Pedang Kayu Harum Jilid 36 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pedang Kayu Harum Jilid 36
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Sambil terkekeh girang Hun Bwee sudah meloncat bangun lantas memutar pedangnya, mendesak dengan tikaman-tikaman berantai ke arah dua lawannya. Terpaksa dua orang jagoan Tembok Besar ini menggerakkan senjata mereka dengan cepat untuk melindungi tubuh sehingga berkali-kali terdengar suara nyaring bertemunya pedang dengan tongkat dan cakar besi. Dalam belasan jurus saja dua orang itu terdesak hebat oleh gulungan sinar pedang hitam.

Tiba-tiba terdengar bentakan keras, "Perempuan gila! Engkau telah membunuh Lian Ci Sengjin?"

Bentakan ini disusul dengan bunyi meledak-ledak seperti halilintar menyambar-nyambar dan ternyata sekarang di tempat itu telah muncul Pat-jiu Sian-ong sendiri beserta Thai-lek Sin-mo Cou Seng yang menggerakkan pecut bajanya sehingga menimbulkan suara bagai halilintar itu. Selain mereka berdua, juga Sian Ti Sengjin ikut datang karena mendengar bahwa sute-nya terbunuh orang.

Kini bekas tokoh Kun-lun-pai itu berdiri dengan muka pucat dan sepasang mata terbelalak memandang pada bekas tubuh sute-nya yang sudah menjadi cacahan daging berceceran tidak karuan. Tak terasa lagi air mata menetes-netes turun membasahi pipinya yang mulai kisut.

"Sute… ahhh, Sute...!" Ia mengeluh dan terbayanglah segala pengalamannya bersama sute-nya.

Lian Ci Sengjin adalah sute-nya yang paling dicintanya, bahkan akhir-akhir ini menjadi sekutunya ketika mereka menentang Kiang Tojin, suheng mereka. Melihat sute-nya telah menjadi daging berceceran seperti itu, hati Sian Ti Sengjin menjadi ngeri dan dia segera mengingat-ingat, dosa apa gerangan yang dilakukan sute-nya hingga sekarang menemui kematian yang demikian mengenaskan.

Kini pertandingan dilanjutkan dengan sangat hebat, akan tetapi setelah Pat-jiu Sian-ong muncul di situ, keadaan Hun Bwee terdesak hebat sekali. Tentu saja kalau dibandingkan dengan Pat-jiu Sian-ong kakek kate kecil berkepala besar yang menjadi seorang di antara Bu-tek Su-kwi, Hun Bwee kalah jauh.

Betapa pun juga, andai kata dia hanya menghadapi kakek ini satu sama satu, belum tentu Pat-jiu Sian-ong akan dapat merobohkannya karena gadis ini memiliki ilmu yang amat aneh sehingga Pat-jiu Sian-ong sendiri menjadi bingung dibuatnya. Dan andai kata gadis itu hanya dikeroyok oleh kedua orang jagoan Tembok Besar, yaitu Gu Coan Kok yang bersenjata tongkat dan Hok Ku yang bersenjata cakar baja, agaknya Hun Bwee masih akan dapat mengalahkan mereka dengan akal-akalnya yang aneh.

Akan tetapi sekarang dia dikeroyok empat dan terutama sekali senjata kebutan hudtim dari Pat-jiu Sian-ong dibarengi pukulan-pukulan sinkang tangan kiri kakek ini yang amat ampuh membuat Hun Bwee kewalahan.

Setelah lewat lima puluh jurus di mana Hun Bwee membela diri mati-matian, tiba-tiba saja ujung hudtim di tangan Pat-jiu Sian-ong berhasil membelit pedang Hek-sin-kiam sehingga dua orang ini saling berkutetan mengadu tenaga untuk mempertahankan senjata mereka masing-masing. Saat itu digunakan oleh Cou Seng untuk menyambar pecut bajanya ke arah kepala Hun Bwee dan dari depan, tongkat Gu Coan Kok menyodok dada sedangkan cakar baja Hok Ku mencengkeram muka!

Hun Bwee yang masih berkutetan mempertahankan pedang, cepat berjongkok sehingga pecut baja Cou Seng bertemu dengan cakar besi, ada pun tongkat Gu Coan Kok yang menyodok telah ditangkis oleh tangan kirinya. Akan tetapi pada saat itu, tahu-tahu tubuh Cou Seng yang bulat besar telah menubruknya dari belakang dan telah memeluk dengan kedua lengannya yang besar berbulu sehingga Hun Bwee tidak mampu berkutik lagi!

Cou Seng ini selain merupakan seorang ahli bermain pecut baja, juga berjuluk Thai-lek Sin-mo (Iblis Sakti Bertenaga Besar), tenaganya hebat bukan main seperti tenaga seekor gajah, dan dia adalah seorang ahli gulat maka pelukannya bukanlah sembarang pelukan. Kedua lengannya yang besar kuat itu menelikung Hun Bwee melalui bawah ketiak gadis itu dan terus membelit ke belakang leher di mana jari-jari tangannya yang kuat saling membelit. Pelukan maut!

"Ahhhhh...! Uuhhhh...!" Gadis itu meronta-ronta namun percuma saja, sedikit pun ia tidak mampu melepaskan diri.

Melihat keadaan gadis yang sudah tidak berdaya ini, Pat-jiu Sian-ong lalu mengerahkan tenaganya membetot hudtim, akan tetapi dia menjadi terkejut dan kagum sekali karena gadis itu tetap mampu mempertahankan pedangnya. Ada pun dua orang jagoan Tembok Besar yang lain kini tertawa saja melihat bahwa lawan yang lihai itu telah kena ditelikung.

Tiba-tiba saja Coa Seng mengeluarkan teriakan memaki secara tidak terduga-duga sama sekali. Ternyata Hun Bwee menundukkan muka dan menggigit lengan yang melingkari lehernya melalui bawah ketiak, sedang tangan kirinya dengan jari-jari lurus dan mengeras penuh tenaga sinkang ditusukkan ke belakang melalui pundak ke arah mata Cou Seng yang berada di belakangnya!

Cou Seng yang merasa lengannya sakit karena kulit lengan robek dihujam gigi putih kecil yang kuat, menarik kepala ke belakang untuk menyelamatkan mata. Akan tetapi kiranya jari-jari tangan itu tidak jadi menusuk mata, melainkan menusuk jalan darah di lehernya! Kaget sekali hati Thai-lek Sin-mo dan karena kaget, lingkaran lengannya mengendor dan dia miringkan tubuh.

Kesempatan ini digunakan oleh Hun Bwee yang tiba-tiba menggerakkan kaki kanannya, kembali bagai seekor kuda ‘menyepak’ ke belakang, tungkak (tumit) kakinya mengancam anggota tubuh paling lemah dari setiap pria, yaitu di bawah pusar!

"Celaka...!" Cou Seng cepat merenggangkan tubuh.

Detik itulah yang dinanti Hun Bwee yang seperti seekor belut saja tiba-tiba menggeliat dan melempar tubuh ke bawah sehingga lingkaran lengan yang merupakan pelukan maut itu terlepas. Hun Bwee membalik dan menendang. Cou Seng mengelak, namun tetap saja tulang keringnya kena ditendang.

"Wadouuuwwwww...!"

Raksasa ini langsung meloncat-loncat dengan kaki kanan sambil memegang kaki kirinya. Berdenyut-denyut rasanya saking nyerinya. Kalau tulang kering kakinya itu patah sekali, tidaklah akan sedemikian nyerinya. Akan tetapi patah tidak, utuh pun tidak, mendekati retak-retak, bukan main nyerinya sampai terasa menembus jantung!

Akan tetapi, pada saat itu kebutan di tangan Pat-jiu Sian-ong sudah melepaskan belitan dan menyambar kepala Hun Bwee. Gadis ini sudah membuang tubuh ke belakang dan berjungkir balik sambil memutar pedangnya.

"Cringgg...! Tranggggg...!"

Tongkat Gu Coan Kok serta tangan yang berselubung cakar besi Hok Ku ditangkisnya dengan tepat. Karena kedudukan badannya sedang berjungkir-balik sambil menangkis, maka dia tidak mampu lagi mengelakkan datangnya hudtim dari Pat-jiu Sian-ong. Ujung kebutan meledak dan menotok punggungnya.

Untung Hun Bwee masih dapat mengerahkan sinkang yang aneh, yang membuat jalan darah yang tertotok itu seolah-olah ‘mati’ sehingga ketika totokan mengenai sasaran, dia hanya roboh terguling dengan bantingan cukup keras. Tetapi cakar besi Hok Ku segera menyambar dan sungguh pun dia sudah menggulingkan tubuh di atas tanah, tetap saja bahunya robek berikut kulit dan daging terkena cakaran, sedangkan tongkat Gu Coan Kok menghantam pundak kirinya hingga tulang pundak kirinya patah!

Hun Bwee menjerit lalu tertawa bergelak, tiba-tiba ia berlutut di hadapan Pat-jiu Sian-ong seperti orang minta ampun! Melihat ini, kakek yang merupakan salah seorang di antara datuk-datuk golongan sesat ini tertegun. Hanya beberapa detik tertegun namun cukuplah bagi Hun Bwee. Tangan kirinya yang pundaknya sudah patah itu masih dapat bergerak dan tanah berdebu menyembur ke atas.

"Celaka...!"

Pat-jiu Sian-ong yang tadi menunduk, cepat mengelak tanpa berani memejamkan mata sebab memejamkan mata pada saat menghadapi lawan merupakan pantangan besar. Hal inilah yang membuat matanya kemasukan debu. Sambil berseru keras hudtim-nya lantas menyambar ke depan sedangkan tubuhnya sendiri mencelat ke belakang, matanya untuk sementara tak dapat melihat.

Namun Hun Bwee sudah mengelak, meloncat jauh dan berlari sambil terkekeh-kekeh. Di antara para pengeroyoknya, yang hebat kepandaiannya adalah Pat-jiu Sian-ong, maka dalam keadaan terluka seperti itu satu-satunya jalan baginya untuk dapat melarikan diri haruslah membuat kakek lihai itu tidak berdaya lebih dulu.

Benar saja, karena Pat-jiu Sian-ong membersihkan kedua matanya yang kelilipan debu, hanya tiga orang jagoan Tembok Besar yang melakukan pengejaran. Akan tetapi Cou Seng mengejar sambil terpincang-pincang, maka mereka bertiga tak mampu menandingi ginkang Hun Bwee yang sudah menghilang ditelan bayang-bayang pohon yang gelap.

Selama terjadinya pertempuran itu, Sian Ti Sengjin hanya menonton saja, berulang-ulang dia menarik napas panjang dan ketika Hun Bwee melarikan diri, dia tidak ikut mengejar melainkan berlutut menghadapi ceceran daging-daging bekas tubuh sute-nya.

"Biar dia lari! Jangan khawatir, dia tidak akan mampu keluar dari benteng ini!" kata Pat-jiu Sian-ong penuh kemarahan ketika kedua matanya sudah dapat dibuka lagi.

Dia merasa malu dan penasaran mengapa dia sebagai seorang datuk kenamaan sampai dapat diakali oleh seorang bocah gila. Justru karena gila, maka akal yang dilakukan Hun Bwee tadi sama sekali tidak pernah disangkanya sehingga dia kena ditipu. Dengan hati penasaran, Pat-jiu Sian-ong lalu mengeluarkan perintah untuk melakukan penjagaan ketat dan meronda agar gadis gila itu tidak sampai dapat lolos dari dalam benteng itu.

Pada saat Cui Im mendengar laporan tentang peristiwa terbunuhnya Lian Ci Sengjin dan larinya Hun Bwee, dia menerima dengan sikap dingin seolah tidak peduli. Lian Ci Sengjin bukan merupakan seorang pembantu yang terlalu kuat, bahkan lenyapnya tokoh ini malah meringankan gangguan terhadap dirinya. Justru dia lebih menyayangkan Hun Bwee yang dia tahu mempunyai kepandaian aneh dan hebat, terutama sekali terjadinya peristiwa itu telah melenyapkan harapan mereka semua untuk dapat menarik tenaga Go-bi thai-houw sebagai sekutu.

"Sian-ong, kalau dia sudah membunuh Lian Ci Sengjin, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan kita karena mereka itu mempunyai urusan pribadi sendiri. Lebih baik biarkan saja dia lari dari sini, karena kalau sampai kita membunuhnya dan kelak hal ini didengar oleh gurunya, kita malah akan menanam bibit permusuhan dengan lawan yang tidak lemah."

Ucapan ini dapat diterima oleh semua orang dan Cui Im sengaja melirik ke arah Sian Ti Sengjin. Akan tetapi bekas tokoh Kun-lun-pai ini terlihat diam saja, agaknya belum lenyap rasa kaget dan dukanya atas kematian sute-nya. Pak-san Kwi-ong juga menerima berita ini sambil tertawa-tawa saja, sama sekali tidak mempedulikannya.

