Pedang Kayu Harum Jilid 33 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pedang Kayu Harum Jilid 33
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Kini Yan Cu menjadi marah sekali, kemarahan yang timbul akibat kedukaan hatinya. Di dalam kedukaannya itu memang ada perasaan marah kepada Biauw Eng dan Hun Bwee yang sudah menawan Keng Hong dan hanya kerena Keng Hong yang melarangnya dan karena keyakinannya bahwa Keng Hong mencinta Biauw Eng maka tadinya dia menahan kemarahannya terhadap kedua orang gadis itu dan tidak turun tangan mencegah mereka menawan Keng Hong.

Kini semua kemarahannya mendapat jalan keluar dan dapat ditumpahkan kepada para perampok yang kurang ajar itu. Melihat kepala perampok itu dengan mata liar dan mulut menyeringai maju menubruknya, Yan Cu cepat mendahuluinya dengan sambaran kaki kirinya menendang. Gerakan kakinya tentu saja amat cepat bagi kepala perampok yang kasar itu sehingga dia tidak sempat menghindar lagi ketika kaki yang kecil itu melayang.

"Krakkk!"

"Wadouhhhhhh... aaahhhhh...!" Tubuh kepala perampok itu terjengkang dan terbanting ke atas tanah di mana dia menggunakan kedua tangannya menekan-nekan dadanya sambil berkelojotan. Tulang-tulang iganya patah-patah dan melesak ke dalam rongga dada!

Melihat peristiwa yang tak tersangka-sangka ini, para perampok sejenak tercengang dan melongo. Akan tetapi kemudian mereka menjadi marah sekali dan seperti segerombolan anjing serigala memperebutkan tulang, dua belas orang perampok itu menerjang maju.

Mungkin karena hati dan pikirannya masih penuh dengan bayangan Keng Hong dijadikan tangkapan orang, kini melihat banyak lengan terulur ke arahnya hendak menangkapnya membuat kemarahan hati Yan Cu semakin menjadi-jadi. Mulutnya mengeluarkan pekik kemarahan dan kini kaki tangannya bergerak cepat sekali, tubuhnya menyambar-nyambar dan terdengarlah jerit-jerit kesakitan dan roboh pula dua belas orang itu satu demi satu, tidak kuasa bangkit kembali karena dalam kemarahannya Yan Cu sudah menggunakan tenaga sinkang untuk memukul atau menendang dua belas orang yang berebut hendak menangkapnya itu!

Hanya beberapa menit saja berlangsungnya pertandingan yang berat sebelah itu, seperti seekor burung garuda dikeroyok dua belas ekor anak ayam! Kini Yan Cu berdiri tegak dengan kedua tangan masih siap menghadapi pengeroyokan selanjutnya sambil matanya mengerling ke kiri kanan penuh kemarahan.

Akan tetapi, ketika ia mendapat kenyataan bahwa tak ada orang lagi yang menyerangnya kecuali tiga belas batang tubuh yang berserakan di sekelilingnya, sebagian besar sudah mati dan yang masih bergerak hanya mereka yang sedang sekarat berkelojotan, tiba-tiba tubuhnya terasa lemas sekali. Muka gadis itu menjadi agak pucat. Belum pernah selama hidupnya ia melakukan pembunuhan massal seperti ini.

Dia merasa ngeri dan bergidik memandangi korban-korban kemarahannya. Kemudian dia melangkah pergi meninggalkan tempat yang menimbulkan kengerian itu, melangkah pergi dan begitu teringat kepada Keng Hong tak terasa ia menangis lagi sambil berjalan. Makin berduka hatinya karena kalau saja ada Keng Hong di situ, kiranya dia tak akan mengalami peristiwa tadi dan tidak harus membunuhi orang, biar pun orang-orang yang dibunuhnya itu adalah orang-orang yang jahat.

"Keng Hong suheng...! Mengapa engkau mau saja ditawan...? Suheng... Keng Hong... mengapa engkau begitu lemah...?"

Orang yang sejak tadi membayanginya, di dalam persembunyiannya tadi terbelalak heran dan kagum menyaksikan sepak terjang gadis itu yang dalam satu gebrakan saja mampu merobohkan setiap orang perampok dan dalam waktu singkat sekali telah membunuh tiga belas orang perampok kasar! Hal ini sungguh amat tidak disangka oleh si pengintai, dan membuat dia semakin tertarik, maka kini diam-diam dia pun membayangi gadis cantik itu yang pergi sambil menangis.

Keluhan Yan Cu itu perlahan, akan tetapi saking sedihnya, pada waktu menyebut nama suheng-nya, suara Yan Cu mengeras sehingga terdengar oleh pengintai itu. Si pengintai kaget sekali mendengar disebutnya nama Keng Hong, selain kaget juga gembira karena dia segera meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan sekali meloncat saja pengintai ini telah berada di depan Yan Cu.

Yan Cu sedang berduka, akan tetapi pendengarannya amat tajam. Ia mendengar gerakan orang dan cepat mengangkat muka memandang, melihat sesosok bayangan berbaju hijau berkelebat. Yan Cu bersikap waspada, dapat menduga bahwa ada orang pandai muncul dan sama sekali tidak boleh disamakan dengan gerombolan perampok yang terdiri dari orang-orang kasar tadi. Tentu yang datang ini adalah pemimpin perampok yang memiliki kepandaian tinggi.

Akan tetapi kali ini Yan Cu kecelik dan ia memandang pemuda yang berdiri di depannya itu dengan mata terbelalak dan pandang mata terheran. Yang berdiri di depannya adalah seorang pemuda yang amat tampan dan gagah sekali, berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, berpakaian warna hijau dengan model sastrawan, sikapnya halus dan pemuda itu berdiri sambil memberi hormat kepadanya.

Pemuda itu adalah Yap Cong San, jago muda dari Siauw-lim-pai. Sesudah pemuda ini menerima dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai, yaitu kitab-kitab I-kiong Hoan-hiat dan Seng-to Cin-keng dari tangan Keng Hong, pemuda ini segera membawa dua buah kitab itu kepada suhu-nya.

Tiong Pek Hosiang, ketua Siauw-lim-pai yang sudah amat tua, menerima dua buah kitab itu dengan girang sekali. Ketika kakek sakti ini mendengar penuturan muridnya tentang Keng Hong dan Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, dia lalu menyuruh muridnya pergi menyusul Keng Hong dan membantu Keng Hong menghadapi wanita jahat itu sebagai pernyataan terima kasih dan membalas budi Keng Hong yang sudah mengembalikan dua buah kitab, dan juga untuk menghukum Cui Im atas kematian Thian Ti Hwesio.

Demikianlah sebabnya mengapa kini tiba-tiba muncul Cong San di tempat itu dan secara kebetulan Cong San melihat Yan Cu dan amat tertarik hatinya. Begitu mendengar gadis itu menyebut nama Keng Hong, tentu saja cepat meloncat keluar dan menemuinya.

Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika baru saja dia muncul dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada, belum sempat mulutnya bicara, dara jelita yang mengguncangkan hatinya itu sudah menerjang maju dan menyerangnya dengan pukulan maut! Gerakan Yan Cu amat cepatnya dan pukulan tangan kanan yang meluncur ke arah dada kiri Cong San itu mengandung tenaga sinkang yang mengeluarkan angin keras!

"Ehhh... jangan serang, Nona...!" Cong San cepat mengelak sambil berseru keras.

Sepasang mata yang bening itu berkilat. Melihat wajah tampan itu tersenyum kepadanya, Yan Cu semakin marah, menganggap bahwa pemuda yang ternyata benar lihai dan dapat mengelak pukulannya secara mudah itu tentu hendak berkurang ajar pula kepadanya, maka ia hanya membentak, "Datuk perampok, kau pun harus dibasmi!"

Lalu dia menerjang pula, sekali ini dengan pengerahan kecepatannya sehingga secara bertubi kepalan tangan kanannya menonjok perut, disusul tangan kiri mencengkeram ke arah hidung, kemudian dibarengi kedua kakinya melakukan tendangan berantai kanan kiri mengarah pusar dan lutut!

Cong San makin terkejut. Serangan ini benar-benar amat berbahaya! Pukulan ke perut terpaksa dia tangkis sambil mengerahkan tenaga lunak karena dia tidak ingin mengadu tenaga keras lawan keras, khawatir melukai lengan berkulit halus itu, tetapi cengkeraman pada hidungnya membuat dia kaget sehingga cepat dia miringkan kepala, dan ketika dua tendangan susul-menyusul menyambar, dia berseru kaget, "Wah, galak...!" Dan terpaksa dia meloncat ke belakang menghindarkan diri.

Yan Cu menjadi penasaran dan marah sekali. Lupa dia akan kesedihannya karena kini kemarahan menguasai hatinya dan membuat dia lupa segala. Dengan muka merah dan mata berapi dia menudingkan telunjuknya ke arah hidung Cong San sambil memaki,

"Kau bilang aku galak? Memang aku galak, akan tetapi engkau ceriwis, cabul, jahat dan keji, tidak sopan, tukang merampok dan memperkosa..."

"Wah, wah, wah... cukup, Nona! Aku bukan orang jahat...!" Cong San menangkis dengan kata-kata menyangkal sambil bersikap waspada karena agaknya nona yang amat jelita ini pun amat galak.

Yan Cu tertawa mengejek.

Serrrr! Jantung Cong San membuat loncatan salto di dalam rongga dadanya dan agaknya terbanting kembali dalam keadaan terbalik karena debar jantungnya kini sampai terdengar oleh telinganya, amat keras!

Melihat wajah itu tertawa benar-benar membuat dia terpesona, apa lagi kini melihat mulut yang meski pun tertawa mengejek masih nampak terlalu manis olehnya itu mengeluarkan kata-kata, membuat pandang matanya seakan-akan melekat pada sepasang bibir yang bergerak-gerak itu.

"Tidak jahat? Engkau mengintai aku secara sembunyi, masih bilang bukan orang jahat? Hayo katakan, mengapa engkau mengintai dan membayangiku!"

Sampai lama Yan Cu menanti, pemuda itu tidak menjawab, hanya melongo memandang mulutnya. Memang Cong San tidak mendengar ucapan dan pertanyaan tadi. Pemuda ini masih terpesona, seperti melayang semangatnya, debar jantungnya yang keras membuat telinganya terngiang-ngiang hingga tidak dapat menangkap kata-kata Yan Cu. Bagaimana mungkin ada mata seindah itu?

Cong San bukan seorang pemuda mata keranjang. Jauh dari pada itu. Selama berada dalam gemblengan Tiong Pek Hosiang di Siauw-lim-si, kakek ini selain mengajarkan ilmu silat tinggi, juga mengajarkan kebatinan dan karena itu dia tak pernah memikirkan wanita.

Karena batinnya yang kuat dan dasar susilanya tebal, tidaklah mudah kecantikan wanita menggiurkan hati pemuda jago Siauw-lim-pai ini. Akan tetapi, ketika berhadapan dengan Yan Cu, dia benar-benar terpesona dan kehilangan akal, seakan-akan matanya menjadi silau seperti langsung memandang cahaya matahari di tengah hari!

"Heiii! Jawab pertanyaanku!" Yan Cu membentak makin marah.

"Ehh...! Ohhh...! Apa... apa yang kau kehendaki, Nona?" Cong San bertanya gugup. Akan tetapi karena tidak ingin mendapat kesan buruk, otomatis pemuda ini tersenyum ramah.

Kembali Yan Cu menganggap senyum yang membuat wajah itu makin tampan sebagai senyum kurang ajar, seperti senyum kepala rampok tadi. Kemarahannya memuncak dan dia memaki, "Cengar-cengir seperti monyet kurang ajar!"

Dan serta merta gadis ini sudah mencabut sebatang pedang. Tampak cahaya berkilat dan pada saat pedang itu digerakkan menyerang Cong San, terdengar bunyi berdesing dan pedang berubah menjadi gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Gulungan sinar ini berkelebat menyambar dan hendak ‘mengalungi’ leher Cong San!

Tentu saja pemuda ini kaget setengah mati, dan cepat mengelak. Jika lehernya dikalungi rangkaian bunga atau lebih hebat lagi dikalungi kedua lengan berkulit halus nona itu, tentu amat menyenangkan. Akan tetapi dikalungi pedang?!

Tujuh kali berturut-turut sinar pedang menyambar, akan tetapi dengan cekatan dan tubuh ringan sekali Cong San dapat mengelak. Dia amat terkejut menyaksikan kehebatan gerak dan serangan Yan Cu, akan tetapi lebih kaget dia mengenal pedang itu.

"Pokiam (pedang pusaka) Hoa-san-pai...!" Dia berseru ketika untuk ketujuh kalinya dia meloncat tinggi ke belakang untuk menghindarkan babatan pedang ke pinggangnya.

