Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 47 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 47
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

“SIAPKAN mereka!” perintah Akuwu kemudian kepada Witantra. Wajahnya masih dibayangi oleh kemarahannya kepada Ken Arok, “Aku akan segera berangkat.”

“Hamba Tuanku.” Witantra pun kemudian meninggalkan Akuwu seorang diri menimang busurnya, untuk menyiapkan sebuah rombongan kecil yang akan mengikuti Akuwu Tunggul Ametung pergi berburu.

Ketika di halaman belakang ia bertemu dengan Ken Arok, maka dengan nada berat ia berkata, “Jangan kau hiraukan lagi kata-kata Akuwu. Ia sendiri akan segera melupakannya. Mungkin lain kali kau akan mendapat kesempatan untuk ikut bersama dengan Akuwu pergi berburu.”

Kepala Ken Arok tertunduk. Dengan wajah yang muram ia menjawab, “Aku tidak menyangka bahwa kata-kataku akan menimbulkan kemarahan. Aku akan berkata dan bersikap jujur. Seandainya aku berkata bahwa aku dapat memanah dengan baik, namun ternyata sebaliknya, aku akan dimarahinya juga. Apalagi, tanpa aku sadari aku telah menyinggung busur yang baru itu.”

“Besok Akuwu akan melupakan apa yang terjadi hari ini” berkata Witantra.

“Aku belum pernah dimarahi oleh Akuwu seperti ini. Itulah sebabnya aku merasa, bahwa aku seakan-akan telah melakukan suatu kesalahan yang maha besar.”

Witantra tersenyum, Jawabnya, “Kau adalah seorang hamba istana yang bertanggung jawab. Kau selalu berbuat seperti seharusnya kau lakukan. Apa yang terjadi sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan tugasmu. Itu hanyalah sekedar salah paham yang tidak akan berpengaruh apa-apa.”

“Mudah-mudahan” desis Ken Arok.

“Percayalah. Besok ia pasti sudah akan lupa, apa yang dikatakannya sendiri.”

Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya dengan wajah yang muram. Tetapi, ketika Witantra kemudian meninggalkannya, sekali lagi ia tersenyum dan berkata kepada diri sendiri, “Witantra hampir sama dungunya dengan Akuwu Tunggul Ametung.”

Beberapa lama kemudian Ken Arok berdiri di balik sebatang pohon ketika Akuwu bersama pengawalnya berpacu meninggalkan istana. Tetapi, ketika Akuwu sudah lampau, maka Ken Arok segera melangkah ke samping sambil menganggukkan kepalanya kepada Witantra.

Witantra tersenyum sambil mengangkat tangannya. Kemudian hilang di balik regol samping istana. Yang tinggal hanyalah kepulan debu yang putih.

Ken Arok berpaling ketika ia mendengar seorang prajurit bertanya, “He, kenapa kau bersembunyi?”

Ken Arok mengangkat keningnya, tetapi ia tidak menjawab. Sambil menggelengkan kepalanya ia pun kemudian pergi meninggalkan prajurit itu di tempatnya.

Sepeninggal Akuwu dan beberapa orang pengawalnya, istana ini serasa menjadi lengang. Ken Arok adalah seorang hamba istana yang mendapat kepercayaan karena berbagai jasa. yang telah ditunjukkannya. Itulah sebabnya, maka ia seolah-olah mendapat kepercayaan untuk memasuki setiap ruang di dalam istana ini. Apalagi kedudukannya memang memungkinkannya untuk berbuat demikian.

Tetapi, Ken Arok yang telah matang dengan rencananya itu tidak bertindak dengan tergesa-gesa. Ia harus menggunakan akal dan nalarnya. Tidak sekedar membiarkan perasaan dan nafsunya melonjak-lonjak tidak terkendali. Itulah sebabnya, maka tidak seorang pun yang menaruh curiga terhadapnya. Sikapnya adalah sikap Ken Arok yang mereka lihat sehari-hari, karena mereka, para hamba istana dan para prajurit, tidak melihat, apa yang tersimpan di dalam dada anak muda, pelayan dalam istana Tumapel itu.

Pada hari itu, Ken Arok melakukan tugasnya seperti biasa. Tidak ada kesan perubahan apa pun, dalam pandangan mata orang-orang lain yang berada di istana itu pula. Setiap orang menganggap, bahwa wajar sekali apabila suatu ketika Ken Arok itu bertemu dengan Permaisuri Ken Dedes yang sedang turun ke halaman, untuk pergi ke taman. Karena Akuwu Tunggul Ametung tidak ada, maka Ken Dedes ingin mencari kesibukan dengan para emban di taman istana.

Dengan hormatnya Ken Arok menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Sambil menunduk Ken Arok bertanya dengan sopannya, “Ampun Tuan Puteri, apakah Tuan Puteri akan pergi ke taman?”

Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Tetapi, suaranya agak gemetar, “Ya Ken Arok. Aku akan pergi ke taman.”

“Hamba Tuan Puteri” sahut Ken Arok kemudian, “hamba telah membawa beberapa jenis bunga-bungaan dari taman yang hamba buat di Padang Karautan.”

Langkah Ken Dedes tiba-tiba berhenti. Dipandanginya wajah Ken Arok untuk sesaat. Dan tanpa disangka-sangka Ken Arok mengangkat wajahnya sehingga tatapan mata mereka bertemu. Tidak seorang pun yang memperhatikan peristiwa sekejap itu. Tidak seorang pun yang melihat wajah Permaisuri menjadi semburat merah. Dan tidak seorang pun yang melihat, bahwa sesuatu yang telah tumbuh di dalam hati permaisuri itu berkembang tanpa dapat dihindarkannya lagi.

Karena itu, maka sesaat Permaisuri itu seakan-akan terbungkam. Kepalanya pun kemudian menunduk dalam-dalam. Sekejap ia kehilangan kesadaran diri, sehingga ia tidak berbuat sesuatu, selain berdiri sambil memandangi ujung ibu jari kakinya.

Para emban tidak ada yang menaruh prasangka apa pun. Mereka hanya menyangka, bahwa Permaisuri sedang mengingat-ingat sesuatu. Mungkin tentang bunga yang dikatakan oleh Ken Arok, di bawa dari Padang Karautan. Dan ternyata bahwa yang pertama-tama dikatakan oleh Permaisuri itu kemudian adalah benar-benar tentang bunga. Katanya, “Manakah bunga itu, Ken Arok. Apakah kau dapat menunjukkan?”

Ken Arok tergagap sejenak. Ia tidak menyangka bahwa Permaisuri akan minta kepadanya untuk menunjukkan bunga itu, yang sama sekali tidak pernah ada di dalam taman. Jangankan bunga yang dibawanya dari Padang Karautan, sedang bunga yang ada di dalam taman itu pun sama sekali tidak mendapat perhatiannya. Namun demikian ia menjawab, “Baiklah Tuan Puteri. Tetapi, sudah agak lama hamba tidak melihat, apakah bunga itu masih ada dan dapat hidup baik untuk seterusnya.”

Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Pergilah. Berjalanlah di depan.”

“Ampun Tuan Puteri, hamba akan berjalan di belakang.”

“Berjalanlah di depan.”

Ken Arok tidak dapat membantah lagi. Meskipun terasa punggungnya seolah-olah dijalari oleh segenggam ulat yang paling gatal, namun ia berjalan juga di depan Permaisuri. Ketika mereka memasuki taman, keringat Ken Arok menjadi semakin banyak mengalir. Ia tidak tahu, kemana ia harus pergi untuk menunjukkan bunga yang dibawanya dari Padang Karautan, sehingga untuk sesaat ia berdiri membatu di regol taman.

Ken Dedes yang kemudian berdiri dibelakangnya terhenti juga. Setelah sejenak Ken Arok berdiri diam, terpaksa Permaisuri itu bertanya, “Manakah bunga itu?”

Ken Arok berpaling. Kemudian dibungkukkannya kepalanya dalam-dalam. Namun sementara itu ia melihat, bahwa para emban tidak berdiri terlampau dekat dengan permaisuri. Sejenak Ken Arok dicengkam oleh kebimbangan. Apakah ia akan mencoba menjajagi perasaan Permaisuri saat itu juga, justru ketika Permaisuri itu bertanya tentang bunga kepadanya? Dan justru bahwa bunga yang sesungguhnya tidak ada.

Ken Arok menjadi semakin berdebar-debar, dan bahkan jantungnya serasa akan meledak ketika sekali lagi Permaisuri bertanya, “Kenapa kau berhenti, Ken Arok?”

Dalam keadaan yang demikian, maka tiba-tiba tumbuhlah kedirian Ken Arok yang sebenarnya. Seorang anak yang paling liar di seluruh Tumapel. Meskipun kini ia berdiri dengan kepala menunduk dalam-dalam, meskipun ia berpakaian seperti seorang pelayan dalam, namun ia tidak berhasil membuat hati dan jantungnya sewarna dengan pakaian lahiriahnya. Karena itu, seperti api yang tersekap dalam sekam, maka ketika Ken Arok tidak mampu lagi menahan dirinya, meledaklah perasaan yang selama ini membakar dadanya.

Meskipun kepalanya masih menunduk, namun Ken Arok kemudian berkata sangat lambat, sehingga hanya dapat di dengar oleh Permaisuri itu sendiri, “Ampun Tuan Puteri, ternyata hamba tidak memindahkan bunga dari Padang Karautan, tetapi hamba memindahkan bunga dari Padepokan Panawijen, dan sama sekali tidak hamba tanam di dalam taman ini.”

Sepercik pertanyaan membayang di wajah Permaisuri itu. Ia tidak segera menangkap arti kata-kata Ken Arok, sehingga sesaat ia berdiri saja membisu sambil memandang wajah Ken Arok yang tertunduk. “Jadi?” bertanya Permaisuri itu kemudian, “Di manakah kau tanam bunga itu.”

Ken Arok menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia memutuskan, “Matilah, aku sekarang kalau aku akan mati. Buat apa aku hidup lebih lama lagi, kalau semua impianku itu tidak akan dapat terwujud? Seharusnya aku memang segera mengetahui, apakah berguna untuk berbuat seterusnya, atau aku harus menghentikannya sekarang, kemudian membunuh diri.”

Permaisuri itu menjadi bingung karena Ken Arak tidak segera menjawab. Karena itu, untuk melepaskan kegelisahannya ia mendesak, “Di mana kau tanam bunga itu Ken Arok?”

Kini Ken Arok telah sampai pada tangga terakhir dari pengkhianatannya. Karena ilu, maka dengan dada berdebar-debar dan jantung yang serasa meledak ia berkata, “Ampun Tuan Puterri, bunga itu ada di dalam dada ini.”

Jawaban Ken Arok itu serasa petir yang meledak di dalam telinga Permaisuri Ken Dedes. Sejenak ia tegak seperti patung yang membeku. Namun kemudian darahnya seakan-akan berhenti mengalir. Taman bunga yang telah berada beberapa jengkal dihadapannya, serasa berputaran mengelilinginya. Semakin lama menjadi semakin cepat. Semakin cepat dan semakin cepat. Permaisuri Ken Dedes itu seakan-akan kehilangan keseimbangannya. Sejenak ia terhuyung-huyung. Lamat-lamat bibirnya bergerak dan memanggil, “Emban, emban.”

Emban yang berdiri beberapa langkah daripadanya tidak mendengar panggilan itu, sehingga Ken Dedes mengulanginya, “Emban, kemarilah.”

Tetapi, emban itu juga belum mendengarnya. Mereka berdiri sambil berbisik-bisik di antara mereka. Mereka tidak melihat, bahwa wajah Permaisuri menjadi terlampau pucat, dan keringat dinginnya telah membasahi seluruh tubuhnya.

Ken Arok menyadari keadaan itu, sehingga dengan serta-merta ia memanggil, “He, emban, lihatlah Tuan Puteri itu.”

Emban yang masih berbisik-bisik diantara mereka itu terkejut. Segera mereka berlari-lari mendapatkan Permaisurinya yang sudah hampir kehilangan keseimbangan sama sekali. Melihat Ken Dedes yang pucat dan berkeringat itu, para emban menjadi bingung. Beberapa orang di antara mereka segera berusaha menahan agar Ken Dedes tidak terjatuh. Namun beberapa orang yang lain hanya kebingungan saja tanpa berbuat sesuatu.

“Ampun Tuan Puteri, kenapa Tuan Puteri?”

Ken Dedes tidak menyahut. Ia berusaha berpegangan kepada dua orang emban yang berdiri di kedua sisinya. “Aku akan kembali ke istana emban” desis Permaisuri.

“Tetapi, kenapakah sebenarnya Tuan Puteri?” Ken Dedes menggeleng, “Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja aku merasa pening.”

“Marilah Tuan Puteri.” berkata salah seorang dari emban itu, “Hamba antar Tuan Puteri kembali ke istana.”

Kedua emban yang masih sempat berpikir itu segera memapah Ken Dedes kembali ke istana. Sementara yang lain masih saja kebingungan.

Sementara itu, Ken Arok masih berdiri tegak seperti patung. Ia sadar, bahwa keadaan Permaisuri itu adalah akibat dari kata-katanya. Tetapi, ia belum tahu pasti, apakah tanggapan Permaisuri itu sebenarnya. Tetapi, tekad Ken Arok sudah tidak dapat diredakan. Ia bergumam di dalam hatinya, “Hanya ada dua pilihan, mukti atau mati. Kalau aku harus mati, biarlah itu cepat terjadi. Besok atau lusa, kalau Akuwu kembali dari berburu, Permaisuri pasti akan mengatakannya, bahwa aku telah berkhianat. Pada hari itu juga aku akan di gantung di depan regol samping istana, atau di tengah alun-alun. Tetapi, apabila besok atau lusa Akuwu Tunggul Ametung kembali, dan aku tidak segera harus menjalani hukuman mati, maka itu suatu pertanda bahwa Permaisuri Ken Ddes tidak marah kepadaku. Aku akan berjalan terus sesuai dengan rencanaku.”

Ken Arok itu pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia masih melihat emban pemomong Ken Dedes yang kebetulan tidak ikut pergi ke taman berlari-lari menyongsong momongannya. Kemudian membantu memapahnya masuk ke dalam istana. Dengan penuh kasih sayang emban tua itu membawa Ken Dedes berbaring di pembaringannya. Kemudian dibelainya keningnya dan di pijit-pijitnya pundaknya.

“Kenapa Tuan Puteri?” dengan sareh ia bertanya, “Apakah Tuan Puteri sakit?”

Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Sekilas terbayang wajah pelayan dalam yang masih muda itu berdiri sambil tersenyum. Tiba-tiba pula teringat olehnya, pergaulan masa kecilnya. Kemudian pada saat ia tumbuh menjadi dewasa. Sepercik kenangan telah membayang di rongga matanya, tentang seorang anak muda yang bernama Wiraprana. Tanpa sesadarnya Ken Dedes itu mulai memperbandingkannya. Dan tiba-tiba saja ia berkata di dalam hatinya, “Kenapa keduanya mempunyai beberapa persamaan? Tetapi, aku tidak dapat mengatakan, dimanakah letak persamaan itu.”

Permaisuri itu terkejut ketika ia mendengar suara embannya, “Apakah Tuanku menjadi pening sekali?”

Ken Dedes mengangguk.

“Kenapa Tuan Puteri? Apakah Tuan Puteri terkejut, atau cemas atau tiba-tiba saja teringat akan sesuatu?”

Ken Dedes menggelengkan kepalanya, “Tidak bibi?”

“Lalu, kenapa Tuanku tiba-tiba saja menjadi hampir pingsan?”

Permaisuri itu menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu bibi. Tiba-tiba saja mataku menjadi berkunang-kunang, dan taman itu seolah-olah berputar. Badanku menjadi sangat dingin, tetapi peluhku serasa terperas dari tubuh.”

“Mungkin Tuan Puteri terlampau lelah. Atau Tuan Puteri mempunyai suatu keinginan yang tidak terucapkan. Apakah Tuan Puteri ingin ikut berburu?”

Ken Dedes menggelengkan kepalanya, “Tidak bibi. Aku tidak mempunyai keinginan apa pun juga.”

Emban tua itu tidak bertanya lagi. Kini ia memijit lengan dan pergelangan Permaisuri yang menjadi dingin sekali. Ketika seorang emban membawa minyak kelapa dan brambang, maka segera diulaskannya pada telapak kaki Ken Dedes supaya menjadi hangat. “Tidurlah Tuan Puteri” berkata emban tua itu, “Kalau Tuanku dapat tidur, maka Tuan Puteri pasti akan segera sembuh.”

Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Dipejamkannya matanya dan dicobanya untuk melupakan apa yang baru saja terjadi. “Aku salah dengar” berkata Permaisuri itu kepada diri sendiri di dalam hatinya, “Mudah-mudahan aku salah dengar.”

“Tetapi,” suara itu terdengar pula di relung jantungnya, “Ia bersungguh-sungguh. Aku pasti, ia telah mengatakannya.”

Ken Dedes menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian ditutupnya wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Permaisuri itu terkejut ketika embannya bertanya pula, “Apakah ada yang mengganggu perasaan Tuan Puteri?”

“Oh, tidak bibi, tidak.” jawabnya dengan serta-merta. “Aku hanya merasa terganggu sekali, bahwa aku tidak dapat segera tidur. Aku ingin beristirahat, dan tidur dengan nyenyak.”

“Tuanku harus meletakkan semua beban perasaan” sahut embannya, “Mudah-mudahan Tuanku segera dapat tidur. Hamba akan berada di luar pintu.”

Ken Dedes tidak menyahut, tetapi ia mengangguk-angguk kecil. Emban tua itu pun segera meninggalkan Ken Dedes seorang diri berbaring di dalam biliknya. Namun kesendiriannya itu agaknya telah memberi kesempatan kepadanya, kepada angan-angannya, untuk menyelusuri dunia yang mengambang. Pikirannya jauh menerawang ke alam yang tidak dapat disentuhnya. Dan dalam dunia yang asing itulah terjadi benturan yang dahsyat antara perasaan keperempuanannya dengan pikiran wajarnya.

“Aku seorang Permaisuri” suara itu terdengar melengking di dadanya. Namun kemudian terdengar suara yang lain, “Tetapi, aku belum pernah meneguk betapa manisnya memadu cinta. Aku telah kehilangan masa remajaku, dan aku terlempar ke dalam sangkar emas yang mengurungku kini.”

Berganti-ganti membayang di dalam angan-angannya wajah-wajah Kuda Sempana, wajah Tunggul Ametung, Mahendra dan Wiraprana. Terbayang pula wajah-wajah lain yang pernah disebut-sebut oleh ayahnya dahulu ingin melamarnya. Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Terasa denyut jantungnya menjadi semakin cepat berdetak.

“Aku berhak menikmati cinta itu” desisnya, “Seperti anak-anak muda yang lain, yang kawin dengan laki-laki yang mereka cintai.” Demikianlah, dada Ken Dedes itu serasa terbakar oleh benturan perasaan yang tidak dapat dikendalikan, sehingga akhirnya ia tidak dapat menahan hatinya lagi.

Pemomongnya yang berada di luar pintu menjadi cemas, ketika ia mendengar Ken Dedes itu sama sekali tidak tertidur, namun justru menangis. Karena itu, maka perlahan-lahan ia bangkit dan berjalan memasuki bilik itu dengan hati-hati. Supaya tidak mengejutkan Permaisuri yang sedang menangis itu, emban pemomongnya terbatuk-batuk kecil di depan pintu. Emban tua itu pun kemudian duduk bersimpuh di samping pembaringan Permaisuri itu sambil bertanya perlahan-lahan,

“Apakah sebenarnya yang telah mengganggu perasaan Tuan Puteri? Sejak Tuanku masih kecil hamba selalu melayani Tuan Puteri. Tuan Puteri tidak pernah menyimpan rahasia kepada hamba. Kini agaknya sesuatu sedang mengganggu hati Tuan Puteri. Apakah salahnya kalau Tuan Puteri bersedia membaginya dengan hamba. Mungkin hamba dapat membantu mencari jalan untuk menyelesaikan kesulitan yang agaknya sedang Tuanku sandang.”

Tetapi, Ken Dedes yang sekarang bukan Ken Dedes yang dahulu. Perlahan-lahan Permaisuri itu menggeleng, “Aku tidak apa-apa bibi. Tetapi, kepalaku terlampau pening.”

Namun emban tua itu pun menggelengkan kepalanya pula. Katanya, “Hamba melihat sesuatu yang menyesak di dalam hati Tuanku.”

“Tidak bibi, sungguh tidak.”

Emban itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dibelainya Ken Dedes itu seperti ia membelainya di masa kanak-kanak. Dengan suara yang lembut emban itu berkata, “Tuanku, sejak Tuanku kecil aku selalu melayani Tuanku. Dalam keadaan yang bagaimanapun juga. Pada saat-saat Tuanku berada di dalam kesulitan, yang betapa pun juga, Tuanku selalu mengatakannya kepada hamba. Bahkan pada saat ayahanda Tuan Puteri menerima lebih dari sepuluh lamaran bersama-sama. Ternyata Tuan Puteri tidak menghendaki seorang pun diantara mereka. Tetapi, Tuanku tidak berani mengatakannya. Bukankah Tuanku ingat bahwa Tuanku mengatakannya kepada hamba, bahwa Tuan Puteri telah mempunyai pilihan.”

“Jangan, jangan bibi” tangis Ken Dedes justru menjadi semakin keras. Sambil memeluk pemomongnya ia berkata terus, “Jangan kau katakan lagi tentang hal itu bibi. Kau akan mengungkit luka yang masih membekas di dalam hati, yang justru kini seakan-akan telah menjadi parah kembali.”

Emban tua itu mengerutkan keningnya. Jawaban itu wajar sekali. Agaknya Ken Dedes tidak mau mengenang masa-masa yang baginya terasa terlampau pahit itu. Namun yang menyentuh jantung emban tua itu adalah pengakuan Ken Dedes, “yang justru kini seakan-akan telah menjadi parah kembali.”

Emban tua itu menjadi berdebar-debar. Apakah yang sebenarnya sedang mengganggu hati pemomongnya ini? Apakah kenangan lama itu justru sedang tumbuh di dalam hatinya dan menimbulkan kejutan yang hampir membuatnya pingsan?

“Tentu ada rangsang apapun yang menuntun kenangannya terbang kembali kemasa-masa itu” berkata emban itu di dalam hatinya. Dan itu terjadi terlampau tiba-tiba. Tadi, sebelum emban itu meraba ke dalam dunia yang hanya dikhayalkan saja oleh Ken Dedes, dan yang membuatnya semakin terisak, emban itu menduga bahwa sebenarnya Ken Dedes tiba-tiba saja menjadi pening dan mungkin gangguan pada bagian-bagian tubuhnya. Tetapi, kini ia berpikir agak lain.

“Sebelum Akuwu meninggalkan istana, Permaisuri sama sekali tidak menunjukkan gejala-gejala yang demikian” berkata emban itu di dalam hatinya. Meskipun demikian, emban itu sama sekali tidak mempunyai petunjuk, ke arah mana ia harus mencari jawaban.

Di hari berikutnya, Permaisuri tampak lebih banyak merenung. Namun setelah matahari memanjat agak tinggi, tiba-tiba Permaisuri itu berminat untuk pergi ke taman. “Kali ini kau harus ikut bibi” berkata Permaisuri itu kepada pamomongnya.

“Hamba Tuanku. Apa perintah Tuanku, akan baik untuk hamba.”

Permaisuri itu kemudian segera berkemas. Beberapa kali ia menukar pakaiannya dan beberapa kali pemomongnya membantunya menyanggul rambutnya.

“Aneh” desis emban itu di dalam hati, “Tuan Puteri tidak pernah berpakaian demikian rapinya untuk sekedar pergi ke taman.” Tetapi, emban tua itu tidak berani bertanya.

Dengan beberapa yang lain, Permaisuri itu pun kemudian pergi ke taman. Suatu kebiasaan baru baginya. Biasanya Tuan Puteri Ken Dedes berjalan-jalan ke taman di sore hari. Jarang sekali terjadi, Ken Dedes turun ke taman di pagi hari.

“Mungkin Tuan Puteri kesepian karena Akuwu belum kembali dari berburu” desis beberapa emban dan palayan yang melihatnya. Namun selanjutnya mereka sama sekali tidak mempersoalkannya lagi.

Para emban itu juga tidak menghiraukan, kenapa Tuan Puteri berjalan terlampau lambat. Mereka tidak memperhatikannya, bahwa Permaisuri itu selalu menebarkan pandangan matanya ke segenap sudut-sudut halaman. Diamat-amatinya setiap prajurit, pelayan dalam dan para pengawal yang sedang bertugas. Namun setiap kali ia menjadi kecewa dan menarik nafas dalam-dalam.

Hanya emban tua pemomongnyalah yang memperhatikan semua itu. Dengan persoalan yang semakin membelit hatinya ia melihat kelainan yang tiba-tiba saja menghinggapi Permaisuri momongannya itu, meskipun masih terlampau sukar untuk diselusuri sebab-sebabnya. Seperti seorang ibu yang mengamat-amati tabiat dari anak tercinta. Demikianlah, emban tua pemomong Ken Dedes itu mencoba melihat apakah yang sebenarnya telah menarik perhatian Permaisuri itu.

Emban tua itu selalu memandang apa yang di pandangi oleh Permaisuri dan mengamat-amati olehnya. Setiap lembar daun yang di sentuh oleh Permaisuri itu tidak luput dari sentuhan tangannya pula. Ia ingin mencari sebab kemurungan hati Permaisuri itu, dan apakah yang telah menyeretnya pagi ini pergi ke taman.

Emban tua itu mengerutkan keningnya ketika ia melihat tiba-tiba saja permaisuri itu tertegun beberapa langkah di depan regol taman. Sejenak ia melihat sepercik sinar yang aneh memancar di wajah itu. Namun sejenak kemudian wajah itu pun tertunduk dalam-dalam. Wajah emban tua itu pun dengan tiba-tiba telah menegang, wajahnya memandang ke tempat yang telah membuat wajah Permaisuri berubah dengan tiba-tiba. Wajah emban tua itu pun dengan tiba-tiba telah menengang. Sejenak ia membeku di tempatnya. Namun sejenak kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya kemudian wajah Permaisuri yang menunduk.

Orang tua itu seakan-akan tidak percaya akan yang telah dilihatnya. Sebagai seorang tua ia mempunyai tanggapan atas peristiwa yang terjadi hanya sekejap itu. Ketika ia sekali lagi mengangkat wajahnya dan memandang ke dalam taman, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Ia melihat seorang anak muda yang seolah-olah membantu sambil menundukkan kepalanya pula. Seorang anak muda dalam pakaian seorang pelayan dalam. Ken Arok.

Tiba-tiba tubuh emban tua itu menjadi gemetar, seperti Permaisuri Ken Dedes. Namun dengan susah payah pemomong itu berhasil mempertahankan keseimbangan nalarnya. Dengan sepenuh kesadaran ia berhasil menguasai dirinya. Sehingga kemudian dengan sareh ia bertanya, “Tuan Puteri, kenapa Tuan Puteri berhenti di sini?”

“O” Ken Dedes tergagap, “Tidak bibi, tidak apa-apa.”

“Apakah Tuan Puteri akan memasuki taman?”

“Ya, ya” sahut Ken Dedes yang perlahan-lahan telah berhasil menguasai dirinya, “Aku akan pergi ke taman.”

“Marilah Tuan Puteri.”

Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Ia berjuang untuk tidak hanyut lagi dalam arus goncangan perasaan seperti kemarin, yang dengan tiba-tiba ia telah dihempaskan ke dalam suatu keadaan yang tidak disangka-sangka, sehingga ia tidak mempunyai persiapan apapun untuk menghadapinya. Kini ia berada dalam keadaan yang lebih baik dari kemarin, meskipun dadanya masih juga terasa terguncang. Pengakuan Ken Arok tentang bunga yang dipindahkannya dari Panawijen ke dalam dadanya membuatnya hampir-hampir kehilangan kesadaran.

Ken Dedes itu mengangguk ketika sekali lagi emban pemomongnya mendesak, “Marilah Tuanku.”

“O” Permaisuri itu berdesah. Kemudian dengan berat diangkatnya kakinya dan melangkah maju memasuki taman.

Para emban yang lain sama sekali tidak memperhatikan peristiwa yang terjadi tidak terlampau lama itu. Mereka hanya menyangka bahwa Ken Dedes menjadi ragu-ragu karena teringat keadaannya kemarin. Atau semula mereka menjadi agak cemas jangan-jangan Permaisuri akan terserang penyakitnya yang kemarin itu pula.

Tetapi, ketika Permaisuri itu kemudian melangkah maju, mereka sama sekali sudah melupakannya. Mereka sudah mulai berbisik-bisik lagi di antara mereka. Mereka mulai memperkatakan diri mereka sendiri. Ada pula yang memperkatakan jenis-jenis bunga yang menjadi semakin banyak, dan ada pula yang menjadi heran, apa saja kerja pelayan dalam yang cakap itu di dalam taman sepagi ini? Tetapi, mereka tidak melihat sorot mata Ken Arok yang seolah-olah akan membakar tubuh Permaisuri Ken Dedes itu.

Dengan kaki gemetar Ken Dedes memasuki taman. Segera ia pergi ke arah yang barlawanan dari tempat Ken Arok berdiri mematung. Permaisuri itu tidak membalas dan bahkan seakan-akan tidak melihat, ketika dengan penuh hormat Ken Arok menganggukkan kepalanya dalam-dalam.

“Hem” Ken Arok itu berdesah di dalam dadanya, “Burung-burung akan menjadi gila melihat kecantikannya di cemerlangnya pagi.” Dan matanya hampir-hampir tidak berkedip melihat Permaisuri yang kemudian membelakanginya. Ken Arok itu pun tidak melihat, bahwa sepasang mata wanita tua selalu memperhatikannya dengan saksama.

Di sudut taman itu kemudian Permaisuri berhenti dan duduk di atas sepotong kayu yang di alasi dengan kulit domba yang lunak. Dicobanya untuk memandangi ujung dedaunan yang sedang bersemi dan kuncup-kuncup yang hampir mekar. Namun matanya seolah-olah tidak melihatnya. Pandangannya yang kosong bergerak-gerak tidak menentu, sama sekali tidak sejalan dengan rabaan ujung jarinya yang lentik.

Emban tua pemomongnya duduk bersimpuh di atas rerumputan meskipun masih basah oleh embun. Terasa getar di dadanya seolah-olah menjadi semakin cepat. Sekali-kali ia masih mencoba memandangi Ken Arok yang masih berdiri di tempatnya, tanpa menghiraukan dua orang juru taman yang lewat di mukanya sambil menjinjing parang menyabit rumput. Ken Arok pun sama sekali tidak melihat juru taman itu kemudian menghilang di balik regol butulan, karena ia tidak dapat meneruskan pekerjaannya justru di dalam taman itu sedang hadir Permaisuri Ken Dedes.

Betapapun pahitnya, namun emban tua itu telah memberanikan diri berkata kepada dirinya sendiri, “Inilah agaknya yang telah membuat Permaisuri menjadi murung.” Namun sebuah pertanyaan telah terselip di dadanya pula, “Tetapi, kenapa dengan tiba-tiba. Perasaan yang demikian akan tumbuh dengan perlahan-lahan karena mereka telah sering betemu. Ken Dedes tidak baru kemarin melihat anak muda yang bernama Ken Arok itu dan sebaliknya.”

Emban itu tidak segera dapat menemukan jawabnya. Tetapi, sesuatu yang hampir pasti, “Ken Dedes telah dipengaruhi oleh perasaan seorang perempuan atas seorang laki-laki.”

Tangkapan emban tua itu atas sikap Ken Dedes telah membuatnya sangat prihatin. Meskipun ia belum yakin akan kebenarannya, namun ia condong pada dugaan itu. Ia tidak melihat alasan lain yang dapat dipakainya untuk menilai keadaan Permaisuri.

Ternyata Ken Dedes juga tidak lama berada di dalam taman. Ia tidak berjalan-jalan melihat-lihat seperti biasanya, dan memetik kuncup bunga untuk di bawa ke dalam biliknya. Ia hanya sekedar duduk dan termenung. Kemudian berdiri dan berkata kepada pemomongnya, “Kita akan kembali emban.”

Emban tua itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada yang dalam ia menjawab, “Marilah Tuan Puteri.”

Permaisuri itu pun kemudian berjalan perlahan-lahan meninggalkan tempat duduknya. Sejenak matanya beredar ke seluruh taman. Agaknya ia sedang mencari sesuatu. Emban tua itu masih saja selalu memperhatikannya. Ken Arok memang sudah tidak berdiri di tempatnya lagi. Tetapi, emban tua itu tahu pasti, bahwa Ken Arok tidak akan pergi terlamapau jauh. Ia pasti berada beberapa langkah saja dari regol.

Dugaan emban tua itu tepat. Begitu Permaisuri melangkahkan kakinya keluar regol taman, langkahnya itu pun tertegun. Wajahnya kemudian menjadi pucat, dan keringat dingin mengembun di keningnya. Sekilas pandangan matanya berbenturan dengan tatapan mata Ken Arok yang seolah-olah telah membakar jantungnya. Kemudian pandangan matanya itu pun jatuh di atas tanah yang di tumbuhi oleh rerumputan yang hijau.

Permaisuri itu menjadi bingung ketika Ken Arok membungkukkan kepalanya dalam sambil bertanya perlahan-lahan, “Ampun Tuanku. Tuanku hanya sebentar sekali berada di dalam taman.”

Keringat dingin semakin banyak mengalir di kening dan punggungnya. Terbata-bata ia menjawab, “Ya, ya. Aku sudah terlampau lelah.”

“Bukankah Tuanku baru saja datang ke dalam taman ini?”

“Ya” Ken Dedes mengangguk.

“Dan sekarang Tuanku telah kembali ke istana?”

“Ya.”

Ken Arok pun menjadi bingung, apa yang akan dikatakannya. Namun sekali lagi ia mencoba memandang wajah Permaisuri itu walaupun hanya sekilas, kemudian berkata pula, “Silahkan Tuanku.”

“Oh” Ken Dedes tergagap. Sambil meremas tangannya sendiri, ia berkata, “Aku akan kembali ke istana.”

Ken Arok tidak menyahut lagi. Sambil membungkuk dalam-dalam ia melangkah surut, seolah-olah memberi kesempatan kepada Permaisuri untuk berlalu.

Ken Dedes pun tidak mengucapkan sepatah kata lagi. Dengan dada yang berdebar-debar ia berjalan langsung masuk ke dalam biliknya. Hanya emban pemomongnya sajalah yang mengikutinya sampai ke dalam bilik. Yang lain segera berkumpul di ruang belakang. Mereka sama sekali tidak menghiraukan lagi apa yang telah terjadi. Mereka telah mulai lagi berbicara tentang diri mereka sendiri. Saling mengganggu dan mengejek.

Sementara itu, Ken Dedes langsung berbaring di pembaringannya tanpa berganti pakaian. Permaisuri itu hampir-hampir tidak tahu, bahwa emban pamomongnya duduk bersimpuh di sampingnya, apabila emban itu tidak bertanya, “Apakah Tuanku tidak akan berganti pakaian dahulu?”

“Oh” Permaisuri itu berpaling, “Aku terlampau lelah bibi. Nanti sajalah.”

Emban tua itu menggigit bibirnya. Sambil mengangguk-angukkan kepalanya ia bertanya, “Apakah hamba diperkenankan untuk meninggalkan bilik Tuanku?”

“Tunggu bibi” jawab Permaisuri itu sambil bangkit dari pembaringannya. Namun sejenak kemudian ia berkata, “Ah, baiklah. Aku kira tidak ada yang harus kau lakukan pagi ini.”

“Hamba Tuanku. Kalau begitu, hamba akan mohon diri.”

Dahi Ken Dedes itu berkerut. Agaknya ia sedang memikirkan sesuatu. Namun kemudian ia mengangguk, “Baiklah emban. Tetapi, jangan pergi jauh. Mungkin aku memerlukanmu.”

Emban tua itu pun segera meninggalkan bilik itu. Tetapi, ia tidak pergi seperti pesan Permaisuri. Ia duduk saja di depan bilik itu sambil merenung. Tiba-tiba, pandangan mata emban tua itu menjadi kabur. Ketika ia mengusap matanya, terasa tangannya menjadi hangat. Setitik air telah melelah dari mata yang tua itu. Satu-satu terbayang berbagai macam kenangan masa lampau. Sejak ia merawat seorang gadis padepokan yang masih kecil. Gadis yang kemudian mekar menjadi sekuntum bunga di lereng Gunung Kawi. Namun ketika bunga itu mulai kembang, seakan bertiup badai yang kencang, mengguncang-guncangnya dan menghentak-hentakkannya tanpa belas kasihan.

Terbayang kembali di dalam angan-angan emban tua itu, betapa ia mencoba melindungi gadis itu dari renggutan tangan Kuda Sempana. Terbayang pula sepasukan prajurit di bawah pimpinan Tunggul Ametung sendiri merampas gadis itu. Yang terakhir, Ken Dedes adalah seorang Permaisuri dari Akuwu Tunggul Ametung. Terkilas pula seleret kenangan tentang Wiraprana, dan kemudian tentang anaknya sendiri Mahisa Agni.

“Hem” emban tua itu berdesah. Dicobanya untuk mengusir kenangan yang telah mengganggu ingatannya itu.

“Tidak ada gunanya” katanya kepada diri sendiri ”Semuanya itu sudah berlalu. Yang sekarang dihadapi oleh Ken Dedes adalah suatu masa yang terlampaui di masa remajanya. Sepeninggal Wiraprana, maka ia merasa kehilangan hari-hari yang penuh dengan angan-angan tentang masa depan. Perkembangan keadaan telah melemparkannya ke dalam istana. Dengan susah payah Ken Dedes berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan menekan semua perasaannya, dengan berusaha melupakan masa-masa yang hilang itu. Namun agaknya kini tiba-tiba saja, masa itu tumbuh kembali dalam hatinya yang semula telah menjadi hambar. Agaknya anak muda yang berpakaian seperti pelayan dalam itulah yang telah melemparkannya kembali ke dalam dunia angan-angan, seorang gadis remaja.”

Sekali lagi emban tua itu mengusap matanya yang menjadi panas. Dan sekali lagi terasa setitik air mata telah pecah di pelupuknya. “Apakah akan jadinya apabila perasaan ini berkembang terus di dalam hatinya?” berkata orang tua itu kepada diri sendiri, “Apalagi, menilik sikap Ken Arok yang pasti akan menanggapinya” emban itu berdesah, “Ya, laki-laki manakah yang akan menolak tumpahan kasih dari seorang perempuan secantik Ken Dedes?”

Emban tua itu kemudian bangkit berdiri dan menjengukkan kepalanya dari pintu yang tidak digerendel. Ia menarik nafas dalam-dalam ketika dilihatnya Permaisuri Ken Dedes itu tidur dengan nyenyaknya. Bibirnya yang tipis membayangkan sebuah senyuman yang aneh. Karena Permaisuri itu tidur, maka emban itu pun kemudian meninggalkannya setelah pintunya di tutup rapat. Kepada seorang emban yang lain, ia berpesan untuk menungguinya di luar pintu apabila Permaisuri itu memerlukan seseorang untuk membantunya.

“Mudah-mudahan Akuwu segera kembali” emban itu mengharap di dalam hatinya, “Apabila suaminya ada, maka Permaisuri itu akan tidak mendapat kesempatan untuk berpikir tentang hal-hal lain yang dapat menyeretnya ke dalam malapetaka.”

