Pedang Kayu Harum Jilid 26 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pedang Kayu Harum Jilid 26
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
SEMENTARA itu, Cui Im sudah berunding dengan tiga orang pembantunya, yaitu Siauw Lek, Pak-san Kwi-ong dan Kemutani. Penjagaan di sekitar kamar kaisar diserahkan kepada Gu Coan Kok, Hok Ku dan Cou Seng. Kemudian ketiga orang pembantunya itu diam-diam berangkat keluar dan bersembunyi di dekat pondok merah di luar kota raja sebelah barat. Ada pun Cui Im lalu mengirim seorang pelayan ke rumah penginapan untuk memberi tahu kepada Cong San, melalui sebuah surat yang ditulisnya sendiri.

Ketika Cong San yang sedang membaca kitab di kamarnya itu diberi tahu oleh pelayan hotel dan menerima surat dari pelayan istana, dia terkejut dan cepat merobek sampulnya lalu membaca surat dengan kertas merah wangi dengan tulisan yang tidak terlalu buruk bagi seorang wanita yang begitu ditakuti orang.

Ternyata surat itu memberitahukan bahwa Bhe Cui Im mengundangnya untuk minum arak sambil bicara mengenai sastra di pesanggrahan wanita itu, dan bahwa Cong San diminta untuk bersiap-siap karena akan dijemput sendiri oleh wanita cantik itu!

Cong San, mengangguk-angguk dan berkata kepada pelayan utusan, "Harap sampaikan terima kasihku kepada nona Bhe, dan katakan bahwa aku sudah siap."

Setelah utusan itu pergi, Cong San cepat-cepat berganti pakaian yang paling baik, juga berwarna hijau pupus, kemudian dia menanti di luar kamarnya. Malam telah mulai gelap dan lampu-lampu telah dinyalakan ketika terdengar derap kaki kuda dan seorang pelayan hotel berlari-lari menyampaikan warta bahwa ‘lihiap’ telah menanti di luar.

Cong San menutup pintu kamarnya dan dia berjalan keluar. Diam-diam ia merasa kagum juga melihat Cui Im yang berdandan serba indah, kelihatan cantik serta gagah perkasa, sedangkan bau yang harum semerbak menyambut hidungnya ketika wanita itu mendekat.

"Ahhh…, engkau baik sekali, Siangkong. Ternyata telah siap. Mari kita segera berangkat sebelum malam terlalu gelap."

"Berangkat ke mana? Di manakah pesanggrahan itu, Nona?"

"Tidak jauh kalau berkuda. Marilah, arak dan hidangan telah tersedia di sana! Siangkong duduk di depan atau di belakang?"

Muka Cong San menjadi merah sekali. Untung bahwa cahaya lampu di ruangan depan hotel itu juga merah sehingga warna mukanya tidak terlalu kentara, akan tetapi andai kata ketahuan juga, para pelayan yang berada di situ tidak ada yang berani mentertawainya.

"Maksudmu... kita berboncengan?" tanyanya, agak gugup karena memang selama hidup, meski usianya sudah dua puluh lima tahun, belum pernah dia berdekatan dengan wanita, apa lagi boncengan menunggang kuda!

Cui Im tertawa senang. Makin sukalah ia kepada pemuda yang masih ‘murni’ itu, dan ia berkata merdu,

"Maaf, Siangkong. Karena tergesa-gesa, saya hanya membawa seekor kuda. Terpaksa kita boncengan!"

"Ahh, mana saya berani, Nona? Biarlah Nona yang menunggang kuda dan aku berjalan kaki saja."

"Mana bisa begitu, Siangkong? Apa Siangkong merasa jijik duduk dekat dengan saya? Ataukah... Siangkong tidak sudi menerima undanganku?"

"Ehh..., ehh, bukan begitu, Nona. Engkau sudah begitu baik... Hanya, saya suka berjalan kaki dan... Saya senang sekali memenuhi undangan Nona..." Cong San berkata gagap.

"Nah, kalau begitu, kita harus boncengan. Jangan khawatir, kudaku ini kuat sekali, biar ditunggangi empat orang juga kuat. Tempat saya itu dekat kalau menunggang kuda, akan tetapi terlalu jauh kalau jalan kaki, di luar kota raja. Siangkong telah melakukan perjalanan jauh, tentu lelah kalau berjalan. Marilah, Siangkong suka di depan atau di belakang?"

Melihat wanita cantik itu bicara terang-terangan di depan banyak pengawal yang tentu ikut mendengarkan, Cong San khawatir kalau menjadi buah tertawaan. Maka dia lalu berkata, "Biarlah... aku di belakang saja, Nona."

Cui Im tertawa dan Cong San merasa betapa pipi dan telinganya panas. Ia sadar akan kebodohannya. Kalau dia di belakang, ahhh, seolah-olah dia merasa senang memangku tubuh yang montok itu. Akan tetapi bagaimana? Masa dia seorang laki-laki harus duduk di depan?

Akan tetapi Cui Im sudah meloncat ke atas punggung kuda, menggeser ke depan dan berkata, "Memang seharusnya Siangkong di belakang, karena saya yang tahu jalan dan saya yang mengendalikan kuda. Marilah, Siangkong!"

Yap Cong San menghampiri kuda dan kelihatan bingung dan malu. "Kuda begitu tinggi…"

"Meloncatlah!" kata Cui Im yang menganggap meloncat ke punggung kuda hanya seperti permainan kanak-kanak saja.

"Saya... Saya tidak bisa...!" Cong San berkata.

Para pelayan yang mendengar ini pun tidak dapat menyalahkan si pemuda karena bagi yang tidak ada kepandaian, apa lagi yang tak biasa menunggang kuda, meloncat setinggi itu bukanlah pekerjaan mudah. Lebih-lebih karena di atas punggung kuda itu sudah ada orangnya!

"Mari tanganmu, kubantu!" Cui Im berkata, kehilangan kesabaran karena dia sudah ingin cepat-cepat berdua dengan pemuda yang menggugah nafsunya ini.

Cong San mengulur tangan, ditangkap oleh tangan kecil halus itu dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke atas, ditarik oleh tenaga yang hebat bukan main. Tahu-tahu dia telah duduk di belakang tubuh nona itu.

"Berpeganglah kuat-kuat!" kata Cui Im dan kuda itu sudah meloncat ke depan. Cong San memegangi sela kuda dengan kaku, tubuhnya terguncang dan miring-miring.

"Ehhh, awas, engkau nanti jatuh. Berpeganglah padaku, peluk pinggangku," kata Cui Im yang membalapkan kudanya lebih cepat lagi dengan maksud supaya si pemuda menjadi ketakutan.

Benar saja, terpaksa Cong San merangkul pinggang yang ramping itu sehingga Cui Im diam-diam menjadi girang bukan main. Tubuhnya terasa panas semua oleh karena nafsu birahinya sudah berkobar!

Sela kuda itu legok bagian tengahnya. Karena Cui Im duduk di pinggir depan dan tubuh Cong San duduk di pinggir belakang tentu saja tubuh mereka merosot ke tengah hingga berada di bagian yang melekuk. Cong San yang jauh dari pada pengaruh nafsu, merasa malu dan canggung sekali. Tubuh bagian depannya terpaksa berhimpitan dengan tubuh belakang wanita itu yang lunak, halus dan hangat.

Beberapa kali Cui Im terkekeh genit dan sengaja menggeser makin ke belakang sehingga tubuh mereka merapat berhimpitan! Bahkan kadang-kadang, kalau kuda meloncat, tubuh wanita itu melambung dan terjatuh di atas paha Cong San sehingga tubuh wanita itu seperti dipangkuannya, sedangkan pinggang wanita itu dipeluknya!

Para penjaga pintu gerbang di barat tadinya menghadang, akan tetapi melihat Cui Im, mereka memberi hormat dan tertawa lalu membukakan pintu gerbang, membiarkan kuda wanita itu lewat tanpa gangguan sedikit pun. Sesudah keluar dari pintu gerbang, kuda langsung membalap dengan cepatnya.

Tidak lama kemudian, tibalah mereka di sebuah pondok merah yang indah dan diterangi lampu-lampu dengan teng berkembang. Tiga orang pelayan yang bertubuh tinggi besar segera menyambut, seorang menerima kuda, dan dua orang mengiringkan Cui Im dan Cong San memasuki pondok merah.

Cong San terbelalak kagum menyaksikan isi pondok yang ternyata sangat mewah dan serba indah. Di dalam pondok terdapat sebuah ruangan dan di situ tampak sebuah pintu terbuka, memperlihatkan sebuah kamar tidur yang mentereng dan bau harum semerbak keluar dari kamar tidur yang terbuka menantang itu. Di dalam ruangan terdapat sebuah meja dengan dua bangku dan hidangan yang masih hangat mengepul sudah tersedia di atas meja.

"Duduklah, Siangkong. Di sini kita dapat bicara dengan leluasa dan enak sambil makan minum."

Yap Cong San mengerutkan alisnya sebentar, akan tetapi dia mengangguk dan duduk di atas bangku, berhadapan dengan Cui Im. Dua orang pelayan yang kelihatan kuat dan sigap itu keluar dari ruangan setelah menutupkan pintu ruangan itu.

Sambil tersenyum-senyum Cui Im menuangkan arak ke dalam cawannya dan cawan di depan Cong San sambil berkata, "Siangkong, mari kita minum demi persahabatan kita!"

Cong San mengangkat cawannya dan minum araknya sekali teguk. Cui Im tertawa manis. "Siangkong sungguh amat baik, suka bersahabat dengan seorang kasar seperti saya."

"Ah, Nona. Sebenarnya sayalah yang harus malu. Nona adalah orang yang berpengaruh dan berkuasa, dan... hemm, melihat sikap semua orang, melihat cara Nona menunggang kuda dan tadi menarikku ke atas kuda, saya dapat menduga bahwa tentu Nona seorang yang memiliki kepandaian ilmu silat tinggi. Bahkan pengurus hotel menyebut Nona lihiap. Sedangkan saya hanya seorang kutu buku yang lemah, seorang pelajar yang canggung dan seorang sasatrawan yang miskin."

"Wah-wah-wah, Siangkong terlalu merendah diri!" Cui Im menuangkan lagi arak dari guci ke dalam cawan mereka. "Silakan minum demi... ehhh…, rasa suka di hatiku terhadap Siangkong!" Ia mengerling tajam penuh arti.

Merah wajah pemuda itu ketika mengangkat cawannya. "Terima kasih, Nona. Aku..., ehh, tidak berharga untuk rasa suka Nona yang gagah perkasa dan terhormat." Akan tetapi ia minum juga araknya.

Setelah meletakkan cawan kosong di atas meja Cong San berkata, "Semenjak dahulu, banyak saya membaca tentang sepak terjang seorang pendekar wanita. Sekarang dapat bertemu, bersahabat, bahkan bercakap-cakap dengan seorang pendekar wanita, betapa bangga dan gembira hati saya. Tentu Nona seorang pendekar yang kenamaan. Maukah Nona menceritakan tentang pengalaman Nona bertualang di dunia kang-ouw seperti yang saya baca di dalam buku-buku?"

Cui Im sudah mabuk berat, bukan mabuk arak melainkan mabuk nafsu birahinya sendiri. Ketika tadi berhimpitan pemuda ini tidak tergerak nafsunya, hal itu menandakan bahwa dia termasuk golongan laki-laki kuat. Dia harus dapat membangkitkan gairahnya, menarik perhatiannya, menggugah birahinya.

Dia tahu dari pengalamannya bahwa laki-laki yang tenang dan kuat seperti ini, bila sekali tergugah birahinya akan seperti laut yang tadinya tenang diamuk badai. Menghanyutkan dan menenggelamkan. Membayangkan hal ini, Cui Im semakin mabuk, maka mendengar pertanyaan Cong San, dia berniat untuk membanggakan diri agar pemuda itu tertarik.

"Yap Cong San, engkau belum mengenal siapakah wanita yang menjadi sahabatmu ini," katanya tersenyum sambil berdiri dan menarik kedua pundaknya ke belakang sehingga dadanya yang penuh membusung ke depan, pakaiannya yang ketat itu membuat bentuk tubuhnya yang ramping padat tampak nyata. "Aku terkenal di dunia kang-ouw dengan julukan Ang-kiam Bu-tek! Bukan julukan kosong karena pedang merahku belum pernah ada yang mampu menandinginya!" Lalu dia duduk kembali, matanya bersinar penuh bafsu birahi dan kegembiraan ketika melihat betapa pemuda itu memandangnya dengan mata bersinar-sinar.

"Wah, tentunya engkau hebat sekali, Nona! Aku belum pernah mendangar nama itu, akan tetapi aku dapat menduga bahwa engkau tentulah murid orang pandai, mungkin murid hwesio-hwesio di Siauw-li-pai yang kudengar merupakan orang-orang sakti yang memiliki kepandaian seperti dewa."

"Hi-hi-hi-hi-hik! Hwesio Siauw-lim-pai? Mereka itu bukan apa-apa! Thian Ti Hwesio, tokoh Siauw-lim-pai tingkat dua itu dengan mudah saja roboh dan tewas di ujung pedangku!"

"Aaaahhhhh…!" Pemuda itu berseru kaget.

"Tidak perlu kaget, sahabatku yang tampan! Aku mempunyai banyak musuh dan jangan kau kaget kalau andai kata malam ini ada musuhku yang datang menyerangku, karena pedangku akan siap melindungimu. Nah, katakanlah, wahai pemuda pujaan hati, apakah engkau suka kepadaku?"

Cong San menelan ludah, sukar menjawab dan dia hanya dapat menggangguk. Cui Im diam-diam merasa girang, akan tetapi dia masih belum puas benar karena sikap pemuda itu masih membayangkan bahwa dia belum terangsang.

"Mari kita makan hidangan ini!" Ia mempersilakan dan mereka lalu mulai makan.

Melihat sikap Cong San masih canggung dan belum kelihatan pemuda itu tertarik, Cui Im kembali menuangkan arak, akan tetapi kini dia menuangkan arak dari sebuah guci emas yang kecil dan begitu arak dituang ke dalam cawan, terciumlah bau yang harum dari arak yang berwarna merah itu.

"Minum, sahabatku. Mari kita minum demi... cinta kasih kita!"

Cong San mengangkat cawan dan minum habis arak itu. Cui Im tertawa genit, kemudian menawarkan masakan-masakan lezat, diterima oleh Cong San yang tidak banyak bicara lagi.

Arak yang diminum Cong San adalah arak istimewa, arak buatan Cui Im sendiri yang mengandung obat perangsang yang amat kuat, yaitu Ai-ang-ciu. Selama ini belum pernah Cui Im mempergunakan arak perangsang ini karena setiap orang pria yang di bawanya ke pondok merah itu, tanpa perlu minum obat perangsang pun sudah terangsang hebat oleh keindahan wajah dan tubuh Cui Im. Sekali ini terpaksa dia menggunakan araknya yang lihai karena melihat bahwa Cong San benar-benar merupakan seorang pemuda istimewa yang sukar sekali dibangkitkan gairahnya.

Mereka sudah kenyang makan dan arak di guci sudah habis. Pemuda itu sudah minum secawan penuh Ai-ang-ciu dan belasan cawan arak biasa, arak tua dan harum yang keras. Akan tetapi masih kelihatan ‘dingin’ saja. Hal ini membuat Cui Im yang sudah tidak kuat menahan gelora nafsunya menjadi penasaran sekali.

Ia bangkit, memindahkan bangkunya ke sebelah Cong San, duduk merapatkan tubuhnya dan berbisik, "Cong San... ahh, Cong San... belum tergerak jugakah hatimu...? Aku suka sekali padamu..."

Dalam gairah nafsunya, Cui Im memegang tangan kanan Cong San, mempermainkan jari-jari tangan pemuda itu yang halus seperti jari tangan wanita, jari tangan yang biasa dimiliki kaum sastrawan, lalu menciumi tangan itu. Melihat pemuda itu masih saja dingin, Cui Im lalu membawa tangan itu ke dadanya, dan dia mencondongkan tubuh ke depan mencium pipi Cong San. Karena gerakan ini, sebelah kakinya bergeser ke depan dan kaki itu menginjak sesuatu yang basah di lantai bawah meja. Cui Im melepaskan pipi yang diciumnya, melongok ke bawah meja.

"Aihhh...!" Ia menjerit lirih.

Tiba-tiba tubuhnya mencelat ke belakang, bangku yang didudukinya terguling sehingga kini tidak menghalangi lagi lantai di bawah meja yang ternyata basah oleh arak!

Pada saat itu pula berkelebat bayangan putih dan terdengar suara bentakan halus penuh kemarahan dan amat berpengaruh, "Cui Im, akhirnya kita dapat berhadapan juga!"

Cui Im cepat memutar tubuhnya dan ia tidak kaget melihat Keng Hong telah berdiri di situ, bahkan dia lantas tertawa terkekeh, kemudian mencabut pedangnya ke arah Keng Hong sambil membentak,

"Cia Keng Hong! Karena mendengar kau masih berkeliaran di sekitar sini, aku memang sengaja datang untuk memancingmu keluar dari tempat sembunyimu. Sekarang kau bisa masuk ke pondok ini, akan tetapi jangan harap akan dapat keluar sebelum meninggalkan nyawa!"

Keng Hong tersenyum, mengerling ke arah pemuda tampan yang kini mundur-mundur ketakutan dan berdiri di pojok ruangan. "Sobat, seorang terpelajar seperti engkau tidak semestinya dapat terpikat oleh wanita iblis ini!" Kemudian Keng Hong memandang Cui Im dengan sinar mata tajam penuh teguran, "Bhe Cui Im, agaknya setelah engkau mati baru engkau akan menghentikan semua perbuatanmu yang selalu berlandaskan nafsu. Semua perbuatanmu yang busuk! Engkau menjatuhkan fitnah atas diri Biauw Eng, menipuku dan berusaha membunuhku di Kiam-kok-san, membunuh gurumu sendiri, membunuh banyak tokoh kang-ouw yang tidak berdosa, benar-benar membuktikan bahwa engkau bukanlah manusia, melainkan iblis! Akan tetapi, masih belum terlambat bagimu untuk sadar dan bertobat."

"He-he-heh-heh, Keng Hong manusia sombong! Engkau memaki aku jahat seperti iblis, apakah engkau sendiri suci dan bersih seperti dewa? Dulu aku cinta padamu dan telah bersumpah untuk membasmi semua wanita yang berani mencintamu. Biauw Eng ternyata cinta kepadamu! Perbuatanku itu ada dasarnya, yaitu dasar cinta padamu. Apakah kau sendiri tidak sadar bahwa engkau adalah seorang yang tidak mengenal cinta dan budi? Lupakah engkau betapa dulu kita pernah bersama-sama menikmati cinta kita? Kemudian engkau bahkan menghinaku! Dan aku membunuhi tokoh-tokoh besar, apa hubungannya denganmu? Kalau aku tidak membunuh mereka, mana bisa aku disebut Ang-kiam Bu-tek, dan apa gunanya pula susah payah mempelajari semua ilmu, hidup tersiksa selama lima tahun di dalam neraka bersama seorang pria macam engkau yang tiada ubahnya sebuah arca batu? Huh, engkau sekarang mau apa, Keng Hong?"

"Cui Im, mengingat bahwa engkau, biar pun secara tidak resmi adalah murid guruku juga, biarlah aku mengampunimu asal engkau suka memenuhi dua syaratku!"

