Bara Di Atas Singgasana Jilid 01

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Di Langit Singasari episode Bara Di Atas Singgasana Jilid 01 karya Singgih Hadi Mintarjda
PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 02: Bara Di Atas Singgasana Jilid 01
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

YANG pernah terjadi di Tumapel sudah hampir dilupakan. Rakyat Tumapel sendiri sudah tidak pernah menyebut nama Akuwu Tunggul Ametung yang sudah tidak ada lagi. Mereka tidak pernah mempersoalkan perkawinan Ken Arok dengan Ken Dedes. Semuanya seolah-olah sewajarnya dan seharusnya terjadi. Para pemimpin yang tujuh, para perwira dan manggala, tidak ada yang membicarakannya lagi. Seperti juga tidak ada lagi yang membicarakan kematian Kebo Ijo.

Apalagi setelah rakyat Tumapel melihat kemampuan Ken Arok memerintah. Tumapel tidak lagi Tumapel yang sudah puas dengan dirinya seperti pada saat Akuwu Tunggul Ametung memerintah. Tumapel kini seakan-akan selalu bergolak. Tanah-tanah kering harus menjadi basah, dan anak-anak muda yang duduk termenung harus bangkit mesu diri, membentuk kekuatan yang setiap saat dapat digerakkan untuk tujuan apapun. Demikianlah Ken Arok menjadikan Tumapel semakin lama menjadi semakin kuat dan makmur. Hidup rakyatnya menjadi kian baik, penghasilan pun bertambah-tambah.

Ken Dedes yang menyerahkan kekuasaannya dengan diam-diam kepada Ken Arak sama sekali tidak menyesal. Ia melihat perkembangan Tumapel dengan dada tengadah. Bukan saja sebagai seorang permaisuri, tetapi sebagai seorang istri pun Ken Dedes menemukan yang tidak pernah didapatkannya sebelumnya. Meskipun Ken Arok lebih sering keluar istana, tetapi Ken Arok tidak pernah melupakannya. Apalagi Ken Dedes mengerti, bahwa setiap kali Ken Arok meninggalkan istana, maka sesuatu telah dilakukannya untuk mengembangkan Tumapel.

Hanya sekali-sekali saja Ken Arok melupakan kesibukan itu. Ada sesuatu yang masih kadang-kadang dirindukannya. Berburu di hutan-hutan seperti yang dilakukan oleh Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi Ken Arok telah digerakkan oleh kenangannya pada masa-masa mudanya. Hutan-hutan rindang di sekitar padang Karautan sangat menarik perhatiannya. Apabila ia sedang berburu di hutan itu dibawanya Ken Dedes serta, dan ditinggalkannya itu di taman yang pernah dibuatnya dahulu, di dekat padukuhan baru bagi orang-orang Panawijen.

Hari-hari yang demikian terasa sangat menyenangkan. Juga bagi Ken Dedes. Hijaunya padukuhan yang baru itu memberi kesegaran kepadanya. Ia merasa bahwa ia telah memberikan arti dari Hidupnya kepada kampung halamannya.

Tetapi ada juga orang yang menjadi sangat kecewa. Perkawinan Ken Arok dengan Ken Dedes telah membuatnya hampir berputus asa. Namun kekerasan hatinya kemudian telah mendorongnya ke dalam tindakan yang kurang bijaksana. Namun ia sama sekali tidak mau memikirkan kepentingan orang lain. Bahkan ia berkata di dalam hatinya, ”Mereka harus tahu, bahwa aku pun mampu menundukkan hati rajawali yang liar itu.”

Demikianlah maka semua usaha dilakukannya. Dua kali lipat dendam yang tersimpan di dadanya harus dituntutnya. Mahisa Agnilah yang mula-mula menyakitkan hatinya, dan kemudian Adik perempuannya, Ken Dedes. Masa-masa berburu yang dilakukan oleh Ken Arok menjadi salah satu kesempatan baginya. Dan ia telah mencoba untuk mempergunakannya sebaik-baiknya.

Maka ketika sepasukan kecil orang-orang berkuda berderap menuju ke hutan-hutan perburuan di sekitar padang Karautan dari padukuhan baru orang-orang Panawijen setelah meninggalkan Ken Dedes di taman yang melingkari sendang, maka seekor kuda yang datang dari jurusan lain pun berlari pula menuju ke tempat yang sama.

“Terima kasih,” berkata penunggang kuda itu kepada pesuruhnya, ”tetapi apabila kau keliru, maka kupotong lehermu.”

“Aku tidak akan keliru. Aku tahu pasti, bahwa hari ini Ken Arok pergi berburu.”

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya maka ia pun segera memacu kudanya untuk menjumpai Ken Arok dengan beberapa orang pengiringnya. Sudah menjadi kebiasaannya, bahwa Ken Arok selalu membuat sebuah tempat peristirahatan di pinggir hutan. Sebuah gubuk kecil yang dikelilingi oleh beberapa gubuk yang lain. Dari gubuk-gubuk itulah mereka pergi mengintai binatang-binatang buruan mereka, sebelum binatang-binatang itu mereka tangkap hidup atau mati.

Tetapi musim berburu kali ini ternyata agak berbeda dengan saat-saat yang pernah terjadi. Ketika Ken Arok sedang mengintai di pinggir sebuah mata air, yang sering dikunjungi oleh binatang-binatang buruan yang sedang haus, tiba-tiba ia melihat seekor kuda lewat dengan cepatnya. Segera ia dapat membedakan, bahwa orang berkuda itu sama sekali bukan orangnya.

“He. kau lihat orang berkuda itu?” Ken Arek berdesis.

Seorang, pengawal mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk ia menjawab, ”ya, hamba melihat.”

“Siapa?”

Kini orang itu menggeleng, ”Hamba tidak tahu.”

Ken Arok mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba timbullah keinginannya untuk mengetahui orang itu. Karena itu maka katanya, “Aku akan melihatnya.”

“Orang itu berkuda. Sedang kita sama sekali tidak membawa seekor kuda pun, karena kuda-kuda kita berada di perkemahan.”

Ken Arok mengerutkan keningnya. Tetapi ia bukanlah orang yang mudah menyerah karena keadaan. Karena itu maka katanya, ”Kau tinggal di sini. Kalau para pengawal mencari aku, suruhlah mereka tinggal di sini menunggu.”

“Tetapi, sebaiknya hamba pergi bersama.”

Sejenak Ken Arok mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa pengawalnya itu menjadi cemas. Mereka tidak tahu sama sekali, siapakah penunggang kuda yang lewat itu. Tetapi Ken Arok menjawab, “Tidak apa-apa. Aku hanya sekedar ingin tahu. Kalau aku menganggap orang berkuda itu berbahaya, maka aku akan memanggil para pengawal.”

Pengawal itu tidak segera menjawab. Tetapi kecemasan masih membayang di wajahnya. Namun dalam pada itu Ken Arok tersenyum sambil menepuk bahunya, “Aku dapat menjaga diriku sendiri,”

Pengawal itu tidak menjawab, selain menganggukkan kepalanya.

“Nah, tetaplah di sini. Jangan cemas.” Sebelum pengawal itu berbuat sesuatu, Ken Arok telah meloncat dengan sigapnya. Sekejap saja kemudian, Ken Arok itu seakan-akan telah lenyap ditelan rimbunnya dedaunan.

Sementara itu Ken Arok sedang menyusup di bawah gerumbul-gerumbul perdu ke arah hilangnya kuda yang mencurigakannya. Ada sesuatu yang tampak aneh oleh Ken Arok pada penunggang kuda itu. Sesuatu yang tidak dikatakan oleh Ken Arok kepada pengawalnya. Tetapi ketajaman matanya dapat menangkap apa yang tidak dilihatnya oleh pengawalnya itu.

Sejenak Ken Arok harus merunduk di bawah gerumbul-gerumbul sebelum ia dapat menangkap derap kaki-kaki kuda. Kini kuda itu tidak lagi berlari-lari. Sekali ia mendengar kuda itu meringkik, kemudian berputar di tempatnya. “Tidak jauh lagi,” berkata Ken Arok di dalam hatinya.

Dan perhitungan Ken Arok itu memang tepat. Kini ia melihat penunggang kuda itu sedang termangu-mangu. Menilik sikapnya, Ken Arok menduga bahwa penunggang kuda itu akan berbalik menempuh jalan yang baru saja dilaluinya. “Hem,” desis Ken Arok,”aku mencurigainya.”

Ken Arok pun beringsut semakin dekat. Tetapi ia masih belum melihat wajah penunggang kuda itu. Tiba-tiba sebelum penunggang kuda itu menyadari kehadiran Ken Arok di sisinya, ia merasa kendali kudanya telah ditangkap oleh seseorang..Bukan saja penunggang kuda itulah yang terkejut, tetapi kudanya pun terkejut pula sehingga kuda itu meringkik dan berkisar pada kaki belakangnya.

Karena penunggang kuda itu sama sekali tidak menyangka, bahwa kudanya akan bergeser, betapapun kuatnya tangan yang memegangi kendali itu, namun ia tidak dapat menghindarkan dirinya lagi dari kesulitan. Guncangan itu telah melontarkannya dari punggung kudanya. Hampir saja ia terbanting di tanah, kalau tangan yang menggenggam kendali itu tidak cepat bertindak.

Begitu kendali kuda itu dilepaskan, maka tangan itu pun segera menangkap penunggang yang terlempar itu. Semuanya itu hanya berlangsung dalam waktu yang singkat sekali, sehingga ketika mereka menyadari keadaan diri masing-masing, penunggang kuda itu telah berpegangan pundak Ken Arok erat-erat. Sedang Ken Arok pun berusaha untuk menahannya agar ia tidak terjatuh.

Tanpa mereka sadari, maka sejenak kemudian mereka pun saling berpandangan. Dan sekali lagi mereka terkejut karenanya. Perlahan-lahan Ken Arok melepaskan penunggang kuda yang kini tersenyum kepadanya sambil berkata, “Terima kasih Tuanku. Bukankah Tuanku Akuwu Tumapel yang bijaksana?”

Ken Arok mundur selangkah. Dipandanginya orang itu dengan tatapan mata yang hampir tidak berkedip.

“Apakah Tuanku sudah lupa kepada hamba yang hina ini?”

“Hem,”Ken Arok menarik nafas dalam-dalam, “kau Ken Umang.”

Ken Umang mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, ”Bukankah hamba masih yang dahulu? Yang berbeda adalah justru Tuanku. Tuanku sekarang bukan sekedar salah satu dari pemimpin yang tujuh di Tumapel. Tetapi Tuanku adalah seorang Akuwu, meskipun kekuasaan itu Tuanku dapat dari Tuan Putri Ken Dedes yang. cantik tiada taranya.”

Ken Arok tidak segera menjawab. Ia masih terpaku memandang Ken Umang dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya. “Kenapa kau berbuat seperti ini? Berpakaian laki-laki dan sengaja mengganggu masa berburu kami?”

“Siapa yang mengganggu Tuanku? Hamba sama sekali tidak berbuat apapun di sini. Hamba hanya lewat, dan tidak ada peraturan yang melarang seseorang lewat di hutan ini.”

“Bohong! bentak Ken Arok, “kau pasti sengaja melakukannya justru kau tahu aku sedang berada di sini.”

Ken Umang mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa sambil melangkah maju, “Tuanku sekarang menjadi pemarah. Apakah seorang Akuwu harus seorang pemarah seperti Akuwu Tunggul Ametung?”

Ken Arok tidak menyahut.

“Tetapi Tuanku lain sekali dengan Akuwu yang terdahulu. Persamaannya, keduanya adalah suami Ken Dedes. Tetapi masih juga ada perbedaannya. Tuan tidak mendapatkan seorang gadis lagi.”

“Diam!” Ken Arok hampir berteriak. Terdengar ia menggeram, ”Kalau saja kau bukan seorang gadis, maka aku tampar mulutmu.”

Tetapi Ken Umang masih saja tertawa. Bahkan ia berkata, ”Memang Tuan. Aku masih seorang gadis, Kenapa Tuanku tidak menginginkan seorang gadis? Tuanku dapat berbuat apa saja menurut kehendak Tuanku setelah Tuanku merampas kekuasaan itu dari tangan Ken Dedes.”

“Diam! Diam kau!”

Tetapi Ken Umang tidak terdiam karenanya. Ia masih tertawa. Perlahan-lahan ia mendekati Ken Arok. Ketika Ken Umang meraba ikat pinggang kulit yang membelit di perutnya, Ken Arok sama sekali tidak beringsut dari tempatnya. Bahkan ia berdiri saja seperti patung. Dengan jari-jarinya yang lentik Ken Umang seakan-akan menghitung butiran-butiran berlian yang terpahat pada timang ikat pinggang Ken Arok. Kemudian disentuhnya pula ukiran keris yang terselip pada ikat pinggang di punggungnya. Perlahan-lahan Ken Umang berdesis, “Tuanku memang gagah sekali.”

Ken Arok masih tetap mematung. Dan Ken Umang bertanya seterusnya, “Apakah Tuanku hanya seorang diri?”

Ken Arok menggeleng, seperti anak-anak yang dituduh melempari buah-buahan di halaman, ”Tidak. Aku tidak seorang diri,”

“Di manakah kawan-kawan Tuanku sekarang?”

“Di gubuk-gubuk itu.”

Ken Umang tersenyum manis sekali. Dirabanya janggut dan jambang Ken Arok yang pendek dan teratur rapi. “Maaf Tuanku. Ternyata bukan Tuanku yang mencari hamba seperti pernah hamba katakan. Tetapi hambalah yang mencari Tuanku.”

Sentuhan tangan Ken Umang, benar-benar serasa seperti api yang menyentuh minyak yang tersimpan di dadanya. Adalah jauh berbeda sekali dengan Ken Dedes. Ken Dedes adalah titik-titik embun di teriknya matahari. Sejuk sekali. Apabila hatinya sedang membara, maka sentuhan tangan Ken Dedes adalah sentuhan ketenteraman yang damai. Tetapi sentuhan tangan Ken Umang telah mendidihkan darahnya, sehingga Ken Arok sama sekali tidak dapat mendinginkannya dengan usaha yang bagaimanapun juga, ketika kemudian seluruh isi dadanya terbakar.

Semua pengawalnya menjadi gelisah karena Ken Arok tidak segera kembali ke tempatnya. Seorang pengawal yang menunggu Ken Arok di tempat mereka melihat seekor kuda melintas, hampir-hampir tidak dapat menahan diri lagi untuk menyusul Akuwu. Tetapi ia masih bertahan. Kalau ia pergi menyusul, itu berarti ia telah melanggar perintah. Bahkan kepada pengawal-pengawal yang lain pun ia telah memberitahukan, bahwa Ken Arok tidak ingin seorang pun mengikutinya.

“Apakah kau tidak berusaha mencegahnya,” bertanya seorang kawannya.

“Aku sudah berusaha. Tetapi Akuwu tetap pada pendiriannya.”

“Bagaimana kalau terjadi sesuatu atasnya?”

Pengawal itu tidak menyahut. Tetapi yang lain bergumam, “Tetapi kalau Akuwu tidak mampu mengelakkan bahaya itu, apakah kemampuan kita dapat menolongnya.”

“Setidak-tidaknya kita dapat membantunya. Kalau bahaya datang beradu dada, aku kira Akuwu benar-benar dapat menjaga diri. Tetapi bagaimanakah halnya apabila ada jebakan yang tidak disangka-sangka,”

Semuanya diam sejenak. Kemudian seorang yang sudah berusia agak lanjut berkata, ”Kita tunggu sebentar lagi. Kalau Akuwu tidak segera datang, kita mencarinya.”

Semuanya mengangguk-anggukkan kepala. Mereka pun kemudian kembali ke gubuk masing-masing, kecuali seorang pengawal yang diharuskan menunggu di tempat mereka berpisah dengan Ken Arok. Pengawal itu sama sekali tidak memperhatikan lagi kepada binatang-binatang buruan yang minum di genangan air yang ditungguinya, karena hatinya semakin lama menjadi semakin gelisah.

Sementara itu Ken Arok sedang dibakar oleh api yang telah menyentuh perasaannya. Di masa-masa ia masih berkeliaran di hutan-hutan di sekitar padang Karautan ini, apapun pernah dilakukannya. Merampas, merampok dan juga memerkosa. Tetapi kini sebagai seorang Akuwu ia tidak berdaya melawan lembutnya tangan-tangan Ken Umang yang menyeretnya ke dalam lembah yang berbahaya. Ken Arok menyadari dirinya, ketika ia sudah hangus terbakar. Dengan wajah merah padam ia memandang dirinya sendiri, kemudian gadis yang masih saja tersenyum di hadapannya.

“Apakah Tuanku menyesal?” bertanya Ken Umang. Ken Arok berdiri gemetar. “Kalau Tuanku menyesal, Tuanku masih mempunyai jalan keluar.”

Ken Arok tidak menjawab.

“Tuanku dapat membunuh hamba sekarang. Kemudian Tuan dapat terlepas dari semua akibat perbuatan Tuan.”

Wajah Ken Arok menjadi semakin tegang. Ditatapnya wajah Ken Umang yang cerah oleh senyum yang selalu menghiasi bibirnya. Namun Ken Arok seakan-akan telah benar-benar membeku, sehingga ia tidak mampu berbuat apapun juga.

Perlahan-lahan Ken Umang berdiri dan mendekatinya. Sekali lagi ia meraba janggut dan jambang Ken Arok, yang pendek itu. “Tuanku dapat membunuh hamba. Bukankah Tuanku membawa keris dan pedang? Mudah sekali. Inilah dada hamba.”

Tiba-tiba Ken Arok menggelengkan kepalanya. Dengan nada yang berat ia berkata, “Tidak. Aku bukan pengecut. Aku adalah seorang laki-laki.”

“Maksud Tuanku?” Ken Umang mengerutkan keningnya. Tetapi hatinya melonjak kegirangan. Kalau ia berhasil, maka ia akan dapat duduk di samping anak pedesaan Panawijen itu. Setidak-tidaknya ia akan mendapat sebagian dari kekuasaan atas Tumapel, yang akan melimpah kepada anak-anaknya kelak.

“Pergilah. Kembalilah ke Tumapel,” desis Ken Arok.

Ken Umang berdiri termangu-mangu sejenak. Dipandanginya wajah Ken Arok yang masih tegang.

“Sudah aku katakan, aku bukan pengecut. Apakah kau masih tinggal di rumah Witantra?”

“Tidak Tuanku. Hamba tidak berada di rumah yang kosong itu lagi. Tetapi hamba berada di rumah bibi hamba."

“Utusanku akan mencarimu. Sekarang, pergilah. Pengawal-pengawalku sudah terlampau lama menunggu.”

Ken Umang tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, ”Hamba akan kembali mendahului Tuanku. Hamba selalu menunggu titah Tuanku, apapun yang harus hamba jalani,”

Ken Arok tidak menjawab. Dipandanginya saja Ken Umang yang membenahi pakaian laki-lakinya, kemudian naik ke atas punggung kudanya yang sedang enak-enak makan rerumputan yang muda.

Sekali lagi Ken Umang berpaling sambil tersenyum. Sebuah panji-panji kemenangan telah berkibar di hatinya. Ia telah berhasil menundukkan seekor burung rajawali yang menguasai seluruh langit. “Hamba minta diri, Tuanku. Hamba mohon maaf apabila Tuanku tidak berkenan di hati,” berkata Ken Umang.

“Pergilah.”

“Hamba Tuanku, mungkin hamba memang sudah tidak diperlukan lagi.”

“Aku bukan pengecut!”

Ken Umang menganggukkan kepalanya. Kemudian sambil melambaikan tangannya Ken Umang menggerakkan kudanya, dan meluncur di antara semak-semak perdu dan batang-batang ilalang. Ketika Ken Umang hilang dibalik rerungkutan, maka Ken Arok pun menarik nafas dalam-dalam. Kini ia mempunyai kesempatan untuk menilai dirinya.

“Aku sudah dijebaknya,” desisnya, “tetapi aku tidak dapat melepaskan diri dari gairah hidupnya yang menyala-nyala.” Dan tiba-tiba teperciklah pengakuannya, “Agaknya aku memang memerlukannya. Aku memang memerlukan yang lain dari Ken Dedes.”

Tiba-tiba Ken Arok menghentakkan kakinya. “Mudah-mudahan aku tidak terjerumus ke dalam kesulitan karenanya,” desisnya. Namun demikian terbayanglah selembar mendung yang akan mengambang di langit Tumapel.

“Apa boleh buat.” Sambil menundukkan kepalanya Ken Arok pun kemudian berjalan kembali ke tempat pengawalnya menunggu. Dicobanya untuk menghilangkan kesan dari apa yang telah terjadi. Tidak seorang pun yang boleh tahu, setidak-tidaknya untuk sementara waktu. Demikianlah, maka Ken Arok pun kembali ke tengah-tengah pengawalnya tanpa memberikan jawaban apapun ketika pengawalnya bertanya tentang orang berkuda itu.

“Aku tidak menemukannya,” jawabnya, “mungkin kalau aku juga mempergunakan seekor kuda, aku dapat mengejarnya.”

Pengawalnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun masa berburu kali ini tidak begitu menarik lagi bagi Ken Arok. Ia sendiri tidak begitu gairah mengejar binatang-binatang buruannya. Bahkan belum lagi sepanjang waktu yang direncanakan Ken Arok sudah memerintahkan orang-orangnya untuk bersikap kembali ke padang Karautan. Ken Arok sendiri tidak dapat mengerti, kenapa justru dalam keadaan yang demikian wajah Ken Dedes selalu terbayang di pelupuk matanya.

“Kita percepat masa berburu kali ini,” katanya kepada pengawalnya.