Tetapi, ternyata hari itu pun Akuwu masih belum kembali. Karena itu, maka Ken Dedes masih mendapat kesempatan yang luas untuk merenungkan mimpinya yang indah. Ketika emban tua itu kembali ke bilik Ken Dedes di sore hari, sekali lagi hatinya berguncang. Permaisuri yang masih belum mandi, tetapi masih mengenankan pakaian yang dipakainya turun ke taman, sedang bercakap-cakap dengan Ken Arok di tangga serambi belakang. Meskipun anak muda itu bersikap terlampau hormat kepada Ken Dedes, namun emban tua itu tidak dapat menyangsikan lagi menilik tatapan mata keduanya.

“Betapa malang nasib anak itu, apabila ia tidak berhasil merenggut dirinya dari tangan iblis ini” desisnya.

Tetapi, emban tua itu tidak segera dapat berbuat sesuatu. Kehadirannya agaknya telah mengganggu percakapan kedua orang itu, sehingga dengan hormatnya Ken Arok membungkukkan kepalanya sambil berkata, “Ampun Tuan Puteri. Hamba akan melanjutkan tugas hamba, mengelilingi istana di bagian dalam.”

“Pergilah” jawab Ken Dedes sambil tersenyum.

Sepeninggal Ken Arok, Ken Dedes kembali masuk kebiliknya, dan kembali ia meletakkan tubuhnya di pembaringan.

“Tuan Puteri” berkata emban tua itu, “Apakah Tuan Puteri tidak hendak mandi dahulu?”

“Sebentar lagi emban. Aku baru saja bangun tidur.”

“Apakah tidak dilayankan makan siang bagi Tuan Puteri?”

“Aku baru bangun bibi. Aku memang belum makan.”

“O, kalau begitu, Tuan Puteri sebaiknya mandi dahulu. Kemudian hamba persilahkan untuk bersantap. Kalau Tuan Puteri terlampau lambat makan, mungkin Tuan Puteri akan menjadi tidak sehat badan hari ini.”

Permaisuri itu tersenyum sambil bangkit dari pembaringannya. Ditepuknya bahu emban tua itu. Katanya, “Kau terlampau baik bibi. Baiklah, aku akan mandi.”

“Biarlah hamba menyuruh menyediakan air hangat dahulu Tuan Puteri, sementara Tuan Puteri melepaskan sanggul. Nanti hamba tolong melepaskan pakaian Tuan Puteri.”

Ken Dedes tertawa. Jawabnya, “Baiklah.”

Emban tua itu pun segera memanggil seorang emban yang lain, dan memberitahukan bahwa Permaisuri akan mandi.

“Oh, tentu air panas itu belum tersedia. Tidak menjadi kebiasaan Tuan Puteri mandi terlampau cepat.”

Emban tua itu mengerutkan keningnya. Ditengadahkan wajahnya ke langit sambil bergumam, “Mengapa terlampau cepat?”

“Matahari masih terlampau tinggi. Tetapi, agaknya langit disaput oleh mendung.”

“Tidak apa. Permaisuri akan mandi sekarang” emban itu mengangguk. Kemudian ditinggalkannya emban tua itu dalam keragu-raguan.

“Apakah aku benar-benar telah menjadi pikun, atau memang aku sudah hampir menjadi gila” desisnya, “Aku sudah tidak mengenal waktu lagi. Tetapi, lebih baik mandi dahulu baru makan, daripada makan sekarang, kemudian sebentar lagi terus mandi” gumamnya.

Emban tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya ketika ia melihat Permaisuri itu setelah mandi, segera berkemas. Bukanlah menjadi kebiasaannya pula untuk bersolek demikian lamanya, apalagi sekedar untuk pergi ke ruang makan. Agaknya apa yang terjadi, telah cukup bagi emban tua itu untuk meyakinkan tangkapannya atas hubungan antara Permaisuri dengan pelayan dalam yang tampan itu. Meskipun demikian emban tua itu sama sekali tidak segera dapat berbuat sesuatu. Meskipun ada niatnya untuk mencegah Ken Dedes semakin hanyut ke dalam arus perasaannya, namun ia masih belum menemukan waktu yang tepat untuk melakukannya.

Ternyata kehadiran Akuwu di hari berikutnya memberikan harapan bagi emban tua itu. Satu dua hari, Permaisuri telah mencoba mengisi kekosongan hatinya bersama Akuwu yang baru saja pulang dari berburu dengan hasil yang membuatnya terlalu bangga dan gembira. Akuwu berhasil membawa dua helai kulit harimau loreng, kijang dan beberapa jenis binatang buruan yang lain.

Tetapi, harapan emban tua itu kemudian menjadi pecah berserakan, seperti asap tertiup angin, ketika tiba-tiba saja ia melihat pertemuan seperti yang pernah dilihatnya. Meskipun tidak menumbuhkan kesan apapun bagi mereka yang tidak memperhatikan perkembangan keadaan Permaisuri saat-saat terakhir, namun bagi emban pemomong yang mengenal Ken Dedes seperti ia mengenal dirinya sendiri itu, menangkap semua persoalan dengan hati yang pedih.

“Akuwu memang terlampau mementingkan dirinya sendiri. Kesenangan sendiri terlalu banyak mendapat perhatiannya, sehingga Permaisurinya kadang-kadang merasa terlampau dikesampingkan. Dan Permaisuri itu adalah seorang perempuan yang merindukan kasih sayang.”

Emban tua itu melihat perkembangan keadaan Ken Dedes seterusnya seperti melihat seorang bayi yang merangkak-rangkak di pinggir sumur yang dalam. Namun ia tidak mempunyai cukup keberanian untuk mencegahnya, sehingga yang dapat dilakukan adalah hanya sekedar mengelus dada.

Selagi Akuwu semakin tenggelam ke dalam kesenangan sendiri, maka Ken Dedes pun menjadi semakin jauh terdorong ke dalam dunia yang hitam. Setiap kali Akuwu melupakan waktu dan isterinya apabila ia sudah berada di dalam lingkaran sabung ayam. Kemudian membenamkan diri ke dalam biusan minum tuak bersama beberapa pemimpin Tumapel yang lain. Mereka berebut mendapatkan hati Akuwu dengan caranya masing-masing, sehingga kadang-kadang Akuwu tidak menyadari bahwa dirinya semakin jauh terseret ke dalam kehidupan yang dapat membahayakan dirinya dan bahkan Tumapel. Ketidak-puasan telah merajalela hampir di segenap kalangan.

Yang paling berprihatin dari semua orang terdekat dengan Akuwu adalah Witantra. Ia melihat Akuwu yang sekarang ini, agak berbeda dari Akuwu beberapa saat yang lampau. Meskipun Akuwu sejak ia menduduki tempatnya bukan orang pemimpin yang sempurna, namun pada waktu itu, masih ada harapan bahwa Akuwu, berkembang ke arah yang baik, namun yang terjadi adalah sebaliknya. Witantra tidak tahu, apakah sebabnya. Tetapi, akibat yang terjadi membuatnya cemas.

Hubungan antara Akuwu dan Permaisurinya pun semakin lama menjadi semakin aneh. Akuwu merasa bahwa Ken Dedes bersikap terlampau dingin sehingga ia memerlukan isi dari kekosongan hidupnya dengan berbagai macam kesenangan. Tuak, sabung ayam, berburu dan mengadakan pertemuan-pertemuan makan bersama dengan para pemimpin Tumapel yang lain.

“Aneh” kata Witantra kepada diri sendiri, “Semuanya seolah-olah terjadi menurut rencana yang telah tersusun lebih dahulu. Kedudukan Akuwu yang meluncur ke dalam keadaan yang sulit. Seolah-olah ada golongan di dalam istana yang dengan sengaja menyeret Akuwu ke dalam kesulitan. Sedang di luar istana ada golongan yang meniup-niupkan ketidak puasan atas keadaan yang sekarang ini berlaku.”

Tetapi, Witantra tidak dapat mengetahui, jaring-jaring yang sebenarnya memang sudah terpasang di dalam dan di luar istana. Tidak seorang pun dari para pemimpin yang menyadari saluran manakah sebenarnya yang telah mengalirkan segala macam kabut yang buram ke dalam istana dan seluruh wilayah Tumapel ini. Witantra kadang-kadang menjadi heran, dari manakah kemewahan yang akhir-akhir ini tampak membanjiri istana Tumapel. Adalah tidak masuk di akalnya bahwa setiap kali satu dua orang pemimpin pemerintahan Tumapel itu datang memberikan pisungsung berupa kelengkapan dari sebuah bujana mewah.

Kesimpulan Witantra adalah, “Pasti ada pihak yang sengaja menjerumuskan Akuwu ke dalam kesulitan. Tetapi, untuk mencarinya di perlukan waktu dan ketekunan. Jalur-jalur itu agaknya dikemudikan oleh seorang yang luar biasa.”

Kesimpulan itu telah membuat Witantra menjadi semakin waspada. Seolah-olah ia tidak sampai hati melepaskan Akuwu seorang diri tanpa pengawasannya meskipun hanya sekejap. Namun, Witantra tentu tidak akan dapat berbuat sepanjang waktu. Suatu ketika ia harus pulang ke rumah, dan suatu ketika Akuwu berada di bilik Permaisurinya sehingga Akuwu itu pada saat-saat tertentu terlepas dari pengawasannya.

Tetapi, agaknya kesempatan bagi Witantra untuk mengawasi Akuwu itu pun menjadi semakin terbatas karena Akuwu sendiri agak menjauhkannya dari pergaulan istana. Bahkan kadang-kadang Akuwu itu dengan kasar berkata kepadanya, “Kau adalah pemimpin pasukan pengawal Witantra. Aku hanya memerlukan kau dalam keadaan yang berbahaya. Aku tidak perlu pengawalanmu selagi aku tidur, makan dan minum bersama para pemimpin Tumapel.”

Witantra hanya dapat mengelus dadanya. Tetapi, ia tidak dapat berbuat apa-apa. “Aku tidak mengerti guru” berkata Witantra kepada gurunya pada suatu ketika, “Tetapi, keadaan berkembang ke arah yang tidak seharusnya.”

“Ya Witantra” sahut gurunya, “Aku juga melihat ketidakpuasan tersebar dimana-mana.”

“Itulah yang membuat aku prihatin. Tetapi, Akuwu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk mencari sumber dari malapetaka yang dengan perlahan-lahan menerkam Tumapel.”

Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya ia masih ingin mengatakan sesuatu, tetapi kemudian bahkan ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Witantra melihat sesuatu tersirat di wajah gurunya, tetapi ia tidak berani bertanya.

“Witantra” berkata gurunya, “Kau harus bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Awan yang hitam memang sedang menyelubungi Tumapel.”

“Apakah yang harus aku lakukan guru?”

“Sudah tentu, bahwa kau dapat mulai dengan dirimu sendiri. Sudah datang waktunya bagimu Witantra, bahwa kau harus menyempurnakan ilmumu. Selagi aku masih hidup dan masih cukup tenaga untuk membimbingmu.”

“Tetapi guru, aku tidak dapat meninggalkan istana untuk waktu yang lama pada saat ini.”

“Kau tidak perlu meninggalkan tugasmu. Aku memerlukan kau di setiap malam untuk beberapa hari saja. Di siang hari kau tetap dalam tugasmu” gurunya berhenti sejenak, “Sudah tentu bahwa kau tidak akan segera menjadi sempurna dengan cara itu. Tetapi, setidak-tidaknya kau memiliki beberapa bekal yang lebih banyak dari bekalmu sekarang. Apabila kau mempunyai waktu kelak, kau harus mengurung dirimu untuk waktu yang agak lama.”

Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Inilah yang dapat dilakukan untuk sementara. Selagi asap yang hitam kemelut di atas Tumapel, pemimpin pasukan pengawal itu telah menempa dirinya sendiri. Namun dengan demikian, jarak antara Akuwu Tunggul Ametung dengan Witantra pun menjadi semakin jauh. Witantra memerlukan waktu untuk kepentingannya sendiri, sehingga apabila tidak diperlukan oleh Akuwu ia tidak membuang waktunya hadir dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan di istana. Witantra lebih senang pergi ke padang agak jauh di luar kota Tumapel bersama gurunya, mesu diri untuk mendapatkan kelengkapan yang lebih banyak lagi dari ilmunya.

Tetapi, pada suatu kali Witantra terkejut ketika gurunya berkata kepadanya, “Witantra, apakah kau tidak memperhatikan adikmu akhir-akhir ini?”

“Siapakah yang guru maksudkan? Mahendra atau Kebo Ijo?”

“Mahendra telah melepaskan diri dari persoalan yang menyangkut istana dan pemerintahan. Ia lebih senang bekerja sendiri pada dunianya. Ia lebih senang memelihara tanahnya dan berternak yang agaknya dapat memberinya kepuasan.”

“Jadi Kebo Ijo yang guru maksud?”

Gurunya menganggukkan kepalanya.

“Bagaimana dengan Kebo Ijo?”

“Aku melihat beberapa perubahan. Bukan pada watak dan sifatnya yang dibawanya sejak lahir dan akan dibawanya pula mati kelak. Tetapi, pada kehidupannya. Aku melihat yang kurang wajar padanya. Ia memiliki kekayaan yang tidak mungkin didapatkannya dengan cara yang wajar.”

“Ah, “Witantra mengerutkan keningnya, “Apakah guru yakin?”

“Seharusnya kau lebih dekat dengan anak itu daripada aku.”

Witantra mengerutkan keningnya. Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata, “Anak itu memang anak yang bengal. Tetapi, aku yakin bahwa ia tidak akan melakukan kejahatan dengan kesadarannya. Ia memang anak yang sombong dan terlampau tinggi hati, sehingga ia kadang-kadang lupa diri apabila ia mendapatkan pujian. Tetapi, dengan sengaja melakukan kejahatan, aku kira tidak guru.”

“Mudah-mudahan kau benar Witantra” jawab gurunya, “Tetapi, lihatlah pada suatu ketika. Mungkin kau akan tertarik untuk mengetahui, dari manakah ia mendapat semuanya itu.”

Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baik guru. Aku akan berusaha.”

Ternyata keterangan gurunya itu selalu mengganggu pikiran Witantra. Ia benar-benar berkeinginan untuk pada suatu ketika berkunjung ke rumah adik seperguruannya itu, dan menanyakan, bagaimanakah keadaannya sekarang. “Kalau benar kata guru, aku memang harus menyelidikinya. Apakah ia hanyut juga dalam arus yang agaknya kini sedang melanda Tumapel.”

Dalam kemelutnya kabut yang kelam, yang lambat laun namun pasti semakin mencekam Tanah Tumapal itu, Ken Dedes seolah-olah mendapat cukup kesempatan untuk setiap kali bertemu dengan Ken Arok. Seorang anak muda yang seakan-akan dapat menemukan kembali buatnya, apa yang pernah hilang. Masa remaja yang terlampaui dalam perjalanan hidupnya itu, kini seakan-akan telah didapatnya kembali.

Dengan demikian maka suami isteri Tunggul Ametung itu telah terjerumus ke dalam suatu pusaran lingkaran kegelapan yang tidak berujung pangkal. Akuwu Tunggul Ametung menenggelamkan dirinya dalam berbagai macam kesenangan, sabung ayam, tuak dan makan minum bersama para pemimpin Tumapel yang lain, karena ia ingin mengisi waktunya. Permaisurinya terlampau dingin dan sama sekali tidak memberinya kegairahan. Tetapi, Permaisuri merasa bahwa ia seakan-akan memang sudah tidak diperlukan lagi oleh Akuwu Tunggul Ametung, karena kesenangannya itu, sehingga ia menjadi dingin. Dan bahkan dicarinya sandaran bagi hatinya yang lemah.

Demikianlah Tumapel perlahan-lahan telah meluncur ke dalam suatu keadaan yang paling membahayakan kelangsungan hidupnya. Di arena sabung ayam, dalam samar-samar mabuk tuak, Akuwu sama sekali tidak ingat apa-apa lagi selain dirinya sendiri. Sama sekali tidak diingatnya lagi Permaisurinya yang ditinggalkannya sendiri. Sama sekali tidak diingatnya lagi, bagaimana ia pernah terpesona melihat cahaya yang memancar dari tubuh gadis Panawijen yang dilarikan oleh Kuda Sempana itu. Dan yang paling parah, bahwa ia kini sama sekali tidak mengetahui bahwa Permaisurinya sedang terjerat oleh kesepian dan kelemahannya.

Ken Arok melihat perkembangan Tumapel dengan hati yang berdebar-debar. Ia hanya mempunyai waktu lima bulan sejak ia mulai. Dan yang lima bulan itu kini telah hampir habis sama sekali. Tetapi, sebagian besar dari rencananya telah dapat dilakukannya. Tidak seorang pun yang melihat ia pergi hilir mudik ketengah-tengah hutan tempat ia menyembunyikan harta kekayaan yang tidak terkira banyaknya, yang telah bertahun-tahun dikumpulkan oleh sekawanan perampok yang dahsyat. Yang menjelajahi tidak saja telatah Tumapel, tetapi juga telatah Kediri yang lain.

Juga tidak ada seorang pun yang menaruh prasangka, bahwa setiap kali Permaisuri Ken Dedes sempat berbicara tentang harapan-harapan di masa datang dengan anak muda yang tampan itu. Namun, masih ada satu orang yang melihat perkembangan keadaan Ken Dedes dengan hati yang pedih. Ialah emban tua pemomong Ken Dedes yang dibawanya dari Panawijen. Bahkan kadang-kadang ia menangis seorang diri di dalam biliknya. Apakah akan jadinya dengan Permaisuri dan bahkan dengan Tumapel.

Dalam kepedihan itu selalu dikenangnya anaknya, Mahisa Agni yang masih saja berada di Padang Karautan. Anaknya yang sama sekali tidak menghiraukan kemewahan istana Tumapel. Mahisa Agni telah membakar dirinya dalam terik panas matahari di Padang Karautan untuk kepentingan orang banyak. “Alangkah jauh jaraknya” desis perempuan tua itu.

Dan tiba-tiba saja kerinduannya kepada anaknya telah membakar dadanya. Tetapi, ia tidak mendapat kesempatan untuk menengoknya. Apalagi dalam keadaan serupa ini. Tanpa dirinya di samping Ken Dedes, keadaan Permaisuri itu pasti akan menjadi semakin parah. Emban tua itu sama sekali tidak mempunyai tempat untuk menumpahkan kepepatan perasaannya. Tidak seorang pun yang dapat dibawanya berbincang mengenai keadaan yang mendebarkan jantung itu.

Sedangkan Ken Dedes sendiri, kini seolah-olah menjadi acuh tidak acuh saja kepadanya, meskipun kadang-kadang Permaisuri itu masih memerlukannya. Tetapi, tidak seperti dahulu. Kini Permaisuri baginya merupakan sebuah bilik yang tertutup. Kalau dahulu, ia dapat melihat, apa yang tersimpan di lubuk hatinya, kini Permaisuri itu merupakan sebuah rahasia baginya.

Namun, akhirnya emban itu tidak dapat lagi menahan dirinya. Kerinduannya kepada anaknya, kepepatan hati yang membuat dadanya serasa akan bengkah, dan seribu macam persoalan yang lain. Sehingga akhirnya pada suatu hari diberanikannya dirinya menghadap kepada Permaisuri dan mohon diri untuk beberapa hari saja.

“Kau akan pergi ke mana bibi?” bertanya Permaisuri.

“Hamba tidak dapat menahan rindu untuk mengunjungi Panawijen Tuanku. Panawijen yang lama dan yang baru, yang telah berkembang di tengah-tengah Padang Karautan.”

“Kenapa tiba-tiba saja kau merindukannya?”

“Hamba tidak tahu Tuanku. Tiba-tiba saja hamba merindukannya. Mungkin juga karena hamba ingin beristirahat barang sepekan.”

Permaisuri itu mengerutkan keningnya, dan sejenak kemudian ia berkata, “Baiklah bibi. Aku beri kau ijin untuk beberapa hari pulang mengunjungi kampung halaman. Salamku buat kawan-kawan sepermainan di masa kanak, salam buat kakang Mahisa Agni dan tetangga-tetangga yang baik di Panawijen.”

“Hamba Tuanku. Dan apakah Tuanku tidak berpesan apapun untuk Ki Buyut?”

“O, aku lupa bibi. Ya, salamku kepadanya. Mudah-mudahan ia berhasil memimpin Rakyat Panawijen untuk seterusnya.”

“Hamba Tuanku. Semua pesan akan hamba sampaikan.”

Permaisuri itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi, kemudian ia bertanya, “Tetapi, apakah kau dapat menempuh perjalanan sedemikian jauhnya?”

Emban itu menarik nafas dalam-dalam. Perjalanan ke Panawijen tidak dapat ditempuh dalam satu hari.

“Biarlah aku minta dua orang prajurit mengantarmu bibi” berkata Permaisuri itu pula, “Prajurit itu akan menunggu kau sampai kau nanti kembali ke istana. Aku tidak akan membatasi masa istirahatmu. Karena kau sudah menjadi semakin tua, maka adalah wajar sekali apabila kau memerlukan waktu untuk beristirahat.”

Emban itu mengangguk-anggukkan kepala. Terasa bahwa bagi Permaisuri, kepergiannya akan merupakan peluang yang lebih baik. Agaknya tidak akan ada orang lain yang selalu membayanginya seperti dirinya. “Terima kasih Tuanku” jawab emban itu, “Tetapi, prajurit itu tidak perlu menunggu hamba kembali. Besok akan hamba minta angger Mahisa Agni untuk mengantar hamba, apabila masa istirahat hamba telah selesai.”

Tiba-tiba wajah Permaisuri itu berkerut. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Itu tidak perlu bibi. Kau jangan menyusahkannya. Kakang Mahisa Agni mempunyai kewajiban yang berat di padukuhannya. Karena itu, lebih baik bagimu untuk membawa dua orang prajurit yang akan mengawanimu. Atas perintahku, kau dapat minta kepada kedua prajurit itu untuk melakukan apa saja yang kau perlukan di perjalanan. Bahkan di Panawijen sampai kau kembali lagi ke istana ini. Aku akan memberi mereka bekal yang cukup selama mereka berada di Panawijen.”

Emban tua itu menarik nafas dalam-dalam. Bagi emban yang sudah cukup umur itu, segera dapat menangkap kesan dari sikap Permaisuri itu. Ia tidak ingin bertemu dengan Mahisa Agni dalam keadaan seperti itu. Mahisa Agni akan menjadi penghalang pula baginya apabila kelak anak muda itu mengetahui, apa yang sudah terjadi di istana ini.

“Bukankah lebih baik begitu bibi?” bertanya Permaisuri itu.

Emban tua itu tidak dapat menjawab lain kecuali menganggukkan kepalanya dan berkata, “Hamba Tuanku. Titah Tuanku akan hamba junjung.”

“Nah begitulah. Kasihan kakang Mahisa Agni. Ia diperlukan di Padang Karautan setiap saat. Waktunya akan hilang, apabila kau minta ia mengantarmu.”

“Hamba Tuanku.”

“Dan kapan kau akan berangkat bibi?”

“Secepatnya Tuanku ijinkan.”

“Terserahlah kepadamu.”

“Besok pagi Tuanku.”

Permaisuri itu berpikir sejenak. Kemudian ia berkata, “Baiklah. Besok dua orang prajurit itu akan siap mengantarmu kembali ke Panawijen.”

Ketika fajar menyingsing di pagi harinya, dua orang prajurit telah siap untuk mengantar emban tua itu kembali ke Panawijen. Dengan bekal secukupnya, mereka pun segera minta diri kepada Permaisuri yang ternyata sudah bangun.

“Atas ijin Tuanku Akuwu Tungaul Ametung, dua orang prajurit itu akan mengantarmu. Atas ijin Tuanku Akuwu pula, kau dapat minta kepadanya untuk menolongmu apa saja yang kau perlukan. Dua prajurit itu diberi waktu tanpa batas menunggumu di Panawijen.”

“Terima kasih Tuanku.”

“Kau adalah emban pemomongku. Engkau adalah orang terdekat dengan aku sejak aku kanak-kanak. Karena itu, kau mempunyai beberapa kesempatan yang lebih baik dari orang lain.”

“Terima kasih Tuan Puteri. Kini perkenankanlah hamba berangkat. Hamba tidak akan terlalu lama.”

“Ambillah waktu secukupnya bibi. Aku tidak akan dapat memaksamu untuk bekerja terlalu keras. Kau sudah cukup tua, dan memang sudah waktunya untuk banyak beristirahat.”

Emban tua itu menarik nafas dalam-dalam. Terasa jantungnya seakan-akan tergores oleh tajamnya sembilu. Meskipun tampaknya Permaisuri itu memberinya kesempatan sebaik-baiknya, tetapi emban tua itu merasa bahwa ia memang sudah tidak diperlukan lagi.

“Ken Dedes sudah berubah” berkata emban itu di dalam hatinya. Namun tiba-tiba kepalanya menunduk semakin dalam. Dikenangnya masa remajanya sendiri. “Hidupku sendiri tidak sebersih kapas” emban itu berdesis kepada dirinya sendiri, “Bukan hanya satu nama laki-laki yang pernah menyangkut di hatinya, sehingga justru akhirnya keduanya tidak dimilikinya. Tetapi, aku mempunyai Mahisa Agni.” Emban tua itu pun kemudian berangkat meninggalkan istana. Ia tidak dapat menahan lagi ketika air matanya titik satu-satu.

Ken Dedes masih berdiri di tangga serambi belakang ketika emban itu hilang di balik regol. Setelah menarik nafas dalam-dalam, Ken Dedes kemudian melangkah kembali ke dalam biliknya. Baru ketika ia duduk di pembaringannya, terasa bilik itu menjadi sepi. Emban pemomongnya yang hampir setiap saat mengawasinya, kini telah pergi, tanpa diketahui lagi apakah ia akan segera kembali justru karena pesannya sendiri yang mendorong emban itu untuk berbuat demikian.

Ken Dedes mengerutkan keningnya. Terbayang wajah perempuan tua itu. Perasaan iba terungkit di dalam hatinya. Namun sejenak kemudian perasaan yang lain telah mendorongnya kesamping, “Emban tua itu hanya akan mengganggu saja di istana.”

Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia bangkit dan melangkah keluar. Dari sela-sela pintu ia melihat cahaya matahari pagi memercik di halaman belakang. Tiba-tiba saja ia melihat sinar itu terlampau cerah.

Sementara itu, emban tua pemomong Ken Dedes berjalan tertatih-tatih meninggalkan istana diantar oleh dua orang prajurit. Dengan sabarnya kedua orang prajurit itu mengikuti langkahnya yang lamban. Sekali-sekali emban tua itu berpaling, tetapi ia hanya dapat melihat dinding-dinding batu di sebelah menyebelah jalan.

“Bibi” salah seorang dari kedua prajurit itu bertanya, “Kenapa bibi yang sudah tua ini masih juga berhasrat menempuh perjalanan sejauh ini?”

“O, aku adalah orang Panawijen Ngger. Justru aku sudah tua aku ingin melihat kampung halaman. Panawijen pasti sudah jauh berubah. Panawijen lama kini pasti sudah menjadi padang rumput yang kering dan Padang Karautan akan menjadi padukuhan yang subur.”

Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, begitulah” berkata prajurit itu, “dalam saat-saat terakhir, kita sering merindukan kampung halaman. Tetapi, apakah bibi masih juga akan kembali ke Tumapel?”

“Ya ngger. Bibi memang ingin kembali ke Tumapel. Tuanku Permaisuri, bagiku sama nilainya dengan Padukuhan dan Padepokan Panawijen.”

“Berapa lama bibi akan tinggal di Panawijen?”

“Ijin Tuanku Permaisuri tidak terbatas Ngger. Tetapi, apakah Angger berdua tergesa-gesa kembali ke Tumapel?”

“O, tidak, tidak bibi. Ijin buat kami berdua pun tidak terbatas. Semakin panjang semakin baik, karena dengan demikian kami tidak usah bekerja apapun. Tidak usah bertugas jaga di malam hari dan tidak usah nganglang di siang hari.”

Emban itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Tetapi, bagaimana dengan keluarga Angger berdua?”

“Kami keduanya belum berkeluarga bibi.”

“Oh.”

“Kami masih belum mampu untuk memberi makan isteri dan apa lagi anak-anak nanti.”

“Ah. Aku tidak percaya” sahut emban itu, “Penghasilan Angger pasti cukup baik.”

Kedua prajurit itu tertawa, dan emban itu pun tersenyum pula. Dengan demikian, maka perjalanan itu tidak terasa terlampau melelahkan. Meskipun demikian, emban tua itu tidak dapat berjalan terlampau cepat karena ketuaannya. Namun emban tua itu bukan sekedar perempuan tua kebanyakan. Betapapun tipisnya, ia masih juga memiliki beberapa kelebihan dari perempuan-perempuan yang lain. Meskipun tidak terlampau mengagumkan, tetapi perempuan tua itu pernah mengisi kekosongan hidupnya dengan olah senjata, sehingga kemampuan jasmaniahnya masih juga berpengaruh sampai di hari tuanya.

Pengaruh itulah yang agaknya menolong emban tua itu dalam perjalanannya meskipun lambat. Kedua prajurit yang tidak mengenal emban itu sebelumnya menjadi heran, bahwa perempuan setua itu masih juga mampu melakukan perjalanan yang begitu jauh.

Dalam kemelutnya asap hitam di atas Tumapel, Ken Arok merasa tersiksa karena ia harus menunggu hari-hari yang ditentukan oleh Empu Gandring. Semua rencananya dapat berjalan sebaik-baiknya tanpa menumbuhkan kecurigaan meskipun ia harus selalu berhati-hati menghadapi Witantra. Tetapi, Witantra agaknya tidak banyak mempunyai kawan. Bahkan Kebo Ijo, adik seperguruannya, tidak lagi terlampau dekat dengan perwira pengawal itu. Kebo Ijo yang merasa kawan terdekat Ken Arok, menjadi semakin sombong dan merasa dirinya lebih besar dari kawannya yang lain. Sikap itu agaknya memang diusahakan oleh Ken Arok. Sedikit demi sedikit, sambil membuat Kebo Ijo itu menjadi seorang yang berkecukupan.

Dengan demikian, maka kebencian orang terhadapnya menjadi semakin meruncing. Sehingga kawan-kawannya menjadi pening memikirkan keanehan itu. Kenapa Ken Arok yang ramah dan rendah hati itu dapat berkawan demikian eratnya dengan Kebo Ijo?

Namun hari pun merambat betapa lambatnya. Siang menjadi malam dan malam menjadi siang. Satu-satu perputaran waktu pun telah dilampaui, sehingga bulan yang satu meloncat ke bulan yang lain. Beberapa hari sepeninggal emban pemomong Ken Dedes, Ken Arok menjadi semakin gelisah. Bulan ke empat telah lewati dan ia sudah berada di bulan yang kelima. Bulan yang dijanjikan oleh Empu Gandring. Pada saat-saat terakhir itu Ken Arok membuat penilaian kembali atas semua usahanya membentuk keadaan. Ternyata semuanya dapat berjalan sesuai dengan rencananya, sehingga waktunya memang telah matang untuk melakukan niatnya.

Maka pada saat yang telah dinanti-nantikan, setelah lima bulan penuh ia menunggu, sampailah saatnya ia pergi ke Lulumbang untuk mengambil kerisnya. Tetapi, tidak seorang pun yang tahu, apa yang akan dikerjakannya, Ken Dedes pun tidak. Meskipun Ken Arok minta diri pula kepada Permaisuri itu bahwa ia akan pergi untuk beberapa hari, tetapi ia tidak berterus terang, apakah yang akan dilakukannya.

Setelah mendapat ijin dari Akuwu, maka Ken Arok pun segera meninggalkan istana pergi ke Lulumbang. Meskipun pada mulanya ia disentuh pula oleh keragu-raguan, namun kemudian ia menggertakkan giginya sambil berkata, “Semua sudah terlanjur. Aku sudah menyeberang sampai ke tengah-tengah. Terus atau kembali, aku sudah terlanjur basah. Karena itu, aku kira sudah tidak ada gunanya berpikir lagi.”

Dan Ken Arok pun menjadi semakin mantap. Permaisuri yang cantik itu selalu membayanginya. Apalagi cahaya yang memancar dari tubuhnya. Perempuan dari Panawijen itu ternyata memiliki suatu kelengkapan yang tidak ada bandingnya. Sebagai seorang perempuan kecantikannya tanpa cacat, dan sebagai seseorang yang bercita-cita maka Ken Dedes akan dapat memberikan suatu kedudukan yang paling tinggi diatas bumi.

Karena itu, untuk mendapatkannya, apapun akan dikorbankannya. Siapapun yang harus disingkirkan, akan disingkirkan. Siapa yang dapat menjadi penghalang pasti harus dimusnakan. Harga Ken Dedes tidak dapat diperbandingkan dengan siapapun, sebab Ken Dedes adalah suatu lambang dari kesempurnaan seorang perempuan. Ia akan memberikan kecantikannya dan bumi seisinya.

Dengan pendirian yang matang Ken Arok dengan tergesa-gesa pergi ke Lulumbang. Semakin cepat semakin baik. Tetapi, harus di jaga bahwa rahasianya tidak akan diketahui oleh siapapun juga. Tidak boleh seorang pun menjadi saksi atas segala perbuatannya itu.

Sementara itu emban tua pemomong Ken Dedes telah sampai pula di Padang Karautan. Hampir saja ia tidak dapat menahan gejolak di dadanya ketika ia melihat Mahisa Agni menyongsongnya. Dipeluknya anak laki-lakinya itu sambil menangis, bagaimanapun juga ia mencoba menahannya. Tetapi, setitik-titik air matanya menetesi dada Mahisa Agni.

Mahisa Agni tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja ibunya menangis. Ibunya adalah seorang perempuan yang tabah. Hampir tidak pernah ia melihat keadaan perempuan itu demikian, sejak ia kanak-kanak. Sejak ia belum mengenal bahwa perempuan itu adalah ibunya. Kedua prajurit yang mengantarkannya pun menjadi heran. Kenapa emban tua itu menangis ketika ia bertemu dengan Mahisa Agni. Sedang tangisnya pun mempunyai kesan yang menyentuh langsung pusat jantung.

Setelah mereka duduk, di dalam sebuah rumah yang kecil, yang telah dibangun oleh Mahisa Agni di tengah-tengah pedukuhannya yang baru, maka barulah Mahisa Agni dapat bertanya tentang keselamatan emban tua itu, dan tentang keselamatan Ken Dedes. Meskipun masih terisak, namun perempuan tua itu pun sempat pula bertanya tentang Mahisa Agni dan tentang Padang Karautan yang telah menjadi sebuah padukuhan yang subur.

“Kami senang tinggal di sini bibi” berkata Mahisa Agni kepada perempuan tua itu, “Kami tidak merasa berada di tempat yang asing, karena kami bersama-sama seluruh pedukuhan pindah ke tempat ini. Kami mencoba membuat pedukuhan pindah ke tempat ini. Kami mencoba membuat pedukuhanan kami yang baru ini seperti pedukuhan yang kami tinggalkan. Atas persetujuan kami bersama, kami telah membuat jalan-jalan di dalam pedukuhan ini seperti jalan-jalan di dalam pedukuhan yang kami tinggalkan. Kami membuat seolah-olah tempat tinggal kami yang baru ini, sejauh mungkin mencerminkan tempat yang kami tinggalkan meskipun tidak dapat sesuai benar.”

Emban tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Aku mengharap kalian berbahagia di tempat yang baru ini.”

“Tentu bibi. Tanah di sini adalah tanah yang baru saja ditanami. Tanah yang sebelumnya belum pernah dihisap makanannya kecuali oleh rerumputan liar dan gerumbul-gerumbul perdu.”

“Tentu kalian merasa senang tinggal di sini.”

“Tentu bibi. Kami merasa senang. Kami merasa berbahagia seperti Ken Dedes merasa berbahagia di dalam istana.”

“O” perempuan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi, diurungkannya kata-katanya. Bahkan kemudian ia berkata, “Aku sudah rindu untuk bertemu dengan tetangga-tetangga dan penghuni Padepokan Empu Purwa. Para emban dan cantrik. Apakah mereka juga tinggal di padukuhan ini?”

“Tentu bibi” sahut Mahisa Agni, “Seperti pada saat mereka tinggal di Panawijen, maka di sini pun mereka telah membangun sebuah padepokan.”

“Siapakah yang tinggal di dalam padepokan itu?”

Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, “Tidak ada bibi. Selain para emban dan cantrik.”

“Kau?”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi, kemudian ia berkata, “Aku tinggal di sini. Namun setiap kali aku juga berada di padepokan itu. Aku kira belum waktunya aku tinggal di dalam padepokan dalam suasana yang terlampau tenang. Aku masih harus mengikuti gejolak perkembangan pedukuhan ini. Aku masih harus melihat banjir yang melanda bendungan itu, dan aku masih harus berpikir, untuk memperbaiki jalan-jalan padukuhan ini, memperbaiki saluran air dan jalan-jalan. Kami masih belum berpindah dalam arti keseluruhan.”

Perempuan tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Ya, aku mengerti. Kau merasa belum waktunya menempuh kehidupan seperti gurumu. Bukankah begitu?”

“Bukan saja belum waktunya bibi, tetapi apakah aku dapat menempuh cara hidup seperti itu?”

Perempuan itu tidak menjawab. Ditatapnya mata Mahisa Agni tajam-tajam, seolah-olah ia ingin melihat langsung ke dalam hatinya. Tetapi, sejenak kemudian perempuan itu menundukkan kepalanya. Berbagai macam perasaan bercampur-baur di dalam dadanya. Apalagi apabila dikenangnya, bahwa anaknya itu, Mahisa Agni, pernah menyangkutkan hatinya kepada gadis puteri gurunya itu. Namun perasaan itu direndamnya di dalam lubuk hatinya, sehingga Ken Dedes sama sekali tidak mengetahuinya. Yang diketahui oleh gadis itu adalah, bahwa Mahisa Agni adalah kakak angkatnya, yang dikasihinya seperti kakaknya sendiri dan yang mengasihinya seperti adiknya sendiri.

Tetapi, emban tua itu tidak mengucapkannya. Bahkan kemudian, apa yang terendam di dalam hatinya seperti merendam duri di dalam daging, sama sekali tidak terucapkan pula. Bukan karena kedua prajurit itu ikut pula mendengar, tetapi pada kesempatan-kesempatan berikutnya, ketika ia berada berdua saja bersama anaknya itu, semuanya yang dibawanya dari Tumapel, tetap disimpannya di dalam hati.

Kadang-kadang memang terasa dadanya seakan-akan hendak retak menahan semuanya itu di dalam diri. Kadang-kadang memang tumbuh suatu keinginan untuk memuntahkannya keluar dan mengatakannya kepada Mahisa Agni untuk mengurangi kepepatan di dalam dadanya itu. Namun setiap kali mulutnya serasa terbungkam. Tidak sepatah katapun yang dapat diucapkannya tentang Ken Dedes dan tentang Ken Arok. Dengan demikian, maka beban itu masih tetap disimpannya rapat-rapat. Rahasia yang seakan-akan tidak dapat merembes barang setitik pun.

