dan mencium dahi muka yang terangkat itu, mesra dan penuh rasa kasih. "Syukurlah, aku sendiri pun tak mengerti betul. Pendapat ini begitu tiba-tiba, bukan merupakan pendapatku, melainkan aku seperti melihat kesalahan-kesalahan kita di dalam mendidik dan kita harus melakukan perubahan."

"Sudahlah, tentang mendidik Kun Liong kita bicarakan kelak saja. Anaknya pun belum ketemu!"

Cong San menarik napas panjang. "Kau benar aku sudah melamun terlalu jauh."

"Memang kau saja yang melamun? Aku pun sudah melamun, bukan urusan pendidikan, melainkan ke mana kita harus pergi kalau sudah mendapatkan Kun Liong."

"Ke mana?"

"Kurasa dalam keadaan seperti kita ini, sebagai pelarian, tidak ada tempat lain yang kita tuju kecuali satu, yaitu Cin-ling-san."

"Keng Hong dan Biauw Eng...?"

Yan Cu mengangguk.

Hening sejenak. "Engkau benar. Siapa lagi yang akan dapat kita titipi Kun Liong kalau bukan mereka? Aihh, aku rindu sekali kepada mereka."

Suami isteri itu melanjutkan perjalanan dan kini mereka menuju ke dusun seperti yang diceritakan Yan Cu, dan di depan mata mereka terbayanglah wajah sepasang suami isteri yang sakti, yang menjadi sahabat baik mereka, bukan hanya sahabat, bahkan melebihi saudara kandung! Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng!

Siapakah Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng isterinya, sepasang suami isteri sakti yang membuat Cong San dan Yan Cu termenung penuh kerinduan hati itu? Cia Keng Hong dapat dikatakan masih suheng (kakak seperguruan) dari Yan Cu, akan tetapi dalam hal ilmu kepandaian, tingkat pendekar sakti itu jauh di atas tingkat Yan Cu, bahkan jauh pula di atas tingkat kepandaian Cong San sendiri!

Cia Keng Hong adalah seorang pendekar sakti yang pada waktu itu merupakan pendekar besar, seorang di antara datuk-datuk atau ‘raja’ dunia persilatan! Pendekar sakti itulah yang telah berhasil mewarisi semua ilmu kepandaian manusia sakti Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong (Raja Pedang Kepalan Sakti), ayah kandung dari Sie Biauw Eng yang telah menjadi isterinya sendiri. Ilmu kepandaiannya hebat bukan main.

Di sampingnya, isterinya juga terkenal sebagai wanita yang berilmu tinggi sekali sehingga dalam dunia kang-ouw, nama Gunung Cin-ling-san yang menjadi tempat tinggal mereka amatlah disegani dan jarang ada orang berani datang ke tempat itu kalau tidak memiliki kepentingan yang sangat mendesak. Maka tidaklah terlalu mengherankan apa bila dalam keadaan mereka sedang mengalami kesukaran seperti itu Yan Cu dan Cong San, suami isteri ini segera teringat kepada pendekar sakti di Cin-ling-san itu.

********************

Tubuh anak itu penuh luka-luka, bukan luka yang berbahaya, akan tetapi cukup membuat seluruh tubuh terasa nyeri, bengkak-bengkak dan matang biru, dan ada pula yang terobek kulitnya hingga mengeluarkan sedikit darah yang kini sudah mengering dan menghitam. Pakaiannya robek-robek sehingga keadaan Kun Liong pada waktu dia melarikan diri itu seperti seorang anak pengemis.

Kini dia tidak berlari lagi karena tidak ada orang mengejarnya. Setengah malam penuh dia melarikan diri, naik turun bukit dan masuk keluar hutan. Kini matahari telah naik tinggi dan dia berjalan dengan tubuh sakit-sakit dan lelah. Dia bersungut-sungut.

Betapa kejamnya manusia, pikirnya. Manusia seakan-akan merupakan tungku berisikan api panas yang mudah sekali mengeluarkan asap dan membakar siapa saja yang datang mendekatinya. Mudah sekali manusia marah dan berubah menjadi seperti binatang buas.

Ahh, lebih buruk dan lebih jahat lagi. Binatang buas menyerang bukan semata-mata untuk menyakiti, membalas dendam, atau pun karena marah, melainkan karena membutuhkan mangsa, untuk dimakan, seperti manusia menuai gandum untuk dimakan.

Akan tetapi manusia, hanya karena tersinggung hatinya atau dirinya atau rumahnya atau miliknya, bisa menjadi marah, sakit hati dan siap untuk membunuh! Ayahnya sendiri tidak terkecuali. Karena tanpa disengaja menyebabkan tumpahnya obat, sudah pasti ayahnya akan marah sekali kepadanya.

Dan orang-orang kampung itu! Kepala kampung itu! Dia tidak sengaja membakar rumah, juga Kepala Koki tidak sengaja. Namun, hampir kepala koki itu dibunuh oleh mereka. Dan jika dia tidak dapat cepat melarikan diri, tentu sekarang dia sudah tak nyawa lagi! Hanya akibat rumahnya terbakar oleh kecelakaan yang tak disengaja olehnya. Seolah-olah kalau membunuhnya, rumah yang terbakar itu akan pulih kembali! Betapa kejamnya manusia!

Karena pikirannya terganggu oleh rasa penasaran, Kun Liong tidak ingat akan perutnya yang lapar. Setelah terjadi peristiwa kebakaran di dusun itu, dia makin tidak berani pulang betapa pun ingin hatinya. Kalau saja tidak terjadi peristiwa yang tentu akan membuat ayahnya makin marah kepadanya itu, dia akan nekat pulang dan rela menerima hukuman ayahnya karena menumpahkan obat.

Dia sudah rindu kepada ibunya, rindu kepada kamarnya yang nyaman. Akan tetapi dia tahu betapa ayahnya akan marah besar bila mana mendengar bahwa dia telah menjadi penyebab kebakaran sehingga hampir saja dia dikeroyok mati oleh orang-orang sedusun! Kesalahan terhadap ayah bundanya sendiri, ayahnya masih bersikap lunak. Akan tetapi kesalahan kepada orang lain pasti akan membuat ayahnya marah bukan main.

Masih berdengung di telinganya betapa ayahnya secara keras, dan ibunya secara halus selalu memperingatkannya agar dia menjadi seorang anak baik, rajin dan pandai supaya kelak dia menjadi seorang pendekar budiman! Pendekar budiman, sampai hafal dia akan sebutan itu! Hafal dengan penuh rasa muak! Dia tidak ingin menjadi pendekar budiman! Dia tidak sudi! Biarlah dia menjadi Kun Liong yang biasa saja!

Menjelang senja dia tiba di luar sebuah dusun. Barulah terasa olehnya betapa perutnya lapar bukan main, tubuhnya sakit-sakit dan kedua kakinya lelah dan lemas. Teringat akan pakaiannya dan sakunya yang kosong sama sekali, timbul pikirannya untuk mencontoh perbuatan dua orang anak pengemis di dusun yang kebakaran. Akan tetapi pemikiran ini segera dilawannya. Dia akan bekerja, apa saja membantu orang sebagai pengganti nasi pengisi perutnya!

Karena melamun, kakinya yang sudah lelah terantuk batu dan ia pun jatuh menelungkup. Sejenak dia tinggal berbaring menelungkup, meletakkan pipinya di atas tanah. Bau tanah yang sedap, hawa dari tanah yang hangat, membuat dia merasa senang dan nyaman sekali. Betapa nikmatnya rebah seperti itu selamanya, tidak bangun lagi!

Rasa lapar di perutnya berkurang ketika perutnya dia tekankan kuat-kuat kepada tanah. Dia merasa seolah dipeluk dan dibelai tanah, seperti kalau dia dipeluk ibunya. Tak terasa dua titik butir air mata turun dari pelupuk matanya. Betapa rindu dia kepada ibunya.

"Ibu...," dia berbisik, memejamkan mata menahan isak.
Tiba-tiba dia mengangkat muka lalu bangkit duduk dan memandang ke depan. Ketika dia rebah dengan pipi di atas tanah tadi, telinganya menangkap suara langkah-langkah kaki. Dia cepat bangun berdiri ketika melihat serombongan orang berjalan keluar dari dalam dusun itu mengiringkan sebuah peti mati yang dipikul oleh delapan orang.

Penglihatan ini serta-merta mengusir semua persoalan dirinya. Ada orang mati diantar ke tempat penguburan! Kun Liong memandang bengong pada waktu iring-iringan itu lewat di depannya menuju ke sebuah tanah kuburan yang tampak dari situ, di lereng sebuah bukit.

Dia melihat beberapa orang mengiringkan peti jenazah sambil menangis sesenggukan. Ada pula yang diam saja, tidak memperlihatkan muka susah atau senang, akan tetapi ada pula beberapa orang pengiring yang saling bercakap-cakap diselingi mulut tertawa tanpa mengeluarkan suara.

Sering pula Kun Liong menyaksikan keadaan serupa itu di kota. Dalam satu iring-iringan kematian, memang sanak keluarga si mati ada yang menangis, entah menangis sungguh-sungguh atau hanya menangis buatan, akan tetapi banyak pula di antara para pengiring yang melayat sambil bersendau-gurau, sungguh pun suara ketawa mereka selalu mereka tahan.

Tiba-tiba Kun Liong memandang bengong kepada seorang kakek yang berjalan paling akhir. Kakek ini kelihatan gembira sekali! Wajahnya berseri dan walau pun sudah penuh keriput, jelas bahwa kakek itu tertawa-tawa gembira, seolah-olah bukan tengah mengiringi kematian, melainkan mengiringkan mempelai!

Lupa akan rasa nyeri, lelah dan lapar karena tertarik oleh iring-iringan kematian, terutama sekali akan sikap kakek yang tertawa-tawa, Kun Liong menggerakkan kaki, melangkah maju mengikuti iring-iringan yang menuju ke tanah kuburan di lereng bukit itu.

Upacara pemakaman dilakukan dengan sederhana dan cepat seperti biasanya penduduk dusun dan setelah peti mati itu dikubur, semua pengiring lalu bubar meninggalkan tanah kuburan karena senja telah mulai larut. Hanya ada tiga orang yang masih tinggal di tanah kuburan yaitu Si Kakek Tua yang masih nampak gembira, seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang masih berlutut menangis di depan gundukan tanah kuburan baru, dan Kun Liong yang berdiri menonton dari jauh.

"Aihhh, Akian, mengapa engkau menangis terus tiada hentinya?" Si Kakek itu melangkah maju mendekati lelaki itu, duduk di atas batu nisan dekat kuburan baru, menegur dengan nada suara mengejek.

Orang yang bernama Akian itu mengangkat mukanya yang agak pucat, dan sepasang matanya yang merah akibat terlalu banyak menangis itu memandang tak senang pada Si Kakek. Akan tetapi agaknya dia sudah biasa menghormat kakek itu, maka jawabnya,

"Paman Lo, orang menangis merupakan tanda berduka, dan seorang anak yang kematian ayahnya, tentu saja berduka. Apa anehnya jika aku menangisi kematian ayahku? Paman hanya sahabatnya, tentu saja tidak dapat merasakan seperti saya."

Kakek itu meraba-raba jenggotnya yang panjang dan sudah berwarna dua. "Heh-heh-heh, sebetulnya siapakah yang kau kutangisi itu, Akian?"

"Tentu saja Ayah yang kutangisi, Paman!" jawabnya penasaran karena dia merasa betapa pertanyaan itu bodoh dan tidak perlu.

"Benarkah? Kalau ayahmu yang kau tangisi, mengapa kau tangisi?"

Kalau saja tidak ingat bahwa kakek itu adalah sahabat baik ayahnya, dan sudah biasa dihormatnya, tentu akan dimaki atau bahkan dipukul. Akan tetapi kakek itu sudah terlalu tua, agaknya sudah pikun, maka dengan suara terpaksa dia menjawab,

"Dia kutangisi karena dia mati!"

"Hemm, kalau dia mati, mengapa ditangisi?" kakek itu mendesak.

Kun Liong menjadi penasaran seperti orang yang ditanya, karena dalam tanya jawab itu anak ini menangkap sesuatu yang aneh, sesuatu yang membuka kesadaran sehingga membuatnya merasa betapa pertanyaan-pertanyaan kakek itu sama sekali bukan bodoh atau ngawur, melainkan pertanyaan yang penting dan perlu diselidiki jawabnya.

"Aihh, Paman. Kenapa Paman masih bertanya lagi? Tentu saja karena mati dia kutangisi, sebab dia meninggalkan kami untuk selamanya, dia meninggalkan aku untuk selamanya dan kami tak akan saling dapat berjumpa selamanya."

"Ha-ha-ha-ha-ha! Nah, sekarang baru ternyata bahwa yang kau tangisi bukanlah ayahmu, melainkan engkau sendiri, Akian! Engkau menangis dan berduka bukan karena ayahmu mati, bukan karena melihat ayahmu menghadapi kesulitan, melainkan menangisi dirimu sendiri yang ditinggal pergi!"

