Pedang Kayu Harum Jilid 22 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pedang Kayu Harum Jilid 22
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Theng Kiu menjadi penasaran. Dia segera menghimpun seluruh tenaga sinkang-nya dan mengerahkan tenaga untuk mengambil kitab itu secara paksa. Namun, tetap saja kitab itu tidak terampas, bergerak sedikit pun tidak!

Tadinya dia masih merasa malu untuk memperlihatkan bahwa dia mengerahkan tenaga. Akan tetapi begitu mendapat kenyataan betapa kitab itu benar-benar tidak dapat diambil, dia tidak ingat lagi betapa dia sudah memasang kuda-kuda di depan wanita yang berlutut itu. Sepasang kakinya dipentang tegak sambil mengeluarkan tenaga sehingga lantai yang diinjaknya seakan-akan melekat dengan telapak sepatunya, kemudian dia mengerahkan tenaga dan tampak jelas betapa dadanya melembung besar di balik bajunya.

Hal ini tidak saja nampak oleh semua pengawal, bahkan kaisar sendiri melihatnya dan kaisar ini yang juga mengerti akan ilmu silat tinggi sampai mendoyong ke depan di atas kursinya untuk dapat menyaksikan adu tenaga yang amat hebat itu. Ia tertarik sekali dan menjadi gembira karena ingin juga dia menyaksikan apakah wanita muda itu sanggup mempertahankan betotan tangan yang demikian kuat dari pengawal nomor satu.

Adu tenaga itu terjadi hanya beberapa detik saja karena Theng Kiu segera maklum bahwa dia benar-benar tidak sanggup merampas kitab itu dari tangan Cui Im. Dengan muka kemerahan dia lalu melepaskan tangannya dan berdiri seperti orang bingung.

Melihat ini, saking herannya hampir saja kaisar bangkit dari kursinya. Akan tetapi kaisar ini masih menguasai hatinya dan dia bertanya, "Theng Kiu, bagaimana? Mengapa kau tidak menerima kitab itu?"

Theng Kiu menjadi makin merah wajahnya dan dia menjawab gagap, "Dia... dia tidak mau memberikannya, Sri Baginda..."

Kedua mata kaisar itu bersinar-sinar. Ia maklum apa yang terjadi secara diam-diam tadi, maklum atau dapat menduga bahwa pengawalnya itu tentu telah menguji tenaga wanita itu dan ternyata tidak mampu merampas kitab. "Heh, Ang-kiam Bu-tek, mengapa engkau tidak menyerahkan kitab itu kepada pengawalku?"

"Mohon ampun, Sri Baginda. Karena tidak ada perintah dari Sri Baginda bahwa hamba harus menyerahkan kitab ini kepada orang lain kecuali kepada tangan Sri Baginda sendiri, maka terpaksa hamba tidak memberikannya kepada pengawal ini," jawab Cui Im, dan hati wanita ini lega menyaksikan sinar kegembiraan di wajah kaisar.

Pada saat itu masuklah pengawal dalam dan berlutut di depan kaisar sambil melaporkan bahwa The-tai-ciangkun (Panglima Besar The) datang mohon menghadap. Mendengar ini, wajah kaisar berseri dan seolah-olah melupakan peristiwa yang dihadapinya, bertepuk tangan gembira dan berkata,

"Suruh dia cepat datang menghadap. Biar pun sekarang bukan saatnya, akan tetapi aku ingin mendengar hasil persiapannya!"

Theng Kiu menjadi lega hatinya karena dia merasa seakan-akan terlepas dari keadaan yang memalukan. Ia lalu melangkah kembali ke tempatnya, yaitu di antara sebelas orang rekannya yang berdiri menjaga di kanan kiri. Cui Im dan Siauw Lek masih berlutut di situ dan mereka berdua pun tidak berani mengeluarkan suara atau bergerak sebelum ditanya, bahkan Cui Im masih memegangi bungkusan sutera kuning yang berisi kitab.

Tak lama kemudian masuklah dalam ruangan itu dua orang laki-laki berpakaian pembesar tinggi, diikuti oleh seorang lelaki kurus berpakaian sederhana berusia kurang lebih empat puluh tahun yang kelihatannya seperti orang mengantuk. Saat Cui Im melirik ke arah dua orang pembesar itu, diam-diam dia terkejut melihat sinar mata kedua orang pembesar itu yang demikian terang dan tajam bagaikan mata harimau di tempat gelap.

Kaisar sendiri menyambut dua orang pembesar itu, akan tetapi jelas bahwa kaisar amat menghormati pembesar yang bertubuh tinggi, yang usianya sudah lebih tua dari kaisar. Sedangkan pembesar kedua yang pendek tubuhnya dan memakai topi bundar (peci) dan berpakaian serba putih pula, membungkuk-bungkuk dengan sikap tenang kepada kaisar. Mereka berdua kemudian berlutut menyembah.

"The-ciangkun, bangkitlah dan duduklah. Kebetulan sekali Ciangkun datang, kami sedang melakukan ujian atas diri dua orang calon pengawal yang sangat menarik hati. Biarlah urusan kita itu nanti saja kita bicarakan setelah menguji calon pengawal ini. Dan inikah pembantumu yang kau sebut dahulu itu?"

"Benar demikian, Sri Baginda yang mulia," jawab pembesar yang bertubuh tinggi dengan suaranya yang tenang dan dalam.

"Hamba adalah Ma Huan, berasal dari Sin-kiang dan hamba siap sedia untuk membantu The-ciangkun sahabat hamba sejak dulu untuk melaksanakan tugas memenuhi perintah Sri Baginda."

"Bagus, bagus, duduklah kalian di sisiku sini, " kata kaisar.

Pembesar itu ialah seorang panglima laksamana, yaitu panglima yang menguasai armada yang dibentuk oleh Kerajaan Beng, bernama The Ho (tokoh ini amat terkenal, yaitu utusan Kerajaan Beng yang berlayar sampai ke Indonesia). Ada pun pembesar kedua, Ma Huan, juga amat terkenal karena dia adalah seorang berilmu yang beragama Islam dan karena raja-raja kecil di seberang lautan selatan sebagian besar beragama Islam, maka Panglima The Ho mengajak Ma Huan dalam pelayarannya (ada tersebut dalam dongeng tradisional bahwa Ma Huan ini dikenal sebagai Dampoawang yang peninggalannya banyak terdapat di Pulau Jawa, di antaranya di Gedong Batu Sampokong di Semarang).

Dua orang pembesar itu lalu duduk di atas kursi di sebelah kiri kaisar, sedangkan laki-laki kurus yang berpakaian sederhana dan seperti orang mengantuk itu kemudian berdiri di belakang The-ciangkun, sikapnya acuh tak acuh.

"Kebetulan sekali engkau datang, The-ciangkun. Lihatlah dua orang muda itu. Bagaimana pendapat Ciangkun atas diri mereka?"

The Ho menatap tajam wajah Cui Im dan Siauw Lek. Pada waktu Cui Im mengerling dan bertemu pandang dengan pembesar itu, dia merasa bulu tengkuknya berdiri. Ternyata pembesar ini memiliki wibawa yang tidak kalah hebat oleh kaisar sendiri! Ketika dia melirik ke arah Ma Huan, dia lebih bergidik lagi. Sinar mata yang sangat tenang dan sabar dari kakek berkopiah putih itu seolah-olah menembus jantungnya!

"Hemmm, mengingatkan hamba akan buah yang matang kepanasan, masak kulitnya tapi mentah isinya, Sri Baginda."

Jawaban The Ho yang amat tenang ini membuat jantung Cui Im dan Siauw Lek berdebar tegang. Apakah hanya dengan sekali pandang saja panglima besar itu sudah mengenal keadaan hati mereka? Mereka menjadi gentar dan di dalam hati berjanji untuk berhati-hati dan tidak sembrono menghadapi kaisar yang selain berwibawa juga mempunyai banyak orang sakti itu.

"Ha-ha-ha-ha, wawasanmu terlampau mendalam, The-ciangkun. Akan tetapi bagaimana kalau mereka menjadi pengawal? Yang kita pentingkan adalah kegunaan mereka sebagai pengawal, bukan?"

"Tergantung dari tingkat kepandaian mereka, Sri Baginda."

"Justru itulah, saat ini kami sedang menguji mereka. Tahukah engkau, panglimaku yang bijaksana, bahwa selain mereka datang hendak melamar, juga wanita lihai yang berjuluk Ang-kiam Bu-tek ini ingin mempersembahkan kitab Thai-yang Cin-keng kepadaku?"

The Ho tampak kaget dan tercengang. Ia mengerutkan keningnya. "Kalau betul demikian, jasanya tidak kecil."

"Sayangnya, pengawalku tidak mampu mengambil kitab itu dari tangannya," kata pula Sri Baginda sambil tersenyum.

"Ah, benarkah? Sri Baginda, bolehkah hamba menyuruh pembantu hamba Tio Hok Gwan untuk mengambilkan kitab itu dari tangannya?"

"Ha-ha-ha, ini pengawal dan muridmu yang dahulu berjuluk Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati)? Bagus, cobalah!"

The Ho menoleh ke arah pengawalnya dan mengangguk. Dengan sikap hormat Tio Hok Gwan memberi penghormatan kepada kaisar dan kedua orang pembesar, kemudian maju menghampiri Cui Im dengan malas-malasan.

Cui Im maklum bahwa dia hendak diuji lagi, dan dia bingung harus bersikap bagaimana. Akan tetapi dia sudah kepalang tanggung memperlihatkan kelihaiannya, kalau sekarang ia menyerah begitu saja, bukankah hal ini amat mengecewakan sebagai seorang gagah? Tadi dia tidak mengalah terhadap pengawal kepala, masakah sekarang terhadap orang pengantuk ini dia harus mengalah?

Ketika Cui Im melihat si pengantuk itu mengulur tangan, dia terkejut bukan main karena mendengar suara berkerotokan yang keluar dari lengan kurus itu dan angin pukulan yang menyambar ke arah lengannya bukan main kuatnya. Dia tadi mendengar kaisar menyebut si pengantuk ini sebagai Setan Bertenaga Selaksa Kati, maka dia dapat menduga bahwa si pengantuk yang malas ini tentu memiliki tenaga dahsyat.

Dia sendiri mengandalkan kelihaiannya pada ilmu-ilmu silatnya yang tinggi, terutama ilmu pedangnya, sedangkan dalam hal sinkang dia belum terlalu mempercayai dirinya sendiri. Akan tetapi karena kini dia diuji dalam tenaga, tentu saja dia tak bisa berbuat lain kecuali mengerahkan sinkang-nya dan seperti tadi dia memegang kitab terbungkus sutera kuning itu dengan erat-erat.

Meski pun Tio Hok Gwan diam-diam merasa kagum menyaksikan betapa wanita itu tidak melepaskan kitab sesudah disambar hawa dari tangannya, akan tetapi di wajahnya yang aras-arasen (malas-malasan) tidak tampak perasaan hatinya. Lelaki kurus ini melanjutkan gerakan tangannya dan memegang sebagian kitab yang terbungkus sutera kuning, lantas mengerahkan tenaga membetot.

Ia hanya mengerahkan sebagian tenaganya, karena mengira bahwa betapa pun kuatnya, wanita ini tidak akan mampu bertahan. Akan tetapi dugaannya meleset karena kitab itu tidak juga terlepas dari tangan Cui Im! Biar pun wanita ini merasa betapa tenaga raksasa membetot kitab sehingga seakan-akan seluruh tubuhnya ikut terbetot, namun dia segera mengerahkan sinkang dan mempertahankan diri.

Kaisar, The Ho, dan Ma Huan menonton pertunjukkan itu dengan penuh perhatian. Kaisar memandang dengan wajah berseri, The Ho dengan tenang mengelus jenggotnya, dan Ma Huan tersenyum-senyum seperti menyaksikan permainan dua orang anak nakal.

Kemudian Tio Hok Gwan menggerakkan sedikit pundak kanannya dan ternyata gerakan itu membuat tenaganya bertambah hebat. Cui Im penasaran dan tetap mempertahankan.

"Brettttt...!"

Kain sutera kuning pembungkus kitab hancur lebur tergencet getaran dua tenaga sakti dan sekarang Cui Im hampir tidak kuat bertahan lagi, mukanya agak pucat dan napasnya terengah-engah.

"Jangan merusakkan kitab...!" Cui Im berseru dan Tio Hok Gwan melepaskan tangannya sambil menoleh ke arah kaisar, seolah-olah hendak minta nasehat.

Cui Im yang cerdik memang berhasil mempertahankan kitab, namun kaisar dan dua orang pembesarnya sudah maklum akan kehebatan tenaga Tio Hok Gwan, maklum pula akan kecerdikan Cui Im, maka kaisar berkata,

"Bhe Cui Im, kami perintahkan kepadamu agar supaya menyerahkan kitab kepada Tio Hok Gwan."

"Dengan segala kerendahan dan kesenangan hati, Sri Baginda yang mulia!" kata Cui Im.

Dia tersenyum dan mengedipkan mata mengejek Tio Hok Gwan yang menerima kitab itu. Senyum dan kedipan matanya itu seakan-akan mengatakan bahwa betapa pun juga, si pengantuk itu tak berhasil merampas kitabnya. Akan tetapi yang diejek tetap aras-arasen, menerima kitab dan mempersembahkan kitab itu kepada kaisar.

Mereka bertiga, kaisar, The Ho dan Ma Huan, memeriksa kitab itu dan ketiganya menjadi kagum sebab mengenal kitab itu benar-benar merupakan peninggalan Jenghis Khan yang berisi taktik-taktik ilmu perang yang amat penting.

"Engkau perlu mempelajarinya sebelum ke selatan, The-ciangkun," kaisar berkata sambil menyerahkan kitab kepada The Ho. The Ho menerima lalu menyerahkannya kepada Tio Hok Gwan untuk disimpan, dan pengawal lihai yang suka mengantuk ini menyimpan kitab penting itu ke dalam saku bajunya sebelah dalam, kemudian berdiri di tempatnya sambil mengantuk!

"Theng Kiu, kami memerintahkan agar engkau suka menguji Ang-kiam Bu-tek. Bhe Cui Im, bangkitlah dan lawanlah Theng Kiu, perlihatkan ilmu pedang agar kami dapat menilai apakah patut engkau menjadi pengawal pribadi!"

Theng Kiu memberi hormat, juga Bhe Cui Im. Ada pun Siauw Lek lalu mengundurkan diri, berdiri di pinggir sambil memandang penuh perhatian. Cui Im sudah bangkit berdiri, begitu pula Theng Kiu sudah meloncat ke depan wanita itu, di dalam hatinya ingin dia menebus kekalahannya ketika mengadu tenaga memperebutkan kitab tadi.

Ketika Cui Im menggerakkan tangan, tampaklah sinar merah berkelebat karena dia telah mencabut pedangnya. Juga Theng Kiu sudah mencabut senjatanya yang ternyata adalah sebatang ruyung berduri yang berwarna kuning seperti emas.

"Mohon ampun, Sri Baginda" kata Theng Kiu sambil memberi hormat pada junjungannya. "Wanita ini lihai dan dalam pertandingan senjata, hamba khawatir kalau-kalau ada pihak yang terluka atau tewas oleh senjata. Bagaimana kalau hamba sampai salah tangan dan terlanjur menewaskannya?"

Kaisar menganguk-angguk. "Dalam sebuah pertandingan mengadu silat, terluka atau mati bukanlah hal yang aneh."

Akan tetapi sambil menyoja dengan kedua tangannya Cui Im lalu berkata kepada kaisar, "Mohon ampun, Sri Baginda. Orang yang benar-benar ahli dalam menggunakan senjata akan dapat mengalahkan lawan tanpa membunuhnya, bahkan tanpa melukainya. Setiap detik senjata masih dapat ditarik kembali sebelum terlanjur."

The Ho mengelus jenggotnya dan berkata perlahan, "Omongan yang hanya dikeluarkan seorang yang benar-benar ahli. Wanita ini sangat sombong, tetapi ucapannya memang benar, Sri Baginda."

"Mulailah!" Kaisar menggerakkan tangan ke atas dan semua mata memandang ke arah dua orang yang sudah siap itu.

"Lihat serangan!" Theng Kiu membentak dan ruyungnya lantas menyambar, menjadi sinar keemasan menghantam ke arah kepala Cui Im.

Wanita ini melihat bahwa gerakan lawan cukup kuat dan cepat baginya. Ia merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lutut sehingga ia tahu bahwa ruyung itu akan melewati atas kepalanya dan langsung ia membalas dengan gerakan pedangnya menyerampang kaki lawan.

Cepat sekali gerakannya itu, hampir berbarengan dengan serangan Theng Kiu sehingga pengawal kepala ini terkejut dan cepat melompat sambil memiringkan tubuh dan dia pun meniru lawannya untuk bergerak cepat, ruyungnya yang melewati kepala tadi dia balikkan menimpa pundak Cui Im.

Cui Im tidak membiarkan tulang pundaknya diremukkan ruyung. Ia miringkan tubuh sambil meloncat ke atas dan otomatis pedangnya yang tadi luput menyerang kaki sekarang telah membentuk lingkaran ke atas, lantas menukik dengan tusukan ke arah mata Theng Kiu! Akan tetapi Theng Kiu sudah memutar pergelangan tangannya dan ruyungnya menangkis keras.

"Tranggggg...!"

Bunga api berhamburan dan secepat kilat Cui Im yang sudah ke bawah itu menusukkan pedangnya ke arah perut lawan. Kembali menghadapi serangan yang cepat ini, tidak ada lain jalan bagi Theng Kiu kecuali menggerakkan ruyung dari samping menangkis keras.

"Cringgggg...!"

Kini sambil menangkis Theng Kiu membarengi dengan pukulan tangan kiri ke arah dada Cui Im dari samping. Akan tetapi Cui Im mengelak ke kanan dan mengayunkan kakinya menendang lutut lawan. Kalau saja Theng Kiu tak cepat-cepat mengelak sambil memutar ruyungnya melindungi tubuh, tentu lututnya patah atau lehernya terbabat pedang karena sambil menendang tadi pedang Cui Im sudah menyambar ke leher.

"Tranggggg...!" Kembali kedua senjata bertemu keras.

Theng Kiu menghantam ruyung dari bawah ke arah pinggang, tapi ditangkis oleh Cui Im.

"Cringggg…!"

Dan tiba-tiba saja tampak sinar merah bergulung-gulung ketika Cui Im membalas dengan serangan bertubi-tubi. Cepat bukan main gerakan pedang wanita ini sehingga tubuhnya lenyap terbungkus sinar pedangnya yang merah.

Theng Kiu terpaksa mengerahkan seluruh tenaga mengimbangi kecepatan lawan, namun tetap saja dia kalah cepat sehingga di antara dua gulung sinar pedang merah dan sinar ruyung keemasan yang membungkus tubuh kedua orang itu, berkali-kali terdengar suara nyaring dan kesemuanya merupakan pedang yang menyerang dan ruyungnya yang terus menerus menangkis karena tidak diberi kesempatan untuk balas menyerang!

Semua orang yang menonton termasuk kaisar sendiri, menahan napas, kecuali The Ho yang mengelus-elus jenggot, Ma Huan yang tersenyum-senyum dan Tio Hok Gwan yang makin mengantuk sungguh pun sepasang mata yang mengantuk ini tidak pernah berkedip menonton pertandingan. Pertandingan itu amat seru dan juga menegangkan, berlangsung dengan kecepatan yang memusingkan para penonton yang tingkatnya masih belum tinggi itu.

Cui Im memang seorang ahli pedang yang lihai. Dahulu pun, ketika dia masih menjadi murid Lam-hai Sin-ni dan memiliki julukan Ang-kiam Tok-sian-li (Dewi Beracun Berpedang Merah), ilmu pedangnya sudah hebat dan jarang ada yang mampu menandinginya. Kini, sesudah mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi dan mukjijat dari peninggalan Sin-jiu Kiam-ong selama empat tahun, kepandaiannya sudah meningkat luar biasa.

Ilmu pedangnya kini amat hebat, merupakan gabungan dari ilmu pedangnya sendiri yang dia pelajari dari Lam-hai Sin-ni lalu disempurnakan dengan ilmu pedang yang dia pelajari dari kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang inti sarinya merupakan Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam dan yang hanya dimiliki atau diwarisi oleh Keng Hong karena Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam ini dirahasiakan oleh Sin-jiu Kiam-ong dan hanya Keng Hong yang telah menerima ajaran gurunya.

Namun ilmu pedang ciptaan Sin-jiu Kiam-ong itu benar-benar mencakup semua inti dari ilmu pedang Hoa-san-pai, Kun-lun-pai, Kong-thong-pai dan Siauw-lim-pai menjadi satu. Di masa mudanya, Sin-jiu Kiam-ong yang mencuri ilmu-ilmu dari partai-partai besar sudah memetik bagian-bagian yang terlihai kemudian menggabungkannya sehingga ilmu pedang yang kini dimainkan oleh Cui Im benar-benar luar biasa sekali.

Di lain pihak, ilmu silat Theng Kiu adalah ilmu silat gabungan dari utara dan selatan, dan juga dia memiliki jurus-jurus gabungan yang aneh, akan tetapi kalau dibandingkan dengan Cui Im, tingkat ilmu silatnya kalah tinggi. Selain itu, karena Cui Im sudah mempelajari cara bersemedhi dan menghimpun tenaga sakti dari kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, terutama sekali dari kedua kitab Siauw-lim-pai, Seng-to Cin-keng dan I-kiong-hoat-hiat, maka dia sudah mempunyai sinkang yang amat kuat, lebih kuat dari pada tenaga sinkang Theng Kiu sehingga wanita ini menang tenaga dan menang cepat.

Cahaya pedang merah yang bergulung-gulung itu semakin lama semakin membesar dan lingkaran-lingkarannya makin luas, menggulung sinar emas dari ruyung di tangan Theng Kiu.

"Bagaimana pendapatmu, The-ciangkun?" Kaisar bertanya kepada Laksamana The Ho yang memandang dengan kagum.

"Hebat, Sri Baginda. Sungguh-sungguh hebat kiam-sut-nya, dan kalau Sri Baginda dapat mempergunakan tenaga wanita ini sebagai pengawal, sungguh baik sekali. Hamba rasa, Tio Hok Gwan sendiri pun belum tentu mampu menandingi kiam-sut-nya yang seperti itu. Bagaimana, Hok Gwan?"

Si pengantuk itu menggeleng-geleng kepala. "Luar biasa sekali. Hamba tak akan menang bertanding senjata dengan wanita itu."