Memang Yan Cu telah mencabut pedang pusaka Hoa-san-pai yang oleh Keng Hong telah diserahkan kepadanya bersama pusaka-pusaka yang lainnya. Ia menahan serangannya, sebagian karena sangat kagum menyaksikan betapa pemuda itu dengan tanpa banyak kesulitan dapat menghindarkan serangan-serangannya, dan sebagian lagi karena tertarik mendengar seruan yang menyatakan bahwa pemuda ini sudah mengenali pokiam milik Hoa-san-pai.

"Kau sudah mengenal Hoa-san Po-kiam? Dan masih tidak cepat-cepat minggat dari sini?" bentaknya.

Cong San cepat-cepat memberi hormat, bersoja tanpa dibalas oleh Yan Cu. "Nona, harap maafkan, aku bukan orang jahat..."

Yan Cu membanting-banting kakinya tak sabar. "Sudahlah, berapa kali kau hendak bilang bahwa kau bukan orang jahat? Seperti penjual kecap saja yang memuji-muji dagangan sendiri! Kau jahat atau baik, apa hubungannya dengan aku? Apa kau mau mencari muka dengan memuji-muji diri sendiri?"

"Wah... wah...!" Cong San tak dapat bicara, menelan ludah dan mukanya menjadi merah sekali.

"Masih wah-wah-weh-weh, mau apa lagi? Cepat pergilah dan jangan mengganggu aku, dan jangan pula membayangiku!"

Akan tetapi Cong San masih belum pergi juga, menoleh pun tidak melainkan menunduk karena masih mengatur napasnya yang tidak karuan.

"Mau apa lagi?!" Yan Cu membentak, pedang di tangannya siap menyerang.

"Maaf, Nona. Aku... aku memang bersalah, membayangimu karena aku tadi melihat kau berjalan sambil menangis. Kemudian muncul perampok-perampok itu... dan aku kagum melihat betapa engkau merobohkan mereka..."

"Hemmmm... dan kau diam saja, ya? Laki-laki apa ini? Melihat seorang wanita diganggu perampok malah menonton gratis. Senang, ya? Pertunjukan menarik, ya? Sudahlah, aku jemu mendengar dongengmu, Pergilah!"

"Maaf..."
Yan Cu membanting kakinya lagi. "Maaf... maaf... apa kau kira aku ini tempat orang minta maaf? Kalau mau minta maaf, pergilah ke kelenteng menebus dosa!"

Cong San makin gugup. Ia harus cepat-cepat menjelaskan, kalau tidak bisa berabe benar berurusan dengan gadis jelita yang galak ini.

"Begini, Nona. Aku sama sekali tidak bermaksud kurang ajar. Melihat sepak terjangmu terhadap perampok-perampok itu, bagaimana aku berani lancang turun tangan? Seratus orang seperti mereka masih tak akan sanggup mengganggumu. Aku sudah hendak pergi, akan tetapi aku tertarik mendengar engkau menyebut nama Keng Hong. Cia Keng Hong adalah sahabat baikku, dan aku justru sedang pergi mencarinya. Apakah engkau dapat menunjukkan di mana adanya sahabat Cia Keng Hong?"

Tiba-tiba timbul harapan di hati Yan Cu. Setelah agak lama melihat pemuda ini, dia pun merasa yakin bahwa pemuda ini bukan orang jahat, malah kini mengaku sebagai sahabat suheng-nya.

Agaknya pemuda ini pun lihai sekali. Kalau pemuda ini membantunya menghadapi Biauw Eng dan Hun Bwee, kiranya mereka berdua akan dapat membebaskan Keng Hong! Akan tetapi dia masih belum yakin benar. Biauw Eng amat lihai, juga Hun Bwee wanita gila itu lihai sekali. Dia akan mencoba dulu!

"Tidak percaya! Engkau tentu hendak mencelakakan suheng-ku Cia Keng Hong!" Sambil berkata demikian, Yan Cu sudah kembali menerjang maju lagi dengan Hoa-san Po-kiam, mengirim serangan hebat.

Cong San terkejut sekali. Bukan hanya oleh serangan ini, akan tetapi karena mendengar pengakuan gadis ini sebagai adik seperguruan Keng Hong. Dia segera mengelak, akan tetapi sinar pedang yang putih menyilaukan mata itu terus mendesaknya. Walau pun dia merasa yakin akan dapat mengatasi gadis lihai ini, tetapi amatlah berbahaya menghadapi amukan pedang seperti itu hanya dengan tangan kosong saja.

Di samping ini, timbul pula keinginan di hatinya untuk menguji kelihaian gadis yang telah menjatuhkan hatinya tanpa dia sadari ini. Orangnya cantik jelita, wataknya lincah, galak, apa lagi sebagai sumoi dari Keng Hong, tentu kepandaiannya amat hebat. Cepat dia pun mengeluarkan senjatanya, yaitu sepasang Im-yang-pit yang berwarna hitam dan putih.

"Kau memaksaku, Nona. Apa boleh buat, marilah kulayani Nona berlatih sebentar!"

Melihat pemuda itu memegang sepasang alat tulis, mendadak Yan Cu menghentikan serangannya. Cong San sudah menggerakkan sepasang senjatanya, yang kiri siap untuk menjaga diri yang kanan siap membalas serangan. Ia juga sudah memasang kuda-kuda dengan sikap paling gagah, akan tetapi karena lawannya menghentikan serangan, ia pun melongo dengan tubuh memasang kuda-kuda.

"Engkau ini sengaja hendak menghinaku ataukah barang kali engkau memang sudah begini?" Berkata ‘begini’ Yan Cu melintangkan telunjuknya di depan dahi.

Cong San mengkal hatinya. Ingin dia membanting sepasang senjatanya. Sialan benar! Senjata yang ampuh darinya itu tidak dipandang mata, bahkan dia disangka sudah miring otaknya! Ia mengendurkan urat-urat tubuhnya dan menghentikan kuda-kudanya, hatinya kecewa dan murung. Susah payah dia tadi memasang gaya kuda-kuda supaya kelihatan gagah... ehh, malah disangka menghina atau gila!

"Nona, yang menghina itu aku ataukah engkau? Sepasang Im-yang-pit ini memang adalah senjataku!" Ia berkata setengah membentak, suaranya serak seperti ingin menangis.

Tiba-tiba Yan Cu tertawa sambil menutupi mulutnya dengan tangan kiri. Biar pun ditutupi, masih tampak mulutnya merekah sehingga Cong San yang tadinya mengkal dan marah, sekaligus lenyap kemarahannya. Hati yang panas tiba-tiba menjadi dingin hangat melihat betapa wajah cantik itu kini benar-benar tertawa, bukan tertawa mengejek seperti tadi. Dan setelah tertawa wajar, bukan main manisnya! Manis memabukkan. Arak merah pun kalah!

"Pena bulu itu senjatamu? Hi-hi-hi-hik! Untuk apa? Senjata untuk menulis bisa jadi, akan tetapi senjata untuk bertanding? Sobat, jangan kau main-main, sekali pedang pusaka ini membabat, engkau takkan dapat menulis lagi. Lebih baik kau pergilah kembali ke bangku sekolahmu, belajar menulis sajak dengan tekun supaya kelak bisa menjadi hak-su atau menjadi siucai."

"Nona, kulihat engkau sangat lihai, akan tetapi engkau kurang pengalaman sehingga tidak mengerti bahwa senjataku sepasang Im-yang-pit ini dapat melawan seratus buah pedang pusaka seperti yang kau pegang itu."

"Wiiihhhhh, sombong! Makan pedangku!" Yan Cu sekarang meloncat maju dan langsung menyerang dengan pedangnya.

"Singgggg... trang-cring-cringggg...!"

Yan Cu meloncat mundur dan memeriksa pedangnya. Ternyata pedangnya tak apa-apa. Hatinya lega. Pedang itu bukan miliknya dan harus dia kembalikan ke Hoa-san-pai, dan sekarang dia hanya ‘meminjamnya’. Kalau sampai rusak kan repot!

Pada saat tadi tiga kali pedangnya ditangkis sepasang Im-yang-pit secara bergantian, dia merasa betapa tangan dan lengannya tergetar hebat dan benturan senjata yang ketiga tadi disusul totokan pit hitam ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang. Tentu saja dia cepat menarik tangannya dan mencelat ke belakang. Kini dia memandang pemuda itu dan berdiri tersenyum sambil memasang kuda-kuda. Begitu gagah pemuda itu, dan wajahnya amat tampan. Yan Cu menjadi panas.

"Kau kira aku kalah?" Ia membentak dan kembali ia menerjang maju dengan amat ganas.

Cong San maklum bahwa gadis ini sudah mempunyai ilmu silat tinggi dan ilmu pedangnya juga tidak boleh dipandang ringan. Maka dia cepat bergerak mengelak, menangkis, dan tidak lupa membalas dengan totokan-totokan kedua senjatanya. Tentu saja dia menotok secara hati-hati karena tidak ingin mencelakai gadis itu.

Pertandingan berjalan dengan seru. Sesudah mereka bertempur selama lima puluh jurus lebih, tahulah Cong San bahwa kepandaian gadis itu benar-benar sangat lihai dan kalau saja dia bukan murid pilihan dari ketua Siauw-lim-pai sendiri, agaknya tidak akan mudah menahan serangan-serangan pedang yang demikian ganasnya.

Di lain pihak, hati Yan Cu yang tadinya telah menjadi girang mendapat kenyataan bahwa pemuda ini benar-benar lihai sekali sehingga boleh diandalkan untuk membebaskan Keng Hong, makin lama menjadi makin penasaran. Tadi dia sudah membuktikan kelihaiannya. Tiga belas orang perampok liar dia robohkan dalam waktu singkat hanya dengan tangan kosong saja. Masa kini menghadapi seorang pemuda baju hijau yang hanya memegang dua batang alat tulis yang pendek kecil saja ia sama sekali tidak mampu mendesak?

Apa lagi melihat bahwa selama bertanding ini pemuda itu terus tersenyum ramah dan amat manis kepadanya, pandang mata pemuda itu begitu... entah bagaimana dia sendiri tidak tahu, pendeknya pandang mata yang membuat jantungnya berdebar serta kedua pipinya terasa panas karena malu. Sikap pemuda ini ia anggap mengejek dan membuat ia merasa makin penasaran!

Dia tidak boleh sampai kalah! Kalau dia kalah, tentu pemuda itu akan memandang rendah kepadanya! Dia harus membuktikan bahwa dia seorang yang mempunyai ilmu silat tinggi, seorang yang lihai, seorang gadis yang jarang terdapat bandingnya!

"Bocah sombong!" Mendadak Yan Cu membentak dan dalam suaranya terkandung isak penasaran dan kemarahan yang makin memanas. Pedangnya berkelebat cepat sekali.

Cong San kaget. Tidak disangka bahwa gadis itu akan menjadi marah lagi, padahal tadi sudah hilang marahnya. Kalau dilanjutkan begini bisa berbahaya, pikirnya. Memang dia mendapat kenyataan bahwa meski pun tingkat ilmu kepandaiannya lebih tinggi dari pada gadis itu, tapi selisihnya tidak banyak dan dia hanya bisa mengandalkan kematangannya dalam gerakan. Ilmu silat gadis ini benar-benar dahsyat dan aneh. Untuk merobohkannya pun tidaklah mudah. akan tetapi kalau dipertahankan terus juga akan berlarut-larut dan menjadi berbahaya bagi kedua pihak.

"Nona, sudahlah, Nona... mari kita bicara... aku mengaku kalah...!"

"Siuuuuttttt... singggg... cringggg...!" Kembali pedang bertemu dengan sepasang pit yang disilangkan.

"Tidak! Aku tidak sudi bicara denganmu! Aku tidak sudi kau beri hadiah dengan mengaku kalah! Coba kau kalahkan aku dengan benar-benar kalau mampu! Aku tidak takut mati!" Yan Cu yang merasa penasaran dan merasa malu kalau kalah itu, sudah menyerang lagi.

Melihat pedang itu meluncur ke arah dadanya, Cong San menangkis dengan tangan kiri yang memegang pit warna putih, akan tetapi sengaja mengurangi tenaga hingga pedang lawan itu hanya menyeleweng sedikit ke pinggir dan masih menyerempet pangkal lengan kirinya. Secepat kilat ia pun membarengi dengan menotok pergelangan tangan kanan Yan Cu yang memegang pedang itu dengan pit hitamnya. Yan Cu merasa lengannya lumpuh lantas pedangnya terlepas dari pegangannya!

Cong San berdarah pada pangkal lengan kirinya. Baju hijaunya robek berikut kulit serta sedikit dagingnya. Dia membungkuk, mengambil pedang dan menyerahkan pedang itu kepada Yan Cu sambil berkata,

"Sudah kukatakan, Nona. Aku mengaku kalah. Agaknya engkau belum puas kalau belum melukai aku."