"Hi-hi-hik! Keng Hong, engkau benar-benar sombong bukan main. Akan tetapi biarlah aku mendengar dulu apa syaratmu itu?"

"Pertama, sekarang juga engkau harus mengembalikan semua pusaka peninggalan suhu. Aku tidak menginginkan benda-benda itu, akan tetapi benda-benda itu menjadi hak milik orang-orang dan partai-partai persilatan lain, tidak boleh kau rampas dan curi begitu saja. Ke dua, mulai detik ini engkau harus bertobat dan menghentikan perbuatan-perbuatanmu yang jahat. Kurasa, dengan bekerja di istana, apa lagi di bawah pengawasan pembesar- pembesar sakti bijaksana seperti The-taijin, engkau akan dapat menjadi seorang manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa."

Cui Im membanting kakinya dan mengelebatkan pedangnya hingga tampak sinar merah, "Keng Hong, syarat-syaratmu adalah syarat yang hendak menang sendiri. Kau katakan aku merampas dan mencuri pedang. Hendak kutanya, bagaimana pusaka-pusaka milik Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain bisa berada di tangan Sin-jiu Kiam-ong gurumu itu? Bukankah dia juga dahulu merampas dan mencurinya? Kau bilang sendiri bahwa aku juga murid Sin-jiu Kiam-ong, nah, jika benar begitu, akulah murid yang berbakti dan setia, melanjutkan cita-cita dan perbuatan guruku. Sebaliknya engkau hendak mengembalikan pusaka-pusaka itu kepada pemilik-pemiliknya, berarti kau hendak menentang perbuatan mendiang guru sendiri! Tidak, aku tidak akan menyerahkan pusaka-pusaka itu, terutama sekali tidak kepada engkau! Dan soal ke dua, kau mengatakan aku melakukan perbuatan jahat! Yang mana? Apakah bersenang-senang dengan dia itu kau anggap jahat? Bagai mana dengan engkau sendiri dengan Sim Ciang Bi gadis Hoa-san-pai, dengan Kim Bwee Ceng dan Tang Swat Si murid-murid Kong-thong-pai itu?"

"Cui Im, perempuan iblis! Engkau yang membunuh mereka, masih berani menyebut nama mereka?"

"Engkau mau apa?" Cui Im menantang dan mengejek.

"Kalau begitu terpaksa aku akan membunuhmu!" bentak Keng Hong yang sudah marah sekali.

Cui Im mengeluarkan suara tawa melengking tinggi sambil memutar pedangnya sehingga sinar merah bergulung-gulung menyilaukan mata. "Engkau sudah kutunggu-tunggu!"

Agaknya suara ketawa melengking itu dijadikan tanda rahasia, karena tiba-tiba berkelebat bayangan orang dari jendela dan Siauw Lek bersama Pak-san Kwi-ong sudah berada di ruangan itu.

Keng Hong tidak kaget melihat ini. Walau pun dia tidak tahu bahwa dia dipancing, namun dia sudah menduga bahwa kalau Cui Im berani muncul di malam hari itu, tentu wanita itu mempunyai andalan dan ternyata Cui Im diam-diam membawa dua orang lihai ini untuk mengeroyoknya.

"Bagus! Pak-san Kwi-ong dan Kim-lian Jai-hwa-ong memang bukan manusia baik-baik. Membunuh mereka sangat berjasa bagi manusia!" kata Keng Hong sambil mengeluarkan Siang-bhok-kiam dengan gerakan tenang.

"Sombong...!" teriak Siauw Lek.

Dan begitu tangannya bergerak, sinar hitam menyambar ke arah Keng Hong dan ternyata laki-laki ini sudah membacokkan pedang Hek-liong-kiam ke arah kepala Keng Hong dari samping. Tanpa menoleh Keng Hong mengangkat Pedang Kayu Harum di tangannya.

"Cringggg…!"

Hek-liong-kiam tergetar hebat sehingga hampir saja tidak bisa dipertahankan oleh Siauw Lek. Cepat dia memutar pedangnya sehingga getaran itu terhenti, barulah dia melangkah mundur.

Pak-san Kwi-ong sudah meloloskan senjatanya pula, yaitu rantai panjang yang di kedua ujungnya bergantung dua buah tengkorak. Sambil memutar-mutar tengkorak pada ujung rantai, Pak-san Kwi-ong melangkah miring, demikian pula Cui Im menggerakkan kakinya sehingga Keng Hong terkurung oleh tiga orang lawannya.

Dengan kedua tangan gemetar Yap Cong San yang berdiri di pojok ruangan menuangkan isi guci arak ke dalam cawan di tangan kirinya. Entah kapan dia mengambil guci beserta cawan itu, mungkin tadi dia meninggalkan meja dengan kedua tangan masih memegang guci cawan, dan kini menyaksikan ketegangan di hadapan mata yang membuat kakinya seperti terpaku di lantai, dia ingin menenangkan hatinya dengan minum arak!

Benar-benar sial bagi pemuda sastrawan ini. Dia mundur-mundur sehingga punggungnya menempel daun pintu untuk lebih menjauhkan diri dari mereka yang hendak bertanding, akan tetapi baru saja dia menuangkan arak, tiba-tiba daun pintu terbuka dari luar.

Daun pintu itu menumbuk punggung Cong San, membuat pemuda ini kaget dan hampir terperosok ke depan. Ia terhuyung-huyung dan menoleh marah saking kagetnya.

Ternyata yang menerjang masuk adalah tiga orang pelayan yang bertubuh tinggi besar dan bertenaga kuat yang tadi melayani Cui Im dan dia. Akan tetapi tiga orang pelayan itu kini memegang golok besar dan sikap mereka bukan seperti pelayan lagi, melainkan lebih mirip algojo, juga gerakan mereka tangkas dan kuat. Memang tiga orang ini adalah tiga orang pengawal istana yang berhasil ‘dikait’ oleh Cui Im untuk membantunya menghadapi Keng Hong malam itu.

"Matamu kau taruh di mana?" Cong San membentak marah. "Membuka daun pintu tidak melihat-lihat lebih dulu!"

"Ehh, ohh... apa kau bilang?!" Seorang di antara pengawal itu balas membentak.

Dalam keadaan seperti itu mereka bukanlah pelayan-pelayan lagi, akan tetapi pengawal yang galak, apa lagi mendengar betapa ucapan pemuda itu tidak sehalus tadi, bahkan membentak kasar.

Cong San yang masih memegang guci arak di tangan kanan, cawan penuh arak di tangan kiri, berkata, "Aku bilang kalian ini tiga ekor anjing gendut yang matanya buta dan tidak tahu aturan, masuk tanpa permisi dan menubruk-nubruk seperti anjing gila!"

Cui Im juga mendengar suara Cong San ini. Sedetik dia merasa heran dan teringat pula dengan lantai di bawah meja. Akan tetapi karena ia sedang siap mengeroyok Keng Hong yang lihai, maka ia tak sempat menengok. Ada pun tiga orang pengawal yang mendengar maki-makian ini menjadi marah bukan main.

"Kutu buku busuk, mulutmu lancang sekali!" Teriak mereka dan ketiganya berlomba maju untuk memukul Cong San.

Sungguh sangat mengherankan bila mana orang menyaksikan perubahan sikap pemuda sastrawan itu. Kalau tadi dia sangat penakut, bahkan meloncat ke punggung kuda pun merasa ngeri, kini menghadapi ancaman tiga orang pengawal tinggi besar yang marah itu kelihatan tenang saja. Juga perubahan sikapnya yang tadi lunak dan halus menjadi kasar terasa amat aneh.

Melihat tiga orang itu seakan berlomba-lomba menghampirinya, entah hendak memukul atau membacok dengan golok mereka. Cong San tenang-tenang saja, dan setelah ketiga orang itu mendekat, dia hanya menggerakkan kedua tangan dan mengangkat kaki kiri.

Mungkin dia tidak bergerak, atau mungkin juga bergerak akan tetapi tentu cepat sekali karena sama sekali tidak diketahui tiga orang itu. Akan tetapi, secawan arak telah muncrat dan menyambar muka pengawal pertama yang menjerit karena muka dan kedua matanya seperti disiram air mendidih, kemudian pada setengah detik selanjutnya, ujung sepatunya mencium dada, tepat mengenai bagian di mana jantung berada.

Pengawal itu terguling dengan jantung pecah oleh tenaga yang keluar dari tendangan itu. Pada detik berikutnya cawan dan guci melayang, entah mana yang lebih dulu menyambar kepala dua orang pengawal yang lain dan…

“Prok! Prok!” hanya terdengar suara itu dan robohlah kedua tubuh pengawal itu.
Dalam waktu tidak ada setengah menit, tiga orang pengawal itu telah roboh di depan kaki Cong San dalam keadaan tidak bernyawa lagi!

Cui Im tidak melihat ini semua karena dia berdiri membelakangi pemuda itu. Akan tetapi dia mendengar jerit tiga orang pengawalnya dan mendengar suara gaduh ketika mereka roboh. Dengan sedikit memutar kepala dan mengerling Cui Im dapat melihat ke belakang dan alangkah kagetnya melihat betapa ketiga orang pengawal itu sudah mati, sedangkan Cong San masih berdiri di sudut sambil memangku kedua lengan di atas dada!

Keng Hong tertawa. Dia berdiri menghadap ke arah Cong San maka dia dapat melihat jelas, "Ha-ha-ha-ha! Alangkah lucunya! Batu baja disangka arang lapuk. Aku bermata dua akan tetapi seperti lamur! Sobat, maafkan aku yang tidak mengenal orang gagah. Akan tetapi dalam urusan pribadi ini harap engkau tidak ikut mencampuri karena aku juga tidak mengharapkan bantuan!"

"Cia-taihiap, lama aku mendengar nama besarmu, beruntung aku dapat bersua malam ini! Tidak ada bantu membantu karena aku pun mempunyai perhitungan besar dengan iblis betina cabul tak bermalu itu. Aku Yap Cong San ingin membalas kematian suheng Thian Ti Hwesio!"

Keng Hong dan Cui Im menjadi heran sekali. Mereka mengenal Thian Ti Hwesio, tokoh tingkat dua dari Siauw-lim-pai yang terbunuh oleh Cui Im. Hwesio itu sudah tua, hampir tujuh puluh tahun usianya dan kabarnya murid ketua Siauw-lim-pai sendiri. Tapi mengapa mempunyai sute yang begini muda?

Akan tetapi Cui Im yang merasa kecelik dan tertipu, sudah menjadi marah sekali dan dia pun maklum bahwa kalau tidak lekas-lekas turun tangan, rencananya pasti gagal. Dia lalu melengking nyaring dan menggerakkan pedang merahnya menyerang Keng Hong.

Gerakannya ini cepat disusul oleh Siauw Lek yang menggerakkan pedang hitamnya, dan diselingi menyambarnya dua buah tengkorak di ujung rantai Pak-san Kwi-ong! Keng Hong bersikap tenang akan tetapi dia sama sekali tidak berani memandang rendah. Dia maklum bahwa Cui Im merupakan lawan yang amat tangguh dan banyak mengenal ilmu silatnya, bahkan mereka belajar bersama di dalam goa di bawah Kiam-kok-san.

Juga dia maklum akan kelihaian Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek yang kabarnya murid tunggal Go-bi Chit-kwi. Tentu saja dia sudah mengenal pula kehebatan ilmu silat Pak-san Kwi-ong sebagai salah seorang di antara Bu-tek Su-kwi, empat orang datuk hitam yang menggemparkan dunia persilatan.

Dia dikeroyok tiga orang yang berilmu tinggi, maka pemuda sakti ini cepat menggerakkan Siang-bhok-kiam dan pertandingan yang amat seru terjadilah di dalam pondok merah di mana biasanya hanya terjadi pertandingan yang lain lagi sifatnya!

Yap Cong San masih berdiri tenang sambil menonton pertandingan yang dahsyat itu. Dia maklum orang apa adanya Cia Keng Hong yang sudah dia dengar namanya, murid Sin-jiu Kiam-ong yang amat lihai. Dan dia pun dapat menyelami watak seorang gagah seperti itu, maka dia tidak berani turun tangan membantu begitu saja, khawatir kalau menyinggung harga dirinya.

Dengan pandang mata tajam penuh selidik dan penilaian, dia menjadi kagum bukan main kepada Keng Hong. Memang pemuda ini bukan memiliki nama kosong, pikirnya, bahkan tidak lumrah.

Ia pun terkejut menyaksikan gerakan-gerakan tiga orang pengeroyok yang amat dahsyat, terutama sekali pedang merah yang digerakkan Cui Im. Maklumlah dia bahwa dia sendiri bukan tandingan wanita cabul itu. Pedang merahnya terlalu hebat dan bila yang dikeroyok bukan seorang pemuda sakti seperti Keng Hong yang memegang Siang-bhok-kiam, tentu kiranya tidak dapat bertahan lama.

Cong San juga kagum menyaksikan gerakan dahsyat Pak-san Kwi-ong. Dia pun sudah mendengar nama besar raksasa hitam ini, seorang datuk hitam dari utara, tokoh besar golongan sesat. Dan dia harus mengaku pula di dalam hatinya bahwa untuk menangkan kakek hitam itu, harapannya tipis sekali.

Pengeroyok ke tiga tidak dikenalnya akan tetapi karena dia telah melakukan penyelidikan sebelum memasuki kota raja, dia dapat menduga bahwa laki-laki tampan pesolek yang memegang pedang hitam itu tentulah Kiam-lian Jai-hwa-ong adanya! Di antara tiga orang pengeroyok kiranya si penjahat cabul ini yang paling rendah tingkatnya. Namun serendah-rendahnya, Cong San masih tidak berani menentukan bahwa dia pasti akan menang bila menghadapinya. Benar-benar Cia Keng Hong dikeroyok oleh tiga orang lawan yang amat tinggi kepandaiannya, dan hal ini membuat Cong San makin kagum terhadap Keng Hong.

Keng Hong maklum bahwa dia sudah dikurung dan jalan keluar sudah ditutup oleh tiga orang pengeroyoknya. Hal ini berarti bahwa memang Cui Im sudah melakukan rencana matang untuk membunuhnya karena dia dianggap penghalang besar dalam hidup wanita itu. Biar pun ruangan itu cukup luas, akan tetapi kalau makin banyak datang anak buah Cui Im, akan sukar baginya menyelamatkan diri. Sedangkan untuk merobohkan tiga orang ini dalam singkat saja merupakan hal yang tak mudah.

Keng Hong memutar pedangnya, sekaligus dia menangkis sambaran senjata ketiga orang lawannya, lalu melompat ke kanan, kakinya menyambar meja yang mencelat ke depan. Mangkok-mangkok dan sumpit yang tadi digunakan oleh Cui Im dan Cong San, dengan cepat sekali menyambar ke arah tiga orang pengeroyok itu.

Tentu saja mereka bertiga menganggap serangan meja seisinya itu bukan apa-apa. Akan tetapi karena ternyata mangkok-mangkok itu masih mengandung banyak kuah, repot juga mereka mengelak sambil berloncatan, bukan takut terluka melainkan takut pakaian atau tubuh mereka menjadi kotor disiram kuah masakan!

Kesempatan itu dipergunakan Keng Hong untuk mencelat ke depan dan Siang-bhok-kiam pada tangannya bergerak seperti angin badai menyambar ke arah tiga orang itu. Hebat bukan main serangan Pedang Kayu Harum ini dan memang Keng Hong telah menyerang dengan jurus dari Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut ciptaan gurunya. Getaran pedangnya terasa di seluruh ruangan, bahkan terasa pula oleh Yap Cong Sang yang berdiri di sudut sehingga pemuda ini tak kuasa menahan seruan pujiannya.

"Bagus sekali kiam-sut itu!"

Tiga orang pengeroyok itu pun terkejut karena tahu-tahu ada gulungan cahaya kehijauan yang sangat harum menyambar mereka dari angkasa. Ketiganya sudah mengenal ilmu pedang itu, maka cepat mereka menangkis dengan senjata masing-masing.

"Cring-cring-cringgggg...!"

Siauw Lek terhuyung ke belakang. Pak-san Kwi-ong menggereng marah melihat betapa bagian dagu sebuah tengkoraknya semplak. Hanya Cui Im yang dapat menangkis dengan baik dan kini wanita itu malah sudah membalas dengan serangan kilat sehingga tubuhnya lenyap dan yang tampak hanya sinar merah pedangnya meluncur bagaikan anak panah berapi. Serangan itu disusul Pak-san Kwi-ong yang marah dan Siauw Lek yang sangat penasaran. Kembali Keng Hong dikurung oleh tiga orang yang membentuk barisan segi tiga.

Yap Cong San mengangguk-angguk. Dia sangsi apakah di dunia ini ada tokoh kang-ouw yang ilmu kepandaiannya dapat mengatasi Keng Hong. Dia sungguh-sungguh kagum dan mengertilah dia mengapa dahulu nama Sin-jiu Kiam-ong menggetarkan langit dan bumi. Kiranya memang luar biasa lihainya dan hal itu dapat dilihat dari kelihaian muridnya.

Dia tidak khawatir kalau Keng Hong akan kalah menghadapi tiga orang itu, sungguh pun dia tahu pula bahwa bagi Keng Hong pun tidak akan mudah merobohkan mereka. Asal tiga orang itu tidak mendapat bantuan lagi, dia percaya biar pun agak lama akhirnya murid Sin-jiu Kiam-ong akan menang.

Tiba-tiba Cong San mengeluarkan suara menyumpah marah ketika dia melihat sesuatu berkilauan menyambar masuk lewat jendela. Maklumlah dia bahwa yang menyambar itu adalah senjata-senjata rahasia yang amat hebat. Cepat dia merogoh bajunya, tangannya bergerak pula dan beberapa senjata rahasia touw-kut-chi (uang logam penembus tulang) melayang dan memapaki sinar-sinar putih itu.

Terdengar suara nyaring dan beberapa batang pisau terbang itu runtuh ke lantai bersama uang logam yang dilepaskan Cong San. Pemuda ini terkejut juga melihat betapa senjata rahasia uang logamnya telah pecah menjadi berkeping-keping. Hal ini menandakan kalau si pelempar pisau bukanlah orang sembarangan pula!

Pelempar pisau terbang itu bukan lain adalah Kemutani. Seperti sudah direncanakan Cui Im, Kemutani membantunya dan karena ilmu silat Kemutani adalah yang paling rendah di antara mereka semua, maka Kemutani disuruh membantunya dengan sambitan-sambitan pisau terbangnya!

Dalam ilmu ini Kemutani memang merupakan seorang ahli. Sungguh pun empat orang itu sedang bertanding dengan seru, dia masih sanggup untuk menyerang Keng Hong dengan pisau-pisaunya tanpa membahayakan teman-temannya.

Ketika melihat betapa lemparan pertama dari pisaunya runtuh di tengah jalan, Kemutani terkejut dan marah sekali. Siapa yang berani main-main dengan dia? Dia lalu menerjang masuk melalui pintu untuk dapat menyerang dari luar pondok, melalui jendela. Karena dia tergesa-gesa masuk, dia tidak melihat Cong San yang berdiri di sudut dekat pintu.

"He, siapa kau dan mau apa?" Cong San menegur dengan suara dibuat-buat.

