Pedang Kayu Harum Jilid 45 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pedang Kayu Harum Jilid 45
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Keng Hong dan Biauw Eng yang melakukan perjalanan sambil menikmati bulan madu, saling melimpahkan cinta kasih yang mendalam, tak merasakan lagi jauhnya perjalanan. Bagi dua orang yang seolah-olah merasa bahwa di dunia ini hanya ada mereka berdua, semua tempat tampak indah menyenangkan.

Baik bermalam di dalam rumah penginapan, atau di dalam hutan, di padang rumput, di lembah sungai, bagi mereka tiada bedanya. yang penting adalah merasa belaian tangan kekasih, merasakan kehadiran pujaan hati dan mereka saling menumpahkan segala rindu dendam yang sudah bersemi di hati masing-masing semenjak tahunan yang lalu, saling menyiramkan cinta kasih tak mengenal puas.

Sesuai dengan nasehat Biauw Eng yang memandang segala sesuatu penuh perhitungan dan kewaspadaan, Keng Hong dan isterinya tidak langsung mengunjungi Siauw-lim-pai, hanya melihat dan mendengar dari jauh. Akhirnya dengan hati lega mereka mendengar bahwa tidak terjadi keributan di Siauw-lim-si, hanya bahwa ketua Tiong Pek Hosiang yang usianya sudah sangat tua itu mengundurkan diri untuk bertapa di Ruangan Kesadaran, sedangkan kedudukan ketua telah dipilih Thian Kek Hwesio.

Mendengar ini, Keng Hong dan Biauw Eng menjadi girang sekali. Apa lagi pada waktu mendengar bahwa sesudah berbulan madu di hutan pohon pek, Cong San dan Yan Cu telah melanjutkan perjalanannya ke Leng-kok.

"Kalau begitu, sebaiknya kita kembali saja ke Cin-ling-san, suamiku. Sayang sekali kalau tempat yang indah itu tidak dipelihara. Mari kita pulang ke sana, dan kita bangun kembali rumah mendiang ibu tiriku. Kita tinggal di sana untuk sementara waktu, sambil melihat perkembangannya kelak karena aku tidak suka tinggal di kota yang ramai. Lebih senang di pegunungan yang sunyi, hanya berdua denganmu."

Keng Hong memegang lengan isterinya dan membelai-belainya. "Sesukamulah, Eng-moi. Mulai sekarang hidupku hanya untuk menuruti kehendakmu, untuk membahagiakanmu, dan ke mana saja kau kehendaki untuk tinggal, aku setuju."

"Hong-ko, engkau baik sekali, akan tetapi aku tidak begitu mau menang sendiri. Aku tahu bila seorang isteri harus ikut dengan suaminya ke mana pun suaminya pergi. Aku hanya menghendaki kita tinggal di Cin-ling-san yang sunyi itu untuk selama setahun. Sesudah anak kita lahir, aku menurut saja engkau akan tinggal di mana."

Keng Hong mencengkeram lengan isterinya, "Apa...? A... anak kita...?"

Biauw Eng tersenyum dan mengangguk.

"Tidak tahukah engkau bahwa aku... aku telah..." Dia tidak melanjutkan kata-katanya dan menundukkan muka, kedua pipinya menjadi merah sekali.

Keng Hong terbelalak, baru sekali ini selama hidupnya dia melihat Biauw Eng malu, dan baru sekali ini pula dia merasa betapa hatinya mengalami kegembiraan yang sukar untuk dituturkan. Jantungnya seolah-olah membengkak, dadanya mengembang dan dia merasa seperti seekor burung merak yang mengembangkan bulu-bulunya penuh kebanggaan.

"Mengandung...? Biauw Eng isteriku, benarkah itu?"

Biauw Eng mengangguk dan Keng Hong bersorak seperti anak kecil mendapat hadiah, memeluk Biauw Eng dengan erat. Akan tetapi tiba-tiba dia melepaskan pelukannya dan berkata, "Aihhh... aku harus hati-hati... mulai sekarang, tidak boleh lagi aku memelukmu erat-erat!"

"Mengapa tidak boleh? Kalau kau kurang kuat memelukku, aku akan mengira bahwa kau telah bosan denganku."

"Tidak, tidak, sungguh mati tidak! Aku harus memikirkan anak kita... ha-ha-ha! Anak kita! Aku akan menjadi ayah! Ho-hooo!" Keng Hong menangkap tubuh isterinya, dipondongnya dan dia berputar-putar sambil tertawa-tawa.

Berangkatlah suami isteri yang saling mencinta ini menuju ke Cin-ling-san dan mereka segera membangun kembali rumah mendiang Tung Sun Nio yang telah dibakar oleh para bajak anak buah Bhe Cui Im.

Para penduduk di lereng dan kaki Gunung Cin-ling-san amat menghormati kedua suami isteri ini, bahkan mereka yang maklum bahwa suami isteri ini adalah sepasang pendekar yang budiman dan sakti, lalu mendatangi mereka dan menyatakan ingin tinggal di lereng itu. Mereka merasa aman dan tenteram kalau tinggal di dekat suami isteri ini.

Tentu saja Keng Hong dan Biauw Eng tidak keberatan, bahkan merasa senang sekali bergaul dengan para petani yang jujur itu. Para petani mendirikan rumah mereka, bahkan membantu Keng Hong membangun rumah dan beberapa bulan kemudian sudah ada belasan keluarga petani yang tinggal di lereng itu. Banyak pula yang mendengar akan kesaktian sepasang pendekar budiman itu sehingga mereka yang selalu menderita oleh gangguan para perampok, mempunyai niat hendak mendekati Keng Hong dan isterinya.

Mulailah Keng Hong hidup sebagai petani di pegunungan yang indah itu dan pada waktu senggang secara iseng-iseng dia mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepada anak-anak pegunungan. Sungguh tak pernah disangkanya bahwa tempat itu akan menjadi sebuah perkampungan yang besar dan bahwa kelak dia akan menjadi pendiri dari Cin-ling-pai, sebuah partai persilatan yang terdiri dari kaum petani penghuni Pegunungan Cin-ling-san!

Setengah tahun kemudian, pada suatu pagi Keng Hong bercakap-cakap dengan isterinya di halaman rumah mereka, yaitu sebuah pondok sederhana akan tetapi cukup besar dan menyenangkan.

"Heran sekali, mengapa tiada berita dari Leng-kok?" Keng Hong berkata.

"Ahhh, Cong San dan Yan Cu sudah hidup berbahagia, kabarnya membuka toko besar di situ, mana mereka ingat pada kita orang-orang gunung ini?" Biauw Eng menjawab sambil tertawa dan menuangkan teh panas untuk suaminya. Gerakannya kaku karena perutnya yang sudah mengandung empat bulan itu menghalangi gerakannya.

Keng Hong memandang ke arah perut isterinya dengan hati terharu dan bangga. "Betapa akan girang hati mereka kalau mereka tahu bahwa aku sudah hampir menjadi ayah!"

"Ihhhh! Masih lama sudah dibicarakan saja. Siapa tahu mereka pun sudah mempunyai calon anak."

"Aku rindu sekali untuk mendengar keadaan mereka. Dan... kalau aku teringat peristiwa di sini dahulu, ingat akan wajah Cong San yang dingin, hatiku tetap tidak merasa enak dan mengkhawatirkan keadaan Yan Cu sumoi. Isteriku, bukankah kini sudah cukup waktunya untuk menjelaskan kesemuanya kepada Cong San?"

"Ahhh, apakah kau hendak meninggalkan aku dalam keadaan mengandung?" Biauw Eng membentak, pura-pura marah.

"Sama sekali tidak, isteriku. Aku tidak akan meninggalkan engkau, bila mana pun juga. Kalau aku pergi, harus bersama engkau. Maksudku, menjelaskan dengan surat seperti yang kau nasehatkan dahulu itu. Sekarang saatnya tepat, aku mempunyai alasan untuk mengirim kabar tentang kita dan menanyakan kabar mereka. Nah, dalam surat itu dapat kusinggung tentang fitnah yang dilontarkan Cui Im itu, agar membersihkan hati Cong San dari rasa cemburu. Bagaimana?"

Biauw Eng mengangguk. "Kalau begitu, baik saja. Akan tetapi, siapa yang akan disuruh menghantarkan suratmu kepada mereka di Leng-kok?"

"Aku akan suruh seorang di antara pemuda di sini untuk mengantarkan surat. Dengan naik kuda kurasa dalam waktu tiga hari dia akan sampai di Leng-kok. Sebaiknya kusuruh A-liok, dia pernah pergi ke kota dan orangnya cukup cerdik, tentu akan dapat mencari alamat Cong San di Leng-kok."

"Baiklah, Koko. Akan tetapi yang hati-hati kau menulis surat dan urusan cemburu itu kau singgung sedikit saja, jangan sampai terlalu menyolok."

"Akan kutulis sekarang dan nanti engkau perbaiki kalau kurang sempurna."

Keng Hong lalu mengambil alat tulis dan kertas kemudian dengan alis berkerut dia mulai menulis sebuah surat dengan hati-hati dan sebaik mungkin. Sesudah membuang waktu satu jam lebih akhirnya dia bisa menyelesaikan surat itu dan memperlihatkannya kepada isterinya. Biauw Eng duduk di kursi, membaca surat itu penuh perhatian,

Saudara Yap Cong San dan Yan Cu sumoi yang baik.

Setengah tahun kita saling berpisah. Kami mengharapkan beritamu dengan hati penuh rindu. Kami harap kalian hidup bahagia seperti kami yang kini menanti hadirnya seorang anak kurang lebih lima bulan lagi. Kami tinggal di Cin-ling-san dan berhasil membangun kembali rumah mendiang subo, dan sekarang tempat kami menjadi sebuah dusun yang ditinggali oleh petani-petani Pegunungan Cin-ling-san. Kami harap kalian ada kesempatan untuk berkunjung, karena kami sudah rindu sekali.

Sebagai penutup surat ini, kami harap semoga kalian jangan mempedulikan fitnahan keji yang dilontarkan iblis betina Bhe Cui Im di Cin-ling-san dahulu, karena semua itu bohong belaka.

Sekian dan sampai jumpa!

Salam dari kami,
Cia Keng Hong dengan isteri.


Sesudah membaca surat itu, Biauw Eng mengangguk. "Kurasa sudah cukup, Hong-ko. Kuharap di sana Cong San akan cukup bijaksana dan cerdik untuk dapat mengerti kalimat terakhir dan melenyapkan sama sekali sisa-sisa penasaran di dalam hatinya."

Pada hari itu juga A-liok berangkat membawa surat itu dan menunggang seekor kuda sambil membawa bekal uang yang diberikan oleh Biauw Eng kepadanya. Pemuda yang berusia dua puluh tahun ini merasa girang dan bangga sekali bahwa dia dipercaya oleh ‘Cia-taihiap’ dan isterinya untuk mengantar surat kepada sahabat mereka di tempat yang begitu jauh. Dia belum pernah ke Leng-kok, akan tetapi setelah menerima petunjuk Keng Hong, pemuda yang pernah beberapa tahun tinggal di kota besar ini merasa yakin akan dapat mencari alamat itu.

Dengan pandang mata penuh harap Keng Hong dan Biauw Eng mengikuti keberangkatan A-liok yang membalapkan kuda. Tadi mereka telah berpesan kepada A-liok supaya suka minta balasan surat sebagai bukti bahwa surat mereka telah diterima oleh Cong San dan isterinya.

A-liok membalapkan kudanya dengan wajah berseri. hatinya girang dan bangga bukan main. Masih terbayang di depan wajahnya yang berseri itu betapa para penduduk dusun semua memandangnya dengan kagum. Dia bukan seorang pemuda dusun sembarangan! Dia mempunyai kelebihan dari pada penduduk gunung lainnya.

Ia telah dipercaya oleh Cia-taihiap dan isterinya, diutus untuk menyerahkan surat, sebuah tugas yang penting sekali! Disuruh menunggang kuda dan dibekali uang lima tail perak! Dia seorang utusan yang maha penting. A-liok merasa dirinya penting dan gagah. Sedikit banyak dia telah menerima pelajaran dasar ilmu silat dari Cia-taihiap dan hatinya besar. Segala macam perampok cilik akan kugasak habis jika berani mengganggu tugasku yang maha penting ini, pikirnya bangga.

Hari telah senja ketika A-liok tiba di sebuah hutan. Dia harus cepat-cepat membalapkan kuda agar dapat sampai di dusun luar hutan ini kalau tidak mau kemalaman dan terpaksa bermalam di hutan. Dia tahu bahwa di luar hutan itu terdapat sebuah dusun di mana dia dapat bermalam dan membiarkan kudanya mengaso.

Mendadak di sebelah depan muncul lima orang yang menghadang jalan. Jantung A-liok berdebar keras. Celaka, tentu kaum perampok, pikirnya. Akan tetapi mengingat bahwa dia adalah orang kepercayaan dan utusan Cia-taihiap, hatinya membesar dan keberaniannya timbul. Ia menahan kendali kudanya dan berkata lantang,

"Sahabat-sahabat di depan harap membiarkan aku lewat. Aku adalah orang utusan dari Cia-taihiap di Cin-ling-san, dan aku tidak memiliki sesuatu yang cukup berharga. Biarlah kelak kulaporkan kepada taihiap agar memberi ganjaran kepada kalian!"

Lima orang itu dipimpin oleh seorang setengah tua yang berpakaian mewah sekali seperti seorang bangsawan. Ketika kelima orang itu tertawa-tawa geli menyaksikan sikap A-liok, orang itu membentak,

"Mengapa tertawa-tawa? Keparat, hayo tangkap dia!"

Seketika kelima orang itu berhenti tertawa dan sambil menyeringai mereka menghampiri A-liok yang masih duduk di atas kuda. Seorang di antara mereka berkata,

"Petani busuk, turun kau!" tangannya meraih utuk menyeret kaki A-liok, akan tetapi A-liok menggerakkan kakinya menendang.

"Crottt! Waduhhhhhhh…!"

Orang itu terkena tendangan ujung kaki A-liok, tepat pada hidungnya sehingga kontan hidung itu mengucurkan kecap! A-liok sendiri terpental karena tendangan itu dan karena kudanya kaget meringkik lalu mengangkat kaki depan ke atas, tak dapat dicegahnya lagi A-liok terbanting ke belakang.

Akan tetapi dengan gerakan seperti seorang ahli silat kelas satu benar-benar, dia sudah meloncat bangun lagi, tidak mempedulikan pinggulnya yang terbanting dan terasa nyeri. Ia segera melangkah maju, mengangkat dadanya dan tidak merasa bahwa jalannya agak terpincang. Dengan keras dia membentak,

"Apakah kalian sudah buta? Berani menyerang utusan dan murid Cia Keng Hong taihiap, pendekar sakti di Cin-ling-san?"

