Pedang Kayu Harum Jilid 19 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pedang Kayu Harum Jilid 19
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Keng Hong menyambut serangan ini dengan tamparan tangan yang mengenai leher kiri kakek itu. Tubuh Thian It Tosu lalu terlempar ke arah Kim-to Lai Ban dan memang hal ini disengaja oleh Keng Hong. Melihat tubuh suheng-nya yang melayang itu, Lai Ban cepat menangkapnya dan ternyata bahwa tosu itu telah pingsan.

Ouw Beng Kok cepat meloncat maju dan menudingkan telujuknya ke arah Lai Ban sambil berkata, "Lai Ban, mulai detik ini juga engkau tak kami akui lagi sebagai seorang anggota Tiat-ciang-pang, dan para anggota yang menyeleweng, kalau masih setia padanya maka selamanya tidak akan diakui juga sebagai anggota Tiat-ciang-pang!"

Lai Ban yang masih memondongkan tubuh Thian It Tosu, tidak dapat bicara lagi. Ia hanya menundukkan mukanya dan membawa pergi tubuh suheng-nya yang pingsan. Ada pun para pendukungnya yang juga merasa bahwa mereka tidak ada muka lagi untuk terus berada di sana, satu demi satu lalu berdiri dan dengan muka tunduk mengikuti Lai Ban meninggalkan tempat itu.

Setelah kepergian orang-orang yang mengacaukan pemilihan ketua ini, tentu saja dengan sendirinya Ouw Kian dipilih sebagai ketua baru menggantikan ayahnya, kemudian pesta dilanjutkan dengan meriah. Ouw Beng Kok lalu menarik tangan Keng Hong, diajak masuk ke dalam, diikuti oleh Ouw Kian. Lain orang tidak diperkenankan menyaksikan pertemuan di dalam.

Ouw Beng Kok mempersilakan Keng Hong duduk menghadapi meja, berhadapan dengan dia dan puteranya, kemudian ketua Tiat-ciang-pang yang selama ini menatap wajah Keng Hong penuh perhatian, lalu berkata,

"Sekarang tiba saatnya supaya Taihiap suka memperkenalkan diri. Siapakah Taihiap dan meski pun kami semua menghaturkan banyak terima kasih dan merasa bersyukur sekali atas bantuan Taihiap yang mencuci bersih nama baik perkumpulan kami, tetapi sungguh kami ingin mengetahui, mengapa Taihiap melakukan ini semua?"

Keng Hong yang sekarang tidak lagi bersikap ketolol-tololan seperti tadi, menghela napas panjang dan berkata, "Ouw-pangcu, sebelum saya memperkenalkan diri, lebih dulu saya mohon tanya, bagaimana pendapat Pangcu tentang diri Lai Ban?"

"Dia? Ah, sudah jelas bahwa dia seorang yang mengkhianati perkumpulan, seorang yang tamak dan ingin merampas kedudukan. Hemm, sayang aku tidak mendapat kesempatan untuk menghancurkan kepalanya!"

Keng Hong mengangguk-angguk. "Jadi Pangcu tentu dapat menerima apabila dikatakan bahwa dalam sepak terjangnya dulu, banyak kemungkinan dia pun melakukan kesalahan-kesalahan, melakukan tindakan sewenang-wenang hingga dapat mengotorkan nama baik perkumpulan Tiat-ciang-pang?"

Ouw Beng Kok mengerutkan keningnya, kemudian mengangguk-angguk. "Sangat boleh jadi, dan kalau hal itu terjadi, sungguh aku merasa menyesal sekali."

"Dan banyak hal seperti itu memang terjadi, Pangcu. Dulu Lai Ban sering kali melakukan hal sewenang-wenang, menanam bibit permusuhan dengan partai-partai lain, memimpin anak buahnya yang memang tidak dapat dikatakan bersih kelakuannya. Sekarang saya mohon bertanya, Pangcu. Saya datang dan menyamar sebagai anggota Tiat-ciang-pang untuk melawan Lai Ban dan tosu Kim-to Bu-koan itu untuk membuktikan niat baik saya. Andai kata saya mempunyai kesalahan-kesalahan yang timbul dari salah pengertian pada masa lalu, sudikah Pangcu memaafkan saya dan menghapus semua kesalah pahaman yang timbul karena sepak terjang Lai Ban?"

Ouw Beng Kok menatap wajah pemuda itu dan mengerahkan seluruh ingatannya untuk mengenalnya, akan tetapi dia merasa yakin bahwa dia belum pernah berjumpa dengan pemuda ini. Ia menghela napas dan berkata, "Dahulu aku amat percaya kepada Lai Ban, akan tetapi sekarang aku mengerti bahwa tentu banyak perbuatannya yang menyimpang hingga menyelewengkan Tiat-ciang-pang. Aku akan melupakan segala persoalan antara engkau dan perkumpulan kami, Taihiap."

"Bagus, Pangcu. Patut dikagumi seorang laki-laki yang dapat menyadari kekurangan diri sendiri. Sekarang, lihatlah baik-baik, tentu Pangcu sudah mengenal aku." Keng Hong lalu meraba mukanya, mengupas lapisan pada mukanya yang terbuat dari pada getah pohon.

Meski pun mukanya belum bersih benar, namun sekarang telah berubah sama sekali dan tentu saja Ouw Beng Kok mengenal bekas ‘musuh besar’ ini. Dia mencelat dari kursinya, memandang Keng Hong dan berkata, "Kau... kau... murid Sin-jiu Kiam-ong...!"

Keng Hong juga bangkit berdiri dan menjura. "Benar, Ouw-pangcu. Aku adalah Cia Keng Hong dan perbuatanku tadi hanya untuk membuktikan bahwa sesungguhnya aku sama sekali tidak memusuhi Tiat-ciang-pang dan bukanlah musuh Tiat-ciang-pang. Kalau dulu terjadi peristiwa sehingga aku dimusuhi, semua adalah gara-gara sepak terjang Lai Ban dan anak buahnya terhadap murid-murid Hoa-san-pai."

Keng Hong lalu menceritakan semua pengalamannya ketika dia membantu kakak beradik Sim yang dikeroyok oleh anak buah Lai Ban. Mendengar penuturan Keng Hong ini, Ouw Beng Kok mengangguk-angguk, kemudian berkata,

"Peristiwa yang lalu baiklah kita anggap sebagai sebuah kesalah pahaman dan untuk semua perbuatan itu, saya mengharap Taihiap suka memaafkan. Akan tetapi saya juga mengharap agar peristiwa yang terjadi hari ini tak sampai terdengar oleh dunia kang-ouw, karena sesungguhnya..."

Ketua ini ragu-ragu sejenak lalu melanjutkan, "Lebih baik saya berterus terang saja bahwa saya tidak ingin dunia kang-ouw mendengar bahwa Taihiap, murid Sin-jiu Kiam-ong telah membantu Tiat-ciang-pang. Dapatkah Taihiap berjanji?"

"Ayah! Mengapa begitu? Cia-taihiap sudah menolong kita..."

Keng Hong tersenyum memandang Ouw Kian dan berkata kepadanya. "Ouw-pangcu, aku bisa mengerti pendirian ayahmu. Memang benar sebaiknya begitu sebab nama mendiang guruku dimusuhi oleh banyak tokoh kang-ouw, maka ayahmu tidak menghendaki kalau sampai timbul persangkaan bahwa Tiat-ciang-pang bersahabat dengan aku, murid guruku yang dimusuhi." Ia lalu menghadapi Ouw Beng Kok yang agak merah mukanya. "Harap Pangcu jangan khawatir. Aku pun tidak berniat memperkenalkan diri, maka aku sengaja menyamar. Tujuanku yang utama hanyalah ingin menghapus permusuhan di antara kita. Nah, selamat tinggal, Pangcu, aku harus pergi sekarang juga." Dia menoleh dan berkata, "Ilmu kepandaian Lo-pangcu tidak kalah oleh tosu itu, akan tetapi sebaiknya kalau kau menggembleng puteramu supaya kelak mampu menghadapi tosu itu bila mana dia datang mengacau membalas dendam. Selamat tinggal!"

Dia lalu berkelebat melalui jendela dan dalam sekejap mata saja lenyap, meninggalkan ayah dan anak yang bengong dengan kagum itu.

********************

Cia Keng Hong kembali melakukan perjalanan naik turun gunung, keluar masuk hutan dan dusun-dusun. Beberapa pekan kemudian, tibalah dia di lereng Beng-san yang amat indah pemandangannya.

Dia terkenang kepada Siauw-bin Kuncu karena di lembah inilah dia mula-mula bertemu dengan kakek itu. Teringat akan kakek itu, mau tidak mau Keng Hong tersenyum. Kakek itu benar-benar seorang yang amat ahli dalam filsafat, dan biar pun tidak sengaja, namun telah merupakan seorang yang amat berjasa baginya.

Karena merasa lelah, Keng Hong berhenti di lereng itu, mengaso di bawah pohon sambil memandang pemandangan di bawah yang amat indah mempesonakan. Ia teringat akan semua pengalamannya dan saat dia mengenangkan Siauw-bin Kuncu, dia menarik napas panjang.

Dia sendiri pun semenjak kecil banyak membaca kitab-kitab filsafat, akan tetapi betapa banyaknya hal-hal yang amat sulit bila menghadapi peristiwa dalam penghidupan. Selagi pikiran dan hati bersih, tentu saja mudah menangkap dan mengerti akan filsafat-filsafat yang tinggi. Akan tetapi sekali nafsu menguasai diri. Menghadapi peristiwa yang menimpa diri, semua filsafat diterbangkan angin, mata terbuka serasa buta dan otak yang terang menjadi gelap. Betapa sukarnya menguasai nafsu.

Gurunya sendiri, seorang sakti yang cerdik dan pandai, rupa-rupanya tidak kuasa dan tak berdaya menundukkan nafsunya sendiri, bahkan seperti mengumbarnya sehingga banyak mengakibatkan permusuhan, atau lebih tepat dimusuhi oleh banyak sekali orang. Semua gara-gara nafsu pribadi.

Dan dia sendiri? Ahhh…, dia merasa malu kalau dia mengenang semua pengalamannya. Betapa dengan mudahnya dia tergelincir oleh bujuk rayu Cui Im, betapa dia terpeleset menghadapi keindahan tubuh serta kecantikan wajah wanita. Membuat dia mata gelap, digelapkan oleh nafsunya, membuat dia tunduk dan menuruti nafsunya, selain melayani Cui Im yang memang haus akan cinta birahi, juga dia menyambut uluran gadis-gadis yang kemudian menjadi korban karena cintanya. Teringat dia akan nasib Sim Ciang Bi, murid Hoa-san-pai itu. Teringat pula akan nasib kedua orang murid wanita Kong-thong-pai, Kim Bwee Ceng dan Tang Swat Si. Dia menghela napas dengan hati penuh penyesalan. Tiga orang gadis itu telah menjadi korban semua.

Memang benar bahwa mereka tewas dalam tangan Cui Im, akan tetapi andai kata dia tak melayani cinta kasih mereka, andai kata dia tidak bermain cinta dengan mereka, belum tentu mereka akan dibunuh oleh Cui Im yang cemburuan, yang agaknya akan membunuh semua wanita yang dia layani cinta kasihnya! Dengan demikian, biar pun tidak langsung, sama artinya bahwa dialah yang menyebabkan kematian mereka.

Ahhh... nafsu...! Dia harus belajar menguasai nafsunya sendiri. Teringat dia akan filsafat kitab kuno yang pernah dia baca.

Pelajaran yang menyatakan bahwa nafsu itu sifatnya sama dengan kuda. Jasmani adalah keretanya dan kemajuan jasmani tergantung kepada tarikan kuda nafsu. Tanpa adanya tarikan kuda nafsu, maka kereta jasmani tidak akan mendapatkan kemajuan.

Namun, kuda yang sifatnya liar, seperti nafsu, perlu sekali dikendalikan dan dikuasai oleh tangan kusir yang pandai dan bijaksana. Sebenarnya, kusir inilah yang harus menguasai segalanya, kusir ini adalah jiwa yang murni. Sang Aku sejati!

Kusir inilah yang seharusnya memelihara dan mengawasi kereta jasmani, supaya kereta jangan rapuh dan rusak. Kusir ini pula yang harus dapat mengendalikan kuda, sehingga dapat mengemudikan kuda nafsu untuk menarik kereta jasmani menuju pada jalan yang tepat dan benar. Kalau sang kusir ini tidak pandai menguasai nafsu, kuda yang sifatnya liar itu akan membedal dan membawa kereta ke mana saja dia suka, sehingga akhirnya banyak bahayanya kuda itu akan menjerumuskan kereta dan sekalian kusirnya ke dalam jurang!

