Pedang Kayu Harum Jilid 47 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pedang Kayu Harum Jilid 47
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Tidak cocoklah isi surat dengan sikap suaminya. Kalau suaminya menulis seperti itu dan kini suratnya terbaca olehnya, tidak mungkin suaminya akan bersikap seperti itu, penuh rasa penasaran, kemarahan, kekagetan dan juga keheranan. Kalau benar-benar menulis seperti itu tentu berusaha agar jangan terbaca olehnya.

"Iblis terkutuk! Tulisanku dipalsu orang. Ini surat palsu, Sumoi!"

"Tulisannya persis dengan tulisanmu. Aku sendiri pun akan berani bersumpah bahwa itu tulisanmu, Hong-ko," Biauw Eng berkata.

"Sumoi, telah terjadi hal yang hebat. Aku mengerti sekarang... hemmm..." Kini Keng Hong membuka surat ke dua, tulisan tangan Yan Cu juga dia baca bersama Biauw Eng. Akan tetapi karena mereka kini sudah merasa yakin bahwa ada pemalsuan surat, mereka tidak begitu terkejut lagi membaca tulisan tangan Yan Cu yang membuat Cong San menjadi seperti gila itu.

Suheng, kekasihku.

Suheng, harap temui aku sore ini di tempat biasa. Aku tak tahan lagi. Dia agaknya mulai curiga. Suheng, tolonglah aku, mati hidup aku ikut bersamamu, Suheng, kekasihku.


"Suheng, jadi engkau tidak menulis suratmu kepadaku itu? Dan... dan surat dariku ini? Aku tidak pernah menulisnya, akan tetapi huruf-hurufnya... serupa benar dengan gaya tulisanku..."

"Tenanglah, Yan Cu. Dan ceritakan sekarang, apakah engkau pernah menerima surat kami beberapa bulan yang lalu, yang diantar oleh seorang pesuruh kami?"

Yan Cu menggeleng kepala. "Tidak pernah ada utusan kalian datang membawa surat."

Biauw Eng memandang pada suaminya dan alisnya berkerut. Hemmm, ini cocok dengan keanehan sikap A-liok yang aneh, yang tidak kembali dan hanya berpesan tidak pulang ke kampung.

"Surat kita agaknya terjatuh ke tangan orang jahat dan tulisanmu dipelajari untuk mereka pakai membuat surat palsu ini. Tak salah lagi. Suratmu itu dipalsu, kemudian surat palsu ini diserahkan kepada Cong San di luar tahu Yan Cu."

"Akan tetapi A-liok...? Dia amat boleh dipercaya." Keng Hong membantah, sungguh pun dia percaya akan kecerdikan isterinya.

Biauw Eng menggelengkan kepala. "Aku mempunyai dugaan bahwa A-liok telah terbunuh orang, surat kita dipalsukan. Yang menyampaikan berita bahwa dia tidak pulang ke sini itu tentu bukanlah A-liok, melainkan kaki tangan penjahat. Aku dahulu sudah curiga bahwa tak mungkin A-liok berani berbuat seperti itu, akan tetapi karena tidak ada terjadi sesuatu, aku pun tidak peduli. Sekarang aku baru tahu bahwa kecurigaanku terhadap peristiwa itu benar."

Keng Hong mengepal tinju dan menghadapi Yan Cu yang mendengarkan dengan penuh perhatian. "Sumoi, sekarang engkau yakin bahwa bukan aku yang menulis surat beracun ini kepadamu. Akan tetapi, tulisanmu ini..., kau bilang serupa benar dengan tulisanmu akan tetapi bukan tulisanmu?"

"Mengapa serupa sekali, akan tetapi engkau mengerti bahwa tidak mungkin aku menulis surat seperti itu, Suheng."

Keng Hong mengangguk-angguk. "Aku mengerti adikku. Engkau bukanlah seorang wanita seperti ini dan engkau amat mencinta suamimu. Akan tetapi bagaimana tulisanmu sampai dapat dipalsukan orang lain?"

Yan Cu menggigit bibir dan mengepal tinjunya. "Tadinya tak terpikir olehku, sekarang aku ingat. Orang tua yang minta dituliskan resep baru itu! Hemmmm... dari resep obat yang kutulis, seorang ahli tentu saja akan dapat menirukannya! Akan tetapi kenapa...? Kenapa ada pemalsuan-pemalsuan ini? Kenapa sikap suamiku selalu dingin dan murung? Kenapa ada yang hendak menghancurkan rumah tanggaku? Siapa?"

"Siapa lagi kalau bukan Cui Im!" Keng Hong berkata marah. "Aku akan mencarinya. Dia harus mempertanggung jawabkan ini. yang kukhawatirkan hanyalah Cong San. Dia pergi dari sini seperti orang yang sudah berubah jiwanya..."

"Suheng...! Dia... dia ke sini...? Dan bersama Kun Liong...?"

"Kun Liong? Siapa dia?"

"Anak kami! Dia pergi membawa anak kami..., maka aku mengejar ke sini..."

Keng Hong menggeleng kepala dan memandang sumoi-nya penuh rasa iba. "Dia datang seorang diri dan hendak membunuhku."

"Karena suheng-mu mengalah dan terancam, terpaksa aku turun tangan menandinginya. Dia lari meninggalkan ancaman maut kepada Suheng-mu. Jadi engkau telah mempunyai seorang putera? Di manakah dia? Dibawa ke mana?"

Akan tetapi wajah Yan Cu sudah menjadi pucat sekali mendengar betapa suaminya telah datang hendak membunuh Keng Hong dan tidak tampak anaknya bersama suaminya itu.

"Su... sudah lamakah dia pergi?"

"Baru saja, belum ada dua jam, dia berlari ke arah sana...," Biauw Eng menjawab dan menunjuk ke utara.

Tanpa menjawab dan tanpa pamit Yan Cu meloncat dan berkelebat cepat lari ke utara hendak menyusul suaminya.

"Sumoi...!" Keng Hong hendak mengejar, akan tetapi Biauw Eng memegang lengannya menahan.

"Suamiku, tenanglah. Dalam keadaan seperti ini kita harus bersikap tenang dan tidak boleh semberono. Kini kita sudah mengerti mengapa Cong San menjadi seperti gila dan bersikeras hendak membunuhmu. Kiranya dia memang sudah gila oleh cemburu. Tidak mengherankan jika dia membaca dua surat ini dan mungkin sekali dia juga menyaksikan hal-hal yang menambah besar cemburunya. Bila engkau membantu Yan Cu mencarinya, kemudian bertemu dengannya, bukankah kedatanganmu berdua Yan Cu itu hanya akan menjadi minyak yang disiramkan kepada api yang berkobar? Tidak, hal itu bahkan akan menambah ruwet persoalan."

"Habis, bagaimana baiknya? Mungkinkah kita melihat kesengsaraan mereka dan berdiam diri saja melihat rumah tangga mereka hancur berantakan?"

"Tentu saja tidak, suamiku. Kita bertiga harus menyusul mereka dan kita bereskan urusan itu, kita sadarkan Cong San yang gila oleh cemburu. Terutama sekali, kita mencari biang keladinya yang kurasa bukan lain tentulah Cui Im."

"Bertiga?"

"Tentu saja, bersama Giok Keng."

"Ihhh! Perjalanan ini penuh bahaya, apa lagi kalau diingat bahwa besar kemungkinan kita akan berhadapan dengan iblis betina itu. Mengajak Giok Keng berarti membahayakan keselamatan anak kita."

"Hemmmm, kalau kita tinggalkan di sini tanpa kita jaga, apakah hal itu malah tidak lebih berbahaya lagi? Kalau kita mampu menjaga diri sendiri, masa tidak mampu melindungi anak kita? Sebaliknya kalau kita berdua binasa, siapa pula yang akan dapat menjaga anak kita? Kita pergi bertiga, hari ini juga, Hong-ko."

Mau tak mau Keng Hong terpaksa harus membenarkan ucapan isterinya itu. Lagi pula, menghadapi urusan Cong San benar-benar amat ruwet dan rumit, dia seorang diri belum tentu mampu memecahkannya. Dia harus mengandalkan kecerdikan isterinya untuk mengatasi perkara itu, maka dia tidak banyak membantah dan berangkatlah suami isteri pendekar sakti itu bersama puteri mereka setelah menyerahkan pengurusan rumah mereka kepada para petani tetangga mereka.

********************

Tubuh Cong San terhuyung-huyung, akhirnya roboh di bawah pohon besar dalam hutan. Terdengar dia menangis mengguguk. Selama hidup baru kali ini pendekar itu menangis, hati dan pikirannya kacau balau, kehilangan pegangan. Ia berduka kehilangan cinta kasih isterinya, dia marah karena merasa tertipu melihat kenyataan bahwa sejak dulu isterinya adalah kekasih Keng Hong.

Dia kini yakin bahwa isterinya menikah dengannya bukan sebagai seorang perawan lagi, bahkan dia meragukan apakah Kun Liong itu anaknya! Lebih hebat lagi, dia sudah mau melupakan semua itu, melupakan semua peristiwa yang sudah-sudah, menuruti nasehat Thian Kek Hwesio, namun semua itu ternyata tidak ada gunanya karena sampai sekarang pun isterinya masih melanjutkan hubungan jinah dengan Keng Hong!

Dunia serasa hancur lebur bagi Cong San. Yang lebih menyakitkan hati, dia tidak mampu membalas, tidak mampu membunuh Keng Hong, bahkan dia menanam permusuhan pula dengan Biauw Eng! Dia tidak mau melawan Biauw Eng, bukan hanya karena wanita itu pun memiliki ilmu kesaktian yang lebih tinggi dari padanya, namun terutama sekali karena dia merasa kasihan kepada Biauw Eng!

Di luar kesadarannya, Biauw Eng juga menjadi korban watak kotor suaminya, dan wanita itu sama sekali tidak bersalah. Betapa mungkin dia melawan mati-matian terhadap Biauw Eng? Tidak, dia tak akan mengangkat senjata terhadap Biauw Eng, akan tetapi, dia harus membunuh Keng Hong! Membunuh manusia busuk itu atau mati dalam usahanya ini!

"Aihh..." Dia mengeluh, duduk bersandar pohon, lalu mengusap air matanya. "bagaimana aku dapat membunuh iblis itu? Ilmunya luar biasa tinggi, dan di sampingnya masih ada Biauw Eng yang membelanya. Aaaaaahhh..., mengapa Thian menyiksaku seperti ini? Di mana ada keadilan?"

Kalau saja pohon raksasa tua di mana Cong San bersandar itu dapat bergerak bagaikan manusia, tentu akan menggelengkan kepala mendengar keluhan Cong San ini. Keluhan seorang manusia yang lajim terdengar di mana-mana, di seluruh pelosok dunia ini.

Manusia selalu mengeluh kalau tertimpa sesuatu yang tidak berkenan di hatinya, kalau terjadi sesuatu yang berlawanan dengan kehendak hatinya, dengan bayangan di dalam pikirannya. Lalu dia merasa menderita, merasa sengsara dan berduka. Lalu timbul rasa penasaran. Lebih celaka lagi, dia lalu mempersekutu Thian di dalam keadaan mabuk oleh iba diri.

Cong San lupa akan pelajaran-pelajaran kebatinan yang telah diterimanya semenjak kecil. Oleh rasa iba diri yang menimbulkan pertentangan mencipta kemarahan dan kebenciaan, dia lupa bahwa dia telah melakukan hal yang amat kotor. Dia ingin menarik Tuhan agar berpihak kepadanya untuk dapat membalas Keng Hong! Ia baru akan merasa puas, baru akan menganggap Tuhan Maha Adil kalau Tuhan suka membantunya membunuh Keng Hong!

Betapa picik pendapatnya yang melahirkan perbuatan setelah dikuasai oleh rasa sayang diri dan iba diri. Perasaan ke-akuan ini membuat setiap orang ingin agar segala sesuatu di alam mayapada ini, dari yang tampak sampai yang tidak tampak, dari segala setan iblis, dewa malaikat sampai kepada Tuhan, semua bergerak demi kepentingan dan keuntungan si Aku.

Berbahagialah manusia yang dapat mengenal diri pribadi, bisa menujukan pandang mata dan mendengarkan telinga ke dalam, bukan selalu keluar. Dapat mengenal isi pikiran dan melihat betapa pikiran selalu membayangkan hal-hal lampau yang penuh kenikmatan dan kesenangan sehingga timbul keinginan-keinginan, dapat mendengarkan suara hati yang terdorong oleh nafsu-nafsu yang timbul dari kenangan dan bayangan, dapat berdiri di atas itu semua tanpa penentangan, tanpa pengekangan paksa, namun dengan penguasaan sehingga semua itu akan mencair dan musnah dengan sendirinya, tanpa paksaan, tanpa pertentangan, bergulung menjadi satu ke dalam cahaya Cinta Kasih Murni.


"Yap Cong San, seorang pendekar gagah perkasa seperti engkau, kenapa bersemangat lembek dan lemah?"

Cong San melompat bangun, membalik dan menghadapi Bhe Cui Im dengan mata berapi penuh kebencian serta amarah. Wanita yang amat cantik jelita, yang berpakaian mewah dan indah, pakaian yang ketat membungkus tubuh yang mempunyai lekuk-lengkung yang menggairahkan, yang menghamburkan bau harum dari seluruh rambut dan pakaiannya, tersenyum-senyum manis memandang padanya. Akan tetapi, bagi Cong San, kecantikan itu menyembunyikan bayangan iblis yang mengerikan.

"Iblis betina!" ia membentak.
Cepat dia telah mencabut sepasang Im-yang-pit di tangannya, langsung menubruk dan menyerang ke depan, mengirim totokan-totokan maut secara bertubi-tubi. Namun sambil tersenyum simpul dan dengan gerakan yang sangat indah, Cui Im dapat menghindarkan diri dengan amat mudah sehingga semua totokan itu mengenai angin saja.

"Cong San, alangkah bodohnya engkau. Apa bila engkau melawan aku, engkau tak akan menang dan betapa mudah bagiku membunuhmu. Akan tetapi aku takkan membunuhmu dan engkau pun tidak boleh menyerangku. Aku butuh engkau, dan engkau pun butuh aku, Cong San."

Dalam keadaan seperti itu, Cong San tak mampu berpikir panjang, maka ucapan ini dia hubungkan dengan sifat mata keranjang dan gila laki-laki dari iblis betina ini. Amarahnya memuncak dan dia menerjang lagi lebih nekat!

"Plak-plak... Cusss!"