Akan tetapi orang yang hidungnya kena tendangan ujung sepatu yang kotor dan bau itu dengan gerengan keras sudah menerjang maju kemudian memukul dadanya. A-liok baru belajar dasar-dasar ilmu silat selama beberapa bulan, akan tetapi karena yang mengajar dia adalah seorang sakti semacam Ci Keng Hong, dasar ini sudah cukup baginya untuk dapat memasang kuda-kuda yang kokoh, dan sekali menggeser kaki dia sudah berhasil mengelak, sedangkan tangan kirinya meluncur ke depan menghantam ke arah kepala si penyerang.

"Blukkk... auuuuwwwwww…!"

Kepala orang itu terkena pukulan, lantas terguling dan setengah pingsan karena matanya berkunang kepala berdenyut-denyut, sedangkan yang berteriak kesakitan adalah A-liok sendiri karena tangannya terasa sakit bukan main pada saat kepalan tangannya bertemu dengan batok kepala yang keras! Ia menyeringai dan menghelus-elus tangan kirinya.

Orang setengah tua berpakaian mewah yang memimpin lima orang itu menjadi marah. Dia menggerakkan tangannya menampar ke arah A-liok yang kebetulan sedang berada di dekatnya. A-liok kembali berusaha mengelak, akan tetapi tangan itu seperti mengikuti dan cepat mengenai dadanya.

"Plakkk!"

Tubuh A-liok terlempar dan bergulingan. Dia meloncat bangun, terhuyung dan terengah-engah. Napasnya sesak dan dadanya nyeri bukan main. Kedua matanya menjadi merah saking marahnya.

"Kau...! Berani kau memukul A-liok, jago muda dari Cin-ling-san murid Cia-taihiap?"

Pemuda dusun ini maklum bahwa orang berpakaian mewah itu amat lihai, maka dengan kemarahan meluap dia menerjang maju lalu menyerang, bukan menggunakan pukulan atau tendangan, melainkan menyeruduk dengan kepalanya bagaikan seekor kerbau gila mengamuk, menyeruduk ke arah perut laki-laki setengah tua berpakaian mewah itu.

Laki-laki itu yang bukan lain adalah Mo-kiam Siauw-ong, ‘Raja Muda’ semua bajak pada sepanjang Sungai Fen-ho, tersenyum mengejek. Menghadapi seorang muda dusun tolol seperti ini, mana dia sudi untuk mengelak? Melihat serudukan itu, dia sama sekali tidak menangkis atau mengelak, malah memasang perutnya yang agak gendut dan menerima serudukan kepala pemuda itu.

"Dukkk!"
Tubuh Mo-kiam Siauw-ong sama sekali tidak bergoyang terkena serudukan yang keras itu, sebaliknya, tubuh A-liok terlempar ke belakang sampai beberapa meter. Pemuda itu berputar-putar seperti menari-nari di atas dua kakinya yang terhuyung, kedua tangannya memegangi kepalanya yang seperti pecah rasanya, kedua matanya menjuling dan dunia menjadi gelap penuh bintang-bintang gemerlapan sebelum dia roboh dan tidak tahu apa pun lagi, pingsan!

Akan tetapi tidak lama A-liok pingsan. Tubuhnya yang sudah biasa bekerja berat setiap hari, mencangkul di bawah terik panas matahari hingga membuat tubuhnya kuat dan daya tahannya besar. Pada saat dia membuka mata dan mengeluh, ternyata kedua tangannya sudah terikat, demikian pula kedua kakinya. Ia miringkan tubuh memandang dan melihat betapa laki-laki berpakaian mewah yang lihai sekali tadi kini sedang memegangi sampul surat yang tadi berada di saku bajunya, tersenyum-senyum dan mengangguk-angguk.

"Aha, Sianli tentu akan girang sekali melihat surat ini." Mo-kiam Siauw-ong berkata. "Seret dia, kita bawa menghadap Sianli!"

Seorang penjahat lalu menyambar kuncir rambut A-liok dan menyeretnya. A-liok berteriak-teriak, memaki-maki, bukan hanya karena rasa nyeri akibat rambutnya ditarik, akan tetapi melihat suratnya telah dirampas dan bahkan uang bekalnya dipakai main-main di tangan seorang penjahat.

"Perampok rendah! Keparat hina! Hayo kembalikan surat itu, kembalikan uangku, dan lepaskan aku. Kalau tidak, kalian tentu akan dibasmi semua oleh Cia-taihiap! Kembalikan surat dan uangku, kalian maling-maling busuk, perampok, bajak!"

Akan tetapi mereka tak mempedulikannya, dan sebuah hantaman di belakang telinganya membuat A-liok roboh pingsan lagi. Dia tidak tahu betapa tubuhnya disampirkan ke atas punggung kuda, lalu cepat dibawa pergi oleh enam orang yang menunggang kuda-kuda besar.

Kebencian membuat manusia menjadi seperti gila karena kebencian itu sendiri sebelum merugikan orang lain telah menjadi racun dalam hati sendiri. Kebencian Cui Im terhadap empat orang muda, Keng Hong, Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu, membuat wanita ini setiap detik merasa tersiksa hatinya. Belum akan reda dendam dan bencinya kalau dia belum berhasil mencelakakan musuh-musuhnya itu. Dan selama ini Cui Im tidak pernah diam.

Di samping memperhebat ilmunya di bawah pimpinan Go-bi Thai-houw yang tinggal di Sun-ke-bun yang diperlakukan seperti seorang Thai-houw (permaisuri) benar-benar, atau lebih tepat seperti Ibu suri, Cui Im juga tak pernah berhenti untuk melakukan pengintaian terhadap empat orang musuhnya dan mempelajari keadaan mereka.

Dapat dibayangkan betapa menghebat iri hati, dendam dan bencinya ketika ia mendengar bahwa kedua pasangan suami isteri itu hidup penuh kebahagiaan, bahkan kini menanti lahirnya seorang anak masing-masing!

Dia maklum bahwa sangatlah berbahaya untuk turun tangan secara kasar menggunakan kekerasan. Selain dua pasang suami isteri itu, terutama sekali Keng Hong dan Biauw Eng yang tinggal di Cin-ling-san, mempunyai kepandaian tinggi, juga kini pemerintah sedang bersikap keras dan akan membasmi setiap gerombolan penjahat yang berani mengacau.

Kalau dia membawa para anak buah bajak menyerbu ke Cin-ling-san, dia khawatir gagal menghadapi kelihaian Keng Hong dan Biauw Eng, sungguh pun dia dibantu oleh Go-bi Thai-houw yang di akhir-akhir ini saking tuanya menjadi malas meninggalkan kamarnya yang indah dan lengkap.

Menyerbu ke Leng-kok lebih banyak harapan karena dia sanggup mengatasi kepandaian Cong San dan Yan Cu, akan tetapi hal itu berarti dia mendatangkan kekacauan di kota itu dan kalau sampai pemerintah turun tangan memusuhinya, dia bisa celaka. Pemerintah Ceng mempunyai banyak sekali orang pandai.

Apa lagi dia sendiri sekarang mondok di tempat tinggal Coa-taijin, seorang kepala daerah, berarti seorang pegawai negeri pula. Tentu Mo-kiam Siauw-ong sebagai menantu kepala daerah tak berani mengerahkan anak buahnya membantu. Selain berbahaya, hal itu juga akan menyeret dan membahayakan kedudukan mertuanya.

Karena inilah maka Cui Im yang dimabuk dendam kebencian itu melakukan siasat dengan penuh kesabaran. Dia menyuruh Mo-kiam Siauw-ong yang sudah menjadi pembantunya yang setia untuk mengirim orang-orang menyelidiki keadaan empat orang musuhnya itu, mengintai dan mengawasi setiap gerak-gerik mereka.

Demikianlah, pada saat para pengintai itu melihat seorang pemuda dusun menjadi utusan Keng Hong, segera mereka menghadang A-liok, bahkan dipimpin sendiri oleh Mo-kiam Siauw-ong yang kebetulan tengah meronda dan melakukan pemeriksaan atas tugas anak buahnya.

A-liok tertawan dan betapa girang hati Mo-kiam Siauw-ong ketika mendapatkan sepucuk surat Cia Keng Hong yang ditujukan kepada Yap Cong San di Leng-kok. Penemuan ini merupakan jasa besar dan dia sudah membayang betapa Cui Im akan membalas jasa ini dengan mesra, sedikitnya semalam suntuk dia akan diterbangkan ke sorga oleh wanita yang cantik jelita, pandai merayu pria, berpengalaman dan amat lihai itu!

Biar pun diam-diam Mo-kiam Siauw-ong tergila-gila kepada Cui Im, akan tetapi tentu saja dia tidak berani mengambil langkah lebih dulu, di samping sungkan kepada Coa Kun, adik iparnya yang kini menjadi kekasih tetap Cui Im, juga takut kepada ayah mertuanya, dan terutama sekali mana dia berani bersikap kurang ajar kepada Cui Im yang demikian lihai? Kecuali, tentu saja, seperti dahulu setelah dia turut menyerbu Cin-ling-san, kalau Cui Im menghendakinya, untuk memberi ‘hadiah’ atas jasanya, tentu dia akan menerima dan meneguk cawan anggur manis memabukkan itu sampai tiada tertinggal setetes pun!

Benar saja seperti dugaan Mo-kiam Siauw-ong. Cui Im yang cantik dengan pipinya yang kemerahan itu menjadi berseri. Wanita yang telah berusia tiga puluh tahun lebih ini masih nampak cantik sekali, cantik dengan tubuh yang matang dan padat menggairahkan, apa lagi ditambah pula dengan gerak-geriknya yang memang menarik, setiap lekuk-lengkung tubuhnya dimanfaatkan dalam gerak-gerik terlatih dan teratur itu.

"Bagus... bagus... Coa-kongcu, sekarang saatnya tiba aku dapat membalas mereka dan kepandaianmulah yang kubutuhkan untuk ini!" katanya sambil menarik tangan pemuda tampan yang kini mukanya menjadi agak pucat karena setiap malam harus melayani iblis betina yang tidak mengenal puas dengan nafsu birahinya itu, masuk ke dalam kamar meninggalkan Mo-kiam Siauw-ong yang bengong terlongong dan kecewa!

Dua hari kemudian, salah seorang anggota anak buah Mo-kiam Siauw-ong yang muda dan perawakannya mirip A-liok, memakai pakaian yang dipakai A-liok dan menunggang kuda dari Cin-ling-san itu, pada malam hari meninggalkan Sun-ke-bun bersama Mo-kiam Siauw-ong serta beberapa orang anak buahnya yang membawa pula tubuh A-liok yang terbelenggu.

Setelah tiba di sebuah hutan pegunungan, A-liok yang dibuka sumbatan mulutnya segera memaki-maki, "Mau diapakan aku? Ehh…, orang itu mengapa memakai pakaianku dan menunggang kudaku? Mana suratku dan uang bekalku? Hayo kembalikan!"

Mo-kiam Siauw-ong memberi isyarat dan sambil tertawa-tawa anak buahnya menyeret tubuh A-liok yang meronta-ronta turun dari kuda, terus menyeretnya ke tepi jurang dan tak lama kemudian terdengar pekik mengerikan ketika tubuh A-liok dibacok lalu dilempar ke dalam jurang yang amat dalam. Mereka tertawa-tawa dan berangkat menuju ke Leng-kok.

Mo-kiam Siauw-ong dan anak buahnya menanti di luar kota, sedangkan anak buahnya yang menunggang kuda Cin-ling-san itu memasuki kota Leng-kok, langsung menuju ke rumah Yap Cong San. Dia meloncat turun dari atas punggung kuda, lalu berindap-indap mendekati toko obat yang sudah tutup karena hari telah malam.

Bagai seorang pencuri, orang ini beberapa kali jalan mondar-madir di depan toko, bahkan beberapa kali menengok ke dalam. Sebagai seorang yang akan melakukan sesuatu yang tidak baik, sikapnya itu selain mencurigakan juga amat ceroboh, karena tentu saja Cong San yang sedang duduk di dalam toko yang hanya dibuka pintunya itu menjadi curiga ketika melihat orang yang mengikat kudanya tak jauh dari situ kini berjalan mondar-madir dan melongok-longok ke dalam.

Cong San mencelat keluar sambil membentak, "Engkau mau apakah? Apakah ada orang sakit? Atau hendak membeli obat?"

Akan tetapi orang itu tak menjawab, malah cepat-cepat pergi dengan langkah lebar dan tergesa-gesa seperti hendak melarikan diri dan menghampiri kudanya. Tentu saja Cong San menjadi makin curiga. Dengan beberapa loncatan saja dia sudah dapat memegang pundak orang itu dari belakang dan sekali menggerakkan tenaga, orang itu dipaksanya membalikkan tubuh menghadapinya.

"Hemmmm, kau mencurigakan sekali! Engkau siapa dan mau apakah?"

Orang itu merasa betapa jari-jari tangan yang mencengkeram pundaknya itu luar biasa kuatnya. Diam-diam ia menggigil dan dengan suara terputus-putus dia berkata, "hamba... A-liok dan... hamba tidak berniat buruk... hamba... hamba adalah utusan Cia-taihiap dari Cin-ling-san..."

Cong San terkejut sekali, cepat melepaskan cengkeraman tangannya dan berkata dengan suara halus, "Ahhh, kalau memang benar begitu mengapa engkau tidak masuk saja ke toko, malah mondar-madir, longak-longok mencurigakan? Marilah masuk, apakah engkau diutus oleh Cia Keng Hong taihaip?"

Akan tetapi orang itu menggeleng kepala dan suaranya gemetar, "Hamba... tidak usahlah, hamba mau kembali saja. Lain kali hamba datang..."

Cong San mengerutkan kening dan kembali timbul kecurigaannya. "Ehh, kenapa begitu? Aku adalah Yap Cong San, tentu Cia-taihiap mengutus engkau untuk menemuiku."

"Tidak... tidak... bukan... hamba harus pergi...!" Orang itu hendak lari akan tetapi Cong San kembali memegang lengannya.

"Tunggu! Hayo katakan, engkau diutus untuk menemui siapa dan menyampaikan apa?"

Orang itu meronta-ronta, tubuhnya menggigil dan suaranya terdengar gemetar, "Hamba tidak berani... tidak berani, lepaskan hamba..."

Cong San makin penasaran. Dia menggerakkan jari tangannya dan seketika orang itu tertotok lumpuh dan tidak dapat mengeluarkan suara. Dengan mudah dia mencengkeram leher baju orang itu dan dibawanya masuk ke dalam tokonya, lalu menutupkan pintu dan mendudukkan orang yang lemas itu ke atas kursi. Kemudian dia menggeledah orang itu dan menemukan sesampul surat dalam saku bajunya.