Pengawalnya menjadi heran. Tetapi tidak seorang pun yang bertanya.

“Besok pagi-pagi kita tinggalkan tempat ini.”

Para pengawalnya hanya saling berpandangan.

“Apa yang sudah kita dapat dari perburuan kita kali ini?”

“Dua helai kulit harimau. Satu helai loreng dan satu helai hitam. Sepasang tanduk menjangan branggah,” jawab pengawalnya.

“Baru itu?”

“Hamba Tuanku.”

Ken Arok mengerutkan keningnya.

“Badak bercula satu yang Tuanku inginkan masih belum kita dapatkan,” berkata pengawalnya pula, kemudian, “dan bagaimana dengan kulit lembu liar yang kita panggang hari ini?”

Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Tetapi itu sudah cukup. Aku ingin mengalasi tempat dudukku dengan kulit harimau loreng itu, untuk mengganti alas yang sudah tua. Bukankah kau sertakan kepala harimau itu pula.”

“Hamba Tuanku.”

“Sudah cukup. Kita akan segera kembali ke padang Karautan. Ken Dedes pasti sudah menunggu.”

Maka ketika matahari terbit di pagi harinya, iring-iringan itu pun telah meninggalkan hutan perburuan kembali ke taman di sebelah padukuhan Panawijen yang baru. Derap kaki-kaki kuda yang melontarkan debu di atas rerumputan yang kering di padang Karautan segera menarik perhatian orang-orang yang tinggal di padukuhan baru itu.

“Akuwu sudah kembali.”

“Ya, Akuwu sudah kembali.”

Beberapa orang pengawal yang berada di taman di seputar belumbang, yang mengawal pesanggrahan Ken Dedes pun segera melihat mereka pula. “Agak lebih cepat dari rencana,” desis para pengawal yang tinggal di pesanggrahan.

Ken Dedes yang segera diberi tahu pun menjadi heran. Bahkan ia menjadi cemas, kalau sesuatu telah terjadi sehingga masa berburu itu dipercepat. Karena itu maka dengan tergesa-gesa ia berkemas untuk menyambut kedatangan suaminya. Tetapi ternyata Ken Arok yang berkuda di paling depan, tampak segar bugar.

Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Ketika Ken Arok kemudian meloncat turun dari kudanya, Ken Dedes segera mendekatinya sambil berkata, “Hamba menjadi cemas Tuanku, karena justru rombongan ini datang terlampau cepat dari rencana. Syukurlah, kalau tidak terjadi sesuatu atas Tuanku.”

Dada Ken Arok berdesir mendengar sambutan itu. Seperti anak-anak yang merasa bersalah, maka sebelum Ken Dedes bertanya lebih lanjut, ia berkata, “Tetapi aku tidak sengaja mengubah rencana ini Ken Dedes. Tiba-tiba saja aku ingin kembali. Seakan-akan sudah terlampau lama kita tidak bertemu.”

“Ah,” Ken Dedes menjadi kemerah-merahan. Tetapi ia benar-benar tidak mengerti kenapa Ken Arok itu tiba-tiba menggandengnya, masuk ke dalam perkemahan.

Tingkah laku Ken Arok benar-benar membuat Ken Dedes menjadi heran. Meskipun Ken Arok adalah seorang suami yang baik sejak mereka kawin, namun tiba-tiba saja Ken Arok menjadi seperti seorang pengantin yang baru saja dipertemukan di pelaminan. Tetapi Ken Dedes tidak menaruh prasangka apapun. Ia menyangka bahwa sesuatu sedang bergetar di dalam dada Ken Arok. Mungkin ia sedang tidak berminat untuk berburu di hutan, atau kelelahan yang mencengkamnya. Mungkin badannya tetapi juga mungkin pikirannya. Sebagai seorang istri yang baik, Ken Dedes berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya.

Namun kegelisahan yang kadang-kadang mencengkam Ken Arok sehingga mempercepat detak jantungnya, teraba oleh perasaan halus seorang istri. Meskipun Ken Arok berusaha bersikap sebaik-baiknya, tetapi tangan Ken Dedes merasakan getar yang tidak wajar pada arus darah suaminya. Meskipun demikian Ken Dedes tidak segera bertanya sesuatu. Ia mengharap bahwa ia akan menemukan kesempatan atau bahkan Ken Arok sendiri akan mengatakannya. Tetapi Ken Arok tidak mengatakan sesuatu. Sehari Ken Dedes menunggu. Bahkan di hari berikutnya. Ken Arok sama sekali tidak mengatakan apa-apa kepadanya.

“Mungkin akulah yang berangan-angan,” berkata Ken Dedes di dalam hatinya, sehingga dengan demikian ia sama sekali tidak lagi berniat untuk bertanya, meskipun sikap Ken Arok kadang-kadang masih menumbuhkan pertanyaan di dalam dirinya.

Demikianlah, maka musim berburu kali ini telah menimbulkan persoalan baru di dalam istana Tumapel. Persoalan yang akan berekor panjang sekali. Pada saatnya, maka rombongan Akuwu pun kembali dari padang Karautan. Meskipun hasil buruan mereka kali ini tidak begitu banyak, tetapi kesan yang dalam telah terpahat di hati Ken Arok. Kesan yang selalu diusahakannya untuk tetap tersembunyi di dasar hati.

Namun yang tidak disangka-sangka telah terjadi. Di antara rakyat dari padukuhan Panawijen lama yang sedang melambai-lambaikan tangan mereka, ketika mereka melepaskan Ken Arok dan Ken Dedes kembali ke istana. terdapat seseorang yang hampir tidak mengerti atas penglihatannya sendiri. Hampir tanpa berkedip dicobanya untuk mengerti, apakah yang duduk di atas punggung kuda di samping tandu Ken Dedes.

“Bukankah yang berkuda itu adalah Akuwu yang baru?” ia bertanya kepada seseorang yang berdiri di sampingnya.

“Ya. Ken Arok. Ia jugalah yang membantu kami membangun bendungan itu. Ia jugalah yang atas perintah Akuwu Tunggul Ametung membangun taman yang sekarang dipakainya sendiri sebagai pesanggrahan.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Bahkan kemudian kepalanya digeleng-gelengkannya tanpa sesadarnya.

“Kenapa?” bertanya orang di sampingnya.

“Tidak apa-apa,” jawabnya.

“Apakah kau heran? Memang jalan hidup seseorang kadang-kadang mengherankan. Tetapi sejak ia masih seorang pelayan dalam, ia sudah menunjukkan beberapa kelebihan.”

Orang yang bertanya tentang Ken Arok itu mengangguk-angguk.

“Kalau kau melihat sendiri waktu itu, kau akan sependapat dengan aku, bahwa sudah selayaknyalah ia menjadi seorang Akuwu dan suami Ken Dedes.”

Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku memang mengaguminya,” katanya kemudian.

Iring-iringan Akuwu itu pun semakin lama menjadi semakin jauh. Namun orang yang keheran-heranan itu masih saja berdiri di tempatnya. Bahkan sambil mengusap-usap matanya ia berkata kepada diri sendiri, “Apakah aku sudah tidak dapat membedakan penglihatan atas orang-orang Tumapel?”

Akhirnya ketika orang-orang Panawijen telah meninggalkan tempatnya, orang itu pun berjalan dengan kepala tunduk, seakan-akan sedang menghitung langkahnya sendiri. “Aneh. Menurut pendengaranku, orang yang membunuh Empu Gandring itu jugalah yang membunuh Akuwu Tunggul Ametung, bernama Kebo Ijo,” desah orang itu di dalam hatinya. Namun tiba-tiba ia terkejut sekali sehingga selangkah ia terloncat.

“He, kau terkejut,” bertanya seseorang yang menggamitnya.

“Hem,” orang itu menarik nafas dalam-dalam, “sedikit.”

“Kenapa kau begitu mudah terkejut? Apalagi di siang hari begini?”

“Aku sedang memikirkan sesuatu,” berkata orang itu. Dan nada suaranya tiba-tiba merendah, “Aku berpikir tentang Akuwu itu, Agni.”

Mahisa Agni, orang yang telah mengejutkan itu, mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya, “Kenapa dengan Akuwu itu?”

Orang itu tidak segera menyahut. Baru sejenak kemudian ia bertanya, “Kau telah dikenalnya dengan baik.”

“Ya.”

“Kau sudah menjadi keluarga dari Akuwu berdua.”

“Ya.”

Orang itu tidak melanjutkan kata-katanya, sehingga Mahisa Agni bertanya kepadanya. “Kenapa?”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam.

“Apakah ada sesuatu yang menarik perhatianmu?”

Sejenak orang itu berpikir. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya, “Tidak. Tidak apa-apa.”

Namun jawaban itu justru telah membuat Mahisa Agni bertanya-tanya di dalam hati. Dipandanginya orang itu tajam-tajam. “Aku melihat sesuatu tersembunyi di dalam hatimu,” Mahisa Agnilah yang kini bertanya. “Ken Dedes adalah adikku. Mungkin aku dapat menjelaskan teka-teki yang barangkali mengganggumu.”

Orang itu berpikir sejenak. Namun sekali lagi ia menggelengkan kepalanya, “Tidak. Tidak ada apa.”

Jawaban itu justru merupakan teka-teki yang sulit sekali bagi Mahisa Agni. Karena itu, maka ia menjadi semakin ingin mengetahui, apakah yang menjadi sebabnya, sehingga orang itu menaruh perhatian yang asing kepada suami istri itu. Karena itu maka ia pun mendesak, “Ada sesuatu yang menarik perhatianmu. Dan hal itulah yang ingin aku ketahui.”

Orang itu menggelengkan kepalanya, “Tidak ada apa-apa.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat memaksa orang itu untuk mengatakan sesuatu kepadanya. Karena itu sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Apa boleh buat. Tetapi sikapmu mengatakan kepadaku, bahwa ada sesuatu yang kau anggap aneh pada Akuwu dan istrinya.”

“Tidak. Kau berprasangka.”

Mahisa Agni pun kemudian meninggalkannya sendiri. Sejenak orang itu masih berdiri di tempatnya. Kemudian dengan langkah gontai ia pun pergi ke padukuhan baru dari rakyat Panawijen. Namun ternyata penglihatannya itu benar-benar telah mengganggu perasaannya. Ketika malam datang, sekejap pun ia tidak dapat memejamkan matanya. Wajah Akuwu yang baru itu selalu membayang di pelupuk matanya, sehingga bayangan itu kemudian menjadi beban yang semakin lama semakin berat di hatinya.

“Matakulah yang agaknya sudah rabun,” katanya di dalam hati, “seharusnya aku tidak menghiraukannya.”

Ditutupnya wajahnya dengan kedua belah tangannya. Kemudian ia pun menelungkup. Tetapi wajah Akuwu masih tetap membayanginya. “Kenapa wajah ini tidak mau pergi?” desisnya.

Namun bagaimanapun juga ia berusaha, wajah itu tetap membayang, bahkan semakin lama semakin jelas. “Ya, wajah itu. Aku yakin,” tiba-tiba ia menggeram. “Oh, gila,” desahnya kemudian, “aku sudah menjadi gila.”

Orang itu pun kemudian bangkit dari pembaringannya. Perlahan-lahan ia melangkah keluar dari biliknya, yang berada di gandok banjar padukuhan Panawijen baru. Ketika ia berada di halaman banjar, terasa hatinya menjadi sedikit tenteram. Terasa sejuknya malam menyusup sampai ke pusat jantungnya.

“Hem,” ia menarik nafas dalam-dalam, “ternyata aku tidak sedang bermimpi. Tetapi apakah aku harus berterus terang?”

Orang itu tidak segera menemukan jawabnya. Ketika hatinya masih juga diamuk oleh kebingungan. maka kakinya telah membawanya melangkah keluar halaman banjar, turun ke jalan yang membujur di tengah-tengah padukuhan. Tanpa sesadarnya ia kemudian berjalan selangkah demi selangkah. Ketika para peronda di gardu di depan banjar bertanya kepadanya, maka jawabnya, “Udara terlampau panas. Aku tidak dapat tidur, sehingga aku ingin berjalan-jalan menyejukkan diri sejenak.”

Tidak seorang pun yang mencurigainya. Orang itu adalah tamu terhormat bagi Panawijen, karena ia adalah tamu Mahisa Agni. Namun meskipun orang itu telah berjalan hampir mengitari padukuhan, hatinya masih juga disaput oleh kegelisahan. Bayangan yang mengerikan selalu mengikutinya. Bukan sekedar bayangan Akuwu Tumapel, istrinya Ken Dedes. Tetapi tiba-tiba saja ia melihat wajah yang hampir dilupakannya, Empu Gandring.

“Oh, aku akan menjadi benar-benar gila.” Dan orang itu sama sekali tidak ingin gila. Karena itu, maka di pagi harinya, setelah semalam suntuk ia tidak berhasil memejamkan matanya sekejap pun, ia menemui Mahisa Agni.

“Mahisa Agni,” katanya, “aku minta diri. Hari ini aku akan kembali ke Lulumbang.”

“He,” Mahisa Agni terkejut, “kenapa begitu tergesa-gesa?”

“Aku sudah beberapa hari berada di sini.”

“Tetapi sampai kemarin kau sama sekali belum merencanakan untuk segera pulang hari ini.”

“Tentu sudah. Hanya barangkali aku belum mengatakannya kepadamu.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin tidak mengerti akan sikap orang itu. Dan ia berterus terang mengatakannya. “Aku menjadi bingung sejak kemarin melihat sikapmu yang asing itu. Aku kira kau memang menyimpan sesuatu di dalam hatimu. Apakah kau tidak lebih baik berterus terang kepadaku?”

Orang itu mengerutkan keningnya.

“Aku tahu, bahwa kau telah dibebani oleh sesuatu. Kalau kau menyimpannya di dalam hatimu, maka kau akan selalu merasa gelisah. Tetapi kalau kau mau mengatakannya, barangkali aku dapat membantumu, memperingan beban itu.”

Tetapi orang itu menggeleng.

“Kenapa?” bertanya Mahisa Agni.

Tatapan mata orang itu melontar jauh sekali.

“Katakan. Kalau itu suatu rahasia, maka aku berjanji, bahwa aku pun akan merahasiakannya.”

Kini orang itu memandang wajah Mahisa Agni. Kemudian perlahan-lahan ia berkata, “Agni. Aku tidak ingin bahwa karena salah sangka, atau prasangka-prasangka yang tidak pada tempatnya, menyebabkan ketenangan yang sudah pulih kembali di Tumapel ini terguncang.”

“He,” jawaban orang itu benar-benar tidak disangka-sangka oleh Mahisa Agni. sehingga ia menjadi sangat terkejut karenanya, “apakah kau melihat sesuatu yang dapat menimbulkan keguncangan seperti yang kau katakan? Kalau benar demikian, kau pasti melihat sesuatu yang sangat penting.”

“Tetapi kau jangan mempercayai aku. Aku tidak mempunyai ketajaman penglihatan dan ingatan seperti seorang prajurit atau petugas-petugas apapun. Aku hanya sekedar seorang cantrik padepokan yang tidak berharga.”

“Bukan kau yang menentukan. Tetapi persoalan yang kau lihat itu.”

Orang itu, salah seorang cantrik dari padepokan di Lulumbang, tidak segera menyahut. Dadanya masih saja diamuk oleh keragu-raguan yang sangat. Kalimat demi kalimat yang sudah tersusun dan terkumpul di bibirnya. tiba-tiba ditelannya kembali.

“Lebih baik aku tidak mengatakan sesuatu, Agni,” berkata orang itu kemudian, “biarlah aku minta diri. Datanglah sering ke Lulumbang. Agar padepokan itu tidak menjadi terlalu sepi sepeninggal Empu Gandring.”

Tetapi Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku bukan anak-anak lagi. Aku dapat menimbang, mana yang baik dan mana yang buruk. Karena itu, katakanlah.”

Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. “Aku tidak mau. karena kesalahan penglihatanku, Tumapel menjadi keruh kembali.”

“Katakan. Katakan,” desak Mahisa Agni.

Dada cantrik itu bergelora dahsyat sekali. Hampir saja ia tidak dapat menahan diri, sehingga syarafnya benar-benar terpengaruh oleh persoalan yang disimpannya.

“Jagalah dirimu sendiri,” bisik Mahisa Agni, “kau tidak akan dapat melepaskan diri dari tekanan perasaanmu siang dan malam. Tetapi apabila hal itu sudah kau katakan, maka apapun akibatnya, namun dadamu akan menjadi lapang.”

“Apakah aku harus mementingkan diriku sendiri?” ia bertanya.

“Apakah kau yakin bahwa akibatnya akan selalu jelek?”

“Ya.”

“Kau salah sangka. Sekali lagi aku katakan, kalau hal itu kau anggap rahasia, aku akan merahasiakannya. Kalau kau keliru, aku akan membantu menemukan kebenarannya, kalau aku mampu.”

Sekali lagi cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berkata, “Baiklah Agni, tetapi mudah-mudahan aku keliru atau kau tidak mempercayainya.”

Mahisa Agni tidak segera menjawab. Dibiarkannya cantrik itu menelan ludahnya, kemudian berkata tersendat-sendat, “Agni. Menurut penglihatanku, orang yang bernama Ken Arok itulah yang pernah datang ke padepokan Empu Gandring pada saat Empu Gandring terbunuh.”

“He,” serasa darah Mahisa Agni terhenti sesaat. Dipandanginya cantrik itu dengan tajamnya, sehingga kepalanya tertunduk dalam-dalam.

Mahisa Agni tersadar ketika ia mendengar cantrik itu berkata, “Mudah-mudahan aku keliru.”

Mahisa Agni menarik nafas panjang-panjang untuk menenangkan gejolak di dalam dadanya. Kemudian ia berdesis perlahan-lahan, “Tetapi bukankah orang yang datang waktu itu ke padepokan memakai kalung yang berwarna kekuning-kuningan.”

“Ya. Orang itulah yang memakainya.” tetapi kemudian dilanjutkannya, “sekedar menurut penglihatanku Agni. Apalagi waktu itu malam hari. Lentera di regol halaman tidak begitu terang dan mataku barangkali memang sudah rabun.”

Mahisa Agni seolah-olah membeku untuk sejenak. Ia tidak menyangka bahwa ia akan mendengar keterangan serupa itu.

“Sudahlah Agni, jangan kau hiraukan. Aku hanya sekedar mengurangi beban yang memberati dadaku seperti yang kau sarankan. Aku tidak bermaksud menuduh Akuwu itu bersungguh-sungguh.”

“Tunggulah sebentar,” berkata Mahisa Agni, “bagaimana pendapatmu tentang Kebo Ijo?”

“Aku belum pernah mengenal Kebo Ijo.”

“Tetapi bentuk tubuhnya jauh berbeda dengan Ken Arok, sehingga seandainya yang datang waktu itu benar-benar Kebo Ijo, kau pasti tidak akan keliru bahwa yang datang itu adalah orang yang sekarang menjadi Akuwu.”

“Entahlah Agni. Sudah aku katakan, aku dapat keliru. Dan kemungkinan itulah yang terbesar dapat terjadi.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba ia berkata, “Sebaiknya kau tidak pulang ke Lulumbang.”

“Kenapa?”

“Kau tetap tinggal di padukuhan ini.”

“Maksudmu?”

“Demi keamananmu. Meskipun seandainya kau keliru, tetapi apabila orang yang pernah kau lihat itu benar bukan Kebo Ijo, dan kini ia masih hidup, maka ia akan berusaha untuk menghilangkan dan melenyapkan semua saksi, termasuk kau.”

Tetapi cantrik itu menggeleng, “Kalau hal itu akan dilakukan Agni, waktunya sudah cukup lama. sejak Empu Gandring terbunuh. Ternyata aku masih tetap hidup sampai ini.”

Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Tetapi ia menjawab, “Mungkin sampai saat ini kau tidak termasuk hitungan. Tetapi apabila pembunuh itu teringat, bahwa kau masih ada, maka kau akan terancam.”

“Kalau hal itu terpaksa terjadi Agni, aku akan mengalaminya dengan senang hati. Sebagai tanda setiaku kepada Empu Gandring yang sudah terbunuh lebih dahulu.”

“Kalau persoalannya hanya sekedar itu, biarlah kau terbenam dalam kesetiaanmu itu. Tetapi mungkin kau yang masih tetap hidup sangat diperlukan. Apalagi kalau ternyata bahwa pembunuhnya benar bukan Kebo Ijo. karena aku ikut menentukan, pada saat Kebo Ijo dihukum mati.” Mahisa Agni berhenti sejenak. Lalu, “Memang mungkin orang yang datang itu bukan Kebo Ijo sendiri, tetapi pesuruhnya, namun apabila ada pembuktian yang lebih nyata, maka hukuman atas Kebo Ijo menjadi semakin mantap.”

“Tetapi sebaiknya aku kembali ke Lulumbang Agni. Apapun yang akan terjadi. Bertahun-tahun aku berada di padepokan itu.” Cantrik itu berhenti sejenak, “aku menyesal bahwa aku telah berkunjung kemari pada saat Akuwu datang pula, untuk berburu, sehingga khayalanku sudah terkacau oleh penglihatanku yang kacau pula.” Sekali lagi ia berhenti lalu, “Maafkan aku Agni bahwa aku telah menumbuhkan prasangka di dalam dirimu. Tetapi lupakanlah kata-kataku semua. Anggaplah semuanya itu sebagai bualan yang tidak berharga sama sekali.”

Kepala Mahisa Agni terangguk perlahan. Cantrik itu adalah cantik pamannya sejak ia masih terlalu muda, sehingga karena itu padepokan Lulumbang seolah-olah adalah tempat kelahirannya sendiri. Namun demikian Mahisa Agni masih mencoba menahannya. Katanya, “Aku tahu bahwa tidak ada tempat lain bagimu selain Lulumbang. Kesetiaanmu kepada Paman Empu Gandring menumbuhkan perasaan haru padaku. Tetapi kesetiaanmu dapat juga berbentuk lain. Bukan sekedar menunggui padepokan itu.”