Mendengar ini, Akian terbelalak, terkejut bukan main dihadapkan dengan kenyataan yang sulit dibantahnya ini. Hatinya lantas merasa ngeri dan dia merasa berdosa besar terhadap ayahnya jika benar bahwa dia menangis bukan menangisi ayahnya, melainkan menangisi dan mengasihani dirinya sendiri! Maka dia cepat membantah untuk membela diri,

"Akan tetapi aku menangis tanpa mengingat diri sendiri, Paman. Aku merasa kasihan terhadap ayah yang meninggal dunia!"

"Hemmm, benarkah itu? Apakah engkau tahu bagaimana keadaan ayahmu setelah mati? Apakah engkau yakin bahwa ayahmu menghadapi kesengsaraan setelah meninggal dunia sehingga engkau merasa kasihan dan menangis penuh duka melihat kesengsaraannya? Ataukah engkau menangis karena engkau kehilangan ayahmu, tak dapat melihatnya lagi, tidak akan dapat berbicara dengannya lagi, tidak ada lagi yang dapat kau sandari sebagai seorang ayah? Ha-ha-ha-ha, aku tidak mau menangis melihat dia mati, Akian, padahal dia sahabatku yang paling baik. Engkau tahu sendiri, setiap hari dia jalan-jalan dengan aku, minum arak, main kartu, mengobrol dengan aku. Akan tetapi aku tidak mau menangisi kehilanganku, aku malah girang karena sahabat baikku itu telah terbebas dari pada hidup yang serba sulit ini, terhindar dari kesengsaraan hidup."

"Benarkah itu, Paman Lo?" tiba-tiba saja Akian membantah dan menyerang. "Bagaimana Paman bisa tahu bahwa ayah terbebas dari kesulitan hidup, terhindar dari kesengsaraan? Apakah Paman melihat sendiri dan sudah yakin akan hal itu maka Paman tertawa-tawa gembira? Ataukah semua itu pun hanya merupakan harapan dan hiburan bagi hati Paman sendiri belaka?"

Mulut kakek yang tadinya tersenyum lebar itu tiba-tiba saja kehilangan serinya, matanya terbuka lebar dan dia melongo, memandang jauh seperti orang melamun, ragu-ragu dan tanpa disadarinya, jari tangannya mencabut-cabut jenggot sampai akhirnya dia menarik napas panjang berulang-ulang. "Aihhh... aku tidak ingat akan hal itu... hemmm... sekarang aku pun bingung dan ragu apakah aku tertawa demi ayahmu, ataukah hanya demi diriku sendiri..."

Dua orang itu duduk melamun di depan kuburan baru itu, tidak tahu betapa seorang anak laki-laki kecil melangkah perlahan-lahan mendekati mereka. Kun Liong yang mendengar percakapan itu, merasa tertarik sekali dan dia merasa betapa benarnya mereka berdua itu, membuka mata masing-masing akan kepalsuan dan kekeliruan mereka sehingga dia sendiri pun dapat melihat betapa picik, penuh rasa iba diri, pura-pura dan palsu adanya sikap orang-orang yang kematian. Akan tetapi dia sendiri pun tidak tahu apa yang menjadi penyebab orang-orang itu bersikap seperti itu.

"Aku hanya merasa kasihan dan menyesal kalau teringat betapa Ayah mati karena gigitan ular berbisa...," terdengar suara Akian memecah kesunyian.

"Tak perlu disesalkan, sudah terlalu banyak penduduk dusun kita itu mati oleh gigitan ular beracun yang memenuhi hutan di selatan itu. Memang menggemaskan ular-ular itu..."

"Mengapa tidak dilawan saja ular-ular itu?"

Mereka kaget dan menengok, lebih heran lagi ketika melihat bahwa yang menganjurkan melawan ular-ular itu hanyalah seorang anak laki-laki yang masih kecil, yang tubuhnya bengkak-bengkak dan matang biru, pakaiannya koyak-koyak dan kelihatannya lemas dan pucat.

"Aihhh, siapakah engkau?" Akian bertanya, agak seram melihat munculnya seorang anak laki-laki yang tak dikenal di tanah kuburan, pada waktu senja larut dan cuaca mulai agak gelap itu.

"Siapa aku tidak penting, Paman. Akan tetapi kenapa sampai ada ular membunuh orang? Mengapa ular-ular berbisa itu tidak ditangkap?"

Kakek itu bangkit berdiri. "Bocah, kau bicara sembarangan saja! Siapa berani menangkap ular berbisa?"

"Hemmm, sejak kecil aku sudah biasa menangkap ular!" Kun Liong berkata, "Dan sudah biasa pula makan daging ular berbisa."

"Aku tidak percaya!" Akian juga bangkit berdiri.

Tiba-tiba hidung Kun Liong mencium sesuatu dan cuping hidungnya berkembang-kempis. "Harap kalian mundur, ada ular berbisa di sini, akan kutangkap agar kalian dapat melihat bahwa manusia tidak kalah oleh ular yang mana pun juga!"

Biar pun ular itu belum tampak, kakek dan laki-laki itu meloncat ke belakang Kun Liong dengan ketakutan. Kun Liong lalu melangkah maju, menghampiri sebelah bawah sebuah kuburan tua yang berada dekat dengan kuburan baru itu.

Kun Liong mendekatkan hidungnya pada sebuah lubang dan ternyata benar dugaannya. Bau ular itu keluar dari lubang ini. Kun Liong segera mempergunakan tangan kanannya menepuk-nepuk sebelah atas lubang dengan telapak tangan dan mulutnya mengeluarkan bunyi mencicit seperti bunyi anak tikus.

Dua orang itu berdiri dengan mata terbuka lebar, dan mata mereka menjadi lebih lebar lagi ketika tiba-tiba dari dalam lubang itu keluar kepala seekor ular hitam yang lidahnya merah! Semakin lama semakin panjang tubuh ular itu tersembul keluar, dan secepat kilat tangan kiri Kun Liong menyambar dan ular itu sudah ditangkap pada lehernya, kemudian dibuat tidak berdaya dan lumpuh seperti biasa.

"Wah, kiranya engkau benar-benar dapat menangkap ular!" Akian berseru girang seperti bersorak.

"Eh, anak kecil, bagaimana engkau berani melakukan ini? Ular-ular di sini... eh, maksudku di hutan sebelah selatan, adalah ular-ular peliharaan...," kata Si Kakek.

"Apa...?" Kun Liong bertanya tidak percaya. "Siapa yang memelihara ular?"

"Ssstt, Paman, harap jangan main-main..." Akian berkata, memandang ke kanan kiri dan kelihatan takut-takut.

"Tidak ada yang tahu betul siapa yang memelihara, anak aneh, akan tetapi ular raksasa yang berada di tengah hutan tentu akan membunuhmu karena engkau sudah berani menangkap ular ini."

"Ular raksasa? Di mana binatang itu?"

"Di tengah hutan sebelah selatan dusun kami," kata Si kakek, tanpa mempedulikan Akian yang beberapa kali menaruh telunjuk di depan bibir yang mendesis-desis sebagai isyarat menyuruh kakek itu diam.

"Kalau benar ada ular raksasa yang suka mengganggu penduduk, biarlah besok pagi aku akan menangkapnya!" Kun Liong berkata dengan nada suara gagah.

Kakek itu saling pandang dengan Akian, kemudian dia mengejap-ngejapkan sepasang matanya. Kepada Kun Liong dia berkata, "Benarkah itu, anak yang ajaib? Dan engkau juga bisa mengobati orang yang kena digigit ular berbisa?"

"Aku dapat, Kek. Apakah masih ada korban ular berbisa?"

"Ada dua orang, di dusun kami!" Akian kini berkata tergesa-gesa dan penuh harapan.

"Antarkan aku kepada mereka, akan kuobati. Cepat, jangan sampai terlambat!" kata Kun Liong.

Kakek Lo dan Akian lalu mengajak Kun Liong berlari-lari menuju ke dusun dan mereka disambut oleh penduduk dusun yang terheran-heran memandang Kun Liong yang masih memegang seekor ular hitam, apa lagi ketika mereka mendengar penuturan Si Kakek Tua bahwa anak ajaib itu akan mengobati dua orang yang terkena gigitan ular berbisa.

Kun Liong diantar kepada ayah dan anak yang siang tadi digigit ular berbisa pada waktu mereka sedang mencari kayu kering di pinggir hutan. Keduanya digigit ular pada betis kaki mereka yang kini menjadi bengkak dan biru. Anak yang usianya sebaya dengan Kun Liong itu pingsan, ada pun si ayah rebah gelisah, mengigau dengan tubuh panas seperti anaknya.

Ibu anak itu menangis, akan tetapi tangisnya dipaksa berhenti ketika mendengar bahwa anak yang tampan dan berpakaian koyak-koyak itu datang untuk mengobati suami serta anaknya. Berbondong-bondong orang dusun mengikuti Kun Liong memasuki rumah petani itu.

Sesampainya di depan pintu kamar, Kun Liong berhenti, membalikkan tubuh dan berkata, "Harap para paman dan bibi suka menunggu di luar saja. Tidak baik kalau kamar yang menderita sakit dipenuhi orang."

Kakek Lo segera melangkah maju mendekati Kun Liong, lantas berkata dengan suara lantang, "Tabib kecil ini berkata benar! Hayo kalian keluar semua! Apa dikira ini tontonan? Susah payah aku yang menemukan anak ajaib ini berhasil membawanya ke sini untuk menyelamatkan dusun kita. Hayo pergi kataku, pergi keluar!"

Dengan lagak bangga kakek itu mendesak mereka keluar dan hanya memperbolehkan nyonya rumah, dia sendiri, dan Akian yang dianggap sekutunya dalam menemukan Kun Liong, mengantar anak itu memasuki kamar dua orang korban gigitan ular berbisa itu.

Dengan sikap sungguh-sungguh Kun Liong memeriksa luka di kaki ayah dan anak itu. Dia memang sudah agak matang memperoleh pelajaran tentang racun ular dari ibunya yang menganggap betapa pentingnya pengetahuan ini, maka sekali pandang saja maklumlah Kun Liong bahwa kedua orang itu digigit ular belang. Cepat dia menuliskan nama-nama obat yang harus dibelinya dari kota, kemudian dia minta sebuah pisau yang runcing tajam, merobek kulit bagian kaki yang menggembung serta mengeluarkan darah hitam dengan jalan memijat dan mengurut.

Kakek Lo segera menyuruh seorang penduduk lari ke kota membeli obat. Setelah orang itu kembali membawa obat, menurutkan petunjuk Kun Liong obat itu sebagian dimasak dan diminumkan yang sakit, sebagian yang berupa bubuk merah dicampur air panas dan ditaruh di atas luka lalu luka itu dibalut. Dapat dibayangkan betapa lega dan girang hati nyonya rumah ketika melihat suami dan puteranya itu dapat tidur pulas dan tubuh mereka tidak terasa panas lagi. Serta merta dia menjatuhkan diri berlutut di depan Kun Liong yang cepat-cepat membangunkan kembali.

Kakek Lo dengan bangga dan girang berkata, "Aihh, Siauw-sinshe, kepandaianmu seperti dewa! Harap saja engkau benar-benar akan dapat membersihkan ular-ular itu dari hutan di selatan agar keselamatan kami di dusun ini dapat terjamin,"

Kun Liong mengangguk. "Jangan khawatir, Kakek yang baik. Besok aku akan mencoba menangkap ular raksasa yang kau ceritakan tadi. Sekarang aku perlu sebuah tempat tidur dan... hemm, perutku lapar bukan main. Sejak kemarin malam aku belum makan..."

"Aihhh! Kenapa tidak dari tadi bilang? Marilah ke rumahku, kami sediakan kamar untukmu dan tentang makan, tidak perlu khawatir. Marilah!" Dia menggandeng tangan Kun Liong, menariknya ke luar untuk diajak menuju ke rumahnya. Ketika sampai di luar pintu, dia berkata kepada orang-orang yang menanti di luar.

"Kini mereka telah sembuh, disembuhkan oleh anak ajaib ini! Dan ketahuilah, besok pagi anak dewa yang kutemukan ini, yang malam ini akan makan dan tidur di rumahku, akan menangkap ular raksasa dan membasmi semua ular berbisa di hutan selatan!"

Tanpa menanti jawaban kakek itu menarik tangan Kun Liong pergi dari situ, tidak peduli akan seruan-seruan heran dan takjub dari orang-orang yang menimbulkan kebanggaan di dalam hatinya. Betapa dia tidak akan bangga? Dia yang menemukan anak ajaib ini!

Akian memperoleh kesempatan untuk mendongeng tentang ‘anak ajaib’ yang ia dapatkan bersama Kakek Lo. Kalau saja Kun Liong mendengar bagaimana Akian bercerita tentang dirinya, tentang kemunculannya yang dikatakan melayang turun dari angkasa, betapa dia menangkap ular dengan mantera, dan beberapa macam keanehan lagi, tentu Kun Liong sendiri akan terheran-heran, lebih heran dari pada orang-orang dusun itu sendiri!

Kakek Lo tidak kekurangan hidangan untuk menjamu Kun Liong karena begitu mereka memasuki rumah kakek itu, berbondong-bondong para penduduk mengantar hidangan seadanya yang masih mereka punyai sehingga tidak lama kemudian Kun Liong sudah duduk menghadapi meja yang penuh dengan hidangan, dilayani sendiri oleh Kakek Lo dan keluarganya yang terdiri dari anak laki-laki, mantu dan tiga orang cucu.