Betapa tepatnya perumpamaan itu. Nafsu pada diri manusia tidak semestinya dibunuh, melainkan dipelihara dan dikendalikan. Nafsu yang dikendalikan akan dapat membawa jasmani ke arah kemajuan, akan dapat mambawa diri ke tempat yang dikehendaki, dan akan dapat mendatangkan kenikmatan dan kesenangan hidup. Namun, kuda nafsu yang tidak dikendalikan akan berbahaya sekali, akan membedal, meliar, mengganas, bahkan memperhamba diri dan akhirnya keruntuhanlah akibatnya
.

Maka, tepat pula pelajaran dalam kalimat di kitab pelajaran para pemeluk Agama To, yaitu di dalam To-tik-keng yang berbunyi:

Mengerti akan orang lain adalah pandai,
mengerti akan diri sendiri adalah bijaksana.
Menaklukkan orang lain adalah kuat tubuhnya,
menaklukkan diri sendiri adalah kuat batinnya.
Yang puas akan keadaan diri sendiri adalah kaya raya,
yang memaksakan kehendaknya adalah orang nekat.
Yang tahu akan kedudukannya akan berlangsung
mati dalam kebenaran berarti panjang usia
.

Keng Hong menarik napas panjang. Ahhh…, kalau dia teringat akan semua filsafat dan pelajaran kebatinan yang pernah dibacanya, dia kini dapat melihat betapa gurunya sudah menyia-nyiakan hidupnya dengan berkecimpung di dalam lautan pemuasan hawa nafsu. Perlukah watak seperti itu dia contoh?

Biar pun guru, akan tetapi dia beguru kepada Sin-jiu Kiam-ong hanya dalam hal mengejar ilmu silat. Bila mana dia melihat sifat-sifat yang tidak benar dari gurunya, tidak perlu dia mencontoh. Bahkan dia harus membetulkan kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan gurunya, seperti yang dia dengar dalam nasehat Siauw-bin Kuncu!

Mempunyai ilmu kepandaian saja, seperti yang telah dia miliki sekarang, tidak akan ada gunanya bagi manusia dan dunia, bahkan dapat mengakibatkan kerusakan jika dia tidak berpegang pada kebenaran dan kebajikan. Ilmu tetap ilmu, akan tetapi dapat membangun atau merusak, tergantung dari pada akhlak si pemilik ilmu. Manusia tetap manusia, akan tetapi ada dua macam, yaitu manusia utama dan manusia rendah, dan untuk menjadi satu di antara keduanya, hanya diri pribadilah yang akan mengusahakan dan menentukannya.

Teringatlah dia kepada pelajaran Nabi Khong Cu yang menjawab pertanyaan-pertanyaan para muridnya tentang manusia utama yang tinggi budi dan manusia rendah yang rendah budinya.

Manusia utama mengerti mana yang benar,
Manusia rendah mengerti mana yang menguntungkan dirinya.
Manusia utama menyayang jiwanya,
Manusia rendah menyayang hartanya.
Manusia utama ingat akan hukuman dosa-dosanya,
Manusia rendah ingat akan hadiah jasa-jasanya.
Manusia utama mencari kesalahan diri sendiri,
Manusia rendah mencari kesalahan orang lain
.

Masih banyak sekali contoh-contoh dan dalam keadaan tenang di tempat sunyi di lereng Beng-san itu, Keng Hong teringat akan semua filsafat dan makin jelaslah terasa olehnya betapa dia sudah keliru mengikuti cara hidup suhu-nya dahulu, dan betapa dia pun telah menyeleweng dan akan mencontoh gurunya kalau saja dia tidak lekas-lekas sadar dan bertobat, mengubah wataknya dengan memperkuat batin sehingga dia akan bisa menjadi seorang kusir yang bijaksana dan pandai mengendalikan kuda-kuda liar berupa nafsunya sendiri.

"Aku akan berusaha, akan berusaha sekuat tenagaku...!" Demikian pemuda ini berjanji kepada diri sendiri. Ia lalu bangkit berdiri dan melanjutkan perjalanannya menuruni lereng Pegunungan Beng-san.

Ketika lereng itu akan habis dituruninya, tiba-tiba telinganya menangkap suara teriakan-teriakan di sebelah bawah yang datangnya dari hutan di kaki gunung. Cepat dia meloncat ke atas pohon yang tinggi dan memandang ke bawah. Dari tempat tinggi itu tampaklah olehnya berkelebatnya bayangan-bayangan orang dalam pertempuran.

Dari tempat yang jauh itu dia tidak dapat melihat siapa orangnya yang bertanding, akan tetapi dia dapat melihat seorang dikeroyok oleh belasan orang dan dari gerakan mereka tahulah dia bahwa yang bertanding adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia menjadi tertarik sekali, cepat melompat turun dari atas pohon kemudian berlari cepat menuruni lereng dan memasuki hutan itu.

Keng Hong menyelinap di antara pepohonan sambil mendekati tempat pertempuran, dan sesudah dekat serta bersembunyi di balik pohon, dia mendapat kenyataan bahwa yang sedang dikeroyok oleh tiga belas orang itu bukan lain adalah Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu, nenek galak berpakaian serba hitam yang dulu bersama beberapa tokoh lainnya pernah menyerang gurunya di Kiam-kok-san, bahkan yang ikut ‘mengadilinya’ di Kun-lun-san saat dia ditangkap.

Nenek itu kini mainkan senjatanya yang hebat, yaitu pecut yang di tiap ujung cabangnya dipasangi kaitan. Gerakan nenek itu masih tangkas, jelas membuktikan bahwa nenek itu seorang ahli ginkang yang mahir, dan meski pun dia dikeroyok tiga belas orang, namun sembilan cabang cambuknya itu dapat melayani para pengeroyoknya dengan ganas.

Keng Hong memperhatikan tiga belas orang laki-laki yang menggeroyok Kiu-bwe Toanio. Mereka itu rata-rata berusia empat puluh tahun lebih, bentuk tubuh mereka bermacam-macam, akan tetapi rata-rata mereka mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi. Mereka semua bersenjatakan golok besar dan ternyata bahwa gerakan mereka teratur sekali, merupakan gerakan barisan tiga belas orang yang mengurung dengan rapi sehingga biar pun nenek itu lihai ilmu cambuknya, sedemikian lamanya dia tidak mampu merobohkan seorang pun di antara para pengeroyoknya, bahkan pengepungan makin rapat.

"Ha-ha-ha-ha! Kiu-bwe Toanio, lebih baik kau menyerah saja dan menyerahkan nyawamu agar kau dapat mati dengan tubuh utuh! Engkau tidak akan dapat menandingi Cap-sha Toa-to (Tiga Belas Golok Besar) dari Beng-san!" seorang mengejek.

"Tar-tar-tar!"

Cambuk pada tangan Kiu-bwe Toanio meledak-ledak menyambar, akan tetapi tanpa hasil dan kembali dia terkurung oleh cahaya golok yang berkilauan sehingga nenek ini cepat memutar cambuk melindungi tubuhnya.

"Tiga belas perampok laknat dari Beng-san! Bila aku tidak mampu membasmi perampok-perampok jahat semacam kalian ini, percuma saja aku menyebut diriku sebagai pendekar wanita!" Nenek itu berseru, suaranya garang dan semangatnya tak kunjung padam meski pun dia terancam bahaya maut dan terdesak terus.

"Ha-ha-ha-ha! Mungkin dahulu engkau terkenal sebagai pendekar wanita yang cantik dan perkasa, akan tetapi sekarang engkau tidak lebih hanyalah seorang nenek tua keriputan yang sudah hampir mampus. Phuahh, tua bangka tak tahu diri, sudah mendekati kuburan masih berlagak pendekar!"

Wajah nenek itu menjadi merah dan dia pun memutar cambuknya makin hebat sehingga terpaksa para pengeroyoknya melompat mundur. Kiu-bwe Toanio kemudian menudingkan telunjuk tangan kirinya. "Penjahat-penjahat rendah! Kalian sudah merampok dusun-dusun di sebelah selatan gunung, melakukan banyak pembunuhan dan perkosaan, tidak pantang melakukan segala macam kekejian. Aku Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu yang kebetulan lewat dan mendengar akan kejahatan kalian, jika hari ini tidak mampu membasmi kalian, jangan sebut lagi aku seorang pendekar dan aku rela mampus tercacah-cacah oleh golok kalian, Majulah!"

Keng Hong memandang kagum. Dia sudah mendengar dari suhu-nya siapa nenek ini. Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu semenjak muda terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang paling anti terhadap perampok. Wanita ini sudah membuat nama besar karena dia telah membasmi banyak sekali sarang perampok, membunuh banyak kepala rampok dan membubarkan gerombolan-gerombolan. sekarang hingga menjadi nenek-nenek pun masih gigih membasmi perampok.

Seorang pendekar wanita yang patut dikagumi. Akan tetapi juga seorang pendekar wanita yang memusuhi gurunya!

Keng Hong tersenyum dan mengeleng-gelengkan kepala bila mana ia teringat akan cerita gurunya mengenai wanita sakti ini. Ia mencoba untuk membayangkan Kiu-bwe Toanio di waktu muda. Memang tidak sukar.

Wajah nenek itu masih membayangkan bekas kecantikan, dan tubuh itu masih ramping, hanya buah dadanya yang luar biasa besarnya itulah yang sukar dibayangkan bagaimana bentuknya pada waktu nenek itu masih muda.

Akan tetapi, jika Sin-jiu Kiam-ong mau melayani cinta kasih wanita itu, tentu pada waktu mudanya dahulu dia cantik menarik. Keng Hong menghela napas. Wanita ini pun menjadi korban petualangan gurunya. Gurunya tentu melayani cinta wanita itu, seperti halnya dia melayani Cui Im, atau Ciang Bi, Bwee Ceng dan Swat Si. Melayani cinta wanita-wanita itu hanya seperti orang menikmati keindahan bunga.

Akan tetapi nenek ini mencinta gurunya secara mendalam, maka menjadi sakit hati ketika ditinggalkan! Ah, nenek ini juga telah menjadi korban gurunya, dialah yang harus berusaha memperbaiki kesalahan itu. Kini secara kebetulan sekali dia mendapat kesempatan baik. Sekarang nenek itu terdesak hebat, bahkan terancam oleh tiga belas golok besar yang memang lihai itu.

Tanpa banyak cakap lagi Keng Hong melompat keluar dari tempat sembunyiannya dan menerjang barisan tiga belas orang yang mengurung Kiu-bwe Toanio. Karena pemuda ini menerjang dari luar kepungan dan gerakannya amat hebat, maka begitu kaki tangannya bergerak, tiga orang pengeroyok roboh terlempar keluar kepungan dan tiga belas orang itu menjadi kacau-balau.

Lima orang kemudian membalikkan tubuh dan dengan marah sekali lalu menerjang Keng Hong dengan golok mereka, sedangkan yang lima orang lagi masih mengeroyok Kiu-bwe Toanio. Cambuk nenek ini bagaikan sembilan ekor burung garuda menyambar-nyambar.

Tadi ketika dikeroyok tiga belas orang dia terdesak hebat, akan tetapi setelah kini yang mengeroyoknya hanya tinggal lima orang saja, begitu dia memutar cambuknya, dua orang terjungkal roboh dengan leher terkait ujung cambuk sehingga urat lehernya putus-putus! Mereka roboh mengeluarkan suara seperti babi disembelih, dari leher yang sudah rusak pula. Kiu-bwe Toanio tertawa lagi dan betapa pun keras melindungi diri, namun belasan jurus saja sisa tiga orang pengeroyoknya juga menggeletak dan berkelojotan.

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget, heran dan kagumnya pada saat nenek itu menoleh, ia melihat pemuda yang menolongnya itu agaknya telah sejak tadi merobohkan lima orang lawannya! Ternyata ia kalah cepat merobohkan para pengeroyoknya, padahal pemuda itu hanya bertangan kosong saja!

"Orang muda yang gagah perkasa! Sungguh mengagumkan sekali, aku Kiu-bwe Toanio harus mengakui bahwa kepandaianmu jauh melampauiku!" berkata nenek ini yang masih terheran-heran dan kagum.

Keng Hong tersenyum dan menjura dengan hormat. "Selamat berjumpa, Toanio. Agaknya Toanio telah lupa lagi kepadaku."

"Engkau... siapakah...?" Nenek itu melebarkan matanya, memandang lebih tajam dengan sepasang matanya yang sudah kurang awas. Ia melangkah dekat dan kini ia mengenal pemuda itu. Rasa kagetnya bertambah dan ia berseru, "Engkau... engkau muridnya...!"