Sejenak Yan Cu tercengang ketika melihat pangkal lengan dari lawannya berdarah. Akan tetapi sebagai seorang ahli yang mempelajari ilmu pengobatan dari gurunya, dia melihat bahwa luka itu tidak ada artinya sama sekali, hanya luka kulit dan sedikit daging. Dia menerima pedangnya dengan kasar dan berkata lagi,

"Aku belum menang atau kalah! Pedangku jatuh akan tetapi lenganmu terluka. Kita masih belum ada yang menang atau kalah. Hayo lanjutkan!" Yan Cu sudah bersiap lagi dengan pedangnya, ditodongkan ke depan.

Cong San menggeleng kepalanya. "Aku sudah menerima kalah, tidak akan melawan lagi." Berkata demikian, Cong San melemparkan kedua senjatanya ke atas tanah di depan kaki gadis itu.

Sikap pemuda ini mengingatkan Yan Cu kepada sikap Keng Hong yang juga mengalah dan ‘pasrah bongkokan’ kepada Biauw Eng. Maka ia menjadi makin marah. "Kau laki-laki pengecut! Kenapa mengalah begini? Kenapa kau mengalah kepadaku? Hayo lawanlah! Masa ada laki-laki begini lemah? Apakah semua laki-laki menjadi lemah dan pengecut kalau berhadapan dengan wanita?"

Cong San tak mengerti kenapa gadis ini marah-marah seperti ini. Akan tetapi pertanyaan itu dengan tepat menusuk hatinya dan membuat dia sendiri terheran-heran akan sikapnya sendiri. Mengapa berhadapan dengan gadis yang belum dikenalnya ini dia benar-benar telah kehilangan akal? Sampai dia rela mengorbankan diri dilukai dan rela pula mengalah padahal dia tidak bersalah?

"Aku... aku tidak akan melawanmu, Nona."

"Benar? Bagaimana kalau sekarang ini kutusukkan pedangku ke dalam dadamu?" Yan Cu meloncat maju dan ujung pedangnya menyentuh kulit dada di balik baju pemuda itu.

Cong San mengangkat muka, memandang wajah gadis itu. Dua pasang mata bertemu dan Yan Cu merasa aneh.

"Entah mengapa, Nona. Akan tetapi andai kata engkau membunuhku, aku pun rela dan tidak akan melawan."

Yan Cu merasa tubuhnya menjadi lemas. Pedangnya yang menodong segera diturunkan, disarungkannya kembali dan sepintas lalu dia bertanya,

"Apakah engkau jatuh cinta kepadaku?"

Pertanyaan ini sepintas lalu saja, akan tetapi Cong San hampir roboh terjengkang saking kagetnya. Muka pemuda ini menjadi merah sekali sampai ke daun telinganya.

"Aku... aku tidak tahu, Nona. Apakah engkau tahu...?"

"Tahu apa?"

"Tentang... ehhh…, tentang jatuh cinta..."

Yan Cu menggelengkan kepalanya. "Aku sendiri tidak tahu tentang cinta dan bersama suheng-ku tadinya sedang menyelidiki tentang cinta."

Cong San melompat kaget, teringat akan Keng Hong. "Menyelidiki tentang... cinta...? Di mana dia, Nona? Di mana Cia Keng Hong? Aku diutus oleh suhu untuk membantunya menghadapi Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im yang jahat."

Yan Cu tertegun dan memandang tajam. "Siapa gurumu?"

Cong San memberi hormat. "Aku bernama Yap Cong San ada pun guruku adalah ketua Siauw-lim-pai."

Sekarang gadis itu terkejut. Kiranya seorang jagoan Siauw-lim-pai! Dan tadi dia mengira seorang kepala perampok!

"Ahhhh, kenapa kau tidak bilang dari tadi? Dan aku telah melukaimu. Hemmm, biarkan kuobati lukamu itu!"

Tanpa menanti jawaban Yan Cu menghampiri Cong San, merobek baju pemuda itu pada bagian pangkal lengan yang luka, lalu memeriksa dan memberi obat bubuk, kemudian membalut luka dengan sehelai sapu tangan bersih. Ia melakukan pengobatan ini dengan cekatan, cepat dan tanpa bicara apa-apa.

Cong San tidak percaya kepada mulutnya sendiri, mengapa dia pun tidak berkata-kata, hanya matanya memandang penuh kagum dan penuh perasaan kepada dara jelita yang mengobati luka di pangkal lengannya itu.

"Terima kasih, Nona. Engkau sungguh amat baik hati..." Cong San berkata dengan suara gemetar.

"Sudahlah, Yap-twako. Maafkan saja aku tadi tidak mengenalmu maka menganggapmu musuh. Tidak perlu terima kasih-terima kasih! Sekarang mari bantu aku membebaskan suheng!" Sambil berkata demikian, Yan Cu sudah menarik tangan pemuda itu dan diajak lari cepat.

Tentu saja Cong San girang sekali, akan tetapi dia pun bingung. Terpaksa dia ikut berlari cepat mengimbangi dara jelita yang aneh ini.

"Ehh, Nona... di manakah dia? Di mana Keng Hong, dan siapa yang menangkapnya?"

Sambil berlari-lari cepat Yan Cu menjawab, "Ditangkap seorang gadis dan dibawa pergi!"

Tidak enak bicara sambil berlarian cepat itu. Akan tetapi karena heran Cong San bertanya lagi, "Mengapa? Siapa gadis itu?"

"Gadis yang dicintainya... dia sengaja menyerahkan diri, tidak melawan..." karena sedang mengerahkan tenaga untuk berlari cepat, tentu saja ketika bercakap-cakap, banyak angin memasuki mulut membuat suara Yan Cu terputus-putus dan napasnya megap-megap.

Cong San merasa makin heran dan penasaran. Mendengar Keng Hong ditangkap orang saja sudah merupakan hal yang mengejutkan dan juga mengherankan. Siapa yang dapat menangkap pemuda sakti itu? Kini dia mendengar bahwa yang menangkapnya adalah seorang gadis yang dicintanya! Dan dia menyerah tidak melawan! Tentu saja mendengar ini dia menjadi penasaran.

"Dicinta mengapa menangkap? Mengapa pula dia ditangkap? Apa salahnya?"

Tiba-tiba saja Yan Cu berhenti berlari dan memandangnya dengan mata marah, mulutnya mengomel, "Wah, kau ini amat cerewet seperti seorang nenek-nenek pikun!"

Cong San juga berhenti. Mereka saling berpandangan. Kini pemuda itu mulai mengerti atau sedikitnya mengenal watak Yan Cu, maka dia tidak kaget melihat gadis yang tadi mengobati pangkal lengannya dengan lemah lembut itu kini marah. Dia malah tersenyum dan berkata, "Nona, aku seorang laki-laki, mana mungkin bisa seperti nenek-nenek yang cerewet?"

"Kalau tidak seperti nenek-nenek yang cerewet, mengapa bertanya saja? Lari-lari sambil bicara mana enak?"

"Kalau begitu, kenapa kita tidak berhenti dulu dan bicara yang enak di bawah pohon yang teduh?"

Yan Cu menghapus keringatnya pada leher dengan ujung lengan baju. "Kita harus cepat mengejar suheng, engkau ini memperlambat saja."

"Maaf, Nona. Aku pun ingin sekali segera menolong Keng Hong, akan tetapi aku ingin mendengar dulu siapa yang menangkapnya, dan kenapa dia ditangkap?"

"Baiklah, baiklah. Kalau tidak kuturuti, engkau tentu akan rewel seperti anak kecil minta kembang gula dan mengganggu terus. Nah, dengarkan baik-baik!"

Yan Cu terpaksa ikut duduk di bawah pohon ketika melihat Cong San memberi isyarat dengan tangan kepadanya, mempersilakan duduk di atas akar-akar pohon yang menonjol ke luar dari tanah. Akan tetapi sesudah mereka berdua duduk berhadapan, keduanya hanya saling pandang dan diam saja.

"Ehh, bagaimana ceritanya, Nona?"

"Kau dulu ceritakan keadaanmu dan bagaimana engkau bisa menjadi sahabat suheng."

Cong San menghela napas. Agaknya gadis ini masih belum percaya benar kepadanya. Ia lalu menceritakan pertemuannya dengan Keng Hong ketika dia menyerbu ke Phu-niu-san untuk membalas dendam Siauw-lim-pai kepada Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im dan betapa Keng Hong menyelamatkannya, kemudian mengembalikan dua buah kitab Siauw-lim-pai.

"Ketika aku menyerahkan dua buah kitab itu kepada suhu, suhu lalu memerintahkan aku agar pergi mencari Cia-taihiap dan membantunya menghadapi Ang-kiam Bu-tek yang lihai sebagai pembalas jasa. Nah, sekarang harap kau suka ceritakan keadaan Cia Keng Hong taihiap, Nona."

"Dia ditawan oleh gadis yang dicintanya."

"Mengapa? Dicinta mengapa malah menawannya?"

"Justru karena suheng mencintanya itulah, maka dia menyerahkan diri. Kalau tidak, mana mungkin Sie Biauw Eng itu dapat menawannya?"

"Sie Biauw Eng? Nona maksudkan Song-bun Siu-li puteri dari mendiang Lam-hai Sin-ni?" Cong San bertanya, kaget karena nama Sie Biauw Eng amat terkenal. Apa lagi kalau diingat bahwa Song-bun Siu-li adalah sumoi dari Bhe Cui Im musuh besarnya!

Yan Cu mengangguk. "Bukan dia saja, masih ada seorang lagi yang begini!" Kembali ketika berkata ‘begini’ Yan Cu melintangkan telunjuk di depan dahinya yang berkulit putih halus.

"Gila? Siapakah dia? Mengapa...?"

Yan Cu cemberut. "Mengapa? Pertanyaanmu tak masuk akal dan bodoh. Mana bisa aku tahu mengapa dia gila?"

"Bukan gilanya yang kumaksudkan, Nona. Mengapa Cia-taihiap sampai ditawan?"

"Karena ia dituduh memperkosa si gila itu dan oleh Biauw Eng, ia ditawan untuk dipaksa menikah dengan perempuan gila itu!"

Cong San sedang terpesona memandang wajah itu. Kini setelah dia mengenal sifat baik dara ini, wajah jelita itu semakin menarik. Sepasang mata indah yang kini bersinar-sinar penuh semangat, dengan alis yang hitam kecil menjelirit, bulu mata yang panjang lentik melengkung dan tebal sehingga membentuk garis hitam di seputar matanya. Hidung yang kecil mancung, yang cupingnya dapat bergerak-gerak kembang-kempis apa bila sedang marah.

Dan bibirnya! Ketika bicara bergerak-gerak demikian manisnya, seakan-akan bertetesan madu dari bibir itu, dan sepasang bibir itu bergerak demikian indahnya, seindah seekor kupu-kupu menggerak-gerakan sepasang sayapnya yang beraneka warna, ataukah bagai setangkai bunga mawar jambon tertiup angin, seperti cahaya keemasan bulan purnama bermain di permukaan air telaga? Entah seperti apa, namun yang sudah pasti, sangat manis menarik, sangat indah mempesona.

"Heeeiiii!" Kenapa kau mengangguk-angguk?" Yan Cu membentak heran.
Cong San yang sedang tenggelam dalam hikmat keindahan yang menyentuh perasaan hatinya, bagaikan mabuk arak simpanan yang amat halus kerjanya, tadi dapat mendengar penuturan Yan Cu, akan tetapi hanya setengah-tengah menangkap inti dan artinya. Kini dibentak dia menjadi kaget sekali dan menjawab sekenanya,

"Memang betul! Sudah semestinya mengawini perempuan yang diperkosa!"

Yan Cu langsung meloncat berdiri, dua tangannya dikepal, matanya mengeluarkan sinar berapi-api! Cong San terkejut sekali dan dia pun memandang dengan melongo, masih duduk dan menengadahkan kepalanya seperti orang tersadar dari mimpi.

"Apa kau bilang? Hati-hati engkau menjaga mulut, sembarangan saja bicara!"

"Ehh... aku bicara apakah, Nona? Apa yang salah?"

"Engkau percaya bahwa suheng Cia Keng Hong memperkosa perempuan gila itu?"

Barulah Cong San sadar bahwa yang dibicarakan adalah Keng Hong. Tentu saja dia tidak percaya. Setelah sadar kini dia menjadi pemuda murid Siauw-lim-pai yang tenang dan gagah perkasa kembali. Perlahan dia bangkit berdiri dan menjura, "Maaf, seribu kali maaf, Nona. Demi tuhan, aku tidak percaya bahwa Cia-taihiap melakukan perbuatan sekeji itu. Kalau tadi aku bicara seperti itu, hemmm... aku lupa dan aku hanya mengatakan bahwa siapa pun juga, jika betul dia sudah memperkosa orang, harus bertanggung jawab! Akan tetapi..."