Dua batang pit itu bertemu dengan telapak tangan Cui Im. Cong San merasa seolah-olah dua batang senjatanya berikut tenaga sinkang-nya amblas ke dalam suatu benda lunak dan kehilangan tenaganya, lalu sebuah totokan jari tangan yang halus runcing menyentuh pundak, membuat dia terguling dan seluruh tubuh atasnya menjadi lumpuh. Namun dia telah mengerahkan tenaga dalamnya, berhasil membuyarkan pengaruh totokan, melompat berdiri dan siap menerjang lagi.

"Cong San, aku tahu engkau gagah dan tidak takut mati. Akan tetapi, tidak sayangkah bila engkau mati dalam tanganku sebelum engkau mampu membunuh Keng Hong yang telah menghancurkan kebahagiaanmu?"

Cong San tertegun. Dia tidak ingin mati sebelum sempat membalas Keng Hong! Akan tetapi dia pun tidak sudi menyerah terhadap iblis betina ini, maka dia cepat menghardik, "Urusanku dengan dia tidak ada sangkut pautnya denganmu!"

Cui Im tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih rata seperti mutiara. "Tidak ada sangkut pautnya, akan tetapi kita senasib! Keng Hong telah menghancurkan kebahagiaanmu, juga dia telah menghancurkan kebahagiaanku. Engkau mendendam dan hendak membunuhnya, aku pun demikian. Engkau tak berhasil, aku pun demikian, karena dia memang sangat lihai. Karena itu, mengapa kita saling serang sendiri? Tadi kukatakan bahwa kita saling membutuhkan. Kalau kita bekerja sama menghadapi laki-laki mata keranjang itu, tentu kita akan berhasil membalas dendam."

Cong San meragu, menunduk. Dia tahu bahwa wanita di depannya ini, yang jahat dan keji seperti iblis, memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, bahkan wanita ini adalah sumoi dari Keng Hong. Wanita inilah satu-satunya orang yang ikut mempelajari kitab-kitab rahasia peninggalan Sin-jiu Kiam-ong dan tingkat kepandaiannya hanya sedikit di bawah tingkat Keng Hong.

"Bhe Cui Im, engkau tahu bahwa aku tidak sudi bersahabat denganmu, bahwa aku tidak sudi menyerah dan tunduk padamu. Akan tetapi, mengenai urusan Cia Keng Hong, kalau engkau ada usul menghadapinya, katakanlah agar dapat kupertimbangkan."

Cui Im merasa girang sekali. Dia pun sudah mengenal watak pemuda ini dan dia tahu bahwa kecantikannya, atau rayuannya sebagai wanita tak mungkin dapat menggugurkan batin Cong San. Satu-satunya jalan untuk menarik pemuda ini bekerja sama dengannya hanyalah memanfaatkan api cemburu yang sedang berkobar di dadanya.

"Yap Cong San, kita hanya bekerja sama untuk menghancurkan musuh kita, bukan untuk bersahabat. Engkau tetap saja bebas, hanya kita rencanakan bersama untuk memancing Keng Hong dan membunuhnya. Dia sudah merusak hidupku, dia juga mempermainkan isterimu secara tidak tahu malu, seolah-olah isterimu dianggapnya seorang pelacur..."

"Tutup mulutmu! Aku melarang engkau menyebut-nyebut isteriku!" Sepasang pit di tangan Cong San menggigil dan diam-diam Cui Im tersenyum mengejek karena dia tahu bahwa kata-katanya yang disengaja tadi telah berhasil baik membakar hati Cong San.

"Maaf, aku bukan bermaksud menghina. Dengarlah, sekarang aku tinggal di Sun-ke-bun, mengumpulkan kekuatan untuk melawan Keng Hong. marilah engkau ikut bersamaku ke sana dan kita rundingkan rencana menghukum si mata keranjang itu bersama guruku, Go-bi Thai-houw. Dengan tenaga kita bertiga, ditambah dengan pembantu-pembantuku yang cukup banyak, aku percaya akhirnya Keng Hong akan mampus di tangan kita."

Terjadi perang batin di dalam hati Cong San. Kalau saja racun cemburu tidak sedemikian hebatnya membakar seluruh dirinya, membuat setiap bulu pada tubuhnya, setiap helai rambut di kepalanya, membenci dan bernafsu membunuh Keng Hong tentu dia tidak akan sudi bersekutu dengan Cui Im dan antek-anteknya.

"Baik! Akan tetapi ingat, kerja sama antara kita hanya untuk membunuh Cia Keng Hong dan setelah itu, kita bersimpang dan mungkin kelak kita akan saling berhadapan sebagai musuh!"

Kembali wanita cantik itu tersenyum manis. "Urusan besar di depan mata masih belum beres, mengapa memikirkan masa depan yang tiada ketentuan? Biarlah kita kini bekerja sama untuk menghadapi Keng Hong dan Biauw Eng yang lihai, urusan nanti... bagaimana nanti sajalah."

"Aku hanya membantumu menghadapi Keng Hong, tidak mau membantumu menghadapi Biauw Eng!"

Cui Im mengangguk. "Baiklah, kita tinggalkan Biauw Eng di luar. Betapa pun juga, dia adalah sumoi-ku sendiri. Marilah kita berangkat."

Walau pun di sudut hatinya terdapat perasaan memberontak dan mencela perbuatannya sendiri yang mau bersekutu dengan seorang iblis betina seperti Cui Im, namun Cong San menghibur diri bahwa perbuatannya ini hanya dia lakukan karena semata-mata demi terlaksananya dendam di dalam hatinya, khusus untuk menghadapi Keng Hong. Setelah itu, hemmm... siapa tahu, mungkin dia akan melawan Cui Im! yang penting, Cia Keng Hong, laki-laki palsu, mata keranjang dan berakhlak bejat itu, yang telah menghancurkan kebahagiaan rumah tangganya, harus dibunuh lebih dulu!

Dengan wajah murung dan mulut selalu tertutup, tidak pernah mengeluarkan kata-kata kalau tidak perlu sekali, Cong San melakukan perjalanan bersama Bhe Cui Im yang cantik jelita dan yang terlalu cerdik untuk menutupi birahi yang selalu menyelubunginya hingga tidak satu kali pun dia mencoba-coba untuk merayu Cong San sungguh pun kesempatan untuk itu banyak sekali. Tidak, Bhe Cui Im adalah seorang wanita yang sudah matang, penuh pengalaman dan cerdik luar biasa.

Kalau mengingat kepandaian Cong San, murid Siauw-lim-pai ini tak akan dapat menolong banyak kepadanya dalam menghadapi Keng Hong. Akan tetapi, bukan tingkat kepandaian Cong San yang ia butuhkan dan diam-diam otaknya sudah bekerja untuk menggunakan orang muda ini dalam siasatnya menjebak Keng Hong.

********************

Tanpa mengenal lelah Yan Cu melakukan perjalanan mencari suaminya. Hatinya agak terhibur setelah ia pergi ke Siauw-lim-pai dan mendapat kenyataan bahwa puteranya, Kun Liong, ternyata berada di kuil itu! Cong San telah menitipkan putera mereka itu di kuil Siauw-lim-pai sebelum berangkat pergi mencari Keng Hong untuk dibunuhnya.

Sesudah mendengar penuturan Yan Cu tentang keadaan Cong San, Thian Kek Hwesio menganggap urusan itu gawat sekali, maka dia tidak melarang pada saat Yan Cu mohon pergi menghadap Tiong Pek Hosiang.

Kakek bekas ketua Siauw-lim-pai ini hanya menarik napas panjang, kemudian dengan singkat berkata, "Omotohud, agaknya sudah nasib dan karma pinceng sehingga sekarang masih harus terseret-seret urusan dunia. Pergilah engkau lebih dulu, pinceng akan segera menyusul."

Menerima kesanggupan kakek itu, agak besarlah hati Yan Cu, maka dia kemudian pergi mencari suaminya. Dia mempunyai dugaan pula bahwa yang menimbulkan kehancuran rumah tangganya tentulah Bhe Cui Im, si iblis betina itu, seperti yang telah ia dengar dari Keng Hong pula.

Teringat dia akan semua pengalamannya pada hari pernikahannya di puncak Cin-ling-san ketika Bhe Cui Im muncul bersama Go-bi Thai-houw dan Mo-kiam Siauw-ong. Hemmm, Mo-kiam Siauw-ong! Terkenal sebagai raja kaum bajak sungai di lembah Fen-ho, murid Thian-te Sam-lo-mo. Agaknya dia akan bisa mendapatkan petunjuk mengenai di mana adanya Cui Im apa bila dia dapat bertemu dengan Mo-kiam Siauw-ong. Kalau dia tidak dapat menyusul suaminya, maka dia akan mencari Bhe Cui Im dan akan mengadu nyawa dengan iblis betina yang telah menghancurkan kebahagiaan rumah tangganya itu!

Keputusan hati yang nekat ini membuat Yan Cu melakukan perjalanan tanpa mengenal lelah dan beberapa pekan kemudian ia telah tiba di daerah lembah Sungai Fen-ho. Ketika ia bertanya-tanya kepada para nelayan dengan mudah ia mendengar keterangan bahwa Mo-kiam Siauw-ong yang dicarinya itu sekarang sudah menjadi seorang berpangkat dan berpengaruh, yaitu menjadi putera mantu Coa-taijin, kepala daerah kota Sun-ke-bun di lembah Fen-ho! Mendengar ini, Yan Cu cepat menuju ke kota Fen-ho.

Tidak sukar baginya untuk mencari rumah kepala daerah, di mana tinggal pula bekas raja bajak yang dicarinya. Tentu saja di depan pintu gerbang gedung pembesar itu ia dilarang masuk oleh para pengawal. Yan Cu yang karena kedukaan dan kemarahannya sudah nekat, lalu berkata nyaring,

"Kalau aku tidak boleh masuk, hayo suruh bajak Mo-kiam Siauw-ong cepat-cepat keluar menemuiku! Kalau dia tidak mau keluar, terpaksa aku akan memaksa masuk!"

Seorang pengawal cepat berlari masuk untuk melapor. Tepat pada saat itu pula, Mo-kiam Siauw-ong, Bhe Cui Im dan Go-bi Thai-houw yang bersikap tak acuh, sedang berunding dengan Yap Cong San yang sudah beberapa hari tinggal di situ pula.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Cong San mendengar laporan pengawal bahwa di luar sudah muncul isterinya! Agaknya isterinya dapat tahu bahwa dia berada di situ. Dia enggan bertemu dengan isterinya, sungguh pun jantungnya berdebar tegang dan penuh dengan kerinduan yang luar biasa!

"Bagus sekali kalau dia datang, memang kita juga membutuhkan dia!" Cui Im berkata, mencegah Mo-kiam Siauw-ong yang sudah bangkit. "Engkau bukan lawannya, biar aku yang menangkapnya."

Tiba-tiba Yap Cong San meloncat berdiri, mukanya pucat. "Bhe Cui Im! Apa yang akan kau lakukan ini? Aku melarang siapa pun juga mengganggu isteriku!"

Cui Im tersenyum memandang orang muda itu. "Aku amat kagum kepadamu, Cong San. Sesudah semua yang diperbuatnya terhadapmu, masih saja engkau membelanya dan mencintanya! Aku tahu akan perasaanmu itu, Cong San, maka harap kau jangan salah sangka. Aku tudak akan mengganggunya, hanya ingin menangkapnya untuk memancing munculnya Cia Keng Hong. Kalau dia mendengar bahwa kekasihnya yang tercinta sudah kutangkap, tentu dia akan muncul ke sini!"

Sebutan ‘kekasihnya yang tercinta’, yang tadi sengaja dikeluarkan oleh mulut Cui Im itu berhasil membakar lagi hati Cong San. Dia mengangguk dan berkata,

"Jangan lukai dia, dan perlakukan dengan baik. Jangan sampai dia tahu aku berada di sini."

Cui Im mengangguk dan melirik ke arah gurunya. "Aku tahu dan jangan khawatir, Cong San. Akan tetapi, isterimu itu bukanlah seorang yang lemah. Untuk menangkap tanpa melukainya, aku harus mendapatkan bantuan Subo. Subo, harap bantu teecu menangkap Yan Cu."

Go-bi Thai-houw terkekeh. "Heh-heh-heh, apa sih sukarnya menangkap bocah itu?" Akan tetapi dia bangkit juga dan mengikuti Cui Im keluar dari dalam gedung.

Dengan muka agak pucat Cong San lalu meloncat bangun, berindap-indap keluar untuk mengintai betapa isterinya ditangkap, siap untuk membela isterinya yang betapa pun juga amat dicintanya itu kalau-kalau akan terancam keselamatannya di bawah tangan Cui Im yang dia tahu amat kejam.

Sementara itu, Yan Cu masih menanti di luar, mengharapkan Mo-kiam Siauw-ong keluar agar dia dapat bertanya tentang tempat tinggal Bhe Cui Im. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia menyaksikan berkelebatnya dua bayangan orang dan tahu-tahu Bhe Cui Im sendiri bersama Go-bi Thai-houw telah berdiri di depannya!

"Kau... kau iblis betina...!" Yan Cu berseru, matanya memandang penuh kebencian.

Biar pun dia belum mempunyai bukti bahwa wanita inilah yang mencelakakannya, namun begitu bertemu saja sudah bangkit kembali kebenciannya. Tetapi tanpa bukti, tentu saja dia tidak dapat menuduhnya begitu saja.

"Hi-hi-hi-hik, engkau isteri yang tidak setia! Apakah kau datang untuk mencari kekasihmu Cia Keng Hong?"

Muka Yan Cu menjadi merah sekali, dua matanya terbelalak dan kalau tadinya dia masih ragu-ragu untuk menuduh karena tidak ada bukti, ucapan Cui Im itu meyakinkan hatinya bahwa iblis inilah yang mengaturnya. Saking marahnya sampai sukar dia mengeluarkan suara. Lagi pula, di tempat ramai itu, perlu apa dia berbicara tentang kehancuran rumah tangganya itu? Hanya akan menimbulkan aib dan malu saja! Karena itu Yan Cu langsung mencabut pedangnya dan menerjang Cui Im sambil membentak,

"Tutup mulutmu yang kotor, iblis bentina!"

Cui Im mengelak sambil mengebutkan ujung lengan bajunya. Dia tertawa-tawa mengejek menghindarkan bacokan dan tusukan pedang yang datang bertubi-tubi. Bila dibandingkan dengan tingkat kepandaian Yan Cu, tentu saja Cui Im menang jauh sekali. Apa bila dia menghendaki, dalam waktu belasan jurus saja dia tentu sanggup merobohkan Yan Cu.

Akan tetapi, merobohkan tanpa melukainya bukanlah hal mudah, dan Cui Im yang cerdik dan dapat menduga bahwa Cong San tentu mengintai, secara sengaja menyebut-nyebut nama Keng Hong untuk memanaskan hati Cong San, namun dia tetap tidak berani untuk melukai Yan Cu karena hal ini hanya akan merugikan saja, akan membuat ia kehilangan bantuan Cong San yang amat dia butuhkan.