Karena sikap dua orang sekutu inilah maka Pat-jiu Sian-ong tidak turun tangan sendiri dalam mengejar Hun Bwee sehingga seolah-olah membiarkan gadis yang sudah terluka itu meloloskan diri, kalau masih memiliki kemampuan untuk menerobos garis penjagaan anak buahnya. Namun larinya Hun Bwee ini membuat Cui Im berhati-hati dan cepat ia mengatur rencana yang telah ia persiapkan untuk menghadapi empat orang tawanannya yang ia tahu merupakan orang-orang yang amat berbahaya karena mereka berempat itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali Keng Hong.

********************

Hun Bwee yang berhasil lolos dari kepungan, berlari di dalam gelap sambil menangis dan kadang-kadang tertawa. Kalau ia teringat betapa ia telah menemukan orang yang sudah memperkosanya kemudian melampiaskan dendamnya, ia sendiri tidak tahu harus tertawa atau menangis. Kelegaan hati telah dapat membunuh orang yang telah merusak hidupnya membuat ia ingin tertawa bergelak sampai mati, akan tetapi apa bila teringat lagi bahwa yang memperkosanya bukanlah Keng Hong seperti yang selama ini disangkanya, bahkan diharapkannya karena dia mencinta pemuda itu, membuat dia ingin menangisi nasibnya yang amat buruk.

Kini dia tidak kumat lagi. Otaknya benar-benar waras dan kini dia menggunakan segala kecerdikannya untuk dapat lolos dari tempat yang berbahaya ini. Dia harus bebas! Untuk dirinya sendiri? Tidak! Dia harus lolos karena kalau tidak, tentu empat orang muda yang tertawan itu akan celaka nasibnya. Terutama sekali Keng Hong dan Biauw Eng! Dia harus lolos kemudian mencari daya upaya untuk menolong mereka dari cengkeraman Bhe Cui Im yang amat lihai.

Tiba-tiba Hun Bwee menyelinap di dalam gerombolan pohon yang gelap saat mendengar suara para penjaga yang siap melakukan penjagaan ketat sesuai dengan perintah Pat-jiu Sian-ong. Dari balik pohon ia dapat melihat kegiatan mereka. Setiap pintu benteng dijaga ketat, bahkan di sepanjang tembok benteng itu dijaga oleh penjaga-penjaga dalam jarak kurang sepuluh meter.

Ia telah dikurung rapat! Dan lapat-lapat ia mendengar suara anjing-anjing mengonggong. Bukan hanya para penjaga anak buah Pat-jiu Sian-ong, juga anjing-anjing ikut mengurung dirinya. Hun Bwee menggigit bibir menahan rasa nyeri di pundaknya.

Gadis ini lalu berindap-indap mencari bagian tembok benteng yang paling gelap. Dengan amat hati-hati ia merayap melalui semak-semak sampai berada tak jauh lagi dari tembok benteng itu. Pandang matanya berusaha menembus keadaan remang-remang di bawah sinar bulan untuk meninjau keadaan.

Tembok itu terlalu tinggi bagi tubuhnya yang sudah terluka. Dia tentu akan gagal kalau berusaha meloncati tembok setelah merobohkan beberapa orang penjaga yang tentu saja dipandangnya rendah. Pundak kirinya yang patah tulangnya itu akan menjadi penghalang besar.

Jalan satu-satunya hanyalah menerjang pintu gerbang yang terjaga oleh kurang lebih dua losin orang itu. Tidak ada jalan lain. Biar pundaknya telah terluka, dengan pedangnya ia masih sanggup untuk membuka jalan darah melalui pintu gerbang itu, pikirnya.

Akan tetapi sebelum dia bergerak, tiba-tiba dia mendengar suara anjing menggereng tak jauh dari tempat dia bersembunyi dari arah belakangnya. Hun Bwee terkejut dan cepat menengok, akan tetapi pada saat itu, seekor anjing berbulu hitam sebesar anak kerbau telah meloncat menerkamnya dengan gerengan dahsyat.

Hun Bwee sedang bertiarap, menelengkup sedangkan pedangnya masih tergantung pada punggungnya. Melihat binatang buas ini menerkamnya, Hun Bwee cepat menggulingkan tubuhnya ke kiri sampai lima kali. Dia harus dapat membunuh binatang ini sebelum para penjaga mendengar dan datang mengeroyok sehingga pintu gerbang akan terjaga lebih ketat sebelum ia dapat mendejangnya.

Tubrukan anjing itu luput dan sebelum binatang itu dapat melakukan serangan susulan, tangan kanan Hun Bwee sudah melayang dengan hantaman kuat. Akan tetapi, anjing itu agaknya lebih awas di tempat gelap. Pukulan itu dapat ia elakkan sehingga bukan kepala anjing yang terpukul, melainkan lehernya yang amat kuat.

"Bukkk!"
Anjing itu segera terlempar ke samping. Akan tetapi dia bukan mengeluarkan pekik yang menandakan dia takut, melainkan meloncat bangun dan menubruk kembali, moncongnya yang bergigi besar-besar dan runcing itu menyerbu ke arah tenggorokan Hun Bwee.

Melihat berkilaunya gigi-gigi tertimpa sinar bulan yang menembus dari celah-celah daun pohon, Gadis ini segera membuang diri ke samping dan kakinya melayang, menendang perut anjing itu. Kembali terdengar suara berdebuk keras dan tubuh anjing itu terlempar lagi ke belakang.

Ternyata anjing itu tubuhnya kuat sekali karena kini dia sudah menubruk lagi. Hun Bwee telah siap dengan pedangnya, sekali Hek-sin-kiam menyambar leher binatang itu terbacok hampir putus! Pada saat itu pula terdengar gerengan keras dan tiga ekor anjing sekaligus menubruk ke arah Hun Bwee! Gadis ini menjadi marah.

"Bedebah!" Dia memaki dan pedangnya berkelebatan.

Sepandai-pandainya anjing, binatang ini kurang akal. Saat melihat sinar hitam, agaknya binatang-binatang ini tidak mengerti bahaya dan terus menubruk. Seekor anjing berbulu coklat roboh tak berkutik dengan leher putus, anjing ke dua mengeluarkan suara menguik keras. Akan tetapi gerakan tiga ekor anjing yang nekat ini membuat Hun Bwee menjadi agak gugup sehingga pada saat pedangnya menusuk ke dada anjing ke dua, pedang itu menyelip dan terjepit di antara tulang iga. Belum sempat ia menarik pedangnya, anjing ke tiga telah menubruknya sedemikian keras hingga ia roboh terguling tertindih badan anjing yang berat.

Dengan ganas sambil mengeluarkan suara menggeram mengerikan anjing itu membuka lebar mocongnya lantas menggigit ke arah leher. Hun Bwee cepat menggunakan tangan menampar mocong itu. Akan tetapi karena dia terbanting dengan pundak kiri di bawah, sebab tadinya terlupa akan luka di pundaknya, dia merasakan nyeri hebat yang membuat tenaganya berkurang. Moncong anjing itu menyeleweng namun masih berhasil menggigit punggungnya!

"Auhhh...!" Gadis itu menjerit perlahan, daging dan kulit punggungnya terasa nyeri.

Dia cepat menggulingkan tubuhnya, berusaha melepaskan gigitan namun tidak berhasil. Anjing itu seperti seekor lintah besar yang terus menempel di belakang tubuhnya. Hun Bwee hampir tidak kuat menahan rasa nyeri, pedangnya masih tertinggal di dada anjing ke dua yang berkelojotan, maka ia lalu mengerahkan seluruh tenaganya, menangkap kaki belakang anjing dari belakang punggungnya, lalu membawa bagian belakang anjing itu ke depan, kemudian sambil mengerahkan tenaga dan menahan rasa nyeri dia menusukkan jari-jari tangan kanannya ke dalam perut anjing.

"Crottt!"

Lima buah jari tangan kanannya amblas memasuki perut anjing. Dia mencengkeram dan meremas isi perut anjing, menariknya keluar. Anjing itu mengeluarkan suara yang aneh, gigitannya terlepas dan terjatuh ke atas tanah, berkelojotan.

Hun Bwee terhuyung menghampiri anjing yang ‘merampas’ pedangnya, lantas mencabut pedang itu. Tubuhnya terasa sakit-sakit, terutama sekali pundak kirinya yang tentu saja semakin parah karena dipakai bergumul tadi, serta punggungnya yang terasa perih dan panas. Kulit punggungnya yang halus putih itu robek sehingga darah banyak keluar.

Suara perkelahiannya melawan empat ekor anjing tadi agaknya menarik perhatian para penjaga. Dari balik semak-semak Hun Bwee melihat bahwa para penjaga bersiap dengan senjata di tangan, menjaga pintu gerbang. Sekarang, pikirnya, atau terlambat! Kenekatan ini timbul dari harapan untuk dapat keluar agar dia dapat berdaya upaya menolong empat orang yang tertawan.

Dengan lengking menyeramkan, gadis yang sudah koyak-koyak pakaiannya dan terkoyak kulit punggungnya itu lalu meloncat dan lari ke arah pintu gerbang. Para penjaga sudah siap dan begitu melihat munculnya gadis ini yang mereka anggap kumat gilanya, mereka segera menerjang maju.

Hujan tombak dan golok melayang ke arah tubuh Hun Bwee, akan tetapi gadis ini sudah memutar pedangnya. Gulungan sinar hitam membentuk lingkaran dan terdengarlah suara nyaring ketika tombak-tombak serta golok-golok itu patah dan terlepas beterbangan ke kanan kiri, disusul jerit kesakitan ketika lima orang pengeroyok roboh terkena sambaran Hek-sin-kiam! Menyaksikan keganasan Hun Bwee itu, para pengeroyok lainnya menjadi gentar.

Kesempatan itu digunakan oleh Hun Bwee untuk mengeluarkan suara melengking tinggi, setengah tertawa setengah menangis yang membuat bulu tengkuk para pengeroyoknya berdiri, kemudian tahu-tahu gadis itu sudah meloncat ke dekat pintu gerbang!

"Tangkap…!”

“Bunuh...!"

Teriakan-teriakan itu terdengar lebih gencar dari pada datangnya pengeroyokan karena para penjaga benar-benar merasa ngeri dan jeri. Di depan pintu gerbang kembali Hun Bwee dikeroyok oleh belasan orang penjaga.

Para penjaga itu rata-rata memiliki kepandaian ilmu silat, namun mereka bukanlah lawan berat bagi Hun Bwee. Sungguh pun gadis ini sudah terluka parah dan telah kehilangan setengah bagian kecepatannya, akan tetapi gerakannya masih terlalu hebat bagi para pengeroyok itu sehingga setelah bertanding hebat selama beberapa menit, kembali ada enam orang pengeroyok roboh binasa. Orang terakhir yang roboh adalah penjaga palang pintu gerbang.

Hun Bwee cepat menggigit pedangnya yang berlumuran darah, karena kini tangan kirinya sama sekali tidak dapat ia pergunakan lagi dan sudah lumpuh, kemudian dengan tangan kanannya, sekali renggut palang pintu dari besi itu terlepas dan sekali tendang, daun pintu pun langsung terkuak lebar.

Dua orang penjaga mempergunakan kesempatan selagi gadis itu menggigit pedang dan menggunakan tangan merenggut palang pintu, menyerang dari belakang dengan bacokan golok mereka. Hun Bwee mendengar datangnya sambaran dua batang golok. Cepat dia mengelak dengan menarik tubuh ke belakang. Dua batang golok menghantam daun pintu.

Melihat dirinya dibacok seperti itu, sebenarnya Hun Bwee hendak terus mengamuk dan membunuh dua penjaga itu. Akan tetapi tangan kirinya sudah lumpuh, dan sungguh pun pikirannya terganggu namun dia masih memiliki kesadaran bahwa dia harus cepat-cepat keluar dari benteng itu untuk meloloskan diri.

Maka, melihat pintu besi yang tadi ditendangnya kini sudah terpentang lebar, gadis aneh ini segera melompat keluar kemudian menggunakan ginkang-nya berkelebat. Akan tetapi luka-luka yang dideritanya sangat parah sehingga tenaganya banyak berkurang. Ginkang yang biasanya membuat tubuhnya dapat berkelebat dengan amat cepat, sekarang hanya tersisa tidak sampai setengahnya.

Ketika itu, di sekitar pintu benteng itu telah berkumpul banyak penjaga yang merupakan pasukan anak panah dan masing-masing sudah siap dengan gendewa berisi anak panah. Maka, begitu melihat tubuh Hun Bwee berkelebat keluar hendak melarikan diri, segera anak-anak panah meluncur laksana hujan menimpa tubuh gadis yang keadaannya sudah sangat parah itu.

Sudah sekitar empat puluh tindak Hun Bwee keluar dari tembok benteng ketika telinganya dapat menangkap desir angin berdesingan yang ditimbulkan oleh anak-anak panah yang baru dilepaskan oleh pasukan pemanah. Gadis ini cepat membalikkan tubuh dan segera memutar Hek-sin-kiam untuk melindungi dirinya dari hujan anak panah.