Tangan Cong San gemetar ketika dia membaca tulisan Keng Hong di atas sampul itu, sebuah surat pribadi dari Cia Keng Hong yang ditujukan kepada Gui Yan Cu! Apa artinya ini? Dia sudah membuka mulut hendak berteriak memanggil isterinya dan kakinya sudah bergerak hendak lari masuk. Akan tetapi dia teringat sesuatu dan ditahannya mulut dan kakinya.

Isterinya sedang beristirahat seperti biasa. Memang sesudah mengandung tua, dia tidak memperbolehkan isterinya bekerja dan mengharuskan banyak mengaso. Surat itu lantas dibacanya. Mukanya mendadak menjadi pucat dan berubah merah sekali, kedua matanya terbelalak, cuping hidungnya berkembang-kempis, bibirnya menggigil seperti tangan dan kakinya. Hampir dia tak percaya akan pandang matanya sendiri dan dibacanya surat itu sekali lagi, perlahan-lahan, namun tetap saja isinya tidak berubah.

Yan Cu sumoi yang tercinta,

Setengah tahun kita saling berpisah. Aku mengharapkan beritamu dengan hati penuh rindu. Kuharap engkau hidup bahagia dengan suamimu. Kami tinggal di Cin-ling-san dan berhasil membangun kembali rumah mendiang subo, dan sekarang tempat kami menjadi sebuah dusun yang ditinggali petani-petani Pegunungan Cin-ling-san.

Sumoi, betapa rinduku kepadamu. Kini aku yakin bahwa hanya engkaulah yang kucinta. Bilakah kita dapat berjumpa kembali berdua seperti dahulu memadu kasih?

Sampai jumpa, sumoi yang tercinta, dan balaslah, karena kalau tidak aku akan selalu menyuratimu.

Penuh cinta dan rindu dari,
Cia Keng Hong.


Cong San merasa betapa dadanya tiba-tiba menjadi sesak dan panas, seolah-olah ada api membara membakarnya dari dalam. Si keparat Cia Keng Hong! Kiranya betul! Hampir dia lari masuk untuk melontarkan surat itu ke muka isterinya. Akan tetapi untungnya dia teringat akan keadaan isterinya.

Isterinya mengandung tua, sangat berbahaya bagi kandungannya kalau sampai batinnya terpukul. Jelas, isterinya dahulu adalah kekasih Keng Hong! Jelas sekali dari bunyi surat itu. Akan tetapi, hal itu sudah disangkanya dahulu, dan bukanlah dia sudah memaafkan?

Sekarang surat ini datangnya dari Cia Keng Hong. Si keparat Keng Hong laki-laki mata keranjang yang tak juga mau mengubah wataknya yang rendah dan kotor! Isterinya tidak bersalah dan amat kejamlah apa bila menyalahkan isterinya dengan datangnya surat ini. Hanya Keng Hong yang bersalah, si keparat hina itu. Sudah menikah dengan Biauw Eng masih berani menyurati Yan Cu yang telah menjadi isterinya. Makin diingat makin panas hatinya dan kalau saja pada saat itu Keng Hong berada di depannya, tanpa bicara satu kata pun lagi tentu akan diserangnya dan diajak mengadu nyawa!

Dengan segala kekuatan batinnya Cong San menekan hatinya yang panas dan diamuk cemburu, kemudian mengambil kertas dan pit-nya, memegang pit yang biasanya menjadi senjatanya yang ampuh itu. Ingin sekali dia mengunakan pit ini untuk menyerang Keng Hong dari pada untuk menulis surat!

Sampai tiga kali dia merobek-robek suratnya yang memaki-maki Keng Hong. Ahh…, dia harus berhati-hati. Urusan ini menyangkut nama dan kehormatan isterinya sendiri yang tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa. Dia boleh marah, boleh memaki Keng Hong, akan tetapi kalau urusan itu dia sebut-sebut dalam surat dan sampai surat itu dibaca orang lain, bukankah nama isterinya akan cemar?

Cia Keng Hong,

Aku masih cukup bersabar, akan tetapi jika sekali lagi engkau berani menulis surat atau melakukan perbuatan yang hina, aku Yap Cong San bersumpah untuk membunuhmu!

Tertanda : Yap Cong San.


Sesudah memasukkan surat ke dalam sampul dan memasukkan ke dalam saku orang yang tertotok itu, dia lalu membebaskan totokannya, mencengkeram pundak orang itu dan melemparkan tubuhnya ke luar toko setelah dia membuka daun pintunya.

"Lekas minggat sebelum kuhancurkan kepalamu!" bentaknya.

"Baik, Taihiap... baik...!" Orang itu berlari terhuyung-huyung, lalu menghampiri kudanya, meloncat ke atas pungung kuda dan membalapkan kudanya ke luar kota Leng-kok.

Cong San menjatuhkan dirinya duduk di atas kursi. Surat dari Cin-ling-san itu seolah-olah terasa panas membakar di dalam saku bajunya. Tiba-tiba dia meluruskan tubuhnya ketika mendengar langkah kaki Yan Cu keluar dari ruangan dalam.

"Apakah ribut-ribut tadi? Aku seperti mendengar ada tamu!" Yan Cu bertanya sambil memandang suaminya.

"Memang ada tamu, seorang dari luar kota membutuhkan obat untuk isterinya yang sakit demam."

"Ahhh, pantas aku mendengar derap kaki kudanya. Ehh, apakah itu?"

Cong San cepat-cepat membungkuk dan mengambil tiga robekan kertas yang tadi sudah dikepal-kepalnya, surat-surat yang bernada keras terhadap Keng Hong. Dia merasa lega bahwa isterinya dengan perutnya yang besar itu tidak dapat membungkuk. Kalau tidak sedang mengandung, tentu Yan Cu sudah membungkuk dan menyambar kertas-kertas itu.

"Ah, bukan apa-apa. Tadi kutulis catatan obat untuknya, akan tetapi sampai tiga kali keliru saja." Cong San merobek-robek kertas itu sampai hancur, kemudian melemparkan potongan-potongan kertas yang sudah diremasnya ke keranjang di sudut.

"Suamiku, kau kelihatan lelah sekali. Mengasolah."

Akan tetapi, Cong San yang rebah di samping isterinya, tak dapat tidur. Yan Cu telah tidur nyenyak dan malam itu sunyi sekali. Akan tetapi Cong San yang rebah tak bergerak itu merasa gelisah dan sama sekali tak pernah dapat tidur sekejap mata pun.

Dadanya terasa panas bukan main. Sekarang dia mendapatkan bukti bahwa antara Yan Cu dengan Keng Hong memang pernah ada hubungan cinta. Hal itu tidak menyakitkan hatinya karena memang sudah diduganya dan sudah dia lupakan. Akan tetapi, sekarang Keng Hong datang dengan suratnya yang jelas menyatakan bahwa lelaki tak tahu aturan itu masih mencintai Yan Cu!

Cong San juga tidak marah mendapat kenyataan bahwa isterinya dicinta laki-laki lain. Tidak ada seorang pun suami di dunia ini yang akan marah kalau isterinya dicinta laki-laki lain, biar pun laki-laki sedunia jatuh cinta, malah akan mendatangkan kebanggaan bahwa wanita yang dicinta orang-orang lain itu menjatuhkan pilihan kepada dirinya! Tidak, dia tak akan peduli kalau tahu bahwa Keng Hong masih mencinta isterinya.

Akan tetapi, melihat Keng Hong masih berani melanjutkan hubungan, berani mengirimkan surat, hal itu sudah melanggar batas kesopanan, seolah-olah sengaja menghinanya! Di samping ini, timbul perasaan tidak enak yang makin memanaskan hatinya, yaitu perasaan cemburu yang sudah berhasil dia padamkan sampai dua kali.

Pertama, pada saat cemburu mulai meracuni hatinya setelah dia mendengar fitnah yang dilontarkan dari mulut Cui Im sehingga dia menjadi cemburu bukan main kepada Yan Cu. Cemburu yang pertama itu dapat dia atasi dan dia tundukkan dengan keyakinan bahwa dia tidak perlu mempercayai mulut seorang iblis betina seperti Bhe Cui Im.

Kemudian ia hampir gila ketika cemburu yang kedua kalinya menerkamnya, yaitu setelah pada malam pertama di pinggir telaga dia mendapat kenyataan bahwa Yan Cu bukan perawan lagi. Rasa cemburu ini membuat dia hampir melakukan hal yang bukan-bukan, bahkan membuat dia ingin membunuh diri. Namun, akhirnya dia dapat juga menundukkan cemburu yang kedua kalinya itu berkat wejangan-wejangan dari suheng-nya, Thian Kek Hwesio yang kini menjadi ketua Siauw-lim-pai.

Kini, kembali cemburu menggerogoti hatinya, sedikit demi sedikit, dengan giginya yang beracun sehingga terasalah panas membakar yang membuat dadanya seperti meledak. Rasa cemburu yang timbul dengan pertanyaan-pertanyaan di dalam hatinya.

“Keng Hong amat mencinta Yan Cu, sampai sebesar apakah cinta Yan Cu kepada Keng Hong? Melihat bunyi surat yang menyatakan betapa besar kasih sayang Keng Hong pada Yan Cu, mungkinkah sekarang Yan Cu sanggup menghilangkan rasa cintanya terhadap Keng Hong? Tidakkah secara diam-diam isterinya yang kini tidur di sampingnya itu masih mencinta Keng Hong?”

Pertanyaan-pertanyaan yang terdengar bagaikan bisikan halus itu seperti menusuk-nusuk jantungnya, dan betapa pun Cong San berusaha mengusirnya, tetap saja bisikan-bisikan itu terus mengikuti hati dan pikirannya.

"Yan Cu menjadi isterimu hanya karena terpaksa! Sebetulnya dia mencinta Keng Hong!" Bisikan yang tadi bertanya-tanya itu sekarang berubah menjadi ejekan-ejekan yang amat menyakitkan hati dan telinga.

Cong San miring ke kanan kemudian ke kiri, menelungkup, telentang, namun suara itu tetap terdengar olehnya. Dia menjadi makin gelisah, suara terngiang-ngiang melengking memenuhi kedua telinganya dan dia tahu bahwa kalau dia tidak dapat menekan ini, dia bisa menjadi gila. Maka dia cepat bangkit perlahan, duduk dan menatap wajah Yan Cu yang tidur dengan nyenyak di sampingnya.

Yan Cu tidur dengan nyenyak sekali, bibirnya agak terbuka dan tampak tersenyum penuh ketenangan. Sanggul rambutnya terlepas dan rambut itu terurai indah, sebagian menutup pipi dan lehernya, sebagian lagi terurai di atas bantal putih. Tangan kirinya terletak di atas bantal dengan lengan terangkat hingga bajunya yang longgar tersingkap memperlihatkan sebagian pundak dan rambut halus di bawah pangkal lengan. Lengan kanannya memeluk perutnya yang gendut seperti sedang melindungi anak yang dikandungnya.

Alangkah cantiknya, betapa suci bersih dari dosa wajah yang jelita itu. Melihat isterinya, perlahan-lahan rasa haru membuat dada Cong San yang tadinya panas itu menjadi hangat nyaman, napasnya yang sesak menjadi tenang dan bisikan jahat tadi kini hanya terdengar lapat-lapat saja seolah-olah setan yang berbisik-bisik menjadi ketakutan dan lari menjauh sambil memaki-maki.

Dengan penuh rasa cinta kasih mendalam, Cong San menunduk dan mengecup dahi Yan Cu, perlahan-lahan sekali sebab dia tidak ingin mengganggu isterinya yang tidur demikian pulasnya. Kemudian pandang matanya merayap ke bawah, mengagumi kulit leher dan pundak yang putih mulus, mengagumi bulu rambut halus di bawah pangkal lengan, terus menurun dengan rasa bangga memandang dada yang kini semakin membesar mengikuti pertumbuhan kandungannya.

Akhirnya matanya terhenti pada perut isterinya, memandang perut yang menggembung itu dan keharuan membuat dia hampir menitikkan air mata pada saat secara kebetulan dia melihat perut di bagian kanan isterinya bergerak-gerak perlahan seakan-akan anak yang berada di kandungan menggerak-gerakan tubuhnya agar tampak oleh ayahnya!

"Yan Cu...!" Cong San berbisik dan mengelus perut yang bergerak perlahan itu.

"Apa kau yakin dia anakmu?"

Cong San tersentak kaget dan menarik tangannya seolah-olah anak di dalam kandungan itu menggigit jari tangannya.

"Siapa tahu dia telah mengandung ketika menikah denganmu. Siapa tahu engkau bukan ayahnya, melainkan Keng Hong...!" Suara itu berbisik makin jelas di dalam telinganya.

"Tidaaaaakkk!! Setan iblis keparat!" Cong San membalik, tangannya terayun seolah-olah hendak memukul yang berbisik di belakangnya.

"Brakkk!" Tiang kelambu di belakangnya patah oleh hantaman telapak tangannya.

Yan Cu bangkit duduk, matanya terbelalak memandang suaminya, "Ehhh... San-ko, apa yang terjadi...?" Dia masih nanar karena baru bangun tidur, berkedip-kedip memandang suaminya dan menoleh ke arah tiang kelambu yang patah, membuat kelambu di bagian itu turun menutup suaminya.

Cong San menjambak-jambak rambutnya, lalu memeluk isterinya sambil berkata, "Ahhh, aku... aku tadi bermimpi... bertempur melawan setan dan tak kusadari aku memukul tiang kelambu sampai patah."

"Ihhh..., apakah yang mengganggu hatimu, Koko? Mengapa engkau sampai mimpi yang tidak-tidak? Untung bukan aku yang kau pukul. Biar kuambilkan minum untukmu, engkau pucat sekali..."

"Tak usah, engkau tidurlah, isteriku dan maafkan aku. Biar kusambung tiang ini." Setelah membetulkan tiang yang patah, Cong San lalu rebah miring dan merangkul isterinya. Yan Cu membalik menghadapi suaminya, menggeser tubuh semakin dekat, menyembunyikan muka di dada suaminya.

"Kau... kau tidak sedang gelisah, bukan?" Ia berbisik.

"Tidak, tidurlah, sayang."
Yan Cu menarik napas lega dan Cong San mempererat pelukannya. Iblis itu tidak berbisik lagi dan dia tidak berani melepaskan pelukannya. Hawa yang hangat dari tubuh Yan Cu seolah-olah mempunyai daya mukjijat mengusir iblis itu dan akhirnya, menjelang pagi itu, dia dapat tertidur dengan Yan Cu dalam pelukannya.

Cong San sama sekali tidak tahu betapa lelaki muda yang mengaku bernama A-liok tadi yang mengaku sebagai utusan Cia Keng Hong mengantar surat rahasia telah menghadap Cui Im bersama Mo-kiam Siauw-ong menyampaikan laporannya. Cui Im dengan hati-hati membuka sampul surat balasan Cong San kepada Keng Hong dan dia tertawa terpingkal-pingkal, wajahnya berseri-seri dan pandang matanya membayangkan kepuasan.