Dengan ucapan ini, Tio Hok Gwan hanya mengakui kelihaian Cui Im dalam permainan pedang saja, sedangkan jika bertanding sungguh-sungguh mencari kemenangan, belum tentu dia akan kalah.

"Pedang yang ganas, semoga Allah menyadarkan untuk mempergunakan ilmunya demi kebenaran!" Ma Huan berkata sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Cukup, Theng-ciangkun...!" Tiba-tiba terdengar seruan Cui Im.

Tampak tubuh wanita ini melesat keluar dari gulungan sinar yang lenyap pula. Wanita ini berdiri sambil tersenyum, wajahnya merah segar dan matanya berseri. Ada pun Theng Kiu berdiri dengan muka lebih merah lagi, napasnya agak terengah.

"Maafkan saya, Theng-ciangkun dan terimalah kembali kancing bajumu."

Cui Im melemparkan sebuah benda kecil yang diterima oleh Theng Kiu. Keduanya lalu berlutut menghormat kaisar yang memandang kagum. Kiranya wanita itu begitu lihainya memainkan pedang sehingga dapat menanggalkan kancing baju lawan tanpa melukainya.

Tentu saja peristiwa ini membuktikan kemenangan Cui Im secara mutlak, karena kalau wanita itu menghendaki, tentu saja ujung pedang bukan mengambil kancing, melainkan lebih dalam lagi di balik baju dan kulit dada, yaitu menusuk jantung!

"Bhe Cui Im, engkau lulus ujian. Ilmu pedangmu benar-benar hebat," kata kaisar.

"Terima kasih, Sri Baginda!" kata Cui Im dengan girang sekali.

"Dan bagaimana dengan engkau? Siapakah namamu tadi?"

"Hamba bernama Siauw Lek, Sri Baginda. Hamba pun siap untuk menghadapi pengawal pribadi Paduka yang mana pun untuk menguji hamba."

"Apa? Engkau pun berani menghadapi pengawal pribadiku? Dengan senjata?"

"Dengan senjata mau pun tangan kosong hamba sanggup menghadapinya, Sri Baginda."

Kaisar Yung Lo tertawa. "Wah, agaknya kalian berdua memang tokoh-tokoh kang-ouw yang jempol! Engkau sudah menyaksikan kepandaian pengawal kepala. Apakah engkau sanggup menandinginya?"

"Theng-ciangkun tentu telah lelah, tetapi kalau tidak, hamba sanggup menghadapinya, Sri Baginda."

Dengan muka merah Theng Kiu memberi hormat dan menjawab, "Tidak, Sri Baginda. Hamba tidak lelah dan tidak akan penasaran kalau dikalahkan oleh tokoh kang-ouw yang memang hamba tahu banyak sekali yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau Paduka Sri Baginda Kaisar menghendaki, hamba akan menguji Saudara Siauw Lek dengan ilmu silat tangan kosong."

"Baik, lakukanlah, Siauw Lek, bersiaplah menandingi Theng Kiu."

Kembali dua orang lawan saling berhadapan dan kini pengawal-pengawal yang menonton mengharapkan kemenangan bagi rekan mereka. Bukan karena iri hati melihat masuknya pengawal baru, tetapi karena mereka maklum bahwa di samping ilmu silatnya yang hebat, Theng Kiu pernah menjadi juara dalam ilmu gulat di antara orang-orang Mongol, karena itu banyak harapan baginya untuk memenangkan pertandingan tangan kosong ini.

Andai kata tadi menghadapi Cui Im mereka tidak mengadu ilmu pedang, kiranya belum tentu Theng Kiu kalah, demikian pikir mereka. Betapa pun juga, tidak mungkin di hadapan kaisar mengeluarkan ilmu gulat kalau bertanding melawan seorang wanita!

"Awas pukulan!" Theng Kiu berseru dan mulai menyerang dengan pukulan tangan kanan yang kuat dan mantap.

Siauw Lek yang belum tahu sampai di mana tenaga lawan, tidak mau bersikap sembrono menangkis, maka mengelak ke kiri dan dari kiri dia balas memukul dengan tangan kanan, lutut ditekuk sehingga pukulannya yang lurus dari pinggang itu menuju ke lambung lawan. Theng Kiu juga mengelak sambil meloncat ke sebelah kiri Siauw Lek, lalu kakinya cepat menendang ke bawah pusar. Terdengar suara angin bersiutan saking keras dan cepatnya tendangan ini.

Akan tetapi dengan tangkas dan tenang Siauw Lek mengelak dan balas memukul. Karena pukulan ini cepat sekali datangnya, Theng Kiu menangkis, sekalian dia hendak mengukur tenaga lawan.

"Duukkk!"

Kedua orang itu terpental ke belakang, tanda bahwa tenaga mereka berimbang, sungguh pun dilihat dari jarak mereka terpental itu tampak bahwa Theng Kiu terpental lebih jauh. Makin serulah pertandingan itu, pukul-memukul, tendang menendang dan tusuk menusuk dengan jari tangan mengarah jalan darah yang akan ditotoknya. Keduanya sama sigap, sama tangkas dan sama kuat.

Seperti juga ilmunya bersenjata ruyung, juga ilmu silat tangan kosong Theng Kiu sangat aneh gerakannya, namun ilmu silat Hek-liong-kun (Ilmu Silat Naga Hitam) yang dimainkan Siauw Lek juga hebat bukan main. Ilmu silat ini adalah ilmu silat ciptaan Go-bi Chit-kwi, Tujuh iblis dari Go-bi, yang memiliki sifat ganas dan dahsyat.

Kaisar yang menonton pertandingan itu diam-diam merasa kagum dan dia maklum bahwa sungguh pun tingkat kepandaian laki-laki pesolek dan tampan ini tidak dapat menandingi kelihaian Cui Im, namun tingkatnya tidak di sebelah bawah pengawal kepala itu. Di dalam hatinya diam-diam dia merasa girang sekali karena selain mendapatkan kitab Thai-yang Cin-keng yang semenjak dahulu dia cari-cari, juga sekarang dia mendapatkan dua orang pembantu yang tenaga dan kepandaiannya boleh diandalkan.

"Orang ini kepandaiannya juga hebat, Sri Baginda. Akan tetapi hamba mohon supaya Paduka bersikap waspada. Orang seperti dia ini sama sekali tidak boleh dipercaya secara bulat-bulat," kata The Ho perlahan kepada kaisar.

Kaisar tersenyum. "Anjing yang betapa galak pun kalau kita pandai mempergunakannya, dapat menjadi penjaga yang setia, Ciangkun."

The Ho mengangguk-angguk dan dia pun tidak merasa gelisah karena orang pandai ini sudah mengenal kebijaksanaan junjungannya. Sementara itu, dua orang yang bertanding itu masih terus saling menyerang dengan seru, akan tetapi kini terjadi perubahan. Siauw Lek kelihatan mulai mendesak dengan pukulan-pukulan ampuh yang bertubi-tubi hingga Theng Kiu tidak mampu lagi membalas.

Sesungguhnya Theng Kiu tidaklah terdesak, dan memang dia sengaja main mundur dan bersikap seolah-olah terdesak. Hal ini sengaja dia lakukan untuk membuat lawan lengah. Ia hendak mempergunakan ilmu gulatnya untuk menangkan pertandingan ini. Andai kata dia menghadapi lawan lain, tentu ilmu ini sudah dia keluarkan sejak tadi untuk mencapai kemenangan.

Akan tetapi dia maklum bahwa Siauw Lek merupakan lawan yang sangat tangguh dan senjatanya yang paling ampuh dalam pertandingan tangan kosong hanya ilmu gulatnya. Apa bila dia keluarkan sembarangan dan diketahui lawan, agaknya lawan akan bersikap hati-hati sehingga sukar ditangkap. Maka dia sengaja bersikap terdesak untuk menyergap lawan secara tiba-tiba selagi lawan lengah.

Pada saat lengan kanan Siauw Lek mengirim pukulan dengan kuat dan cepat sekali ke arah dada Theng Kiu, pengawal berambut putih itu menggerakkan tangannya menangkis. Akan tetapi tidak seperti yang sudah-sudah tadi, tangkisannya kurang tenaga sehingga kepalan tangan Siauw Lek masih meleset dan menuju ke dadanya. Agaknya Theng Kiu kurang waspada sehingga menggirangkan hati Siauw Lek yang merasa bahwa sekali ini pukulannya tentu akan mengenai sasaran.

Dugaannya memang tepat, kepalan tangannya menyentuh dada lawan akan tetapi tangan yang tadi menangkisnya kini tahu-tahu telah mencekal pergelangan tangannya dan tubuh lawan secara tiba-tiba merendah, membungkuk, kemudian Siauw Lek merasa tubuhnya terlempar tinggi di udara!

Hebat sekali serangan balasan Theng Kiu ini, yang menggunakan cara melontarkan yang sangat istimewa, yaitu meminjam tenaga pukulan Siauw Lek dan menggunakan tubuhnya sebagai pengganjel. Dengan lengan Siauw Lek yang ditangkap sebagai pengayun, maka terlontarlah tubuh Siauw Lek sampai tinggi dan jauh.

Kalau bukan Siauw Lek yang sudah memiliki ginkang tinggi, berbahayalah lawan yang dilontarkan seperti ini, karena kalau terbanting dengan kepala lebih dulu tentu akan tewas seketika. Akan tetapi Siauw Lek tidak kehilangan akal. Sungguh pun tubuhnya melayang ke atas di luar kehendaknya sehingga untuk sesaat dia kehilangan keseimbangan tubuh, tetapi di udara dia sudah bisa menggerakkan tubuh dengan gerakan Lee-hi Ta-teng (Ikan Lee Mencuat) dan di udara itu tubuhnya berpoksai (bersalto) tiga kali sehingga ketika tubuhnya melayang turun kembali, dia sudah bisa menguasai tubuhnya dan turun dengan arah terkendali, yaitu turun menukik ke arah lawannya sambil mengirim pukulan dengan kedua tangan seperti gerakan seekor garuda menyambar kelinci!

Gerakan Theng Kiu ketika menangkap dan melontarkan lawan tadi memang hebat, akan tetapi gerakan Siauw Lek itu lebih indah sehingga terdengar seruan-seruan memuji. Ada pun Theng Kiu yang menjadi penasaran, sudah menggeser tubuh ke belakang sehingga serangan Siauw Lek luput dan mereka kembali saling berhadapan.

Siauw Lek tersenyum dan kini maklumlah dia bahwa ‘simpanan’ lawannya adalah ilmu melontarkan tubuh lawan yang menjadi sebagian dari pada ilu gulat daerah utara. Siauw Lek bukanlah seorang pemuda hijau. Dia sudah mengalami banyak pertempuran dan dia banyak tahu akan ilmu silat ini, maka diam-diam dia sudah mengambil keputusan untuk mengalahkan lawan ini dengan mencari titik kelemahan ilmu gulat!

Dia tahu bahwa seorang ahli gulat amat takut terlalu lama menangkap seorang ahli silat, takut akan pukulannya, maka begitu menangkap tentu akan dilontarkan atau dibanting. Sebaliknya, seorang ahli silat biasanya bersikap hati-hati bila melawan seorang ahli gulat, dan selalu bertanding dengan jarak jauh karena maklum akan lihainya ilmu gulat yang bukan lain adalah ilmu mencengkeram dan menangkap semacam Eng-jiauw-kang atau pun Kin-na-hoat.

Sesudah membuat perhitungan dan mencari akal, kembali Siauw Lek menerjang maju dengan pukulan-pukulan berat. Sekali lagi dia tertangkap, bahkan kini kedua lengannya yang ditangkap dengan beberapa kali tekukan tubuh, Siauw Lek telah diangkat dan sekali ini dia dibanting ke atas lantai.

"Bruuukkkkk!"
Saking kerasnya bantingan, debu mengebul ketika tubuh Siauw Lek terbanting ke atas lantai. Akan tetapi tubuh Siauw Lek sudah mencelat bangun kembali, sebaliknya, tubuh Theng Kiu terguling dan tidak dapat bangun kembali karena pada saat dia dibanting dan dilepaskan dari cekalan tangan lawannya, secepat kilat Siauw Lek sudah menggerakkan tangan mengirim pukulan sinkang yang tepat mengenai lambung Theng Kiu.

Walau pun tidak sangat tepat dan keras kenanya karena posisi Siauw Lek yang sedang dibanting itu, namun karena pukulan itu mengandung sinkang dan yang terkena adalah bagian tubuh yang lemah, cukup untuk merobohkan Theng Kiu yang perutnya menjadi nyeri dan napasnya sesak! Melihat keadaan lawannya, Siauw Lek cepat menghampiri dan dengan beberapa kali totokan serta pijatan, akhirnya Theng Kiu tidak begitu menderita.

Keduanya lalu berlutut di depan kaisar dan Theng Kiu berkata, "Hamba mengaku kalah dalam bertanding tangan kosong dengan saudara Siauw Lek, Sri Baginda."

Kaisar mengangguk-angguk dan The Ho tai-ciangkun berkata, "Mereka berdua lebih lihai dari pada pengawal kepala, pangkat apakah yang akan Paduka berikan kepada mereka, Sri Baginda?"

Kaisar tersenyum sambil memandang panglima tinggi yang dulunya merupakan sahabat seperjuangan itu, lalu berkata lirih, "Aku sudah mempunyai lima orang pengawal rahasia yang terdiri dari orang-orang sakti, apa bila kini ditambah dua orang lagi, bukankah lebih baik, The ciangkun? Mereka hidup mewah dan bebas, akan tetapi bertugas untuk secara rahasia mengawal kaisar dengan taruhan nyawa mereka. Ingin mengenal mereka?"

Tanpa menanti jawaban sebab tahu pasti panglima itu akan menyetujuinya, kaisar sudah memasukkan sebuah benda kecil ke mulutnya dan meniup. Terdengar suara melengking tinggi dan beberapa detik kemudian, baru saja kaisar menyimpan kembali benda yang ternyata semacam peluit kecil itu ke dalam saku, dari jendela, pintu, dan atas genteng melayang turun lima bayangan orang yang gerakannya amat cepat seperti burung-burung menyambar dan tahu-tahu di dalam ruangan itu telah berdiri lima orang laki-laki tua yang memandang kaisar, kemudian memandang ke kanan kiri penuh kewaspadaan dan sikap siap siaga.

Cui Im memandang penuh perhatian dan dengan kaget dia mengenal bahwa seorang di antara lima orang kakek itu bukan lain adalah Pak-san Kwi-ong, kakek tinggi besar yang berkulit hitam arang, matanya kelihatan putih dan telinganya lebar seperti telinga gajah, di pinggangnya tergantung senjata rantai dengan kedua ujungnya terdapat tengkorak!

Namun Siauw Lek lebih kaget lagi karena dia mengenal lima orang itu yang kesemuanya adalah para tokoh kang-ouw, datuk-datuk dunia hitam atau golongan sesat. Yang seorang jelas adalah Pak-san Kwi-ong, tokoh nomor satu dari utara, akan tetapi yang empat orang juga merupakan tokoh-tokoh besar yang telah lama menjagoi perbatasan utara dari barat ke timur, merupakan ‘iblis-iblis’ sepanjang Tembok Besar.

Yang pertama bernama Gu Coan Kok yang terkenal dengan julukan Iblis Cebol. Tingginya tidak ada satu setengah meter, tapi senjatanya adalah sebatang tongkat yang panjangnya lebih dari ukuran tubuhnya!

Orang ke dua adalah seorang yang tubuhnya tinggi besar, malah lebih tinggi dari Pak-san Kwi-ong sendiri, akan tetapi punggungnya bongkok. Senjatanya istimewa karena senjata ini tidak pernah dapat dia lepaskan, yaitu cakar baja yang telah tertanam pada ujung jari tangannya, menggantikan sepuluh kuku jari yang semuanya berbisa.

Dia adalah Hok Ku, yakni seorang keturunan suku bangsa Kerait dan berjuluk Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa). Suku bangsa Kerait adalah suku bangsa di utara yang dulu pernah mengalami masa jaya di samping suku bangsa Nalman, bahkan sebelum suku bangsa Mongol menjadi besar, Mongol pun pernah tunduk kepada bangsa Kerait.

Orang ke tiga bermuka putih seperti mayat, tinggi kurus dan kedua tangannya memegang pisau kecil runcing dari baja mengkilap. Dia inilah Kemutani, seorang peranakan bangsa Mongol dan Han, dan meski pun senjatanya hanya pisau-pisau kecil, akan tetapi justru senjata sederhana inilah yang membuat namanya terkenal karena selain dia seorang ahli dalam bersilat menggunakan sepasang pisau ini, juga pisau-pisau itu dapat dia lontarkan dari jarak dekat atau jauh dengan cepat dan tepat sehingga dia mendapat julukan Hui-to (Si Pisau Terbang).

Orang ke empat bertubuh bulat bundar seperti bola saking gendut dan pendeknya. Kedua kakinya pendek dan besar seperti kaki gajah, tubuhnya merupakan bulatan besar seperti gentong dan kepalanya merupakan bulatan kecil seperti bola. Biar pun bentuk tubuhnya lucu, tetapi sepak terjang Couw Seng yang berjuluk Thai-lek Sin-mo (Iblis Sakti Bertenaga Besar) ini sama sekali tidak lucu, apa lagi bagi lawannya karena dia benar-benar sangat lihai dan sukar dikalahkan.

"Ha-ha-ha-ha, kalian berlima jangan terkejut. Kami memanggil kalian bukan karena ada ancaman bahaya, melainkan akan kami perkenalkan dengan dua orang pengawal rahasia yang baru sebagai rekan-rekan kalian. Mereka berdua itulah pengawal-pengawal yang baru." Kaisar berkata sambil menuding ke arah Cui Im dan Siauw Lek.

Mendengar ucapan kaisar ini barulah sikap lima orang pengawal rahasia itu tidak tegang dan mereka tersenyum-senyum, bahkan kemudian menjura penuh hormat kepada kaisar. Hanya kelima orang pengawal rahasia inilah yang dibebaskan dari kebiasan menghormat kaisar sambil berlutut karena mereka itu setiap detik harus waspada dan menjaga kaisar secara diam-diam dan rahasia, berbeda dengan para pengawal pribadi yang seolah-olah menjadi kaki tangan kaisar, kemana pun kaisar bergerak selalu harus menjaga di samping kaisar.

Ada pun lima orang pengawal rahasia ini seperti bayangan kaisar, kadang-kadang tampak kadang-kadang tidak, akan tetapi selalu siap untuk membela kaisar pada saat-saat yang diperlukan. Maka begitu kaisar meniup peluit sebagai tanda rahasia panggilan, lima orang pengawal ini muncul secara mendadak. Secara bergiliran, mereka berlima ini melakukan penjagaan siang malam.

Setelah lima orang ini merasa yakin bahwa keselamatan kaisar tidak terancam, mereka memandang ke arah dua orang yang oleh kaisar disebut pengawal baru itu dan segera terdengarlah seruan-seruan,

"Kim-lian Jai-hwa-ong...!"

"Ehh, Tok-sian-li, engkaukah ini? Benarkah bahwa Lam-hai Sin-ni telah kau..."

"Pak-san Kwi-ong, perlukah kita harus membongkar-bongkar keburukan masing-masing di depan yang mulia Sri Baginda Kaisar?" Cui Im membentak marah sambil menudingkan telunjuknya kepada kakek tinggi besar berkulit hitam itu. "Urusan pribadi tiada sangkut pautnya dengan pengabdian kita kepada Sri Baginda. Atau, kalau engkau beserta empat orang kawanmu ini merasa terlalu tinggi untuk bekerja sejajar dengan aku, dan merasa terlalu pandai, hemmm... aku Ang-kiam Bu-tek akan mampu membuktikan bahwa aku dapat merobohkan kalian seorang demi seorang atau bahkan sekaligus!"

Siauw Lek juga berkata tersenyum, "Kalau Sri Baginda yang mulia menghendaki, aku pun sanggup menghadapi mereka seorang lawan seorang!"

Kaisar malah tertawa girang mendengar ini. Akan tetapi dia lalu mengangkat tangan dan berkata, "Pak-san Kwi-ong, dengar baik-baik perkataan kami. Tadi kami sudah menguji Ang-kiam Bu-tek dan Siauw Lek dan kami telah memutuskan untuk mengangkat mereka berdua ini menjadi pengawal rahasia di samping kalian berlima. Karena itu, perintahku pertama kepada kalian bertujuh adalah agar kalian jangan membuat ribut sendiri dengan urusan pribadi kalian yang tidak ingin kudengar. Nah, Pak-san Kwi-ong, ajaklah mereka berdua ini yang kini menjadi rekan-rekanmu ke dalam dan boleh kalian bercakap-cakap di sana, jangan datang kalau tidak kupanggil!"

Lima orang pengawal rahasia itu membungkuk, demikian pula Cui Im dan Siauw Lek yang sudah cepat dapat menyesuaikan diri, kemudian kedua orang baru ini berlalu mengikuti lima orang pengawal rahasia, tak canggung-canggung lagi dan gerakan mereka bertujuh amat cepatnya tanpa mengeluarkan suara seolah-olah pribadi kaisar dilindungi oleh tujuh setan.

Setelah mereka bertujuh pergi, kaisar tertawa dan melanjutkan perundingannya dengan Laksamana The Ho dan Ma Huan, membicarakan rencana kaisar untuk mengirim barisan di bawah pimpinan The Ho ke selatan, menjelajah negeri-negeri di seberang lautan.

Sedangkan di sebelah dalam istana, di tempat rahasia, Cui Im berkata kepada Pak-san Kwi-ong yang oleh kaisar disebut Pak-san-kwi (Setan Pegunungan Utara) dan dihilangkan ‘ong’ atau rajanya.

"Kwi-ong, kita harus mentaati perintah kaisar dan ingatlah engkau bahwa aku bukanlah Ang-kiam Tok-sian-li murid Lam-hai Sin-ni seperti dulu lagi. Aku adalah Ang-kiam Bu-tek, pewaris harta peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, dan tentang kepandaianku, ingat saja bahwa Lam-hai Sin-ni juga roboh dan tewas di tanganku. Jika kalian berlima menghendaki kerja sama dengan aku untuk mengawasi kaisar, baik sekali. Akan tetapi kalau kalian berlima hendak bertengkar dan menentangku, maka aku akan membunuh kalian dengan bantuan Kim-lian Jai-hwa-ong dan terpaksa kita semua takkan dapat mempertahankan kedudukan kita di sini. Mana yang kau pilih?"

Pak-san Kwi-ong yang dianggap paling sakti di antara teman-temannya, lalu tertawa dan berkata, "Ang-kiam, sebelum engkau muncul aku sudah menjadi pengawal, tentu saja aku akan selalu mentaati perintah kaisar. Sungguh pun hal ini bukan berarti bahwa aku takut kepadamu. Akan tetapi selama engkau diterima oleh kaisar sebagai pengawal rahasia, engkau akan kuanggap sebagai rekan dan kawan, demikian pula Jai-hwa-ong ini."