Mahisa Agni berhenti sejenak, kemudian katanya, “Aku adalah kemenakannya. Kematian paman telah mengguncangkan jantungku. Dan aku tidak sekedar menangisinya. Kalau memang ada suatu jalan yang lebih baik bagimu dan bagiku untuk menyatakan kesetiaan itu, maka marilah jalan itu kita tempuh.”

“Maksudmu?” bertanya cantrik itu.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Kita akan melihat bersama-sama. Meskipun persoalan Empu Gandring dan Akuwu Tunggul Ametung dianggap sudah selesai, namun apa salahnya kita melihat kebenaran, apabila itu masih memungkinkan. Kalau kita kemudian berkesimpulan, apa yang terjadi itu sudah benar, kita akan menjadi lebih mantap. Tetapi kalau kebenaran itu tidak seperti yang telah kita lakukan, betapa pahitnya kita harus berani melihat dan mengakui kesalahan, dan sekaligus harus berani meluruskan yang salah itu.”

Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Terdengar ia bergumam, “Itulah yang aku cemaskan sejak semula. Karena itu lebih baik aku tidak mengatakan apa-apa.”

“Jangan bersikap begitu. Kalau kau melihat kesalahan, janganlah kesalahan itu kau endapkan saja di dalam hatimu, meskipun kau tahu, itu akan menjadi racun sepanjang hidupmu. Karena apabila demikian, maka apa yang terjadi seterusnya, adalah perbuatan-perbuatan yang beralaskan kesalahan itu.”

“Tetapi sebaiknya kau berpendirian lain Agni. Anggaplah bahwa mataku sekarang inilah yang salah.”

“Kita tidak dapat menganggap yang salah itu benar dan yang benar itu salah. Anggapan yang demikian adalah pengingkaran atas kenyataan.”

Cantrik itu termenung sejenak. Dan Mahisa Agni berkata seterusnya, “Kau harus menunjukkan kesetiaanmu kepada paman Empu Gandring. Kalau tuduhan kita atas Kebo Ijo itu memang keliru, dan kau dapat menemukan pembunuh yang sebenarnya, kamu telah berbuat kebajikan atas paman yang sudah terbunuh itu.”

“Tetapi tidak,” orang itu tiba-tiba berkata dengan nada yang tinggi. Terbayang kecemasan merambat di wajahnya, “aku tidak mau melibatkan diriku dalam kesulitan yang dapat mengguncang ketenangan Tumapel.”

Tetapi Mahisa Agni menepuk pundaknya, “Kau sama sekali tidak gentar apapun yang terjadi atasmu, apabila kau kembali ke Lulumbang, demi kesetiaanmu kepada paman Empu Gandring. Apakah kau dihinggapi oleh perasaan cemas apabila kau menempuh jalan lain untuk menyatakan kesetiaanmu itu?”

Cantrik itu tidak menjawab.

“Nah, bagaimana pendapatmu?”

Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berdesah, “Apakah maksudmu, dan apakah yang sebaiknya aku lakukan?”

Mahisa Agnilah yang kemudian menarik nafas dalam-dalam. Matanya yang redup memandang jauh kepada bayangan-bayangan matahari yang bermain di dedaunan. “Kita akan mencari jalan untuk melakukannya,” desis Mahisa Agni.

Cantrik itu berdiam diri sejenak.

“Kau tetap tinggal di sini,” berkata Mahisa Agni, “Aku akan pergi ke Tumapel.”

“Apakah yang akan kau lakukan?”

“Aku akan melihat dan mendengar lebih banyak tentang Ken Arok dan Ken Dedes. Saat itu perhatian kita seakan-akan sudah dibatasi oleh tuduhan yang mantap atas Kebo Ijo, sehingga kita tidak mendapat kesempatan untuk mencari keterangan-keterangan lain.”

“Mudah-mudahan kau tidak menemukan apa-apa.”

“Mudah-mudahan. Tetapi kita tidak dapat puas dengan apa yang sudah terjadi.”

Cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kau setuju?”

“Kalau itu yang kau kehendaki, aku akan mencobanya.”

“Baiklah,” berkata Mahisa Agni kemudian, “dengan demikian kau akan tetap tinggal di sini. Akulah yang besok akan segera menyusul Akuwu.”

Demikianlah, maka Mahisa Agni menemukan bahan baru yang terpaksa diperhatikannya, karena cantrik itu adalah satu-satunya saksi yang masih hidup, yang melihat sendiri orang yang datang ke padepokan pada saat Empu Gandring terbunuh. Karena itu keterangannya itu, mau tidak mau harus mendapat tanggapannya. Betapa pahitnya apabila ternyata apa yang sudah diputuskan itu ternyata keliru.

Di hari berikutnya. Mahisa Agni minta diri kepada Ki Buyut Panawijen dan kawan-kawannya untuk pergi ke Tumapel tanpa mengatakan keperluannya yang sebenarnya. Ia masih tetap merahasiakan keterangan cantrik yang masih belum dapat dipastikan kebenarannya itu. Namun pengenalannya atas Ken Arok sebelum anak muda itu menemukan jalan yang baik, tiba-tiba telah mempengaruhi Mahisa Agni pula. Terbayang wajah anak muda yang kasar dan liar di padang Karautan. Anak muda yang melakukan seribu macam kejahatan sebelum ia menemukan jalan yang lurus di istana Tumapel atas tuntunan seorang pendeta yang bernama Lohgawe.

“Aku harus mendapat keterangan selengkap-lengkapnya tentang anak muda itu, apa yang sudah dilakukan dan apa yang dilakukan kemudian setelah Akuwu terbunuh dan Kebo Ijo dibunuhnya,” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.

Berbeda dengan kebiasaannya, kali ini Mahisa Agni justru langsung pergi ke istana sebagai kakak Ken Dedes. Pada masa Tunggul Ametung menjadi Akuwu, jarang sekali Mahisa Agni mau tinggal di istana apabila ia berada di Tumapel. Tetapi tidak seorang pun yang melihat kelainan itu. Semua orang menganggap, bahwa adalah wajar sekali, apabila Mahisa Agni mendapat tempat bermalam di istana selama ia berada di Tumapel.

Dalam pada itu, tidak seorang pun yang dapat diajaknya berbicara tentang maksudnya. Bahkan pemomong Ken Dedes yang tua itu, yang sebenarnya adalah ibunya sendiri, tidak juga diberitahukannya. Namun setelah beberapa saat ia berada di istana, timbullah keragu-raguannya untuk meneruskan usahanya. Ia melihat Ken Arok sebagai seorang Akuwu yang memang diharapkan oleh rakyat Tumapel. Ia dapat memberi apa yang seharusnya diterima, dan ia dapat membuat apa yang memang diperlukan.

Ternyata Ken Arok adalah seorang pemimpin yang baik dan bijaksana. Itulah sebabnya, maka Ken Arok pun kemudian tidak puas dengan keadaan Tumapel seperti yang sudah dicapainya. Ia sama sekali tidak senang untuk menundukkan kepalanya kepada orang lain yang selama ini berkuasa.

“Benar juga kata cantrik itu,” berkata Mahisa Agni, “apakah aku sekarang akan mengguncangkan Tumapel yang sedang merambat naik ini? Aku yakin sebentar lagi Ken Arok pasti akan berhasil. Rakyat Tumapel pasti tidak akan berkeberatan untuk menyebutnya sebagai seorang raja, bukan sekedar seorang Akuwu.”

Dan Ken Arok memang berusaha untuk pada suatu ketika menjadi seorang raja. Apalagi Ken Dedes selalu berusaha untuk mendorong maju. Namun Ken Dedes tidak menaruh prasangka apapun ketika Ken Arok seakan-akan tidak sabar lagi untuk menunggu esok.

“Kenapa Tuan tergesa-gesa,” bertanya Ken Dedes, “untuk melakukan pekerjaan yang besar Tuan harus berhati-hati. Tuan harus mempertimbangkan segala segi.”

“Aku kira semuanya sudah masak. Bukan karena aku terlampau bernafsu untuk bergelar seorang raja, tetapi sejak saat ini Tumapel harus berdiri sendiri. Tumapel harus menyebut dirinya sebagai suatu negara. Dengan demikian kesadaran dan tanggung jawab rakyatnya akan meningkat.”

“Tetapi apakah Tuanku sudah mempertimbangkan tindakan yang dapat diambil oleh Maharaja Kediri dengan pernyataan Tuan itu?”

“Tumapel sudah siap.”

Ken Dedes tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Apalagi ia mempercayai Ken Arok, bahwa perhitungannya atas keadaan pada umumnya tidak jauh menyimpang dari yang diinginkannya.

Mahisa Agni yang masih berada di istana sekali-sekali sempat juga bertemu dengan Ken Dedes. Sempat juga ia berbicara tentang kemungkinan Ken Arok untuk menyebut dirinya menjadi seorang raja.

“Bagaimana pendapatmu Kakang?” bertanya Ken Dedes.

“Aku bukan seorang pemimpin pemerintahan yang dapat menilai keadaan dengan tepat. Tetapi apabila Ken Arok. maksudku Tuanku Akuwu sudah memperhitungkannya dengan masak, maka aku kira tidak akan ada keberatan apa-apa lagi.”

Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Mahisa Agni pun ikut merasakan kegembiraan yang membayang di wajah adik angkatnya itu.

“Mudah-mudahan kau dapat berbahagia,” desis Mahisa Agni di dalam hatinya. Dan harapannya itu telah membuatnya semakin segan untuk melihat kenyataan seperti yang dikatakan oleh cantrik pamannya. “Aku kira Tuanku Akuwu akan berhasil,” berkata Mahisa Agni kepada Ken Dedes, “aku mengenal kemampuan dan kecerdasannya.”

“Doa mu saja Kakang. Mudah-mudahan semuanya berlangsung dengan baik. meskipun Tuanku agak tergesa-gesa.”

“Tetapi persiapannya memang sudah matang. Semuanya sudah diperhitungkannya,”

Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi Mahisa Agni tidak pernah sempat berbicara dengan Ken Arok sendiri. Ken Arok terlampau sibuk dengan tugas-tugasnya. Dengan rencananya. Ia adalah seorang yang berhati baja. Dan ia adalah seorang yang mempunyai kecakapan untuk menilai persoalan yang sedang dikerjakannya.

Seperti Ken Dedes tidak seorang pun yang mengerti, kenapa Ken Arok begitu tergesa-gesa kali ini untuk menyebut dirinya seorang raja. Dengan demikian maka Tumapel menjadi terlampau sibuk. Selain persiapan penobatan, maka Ken Arok telah mempersiapkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Pasukan sandi telah disebarnya di segenap penjuru, dan bahkan masuk dalam-dalam ke daerah Kediri. Pasukan yang kuat berjaga-jaga di perbatasan dan hampir setiap saat di Tumapel harus mempersiapkan dirinya untuk menghadapi apapun yang bakal terjadi akibat penobatan itu.

“Bukan main,” desis Mahisa Agni di dalam hati, “ia benar-benar mampu melakukannya. Cita-cita bagi Ken Arok bukanlah sesuatu yang sekedar mengambang di langit. Tetapi ia berusaha benar-benar dapat meraihnya dan menelannya. Dan kini ia sedang gigih berjuang untuk itu. Pada saatnya, seluruh rakyat Tumapel bersorak. Tumapel kini bukan lagi suatu wilayah kecil di bawah perintah sang Akuwu yang mengakui kekuasaan Kediri. Kini Tumapel adalah sebuah kerajaan yang menamakan dirinya Singasari.”

Seluruh rakyat meneriakkan kelahiran suatu kerajaan baru yang bernama Singasari itu. Dan dengan demikian lahir pula seorang raja yang menjadi kebanggaan rakyatnya untuk memimpin kerajaan yang baru itu, Ken Arok yang kemudian bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwa Bumi, yang menguasai kerajaan Singasari, di sebelah timur Gunung Kawi.

Mahisa Agni yang melihat kemajuan anak padang Karautan itu hanya dapat mengelus dadanya. Ia ikut menjadi bangga karenanya. Kalau anak itu masih berkeliaran di padang Karautan, ia akan tetap merupakan hantu yang tidak saja menakutkan, tetapi oleh otaknya yang cemerlang, ia akan menjadi iblis yang maha dahsyat. Bahkan ia pun akan mampu membuat suatu kerajaan tersendiri, yang memerintah para perampok, pencuri, pemeras dan segala macam penjahat. Kini kemampuan yang melimpah-limpah itu sudah tersalur. Ken Arok adalah seorang raja yang perkasa.

Pergolakan yang terjadi di Kediri dimanfaatkannya baik-baik. Pertentangan antara para pendeta dan para bangsawan. Keputusan Maharaja Kertajaya yang memaksa para pendeta untuk menyembahnya, telah menggali jurang yang tidak terhubungkan lagi. Dengan demikian, maka hubungan kedua negara itu semakin memburuk. Raja Singasari yang bergelar Sri Rajasa dapat lebih tangkas menangani persoalannya.

Mahisa Agni yang merasa berkewajiban untuk menemukan pembunuh pamannya yang sebenarnya, menjadi semakin termangu-mangu. Akhirnya tanpa berbuat sesuatu ia kembali ke padukuhan Panawijen baru. setelah beberapa lama ia berada di istana Singasari. Ia memerlukan singgah sebentar ke Lulumbang menemui cantrik-cantrik yang masih menunggui padepokan itu.

“Kawanmu masih berada di Panawijen,” katanya kepada para cantrik ketika mereka menanyakan seorang kawannya yang berkunjung kepada Mahisa Agni.

“Kenapa ia tidak segera kembali?”

“Aku menahannya.”

Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Jagalah padepokan ini baik-baik. Rawatlah keluarga paman yang masih ada.”

Para cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya pula.

“Apabila aku sampai ke Panawijen, kawanmu akan segera pulang.”

“Ya,” jawab para cantrik, “kami menjadi cemas.”

Dada Mahisa Agni berdesir. “Kenapa?” ia bertanya.

“Ia jauh melampaui batas waktu yang direncanakan.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. “Ia selamat.”

Anak muda itu hanya sekedar singgah saja di Lulumbang. Kemudian ia pun segera meneruskan perjalanan, kembali ke Panawijen. Ketika cantrik yang memberitahukan kepadanya tentang Ken Arok itu bertanya kepadanya. Mahisa Agni hanya dapat menggelengkan kepalanya,

“Seperti kau, aku tidak ingin negara yang baru lahir ini berguncang. Seluruh rakyat menyambut lahirnya kerajaan Singasari. Seluruh rakyat mengharap bahwa negara ini akan segera berkembang. Aku tidak dapat melakukannya. Kepentingan yang seolah-olah lebih bersifat pribadi ini. terpaksa aku urungkan, meskipun tidak berarti bahwa kesalahan Ken Arok, seandainya benar penglihatanmu, menjadi terhapus karenanya.”

Cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Sudahlah, anggaplah penglihatankulah yang salah. Singasari memerlukan seorang besar seperti Ken Arok.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Aku akan segera kembali ke Lulumbang,” berkata cantrik itu kemudian.

Namun Mahisa Agni tidak dapat melepaskannya sendiri. Perasaannyalah yang selalu membayangi. Cantrik itu adalah satu-satunya saksi yang masih dapat mengatakan, siapakah yang sebenarnya datang ke Lulumbang pada saat Empu Gandring terbunuh.

“Barangkali pembunuh itu sudah melupakannya, bahwa masih ada seorang saksi,” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “selama tidak ada persoalan apapun tentang pembunuhan itu, maka aku kira cantrik itu pun tidak akan terancam.”

Meskipun demikian Mahisa Agni memerlukan mengantarkan cantrik itu sampai ke Lulumbang, menyerahkannya kembali kepada kawan-kawannya. Dengan demikian Mahisa Agni mencoba untuk seterusnya melupakan keterangan cantrik itu. Ia menenggelamkan di dalam kerjanya sehari-hari, membangun padukuhannya yang baru, seperti juga Singasari membangun dirinya. Kini pemerintahan yang dipimpin oleh Ken Arok itu mulai terasa sampai ke padukuhan-padukuhan terpencil. Perlindungan dan bimbingannya memberikan banyak manfaat kepada daerah-daerah yang semula seakan-akan tidak bertuan.

Namun, adalah berbeda sekali apa yang terjadi di dalam istana sendiri. Di kala Singasari sedang memencar ke segala penjuru, keretakan yang perlahan-lahan telah merayapi istana. Seperti yang dikatakannya sendiri, Ken Arok bukanlah seorang pengecut. Dan ia memang tidak berlaku sebagai seorang pengecut.

Meskipun belum dilakukannya secara terbuka, namun ia benar-benar tidak meninggalkan Ken Umang. Bahkan Ken Umang ternyata mempunyai kecakapan yang seakan-akan ajaib. Ken Arok sama sekali tidak dapat melepaskannya lagi, bukan sekedar karena kejantanannya. Tetapi Ken Arok benar-benar memerlukan Ken Umang.

“Tuanku,” berkata Ken Umang pada suatu kali, “apakah untuk seterusnya Tuanku akan selalu bersembunyi-sembunyi apabila Tuanku datang mengunjungi hamba seperti ini.”

“Tentu tidak Umang. Pada saatnya aku akan mengumumkan perkawinan kita.”

“Tetapi bagaimana dengan Tuanku Permaisuri. Bukankah kekuasaan yang Tuanku miliki sekarang berasal dari Tuan Putri itu, yang mendapat pelimpahan dari Akuwu Tunggul Ametung?”

Ken Arok mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia menjawab, “Tunggul Ametung bukan seorang raja. Tunggul Ametung hanya seorang Akuwu. Seandainya kekuasaanku itu aku dapatkan dari Tunggul Ametung lewat Ken Dedes, maka aku adalah sekedar seorang Akuwu, tetapi aku adalah seorang raja.”

Ken Umang tertawa pendek. Dan suara tertawa itu menggelitik jantung Ken Arok. Sambil berjalan hilir mudik Ken Umang berkata, “Hamba tahu, bahwa pada saatnya Tuanku pasti tidak akan bersembunyi-sembunyi lagi, karena Tuanku mempunyai kekuasaan untuk melakukan apa saja. Tetapi pada saatnya itu kapan?”

Ken Arok tidak segera menjawab.

“Tuanku memang seorang raja yang berkuasa. Tidak seorang pun di Singasari yang berani menentang kehendak Sri Rajasa,” Ken Umang meneruskan, “tetapi meskipun demikian Sri Rajasa yang kuasa itu tidak dapat menyakiti hati Permaisuri tercinta.”

“Cukup!” Ken Arok memotong.

Tetapi Ken Umang tertawa. Katanya, “Tuanku jangan marah. Aku tidak sengaja menyinggung perasaan Tuanku. Barangkali Tuanku memang terlampau lelah, sehingga mudah sekali kehilangan pengamatan diri. Karena itu, kami persilakan Tuanku beristirahat. Tuanku harus melupakan segala kesibukan yang melemahkan itu meskipun hanya sesaat.”

Ken Arok masih tetap berdiam diri.

“Setuju Tuanku?”

Ken Arok sama sekali tidak bergerak. Tetapi ketika tangan Ken Umang menyentuhnya, dan bau wewangian meraba hidungnya. Ken Arok tidak dapat menghindarinya lagi.

“Tuanku memang tidak perlu menyakiti hati Permaisuri. Hamba sudah puas dengan keadaan sekarang. Apapun yang Tuan lakukan hamba tidak akan sakit hati.”

“Sudah aku katakan, bahwa aku bukan pengecut,” jawab Ken Arok, kemudian, “aku sudah berusaha mempercepat penobatanku, supaya tidak ada persoalan apapun lagi yang dapat merintangi maksudku, apabila aku akan menyatakan kau sebagai istriku.”

Ken Umang tertawa. Katanya , “Jadi Tuanku menjadikan Singasari ini suatu kerajaan bukan karena cita-cita Tuan, bahwa hari depan Singasari akan menjadi lebih baik, tetapi hanya sekedar agar Tuanku dapat menjadikan hamba sebagai seorang istri yang terbuka.”

“Bukan, bukan itu,” Ken Arok menyahut dengan serta-merta, “Tetapi keduanya memang bersangkut paut.”

“Sudahlah,” berkata Ken Umang kemudian, “Tuanku memang harus beristirahat.”

Demikianlah, Ken Arok menjadi semakin terikat oleh Ken Umang yang mempunyai sifat yang berbeda dengan Ken Dedes. Seperti juga Ken Arok tidak lagi dapat hidup tanpa Ken Dedes, ia pun tidak dapat lagi terlepas dari Ken Umang. Keduanya diperlukan dan keduanya mempunyai arti yang tersendiri di dalam kehidupannya.

Maka ketika datang saatnya Ken Dedes melahirkan, maka sekali lagi rakyat Singasari bersorak. Ken Dedes melahirkan seorang putra laki-laki. Seorang putra laki-laki yang tampan. Namun di antara sorak-sorai rakyat Singasari itu justru rajanyalah yang selalu berdesah di dalam hati. Kelahiran putra laki-laki itu adalah suatu pertanda bagi Ken Arok, bahwa persoalannya dengan Tunggul Ametung memang belum selesai dengan terbunuhnya Kebo Ijo.

Meskipun demikian, di hadapan rakyatnya dan Ken Dedes. Ken Arok sama sekali tidak menyatakan perasaannya. Ia sama sekali tidak memberikan kesan apapun, sehingga Ken Dedes sama sekali tidak berprasangka, meskipun ia tahu benar, bahwa kelahiran putranya itu akan menimbulkan persoalan di kemudian hari. Namun apabila Ken Arok duduk sendiri di dalam biliknya, ia selalu diburu oleh kegelisahan yang kadang-kadang sangat menyayat hatinya. Anak itu adalah anak Tunggul Ametung. Bukan anaknya. Dan anak yang lahir itu adalah seorang anak laki-laki.

