Bara Di Atas Singgasana Jilid 08

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Di Langit Singasari episode Bara Di Atas Singgasana Jilid 08 karya Singgih Hadi Mintarjda
PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 02: Bara Di Atas Singgasana Jilid 08
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

KETIKA rombongan kecil itu sudah berada di luar kota, maka mereka-pun segera memacu kuda mereka semakin cepat. Mereka masih akan singgah ke Padukuhan Panawijen. Mahisa Agni yang sudah lama tidak mengunjungi padukuhan itu merasa sangat rindu. Lebih daripada itu, Mahisa Agni yang akan tinggal untuk waktu yang tidak tertentu di Kediri, ingin mengambil pusaka peninggalan gurunya, yang disimpannya di dalam sanggar pamujan.

Tidak seorang-pun yang tahu dimana ia menyimpan, sedang sanggar itu masih tetap terpelihara baik, karena beberapa orang cantrik masih tetap tinggal di Padepokan Empu Purwa. Meski-pun padepokan itu telah kering, namun mereka tetap tidak mau meninggalkannya. Dengan setia para cantrik itu memelihara bekas padepokan Empu Purwa yang kini telah menjadi kosong. Mereka tidak segan-segan pergi beberapa ratus langkah ke sungai mengambil air untuk kepentingan mereka.

Bahkan mereka juga memerlukan mengambil air dengan lodong-lodong bambu untuk menyiram beberapa jenis batang-batang bunga yang ditanam sendiri oleh Empu Purwa atau oleh Ken Dedes meskipun tidak seluruhnya. Belumbang di halaman yang dahulu digenangi oleh air yang jernih itu-pun telah kering, ditaburi oleh daun-daun yang berwarna kekuning-kuningan yang runtuh dari dahan-dahannya.

Ketika Mahisa Agni sampai ke padukuhan yang sepi itu, para cantrik menjadi terkejut sekali. Beberapa orang berdiri dengan mulut ternganga, sedang yang lain saling berpandangan.

“Apakah kalian tidak mengenal aku lagi?” bertanya Mahisa Agni.

“Mahisa Agni,” desis salah seorang dari mereka.

“Ya, Mahisa Agni.”

Para cantrik itu-pun kemudian berlari-larian berebut dahulu menyentuh lengan dan tangan Mahisa Agni. Seseorang mengguncang-guncangnya sambil berkata, “Aku hampir saja tidak mengenal kau. Kau dengan pakaianmu ini, membuat kami bertanya-tanya.”

Mahisa Agni tersenyum. Jawabnya, “Aku mendapat pakaian ini.”

“Kau sekarang seorang hulubalang istana.”

“Aku sekarang adalah aku dahulu,” sahut Mahisa Agni, “kebetulan saja aku sekarang memakai pakaian ini. Tetapi kalau pada suatu saat pakaian ini aku lepas, apakah bedanya aku yang sekarang ini dengan aku yang kau kenal dahulu?”

Para cantrik itu saling berpandangan pula sejenak. “Jangan bingung. Kenalkan kepada kawan-kawanku. Mereka adalah prajurit-prajurit Singasari.”

Mereka-pun kemudian saling berkenalan. Dengan gembira langsung sampai ke tulang sungsum, bukan sekedar memenuhi adat, para cantrik itu mempersilahkan Mahisa Agni dan para prajurit yang lain naik ke pendapa. Meskipun mereka harus mengambil air ke belik di pinggir sungai, namun para cantrik itu telah menjamu mereka dengan minum dan makanan sekedarnya. Jagung bakar dan ubi rebus.

Ketika para prajurit yang lain dipersilahkan beristirahat, maka dengan diam-diam Mahisa Agni pergi ke sanggar pamujan. Dengan hati yang berdebar-debar diambilnya pusakanya dari simpanannya. Sejenak Mahisa Agni mengamat-amati trisula kecil yang berwarna kekuning-kuningan itu. Dan tiba-tiba tanpa sesadarnya, ia-pun teringat, betapa Hantu Karautan yang ternyata memiliki kelebihan dari manusia biasa itu hampir kehilangan kesempatan untuk mempertahankan diri apabila lawannya mempergunakan senjata yang menyilaukan ini.

“Tanda kemerah-merahan di atas kepala Sri Rajasa dikala ia mengerahkan segenap kemampuan lahir dan batinnya, masih juga dapat diimbangi dengan pusaka yang bersumber dari hakekat yang sama,” desis Mahisa Agni di dalam hatinya, “yang akan menentukan kemudian adalah pilihan dari sumber itu sendiri, siapakah yang akan tetap menjadi bayangan yang terpancar di dunia ini dari pada-Nya.

Mahisa Agni sendiri tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja ia telah menilai dirinya dengan pusaka itu dan Sri Rajasa dengan kelebihannya. Mahisa Agni tersadar ketika ia mendengar langkah seorang cantrik lewat di depan sanggar. Dengan tergesa-gesa pusaka itu-pun kemudian dibungkusnya, dan diselipkannya pada ikat pinggangnya, sehingga hampir tidak nampak sama sekali. Sejenak kemudian maka Mahisa Agni-pun keluar dari sanggar dan bertanya-tanya kepada seorang cantrik, apakah yang telah terjadi selama ini di Panawijen.

“Tidak ada apa-apa, selain kering kerontang.”

“Apakah orang-orang yang tinggal di padukuhan baru sering juga datang kemari?”

“Satu dua. Tetapi jarang sekali.”

“Aku akan singgah ke sana nanti,” berkata Mahisa Agni.

“Nah, kesan tentang padukuhan ini dapat kau bandingkan dengan padukuhan yang baru.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Kenapa kalian tetap bertahan disini?”

“Kami tidak sampai hati meninggalkan padepokan ini, sampai pada suatu saat kami tidak dapat bertahan lagi.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia sendiri tidak dapat serta dengan para cantrik bertahan tinggal dipadukuhan itu, meskipun ia adalah murid terkasih dari Empu Purwa.

“Tetapi amal yang dapat aku serahkan kepada kehidupan akan lebih banyak apabila aku berada di antara masyarakat yang bergerak,” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.

Tetapi yang dikatakannya adalah, “Atas nama guruku, aku mengucapkan terima kasih.”

“Apakah kau masih sering bertemu atau dapat menjumpai Empu Purwa dimana-pun dan kapanpun?” bertanya cantrik itu.

Mahisa Agni menundukkan kepalanya. Kemudian ia menggeleng lemah, “Guru sudah menyingkir dari pergaulan. Aku tidak pernah dijumpainya lagi. Sebagai manusia pada suatu saat guru akan sampai pada batas umurnya. Aku tidak tahu, apakah saat itu sudah tiba.”

Cantrik itu mengusap matanya. Lalu katanya, “Aku akan menyelesaikan pekerjaanku.”

Mahisa Agni menggigit bibirnya. Terasa kerongkongannya menjadi terlampau kering. Demikianlah kesetiaan yang tidak kunjung padam dari para cantrik itu. Dari sanggar Mahisa Agni tidak langsung kembali kepada para prajurit yang sedang beristirahat. Tanpa seorang kawan-pun Mahisa Agni berjalan keluar halaman, menyusuri jalan yang menjadi terlampau kotor. Rerumputan liar tumbuh di antara timbunan dedaunan yang kering. Pohon-pohon yang mati masih berdiri seperti kerangka-kerangka raksasa yang kehausan.

Sekali-sekali Mahisa Agni hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil mengusap dadanya. Panawijen telah benar-benar menjadi kering, meskipun di sana-sini masih ada beberapa macam pepohonan yang berdaun, tetapi di musim kemarau yang panjang pepohonan benar-benar akan menjadi gundul.

Selangkah demi selangkah Mahisa Agni berjalan terus. Ditelusurinya jalan yang menuju ke bekas bendungan yang telah pecah. Mahisa Agni tidak tahu, apakah yang telah menuntunnya pergi kesana. Tetapi terasa ia tidak dapat menahan keinginannya untuk melihat bendungan tempat ia bermain di masa kanak-anak. Sambil memandang tanah persawahan dan pategalan yang telah benar-benar menjadi padang yang kering, Mahisa Agni berjalan terus. Ditatapnya padang yang gersang itu sejenak. Tanpa disadarinya Mahisa Agni telah meraba dadanya.

Semakin lama Mahisa Agni menjadi semakin jauh dari padukuhannya. Dilintasinya tanah yang kering menuju kebekas bendungan. Jalan di atas pematang ini dahulu hampir setiap saat dilaluinya. Siang dan malam. Beberapa kali dalam sehari. Tiba-tiba saja langkah Mahisa Agni tertegun. Ia mendengar sesuatu dibalik tebing yang menjadi curam sejak bendungan itu pecah.

“Suara apakah itu?” Mahisa Agni bertanya didalam hatinya. Namun keinginannya untuk mengetahui suara itu-pun telah mendesaknya untuk berjalan terus. Semakin lama menjadi semakin cepat.

Beberapa langkah dari tebing Mahisa Agni berhenti sejenak. Ia tidak mendengar sesuatu kini. Namun sejenak kemudian ia mendengar suara teriakan nyaring, diiringi oleh suara gemuruh bagaikan gempa yang telah meruntuhkan batu-batu padas di tebing. Mahisa Agni tidak salah lagi. Ia mendengar suara seseorang yang sedang berlatih mempergunakan ilmu puncak yang luar biasa. Karena itu, maka ia-pun menjadi berhati-hati. Ia tidak tahu, siapakah yang telah berlatih di bawah tebing itu. Namun hal itu benar-benar telah menarik perhatiannya.

Mahisa Agni-pun kemudian mengambil arah yang lain. Ia tidak langsung pergi ke arah suara itu. Supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, melainkan melingkar lewat bagian yang lain dari tebing itu. Ketika Mahisa Agni sampai di atas tanggul sungai, dengan hati-hati ia menjengukkan kepalanya. Dadanya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat dikejauhan seseorang berdiri dalam sikap yang mantap. Dihadapinya sebuah batu padas yang besar melekat di tebing sungai. Sejenak Mahisa Agni seakan-akan membeku. Ia melihat orang itu mengangkat tangannya, kakinya melingkar setengah lingkaran, kemudian dilemparkannya kakinya kedepan. Dengan suatu loncatan yang tinggi ia memekik sekali lagi.

Darah Mahisa Agni serasa berhenti mengalir. Orang itu seakan-akan telah melenting menggapai sebongkah batu padas yang melekat pada tebing. Kemudian ketika ia sudah mencapai ketinggian yang dikehendaki, tangannya-pun segera terayun. Akibatnya memang dahsyat sekali. Orang itu terdorong surut beberapa langkah. Dengan tangkasnya ia menggeliat dan jatuh tepat di atas kedua kakinya. Sementara itu, suara itu-pun terdengar lagi. Bagaikan batu-batu yang runtuh, sebongkah padas itu pecah berserakan dan jatuh berhamburan.

Sejenak Mahisa Agni tertegun diam. Ia telah melihat pameran aji Kala Bama yang hampir sempurna. Meskipun Mahisa Agni sendiri mampu melakukannya, bahkan melampaui kedahsyatan kekuatan yang baru saja dilihatnya itu, namun bahwa seseorang telah mampu melakukan itu merupakan suatu hal yang pantas mendapat perhatiannya. Sejenak kemudian, barulah ia mengangguk-anggukkan kepalanya.

Selagi orang yang telah memecahkan batu padas itu masih berdiri termangu-mangu menyaksikan hasil latihannya, maka ia-pun terkejut bukan buatan karena ia mendengar suara tepuk tangan di atas tanggul. Tepuk tangan yang bukan sekedar tepuk tangan orang kebanyakan, karena getaran suaranya telah menghentak-hentak dadanya.

Dalam sekejap orang itu menloncat memutar tubuhnya sambil mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Tetapi ketika ia melihat Mahisa Agni berdiri di atas tanggul, maka ia-pun menarik nafas dalam-dalam. “Kau Agni,” sapa orang itu.

Mahisa Agni tersenyum. Sejenak kemudian ia-pun telah meloncat turun kedalam dasar tebing yang curam. Ia tidak telaten turun selangkah demi selangkah, lewat lereng tebing. Karena itu, seperti seekor burung Mahisa Agni meluncur dengan ilmunya, dan dengan kedua kakinya ia-pun kemudian telah berdiri tegak beberapa langkah di hadapan Kuda Sempana.

“Dahsyat sekali Kuda Sempana,” berkata Mahisa Agni.

Kuda Sempana tersenyum pula. Jawabnya, “Jangan terlampau memuji Agni. Belum separo kesanggupanmu.”

“Ah, itu-pun berlebih-lebihan. Tetapi aji Kala Bama yang kau trapkan itu benar-benar dahsyat. Hampir sedahsyat kemampuan Empu Sada sendiri. Namun aku yakin, sebentar lagi, kau akan mampu menyamai gurumu di dalam olah kanuragan, meskipun kau masih harus memperdalam beberapa tahun lagi.”

“Aku telah mengisi waktuku dengan mendalami ilmu peninggalan guru yang sekarang tidak dapat aku temukan lagi. Terakhir, beberapa tahun yang lampau, guru berkata kepadaku, bahwa guru akan pergi menyepi, mendekatkan diri kepada Yang Agung. Guru sama sekali tidak mau diganggu oleh persoalan apapun, sampai saatnya ia kembali ke alam asal. Agaknya guru telah pergi mengikuti gurumu Empu Purwa. Mereka akan kembali dengan hati yang tenteram dan bersih, setelah di dalam hidupnya, mereka tidak mampu melepaskan diri mereka dari dosa yang bagimana-pun bentuknya. Guruku adalah seseorang yang benar-benar telah banyak sekali berbuat dosa, sedang gurumu-pun merasa, bahwa setidak-tidaknya satu dosa yang besar telah dilakukannya. Mengeringkan padukuhan dan padepokan yang selama itu telah dihuninya. Sehingga seluruh penduduk Panawijen menderita karenanya, hanya karena ia menjadi sangat marah atas hilangnya puterinya.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba saja ia teringat, bahwa gurunya telah terlanjur melakukan hal itu, bahkan telah mengutuk bahwa padukuhan ini akan menjadi kering, dan kutuk bagi mereka yang ikut melarikan anaknya itu. Sekilas terkenang olehnya, betapa Kuda Sempana yang saat itu mendapat perlindungan dari Akuwu Tunggul Ametung melarikan Ken Dedes dari padepokan Panawijen. Sudah tentu Kuda Sempana sama sekali tidak menyangka, bahwa akhir dari peristiwa itu justru teah melemparkannya dari istana.

Mahisa Agni seakan-akan tersedar dari mimpinya yang buruk, ketika ia mendengar Kuda Sempana berkata, “Mahisa Agni, marilah singgah ke padepokanku sebentar.”

“Dimanakah padepokanmu itu?”

“Aku telah membuat sebuah padepokan kecil di pinggir sungai ini. Aku-pun telah mencoba hidup memencilkan diri karena aku-pun telah penuh dilumuri dosa. Namun sudah tentu bahwa aku tidak atau belum dapat benar-benar memisahkan diri dari kehidupan, sehingga aku masih juga membangun sebuah padepokan dekat dengan padukuhan tempat kelahiranku. Dengan sengaja aku akan selalu terkenang atas semua peristiwa yang dahsyat didalam hidupku. Aku dilahirkan dan dibesarkan di sini. Aku telah mencoba menculik seorang gadis yang tidak mencintaiku di sini, dan karenanya aku telah menyebabkan kematian Wiraprana, putera Buyut dari padukuhan ini pula. Akibat selanjutnya, adalah hidupku yang pahit dalam petualangan di tangan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia sama sekali tidak berprasangka apa-pun terhadap Kuda Sempana. Ia telah mempercayainya sepenuhnya. Ia melihat niat Kuda Sempana itu dengan tulus.