Demikian cepat pedang itu berputar sehingga anak-anak panah itu dapat dipukul runtuh dan jatuh ke tanah, akan tetapi jumlah anak panah itu terlalu banyak sedangkan tenaga Hun Bwee yang tinggal separuh sudah terkuras lebih banyak lagi. Dan akhirnya…..

“Ceppp!” sebatang anak panah menancap pada perutnya, begitu dalam sehingga nyaris tembus sampai ke punggungnya.

“Ahhh…!” Hun Bwee merintih lirih, menahan rasa sakit pada perutnya. Pandang matanya gelap, kepalanya terasa berdenyut-denyut.

Walau pun demikian, gadis yang pikirannya terganggu ini masih terus memutar pedang Hek-sin-kiam secepat yang dia mampu sambil kakinya terus melangkah mundur, menjauh dari benteng itu, makin lama makin menjauh. Akhirnya, ketika sudah tak ada anak panah yang mampu mencapai dirinya, Hun Bwee membalikkan tubuh dan dengan sisa tenaga terakhir dia melarikan diri masuk hutan dengan anak panah tertancap pada perutnya.

********************

"Keng Hong, berkali-kali kau menyakitkan hatiku, akan tetapi aku selalu mengampunimu. Bahkan yang terakhir kali engkau menipuku dengan bujuk rayumu, hampir kau berhasil. Menurut patut, sekarang juga engkau harus kubunuh, atau lebih tepat kalau kau kusiksa sebelum kubunuh. Akan tetapi... ahhhh..." Cui Im menundukkan mukanya, menarik napas panjang penuh penyesalan.

Keng Hong yang masih terbelenggu pada tiang besi di dalam kamar tahanan, menatap tajam dan dapat menduga bahwa sekali ini gadis itu tidak berpura-pura, tapi benar-benar menyesal sekali.

"Kenapa, Cui Im? Lanjutkanlah," katanya perlahan dan dengan suara dingin, menunjukkan bahwa hatinya telah tertutup sama sekali terhadap wanita ini.

Memang dia beberapa kali berlaku tidak sedap terhadap Cui Im, akan tetapi bukankah wanita ini yang lebih dulu melakukan hal-hal yang mencelakakan Biauw Eng gadis yang dicintanya?

Cui Im mengangkat muka memandang Keng Hong dan pemuda ini terkejut ketika melihat beberapa tetes air mata membasahi sepasang pipi wanita itu. Cui Im menangis! Air mata buayakah ini? Bukan, gadis itu benar-benar merasa berduka dan kecewa sekali.

"Keng Hong, apa artinya hidup bagi seseorang tanpa cinta? Cinta yang murni maksudku, cinta yang timbul dari lubuk hati, cinta yang sudah ada tanpa harus dibuat-buat, yang menguasai seluruh jiwa, yang sudah ada seperti adanya napas dan denyut darah dalam tubuh. Aku cinta padamu, Keng Hong. Bukan! Bukan cintaku terhadap setiap pria tampan yang hanya merupakan dorongan nafsu birahi. Aku cinta padamu dari lubuk hatiku! Aku bersedia melakukan apa saja, bahkan bersedia mengubah seluruh jalan hidupku asal saja aku bisa mendapatkan cintamu, asal saja aku bisa menjadi isterimu!"

Keng Hong memandang dengan sinar mata kasihan, akan tetapi hanya sebentar karena dia teringat akan kekejaman hati yang sudah menjadi watak wanita ini, maka mulutnya segera tersenyum mengejek untuk menyakitkan hati Cui Im. "Cui Im, engkau tahu betapa hal itu tidak mungkin terjadi seperti juga aku telah tahu benar betapa palsu hatimu, betapa cintamu itu hanya kembang bibir saja karena sebenarnya tidak ada cinta di hatimu, yang ada hanya dengki, iri dan benci. Di balik cintamu itu tersembunyi kebencian yang sedalam lautan!"

Cui Im mengejek. "Demikianlah cinta, Keng Hong. Cinta yang tidak mendapat tanggapan, uluran tangan cinta yang tak disambut dengan jabatan, akan berubah menjadi benci yang mendalam. Aku cinta padamu, aku rela mengorbankan apa pun juga untuk merebut kasih hatimu, akan tetapi kalau tak berhasil, kalau engkau menolak, aku membenci kepadamu, sebenci-benciku!"

Keng Hong tersenyum mengejek meski pun di dalam hatinya dia merasakan penderitaan batin wanita ini. Ia mau percaya penuh keyakinan bahwa wanita ini sungguh mencintanya. Ia pun mau percaya bahwa semua perbuatan Cui Im yang amat keji terhadap Biauw Eng sesungguhnya adalah karena cinta kasih itulah. Karena tidak ingin melihat Keng Hong direbut lain wanita. Akan tetapi dia sendiri, tidak pernah ada perasaan cinta kepada Cui Im.

"Aku tetap tidak percaya, Cui Im. Engkau berhati palsu, dan perasaan cinta kasih terlalu murni, terlalu bersih bagi hati yang kotor dari orang seperti engkau ini. Apa pun yang kau lakukan, kuanggap akan mencelakakan diriku. Kiraku, kebencianmu tidak akan melebihi sakitnya hatiku terhadap dirimu, Cui Im."

Cui Im memandang dan kini kedukaan sudah lenyap dari mukanya, terganti sinar mata menertawakan dan mengejek, "Karena perbuatanku terhadap Biauw Eng?"

"Terutama karena itu, akan tetapi lebih dari pada semuanya karena perbuatanmu yang menyesatkan aku di malam pertama itu. Engkau sudah menyeretku dalam cengkeraman nafsu birahi, membangkitkan sifat binatang dalam diriku. Sungguh aku sangat menyesal karena perbuatanmu itu, Cui Im. Cinta birahi yang bangkit antara dua orang yang saling mengasihi, dalam pertemuan yang murni dan tidak melanggar hukum, tak dibayangi oleh perasaan dosa karena melanggar hukum susila, cinta birahi yang wajar sebagai kembang cinta kasih dari pada pria dan wanita, akan berkembang dengan subur dan murni, suci sehingga menjadi landasan penciptaan manusia baru. Akan tetapi, di dalam tanganmu, cinta birahi hanyalah merupakan pemuasan nafsu binatang yang haus akan kenikmatan kotor. Kotor sekali cintamu, Cui Im. Kotor..."

"Diam!" Cui Im membentak.

Dia telah melangkah maju, tangannya diangkat untuk memukul. Akan tetapi melihat wajah Keng Hong yang tersenyum memandangnya tanpa berkedip, tangannya turun kembali dan dia menjatuhkan diri duduk di atas dipan sambil terisak.

"Kelemahanku adalah... selalu tidak tega bila hendak membunuhmu..." Cui Im menunduk, kelihatan berduka sekali, akan tetapi ia lalu mengangkat muka, memandang dengan sinar mata penuh penyesalan dan kemarahan. "Keng Hong, aku tidak bisa merenggut cintamu, akan tetapi sewaktu-waktu dapat merenggut nyawamu dan nyawa Biauw Eng! Biarlah, aku akan mengalah, akan membiarkan engkau dan Biauw Eng bebas agar kalian dapat menikmati cinta kasih kalian. Akan tetapi, kau berikan Ilmu Thi-khi I-beng kepadaku."

Keng Hong menggelengkan kepalanya. "Memberikan ilmu dahsyat kepada orang seperti engkau merupakan dosa besar, Cui Im, dosanya sama besar dengan memberikan sayap kepada ular berbisa yang sangat berbahaya. Dari pada hidup bergelimang dosa terhadap manusia dan dunia, lebih baik mati sebagai seorang gagah."

Biar pun mulutnya berkata demikian, namun seluruh urat di tubuh Keng Hong menegang dan siap untuk membela diri, seperti tadi ketika Cui Im hendak memukulnya.

"Keparat! Kau sangka aku tidak kuat memaksa diri menyiksamu?" Cui Im bangkit berdiri, matanya memancarkan api kemarahan.

"Sesukamulah!"
Cui Im bertepuk tangan tiga kali dan muncullah Thian-te Siang-to, dua orang murid Pat-jiu Sian-ong yang malam itu ditugaskan menjaga pintu tahanan.

"Bawa Biauw Eng ke sini!"

Kedua orang kakek itu mengangguk sambil melempar kerling dan senyum mengejek ke arah Keng Hong, kemudian mereka berdua pergi. Diam-diam hati Keng Hong berdebar penuh ketegangan dan kegelisahan, akan tetapi mukanya tidak memperlihatkan sesuatu, tetap tenang seolah-olah dia tidak mengacuhkan sama sekali apa yang dilakukan oleh Cui Im.

Tak lama kemudian, dua orang itu menyeret tubuh Biauw Eng yang juga terbelenggu kaki tangannya memasuki kamar tahanan Keng Hong. Atas perintah Cui Im, tubuh Biauw Eng dilempar secara kasar oleh dua orang kakek itu ke atas pembaringan yang tadi diduduki Cui Im.

Wajah Biauw Eng agak pucat dan kurus, rambutnya awut-awutan tapi dalam pandangan Keng Hong, gadis itu kelihatan semakin cantik sehingga matanya melembut dan mesra ditujukan kepada Biauw Eng. Namun Biauw Eng tetap tenang, sinar matanya memandang wajah bekas suci-nya dengan penuh tantangan.

"Cui Im, wanita yang kehilangan pegangan, apa pula yang ingin kau lakukan sekarang?" tanyanya.

Dia mengerling ke arah Keng Hong, kemudian tersenyum melihat sinar mata mesra dari pemuda itu. Biar pun hanya sejenak, namun pertemuan pandang mata penuh cinta kasih dari kedua orang itu telah membakar hati Cui Im, seperti minyak disiramkan kepada api kebencian yang membakar hati.

"Keng Hong, kau lihat baik-baik! Biauw Eng juga tidak berdaya dan sudah berada dalam cengkeraman tanganku. Jika aku membunuhnya di depanmu, atau menyiksanya, apakah engkau masih hendak bersikap kukuh tidak pernah memberikan ilmu itu kepadaku?"

"Keng Hong, apakah engkau mendengar apa yang diocehkan oleh perempuan ini?"

"Biarlah, Biauw Eng. Biarlah dia mengoceh, karena aku tetap tidak akan memberikan apa yang dimintanya. Diatelah mengambil terlalu banyak dari kita, telah melakukan perbuatan-perbuatan keji dengan maksud menghancurkan kebahagiaan kita berdua. Akan tetapi, jika engkau menghendaki aku memberikan ilmu kepadanya, Biauw Eng, aku akan mentaati kehendakmu. Bukan karena takut aku disiksa atau khawatir engkau dibunuh, orang-orang seperti kita tak akan gentar menghadapi maut, melainkan karena aku yang sudah banyak membuat kesalahan, kini akan mentaati semua yang kau kehendaki."

Biauw Eng mengerutkan keningnya. Memang hatinya masih sakit kalau dia mengenang sikap Keng Hong kepadanya, sikap yang sangat menyakitkan hati setelah dia melakukan semua pengorbanan demi cintanya terhadap pemuda itu, setelah selama bertahun-tahun dia menderita demi cinta kasihnya.

"Bhe Cui Im, ceritakanlah kepadaku apa yang sudah kau lakukan selama ini dan setelah mendengar ceritamu, baru aku akan mengambil keputusan tentang permintaanmu kepada Keng Hong. Engkau tentu menghendaki ilmu yang diperebutkan orang, yaitu Ilmu Thi-khi I-beng itu, bukan?"

Cui Im tertawa mengejek. "Hemmm, kuceritakan atau tidak, apa artinya bagi kalian? Dan biarlah, untuk bekal ke akhirat engkau mendengar pengakuanku, Biauw Eng."

Cui Im yang cerdik segera dapat menangkap sikap bekas sumoi-nya yang agaknya masih mendendam kepada Keng Hong sebagai akibat pemalsuan-pemalsuannya dahulu. Kalau sekarang dia ceritakan, tentu bekas sumoi-nya ini akan sadar betapa pemuda itu amat mencintanya dan mungkin hati Biauw Eng tidak rela kalau melihat Keng Hong mati, dan mungkin akan membujuk pemuda itu menyerahkan ilmu yang amat diinginkannya.

Kalau dia sudah mendapatkan ilmu itu, dengan dibantu kawan-kawannya tentu dia akan mampu mengalahkan Keng Hong dan untuk membunuh mereka berdua ini kelak, masih banyak waktu!

Sebelum bicara, ia menghela napas panjang. "Semua itu kulakukan demi cintaku kepada Keng Hong. Engkau tentu sudah dapat menduga apa yang telah terjadi sebelum engkau menemukan aku dan Keng Hong untuk pertama kali dahulu. Antara dia dan aku sudah terjalin cinta kasih..."

"Bukan cinta kasih, Cui Im. Ingatlah akan rayuanmu dan akan arak beracunmu, bukan cinta kasih, melainkan nafsu iblis yang kau pergunakan untuk menyeretku!"