Sesudah makan kenyang, malam itu Kun Liong tidur dengan nyenyak sekali dan pada keesokan harinya, Kakek Lo menyambutnya dengan pakaian baru yang ukurannya tepat sekali bentuknya. "Pakaianmu sudah koyak-koyak semua, pakailah pakaian ini, pakaian cucuku yang masih baru, belum pernah dipakainya sama sekali."

Kun Liong tak menolak dan setelah mandi, dia mengenakan pakaian baru itu. Rambutnya disisir rapi lalu digelung dan diikat dengan sehelai sapu tangan sutera. Juga pemberian sepatu baru dipakainya.

"Hebat! Engkau tentu seorang kongcu, seorang putera bangsawan!" Kakek Lo berseru dan memandang kagum kepada anak yang berdiri di depannya, segar dan tampan sekali.

"Bukan, Kek. Aku bukan anak bangsawan, Ayah bundaku hanyalah ahli-ahli obat biasa saja."

"Siapakah namamu, Siauw-sinshe?"

"Aku she Yap, namaku Kun Liong."

"Yap-kongcu (Tuan Muda Yap)...!"

"Wah, aku bukan seorang kongcu, aku anak biasa. Panggil saja namaku, Kek."

"Ahhh, tidak, siapa percaya? Yap-kongcu, silakan keluar, di depan rumah sudah menanti para penduduk, bahkan kepala dusun ini sendiri datang untuk bertemu denganmu."

Kun Liong kaget dan merasa betapa penduduk telah menghormatinya secara berlebihan. Ketika dia keluar, benar saja dia melihat penduduk sudah berkumpul di depan rumah itu, dipimpin oleh kepala dusun yang menjura dengan sikap hormat kepada Kun Liong sambil berkata,

"Kami mewakili penduduk dusun Coa-tong-cung berterima kasih sekali kepada Siauw-kongcu yang telah menolong kami menyembuhkan dua penduduk yang terluka dan akan menangkap ular raksasa yang banyak mengganggu kami."

"Harap Cuwi tidak bersikap sungkan," kata Kun Liong malu-malu. "Aku hanya melakukan apa yang dapat kulakukan, dan memang sudah biasa aku menangkap ular. Hanya saja, terus terang kukatakan bahwa selamanya aku belum pernah menangkap ular yang besar. Akan kucoba menundukkannya dan kuharap supaya disediakan seekor ayam betina yang gemuk dengan tali panjang mengikat kakinya untuk umpan."

Kepala dusun cepat memerintahkan orangnya untuk menyediakan permintaan Kun Liong, kemudian beramai-ramai mereka mengantarkan anak itu ke dalam hutan di selatan Dusun Coa-tong-cung (Dusun Goa Ular). Akan tetapi tidak seorang pun berani memasuki hutan, hanya berdiri saja di luar hutan yang kelihatan gelap itu dengan wajah membayangkan kengerian.

"Mengapa Cuwi (Kalian) berhenti? Siapa yang akan menunjukkan kepadaku tempat ular raksasa itu?"

Semua orang menunduk, akan tetapi Kakek Lo langsung melangkah maju dan berkata dengan suara dipaksakan dan dada dibusungkan, "Aku akan menemanimu, Yap-kongcu!"

"Aku juga!" Akian melangkah maju pula.

"Hemmm…, memang sebaiknya ada yang mengawal kalau-kalau Siauw-kongcu ini perlu bantuan," kata kepala dusun yang menggunakan wibawanya lalu memilih sepuluh orang pemuda-pemuda yang bertubuh kuat dan membawa senjata, dan dia sendiri memimpin sepuluh orang itu mengikuti Kun Liong, Kakek Lo, dan Akian memasuki hutan.

Setelah tiba di tengah hutan, di bagian yang berbatu-batu, Akian menuding ke depan dan semua pengikut itu tiba-tiba berhenti, wajah mereka berubah. pucat dan tak seorang pun berani maju lagi.

Kun Liong memandang ke depan. Hidungnya sudah mencium bau keras, bau wengur yang menandakan bahwa di dekat situ terdapat seekor ular besar. "Harap Cuwi menanti saja di sini," katanya.

Dia lalu membawa ayam betina yang telah diikat kakinya itu, perlahan-lahan menghampiri sebuah goa di antara batu-batu gunung. Setelah dia menyelinap di antara batu-batu dan tiba di mulut goa, tampaklah olehnya seekor ular yang amat besar dan panjang.

Mula-mula ketika dia tiba di situ, ular itu sedang melingkar, akan tetapi agaknya ular itu telah melihat kedatangannya. Ular itu mendesis kemudian tubuhnya yang melingkar mulai bergerak-gerak, lingkarannya terlepas sehingga tampaklah tubuh yang panjang sekali, tak kurang dari empat meter panjangnya, dan besar perutnya melebihi paha Kun Liong!

Sesudah berada di depan ular yang mendesis-desis dan lidah merahnya keluar masuk mulut dengan cepat sekali itu, Kun Liong berhenti. Terlalu berbahaya kalau mendekat lagi. Dia mengukur jarak antara dia dan ular, dan mengingat apa yang telah dipelajarinya dari ibunya.

Ibunya pernah menundukkan seekor ular besar, meski pun tidak sebesar ular di depannya ini. Menurut pelajaran yang diberikan oleh ibunya, seekor ular besar berbeda bahayanya dengan ular kecil yang beracun. Ular kecil gigitannya mematikan karena mengandung bisa. Akan tetapi seekor ular besar yang tak berbisa seperti ini, bahayanya terletak pada mulut yang dapat menjadi lebar sekali, yang gigitannya tidak mungkin dapat dilepaskan oleh Si Korban, dan juga terletak pada belitan tubuhnya yang amat kuat.

Untuk membuat mulut lebar itu tidak berdaya, harus dipergunakan umpan, karena sekali ular itu menggigit korbannya, gigi-giginya yang melengkung ke dalam itu akan merupakan kaitan yang sukar melepaskan si korban dan dalam keadaan menggigit korbannya, ular itu tidak dapat menyerang lawan dengan mulutnya. Mudah untuk membuat mulut itu tidak berdaya, pikir Kun Liong, yang berbahaya adalah belitan tubuh ular itu. Harus cepat dapat menotok tengkuk di belakang kepala sehingga tubuh itu menjadi setengah lumpuh.

Ular itu kini mengeluarkan desis keras sesudah Kun Liong melepaskan ayamnya. Ayam betina gemuk itu mengenal bahaya. Dia meronta-ronta dan menggerakkan sayap hendak lari dan terbang, akan tetapi tali yang mengikat kaki itu menahannya. Dengan mata yang memandang tanpa berkedip, Kun Liong menggerakkan talinya sehingga tubuh ayam itu terlempar ke depan, ke dekat ular.

Menakjubkan melihat ular sebesar itu, membayangkan kelambanan, dapat menggerakkan kepala dengan kecepatan luar biasa dan tahu-tahu ayam itu sudah memekik-mekik serta meronta-ronta, namun tak mungkin dapat melepaskan diri dari gigi-gigi runcing yang telah menancap pada tubuhnya dan mengait daging serta tulangnya.
Selanjutnya,

Petualang Asmara Jilid 03

Petualang Asmara Jilid 03
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
DENGAN mempergunakan ilmunya berlari cepat, tanpa mempedulikan seruan-seruan dan pandang mata penuh keheranan dari para penduduk Leng-kok yang kebetulan melihat nyonya ini berlari demikian cepatnya bagaikan terbang, Yan Cu menuju gedung kepala daerah yang berada di ujung kota sebelah utara. Sebuah rumah gedung yang mewah dan megah, paling besar di dalam kota Leng-kok.

"Berhenti!" Seorang penjaga pintu gerbang di depan gedung itu membentak.

Lima orang kawannya sudah muncul ke luar dari tempat penjagaan menghadapi Yan Cu dengan tombak ditodongkan. Pada saat mereka mengenal nyonya itu, timbul dua macam perasaan yang tampak dalam sikap mereka yang ragu-ragu.

Mereka itu sedikit banyak merasa segan dan menghormat nyonya cantik jelita yang telah terkenal banyak menolong orang sakit di kota Leng-kok ini, bahkan di antara mareka tidak ada seorang pun yang tidak pernah ditolong, ketika seorang di antara keluarga mereka atau mereka sendiri sakit.

Di samping ini, mereka juga sudah tahu bahwa suami nyonya ini sudah ditahan dan kini dimasukkan di dalam rumah penjara, dijaga ketat atas perintah Ma-taijin sendiri dengan tuduhan memberontak dan bersekutu dengan Pek-lian-kauw! Tuduhan yang sangat berat dan menakutkan, sehingga tidak ada seorang pun di antara para penjaga ini yang berani memperlihatkan sikap yang lunak dan bersahabat terhadap seorang sekutu Pek-lian-kauw karena khawatir dituduh bersekutu pula.

"Eh... Toanio... hendak ke manakah?" Komandan jaga, yang berkumis tebal dan bertubuh tinggi besar, menegur ragu-ragu.

"Aku hendak bertemu dan bicara dengan Ma-taijin!" jawab Yan Cu singkat.

"Tapi... tapi..." Komandan jaga itu membantah, semakin meragu dan bingung karena dia maklum bahwa kalau dia melapor ke dalam tentu dia akan didamprat oleh atasannya.

"Tidak ada tapi, tinggal kau pilih saja. Kau akan melapor ke dalam minta Ma-taijin keluar menyambutku, atau aku yang akan langsung masuk untuk mencarinya sendiri di dalam gedungnya!"

"Wah, Toanio membuat kami serba susah. Untuk menemui Ma-taijin tentu saja tak begitu mudah. Jika memang Toanio ada keperluan dan ingin menghadap, harap suka membuat surat permohonan dan besok siang, sesudah Ma-taijin berada di kantornya, Toanio boleh saja menghadap melalui peraturan biasa. Sekarang, sudah malam begini..."

"Dia pun hanya manusia biasa, mengapa aku tidak bisa bertemu dan bicara dengan dia sekarang juga? Sudahlah, biar aku mencarinya sendiri!"

Yan Cu segera melangkah memasuki halaman depan gedung itu, akan tetapi enam orang penjaga itu sudah melompat ke depan, menghadangnya dengan tombak di tangan yang dipalangkan agar menghalangi majunya nyonya itu.

"Toanio, kami tak bermaksud bersikap kasar terhadap seorang wanita, apa lagi terhadap Toanio. Akan tetapi, jangan Toanio mendesak kami dan membuat kami tersudut..., kami hanya memenuhi kewajiban kami..."

"Minggirlah!" Yan Cu berseru nyaring, kedua tangannya bergerak secepat kilat ke kanan kiri dan enam orang penjaga itu roboh terpelanting ke kanan kiri bagai segenggam rumput tertiup angin! Pada saat mereka merangkak bangun dengan mata terbelalak mencari-cari, ternyata bayangan nyonya itu telah lenyap dari situ!

Dengan cepat sekali, sesudah berhasil merobohkan enam orang penjaga dengan sekali dorong, Yan Cu meloncat ke depan, langsung dia menyerbu ke ruangan depan gedung yang megah itu. Akan tetapi, baru saja kedua kakinya yang tadinya melompat dari jauh itu menyentuh lantai, belasan orang penjaga telah muncul lantas menghadangnya dengan golok di tangan.

Komandan pengawal di ruangan depan itu pun mengenal nyonya itu, dan memang dia telah mendapat perintah dari atasan untuk berjaga-jaga dengan anak buahnya berhubung dengan ditangkapnya Yap Cong San. Mereka semua telah mendengar bahwa tidak hanya Yap-sinshe yang pandai ilmu silat, juga isterinya adalah seorang pendekar wanita yang lihai.

"Tangkap isteri pemberontak!" Komandan itu berseru dan anak buahnya yang berjumlah selosin orang itu telah bergerak mengurung Yan Cu dengan golok di tangan, sikap mereka mengancam sekali karena betapa pun juga, mereka memandang rendah kalau lawannya hanya seorang wanita cantik seperti ini.

Biar pun mereka telah mendengar bahwa wanita ini pandai main silat, akan tetapi mereka yang berjumlah tiga belas orang itu, masih ditambah pula dengan para pengawal yang dipersiapkan di dalam menjaga keselamatan Ma-taijin, tentu saja tidak perlu merasa jeri terhadap seorang wanita!

Yan Cu mengerling ke kanan kiri, sikapnya angker penuh wibawa, sepasang pipinya yang halus itu menjadi merah ada pun matanya yang indah mengeluarkan sinar berkilat. Sudah bertahun-tahun dia hidup aman tenteram di sisi suaminya, tidak pernah lagi menggunakan ilmu silatnya untuk bertempur dan dia hampir lupa akan semua pengalamannya dulu pada waktu dia masih seorang gadis, pengalaman yang penuh dengan pertempuran hebat dan mati-matian.

Sudah sebelas tahun dia tidak pernah memukul orang, dan tadi di pintu gerbang adalah gerakan pertama selama ini, gerakan untuk merobohkan orang biar pun dia merobohkan enam orang tadi bukan dengan maksud membunuh, hanya cukup untuk membuat mereka agar tidak menghalanginya. Kini, dikurung oleh belasan orang, timbul kembali semangat kependekarannya.