“Marilah,” ajak Kuda Sempana selanjutnya. Mahisa Agni mengangguk-angguk kecil. Kemudian ia-pun bertanya, “Apakah padukuhanmu itu jauh dari tempat ini.”

“Tidak. Aku membangunkannya di pategalan ayahku yang kebetulan saja terletak di pinggir sungai.”

“Aku ditunggu oleh beberapa orang prajurit,” berkata Mahisa Agni, “aku sedang dalam perjalanan ke Kediri.”

“Aku sudah mendengar bahwa kau adalah salah seorang Panglima yang ikut mengalahkan Kediri. Bahkan kau telah berhasil membunuh Menteri yang perkasa itu, Gubar Baleman.”

“Gubar Baleman adalah seorang pahlawan bagi Kediri.”

Kuda Sempana mengangguk-anggukkan. Lalu, “Marilah, padepokanku tidak terlampau jauh.”

Mahisa Agni-pun kemudian memenuhi ajakan itu mengunjungi padepokan Kuda Sempana. Sebuah padepokan kecil yang sunyi, karena tidak ada orang lain yang tinggal bersamanya, selain seorang adik seperguruannya yang kebetulan ada dipadepokan itu. Mahisa Agni mengerutkan keningnya ketika ia melihat seseorang yang bersenjata tongkat panjang berdiri di halaman padepokan Kuda Sempana. Tongkat itu pernah dikenal bentuknya, tongkat Empu Sada.

“Ia adalah adik seperguruanku yang kebetulan sedang mengunjungi aku,” berkata Kuda Sempana sambil memperkenalkan tamunya kepada Mahisa Agni.

Mahisa Agni membungkukkan kepalanya yang dibalas oleh adik seperguruan Kuda Sempana.

“Namanya Sumekar,” berkata Kuda Sempana kemudian, “ia menerima warisan padepokan guru yang ada di telatah Batil.”

“Tongkat itu?” desis Mahisa Agni.

Kuda Sempana tersenyum. “Ia mewarisi ilmu tongkat guru yang dahsyat itu. Lebih baik daripadaku. Tetapi di sini ia sedang mempelajari ilmu Kala Bama bersama aku.”

“Masih jauh dari cukup,” berkata Sumekar, “aku sedang mengikuti Kakang Kuda Sempana berlatih sebaik-baiknya.”

“Hanya selapis lebih rendah. Ia telah mampu menggetarkan dada setiap orang yang menyaksikannya.”

Sejenak Mahisa Agni duduk di padepokan itu. Didalam percakapan berikutnya, terasa bahwa Kuda Sempana kini benar-benar sudah menjadi Kuda Sempana yang baik. Apalagi adik seperguruannya, rasa-rasanya ia adalah seorang yang jujur dun lurus hati. Karena itu, hampir tanpa sesadarnya ia berceritera tentang perjalanannya. Ia merasa seolah-olah ia telah disingkirkan dari istana, karena kecurigaan bahwa ia berada terlampau dekat dengan Putera Mahkota.

“Mungkin itu hanya sekedar perasaanmu saja Agni,” berkata Kuda Sempana.

“Tidak. Tidak. Aku berkata sebenarnya.” suara Mahisa Agni merendah, “tetapi mungkin juga hanya sekedar perasaanku saja.”

“Kau telah menerima suatu kehormatan besar, bahwa kau yang harus menjabat pangkat itu, seolah-olah kau menjadi wakil raja.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tetapi hal itu sama sekali tidak mengherankan. Kau adalah orang yang paling pantas menerima jabatan itu sekarang. Kau salah seorang Panglima yang ikut memecah Kediri. Dan kau adalah saudara Tuan Permaisuri.”

Mahisa Agni masih mengangguk-anggukkan kepalanya. “Tetapi,” katanya, “aku mempunyai perasaan itu. Mudah-mudahan aku salah.”

Kuda Sempana-pun kemudian mengangguk-angguk pula. “Memang mungkin sekali. Aku tahu, bahwa Putera Mahkota itu bukan Putera Sri Rajasa.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya.

“Aku telah ikut bersalah. Akulah yang mula-mula menjerumuskan Ken Dedes ke dalam jalan hidupnya yang suram sampai saat ini.” Kuda Sempana menundukkan kepalanya, “aku memang banyak mencari keterangan tentang hidup Tuanku Permaisuri. Aku pernah mendendamnya seperti Tuanku Permaisuri pernah mendendam dan menghinakan aku. Tetapi akhirnya, aku kini merasa bersalah.”

“Dari siapa kau tahu, bahwa Putera Mahkota itu bukan putera Sri Rajasa?”

“Ah. aku bukan kanak-anak lagi Agni. Putera Mahkota itu lahir belum sembilan bulan dari perkawinan Sri Rajasa dengan Ken Dedes.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang hampir setiap orang dapat memperhitungkannya. Apalagi orang-orang istana yang mengetahui, bahwa sebenarnya Ken Dedes sudah mengandung pada saat ia kawin dengan Ken Arok yang kemudian bergelar Sri Rajasa. “Mungkin hal itu berpengaruh juga,” gumam Mahisa Agni kemudian.

“Tentu Agni,” sahut Kuda Sempana, “Ken Arok itu adalah manusia seperti kita juga.”

“Mudah-mudahan hal ini akan dapat dibatasi, sehingga Sri Rajasa tidak akan berbuat kesalahan yang lebih besar lagi,” gumam Mahisa Agni seakan-akan ditujukan kepada diri sendiri.

Kuda Sempana tidak menjawab. Ia hanya menganggukkan kepalanya saja. Sejenak kemudian, maka Mahisa Agni-pun segera teringat kepada para prajurit yang pasti menunggunya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia-pun minta diri untuk kembali kepadepokan gurunya.

“Begitu tergesa-gesa,” berkata Kuda Sempana.

“Sudah aku katakan, aku pasti ditunggu oleh prajurit-prajurit itu.”

Akhirnya Mahisa Agni-pun meninggalkan padepokan yang telah dibangun oleh Kuda Sempana. kembali ke bekas Padepokan Empu Purwa. Namun yang selalu dikenangnya adalah kemajuan yang pesat yang telah dicapai oleh Kuda Sempana meskipun ia berlatih seorang diri.

“Seluruh hidupnya hanya diperuntukkan mendalami ilmunya,” berkata Mahisa Agni kepada diri sendiri, “apakah ia masih mempunyai suatu cita-cita atau sekedar melepaskan diri dari kenangan masa lampaunya yang kelam?”

Tetapi Mahisa Agni mempercayainya, bahwa Kuda Sempana yang telah mengalami suatu saat yang paling pahit, dan dengan pengalaman itu ia telah mencari jalan yang terang, tidak akan dengan mudah terperosok lagi kedalam keadaan itu. Ketika Mahisa Agni sampai di bekas padepokan Empu Purwa, dilihatnya beberapa orang prajurit telah menjadi gelisah dan berjalan hilir mudik di halaman.

“Ah, kami hampir tidak sabar menunggu,” berkata salah seorang dari mereka ketika mereka melihat Mahisa Agni memasuki regol halaman.

“Aku pergi ke sungai,” sahut Mahisa Agni.

Para prajurit itu saling berpandangan sejenak, lalu mereka tersenyum bersama-sama.

“Apakah sungai itu jauh,” bertanya salah seorang dari mereka pula.”

“Tidak terlampau jauh. Tetapi aku sempat mengenang masa kanak-anak mencari ikan di bawah rumpon batu atau memet di bawah tebing.”

Para prajurit itu tertawa. Seseorang dari mereka bertanya, “Bagaimana kalau sekarang kita beramai-ramai mencari ikan?”

“Kalau kita sekarang mencari ikan, sudah tentu bukan ikan di sungai itu,” sahut Mahisa Agni.

Prajurit-prajurit yang lain-pun tertawa pula mendengar jawaban itu. Selagi mereka berbicara dan berkelakar, maka datanglah seorang cantrik mendekat Mahisa Agni sambil berkata, “Makan telah kami sediakan.”

“He?” Mahisa Agni terkejut.

“Tetapi hanya sekedarnya. Nasi jagung dengan santan dan garam.”

“Enak sekali,” desis salah seorang prajurit.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah kalian masih mempunyai simpanan jagung?”

“Ya. Di musim hujan kami sempat menanami pategalan. Bukan saja pategalan peninggalan Empu Purwa, tetapi pategalan yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya yang berpindah kepadukuhan baru itu-pun atas ijin mereka, telah kami tanami pula, sehingga kami sempat menyimpan beberapa ontong jagung.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Para cantrik itu pasti sudah bekerja terlampau keras untuk dapat mencukupi kebutuhan mereka. Dan kini mereka sempat menjamunya bersama beberapa orang prajurit dengan nasi jagung. Betapa enaknya makan di padepokan yang kering itu. Ternyata para cantrik telah menangkap dan menyembelih seekor ayam yang besar.

Setelah mereka beristirahat sejenak setelah makan, maka Mahisa Agni-pun segera minta diri untuk melanjutkan perjalanan. Mahisa Agni masih akan singgah di padukuhan Panawijen baru di Padang Karautan dan akan bermalam di sana. Di keesokan harinya, mereka akan melanjutkan perjalanan ke Kediri.

“Matahari sudah hampir tenggelam. Kalian akan kemalaman dijalan,” berkata seorang cantrik.

“Sebelum tengah malam kami pasti sudah sampai di Karautan.”

Para cantrik tidak dapat lagi mencegah Mahisa Agni dan para prajurit itu. Meskipun hari sudah mulai gelap, namun mereka berangkat juga meneruskan perjalanan mereka menuju ke Panawijen yang baru, yang telah mereka bangun di Padang Karautan.

Sejenak kemudian maka kaki-kaki kuda itu-pun berderap di sepanjang jalan yang berdebu. Tetapi tidak ada seorang-pun lagi yang menjengukkan kepalanya dari rumah di sebelah menyebelah jalan, karena padukuhan itu kini benar-benar telah menjadi sunyi. Rerumputan liar yang kekuning-kuningan tumbuh di setiap halaman rumah yang tidak pernah dibersihkan sama sekali.

Ketika kuda-kuda itu telah keluar dari padukuhan yang kering dan sunyi itu. maka mereka-pun seakan-akan telah berpacu. Mereka harus segera sampai ke Padang Karautan, agar mereka sempat beristirahat malam ini. Besok mereka akan meneruskan perjalanan mereka menuju ke tempat tugas mereka yang baru.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat, padang yang luas terbentang di hadapannya. Sekilas ia-pun teringat kepada seorang yang disebut Hantu Karautan. Di masa mudanya padang ini sama sekali tidak aman. karena hampir setiap orang yang berjalan di padang ini selalu diganggunya. Hanya kelompok-kelompok sajalah yang dilepaskannya. Bahkan kelompok kecil-pun kadang-kadang telah dicerai beraikannya dengan kemampuan alamiah yang luar biasa.

“Padang ini kini menjadi aman,” desis Mahisa Agni di dalam hatinya, “karena hantu yang tinggal dipadang ini telah berpindah ke istana.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Bagi Singasari Ken Arok adalah hantu yang memuakkan sekaligus dewa penyelamat dan pemelihara, bahkan pencipta. Tanpa disadarinya Mahisa Agni meraba lambungnya. Pusaka kecil yang berbentuk trisula dan berwarna kekuning-kuningan itu membuatnya tenang.

“Aku tidak akan berbuat apa-apa. Anusapati-pun aku larang berbuat sesuatu yang dapat mengeruhkan Kerajaan Singasari. Anusapati hanya harus berjuang agar kedudukannya sebagai Putera Mahkota itu tidak goyah dan tidak terdesak karena seribu macam alasan.”

Kuda-kuda itu-pun berpacu semakin lama menjadi semakin cepat. Di garis perpaduan antara bumi dan langit tampaklah bayangan-angan sebuah padukuhan yang hitam menjorok di wajah langit yang biru.

“Itulah padukuhan Panawijen yang baru.”

Kedatangan Mahisa Agni ternyata telah mengejutkan orang-orang Panawijen. Para peronda menyongsong mereka dengan penuh kecurigaan.

“Aku. Mahisa Agni,” teriak Mahisa Agni.

“O,” hampir berbareng para peronda itu berdesis, “Mahisa Agni.”

Nama itu telah disahut oleh orang-orang yang ada digardu, “Mahisa Agni.”

Sejenak kemudian nama Mahisa Agni itu-pun telah disebut hampir oleh setiap mulut orang-orang Panawijen. Ki Buyut-pun kemudian turun dari rumahnya dan berjalan tersuruk-suruk ke banjar padukuhan.

“Kau Ngger,” sapa Ki Buyut dengan wajah cerah, “kau sekarang seorang prajurit yang perkasa. Sebenarnya sejak dahulu kau mendapat kesempatan itu. Tetapi baru sekarang aku menyaksikan kau mengenakan pakaian seorang Panglima.”

“Ah,” Mahisa Agni berdesah, “mudah-mudahan pakaian ini justru tidak memberati aku, Ki Buyut.”

“Tentu tidak bagimu. Kalau aku yang mengenakan pakaian itu, maka umurku tidak akan lebih dari tiga hari,” Ki Buyut tersenyum.

Mahisa Agni-pun tertawa. Kemudian diperkenalkannya prajurit-prajurit yang besertanya dari Singasari.

“Inikah pengawalmu?”

“Kawan seperjalanan,” sahut Mahisa Agni.

“Istilah yang sulit,” berkata seorang Senapati, “yang mudah dan benar adalah yang Ki Buyut sebutkan, pengawal. Tetapi itu-pun sebenarnya kurang tepat, karena apabila ada marabahaya. kamilah yang akan dikawal olehnya.”

Para prajurit, Ki Buyut, Mahisa Agni dan orang-orang Panawijen yang mendengarnya tertawa karenanya. Demikianlah pertemuan itu merupakan pertemuan yang menyenangkan setelah sekian lama mereka tidak bertemu. Mahisa Agni yang rindu kepada kampung halaman telah berhasil menyaksikan Padukuhan Panawijen yang lama dan yang baru.

“Aku singgah di padukuhan lama,” berkata Mahisa Agni.

“Apakah kau bertemu dengan Kuda Sempana?” bertanya Ki Buyut.

“Ya, selagi aku pergi ke bekas bendungan itu.”

“Ialah sebenarnya yang kini menunggui Padukuhan itu.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tetapi ia akan menjadi anak yang baik.”

“Aku singgah sejenak ke padepokannya. Adik seperguruannya lagi berada di sana.”

Ki Buyut mengangguk-angguk pula. “Ia menyesali jalan gelapnya di masa lampau.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk, sedang seorang Senapati yang sebaya dengan Mahisa Agni bertanya, “Kuda Sempana yang dahulu seorang Pelayan Dalam?”

“Ya.”