"Suheng tidak diperkosa wanita itu! Itu fitnah belaka!"

Cong San mengangguk. "Tentu begitu. Siapa sih wanita gila itu yang menjatuhkan fitnah keji terhadap Cia-taihiap?"

"Namanya Tan Hun Bwee, suci dari..."

"Tan Hun Bwee...? Ahh, aku tahu! Bukan Cia-taihiap yang memperkosa, melainkan orang lain!"

Bukan main kaget dan girangnya hati Yan Cu. Seketika kemarahannya terhadap Cong San lenyap bagaikan api disiram air, bahkan saking gembiranya dia memegang tangan pemuda itu dan menariknya lari lagi!

"Lekas! mari kita susul mereka!"

Kembali keduanya berlari-larian cepat sekali.

"Nona, nanti dulu..."

"Ssttt...! Jangan cerewet lagi!" Yan Cu memotong.

Cong San terpaksa menelan kembali kata-katanya. Akan tetapi dia tidak tahan. Sepuluh menit kemudian dia memaksa diri bertanya, "Aku hanya ingin mengetahui, siapakah Nona yang menyebut suheng kepada Cia-taihiap. Siapakah namamu, Nona?"

"Namaku Gui Yan Cu, guruku bernama Tung Sun Nio, dahulu isterinya Sin-jiu Kiam-ong. Sudah, cukup!"

Cong San melongo. Mendengar bahwa gadis ini murid bekas isteri Sin-jiu Kiam-ong, dia terheran-heran. Sin-jiu Kiam-ong mempunyai isteri? Baru sekarang ini dia mendengarnya. Karena melongo memandang wajah gadis itu sambil berlari cepat, kakinya tersandung akar pohon dan dia roboh terguling!

Yan Cu berteriak dan cepat menyambar lengannya sehingga pemuda ini tidak sampai terguling ke dalam jurang di sebelah kirinya. Karena tarikannya yang tiba-tiba ini, padahal Cong San tadi ketika akan jatuh telah menggerakkan tubuh, maka tubuhnya bertumbukan dengan tubuh Yan Cu sehingga dua lengan Cong San merangkul pinggang yang ramping itu, ada pun kedua tangan Yan Cu juga memeganginya, yang satu memegang lengannya yang ke dua memegang pundaknya!

"Ihhh! Yan Cu melepaskan pegangannya dan meronta.

"Maaf! Maaf!" Cong San cepat-cepat melepaskan ‘pelukannya’ dan keduanya menjadi tersipu-sipu dengan muka merah sekali.

"Matamu kau taruh di mana sih?" Yan Cu mengomel.

Akan tetapi melihat wajah gadis itu, Cong San maklum bahwa Yan Cu tidak marah, sebab gadis ini pun mengerti bahwa peristiwa itu terjadi di luar kesengajaan Cong San.

"Aku... aku sedang memandangmu, Gui-moi-moi!"

Yan Cu mengerling akan tetapi dia juga tidak marah disebut moi-moi oleh pemuda itu. "Sudahlah, hayo cepat!"

Mereka berlarian lagi, cepat sekali. Wajah Cong San berseri-seri dan dia sendiri merasa heran sekali mengapa mendadak dia merasa sangat gembira, mengapa daun-daun dan rumput di sepanjang jalan yang dilaluinya tampak lebih segar dan lebih hijau di dalam pandang matanya, langit tampak begitu cerah, sinar matahari yang terik terasa hangat dan pemandangan alam tampak jauh lebih indah dari pada biasanya. Selama hidupnya belum pernah Cong San merasa begitu gembira. Betapa nikmat dan bahagianya hidup ini, pikirnya sambil lari mengimbangi kecepatan Yan Cu.

Memang demikianlah Cinta! Amat besar kuasanya atas perasaan manusia. Sekali Cinta menyentuh hati sanubari insan, Cinta menjadi titik terang satu-satunya yang meniadakan segala persoalan hidup, merupakan satu-satunya tujuan hidup penuh dengan hasrat dan harapan, melambungkan cita-cita setinggi angkasa, membuat orang terlena dan terapung muluk, dan satu-satunya hal yang penting dalam hidup hanyalah tercapainya hasrat dan harapannya.

Cinta memang indah, tetapi keindahan yang cemerlang menyilaukan hati sehingga orang terlupa bahwa dalam keindahan itu terdapat lika-liku yang amat ruwet dan rumit, lika-liku yang mudah menyesatkan dan sekali terpeleset, segala kemanisan berubah kepahitan, madu berubah empedu, keindahan berubah keburukan dan kebahagiaan terbang pergi, kegembiraan berganti kedukaan!

Cinta! Bagaikan pohon kembang, indah sekali, namun sesungguhnya mengandung duri, mengandung ulat dan mudah pula layu. Jika pandai merawatnya, menghindarkan durinya, pandai memupuknya, barulah akan subur dan semakin indah!


********************

"Tar-tar-tar!"

Ujung sabuk sutera di tangan Biauw Eng melecut tiga kali dan mengenai kedua pipi dan leher Keng Hong. Pemuda ini menerima lecutan ujung cambuk itu dengan mata terbuka dan bibir tersenyum, sedikit pun tidak mengerahkan sinkang-nya sehingga kulit pipi dan lehernya pecah berdarah!

"Sumoi jangan pukul dia!" Tiba-tiba Hun Bwee menubruk maju dan memukul Biauw Eng.

Biauw Eng cepat mengelak dan berkata, “Suci, aku hanya ingin memaksa dia mengakui perbuatannya yang keji terhadap dirimu. Engkau diperkosa olehnya, bukan?"

Hun Bwee berhenti menyerang, sejenak memandang Keng Hong dengan mata liar namun membayangkan kemesraan. Dia maju berlutut, kemudian menggunakan sapu tangannya menghapus darah yang mengalir di pipi dan leher pemuda itu.

"Koko..., sakitkah...? Ahhh, kasihan kau..." Hun Bwee mengusap kedua pipi Keng Hong dengan sentuhan jari tangan mesra. Diam-diam Keng Hong menjadi terharu sekali dan dia mengutuk Lian Ci Tojin dalam hatinya.

Hun Bwee bangkit berdiri menghadapi Biauw Eng. Gadis ini terkejut melihat sinar mata suci-nya, maklum bahwa suci-nya itu sedang kumat lagi gilanya! Akan tetapi dia menjadi terharu pula menyaksikan sikap Hun Bwee tadi terhadap Keng Hong, dan anehnya, di samping rasa haru terhadap Hun Bwee, ada pula rasa marah yang luar biasa terhadap Keng Hong. Dia hampir menjerit dan menangis ketika menyaksikan mesranya sentuhan-sentuhan tangan Hun Bwee pada pipi dan leher Keng Hong!

"Sumoi, kalau kau memukulnya lagi, kubunuh kau!"

Biauw Eng menghela napas panjang. Kalau suci-nya sedang kumat begini, dia harus mengalah. "Baiklah, Suci. Aku tidak akan memukulnya, akan tetapi dia harus mengaku bahwa dia telah memperkosamu."

Dia lalu menghadapi Keng Hong yang berdiri sambil tersenyum dan memandang Biauw Eng dengan sinar mata penuh kemesraan. Diam-diam Keng Hong merasa kasihan dan terharu sekali terhadap Biauw Eng. Dia mengerti betapa tersiksanya hati kekasih hatinya itu, seolah-olah dia dapat merasakan kepedihan hati gadis itu, jauh lebih pedih dari pada pipi dan lehernya.

"Cia Keng Hong, engkau seorang laki-laki, tetapi kenapa begini pengecut? Engkau sudah melakukan banyak hal memalukan dengan banyak wanita, kenapa sekarang engkau tidak mau mengaku bahwa engkau telah memperkosa Suci? Hayo mengakulah bahwa engkau telah memperkosanya!"

"Biauw Eng, di dalam hati nuranimu engkau pun tentu tidak percaya bahwa aku sudah memprkosa nona Tan Hun Bwee. Aku tidak melakukannya, bagaimana harus mengaku?"

"Bohong!" Biauw Eng membentak. "Siapa tidak mengenalmu? Engkau seorang laki-laki mata keranjang, seorang laki-laki hidung belang! Dan engkau juga seorang laki-laki cabul! Engkau bermain gila dengan wanita mana pun juga! Hayo berlutut dan mohon ampun kepada Suci!"

Keng Hong tersenyum dan menggelengkan kepala. "Aku tidak merasa bersalah terhadap wanita mana pun juga, kecuali kepadamu, Biauw Eng. Kalau aku disuruh minta ampun kepadamu, biar harus berlutut selamanya aku bersedia melakukannya! Akan tetapi, tidak kepada wanita lain karena aku tidak merasa bersalah."

"Oohhhh...!" Jeritan ini keluar dari mulut Hun Bwee dan gadis ini menjatuhkan diri berlutut, menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis. Agaknya ucapan Keng Hong membuat dia sadar dan ucapan penyangkalan itu menusuk perasaannya.

Biauw Eng marah sekali.

"Tar-tarrr...!"

Dua kali ujung sabuk menotok jalan darah di kedua pundak Keng Hong dan pemuda ini terguling roboh. Mukanya berkerut-kerut menahan rasa nyeri, akan tetapi mulutnya tetap berusaha untuk tersenyum dan pandang matanya selalu ditujukan kepada Biauw Eng dengan sinar penuh cinta kasih.

Karena maklum bahwa kini Hun Bwee sudah sadar dan tak akan menghalanginya, Biauw Eng melangkah maju. "Pengecut! Kalau engkau tidak mengaku, aku akan menyiksa dan memaksamu!" Ujung sabuk di tangannya tergetar dan dengan sekali tarik, dia membuat tubuh Keng Hong terseret dekat kakinya.

Keng Hong berlutut dan menengadah, memandang wajah Biauw Eng. Apa pun yang akan dilakukan Biauw Eng terhadap dirinya, akan diterimanya dengan senang hati. Dia sudah melakukan banyak kesalahan terhadap gadis ini dan tidak ada hukuman baginya yang cukup berat untuk menebus kesalahannya itu.

Kalau dia ingat betapa gadis ini sangat mencintainya, dan telah melakukan pengorbanan-pengorbanan sungguh pun hatinya sudah dibikin sakit oleh hubungan cintanya dengan gadis-gadis lain. Betapa Biauw Eng membelanya di Kun-lun-pai, mengorbankan dirinya sendiri. Betapa gadis ini masih terus mencinta dan menantinya sampai bertahun-tahun pada saat dia menghilang dalam tempat rahasia gurunya. Kemudian betapa semua cinta kasih yang amat mendalam itu, semua pengorbanan gadis itu bahkan dia balas dengan penghinaan-penghinan!

"Biauw Eng, jangankan hanya menyiksa, biar kau membunuhku, aku akan rela mati di tanganmu, hitung-hitung menebus dosaku kepadamu, Biauw Eng!"

"Desssss…!”

Sebuah tendangan mengenai dada Keng Hong, membuat pemuda itu terjengkang dan sejenak tak dapat bernapas. Biar pun dia tidak mengerahkan sinkang, namun hawa sakti di tubuhnya yang amat kuat sudah secara otomatis bergerak sendiri melindungi rongga dada sehingga tendangan itu tidak mendatangkan luka berat di dalam dadanya.

Ujung sabuk sudah diputar-putar di tangan Biauw Eng. "Mengakulah! Mengakulah... dan nyatakan kesediaanmu mengawini Suci atau... hemmmm...kuhancurkan kepalamu...!"

Keng Hong yang sudah berlutut lagi menggeleng kepala dan tersenyum. "Hanya engkau di dunia ini satu-satunya wanita yang kucinta, Biauw Eng. Mana mungkin aku menikah dengan wanita lain?"

"Wuuuuut...! Plakkk!" Ujung sabuk yang sudah menyambar ke arah kepala Keng Hong itu tertangkis oleh pedang hitam di tangan Hun Bwee.

Dua orang gadis itu saling pandang. Hun Bwee sudah tak kumat lagi, kini mukanya agak pucat akan tetapi matanya bersinar-sinar. "Sumoi, engkau tidak berhak membunuhnya! Apa bila ada orang yang akan membunuhnya, maka satu-satunya orang itu adalah aku sendiri!"