"Subo, harap bantu teecu!" sambil melompat jauh ke belakang Cui Im berseru.

Yan Cu yang menjadi sangat marah dan penasaran cepat mengejar ke depan. Sinar merah menyilaukan matanya. Cepat Yan Cu menangkis dengan pedangnya ke arah sinar merah yang menyambar dari kanannya itu. Dia menahan teriakan pada waktu pedangnya bertemu benda lunak halus dan ternyata itu adalah ujung kebutan merah di tangan Go-bi Thai-houw yang terus membelit pedang.

Yan Cu mengerahkan tenaga untuk menarik kembali pedangnya, namun sia-sia belaka. Dengan kebencian meluap Yan Cu menggerakkan tangan kirinya meluncur ke depan, dua buah jari tangannya menusuk ke arah sepasang mata pada wajah tua yang terkekeh dan menyeringai menjijikkan itu.

Dibandingkan Cui Im, kepandaian Yan Cu masih jauh di bawah, apa lagi terhadap nenek ini yang gerakan-gerakannya sungguh aneh di luar kebiasaan manusia normal. Pada saat dua jari Yan Cu meluncur deras, Go-bi Thai-houw bukan mengelak atau pun menangkis, malah memajukan wajahnya seolah-olah menyodorkan sepasang matanya untuk ditusuk oleh dua jari Yan Cu.

Melihat ini Yan Cu terkejut sekali, seakan terpesona oleh keanehan yang dilakukan Go-bi Thai-houw sehingga membuat gerakan tangan kirinya agak tersendat, dan biar pun hanya sekejap mata, tetapi waktu yang singkat ini sudah cukup bagi nenek itu untuk mendahului gerakan tangan kiri Yan Cu. Tangan kanannya menarik hudtim merah yang sudah melilit pedang Yan Cu sehingga Yan Cu yang masih terpesona itu tubuhnya segera terputar dan ketika tubuh ini telah membelakanginya, nenek itu cepat menggerakkan jari tangan kirinya menotok jalan darah di punggung nyonya muda itu.

Tubuh Yan Cu terkulai roboh, hilang seluruh tenaganya biar pun kesadarannya tidak turut lenyap. Dia masih dapat melihat bayangan Cui Im yang melayang ke arahnya, kemudian menambah dua totokan lagi pada pundak kanan dan pundak kirinya, membuat dia sama sekali tidak dapat bergerak.

“Bawa dan kurung dia di kamar tahanan, tetapi jangan ada yang mengganggu dia!” Cui Im memberi perintahnya kepada penjaga yang berdiri di pinggir.

Dari tempat persembunyiannya Cong San menonton semua itu dan wajahnya memucat, hatinya penuh kekhawatiran dan kasihan, namun dia lega sesudah membuktikan bahwa Cui Im membuktikan janjinya, tidak melukai isterinya. Isteri yang dicintainya sepenuh raga, namun yang pada saat itu juga sedang dibencinya setengah mati.

Dia benci kepada Yan Cu, bukan karena melihat isterinya itu melanjutkan perhubungan jinah dengan Keng Hong, akan tetapi terutama sekali di samping penyelewengan yang menjijikkan, isterinya masih berpura-pura mencintanya. Cinta palsu inilah yang membuat dia sakit hati dan benci sekali!

Kalau saja dahulu isterinya berterus terang, menyatakan mencinta Keng Hong seorang, tentu dia pun akan suka mengalah, rela mengorbankan diri menderita. Akan tetapi Yan Cu menerimanya sebagai suaminya, bahkan memperlihatkan cinta kasih yang mesra, yang tedinya dia kira benar-benar, tadinya mengira bahwa Yan Cu telah melupakan Keng Hong dan memulai lembaran baru dalam kehidupannya. Siapa kira, semua itu sandiwara belaka dan diam-diam isterinya masih mencinta Keng Hong, bahkan melanjutkan hubungan jinah mereka, mengadakan pertemuan gelap.

Membayangkan ini semua, hati Cong San makin panas dan berkuranglah rasa kasihan di hatinya terhadap Yan Cu. Biarlah Cui Im mempergunakan isterinya sebagai umpan untuk memancing datang Cia Keng Hong, pikirnya. Asalkan Yan Cu tidak dihina, tidak disiksa, karena kalau hal itu terjadi, tentu dia akan membelanya dengan taruhan nyawa. Betapa pun jahatnya Yan Cu dalam pertimbangannya, tidaklah sejahat dan sekeji Cui Im si iblis betina!

Yan Cu ditahan dalam sebuah kamar yang cukup indah dan bersih. Kedua tangan dan kakinya terbelenggu, akan tetapi memakai rantai panjang sehingga wanita ini masih dapat bergerak leluasa, dapat makan dan tidur, akan tetapi tentu saja tidak leluasa bergerak untuk berkelahi! Jendela dan pintunya dari besi, memakai ruji besi yang kuat dan di luar jendela serta pintu terjaga ketat oleh pasukan pengawal.

Cui Im menepati janjinya. Yan Cu diperlakukan dengan baik, tidak pernah diganggu dan mendapatkan makan yang cukup dan mewah. Hal ini membuat Cong San berterima kasih dan lega hatinya, menambah kepercayaannya bahwa tak terkandung niat buruk di dalam hati Cui Im terhadap Yan Cu, namun semata-mata iblis betina itu mengajaknya bersekutu untuk menjatuhkan Keng Hong yang mereka benci bersama.

Karena perlakuan Cui Im terhadap Yan Cu inilah yang membuat Cong San penurut dan dia menyetujui siasat perangkap yang dipasang oleh Cui Im apa bila Keng Hong datang ke tempat itu, terpancing oleh umpan berita tertawannya Yan Cu. Memang Cui Im sengaja sudah menyebar orang-orangnya untuk mengabarkan bahwa Yan Cu tertawan olehnya di Sun-ke-bun!

Berita ini yang disebar itu sampai juga ke telinga Keng Hong dan Biauw Eng yang tengah melakukan perjalanan, membawa puteri mereka. Kedua orang suami isteri pendekar sakti ini tak merasa heran. Mereka memang telah menaruh dugaan bahwa Cui Im-lah orangnya yang bersembunyi di belakang semua kejadian yang menghancurkan kebahagiaan rumah tangga Cong San dan Yan Cu.

Mereka sudah dapat mencari jejak musuh besar itu dan mendengar bahwa iblis betina itu tinggal di Sun-ke-bun bersama Mo-kiam Siauw-ong dan Go-bi Thai-houw. Maka, begitu mendengar akan tertangkapnya Yan Cu di tempat itu, mereka tidak merasa heran dan bersicepat menuju ke kota itu. Mereka berhenti di luar kota, menanti sampai malam tiba.

Sambil mengerutkan alisnya dan menidurkan puterinya dalam pondongan, Biauw Eng pun berkata,

"Suamiku, kita harus berlaku hati-hati sekali. Aku menduga bahwa semua ini dilakukan oleh Cui Im untuk memancingmu. Semua perbuatannya yang ditujukan kepada Cong San dan Yan Cu kurasa hanyalah untuk mencelakakan kita."

"Mengapa kau menduga begitu, isteriku?"

"Cui Im menaruh kebencian besar terhadap kita, terutama kepadamu. Ada pun Cong San dan Yan Cu sesungguhnya hanya terbawa-bawa saja karena mereka adalah sekutu kita dahulu. Mereka telah gagal menyerang kita ketika perayaan pernikahan kita, dan agaknya untuk mengganggu kita di Cing-ling-san, mereka tidak berani. Maka Cui Im dan sekutunya lalu menggunakan siasat, menghancurkan Cong San dan Yan Cu untuk memancing kita datang."

"Aku tidak takut!" Keng Hong berkata penuh kegeraman mengingat akan kekejaman Cui Im yang sudah berkali-kali mencelakakannya dan masih belum bertobat meski pun telah diampuninya.

"Aku pun tidak takut, akan tetapi kalau malam ini kita menyerbu ke sana, dengan Giok Keng di gendonganku, hemmm... kurang leluasa juga..."

"Ssttt... ada orang!" setelah membisikkan peringatan ini tubuh Keng Hong telah mencelat ke belakang dan dia melayang turun di depan seorang laki-laki yang berdiri di balik pohon. Hanya beberapa detik saja selisihnya, Biauw Eng juga telah berada di samping suaminya.

"Hemmmm, kau lagi!" Biauw Eng membentak penuh kemengkalan hati pada saat melihat bahwa yang berada di situ bukan lain adalah Yap Cong San. "Apakah kau masih hendak menantang?"

"Sabarlah, lihat, dia terluka." Keng Hong mendekati Cong San yang berdiri menunduk dan tampak darah pada baju orang muda itu di bagian pundak kiri. "Cong San, apakah yang terjadi? Engkau terluka...!"

Mendadak Cong San menjatuhkan diri berlutut. "Lukaku tidak berarti..., akan tetapi harap kalian sudi menolong Yan Cu. Dia tertawan di gedung kepala daerah, aku telah berusaha menolongnya akan tetapi gagal, malah terluka. Kalau tidak ditolong, celakalah dia malam ini..."

"Hemmm, siapa saja di sana?" tanya Keng Hong.

"Penjagaan amat kuat. Bhe Cui Im, Go-bi Thai-houw, Mo-kiam Siauw-ong, serta beberapa orang kepala bajak yang cukup lihai dan anak buah mereka yang banyak. Hanya kalian berdualah yang akan dapat menolong Yan Cu..., tolonglah... sekarang juga..."

"Hemmmm, engkau masih ingat kepada isterimu? Setelah kau sakiti hatinya?" Biauw Eng mengejek.

"Tolonglah dia dulu, soal itu nanti kita bicarakan kelak berempat..." Cong San berkata lagi.

"Isteriku, dia benar. Yang penting menolong Yan Cu...," kata Keng Hong. "Marilah!"

"Aku... aku terluka, walau pun tidak berbahaya akan tetapi aku lemah tidak dapat membantu... kulihat kalian membawa anak, berbahaya kalau dibawa menyerbu. Jika kalian masih ada kepercayaan kepadaku, tinggalkan anak kalian bersamaku, aku dapat menjaganya. Lebih aman dari pada dibawa menyerbu ke tempat berbahaya itu..."

"Tidak!" Biauw Eng membentak. "Lebih baik kulindungi sendiri!"

"Eng-moi. Dia benar. Lebih baik kita titipkan kepada Cong San sementara kita menyerbu dan menolong Yan Cu."

"Aihhh! kau masih menaruh kepercayaan kepada orang ini yang hendak membunuhmu?"

"Jangan bicara begitu, Eng-moi. Kita tahu dan yakin, Cong San bukan orang jahat. Dia tentu akan melindungi Giok Keng dengan nyawanya. Serahkanlah, dari pada anak kita terancam bahaya hebat apa bila kita bawa menyerbu ke sana. Tentu engkau masih ingat akan kelihaian Go-bi Thai-houw, dan Cui Im tak boleh dipandang ringan pula."

Dengan alis berkerut Biauw Eng lalu menyerahkan Giok Keng kepada Cong San sambil berkata, "Nah, terimalah dan jaga baik-baik. Awas, Yap Cong San, sedikit saja kau berani mengganggu anakku, aku Sie Biauw Eng akan mencarimu biar sampai ke neraka sekali pun!"

"Eng-moi, jangan menuruti perasaan marah. Hayo kita cepat menolong Yan Cu. Cong San, kau jaga anak kami dan tunggu di sini!" Keng Hong lalu melompat dan diikuti oleh isterinya.

Sejenak Cong San bengong terlongong memandang anak perempuan mungil yang tidur pulas di gendongnya itu. Dia menarik napas panjang dan mencium dahi anak itu. "Anak baik, kasihan engkau... mempunyai ayah macam itu. Aku bersumpah akan melindungimu dan tidak akan membiarkan siapa pun mengganggumu. Aku hanya benci kepada ayahmu dan maafkanlah, anak baik, aku terpaksa melakukan ini demi dendamku pada ayahmu!"

Sesudah menengok ke kanan kiri, Cong San meloncat dan lenyap ke dalam kegelapan yang menyelubungi bumi.

********************
Keng Hong dan isterinya menggunakan ilmu kepandaian yang tinggi, melompati tembok kota dan langsung pergi mencari gedung besar tempat tinggal kepala daerah. Sambil berloncatan cepat seperti dua ekor burung raksasa, Biauw Eng mencela suaminya.

"Aku khawatir sekali. Orang yang sudah gila cemburu seperti dia itu, sukar untuk dapat dipercaya sepenuhnya dan kita telah menyerahkan anak kita ke tangannya!"

"Ahhh, tidak melihatkah engkau betapa dia masih mencintai Yan Cu dan sudah berusaha menolong isterinya sampai terluka. Tidak aneh, mana dia mampu menandingi Cui Im dan kaki tangannya? Lagi pula, andai kata dia gila oleh cemburu, tentu kepadakulah ditujukan dendam dan kebenciannya. Tidak mungkin dia menggangu Giok Keng."

Meski pun hatinya masih gelisah, akan tetapi kecurigaan Biauw Eng berkurang karena dia dapat membenarkan pendapat suaminya itu. Dengan hati-hati mereka lantas meloncat ke atas genteng rumah-rumah penduduk, melanjukan penyelidikan mereka ke gedung kepala daerah melalui jalan atas.

Hati suami isteri perkasa ini makin curiga karena ternyata dengan mudah saja mereka tiba di atas gedung kepala daerah tanpa menghadapi perlawanan atau pun serangan penjaga. Keadaan sunyi saja seolah-olah para pengawal ditiadakan malam itu!

Ketika mereka sampai di atas sebuah ruangan belakang yang luas dan mengintai, tahulah mereka bahwa Cui Im memang sudah siap menanti kedatangan mereka! Mereka melihat Cui Im, Mo-kiam Siauw-ong dan Go-bi Thai-houw bersama lima orang lelaki tinggi besar yang agaknya ialah teman-teman Mo-kiam Siauw-ong dari kalangan bajak, sedang duduk di ruangan luas itu menghadapi meja hidangan, makan minum sambil bercakap-cakap.

Tiba-tiba percakapan dihentikan, dan terdengarlah suara Cui Im melengking nyaring,

"Keng Hong dan Biauw Eng, kalian sudah datang! Hi-hi-hik-hik, jangan harap kalian akan dapat membebaskan Yan Cu sebelum kalian mengalahkan kami!"

"Cui Im manusia jahat, sekali ini aku tidak akan mengingat hubungan antara kita lagi!" Jawaban Keng Hong ini disusul melayangnya dua tubuh yang ringan dan gesit dari atas, meluncur memasuki ruangan yang luas itu.

"Wir-wir-wirrr…!"