Kemutani membalikkan tubuhnya dan begitu melihat Cong San, dia meludah! Tadi ketika masih berada di tempat persembunyian, dia menjadi sangat cemburu dan iri hati melihat betapa pemuda ini dicumbu oleh Cui Im.

"Kau...? Phuah, cacing tanah tiada guna! Kenapa engkau belum menggelinding pergi dari sini? Menghalangi orang bertempur saja!" sambil berkata demikian, Kemutani meludah lagi, kini sengaja meludah di dekat kaki Cong San dengan sikap menghina sekali.

Dia membalikkan tubuhnya, dan tangannya meraba-raba pinggangnya di mana dipasang banyak pisau-pisau kecil yang sangat tajam dan runcing. Itulah pisau-pisau terbangnya, yaitu semacam pisau belati yang di samping dapat dia pergunakan sebagai senjata dalam pertempuran, juga dapat dia lemparkan bagaikan anak panah. Karena senjatanya inilah Kemutani terkenal dengan julukan Hui-to (Si Golok Terbang) dan dipilih menjadi pegawai rahasia kaisar.

"Eeeiiit-eeeiiit..., nanti dulu. Mengapa tergesa-gesa?"

Merasa betapa lengannya dipegang orang dari belakang, Kemutani membalikkan tubuh dan betapa heran dan marahnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa yang memegang lengannya adalah si sastrawan lemah yang dimakinya cacing tanah itu! Matanya melotot, mukanya yang pucat menjadi agak merah dan dia membentak dengan suara serak dan dengan ludah berhamburan.

"Mau apa...? Perlu apa kamu...?!"

"Engkau belum membayar!" Cong San menjawab sambil menjauhkan mukanya agar tidak kehujanan air ludah.

"Bayar? Bayar apa? Gilakah kamu?"

"Bayar karena kau meludah sembarangan. Bayar pajak, dan inilah bayarannya!"

"Plak-plak-plak...!"

Dua pipi Kemutani telah ditampar oleh telapak tangan Cong San. Keras sekali tamparan itu sehingga Kemutani merasa dunia seperti melambung-lambung dan bintang-bintang di langit berjatuhan dan menari-nari di depan kedua matanya. Akan tetapi rasa heran, kaget dan marah membuat dia cepat dapat menguasai dirinya kembali. Ia merasa terlalu heran melihat sastrawan lemah itu berani menamparnya!

"Kau... kau yang menamparku tadi?"

Cong San mengangguk, bertolak pinggang. "Apakah mau tambah?"

"Setan demit keparat!" Kemutani memaki-maki dalam bahasa Mongol dan dua sinar putih menyambar ketika tahu-tahu kedua tangannya yang sudah memegang sebuah belati itu menyambar. Sebuah menyambar leher dan sebuah lagi menyambar perut.

"Hemmm, bagus juga!" Cong San cepat mengelak dengan melengkungkan dan menarik tubuh ke belakang.

Diam-diam dia merasa terkejut sekali. Orang ini tidak hanya lihai melempar pisau, akan tetapi serangannya ini pun hebat. Ia tidak boleh main-main dan sekali tangan pemuda ini bergerak, dia telah mencabut keluar sebuah pensil putih di tangan kiri dan sebatang lagi pensil hitam di tangan kanan. Inilah senjatanya yang amat lihai yang disebut Im-yang-pit.

Keistimewaan kedua senjata pemuda murid ketua Siauw-lim-pai ini adalah bahwa selain Im-yang-pit dapat dipakai menotok jalan-jalan darah terpenting juga dapat dipakai sebagai alat tulis yang cocok pula dengan keahliannya, yaitu menulis sajak pasangan dan melukis! Juga senjata rahasia uang logam yang digunakan oleh Yap Cong San adalah uang logam sebetulnya sehingga selain dipakai untuk menyerang lawan, juga bisa dipakai untuk jajan!

Yap Cong San merupakan murid terbaru dan tersayang dari Tiong Pek Hoasiang, ketua Siauw-lim-pai yang sudah amat tua dan amat sakti itu. Sebetulnya, setelah menyerahkan urusan-urusan dunia yang menyangkut Siauw-lim-pai kepada dua orang muridnya, yaitu murid-murid kepala Thian Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio, ketua Siauw-lim-pai yang tua ini sudah mengundurkan diri dan hanya tekun bertapa.

Akan tetapi, pada suatu hari Thian Ti Hwesio yang baru saja pulang dari tugas keluar, membawa seorang bocah laki-laki menghadap ketua yang menjadi gurunya itu kemudian menceritakan bahwa bocah itu terpaksa dia bawa ke kelenteng Siauw-lim-pai oleh karena seluruh keluarganya sudah terbunuh ketika terjadi perang saudara.

Melihat anak itu yang bukan lain adalah Yap Cong San, hati kakek tua itu merasa terharu dan suka sekali. Maka, selain Cong San diterima menjadi kacung bukan calon hwesio, juga dia malah menjadi kacung pribadi Tiong Pek Hosiang dan akhirnya malah diangkat menjadi murid terakhir.

Cong San amat cerdik, tidak saja dalam ilmu silat, tetapi dia juga pandai sekali dalam ilmu sastra sehingga ketua Siauw-lim-pai semakin menyayanginya. Hanya ada satu hal yang mengecewakan hati Tiong Pek Hosiang, yaitu bahwa muridnya ini tidak menjadi hwesio.

Betapa pun juga, bakat besar yang ada pada diri Cong San membuat Tiong Pek Hosiang tiidak segan-segan untuk mencurahkan seluruh perhatiannya serta mengajarkan semua ilmunya kepada pemuda itu. Apa lagi karena Cong San sangat tekun belajar sehingga sampai berusia dua puluh lima tahun, pemuda itu tidak pernah keluar kuil, bahkan belum pernah bermalas-malasan.

Kalau tidak membaca kitab-kitab memperdalam ilmu kesusastraan, tentu dia berlatih silat! Tidaklah mengherankan kalau dengan bakat besar, ditambah ketekunan serta bimbingan seorang guru sakti, Cong San mampu menguasai ilmu-ilmu Siauw-li-pai yang tinggi-tinggi sehingga tingkat kepandaiannya malah melampaui tingkat kedua orang suheng-nya, yaitu Thian Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio!

Baru sesudah Thian Ti Hwesio terbunuh oleh Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, pemuda ini bersumpah untuk membalas dendam dan mohon kepada gurunya untuk mengijinkannya mencari pembunuh suheng-nya. Setelah Tiong Pek Hosiang mengijinkan, pemuda itu pun turun gunung, mulai dengan perantauannya mencari jejak Ang-kiam Bu-tek yang akhirnya membawanya ke kota raja. Biar pun dia telah memiliki ilmu kepandaian silat tinggi, namun Cong San tetap berpakaian sebagai seorang pelajar dan tidak menonjolkan kepandaian silatnya sehingga ahli-ahli silat seperti Cui Im, bahkan Keng Hong sendiri sampai tidak dapat mengenalnya.

Ketika dia diserang oleh Kemutani, Cong San maklum bahwa untuk menghadapi lawan yang bersenjata dua batang pisau lihai itu, tak mungkin dia akan menang jika bertangan kosong. Diam-diam dia juga merasa terkejut mengapa malam ini di tempat itu, ketika hatinya sudah girang bisa menemukan pembunuh suheng-nya, dia harus bertemu dengan orang-orang yang berilmu tinggi. Bahkan orang bermuka pucat yang menyerangnya ini pun amatlah lihainya, sama sekali bukan seperti tiga orang pengawal yang dirobohkannya tadi.

Pertandingan antara Kemutani dengan Yap Cong San segera berlangsung seru. Senjata mereka sama sepasangnya, juga sama kecilnya, dan karena senjata kecil membutuhkan kecepatan besar, mereka bergerak amat cepat seolah-olah bayangan mereka saling belit menjadi satu.

Kemutani bertanding sambil memaki-maki saking marah dan saking penasaran hatinya mendapat kenyataan bahwa pemuda yang tadinya dibelai dan dipermainkan oleh Cui Im itu ternyata adalah seorang lihai dan seorang musuh pula. Ia merasa penasaran karena ternyata orang yang dianggap lemah ini merupakan lawan tangguh, dan lebih penasaran hatinya karena halangan Cong San ini membuat dia tidak sempat membantu Cui Im untuk menghadapi Keng Hong.

Seperti juga Cong San yang perlahan-lahan dapat mendesak lawannya, Keng Hong yang dikeroyok tiga juga mulai mendesak ketiga orang lawan lihainya dengan mempergunakan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun. Ilmu silat ini bisa dia mainkan dengan pedang, bahkan dipetik inti sarinya lantas digabung dengan Siang-bhok Kiam-sut yang lihai sehingga tiga orang lawannya menjadi bingung.

Cui Im yang lebih mengenal ilmu-ilmu Keng Hong dan yang memiliki kepandaian paling tinggi, di samping ilmu pedangnya sendiri yang amat tangguh, juga menjadi amat bingung menyaksikan gerakan-gerakan tubuh Keng Hong. Hanya Cui Im yang berani mengadu tenaga sinkang lewat pedang melawan Keng Hong, karena gadis ini selain mempunyai sinkang kuat, juga dapat menghindarkan diri dari tenaga sedotan yang juga dipergunakan Keng Hong dalam menghadapi para pengeroyoknya.

Beberapa kali sudah Pak-san Kwi-ong dan Siauw Lek kena disedot sinkang mereka oleh Keng Hong pada saat senjata mereka saling bertemu. Senjata kedua orang pengeroyok ini melekat pada Siang-bhok-kiam dan tenaga sinkang mereka membanjir melalui telapak tangan yang memegang senjata. Untung bahwa Cui Im bergerak cepat dan menggunakan pedangnya untuk menyerang lengan Keng Hong sehingga pemuda ini terpaksa segera membebaskan senjata lawan dari tempelan pedangnya untuk menghadapi Cui Im.

Dan karena beberapa kali mengalami kekagetan, Pak-san Kwi-ong dan Siauw Lek yang berilmu tinggi menjadi hati-hati sekali, tak lagi berani mengadu senjata secara berterang. Hal ini membuat Keng Hong mendapat angin dan dia terus mendesak serta mengarahkan desakannya terutama kepada Cui Im. Karena gadis ini menolak untuk mengembalikan pusaka-pusaka itu, terpaksa dia akan membunuh Cui Im dan baru kemudian menyelidiki di mana adanya pusaka yang yang dicuri wanita itu.

Hebat bukan main desakan Keng Hong. Suatu saat, sinar hijau dari pedangnya meluncur ke arah tubuh Cui Im, dan semua tenaga dikerahkan menjadi satu. Cui Im terkejut bukan main dan berusaha menangkis beberapa kali dengan pedang merahnya, akan tetapi sinar hijau itu seperti seekor naga sakti mengamuk, tiap kali ditangkis menyerang terus, makin lama makin cepat dan kuat.

Melihat ini, Pak-san Kwi-ong dan Siauw Lek berseru keras lantas menerjang Keng Hong yang sedang mendesak Cui Im itu dari belakang. Tiba-tiba saja Keng Hong membalikkan tubuh, sebelah lututnya ditekuk dan tangan kirinya menghantam ke depan dengan telapak tangan terbuka.

"Wirrrrrrrr...!"

Hawa pukulan sinkang yang keluar dari telapak tangan kiri Keng Hong ini bukan main kuatnya sehingga Pak-san Kwi-ong sendiri sampai terhuyung ke belakang, bahkan Siauw Lek terdorong dan roboh bergulingan. Sebelum Siauw Lek mampu bangkit kembali, Keng Hong sudah mencelat lagi sambil membuat poksai tiga kali, kemudian dari atas tubuhnya didahului sinar hijau pedang Siang-bhok-kiam, menusuk ke bawah dan meluncur ke arah kepala Cui Im.

"Crinnnnggggg...!"

Cui Im yang menangkis langsung terdorong, kemudian terjengkang dan bergulingan untuk menyelamatkan diri dari sinar hijau yang hendak menyambarnya.

"Sret-srettt-sretttt...!"

Keng Hong sudah mengenal Cui Im dan tahu bahwa selain lihai ilmu silatnya, wanita ini juga curang sekali dan sangat berbahaya jika sudah terdesak, karena senjata rahasianya amat keji. Karena itu, ketika tadi Cui Im bergulingan, dia mengejar dengan waspada.

Tepat seperti dugaannya, sinar-sinar merah kecil dari jarum-jarum merah beracun yang disambitkan Cui Im sambil bergulingan segera menyambar. Keng Hong menggerakkan pedang Siang-bhok-kiam dan jarum-jarum itu runtuh semua. Akan tetapi Cui Im, Pak-san Kwi-ong dan Siauw Lek sudah dapat mengurungnya kembali dengan terjangan dahsyat sehingga Keng Hong harus cepat mengelak dan menangkis.

Namun sebentar saja Keng Hong yang mainkan ilmu silat campuran Thai-kek Sin-kun dan Siang-bhok Kiam-sut, telah membuat bingung tiga orang lawannya yang kembali terdesak hebat. Melihat keadaan tidak menguntungkan ini, tanpa malu-malu Cui Im berteriak,

"Kemutani, hayo bantu...!"

Pada saat itu, Kemutani sendiri telah mandi keringat, terdesak oleh sepasang Im-yang-pit yang lihai di tangan Yap Cong San. Beberapa kali dia terkena totokan, dan sungguh pun totokan itu tidak tepat kenanya karena selain dia sempat menangkis ditambah kebalnya tubuh, namun dia masih merasakan nyeri hingga permainan sepasang pisaunya menjadi kacau balau. Sekarang ia hanya dapat menangkis dan mengelak, tidak sempat membalas serangan lawan.

Mendengar seruan Cui Im itu, dia menjadi bingung dan mendadak peranakan Mongol ini melempar tubuh ke belakang sambil menyambitkan dua batang pisau yang tadi dipegang pada kedua tangannya. Sambitannya amat cepat dan karena jarak mereka dekat, melihat dua sinar yang menuju ke dada dan perutnya itu Cong San segera menggulingkan tubuh ke kiri terus bergulingan. Kesempatan itu digunakan oleh Kemutani untuk meloncat sambil mencabut beberapa batang pisau, langsung menerjang maju ke gelanggang pertempuran dan kedua tangannya bertubi-tubi menyambitkan pisau-pisau itu ke arah Keng Hong.

Walau pun Keng Hong dapat memukul runtuh semua pisau satu demi satu, akan tetapi gangguan ini membuat dia repot juga melayani desakan tiga orang lawannya yang lihai. Sementara itu, melihat Kemutani telah meninggalkannya bahkan menghujani tubuh Keng Hong dengan sambitan-sambitan pisau terbang, Cong San yang sudah meloncat bangun lagi menjadi marah dan membentak,

"Pengecut!" Dia segera menyimpan kedua pensilnya dan mengeluarkan segenggam uang tembaga, lalu kedua tangannya juga bekerja. Belasan buah uang tembaga itu bercuitan menyambar ke arah punggung Kemutani.

Sebagai seorang ahli menggunakan senjata rahasia, Kemutani bisa mengenal desir angin bercuitan ini. Cepat dia memutar tubuh dan siap untuk mengelak atau menangkis. Namun karena tadi perhatiannya dicurahkan kepada Keng Hong, dia sedikit terlambat mengelak. Meski dia sudah meloncat ke atas untuk menghindarkan sambaran sinar-sinar kehitaman itu, masih ada sepotong uang tembaga yang tadinya menyambar ke perutnya, kini malah menancap di bawah pusar, tepat pada anggota rahasia di bawah pusar.

Kemutani mengeluarkan suara jeritan mengerikan dan ketika tubuhnya terbanting ke atas lantai, rasa nyeri membuat dia gelap mata. Kedua tangannya mencengkeram bagian yang nyerinya bukan main itu dan tentu saja sekali remas anggota badannya sendiri menjadi hancur lebur! Nyawanya melayang bersama jeritan ke dua yang lebih menyeramkan dari pada tadi!

"Cia-taihiap, aku bukannya membantumu, akan tetapi aku juga harus membalas kematian suheng-ku di tangan wanita iblis ini!" Sambil berkata demikian, Yap Cong San yang sudah mencabut kembali Im-yang-pit, menubruk maju, pit atau pensil hitamnya menotok mata kanan Cui Im sedangkan pensil putih menotok ulu hati di antara sepasang buah dada.

Cui Im kaget melihat Kemutani roboh dan tewas, juga kaget menyaksikan serangan yang sangat berbahaya itu. Ia mengelak dari totokan pada mata dan menangkis totokan pada dadanya, kemudian membarengi tangkisan pedangnya, tangan kirinya pun bergerak maju mencengkeram ke arah leher Cong San yang cepat meloncat mundur.

Sejenak Cui Im memandang pemuda yang tadinya dia harapkan akan dapat memuaskan nafsunya itu. Pandang matanya kehilangan kemesraannya yang tadi, terganti pandangan penuh kebencian.

"Manusia tak kenal budi, mampuslah!" Pedang merahnya berkelebat dan gerakan pedang yang aneh ini meski pun sudah tiga kali dapat ditangkis oleh sepasang pensil Cong San, tetap saja mendesak terus dan Cong San mundur-mundur terdesak hebat!

Untung baginya. Melihat bahwa betapa pun lihainya, namun pemuda murid Siauw-lim-pai itu tidak akan dapat menandingi Cui Im, Keng Hong sudah menerjang lagi dengan Siang-bhok-kiam sehingga terpaksa Cui Im meninggalkan Cong San untuk melindungi tubuhnya terhadap sinar hijau yang bergulung-gulung dahsyat.

Cong San tidak menjadi jeri dan kapok. Ia sudah menyerang lagi dengan totokan-totokan maut ditujukan kepada tujuh jalan darah di tubuh Cui Im, jalan darah kematian. Namun Siauw Lek sudah menghadapinya dan menangkis serangannya dengan pedang hitam.

Pak-san Kwi-ong maklum bahwa pihaknya semakin lemah dengan robohnya Kemutani, maka dia lalu mengeluarkan suara bercuitan nyaring. Memang sudah direncanakan oleh Cui Im bahwa apa bila pihak mereka menang angin, mereka tidak akan membawa-bawa para penjaga tembok kota raja untuk mencampuri urusan pribadi mereka. Akan tetapi jika mereka menghadapi kegagalan, tidak ada lain cara untuk menyelamatkan diri kecuali memberi tanda kepada para penjaga, mengerahkan pasukan untuk membantu mereka! Pak-san Kwi-ong kini menggunakan tanda itu untuk memanggil pasukan yang menjaga di pintu gerbang dan di sepanjang tembok kota raja.

Keng Hong dapat menduga apa artinya suitan nyaring itu. Tentu kakek hitam itu sedang memanggil bala bantuan. Celaka, pikirnya. Kalau saja dia sampai bentrok dengan para pengawal, walau pun terjadi di luar kota raja, dia bisa dianggap pemberontak.

Ia menjadi marah sekali kepada Pak-san Kwi-ong, maka dia langsung menyerang kakek itu dengan menusukkan pedangnya. Pak-san Kwi-ong cepat melangkah ke kanan sambil menyabetkan rantainya. Sebuah tengkorak menangkis pedang Siang-bhok-kiam dan yang sebuah lagi melayang ke arah muka pemuda itu bagaikan hendak menciumnya. Ciuman tengkorak senjata Pak-san Kwi-ong adalah ciuman maut!

"Krekkk...! Darrrr...!"