“Aku harus mendapat saluran yang lain,” desis perempuan itu, “Aku tidak mungkin mengatakannya kepada Mahisa Agni, yang terlibat langsung dalam persoalan ini. Kalau ia tahu apa yang terjadi, maka sakit hatinya pasti akan terangkat kembali.”

Sehingga akhirnya perempuan tua itu mengambil keputusan untuk tidak mengatakannya kepada Mahisa Agni. Tetapi, ia masih tetap memerlukan saluran untuk menumpahkan segala macam kepepatan di dalam hatinya. Karena itu, maka pada suatu ketika ia berkata kepada Mahisa Agni, “Mahisa Agni. Apakah kau bersedia membawaku kepada pamanmu Empu Gandring?”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Permintaan ibunya itu bukan suatu permintaan yang berlebih-lebihanan. Adalah wajar sekali bahwa keduanya itu saling merindukannya. Sehingga Mahisa Agni pun ternyata tidak berkeberatan sama sekali. “Kapan bibi akan pergi?”

“Secepatnya Agni. Waktuku tidak terlampau panjang. Aku harus segera kembali ke Tumapel.”

“Baiklah bibi, aku akan meyediakan sebuah pedati. Kita pergi bersama-sama di dalam pedati itu, sehingga kita akan dapat membawa bekal pula secukupnya.”

Perempuan tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah, dengan pedati aku tidak akan kelelahan. Tetapi, bagaimana dengan kedua orang prajurit itu?”

“Biarlah mereka menunggu bibi di sini.”

Perempuan tua itu menggelengkan kepalanya, “Tidak Agni. Biarlah mereka pergi bersama kita. Dari Lulumbang aku akan terus pergi ke Tumapel. Aku tidak dapat terlampau lama meninggalkan Tuan Puteri sendiri.”

“Bukankah ada berpuluh-puluh emban di istana, dan bukankah ada suaminya, Tunggul Ametung.”

Emban tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia berdesah, “Ya. Tetapi, kadang-kadang Permaisuri itu memerlukan aku. Aku adalah pemomongnya sejak kanak-kanak.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, “Syukurlah kalau Ken Dedes masih selalu mengingat masa kecilnya. Mudahkan ia tidak menjadi mabuk dibuai oleh kebahagiaan hidup di dalam istana yang mewah.”

Dada emban tua itu berdesir. Serasa sebuah goresan telah menambah luka di dinding jantungnya. Tetapi, ia tidak berkata apapun juga.

Mahisa Agni pun kemudian mempersiapkan sebuah padati yang dilengkapinya dengan bekal di perjalanan. Ia sendiri membawa seekor kuda. Kelak, apabila sampai saatnya ibunya kembali ke Tumapel, ia akan mengantarkannya pula bersama salah seorang cantrik pamannya. Pedati itu akan ditinggalkannya di Lulumbang. Sehingga cantrik itulah yang akan membawanya kembali ke padepokan pamannya. Dan ia akan kembali ke Padang Karautan dengan kudanya. Pamannya pasti memerlukannya. Sebuah pedati dengan sepasang, lembu yang baik.

Pada pagi hari berikutnya, Ki Buyut Panawijen, beberapa orang perempuan tua dan bebahu padukuhan itu, telah mengantarkan ibu Mahisa Agni sampai kepinggir desa. Mereka melepaskan emban tua itu dengan lambaian tangan dan senyum yang tulus. Sedang Ki Buyut Panawijen berpesan kepada Mahisa Agni, “Jangan terlampau lama di perjalanan Ngger. Tanah yang baru ini masih memerlukan kau.”

Mahisa Agni tersenyum sambil berkata, “Aku hanya akan meninggalkan tempat ini dalam beberapa hari saja Kiai.”

“Sokurlah. Aku sendiri masih harus mondar-mandir antara padang yang telah menjadi hijau ini dan Panawijen lama. Apabila kelak semuanya telah berpindah kemari, maka pekerjaan kita akan menjadi semakin ringan.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian sekali lagi ia minta diri untuk mengantarkan emban tua itu ke Lulumbang.

Sementara itu, Ken Arok telah berada pula di perjalanan. Dengan seekor kuda yang besar dan tegar ia berpacu ke Lulumbang. Kali ini ia tidak memakai kain panjang yang kumal dan kusut, apalagi berbekas darah. Tetapi, ia datang dalam pakaian yang lengkap sebagai seorang hamba istana. Namun satu hal yang masih akan diulanginya. Ia ingin datang ke rumah Empu Gandring pada malam hari, dimana sudah tidak terlampau banyak orang yang melihatnya.

Dengan dada yang berdebar-debar Ken Arok termenung di atas punggung kudanya. Sekali-kali diamatinya pakaiannya. Pakaian seorang hamba istana. Tetapi, sama sekali bukan pakaian seorang pelayan dalam. Yang dipakainya adalah pakaian yang lain, pakaian seorang prajurit pengawal. Setiap kali Ken Arok masih harus menggeretakkan giginya untuk mengusir keragu-raguannya. Ia sudah hampir sampai pada tujuannya. Karena itu ia sudah tidak ada pilihan lain daripada berjalan terus. Menyingkirkan semua hambatan dan menghilangkan jejak yang mungkin akan timbul.

Ternyata perhitungan Ken Arok cukup baik. Ia harus sampai di padepokan Empu Gandring pada malam hari. Dan sebenarnya ia telah memasuki padukuhan Lulumbang ketika matahari telah tenggelam. Dalam kegelapan malam Ken Arok memperlambat langkah kudanya. Bahkan beberapa lama ia berhenti di tikungan. Sekali lagi ia berusaha untuk meyakinkan dirinya, bahwa tidak mungkin ia melangkah surut. Ia harus berjalan terus.

Sambil menggeretakkan giginya Ken Arok maju lagi mendekati regol padepokan Empu Gandring. Ketika ia sudah berada di depan regol maka segera ia meloncat turun. Ken Arok menjadi berdebar-debar ketika ia melihat seorang cantrik berdiri di samping regol yang masih terbuka beberapa cengkang.

“Apakah regol itu memang dijaga?” ia bertanya kepada diri sendiri.

Tetapi, belum lagi ia sempat menemukan jawabnya, cantrik itu telah melangkah mendekatinya sambil bertanya, “Apakah tuan akan singgah di padepokan ini?”

Ken Arok mengangguk, “Ya. Aku akan singgah di padepokan ini. Apakah Empu Gandring ada?”

“Ada tuan. Empu Gandring ada di sanggarnya. Baiklah aku memberitahukan kepadanya.”

“Jangan” cegah Ken Arok, “aku akan datang ke sanggarnya saja. Dimanakah letak sanggar itu?”

Cantrik itu menjadi heran. Tetapi, ia menjawab juga ”Di situ tuan, di sebelah kiri pendapa.”

“Di gandok?”

”Di ujung gandok, tuan akan menjumpai sebuah rumah kecil menghadap ke Timur. Itulah sanggar Empu.”

“Terima kasih. Tolong jaga kudaku. Aku hanya sebentar. Aku adalah utusan Akuwu Tunggul Ametung. Aku seorang prajurit pengawal istana.”

Cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Selempang tali berwarna kuning yang menyilang di dada anak muda itu sangat menarik perhatiannya. Tali itu berjuntai di arah lambung, kemudian ujungnya terikat pada ikat pinggang di bawah keris yang tersisip di punggung. Tali itu adalah salah satu ciri pakaian seorang prajurit pengawal istana. Cantrik itu sama sekali tidak membayangkan bahwa prajurit yang gagah itu adalah seorang yang pernah datang ke padepokan ini lima bulan yang lalu dengan pakaian yang kumal dan kotor.

Seperti orang yang kehilangan kesadaran cantrik itu menerima kendali kuda Ken Arok. Dengan mulut ternganga ia melihat Ken Arok melingkari melintasi halaman langsung menuju ke ujung gandok. Seperti kata cantrik yang berdiri di regol sambil memegang kendali kudanya, Ken Arok melihat sebuah ruangan di ujung gandok dengan pintu tersendiri menghadap ke Timur. Itulah sanggar Empu Gandring.

Dengan hati-hati Ken Arok mendekat. Kemudian menyelinap dalam kegelapan. Dari celah-celah dinding ia mengintip ke dalam. Dilihatnya Empu Gandring duduk tepekur sambil memejamkan matanya. Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa Empu Gandring adalah seorang yang sakti. Namun, rencananya harus berjalan seperti yang dikehendakinya.

Sekali lagi Ken Arok mencoba mengintip. Selain Empu Gandring di dalam sanggar itu dilihatnya sebuah perapian yang padam. Sebuah paron dan beberapa perlengkapan yang lain. Agaknya di dalam sanggar itulah Empu Gandring bekerja membuat keris. Dada Ken Arok berdesir ketika tiba-tiba saja ia mendengar Empu Gadring itu berkata perlahan-lahan,

“Siapa di luar? Masuklah. Aku masih belum tidur.”

Ken Arok justru tertegun sejenak. Dengan hati-hati sekali ia mendekati sanggar itu, bahkan dengan kaki berjingkat. Ditahankannya jalan pernafasannya, dan dicobanya untuk tidak menimbulkan suara apapun. Ternyata Empu Gandring dapat mendengar desir yang betapapun lembutnya.

“Marilah, pintu masih terbuka.”

Ken Arok tidak dapat berbuat lain daripada berjalan ke pintu yang meskipun sudah tertutup namun tidak terkancing. Perlahan-lahan Ken Arok mendorong pintu lereg itu ke samping. Sambil menjengukkan kepalanya ia berkata lirih, “Aku Empu. Aku Ken Arok.”

“Oh” Empu Gandring terkejut. Dengan serta-merta ia berdiri menyongsong tamunya, “Marilah Ngger, marilah.”

Ken Arok pun kemudian melangkah masuk sambil berjalan terbungkuk-bungkuk. Dengan senyum yang membayang dibibirnya ia berkata, “Maaf Empu. Aku datang tidak pada waktu yang sepantasnya.”

“Marilah Ngger. Pintuku selalu terbuka kapan saja ada seorang tamu. Apalagi Angger Ken Arok.”

“Terima kasih Empu.”

Ken Arok pun kemudian duduk menghadap Empu Gandring yang mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan ramahnya orang tua itu bertanya tentang keselamatan tamunya selama ini dan sebaliknya. Ternyata ujung dari pertemuan itu telah memberikan kesan kepada Empu Gandring, bahwa Ken Arok yang sekarang agaknya telah berada dalam keadaannya yang wajar. Ramah, berwajah jernih dan rendah hati.

Memang Ken Arok telah berusaha sejauh-jauhnya untuk tidak merubah sifat dan kebiasaannya. Empu Gandring harus mendapat kesan, bahwa ia tidak sedang diburu-buru oleh suatu pekerjaan yang menegangkan syarafnya. Karena itulah, maka Ken Arok justru telah berada dalam kewajarannya kembali setelah lima bulan yang lalu datang kepadanya dengan sikap yang aneh.

“Apakah Angger datang dari Tumapel?” bertanya Empu tua itu, “Atau telah singgah kemanapun juga?”

“Tidak Empu. Aku sengaja datang kemari dari Tumapel.”

“Angger datang terlampau malam, sehingga aku tidak dapat segera menjamunya. Tetapi, baiklah aku lihat, barangkali para endang masih belum tidur.”

“Terima kasih Empu, terima kasih. Aku hanya sebentar saja.”

“Ah” Empu Gandring terkejut, “Angger selalu membuat aku bertanya-tanya seperti lima bulan yang lalu.”

Ken Arok tertawa, katanya, “Tidak Empu. Kedatanganku kali ini berbeda dengan kedatanganku lima bulan yang lampau. Saat itu aku sedang diburu oleh ketegangan syaraf setelah aku bertempur menghadapi beberapa orang perampok. Aku merasa bahwa aku benar-benar tidak berdaya menghadapi salah seorang dari mereka. Seolah-olah kulitnya kebal dan tidak mampu dilukai oleh senjata biasa. Pedangku sama sekali tidak mampu menyobek kulitnya, apalagi tulang-tulangnya. Karena itulah, dengan meninggalkan sopan santun aku telah berani memesan sebilah keris kepada Empu Gandring, didorong oleh ketegangan syaraf yang tidak teratasi.”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa prasangka apapun ia mendengarkan ceritera yang memang masuk akal itu.

“Kemudian, kedatanganku kali ini Empu” Ken Arok meneruskan, “Sekedar memenuhi janjiku saat itu untuk datang lima bulan lagi. Sebenarnya aku sudah tidak begitu memerlukannya sekarang Empu. Meskipun demikian, aku masih tetap ingin memilikinya, seandainya pada suatu ketika aku bertemu dengan orang itu, aku tidak perlu lagi lari tunggang langgang. Sudah tentu sebagai seorang prajurit aku akan malu sekali, kalau ada seseorang yang melihatnya saat itu. Lari terbirit-birit seperti dikejar hantu.”

Empu Gandring tersenyum mendengar ceritera Ken Arok itu, dan bahkan Ken Arok sendiri tertawa. “Angger Ken Arok telah berhasil mengendapkan perasaannya” berkata Empu Gandring di dalam hatinya, “Karena itu, aku kira ia sudah tidak berbahaya lagi. Meskipun demikian, aku harus melihat, apakah dalam waktu yang dekat ia tidak dirangsang lagi oleh ketegangan syaraf seperti lima bulan yang lalu. Karena itu, sebaiknya Ken Arok masih harus menunggu lagi beberapa hari.”

“Tetapi,” Empu Gandring kemudian berkata, “kenapa Angger sekarang begitu tergesa-gesa.”

“Aku tidak mendapat istirahat kali ini Empu. Karena itu, aku mempergunakan waktu yang sedikit itu untuk datang. Aku berangkat hari ini, dan besok aku harus sudah berada dalam tugasku lagi, supaya Tuanku Akuwu tidak marah kepadaku.”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Jadi Angger datang kemari sekedar mengambil pesanan Angger itu?”

“Ya Empu. Meskipun aku tidak begitu memerlukannya lagi, tetapi adalah menjadi kewajibanku untuk datang lagi memenuhi waktu yang sudah aku katakan, meski dalam keadaan apapun juga aku pada saat itu.”

Empu Gandring tertawa. Katanya, “Angger benar seorang yang bertanggung jawab atas segala kata-kata yang telah terucapkan.”

Ken Arok pun tertawa pula, “Tetapi, aku memang ingin mempunyai kenang-kenangan yang berkesan dari Empu Gandring.”

“Baiklah Ngger. Aku akan memenuhinya.” Empu Gandring menjadi ragu-ragu sejenak. Di dalam hatinya ia berkata, “Agaknya Ken Arok telah membuang waktu yang baginya pasti sangat berharga untuk mengambil keris itu sekedar karena ia sudah mengatakan untuk kembali dalam waktu lima bulan lagi. Tetapi, ternyata bahwa keris itu sengaja belum aku siapkan karena kecurigaan itu. Tetapi, apa boleh buat.”

Betapapun beratnya akhirnya Empu Gandring terpaksa berkata terus terang, “Tetapi, maaf Ngger. Sebenarnya keris itu masih belum siap.”

Seleret ketegangan menyambar wajah Ken Arok, bahkan rasa-rasanya darahnya pun telah berhenti mengalir. Namun sesaat kemudian kesan itu pun segera dapat dikuasainya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Sayang Empu. Aku ragu-ragu apakah aku pada suatu saat yang dekat akan dapat datang lagi kemari. Mungkin aku akan segera mendapat tugas yang lain.”

“Aku minta maaf Ngger. Biarlah aku berterus terang. Sebenarnya aku memang meragukan Angger pada saat itu. Sebenarnya membuat keris tidak memperlukan waktu terlampau lama. Tetapi, aku sengaja membuat jarak vang cukup panjang. Menurut perhitunganku waktu itu, seandainya Angger sedang bingung, maka dalam waktu lima bulan Angger telah mendapatkan ketenangan. Dan ternyata harapanku itu terjadi.”

“Tetapi, bukankah yang lima bulan telah lampau?” bertanya Ken Arok sambil tersenyum.

Empu Gandring pun tersenyum pula, “Ya, Ngger. Yang lima bulan memang telah lampau. Tetapi, aku belum melihat keadaan Angger. Kalau aku tahu Angger telah mendapatkan ketenangan itu, maka keris itu pasti sudah aku siapkan. Karena aku masih ragu-ragu, maka aku memang ingin bertemu dengan Angger dahulu. Kalau aku yakin bahwa Angger sudah tidak berbahaya, maka keris itu akan segera aku siapkan dalam sehari dua hari. Paling lama sepekan sesudah ini.”

Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Seolah-olah ia tidak kecewa sama sekali karena keris itu belum jadi. Sambil tersenyum ia kemudian berkata, “Tetapi, apakah aku boleh melihat keris itu Empu. Meskipun masih belum siap.”

“O, tentu-tentu. Keris itu sendiri sudah siap, tetapi aku belum memberinya, hulu yang baik. Aku baru sekedar memberinya untuk sementara.”

“Apabila Kiai tidak berkeberatan, aku minta ijin untuk melihatnya sebentar Kiai.”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian ia tampaknya masih juga ragu-ragu. Karena itu ia tidak segera beranjak dari tempatnya.

Ken Arok melihat keragu-raguan yang membayang di wajah Empu Gandring. Maka katanya sambil tersenyum pula, “Mungkin ada pantangan Empu, bahwa keris yang masih belum siap benar, tidak boleh dilihat oleh calon pemiliknya.”

“Ah tidak Ngger, tidak” jawab Empu Gandring dengan serta merta, “sudah aku katakan sebenarnya keris itu sudah siap. Aku tinggal menghaluskannya sedikit dan membuat hulunya.”

Empu Gandring pun kemudian berdiri dan melangkah ke sudut sanggarnya. Dari dalam geledeg bambu diambilnya sebilah keris yang masih belum diberinya wrangka. Tangkainya masih sangat sederhana karena hulu yang sebenarnya masih belum dipasangnya juga.

Melihat keris itu hati Ken Arok menjadi berdebar-debar. Meskipun ia belum merabanya, namun kilatan wilahannya telah membuatnya yakin, bahwa keris itu adalah keris yang pilih tanding.

Perlahan-lahan Empu Gandring berjalan ke tempatnya kembali. Diamat-amatinya keris itu. Kemudian katanya, “Aku masih harus memandikannya sekali lagi. Kemudian memberinya hulu yang sesuai dengan nilai keris ini. Aku telah memilih baja yang paling baik yang ada padaku.”

Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun tampaknya ia masih duduk saja dengan tenang, namun keringat dingin telah mengaliri seluruh punggungnya. Tangannya yang gemetar seolah-olah ingin segera merebut keris itu dari tangan Empu Gandring yang masih asyik mengamat-amatinya.

“Mudah-mudahan keris ini sesuai dengan kau Ngger. Seorang prajurit yang gagah berani, yang tidak mengenal takut menghadapi kesulitan apapun.”

“Ya Kiai” jawab Ken Arok pendek.

“Sudah lama aku ingin membuat keris serupa ini. Dan sekarang aku telah berhasil. Seandainya yang datang sekarang ini Angger Ken Arok lima bulan yang lalu, maka aku kira keris ini tidak akan aku tunjukkan. Bahkan mungkin pada saatnya aku akan memberikan keris yang lain lagi. Tetapi, Angger kini telah meyakinkan aku. Karena itu maka keris ini akan aku serahkan kelak apabila sudah siap sekali.”

Ken Arok mengumpat-umpat di dalam hati. Seakan-akan ia ingin meloncat menerkam keris itu. Tetapi, ia masih tetap harus bersikap tenang dan tidak mencurigakan. Selama keris itu masih di tangan Empu Gandring, maka ia masih harus menahan dirinya sejauh-jauh dapat dilakukan. Ia tidak boleh menimbulkan kecurigaan pada orang tua itu, supaya Empu Gandring tidak mengurungkan niatnya, menunjukkan keris itu kepadanya. Karena itu, betapa dadanya berguncang-guncang, namun ia masih saja duduk dengan tenangnya sambil tersenyum-senyum.

Dalam pada itu Empu Gandring masih saja mengamat-amati kerisnya dengan saksama. Kepuasan terbayang di wajahnya yang telah dihiasi dengan garis ketuaannya. Seakan-akan begitu sayangnya ia kepada keris itu untuk menyerahkannya ke tangan Ken Arok.

Sementara Ken Arok dicengkam oleh kegelisahan yang hampir-hampir tidak tertanggungkan, di jalan yang menuju Lulumbang, dari arah Padang Karautan, sebuah pedati berjalan perlahan-lahan seperti seekor siput raksasa yang merayap mendekati padepokan Empu Gandring.

Seorang perempuan tua duduk bersandar tiang pedati itu sambil terkantuk-kantuk, sedang dua orang prajurit yang duduk bersamanya di dalam pedati itu sudah lama tertidur sambil bersandar dinding pedati. Dipaling depan duduk Mahisa Agni memegang tali kendali sepasang lembu yang besar. Di belakang pedati itu terikat seekor kuda yang berjalan dengan malasnya.

Gemetaran roda pedati di atas tanah berbatu-batu kadang-kadang telah membangunkan orang-orang yang sedang tidur di dalamnya. Kadang-kadang tubuh mereka terguncang-guncang untuk beberapa saat. Namun kedua prajurit itu segera tertidur kembali.

“Apakah bibi perlu beristirahat?” bertanya Mahisa Agni.

Emban tua yang duduk di dalam pedati itu menggelengkan kepalanya, “tidak usah Agni. Aku ingin segera sampai ke Lulumbang. Entahlah, aku tidak pernah dicengkam oleh perasaan rindu serupa ini. Aku ingin segera bertemu dengan pamanmu Empu Gandring.”

“Ya, bibi sudah terlampau lama tidak bertemu.”

“Bukan itu saja soalnya. Entahlah. Aku ingin segera sampai. Kalau saja pedati ini dapat berjalan lebih cepat.”

Mahisa Agni tersenyum. Dicobanya melecut lembunya yang malas. tegapi lembu itu hanya sekedar berpaling, dan Manisa Agni pun tidak melecutnya lagi.

Malam yang gelap terbentang dihadapan pedati itu, sebuah obor yang kecil terpancang di sisi. Cahayanya yang terayun-ayun diguncang-guncang oleh angin malam kadang-kadang membuat obor itu hampir padam.

Bagi Mahisa Agni, perjalanan itu memang terasa menjemukan. Ia akan lebih senang berpacu dengan kudanya. Tetapi, sudah tentu ibunya tidak akan mungkin berkuda untuk jarak yang cukup jauh. Dari Padang Karautan ke Lulumbang, kemudian kembali lagi ke Tumapel. Apalagi ibunya bukannya seorang yang memang dapat berkuda dengan baik.

Betapa lambatnya, maka pedati itu merayap juga semakin dekat dengan Lulumbang. Dalam pada itu, hati perempuan tua itu menjadi semakin berdebar-debar. Serasa ada sesuatu yang tidak wajar bakal terjadi. Kadang-kadang perempuan tua itu menjadi cemas, kalau-kalau ada gangguan di perjalanan. Tetapi, apabila dilihatnya Mahisa Agni duduk di depan, kemudian dua orang prajurit yang meskipun saat itu baru tidur mendekur, hatinya menjadi tenang.

Sekali-sekali perempuan tua itu mencoba untuk tidur barang sejenak, di dalam pedati itu. Tetapi, matanya terlampau sulit di pejamkan. Bukan karena roda pedati yang bergemeretak dan mengguncang-guncang pedati itu, tetapi juga karena kegelisahan yang mencengkam jantung tanpa diketahui sebab-sebabnya. Tiba-tiba perempuan itu tersentak. Dengan kedua tangannya dipeganginya dadanya yang berdebar-debar.

“Agni” berkata perempuan tua itu, “Aku kira memang terjadi sesuatu dengan pamanmu. Hatiku menjadi sangat berdebar-debar. Jantungku serasa berhenti mengalir.”

“Ibu membayangkan yang bukan-bukan” sahut Mahisa Agni.

“Tidak Agni. Aku tidak membayangkan apapun” jawab ibunya, “apakah aku telah mendapat suatu firasat yang kurang baik tentang pamanmu?”

“Bukankah hari telah jauh malam bibi? Aku kira bibi telah mengantuk dan bermimpi dalam sekejap.”

“Tidak Agni. Aku yakin.” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

“Agni” berkata ibunya, “Apakah kau mau mendahului perjalanan pedati yang terlampau lambat ini?”

“Maksud bibi?”

“Pergilah berkuda. Kau akan cepat mencapai Lulumbang. Hatiku menjadi semakin tidak enak.”

Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi, ia tidak ingin mengecewakan ibunya, sehingga karena itu ia menjawab, “Baik ibu. Aku akan mendahului.”

Mahisa Agni pun kemudian membangunkan kedua prajurit yang sedang tidur itu. Katanya, “Aku akan mendahului. Terserahlah kepada kalian keselamatan bibi sampai ke Lulumbang.”

Kedua prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya meskipun sambil bersungut-sungut. Mereka lebih senang tidur dari pada mengemudikan pedati itu.

“Kalau kalian masih mengantuk” berkata Mahisa Agni, “Kalian dapat bergantian. Yang seorang tidur, yang seorang memegang tali kemudi.”

“Baiklah” sahut salah seorang dari kedua prajurit itu. Kemudian katanya kepada kawannya yang seorang lagi, “Peganglah tali itu lebih dahulu, aku akan tidur. Nanti segera bergantian, aku tidur dan kau memegang tali itu.”

“Hus” desis yang lain.

“Terserahlah kepada kalian” Mahisa Agni terpaksa tersenyum, “Sekarang aku akan mendahului perjalanan ini.”

Mahisa Agni pun segera melepaskan kudanya dan meloncat naik ke punggungnya. Sejenak kemudian suara derap kaki-kaki kuda itu gemeretak di sepanjang jalan, mendahului perjalanan pedati yang sedang merayap. Sebenarnya mula Mahisa Agni tidak mempunyai perasaan apapun tentang pamannya di Lulumbang. Namun desakan ibunya telah membuatnya mulai berpikir. Apakah sebabnya?

“Memang kadang-kadang sentuhan yang sangat halus telah menggerakkan hati seseorang untuk menangkap persoalan yang tidak kasat mata. Tetapi, tali yang menghubungkan getaran yang bersamaan, yang memancar dari dalam diri, akan dapat saling mempengaruhi” desis Mahisa Agni itu sambil berpacu, sehingga tiba-tiba saja Mahisa Agni pun menjadi cemas. Katanya, “Mungkin benar-benar telah terjadi sesuatu atas paman di Lulumbang.” Dengan demikian maka Mahisa Agni pun segera melecut kudanya dan berpacu semakin cepat.

Dalam pada itu sambil tersenyum Empu Gandring masih memandangi kerisnya. Berkali-kali diusapnya janggutnya yang telah memutih.

“Apakah ada yang masih belum sempurna Empu?” bertanya Ken Arok. Betapapun kegelisahan melanda dinding jantungnya namun ia masih tetap duduk sambil tersenyum.

“Tidak Ngger” Empu Gandring menggelengkan kepalanya, “Aku kira keris ini telah siap. Kekurangan kecil itu sama sekali tidak akan berpengaruh apa-apa. Hanya bentuknya sajalah yang masih akan aku sempurnakan. Tetapi, isi dari keris ini telah penuh. Aku telah menganggap keris ini keris yang telah jadi.”

Ken Arok bergeser setapak maju. Ditunjukkannyalah sikap ingin tahunya. Bahkan kadang-kadang ia telah mengangkat tangannya untuk menerima keris itu. Tetapi Empu Gandring tidak segera memberikannya. Serasa ada sesuatu yang menahan dirinya. Ketika terpandang oleh Empu tua itu ujung kerisnya yang runcing, seruncing taring Naga Taksaka, hatinya berdesir. Tanpa diketahuinya, apakah sebabnya, tangannya tiba-tiba saja menjadi gemetar.

Dilihatnya di sela-sela pamor yang memang dikehendaki, tiga buah bintik kecil berwarna kekuning-kuningan. Sekilas melintas di dalam angan-angannya ujung keris yang pernah dilihatnya, keris sakti yang bernama Kiai Naga Singkik buatan Empu Sekadi. Keris yang maksudnya disiapkan untuk membasmi kejahatan, namun jatuh ke tangan orang yang tidak dikehendakinya, sehingga keris itu telah menelan terlampau banyak korban yang sia-sia.

Hati Empu Gandring menjadi berdebar-debar. Ia adalah seorang ahli membuat keris. Bahkan seorang Empu yang seakan-akan hidup matinya ada di dalam sanggar kerisnya. Namun sekali ini ia telah membuat suatu kesalahan.

“Aku tidak dapat menyebutnya lagi bahwa keris ini berpamor Manggada” berkata Empu Gandring di dalam hatinya, “Aku rasa aku telah mengulangi kesalahan Empu Sekadi.” Namun sejenak kemudian Empu Gandring mengerutkan keningnya. Dicobanya untuk menenangkan hatinya sambil bergumam di dalam dadanya, “Aku terlampau terpengaruh oleh keris Naga Singkik. Setiap orang dapat saja membuat kesalahan. Tetapi, kalau aku mencemaskan akibat kesalahan itu tanpa dasar, agaknya aku keliru.” Tetapi, kemudian di relung hatinya terdengar suara, “Bukanlah sesuatu kebetulan, persamaan yang jarang sekali dapat terjadi.”

Dengan demikian Empu Gandring masih saja memegangi kerisnya dengan dada yang berdebar-debar. Sementara Ken Arok mengumpat-umpat di dalam hatinya meskipun ia masih juga tampak tersenyum-senyum.

“Apakah ada sesuatu yang membuat Empu menyesal atas keris itu?” bertanya Ken Arok ketika dilihatnya wajah Empu Gandring menjadi berkerut-merut.

“Oh, tidak, tidak Ngger. Aku sudah puas sama sekali dengan keris ini.”

“Syukurlah” sahut Ken Arok, “keris itu akan menjadi kenang-kenangan yang paling baik bagiku.” Tetapi, Ken Arok berhenti sejenak, “Tetapi, apakah aku dapat melihatnya sejenak?”

Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah Angger tidak menunggu kelak apabila keris ini telah siap sama sekali? Nanti Angger kecewa melihat ukiran yang masih belum siap. Sebab menurut rencana kami ukirannya masih harus diganti dengan hulu yang lebih baik.”

Ken Arok tersenyum. Jawabnya, “Tidak Empu. Aku tidak akan kecewa, sebab aku sudah tahu bahwa keris itu memang belum siap. Seandainya ada kekurangannya, maka dalam lima atau enam hari, keris itu sudah akan siap.”

Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya wajah Ken Arok dengan tajamnya, keragu-raguan di dalam hatinya semakin lama menjadi semakin dalam.

“Tetapi, aku tidak melihat kesan apapun di wajah anak muda ini” berkata Empu Gandring di dalam hatinya, “wajahnya jauh lebih cerah dari pada lima bulan yang lalu. Agaknya Angger Ken Arok benar-benar telah berhasil mengendapkan diri.” Dengan demikian maka Empu Gandring menganggap bahwa keragu-raguan di dalam hatinya itu sama sekali tidak beralasan. Desisnya di dalam hati, “Aku sangat terpengaruh oleh kedatangan Angger Ken Arok lima bulan yang lampau serta bintik-bintik di ujung keris, di sela-sela pamornya.” Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian, “Tidak baik aku terlampau berprasangka. Hal itu justru akan menimbulkan kesan yang jelek pada Angger Ken Arok.”

Karena itu, maka Empu Gandring pun kemudian memutuskan untuk memberikan kerisnya kepada Ken Arok, “Anak ini agaknya sudah baik.”

“Baiklah Ngger” berkata Empu Gandring selanjutnya, “Marilah. Tetapi, jangan kecewa lebih dahulu, karena aku masih akan memperbaikinya nanti.”

Ken Arok bergeser maju. Diangkatnya kedua tangannya untuk menerima keris itu. Dengan hati-hati Empu Gandring menyerahkan kerisnya. Ketika keris itu menyentuh tangan Ken Arok, Empu Gandring merasa bahwa tangan itu gemetar, sehingga tiba-tiba dadanya pun menjadi gemetar pula.

Kini keris itu telah berpindah ke tangan Ken Arok. Sebenarnyalah bahwa tangan Ken Arok menjadi gemetar. Diamat-amatinya keris itu dengan saksama, seolah-olah setiap garis dan lekuk pamornya dinilainya dengan saksama. Meskipun ia bukan ahli keris, tetapi terasa bahwa keris yang sedang dipegangnya itu adalah keris yang jarang ada bandingnya.

“Rencanaku tidak boleh tertunda” Ken Arok itu menggeram di dalam hatinya. Namun tiba-tiba dadanya seolah-olah bergejolak dengan dahsyatnya. Sekali-kali dipandanginya wajah Empu Gandring yang sejuk lunak, seperti sejuknya embun di pagi hari. Di wajah itu sama sekali tidak terbayang permusuhan yang bagaimanapun bentuknya. Di wajah itu sama sekali tidak terbayang sama sekali sifat-sifat yang dapat memperkuat niat Ken Arok melakukan rencananya. Dengan demikian maka dada Ken Arok seolah-olah telah dibakar oleh benturan yang semakin lama menjadi semakin dahsyat. Benturan antara rencana yang sudah matang tersusun, dengan tanggapannya atas orang yang kini sedang dihadapi.

“Apakah aku sampai hati melakukannya” ia bertanya kepada diri sendiri dengan penuh keragu-raguan. Tangan Ken Arok yang gemetar itu menjadi semakin gemetar. Bahkan ujung keris itu kemudian seolah-olah terkulai menunduk.

Empu Gandring melihat keadaan Ken Arok dengan heran. Apakah yang sebenarnya terjadi atas anak muda itu. Keragu-raguan yang sejak semula mencengkamnya, tiba-tiba menjadi semakin mengganggu perasaannya. Tetapi, tiba-tiba ia mendengar Ken Arok berkata,

“Empu, keris ini terlampau baik. Terlampau baik buatku. Seandainya Empu benar-benar akan memberikan keris ini kepadaku, maka aku akan mengucapkan beribu terima kasih.”

Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ah, kau terlampau memuji Ngger. Mudah-mudahan kau puas dengan keris itu.”

“Tentu Empu. Aku terlampau puas. Keris itu terlampau baik.”

Ketika Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya dengan sebuah senyum yang tergores di bibirnya, hati Ken Arok seakan-akan menjadi runtuh. “Tidak. Aku tidak dapat berbuat gila atas orang tua yang terlampau baik ini.”

Ketika Ken Arok menggeleng-gelengkan kepalanya Empu Gandring bertanya, “Apakah ada yang tidak berkenan dihatimu Ngger?”

“Tidak Empu. Keris ini terlampau sempurna” jawab Ken Arok, “memang hulunya masih harus diganti, disesuaikan dengan kerisnya itu sendiri. Tetapi, hulu keris sebenarnya tidak begitu penting dibandingkan dengan nilai keris itu sendiri.”

Empu Gandring tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara dada Ken Arok menjadi semakin bergemuruh oleh kebimbangan yang hampir tidak tertahankan.

Sementara itu gemuruh derap kaki-kaki kuda yang dipacu oleh Mahisa Agni menjadi semakin bergemeretakan. Semakin cepat kuda itu berpacu, hati anak muda itu menjadi semakin bergetar. Bahkan kini seakan-akan ia sendiri merasakan, betapa pamannya itu sedang terancam bahaya. Karena itu, maka Mahisa Agni pun semakin mempercepat lari kudanya, beberapa kali ia menyentuh perut kuda itu. Namun langkahnya serasa masih terlampau malas. Di dalam dinginnya malam terasa keringat mengalir di punggung Mahisa Agni, sehinga punggungnya menjadi basah seperti sedang kehujanan.

Punggung Ken Arok pun menjadi basah seperti sedang kehujanan. Berbagai macam pikiran berbenturan dan bergolak di dalam dadanya. Sekali-kali dipandanginya ujung keris yang runcing tajam, kemudian wajah Empu tua yang berkerut-merut.

Empu Gandring melihat kegelisahan yang sangat membayang di wajah Ken Arok. Ia melihat tangan yang menggenggam keris itu menjadi semakin gemetar dan ujung keris itu pun menjadi semakin menunduk.

Hati Ken Arok yang semakin luluh itu pun seakan-akan meronta-ronta di dalam dadanya. Apakah ia harus melaksanakan rencananya atau mengurungkannya. Dalam keragu-raguan itu, tiba-tiba Ken Arok menggeretakkan giginya. Ia seakan-akan sedang mencari kekuatan. Dengan kekuatan terakhir ia mencoba menggeram di dalam dadanya, “Harus. Aku harus melakukannya sekarang. Kalau aku melepaskan kesempatan ini, maka aku tidak akan pernah menemukan kesempatan yang lain”

Sehingga semua rencana yang telah disusunnya dan yang sebagian telah berjalan itu akan gagal. Gagal sama sekali. Dengan demikian berarti bahwa ia tidak akan dapat mencapai cita-citanya. Tidak akan ada perubahan yang akan terjadi pada dirinya. Terbayang sekilas wajah Permaisuri Ken Dedes yang cantik yang memancarkan cahaya yang cemerlang. Kemudian terbayang wajah Akuwu Tunggul Ametung yang terlampau mementingkan dirinya sendiri dari pada kepentingan Tumapel.

“Tidak. Aku tidak boleh mundur. Betapapun banyaknya korban yang harus jatuh. Tetapi, aku harus melaksanakan. Korban-korban itu adalah rabuk bagi kesuburan Tanah Tumapel. Memang mungkin korban-korban itu tidak bersalah. Dan korban yang demikian itulah yang akan membuat Tumapel menjadi besar” ia menggeram di dalam hatinya.

Dengan demikian, maka dada Ken Arok menjadi semakin berdebar-debar. Benturan yang dahsyat seolah-olah akan memecahkan jantungnya, sehingga tangannya menjadi semakin bergetar pula.

Empu Gandring akhirnya tidak dapat melihat sambil berdiam diri. Dengan herannya ia bertanya, “Kau kenapa Ngger? Apakah kau menjadi kecewa melihat keris itu, atau kau mempunyai sesuatu pendapat atau apapun?”

Ken Arok tidak tahu, bagaimana menjawab pertanyaan itu.. Namun sekenanya saja ia berkata, “Empu, aku melihat tiga buah bintik yang membuat aku menjadi berdebar-debar. Bintik yang mempunyai warna dan ciri yang lain dari keseluruhan pamor keris ini.”

Jawaban itu membuat dada Empu Gandring berdesir. Ia tidak menyangka bahwa Ken Arok akan memperhatikan ketiga bintik yang dilihatnya itu. Memang sebenarnya bahwa bintik itu mempunyai warna yang berbeda dari warna keseluruhan dari pamor keris itu.

“Empu,” kata Ken Arok kemudian, “Lihatlah, betapa bintik-bintik ini membuat keseluruhan pamor keris ini menjadi sebuah teka-teki yang aneh. Aku tidak mampu menebak, apakah maksud Empu dengan ketiga bintik-bintik ini, dan memberinya warna yang lain dari keseluruhan pamor keris ini, sehingga ketiga bintik ini seakan-akan terlepas dari hubungannya dengan bentuk keseluruhan.”

Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Kenapa baru kali ini ia sendiri melihat bintik-bintik itu? Sejak keris itu berbentuk, ia selalu mengamat-amatinya. Hampir setiap saat ia duduk, di dalam sanggar ini, ia selalu menimang-nimang keris itu. Tetapi, kemarin ia masih belum melihat ketiga bintik-bintik itu. Sehingga bintik-bintik itu seolah-olah timbul begitu saja dengan tiba-tiba. “Memang aneh” ia berdesis di dalam hatinya.