Dari keempat penjuru ruangan itu menyambar anak panah beracun ke arah tubuh Keng Hong dan Biauw Eng, tiga puluh dua batang banyaknya, delapan batang dari tiap penjuru yang dilepas oleh empat orang, masing-masing sekaligus dua batang.

Keng Hong yang lebih dulu turun, menggerakkan kedua tangannya sedangkan Biauw Eng yang turun beberapa detik berikutnya sudah menggerakkan sabuk sutera putihnya. Dalam beberapa detik saja, Keng Hong telah berhasil mencengkeram enam belas batang anak panah, sedangkan ujung sabuk sutera isterinya juga telah membelit enam belas batang. Keng Hong berseru nyaring, lalu empat kali tangannya bergerak dengan tubuh berputar ke empat penjuru.

Terdengar jerit-jerit mengerikan. Dan dari atas tiang melintang di empat penjuru ruangan itu, jatuhlah enam belas orang pemanah yang dadanya sudah termakan oleh anak panah mereka sendiri. Tubuh mereka berkelojotan sebentar, kemudian tak bergerak lagi.

Biauw Eng memutar-mutar sabuk suteranya di atas kepala sambil tersenyum mengejek memandang ke arah Cui Im yang mengangkat kedua alisnya dengan marah, kemudian wanita muda yang jelita ini berseru, "Bhe Cui Im, terimalah sambutanmu sendiri!"

Sabuk sutera itu mengeluarkan suara bersiut, lantas enam belas batang anak panah itu meluncur seperti kilat menyambar ke arah meja di mana duduk Cui Im, Go-bi Thai-houw, Mo-kiam Siauw-ong dan lima orang pembantunya yang terkejut dan cepat melempar diri ke belakang, terjungkal bersama kursi mereka dalam pengelakan yang tergesa-gesa dan kaget. Akan tetapi Cui Im mengangkat sumpitnya menangkisi anak-anak panah itu, ada pun Go-bi Thai-houw menggunakan mulutnya yang peot meniupi anak-anak panah itu sehingga menyeleweng dan tidak mengenai tubuhnya!

"Hi-hi-hi-hik, Biauw Eng, engkau masih suka membela suamimu yang telah mengkhianati pernikahanmu? Suamimu datang untuk menolong kekasihnya, apakah engkau tidak tahu? Suamimu, laki-laki mata keranjang gila wanita ini, mencinta Yan Cu, apa kau berpura-pura tidak tahu?"

"Cui Im, tidak perlu banyak cakap lagi. Kami tahu siapa engkau dan dapat menduga apa yang telah kau lakukan terhadap Cong San dan Yan Cu. Kami datang untuk membasmi kau dan kaki tanganmu, dan sekali ini kami tidak mau bekerja kepalang tanggung!" jawab Biauw Eng.

"Cui Im, sekali ini aku tidak akan sudi mengampunimu lagi!" kata pula Keng Hong.

"Eh, ehh, ehhh, laki-laki tampan, apa kau lupa betapa kita bersama menikmati malam itu? Apa kau lupa bahwa akulah gurumu dalam soal asmara? Hemmmm…, jantungku masih berdebar dan semua bulu di tubuhku masih meremang karena birahi kalau kuingat malam kita dahulu itu. Engkau pun cinta kepadaku, cinta pada tubuhku, mana engkau akan tega membunuhku?"

"Cui Im, perempuan tidak tahu malu! Majulah menerima kematian!" Keng Hong berteriak marah sekali, mukanya menjadi merah karena dia diingatkan akan pengalamannya yang amat memalukan dahulu.

Cui Im memberi isyarat kepada Mo-kiam Siauw-ong. Mantu kepala daerah ini kemudian mengangguk kepada lima orang pembantunya yang cepat-cepat meloncat bangun sambil mengeluarkan tanda dengan suitan.

Dari kanan dan kiri muncullah dua puluh orang dari empat penjuru yang segera bergerak dengan teratur di bawah pimpinan lima orang itu, mengurung Keng Hong dan Biauw Eng dengan membentuk satu lingkaran luas dalam jarak enam meter dari kedua orang suami isteri sakti itu.

Keng Hong dan Biauw Eng menggerakkan kaki, berdiri mengadu punggung dan bersikap tenang, bahkan Biauw Eng yang sudah memegang sabuk sutera putih di tangannya itu memandang kepada Cui Im sambil tersenyum mengejek, seakan-akan mentertawakan bekas suci-nya itu yang menggunakan orang-orang yang dipandangnya rendah dan tiada gunanya itu. Keng Hong juga bersikap tenang, masih belum mencabut pedang Siang-bhok-kiam karena kalau hanya menghadapi pengurungan dua puluh lima orang itu saja, apa lagi dia dibantu isterinya, kiranya tidak perlu mengeluarkan pedang pusakanya itu.

Lima orang itu memberi isyarat dengan tangan kepada dua puluh orang anak-anak buah mereka yang berjalan mengitari Keng Hong dan isterinya. Tiba-tiba tampak sinar hitam menggelapkan cahaya lampu yang menerangi ruangan itu dan ternyata dua puluh lima orang itu kini semua telah mencabut sebatang cambuk hitam yang panjangnya tak kurang dari lima meter!

Keng Hong dan Biauw Eng segera tahu bahwa para pengeroyok itu hendak menyerang mereka dari jarak jauh, mengandalkan senjata mereka yang panjang. Diam-diam suami isteri ini tertawa. Betapa tololnya Cui Im! Biar pun kelihatannya cerdik, mengeroyok dari jarak jauh, dua puluh lima orang ini akan dapat berbuat apakah terhadap mereka?

Dengan sikap tenang namun pandang mata mentertawakan, Keng Hong dan Biauw Eng tetap berdiri tanpa bergerak, bahkan sekarang Biauw Eng dengan muka membayangkan kesebalan sudah menyelipkan sabuk suteranya pada pinggangnya, seolah-olah ia hendak menunjukkan kepada Cui Im bahwa ia tidak perlu lagi menggunakan senjata menghadapi ancaman dua puluh lima orang pengeroyok itu.

Serangan itu dilakukan tiba-tiba seperti telah disangka oleh suami isteri ini. Didahului oleh ledakan-ledakan laksana suara halilintar sambung-menyambung, lalu tampak sinar hitam meluncur dari sekeliling tubuh mereka, datanglah serangan ujung cambuk bertubi-tubi ke arah tubuh mereka.

Sikap Keng Hong dan Biauw Eng masih tenang, namun sepasang tangan mereka sudah bergerak menyambut dengan kecepatan yang sulit diikuti pandangan mata. Tiba-tiba saja tampak cahaya putih bergulung di depan Biauw Eng, ada pun Keng Hong menggerakkan kedua tangan seperti seorang kanak-kanak menangkapi kupu-kupu dan... sekian banyak cambuk itu sebagian tergulung oleh sabuk sutera Biauw Eng, dan sebagian besar lagi ujungnya sudah tergenggam di kedua tangan Keng Hong.

Hampir berbareng suami isteri ini lalu membuat gerakan, gerakan yang berbeda, bahkan berlawanan karena jika Biauw Eng menarik sabuk suteranya dengan pengerahan tenaga, tetapi sebaliknya Keng Hong justru melepaskan ujung-ujung sabuk yang menegang akibat ditarik oleh pihak pengeroyok. Akan tetapi akibatnya hebat sekali.

Mereka yang cambuknya tertarik oleh Biauw Eng, ada yang sampai terguling-guling dan terseret, ada yang putus cambuknya dan ada yang terpaksa melepaskan gagang cambuk karena kulit tangan mereka terkupas! Sedangkan mereka yang ujung cambuknya dilepas oleh Keng Hong, ada yang mengelak dari sambaran cambuk sendiri hingga jatuh bangun, akan tetapi ada pula yang terpukul cambuk sendiri pada mukanya sehingga kehilangan bukit hidung atau daun telinga. Terdengarlah teriakan-teriakan kesakitan dan tentu saja pengepungan dua puluh lima orang itu menjadi kacau-balau.

"Bhe Cui Im, majulah sendiri! Apa gunanya memaksa tikus-tikus tiada guna ini?" Biauw Eng berseru mengejek.

Akan tetapi, lima orang pembantu Mo-kiam Siauw-ong itu menjadi marah sekali dan tentu saja malu bahwa mereka dan anak buah mereka yang diandalkan tuan rumah ternyata hanya dalam segebrakan saja telah kocar-kacir. Mereka meneriakkan aba-aba dan para anak buah mereka telah bersiap lagi, bahkan yang kehilangan cambuk sudah mengganti cambuknya.

Lima orang itu memutar cambuk mereka sehingga terdengar suara bersuitan. Kemudian cambuk mereka menyambar, tidak ke arah Keng Hong dan Biauw Eng yang memandang heran dan geli, melainkan cambuk-cambuk itu menyambar ke arah api lilin di sudut-sudut ruangan dan... ujung cambuk itu terbakar dengan cepat dan mudah. Api cepat menjalar dari ujung cambuk sampai hampir ke gagang, tanda bahwa cambuk mereka itu memang mengandung bahan bakar yang amat peka. Kini lima orang itu memutar-mutar ‘cambuk api’ mereka dan anak buah mereka pun memutar cambuk ke arah cambuk api pemimpin-pemimpin mereka dan terbakarlah semua cambuk yang kini menjadi dua puluh lima buah banyaknya!

Keng Hong dan Biauw Eng terkejut sekali ketika dua puluh lima batang api itu menerjang mereka dengan cahaya api yang menyilaukan mata. Ini hebat, pikir mereka. Mereka tidak takut akan kekuatan cambuk yang menyerang, akan tetapi berhadapan dengan api yang setidaknya akan dapat membakar pakaian dan rambut, amatlah berbahaya!

Agaknya Cui Im dapat melihat kekagetan mereka, maka terdengarlah suara ketawanya yang melengking di antara sinar api yang kini bagaikan membakar seluruh ruangan itu, mendatangkan bayangan-bayangan hitam merah seperti pemandangan di neraka!

Cambuk-cambuk api itu datang dan Biauw Eng cepat menggunakan ginkang-nya, melesat dan bergerak menyelinap di antara cambuk-cambuk api yang datang menyambar dirinya. Gerakannya ringan dan cepat sekali dan diam-diam nyonya muda ini bersyukur bahwa dia mentaati perintah suaminya, menyerahkan Giok Keng kepada Cong San. Andai kata tadi harus menghadapi serangan cambuk-cambuk api ini sambil menggendong anaknya, ihhh, dia bergidik ngeri karena maklum bahwa anaknya terancam hebat oleh lidah-lidah api!

Keng Hong menjadi amat marah. Dia harus memuji kehebatan barisan cambuk api ini dan kelihaian Cui Im mengatur siasat. Menghadapi api, tentu saja pedang Siang-bhok-kaim tidak dapat dia pergunakan. Pedangnya terbuat dari pada kayu dan tentu saja kayu takut akan api. Kalau pedangnya terbakar, hal itu merupakan mala petaka hebat. Juga tentu saja isterinya tidak dapat mempergunakan sabuk suteranya karena sabuk itu pun tentu akan terbakar kalau bertemu dengan cambuk yang bernyala-nyala.

Para anak buah Cui Im yang menonton menjadi terbelalak, kagum dan tegang. Cambuk-cambuk api yang bergulung-gulung itu amat indah di waktu malam, akan tetapi yang lebih mengagumkan lagi adalah berkelebatnya bayangan Biauw Eng yang menyelinap ke sana sini melalui gulungan-gulungan sinar menyala itu.

Ada pun Keng Hong masih berdiri tegak, tidak mempergunakan ginkang seperti isterinya, tidak mengelakkan melainkan mengunakan kedua tangannya mendorong ke depan dan kanan kiri, namun angin pukulan kedua tangannya cukup kuat untuk membuat cambuk-cambuk api yang datang menyambar itu terpental kembali.

"Eng-moi, kita robohkan mereka dengan totokan-totokan!" Tiba-tiba Keng Hong berseru.

Sekarang dia pun berkelebat meniru isterinya, menggunakan langkah kaki yang aneh dan tubuhnya menyelinap di antara gulungan sinar, kedua tangannya dengan jari-jari terbuka menerjang ke kanan kiri. Biauw Eng juga masih berkelebat, akan tetapi kini tampak sinar putih sabuk suteranya meluncur ke kanan kiri seperti seekor ular hidup yang menyelinap di antara keroyokan sinar api bergulung-gulung.

Terdengar pekik susul-menyusul dibarengi robohnya beberapa orang. Dengan tendangan kaki, dua suami isteri yang sakti ini melempar-lemparkan tubuh para pengeroyok mereka sehingga bertumpuk-tumpuk dan dengan dorongan pukulan yang mengandung sinkang amat kuatnya, Keng Hong membuat cambuk api itu terbang membalik lantas menimpa tumpukan tubuh yang telah tertotok dan tak mampu bergerak.

Terjadilah hal yang amat mengerikan. Dua puluh lima orang itu, termasuk pula pimpinan barisan, malang melintang bertumpuk-tumpuk dan dibakar hidup-hidup oleh cambuk api mereka sendiri. Pakaian dan rambut mereka mulai terbakar sehingga tercium bau hangus dan sangit.

Cui Im mengeluarkan pekik kemarahan. Sambil memerintahkan anak-anak buahnya untuk menyiram api dengan mempergunakan air dan menolong mereka yang sedang terbakar hidup-hidup, dia bersama Go-bi Thai-houw dan Mo-kiam Siauw-ong sudah menerjang maju dengan senjata di tangan.

Mula-mula Cui Im yang licik itu menyerang bekas sumoi-nya, Biauw Eng. Dia mengira bahwa tingkat kepandaiannya yang jauh lebih tinggi itu akan dapat merobohkan Biauw Eng dalam beberapa gebrakan saja. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia melihat gerakan Biauw Eng jauh lebih hebat dari pada dahulu, maka tahulah dia bahwa Biauw Eng telah menerima latihan dari Keng Hong sehingga bukan saja langkah kakinya amat aneh dan gerakannya amat gesit, juga pada waktu sabuk sutera itu menangkis pedang merahnya, ia merasa betapa tenaga bekas sumoi-nya itu kuat sekali. Ujung sabuk melibat ujung pedang merah, terjadi saling betot dan terdengar Keng Hong berkata,

"Eng-moi, lepaskan!"