"Bagus sekali! Siasat pertama berhasil baik! Kalau Cong San masih belum terbakar juga, dia betul-betul seorang yang tolol! Engkau telah melakukan pekerjaan dengan baik sekali, sekarang juga engkau harus terus pergi ke Cin-ling-san menyampaikan surat ini kepada Cia Keng Hong."

A-liok palsu itu menjadi pucat mukannya. "Akan tetapi... tentu dia akan mengenal bahwa saya bukan A-liok dan celakalah saya..."

"Bodoh!" Cui Im membentak. "Kau tidak perlu ke tempat tinggalnya, cukup kau berhenti malam-malam di depan rumah seorang petani di kaki Gunung Cin-ling-san, teriaki supaya dia keluar, lalu berikan surat dengan pesan agar disampaikan kepada Cia-taihiap dan kau tambahkan bahwa engkau yang mengaku A-liok tak akan kembali ke lereng Cin-ling-san. Dalam gelap tidak akan ada orang mengenalmu, dan petani bodoh itu tentu hanya akan mengenal pakaian dan kudamu, terutama nama palsumu."

Cui Im memberi hadiah beberapa potong uang perak kepada orang itu yang menerimanya dengan hati girang sekali dan segera berangkat ke Cin-ling-san. Mo-kiam Siauw-ong lalu memerintahkan pelayannya menyediakan hidangan dan arak untuk merayakan hasil baik siasat mengacau kehidupan musuh-musuhnya itu.

"Siasat Sianli benar-benar hebat sekali dan kepandaian menulis adik iparku benar-benar mengagumkan. Aku harus memberi selamat kepada kalian dengan secawan arak!" kata Mo-kiam Siauw-ong. Mereka minum sambil tersenyum-senyum gembira.

Go-bi Thai-houw yang dipersilakan makan minum pula, mendengarkan saja dengan sikap malas-malasan. Kemudian terdengarlah ia berkata, "Tanpa akal bulus surat itu pun murid Tung Sun Nio itu tak akan dapat hidup rukun dengan suaminya. Tendanganku tentu telah berhasil baik, menghilangkan tanda keperawanan dan dengan itu saja sudah cukup untuk merusak kebahagiaan mereka."

Cui Im yang pandai menjilat itu segera mengangkat cawan araknya dan berkata, "Semua siasat teecu mengandalkan kelihaian Subo seorang. Harap Subo suka selalu membantu teecu menghancurkan mereka yang telah menggagalkan semua usaha kita, terutama Cia Keng Hong. Sebelum dia mampus, bagaimana Subo dapat mengangkat diri menjadi yang terlihai di seluruh dunia kang-ouw?"

"Hemmm, sebenarnya bocah itu mudah saja kukalahkan. Akan tetapi aku sekarang sudah merasa malas untuk bertempur, sudah enak sekali hidup di tempat ini. Orang setua aku ini tinggal menanti kematian, harus menghabiskan sisa hidup yang tidak lama lagi dengan bersenang-senang."

Cui Im tidak berani mendesak, dan biar pun subo-nya berkata demikian, di dalam hatinya dia masih sangsi apakah benar subo-nya akan dapat mengalahkan Keng Hong dengan mudah. Apa lagi kalau di samping musuh besarnya itu terdapat Biauw Eng yang tak boleh dipandang ringan pula, karena selain Biauw Eng memang sudah mempunyai kepandaian tinggi, bekas sumoi-nya itu pernah menerima ilmu-ilmu aneh dari Go-bi Thai-houw sendiri dan kini tentu saja menerima bimbingan Keng Hong yang menjadi suaminya.

"Sianli, setelah siasat pertama berhasil dengan baik, kapan akan dilakukan siasat ke dua dan bagaimanakah siasat itu?"

Mendengar pertanyaan Mo-kiam Siauw-ong ini, Cui Im tersenyum. "Saatnya masih belum tiba untuk melakukan siasat ke dua itu. Aku harus menunggu sampai Yan Cu melahirkan bayinya. Dalam keadaan mengandung seperti sekarang ini, siasat itu tak akan dapat kita jalankan."

"Wah, tentu masih lama sekali!" Coa Kun mencela.

"Apa artinya beberapa bulan lagi? Aku telah menanti selama setengah tahun untuk siasat pertama. Untuk dapat membalas dendam dengan berhasil baik, orang harus mempunyai kesabaran dan menggunakan perhitungan yang seksama dan tepat supaya tidak sampai gagal sehingga tidak sia-sialah kesabaran yang berbulan-bulan menindih hati."

"Sianli memang luar biasa sekali, sabar dan cerdik. Memang, orang perlu sekali memiliki kesabaran, karena kesabaran akan mendatangkan hadiah, biar pun lambat."

Mendengar ucapan Mo-kiam Siauw-ong ini, Cui Im melirik ke arah laki-laki tinggi besar itu dan dia tersenyum lebar. "Siasat pertama ini hanya berhasil baik karena jasa Siauw-ong. Jasa besar harus diberi imbalan pahala, dan selanjutnya aku pun mengharapkan bantuan Siauw-ong dengan para anak buahnya. harap malam nanti kau suka menyediakan waktu karena aku akan datang dan merundingkan siasat-siasat selanjutnya denganmu."

Mo-kiam Siauw-ong dapat menangkap maksud yang tersembunyi di balik kata-kata itu, apa lagi ketika mereka bertemu pandang, jantungnya berdebar saking girangnya dan dia pun mengangkat cawan, menenggak habis araknya sambil berkata, "Aku selalu siap sedia membantu Sianli, dan aku menanti kedatangan Sianli setiap saat."

Malam itu Coa Kun terbebas dari gangguan Cui Im dan dapat tidur dengan nyenyaknya di bawah pengaruh hawa arak yang terlalu banyak diminumnya. Di dalam kamar lainnya, di sebelah belakang bangunan yang besar itu, Cui Im memenuhi janjinya kepada Mo-kiam Siauw-ong, menyelinap ke dalam kamar laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar ini yang menyambut kedatangannya dengan pelukan dan ciuman penuh nafsu birahi yang bernyala-nyala. Mo-kiam Siauw-ong menikmati pahalanya sampai malam suntuk dan Cui Im pun menanggapi ini sebagai sebuah selingan yang bukan tidak menyenangkan.

********************

Sementara itu, beberapa hari kemudian, pagi-pagi sekali Keng Hong dan Biauw Eng menerima kedatangan seorang petani yang tinggal di kaki bukit, yang datang menghadap membawa sampul surat sambil berkata,

"Malam tadi saya menerima surat ini untuk disampaikan kepada Cia-taihiap. Oleh karena malam gelap, saya tidak berani mengganggu Taihiap dan baru pagi ini saya sampaikan."

Keng Hong cepat menerima surat itu dan ketika membaca sampulnya, dia saling pandang dengan isterinya.

"Dari mereka?" tanya Biauw Eng.

Keng Hong mengangguk, lalu bertanya kepada petani ini, "Siapakah yang memberikan surat ini kepadamu, Lopek?"

"Seorang penunggang kuda, katanya bernama A-liok. Selain minta agar supaya surat itu disampaikan kepada Taihiap, juga dia berpesan bahwa dia tidak akan kembali lagi ke sini, Taihiap. Lalu dia pergi membalapkan kudanya."

"Aneh sekali, mengapa A-liok tidak pulang?" Biauw Eng berkata, alisnya berkerut karena dia merasa curiga.

"Bagaimana rupanya orang itu, Lopek? Apakah Lopek sudah mengenal A-liok?"

Petani tua itu menggelengkan kepala. "Saya tidak dapat melihat wajahnya Taihiap. Malam gelap dan dia duduk di atas kuda. Hanya kudanya berbulu hitam dihias putih di dada dan keempat kakinya, dan pakaian orang itu berwarna biru, dengan topi bundar warna kuning. Dia masih muda, melihat bentuk badan dan suaranya."

"A-liok, tak salah lagi," kata Keng Hong, "Terima kasih, Lopek." Dia memberi hadiah uang kepada kakek itu yang ditolaknya.

"Melakukan sesuatu untuk taihiap sudah merupakan kesenangan, kenapa harus memberi hadiah? Sudah cukup, Taihiap, saya mau turun." Kakek itu kemudian berjalan terbongkok-bongkok menuruni lereng.

Keng Hong mengajak isterinya masuk ke dalam kamar dan di situlah, di luar tahunya orang lain, mereka bicara serius. "Heran sekali, mengapa A-liok tidak langsung pulang saja dan menyerahkan surat balasan itu kepada kita?" Biauw Eng berkata. "Benar-benar mencurigakan urusan ini."

"Hemmm, agaknya aku salah mempercaya orang. A-liok pernah tinggal bertahun-tahun di kota. Begitu mendapatkan kuda baik dan sedikit uang, agaknya dia tidak mau kembali ke gunung dan akan merantau ke kota lagi. Sudahlah, yang paling penting, surat kita sudah diberikan dan malah dia sudah membawa balasannya, ini sudah cukup baik."

Keng Hong merobek pinggir sampul dan menarik keluar suratnya. Dibukanya lipatan surat dan begitu matanya membaca beberapa buah huruf yang ditulis dengan goresan penuh amarah itu, wajahnya berubah marah, matanya terbelalak dan dia terjatuh duduk di atas kursi, kedua tangan masih tetap memegangi surat seolah-olah kedua lengannya kaku dan dia tidak percaya akan apa yang dibacanya.

"Apa isinya?" Biauw Eng terkejut melihat suaminya dan ketika suaminya tidak menjawab, dia pun cepat merampas surat itu dan dibacanya.

"Manusia jahanam Yap Cong San...!" Biauw Eng memaki dan merobek kertas itu.

"Eiiiihhh, sabar, jangan robek-robek surat itu, untuk bukti!"

Biauw Eng melemparkan surat yang sudah dia robek menjadi dua itu kepada suaminya sambil berkata marah, "Sabar, katamu? Si keparat itu berani menghinamu seperti itu dan kau bilang supaya aku sabar? Hemmm, apa bila saat ini dia berada di depanku, tentu dia akan merasai hajaran kedua tanganku!"

"Nanti dulu, isteriku. Kita harus tidak boleh menurutkan perasaan dan menggunakan akal sehat. Aku tidak percaya kalau Cong San dapat menulis surat seperti ini kepadaku. Tentu ada sebab lain, dan melihat sikap A-liok yang melarikan diri dari sini, aku curiga sekali."

"Curiga apa lagi? Sebab apa lagi? Dia sudah gila, gila oleh cemburu! Masa engkau tidak tahu? Dia sudah menjadi gila karena mencemburukan isterinya denganmu! Manusia tolol macam itu apa gunanya diajak berunding? Cis, aku tidak sudi mempunyai sahabat, apa lagi saudara, macam itu! Pendeknya, mulai saat ini, kita tidak akan berhubungan dengan manusia itu lagi, dan kalau tanpa disengaja aku bertemu dengannya, aku tidak akan puas sebelum menghajarnya sampai dia minta ampun kepadamu."

"Ssttt, Biauw Eng isteriku, tenang dan sabarlah. Ingat bahwa engkau telah menjadi calon ibu anak kita, masa masih begitu pemarah dan ganas? Aku yakin bahwa Cong San tentu tidak sengaja menghinaku, dan di balik semua ini tentu ada rahasia lain. Dia telah menjadi korban racun fitnah yang dihamburkan oleh Go-bi Thai-houw dan Cui Im, tentu dia sudah menderita batin hebat sekali kalau dia terkena racun itu, jangan kau tambah dengan sikap bermusuh dan membenci dirinya. Sebaliknya, kita harus menolongnya..."

"Cukup! Memang aku isteri yang galak, wanita yang ganas! Terang-terangan engkau telah dihina orang, aku membelamu dan kau malah membela orang itu! Sekarang aku bingung sekali, apakah si keparat Cong San yang gila, ataukah engkau yang miring otak, ataukah aku yang edan!"

"Aihhh, isteriku yang baik, kau maafkanlah aku!" Keng Hong merangkul. "Kita hentikan saja pembicaraan mengenai Cong San sampai lain kali. Betapa pun juga, yang penting adalah kita berdua dan aku tak ingin kita bertengkar karena dia atau siapa pun juga. Kau maafkan aku, kalau perlu, biarlah aku berlutut padamu!" Keng Hong benar-benar segera menjatuhkan diri berlutut di depan Biauw Eng!

Biauw Eng terkejut sekali dan cepat dia pun berlutut, merangkul suaminya dan menangis sesenggukan di dalam rangkulan Keng Hong. Keng Hong mengelus-elus rambut isterinya, mengangkatnya bangkit dan menuntunnya duduk di kursi.

"Aihh, aku telah gila, Eng-moi. Masakah aku harus membuat engkau marah hanya karena seorang yang gila oleh cemburu. Engkau benar, memang kita tidak perlu lagi memikirkan mereka. Kelak, kalau anak kita sudah besar, kita berdua... ehhh, bertiga maksudku, akan menengok Leng-kok dan hendak kulihat apa sebetulnya yang terjadi atas diri Cong San sehingga membuat dia gila dan menulis surat macam ini kepadaku."

Biauw Eng masih terisak. "Aku tidak dapat menahan panasnya hati membaca surat yang memaki dan menghinamu, Hong-ko. Apa pun yang terjadi, betapa besar pun dia diracuni oleh rasa cemburu, dia tidak boleh menulis penghinaan macam itu. Biarlah aku menurut kata-katamu, suamiku. Kita tinggal diam saja dengan sabar, anggap saja dia gila. Kelak kalau keadaan sudah mengijinkan, kita bersama akan pergi menjumpainya dan menuntut perbuatannya yang tidak pantas ini!"

"Baiklah, Eng-moi." Biar pun mulutnya berkata demikian, namun di dalam hatinya Keng Hong merasa khawatir sekali, mengkhawatirkan nasib Yan Cu.

Kalau benar Cong San menjadi gila oleh cemburu, habis bagaimana nasib sumoi-nya itu? Kalau saja Biauw Eng tidak sedang mengandung tua, tentulah dia sudah lari ke Leng-kok untuk menyelidiki dan membikin terang perkara yang menggelapkan pikiran dan menekan hatinya itu. Dia harus bersabar karena dia mengenal watak Biauw Eng yang masih belum dapat melenyapkan keganasannya, apa lagi kalau hal yang menyangkut suaminya yang tercinta.

Apa pun yang terjadi, yang paling penting adalah keselamatan serta kesehatan isterinya, Biauw Eng dan anak yang tengah dikandungnya. Keng Hong hanya dapat menarik napas panjang dan semenjak saat itu, biar pun hanya diam-diam dan dia menyembunyikan dari isterinya, batinya tertekan dan penuh keprihatinan akan nasib Cong San dan terutama Yan Cu, sumoi-nya yang amat disayangnya seperti adik sendiri itu.
Selanjutnya,

Pedang Kayu Harum Jilid 45

Pedang Kayu Harum Jilid 45
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Keng Hong dan Biauw Eng yang melakukan perjalanan sambil menikmati bulan madu, saling melimpahkan cinta kasih yang mendalam, tak merasakan lagi jauhnya perjalanan. Bagi dua orang yang seolah-olah merasa bahwa di dunia ini hanya ada mereka berdua, semua tempat tampak indah menyenangkan.