Rantai itu putus dibabat Siang-bhok-kiam sedangkan tengkorak yang akan mencium Keng Hong dihantam tangan kiri pemuda sakti ini sehingga meledak! Untung bahwa Keng Hong sudah waspada, begitu menghantam tengkorak lalu meloncat ke atas. Kalau tidak tentu dia akan menjadi korban senjata-senjata rahasia yang menyambar keluar dari tengkorak yang pecah dihantamnya tadi. Bahkan ujung pedangnya yang membabat putus rantai, masih berhasil menusuk leher si kakek hitam.

Pak-san Kwi-ong yang kaget sekali masih berusaha mengelak, akan tetapi kurang cepat sehingga pundaknya tertusuk Siang-bhok-kiam. Dia menggereng dan melempar tubuh ke belakang, terus bergulingan sampai jauh kemudian meloncat bangun dan menghilang di dalam gelap!

Pada saat itu pula pasukan pengawal yang menjaga di sepanjang tembok dan di pintu gerbang sudah berlari-lari mendatangi, membawa obor dan senjata. Keng Hong dan Cong San masih bertanding melawan Cui Im dan Siauw Lek pada saat pasukan itu datang dan sambil berteriak-teriak mengurung dua orang muda itu.

Cui Im dan Siauw Lek yang mengerti bahwa sekali ini mereka tak mungkin dapat kembali ke istana karena tentu akan menerima hukuman karena selain meninggalkan tugas, juga membuat ribut sehingga mengorbankan nyawa Kemutani dan bahkan Pak-san Kwi-ong yang terluka tadi agaknya juga melarikan diri, cepat berseru keras. Dengan menggunakan kesempatan selagi Keng Hong dan Cong San dikeroyok oleh banyak pengawal, mereka meloncat dan menyelinap di antara para pasukan, langsung melarikan diri.

"Saudara Yap, jangan melawan pasukan istana. Kita kejar iblis betina itu!" Keng Hong mengingatkan pemuda murid ketua Siauw-lim-pai yang gagah perkasa itu.

Kemudian dia melompat dan merobohkan para penghadang dengan dorongan-dorongan tangannya, lalu mengejar ke arah larinya Siauw Lek dan Cui Im. Cong San maklum akan maksud Keng Hong. Memang amat berbahaya kalau mereka memusuhi pasukan istana.

Pula, dia sama sekali tidak ada urusan dengan pasukan pemerintah, melainkan Ang-kiam Bu-tek yang sekarang sudah melarikan diri. Cepat dia mencontoh perbuatan Keng Hong, merobohkan para pengeroyok tanpa melukai mereka dan melarikan diri mengejar Keng Hong yang sudah berhasil lolos dari kepungan.

"Siauw Lek, kita berpencar!" kata Cui Im berseru kepada kawannya itu ketika ia melihat ke belakang dan tahu bahwa Keng Hong tentu akan melakukan pengejaran.

Siauw Lek pun mengerti bahwa kalau mereka berpencar, hal ini akan membingungkan Keng Hong dalam melakukan pengejaran. Selain itu, dia tahu betul bahwa yang diincar oleh Keng Hong dan murid Siauw-lim-pai itu adalah Cui Im. Kalau dia lari bersama Cui Im tentu akan ikut celaka di tangan Keng Hong yang lihai bukan main.

"Baik, sampai jumpa, Cui Im!" katanya.

Mereka lalu berpencar secepat mungkin. Malam yang gelap menolong mereka karena bayangan mereka segera lenyap pada saat Keng Hong dan Cong San masih memaksa keluar dari kepungan pasukan.

Ketika akhirnya dua orang muda itu berhasil meninggalkan para pasukan dan mengejar, mereka menjadi bingung karena bayangan Cui Im dan Siauw Lek lenyap dalam hutan yang gelap. Cong San hendak mengejar terus, namun tangannya dipegang Keng Hong yang berkata,
"Tiada gunanya dikejar. Selain sia-sia, juga amat berbahaya. Dia lihai dan curang bukan main."

Cong San berhenti mengejar sehingga sejenak mereka berhadapan. Akhirnya Keng Hong menarik napas panjang dan berkata, "Aku kagum sekali kepadamu, Yap-loheng (kakak Yap). Aku tak pernah mendengar akan seorang murid Siauw-limpai seperti engkau, tetapi kulihat tingkat kepandaianmu tadi benar-benar hebat, tak kalah oleh suheng-suheng-mu, mendiang Thian Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio. Tidak kusangka bahwa Siauw-lim-pai masih menyimpan seorang jago muda seperti engkau."

"Hemmm, kepandaianku tidak ada artinya. Kalau tidak ada engkau, Cia-haihiap, tentu aku sudah tewas. Aku tidak akan menang melawan mereka yang lihai sekali itu."

"Yap-loheng, sungguh tidak enak mendengar seorang gagah seperti engkau menyebutku taihiap (pendekar besar). Aku suka sekali berkenalan, mari kita sama-sama mencari Cui Im. Bila mana dia sudah mengembalikan semua pusaka yang dia curi, termasuk pusaka-pusaka yang berupa kitab-kitab dari Siauw-lim-pai, dia akan kuserahkan kepadamu, baik untuk kau tawan dan bawa ke Siauw-lim-pai atau pun hendak kau bunuh, terserah. Dia seorang manusia yang berwatak iblis."

Cong San menjawab, suaranya agak dingin. "Cia-taihiap. Gurumu, Sin-jiu Kiam-ong juga disebut taihiap oleh suhu sendiri. Engkau sebagai muridnya amat lihai dan sepatutnya aku menyebutmu taihiap. Akan tetapi, maaf... tentang bekerja sama di antara kita... Hemmm, terus terang saja, Taihiap, secara pribadi aku suka kepadamu dan sangat kagum. Akan tetapi... sebagai murid Siauw-lim-pai agaknya tidak mungkin lagi bagi saya untuk bekerja sama denganmu. Tentu Taihiap sudah mengerti apa yang kumaksudkan..." Dalam gelap terdengar pemuda baju hijau itu menghela napas panjang.

Keng Hong tersenyum pahit, "Aku tahu, Loheng. Aku mengerti dan sama sekali aku tak menyalahkanmu. Mendiang suhu pernah melakukan kesalahan terhadap Siauw-lim-pai, telah mengambil dua buah kitab. Justru untuk itulah aku mengejar-ngejar Cui Im, untuk mendapatkan kembali pusaka-pusaka suhu yang dicurinya, di antaranya ada dua buah kitab Siauw-lim-pai itu. Sebelum dua buah kitab itu kukembalikan kepada Siauw-lim-pai, tentu pihak Siauw-lim-pai akan menganggap mendiang suhu sebagai musuh, dan karena aku muridnya... Hemmm, baiklah. Kita tidak dapat bekerja sama karena engkau sebagai murid yang baik dan berbakti tentu tidak akan mau melanggar pendirian Siauw-lim-pai. Nah, sampai jumpa, Loheng!" Setelah menjura, Keng Hong berkelebat lenyap dari depan pemuda itu.

Cong San kembali menghela napas dan merasa menyesal sekali. Dia akan suka sekali bersahabat dengan Keng Hong. Lagi pula, tanpa bantuan Keng Hong bagaimana ia akan mampu membalas kematian suheng-nya? Tidak mungkin dia akan mampu mengalahkan Ang-kiam Bu-tek yang lihai itu, apa lagi perempuan cabul itu mempunyai seorang teman yang lihai seperti pria yang dilawannya tadi. Juga kakek hitam itu amat lihai. Betapa pun juga, dia akan terus mencari Cui Im sampai dapat dan akan berdaya upaya untuk dapat membalas dendam kematian suheng-nya.

Karena Cong San maklum pula bahwa tentu Keng Hong tidak akan tinggal diam dan tentu mencari Cui Im, dan dia pun dapat mengerti bahwa Keng Hong tentu akan lebih dahulu dapat menyusul wanita itu, maka dia pun kini tinggal mengikuti jejak Keng Hong saja.

Ia bermalam di hutan itu dan pada keesokan harinya dia baru melanjutkan perjalanannya, menuju ke arah perginya Keng Hong malam tadi, yaitu ke selatan. Ketika dia akan keluar dari hutan, pandang matanya tertarik oleh sebatang pohon yang sebagian kulit batangnya terkupas. Pandang matanya yang tajam dapat melihat tulisan yang terukir di batang yang ‘telanjang’ dan putih itu. Dia menghampiri dan melihat ukiran huruf yang indah dan kuat goresannya.

JEJAKNYA MENUJU DUSUN SIN-NAM

Mudah saja bagi Cong San untuk menduga siapa penulis huruf-huruf terukir itu. Siapa lagi kalau bukan Keng Hong. Diam-diam merasa kagum dan menyesal mengapa tokoh-tokoh Siauw-lim-pai berkukuh menganggap murid Sin-jiu Kiam-ong ini sebagai musuh. Padahal dia mengerti akan penderitaan batin Keng Hong yang jelas bertekad hendak ‘menebus dosa’ gurunya dan mengembalikan pusaka-pusaka yang dahulu diambil gurunya, dan kini telah dicuri oleh Ang-kiam Bu-tek. Dia merasa gembira sekali. Keng Hong agaknya tidak lupa kepadanya dan memberi petunjuk.

Di ladang-ladang yang terdapat di luar hutan, dia bertanya kepada seorang petani yang menggarap ladang di mana letak dusun Sin-nam. Kiranya dusun itu berada di sebelah selatan, hanya belasan li dari situ. Dengan cepat Cong San melanjutkan perjalanannya menuju ke dusun Sin-nam.

Akan tetapi di dusun ini dia tidak melihat Keng Hong, apa lagi Cui Im yang dia cari. Selagi dia bingung, tidak tahu harus mengejar ke mana dan selagi dia hendak bertanya-tanya, tiba-tiba muncul seorang anak kecil berusia kurang lebih sepuluh tahun. Anak itu segera menghampirinya dan bertanya.

"Apakah Kongcu ber-she Yap?"

"Hemmmm, bagaimana kau bisa tahu?" Cong San bertanya curiga.

"Ada seorang tuan muda she Cia memesan kalau ada Kongcu yang berpakaian hijau dan she Yap, saya disuruh menyampaikan pesan bahwa Cia-kongcu menuju ke kota Tek-an di selatan."

"Hemmm...! Jauhkah kota Tek-an dari sini?"

"Saya tidak pernah ke sana, Kongcu. Akan tetapi kata orang membutuhkan perjalanan satu hari penuh."

Lega hati Cong San. Dia merogoh saku mengambil beberapa potong uang tembaga dan memberikannya kepada anak itu. "Nih, hadiah untukmu."

"Tidak, Kongcu. Saya sudah menerima upah dari Cia-kongcu!" Anak itu kemudian berlari meninggalkan Cong San yang melongo.

Pemuda ini menarik napas terharu. Anak yang jujur dan terdidik baik agaknya oleh orang tuanya. Ataukah memang anak dusun meiliki watak lebih jujur dari pada anak kota?

Ia lalu melanjutkan perjalanan. Di kota Tek-an pun dia tidak bertemu dengan orang-orang yang dikejarnya. Seorang pelayan restoran memberitahukan bahwa tuan muda Cia minta Yap-kongcu menyusulnya ke Nam-khia!

Demikianlah, sampai berulang-ulang Cong San mengikuti jejak yang selalu ditinggalkan Keng Hong di sepanjang jalan! Ditinggalkan dengan sengaja untuknya. Makin lama Cong San merasa makin berterima kasih kepada Keng Hong, akan tetapi juga gemas kepada Ang-kiam Bu-tek yang demikian sukar disusul.

Pada suatu hari, mengikuti jejak yang ditinggalkan Keng Hong, Cong San sampai di kota Lok-yang. Kemarin ketika menyeberangi sungai Huang-ho di sebelah utara kota Lok-yang dia diberi peninggalan jejak Keng Hong melalui seorang nelayan yang menyeberangkan dirinya. Di Lok-yang, dia menerima pemberitahuan Keng Hong melalui seorang pelayan hotel.

Memang kini Cong San tidak dapat lagi meninggalkan petunjuk-petunjuk dari Keng Hong, maka di setiap tempat dia malah mencari jejak Keng Hong dengan memasuki restoran-restoran, penginapan-penginapan, dan lain-lain. Petunjuk terakhir yang dia terima di kota Lok-yang dua hari yang lalu menuju ke Gunung Phu-niu-san, di sebelah barat kota itu, di perbatasan Propinsi Ho-nan dan Shen-si!

Karena dari hasil penyelidikannya ia mendengar keterangan bahwa perjalanan ke gunung Phu-niu-san sangat sukar dan juga berbahaya karena di sana banyak sekali perampok sehingga oleh umum tidak dijadikan jalan umum lagi, maka Cong San bermalam di kota Lok-yang dan baru pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia berangkat ke tempat yang dimaksudkan.

Ia mendengar bahwa orang-orang yang melakukan perjalanan ke barat, yaitu ke Propinsi Shen-si dan ke kota Sian, tidak lagi ada yang berani melalui jalan darat karena bahayanya daerah Pegunungan Phu-niu-san. Mereka lebih suka memakai jalan air, yaitu melawan arus Sungai Huang-ho kemudian yang hendak ke utara memasuki Sungai Ceng-ho dan yang ke selatan melalui Sungai Wei-ho. Kedua sungai ini memasuki Huang-ho di tempat yang sama.

Karena dia tahu bahwa daerah yang akan dilalui berbahaya dan jauh dari pada kota atau dusun, sebelum berangkat Cong San makan lebih dahulu sampai kenyang, kemudian dia membeli roti kering secukupnya. Sambil menggendong buntalan pakaian dan bekalnya, Cong San segera berangkat menuju ke Gunung Phu-niu-san yang sudah tampak begitu dia keluar melalui pintu kota Lok-yang sebelah barat.

Akan tetapi begitu dia tiba di kaki Gunung Phu-niu-san, dia terheran-heran melihat banyak orang berduyun-duyun naik ke bukit, bahkan ada yang membawa kereta berisi bermacam barang. Ada kereta penuh sayuran, ada pula yang menggotong babi, ada yang membawa gulungan kain sutera dan lain-lain barang berharga.

Cong San sangat heran ketika melihat bahwa yang mengepalai pembawa barang-barang ini adalah orang-orang yang melihat caranya berpakaian jelas orang kang-ouw. Ada yang berjalan seorang diri dan ada pula yang bergerombol sambil mengobrol gembira. Pakaian mereka bermacam-macam. Ada hwesio, ada tosu, ada pula yang berpakaian seperti dia, golongan ahli sastra, ada pula yang berpakaian seperti pengemis!

Akan tetapi dari gerak-geriknya, mereka ini adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang agaknya hendak mengunjungi Gunung Phu-niu-san untuk mengunjungi seseorang. Perjalanan ke Phu-niu-san ini sama sekali tidak kelihatan berbahaya.

Melihat tiga orang laki-laki berpakaian seperti dia, berusia empat puluh tahun, Cong San sengaja mendekati mereka, mengangkat kedua tangan dengan sikap hormat dan berkata,

"Kalau Sam-wi tidak merasa terhina, siauwte akan merasa terhormat sekali jika Sam-wi suka menerima siauwte sebagai teman seperjalanan. Bukankah Sam-wi juga hendak ke puncak?"

Ketiga orang itu memandang Cong San penuh perhatian, kemudian balas menjura dan seorang di antara mereka bertiga yang bertahi lalat di dahinya menjawab, "Tentu saja boleh, mari silakan! Kita sama-sama segolongan kutu buku mengapa harus bersungkan-sungkan?" Mereka bertiga itu tertawa dan Cong San juga tersenyum. Mereka berempat lalu berjalan perlahan di atas jalan yang mulai mendaki.

"Hiante siapakah? Dan dari mana? Tentu Hiante orang jauh maka tidak mengenal kami bertiga," kata pula si tahi lalat di jidat.

Cong San menjura lagi. "Maaf, siauwte Yap Cong San hanya anak seorang guru silat di dusun kecil jauh dari sini. Mohon tanya siapakah Sam-wi?"

Orang ke dua yang matanya sipit sekali dan sikapnya angkuh menjawab, "Kami bertiga di daerah ini dikenal sebagai Siangkoan Sam-hengte (Tiga Saudara Siangkoan) yang dijuluki Bun-bu Sam-taihiap (Tiga Pendekar Besar Terpelajar)! Dia ini yang tertua, kakakku yang bernama Siangkoan Lok, aku yang ke dua bernama Siangkoan Leng dan dia ini adikku Siangkoan Cit."

Cong San kembali menjura, "Ahh, kiranya Sam-wi adalah pendekar-pendekar besar yang terkenal. Maafkan kalau saya tidak mengenal Gunung Thai-san. Sungguh beruntung saya dapat berkenalan dengan Sam-wi."

"Yap-hiante, engkau masih begini muda telah mengenal Phu-niu Sancu (Majikan Gunung Phu-niu)? Sungguh beruntung, masih begini muda sudah mengenal orang pandai. Wah, kabarnya pesta pernikahan yang hendak diadakan oleh Sancu dibuat sangat meriah dan diadakan pertunjukan ilmu silat tinggi. Dan yang lebih hebat lagi, kabarnya Sancu akan menikah dengan seorang... bidadari!"

Diam-diam Cong San girang mendengar si tahi lalat itu membuka mulut dan memberi keterangan seperti itu. Mengertilah dia bahwa ternyata orang-orang kang-ouw ini hendak mengunjungi pesta pernikahan tokoh Gunung Phu-niu-san. Pantas demikian banyak yang membawa barang-barang berharga untuk sumbangan!

"Ahh…, seorang muda dan bodoh seperti saya mana ada kehormatan untuk berkenalan dengan Phu-niu Sancu? Sebetulnya adalah ayah saya yang sudah mengenal Sancu, ada pun saya hanya diutus oleh ayah untuk mewakilinya datang hadir dalam pesta pernikahan Sancu dan menghaturkan selamat."

"Ahhh, pantas saja kau tadi belum mengenal kami. Kiranya engkau masih sangat hijau, Yap-hiante," kata si mata sipit. "Apakah ayahmu juga mengajarkanmu ilmu silat?"

"Wah, kalau dibicarakan benar-benar memalukan sekali. Saya hanya bisa sedikit ilmu silat kampungan, mana pantas dibicarakan dengan Sam-wi yang terkenal sebagai pendekar besar?"

"Memang tidak perlu bicara tentang ilmu silat. Nanti di sana kita akan menyaksikan para ahli silat kelas satu. Kalau begitu, engkau pun belum tahu sampai di mana kelihaian Lian Ci Sengjin dan Sian Ti Sengjin?"

Cong San menjadi bingung karena belum pernah mendengar nama ini, maka dia hanya menggelengkan kepala.

Si tahi lalat kelihatan bangga menceritakan kelihaian dua orang yang disebutnya itu, maka dia melanjutkan, "Lian Ci Sengjin atau Phu-niu Sancu sudah hebat bukan main, tapi ilmu kepandaian Sian Ti Sengjin yang menjadi suheng-nya, lebih hebat lagi!"