Senapati itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Ia terjebak oleh kelakuannya sendiri. Ia membawa Tuanku Permaisuri ke Tumapel, tetapi akhirnya kelakuannya itulah yang mengusirnya dari istana dan hidup dalam perantauan.”

“Ia sudah baik sekarang.”

“Aku tidak tahu kalau ia berada di padukuhannya kembali. Kalau aku tahu, aku-pun ingin menemuinya.”

“Ia memang menyendiri.”

Senapati itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian maka Mahisa Agni dan para prajurit itu-pun dijamu oleh Ki Buyut Panawijen dengan jamuan yang lebih baik dari jamuan para cantrik di Panawijen. Tetapi karena mereka makan jamuan di Panawijen dengan perut yang lapar, maka rasa-rasanya nasi jagung itu terlampau enak. Sedang kini mereka masih belum begitu lapar, apalagi di tengah malam. Namun apa yang dihidangkan akhirnya habis pula sampai butir nasi yang terakhir.

“Berapa hari kalian tinggal di sini?” bertanya Ki Buyut Panawijen.

“Besok kita meneruskan perjalanan,” sahut Mahisa Agni yang kemudian menceritakan tugas mereka yang mereka terima dari Sri Rajasa. Tetapi, kepada Ki Buyut Mahisa Agni tidak mengatakan kecurigaannya, apalagi di hadapan para prajurit Singasari sendiri yang belum diketahuinya sikap dan pendirian mereka mengenai Putera Mahkota.

“Terlampau tergesa-gesa,” sahut Ki Buyut.

“Perintah yang tiba-tiba, selagi keadaan di Kediri semakin memburuk.”

“Mudah-mudahan kau dapat senyelesaikan tugasmu dengan baik.”

Demikianlah, setelah bermalam semalam yang tidak penuh, serta dipagi harinya telah berkesempatan untuk bertemu dengan kawan-kawannya di Panawijen yang baru itu. maka Mahisa Agni dan para pengawalnya-pun segera minta diri untuk meneruskan perjalanan mereka ke Kediri. Sejenak mereka sempat singgah di sendang buatan, yang telah dibuat oleh Ken Arok atas perintah Akuwu Tunggul Ametung.

“Sendang ini masih tetap terpelihara baik,” berkata Mahisa Agni.

Para pengawalnya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Ada beberapa orang hamba istana yang khusus dituakan disini,” berkata Mahisa Agni selanjutnya.

“Ya, hanya dua orang,” sahut salah seorang Senapati, “Yang lain adalah tenaga orang-orang Panawijen. Getek itu masih juga ada di sana.”

Tidak ada seorang-pun yang menyahut. Mahisa Agni memandang wajah sendang yang memantulkan cahaya matahari pagi dengan jantung berdebar-debar. Disinilah agaknya pertemuan Ken Dedes dan Ken Arok sehingga hati mereka telah bersentuhan. Kini danau buatan ini seakan-akan menjadi kesepian sendiri. Tidak pernah lagi ada seseorang keluarga istana-pun yang bercengkerama di sini. Ken Dedes-pun tidak pernah. Mungkin ia tidak mau mengenangkan masa-masa lampaunya yang tidak begitu cerah, bahkan sampai saat inipun.

“Kasihan anak itu,” desis Mahisa Agni di dalam hatinya, “seandainya anak itu tetap berada di padepokan dan kawin dengan Wiraprana, mungkin keadaannya akan jauh berbeda.”

Tetapi tidak seorang-pun yang dapat menghindarkan diri dari perjalanan hidup yang memang telah disuratkan oleh Yang Maha Agung. Demikianlah, maka setelah Mahisa Agni puas memandang pantulan wajah air danau yang bening itu. mereka-pun segera pergi meninggalkan padang Karautan.

Kedatangan Mahisa Agni di Kediri, mendapat sambutan yang sangat meriah. Baik oleh para petugas Singasari yang ada di Kediri maupun oleh orang-orang Kediri sendiri. Setiap orang mengetahui bahwa Mahisa Agni adalah Kakanda Permaisuri dari Singasari dan setiap orang tahu akan kemampuannya sebagai seorang Panglima. Mahisa Agnilah yang mampu mengalahkan Gubar Baleman tanpa menyakitkan hatinya. Tetapi Mahisa Agni pulalah yang selalu menyebut bahwa Gubar Baleman seperti juga Mahisa Walungan dan Sri Kertajaya sendiri, adalah pahlawan-lawan yang besar. Tetapi sebagai manusia mereka tidak luput dari kesalahan dan kadang-kadang kehilangan keseimbangan.

Kehadiran Mahisa Agni di Kediri, membuat pemerintahan Kediri semakin mantap. Semuanya dapat berjalan dengan lancar dan baik. Adalah suatu kebijaksanaan bahwa Mahisa Agni tidak dengan tergesa-gesa melihat kekurangan dan penyimpangan dari sementara orang di dalam pemerintahan Kediri. Ia untuk sementara sama sekali tidak berbuat apa-apa kecuali mengikuti perkembangannya. Setelah hampir sebulan Mahisa Agni berada di Kediri, ia merasa heran, bahwa ia tidak melihat keadaan yang disebutkan memburuk di Kediri. Mereka bahkan menjadi semakin baik dan ikatan kesatuan dengan Singasari-pun menjadi semakin terasa.

Maka semakin kuatlah tanggapan Mahisa Agni, bahwa dirinya memang telah disingkirkan dari istana Singasari. Itulah sebabnya maka Mahisa Agni menjadi semakin berprihatin. Ia tidak dapat mengerti, apa saja yang telah dilakukan oleh Anusapati di Singasari. Apakah ia masih tetap melatih diri dan berusaha menguasai ilmunya baik-baik, atau pada suatu saat beberapa orang yang ditugaskan oleh Ken Umang untuk mengamat-amatinya dapat melihat kelebihannya, kemudian dengan segala cara ia-pun akan disingkirkan, atau apa-pun juga. Tetapi Mahisa Agni tidak dapat berbuat lain daripada berprihatin. Ia tidak dapat melawan perintah untuk tetap berada di Kediri, meskipun sebenarnya tidak ada yang pantas dikerjakan selain mengikuti perkembangan Kediri sebaik-baiknya.

Sementara itu Anusapati yang telah ditinggalkan oleh Mahisa Agni, serasa menjadi semakin kesepian. Ia tidak lagi mempunyai kawan berlatih, sehingga kadang-kadang timbul pula kejemuannya. Namun apabila teringat olehnya pesan pamannya, bahwa ia adalah seorang Putera Mahkota, maka gairahnya-pun segera tumbuh kembali. Dengan tekun ia berlatih. Bahkan kadang-kadang Anusapati diam-diam telah meninggalkan istana dan mencari tempat yang terpencil untuk melatih diri.

Anusapati yang telah meningkat dewasa itu ternyata adalah seorang anak muda yang tangkas meskipun wajahnya selalu muram. Bahkan kadang-kadang di wajah itu membayang dendam yang tidak kunjung padam. Dengan bekal yang ada padanya, ia mencoba untuk menyempurnakan ilmunya. Setiap hari ia maju setingkat demi setingkat. Dasar-dasar ilmu Gundala Sasra yang telah dipelajarinya, selalu dicobanya dan dimatangkannya.

Kadang-kadang Anusapati pergi ke tebing sungai yang jauh dan sepi. Kalau ia sudah yakin, bahwa tidak ada lagi orang yang menyaksikannya maka mulailah ia berlatih dengan bersungguh-sungguh. Dipusatkannya segenap kemampuan dan pikiran di dalam latihan-latihan itu. Sekali-sekali dicobanya juga melepaskan kekuatannya pada tebing sungai dan batu-batu besar yang berserakan.

Sampai sedemikian jauh Anusapati masih tetap mampu merahasiakan dirinya terhadap ayah dan keluarga-keluarga lain didalam istana. Dihadapan pelatihnya ia tetap seorang anak muda yang lambat, meskipun ia berusaha untuk menyesuaikan dirinya. Namun setiap kali sindiran-sindiran yang tajam telah dilontarkan oleh pelatih-pelatihnya di istana sehingga kadang-kadang Anusapati hampir tidak dapat menahan hati lagi. Tetapi kesadarannya, bahwa ia memiliki kemampuan yang sebenarnya lebih besar dari Tohjaya telah membuatnya untuk tetap bersabar.

Dengan demikian maka Anusapati sebenarnya telah mendapat latihan lahir dan batin yang sebaik-baiknya. Usahanya untuk mengekang diri itu adalah suatu latihan yang sangat berharga baginya meskipun pada suatu saat Anusapati sampai juga pada batas yang tidak dapat dilampauinya. Meski demikian, meskipun tidak seorang-pun dari istana Singasari yang mencurigainya, bahwa ia memiliki kemampuan yang sebenarnya mengagumkan, namun seseorang justru dari luar istana, berusaha untuk mengetahui, sampai betapa jauh kemampuan Anusapati sebenarnya.

Itulah sebabnya, diluar pengetahuan Anusapati sendiri, orang itu selalu berusaha untuk dapat menjumpainya. Dengan pengamatan yang cermat akhirnya orang itu dapat mengetahui, bahwa setiap kali Putera Mahkota itu dengan menyamar diri, keluar dari istana lewat regol-regol butulan, atau bahkan kadang-kadang memanjat dinding. Dengan pakaian seorang gembala ia pergi ke pinggir sungai dan di dalam kesepian ia melatih diri menyempurnakan ilmunya, Gundala Sasra.

Gemuruh bunyi tebing itulah yang memperkenalkannya dengan Putera Mahkota itu. Semula ia menyangka bahwa seseorang dari suatu perguruan yang tersembunyi telah mencoba memperbandingkan ilmunya dengan ilmu-ilmu yang telah dikenal. Tetapi setelah dengan tekun diikutinya, maka segera ia-pun mengenal ciri ilmu itu. Gundala Sasra.

“Inilah Puteran Mahkota, murid Mahisa Agni itu,” katanya di dalam hati.

Sejak itu maka ia-pun selalu mengikuti latihan-latihan Anusapati tanpa diketahui oleh anak muda itu. Sehingga pada suatu saat. ketika Anusapati lagi sibuk melatih diri tanpa disadarinya, perlahan-lahan orang itu datang mendekatinya dari atas tanggul. Demikian Anusapati memusatkan kekuatan aji Gundala Sasra mengarah pada sebuah batu karang di tebing seberang, orang itu-pun memusatkan kekuatannya yang ditujukan pada tebing di seberang pula. Di sebelah arah kekuatan aji Gundala Sasra.

Sehingga dengan demikian, maka pada suatu saat, dua orang sedang memusatkan kekuatan masing-masing. Yang seorang dibawah tebing yang lain diatas, dengan sasaran pada dinding tebing di seberang. pada jarak yang tidak begitu jauh. Ketika keduanya telah mencapai puncak pemusatan kekuatan, hampir bersamaan pula mereka telah melepaskan kekuatan masing-masing sehingga menumbuhkan suara yang gemuruh, seakan-akan bumi telah diguncang oleh gempa yang maha dahsyat.

Ketika batu-batu karang tebing di seberang berguguran di dua tempat, serasa darah Anusapati terhenti. Ia sadar, bahwa seseorang telah mengikutinya dan mengetahui, apa yang telah terjadi. Karena itu, maka ia tidak mempunyai pilihan lain dari menangkap dan membinasakan orang itu, atau dirinya binasa sama sekali. Maka dengan lincahnya, Anusapati meloncat dari batu kebatu, seolah-olah sama sekali tidak diberati oleh bobot tubuhnya ia memanjat tebing, menemui orang yang telah menunjukkan kemampuannya dengan cara yang aneh kepadanyya. Tetapi ketika mereka sudah berdiri berhadapan, Anusapati menjadi heran.

Orang itu sama sekali tidak bersikap memusuhinya. Dengan tangan kiri memegang sebuah tongkat yang panjang, ia membungkukkan kepalanya dalam-dalam sambil berkata, “Ampun Tuanku, hamba mencoba untuk memperkenalkan diri terhadap Tuanku Putera Mahkota. Apabila cara hamba tidak berkenan dihati Tuanku, hamba mohon maaf yang sebesar-besarnya.”

“Siapa yang mengatakan kepadamu, bahwa aku adalah Putera Mahkota?”

“Meskipun Tuanku berpakaian seperti seorang gembala, namun aji Gundala Sasra itulah yang telah mengatakan kepada hamba bahwa Tuanku adalah satu-satunya murid kakang Mahisa Agni.”

Anusapati menjadi termangu-mangu. Tetapi ia tidak kehilangan kewaspadaan. “Siapa kau?” ia bertanya.

“Apakah Tuanku tidak mengenal permainan hamba yang sama sekali tidak berharga?”

“Aku tidak melihat kau bersikap. Aku hanya melihat akibat dari aji yang kau lontarkan. Dahsyat sekali.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tuanku, nama hamba Sumekar. Hamba adalah murid seorang Empu yang pernah mengalami jalan sesat. Untunglah di saat-saat terakhir, guru hamba dapat menemukan jalan kembali, bahkan akhirnya menemukan jalan yang serupa dengan guru kakang Mahisa Agni.”

Anusapati mengerutkan keningnya. “Ya, tetapi siapakah kau, dan dimana kau sekarang berdiri?”

“Guru hamba bernama Empu Sada, sedang guru kakang Mahisa Agni bernama Empu Purwa.”

“Ya, kakekku sendiri, seorang pendeta dari padukuhan Panawijen. Ayahanda ibunda Permaisuri dan pamanda Mahisa Agni.”

“Hamba Tuanku.”

“Lalu, dari siapa kau tahu bahwa aku adalah murid paman?”

“Sudah hamba katakan. Gundala Sasra itu. Selain itu, Kakanda Mahisa Agni juga mengatakannya.”

“Kau bertemu dengan paman Mahisa Agni?”

“Ya, selagi kakang Mahisa Agni berangkat ke Kediri beberapa waktu yang lampau. Dengan susah payah hamba mencoba untuk mencari dan bertemu dengan Tuanku Putera Mahkota, namun baru sekaranglah hamba sempat menghadap langsung.”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia adalah orang yang cukup berhati-hati, sehingga ia tidak begitu mudah untuk percaya begitu saja.

“Tuanku,” berkata orang itu, “kakang Mahisa Agni berkata kepada hamba, bahwa Tuanku selalu kesepian karena tiada kawan.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi semakin percaya, bahwa orang yang berdiri dihadapannya itu memang benar-benar telah bertemu dengan pamannya Mahisa Agni.

“Karena itulah Tuanku,” berkata Sumekar seterusnya, “hamba telah membuang sebagian dari waktu hamba untuk mencari kesempatan menghadap Tuanku. Kalau berkenan dihati Tuanku, hamba akan bersedia menjadi seorang pelayan bagi Tuanku. Mungkin hamba dapat sekedar mengisi kekosongan waktu Tuanku, di dalam atau diluar istana.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku senang sekali mendapatkan seorang kawan. Sumekar. Bukankah namamu Sumekar?”

“Hamba Tuanku.”

“Tetapi paman Sumekar, aku tidak akan dapat membawa paman Sumekar masuk ke istana. Meskipun aku seorang Putera Mahkota, tetapi selagi aku masih dalam keadaan seperti sekarang, aku sama sekali tidak mempunyai kekuasaan apapun.”