Demikianlah, mulai saat itu, Cui Im dan Siauw Lek menjadi pengawal-pengawal rahasia kaisar yang berarti bahwa mereka merupakan dua orang di antara pengawal-pengawal yang paling tinggi kedudukannya, merupakan jagoan-jagoan istana yang disegani dan ditakuti orang lain, kecuali kaisar sendiri.

Bahkan pembesar-pembesar istana yang berpangkat tinggi sekali pun segan terhadap pengawal-pengawal rahasia ini karena mereka semua maklum bahwa apa bila ada orang yang tidak setia kepada kaisar, apa lagi yang berniat memberontak, tentu akan didatangi oleh pengawal-pengawal rahasia yang sakti ini dan menerima hukuman!

Adanya tujuh orang pengawal rahasia yang kesemuanya terdiri dari bekas-bekas tokoh besar kaum sesat, membuktikan bahwa Kaisar Yung Lo memang pandai mempergunakan orang dan memanfaatkan kepandaian mereka, baik dari golongan putih mau pun dari golongan hitam. Dan segera terkenal di seluruh dunia kang-ouw bahwa tujuh orang tokoh besar itu menghambakan diri di istana, maka hal ini sudah cukup membuat gentar hati setiap orang yang berniat memberontak.

********************

Biauw Eng bersama Lai Sek tiba di kota raja, sesuai dengan permintaan Lai Sek yang mengajak Biauw Eng mengunjungi sahabatnya yang menjadi orang berpangkat di kota raja untuk minta bantuan sahabatnya agar mereka berdua dapat menjadi suami isteri dan dapat bekerja di kota raja, hidup dengan tenteram. Atas petunjuk Lai Sek yang sudah tak dapat melihat lagi itu, dengan mudah Biauw Eng menemukan sahabat yang dicari.

Sahabat Lai Sek ini ternyata telah menduduki pangkat tinggi, mendapat pangkat sebagai kepala pembangunan istana-istana di kota raja. Pangkat ini amat tinggi dan juga menjadi sumber korupsi karena sejak jaman itu pun, pembangunan atau usaha pemerintah apa saja yang ada hubungannya dengan keuangan, baik penerimaan mau pun pengeluaran uang, selalu menjadi sumber perbuatan korupsi.

Ang Joan Ti, sahabat Sim Lai Sek itu, kini disebut orang Ang-taijin (pembesar Ang) dan menjadi bahan penjilatan dari lidah banyak orang yang menginginkan rejeki dalam usaha pembangunan besar-besaran di kota raja.

Dulu Ang Joan Ti adalah seorang sahabat ayah Sim Lai Sek, dan masih menjadi pelajar kesusastraan yang tekun dari kota Liok-keng. Setelah dia menjadi pembesar yang selalu naik pengkat berkat ketekunan dan kecerdikannya, mulailah terjadi perubahan besar pada pribadi dan watak Ang Joan Ti.

Dahulu, sebagai seorang pelajar miskin yang sejak kecil selalu menderita kekurangan, Joan Ti berwatak sederhana, tidak banyak keinginan kecuali memperdalam pelajarannya dan kelak dapat menduduki pangkat sebagaimana dicita-citakan semua orang pada waktu itu. Memang, pada waktu itu, hidup secara terhormat, kaya raya atau setidaknya layak, hanya dapat dicapai oleh orang yang menjadi pegawai pemerintah. Kecuali beberapa orang tuan tanah dan pedagang yang sudah terlahir kaya, maka seluruh rakyat yang tidak menjadi pegawai pemerintah hanyalah petani-petani miskin.

Setelah Joan Ti lulus ujian dan mendapat pangkat di kota raja, yang pada mulanya kecil namun berkat kecerdikannya makin meningkat sampai sekarang ini, Ang Joan Ti menjadi mabuk kekayaan, mabuk kemuliaan dan mabuk kemewahan. Karena disanjung banyak orang dan pejabat rendahan yang menjilat-jilatnya agar kebagian rejeki, diangkat-angkat dan dipuji-puji, timbullah sifat sombong pada diri bekas orang dusun miskin yang tadinya amat sederhana dan rendah hati ini.

Puji-pujian membuat dia seperti sebuah balon melayang-layang ke atas, tiada puas dan batas, tidak sadar bahwa sewaktu-waktu dapat meletus dan lenyap. Kedudukan yang mulia, kemewahan yang berlebihan membuat dia terikat lebih kuat kepada kesenangan dunia, membuat dia lupa bahwa kesenangan dunia tidak ada yang bertahan lama.

Yang paling cepat menjerumuskan Joan Ti sehingga menjadi berubah batinnya terutama sekali adalah pejabat bawahannya. Dalam usaha mereka menjilat serta menyenangkan hati Ang-taijin ini, bermacam-macamlah akal mereka untuk digunakan sebagai sogokan atau suapan. Oleh karena pembesar ini sendiri sudah kaya raya sehingga penyuapan-penyuapan berupa harta benda takkan mengguncangkan hatinya, maka mulailah mereka itu menggunakan alat lain, dan di antaranya adalah wanita-wanita cantik.

Pada waktu mudanya, Joan Ti bukan tergolong seorang pria yang mata keranjang atau gila wanita. Akan tetapi semenjak dia ‘dilolohi’ wanita-wanita cantik oleh para penjilatnya, maka hal ini merupakan kesenangan baru yang segera mencengkeramnya. Nafsu harus dikekang, kalau dituruti akan menjadi binal seperti kuda liar, dan akan menyeret manusia ke dalam jurang.

Mula-mula Ang-taijin menerima penyuapan berupa gadis-gadis cantik ini hanya sebagai iseng-iseng belaka, akan tetapi dia lupa bahwa segala maksiat di dunia ini dimulai dengan iseng-iseng seperti juga api dimulai dengan bunga api yang lama kelamaan akan menyala menjadi kebakaran besar. Iseng-iseng yang semakin lama akan menjadi ‘hobby’, akan membuat ketagihan. Dan pada waktu itu, Ang-taijin sudah terkenal sebagai seorang yang haus akan wanita cantik!

Bagi seorang berkedudukan seperti dia, cadangan untuk korbannya tidak pernah surut, para penjilatnya dengan senang hati akan selalu menyediakan cadangan baru! Ang-taijin tinggal menunjuk saja kalau melihat wanita cantik dan para penjilat serta kaki tangannya akan berusaha sekuat tenaga, secara halus mau pun kasar, untuk mendapatkan wanita cantik itu, baik dia bersuami atau masih gadis.

Seorang yang sudah menjadi hamba nafsu birahi tidak lagi memiliki perasaan cinta kasih yang murni. Rasa cinta kasihnya sudah hambar dan setiap orang wanita yang berhasil didapatkan, dalam waktu satu dua bulan saja sudah membosankan baginya dan harus diganti yang baru. Bagi seorang penghamba nafsu seperti Ang Joan Ti, wanita tiada lebih hanya sebagai benda yang sesudah dipakai akan membosankan dan perlu diganti yang baru.

Dalam keadaan seperti itulah Ang Joan Ti menerima kunjungan Sim Lai Sek dan Biauw Eng di gedungnya yang sangat megah. Pria berusia empat puluh tahun lebih ini tadinya menerima Lai Sek dengan kening berkerut, hatinya tidak senang harus bertemu dengan putera kawan sekampung, mengingatkan dia akan keadaannya dahulu yang miskin dan rendah.

Akan tetapi begitu melihat Biauw Eng, kemuraman wajahnya sirna seketika, terganti seri dan senyum, kerling mata menyambar penuh gairah karena harus dia akui bahwa selama petualangannya dengan banyak sekali wanita belum pernah dia bertemu dengan seorang yang secantik Biauw Eng, apa lagi kecantikan asli gadis berpakaian sederhana ini tampak menonjol, pakaian yang menutupi bentuk tubuh yang padat dan menyiratkan kehangatan serta kekuatan!

"Aihhh, kiranya Sim Lai Sek! Hampir aku tidak mengenalmu, Hiante! Karena mata... Ehh, mengapa matamu...?"

Sim Lai Sek tersenyum sesudah mengangkat kedua tangan memberi hormat, "Saya tidak lagi dapat melihat, Paman Ang, akan tetapi saya masih ingat akan suara Paman. Mata saya menjadi buta karena serangan penyakit... dan karena keadaan saya inilah maka saya sengaja datang menghadap Paman dengan harapan, sudilah Paman mengingat akan hubungan antara Paman dan mendiang orang tuaku, untuk menolong saya."

Di dalam hatinya Ang-taijin memaki, bukan hanya karena kedatangan orang yang tidak diharapkan dan tak akan mendatangkan keuntungan baginya ini, akan tetapi juga karena sikap pemuda buta ini kepadanya seperti sikap keluarga sekampung, sikap yang sudah terlupa olehnya karena setiap hari semua orang yang berhadapan dengannya bersikap sebagai orang bawahan terhadap atasannya! Pemuda buta ini agaknya lupa bahwa dia kini bukan lagi Ang Joan Ti si sastrawan miskin, akan tetapi Ang-taijin yang terhormat, berkuasa dan kaya raya!

Akan tetapi, sambil mengerling ke wajah manis Biauw Eng yang menundukkan muka, dia tersenyum dan berkata, suaranya penuh keramahan,

"Sim-hiante, mengapa engkau begini sungkan? Kita seperti keluarga sendiri, dan setelah sekarang aku menjadi seorang pembesar, tentu saja aku akan membantu engkau dan... Eh, siapakah adik ini?" Suaranya terdengar mesra sekali ketika dia menyebut ‘siauwmoi’, menyebut adik padahal Biauw Eng lebih patut menjadi anaknya.

Biauw Eng adalah seorang dara remaja yang belum banyak pengalamannya menghadapi pria dengan akal bulus mereka merayu wanita, akan tetapi perasaan kewanitaannya telah membisikkan bahwa lelaki ini tidaklah sejujur seperti yang hendak diperlihatkannya, maka diam-diam dia merasa tidak suka. Akan tetapi demi Lai Sek, dia diam saja.

"Maaf, Paman Ang, saya lupa memperkenalkan. Dia ini adalah Sie Biauw Eng, tunangan saya."

"Tun... Tunanganmu...?!" Ang-taijin tidak dapat menahan seruannya karena benar-benar dia merasa kaget dan heran.

"Benar, Paman. Dia adalah calon isteri saya."

"Ah, kionghi (selamat), Sim-hiante! Engkau beruntung sekali mendapatkan seorang calon isteri yang begini cantik jelita!"

Lai Sek tersenyum, hatinya gembira sekali dan dia menoleh ke arah Biauw Eng sambil berkata, "Eng-moi, haturkan terima kasih kepada Paman Ang."

Biauw Eng menjura kepada pembesar itu dan berkata lirih, "Saya mengucapkan terima kasih atas pujian Ang-taijin."

"Ahh, nona muda yang baik, di antara orang sendiri, perlu apa sungkan-sungkan? Nah, Sim-hiante, aku akan merasa gembira sekali kalau dapat menolong engkau dan adik ini. Bantuan apakah yang kau perlukan?" Walau pun mulutnya bicara kepada Lai Sek, akan tetapi pandang mata pembesar itu tak pernah meninggalkan wajah dan tubuh Biauw Eng yang makin dipandang makin menggairahkan hatinya dan membangkitkan nafsunya itu.

"Kami berdua hendak memohon pertolongan Paman agar kami berdua dapat membangun rumah tangga di kota raja, dan bisa mendapatkan sekedar usaha sebagai penyambung hidup, terutama sekali agar Paman sudi mewakili kedua orang tua kami yang sudah tidak ada untuk menikahkan kami."

"Ehh, jadi kalian belum menikah, jadi... ehh, belum... belum berhubungan sebagai suami isteri?" tanya pembesar itu dengan hati girang sekali meski pun mata jalangnya sebagai seorang lelaki yang banyak pengalamannya tentang wanita dapat menduga bahwa Biauw Eng adalah seorang yang masih gadis.

Pertanyaan ini membuat wajah Lai Sek menjadi merah saking malu dan wajah Biauw Eng merah karena marah. Akan tetapi gadis ini tetap menunduk dan diam saja, coba menekan perasaan marahnya. Ada pun Lai Sek lalu menjawab malu,

"Belum, Paman. Kami belum menikah..."

"Bagus! Memang begitulah seharusnya sebagai seorang calon suami yang baik. Jangan khawatir, Lai Sek, aku akan membantu kalian. Akan kusuruh carikan sebuah rumah yang layak untuk kalian tinggal sebagai suami isteri, dan tentang pekerjaan nanti kita pikirkan perlahan-lahan. Sekarang lebih baik kalian tinggal dahulu di sini untuk beristirahat sambil menanti didapatkannya rumah. Tentu saja bila sudah mendapatkan rumah, baru aku akan mewakili orang tuamu merayakan pernikahan kalian."

"Ah, Paman Ang baik sekali! Sudah kusangka Paman akan menolong kami! Terima kasih, Paman!" Lai Sek menjatuhkan diri berlutut.

Akan tetapi pembesar itu segera membangunkan pemuda buta ini sambil mengerling ke arah Biauw Eng. Biauw Eng mengangkat mukanya sehingga bertemulah pandang mata mereka.

Ang-taijin terkejut dan kagum menyaksikan pandang mata yang demikian tajam seperti ujung pedang, demikian indah seperti mata burung hong. Sedangkan Biauw Eng merasa makin yakin hatinya bahwa di balik segala keramahan dan pelepasan budi pembesar ini terkandung maksud yang hina dan keji terhadap dirinya. Tentu saja dia tak menjadi gentar dan saat mengingat betapa pembesar ini merupakan ancaman bagi dirinya, ia tersenyum dingin. Orang macam itu mau bisa berbuat apakah terhadap dirinya?

Hati Ang-taijin berdebar saking girangnya ketika melihat gadis cantik jelita itu tersenyum. Dia menganggap bahwa senyum itu merupakan ‘janji’ dan ‘kode’ dari si gadis bahwa dia sudah dapat menangkap hasrat hati si pembesar dan sudah siap melayaninya! Dengan hati girang Ang-taijin lalu memanggil pelayan yang tidak ada yang hadir karena maklum bahwa Ang-taijin sedang bicara dengan tamu urusan pribadi.

Dua orang pelayan wanita segera datang berlari dan Ang-taijin lantas berkata, "Antarkan Sim-kongcu dan Sie-siocia ke dalam. Berikan sebuah kamar tamu untuk Sim-kongcu, dan ajak Sie-siocia bermalam di sebuah di antara kamar merah!"

"Baik, Taijin," jawab dua orang wanita pelayan itu sambil tersenyum maklum mendengar bahwa gadis cantik itu diberi sebuah kamar merah!

Di bagian dalam gedung itu terdapat tidak kurang dari sepuluh buah kamar-kamar yang indah dan kecil mungil berwarna merah. Di dalam kamar-kamar inilah Ang-taijin menerima wanita-wanita suguhan yang siap untuk melayaninya. Karena Ang-taijin adalah seorang pembosan, maka penghuni kamar-kamar merah ini sering kali berganti orang, hanya ada satu kamar yang besar yang tak pernah berganti penghuni, yaitu kamar Ang-hujin (nyonya Ang) yang jarang pula menerima kunjungan Ang-taijin, apa lagi pada waktu malam.

Tapi nyonya Ang sudah kebal akan kebiasaan suaminya, maka tak lagi merasa cemburu atau marah, bahkan menganggap kebiasaan suaminya itu adalah ‘hal biasa’ bagi seorang pembesar.

Dengan hati tidak enak namun tabah, Biauw Eng lalu menggandeng tangan Lai Sek dan mengantarkan pemuda ini sampai ke kamar yang disediakan untuknya, kemudian baru meninggalkan pemuda ini sesudah pelayan meyakinkan hatinya bahwa akan ada seorang pelayan yang khusus disediakan untuk melayani segala keperluan pemuda buta itu. Dia pun lalu mengikuti pelayan dan diam-diam dia kagum sekali menyaksikan kamar merah yang disediakan untuknya.

Untuk beberapa hari lamanya, baik Lai Sek mau pun Biauw Eng mendapatkan pelayanan istimewa sehingga setiap kali mereka bertemu, Lai Sek tentu memuji-muji kebaikan hati pamannya. Akan tetapi diam-diam hati Biauw Eng tetap tak enak sehingga dia mendesak agar Lai Sek suka bersama dia keluar saja dari gedung itu dan mencari tempat sendiri.

"Ahh, mana boleh demikian, Moi-moi? Paman Ang telah begitu baik terhadap kita. Biarlah kita bersabar sampai dia mendapatkan rumah untuk kita."

Apa yang dikhawatirkan Biauw Eng terjadi pada malam kelima semenjak dia tinggal di situ. Malam itu selagi dia merebahkan diri di atas dipan yang mewah, dengan tilam sutera merah muda, rebah termenung memikirkan nasibnya dan terutama sekali membayangkan wajah Keng Hong, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk orang.

Ia cepat melompat dengan sigap terbawa oleh reaksi tubuhnya sebagai seorang ahli silat yang selalu bersiap siaga dan waspada lahir batin. Akan tetapi dia segera bersikap biasa untuk menyembunyikan kepandaiannya, berjalan perlahan menuju pintu lalu membukakan daun pintu.

Ia terheran melihat bahwa yang datang adalah Ang Joan Ti yang berpakaian indah, diikuti oleh empat orang pelayan wanita yang tersenyum-senyum dan masing-masing membawa nampan yang terisi masakan-masakan yang masih panas mengepul dan berbau sedap.

"Taijin mau... apakah...? Biauw Eng bertanya, menindas perasaan dan pura-pura tidak mengerti sungguh pun dari senyum dan pandang mata pembesar itu dia dapat menduga maksud kedatangan orang ini.

Akan tetapi Ang Taijin hanya tersenyum saja, bahkan menoleh pada para pelayan dan berkata, "Cepat atur di atas meja dan segera pergi meninggalkan kami!"

Biar pun suara pembesar itu setengah membentak, yang dibentak tersenyum-senyum dan mengatur makanan di atas meja dalam kamar, kemudian sambil membungkuk-bungkuk dan tertawa-tawa genit mengerling ke arah Biauw Eng, mereka meninggalkan kamar dan menutup daun pintunya.

"Nah, kini aku baru dapat menjawab pertanyaanmu tadi, Siauwmoi. Aku sengaja datang membawa hidangan ini karena aku tahu betapa engkau kesepian. Aku merasa kasihan kepadamu, maka aku ingin mengajakmu makan bersama sambil minum arak wangi untuk menghilangkan kesepian dan kekesalan hatimu. Marilah duduk, Manis, akan kusuguhkan arak untukmu!"

"Taijin, hal ini tidak boleh, tidak layak. Harap Taijin suka keluar dari kamar ini dan jangan menggangguku. Bagaimana Taijin boleh memasuki kamarku seperti ini? Aku adalah calon isteri Sim Lai Sek!"

"Heh-heh-heh, aku tidak akan mengganggumu menjadi isterinya, Manis. Akan kunikahkan engkau dengan si buta itu, ehemmm... tetapi hanya untuk di luarnya saja bukan? Padahal sesungguhnya, ahhhh... kita lebih cocok, dan semenjak aku melihatmu, aku sudah suka sekali kepadamu, aku sudah jatuh cinta kepadamu, Sie Biauw Eng yang jelita. Engkau akan hidup mewah, apa pun yang kau minta akan kuberikan, asal engkau suka melayani aku. Marilah...!" Pembesar itu mendekat, akan tetapi Sie Biauw Eng melangkah mundur.

"Jangan Taijin, aku adalah tunangan Sim Lai Sek dan dia masih hidup, bagaimana aku sudi berbuat serong? Aku bukanlah perempuan semacam itu! Pergilah Taijin sebelum aku kehabisan kesabaranku."

Ang Taijin tertawa. "Ihhh, pakai malu-malu kucing segala? Aku pun tahu bahwa kau lebih suka kepadaku dari pada pemuda buta yang tak dapat menghargai kecantikanmu dengan matanya...!"

"Cukup!!" Biauw Eng membentak dan saking marahnya ia menusukkan jari-jari tangannya ke permukaan meja.

"Plongggg!"

Jari-jari tangan sebanyak lima buah yang kecil mungil itu amblas menusuk meja sampai tembus ke bawahnya. Ketika diangkat, tampak lima buah lubang kecil bekas tusukan jari. Melihat ini, seketika wajah Ang Taijin menjadi pucat.

"Taijin aku dapat mengusai jari tanganku, akan tetapi kalau kesabaranku hilang dan aku tidak dapat menguasai hatiku, jangan-jangan bukan meja yang kutusuk bolong, melainkan kepala orang. Pergilah!"

"Aihhh... kiranya engkau pandai silat. Hemm... tentu saja, Lai Sek juga seorang ahli silat. Baiklah aku tak akan mengganggumu jika engkau tidak suka melayani orang lain karena Lai Sek masih hidup. Akan tetapi katakanlah Nona Biauw Eng yang manis, andai kata di sana tidak ada Lai Sek, engkau tentu suka menyambut cinta kasihku, bukan?" Agaknya pembesar ini masih tercengang karena belum pernah ada wanita menolak cintanya dan agaknya bagi laki-laki ini merupakan suatu hal yang mustahil kalau ada wanita yang tidak suka menjadi kekasih pembesar Ang.

Biauw Eng sudah hampir tak dapat lagi menahan kemarahannya, maka untuk membuat pembesar itu cepat pergi, ia lalu berkata, "Kalau begitu lain lagi, Nah, pergilah dan jangan pernah berani lagi memasuki kamar ini!"

Pembesar itu menghela napas kemudian pergi meninggalkan kamar Biauw Eng. Setelah pembesar itu pergi, barulah Biauw Eng teringat akan keselamatan Lai Sek dan teringat akan ucapan Ang Taijin. Dia cepat meniup padam lilin di atas meja, kemudian meloncat keluar melalui jendela kamarnya dan membayangi Ang Taijin yang memasuki ruangan tengah.

Di ruangan ini Ang Taijin berbicara perlahan dengan seorang laki-laki berhidung bengkok yang agaknya menjadi penasehatnya. Biauw Eng cepat menghampiri, bersembunyi dan mengintai.

"Akan tetapi dia pandai silat dan bayangkan, sekali tusuk dengan jari tangan dia mampu melubangi meja! Kalau tusukan itu mengenai kepala, celaka! Mana bisa aku memaksa dengan kekerasan?" terdengar suara pembesar itu penuh penyesalan.