Cong San mengangguk-angguk. "Saya hanya mendengar dari ayah bahwa mereka berdua itu hebat kepandaiannya, akan tetapi belum pernah menyaksikan sendiri. Kalau mempelai prianya begitu lihai, tentu mempelai wanitanya juga bukan sembarangan wanita, bukan?" Cong San sengaja memancing lebih banyak keterangan lagi...
Selanjutnya,

Pedang Kayu Harum Jilid 26

Pedang Kayu Harum Jilid 26
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
SEMENTARA itu, Cui Im sudah berunding dengan tiga orang pembantunya, yaitu Siauw Lek, Pak-san Kwi-ong dan Kemutani. Penjagaan di sekitar kamar kaisar diserahkan kepada Gu Coan Kok, Hok Ku dan Cou Seng. Kemudian ketiga orang pembantunya itu diam-diam berangkat keluar dan bersembunyi di dekat pondok merah di luar kota raja sebelah barat. Ada pun Cui Im lalu mengirim seorang pelayan ke rumah penginapan untuk memberi tahu kepada Cong San, melalui sebuah surat yang ditulisnya sendiri.

Ketika Cong San yang sedang membaca kitab di kamarnya itu diberi tahu oleh pelayan hotel dan menerima surat dari pelayan istana, dia terkejut dan cepat merobek sampulnya lalu membaca surat dengan kertas merah wangi dengan tulisan yang tidak terlalu buruk bagi seorang wanita yang begitu ditakuti orang.

Ternyata surat itu memberitahukan bahwa Bhe Cui Im mengundangnya untuk minum arak sambil bicara mengenai sastra di pesanggrahan wanita itu, dan bahwa Cong San diminta untuk bersiap-siap karena akan dijemput sendiri oleh wanita cantik itu!

Cong San, mengangguk-angguk dan berkata kepada pelayan utusan, "Harap sampaikan terima kasihku kepada nona Bhe, dan katakan bahwa aku sudah siap."

Setelah utusan itu pergi, Cong San cepat-cepat berganti pakaian yang paling baik, juga berwarna hijau pupus, kemudian dia menanti di luar kamarnya. Malam telah mulai gelap dan lampu-lampu telah dinyalakan ketika terdengar derap kaki kuda dan seorang pelayan hotel berlari-lari menyampaikan warta bahwa ‘lihiap’ telah menanti di luar.

Cong San menutup pintu kamarnya dan dia berjalan keluar. Diam-diam ia merasa kagum juga melihat Cui Im yang berdandan serba indah, kelihatan cantik serta gagah perkasa, sedangkan bau yang harum semerbak menyambut hidungnya ketika wanita itu mendekat.

"Ahhh…, engkau baik sekali, Siangkong. Ternyata telah siap. Mari kita segera berangkat sebelum malam terlalu gelap."

"Berangkat ke mana? Di manakah pesanggrahan itu, Nona?"

"Tidak jauh kalau berkuda. Marilah, arak dan hidangan telah tersedia di sana! Siangkong duduk di depan atau di belakang?"

Muka Cong San menjadi merah sekali. Untung bahwa cahaya lampu di ruangan depan hotel itu juga merah sehingga warna mukanya tidak terlalu kentara, akan tetapi andai kata ketahuan juga, para pelayan yang berada di situ tidak ada yang berani mentertawainya.

"Maksudmu... kita berboncengan?" tanyanya, agak gugup karena memang selama hidup, meski usianya sudah dua puluh lima tahun, belum pernah dia berdekatan dengan wanita, apa lagi boncengan menunggang kuda!

Cui Im tertawa senang. Makin sukalah ia kepada pemuda yang masih ‘murni’ itu, dan ia berkata merdu,

"Maaf, Siangkong. Karena tergesa-gesa, saya hanya membawa seekor kuda. Terpaksa kita boncengan!"

"Ahh, mana saya berani, Nona? Biarlah Nona yang menunggang kuda dan aku berjalan kaki saja."

"Mana bisa begitu, Siangkong? Apa Siangkong merasa jijik duduk dekat dengan saya? Ataukah... Siangkong tidak sudi menerima undanganku?"

"Ehh..., ehh, bukan begitu, Nona. Engkau sudah begitu baik... Hanya, saya suka berjalan kaki dan... Saya senang sekali memenuhi undangan Nona..." Cong San berkata gagap.

"Nah, kalau begitu, kita harus boncengan. Jangan khawatir, kudaku ini kuat sekali, biar ditunggangi empat orang juga kuat. Tempat saya itu dekat kalau menunggang kuda, akan tetapi terlalu jauh kalau jalan kaki, di luar kota raja. Siangkong telah melakukan perjalanan jauh, tentu lelah kalau berjalan. Marilah, Siangkong suka di depan atau di belakang?"

Melihat wanita cantik itu bicara terang-terangan di depan banyak pengawal yang tentu ikut mendengarkan, Cong San khawatir kalau menjadi buah tertawaan. Maka dia lalu berkata, "Biarlah... aku di belakang saja, Nona."

Cui Im tertawa dan Cong San merasa betapa pipi dan telinganya panas. Ia sadar akan kebodohannya. Kalau dia di belakang, ahhh, seolah-olah dia merasa senang memangku tubuh yang montok itu. Akan tetapi bagaimana? Masa dia seorang laki-laki harus duduk di depan?

Akan tetapi Cui Im sudah meloncat ke atas punggung kuda, menggeser ke depan dan berkata, "Memang seharusnya Siangkong di belakang, karena saya yang tahu jalan dan saya yang mengendalikan kuda. Marilah, Siangkong!"

Yap Cong San menghampiri kuda dan kelihatan bingung dan malu. "Kuda begitu tinggi…"

"Meloncatlah!" kata Cui Im yang menganggap meloncat ke punggung kuda hanya seperti permainan kanak-kanak saja.

"Saya... Saya tidak bisa...!" Cong San berkata.

Para pelayan yang mendengar ini pun tidak dapat menyalahkan si pemuda karena bagi yang tidak ada kepandaian, apa lagi yang tak biasa menunggang kuda, meloncat setinggi itu bukanlah pekerjaan mudah. Lebih-lebih karena di atas punggung kuda itu sudah ada orangnya!

"Mari tanganmu, kubantu!" Cui Im berkata, kehilangan kesabaran karena dia sudah ingin cepat-cepat berdua dengan pemuda yang menggugah nafsunya ini.

Cong San mengulur tangan, ditangkap oleh tangan kecil halus itu dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke atas, ditarik oleh tenaga yang hebat bukan main. Tahu-tahu dia telah duduk di belakang tubuh nona itu.

"Berpeganglah kuat-kuat!" kata Cui Im dan kuda itu sudah meloncat ke depan. Cong San memegangi sela kuda dengan kaku, tubuhnya terguncang dan miring-miring.

"Ehhh, awas, engkau nanti jatuh. Berpeganglah padaku, peluk pinggangku," kata Cui Im yang membalapkan kudanya lebih cepat lagi dengan maksud supaya si pemuda menjadi ketakutan.

Benar saja, terpaksa Cong San merangkul pinggang yang ramping itu sehingga Cui Im diam-diam menjadi girang bukan main. Tubuhnya terasa panas semua oleh karena nafsu birahinya sudah berkobar!

Sela kuda itu legok bagian tengahnya. Karena Cui Im duduk di pinggir depan dan tubuh Cong San duduk di pinggir belakang tentu saja tubuh mereka merosot ke tengah hingga berada di bagian yang melekuk. Cong San yang jauh dari pada pengaruh nafsu, merasa malu dan canggung sekali. Tubuh bagian depannya terpaksa berhimpitan dengan tubuh belakang wanita itu yang lunak, halus dan hangat.

Beberapa kali Cui Im terkekeh genit dan sengaja menggeser makin ke belakang sehingga tubuh mereka merapat berhimpitan! Bahkan kadang-kadang, kalau kuda meloncat, tubuh wanita itu melambung dan terjatuh di atas paha Cong San sehingga tubuh wanita itu seperti dipangkuannya, sedangkan pinggang wanita itu dipeluknya!

Para penjaga pintu gerbang di barat tadinya menghadang, akan tetapi melihat Cui Im, mereka memberi hormat dan tertawa lalu membukakan pintu gerbang, membiarkan kuda wanita itu lewat tanpa gangguan sedikit pun. Sesudah keluar dari pintu gerbang, kuda langsung membalap dengan cepatnya.

Tidak lama kemudian, tibalah mereka di sebuah pondok merah yang indah dan diterangi lampu-lampu dengan teng berkembang. Tiga orang pelayan yang bertubuh tinggi besar segera menyambut, seorang menerima kuda, dan dua orang mengiringkan Cui Im dan Cong San memasuki pondok merah.

Cong San terbelalak kagum menyaksikan isi pondok yang ternyata sangat mewah dan serba indah. Di dalam pondok terdapat sebuah ruangan dan di situ tampak sebuah pintu terbuka, memperlihatkan sebuah kamar tidur yang mentereng dan bau harum semerbak keluar dari kamar tidur yang terbuka menantang itu. Di dalam ruangan terdapat sebuah meja dengan dua bangku dan hidangan yang masih hangat mengepul sudah tersedia di atas meja.

"Duduklah, Siangkong. Di sini kita dapat bicara dengan leluasa dan enak sambil makan minum."

Yap Cong San mengerutkan alisnya sebentar, akan tetapi dia mengangguk dan duduk di atas bangku, berhadapan dengan Cui Im. Dua orang pelayan yang kelihatan kuat dan sigap itu keluar dari ruangan setelah menutupkan pintu ruangan itu.

Sambil tersenyum-senyum Cui Im menuangkan arak ke dalam cawannya dan cawan di depan Cong San sambil berkata, "Siangkong, mari kita minum demi persahabatan kita!"

Cong San mengangkat cawannya dan minum araknya sekali teguk. Cui Im tertawa manis. "Siangkong sungguh amat baik, suka bersahabat dengan seorang kasar seperti saya."

"Ah, Nona. Sebenarnya sayalah yang harus malu. Nona adalah orang yang berpengaruh dan berkuasa, dan... hemm, melihat sikap semua orang, melihat cara Nona menunggang kuda dan tadi menarikku ke atas kuda, saya dapat menduga bahwa tentu Nona seorang yang memiliki kepandaian ilmu silat tinggi. Bahkan pengurus hotel menyebut Nona lihiap. Sedangkan saya hanya seorang kutu buku yang lemah, seorang pelajar yang canggung dan seorang sasatrawan yang miskin."

"Wah-wah-wah, Siangkong terlalu merendah diri!" Cui Im menuangkan lagi arak dari guci ke dalam cawan mereka. "Silakan minum demi... ehhh…, rasa suka di hatiku terhadap Siangkong!" Ia mengerling tajam penuh arti.

Merah wajah pemuda itu ketika mengangkat cawannya. "Terima kasih, Nona. Aku..., ehh, tidak berharga untuk rasa suka Nona yang gagah perkasa dan terhormat." Akan tetapi ia minum juga araknya.

Setelah meletakkan cawan kosong di atas meja Cong San berkata, "Semenjak dahulu, banyak saya membaca tentang sepak terjang seorang pendekar wanita. Sekarang dapat bertemu, bersahabat, bahkan bercakap-cakap dengan seorang pendekar wanita, betapa bangga dan gembira hati saya. Tentu Nona seorang pendekar yang kenamaan. Maukah Nona menceritakan tentang pengalaman Nona bertualang di dunia kang-ouw seperti yang saya baca di dalam buku-buku?"

Cui Im sudah mabuk berat, bukan mabuk arak melainkan mabuk nafsu birahinya sendiri. Ketika tadi berhimpitan pemuda ini tidak tergerak nafsunya, hal itu menandakan bahwa dia termasuk golongan laki-laki kuat. Dia harus dapat membangkitkan gairahnya, menarik perhatiannya, menggugah birahinya.

Dia tahu dari pengalamannya bahwa laki-laki yang tenang dan kuat seperti ini, bila sekali tergugah birahinya akan seperti laut yang tadinya tenang diamuk badai. Menghanyutkan dan menenggelamkan. Membayangkan hal ini, Cui Im semakin mabuk, maka mendengar pertanyaan Cong San, dia berniat untuk membanggakan diri agar pemuda itu tertarik.

"Yap Cong San, engkau belum mengenal siapakah wanita yang menjadi sahabatmu ini," katanya tersenyum sambil berdiri dan menarik kedua pundaknya ke belakang sehingga dadanya yang penuh membusung ke depan, pakaiannya yang ketat itu membuat bentuk tubuhnya yang ramping padat tampak nyata. "Aku terkenal di dunia kang-ouw dengan julukan Ang-kiam Bu-tek! Bukan julukan kosong karena pedang merahku belum pernah ada yang mampu menandinginya!" Lalu dia duduk kembali, matanya bersinar penuh bafsu birahi dan kegembiraan ketika melihat betapa pemuda itu memandangnya dengan mata bersinar-sinar.

"Wah, tentunya engkau hebat sekali, Nona! Aku belum pernah mendangar nama itu, akan tetapi aku dapat menduga bahwa engkau tentulah murid orang pandai, mungkin murid hwesio-hwesio di Siauw-li-pai yang kudengar merupakan orang-orang sakti yang memiliki kepandaian seperti dewa."

"Hi-hi-hi-hi-hik! Hwesio Siauw-lim-pai? Mereka itu bukan apa-apa! Thian Ti Hwesio, tokoh Siauw-lim-pai tingkat dua itu dengan mudah saja roboh dan tewas di ujung pedangku!"

"Aaaahhhhh…!" Pemuda itu berseru kaget.

"Tidak perlu kaget, sahabatku yang tampan! Aku mempunyai banyak musuh dan jangan kau kaget kalau andai kata malam ini ada musuhku yang datang menyerangku, karena pedangku akan siap melindungimu. Nah, katakanlah, wahai pemuda pujaan hati, apakah engkau suka kepadaku?"

Cong San menelan ludah, sukar menjawab dan dia hanya dapat menggangguk. Cui Im diam-diam merasa girang, akan tetapi dia masih belum puas benar karena sikap pemuda itu masih membayangkan bahwa dia belum terangsang.

"Mari kita makan hidangan ini!" Ia mempersilakan dan mereka lalu mulai makan.

Melihat sikap Cong San masih canggung dan belum kelihatan pemuda itu tertarik, Cui Im kembali menuangkan arak, akan tetapi kini dia menuangkan arak dari sebuah guci emas yang kecil dan begitu arak dituang ke dalam cawan, terciumlah bau yang harum dari arak yang berwarna merah itu.

"Minum, sahabatku. Mari kita minum demi... cinta kasih kita!"

Cong San mengangkat cawan dan minum habis arak itu. Cui Im tertawa genit, kemudian menawarkan masakan-masakan lezat, diterima oleh Cong San yang tidak banyak bicara lagi.

Arak yang diminum Cong San adalah arak istimewa, arak buatan Cui Im sendiri yang mengandung obat perangsang yang amat kuat, yaitu Ai-ang-ciu. Selama ini belum pernah Cui Im mempergunakan arak perangsang ini karena setiap orang pria yang di bawanya ke pondok merah itu, tanpa perlu minum obat perangsang pun sudah terangsang hebat oleh keindahan wajah dan tubuh Cui Im. Sekali ini terpaksa dia menggunakan araknya yang lihai karena melihat bahwa Cong San benar-benar merupakan seorang pemuda istimewa yang sukar sekali dibangkitkan gairahnya.

Mereka sudah kenyang makan dan arak di guci sudah habis. Pemuda itu sudah minum secawan penuh Ai-ang-ciu dan belasan cawan arak biasa, arak tua dan harum yang keras. Akan tetapi masih kelihatan ‘dingin’ saja. Hal ini membuat Cui Im yang sudah tidak kuat menahan gelora nafsunya menjadi penasaran sekali.

Ia bangkit, memindahkan bangkunya ke sebelah Cong San, duduk merapatkan tubuhnya dan berbisik, "Cong San... ahh, Cong San... belum tergerak jugakah hatimu...? Aku suka sekali padamu..."

Dalam gairah nafsunya, Cui Im memegang tangan kanan Cong San, mempermainkan jari-jari tangan pemuda itu yang halus seperti jari tangan wanita, jari tangan yang biasa dimiliki kaum sastrawan, lalu menciumi tangan itu. Melihat pemuda itu masih saja dingin, Cui Im lalu membawa tangan itu ke dadanya, dan dia mencondongkan tubuh ke depan mencium pipi Cong San. Karena gerakan ini, sebelah kakinya bergeser ke depan dan kaki itu menginjak sesuatu yang basah di lantai bawah meja. Cui Im melepaskan pipi yang diciumnya, melongok ke bawah meja.

"Aihhh...!" Ia menjerit lirih.

Tiba-tiba tubuhnya mencelat ke belakang, bangku yang didudukinya terguling sehingga kini tidak menghalangi lagi lantai di bawah meja yang ternyata basah oleh arak!

Pada saat itu pula berkelebat bayangan putih dan terdengar suara bentakan halus penuh kemarahan dan amat berpengaruh, "Cui Im, akhirnya kita dapat berhadapan juga!"

Cui Im cepat memutar tubuhnya dan ia tidak kaget melihat Keng Hong telah berdiri di situ, bahkan dia lantas tertawa terkekeh, kemudian mencabut pedangnya ke arah Keng Hong sambil membentak,

"Cia Keng Hong! Karena mendengar kau masih berkeliaran di sekitar sini, aku memang sengaja datang untuk memancingmu keluar dari tempat sembunyimu. Sekarang kau bisa masuk ke pondok ini, akan tetapi jangan harap akan dapat keluar sebelum meninggalkan nyawa!"

Keng Hong tersenyum, mengerling ke arah pemuda tampan yang kini mundur-mundur ketakutan dan berdiri di pojok ruangan. "Sobat, seorang terpelajar seperti engkau tidak semestinya dapat terpikat oleh wanita iblis ini!" Kemudian Keng Hong memandang Cui Im dengan sinar mata tajam penuh teguran, "Bhe Cui Im, agaknya setelah engkau mati baru engkau akan menghentikan semua perbuatanmu yang selalu berlandaskan nafsu. Semua perbuatanmu yang busuk! Engkau menjatuhkan fitnah atas diri Biauw Eng, menipuku dan berusaha membunuhku di Kiam-kok-san, membunuh gurumu sendiri, membunuh banyak tokoh kang-ouw yang tidak berdosa, benar-benar membuktikan bahwa engkau bukanlah manusia, melainkan iblis! Akan tetapi, masih belum terlambat bagimu untuk sadar dan bertobat."

"He-he-heh-heh, Keng Hong manusia sombong! Engkau memaki aku jahat seperti iblis, apakah engkau sendiri suci dan bersih seperti dewa? Dulu aku cinta padamu dan telah bersumpah untuk membasmi semua wanita yang berani mencintamu. Biauw Eng ternyata cinta kepadamu! Perbuatanku itu ada dasarnya, yaitu dasar cinta padamu. Apakah kau sendiri tidak sadar bahwa engkau adalah seorang yang tidak mengenal cinta dan budi? Lupakah engkau betapa dulu kita pernah bersama-sama menikmati cinta kita? Kemudian engkau bahkan menghinaku! Dan aku membunuhi tokoh-tokoh besar, apa hubungannya denganmu? Kalau aku tidak membunuh mereka, mana bisa aku disebut Ang-kiam Bu-tek, dan apa gunanya pula susah payah mempelajari semua ilmu, hidup tersiksa selama lima tahun di dalam neraka bersama seorang pria macam engkau yang tiada ubahnya sebuah arca batu? Huh, engkau sekarang mau apa, Keng Hong?"

"Cui Im, mengingat bahwa engkau, biar pun secara tidak resmi adalah murid guruku juga, biarlah aku mengampunimu asal engkau suka memenuhi dua syaratku!"