Cui Im memandang pada Keng Hong dengan senyum mengejek, kemudian melanjutkan, "Katakan apa sukamu, Keng Hong, akan tetapi bagiku, semenjak saat itu aku telah jatuh cinta kepadamu. Demikianlah, Biauw Eng. Aku telah jatuh cinta kepada Cia Keng Hong sebelum kau menjumpainya, maka salahkah aku kalau aku menjadi iri hati dan cemburu melihat engkau mencintanya, bahkan engkau menyatakan cintamu di hadapan mendiang ibumu. Saat itu timbul kebencianku padamu, menghapus semua pertalian persaudaraan dan aku bertekad hendak mempertahankan Keng Hong dari wanita yang mana pun juga, termasuk engkau!"

Biauw Eng mendengarkan dengan sinar mata tajam dan penuh perhatian, sama sekali tidak memperlihatkan perasaan hatinya pada wajahnya. Bahkan wajahnya yang cantik itu masih tenang dan tidak memperlihatkan perasaan apa-apa ketika dengan panjang lebar Cui Im menceritakan betapa ia mencuri senjata-senjata rahasia sumoi-nya dan menyamar sebagai sumoi-nya untuk menjelekkan nama sumoi-nya itu supaya di samping sumoi-nya dimusuhi orang-orang kang-ouw, juga menimbulkan kebencian di hati Keng Hong.

"Dengan perbuatan itu sekali pukul aku mendapatkan tiga keuntungan. Pertama, aku bisa memburukkan namamu di mata dunia kang-ouw sebagai pembalasanku karena engkau sudah merampas cinta kasih Keng Hong dariku. Ke dua aku dapat membangkitkan rasa benci di hati Keng Hong terhadap dirimu dan ke tiga aku dapat membunuh setiap wanita yang berani mendekati Keng Hong!"

Mendengar pengakuan-pengkuan ini, biar pun wajahnya tetap tenang, namun dua titik air mata membasahi bulu mata Biauw Eng, dan ketika dia mengerling kepada Keng Hong, pandang matanya mengandung rasa kasihan dan kemesraan. Kini terbuka sudah semua rahasia, sejelas-jelasnya tampak oleh Biauw Eng mengapa sikap Keng Hong dahulu amat menyakitkan hatinya. Kiranya malah Keng Hong yang tentu akan jauh lebih sakit hatinya menyaksikan semua perbuatan keji yang disangka dia yang melakukannya.

"Biauw Eng, sekarang maukah engkau mengampuni aku?" Keng Hong bertanya lirih saat Cui Im menghentikan ceritanya.

Biauw Eng memandang wajah pemuda itu sampai lama, tidak mampu menjawab, hanya mengangguk, kemudian sesudah menekan perasaan harunya, barulah dia dapat berkata perlahan,

"Bukan engkau yang harus minta maaf, melainkan aku, harap kau suka maafkan..."

Dua orang muda itu saling bertemu pandang, penuh keharuan dan kemesraan dan hal ini membakar hati Cui Im. Akan tetapi, gadis yang cerdik ini bersabar dan mengingat akan kebutuhannya dia lalu berkata,

"Biauw Eng, setelah engkau mendengar semua, kini tentu engkau yakin bahwa apa pun yang sudah dilakukannya, Keng Hong hanya mencinta engkau seorang. Dan engkau pun sudah yakin akan cinta kasihmu kepada Biauw Eng, Keng Hong. Karena itu, demi cinta kasih kalian, mengapa engkau tidak mau mengorbankan ilmu begitu saja supaya kalian dapat bebas dan melanjutkan pertalian cinta kasih kalian?"

"Tidak! Keng Hong, jangan mendengarkan dia! Aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku, karena itu, aku tetap ingin melihat engkau sebagai orang gagah yang patut kubela sampai mati! Kalau engkau menyerah kepada iblis betina ini, berarti engkau menodai cinta kasih antara kita!"

Mendengar ucapan yang bersemangat, Keng Hong tertawa dan menoleh kepada Cui Im, kemudian berkata penuh ejekan, "Kau dengar sendiri, Cui Im! Kekasihku, pujaan hatiku Sie Biauw Eng adalah puteri dari mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong yang mewarisi watak gagah perkasa ayahnya, tidak seperti engkau yang rendah budi! Kalau engkau mau membunuh aku dan Biauw Eng, silakan. Dalam kematian pun kami berdua akan tetap saling mencinta! Tidak ada kekuasaan di dunia dan akhirat yang akan dapat memisahkan cinta kasih kami!"

Pucat wajah Cui Im mendengar ini. Celaka, pikirnya. Dia sudah mengorbankan perasaan, telah mengobati kepedihan hati Biauw Eng dengan pengakuannya, dengan harapan agar Biauw Eng suka membujuk Keng Hong supaya menyerahkan ilmu itu demi kebahagiaan dan kehidupan mereka. Siapa kira, dua orang itu demikian keras kepala!

Ia mengepal kedua tangannya, ingin sekali pukul membunuh dua orang yang kini makin dibencinya itu. Akan tetapi wajahnya yang pucat itu menyeringai sehingga dalam keadaan seperti itu, kecantikannya berubah menjadi seram menakutkan, seperti wajah iblis betina yang haus darah.

"Keng Hong dan Biauw Eng! Aku masih bersabar terhadap Keng Hong mengingat akan hubungan cinta kasihnya denganku dahulu, dan aku juga bersedia memaafkan Biauw Eng karena mengingat akan hubungan persaudaraan. Akan tetapi kesabaran ada batasnya! Kalau engkau suka menurunkan ilmu itu kepadaku Keng Hong, bukan hanya engkau dan Biauw Eng yang akan bebas, melainkan juga Gui Yan Cu dan Yap Cong San. Akan tetapi kalau engkau menolak, berarti bukan hanya kalian berdua yang akan mati tersiksa, juga kedua orang muda itu!"

"Ha-ha-ha-ha! Mereka berdua pun adalah dua orang gagah perkasa yang menganggap kematian seperti pulang ke kampung halaman!" Keng Hong menantang.

Dan sesungguhnya pemuda ini bukan hanya omong kosong atau bicara besar, karena dia sudah memperhitungkan bahwa Cui Im tidak akan mudah begitu saja menyerah sebelum kehendaknya dipenuhi maka tidak akan membunuh mereka secara tergesa-gesa. Ada pun sebaliknya, sekali kehendaknya tercapai, tentu Cui Im akan membunuh mereka tanpa di tunda-tunda lagi. Selain ini, dia pun sudah bersiap sedia untuk turun tangan apa bila keadaan sudah mendesak dan tidak ada jalan lagi untuk mengatasinya.

Akan tetapi tiba-tiba saja Cui Im tertawa, suara ketawanya bergelak menyeramkan seperti suara kuntianak menangis karena kehausan darah. "Mereka kini hampir mati, dan engkau masih bicara tentang kegagahan mereka? Tadi aku sudah menyerahkan gadis ayu yang menjadi sumoi-mu itu kepada Thai-lek Sin-mo. Hi-hi-hik. Engkau tentu tahu siapa Thai-lek Sin-mo Cou Seng, si raksasa yang tubuhnya seperti gajah! Hi-hi-hik-hik, kalau tidak ada urusan dengan kalian di sini, ingin sekali aku menyaksikan betapa Yan Cu menggeliat-geliat digagahi oleh raksasa itu. Mungkin saat ini sedang merintih-rintih atau mungkin juga mampus. Gadis mana yang akan dapat bertahan terhadap Thai-lek Sin-mo? Sayang, aku masih banyak urusan, terutama sekali denganmu, Biauw Eng. Engkau keras kepala dan sepatutnya dihukum seperti yang diderita Yan Cu. Akan tetapi Yan Cu masih beruntung, setidaknya menerima penghinaan dari seorang di antara Iblis-iblis Tembok Besar. Ada pun engkau, engkau akan kuberikan kepada dua orang raksasa kasar yang lebih rendah derajatnya dari pada dua ekor binatang. Di sini! Di kamar ini dan engkau akan menjadi saksinya, Keng Hong! Kau dan aku, hi-hi-hik! Kita berdua akan menikmati pemandangan yang amat mesra! Hi-hi-hik!"

Biauw Eng dan Keng Hong terkejut bukan main, bukan mengkhawatirkan nasib mereka sendiri, melainkan mengkhawatirkan nasib dua orang teman mereka, Yan Cu dan Cong San. Mereka saling pandang sambil menduga-duga, apa gerangan yang terjadi dengan mereka itu? Mala petaka apakah yang menimpa mereka?

Cui Im memang tidak berbohong ketika menceritakan tentang Yan Cu. Memang ada saja akal yang aneh-aneh dan keji-keji dalam benak iblis betina ini untuk menyiksa musuh-musuhnya. Menyaksikan sikap mesra Yan Cu terhadap Keng Hong, walau pun dia tahu bahwa Yan Cu adalah sumoi dari Keng Hong, namun tak dapat ia tahan rasa cemburu yang timbul di hatinya.

Yan Cu demikian muda dan demikian cantik jelita, maka timbul rasa cemburu bercampur dengan rasa iri yang membangkitkan kebencian hebat. Oleh karena Yan Cu tidak ada gunanya baginya, maka gadis itu harus dibunuh, akan tetapi selain untuk menyiksanya, juga dia hendak menggunakan kesempatan itu untuk menyenangkan hati Thai-lek Sin-mo Cou Seng yang haus wanita pula. Hal ini mudah saja ia tangkap dari pandang mata Cou Seng yang ditujukan kepadanya.

Karena dia sendiri enggan melayani raksasa gendut itu, biarlah raksasa itu memuaskan nafsunya kepada Yan Cu. Dan untuk menyiksa Cong San, di samping membangkitkan gairahnya supaya kelak dia mudah merayu pemuda tampan yang menarik hatinya itu, dia mengatur agar Cong San berada di dalam kamar menyaksikan apa yang akan dilakukan oleh Cou Seng terhadap Yan Cu!

Malam itu memang merupakan malam yang menyeramkan, malam yang penuh ancaman mengerikan bagi empat orang muda yang menjadi tawanan di benteng Pat-jiu Sian-ong di lereng Pegunungan Tai-hang-san itu. Mereka berempat tidak tahu bahwa tiga hari yang lalu, Hun Bwee telah membunuh Lian Ci Sengjin dan gadis itu melarikan diri dari benteng.

Pada malam hari itu, Yan Cu yang tadinya ditahan dalam kamar yang terpisah, didatangi Thai-lek Sin-mo Cou Seng yang tertawa-tawa dan tanpa banyak bicara raksasa ini lantas memondong tubuh Yan Cu yang dibelenggu kaki tangannya lalu dibawa keluar dari kamar tahanan.

Empat orang penjaga di luar pintu kamar tahanan hanya tertawa dengan pandang mata iri karena mereka sudah menerima perintah dari Cui Im bahwa tawanan yang jelita itu ‘diserahkan’ kepada Thai-lek Sin-mo. Yan Cu maklum akan bahaya yang mengancam, akan tetapi dia sama sekali tidak berdaya dalam kempitan lengan yang amat kuat itu, apa lagi dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya.

Sementara itu, Yap Cong San yang merasa prihatin sekali, tidak pernah berhenti dengan usahanya mematahkan belenggu. Dengan pengerahan tenaga sinkang, berkali-kali dia berusaha merenggut belenggu baja yang mengikat kedua tangannya pada tiang di dalam kamar tahanan, akan tetapi belenggu itu sangat kuat sehingga semua usahanya hanya mengakibatkan kulit kedua pergelangan tangannya lecet-lecet.

Kemudian dia mengubah cara usahanya. Sambil berdiri pemuda ini segera menghimpun tenaga dalam, dan mulai bersemedhi untuk mempergunakan ilmu sakti dari Siauw-lim-pai, yaitu ilmu Sia-kut Sin-hoat, semacam ilmu untuk membuat tulangnya seolah-olah terlepas sehingga tubuhnya menjadi lemas dan licin. Untuk dapat mencapai ilmu ini diperlukan pengerahan hawa murni di tubuh sehingga dia bersemedhi sampai dua hari dua malam, barulah berhasil.

Tulang pergelangan tangannya dapat dia gerakkan sedemikian rupa hingga bisa tergeser dan dagingnya menjadi lemas sehingga akhirnya dia dapat meloloskan kedua tangannya dari belenggu, demikian pula membebaskan kedua kakinya! Namun, setelah berhasil dia harus mengatur napas sampai lama untuk memulihkan tenaga.