Sumekar menganggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata, “Ampun Tuanku. Mungkin Tuanku tidak mendapat kesempatan untuk membawa hamba masuk kedalam lingkungan istana. Tetapi kalau Tuanku berkenan menyampaikannya kepada ibunda Permaisuri, barangkali ibunda Permaisuri dapat mencari jalan.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Baru ia teringat bahwa meskipun ia sendiri tidak mempunyai kekuasaan. namun ibunya masih juga mempunyai wewenang sebagai seorang Permaisuri. “Baiklah. Aku akan menghadap Ibunda Permaisuri. Aku akan mohon kepada ibunda, agar ibunda sudi memanggil kau dan menjadikan kau seorang hamba istana.”

“Hamba akan sangat berterima kasih, apabila hamba mendapat kesempatan.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Katanya, “Mudah-mudahan Ibunda Permaisuri tidak berkeberatan.”

Demikianlah, maka setelah Anusapati kembali ke istana, ia berusaha untuk dapat menghadap Ibunda Permaisuri. Tetapi untuk mendapat kesempatan yang demikian tanpa ada orang lain ternyata terlampau sulit. Ibunya selalu dikerumuni oleh para emban yang tidak dapat diketahui, apakah emban itu setia kepada ibunda Permaisuri atau sekedar dipasang sebagai emban di dalam lingkungan bangsal Permaisuri, tetapi justru menjadi seorang pengawas. Anusapati yang telah menjadi semakin dewasa itu tidak dapat dikelabui lagi. Meskipun ibunya seorang Permaisuri dan dirinya sendiri seorang Putera Mahkota, tetapi hidup mereka seakan-akan merupakan orang-orang tawanan yang selalu diawasi.

Namun akhirnya Anusapati mendapat kesempatan itu. Ibunya yang menjadi semakin pendiam itu, kadang-kadang tanpa diketahui oleh para embannya, pergi kedalam bilik emban tua yang sudah menjadi semakin lemah. Emban tua pemomongnya. Hanya kepada pemomongnya itu sajalah ia dapat membagi sebagian dari beban yang memberati hatinya, Hanya sebagian. Namun setiap kali ia menumpahkan beban yang sebagian itu, terasa dadanya menjadi agak lapang. Anusapati-pun agaknya dapat mengerti, bahwa emban tua pemomong ibunya itu adalah orang yang paling dapat dipercaya. Karena itu maka ia telah berusaha untuk mendapat kesempatan itu, selagi ibunda Permaisuri berada di bilik emban tua itu.

“Siapakah orang itu?” bertanya Ken Dedes.

“Hamba baru mengenalnya. Namun setiap kali hamba berusaha menjumpainya diluar istana.”

“Kau sering pergi keluar istana?”

“Hamba ibunda. Tetapi hanya kadang-kadang saja. Hamba ingin melihat keramaian di luar istana. Setiap kali ayahanda pergi keluar, berkeliling negeri atau pergi berburu, hamba tidak pernah dibawa serta seperti Adinda Tohjaya. Itulah sebabnya hamba kadang-kadang pergi sendiri.”

“Ah, jangan mengiri anakku. Itu adalah sifat yang kurang baik.”

“Tidak ibu. Hamba sama sekali-sekali tidak beriri hati. Hamba hanya ingin mengatakan alasan hamba, kenapa hamba sering diam-diam pergi ke luar istana.”

“Lalu apakah gunanya kau membawa orang itu.”

“Bukan apa-apa bunda. Tetapi hamba merasa, bahwa orang itu adalah orang yang baik. Orang yang dapat dibawa berbincang mengenai beberapa hal. Orang yang barangkali juga berhati kering seperti hamba. Tetapi lebih daripada itu, orang itu sudah mengenal paman Mahisa Agni dengan baik.”

“Siapa namanya?”

“Sumekar.”

Ken Dedes mengerutkan keningnya. Ia belum pernah-mendengar nama itu.

“Mungkin ibu belum pernah mengenalnya. Ia berasal dari Padepokan Batil.”

Ken Dedes menggeleng-gelengkan kepalanya, “Aku belum mengenalnya.”

“Tuanku Putera Mahkota,” sela emban pemomong Ken Dedes, “apakah ia seorang cantrik?”

Anusapati menjadi ragu-ragu sejenak. Ia tidak dapat mengatakan bahwa orang yang bernama Sumekar itu adalah seorang yang berilmu tinggi, seperti ia menyembunyikan Ilmunya sendiri terhadap siapapun.

“Seorang cantrik dari seorang guru barangkali?”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya, “ya. Ia adalah seorang cantrik.”

Pemomong Ken Dedes itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Tuan Puteri. Seandainya orang itu dapat mengurangi perasaan asing bagi Putera Mahkota, apakah salahnya?”

“Baiklah. Aku memanggilnya.”

“Tetapi ibu, jangan ibu mengatakan bahwa aku memerlukannya.”

Ibunya mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah Putera Mahkota yang suram itu sejenak. Kemudian perlahan-lahan ia mengangguk sambil menarik nafas dalam-dalam. Namun demikian ia masih juga bertanya, “Kenapa Anusapati?”

Anusapati terdiam sesaat. Sekilas ia memandang ibunya, namun kemudian kepalanya tertunduk dalam-dalam. “Tidak ada seorang-pun yang boleh dekat dengan hamba.”

“Anusapati,” potong ibunya.

“Hamba merasakan hal itu. Bahkan hamba merasa sebagai orang asing di dalam istana ini. Janganlah seorang Putera Mahkota yang kelak akan menggantikan kedudukan seorang raja, sedangkan dengan seorang hamba sahaya yang paling rendah-pun hamba merasa lebih tersisih.”

“Jangan berkata begitu Anusapati. Kau adalah anakku. Putera seorang Permaisuri.”

“Ya bunda. Tetapi diluar bilik ini, di luar bilik bangsal ibunda, aku sama sekali tidak diacuhkan lagi. Bukan saja oleh Ayahanda Sri Rajasa, tetapi para prajurit yang melihat hamba-pun memalingkan wajahnya.”

“Anakku,” terasa mata Ken Dedes menjadi panas, “kau terlampau perasa. Tidak ada suatu niat-pun untuk memperlakukan kau demikian dari siapa-pun juga.”

“Setiap orang berkata begitu kepadaku. Paman Mahisa Agni, bibi emban dan ibunda Permaisuri. Tetapi hamba mempunyai perasaan itu.”

Ken Dedes tidak dapat menjawab lagi. Titik air matanya mulai membasahi pelupuknya.

“Maaf ibu,” desis Anusapati, “hamba tidak bermaksud untuk menyusahkan hati ibunda.”

Ken Dedes menggelengkan kepalanya, “Tidak Anusapati. Kau tidak bersalah.”

“Karena itu, hamba akan sangat berterima kasih kalau orang itu dapat menjadi hamba di dalam istana ini. Hamba akan mendapatkan seorang kawan sebagai pengganti paman Mahisa Agni yang sudah disisihkan.”

“Disisihkan? Apa maksudmu Anusapati?” potong ibunya.

“Bukan, bukan. Maksudku yang kini sudah tidak berada di istana ini lagi.”

Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih berpikir, alasan apakah yang akan dipergunakan untuk memanggil orang yang bernama Sumekar itu.

“Apakah Tuanku akan memanggilnya?” bertanya pemomongnya.

“Ya bibi. Tetapi apakah alasanku.”

“Hambalah yang memohon kepada Tuanku. Hamba akan menyebutnya sebagai anak. Hamba memohon pekerjaan bagi anak hamba di dalam istana. Mungkin sebagai juru taman atau juru pangangsu.”

Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah. Besok aku akan memanggilnya, karena permohonanmu.”

Demikianlah, maka Sumekar yang diaku sebagai anak laki-laki pemomongnya akhirnya menjadi hamba istana di Singasari. Setiap orang menganggapnya, bahwa ia adalah anak pemomong Ken Dedes yang tua itu.

“Kau harus melatih dirimu mencintai tanaman,” berkata juru taman yang sudah berambut putih kepada Sumekar yang kemudian menjadi juru taman pula.

“Ya paman. Pada dasarnya aku memang mencintai tanaman. Di rumah aku menanam pepohonan.”

“Pohon apa?”

“Melinjo dan wuni.”

“Bodoh kau. Disini yang ditanam adalah pohon bunga-bungaan seperti ini.”

“Ya. ya.”

“Belajarlah mengenal setiap jenis pohon bunga ini. Kau harus mengenal tabiat dan watak masing-masing. supaya kau tidak salah mengasuhnya. Ada jenis yang gemar air. Kau harus menyiramnya pagi dan sore, sebanyak-banyaknya. Tetapi ada yang tidak begitu memerlukannya, meskipun seandainya kau siram-pun tidak apa-apa. Tetapi ada yang memang tidak berani tergenang air sama sekali.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Aku akan belajar.”

“Jangan kau pelajari. Tetapi kau harus mengenal seperti kau mengenal isterimu. Kau tidak dapat belajar beristeri. kalau kau tidak dapat mengenal sifat dan tabiatnya.” orang itu berhenti sejenak, “he, apakah kau sudah beristeri?”

“Sudah paman.”

“Dimana isterimu?”

“Sayang. Ia meninggal disaat melahirkan anakku yang pertama.”

“Anakmu?”

“Juga meninggal.”

“Kasihan kau. Bukan maksudku untuk mempercakapkan seorang isteri. Tetapi baiklah. Belajarlah mengenal tanaman, eh maksudku, kenalilah tanaman-tanaman ini baik-baik. Aku akan memberimu petunjuk-petunjuk. Aku sudah terlampau tua. sedang seorang kawanku, seorang yang terlampau gemuk itu malasnya bukan main. Ia lebih senang tidur mendengkur di bawah pohon sawo beludru itu daripada bekerja.”

“Aku akan bekerja sebaik-baiknya. Tetapi apakah keluarga Sri Rajas …”

“Hus, sebut Tuanku Sri Rajasa.”

“Ya, maksudku apakah keluarga Tuanku Sri Rajasa sering bercengkerama ke taman ini?”

“Kadang-kadang Taman ini adalah taman istana dalam. Taman ini daerah cengkerama Tuanku Permaisuri. Sedang taman yang di sebelah dinding adalah Taman isteri Tuanku Sri Rajasa yang muda. Tuan Puteri Ken Umang.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedikit demi sedikit ia mencoba mengenal isi istana Singasari. Diamatinya setiap lorong, setiap longkangan, setiap regol dan bangsal. Dan akhirnya ia tahu pula, bangsal tempat tinggal Permaisuri dan bangsal tempat Putera Mahkota di Kasatrian.

Baik Sumekar mau-pun Anusapati berusaha untuk membatasi hubungan mereka, agar orang-orang lain tidak mengetahuinya, bahwa mereka selalu bertemu dalam kesempatan-kesempatan yang ada. Bahkan setelah beberapa lama berada di istana Sumekar dan Anusapati mulai mencari kesempatan untuk berlatih bersama. Ternyata bahwa kesempatan yang terbaik bagi mereka adalah malam hari. Dengan diam-diam mereka berdua mencari kesempatan untuk meninggalkan istana, pergi ke lereng atau ke tebing sungai yang cukup jauh.

Di hari-hari pertama ternyata Anusapati dapat lebih lancar mengikuti tata gerak Sumekar, karena Mahisa Agni sudah memperkenalkan beberapa unsur gerak yang didapatkannya dari pada Empu Sada. Namun setelah mereka berhari-hari berlatih bersama, maka semuanya berjalan dengan baik.

Anusapati menjadi agak gembira setelah ia mendapatkan seorang kawan yang meskipun sudah lebih tua daripadanya. Tetapi Sumekar berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Semakin lama ia berada di istana, maka ia-pun semakin melihat kepincangan sikap Sri Rajasa terhadap Putera-puteranya, meskipun ia jarang-jarang melihat hubungan itu secara langsung.

“Kasihan,” katanya, “seperti kata kakang Mahisa Agni.”

Karena itu maka Sumekar-pun berusaha untuk dapat mengisi kekosongan hati Putera Mahkota. Karena tidak ada cara lain yang dapat dipergunakan dan sesuai dengan keadaan masing-masing. maka yang mereka lakukan adalah berlatih dan berlatih terus. Sekali-sekali di dalam suatu kesempatan, Sumekar-pun berusaha memperluas pengetahuan Putera Mahkota dengan berbagai ceritera tentang masa-masa silam, ceritera-ceritera yang pernah didengarnya dari Mahabarata dan Ramayana.

“Bukankah di istana ada perbendaharaan kitab-kitab kakawin dan kidung-kidung,” bertanya Sumekar.

“Tentu ada. Tetapi aku tidak pernah mendapat kesempatan.”

“Kalau hamba mendapat kesempatan pulang ke Padepokan, hamba akan mengambilnya. Hamba mempunyai beberapa kitab yang dapat dipelajari.”

“Aku akan senang sekali paman.”

Maka pada suatu saat, juru taman yang bernama Sumekar itu mohon ijin untuk dua tiga hari pulang kepadepokannya, untuk menengok keluarganya yang ditinggalkannya. Demikianlah, maka ketika ia kembali, dibawanya beberapa buah lontar yang berisikan berbagai-bagai macam ceritera yang bagi Anusapati merupakan suatu kesibukan baru. Dengan tekun ia membaca berbagai macam ceritera yang mengandung nasehat dan petunjuk-petunjuk yang sangat berharga bagi dirinya.

Dalam pada itu, tanpa diminta, Kuda Sempana telah pergi menghubungi Mahisa Agni di Kediri. Kepadanya diceriterakan bahwa Sumekar telah berhasil mengabdi di istana Singasari.

“Terima kasih,” berkata Mahisa Agni, “mudah-mudahan kehadirannya di istana dapat menambah gairah menghadapi masa depan bagi Anusapati.”

“Ya. Agaknya Sumekar dapat menyesuaikan dirinya.”

Dengan demikian maka Kuda Sempana dengan suka rela telah menempatkan dirinya sebagai penghubung antara Anusapati dan Mahisa Agni. Lewat Sumekar ia mendengar banyak hal tentang Putera Mahkota itu, kemudian berita-berita itu dibawanya ke Kediri. Demikian juga pesan dari Mahisa Agni selalu disampaikannya kepada Sumekar yang menyampaikannya kepada Anusapati.

“Siapakah orang yang selalu hilir mudik ke Kediri itu paman?” bertanya Anusapati pada suatu saat.

Sumekar terenyum. “Kakang seperguruan hamba Tuanku.”

“Kenapa ia tidak pernah datang kemari?”

“Ia bukan seorang hamba istana. Kedatangannya di istana ini pasti akan menumbuhkan kecurigaan.”

“Ia dapat mencari paman Sumekar dengan alasan apapun. Aku ingin sekali-sekali bertemu dan mengucapkan terima kasih.”

Sumekar tersenyum. “Orang itu seorang pemalu.” Ketika Sumekar menyampaikannya kepada Kuda Sempana, maka Kuda Sempana hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memang tidak mau datang keistana Singasari yang merupakan perluasan saja dari istana Tumapel. Ia tidak mau lagi mengenang semua masa lampaunya yang buram itu.

“Anusapati adalah Putera Ken Dedes,” katanya didalam hati. Itulah yang menahannya, kenapa ia tidak mau menemuinya. Ia akan melenyapkan segala kenangan atas hubungannya yang pincang dengan seorang gadis Panawijen.