"Hi-hi-hik! Keng Hong, engkau benar-benar sombong bukan main. Akan tetapi biarlah aku mendengar dulu apa syaratmu itu?"

"Pertama, sekarang juga engkau harus mengembalikan semua pusaka peninggalan suhu. Aku tidak menginginkan benda-benda itu, akan tetapi benda-benda itu menjadi hak milik orang-orang dan partai-partai persilatan lain, tidak boleh kau rampas dan curi begitu saja. Ke dua, mulai detik ini engkau harus bertobat dan menghentikan perbuatan-perbuatanmu yang jahat. Kurasa, dengan bekerja di istana, apa lagi di bawah pengawasan pembesar- pembesar sakti bijaksana seperti The-taijin, engkau akan dapat menjadi seorang manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa."

Cui Im membanting kakinya dan mengelebatkan pedangnya hingga tampak sinar merah, "Keng Hong, syarat-syaratmu adalah syarat yang hendak menang sendiri. Kau katakan aku merampas dan mencuri pedang. Hendak kutanya, bagaimana pusaka-pusaka milik Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain bisa berada di tangan Sin-jiu Kiam-ong gurumu itu? Bukankah dia juga dahulu merampas dan mencurinya? Kau bilang sendiri bahwa aku juga murid Sin-jiu Kiam-ong, nah, jika benar begitu, akulah murid yang berbakti dan setia, melanjutkan cita-cita dan perbuatan guruku. Sebaliknya engkau hendak mengembalikan pusaka-pusaka itu kepada pemilik-pemiliknya, berarti kau hendak menentang perbuatan mendiang guru sendiri! Tidak, aku tidak akan menyerahkan pusaka-pusaka itu, terutama sekali tidak kepada engkau! Dan soal ke dua, kau mengatakan aku melakukan perbuatan jahat! Yang mana? Apakah bersenang-senang dengan dia itu kau anggap jahat? Bagai mana dengan engkau sendiri dengan Sim Ciang Bi gadis Hoa-san-pai, dengan Kim Bwee Ceng dan Tang Swat Si murid-murid Kong-thong-pai itu?"

"Cui Im, perempuan iblis! Engkau yang membunuh mereka, masih berani menyebut nama mereka?"

"Engkau mau apa?" Cui Im menantang dan mengejek.

"Kalau begitu terpaksa aku akan membunuhmu!" bentak Keng Hong yang sudah marah sekali.

Cui Im mengeluarkan suara tawa melengking tinggi sambil memutar pedangnya sehingga sinar merah bergulung-gulung menyilaukan mata. "Engkau sudah kutunggu-tunggu!"

Agaknya suara ketawa melengking itu dijadikan tanda rahasia, karena tiba-tiba berkelebat bayangan orang dari jendela dan Siauw Lek bersama Pak-san Kwi-ong sudah berada di ruangan itu.

Keng Hong tidak kaget melihat ini. Walau pun dia tidak tahu bahwa dia dipancing, namun dia sudah menduga bahwa kalau Cui Im berani muncul di malam hari itu, tentu wanita itu mempunyai andalan dan ternyata Cui Im diam-diam membawa dua orang lihai ini untuk mengeroyoknya.

"Bagus! Pak-san Kwi-ong dan Kim-lian Jai-hwa-ong memang bukan manusia baik-baik. Membunuh mereka sangat berjasa bagi manusia!" kata Keng Hong sambil mengeluarkan Siang-bhok-kiam dengan gerakan tenang.

"Sombong...!" teriak Siauw Lek.

Dan begitu tangannya bergerak, sinar hitam menyambar ke arah Keng Hong dan ternyata laki-laki ini sudah membacokkan pedang Hek-liong-kiam ke arah kepala Keng Hong dari samping. Tanpa menoleh Keng Hong mengangkat Pedang Kayu Harum di tangannya.

"Cringggg…!"

Hek-liong-kiam tergetar hebat sehingga hampir saja tidak bisa dipertahankan oleh Siauw Lek. Cepat dia memutar pedangnya sehingga getaran itu terhenti, barulah dia melangkah mundur.

Pak-san Kwi-ong sudah meloloskan senjatanya pula, yaitu rantai panjang yang di kedua ujungnya bergantung dua buah tengkorak. Sambil memutar-mutar tengkorak pada ujung rantai, Pak-san Kwi-ong melangkah miring, demikian pula Cui Im menggerakkan kakinya sehingga Keng Hong terkurung oleh tiga orang lawannya.

Dengan kedua tangan gemetar Yap Cong San yang berdiri di pojok ruangan menuangkan isi guci arak ke dalam cawan di tangan kirinya. Entah kapan dia mengambil guci beserta cawan itu, mungkin tadi dia meninggalkan meja dengan kedua tangan masih memegang guci cawan, dan kini menyaksikan ketegangan di hadapan mata yang membuat kakinya seperti terpaku di lantai, dia ingin menenangkan hatinya dengan minum arak!

Benar-benar sial bagi pemuda sastrawan ini. Dia mundur-mundur sehingga punggungnya menempel daun pintu untuk lebih menjauhkan diri dari mereka yang hendak bertanding, akan tetapi baru saja dia menuangkan arak, tiba-tiba daun pintu terbuka dari luar.

Daun pintu itu menumbuk punggung Cong San, membuat pemuda ini kaget dan hampir terperosok ke depan. Ia terhuyung-huyung dan menoleh marah saking kagetnya.

Ternyata yang menerjang masuk adalah tiga orang pelayan yang bertubuh tinggi besar dan bertenaga kuat yang tadi melayani Cui Im dan dia. Akan tetapi tiga orang pelayan itu kini memegang golok besar dan sikap mereka bukan seperti pelayan lagi, melainkan lebih mirip algojo, juga gerakan mereka tangkas dan kuat. Memang tiga orang ini adalah tiga orang pengawal istana yang berhasil ‘dikait’ oleh Cui Im untuk membantunya menghadapi Keng Hong malam itu.

"Matamu kau taruh di mana?" Cong San membentak marah. "Membuka daun pintu tidak melihat-lihat lebih dulu!"

"Ehh, ohh... apa kau bilang?!" Seorang di antara pengawal itu balas membentak.

Dalam keadaan seperti itu mereka bukanlah pelayan-pelayan lagi, akan tetapi pengawal yang galak, apa lagi mendengar betapa ucapan pemuda itu tidak sehalus tadi, bahkan membentak kasar.

Cong San yang masih memegang guci arak di tangan kanan, cawan penuh arak di tangan kiri, berkata, "Aku bilang kalian ini tiga ekor anjing gendut yang matanya buta dan tidak tahu aturan, masuk tanpa permisi dan menubruk-nubruk seperti anjing gila!"

Cui Im juga mendengar suara Cong San ini. Sedetik dia merasa heran dan teringat pula dengan lantai di bawah meja. Akan tetapi karena ia sedang siap mengeroyok Keng Hong yang lihai, maka ia tak sempat menengok. Ada pun tiga orang pengawal yang mendengar maki-makian ini menjadi marah bukan main.

"Kutu buku busuk, mulutmu lancang sekali!" Teriak mereka dan ketiganya berlomba maju untuk memukul Cong San.

Sungguh sangat mengherankan bila mana orang menyaksikan perubahan sikap pemuda sastrawan itu. Kalau tadi dia sangat penakut, bahkan meloncat ke punggung kuda pun merasa ngeri, kini menghadapi ancaman tiga orang pengawal tinggi besar yang marah itu kelihatan tenang saja. Juga perubahan sikapnya yang tadi lunak dan halus menjadi kasar terasa amat aneh.

Melihat tiga orang itu seakan berlomba-lomba menghampirinya, entah hendak memukul atau membacok dengan golok mereka. Cong San tenang-tenang saja, dan setelah ketiga orang itu mendekat, dia hanya menggerakkan kedua tangan dan mengangkat kaki kiri.

Mungkin dia tidak bergerak, atau mungkin juga bergerak akan tetapi tentu cepat sekali karena sama sekali tidak diketahui tiga orang itu. Akan tetapi, secawan arak telah muncrat dan menyambar muka pengawal pertama yang menjerit karena muka dan kedua matanya seperti disiram air mendidih, kemudian pada setengah detik selanjutnya, ujung sepatunya mencium dada, tepat mengenai bagian di mana jantung berada.

Pengawal itu terguling dengan jantung pecah oleh tenaga yang keluar dari tendangan itu. Pada detik berikutnya cawan dan guci melayang, entah mana yang lebih dulu menyambar kepala dua orang pengawal yang lain dan…

“Prok! Prok!” hanya terdengar suara itu dan robohlah kedua tubuh pengawal itu.
Dalam waktu tidak ada setengah menit, tiga orang pengawal itu telah roboh di depan kaki Cong San dalam keadaan tidak bernyawa lagi!

Cui Im tidak melihat ini semua karena dia berdiri membelakangi pemuda itu. Akan tetapi dia mendengar jerit tiga orang pengawalnya dan mendengar suara gaduh ketika mereka roboh. Dengan sedikit memutar kepala dan mengerling Cui Im dapat melihat ke belakang dan alangkah kagetnya melihat betapa ketiga orang pengawal itu sudah mati, sedangkan Cong San masih berdiri di sudut sambil memangku kedua lengan di atas dada!

Keng Hong tertawa. Dia berdiri menghadap ke arah Cong San maka dia dapat melihat jelas, "Ha-ha-ha-ha! Alangkah lucunya! Batu baja disangka arang lapuk. Aku bermata dua akan tetapi seperti lamur! Sobat, maafkan aku yang tidak mengenal orang gagah. Akan tetapi dalam urusan pribadi ini harap engkau tidak ikut mencampuri karena aku juga tidak mengharapkan bantuan!"

"Cia-taihiap, lama aku mendengar nama besarmu, beruntung aku dapat bersua malam ini! Tidak ada bantu membantu karena aku pun mempunyai perhitungan besar dengan iblis betina cabul tak bermalu itu. Aku Yap Cong San ingin membalas kematian suheng Thian Ti Hwesio!"

Keng Hong dan Cui Im menjadi heran sekali. Mereka mengenal Thian Ti Hwesio, tokoh tingkat dua dari Siauw-lim-pai yang terbunuh oleh Cui Im. Hwesio itu sudah tua, hampir tujuh puluh tahun usianya dan kabarnya murid ketua Siauw-lim-pai sendiri. Tapi mengapa mempunyai sute yang begini muda?

Akan tetapi Cui Im yang merasa kecelik dan tertipu, sudah menjadi marah sekali dan dia pun maklum bahwa kalau tidak lekas-lekas turun tangan, rencananya pasti gagal. Dia lalu melengking nyaring dan menggerakkan pedang merahnya menyerang Keng Hong.

Gerakannya ini cepat disusul oleh Siauw Lek yang menggerakkan pedang hitamnya, dan diselingi menyambarnya dua buah tengkorak di ujung rantai Pak-san Kwi-ong! Keng Hong bersikap tenang akan tetapi dia sama sekali tidak berani memandang rendah. Dia maklum bahwa Cui Im merupakan lawan yang amat tangguh dan banyak mengenal ilmu silatnya, bahkan mereka belajar bersama di dalam goa di bawah Kiam-kok-san.

Juga dia maklum akan kelihaian Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek yang kabarnya murid tunggal Go-bi Chit-kwi. Tentu saja dia sudah mengenal pula kehebatan ilmu silat Pak-san Kwi-ong sebagai salah seorang di antara Bu-tek Su-kwi, empat orang datuk hitam yang menggemparkan dunia persilatan.

Dia dikeroyok tiga orang yang berilmu tinggi, maka pemuda sakti ini cepat menggerakkan Siang-bhok-kiam dan pertandingan yang amat seru terjadilah di dalam pondok merah di mana biasanya hanya terjadi pertandingan yang lain lagi sifatnya!

Yap Cong San masih berdiri tenang sambil menonton pertandingan yang dahsyat itu. Dia maklum orang apa adanya Cia Keng Hong yang sudah dia dengar namanya, murid Sin-jiu Kiam-ong yang amat lihai. Dan dia pun dapat menyelami watak seorang gagah seperti itu, maka dia tidak berani turun tangan membantu begitu saja, khawatir kalau menyinggung harga dirinya.

Dengan pandang mata tajam penuh selidik dan penilaian, dia menjadi kagum bukan main kepada Keng Hong. Memang pemuda ini bukan memiliki nama kosong, pikirnya, bahkan tidak lumrah.

Ia pun terkejut menyaksikan gerakan-gerakan tiga orang pengeroyok yang amat dahsyat, terutama sekali pedang merah yang digerakkan Cui Im. Maklumlah dia bahwa dia sendiri bukan tandingan wanita cabul itu. Pedang merahnya terlalu hebat dan bila yang dikeroyok bukan seorang pemuda sakti seperti Keng Hong yang memegang Siang-bhok-kiam, tentu kiranya tidak dapat bertahan lama.

Cong San juga kagum menyaksikan gerakan dahsyat Pak-san Kwi-ong. Dia pun sudah mendengar nama besar raksasa hitam ini, seorang datuk hitam dari utara, tokoh besar golongan sesat. Dan dia harus mengaku pula di dalam hatinya bahwa untuk menangkan kakek hitam itu, harapannya tipis sekali.

Pengeroyok ke tiga tidak dikenalnya akan tetapi karena dia telah melakukan penyelidikan sebelum memasuki kota raja, dia dapat menduga bahwa laki-laki tampan pesolek yang memegang pedang hitam itu tentulah Kiam-lian Jai-hwa-ong adanya! Di antara tiga orang pengeroyok kiranya si penjahat cabul ini yang paling rendah tingkatnya. Namun serendah-rendahnya, Cong San masih tidak berani menentukan bahwa dia pasti akan menang bila menghadapinya. Benar-benar Cia Keng Hong dikeroyok oleh tiga orang lawan yang amat tinggi kepandaiannya, dan hal ini membuat Cong San makin kagum terhadap Keng Hong.

Keng Hong maklum bahwa dia sudah dikurung dan jalan keluar sudah ditutup oleh tiga orang pengeroyoknya. Hal ini berarti bahwa memang Cui Im sudah melakukan rencana matang untuk membunuhnya karena dia dianggap penghalang besar dalam hidup wanita itu. Biar pun ruangan itu cukup luas, akan tetapi kalau makin banyak datang anak buah Cui Im, akan sukar baginya menyelamatkan diri. Sedangkan untuk merobohkan tiga orang ini dalam singkat saja merupakan hal yang tak mudah.

Keng Hong memutar pedangnya, sekaligus dia menangkis sambaran senjata ketiga orang lawannya, lalu melompat ke kanan, kakinya menyambar meja yang mencelat ke depan. Mangkok-mangkok dan sumpit yang tadi digunakan oleh Cui Im dan Cong San, dengan cepat sekali menyambar ke arah tiga orang pengeroyok itu.

Tentu saja mereka bertiga menganggap serangan meja seisinya itu bukan apa-apa. Akan tetapi karena ternyata mangkok-mangkok itu masih mengandung banyak kuah, repot juga mereka mengelak sambil berloncatan, bukan takut terluka melainkan takut pakaian atau tubuh mereka menjadi kotor disiram kuah masakan!

Kesempatan itu dipergunakan Keng Hong untuk mencelat ke depan dan Siang-bhok-kiam pada tangannya bergerak seperti angin badai menyambar ke arah tiga orang itu. Hebat bukan main serangan Pedang Kayu Harum ini dan memang Keng Hong telah menyerang dengan jurus dari Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut ciptaan gurunya. Getaran pedangnya terasa di seluruh ruangan, bahkan terasa pula oleh Yap Cong Sang yang berdiri di sudut sehingga pemuda ini tak kuasa menahan seruan pujiannya.

"Bagus sekali kiam-sut itu!"

Tiga orang pengeroyok itu pun terkejut karena tahu-tahu ada gulungan cahaya kehijauan yang sangat harum menyambar mereka dari angkasa. Ketiganya sudah mengenal ilmu pedang itu, maka cepat mereka menangkis dengan senjata masing-masing.

"Cring-cring-cringgggg...!"

Siauw Lek terhuyung ke belakang. Pak-san Kwi-ong menggereng marah melihat betapa bagian dagu sebuah tengkoraknya semplak. Hanya Cui Im yang dapat menangkis dengan baik dan kini wanita itu malah sudah membalas dengan serangan kilat sehingga tubuhnya lenyap dan yang tampak hanya sinar merah pedangnya meluncur bagaikan anak panah berapi. Serangan itu disusul Pak-san Kwi-ong yang marah dan Siauw Lek yang sangat penasaran. Kembali Keng Hong dikurung oleh tiga orang yang membentuk barisan segi tiga.

Yap Cong San mengangguk-angguk. Dia sangsi apakah di dunia ini ada tokoh kang-ouw yang ilmu kepandaiannya dapat mengatasi Keng Hong. Dia sungguh-sungguh kagum dan mengertilah dia mengapa dahulu nama Sin-jiu Kiam-ong menggetarkan langit dan bumi. Kiranya memang luar biasa lihainya dan hal itu dapat dilihat dari kelihaian muridnya.

Dia tidak khawatir kalau Keng Hong akan kalah menghadapi tiga orang itu, sungguh pun dia tahu pula bahwa bagi Keng Hong pun tidak akan mudah merobohkan mereka. Asal tiga orang itu tidak mendapat bantuan lagi, dia percaya biar pun agak lama akhirnya murid Sin-jiu Kiam-ong akan menang.

Tiba-tiba Cong San mengeluarkan suara menyumpah marah ketika dia melihat sesuatu berkilauan menyambar masuk lewat jendela. Maklumlah dia bahwa yang menyambar itu adalah senjata-senjata rahasia yang amat hebat. Cepat dia merogoh bajunya, tangannya bergerak pula dan beberapa senjata rahasia touw-kut-chi (uang logam penembus tulang) melayang dan memapaki sinar-sinar putih itu.

Terdengar suara nyaring dan beberapa batang pisau terbang itu runtuh ke lantai bersama uang logam yang dilepaskan Cong San. Pemuda ini terkejut juga melihat betapa senjata rahasia uang logamnya telah pecah menjadi berkeping-keping. Hal ini menandakan kalau si pelempar pisau bukanlah orang sembarangan pula!

Pelempar pisau terbang itu bukan lain adalah Kemutani. Seperti sudah direncanakan Cui Im, Kemutani membantunya dan karena ilmu silat Kemutani adalah yang paling rendah di antara mereka semua, maka Kemutani disuruh membantunya dengan sambitan-sambitan pisau terbangnya!

Dalam ilmu ini Kemutani memang merupakan seorang ahli. Sungguh pun empat orang itu sedang bertanding dengan seru, dia masih sanggup untuk menyerang Keng Hong dengan pisau-pisaunya tanpa membahayakan teman-temannya.

Ketika melihat betapa lemparan pertama dari pisaunya runtuh di tengah jalan, Kemutani terkejut dan marah sekali. Siapa yang berani main-main dengan dia? Dia lalu menerjang masuk melalui pintu untuk dapat menyerang dari luar pondok, melalui jendela. Karena dia tergesa-gesa masuk, dia tidak melihat Cong San yang berdiri di sudut dekat pintu.

"He, siapa kau dan mau apa?" Cong San menegur dengan suara dibuat-buat.