Baik bermalam di dalam rumah penginapan, atau di dalam hutan, di padang rumput, di lembah sungai, bagi mereka tiada bedanya. yang penting adalah merasa belaian tangan kekasih, merasakan kehadiran pujaan hati dan mereka saling menumpahkan segala rindu dendam yang sudah bersemi di hati masing-masing semenjak tahunan yang lalu, saling menyiramkan cinta kasih tak mengenal puas.

Sesuai dengan nasehat Biauw Eng yang memandang segala sesuatu penuh perhitungan dan kewaspadaan, Keng Hong dan isterinya tidak langsung mengunjungi Siauw-lim-pai, hanya melihat dan mendengar dari jauh. Akhirnya dengan hati lega mereka mendengar bahwa tidak terjadi keributan di Siauw-lim-si, hanya bahwa ketua Tiong Pek Hosiang yang usianya sudah sangat tua itu mengundurkan diri untuk bertapa di Ruangan Kesadaran, sedangkan kedudukan ketua telah dipilih Thian Kek Hwesio.

Mendengar ini, Keng Hong dan Biauw Eng menjadi girang sekali. Apa lagi pada waktu mendengar bahwa sesudah berbulan madu di hutan pohon pek, Cong San dan Yan Cu telah melanjutkan perjalanannya ke Leng-kok.

"Kalau begitu, sebaiknya kita kembali saja ke Cin-ling-san, suamiku. Sayang sekali kalau tempat yang indah itu tidak dipelihara. Mari kita pulang ke sana, dan kita bangun kembali rumah mendiang ibu tiriku. Kita tinggal di sana untuk sementara waktu, sambil melihat perkembangannya kelak karena aku tidak suka tinggal di kota yang ramai. Lebih senang di pegunungan yang sunyi, hanya berdua denganmu."

Keng Hong memegang lengan isterinya dan membelai-belainya. "Sesukamulah, Eng-moi. Mulai sekarang hidupku hanya untuk menuruti kehendakmu, untuk membahagiakanmu, dan ke mana saja kau kehendaki untuk tinggal, aku setuju."

"Hong-ko, engkau baik sekali, akan tetapi aku tidak begitu mau menang sendiri. Aku tahu bila seorang isteri harus ikut dengan suaminya ke mana pun suaminya pergi. Aku hanya menghendaki kita tinggal di Cin-ling-san yang sunyi itu untuk selama setahun. Sesudah anak kita lahir, aku menurut saja engkau akan tinggal di mana."

Keng Hong mencengkeram lengan isterinya, "Apa...? A... anak kita...?"

Biauw Eng tersenyum dan mengangguk.

"Tidak tahukah engkau bahwa aku... aku telah..." Dia tidak melanjutkan kata-katanya dan menundukkan muka, kedua pipinya menjadi merah sekali.

Keng Hong terbelalak, baru sekali ini selama hidupnya dia melihat Biauw Eng malu, dan baru sekali ini pula dia merasa betapa hatinya mengalami kegembiraan yang sukar untuk dituturkan. Jantungnya seolah-olah membengkak, dadanya mengembang dan dia merasa seperti seekor burung merak yang mengembangkan bulu-bulunya penuh kebanggaan.

"Mengandung...? Biauw Eng isteriku, benarkah itu?"

Biauw Eng mengangguk dan Keng Hong bersorak seperti anak kecil mendapat hadiah, memeluk Biauw Eng dengan erat. Akan tetapi tiba-tiba dia melepaskan pelukannya dan berkata, "Aihhh... aku harus hati-hati... mulai sekarang, tidak boleh lagi aku memelukmu erat-erat!"

"Mengapa tidak boleh? Kalau kau kurang kuat memelukku, aku akan mengira bahwa kau telah bosan denganku."

"Tidak, tidak, sungguh mati tidak! Aku harus memikirkan anak kita... ha-ha-ha! Anak kita! Aku akan menjadi ayah! Ho-hooo!" Keng Hong menangkap tubuh isterinya, dipondongnya dan dia berputar-putar sambil tertawa-tawa.

Berangkatlah suami isteri yang saling mencinta ini menuju ke Cin-ling-san dan mereka segera membangun kembali rumah mendiang Tung Sun Nio yang telah dibakar oleh para bajak anak buah Bhe Cui Im.

Para penduduk di lereng dan kaki Gunung Cin-ling-san amat menghormati kedua suami isteri ini, bahkan mereka yang maklum bahwa suami isteri ini adalah sepasang pendekar yang budiman dan sakti, lalu mendatangi mereka dan menyatakan ingin tinggal di lereng itu. Mereka merasa aman dan tenteram kalau tinggal di dekat suami isteri ini.

Tentu saja Keng Hong dan Biauw Eng tidak keberatan, bahkan merasa senang sekali bergaul dengan para petani yang jujur itu. Para petani mendirikan rumah mereka, bahkan membantu Keng Hong membangun rumah dan beberapa bulan kemudian sudah ada belasan keluarga petani yang tinggal di lereng itu. Banyak pula yang mendengar akan kesaktian sepasang pendekar budiman itu sehingga mereka yang selalu menderita oleh gangguan para perampok, mempunyai niat hendak mendekati Keng Hong dan isterinya.

Mulailah Keng Hong hidup sebagai petani di pegunungan yang indah itu dan pada waktu senggang secara iseng-iseng dia mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepada anak-anak pegunungan. Sungguh tak pernah disangkanya bahwa tempat itu akan menjadi sebuah perkampungan yang besar dan bahwa kelak dia akan menjadi pendiri dari Cin-ling-pai, sebuah partai persilatan yang terdiri dari kaum petani penghuni Pegunungan Cin-ling-san!

Setengah tahun kemudian, pada suatu pagi Keng Hong bercakap-cakap dengan isterinya di halaman rumah mereka, yaitu sebuah pondok sederhana akan tetapi cukup besar dan menyenangkan.

"Heran sekali, mengapa tiada berita dari Leng-kok?" Keng Hong berkata.

"Ahhh, Cong San dan Yan Cu sudah hidup berbahagia, kabarnya membuka toko besar di situ, mana mereka ingat pada kita orang-orang gunung ini?" Biauw Eng menjawab sambil tertawa dan menuangkan teh panas untuk suaminya. Gerakannya kaku karena perutnya yang sudah mengandung empat bulan itu menghalangi gerakannya.

Keng Hong memandang ke arah perut isterinya dengan hati terharu dan bangga. "Betapa akan girang hati mereka kalau mereka tahu bahwa aku sudah hampir menjadi ayah!"

"Ihhhh! Masih lama sudah dibicarakan saja. Siapa tahu mereka pun sudah mempunyai calon anak."

"Aku rindu sekali untuk mendengar keadaan mereka. Dan... kalau aku teringat peristiwa di sini dahulu, ingat akan wajah Cong San yang dingin, hatiku tetap tidak merasa enak dan mengkhawatirkan keadaan Yan Cu sumoi. Isteriku, bukankah kini sudah cukup waktunya untuk menjelaskan kesemuanya kepada Cong San?"

"Ahhh, apakah kau hendak meninggalkan aku dalam keadaan mengandung?" Biauw Eng membentak, pura-pura marah.

"Sama sekali tidak, isteriku. Aku tidak akan meninggalkan engkau, bila mana pun juga. Kalau aku pergi, harus bersama engkau. Maksudku, menjelaskan dengan surat seperti yang kau nasehatkan dahulu itu. Sekarang saatnya tepat, aku mempunyai alasan untuk mengirim kabar tentang kita dan menanyakan kabar mereka. Nah, dalam surat itu dapat kusinggung tentang fitnah yang dilontarkan Cui Im itu, agar membersihkan hati Cong San dari rasa cemburu. Bagaimana?"

Biauw Eng mengangguk. "Kalau begitu, baik saja. Akan tetapi, siapa yang akan disuruh menghantarkan suratmu kepada mereka di Leng-kok?"

"Aku akan suruh seorang di antara pemuda di sini untuk mengantarkan surat. Dengan naik kuda kurasa dalam waktu tiga hari dia akan sampai di Leng-kok. Sebaiknya kusuruh A-liok, dia pernah pergi ke kota dan orangnya cukup cerdik, tentu akan dapat mencari alamat Cong San di Leng-kok."

"Baiklah, Koko. Akan tetapi yang hati-hati kau menulis surat dan urusan cemburu itu kau singgung sedikit saja, jangan sampai terlalu menyolok."

"Akan kutulis sekarang dan nanti engkau perbaiki kalau kurang sempurna."

Keng Hong lalu mengambil alat tulis dan kertas kemudian dengan alis berkerut dia mulai menulis sebuah surat dengan hati-hati dan sebaik mungkin. Sesudah membuang waktu satu jam lebih akhirnya dia bisa menyelesaikan surat itu dan memperlihatkannya kepada isterinya. Biauw Eng duduk di kursi, membaca surat itu penuh perhatian,

Saudara Yap Cong San dan Yan Cu sumoi yang baik.

Setengah tahun kita saling berpisah. Kami mengharapkan beritamu dengan hati penuh rindu. Kami harap kalian hidup bahagia seperti kami yang kini menanti hadirnya seorang anak kurang lebih lima bulan lagi. Kami tinggal di Cin-ling-san dan berhasil membangun kembali rumah mendiang subo, dan sekarang tempat kami menjadi sebuah dusun yang ditinggali oleh petani-petani Pegunungan Cin-ling-san. Kami harap kalian ada kesempatan untuk berkunjung, karena kami sudah rindu sekali.

Sebagai penutup surat ini, kami harap semoga kalian jangan mempedulikan fitnahan keji yang dilontarkan iblis betina Bhe Cui Im di Cin-ling-san dahulu, karena semua itu bohong belaka.

Sekian dan sampai jumpa!

Salam dari kami,
Cia Keng Hong dengan isteri.


Sesudah membaca surat itu, Biauw Eng mengangguk. "Kurasa sudah cukup, Hong-ko. Kuharap di sana Cong San akan cukup bijaksana dan cerdik untuk dapat mengerti kalimat terakhir dan melenyapkan sama sekali sisa-sisa penasaran di dalam hatinya."

Pada hari itu juga A-liok berangkat membawa surat itu dan menunggang seekor kuda sambil membawa bekal uang yang diberikan oleh Biauw Eng kepadanya. Pemuda yang berusia dua puluh tahun ini merasa girang dan bangga sekali bahwa dia dipercaya oleh ‘Cia-taihiap’ dan isterinya untuk mengantar surat kepada sahabat mereka di tempat yang begitu jauh. Dia belum pernah ke Leng-kok, akan tetapi setelah menerima petunjuk Keng Hong, pemuda yang pernah beberapa tahun tinggal di kota besar ini merasa yakin akan dapat mencari alamat itu.

Dengan pandang mata penuh harap Keng Hong dan Biauw Eng mengikuti keberangkatan A-liok yang membalapkan kuda. Tadi mereka telah berpesan kepada A-liok supaya suka minta balasan surat sebagai bukti bahwa surat mereka telah diterima oleh Cong San dan isterinya.

A-liok membalapkan kudanya dengan wajah berseri. hatinya girang dan bangga bukan main. Masih terbayang di depan wajahnya yang berseri itu betapa para penduduk dusun semua memandangnya dengan kagum. Dia bukan seorang pemuda dusun sembarangan! Dia mempunyai kelebihan dari pada penduduk gunung lainnya.

Ia telah dipercaya oleh Cia-taihiap dan isterinya, diutus untuk menyerahkan surat, sebuah tugas yang penting sekali! Disuruh menunggang kuda dan dibekali uang lima tail perak! Dia seorang utusan yang maha penting. A-liok merasa dirinya penting dan gagah. Sedikit banyak dia telah menerima pelajaran dasar ilmu silat dari Cia-taihiap dan hatinya besar. Segala macam perampok cilik akan kugasak habis jika berani mengganggu tugasku yang maha penting ini, pikirnya bangga.

Hari telah senja ketika A-liok tiba di sebuah hutan. Dia harus cepat-cepat membalapkan kuda agar dapat sampai di dusun luar hutan ini kalau tidak mau kemalaman dan terpaksa bermalam di hutan. Dia tahu bahwa di luar hutan itu terdapat sebuah dusun di mana dia dapat bermalam dan membiarkan kudanya mengaso.

Mendadak di sebelah depan muncul lima orang yang menghadang jalan. Jantung A-liok berdebar keras. Celaka, tentu kaum perampok, pikirnya. Akan tetapi mengingat bahwa dia adalah orang kepercayaan dan utusan Cia-taihiap, hatinya membesar dan keberaniannya timbul. Ia menahan kendali kudanya dan berkata lantang,

"Sahabat-sahabat di depan harap membiarkan aku lewat. Aku adalah orang utusan dari Cia-taihiap di Cin-ling-san, dan aku tidak memiliki sesuatu yang cukup berharga. Biarlah kelak kulaporkan kepada taihiap agar memberi ganjaran kepada kalian!"

Lima orang itu dipimpin oleh seorang setengah tua yang berpakaian mewah sekali seperti seorang bangsawan. Ketika kelima orang itu tertawa-tawa geli menyaksikan sikap A-liok, orang itu membentak,

"Mengapa tertawa-tawa? Keparat, hayo tangkap dia!"

Seketika kelima orang itu berhenti tertawa dan sambil menyeringai mereka menghampiri A-liok yang masih duduk di atas kuda. Seorang di antara mereka berkata,

"Petani busuk, turun kau!" tangannya meraih utuk menyeret kaki A-liok, akan tetapi A-liok menggerakkan kakinya menendang.

"Crottt! Waduhhhhhhh…!"

Orang itu terkena tendangan ujung kaki A-liok, tepat pada hidungnya sehingga kontan hidung itu mengucurkan kecap! A-liok sendiri terpental karena tendangan itu dan karena kudanya kaget meringkik lalu mengangkat kaki depan ke atas, tak dapat dicegahnya lagi A-liok terbanting ke belakang.

Akan tetapi dengan gerakan seperti seorang ahli silat kelas satu benar-benar, dia sudah meloncat bangun lagi, tidak mempedulikan pinggulnya yang terbanting dan terasa nyeri. Ia segera melangkah maju, mengangkat dadanya dan tidak merasa bahwa jalannya agak terpincang. Dengan keras dia membentak,

"Apakah kalian sudah buta? Berani menyerang utusan dan murid Cia Keng Hong taihiap, pendekar sakti di Cin-ling-san?"