“Apakah aku kelak akan mengakuinya sebagai putra Mahkota?” pertanyaan itu selalu mengganggunya setiap kali.

Dengan demikian maka Ken Arok menjadi semakin tenggelam di dalam pengaruh Ken Umang. Ia berusaha melarikan dirinya dari kejaran pertanyaan itu, dan mencari ketenteraman kepada perempuan itu. Selain kepada Ken Umang, maka Ken Arok pun telah mencari penyaluran yang lain dari kekecewaannya. Mau tidak mau, setiap kali ia melihat putra laki-laki Permaisurinya itu, dadanya selalu berdesir. Wajah bayi itu seakan-akan merupakan bayangan wajah Tunggul Ametung.

Ken Arok menjadi semakin lekat dengan punggung kudanya. Ia menjelajahi sudut-sudut Tanah Singasari. Bahkan Ken Arok pun kemudian tidak lagi mengakui batas kerajaannya sebesar tanah Tumapel. Ia seolah-olah sudah tidak melihat lagi batas antara Singasari dan Kediri. Arus para pendeta yang menyingkir dari Kediri memberinya kesempatan untuk menghimpun kekuatan di daerah-daerah yang sebenarnya termasuk daerah Kediri. Namun orang-orang yang tinggal di daerah itu terlampau terpengaruh oleh para pendeta yang memihak kepada Ken Arok.

Apalagi Ken Arok sendiri selalu menumbuhkan gairah yang menyala-nyala di dalam dada para anak-anak muda Singasari. Di atas punggung kuda Ken Arok menjelajahi pasukan demi pasukan yang disusun di daerah-daerah yang terpencil sekalipun. Singasari benar-benar telah siap menghadapi setiap kemungkinan.

Dalam pada itu, kegembiraan atas kelahiran putra Ken Dedes telah mengguncangkan padukuhan Panawijen. Mereka bersyukur, bahwa seorang anak padukuhan kecil itu dapat melahirkan seorang putra yang terhormat. Seorang putra yang menghuni sebuah istana kerajaan Singasari.

Dengan demikian, maka Mahisa Agni pun telah hampir melupakan maksudnya untuk menemukan pembunuh pamannya. Meskipun setiap kali keterangan cantrik itu masih juga terngiang, namun ia selalu berusaha menahan dirinya. Ia tidak akan sampai hati melihat Ken Dedes kehilangan sekali lagi atau Singasari kehilangan seorang yang kuat yang dapat membina Singasari menjadi sebuah kerajaan besar.

Bagi rakyat Singasari nama Ken Arok semakin hari menjadi semakin besar. Usahanya yang merata, serta kebanggaan yang telah menggetarkan setiap dada, benar-benar telah mencengkam kecintaan rakyat Singasari kepadanya. Bagi Ken Arok, kemajuan Singasari membuatnya semakin berpengharapan, bahwa pada suatu ketika, negaranya akan menjadi suatu negara yang besar.

Namun betapa kebanggaan melonjak di hatinya oleh kemajuan yang pesat dari kerajaannya, namun setiap kali Ken Arok masih harus mengusap dadanya, justru apabila ia berada di istananya. Setiap kali ia harus melihat putra Ken Dedes. Dan setiap kali ia akan teringat kepada Tunggul Ametung dan tingkah lakunya sendiri, yang telah merenggut nyawa akuwu itu. Tetapi akhirnya Ken Arok harus menyerah kepada kenyataan. Kenyataan bahwa anak Ken Dedes itu memang ada. Seorang laki-laki yang kemudian diberinya nama Anusapati.

“Aku harus berjiwa besar,” ia selalu berusaha menghibur dirinya sendiri.

Tetapi apabila kekecewaan itu tiba-tiba saja menggelegak di dalam dadanya, ia selalu melarikan dirinya di atas punggung kuda untuk menyaksikan latihan perang, atau menghilang dan bersembunyi di rumah Ken Umang. Namun Ken Arok benar-benar tidak dapat berbuat demikian untuk seterusnya. Ketika Ken Arok yakin, bahwa rakyat Tumapel telah berada di dalam genggaman tangannya, maka terjadilah hal yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh Ken Dedes.

Seperti guruh yang tiba-tiba saja meledak di atas kepalanya, Ken Dedes mendengar berita itu. Ken Arok telah mengambil seorang istri. Ken Umang. Dan yang lebih menyakitkan hatinya, adalah, bahwa Ken Umang itu telah mengandung pula. Mengandung putra Ken Arok sendiri.

Berita itu bagi Rakyat Singasari memang mengejutkan. Tetapi hanya sesaat. Kebesaran nama Sri Rajasa Batara Sang Amurwa Bumi benar-benar telah terpahat di hati mereka, sehingga perkawinannya itu pun sama sekali tidak mampu mengguncangkan kepercayaan rakyat kepadanya.

Sesuai dengan sifat-sifatnya. Ken Dedes sama sekali tidak bertanya apapun kepada suaminya. Yang dapat dilakukannya hanyalah menangis sambil memeluk putranya, Anusapati. Dicurahkannya kepahitan hidupnya kepada tetesan darahnya.

Betapa Ken Arok berusaha menghiburnya, namun Ken Dedes benar-benar telah terluka. Apa yang dilakukannya kemudian terhadap suaminya adalah sekedar melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Tetapi kesetiaan jasmaniahnya itu. semakin hari semakin menyakitkan perasaannya.

“Aku tidak dapat mengelabui perasaanku,” Ken Arok berterus terang, “bukan karena aku tidak mau menerima kehadiran anak itu. Tetapi aku adalah manusia biasa. Sehingga pada suatu ketika aku telah tergelincir.”

“Hamba, Tuanku. Hamba pun memang sudah merasa, bahwa hamba terlampau rendah buat Tuanku. Apalagi sekarang, setelah Tuanku menjadi seorang raja yang berkuasa. Hamba adalah anak pedesaan yang tidak berharga. Apalagi hamba memang bukan gadis lagi ketika hamba Tuanku ambil menjadi istri Tuanku. Tuanku mengetahui dengan pasti bahwa saat itu hamba telah mengandung.”

“Jangan menyakiti hati sendiri Ken Dedes. Kau telah membuat luka di hatimu menjadi bertambah parah.”

“Hamba sudah terlampau biasa mengalami kepahitan Tuanku. Barangkali Tuanku tahu pasti, apakah yang sudah terjadi atas hamba. Hamba melihat kematian seorang laki-laki untuk pertama kalinya hamba cintai, karena hamba telah diambil dengan paksa dari ayah hamba. Kemudian hamba harus menyesuaikan diri sebagai seorang istri dari Akuwu Tunggul Ametung yang mempunyai sifat-sifat yang sulit dimengerti. Ketika hamba sudah merasa berhasil, suami hamba itu terbunuh. Tuanku tahu, bahwa perasaan hamba terhadap Tuanku tumbuh dengan wajar, sebagai perasaan seorang perempuan terhadap laki-laki. Ketika kita kawin, hamba mengharap bahwa hamba akan berbahagia.”

“Jangan kau siksa dirimu sendiri dengan perasaanmu itu,” potong Ken Arok.

“Tidak Tuanku. Sama sekali tidak. Kenangan yang kadang-kadang tumbuh ini akan meneguhkan hati hamba, bahwa memang menjadi kewajiban hamba untuk bertahan dalam setiap keadaan.”

“Ken Dedes,” berkata Ken Arok, “kau jangan kecil hati. Kau bagiku adalah seorang perempuan yang paling berharga. Aku menghargai kau karena sifat-sifatmu.”

Ken Arok berhenti sejenak, kemudian, “tetapi tidak demikian pandanganku terhadap Ken Umang. Ken Umang bukan seorang istri yang mengerti keadaan suaminya sampai sedalam-dalamnya, ia adalah seorang yang menilai setiap keadaan dari tatapan lahiriahnya. Tetapi aku yakin, kau tidak demikian. Pada suatu saat, seandainya aku tidak lagi menjadi seorang raja. sikapmu, pandanganmu dan tangkapanmu atasku tidak akan berubah. Tetapi tidak demikian dengan Ken Umang. Kalau aku bukan seorang akuwu waktu itu dan apalagi sekarang seorang raja, maka ia akan lari dariku. Aku sadar akan hal itu Ken Dedes. Dengan demikian kau akan dapat menimbang, penilaianku atasmu dan penilaianku atas Ken Umang, justru karena aku menyadari keadaanku sekarang.”

Ken Dedes menundukkan kepalanya. Meskipun hatinya pedih, namun sepercik kebanggaan telah mengembang di hatinya. Ken Arok dapat melihat perbedaan antara dirinya dan Ken Umang. Sepercik kebanggaan itu telah sedikit menghiburnya, meskipun saat yang demikian telah mematahkan segenap kegairahannya terhadap suaminya.

Namun Ken Arok yang kemudian beristrikan Ken Umang itu, sama sekali tidak mengubah sikapnya terhadap Ken Dedes. Bahkan tampak ia perlahan-lahan menjadi semakin dekat dengan Anusapati. Tetapi bagaimanapun juga, baik Ken Arok maupun Ken Dedes mengetahui dengan pasti bahwa anak itu adalah anak Tunggul Ametung. Sehingga apabila kemudian lahir anak Ken Arok sendiri dari Ken Umang, maka perhatian Ken Arok atas Anusapati pun segera bergeser pula.

Mahisa Agni yang semula telah ingin melupakan segala-galanya. Tiba-tiba saja telah diguncang kembali oleh berita perkawinan Ken Arok dengan Ken Umang. Meskipun ia belum melihat sendiri namun ia sudah dapat membayangkan, bahwa Ken Dedes akan mengalami kejutan perasaan yang sangat pedih.

Bayangan tentang Ken Dedes itu akhirnya telah membuat Mahisa Agni menjadi sangat kecewa terhadap Ken Arok. Ken Arok yang semula berkeliaran di padang Karautan. kemudian mendapat tempat yang baik di Tumapel itu, kini justru telah membuat sakit hati kepada Ken Dedes.

“Tetapi aku belum melihatnya sendiri,” ia mencoba mempergunakan nalarnya, “mungkin ia sama sekali tidak terpengaruh oleh perkawinan Ken Arok itu. Kalau aku tiba-tiba saja berbuat sesuatu, sedang Ken Dedes sendiri dapat menerima hal itu dengan baik, maka akulah yang justru telah membuat luka baru di hati perempuan itu.”

Meskipun demikian untuk membiarkan hal itu tanpa berbuat apa-apa rasa-rasanya perasaan Mahisa Agni selalu terganggu. “Aku akan melihat, apa yang sebenarnya terjadi,” katanya kepada diri sendiri.

Demikianlah pada suatu saat. Mahisa Agni pun segera pergi ke Singasari. Di sepanjang jalan direka-rekanya, apa yang akan dilakukannya nanti di dalam beberapa kemungkinan. Kalau begini apa yang harus dilakukan, kalau begitu apa pula yang perlu dikerjakan.

“Kalau Ken Dedes menderita karenanya, maka aku harus melakukan sesuatu. Mungkin aku akan membawa cantrik itu dengan diam-diam dan bersembunyi ke Singasari untuk mengenal apakah benar Ken Arok itulah yang dimaksud.”

Dengan hati yang berdebar-debar Mahisa Agni memasuki istana Singasari lewat regol belakang. Istana itu sudah sangat berubah menurut pengamatannya. Namun beberapa orang pemimpin prajurit penjaga yang sedang bertugas masih mengenalinya, sehingga karena itu maka tanpa kesulitan sama sekali ia dapat masuk ke dalam istana itu.

“Aku akan bertemu dengan Permaisuri,” katanya pada seorang penjaga.

“Baiklah. Silakan menunggu di serambi belakang.” jawab seorang pelayan dalam.

Kedatangan Mahisa Agni itu pun kemudian disampaikannya kepada permaisuri, yang dengan tergopoh-gopoh minta kepada pelayan dalam itu agar dipersilakannya masuk ke ruang belakang. Dada Mahisa Agni bergetar ketika ia melihat Ken Dedes menyambutnya dengan titik-titik air mata. Selama ini kepahitan hati itu selalu disimpannya. Ia hanya dapat menumpahkannya kepada pemomongnya yang tua. Setiap kali. Dan agaknya tekanan-tekanan perasaan itu masih juga terasa menyekat di dadanya. Karena itu kehadiran Mahisa Agni adalah merupakan tempat penumpahan perasaannya pula yang semakin hari semakin penuh.

“Sudahlah Tuanku,” pemomongnya mencoba menghiburnya, “jangan Tuanku turuti perasaan itu. Cobalah menimbang dengan tenang, bahwa yang baik masih lebih banyak dari kekecewaan-kekecewaan itu.”

Tetapi air mata itu tidak segera kering. Setiap tetes serasa tusukan-tusukan duri yang paling tajam di dinding jantungnya. “Kakang,” berkata Permaisuri itu, “hidupku kini tinggallah sisa-sisa yang gersang. seperti gersangnya padukuhan Panawijen lama. Aku tidak dapat lagi mendengarkan merdunya kidung dan tidak dapat lagi memandang cerahnya matahari pagi pada dedaunan. Hatiku telah membeku.”

“Jangan Tuanku,” tetapi mata emban itu pun telah mulai basah pula, “Tuanku masih cukup muda. Seandainya Tuanku telah puas dengan menghirup cerahnya kehidupan, maka hidup Tuanku selanjutnya adalah suatu pengabdian buat putra Tuanku.”

“Itulah satu-satunya sebab, kenapa aku masih tetap hidup emban.”

“Tidak Tuanku. Dalam kemurungan hati, maka putra Tuanku akan terpengaruh pula olehnya.”

Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.

“Begitulah Tuanku,” berkata Mahisa Agni, meskipun ia sendiri tidak meyakininya. Tetapi untuk selalu berdiam diri tanpa memberikan sesuatu yang dapat memperingan beban Ken Dedes adalah tidak selayaknya, “Bukankah Tuanku Sri Rajasa mempunyai seorang putra pula dari istrinya yang lain?”

Tanpa sesadarnya Ken Dedes mengangguk.

“Nah, putra Tuanku Permaisurilah yang kelak harus menjadi putra terbaik dari semua putra-putra Ken Arok.”

Ken Dedes hanya menundukkan kepalanya. Sekali-sekali jarinya menyentuh pelupuk matanya. “Kau bermalam di istana saja Kakang,” berkata Ken Dedes seterusnya.

Mahisa Agni mengangguk. “Hamba Tuan Putri,” jawabnya, “memang tidak ada tempat yang lebih baik daripada istana ini. meskipun di sudut yang paling tersembunyi. Tetapi bagaimanakah apabila pada suatu saat hamba datang bersama seorang kawan hamba? Apakah kawan hamba itu pun diperkenankan bermalam di istana ini pula?”

“Tentu Kakang. Tidak ada keberatan apapun. Aku dapat memberinya izin.”

“Terima kasih,” jawab Mahisa Agni yang tiba-tiba sekilas di dalam ingatannya untuk membawa cantrik itu pula ke Singasari.

Ternyata titik-titik air mata Ken Dedes telah dengan perlahan-lahan memanaskan darahnya meskipun ia masih tetap mencoba berpikir sebaik-baiknya. Ia masih tetap mencoba melihat segala segi dari kepentingan yang jauh lebih besar dari kepentingan-kepentingan pribadi. Meskipun demikian ia berkata di dalam hatinya, “Mungkin pada saatnya aku memerlukannya untuk mengetahui siapakah sebenarnya pembunuh paman Empu Gandring.”

Dan ternyata keinginannya untuk itu semakin lama justru menjadi semakin kuat. Ketika kemudian ia meninggalkan ruang dalam dan di antara langsung ke dalam bilik penginapannya di sudut bangsal belakang, niat itu justru menjadi semakin berkembang.

“Kasihan anak itu,” desisnya, “seolah-olah sepanjang hidupnya selalu dibayangi oleh mendung yang kelam.”

Ken Arok yang kemudian diberi tahu akan kehadiran Mahisa Agni menjadi berdebar-debar pula. Ia tahu benar, bahwa Mahisa Agni bukanlah sekedar anak pedesaan Panawijen kebanyakan. Mahisa Agni ternyata memiliki tidak saja kemampuan jasmaniah, tetapi ia pun termasuk seorang anak muda yang mempunyai kemampuan berpikir yang kuat. Tetapi Ken Arok adalah seorang yang bijaksana. Karena itu, ketika terluang waktu baginya, dalam sidang yang tidak terlalu banyak persoalan, segera ia memanggil Mahisa Agni menghadap.

“Begitu lama kau tidak datang Agni?” Ken Arok bertanya.

“Hamba Tuanku,” jawab Mahisa Agni, “hamba terlampau sibuk dengan pekerjaan hamba di padukuhan.”

“Ah,” Ken Arok berdesah, “seandainya aku tidak terikat oleh tata kehidupan istana, aku sama sekali tidak menghiraukan jenjang-jenjang sebutan seperti itu.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sejak Ken Arok menjadi seorang akuwu, ia sudah mempergunakan sebutan resmi dalam hubungan pribadi mereka. Namun baru sekarang Ken Arok menyebut kejanggalan itu. Sebagai dua orang yang pernah berada di dalam satu lingkungan kerja yang besar, jarak yang tiba-tiba saja membatasi mereka dalam jenjang kedudukan itu memang terasa janggal. Tetapi kenapa Ken Arok baru menyadarinya sekarang?

“Sebenarnya aku lebih senang hidup tanpa hubungan resmi yang mengikat seperti ini,” berkata Ken Arok, “keharusan-keharusan resmi seorang raja ternyata menjemukan sekali bagiku, bagi seorang yang biasa hidup di alam terbuka.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, “Tetapi Tuanku tinggal menjalaninya. Hal itu sudah menjadi naluri susunan hubungan di antara kita. Antara seorang raja dan rakyatnya.”

“Ya, ya,” Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba suaranya meninggi, “apakah kau sudah melihat kemenakanmu?”

“Hamba Tuanku.”

“Anak yang manis. Anak yang memiliki pertanda kebesaran,” Ken Arok berhenti sejenak. Dan tanpa disangka-sangka ia berkata seperti begitu saja terloncat dari bibirnya sebelum dipertimbangkannya baik-baik. “Anak itu adalah bakal Putra Mahkota. Ia harus mendapatkan tuntunan sesuai dengan kedudukannya.”

Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Ia belum mendengar hal itu sebelumnya. Ken Dedes sama sekali tidak pernah mengatakannya. Bahkan dalam nada kecemasannya, Ken Dedes meragukan kemungkinan itu. Tetapi kini Ken Arok sendirilah yang mengatakannya.

“Bagaimana pendapatmu Agni?”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan hati-hati ia menjawab, “Sudah tentu hamba akan sangat berterima kasih Tuanku. Meskipun hanya sentuhan yang betapapun kecilnya, hamba dapat ikut mengenyam kemurahan hati Tuanku. Kemenakan hamba akan mendapat anugerah yang akan sangat berarti di masa depannya.”

“Itu sudah haknya Agni. Ia adalah putra tertua.”

Mahisa Agni menundukkan kepalanya. Tetapi Mahisa Agni bukanlah seorang yang berotak terlampau tumpul. Sikap Ken Arok yang sangat baik terhadapnya justru menimbulkan persoalan tersendiri di dalam hatinya.

“Mungkin Ken Arok merasa bersalah,” katanya di dalam hati, “perkawinannya dengan Ken Umang dapat menjadi sebab, yang akan dapat menumbuhkan keretakan di dalam istana. Kehadiranku di sini pasti dihubungkannya dengan kepahitan hati Ken Dedes.”

Tetapi Mahisa Agni berusaha untuk bersikap sewajarnya. Sebagai seorang pedesaan yang mendapat kehormatan begitu tinggi, maka tampak kegembiraan membayang di wajahnya. Beberapa orang pemimpin Tumapel yang melihatnya, mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa orang baru, yang belum banyak mengenal Mahisa Agni justru mencibirkan bibirnya.

“Anak padang Karautan ini akan dapat menjadi besar kepalanya.”

Namun setelah Mahisa Agni mundur dari hadapan Sri Rajasa, dan sidang itu dibubarkan pernyataan baginda tentang putra Ken Dedes itu menjadi persoalan yang riuh di antara para pemimpin yang lain. Meskipun tidak seorang pun yang berani mengemukakannya kepada Ken Arok, namun mereka saling berbisik, “Apakah sudah wajar bahwa Anusapati yang akan menjadi Putra Mahkota? Bukankah Anusapati itu bukan putra Sri Rajasa?”

Tetapi beberapa orang yang lain, apabila yang tua-tua berbisik di antara mereka, “Sri Rajasa memang bijaksana. Ia tidak melupakan modal kekuasaan yang diterima dari permaisurinya yang mendapat limpahan kekuasaan dari Akuwu Tunggul Ametung.”

“Terlalu tergesa-gesa,” berkata kelompok yang lain, “sebaiknya Tuanku Sri Rajasa membicarakannya dahulu dengan para pemimpin dan tetua Kerajaan Singasari.”

“Tetapi penobatan sebagai Putra Mahkota masih belum dilakukan. Masih ada kemungkinan lain.”

“Sabda Pandita Ratu,” desis yang lain. Pembicaraan itu ternyata tidak hanya terbatas pada para pemimpin yang mendengar sendiri keterangan baginda di dalam pasewakan. Hampir seluruh rakyat, terutama yang tinggal di dalam kota Singasari, telah membicarakannya.