Untung Biauw Eng cepat mengendurkan sabuk dan melepaskan libatan, kalau tidak, tentu sabuknya akan putus. Keng Hong yang tadinya diserang Go-bi Thai-houw, kini mencelat ke dekat Cui Im dan mendesak wanita itu dengan sinar pedang Siang-bhok-kiam hingga wanita itu terpaksa melompat mundur saking hebatnya serangan ini.
Selanjutnya,

Pedang Kayu Harum Jilid 47

Pedang Kayu Harum Jilid 47
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Tidak cocoklah isi surat dengan sikap suaminya. Kalau suaminya menulis seperti itu dan kini suratnya terbaca olehnya, tidak mungkin suaminya akan bersikap seperti itu, penuh rasa penasaran, kemarahan, kekagetan dan juga keheranan. Kalau benar-benar menulis seperti itu tentu berusaha agar jangan terbaca olehnya.

"Iblis terkutuk! Tulisanku dipalsu orang. Ini surat palsu, Sumoi!"

"Tulisannya persis dengan tulisanmu. Aku sendiri pun akan berani bersumpah bahwa itu tulisanmu, Hong-ko," Biauw Eng berkata.

"Sumoi, telah terjadi hal yang hebat. Aku mengerti sekarang... hemmm..." Kini Keng Hong membuka surat ke dua, tulisan tangan Yan Cu juga dia baca bersama Biauw Eng. Akan tetapi karena mereka kini sudah merasa yakin bahwa ada pemalsuan surat, mereka tidak begitu terkejut lagi membaca tulisan tangan Yan Cu yang membuat Cong San menjadi seperti gila itu.

Suheng, kekasihku.

Suheng, harap temui aku sore ini di tempat biasa. Aku tak tahan lagi. Dia agaknya mulai curiga. Suheng, tolonglah aku, mati hidup aku ikut bersamamu, Suheng, kekasihku.


"Suheng, jadi engkau tidak menulis suratmu kepadaku itu? Dan... dan surat dariku ini? Aku tidak pernah menulisnya, akan tetapi huruf-hurufnya... serupa benar dengan gaya tulisanku..."

"Tenanglah, Yan Cu. Dan ceritakan sekarang, apakah engkau pernah menerima surat kami beberapa bulan yang lalu, yang diantar oleh seorang pesuruh kami?"

Yan Cu menggeleng kepala. "Tidak pernah ada utusan kalian datang membawa surat."

Biauw Eng memandang pada suaminya dan alisnya berkerut. Hemmm, ini cocok dengan keanehan sikap A-liok yang aneh, yang tidak kembali dan hanya berpesan tidak pulang ke kampung.

"Surat kita agaknya terjatuh ke tangan orang jahat dan tulisanmu dipelajari untuk mereka pakai membuat surat palsu ini. Tak salah lagi. Suratmu itu dipalsu, kemudian surat palsu ini diserahkan kepada Cong San di luar tahu Yan Cu."

"Akan tetapi A-liok...? Dia amat boleh dipercaya." Keng Hong membantah, sungguh pun dia percaya akan kecerdikan isterinya.

Biauw Eng menggelengkan kepala. "Aku mempunyai dugaan bahwa A-liok telah terbunuh orang, surat kita dipalsukan. Yang menyampaikan berita bahwa dia tidak pulang ke sini itu tentu bukanlah A-liok, melainkan kaki tangan penjahat. Aku dahulu sudah curiga bahwa tak mungkin A-liok berani berbuat seperti itu, akan tetapi karena tidak ada terjadi sesuatu, aku pun tidak peduli. Sekarang aku baru tahu bahwa kecurigaanku terhadap peristiwa itu benar."

Keng Hong mengepal tinju dan menghadapi Yan Cu yang mendengarkan dengan penuh perhatian. "Sumoi, sekarang engkau yakin bahwa bukan aku yang menulis surat beracun ini kepadamu. Akan tetapi, tulisanmu ini..., kau bilang serupa benar dengan tulisanmu akan tetapi bukan tulisanmu?"

"Mengapa serupa sekali, akan tetapi engkau mengerti bahwa tidak mungkin aku menulis surat seperti itu, Suheng."

Keng Hong mengangguk-angguk. "Aku mengerti adikku. Engkau bukanlah seorang wanita seperti ini dan engkau amat mencinta suamimu. Akan tetapi bagaimana tulisanmu sampai dapat dipalsukan orang lain?"

Yan Cu menggigit bibir dan mengepal tinjunya. "Tadinya tak terpikir olehku, sekarang aku ingat. Orang tua yang minta dituliskan resep baru itu! Hemmmm... dari resep obat yang kutulis, seorang ahli tentu saja akan dapat menirukannya! Akan tetapi kenapa...? Kenapa ada pemalsuan-pemalsuan ini? Kenapa sikap suamiku selalu dingin dan murung? Kenapa ada yang hendak menghancurkan rumah tanggaku? Siapa?"

"Siapa lagi kalau bukan Cui Im!" Keng Hong berkata marah. "Aku akan mencarinya. Dia harus mempertanggung jawabkan ini. yang kukhawatirkan hanyalah Cong San. Dia pergi dari sini seperti orang yang sudah berubah jiwanya..."

"Suheng...! Dia... dia ke sini...? Dan bersama Kun Liong...?"

"Kun Liong? Siapa dia?"

"Anak kami! Dia pergi membawa anak kami..., maka aku mengejar ke sini..."

Keng Hong menggeleng kepala dan memandang sumoi-nya penuh rasa iba. "Dia datang seorang diri dan hendak membunuhku."

"Karena suheng-mu mengalah dan terancam, terpaksa aku turun tangan menandinginya. Dia lari meninggalkan ancaman maut kepada Suheng-mu. Jadi engkau telah mempunyai seorang putera? Di manakah dia? Dibawa ke mana?"

Akan tetapi wajah Yan Cu sudah menjadi pucat sekali mendengar betapa suaminya telah datang hendak membunuh Keng Hong dan tidak tampak anaknya bersama suaminya itu.

"Su... sudah lamakah dia pergi?"

"Baru saja, belum ada dua jam, dia berlari ke arah sana...," Biauw Eng menjawab dan menunjuk ke utara.

Tanpa menjawab dan tanpa pamit Yan Cu meloncat dan berkelebat cepat lari ke utara hendak menyusul suaminya.

"Sumoi...!" Keng Hong hendak mengejar, akan tetapi Biauw Eng memegang lengannya menahan.

"Suamiku, tenanglah. Dalam keadaan seperti ini kita harus bersikap tenang dan tidak boleh semberono. Kini kita sudah mengerti mengapa Cong San menjadi seperti gila dan bersikeras hendak membunuhmu. Kiranya dia memang sudah gila oleh cemburu. Tidak mengherankan jika dia membaca dua surat ini dan mungkin sekali dia juga menyaksikan hal-hal yang menambah besar cemburunya. Bila engkau membantu Yan Cu mencarinya, kemudian bertemu dengannya, bukankah kedatanganmu berdua Yan Cu itu hanya akan menjadi minyak yang disiramkan kepada api yang berkobar? Tidak, hal itu bahkan akan menambah ruwet persoalan."

"Habis, bagaimana baiknya? Mungkinkah kita melihat kesengsaraan mereka dan berdiam diri saja melihat rumah tangga mereka hancur berantakan?"

"Tentu saja tidak, suamiku. Kita bertiga harus menyusul mereka dan kita bereskan urusan itu, kita sadarkan Cong San yang gila oleh cemburu. Terutama sekali, kita mencari biang keladinya yang kurasa bukan lain tentulah Cui Im."

"Bertiga?"

"Tentu saja, bersama Giok Keng."

"Ihhh! Perjalanan ini penuh bahaya, apa lagi kalau diingat bahwa besar kemungkinan kita akan berhadapan dengan iblis betina itu. Mengajak Giok Keng berarti membahayakan keselamatan anak kita."

"Hemmmm, kalau kita tinggalkan di sini tanpa kita jaga, apakah hal itu malah tidak lebih berbahaya lagi? Kalau kita mampu menjaga diri sendiri, masa tidak mampu melindungi anak kita? Sebaliknya kalau kita berdua binasa, siapa pula yang akan dapat menjaga anak kita? Kita pergi bertiga, hari ini juga, Hong-ko."

Mau tak mau Keng Hong terpaksa harus membenarkan ucapan isterinya itu. Lagi pula, menghadapi urusan Cong San benar-benar amat ruwet dan rumit, dia seorang diri belum tentu mampu memecahkannya. Dia harus mengandalkan kecerdikan isterinya untuk mengatasi perkara itu, maka dia tidak banyak membantah dan berangkatlah suami isteri pendekar sakti itu bersama puteri mereka setelah menyerahkan pengurusan rumah mereka kepada para petani tetangga mereka.

********************

Tubuh Cong San terhuyung-huyung, akhirnya roboh di bawah pohon besar dalam hutan. Terdengar dia menangis mengguguk. Selama hidup baru kali ini pendekar itu menangis, hati dan pikirannya kacau balau, kehilangan pegangan. Ia berduka kehilangan cinta kasih isterinya, dia marah karena merasa tertipu melihat kenyataan bahwa sejak dulu isterinya adalah kekasih Keng Hong.

Dia kini yakin bahwa isterinya menikah dengannya bukan sebagai seorang perawan lagi, bahkan dia meragukan apakah Kun Liong itu anaknya! Lebih hebat lagi, dia sudah mau melupakan semua itu, melupakan semua peristiwa yang sudah-sudah, menuruti nasehat Thian Kek Hwesio, namun semua itu ternyata tidak ada gunanya karena sampai sekarang pun isterinya masih melanjutkan hubungan jinah dengan Keng Hong!

Dunia serasa hancur lebur bagi Cong San. Yang lebih menyakitkan hati, dia tidak mampu membalas, tidak mampu membunuh Keng Hong, bahkan dia menanam permusuhan pula dengan Biauw Eng! Dia tidak mau melawan Biauw Eng, bukan hanya karena wanita itu pun memiliki ilmu kesaktian yang lebih tinggi dari padanya, namun terutama sekali karena dia merasa kasihan kepada Biauw Eng!

Di luar kesadarannya, Biauw Eng juga menjadi korban watak kotor suaminya, dan wanita itu sama sekali tidak bersalah. Betapa mungkin dia melawan mati-matian terhadap Biauw Eng? Tidak, dia tak akan mengangkat senjata terhadap Biauw Eng, akan tetapi, dia harus membunuh Keng Hong! Membunuh manusia busuk itu atau mati dalam usahanya ini!

"Aihh..." Dia mengeluh, duduk bersandar pohon, lalu mengusap air matanya. "bagaimana aku dapat membunuh iblis itu? Ilmunya luar biasa tinggi, dan di sampingnya masih ada Biauw Eng yang membelanya. Aaaaaahhh..., mengapa Thian menyiksaku seperti ini? Di mana ada keadilan?"

Kalau saja pohon raksasa tua di mana Cong San bersandar itu dapat bergerak bagaikan manusia, tentu akan menggelengkan kepala mendengar keluhan Cong San ini. Keluhan seorang manusia yang lajim terdengar di mana-mana, di seluruh pelosok dunia ini.

Manusia selalu mengeluh kalau tertimpa sesuatu yang tidak berkenan di hatinya, kalau terjadi sesuatu yang berlawanan dengan kehendak hatinya, dengan bayangan di dalam pikirannya. Lalu dia merasa menderita, merasa sengsara dan berduka. Lalu timbul rasa penasaran. Lebih celaka lagi, dia lalu mempersekutu Thian di dalam keadaan mabuk oleh iba diri.

Cong San lupa akan pelajaran-pelajaran kebatinan yang telah diterimanya semenjak kecil. Oleh rasa iba diri yang menimbulkan pertentangan mencipta kemarahan dan kebenciaan, dia lupa bahwa dia telah melakukan hal yang amat kotor. Dia ingin menarik Tuhan agar berpihak kepadanya untuk dapat membalas Keng Hong! Ia baru akan merasa puas, baru akan menganggap Tuhan Maha Adil kalau Tuhan suka membantunya membunuh Keng Hong!

Betapa picik pendapatnya yang melahirkan perbuatan setelah dikuasai oleh rasa sayang diri dan iba diri. Perasaan ke-akuan ini membuat setiap orang ingin agar segala sesuatu di alam mayapada ini, dari yang tampak sampai yang tidak tampak, dari segala setan iblis, dewa malaikat sampai kepada Tuhan, semua bergerak demi kepentingan dan keuntungan si Aku.

Berbahagialah manusia yang dapat mengenal diri pribadi, bisa menujukan pandang mata dan mendengarkan telinga ke dalam, bukan selalu keluar. Dapat mengenal isi pikiran dan melihat betapa pikiran selalu membayangkan hal-hal lampau yang penuh kenikmatan dan kesenangan sehingga timbul keinginan-keinginan, dapat mendengarkan suara hati yang terdorong oleh nafsu-nafsu yang timbul dari kenangan dan bayangan, dapat berdiri di atas itu semua tanpa penentangan, tanpa pengekangan paksa, namun dengan penguasaan sehingga semua itu akan mencair dan musnah dengan sendirinya, tanpa paksaan, tanpa pertentangan, bergulung menjadi satu ke dalam cahaya Cinta Kasih Murni.


"Yap Cong San, seorang pendekar gagah perkasa seperti engkau, kenapa bersemangat lembek dan lemah?"

Cong San melompat bangun, membalik dan menghadapi Bhe Cui Im dengan mata berapi penuh kebencian serta amarah. Wanita yang amat cantik jelita, yang berpakaian mewah dan indah, pakaian yang ketat membungkus tubuh yang mempunyai lekuk-lengkung yang menggairahkan, yang menghamburkan bau harum dari seluruh rambut dan pakaiannya, tersenyum-senyum manis memandang padanya. Akan tetapi, bagi Cong San, kecantikan itu menyembunyikan bayangan iblis yang mengerikan.

"Iblis betina!" ia membentak.
Cepat dia telah mencabut sepasang Im-yang-pit di tangannya, langsung menubruk dan menyerang ke depan, mengirim totokan-totokan maut secara bertubi-tubi. Namun sambil tersenyum simpul dan dengan gerakan yang sangat indah, Cui Im dapat menghindarkan diri dengan amat mudah sehingga semua totokan itu mengenai angin saja.

"Cong San, alangkah bodohnya engkau. Apa bila engkau melawan aku, engkau tak akan menang dan betapa mudah bagiku membunuhmu. Akan tetapi aku takkan membunuhmu dan engkau pun tidak boleh menyerangku. Aku butuh engkau, dan engkau pun butuh aku, Cong San."

Dalam keadaan seperti itu, Cong San tak mampu berpikir panjang, maka ucapan ini dia hubungkan dengan sifat mata keranjang dan gila laki-laki dari iblis betina ini. Amarahnya memuncak dan dia menerjang lagi lebih nekat!

"Plak-plak... Cusss!"