Belum lama dia berdiri tanpa bergerak mengatur napas, tiba-tiba dia mendengar jejak kaki yang berat mendatangi dari luar kamarnya. Ia terkejut, cepat dia mengatur belenggu kaki tangannya sehingga tampak seolah-olah dia masih terbelenggu, lalu dia pun melanjutkan usahanya memulihkan tenaga yang banyak diperasnya untuk menggunakan Ilmu Sin-kut Sin-hoat tadi.
Selanjutnya,

Pedang Kayu Harum Jilid 36

Pedang Kayu Harum Jilid 36
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Sambil terkekeh girang Hun Bwee sudah meloncat bangun lantas memutar pedangnya, mendesak dengan tikaman-tikaman berantai ke arah dua lawannya. Terpaksa dua orang jagoan Tembok Besar ini menggerakkan senjata mereka dengan cepat untuk melindungi tubuh sehingga berkali-kali terdengar suara nyaring bertemunya pedang dengan tongkat dan cakar besi. Dalam belasan jurus saja dua orang itu terdesak hebat oleh gulungan sinar pedang hitam.

Tiba-tiba terdengar bentakan keras, "Perempuan gila! Engkau telah membunuh Lian Ci Sengjin?"

Bentakan ini disusul dengan bunyi meledak-ledak seperti halilintar menyambar-nyambar dan ternyata sekarang di tempat itu telah muncul Pat-jiu Sian-ong sendiri beserta Thai-lek Sin-mo Cou Seng yang menggerakkan pecut bajanya sehingga menimbulkan suara bagai halilintar itu. Selain mereka berdua, juga Sian Ti Sengjin ikut datang karena mendengar bahwa sute-nya terbunuh orang.

Kini bekas tokoh Kun-lun-pai itu berdiri dengan muka pucat dan sepasang mata terbelalak memandang pada bekas tubuh sute-nya yang sudah menjadi cacahan daging berceceran tidak karuan. Tak terasa lagi air mata menetes-netes turun membasahi pipinya yang mulai kisut.

"Sute… ahhh, Sute...!" Ia mengeluh dan terbayanglah segala pengalamannya bersama sute-nya.

Lian Ci Sengjin adalah sute-nya yang paling dicintanya, bahkan akhir-akhir ini menjadi sekutunya ketika mereka menentang Kiang Tojin, suheng mereka. Melihat sute-nya telah menjadi daging berceceran seperti itu, hati Sian Ti Sengjin menjadi ngeri dan dia segera mengingat-ingat, dosa apa gerangan yang dilakukan sute-nya hingga sekarang menemui kematian yang demikian mengenaskan.

Kini pertandingan dilanjutkan dengan sangat hebat, akan tetapi setelah Pat-jiu Sian-ong muncul di situ, keadaan Hun Bwee terdesak hebat sekali. Tentu saja kalau dibandingkan dengan Pat-jiu Sian-ong kakek kate kecil berkepala besar yang menjadi seorang di antara Bu-tek Su-kwi, Hun Bwee kalah jauh.

Betapa pun juga, andai kata dia hanya menghadapi kakek ini satu sama satu, belum tentu Pat-jiu Sian-ong akan dapat merobohkannya karena gadis ini memiliki ilmu yang amat aneh sehingga Pat-jiu Sian-ong sendiri menjadi bingung dibuatnya. Dan andai kata gadis itu hanya dikeroyok oleh kedua orang jagoan Tembok Besar, yaitu Gu Coan Kok yang bersenjata tongkat dan Hok Ku yang bersenjata cakar baja, agaknya Hun Bwee masih akan dapat mengalahkan mereka dengan akal-akalnya yang aneh.

Akan tetapi sekarang dia dikeroyok empat dan terutama sekali senjata kebutan hudtim dari Pat-jiu Sian-ong dibarengi pukulan-pukulan sinkang tangan kiri kakek ini yang amat ampuh membuat Hun Bwee kewalahan.

Setelah lewat lima puluh jurus di mana Hun Bwee membela diri mati-matian, tiba-tiba saja ujung hudtim di tangan Pat-jiu Sian-ong berhasil membelit pedang Hek-sin-kiam sehingga dua orang ini saling berkutetan mengadu tenaga untuk mempertahankan senjata mereka masing-masing. Saat itu digunakan oleh Cou Seng untuk menyambar pecut bajanya ke arah kepala Hun Bwee dan dari depan, tongkat Gu Coan Kok menyodok dada sedangkan cakar baja Hok Ku mencengkeram muka!

Hun Bwee yang masih berkutetan mempertahankan pedang, cepat berjongkok sehingga pecut baja Cou Seng bertemu dengan cakar besi, ada pun tongkat Gu Coan Kok yang menyodok telah ditangkis oleh tangan kirinya. Akan tetapi pada saat itu, tahu-tahu tubuh Cou Seng yang bulat besar telah menubruknya dari belakang dan telah memeluk dengan kedua lengannya yang besar berbulu sehingga Hun Bwee tidak mampu berkutik lagi!

Cou Seng ini selain merupakan seorang ahli bermain pecut baja, juga berjuluk Thai-lek Sin-mo (Iblis Sakti Bertenaga Besar), tenaganya hebat bukan main seperti tenaga seekor gajah, dan dia adalah seorang ahli gulat maka pelukannya bukanlah sembarang pelukan. Kedua lengannya yang besar kuat itu menelikung Hun Bwee melalui bawah ketiak gadis itu dan terus membelit ke belakang leher di mana jari-jari tangannya yang kuat saling membelit. Pelukan maut!

"Ahhhhh...! Uuhhhh...!" Gadis itu meronta-ronta namun percuma saja, sedikit pun ia tidak mampu melepaskan diri.

Melihat keadaan gadis yang sudah tidak berdaya ini, Pat-jiu Sian-ong lalu mengerahkan tenaganya membetot hudtim, akan tetapi dia menjadi terkejut dan kagum sekali karena gadis itu tetap mampu mempertahankan pedangnya. Ada pun dua orang jagoan Tembok Besar yang lain kini tertawa saja melihat bahwa lawan yang lihai itu telah kena ditelikung.

Tiba-tiba saja Coa Seng mengeluarkan teriakan memaki secara tidak terduga-duga sama sekali. Ternyata Hun Bwee menundukkan muka dan menggigit lengan yang melingkari lehernya melalui bawah ketiak, sedang tangan kirinya dengan jari-jari lurus dan mengeras penuh tenaga sinkang ditusukkan ke belakang melalui pundak ke arah mata Cou Seng yang berada di belakangnya!

Cou Seng yang merasa lengannya sakit karena kulit lengan robek dihujam gigi putih kecil yang kuat, menarik kepala ke belakang untuk menyelamatkan mata. Akan tetapi kiranya jari-jari tangan itu tidak jadi menusuk mata, melainkan menusuk jalan darah di lehernya! Kaget sekali hati Thai-lek Sin-mo dan karena kaget, lingkaran lengannya mengendor dan dia miringkan tubuh.

Kesempatan ini digunakan oleh Hun Bwee yang tiba-tiba menggerakkan kaki kanannya, kembali bagai seekor kuda ‘menyepak’ ke belakang, tungkak (tumit) kakinya mengancam anggota tubuh paling lemah dari setiap pria, yaitu di bawah pusar!

"Celaka...!" Cou Seng cepat merenggangkan tubuh.

Detik itulah yang dinanti Hun Bwee yang seperti seekor belut saja tiba-tiba menggeliat dan melempar tubuh ke bawah sehingga lingkaran lengan yang merupakan pelukan maut itu terlepas. Hun Bwee membalik dan menendang. Cou Seng mengelak, namun tetap saja tulang keringnya kena ditendang.

"Wadouuuwwwww...!"

Raksasa ini langsung meloncat-loncat dengan kaki kanan sambil memegang kaki kirinya. Berdenyut-denyut rasanya saking nyerinya. Kalau tulang kering kakinya itu patah sekali, tidaklah akan sedemikian nyerinya. Akan tetapi patah tidak, utuh pun tidak, mendekati retak-retak, bukan main nyerinya sampai terasa menembus jantung!

Akan tetapi, pada saat itu kebutan di tangan Pat-jiu Sian-ong sudah melepaskan belitan dan menyambar kepala Hun Bwee. Gadis ini sudah membuang tubuh ke belakang dan berjungkir balik sambil memutar pedangnya.

"Cringgg...! Tranggggg...!"

Tongkat Gu Coan Kok serta tangan yang berselubung cakar besi Hok Ku ditangkisnya dengan tepat. Karena kedudukan badannya sedang berjungkir-balik sambil menangkis, maka dia tidak mampu lagi mengelakkan datangnya hudtim dari Pat-jiu Sian-ong. Ujung kebutan meledak dan menotok punggungnya.

Untung Hun Bwee masih dapat mengerahkan sinkang yang aneh, yang membuat jalan darah yang tertotok itu seolah-olah ‘mati’ sehingga ketika totokan mengenai sasaran, dia hanya roboh terguling dengan bantingan cukup keras. Tetapi cakar besi Hok Ku segera menyambar dan sungguh pun dia sudah menggulingkan tubuh di atas tanah, tetap saja bahunya robek berikut kulit dan daging terkena cakaran, sedangkan tongkat Gu Coan Kok menghantam pundak kirinya hingga tulang pundak kirinya patah!

Hun Bwee menjerit lalu tertawa bergelak, tiba-tiba ia berlutut di hadapan Pat-jiu Sian-ong seperti orang minta ampun! Melihat ini, kakek yang merupakan salah seorang di antara datuk-datuk golongan sesat ini tertegun. Hanya beberapa detik tertegun namun cukuplah bagi Hun Bwee. Tangan kirinya yang pundaknya sudah patah itu masih dapat bergerak dan tanah berdebu menyembur ke atas.

"Celaka...!"

Pat-jiu Sian-ong yang tadi menunduk, cepat mengelak tanpa berani memejamkan mata sebab memejamkan mata pada saat menghadapi lawan merupakan pantangan besar. Hal inilah yang membuat matanya kemasukan debu. Sambil berseru keras hudtim-nya lantas menyambar ke depan sedangkan tubuhnya sendiri mencelat ke belakang, matanya untuk sementara tak dapat melihat.

Namun Hun Bwee sudah mengelak, meloncat jauh dan berlari sambil terkekeh-kekeh. Di antara para pengeroyoknya, yang hebat kepandaiannya adalah Pat-jiu Sian-ong, maka dalam keadaan terluka seperti itu satu-satunya jalan baginya untuk dapat melarikan diri haruslah membuat kakek lihai itu tidak berdaya lebih dulu.

Benar saja, karena Pat-jiu Sian-ong membersihkan kedua matanya yang kelilipan debu, hanya tiga orang jagoan Tembok Besar yang melakukan pengejaran. Akan tetapi Cou Seng mengejar sambil terpincang-pincang, maka mereka bertiga tak mampu menandingi ginkang Hun Bwee yang sudah menghilang ditelan bayang-bayang pohon yang gelap.

Selama terjadinya pertempuran itu, Sian Ti Sengjin hanya menonton saja, berulang-ulang dia menarik napas panjang dan ketika Hun Bwee melarikan diri, dia tidak ikut mengejar melainkan berlutut menghadapi ceceran daging-daging bekas tubuh sute-nya.

"Biar dia lari! Jangan khawatir, dia tidak akan mampu keluar dari benteng ini!" kata Pat-jiu Sian-ong penuh kemarahan ketika kedua matanya sudah dapat dibuka lagi.

Dia merasa malu dan penasaran mengapa dia sebagai seorang datuk kenamaan sampai dapat diakali oleh seorang bocah gila. Justru karena gila, maka akal yang dilakukan Hun Bwee tadi sama sekali tidak pernah disangkanya sehingga dia kena ditipu. Dengan hati penasaran, Pat-jiu Sian-ong lalu mengeluarkan perintah untuk melakukan penjagaan ketat dan meronda agar gadis gila itu tidak sampai dapat lolos dari dalam benteng itu.

Pada saat Cui Im mendengar laporan tentang peristiwa terbunuhnya Lian Ci Sengjin dan larinya Hun Bwee, dia menerima dengan sikap dingin seolah tidak peduli. Lian Ci Sengjin bukan merupakan seorang pembantu yang terlalu kuat, bahkan lenyapnya tokoh ini malah meringankan gangguan terhadap dirinya. Justru dia lebih menyayangkan Hun Bwee yang dia tahu mempunyai kepandaian aneh dan hebat, terutama sekali terjadinya peristiwa itu telah melenyapkan harapan mereka semua untuk dapat menarik tenaga Go-bi thai-houw sebagai sekutu.

"Sian-ong, kalau dia sudah membunuh Lian Ci Sengjin, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan kita karena mereka itu mempunyai urusan pribadi sendiri. Lebih baik biarkan saja dia lari dari sini, karena kalau sampai kita membunuhnya dan kelak hal ini didengar oleh gurunya, kita malah akan menanam bibit permusuhan dengan lawan yang tidak lemah."

Ucapan ini dapat diterima oleh semua orang dan Cui Im sengaja melirik ke arah Sian Ti Sengjin. Akan tetapi bekas tokoh Kun-lun-pai ini terlihat diam saja, agaknya belum lenyap rasa kaget dan dukanya atas kematian sute-nya. Pak-san Kwi-ong juga menerima berita ini sambil tertawa-tawa saja, sama sekali tidak mempedulikannya.