"Kenapa harus mengkhawatirkan dia? Ilmu silat seorang gadis cantik itu saja apa artinya? Malam ini juga akan kupanggil Sin-chio Ngo-houw (Lima Harimau Bertombak Sakti) yang menjaga di luar istana untuk mengawal paduka dan kalau perlu menghadapinya."

"Akan tetapi bagaimana agar dia mau? Aku paling tidak suka memperoleh wanita dengan kekerasan. Lebih menyenangkan kalau dia menyerahkan diri dengan suka rela dan suka hati, hemmm...!"

"Begini, Taijin..." Si Hidung Bengkok itu lalu mendekatkan mulut ke telinga pembesar itu, berbisik-bisik sehingga Biauw Eng tidak mampu mendengar apa yang dikatakannya, ada pun pembesar itu mengerutkan keningnya, kadang-kadang menggeleng, kadang-kadang cemberut, akan tetapi kemudian mengangguk-angguk dan tersenyum.

Biauw Eng sudah tidak peduli lagi. Paling-paling mereka itu sedang mengatur siasat untuk menundukkannya dan hal ini ia anggap remeh karena apa pun yang akan mereka lakukan terhadap dirinya, dia tidak perlu khawatir dan merasa yakin akan dapat melindungi dirinya sendiri.

Akan tetapi ia mengkhawatirkan keadaan Lai Sek. Biar pun pemuda itu juga bukan orang lemah akan tetapi karena sepasang matanya buta tentu saja tidak dapat menjaga dirinya sendiri dengan baik. Ia lalu meloncat pergi tanpa meninggalkan suara, mendatangi kamar Lai Sek dan mengintai dari atas. Ketika ia melihat Lai Sek sedang tidur pulas dan dalam keadaan selamat, baru ia lega dan kembali ke kamarnya.

Melihat hidangan-hidangan yang masih panas dan ternyata semua merupakan masakan yang lezat, dia tersenyum, menyambar sumpit dan makan beberapa potong daging dan sayur, dipilih yang enak-enak saja sambil kadang-kadang tersenyum mengenang sikap Ang Taijin yang dianggapnya seorang badut yang menggelikan dan juga menyebalkan.

Boleh jadi Biauw Eng seorang gadis gagah perkasa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi dalam hal pengalaman menghadapi tipu muslihat dan kejahatan hati manusia, ia masih hijau. Ia tidak mengira bahwa hati laki-laki yang sudah tergila-gila pada seorang wanita dapat menelurkan perbuatan-perbuatan maksiat yang luar biasa keji, tidak pantang melakukan perbuatan apa pun untuk mencapai dorongan nafsu birahinya.

Setelah kejadian itu, tiga malam berturut-turut Biauw Eng tidak pernah diganggu dan dia sudah merasa lega, mengira Ang Taijin tentu jeri oleh ancamannya, maka dia pun tidak menyatakan sesuatu kepada Lai Sek untuk mencegah terjadinya keributan. Akan tetapi pada suatu pagi, di hari keempatnya ia terbangun, ia kaget sekali mendengar jerit tangis wanita disusul tangis melolong-lolong. Ia cepat meloncat turun dan tiba-tiba daun pintunya dibuka dari luar oleh pelayan yang biasa melayaninya. Pelayan itu pun menangis dan serta merta menjatuhkan dirinya berlutut sambil menangis.
"Celaka, Siocia... celaka... ahhh, mengerikan sekali...!"

"Apa yang terjadi?" Biauw Eng bertanya, masih tenang.

"Sim-kongcu... dia... dia membunuh diri di kamarnya...!"

Tiba-tiba tubuh Biauw Eng berkelebat dari tempat itu, dan ketika pelayan itu mengangkat muka, gadis itu telah lenyap. Cepat sekali Biauw Eng tiba di tempat Lai Sek dan di situ dia melihat pelayan wanita yang biasa melayani Lai Sek menangis di atas lantai. Kamar itu penuh orang, ada tiga orang pelayan wanita, dua orang pelayan pria yang dilihat Biauw Eng malam itu, bersama lima orang laki-laki tinggi besar yang memegang tombak.

Mereka semua memandangnya pada saat dia memasuki kamar Lai Sek. Biauw Eng tidak mempedulikan semua orang, langsung dia berlutut di dekat tubuh Lai Sek yang kini telah menggeletak tanpa nyawa di atas lantai. Tangan kanannya memegang gagang sebatang pedang, pedang milik Lai Sek, yang sekarang menembus perutnya sampai ke punggung, sedangkan tangan kiri pemuda itu mencengkeram sehelai kertas.

Dengan muka pucat Biauw Eng mendapat kenyataan bahwa pemuda itu benar-benar sudah tewas. Dia segera mengambil kertas bertulis dari genggaman tangan kiri Lai Sek, merapikan dan membacanya. Surat itu ditujukan kepadanya dan dia mengenal tulisan Lai Sek.

Eng-moi,

Aku maklum bahwa seorang pemuda yang tak berharga seperti aku hanya akan menjadi penghalang kebahagiaan hidupmu. Seorang gadis sepertimu berhak untuk hidup mulia sebagai seorang puteri terhormat, di samping orang yang kau cinta dan yang akan dapat memenuhi segala kebutuhan hidupmu. Karena itu, aku mengalah dan lebih baik aku pergi selamanya.

Selamat tinggal, Sim Lai Sek.


"Ahh, Twako...!" Biauw Eng tidak dapat menahan keharuan serta kedukaan hatinya. Dia menangis dan memeluki tubuh Lai Sek yang telah menjadi mayat itu.

Ketika ia menangis dan wajahnya dekat sekali dengan leher pemuda yang telah tewas itu karena ia merebahkan mukanya di dada Lai Sek, pandang matanya tertarik oleh dua titik menghitam di dekat tenggorokan. Ia mengusap air matanya dan mengangkat dagu mayat itu.

Jelas kini nampak dua titik menghitam sebesar ujung jari tangan. Dia menyentuhnya dan jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kemarahan. Dia kini tahu bahwa pemuda itu bukan tewas oleh pedang, melainkan tewas atau sedikitnya roboh oleh totokan dua buah jari tangan yang mengandung hawa beracun!

Cepat dia memeriksa luka pada perut yang masih tertancap pedang. Tidak terdapat darah pada luka itu. Hal ini hanya berarti bahwa pedang itu ditusukkan ke perut setelah pemuda ini tewas!

Karena hatinya masih ragu-ragu, ia membuka surat itu kembali dan membacanya melalui air matanya, membacanya kembali dengan penuh perhatian. Sudah dua atau tiga kali dia melihat tulisan tangan Lai Sek dan gaya tulisannya, bentuk huruf-huruf surat ini memang benar seperti tulisan Lai Sek. Akan tetapi... tiba-tiba wajahnya berubah.

Tulisan yang berbunyi ‘di samping orang yang kau cinta dan yang akan dapat memenuhi segala kebutuhan hidupmu’ sangat menarik perhatiannya. Lai Sek sudah mengerti bahwa satu-satunya orang yang dia cinta adalah Keng Hong! Dan Keng Hong adalah seorang sebatang kara yang miskin. Mengapa Lai Sek menyatakan bahwa orang yang dicintanya dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya?

"Aduh..., Siauwmoi... ahhh, kasihan sekali Lai Sek...! Ahhh, bagaimana bisa terjadi mala petaka ini...?"

Ucapan yang keluar dari mulut Ang-taijin yang baru tiba ini mengingatkan Biauw Eng akan segala sikap dan ucapan pembesar ini pada saat hendak menggodanya beberapa malam yang lalu. Gadis ini menekan kemarahannya dan cepat dia bangkit berdiri, membalikkan tubuhnya, kemudian memandang pembesar itu dengan mata basah. Akan tetapi sambil mengacungkan surat di tangannya dia cepat bertanya,

"Taijin, aku... aku tidak mengerti... apa maksud tulisannya ini? Siapa yang dia maksudkan dan mengapa dia mengalah?"

"Masa engkau tidak mengerti, Siauwmoi? Dia maksudkan aku, dan tentu dia mengalah sebab merasa takkan mampu membahagiakan engkau... maka, sudahlah jangan berduka, Siauwmoi, di sini ada aku yang..."

Tiba-tiba pembesar itu menghentikan kata-katanya ketika melihat wajah yang cantik itu menjadi beringas, sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar seperti berapi.

"Bagaimana engkau dapat mengetahui isi suratnya?!" Biauw Eng membentak, suaranya melengking penuh kemarahan meluap-luap.

"Aku... Aku sudah membacanya...," Ang-taijin yang menjadi gugup menjawab tanpa dia sadari.

"Engkau baru datang, bagaimana bisa membacanya? Surat ini palsu! Tentu engkau dan kaki tanganmu yang menulisnya dan Sim Lai Sek tidak mati karena membunuh diri, akan tetapi mati terbunuh oleh totokan di lehernya. Tentu engkau... pembesar jahanam berhati palsu dan keji, engkau yang mengatur semuanya ini, keparat!" Sambil berkata demikian, tangan Biauw Eng bergerak ke depan dan tahu-tahu tangannya telah mencengkeram baju pembesar itu di bagian dadanya.

"Jangan... ehhh, tolooongg...!"

Laki-laki hidung bengkok yang berdiri di dekat pembesar Ang cepat-cepat menengahi dan berkata, "Nona, bersabarlah... dan jangan kurang ajar terhadap Ang-taijin..."

"Engkau tukang mengatur siasat yang menjijikkan!" Tangan kirinya menyambar dan dia sudah menjambak rambut si hidung bengkok, kemudian dengan kemarahan membakar dada dan kepala, gadis ini menggerakkan kedua tangannya.

"Prokkk!"

Dua buah kepala milik Ang Joan Ti dan si hidung bengkok bertemu keras sekali, beradu dahi dan ternyata kepala si hidung bengkok lebih keras karena kalau kepala Ang Joan Ti pecah hingga pembesar yang celaka oleh nafsunya sendiri itu tewas seketika, Si hidung bengkok hanya menjadi pening dan matanya menjuling saja. Melihat ini, Biauw Eng lalu mengayun tubuh si hidung bengkok, membantingnya ke atas lantai dan terdengar suara keras ketika kepala si hidung bengkok ini pecah berantakan, berbeda dengan kepala Ang Joan Ti yang retak-retak saja.

"Perempuan keji! Pembunuh! Tangkap...!"

Teriakan-teriakan ini terdengar ramai dan keadaan di situ menjadi geger. Pelayan-pelayan perempuan menjerit dan melarikan diri, ada pun lima orang tinggi besar bertombak yang berada di dalam kamar itu, segera menerjang maju dengan tombak mereka.

Biauw Eng yang sudah menjadi mata gelap saking duka dan marahnya melihat nasib Lai Sek, cepat melemparkan mayat Ang-taijin ke arah lima orang pengeroyoknya. Lima orang itu adalah Sin-chio Ngo-houw, lima orang pengawal luar istana yang sengaja diundang oleh si hidung bengkok untuk menghadapi Biauw Eng.

Akan tetapi sungguh di luar persangkaan mereka bahwa gadis itu memiliki kepandaian sedemikian hebat sehingga gerakannya luar biasa cepatnya dan lima orang pengawal itu tidak sempat lagi mencegah pembunuhan yang dilakukan Biauw Eng atas diri Ang-taijin dan penasehatnya.

Kini lima orang pengawal itu menjadi marah sekali. Melihat gadis itu dengan ganasnya membunuh Ang-taijin lalu melemparkan mayatnya pada mereka, salah seorang di antara mereka cepat menerima mayat dengan kedua tangan sedangkan empat orang kawannya segera menerjang Biauw Eng dengan tombak mereka.

"Sim-twako, aku akan membalaskan kematianmu!" Biauw Eng berseru.

Sesudah mencabut pedang yang menancap di perut mayat Lai Sek, gadis ini kemudian mengamuk sambil bercucuran air mata, menghadapi pengeroyokan lima orang Sin-chio Ngo-houw yang sudah mengurungnya. Ada pun para pelayan sudah menyingkir dengan ketakutan dari kamar itu. Pertandingan berlangsung dengan seru di dalam kamar maut itu di mana menggeletak tiga buah mayat.

Dalam deretan tingkat para pengawal istana tentu saja tingkat pertama diduduki pengawal pribadi rahasia, kemudian para pengawal pribadi kaisar menduduki tingkat ke dua. Ada pun tingkat ke tiga diduduki oleh para pengawal dalam istana dan pengawal luar istana, seperti Sin-chio Ngo-houw, adalah pengawal tingkat empat. Mereka ini sudah termasuk ahli-ahli silat kelas tinggi bagi ahli silat umumnya. Akan tetapi tentu saja mereka masih kalah jauh bila dibandingkan dengan Biauw Eng.

Gadis yang menjadi amat berduka dan marah ini menggerakkan pedang Lai Sek dengan cepat, ganas dan kuat sekali sehingga biar pun lima orang pengawal itu mengeroyoknya dengan tombak mereka yang terkenal ampuh, tetap saja dalam belasan jurus Biauw Eng telah merobohkan tiga orang di antara Sin-chio Ngo-houw sehingga jumlah mayat dalam kamar itu bertambah menjadi enam!

Akan tetapi tiba-tiba keadaan di luar gedung itu menjadi berisik sekali dan ternyata bahwa sepasukan penjaga keamanan telah datang menyerbu. Kota raja menjadi geger pada saat mendengar bahwa ada seorang gadis telah mengamuk di dalam rumah gedung pembesar Ang, bahkan membunuh pembesar Ang dan banyak pembantunya.

Melihat betapa pasukan pengawal menyerbu, Biauw Eng menjadi semakin marah. Akan tetapi suaranya terdengar dingin menyeramkan ketika dia berkata,

"Puaskanlah hatimu, Sim-twako. Nyawamu akan mendapat tebusan banyak sekali nyawa musuh!" Setelah berkata demikian, Biauw Eng menubruk maju dan pedangnya bergerak cepat, merobohkan dua orang sisa Sin-chio Ngo-houw dan mendesak mundur pasukan pengawal yang sudah tiba di depan pintu kamar itu.

Biauw Eng maklum bahwa apa bila menghadapi pengeroyokan banyak orang, berbahaya sekali kalau dia terus bertahan di dalam kamar yang sempit itu. Maka ia menerjang keluar dan di bawah teriakan-teriakan hiruk-pikuk serta hujan senjata para pengeroyok, Biauw Eng mengamuk di ruangan tengah yang luas.

Terjadilah apa yang dikatakan Biauw Eng kepada mayat Sim Lai Sek sebelum dia pergi meninggalkan kamar maut itu. Biauw Eng mengamuk dengan pedang itu sehingga para pengeroyok yang amat banyak jumlahnya itu roboh seperti rumput di babat. Mereka, para penjaga keamanan, berteriak-teriak dan mengurung, tetapi mereka ini seperti sekumpulan laron menerjang api, siapa yang berani mendekati Biauw Eng tentu roboh disambar sinar pedang gadis ini.

Ruang yang luas dan biasanya bersih itu kini menjadi tempat yang menyeramkan. Banjir darah di lantai dan di dinding, sedangkan mayat berserakan, bertumpuk, ada yang masih berkelojotan, lebih dari dua puluh orang banyaknya!

Melihat betapa pasukan pengeroyok makin banyak, Biauw Eng pun maklum akan bahaya yang mengancam dirinya, pula dia tidak biasa mainkan pedang yang berat. Maka dia lalu melolos sabuk suteranya, meninggalkan pedang yang menancap di dada salah seorang pengeroyok.

Begitu sinar sabuknya yang bergulung-gulung putih mengamuk, para pengeroyok mundur dan menjauh. Jangkauan sabuk sutera yang lebih panjang dari pada pedang itu membuat para pengeroyok ngeri. Kesempatan ini lalu dipergunakan oleh Biauw Eng untuk meloncat dan lari keluar dari gedung dengan maksud untuk melarikan diri.

Tidak perlu lagi ia mengamuk. Kematian Lai Sek sudah cukup dibalas dan kalau terlambat dia tentu akan celaka, tidak mungkin kuat menghadapi pengeroyokan pasukan keamanan yang amat besar jumlahnya dan yang semakin banyak berdatangan itu.

Sabuk sutera di tangan Biauw Eng memang merupakan senjatanya yang khusus dan bila tadi ketika memegang pedang Biauw Eng dapat diumpamakan seekor harimau marah, sekarang memegang sabuk suteranya dia laksana harimau yang tumbuh sayap! Dengan membuka jalan darah ia berhasil keluar sambil terus mengamuk sampai di luar gedung, di mana telah menanti banyak penjaga keamanan yang terus mengurungnya.

Namun Biauw Eng mengamuk terus, sekarang tidak lagi mengamuk untuk melampiaskan kemarahan dan sakit hatinya karena kematian Lai Sek, akan tetapi dia mengamuk untuk menyelamatkan diri. Sabuk sutera putih itu berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung melindungi tubuhnya sehingga tak ada satu pun senjata para pengeroyoknya yang dapat menyentuhnya, bahkan sekali-kali bila ada pengeroyok yang kurang hati-hati, senjatanya akan terlibat ujung sabuk dan terampas, lalu dilemparkan sampai jauh.

Para pengeroyok berteriak-teriak saling menganjurkan kawan, dan biar pun mereka tidak mampu merobohkan Biauw Eng, sedikitnya mereka berhasil mengurung rapat sehingga sukarlah bagi Biauw Eng untuk dapat meloloskan diri.

Mendadak terdengar bentakan nyaring suara wanita, "Semua mundur! Biarkan aku yang menangkap dia!"

Para pengeroyok menengok dan ketika melihat bahwa yang membentak adalah seorang wanita cantik bersama seorang laki-laki tampan, keduanya menunggang kuda, dan sama sekali tidak mereka kenal, para pengeroyok tidak mau ambil peduli.

Akan tetapi tiba-tiba seorang perwira pengawal luar istana yang mengenal dua orang ini cepat memberi aba-aba, "Semua pasukan mundur!"

Aba-aba ini tentu saja ditaati oleh semua pengeroyok yang menjadi terheran-heran dan segera terbukalah jalan yang lebar sehingga Biauw Eng kini berhadapan dengan kedua orang penunggang kuda itu. Wajah Biauw Eng menjadi merah, matanya mengeluarkan sinar berapi saking marah dan bencinya ketika dia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Bhe Cui Im dan laki-laki itu adalah Siauw Lek!

Tujuh orang pengawal rahasia kaisar mengatur penjagaan secara bergilir, maka terbuka kesempatan bagi Cui Im dan Siauw Lek di waktu bebas tugas untuk berjalan-jalan. Pada pagi hari itu mereka berdua juga sedang bebas tugas, karena itu mereka jalan-jalan di kota raja dengan menunggang kuda dan kebetulan sekali mereka mendengar berita akan mengamuknya seorang gadis di gedung pembesar Ang. Karena ingin menonjolkan jasa, cepat mereka mendatangi tempat itu dan ketika mereka melihat bahwa yang mengamuk adalah Biauw Eng, Cui Im terkejut dan cepat menyuruh para pengeroyok mundur.

Biauw Eng berdiri dengan sabuk sutera di tangan, maklum bahwa dia sedang berada di dalam cengkeraman bahaya maut. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar dan mengambil keputusan untuk melawan mati-matian. Dan sebenarnya, apa sih arti kematian baginya? Tadinya dia sudah merupakan seorang yang hampir mati, hanya karena kenekatan dan pembelaan Sim Lai Sek yang mencintanya dan yang mengorbankan matanya maka dia masih hidup sampai sekarang.

Dia adalah seorang manusia yang seolah-olah hidup kembali dari kematian, hidup untuk kedua kalinya yang sedianya akan dia lewatkan untuk membalas budi Lai Sek. Hidupnya yang pertama telah lenyap dan mati bersama... sama Keng Hong. Hidupnya yang kedua pun sekarang tidak ada artinya lagi setelah Lai Sek mati. Mengapa dia takut menghadapi kematian?

Hatinya menjadi dingin sekali dan dia menghadapi Cui Im dengan senyum dingin yang membuat Cui Im meremang bulu tengkuknya. Melihat bekas sumoi-nya itu dalam keadaan seperti itu, pakaiannya banyak yang robek dalam pertempuran tadi, rambutnya kusut dan mukanya membayangkan kedukaan besar, melihat mulut yang tersenyum dingin, tiba-tiba Cui Im teringat akan perhubungan antara mereka di waktu kecil.

Tanpa turun dari kudanya ia berkata, "Biauw Eng, engkau telah terlalu banyak menderita. Mengingat hubungan lama, biarlah aku akan mengampunimu asal engkau mau menyerah. Aku yang akan mengusahakan agar supaya perkaramu di sini diperiksa dan engkau akan mendapat hukuman ringan."

Makin dingin senyum Biauw Eng ketika bibirnya merekah makin lebar. "Bhe Cui Im, aku tidak butuh pengampunanmu, dan jika engkau hendak membunuhku, coba majulah. Aku tidak pernah dan tidak akan pernah takut kepadamu, perempuan durhaka, murtad dan khianat. Kalau aku tidak dapat membunuhmu saat ini, lebih baik aku mati di tanganmu!"

Wajah Cui Im menjadi merah sekali. "Perempuan rendah yang tidak tahu kebaikan orang! Mampuslah!"

Tiba-tiba saja tubuhnya mencelat dari atas kuda dan berubah menjadi sinar merah karena dalam kemarahannya Cui Im sudah mencabut pedang merahnya dan sambil meloncat itu, dia menerjang dan menyerang dengan pedangnya, dengan gerakan yang hebat dan luar biasa dahsyatnya!

Silau juga mata Biuaw Eng menyaksikan gulungan sinar pedang yang menerjangnya itu. Kedukaan karena kematian Lai Sek ditambah pertandingan ketika dia dikeroyok membuat tubuhnya lemah dan lemas.

Akan tetapi semangatnya bangkit ketika ia melihat Cui Im, musuh besar yang membunuh ibunya. Biar pun dia maklum bahwa dia bukan tandingan Cui Im yang sekarang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu, akan tetapi dia tidak gentar dan cepat sabuk suteranya bergerak mengeluarkan suara meledak-ledak ketika dia menyambut terjangan Cui Im.

"Cring... Brettttt!" Biauw Eng terkejut dan cepat melompat ke belakang ketika pertemuan sabuknya dengan sinar merah membuat sabuknya terbabat putus ujungnya!