Dua batang pit itu bertemu dengan telapak tangan Cui Im. Cong San merasa seolah-olah dua batang senjatanya berikut tenaga sinkang-nya amblas ke dalam suatu benda lunak dan kehilangan tenaganya, lalu sebuah totokan jari tangan yang halus runcing menyentuh pundak, membuat dia terguling dan seluruh tubuh atasnya menjadi lumpuh. Namun dia telah mengerahkan tenaga dalamnya, berhasil membuyarkan pengaruh totokan, melompat berdiri dan siap menerjang lagi.

"Cong San, aku tahu engkau gagah dan tidak takut mati. Akan tetapi, tidak sayangkah bila engkau mati dalam tanganku sebelum engkau mampu membunuh Keng Hong yang telah menghancurkan kebahagiaanmu?"

Cong San tertegun. Dia tidak ingin mati sebelum sempat membalas Keng Hong! Akan tetapi dia pun tidak sudi menyerah terhadap iblis betina ini, maka dia cepat menghardik, "Urusanku dengan dia tidak ada sangkut pautnya denganmu!"

Cui Im tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih rata seperti mutiara. "Tidak ada sangkut pautnya, akan tetapi kita senasib! Keng Hong telah menghancurkan kebahagiaanmu, juga dia telah menghancurkan kebahagiaanku. Engkau mendendam dan hendak membunuhnya, aku pun demikian. Engkau tak berhasil, aku pun demikian, karena dia memang sangat lihai. Karena itu, mengapa kita saling serang sendiri? Tadi kukatakan bahwa kita saling membutuhkan. Kalau kita bekerja sama menghadapi laki-laki mata keranjang itu, tentu kita akan berhasil membalas dendam."

Cong San meragu, menunduk. Dia tahu bahwa wanita di depannya ini, yang jahat dan keji seperti iblis, memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, bahkan wanita ini adalah sumoi dari Keng Hong. Wanita inilah satu-satunya orang yang ikut mempelajari kitab-kitab rahasia peninggalan Sin-jiu Kiam-ong dan tingkat kepandaiannya hanya sedikit di bawah tingkat Keng Hong.

"Bhe Cui Im, engkau tahu bahwa aku tidak sudi bersahabat denganmu, bahwa aku tidak sudi menyerah dan tunduk padamu. Akan tetapi, mengenai urusan Cia Keng Hong, kalau engkau ada usul menghadapinya, katakanlah agar dapat kupertimbangkan."

Cui Im merasa girang sekali. Dia pun sudah mengenal watak pemuda ini dan dia tahu bahwa kecantikannya, atau rayuannya sebagai wanita tak mungkin dapat menggugurkan batin Cong San. Satu-satunya jalan untuk menarik pemuda ini bekerja sama dengannya hanyalah memanfaatkan api cemburu yang sedang berkobar di dadanya.

"Yap Cong San, kita hanya bekerja sama untuk menghancurkan musuh kita, bukan untuk bersahabat. Engkau tetap saja bebas, hanya kita rencanakan bersama untuk memancing Keng Hong dan membunuhnya. Dia sudah merusak hidupku, dia juga mempermainkan isterimu secara tidak tahu malu, seolah-olah isterimu dianggapnya seorang pelacur..."

"Tutup mulutmu! Aku melarang engkau menyebut-nyebut isteriku!" Sepasang pit di tangan Cong San menggigil dan diam-diam Cui Im tersenyum mengejek karena dia tahu bahwa kata-katanya yang disengaja tadi telah berhasil baik membakar hati Cong San.

"Maaf, aku bukan bermaksud menghina. Dengarlah, sekarang aku tinggal di Sun-ke-bun, mengumpulkan kekuatan untuk melawan Keng Hong. marilah engkau ikut bersamaku ke sana dan kita rundingkan rencana menghukum si mata keranjang itu bersama guruku, Go-bi Thai-houw. Dengan tenaga kita bertiga, ditambah dengan pembantu-pembantuku yang cukup banyak, aku percaya akhirnya Keng Hong akan mampus di tangan kita."

Terjadi perang batin di dalam hati Cong San. Kalau saja racun cemburu tidak sedemikian hebatnya membakar seluruh dirinya, membuat setiap bulu pada tubuhnya, setiap helai rambut di kepalanya, membenci dan bernafsu membunuh Keng Hong tentu dia tidak akan sudi bersekutu dengan Cui Im dan antek-anteknya.

"Baik! Akan tetapi ingat, kerja sama antara kita hanya untuk membunuh Cia Keng Hong dan setelah itu, kita bersimpang dan mungkin kelak kita akan saling berhadapan sebagai musuh!"

Kembali wanita cantik itu tersenyum manis. "Urusan besar di depan mata masih belum beres, mengapa memikirkan masa depan yang tiada ketentuan? Biarlah kita kini bekerja sama untuk menghadapi Keng Hong dan Biauw Eng yang lihai, urusan nanti... bagaimana nanti sajalah."

"Aku hanya membantumu menghadapi Keng Hong, tidak mau membantumu menghadapi Biauw Eng!"

Cui Im mengangguk. "Baiklah, kita tinggalkan Biauw Eng di luar. Betapa pun juga, dia adalah sumoi-ku sendiri. Marilah kita berangkat."

Walau pun di sudut hatinya terdapat perasaan memberontak dan mencela perbuatannya sendiri yang mau bersekutu dengan seorang iblis betina seperti Cui Im, namun Cong San menghibur diri bahwa perbuatannya ini hanya dia lakukan karena semata-mata demi terlaksananya dendam di dalam hatinya, khusus untuk menghadapi Keng Hong. Setelah itu, hemmm... siapa tahu, mungkin dia akan melawan Cui Im! yang penting, Cia Keng Hong, laki-laki palsu, mata keranjang dan berakhlak bejat itu, yang telah menghancurkan kebahagiaan rumah tangganya, harus dibunuh lebih dulu!

Dengan wajah murung dan mulut selalu tertutup, tidak pernah mengeluarkan kata-kata kalau tidak perlu sekali, Cong San melakukan perjalanan bersama Bhe Cui Im yang cantik jelita dan yang terlalu cerdik untuk menutupi birahi yang selalu menyelubunginya hingga tidak satu kali pun dia mencoba-coba untuk merayu Cong San sungguh pun kesempatan untuk itu banyak sekali. Tidak, Bhe Cui Im adalah seorang wanita yang sudah matang, penuh pengalaman dan cerdik luar biasa.

Kalau mengingat kepandaian Cong San, murid Siauw-lim-pai ini tak akan dapat menolong banyak kepadanya dalam menghadapi Keng Hong. Akan tetapi, bukan tingkat kepandaian Cong San yang ia butuhkan dan diam-diam otaknya sudah bekerja untuk menggunakan orang muda ini dalam siasatnya menjebak Keng Hong.

********************

Tanpa mengenal lelah Yan Cu melakukan perjalanan mencari suaminya. Hatinya agak terhibur setelah ia pergi ke Siauw-lim-pai dan mendapat kenyataan bahwa puteranya, Kun Liong, ternyata berada di kuil itu! Cong San telah menitipkan putera mereka itu di kuil Siauw-lim-pai sebelum berangkat pergi mencari Keng Hong untuk dibunuhnya.

Sesudah mendengar penuturan Yan Cu tentang keadaan Cong San, Thian Kek Hwesio menganggap urusan itu gawat sekali, maka dia tidak melarang pada saat Yan Cu mohon pergi menghadap Tiong Pek Hosiang.

Kakek bekas ketua Siauw-lim-pai ini hanya menarik napas panjang, kemudian dengan singkat berkata, "Omotohud, agaknya sudah nasib dan karma pinceng sehingga sekarang masih harus terseret-seret urusan dunia. Pergilah engkau lebih dulu, pinceng akan segera menyusul."

Menerima kesanggupan kakek itu, agak besarlah hati Yan Cu, maka dia kemudian pergi mencari suaminya. Dia mempunyai dugaan pula bahwa yang menimbulkan kehancuran rumah tangganya tentulah Bhe Cui Im, si iblis betina itu, seperti yang telah ia dengar dari Keng Hong pula.

Teringat dia akan semua pengalamannya pada hari pernikahannya di puncak Cin-ling-san ketika Bhe Cui Im muncul bersama Go-bi Thai-houw dan Mo-kiam Siauw-ong. Hemmm, Mo-kiam Siauw-ong! Terkenal sebagai raja kaum bajak sungai di lembah Fen-ho, murid Thian-te Sam-lo-mo. Agaknya dia akan bisa mendapatkan petunjuk mengenai di mana adanya Cui Im apa bila dia dapat bertemu dengan Mo-kiam Siauw-ong. Kalau dia tidak dapat menyusul suaminya, maka dia akan mencari Bhe Cui Im dan akan mengadu nyawa dengan iblis betina yang telah menghancurkan kebahagiaan rumah tangganya itu!

Keputusan hati yang nekat ini membuat Yan Cu melakukan perjalanan tanpa mengenal lelah dan beberapa pekan kemudian ia telah tiba di daerah lembah Sungai Fen-ho. Ketika ia bertanya-tanya kepada para nelayan dengan mudah ia mendengar keterangan bahwa Mo-kiam Siauw-ong yang dicarinya itu sekarang sudah menjadi seorang berpangkat dan berpengaruh, yaitu menjadi putera mantu Coa-taijin, kepala daerah kota Sun-ke-bun di lembah Fen-ho! Mendengar ini, Yan Cu cepat menuju ke kota Fen-ho.

Tidak sukar baginya untuk mencari rumah kepala daerah, di mana tinggal pula bekas raja bajak yang dicarinya. Tentu saja di depan pintu gerbang gedung pembesar itu ia dilarang masuk oleh para pengawal. Yan Cu yang karena kedukaan dan kemarahannya sudah nekat, lalu berkata nyaring,

"Kalau aku tidak boleh masuk, hayo suruh bajak Mo-kiam Siauw-ong cepat-cepat keluar menemuiku! Kalau dia tidak mau keluar, terpaksa aku akan memaksa masuk!"

Seorang pengawal cepat berlari masuk untuk melapor. Tepat pada saat itu pula, Mo-kiam Siauw-ong, Bhe Cui Im dan Go-bi Thai-houw yang bersikap tak acuh, sedang berunding dengan Yap Cong San yang sudah beberapa hari tinggal di situ pula.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Cong San mendengar laporan pengawal bahwa di luar sudah muncul isterinya! Agaknya isterinya dapat tahu bahwa dia berada di situ. Dia enggan bertemu dengan isterinya, sungguh pun jantungnya berdebar tegang dan penuh dengan kerinduan yang luar biasa!

"Bagus sekali kalau dia datang, memang kita juga membutuhkan dia!" Cui Im berkata, mencegah Mo-kiam Siauw-ong yang sudah bangkit. "Engkau bukan lawannya, biar aku yang menangkapnya."

Tiba-tiba Yap Cong San meloncat berdiri, mukanya pucat. "Bhe Cui Im! Apa yang akan kau lakukan ini? Aku melarang siapa pun juga mengganggu isteriku!"

Cui Im tersenyum memandang orang muda itu. "Aku amat kagum kepadamu, Cong San. Sesudah semua yang diperbuatnya terhadapmu, masih saja engkau membelanya dan mencintanya! Aku tahu akan perasaanmu itu, Cong San, maka harap kau jangan salah sangka. Aku tudak akan mengganggunya, hanya ingin menangkapnya untuk memancing munculnya Cia Keng Hong. Kalau dia mendengar bahwa kekasihnya yang tercinta sudah kutangkap, tentu dia akan muncul ke sini!"

Sebutan ‘kekasihnya yang tercinta’, yang tadi sengaja dikeluarkan oleh mulut Cui Im itu berhasil membakar lagi hati Cong San. Dia mengangguk dan berkata,

"Jangan lukai dia, dan perlakukan dengan baik. Jangan sampai dia tahu aku berada di sini."

Cui Im mengangguk dan melirik ke arah gurunya. "Aku tahu dan jangan khawatir, Cong San. Akan tetapi, isterimu itu bukanlah seorang yang lemah. Untuk menangkap tanpa melukainya, aku harus mendapatkan bantuan Subo. Subo, harap bantu teecu menangkap Yan Cu."

Go-bi Thai-houw terkekeh. "Heh-heh-heh, apa sih sukarnya menangkap bocah itu?" Akan tetapi dia bangkit juga dan mengikuti Cui Im keluar dari dalam gedung.

Dengan muka agak pucat Cong San lalu meloncat bangun, berindap-indap keluar untuk mengintai betapa isterinya ditangkap, siap untuk membela isterinya yang betapa pun juga amat dicintanya itu kalau-kalau akan terancam keselamatannya di bawah tangan Cui Im yang dia tahu amat kejam.

Sementara itu, Yan Cu masih menanti di luar, mengharapkan Mo-kiam Siauw-ong keluar agar dia dapat bertanya tentang tempat tinggal Bhe Cui Im. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia menyaksikan berkelebatnya dua bayangan orang dan tahu-tahu Bhe Cui Im sendiri bersama Go-bi Thai-houw telah berdiri di depannya!

"Kau... kau iblis betina...!" Yan Cu berseru, matanya memandang penuh kebencian.

Biar pun dia belum mempunyai bukti bahwa wanita inilah yang mencelakakannya, namun begitu bertemu saja sudah bangkit kembali kebenciannya. Tetapi tanpa bukti, tentu saja dia tidak dapat menuduhnya begitu saja.

"Hi-hi-hi-hik, engkau isteri yang tidak setia! Apakah kau datang untuk mencari kekasihmu Cia Keng Hong?"

Muka Yan Cu menjadi merah sekali, dua matanya terbelalak dan kalau tadinya dia masih ragu-ragu untuk menuduh karena tidak ada bukti, ucapan Cui Im itu meyakinkan hatinya bahwa iblis inilah yang mengaturnya. Saking marahnya sampai sukar dia mengeluarkan suara. Lagi pula, di tempat ramai itu, perlu apa dia berbicara tentang kehancuran rumah tangganya itu? Hanya akan menimbulkan aib dan malu saja! Karena itu Yan Cu langsung mencabut pedangnya dan menerjang Cui Im sambil membentak,

"Tutup mulutmu yang kotor, iblis bentina!"

Cui Im mengelak sambil mengebutkan ujung lengan bajunya. Dia tertawa-tawa mengejek menghindarkan bacokan dan tusukan pedang yang datang bertubi-tubi. Bila dibandingkan dengan tingkat kepandaian Yan Cu, tentu saja Cui Im menang jauh sekali. Apa bila dia menghendaki, dalam waktu belasan jurus saja dia tentu sanggup merobohkan Yan Cu.

Akan tetapi, merobohkan tanpa melukainya bukanlah hal mudah, dan Cui Im yang cerdik dan dapat menduga bahwa Cong San tentu mengintai, secara sengaja menyebut-nyebut nama Keng Hong untuk memanaskan hati Cong San, namun dia tetap tidak berani untuk melukai Yan Cu karena hal ini hanya akan merugikan saja, akan membuat ia kehilangan bantuan Cong San yang amat dia butuhkan.