“Empu” berkata Ken Arok kemudian, “Apakah dengan sengaja Empu memberikan bintik-bintik ini? Seandainya demikian apakah maksudnya?”

Empu Gandring menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak Ngger. Aku sama sekali tidak sengaja menempatkan ketiga bintik-bintik kecil itu.”

“Ah” desis Ken Arok, “Adalah mustahil sekali, Empu adalah seorang ahli membuat keris. Karena itu, Empu menguasai segala macam bentuk dan watak dari setiap keris yang Empu buat.”

“Kau benar Ngger. Tetapi, tidak mustahil bahwa seseorang membuat kesalahan. Selama aku adalah manusia biasa, maka aku pasti masih akan membuat kesalahan-kesalahan.”

Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Keringatnya semakin banyak mengalir di seluruh tubuhnya. Desakan di dalam dadanya sudah tidak tertahankan lagi untuk melakukan rencananya, tetapi perasaannya masih dibayangi oleh gambaran-gambaran yang aneh. “Harus, harus. Lakukanlah sekarang” terdengar perintah itu di dalam dadanya.

Sekali lagi Ken Arok mencari kekuatan sambil mengepalkan tangannya, menggenggam hulu keris itu keras-keras. Dan tiba-tiba saja ia berkata, “Lihat Empu, aneh. Bintik-bintik ini dapat bergerak.”

Empu Gandring terkejut mendengarnya. Tiba-tiba saja ia bergeser maju tanpa prasangka apapun. Dengan mata terbelalak ia mengamat-amati ujung kerisnya. Namun tiba-tiba uiung keris itu bergetar dan bergerak cepat sekali, melampaui kecepatan tatit yang menyambar di langit. Ujung keris itu tiba-tiba saja telah menghujam memecahkan dadanya. Sejenak Empu Gandring membeku di tempatnya. Seakan-akan ia tidak percaya, bahwa hal itu telah terjadi dan dialaminya sendiri.

Tetapi, sejenak kemudian, Empu tua itu menyadari keadaannva. Ternyata keris buatannya sendiri itu telah tertancap di dadanya. Ketika tangannya meraba hulu keris yang masih melekat di dada itu, terasa tangannya menjadi hangat oleh darah yang memerah. Terasa dada itu menjadi pedih bukan kepalang. Kerisnya adalah keris yang benar-benar pilih tanding. Keris yang jarang dicari duanya di dunia.

Empu Gandring bukan saja seorang Empu yang terpilih di antara golongannya. Tetapi, ia adalah seorang yang pilih tanding dalam oleh kanuragan. Empu Gandring adalah seseorang yang dapat melawan Kebo Sindet dan dapat disejajarkan dengan Empu Purwa dan Panji Bojong Santi. Namun menghadapi keadaan yang tidak disangka-sangkanya itu, ia tidak dapat mengelakkan diri.

Tubuh orang tua itu pun segera menjadi gemetar. Ternyata ujung keris yang telah dibuatnya sendiri itu telah menyentuh jantungnya. Dengan demikian, maka kekuatannya dan segenap kemampuan yang sukar dicari bandingnya itu pun segera susut dengan cepatnya. Karena betapapun juga, kemampuan manusia pasti pada suatu ketika akan sampai pada batasnya. Demikian juga Empu tua yang sakti itu. Sesaat ia masih dapat duduk di tempatnya tanpa bergerak sama sekali. Kedua tangannya masih menggenggam hulu kerisnya, sedang tatapan matanya yang menyorotkan beribu macam pertanyaan telah menghunjam langsung ke dada Ken Arok.

Ken Arok, yang telah mengerahkan segenap kekuatan lahir dan batinnya untuk menaikkan keris itu ke dada Empu Gandring, menjadi gemetar pula. Dengan tajam dipandanginya Empu tua yang masih saja duduk di tempatnya menahan pedih di dadanya. Sekali-kali terdengar Empu Gandring berdesis. Namun yang paling tajam merobek-robek perasaannya adalah kejapan matanya yang semakin lama menjadi semakin sayu.

Tiba-tiba Ken Arok itu bertiarap di depan Empu Gandring yang telah menenggang nafas itu. Dengan suara tertahan-tahan ia berkata, “Tidak. Tidak. Itu tidak boleh terjadi.”

Empu Gandring mencoba menarik nafas dalam-dalam. Setiap hembusan nafasnya telah mendorong darahnya untuk melelah dari lukanya.

“Ampunkan aku Empu, ampun” Ken Arok merengek seperti kanak-kanak yang ditinggal ayahnya pergi merantau, “Aku tidak menginginkannya. Itu bukan maksudku.”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan. Dengan sisa tenaganya ia menghentakkan keris itu dari dadanya. Demikian ia berhasil mencabut keris itu, maka darahnya pun menjadi semakin banyak mengalir dari lukanya. Sejenak diamat-amatinya keris yang sudah berlumuran darah itu. Tetapi, matanya yang menjadi semakin kabur telah tidak lagi dapat melihat tiga buah bintik yang asing baginya, meskipun ialah yang telah membuat keris itu.

Ketika Ken Arok melihat Empu Gandring telah berhasil menarik keris itu, tiba-tiba ia berkata setengah meratap, “Empu, bunuhlah aku sebelum aku benar-benar menjadi semakin gila. Tolonglah aku Empu. Bunuhlah aku.”

Tetapi, tubuh Empu Gandring sudah menjadi semakin lemah. Ketika terlihat olehnya kilasan mata Ken Arok, maka Empu tua itu mencoba untuk berkata, “Kau telah membuat suatu kesalahan Ngger?” nafas Empu Gandring mengalir semakin cepat, “Selama ini kau adalah seorang prajurit yang baik. Tetapi, Ken Arok sebagai seorang prajurit yang baik, agaknya telah mati bersama kematianku.”

Terasa dada, Ken Arok tergores oleh kata-kata itu demikian parahnya. Terngiang kembali kata-kata Lohgawe yang serupa dengan kata-kata yang diucapkan oleh Empu Gandring itu.

“Aku menyesal Empu. Karena itu, bunuhlah aku supaya nafsu ini tidak menjalar ke seluruh Tumapel.”

Empu Gandring menggelengkan kepalanya.

“Aku telah mencoba membunuh Empu, adalah wajar apabila Empu membunuhku.”

Sekali lagi Empu Gandring menggelengkan kepalanya, “Sudah saatnya aku kembali kepada Yang Maha Agung, Ngger.”

“Tetapi, Empu harus membunuh aku lebih dahulu. Dengan demikian Empu telah mebuat kebaikan di saat terakhir Empu. Ketahuilah Empu, dengan keris itu aku akan membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Aku akan memperisteri Ken Dedes, dan aku ingin menjadi seorang Akuwu, bahkan seorang Maharaja. Karena itu, sebelum nafsu itu membakar Tumapel, sebaiknya Empu membunuhku.”

Wajah Empu Gandring meniadi semakin pucat. Tenaganya memadi semakin lemah, sehingga keris ditangannya itu pun terkulai di atas tikar yang meniadi kemerah-merahan oleh darahnya. “Angger Ken Arok” suara Empu tua itu menjadi semakin lemah, “Kalau kau menyesal, maka aku berpesan kepadamu, hancurkan sajalah keris itu, karena keris itu akan meminta korban dan korban. Akan datang saatnya keris itu membunuh Akuwu Tunggul Ametung, tetapi juga orang-orang lain. Karena itu, sebaiknya keris itu, kau tiadakan saja, ternyata aku telah mengulangi kesalahan Empu Sekadi.”

“Empu” hampir saja Ken Arok memekik. Dengan gerak naluriah kedua tangannya menutup mulutnya, ketika ia melihat Empu Gandring itu menunduk. Semakin lama semakin dalam, meskipun ia masih tetap duduk. Akhirnya tubuh itu diam. Diam sama sekali.

“Empu” bisik Ken Arok. Dengan tangan gemetar ia merayap maju. Ketika dirabanya tangan Empu Gandring, tangan itu seakan-akan telah membeku.

Dada Ken Arok hampir meledak karenanya. Tiba-tiba dengan penyesalan yang luar biasa ia mengambil keris itu perlahan-lahan dari tangan Empu Gandring. Kemudian ia meloncat berdiri sambil menggeram, “Keris ini harus aku hancurkan. Harus.”

Mata Ken Arok menjadi nanar. Dipandanginya setiap benda yang ada di dalam sanggar itu. Dalam kegelapan hati, hampir saja ia membunuh dirinya. Tetapi, dengan demikian ia tidak mungkin dapat memenuhi pesan Empu Gandring. Kalau keris itu ditusukkannya ke dadanya sendiri, maka keris itu masih akan tetap utuh. Sehingga orang lain akan dapat mempergunakannya untuk membunuh sesamanya.

“Tidak” ia menggeram, “Aku harus memusnakan keris itu lebih dahulu.”

Ketika terlihat olehnya sebuah paron, maka hatinya berdesir. “Dengan paron itulah agaknya Empu Gandring menempa keris-kerisnya” katanya di dalam hati, “Karena itu, di atas paron itu pula keris ini akan aku hancurkan.”

Dengan hati yang berdebar-debar Ken Arok mendekati paron itu. Kemudian dikerahkannya segenap kekuatan dan kemampuan yang ada padanya. Diangkatnya keris itu tinggi-tinggi. Sekejap kemudian dengan cepatnya keris itu terayun. Seperti lidah api yang meloncat di langit, keris itu menyambar paron.

Ken Arok merasakan tangannya menjadi pedih. Terdengar benturan yang dahsyat, dan ia melihat bunga api memercik. Tetapi, tiba-tiba matanya terbelalak. Keris yang digenggamnya ternyata masih utuh. Dan yang lebih mengherankan; sehingga hampir ia tidak percaya kepada penglihatannya, ternyata bahwa paron itulah yang menjadi hancur.

“Luar biasa. Keris ini memang luar biasa” desisnya. “Bukan keris ini yang luluh tetapi paron itulah yang hancur.”

Ken Arok berhenti sejenak. Matanya menjadi nyalang. Sekejap dipandanginya keris di dalam genggamannya, dan sekejap ditatapnya paron yang sudah pecah berserakan itu. “Keris ini tidak ada duanya di dunia.” Dan tiba-tiba Ken Arok itu menggeram, “Sayang, kalau keris sesakti ini harus aku hancurkan. Hanya dengan keris yang demikian inilah Tunggul Ametung dapat aku binasakan.”

Tiba-tiba saja Ken Arok itu meloncat menghambur keluar sanggar setelah mengganti kerisnya sendiri dengan keris Empu Gandring itu. Ia sudah tidak ingat lagi Empu Gandring yang meninggal di dalam sanggarnya. Ia sudah tidak ingat lagi untuk menghancurkan keris itu, dan apalagi untuk membunuh diri. Ditutupnya pintu sanggar itu rapat-rapat, kemudian seperti tidak pernah terjadi sesuatu ia berjalan ke pintu regol. Ia masih melihat cantrik yang memegangi kendali kudanya. Bahkan ia duduk di pinggir regol bersama seorang kawannya. Seorang cantrik yang lain.

Ketika terlihat oleh mereka prajurit yang menitipkan kuda itu, maka merekapun segera berdiri. Ken Arok tersenyum. Diterimanya kendali kudanya. Katanya, “Aku akan segera kembali ke Tumapel. Tugasku masih cukup berat. Terima kasih kalian telah menjaga kudaku.”

“Terima kasih kembali” jawab cantrik ini, “Apakah tuan sudah bertemu dengan Empu?”

“Sudah, aku sudah bertemu. Persoalanku sudah selesai.”

Cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih bertanya, “Tetapi, kenapa tuan begitu tergesa-gesa.”

Ken Arok tertawa, “Sudah aku katakan, tugasku masih banyak. Terlampau banyak. Sebagai seorang prajurit pengawal istana dan pengawal Akuwu, aku harus selalu berada di samping Akuwu hampir dalam segala hal.”

“Oh” cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Sudahlah. Aku minta diri.”

“Silahkan.”

Ken Arok menuntun kudanya keluar regol. Namun belum lagi ia meloncat naik, tiba-tiba ia mendengar lamat-lamat derap seekor kuda berlari kencang semakin lama semakin dekat. “Siapa?” dadanya berdesir.

Namun ia tidak mau terlambat. Siapapun yang datang, ia tidak boleh lengah. Kalau orang yang datang itu sudah mengenalnya, maka semua rencananya akan rusak. Apalagi kalau orang yang datang itu tidak mampu dibinasakannya. Dengan demikian, maka segera ia meloncat ke punggung kudanya. Tanpa berkata sepatah katapun lagi, maka kudanya pun segera berpacu menjauh. Ken Arok menyadari, bahwa ia harus memilih jalan sehingga ia tidak akan berpapasan dengan kuda yang mendatang itu.

Sejenak kemudian kuda Ken Arok pun telah keluar dari padukuhan Lulumbang. Semakin lama kudanya berpacu semakin cepat. Seandainya kuda yang datang itu kemudian memasuki padepokan Empu Gandring dan mengetahui apa yang telah terjadi, maka kudanya sendiri sudah menjadi sedemikian jauhnya, sehingga tidak mungkin akan terkejar.

Dalam pada itu, kuda yang mdatang itu pun menjadi semakin dekat pula. Cantrik yang baru saja menyerahkan kuda Ken Arok masih berdiri di samping regol. Sejenak mereka saling berpandangan, dan sejenak kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Siapa lagi yang akan datang? Bukankah kita di sini tidak biasa menerima tamu di malam hari?”

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi, mereka menunggu saja di muka regol, kalau-kalau kuda itu benar-benar mendatangi pedepokan Empu Gandring. Ternyata dugaan mereka benar. Sejenak kemudian mereka melihat seseorang berhenti di depan regol. Kemudian menuntun kudanya memasuki halaman.

“Siapa?” bertanya Cantrik yang masih berdiri di sisi regol.

Orang itu agaknya terkejut. Jawabnya, “He, kalian masih berada di halaman? Karena itu aku melihat regol itu masih terbuka.”

“Ya, baru saja aku mengantarkan seorang tamu. Tetapi, siapakah tuan?”

“Mahisa Agni. Kemanakan Empu Gandring.”

“O, mari, marilah. Baru saja Empu menerima tamu dari Tumapel. Baru saja.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah cantrik itu, seolah-olah ia tidak percaya pada keterangannya, bahwa di malam hari begini tamu Empu Gandring itu baru saja meninggalkan padepokan. “Berapa orangkah tamu itu?” bertanya Mahisa Agni.

“Satu orang.”

“Siapakah namanya?”

Cantrik itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia menggeleng, “Aku tidak tahu, dan aku tidak bertanya siapakah namanya. Tetapi, ia adalah seorang prajurit.”

“Prajurit?”

“Ya, seorang prajurit.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian, katanya, “Baiklah, aku akan bertanya kepada paman, siapakah tamunya itu.”

“Silahkanlah.”

Mahisa Agni pun kemudian menuntun kudanya melintasi pendapa. Kemudian mengikatkannya pada sebatang pohon di depan gandok.

“Empu berada di sanggarnya” berkata salah seorang cantrik yang mengikutinya dibelakang, “di sanggar itu pula Empu menerima tamunya.”

“Baiklah” sahut Mahisa Agni, yang segera pergi ke pintu sanggar. Beberapa saat yang lampau, ketika ia mengunjungi pamannya, ia sering juga melihat pamannya bekerja di sanggar itu. Perlahan-lahan Mahisa Agni mengetuk pintu. Tetapi, tidak ada jawaban. “Apakah paman sudah tidur?” desisnya.

Sekali lagi ia mengetuk pintunya. Sekali lagi dan sekali lagi. Namun sama sekali tidak terdengar jawaban. Mahisa Agni menjadi heran. Seandainya Empu Gandring sudah tidur sekalipun, ia pasti akan terbangun. Apalagi ketukan pada daun pintu yang sedemikian kerasnya. Sedangkan desir langkahnya pun pasti sudah didengarnya. Karena itu, dadanya pun menjadi berdebar-debar. Ia mencoba melihat ke dalam lewat lubang-lubang dinding, tetapi ia sama sekali tidak dapat melihat sesuatu. Dalam kegelisahan Mahisa Agni mengetuk sekali lagi. Lebih keras. Tetapi, masih juga tidak terjawab.

“Paman telah masuk ke dalam” gumamnya. Namun tanpa disadarinya tangannya mendorong pintu lereg itu ke samping. Hatinya berdesir ketika ternyata bahwa pintu itu tidak dikancing.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sanggar itu tampaknya terlampau sepi. Perlahan-lahan Mahisa Agni naik ke tangga dan melangkahi tlundak. Tiba-tiba, serasa darahnya berhenti mengalir. Ia melihat Empu Gandring duduk sambil menundukkan punggungnya seakan-akan sedang mencium lututnya.

“Paman” hampir saja ia berteriak. Dengan sekali loncat Mahisa Agni telah berjongkok di samping pamannya. Ketika dengan serta-merta ia meraba tubuh pamannya, maka tubuh itu pun telah membeku.

Sejenak Mahisa Agni serasa kehilangan nalar. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukan, sehingga karena itu, Mahisa Agni masih saja berjongkok di samping pamannya tanpa berbuat sesuatu. Baru sejenak kemudian anak muda itu tersadar akan keadaannya. Perlahan-lahan ia berdiri. Kemudian dipandanginya setiap sudut sanggar itu. Matanya seolah-olah tanpa berkedip mengamat-amati setiap benda yang ada di sekitarnya. Tatapan matanya itu pun kemudian membentur kepingan-kepingan paron yang tergolek dilantai. Dengan tegangnya diamatinya kepingan itu sambil bergumam,

“Apakah yang telah memecahkan paron ini? Hanya senjata yang pilih tanding sajalah yang dapat membelah bungkalan baja pilihan ini. Dan senjata yang demikian itu tidak akan banyak jumlahnya.”

Nafas Mahisa Agni menjadi terengah-engah. Kembali ia berjongkok di samping pamannya. Terlihatlah kini olehnya darah yang sudah membeku di tikar di arah bawah dada pamannya. Darah itu tidak begitu banyak sebagaimana luka-luka yang lazim menembus dada.

“Senjata yang dahsyat. Pasti senjata ini pulalah yang telah membelah paron itu. Senjata ini pasti senjata yang luar biasa. Benar-benar luar biasa. Tetapi juga senjata yang sangat berbahaya.”

Debar jantung Mahisa Agni pun menjadi kian bertambah cepat. Ia tiba-tiba meloncat ketika ia melihat sebilah keris terkapar di lantai sanggar. Tatapi ia segera menjadi kecewa. Keris, itu pasti bukan keris yang dipakai untuk menusuk dada Empu Gandring karena keris itu sama sekali tidak membekas darah dan menurut pengamatan Mahisa Agni, keris itu bukanlah keris yang dapat dibanggakan. Apalagi untuk membelah paron di dalam sanggar keris Empu Gandring. Meskipun demikian keris itu disimpannya juga di dalam geledeg Empu Gandring,

“Mungkin suatu saat keris ini diperlukan.” Setelah menyimpan keris itu, Mahisa Agni pun segera pergi keluar mencari cantrik yang ditemuinya di regol halaman. Kemudian digandengnya cantrik itu pergi ke sanggar Empu Gandring.

“Kenapa aku ini?” bertanya cantrik itu.

Mahisa Agni tidak menjawab. Dituntunnya cantrik itia menaiki tangga sanggar kemudian melangkah masuk. “Lihat, apa yang terjadi dengan Empu Gandring!”

Cantrik itu sejenak berdiri membeku, kemudian terpekik keras-keras, “Empu, Empu. Empu Gandring.” Dan cantrik itu pun terduduk dengan lemahnya di samping mayat Empu Gandring.

Mahisa Agni yang berdiri di sampingnya kemudian memegangi pundaknya sambil bertanya, “Katakan, bagaimanakah ujud prajurit itu menurut ingatanmu.”

Cantrik itu mencoba mengingat-ingat. Kemudian dengan suara gemetar ia berkata, “Seorang yang bertubuh sedang, tampan dan memakai pakaian seorang prajurit.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ada lebih dari seratus orang prajurit yang bertubuh sedang dan berwajah tampan. Memang terlampau sukar untuk dapat memilih salah seorang dari sekian banyak prajurit Tumapel. Namun tiba-tiba Mahisa Agni bertanya, “Apakah ciri pakaiannya yang paling kau ingat?”

Cantrik itu mengingat-ingat sebentar, kemudian jawabnya, “Sebuah selempang tali yang berwarna kuning keemasan.”

“Pasukan pengawal” tanpa sesadarnya Mahisa Agni berdesis.

“Ya, pasukan pengawal istana. Demikian ia menyebut dirinya sendiri.”

“Ia dapat menyebut dirinya dengan sebutan apapun. Tetapi, pakaian itu telah mengatakan, bahwa ia sebenarnya dari pasukan pengawal” geram Mahisa Agni.

Kalau saja ia tidak ingin menunggu ibunya datang dan memberi keseimbangan apabila terjadi goncangan perasaan, maka Mahisa Agni pasti sudah berpacu ke Tumapel. Demikian ia menyadari keadaan pamannya, maka segera ia teringat pada derap kaki-kaki kuda yang menjauh pada saat ia datang.

“Belum terlampau jauh” ia menggeram, “Tetapi, untuk menyusulnya sudah tidak mungkin lagi. Yang dapat dilakukan adalah mencarinya di seluruh bagian Tumapel. Di barak-barak dan rumah-rumah prajurit Pengawal Istana.”

Namun, Mahisa Agni tidak dapat segera pergi. Ia tidak sampai hati membiarkan ibunya sendiri menghadapi keadaan pamannya. Karena itu, maka betapapun desakan di dalam dirinya untuk segera berpacu ke Tumapel, terpaksa ditahankannya sampai keadaan ibunya menjadi bertambah baik. Karena itu, dengan gelisah Mahisa Agni menunggu ibunya di dalam hirup pikuk para cantrik dan endang. Keluarga terdekat Empu Gandring dan orang-orang yang bergaul setiap hari.

Mereka menyesal tiada taranya bahwa hal itu terjadi. Apalagi cantrik-cantrik yang terdekat. Cantrik yang memegangi kuda Ken Arok merasa, bahwa ialah orang yang paling bersalah. Kenapa ia tidak bertanya siapakah nama tamu itu, dan kenapa dibiarkannya Empu Gandring menemuinya seorang diri? Padahal kehadiran tamu yang tidak pada waktunya itu sudah harus menumbuhkan kecurigaan padanya. Tetapi, semua sudah terjadi. Mereka hanya dapat menyesal dan menyalahkan diri sendiri.

Kehadiran sebuah pedati yang membawa ibu Mahisa Agni menambah pedepokan Empu Gandring menjadi kian basah oleh air mata. Seperti terperas dari pelupuk matanya, perempuan tua itu menangis sejadi-jadinya. Sekian lama mereka berpisah, dan kesempatan yang terakhir, perempuan tua itu hanya dapat melihat mayatnya yang telah terbujur tidak bergerak. Padepokan Lulumbang benar-benar sedang disaput oleh kepedihan.

Ketika orang-orang Lulumbang sudah dapat mengatur perasaan mereka dan jenazah Empu Gandring telah mulai dibersihkan, untuk diselenggarakan sebagaimana seharusnya, maka Mahisa Agni tidak dapat menahan diri lagi. Setelah minta diri kepada ibunya, dan menyerahkan perempuan tua itu kepada dua orang prajurit yang bertugas mengantarkannya, maka Mahisa Agni pun segera berpacu ke Tumapel tanpa menunggu pagi.

Dalam remang-remang cahaya kemerahan fajar, Mahisa Agni dengan dada yang berdebar-debar berusaha untuk secepat-cepatnya sampai ke Tumapel. Apapun yang akan dihadapinya tidak dihiraukannya. Bahkan dipunggungnya pun telah terselip sebilah keris yang diambilnya dari sekian banyak perbendaharaan keris pamannya. Dan keris itu adalah keris yang sering dipakai langsung oleh pamannya sendiri, sebilah keris yang besar yang bersilang di punggungnya.

Terasa oleh Mahisa Agni, betapa kudanya berlari terlampau lambat, seolah-olah sengaja bermalas-malasan, sehingga berkali-kali Mahisa terpaksa mencambuknya. Namun bagaimanapun juga ia berusaha, kecepatan lari kudanya itu pun sangat terbatas. Tetapi, betapapun lambatnya, namun Tumapel semakin lama menjadi semakin dekat. Sehingga dada Mahisa Agni pun menjadi semakin berdebar-debar. Ia hanya berhenti beberapa kali untuk memberi kesempatan kudanya minum air dan beristirahat sejenak. Tetapi, ia sendiri sama sekali tidak bernafsu untuk makan dan minum. Yang menyesak di dadanya hanyalah kemungkinan-kemungkinan, untuk dapat menemukan orang yang membunuh pamannya.

“Paman pasti dibunuh dengan cara yang paling curang Agaknya paman sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk membela diri. Betapapun saktinya seseorang, tetapi paman Empu Gandring adalah seorang yang pilih tanding. Seandainya beberapa orang sekaligus datang kepadanya, tidak mungkin mereka dapat membunuh paman dengan begitu mudahnya apabila paman memang menyadari bahwa ia sedang diancam bahaya.”

Karena itulah, maka kemarahan di dada Mahisa Agni menjadi semakin mendidih. Seandainya pamannya terbunuh dalam perang tanding yang jujur, ia tidak akan berbuat apapun juga. Tetapi, yang dijumpainya adalah lain. Pamannya dibunuh dengan cara yang sangat licik.

Beberapa saat setelah matahari melampaui puncak langit, Mahisa Agni telah memasuki telatah kota Tumapel. Sejenak ia menjadi ragu-ragu, namun kemudian dengan bulat ia bertekad untuk menemui pemimpin tertinggi pasukan pengawal istana. Witantra.

Witantra yang saat itu ada dirumahnya menjadi terkejut bukan buatan melihat kehadiran Mahisa Agni yang agaknya begitu tergesa-gesa. Karena itu, setelah mereka duduk di atas sehelai tikar, Witantra segera bertanya, “Aku melihat sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Benarkah?”

“Ya” sahut Agni, “Paman Empu Gandring terbunuh?”

“He?” Witantra pun terkejut mendengarnya, dan bahkan hampir ia tidak percaya, “benarkah begitu?”

“Aku baru datang dari padepokannya” jawab Mahisa Agni.

Sejenak Witantra terdiam. Tetapi, terjadilah pergolakan yang dahsyat di dalam dirinya. Meskipun Empu Gandring tinggal jauh dari Tumapel, namun persoalannya agaknya memang bersangkut-maut dengan kekisruhan yang dilihatnya di istana Tumapel kini. “Apakah kau tahu siapa yang membunuhnya?” bertanya Witantra kemudian.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dengan ragu-ragu ia menjawab, “Aku tidak mengetahui dengan pasti. Tetapi, para cantrik yang melihatnya, dapat menyebutkan orang yang baru saja datang ke padepokan itu sesaat sebelum Empu Gandring terbunuh. Ketika orang itu pergi, maka Empu Gandring terdapat telah tebunuh di dalam sanggarnya.”

“Siapa?”

“Seorang prajurit Tumapel.”

“Hanya begitu?”

“Prajurit itu memakai ciri khusus. Sebuah selempang tali yang berwarna kuning keemasan.”

“He” mata Witantra terbelalak, “Pengawal istana.”

“Begitulah menurut para cantrik yang melihatnya.”

Witantra merenung sejenak. Pergolakan di dalam dadanya menjadi semakin ribut. Kalau yang terbunuh itu bukan seorang Empu Gandring, maka persoalannya tidak akan begitu berat baginya. Tetapi, kali ini yang terbunuh adalah seorang Empu yang tidak ada duanya di Tumapel. “Kalau benar penglihatan cantrik itu, siapakah diantara praiurit pengawal yang mampu membunuh Empu Gandring?” berkata Witantra.

“Paman Empu Gandring dibunuh dengan curang. Paman sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk melawan, bahkan paman pasti sama sekali tidak menaruh kecurigaan apapun” lalu diceriterakannya keadaan pamannya seperti saat diketemukannya di dalam sanggar itu.

Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya” desisnya, “Apabila demikian, maka pembunuhan itu adalah pembunuhan yang sudah direncanakan sebelumnya dengan teliti.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Di dalam sanggar itu aku menemukah sebilah keris. Tetapi, keris itu sama sekali tidak mempunyai ciri-ciri yang menarik. Keris itu adalah keris kebanyakan.”

“Apakah keris itu juga yang dipergunakannya.”

“Tentu bukan. Keris itu sama sekali tidak membekas darah.”

“Pembunuhan yang keji dan curang.” Lalu Witantra menggeram, “Aku akan mencari diantaran para pengawal, siapakah yang baru saja meninggalkan Tumapel.”

Mahisa Agni menatap wajah Witantra sejenak. Kemudian katanya, “Aku mengucapkan terima kasih, kalau kau bersedia menolong aku membantu mencari pembunuh itu.”

Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya, “Aku memang berkepentingan. Tumapel sendiri memang sedang dihangatkan oleh keadaan yang belum diketahui ujung pangkalnya. Namun tiba-tiba saja semuanya telah berubah.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah persoalan yang kita hadapi ini memang bersangkut paut?”

“Mungkin” jawab Witantra, “Sekarang, tinggallah disini. Aku akan mencari siapakah orang itu, selagi belum terlampau kasip.”

“Terima kasih. Mudah-mudahan kau berhasil.”

Witantra pun segera pergi meninggalkan rumahnya untuk mencoba menemukan seorang prajuritnya yang baru saja datang ke Lulumbang. Seandainya tidak seorang pun yang akan mengaku telah pergi ke padepokan Empu Gandring, maka diantara sekian banyak prajuritnya, ia harus memisahkan, siapakah yang semalam tidak ada di rumah atau di dalam baraknya.

Sepeninggal Witantra, Mahisa Agni duduk merenung seorang diri. Isteri Witantra mengawaninya sejenak, namun kemudian ditinggalkannya Mahisa Agni duduk di pendapa rumahnya. Ketika Mahisa Agni sedang asyik merenung, tiba-tiba ia terkejut ketika terdengar suara seorang perempuan yang lembut dari balik pintu,

“Kenapa kau ributkan kematian Empu Gandring itu?”

Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Dilihatnya seorang gadis muncul dari balik pintu dan bersandar pada sisi pintu itu. Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Gadis itu adalah Ken Umang.

“Kenapa, Mahisa Agni?” bertanya Ken Umang itu pula. Kini ia tidak lagi berdiri bersandar sisi pintu, tetapi ia melangkah mendekat, lalu duduk di samping anak muda itu.

Mahisa Agni bergeser setapak tanpa dikehendakinya sendiri. Dan tiba-tiba saja ia terkejut ketika ia mendengar Ken Umang tertawa, “Kenapa kau takut duduk di dekat seorang gadis, he?” suara tertawanya mengeras, “Memang anak-anak padesan terlampau tebal dicengkam oleh perasaannya.”

Mahisa Agni tidak menjawab.

“Tetapi, berbeda dengan perempuan yang kini menjadi Permaisuri itu. He, bukankah ia adikmu? Perempuan itu sama sekali tidak usah malu-malu untuk langsung tinggal di istana” berkata gadis itu seterusnya.

Dada Mahisa Agni berdesir, tetapi ia tidak menyahut.

“Seharusnya kau tinggal di kota Tumapel, Agni” berkata Ken Umang selanjutnya, “Kau tidak pantas untuk seterusnya tinggal di Padang Karautan. Aku kira kau akan lebih menarik apabila kau mengenakan pakaian seorang prajurit. Apalagi seorang pengawal seperti kakang Witantra. Kau akan menjadi seorang anak muda yang gagah. Dan kau akan digilai oleh gadis-gadis di seluruh Tumapel”, suara tertawa Ken Umang meninggi, sehingga tiba-tiba tubuh Mahisa Agni menjadi meremang, seolah-olah ia mendengar suara hantu betina yang menemukan mangsanya.

Dengan demikian maka Mahisa Agni itu pun seakan-akan justru terbungkam. Yang diharapkannya adalah agar Witantra segera pulang, berhasil atau tidak berhasil. Apabila ia terlampau lama duduk berdua saja dengan Ken Umang, maka ia akan kehilangan keseimbangan, sehingga mungkin ia akan berbuat atau berkata sesuatu yang dapat menyakitkan hati gadis itu.

“Kau terlampau pendiam Agni” berkata Ken Umang seterusnya, “Jawablah, bagaimana pendapatku? Kau tinggal saja di Tumapel. Kakang Witantra akan dapat menolongmu, sehingga dengan mudah kau akan diterima menjadi seorang prajurit.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia tetap mencoba untuk tidak menyakiti hati gadis itu. Sebab, menurut penilaiannya, Ken Umang akan dapat berbuat apa saja apabila hatinya terluka. Ia akan dapat menjadi sangat marah dan bahkan mungkin dapat mengatakan hitam menjadi putih dan putih menjadi hitam. Karena itu, sekuat-kuat hatinya, ia berusaha untuk tidak melukai hati gadis itu.

“Bagaimana Agni? Apakah kau setuju?”

“Aku belum dapat menjawab Ken Umang. Sampai saat ini Padang Karautan masih sangat memerlukan aku. Apalagi aku sama sekali tidak berkepandaian apapun selain memelihara sawah dan ladang. Untuk menjadi seorang prajurit, aku harus mampu olah senjata atau mempunyai kecakapan khusus yang lain. Dan itu sama sekali tidak aku miliki.”

“Bohong” Ken Umang memotong, “Kakang Witantra sering menyebut-nyebut namamu. Namun seandainya benar-benar kau tidak memiliki kemampuan khusus, biarlah kakang Witantra mengajarimu. Kemudian kau diterima menjadi seorang prajurit pengawal.” Ken Umang berhenti sejenak, lalu, “Kau tidak usah bingung, dimana kau akan bertempat tinggal. Kau dapat tinggal saja di rumah ini. Setuju? Akulah yang akan mengatakannya kepada kakang Witantra.”

“Entahlah untuk lain kali Ken Umang, tetapi sekarang aku belum mempunyai keputusan begitu.”

Suara tertawa Ken Umang menggeletar lagi. Semakin meninggi. Katanya, “Memang anak-anak padesan sering merasa terlampau rendah diri. Tetapi, sebenarnya kau tidak perlu merasa sedemikian tidak berharga.”

“Aku sekarang sedang dibingungkan oleh kematian pamanku” desah Mahisa Agni kemudian.

“Kenapa mesti dirisaukan? Aku mendengar ceriteramu tentang Empu Gandring. Biarlah yang mati sudah terlanjur mati. Tetapi, hiruk pikuk dunia ini tidak akan berhenti karenanya. Tumapel akan berkembang terus, dengan atau tidak dengan seorang penghuni yang bernama Empu Gandring. Dan kau harus menyesuaikan dirimu dengan arus perputaran jaman. Jangan berhenti karena pamanmu meninggal dunia.”

“Kau benar Ken Umang. Tetapi, aku yang tidak dapat membuat arak di dalam diriku sendiri, tidak semudah itu untuk melakukannya. Aku dapat menasehatkannya kepada orang lain, seperti pada saat tetangga kematian orang tuanya. Tetapi, untuk melakukannya sendiri, agaknya terlampau sulit.”

Suara tertawa Ken Umang tiba-tiba saja meledak tidak tertahankan, diantara derai tertawanya ia berkata, “Oh, kau adalah searang perasa. Melampaui lembutnya perasaan seorang gadis. Kau memang tidak pantas untuk menjadi seorang prajurit. Tetapi, kau dapat mencari jabatan yang sesuai dengan sifat dan kebiasaanmu itu.”

Mahisa Agni tidak segera menjawab. Ia telah benar-benar dicengkam oleh kejemuan. Tetapi, ia tidak berdaya untuk mengusir gadis itu.

Namun tiba-tiba Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia mendengar suara Nyai Witantra memanggil adiknya, “Dimana kau Umang?”

Ken Umang mengangkat wajahnya, kemudian desisnya, “Aku telah dipanggil. Jangan pergi dahulu sebelum kakang Witantra kembali. Aku akan segera mengawani kau lagi.”

Mahisa Agni tidak menjawab. Dipandanginya saja gadis itu kemudian berdiri dan berjalan meninggalkannya menyusup ke balik pintu. Sepeninggal Ken Umang, kembali Mahisa Agni merenung. Dengan gelisah ia menunggu kedatangan Witantra yang berusaha untuk membantunya mencari seorang prajurit pengawal jang datang ke Lulumbang semalam.

Dengan cepat Witantra berhasil mengumpulkan para perwira di dalam lingkungannya, yang sebagian besar melihat perkembangan Tumapel dengan cemasnya. Ketika mereka mendengar berita kematian Empu Gandring dan cara yang dilakukan oleh pembunuhnya, mereka menarik nafas dalam-dalam.

“Aku harus segera mendapat laporan” berkata Witantra, “Semua prajurit pengawal harus dilihat, apakah mereka pada saat terakhir tidak ada di Tumapel. Setiap orang yang meragukan, harus segera dibawa kepadaku.”

Para perwira itu pun segera bertindak ke dalam lingkungan masing-masing. Prajurit pengawal istana memang tidak terlampau banyak, sehingga penyelidikan itu dapat dilakukan dengan saksama. Setiap perwira telah .menyebarkan bawahannya di dalam lingkungannya untuk menghubungi langsung setiap prajurit tanpa ada kecualinya. Merekapun harus melaporkan apabila mereka melihat salah seorang kawan mereka yang baru saja kembali dari perjalanan kemana pun.

Sambil menunggu laporan Witantra pun kemudian kembali ke rumahnya. Kepada para perwiranya ia berpesan, agar hal ini untuk sementara harus dirahasiakannya. Dengan berdebar-debar Mahisa Agni menunggu keterangan terakhir dari usaha itu di rumah Witantra. Meskipun mereka mencoba untuk mengisi waktu mereka, namun terasa betapa lamanya meeka harus menunggu. Waktu serasa berjalan begitu lambat, meskipun mereka telah berusaha untuk melupakannya.

Namun akhirnya, seorang demi seorang, para perwira itu pun datang ke rumah Witantra. Tetapi, tidak seorang pun dari mereka yang dapat berkata dengan pasti, “Aku telah menemukan orangnya.”

Hampir semuanya mengatakan kepada Witantra bahwa tidak seorang pun yang diketemukan baru saja datang dari Lulumbang. Bahkan tidak seorang pun yang baru saja datang dari mana saja. Ketika seorang perwira melaporkan bahwa dua orang prajuritnya baru saja datang dari sebuah perjalanan. Mahisa Agni tergeser maju. Tetapi, perwira itu kemudian melanjutkan,

“Namun kedua orang itu masing-masing mempunyai saksi bahwa mereka berada di rumah orang tua masing-masing yang jauh dari Lulumbang pada saat-saat yang menentukan itu.”

“Dan menurut pengamatan saya, keduanya tidak akan mempunyai kepentingan apapun dengan Empu Gandring,“ berkata perwira itu.

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Mahisa Agni yang kecewa. Katanya, “Agni, aku kira, memang tidak seorang pun dari prajuritku yang akan berbuat demikian. Aku yakin.”

“Tetapi, para cantrik itu, pasti bahwa yang membunuh Empu Gandring adalah seorang prajurit yang memakai selempang kuning keemasan...”

Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 47

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 47
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

“SIAPKAN mereka!” perintah Akuwu kemudian kepada Witantra. Wajahnya masih dibayangi oleh kemarahannya kepada Ken Arok, “Aku akan segera berangkat.”

“Hamba Tuanku.” Witantra pun kemudian meninggalkan Akuwu seorang diri menimang busurnya, untuk menyiapkan sebuah rombongan kecil yang akan mengikuti Akuwu Tunggul Ametung pergi berburu.

Ketika di halaman belakang ia bertemu dengan Ken Arok, maka dengan nada berat ia berkata, “Jangan kau hiraukan lagi kata-kata Akuwu. Ia sendiri akan segera melupakannya. Mungkin lain kali kau akan mendapat kesempatan untuk ikut bersama dengan Akuwu pergi berburu.”

Kepala Ken Arok tertunduk. Dengan wajah yang muram ia menjawab, “Aku tidak menyangka bahwa kata-kataku akan menimbulkan kemarahan. Aku akan berkata dan bersikap jujur. Seandainya aku berkata bahwa aku dapat memanah dengan baik, namun ternyata sebaliknya, aku akan dimarahinya juga. Apalagi, tanpa aku sadari aku telah menyinggung busur yang baru itu.”

“Besok Akuwu akan melupakan apa yang terjadi hari ini” berkata Witantra.

“Aku belum pernah dimarahi oleh Akuwu seperti ini. Itulah sebabnya aku merasa, bahwa aku seakan-akan telah melakukan suatu kesalahan yang maha besar.”

Witantra tersenyum, Jawabnya, “Kau adalah seorang hamba istana yang bertanggung jawab. Kau selalu berbuat seperti seharusnya kau lakukan. Apa yang terjadi sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan tugasmu. Itu hanyalah sekedar salah paham yang tidak akan berpengaruh apa-apa.”

“Mudah-mudahan” desis Ken Arok.

“Percayalah. Besok ia pasti sudah akan lupa, apa yang dikatakannya sendiri.”

Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya dengan wajah yang muram. Tetapi, ketika Witantra kemudian meninggalkannya, sekali lagi ia tersenyum dan berkata kepada diri sendiri, “Witantra hampir sama dungunya dengan Akuwu Tunggul Ametung.”

Beberapa lama kemudian Ken Arok berdiri di balik sebatang pohon ketika Akuwu bersama pengawalnya berpacu meninggalkan istana. Tetapi, ketika Akuwu sudah lampau, maka Ken Arok segera melangkah ke samping sambil menganggukkan kepalanya kepada Witantra.

Witantra tersenyum sambil mengangkat tangannya. Kemudian hilang di balik regol samping istana. Yang tinggal hanyalah kepulan debu yang putih.

Ken Arok berpaling ketika ia mendengar seorang prajurit bertanya, “He, kenapa kau bersembunyi?”

Ken Arok mengangkat keningnya, tetapi ia tidak menjawab. Sambil menggelengkan kepalanya ia pun kemudian pergi meninggalkan prajurit itu di tempatnya.

Sepeninggal Akuwu dan beberapa orang pengawalnya, istana ini serasa menjadi lengang. Ken Arok adalah seorang hamba istana yang mendapat kepercayaan karena berbagai jasa. yang telah ditunjukkannya. Itulah sebabnya, maka ia seolah-olah mendapat kepercayaan untuk memasuki setiap ruang di dalam istana ini. Apalagi kedudukannya memang memungkinkannya untuk berbuat demikian.

Tetapi, Ken Arok yang telah matang dengan rencananya itu tidak bertindak dengan tergesa-gesa. Ia harus menggunakan akal dan nalarnya. Tidak sekedar membiarkan perasaan dan nafsunya melonjak-lonjak tidak terkendali. Itulah sebabnya, maka tidak seorang pun yang menaruh curiga terhadapnya. Sikapnya adalah sikap Ken Arok yang mereka lihat sehari-hari, karena mereka, para hamba istana dan para prajurit, tidak melihat, apa yang tersimpan di dalam dada anak muda, pelayan dalam istana Tumapel itu.

Pada hari itu, Ken Arok melakukan tugasnya seperti biasa. Tidak ada kesan perubahan apa pun, dalam pandangan mata orang-orang lain yang berada di istana itu pula. Setiap orang menganggap, bahwa wajar sekali apabila suatu ketika Ken Arok itu bertemu dengan Permaisuri Ken Dedes yang sedang turun ke halaman, untuk pergi ke taman. Karena Akuwu Tunggul Ametung tidak ada, maka Ken Dedes ingin mencari kesibukan dengan para emban di taman istana.

Dengan hormatnya Ken Arok menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Sambil menunduk Ken Arok bertanya dengan sopannya, “Ampun Tuan Puteri, apakah Tuan Puteri akan pergi ke taman?”

Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Tetapi, suaranya agak gemetar, “Ya Ken Arok. Aku akan pergi ke taman.”

“Hamba Tuan Puteri” sahut Ken Arok kemudian, “hamba telah membawa beberapa jenis bunga-bungaan dari taman yang hamba buat di Padang Karautan.”

Langkah Ken Dedes tiba-tiba berhenti. Dipandanginya wajah Ken Arok untuk sesaat. Dan tanpa disangka-sangka Ken Arok mengangkat wajahnya sehingga tatapan mata mereka bertemu. Tidak seorang pun yang memperhatikan peristiwa sekejap itu. Tidak seorang pun yang melihat wajah Permaisuri menjadi semburat merah. Dan tidak seorang pun yang melihat, bahwa sesuatu yang telah tumbuh di dalam hati permaisuri itu berkembang tanpa dapat dihindarkannya lagi.

Karena itu, maka sesaat Permaisuri itu seakan-akan terbungkam. Kepalanya pun kemudian menunduk dalam-dalam. Sekejap ia kehilangan kesadaran diri, sehingga ia tidak berbuat sesuatu, selain berdiri sambil memandangi ujung ibu jari kakinya.

Para emban tidak ada yang menaruh prasangka apa pun. Mereka hanya menyangka, bahwa Permaisuri sedang mengingat-ingat sesuatu. Mungkin tentang bunga yang dikatakan oleh Ken Arok, di bawa dari Padang Karautan. Dan ternyata bahwa yang pertama-tama dikatakan oleh Permaisuri itu kemudian adalah benar-benar tentang bunga. Katanya, “Manakah bunga itu, Ken Arok. Apakah kau dapat menunjukkan?”

Ken Arok tergagap sejenak. Ia tidak menyangka bahwa Permaisuri akan minta kepadanya untuk menunjukkan bunga itu, yang sama sekali tidak pernah ada di dalam taman. Jangankan bunga yang dibawanya dari Padang Karautan, sedang bunga yang ada di dalam taman itu pun sama sekali tidak mendapat perhatiannya. Namun demikian ia menjawab, “Baiklah Tuan Puteri. Tetapi, sudah agak lama hamba tidak melihat, apakah bunga itu masih ada dan dapat hidup baik untuk seterusnya.”

Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Pergilah. Berjalanlah di depan.”

“Ampun Tuan Puteri, hamba akan berjalan di belakang.”

“Berjalanlah di depan.”

Ken Arok tidak dapat membantah lagi. Meskipun terasa punggungnya seolah-olah dijalari oleh segenggam ulat yang paling gatal, namun ia berjalan juga di depan Permaisuri. Ketika mereka memasuki taman, keringat Ken Arok menjadi semakin banyak mengalir. Ia tidak tahu, kemana ia harus pergi untuk menunjukkan bunga yang dibawanya dari Padang Karautan, sehingga untuk sesaat ia berdiri membatu di regol taman.

Ken Dedes yang kemudian berdiri dibelakangnya terhenti juga. Setelah sejenak Ken Arok berdiri diam, terpaksa Permaisuri itu bertanya, “Manakah bunga itu?”

Ken Arok berpaling. Kemudian dibungkukkannya kepalanya dalam-dalam. Namun sementara itu ia melihat, bahwa para emban tidak berdiri terlampau dekat dengan permaisuri. Sejenak Ken Arok dicengkam oleh kebimbangan. Apakah ia akan mencoba menjajagi perasaan Permaisuri saat itu juga, justru ketika Permaisuri itu bertanya tentang bunga kepadanya? Dan justru bahwa bunga yang sesungguhnya tidak ada.

Ken Arok menjadi semakin berdebar-debar, dan bahkan jantungnya serasa akan meledak ketika sekali lagi Permaisuri bertanya, “Kenapa kau berhenti, Ken Arok?”

Dalam keadaan yang demikian, maka tiba-tiba tumbuhlah kedirian Ken Arok yang sebenarnya. Seorang anak yang paling liar di seluruh Tumapel. Meskipun kini ia berdiri dengan kepala menunduk dalam-dalam, meskipun ia berpakaian seperti seorang pelayan dalam, namun ia tidak berhasil membuat hati dan jantungnya sewarna dengan pakaian lahiriahnya. Karena itu, seperti api yang tersekap dalam sekam, maka ketika Ken Arok tidak mampu lagi menahan dirinya, meledaklah perasaan yang selama ini membakar dadanya.

Meskipun kepalanya masih menunduk, namun Ken Arok kemudian berkata sangat lambat, sehingga hanya dapat di dengar oleh Permaisuri itu sendiri, “Ampun Tuan Puteri, ternyata hamba tidak memindahkan bunga dari Padang Karautan, tetapi hamba memindahkan bunga dari Padepokan Panawijen, dan sama sekali tidak hamba tanam di dalam taman ini.”

Sepercik pertanyaan membayang di wajah Permaisuri itu. Ia tidak segera menangkap arti kata-kata Ken Arok, sehingga sesaat ia berdiri saja membisu sambil memandang wajah Ken Arok yang tertunduk. “Jadi?” bertanya Permaisuri itu kemudian, “Di manakah kau tanam bunga itu.”

Ken Arok menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia memutuskan, “Matilah, aku sekarang kalau aku akan mati. Buat apa aku hidup lebih lama lagi, kalau semua impianku itu tidak akan dapat terwujud? Seharusnya aku memang segera mengetahui, apakah berguna untuk berbuat seterusnya, atau aku harus menghentikannya sekarang, kemudian membunuh diri.”

Permaisuri itu menjadi bingung karena Ken Arak tidak segera menjawab. Karena itu, untuk melepaskan kegelisahannya ia mendesak, “Di mana kau tanam bunga itu Ken Arok?”

Kini Ken Arok telah sampai pada tangga terakhir dari pengkhianatannya. Karena ilu, maka dengan dada berdebar-debar dan jantung yang serasa meledak ia berkata, “Ampun Tuan Puterri, bunga itu ada di dalam dada ini.”

Jawaban Ken Arok itu serasa petir yang meledak di dalam telinga Permaisuri Ken Dedes. Sejenak ia tegak seperti patung yang membeku. Namun kemudian darahnya seakan-akan berhenti mengalir. Taman bunga yang telah berada beberapa jengkal dihadapannya, serasa berputaran mengelilinginya. Semakin lama menjadi semakin cepat. Semakin cepat dan semakin cepat. Permaisuri Ken Dedes itu seakan-akan kehilangan keseimbangannya. Sejenak ia terhuyung-huyung. Lamat-lamat bibirnya bergerak dan memanggil, “Emban, emban.”

Emban yang berdiri beberapa langkah daripadanya tidak mendengar panggilan itu, sehingga Ken Dedes mengulanginya, “Emban, kemarilah.”

Tetapi, emban itu juga belum mendengarnya. Mereka berdiri sambil berbisik-bisik di antara mereka. Mereka tidak melihat, bahwa wajah Permaisuri menjadi terlampau pucat, dan keringat dinginnya telah membasahi seluruh tubuhnya.

Ken Arok menyadari keadaan itu, sehingga dengan serta-merta ia memanggil, “He, emban, lihatlah Tuan Puteri itu.”

Emban yang masih berbisik-bisik diantara mereka itu terkejut. Segera mereka berlari-lari mendapatkan Permaisurinya yang sudah hampir kehilangan keseimbangan sama sekali. Melihat Ken Dedes yang pucat dan berkeringat itu, para emban menjadi bingung. Beberapa orang di antara mereka segera berusaha menahan agar Ken Dedes tidak terjatuh. Namun beberapa orang yang lain hanya kebingungan saja tanpa berbuat sesuatu.

“Ampun Tuan Puteri, kenapa Tuan Puteri?”

Ken Dedes tidak menyahut. Ia berusaha berpegangan kepada dua orang emban yang berdiri di kedua sisinya. “Aku akan kembali ke istana emban” desis Permaisuri.

“Tetapi, kenapakah sebenarnya Tuan Puteri?” Ken Dedes menggeleng, “Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja aku merasa pening.”

“Marilah Tuan Puteri.” berkata salah seorang dari emban itu, “Hamba antar Tuan Puteri kembali ke istana.”

Kedua emban yang masih sempat berpikir itu segera memapah Ken Dedes kembali ke istana. Sementara yang lain masih saja kebingungan.

Sementara itu, Ken Arok masih berdiri tegak seperti patung. Ia sadar, bahwa keadaan Permaisuri itu adalah akibat dari kata-katanya. Tetapi, ia belum tahu pasti, apakah tanggapan Permaisuri itu sebenarnya. Tetapi, tekad Ken Arok sudah tidak dapat diredakan. Ia bergumam di dalam hatinya, “Hanya ada dua pilihan, mukti atau mati. Kalau aku harus mati, biarlah itu cepat terjadi. Besok atau lusa, kalau Akuwu kembali dari berburu, Permaisuri pasti akan mengatakannya, bahwa aku telah berkhianat. Pada hari itu juga aku akan di gantung di depan regol samping istana, atau di tengah alun-alun. Tetapi, apabila besok atau lusa Akuwu Tunggul Ametung kembali, dan aku tidak segera harus menjalani hukuman mati, maka itu suatu pertanda bahwa Permaisuri Ken Ddes tidak marah kepadaku. Aku akan berjalan terus sesuai dengan rencanaku.”

Ken Arok itu pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia masih melihat emban pemomong Ken Dedes yang kebetulan tidak ikut pergi ke taman berlari-lari menyongsong momongannya. Kemudian membantu memapahnya masuk ke dalam istana. Dengan penuh kasih sayang emban tua itu membawa Ken Dedes berbaring di pembaringannya. Kemudian dibelainya keningnya dan di pijit-pijitnya pundaknya.

“Kenapa Tuan Puteri?” dengan sareh ia bertanya, “Apakah Tuan Puteri sakit?”

Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Sekilas terbayang wajah pelayan dalam yang masih muda itu berdiri sambil tersenyum. Tiba-tiba pula teringat olehnya, pergaulan masa kecilnya. Kemudian pada saat ia tumbuh menjadi dewasa. Sepercik kenangan telah membayang di rongga matanya, tentang seorang anak muda yang bernama Wiraprana. Tanpa sesadarnya Ken Dedes itu mulai memperbandingkannya. Dan tiba-tiba saja ia berkata di dalam hatinya, “Kenapa keduanya mempunyai beberapa persamaan? Tetapi, aku tidak dapat mengatakan, dimanakah letak persamaan itu.”

Permaisuri itu terkejut ketika ia mendengar suara embannya, “Apakah Tuanku menjadi pening sekali?”

Ken Dedes mengangguk.

“Kenapa Tuan Puteri? Apakah Tuan Puteri terkejut, atau cemas atau tiba-tiba saja teringat akan sesuatu?”

Ken Dedes menggelengkan kepalanya, “Tidak bibi?”

“Lalu, kenapa Tuanku tiba-tiba saja menjadi hampir pingsan?”

Permaisuri itu menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu bibi. Tiba-tiba saja mataku menjadi berkunang-kunang, dan taman itu seolah-olah berputar. Badanku menjadi sangat dingin, tetapi peluhku serasa terperas dari tubuh.”

“Mungkin Tuan Puteri terlampau lelah. Atau Tuan Puteri mempunyai suatu keinginan yang tidak terucapkan. Apakah Tuan Puteri ingin ikut berburu?”

Ken Dedes menggelengkan kepalanya, “Tidak bibi. Aku tidak mempunyai keinginan apa pun juga.”

Emban tua itu tidak bertanya lagi. Kini ia memijit lengan dan pergelangan Permaisuri yang menjadi dingin sekali. Ketika seorang emban membawa minyak kelapa dan brambang, maka segera diulaskannya pada telapak kaki Ken Dedes supaya menjadi hangat. “Tidurlah Tuan Puteri” berkata emban tua itu, “Kalau Tuanku dapat tidur, maka Tuan Puteri pasti akan segera sembuh.”

Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Dipejamkannya matanya dan dicobanya untuk melupakan apa yang baru saja terjadi. “Aku salah dengar” berkata Permaisuri itu kepada diri sendiri di dalam hatinya, “Mudah-mudahan aku salah dengar.”

“Tetapi,” suara itu terdengar pula di relung jantungnya, “Ia bersungguh-sungguh. Aku pasti, ia telah mengatakannya.”

Ken Dedes menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian ditutupnya wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Permaisuri itu terkejut ketika embannya bertanya pula, “Apakah ada yang mengganggu perasaan Tuan Puteri?”

“Oh, tidak bibi, tidak.” jawabnya dengan serta-merta. “Aku hanya merasa terganggu sekali, bahwa aku tidak dapat segera tidur. Aku ingin beristirahat, dan tidur dengan nyenyak.”

“Tuanku harus meletakkan semua beban perasaan” sahut embannya, “Mudah-mudahan Tuanku segera dapat tidur. Hamba akan berada di luar pintu.”

Ken Dedes tidak menyahut, tetapi ia mengangguk-angguk kecil. Emban tua itu pun segera meninggalkan Ken Dedes seorang diri berbaring di dalam biliknya. Namun kesendiriannya itu agaknya telah memberi kesempatan kepadanya, kepada angan-angannya, untuk menyelusuri dunia yang mengambang. Pikirannya jauh menerawang ke alam yang tidak dapat disentuhnya. Dan dalam dunia yang asing itulah terjadi benturan yang dahsyat antara perasaan keperempuanannya dengan pikiran wajarnya.

“Aku seorang Permaisuri” suara itu terdengar melengking di dadanya. Namun kemudian terdengar suara yang lain, “Tetapi, aku belum pernah meneguk betapa manisnya memadu cinta. Aku telah kehilangan masa remajaku, dan aku terlempar ke dalam sangkar emas yang mengurungku kini.”

Berganti-ganti membayang di dalam angan-angannya wajah-wajah Kuda Sempana, wajah Tunggul Ametung, Mahendra dan Wiraprana. Terbayang pula wajah-wajah lain yang pernah disebut-sebut oleh ayahnya dahulu ingin melamarnya. Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Terasa denyut jantungnya menjadi semakin cepat berdetak.

“Aku berhak menikmati cinta itu” desisnya, “Seperti anak-anak muda yang lain, yang kawin dengan laki-laki yang mereka cintai.” Demikianlah, dada Ken Dedes itu serasa terbakar oleh benturan perasaan yang tidak dapat dikendalikan, sehingga akhirnya ia tidak dapat menahan hatinya lagi.

Pemomongnya yang berada di luar pintu menjadi cemas, ketika ia mendengar Ken Dedes itu sama sekali tidak tertidur, namun justru menangis. Karena itu, maka perlahan-lahan ia bangkit dan berjalan memasuki bilik itu dengan hati-hati. Supaya tidak mengejutkan Permaisuri yang sedang menangis itu, emban pemomongnya terbatuk-batuk kecil di depan pintu. Emban tua itu pun kemudian duduk bersimpuh di samping pembaringan Permaisuri itu sambil bertanya perlahan-lahan,

“Apakah sebenarnya yang telah mengganggu perasaan Tuan Puteri? Sejak Tuanku masih kecil hamba selalu melayani Tuan Puteri. Tuan Puteri tidak pernah menyimpan rahasia kepada hamba. Kini agaknya sesuatu sedang mengganggu hati Tuan Puteri. Apakah salahnya kalau Tuan Puteri bersedia membaginya dengan hamba. Mungkin hamba dapat membantu mencari jalan untuk menyelesaikan kesulitan yang agaknya sedang Tuanku sandang.”

Tetapi, Ken Dedes yang sekarang bukan Ken Dedes yang dahulu. Perlahan-lahan Permaisuri itu menggeleng, “Aku tidak apa-apa bibi. Tetapi, kepalaku terlampau pening.”

Namun emban tua itu pun menggelengkan kepalanya pula. Katanya, “Hamba melihat sesuatu yang menyesak di dalam hati Tuanku.”

“Tidak bibi, sungguh tidak.”

Emban itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dibelainya Ken Dedes itu seperti ia membelainya di masa kanak-kanak. Dengan suara yang lembut emban itu berkata, “Tuanku, sejak Tuanku kecil aku selalu melayani Tuanku. Dalam keadaan yang bagaimanapun juga. Pada saat-saat Tuanku berada di dalam kesulitan, yang betapa pun juga, Tuanku selalu mengatakannya kepada hamba. Bahkan pada saat ayahanda Tuan Puteri menerima lebih dari sepuluh lamaran bersama-sama. Ternyata Tuan Puteri tidak menghendaki seorang pun diantara mereka. Tetapi, Tuanku tidak berani mengatakannya. Bukankah Tuanku ingat bahwa Tuanku mengatakannya kepada hamba, bahwa Tuan Puteri telah mempunyai pilihan.”

“Jangan, jangan bibi” tangis Ken Dedes justru menjadi semakin keras. Sambil memeluk pemomongnya ia berkata terus, “Jangan kau katakan lagi tentang hal itu bibi. Kau akan mengungkit luka yang masih membekas di dalam hati, yang justru kini seakan-akan telah menjadi parah kembali.”

Emban tua itu mengerutkan keningnya. Jawaban itu wajar sekali. Agaknya Ken Dedes tidak mau mengenang masa-masa yang baginya terasa terlampau pahit itu. Namun yang menyentuh jantung emban tua itu adalah pengakuan Ken Dedes, “yang justru kini seakan-akan telah menjadi parah kembali.”

Emban tua itu menjadi berdebar-debar. Apakah yang sebenarnya sedang mengganggu hati pemomongnya ini? Apakah kenangan lama itu justru sedang tumbuh di dalam hatinya dan menimbulkan kejutan yang hampir membuatnya pingsan?

“Tentu ada rangsang apapun yang menuntun kenangannya terbang kembali kemasa-masa itu” berkata emban itu di dalam hatinya. Dan itu terjadi terlampau tiba-tiba. Tadi, sebelum emban itu meraba ke dalam dunia yang hanya dikhayalkan saja oleh Ken Dedes, dan yang membuatnya semakin terisak, emban itu menduga bahwa sebenarnya Ken Dedes tiba-tiba saja menjadi pening dan mungkin gangguan pada bagian-bagian tubuhnya. Tetapi, kini ia berpikir agak lain.

“Sebelum Akuwu meninggalkan istana, Permaisuri sama sekali tidak menunjukkan gejala-gejala yang demikian” berkata emban itu di dalam hatinya. Meskipun demikian, emban itu sama sekali tidak mempunyai petunjuk, ke arah mana ia harus mencari jawaban.

Di hari berikutnya, Permaisuri tampak lebih banyak merenung. Namun setelah matahari memanjat agak tinggi, tiba-tiba Permaisuri itu berminat untuk pergi ke taman. “Kali ini kau harus ikut bibi” berkata Permaisuri itu kepada pamomongnya.

“Hamba Tuanku. Apa perintah Tuanku, akan baik untuk hamba.”

Permaisuri itu kemudian segera berkemas. Beberapa kali ia menukar pakaiannya dan beberapa kali pemomongnya membantunya menyanggul rambutnya.

“Aneh” desis emban itu di dalam hati, “Tuan Puteri tidak pernah berpakaian demikian rapinya untuk sekedar pergi ke taman.” Tetapi, emban tua itu tidak berani bertanya.

Dengan beberapa yang lain, Permaisuri itu pun kemudian pergi ke taman. Suatu kebiasaan baru baginya. Biasanya Tuan Puteri Ken Dedes berjalan-jalan ke taman di sore hari. Jarang sekali terjadi, Ken Dedes turun ke taman di pagi hari.

“Mungkin Tuan Puteri kesepian karena Akuwu belum kembali dari berburu” desis beberapa emban dan palayan yang melihatnya. Namun selanjutnya mereka sama sekali tidak mempersoalkannya lagi.

Para emban itu juga tidak menghiraukan, kenapa Tuan Puteri berjalan terlampau lambat. Mereka tidak memperhatikannya, bahwa Permaisuri itu selalu menebarkan pandangan matanya ke segenap sudut-sudut halaman. Diamat-amatinya setiap prajurit, pelayan dalam dan para pengawal yang sedang bertugas. Namun setiap kali ia menjadi kecewa dan menarik nafas dalam-dalam.

Hanya emban tua pemomongnyalah yang memperhatikan semua itu. Dengan persoalan yang semakin membelit hatinya ia melihat kelainan yang tiba-tiba saja menghinggapi Permaisuri momongannya itu, meskipun masih terlampau sukar untuk diselusuri sebab-sebabnya. Seperti seorang ibu yang mengamat-amati tabiat dari anak tercinta. Demikianlah, emban tua pemomong Ken Dedes itu mencoba melihat apakah yang sebenarnya telah menarik perhatian Permaisuri itu.

Emban tua itu selalu memandang apa yang di pandangi oleh Permaisuri dan mengamat-amati olehnya. Setiap lembar daun yang di sentuh oleh Permaisuri itu tidak luput dari sentuhan tangannya pula. Ia ingin mencari sebab kemurungan hati Permaisuri itu, dan apakah yang telah menyeretnya pagi ini pergi ke taman.

Emban tua itu mengerutkan keningnya ketika ia melihat tiba-tiba saja permaisuri itu tertegun beberapa langkah di depan regol taman. Sejenak ia melihat sepercik sinar yang aneh memancar di wajah itu. Namun sejenak kemudian wajah itu pun tertunduk dalam-dalam. Wajah emban tua itu pun dengan tiba-tiba telah menegang, wajahnya memandang ke tempat yang telah membuat wajah Permaisuri berubah dengan tiba-tiba. Wajah emban tua itu pun dengan tiba-tiba telah menengang. Sejenak ia membeku di tempatnya. Namun sejenak kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya kemudian wajah Permaisuri yang menunduk.

Orang tua itu seakan-akan tidak percaya akan yang telah dilihatnya. Sebagai seorang tua ia mempunyai tanggapan atas peristiwa yang terjadi hanya sekejap itu. Ketika ia sekali lagi mengangkat wajahnya dan memandang ke dalam taman, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Ia melihat seorang anak muda yang seolah-olah membantu sambil menundukkan kepalanya pula. Seorang anak muda dalam pakaian seorang pelayan dalam. Ken Arok.

Tiba-tiba tubuh emban tua itu menjadi gemetar, seperti Permaisuri Ken Dedes. Namun dengan susah payah pemomong itu berhasil mempertahankan keseimbangan nalarnya. Dengan sepenuh kesadaran ia berhasil menguasai dirinya. Sehingga kemudian dengan sareh ia bertanya, “Tuan Puteri, kenapa Tuan Puteri berhenti di sini?”

“O” Ken Dedes tergagap, “Tidak bibi, tidak apa-apa.”

“Apakah Tuan Puteri akan memasuki taman?”

“Ya, ya” sahut Ken Dedes yang perlahan-lahan telah berhasil menguasai dirinya, “Aku akan pergi ke taman.”

“Marilah Tuan Puteri.”

Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Ia berjuang untuk tidak hanyut lagi dalam arus goncangan perasaan seperti kemarin, yang dengan tiba-tiba ia telah dihempaskan ke dalam suatu keadaan yang tidak disangka-sangka, sehingga ia tidak mempunyai persiapan apapun untuk menghadapinya. Kini ia berada dalam keadaan yang lebih baik dari kemarin, meskipun dadanya masih juga terasa terguncang. Pengakuan Ken Arok tentang bunga yang dipindahkannya dari Panawijen ke dalam dadanya membuatnya hampir-hampir kehilangan kesadaran.

Ken Dedes itu mengangguk ketika sekali lagi emban pemomongnya mendesak, “Marilah Tuanku.”

“O” Permaisuri itu berdesah. Kemudian dengan berat diangkatnya kakinya dan melangkah maju memasuki taman.

Para emban yang lain sama sekali tidak memperhatikan peristiwa yang terjadi tidak terlampau lama itu. Mereka hanya menyangka bahwa Ken Dedes menjadi ragu-ragu karena teringat keadaannya kemarin. Atau semula mereka menjadi agak cemas jangan-jangan Permaisuri akan terserang penyakitnya yang kemarin itu pula.

Tetapi, ketika Permaisuri itu kemudian melangkah maju, mereka sama sekali sudah melupakannya. Mereka sudah mulai berbisik-bisik lagi di antara mereka. Mereka mulai memperkatakan diri mereka sendiri. Ada pula yang memperkatakan jenis-jenis bunga yang menjadi semakin banyak, dan ada pula yang menjadi heran, apa saja kerja pelayan dalam yang cakap itu di dalam taman sepagi ini? Tetapi, mereka tidak melihat sorot mata Ken Arok yang seolah-olah akan membakar tubuh Permaisuri Ken Dedes itu.

Dengan kaki gemetar Ken Dedes memasuki taman. Segera ia pergi ke arah yang barlawanan dari tempat Ken Arok berdiri mematung. Permaisuri itu tidak membalas dan bahkan seakan-akan tidak melihat, ketika dengan penuh hormat Ken Arok menganggukkan kepalanya dalam-dalam.

“Hem” Ken Arok itu berdesah di dalam dadanya, “Burung-burung akan menjadi gila melihat kecantikannya di cemerlangnya pagi.” Dan matanya hampir-hampir tidak berkedip melihat Permaisuri yang kemudian membelakanginya. Ken Arok itu pun tidak melihat, bahwa sepasang mata wanita tua selalu memperhatikannya dengan saksama.

Di sudut taman itu kemudian Permaisuri berhenti dan duduk di atas sepotong kayu yang di alasi dengan kulit domba yang lunak. Dicobanya untuk memandangi ujung dedaunan yang sedang bersemi dan kuncup-kuncup yang hampir mekar. Namun matanya seolah-olah tidak melihatnya. Pandangannya yang kosong bergerak-gerak tidak menentu, sama sekali tidak sejalan dengan rabaan ujung jarinya yang lentik.

Emban tua pemomongnya duduk bersimpuh di atas rerumputan meskipun masih basah oleh embun. Terasa getar di dadanya seolah-olah menjadi semakin cepat. Sekali-kali ia masih mencoba memandangi Ken Arok yang masih berdiri di tempatnya, tanpa menghiraukan dua orang juru taman yang lewat di mukanya sambil menjinjing parang menyabit rumput. Ken Arok pun sama sekali tidak melihat juru taman itu kemudian menghilang di balik regol butulan, karena ia tidak dapat meneruskan pekerjaannya justru di dalam taman itu sedang hadir Permaisuri Ken Dedes.

Betapapun pahitnya, namun emban tua itu telah memberanikan diri berkata kepada dirinya sendiri, “Inilah agaknya yang telah membuat Permaisuri menjadi murung.” Namun sebuah pertanyaan telah terselip di dadanya pula, “Tetapi, kenapa dengan tiba-tiba. Perasaan yang demikian akan tumbuh dengan perlahan-lahan karena mereka telah sering betemu. Ken Dedes tidak baru kemarin melihat anak muda yang bernama Ken Arok itu dan sebaliknya.”

Emban itu tidak segera dapat menemukan jawabnya. Tetapi, sesuatu yang hampir pasti, “Ken Dedes telah dipengaruhi oleh perasaan seorang perempuan atas seorang laki-laki.”

Tangkapan emban tua itu atas sikap Ken Dedes telah membuatnya sangat prihatin. Meskipun ia belum yakin akan kebenarannya, namun ia condong pada dugaan itu. Ia tidak melihat alasan lain yang dapat dipakainya untuk menilai keadaan Permaisuri.

Ternyata Ken Dedes juga tidak lama berada di dalam taman. Ia tidak berjalan-jalan melihat-lihat seperti biasanya, dan memetik kuncup bunga untuk di bawa ke dalam biliknya. Ia hanya sekedar duduk dan termenung. Kemudian berdiri dan berkata kepada pemomongnya, “Kita akan kembali emban.”

Emban tua itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada yang dalam ia menjawab, “Marilah Tuan Puteri.”

Permaisuri itu pun kemudian berjalan perlahan-lahan meninggalkan tempat duduknya. Sejenak matanya beredar ke seluruh taman. Agaknya ia sedang mencari sesuatu. Emban tua itu masih saja selalu memperhatikannya. Ken Arok memang sudah tidak berdiri di tempatnya lagi. Tetapi, emban tua itu tahu pasti, bahwa Ken Arok tidak akan pergi terlamapau jauh. Ia pasti berada beberapa langkah saja dari regol.

Dugaan emban tua itu tepat. Begitu Permaisuri melangkahkan kakinya keluar regol taman, langkahnya itu pun tertegun. Wajahnya kemudian menjadi pucat, dan keringat dingin mengembun di keningnya. Sekilas pandangan matanya berbenturan dengan tatapan mata Ken Arok yang seolah-olah telah membakar jantungnya. Kemudian pandangan matanya itu pun jatuh di atas tanah yang di tumbuhi oleh rerumputan yang hijau.

Permaisuri itu menjadi bingung ketika Ken Arok membungkukkan kepalanya dalam sambil bertanya perlahan-lahan, “Ampun Tuanku. Tuanku hanya sebentar sekali berada di dalam taman.”

Keringat dingin semakin banyak mengalir di kening dan punggungnya. Terbata-bata ia menjawab, “Ya, ya. Aku sudah terlampau lelah.”

“Bukankah Tuanku baru saja datang ke dalam taman ini?”

“Ya” Ken Dedes mengangguk.

“Dan sekarang Tuanku telah kembali ke istana?”

“Ya.”

Ken Arok pun menjadi bingung, apa yang akan dikatakannya. Namun sekali lagi ia mencoba memandang wajah Permaisuri itu walaupun hanya sekilas, kemudian berkata pula, “Silahkan Tuanku.”

“Oh” Ken Dedes tergagap. Sambil meremas tangannya sendiri, ia berkata, “Aku akan kembali ke istana.”

Ken Arok tidak menyahut lagi. Sambil membungkuk dalam-dalam ia melangkah surut, seolah-olah memberi kesempatan kepada Permaisuri untuk berlalu.

Ken Dedes pun tidak mengucapkan sepatah kata lagi. Dengan dada yang berdebar-debar ia berjalan langsung masuk ke dalam biliknya. Hanya emban pemomongnya sajalah yang mengikutinya sampai ke dalam bilik. Yang lain segera berkumpul di ruang belakang. Mereka sama sekali tidak menghiraukan lagi apa yang telah terjadi. Mereka telah mulai lagi berbicara tentang diri mereka sendiri. Saling mengganggu dan mengejek.

Sementara itu, Ken Dedes langsung berbaring di pembaringannya tanpa berganti pakaian. Permaisuri itu hampir-hampir tidak tahu, bahwa emban pamomongnya duduk bersimpuh di sampingnya, apabila emban itu tidak bertanya, “Apakah Tuanku tidak akan berganti pakaian dahulu?”

“Oh” Permaisuri itu berpaling, “Aku terlampau lelah bibi. Nanti sajalah.”

Emban tua itu menggigit bibirnya. Sambil mengangguk-angukkan kepalanya ia bertanya, “Apakah hamba diperkenankan untuk meninggalkan bilik Tuanku?”

“Tunggu bibi” jawab Permaisuri itu sambil bangkit dari pembaringannya. Namun sejenak kemudian ia berkata, “Ah, baiklah. Aku kira tidak ada yang harus kau lakukan pagi ini.”

“Hamba Tuanku. Kalau begitu, hamba akan mohon diri.”

Dahi Ken Dedes itu berkerut. Agaknya ia sedang memikirkan sesuatu. Namun kemudian ia mengangguk, “Baiklah emban. Tetapi, jangan pergi jauh. Mungkin aku memerlukanmu.”

Emban tua itu pun segera meninggalkan bilik itu. Tetapi, ia tidak pergi seperti pesan Permaisuri. Ia duduk saja di depan bilik itu sambil merenung. Tiba-tiba, pandangan mata emban tua itu menjadi kabur. Ketika ia mengusap matanya, terasa tangannya menjadi hangat. Setitik air telah melelah dari mata yang tua itu. Satu-satu terbayang berbagai macam kenangan masa lampau. Sejak ia merawat seorang gadis padepokan yang masih kecil. Gadis yang kemudian mekar menjadi sekuntum bunga di lereng Gunung Kawi. Namun ketika bunga itu mulai kembang, seakan bertiup badai yang kencang, mengguncang-guncangnya dan menghentak-hentakkannya tanpa belas kasihan.

Terbayang kembali di dalam angan-angan emban tua itu, betapa ia mencoba melindungi gadis itu dari renggutan tangan Kuda Sempana. Terbayang pula sepasukan prajurit di bawah pimpinan Tunggul Ametung sendiri merampas gadis itu. Yang terakhir, Ken Dedes adalah seorang Permaisuri dari Akuwu Tunggul Ametung. Terkilas pula seleret kenangan tentang Wiraprana, dan kemudian tentang anaknya sendiri Mahisa Agni.

“Hem” emban tua itu berdesah. Dicobanya untuk mengusir kenangan yang telah mengganggu ingatannya itu.

“Tidak ada gunanya” katanya kepada diri sendiri ”Semuanya itu sudah berlalu. Yang sekarang dihadapi oleh Ken Dedes adalah suatu masa yang terlampaui di masa remajanya. Sepeninggal Wiraprana, maka ia merasa kehilangan hari-hari yang penuh dengan angan-angan tentang masa depan. Perkembangan keadaan telah melemparkannya ke dalam istana. Dengan susah payah Ken Dedes berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan menekan semua perasaannya, dengan berusaha melupakan masa-masa yang hilang itu. Namun agaknya kini tiba-tiba saja, masa itu tumbuh kembali dalam hatinya yang semula telah menjadi hambar. Agaknya anak muda yang berpakaian seperti pelayan dalam itulah yang telah melemparkannya kembali ke dalam dunia angan-angan, seorang gadis remaja.”

Sekali lagi emban tua itu mengusap matanya yang menjadi panas. Dan sekali lagi terasa setitik air mata telah pecah di pelupuknya. “Apakah akan jadinya apabila perasaan ini berkembang terus di dalam hatinya?” berkata orang tua itu kepada diri sendiri, “Apalagi, menilik sikap Ken Arok yang pasti akan menanggapinya” emban itu berdesah, “Ya, laki-laki manakah yang akan menolak tumpahan kasih dari seorang perempuan secantik Ken Dedes?”

Emban tua itu kemudian bangkit berdiri dan menjengukkan kepalanya dari pintu yang tidak digerendel. Ia menarik nafas dalam-dalam ketika dilihatnya Permaisuri Ken Dedes itu tidur dengan nyenyaknya. Bibirnya yang tipis membayangkan sebuah senyuman yang aneh. Karena Permaisuri itu tidur, maka emban itu pun kemudian meninggalkannya setelah pintunya di tutup rapat. Kepada seorang emban yang lain, ia berpesan untuk menungguinya di luar pintu apabila Permaisuri itu memerlukan seseorang untuk membantunya.

“Mudah-mudahan Akuwu segera kembali” emban itu mengharap di dalam hatinya, “Apabila suaminya ada, maka Permaisuri itu akan tidak mendapat kesempatan untuk berpikir tentang hal-hal lain yang dapat menyeretnya ke dalam malapetaka.”