Keng Hong mengangguk sambil tersenyum. "Benar, Toanio. Aku adalah murid mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong dan karena itulah maka aku sengaja membantumu melawan para perampok ini, untuk membuktikan bahwa baik suhu mau pun aku tidak mempunyai rasa permusuhan terhadap Toanio. Dengan jalan ini aku hendak mewakili suhu mohon maaf kepada Toanio apa bila pada waktu dahulu suhu pernah melakukan kesalahan-kesalahan terhadap Toanio yang semenjak muda sampai kini ternyata merupakan seorang pendekar wanita yang hebat!"

Wajah nenek itu berubah pucat, kemudian mengeluh, "Ahhh... kau murid Sie Cun Hong..." Tiba-tiba tubuhnya terhuyung dan terguling roboh.

"Toanio...!" Keng Hong cepat melompat dan menangkap lengan nenek itu sehingga tubuh itu tak sampai terguling. Tubuh itu lemas tergantung di lengan Keng Hong yang merangkul pinggangnya.

"Kau kenapa, Toanio...?" Keng Hong bertanya, khawatir.
"Terluka... aku... terluka oleh pukulan perampok-perampok laknat..."

Tadi Keng Hong tidak melihat nenek itu terkena pukulan. Mungkin sebelum dia datang atau sesudah dia membantunya, pikirnya.

"Boleh kutolong engkau, Toanio? Mana yang terpukul?"

"Dadaku... tidak apa-apa, hanya aku telah lama menderita penyakit jantung, dan.. melihat engkau... murid Sie Cun Hong... Aduuuhhh... Aku kaget dan jantungku..." Dia mencegah tangan Keng Hong yang hendak memeriksanya. "Tidak usah, hanya... maukah engkau menolongku, membawaku ke pondokku... tidak jauh dari sini… hanya kira-kira tiga puluh li..."

"Baiklah, Toanio. Biar kupondong engkau!" Keng Hong cepat-cepat membungkuk hendak memondong nenek itu.

Akan tetapi Kiu-bwe Toanio dengan kasar menolak lengannya. "Jangan pondong aku!"

Pemuda itu terheran menyaksikan kekasaran nenek itu.

"Selama hidupku, baru satu kali ada pria menyentuh dan memondongku, hanya Sie Cun Hong... ahhh, Cun Hong, laki-laki tidak setia... dan semenjak itu, belum pernah ada pria menyentuhku.."

Keng Hong merasa geli hatinya, juga terharu menyaksikan betapa nenek ini ternyata amat mencinta dan setia pada gurunya. "Habis, bagaimana aku dapat membawamu, Toanio?" tanyanya bingung.

"Kalau kau mau... kau gendong saja aku di punggungmu... Begitu lebih sopan."

Keng Hong menahan senyumnya. Sudah nenek-nenek begini tua, masih memiliki pikiran malu dipondong seorang pemuda seperti dia! Ah, wanita memang aneh, begini tua masih genit, pikirnya.

"Baiklah, mari kugendong kau, Toanio." Keng Hong kemudian membalikkan tubuh dan membelakangi nenek itu sambil berjongkok.

Dengan tubuh lemas Kiu-bwe Toanio lalu naik ke punggung Keng Hong dan pemuda itu segera bangkit berdiri, menyangga kedua paha nenek itu yang sudah peyot.

"Tar-tar-tar-tar-tar...!"

Keng Hong mendengar pecut nenek itu meledak-ledak di atas kepalanya dan sembilan cabang cambuk itu menyambar ke depan, menghantam kepala delapan orang perampok yang tadi roboh di tangan Keng Hong. Delapan orang itu ia robohkan dan ia sengaja tidak membunuh mereka, berbeda dengan nenek itu yang tadi membunuh seluruh lima orang pengeroyoknya. Keng Hong terkejut. Kepala delapan orang itu remuk dan mereka tewas seketika.

"Aihhh, Toanio, mengapa kau...?"

"Kalau tidak dibunuh tentu mereka akan mendatangkan malapetaka kepada penduduk dusun-dusun. Kalau tidak dibunuh, apa artinya aku menentang para perampok laknat itu?"

Keng Hong menghela napas. Dia memang setuju saja kalau nenek itu menentang para perampok, akan tetapi membunuhi lawan yang telah roboh, sungguh-sungguh merupakan perbuatan yang kejam, yang tentu tidak akan dapat dia lakukan.

"Toanio yang melakukan, Toanio sendiri pula yang merasakan," katanya dan dia mulai melangkah. "Ke mana kita harus menuju, Toanio?"

"Maju terus, keluar dari hutan ini. Nanti kutunjukkan jalannya," kata si nenek yang biar pun tubuhnya lemas ternyata masih sangat hebat cambuknya itu, sekali bergerak membunuh delapan orang!

Keng Hong melangkah keluar dari hutan dan selanjutnya menuruti petunjuk nenek itu menuju ke sebuah bukit. Tubuh nenek itu ringan sekali, dan menggendongnya merupakan pekerjaan yang mudah dan tidak berat bagi Keng Hong.

"Namamu siapa?"

"Keng Hong, Cia Keng Hong, Toanio."

"Hemmm, Keng Hong, tahukah engkau dosa apa yang dilakukan gurumu kepadaku?"

Tentu saja Keng Hong telah mendengar penuturan gurunya tentang nenek ini, akan tetapi untuk menghilangkan rasa sunyi di dalam perjalanan itu, dia ingin mendengar penuturan Kiu-bwe Toanio sendiri, karena itu dia menjawab, "Aku hanya tahu bahwa Toanio dahulu mendendam kepada suhu, akan tetapi aku tidak tahu jelas persoalannya."

"Hemmm, gurumu seorang pria yang tidak setia, tidak kenal budi, tidak menghargai cinta kasih seorang wanita!" Sejenak nenek itu terengah-engah, agaknya dia hendak menekan kemarahannya yang timbul dari rasa sakit hati.

"Dahulu aku adalah seorang pendekar wanita muda yang cantik jelita dan gagah perkasa. Tak terhitung banyaknya orang yang tergila-gila kepadaku, yang meminangku, akan tetapi semua kutolak karena aku belum dapat menjatuhkan hatiku kepada seorang pria. Aku ingin memilih seorang pria yang selain mempunyai wajah yang mencocoki seleraku, juga memiliki kepandaian yang jauh melampauiku. Betapa sukarnya menemukan pria seperti idaman hatiku. Kemudian... hemmm, terjadinya hampir sama dengan munculmu tadi. Aku dikeroyok penjahat, kemudian Sie Cun Hong muncul dan membantuku. Aku jatuh cinta kepadanya. Aku mencintanya dengan seluruh jiwa ragaku. Dia muda dan tampan, seperti engkau, dia gagah perkasa seperti engkau. Akan tetapi dia hangat dan pandai merayu, tidak seperti engkau yang dingin dan kaku. Aku semakin cinta kepadanya sehingga aku menyerahkan jiwa ragaku, aku terbuai dalam rayuan dan belaiannya, aku menyerahkan kehormatanku. Akan tetapi... akhirnya dia meninggalkan aku, tak mau menjadi suamiku!"

"Bukankah suhu mencintaimu, Toanio?"

"Uhhh, cinta apa? Cinta mulut, cinta palsu, dia hanya ingin memiliki tubuhku seperti tubuh wanita-wanita lain! Dia seorang laki-laki yang berhati palsu, hanya suka mempermainkan wanita. Terkutuk!"

Keng Hong menarik napas panjang lalu memberanikan diri bertanya, "Akan tetapi, kenapa Toanio dahulu suka menyerahkan... kehormatan Toanio kepada suhu? Mengapa Toanio begitu... begitu... mudah...?"

"Setan alas kau! Aku terjebak oleh bujuk rayunya! Aku mabuk oleh nafsu birahi yang dia bangkitkan! Kalau aku tahu... ahhh, kalau aku tahu..." Nenek itu seperti meronta-ronta di gendongan Keng Hong. "Akhirnya… sebelum meninggalkan aku, dia bilang bahwa cinta kasih antara pria dan wanita tidak seharusnya selalu diakhiri perkawinan! Cih, omongan laki-laki bangsat! Mau enaknya saja. Dia bebas dan enak saja mempermainkan ribuan orang wanita, laki-laki tetap dihargai. Akan tetapi wanita? Sekali menjadi permainan pria dan ditinggalkan, siapa sudi menghargainya lagi? Hidupku rusak oleh gurumu, maka aku penasaran sekali tidak dapat menghancurkan kepalanya! Akan tetapi, masih ada engkau muridnya!"

Keng Hong terkejut bukan main ketika merasa betapa ujung jari yang keras menyentuh ubun-ubun kepalanya. Ia maklum bahwa sekali dia melawan, maka jari-jari itu tentu akan mencengkeram dan tak mungkin ia mampu melindungi ubun-ubun kepalanya. Namun dia bersikap tenang dan bertanya,

"Apa maksudmu, Toanio?"

"Maksudku? Hi-hi-hik, maksudku, aku yang tidak berhasil membalas dendam kepadanya, masih dapat melampiaskan dendamku kepadamu, kepada muridnya. Dalam sekejap mata aku dapat membunuhmu, Cia Keng Hong murid Sie Cun Hong!"

Keng Hong merasa bulu tengkuknya berdiri. Kalau nenek itu membuktikan ancamannya, tidak ada yang akan dapat menolongnya, juga kepandaiannya yang bertahun-tahun dia pelajari tidak akan ada gunanya. Tentu saja dia dapat menyerang nenek yang berada di punggungnya itu, akan tetapi serangan macam apa yang akan dapat melebihi kecepatan nenek itu menanamkan jari-jari tangan di ubun-ubun kepalanya?

Tentu dia kalah cepat dan akan tewas sebelum mampu bergerak. Pula, nenek itu berada di punggungnya. Karena semua gerakan tangan diawali oleh gerakan pundak sedangkan gerakan kaki diawali gerakan pangkal paha, tak mungkin dia mendahului nenek itu, maka berusaha menyerangnya sama dengan bunuh diri.

"Toanio, setelah aku membantumu dan menggendongmu, mengantar engkau yang terluka ke pondok, engkau masih hendak membunuhku...?"

"Hi-hi-hik! Siapa menolongku? Apa kau kira aku kalah dikeroyok tiga belas ekor tikus tadi? Jangan sombong seperti gurumu! Dan kau tidak secerdik gurumu. Siapa bilang aku luka? Aku sehat segar tidak terluka apa-apa. Akan tetapi kini aku berada di punggungmu dan kau akan dapat berbuat apa? Engkau telah mewarisi banyak ilmu gurumu, tentu aku tidak dapat membunuhmu mengandalkan kepandaian. Sekarang, aku tidak akan membunuhmu asal saja engkau suka mengajarkan Ilmu Thi-khi I-beng kepadaku."

Keng Hong merasa geli dan juga muak. Yang baik mau pun yang jahat, sekali manusia dikuasai oleh angkara murka dan menghendaki sesuatu yang tak dimilikinya, sama saja, memuakkan! Kelakukan jahat yang tidak segan merugikan orang, tidak segan melakukan kecurangan, timbul dari hati yang angkara murka, yang menghendaki sesuatu yang bukan menjadi haknya!

Akan tetapi dia tidak berdaya, dan tidak ada pilihan lain. Meski pun hatinya merasa berat untuk membuka rahasia ilmu yang pada waktu itu tiada orang lain yang mengetahuinya, akan tetapi kalau dia menolak tentu dia akan tewas. "Toanio, apakah kalau aku memberi ilmu itu kepadamu, Toanio pasti akan membebaskan aku?"

"Tentu saja!"

"Bagaimana kalau Toanio melanggar janji?"

"Plakkk!" Kepala Keng Hong ditampar sehingga dia merasa pening dan pandang matanya berkunang.

"Apa bila sekali lagi engkau meragukan janji seorang pendekar seperti aku, tentu engkau akan kubunuh! Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu bukan seorang rendah budi yang tidak bisa memegang janji. Janji lebih berharga dari pada nyawa, tahu?"

"Hemm, kalau begitu boleh saja. Harap Toanio turun dulu dari punggungku dan aku akan mengajarkan Thi-khi I-beng kepada Toanio."

"Mana bisa? Kalau aku turun, benar-benarkah engkau akan mengajarkan Thi-khi I-beng?"

"Tentu, Toanio."

"Bagaimana kalau melanggar janji?" Engkau bukan pendekar seperti aku. Engkau adalah murid Sie Cun Hong yang plin-plan, mulut laki-laki perayu, berani sumpah tak berani mati. Mana bisa aku percaya?"

Hati Keng Hong mendongkol bukan main, akan tetapi apa dayanya? Dia lalu menekan kemarahan di hatinya dan tersenyum. "Terserah kepada Toanio akan percaya kepadaku ataukah tidak. Akan tetapi kalau Toanio tidak turun dari punggung, bagaimana aku dapat mengajarkan Thi-khi I-beng kepadamu?"