"Subo, harap bantu teecu!" sambil melompat jauh ke belakang Cui Im berseru.

Yan Cu yang menjadi sangat marah dan penasaran cepat mengejar ke depan. Sinar merah menyilaukan matanya. Cepat Yan Cu menangkis dengan pedangnya ke arah sinar merah yang menyambar dari kanannya itu. Dia menahan teriakan pada waktu pedangnya bertemu benda lunak halus dan ternyata itu adalah ujung kebutan merah di tangan Go-bi Thai-houw yang terus membelit pedang.

Yan Cu mengerahkan tenaga untuk menarik kembali pedangnya, namun sia-sia belaka. Dengan kebencian meluap Yan Cu menggerakkan tangan kirinya meluncur ke depan, dua buah jari tangannya menusuk ke arah sepasang mata pada wajah tua yang terkekeh dan menyeringai menjijikkan itu.

Dibandingkan Cui Im, kepandaian Yan Cu masih jauh di bawah, apa lagi terhadap nenek ini yang gerakan-gerakannya sungguh aneh di luar kebiasaan manusia normal. Pada saat dua jari Yan Cu meluncur deras, Go-bi Thai-houw bukan mengelak atau pun menangkis, malah memajukan wajahnya seolah-olah menyodorkan sepasang matanya untuk ditusuk oleh dua jari Yan Cu.

Melihat ini Yan Cu terkejut sekali, seakan terpesona oleh keanehan yang dilakukan Go-bi Thai-houw sehingga membuat gerakan tangan kirinya agak tersendat, dan biar pun hanya sekejap mata, tetapi waktu yang singkat ini sudah cukup bagi nenek itu untuk mendahului gerakan tangan kiri Yan Cu. Tangan kanannya menarik hudtim merah yang sudah melilit pedang Yan Cu sehingga Yan Cu yang masih terpesona itu tubuhnya segera terputar dan ketika tubuh ini telah membelakanginya, nenek itu cepat menggerakkan jari tangan kirinya menotok jalan darah di punggung nyonya muda itu.

Tubuh Yan Cu terkulai roboh, hilang seluruh tenaganya biar pun kesadarannya tidak turut lenyap. Dia masih dapat melihat bayangan Cui Im yang melayang ke arahnya, kemudian menambah dua totokan lagi pada pundak kanan dan pundak kirinya, membuat dia sama sekali tidak dapat bergerak.

“Bawa dan kurung dia di kamar tahanan, tetapi jangan ada yang mengganggu dia!” Cui Im memberi perintahnya kepada penjaga yang berdiri di pinggir.

Dari tempat persembunyiannya Cong San menonton semua itu dan wajahnya memucat, hatinya penuh kekhawatiran dan kasihan, namun dia lega sesudah membuktikan bahwa Cui Im membuktikan janjinya, tidak melukai isterinya. Isteri yang dicintainya sepenuh raga, namun yang pada saat itu juga sedang dibencinya setengah mati.

Dia benci kepada Yan Cu, bukan karena melihat isterinya itu melanjutkan perhubungan jinah dengan Keng Hong, akan tetapi terutama sekali di samping penyelewengan yang menjijikkan, isterinya masih berpura-pura mencintanya. Cinta palsu inilah yang membuat dia sakit hati dan benci sekali!

Kalau saja dahulu isterinya berterus terang, menyatakan mencinta Keng Hong seorang, tentu dia pun akan suka mengalah, rela mengorbankan diri menderita. Akan tetapi Yan Cu menerimanya sebagai suaminya, bahkan memperlihatkan cinta kasih yang mesra, yang tedinya dia kira benar-benar, tadinya mengira bahwa Yan Cu telah melupakan Keng Hong dan memulai lembaran baru dalam kehidupannya. Siapa kira, semua itu sandiwara belaka dan diam-diam isterinya masih mencinta Keng Hong, bahkan melanjutkan hubungan jinah mereka, mengadakan pertemuan gelap.

Membayangkan ini semua, hati Cong San makin panas dan berkuranglah rasa kasihan di hatinya terhadap Yan Cu. Biarlah Cui Im mempergunakan isterinya sebagai umpan untuk memancing datang Cia Keng Hong, pikirnya. Asalkan Yan Cu tidak dihina, tidak disiksa, karena kalau hal itu terjadi, tentu dia akan membelanya dengan taruhan nyawa. Betapa pun jahatnya Yan Cu dalam pertimbangannya, tidaklah sejahat dan sekeji Cui Im si iblis betina!

Yan Cu ditahan dalam sebuah kamar yang cukup indah dan bersih. Kedua tangan dan kakinya terbelenggu, akan tetapi memakai rantai panjang sehingga wanita ini masih dapat bergerak leluasa, dapat makan dan tidur, akan tetapi tentu saja tidak leluasa bergerak untuk berkelahi! Jendela dan pintunya dari besi, memakai ruji besi yang kuat dan di luar jendela serta pintu terjaga ketat oleh pasukan pengawal.

Cui Im menepati janjinya. Yan Cu diperlakukan dengan baik, tidak pernah diganggu dan mendapatkan makan yang cukup dan mewah. Hal ini membuat Cong San berterima kasih dan lega hatinya, menambah kepercayaannya bahwa tak terkandung niat buruk di dalam hati Cui Im terhadap Yan Cu, namun semata-mata iblis betina itu mengajaknya bersekutu untuk menjatuhkan Keng Hong yang mereka benci bersama.

Karena perlakuan Cui Im terhadap Yan Cu inilah yang membuat Cong San penurut dan dia menyetujui siasat perangkap yang dipasang oleh Cui Im apa bila Keng Hong datang ke tempat itu, terpancing oleh umpan berita tertawannya Yan Cu. Memang Cui Im sengaja sudah menyebar orang-orangnya untuk mengabarkan bahwa Yan Cu tertawan olehnya di Sun-ke-bun!

Berita ini yang disebar itu sampai juga ke telinga Keng Hong dan Biauw Eng yang tengah melakukan perjalanan, membawa puteri mereka. Kedua orang suami isteri pendekar sakti ini tak merasa heran. Mereka memang telah menaruh dugaan bahwa Cui Im-lah orangnya yang bersembunyi di belakang semua kejadian yang menghancurkan kebahagiaan rumah tangga Cong San dan Yan Cu.

Mereka sudah dapat mencari jejak musuh besar itu dan mendengar bahwa iblis betina itu tinggal di Sun-ke-bun bersama Mo-kiam Siauw-ong dan Go-bi Thai-houw. Maka, begitu mendengar akan tertangkapnya Yan Cu di tempat itu, mereka tidak merasa heran dan bersicepat menuju ke kota itu. Mereka berhenti di luar kota, menanti sampai malam tiba.

Sambil mengerutkan alisnya dan menidurkan puterinya dalam pondongan, Biauw Eng pun berkata,

"Suamiku, kita harus berlaku hati-hati sekali. Aku menduga bahwa semua ini dilakukan oleh Cui Im untuk memancingmu. Semua perbuatannya yang ditujukan kepada Cong San dan Yan Cu kurasa hanyalah untuk mencelakakan kita."

"Mengapa kau menduga begitu, isteriku?"

"Cui Im menaruh kebencian besar terhadap kita, terutama kepadamu. Ada pun Cong San dan Yan Cu sesungguhnya hanya terbawa-bawa saja karena mereka adalah sekutu kita dahulu. Mereka telah gagal menyerang kita ketika perayaan pernikahan kita, dan agaknya untuk mengganggu kita di Cing-ling-san, mereka tidak berani. Maka Cui Im dan sekutunya lalu menggunakan siasat, menghancurkan Cong San dan Yan Cu untuk memancing kita datang."

"Aku tidak takut!" Keng Hong berkata penuh kegeraman mengingat akan kekejaman Cui Im yang sudah berkali-kali mencelakakannya dan masih belum bertobat meski pun telah diampuninya.

"Aku pun tidak takut, akan tetapi kalau malam ini kita menyerbu ke sana, dengan Giok Keng di gendonganku, hemmm... kurang leluasa juga..."

"Ssttt... ada orang!" setelah membisikkan peringatan ini tubuh Keng Hong telah mencelat ke belakang dan dia melayang turun di depan seorang laki-laki yang berdiri di balik pohon. Hanya beberapa detik saja selisihnya, Biauw Eng juga telah berada di samping suaminya.

"Hemmmm, kau lagi!" Biauw Eng membentak penuh kemengkalan hati pada saat melihat bahwa yang berada di situ bukan lain adalah Yap Cong San. "Apakah kau masih hendak menantang?"

"Sabarlah, lihat, dia terluka." Keng Hong mendekati Cong San yang berdiri menunduk dan tampak darah pada baju orang muda itu di bagian pundak kiri. "Cong San, apakah yang terjadi? Engkau terluka...!"

Mendadak Cong San menjatuhkan diri berlutut. "Lukaku tidak berarti..., akan tetapi harap kalian sudi menolong Yan Cu. Dia tertawan di gedung kepala daerah, aku telah berusaha menolongnya akan tetapi gagal, malah terluka. Kalau tidak ditolong, celakalah dia malam ini..."

"Hemmm, siapa saja di sana?" tanya Keng Hong.

"Penjagaan amat kuat. Bhe Cui Im, Go-bi Thai-houw, Mo-kiam Siauw-ong, serta beberapa orang kepala bajak yang cukup lihai dan anak buah mereka yang banyak. Hanya kalian berdualah yang akan dapat menolong Yan Cu..., tolonglah... sekarang juga..."

"Hemmmm, engkau masih ingat kepada isterimu? Setelah kau sakiti hatinya?" Biauw Eng mengejek.

"Tolonglah dia dulu, soal itu nanti kita bicarakan kelak berempat..." Cong San berkata lagi.

"Isteriku, dia benar. Yang penting menolong Yan Cu...," kata Keng Hong. "Marilah!"

"Aku... aku terluka, walau pun tidak berbahaya akan tetapi aku lemah tidak dapat membantu... kulihat kalian membawa anak, berbahaya kalau dibawa menyerbu. Jika kalian masih ada kepercayaan kepadaku, tinggalkan anak kalian bersamaku, aku dapat menjaganya. Lebih aman dari pada dibawa menyerbu ke tempat berbahaya itu..."

"Tidak!" Biauw Eng membentak. "Lebih baik kulindungi sendiri!"

"Eng-moi. Dia benar. Lebih baik kita titipkan kepada Cong San sementara kita menyerbu dan menolong Yan Cu."

"Aihhh! kau masih menaruh kepercayaan kepada orang ini yang hendak membunuhmu?"

"Jangan bicara begitu, Eng-moi. Kita tahu dan yakin, Cong San bukan orang jahat. Dia tentu akan melindungi Giok Keng dengan nyawanya. Serahkanlah, dari pada anak kita terancam bahaya hebat apa bila kita bawa menyerbu ke sana. Tentu engkau masih ingat akan kelihaian Go-bi Thai-houw, dan Cui Im tak boleh dipandang ringan pula."

Dengan alis berkerut Biauw Eng lalu menyerahkan Giok Keng kepada Cong San sambil berkata, "Nah, terimalah dan jaga baik-baik. Awas, Yap Cong San, sedikit saja kau berani mengganggu anakku, aku Sie Biauw Eng akan mencarimu biar sampai ke neraka sekali pun!"

"Eng-moi, jangan menuruti perasaan marah. Hayo kita cepat menolong Yan Cu. Cong San, kau jaga anak kami dan tunggu di sini!" Keng Hong lalu melompat dan diikuti oleh isterinya.

Sejenak Cong San bengong terlongong memandang anak perempuan mungil yang tidur pulas di gendongnya itu. Dia menarik napas panjang dan mencium dahi anak itu. "Anak baik, kasihan engkau... mempunyai ayah macam itu. Aku bersumpah akan melindungimu dan tidak akan membiarkan siapa pun mengganggumu. Aku hanya benci kepada ayahmu dan maafkanlah, anak baik, aku terpaksa melakukan ini demi dendamku pada ayahmu!"

Sesudah menengok ke kanan kiri, Cong San meloncat dan lenyap ke dalam kegelapan yang menyelubungi bumi.

********************
Keng Hong dan isterinya menggunakan ilmu kepandaian yang tinggi, melompati tembok kota dan langsung pergi mencari gedung besar tempat tinggal kepala daerah. Sambil berloncatan cepat seperti dua ekor burung raksasa, Biauw Eng mencela suaminya.

"Aku khawatir sekali. Orang yang sudah gila cemburu seperti dia itu, sukar untuk dapat dipercaya sepenuhnya dan kita telah menyerahkan anak kita ke tangannya!"

"Ahhh, tidak melihatkah engkau betapa dia masih mencintai Yan Cu dan sudah berusaha menolong isterinya sampai terluka. Tidak aneh, mana dia mampu menandingi Cui Im dan kaki tangannya? Lagi pula, andai kata dia gila oleh cemburu, tentu kepadakulah ditujukan dendam dan kebenciannya. Tidak mungkin dia menggangu Giok Keng."

Meski pun hatinya masih gelisah, akan tetapi kecurigaan Biauw Eng berkurang karena dia dapat membenarkan pendapat suaminya itu. Dengan hati-hati mereka lantas meloncat ke atas genteng rumah-rumah penduduk, melanjukan penyelidikan mereka ke gedung kepala daerah melalui jalan atas.

Hati suami isteri perkasa ini makin curiga karena ternyata dengan mudah saja mereka tiba di atas gedung kepala daerah tanpa menghadapi perlawanan atau pun serangan penjaga. Keadaan sunyi saja seolah-olah para pengawal ditiadakan malam itu!

Ketika mereka sampai di atas sebuah ruangan belakang yang luas dan mengintai, tahulah mereka bahwa Cui Im memang sudah siap menanti kedatangan mereka! Mereka melihat Cui Im, Mo-kiam Siauw-ong dan Go-bi Thai-houw bersama lima orang lelaki tinggi besar yang agaknya ialah teman-teman Mo-kiam Siauw-ong dari kalangan bajak, sedang duduk di ruangan luas itu menghadapi meja hidangan, makan minum sambil bercakap-cakap.

Tiba-tiba percakapan dihentikan, dan terdengarlah suara Cui Im melengking nyaring,

"Keng Hong dan Biauw Eng, kalian sudah datang! Hi-hi-hik-hik, jangan harap kalian akan dapat membebaskan Yan Cu sebelum kalian mengalahkan kami!"

"Cui Im manusia jahat, sekali ini aku tidak akan mengingat hubungan antara kita lagi!" Jawaban Keng Hong ini disusul melayangnya dua tubuh yang ringan dan gesit dari atas, meluncur memasuki ruangan yang luas itu.

"Wir-wir-wirrr…!"