Kini dia bergerak untuk membela suaminya. Jangankan hanya belasan orang pengawal, biar di sana ada barisan setan dan iblis sekali pun dia tidak akan menjadi gentar dan akan dilawannya! Timbulnya semangat ini menimbulkan pula kegembiraannya! Kegembiraan yang hanya dapat dirasakan oleh seorang pendekar, atau seorang tentara dalam medan perang yang sudah kebal akan rasa takut.

"Apakah kalian sudah bosan hidup?" Pertanyaan ini keluar dari mulutnya dengan suara halus, bagaikan suara seorang ibu menegur anaknya, akan tetapi nadanya mengandung penghinaan dan sindiran. "Aku mau bertemu dan bicara dengan Ma-taijin! Dia mau atau tidak tetap harus menjumpai aku, dan jika kalian hendak mencoba menghalangiku, jangan persalahkan aku bila kaki tanganku yang tidah bermata akan membuat kalian jatuh untuk tidak bangun kembali!"

"Tangkap pemberontak sombong!" Komandan yang bertubuh tinggi gendut dan mukanya penuh bopeng bekas penyakit cacar itu kembali berteriak.

Komandan ini adalah seorang perwira pengawal yang baru saja datang dari kota raja. Dia belum mengenal Yap-sinshe dan isterinya, maka dia pun tidak merasa sungkan terhadap suami isteri itu seperti yang dirasakan oleh banyak pengawal yang sudah mengenal dan sedikit banyak berhutang budi kepada mereka.

Dua belas orang anak buahnya yang semua bersenjata golok karena memang mereka adalah anggota pasukan bergolok besar, segera maju menyerbu, akan tetapi mereka itu masih merasa sungkan, hanya menggerakkan tangan kiri yang tidak bersenjata, berlomba menangkap nyonya yang meski pun usianya sudah tiga puluh tahun namun masih amat cantik jelita dan kelihatan seperti seorang dara berusia dua puluh tahun saja!

Dahulu, ketika masih dara remaja, Gui Yan Cu mempunyai watak halus namun jenaka dan juga tegas menghadapi penjahat atau musuh. Akan tetapi, sekarang, setelah sepuluh tahun lebih menjadi isteri Yap Cong San, setelah dia menjadi seorang ibu dan sudah lama tidak pernah bertempur atau bermusuhan, walau pun dia masih memiliki keberanian dan ketegasan bertindak, akan tetapi hatinya menjadi makin lembut dan dia tidak tega untuk menjatuhkan tangan besi terhadap para pengawal ini.

Dia bukan seorang dara muda yang ganas lagi, yang berpemandangan sempit dan suka merobohkan orang tanpa perhitungan lagi. Dia kini berpemandangan luas dan jauh, maka dia maklum bahwa semua pengawal ini hanya menjalankan tugas masing-masing, sama sekali tidak mempunyai permusuhan pribadi terhadap dirinya atau suaminya.

Melihat cara mereka bergerak menyerbunya, tidak menggunakan golok melainkan hanya menggunakan tangan kiri untuk menangkapnya saja sudah membuktikan bahwa mereka itu sedikit banyak memiliki rasa segan terhadap dirinya. Hal ini mengurangi banyak nafsu amarahnya dan meniup lenyap niatnya memberi hajaran keras kepada mereka.

Melihat semua orang menubruk maju, Yan Cu menggerakkan dua kakinya menekan lantai dan tiba-tiba saja tubuhnya melesat serta meluncur ke atas, melewati kepala mereka dan gegerlah para pengawal yang saling tubruk dan saling pandang karena tahu-tahu ‘burung’ di tengah yang mereka kurung tadi telah terbang lenyap begitu saja! Cepat-cepat mereka membalikkan tubuh mencari-cari dan berlari-larian menyerbu ke arah komandan gemuk mereka yang berteriak-teriak kesakitan karena sedang ditampari oleh Yan Cu, seperti seorang anak kecil yang nakal dipukuli ibunya!

"Plak! Plak! Plak!"

Kedua pipi komandan gendut itu menjadi bengkak-bengkak dan dari ujung kedua bibirnya mengalir darah yang keluar dari bekas tempat gigi yang coplok!

Yan Cu menendang tubuh komandan Itu yang terlempar dan terbanting mengaduh-aduh meraba sepasang pipinya dengan kedua tangan, matanya terbelalak memandang kepada nyonya itu karena dia masih kaget dan heran akan serangan itu. Tadi dia melihat betapa tubuh nyonya itu melayang melalui kepala para pengepungnya, menyambar ke arahnya. Dia cepat menggerakkan goloknya menyambut dengan bacokan ke arah muka nyonya itu, akan tetapi entah bagaimana, tahu-tahu goloknya direnggut lepas dari pegangannya, dan seperti kilat menyambar-nyambar, kedua tangan nyonya itu telah menggaplok kedua pipinya sampai matanya menjadi gelap dan berkunang-kunang!

"Biarlah itu menjadi pelajaran bagimu agar jangan lancang menggunakan mulut!" Yan Cu berkata.

Akan tetapi pada waktu itu, dua belas pengawal yang melihat betapa komandan mereka ditampari dan dirobohkan, menjadi kaget sekali dan terpaksa mereka kini menerjang maju dengan golok besar mereka di tangan. Kalau mereka tidak menyerang dengan sungguh-sungguh, tentu mereka akan ditegur dan dihukum, dikira menaruh kasihan dan membela seorang isteri pemberontak!

Terjadilah pengeroyokan yang kacau balau, diselingi suara hiruk-pikuk teriakan-teriakan mereka. Yan Cu melompat ke sana sini mengelak sambaran-sambaran golok, kemudian dengan sentuhan ujung kaki mengenai pergelangan tangan seorang pengeroyok, cukup membuat jari tangan yang memegang terbuka dan goloknya terlepas.

Yan Cu menyambar golok ini dan terdengarlah suara berdenting-denting nyaring disusul teriakan-teriakan para pengeroyok karena begitu nyonya itu telah menggerakkan goloknya menghadapi para pengeroyok, dalam beberapa jurus saja, empat batang golok yang kena ditangkis terlempar ke sana sini, dua orang lagi terpaksa melepaskan golok karena lengan mereka tergores ujung golok Yan Cu dan berdarah sungguh pun bukan merupakan luka yang parah.

Dalam sekejap mata saja tujuh orang pengeroyok dibuat tidak berdaya. Tentu saja lima orang yang lainnya menjadi gentar, dan dengan muka pucat mereka itu masih mengurung tanpa berani bergerak! Pada saat itu tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan dan muncullah puluhan orang pengawal dari dalam, diikuti oleh Ma-taijin sendiri!

Pembesar ini tentu saja berani keluar dari kamarnya karena dia dijaga oleh empat puluh orang pengawal yang berkepandaian tinggi! Dengan sikap tenang tapi jelas menyinarkan kemarahan dia mengikuti pasukan pengawal itu keluar ke ruangan depan,

"Tangkap pemberontak itu!" Terdengar Ma-taijin sendiri mengeluarkan aba-aba.

"Tahan semua...!"

Bentakan Yan Cu mengandung tenaga khikang yang hebat, membuat semua pengawal yang sudah mulai bergerak itu terkejut dan terguncang jantungnya, memandang kepada nyonya yang sudah berdiri tegak dan memalangkan golok rampasan di depan dada, tidak mempedulikan para pengawal yang sudah membuat gerakan mengurungnya, melainkan menunjukkan perhatian dan pandang matanya ke arah Ma-taijin.

"Ma-taijin, aku datang bukan untuk berkelahi, bukan untuk mengamuk, akan tetapi untuk bertemu dan bicara denganmu!"

"Hemmm, perempuan tak berbudi!" Pembesar itu membentak karena merasa sangat malu mendengar kata-kata dan melihat sikap yang sama sekali tidak menghormatinya itu, malu kepada para pengawalnya oleh karena sikap wanita itu benar-benar telah menyeret turun wibawa dan derajatnya! "Seorang pemberontak dan berdosa besar seperti suamimu dan engkau, apa lagi setelah berani datang mengacau di sini, mau bicara apa lagi?"

"Ma-taijn, seorang pembesar tentu mengerti akan hukum pemerintah, akan tetapi kenapa engkau berbicara tanpa bukti, melainkan fitnah yang bukan-bukan? Engkau tahu sendiri bahwa suamiku dan aku telah menjadi penduduk Leng-kok selama sebelas tahun. Siapa di antara penduduk Leng-kok yang pernah melihat perbuatan kami yang memberontak? Pernahkan kami melakukan sesuatu yang merugikan negara dan rakyat? Baru sekarang ini ada orang yang melakukan fitnah, menuduh kami pemberontak, dan orang itu adalah engkau, Taijin. Apakah engkau tidak takut terhadap bayangan sendiri menjatuhkan fitnah palsu kepada kami?"

"Berani benar engkau berkata demikian, perempuan berdosa! Sudah terang bahwa Yap Sinshe suamimu telah melakukan dua kali pelanggaran dosa terhadap pemerintah, dan sekarang ditambah lagi dengan sebuah pelanggaran yang dilakukan olehmu sendiri!"

"Sebutkan dosa-dosa itu, Ma-taijin, agar tidak membikin hati penasaran!" Yan Cu berkata, menahan kemarahannya.

"Dosa pertama suamimu adalah bahwa dia tidak mau membunuh tosu Pek-lian-kauw, dia melindungi Pek-lian-kauw atau kemungkinan besar dia bersekutu dengan Pek-lian-kauw."

"Bohong besar!" Yan Cu berteriak, "Adakah dalam hukum pemerintah bahwa setiap orang warga diharuskan dan berkewajiban untuk membunuh tiap orang anggota Pek-lian-kauw? Pek-lian-kauw adalah musuh pemerintah, dan menjadi tugas orang-orang seperti engkau dan para pengawalmulah untuk memusuhi serta membasminya! Kami, atau dalam hal ini suamiku, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Pek-lian-kauw, bahkan sebagai seorang warga negara yang baik sudah menolong ketiga orang perwira pengawalmu yang akan dibunuh. Mencegah pembunuhan merupakan kewajiban setiap orang, apa lagi kami yang berjiwa Pendekar. Tetapi, membunuh tosu Pek-lian-kauw bukanlah tugas suamiku."

"Dosa kedua adalah kegagalan suamimu menyembuhkan tiga orang perwiraku. Tiga orang perwira pemerintah."

"Sungguh tak masuk akal! Sejak kapan pemerintah mengeluarkan undang-undang bahwa kegagalan menyembuhkan merupakan dosa dan pelanggaran hukum?"

"Suamimu, terutama engkau, sudah terkenal sekali di Leng-kok sebagai ahli pengobatan. Jarang ada penyakit yang tidak terobati sampai sembuh oleh kalian berdua! Akan tetapi justru mengobati tiga orang perwira pemerintah, kalian gagal! Bukankah ini merupakan kesengajaan dan perbuatan yang condong membantu Pek-lian-kauw? Dosa yang ke tiga adalah engkau yang berani memberontak dan melawan kami!"

"Bohong semua! Suamiku dan aku bukanlah seorang malaikat pengatur nyawa yang bisa memanjangkan usia manusia! Juga kami bukanlah malaikat maut yang dapat mencabut nyawa! Selama ini kami sudah berusaha mati-matian mengobati, akan tetapi tiga perwira yang menderita luka pukulan beracun Pek-tok-ci tak dapat ditolong dan mati, itu bukanlah urusan dan wewenang kami. Mengatur nyawa sendiri pun tidak mampu, bagaimana harus mengatur nyawa orang lain? Ada pun aku ke sini dengan maksud untuk bicara denganmu dan minta supaya suamiku yang tidak berdosa dibebaskan, akan tetapi para anjing-anjing penjagamu menghalangi sehingga aku menggunakan kekerasan, siapakah yang bersalah dalam hal ini? Ma-taijin, sekali lagi kuminta, karena suamiku tidak berdosa, sekarang juga harus kau bebaskan dia!"

"Sombong! Pemberontak rendah! Tangkap dia...!"

Akan tetapi sebelum para pengawal bergerak mentaati perintah ini, tubuh Yan Cu sudah berkelebat dengan kecepatan yang tidak tersangka-sangka oleh semua orang. Tahu-tahu wanita perkasa itu telah meloncat ke dekat Ma-taijin!

"Toloooonggg... tangkap... ahhhh!" Ma-taijin tak berani bergerak atau berteriak lagi karena golok tajam telah menempel di kulit lehernya, terasa dingin sekali!

"Mundur semua!!" Yan Cu melengking dengan suara mengandung getaran hebat. "Kalau kalian maju, dia akan kubunuh lebih dulu sebelum kubasmi kalian semua!""

Para pengawal menjadi bingung, sementara Ma-taijin merasa ngeri dan takut bukan main. Terbayang di depan matanya selir-selir yang masih muda-muda dan banyak, gedungnya, gudangnya, harta benda dan kedudukannya, dan tiba-tiba perutnya terasa mulas dan air matanya bercucuran.

"Jangan bunuh aku...," ratapnya.

"Suruh mereka mundur, dan suruh kepala pengawal membebaskan suamiku, kemudian membawanya ke sini. Cepat, apa bila aku kehabisan sabar, lehermu akan putus dan aku sanggup membebaskan suamiku dengan kekerasan!" Yan Cu membentak dan memberi sedikit tekanan pada goloknya sehingga pembesar itu merasa kulit lehernya perih dan sedikit darah mengucur!