Sejenak nenek itu berpikir, kemudian baru berkata, "Baiklah, sekarang kau bersumpahlah! Bersumpahlah demi arwah gurumu, demi nenek moyangmu bahwa engkau tidak akan menipu aku. Setelah aku turun dari punggungmu engkau tidak akan menyerangku dan benar-benar akan mengajarkan Thi-khi I-beng kepadaku."

Keng Hong makin mendongkol, akan tetapi dia menekan hatinya, bahkan dia mengejek sambil tersenyum, "Apakah Toanio tidak takut kalau-kalau aku melanggar sumpah, seperti yang Toanio katakan tadi bahwa mulut laki-laki berani bersumpah tak berani mati?"

"Cerewet! Bersumpahlah!"

Keng Hong kemudian mengucapkan sumpah seperti yang dikehendaki nenek itu. Kiu-bwe Toanio melompat turun, siap dengan cambuknya kalau-kalau pemuda itu akan melanggar sumpahnya. Akan tetapi Keng Hong malah duduk bersila dan berkata,

"Marilah duduk bersila di depanku, Toanio. Aku akan mengajarkan Thi-khi I-beng kepada Toanio."

Dengan hati penuh gairah Kiu-bwe Toanio duduk bersila di depan Keng Hong. Nenek itu menganggap ilmu menyedot hawa sinkang lawan itu merupakan ilmu mukjijat yang tiada taranya sehingga kalau ia memiliki ilmu itu tentu dia akan menjadi seorang tokoh nomor satu di dunia kang-ouw!

Keng Hong juga menduga demikian, maka diam-diam hatinya geli. Ah, betapa dangkalnya pendapat itu, pikirnya. Ilmu tidak dapat diukur tinggi atau dalamnya, tidak ada batasnya dan setiap macam ilmu pasti akan ada yang mengatasinya.

"Toanio, ilmu ini sesungguhnya merupakan ilmu yang amat sukar dipelajari dan amat sulit, karena bukan hanya membutuhkan dasar tenaga sinkang yang sangat kuat, akan tetapi juga harus melatih tenaga di dalam tubuh sehingga dapat menimbulkan tenaga menyedot yang otomatis. Terus terang saja, mendiang suhu tidak menguasai ilmu ini, dan saya pun selama hidup belum pernah mempelajari Ilmu Thi-khi I-beng, dan ilmu menyedot sinkang lawan yang kumiliki timbul secara mukjijat pada saat saya menerima pemindahan sinkang dari suhu."

Keng Hong lalu menceritakan pengalamannya ketika tanpa dia sadari dia sudah memiliki ilmu mukjijat yang tak dapat dikendalikannya itu.

"Kemudian, berkat kitab-kitab peninggalan Thai Kek Couwsu, saya bisa menemukan cara untuk mengatur tenaga mukjijat itu, dan menurut pendapat saya, seorang seperti Toanio yang telah memiliki sinkang cukup kuat akan dapat mempelajari ilmu itu asal saja Toanio bersabar. Kalau Toanio sudah mulai dapat mempergunakan tenaga menyedot itu, jangan sembarangan Toanio pergunakan secara berlebihan, melainkan sedikit demi sedikit."

"Hemmm, orang muda. Engkau tidak perlu menasehati aku yang sudah menjadi seorang ahli sebelum engkau terlahir di dunia ini. Lekas ajarkan ilmu itu."

"Agar supaya Toanio bisa mendapatkan penambahan tenaga secara tiba-tiba, maka saya harus mengoper sebagian tenaga saya kepada Toanio, harap Toanio tidak melawan dan menerima sinkang saya itu sehingga akan timbul tenaga menyedot di pusar Toanio, baru kemudian saya akan ajarkan cara melatih tenaga menyedot itu."

"Lakukanlah, aku sudah siap!" kata nenek itu dengan hati penuh ketegangan karena dia ingin sekali memiliki ilmu itu.

Keng Hong lalu menggeser duduknya di belakang, dan telapak tangannya ditempelkan ke punggung nenek tadi sambil mengerahkan sinkang dari pusar. Tenaga yang sangat kuat menerobos melalui kedua telapak tangannya.

Nenek itu terkejut dan kagum. Hebat bukan main tenaga yang memasuki tubuhnya dan kalau saja ia tidak menaruh kepercayaan besar, tentu ia akan melawan tenaga itu karena biasanya tenaga itu dipergunakan untuk menyerang lawan. Namun ia membuka pusarnya dan menerima tenaga yang membanjir memasuki tubuhnya, berkumpul di pusar. Karena ia membuka pusarnya, maka tenaga itu memenuhi tubuhnya dan ia merasa betapa timbul daya menyedot di tubuhnya yang membuat tenaga sinkang pemuda itu membanjir makin banyak.

Setelah merasa bahwa bantuannya seperti yang dulu dilakukan gurunya kepadanya telah cukup untuk membangkitkan daya sedot dari pusar nenek itu, Keng Hong menghentikan pemindahan tenaganya. Dia melepaskan dua tangannya, kemudian duduk bersila dengan wajah pucat. Hampir setengah tenaga sinkang-nya telah dia buang dan dia pindahkan ke tubuh Kiu-bwe Toanio!

Juga nenek itu duduk bersila sambil memejamkan mata, tubuhnya bergoyang-goyang dan dia merasa seakan-akan hendak terbang oleh gelora tenaga yang memenuhi tubuhnya. Sampai berjam-jam keduanya duduk bersila, yang seorang berusaha untuk memulihkan kekuatannya yang banyak terbuang, yang seorang lagi berusaha mengendalikan tenaga yang membanjiri tubuhnya.

Kemudian terdengar suara Keng Hong, lemah dan lirih namun cukup jelas, "Toanio, kau kendalikan tenaga yang berlebihan itu, tekan tenaga itu melalui jalan darah Ci-kiong-hiat kemudian terus disalurkan melalui Tiong-teng-hiat. Setelah berkumpul lalu kau kerahkan melalui Thai-hiat-to menuju ke pusar. Setelah kau ulangi sampai lancar betul, coba kau kerahkan kembali tenaga dari pusar menuju ke seluruh bagian tubuh yang kiranya sedang terserang lawan, kemudian tiba-tiba mengosongkan bagian itu sehingga sinkang Toanio tertarik kembali bersama-sama sinkang lawan itu." Keng Hong terus memberi penerangan seperti dia pelajari dari kitab-kitab di tempat rahasia gurunya.

Kiu-bwe Toanio mendengarkan penuh perhatian. Memang ia pun adalah seorang ahli silat yang pandai dan pengertiannya tentang penggunaan sinkang sudah cukup. Maka setelah keterangan-keterangan itu diulangi beberapa kali saja, dia pun telah dapat menangkap inti sarinya dan mulailah nenek ini berlatih.

Diam-diam Keng Hong merasa kagum dan juga geli hatinya melihat betapa nenek ini amat tekunnya berlatih. Kagum menyaksikan semangat yang tidak kalah oleh semangat orang muda ini dan geli memikirkan betapa manusia amat serakahnya, juga dalam hal mengejar ilmu. Usia sudah begitu tua, hidup pun tentu tidak akan lama lagi, untuk apa bersusah payah mempelajari ilmu itu?

Kiu-bwe Toanio berlatih sampai tiga hari tiga malam dengan tekun, lupa makan lupa tidur. Keng Hong tidak mau mengganggunya dan pemuda ini terpaksa makan buah-buah yang dapat dia cari di dalam hutan dan minum air sungai. Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali Toanio melompat bangun dari atas tanah di mana dia berlatih sambil duduk bersila dan berkata,

"Keng Hong, kurasa aku sudah dapat menguasai Thi-khi I-beng! Coba kau serang aku, hendak kucoba ilmu ini!"

Keng Hong tersenyum menyaksikan kegembiraan pada wajah nenek itu. "Toanio memang hebat dan tekun sekali. Aku tidak akan merasa heran kalau Toanio sudah berhasil dalam waktu tiga hari. Akan tetapi amat perlu dijaga agar Toanio tidak keburu nafsu, dan hanya mempergunakan ilmu apa bila perlu saja. Dasar sinkang Toanio sungguh pun sudah kuat, akan tetapi belum tentu akan dapat menerima serbuan sinkang lawan yang disedot dan hal ini amat berbahaya, demikian menurut petunjuk jalan kitab yang kubaca."

"Kitab petunjuk gurumu? Heh, siapa bisa percaya Sie Cun Hong? Dia selalu membohong. Hayo, kau pukul aku untuk mencoba ilmu ini."

"Toanio..."

"Hemm, orang muda. Engkau sudah berjanji untuk mengajarkan Thi-khi I-beng kepadaku, mana bisa aku tahu buktinya bahwa pelajaran ini benar atau palsu? Apa bila nanti sudah kubuktikan hasilnya, baru aku tahu bahwa selama ini kau tidak membohong dan tidak melanggar sumpahmu sendiri. Hayo, kau pukullah aku sekarang juga."

Keng Hong menarik napas panjang dan merasa serba salah. Dia tahu nenek ini memiliki kekerasan hati dan kehendaknya sukar dibantah. Sebab itu dia lalu melangkah maju dan berkata, "Hati-hatilah, Toanio!"

Tangannya melayang dan menepuk pundak nenek itu, sengaja mengerahkan sedikit saja sinkang untuk menguji ‘daya sedot’ nenek itu.

"Plakkkkk!"

Keng Hong merasa betapa tenaga sinkang di tangannya yang menempel pada pundak nenek itu tersedot melalui pundak dan tangannya tidak dapat dia lepaskan kembali, juga hawa sinkang-nya molos keluar. Akan tetapi tentu saja dia juga tahu bagaimana caranya melepaskan tangan. Kalau dia menyimpan hawa sinkang-nya, maka otomatis tangannya akan terlepas. Tiba-tiba saja dia terkejut sekali karena tangan nenek itu sudah menyentuh dadanya, tepat di bagian jantung.

"Jangan lepaskan tanganmu, jangan coba-coba tarik kembali sinkang-mu atau... engkau akan kubunuh!"

Keng Hong yang merasa terkejut itu menjadi penasaran. "Toanio, apa yang hendak kau lakukan ini?"

Pemuda itu merasa betapa tenaganya terus menerobos melalui telapak tangannya yang melekat pada pundak Kiu-bwe Toanio.

"Hemmm, kau bocah murid Sie Cun Hong. Di dunia ini tidak boleh ada dua orang yang menguasai Thi-khi I-beng! Hanya aku seoranglah yang boleh memilikinya," kata nenek itu sambil terus mengerahkan tenaga menyedot. Muka nenek itu kini menjadi merah sekali, matanya melotot dan napasnya terengah-engah.

Keng Hong menjadi pucat. Ia maklum bahwa kalau sinkang-nya habis, dia akan menjadi lemas atau bahkan dia dapat tewas karenanya. Namun, kalau dia menghentikan saluran sinkang-nya, tentu nenek itu akan menotok dadanya dan dia akan tewas pula.

Tidak ada pilihan lain baginya. Dia akan mengisi terus tubuh itu dengan sinkang-nya, dan sebelum kehabisan tenaga sama sekali, dia akan menghentikan lantas pura-pura roboh kehabisan tenaga.

"Hi-hi-hik, hawa sinkang-mu kuat sekali, bocah bagus! Aduhhh, tubuhku panas... aduhhh, seperti dibakar...!"

"Hentikan, Toanio, hentikanlah..."

"Tidak! Dan jangan kau berani melepaskan tanganmu atau menarik kembali sinkang-mu, hemm, sedikit saja engkau bergerak, engkau akan mati!" Jari tangan nenek itu menegang di dadanya, siap mencengkeram.

"Toanio... lekas hentikan, demi keselamatanmu sendiri. Aku tidak akan melawanmu, akan tetapi kalau tidak kau hentikan, kau... kau akan celaka..."

"Hi-hik-hik! Engkau... Aahhh... Hahhh... panas...! Engkau anak kemarin sore... hi-hik-hik... jangan mencoba menipuku. Aku akan celaka kalau kau lepaskan... Engkau lihai, tentu akan menyerangku... heh-heh-heh, akan kusedot sinkang-mu sampai habis... hi-hik-hik... aaahhhhh...!"

Tiba-tiba saja nenek itu mengeluarkan jerit melengking dan mengerikan lalu dari mulutnya tersembur darah. Keng Hong yang melihat betapa jari tangan nenek itu sedetik kejang, cepat melompat ke belakang sehingga mukanya tidak terkena semburan darah.

Ia cepat maju lagi untuk menolong ketika melihat tubuh nenek itu terkulai. Betapa kaget dan menyesal hatinya melihat nenek itu terus muntah-muntah darah. Dengan mata yang tidak bersinar lagi nenek yang sudah rebah terlentang itu memandangnya.