"Hi-hi-hik, Biauw Eng, bersiaplah untuk mampus!" Cui Im mengejek dan menyerang lagi. Pedangnya yang sudah berubah menjadi gulungan sinar merah itu mengeluarkan suara berdesing-desing...
Selanjutnya,

Pedang Kayu Harum Jilid 22

Pedang Kayu Harum Jilid 22
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Theng Kiu menjadi penasaran. Dia segera menghimpun seluruh tenaga sinkang-nya dan mengerahkan tenaga untuk mengambil kitab itu secara paksa. Namun, tetap saja kitab itu tidak terampas, bergerak sedikit pun tidak!

Tadinya dia masih merasa malu untuk memperlihatkan bahwa dia mengerahkan tenaga. Akan tetapi begitu mendapat kenyataan betapa kitab itu benar-benar tidak dapat diambil, dia tidak ingat lagi betapa dia sudah memasang kuda-kuda di depan wanita yang berlutut itu. Sepasang kakinya dipentang tegak sambil mengeluarkan tenaga sehingga lantai yang diinjaknya seakan-akan melekat dengan telapak sepatunya, kemudian dia mengerahkan tenaga dan tampak jelas betapa dadanya melembung besar di balik bajunya.

Hal ini tidak saja nampak oleh semua pengawal, bahkan kaisar sendiri melihatnya dan kaisar ini yang juga mengerti akan ilmu silat tinggi sampai mendoyong ke depan di atas kursinya untuk dapat menyaksikan adu tenaga yang amat hebat itu. Ia tertarik sekali dan menjadi gembira karena ingin juga dia menyaksikan apakah wanita muda itu sanggup mempertahankan betotan tangan yang demikian kuat dari pengawal nomor satu.

Adu tenaga itu terjadi hanya beberapa detik saja karena Theng Kiu segera maklum bahwa dia benar-benar tidak sanggup merampas kitab itu dari tangan Cui Im. Dengan muka kemerahan dia lalu melepaskan tangannya dan berdiri seperti orang bingung.

Melihat ini, saking herannya hampir saja kaisar bangkit dari kursinya. Akan tetapi kaisar ini masih menguasai hatinya dan dia bertanya, "Theng Kiu, bagaimana? Mengapa kau tidak menerima kitab itu?"

Theng Kiu menjadi makin merah wajahnya dan dia menjawab gagap, "Dia... dia tidak mau memberikannya, Sri Baginda..."

Kedua mata kaisar itu bersinar-sinar. Ia maklum apa yang terjadi secara diam-diam tadi, maklum atau dapat menduga bahwa pengawalnya itu tentu telah menguji tenaga wanita itu dan ternyata tidak mampu merampas kitab. "Heh, Ang-kiam Bu-tek, mengapa engkau tidak menyerahkan kitab itu kepada pengawalku?"

"Mohon ampun, Sri Baginda. Karena tidak ada perintah dari Sri Baginda bahwa hamba harus menyerahkan kitab ini kepada orang lain kecuali kepada tangan Sri Baginda sendiri, maka terpaksa hamba tidak memberikannya kepada pengawal ini," jawab Cui Im, dan hati wanita ini lega menyaksikan sinar kegembiraan di wajah kaisar.

Pada saat itu masuklah pengawal dalam dan berlutut di depan kaisar sambil melaporkan bahwa The-tai-ciangkun (Panglima Besar The) datang mohon menghadap. Mendengar ini, wajah kaisar berseri dan seolah-olah melupakan peristiwa yang dihadapinya, bertepuk tangan gembira dan berkata,

"Suruh dia cepat datang menghadap. Biar pun sekarang bukan saatnya, akan tetapi aku ingin mendengar hasil persiapannya!"

Theng Kiu menjadi lega hatinya karena dia merasa seakan-akan terlepas dari keadaan yang memalukan. Ia lalu melangkah kembali ke tempatnya, yaitu di antara sebelas orang rekannya yang berdiri menjaga di kanan kiri. Cui Im dan Siauw Lek masih berlutut di situ dan mereka berdua pun tidak berani mengeluarkan suara atau bergerak sebelum ditanya, bahkan Cui Im masih memegangi bungkusan sutera kuning yang berisi kitab.

Tak lama kemudian masuklah dalam ruangan itu dua orang laki-laki berpakaian pembesar tinggi, diikuti oleh seorang lelaki kurus berpakaian sederhana berusia kurang lebih empat puluh tahun yang kelihatannya seperti orang mengantuk. Saat Cui Im melirik ke arah dua orang pembesar itu, diam-diam dia terkejut melihat sinar mata kedua orang pembesar itu yang demikian terang dan tajam bagaikan mata harimau di tempat gelap.

Kaisar sendiri menyambut dua orang pembesar itu, akan tetapi jelas bahwa kaisar amat menghormati pembesar yang bertubuh tinggi, yang usianya sudah lebih tua dari kaisar. Sedangkan pembesar kedua yang pendek tubuhnya dan memakai topi bundar (peci) dan berpakaian serba putih pula, membungkuk-bungkuk dengan sikap tenang kepada kaisar. Mereka berdua kemudian berlutut menyembah.

"The-ciangkun, bangkitlah dan duduklah. Kebetulan sekali Ciangkun datang, kami sedang melakukan ujian atas diri dua orang calon pengawal yang sangat menarik hati. Biarlah urusan kita itu nanti saja kita bicarakan setelah menguji calon pengawal ini. Dan inikah pembantumu yang kau sebut dahulu itu?"

"Benar demikian, Sri Baginda yang mulia," jawab pembesar yang bertubuh tinggi dengan suaranya yang tenang dan dalam.

"Hamba adalah Ma Huan, berasal dari Sin-kiang dan hamba siap sedia untuk membantu The-ciangkun sahabat hamba sejak dulu untuk melaksanakan tugas memenuhi perintah Sri Baginda."

"Bagus, bagus, duduklah kalian di sisiku sini, " kata kaisar.

Pembesar itu ialah seorang panglima laksamana, yaitu panglima yang menguasai armada yang dibentuk oleh Kerajaan Beng, bernama The Ho (tokoh ini amat terkenal, yaitu utusan Kerajaan Beng yang berlayar sampai ke Indonesia). Ada pun pembesar kedua, Ma Huan, juga amat terkenal karena dia adalah seorang berilmu yang beragama Islam dan karena raja-raja kecil di seberang lautan selatan sebagian besar beragama Islam, maka Panglima The Ho mengajak Ma Huan dalam pelayarannya (ada tersebut dalam dongeng tradisional bahwa Ma Huan ini dikenal sebagai Dampoawang yang peninggalannya banyak terdapat di Pulau Jawa, di antaranya di Gedong Batu Sampokong di Semarang).

Dua orang pembesar itu lalu duduk di atas kursi di sebelah kiri kaisar, sedangkan laki-laki kurus yang berpakaian sederhana dan seperti orang mengantuk itu kemudian berdiri di belakang The-ciangkun, sikapnya acuh tak acuh.

"Kebetulan sekali engkau datang, The-ciangkun. Lihatlah dua orang muda itu. Bagaimana pendapat Ciangkun atas diri mereka?"

The Ho menatap tajam wajah Cui Im dan Siauw Lek. Pada waktu Cui Im mengerling dan bertemu pandang dengan pembesar itu, dia merasa bulu tengkuknya berdiri. Ternyata pembesar ini memiliki wibawa yang tidak kalah hebat oleh kaisar sendiri! Ketika dia melirik ke arah Ma Huan, dia lebih bergidik lagi. Sinar mata yang sangat tenang dan sabar dari kakek berkopiah putih itu seolah-olah menembus jantungnya!

"Hemmm, mengingatkan hamba akan buah yang matang kepanasan, masak kulitnya tapi mentah isinya, Sri Baginda."

Jawaban The Ho yang amat tenang ini membuat jantung Cui Im dan Siauw Lek berdebar tegang. Apakah hanya dengan sekali pandang saja panglima besar itu sudah mengenal keadaan hati mereka? Mereka menjadi gentar dan di dalam hati berjanji untuk berhati-hati dan tidak sembrono menghadapi kaisar yang selain berwibawa juga mempunyai banyak orang sakti itu.

"Ha-ha-ha-ha, wawasanmu terlampau mendalam, The-ciangkun. Akan tetapi bagaimana kalau mereka menjadi pengawal? Yang kita pentingkan adalah kegunaan mereka sebagai pengawal, bukan?"

"Tergantung dari tingkat kepandaian mereka, Sri Baginda."

"Justru itulah, saat ini kami sedang menguji mereka. Tahukah engkau, panglimaku yang bijaksana, bahwa selain mereka datang hendak melamar, juga wanita lihai yang berjuluk Ang-kiam Bu-tek ini ingin mempersembahkan kitab Thai-yang Cin-keng kepadaku?"

The Ho tampak kaget dan tercengang. Ia mengerutkan keningnya. "Kalau betul demikian, jasanya tidak kecil."

"Sayangnya, pengawalku tidak mampu mengambil kitab itu dari tangannya," kata pula Sri Baginda sambil tersenyum.

"Ah, benarkah? Sri Baginda, bolehkah hamba menyuruh pembantu hamba Tio Hok Gwan untuk mengambilkan kitab itu dari tangannya?"

"Ha-ha-ha, ini pengawal dan muridmu yang dahulu berjuluk Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati)? Bagus, cobalah!"

The Ho menoleh ke arah pengawalnya dan mengangguk. Dengan sikap hormat Tio Hok Gwan memberi penghormatan kepada kaisar dan kedua orang pembesar, kemudian maju menghampiri Cui Im dengan malas-malasan.

Cui Im maklum bahwa dia hendak diuji lagi, dan dia bingung harus bersikap bagaimana. Akan tetapi dia sudah kepalang tanggung memperlihatkan kelihaiannya, kalau sekarang ia menyerah begitu saja, bukankah hal ini amat mengecewakan sebagai seorang gagah? Tadi dia tidak mengalah terhadap pengawal kepala, masakah sekarang terhadap orang pengantuk ini dia harus mengalah?

Ketika Cui Im melihat si pengantuk itu mengulur tangan, dia terkejut bukan main karena mendengar suara berkerotokan yang keluar dari lengan kurus itu dan angin pukulan yang menyambar ke arah lengannya bukan main kuatnya. Dia tadi mendengar kaisar menyebut si pengantuk ini sebagai Setan Bertenaga Selaksa Kati, maka dia dapat menduga bahwa si pengantuk yang malas ini tentu memiliki tenaga dahsyat.

Dia sendiri mengandalkan kelihaiannya pada ilmu-ilmu silatnya yang tinggi, terutama ilmu pedangnya, sedangkan dalam hal sinkang dia belum terlalu mempercayai dirinya sendiri. Akan tetapi karena kini dia diuji dalam tenaga, tentu saja dia tak bisa berbuat lain kecuali mengerahkan sinkang-nya dan seperti tadi dia memegang kitab terbungkus sutera kuning itu dengan erat-erat.

Meski pun Tio Hok Gwan diam-diam merasa kagum menyaksikan betapa wanita itu tidak melepaskan kitab sesudah disambar hawa dari tangannya, akan tetapi di wajahnya yang aras-arasen (malas-malasan) tidak tampak perasaan hatinya. Lelaki kurus ini melanjutkan gerakan tangannya dan memegang sebagian kitab yang terbungkus sutera kuning, lantas mengerahkan tenaga membetot.

Ia hanya mengerahkan sebagian tenaganya, karena mengira bahwa betapa pun kuatnya, wanita ini tidak akan mampu bertahan. Akan tetapi dugaannya meleset karena kitab itu tidak juga terlepas dari tangan Cui Im! Biar pun wanita ini merasa betapa tenaga raksasa membetot kitab sehingga seakan-akan seluruh tubuhnya ikut terbetot, namun dia segera mengerahkan sinkang dan mempertahankan diri.

Kaisar, The Ho, dan Ma Huan menonton pertunjukkan itu dengan penuh perhatian. Kaisar memandang dengan wajah berseri, The Ho dengan tenang mengelus jenggotnya, dan Ma Huan tersenyum-senyum seperti menyaksikan permainan dua orang anak nakal.

Kemudian Tio Hok Gwan menggerakkan sedikit pundak kanannya dan ternyata gerakan itu membuat tenaganya bertambah hebat. Cui Im penasaran dan tetap mempertahankan.

"Brettttt...!"

Kain sutera kuning pembungkus kitab hancur lebur tergencet getaran dua tenaga sakti dan sekarang Cui Im hampir tidak kuat bertahan lagi, mukanya agak pucat dan napasnya terengah-engah.

"Jangan merusakkan kitab...!" Cui Im berseru dan Tio Hok Gwan melepaskan tangannya sambil menoleh ke arah kaisar, seolah-olah hendak minta nasehat.

Cui Im yang cerdik memang berhasil mempertahankan kitab, namun kaisar dan dua orang pembesarnya sudah maklum akan kehebatan tenaga Tio Hok Gwan, maklum pula akan kecerdikan Cui Im, maka kaisar berkata,

"Bhe Cui Im, kami perintahkan kepadamu agar supaya menyerahkan kitab kepada Tio Hok Gwan."

"Dengan segala kerendahan dan kesenangan hati, Sri Baginda yang mulia!" kata Cui Im.

Dia tersenyum dan mengedipkan mata mengejek Tio Hok Gwan yang menerima kitab itu. Senyum dan kedipan matanya itu seakan-akan mengatakan bahwa betapa pun juga, si pengantuk itu tak berhasil merampas kitabnya. Akan tetapi yang diejek tetap aras-arasen, menerima kitab dan mempersembahkan kitab itu kepada kaisar.

Mereka bertiga, kaisar, The Ho dan Ma Huan, memeriksa kitab itu dan ketiganya menjadi kagum sebab mengenal kitab itu benar-benar merupakan peninggalan Jenghis Khan yang berisi taktik-taktik ilmu perang yang amat penting.

"Engkau perlu mempelajarinya sebelum ke selatan, The-ciangkun," kaisar berkata sambil menyerahkan kitab kepada The Ho. The Ho menerima lalu menyerahkannya kepada Tio Hok Gwan untuk disimpan, dan pengawal lihai yang suka mengantuk ini menyimpan kitab penting itu ke dalam saku bajunya sebelah dalam, kemudian berdiri di tempatnya sambil mengantuk!

"Theng Kiu, kami memerintahkan agar engkau suka menguji Ang-kiam Bu-tek. Bhe Cui Im, bangkitlah dan lawanlah Theng Kiu, perlihatkan ilmu pedang agar kami dapat menilai apakah patut engkau menjadi pengawal pribadi!"

Theng Kiu memberi hormat, juga Bhe Cui Im. Ada pun Siauw Lek lalu mengundurkan diri, berdiri di pinggir sambil memandang penuh perhatian. Cui Im sudah bangkit berdiri, begitu pula Theng Kiu sudah meloncat ke depan wanita itu, di dalam hatinya ingin dia menebus kekalahannya ketika mengadu tenaga memperebutkan kitab tadi.

Ketika Cui Im menggerakkan tangan, tampaklah sinar merah berkelebat karena dia telah mencabut pedangnya. Juga Theng Kiu sudah mencabut senjatanya yang ternyata adalah sebatang ruyung berduri yang berwarna kuning seperti emas.

"Mohon ampun, Sri Baginda" kata Theng Kiu sambil memberi hormat pada junjungannya. "Wanita ini lihai dan dalam pertandingan senjata, hamba khawatir kalau-kalau ada pihak yang terluka atau tewas oleh senjata. Bagaimana kalau hamba sampai salah tangan dan terlanjur menewaskannya?"

Kaisar menganguk-angguk. "Dalam sebuah pertandingan mengadu silat, terluka atau mati bukanlah hal yang aneh."

Akan tetapi sambil menyoja dengan kedua tangannya Cui Im lalu berkata kepada kaisar, "Mohon ampun, Sri Baginda. Orang yang benar-benar ahli dalam menggunakan senjata akan dapat mengalahkan lawan tanpa membunuhnya, bahkan tanpa melukainya. Setiap detik senjata masih dapat ditarik kembali sebelum terlanjur."

The Ho mengelus jenggotnya dan berkata perlahan, "Omongan yang hanya dikeluarkan seorang yang benar-benar ahli. Wanita ini sangat sombong, tetapi ucapannya memang benar, Sri Baginda."

"Mulailah!" Kaisar menggerakkan tangan ke atas dan semua mata memandang ke arah dua orang yang sudah siap itu.

"Lihat serangan!" Theng Kiu membentak dan ruyungnya lantas menyambar, menjadi sinar keemasan menghantam ke arah kepala Cui Im.

Wanita ini melihat bahwa gerakan lawan cukup kuat dan cepat baginya. Ia merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lutut sehingga ia tahu bahwa ruyung itu akan melewati atas kepalanya dan langsung ia membalas dengan gerakan pedangnya menyerampang kaki lawan.

Cepat sekali gerakannya itu, hampir berbarengan dengan serangan Theng Kiu sehingga pengawal kepala ini terkejut dan cepat melompat sambil memiringkan tubuh dan dia pun meniru lawannya untuk bergerak cepat, ruyungnya yang melewati kepala tadi dia balikkan menimpa pundak Cui Im.

Cui Im tidak membiarkan tulang pundaknya diremukkan ruyung. Ia miringkan tubuh sambil meloncat ke atas dan otomatis pedangnya yang tadi luput menyerang kaki sekarang telah membentuk lingkaran ke atas, lantas menukik dengan tusukan ke arah mata Theng Kiu! Akan tetapi Theng Kiu sudah memutar pergelangan tangannya dan ruyungnya menangkis keras.

"Tranggggg...!"

Bunga api berhamburan dan secepat kilat Cui Im yang sudah ke bawah itu menusukkan pedangnya ke arah perut lawan. Kembali menghadapi serangan yang cepat ini, tidak ada lain jalan bagi Theng Kiu kecuali menggerakkan ruyung dari samping menangkis keras.

"Cringgggg...!"

Kini sambil menangkis Theng Kiu membarengi dengan pukulan tangan kiri ke arah dada Cui Im dari samping. Akan tetapi Cui Im mengelak ke kanan dan mengayunkan kakinya menendang lutut lawan. Kalau saja Theng Kiu tak cepat-cepat mengelak sambil memutar ruyungnya melindungi tubuh, tentu lututnya patah atau lehernya terbabat pedang karena sambil menendang tadi pedang Cui Im sudah menyambar ke leher.

"Tranggggg...!" Kembali kedua senjata bertemu keras.

Theng Kiu menghantam ruyung dari bawah ke arah pinggang, tapi ditangkis oleh Cui Im.

"Cringggg…!"

Dan tiba-tiba saja tampak sinar merah bergulung-gulung ketika Cui Im membalas dengan serangan bertubi-tubi. Cepat bukan main gerakan pedang wanita ini sehingga tubuhnya lenyap terbungkus sinar pedangnya yang merah.

Theng Kiu terpaksa mengerahkan seluruh tenaga mengimbangi kecepatan lawan, namun tetap saja dia kalah cepat sehingga di antara dua gulung sinar pedang merah dan sinar ruyung keemasan yang membungkus tubuh kedua orang itu, berkali-kali terdengar suara nyaring dan kesemuanya merupakan pedang yang menyerang dan ruyungnya yang terus menerus menangkis karena tidak diberi kesempatan untuk balas menyerang!

Semua orang yang menonton termasuk kaisar sendiri, menahan napas, kecuali The Ho yang mengelus-elus jenggot, Ma Huan yang tersenyum-senyum dan Tio Hok Gwan yang makin mengantuk sungguh pun sepasang mata yang mengantuk ini tidak pernah berkedip menonton pertandingan. Pertandingan itu amat seru dan juga menegangkan, berlangsung dengan kecepatan yang memusingkan para penonton yang tingkatnya masih belum tinggi itu.

Cui Im memang seorang ahli pedang yang lihai. Dahulu pun, ketika dia masih menjadi murid Lam-hai Sin-ni dan memiliki julukan Ang-kiam Tok-sian-li (Dewi Beracun Berpedang Merah), ilmu pedangnya sudah hebat dan jarang ada yang mampu menandinginya. Kini, sesudah mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi dan mukjijat dari peninggalan Sin-jiu Kiam-ong selama empat tahun, kepandaiannya sudah meningkat luar biasa.

Ilmu pedangnya kini amat hebat, merupakan gabungan dari ilmu pedangnya sendiri yang dia pelajari dari Lam-hai Sin-ni lalu disempurnakan dengan ilmu pedang yang dia pelajari dari kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang inti sarinya merupakan Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam dan yang hanya dimiliki atau diwarisi oleh Keng Hong karena Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam ini dirahasiakan oleh Sin-jiu Kiam-ong dan hanya Keng Hong yang telah menerima ajaran gurunya.

Namun ilmu pedang ciptaan Sin-jiu Kiam-ong itu benar-benar mencakup semua inti dari ilmu pedang Hoa-san-pai, Kun-lun-pai, Kong-thong-pai dan Siauw-lim-pai menjadi satu. Di masa mudanya, Sin-jiu Kiam-ong yang mencuri ilmu-ilmu dari partai-partai besar sudah memetik bagian-bagian yang terlihai kemudian menggabungkannya sehingga ilmu pedang yang kini dimainkan oleh Cui Im benar-benar luar biasa sekali.

Di lain pihak, ilmu silat Theng Kiu adalah ilmu silat gabungan dari utara dan selatan, dan juga dia memiliki jurus-jurus gabungan yang aneh, akan tetapi kalau dibandingkan dengan Cui Im, tingkat ilmu silatnya kalah tinggi. Selain itu, karena Cui Im sudah mempelajari cara bersemedhi dan menghimpun tenaga sakti dari kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, terutama sekali dari kedua kitab Siauw-lim-pai, Seng-to Cin-keng dan I-kiong-hoat-hiat, maka dia sudah mempunyai sinkang yang amat kuat, lebih kuat dari pada tenaga sinkang Theng Kiu sehingga wanita ini menang tenaga dan menang cepat.

Cahaya pedang merah yang bergulung-gulung itu semakin lama semakin membesar dan lingkaran-lingkarannya makin luas, menggulung sinar emas dari ruyung di tangan Theng Kiu.

"Bagaimana pendapatmu, The-ciangkun?" Kaisar bertanya kepada Laksamana The Ho yang memandang dengan kagum.

"Hebat, Sri Baginda. Sungguh-sungguh hebat kiam-sut-nya, dan kalau Sri Baginda dapat mempergunakan tenaga wanita ini sebagai pengawal, sungguh baik sekali. Hamba rasa, Tio Hok Gwan sendiri pun belum tentu mampu menandingi kiam-sut-nya yang seperti itu. Bagaimana, Hok Gwan?"

Si pengantuk itu menggeleng-geleng kepala. "Luar biasa sekali. Hamba tak akan menang bertanding senjata dengan wanita itu."