“Mahisa Agni memang seorang yang cakap menguasai dirinya sendiri. Kalau tidak, aku pasti sudah dibunuhnya. Tetapi ia memberi kesempatan aku hidup dan menyesali perbuatanku itu.”

“Apakah kakang bersedia, pada suatu ketika bertemu dengan Putera Mahkota?” bertanya Sumekar.

Kuda Sempana tersenyum. Senyum yang kecut. “Itu tidak perlu Sumekar. Kau sajalah mewakili aku. Sama saja bagi Putera Mahkota.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak tahu pasti apa yang terbersit didalam dada Kuda Sempana. Namun dahulu, beberapa tahun telah lampau, ia memang pernah mendengar, bahwa Kuda Sempana telah melarikan diri dari istana Tumapel, dan kemudian bertualang tidak menentu, bersama gurunya yang masih menempuh jalan yang salah.

“Aku mengharap, mudah-mudahan Putera Mahkota itu kelak berhasil mendapatkan haknya sebagai Raja di Singasari, karena sebenarnya jalur kekuasaan Tumapel itu berada di tangannya, lewat Tuanku Puteri Permaisuri.”

Sumekar masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun demikian ia menjadi semakin gamblang, bahwa sebenarnyalah Anusapati memang berhak atas tahta Singsari. Namun dengan demikian, semakin jelas pula bagi Sumekar, bahwa memang ada orang-orang yang tidak menginginkan Anusapati berhasil menduduki takhta yang memang menjadi haknya.

“Bantulah anak itu,” desis Kuda Sempana. “Aku sudah tidak akan mendapat kesempatan lagi. Kalau mendengar namaku, maka Ken Dedes pasti masih akan teringat apa yang telah terjadi. Dan agaknya ia tidak keliru, kalau Ia menganggap bahwa akulah yang telah menjerumuskannya ke dalam keadaannya yang serba sulit sekarang ini.”

Demikianlah, maka sejauh dapat dilakukan, Sumekar telah berusaha membantu Anusapati. Embannya yang telah mendapat kepercayaan pula dari Anusapati-pun akhirnya mengetahui pula, bahwa kehadiran Sumekar di istana seakan-akan telah menggantikan kedudukan Mahisa Agni bagi Anusapati, meskipun keadaan mereka jauh berbeda. Mahisa Agni adalah Kakanda Tuanku Permaisuri, sedang Sumekar adalah seorang juru taman. Namun dengan demikian, maka kecurigaan orang terhadap Sumekar dapat dibatasi sekecil-kecilnya.

Meskipun Sumekar tidak dapat berbuat sejauh Mahisa Agni di dalam olah kanuragan, namun kehadirannya banyak sekali memberikan manfaat bagi Anusapati. Dengan seorang kawan berlatih, maka ilmunya maju pesat, seperti juga Sumekar sendiri, sehingga kedua-duanya mendapat keuntungan karenanya.

Demikianlah, waktu berjalan kewaktu. Anusapati-pun menjadi semakin dewasa pula. Badaniah, juga rohaniah. Kitab-kitab yang dibacanya banyak memberinya kekayaan batin yang sangat berguna baginya sebagai seorang putera Mahkota.

Namun bukan saja Anusapati yang berkembang. Tohjaya-pun berkembang pula menjadi seorang anak muda yang tegap dan tampan. Dengan penuh gairah ia-pun mempelajari tata perkelahian, olah kanuragan dan keprajuritan. Di samping latihan yang memang diselenggarakan bersama dengan saudaranya termasuk Anusapati, Tohjaya-pun mendapat latihan tersendiri yang disembunyikannya dari pengetahuan Anusapati, meskipun Anusapati sudah mendengarnya, karena kadang-kadang dengan sombongnya Tohjaya sendiri mengatakan dan memamerkan kemampuannya.

“Sekali-sekali kita berlatih berdua Kanda Anusapati,” ajak Tohjaya.

Tetapi Anusapati selalu menggelengkan kepalanya, “Tentu belum saatnya Dinda Tohjaya. Kita masih jauh dari cukup.”

“Mungkin bagi kanda Anusapati. Tetapi aku sudah banyak mempelajari olah kanuragan. Pada suatu saat aku harus dapat menilai, sampai betapa jauh ilmu yang sudah aku miliki itu.”

“Kau dapat berlatih untuk mendapatkan penilaian dari pelatih kita.”

“Tentu kurang wajar.”

Namun Anusapati menggeleng, “Pada saatnya. apabila para pelatih memandang sudah sampai saatnya, apa-boleh buat. Tetapi sebelum itu, lebih baik tidak.”

Kadang-kadang terasa darah Anusapati menjadi panas, apabila kemudian ia mendengar Tohjaya tertawa berkepanjangan. Bahkan kadang-kadang anak muda itu berkata, “Bukankah kanda Anusapati seorang Putera Mahkota?”

Anusapati mengerutkan keningnya.

“Putera Mahkota harus mempunyai banyak kelebihan.”

“Mudah-mudahan pada saatnya aku juga mempunyai kelebihan.”

“Bagaimana mungkin. Kanda Anusapati terlampau lembut seperti perempuan.”

“Apakah itu jelek?”

“Baik, tentu baik. Tetapi baik bagi seorang ibu, bukan bagi seorang Putera Mahkota.”

Anusapati tidak menjawab. Kadang-kadang tumbuh juga keinginannya untuk membuat Tohjaya menjadi jera. Namun dengan demikian, usahanya untuk mempertahankan kedudukannya sebagai putera Mahkota pasti akan mengalami rintangan yang lebih banyak lagi. Karena itu, maka ia masih harus menahan hati setiap kali Tohjaya menantangnya untuk berlatih dalam suatu arena.

Tetapi Tohjaya tidak kurang akal. Pada suatu saat ia berkata kepada ibunya, “Bunda, pada suatu kali aku akan menunjukkan kepada kanda Anusapati, bahwa sebenarnya ia tidak berhak untuk menjadi raja, karena ia tidak memiliki kelebihan apa-apa.”

Ken Umang tersenyum, “Kalau kau mendapat kesempatan, apa salahnya?”

“Aku akan menantangnya untuk berlatih di arena. disaksikan oleh para pelatih dan para pemimpin prajurit Singasari.”

“Apakah kau yakin bahwa kau akan menang?”

“Tentu ibu. Setiap pelatih akan berkata begitu.”

Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Suatu usul yang baik. Kalau kau menang, maka nama Anusapati akan menjadi semakin hancur di mata para prajurit dan rakyat Singasari.”

“Aku akan mengatakan kepada ayahanda. Agar ayahanda memerintahkan kepada para pelatih untuk memaksakan latihan serupa itu.”

Seperti biasanya, setiap usul Tohjaya selalu mendapat persetujuan dari ayahanda, meskipun kadang-kadang Tohjaya tidak berkata sebenarnya.

“Kakanda Anusapati memerlukan latihan serupa itu.”

“Tetapi kalau kandamu kau kalahkan, ia akan menderita malu dihadapan orang banyak. Karena itu, kau-pun harus dapat berusaha menyesuaikan dirimu.”

“Tentu ayahanda. Aku tentu tidak akan membuat kanda Anusapati menjadi malu. Seandainya aku mempunyai kelebihan, maka aku tidak perlu menunjukkan kelebihan itu diarena. Namun latihan semacam itu memang perlu diadakan sebagai suatu dorongan kepada kami, agar kami benar-benar berlatih. Dengan latihan di arena dan disaksikan oleh banyak orang, kami merasa mendapat pengawasan.”

Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Latihan dihadapan para pemimpin Singasari memang penting. Dengan demikian maka mereka merasa bahwa kemajuan mereka mendapat sorotan dari banyak pihak. Apalagi seandainya para Senapati dan Panglima pasukan Singasari mau memberikan penilaian atas putera-puteranya setiap kali mereka mengadakan latihan-latihan terbuka.

Demikian maka pada saatnya, Anusapati tidak dapat mengelak lagi. ketika gurunya, prajurit-prajurit Singasari dapat memberinya latihan bersama adik-adiknya, minta kepadanya untuk melakukan latihan terbuka di arena, disaksikan oleh para prajurit dan Panglima Singasari.

“Apakah hal itu berguna?” Putera Mahkota itu bertanya.

“Tentu Tuanku Putera Mahkota,” jawab pelatihnya, “kalau tidak, maka Ayahanda Tuanku Sri Rajasa tidak akan memerintahkan latihan terbuka itu.”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Ia mengetahui dengan pasti, bahwa semuanya itu karena pokal Tohjaya yang hampir tidak pernah ditolak oleh Ayahanda Sri Rajasa.

“Kapan latihan itu akan diadakan?”

“Besok Tuanku. Karena itu, hari ini Tuanku harus berlatih baik-baik. Tuanku masih jauh ketinggalan dari Tuanku Tohjaya. Bahkan kadang-kadang Tuanku hampir tidak berdaya sama sekali. Kalau Tuanku tidak berlatih dengan sungguh-sungguh hari ini, maka besok Tuanku pasti hanya sekedar menjadi permainan Adinda Tuanku Tohjaya.”

“Apakah ada gunanya aku latihan hari ini untuk menghadapi arena besok?”

Pertanyaan itu memang agak membingungkan. Sebagai seorang pelatih ia seharusnya tidak membuat kesalahan serupa itu. Sudah tentu bahwa waktu yang tinggal sehari ini tidak akan banyak memberikan perubahan imbangan dari keduanya. Meskipun demikian prajurit itu berkata, “Apa-pun yang akan terjadi, tetapi Tuanku sudah berusaha. Kalau hamba boleh berkata dengan jujur Tuanku, jangankan sehari, setahun-pun latihan itu tidak akan banyak bermanfaat bagi Tuanku.”

Darah Anusapati tersirap. Tetapi ia selalu mengekang diri seperti biasa. Katanya, “Kenapa? Agaknya aku memang tidak berbakat.”

“Bukan tidak berbakat Tuanku. Tetapi Tuanku sama sekali tidak mempunyai keberanian untuk berbuat sesuatu. Nah, latihan terbuka ini pasti akan mendorong Tuanku untuk maju, meskipun hasilnya hampir tidak dapat diharapkan sama sekali.”

Kalau saja Anusapati tidak dalam kedudukan yang sulit di dalam istana ini, maka prajurit itu pasti sudah dipatahkan lehernya.

“Nah, marilah, hamba akan mencoba membimbing Tuanku, sekedar mengurangi kesulitan di arena besok.”

Anusapati tidak membantah. Diikutinya pelatihnya yang membawanya ke tempat terbuka. Tempat yang biasa dipergunakannya untuk berlatih.

“Marilah Tuanku,” berkata pelatihnya.

Peluh dingin mengalir di seluruh tubuh Anusapati, karena ia menahan gejolak perasaannya. Namun ia harus melakukannya meskipun ia sadar, bahwa Tohjaya dan beberapa orang adik dan prajurit menontonnya.

“Jangan hiraukan mereka,” berkata pelatihnya, “Tuanku harus mencoba untuk memusatkan pikiran dan perhatian. Mungkin itulah sebabnya Tuanku tidak dapat maju, karena Tuanku selalu memperhatikan keadaan di sekitar Tuanku.“

Anusapati hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.

“Nah, marilah kita mulai.”

Anusapati tidak dapat mengelak. Ia harus tunduk kepada pelatih yang telah ditunjuk oleh Ayahanda Sri Rajasa. Tetapi ia tertegun sejenak, ketika dari sebuah regol didinding taman ia melihat dua orang juru taman berjongkok untuk menyaksikan latihan itu. Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Yang seorang dari kedua juru taman itu adalah Sumekar.

“Latihan apakah yang akan mereka lakukan?” Sumekar bertanya kepada juru taman yang telah lebih tua dari padanya itu.

“Putera Mahkkota memang selalu berlatih ditempat itu bersama Adinda Tuanku Tohjaya.”

“Kenapa biasanya aku tidak pernah melihatnya?”

“Biasanya dilakukan pada malam hari. Dan kadang-kadang pula di siang hari. Mungkin kau tidak tertarik pada latihan-latihan semacam ini. sehingga kau tidak pernah memperhatikannya.”

“Pintu regol ini jarang-jarang terbuka.”

Juru taman yang tua itu mengangguk. “Ya. Pintu regol ini jarang-jarang terbuka.”

Anusapati yang melihat Sumekar berjongkok di depan pintu regol mengangguk kecil. Tetapi ia tidak mau menumbuhkan kecurigaan apa-pun juga. Karena itu ia-pun kemudian tidak mempedulikannya lagi. Sejenak kemudian maka latihan-latihan itu-pun segera dimulai. Anusapati harus menirukan beberapa unsur gerak yang sulit.

“Bukan main,” desis Sumekar.

“Apa yang bukan main?” bertanya kawannya.

“Putera Mahkota itu. Ia dapat berbuat apa saja seperti yang dikehendaki oleh pelatihnya.”

“Kau belum pernah melihat orang berkelahi?”

Sumekar mengerutkan keningnya. “Sekali-sekali dipadepokan.”

“Kalau kau melihat Adinda Tuanku Tohjaya kau akan menjadi pingsan.”

“Kenapa?”

“Memang Adinda Putera Mahkota tampaknya lebih maju dari Putera Mahkota sendiri.”

“Apakah kau sering melihatnya? Dan apakah kau dapat menilai perkelahian atau ilmu berkelahi itu?”

Juru taman yang sudah agak tua itu tertawa. Dipandanginya wajah Sumekar yang berkerut-merut, dan bahkan kemudian menjadi keheran-heranan.

“Orang tidak terlalu dapat melakukan sendiri, tetapi karena aku sering melihatnya, aku memang dapat sedikit-sedikit menilai perkelahian dan ilmu tata bela diri. Yang jarang sekali orang yang menyebutnya dengan ilmu berkelahi,” katanya.

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Begitulah,” katanya.

“Apa?”

“Itu, ilmu bela diri.”

Kawannya masih juga tertawa. Katanya kemudian, “Sebenarnya kasihan juga Putera Mahkota itu. Ia menjadi jauh ketinggalan dari adindanya, Tohjaya.”

“Apakah Putera Mahkota itu terlampau bodoh.”

“Sst. jangan menyebutnya bodoh. Kau dapat dihukum.” orang itu berhenti sejenak. Lalu, “tetapi itu seharusnya.”

“Kenapa seharusnya?”

“Hampir tidak ada orang yang mempedulikan lagi kepada Tuanku Putera Mahkota. Bahkan kalau ada orang yang menghinanya sekali-pun tidak juga ada prajurit yang berminat untuk menangkapnya.”

“Jadi?”

“Kesalahan itu sebenarnya terletak kepada Tuanku Sri Rajasa sendiri.”

“Kau menyalahkan Tuanku Sri Rajasa.”

“Tidak. Bukan maksudku untuk menilai Maharaja Singasari. Tetapi aku hanya ingin mengatakan apa yang terjadi di dalam keluarga ini. Sebagai suatu keluarga. Bukan sebagai pimpinan tertinggi di Singasari.”

Sumekar memandang orang itu dengan saksama. “Tuanku Putera Mahkota memang agak tersisih dari kasih ayahandanya.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia melihat Anusapati yang sedang berlatih, keningnya berkerut.