"Kau... kau benar... aaahhhh, Cun Hong... Kau tunggulah aku..!" kepala itu terkulai lemas, matanya terpejam dan napasnya terhenti.

Keng Hong memeriksa tubuh itu dan melepaskan kembali lengan yang dipegang sambil menarik napas panjang. Nenek itu sudah tewas. Tentu jantungnya pecah karena tak kuat menerima pengoperan sinkang yang terlalu penuh, terlalu kuat. Dia merasa kasihan dan terharu betapa dalam saat terakhir, nenek itu masih menyebut nama gurunya.

Ah, nenek bekas pendekar wanita perkasa yang selalu membasmi kejahatan, yang selalu menaruh dendam terhadap gurunya, sudah tewas. Bukan karena kesalahannya, sungguh pun nenek itu seolah-olah mati ‘dalam tangannya’ melainkan karena kesalahan nenek itu sendiri.

Kiu-bwe Toanio yang gagah perkasa ini begitu dikuasai nafsu angkara murka sehingga hendak memonopoli Ilmu Thi-khi I-beng, lupa akan kesadaran dan kebenaran, lupa akan wataknya sebagai seorang pendekar yang selalu harus menjunjung tinggi kebenaran. Dia akhirnya mengorbankan jiwanya dalam pelaksanaan perbuatannya sendiri yang terdorong oleh nafsu kemurkaan. Sungguh sayang!

Dengan hati penuh rasa penyesalan bahwa ‘jalan keluar’ yang ditempuhnya seperti yang dicita-citakannya untuk menebus semua kesalahan gurunya dulu kembali gagal, bahkan telah mengorbankan nyawa nenek itu, sungguh pun dia tahu bahwa hal itu bukan terjadi karena kesalahannya, Keng Hong lalu menggali tanah dan mengubur jenazah nenek itu sebagaimana mestinya.

Setelah selesai menguburkan jenazah Kiu-bwe Toanio dan sejenak mengheningkan cipta memberi penghormatan terakhir, Keng Hong kemudian pergi meninggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanannya.

Dia harus dapat mencari Cui Im, harus dapat merampas kembali kitab-kitab dan pusaka-pusaka milik beberapa buah partai yang dahulu diambil gurunya kemudian dilarikan oleh Cui Im. Karena teringat bahwa Cui Im berasal dari selatan di mana Lam-hai Sin-ni menjadi tokoh utamanya, Keng Hong lalu melanjutkan perjalanan menuju ke selatan.

********************

Di sepanjang perjalanannya Keng Hong bertanya-tanya tentang keadaan. Dia mendengar bahwa perang sudah selesai dengan kemenangan pihak utara. Raja muda Yung Lo yang memperebutkan kedudukan dan perang melawan keponakannya, lalu naik tahta Kerajaan Beng-tiauw (1403). Keadaan mulai aman dan raja atau Kaisar Yung Lo memindahkan kota raja ke utara (Peking).

Keng Hong melakukan perjalanan berbulan-bulan, melintasi sungai Cialing dan melewati Pegunungan Tapa-san. Ia menyeberangi sungai Han-sui kemudian menginap selama dua malam di kota Han-tiong yang terletak di pinggiran sebelah utara sungai itu, kemudian kembali melanjutkan perjalanan.

Pemuda ini sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pada malam kedua, dia berada sekota dengan Sie Biauw Eng, gadis yang selama ini menjadi kenangannya! Tidak tahu bahwa Biauw Eng bersama seorang buta bermalam di sebuah penginapan yang tidak begitu jauh letaknya dari rumah penginapan di mana dia bermalam!

Bagaimanakah Biauw Eng si gadis yang selalu berpakaian putih seperti orang berkabung itu bisa berada di kota Han-tiong? Seperti telah diceritakan pada bagian depan, semenjak ibunya terbunuh oleh Cui Im dan dia sendiri diselamatkan nyawanya oleh pemuda murid Hoa-san-pai, Sim Lai Sek sehingga pemuda itu mengorbankan sepasang matanya yang menjadi buta, Biauw Eng tidak tega meninggalkan pemuda yang amat mencintanya dan ia rela untuk menjadi teman Lai Sek, kalau perlu selama hidupnya!

Ia merasa berhutang budi kepada pemuda itu dan melihat cinta kasih pemuda itu yang demikian mendalam, ia berusaha keras untuk membalas cintanya, sungguh pun hatinya sudah terampas oleh Keng Hong yang selamanya takkan dapat ia lupakan itu! Akan tetapi Keng Hong mungkin sudah mati! Biar pun ia mendengar kata-kata Cui Im yang seakan menyatakan bahwa Keng Hong masih hidup, akan tetapi kalau pemuda pujaan hatinya itu selamanya terasing dan takkan mungkin muncul di dunia ramai, apa gunanya ia tunggu-tunggu?

Hari itu ia bersama Lai-Sek tiba di Han-tiong dalam perjalanan mereka ke utara. Lai Sek mempunyai seorang sahabat baik yang sekarang telah menjabat pangkat di kota raja dan menurut usul Lai Sek dapat mengharapkan pertolongan sahabatnya itu.

"Tidak mungkin kita terus menjadi orang-orang perantauan yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap," demikian pemuda itu berkata kepada wanita yang dicintanya. "Di kota raja, sahabatku tentu akan suka membantu kita. Kita dapat membuka toko obat, atau dapat membuka bu-koan (perguruan silat). Dengan kepandaian yang kau miliki, kita tentu akan dapat hidup layak di sana, dan jika kita sudah mempunyai tempat tinggal tetap, aku akan minta bantuan sahabatku itu untuk merayakan pernikahan kita. Kita akan hidup berumah tangga dengan bahagia, memiliki anak-anak di sekeliling kita. Ahh, Biauw Eng kekasihku, betapa akan bahagianya kita!"

Biauw Eng menatap wajah tampan yang matanya buta itu dengan hati terharu. Pemuda ini sangat rindu akan kebahagiaan, seperti juga dia! Manusia manakah di dunia ini yang tidak mencita-citakan kebahagiaan hidup? Dan apakah dia akan bahagia, menjadi isteri Lai Sek? Biauw Eng menarik napas panjang dan hatinya menjeritkan nama Keng Hong.

Lai Sek memegang lengannya. "Mengapa engkau menghela napas, kekasihku?"
Biauw Eng balas memegang tangan itu. "Aku menurut saja dengan segala kehendakmu, Koko. Bagiku, kalau engkau bahagia, aku pun ikut bahagia. Kebahagiaanku terletak pada kebahagiaanmu, Koko."

Memang, dia tidak membohong. Dia tidak mempunyai siapa pun juga di dunia ini. Keng Hong seperti sudah mati. Satu-satunya orang yang dekat dengannya, dekat lahir batin, hanyalah Sim Lai Sek, pemuda yang sudah mengorbankan matanya untuknya. Untuk membalas budi, satu-satunya jalan hanyalah membahagiakan pemuda ini, dan agaknya itulah kebahagiaanya baginya.

Mereka melakukan perjalanan seenaknya, tidak tergesa-gesa mengingat keadaan Lai Sek yang buta. Biauw Eng membeli dua ekor kuda dan mereka menunggang kuda. Kuda yang ditunggangi pemuda itu dituntunnya.

Di sepanjang jalan, Lai Sek menceritakan pengalaman dan keadaan dirinya. Dia sudah yatim piatu, dan dahulu hanya hidup berdua dengan cici-nya, Sim Ciang Bi yang tewas di tangan Cui Im pula. Kini dia sebatang kara, tiada bedanya dengan Biauw Eng sendiri.

Biauw Eng makin kasihan dan suka kepada pemuda ini. Apa lagi ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa pemuda ini ternyata amat sopan dan tidak pernah melakukan sesuatu yang terdorong oleh nafsu birahi, betapa pun besar rasa kasih sayangnya kepada dirinya. Kemesraan satu-satunya dari pemuda ini terhadap dirinya hanya tercurah pada suaranya apa bila berbicara dengannya, atau paling banyak hanya pada sentuhan jari tangannya pada lengan atau pundaknya.

Hal ini saja membuktikan bahwa Lai Sek benar-benar seorang pemuda yang baik, dan cintanya terhadap dirinya murni, tidak dimabuk nafsu birahi. Kalau dia buat perbandingan, sungguh jauh bedanya antara Keng Hong dengan Lai Sek. Keng Hong sangat romantis, bahkan mendekati mata keranjang sehingga pemuda pujaannya itu mau melayani cinta birahi seperti Cui Im, bahkan, seperti yang ia dengar, telah pula melayani cinta badani cici Lai Sek dan beberapa orang wanita lain lagi.

Akan tetapi, entah bagaimana, dia tidak pernah dapat melupakan Keng Hong. Bahkan, setiap kali Lai Sek berbicara dengan suara menggetar penuh cinta kasih, setiap kali jari tangan Lai Sek yang menggetar penuh perasaan mesra menyentuh tangannya, di depan matanya terbayang wajah Keng Hong!

Menjelang senja mereka sampai di kota Han-tiong, kemudian bermalam di sebuah rumah penginapan. Seperti biasanya, mereka menyewa dua buah kamar yang berdampingaan. Karena lelah, setelah makan malam kedua orang ini lalu tidur nyenyak.

Biauw Eng tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, di dalam sebuah kamar penginapan lain berbaring tubuh Keng Hong. Juga ia tidak tahu betapa tak jauh dari rumah penginapan itu, tampak beberapa orang hwesio beberapa kali berjalan di depan penginapan dan bahkan sekarang menjaga rumah penginapan itu sambil bicara berbisik-bisik tentang dia!

Ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Biauw Eng bersama Lai Sek berangkat meninggalkan rumah penginapan untuk melanjutkan perjalanannya, dengan tergesa-gesa lima orang hwesio turut berangkat pula meninggalkan kota itu dan dari jauh membayangi perjalanan dua orang muda itu.

Biauw Eng dan Lai Sek melalui lembah-lembah Gunung Cin-ling-san, mencari jalan yang termudah untuk menuju ke kota Sian. Pemandangan di sepanjang lembah Pegunungan Cin-ling-san amatlah indahnya, akan tetapi Biauw Eng yang berhati-hati itu sama sekali tak pernah mau membicarakan tentang segala keindahan itu, maklum bahwa hal ini akan menyakiti hati temannya, mengingatkan Lai Sek akan kebutaannya. Diam-diam ia merasa terharu jika mengingat betapa pemuda itu kini tidak lagi mampu menikmati segala macam keindahan karena telah menjadi buta, buta karena dia!

Menjelang tengah hari mereka melewati sebuah lereng yang penuh dengan hutan lebat. Mereka berhenti untuk makan perbekalan mereka. Tetapi baru saja Biauw Eng membantu Lai Sek yang meloncat dari kudanya, tiba-tiba dia menarik Lai Sek ke pinggir dan diajak duduk di bawah pohon, lalu mengikatkan kedua ekor kuda mereka pada batang pohon.

Telinganya yang tajam mendengar derap kaki kuda dan tidak lama kemudian dia dapat melihat lima orang penunggang kuda menuju ke tempat itu dari belakang. Lai Sek juga mendengar derap kaki kuda yang sudah mendekat itu dan dia merasa bahwa Biauw Eng dalam keadaan tegang, sebab sejak turun dari kuda gadis itu tidak bicara sesuatu dan dia pun tidak mendengar gerakan gadis itu.

"Ada orang datang...," katanya.

"Kau duduklah saja, Koko. Syukur kalau mereka itu hanya orang-orang lewat saja, kalau mereka berniat jahat, biar aku yang melayani mereka."

Hati Lai Sek tenang-tenang saja, ia percaya penuh akan kelihaian kekasihnya. Melakukan perjalanan di sisi Biauw Eng, baginya jauh lebih aman dibandingkan dengan perjalanan yang dia lakukan dahulu bersama cici-nya, meski pun dia belum buta. Kepandaian Biauw Eng jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaian cici-nya ditambah kepandaian dia sendiri, beberapa kali lipat lebih tinggi! Betapa pun juga, oleh karena dia tidak akan dapat menyaksikan sendiri apa yang akan terjadi, hatinya menjadi tidak enak.

Setelah para penunggang kuda yang berjumlah lima orang itu datang dekat, Biauw Eng melihat bahwa mereka itu adalah lima orang hwesio! Hemm, tentu ada sesuatu, pikirnya. Para hwesio tidak akan tega naik kuda kalau saja tidak ada kepentingan yang mendesak sekali.

Betul saja dugaannya karena setelah melihat Biauw Eng dan Lai Sek, lima orang hwesio itu segera menghentikan kuda mereka dan meloncat turun. Dari gerakan mereka yang sangat sigap, tahulah Biauw Eng bahwa mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai kepandaian tinggi, lebih-lebih pemimpin mereka, seorang hwesio tua yang bertubuh tinggi besar, berkulit hitam, dan bermata lebar. Hwesio tua inilah yang lantas menegur Biauw Eng dengan suaranya yang kasar dan keras.