Karena sikap dua orang sekutu inilah maka Pat-jiu Sian-ong tidak turun tangan sendiri dalam mengejar Hun Bwee sehingga seolah-olah membiarkan gadis yang sudah terluka itu meloloskan diri, kalau masih memiliki kemampuan untuk menerobos garis penjagaan anak buahnya. Namun larinya Hun Bwee ini membuat Cui Im berhati-hati dan cepat ia mengatur rencana yang telah ia persiapkan untuk menghadapi empat orang tawanannya yang ia tahu merupakan orang-orang yang amat berbahaya karena mereka berempat itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali Keng Hong.

********************

Hun Bwee yang berhasil lolos dari kepungan, berlari di dalam gelap sambil menangis dan kadang-kadang tertawa. Kalau ia teringat betapa ia telah menemukan orang yang sudah memperkosanya kemudian melampiaskan dendamnya, ia sendiri tidak tahu harus tertawa atau menangis. Kelegaan hati telah dapat membunuh orang yang telah merusak hidupnya membuat ia ingin tertawa bergelak sampai mati, akan tetapi apa bila teringat lagi bahwa yang memperkosanya bukanlah Keng Hong seperti yang selama ini disangkanya, bahkan diharapkannya karena dia mencinta pemuda itu, membuat dia ingin menangisi nasibnya yang amat buruk.

Kini dia tidak kumat lagi. Otaknya benar-benar waras dan kini dia menggunakan segala kecerdikannya untuk dapat lolos dari tempat yang berbahaya ini. Dia harus bebas! Untuk dirinya sendiri? Tidak! Dia harus lolos karena kalau tidak, tentu empat orang muda yang tertawan itu akan celaka nasibnya. Terutama sekali Keng Hong dan Biauw Eng! Dia harus lolos kemudian mencari daya upaya untuk menolong mereka dari cengkeraman Bhe Cui Im yang amat lihai.

Tiba-tiba Hun Bwee menyelinap di dalam gerombolan pohon yang gelap saat mendengar suara para penjaga yang siap melakukan penjagaan ketat sesuai dengan perintah Pat-jiu Sian-ong. Dari balik pohon ia dapat melihat kegiatan mereka. Setiap pintu benteng dijaga ketat, bahkan di sepanjang tembok benteng itu dijaga oleh penjaga-penjaga dalam jarak kurang sepuluh meter.

Ia telah dikurung rapat! Dan lapat-lapat ia mendengar suara anjing-anjing mengonggong. Bukan hanya para penjaga anak buah Pat-jiu Sian-ong, juga anjing-anjing ikut mengurung dirinya. Hun Bwee menggigit bibir menahan rasa nyeri di pundaknya.

Gadis ini lalu berindap-indap mencari bagian tembok benteng yang paling gelap. Dengan amat hati-hati ia merayap melalui semak-semak sampai berada tak jauh lagi dari tembok benteng itu. Pandang matanya berusaha menembus keadaan remang-remang di bawah sinar bulan untuk meninjau keadaan.

Tembok itu terlalu tinggi bagi tubuhnya yang sudah terluka. Dia tentu akan gagal kalau berusaha meloncati tembok setelah merobohkan beberapa orang penjaga yang tentu saja dipandangnya rendah. Pundak kirinya yang patah tulangnya itu akan menjadi penghalang besar.

Jalan satu-satunya hanyalah menerjang pintu gerbang yang terjaga oleh kurang lebih dua losin orang itu. Tidak ada jalan lain. Biar pundaknya telah terluka, dengan pedangnya ia masih sanggup untuk membuka jalan darah melalui pintu gerbang itu, pikirnya.

Akan tetapi sebelum dia bergerak, tiba-tiba dia mendengar suara anjing menggereng tak jauh dari tempat dia bersembunyi dari arah belakangnya. Hun Bwee terkejut dan cepat menengok, akan tetapi pada saat itu, seekor anjing berbulu hitam sebesar anak kerbau telah meloncat menerkamnya dengan gerengan dahsyat.

Hun Bwee sedang bertiarap, menelengkup sedangkan pedangnya masih tergantung pada punggungnya. Melihat binatang buas ini menerkamnya, Hun Bwee cepat menggulingkan tubuhnya ke kiri sampai lima kali. Dia harus dapat membunuh binatang ini sebelum para penjaga mendengar dan datang mengeroyok sehingga pintu gerbang akan terjaga lebih ketat sebelum ia dapat mendejangnya.

Tubrukan anjing itu luput dan sebelum binatang itu dapat melakukan serangan susulan, tangan kanan Hun Bwee sudah melayang dengan hantaman kuat. Akan tetapi, anjing itu agaknya lebih awas di tempat gelap. Pukulan itu dapat ia elakkan sehingga bukan kepala anjing yang terpukul, melainkan lehernya yang amat kuat.

"Bukkk!"
Anjing itu segera terlempar ke samping. Akan tetapi dia bukan mengeluarkan pekik yang menandakan dia takut, melainkan meloncat bangun dan menubruk kembali, moncongnya yang bergigi besar-besar dan runcing itu menyerbu ke arah tenggorokan Hun Bwee.

Melihat berkilaunya gigi-gigi tertimpa sinar bulan yang menembus dari celah-celah daun pohon, Gadis ini segera membuang diri ke samping dan kakinya melayang, menendang perut anjing itu. Kembali terdengar suara berdebuk keras dan tubuh anjing itu terlempar lagi ke belakang.

Ternyata anjing itu tubuhnya kuat sekali karena kini dia sudah menubruk lagi. Hun Bwee telah siap dengan pedangnya, sekali Hek-sin-kiam menyambar leher binatang itu terbacok hampir putus! Pada saat itu pula terdengar gerengan keras dan tiga ekor anjing sekaligus menubruk ke arah Hun Bwee! Gadis ini menjadi marah.

"Bedebah!" Dia memaki dan pedangnya berkelebatan.

Sepandai-pandainya anjing, binatang ini kurang akal. Saat melihat sinar hitam, agaknya binatang-binatang ini tidak mengerti bahaya dan terus menubruk. Seekor anjing berbulu coklat roboh tak berkutik dengan leher putus, anjing ke dua mengeluarkan suara menguik keras. Akan tetapi gerakan tiga ekor anjing yang nekat ini membuat Hun Bwee menjadi agak gugup sehingga pada saat pedangnya menusuk ke dada anjing ke dua, pedang itu menyelip dan terjepit di antara tulang iga. Belum sempat ia menarik pedangnya, anjing ke tiga telah menubruknya sedemikian keras hingga ia roboh terguling tertindih badan anjing yang berat.

Dengan ganas sambil mengeluarkan suara menggeram mengerikan anjing itu membuka lebar mocongnya lantas menggigit ke arah leher. Hun Bwee cepat menggunakan tangan menampar mocong itu. Akan tetapi karena dia terbanting dengan pundak kiri di bawah, sebab tadinya terlupa akan luka di pundaknya, dia merasakan nyeri hebat yang membuat tenaganya berkurang. Moncong anjing itu menyeleweng namun masih berhasil menggigit punggungnya!

"Auhhh...!" Gadis itu menjerit perlahan, daging dan kulit punggungnya terasa nyeri.

Dia cepat menggulingkan tubuhnya, berusaha melepaskan gigitan namun tidak berhasil. Anjing itu seperti seekor lintah besar yang terus menempel di belakang tubuhnya. Hun Bwee hampir tidak kuat menahan rasa nyeri, pedangnya masih tertinggal di dada anjing ke dua yang berkelojotan, maka ia lalu mengerahkan seluruh tenaganya, menangkap kaki belakang anjing dari belakang punggungnya, lalu membawa bagian belakang anjing itu ke depan, kemudian sambil mengerahkan tenaga dan menahan rasa nyeri dia menusukkan jari-jari tangan kanannya ke dalam perut anjing.

"Crottt!"

Lima buah jari tangan kanannya amblas memasuki perut anjing. Dia mencengkeram dan meremas isi perut anjing, menariknya keluar. Anjing itu mengeluarkan suara yang aneh, gigitannya terlepas dan terjatuh ke atas tanah, berkelojotan.

Hun Bwee terhuyung menghampiri anjing yang ‘merampas’ pedangnya, lantas mencabut pedang itu. Tubuhnya terasa sakit-sakit, terutama sekali pundak kirinya yang tentu saja semakin parah karena dipakai bergumul tadi, serta punggungnya yang terasa perih dan panas. Kulit punggungnya yang halus putih itu robek sehingga darah banyak keluar.

Suara perkelahiannya melawan empat ekor anjing tadi agaknya menarik perhatian para penjaga. Dari balik semak-semak Hun Bwee melihat bahwa para penjaga bersiap dengan senjata di tangan, menjaga pintu gerbang. Sekarang, pikirnya, atau terlambat! Kenekatan ini timbul dari harapan untuk dapat keluar agar dia dapat berdaya upaya menolong empat orang yang tertawan.

Dengan lengking menyeramkan, gadis yang sudah koyak-koyak pakaiannya dan terkoyak kulit punggungnya itu lalu meloncat dan lari ke arah pintu gerbang. Para penjaga sudah siap dan begitu melihat munculnya gadis ini yang mereka anggap kumat gilanya, mereka segera menerjang maju.

Hujan tombak dan golok melayang ke arah tubuh Hun Bwee, akan tetapi gadis ini sudah memutar pedangnya. Gulungan sinar hitam membentuk lingkaran dan terdengarlah suara nyaring ketika tombak-tombak serta golok-golok itu patah dan terlepas beterbangan ke kanan kiri, disusul jerit kesakitan ketika lima orang pengeroyok roboh terkena sambaran Hek-sin-kiam! Menyaksikan keganasan Hun Bwee itu, para pengeroyok lainnya menjadi gentar.

Kesempatan itu digunakan oleh Hun Bwee untuk mengeluarkan suara melengking tinggi, setengah tertawa setengah menangis yang membuat bulu tengkuk para pengeroyoknya berdiri, kemudian tahu-tahu gadis itu sudah meloncat ke dekat pintu gerbang!

"Tangkap…!”

“Bunuh...!"

Teriakan-teriakan itu terdengar lebih gencar dari pada datangnya pengeroyokan karena para penjaga benar-benar merasa ngeri dan jeri. Di depan pintu gerbang kembali Hun Bwee dikeroyok oleh belasan orang penjaga.

Para penjaga itu rata-rata memiliki kepandaian ilmu silat, namun mereka bukanlah lawan berat bagi Hun Bwee. Sungguh pun gadis ini sudah terluka parah dan telah kehilangan setengah bagian kecepatannya, akan tetapi gerakannya masih terlalu hebat bagi para pengeroyok itu sehingga setelah bertanding hebat selama beberapa menit, kembali ada enam orang pengeroyok roboh binasa. Orang terakhir yang roboh adalah penjaga palang pintu gerbang.

Hun Bwee cepat menggigit pedangnya yang berlumuran darah, karena kini tangan kirinya sama sekali tidak dapat ia pergunakan lagi dan sudah lumpuh, kemudian dengan tangan kanannya, sekali renggut palang pintu dari besi itu terlepas dan sekali tendang, daun pintu pun langsung terkuak lebar.

Dua orang penjaga mempergunakan kesempatan selagi gadis itu menggigit pedang dan menggunakan tangan merenggut palang pintu, menyerang dari belakang dengan bacokan golok mereka. Hun Bwee mendengar datangnya sambaran dua batang golok. Cepat dia mengelak dengan menarik tubuh ke belakang. Dua batang golok menghantam daun pintu.

Melihat dirinya dibacok seperti itu, sebenarnya Hun Bwee hendak terus mengamuk dan membunuh dua penjaga itu. Akan tetapi tangan kirinya sudah lumpuh, dan sungguh pun pikirannya terganggu namun dia masih memiliki kesadaran bahwa dia harus cepat-cepat keluar dari benteng itu untuk meloloskan diri.

Maka, melihat pintu besi yang tadi ditendangnya kini sudah terpentang lebar, gadis aneh ini segera melompat keluar kemudian menggunakan ginkang-nya berkelebat. Akan tetapi luka-luka yang dideritanya sangat parah sehingga tenaganya banyak berkurang. Ginkang yang biasanya membuat tubuhnya dapat berkelebat dengan amat cepat, sekarang hanya tersisa tidak sampai setengahnya.

Ketika itu, di sekitar pintu benteng itu telah berkumpul banyak penjaga yang merupakan pasukan anak panah dan masing-masing sudah siap dengan gendewa berisi anak panah. Maka, begitu melihat tubuh Hun Bwee berkelebat keluar hendak melarikan diri, segera anak-anak panah meluncur laksana hujan menimpa tubuh gadis yang keadaannya sudah sangat parah itu.

Sudah sekitar empat puluh tindak Hun Bwee keluar dari tembok benteng ketika telinganya dapat menangkap desir angin berdesingan yang ditimbulkan oleh anak-anak panah yang baru dilepaskan oleh pasukan pemanah. Gadis ini cepat membalikkan tubuh dan segera memutar Hek-sin-kiam untuk melindungi dirinya dari hujan anak panah.