Dengan ucapan ini, Tio Hok Gwan hanya mengakui kelihaian Cui Im dalam permainan pedang saja, sedangkan jika bertanding sungguh-sungguh mencari kemenangan, belum tentu dia akan kalah.

"Pedang yang ganas, semoga Allah menyadarkan untuk mempergunakan ilmunya demi kebenaran!" Ma Huan berkata sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Cukup, Theng-ciangkun...!" Tiba-tiba terdengar seruan Cui Im.

Tampak tubuh wanita ini melesat keluar dari gulungan sinar yang lenyap pula. Wanita ini berdiri sambil tersenyum, wajahnya merah segar dan matanya berseri. Ada pun Theng Kiu berdiri dengan muka lebih merah lagi, napasnya agak terengah.

"Maafkan saya, Theng-ciangkun dan terimalah kembali kancing bajumu."

Cui Im melemparkan sebuah benda kecil yang diterima oleh Theng Kiu. Keduanya lalu berlutut menghormat kaisar yang memandang kagum. Kiranya wanita itu begitu lihainya memainkan pedang sehingga dapat menanggalkan kancing baju lawan tanpa melukainya.

Tentu saja peristiwa ini membuktikan kemenangan Cui Im secara mutlak, karena kalau wanita itu menghendaki, tentu saja ujung pedang bukan mengambil kancing, melainkan lebih dalam lagi di balik baju dan kulit dada, yaitu menusuk jantung!

"Bhe Cui Im, engkau lulus ujian. Ilmu pedangmu benar-benar hebat," kata kaisar.

"Terima kasih, Sri Baginda!" kata Cui Im dengan girang sekali.

"Dan bagaimana dengan engkau? Siapakah namamu tadi?"

"Hamba bernama Siauw Lek, Sri Baginda. Hamba pun siap untuk menghadapi pengawal pribadi Paduka yang mana pun untuk menguji hamba."

"Apa? Engkau pun berani menghadapi pengawal pribadiku? Dengan senjata?"

"Dengan senjata mau pun tangan kosong hamba sanggup menghadapinya, Sri Baginda."

Kaisar Yung Lo tertawa. "Wah, agaknya kalian berdua memang tokoh-tokoh kang-ouw yang jempol! Engkau sudah menyaksikan kepandaian pengawal kepala. Apakah engkau sanggup menandinginya?"

"Theng-ciangkun tentu telah lelah, tetapi kalau tidak, hamba sanggup menghadapinya, Sri Baginda."

Dengan muka merah Theng Kiu memberi hormat dan menjawab, "Tidak, Sri Baginda. Hamba tidak lelah dan tidak akan penasaran kalau dikalahkan oleh tokoh kang-ouw yang memang hamba tahu banyak sekali yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau Paduka Sri Baginda Kaisar menghendaki, hamba akan menguji Saudara Siauw Lek dengan ilmu silat tangan kosong."

"Baik, lakukanlah, Siauw Lek, bersiaplah menandingi Theng Kiu."

Kembali dua orang lawan saling berhadapan dan kini pengawal-pengawal yang menonton mengharapkan kemenangan bagi rekan mereka. Bukan karena iri hati melihat masuknya pengawal baru, tetapi karena mereka maklum bahwa di samping ilmu silatnya yang hebat, Theng Kiu pernah menjadi juara dalam ilmu gulat di antara orang-orang Mongol, karena itu banyak harapan baginya untuk memenangkan pertandingan tangan kosong ini.

Andai kata tadi menghadapi Cui Im mereka tidak mengadu ilmu pedang, kiranya belum tentu Theng Kiu kalah, demikian pikir mereka. Betapa pun juga, tidak mungkin di hadapan kaisar mengeluarkan ilmu gulat kalau bertanding melawan seorang wanita!

"Awas pukulan!" Theng Kiu berseru dan mulai menyerang dengan pukulan tangan kanan yang kuat dan mantap.

Siauw Lek yang belum tahu sampai di mana tenaga lawan, tidak mau bersikap sembrono menangkis, maka mengelak ke kiri dan dari kiri dia balas memukul dengan tangan kanan, lutut ditekuk sehingga pukulannya yang lurus dari pinggang itu menuju ke lambung lawan. Theng Kiu juga mengelak sambil meloncat ke sebelah kiri Siauw Lek, lalu kakinya cepat menendang ke bawah pusar. Terdengar suara angin bersiutan saking keras dan cepatnya tendangan ini.

Akan tetapi dengan tangkas dan tenang Siauw Lek mengelak dan balas memukul. Karena pukulan ini cepat sekali datangnya, Theng Kiu menangkis, sekalian dia hendak mengukur tenaga lawan.

"Duukkk!"

Kedua orang itu terpental ke belakang, tanda bahwa tenaga mereka berimbang, sungguh pun dilihat dari jarak mereka terpental itu tampak bahwa Theng Kiu terpental lebih jauh. Makin serulah pertandingan itu, pukul-memukul, tendang menendang dan tusuk menusuk dengan jari tangan mengarah jalan darah yang akan ditotoknya. Keduanya sama sigap, sama tangkas dan sama kuat.

Seperti juga ilmunya bersenjata ruyung, juga ilmu silat tangan kosong Theng Kiu sangat aneh gerakannya, namun ilmu silat Hek-liong-kun (Ilmu Silat Naga Hitam) yang dimainkan Siauw Lek juga hebat bukan main. Ilmu silat ini adalah ilmu silat ciptaan Go-bi Chit-kwi, Tujuh iblis dari Go-bi, yang memiliki sifat ganas dan dahsyat.

Kaisar yang menonton pertandingan itu diam-diam merasa kagum dan dia maklum bahwa sungguh pun tingkat kepandaian laki-laki pesolek dan tampan ini tidak dapat menandingi kelihaian Cui Im, namun tingkatnya tidak di sebelah bawah pengawal kepala itu. Di dalam hatinya diam-diam dia merasa girang sekali karena selain mendapatkan kitab Thai-yang Cin-keng yang semenjak dahulu dia cari-cari, juga sekarang dia mendapatkan dua orang pembantu yang tenaga dan kepandaiannya boleh diandalkan.

"Orang ini kepandaiannya juga hebat, Sri Baginda. Akan tetapi hamba mohon supaya Paduka bersikap waspada. Orang seperti dia ini sama sekali tidak boleh dipercaya secara bulat-bulat," kata The Ho perlahan kepada kaisar.

Kaisar tersenyum. "Anjing yang betapa galak pun kalau kita pandai mempergunakannya, dapat menjadi penjaga yang setia, Ciangkun."

The Ho mengangguk-angguk dan dia pun tidak merasa gelisah karena orang pandai ini sudah mengenal kebijaksanaan junjungannya. Sementara itu, dua orang yang bertanding itu masih terus saling menyerang dengan seru, akan tetapi kini terjadi perubahan. Siauw Lek kelihatan mulai mendesak dengan pukulan-pukulan ampuh yang bertubi-tubi hingga Theng Kiu tidak mampu lagi membalas.

Sesungguhnya Theng Kiu tidaklah terdesak, dan memang dia sengaja main mundur dan bersikap seolah-olah terdesak. Hal ini sengaja dia lakukan untuk membuat lawan lengah. Ia hendak mempergunakan ilmu gulatnya untuk menangkan pertandingan ini. Andai kata dia menghadapi lawan lain, tentu ilmu ini sudah dia keluarkan sejak tadi untuk mencapai kemenangan.

Akan tetapi dia maklum bahwa Siauw Lek merupakan lawan yang sangat tangguh dan senjatanya yang paling ampuh dalam pertandingan tangan kosong hanya ilmu gulatnya. Apa bila dia keluarkan sembarangan dan diketahui lawan, agaknya lawan akan bersikap hati-hati sehingga sukar ditangkap. Maka dia sengaja bersikap terdesak untuk menyergap lawan secara tiba-tiba selagi lawan lengah.

Pada saat lengan kanan Siauw Lek mengirim pukulan dengan kuat dan cepat sekali ke arah dada Theng Kiu, pengawal berambut putih itu menggerakkan tangannya menangkis. Akan tetapi tidak seperti yang sudah-sudah tadi, tangkisannya kurang tenaga sehingga kepalan tangan Siauw Lek masih meleset dan menuju ke dadanya. Agaknya Theng Kiu kurang waspada sehingga menggirangkan hati Siauw Lek yang merasa bahwa sekali ini pukulannya tentu akan mengenai sasaran.

Dugaannya memang tepat, kepalan tangannya menyentuh dada lawan akan tetapi tangan yang tadi menangkisnya kini tahu-tahu telah mencekal pergelangan tangannya dan tubuh lawan secara tiba-tiba merendah, membungkuk, kemudian Siauw Lek merasa tubuhnya terlempar tinggi di udara!

Hebat sekali serangan balasan Theng Kiu ini, yang menggunakan cara melontarkan yang sangat istimewa, yaitu meminjam tenaga pukulan Siauw Lek dan menggunakan tubuhnya sebagai pengganjel. Dengan lengan Siauw Lek yang ditangkap sebagai pengayun, maka terlontarlah tubuh Siauw Lek sampai tinggi dan jauh.

Kalau bukan Siauw Lek yang sudah memiliki ginkang tinggi, berbahayalah lawan yang dilontarkan seperti ini, karena kalau terbanting dengan kepala lebih dulu tentu akan tewas seketika. Akan tetapi Siauw Lek tidak kehilangan akal. Sungguh pun tubuhnya melayang ke atas di luar kehendaknya sehingga untuk sesaat dia kehilangan keseimbangan tubuh, tetapi di udara dia sudah bisa menggerakkan tubuh dengan gerakan Lee-hi Ta-teng (Ikan Lee Mencuat) dan di udara itu tubuhnya berpoksai (bersalto) tiga kali sehingga ketika tubuhnya melayang turun kembali, dia sudah bisa menguasai tubuhnya dan turun dengan arah terkendali, yaitu turun menukik ke arah lawannya sambil mengirim pukulan dengan kedua tangan seperti gerakan seekor garuda menyambar kelinci!

Gerakan Theng Kiu ketika menangkap dan melontarkan lawan tadi memang hebat, akan tetapi gerakan Siauw Lek itu lebih indah sehingga terdengar seruan-seruan memuji. Ada pun Theng Kiu yang menjadi penasaran, sudah menggeser tubuh ke belakang sehingga serangan Siauw Lek luput dan mereka kembali saling berhadapan.

Siauw Lek tersenyum dan kini maklumlah dia bahwa ‘simpanan’ lawannya adalah ilmu melontarkan tubuh lawan yang menjadi sebagian dari pada ilu gulat daerah utara. Siauw Lek bukanlah seorang pemuda hijau. Dia sudah mengalami banyak pertempuran dan dia banyak tahu akan ilmu silat ini, maka diam-diam dia sudah mengambil keputusan untuk mengalahkan lawan ini dengan mencari titik kelemahan ilmu gulat!

Dia tahu bahwa seorang ahli gulat amat takut terlalu lama menangkap seorang ahli silat, takut akan pukulannya, maka begitu menangkap tentu akan dilontarkan atau dibanting. Sebaliknya, seorang ahli silat biasanya bersikap hati-hati bila melawan seorang ahli gulat, dan selalu bertanding dengan jarak jauh karena maklum akan lihainya ilmu gulat yang bukan lain adalah ilmu mencengkeram dan menangkap semacam Eng-jiauw-kang atau pun Kin-na-hoat.

Sesudah membuat perhitungan dan mencari akal, kembali Siauw Lek menerjang maju dengan pukulan-pukulan berat. Sekali lagi dia tertangkap, bahkan kini kedua lengannya yang ditangkap dengan beberapa kali tekukan tubuh, Siauw Lek telah diangkat dan sekali ini dia dibanting ke atas lantai.

"Bruuukkkkk!"
Saking kerasnya bantingan, debu mengebul ketika tubuh Siauw Lek terbanting ke atas lantai. Akan tetapi tubuh Siauw Lek sudah mencelat bangun kembali, sebaliknya, tubuh Theng Kiu terguling dan tidak dapat bangun kembali karena pada saat dia dibanting dan dilepaskan dari cekalan tangan lawannya, secepat kilat Siauw Lek sudah menggerakkan tangan mengirim pukulan sinkang yang tepat mengenai lambung Theng Kiu.

Walau pun tidak sangat tepat dan keras kenanya karena posisi Siauw Lek yang sedang dibanting itu, namun karena pukulan itu mengandung sinkang dan yang terkena adalah bagian tubuh yang lemah, cukup untuk merobohkan Theng Kiu yang perutnya menjadi nyeri dan napasnya sesak! Melihat keadaan lawannya, Siauw Lek cepat menghampiri dan dengan beberapa kali totokan serta pijatan, akhirnya Theng Kiu tidak begitu menderita.

Keduanya lalu berlutut di depan kaisar dan Theng Kiu berkata, "Hamba mengaku kalah dalam bertanding tangan kosong dengan saudara Siauw Lek, Sri Baginda."

Kaisar mengangguk-angguk dan The Ho tai-ciangkun berkata, "Mereka berdua lebih lihai dari pada pengawal kepala, pangkat apakah yang akan Paduka berikan kepada mereka, Sri Baginda?"

Kaisar tersenyum sambil memandang panglima tinggi yang dulunya merupakan sahabat seperjuangan itu, lalu berkata lirih, "Aku sudah mempunyai lima orang pengawal rahasia yang terdiri dari orang-orang sakti, apa bila kini ditambah dua orang lagi, bukankah lebih baik, The ciangkun? Mereka hidup mewah dan bebas, akan tetapi bertugas untuk secara rahasia mengawal kaisar dengan taruhan nyawa mereka. Ingin mengenal mereka?"

Tanpa menanti jawaban sebab tahu pasti panglima itu akan menyetujuinya, kaisar sudah memasukkan sebuah benda kecil ke mulutnya dan meniup. Terdengar suara melengking tinggi dan beberapa detik kemudian, baru saja kaisar menyimpan kembali benda yang ternyata semacam peluit kecil itu ke dalam saku, dari jendela, pintu, dan atas genteng melayang turun lima bayangan orang yang gerakannya amat cepat seperti burung-burung menyambar dan tahu-tahu di dalam ruangan itu telah berdiri lima orang laki-laki tua yang memandang kaisar, kemudian memandang ke kanan kiri penuh kewaspadaan dan sikap siap siaga.

Cui Im memandang penuh perhatian dan dengan kaget dia mengenal bahwa seorang di antara lima orang kakek itu bukan lain adalah Pak-san Kwi-ong, kakek tinggi besar yang berkulit hitam arang, matanya kelihatan putih dan telinganya lebar seperti telinga gajah, di pinggangnya tergantung senjata rantai dengan kedua ujungnya terdapat tengkorak!

Namun Siauw Lek lebih kaget lagi karena dia mengenal lima orang itu yang kesemuanya adalah para tokoh kang-ouw, datuk-datuk dunia hitam atau golongan sesat. Yang seorang jelas adalah Pak-san Kwi-ong, tokoh nomor satu dari utara, akan tetapi yang empat orang juga merupakan tokoh-tokoh besar yang telah lama menjagoi perbatasan utara dari barat ke timur, merupakan ‘iblis-iblis’ sepanjang Tembok Besar.

Yang pertama bernama Gu Coan Kok yang terkenal dengan julukan Iblis Cebol. Tingginya tidak ada satu setengah meter, tapi senjatanya adalah sebatang tongkat yang panjangnya lebih dari ukuran tubuhnya!

Orang ke dua adalah seorang yang tubuhnya tinggi besar, malah lebih tinggi dari Pak-san Kwi-ong sendiri, akan tetapi punggungnya bongkok. Senjatanya istimewa karena senjata ini tidak pernah dapat dia lepaskan, yaitu cakar baja yang telah tertanam pada ujung jari tangannya, menggantikan sepuluh kuku jari yang semuanya berbisa.

Dia adalah Hok Ku, yakni seorang keturunan suku bangsa Kerait dan berjuluk Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa). Suku bangsa Kerait adalah suku bangsa di utara yang dulu pernah mengalami masa jaya di samping suku bangsa Nalman, bahkan sebelum suku bangsa Mongol menjadi besar, Mongol pun pernah tunduk kepada bangsa Kerait.

Orang ke tiga bermuka putih seperti mayat, tinggi kurus dan kedua tangannya memegang pisau kecil runcing dari baja mengkilap. Dia inilah Kemutani, seorang peranakan bangsa Mongol dan Han, dan meski pun senjatanya hanya pisau-pisau kecil, akan tetapi justru senjata sederhana inilah yang membuat namanya terkenal karena selain dia seorang ahli dalam bersilat menggunakan sepasang pisau ini, juga pisau-pisau itu dapat dia lontarkan dari jarak dekat atau jauh dengan cepat dan tepat sehingga dia mendapat julukan Hui-to (Si Pisau Terbang).

Orang ke empat bertubuh bulat bundar seperti bola saking gendut dan pendeknya. Kedua kakinya pendek dan besar seperti kaki gajah, tubuhnya merupakan bulatan besar seperti gentong dan kepalanya merupakan bulatan kecil seperti bola. Biar pun bentuk tubuhnya lucu, tetapi sepak terjang Couw Seng yang berjuluk Thai-lek Sin-mo (Iblis Sakti Bertenaga Besar) ini sama sekali tidak lucu, apa lagi bagi lawannya karena dia benar-benar sangat lihai dan sukar dikalahkan.

"Ha-ha-ha-ha, kalian berlima jangan terkejut. Kami memanggil kalian bukan karena ada ancaman bahaya, melainkan akan kami perkenalkan dengan dua orang pengawal rahasia yang baru sebagai rekan-rekan kalian. Mereka berdua itulah pengawal-pengawal yang baru." Kaisar berkata sambil menuding ke arah Cui Im dan Siauw Lek.

Mendengar ucapan kaisar ini barulah sikap lima orang pengawal rahasia itu tidak tegang dan mereka tersenyum-senyum, bahkan kemudian menjura penuh hormat kepada kaisar. Hanya kelima orang pengawal rahasia inilah yang dibebaskan dari kebiasan menghormat kaisar sambil berlutut karena mereka itu setiap detik harus waspada dan menjaga kaisar secara diam-diam dan rahasia, berbeda dengan para pengawal pribadi yang seolah-olah menjadi kaki tangan kaisar, kemana pun kaisar bergerak selalu harus menjaga di samping kaisar.

Ada pun lima orang pengawal rahasia ini seperti bayangan kaisar, kadang-kadang tampak kadang-kadang tidak, akan tetapi selalu siap untuk membela kaisar pada saat-saat yang diperlukan. Maka begitu kaisar meniup peluit sebagai tanda rahasia panggilan, lima orang pengawal ini muncul secara mendadak. Secara bergiliran, mereka berlima ini melakukan penjagaan siang malam.

Setelah lima orang ini merasa yakin bahwa keselamatan kaisar tidak terancam, mereka memandang ke arah dua orang yang oleh kaisar disebut pengawal baru itu dan segera terdengarlah seruan-seruan,

"Kim-lian Jai-hwa-ong...!"

"Ehh, Tok-sian-li, engkaukah ini? Benarkah bahwa Lam-hai Sin-ni telah kau..."

"Pak-san Kwi-ong, perlukah kita harus membongkar-bongkar keburukan masing-masing di depan yang mulia Sri Baginda Kaisar?" Cui Im membentak marah sambil menudingkan telunjuknya kepada kakek tinggi besar berkulit hitam itu. "Urusan pribadi tiada sangkut pautnya dengan pengabdian kita kepada Sri Baginda. Atau, kalau engkau beserta empat orang kawanmu ini merasa terlalu tinggi untuk bekerja sejajar dengan aku, dan merasa terlalu pandai, hemmm... aku Ang-kiam Bu-tek akan mampu membuktikan bahwa aku dapat merobohkan kalian seorang demi seorang atau bahkan sekaligus!"

Siauw Lek juga berkata tersenyum, "Kalau Sri Baginda yang mulia menghendaki, aku pun sanggup menghadapi mereka seorang lawan seorang!"

Kaisar malah tertawa girang mendengar ini. Akan tetapi dia lalu mengangkat tangan dan berkata, "Pak-san Kwi-ong, dengar baik-baik perkataan kami. Tadi kami sudah menguji Ang-kiam Bu-tek dan Siauw Lek dan kami telah memutuskan untuk mengangkat mereka berdua ini menjadi pengawal rahasia di samping kalian berlima. Karena itu, perintahku pertama kepada kalian bertujuh adalah agar kalian jangan membuat ribut sendiri dengan urusan pribadi kalian yang tidak ingin kudengar. Nah, Pak-san Kwi-ong, ajaklah mereka berdua ini yang kini menjadi rekan-rekanmu ke dalam dan boleh kalian bercakap-cakap di sana, jangan datang kalau tidak kupanggil!"

Lima orang pengawal rahasia itu membungkuk, demikian pula Cui Im dan Siauw Lek yang sudah cepat dapat menyesuaikan diri, kemudian kedua orang baru ini berlalu mengikuti lima orang pengawal rahasia, tak canggung-canggung lagi dan gerakan mereka bertujuh amat cepatnya tanpa mengeluarkan suara seolah-olah pribadi kaisar dilindungi oleh tujuh setan.

Setelah mereka bertujuh pergi, kaisar tertawa dan melanjutkan perundingannya dengan Laksamana The Ho dan Ma Huan, membicarakan rencana kaisar untuk mengirim barisan di bawah pimpinan The Ho ke selatan, menjelajah negeri-negeri di seberang lautan.

Sedangkan di sebelah dalam istana, di tempat rahasia, Cui Im berkata kepada Pak-san Kwi-ong yang oleh kaisar disebut Pak-san-kwi (Setan Pegunungan Utara) dan dihilangkan ‘ong’ atau rajanya.

"Kwi-ong, kita harus mentaati perintah kaisar dan ingatlah engkau bahwa aku bukanlah Ang-kiam Tok-sian-li murid Lam-hai Sin-ni seperti dulu lagi. Aku adalah Ang-kiam Bu-tek, pewaris harta peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, dan tentang kepandaianku, ingat saja bahwa Lam-hai Sin-ni juga roboh dan tewas di tanganku. Jika kalian berlima menghendaki kerja sama dengan aku untuk mengawasi kaisar, baik sekali. Akan tetapi kalau kalian berlima hendak bertengkar dan menentangku, maka aku akan membunuh kalian dengan bantuan Kim-lian Jai-hwa-ong dan terpaksa kita semua takkan dapat mempertahankan kedudukan kita di sini. Mana yang kau pilih?"

Pak-san Kwi-ong yang dianggap paling sakti di antara teman-temannya, lalu tertawa dan berkata, "Ang-kiam, sebelum engkau muncul aku sudah menjadi pengawal, tentu saja aku akan selalu mentaati perintah kaisar. Sungguh pun hal ini bukan berarti bahwa aku takut kepadamu. Akan tetapi selama engkau diterima oleh kaisar sebagai pengawal rahasia, engkau akan kuanggap sebagai rekan dan kawan, demikian pula Jai-hwa-ong ini."