“Putra Permaisuri itu masih bayi,” berkata seseorang, “apakah sudah sepantasnya membicarakan masalah itu sekarang?”

Yang lain hanya mengangkat pundaknya. Dan yang lain lagi seakan-akan acuh tidak acuh saja akan hal itu. Namun di dalam pembicaraan sehari-hari itu. Mahisa Agni ternyata mampu menangkap sikap rakyat Singasari. Ternyata di antara mereka masih juga ada yang tetap mengenangkan Akuwu Tunggul Ametung. Beberapa orang dari rakyat Singasari masih juga menyebut-nyebut, bahwa anak itu pasti anak Tunggul Ametung. Ketika Tunggul Ametung terbunuh Ken Dedes lagi mengandung muda.

“Mudah-mudahan anak itu benar-benar menjadi putra Mahkota sehingga Tunggul Ametung kelak akan kembali memegang kekuasaan.”

Dalam pada itu. Ken Dedes yang masih belum mendengar sendiri hal itu dari Ken Arok, tetapi sudah mendengar desas-desus yang tersebar menjadi termangu-mangu. Ia sengaja tidak bertanya kepada Ken Arok tentang hal itu menunggu apakah benar Ken Arok berkata demikian bukan sekedar untuk menyenangkan Mahisa Agni.

Tetapi pada suatu saat Ken Arok benar-benar mengatakan hal itu kepadanya. Seperti pada saat ia mengatakannya di muka sidang yang dihadiri oleh Ken Arok. seakan-akan begitu saja terloncat dari bibirnya, “Adinda Permaisuri, Anusapati harus segera mendapat tuntunan untuk menyesuaikan dirinya dengan kedudukannya. Kelak ia akan menjadi Putra Mahkota, sehingga pertumbuhannya pun harus disesuaikan dengan keadaan itu.”

Pernyataan yang seakan-akan begitu saja terloncat dari bibir Ken Arok itu serasa telah mengembangkan seluruh isi dada Ken Dedes. Ken Arok benar-benar berhasrat menjadikan putranya yang sulung itu seorang Putra Mahkota. “Terima kasih, Tuanku. Hamba akan sangat berterima kasih atas kemurahan hati Tuanku.”

“Kenapa?” Ken Arok justru bertanya.

“Kesempatan kepada Anusapati untuk menjadi seorang Putra Mahkota.”

“Bukankah hal itu sewajarnya? He? Aku tidak berbuat menurut kehendakku sendiri. Putra yang sulung akan menjadi Putra Mahkota.”

Ken Dedes menundukkan kepalanya, “Hamba Tuanku.”

Dalam pada itu Ken Arok pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku tahu Ken Dedes, bahwa mungkin selama ini kau telah dicemaskan oleh bayangan-bayangan yang seakan-akan menjadi kabut yang kelam di atas singgasana, karena aku mempunyai anak pula dari istriku yang lain. Tetapi sudah aku katakan kepadamu, bahwa kau adalah istri yang baik. Kau adalah seorang istri yang sebenarnya. Kau bukan sekedar seorang perempuan yang merindukan kelebihan duniawi. Karena itu, maka putramulah yang memang sudah sepantasnya menjadi seorang Putra Mahkota. Jangan hiraukan kata orang tentang putramu itu. Aku menganggapnya seperti anakku sendiri.”

Ken Dedes tidak menjawab. Tetapi matanya menjadi berkaca-kaca. Sepercik harapan melonjak di dalam dirinya. Meskipun hidupnya sendiri seakan-akan selama ini selalu dilingkari oleh kepahitan, namun pada suatu saat putranya akan menjadi seorang yang berkuasa di atas Tanah Singasari.

Kesanggupan Ken Arok untuk mengangkat Anusapati menjadi Putra Mahkota telah memberikan ketenangan dan sedikit kebanggaan di hatinya. Demikian juga kepada Mahisa Agni. Meskipun perasaan Mahisa Agni yang tajam menangkap sesuatu yang mendebarkan jantungnya. Seakan-akan ia melihat sesuatu yang tersembunyi dibalik kebaikan hati itu. Tetapi Mahisa Agni tidak mengatakannya kepada siapa pun. Di dalam hatinya ia hanya mempersoalkannya dengan dirinya sendiri. Namun dicobanya untuk menenteramkan kegelisahannya.

“Mungkin aku terlampau berprasangka,” desisnya di dalam hati, “mungkin pengenalanku atas Ken Arok semasa ia masih berkeliaran di padang Karautan, dan mungkin juga karena keterangan cantrik yang masih belum pasti kebenarannya itulah yang telah menggelisahkan hati.”

Dengan demikian maka Mahisa Agni telah berusaha menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat menyakitkan hati Ken Dedes. Ia tidak mau Ken Dedes kehilangan harapannya untuk menggenggam hari depan lewat putranya Anusapati. Betapapun keinginan tumbuh di dadanya untuk melihat kebenaran keterangan cantrik yang tinggal satu-satunya saksi tentang kematian pamannya, namun niat itu selalu disingkirkannya jauh-jauh.

Hari-hari yang merambat melampaui ujung bulan dan tahun telah melahirkan peristiwa-peristiwa yang berlangsung terus. Betapa dinginnya hati Ken Dedes atas suaminya setelah Ken Arok kawin dengan Ken Umang, namun ia tidak mau ingkar akan kewajibannya. Di hari-hari mendatang, maka lahirlah putranya yang berikutnya. Demikian juga dengan Ken Umang. Kelahiran putranya yang pertama, yang dinamainya Tohjaya, disusul pula oleh kelahiran adik-adiknya.

Semakin lama niat Mahisa Agni pun seakan-akan menjadi hampir padam sama sekali. Meskipun ia melihat kelesuan di dalam hidup Ken Dedes, tetapi yang terjadi itu masih jauh lebih baik daripada peristiwa-peristiwa yang dapat menghempaskannya sekali lagi ke dalam duka yang mendalam.

Tetapi adalah kebetulan sekali, bahwa istri Ken Arok yang muda itu adalah Ken Umang. Seorang perempuan yang seperti dikatakan oleh Ken Arok sendiri, mendambakan dirinya pada kemewahan lahiriah. Meskipun ia selalu tersenyum di hadapan Ken Arok, seakan-akan ia tidak pernah menentang niatnya, namun kesempatan yang didapat oleh Anusapati untuk menjadi Putra Mahkota telah menyakitkan hatinya, Anusapati adalah bukan keturunan Ken Arok, sehingga tidak sewajarnyalah bahwa takhta yang diperjuangkannya selama ini akan jatuh ke tangan orang lain.

Perlahan-lahan namun pasti, Ken Umang membiuskan gejolak hatinya itu ke telinga Ken Arok. Dengan hati-hati. Setiap kata disertai belaian tangannya yang halus dan suara tawanya yang renyah, sehingga hampir tanpa disadarinya Ken Arok mulai menimbang-nimbang kembali keputusannya itu.

“Tetapi aku tidak dapat berbuat lain,” katanya di dalam hati, “Anusapati memang berhak menjadi Putra Mahkota. Bukan salahnya bahwa aku mengawini ibunya selagi ia berada di dalam kandungan. Tetapi ia lahir dari kandungan ibunya, seorang Permaisuri Kerajaan Singasari.”

Namun meskipun hanya diketahuinya sendiri Ken Arok tidak dapat ingkar, bahwa ia selalu dibayangi oleh kecemasannya bahwa ada golongan-golongan yang selalu menghantuinya yang masih tetap hidup di dalam kerajaannya. Ken Arok tidak dapat mengelabui dirinya sendiri, bahwa di dalam lingkungannya masih ada orang-orang yang tidak mendapat kepuasan.

Meskipun ia tidak tahu lagi, di mana Witantra sekarang, namun ia tidak dapat melupakannya. Anak Empu Gandring dan anak laki-laki Kebo Ijo yang menjadi semakin besar. Apabila pada suatu saat rahasia tentang kematian Akuwu Tunggul Ametung terbuka, maka semua yang pasti akan menuding wajahnya sambil berkata, “Kau. kaulah pembunuh itu.”

Karena itu, Ken Arok tidak akan menambah orang-orang yang menjadi duri di dalam hidupnya. Pengikut-pengikut Akuwu Tunggul Ametung yang tidak puas dengan keadaan, orang-orang yang lebih senang berpihak kepada Kediri, dan Mahisa Agni yang masing-masing mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Dengan demikian, maka atas dasar beberapa segi pertimbangan. Ken Arok tidak dapat menolak kehadiran Anusapati untuk menjadi seorang Putra Mahkota. Tetapi bagaimanapun juga, sikapnya sebagai manusia tidak dapat disembunyikannya pula. Semakin lama semakin nyata, kalau Ken Arok menjadi lebih dekat dengan Tohjaya daripada Anusapati.

Mahisa Agni yang semakin sering berkunjung ke istana Singasari untuk mengunjungi adiknya, melihat juga kejanggalan itu. Justru lebih banyak dari Ken Dedes sendiri. Kadang-kadang Anusapati yang bermain-main dengan pemomongnya, sama sekali tidak ditegur oleh Ken Arok yang lewat beberapa langkah saja daripadanya, dengan wajah yang gelap dan tingkah laku yang kasar. Kadang-kadang Mahisa Agni melihat hal itu dari kejauhan. Dan ia hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.

Meskipun demikian, hal itu sama sekali masih belum menyakiti hatinya. Ia masih memandang dengan dada lapang, bahwa Ken Arok pun manusia biasa yang tidak dapat menghindari guncangan-guncangan perasaannya. Tetapi yang tidak disangka-sangka telah terjadi. Ketika Mahisa Agni berjalan-jalan di halaman istana, tanpa disadarinya ia telah sampai ke batas yang membelah halaman istana itu menjadi dua bagian. Bagian yang baru, yang memang dibuat untuk menempatkan Ken Umang, dan bagian yang lama, yang sudah ada sejak istana itu masih menjadi istana Akuwu Tunggul Ametung.

Tanpa diketahuinya, sepasang mata selalu memandanginya dari ujung serambi bangsal di halaman sebelah lewat regol yang lebar. Sepasang mata seorang perempuan yang berlindung dibalik sudut bangsal itu. Tiba-tiba perempuan itu memanggil seorang prajurit pengawal. Sambil menunjuk kepada Mahisa Agni ia berkata, “Panggil orang itu!”

Prajurit itu ragu-ragu sejenak.

“Panggil orang itu!” ulangnya.

“Orang itu adalah kakanda Tuanku Permaisuri Tuan Putri.”

“Panggil orang itu!”

Prajurit itu masih termangu-mangu. Tetapi perempuan itu membentaknya, “Panggil orang itu. Cepat!”

Tidak ada pilihan lain dari Prajurit itu. selain menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil menjawab, “Hamba, Tuan Putri.”

Dengan tergesa-gesa prajurit itu pun menyusul Mahisa Agni yang sudah menjadi semakin jauh. Kemudian dengan nafas terengah-engah prajurit itu menggamitnya.

“Tuan,” katanya, “hamba mendapat perintah, tuan diharap datang ke bangsal sebelah.”

Terasa dada Mahisa Agni berdesir. Kini barulah ia menyadari bahwa ia telah berjalan terlampau dekat bangsal di seberang batas halaman istana yang lama.

“Tuan diharap datang sekarang.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia mencoba memandang ke bangsal di sebelah. Tetapi ia tidak dapat melihat seorang pun di sana kecuali para prajurit yang bertugas. “Siapakah yang memanggil aku,” bertanya Mahisa Agni.

“Tuan Putri.”

“Tuan Putri Ken Umang maksudmu?”

“Ya. Aku mendapat perintahnya.”

Terasa darah di dada Mahisa Agni menjadi semakin deras mengalir. Tetapi ia berhadapan dengan seorang prajurit pengawal yang hanya dapat menjalankan perintah. Meskipun demikian ia masih bertanya, “Apakah kau tidak keliru?”

“Tidak. Perintah itu jelas.”

“Apa katanya.”

“Tuan Putri menunjuk tuan dari balik bangsal itu.”

Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Kalau ia tidak bersedia, maka pengawal yang hanya menerima perintah itu pasti akan memaksanya. Ia sama sekali tidak mendapat keuntungan apapun berselisih dengan prajurit yang sedang bertugas. Karena itu, betapa beratnya ia pergi juga memenuhi panggilan Ken Umang itu. Namun sudah terasa, bahwa sesuatu pasti akan terjadi. Sesuatu yang tidak akan menyenangkan hatinya.

Tetapi Mahisa Agni itu terpaksa menyusup regol yang lebar pada dinding batas halaman itu, diantar oleh prajurit pengawal yang memanggilnya. Ketika ia sampai ke ujung serambi belakang bangsal itu. terdengar suara seorang perempuan dari balik dinding, “Suruh orang itu duduk di serambi!”

Terasa dada Mahisa Agni melonjak. Ia kini sadar, bahwa ia berhadapan dengan seorang perempuan pendendam. Tetapi ia masih dapat menyabarkan dirinya. Meskipun ia tidak duduk di serambi, tetapi ia menunggu di bawah tangga. Tiba-tiba dari balik pintu muncul seorang perempuan dalam pakaian yang gemerlapan. Ken Umang. Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia segan memandang wajah perempuan itu.

“Kakang Mahisa Agni,” katanya kemudian, “aku ingin mengucapkan selamat datang di istana Singasari.”

Mahisa Agni dengan susah payah menahan hatinya. Jawabnya, “Terima kasih Tuan Putri.”

“Apakah Kakang Mahisa Agni masih ingat kepadaku?”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sekilas dipandangnya wajah Ken Umang yang sedang tersenyum atas kemenangannya. Sambil bersandar tiang yang berukir dan bersungging warna-warna cemerlang ia menyilangkan tangannya di dadanya. “Ya Tuan Putri. Hamba masih ingat.”

“Di manakah kau pernah bertemu dengan aku?”

Terasa dada Mahisa Agni menjadi semakin sesak. Dengan tanpa memandanginya ia menjawab, “Aku kira Tuan Putri pun masih ingat, di mana kita pernah berjumpa.”

Ken Umang terdiam sejenak. Jawaban itu sama sekali tidak dikehendaki. Sekilas ia melihat dua orang pengawal berdiri tegak di sebelah menyebelah regol yang menghubungkan bagian istana yang baru dan bagian yang lama.

“Ya,” berkata Ken Umang kemudian, “aku memang masih ingat. Kita bertemu di rumah Kakang Witantra bukan?”

“Hamba Tuanku.”

“Dan sekarang kita bertemu di sini. Kau tahu, siapa aku sekarang?”

“Hamba Tuanku.”

“Kau ingat, bagaimana kau menyakiti hatiku waktu itu?”

Mahisa Agni berdiri termangu-mangu. Tetapi ia memang harus menahan dirinya. Kini ia berhadapan dengan istri muda seorang raja yang perkasa.

“Mahisa Agni,” berkata Ken Umang itu kemudian, “aku memang sudah berjanji kepada diriku sendiri, bahwa aku akan menunjukkan kepadamu, bahwa Ken Umang bukan seorang gadis buangan seperti yang kau sangka. Sekarang kau mengerti, bahwa kau harus berhamba diri kepadaku.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Untunglah bahwa jasmaniah dan rohaniah ia sudah terlatih untuk menahan diri. Di sarang Kebo Sindet ia menahan hati betapa sakitnya dijadikan seorang budak sampai saatnya ia berhasil membinasakannya.

“Nah apa katamu?” bertanya Ken Umang.

“Tidak apa-apa Tuan Putri?” jawabnya.

“Apakah kau menyangka bahwa aku akan mati karena penolakanmu yang kasar itu?”

“Tentu tidak Tuan Putri. Kalau hamba mengira demikian, hamba tidak akan berani menolak. Dengan demikian berarti hamba telah membunuh seseorang.”

Dada Ken Umang tiba-tiba bergetar mendengar jawaban itu. Kemarahan yang digalinya sendiri mulai merayapi hatinya. “Orang yang tidak tahu diri,” ia menggeram, “coba katakan sekarang, siapakah aku.”

Betapapun sakitnya, tetapi Mahisa Agni berusaha untuk tetap menguasai perasaannya. Maka jawabnya, “Tuan Putri adalah istri kedua Tuanku Sri Rajasa Batara Sang Amurwa Bumi.”

“Nah, sekarang kau harus duduk bersimpuh di hadapanku. Sebagai seorang budak yang duduk di hadapan Tuannya.”

“Itu tidak sewajarnya Tuan Putri.”

“Jangan membantah anak padang Karautan.”

Betapapun juga terasa sengatan menyentuh jantungnya. Sebagai seorang yang mempunyai harga diri Mahisa Agni merasa terhina. “Hem, alangkah sakitnya,” desisnya di dalam hati, “hukuman sebagai melepaskan dendam serupa ini tidak sepantasnya dilakukan.”

“Ayo lakukan, supaya kau sadar, bahwa kau benar-benar berhadapan dengan istri seorang Maharaja,” berkata Ken Umang sambil mengangkat wajahnya.

Tetapi Mahisa Agni menjawab, “Ampun Tuan Putri. Apakah dengan demikian Tuan Putri tidak merendahkan suami Tuan Putri, seorang Raja yang perkasa?”

Ken Umang mengerutkan keningnya. “Kenapa? Kau adalah anak pedesaan yang pantas berlutut di bawah kakiku.”

“Hamba adalah kakak ipar suami Tuan Putri. Kalau Tuan menghinakan hamba demikian, maka adik iparku, akan terhina pula karenanya.”

Wajah Ken Umang tiba-tiba menjadi tegang. Sejenak ia berdiri membeku. Dipandanginya Mahisa Agni yang masih saja melemparkan tatapan matanya jauh-jauh. Dengan suara gemetar Ken Umang berkata, “Kau mencoba menakut-nakuti aku? Kau salah, Agni. Sri Rajasa sangat mencintaiku. apapun yang aku katakan pasti dilakukannya. Seandainya aku bukan seseorang yang baik hati. yang mengerti perasaan seorang perempuan, maka aku dapat minta kepada Tuanku Sri Rajasa untuk mengusir Ken Dedes. Apakah kau tidak percaya?”

Mahisa Agni terkejut mendengar ancaman itu. Tetapi ia tidak dapat ditakut-takuti pula, sehingga dengan caranya sendiri ia menjawab, “Tuan Putri. Jangan bermain api. Tuanku Sri Rajasa sangat mencintai Tuan Putri itu hamba percaya. Karena itu, apakah yang akan terjadi kalau Tuanku mengetahui, apa yang pernah Tuan Putri lakukan terhadap hamba.”

“Diam!” tiba-tiba Ken Umang membentak. Wajahnya menjadi merah padam, “Kau akan memeras aku he?”

“Bukan, Tuan Putri. Hamba hanya sekedar membela diri. Tuanku terlampau bernafsu untuk membalas dendam dengan cara yang tidak sewajarnya.”

Ken Umang terdiam sejenak. Ditatapnya wajah Mahisa Agni sebentar. Wajah yang memang pernah menarik perhatiannya. Sejenak dadanya terguncang oleh kemarahan yang meluap. Namun sejenak kemudian darahnya serasa semakin lambat mengalir.

“Agni,” katanya perlahan-lahan dalam nada yang jauh berbeda sehingga Mahisa Agni terkejut karenanya. Tanpa sesadarnya ia menengadahkan kepalanya memandangi wajah Ken Umang itu. Sekilas ia melihat perempuan itu tersenyum. Tetapi justru senyum itu telah mendebarkan jantungnya. Dan ia mendengar Ken Umang itu berkata lirih, “Agni. berjanjilah bahwa kau akan datang lagi kemari, kapan kau sukai.”

Kata-kata itu telah menghentakkan dada Mahisa Agni. serasa akan meruntuhkan jantungnya, ia sama sekali tidak menyangka. bahwa Ken Umang yang kini telah menjadi istri Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwa Bumi masih juga dihinggapi sifat-sifatnya yang lama. Namun dengan demikian justru Mahisa Agni seakan-akan membeku karenanya. Ia berdiri tegak seperti patung, meskipun dadanya bergetar dahsyat sekali.

Karena Mahisa Agni tidak menjawab, maka terdengar suara tertawa Ken Umang, “Apakah kau masih juga akan menolak?”

Mahisa Agni masih belum menjawab.

“Pertimbangkan Agni,” berkata Ken Umang, “manakah yang lebih menguntungkan kau. Ingat, aku adalah istri Raja Singasari. Istri yang sangat dicintai oleh suaminya.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tuan Putri. Kalau Tuan Putri sangat dicintai oleh Tuanku Sri Rajasa. Kenapa Tuan Putri menyia-nyiakan cintanya itu?”

Ken Umang tertawa. Katanya, “Kalau aku seorang Permaisuri, maka aku tidak akan berbuat demikian. Tetapi aku bukan Permaisuri. Sri Rajasa tidak setiap hari datang ke bangsal ini. Bahkan kadang-kadang sepekan sekali. Kalau banyak persoalan yang harus diselesaikan, kadang-kadang dua tiga pekan Tuanku baru berkunjung. Nah, bayangkan, alangkah sepinya waktu-waktu itu.”

“Tuan Putri,” berkata Mahisa Agni, “umur kita sudah merambat semakin tua. Tuan Putri sudah bukan seorang pengantin baru lagi. Putra-putra Tuan Putri telah lahir satu demi satu. Apakah Tuan Putri masih juga memerlukan orang lain?”

Wajah Ken Umang menegang sejenak. Namun kemudian ia pun tertawa. “Aku belum tentu yang kau sangka, Agni. Tetapi aku tidak akan memaksamu sekarang meskipun aku dapat berbuat apa saja sekehendakku. Aku dapat menangkap kau dengan tuduhan apapun yang aku kehendaki. Aku dapat mengatakan hitam bagi yang putih, dan mengatakan putih bagi yang hitam.”