“Lihat,” berkata juru taman itu, “pelatihnya telah membantingnya.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat prajurit yang melatih Anusapati itu telah membanting Anusapati sehingga ia jatuh berguling-guling di tanah. Ketika Anusapati berdiri, tampaklah ia menyeringai kesakitan.

“Tuanku terlampau lamban,” desis pelatihnya, “apakah dengan begitu Tuanku akan mencoba memasuki arena latihan terbuka?”

“Kalau memang masih terlampau jelek, apakah latihan itu dapat diundur saja. Maksudku latihan di arena terbuka itu.”

Prajurit itu mengerutkan dahinya. Tiba-tiba ia tertawa keras-keras dibarengi oleh suara tertawa yang lain. Suara tertawa Tohjaya.

“Tuanku Putera Mahkota,” berkata pelatih itu, “setiap Panglima dan beberapa orang Senapati telah diberitahukan, bahwa besok akan diadakan latihan terbuka. Latihan itu tidak akan dapat ditunda lagi.”

“Jadi bagaimana menurut pertimbanganmu?” bertanya Anusapati.

“Tuanku. Hamba adalah seorang pelatih. Hamba memberikan latihan-latihan sebaik-baiknya seperti yang hamba berikan kepada Tuanku Tohjaya. Tetapi semuanya itu juga tergantung kepada Tuanku berdua. Kepada bahan yang disediakan buat hamba bentuk. Kalau bahannya memang baik, maka yang jadi-pun baik juga. Tetapi kalau bahannya jelek, yang jadi-pun jelek juga.”

Anusapati mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berkata, “Jadi maksudmu, aku adalah bahan yang jelek itu. Sehingga kau tidak berhasil membentuk barang yang bagus daripadanya. Begitu?”

Prajurit itu tergagap sejenak. Ia tidak menyangka bahwa Putera Mahkota dapat berkata begitu tegas. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya. begitulah.”

“Baik. Aku tidak akan menyalahkan kau. Kalau besok aku kalah di arena, meskipun aku dan adinda Tohjaya ditangani oleh pelatih yang sama. maka itu berarti bahwa bahannya-pun yang jelek.“

Prajurit itu tidak segera menyahut.

“Kalau begitu latihan ini tidak perlu dilanjutkan. Betapa kau bekerja keras, namun bahannya memang tidak akan dapat dibentuk.”

“Maksud Tuanku.”

“Kita berhenti sampai disini.”

“O, begitu,” berkata pelatihnya. “didalam hal ini hambalah pelatihnya. Bukan Tuanku. Dan Tuanku adalah anak latih hamba, yang sudah dipercayakan oleh Tuanku Sri Rajasa. Tuanku tidak dapat memutuskan apakah latihan ini akan berakhir sekarang atau nanti. Itu tergantung kepada hamba.“

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Pelatih ini memang selalu menyakiti hatinya. Kalau saja ia tidak menyadari keadaannya, maka mulut pelatihnya itu pasti sudah ditamparnya.

“Kita masih akan berlatih terus,” berkata prajurit itu.

Anusapati tidak menjawab. Demikianlah maka beberapa kali Anusapati telah dilemparkan dan dibantingnya. Sekali-sekali diajarnya juga Anusapati mengelak, dan menangkis serangan-angan yang berat. Kemudian dipersilahkannya Anusapati melakukannya. Ia sendirilah yang menyerang dengan kekuatan yang sebenarnya agak berkelebihan untuk suatu latihan.

Bagi Anusapati serangan-angan itu sama sekali tidak berarti apa-apa. Tetapi ia harus menunjukkan bahwa serangan itu terlampau berat baginya. Dengan demikian, maka setiap kali ia mengelak, maka tubuhnya masih juga tersentuh oleh tangan pelatihnya itu, sehingga Anusapati itu terdorong beberapa langkah. Apalagi apabila ia mencoba menangkis serangan-angan itu. maka ia-pun terlempar dua tiga langkah sebelum ia terbanting jatuh.

Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat ketidak wajaran di dalam latihan-latihan itu. Seandainya Anusapati tidak mempunyai lambaran kekuatan jasmaniah di dalam latihannya khusus, sejak Mahisa Agni masih ada. maka ia justru akan menjadi semakin lemah besok. Tetapi Sumekar tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan ia kemudian menganggap bahwa Anusapati pasti dapat menjaga dirinya sendiri. Putera Mahkota itu pasti mengetahui pula, bahwa sebenarnya pelatihnya sedang meyakinkan kalau besok Tohjaya adalah pemenang di dalam arena latihan itu.

Sejenak kemudian dari belakang regol taman. Sumekar melihat Anusapati telah menjadi semakin lemah. Tertatih-tatih ia masih mencoba berdiri di hadapan pelatihnya.

“Kasihan Tuanku Putera Mahkota itu,” desis juru taman yang tua itu.

Sumekar berpaling kearahnya sambil bertanya, “Kenapa kasihan?”

“Kau lihat, ia menjadi demikian lemasnya setelah dibanting berulang kali oleh pelatihnya tanpa ampun.”

“Begitulah caranya latihan ilmu bela diri?”

“Begitulah. Tetapi agak berlebih-lebihan sedikit. Mungkin pelatih itu ingin Anusapati besok dapat mengimbangi adindanya di arena, sehingga dicobanya untuk mematangkan Putera Mahkota itu di dalam waktu yang singkat. Atau sekedar membuat Tuanku Putera Mahkota besok sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa.”

“Kenapa?”

“Kau lihat, bahwa Tuanku Tohjaya melihat latihan itu?”

“Ya.”

“Itu tidak adil.”

“Jadi bagaimana?”

Juru taman itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Aku bukan seseorang yang mengerti tentang ilmu bela diri. Aku hanya sering melihat.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia mendengar pelatih itu berkata, “Sudahlah Tuanku. Sampai disini buat hari ini. Mudah-mudahan berguna bagi Tuanku besok diarena.” pelatihnya itu diam sejenak. Lalu, “tetapi seperti yang hamba katakan. Semuanya tergantung kepada Tuanku sendiri.”

“Ya. Aku menyadarinya,” jawab Anusapati, “kau tidak usah cemas bahwa kau akan dipecat karena kau tidak perhasil melatih aku menjadi seorang yang baik didalam ilmu ini. Alasanmu cukup kuat. Bahannya terlampau jelek.”

Prajurit itu berdiri termangu-mangu sejenak. Tidak pernah Anusapati bersikap begitu keras. Biasanya ia mengerutkan lehernya sambil menundukkan kepalanya. Tetapi kali ini Anusapati bersikap agak lain. Prajurit itu hanya memandanginya saja ketika Anusapati berjalan meninggalkan tempat latihannya. Dilongkangan ia disongsong oleh embannya yang kemudian mengikutinya di belakang. Begitu Anusapati hilang dibalik bangsal, Tohjaya tidak dapat menahan tertawanya yang meledak. Demikian kerasnya sehingga tubuhnya terguncang-guncang.

“Kasihan Kakanda Anusapati.”

Prajurit yang melatihnya itu-pun tertawa pula. Katanya, “Tuanku akan dapat berbuat apa saja terhadap kakanda Putera Mahkota besok di arena.”

Tohjaya mengangguk-anggukkan kepala. Katanya, “Tetapi Ayahanda Sri Rajasa berpesan, agar aku tidak membuat Kakanda Anusapati malu. Kalau aku akan mengalahkannya, ayahanda minta agar hal itu terjadi dalam batas yang sebaiknya.”

Prajurit itu mengerutkan keningnya, “Apakah Tuanku akan melakukan?”

“O. buat apa aku begitu berbaik hati terhadap Kakanda Anusapati. Adalah salahnya sendiri kalau ia terpaksa mengalami perlakuan yang memalukan dan mencemarkan namanya besok di arena.”

Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba tanpa disengaja ia melihat dua orang juru taman yang berjongkok dibelakang regol taman. Sejenak dipandanginya kedua juru taman itu dengan tajamnya. Namun kemudian ia menjadi acuh tidak acuh.”

“Marilah Tuanku. Hamba akan melayani Tuanku berlatih.”

Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa langkah ia maju ke tengah-engah tempat yang terbuka itu, bekas tempat prajurit itu melatih Anusapati.

Sumekar memandang prajurit itu dengan hati yang kecut. Namun kemudian ia-pun beringsut sambil berkata, “Aku akan duduk di bawah pohon sawo beludru itu.”

“Kau tidak ingin melihat Tuanku Tohjaya berlatih?”

“Tentu. Tetapi aku akan duduk bersandar pohon sawo itu.”

Kedua juru taman itu-pun kemudian beringsut dan duduk di bawah pohon sawo beludru yang rindang. Namun dari tempat itu, mereka masih dapat menyaksikan bagaimana prajurit itu memberikan beberapa latihan buat Tohjaya.

“Cekatan juga anak ini,” berkata Sumekar di dalam hatinya.

“He, kau tertidur?” bertanya juru taman yang lain.

“Tidak. Tentu tidak.”

“Kau lihat latihan itu.”

“Ya.”

“Bagaimana menurut penilaianmu?”

“Aku jadi pening melihatnya.”

Kawannya tersenyum. Katanya pula, “Nah, semakin lama latihan itu akan menjadi semakin cepat. Tuanku Tohjaya memang seorang yang luar biasa.”

Sumekar mengangguk-angguk. Aku benar-benar akan menjadi pingsan kalau aku terlampau lama melihat latihan itu.”

“Sekarang kau dapat menduga, apa yang terjadi di arena besok pagi. Kedua anak-anak muda itu akan mengadakan latihan terbuka disaksikan oleh banyak orang, meskipun terbatas.”

“Apakah yang kira-kira akan terjadi?”

“He? Kau masih belum dapat membayangkan?”

Sumekar menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kau memang terlampau dungu. Dengar. Besok Tuanku Tohjaya akan mempermainkan Tuanku Putera Mahkota di arena.”

Sumekar mengerutkan keningnya. Ia juga telah mendengar sendiri kata-kata Tohjaya. Namun ia masih juga mencoba untuk menjadi heran. Maka sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia berdesis, “Sampai juga hatinya untuk berbuat begitu.”

“Inilah gambaran keluarga Tuanku Sri Rajasa. Sebagai seorang Maharaja ia berhasil. Tetapi sebagai seorang ayah. ia masih harus belajar banyak.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Juru taman itu-pun kemudian terdiam. Kini ia memperhatikan latihan yang dilakukan oleh Tohjaya dengan bersungguh-sungguh. Demikianlah maka Sumekar mendapat gambaran, imbangan kekuatan yang sebenarnya dari kedua putera Sri Rajasa yang seakan-akan sedang bersaing itu.

“Sudahlah,” berkata juru taman itu, “semuanya itu bukan persoalan kita. Sekarang, marilah kita mulai mengambil air untuk menyiram tanaman-tanaman ini. Aku akan memindahkan pohon kantil yang sudah mulai tumbuh itu ke sudut taman.”

Sumekar-pun kemudian berdiri pula ketika kawannya telah mendahuluinya dan melangkah pergi. Keduanya-pun kemudian mulai dengan kesibukan masing-masing didalam taman. Juru taman yang tua itu mulai menggali sebuah lobang melingkari sebatang bibit pohon bunga kantil yang akan dipindahkannya ke sudut taman. Sedang Sumekar-pun mulai mengambil air ke sumur untuk membasahi bibit yang akan dipindah itu.

Demikianlah maka latihan itu-pun berakhir pula. Tohjaya mengusap keringatnya sambil tersenyum, “Bukan salahku,” katanya.

“Tetapi bagaimana kalau ayahanda besok marah apabila Tuanku mengalahkan Kakanda Putera Mahkota dengan cara yang tidak dikehendaki oleh Tuanku Sri Rajasa itu?”

“Ayahanda tidak akan marah. Apabila hal itu sudah terjadi, apa yang akan dilakukan oleh ayahanda? Semua orang yang ada di sekitar arena akan melihat, betapa kemampuan sebenarnya dari Kakanda Anusapati. Mereka-pun pasti akan membuat penilaian atas kami berdua. Siapakah yang sebenarnya pantas untuk menjadi Putera Mahkota.”

Prajurit itu-pun tersenyum. “Mudah-mudahan Tuanku Sri Rajasa tidak akan marah.”

“Tentu. Kalau aku mengalahkan Kakanda Anusapati dengan cara yang dikehendaki oleh ayahanda, perlahan-lahan dan tanpa menunjukkan kesan kelemahan Kakanda Anusapati, maka mereka yang menyaksikan latihan itu tidak akan segera dapat mengambil kesimpulan yang tajam. Mereka pasti masih akan memberikan kesempatan kepada Kakanda Anusapati. Mungkin pada suatu saat Kakanda Anusapati akan dapat menyamai aku.”

Prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya, “Terserahlah kepada Tuanku. Aku besok akan menyaksikan latihan terbuka itu. Tetapi aku sadar, bahwa banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang harus aku jawab kemudian seandainya Tuanku menunjukkan perbedaan yang menyolok.”

“Pertanyaan apa saja?”

“Kenapa hamba tidak dapat menyejajarkan kemampuan Tuanku Putera Mahkota dan Tuanku Tohjaya.”

“Apa jawabmu?”

“Senapati yang hamba katakan kepada Tuanku Putera Mahkota. Bahannyalah yang berbeda, meskipun pengolahannya sama.”

Tohjaya tertawa. Katanya, “Baiklah. Kita lihat, apa yang akan terjadi besok.”

Dalam pada itu, Anusapati yang menjadi kotor telah kembali ke dalam bangsalnya. Embannya yang menyertainya segera menyediakan pakaian yang bersih sambil bertanya, “Apakah Tuanku akan mandi dahulu?”

Anusapati menganggukkan kepalanya, “Ya. Aku akan mandi dan berganti pakaian.”

Tetapi begitu Anusapati selesai mandi, dilihatnya juru taman bernama Sumekar itu-pun lewat di longkangan. Bahkan juru taman itu-pun kemudian berhenti sejenak melihat-lihat beberapa macam tanaman di longkangan yang tumbuh di dalam lingkaran batu di sepanjang dinding.

“Kenapa dengan tanaman itu?” bertanya Anusapati dari pintu pakiwan.

Sumekar berpaling. Setelah membungkuk hormat ia menjawab, “Ampun Tuanku. Tanaman ini perlu dipotong ranting-rantingnya yang kering agaknya justru mengganggu perkembangannya.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat beberapa prajurit yang lewat. Dan ia bertanya lagi. “Kenapa tidak kau potong saja sekarang?”

Prajurit itu berpaling. Ketika mereka melihat seorang juru taman yang berjongkok di sebelah tanaman-tanaman yang kotor oleh debu, mereka-pun tidak memperhatikannya lagi.

Anusapati yang sudah berganti pakaian di pakiwan-pun mendekatinya. Kemudian ia berbisik, “Kau melihat latihan itu paman?.”

“Ya Tuanku.“

“Apa kesanmu?”

Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian diceriterakannya apa yang didengarnya tentang Tohjaya.

“Aku sudah menduga. Adinda Tohjaya ingin membuat aku malu dihadapan orang banyak. Ia ingin menunjukkan kelebihan-kelebihannya daripadaku.”

“Ya. Tetapi agaknya Sri Rajasa berpendirian lain.”

“Bagaimana dengan Ayahanda Sri Rajasa.”

“Meskipun Tuanku dikalahkan, tetapi jangan membuat Tuanku malu.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kalau begitu aku masih dapat menerimanya. Kekalahanku adalah kekalahan kecil saja. Bukan kekalahan mutlak.”