Demikianlah, mulai saat itu, Cui Im dan Siauw Lek menjadi pengawal-pengawal rahasia kaisar yang berarti bahwa mereka merupakan dua orang di antara pengawal-pengawal yang paling tinggi kedudukannya, merupakan jagoan-jagoan istana yang disegani dan ditakuti orang lain, kecuali kaisar sendiri.

Bahkan pembesar-pembesar istana yang berpangkat tinggi sekali pun segan terhadap pengawal-pengawal rahasia ini karena mereka semua maklum bahwa apa bila ada orang yang tidak setia kepada kaisar, apa lagi yang berniat memberontak, tentu akan didatangi oleh pengawal-pengawal rahasia yang sakti ini dan menerima hukuman!

Adanya tujuh orang pengawal rahasia yang kesemuanya terdiri dari bekas-bekas tokoh besar kaum sesat, membuktikan bahwa Kaisar Yung Lo memang pandai mempergunakan orang dan memanfaatkan kepandaian mereka, baik dari golongan putih mau pun dari golongan hitam. Dan segera terkenal di seluruh dunia kang-ouw bahwa tujuh orang tokoh besar itu menghambakan diri di istana, maka hal ini sudah cukup membuat gentar hati setiap orang yang berniat memberontak.

********************

Biauw Eng bersama Lai Sek tiba di kota raja, sesuai dengan permintaan Lai Sek yang mengajak Biauw Eng mengunjungi sahabatnya yang menjadi orang berpangkat di kota raja untuk minta bantuan sahabatnya agar mereka berdua dapat menjadi suami isteri dan dapat bekerja di kota raja, hidup dengan tenteram. Atas petunjuk Lai Sek yang sudah tak dapat melihat lagi itu, dengan mudah Biauw Eng menemukan sahabat yang dicari.

Sahabat Lai Sek ini ternyata telah menduduki pangkat tinggi, mendapat pangkat sebagai kepala pembangunan istana-istana di kota raja. Pangkat ini amat tinggi dan juga menjadi sumber korupsi karena sejak jaman itu pun, pembangunan atau usaha pemerintah apa saja yang ada hubungannya dengan keuangan, baik penerimaan mau pun pengeluaran uang, selalu menjadi sumber perbuatan korupsi.

Ang Joan Ti, sahabat Sim Lai Sek itu, kini disebut orang Ang-taijin (pembesar Ang) dan menjadi bahan penjilatan dari lidah banyak orang yang menginginkan rejeki dalam usaha pembangunan besar-besaran di kota raja.

Dulu Ang Joan Ti adalah seorang sahabat ayah Sim Lai Sek, dan masih menjadi pelajar kesusastraan yang tekun dari kota Liok-keng. Setelah dia menjadi pembesar yang selalu naik pengkat berkat ketekunan dan kecerdikannya, mulailah terjadi perubahan besar pada pribadi dan watak Ang Joan Ti.

Dahulu, sebagai seorang pelajar miskin yang sejak kecil selalu menderita kekurangan, Joan Ti berwatak sederhana, tidak banyak keinginan kecuali memperdalam pelajarannya dan kelak dapat menduduki pangkat sebagaimana dicita-citakan semua orang pada waktu itu. Memang, pada waktu itu, hidup secara terhormat, kaya raya atau setidaknya layak, hanya dapat dicapai oleh orang yang menjadi pegawai pemerintah. Kecuali beberapa orang tuan tanah dan pedagang yang sudah terlahir kaya, maka seluruh rakyat yang tidak menjadi pegawai pemerintah hanyalah petani-petani miskin.

Setelah Joan Ti lulus ujian dan mendapat pangkat di kota raja, yang pada mulanya kecil namun berkat kecerdikannya makin meningkat sampai sekarang ini, Ang Joan Ti menjadi mabuk kekayaan, mabuk kemuliaan dan mabuk kemewahan. Karena disanjung banyak orang dan pejabat rendahan yang menjilat-jilatnya agar kebagian rejeki, diangkat-angkat dan dipuji-puji, timbullah sifat sombong pada diri bekas orang dusun miskin yang tadinya amat sederhana dan rendah hati ini.

Puji-pujian membuat dia seperti sebuah balon melayang-layang ke atas, tiada puas dan batas, tidak sadar bahwa sewaktu-waktu dapat meletus dan lenyap. Kedudukan yang mulia, kemewahan yang berlebihan membuat dia terikat lebih kuat kepada kesenangan dunia, membuat dia lupa bahwa kesenangan dunia tidak ada yang bertahan lama.

Yang paling cepat menjerumuskan Joan Ti sehingga menjadi berubah batinnya terutama sekali adalah pejabat bawahannya. Dalam usaha mereka menjilat serta menyenangkan hati Ang-taijin ini, bermacam-macamlah akal mereka untuk digunakan sebagai sogokan atau suapan. Oleh karena pembesar ini sendiri sudah kaya raya sehingga penyuapan-penyuapan berupa harta benda takkan mengguncangkan hatinya, maka mulailah mereka itu menggunakan alat lain, dan di antaranya adalah wanita-wanita cantik.

Pada waktu mudanya, Joan Ti bukan tergolong seorang pria yang mata keranjang atau gila wanita. Akan tetapi semenjak dia ‘dilolohi’ wanita-wanita cantik oleh para penjilatnya, maka hal ini merupakan kesenangan baru yang segera mencengkeramnya. Nafsu harus dikekang, kalau dituruti akan menjadi binal seperti kuda liar, dan akan menyeret manusia ke dalam jurang.

Mula-mula Ang-taijin menerima penyuapan berupa gadis-gadis cantik ini hanya sebagai iseng-iseng belaka, akan tetapi dia lupa bahwa segala maksiat di dunia ini dimulai dengan iseng-iseng seperti juga api dimulai dengan bunga api yang lama kelamaan akan menyala menjadi kebakaran besar. Iseng-iseng yang semakin lama akan menjadi ‘hobby’, akan membuat ketagihan. Dan pada waktu itu, Ang-taijin sudah terkenal sebagai seorang yang haus akan wanita cantik!

Bagi seorang berkedudukan seperti dia, cadangan untuk korbannya tidak pernah surut, para penjilatnya dengan senang hati akan selalu menyediakan cadangan baru! Ang-taijin tinggal menunjuk saja kalau melihat wanita cantik dan para penjilat serta kaki tangannya akan berusaha sekuat tenaga, secara halus mau pun kasar, untuk mendapatkan wanita cantik itu, baik dia bersuami atau masih gadis.

Seorang yang sudah menjadi hamba nafsu birahi tidak lagi memiliki perasaan cinta kasih yang murni. Rasa cinta kasihnya sudah hambar dan setiap orang wanita yang berhasil didapatkan, dalam waktu satu dua bulan saja sudah membosankan baginya dan harus diganti yang baru. Bagi seorang penghamba nafsu seperti Ang Joan Ti, wanita tiada lebih hanya sebagai benda yang sesudah dipakai akan membosankan dan perlu diganti yang baru.

Dalam keadaan seperti itulah Ang Joan Ti menerima kunjungan Sim Lai Sek dan Biauw Eng di gedungnya yang sangat megah. Pria berusia empat puluh tahun lebih ini tadinya menerima Lai Sek dengan kening berkerut, hatinya tidak senang harus bertemu dengan putera kawan sekampung, mengingatkan dia akan keadaannya dahulu yang miskin dan rendah.

Akan tetapi begitu melihat Biauw Eng, kemuraman wajahnya sirna seketika, terganti seri dan senyum, kerling mata menyambar penuh gairah karena harus dia akui bahwa selama petualangannya dengan banyak sekali wanita belum pernah dia bertemu dengan seorang yang secantik Biauw Eng, apa lagi kecantikan asli gadis berpakaian sederhana ini tampak menonjol, pakaian yang menutupi bentuk tubuh yang padat dan menyiratkan kehangatan serta kekuatan!

"Aihhh, kiranya Sim Lai Sek! Hampir aku tidak mengenalmu, Hiante! Karena mata... Ehh, mengapa matamu...?"

Sim Lai Sek tersenyum sesudah mengangkat kedua tangan memberi hormat, "Saya tidak lagi dapat melihat, Paman Ang, akan tetapi saya masih ingat akan suara Paman. Mata saya menjadi buta karena serangan penyakit... dan karena keadaan saya inilah maka saya sengaja datang menghadap Paman dengan harapan, sudilah Paman mengingat akan hubungan antara Paman dan mendiang orang tuaku, untuk menolong saya."

Di dalam hatinya Ang-taijin memaki, bukan hanya karena kedatangan orang yang tidak diharapkan dan tak akan mendatangkan keuntungan baginya ini, akan tetapi juga karena sikap pemuda buta ini kepadanya seperti sikap keluarga sekampung, sikap yang sudah terlupa olehnya karena setiap hari semua orang yang berhadapan dengannya bersikap sebagai orang bawahan terhadap atasannya! Pemuda buta ini agaknya lupa bahwa dia kini bukan lagi Ang Joan Ti si sastrawan miskin, akan tetapi Ang-taijin yang terhormat, berkuasa dan kaya raya!

Akan tetapi, sambil mengerling ke wajah manis Biauw Eng yang menundukkan muka, dia tersenyum dan berkata, suaranya penuh keramahan,

"Sim-hiante, mengapa engkau begini sungkan? Kita seperti keluarga sendiri, dan setelah sekarang aku menjadi seorang pembesar, tentu saja aku akan membantu engkau dan... Eh, siapakah adik ini?" Suaranya terdengar mesra sekali ketika dia menyebut ‘siauwmoi’, menyebut adik padahal Biauw Eng lebih patut menjadi anaknya.

Biauw Eng adalah seorang dara remaja yang belum banyak pengalamannya menghadapi pria dengan akal bulus mereka merayu wanita, akan tetapi perasaan kewanitaannya telah membisikkan bahwa lelaki ini tidaklah sejujur seperti yang hendak diperlihatkannya, maka diam-diam dia merasa tidak suka. Akan tetapi demi Lai Sek, dia diam saja.

"Maaf, Paman Ang, saya lupa memperkenalkan. Dia ini adalah Sie Biauw Eng, tunangan saya."

"Tun... Tunanganmu...?!" Ang-taijin tidak dapat menahan seruannya karena benar-benar dia merasa kaget dan heran.

"Benar, Paman. Dia adalah calon isteri saya."

"Ah, kionghi (selamat), Sim-hiante! Engkau beruntung sekali mendapatkan seorang calon isteri yang begini cantik jelita!"

Lai Sek tersenyum, hatinya gembira sekali dan dia menoleh ke arah Biauw Eng sambil berkata, "Eng-moi, haturkan terima kasih kepada Paman Ang."

Biauw Eng menjura kepada pembesar itu dan berkata lirih, "Saya mengucapkan terima kasih atas pujian Ang-taijin."

"Ahh, nona muda yang baik, di antara orang sendiri, perlu apa sungkan-sungkan? Nah, Sim-hiante, aku akan merasa gembira sekali kalau dapat menolong engkau dan adik ini. Bantuan apakah yang kau perlukan?" Walau pun mulutnya bicara kepada Lai Sek, akan tetapi pandang mata pembesar itu tak pernah meninggalkan wajah dan tubuh Biauw Eng yang makin dipandang makin menggairahkan hatinya dan membangkitkan nafsunya itu.

"Kami berdua hendak memohon pertolongan Paman agar kami berdua dapat membangun rumah tangga di kota raja, dan bisa mendapatkan sekedar usaha sebagai penyambung hidup, terutama sekali agar Paman sudi mewakili kedua orang tua kami yang sudah tidak ada untuk menikahkan kami."

"Ehh, jadi kalian belum menikah, jadi... ehh, belum... belum berhubungan sebagai suami isteri?" tanya pembesar itu dengan hati girang sekali meski pun mata jalangnya sebagai seorang lelaki yang banyak pengalamannya tentang wanita dapat menduga bahwa Biauw Eng adalah seorang yang masih gadis.

Pertanyaan ini membuat wajah Lai Sek menjadi merah saking malu dan wajah Biauw Eng merah karena marah. Akan tetapi gadis ini tetap menunduk dan diam saja, coba menekan perasaan marahnya. Ada pun Lai Sek lalu menjawab malu,

"Belum, Paman. Kami belum menikah..."

"Bagus! Memang begitulah seharusnya sebagai seorang calon suami yang baik. Jangan khawatir, Lai Sek, aku akan membantu kalian. Akan kusuruh carikan sebuah rumah yang layak untuk kalian tinggal sebagai suami isteri, dan tentang pekerjaan nanti kita pikirkan perlahan-lahan. Sekarang lebih baik kalian tinggal dahulu di sini untuk beristirahat sambil menanti didapatkannya rumah. Tentu saja bila sudah mendapatkan rumah, baru aku akan mewakili orang tuamu merayakan pernikahan kalian."

"Ah, Paman Ang baik sekali! Sudah kusangka Paman akan menolong kami! Terima kasih, Paman!" Lai Sek menjatuhkan diri berlutut.

Akan tetapi pembesar itu segera membangunkan pemuda buta ini sambil mengerling ke arah Biauw Eng. Biauw Eng mengangkat mukanya sehingga bertemulah pandang mata mereka.

Ang-taijin terkejut dan kagum menyaksikan pandang mata yang demikian tajam seperti ujung pedang, demikian indah seperti mata burung hong. Sedangkan Biauw Eng merasa makin yakin hatinya bahwa di balik segala keramahan dan pelepasan budi pembesar ini terkandung maksud yang hina dan keji terhadap dirinya. Tentu saja dia tak menjadi gentar dan saat mengingat betapa pembesar ini merupakan ancaman bagi dirinya, ia tersenyum dingin. Orang macam itu mau bisa berbuat apakah terhadap dirinya?

Hati Ang-taijin berdebar saking girangnya ketika melihat gadis cantik jelita itu tersenyum. Dia menganggap bahwa senyum itu merupakan ‘janji’ dan ‘kode’ dari si gadis bahwa dia sudah dapat menangkap hasrat hati si pembesar dan sudah siap melayaninya! Dengan hati girang Ang-taijin lalu memanggil pelayan yang tidak ada yang hadir karena maklum bahwa Ang-taijin sedang bicara dengan tamu urusan pribadi.

Dua orang pelayan wanita segera datang berlari dan Ang-taijin lantas berkata, "Antarkan Sim-kongcu dan Sie-siocia ke dalam. Berikan sebuah kamar tamu untuk Sim-kongcu, dan ajak Sie-siocia bermalam di sebuah di antara kamar merah!"

"Baik, Taijin," jawab dua orang wanita pelayan itu sambil tersenyum maklum mendengar bahwa gadis cantik itu diberi sebuah kamar merah!

Di bagian dalam gedung itu terdapat tidak kurang dari sepuluh buah kamar-kamar yang indah dan kecil mungil berwarna merah. Di dalam kamar-kamar inilah Ang-taijin menerima wanita-wanita suguhan yang siap untuk melayaninya. Karena Ang-taijin adalah seorang pembosan, maka penghuni kamar-kamar merah ini sering kali berganti orang, hanya ada satu kamar yang besar yang tak pernah berganti penghuni, yaitu kamar Ang-hujin (nyonya Ang) yang jarang pula menerima kunjungan Ang-taijin, apa lagi pada waktu malam.

Tapi nyonya Ang sudah kebal akan kebiasaan suaminya, maka tak lagi merasa cemburu atau marah, bahkan menganggap kebiasaan suaminya itu adalah ‘hal biasa’ bagi seorang pembesar.

Dengan hati tidak enak namun tabah, Biauw Eng lalu menggandeng tangan Lai Sek dan mengantarkan pemuda ini sampai ke kamar yang disediakan untuknya, kemudian baru meninggalkan pemuda ini sesudah pelayan meyakinkan hatinya bahwa akan ada seorang pelayan yang khusus disediakan untuk melayani segala keperluan pemuda buta itu. Dia pun lalu mengikuti pelayan dan diam-diam dia kagum sekali menyaksikan kamar merah yang disediakan untuknya.

Untuk beberapa hari lamanya, baik Lai Sek mau pun Biauw Eng mendapatkan pelayanan istimewa sehingga setiap kali mereka bertemu, Lai Sek tentu memuji-muji kebaikan hati pamannya. Akan tetapi diam-diam hati Biauw Eng tetap tak enak sehingga dia mendesak agar Lai Sek suka bersama dia keluar saja dari gedung itu dan mencari tempat sendiri.

"Ahh, mana boleh demikian, Moi-moi? Paman Ang telah begitu baik terhadap kita. Biarlah kita bersabar sampai dia mendapatkan rumah untuk kita."

Apa yang dikhawatirkan Biauw Eng terjadi pada malam kelima semenjak dia tinggal di situ. Malam itu selagi dia merebahkan diri di atas dipan yang mewah, dengan tilam sutera merah muda, rebah termenung memikirkan nasibnya dan terutama sekali membayangkan wajah Keng Hong, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk orang.

Ia cepat melompat dengan sigap terbawa oleh reaksi tubuhnya sebagai seorang ahli silat yang selalu bersiap siaga dan waspada lahir batin. Akan tetapi dia segera bersikap biasa untuk menyembunyikan kepandaiannya, berjalan perlahan menuju pintu lalu membukakan daun pintu.

Ia terheran melihat bahwa yang datang adalah Ang Joan Ti yang berpakaian indah, diikuti oleh empat orang pelayan wanita yang tersenyum-senyum dan masing-masing membawa nampan yang terisi masakan-masakan yang masih panas mengepul dan berbau sedap.

"Taijin mau... apakah...? Biauw Eng bertanya, menindas perasaan dan pura-pura tidak mengerti sungguh pun dari senyum dan pandang mata pembesar itu dia dapat menduga maksud kedatangan orang ini.

Akan tetapi Ang Taijin hanya tersenyum saja, bahkan menoleh pada para pelayan dan berkata, "Cepat atur di atas meja dan segera pergi meninggalkan kami!"

Biar pun suara pembesar itu setengah membentak, yang dibentak tersenyum-senyum dan mengatur makanan di atas meja dalam kamar, kemudian sambil membungkuk-bungkuk dan tertawa-tawa genit mengerling ke arah Biauw Eng, mereka meninggalkan kamar dan menutup daun pintunya.

"Nah, kini aku baru dapat menjawab pertanyaanmu tadi, Siauwmoi. Aku sengaja datang membawa hidangan ini karena aku tahu betapa engkau kesepian. Aku merasa kasihan kepadamu, maka aku ingin mengajakmu makan bersama sambil minum arak wangi untuk menghilangkan kesepian dan kekesalan hatimu. Marilah duduk, Manis, akan kusuguhkan arak untukmu!"

"Taijin, hal ini tidak boleh, tidak layak. Harap Taijin suka keluar dari kamar ini dan jangan menggangguku. Bagaimana Taijin boleh memasuki kamarku seperti ini? Aku adalah calon isteri Sim Lai Sek!"

"Heh-heh-heh, aku tidak akan mengganggumu menjadi isterinya, Manis. Akan kunikahkan engkau dengan si buta itu, ehemmm... tetapi hanya untuk di luarnya saja bukan? Padahal sesungguhnya, ahhhh... kita lebih cocok, dan semenjak aku melihatmu, aku sudah suka sekali kepadamu, aku sudah jatuh cinta kepadamu, Sie Biauw Eng yang jelita. Engkau akan hidup mewah, apa pun yang kau minta akan kuberikan, asal engkau suka melayani aku. Marilah...!" Pembesar itu mendekat, akan tetapi Sie Biauw Eng melangkah mundur.

"Jangan Taijin, aku adalah tunangan Sim Lai Sek dan dia masih hidup, bagaimana aku sudi berbuat serong? Aku bukanlah perempuan semacam itu! Pergilah Taijin sebelum aku kehabisan kesabaranku."

Ang Taijin tertawa. "Ihhh, pakai malu-malu kucing segala? Aku pun tahu bahwa kau lebih suka kepadaku dari pada pemuda buta yang tak dapat menghargai kecantikanmu dengan matanya...!"

"Cukup!!" Biauw Eng membentak dan saking marahnya ia menusukkan jari-jari tangannya ke permukaan meja.

"Plongggg!"

Jari-jari tangan sebanyak lima buah yang kecil mungil itu amblas menusuk meja sampai tembus ke bawahnya. Ketika diangkat, tampak lima buah lubang kecil bekas tusukan jari. Melihat ini, seketika wajah Ang Taijin menjadi pucat.

"Taijin aku dapat mengusai jari tanganku, akan tetapi kalau kesabaranku hilang dan aku tidak dapat menguasai hatiku, jangan-jangan bukan meja yang kutusuk bolong, melainkan kepala orang. Pergilah!"

"Aihhh... kiranya engkau pandai silat. Hemm... tentu saja, Lai Sek juga seorang ahli silat. Baiklah aku tak akan mengganggumu jika engkau tidak suka melayani orang lain karena Lai Sek masih hidup. Akan tetapi katakanlah Nona Biauw Eng yang manis, andai kata di sana tidak ada Lai Sek, engkau tentu suka menyambut cinta kasihku, bukan?" Agaknya pembesar ini masih tercengang karena belum pernah ada wanita menolak cintanya dan agaknya bagi laki-laki ini merupakan suatu hal yang mustahil kalau ada wanita yang tidak suka menjadi kekasih pembesar Ang.

Biauw Eng sudah hampir tak dapat lagi menahan kemarahannya, maka untuk membuat pembesar itu cepat pergi, ia lalu berkata, "Kalau begitu lain lagi, Nah, pergilah dan jangan pernah berani lagi memasuki kamar ini!"

Pembesar itu menghela napas kemudian pergi meninggalkan kamar Biauw Eng. Setelah pembesar itu pergi, barulah Biauw Eng teringat akan keselamatan Lai Sek dan teringat akan ucapan Ang Taijin. Dia cepat meniup padam lilin di atas meja, kemudian meloncat keluar melalui jendela kamarnya dan membayangi Ang Taijin yang memasuki ruangan tengah.

Di ruangan ini Ang Taijin berbicara perlahan dengan seorang laki-laki berhidung bengkok yang agaknya menjadi penasehatnya. Biauw Eng cepat menghampiri, bersembunyi dan mengintai.

"Akan tetapi dia pandai silat dan bayangkan, sekali tusuk dengan jari tangan dia mampu melubangi meja! Kalau tusukan itu mengenai kepala, celaka! Mana bisa aku memaksa dengan kekerasan?" terdengar suara pembesar itu penuh penyesalan.