"Aihhhh... jangan... haiiiii, semua mundur, dengar tidak? Mundur semua kataku, bedebah! Dan kau, Kwa-ciangkun, lekas kau pergi ke penjara dan bebaskan Yap-sinshe, ehh... ajak dia ke sini... cepat!"

Semua pengawal terpaksa mengundurkan diri dan hanya menjaga dari sekeliling ruangan depan itu sambil saling pandang dengan bingung. Sebagian besar antara mereka merasa lega dengan perintah Ma-taijin itu, karena tadi mereka merasa khawatir sekali, menyerbu berarti membahayakan keselamatan Ma-taijin, jika tidak bergerak bagaimana pula melihat pembesar itu diancam!

"Duduklah, Ma-taijin, kita menunggu suamiku datang. Engkau lihat, bagaimana mudahnya untuk membunuhmu bersama pengawal-pengawalmu kalau kami benar-benar merupakan pemberontak-pemberontak atau sekutu Pek-lian-kauw. Kami bukan pemberontak, namun aku tahu bahwa dengan perbuatan ini, kami takkan dapat tinggal di Leng-kok lagi. Hanya pesanku, lain kali janganlah engkau sebagai kepala daerah mempergunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata. Aku bersama suamiku terpaksa menjadi orang-orang kang-ouw lagi karena engkau, dan sesudah kami kembali ke dunia kang-ouw, begitu aku mendengar bahwa engkau bertindak sewenang-wenang menindas dan menjatuhkan fitnah kepada rakyat, aku akan datang sendiri untuk mencabut jiwamu!"

Ma-taijin tidak dapat menjawab dan berterima kasih sekali dibolehkan duduk di atas kursi karena kedua kakinya menggigil dan terutama sekali, yang sangat menyiksanya adalah perutnya yang mulas sejak tadi dan hampir dia tidak dapat menahan segala kotoran yang hendak membanjir keluar dari dalam perutnya! Dia hanya mengangguk-angguk saja tanpa bicara, seperti seekor ayam makan jagung.

Yan Cu berdiri di dekatnya, menodongkan ujung golok pada lehernya sambil mengawasi gerak-gerik para pengawal. Diam-diam dia mengharapkan supaya jangan ada pengawal yang lancang berani menyerangnya, karena sesungguhnya dia tidak ingin membebaskan suaminya dengan jalan melakukan pembunuhan. Semua ini dia lakukan hanya sebagai ancaman belaka, agar suaminya dapat segera bebas.

Tidak lama kemudian, datang kepala pengawal bersama Yap Cong San. Melihat isterinya menodong Ma-taijin, Cong San melompat dan menegur,

"Aihhh, apa yang kau lakukan, isteriku? Aku sengaja tidak mau menggunakan kekerasan. Aku yakin akan dibebaskan karena tidak bersalah. Akan tetapi engkau..."

"Hemm, orang seperti dia ini mana bisa dipercaya akan menggunakan keadilan suamiku? Pula, aku ingin engkau segera bebas, sekarang juga karena aku tidak berhasil mencari Liong-ji! Mari kita pergi!"

Sebelum Cong San sempat membantah, Yan Cu sudah menarik tangan suaminya lantas mengajaknya melompat pergi dari tempat itu, melemparkan golok rampasan tadi yang langsung menancap di hadapan kaki Ma-taijin sampai ke gagangnya! Demikian cepatnya gerakan suami isteri itu sehingga yang tampak hanya dua bayangan mereka berkelebat dan lenyap.

"Kejar mereka! Kumpulkan semua pengawal! Minta bantuan pasukan! Tangkap, cepattt…! Tolol kalian semuanya!" Ma-taijin berteriak-teriak sambil menuding-nudingkan telunjuknya, akan tetapi dia sendiri memasuki ruangan dalam, terus ke kamar kecil karena perutnya yang memberontak sudah mengeluarkan sebagian isinya ke dalam celananya!

Para pengawal tersebar dan berlari-lari mencari, akan tetapi tentu saja dengan hati kebat kebit dan penuh keraguan. Setelah bala bantuan datang dan jumlah mereka ada seratus orang, barulah mereka berani melakukan pengejaran dan mendatangi rumah obat tempat tinggal Yap-sinshe.

Akan tetapi tentu saja mereka hanya mendapatkan sebuah toko yang kosong, tak ada lagi penghuninya kecuali dua orang pelayan yang tidak tahu apa-apa. Dalam kemarahannya, Ma-taijin hanya menyita toko itu, merampas barang-barang di toko serta mengumumkan nama Yap Cong San dan Gui Yan Cu sebagai dua orang pelarian.

********************

"Aihh, semua ini gara-gara Kun Liong, anak bengal itu! Jika saja dia tidak menumpahkan obat, tentu tidak terjadi semua ini! Dan setelah melakukan perbuatan yang menimbulkan bencana kepada ayah bundanya, dia malah lari minggat, mendatangkan kepusingan baru bagi kita!"

Yan Cu cemberut. Mereka telah berlari ke luar dari kota Leng-kok, menuju ke selatan dan tadi dia sudah menceritakan suaminya tentang kegagalan usahanya mencari Kun Liong sehingga dia terpaksa pulang dulu karena mengkhawatirkan suaminya. Dia sengaja tidak menceritakan suaminya tentang perbuatan Kun Liong yang terbaru, yang dilakukannya di dusun yang ditemuinya, yaitu menjadi penyebab terbakarnya rumah kepala dusun yang sedang berpesta! Tanpa membicarakan hal itu pun suaminya sudah marah-marah dan mengomel tentang anak mereka.

"Siapa bilang gara-gara Kun Liong? Memang anak itu menumpahkan obat, akan tetapi apakah dia sengaja menumpahkannya? Kalau dipikir-pikir semua peristiwa ada sebabnya dan jangan kau menyalahkan peristiwa itu. Kalau aku ikut-ikut engkau, tentu aku mencari sebabnya dan kiranya engkaulah yang menjadi gara-garanya."

"Aku....?" Cong San bertanya mengalah dan selalu bersikap sabar kepada isterinya sejak terjadinya peristiwa hebat yang hampir saja menghancurkar cinta kasih di antara mereka karena dia telah dibuat gila oleh cemburu.

Oleh karena dia merasa berdosa dan bersalah kepada isterinya yang tercinta, maka dia bertobat dan bersikap hati-hati sekali, selalu mengalah kepada isterinya sebagai tebusan dosanya pada masa lalu. Akan tetapi ketika dalam urusan dengan Ma-taijin ini isterinya mengatakan bahwa dia yang menjadi gara-gara, dia terkejut juga dan merasa penasaran sehingga dia menghentikan langkah kakinya.

"Ya, engkau..." Yan Cu berkata.

Mereka telah lari jauh dan malam telah hampir pagi, kedua kakinya sudah lelah. Yan Cu berhenti dan duduk di atas sebuah batu besar di dalam hutan itu. Suaminya juga duduk di depannya. Sinar matahari pagi sudah mulai mengusir kegelapan malam, disambut dengan riang gembira oleh suara burung hutan.

"Mengapa aku...?"

"Kalau dicari-cari sebabnya menjadi panjang sekali. Kun Liong melarikan diri karena takut padamu, karena engkau terlalu keras padanya. Engkau marah karena dia menumpahkan obat. Dia menumpahkan obat karena dia bermain-main dengan Pek-pek, dan dia murung dan merasa bosan di kamamya, bermain-main dengan Pek-pek sebab dia merasa betapa engkau memarahinya ketika dia pergi dan berjumpa dengan tosu Pek-lian-kauw. Andai kata engkau tidak marah kepadanya, tentu dia tidak murung dan juga tidak bermain-main dengan anjing, lalu tidak menumpahkan obat, dan para perwira tidak mati, dan aku tidak mengamuk di gedung Ma-taijin, dan anak itu tidak minggat, dan..."

"Stoppp...!" Cong San mengangkat kedua tangan ke atas, lalu merangkul dan menciumi isterinya. "Pusing aku! Sudah... jangan bicara tentang sebab akibat, kalau ditelusur terus, bisa-bisa akibatnya dimulai semenjak nenek moyang kita..."

"Mungkin dimulai sejak dunia ada, sejak manusia pertama..." Yan Cu juga tertawa.

Keduanya lantas tertawa, saling rangkul dan saling berciuman, kemudian saling pandang dengan sinar mata penuh cinta kasih, akan tetapi juga penuh keheranan, dan akhirnya menjadi penuh pengertian.

"Aihhh... apa yang kita lakukan ini...?" Yan Cu berkata lirih.

Cong San melepaskan pelukannya dan memandang isterinya. "Mengertikah engkau apa yang kumengerti? Apakah engkau merasakan apa yang kurasakan saat ini?"

Yan Cu mengangguk. Suaminya mengangguk. Akan tetapi suaminya penasaran sehingga mendesak,

"Kalau memang mengerti, apa?"

"Keanehan yang sama kita rasakan! Peristiwa hebat melanda kita, memaksa kita menjadi orang-orang pelarian, dianggap seperti pemberontak, kehilangan rumah, kehilangan toko, kehilangan harta benda, bahkan anak tunggal lari entah ke mana. Akan tetapi sesaat tadi yang terasa hanya kegembiraan. Aneh!"

"Memang aneh bagi umum, akan tetapi sebenarnya tidaklah aneh. Setiap peristiwa yang terjadi, terjadilah! Tergantung kita yang menghadapinya, kita yang tertimpa oleh peristiwa itu. Diterima dengan marah, boleh. Diterima dengan susah, juga tak ada yang melarang. Diterima dengan sikap tenang seperti kita sekarang ini pun bisa. Tidak perlu kita saling menyalahkan, kita hadapi saja segala yang terjadi sebagai kewajaran dan kita bertindak sesuai dengan gerak hati dan pikiran yang benar."

"Nah, itu baru cocok! Engkau suamiku yang hebat!" Yan Cu menarik leher suaminya dan mencium bibir suaminya penuh kasih sayang. Cong San membalasnya penuh rasa terima kasih dan bersyukur atas pernyataan cinta yang demikian mesra.

"Dari pada ribut-ribut saling menyalahkan, lebih baik kita pergi mencari Kun Liong dan melanjutkan perjalanan bertiga. Betapa senangnya!"

"Wah-wah, alangkah anehnya. Kehilangan segala-galanya, engkau malah bergembira! Di dunia ini mana ada wanita ke dua sehebat engkau, isteriku?"

"Hemm, wajahmu juga berseri-seri, engkau malah lebih bergembira dari pada aku! Uang tiada, rumah tak punya, pakaian pun hanya yang berada di dalam buntalan kita. Hayo jawab, mengapa engkau malah gembira?"

Cong San mengerutkan kulit di antara kedua alisnya, berpikir. "Hemmm... agaknya, yang paling menggirangkan adalah kini terbebas dari orang-orang penyakitan itu. Setiap saat mereka mengganggu kita, datang minta obat, minta periksa penyakitnya, membosankan!"

"Iihhhh, kalau begitu tipis peri kemanusiaanmu!" Isterinya mencela.

"Mungkin! Akan tetapi sebutan peri kemanusiaan itu pun hanya palsu saja, isteriku. Hanya digunakan untuk kedok, padahal sesungguhnya yang terpenting bagi kita kalau mengobati orang adalah jika orang itu sembuh. Kita merasa bangga, merasa senang, merasa lega dan puas. Bukan hanya karena upah dan keuntungannya, namun terutama sekali karena bangga itulah. Akan tetapi lambat laun menjadi membosankan juga..."

"Dan kau tidak menyesal kehilangan rumah dan harta benda?"

"Tidak sama sekali! Bahkan aku merasa lega! Seolah-olah semua harta benda itu tadinya menindih di atas kedua pundakku, membebani aku dengan penjagaan, rasa sayang, rasa khawatir kehilangan, dan lain-lain. Sekarang, habis semua, habis pula seluruh beban itu! Dan engkau, apa yang membuatmu begini gembira?"

"Agaknya, kebebasan seperti yang kau katakan tadi itulah. Akan tetapi terutama sekali, aku merasa bagaikan burung terbang di udara, seperti dahulu lagi, hidup bebas lepas di dunia kang-ouw menghadapi segala rintangan dan bahaya, mempergunakan ilmu untuk melindungi diri sendiri dan membela kebenaran, hidup malang melintang di dunia, tidak dikurung di dalam rumah seperti seorang nyonya sinshe yang setiap hari harus memasak obat!"

"Wah, celaka tiga belas!" Cong San memegang kepalanya.

"Mengapa?"

"Isteriku petualang! Dasar engkau berdarah petualang!"

"Ihhhh!" Yan Cu mencubiti lengan dan paha suaminya yang mengaduh-aduh, akan tetapi senda-gurau ini berakhir dengan peluk kasih sayang yang saling mereka curahkan di atas rumput tebal di bawah pohon pada waktu pagi itu. Tidak terasa lagi oleh mereka akan dinginnya embun yang berada di ujung-ujung rumput dan yang menyambut tubuh mereka. Matahari yang baru muncul tersenyum ria dan menyiram suami isteri itu dengan sinarnya yang keemasan.