“Tetapi Tuanku Tohjaya tidak menghendaki demikian.”

“Jadi bagaimana pertimbanganmu?”

Sumekar tidak segera menyahut. Apalagi apabila kemudian ia melihat dua orang emban lewat. Tangannya segera meraih dedaunan yang kekuning-kuningan, dan memetiknya selembar demi selembar. “Daun-daun yang kuning memang harus digugurkan,” katanya.

Emban-emban itu-pun membungkukkan kepalanya dalam-dalam ketika mereka melihat Anusapati berdiri dilongkangan bersama juru taman yang belum lama bekerja di istana itu. Setelah kedua emban itu semakin jauh. maka Sumekar-pun berkata, “Tuanku dapat menempuh jalan seperti yang dikehendaki oleh Tuanku Sri Rajasa. Tuanku tidak menang di dalam latihan terbuka itu, tetapi kekalahan Tuanku bukanlah kekalahan mutlak. Bukankah Tuanku dapat membuatnya demikian? Jadi sama sekali bukan karena kebaikan hati Tuanku Tohjaya. Tetapi sebaliknya.”

“Apa kata Tohjaya nanti?”

“Hamba tidak tahu Tuanku. Tetapi aku kira Tuanku Tohjaya-pun akan berkata, bahwa ia telah berusaha menyesuaikan diri dengan pesan ayahanda. karena Tuanku Tohjaya pasti tidak akan mau mengakui kenyataan itu.”

“Bagaimana dengan prajurit pelatih itu?”

“Seperti juga kepada ayahanda. Tuanku Tohjaya akan berkata demikian pula kepada pelatihnya.”

“Tetapi pelatih itu tentu melihat, bahwa aku mampu berbuat lebih banyak dari yang aku dapatkan dari padanya.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Memang mungkin demikian Tuanku. Tetapi mungkin juga ia tidak memperhatikannya. Ia menganggap bahwa dorongan perasaan malu dari dalam diri Tuanku, telah membuat Tuanku memiliki kemampuan yang lebih besar dari kemampuan Tuanku yang sebenarnya.”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, “Mudah-mudahan.”

“Hamba akan berusaha untuk dapat menyaksikan latihan itu.”

“Tentu. Kau harus melihat.”

Anusapati-pun kemudian meninggalkan juru taman itu sendiri, membersihkan tanaman-tanaman yang kotor dan tua, membersihkan rerumputan liar yang tumbuh di dalam lingkaran-lingkaran batu itu pula. Semalam Anusapati hampir tidak dapat tidur. Ia dihadapkan pada suatu persimpangan jalan yang sulit. Kalau ia membiarkan dirinya dihinakan maka ia akan semakin kehilangan kepercayaan. Tetapi kalau ia menginginkan kemenangan, maka rintangan-angan yang lain pasti akan segera menyusul.

“Pendapat Sumekar adalah pendapat yang paling baik,” akhirnya Anusapati mengambil keputusan.

Demikianlah, di pagi-pagi sekali, beberapa orang telah sibuk mempersiapkan arena yang akan dipergunakan untuk latihan terbuka bagi Putera-Putera Sri Rajasa. Kali ini yang akan turun ke gelanggang untuk mendapat penilaian dari para prajurit Singasari adalah Anusapati melawan Tohjaya.

“Kau jangan kehilangan pengekangan diri Anusapati,” pesan ibunya. “Kau harus tetap sadar, bahwa kau tidak berkelahi sesungguhnya. Kau berada di dalam arena latihan.”

“Ya ibu. Hamba akan berusaha. Dan sebenarnyalah bahwa sampai saat ini. menurut pelatih hamba, hamba masih belum dapat menyamai Adinda Tohjaya.”

“Dan kau akan dikalahkan di arena?“

Anusapati mengangguk.

“Itu adalah suatu cara untuk merendahkan kau Anusapati. Kau sebagai Putera Mahkota akan dikalahkan oleh anak itu. Ia pasti ingin mendapatkan pengaruh yang lebih besar. Seolah-olah bahwa ia lebih besar dari Putera Mahkota.”

“Tetapi aku mengharap tidak akan terjadi sedemikian jauh ibu. Kekalahan tingkat ilmuku hanya sedikit sekali, sehingga kekalahan itu pasti belum akan menumbuhkan anggapan yang demikian.”

Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Apakah ibu akan melihatnya nanti?”

Ken Dedes menggelengkan kepalanya, “Tidak Anusapati. Aku tidak akan menyaksikan perkelahian yang walaupun hanya sekedar latihan yang diawasi oleh pelatihmu.”

“Kenapa?”

Ken Dedes tidak menyahut. Dilontarkannya tatapan matanya jauh menembus lubang pintu yang terbuka.

“Sudahlah ibu,” Anusapati-pun kemudian minta diri, “sebentar lagi aku harus sudah berada di atas arena.”

“Hati-hatilah Anusapati.”

Anusapati mengangguk kecil sambil mencium tangan ibunya. Sepeninggal Anusapati, Ken Dedes tidak dapat menahan gejolak perasaannya. Ia sadar, bahwa di dalam istana ini telah berkembang sebuah jaring-jaring yang dengan sengaja menjerat anaknya yang telah diangkat menjadi Putera Mahkota itu. Karena itu, maka ia menjadi semakin berprihatin. Apalagi sepeninggal Mahisa Agni, ia tidak mempunyai kawan untuk berbincang.

“Mudah-mudahan kawan yang didapatkannya dan dijadikannya juru taman itu dapat sedikit mengisi kekosongan hidupnya.”

Sementara itu arena-pun telah siap pula. Beberapa orang prajurit berjaga-jaga disekitarnya. Sedang beberapa orang pemimpin Singasari-pun telah mulai berdatangan.

“Apakah kedua Putera Tuanku Sri Rajasa itu sudah siap?” bertanya seorang Senapati yang memimpin latihan itu disamping pelatihnya.

“Sudah,” jawab prajurit yang diserahi tugas untuk melatih kedua Putera Sri Rajasa itu, “apakah keduanya akan dibawa ke arena sekarang.”

“Siapakah mereka. Sebentar lagi Tuanku Sri Rajasa akan segera datang.”

Pelatih kedua anak-anak muda yang akan naik kearena itu-pun segera menghubungi para prajurit yang bertugas mempersiapkan kedua Putera yang akan melakukan latihan terbuka itu. Mereka mengenakan pakaian keprajuritan. Masing-masing tidak bersenjata selain sebatang rotan sepanjang lengan mereka.

Sejenak kemudian, maka semuanya-pun telah siap. Kedua anak-anak muda yang akan naik kearena itu sudah duduk sebelah menyebelah. Para Panglima dan beberapa orang pemimpin tertinggi Singasari yang lain-pun telah hadir pula. Mereka akan melihat dan menilai kemajuan pendidikan Putera-putera Sri Rajasa dibidang olah kanuragan. Terutama Putera Mahkota yang kelak akan menggantikan kedudukan Sri Rajasa menjadi Maharaja di Singasari.

Ketika semuanya telah siap, maka seorang Senapati telah menyampaikannya kepada Sri Rajasa yang masih ada di dalam bangsal. Kemudian bersama Ken Umang. Sri Rajasa turun untuk menyaksikan latihan terbuka Putera-puteranya. Melihat kehadiran Ayahanda Sri Rajasa. dada Anusapati menjadi berdebar-debar. Kadang-kadang ia menjadi ragu-ragu, apakah yang akan dilakukannya di arena nanti.

“Tetapi aku tidak mau mengorbankan harga diriku di hadapan para pemimpin di Singasari. Aku harus mendapat penilaian yang setidak-tidaknya cukup. Tidak usah terlampau baik. Para pemimpin pasti masih mempertimbangkan bahwa aku masih mempunyai waktu untuk mempersiapkan diriku lebih matang lagi sebelum aku kelak menjadi seorang Raja.”

Demikianlah, ketika Sri Rajasa sudah duduk di tempatnya, latihan itu-pun segera akan dimulai. Kedua anak-anak muda itu-pun kemudian berdiri menghadap kepada ayahanda sambil membungkukkan kepala mereka dalam-dalam. Sedang Tohjaya kemudian mengangguk pula dalam-dalam kepada ibunya yang duduk di belakang Sri Rajasa. Sedang tempat duduk Permaisuri ternyata masih tetap kosong, karena Ken Dedes memang tidak bersedia untuk menyaksikan latihan itu. Ia tidak akan sampai hati melihat kekalahan puteranya yang tentu saja hanya akan mengorbankan sakit hatinya saja. Kalau ia kehilangan pengekangan diri. maka semuanya akan berantakan karenanya.

Kedua anak-anak muda itu-pun kemudian dibimbing masing-masing oleh seorang Senapati naik ke arena. Sejenak kemudian Senapati yang akan memimpin latihan itu-pun menganggukkan kepalanya dalam-dalam kepada Sri Rajasa sambil berkata, “Ampun Tuanku. Disini telah siap Putera-putera Tuanku yang akan mengadakan latihan terbuka sebagai suatu babakan dari masa latihan yang pernah diadakan menjelang babakan latihan berikutnya.”

Sri Rajasa menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Mulailah. Tetapi ingat, yang terjadi di arena ini adalah sekedar latihan. Jangan terlampau bernafsu untuk menunjukkan kelebihan masing-masing. Kami sudah dapat menilai bahwa perbedaan tingkat ilmu kedua anak-anak itu pasti tidak akan banyak berselisih, karena keduanya diasuh oleh orang yang sama. Apabila ternyata perbedaan dari keduanya terpaut terlampau banyak, maka yang bodoh bukannya salah seorang dari anak-anak itu. Tetapi adalah pelatihnya.” Sri Rajasa berhenti sejenak, sedang prajurit yang melatih kedua anak-anak muda itu menjadi berdebar-debar.

Adalah di luar kelajiman bahwa pada saat itu Ken Umang menyahut tanpa diminta, “Tuanku. Bagaimana-pun juga. keduanya tergantung juga pada kepribadian dan kemampuan masing-masing. Meskipun seorang pelatih melatih dua atau tiga orang dengan cara yang sama. namun mereka yang dilatih-pun merupakan unsur yang menentukan, apakah latihan itu berhasil atau tidak.”

Sri Rajasa tersenyum. Katanya, “Ada juga pengaruhnya. Tetapi seorang pelatih yang menguasai tidak saja ilmu kanuragan, tetapi juga ilmu melimpahkan kemampuannya kepada orang lain. akan dapat berbuat sebaik-baiknya. Nah, marilah kita lihat. Apakah kedua anak-anak itu berhasil di dalam latihan-latihan mereka. Dan sekaligus kita akan melihat, apakah pelatihnya mampu melakukan tugasnya baik-baik, sebagai seorang pelatih.”

Prajurit yang diserahi untuk melatih kedua anak-anak muda itu menjadi semakin berdebar-debar. Tatapi ia masih mengharap bahwa Tohjaya dan ibunya, Ken Umang akan melindunginya apabila Sri Rajasa menganggapnya bersalah.

“Sekarang, mulailah,” berkata Sri Rajasa selanjutnya.

Demikianlah maka kedua anak-anak muda itu-pun segera bersikap. Mereka menggenggam sepotong tongkat sebagai alat peraga senjata yang seharusnya mereka genggam didalam peperangan atau perkelahian yang sebenarnya. Sesaat kemudian maka Senapati yang memimpin latihan terbuka itu-pun memberi isyarat, bahwa latihan segera dapat dimulai.

Tohjaya memandang ibunya sejenak sambil tersenyum. Senyum yang aneh. Kemudian dipandanginya wajah pelatihnya yang termangu-mangu. Dianggukkan kepalanya sedikit, seolah-olah Tohjaya itu ingin mengatakan, “Jangan cemas.”

Dalam pada itu. Anusapati melihat ke kejauhan. Para juru taman yang sedang berjongkok di kejauhan-pun agaknya ingin melihat latihan di arena itu. Semuanya ada tiga orang. Dan di antaranya yang tiga orang itu dilihatnya Sumekar. Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang anak muda yang telah meningkat dewasa ia merasa, bahwa ia benar-benar terasing dari keluarganya. Ia tidak dapat menganggukkan kepalanya sambil tersenyum seperti Tohjaya kepada orang yang duduk di sekitar arena. Tetapi ia harus memandang ke kejauhan. Kepada orang-orang yang sama sekali tidak dihiraukan. Juru taman. Tetapi juru taman itu memberikan ketenteraman juga dihatinya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian kedua anak muda itu telah siap untuk memulainya. Mereka berdiri berhadapan sambil menggenggam tongkat rotan masing-masing. Sekali-sekali mereka bergeser, kemudian tegak seperti tonggak-tonggak mati.

Sri Rajasa memperhatikan tata gerak kedua puteranya dengan saksama. Keduanya yang hampir sebaya itu tampak imbang di dalam sikap dan geraknya. Meskipun Anusapati agak lebih tua dari adiknya, tetapi karena lingkungannya yang berbeda, tampaklah bahwa Tohjaya-pun seolah-olah sudah meningkat menjadi anak muda yang dewasa penuh.

Sejenak kemudian, maka mulailah tongkat-tongkat rotan di tangan kedua anak-anak muda itu bergetar. Tohjaya yang nampaknya lebih lincah segera meloncat maju sambil menggerakkan rotannya berputaran. Namun kemudian ia-pun meloncat surut selangkah.

Anusapati mencoba untuk menguasai perasaannya. Ia harus melawan Tohjaya dalam batas ilmunya yang diterimanya dari pelatihnya. Namun demikian ia tidak akan membiarkan dirinya menjadi korban kesombongan adiknya. Tentu tidak akan menyenangkan sama sekali apabila tubuhnya dijalari oleh jalur-jalur merah biru karena pukulan-pukulan rotan itu. Apalagi apabila kulitnya terkelupas dan mengalirkan darah. Dalam batas tertentu, Senapati yang memimpin latihan itu akan dapat menghentikan dan menentukan siapakah yang menang dan siapakah yang kalah di dalam latihan ini.

Tohjaya lah yang kemudian mulai menggerakkan tongkatnya. Sekali-sekali tongkat itu terayun-ayun, dan kemudian terjulur lurus-lurus mengarah ke tubuh Anusapati. Sikap Anusapati ternyata sejak saat pertama telah menumbuhkan keheranan pada para panglima, para pemimpin yang menyaksikan latihan terbuka itu, dan kepada Sri Rajasa sendiri. Karena Anusapati berusaha sejauh-jauh mungkin mengendalikan diri, maka tampaklah betapa tenangnya ia menghadapi Tohjaya yang tangkas dan lincah.

Di dalam arena itu, mereka yang menyaksikan segera dapat melihat perbedaan dari kedua putera Sri Rajasa itu. Tohjaya adalah seorang anak muda yang lincah, sedang Anusapati seakan-akan telah menjadi seorang yang matang. Tenang dan tajam. Namun dengan demikian keduanya memiliki kelebihan masing-masing di dalam olah kanuragan.

Prajurit yang melatih kedua anak-anak muda itu menyaksikan dengan dada yang berdebar-debar. Ia tidak mengira bahwa Anusapati dapat bersikap setenang itu. Menilik sikap dan keadaannya sehari-hari, seharusnya ia sudah menjadi gelisah dan bingung. Setelah kedua anak-anak muda itu saling menjajagi langkah masing-masing, maka mulailah mereka mencoba untuk menyerang dengan tongkat-tongkat mereka.