Tetapi, ternyata hari itu pun Akuwu masih belum kembali. Karena itu, maka Ken Dedes masih mendapat kesempatan yang luas untuk merenungkan mimpinya yang indah. Ketika emban tua itu kembali ke bilik Ken Dedes di sore hari, sekali lagi hatinya berguncang. Permaisuri yang masih belum mandi, tetapi masih mengenankan pakaian yang dipakainya turun ke taman, sedang bercakap-cakap dengan Ken Arok di tangga serambi belakang. Meskipun anak muda itu bersikap terlampau hormat kepada Ken Dedes, namun emban tua itu tidak dapat menyangsikan lagi menilik tatapan mata keduanya.

“Betapa malang nasib anak itu, apabila ia tidak berhasil merenggut dirinya dari tangan iblis ini” desisnya.

Tetapi, emban tua itu tidak segera dapat berbuat sesuatu. Kehadirannya agaknya telah mengganggu percakapan kedua orang itu, sehingga dengan hormatnya Ken Arok membungkukkan kepalanya sambil berkata, “Ampun Tuan Puteri. Hamba akan melanjutkan tugas hamba, mengelilingi istana di bagian dalam.”

“Pergilah” jawab Ken Dedes sambil tersenyum.

Sepeninggal Ken Arok, Ken Dedes kembali masuk kebiliknya, dan kembali ia meletakkan tubuhnya di pembaringan.

“Tuan Puteri” berkata emban tua itu, “Apakah Tuan Puteri tidak hendak mandi dahulu?”

“Sebentar lagi emban. Aku baru saja bangun tidur.”

“Apakah tidak dilayankan makan siang bagi Tuan Puteri?”

“Aku baru bangun bibi. Aku memang belum makan.”

“O, kalau begitu, Tuan Puteri sebaiknya mandi dahulu. Kemudian hamba persilahkan untuk bersantap. Kalau Tuan Puteri terlampau lambat makan, mungkin Tuan Puteri akan menjadi tidak sehat badan hari ini.”

Permaisuri itu tersenyum sambil bangkit dari pembaringannya. Ditepuknya bahu emban tua itu. Katanya, “Kau terlampau baik bibi. Baiklah, aku akan mandi.”

“Biarlah hamba menyuruh menyediakan air hangat dahulu Tuan Puteri, sementara Tuan Puteri melepaskan sanggul. Nanti hamba tolong melepaskan pakaian Tuan Puteri.”

Ken Dedes tertawa. Jawabnya, “Baiklah.”

Emban tua itu pun segera memanggil seorang emban yang lain, dan memberitahukan bahwa Permaisuri akan mandi.

“Oh, tentu air panas itu belum tersedia. Tidak menjadi kebiasaan Tuan Puteri mandi terlampau cepat.”

Emban tua itu mengerutkan keningnya. Ditengadahkan wajahnya ke langit sambil bergumam, “Mengapa terlampau cepat?”

“Matahari masih terlampau tinggi. Tetapi, agaknya langit disaput oleh mendung.”

“Tidak apa. Permaisuri akan mandi sekarang” emban itu mengangguk. Kemudian ditinggalkannya emban tua itu dalam keragu-raguan.

“Apakah aku benar-benar telah menjadi pikun, atau memang aku sudah hampir menjadi gila” desisnya, “Aku sudah tidak mengenal waktu lagi. Tetapi, lebih baik mandi dahulu baru makan, daripada makan sekarang, kemudian sebentar lagi terus mandi” gumamnya.

Emban tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya ketika ia melihat Permaisuri itu setelah mandi, segera berkemas. Bukanlah menjadi kebiasaannya pula untuk bersolek demikian lamanya, apalagi sekedar untuk pergi ke ruang makan. Agaknya apa yang terjadi, telah cukup bagi emban tua itu untuk meyakinkan tangkapannya atas hubungan antara Permaisuri dengan pelayan dalam yang tampan itu. Meskipun demikian emban tua itu sama sekali tidak segera dapat berbuat sesuatu. Meskipun ada niatnya untuk mencegah Ken Dedes semakin hanyut ke dalam arus perasaannya, namun ia masih belum menemukan waktu yang tepat untuk melakukannya.

Ternyata kehadiran Akuwu di hari berikutnya memberikan harapan bagi emban tua itu. Satu dua hari, Permaisuri telah mencoba mengisi kekosongan hatinya bersama Akuwu yang baru saja pulang dari berburu dengan hasil yang membuatnya terlalu bangga dan gembira. Akuwu berhasil membawa dua helai kulit harimau loreng, kijang dan beberapa jenis binatang buruan yang lain.

Tetapi, harapan emban tua itu kemudian menjadi pecah berserakan, seperti asap tertiup angin, ketika tiba-tiba saja ia melihat pertemuan seperti yang pernah dilihatnya. Meskipun tidak menumbuhkan kesan apapun bagi mereka yang tidak memperhatikan perkembangan keadaan Permaisuri saat-saat terakhir, namun bagi emban pemomong yang mengenal Ken Dedes seperti ia mengenal dirinya sendiri itu, menangkap semua persoalan dengan hati yang pedih.

“Akuwu memang terlampau mementingkan dirinya sendiri. Kesenangan sendiri terlalu banyak mendapat perhatiannya, sehingga Permaisurinya kadang-kadang merasa terlampau dikesampingkan. Dan Permaisuri itu adalah seorang perempuan yang merindukan kasih sayang.”

Emban tua itu melihat perkembangan keadaan Ken Dedes seterusnya seperti melihat seorang bayi yang merangkak-rangkak di pinggir sumur yang dalam. Namun ia tidak mempunyai cukup keberanian untuk mencegahnya, sehingga yang dapat dilakukan adalah hanya sekedar mengelus dada.

Selagi Akuwu semakin tenggelam ke dalam kesenangan sendiri, maka Ken Dedes pun menjadi semakin jauh terdorong ke dalam dunia yang hitam. Setiap kali Akuwu melupakan waktu dan isterinya apabila ia sudah berada di dalam lingkaran sabung ayam. Kemudian membenamkan diri ke dalam biusan minum tuak bersama beberapa pemimpin Tumapel yang lain. Mereka berebut mendapatkan hati Akuwu dengan caranya masing-masing, sehingga kadang-kadang Akuwu tidak menyadari bahwa dirinya semakin jauh terseret ke dalam kehidupan yang dapat membahayakan dirinya dan bahkan Tumapel. Ketidak-puasan telah merajalela hampir di segenap kalangan.

Yang paling berprihatin dari semua orang terdekat dengan Akuwu adalah Witantra. Ia melihat Akuwu yang sekarang ini, agak berbeda dari Akuwu beberapa saat yang lampau. Meskipun Akuwu sejak ia menduduki tempatnya bukan orang pemimpin yang sempurna, namun pada waktu itu, masih ada harapan bahwa Akuwu, berkembang ke arah yang baik, namun yang terjadi adalah sebaliknya. Witantra tidak tahu, apakah sebabnya. Tetapi, akibat yang terjadi membuatnya cemas.

Hubungan antara Akuwu dan Permaisurinya pun semakin lama menjadi semakin aneh. Akuwu merasa bahwa Ken Dedes bersikap terlampau dingin sehingga ia memerlukan isi dari kekosongan hidupnya dengan berbagai macam kesenangan. Tuak, sabung ayam, berburu dan mengadakan pertemuan-pertemuan makan bersama dengan para pemimpin Tumapel yang lain.

“Aneh” kata Witantra kepada diri sendiri, “Semuanya seolah-olah terjadi menurut rencana yang telah tersusun lebih dahulu. Kedudukan Akuwu yang meluncur ke dalam keadaan yang sulit. Seolah-olah ada golongan di dalam istana yang dengan sengaja menyeret Akuwu ke dalam kesulitan. Sedang di luar istana ada golongan yang meniup-niupkan ketidak puasan atas keadaan yang sekarang ini berlaku.”

Tetapi, Witantra tidak dapat mengetahui, jaring-jaring yang sebenarnya memang sudah terpasang di dalam dan di luar istana. Tidak seorang pun dari para pemimpin yang menyadari saluran manakah sebenarnya yang telah mengalirkan segala macam kabut yang buram ke dalam istana dan seluruh wilayah Tumapel ini. Witantra kadang-kadang menjadi heran, dari manakah kemewahan yang akhir-akhir ini tampak membanjiri istana Tumapel. Adalah tidak masuk di akalnya bahwa setiap kali satu dua orang pemimpin pemerintahan Tumapel itu datang memberikan pisungsung berupa kelengkapan dari sebuah bujana mewah.

Kesimpulan Witantra adalah, “Pasti ada pihak yang sengaja menjerumuskan Akuwu ke dalam kesulitan. Tetapi, untuk mencarinya di perlukan waktu dan ketekunan. Jalur-jalur itu agaknya dikemudikan oleh seorang yang luar biasa.”

Kesimpulan itu telah membuat Witantra menjadi semakin waspada. Seolah-olah ia tidak sampai hati melepaskan Akuwu seorang diri tanpa pengawasannya meskipun hanya sekejap. Namun, Witantra tentu tidak akan dapat berbuat sepanjang waktu. Suatu ketika ia harus pulang ke rumah, dan suatu ketika Akuwu berada di bilik Permaisurinya sehingga Akuwu itu pada saat-saat tertentu terlepas dari pengawasannya.

Tetapi, agaknya kesempatan bagi Witantra untuk mengawasi Akuwu itu pun menjadi semakin terbatas karena Akuwu sendiri agak menjauhkannya dari pergaulan istana. Bahkan kadang-kadang Akuwu itu dengan kasar berkata kepadanya, “Kau adalah pemimpin pasukan pengawal Witantra. Aku hanya memerlukan kau dalam keadaan yang berbahaya. Aku tidak perlu pengawalanmu selagi aku tidur, makan dan minum bersama para pemimpin Tumapel.”

Witantra hanya dapat mengelus dadanya. Tetapi, ia tidak dapat berbuat apa-apa. “Aku tidak mengerti guru” berkata Witantra kepada gurunya pada suatu ketika, “Tetapi, keadaan berkembang ke arah yang tidak seharusnya.”

“Ya Witantra” sahut gurunya, “Aku juga melihat ketidakpuasan tersebar dimana-mana.”

“Itulah yang membuat aku prihatin. Tetapi, Akuwu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk mencari sumber dari malapetaka yang dengan perlahan-lahan menerkam Tumapel.”

Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya ia masih ingin mengatakan sesuatu, tetapi kemudian bahkan ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Witantra melihat sesuatu tersirat di wajah gurunya, tetapi ia tidak berani bertanya.

“Witantra” berkata gurunya, “Kau harus bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Awan yang hitam memang sedang menyelubungi Tumapel.”

“Apakah yang harus aku lakukan guru?”

“Sudah tentu, bahwa kau dapat mulai dengan dirimu sendiri. Sudah datang waktunya bagimu Witantra, bahwa kau harus menyempurnakan ilmumu. Selagi aku masih hidup dan masih cukup tenaga untuk membimbingmu.”

“Tetapi guru, aku tidak dapat meninggalkan istana untuk waktu yang lama pada saat ini.”

“Kau tidak perlu meninggalkan tugasmu. Aku memerlukan kau di setiap malam untuk beberapa hari saja. Di siang hari kau tetap dalam tugasmu” gurunya berhenti sejenak, “Sudah tentu bahwa kau tidak akan segera menjadi sempurna dengan cara itu. Tetapi, setidak-tidaknya kau memiliki beberapa bekal yang lebih banyak dari bekalmu sekarang. Apabila kau mempunyai waktu kelak, kau harus mengurung dirimu untuk waktu yang agak lama.”

Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Inilah yang dapat dilakukan untuk sementara. Selagi asap yang hitam kemelut di atas Tumapel, pemimpin pasukan pengawal itu telah menempa dirinya sendiri. Namun dengan demikian, jarak antara Akuwu Tunggul Ametung dengan Witantra pun menjadi semakin jauh. Witantra memerlukan waktu untuk kepentingannya sendiri, sehingga apabila tidak diperlukan oleh Akuwu ia tidak membuang waktunya hadir dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan di istana. Witantra lebih senang pergi ke padang agak jauh di luar kota Tumapel bersama gurunya, mesu diri untuk mendapatkan kelengkapan yang lebih banyak lagi dari ilmunya.

Tetapi, pada suatu kali Witantra terkejut ketika gurunya berkata kepadanya, “Witantra, apakah kau tidak memperhatikan adikmu akhir-akhir ini?”

“Siapakah yang guru maksudkan? Mahendra atau Kebo Ijo?”

“Mahendra telah melepaskan diri dari persoalan yang menyangkut istana dan pemerintahan. Ia lebih senang bekerja sendiri pada dunianya. Ia lebih senang memelihara tanahnya dan berternak yang agaknya dapat memberinya kepuasan.”

“Jadi Kebo Ijo yang guru maksud?”

Gurunya menganggukkan kepalanya.

“Bagaimana dengan Kebo Ijo?”

“Aku melihat beberapa perubahan. Bukan pada watak dan sifatnya yang dibawanya sejak lahir dan akan dibawanya pula mati kelak. Tetapi, pada kehidupannya. Aku melihat yang kurang wajar padanya. Ia memiliki kekayaan yang tidak mungkin didapatkannya dengan cara yang wajar.”

“Ah, “Witantra mengerutkan keningnya, “Apakah guru yakin?”

“Seharusnya kau lebih dekat dengan anak itu daripada aku.”

Witantra mengerutkan keningnya. Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata, “Anak itu memang anak yang bengal. Tetapi, aku yakin bahwa ia tidak akan melakukan kejahatan dengan kesadarannya. Ia memang anak yang sombong dan terlampau tinggi hati, sehingga ia kadang-kadang lupa diri apabila ia mendapatkan pujian. Tetapi, dengan sengaja melakukan kejahatan, aku kira tidak guru.”

“Mudah-mudahan kau benar Witantra” jawab gurunya, “Tetapi, lihatlah pada suatu ketika. Mungkin kau akan tertarik untuk mengetahui, dari manakah ia mendapat semuanya itu.”

Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baik guru. Aku akan berusaha.”

Ternyata keterangan gurunya itu selalu mengganggu pikiran Witantra. Ia benar-benar berkeinginan untuk pada suatu ketika berkunjung ke rumah adik seperguruannya itu, dan menanyakan, bagaimanakah keadaannya sekarang. “Kalau benar kata guru, aku memang harus menyelidikinya. Apakah ia hanyut juga dalam arus yang agaknya kini sedang melanda Tumapel.”

Dalam kemelutnya kabut yang kelam, yang lambat laun namun pasti semakin mencekam Tanah Tumapal itu, Ken Dedes seolah-olah mendapat cukup kesempatan untuk setiap kali bertemu dengan Ken Arok. Seorang anak muda yang seakan-akan dapat menemukan kembali buatnya, apa yang pernah hilang. Masa remaja yang terlampaui dalam perjalanan hidupnya itu, kini seakan-akan telah didapatnya kembali.

Dengan demikian maka suami isteri Tunggul Ametung itu telah terjerumus ke dalam suatu pusaran lingkaran kegelapan yang tidak berujung pangkal. Akuwu Tunggul Ametung menenggelamkan dirinya dalam berbagai macam kesenangan, sabung ayam, tuak dan makan minum bersama para pemimpin Tumapel yang lain, karena ia ingin mengisi waktunya. Permaisurinya terlampau dingin dan sama sekali tidak memberinya kegairahan. Tetapi, Permaisuri merasa bahwa ia seakan-akan memang sudah tidak diperlukan lagi oleh Akuwu Tunggul Ametung, karena kesenangannya itu, sehingga ia menjadi dingin. Dan bahkan dicarinya sandaran bagi hatinya yang lemah.

Demikianlah Tumapel perlahan-lahan telah meluncur ke dalam suatu keadaan yang paling membahayakan kelangsungan hidupnya. Di arena sabung ayam, dalam samar-samar mabuk tuak, Akuwu sama sekali tidak ingat apa-apa lagi selain dirinya sendiri. Sama sekali tidak diingatnya lagi Permaisurinya yang ditinggalkannya sendiri. Sama sekali tidak diingatnya lagi, bagaimana ia pernah terpesona melihat cahaya yang memancar dari tubuh gadis Panawijen yang dilarikan oleh Kuda Sempana itu. Dan yang paling parah, bahwa ia kini sama sekali tidak mengetahui bahwa Permaisurinya sedang terjerat oleh kesepian dan kelemahannya.

Ken Arok melihat perkembangan Tumapel dengan hati yang berdebar-debar. Ia hanya mempunyai waktu lima bulan sejak ia mulai. Dan yang lima bulan itu kini telah hampir habis sama sekali. Tetapi, sebagian besar dari rencananya telah dapat dilakukannya. Tidak seorang pun yang melihat ia pergi hilir mudik ketengah-tengah hutan tempat ia menyembunyikan harta kekayaan yang tidak terkira banyaknya, yang telah bertahun-tahun dikumpulkan oleh sekawanan perampok yang dahsyat. Yang menjelajahi tidak saja telatah Tumapel, tetapi juga telatah Kediri yang lain.

Juga tidak ada seorang pun yang menaruh prasangka, bahwa setiap kali Permaisuri Ken Dedes sempat berbicara tentang harapan-harapan di masa datang dengan anak muda yang tampan itu. Namun, masih ada satu orang yang melihat perkembangan keadaan Ken Dedes dengan hati yang pedih. Ialah emban tua pemomong Ken Dedes yang dibawanya dari Panawijen. Bahkan kadang-kadang ia menangis seorang diri di dalam biliknya. Apakah akan jadinya dengan Permaisuri dan bahkan dengan Tumapel.

Dalam kepedihan itu selalu dikenangnya anaknya, Mahisa Agni yang masih saja berada di Padang Karautan. Anaknya yang sama sekali tidak menghiraukan kemewahan istana Tumapel. Mahisa Agni telah membakar dirinya dalam terik panas matahari di Padang Karautan untuk kepentingan orang banyak. “Alangkah jauh jaraknya” desis perempuan tua itu.

Dan tiba-tiba saja kerinduannya kepada anaknya telah membakar dadanya. Tetapi, ia tidak mendapat kesempatan untuk menengoknya. Apalagi dalam keadaan serupa ini. Tanpa dirinya di samping Ken Dedes, keadaan Permaisuri itu pasti akan menjadi semakin parah. Emban tua itu sama sekali tidak mempunyai tempat untuk menumpahkan kepepatan perasaannya. Tidak seorang pun yang dapat dibawanya berbincang mengenai keadaan yang mendebarkan jantung itu.

Sedangkan Ken Dedes sendiri, kini seolah-olah menjadi acuh tidak acuh saja kepadanya, meskipun kadang-kadang Permaisuri itu masih memerlukannya. Tetapi, tidak seperti dahulu. Kini Permaisuri baginya merupakan sebuah bilik yang tertutup. Kalau dahulu, ia dapat melihat, apa yang tersimpan di lubuk hatinya, kini Permaisuri itu merupakan sebuah rahasia baginya.

Namun, akhirnya emban itu tidak dapat lagi menahan dirinya. Kerinduannya kepada anaknya, kepepatan hati yang membuat dadanya serasa akan bengkah, dan seribu macam persoalan yang lain. Sehingga akhirnya pada suatu hari diberanikannya dirinya menghadap kepada Permaisuri dan mohon diri untuk beberapa hari saja.

“Kau akan pergi ke mana bibi?” bertanya Permaisuri.

“Hamba tidak dapat menahan rindu untuk mengunjungi Panawijen Tuanku. Panawijen yang lama dan yang baru, yang telah berkembang di tengah-tengah Padang Karautan.”

“Kenapa tiba-tiba saja kau merindukannya?”

“Hamba tidak tahu Tuanku. Tiba-tiba saja hamba merindukannya. Mungkin juga karena hamba ingin beristirahat barang sepekan.”

Permaisuri itu mengerutkan keningnya, dan sejenak kemudian ia berkata, “Baiklah bibi. Aku beri kau ijin untuk beberapa hari pulang mengunjungi kampung halaman. Salamku buat kawan-kawan sepermainan di masa kanak, salam buat kakang Mahisa Agni dan tetangga-tetangga yang baik di Panawijen.”

“Hamba Tuanku. Dan apakah Tuanku tidak berpesan apapun untuk Ki Buyut?”

“O, aku lupa bibi. Ya, salamku kepadanya. Mudah-mudahan ia berhasil memimpin Rakyat Panawijen untuk seterusnya.”

“Hamba Tuanku. Semua pesan akan hamba sampaikan.”

Permaisuri itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi, kemudian ia bertanya, “Tetapi, apakah kau dapat menempuh perjalanan sedemikian jauhnya?”

Emban itu menarik nafas dalam-dalam. Perjalanan ke Panawijen tidak dapat ditempuh dalam satu hari.

“Biarlah aku minta dua orang prajurit mengantarmu bibi” berkata Permaisuri itu pula, “Prajurit itu akan menunggu kau sampai kau nanti kembali ke istana. Aku tidak akan membatasi masa istirahatmu. Karena kau sudah menjadi semakin tua, maka adalah wajar sekali apabila kau memerlukan waktu untuk beristirahat.”

Emban itu mengangguk-anggukkan kepala. Terasa bahwa bagi Permaisuri, kepergiannya akan merupakan peluang yang lebih baik. Agaknya tidak akan ada orang lain yang selalu membayanginya seperti dirinya. “Terima kasih Tuanku” jawab emban itu, “Tetapi, prajurit itu tidak perlu menunggu hamba kembali. Besok akan hamba minta angger Mahisa Agni untuk mengantar hamba, apabila masa istirahat hamba telah selesai.”

Tiba-tiba wajah Permaisuri itu berkerut. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Itu tidak perlu bibi. Kau jangan menyusahkannya. Kakang Mahisa Agni mempunyai kewajiban yang berat di padukuhannya. Karena itu, lebih baik bagimu untuk membawa dua orang prajurit yang akan mengawanimu. Atas perintahku, kau dapat minta kepada kedua prajurit itu untuk melakukan apa saja yang kau perlukan di perjalanan. Bahkan di Panawijen sampai kau kembali lagi ke istana ini. Aku akan memberi mereka bekal yang cukup selama mereka berada di Panawijen.”

Emban tua itu menarik nafas dalam-dalam. Bagi emban yang sudah cukup umur itu, segera dapat menangkap kesan dari sikap Permaisuri itu. Ia tidak ingin bertemu dengan Mahisa Agni dalam keadaan seperti itu. Mahisa Agni akan menjadi penghalang pula baginya apabila kelak anak muda itu mengetahui, apa yang sudah terjadi di istana ini.

“Bukankah lebih baik begitu bibi?” bertanya Permaisuri itu.

Emban tua itu tidak dapat menjawab lain kecuali menganggukkan kepalanya dan berkata, “Hamba Tuanku. Titah Tuanku akan hamba junjung.”

“Nah begitulah. Kasihan kakang Mahisa Agni. Ia diperlukan di Padang Karautan setiap saat. Waktunya akan hilang, apabila kau minta ia mengantarmu.”

“Hamba Tuanku.”

“Dan kapan kau akan berangkat bibi?”

“Secepatnya Tuanku ijinkan.”

“Terserahlah kepadamu.”

“Besok pagi Tuanku.”

Permaisuri itu berpikir sejenak. Kemudian ia berkata, “Baiklah. Besok dua orang prajurit itu akan siap mengantarmu kembali ke Panawijen.”

Ketika fajar menyingsing di pagi harinya, dua orang prajurit telah siap untuk mengantar emban tua itu kembali ke Panawijen. Dengan bekal secukupnya, mereka pun segera minta diri kepada Permaisuri yang ternyata sudah bangun.

“Atas ijin Tuanku Akuwu Tungaul Ametung, dua orang prajurit itu akan mengantarmu. Atas ijin Tuanku Akuwu pula, kau dapat minta kepadanya untuk menolongmu apa saja yang kau perlukan. Dua prajurit itu diberi waktu tanpa batas menunggumu di Panawijen.”

“Terima kasih Tuanku.”

“Kau adalah emban pemomongku. Engkau adalah orang terdekat dengan aku sejak aku kanak-kanak. Karena itu, kau mempunyai beberapa kesempatan yang lebih baik dari orang lain.”

“Terima kasih Tuan Puteri. Kini perkenankanlah hamba berangkat. Hamba tidak akan terlalu lama.”

“Ambillah waktu secukupnya bibi. Aku tidak akan dapat memaksamu untuk bekerja terlalu keras. Kau sudah cukup tua, dan memang sudah waktunya untuk banyak beristirahat.”

Emban tua itu menarik nafas dalam-dalam. Terasa jantungnya seakan-akan tergores oleh tajamnya sembilu. Meskipun tampaknya Permaisuri itu memberinya kesempatan sebaik-baiknya, tetapi emban tua itu merasa bahwa ia memang sudah tidak diperlukan lagi.

“Ken Dedes sudah berubah” berkata emban itu di dalam hatinya. Namun tiba-tiba kepalanya menunduk semakin dalam. Dikenangnya masa remajanya sendiri. “Hidupku sendiri tidak sebersih kapas” emban itu berdesis kepada dirinya sendiri, “Bukan hanya satu nama laki-laki yang pernah menyangkut di hatinya, sehingga justru akhirnya keduanya tidak dimilikinya. Tetapi, aku mempunyai Mahisa Agni.” Emban tua itu pun kemudian berangkat meninggalkan istana. Ia tidak dapat menahan lagi ketika air matanya titik satu-satu.

Ken Dedes masih berdiri di tangga serambi belakang ketika emban itu hilang di balik regol. Setelah menarik nafas dalam-dalam, Ken Dedes kemudian melangkah kembali ke dalam biliknya. Baru ketika ia duduk di pembaringannya, terasa bilik itu menjadi sepi. Emban pemomongnya yang hampir setiap saat mengawasinya, kini telah pergi, tanpa diketahui lagi apakah ia akan segera kembali justru karena pesannya sendiri yang mendorong emban itu untuk berbuat demikian.

Ken Dedes mengerutkan keningnya. Terbayang wajah perempuan tua itu. Perasaan iba terungkit di dalam hatinya. Namun sejenak kemudian perasaan yang lain telah mendorongnya kesamping, “Emban tua itu hanya akan mengganggu saja di istana.”

Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia bangkit dan melangkah keluar. Dari sela-sela pintu ia melihat cahaya matahari pagi memercik di halaman belakang. Tiba-tiba saja ia melihat sinar itu terlampau cerah.

Sementara itu, emban tua pemomong Ken Dedes berjalan tertatih-tatih meninggalkan istana diantar oleh dua orang prajurit. Dengan sabarnya kedua orang prajurit itu mengikuti langkahnya yang lamban. Sekali-sekali emban tua itu berpaling, tetapi ia hanya dapat melihat dinding-dinding batu di sebelah menyebelah jalan.

“Bibi” salah seorang dari kedua prajurit itu bertanya, “Kenapa bibi yang sudah tua ini masih juga berhasrat menempuh perjalanan sejauh ini?”

“O, aku adalah orang Panawijen Ngger. Justru aku sudah tua aku ingin melihat kampung halaman. Panawijen pasti sudah jauh berubah. Panawijen lama kini pasti sudah menjadi padang rumput yang kering dan Padang Karautan akan menjadi padukuhan yang subur.”

Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, begitulah” berkata prajurit itu, “dalam saat-saat terakhir, kita sering merindukan kampung halaman. Tetapi, apakah bibi masih juga akan kembali ke Tumapel?”

“Ya ngger. Bibi memang ingin kembali ke Tumapel. Tuanku Permaisuri, bagiku sama nilainya dengan Padukuhan dan Padepokan Panawijen.”

“Berapa lama bibi akan tinggal di Panawijen?”

“Ijin Tuanku Permaisuri tidak terbatas Ngger. Tetapi, apakah Angger berdua tergesa-gesa kembali ke Tumapel?”

“O, tidak, tidak bibi. Ijin buat kami berdua pun tidak terbatas. Semakin panjang semakin baik, karena dengan demikian kami tidak usah bekerja apapun. Tidak usah bertugas jaga di malam hari dan tidak usah nganglang di siang hari.”

Emban itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Tetapi, bagaimana dengan keluarga Angger berdua?”

“Kami keduanya belum berkeluarga bibi.”

“Oh.”

“Kami masih belum mampu untuk memberi makan isteri dan apa lagi anak-anak nanti.”

“Ah. Aku tidak percaya” sahut emban itu, “Penghasilan Angger pasti cukup baik.”

Kedua prajurit itu tertawa, dan emban itu pun tersenyum pula. Dengan demikian, maka perjalanan itu tidak terasa terlampau melelahkan. Meskipun demikian, emban tua itu tidak dapat berjalan terlampau cepat karena ketuaannya. Namun emban tua itu bukan sekedar perempuan tua kebanyakan. Betapapun tipisnya, ia masih juga memiliki beberapa kelebihan dari perempuan-perempuan yang lain. Meskipun tidak terlampau mengagumkan, tetapi perempuan tua itu pernah mengisi kekosongan hidupnya dengan olah senjata, sehingga kemampuan jasmaniahnya masih juga berpengaruh sampai di hari tuanya.

Pengaruh itulah yang agaknya menolong emban tua itu dalam perjalanannya meskipun lambat. Kedua prajurit yang tidak mengenal emban itu sebelumnya menjadi heran, bahwa perempuan setua itu masih juga mampu melakukan perjalanan yang begitu jauh.

Dalam kemelutnya asap hitam di atas Tumapel, Ken Arok merasa tersiksa karena ia harus menunggu hari-hari yang ditentukan oleh Empu Gandring. Semua rencananya dapat berjalan sebaik-baiknya tanpa menumbuhkan kecurigaan meskipun ia harus selalu berhati-hati menghadapi Witantra. Tetapi, Witantra agaknya tidak banyak mempunyai kawan. Bahkan Kebo Ijo, adik seperguruannya, tidak lagi terlampau dekat dengan perwira pengawal itu. Kebo Ijo yang merasa kawan terdekat Ken Arok, menjadi semakin sombong dan merasa dirinya lebih besar dari kawannya yang lain. Sikap itu agaknya memang diusahakan oleh Ken Arok. Sedikit demi sedikit, sambil membuat Kebo Ijo itu menjadi seorang yang berkecukupan.

Dengan demikian, maka kebencian orang terhadapnya menjadi semakin meruncing. Sehingga kawan-kawannya menjadi pening memikirkan keanehan itu. Kenapa Ken Arok yang ramah dan rendah hati itu dapat berkawan demikian eratnya dengan Kebo Ijo?

Namun hari pun merambat betapa lambatnya. Siang menjadi malam dan malam menjadi siang. Satu-satu perputaran waktu pun telah dilampaui, sehingga bulan yang satu meloncat ke bulan yang lain. Beberapa hari sepeninggal emban pemomong Ken Dedes, Ken Arok menjadi semakin gelisah. Bulan ke empat telah lewati dan ia sudah berada di bulan yang kelima. Bulan yang dijanjikan oleh Empu Gandring. Pada saat-saat terakhir itu Ken Arok membuat penilaian kembali atas semua usahanya membentuk keadaan. Ternyata semuanya dapat berjalan sesuai dengan rencananya, sehingga waktunya memang telah matang untuk melakukan niatnya.

Maka pada saat yang telah dinanti-nantikan, setelah lima bulan penuh ia menunggu, sampailah saatnya ia pergi ke Lulumbang untuk mengambil kerisnya. Tetapi, tidak seorang pun yang tahu, apa yang akan dikerjakannya, Ken Dedes pun tidak. Meskipun Ken Arok minta diri pula kepada Permaisuri itu bahwa ia akan pergi untuk beberapa hari, tetapi ia tidak berterus terang, apakah yang akan dilakukannya.

Setelah mendapat ijin dari Akuwu, maka Ken Arok pun segera meninggalkan istana pergi ke Lulumbang. Meskipun pada mulanya ia disentuh pula oleh keragu-raguan, namun kemudian ia menggertakkan giginya sambil berkata, “Semua sudah terlanjur. Aku sudah menyeberang sampai ke tengah-tengah. Terus atau kembali, aku sudah terlanjur basah. Karena itu, aku kira sudah tidak ada gunanya berpikir lagi.”

Dan Ken Arok pun menjadi semakin mantap. Permaisuri yang cantik itu selalu membayanginya. Apalagi cahaya yang memancar dari tubuhnya. Perempuan dari Panawijen itu ternyata memiliki suatu kelengkapan yang tidak ada bandingnya. Sebagai seorang perempuan kecantikannya tanpa cacat, dan sebagai seseorang yang bercita-cita maka Ken Dedes akan dapat memberikan suatu kedudukan yang paling tinggi diatas bumi.

Karena itu, untuk mendapatkannya, apapun akan dikorbankannya. Siapapun yang harus disingkirkan, akan disingkirkan. Siapa yang dapat menjadi penghalang pasti harus dimusnakan. Harga Ken Dedes tidak dapat diperbandingkan dengan siapapun, sebab Ken Dedes adalah suatu lambang dari kesempurnaan seorang perempuan. Ia akan memberikan kecantikannya dan bumi seisinya.

Dengan pendirian yang matang Ken Arok dengan tergesa-gesa pergi ke Lulumbang. Semakin cepat semakin baik. Tetapi, harus di jaga bahwa rahasianya tidak akan diketahui oleh siapapun juga. Tidak boleh seorang pun menjadi saksi atas segala perbuatannya itu.

Sementara itu emban tua pemomong Ken Dedes telah sampai pula di Padang Karautan. Hampir saja ia tidak dapat menahan gejolak di dadanya ketika ia melihat Mahisa Agni menyongsongnya. Dipeluknya anak laki-lakinya itu sambil menangis, bagaimanapun juga ia mencoba menahannya. Tetapi, setitik-titik air matanya menetesi dada Mahisa Agni.

Mahisa Agni tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja ibunya menangis. Ibunya adalah seorang perempuan yang tabah. Hampir tidak pernah ia melihat keadaan perempuan itu demikian, sejak ia kanak-kanak. Sejak ia belum mengenal bahwa perempuan itu adalah ibunya. Kedua prajurit yang mengantarkannya pun menjadi heran. Kenapa emban tua itu menangis ketika ia bertemu dengan Mahisa Agni. Sedang tangisnya pun mempunyai kesan yang menyentuh langsung pusat jantung.

Setelah mereka duduk, di dalam sebuah rumah yang kecil, yang telah dibangun oleh Mahisa Agni di tengah-tengah pedukuhannya yang baru, maka barulah Mahisa Agni dapat bertanya tentang keselamatan emban tua itu, dan tentang keselamatan Ken Dedes. Meskipun masih terisak, namun perempuan tua itu pun sempat pula bertanya tentang Mahisa Agni dan tentang Padang Karautan yang telah menjadi sebuah padukuhan yang subur.

“Kami senang tinggal di sini bibi” berkata Mahisa Agni kepada perempuan tua itu, “Kami tidak merasa berada di tempat yang asing, karena kami bersama-sama seluruh pedukuhan pindah ke tempat ini. Kami mencoba membuat pedukuhan pindah ke tempat ini. Kami mencoba membuat pedukuhanan kami yang baru ini seperti pedukuhan yang kami tinggalkan. Atas persetujuan kami bersama, kami telah membuat jalan-jalan di dalam pedukuhan ini seperti jalan-jalan di dalam pedukuhan yang kami tinggalkan. Kami membuat seolah-olah tempat tinggal kami yang baru ini, sejauh mungkin mencerminkan tempat yang kami tinggalkan meskipun tidak dapat sesuai benar.”

Emban tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Aku mengharap kalian berbahagia di tempat yang baru ini.”

“Tentu bibi. Tanah di sini adalah tanah yang baru saja ditanami. Tanah yang sebelumnya belum pernah dihisap makanannya kecuali oleh rerumputan liar dan gerumbul-gerumbul perdu.”

“Tentu kalian merasa senang tinggal di sini.”

“Tentu bibi. Kami merasa senang. Kami merasa berbahagia seperti Ken Dedes merasa berbahagia di dalam istana.”

“O” perempuan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi, diurungkannya kata-katanya. Bahkan kemudian ia berkata, “Aku sudah rindu untuk bertemu dengan tetangga-tetangga dan penghuni Padepokan Empu Purwa. Para emban dan cantrik. Apakah mereka juga tinggal di padukuhan ini?”

“Tentu bibi” sahut Mahisa Agni, “Seperti pada saat mereka tinggal di Panawijen, maka di sini pun mereka telah membangun sebuah padepokan.”

“Siapakah yang tinggal di dalam padepokan itu?”

Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, “Tidak ada bibi. Selain para emban dan cantrik.”

“Kau?”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi, kemudian ia berkata, “Aku tinggal di sini. Namun setiap kali aku juga berada di padepokan itu. Aku kira belum waktunya aku tinggal di dalam padepokan dalam suasana yang terlampau tenang. Aku masih harus mengikuti gejolak perkembangan pedukuhan ini. Aku masih harus melihat banjir yang melanda bendungan itu, dan aku masih harus berpikir, untuk memperbaiki jalan-jalan padukuhan ini, memperbaiki saluran air dan jalan-jalan. Kami masih belum berpindah dalam arti keseluruhan.”

Perempuan tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Ya, aku mengerti. Kau merasa belum waktunya menempuh kehidupan seperti gurumu. Bukankah begitu?”

“Bukan saja belum waktunya bibi, tetapi apakah aku dapat menempuh cara hidup seperti itu?”

Perempuan itu tidak menjawab. Ditatapnya mata Mahisa Agni tajam-tajam, seolah-olah ia ingin melihat langsung ke dalam hatinya. Tetapi, sejenak kemudian perempuan itu menundukkan kepalanya. Berbagai macam perasaan bercampur-baur di dalam dadanya. Apalagi apabila dikenangnya, bahwa anaknya itu, Mahisa Agni, pernah menyangkutkan hatinya kepada gadis puteri gurunya itu. Namun perasaan itu direndamnya di dalam lubuk hatinya, sehingga Ken Dedes sama sekali tidak mengetahuinya. Yang diketahui oleh gadis itu adalah, bahwa Mahisa Agni adalah kakak angkatnya, yang dikasihinya seperti kakaknya sendiri dan yang mengasihinya seperti adiknya sendiri.

Tetapi, emban tua itu tidak mengucapkannya. Bahkan kemudian, apa yang terendam di dalam hatinya seperti merendam duri di dalam daging, sama sekali tidak terucapkan pula. Bukan karena kedua prajurit itu ikut pula mendengar, tetapi pada kesempatan-kesempatan berikutnya, ketika ia berada berdua saja bersama anaknya itu, semuanya yang dibawanya dari Tumapel, tetap disimpannya di dalam hati.

Kadang-kadang memang terasa dadanya seakan-akan hendak retak menahan semuanya itu di dalam diri. Kadang-kadang memang tumbuh suatu keinginan untuk memuntahkannya keluar dan mengatakannya kepada Mahisa Agni untuk mengurangi kepepatan di dalam dadanya itu. Namun setiap kali mulutnya serasa terbungkam. Tidak sepatah katapun yang dapat diucapkannya tentang Ken Dedes dan tentang Ken Arok. Dengan demikian, maka beban itu masih tetap disimpannya rapat-rapat. Rahasia yang seakan-akan tidak dapat merembes barang setitik pun.