"Aihhh, masa di tempat terbuka begini...? Seperti orang terlantar...," bisik Yan Cu.

"Memang kita adalah orang-orang terlantar... petualang-petualang yang tak berumah..." terdengar suara Cong San lirih. "Ingatkah kau saat malam-malam kita baru saja menikah? Beberapa malam kita berbulan madu di dalam hutan, di alam terbuka seperti ini... aihh... mesra...!"

"Ihhh, sudah tua tak tahu malu! ah!"

"Cinta tak mengenal usia..."

Demikianlah, suami isteri itu tenggelam dalam madu asmara yang membuat mereka lupa segala, membuat mereka seperti ketika berbulan madu dalam suasana pengantin baru yang mereka lewatkan di dalam hutan juga, seperti keadaan mereka pada saat itu.

Setelah matahari naik tinggi, barulah tampak suami isteri ini melanjutkan perjalanan lagi. Wajah mereka berseri-seri, mata bersinar-sinar, bibir pun tersenyum dan tangan mereka saling bergandengan pada waktu mereka melangkah keluar dari dalam hutan. Cong San mendengarkan cerita isterinya dengan sabar dan tenang.

"Dia melepas ular beracun di dalam pesta tentu karena lapar, dan secara tidak sengaja menimbulkan kebakaran. Menurut penuturan orang-orang di dusun depan, dia ditangkap dan dipukuli sampai bengkak-bengkak dan koyak-koyak pakaiannya, akan tetapi dia bisa membebaskan diri dan lari entah ke mana."

"Hemm, untung dia masih bisa melarikan diri. Dia mengalami banyak kesukaran, biarlah, hitung-hitung untuk gemblengan jiwanya."

"Tetapi kasihan sekali dia. Kita harus dapat cepat-cepat menemukannya, kalau tidak, aku khawatir dia akan mengalami bencana. Dia masih terlalu kecil untuk merantau seorang diri, dan kepandaiannya juga masih terlalu rendah untuk dipakai melindungi diri."

"Tentu saja kita akan mencarinya sampai dapat, isteriku. Akan tetapi, biarlah kesempatan ini kita pergunakan untuk membicarakan pendidikan terhadap anak kita itu. Biasanya, aku menuduhmu terlalu memanjakan dia, sedangkan kau menuduhku terlalu keras. Ketika kita beristirahat tadi, aku meneropong kenyataan ini dan agaknya kita berdua sudah berlaku terlalu mementingkan diri sendiri, isteriku."

"Apa maksudmu?" Yan Cu memegang tangan suaminya dan menengadah, memandang wajah orang yang berjalan di sampingnya.

"Baik caramu yang menyatakan kasih sayang kepada anak dengan cara terang-terangan sehingga kelihatan memanjakannya, mau pun aku yang ingin melihat anak kita menjadi seorang anak baik sehingga aku kelihatan keras terhadap dia, sesungguhnya sikap kita berdua yang lalu itu hanya mencerminkan pendahuluan kepentingan kita sendiri."

"Coba terangkan, aku masih belum mengerti. Bukankah apa pun cara yang kita berdua pergunakan, sebagai ayah dan ibu, kita mementingkan anak kita? Bukankah kita, dengan cara kita masing-masing, ingin melihat dia menjadi seorang anak yang baik?"

Cong San menarik napas panjang. "Itulah dia, isteriku sayang. Itulah salahnya, dan itulah kesalahan kita. Kita INGIN MELIHAT dia menjadi ini, menjadi itu. Kita ingin MEMBENTUK dia sesuai dengan keinginan dan selera kita sehingga kita lupa bahwa dia itu, sebagai seorang yang hanya kebetulan terlahir sebagai anak kita, dia memiliki hak untuk tumbuh sendiri, dia mempunyai kepribadian sendiri, dia berhak menentukan sendiri, bukan hanya menjiplak seperti yang kita paksakan untuk membentuk dia. Dia bukan boneka, bukan tanah liat yang boleh kita bentuk sekehendak hati kita! Kita sudah keliru dalam mendidik putera kita itu, Yan Cu!"

Yan Cu termenung. Dia dapat mengerti apa yang dimaksudkan suaminya. Memang harus dia akui bahwa selama ini, baginya yang terpenting hanyalah keinginan hatinya sendiri! Dia ingin melihat puteranya begini, begitu, penurut, tekun belajar, dan sebagainya. Tidak pernah satu kali juga dia memperhatikan, apa sebenarnya yang disukai dan dikehendaki puteranya! Segala ingin dia atur sehingga jejak langkah hidup puteranya itu harus tepat seperti yang digariskannya! Betapa picik dan terlalu mementingkan diri sendiri itu! Dia mulai merasa menyesal dan terharu.

"Habis, bagaimana baiknya dalam mendidik anak-anak kita, suamiku?"

"Anak-anak kita? Anak kita hanya seorang Yan Cu."

"Hemmm, siapa tahu? Apakah engkau sudah merasa puas dan cukup hanya mempunyai seorang anak saja?"

Cong San tersenyum dan merangkulkan lengannya pada pundak isterinya, lalu mereka melangkah lagi perlahan-lahan.

"Kita harus memberi kebebasan kepada anak kita, kita harus menuntun mereka supaya mereka mengerti dan tahu akan arti dan pentingnya hidup bebas! Agar dia tahu belajar mengenai dirinya sendiri sehingga di dalam dirinya dia akan menemukan guru. Agar dia hidup wajar, tidak berpura-pura, tidak munafik dan yang terpenting, tidak seperti seekor kambing yang dituntun, atau seperti batang pohon lemah yang hanya bergerak mengikuti ke mana angin bertiup. Agar dia berkepribadian, kepribadiannya sendiri, bukan menjiplak kepribadianku atau kepribadianmu, karena kalau hidupnya hanya kita bentuk supaya dia menjadi penjiplak saja, tiada bedanya dengan membentuk dia menjadi sebuah boneka hidup. Mengertikah engkau, isteriku?"

Yan Cu tidak menjawab, mengerutkan alisnya, kemudian baru berkata ragu-ragu.

"Entah suamiku, aku tidak berani bilang sudah mengerti, akan tetapi rasanya aku dapat menerima, aku dapat melihat kebenarannya."

Cong San menunduk dan mencium dahi muka yang terangkat itu, mesra dan penuh rasa kasih. "Syukurlah, aku sendiri pun tak mengerti betul. Pendapat ini begitu tiba-tiba, bukan merupakan pendapatku, melainkan aku seperti melihat kesalahan-kesalahan kita di dalam mendidik dan kita harus melakukan perubahan."

"Sudahlah, tentang mendidik Kun Liong kita bicarakan kelak saja. Anaknya pun belum ketemu!"

Cong San menarik napas panjang. "Kau benar aku sudah melamun terlalu jauh."

"Memang kau saja yang melamun? Aku pun sudah melamun, bukan urusan pendidikan, melainkan ke mana kita harus pergi kalau sudah mendapatkan Kun Liong."

"Ke mana?"

"Kurasa dalam keadaan seperti kita ini, sebagai pelarian, tidak ada tempat lain yang kita tuju kecuali satu, yaitu Cin-ling-san."

"Keng Hong dan Biauw Eng...?"

Yan Cu mengangguk.

Hening sejenak. "Engkau benar. Siapa lagi yang akan dapat kita titipi Kun Liong kalau bukan mereka? Aihh, aku rindu sekali kepada mereka."

Suami isteri itu melanjutkan perjalanan dan kini mereka menuju ke dusun seperti yang diceritakan Yan Cu, dan di depan mata mereka terbayanglah wajah sepasang suami isteri yang sakti, yang menjadi sahabat baik mereka, bukan hanya sahabat, bahkan melebihi saudara kandung! Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng!

Siapakah Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng isterinya, sepasang suami isteri sakti yang membuat Cong San dan Yan Cu termenung penuh kerinduan hati itu? Cia Keng Hong dapat dikatakan masih suheng (kakak seperguruan) dari Yan Cu, akan tetapi dalam hal ilmu kepandaian, tingkat pendekar sakti itu jauh di atas tingkat Yan Cu, bahkan jauh pula di atas tingkat kepandaian Cong San sendiri!

Cia Keng Hong adalah seorang pendekar sakti yang pada waktu itu merupakan pendekar besar, seorang di antara datuk-datuk atau ‘raja’ dunia persilatan! Pendekar sakti itulah yang telah berhasil mewarisi semua ilmu kepandaian manusia sakti Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong (Raja Pedang Kepalan Sakti), ayah kandung dari Sie Biauw Eng yang telah menjadi isterinya sendiri. Ilmu kepandaiannya hebat bukan main.

Di sampingnya, isterinya juga terkenal sebagai wanita yang berilmu tinggi sekali sehingga dalam dunia kang-ouw, nama Gunung Cin-ling-san yang menjadi tempat tinggal mereka amatlah disegani dan jarang ada orang berani datang ke tempat itu kalau tidak memiliki kepentingan yang sangat mendesak. Maka tidaklah terlalu mengherankan apa bila dalam keadaan mereka sedang mengalami kesukaran seperti itu Yan Cu dan Cong San, suami isteri ini segera teringat kepada pendekar sakti di Cin-ling-san itu.

********************

Tubuh anak itu penuh luka-luka, bukan luka yang berbahaya, akan tetapi cukup membuat seluruh tubuh terasa nyeri, bengkak-bengkak dan matang biru, dan ada pula yang terobek kulitnya hingga mengeluarkan sedikit darah yang kini sudah mengering dan menghitam. Pakaiannya robek-robek sehingga keadaan Kun Liong pada waktu dia melarikan diri itu seperti seorang anak pengemis.

Kini dia tidak berlari lagi karena tidak ada orang mengejarnya. Setengah malam penuh dia melarikan diri, naik turun bukit dan masuk keluar hutan. Kini matahari telah naik tinggi dan dia berjalan dengan tubuh sakit-sakit dan lelah. Dia bersungut-sungut.

Betapa kejamnya manusia, pikirnya. Manusia seakan-akan merupakan tungku berisikan api panas yang mudah sekali mengeluarkan asap dan membakar siapa saja yang datang mendekatinya. Mudah sekali manusia marah dan berubah menjadi seperti binatang buas.

Ahh, lebih buruk dan lebih jahat lagi. Binatang buas menyerang bukan semata-mata untuk menyakiti, membalas dendam, atau pun karena marah, melainkan karena membutuhkan mangsa, untuk dimakan, seperti manusia menuai gandum untuk dimakan.

Akan tetapi manusia, hanya karena tersinggung hatinya atau dirinya atau rumahnya atau miliknya, bisa menjadi marah, sakit hati dan siap untuk membunuh! Ayahnya sendiri tidak terkecuali. Karena tanpa disengaja menyebabkan tumpahnya obat, sudah pasti ayahnya akan marah sekali kepadanya.

Dan orang-orang kampung itu! Kepala kampung itu! Dia tidak sengaja membakar rumah, juga Kepala Koki tidak sengaja. Namun, hampir kepala koki itu dibunuh oleh mereka. Dan jika dia tidak dapat cepat melarikan diri, tentu sekarang dia sudah tak nyawa lagi! Hanya akibat rumahnya terbakar oleh kecelakaan yang tak disengaja olehnya. Seolah-olah kalau membunuhnya, rumah yang terbakar itu akan pulih kembali! Betapa kejamnya manusia!

Karena pikirannya terganggu oleh rasa penasaran, Kun Liong tidak ingat akan perutnya yang lapar. Setelah terjadi peristiwa kebakaran di dusun itu, dia makin tidak berani pulang betapa pun ingin hatinya. Kalau saja tidak terjadi peristiwa yang tentu akan membuat ayahnya makin marah kepadanya itu, dia akan nekat pulang dan rela menerima hukuman ayahnya karena menumpahkan obat.

Dia sudah rindu kepada ibunya, rindu kepada kamarnya yang nyaman. Akan tetapi dia tahu betapa ayahnya akan marah besar bila mana mendengar bahwa dia telah menjadi penyebab kebakaran sehingga hampir saja dia dikeroyok mati oleh orang-orang sedusun! Kesalahan terhadap ayah bundanya sendiri, ayahnya masih bersikap lunak. Akan tetapi kesalahan kepada orang lain pasti akan membuat ayahnya marah bukan main.

Masih berdengung di telinganya betapa ayahnya secara keras, dan ibunya secara halus selalu memperingatkannya agar dia menjadi seorang anak baik, rajin dan pandai supaya kelak dia menjadi seorang pendekar budiman! Pendekar budiman, sampai hafal dia akan sebutan itu! Hafal dengan penuh rasa muak! Dia tidak ingin menjadi pendekar budiman! Dia tidak sudi! Biarlah dia menjadi Kun Liong yang biasa saja!

Menjelang senja dia tiba di luar sebuah dusun. Barulah terasa olehnya betapa perutnya lapar bukan main, tubuhnya sakit-sakit dan kedua kakinya lelah dan lemas. Teringat akan pakaiannya dan sakunya yang kosong sama sekali, timbul pikirannya untuk mencontoh perbuatan dua orang anak pengemis di dusun yang kebakaran. Akan tetapi pemikiran ini segera dilawannya. Dia akan bekerja, apa saja membantu orang sebagai pengganti nasi pengisi perutnya!