Akan tetapi orang yang hidungnya kena tendangan ujung sepatu yang kotor dan bau itu dengan gerengan keras sudah menerjang maju kemudian memukul dadanya. A-liok baru belajar dasar-dasar ilmu silat selama beberapa bulan, akan tetapi karena yang mengajar dia adalah seorang sakti semacam Ci Keng Hong, dasar ini sudah cukup baginya untuk dapat memasang kuda-kuda yang kokoh, dan sekali menggeser kaki dia sudah berhasil mengelak, sedangkan tangan kirinya meluncur ke depan menghantam ke arah kepala si penyerang.

"Blukkk... auuuuwwwwww…!"

Kepala orang itu terkena pukulan, lantas terguling dan setengah pingsan karena matanya berkunang kepala berdenyut-denyut, sedangkan yang berteriak kesakitan adalah A-liok sendiri karena tangannya terasa sakit bukan main pada saat kepalan tangannya bertemu dengan batok kepala yang keras! Ia menyeringai dan menghelus-elus tangan kirinya.

Orang setengah tua berpakaian mewah yang memimpin lima orang itu menjadi marah. Dia menggerakkan tangannya menampar ke arah A-liok yang kebetulan sedang berada di dekatnya. A-liok kembali berusaha mengelak, akan tetapi tangan itu seperti mengikuti dan cepat mengenai dadanya.

"Plakkk!"

Tubuh A-liok terlempar dan bergulingan. Dia meloncat bangun, terhuyung dan terengah-engah. Napasnya sesak dan dadanya nyeri bukan main. Kedua matanya menjadi merah saking marahnya.

"Kau...! Berani kau memukul A-liok, jago muda dari Cin-ling-san murid Cia-taihiap?"

Pemuda dusun ini maklum bahwa orang berpakaian mewah itu amat lihai, maka dengan kemarahan meluap dia menerjang maju lalu menyerang, bukan menggunakan pukulan atau tendangan, melainkan menyeruduk dengan kepalanya bagaikan seekor kerbau gila mengamuk, menyeruduk ke arah perut laki-laki setengah tua berpakaian mewah itu.

Laki-laki itu yang bukan lain adalah Mo-kiam Siauw-ong, ‘Raja Muda’ semua bajak pada sepanjang Sungai Fen-ho, tersenyum mengejek. Menghadapi seorang muda dusun tolol seperti ini, mana dia sudi untuk mengelak? Melihat serudukan itu, dia sama sekali tidak menangkis atau mengelak, malah memasang perutnya yang agak gendut dan menerima serudukan kepala pemuda itu.

"Dukkk!"
Tubuh Mo-kiam Siauw-ong sama sekali tidak bergoyang terkena serudukan yang keras itu, sebaliknya, tubuh A-liok terlempar ke belakang sampai beberapa meter. Pemuda itu berputar-putar seperti menari-nari di atas dua kakinya yang terhuyung, kedua tangannya memegangi kepalanya yang seperti pecah rasanya, kedua matanya menjuling dan dunia menjadi gelap penuh bintang-bintang gemerlapan sebelum dia roboh dan tidak tahu apa pun lagi, pingsan!

Akan tetapi tidak lama A-liok pingsan. Tubuhnya yang sudah biasa bekerja berat setiap hari, mencangkul di bawah terik panas matahari hingga membuat tubuhnya kuat dan daya tahannya besar. Pada saat dia membuka mata dan mengeluh, ternyata kedua tangannya sudah terikat, demikian pula kedua kakinya. Ia miringkan tubuh memandang dan melihat betapa laki-laki berpakaian mewah yang lihai sekali tadi kini sedang memegangi sampul surat yang tadi berada di saku bajunya, tersenyum-senyum dan mengangguk-angguk.

"Aha, Sianli tentu akan girang sekali melihat surat ini." Mo-kiam Siauw-ong berkata. "Seret dia, kita bawa menghadap Sianli!"

Seorang penjahat lalu menyambar kuncir rambut A-liok dan menyeretnya. A-liok berteriak-teriak, memaki-maki, bukan hanya karena rasa nyeri akibat rambutnya ditarik, akan tetapi melihat suratnya telah dirampas dan bahkan uang bekalnya dipakai main-main di tangan seorang penjahat.

"Perampok rendah! Keparat hina! Hayo kembalikan surat itu, kembalikan uangku, dan lepaskan aku. Kalau tidak, kalian tentu akan dibasmi semua oleh Cia-taihiap! Kembalikan surat dan uangku, kalian maling-maling busuk, perampok, bajak!"

Akan tetapi mereka tak mempedulikannya, dan sebuah hantaman di belakang telinganya membuat A-liok roboh pingsan lagi. Dia tidak tahu betapa tubuhnya disampirkan ke atas punggung kuda, lalu cepat dibawa pergi oleh enam orang yang menunggang kuda-kuda besar.

Kebencian membuat manusia menjadi seperti gila karena kebencian itu sendiri sebelum merugikan orang lain telah menjadi racun dalam hati sendiri. Kebencian Cui Im terhadap empat orang muda, Keng Hong, Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu, membuat wanita ini setiap detik merasa tersiksa hatinya. Belum akan reda dendam dan bencinya kalau dia belum berhasil mencelakakan musuh-musuhnya itu. Dan selama ini Cui Im tidak pernah diam.

Di samping memperhebat ilmunya di bawah pimpinan Go-bi Thai-houw yang tinggal di Sun-ke-bun yang diperlakukan seperti seorang Thai-houw (permaisuri) benar-benar, atau lebih tepat seperti Ibu suri, Cui Im juga tak pernah berhenti untuk melakukan pengintaian terhadap empat orang musuhnya dan mempelajari keadaan mereka.

Dapat dibayangkan betapa menghebat iri hati, dendam dan bencinya ketika ia mendengar bahwa kedua pasangan suami isteri itu hidup penuh kebahagiaan, bahkan kini menanti lahirnya seorang anak masing-masing!

Dia maklum bahwa sangatlah berbahaya untuk turun tangan secara kasar menggunakan kekerasan. Selain dua pasang suami isteri itu, terutama sekali Keng Hong dan Biauw Eng yang tinggal di Cin-ling-san, mempunyai kepandaian tinggi, juga kini pemerintah sedang bersikap keras dan akan membasmi setiap gerombolan penjahat yang berani mengacau.

Kalau dia membawa para anak buah bajak menyerbu ke Cin-ling-san, dia khawatir gagal menghadapi kelihaian Keng Hong dan Biauw Eng, sungguh pun dia dibantu oleh Go-bi Thai-houw yang di akhir-akhir ini saking tuanya menjadi malas meninggalkan kamarnya yang indah dan lengkap.

Menyerbu ke Leng-kok lebih banyak harapan karena dia sanggup mengatasi kepandaian Cong San dan Yan Cu, akan tetapi hal itu berarti dia mendatangkan kekacauan di kota itu dan kalau sampai pemerintah turun tangan memusuhinya, dia bisa celaka. Pemerintah Ceng mempunyai banyak sekali orang pandai.

Apa lagi dia sendiri sekarang mondok di tempat tinggal Coa-taijin, seorang kepala daerah, berarti seorang pegawai negeri pula. Tentu Mo-kiam Siauw-ong sebagai menantu kepala daerah tak berani mengerahkan anak buahnya membantu. Selain berbahaya, hal itu juga akan menyeret dan membahayakan kedudukan mertuanya.

Karena inilah maka Cui Im yang dimabuk dendam kebencian itu melakukan siasat dengan penuh kesabaran. Dia menyuruh Mo-kiam Siauw-ong yang sudah menjadi pembantunya yang setia untuk mengirim orang-orang menyelidiki keadaan empat orang musuhnya itu, mengintai dan mengawasi setiap gerak-gerik mereka.

Demikianlah, pada saat para pengintai itu melihat seorang pemuda dusun menjadi utusan Keng Hong, segera mereka menghadang A-liok, bahkan dipimpin sendiri oleh Mo-kiam Siauw-ong yang kebetulan tengah meronda dan melakukan pemeriksaan atas tugas anak buahnya.

A-liok tertawan dan betapa girang hati Mo-kiam Siauw-ong ketika mendapatkan sepucuk surat Cia Keng Hong yang ditujukan kepada Yap Cong San di Leng-kok. Penemuan ini merupakan jasa besar dan dia sudah membayang betapa Cui Im akan membalas jasa ini dengan mesra, sedikitnya semalam suntuk dia akan diterbangkan ke sorga oleh wanita yang cantik jelita, pandai merayu pria, berpengalaman dan amat lihai itu!

Biar pun diam-diam Mo-kiam Siauw-ong tergila-gila kepada Cui Im, akan tetapi tentu saja dia tidak berani mengambil langkah lebih dulu, di samping sungkan kepada Coa Kun, adik iparnya yang kini menjadi kekasih tetap Cui Im, juga takut kepada ayah mertuanya, dan terutama sekali mana dia berani bersikap kurang ajar kepada Cui Im yang demikian lihai? Kecuali, tentu saja, seperti dahulu setelah dia turut menyerbu Cin-ling-san, kalau Cui Im menghendakinya, untuk memberi ‘hadiah’ atas jasanya, tentu dia akan menerima dan meneguk cawan anggur manis memabukkan itu sampai tiada tertinggal setetes pun!

Benar saja seperti dugaan Mo-kiam Siauw-ong. Cui Im yang cantik dengan pipinya yang kemerahan itu menjadi berseri. Wanita yang telah berusia tiga puluh tahun lebih ini masih nampak cantik sekali, cantik dengan tubuh yang matang dan padat menggairahkan, apa lagi ditambah pula dengan gerak-geriknya yang memang menarik, setiap lekuk-lengkung tubuhnya dimanfaatkan dalam gerak-gerik terlatih dan teratur itu.

"Bagus... bagus... Coa-kongcu, sekarang saatnya tiba aku dapat membalas mereka dan kepandaianmulah yang kubutuhkan untuk ini!" katanya sambil menarik tangan pemuda tampan yang kini mukanya menjadi agak pucat karena setiap malam harus melayani iblis betina yang tidak mengenal puas dengan nafsu birahinya itu, masuk ke dalam kamar meninggalkan Mo-kiam Siauw-ong yang bengong terlongong dan kecewa!

Dua hari kemudian, salah seorang anggota anak buah Mo-kiam Siauw-ong yang muda dan perawakannya mirip A-liok, memakai pakaian yang dipakai A-liok dan menunggang kuda dari Cin-ling-san itu, pada malam hari meninggalkan Sun-ke-bun bersama Mo-kiam Siauw-ong serta beberapa orang anak buahnya yang membawa pula tubuh A-liok yang terbelenggu.

Setelah tiba di sebuah hutan pegunungan, A-liok yang dibuka sumbatan mulutnya segera memaki-maki, "Mau diapakan aku? Ehh…, orang itu mengapa memakai pakaianku dan menunggang kudaku? Mana suratku dan uang bekalku? Hayo kembalikan!"

Mo-kiam Siauw-ong memberi isyarat dan sambil tertawa-tawa anak buahnya menyeret tubuh A-liok yang meronta-ronta turun dari kuda, terus menyeretnya ke tepi jurang dan tak lama kemudian terdengar pekik mengerikan ketika tubuh A-liok dibacok lalu dilempar ke dalam jurang yang amat dalam. Mereka tertawa-tawa dan berangkat menuju ke Leng-kok.

Mo-kiam Siauw-ong dan anak buahnya menanti di luar kota, sedangkan anak buahnya yang menunggang kuda Cin-ling-san itu memasuki kota Leng-kok, langsung menuju ke rumah Yap Cong San. Dia meloncat turun dari atas punggung kuda, lalu berindap-indap mendekati toko obat yang sudah tutup karena hari telah malam.

Bagai seorang pencuri, orang ini beberapa kali jalan mondar-madir di depan toko, bahkan beberapa kali menengok ke dalam. Sebagai seorang yang akan melakukan sesuatu yang tidak baik, sikapnya itu selain mencurigakan juga amat ceroboh, karena tentu saja Cong San yang sedang duduk di dalam toko yang hanya dibuka pintunya itu menjadi curiga ketika melihat orang yang mengikat kudanya tak jauh dari situ kini berjalan mondar-madir dan melongok-longok ke dalam.

Cong San mencelat keluar sambil membentak, "Engkau mau apakah? Apakah ada orang sakit? Atau hendak membeli obat?"

Akan tetapi orang itu tak menjawab, malah cepat-cepat pergi dengan langkah lebar dan tergesa-gesa seperti hendak melarikan diri dan menghampiri kudanya. Tentu saja Cong San menjadi makin curiga. Dengan beberapa loncatan saja dia sudah dapat memegang pundak orang itu dari belakang dan sekali menggerakkan tenaga, orang itu dipaksanya membalikkan tubuh menghadapinya.

"Hemmmm, kau mencurigakan sekali! Engkau siapa dan mau apakah?"

Orang itu merasa betapa jari-jari tangan yang mencengkeram pundaknya itu luar biasa kuatnya. Diam-diam ia menggigil dan dengan suara terputus-putus dia berkata, "hamba... A-liok dan... hamba tidak berniat buruk... hamba... hamba adalah utusan Cia-taihiap dari Cin-ling-san..."

Cong San terkejut sekali, cepat melepaskan cengkeraman tangannya dan berkata dengan suara halus, "Ahhh, kalau memang benar begitu mengapa engkau tidak masuk saja ke toko, malah mondar-madir, longak-longok mencurigakan? Marilah masuk, apakah engkau diutus oleh Cia Keng Hong taihaip?"

Akan tetapi orang itu menggeleng kepala dan suaranya gemetar, "Hamba... tidak usahlah, hamba mau kembali saja. Lain kali hamba datang..."

Cong San mengerutkan kening dan kembali timbul kecurigaannya. "Ehh, kenapa begitu? Aku adalah Yap Cong San, tentu Cia-taihiap mengutus engkau untuk menemuiku."

"Tidak... tidak... bukan... hamba harus pergi...!" Orang itu hendak lari akan tetapi Cong San kembali memegang lengannya.

"Tunggu! Hayo katakan, engkau diutus untuk menemui siapa dan menyampaikan apa?"

Orang itu meronta-ronta, tubuhnya menggigil dan suaranya terdengar gemetar, "Hamba tidak berani... tidak berani, lepaskan hamba..."

Cong San makin penasaran. Dia menggerakkan jari tangannya dan seketika orang itu tertotok lumpuh dan tidak dapat mengeluarkan suara. Dengan mudah dia mencengkeram leher baju orang itu dan dibawanya masuk ke dalam tokonya, lalu menutupkan pintu dan mendudukkan orang yang lemas itu ke atas kursi. Kemudian dia menggeledah orang itu dan menemukan sesampul surat dalam saku bajunya.