Demikian cepat pedang itu berputar sehingga anak-anak panah itu dapat dipukul runtuh dan jatuh ke tanah, akan tetapi jumlah anak panah itu terlalu banyak sedangkan tenaga Hun Bwee yang tinggal separuh sudah terkuras lebih banyak lagi. Dan akhirnya…..

“Ceppp!” sebatang anak panah menancap pada perutnya, begitu dalam sehingga nyaris tembus sampai ke punggungnya.

“Ahhh…!” Hun Bwee merintih lirih, menahan rasa sakit pada perutnya. Pandang matanya gelap, kepalanya terasa berdenyut-denyut.

Walau pun demikian, gadis yang pikirannya terganggu ini masih terus memutar pedang Hek-sin-kiam secepat yang dia mampu sambil kakinya terus melangkah mundur, menjauh dari benteng itu, makin lama makin menjauh. Akhirnya, ketika sudah tak ada anak panah yang mampu mencapai dirinya, Hun Bwee membalikkan tubuh dan dengan sisa tenaga terakhir dia melarikan diri masuk hutan dengan anak panah tertancap pada perutnya.

********************

"Keng Hong, berkali-kali kau menyakitkan hatiku, akan tetapi aku selalu mengampunimu. Bahkan yang terakhir kali engkau menipuku dengan bujuk rayumu, hampir kau berhasil. Menurut patut, sekarang juga engkau harus kubunuh, atau lebih tepat kalau kau kusiksa sebelum kubunuh. Akan tetapi... ahhhh..." Cui Im menundukkan mukanya, menarik napas panjang penuh penyesalan.

Keng Hong yang masih terbelenggu pada tiang besi di dalam kamar tahanan, menatap tajam dan dapat menduga bahwa sekali ini gadis itu tidak berpura-pura, tapi benar-benar menyesal sekali.

"Kenapa, Cui Im? Lanjutkanlah," katanya perlahan dan dengan suara dingin, menunjukkan bahwa hatinya telah tertutup sama sekali terhadap wanita ini.

Memang dia beberapa kali berlaku tidak sedap terhadap Cui Im, akan tetapi bukankah wanita ini yang lebih dulu melakukan hal-hal yang mencelakakan Biauw Eng gadis yang dicintanya?

Cui Im mengangkat muka memandang Keng Hong dan pemuda ini terkejut ketika melihat beberapa tetes air mata membasahi sepasang pipi wanita itu. Cui Im menangis! Air mata buayakah ini? Bukan, gadis itu benar-benar merasa berduka dan kecewa sekali.

"Keng Hong, apa artinya hidup bagi seseorang tanpa cinta? Cinta yang murni maksudku, cinta yang timbul dari lubuk hati, cinta yang sudah ada tanpa harus dibuat-buat, yang menguasai seluruh jiwa, yang sudah ada seperti adanya napas dan denyut darah dalam tubuh. Aku cinta padamu, Keng Hong. Bukan! Bukan cintaku terhadap setiap pria tampan yang hanya merupakan dorongan nafsu birahi. Aku cinta padamu dari lubuk hatiku! Aku bersedia melakukan apa saja, bahkan bersedia mengubah seluruh jalan hidupku asal saja aku bisa mendapatkan cintamu, asal saja aku bisa menjadi isterimu!"

Keng Hong memandang dengan sinar mata kasihan, akan tetapi hanya sebentar karena dia teringat akan kekejaman hati yang sudah menjadi watak wanita ini, maka mulutnya segera tersenyum mengejek untuk menyakitkan hati Cui Im. "Cui Im, engkau tahu betapa hal itu tidak mungkin terjadi seperti juga aku telah tahu benar betapa palsu hatimu, betapa cintamu itu hanya kembang bibir saja karena sebenarnya tidak ada cinta di hatimu, yang ada hanya dengki, iri dan benci. Di balik cintamu itu tersembunyi kebencian yang sedalam lautan!"

Cui Im mengejek. "Demikianlah cinta, Keng Hong. Cinta yang tidak mendapat tanggapan, uluran tangan cinta yang tak disambut dengan jabatan, akan berubah menjadi benci yang mendalam. Aku cinta padamu, aku rela mengorbankan apa pun juga untuk merebut kasih hatimu, akan tetapi kalau tak berhasil, kalau engkau menolak, aku membenci kepadamu, sebenci-benciku!"

Keng Hong tersenyum mengejek meski pun di dalam hatinya dia merasakan penderitaan batin wanita ini. Ia mau percaya penuh keyakinan bahwa wanita ini sungguh mencintanya. Ia pun mau percaya bahwa semua perbuatan Cui Im yang amat keji terhadap Biauw Eng sesungguhnya adalah karena cinta kasih itulah. Karena tidak ingin melihat Keng Hong direbut lain wanita. Akan tetapi dia sendiri, tidak pernah ada perasaan cinta kepada Cui Im.

"Aku tetap tidak percaya, Cui Im. Engkau berhati palsu, dan perasaan cinta kasih terlalu murni, terlalu bersih bagi hati yang kotor dari orang seperti engkau ini. Apa pun yang kau lakukan, kuanggap akan mencelakakan diriku. Kiraku, kebencianmu tidak akan melebihi sakitnya hatiku terhadap dirimu, Cui Im."

Cui Im memandang dan kini kedukaan sudah lenyap dari mukanya, terganti sinar mata menertawakan dan mengejek, "Karena perbuatanku terhadap Biauw Eng?"

"Terutama karena itu, akan tetapi lebih dari pada semuanya karena perbuatanmu yang menyesatkan aku di malam pertama itu. Engkau sudah menyeretku dalam cengkeraman nafsu birahi, membangkitkan sifat binatang dalam diriku. Sungguh aku sangat menyesal karena perbuatanmu itu, Cui Im. Cinta birahi yang bangkit antara dua orang yang saling mengasihi, dalam pertemuan yang murni dan tidak melanggar hukum, tak dibayangi oleh perasaan dosa karena melanggar hukum susila, cinta birahi yang wajar sebagai kembang cinta kasih dari pada pria dan wanita, akan berkembang dengan subur dan murni, suci sehingga menjadi landasan penciptaan manusia baru. Akan tetapi, di dalam tanganmu, cinta birahi hanyalah merupakan pemuasan nafsu binatang yang haus akan kenikmatan kotor. Kotor sekali cintamu, Cui Im. Kotor..."

"Diam!" Cui Im membentak.

Dia telah melangkah maju, tangannya diangkat untuk memukul. Akan tetapi melihat wajah Keng Hong yang tersenyum memandangnya tanpa berkedip, tangannya turun kembali dan dia menjatuhkan diri duduk di atas dipan sambil terisak.

"Kelemahanku adalah... selalu tidak tega bila hendak membunuhmu..." Cui Im menunduk, kelihatan berduka sekali, akan tetapi ia lalu mengangkat muka, memandang dengan sinar mata penuh penyesalan dan kemarahan. "Keng Hong, aku tidak bisa merenggut cintamu, akan tetapi sewaktu-waktu dapat merenggut nyawamu dan nyawa Biauw Eng! Biarlah, aku akan mengalah, akan membiarkan engkau dan Biauw Eng bebas agar kalian dapat menikmati cinta kasih kalian. Akan tetapi, kau berikan Ilmu Thi-khi I-beng kepadaku."

Keng Hong menggelengkan kepalanya. "Memberikan ilmu dahsyat kepada orang seperti engkau merupakan dosa besar, Cui Im, dosanya sama besar dengan memberikan sayap kepada ular berbisa yang sangat berbahaya. Dari pada hidup bergelimang dosa terhadap manusia dan dunia, lebih baik mati sebagai seorang gagah."

Biar pun mulutnya berkata demikian, namun seluruh urat di tubuh Keng Hong menegang dan siap untuk membela diri, seperti tadi ketika Cui Im hendak memukulnya.

"Keparat! Kau sangka aku tidak kuat memaksa diri menyiksamu?" Cui Im bangkit berdiri, matanya memancarkan api kemarahan.

"Sesukamulah!"
Cui Im bertepuk tangan tiga kali dan muncullah Thian-te Siang-to, dua orang murid Pat-jiu Sian-ong yang malam itu ditugaskan menjaga pintu tahanan.

"Bawa Biauw Eng ke sini!"

Kedua orang kakek itu mengangguk sambil melempar kerling dan senyum mengejek ke arah Keng Hong, kemudian mereka berdua pergi. Diam-diam hati Keng Hong berdebar penuh ketegangan dan kegelisahan, akan tetapi mukanya tidak memperlihatkan sesuatu, tetap tenang seolah-olah dia tidak mengacuhkan sama sekali apa yang dilakukan oleh Cui Im.

Tak lama kemudian, dua orang itu menyeret tubuh Biauw Eng yang juga terbelenggu kaki tangannya memasuki kamar tahanan Keng Hong. Atas perintah Cui Im, tubuh Biauw Eng dilempar secara kasar oleh dua orang kakek itu ke atas pembaringan yang tadi diduduki Cui Im.

Wajah Biauw Eng agak pucat dan kurus, rambutnya awut-awutan tapi dalam pandangan Keng Hong, gadis itu kelihatan semakin cantik sehingga matanya melembut dan mesra ditujukan kepada Biauw Eng. Namun Biauw Eng tetap tenang, sinar matanya memandang wajah bekas suci-nya dengan penuh tantangan.

"Cui Im, wanita yang kehilangan pegangan, apa pula yang ingin kau lakukan sekarang?" tanyanya.

Dia mengerling ke arah Keng Hong, kemudian tersenyum melihat sinar mata mesra dari pemuda itu. Biar pun hanya sejenak, namun pertemuan pandang mata penuh cinta kasih dari kedua orang itu telah membakar hati Cui Im, seperti minyak disiramkan kepada api kebencian yang membakar hati.

"Keng Hong, kau lihat baik-baik! Biauw Eng juga tidak berdaya dan sudah berada dalam cengkeraman tanganku. Jika aku membunuhnya di depanmu, atau menyiksanya, apakah engkau masih hendak bersikap kukuh tidak pernah memberikan ilmu itu kepadaku?"

"Keng Hong, apakah engkau mendengar apa yang diocehkan oleh perempuan ini?"

"Biarlah, Biauw Eng. Biarlah dia mengoceh, karena aku tetap tidak akan memberikan apa yang dimintanya. Diatelah mengambil terlalu banyak dari kita, telah melakukan perbuatan-perbuatan keji dengan maksud menghancurkan kebahagiaan kita berdua. Akan tetapi, jika engkau menghendaki aku memberikan ilmu kepadanya, Biauw Eng, aku akan mentaati kehendakmu. Bukan karena takut aku disiksa atau khawatir engkau dibunuh, orang-orang seperti kita tak akan gentar menghadapi maut, melainkan karena aku yang sudah banyak membuat kesalahan, kini akan mentaati semua yang kau kehendaki."

Biauw Eng mengerutkan keningnya. Memang hatinya masih sakit kalau dia mengenang sikap Keng Hong kepadanya, sikap yang sangat menyakitkan hati setelah dia melakukan semua pengorbanan demi cintanya terhadap pemuda itu, setelah selama bertahun-tahun dia menderita demi cinta kasihnya.

"Bhe Cui Im, ceritakanlah kepadaku apa yang sudah kau lakukan selama ini dan setelah mendengar ceritamu, baru aku akan mengambil keputusan tentang permintaanmu kepada Keng Hong. Engkau tentu menghendaki ilmu yang diperebutkan orang, yaitu Ilmu Thi-khi I-beng itu, bukan?"

Cui Im tertawa mengejek. "Hemmm, kuceritakan atau tidak, apa artinya bagi kalian? Dan biarlah, untuk bekal ke akhirat engkau mendengar pengakuanku, Biauw Eng."

Cui Im yang cerdik segera dapat menangkap sikap bekas sumoi-nya yang agaknya masih mendendam kepada Keng Hong sebagai akibat pemalsuan-pemalsuannya dahulu. Kalau sekarang dia ceritakan, tentu bekas sumoi-nya ini akan sadar betapa pemuda itu amat mencintanya dan mungkin hati Biauw Eng tidak rela kalau melihat Keng Hong mati, dan mungkin akan membujuk pemuda itu menyerahkan ilmu yang amat diinginkannya.

Kalau dia sudah mendapatkan ilmu itu, dengan dibantu kawan-kawannya tentu dia akan mampu mengalahkan Keng Hong dan untuk membunuh mereka berdua ini kelak, masih banyak waktu!

Sebelum bicara, ia menghela napas panjang. "Semua itu kulakukan demi cintaku kepada Keng Hong. Engkau tentu sudah dapat menduga apa yang telah terjadi sebelum engkau menemukan aku dan Keng Hong untuk pertama kali dahulu. Antara dia dan aku sudah terjalin cinta kasih..."

"Bukan cinta kasih, Cui Im. Ingatlah akan rayuanmu dan akan arak beracunmu, bukan cinta kasih, melainkan nafsu iblis yang kau pergunakan untuk menyeretku!"