Terasa darah Mahisa Agni menjadi semakin cepat mengalir.

“Pergilah kalau kau mau pergi sekarang. Tetapi pada saatnya kau pasti akan kembali. Aku akan menyediakan madu yang paling manis buatmu, atau kau ingin aku memberikan reramuan yang paling pahit.”

Mahisa Agni hampir kehilangan kemampuan untuk menahan gelora kemarahan di dalam dadanya. Untunglah bahwa ia masih tetap menyadari keadaannya. Karena itu maka ia pun membungkuk dalam-dalam sambil berkata, “Terima kasih Tuanku. Hamba mohon diri.”

“Pintuku selalu terbuka bagimu, Agni.”

Mahisa Agni mengatupkan giginya rapat-rapat. Suara tertawa Ken Umang yang kemudian mengiringinya terdengar seperti suara hantu betina yang kehausan darah, melihat bangkai yang masih segar. Tetapi Mahisa Agni tidak berani lagi berpaling. Ia berjalan sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Namun di dalam dadanya berkecamuk berbagai perasaan yang menghentak-hentak.

Apa yang telah dialaminya ternyata seperti api yang telah menyalakan darahnya yang hampir mendingin kembali. Tingkah laku Ken Umang yang memuakkannya itu membuat Mahisa Agni menjadi semakin iba kepada Ken Dedes. Sudah tentu bahwa Ken Dedes tidak akan dapat berbuat seperti Ken Umang meskipun terhadap Ken Arok sendiri. Dan akibatnya pasti akan semakin menjauhkannya dari Sri Rajasa, meskipun menurut Ken Umang, waktu yang didapatkannya dari Ken Arok hanya sepekan atau dua pekan sekali. Tetapi sudah tentu bahwa Ken Arok akan lebih memperhatikan istri mudanya daripada Ken Dedes.

Sekilas terbayang di dalam angan-angan Mahisa Agni. sikap Ken Arok terhadap Anusapati. Dan terbayang pula kasih sayang Raja itu terhadap Tohjaya. Meskipun hal itu adalah wajar sebagai suatu sikap manusiawi, tetapi perasaan Mahisa Agni kini seakan-akan tidak dapat membiarkannya hal itu berlangsung terus.

“Seandainya Ken Arok berhasil menarik diri sepenuhnya dari dalam lumpur, namun agaknya Ken Umang akan menyeretnya kembali justru ke dalam kubangan yang paling kotor,” katanya di dalam hati.

Mahisa Agni sama sekali tidak menyadari, bahwa tiba-tiba saja keinginannya untuk mengetahui siapakah pembunuh sebenarnya dari Empu Gandring telah tumbuh kembali. Meskipun ia mencoba membayanginya dengan sikap. Seolah-olah hal itu hanya sekedar pekerjaan sambilan.

“Seandainya aku mengetahuinya, maka aku tidak harus berbuat apapun apabila tidak memungkinkannya,” katanya di dalam hati.

Demikianlah maka Mahisa Agni pun segera minta diri kepada Ken Dedes, pemomongnya dan dalam suatu kesempatan kepada Ken Arok. Selain untuk mencoba menghubungi untuk yang dapat menjadi saksi dalam persoalan pamannya, ia juga mencemaskan dirinya sendiri, kalau Ken Umang benar-benar tidak dapat mengendalikan diri.

Mahisa Agni memerlukan waktu beberapa lama untuk pantas kembali lagi ke Singasari. Meskipun hampir saja ia tidak dapat bersabar lagi, namun baru pada bulan berikutnya ia membawa cantrik yang melihat kehadiran seorang prajurit yang dapat disangka membunuh Empu Gandring di padepokannya.

“Tetapi untuk keselamatanmu, kau harus dapat menyamar diri,” berkata Mahisa Agni.

“Kalau aku harus mati karena pekerjaan ini, aku tidak akan menyesal,” berkata cantrik itu “tetapi aku sama sekali tidak bermaksud mengguncang keseimbangan yang sudah dicapai oleh Singasari.”

Mahisa Agni tidak menyahut.

“Apalagi kini,” berkata cantrik itu pula, “para pendeta di Kediri sudah tidak dapat menahan hati lagi. Mereka mengalir menuju ke Singasari. Dan agaknya Sri Rajasa pun sudah semakin bersiaga untuk menanggapi keadaan.”

Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Ia mengetahui juga bahwa perkembangan keadaan Singasari dan Kediri menjadi semakin panas. Tetapi ia tidak dapat juga menyingkirkan sakit hatinya yang tiba-tiba telah terungkit karena kelakuan Ken Umang. Sehingga meskipun masih dipengaruhi oleh berbagai macam pertimbangan, ia memutuskan untuk melanjutkan penyelidikannya. Mumpung masih ada saksi yang dapat memberi arah penyelidikan itu.

Ketika mereka memasuki istana Singasari, cantrik itu berpakaian seperti seorang petani. Petani yang sangat sederhana. Atas izin permaisuri maka Mahisa Agni dan petani yang sederhana itu pun bermalam di istana. Semula Ken Dedes heran melihat orang yang belum pernah dikenalnya itu. Sebagai anak Panawijen ia mengenal hampir setiap orang. Tetapi orang ini belum pernah dilihatnya.

“Orang ini orang baru Tuan Putri. Dari beberapa bulan ia tinggal bersama kami di padukuhan Panawijen baru.”

Ken Dedes mengerutkan keningnya. Orang baru ini pasti orang yang dianggap penting oleh Mahisa Agni. Tetapi Ken Dedes tidak menanyakannya. Meskipun demikian, Mahisa Agni seakan-akan mengetahui perasaan Permaisuri itu, sehingga ia pun berkata, “Tetapi orang ini bukan orang terkemuka di padukuhan kami. Ia sama sekali belum pernah melihat istana. Karena itu ia ingin ikut bersamaku.”

Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi dari sorot matanya Mahisa Agni dapat melihat keheranan di hati Permaisuri itu. Tetapi Permaisuri itu berkata, “Baiklah. Pergunakan kesempatan sebaik-baiknya selagi kalian berada di Singasari.”

Sementara mereka berada di istana itu di hari-hari berikutnya. Mahisa Agni mencoba untuk memecahkan teka-teki yang sudah sekian lama tersimpan. Pada suatu kesempatan mereka melihat Sri Rajasa berjalan-jalan di halaman istana. Kemudian pada kesempatan lain, keduanya melihat Raja Singasari itu berkuda keluar regol halaman istana bersama beberapa orang pengiringnya. Namun yang meyakinkan bagi cantrik itu, adalah ketika mereka berkesempatan melihat baginda bersantap. Baginda dalam pakaian sehari-hari yang sederhana.

Sejenak cantrik itu menjadi gemetar. Ia tidak dapat dikelabui lagi meskipun semua itu telah terjadi beberapa tahun yang lalu. Namun ingatannya ternyata masih cukup segar. Seorang prajurit yang datang dengan tergesa-gesa, menemui Empu Gandring di Sanggarnya, kemudian pergi di malam itu pula.

“Apakah kau yakin?” bertanya Mahisa Agni.

“Dugaanku kuat. Tetapi sekedar dugaanku.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak dapat mengambil keputusan atas dasar keterangan cantrik itu saja. Karena itu, maka ia pun segera berusaha untuk mendapatkan keterangan dari sumber-sumber lain. Dengan hati-hati dihubunginya istri Kebo Ijo. Daripadanya ia mendapat keterangan tentang kematian suaminya, tentang pintu yang tidak terkunci.

“Kakang Mahisa Agni, kenapa Kakang menggugat hal itu kembali? Biarlah hal itu terjadi.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

“Bukankah Kakang Mahisa Agni ikut menentukan bahwa Kakang Kebo Ijo bersalah telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung? Dan barangkali juga Empu Gandring?”

Mahisa Agni menundukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia menjawab, “Ya. Justru karena aku ikut menentukan kepastian Kebo Ijo bersalah itulah aku tidak dapat melupakan peristiwa itu.”

“Sudahlah. Luka di hatiku telah sembuh sedikit demi sedikit. Kalau persoalan itu nanti terungkit kembali, maka luka di hatiku pasti akan kambuh pula.”

“Maafkan Nyai. Tetapi aku memerlukan keterangan itu. Setidak-tidaknya untuk menenteramkan hatiku sendiri.”

“Sebaiknya Kakang Mahisa Agni melupakannya. Aku pun akan melupakannya.”

“Kau yakin bahwa Kebo Ijo tidak bersalah?”

“Aku yakin. Dan keyakinanku tidak akan goyah.”

“Mungkin pintu yang terbuka itu merupakan salah satu peristiwa yang bersangkut paut.”

“Sudahlah. Jangan kau teruskan Kakang.”

Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Kemudian ia pun minta izin untuk kembali ke istana. Namun di sepanjang jalan langkah Mahisa Agni serasa diberati oleh beban yang tidak dapat dilepaskannya. Sambil menundukkan kepalanya ia berjalan perlahan-lahan. Ternyata ia tidak langsung menuju ke istana. Ia berjalan berkeliling kota untuk melihat-lihat perkembangan kota Singasari yang sangat pesat.

Mahisa Agni tertegun ketika ia berdiri di depan sebuah regol yang besar di pinggir kota. Sebuah padepokan yang asri dan sejuk di bawah rimbunnya batang-batang sawo kecik yang berjajar di halaman. Sejenak Mahisa Agni berdiri termangu-mangu. Ia mengenal padepokan itu adalah padepokan pendeta istana. Pendeta Lohgawe, yang telah menarik langsung Ken Arok dari padang Karautan, dan menyerahkannya ke dalam pengabdian di istana Akuwu Tunggul Ametung saat itu.

Tiba-tiba saja Mahisa Agni telah dicengkam oleh suatu keinginan untuk menghadap Lohgawe. Ia yakin, sebagai seorang pendeta, Lohgawe akan berpijak pada kebajikan dan kebenaran. Dalam keragu-raguan Mahisa Agni berdiri tegak di samping regol padepokan sambil menatap tanaman yang teratur di halaman yang luas. yang dilingkungi oleh pagar batu yang tidak terlampau tinggi.

Mahisa Agni terkejut ketika tiba-tiba saja seorang cantrik muncul dari dalam regol. Seperti Mahisa Agni, cantrik itu pun terkejut. Dengan serta-merta ia menyapanya, “ Apakah Ki Sanak mencari seseorang?”

Mahisa Agni menjadi bingung. Sejenak ia mematung dalam kebimbangan. Namun kemudian ia bertanya, “Apalah padepokan ini, padepokan pendeta Lohgawe?”

Kini cantrik itulah yang termangu-mangu. Ditatapnya Mahisa Agni beberapa saat. Pertanyaan itu terdengar aneh di telinga cantrik itu. karena semua orang di seluruh Singasari telah mengenal, bahwa padepokan itu adalah padepokan pendeta istana yang bernama Lohgawe.

“Apakah Ki Sanak bukan orang Singasari?” cantrik itu bertanya.

Tergagap Mahisa Agni menjawab, “Bukan. Aku bukan orang kota Singasari, meskipun aku berasal dari wilayah Singasari pula.”

“Dari manakah, Ki Sanak?”

“Padang Karautan.”

Cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Padepokan ini memang padepokan Pendeta Lohgawe. Pendeta istana. Apakah Ki Sanak akan menghadap?”

Mahisa Agni ragu-ragu sejenak. Namun kepalanya kemudian terangguk-angguk. Jawabnya, “Ya. Aku akan menghadap apabila tidak berkeberatan.”

“Apakah keperluan Ki Sanak?”

Mahisa Agni menjadi bingung. Ia tidak akan dapat mengatakan keperluannya kepada cantrik itu. Sedangkan ia menyadari, sebagai pendeta istana, maka tidak setiap orang dapat menemuinya. Dalam keragu-raguan itu, tiba-tiba saja ia sadar, bahwa ia adalah kakak Permaisuri Ken Dedes. Karena itu maka katanya kemudian, “Kalau Pendeta Lohgawe tidak sedang sibuk katakan, bahwa kakanda Tuan Putri Permaisuri Singasari akan bertemu.”

Cantrik itu mengerutkan keningnya. “Maksud Ki Sanak, Ki Sanak adalah utusan kakanda Tuanku Permaisuri?”

Sekali lagi Mahisa Agni termangu-mangu. Kalau ia mengiakan pertanyaan itu, mungkin perhatian Pendeta Lohgawe tidak seperti apabila ia langsung menyebut dirinya. Setelah sejenak berpikir, akhirnya Mahisa Agni menjawab, “Aku adalah orang yang kau maksud.”

“O, jadi…“ cantrik itu berheran-heran. Ia melihat seorang laki-laki yang sederhana, yang menyebut dirinya mula-mula sebagai seorang laki-laki yang datang dari padang Karautan. Tetapi kemudian ia menyebut dirinya sebagai kakak permaisuri Singasari.

Dalam keragu-raguan Mahisa Agni bertanya, “Apakah kau bukan orang Singasari?”

Pertanyaan yang serupa dengan pertanyaan yang pernah diajukannya itu telah membingungkan cantrik itu.

“Kalau kau orang Singasari,” berkata Mahisa Agni seterusnya, “pasti mengetahui, bahwa Tuan Putri Ken Dedes berasal dari padepokan Panawijen. Putri seorang Pendeta yang bernama Empu Purwa. Aku adalah putra laki-laki dari Pendeta tersebut.”

“O, maaf tuan. Maaf.” cantrik itu terbungkuk-bungkuk, “aku tidak tahu, bahwa tuan adalah kakak Tuan Putri Ken Dedes.”

“Tidak mengapa. Sekarang, sampaikan kepada Bapa Lohgawe bahwa aku akan menghadap.”

“Maaf, nama tuan?”

“Mahisa Agni.”

Cantrik itu membungkukkan kepalanya. Kemudian dibawanya Mahisa Agni masuk ke padepokan yang asri itu. Sementara ia menunggu, oleh cantrik itu Mahisa Agni dipersilakan duduk di pendapa padepokan, menghadap ke taman yang diwarnai oleh bunga dan dedaunan yang beraneka warna.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam ketika ia tinggal duduk seorang diri. Cantrik-cantrik yang lewat di halaman dan batu-batu kerikil di seputar taman, mengingatkannya kepada padepokan yang dihuninya sejak kanak-kanak. Padepokan Panawijen. Meskipun Padepokan Empu Purwa tidak sebaik padepokan pendeta istana ini, namun padepokan itu pun cukup memberikan kesan yang menarik. Belumbang, yang berisi ikan gurame dan tawes, binatang peliharaan raja kaya dan iwen yang berkeliaran di halaman, angsa, itik dan semacamnya.

Mahisa Agni terperanjat ketika cantrik yang membawanya masuk memanggilnya, “Tuan, aku sudah menyampaikan kepada Bapa Pendeta. Tuan dipersilakan masuk.”

Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Bagaimana ia akan mulai dengan persoalan yang selama ini tersimpan di dalam hatinya? Tetapi ia sudah terlanjur berada di dalam halaman padepokan itu. Ia tidak akan dapat pergi tanpa menemui Pendeta Lohgawe. Karena itu, maka Mahisa Agni pun segera mengikuti cantrik itu. Lewat longkangan di sebelah pendapa, masuk ke bagian belakang padepokan.

Mahisa Agni mengerutkan keningnya ketika ia melihat seorang yang duduk terpekur di serambi. Seorang pendeta yang tua namun masih memancarkan kesegaran jasmaniah. Mahisa Agni belum pernah duduk berhadapan muka dengan pendeta itu. Kini ia dapat melihat dengan jelas, bahwa pendeta itu adalah pendeta yang agak berbeda dengan gurunya, Empu Purwa, dan juga berbeda dengan Empu Sada. Pendeta ini kulitnya agak kehitam-hitaman. Berhidung mancung dan bermata tajam. Namun tampak kelunakan dan kesabaran yang seakan-akan tiada berbatas. Di keningnya tergurat garis-garis umurnya, sekaligus memancarkan sorot kebijaksanaan.

Mahisa Agni membungkukkan kepalanya sambil berkata, “Aku akan menghadap Bapa Pendeta, apabila berkenan di hati Bapa.”

“Marilah Anakmas. Silakan,” suaranya berat dan lunak.

Mahisa Agni pun kemudian naik ke serambi dan duduk bersila sambil menundukkan kepalanya di hadapan Pendeta Lohgawe.

“Aku sudah diberi tahu oleh cantrik, bahwa Anakmas adalah kakanda Tuanku Permaisuri Ken Dedes.”

“Ya, Bapa Pendeta.”

“Aku sebenarnya agak terkejut mendapat kunjungan yang tiba-tiba dari Anakmas tanpa seorang utusan pun yang memberitahukan hal itu kepadaku terlebih dahulu.”

“Oh, maafkan Bapa Pendeta,” sahut Mahisa Agni dengan serta-merta. Kini baru ia menyadari tata hubungan orang istana yang jauh berbeda dengan tata hubungan orang-orang di padang Karautan.

Dalam kehidupannya sehari-hari di padang Karautan ia sama sekali tidak pernah menghiraukan tata hubungan serupa itu. Bahkan kedatangannya ke istana Singasari pun hampir tidak pernah mempergunakan tata cara apapun. Ia datang dan masuk ke istana lewat regol belakang. Baru saat itulah ia memberitahukan kedatangannya kepada Ken Dedes. Mahisa Agni mengangkat wajahnya ketika Lohgawe kemudian berkata,

“Tetapi bukan sekedar karena kedatangan Anakmas yang tiba-tiba. Aku terkejut karena Anakmas begitu memerlukan berkunjung ke padepokan ini.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi a menyadari sesuatu yang hampir tidak pernah dihiraukannya. Ia adalah kakak seorang permaisuri. Meskipun ia perah menolak gelar kebangsawanan dari istana Tumapel saat itu, dan kemudian juga setelah Ken Arok menjadi akuwu, sehingga kini Tumapel telah menjadi kerajaan. Namun bagi orang lain, kakak seorang permaisuri memang mendapat tempat yang tersendiri.

“Bapa Pendeta,” berkata Mahisa Agni kemudian dengan hati-hati, “sebenarnya aku hanya sekedar ingin berkunjung kemari. Aku tidak mempunyai suatu keperluan yang khusus. Karena itu, apabila bapa Pendeta sedang sibuk dengan tugas-tugas Bapa Pendeta, aku tidak akan mengganggu.”

“Oh tidak, tidak Ngger. Aku tidak sedang berbuat apa-apa. Aku memang sedang duduk-duduk di serambi ini, ketika cantrik itu memberitahukan kedatangan Anakmas.”

“Terima kasih,” jawab Mahisa Agni, “aku akan sangat menghargai waktu ini.”

“Silakan. Silakan Angger duduk-duduk di sini mengawani aku,” berkata Lohgawe sambil tersenyum.

“Sudah lama sebenarnya aku ingin datang sekedar berkunjung,” berkata Mahisa Agni kemudian, “tetapi baru sekarang aku mendapat kesempatan. Setiap kali aku datang ke Singasari, waktuku tidak terlampau banyak tersisa.”

Lohgawe mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun bertanya, “Di manakah Anakmas selama ini tinggal? Apakah masih tetap berada di Panawijen?” Lohgawe berhenti sejenak, kemudian, “Bukankah Tuan Putri berasal dan Panawijen?”

“Panawijen telah kering bapa Pendeta,” jawab Mahisa Agni, “padepokan Empu Purwa pun telah kering pula.”

“Jadi?”

“Aku kini tinggal di padang Karautan.”

Pendeta Lohgawe mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampaklah dahinya menjadi berkerut-merut.

“Ya Bapa Pendeta. Kami telah membuka padukuhan baru di padang Karautan bersama baginda sebelum menjadi akuwu.”

“Ya, ya. Aku mendengar bahwa Baginda dahulu, selagi ia masih menjadi pelayan dalam, pernah mendapat tugas untuk ikut serta membuka padang Karautan.”

“Ya Bapa Pendeta. Ternyata Baginda memang mengenal padang Karautan dengan baik, seperti mengenal isi istana sekarang ini.”

Pendeta Lohgawe tidak segera menjawab. Tetapi keningnya menjadi semakin berkerut-merut.

“Pekerjaan membangun bendungan, susukan dan parit-parit ditambah lagi dengan sebuah taman dan belumbang yang luas itu dapat ditanganinya dengan sempurna.”

Lohgawe mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tidak ada orang lain yang dapat melakukannya selain Baginda yang saat itu bernama Ken Arok.”

“Bukan Anakmas,” jawab Lohgawe, “bukan hanya sekedar Baginda. Tetapi para prajurit yang pada waktu itu ikut besertanya, dan orang-orang Panawijen sendiri ikut menentukan.”

Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Tetapi kini ia benar-benar berusaha untuk mengarahkan pembicaraan. “Memang bapa Pendeta,” jawab Mahisa Agni, “tetapi tanpa mengenal medan dengan baik, pekerjaan yang besar itu tidak akan dapat berjalan dengan lancar. Dan ternyata Baginda yang pada waktu itu bernama Ken Arok mengenal padang Karautan dengan baik.”

Pendeta Lohgawe mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan dengan sareh ia menjawab, “Ya Ngger. Agaknya memang demikian.”

“Baginda memang seorang yang luar biasa bapa,” berkata Mahisa Agni kemudian, “kemampuannya membangun padang Karautan membayangkan kemampuannya di bidang-bidang lain. Ternyata Baginda mampu juga membangun kerajaan Singasari yang megah. Bahkan agaknya Baginda tidak hanya akan berhenti sampai sekian.”

Lohgawe mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Saat itu, Baginda yang masih bernama Ken Arok, telah menganggap padang Karautan seperti ia menangani kerajaan Singasari sekarang. Ia mulai dari modal yang sekecil-kecilnya dibumbui oleh bermacam-macam keadaan, maka jadilah apa yang kita lihat sekarang.”