"Kenapa harus mengkhawatirkan dia? Ilmu silat seorang gadis cantik itu saja apa artinya? Malam ini juga akan kupanggil Sin-chio Ngo-houw (Lima Harimau Bertombak Sakti) yang menjaga di luar istana untuk mengawal paduka dan kalau perlu menghadapinya."

"Akan tetapi bagaimana agar dia mau? Aku paling tidak suka memperoleh wanita dengan kekerasan. Lebih menyenangkan kalau dia menyerahkan diri dengan suka rela dan suka hati, hemmm...!"

"Begini, Taijin..." Si Hidung Bengkok itu lalu mendekatkan mulut ke telinga pembesar itu, berbisik-bisik sehingga Biauw Eng tidak mampu mendengar apa yang dikatakannya, ada pun pembesar itu mengerutkan keningnya, kadang-kadang menggeleng, kadang-kadang cemberut, akan tetapi kemudian mengangguk-angguk dan tersenyum.

Biauw Eng sudah tidak peduli lagi. Paling-paling mereka itu sedang mengatur siasat untuk menundukkannya dan hal ini ia anggap remeh karena apa pun yang akan mereka lakukan terhadap dirinya, dia tidak perlu khawatir dan merasa yakin akan dapat melindungi dirinya sendiri.

Akan tetapi ia mengkhawatirkan keadaan Lai Sek. Biar pun pemuda itu juga bukan orang lemah akan tetapi karena sepasang matanya buta tentu saja tidak dapat menjaga dirinya sendiri dengan baik. Ia lalu meloncat pergi tanpa meninggalkan suara, mendatangi kamar Lai Sek dan mengintai dari atas. Ketika ia melihat Lai Sek sedang tidur pulas dan dalam keadaan selamat, baru ia lega dan kembali ke kamarnya.

Melihat hidangan-hidangan yang masih panas dan ternyata semua merupakan masakan yang lezat, dia tersenyum, menyambar sumpit dan makan beberapa potong daging dan sayur, dipilih yang enak-enak saja sambil kadang-kadang tersenyum mengenang sikap Ang Taijin yang dianggapnya seorang badut yang menggelikan dan juga menyebalkan.

Boleh jadi Biauw Eng seorang gadis gagah perkasa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi dalam hal pengalaman menghadapi tipu muslihat dan kejahatan hati manusia, ia masih hijau. Ia tidak mengira bahwa hati laki-laki yang sudah tergila-gila pada seorang wanita dapat menelurkan perbuatan-perbuatan maksiat yang luar biasa keji, tidak pantang melakukan perbuatan apa pun untuk mencapai dorongan nafsu birahinya.

Setelah kejadian itu, tiga malam berturut-turut Biauw Eng tidak pernah diganggu dan dia sudah merasa lega, mengira Ang Taijin tentu jeri oleh ancamannya, maka dia pun tidak menyatakan sesuatu kepada Lai Sek untuk mencegah terjadinya keributan. Akan tetapi pada suatu pagi, di hari keempatnya ia terbangun, ia kaget sekali mendengar jerit tangis wanita disusul tangis melolong-lolong. Ia cepat meloncat turun dan tiba-tiba daun pintunya dibuka dari luar oleh pelayan yang biasa melayaninya. Pelayan itu pun menangis dan serta merta menjatuhkan dirinya berlutut sambil menangis.
"Celaka, Siocia... celaka... ahhh, mengerikan sekali...!"

"Apa yang terjadi?" Biauw Eng bertanya, masih tenang.

"Sim-kongcu... dia... dia membunuh diri di kamarnya...!"

Tiba-tiba tubuh Biauw Eng berkelebat dari tempat itu, dan ketika pelayan itu mengangkat muka, gadis itu telah lenyap. Cepat sekali Biauw Eng tiba di tempat Lai Sek dan di situ dia melihat pelayan wanita yang biasa melayani Lai Sek menangis di atas lantai. Kamar itu penuh orang, ada tiga orang pelayan wanita, dua orang pelayan pria yang dilihat Biauw Eng malam itu, bersama lima orang laki-laki tinggi besar yang memegang tombak.

Mereka semua memandangnya pada saat dia memasuki kamar Lai Sek. Biauw Eng tidak mempedulikan semua orang, langsung dia berlutut di dekat tubuh Lai Sek yang kini telah menggeletak tanpa nyawa di atas lantai. Tangan kanannya memegang gagang sebatang pedang, pedang milik Lai Sek, yang sekarang menembus perutnya sampai ke punggung, sedangkan tangan kiri pemuda itu mencengkeram sehelai kertas.

Dengan muka pucat Biauw Eng mendapat kenyataan bahwa pemuda itu benar-benar sudah tewas. Dia segera mengambil kertas bertulis dari genggaman tangan kiri Lai Sek, merapikan dan membacanya. Surat itu ditujukan kepadanya dan dia mengenal tulisan Lai Sek.

Eng-moi,

Aku maklum bahwa seorang pemuda yang tak berharga seperti aku hanya akan menjadi penghalang kebahagiaan hidupmu. Seorang gadis sepertimu berhak untuk hidup mulia sebagai seorang puteri terhormat, di samping orang yang kau cinta dan yang akan dapat memenuhi segala kebutuhan hidupmu. Karena itu, aku mengalah dan lebih baik aku pergi selamanya.

Selamat tinggal, Sim Lai Sek.


"Ahh, Twako...!" Biauw Eng tidak dapat menahan keharuan serta kedukaan hatinya. Dia menangis dan memeluki tubuh Lai Sek yang telah menjadi mayat itu.

Ketika ia menangis dan wajahnya dekat sekali dengan leher pemuda yang telah tewas itu karena ia merebahkan mukanya di dada Lai Sek, pandang matanya tertarik oleh dua titik menghitam di dekat tenggorokan. Ia mengusap air matanya dan mengangkat dagu mayat itu.

Jelas kini nampak dua titik menghitam sebesar ujung jari tangan. Dia menyentuhnya dan jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kemarahan. Dia kini tahu bahwa pemuda itu bukan tewas oleh pedang, melainkan tewas atau sedikitnya roboh oleh totokan dua buah jari tangan yang mengandung hawa beracun!

Cepat dia memeriksa luka pada perut yang masih tertancap pedang. Tidak terdapat darah pada luka itu. Hal ini hanya berarti bahwa pedang itu ditusukkan ke perut setelah pemuda ini tewas!

Karena hatinya masih ragu-ragu, ia membuka surat itu kembali dan membacanya melalui air matanya, membacanya kembali dengan penuh perhatian. Sudah dua atau tiga kali dia melihat tulisan tangan Lai Sek dan gaya tulisannya, bentuk huruf-huruf surat ini memang benar seperti tulisan Lai Sek. Akan tetapi... tiba-tiba wajahnya berubah.

Tulisan yang berbunyi ‘di samping orang yang kau cinta dan yang akan dapat memenuhi segala kebutuhan hidupmu’ sangat menarik perhatiannya. Lai Sek sudah mengerti bahwa satu-satunya orang yang dia cinta adalah Keng Hong! Dan Keng Hong adalah seorang sebatang kara yang miskin. Mengapa Lai Sek menyatakan bahwa orang yang dicintanya dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya?

"Aduh..., Siauwmoi... ahhh, kasihan sekali Lai Sek...! Ahhh, bagaimana bisa terjadi mala petaka ini...?"

Ucapan yang keluar dari mulut Ang-taijin yang baru tiba ini mengingatkan Biauw Eng akan segala sikap dan ucapan pembesar ini pada saat hendak menggodanya beberapa malam yang lalu. Gadis ini menekan kemarahannya dan cepat dia bangkit berdiri, membalikkan tubuhnya, kemudian memandang pembesar itu dengan mata basah. Akan tetapi sambil mengacungkan surat di tangannya dia cepat bertanya,

"Taijin, aku... aku tidak mengerti... apa maksud tulisannya ini? Siapa yang dia maksudkan dan mengapa dia mengalah?"

"Masa engkau tidak mengerti, Siauwmoi? Dia maksudkan aku, dan tentu dia mengalah sebab merasa takkan mampu membahagiakan engkau... maka, sudahlah jangan berduka, Siauwmoi, di sini ada aku yang..."

Tiba-tiba pembesar itu menghentikan kata-katanya ketika melihat wajah yang cantik itu menjadi beringas, sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar seperti berapi.

"Bagaimana engkau dapat mengetahui isi suratnya?!" Biauw Eng membentak, suaranya melengking penuh kemarahan meluap-luap.

"Aku... Aku sudah membacanya...," Ang-taijin yang menjadi gugup menjawab tanpa dia sadari.

"Engkau baru datang, bagaimana bisa membacanya? Surat ini palsu! Tentu engkau dan kaki tanganmu yang menulisnya dan Sim Lai Sek tidak mati karena membunuh diri, akan tetapi mati terbunuh oleh totokan di lehernya. Tentu engkau... pembesar jahanam berhati palsu dan keji, engkau yang mengatur semuanya ini, keparat!" Sambil berkata demikian, tangan Biauw Eng bergerak ke depan dan tahu-tahu tangannya telah mencengkeram baju pembesar itu di bagian dadanya.

"Jangan... ehhh, tolooongg...!"

Laki-laki hidung bengkok yang berdiri di dekat pembesar Ang cepat-cepat menengahi dan berkata, "Nona, bersabarlah... dan jangan kurang ajar terhadap Ang-taijin..."

"Engkau tukang mengatur siasat yang menjijikkan!" Tangan kirinya menyambar dan dia sudah menjambak rambut si hidung bengkok, kemudian dengan kemarahan membakar dada dan kepala, gadis ini menggerakkan kedua tangannya.

"Prokkk!"

Dua buah kepala milik Ang Joan Ti dan si hidung bengkok bertemu keras sekali, beradu dahi dan ternyata kepala si hidung bengkok lebih keras karena kalau kepala Ang Joan Ti pecah hingga pembesar yang celaka oleh nafsunya sendiri itu tewas seketika, Si hidung bengkok hanya menjadi pening dan matanya menjuling saja. Melihat ini, Biauw Eng lalu mengayun tubuh si hidung bengkok, membantingnya ke atas lantai dan terdengar suara keras ketika kepala si hidung bengkok ini pecah berantakan, berbeda dengan kepala Ang Joan Ti yang retak-retak saja.

"Perempuan keji! Pembunuh! Tangkap...!"

Teriakan-teriakan ini terdengar ramai dan keadaan di situ menjadi geger. Pelayan-pelayan perempuan menjerit dan melarikan diri, ada pun lima orang tinggi besar bertombak yang berada di dalam kamar itu, segera menerjang maju dengan tombak mereka.

Biauw Eng yang sudah menjadi mata gelap saking duka dan marahnya melihat nasib Lai Sek, cepat melemparkan mayat Ang-taijin ke arah lima orang pengeroyoknya. Lima orang itu adalah Sin-chio Ngo-houw, lima orang pengawal luar istana yang sengaja diundang oleh si hidung bengkok untuk menghadapi Biauw Eng.

Akan tetapi sungguh di luar persangkaan mereka bahwa gadis itu memiliki kepandaian sedemikian hebat sehingga gerakannya luar biasa cepatnya dan lima orang pengawal itu tidak sempat lagi mencegah pembunuhan yang dilakukan Biauw Eng atas diri Ang-taijin dan penasehatnya.

Kini lima orang pengawal itu menjadi marah sekali. Melihat gadis itu dengan ganasnya membunuh Ang-taijin lalu melemparkan mayatnya pada mereka, salah seorang di antara mereka cepat menerima mayat dengan kedua tangan sedangkan empat orang kawannya segera menerjang Biauw Eng dengan tombak mereka.

"Sim-twako, aku akan membalaskan kematianmu!" Biauw Eng berseru.

Sesudah mencabut pedang yang menancap di perut mayat Lai Sek, gadis ini kemudian mengamuk sambil bercucuran air mata, menghadapi pengeroyokan lima orang Sin-chio Ngo-houw yang sudah mengurungnya. Ada pun para pelayan sudah menyingkir dengan ketakutan dari kamar itu. Pertandingan berlangsung dengan seru di dalam kamar maut itu di mana menggeletak tiga buah mayat.

Dalam deretan tingkat para pengawal istana tentu saja tingkat pertama diduduki pengawal pribadi rahasia, kemudian para pengawal pribadi kaisar menduduki tingkat ke dua. Ada pun tingkat ke tiga diduduki oleh para pengawal dalam istana dan pengawal luar istana, seperti Sin-chio Ngo-houw, adalah pengawal tingkat empat. Mereka ini sudah termasuk ahli-ahli silat kelas tinggi bagi ahli silat umumnya. Akan tetapi tentu saja mereka masih kalah jauh bila dibandingkan dengan Biauw Eng.

Gadis yang menjadi amat berduka dan marah ini menggerakkan pedang Lai Sek dengan cepat, ganas dan kuat sekali sehingga biar pun lima orang pengawal itu mengeroyoknya dengan tombak mereka yang terkenal ampuh, tetap saja dalam belasan jurus Biauw Eng telah merobohkan tiga orang di antara Sin-chio Ngo-houw sehingga jumlah mayat dalam kamar itu bertambah menjadi enam!

Akan tetapi tiba-tiba keadaan di luar gedung itu menjadi berisik sekali dan ternyata bahwa sepasukan penjaga keamanan telah datang menyerbu. Kota raja menjadi geger pada saat mendengar bahwa ada seorang gadis telah mengamuk di dalam rumah gedung pembesar Ang, bahkan membunuh pembesar Ang dan banyak pembantunya.

Melihat betapa pasukan pengawal menyerbu, Biauw Eng menjadi semakin marah. Akan tetapi suaranya terdengar dingin menyeramkan ketika dia berkata,

"Puaskanlah hatimu, Sim-twako. Nyawamu akan mendapat tebusan banyak sekali nyawa musuh!" Setelah berkata demikian, Biauw Eng menubruk maju dan pedangnya bergerak cepat, merobohkan dua orang sisa Sin-chio Ngo-houw dan mendesak mundur pasukan pengawal yang sudah tiba di depan pintu kamar itu.

Biauw Eng maklum bahwa apa bila menghadapi pengeroyokan banyak orang, berbahaya sekali kalau dia terus bertahan di dalam kamar yang sempit itu. Maka ia menerjang keluar dan di bawah teriakan-teriakan hiruk-pikuk serta hujan senjata para pengeroyok, Biauw Eng mengamuk di ruangan tengah yang luas.

Terjadilah apa yang dikatakan Biauw Eng kepada mayat Sim Lai Sek sebelum dia pergi meninggalkan kamar maut itu. Biauw Eng mengamuk dengan pedang itu sehingga para pengeroyok yang amat banyak jumlahnya itu roboh seperti rumput di babat. Mereka, para penjaga keamanan, berteriak-teriak dan mengurung, tetapi mereka ini seperti sekumpulan laron menerjang api, siapa yang berani mendekati Biauw Eng tentu roboh disambar sinar pedang gadis ini.

Ruang yang luas dan biasanya bersih itu kini menjadi tempat yang menyeramkan. Banjir darah di lantai dan di dinding, sedangkan mayat berserakan, bertumpuk, ada yang masih berkelojotan, lebih dari dua puluh orang banyaknya!

Melihat betapa pasukan pengeroyok makin banyak, Biauw Eng pun maklum akan bahaya yang mengancam dirinya, pula dia tidak biasa mainkan pedang yang berat. Maka dia lalu melolos sabuk suteranya, meninggalkan pedang yang menancap di dada salah seorang pengeroyok.

Begitu sinar sabuknya yang bergulung-gulung putih mengamuk, para pengeroyok mundur dan menjauh. Jangkauan sabuk sutera yang lebih panjang dari pada pedang itu membuat para pengeroyok ngeri. Kesempatan ini lalu dipergunakan oleh Biauw Eng untuk meloncat dan lari keluar dari gedung dengan maksud untuk melarikan diri.

Tidak perlu lagi ia mengamuk. Kematian Lai Sek sudah cukup dibalas dan kalau terlambat dia tentu akan celaka, tidak mungkin kuat menghadapi pengeroyokan pasukan keamanan yang amat besar jumlahnya dan yang semakin banyak berdatangan itu.

Sabuk sutera di tangan Biauw Eng memang merupakan senjatanya yang khusus dan bila tadi ketika memegang pedang Biauw Eng dapat diumpamakan seekor harimau marah, sekarang memegang sabuk suteranya dia laksana harimau yang tumbuh sayap! Dengan membuka jalan darah ia berhasil keluar sambil terus mengamuk sampai di luar gedung, di mana telah menanti banyak penjaga keamanan yang terus mengurungnya.

Namun Biauw Eng mengamuk terus, sekarang tidak lagi mengamuk untuk melampiaskan kemarahan dan sakit hatinya karena kematian Lai Sek, akan tetapi dia mengamuk untuk menyelamatkan diri. Sabuk sutera putih itu berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung melindungi tubuhnya sehingga tak ada satu pun senjata para pengeroyoknya yang dapat menyentuhnya, bahkan sekali-kali bila ada pengeroyok yang kurang hati-hati, senjatanya akan terlibat ujung sabuk dan terampas, lalu dilemparkan sampai jauh.

Para pengeroyok berteriak-teriak saling menganjurkan kawan, dan biar pun mereka tidak mampu merobohkan Biauw Eng, sedikitnya mereka berhasil mengurung rapat sehingga sukarlah bagi Biauw Eng untuk dapat meloloskan diri.

Mendadak terdengar bentakan nyaring suara wanita, "Semua mundur! Biarkan aku yang menangkap dia!"

Para pengeroyok menengok dan ketika melihat bahwa yang membentak adalah seorang wanita cantik bersama seorang laki-laki tampan, keduanya menunggang kuda, dan sama sekali tidak mereka kenal, para pengeroyok tidak mau ambil peduli.

Akan tetapi tiba-tiba seorang perwira pengawal luar istana yang mengenal dua orang ini cepat memberi aba-aba, "Semua pasukan mundur!"

Aba-aba ini tentu saja ditaati oleh semua pengeroyok yang menjadi terheran-heran dan segera terbukalah jalan yang lebar sehingga Biauw Eng kini berhadapan dengan kedua orang penunggang kuda itu. Wajah Biauw Eng menjadi merah, matanya mengeluarkan sinar berapi saking marah dan bencinya ketika dia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Bhe Cui Im dan laki-laki itu adalah Siauw Lek!

Tujuh orang pengawal rahasia kaisar mengatur penjagaan secara bergilir, maka terbuka kesempatan bagi Cui Im dan Siauw Lek di waktu bebas tugas untuk berjalan-jalan. Pada pagi hari itu mereka berdua juga sedang bebas tugas, karena itu mereka jalan-jalan di kota raja dengan menunggang kuda dan kebetulan sekali mereka mendengar berita akan mengamuknya seorang gadis di gedung pembesar Ang. Karena ingin menonjolkan jasa, cepat mereka mendatangi tempat itu dan ketika mereka melihat bahwa yang mengamuk adalah Biauw Eng, Cui Im terkejut dan cepat menyuruh para pengeroyok mundur.

Biauw Eng berdiri dengan sabuk sutera di tangan, maklum bahwa dia sedang berada di dalam cengkeraman bahaya maut. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar dan mengambil keputusan untuk melawan mati-matian. Dan sebenarnya, apa sih arti kematian baginya? Tadinya dia sudah merupakan seorang yang hampir mati, hanya karena kenekatan dan pembelaan Sim Lai Sek yang mencintanya dan yang mengorbankan matanya maka dia masih hidup sampai sekarang.

Dia adalah seorang manusia yang seolah-olah hidup kembali dari kematian, hidup untuk kedua kalinya yang sedianya akan dia lewatkan untuk membalas budi Lai Sek. Hidupnya yang pertama telah lenyap dan mati bersama... sama Keng Hong. Hidupnya yang kedua pun sekarang tidak ada artinya lagi setelah Lai Sek mati. Mengapa dia takut menghadapi kematian?

Hatinya menjadi dingin sekali dan dia menghadapi Cui Im dengan senyum dingin yang membuat Cui Im meremang bulu tengkuknya. Melihat bekas sumoi-nya itu dalam keadaan seperti itu, pakaiannya banyak yang robek dalam pertempuran tadi, rambutnya kusut dan mukanya membayangkan kedukaan besar, melihat mulut yang tersenyum dingin, tiba-tiba Cui Im teringat akan perhubungan antara mereka di waktu kecil.

Tanpa turun dari kudanya ia berkata, "Biauw Eng, engkau telah terlalu banyak menderita. Mengingat hubungan lama, biarlah aku akan mengampunimu asal engkau mau menyerah. Aku yang akan mengusahakan agar supaya perkaramu di sini diperiksa dan engkau akan mendapat hukuman ringan."

Makin dingin senyum Biauw Eng ketika bibirnya merekah makin lebar. "Bhe Cui Im, aku tidak butuh pengampunanmu, dan jika engkau hendak membunuhku, coba majulah. Aku tidak pernah dan tidak akan pernah takut kepadamu, perempuan durhaka, murtad dan khianat. Kalau aku tidak dapat membunuhmu saat ini, lebih baik aku mati di tanganmu!"

Wajah Cui Im menjadi merah sekali. "Perempuan rendah yang tidak tahu kebaikan orang! Mampuslah!"

Tiba-tiba saja tubuhnya mencelat dari atas kuda dan berubah menjadi sinar merah karena dalam kemarahannya Cui Im sudah mencabut pedang merahnya dan sambil meloncat itu, dia menerjang dan menyerang dengan pedangnya, dengan gerakan yang hebat dan luar biasa dahsyatnya!

Silau juga mata Biuaw Eng menyaksikan gulungan sinar pedang yang menerjangnya itu. Kedukaan karena kematian Lai Sek ditambah pertandingan ketika dia dikeroyok membuat tubuhnya lemah dan lemas.

Akan tetapi semangatnya bangkit ketika ia melihat Cui Im, musuh besar yang membunuh ibunya. Biar pun dia maklum bahwa dia bukan tandingan Cui Im yang sekarang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu, akan tetapi dia tidak gentar dan cepat sabuk suteranya bergerak mengeluarkan suara meledak-ledak ketika dia menyambut terjangan Cui Im.

"Cring... Brettttt!" Biauw Eng terkejut dan cepat melompat ke belakang ketika pertemuan sabuknya dengan sinar merah membuat sabuknya terbabat putus ujungnya!

"Hi-hi-hik, Biauw Eng, bersiaplah untuk mampus!" Cui Im mengejek dan menyerang lagi. Pedangnya yang sudah berubah menjadi gulungan sinar merah itu mengeluarkan suara berdesing-desing...
Selanjutnya,