Cui Im memandang pada Keng Hong dengan senyum mengejek, kemudian melanjutkan, "Katakan apa sukamu, Keng Hong, akan tetapi bagiku, semenjak saat itu aku telah jatuh cinta kepadamu. Demikianlah, Biauw Eng. Aku telah jatuh cinta kepada Cia Keng Hong sebelum kau menjumpainya, maka salahkah aku kalau aku menjadi iri hati dan cemburu melihat engkau mencintanya, bahkan engkau menyatakan cintamu di hadapan mendiang ibumu. Saat itu timbul kebencianku padamu, menghapus semua pertalian persaudaraan dan aku bertekad hendak mempertahankan Keng Hong dari wanita yang mana pun juga, termasuk engkau!"

Biauw Eng mendengarkan dengan sinar mata tajam dan penuh perhatian, sama sekali tidak memperlihatkan perasaan hatinya pada wajahnya. Bahkan wajahnya yang cantik itu masih tenang dan tidak memperlihatkan perasaan apa-apa ketika dengan panjang lebar Cui Im menceritakan betapa ia mencuri senjata-senjata rahasia sumoi-nya dan menyamar sebagai sumoi-nya untuk menjelekkan nama sumoi-nya itu supaya di samping sumoi-nya dimusuhi orang-orang kang-ouw, juga menimbulkan kebencian di hati Keng Hong.

"Dengan perbuatan itu sekali pukul aku mendapatkan tiga keuntungan. Pertama, aku bisa memburukkan namamu di mata dunia kang-ouw sebagai pembalasanku karena engkau sudah merampas cinta kasih Keng Hong dariku. Ke dua aku dapat membangkitkan rasa benci di hati Keng Hong terhadap dirimu dan ke tiga aku dapat membunuh setiap wanita yang berani mendekati Keng Hong!"

Mendengar pengakuan-pengkuan ini, biar pun wajahnya tetap tenang, namun dua titik air mata membasahi bulu mata Biauw Eng, dan ketika dia mengerling kepada Keng Hong, pandang matanya mengandung rasa kasihan dan kemesraan. Kini terbuka sudah semua rahasia, sejelas-jelasnya tampak oleh Biauw Eng mengapa sikap Keng Hong dahulu amat menyakitkan hatinya. Kiranya malah Keng Hong yang tentu akan jauh lebih sakit hatinya menyaksikan semua perbuatan keji yang disangka dia yang melakukannya.

"Biauw Eng, sekarang maukah engkau mengampuni aku?" Keng Hong bertanya lirih saat Cui Im menghentikan ceritanya.

Biauw Eng memandang wajah pemuda itu sampai lama, tidak mampu menjawab, hanya mengangguk, kemudian sesudah menekan perasaan harunya, barulah dia dapat berkata perlahan,

"Bukan engkau yang harus minta maaf, melainkan aku, harap kau suka maafkan..."

Dua orang muda itu saling bertemu pandang, penuh keharuan dan kemesraan dan hal ini membakar hati Cui Im. Akan tetapi, gadis yang cerdik ini bersabar dan mengingat akan kebutuhannya dia lalu berkata,

"Biauw Eng, setelah engkau mendengar semua, kini tentu engkau yakin bahwa apa pun yang sudah dilakukannya, Keng Hong hanya mencinta engkau seorang. Dan engkau pun sudah yakin akan cinta kasihmu kepada Biauw Eng, Keng Hong. Karena itu, demi cinta kasih kalian, mengapa engkau tidak mau mengorbankan ilmu begitu saja supaya kalian dapat bebas dan melanjutkan pertalian cinta kasih kalian?"

"Tidak! Keng Hong, jangan mendengarkan dia! Aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku, karena itu, aku tetap ingin melihat engkau sebagai orang gagah yang patut kubela sampai mati! Kalau engkau menyerah kepada iblis betina ini, berarti engkau menodai cinta kasih antara kita!"

Mendengar ucapan yang bersemangat, Keng Hong tertawa dan menoleh kepada Cui Im, kemudian berkata penuh ejekan, "Kau dengar sendiri, Cui Im! Kekasihku, pujaan hatiku Sie Biauw Eng adalah puteri dari mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong yang mewarisi watak gagah perkasa ayahnya, tidak seperti engkau yang rendah budi! Kalau engkau mau membunuh aku dan Biauw Eng, silakan. Dalam kematian pun kami berdua akan tetap saling mencinta! Tidak ada kekuasaan di dunia dan akhirat yang akan dapat memisahkan cinta kasih kami!"

Pucat wajah Cui Im mendengar ini. Celaka, pikirnya. Dia sudah mengorbankan perasaan, telah mengobati kepedihan hati Biauw Eng dengan pengakuannya, dengan harapan agar Biauw Eng suka membujuk Keng Hong supaya menyerahkan ilmu itu demi kebahagiaan dan kehidupan mereka. Siapa kira, dua orang itu demikian keras kepala!

Ia mengepal kedua tangannya, ingin sekali pukul membunuh dua orang yang kini makin dibencinya itu. Akan tetapi wajahnya yang pucat itu menyeringai sehingga dalam keadaan seperti itu, kecantikannya berubah menjadi seram menakutkan, seperti wajah iblis betina yang haus darah.

"Keng Hong dan Biauw Eng! Aku masih bersabar terhadap Keng Hong mengingat akan hubungan cinta kasihnya denganku dahulu, dan aku juga bersedia memaafkan Biauw Eng karena mengingat akan hubungan persaudaraan. Akan tetapi kesabaran ada batasnya! Kalau engkau suka menurunkan ilmu itu kepadaku Keng Hong, bukan hanya engkau dan Biauw Eng yang akan bebas, melainkan juga Gui Yan Cu dan Yap Cong San. Akan tetapi kalau engkau menolak, berarti bukan hanya kalian berdua yang akan mati tersiksa, juga kedua orang muda itu!"

"Ha-ha-ha-ha! Mereka berdua pun adalah dua orang gagah perkasa yang menganggap kematian seperti pulang ke kampung halaman!" Keng Hong menantang.

Dan sesungguhnya pemuda ini bukan hanya omong kosong atau bicara besar, karena dia sudah memperhitungkan bahwa Cui Im tidak akan mudah begitu saja menyerah sebelum kehendaknya dipenuhi maka tidak akan membunuh mereka secara tergesa-gesa. Ada pun sebaliknya, sekali kehendaknya tercapai, tentu Cui Im akan membunuh mereka tanpa di tunda-tunda lagi. Selain ini, dia pun sudah bersiap sedia untuk turun tangan apa bila keadaan sudah mendesak dan tidak ada jalan lagi untuk mengatasinya.

Akan tetapi tiba-tiba saja Cui Im tertawa, suara ketawanya bergelak menyeramkan seperti suara kuntianak menangis karena kehausan darah. "Mereka kini hampir mati, dan engkau masih bicara tentang kegagahan mereka? Tadi aku sudah menyerahkan gadis ayu yang menjadi sumoi-mu itu kepada Thai-lek Sin-mo. Hi-hi-hik. Engkau tentu tahu siapa Thai-lek Sin-mo Cou Seng, si raksasa yang tubuhnya seperti gajah! Hi-hi-hik-hik, kalau tidak ada urusan dengan kalian di sini, ingin sekali aku menyaksikan betapa Yan Cu menggeliat-geliat digagahi oleh raksasa itu. Mungkin saat ini sedang merintih-rintih atau mungkin juga mampus. Gadis mana yang akan dapat bertahan terhadap Thai-lek Sin-mo? Sayang, aku masih banyak urusan, terutama sekali denganmu, Biauw Eng. Engkau keras kepala dan sepatutnya dihukum seperti yang diderita Yan Cu. Akan tetapi Yan Cu masih beruntung, setidaknya menerima penghinaan dari seorang di antara Iblis-iblis Tembok Besar. Ada pun engkau, engkau akan kuberikan kepada dua orang raksasa kasar yang lebih rendah derajatnya dari pada dua ekor binatang. Di sini! Di kamar ini dan engkau akan menjadi saksinya, Keng Hong! Kau dan aku, hi-hi-hik! Kita berdua akan menikmati pemandangan yang amat mesra! Hi-hi-hik!"

Biauw Eng dan Keng Hong terkejut bukan main, bukan mengkhawatirkan nasib mereka sendiri, melainkan mengkhawatirkan nasib dua orang teman mereka, Yan Cu dan Cong San. Mereka saling pandang sambil menduga-duga, apa gerangan yang terjadi dengan mereka itu? Mala petaka apakah yang menimpa mereka?

Cui Im memang tidak berbohong ketika menceritakan tentang Yan Cu. Memang ada saja akal yang aneh-aneh dan keji-keji dalam benak iblis betina ini untuk menyiksa musuh-musuhnya. Menyaksikan sikap mesra Yan Cu terhadap Keng Hong, walau pun dia tahu bahwa Yan Cu adalah sumoi dari Keng Hong, namun tak dapat ia tahan rasa cemburu yang timbul di hatinya.

Yan Cu demikian muda dan demikian cantik jelita, maka timbul rasa cemburu bercampur dengan rasa iri yang membangkitkan kebencian hebat. Oleh karena Yan Cu tidak ada gunanya baginya, maka gadis itu harus dibunuh, akan tetapi selain untuk menyiksanya, juga dia hendak menggunakan kesempatan itu untuk menyenangkan hati Thai-lek Sin-mo Cou Seng yang haus wanita pula. Hal ini mudah saja ia tangkap dari pandang mata Cou Seng yang ditujukan kepadanya.

Karena dia sendiri enggan melayani raksasa gendut itu, biarlah raksasa itu memuaskan nafsunya kepada Yan Cu. Dan untuk menyiksa Cong San, di samping membangkitkan gairahnya supaya kelak dia mudah merayu pemuda tampan yang menarik hatinya itu, dia mengatur agar Cong San berada di dalam kamar menyaksikan apa yang akan dilakukan oleh Cou Seng terhadap Yan Cu!

Malam itu memang merupakan malam yang menyeramkan, malam yang penuh ancaman mengerikan bagi empat orang muda yang menjadi tawanan di benteng Pat-jiu Sian-ong di lereng Pegunungan Tai-hang-san itu. Mereka berempat tidak tahu bahwa tiga hari yang lalu, Hun Bwee telah membunuh Lian Ci Sengjin dan gadis itu melarikan diri dari benteng.

Pada malam hari itu, Yan Cu yang tadinya ditahan dalam kamar yang terpisah, didatangi Thai-lek Sin-mo Cou Seng yang tertawa-tawa dan tanpa banyak bicara raksasa ini lantas memondong tubuh Yan Cu yang dibelenggu kaki tangannya lalu dibawa keluar dari kamar tahanan.

Empat orang penjaga di luar pintu kamar tahanan hanya tertawa dengan pandang mata iri karena mereka sudah menerima perintah dari Cui Im bahwa tawanan yang jelita itu ‘diserahkan’ kepada Thai-lek Sin-mo. Yan Cu maklum akan bahaya yang mengancam, akan tetapi dia sama sekali tidak berdaya dalam kempitan lengan yang amat kuat itu, apa lagi dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya.

Sementara itu, Yap Cong San yang merasa prihatin sekali, tidak pernah berhenti dengan usahanya mematahkan belenggu. Dengan pengerahan tenaga sinkang, berkali-kali dia berusaha merenggut belenggu baja yang mengikat kedua tangannya pada tiang di dalam kamar tahanan, akan tetapi belenggu itu sangat kuat sehingga semua usahanya hanya mengakibatkan kulit kedua pergelangan tangannya lecet-lecet.

Kemudian dia mengubah cara usahanya. Sambil berdiri pemuda ini segera menghimpun tenaga dalam, dan mulai bersemedhi untuk mempergunakan ilmu sakti dari Siauw-lim-pai, yaitu ilmu Sia-kut Sin-hoat, semacam ilmu untuk membuat tulangnya seolah-olah terlepas sehingga tubuhnya menjadi lemas dan licin. Untuk dapat mencapai ilmu ini diperlukan pengerahan hawa murni di tubuh sehingga dia bersemedhi sampai dua hari dua malam, barulah berhasil.

Tulang pergelangan tangannya dapat dia gerakkan sedemikian rupa hingga bisa tergeser dan dagingnya menjadi lemas sehingga akhirnya dia dapat meloloskan kedua tangannya dari belenggu, demikian pula membebaskan kedua kakinya! Namun, setelah berhasil dia harus mengatur napas sampai lama untuk memulihkan tenaga.

Belum lama dia berdiri tanpa bergerak mengatur napas, tiba-tiba dia mendengar jejak kaki yang berat mendatangi dari luar kamarnya. Ia terkejut, cepat dia mengatur belenggu kaki tangannya sehingga tampak seolah-olah dia masih terbelenggu, lalu dia pun melanjutkan usahanya memulihkan tenaga yang banyak diperasnya untuk menggunakan Ilmu Sin-kut Sin-hoat tadi.
Selanjutnya,