Karena melamun, kakinya yang sudah lelah terantuk batu dan ia pun jatuh menelungkup. Sejenak dia tinggal berbaring menelungkup, meletakkan pipinya di atas tanah. Bau tanah yang sedap, hawa dari tanah yang hangat, membuat dia merasa senang dan nyaman sekali. Betapa nikmatnya rebah seperti itu selamanya, tidak bangun lagi!

Rasa lapar di perutnya berkurang ketika perutnya dia tekankan kuat-kuat kepada tanah. Dia merasa seolah dipeluk dan dibelai tanah, seperti kalau dia dipeluk ibunya. Tak terasa dua titik butir air mata turun dari pelupuk matanya. Betapa rindu dia kepada ibunya.

"Ibu...," dia berbisik, memejamkan mata menahan isak.
Tiba-tiba dia mengangkat muka lalu bangkit duduk dan memandang ke depan. Ketika dia rebah dengan pipi di atas tanah tadi, telinganya menangkap suara langkah-langkah kaki. Dia cepat bangun berdiri ketika melihat serombongan orang berjalan keluar dari dalam dusun itu mengiringkan sebuah peti mati yang dipikul oleh delapan orang.

Penglihatan ini serta-merta mengusir semua persoalan dirinya. Ada orang mati diantar ke tempat penguburan! Kun Liong memandang bengong pada waktu iring-iringan itu lewat di depannya menuju ke sebuah tanah kuburan yang tampak dari situ, di lereng sebuah bukit.

Dia melihat beberapa orang mengiringkan peti jenazah sambil menangis sesenggukan. Ada pula yang diam saja, tidak memperlihatkan muka susah atau senang, akan tetapi ada pula beberapa orang pengiring yang saling bercakap-cakap diselingi mulut tertawa tanpa mengeluarkan suara.

Sering pula Kun Liong menyaksikan keadaan serupa itu di kota. Dalam satu iring-iringan kematian, memang sanak keluarga si mati ada yang menangis, entah menangis sungguh-sungguh atau hanya menangis buatan, akan tetapi banyak pula di antara para pengiring yang melayat sambil bersendau-gurau, sungguh pun suara ketawa mereka selalu mereka tahan.

Tiba-tiba Kun Liong memandang bengong kepada seorang kakek yang berjalan paling akhir. Kakek ini kelihatan gembira sekali! Wajahnya berseri dan walau pun sudah penuh keriput, jelas bahwa kakek itu tertawa-tawa gembira, seolah-olah bukan tengah mengiringi kematian, melainkan mengiringkan mempelai!

Lupa akan rasa nyeri, lelah dan lapar karena tertarik oleh iring-iringan kematian, terutama sekali akan sikap kakek yang tertawa-tawa, Kun Liong menggerakkan kaki, melangkah maju mengikuti iring-iringan yang menuju ke tanah kuburan di lereng bukit itu.

Upacara pemakaman dilakukan dengan sederhana dan cepat seperti biasanya penduduk dusun dan setelah peti mati itu dikubur, semua pengiring lalu bubar meninggalkan tanah kuburan karena senja telah mulai larut. Hanya ada tiga orang yang masih tinggal di tanah kuburan yaitu Si Kakek Tua yang masih nampak gembira, seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang masih berlutut menangis di depan gundukan tanah kuburan baru, dan Kun Liong yang berdiri menonton dari jauh.

"Aihhh, Akian, mengapa engkau menangis terus tiada hentinya?" Si Kakek itu melangkah maju mendekati lelaki itu, duduk di atas batu nisan dekat kuburan baru, menegur dengan nada suara mengejek.

Orang yang bernama Akian itu mengangkat mukanya yang agak pucat, dan sepasang matanya yang merah akibat terlalu banyak menangis itu memandang tak senang pada Si Kakek. Akan tetapi agaknya dia sudah biasa menghormat kakek itu, maka jawabnya,

"Paman Lo, orang menangis merupakan tanda berduka, dan seorang anak yang kematian ayahnya, tentu saja berduka. Apa anehnya jika aku menangisi kematian ayahku? Paman hanya sahabatnya, tentu saja tidak dapat merasakan seperti saya."

Kakek itu meraba-raba jenggotnya yang panjang dan sudah berwarna dua. "Heh-heh-heh, sebetulnya siapakah yang kau kutangisi itu, Akian?"

"Tentu saja Ayah yang kutangisi, Paman!" jawabnya penasaran karena dia merasa betapa pertanyaan itu bodoh dan tidak perlu.

"Benarkah? Kalau ayahmu yang kau tangisi, mengapa kau tangisi?"

Kalau saja tidak ingat bahwa kakek itu adalah sahabat baik ayahnya, dan sudah biasa dihormatnya, tentu akan dimaki atau bahkan dipukul. Akan tetapi kakek itu sudah terlalu tua, agaknya sudah pikun, maka dengan suara terpaksa dia menjawab,

"Dia kutangisi karena dia mati!"

"Hemm, kalau dia mati, mengapa ditangisi?" kakek itu mendesak.

Kun Liong menjadi penasaran seperti orang yang ditanya, karena dalam tanya jawab itu anak ini menangkap sesuatu yang aneh, sesuatu yang membuka kesadaran sehingga membuatnya merasa betapa pertanyaan-pertanyaan kakek itu sama sekali bukan bodoh atau ngawur, melainkan pertanyaan yang penting dan perlu diselidiki jawabnya.

"Aihh, Paman. Kenapa Paman masih bertanya lagi? Tentu saja karena mati dia kutangisi, sebab dia meninggalkan kami untuk selamanya, dia meninggalkan aku untuk selamanya dan kami tak akan saling dapat berjumpa selamanya."

"Ha-ha-ha-ha-ha! Nah, sekarang baru ternyata bahwa yang kau tangisi bukanlah ayahmu, melainkan engkau sendiri, Akian! Engkau menangis dan berduka bukan karena ayahmu mati, bukan karena melihat ayahmu menghadapi kesulitan, melainkan menangisi dirimu sendiri yang ditinggal pergi!"

Mendengar ini, Akian terbelalak, terkejut bukan main dihadapkan dengan kenyataan yang sulit dibantahnya ini. Hatinya lantas merasa ngeri dan dia merasa berdosa besar terhadap ayahnya jika benar bahwa dia menangis bukan menangisi ayahnya, melainkan menangisi dan mengasihani dirinya sendiri! Maka dia cepat membantah untuk membela diri,

"Akan tetapi aku menangis tanpa mengingat diri sendiri, Paman. Aku merasa kasihan terhadap ayah yang meninggal dunia!"

"Hemmm, benarkah itu? Apakah engkau tahu bagaimana keadaan ayahmu setelah mati? Apakah engkau yakin bahwa ayahmu menghadapi kesengsaraan setelah meninggal dunia sehingga engkau merasa kasihan dan menangis penuh duka melihat kesengsaraannya? Ataukah engkau menangis karena engkau kehilangan ayahmu, tak dapat melihatnya lagi, tidak akan dapat berbicara dengannya lagi, tidak ada lagi yang dapat kau sandari sebagai seorang ayah? Ha-ha-ha-ha, aku tidak mau menangis melihat dia mati, Akian, padahal dia sahabatku yang paling baik. Engkau tahu sendiri, setiap hari dia jalan-jalan dengan aku, minum arak, main kartu, mengobrol dengan aku. Akan tetapi aku tidak mau menangisi kehilanganku, aku malah girang karena sahabat baikku itu telah terbebas dari pada hidup yang serba sulit ini, terhindar dari kesengsaraan hidup."

"Benarkah itu, Paman Lo?" tiba-tiba saja Akian membantah dan menyerang. "Bagaimana Paman bisa tahu bahwa ayah terbebas dari kesulitan hidup, terhindar dari kesengsaraan? Apakah Paman melihat sendiri dan sudah yakin akan hal itu maka Paman tertawa-tawa gembira? Ataukah semua itu pun hanya merupakan harapan dan hiburan bagi hati Paman sendiri belaka?"

Mulut kakek yang tadinya tersenyum lebar itu tiba-tiba saja kehilangan serinya, matanya terbuka lebar dan dia melongo, memandang jauh seperti orang melamun, ragu-ragu dan tanpa disadarinya, jari tangannya mencabut-cabut jenggot sampai akhirnya dia menarik napas panjang berulang-ulang. "Aihhh... aku tidak ingat akan hal itu... hemmm... sekarang aku pun bingung dan ragu apakah aku tertawa demi ayahmu, ataukah hanya demi diriku sendiri..."

Dua orang itu duduk melamun di depan kuburan baru itu, tidak tahu betapa seorang anak laki-laki kecil melangkah perlahan-lahan mendekati mereka. Kun Liong yang mendengar percakapan itu, merasa tertarik sekali dan dia merasa betapa benarnya mereka berdua itu, membuka mata masing-masing akan kepalsuan dan kekeliruan mereka sehingga dia sendiri pun dapat melihat betapa picik, penuh rasa iba diri, pura-pura dan palsu adanya sikap orang-orang yang kematian. Akan tetapi dia sendiri pun tidak tahu apa yang menjadi penyebab orang-orang itu bersikap seperti itu.

"Aku hanya merasa kasihan dan menyesal kalau teringat betapa Ayah mati karena gigitan ular berbisa...," terdengar suara Akian memecah kesunyian.

"Tak perlu disesalkan, sudah terlalu banyak penduduk dusun kita itu mati oleh gigitan ular beracun yang memenuhi hutan di selatan itu. Memang menggemaskan ular-ular itu..."

"Mengapa tidak dilawan saja ular-ular itu?"

Mereka kaget dan menengok, lebih heran lagi ketika melihat bahwa yang menganjurkan melawan ular-ular itu hanyalah seorang anak laki-laki yang masih kecil, yang tubuhnya bengkak-bengkak dan matang biru, pakaiannya koyak-koyak dan kelihatannya lemas dan pucat.

"Aihhh, siapakah engkau?" Akian bertanya, agak seram melihat munculnya seorang anak laki-laki yang tak dikenal di tanah kuburan, pada waktu senja larut dan cuaca mulai agak gelap itu.

"Siapa aku tidak penting, Paman. Akan tetapi kenapa sampai ada ular membunuh orang? Mengapa ular-ular berbisa itu tidak ditangkap?"

Kakek itu bangkit berdiri. "Bocah, kau bicara sembarangan saja! Siapa berani menangkap ular berbisa?"

"Hemmm, sejak kecil aku sudah biasa menangkap ular!" Kun Liong berkata, "Dan sudah biasa pula makan daging ular berbisa."

"Aku tidak percaya!" Akian juga bangkit berdiri.

Tiba-tiba hidung Kun Liong mencium sesuatu dan cuping hidungnya berkembang-kempis. "Harap kalian mundur, ada ular berbisa di sini, akan kutangkap agar kalian dapat melihat bahwa manusia tidak kalah oleh ular yang mana pun juga!"

Biar pun ular itu belum tampak, kakek dan laki-laki itu meloncat ke belakang Kun Liong dengan ketakutan. Kun Liong lalu melangkah maju, menghampiri sebelah bawah sebuah kuburan tua yang berada dekat dengan kuburan baru itu.

Kun Liong mendekatkan hidungnya pada sebuah lubang dan ternyata benar dugaannya. Bau ular itu keluar dari lubang ini. Kun Liong segera mempergunakan tangan kanannya menepuk-nepuk sebelah atas lubang dengan telapak tangan dan mulutnya mengeluarkan bunyi mencicit seperti bunyi anak tikus.

Dua orang itu berdiri dengan mata terbuka lebar, dan mata mereka menjadi lebih lebar lagi ketika tiba-tiba dari dalam lubang itu keluar kepala seekor ular hitam yang lidahnya merah! Semakin lama semakin panjang tubuh ular itu tersembul keluar, dan secepat kilat tangan kiri Kun Liong menyambar dan ular itu sudah ditangkap pada lehernya, kemudian dibuat tidak berdaya dan lumpuh seperti biasa.

"Wah, kiranya engkau benar-benar dapat menangkap ular!" Akian berseru girang seperti bersorak.

"Eh, anak kecil, bagaimana engkau berani melakukan ini? Ular-ular di sini... eh, maksudku di hutan sebelah selatan, adalah ular-ular peliharaan...," kata Si Kakek.

"Apa...?" Kun Liong bertanya tidak percaya. "Siapa yang memelihara ular?"

"Ssstt, Paman, harap jangan main-main..." Akian berkata, memandang ke kanan kiri dan kelihatan takut-takut.

"Tidak ada yang tahu betul siapa yang memelihara, anak aneh, akan tetapi ular raksasa yang berada di tengah hutan tentu akan membunuhmu karena engkau sudah berani menangkap ular ini."

"Ular raksasa? Di mana binatang itu?"

"Di tengah hutan sebelah selatan dusun kami," kata Si kakek, tanpa mempedulikan Akian yang beberapa kali menaruh telunjuk di depan bibir yang mendesis-desis sebagai isyarat menyuruh kakek itu diam.

"Kalau benar ada ular raksasa yang suka mengganggu penduduk, biarlah besok pagi aku akan menangkapnya!" Kun Liong berkata dengan nada suara gagah.