Lohgawe tidak segera menjawab.

“Bapa Pendeta,” berkata Mahisa Agni kemudian, “apakah Bapa Pendeta tidak mengetahui, bahwa Baginda memang benar-benar telah mengenal padang Karautan sebelum ia datang bersama para prajurit?”

Lohgawe menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia meraba-raba janggutnya yang tidak terlampau panjang. “Marilah kita lihat Baginda seperti keadaannya sekarang ini Anakmas,” berkata Lohgawe kemudian.

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sambil menganggukkan kepalanya pula ia berkata, “Ya Bapa Pendeta. Aku memang melihat Baginda seperti apa adanya sekarang. Aku hanya sekedar mengagumi, betapa seseorang mampu merambat untuk mencapai tangga tertinggi dari kehidupannya.”

“Asal kita berbuat dengan tekun dan penuh ketulusan hati, kita akan dapat mencapai, setidak-tidaknya mendekati ujung dari cita-cita kita.”

“Ya, Bapa. Aku mengagumi, selagi seseorang tidak memanjat mata tangga yang dibuat dari korban-korban nafsu mementingkan diri sendiri.”

Tampaklah perubahan membersit di wajah Lohgawe. Tetapi hanya sesaat. Kemudian wajah itu pun telah menjadi bening seperti semula. Bahkan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Benar Ngger. Benar. Kita tidak dapat berdiri di atas timbunan korban-korban yang tidak bersalah, sekedar untuk memuaskan nafsu kita. Bahkan untuk mencapai cita-cita yang bagaimanapun baiknya, kita tidak dapat membenarkan setiap cara apapun tanpa menghiraukan nilai-nilai peradaban untuk mencapai tujuan.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Bapa Pendeta, menilik sifat-sifat Baginda Sri Rajasa, maka Baginda pasti tidak akan berbuat serupa itu. Baginda pasti berjuang lewat jalan yang seharusnya dilalui untuk mencapai tingkat puncak seperti yang diharapkannya.”

Kini Pendeta Lohgawe tidak dapat lagi menyembunyikan perasaan yang membayang di wajahnya. Tampak sesuatu terlontar dari kerut-merut di keningnya. Tetapi ternyata bahwa Lohgawe adalah seorang yang benar-benar bijaksana, sehingga sejenak kemudian ia berkata,

“Angger Mahisa Agni memang seorang yang memiliki pandangan yang sangat tajam. Aku mengerti apa yang Angger maksudkan. Dan aku mengerti kenapa Angger berbuat demikian. Anakmas adalah kakak Tuanku Permaisuri, sedang Anakmas melihat, bahwa Baginda Sri Rajasa tidak berdiri seperti yang Angger harapkan.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Beberapa tahun lamanya ia hidup di padepokan bersama seorang pendeta yang bijaksana pula. Karena itu, maka ia pun mampu untuk menjajaki sifat-sifat kependetaan Lohgawe. Meskipun ia sadar bahwa Pendeta Lohgawe pun adalah manusia biasa pula, seperti gurunya. Empu Purwa yang pada suatu saat menjadi khilaf dan berbuat kesalahan yang besar bagi kemanusiaan dengan memecah bendungan Panawijen.

“Bapa Pendeta,” berkata Mahisa Agni, “aku minta maaf bahwa aku telah terdorong untuk menanyakan hal itu.”

“Tidak apa Anakmas. Anakmas memang berkepentingan. Tetapi kalau pertanyaan itu Angger teruskan, maka sudah pasti, aku akan sampai pada suatu kesulitan yang tidak akan dapat aku atasi.”

Mahisa Agni terdiam sejenak. Ia mencoba merenungkan kata-kata Pendeta Lohgawe itu. Namun ia sampai pada suatu kesimpulan, bahwa apa yang dikatakan oleh Pendeta Lohgawe itu, sebenarnya adalah jawaban dari semua pertanyaan yang tersimpan di dalam dadanya. Mahisa Agni tahu pasti, bahwa Lohgawe tidak akan dapat berbohong. Sebagai seorang pendeta ia akan mengatakan putih bagi yang putih dan hitam bagi yang hitam. Sehingga apabila ia sampai ke puncak pertanyaannya, maka Lohgawe pasti tidak akan dapat menjawabnya.

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Mahisa Agni berkata, “Baiklah Bapa. Aku tidak akan bertanya lebih jauh, karena sebenarnya Bapa telah memberitahukan apa yang ingin aku ketahui.”

“Baiklah Ngger. Tetapi aku tahu, bahwa Angger adalah seorang yang bijaksana. Angger tahu apa yang sebaiknya Angger lakukan dan apa yang tidak sebaiknya Angger perbuat.”

“Aku tahu Bapa. Tetapi perkenankanlah aku bertanya satu hal lagi.”

Pendeta Lohgawe mengerutkan keningnya. Terbayang keragu-raguan yang tidak lagi dapat disembunyikan pula.

“Maaf Bapa Pendeta,” berkata Mahisa Agni, “pertanyaanku terlampau sederhana. Pertanyaan seorang anak padang Karautan.”

Lohgawe masih tetap berdiam diri.

“Bapa,” suara Mahisa Agni menjadi semakin lambat dan datar, “apakah Bapa merestui perjuangan Baginda sampai ke tempatnya yang sekarang?”

Lohgawe adalah Pendeta yang hampir mumpuni. Ia menguasai ilmu yang kasatmata dan yang tidak kasatmata. Itulah sebabnya maka pertanyaan Mahisa Agni itu dapat ditangkap sampai jauh ke dalam inti maknanya. Bukan sekedar pertanyaan seorang yang datang dari padang Karautan atau seorang kakak dari seorang perempuan yang kecewa karena dimadu, bukan pula sekedar pertanyaan seorang yang iri hati. Tetapi Lohgawe menelusuri masalahnya dari sumber segala yang ada. Sangkan paraning dumadi.

Pendeta itu menarik nafas dalam-dalam. Mahisa Agni bukan orang yang harus dipersoalkan. Tetapi bahwa ia mendapat hasrat untuk melakukannya, itulah yang menjadi pusat perhatian Lohgawe. Ken Arok sekarang justru berada di pintu kemasyhuran. Ia sedang berusaha menghadapi Kediri yang tidak senang melihat perkembangan Singasari yang tumbuh di atas tanah Tumapel.

Namun sementara itu Kediri telah melakukan kesalahan yang dapat menikam jantung sendiri. Menurut keputusan Maharaja Kediri, maka semua pendeta harus menyembahnya, sebagai dewa tertinggi. Sehingga para pendeta yang mempunyai banyak pengaruh itu telah memalingkan wajah mereka ke Singasari. Pada saat itulah, dari pusat adanya, Ken Arok telah mendapatkan sepercik tuntutan lewat Mahisa Agni. Dengan demikian maka Pendeta Lohgawe yang mempunyai penglihatan yang lepas hampir tidak berbatas itu segera melihat, kabut yang gelap membayangi tahta Singasari yang kini masih sedang menanjak.

“Memang tidak ada seorang pun yang dapat menghindarkan diri dari tangan-Nya,” katanya di dalam hati.

Karena Lohgawe tidak segera menjawab, maka Mahisa Agni pun mendesaknya. “Bagaimana Bapa?”

“Anakmas Mahisa Agni,” berkata Pendeta itu kemudian, “aku tahu bahwa Anakmas menganggap, sebagai seorang pendeta aku tidak akan melakukan pemalsuan. Tingkah laku, kata-kata maupun kesaksian. Sejak semula aku memang sudah menyangka, bahwa Anakmas akan mendorong aku sampai ke sana. Aku tidak akan dapat ingkar dari pertanyaan itu. Tetapi sekali lagi aku mengharap bahwa Anakmas cukup bijaksana. Seandainya seekor ular bersembunyi di dalam tiang rumahku, sudah tentu aku tidak akan langsung menebang tiang itu untuk membunuh ularnya. Justru aku tahu, bahwa di atas atap rumah itu banyak orang yang sedang bersembunyi menyelamatkan diri dari kejaran seekor harimau.”

Terasa sesuatu bergetar di dada Mahisa Agni. Ia langsung dapat menangkap makna dari kata-kata Pendeta Lohgawe itu. Justru karena itu, Mahisa Agni diam mematung. Darahnya serasa berjalan semakin lambat. Ditatapnya wajah Pendeta Lohgawe yang kini telah menjadi bening kembali, justru setelah ia mengatakan apa yang tersimpan di dalam hatinya.

Ketika Mahisa Agni akan mengucapkan sepatah kata, Lohgawe mendahului, “Itulah Anakmas. Bukankah kau menghendaki untuk mengetahui kenyataan itu? Dan agaknya Yang Maha Tunggallah yang membawa kau kemari, seperti Yang Tunggal membawa Ken Arok kepadaku.” Lohgawe berhenti sejenak, kemudian, “Terserahlah kepada Anakmas. Apakah yang menurut Anakmas baik dilakukan. Aku menganggap bahwa Anakmas telah mendapat kebijaksanaan yang tidak terbatas.”

Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, “Tidak sejauh itu Bapa Pendeta. Kini terasa betapa bodohnya aku. Setelah aku mendengar jawaban yang aku tunggu-tunggu itu, justru aku menjadi kehilangan akal. Aku tidak tahu, apa yang sebaiknya aku lakukan.”

“Angger memang perlu penenangan. Aku sudah pasrah. Apa yang Angger lakukan adalah yang paling baik.”

Mahisa Agni menjadi semakin bingung.

“Jangan kau paksa untuk mengambil kesimpulan sekarang Anakmas. Kalau Anakmas sudah menjadi tenang, maka Anakmas akan melihat cahaya itu di hati Anakmas.”

Mahisa Agni masih menundukkan kepalanya.

“Lupakanlah untuk sejenak. Apakah Anakmas mempunyai persoalan yang lain?”

Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, “Tidak. Tidak Bapa Pendeta. Aku tidak mempunyai keperluan apapun.”

“Kalau begitu, kita mempunyai waktu untuk berbicara tentang banyak hal. Tentang jalan-jalan yang menjadi semakin rata, bangunan-bangunan yang bertambah megah di atas Singasari ini.”

Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni menundukkan kepalanya sambil berkata, “Aku mohon diri Bapa Pendeta. Aku kira aku telah berbuat suatu kesalahan. Aku telah didorong oleh perasaan-perasaan yang selama ini terdesak jauh ke sudut hati yang paling tersembunyi. Tetapi aku tidak berhasrat untuk berbuat apapun.”

Lohgawe tersenyum. “Jangan mengambil keputusan sekarang.”

Kini Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Sejenak kemudian ia berkata, “Aku mohon diri Bapa Pendeta.”

Sekali lagi Lohgawe tersenyum, “Baiklah Anakmas.”

“Aku mohon restu, agar aku tidak dilihat oleh kegelapan, oleh iri dan dengki.”

“Kalau kau sadar akan dirimu, maka kau tidak akan terjerumus ke dalamnya.”

“Mudah-mudahan Bapa Pendeta.”

Mahisa Agni pun kemudian meninggalkan padepokan itu dengan hati yang kisruh. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Setela ia ia mendapat jawaban atas teka-tekinya, maka kini justru ia dihadapkan pada suatu teka-teki baru yang lebih sulit. Mahisa Agni menjadi semakin bingung lagi, karena ia sadar tidak seorang pun yang dapat diajaknya berbicara. Cantrik yang dibawanya dari Lulumbang itu pun tidak.

Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni teringat kepada emban tua pemomong Ken Dedes. Ia akan dapat berkata berterus terang kepada ibunya sendiri. Sudah tentu bahwa ibunya tidak akan berbuat apa-apa yang dapat mencelakakannya. Dan bahkan mungkin ibunya, yang selama ini dekat dengan Ken Dedes, dapat mengatakan, apa yang pernah dilihatnya. Maka ketika ia mendapat kesempatan, pada malam hari ia berkunjung ke bilik emban tua itu tanpa dicurigai oleh para pengawal. Keduanya adalah orang-orang Panawijen, dan emban tua itu adalah pemomong permaisuri.

Dengan hati-hati Mahisa Agni mencoba untuk mengarahkan pembicaraan. Dikatakannya pula bahwa ia telah bertemu dengan janda Kebo Ijo, dengan Lohgawe dan menurut sepengetahuan cantrik yang dibawanya itu.

“Bagaimanakah pendapat ibu?”

Sejenak orang tua itu tidak menjawab. Perlahan-lahan kepalanya menunduk, dan titik-titik air pun berjatuhan satu demi satu.

“Kenapa ibu menangis?” bertanya Mahisa Agni.

“Ceritamu membuat hatiku trenyuh, Agni.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya.

“Aku tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Tetapi tangkapan naluriku mengatakannya demikian. Aku melihat hubungan yang tidak wajar sebelumnya antara Ken Dedes dan Ken Arok.”

“Apakah ibu percaya bahwa akhir dari peristiwa itu memang demikian.”

Perlahan ibunya mengangguk. Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kini ia yakin, bahwa ia telah menemukan pembunuh Empu Gandring, pembunuh Akuwu Tunggul Ametung dan jawaban atas pertanyaan, kenapa Ken Arok membunuh Kebo Ijo sebelum ada keputusan dari pemimpin yang tujuh. Namun kesimpulan itu ternyata telah memukul dadanya, seakan-akan menjadi bengkah. Sekilat dikenangnya akan Witantra, yang terusir dari kedudukannya karena keyakinannya. Kebo Ijo tidak bersalah. Dan ia, Mahisa Agni yang terburu nafsulah yang saat itu naik ke atas arena, untuk memperkuat keputusan, bahwa Kebo Ijo telah bersalah.

Penyesalan yang tiada taranya telah meremas jantungnya. Karena itu maka kebenciannya kepada Ken Arok pun tiba-tiba meledak. Dengan nada yang tajam ia berdesis, “Aku akan membunuh Ken Arok.”

Mahisa Agni terkejut ketika tiba-tiba saja ibunya meloncat memeluknya. Di antara isak tangisnya ia berkata, “Jangan Agni. Jangan. Bagaimanapun juga, Ken Dedes tidak akan ikhlas melihat suami pilihannya itu terbunuh. Apalagi kaulah yang membunuhnya.” Emban tua itu berhenti sejenak, kemudian, “Apalagi saat ini di mana setiap orang Singasari menggantungkan harapannya kepada Baginda Sri Rajasa.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Pelukan ibunya serta titik-titik air matanya serasa telah menyejukkan hatinya. Meskipun demikian ia tidak dapat menyembunyikan penyesalan yang tiada taranya terhadap sikapnya yang telah menjerumuskan Kebo Ijo ke dalam kehinaan dan telah mengusir Witantra dari Tumapel.

“Seandainya saat itu aku tidak menjadi gila, aku kira keadaan akan berbeda. Kalau Ken Arok sendiri tidak turun ke arena, sudah pasti, sulitlah untuk mencari pimpinan prajurit yang dapat mengalahkannya. Bahkan Ken Arok pun belum pasti,” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “tetapi semuanya sudah terlanjur. Aku ikut memberikan tenagaku melanggar nilai-nilai kebenaran.”

Karena Mahisa Agni tidak segera menjawab, maka ibunya berkata seterusnya, “Tenanglah Mahisa Agni. Jangan tergesa-gesa. Kalau kau masih juga tergesa-gesa maka kau akan mengulangi kesalahanmu itu.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepala. Ia mencoba mengerti nasihat ibunya. “Baiklah, Ibu. Aku akan mempertimbangkannya,” sahut Mahisa Agni. “Tetapi aku tidak dapat mengingkari kesalahan itu. Aku harus menemui Witantra.”

“Kenapa.”

“Aku harus minta maaf kepadanya.”

“Bagaimana kalau terjadi salah paham?”

“Aku tidak akan berbuat apa-apa.”

Ibunya termenung sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Baiklah Mahisa Agni tetapi hati-hatilah. Kita tidak tahu, bagaimana sikap Witantra sekarang.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Besok aku akan berangkat menemuinya.”

Keesokan harinya, Mahisa Agni minta diri kepada ibunya, Ken Dedes dan karena ia tidak dapat menemui Sri Rajasa, maka permohonannya disampaikan oleh permaisuri, untuk meninggalkan Singasari. Setelah ia mengembalikan cantrik yang menjadi satu-satunya saksi itu, maka ia pun sejenak menengok padukuhan Panawijen baru.

“Aku akan pergi Ki Buyut,” berkata Mahisa Agni.

“Ke mana lagi Anakmas akan pergi?”

“Aku belum tahu. Tetapi sebagai seorang laki-laki aku ingin menambah pengalaman dalam perantauan.”

“Tetapi kami selalu menunggu kedatanganmu.”

“Tentu Ki Buyut, pada saatnya aku pasti akan kembali.”

Maka setelah menyiapkan bekal seperlunya, Mahisa Agni pun berangkat meninggalkan padang Karautan. Beberapa orang dan kawan-kawannya memandangi debu yang terlontar dari kaki-kaki kudanya sampai ke kejauhan. Berbagai pertanyaan bergolak di dalam hati orang-orang Panawijen baru. Agaknya Mahisa Agni akhir ini selalu gelisah, sehingga agaknya ia mencari ketenteraman di dalam perantauan. Sementara itu Mahisa Agni berpacu dengan cepatnya. Tetapi tiba-tiba ia sadar, ke mana ia akan pergi. Karena itu maka ia pun segera menarik kekang kudanya. Sejenak ia berdiri termangu-mangu.

“Apakah aku harus bertanya kepada Mahendra. Mungkin ia tahu, ke mana Witantra pergi,” desisnya.

Tetapi ia menjadi ragu-ragu. Mahendra tidak sedewasa Witantra. Mungkin ia masih menyimpan dendam di dalam hatinya, sehingga akan timbul salah paham seperti yang ditakutkan oleh ibunya.

“Kalau begitu aku akan menemui Panji Bojong Santi,” Mahisa Agni pun masih ragu-ragu, “apakah ia masih ada sekarang? Kalau ia masih hidup, maka ia pun pasti sudah semakin tua.”

Tetapi Mahisa Agni kemudian memutuskan untuk pergi ke padepokan Panji Bojong Santi. Ia mengharap bahwa Panji Bojong Santi tidak bersikap kekanak-kanakan menghadapi persoalan ini. Dengan keragu-raguan yang mencengkam dadanya Mahisa Agni memasuki padepokan Panji Bojong Santi. Ketika ia melihat orang tua itu masih ada, meskipun sudah menjadi semakin tua. Ia tidak dapat menahan hatinya. Demikian ia mengikat kudanya pada sebatang pohon, langsung ia memeluk kaki orang tua itu.

Orang tua itu mengerutkan keningnya. Sejenak ia ragu-ragu, namun kemudian ia berkata lirih, “Angger Mahisa Agni.”

“Ya. Bapa. Aku datang kali ini untuk menyerahkan diriku.”

Bojong Santi mengerutkan keningnya, “Kenapa?”

“Bapa pasti sudah tahu, apa yang sudah aku lakukan atas Kebo Ijo.”

Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih bertanya, “Sekarang, kenapa Angger ingin menyerahkan diri kepadaku?”

“Aku telah keliru Bapa. Aku waktu itu menjadi gila, dibius oleh sikap Ken Arok yang mengagumkan. Tetapi kini aku yakin seperti Witantra, Mahendra dan Bapa sendiri yakin, bahwa Kebo Ijo tidak bersalah.”

Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil mengusap pundak Mahisa Agni orang tua itu berkata, “Duduklah. Kita akan berbicara.”

Mahisa Agni pun kemudian mengangkat kepalanya dan duduk di hadapan Panji Bojong Santi. Meskipun wajah itu sudah semakin tua tetapi kedalaman dan ketenangan masih nampak jelas di wajah itu.

“Sekarang kau pun yakin, Anakmas?”

“Ya, Bapa”

“Apakah kau berhasil menemukan orang yang kain cari?”

Mahisa Agni pun menganggukkan kepalanya.

“Baiklah. Aku ikut bergembira.”

“Bapa,” berkata Mahisa Agni, “aku telah bertekad untuk menemui Witantra. Aku harus minta maaf kepadanya.”

Panji Bojong Santi tersenyum. “Kau memang berjiwa besar Ngger.”

“Aku adalah orang yang paling bodoh waktu itu.”

Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah. Kau akan dapat menemuinya kelak.”

Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Ia mengharap untuk dapat segera menemui Witantra. Perasaan bersalah yang serasa meretakkan dadanya itu harus segera ditumpahkannya. Karena itu maka ia mendesaknya, “Bapa, apakah aku tidak segera dapat menemuinya. Kalau Bapa Panji Bojong Santi tidak berkeberatan, memberikan arah tempat tinggalnya, aku akan mencarinya.”

“Tempatnya terlampau asing Ngger. Karena itu, sebaiknya seorang mengantarkanmu, kau tidak akan dapat pergi sendiri dan menemukan dengan segera. Waktumu akan habis terbuang melingkar-lingkar mencari jalan untuk sampai ke tempat Witantra sekarang.”

“Begitu jauhkah Witantra menyepi diri?”

“Ia mendapatkan ketenangan di tempatnya yang baru. Ia mendapat tempat yang baik untuk menyempurnakan ilmunya lahir dan batin.”

“Tetapi kalau ia terpisah dari kehidupan, ilmu itu akan tetap tersimpan di dalam dirinya.”

Panji Bojong Santi tersenyum. Katanya, “Mungkin begitu, tetapi mungkin juga tidak. Kadang-kadang kita menemukan arus air yang tidak kita ketahui sumbernya. Apabila kita melihat sumber di pegunungan yang terasing, kita menyangka, bahwa air itu tidak akan berguna. Padahal arus air yang kita lihat yang pertama adalah kelanjutan saluran air dari sumber yang terasing itu.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari bahwa ilmu itu dapat berguna tanpa diamalkannya sendiri. Tetapi ada perantara yang dapat mempergunakan ilmu itu untuk kepentingan yang berarti.