Kemutani membalikkan tubuhnya dan begitu melihat Cong San, dia meludah! Tadi ketika masih berada di tempat persembunyian, dia menjadi sangat cemburu dan iri hati melihat betapa pemuda ini dicumbu oleh Cui Im.

"Kau...? Phuah, cacing tanah tiada guna! Kenapa engkau belum menggelinding pergi dari sini? Menghalangi orang bertempur saja!" sambil berkata demikian, Kemutani meludah lagi, kini sengaja meludah di dekat kaki Cong San dengan sikap menghina sekali.

Dia membalikkan tubuhnya, dan tangannya meraba-raba pinggangnya di mana dipasang banyak pisau-pisau kecil yang sangat tajam dan runcing. Itulah pisau-pisau terbangnya, yaitu semacam pisau belati yang di samping dapat dia pergunakan sebagai senjata dalam pertempuran, juga dapat dia lemparkan bagaikan anak panah. Karena senjatanya inilah Kemutani terkenal dengan julukan Hui-to (Si Golok Terbang) dan dipilih menjadi pegawai rahasia kaisar.

"Eeeiiit-eeeiiit..., nanti dulu. Mengapa tergesa-gesa?"

Merasa betapa lengannya dipegang orang dari belakang, Kemutani membalikkan tubuh dan betapa heran dan marahnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa yang memegang lengannya adalah si sastrawan lemah yang dimakinya cacing tanah itu! Matanya melotot, mukanya yang pucat menjadi agak merah dan dia membentak dengan suara serak dan dengan ludah berhamburan.

"Mau apa...? Perlu apa kamu...?!"

"Engkau belum membayar!" Cong San menjawab sambil menjauhkan mukanya agar tidak kehujanan air ludah.

"Bayar? Bayar apa? Gilakah kamu?"

"Bayar karena kau meludah sembarangan. Bayar pajak, dan inilah bayarannya!"

"Plak-plak-plak...!"

Dua pipi Kemutani telah ditampar oleh telapak tangan Cong San. Keras sekali tamparan itu sehingga Kemutani merasa dunia seperti melambung-lambung dan bintang-bintang di langit berjatuhan dan menari-nari di depan kedua matanya. Akan tetapi rasa heran, kaget dan marah membuat dia cepat dapat menguasai dirinya kembali. Ia merasa terlalu heran melihat sastrawan lemah itu berani menamparnya!

"Kau... kau yang menamparku tadi?"

Cong San mengangguk, bertolak pinggang. "Apakah mau tambah?"

"Setan demit keparat!" Kemutani memaki-maki dalam bahasa Mongol dan dua sinar putih menyambar ketika tahu-tahu kedua tangannya yang sudah memegang sebuah belati itu menyambar. Sebuah menyambar leher dan sebuah lagi menyambar perut.

"Hemmm, bagus juga!" Cong San cepat mengelak dengan melengkungkan dan menarik tubuh ke belakang.

Diam-diam dia merasa terkejut sekali. Orang ini tidak hanya lihai melempar pisau, akan tetapi serangannya ini pun hebat. Ia tidak boleh main-main dan sekali tangan pemuda ini bergerak, dia telah mencabut keluar sebuah pensil putih di tangan kiri dan sebatang lagi pensil hitam di tangan kanan. Inilah senjatanya yang amat lihai yang disebut Im-yang-pit.

Keistimewaan kedua senjata pemuda murid ketua Siauw-lim-pai ini adalah bahwa selain Im-yang-pit dapat dipakai menotok jalan-jalan darah terpenting juga dapat dipakai sebagai alat tulis yang cocok pula dengan keahliannya, yaitu menulis sajak pasangan dan melukis! Juga senjata rahasia uang logam yang digunakan oleh Yap Cong San adalah uang logam sebetulnya sehingga selain dipakai untuk menyerang lawan, juga bisa dipakai untuk jajan!

Yap Cong San merupakan murid terbaru dan tersayang dari Tiong Pek Hoasiang, ketua Siauw-lim-pai yang sudah amat tua dan amat sakti itu. Sebetulnya, setelah menyerahkan urusan-urusan dunia yang menyangkut Siauw-lim-pai kepada dua orang muridnya, yaitu murid-murid kepala Thian Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio, ketua Siauw-lim-pai yang tua ini sudah mengundurkan diri dan hanya tekun bertapa.

Akan tetapi, pada suatu hari Thian Ti Hwesio yang baru saja pulang dari tugas keluar, membawa seorang bocah laki-laki menghadap ketua yang menjadi gurunya itu kemudian menceritakan bahwa bocah itu terpaksa dia bawa ke kelenteng Siauw-lim-pai oleh karena seluruh keluarganya sudah terbunuh ketika terjadi perang saudara.

Melihat anak itu yang bukan lain adalah Yap Cong San, hati kakek tua itu merasa terharu dan suka sekali. Maka, selain Cong San diterima menjadi kacung bukan calon hwesio, juga dia malah menjadi kacung pribadi Tiong Pek Hosiang dan akhirnya malah diangkat menjadi murid terakhir.

Cong San amat cerdik, tidak saja dalam ilmu silat, tetapi dia juga pandai sekali dalam ilmu sastra sehingga ketua Siauw-lim-pai semakin menyayanginya. Hanya ada satu hal yang mengecewakan hati Tiong Pek Hosiang, yaitu bahwa muridnya ini tidak menjadi hwesio.

Betapa pun juga, bakat besar yang ada pada diri Cong San membuat Tiong Pek Hosiang tiidak segan-segan untuk mencurahkan seluruh perhatiannya serta mengajarkan semua ilmunya kepada pemuda itu. Apa lagi karena Cong San sangat tekun belajar sehingga sampai berusia dua puluh lima tahun, pemuda itu tidak pernah keluar kuil, bahkan belum pernah bermalas-malasan.

Kalau tidak membaca kitab-kitab memperdalam ilmu kesusastraan, tentu dia berlatih silat! Tidaklah mengherankan kalau dengan bakat besar, ditambah ketekunan serta bimbingan seorang guru sakti, Cong San mampu menguasai ilmu-ilmu Siauw-li-pai yang tinggi-tinggi sehingga tingkat kepandaiannya malah melampaui tingkat kedua orang suheng-nya, yaitu Thian Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio!

Baru sesudah Thian Ti Hwesio terbunuh oleh Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, pemuda ini bersumpah untuk membalas dendam dan mohon kepada gurunya untuk mengijinkannya mencari pembunuh suheng-nya. Setelah Tiong Pek Hosiang mengijinkan, pemuda itu pun turun gunung, mulai dengan perantauannya mencari jejak Ang-kiam Bu-tek yang akhirnya membawanya ke kota raja. Biar pun dia telah memiliki ilmu kepandaian silat tinggi, namun Cong San tetap berpakaian sebagai seorang pelajar dan tidak menonjolkan kepandaian silatnya sehingga ahli-ahli silat seperti Cui Im, bahkan Keng Hong sendiri sampai tidak dapat mengenalnya.

Ketika dia diserang oleh Kemutani, Cong San maklum bahwa untuk menghadapi lawan yang bersenjata dua batang pisau lihai itu, tak mungkin dia akan menang jika bertangan kosong. Diam-diam dia juga merasa terkejut mengapa malam ini di tempat itu, ketika hatinya sudah girang bisa menemukan pembunuh suheng-nya, dia harus bertemu dengan orang-orang yang berilmu tinggi. Bahkan orang bermuka pucat yang menyerangnya ini pun amatlah lihainya, sama sekali bukan seperti tiga orang pengawal yang dirobohkannya tadi.

Pertandingan antara Kemutani dengan Yap Cong San segera berlangsung seru. Senjata mereka sama sepasangnya, juga sama kecilnya, dan karena senjata kecil membutuhkan kecepatan besar, mereka bergerak amat cepat seolah-olah bayangan mereka saling belit menjadi satu.

Kemutani bertanding sambil memaki-maki saking marah dan saking penasaran hatinya mendapat kenyataan bahwa pemuda yang tadinya dibelai dan dipermainkan oleh Cui Im itu ternyata adalah seorang lihai dan seorang musuh pula. Ia merasa penasaran karena ternyata orang yang dianggap lemah ini merupakan lawan tangguh, dan lebih penasaran hatinya karena halangan Cong San ini membuat dia tidak sempat membantu Cui Im untuk menghadapi Keng Hong.

Seperti juga Cong San yang perlahan-lahan dapat mendesak lawannya, Keng Hong yang dikeroyok tiga juga mulai mendesak ketiga orang lawan lihainya dengan mempergunakan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun. Ilmu silat ini bisa dia mainkan dengan pedang, bahkan dipetik inti sarinya lantas digabung dengan Siang-bhok Kiam-sut yang lihai sehingga tiga orang lawannya menjadi bingung.

Cui Im yang lebih mengenal ilmu-ilmu Keng Hong dan yang memiliki kepandaian paling tinggi, di samping ilmu pedangnya sendiri yang amat tangguh, juga menjadi amat bingung menyaksikan gerakan-gerakan tubuh Keng Hong. Hanya Cui Im yang berani mengadu tenaga sinkang lewat pedang melawan Keng Hong, karena gadis ini selain mempunyai sinkang kuat, juga dapat menghindarkan diri dari tenaga sedotan yang juga dipergunakan Keng Hong dalam menghadapi para pengeroyoknya.

Beberapa kali sudah Pak-san Kwi-ong dan Siauw Lek kena disedot sinkang mereka oleh Keng Hong pada saat senjata mereka saling bertemu. Senjata kedua orang pengeroyok ini melekat pada Siang-bhok-kiam dan tenaga sinkang mereka membanjir melalui telapak tangan yang memegang senjata. Untung bahwa Cui Im bergerak cepat dan menggunakan pedangnya untuk menyerang lengan Keng Hong sehingga pemuda ini terpaksa segera membebaskan senjata lawan dari tempelan pedangnya untuk menghadapi Cui Im.

Dan karena beberapa kali mengalami kekagetan, Pak-san Kwi-ong dan Siauw Lek yang berilmu tinggi menjadi hati-hati sekali, tak lagi berani mengadu senjata secara berterang. Hal ini membuat Keng Hong mendapat angin dan dia terus mendesak serta mengarahkan desakannya terutama kepada Cui Im. Karena gadis ini menolak untuk mengembalikan pusaka-pusaka itu, terpaksa dia akan membunuh Cui Im dan baru kemudian menyelidiki di mana adanya pusaka yang yang dicuri wanita itu.

Hebat bukan main desakan Keng Hong. Suatu saat, sinar hijau dari pedangnya meluncur ke arah tubuh Cui Im, dan semua tenaga dikerahkan menjadi satu. Cui Im terkejut bukan main dan berusaha menangkis beberapa kali dengan pedang merahnya, akan tetapi sinar hijau itu seperti seekor naga sakti mengamuk, tiap kali ditangkis menyerang terus, makin lama makin cepat dan kuat.

Melihat ini, Pak-san Kwi-ong dan Siauw Lek berseru keras lantas menerjang Keng Hong yang sedang mendesak Cui Im itu dari belakang. Tiba-tiba saja Keng Hong membalikkan tubuh, sebelah lututnya ditekuk dan tangan kirinya menghantam ke depan dengan telapak tangan terbuka.

"Wirrrrrrrr...!"

Hawa pukulan sinkang yang keluar dari telapak tangan kiri Keng Hong ini bukan main kuatnya sehingga Pak-san Kwi-ong sendiri sampai terhuyung ke belakang, bahkan Siauw Lek terdorong dan roboh bergulingan. Sebelum Siauw Lek mampu bangkit kembali, Keng Hong sudah mencelat lagi sambil membuat poksai tiga kali, kemudian dari atas tubuhnya didahului sinar hijau pedang Siang-bhok-kiam, menusuk ke bawah dan meluncur ke arah kepala Cui Im.

"Crinnnnggggg...!"

Cui Im yang menangkis langsung terdorong, kemudian terjengkang dan bergulingan untuk menyelamatkan diri dari sinar hijau yang hendak menyambarnya.

"Sret-srettt-sretttt...!"

Keng Hong sudah mengenal Cui Im dan tahu bahwa selain lihai ilmu silatnya, wanita ini juga curang sekali dan sangat berbahaya jika sudah terdesak, karena senjata rahasianya amat keji. Karena itu, ketika tadi Cui Im bergulingan, dia mengejar dengan waspada.

Tepat seperti dugaannya, sinar-sinar merah kecil dari jarum-jarum merah beracun yang disambitkan Cui Im sambil bergulingan segera menyambar. Keng Hong menggerakkan pedang Siang-bhok-kiam dan jarum-jarum itu runtuh semua. Akan tetapi Cui Im, Pak-san Kwi-ong dan Siauw Lek sudah dapat mengurungnya kembali dengan terjangan dahsyat sehingga Keng Hong harus cepat mengelak dan menangkis.

Namun sebentar saja Keng Hong yang mainkan ilmu silat campuran Thai-kek Sin-kun dan Siang-bhok Kiam-sut, telah membuat bingung tiga orang lawannya yang kembali terdesak hebat. Melihat keadaan tidak menguntungkan ini, tanpa malu-malu Cui Im berteriak,

"Kemutani, hayo bantu...!"

Pada saat itu, Kemutani sendiri telah mandi keringat, terdesak oleh sepasang Im-yang-pit yang lihai di tangan Yap Cong San. Beberapa kali dia terkena totokan, dan sungguh pun totokan itu tidak tepat kenanya karena selain dia sempat menangkis ditambah kebalnya tubuh, namun dia masih merasakan nyeri hingga permainan sepasang pisaunya menjadi kacau balau. Sekarang ia hanya dapat menangkis dan mengelak, tidak sempat membalas serangan lawan.

Mendengar seruan Cui Im itu, dia menjadi bingung dan mendadak peranakan Mongol ini melempar tubuh ke belakang sambil menyambitkan dua batang pisau yang tadi dipegang pada kedua tangannya. Sambitannya amat cepat dan karena jarak mereka dekat, melihat dua sinar yang menuju ke dada dan perutnya itu Cong San segera menggulingkan tubuh ke kiri terus bergulingan. Kesempatan itu digunakan oleh Kemutani untuk meloncat sambil mencabut beberapa batang pisau, langsung menerjang maju ke gelanggang pertempuran dan kedua tangannya bertubi-tubi menyambitkan pisau-pisau itu ke arah Keng Hong.

Walau pun Keng Hong dapat memukul runtuh semua pisau satu demi satu, akan tetapi gangguan ini membuat dia repot juga melayani desakan tiga orang lawannya yang lihai. Sementara itu, melihat Kemutani telah meninggalkannya bahkan menghujani tubuh Keng Hong dengan sambitan-sambitan pisau terbang, Cong San yang sudah meloncat bangun lagi menjadi marah dan membentak,

"Pengecut!" Dia segera menyimpan kedua pensilnya dan mengeluarkan segenggam uang tembaga, lalu kedua tangannya juga bekerja. Belasan buah uang tembaga itu bercuitan menyambar ke arah punggung Kemutani.

Sebagai seorang ahli menggunakan senjata rahasia, Kemutani bisa mengenal desir angin bercuitan ini. Cepat dia memutar tubuh dan siap untuk mengelak atau menangkis. Namun karena tadi perhatiannya dicurahkan kepada Keng Hong, dia sedikit terlambat mengelak. Meski dia sudah meloncat ke atas untuk menghindarkan sambaran sinar-sinar kehitaman itu, masih ada sepotong uang tembaga yang tadinya menyambar ke perutnya, kini malah menancap di bawah pusar, tepat pada anggota rahasia di bawah pusar.

Kemutani mengeluarkan suara jeritan mengerikan dan ketika tubuhnya terbanting ke atas lantai, rasa nyeri membuat dia gelap mata. Kedua tangannya mencengkeram bagian yang nyerinya bukan main itu dan tentu saja sekali remas anggota badannya sendiri menjadi hancur lebur! Nyawanya melayang bersama jeritan ke dua yang lebih menyeramkan dari pada tadi!

"Cia-taihiap, aku bukannya membantumu, akan tetapi aku juga harus membalas kematian suheng-ku di tangan wanita iblis ini!" Sambil berkata demikian, Yap Cong San yang sudah mencabut kembali Im-yang-pit, menubruk maju, pit atau pensil hitamnya menotok mata kanan Cui Im sedangkan pensil putih menotok ulu hati di antara sepasang buah dada.

Cui Im kaget melihat Kemutani roboh dan tewas, juga kaget menyaksikan serangan yang sangat berbahaya itu. Ia mengelak dari totokan pada mata dan menangkis totokan pada dadanya, kemudian membarengi tangkisan pedangnya, tangan kirinya pun bergerak maju mencengkeram ke arah leher Cong San yang cepat meloncat mundur.

Sejenak Cui Im memandang pemuda yang tadinya dia harapkan akan dapat memuaskan nafsunya itu. Pandang matanya kehilangan kemesraannya yang tadi, terganti pandangan penuh kebencian.

"Manusia tak kenal budi, mampuslah!" Pedang merahnya berkelebat dan gerakan pedang yang aneh ini meski pun sudah tiga kali dapat ditangkis oleh sepasang pensil Cong San, tetap saja mendesak terus dan Cong San mundur-mundur terdesak hebat!

Untung baginya. Melihat bahwa betapa pun lihainya, namun pemuda murid Siauw-lim-pai itu tidak akan dapat menandingi Cui Im, Keng Hong sudah menerjang lagi dengan Siang-bhok-kiam sehingga terpaksa Cui Im meninggalkan Cong San untuk melindungi tubuhnya terhadap sinar hijau yang bergulung-gulung dahsyat.

Cong San tidak menjadi jeri dan kapok. Ia sudah menyerang lagi dengan totokan-totokan maut ditujukan kepada tujuh jalan darah di tubuh Cui Im, jalan darah kematian. Namun Siauw Lek sudah menghadapinya dan menangkis serangannya dengan pedang hitam.

Pak-san Kwi-ong maklum bahwa pihaknya semakin lemah dengan robohnya Kemutani, maka dia lalu mengeluarkan suara bercuitan nyaring. Memang sudah direncanakan oleh Cui Im bahwa apa bila pihak mereka menang angin, mereka tidak akan membawa-bawa para penjaga tembok kota raja untuk mencampuri urusan pribadi mereka. Akan tetapi jika mereka menghadapi kegagalan, tidak ada lain cara untuk menyelamatkan diri kecuali memberi tanda kepada para penjaga, mengerahkan pasukan untuk membantu mereka! Pak-san Kwi-ong kini menggunakan tanda itu untuk memanggil pasukan yang menjaga di pintu gerbang dan di sepanjang tembok kota raja.

Keng Hong dapat menduga apa artinya suitan nyaring itu. Tentu kakek hitam itu sedang memanggil bala bantuan. Celaka, pikirnya. Kalau saja dia sampai bentrok dengan para pengawal, walau pun terjadi di luar kota raja, dia bisa dianggap pemberontak.

Ia menjadi marah sekali kepada Pak-san Kwi-ong, maka dia langsung menyerang kakek itu dengan menusukkan pedangnya. Pak-san Kwi-ong cepat melangkah ke kanan sambil menyabetkan rantainya. Sebuah tengkorak menangkis pedang Siang-bhok-kiam dan yang sebuah lagi melayang ke arah muka pemuda itu bagaikan hendak menciumnya. Ciuman tengkorak senjata Pak-san Kwi-ong adalah ciuman maut!

"Krekkk...! Darrrr...!"