"Bukankah nona ini Song-bun Siu-li Biauw Eng, puteri dari Lam-hai Sin-ni yang dahulu menjadi tawanan di Kun-lun-san?"

Biauw Eng memandang tajam, akan tetapi tidak mengenal hwesio tua berusia enam puluh tahun lebih dan empat orang hwesio lain yang usianya tidak kurang dari lima puluh tahun itu. Ia mengangguk, di dalam hatinya ia dapat menduga bahwa tentu hwesio ini hadir pula ketika Kun-lun-pai ‘mengadili’ Keng Hong, lalu berkata tenang,

"Benar seperti yang dikatakan Losuhu tadi, aku adalah Sie Biauw Eng. Tidak tahu apakah maksud hati Losuhu berlima, agaknya menyusul dan mencariku?"

"Song-bun Siu-li, ketahuilah bahwa pinceng adalah Thian Kek Hwesio dan ini adalah para sute pinceng. Kami adalah orang-orang dari Siauw-lim-pai yang sengaja datang untuk menemuimu. Setelah engkau tahu bahwa kami adalah hwesio-hwesio dari Siauw-lim-pai, tentu engkau tahu apa maksud kedatangan pinceng berlima."

Biauw Eng mengerutkan alisnya. "Aku tidak mempunyai urusan apa-apa dengan pihak Siauw-lim-pai!" dengan suara tegas dia berkata. "Sungguh aku tidak tahu, ada urusan apakah maka Losuhu mencariku dan apakah kehendak Losuhu?"

Sejenak hwesio hitam itu memandang tajam, lalu berkata, "Hemm, Song-bun Siu-li, perlu apa engkau berpura-pura lagi? Pada saat berada di Kun-lun-san, engkau membela murid mendiang Sin-jiu Kiam-ong, tentu engkau bersekongkol dengan dia. Kami menghendaki kembalinya kitab-kitab kami yang dahulu dicuri Sin-jiu Kiam-ong, maka dengan sendirinya engkau adalah musuh kami. Ke dua, bukankah Ang-kiam Tok-sian-li yang kini berganti julukan Ang-kiam Bu-tek itu adalah suci-mu, murid dari ibumu? Nah, dia telah membunuh suheng Thian Ti Hwesio! Mau berkata apa lagi engkau?"

"Ahhh...!" Song-bun Siu-li Biauw Eng berseru karena dia benar-benar terkejut mendengar betapa suci-nya sudah membunuh seorang tokoh Siauw-lim-pai. Kemudian dia menghela napas dan berkata,

"Tentang... murid Sin-jiu Kiam-ong, aku sama sekali tidak ada hubungan, Losuhu. Bahkan aku... Ahh, aku tidak tahu di mana sekarang dia berada! Aku tidak tahu tentang kitab-kitab Siauw-lim-pai yang dicuri oleh Sin-jiu Kiam-ong, dan hal itu sama sekali bukan urusanku. Ada pun mengenai urusan bekas suci-ku Bhe Cui Im yang kini bukan lagi menjadi suci-ku, aku sama sekali tidak tahu dan juga tidak ada sangkut-pautnya. Nah, kini Losuhu sudah mendengar semua dan sekarang apa lagi yang hendak Losuhu lakukan?"

"Omitohud...! Siapa percaya omongan puteri Lam-hai Sin-ni? Kau tanya apa yang hendak kulakukan? Pinceng dan para sute hendak membunuhmu!"

"Tidak...! Tidak boleh! Losuhu sekalian adalah hwesio-hwesio yang berhati mulia, kenapa hendak membunuh orang yang tidak berdosa? Teecu juga hadir di dalam persidangan di Kun-lun-pai itu dan teecu yakin bahwa nona Sie Biauw Eng tidak berdosa sama sekali!"

Lima pasang mata memandang kepada Lai Sek yang telah bangkit berdiri dan tadi bicara penuh semangat itu. Thian Kek Hwesio menatap tajam dan mengingat-ingat, akan tetapi dia tidak mengenal siapa adanya pemuda buta ini, juga tidak ingat bahwa dahulu dalam persidangan itu terdapat seorang buta.

"Engkau siapakah?" tanya hwesio itu dengan suara kereng.

"Teecu adalah Sim Lai Sek, murid Hoa-san-pai yang pada waktu itu hadir pula bersama kedua supek Hoa-san Siang-sin-kiam!"

"Omitohud...! Engkau adalah adik murid wanita Hoa-san-pai yang diperkosa murid Sin-jiu Kiam-ong? Dan kini engkau bersahabat dengan wanita ini? Matamu menjadi buta, tentu dibutakan olehnya!"

"Tidak, tidak... harap Locianpwe jangan salah menuduh. Nona Sie Biauw Eng ini sama sekali tidak berdosa. Semua pembunuhan itu dilakukan oleh Ang-kiam Tok-sian-li yang mendurhakai gurunya, bahkan... Lam-hai Sin-ni sendiri dibunuhnya..."

"Koko, diamlah, jangan ikut campur!" Biauw Eng membentak.

Gadis ini semenjak dahulu memiliki kekerasan hati. Ia tidak takut menghadapi ancaman para hwesio Siauw-lim-pai ini, juga ia tidak senang kalau kematian ibunya diketahui orang lain, apa lagi kalau kematian itu disebabkan tangan suci-nya sendiri, murid ibunya! Hal ini adalah urusan dalam, urusan antara dia dan Cui Im, dan tidak perlu diketahui orang lain.

"Losuhu, pendeknya, aku tidak mempunyai urusan sedikit pun dengan Siauw-lim-pai, dan jika Losuhu tidak percaya omonganku, terserah. Losuhu sekalian mau apa pun, aku tidak takut!"

"Omitohud... Siapa dapat percaya omonganmu?" seru Thian Kek Hwesio.

"Suheng, terpaksa kita harus melanggar pantangan membunuh." Seorang di antara empat orang sute Thian Kek Hwesio itu berseru sambil mencabut toya yang tadinya terselip di pinggangnya. Tiga orang hwesio lainnya juga sudah mencabut toya mereka dan langsung mengurung Biauw Eng.

"Song-bun Siu-li, karena orang seperti engkau ini hanya mengotorkan dunia dan dapat membahayakan keselamatan hidup manusia lain, terpaksa pinceng berlima harus turun tangan membasmimu dari muka bumi!" Sambil berkata demikian, Thian Kek Hwesio telah membuka bajunya sehingga tubuhnya bagian atas telanjang. Hwesio ini memang terkenal dengan senjatanya yang istimewa, yaitu jubahnya sendiri!

"Para Losuhu, harap tunggu dulu...!" Sim Lai Sek yang buta itu menggerak-gerakkan dua tangannya ke atas dengan muka penuh kegelisahan! "Nona Sie Biauw Eng tidak bersalah apa-apa! Dia bukan orang jahat, sebaliknya, dia seorang yang paling mulia di dunia ini…, harap jangan membunuh dia...!"

"Omitohud... orang yang sudah teracun cinta, bukan hanya buta mata namun juga buta hatinya...," kata seorang di antara para hwesio itu sambil menggeleng-gelengkan kepala karena kasihan.

"Koko, kau duduklah! Aku tidak takut kepada hwesio-hwesio ini!" Biauw Eng berseru, hatinya panas melihat sikap Lai Sek yang seolah-olah merendahkan dia karena pemuda itu takut. "Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai, majulah!" Ia menantang sambil meloloskan sabuk suteranya dan siap menghadapi para pengeroyokan para lawan itu.

Thian Kek Hwesio berseru keras dan jubah pada tangannya sudah menyambar dengan kekuatan yang hebat. Angin kekuatan jubah ini saja sudah membuat pakaian dan rambut Biauw Eng berkibar seperti tertiup angin besar.

Biauw Eng maklum bahwa hwesio tinggi besar berkulit hitam ini amat lihai, maka cepat ia mengelak ke kiri dan menggerakkan ujung sabuknya membalas dengan totokan ke arah jalan darah di dada Thian Kek Hwesio. Akan tetapi dua batang toya telah menangkisnya dari kanan kiri sehingga ujung sabuknya membalik. Ternyata tangkisan dua orang hwesio Siauw-lim-pai itu juga mengandung tenaga yang dahsyat.

Pada detik berikutnya dua buah toya datang lagi menyambar, yang satu menyerampang kaki, yang sebuah lagi mengemplang kepala! Biauw Eng terkejut, cepat mengelak sambil meloncat mundur agak tinggi, sabuknya diputar di depan tubuh mengancam lawan.

Thian Kek Hwesio adalah seorang tokoh tingkat dua dari Siauw-lim-pai, maka tentu saja ilmu silatnya hebat, tenaganya pun dahsyat sekali. Ada pun empat orang hwesio lainnya adalah sute-sute-nya, dan sungguh pun kepandaian serta tenaga sinkang mereka tidak setinggi suheng mereka, namun mereka ini pun termasuk tokoh-tokoh tingkat dua dan telah memiliki ilmu silat yang tinggi.

Apa lagi ketika itu mereka mengeroyok Biauw Eng. Mereka yang maklum akan kelihaian gadis itu, sudah mempergunakan gerakan-gerakan teratur dari Lo-han-tin (Barisan Kakek Gagah) sehingga mereka itu bergerak saling bantu, seakan-akan kelima orang lihai itu dikendalikan oleh sebuah pikiran dan perasaan.

Biauw Eng terdesak hebat. Terpaksa gadis ini mengerahkan semua kepandaiannya untuk menjaga diri. Dia terus terdesak hebat. Menurut penilaiannya, jika dia melawan mereka seorang demi seorang, biar Thian Kek Hwesio sendiri tidak akan dapat mengalahkannya. Akan tetapi pengeroyokan mereka benar-benar sangat teratur sehingga dia tidak mampu menekan seorang saja untuk merobohkan ereka seorang demi seorang.

Gadis itu kini memutar sabuk suteranya dengan memegang senjata itu di bagian tengah sehingga kedua ujung sabuk menyambar-nyambar dan ujungnya berubah menjadi amat banyak saking cepatnya gerakannya. Kalau Biauw Eng hanya mengandalkan senjatanya untuk menangkis hujan serangan itu saja, tentu dia tidak kuat bertahan lama, maka ia pun mengerahkan ginkang-nya yang luar biasa untuk berloncatan ke sana ke mari, mengelak dan menangkis.

Gerakan Biauw Eng amat ringannya, pakaian dan sabuknya yang putih berkibar-kibar dan dia laksana seeokor kupu-kupu bersayap putih yang dikejar-kejar hendak ditangkap oleh lima orang anak-anak. Biauw Eng maklum bahwa kalau dia terus mempertahankan diri dengan mengelak dan menangkis, akhirnya dia tentu tidak akan kuat bertahan dan akan tewas di tangan lima orang hwesio yang lihai ini.

Juga ia mulai merasa penasaran dan marah sekali, maka dia mengambil keputusan untuk berlaku nekat. Setidaknya dia harus dapat merobohkan seorang di antara mereka. Kalau dia harus mati, dia harus dapat membunuh sedikitnya seorang di antara mereka.

Tiba-tiba jubah di tangan Thian Kek Hwesio menyambar ke arah pahanya, membabat dari kanan ke kiri. Biauw Eng melompat tinggi untuk menghindarkan diri. Sesudah tubuhnya mencelat ke atas, sebatang toya menusuk ke arah perutnya dan dua batang toya lainnya menghantamnya dari kanan! Cepat dia menggunakan sehelai ujung sabuknya membelit toya dari depan, terus menggunakan sinkang-nya secara mendadak menarik toya itu ke kanan sehingga toya itu menangkis dua toya dari kanan.

Pada detik itu, sebatang toya lagi menyambar dari kiri, pada saat kakinya sudah turun ke tanah. Inilah kesempatannya, pikirnya. Ia menggunakan tangan kiri meraih toya itu sambil menggerakkan tubuhnya miring, toya itu ia betot sehingga hwesio yang memegang toya tertarik ke depan, sebelah ujung sabuknya menyambar dan menotok pundak hwesio itu yang seketika menjadi lemas sambil mengeluarkan rintihan perlahan.

Akan tetapi pada detik itu pula, amat cepat datangnya, jubah di tangan Thian Kek Hwesio sudah datang menghantam kepalanya! Tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak bagi Biauw Eng, juga untuk menangkis dengan sabuk karena jaraknya sudah terlampau dekat. Terpaksa ia mengerahkan sinkang ke lengan kanannya dan menangkis jubah itu dengan lengannya.

Kalau jubah itu mengandung saluran sinkang hingga menjadi kaku, tentu saat tertangkis akan menjadi lemas. Akan tetapi, meski pun sudah tertangkis, ujungnya masih meliuk ke belakang dan ujung yang mengandung tenaga sinkang itu memukul punggung Biauw Eng dengan kuatnya.