“Angger Mahisa Agni,” berkata Panji Bojong Santi kemudian, “apakah yang pernah dilakukan oleh Empu Purwa pada akhir-akhir ini? Setelah ia kecewa karena kehilangan putrinya, seolah-olah ia sama sekali sudah tidak pernah berhubungan dengan dunia lagi. Tetapi di antara Empu Purwa dan dunia ramai ada Angger Mahisa Agni. Ada jalur yang masih menghubungkannya, sehingga ilmu itu tidak sekedar karatan tersimpan tanpa arti.”

“Ya. ya Bapa. Aku mengerti sekarang.”

“Nah, beristirahatlah di sini sehari dua hari. Aku akan memanggil orang yang pernah melihat tempat itu.”

“Kenapa sehari dua hari Bapa.”

“Angger tidak terlampau lelah.”

“Aku masih segar. Aku dapat berangkat sekarang. Aku dapat berjalan terus tiga hari tiga malam kalau diperlukan.”

“Mungkin Angger yang sedang dikejar oleh perasaan sendiri dapat berbuat demikian. Tetapi kuda Angger akan kepayahan.”

“Ya, Bapa. Kudaku memang perlu beristirahat. Tetapi tidak sampai sehari apalagi dua hari.”

Panji Bojong Santi menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat perasaan Mahisa Agni yang tersiksa. Ia merasa wajib untuk segera bertemu dengan Witantra. Karena itu Panji Bojong Santi tidak sampai hati untuk memperpanjang siksaan batin Mahisa Agni itu. Karena itu, maka ia pun segera memanggil seorang cantriknya yang pernah pergi ke tempat Witantra untuk mengantarkan Mahisa Agni.

Maka ketika matahari terbit di keesokan harinya, berangkatlah Mahisa Agni diantar oleh seorang cantrik menempuh perjalanan yang berat untuk menemui Witantra. Panji Bojong Santi melepaskannya tanpa waswas karena ia pun sudah yakin pula, bahwa Witantra pasti cukup dewasa menanggapi persoalan itu. Witantra pasti tidak akan sekedar dibakar oleh dendam. Ia akan dapat menanggapi keadaan sewajarnya.

Bersamaan dengan itu, Panji Bojong Santi telah menyuruh seorang cantriknya untuk memanggil Mahendra. Mahendra yang kini hidup di dunianya sendiri. Ia mencoba untuk hidup menjadi manusia kebanyakan, dengan kerja dan usaha, mendirikan rumah tangga. Tetapi Panji Bojong Santi masih belum yakin, bahwa Mahendra dapat melupakan persoalan Kebo Ijo seperti halnya Witantra. Mahendra yang lebih muda dari Witantra dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya, mungkin akan menentukan sikap yang lain.

“Aku harus memberitahukan kepadanya, bahwa ia tidak boleh berbuat sesuatu yang dapat merugikan dirinya sendiri,” berkata Panji Bojong Santi di dalam hatinya, “ia harus dapat menanggapi keadaan ini dengan hati yang lapang.”

Sementara itu. Mahisa Agni yang berpacu bersama seorang cantrik kini telah mulai menerobos hutan belukar. Kadang-kadang mereka terpaksa berhenti sejenak, bahkan turun dari kuda-kuda mereka untuk merambah sulur-sulur yang melintang di jalan setapak yang mereka lalui.

“Jalan ini tidak pernah dilalui orang,” berkata cantrik itu, “sebenarnya aku takut berjalan hanya berdua saja lewat jalan ini.”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Agni.

“Kalau ada penyamun yang kebetulan melihat kita lewat, maka celakalah kita. Kalau bekal kita saja yang dimintanya, beruntunglah kita. Tetapi kalau ini?” cantrik itu menunjuk lehernya.

Betapapun ketegangan membelit hati Mahisa Agni, namun ia sempat juga tersenyum sambil berkata, “Jangan takut tidak ada penyamun yang akan mencegat perjalanan kita. Kita tidak membawa apapun yang berharga.”

“Tetapi mereka tidak tahu bahwa kita tidak membawa barang berharga. Setidak-tidaknya kuda kita dapat mereka rampas dan mereka ambil.”

“Jangan takut,” desis Mahisa Agni, “karena itu, marilah kita berusaha secepat-cepatnya meninggalkan tempat ini.”

“Aku tidak tahu kenapa Panji Bojong Santi mempercayai aku seorang diri mengantarkan kau ke tempat Witantra. Kalau terjadi sesuatu atasmu, maka akulah yang akan disalahkannya.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat menyalahkan cantrik yang belum mengenalnya itu. Cantrik itu merasa bertanggung jawab, bahwa ia harus mengantarkan Mahisa Agni sampai ke tempat Witantra. Hanya itulah yang diketahuinya. Agaknya Panji Bojong Santi memang tidak merasa perlu memberitahukan tentang dirinya kepada cantrik itu.

Setiap desir di sebelah jalan setapak itu telah membuat cantrik kawan seperjalanan Mahisa Agni itu bersiaga. Ia selalu meraba-raba hulu pedang pendeknya. Agaknya Panji Bojong Santi memang mengajarinya untuk mempergunakan pedang pendek itu apabila perlu, meskipun ilmu itu sangat terbatas. Tetapi agaknya cantrik itu pun cukup tangkas untuk membela diri terhadap perampokan-perampokan dan penyamun-penyamun.

“Ki Sanak,” berkata Mahisa Agni kemudian, “jangan hiraukan apa-apa lagi. Kita sama sekali tidak bermaksud mengganggu siapa pun. Kita hanya sekedar berjalan, lewat jalan ini.”

“Memang kita tidak bermaksud mengganggu siapa pun. Tetapi merekalah yang akan mengganggu kita.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya.

“Coba. kalau kau dapat membuat sedikit perhitungan. Banyak orang-orang Kediri yang terpaksa menyingkir dari tempat tinggalnya karena mereka tidak sepaham dengan ketentuan-ketentuan baru di negerinya, terutama mengenai nafas hidup keagamaan. Sementara itu ketegangan di batas kedua negeri Singasari dan Kediri menjadi semakin tegang. Apakah dalam keadaan serupa itu, tidak banyak perampok-perampok yang memancing keuntungan?”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya, “Dari mana kau tahu bahwa keadaan Kediri dan Singasari menjadi kian menegang.”

“Panji Bojong Santi sering memberi banyak cerita kepada kami tentang keadaan di luar padepokan kami,” jawab cantrik itu, “juga Panji Bojong Santi yang memberi aku peringatan, bahwa perampok-perampok selalu mempergunakan segala kesempatan, bahkan orang-orang yang sedang dalam kesulitan sekalipun sama sekali tidak dihiraukannya.”

Mahisa Agni masih mengangguk-anggukkan kepalanya.

“He. kau dengar ringkik kuda?” tiba-tiba cantrik itu menjadi tegang.

Mahisa Agni memang mendengar ringkik kuda. Tetapi ia tidak mendengar derap langkahnya. Karena itu menurut perhitungan Mahisa Agni kuda itu bukan kuda yang sedang berpacu, berjalan atau sedang dikendarai oleh seseorang. Kuda itu sedang berhenti atau bahkan dituntun oleh pemiliknya. Tetapi Mahisa Agni memperlambat kudanya sambil mempertajam telinganya.

“Kalau kita bertemu dengan perampok apa boleh buat. Sebenarnya Panji Bojong Santi selalu berpesan, kami tidak boleh berkelahi. Tetapi sudah tentu kami tidak akan menyerahkan milik kami kepada perampok-perampok.”

“Aku kira mereka bukan perampok,” berkata Mahisa Agni.

“Kalau bukan perampok, siapakah yang berada di tengah hutan seperti ini?”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Memang ada beberapa kemungkinan. Mungkin perampok tetapi mungkin juga tidak. Menilik ceritamu, orang-orang Kediri yang menyingkir itu dapat saja terjerumus ke dalam hutan ini. Bukankah hutan ini ada di sekitar perbatasan, atau katakan, bahwa sebelah menyebelah hutan ini merupakan daerah yang berlainan.”

Cantrik itu mengerutkan keningnya. “Ya, memang mungkin.”

Beberapa saat kemudian mereka melihat sekelompok orang yang berdiri termangu-mangu. Dalam sekilas, Mahisa Agni dan cantrik itu pun segera mengetahui, bahwa orang-orang itu benar-benar orang-orang Kediri yang menyingkir dari kampung halamannya oleh ketidakpuasan atas tata kehidupannya yang baru.

Agaknya mereka terkejut sekali ketika mereka melihat Mahisa Agni dan cantrik itu muncul dari balik gerumbul-gerumbul liar. Dengan sigapnya beberapa orang di antara mereka segera mempersiapkan diri, sedang yang lain, perempuan dan anak-anak, melingkar saling berpelukan dengan wajah yang pucat.

“Siapa kalian?” bertanya salah seorang yang agaknya merupakan pimpinan rombongan itu.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebelum ia menjawab, cantrik yang merasa dirinya menjadi pemimpin rombongan kecil itu pun menyahut, “Kamilah yang bertanya, siapakah kalian?”

Orang-orang itu termangu-mangu sejenak. Namun pemimpin itu kemudian menjawab, “Tanpa menyembunyikan kenyataan kami. bahwa kami adalah orang-orang Kediri yang menyingkir, karena pendeta kami telah ditangkap.”

Cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Bagus.”

“Kenapa bagus?” desis Mahisa Agni perlahan-lahan.

Cantrik itu kemudian dengan serta-merta berkata pula, “Tidak, tidak bagus. Sayang sekali pendeta itu sudah terlanjur ditangkap. Sebaiknya ia pergi ke Singasari. Bukankah kalian juga akan pergi ke Singasari?”

“Ya,” jawab pemimpin rombongan itu.

“Pergilah. Kami orang-orang Singasari.”

Pemimpin itu menjadi termangu-mangu. Kemudian ia pun bertanya, “Manakah jalan yang harus aku tempuh.”

“Lurus. Kau dapat mengikuti jejak kuda-kuda kami dalam arah yang berlawanan. Kau akan keluar dari hutan ini di wilayah Singasari. Mengerti?”

Pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Terima kasih. Tetapi kami tidak dapat memastikan bahwa kami akan dapat memasuki wilayah Singasari.”

“Kenapa?”

“Aku sadar, bahwa perjalanan kami pasti diikuti. Baginda sudah mengeluarkan perintah, semua orang Kediri, tidak boleh menyeberang perbatasan.”

Cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mahisa Agni pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Mereka sadar bahwa Maharaja Kediri akan menyebar orang-orangnya di segenap perbatasan, untuk mencegah orang-orang yang berusaha menyeberang. Kadang-kadang mereka dapat mencegah, tetapi kadang-kadang beberapa orang berhasil lolos, sehingga para pengawal harus mengejar mereka.

“Apakah kepergianmu diketahui oleh para prajurit Kediri?” bertanya cantrik itu.

“Aku tidak tahu. Tetapi sekarang setiap dahan mempunyai telinga dan setiap tikungan mempunyai mata. Itulah sebabnya sekarang arus orang-orang Kediri agak terbendung.”

“Kalau begitu, cepatlah.”

“Kami tidak akan dapat berjalan cepat. Di antara kami terdapat perempuan dan anak-anak.”

“Tetapi kalian sudah agak jauh dari perbatasan. Mungkin orang Kediri tidak akan menghiraukan kau lagi.”

Tetapi belum lagi pembicaraan itu selesai, terdengar derap beberapa ekor kuda. Lamat-lamat mereka mendengar cambuk yang meledak dan ringkik kuda yang berkepanjangan. Pemimpin kelompok itu menjadi gelisah. Ketika ia berpaling memandangi orang-orangnya, dilihatnya beberapa di antara mereka menjadi pucat.

“Kita tidak akan kembali ke Kediri. Kita akan menjadi pangewan-pangewan seperti sekelompok orang dari Padepokan Watu Putih kemarin. Diarak di sekeliling kota dengan cemoohan yang paling hina.”

Orang-orangnya tidak menjawab.

“Kita laki-laki, dan kita bersenjata.”

Tiba-tiba mereka sadar, bahwa mereka memang bersenjata. Beberapa orang di antara mereka telah meraba senjata-senjata mereka sambil berdesis, “Ya, kami bersenjata.”

“Setidak-tidaknya, enam atau tujuh orang dari kita dapat melawan.”

“Aku juga masih mampu berkelahi,” berkata seorang laki-laki tua.

“Jadi delapan orang.”

Pemimpin itu pun kemudian melangkah maju. Disuruhnya perempuan dan anak-anak agak menjauh. “Berdoalah. Mudah-mudahan kami dapat melindungi kalian.”

Seorang perempuan yang menggenggam patrem tiba-tiba berkata, “Aku ikut bertempur.”

“Jagailah anak-anak. Jangan kehilangan akal.”

Perempuan itu masih tegak di tempatnya. Namun ketika terpandang olehnya tatapan mata pemimpinnya, maka ia pun kemudian melangkah surut, dan bergabung dengan perempuan-perempuan dan anak-anak yang saling berdesakan dengan wajah yang pucat.

“Apakah yang datang itu para prajurit Kediri,” bertanya Cantrik itu.

“Aku kira, mereka adalah orang-orang yang sedang berburu orang. Mereka mengikuti jejak kami. Setiap kepala, mendatangkan hadiah yang baik bagi mereka. Mungkin mereka bukan prajurit-prajurit, dan bahkan kadang-kadang para perampok dan penyamun yang mengetahui kehadiran kami di daerah kerja mereka. Mereka mengejar kami, merampas milik kami, kemudian menyerahkan kami kepada para prajurit untuk mendapatkan hadiah yang cukup baik.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Apakah hal itu dapat terjadi dalam pemerintahan Baginda Kediri yang sekarang? Ataukah memang ada orang-orang yang sengaja menumbuhkan kesan yang sama sekali tidak menguntungkan bagi Kediri?

“Saat yang tepat bagi Ken Arok,” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam, “Ia memang cerdas dan mampu memperhitungkan keadaan yang dihadapinya. Ia akan berhasil menguasai Kediri sebagaimana ia telah berhasil menjerumuskan Kebo Ijo ke dalam kematian sekaligus tuduhan yang paling hina.”

Derap kuda yang melingkar-lingkar seakan-akan memenuhi hutan itu pun masih bergema terus. Namun telinga Mahisa Agni segera dapat mengetahui dari mana mereka datang. Mereka tidak berpacu terlampau cepat, tetapi juga tidak terlampau lambat.

“Nah. kita akan berkelahi untuk mempertahankan diri,” berkata pemimpin rombongan itu, “aku adalah orang yang paling bertanggung jawab atas rombongan ini. Karena itu, Ki Sanak berdua lebih baik menyingkir, supaya kalian tidak disangka membantu kami. Orang-orang yang sedang berburu itu kadang-kadang sama sekali tidak mempergunakan nalar, apalagi rasa perikemanusiaan.”

Mahisa Agni tertegun sejenak. Ketika ia berpaling, dilihatnya cantrik kawannya itu berdiri termangu-mangu.

“Silakan Ki Sanak. Terima kasih atas petunjuk kalian jalan ke Singasari.”

“Aku orang Singasari,” berkata cantrik itu tiba-tiba.

“Jangan mempersulit diri sendiri. Kalian tidak usah terlibat dalam persoalan ini. Kami sudah mempunyai delapan orang yang akan mengangkat senjata kami masing-masing untuk melindungi perempuan dan anak-anak kami.”

Tanpa sesadarnya Mahisa Agni memandang perempuan-perempuan dan anak-anak yang ketakutan. Tiga orang perempuan itu, dua orang setengah baya. Beberapa orang anak-anak, dan tiga orang gadis-gadis muda. Ketika terpandang olehnya sepasang mata yang berkilat. Mahisa Agni berdesir. Ia sudah terlampau tua untuk memandangi wajah-wajah gadis-gadis. Tetapi gadis itu pun tiba-tiba menundukkan kepalanya. Yang pertama-tama merayap di hati Mahisa Agni adalah sebuah kenangan tentang Ken Dedes. Betapa ia mengalami, ketakutan yang sangat, pada saat Kuda Sempana dan Akuwu Tunggul Ametung mengambilnya.

“Seperti gadis itu,” desisnya. Dan tiba-tiba ia mengerutkan keningnya, “He, gadis itu memang mirip dengan Ken Dedes.”

“Persetan!” Mahisa Agni tiba-tiba menggeram. Dan ia pun terperanjat ketika ia mendengar pemimpin rombongan itu berkata, “Mereka telah datang. Menyingkirlah.”

Tanpa sesadarnya Mahisa Agni melangkah beberapa langkah surut. Cantrik, kawan seperjalanannya menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia pun mendekati Mahisa Agni sambil berbisik, “Tinggallah di sini. Aku tidak dapat berdiam diri.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Dilihatnya wajah cantrik yang bersungguh-sungguh itu. Sambil memegangi hulu pedang pendeknya ia siap untuk menghadapi segala kemungkinan. “Apa yang akan kau lakukan?” bertanya Mahisa Agni.

“Aku harus membantu orang-orang itu. Mereka berada dalam ketakutan.” cantrik itu terdiam sejenak, “lihatlah perempuan dan anak-anak itu.”

Sekali lagi Mahisa Agni memandangi perempuan dan anak-anak itu. Sekali lagi matanya membentur sepasang mata yang cerah dari antara mereka. Betapa wajahnya pucat oleh ketakutan yang sangat namun tampak bahwa wajah itu memiliki kelebihan dari wajah-wajah yang lain. Sementara itu. beberapa orang berkuda telah muncul dari balik dedaunan. Pemimpin dari orang-orang berkuda itu segera memberi isyarat untuk berhenti.

“Nah. Itulah mereka!” teriak salah seorang dari mereka.

Pemimpin rombongan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Hem, kau telah membuat kami gelisah. Kami kira bahwa kami akan kehilangan kalian. Namun akhirnya kami menemukan juga.”

Pemimpin rombongan orang-orang Kediri yang akan menyeberang itu masih berdiam diri. Tetapi tangannya telah melekat di hulu pedangnya. Dipandanginya saja orang-orang yang menyusulnya itu dengan wajah yang tegang.

“Jangan banyak tingkah seperti beberapa orang yang lain. Marilah kita kembali ke Kediri, Tidak ada apa-apa. Kalian akan disambut dengan baik.”

Pemimpin rombongan orang-orang yang menyeberang itu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Apakah kalian menyangka bahwa aku tidak tahu, apa yang diperlakukan atas orang-orang yang dapat ditangkap dalam perjalanan menyeberang ke Singasari?”

“Nah. Kalau demikian, kenapa kalian masih juga akan menyeberang?”

“Perlakuan Baginda terhadap para pendeta sangat menyakitkan hati.”

Pemimpin rombongan orang-orang yang menyusul itu pun tertawa. Katanya, “Kalian terlampau mementingkan diri kalian sendiri. Kalian merasa bahwa kedudukan kalian jauh lebih tinggi dari rakyat Kediri yang lain. Kalau kalian menganggap diri kalian seperti rakyat kebanyakan, maka perlakuan itu tidak akan terasa terlampau menyakitkan hati.”

“Kami tidak minta yang berlebih-lebihan. Tetapi kami tidak akan mungkin mengubah pandangan kami dalam kebaktian kami terhadap sesembahan kami.”

Pemimpin orang-orang yang menyusul itu pun kemudian berkata, “kau juga terlampau banyak bicara seperti orang-orang lain. Kami adalah pemburu-pemburu yang berpengalaman. Menyerahlah, supaya kami tidak memperlakukan kalian, perempuan-perempuan dan anak-anak, apalagi gadis-gadis itu. Seperti yang pernah terjadi.”

Pemimpin orang-orang yang menyeberang itu mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia berpaling memandangi perempuan-perempuan yang ketakutan dan anak-anak mulai menangis.

“Menyerahlah!”

Tetapi pemimpin itu menggelengkan kepalanya, “Aku sudah terlanjur menempuh perjalanan begini jauh. Aku tidak akan kembali. Lebih baik kami berkubur di sini daripada kami harus menjadi tontonan di sepanjang jalan Kediri.”

“Kalian tidak ada bedanya dengan kelinci-kelinci yang terpaksa kami selesaikan sebelumnya,” pemimpin rombongan yang menyusul itu tersenyum. Kemudian dipandanginya gadis-gadis di antara perempuan-perempuan yang ketakutan, “ada juga gadis-gadis di antara kalian. Apa boleh buat.”

Terasa rambut-rambut di seluruh tubuh gadis-gadis itu meremang.

“Mereka benar-benar serombongan pemburu manusia,” desis cantrik itu kepada Mahisa Agni, “Sepuluh orang. Apa boleh buat. Aku tidak akan dapat diam. Mungkin aku akan berkelahi mati-matian.”

“Kalau kau mati, bagaimana dengan aku?” bertanya Mahisa Agni.

Cantrik itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Kau dapat menyusur jalan sempit ini. Terus sampai pada suatu saat kau akan terhalang oleh sebuah rawa-rawa yang sempit. Kau berbelok ke kiri. Kemudian kau akan sampai pada lereng pegunungan yang terjal. Kali ini kau berbelok ke kanan. Kau akan segera menjumpai padukuhan-padukuhan kecil. Di situ kau bertanya, di mana rumah Witantra. Kau akan sampai kepadanya.”

“Masih amat jauh. Jangan mati.”

“Aku akan berusaha untuk tidak mati.”

Mahisa Agni tersenyum di dalam hati. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Baiklah. Tetapi hati-hatilah...”

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.