Tangan Cong San gemetar ketika dia membaca tulisan Keng Hong di atas sampul itu, sebuah surat pribadi dari Cia Keng Hong yang ditujukan kepada Gui Yan Cu! Apa artinya ini? Dia sudah membuka mulut hendak berteriak memanggil isterinya dan kakinya sudah bergerak hendak lari masuk. Akan tetapi dia teringat sesuatu dan ditahannya mulut dan kakinya.

Isterinya sedang beristirahat seperti biasa. Memang sesudah mengandung tua, dia tidak memperbolehkan isterinya bekerja dan mengharuskan banyak mengaso. Surat itu lantas dibacanya. Mukanya mendadak menjadi pucat dan berubah merah sekali, kedua matanya terbelalak, cuping hidungnya berkembang-kempis, bibirnya menggigil seperti tangan dan kakinya. Hampir dia tak percaya akan pandang matanya sendiri dan dibacanya surat itu sekali lagi, perlahan-lahan, namun tetap saja isinya tidak berubah.

Yan Cu sumoi yang tercinta,

Setengah tahun kita saling berpisah. Aku mengharapkan beritamu dengan hati penuh rindu. Kuharap engkau hidup bahagia dengan suamimu. Kami tinggal di Cin-ling-san dan berhasil membangun kembali rumah mendiang subo, dan sekarang tempat kami menjadi sebuah dusun yang ditinggali petani-petani Pegunungan Cin-ling-san.

Sumoi, betapa rinduku kepadamu. Kini aku yakin bahwa hanya engkaulah yang kucinta. Bilakah kita dapat berjumpa kembali berdua seperti dahulu memadu kasih?

Sampai jumpa, sumoi yang tercinta, dan balaslah, karena kalau tidak aku akan selalu menyuratimu.

Penuh cinta dan rindu dari,
Cia Keng Hong.


Cong San merasa betapa dadanya tiba-tiba menjadi sesak dan panas, seolah-olah ada api membara membakarnya dari dalam. Si keparat Cia Keng Hong! Kiranya betul! Hampir dia lari masuk untuk melontarkan surat itu ke muka isterinya. Akan tetapi untungnya dia teringat akan keadaan isterinya.

Isterinya mengandung tua, sangat berbahaya bagi kandungannya kalau sampai batinnya terpukul. Jelas, isterinya dahulu adalah kekasih Keng Hong! Jelas sekali dari bunyi surat itu. Akan tetapi, hal itu sudah disangkanya dahulu, dan bukanlah dia sudah memaafkan?

Sekarang surat ini datangnya dari Cia Keng Hong. Si keparat Keng Hong laki-laki mata keranjang yang tak juga mau mengubah wataknya yang rendah dan kotor! Isterinya tidak bersalah dan amat kejamlah apa bila menyalahkan isterinya dengan datangnya surat ini. Hanya Keng Hong yang bersalah, si keparat hina itu. Sudah menikah dengan Biauw Eng masih berani menyurati Yan Cu yang telah menjadi isterinya. Makin diingat makin panas hatinya dan kalau saja pada saat itu Keng Hong berada di depannya, tanpa bicara satu kata pun lagi tentu akan diserangnya dan diajak mengadu nyawa!

Dengan segala kekuatan batinnya Cong San menekan hatinya yang panas dan diamuk cemburu, kemudian mengambil kertas dan pit-nya, memegang pit yang biasanya menjadi senjatanya yang ampuh itu. Ingin sekali dia mengunakan pit ini untuk menyerang Keng Hong dari pada untuk menulis surat!

Sampai tiga kali dia merobek-robek suratnya yang memaki-maki Keng Hong. Ahh…, dia harus berhati-hati. Urusan ini menyangkut nama dan kehormatan isterinya sendiri yang tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa. Dia boleh marah, boleh memaki Keng Hong, akan tetapi kalau urusan itu dia sebut-sebut dalam surat dan sampai surat itu dibaca orang lain, bukankah nama isterinya akan cemar?

Cia Keng Hong,

Aku masih cukup bersabar, akan tetapi jika sekali lagi engkau berani menulis surat atau melakukan perbuatan yang hina, aku Yap Cong San bersumpah untuk membunuhmu!

Tertanda : Yap Cong San.


Sesudah memasukkan surat ke dalam sampul dan memasukkan ke dalam saku orang yang tertotok itu, dia lalu membebaskan totokannya, mencengkeram pundak orang itu dan melemparkan tubuhnya ke luar toko setelah dia membuka daun pintunya.

"Lekas minggat sebelum kuhancurkan kepalamu!" bentaknya.

"Baik, Taihiap... baik...!" Orang itu berlari terhuyung-huyung, lalu menghampiri kudanya, meloncat ke atas pungung kuda dan membalapkan kudanya ke luar kota Leng-kok.

Cong San menjatuhkan dirinya duduk di atas kursi. Surat dari Cin-ling-san itu seolah-olah terasa panas membakar di dalam saku bajunya. Tiba-tiba dia meluruskan tubuhnya ketika mendengar langkah kaki Yan Cu keluar dari ruangan dalam.

"Apakah ribut-ribut tadi? Aku seperti mendengar ada tamu!" Yan Cu bertanya sambil memandang suaminya.

"Memang ada tamu, seorang dari luar kota membutuhkan obat untuk isterinya yang sakit demam."

"Ahhh, pantas aku mendengar derap kaki kudanya. Ehh, apakah itu?"

Cong San cepat-cepat membungkuk dan mengambil tiga robekan kertas yang tadi sudah dikepal-kepalnya, surat-surat yang bernada keras terhadap Keng Hong. Dia merasa lega bahwa isterinya dengan perutnya yang besar itu tidak dapat membungkuk. Kalau tidak sedang mengandung, tentu Yan Cu sudah membungkuk dan menyambar kertas-kertas itu.

"Ah, bukan apa-apa. Tadi kutulis catatan obat untuknya, akan tetapi sampai tiga kali keliru saja." Cong San merobek-robek kertas itu sampai hancur, kemudian melemparkan potongan-potongan kertas yang sudah diremasnya ke keranjang di sudut.

"Suamiku, kau kelihatan lelah sekali. Mengasolah."

Akan tetapi, Cong San yang rebah di samping isterinya, tak dapat tidur. Yan Cu telah tidur nyenyak dan malam itu sunyi sekali. Akan tetapi Cong San yang rebah tak bergerak itu merasa gelisah dan sama sekali tak pernah dapat tidur sekejap mata pun.

Dadanya terasa panas bukan main. Sekarang dia mendapatkan bukti bahwa antara Yan Cu dengan Keng Hong memang pernah ada hubungan cinta. Hal itu tidak menyakitkan hatinya karena memang sudah diduganya dan sudah dia lupakan. Akan tetapi, sekarang Keng Hong datang dengan suratnya yang jelas menyatakan bahwa lelaki tak tahu aturan itu masih mencintai Yan Cu!

Cong San juga tidak marah mendapat kenyataan bahwa isterinya dicinta laki-laki lain. Tidak ada seorang pun suami di dunia ini yang akan marah kalau isterinya dicinta laki-laki lain, biar pun laki-laki sedunia jatuh cinta, malah akan mendatangkan kebanggaan bahwa wanita yang dicinta orang-orang lain itu menjatuhkan pilihan kepada dirinya! Tidak, dia tak akan peduli kalau tahu bahwa Keng Hong masih mencinta isterinya.

Akan tetapi, melihat Keng Hong masih berani melanjutkan hubungan, berani mengirimkan surat, hal itu sudah melanggar batas kesopanan, seolah-olah sengaja menghinanya! Di samping ini, timbul perasaan tidak enak yang makin memanaskan hatinya, yaitu perasaan cemburu yang sudah berhasil dia padamkan sampai dua kali.

Pertama, pada saat cemburu mulai meracuni hatinya setelah dia mendengar fitnah yang dilontarkan dari mulut Cui Im sehingga dia menjadi cemburu bukan main kepada Yan Cu. Cemburu yang pertama itu dapat dia atasi dan dia tundukkan dengan keyakinan bahwa dia tidak perlu mempercayai mulut seorang iblis betina seperti Bhe Cui Im.

Kemudian ia hampir gila ketika cemburu yang kedua kalinya menerkamnya, yaitu setelah pada malam pertama di pinggir telaga dia mendapat kenyataan bahwa Yan Cu bukan perawan lagi. Rasa cemburu ini membuat dia hampir melakukan hal yang bukan-bukan, bahkan membuat dia ingin membunuh diri. Namun, akhirnya dia dapat juga menundukkan cemburu yang kedua kalinya itu berkat wejangan-wejangan dari suheng-nya, Thian Kek Hwesio yang kini menjadi ketua Siauw-lim-pai.

Kini, kembali cemburu menggerogoti hatinya, sedikit demi sedikit, dengan giginya yang beracun sehingga terasalah panas membakar yang membuat dadanya seperti meledak. Rasa cemburu yang timbul dengan pertanyaan-pertanyaan di dalam hatinya.

“Keng Hong amat mencinta Yan Cu, sampai sebesar apakah cinta Yan Cu kepada Keng Hong? Melihat bunyi surat yang menyatakan betapa besar kasih sayang Keng Hong pada Yan Cu, mungkinkah sekarang Yan Cu sanggup menghilangkan rasa cintanya terhadap Keng Hong? Tidakkah secara diam-diam isterinya yang kini tidur di sampingnya itu masih mencinta Keng Hong?”

Pertanyaan-pertanyaan yang terdengar bagaikan bisikan halus itu seperti menusuk-nusuk jantungnya, dan betapa pun Cong San berusaha mengusirnya, tetap saja bisikan-bisikan itu terus mengikuti hati dan pikirannya.

"Yan Cu menjadi isterimu hanya karena terpaksa! Sebetulnya dia mencinta Keng Hong!" Bisikan yang tadi bertanya-tanya itu sekarang berubah menjadi ejekan-ejekan yang amat menyakitkan hati dan telinga.

Cong San miring ke kanan kemudian ke kiri, menelungkup, telentang, namun suara itu tetap terdengar olehnya. Dia menjadi makin gelisah, suara terngiang-ngiang melengking memenuhi kedua telinganya dan dia tahu bahwa kalau dia tidak dapat menekan ini, dia bisa menjadi gila. Maka dia cepat bangkit perlahan, duduk dan menatap wajah Yan Cu yang tidur dengan nyenyak di sampingnya.

Yan Cu tidur dengan nyenyak sekali, bibirnya agak terbuka dan tampak tersenyum penuh ketenangan. Sanggul rambutnya terlepas dan rambut itu terurai indah, sebagian menutup pipi dan lehernya, sebagian lagi terurai di atas bantal putih. Tangan kirinya terletak di atas bantal dengan lengan terangkat hingga bajunya yang longgar tersingkap memperlihatkan sebagian pundak dan rambut halus di bawah pangkal lengan. Lengan kanannya memeluk perutnya yang gendut seperti sedang melindungi anak yang dikandungnya.

Alangkah cantiknya, betapa suci bersih dari dosa wajah yang jelita itu. Melihat isterinya, perlahan-lahan rasa haru membuat dada Cong San yang tadinya panas itu menjadi hangat nyaman, napasnya yang sesak menjadi tenang dan bisikan jahat tadi kini hanya terdengar lapat-lapat saja seolah-olah setan yang berbisik-bisik menjadi ketakutan dan lari menjauh sambil memaki-maki.

Dengan penuh rasa cinta kasih mendalam, Cong San menunduk dan mengecup dahi Yan Cu, perlahan-lahan sekali sebab dia tidak ingin mengganggu isterinya yang tidur demikian pulasnya. Kemudian pandang matanya merayap ke bawah, mengagumi kulit leher dan pundak yang putih mulus, mengagumi bulu rambut halus di bawah pangkal lengan, terus menurun dengan rasa bangga memandang dada yang kini semakin membesar mengikuti pertumbuhan kandungannya.

Akhirnya matanya terhenti pada perut isterinya, memandang perut yang menggembung itu dan keharuan membuat dia hampir menitikkan air mata pada saat secara kebetulan dia melihat perut di bagian kanan isterinya bergerak-gerak perlahan seakan-akan anak yang berada di kandungan menggerak-gerakan tubuhnya agar tampak oleh ayahnya!

"Yan Cu...!" Cong San berbisik dan mengelus perut yang bergerak perlahan itu.

"Apa kau yakin dia anakmu?"

Cong San tersentak kaget dan menarik tangannya seolah-olah anak di dalam kandungan itu menggigit jari tangannya.

"Siapa tahu dia telah mengandung ketika menikah denganmu. Siapa tahu engkau bukan ayahnya, melainkan Keng Hong...!" Suara itu berbisik makin jelas di dalam telinganya.

"Tidaaaaakkk!! Setan iblis keparat!" Cong San membalik, tangannya terayun seolah-olah hendak memukul yang berbisik di belakangnya.

"Brakkk!" Tiang kelambu di belakangnya patah oleh hantaman telapak tangannya.

Yan Cu bangkit duduk, matanya terbelalak memandang suaminya, "Ehhh... San-ko, apa yang terjadi...?" Dia masih nanar karena baru bangun tidur, berkedip-kedip memandang suaminya dan menoleh ke arah tiang kelambu yang patah, membuat kelambu di bagian itu turun menutup suaminya.

Cong San menjambak-jambak rambutnya, lalu memeluk isterinya sambil berkata, "Ahhh, aku... aku tadi bermimpi... bertempur melawan setan dan tak kusadari aku memukul tiang kelambu sampai patah."

"Ihhh..., apakah yang mengganggu hatimu, Koko? Mengapa engkau sampai mimpi yang tidak-tidak? Untung bukan aku yang kau pukul. Biar kuambilkan minum untukmu, engkau pucat sekali..."

"Tak usah, engkau tidurlah, isteriku dan maafkan aku. Biar kusambung tiang ini." Setelah membetulkan tiang yang patah, Cong San lalu rebah miring dan merangkul isterinya. Yan Cu membalik menghadapi suaminya, menggeser tubuh semakin dekat, menyembunyikan muka di dada suaminya.

"Kau... kau tidak sedang gelisah, bukan?" Ia berbisik.

"Tidak, tidurlah, sayang."
Yan Cu menarik napas lega dan Cong San mempererat pelukannya. Iblis itu tidak berbisik lagi dan dia tidak berani melepaskan pelukannya. Hawa yang hangat dari tubuh Yan Cu seolah-olah mempunyai daya mukjijat mengusir iblis itu dan akhirnya, menjelang pagi itu, dia dapat tertidur dengan Yan Cu dalam pelukannya.

Cong San sama sekali tidak tahu betapa lelaki muda yang mengaku bernama A-liok tadi yang mengaku sebagai utusan Cia Keng Hong mengantar surat rahasia telah menghadap Cui Im bersama Mo-kiam Siauw-ong menyampaikan laporannya. Cui Im dengan hati-hati membuka sampul surat balasan Cong San kepada Keng Hong dan dia tertawa terpingkal-pingkal, wajahnya berseri-seri dan pandang matanya membayangkan kepuasan.