Biauw Eng mengeluh dan cepat meloncat ke belakang, masih sempat mengebutkan sabuknya ke depan dibarengi tangan kirinya yang mengeluarkan senjata rahasianya tusuk konde bunga bwee sebanyak tiga buah yang menyambar ke arah kedua mata dan ulu hati Thian Kek Hwesio! Namun hwesio ini mendengus dan mengebutkan jubahnya sehingga tiga buah senjata itu runtuh semua.

Thian Kek Hwesio menghampiri sute-nya yang kena ditotok oleh sabuk sutera gadis itu, lalu menotok punggung dan pundak sute-nya. Dalam waktu singkat saja hwesio itu sudah sembuh kembali.

Sedangkan Biauw Eng pun telah dapat mengembalikan tenaganya meski pun dia merasa betapa dadanya sesak, tanda bahwa ia telah menderita luka di sebelah dalam tubuhnya sebagai akibat hantaman ujung sabuk pada punggungnya tadi. Akan tetapi luka di dalam dada itu tidak dirasakanya, malah menambah kemarahannya sehingga ia menerjang maju sambil berseru keras.

"Haaaiiiiiitttt…!"

Sabuk sutera berubah menjadi cahaya putih dibarengi meluncurnya senjata rahasia bola putih berduri yang menyambar ke arah lima orang pengeroyoknya. Akan tetapi, kelima orang hwesio itu sudah siap dan dapat mengelak atau menangkis, juga sambil melompat mundur menghindarkan diri dari ancaman sabuk sutera yang menjadi sinar putih panjang.

Thian Kek Hwesio yang berpandangan tajam itu dapat mengetahui bahwa lawan lihai itu terluka dan bahwa gerakan-gerakan Biauw Eng adalah gerakan orang nekat yang hendak mengadu nyawa. Karena itu dia memberi aba-aba kepada para sute-nya untuk bersikap waspada dan kini mereka mengurung dengan sikap tenang namun dengan pertahanan yang amat kuat.

Biar pun Biauw Eng lihai, namun dia kalah pengalaman. Gadis ini terpengaruh oleh nafsu marah dan terus mengamuk laksana harimau terluka. Namun semua serangannya gagal semua, bahkan semua persediaan senjata rahasianya habis, sudah dilemparkan ke arah para lawannya. Setelah semua senjata rahasianya habis, dia mengamuk dengan sabuk suteranya yang merupakan tangan-tangan maut menyambar nyawa lawan.

Tetapi karena para hwesio itu sudah bersiap siaga, semua serangannya dapat tertangkap dan dielakkan. Sekarang mereka mengurung makin rapat, tidak tergesa-gesa membalas serangan karena Thian Kek Hwesio maklum bahwa jika tenaga gadis itu sudah melemah atau hampir habis, tidak akan sukar lagi bagi dia dan sute-nya untuk merobohkan lawan yang amat lihai ini.

Sim Lai Sek yang bermata buta berdiri dengan tubuh kejang dan kaku, sepasang lengan tergantung di kanan kiri tubuhnya dan jari-jari tangannya bergerak-gerak, kadang-kadang mengepal kadang-kadang terbuka mencengkeram saking tegangnya hatinya. Ia menyesal sekali dan baru sekarang dia merasa menyesal akan kebutaan matanya karena dia tidak bisa melihat jalannya pertempuran atau lebih tepat lagi, dia tidak bisa melihat bagaimana keadaan kekasihnya yang dikeroyok oleh lima orang hwesio yang dia tahu tentu sangat kosen itu. Bagi dia yang hanya dapat mendengarkan, pertempuran itu terasa bukan main lamanya sehingga ketegangan hatinya makin memuncak, apa lagi ketika dia mendengar kekasihnya mengeluh lirih.

Tepat seperti perhitungan Thian Kek Hwesio, makin lama Biauw Eng menjadi semakin lemah dan tenaganya berkurang. Wajah gadis yang tadinya merah saking marahnya, kini menjadi pucat dan leher gadis itu basah oleh peluhnya. Sambaran sabuknya tidak sekuat tadi lagi, dan sinar putih dari sabuknya biar pun masih menyambar-nyambar namun tidak sepanjang tadi.

Kini mulailah Thian Kek Hwesio membalas dengan serangan-serangan yang sangat kuat. Serangan hwesio ini merupakan pertanda bagi para sute-nya untuk segera turun tangan menyerang. Serangan mereka tidak lagi bertubi-tubi terlalu cepat seperti tadi, melainkan secara bergiliran.

Akan tetapi karena setiap serangan dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, maka tentu saja Biauw Eng menjadi sibuk sekali. Bila mana sesekali menangkis dengan sabuknya, ia lantas merasa telapak tangannya tergetar. Kedua telapak tangannya sudah berkeringat dan hal ini membuat sabuk yang dipegangnya menjadi licin sekali sehingga tiap kali ia melibat ujung toya lawan dan hendak membetotnya, sabuknya malah terbawa dan kalau ia tidak mau melepaskan libatannya, tentu bukan senjata lawan yang terampas, malah senjatanya sendiri yang akan terampas lawan!

Sekarang bagi lima orang hwesio itu tinggal menunggu waktu tidak lama lagi untuk dapat merobohkan Biauw Eng. Akan tetapi, mereka adalah hwesio-hwesio yang memiliki watak gagah dan welas asih. Mereka tidak ingin menyiksa gadis itu, tetapi hendak merobohkan dengan sekali pukul agar dapat terus menewaskannya. Pula, mereka terpaksa melakukan pengeroyokan karena mereka maklum bahwa kalau maju satu-satu, mereka tentu kalah.

Dalam pandangan mereka, Biauw Eng sama jahatnya dengan ibunya yang menjadi datuk hitam, sama jahatnya dengan Cui Im yang membunuh Thian Ti Hwesio. Karena itu, bagi mereka yang juga menjadi orang-orang gagah, sudah menjadi ‘kewajiban’ mereka untuk mengenyahkan tokoh sejahat ini dari muka bumi!

Karena Biauw Eng tak pernah mengeluh, dan karena senjata yang dipergunakan gadis ini adalah senjata lemas sehingga tidak pernah terdengar beradunya senjata keras, maka Lai Sek yang mendengarkan gerakan kaki serta angin gerakan tubuh dan senjata mereka, sama sekali tidak tahu betapa keadaan wanita yang dikasihinya itu kini terancam bahaya maut...
Selanjutnya,

Pedang Kayu Harum Jilid 19

Pedang Kayu Harum Jilid 19
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Keng Hong menyambut serangan ini dengan tamparan tangan yang mengenai leher kiri kakek itu. Tubuh Thian It Tosu lalu terlempar ke arah Kim-to Lai Ban dan memang hal ini disengaja oleh Keng Hong. Melihat tubuh suheng-nya yang melayang itu, Lai Ban cepat menangkapnya dan ternyata bahwa tosu itu telah pingsan.

Ouw Beng Kok cepat meloncat maju dan menudingkan telujuknya ke arah Lai Ban sambil berkata, "Lai Ban, mulai detik ini juga engkau tak kami akui lagi sebagai seorang anggota Tiat-ciang-pang, dan para anggota yang menyeleweng, kalau masih setia padanya maka selamanya tidak akan diakui juga sebagai anggota Tiat-ciang-pang!"

Lai Ban yang masih memondongkan tubuh Thian It Tosu, tidak dapat bicara lagi. Ia hanya menundukkan mukanya dan membawa pergi tubuh suheng-nya yang pingsan. Ada pun para pendukungnya yang juga merasa bahwa mereka tidak ada muka lagi untuk terus berada di sana, satu demi satu lalu berdiri dan dengan muka tunduk mengikuti Lai Ban meninggalkan tempat itu.

Setelah kepergian orang-orang yang mengacaukan pemilihan ketua ini, tentu saja dengan sendirinya Ouw Kian dipilih sebagai ketua baru menggantikan ayahnya, kemudian pesta dilanjutkan dengan meriah. Ouw Beng Kok lalu menarik tangan Keng Hong, diajak masuk ke dalam, diikuti oleh Ouw Kian. Lain orang tidak diperkenankan menyaksikan pertemuan di dalam.

Ouw Beng Kok mempersilakan Keng Hong duduk menghadapi meja, berhadapan dengan dia dan puteranya, kemudian ketua Tiat-ciang-pang yang selama ini menatap wajah Keng Hong penuh perhatian, lalu berkata,

"Sekarang tiba saatnya supaya Taihiap suka memperkenalkan diri. Siapakah Taihiap dan meski pun kami semua menghaturkan banyak terima kasih dan merasa bersyukur sekali atas bantuan Taihiap yang mencuci bersih nama baik perkumpulan kami, tetapi sungguh kami ingin mengetahui, mengapa Taihiap melakukan ini semua?"

Keng Hong yang sekarang tidak lagi bersikap ketolol-tololan seperti tadi, menghela napas panjang dan berkata, "Ouw-pangcu, sebelum saya memperkenalkan diri, lebih dulu saya mohon tanya, bagaimana pendapat Pangcu tentang diri Lai Ban?"

"Dia? Ah, sudah jelas bahwa dia seorang yang mengkhianati perkumpulan, seorang yang tamak dan ingin merampas kedudukan. Hemm, sayang aku tidak mendapat kesempatan untuk menghancurkan kepalanya!"

Keng Hong mengangguk-angguk. "Jadi Pangcu tentu dapat menerima apabila dikatakan bahwa dalam sepak terjangnya dulu, banyak kemungkinan dia pun melakukan kesalahan-kesalahan, melakukan tindakan sewenang-wenang hingga dapat mengotorkan nama baik perkumpulan Tiat-ciang-pang?"

Ouw Beng Kok mengerutkan keningnya, kemudian mengangguk-angguk. "Sangat boleh jadi, dan kalau hal itu terjadi, sungguh aku merasa menyesal sekali."

"Dan banyak hal seperti itu memang terjadi, Pangcu. Dulu Lai Ban sering kali melakukan hal sewenang-wenang, menanam bibit permusuhan dengan partai-partai lain, memimpin anak buahnya yang memang tidak dapat dikatakan bersih kelakuannya. Sekarang saya mohon bertanya, Pangcu. Saya datang dan menyamar sebagai anggota Tiat-ciang-pang untuk melawan Lai Ban dan tosu Kim-to Bu-koan itu untuk membuktikan niat baik saya. Andai kata saya mempunyai kesalahan-kesalahan yang timbul dari salah pengertian pada masa lalu, sudikah Pangcu memaafkan saya dan menghapus semua kesalah pahaman yang timbul karena sepak terjang Lai Ban?"

Ouw Beng Kok menatap wajah pemuda itu dan mengerahkan seluruh ingatannya untuk mengenalnya, akan tetapi dia merasa yakin bahwa dia belum pernah berjumpa dengan pemuda ini. Ia menghela napas dan berkata, "Dahulu aku amat percaya kepada Lai Ban, akan tetapi sekarang aku mengerti bahwa tentu banyak perbuatannya yang menyimpang hingga menyelewengkan Tiat-ciang-pang. Aku akan melupakan segala persoalan antara engkau dan perkumpulan kami, Taihiap."

"Bagus, Pangcu. Patut dikagumi seorang laki-laki yang dapat menyadari kekurangan diri sendiri. Sekarang, lihatlah baik-baik, tentu Pangcu sudah mengenal aku." Keng Hong lalu meraba mukanya, mengupas lapisan pada mukanya yang terbuat dari pada getah pohon.

Meski pun mukanya belum bersih benar, namun sekarang telah berubah sama sekali dan tentu saja Ouw Beng Kok mengenal bekas ‘musuh besar’ ini. Dia mencelat dari kursinya, memandang Keng Hong dan berkata, "Kau... kau... murid Sin-jiu Kiam-ong...!"

Keng Hong juga bangkit berdiri dan menjura. "Benar, Ouw-pangcu. Aku adalah Cia Keng Hong dan perbuatanku tadi hanya untuk membuktikan bahwa sesungguhnya aku sama sekali tidak memusuhi Tiat-ciang-pang dan bukanlah musuh Tiat-ciang-pang. Kalau dulu terjadi peristiwa sehingga aku dimusuhi, semua adalah gara-gara sepak terjang Lai Ban dan anak buahnya terhadap murid-murid Hoa-san-pai."

Keng Hong lalu menceritakan semua pengalamannya ketika dia membantu kakak beradik Sim yang dikeroyok oleh anak buah Lai Ban. Mendengar penuturan Keng Hong ini, Ouw Beng Kok mengangguk-angguk, kemudian berkata,

"Peristiwa yang lalu baiklah kita anggap sebagai sebuah kesalah pahaman dan untuk semua perbuatan itu, saya mengharap Taihiap suka memaafkan. Akan tetapi saya juga mengharap agar peristiwa yang terjadi hari ini tak sampai terdengar oleh dunia kang-ouw, karena sesungguhnya..."