Biauw Eng menghela napas panjang dan kembali memaki Keng Hong, "Laki-laki tidak setia, pengecut dan tidak tahu malu. Lihat betapa Suci yang telah kau rusakkan hatinya itu masih selalu melindungimu? Dan engkau... engkau... ahhh!" Biauw Eng membalikkan tubuh, cepat menggunakan ujung sabuknya menghapus dua titik air mata yang meloncat ke luar.
Selanjutnya,

Pedang Kayu Harum Jilid 33

Pedang Kayu Harum Jilid 33
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Kini Yan Cu menjadi marah sekali, kemarahan yang timbul akibat kedukaan hatinya. Di dalam kedukaannya itu memang ada perasaan marah kepada Biauw Eng dan Hun Bwee yang sudah menawan Keng Hong dan hanya kerena Keng Hong yang melarangnya dan karena keyakinannya bahwa Keng Hong mencinta Biauw Eng maka tadinya dia menahan kemarahannya terhadap kedua orang gadis itu dan tidak turun tangan mencegah mereka menawan Keng Hong.

Kini semua kemarahannya mendapat jalan keluar dan dapat ditumpahkan kepada para perampok yang kurang ajar itu. Melihat kepala perampok itu dengan mata liar dan mulut menyeringai maju menubruknya, Yan Cu cepat mendahuluinya dengan sambaran kaki kirinya menendang. Gerakan kakinya tentu saja amat cepat bagi kepala perampok yang kasar itu sehingga dia tidak sempat menghindar lagi ketika kaki yang kecil itu melayang.

"Krakkk!"

"Wadouhhhhhh... aaahhhhh...!" Tubuh kepala perampok itu terjengkang dan terbanting ke atas tanah di mana dia menggunakan kedua tangannya menekan-nekan dadanya sambil berkelojotan. Tulang-tulang iganya patah-patah dan melesak ke dalam rongga dada!

Melihat peristiwa yang tak tersangka-sangka ini, para perampok sejenak tercengang dan melongo. Akan tetapi kemudian mereka menjadi marah sekali dan seperti segerombolan anjing serigala memperebutkan tulang, dua belas orang perampok itu menerjang maju.

Mungkin karena hati dan pikirannya masih penuh dengan bayangan Keng Hong dijadikan tangkapan orang, kini melihat banyak lengan terulur ke arahnya hendak menangkapnya membuat kemarahan hati Yan Cu semakin menjadi-jadi. Mulutnya mengeluarkan pekik kemarahan dan kini kaki tangannya bergerak cepat sekali, tubuhnya menyambar-nyambar dan terdengarlah jerit-jerit kesakitan dan roboh pula dua belas orang itu satu demi satu, tidak kuasa bangkit kembali karena dalam kemarahannya Yan Cu sudah menggunakan tenaga sinkang untuk memukul atau menendang dua belas orang yang berebut hendak menangkapnya itu!

Hanya beberapa menit saja berlangsungnya pertandingan yang berat sebelah itu, seperti seekor burung garuda dikeroyok dua belas ekor anak ayam! Kini Yan Cu berdiri tegak dengan kedua tangan masih siap menghadapi pengeroyokan selanjutnya sambil matanya mengerling ke kiri kanan penuh kemarahan.

Akan tetapi, ketika ia mendapat kenyataan bahwa tak ada orang lagi yang menyerangnya kecuali tiga belas batang tubuh yang berserakan di sekelilingnya, sebagian besar sudah mati dan yang masih bergerak hanya mereka yang sedang sekarat berkelojotan, tiba-tiba tubuhnya terasa lemas sekali. Muka gadis itu menjadi agak pucat. Belum pernah selama hidupnya ia melakukan pembunuhan massal seperti ini.

Dia merasa ngeri dan bergidik memandangi korban-korban kemarahannya. Kemudian dia melangkah pergi meninggalkan tempat yang menimbulkan kengerian itu, melangkah pergi dan begitu teringat kepada Keng Hong tak terasa ia menangis lagi sambil berjalan. Makin berduka hatinya karena kalau saja ada Keng Hong di situ, kiranya dia tak akan mengalami peristiwa tadi dan tidak harus membunuhi orang, biar pun orang-orang yang dibunuhnya itu adalah orang-orang yang jahat.

"Keng Hong suheng...! Mengapa engkau mau saja ditawan...? Suheng... Keng Hong... mengapa engkau begitu lemah...?"

Orang yang sejak tadi membayanginya, di dalam persembunyiannya tadi terbelalak heran dan kagum menyaksikan sepak terjang gadis itu yang dalam satu gebrakan saja mampu merobohkan setiap orang perampok dan dalam waktu singkat sekali telah membunuh tiga belas orang perampok kasar! Hal ini sungguh amat tidak disangka oleh si pengintai, dan membuat dia semakin tertarik, maka kini diam-diam dia pun membayangi gadis cantik itu yang pergi sambil menangis.

Keluhan Yan Cu itu perlahan, akan tetapi saking sedihnya, pada waktu menyebut nama suheng-nya, suara Yan Cu mengeras sehingga terdengar oleh pengintai itu. Si pengintai kaget sekali mendengar disebutnya nama Keng Hong, selain kaget juga gembira karena dia segera meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan sekali meloncat saja pengintai ini telah berada di depan Yan Cu.

Yan Cu sedang berduka, akan tetapi pendengarannya amat tajam. Ia mendengar gerakan orang dan cepat mengangkat muka memandang, melihat sesosok bayangan berbaju hijau berkelebat. Yan Cu bersikap waspada, dapat menduga bahwa ada orang pandai muncul dan sama sekali tidak boleh disamakan dengan gerombolan perampok yang terdiri dari orang-orang kasar tadi. Tentu yang datang ini adalah pemimpin perampok yang memiliki kepandaian tinggi.

Akan tetapi kali ini Yan Cu kecelik dan ia memandang pemuda yang berdiri di depannya itu dengan mata terbelalak dan pandang mata terheran. Yang berdiri di depannya adalah seorang pemuda yang amat tampan dan gagah sekali, berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, berpakaian warna hijau dengan model sastrawan, sikapnya halus dan pemuda itu berdiri sambil memberi hormat kepadanya.

Pemuda itu adalah Yap Cong San, jago muda dari Siauw-lim-pai. Sesudah pemuda ini menerima dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai, yaitu kitab-kitab I-kiong Hoan-hiat dan Seng-to Cin-keng dari tangan Keng Hong, pemuda ini segera membawa dua buah kitab itu kepada suhu-nya.

Tiong Pek Hosiang, ketua Siauw-lim-pai yang sudah amat tua, menerima dua buah kitab itu dengan girang sekali. Ketika kakek sakti ini mendengar penuturan muridnya tentang Keng Hong dan Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, dia lalu menyuruh muridnya pergi menyusul Keng Hong dan membantu Keng Hong menghadapi wanita jahat itu sebagai pernyataan terima kasih dan membalas budi Keng Hong yang sudah mengembalikan dua buah kitab, dan juga untuk menghukum Cui Im atas kematian Thian Ti Hwesio.

Demikianlah sebabnya mengapa kini tiba-tiba muncul Cong San di tempat itu dan secara kebetulan Cong San melihat Yan Cu dan amat tertarik hatinya. Begitu mendengar gadis itu menyebut nama Keng Hong, tentu saja cepat meloncat keluar dan menemuinya.

Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika baru saja dia muncul dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada, belum sempat mulutnya bicara, dara jelita yang mengguncangkan hatinya itu sudah menerjang maju dan menyerangnya dengan pukulan maut! Gerakan Yan Cu amat cepatnya dan pukulan tangan kanan yang meluncur ke arah dada kiri Cong San itu mengandung tenaga sinkang yang mengeluarkan angin keras!

"Ehhh... jangan serang, Nona...!" Cong San cepat mengelak sambil berseru keras.

Sepasang mata yang bening itu berkilat. Melihat wajah tampan itu tersenyum kepadanya, Yan Cu semakin marah, menganggap bahwa pemuda yang ternyata benar lihai dan dapat mengelak pukulannya secara mudah itu tentu hendak berkurang ajar pula kepadanya, maka ia hanya membentak, "Datuk perampok, kau pun harus dibasmi!"

Lalu dia menerjang pula, sekali ini dengan pengerahan kecepatannya sehingga secara bertubi kepalan tangan kanannya menonjok perut, disusul tangan kiri mencengkeram ke arah hidung, kemudian dibarengi kedua kakinya melakukan tendangan berantai kanan kiri mengarah pusar dan lutut!

Cong San makin terkejut. Serangan ini benar-benar amat berbahaya! Pukulan ke perut terpaksa dia tangkis sambil mengerahkan tenaga lunak karena dia tidak ingin mengadu tenaga keras lawan keras, khawatir melukai lengan berkulit halus itu, tetapi cengkeraman pada hidungnya membuat dia kaget sehingga cepat dia miringkan kepala, dan ketika dua tendangan susul-menyusul menyambar, dia berseru kaget, "Wah, galak...!" Dan terpaksa dia meloncat ke belakang menghindarkan diri.

Yan Cu menjadi penasaran dan marah sekali. Lupa dia akan kesedihannya karena kini kemarahan menguasai hatinya dan membuat dia lupa segala. Dengan muka merah dan mata berapi dia menudingkan telunjuknya ke arah hidung Cong San sambil memaki,

"Kau bilang aku galak? Memang aku galak, akan tetapi engkau ceriwis, cabul, jahat dan keji, tidak sopan, tukang merampok dan memperkosa..."

"Wah, wah, wah... cukup, Nona! Aku bukan orang jahat...!" Cong San menangkis dengan kata-kata menyangkal sambil bersikap waspada karena agaknya nona yang amat jelita ini pun amat galak.

Yan Cu tertawa mengejek.

Serrrr! Jantung Cong San membuat loncatan salto di dalam rongga dadanya dan agaknya terbanting kembali dalam keadaan terbalik karena debar jantungnya kini sampai terdengar oleh telinganya, amat keras!

Melihat wajah itu tertawa benar-benar membuat dia terpesona, apa lagi kini melihat mulut yang meski pun tertawa mengejek masih nampak terlalu manis olehnya itu mengeluarkan kata-kata, membuat pandang matanya seakan-akan melekat pada sepasang bibir yang bergerak-gerak itu.

"Tidak jahat? Engkau mengintai aku secara sembunyi, masih bilang bukan orang jahat? Hayo katakan, mengapa engkau mengintai dan membayangiku!"

Sampai lama Yan Cu menanti, pemuda itu tidak menjawab, hanya melongo memandang mulutnya. Memang Cong San tidak mendengar ucapan dan pertanyaan tadi. Pemuda ini masih terpesona, seperti melayang semangatnya, debar jantungnya yang keras membuat telinganya terngiang-ngiang hingga tidak dapat menangkap kata-kata Yan Cu. Bagaimana mungkin ada mata seindah itu?

Cong San bukan seorang pemuda mata keranjang. Jauh dari pada itu. Selama berada dalam gemblengan Tiong Pek Hosiang di Siauw-lim-si, kakek ini selain mengajarkan ilmu silat tinggi, juga mengajarkan kebatinan dan karena itu dia tak pernah memikirkan wanita.

Karena batinnya yang kuat dan dasar susilanya tebal, tidaklah mudah kecantikan wanita menggiurkan hati pemuda jago Siauw-lim-pai ini. Akan tetapi, ketika berhadapan dengan Yan Cu, dia benar-benar terpesona dan kehilangan akal, seakan-akan matanya menjadi silau seperti langsung memandang cahaya matahari di tengah hari!

"Heiii! Jawab pertanyaanku!" Yan Cu membentak makin marah.

"Ehh...! Ohhh...! Apa... apa yang kau kehendaki, Nona?" Cong San bertanya gugup. Akan tetapi karena tidak ingin mendapat kesan buruk, otomatis pemuda ini tersenyum ramah.

Kembali Yan Cu menganggap senyum yang membuat wajah itu makin tampan sebagai senyum kurang ajar, seperti senyum kepala rampok tadi. Kemarahannya memuncak dan dia memaki, "Cengar-cengir seperti monyet kurang ajar!"

Dan serta merta gadis ini sudah mencabut sebatang pedang. Tampak cahaya berkilat dan pada saat pedang itu digerakkan menyerang Cong San, terdengar bunyi berdesing dan pedang berubah menjadi gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Gulungan sinar ini berkelebat menyambar dan hendak ‘mengalungi’ leher Cong San!

Tentu saja pemuda ini kaget setengah mati, dan cepat mengelak. Jika lehernya dikalungi rangkaian bunga atau lebih hebat lagi dikalungi kedua lengan berkulit halus nona itu, tentu amat menyenangkan. Akan tetapi dikalungi pedang?!

Tujuh kali berturut-turut sinar pedang menyambar, akan tetapi dengan cekatan dan tubuh ringan sekali Cong San dapat mengelak. Dia amat terkejut menyaksikan kehebatan gerak dan serangan Yan Cu, akan tetapi lebih kaget dia mengenal pedang itu.

"Pokiam (pedang pusaka) Hoa-san-pai...!" Dia berseru ketika untuk ketujuh kalinya dia meloncat tinggi ke belakang untuk menghindarkan babatan pedang ke pinggangnya.