Rantai itu putus dibabat Siang-bhok-kiam sedangkan tengkorak yang akan mencium Keng Hong dihantam tangan kiri pemuda sakti ini sehingga meledak! Untung bahwa Keng Hong sudah waspada, begitu menghantam tengkorak lalu meloncat ke atas. Kalau tidak tentu dia akan menjadi korban senjata-senjata rahasia yang menyambar keluar dari tengkorak yang pecah dihantamnya tadi. Bahkan ujung pedangnya yang membabat putus rantai, masih berhasil menusuk leher si kakek hitam.

Pak-san Kwi-ong yang kaget sekali masih berusaha mengelak, akan tetapi kurang cepat sehingga pundaknya tertusuk Siang-bhok-kiam. Dia menggereng dan melempar tubuh ke belakang, terus bergulingan sampai jauh kemudian meloncat bangun dan menghilang di dalam gelap!

Pada saat itu pula pasukan pengawal yang menjaga di sepanjang tembok dan di pintu gerbang sudah berlari-lari mendatangi, membawa obor dan senjata. Keng Hong dan Cong San masih bertanding melawan Cui Im dan Siauw Lek pada saat pasukan itu datang dan sambil berteriak-teriak mengurung dua orang muda itu.

Cui Im dan Siauw Lek yang mengerti bahwa sekali ini mereka tak mungkin dapat kembali ke istana karena tentu akan menerima hukuman karena selain meninggalkan tugas, juga membuat ribut sehingga mengorbankan nyawa Kemutani dan bahkan Pak-san Kwi-ong yang terluka tadi agaknya juga melarikan diri, cepat berseru keras. Dengan menggunakan kesempatan selagi Keng Hong dan Cong San dikeroyok oleh banyak pengawal, mereka meloncat dan menyelinap di antara para pasukan, langsung melarikan diri.

"Saudara Yap, jangan melawan pasukan istana. Kita kejar iblis betina itu!" Keng Hong mengingatkan pemuda murid ketua Siauw-lim-pai yang gagah perkasa itu.

Kemudian dia melompat dan merobohkan para penghadang dengan dorongan-dorongan tangannya, lalu mengejar ke arah larinya Siauw Lek dan Cui Im. Cong San maklum akan maksud Keng Hong. Memang amat berbahaya kalau mereka memusuhi pasukan istana.

Pula, dia sama sekali tidak ada urusan dengan pasukan pemerintah, melainkan Ang-kiam Bu-tek yang sekarang sudah melarikan diri. Cepat dia mencontoh perbuatan Keng Hong, merobohkan para pengeroyok tanpa melukai mereka dan melarikan diri mengejar Keng Hong yang sudah berhasil lolos dari kepungan.

"Siauw Lek, kita berpencar!" kata Cui Im berseru kepada kawannya itu ketika ia melihat ke belakang dan tahu bahwa Keng Hong tentu akan melakukan pengejaran.

Siauw Lek pun mengerti bahwa kalau mereka berpencar, hal ini akan membingungkan Keng Hong dalam melakukan pengejaran. Selain itu, dia tahu betul bahwa yang diincar oleh Keng Hong dan murid Siauw-lim-pai itu adalah Cui Im. Kalau dia lari bersama Cui Im tentu akan ikut celaka di tangan Keng Hong yang lihai bukan main.

"Baik, sampai jumpa, Cui Im!" katanya.

Mereka lalu berpencar secepat mungkin. Malam yang gelap menolong mereka karena bayangan mereka segera lenyap pada saat Keng Hong dan Cong San masih memaksa keluar dari kepungan pasukan.

Ketika akhirnya dua orang muda itu berhasil meninggalkan para pasukan dan mengejar, mereka menjadi bingung karena bayangan Cui Im dan Siauw Lek lenyap dalam hutan yang gelap. Cong San hendak mengejar terus, namun tangannya dipegang Keng Hong yang berkata,
"Tiada gunanya dikejar. Selain sia-sia, juga amat berbahaya. Dia lihai dan curang bukan main."

Cong San berhenti mengejar sehingga sejenak mereka berhadapan. Akhirnya Keng Hong menarik napas panjang dan berkata, "Aku kagum sekali kepadamu, Yap-loheng (kakak Yap). Aku tak pernah mendengar akan seorang murid Siauw-limpai seperti engkau, tetapi kulihat tingkat kepandaianmu tadi benar-benar hebat, tak kalah oleh suheng-suheng-mu, mendiang Thian Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio. Tidak kusangka bahwa Siauw-lim-pai masih menyimpan seorang jago muda seperti engkau."

"Hemmm, kepandaianku tidak ada artinya. Kalau tidak ada engkau, Cia-haihiap, tentu aku sudah tewas. Aku tidak akan menang melawan mereka yang lihai sekali itu."

"Yap-loheng, sungguh tidak enak mendengar seorang gagah seperti engkau menyebutku taihiap (pendekar besar). Aku suka sekali berkenalan, mari kita sama-sama mencari Cui Im. Bila mana dia sudah mengembalikan semua pusaka yang dia curi, termasuk pusaka-pusaka yang berupa kitab-kitab dari Siauw-lim-pai, dia akan kuserahkan kepadamu, baik untuk kau tawan dan bawa ke Siauw-lim-pai atau pun hendak kau bunuh, terserah. Dia seorang manusia yang berwatak iblis."

Cong San menjawab, suaranya agak dingin. "Cia-taihiap. Gurumu, Sin-jiu Kiam-ong juga disebut taihiap oleh suhu sendiri. Engkau sebagai muridnya amat lihai dan sepatutnya aku menyebutmu taihiap. Akan tetapi, maaf... tentang bekerja sama di antara kita... Hemmm, terus terang saja, Taihiap, secara pribadi aku suka kepadamu dan sangat kagum. Akan tetapi... sebagai murid Siauw-lim-pai agaknya tidak mungkin lagi bagi saya untuk bekerja sama denganmu. Tentu Taihiap sudah mengerti apa yang kumaksudkan..." Dalam gelap terdengar pemuda baju hijau itu menghela napas panjang.

Keng Hong tersenyum pahit, "Aku tahu, Loheng. Aku mengerti dan sama sekali aku tak menyalahkanmu. Mendiang suhu pernah melakukan kesalahan terhadap Siauw-lim-pai, telah mengambil dua buah kitab. Justru untuk itulah aku mengejar-ngejar Cui Im, untuk mendapatkan kembali pusaka-pusaka suhu yang dicurinya, di antaranya ada dua buah kitab Siauw-lim-pai itu. Sebelum dua buah kitab itu kukembalikan kepada Siauw-lim-pai, tentu pihak Siauw-lim-pai akan menganggap mendiang suhu sebagai musuh, dan karena aku muridnya... Hemmm, baiklah. Kita tidak dapat bekerja sama karena engkau sebagai murid yang baik dan berbakti tentu tidak akan mau melanggar pendirian Siauw-lim-pai. Nah, sampai jumpa, Loheng!" Setelah menjura, Keng Hong berkelebat lenyap dari depan pemuda itu.

Cong San kembali menghela napas dan merasa menyesal sekali. Dia akan suka sekali bersahabat dengan Keng Hong. Lagi pula, tanpa bantuan Keng Hong bagaimana ia akan mampu membalas kematian suheng-nya? Tidak mungkin dia akan mampu mengalahkan Ang-kiam Bu-tek yang lihai itu, apa lagi perempuan cabul itu mempunyai seorang teman yang lihai seperti pria yang dilawannya tadi. Juga kakek hitam itu amat lihai. Betapa pun juga, dia akan terus mencari Cui Im sampai dapat dan akan berdaya upaya untuk dapat membalas dendam kematian suheng-nya.

Karena Cong San maklum pula bahwa tentu Keng Hong tidak akan tinggal diam dan tentu mencari Cui Im, dan dia pun dapat mengerti bahwa Keng Hong tentu akan lebih dahulu dapat menyusul wanita itu, maka dia pun kini tinggal mengikuti jejak Keng Hong saja.

Ia bermalam di hutan itu dan pada keesokan harinya dia baru melanjutkan perjalanannya, menuju ke arah perginya Keng Hong malam tadi, yaitu ke selatan. Ketika dia akan keluar dari hutan, pandang matanya tertarik oleh sebatang pohon yang sebagian kulit batangnya terkupas. Pandang matanya yang tajam dapat melihat tulisan yang terukir di batang yang ‘telanjang’ dan putih itu. Dia menghampiri dan melihat ukiran huruf yang indah dan kuat goresannya.

JEJAKNYA MENUJU DUSUN SIN-NAM

Mudah saja bagi Cong San untuk menduga siapa penulis huruf-huruf terukir itu. Siapa lagi kalau bukan Keng Hong. Diam-diam merasa kagum dan menyesal mengapa tokoh-tokoh Siauw-lim-pai berkukuh menganggap murid Sin-jiu Kiam-ong ini sebagai musuh. Padahal dia mengerti akan penderitaan batin Keng Hong yang jelas bertekad hendak ‘menebus dosa’ gurunya dan mengembalikan pusaka-pusaka yang dahulu diambil gurunya, dan kini telah dicuri oleh Ang-kiam Bu-tek. Dia merasa gembira sekali. Keng Hong agaknya tidak lupa kepadanya dan memberi petunjuk.

Di ladang-ladang yang terdapat di luar hutan, dia bertanya kepada seorang petani yang menggarap ladang di mana letak dusun Sin-nam. Kiranya dusun itu berada di sebelah selatan, hanya belasan li dari situ. Dengan cepat Cong San melanjutkan perjalanannya menuju ke dusun Sin-nam.

Akan tetapi di dusun ini dia tidak melihat Keng Hong, apa lagi Cui Im yang dia cari. Selagi dia bingung, tidak tahu harus mengejar ke mana dan selagi dia hendak bertanya-tanya, tiba-tiba muncul seorang anak kecil berusia kurang lebih sepuluh tahun. Anak itu segera menghampirinya dan bertanya.

"Apakah Kongcu ber-she Yap?"

"Hemmmm, bagaimana kau bisa tahu?" Cong San bertanya curiga.

"Ada seorang tuan muda she Cia memesan kalau ada Kongcu yang berpakaian hijau dan she Yap, saya disuruh menyampaikan pesan bahwa Cia-kongcu menuju ke kota Tek-an di selatan."

"Hemmm...! Jauhkah kota Tek-an dari sini?"

"Saya tidak pernah ke sana, Kongcu. Akan tetapi kata orang membutuhkan perjalanan satu hari penuh."

Lega hati Cong San. Dia merogoh saku mengambil beberapa potong uang tembaga dan memberikannya kepada anak itu. "Nih, hadiah untukmu."

"Tidak, Kongcu. Saya sudah menerima upah dari Cia-kongcu!" Anak itu kemudian berlari meninggalkan Cong San yang melongo.

Pemuda ini menarik napas terharu. Anak yang jujur dan terdidik baik agaknya oleh orang tuanya. Ataukah memang anak dusun meiliki watak lebih jujur dari pada anak kota?

Ia lalu melanjutkan perjalanan. Di kota Tek-an pun dia tidak bertemu dengan orang-orang yang dikejarnya. Seorang pelayan restoran memberitahukan bahwa tuan muda Cia minta Yap-kongcu menyusulnya ke Nam-khia!

Demikianlah, sampai berulang-ulang Cong San mengikuti jejak yang selalu ditinggalkan Keng Hong di sepanjang jalan! Ditinggalkan dengan sengaja untuknya. Makin lama Cong San merasa makin berterima kasih kepada Keng Hong, akan tetapi juga gemas kepada Ang-kiam Bu-tek yang demikian sukar disusul.

Pada suatu hari, mengikuti jejak yang ditinggalkan Keng Hong, Cong San sampai di kota Lok-yang. Kemarin ketika menyeberangi sungai Huang-ho di sebelah utara kota Lok-yang dia diberi peninggalan jejak Keng Hong melalui seorang nelayan yang menyeberangkan dirinya. Di Lok-yang, dia menerima pemberitahuan Keng Hong melalui seorang pelayan hotel.

Memang kini Cong San tidak dapat lagi meninggalkan petunjuk-petunjuk dari Keng Hong, maka di setiap tempat dia malah mencari jejak Keng Hong dengan memasuki restoran-restoran, penginapan-penginapan, dan lain-lain. Petunjuk terakhir yang dia terima di kota Lok-yang dua hari yang lalu menuju ke Gunung Phu-niu-san, di sebelah barat kota itu, di perbatasan Propinsi Ho-nan dan Shen-si!

Karena dari hasil penyelidikannya ia mendengar keterangan bahwa perjalanan ke gunung Phu-niu-san sangat sukar dan juga berbahaya karena di sana banyak sekali perampok sehingga oleh umum tidak dijadikan jalan umum lagi, maka Cong San bermalam di kota Lok-yang dan baru pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia berangkat ke tempat yang dimaksudkan.

Ia mendengar bahwa orang-orang yang melakukan perjalanan ke barat, yaitu ke Propinsi Shen-si dan ke kota Sian, tidak lagi ada yang berani melalui jalan darat karena bahayanya daerah Pegunungan Phu-niu-san. Mereka lebih suka memakai jalan air, yaitu melawan arus Sungai Huang-ho kemudian yang hendak ke utara memasuki Sungai Ceng-ho dan yang ke selatan melalui Sungai Wei-ho. Kedua sungai ini memasuki Huang-ho di tempat yang sama.

Karena dia tahu bahwa daerah yang akan dilalui berbahaya dan jauh dari pada kota atau dusun, sebelum berangkat Cong San makan lebih dahulu sampai kenyang, kemudian dia membeli roti kering secukupnya. Sambil menggendong buntalan pakaian dan bekalnya, Cong San segera berangkat menuju ke Gunung Phu-niu-san yang sudah tampak begitu dia keluar melalui pintu kota Lok-yang sebelah barat.

Akan tetapi begitu dia tiba di kaki Gunung Phu-niu-san, dia terheran-heran melihat banyak orang berduyun-duyun naik ke bukit, bahkan ada yang membawa kereta berisi bermacam barang. Ada kereta penuh sayuran, ada pula yang menggotong babi, ada yang membawa gulungan kain sutera dan lain-lain barang berharga.

Cong San sangat heran ketika melihat bahwa yang mengepalai pembawa barang-barang ini adalah orang-orang yang melihat caranya berpakaian jelas orang kang-ouw. Ada yang berjalan seorang diri dan ada pula yang bergerombol sambil mengobrol gembira. Pakaian mereka bermacam-macam. Ada hwesio, ada tosu, ada pula yang berpakaian seperti dia, golongan ahli sastra, ada pula yang berpakaian seperti pengemis!

Akan tetapi dari gerak-geriknya, mereka ini adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang agaknya hendak mengunjungi Gunung Phu-niu-san untuk mengunjungi seseorang. Perjalanan ke Phu-niu-san ini sama sekali tidak kelihatan berbahaya.

Melihat tiga orang laki-laki berpakaian seperti dia, berusia empat puluh tahun, Cong San sengaja mendekati mereka, mengangkat kedua tangan dengan sikap hormat dan berkata,

"Kalau Sam-wi tidak merasa terhina, siauwte akan merasa terhormat sekali jika Sam-wi suka menerima siauwte sebagai teman seperjalanan. Bukankah Sam-wi juga hendak ke puncak?"

Ketiga orang itu memandang Cong San penuh perhatian, kemudian balas menjura dan seorang di antara mereka bertiga yang bertahi lalat di dahinya menjawab, "Tentu saja boleh, mari silakan! Kita sama-sama segolongan kutu buku mengapa harus bersungkan-sungkan?" Mereka bertiga itu tertawa dan Cong San juga tersenyum. Mereka berempat lalu berjalan perlahan di atas jalan yang mulai mendaki.

"Hiante siapakah? Dan dari mana? Tentu Hiante orang jauh maka tidak mengenal kami bertiga," kata pula si tahi lalat di jidat.

Cong San menjura lagi. "Maaf, siauwte Yap Cong San hanya anak seorang guru silat di dusun kecil jauh dari sini. Mohon tanya siapakah Sam-wi?"

Orang ke dua yang matanya sipit sekali dan sikapnya angkuh menjawab, "Kami bertiga di daerah ini dikenal sebagai Siangkoan Sam-hengte (Tiga Saudara Siangkoan) yang dijuluki Bun-bu Sam-taihiap (Tiga Pendekar Besar Terpelajar)! Dia ini yang tertua, kakakku yang bernama Siangkoan Lok, aku yang ke dua bernama Siangkoan Leng dan dia ini adikku Siangkoan Cit."

Cong San kembali menjura, "Ahh, kiranya Sam-wi adalah pendekar-pendekar besar yang terkenal. Maafkan kalau saya tidak mengenal Gunung Thai-san. Sungguh beruntung saya dapat berkenalan dengan Sam-wi."

"Yap-hiante, engkau masih begini muda telah mengenal Phu-niu Sancu (Majikan Gunung Phu-niu)? Sungguh beruntung, masih begini muda sudah mengenal orang pandai. Wah, kabarnya pesta pernikahan yang hendak diadakan oleh Sancu dibuat sangat meriah dan diadakan pertunjukan ilmu silat tinggi. Dan yang lebih hebat lagi, kabarnya Sancu akan menikah dengan seorang... bidadari!"

Diam-diam Cong San girang mendengar si tahi lalat itu membuka mulut dan memberi keterangan seperti itu. Mengertilah dia bahwa ternyata orang-orang kang-ouw ini hendak mengunjungi pesta pernikahan tokoh Gunung Phu-niu-san. Pantas demikian banyak yang membawa barang-barang berharga untuk sumbangan!

"Ahh…, seorang muda dan bodoh seperti saya mana ada kehormatan untuk berkenalan dengan Phu-niu Sancu? Sebetulnya adalah ayah saya yang sudah mengenal Sancu, ada pun saya hanya diutus oleh ayah untuk mewakilinya datang hadir dalam pesta pernikahan Sancu dan menghaturkan selamat."

"Ahhh, pantas saja kau tadi belum mengenal kami. Kiranya engkau masih sangat hijau, Yap-hiante," kata si mata sipit. "Apakah ayahmu juga mengajarkanmu ilmu silat?"

"Wah, kalau dibicarakan benar-benar memalukan sekali. Saya hanya bisa sedikit ilmu silat kampungan, mana pantas dibicarakan dengan Sam-wi yang terkenal sebagai pendekar besar?"

"Memang tidak perlu bicara tentang ilmu silat. Nanti di sana kita akan menyaksikan para ahli silat kelas satu. Kalau begitu, engkau pun belum tahu sampai di mana kelihaian Lian Ci Sengjin dan Sian Ti Sengjin?"

Cong San menjadi bingung karena belum pernah mendengar nama ini, maka dia hanya menggelengkan kepala.

Si tahi lalat kelihatan bangga menceritakan kelihaian dua orang yang disebutnya itu, maka dia melanjutkan, "Lian Ci Sengjin atau Phu-niu Sancu sudah hebat bukan main, tapi ilmu kepandaian Sian Ti Sengjin yang menjadi suheng-nya, lebih hebat lagi!"

Cong San mengangguk-angguk. "Saya hanya mendengar dari ayah bahwa mereka berdua itu hebat kepandaiannya, akan tetapi belum pernah menyaksikan sendiri. Kalau mempelai prianya begitu lihai, tentu mempelai wanitanya juga bukan sembarangan wanita, bukan?" Cong San sengaja memancing lebih banyak keterangan lagi...
Selanjutnya,