Dari keempat penjuru ruangan itu menyambar anak panah beracun ke arah tubuh Keng Hong dan Biauw Eng, tiga puluh dua batang banyaknya, delapan batang dari tiap penjuru yang dilepas oleh empat orang, masing-masing sekaligus dua batang.

Keng Hong yang lebih dulu turun, menggerakkan kedua tangannya sedangkan Biauw Eng yang turun beberapa detik berikutnya sudah menggerakkan sabuk sutera putihnya. Dalam beberapa detik saja, Keng Hong telah berhasil mencengkeram enam belas batang anak panah, sedangkan ujung sabuk sutera isterinya juga telah membelit enam belas batang. Keng Hong berseru nyaring, lalu empat kali tangannya bergerak dengan tubuh berputar ke empat penjuru.

Terdengar jerit-jerit mengerikan. Dan dari atas tiang melintang di empat penjuru ruangan itu, jatuhlah enam belas orang pemanah yang dadanya sudah termakan oleh anak panah mereka sendiri. Tubuh mereka berkelojotan sebentar, kemudian tak bergerak lagi.

Biauw Eng memutar-mutar sabuk suteranya di atas kepala sambil tersenyum mengejek memandang ke arah Cui Im yang mengangkat kedua alisnya dengan marah, kemudian wanita muda yang jelita ini berseru, "Bhe Cui Im, terimalah sambutanmu sendiri!"

Sabuk sutera itu mengeluarkan suara bersiut, lantas enam belas batang anak panah itu meluncur seperti kilat menyambar ke arah meja di mana duduk Cui Im, Go-bi Thai-houw, Mo-kiam Siauw-ong dan lima orang pembantunya yang terkejut dan cepat melempar diri ke belakang, terjungkal bersama kursi mereka dalam pengelakan yang tergesa-gesa dan kaget. Akan tetapi Cui Im mengangkat sumpitnya menangkisi anak-anak panah itu, ada pun Go-bi Thai-houw menggunakan mulutnya yang peot meniupi anak-anak panah itu sehingga menyeleweng dan tidak mengenai tubuhnya!

"Hi-hi-hi-hik, Biauw Eng, engkau masih suka membela suamimu yang telah mengkhianati pernikahanmu? Suamimu datang untuk menolong kekasihnya, apakah engkau tidak tahu? Suamimu, laki-laki mata keranjang gila wanita ini, mencinta Yan Cu, apa kau berpura-pura tidak tahu?"

"Cui Im, tidak perlu banyak cakap lagi. Kami tahu siapa engkau dan dapat menduga apa yang telah kau lakukan terhadap Cong San dan Yan Cu. Kami datang untuk membasmi kau dan kaki tanganmu, dan sekali ini kami tidak mau bekerja kepalang tanggung!" jawab Biauw Eng.

"Cui Im, sekali ini aku tidak akan sudi mengampunimu lagi!" kata pula Keng Hong.

"Eh, ehh, ehhh, laki-laki tampan, apa kau lupa betapa kita bersama menikmati malam itu? Apa kau lupa bahwa akulah gurumu dalam soal asmara? Hemmmm…, jantungku masih berdebar dan semua bulu di tubuhku masih meremang karena birahi kalau kuingat malam kita dahulu itu. Engkau pun cinta kepadaku, cinta pada tubuhku, mana engkau akan tega membunuhku?"

"Cui Im, perempuan tidak tahu malu! Majulah menerima kematian!" Keng Hong berteriak marah sekali, mukanya menjadi merah karena dia diingatkan akan pengalamannya yang amat memalukan dahulu.

Cui Im memberi isyarat kepada Mo-kiam Siauw-ong. Mantu kepala daerah ini kemudian mengangguk kepada lima orang pembantunya yang cepat-cepat meloncat bangun sambil mengeluarkan tanda dengan suitan.

Dari kanan dan kiri muncullah dua puluh orang dari empat penjuru yang segera bergerak dengan teratur di bawah pimpinan lima orang itu, mengurung Keng Hong dan Biauw Eng dengan membentuk satu lingkaran luas dalam jarak enam meter dari kedua orang suami isteri sakti itu.

Keng Hong dan Biauw Eng menggerakkan kaki, berdiri mengadu punggung dan bersikap tenang, bahkan Biauw Eng yang sudah memegang sabuk sutera putih di tangannya itu memandang kepada Cui Im sambil tersenyum mengejek, seakan-akan mentertawakan bekas suci-nya itu yang menggunakan orang-orang yang dipandangnya rendah dan tiada gunanya itu. Keng Hong juga bersikap tenang, masih belum mencabut pedang Siang-bhok-kiam karena kalau hanya menghadapi pengurungan dua puluh lima orang itu saja, apa lagi dia dibantu isterinya, kiranya tidak perlu mengeluarkan pedang pusakanya itu.

Lima orang itu memberi isyarat dengan tangan kepada dua puluh orang anak-anak buah mereka yang berjalan mengitari Keng Hong dan isterinya. Tiba-tiba tampak sinar hitam menggelapkan cahaya lampu yang menerangi ruangan itu dan ternyata dua puluh lima orang itu kini semua telah mencabut sebatang cambuk hitam yang panjangnya tak kurang dari lima meter!

Keng Hong dan Biauw Eng segera tahu bahwa para pengeroyok itu hendak menyerang mereka dari jarak jauh, mengandalkan senjata mereka yang panjang. Diam-diam suami isteri ini tertawa. Betapa tololnya Cui Im! Biar pun kelihatannya cerdik, mengeroyok dari jarak jauh, dua puluh lima orang ini akan dapat berbuat apakah terhadap mereka?

Dengan sikap tenang namun pandang mata mentertawakan, Keng Hong dan Biauw Eng tetap berdiri tanpa bergerak, bahkan sekarang Biauw Eng dengan muka membayangkan kesebalan sudah menyelipkan sabuk suteranya pada pinggangnya, seolah-olah ia hendak menunjukkan kepada Cui Im bahwa ia tidak perlu lagi menggunakan senjata menghadapi ancaman dua puluh lima orang pengeroyok itu.

Serangan itu dilakukan tiba-tiba seperti telah disangka oleh suami isteri ini. Didahului oleh ledakan-ledakan laksana suara halilintar sambung-menyambung, lalu tampak sinar hitam meluncur dari sekeliling tubuh mereka, datanglah serangan ujung cambuk bertubi-tubi ke arah tubuh mereka.

Sikap Keng Hong dan Biauw Eng masih tenang, namun sepasang tangan mereka sudah bergerak menyambut dengan kecepatan yang sulit diikuti pandangan mata. Tiba-tiba saja tampak cahaya putih bergulung di depan Biauw Eng, ada pun Keng Hong menggerakkan kedua tangan seperti seorang kanak-kanak menangkapi kupu-kupu dan... sekian banyak cambuk itu sebagian tergulung oleh sabuk sutera Biauw Eng, dan sebagian besar lagi ujungnya sudah tergenggam di kedua tangan Keng Hong.

Hampir berbareng suami isteri ini lalu membuat gerakan, gerakan yang berbeda, bahkan berlawanan karena jika Biauw Eng menarik sabuk suteranya dengan pengerahan tenaga, tetapi sebaliknya Keng Hong justru melepaskan ujung-ujung sabuk yang menegang akibat ditarik oleh pihak pengeroyok. Akan tetapi akibatnya hebat sekali.

Mereka yang cambuknya tertarik oleh Biauw Eng, ada yang sampai terguling-guling dan terseret, ada yang putus cambuknya dan ada yang terpaksa melepaskan gagang cambuk karena kulit tangan mereka terkupas! Sedangkan mereka yang ujung cambuknya dilepas oleh Keng Hong, ada yang mengelak dari sambaran cambuk sendiri hingga jatuh bangun, akan tetapi ada pula yang terpukul cambuk sendiri pada mukanya sehingga kehilangan bukit hidung atau daun telinga. Terdengarlah teriakan-teriakan kesakitan dan tentu saja pengepungan dua puluh lima orang itu menjadi kacau-balau.

"Bhe Cui Im, majulah sendiri! Apa gunanya memaksa tikus-tikus tiada guna ini?" Biauw Eng berseru mengejek.

Akan tetapi, lima orang pembantu Mo-kiam Siauw-ong itu menjadi marah sekali dan tentu saja malu bahwa mereka dan anak buah mereka yang diandalkan tuan rumah ternyata hanya dalam segebrakan saja telah kocar-kacir. Mereka meneriakkan aba-aba dan para anak buah mereka telah bersiap lagi, bahkan yang kehilangan cambuk sudah mengganti cambuknya.

Lima orang itu memutar cambuk mereka sehingga terdengar suara bersuitan. Kemudian cambuk mereka menyambar, tidak ke arah Keng Hong dan Biauw Eng yang memandang heran dan geli, melainkan cambuk-cambuk itu menyambar ke arah api lilin di sudut-sudut ruangan dan... ujung cambuk itu terbakar dengan cepat dan mudah. Api cepat menjalar dari ujung cambuk sampai hampir ke gagang, tanda bahwa cambuk mereka itu memang mengandung bahan bakar yang amat peka. Kini lima orang itu memutar-mutar ‘cambuk api’ mereka dan anak buah mereka pun memutar cambuk ke arah cambuk api pemimpin-pemimpin mereka dan terbakarlah semua cambuk yang kini menjadi dua puluh lima buah banyaknya!

Keng Hong dan Biauw Eng terkejut sekali ketika dua puluh lima batang api itu menerjang mereka dengan cahaya api yang menyilaukan mata. Ini hebat, pikir mereka. Mereka tidak takut akan kekuatan cambuk yang menyerang, akan tetapi berhadapan dengan api yang setidaknya akan dapat membakar pakaian dan rambut, amatlah berbahaya!

Agaknya Cui Im dapat melihat kekagetan mereka, maka terdengarlah suara ketawanya yang melengking di antara sinar api yang kini bagaikan membakar seluruh ruangan itu, mendatangkan bayangan-bayangan hitam merah seperti pemandangan di neraka!

Cambuk-cambuk api itu datang dan Biauw Eng cepat menggunakan ginkang-nya, melesat dan bergerak menyelinap di antara cambuk-cambuk api yang datang menyambar dirinya. Gerakannya ringan dan cepat sekali dan diam-diam nyonya muda ini bersyukur bahwa dia mentaati perintah suaminya, menyerahkan Giok Keng kepada Cong San. Andai kata tadi harus menghadapi serangan cambuk-cambuk api ini sambil menggendong anaknya, ihhh, dia bergidik ngeri karena maklum bahwa anaknya terancam hebat oleh lidah-lidah api!

Keng Hong menjadi amat marah. Dia harus memuji kehebatan barisan cambuk api ini dan kelihaian Cui Im mengatur siasat. Menghadapi api, tentu saja pedang Siang-bhok-kaim tidak dapat dia pergunakan. Pedangnya terbuat dari pada kayu dan tentu saja kayu takut akan api. Kalau pedangnya terbakar, hal itu merupakan mala petaka hebat. Juga tentu saja isterinya tidak dapat mempergunakan sabuk suteranya karena sabuk itu pun tentu akan terbakar kalau bertemu dengan cambuk yang bernyala-nyala.

Para anak buah Cui Im yang menonton menjadi terbelalak, kagum dan tegang. Cambuk-cambuk api yang bergulung-gulung itu amat indah di waktu malam, akan tetapi yang lebih mengagumkan lagi adalah berkelebatnya bayangan Biauw Eng yang menyelinap ke sana sini melalui gulungan-gulungan sinar menyala itu.

Ada pun Keng Hong masih berdiri tegak, tidak mempergunakan ginkang seperti isterinya, tidak mengelakkan melainkan mengunakan kedua tangannya mendorong ke depan dan kanan kiri, namun angin pukulan kedua tangannya cukup kuat untuk membuat cambuk-cambuk api yang datang menyambar itu terpental kembali.

"Eng-moi, kita robohkan mereka dengan totokan-totokan!" Tiba-tiba Keng Hong berseru.

Sekarang dia pun berkelebat meniru isterinya, menggunakan langkah kaki yang aneh dan tubuhnya menyelinap di antara gulungan sinar, kedua tangannya dengan jari-jari terbuka menerjang ke kanan kiri. Biauw Eng juga masih berkelebat, akan tetapi kini tampak sinar putih sabuk suteranya meluncur ke kanan kiri seperti seekor ular hidup yang menyelinap di antara keroyokan sinar api bergulung-gulung.

Terdengar pekik susul-menyusul dibarengi robohnya beberapa orang. Dengan tendangan kaki, dua suami isteri yang sakti ini melempar-lemparkan tubuh para pengeroyok mereka sehingga bertumpuk-tumpuk dan dengan dorongan pukulan yang mengandung sinkang amat kuatnya, Keng Hong membuat cambuk api itu terbang membalik lantas menimpa tumpukan tubuh yang telah tertotok dan tak mampu bergerak.

Terjadilah hal yang amat mengerikan. Dua puluh lima orang itu, termasuk pula pimpinan barisan, malang melintang bertumpuk-tumpuk dan dibakar hidup-hidup oleh cambuk api mereka sendiri. Pakaian dan rambut mereka mulai terbakar sehingga tercium bau hangus dan sangit.

Cui Im mengeluarkan pekik kemarahan. Sambil memerintahkan anak-anak buahnya untuk menyiram api dengan mempergunakan air dan menolong mereka yang sedang terbakar hidup-hidup, dia bersama Go-bi Thai-houw dan Mo-kiam Siauw-ong sudah menerjang maju dengan senjata di tangan.

Mula-mula Cui Im yang licik itu menyerang bekas sumoi-nya, Biauw Eng. Dia mengira bahwa tingkat kepandaiannya yang jauh lebih tinggi itu akan dapat merobohkan Biauw Eng dalam beberapa gebrakan saja. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia melihat gerakan Biauw Eng jauh lebih hebat dari pada dahulu, maka tahulah dia bahwa Biauw Eng telah menerima latihan dari Keng Hong sehingga bukan saja langkah kakinya amat aneh dan gerakannya amat gesit, juga pada waktu sabuk sutera itu menangkis pedang merahnya, ia merasa betapa tenaga bekas sumoi-nya itu kuat sekali. Ujung sabuk melibat ujung pedang merah, terjadi saling betot dan terdengar Keng Hong berkata,

"Eng-moi, lepaskan!"

Untung Biauw Eng cepat mengendurkan sabuk dan melepaskan libatan, kalau tidak, tentu sabuknya akan putus. Keng Hong yang tadinya diserang Go-bi Thai-houw, kini mencelat ke dekat Cui Im dan mendesak wanita itu dengan sinar pedang Siang-bhok-kiam hingga wanita itu terpaksa melompat mundur saking hebatnya serangan ini.
Selanjutnya,