"Bagus sekali! Siasat pertama berhasil baik! Kalau Cong San masih belum terbakar juga, dia betul-betul seorang yang tolol! Engkau telah melakukan pekerjaan dengan baik sekali, sekarang juga engkau harus terus pergi ke Cin-ling-san menyampaikan surat ini kepada Cia Keng Hong."

A-liok palsu itu menjadi pucat mukannya. "Akan tetapi... tentu dia akan mengenal bahwa saya bukan A-liok dan celakalah saya..."

"Bodoh!" Cui Im membentak. "Kau tidak perlu ke tempat tinggalnya, cukup kau berhenti malam-malam di depan rumah seorang petani di kaki Gunung Cin-ling-san, teriaki supaya dia keluar, lalu berikan surat dengan pesan agar disampaikan kepada Cia-taihiap dan kau tambahkan bahwa engkau yang mengaku A-liok tak akan kembali ke lereng Cin-ling-san. Dalam gelap tidak akan ada orang mengenalmu, dan petani bodoh itu tentu hanya akan mengenal pakaian dan kudamu, terutama nama palsumu."

Cui Im memberi hadiah beberapa potong uang perak kepada orang itu yang menerimanya dengan hati girang sekali dan segera berangkat ke Cin-ling-san. Mo-kiam Siauw-ong lalu memerintahkan pelayannya menyediakan hidangan dan arak untuk merayakan hasil baik siasat mengacau kehidupan musuh-musuhnya itu.

"Siasat Sianli benar-benar hebat sekali dan kepandaian menulis adik iparku benar-benar mengagumkan. Aku harus memberi selamat kepada kalian dengan secawan arak!" kata Mo-kiam Siauw-ong. Mereka minum sambil tersenyum-senyum gembira.

Go-bi Thai-houw yang dipersilakan makan minum pula, mendengarkan saja dengan sikap malas-malasan. Kemudian terdengarlah ia berkata, "Tanpa akal bulus surat itu pun murid Tung Sun Nio itu tak akan dapat hidup rukun dengan suaminya. Tendanganku tentu telah berhasil baik, menghilangkan tanda keperawanan dan dengan itu saja sudah cukup untuk merusak kebahagiaan mereka."

Cui Im yang pandai menjilat itu segera mengangkat cawan araknya dan berkata, "Semua siasat teecu mengandalkan kelihaian Subo seorang. Harap Subo suka selalu membantu teecu menghancurkan mereka yang telah menggagalkan semua usaha kita, terutama Cia Keng Hong. Sebelum dia mampus, bagaimana Subo dapat mengangkat diri menjadi yang terlihai di seluruh dunia kang-ouw?"

"Hemmm, sebenarnya bocah itu mudah saja kukalahkan. Akan tetapi aku sekarang sudah merasa malas untuk bertempur, sudah enak sekali hidup di tempat ini. Orang setua aku ini tinggal menanti kematian, harus menghabiskan sisa hidup yang tidak lama lagi dengan bersenang-senang."

Cui Im tidak berani mendesak, dan biar pun subo-nya berkata demikian, di dalam hatinya dia masih sangsi apakah benar subo-nya akan dapat mengalahkan Keng Hong dengan mudah. Apa lagi kalau di samping musuh besarnya itu terdapat Biauw Eng yang tak boleh dipandang ringan pula, karena selain Biauw Eng memang sudah mempunyai kepandaian tinggi, bekas sumoi-nya itu pernah menerima ilmu-ilmu aneh dari Go-bi Thai-houw sendiri dan kini tentu saja menerima bimbingan Keng Hong yang menjadi suaminya.

"Sianli, setelah siasat pertama berhasil dengan baik, kapan akan dilakukan siasat ke dua dan bagaimanakah siasat itu?"

Mendengar pertanyaan Mo-kiam Siauw-ong ini, Cui Im tersenyum. "Saatnya masih belum tiba untuk melakukan siasat ke dua itu. Aku harus menunggu sampai Yan Cu melahirkan bayinya. Dalam keadaan mengandung seperti sekarang ini, siasat itu tak akan dapat kita jalankan."

"Wah, tentu masih lama sekali!" Coa Kun mencela.

"Apa artinya beberapa bulan lagi? Aku telah menanti selama setengah tahun untuk siasat pertama. Untuk dapat membalas dendam dengan berhasil baik, orang harus mempunyai kesabaran dan menggunakan perhitungan yang seksama dan tepat supaya tidak sampai gagal sehingga tidak sia-sialah kesabaran yang berbulan-bulan menindih hati."

"Sianli memang luar biasa sekali, sabar dan cerdik. Memang, orang perlu sekali memiliki kesabaran, karena kesabaran akan mendatangkan hadiah, biar pun lambat."

Mendengar ucapan Mo-kiam Siauw-ong ini, Cui Im melirik ke arah laki-laki tinggi besar itu dan dia tersenyum lebar. "Siasat pertama ini hanya berhasil baik karena jasa Siauw-ong. Jasa besar harus diberi imbalan pahala, dan selanjutnya aku pun mengharapkan bantuan Siauw-ong dengan para anak buahnya. harap malam nanti kau suka menyediakan waktu karena aku akan datang dan merundingkan siasat-siasat selanjutnya denganmu."

Mo-kiam Siauw-ong dapat menangkap maksud yang tersembunyi di balik kata-kata itu, apa lagi ketika mereka bertemu pandang, jantungnya berdebar saking girangnya dan dia pun mengangkat cawan, menenggak habis araknya sambil berkata, "Aku selalu siap sedia membantu Sianli, dan aku menanti kedatangan Sianli setiap saat."

Malam itu Coa Kun terbebas dari gangguan Cui Im dan dapat tidur dengan nyenyaknya di bawah pengaruh hawa arak yang terlalu banyak diminumnya. Di dalam kamar lainnya, di sebelah belakang bangunan yang besar itu, Cui Im memenuhi janjinya kepada Mo-kiam Siauw-ong, menyelinap ke dalam kamar laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar ini yang menyambut kedatangannya dengan pelukan dan ciuman penuh nafsu birahi yang bernyala-nyala. Mo-kiam Siauw-ong menikmati pahalanya sampai malam suntuk dan Cui Im pun menanggapi ini sebagai sebuah selingan yang bukan tidak menyenangkan.

********************

Sementara itu, beberapa hari kemudian, pagi-pagi sekali Keng Hong dan Biauw Eng menerima kedatangan seorang petani yang tinggal di kaki bukit, yang datang menghadap membawa sampul surat sambil berkata,

"Malam tadi saya menerima surat ini untuk disampaikan kepada Cia-taihiap. Oleh karena malam gelap, saya tidak berani mengganggu Taihiap dan baru pagi ini saya sampaikan."

Keng Hong cepat menerima surat itu dan ketika membaca sampulnya, dia saling pandang dengan isterinya.

"Dari mereka?" tanya Biauw Eng.

Keng Hong mengangguk, lalu bertanya kepada petani ini, "Siapakah yang memberikan surat ini kepadamu, Lopek?"

"Seorang penunggang kuda, katanya bernama A-liok. Selain minta agar supaya surat itu disampaikan kepada Taihiap, juga dia berpesan bahwa dia tidak akan kembali lagi ke sini, Taihiap. Lalu dia pergi membalapkan kudanya."

"Aneh sekali, mengapa A-liok tidak pulang?" Biauw Eng berkata, alisnya berkerut karena dia merasa curiga.

"Bagaimana rupanya orang itu, Lopek? Apakah Lopek sudah mengenal A-liok?"

Petani tua itu menggelengkan kepala. "Saya tidak dapat melihat wajahnya Taihiap. Malam gelap dan dia duduk di atas kuda. Hanya kudanya berbulu hitam dihias putih di dada dan keempat kakinya, dan pakaian orang itu berwarna biru, dengan topi bundar warna kuning. Dia masih muda, melihat bentuk badan dan suaranya."

"A-liok, tak salah lagi," kata Keng Hong, "Terima kasih, Lopek." Dia memberi hadiah uang kepada kakek itu yang ditolaknya.

"Melakukan sesuatu untuk taihiap sudah merupakan kesenangan, kenapa harus memberi hadiah? Sudah cukup, Taihiap, saya mau turun." Kakek itu kemudian berjalan terbongkok-bongkok menuruni lereng.

Keng Hong mengajak isterinya masuk ke dalam kamar dan di situlah, di luar tahunya orang lain, mereka bicara serius. "Heran sekali, mengapa A-liok tidak langsung pulang saja dan menyerahkan surat balasan itu kepada kita?" Biauw Eng berkata. "Benar-benar mencurigakan urusan ini."

"Hemmm, agaknya aku salah mempercaya orang. A-liok pernah tinggal bertahun-tahun di kota. Begitu mendapatkan kuda baik dan sedikit uang, agaknya dia tidak mau kembali ke gunung dan akan merantau ke kota lagi. Sudahlah, yang paling penting, surat kita sudah diberikan dan malah dia sudah membawa balasannya, ini sudah cukup baik."

Keng Hong merobek pinggir sampul dan menarik keluar suratnya. Dibukanya lipatan surat dan begitu matanya membaca beberapa buah huruf yang ditulis dengan goresan penuh amarah itu, wajahnya berubah marah, matanya terbelalak dan dia terjatuh duduk di atas kursi, kedua tangan masih tetap memegangi surat seolah-olah kedua lengannya kaku dan dia tidak percaya akan apa yang dibacanya.

"Apa isinya?" Biauw Eng terkejut melihat suaminya dan ketika suaminya tidak menjawab, dia pun cepat merampas surat itu dan dibacanya.

"Manusia jahanam Yap Cong San...!" Biauw Eng memaki dan merobek kertas itu.

"Eiiiihhh, sabar, jangan robek-robek surat itu, untuk bukti!"

Biauw Eng melemparkan surat yang sudah dia robek menjadi dua itu kepada suaminya sambil berkata marah, "Sabar, katamu? Si keparat itu berani menghinamu seperti itu dan kau bilang supaya aku sabar? Hemmm, apa bila saat ini dia berada di depanku, tentu dia akan merasai hajaran kedua tanganku!"

"Nanti dulu, isteriku. Kita harus tidak boleh menurutkan perasaan dan menggunakan akal sehat. Aku tidak percaya kalau Cong San dapat menulis surat seperti ini kepadaku. Tentu ada sebab lain, dan melihat sikap A-liok yang melarikan diri dari sini, aku curiga sekali."

"Curiga apa lagi? Sebab apa lagi? Dia sudah gila, gila oleh cemburu! Masa engkau tidak tahu? Dia sudah menjadi gila karena mencemburukan isterinya denganmu! Manusia tolol macam itu apa gunanya diajak berunding? Cis, aku tidak sudi mempunyai sahabat, apa lagi saudara, macam itu! Pendeknya, mulai saat ini, kita tidak akan berhubungan dengan manusia itu lagi, dan kalau tanpa disengaja aku bertemu dengannya, aku tidak akan puas sebelum menghajarnya sampai dia minta ampun kepadamu."

"Ssttt, Biauw Eng isteriku, tenang dan sabarlah. Ingat bahwa engkau telah menjadi calon ibu anak kita, masa masih begitu pemarah dan ganas? Aku yakin bahwa Cong San tentu tidak sengaja menghinaku, dan di balik semua ini tentu ada rahasia lain. Dia telah menjadi korban racun fitnah yang dihamburkan oleh Go-bi Thai-houw dan Cui Im, tentu dia sudah menderita batin hebat sekali kalau dia terkena racun itu, jangan kau tambah dengan sikap bermusuh dan membenci dirinya. Sebaliknya, kita harus menolongnya..."

"Cukup! Memang aku isteri yang galak, wanita yang ganas! Terang-terangan engkau telah dihina orang, aku membelamu dan kau malah membela orang itu! Sekarang aku bingung sekali, apakah si keparat Cong San yang gila, ataukah engkau yang miring otak, ataukah aku yang edan!"

"Aihhh, isteriku yang baik, kau maafkanlah aku!" Keng Hong merangkul. "Kita hentikan saja pembicaraan mengenai Cong San sampai lain kali. Betapa pun juga, yang penting adalah kita berdua dan aku tak ingin kita bertengkar karena dia atau siapa pun juga. Kau maafkan aku, kalau perlu, biarlah aku berlutut padamu!" Keng Hong benar-benar segera menjatuhkan diri berlutut di depan Biauw Eng!

Biauw Eng terkejut sekali dan cepat dia pun berlutut, merangkul suaminya dan menangis sesenggukan di dalam rangkulan Keng Hong. Keng Hong mengelus-elus rambut isterinya, mengangkatnya bangkit dan menuntunnya duduk di kursi.

"Aihh, aku telah gila, Eng-moi. Masakah aku harus membuat engkau marah hanya karena seorang yang gila oleh cemburu. Engkau benar, memang kita tidak perlu lagi memikirkan mereka. Kelak, kalau anak kita sudah besar, kita berdua... ehhh, bertiga maksudku, akan menengok Leng-kok dan hendak kulihat apa sebetulnya yang terjadi atas diri Cong San sehingga membuat dia gila dan menulis surat macam ini kepadaku."

Biauw Eng masih terisak. "Aku tidak dapat menahan panasnya hati membaca surat yang memaki dan menghinamu, Hong-ko. Apa pun yang terjadi, betapa besar pun dia diracuni oleh rasa cemburu, dia tidak boleh menulis penghinaan macam itu. Biarlah aku menurut kata-katamu, suamiku. Kita tinggal diam saja dengan sabar, anggap saja dia gila. Kelak kalau keadaan sudah mengijinkan, kita bersama akan pergi menjumpainya dan menuntut perbuatannya yang tidak pantas ini!"

"Baiklah, Eng-moi." Biar pun mulutnya berkata demikian, namun di dalam hatinya Keng Hong merasa khawatir sekali, mengkhawatirkan nasib Yan Cu.

Kalau benar Cong San menjadi gila oleh cemburu, habis bagaimana nasib sumoi-nya itu? Kalau saja Biauw Eng tidak sedang mengandung tua, tentulah dia sudah lari ke Leng-kok untuk menyelidiki dan membikin terang perkara yang menggelapkan pikiran dan menekan hatinya itu. Dia harus bersabar karena dia mengenal watak Biauw Eng yang masih belum dapat melenyapkan keganasannya, apa lagi kalau hal yang menyangkut suaminya yang tercinta.

Apa pun yang terjadi, yang paling penting adalah keselamatan serta kesehatan isterinya, Biauw Eng dan anak yang tengah dikandungnya. Keng Hong hanya dapat menarik napas panjang dan semenjak saat itu, biar pun hanya diam-diam dan dia menyembunyikan dari isterinya, batinya tertekan dan penuh keprihatinan akan nasib Cong San dan terutama Yan Cu, sumoi-nya yang amat disayangnya seperti adik sendiri itu.
Selanjutnya,