Memang Yan Cu telah mencabut pedang pusaka Hoa-san-pai yang oleh Keng Hong telah diserahkan kepadanya bersama pusaka-pusaka yang lainnya. Ia menahan serangannya, sebagian karena sangat kagum menyaksikan betapa pemuda itu dengan tanpa banyak kesulitan dapat menghindarkan serangan-serangannya, dan sebagian lagi karena tertarik mendengar seruan yang menyatakan bahwa pemuda ini sudah mengenali pokiam milik Hoa-san-pai.

"Kau sudah mengenal Hoa-san Po-kiam? Dan masih tidak cepat-cepat minggat dari sini?" bentaknya.

Cong San cepat-cepat memberi hormat, bersoja tanpa dibalas oleh Yan Cu. "Nona, harap maafkan, aku bukan orang jahat..."

Yan Cu membanting-banting kakinya tak sabar. "Sudahlah, berapa kali kau hendak bilang bahwa kau bukan orang jahat? Seperti penjual kecap saja yang memuji-muji dagangan sendiri! Kau jahat atau baik, apa hubungannya dengan aku? Apa kau mau mencari muka dengan memuji-muji diri sendiri?"

"Wah... wah...!" Cong San tak dapat bicara, menelan ludah dan mukanya menjadi merah sekali.

"Masih wah-wah-weh-weh, mau apa lagi? Cepat pergilah dan jangan mengganggu aku, dan jangan pula membayangiku!"

Akan tetapi Cong San masih belum pergi juga, menoleh pun tidak melainkan menunduk karena masih mengatur napasnya yang tidak karuan.

"Mau apa lagi?!" Yan Cu membentak, pedang di tangannya siap menyerang.

"Maaf, Nona. Aku... aku memang bersalah, membayangimu karena aku tadi melihat kau berjalan sambil menangis. Kemudian muncul perampok-perampok itu... dan aku kagum melihat betapa engkau merobohkan mereka..."

"Hemmmm... dan kau diam saja, ya? Laki-laki apa ini? Melihat seorang wanita diganggu perampok malah menonton gratis. Senang, ya? Pertunjukan menarik, ya? Sudahlah, aku jemu mendengar dongengmu, Pergilah!"

"Maaf..."
Yan Cu membanting kakinya lagi. "Maaf... maaf... apa kau kira aku ini tempat orang minta maaf? Kalau mau minta maaf, pergilah ke kelenteng menebus dosa!"

Cong San makin gugup. Ia harus cepat-cepat menjelaskan, kalau tidak bisa berabe benar berurusan dengan gadis jelita yang galak ini.

"Begini, Nona. Aku sama sekali tidak bermaksud kurang ajar. Melihat sepak terjangmu terhadap perampok-perampok itu, bagaimana aku berani lancang turun tangan? Seratus orang seperti mereka masih tak akan sanggup mengganggumu. Aku sudah hendak pergi, akan tetapi aku tertarik mendengar engkau menyebut nama Keng Hong. Cia Keng Hong adalah sahabat baikku, dan aku justru sedang pergi mencarinya. Apakah engkau dapat menunjukkan di mana adanya sahabat Cia Keng Hong?"

Tiba-tiba timbul harapan di hati Yan Cu. Setelah agak lama melihat pemuda ini, dia pun merasa yakin bahwa pemuda ini bukan orang jahat, malah kini mengaku sebagai sahabat suheng-nya.

Agaknya pemuda ini pun lihai sekali. Kalau pemuda ini membantunya menghadapi Biauw Eng dan Hun Bwee, kiranya mereka berdua akan dapat membebaskan Keng Hong! Akan tetapi dia masih belum yakin benar. Biauw Eng amat lihai, juga Hun Bwee wanita gila itu lihai sekali. Dia akan mencoba dulu!

"Tidak percaya! Engkau tentu hendak mencelakakan suheng-ku Cia Keng Hong!" Sambil berkata demikian, Yan Cu sudah kembali menerjang maju lagi dengan Hoa-san Po-kiam, mengirim serangan hebat.

Cong San terkejut sekali. Bukan hanya oleh serangan ini, akan tetapi karena mendengar pengakuan gadis ini sebagai adik seperguruan Keng Hong. Dia segera mengelak, akan tetapi sinar pedang yang putih menyilaukan mata itu terus mendesaknya. Walau pun dia merasa yakin akan dapat mengatasi gadis lihai ini, tetapi amatlah berbahaya menghadapi amukan pedang seperti itu hanya dengan tangan kosong saja.

Di samping ini, timbul pula keinginan di hatinya untuk menguji kelihaian gadis yang telah menjatuhkan hatinya tanpa dia sadari ini. Orangnya cantik jelita, wataknya lincah, galak, apa lagi sebagai sumoi dari Keng Hong, tentu kepandaiannya amat hebat. Cepat dia pun mengeluarkan senjatanya, yaitu sepasang Im-yang-pit yang berwarna hitam dan putih.

"Kau memaksaku, Nona. Apa boleh buat, marilah kulayani Nona berlatih sebentar!"

Melihat pemuda itu memegang sepasang alat tulis, mendadak Yan Cu menghentikan serangannya. Cong San sudah menggerakkan sepasang senjatanya, yang kiri siap untuk menjaga diri yang kanan siap membalas serangan. Ia juga sudah memasang kuda-kuda dengan sikap paling gagah, akan tetapi karena lawannya menghentikan serangan, ia pun melongo dengan tubuh memasang kuda-kuda.

"Engkau ini sengaja hendak menghinaku ataukah barang kali engkau memang sudah begini?" Berkata ‘begini’ Yan Cu melintangkan telunjuknya di depan dahi.

Cong San mengkal hatinya. Ingin dia membanting sepasang senjatanya. Sialan benar! Senjata yang ampuh darinya itu tidak dipandang mata, bahkan dia disangka sudah miring otaknya! Ia mengendurkan urat-urat tubuhnya dan menghentikan kuda-kudanya, hatinya kecewa dan murung. Susah payah dia tadi memasang gaya kuda-kuda supaya kelihatan gagah... ehh, malah disangka menghina atau gila!

"Nona, yang menghina itu aku ataukah engkau? Sepasang Im-yang-pit ini memang adalah senjataku!" Ia berkata setengah membentak, suaranya serak seperti ingin menangis.

Tiba-tiba Yan Cu tertawa sambil menutupi mulutnya dengan tangan kiri. Biar pun ditutupi, masih tampak mulutnya merekah sehingga Cong San yang tadinya mengkal dan marah, sekaligus lenyap kemarahannya. Hati yang panas tiba-tiba menjadi dingin hangat melihat betapa wajah cantik itu kini benar-benar tertawa, bukan tertawa mengejek seperti tadi. Dan setelah tertawa wajar, bukan main manisnya! Manis memabukkan. Arak merah pun kalah!

"Pena bulu itu senjatamu? Hi-hi-hi-hik! Untuk apa? Senjata untuk menulis bisa jadi, akan tetapi senjata untuk bertanding? Sobat, jangan kau main-main, sekali pedang pusaka ini membabat, engkau takkan dapat menulis lagi. Lebih baik kau pergilah kembali ke bangku sekolahmu, belajar menulis sajak dengan tekun supaya kelak bisa menjadi hak-su atau menjadi siucai."

"Nona, kulihat engkau sangat lihai, akan tetapi engkau kurang pengalaman sehingga tidak mengerti bahwa senjataku sepasang Im-yang-pit ini dapat melawan seratus buah pedang pusaka seperti yang kau pegang itu."

"Wiiihhhhh, sombong! Makan pedangku!" Yan Cu sekarang meloncat maju dan langsung menyerang dengan pedangnya.

"Singgggg... trang-cring-cringggg...!"

Yan Cu meloncat mundur dan memeriksa pedangnya. Ternyata pedangnya tak apa-apa. Hatinya lega. Pedang itu bukan miliknya dan harus dia kembalikan ke Hoa-san-pai, dan sekarang dia hanya ‘meminjamnya’. Kalau sampai rusak kan repot!

Pada saat tadi tiga kali pedangnya ditangkis sepasang Im-yang-pit secara bergantian, dia merasa betapa tangan dan lengannya tergetar hebat dan benturan senjata yang ketiga tadi disusul totokan pit hitam ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang. Tentu saja dia cepat menarik tangannya dan mencelat ke belakang. Kini dia memandang pemuda itu dan berdiri tersenyum sambil memasang kuda-kuda. Begitu gagah pemuda itu, dan wajahnya amat tampan. Yan Cu menjadi panas.

"Kau kira aku kalah?" Ia membentak dan kembali ia menerjang maju dengan amat ganas.

Cong San maklum bahwa gadis ini sudah mempunyai ilmu silat tinggi dan ilmu pedangnya juga tidak boleh dipandang ringan. Maka dia cepat bergerak mengelak, menangkis, dan tidak lupa membalas dengan totokan-totokan kedua senjatanya. Tentu saja dia menotok secara hati-hati karena tidak ingin mencelakai gadis itu.

Pertandingan berjalan dengan seru. Sesudah mereka bertempur selama lima puluh jurus lebih, tahulah Cong San bahwa kepandaian gadis itu benar-benar sangat lihai dan kalau saja dia bukan murid pilihan dari ketua Siauw-lim-pai sendiri, agaknya tidak akan mudah menahan serangan-serangan pedang yang demikian ganasnya.

Di lain pihak, hati Yan Cu yang tadinya telah menjadi girang mendapat kenyataan bahwa pemuda ini benar-benar lihai sekali sehingga boleh diandalkan untuk membebaskan Keng Hong, makin lama menjadi makin penasaran. Tadi dia sudah membuktikan kelihaiannya. Tiga belas orang perampok liar dia robohkan dalam waktu singkat hanya dengan tangan kosong saja. Masa kini menghadapi seorang pemuda baju hijau yang hanya memegang dua batang alat tulis yang pendek kecil saja ia sama sekali tidak mampu mendesak?

Apa lagi melihat bahwa selama bertanding ini pemuda itu terus tersenyum ramah dan amat manis kepadanya, pandang mata pemuda itu begitu... entah bagaimana dia sendiri tidak tahu, pendeknya pandang mata yang membuat jantungnya berdebar serta kedua pipinya terasa panas karena malu. Sikap pemuda ini ia anggap mengejek dan membuat ia merasa makin penasaran!

Dia tidak boleh sampai kalah! Kalau dia kalah, tentu pemuda itu akan memandang rendah kepadanya! Dia harus membuktikan bahwa dia seorang yang mempunyai ilmu silat tinggi, seorang yang lihai, seorang gadis yang jarang terdapat bandingnya!

"Bocah sombong!" Mendadak Yan Cu membentak dan dalam suaranya terkandung isak penasaran dan kemarahan yang makin memanas. Pedangnya berkelebat cepat sekali.

Cong San kaget. Tidak disangka bahwa gadis itu akan menjadi marah lagi, padahal tadi sudah hilang marahnya. Kalau dilanjutkan begini bisa berbahaya, pikirnya. Memang dia mendapat kenyataan bahwa meski pun tingkat ilmu kepandaiannya lebih tinggi dari pada gadis itu, tapi selisihnya tidak banyak dan dia hanya bisa mengandalkan kematangannya dalam gerakan. Ilmu silat gadis ini benar-benar dahsyat dan aneh. Untuk merobohkannya pun tidaklah mudah. akan tetapi kalau dipertahankan terus juga akan berlarut-larut dan menjadi berbahaya bagi kedua pihak.

"Nona, sudahlah, Nona... mari kita bicara... aku mengaku kalah...!"

"Siuuuuttttt... singggg... cringggg...!" Kembali pedang bertemu dengan sepasang pit yang disilangkan.

"Tidak! Aku tidak sudi bicara denganmu! Aku tidak sudi kau beri hadiah dengan mengaku kalah! Coba kau kalahkan aku dengan benar-benar kalau mampu! Aku tidak takut mati!" Yan Cu yang merasa penasaran dan merasa malu kalau kalah itu, sudah menyerang lagi.

Melihat pedang itu meluncur ke arah dadanya, Cong San menangkis dengan tangan kiri yang memegang pit warna putih, akan tetapi sengaja mengurangi tenaga hingga pedang lawan itu hanya menyeleweng sedikit ke pinggir dan masih menyerempet pangkal lengan kirinya. Secepat kilat ia pun membarengi dengan menotok pergelangan tangan kanan Yan Cu yang memegang pedang itu dengan pit hitamnya. Yan Cu merasa lengannya lumpuh lantas pedangnya terlepas dari pegangannya!

Cong San berdarah pada pangkal lengan kirinya. Baju hijaunya robek berikut kulit serta sedikit dagingnya. Dia membungkuk, mengambil pedang dan menyerahkan pedang itu kepada Yan Cu sambil berkata,

"Sudah kukatakan, Nona. Aku mengaku kalah. Agaknya engkau belum puas kalau belum melukai aku."