Sejenak kemudian maka mulailah latihan yang sebenarnya, Tohjaya lah yang telah mulai menyerang. Meskipun serangannya masih belum begitu berbahaya. tetapi tampak betapa ia mampu bergerak dengan kecepatan yang tinggi. Namun dengan tenangnya Anusapati berhasil menghindari serangan itu. Bahkan ia-pun dengan tiba-tiba telah mulai menyerang pula. Begitu tiba-tiba sehingga Tohjaya sama sekali tidak menyangka, bahwa Anusapati dapat berbuat serupa itu. Karena itu, maka Tohjaya harus mengindarinya sambil meloncat surut.

Sri Rajasa menyaksikan latihan itu dengan dahi yang berkerut merut. Ia masih belum melihat kelebihan-kelebihan dari keduanya, sehingga ia menyangka, bahwa keduanya memang berusaha untuk mengekang diri. Terlebih-lebih lagi Tohjaya yang sudah dipesannya, seandainya ia akan mengalahkan Anusapati. tetapi jangan sampai membuat kakaknya itu menjadi sangat malu dihadapan banyak orang. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Sri Rajasa kemudian menyaksikan kedua anak-anak muda itu bertempur. Semakin lama mereka bergerak semakin cepat. Tongkat-tongkat di tangan mereka mulai menyambar-nyambar dari segala arah.

Tohjaya memang seorang anak muda yang lincah. Ia dapat berloncatan dari ujung sampai ke ujung arena yang lain. Berputaran dan menyerang dengan begitu tiba-tiba. Namun Tohjaya sendiri menjadi heran. Anusapati tidak menjadi bingung karenanya. Meskipun tampaknya kakaknya itu tidak dapat mengikuti kelincahan geraknya, namun ia mampu mengelak dan menangkis semua serangan-angannya, sehingga tongkatnya sama sekali masih belum berhasil menyentuh tubuhnya.

Anusapati sendiri berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk tidak menumbuhkan kecurigaan. Kadang-kadang ia memang sengaja membuat kesalahan sehingga senjata Tohjaya hampir-hampir saja mengenalnya. Bahkan sekali-sekali telah menyentuhnya. Tetapi tongkat rotan itu masih belum membuat jalur-jalur merah biru pada tubuhnya. Ketika tubuh Tohjaya sudah mulai dibasahi oleh keringat, maka ia-pun menjadi semakin lincah. Geraknya menjadi semakin cepat dan mantap.

Tongkatnya berputaran seperti baling-baling, kemudian terayun-ayun membingungkan. Dan sejenak kemudian ujung tongkat itu-pun mematuk dengan cepatnya. Tetapi Anusapati berusaha untuk tetap mengimbanginya. Selangkah ia bergeser, kemudian berputar dan menggeliat. Namun dengan demikian serangan-angan Tohjaya hampir seluruhnya tidak mengenai sasarannya.

Sri Rajasa yang menyaksikan perkelahian itu menganggukkan kepalanya. Katanya di dalam hati, “Tohjaya memang anak yang baik. Meskipun ia tidak mau melukai hati kakaknya, tetapi setiap orang dapat melihat, betapa lincahnya ia menggerakkan senjatanya. Namun setiap orang yang melihat Anusapati-pun akan menjadi kagum. Betapa tenang dan matang perhitungannya.”

Namun Sri Rajasa kemudian menyangka bahwa pelatihnyalah yang telah menyusun perkelahian ini. Bahkan mungkin telah dilatihnya beberapa saat lamanya, menjelang latihan-latihan terbuka ini. Sesaat Sri Rajasa dihinggapi oleh perasaan kecewa. Jika demikian maka yang terjadi di arena bukanlah suatu latihan terbuka untuk mendapatkan penilaian. Tetapi semata-mata sebuah pertunjukan ketangkasan. Tetapi dugaan itu segera pudar ketika ia melihat wajah Tohjaya yang bersungguh-sungguh. Matanya menjadi merah menyala dan wajahnya menjadi terlampau tegang.

“Aku menjadi bingung menghadapi keadaan ini,” berkata Sri Rajasa di dalam hatinya.

Sementara itu, pertarungan itu-pun berlangsung dengan serunya. Meskipun tidak seperti yang dibayangkan oleh Tohjaya. Tohjaya sama sekali tidak menduga, bahwa ia harus menghadapi Anusapati dalam tingkatan yang tidak sesuai dengan perhitungannya. Meskipun Anusapati tidak akan dapat mengalahkannya menurut penilaiannya, tetapi bahwa ia tidak segera dapat menguasai suasana itu-pun telah menggoncangkan perasaannya.

Dengan saksama Sri Rajasa mencoba mengamati tata gerak masing-masing. Meskipun Sri Rajasa adalah seseorang yang pilih tanding yang mampu mengalahkan Mahisa Walungan dan Sri Kertajaya, namun sebenarnyalah bahwa Sri Rajasa sendiri tidak pernah secara teratur dan bersungguh-sungguh mempelajari ilmu tata bela diri. apalagi mencoba mengenal dari unsur-unsur gerak dari perguruan-perguruan yang ada. Itulah sebabnya, di dalam pengamatannya, Sri Rajasa tidak dapat segera membedakan unsur-unsur yang ada di dalam tata gerak kedua puteranya yang sedang berlatih di arena itu.

Apalagi Anusapati sendiri berusaha sejauh-jauhnya untuk menyembunyikan tata gerak yang dikuasainya, selain yang didapatkannya dari pelatihnya yang telah ditunjuk oleh Sri Rajasa, namun di dalam tingkat yang sama sekali tidak dibayangkan oleh pelatihnya itu sendiri. Dengan demikian maka pelatihnya yang seakan-akan ikut serta bersama dengan Tohjaya di dalam perencanaan latihan ini-pun berdiri seperti patung memandang kemampuan Anusapati.

“Kenapa anak ini mempunyai kemampuan yang jauh lebih baik dari yang aku bayangkan?” katanya di dalam hati.

Namun demikian, ia masih juga melihat beberapa kelebihan dari Tohjaya. Betapa-pun juga, namun Tohjaya pasti akan dapat mengalahkannya. Demikianlah perkelahian di dalam arena itu semakin lama menjadi semakin seru. Meskipun agaknya kedua belah pihak masih belum mendapat kesempatan untuk mengenai lawan-lawannya dengan baik. Yang terjadi barulah sentuhan-sentuhan kecil yang tidak berarti, sehingga dengan demikian tampaknya kedua anak-anak muda itu menjadi sama tangkas dan cekatan.

Para Senapati dan para pemimpin prajurit menyaksikan latihan terbuka itu sambil mengangguk-anggukkan wajah mereka. Mereka memang melihat betapa keduanya seolah-olah memiliki keseimbangan. Tetapi apabila mereka melihat kesan di wajah masing-masing, maka tampaklah bahwa wajah Anusapati masih tetap tampak tenang, sedang wajah Tohjaya telah dibayangi oleh ungkapan kemarahan yang memang membara di dalam dadanya.

“Putera Tuanku Sri Rajasa yang muda agaknya terlampau bernafsu di dalam latihan ini,” desis seorang Senapati.

“Tampaknya ia ingin segera mengalahkan kakaknya,” sahut yang lain.

Keduanya kemudian mengangguk-anggukkan kepala mereka, meskipun mereka tidak mengucapkannya namun agaknya mereka telah bersetuju di dalam hati, bahwa Tohjaya tampak lebih bernafsu untuk menang.

Demikian pulalah tanggapan Sri Rajasa. Mula-mula ia kecewa melihat hal itu. Tetapi ia-pun kemudian menjadi cemas kalau-kalau Tohjaya pada akhirnya tidak dapat mengalahkan Anusapati. Hal itu pasti akan sangat mengecewakan Tohjaya pula. Tetapi meskipun demikian, Sri Rajasa tetap tidak menghendaki agar Anusapati menjadi malu pula dihadapan sekian banyak orang, karena bagaimana-pun juga, Anusapati di dalam kedudukannya sebagai seorang Putera Mahkota, serta sebagai keturunan Tunggul Ametung pasti mempunyai beberapa pendukung pula. Kalau Putera Mahkota itu menjadi terlampau kecewa dan malu, maka ia akan dapat berbuat sesuatu.

Tanpa disadari, angan-angan Sri Rajasa telah menyentuh Mahisa Agni yang kini berada di Kediri. Orang itu tidak akan dapat diabaikan, ia adalah paman Anusapati. Ia adalah orang yang sudah lama mengenal Tunggul Ametung, dan lebih daripada itu Mahisa Agni adalah seorang yang tidak akan dapat diabaikan di dalam olah keprajuritan. Sri Rajasa menarik nafas dalam-dalam.

“Anak ini pasti pernah berhubungan dengan Mahisa Agni di dalam olah kanuragan,” desis Sri Rajasa di dalam hati, “tetapi sebenarnya itu bukan suatu kesalahan, asal di dalam batas-batas tertentu saja. Kalau karena itu Anusapati menjadi jauh lebih baik dari Tohjaya, maka harus benar-benar dilakukan suatu pengamatan yang lebih khusus lagi pada keduanya.”

Sejenak Sri Rajasa seakan-akan mematung di tempatnya. Tohjaya masih belum berhasil menguasai Anusapati yang meskipun selalu terdesak. Bahkan tiba-tiba Sri Rajasa menggelengkan kepalanya ketika terlintas di dalam ingatannya sebuah trisula kecil yang pernah dimiliki oleh Mahisa Agni.

“Senjata itu benar-benar mengerikan,” berkata Sri Rajasa kepada diri sendiri, “apakah senjata itu berada di tangan Mahisa Agni atau masih ada pada gurunya yang sudah hilang itu?”

Sri Rajasa tidak sempat menjawab pertanyaannya sendiri. Kini ia benar-benar menjadi tegang. Tohjaya telah benar-benar berkelahi dengan segenap kemampuannya. Ia tidak lagi sekedar melakukan latihan meskipun demikianlah seharusnya.

“Anak itu akan kehilangan pengendalian diri,” berkata Sri Rajasa di dalam hatinya, dan bahkan hampir setiap orang menganggapnya begitu. Sedang Anusapati masih saja tetap tenang meskipun setiap kali tampaknya ia terdesak.

“Dari manakah anak setan ini mendapat kekuatan sehingga ia mampu bertahan sekian lama?”

Tohjaya-pun mengumpat-umpat di dalam hatinya. Namun bagaimana-pun juga ia harus menghadapi keadaan itu, harus berjuang untuk menundukkannya. meskipun ia sadar, bahwa seandainya ia dapat memenangkan latihan itu, namun kesan yang didapat pasti sudah lain dari kesan yang diinginkannya. Kalau di dalam beberapa saat ia berhasil membuat jalur-jalur merah biru di tubuh Anusapati, maka kesan yang tersirat, ia adalah jauh lebih kuat dari Anusapati.

Tetapi yang terjadi sama sekali bukannya demikian. Tongkat rotannya sama sekali belum berhasil menyentuh tubuh Anusapati betapa-pun ia berusaha. Meskipun kadang-kadang tampak Anusapati sangat terdesak, namun ia selalu masih berhasil menyelamatkan dirinya dari sentuhan rotan lawannya berlatih. Pelatih kedua anak-anak muda itu-pun menjadi bingung. Ia tidak melihat kemampuan yang cukup pada Anusapati. Tetapi kenapa ia masih saja sempat mengelak dan menangkis serangan Tohjaya.

Selain mereka yang mengerti bahwa Tohjaya dan Anusapati telah melakukan latihan yang hampir seimbang, maka Ken Umang yang tidak mengerti tentang kemungkinan yang terjadi di arena-pun selalu bertanya. “Kenapa Tohjaya tidak segera menang?” Keringat dingin telah melumasi seluruh tubuh Ken Umang. Ia hanya melihat Anusapati selalu terdesak mundur. Selebihnya ia tidak mengerti. Tetapi suatu kenyataan, latihan itu masih saja berlangsung terus.

Di kejauhan beberapa orang juru taman masih saja memperhatikan latihan itu dengan saksama. Salah seorang dari mereka adalah Sumekar. Setiap kali ia menjadi berdebar-debar. Ia tidak dapat memperhatikan dengan saksama wajah-wajah dari kedua anak-anak muda itu karena jarak yang memisahkannya dari arena itu.

“Apakah Tuanku Anusapati ingin tetap bertahan dan apalagi memenangkan perkelahian itu?” pertanyaan itu tumbuh juga dihatinya, “jika demikian, akan sangat berbahayalah baginya buat masa-masa mendatang. Pasti akan banyak terjadi sesuatu yang tidak diinginkannya.”

Namun Sumekar kemudian menarik nafas. Ia melihat Anusapati menjadi semakin terdesak, meskipun ia masih tetap mampu bertahan dan mengelakkan ujung rotan Tohjaya. Sejenak kemudian Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya, ia mulai mengerti maksud Anusapati. Anusapati akan membiarkan Tohjaya sampai ia kelelahan. Barulah, ia akan memberinya kesempatan untuk menang.

Memang demikianlah sehenarnya yang telah terjadi. Semakin lama kedua anak-anak muda itu menjadi semakin tampak letih. Ayunan rotan dan langkah-langkah kaki mereka sudah tidak mapan lagi. Sekali-sekali Tohjaya tertarik oleh ayunan tangannya sendiri sehingga hampir saja ia jatuh terjerembab, sedang Anusapati di saat lain terhuyung-huyung jatuh terduduk. Demikianlah maka keduanya seakan-akan sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Tangan-angan mereka telah menjadi sangat lemah dan nafas mereka-pun berkejaran tanpa dapat dikekang.

Sumekar tersenyum di dalam hati ia memuji cara yang diambil oleh Anusapati. Meskipun pada akhirnya ia harus menyatakan dirinya kalah. Didalam puncak kelelahan, maka Anusapati telah melemparkan rotannya. Suatu pertanda bahwa ia menyerah dan menyatakan kekalahan.

Sejenak arena itu menjadi sepi. Semua mata memandang tongkat rotan Anusapati yang telah dilemparkan. Kemudian perlahan-lahan merambat ke wajah anak muda yang seolah-olah kelelahan itu.

Tetapi mereka menjadi terkejut ketika Tohjaya dengan wajah yang kemerah-merahan, melangkah tertatih-tatih maju. Ia tidak menghiraukan tongkat Anusapati yang telah dilepaskan. Dan ia tidak juga menghiraukan, bahwa Anusapati sudah tidak dapat berdiri tegak lagi. Setiap kali Anusapati hampir kehilangan keseimbangannya, terhuyung-beberapa langkah.

Hampir bersamaan setiap orang berdesis, ketika mereka melihat Tohjaya masih berusaha mengangkat tongkatnya. Dengan sisa-sisa tenaganya ia mengangkat tongkatnya dan mengayunkannya ke arah leher Anusapati.

“Tohjaya,” Sri Rajasalah yang berteriak memanggil namanya.

Tetapi Tohjaya tidak menghiraukannya. Tongkat itu terayun deras ke arah leher Anusapati yang sudah tidak dapat berdiri lurus. Sekali lagi semua orang menahan nafasnya. Hampir berbareng mereka berdesah ketika mereka melihat hal itu terjadi...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.