“Aku harus mendapat saluran yang lain,” desis perempuan itu, “Aku tidak mungkin mengatakannya kepada Mahisa Agni, yang terlibat langsung dalam persoalan ini. Kalau ia tahu apa yang terjadi, maka sakit hatinya pasti akan terangkat kembali.”

Sehingga akhirnya perempuan tua itu mengambil keputusan untuk tidak mengatakannya kepada Mahisa Agni. Tetapi, ia masih tetap memerlukan saluran untuk menumpahkan segala macam kepepatan di dalam hatinya. Karena itu, maka pada suatu ketika ia berkata kepada Mahisa Agni, “Mahisa Agni. Apakah kau bersedia membawaku kepada pamanmu Empu Gandring?”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Permintaan ibunya itu bukan suatu permintaan yang berlebih-lebihanan. Adalah wajar sekali bahwa keduanya itu saling merindukannya. Sehingga Mahisa Agni pun ternyata tidak berkeberatan sama sekali. “Kapan bibi akan pergi?”

“Secepatnya Agni. Waktuku tidak terlampau panjang. Aku harus segera kembali ke Tumapel.”

“Baiklah bibi, aku akan meyediakan sebuah pedati. Kita pergi bersama-sama di dalam pedati itu, sehingga kita akan dapat membawa bekal pula secukupnya.”

Perempuan tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah, dengan pedati aku tidak akan kelelahan. Tetapi, bagaimana dengan kedua orang prajurit itu?”

“Biarlah mereka menunggu bibi di sini.”

Perempuan tua itu menggelengkan kepalanya, “Tidak Agni. Biarlah mereka pergi bersama kita. Dari Lulumbang aku akan terus pergi ke Tumapel. Aku tidak dapat terlampau lama meninggalkan Tuan Puteri sendiri.”

“Bukankah ada berpuluh-puluh emban di istana, dan bukankah ada suaminya, Tunggul Ametung.”

Emban tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia berdesah, “Ya. Tetapi, kadang-kadang Permaisuri itu memerlukan aku. Aku adalah pemomongnya sejak kanak-kanak.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, “Syukurlah kalau Ken Dedes masih selalu mengingat masa kecilnya. Mudahkan ia tidak menjadi mabuk dibuai oleh kebahagiaan hidup di dalam istana yang mewah.”

Dada emban tua itu berdesir. Serasa sebuah goresan telah menambah luka di dinding jantungnya. Tetapi, ia tidak berkata apapun juga.

Mahisa Agni pun kemudian mempersiapkan sebuah padati yang dilengkapinya dengan bekal di perjalanan. Ia sendiri membawa seekor kuda. Kelak, apabila sampai saatnya ibunya kembali ke Tumapel, ia akan mengantarkannya pula bersama salah seorang cantrik pamannya. Pedati itu akan ditinggalkannya di Lulumbang. Sehingga cantrik itulah yang akan membawanya kembali ke padepokan pamannya. Dan ia akan kembali ke Padang Karautan dengan kudanya. Pamannya pasti memerlukannya. Sebuah pedati dengan sepasang, lembu yang baik.

Pada pagi hari berikutnya, Ki Buyut Panawijen, beberapa orang perempuan tua dan bebahu padukuhan itu, telah mengantarkan ibu Mahisa Agni sampai kepinggir desa. Mereka melepaskan emban tua itu dengan lambaian tangan dan senyum yang tulus. Sedang Ki Buyut Panawijen berpesan kepada Mahisa Agni, “Jangan terlampau lama di perjalanan Ngger. Tanah yang baru ini masih memerlukan kau.”

Mahisa Agni tersenyum sambil berkata, “Aku hanya akan meninggalkan tempat ini dalam beberapa hari saja Kiai.”

“Sokurlah. Aku sendiri masih harus mondar-mandir antara padang yang telah menjadi hijau ini dan Panawijen lama. Apabila kelak semuanya telah berpindah kemari, maka pekerjaan kita akan menjadi semakin ringan.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian sekali lagi ia minta diri untuk mengantarkan emban tua itu ke Lulumbang.

Sementara itu, Ken Arok telah berada pula di perjalanan. Dengan seekor kuda yang besar dan tegar ia berpacu ke Lulumbang. Kali ini ia tidak memakai kain panjang yang kumal dan kusut, apalagi berbekas darah. Tetapi, ia datang dalam pakaian yang lengkap sebagai seorang hamba istana. Namun satu hal yang masih akan diulanginya. Ia ingin datang ke rumah Empu Gandring pada malam hari, dimana sudah tidak terlampau banyak orang yang melihatnya.

Dengan dada yang berdebar-debar Ken Arok termenung di atas punggung kudanya. Sekali-kali diamatinya pakaiannya. Pakaian seorang hamba istana. Tetapi, sama sekali bukan pakaian seorang pelayan dalam. Yang dipakainya adalah pakaian yang lain, pakaian seorang prajurit pengawal. Setiap kali Ken Arok masih harus menggeretakkan giginya untuk mengusir keragu-raguannya. Ia sudah hampir sampai pada tujuannya. Karena itu ia sudah tidak ada pilihan lain daripada berjalan terus. Menyingkirkan semua hambatan dan menghilangkan jejak yang mungkin akan timbul.

Ternyata perhitungan Ken Arok cukup baik. Ia harus sampai di padepokan Empu Gandring pada malam hari. Dan sebenarnya ia telah memasuki padukuhan Lulumbang ketika matahari telah tenggelam. Dalam kegelapan malam Ken Arok memperlambat langkah kudanya. Bahkan beberapa lama ia berhenti di tikungan. Sekali lagi ia berusaha untuk meyakinkan dirinya, bahwa tidak mungkin ia melangkah surut. Ia harus berjalan terus.

Sambil menggeretakkan giginya Ken Arok maju lagi mendekati regol padepokan Empu Gandring. Ketika ia sudah berada di depan regol maka segera ia meloncat turun. Ken Arok menjadi berdebar-debar ketika ia melihat seorang cantrik berdiri di samping regol yang masih terbuka beberapa cengkang.

“Apakah regol itu memang dijaga?” ia bertanya kepada diri sendiri.

Tetapi, belum lagi ia sempat menemukan jawabnya, cantrik itu telah melangkah mendekatinya sambil bertanya, “Apakah tuan akan singgah di padepokan ini?”

Ken Arok mengangguk, “Ya. Aku akan singgah di padepokan ini. Apakah Empu Gandring ada?”

“Ada tuan. Empu Gandring ada di sanggarnya. Baiklah aku memberitahukan kepadanya.”

“Jangan” cegah Ken Arok, “aku akan datang ke sanggarnya saja. Dimanakah letak sanggar itu?”

Cantrik itu menjadi heran. Tetapi, ia menjawab juga ”Di situ tuan, di sebelah kiri pendapa.”

“Di gandok?”

”Di ujung gandok, tuan akan menjumpai sebuah rumah kecil menghadap ke Timur. Itulah sanggar Empu.”

“Terima kasih. Tolong jaga kudaku. Aku hanya sebentar. Aku adalah utusan Akuwu Tunggul Ametung. Aku seorang prajurit pengawal istana.”

Cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Selempang tali berwarna kuning yang menyilang di dada anak muda itu sangat menarik perhatiannya. Tali itu berjuntai di arah lambung, kemudian ujungnya terikat pada ikat pinggang di bawah keris yang tersisip di punggung. Tali itu adalah salah satu ciri pakaian seorang prajurit pengawal istana. Cantrik itu sama sekali tidak membayangkan bahwa prajurit yang gagah itu adalah seorang yang pernah datang ke padepokan ini lima bulan yang lalu dengan pakaian yang kumal dan kotor.

Seperti orang yang kehilangan kesadaran cantrik itu menerima kendali kuda Ken Arok. Dengan mulut ternganga ia melihat Ken Arok melingkari melintasi halaman langsung menuju ke ujung gandok. Seperti kata cantrik yang berdiri di regol sambil memegang kendali kudanya, Ken Arok melihat sebuah ruangan di ujung gandok dengan pintu tersendiri menghadap ke Timur. Itulah sanggar Empu Gandring.

Dengan hati-hati Ken Arok mendekat. Kemudian menyelinap dalam kegelapan. Dari celah-celah dinding ia mengintip ke dalam. Dilihatnya Empu Gandring duduk tepekur sambil memejamkan matanya. Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa Empu Gandring adalah seorang yang sakti. Namun, rencananya harus berjalan seperti yang dikehendakinya.

Sekali lagi Ken Arok mencoba mengintip. Selain Empu Gandring di dalam sanggar itu dilihatnya sebuah perapian yang padam. Sebuah paron dan beberapa perlengkapan yang lain. Agaknya di dalam sanggar itulah Empu Gandring bekerja membuat keris. Dada Ken Arok berdesir ketika tiba-tiba saja ia mendengar Empu Gadring itu berkata perlahan-lahan,

“Siapa di luar? Masuklah. Aku masih belum tidur.”

Ken Arok justru tertegun sejenak. Dengan hati-hati sekali ia mendekati sanggar itu, bahkan dengan kaki berjingkat. Ditahankannya jalan pernafasannya, dan dicobanya untuk tidak menimbulkan suara apapun. Ternyata Empu Gandring dapat mendengar desir yang betapapun lembutnya.

“Marilah, pintu masih terbuka.”

Ken Arok tidak dapat berbuat lain daripada berjalan ke pintu yang meskipun sudah tertutup namun tidak terkancing. Perlahan-lahan Ken Arok mendorong pintu lereg itu ke samping. Sambil menjengukkan kepalanya ia berkata lirih, “Aku Empu. Aku Ken Arok.”

“Oh” Empu Gandring terkejut. Dengan serta-merta ia berdiri menyongsong tamunya, “Marilah Ngger, marilah.”

Ken Arok pun kemudian melangkah masuk sambil berjalan terbungkuk-bungkuk. Dengan senyum yang membayang dibibirnya ia berkata, “Maaf Empu. Aku datang tidak pada waktu yang sepantasnya.”

“Marilah Ngger. Pintuku selalu terbuka kapan saja ada seorang tamu. Apalagi Angger Ken Arok.”

“Terima kasih Empu.”

Ken Arok pun kemudian duduk menghadap Empu Gandring yang mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan ramahnya orang tua itu bertanya tentang keselamatan tamunya selama ini dan sebaliknya. Ternyata ujung dari pertemuan itu telah memberikan kesan kepada Empu Gandring, bahwa Ken Arok yang sekarang agaknya telah berada dalam keadaannya yang wajar. Ramah, berwajah jernih dan rendah hati.

Memang Ken Arok telah berusaha sejauh-jauhnya untuk tidak merubah sifat dan kebiasaannya. Empu Gandring harus mendapat kesan, bahwa ia tidak sedang diburu-buru oleh suatu pekerjaan yang menegangkan syarafnya. Karena itulah, maka Ken Arok justru telah berada dalam kewajarannya kembali setelah lima bulan yang lalu datang kepadanya dengan sikap yang aneh.

“Apakah Angger datang dari Tumapel?” bertanya Empu tua itu, “Atau telah singgah kemanapun juga?”

“Tidak Empu. Aku sengaja datang kemari dari Tumapel.”

“Angger datang terlampau malam, sehingga aku tidak dapat segera menjamunya. Tetapi, baiklah aku lihat, barangkali para endang masih belum tidur.”

“Terima kasih Empu, terima kasih. Aku hanya sebentar saja.”

“Ah” Empu Gandring terkejut, “Angger selalu membuat aku bertanya-tanya seperti lima bulan yang lalu.”

Ken Arok tertawa, katanya, “Tidak Empu. Kedatanganku kali ini berbeda dengan kedatanganku lima bulan yang lampau. Saat itu aku sedang diburu oleh ketegangan syaraf setelah aku bertempur menghadapi beberapa orang perampok. Aku merasa bahwa aku benar-benar tidak berdaya menghadapi salah seorang dari mereka. Seolah-olah kulitnya kebal dan tidak mampu dilukai oleh senjata biasa. Pedangku sama sekali tidak mampu menyobek kulitnya, apalagi tulang-tulangnya. Karena itulah, dengan meninggalkan sopan santun aku telah berani memesan sebilah keris kepada Empu Gandring, didorong oleh ketegangan syaraf yang tidak teratasi.”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa prasangka apapun ia mendengarkan ceritera yang memang masuk akal itu.

“Kemudian, kedatanganku kali ini Empu” Ken Arok meneruskan, “Sekedar memenuhi janjiku saat itu untuk datang lima bulan lagi. Sebenarnya aku sudah tidak begitu memerlukannya sekarang Empu. Meskipun demikian, aku masih tetap ingin memilikinya, seandainya pada suatu ketika aku bertemu dengan orang itu, aku tidak perlu lagi lari tunggang langgang. Sudah tentu sebagai seorang prajurit aku akan malu sekali, kalau ada seseorang yang melihatnya saat itu. Lari terbirit-birit seperti dikejar hantu.”

Empu Gandring tersenyum mendengar ceritera Ken Arok itu, dan bahkan Ken Arok sendiri tertawa. “Angger Ken Arok telah berhasil mengendapkan perasaannya” berkata Empu Gandring di dalam hatinya, “Karena itu, aku kira ia sudah tidak berbahaya lagi. Meskipun demikian, aku harus melihat, apakah dalam waktu yang dekat ia tidak dirangsang lagi oleh ketegangan syaraf seperti lima bulan yang lalu. Karena itu, sebaiknya Ken Arok masih harus menunggu lagi beberapa hari.”

“Tetapi,” Empu Gandring kemudian berkata, “kenapa Angger sekarang begitu tergesa-gesa.”

“Aku tidak mendapat istirahat kali ini Empu. Karena itu, aku mempergunakan waktu yang sedikit itu untuk datang. Aku berangkat hari ini, dan besok aku harus sudah berada dalam tugasku lagi, supaya Tuanku Akuwu tidak marah kepadaku.”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Jadi Angger datang kemari sekedar mengambil pesanan Angger itu?”

“Ya Empu. Meskipun aku tidak begitu memerlukannya lagi, tetapi adalah menjadi kewajibanku untuk datang lagi memenuhi waktu yang sudah aku katakan, meski dalam keadaan apapun juga aku pada saat itu.”

Empu Gandring tertawa. Katanya, “Angger benar seorang yang bertanggung jawab atas segala kata-kata yang telah terucapkan.”

Ken Arok pun tertawa pula, “Tetapi, aku memang ingin mempunyai kenang-kenangan yang berkesan dari Empu Gandring.”

“Baiklah Ngger. Aku akan memenuhinya.” Empu Gandring menjadi ragu-ragu sejenak. Di dalam hatinya ia berkata, “Agaknya Ken Arok telah membuang waktu yang baginya pasti sangat berharga untuk mengambil keris itu sekedar karena ia sudah mengatakan untuk kembali dalam waktu lima bulan lagi. Tetapi, ternyata bahwa keris itu sengaja belum aku siapkan karena kecurigaan itu. Tetapi, apa boleh buat.”

Betapapun beratnya akhirnya Empu Gandring terpaksa berkata terus terang, “Tetapi, maaf Ngger. Sebenarnya keris itu masih belum siap.”

Seleret ketegangan menyambar wajah Ken Arok, bahkan rasa-rasanya darahnya pun telah berhenti mengalir. Namun sesaat kemudian kesan itu pun segera dapat dikuasainya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Sayang Empu. Aku ragu-ragu apakah aku pada suatu saat yang dekat akan dapat datang lagi kemari. Mungkin aku akan segera mendapat tugas yang lain.”

“Aku minta maaf Ngger. Biarlah aku berterus terang. Sebenarnya aku memang meragukan Angger pada saat itu. Sebenarnya membuat keris tidak memperlukan waktu terlampau lama. Tetapi, aku sengaja membuat jarak vang cukup panjang. Menurut perhitunganku waktu itu, seandainya Angger sedang bingung, maka dalam waktu lima bulan Angger telah mendapatkan ketenangan. Dan ternyata harapanku itu terjadi.”

“Tetapi, bukankah yang lima bulan telah lampau?” bertanya Ken Arok sambil tersenyum.

Empu Gandring pun tersenyum pula, “Ya, Ngger. Yang lima bulan memang telah lampau. Tetapi, aku belum melihat keadaan Angger. Kalau aku tahu Angger telah mendapatkan ketenangan itu, maka keris itu pasti sudah aku siapkan. Karena aku masih ragu-ragu, maka aku memang ingin bertemu dengan Angger dahulu. Kalau aku yakin bahwa Angger sudah tidak berbahaya, maka keris itu akan segera aku siapkan dalam sehari dua hari. Paling lama sepekan sesudah ini.”

Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Seolah-olah ia tidak kecewa sama sekali karena keris itu belum jadi. Sambil tersenyum ia kemudian berkata, “Tetapi, apakah aku boleh melihat keris itu Empu. Meskipun masih belum siap.”

“O, tentu-tentu. Keris itu sendiri sudah siap, tetapi aku belum memberinya, hulu yang baik. Aku baru sekedar memberinya untuk sementara.”

“Apabila Kiai tidak berkeberatan, aku minta ijin untuk melihatnya sebentar Kiai.”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian ia tampaknya masih juga ragu-ragu. Karena itu ia tidak segera beranjak dari tempatnya.

Ken Arok melihat keragu-raguan yang membayang di wajah Empu Gandring. Maka katanya sambil tersenyum pula, “Mungkin ada pantangan Empu, bahwa keris yang masih belum siap benar, tidak boleh dilihat oleh calon pemiliknya.”

“Ah tidak Ngger, tidak” jawab Empu Gandring dengan serta merta, “sudah aku katakan sebenarnya keris itu sudah siap. Aku tinggal menghaluskannya sedikit dan membuat hulunya.”

Empu Gandring pun kemudian berdiri dan melangkah ke sudut sanggarnya. Dari dalam geledeg bambu diambilnya sebilah keris yang masih belum diberinya wrangka. Tangkainya masih sangat sederhana karena hulu yang sebenarnya masih belum dipasangnya juga.

Melihat keris itu hati Ken Arok menjadi berdebar-debar. Meskipun ia belum merabanya, namun kilatan wilahannya telah membuatnya yakin, bahwa keris itu adalah keris yang pilih tanding.

Perlahan-lahan Empu Gandring berjalan ke tempatnya kembali. Diamat-amatinya keris itu. Kemudian katanya, “Aku masih harus memandikannya sekali lagi. Kemudian memberinya hulu yang sesuai dengan nilai keris ini. Aku telah memilih baja yang paling baik yang ada padaku.”

Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun tampaknya ia masih duduk saja dengan tenang, namun keringat dingin telah mengaliri seluruh punggungnya. Tangannya yang gemetar seolah-olah ingin segera merebut keris itu dari tangan Empu Gandring yang masih asyik mengamat-amatinya.

“Mudah-mudahan keris ini sesuai dengan kau Ngger. Seorang prajurit yang gagah berani, yang tidak mengenal takut menghadapi kesulitan apapun.”

“Ya Kiai” jawab Ken Arok pendek.

“Sudah lama aku ingin membuat keris serupa ini. Dan sekarang aku telah berhasil. Seandainya yang datang sekarang ini Angger Ken Arok lima bulan yang lalu, maka aku kira keris ini tidak akan aku tunjukkan. Bahkan mungkin pada saatnya aku akan memberikan keris yang lain lagi. Tetapi, Angger kini telah meyakinkan aku. Karena itu maka keris ini akan aku serahkan kelak apabila sudah siap sekali.”

Ken Arok mengumpat-umpat di dalam hati. Seakan-akan ia ingin meloncat menerkam keris itu. Tetapi, ia masih tetap harus bersikap tenang dan tidak mencurigakan. Selama keris itu masih di tangan Empu Gandring, maka ia masih harus menahan dirinya sejauh-jauh dapat dilakukan. Ia tidak boleh menimbulkan kecurigaan pada orang tua itu, supaya Empu Gandring tidak mengurungkan niatnya, menunjukkan keris itu kepadanya. Karena itu, betapa dadanya berguncang-guncang, namun ia masih saja duduk dengan tenangnya sambil tersenyum-senyum.

Dalam pada itu Empu Gandring masih saja mengamat-amati kerisnya dengan saksama. Kepuasan terbayang di wajahnya yang telah dihiasi dengan garis ketuaannya. Seakan-akan begitu sayangnya ia kepada keris itu untuk menyerahkannya ke tangan Ken Arok.

Sementara Ken Arok dicengkam oleh kegelisahan yang hampir-hampir tidak tertanggungkan, di jalan yang menuju Lulumbang, dari arah Padang Karautan, sebuah pedati berjalan perlahan-lahan seperti seekor siput raksasa yang merayap mendekati padepokan Empu Gandring.

Seorang perempuan tua duduk bersandar tiang pedati itu sambil terkantuk-kantuk, sedang dua orang prajurit yang duduk bersamanya di dalam pedati itu sudah lama tertidur sambil bersandar dinding pedati. Dipaling depan duduk Mahisa Agni memegang tali kendali sepasang lembu yang besar. Di belakang pedati itu terikat seekor kuda yang berjalan dengan malasnya.

Gemetaran roda pedati di atas tanah berbatu-batu kadang-kadang telah membangunkan orang-orang yang sedang tidur di dalamnya. Kadang-kadang tubuh mereka terguncang-guncang untuk beberapa saat. Namun kedua prajurit itu segera tertidur kembali.

“Apakah bibi perlu beristirahat?” bertanya Mahisa Agni.

Emban tua yang duduk di dalam pedati itu menggelengkan kepalanya, “tidak usah Agni. Aku ingin segera sampai ke Lulumbang. Entahlah, aku tidak pernah dicengkam oleh perasaan rindu serupa ini. Aku ingin segera bertemu dengan pamanmu Empu Gandring.”

“Ya, bibi sudah terlampau lama tidak bertemu.”

“Bukan itu saja soalnya. Entahlah. Aku ingin segera sampai. Kalau saja pedati ini dapat berjalan lebih cepat.”

Mahisa Agni tersenyum. Dicobanya melecut lembunya yang malas. tegapi lembu itu hanya sekedar berpaling, dan Manisa Agni pun tidak melecutnya lagi.

Malam yang gelap terbentang dihadapan pedati itu, sebuah obor yang kecil terpancang di sisi. Cahayanya yang terayun-ayun diguncang-guncang oleh angin malam kadang-kadang membuat obor itu hampir padam.

Bagi Mahisa Agni, perjalanan itu memang terasa menjemukan. Ia akan lebih senang berpacu dengan kudanya. Tetapi, sudah tentu ibunya tidak akan mungkin berkuda untuk jarak yang cukup jauh. Dari Padang Karautan ke Lulumbang, kemudian kembali lagi ke Tumapel. Apalagi ibunya bukannya seorang yang memang dapat berkuda dengan baik.

Betapa lambatnya, maka pedati itu merayap juga semakin dekat dengan Lulumbang. Dalam pada itu, hati perempuan tua itu menjadi semakin berdebar-debar. Serasa ada sesuatu yang tidak wajar bakal terjadi. Kadang-kadang perempuan tua itu menjadi cemas, kalau-kalau ada gangguan di perjalanan. Tetapi, apabila dilihatnya Mahisa Agni duduk di depan, kemudian dua orang prajurit yang meskipun saat itu baru tidur mendekur, hatinya menjadi tenang.

Sekali-sekali perempuan tua itu mencoba untuk tidur barang sejenak, di dalam pedati itu. Tetapi, matanya terlampau sulit di pejamkan. Bukan karena roda pedati yang bergemeretak dan mengguncang-guncang pedati itu, tetapi juga karena kegelisahan yang mencengkam jantung tanpa diketahui sebab-sebabnya. Tiba-tiba perempuan itu tersentak. Dengan kedua tangannya dipeganginya dadanya yang berdebar-debar.

“Agni” berkata perempuan tua itu, “Aku kira memang terjadi sesuatu dengan pamanmu. Hatiku menjadi sangat berdebar-debar. Jantungku serasa berhenti mengalir.”

“Ibu membayangkan yang bukan-bukan” sahut Mahisa Agni.

“Tidak Agni. Aku tidak membayangkan apapun” jawab ibunya, “apakah aku telah mendapat suatu firasat yang kurang baik tentang pamanmu?”

“Bukankah hari telah jauh malam bibi? Aku kira bibi telah mengantuk dan bermimpi dalam sekejap.”

“Tidak Agni. Aku yakin.” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

“Agni” berkata ibunya, “Apakah kau mau mendahului perjalanan pedati yang terlampau lambat ini?”

“Maksud bibi?”

“Pergilah berkuda. Kau akan cepat mencapai Lulumbang. Hatiku menjadi semakin tidak enak.”

Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi, ia tidak ingin mengecewakan ibunya, sehingga karena itu ia menjawab, “Baik ibu. Aku akan mendahului.”

Mahisa Agni pun kemudian membangunkan kedua prajurit yang sedang tidur itu. Katanya, “Aku akan mendahului. Terserahlah kepada kalian keselamatan bibi sampai ke Lulumbang.”

Kedua prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya meskipun sambil bersungut-sungut. Mereka lebih senang tidur dari pada mengemudikan pedati itu.

“Kalau kalian masih mengantuk” berkata Mahisa Agni, “Kalian dapat bergantian. Yang seorang tidur, yang seorang memegang tali kemudi.”

“Baiklah” sahut salah seorang dari kedua prajurit itu. Kemudian katanya kepada kawannya yang seorang lagi, “Peganglah tali itu lebih dahulu, aku akan tidur. Nanti segera bergantian, aku tidur dan kau memegang tali itu.”

“Hus” desis yang lain.

“Terserahlah kepada kalian” Mahisa Agni terpaksa tersenyum, “Sekarang aku akan mendahului perjalanan ini.”

Mahisa Agni pun segera melepaskan kudanya dan meloncat naik ke punggungnya. Sejenak kemudian suara derap kaki-kaki kuda itu gemeretak di sepanjang jalan, mendahului perjalanan pedati yang sedang merayap. Sebenarnya mula Mahisa Agni tidak mempunyai perasaan apapun tentang pamannya di Lulumbang. Namun desakan ibunya telah membuatnya mulai berpikir. Apakah sebabnya?

“Memang kadang-kadang sentuhan yang sangat halus telah menggerakkan hati seseorang untuk menangkap persoalan yang tidak kasat mata. Tetapi, tali yang menghubungkan getaran yang bersamaan, yang memancar dari dalam diri, akan dapat saling mempengaruhi” desis Mahisa Agni itu sambil berpacu, sehingga tiba-tiba saja Mahisa Agni pun menjadi cemas. Katanya, “Mungkin benar-benar telah terjadi sesuatu atas paman di Lulumbang.” Dengan demikian maka Mahisa Agni pun segera melecut kudanya dan berpacu semakin cepat.

Dalam pada itu sambil tersenyum Empu Gandring masih memandangi kerisnya. Berkali-kali diusapnya janggutnya yang telah memutih.

“Apakah ada yang masih belum sempurna Empu?” bertanya Ken Arok. Betapapun kegelisahan melanda dinding jantungnya namun ia masih tetap duduk sambil tersenyum.

“Tidak Ngger” Empu Gandring menggelengkan kepalanya, “Aku kira keris ini telah siap. Kekurangan kecil itu sama sekali tidak akan berpengaruh apa-apa. Hanya bentuknya sajalah yang masih akan aku sempurnakan. Tetapi, isi dari keris ini telah penuh. Aku telah menganggap keris ini keris yang telah jadi.”

Ken Arok bergeser setapak maju. Ditunjukkannyalah sikap ingin tahunya. Bahkan kadang-kadang ia telah mengangkat tangannya untuk menerima keris itu. Tetapi Empu Gandring tidak segera memberikannya. Serasa ada sesuatu yang menahan dirinya. Ketika terpandang oleh Empu tua itu ujung kerisnya yang runcing, seruncing taring Naga Taksaka, hatinya berdesir. Tanpa diketahuinya, apakah sebabnya, tangannya tiba-tiba saja menjadi gemetar.

Dilihatnya di sela-sela pamor yang memang dikehendaki, tiga buah bintik kecil berwarna kekuning-kuningan. Sekilas melintas di dalam angan-angannya ujung keris yang pernah dilihatnya, keris sakti yang bernama Kiai Naga Singkik buatan Empu Sekadi. Keris yang maksudnya disiapkan untuk membasmi kejahatan, namun jatuh ke tangan orang yang tidak dikehendakinya, sehingga keris itu telah menelan terlampau banyak korban yang sia-sia.

Hati Empu Gandring menjadi berdebar-debar. Ia adalah seorang ahli membuat keris. Bahkan seorang Empu yang seakan-akan hidup matinya ada di dalam sanggar kerisnya. Namun sekali ini ia telah membuat suatu kesalahan.

“Aku tidak dapat menyebutnya lagi bahwa keris ini berpamor Manggada” berkata Empu Gandring di dalam hatinya, “Aku rasa aku telah mengulangi kesalahan Empu Sekadi.” Namun sejenak kemudian Empu Gandring mengerutkan keningnya. Dicobanya untuk menenangkan hatinya sambil bergumam di dalam dadanya, “Aku terlampau terpengaruh oleh keris Naga Singkik. Setiap orang dapat saja membuat kesalahan. Tetapi, kalau aku mencemaskan akibat kesalahan itu tanpa dasar, agaknya aku keliru.” Tetapi, kemudian di relung hatinya terdengar suara, “Bukanlah sesuatu kebetulan, persamaan yang jarang sekali dapat terjadi.”

Dengan demikian Empu Gandring masih saja memegangi kerisnya dengan dada yang berdebar-debar. Sementara Ken Arok mengumpat-umpat di dalam hatinya meskipun ia masih juga tampak tersenyum-senyum.

“Apakah ada sesuatu yang membuat Empu menyesal atas keris itu?” bertanya Ken Arok ketika dilihatnya wajah Empu Gandring menjadi berkerut-merut.

“Oh, tidak, tidak Ngger. Aku sudah puas sama sekali dengan keris ini.”

“Syukurlah” sahut Ken Arok, “keris itu akan menjadi kenang-kenangan yang paling baik bagiku.” Tetapi, Ken Arok berhenti sejenak, “Tetapi, apakah aku dapat melihatnya sejenak?”

Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah Angger tidak menunggu kelak apabila keris ini telah siap sama sekali? Nanti Angger kecewa melihat ukiran yang masih belum siap. Sebab menurut rencana kami ukirannya masih harus diganti dengan hulu yang lebih baik.”

Ken Arok tersenyum. Jawabnya, “Tidak Empu. Aku tidak akan kecewa, sebab aku sudah tahu bahwa keris itu memang belum siap. Seandainya ada kekurangannya, maka dalam lima atau enam hari, keris itu sudah akan siap.”

Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya wajah Ken Arok dengan tajamnya, keragu-raguan di dalam hatinya semakin lama menjadi semakin dalam.

“Tetapi, aku tidak melihat kesan apapun di wajah anak muda ini” berkata Empu Gandring di dalam hatinya, “wajahnya jauh lebih cerah dari pada lima bulan yang lalu. Agaknya Angger Ken Arok benar-benar telah berhasil mengendapkan diri.” Dengan demikian maka Empu Gandring menganggap bahwa keragu-raguan di dalam hatinya itu sama sekali tidak beralasan. Desisnya di dalam hati, “Aku sangat terpengaruh oleh kedatangan Angger Ken Arok lima bulan yang lampau serta bintik-bintik di ujung keris, di sela-sela pamornya.” Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian, “Tidak baik aku terlampau berprasangka. Hal itu justru akan menimbulkan kesan yang jelek pada Angger Ken Arok.”

Karena itu, maka Empu Gandring pun kemudian memutuskan untuk memberikan kerisnya kepada Ken Arok, “Anak ini agaknya sudah baik.”

“Baiklah Ngger” berkata Empu Gandring selanjutnya, “Marilah. Tetapi, jangan kecewa lebih dahulu, karena aku masih akan memperbaikinya nanti.”

Ken Arok bergeser maju. Diangkatnya kedua tangannya untuk menerima keris itu. Dengan hati-hati Empu Gandring menyerahkan kerisnya. Ketika keris itu menyentuh tangan Ken Arok, Empu Gandring merasa bahwa tangan itu gemetar, sehingga tiba-tiba dadanya pun menjadi gemetar pula.

Kini keris itu telah berpindah ke tangan Ken Arok. Sebenarnyalah bahwa tangan Ken Arok menjadi gemetar. Diamat-amatinya keris itu dengan saksama, seolah-olah setiap garis dan lekuk pamornya dinilainya dengan saksama. Meskipun ia bukan ahli keris, tetapi terasa bahwa keris yang sedang dipegangnya itu adalah keris yang jarang ada bandingnya.

“Rencanaku tidak boleh tertunda” Ken Arok itu menggeram di dalam hatinya. Namun tiba-tiba dadanya seolah-olah bergejolak dengan dahsyatnya. Sekali-kali dipandanginya wajah Empu Gandring yang sejuk lunak, seperti sejuknya embun di pagi hari. Di wajah itu sama sekali tidak terbayang permusuhan yang bagaimanapun bentuknya. Di wajah itu sama sekali tidak terbayang sama sekali sifat-sifat yang dapat memperkuat niat Ken Arok melakukan rencananya. Dengan demikian maka dada Ken Arok seolah-olah telah dibakar oleh benturan yang semakin lama menjadi semakin dahsyat. Benturan antara rencana yang sudah matang tersusun, dengan tanggapannya atas orang yang kini sedang dihadapi.

“Apakah aku sampai hati melakukannya” ia bertanya kepada diri sendiri dengan penuh keragu-raguan. Tangan Ken Arok yang gemetar itu menjadi semakin gemetar. Bahkan ujung keris itu kemudian seolah-olah terkulai menunduk.

Empu Gandring melihat keadaan Ken Arok dengan heran. Apakah yang sebenarnya terjadi atas anak muda itu. Keragu-raguan yang sejak semula mencengkamnya, tiba-tiba menjadi semakin mengganggu perasaannya. Tetapi, tiba-tiba ia mendengar Ken Arok berkata,

“Empu, keris ini terlampau baik. Terlampau baik buatku. Seandainya Empu benar-benar akan memberikan keris ini kepadaku, maka aku akan mengucapkan beribu terima kasih.”

Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ah, kau terlampau memuji Ngger. Mudah-mudahan kau puas dengan keris itu.”

“Tentu Empu. Aku terlampau puas. Keris itu terlampau baik.”

Ketika Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya dengan sebuah senyum yang tergores di bibirnya, hati Ken Arok seakan-akan menjadi runtuh. “Tidak. Aku tidak dapat berbuat gila atas orang tua yang terlampau baik ini.”

Ketika Ken Arok menggeleng-gelengkan kepalanya Empu Gandring bertanya, “Apakah ada yang tidak berkenan dihatimu Ngger?”

“Tidak Empu. Keris ini terlampau sempurna” jawab Ken Arok, “memang hulunya masih harus diganti, disesuaikan dengan kerisnya itu sendiri. Tetapi, hulu keris sebenarnya tidak begitu penting dibandingkan dengan nilai keris itu sendiri.”

Empu Gandring tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara dada Ken Arok menjadi semakin bergemuruh oleh kebimbangan yang hampir tidak tertahankan.

Sementara itu gemuruh derap kaki-kaki kuda yang dipacu oleh Mahisa Agni menjadi semakin bergemeretakan. Semakin cepat kuda itu berpacu, hati anak muda itu menjadi semakin bergetar. Bahkan kini seakan-akan ia sendiri merasakan, betapa pamannya itu sedang terancam bahaya. Karena itu, maka Mahisa Agni pun semakin mempercepat lari kudanya, beberapa kali ia menyentuh perut kuda itu. Namun langkahnya serasa masih terlampau malas. Di dalam dinginnya malam terasa keringat mengalir di punggung Mahisa Agni, sehinga punggungnya menjadi basah seperti sedang kehujanan.

Punggung Ken Arok pun menjadi basah seperti sedang kehujanan. Berbagai macam pikiran berbenturan dan bergolak di dalam dadanya. Sekali-kali dipandanginya ujung keris yang runcing tajam, kemudian wajah Empu tua yang berkerut-merut.

Empu Gandring melihat kegelisahan yang sangat membayang di wajah Ken Arok. Ia melihat tangan yang menggenggam keris itu menjadi semakin gemetar dan ujung keris itu pun menjadi semakin menunduk.

Hati Ken Arok yang semakin luluh itu pun seakan-akan meronta-ronta di dalam dadanya. Apakah ia harus melaksanakan rencananya atau mengurungkannya. Dalam keragu-raguan itu, tiba-tiba Ken Arok menggeretakkan giginya. Ia seakan-akan sedang mencari kekuatan. Dengan kekuatan terakhir ia mencoba menggeram di dalam dadanya, “Harus. Aku harus melakukannya sekarang. Kalau aku melepaskan kesempatan ini, maka aku tidak akan pernah menemukan kesempatan yang lain”

Sehingga semua rencana yang telah disusunnya dan yang sebagian telah berjalan itu akan gagal. Gagal sama sekali. Dengan demikian berarti bahwa ia tidak akan dapat mencapai cita-citanya. Tidak akan ada perubahan yang akan terjadi pada dirinya. Terbayang sekilas wajah Permaisuri Ken Dedes yang cantik yang memancarkan cahaya yang cemerlang. Kemudian terbayang wajah Akuwu Tunggul Ametung yang terlampau mementingkan dirinya sendiri dari pada kepentingan Tumapel.

“Tidak. Aku tidak boleh mundur. Betapapun banyaknya korban yang harus jatuh. Tetapi, aku harus melaksanakan. Korban-korban itu adalah rabuk bagi kesuburan Tanah Tumapel. Memang mungkin korban-korban itu tidak bersalah. Dan korban yang demikian itulah yang akan membuat Tumapel menjadi besar” ia menggeram di dalam hatinya.

Dengan demikian, maka dada Ken Arok menjadi semakin berdebar-debar. Benturan yang dahsyat seolah-olah akan memecahkan jantungnya, sehingga tangannya menjadi semakin bergetar pula.

Empu Gandring akhirnya tidak dapat melihat sambil berdiam diri. Dengan herannya ia bertanya, “Kau kenapa Ngger? Apakah kau menjadi kecewa melihat keris itu, atau kau mempunyai sesuatu pendapat atau apapun?”

Ken Arok tidak tahu, bagaimana menjawab pertanyaan itu.. Namun sekenanya saja ia berkata, “Empu, aku melihat tiga buah bintik yang membuat aku menjadi berdebar-debar. Bintik yang mempunyai warna dan ciri yang lain dari keseluruhan pamor keris ini.”

Jawaban itu membuat dada Empu Gandring berdesir. Ia tidak menyangka bahwa Ken Arok akan memperhatikan ketiga bintik yang dilihatnya itu. Memang sebenarnya bahwa bintik itu mempunyai warna yang berbeda dari warna keseluruhan dari pamor keris itu.

“Empu,” kata Ken Arok kemudian, “Lihatlah, betapa bintik-bintik ini membuat keseluruhan pamor keris ini menjadi sebuah teka-teki yang aneh. Aku tidak mampu menebak, apakah maksud Empu dengan ketiga bintik-bintik ini, dan memberinya warna yang lain dari keseluruhan pamor keris ini, sehingga ketiga bintik ini seakan-akan terlepas dari hubungannya dengan bentuk keseluruhan.”

Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Kenapa baru kali ini ia sendiri melihat bintik-bintik itu? Sejak keris itu berbentuk, ia selalu mengamat-amatinya. Hampir setiap saat ia duduk, di dalam sanggar ini, ia selalu menimang-nimang keris itu. Tetapi, kemarin ia masih belum melihat ketiga bintik-bintik itu. Sehingga bintik-bintik itu seolah-olah timbul begitu saja dengan tiba-tiba. “Memang aneh” ia berdesis di dalam hatinya.