Sejenak Yan Cu tercengang ketika melihat pangkal lengan dari lawannya berdarah. Akan tetapi sebagai seorang ahli yang mempelajari ilmu pengobatan dari gurunya, dia melihat bahwa luka itu tidak ada artinya sama sekali, hanya luka kulit dan sedikit daging. Dia menerima pedangnya dengan kasar dan berkata lagi,

"Aku belum menang atau kalah! Pedangku jatuh akan tetapi lenganmu terluka. Kita masih belum ada yang menang atau kalah. Hayo lanjutkan!" Yan Cu sudah bersiap lagi dengan pedangnya, ditodongkan ke depan.

Cong San menggeleng kepalanya. "Aku sudah menerima kalah, tidak akan melawan lagi." Berkata demikian, Cong San melemparkan kedua senjatanya ke atas tanah di depan kaki gadis itu.

Sikap pemuda ini mengingatkan Yan Cu kepada sikap Keng Hong yang juga mengalah dan ‘pasrah bongkokan’ kepada Biauw Eng. Maka ia menjadi makin marah. "Kau laki-laki pengecut! Kenapa mengalah begini? Kenapa kau mengalah kepadaku? Hayo lawanlah! Masa ada laki-laki begini lemah? Apakah semua laki-laki menjadi lemah dan pengecut kalau berhadapan dengan wanita?"

Cong San tak mengerti kenapa gadis ini marah-marah seperti ini. Akan tetapi pertanyaan itu dengan tepat menusuk hatinya dan membuat dia sendiri terheran-heran akan sikapnya sendiri. Mengapa berhadapan dengan gadis yang belum dikenalnya ini dia benar-benar telah kehilangan akal? Sampai dia rela mengorbankan diri dilukai dan rela pula mengalah padahal dia tidak bersalah?

"Aku... aku tidak akan melawanmu, Nona."

"Benar? Bagaimana kalau sekarang ini kutusukkan pedangku ke dalam dadamu?" Yan Cu meloncat maju dan ujung pedangnya menyentuh kulit dada di balik baju pemuda itu.

Cong San mengangkat muka, memandang wajah gadis itu. Dua pasang mata bertemu dan Yan Cu merasa aneh.

"Entah mengapa, Nona. Akan tetapi andai kata engkau membunuhku, aku pun rela dan tidak akan melawan."

Yan Cu merasa tubuhnya menjadi lemas. Pedangnya yang menodong segera diturunkan, disarungkannya kembali dan sepintas lalu dia bertanya,

"Apakah engkau jatuh cinta kepadaku?"

Pertanyaan ini sepintas lalu saja, akan tetapi Cong San hampir roboh terjengkang saking kagetnya. Muka pemuda ini menjadi merah sekali sampai ke daun telinganya.

"Aku... aku tidak tahu, Nona. Apakah engkau tahu...?"

"Tahu apa?"

"Tentang... ehhh…, tentang jatuh cinta..."

Yan Cu menggelengkan kepalanya. "Aku sendiri tidak tahu tentang cinta dan bersama suheng-ku tadinya sedang menyelidiki tentang cinta."

Cong San melompat kaget, teringat akan Keng Hong. "Menyelidiki tentang... cinta...? Di mana dia, Nona? Di mana Cia Keng Hong? Aku diutus oleh suhu untuk membantunya menghadapi Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im yang jahat."

Yan Cu tertegun dan memandang tajam. "Siapa gurumu?"

Cong San memberi hormat. "Aku bernama Yap Cong San ada pun guruku adalah ketua Siauw-lim-pai."

Sekarang gadis itu terkejut. Kiranya seorang jagoan Siauw-lim-pai! Dan tadi dia mengira seorang kepala perampok!

"Ahhhh, kenapa kau tidak bilang dari tadi? Dan aku telah melukaimu. Hemmm, biarkan kuobati lukamu itu!"

Tanpa menanti jawaban Yan Cu menghampiri Cong San, merobek baju pemuda itu pada bagian pangkal lengan yang luka, lalu memeriksa dan memberi obat bubuk, kemudian membalut luka dengan sehelai sapu tangan bersih. Ia melakukan pengobatan ini dengan cekatan, cepat dan tanpa bicara apa-apa.

Cong San tidak percaya kepada mulutnya sendiri, mengapa dia pun tidak berkata-kata, hanya matanya memandang penuh kagum dan penuh perasaan kepada dara jelita yang mengobati luka di pangkal lengannya itu.

"Terima kasih, Nona. Engkau sungguh amat baik hati..." Cong San berkata dengan suara gemetar.

"Sudahlah, Yap-twako. Maafkan saja aku tadi tidak mengenalmu maka menganggapmu musuh. Tidak perlu terima kasih-terima kasih! Sekarang mari bantu aku membebaskan suheng!" Sambil berkata demikian, Yan Cu sudah menarik tangan pemuda itu dan diajak lari cepat.

Tentu saja Cong San girang sekali, akan tetapi dia pun bingung. Terpaksa dia ikut berlari cepat mengimbangi dara jelita yang aneh ini.

"Ehh, Nona... di manakah dia? Di mana Keng Hong, dan siapa yang menangkapnya?"

Sambil berlari-lari cepat Yan Cu menjawab, "Ditangkap seorang gadis dan dibawa pergi!"

Tidak enak bicara sambil berlarian cepat itu. Akan tetapi karena heran Cong San bertanya lagi, "Mengapa? Siapa gadis itu?"

"Gadis yang dicintainya... dia sengaja menyerahkan diri, tidak melawan..." karena sedang mengerahkan tenaga untuk berlari cepat, tentu saja ketika bercakap-cakap, banyak angin memasuki mulut membuat suara Yan Cu terputus-putus dan napasnya megap-megap.

Cong San merasa makin heran dan penasaran. Mendengar Keng Hong ditangkap orang saja sudah merupakan hal yang mengejutkan dan juga mengherankan. Siapa yang dapat menangkap pemuda sakti itu? Kini dia mendengar bahwa yang menangkapnya adalah seorang gadis yang dicintanya! Dan dia menyerah tidak melawan! Tentu saja mendengar ini dia menjadi penasaran.

"Dicinta mengapa menangkap? Mengapa pula dia ditangkap? Apa salahnya?"

Tiba-tiba saja Yan Cu berhenti berlari dan memandangnya dengan mata marah, mulutnya mengomel, "Wah, kau ini amat cerewet seperti seorang nenek-nenek pikun!"

Cong San juga berhenti. Mereka saling berpandangan. Kini pemuda itu mulai mengerti atau sedikitnya mengenal watak Yan Cu, maka dia tidak kaget melihat gadis yang tadi mengobati pangkal lengannya dengan lemah lembut itu kini marah. Dia malah tersenyum dan berkata, "Nona, aku seorang laki-laki, mana mungkin bisa seperti nenek-nenek yang cerewet?"

"Kalau tidak seperti nenek-nenek yang cerewet, mengapa bertanya saja? Lari-lari sambil bicara mana enak?"

"Kalau begitu, kenapa kita tidak berhenti dulu dan bicara yang enak di bawah pohon yang teduh?"

Yan Cu menghapus keringatnya pada leher dengan ujung lengan baju. "Kita harus cepat mengejar suheng, engkau ini memperlambat saja."

"Maaf, Nona. Aku pun ingin sekali segera menolong Keng Hong, akan tetapi aku ingin mendengar dulu siapa yang menangkapnya, dan kenapa dia ditangkap?"

"Baiklah, baiklah. Kalau tidak kuturuti, engkau tentu akan rewel seperti anak kecil minta kembang gula dan mengganggu terus. Nah, dengarkan baik-baik!"

Yan Cu terpaksa ikut duduk di bawah pohon ketika melihat Cong San memberi isyarat dengan tangan kepadanya, mempersilakan duduk di atas akar-akar pohon yang menonjol ke luar dari tanah. Akan tetapi sesudah mereka berdua duduk berhadapan, keduanya hanya saling pandang dan diam saja.

"Ehh, bagaimana ceritanya, Nona?"

"Kau dulu ceritakan keadaanmu dan bagaimana engkau bisa menjadi sahabat suheng."

Cong San menghela napas. Agaknya gadis ini masih belum percaya benar kepadanya. Ia lalu menceritakan pertemuannya dengan Keng Hong ketika dia menyerbu ke Phu-niu-san untuk membalas dendam Siauw-lim-pai kepada Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im dan betapa Keng Hong menyelamatkannya, kemudian mengembalikan dua buah kitab Siauw-lim-pai.

"Ketika aku menyerahkan dua buah kitab itu kepada suhu, suhu lalu memerintahkan aku agar pergi mencari Cia-taihiap dan membantunya menghadapi Ang-kiam Bu-tek yang lihai sebagai pembalas jasa. Nah, sekarang harap kau suka ceritakan keadaan Cia Keng Hong taihiap, Nona."

"Dia ditawan oleh gadis yang dicintanya."

"Mengapa? Dicinta mengapa malah menawannya?"

"Justru karena suheng mencintanya itulah, maka dia menyerahkan diri. Kalau tidak, mana mungkin Sie Biauw Eng itu dapat menawannya?"

"Sie Biauw Eng? Nona maksudkan Song-bun Siu-li puteri dari mendiang Lam-hai Sin-ni?" Cong San bertanya, kaget karena nama Sie Biauw Eng amat terkenal. Apa lagi kalau diingat bahwa Song-bun Siu-li adalah sumoi dari Bhe Cui Im musuh besarnya!

Yan Cu mengangguk. "Bukan dia saja, masih ada seorang lagi yang begini!" Kembali ketika berkata ‘begini’ Yan Cu melintangkan telunjuk di depan dahinya yang berkulit putih halus.

"Gila? Siapakah dia? Mengapa...?"

Yan Cu cemberut. "Mengapa? Pertanyaanmu tak masuk akal dan bodoh. Mana bisa aku tahu mengapa dia gila?"

"Bukan gilanya yang kumaksudkan, Nona. Mengapa Cia-taihiap sampai ditawan?"

"Karena ia dituduh memperkosa si gila itu dan oleh Biauw Eng, ia ditawan untuk dipaksa menikah dengan perempuan gila itu!"

Cong San sedang terpesona memandang wajah itu. Kini setelah dia mengenal sifat baik dara ini, wajah jelita itu semakin menarik. Sepasang mata indah yang kini bersinar-sinar penuh semangat, dengan alis yang hitam kecil menjelirit, bulu mata yang panjang lentik melengkung dan tebal sehingga membentuk garis hitam di seputar matanya. Hidung yang kecil mancung, yang cupingnya dapat bergerak-gerak kembang-kempis apa bila sedang marah.

Dan bibirnya! Ketika bicara bergerak-gerak demikian manisnya, seakan-akan bertetesan madu dari bibir itu, dan sepasang bibir itu bergerak demikian indahnya, seindah seekor kupu-kupu menggerak-gerakan sepasang sayapnya yang beraneka warna, ataukah bagai setangkai bunga mawar jambon tertiup angin, seperti cahaya keemasan bulan purnama bermain di permukaan air telaga? Entah seperti apa, namun yang sudah pasti, sangat manis menarik, sangat indah mempesona.

"Heeeiiii!" Kenapa kau mengangguk-angguk?" Yan Cu membentak heran.
Cong San yang sedang tenggelam dalam hikmat keindahan yang menyentuh perasaan hatinya, bagaikan mabuk arak simpanan yang amat halus kerjanya, tadi dapat mendengar penuturan Yan Cu, akan tetapi hanya setengah-tengah menangkap inti dan artinya. Kini dibentak dia menjadi kaget sekali dan menjawab sekenanya,

"Memang betul! Sudah semestinya mengawini perempuan yang diperkosa!"

Yan Cu langsung meloncat berdiri, dua tangannya dikepal, matanya mengeluarkan sinar berapi-api! Cong San terkejut sekali dan dia pun memandang dengan melongo, masih duduk dan menengadahkan kepalanya seperti orang tersadar dari mimpi.

"Apa kau bilang? Hati-hati engkau menjaga mulut, sembarangan saja bicara!"

"Ehh... aku bicara apakah, Nona? Apa yang salah?"

"Engkau percaya bahwa suheng Cia Keng Hong memperkosa perempuan gila itu?"

Barulah Cong San sadar bahwa yang dibicarakan adalah Keng Hong. Tentu saja dia tidak percaya. Setelah sadar kini dia menjadi pemuda murid Siauw-lim-pai yang tenang dan gagah perkasa kembali. Perlahan dia bangkit berdiri dan menjura, "Maaf, seribu kali maaf, Nona. Demi tuhan, aku tidak percaya bahwa Cia-taihiap melakukan perbuatan sekeji itu. Kalau tadi aku bicara seperti itu, hemmm... aku lupa dan aku hanya mengatakan bahwa siapa pun juga, jika betul dia sudah memperkosa orang, harus bertanggung jawab! Akan tetapi..."