Kakek itu saling pandang dengan Akian, kemudian dia mengejap-ngejapkan sepasang matanya. Kepada Kun Liong dia berkata, "Benarkah itu, anak yang ajaib? Dan engkau juga bisa mengobati orang yang kena digigit ular berbisa?"

"Aku dapat, Kek. Apakah masih ada korban ular berbisa?"

"Ada dua orang, di dusun kami!" Akian kini berkata tergesa-gesa dan penuh harapan.

"Antarkan aku kepada mereka, akan kuobati. Cepat, jangan sampai terlambat!" kata Kun Liong.

Kakek Lo dan Akian lalu mengajak Kun Liong berlari-lari menuju ke dusun dan mereka disambut oleh penduduk dusun yang terheran-heran memandang Kun Liong yang masih memegang seekor ular hitam, apa lagi ketika mereka mendengar penuturan Si Kakek Tua bahwa anak ajaib itu akan mengobati dua orang yang terkena gigitan ular berbisa.

Kun Liong diantar kepada ayah dan anak yang siang tadi digigit ular berbisa pada waktu mereka sedang mencari kayu kering di pinggir hutan. Keduanya digigit ular pada betis kaki mereka yang kini menjadi bengkak dan biru. Anak yang usianya sebaya dengan Kun Liong itu pingsan, ada pun si ayah rebah gelisah, mengigau dengan tubuh panas seperti anaknya.

Ibu anak itu menangis, akan tetapi tangisnya dipaksa berhenti ketika mendengar bahwa anak yang tampan dan berpakaian koyak-koyak itu datang untuk mengobati suami serta anaknya. Berbondong-bondong orang dusun mengikuti Kun Liong memasuki rumah petani itu.

Sesampainya di depan pintu kamar, Kun Liong berhenti, membalikkan tubuh dan berkata, "Harap para paman dan bibi suka menunggu di luar saja. Tidak baik kalau kamar yang menderita sakit dipenuhi orang."

Kakek Lo segera melangkah maju mendekati Kun Liong, lantas berkata dengan suara lantang, "Tabib kecil ini berkata benar! Hayo kalian keluar semua! Apa dikira ini tontonan? Susah payah aku yang menemukan anak ajaib ini berhasil membawanya ke sini untuk menyelamatkan dusun kita. Hayo pergi kataku, pergi keluar!"

Dengan lagak bangga kakek itu mendesak mereka keluar dan hanya memperbolehkan nyonya rumah, dia sendiri, dan Akian yang dianggap sekutunya dalam menemukan Kun Liong, mengantar anak itu memasuki kamar dua orang korban gigitan ular berbisa itu.

Dengan sikap sungguh-sungguh Kun Liong memeriksa luka di kaki ayah dan anak itu. Dia memang sudah agak matang memperoleh pelajaran tentang racun ular dari ibunya yang menganggap betapa pentingnya pengetahuan ini, maka sekali pandang saja maklumlah Kun Liong bahwa kedua orang itu digigit ular belang. Cepat dia menuliskan nama-nama obat yang harus dibelinya dari kota, kemudian dia minta sebuah pisau yang runcing tajam, merobek kulit bagian kaki yang menggembung serta mengeluarkan darah hitam dengan jalan memijat dan mengurut.

Kakek Lo segera menyuruh seorang penduduk lari ke kota membeli obat. Setelah orang itu kembali membawa obat, menurutkan petunjuk Kun Liong obat itu sebagian dimasak dan diminumkan yang sakit, sebagian yang berupa bubuk merah dicampur air panas dan ditaruh di atas luka lalu luka itu dibalut. Dapat dibayangkan betapa lega dan girang hati nyonya rumah ketika melihat suami dan puteranya itu dapat tidur pulas dan tubuh mereka tidak terasa panas lagi. Serta merta dia menjatuhkan diri berlutut di depan Kun Liong yang cepat-cepat membangunkan kembali.

Kakek Lo dengan bangga dan girang berkata, "Aihh, Siauw-sinshe, kepandaianmu seperti dewa! Harap saja engkau benar-benar akan dapat membersihkan ular-ular itu dari hutan di selatan agar keselamatan kami di dusun ini dapat terjamin,"

Kun Liong mengangguk. "Jangan khawatir, Kakek yang baik. Besok aku akan mencoba menangkap ular raksasa yang kau ceritakan tadi. Sekarang aku perlu sebuah tempat tidur dan... hemm, perutku lapar bukan main. Sejak kemarin malam aku belum makan..."

"Aihhh! Kenapa tidak dari tadi bilang? Marilah ke rumahku, kami sediakan kamar untukmu dan tentang makan, tidak perlu khawatir. Marilah!" Dia menggandeng tangan Kun Liong, menariknya ke luar untuk diajak menuju ke rumahnya. Ketika sampai di luar pintu, dia berkata kepada orang-orang yang menanti di luar.

"Kini mereka telah sembuh, disembuhkan oleh anak ajaib ini! Dan ketahuilah, besok pagi anak dewa yang kutemukan ini, yang malam ini akan makan dan tidur di rumahku, akan menangkap ular raksasa dan membasmi semua ular berbisa di hutan selatan!"

Tanpa menanti jawaban kakek itu menarik tangan Kun Liong pergi dari situ, tidak peduli akan seruan-seruan heran dan takjub dari orang-orang yang menimbulkan kebanggaan di dalam hatinya. Betapa dia tidak akan bangga? Dia yang menemukan anak ajaib ini!

Akian memperoleh kesempatan untuk mendongeng tentang ‘anak ajaib’ yang ia dapatkan bersama Kakek Lo. Kalau saja Kun Liong mendengar bagaimana Akian bercerita tentang dirinya, tentang kemunculannya yang dikatakan melayang turun dari angkasa, betapa dia menangkap ular dengan mantera, dan beberapa macam keanehan lagi, tentu Kun Liong sendiri akan terheran-heran, lebih heran dari pada orang-orang dusun itu sendiri!

Kakek Lo tidak kekurangan hidangan untuk menjamu Kun Liong karena begitu mereka memasuki rumah kakek itu, berbondong-bondong para penduduk mengantar hidangan seadanya yang masih mereka punyai sehingga tidak lama kemudian Kun Liong sudah duduk menghadapi meja yang penuh dengan hidangan, dilayani sendiri oleh Kakek Lo dan keluarganya yang terdiri dari anak laki-laki, mantu dan tiga orang cucu.

Sesudah makan kenyang, malam itu Kun Liong tidur dengan nyenyak sekali dan pada keesokan harinya, Kakek Lo menyambutnya dengan pakaian baru yang ukurannya tepat sekali bentuknya. "Pakaianmu sudah koyak-koyak semua, pakailah pakaian ini, pakaian cucuku yang masih baru, belum pernah dipakainya sama sekali."

Kun Liong tak menolak dan setelah mandi, dia mengenakan pakaian baru itu. Rambutnya disisir rapi lalu digelung dan diikat dengan sehelai sapu tangan sutera. Juga pemberian sepatu baru dipakainya.

"Hebat! Engkau tentu seorang kongcu, seorang putera bangsawan!" Kakek Lo berseru dan memandang kagum kepada anak yang berdiri di depannya, segar dan tampan sekali.

"Bukan, Kek. Aku bukan anak bangsawan, Ayah bundaku hanyalah ahli-ahli obat biasa saja."

"Siapakah namamu, Siauw-sinshe?"

"Aku she Yap, namaku Kun Liong."

"Yap-kongcu (Tuan Muda Yap)...!"

"Wah, aku bukan seorang kongcu, aku anak biasa. Panggil saja namaku, Kek."

"Ahhh, tidak, siapa percaya? Yap-kongcu, silakan keluar, di depan rumah sudah menanti para penduduk, bahkan kepala dusun ini sendiri datang untuk bertemu denganmu."

Kun Liong kaget dan merasa betapa penduduk telah menghormatinya secara berlebihan. Ketika dia keluar, benar saja dia melihat penduduk sudah berkumpul di depan rumah itu, dipimpin oleh kepala dusun yang menjura dengan sikap hormat kepada Kun Liong sambil berkata,

"Kami mewakili penduduk dusun Coa-tong-cung berterima kasih sekali kepada Siauw-kongcu yang telah menolong kami menyembuhkan dua penduduk yang terluka dan akan menangkap ular raksasa yang banyak mengganggu kami."

"Harap Cuwi tidak bersikap sungkan," kata Kun Liong malu-malu. "Aku hanya melakukan apa yang dapat kulakukan, dan memang sudah biasa aku menangkap ular. Hanya saja, terus terang kukatakan bahwa selamanya aku belum pernah menangkap ular yang besar. Akan kucoba menundukkannya dan kuharap supaya disediakan seekor ayam betina yang gemuk dengan tali panjang mengikat kakinya untuk umpan."

Kepala dusun cepat memerintahkan orangnya untuk menyediakan permintaan Kun Liong, kemudian beramai-ramai mereka mengantarkan anak itu ke dalam hutan di selatan Dusun Coa-tong-cung (Dusun Goa Ular). Akan tetapi tidak seorang pun berani memasuki hutan, hanya berdiri saja di luar hutan yang kelihatan gelap itu dengan wajah membayangkan kengerian.

"Mengapa Cuwi (Kalian) berhenti? Siapa yang akan menunjukkan kepadaku tempat ular raksasa itu?"

Semua orang menunduk, akan tetapi Kakek Lo langsung melangkah maju dan berkata dengan suara dipaksakan dan dada dibusungkan, "Aku akan menemanimu, Yap-kongcu!"

"Aku juga!" Akian melangkah maju pula.

"Hemmm…, memang sebaiknya ada yang mengawal kalau-kalau Siauw-kongcu ini perlu bantuan," kata kepala dusun yang menggunakan wibawanya lalu memilih sepuluh orang pemuda-pemuda yang bertubuh kuat dan membawa senjata, dan dia sendiri memimpin sepuluh orang itu mengikuti Kun Liong, Kakek Lo, dan Akian memasuki hutan.

Setelah tiba di tengah hutan, di bagian yang berbatu-batu, Akian menuding ke depan dan semua pengikut itu tiba-tiba berhenti, wajah mereka berubah. pucat dan tak seorang pun berani maju lagi.

Kun Liong memandang ke depan. Hidungnya sudah mencium bau keras, bau wengur yang menandakan bahwa di dekat situ terdapat seekor ular besar. "Harap Cuwi menanti saja di sini," katanya.

Dia lalu membawa ayam betina yang telah diikat kakinya itu, perlahan-lahan menghampiri sebuah goa di antara batu-batu gunung. Setelah dia menyelinap di antara batu-batu dan tiba di mulut goa, tampaklah olehnya seekor ular yang amat besar dan panjang.

Mula-mula ketika dia tiba di situ, ular itu sedang melingkar, akan tetapi agaknya ular itu telah melihat kedatangannya. Ular itu mendesis kemudian tubuhnya yang melingkar mulai bergerak-gerak, lingkarannya terlepas sehingga tampaklah tubuh yang panjang sekali, tak kurang dari empat meter panjangnya, dan besar perutnya melebihi paha Kun Liong!

Sesudah berada di depan ular yang mendesis-desis dan lidah merahnya keluar masuk mulut dengan cepat sekali itu, Kun Liong berhenti. Terlalu berbahaya kalau mendekat lagi. Dia mengukur jarak antara dia dan ular, dan mengingat apa yang telah dipelajarinya dari ibunya.

Ibunya pernah menundukkan seekor ular besar, meski pun tidak sebesar ular di depannya ini. Menurut pelajaran yang diberikan oleh ibunya, seekor ular besar berbeda bahayanya dengan ular kecil yang beracun. Ular kecil gigitannya mematikan karena mengandung bisa. Akan tetapi seekor ular besar yang tak berbisa seperti ini, bahayanya terletak pada mulut yang dapat menjadi lebar sekali, yang gigitannya tidak mungkin dapat dilepaskan oleh Si Korban, dan juga terletak pada belitan tubuhnya yang amat kuat.

Untuk membuat mulut lebar itu tidak berdaya, harus dipergunakan umpan, karena sekali ular itu menggigit korbannya, gigi-giginya yang melengkung ke dalam itu akan merupakan kaitan yang sukar melepaskan si korban dan dalam keadaan menggigit korbannya, ular itu tidak dapat menyerang lawan dengan mulutnya. Mudah untuk membuat mulut itu tidak berdaya, pikir Kun Liong, yang berbahaya adalah belitan tubuh ular itu. Harus cepat dapat menotok tengkuk di belakang kepala sehingga tubuh itu menjadi setengah lumpuh.

Ular itu kini mengeluarkan desis keras sesudah Kun Liong melepaskan ayamnya. Ayam betina gemuk itu mengenal bahaya. Dia meronta-ronta dan menggerakkan sayap hendak lari dan terbang, akan tetapi tali yang mengikat kaki itu menahannya. Dengan mata yang memandang tanpa berkedip, Kun Liong menggerakkan talinya sehingga tubuh ayam itu terlempar ke depan, ke dekat ular.

Menakjubkan melihat ular sebesar itu, membayangkan kelambanan, dapat menggerakkan kepala dengan kecepatan luar biasa dan tahu-tahu ayam itu sudah memekik-mekik serta meronta-ronta, namun tak mungkin dapat melepaskan diri dari gigi-gigi runcing yang telah menancap pada tubuhnya dan mengait daging serta tulangnya.
Selanjutnya,