“Empu” berkata Ken Arok kemudian, “Apakah dengan sengaja Empu memberikan bintik-bintik ini? Seandainya demikian apakah maksudnya?”

Empu Gandring menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak Ngger. Aku sama sekali tidak sengaja menempatkan ketiga bintik-bintik kecil itu.”

“Ah” desis Ken Arok, “Adalah mustahil sekali, Empu adalah seorang ahli membuat keris. Karena itu, Empu menguasai segala macam bentuk dan watak dari setiap keris yang Empu buat.”

“Kau benar Ngger. Tetapi, tidak mustahil bahwa seseorang membuat kesalahan. Selama aku adalah manusia biasa, maka aku pasti masih akan membuat kesalahan-kesalahan.”

Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Keringatnya semakin banyak mengalir di seluruh tubuhnya. Desakan di dalam dadanya sudah tidak tertahankan lagi untuk melakukan rencananya, tetapi perasaannya masih dibayangi oleh gambaran-gambaran yang aneh. “Harus, harus. Lakukanlah sekarang” terdengar perintah itu di dalam dadanya.

Sekali lagi Ken Arok mencari kekuatan sambil mengepalkan tangannya, menggenggam hulu keris itu keras-keras. Dan tiba-tiba saja ia berkata, “Lihat Empu, aneh. Bintik-bintik ini dapat bergerak.”

Empu Gandring terkejut mendengarnya. Tiba-tiba saja ia bergeser maju tanpa prasangka apapun. Dengan mata terbelalak ia mengamat-amati ujung kerisnya. Namun tiba-tiba uiung keris itu bergetar dan bergerak cepat sekali, melampaui kecepatan tatit yang menyambar di langit. Ujung keris itu tiba-tiba saja telah menghujam memecahkan dadanya. Sejenak Empu Gandring membeku di tempatnya. Seakan-akan ia tidak percaya, bahwa hal itu telah terjadi dan dialaminya sendiri.

Tetapi, sejenak kemudian, Empu tua itu menyadari keadaannva. Ternyata keris buatannya sendiri itu telah tertancap di dadanya. Ketika tangannya meraba hulu keris yang masih melekat di dada itu, terasa tangannya menjadi hangat oleh darah yang memerah. Terasa dada itu menjadi pedih bukan kepalang. Kerisnya adalah keris yang benar-benar pilih tanding. Keris yang jarang dicari duanya di dunia.

Empu Gandring bukan saja seorang Empu yang terpilih di antara golongannya. Tetapi, ia adalah seorang yang pilih tanding dalam oleh kanuragan. Empu Gandring adalah seseorang yang dapat melawan Kebo Sindet dan dapat disejajarkan dengan Empu Purwa dan Panji Bojong Santi. Namun menghadapi keadaan yang tidak disangka-sangkanya itu, ia tidak dapat mengelakkan diri.

Tubuh orang tua itu pun segera menjadi gemetar. Ternyata ujung keris yang telah dibuatnya sendiri itu telah menyentuh jantungnya. Dengan demikian, maka kekuatannya dan segenap kemampuan yang sukar dicari bandingnya itu pun segera susut dengan cepatnya. Karena betapapun juga, kemampuan manusia pasti pada suatu ketika akan sampai pada batasnya. Demikian juga Empu tua yang sakti itu. Sesaat ia masih dapat duduk di tempatnya tanpa bergerak sama sekali. Kedua tangannya masih menggenggam hulu kerisnya, sedang tatapan matanya yang menyorotkan beribu macam pertanyaan telah menghunjam langsung ke dada Ken Arok.

Ken Arok, yang telah mengerahkan segenap kekuatan lahir dan batinnya untuk menaikkan keris itu ke dada Empu Gandring, menjadi gemetar pula. Dengan tajam dipandanginya Empu tua yang masih saja duduk di tempatnya menahan pedih di dadanya. Sekali-kali terdengar Empu Gandring berdesis. Namun yang paling tajam merobek-robek perasaannya adalah kejapan matanya yang semakin lama menjadi semakin sayu.

Tiba-tiba Ken Arok itu bertiarap di depan Empu Gandring yang telah menenggang nafas itu. Dengan suara tertahan-tahan ia berkata, “Tidak. Tidak. Itu tidak boleh terjadi.”

Empu Gandring mencoba menarik nafas dalam-dalam. Setiap hembusan nafasnya telah mendorong darahnya untuk melelah dari lukanya.

“Ampunkan aku Empu, ampun” Ken Arok merengek seperti kanak-kanak yang ditinggal ayahnya pergi merantau, “Aku tidak menginginkannya. Itu bukan maksudku.”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan. Dengan sisa tenaganya ia menghentakkan keris itu dari dadanya. Demikian ia berhasil mencabut keris itu, maka darahnya pun menjadi semakin banyak mengalir dari lukanya. Sejenak diamat-amatinya keris yang sudah berlumuran darah itu. Tetapi, matanya yang menjadi semakin kabur telah tidak lagi dapat melihat tiga buah bintik yang asing baginya, meskipun ialah yang telah membuat keris itu.

Ketika Ken Arok melihat Empu Gandring telah berhasil menarik keris itu, tiba-tiba ia berkata setengah meratap, “Empu, bunuhlah aku sebelum aku benar-benar menjadi semakin gila. Tolonglah aku Empu. Bunuhlah aku.”

Tetapi, tubuh Empu Gandring sudah menjadi semakin lemah. Ketika terlihat olehnya kilasan mata Ken Arok, maka Empu tua itu mencoba untuk berkata, “Kau telah membuat suatu kesalahan Ngger?” nafas Empu Gandring mengalir semakin cepat, “Selama ini kau adalah seorang prajurit yang baik. Tetapi, Ken Arok sebagai seorang prajurit yang baik, agaknya telah mati bersama kematianku.”

Terasa dada, Ken Arok tergores oleh kata-kata itu demikian parahnya. Terngiang kembali kata-kata Lohgawe yang serupa dengan kata-kata yang diucapkan oleh Empu Gandring itu.

“Aku menyesal Empu. Karena itu, bunuhlah aku supaya nafsu ini tidak menjalar ke seluruh Tumapel.”

Empu Gandring menggelengkan kepalanya.

“Aku telah mencoba membunuh Empu, adalah wajar apabila Empu membunuhku.”

Sekali lagi Empu Gandring menggelengkan kepalanya, “Sudah saatnya aku kembali kepada Yang Maha Agung, Ngger.”

“Tetapi, Empu harus membunuh aku lebih dahulu. Dengan demikian Empu telah mebuat kebaikan di saat terakhir Empu. Ketahuilah Empu, dengan keris itu aku akan membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Aku akan memperisteri Ken Dedes, dan aku ingin menjadi seorang Akuwu, bahkan seorang Maharaja. Karena itu, sebelum nafsu itu membakar Tumapel, sebaiknya Empu membunuhku.”

Wajah Empu Gandring meniadi semakin pucat. Tenaganya memadi semakin lemah, sehingga keris ditangannya itu pun terkulai di atas tikar yang meniadi kemerah-merahan oleh darahnya. “Angger Ken Arok” suara Empu tua itu menjadi semakin lemah, “Kalau kau menyesal, maka aku berpesan kepadamu, hancurkan sajalah keris itu, karena keris itu akan meminta korban dan korban. Akan datang saatnya keris itu membunuh Akuwu Tunggul Ametung, tetapi juga orang-orang lain. Karena itu, sebaiknya keris itu, kau tiadakan saja, ternyata aku telah mengulangi kesalahan Empu Sekadi.”

“Empu” hampir saja Ken Arok memekik. Dengan gerak naluriah kedua tangannya menutup mulutnya, ketika ia melihat Empu Gandring itu menunduk. Semakin lama semakin dalam, meskipun ia masih tetap duduk. Akhirnya tubuh itu diam. Diam sama sekali.

“Empu” bisik Ken Arok. Dengan tangan gemetar ia merayap maju. Ketika dirabanya tangan Empu Gandring, tangan itu seakan-akan telah membeku.

Dada Ken Arok hampir meledak karenanya. Tiba-tiba dengan penyesalan yang luar biasa ia mengambil keris itu perlahan-lahan dari tangan Empu Gandring. Kemudian ia meloncat berdiri sambil menggeram, “Keris ini harus aku hancurkan. Harus.”

Mata Ken Arok menjadi nanar. Dipandanginya setiap benda yang ada di dalam sanggar itu. Dalam kegelapan hati, hampir saja ia membunuh dirinya. Tetapi, dengan demikian ia tidak mungkin dapat memenuhi pesan Empu Gandring. Kalau keris itu ditusukkannya ke dadanya sendiri, maka keris itu masih akan tetap utuh. Sehingga orang lain akan dapat mempergunakannya untuk membunuh sesamanya.

“Tidak” ia menggeram, “Aku harus memusnakan keris itu lebih dahulu.”

Ketika terlihat olehnya sebuah paron, maka hatinya berdesir. “Dengan paron itulah agaknya Empu Gandring menempa keris-kerisnya” katanya di dalam hati, “Karena itu, di atas paron itu pula keris ini akan aku hancurkan.”

Dengan hati yang berdebar-debar Ken Arok mendekati paron itu. Kemudian dikerahkannya segenap kekuatan dan kemampuan yang ada padanya. Diangkatnya keris itu tinggi-tinggi. Sekejap kemudian dengan cepatnya keris itu terayun. Seperti lidah api yang meloncat di langit, keris itu menyambar paron.

Ken Arok merasakan tangannya menjadi pedih. Terdengar benturan yang dahsyat, dan ia melihat bunga api memercik. Tetapi, tiba-tiba matanya terbelalak. Keris yang digenggamnya ternyata masih utuh. Dan yang lebih mengherankan; sehingga hampir ia tidak percaya kepada penglihatannya, ternyata bahwa paron itulah yang menjadi hancur.

“Luar biasa. Keris ini memang luar biasa” desisnya. “Bukan keris ini yang luluh tetapi paron itulah yang hancur.”

Ken Arok berhenti sejenak. Matanya menjadi nyalang. Sekejap dipandanginya keris di dalam genggamannya, dan sekejap ditatapnya paron yang sudah pecah berserakan itu. “Keris ini tidak ada duanya di dunia.” Dan tiba-tiba Ken Arok itu menggeram, “Sayang, kalau keris sesakti ini harus aku hancurkan. Hanya dengan keris yang demikian inilah Tunggul Ametung dapat aku binasakan.”

Tiba-tiba saja Ken Arok itu meloncat menghambur keluar sanggar setelah mengganti kerisnya sendiri dengan keris Empu Gandring itu. Ia sudah tidak ingat lagi Empu Gandring yang meninggal di dalam sanggarnya. Ia sudah tidak ingat lagi untuk menghancurkan keris itu, dan apalagi untuk membunuh diri. Ditutupnya pintu sanggar itu rapat-rapat, kemudian seperti tidak pernah terjadi sesuatu ia berjalan ke pintu regol. Ia masih melihat cantrik yang memegangi kendali kudanya. Bahkan ia duduk di pinggir regol bersama seorang kawannya. Seorang cantrik yang lain.

Ketika terlihat oleh mereka prajurit yang menitipkan kuda itu, maka merekapun segera berdiri. Ken Arok tersenyum. Diterimanya kendali kudanya. Katanya, “Aku akan segera kembali ke Tumapel. Tugasku masih cukup berat. Terima kasih kalian telah menjaga kudaku.”

“Terima kasih kembali” jawab cantrik ini, “Apakah tuan sudah bertemu dengan Empu?”

“Sudah, aku sudah bertemu. Persoalanku sudah selesai.”

Cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih bertanya, “Tetapi, kenapa tuan begitu tergesa-gesa.”

Ken Arok tertawa, “Sudah aku katakan, tugasku masih banyak. Terlampau banyak. Sebagai seorang prajurit pengawal istana dan pengawal Akuwu, aku harus selalu berada di samping Akuwu hampir dalam segala hal.”

“Oh” cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Sudahlah. Aku minta diri.”

“Silahkan.”

Ken Arok menuntun kudanya keluar regol. Namun belum lagi ia meloncat naik, tiba-tiba ia mendengar lamat-lamat derap seekor kuda berlari kencang semakin lama semakin dekat. “Siapa?” dadanya berdesir.

Namun ia tidak mau terlambat. Siapapun yang datang, ia tidak boleh lengah. Kalau orang yang datang itu sudah mengenalnya, maka semua rencananya akan rusak. Apalagi kalau orang yang datang itu tidak mampu dibinasakannya. Dengan demikian, maka segera ia meloncat ke punggung kudanya. Tanpa berkata sepatah katapun lagi, maka kudanya pun segera berpacu menjauh. Ken Arok menyadari, bahwa ia harus memilih jalan sehingga ia tidak akan berpapasan dengan kuda yang mendatang itu.

Sejenak kemudian kuda Ken Arok pun telah keluar dari padukuhan Lulumbang. Semakin lama kudanya berpacu semakin cepat. Seandainya kuda yang datang itu kemudian memasuki padepokan Empu Gandring dan mengetahui apa yang telah terjadi, maka kudanya sendiri sudah menjadi sedemikian jauhnya, sehingga tidak mungkin akan terkejar.

Dalam pada itu, kuda yang mdatang itu pun menjadi semakin dekat pula. Cantrik yang baru saja menyerahkan kuda Ken Arok masih berdiri di samping regol. Sejenak mereka saling berpandangan, dan sejenak kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Siapa lagi yang akan datang? Bukankah kita di sini tidak biasa menerima tamu di malam hari?”

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi, mereka menunggu saja di muka regol, kalau-kalau kuda itu benar-benar mendatangi pedepokan Empu Gandring. Ternyata dugaan mereka benar. Sejenak kemudian mereka melihat seseorang berhenti di depan regol. Kemudian menuntun kudanya memasuki halaman.

“Siapa?” bertanya Cantrik yang masih berdiri di sisi regol.

Orang itu agaknya terkejut. Jawabnya, “He, kalian masih berada di halaman? Karena itu aku melihat regol itu masih terbuka.”

“Ya, baru saja aku mengantarkan seorang tamu. Tetapi, siapakah tuan?”

“Mahisa Agni. Kemanakan Empu Gandring.”

“O, mari, marilah. Baru saja Empu menerima tamu dari Tumapel. Baru saja.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah cantrik itu, seolah-olah ia tidak percaya pada keterangannya, bahwa di malam hari begini tamu Empu Gandring itu baru saja meninggalkan padepokan. “Berapa orangkah tamu itu?” bertanya Mahisa Agni.

“Satu orang.”

“Siapakah namanya?”

Cantrik itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia menggeleng, “Aku tidak tahu, dan aku tidak bertanya siapakah namanya. Tetapi, ia adalah seorang prajurit.”

“Prajurit?”

“Ya, seorang prajurit.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian, katanya, “Baiklah, aku akan bertanya kepada paman, siapakah tamunya itu.”

“Silahkanlah.”

Mahisa Agni pun kemudian menuntun kudanya melintasi pendapa. Kemudian mengikatkannya pada sebatang pohon di depan gandok.

“Empu berada di sanggarnya” berkata salah seorang cantrik yang mengikutinya dibelakang, “di sanggar itu pula Empu menerima tamunya.”

“Baiklah” sahut Mahisa Agni, yang segera pergi ke pintu sanggar. Beberapa saat yang lampau, ketika ia mengunjungi pamannya, ia sering juga melihat pamannya bekerja di sanggar itu. Perlahan-lahan Mahisa Agni mengetuk pintu. Tetapi, tidak ada jawaban. “Apakah paman sudah tidur?” desisnya.

Sekali lagi ia mengetuk pintunya. Sekali lagi dan sekali lagi. Namun sama sekali tidak terdengar jawaban. Mahisa Agni menjadi heran. Seandainya Empu Gandring sudah tidur sekalipun, ia pasti akan terbangun. Apalagi ketukan pada daun pintu yang sedemikian kerasnya. Sedangkan desir langkahnya pun pasti sudah didengarnya. Karena itu, dadanya pun menjadi berdebar-debar. Ia mencoba melihat ke dalam lewat lubang-lubang dinding, tetapi ia sama sekali tidak dapat melihat sesuatu. Dalam kegelisahan Mahisa Agni mengetuk sekali lagi. Lebih keras. Tetapi, masih juga tidak terjawab.

“Paman telah masuk ke dalam” gumamnya. Namun tanpa disadarinya tangannya mendorong pintu lereg itu ke samping. Hatinya berdesir ketika ternyata bahwa pintu itu tidak dikancing.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sanggar itu tampaknya terlampau sepi. Perlahan-lahan Mahisa Agni naik ke tangga dan melangkahi tlundak. Tiba-tiba, serasa darahnya berhenti mengalir. Ia melihat Empu Gandring duduk sambil menundukkan punggungnya seakan-akan sedang mencium lututnya.

“Paman” hampir saja ia berteriak. Dengan sekali loncat Mahisa Agni telah berjongkok di samping pamannya. Ketika dengan serta-merta ia meraba tubuh pamannya, maka tubuh itu pun telah membeku.

Sejenak Mahisa Agni serasa kehilangan nalar. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukan, sehingga karena itu, Mahisa Agni masih saja berjongkok di samping pamannya tanpa berbuat sesuatu. Baru sejenak kemudian anak muda itu tersadar akan keadaannya. Perlahan-lahan ia berdiri. Kemudian dipandanginya setiap sudut sanggar itu. Matanya seolah-olah tanpa berkedip mengamat-amati setiap benda yang ada di sekitarnya. Tatapan matanya itu pun kemudian membentur kepingan-kepingan paron yang tergolek dilantai. Dengan tegangnya diamatinya kepingan itu sambil bergumam,

“Apakah yang telah memecahkan paron ini? Hanya senjata yang pilih tanding sajalah yang dapat membelah bungkalan baja pilihan ini. Dan senjata yang demikian itu tidak akan banyak jumlahnya.”

Nafas Mahisa Agni menjadi terengah-engah. Kembali ia berjongkok di samping pamannya. Terlihatlah kini olehnya darah yang sudah membeku di tikar di arah bawah dada pamannya. Darah itu tidak begitu banyak sebagaimana luka-luka yang lazim menembus dada.

“Senjata yang dahsyat. Pasti senjata ini pulalah yang telah membelah paron itu. Senjata ini pasti senjata yang luar biasa. Benar-benar luar biasa. Tetapi juga senjata yang sangat berbahaya.”

Debar jantung Mahisa Agni pun menjadi kian bertambah cepat. Ia tiba-tiba meloncat ketika ia melihat sebilah keris terkapar di lantai sanggar. Tatapi ia segera menjadi kecewa. Keris, itu pasti bukan keris yang dipakai untuk menusuk dada Empu Gandring karena keris itu sama sekali tidak membekas darah dan menurut pengamatan Mahisa Agni, keris itu bukanlah keris yang dapat dibanggakan. Apalagi untuk membelah paron di dalam sanggar keris Empu Gandring. Meskipun demikian keris itu disimpannya juga di dalam geledeg Empu Gandring,

“Mungkin suatu saat keris ini diperlukan.” Setelah menyimpan keris itu, Mahisa Agni pun segera pergi keluar mencari cantrik yang ditemuinya di regol halaman. Kemudian digandengnya cantrik itu pergi ke sanggar Empu Gandring.

“Kenapa aku ini?” bertanya cantrik itu.

Mahisa Agni tidak menjawab. Dituntunnya cantrik itia menaiki tangga sanggar kemudian melangkah masuk. “Lihat, apa yang terjadi dengan Empu Gandring!”

Cantrik itu sejenak berdiri membeku, kemudian terpekik keras-keras, “Empu, Empu. Empu Gandring.” Dan cantrik itu pun terduduk dengan lemahnya di samping mayat Empu Gandring.

Mahisa Agni yang berdiri di sampingnya kemudian memegangi pundaknya sambil bertanya, “Katakan, bagaimanakah ujud prajurit itu menurut ingatanmu.”

Cantrik itu mencoba mengingat-ingat. Kemudian dengan suara gemetar ia berkata, “Seorang yang bertubuh sedang, tampan dan memakai pakaian seorang prajurit.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ada lebih dari seratus orang prajurit yang bertubuh sedang dan berwajah tampan. Memang terlampau sukar untuk dapat memilih salah seorang dari sekian banyak prajurit Tumapel. Namun tiba-tiba Mahisa Agni bertanya, “Apakah ciri pakaiannya yang paling kau ingat?”

Cantrik itu mengingat-ingat sebentar, kemudian jawabnya, “Sebuah selempang tali yang berwarna kuning keemasan.”

“Pasukan pengawal” tanpa sesadarnya Mahisa Agni berdesis.

“Ya, pasukan pengawal istana. Demikian ia menyebut dirinya sendiri.”

“Ia dapat menyebut dirinya dengan sebutan apapun. Tetapi, pakaian itu telah mengatakan, bahwa ia sebenarnya dari pasukan pengawal” geram Mahisa Agni.

Kalau saja ia tidak ingin menunggu ibunya datang dan memberi keseimbangan apabila terjadi goncangan perasaan, maka Mahisa Agni pasti sudah berpacu ke Tumapel. Demikian ia menyadari keadaan pamannya, maka segera ia teringat pada derap kaki-kaki kuda yang menjauh pada saat ia datang.

“Belum terlampau jauh” ia menggeram, “Tetapi, untuk menyusulnya sudah tidak mungkin lagi. Yang dapat dilakukan adalah mencarinya di seluruh bagian Tumapel. Di barak-barak dan rumah-rumah prajurit Pengawal Istana.”

Namun, Mahisa Agni tidak dapat segera pergi. Ia tidak sampai hati membiarkan ibunya sendiri menghadapi keadaan pamannya. Karena itu, maka betapapun desakan di dalam dirinya untuk segera berpacu ke Tumapel, terpaksa ditahankannya sampai keadaan ibunya menjadi bertambah baik. Karena itu, dengan gelisah Mahisa Agni menunggu ibunya di dalam hirup pikuk para cantrik dan endang. Keluarga terdekat Empu Gandring dan orang-orang yang bergaul setiap hari.

Mereka menyesal tiada taranya bahwa hal itu terjadi. Apalagi cantrik-cantrik yang terdekat. Cantrik yang memegangi kuda Ken Arok merasa, bahwa ialah orang yang paling bersalah. Kenapa ia tidak bertanya siapakah nama tamu itu, dan kenapa dibiarkannya Empu Gandring menemuinya seorang diri? Padahal kehadiran tamu yang tidak pada waktunya itu sudah harus menumbuhkan kecurigaan padanya. Tetapi, semua sudah terjadi. Mereka hanya dapat menyesal dan menyalahkan diri sendiri.

Kehadiran sebuah pedati yang membawa ibu Mahisa Agni menambah pedepokan Empu Gandring menjadi kian basah oleh air mata. Seperti terperas dari pelupuk matanya, perempuan tua itu menangis sejadi-jadinya. Sekian lama mereka berpisah, dan kesempatan yang terakhir, perempuan tua itu hanya dapat melihat mayatnya yang telah terbujur tidak bergerak. Padepokan Lulumbang benar-benar sedang disaput oleh kepedihan.

Ketika orang-orang Lulumbang sudah dapat mengatur perasaan mereka dan jenazah Empu Gandring telah mulai dibersihkan, untuk diselenggarakan sebagaimana seharusnya, maka Mahisa Agni tidak dapat menahan diri lagi. Setelah minta diri kepada ibunya, dan menyerahkan perempuan tua itu kepada dua orang prajurit yang bertugas mengantarkannya, maka Mahisa Agni pun segera berpacu ke Tumapel tanpa menunggu pagi.

Dalam remang-remang cahaya kemerahan fajar, Mahisa Agni dengan dada yang berdebar-debar berusaha untuk secepat-cepatnya sampai ke Tumapel. Apapun yang akan dihadapinya tidak dihiraukannya. Bahkan dipunggungnya pun telah terselip sebilah keris yang diambilnya dari sekian banyak perbendaharaan keris pamannya. Dan keris itu adalah keris yang sering dipakai langsung oleh pamannya sendiri, sebilah keris yang besar yang bersilang di punggungnya.

Terasa oleh Mahisa Agni, betapa kudanya berlari terlampau lambat, seolah-olah sengaja bermalas-malasan, sehingga berkali-kali Mahisa terpaksa mencambuknya. Namun bagaimanapun juga ia berusaha, kecepatan lari kudanya itu pun sangat terbatas. Tetapi, betapapun lambatnya, namun Tumapel semakin lama menjadi semakin dekat. Sehingga dada Mahisa Agni pun menjadi semakin berdebar-debar. Ia hanya berhenti beberapa kali untuk memberi kesempatan kudanya minum air dan beristirahat sejenak. Tetapi, ia sendiri sama sekali tidak bernafsu untuk makan dan minum. Yang menyesak di dadanya hanyalah kemungkinan-kemungkinan, untuk dapat menemukan orang yang membunuh pamannya.

“Paman pasti dibunuh dengan cara yang paling curang Agaknya paman sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk membela diri. Betapapun saktinya seseorang, tetapi paman Empu Gandring adalah seorang yang pilih tanding. Seandainya beberapa orang sekaligus datang kepadanya, tidak mungkin mereka dapat membunuh paman dengan begitu mudahnya apabila paman memang menyadari bahwa ia sedang diancam bahaya.”

Karena itulah, maka kemarahan di dada Mahisa Agni menjadi semakin mendidih. Seandainya pamannya terbunuh dalam perang tanding yang jujur, ia tidak akan berbuat apapun juga. Tetapi, yang dijumpainya adalah lain. Pamannya dibunuh dengan cara yang sangat licik.

Beberapa saat setelah matahari melampaui puncak langit, Mahisa Agni telah memasuki telatah kota Tumapel. Sejenak ia menjadi ragu-ragu, namun kemudian dengan bulat ia bertekad untuk menemui pemimpin tertinggi pasukan pengawal istana. Witantra.

Witantra yang saat itu ada dirumahnya menjadi terkejut bukan buatan melihat kehadiran Mahisa Agni yang agaknya begitu tergesa-gesa. Karena itu, setelah mereka duduk di atas sehelai tikar, Witantra segera bertanya, “Aku melihat sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Benarkah?”

“Ya” sahut Agni, “Paman Empu Gandring terbunuh?”

“He?” Witantra pun terkejut mendengarnya, dan bahkan hampir ia tidak percaya, “benarkah begitu?”

“Aku baru datang dari padepokannya” jawab Mahisa Agni.

Sejenak Witantra terdiam. Tetapi, terjadilah pergolakan yang dahsyat di dalam dirinya. Meskipun Empu Gandring tinggal jauh dari Tumapel, namun persoalannya agaknya memang bersangkut-maut dengan kekisruhan yang dilihatnya di istana Tumapel kini. “Apakah kau tahu siapa yang membunuhnya?” bertanya Witantra kemudian.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dengan ragu-ragu ia menjawab, “Aku tidak mengetahui dengan pasti. Tetapi, para cantrik yang melihatnya, dapat menyebutkan orang yang baru saja datang ke padepokan itu sesaat sebelum Empu Gandring terbunuh. Ketika orang itu pergi, maka Empu Gandring terdapat telah tebunuh di dalam sanggarnya.”

“Siapa?”

“Seorang prajurit Tumapel.”

“Hanya begitu?”

“Prajurit itu memakai ciri khusus. Sebuah selempang tali yang berwarna kuning keemasan.”

“He” mata Witantra terbelalak, “Pengawal istana.”

“Begitulah menurut para cantrik yang melihatnya.”

Witantra merenung sejenak. Pergolakan di dalam dadanya menjadi semakin ribut. Kalau yang terbunuh itu bukan seorang Empu Gandring, maka persoalannya tidak akan begitu berat baginya. Tetapi, kali ini yang terbunuh adalah seorang Empu yang tidak ada duanya di Tumapel. “Kalau benar penglihatan cantrik itu, siapakah diantara praiurit pengawal yang mampu membunuh Empu Gandring?” berkata Witantra.

“Paman Empu Gandring dibunuh dengan curang. Paman sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk melawan, bahkan paman pasti sama sekali tidak menaruh kecurigaan apapun” lalu diceriterakannya keadaan pamannya seperti saat diketemukannya di dalam sanggar itu.

Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya” desisnya, “Apabila demikian, maka pembunuhan itu adalah pembunuhan yang sudah direncanakan sebelumnya dengan teliti.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Di dalam sanggar itu aku menemukah sebilah keris. Tetapi, keris itu sama sekali tidak mempunyai ciri-ciri yang menarik. Keris itu adalah keris kebanyakan.”

“Apakah keris itu juga yang dipergunakannya.”

“Tentu bukan. Keris itu sama sekali tidak membekas darah.”

“Pembunuhan yang keji dan curang.” Lalu Witantra menggeram, “Aku akan mencari diantaran para pengawal, siapakah yang baru saja meninggalkan Tumapel.”

Mahisa Agni menatap wajah Witantra sejenak. Kemudian katanya, “Aku mengucapkan terima kasih, kalau kau bersedia menolong aku membantu mencari pembunuh itu.”

Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya, “Aku memang berkepentingan. Tumapel sendiri memang sedang dihangatkan oleh keadaan yang belum diketahui ujung pangkalnya. Namun tiba-tiba saja semuanya telah berubah.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah persoalan yang kita hadapi ini memang bersangkut paut?”

“Mungkin” jawab Witantra, “Sekarang, tinggallah disini. Aku akan mencari siapakah orang itu, selagi belum terlampau kasip.”

“Terima kasih. Mudah-mudahan kau berhasil.”

Witantra pun segera pergi meninggalkan rumahnya untuk mencoba menemukan seorang prajuritnya yang baru saja datang ke Lulumbang. Seandainya tidak seorang pun yang akan mengaku telah pergi ke padepokan Empu Gandring, maka diantara sekian banyak prajuritnya, ia harus memisahkan, siapakah yang semalam tidak ada di rumah atau di dalam baraknya.

Sepeninggal Witantra, Mahisa Agni duduk merenung seorang diri. Isteri Witantra mengawaninya sejenak, namun kemudian ditinggalkannya Mahisa Agni duduk di pendapa rumahnya. Ketika Mahisa Agni sedang asyik merenung, tiba-tiba ia terkejut ketika terdengar suara seorang perempuan yang lembut dari balik pintu,

“Kenapa kau ributkan kematian Empu Gandring itu?”

Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Dilihatnya seorang gadis muncul dari balik pintu dan bersandar pada sisi pintu itu. Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Gadis itu adalah Ken Umang.

“Kenapa, Mahisa Agni?” bertanya Ken Umang itu pula. Kini ia tidak lagi berdiri bersandar sisi pintu, tetapi ia melangkah mendekat, lalu duduk di samping anak muda itu.

Mahisa Agni bergeser setapak tanpa dikehendakinya sendiri. Dan tiba-tiba saja ia terkejut ketika ia mendengar Ken Umang tertawa, “Kenapa kau takut duduk di dekat seorang gadis, he?” suara tertawanya mengeras, “Memang anak-anak padesan terlampau tebal dicengkam oleh perasaannya.”

Mahisa Agni tidak menjawab.

“Tetapi, berbeda dengan perempuan yang kini menjadi Permaisuri itu. He, bukankah ia adikmu? Perempuan itu sama sekali tidak usah malu-malu untuk langsung tinggal di istana” berkata gadis itu seterusnya.

Dada Mahisa Agni berdesir, tetapi ia tidak menyahut.

“Seharusnya kau tinggal di kota Tumapel, Agni” berkata Ken Umang selanjutnya, “Kau tidak pantas untuk seterusnya tinggal di Padang Karautan. Aku kira kau akan lebih menarik apabila kau mengenakan pakaian seorang prajurit. Apalagi seorang pengawal seperti kakang Witantra. Kau akan menjadi seorang anak muda yang gagah. Dan kau akan digilai oleh gadis-gadis di seluruh Tumapel”, suara tertawa Ken Umang meninggi, sehingga tiba-tiba tubuh Mahisa Agni menjadi meremang, seolah-olah ia mendengar suara hantu betina yang menemukan mangsanya.

Dengan demikian maka Mahisa Agni itu pun seakan-akan justru terbungkam. Yang diharapkannya adalah agar Witantra segera pulang, berhasil atau tidak berhasil. Apabila ia terlampau lama duduk berdua saja dengan Ken Umang, maka ia akan kehilangan keseimbangan, sehingga mungkin ia akan berbuat atau berkata sesuatu yang dapat menyakitkan hati gadis itu.

“Kau terlampau pendiam Agni” berkata Ken Umang seterusnya, “Jawablah, bagaimana pendapatku? Kau tinggal saja di Tumapel. Kakang Witantra akan dapat menolongmu, sehingga dengan mudah kau akan diterima menjadi seorang prajurit.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia tetap mencoba untuk tidak menyakiti hati gadis itu. Sebab, menurut penilaiannya, Ken Umang akan dapat berbuat apa saja apabila hatinya terluka. Ia akan dapat menjadi sangat marah dan bahkan mungkin dapat mengatakan hitam menjadi putih dan putih menjadi hitam. Karena itu, sekuat-kuat hatinya, ia berusaha untuk tidak melukai hati gadis itu.

“Bagaimana Agni? Apakah kau setuju?”

“Aku belum dapat menjawab Ken Umang. Sampai saat ini Padang Karautan masih sangat memerlukan aku. Apalagi aku sama sekali tidak berkepandaian apapun selain memelihara sawah dan ladang. Untuk menjadi seorang prajurit, aku harus mampu olah senjata atau mempunyai kecakapan khusus yang lain. Dan itu sama sekali tidak aku miliki.”

“Bohong” Ken Umang memotong, “Kakang Witantra sering menyebut-nyebut namamu. Namun seandainya benar-benar kau tidak memiliki kemampuan khusus, biarlah kakang Witantra mengajarimu. Kemudian kau diterima menjadi seorang prajurit pengawal.” Ken Umang berhenti sejenak, lalu, “Kau tidak usah bingung, dimana kau akan bertempat tinggal. Kau dapat tinggal saja di rumah ini. Setuju? Akulah yang akan mengatakannya kepada kakang Witantra.”

“Entahlah untuk lain kali Ken Umang, tetapi sekarang aku belum mempunyai keputusan begitu.”

Suara tertawa Ken Umang menggeletar lagi. Semakin meninggi. Katanya, “Memang anak-anak padesan sering merasa terlampau rendah diri. Tetapi, sebenarnya kau tidak perlu merasa sedemikian tidak berharga.”

“Aku sekarang sedang dibingungkan oleh kematian pamanku” desah Mahisa Agni kemudian.

“Kenapa mesti dirisaukan? Aku mendengar ceriteramu tentang Empu Gandring. Biarlah yang mati sudah terlanjur mati. Tetapi, hiruk pikuk dunia ini tidak akan berhenti karenanya. Tumapel akan berkembang terus, dengan atau tidak dengan seorang penghuni yang bernama Empu Gandring. Dan kau harus menyesuaikan dirimu dengan arus perputaran jaman. Jangan berhenti karena pamanmu meninggal dunia.”

“Kau benar Ken Umang. Tetapi, aku yang tidak dapat membuat arak di dalam diriku sendiri, tidak semudah itu untuk melakukannya. Aku dapat menasehatkannya kepada orang lain, seperti pada saat tetangga kematian orang tuanya. Tetapi, untuk melakukannya sendiri, agaknya terlampau sulit.”

Suara tertawa Ken Umang tiba-tiba saja meledak tidak tertahankan, diantara derai tertawanya ia berkata, “Oh, kau adalah searang perasa. Melampaui lembutnya perasaan seorang gadis. Kau memang tidak pantas untuk menjadi seorang prajurit. Tetapi, kau dapat mencari jabatan yang sesuai dengan sifat dan kebiasaanmu itu.”

Mahisa Agni tidak segera menjawab. Ia telah benar-benar dicengkam oleh kejemuan. Tetapi, ia tidak berdaya untuk mengusir gadis itu.

Namun tiba-tiba Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia mendengar suara Nyai Witantra memanggil adiknya, “Dimana kau Umang?”

Ken Umang mengangkat wajahnya, kemudian desisnya, “Aku telah dipanggil. Jangan pergi dahulu sebelum kakang Witantra kembali. Aku akan segera mengawani kau lagi.”

Mahisa Agni tidak menjawab. Dipandanginya saja gadis itu kemudian berdiri dan berjalan meninggalkannya menyusup ke balik pintu. Sepeninggal Ken Umang, kembali Mahisa Agni merenung. Dengan gelisah ia menunggu kedatangan Witantra yang berusaha untuk membantunya mencari seorang prajurit pengawal jang datang ke Lulumbang semalam.

Dengan cepat Witantra berhasil mengumpulkan para perwira di dalam lingkungannya, yang sebagian besar melihat perkembangan Tumapel dengan cemasnya. Ketika mereka mendengar berita kematian Empu Gandring dan cara yang dilakukan oleh pembunuhnya, mereka menarik nafas dalam-dalam.

“Aku harus segera mendapat laporan” berkata Witantra, “Semua prajurit pengawal harus dilihat, apakah mereka pada saat terakhir tidak ada di Tumapel. Setiap orang yang meragukan, harus segera dibawa kepadaku.”

Para perwira itu pun segera bertindak ke dalam lingkungan masing-masing. Prajurit pengawal istana memang tidak terlampau banyak, sehingga penyelidikan itu dapat dilakukan dengan saksama. Setiap perwira telah .menyebarkan bawahannya di dalam lingkungannya untuk menghubungi langsung setiap prajurit tanpa ada kecualinya. Merekapun harus melaporkan apabila mereka melihat salah seorang kawan mereka yang baru saja kembali dari perjalanan kemana pun.

Sambil menunggu laporan Witantra pun kemudian kembali ke rumahnya. Kepada para perwiranya ia berpesan, agar hal ini untuk sementara harus dirahasiakannya. Dengan berdebar-debar Mahisa Agni menunggu keterangan terakhir dari usaha itu di rumah Witantra. Meskipun mereka mencoba untuk mengisi waktu mereka, namun terasa betapa lamanya meeka harus menunggu. Waktu serasa berjalan begitu lambat, meskipun mereka telah berusaha untuk melupakannya.

Namun akhirnya, seorang demi seorang, para perwira itu pun datang ke rumah Witantra. Tetapi, tidak seorang pun dari mereka yang dapat berkata dengan pasti, “Aku telah menemukan orangnya.”

Hampir semuanya mengatakan kepada Witantra bahwa tidak seorang pun yang diketemukan baru saja datang dari Lulumbang. Bahkan tidak seorang pun yang baru saja datang dari mana saja. Ketika seorang perwira melaporkan bahwa dua orang prajuritnya baru saja datang dari sebuah perjalanan. Mahisa Agni tergeser maju. Tetapi, perwira itu kemudian melanjutkan,

“Namun kedua orang itu masing-masing mempunyai saksi bahwa mereka berada di rumah orang tua masing-masing yang jauh dari Lulumbang pada saat-saat yang menentukan itu.”

“Dan menurut pengamatan saya, keduanya tidak akan mempunyai kepentingan apapun dengan Empu Gandring,“ berkata perwira itu.

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Mahisa Agni yang kecewa. Katanya, “Agni, aku kira, memang tidak seorang pun dari prajuritku yang akan berbuat demikian. Aku yakin.”

“Tetapi, para cantrik itu, pasti bahwa yang membunuh Empu Gandring adalah seorang prajurit yang memakai selempang kuning keemasan...”