"Suheng tidak diperkosa wanita itu! Itu fitnah belaka!"

Cong San mengangguk. "Tentu begitu. Siapa sih wanita gila itu yang menjatuhkan fitnah keji terhadap Cia-taihiap?"

"Namanya Tan Hun Bwee, suci dari..."

"Tan Hun Bwee...? Ahh, aku tahu! Bukan Cia-taihiap yang memperkosa, melainkan orang lain!"

Bukan main kaget dan girangnya hati Yan Cu. Seketika kemarahannya terhadap Cong San lenyap bagaikan api disiram air, bahkan saking gembiranya dia memegang tangan pemuda itu dan menariknya lari lagi!

"Lekas! mari kita susul mereka!"

Kembali keduanya berlari-larian cepat sekali.

"Nona, nanti dulu..."

"Ssttt...! Jangan cerewet lagi!" Yan Cu memotong.

Cong San terpaksa menelan kembali kata-katanya. Akan tetapi dia tidak tahan. Sepuluh menit kemudian dia memaksa diri bertanya, "Aku hanya ingin mengetahui, siapakah Nona yang menyebut suheng kepada Cia-taihiap. Siapakah namamu, Nona?"

"Namaku Gui Yan Cu, guruku bernama Tung Sun Nio, dahulu isterinya Sin-jiu Kiam-ong. Sudah, cukup!"

Cong San melongo. Mendengar bahwa gadis ini murid bekas isteri Sin-jiu Kiam-ong, dia terheran-heran. Sin-jiu Kiam-ong mempunyai isteri? Baru sekarang ini dia mendengarnya. Karena melongo memandang wajah gadis itu sambil berlari cepat, kakinya tersandung akar pohon dan dia roboh terguling!

Yan Cu berteriak dan cepat menyambar lengannya sehingga pemuda ini tidak sampai terguling ke dalam jurang di sebelah kirinya. Karena tarikannya yang tiba-tiba ini, padahal Cong San tadi ketika akan jatuh telah menggerakkan tubuh, maka tubuhnya bertumbukan dengan tubuh Yan Cu sehingga dua lengan Cong San merangkul pinggang yang ramping itu, ada pun kedua tangan Yan Cu juga memeganginya, yang satu memegang lengannya yang ke dua memegang pundaknya!

"Ihhh! Yan Cu melepaskan pegangannya dan meronta.

"Maaf! Maaf!" Cong San cepat-cepat melepaskan ‘pelukannya’ dan keduanya menjadi tersipu-sipu dengan muka merah sekali.

"Matamu kau taruh di mana sih?" Yan Cu mengomel.

Akan tetapi melihat wajah gadis itu, Cong San maklum bahwa Yan Cu tidak marah, sebab gadis ini pun mengerti bahwa peristiwa itu terjadi di luar kesengajaan Cong San.

"Aku... aku sedang memandangmu, Gui-moi-moi!"

Yan Cu mengerling akan tetapi dia juga tidak marah disebut moi-moi oleh pemuda itu. "Sudahlah, hayo cepat!"

Mereka berlarian lagi, cepat sekali. Wajah Cong San berseri-seri dan dia sendiri merasa heran sekali mengapa mendadak dia merasa sangat gembira, mengapa daun-daun dan rumput di sepanjang jalan yang dilaluinya tampak lebih segar dan lebih hijau di dalam pandang matanya, langit tampak begitu cerah, sinar matahari yang terik terasa hangat dan pemandangan alam tampak jauh lebih indah dari pada biasanya. Selama hidupnya belum pernah Cong San merasa begitu gembira. Betapa nikmat dan bahagianya hidup ini, pikirnya sambil lari mengimbangi kecepatan Yan Cu.

Memang demikianlah Cinta! Amat besar kuasanya atas perasaan manusia. Sekali Cinta menyentuh hati sanubari insan, Cinta menjadi titik terang satu-satunya yang meniadakan segala persoalan hidup, merupakan satu-satunya tujuan hidup penuh dengan hasrat dan harapan, melambungkan cita-cita setinggi angkasa, membuat orang terlena dan terapung muluk, dan satu-satunya hal yang penting dalam hidup hanyalah tercapainya hasrat dan harapannya.

Cinta memang indah, tetapi keindahan yang cemerlang menyilaukan hati sehingga orang terlupa bahwa dalam keindahan itu terdapat lika-liku yang amat ruwet dan rumit, lika-liku yang mudah menyesatkan dan sekali terpeleset, segala kemanisan berubah kepahitan, madu berubah empedu, keindahan berubah keburukan dan kebahagiaan terbang pergi, kegembiraan berganti kedukaan!

Cinta! Bagaikan pohon kembang, indah sekali, namun sesungguhnya mengandung duri, mengandung ulat dan mudah pula layu. Jika pandai merawatnya, menghindarkan durinya, pandai memupuknya, barulah akan subur dan semakin indah!


********************

"Tar-tar-tar!"

Ujung sabuk sutera di tangan Biauw Eng melecut tiga kali dan mengenai kedua pipi dan leher Keng Hong. Pemuda ini menerima lecutan ujung cambuk itu dengan mata terbuka dan bibir tersenyum, sedikit pun tidak mengerahkan sinkang-nya sehingga kulit pipi dan lehernya pecah berdarah!

"Sumoi jangan pukul dia!" Tiba-tiba Hun Bwee menubruk maju dan memukul Biauw Eng.

Biauw Eng cepat mengelak dan berkata, “Suci, aku hanya ingin memaksa dia mengakui perbuatannya yang keji terhadap dirimu. Engkau diperkosa olehnya, bukan?"

Hun Bwee berhenti menyerang, sejenak memandang Keng Hong dengan mata liar namun membayangkan kemesraan. Dia maju berlutut, kemudian menggunakan sapu tangannya menghapus darah yang mengalir di pipi dan leher pemuda itu.

"Koko..., sakitkah...? Ahhh, kasihan kau..." Hun Bwee mengusap kedua pipi Keng Hong dengan sentuhan jari tangan mesra. Diam-diam Keng Hong menjadi terharu sekali dan dia mengutuk Lian Ci Tojin dalam hatinya.

Hun Bwee bangkit berdiri menghadapi Biauw Eng. Gadis ini terkejut melihat sinar mata suci-nya, maklum bahwa suci-nya itu sedang kumat lagi gilanya! Akan tetapi dia menjadi terharu pula menyaksikan sikap Hun Bwee tadi terhadap Keng Hong, dan anehnya, di samping rasa haru terhadap Hun Bwee, ada pula rasa marah yang luar biasa terhadap Keng Hong. Dia hampir menjerit dan menangis ketika menyaksikan mesranya sentuhan-sentuhan tangan Hun Bwee pada pipi dan leher Keng Hong!

"Sumoi, kalau kau memukulnya lagi, kubunuh kau!"

Biauw Eng menghela napas panjang. Kalau suci-nya sedang kumat begini, dia harus mengalah. "Baiklah, Suci. Aku tidak akan memukulnya, akan tetapi dia harus mengaku bahwa dia telah memperkosamu."

Dia lalu menghadapi Keng Hong yang berdiri sambil tersenyum dan memandang Biauw Eng dengan sinar mata penuh kemesraan. Diam-diam Keng Hong merasa kasihan dan terharu sekali terhadap Biauw Eng. Dia mengerti betapa tersiksanya hati kekasih hatinya itu, seolah-olah dia dapat merasakan kepedihan hati gadis itu, jauh lebih pedih dari pada pipi dan lehernya.

"Cia Keng Hong, engkau seorang laki-laki, tetapi kenapa begini pengecut? Engkau sudah melakukan banyak hal memalukan dengan banyak wanita, kenapa sekarang engkau tidak mau mengaku bahwa engkau telah memperkosa Suci? Hayo mengakulah bahwa engkau telah memperkosanya!"

"Biauw Eng, di dalam hati nuranimu engkau pun tentu tidak percaya bahwa aku sudah memprkosa nona Tan Hun Bwee. Aku tidak melakukannya, bagaimana harus mengaku?"

"Bohong!" Biauw Eng membentak. "Siapa tidak mengenalmu? Engkau seorang laki-laki mata keranjang, seorang laki-laki hidung belang! Dan engkau juga seorang laki-laki cabul! Engkau bermain gila dengan wanita mana pun juga! Hayo berlutut dan mohon ampun kepada Suci!"

Keng Hong tersenyum dan menggelengkan kepala. "Aku tidak merasa bersalah terhadap wanita mana pun juga, kecuali kepadamu, Biauw Eng. Kalau aku disuruh minta ampun kepadamu, biar harus berlutut selamanya aku bersedia melakukannya! Akan tetapi, tidak kepada wanita lain karena aku tidak merasa bersalah."

"Oohhhh...!" Jeritan ini keluar dari mulut Hun Bwee dan gadis ini menjatuhkan diri berlutut, menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis. Agaknya ucapan Keng Hong membuat dia sadar dan ucapan penyangkalan itu menusuk perasaannya.

Biauw Eng marah sekali.

"Tar-tarrr...!"

Dua kali ujung sabuk menotok jalan darah di kedua pundak Keng Hong dan pemuda ini terguling roboh. Mukanya berkerut-kerut menahan rasa nyeri, akan tetapi mulutnya tetap berusaha untuk tersenyum dan pandang matanya selalu ditujukan kepada Biauw Eng dengan sinar penuh cinta kasih.

Karena maklum bahwa kini Hun Bwee sudah sadar dan tak akan menghalanginya, Biauw Eng melangkah maju. "Pengecut! Kalau engkau tidak mengaku, aku akan menyiksa dan memaksamu!" Ujung sabuk di tangannya tergetar dan dengan sekali tarik, dia membuat tubuh Keng Hong terseret dekat kakinya.

Keng Hong berlutut dan menengadah, memandang wajah Biauw Eng. Apa pun yang akan dilakukan Biauw Eng terhadap dirinya, akan diterimanya dengan senang hati. Dia sudah melakukan banyak kesalahan terhadap gadis ini dan tidak ada hukuman baginya yang cukup berat untuk menebus kesalahannya itu.

Kalau dia ingat betapa gadis ini sangat mencintainya, dan telah melakukan pengorbanan-pengorbanan sungguh pun hatinya sudah dibikin sakit oleh hubungan cintanya dengan gadis-gadis lain. Betapa Biauw Eng membelanya di Kun-lun-pai, mengorbankan dirinya sendiri. Betapa gadis ini masih terus mencinta dan menantinya sampai bertahun-tahun pada saat dia menghilang dalam tempat rahasia gurunya. Kemudian betapa semua cinta kasih yang amat mendalam itu, semua pengorbanan gadis itu bahkan dia balas dengan penghinaan-penghinan!

"Biauw Eng, jangankan hanya menyiksa, biar kau membunuhku, aku akan rela mati di tanganmu, hitung-hitung menebus dosaku kepadamu, Biauw Eng!"

"Desssss…!”

Sebuah tendangan mengenai dada Keng Hong, membuat pemuda itu terjengkang dan sejenak tak dapat bernapas. Biar pun dia tidak mengerahkan sinkang, namun hawa sakti di tubuhnya yang amat kuat sudah secara otomatis bergerak sendiri melindungi rongga dada sehingga tendangan itu tidak mendatangkan luka berat di dalam dadanya.

Ujung sabuk sudah diputar-putar di tangan Biauw Eng. "Mengakulah! Mengakulah... dan nyatakan kesediaanmu mengawini Suci atau... hemmmm...kuhancurkan kepalamu...!"

Keng Hong yang sudah berlutut lagi menggeleng kepala dan tersenyum. "Hanya engkau di dunia ini satu-satunya wanita yang kucinta, Biauw Eng. Mana mungkin aku menikah dengan wanita lain?"

"Wuuuuut...! Plakkk!" Ujung sabuk yang sudah menyambar ke arah kepala Keng Hong itu tertangkis oleh pedang hitam di tangan Hun Bwee.

Dua orang gadis itu saling pandang. Hun Bwee sudah tak kumat lagi, kini mukanya agak pucat akan tetapi matanya bersinar-sinar. "Sumoi, engkau tidak berhak membunuhnya! Apa bila ada orang yang akan membunuhnya, maka satu-satunya orang itu adalah aku sendiri!"

Biauw Eng menghela napas panjang dan kembali memaki Keng Hong, "Laki-laki tidak setia, pengecut dan tidak tahu malu. Lihat betapa Suci yang telah kau rusakkan hatinya itu masih selalu melindungimu? Dan engkau... engkau... ahhh!" Biauw Eng membalikkan tubuh, cepat menggunakan ujung sabuknya menghapus dua titik air mata yang meloncat ke luar.
Selanjutnya,