Ketua ini ragu-ragu sejenak lalu melanjutkan, "Lebih baik saya berterus terang saja bahwa saya tidak ingin dunia kang-ouw mendengar bahwa Taihiap, murid Sin-jiu Kiam-ong telah membantu Tiat-ciang-pang. Dapatkah Taihiap berjanji?"

"Ayah! Mengapa begitu? Cia-taihiap sudah menolong kita..."

Keng Hong tersenyum memandang Ouw Kian dan berkata kepadanya. "Ouw-pangcu, aku bisa mengerti pendirian ayahmu. Memang benar sebaiknya begitu sebab nama mendiang guruku dimusuhi oleh banyak tokoh kang-ouw, maka ayahmu tidak menghendaki kalau sampai timbul persangkaan bahwa Tiat-ciang-pang bersahabat dengan aku, murid guruku yang dimusuhi." Ia lalu menghadapi Ouw Beng Kok yang agak merah mukanya. "Harap Pangcu jangan khawatir. Aku pun tidak berniat memperkenalkan diri, maka aku sengaja menyamar. Tujuanku yang utama hanyalah ingin menghapus permusuhan di antara kita. Nah, selamat tinggal, Pangcu, aku harus pergi sekarang juga." Dia menoleh dan berkata, "Ilmu kepandaian Lo-pangcu tidak kalah oleh tosu itu, akan tetapi sebaiknya kalau kau menggembleng puteramu supaya kelak mampu menghadapi tosu itu bila mana dia datang mengacau membalas dendam. Selamat tinggal!"

Dia lalu berkelebat melalui jendela dan dalam sekejap mata saja lenyap, meninggalkan ayah dan anak yang bengong dengan kagum itu.

********************

Cia Keng Hong kembali melakukan perjalanan naik turun gunung, keluar masuk hutan dan dusun-dusun. Beberapa pekan kemudian, tibalah dia di lereng Beng-san yang amat indah pemandangannya.

Dia terkenang kepada Siauw-bin Kuncu karena di lembah inilah dia mula-mula bertemu dengan kakek itu. Teringat akan kakek itu, mau tidak mau Keng Hong tersenyum. Kakek itu benar-benar seorang yang amat ahli dalam filsafat, dan biar pun tidak sengaja, namun telah merupakan seorang yang amat berjasa baginya.

Karena merasa lelah, Keng Hong berhenti di lereng itu, mengaso di bawah pohon sambil memandang pemandangan di bawah yang amat indah mempesonakan. Ia teringat akan semua pengalamannya dan saat dia mengenangkan Siauw-bin Kuncu, dia menarik napas panjang.

Dia sendiri pun semenjak kecil banyak membaca kitab-kitab filsafat, akan tetapi betapa banyaknya hal-hal yang amat sulit bila menghadapi peristiwa dalam penghidupan. Selagi pikiran dan hati bersih, tentu saja mudah menangkap dan mengerti akan filsafat-filsafat yang tinggi. Akan tetapi sekali nafsu menguasai diri. Menghadapi peristiwa yang menimpa diri, semua filsafat diterbangkan angin, mata terbuka serasa buta dan otak yang terang menjadi gelap. Betapa sukarnya menguasai nafsu.

Gurunya sendiri, seorang sakti yang cerdik dan pandai, rupa-rupanya tidak kuasa dan tak berdaya menundukkan nafsunya sendiri, bahkan seperti mengumbarnya sehingga banyak mengakibatkan permusuhan, atau lebih tepat dimusuhi oleh banyak sekali orang. Semua gara-gara nafsu pribadi.

Dan dia sendiri? Ahhh…, dia merasa malu kalau dia mengenang semua pengalamannya. Betapa dengan mudahnya dia tergelincir oleh bujuk rayu Cui Im, betapa dia terpeleset menghadapi keindahan tubuh serta kecantikan wajah wanita. Membuat dia mata gelap, digelapkan oleh nafsunya, membuat dia tunduk dan menuruti nafsunya, selain melayani Cui Im yang memang haus akan cinta birahi, juga dia menyambut uluran gadis-gadis yang kemudian menjadi korban karena cintanya. Teringat dia akan nasib Sim Ciang Bi, murid Hoa-san-pai itu. Teringat pula akan nasib kedua orang murid wanita Kong-thong-pai, Kim Bwee Ceng dan Tang Swat Si. Dia menghela napas dengan hati penuh penyesalan. Tiga orang gadis itu telah menjadi korban semua.

Memang benar bahwa mereka tewas dalam tangan Cui Im, akan tetapi andai kata dia tak melayani cinta kasih mereka, andai kata dia tidak bermain cinta dengan mereka, belum tentu mereka akan dibunuh oleh Cui Im yang cemburuan, yang agaknya akan membunuh semua wanita yang dia layani cinta kasihnya! Dengan demikian, biar pun tidak langsung, sama artinya bahwa dialah yang menyebabkan kematian mereka.

Ahhh... nafsu...! Dia harus belajar menguasai nafsunya sendiri. Teringat dia akan filsafat kitab kuno yang pernah dia baca.

Pelajaran yang menyatakan bahwa nafsu itu sifatnya sama dengan kuda. Jasmani adalah keretanya dan kemajuan jasmani tergantung kepada tarikan kuda nafsu. Tanpa adanya tarikan kuda nafsu, maka kereta jasmani tidak akan mendapatkan kemajuan.

Namun, kuda yang sifatnya liar, seperti nafsu, perlu sekali dikendalikan dan dikuasai oleh tangan kusir yang pandai dan bijaksana. Sebenarnya, kusir inilah yang harus menguasai segalanya, kusir ini adalah jiwa yang murni. Sang Aku sejati!

Kusir inilah yang seharusnya memelihara dan mengawasi kereta jasmani, supaya kereta jangan rapuh dan rusak. Kusir ini pula yang harus dapat mengendalikan kuda, sehingga dapat mengemudikan kuda nafsu untuk menarik kereta jasmani menuju pada jalan yang tepat dan benar. Kalau sang kusir ini tidak pandai menguasai nafsu, kuda yang sifatnya liar itu akan membedal dan membawa kereta ke mana saja dia suka, sehingga akhirnya banyak bahayanya kuda itu akan menjerumuskan kereta dan sekalian kusirnya ke dalam jurang!

Betapa tepatnya perumpamaan itu. Nafsu pada diri manusia tidak semestinya dibunuh, melainkan dipelihara dan dikendalikan. Nafsu yang dikendalikan akan dapat membawa jasmani ke arah kemajuan, akan dapat mambawa diri ke tempat yang dikehendaki, dan akan dapat mendatangkan kenikmatan dan kesenangan hidup. Namun, kuda nafsu yang tidak dikendalikan akan berbahaya sekali, akan membedal, meliar, mengganas, bahkan memperhamba diri dan akhirnya keruntuhanlah akibatnya
.

Maka, tepat pula pelajaran dalam kalimat di kitab pelajaran para pemeluk Agama To, yaitu di dalam To-tik-keng yang berbunyi:

Mengerti akan orang lain adalah pandai,
mengerti akan diri sendiri adalah bijaksana.
Menaklukkan orang lain adalah kuat tubuhnya,
menaklukkan diri sendiri adalah kuat batinnya.
Yang puas akan keadaan diri sendiri adalah kaya raya,
yang memaksakan kehendaknya adalah orang nekat.
Yang tahu akan kedudukannya akan berlangsung
mati dalam kebenaran berarti panjang usia
.

Keng Hong menarik napas panjang. Ahhh…, kalau dia teringat akan semua filsafat dan pelajaran kebatinan yang pernah dibacanya, dia kini dapat melihat betapa gurunya sudah menyia-nyiakan hidupnya dengan berkecimpung di dalam lautan pemuasan hawa nafsu. Perlukah watak seperti itu dia contoh?

Biar pun guru, akan tetapi dia beguru kepada Sin-jiu Kiam-ong hanya dalam hal mengejar ilmu silat. Bila mana dia melihat sifat-sifat yang tidak benar dari gurunya, tidak perlu dia mencontoh. Bahkan dia harus membetulkan kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan gurunya, seperti yang dia dengar dalam nasehat Siauw-bin Kuncu!

Mempunyai ilmu kepandaian saja, seperti yang telah dia miliki sekarang, tidak akan ada gunanya bagi manusia dan dunia, bahkan dapat mengakibatkan kerusakan jika dia tidak berpegang pada kebenaran dan kebajikan. Ilmu tetap ilmu, akan tetapi dapat membangun atau merusak, tergantung dari pada akhlak si pemilik ilmu. Manusia tetap manusia, akan tetapi ada dua macam, yaitu manusia utama dan manusia rendah, dan untuk menjadi satu di antara keduanya, hanya diri pribadilah yang akan mengusahakan dan menentukannya.

Teringatlah dia kepada pelajaran Nabi Khong Cu yang menjawab pertanyaan-pertanyaan para muridnya tentang manusia utama yang tinggi budi dan manusia rendah yang rendah budinya.

Manusia utama mengerti mana yang benar,
Manusia rendah mengerti mana yang menguntungkan dirinya.
Manusia utama menyayang jiwanya,
Manusia rendah menyayang hartanya.
Manusia utama ingat akan hukuman dosa-dosanya,
Manusia rendah ingat akan hadiah jasa-jasanya.
Manusia utama mencari kesalahan diri sendiri,
Manusia rendah mencari kesalahan orang lain
.

Masih banyak sekali contoh-contoh dan dalam keadaan tenang di tempat sunyi di lereng Beng-san itu, Keng Hong teringat akan semua filsafat dan makin jelaslah terasa olehnya betapa dia sudah keliru mengikuti cara hidup suhu-nya dahulu, dan betapa dia pun telah menyeleweng dan akan mencontoh gurunya kalau saja dia tidak lekas-lekas sadar dan bertobat, mengubah wataknya dengan memperkuat batin sehingga dia akan bisa menjadi seorang kusir yang bijaksana dan pandai mengendalikan kuda-kuda liar berupa nafsunya sendiri.

"Aku akan berusaha, akan berusaha sekuat tenagaku...!" Demikian pemuda ini berjanji kepada diri sendiri. Ia lalu bangkit berdiri dan melanjutkan perjalanannya menuruni lereng Pegunungan Beng-san.

Ketika lereng itu akan habis dituruninya, tiba-tiba telinganya menangkap suara teriakan-teriakan di sebelah bawah yang datangnya dari hutan di kaki gunung. Cepat dia meloncat ke atas pohon yang tinggi dan memandang ke bawah. Dari tempat tinggi itu tampaklah olehnya berkelebatnya bayangan-bayangan orang dalam pertempuran.

Dari tempat yang jauh itu dia tidak dapat melihat siapa orangnya yang bertanding, akan tetapi dia dapat melihat seorang dikeroyok oleh belasan orang dan dari gerakan mereka tahulah dia bahwa yang bertanding adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia menjadi tertarik sekali, cepat melompat turun dari atas pohon kemudian berlari cepat menuruni lereng dan memasuki hutan itu.

Keng Hong menyelinap di antara pepohonan sambil mendekati tempat pertempuran, dan sesudah dekat serta bersembunyi di balik pohon, dia mendapat kenyataan bahwa yang sedang dikeroyok oleh tiga belas orang itu bukan lain adalah Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu, nenek galak berpakaian serba hitam yang dulu bersama beberapa tokoh lainnya pernah menyerang gurunya di Kiam-kok-san, bahkan yang ikut ‘mengadilinya’ di Kun-lun-san saat dia ditangkap.

Nenek itu kini mainkan senjatanya yang hebat, yaitu pecut yang di tiap ujung cabangnya dipasangi kaitan. Gerakan nenek itu masih tangkas, jelas membuktikan bahwa nenek itu seorang ahli ginkang yang mahir, dan meski pun dia dikeroyok tiga belas orang, namun sembilan cabang cambuknya itu dapat melayani para pengeroyoknya dengan ganas.

Keng Hong memperhatikan tiga belas orang laki-laki yang menggeroyok Kiu-bwe Toanio. Mereka itu rata-rata berusia empat puluh tahun lebih, bentuk tubuh mereka bermacam-macam, akan tetapi rata-rata mereka mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi. Mereka semua bersenjatakan golok besar dan ternyata bahwa gerakan mereka teratur sekali, merupakan gerakan barisan tiga belas orang yang mengurung dengan rapi sehingga biar pun nenek itu lihai ilmu cambuknya, sedemikian lamanya dia tidak mampu merobohkan seorang pun di antara para pengeroyoknya, bahkan pengepungan makin rapat.

"Ha-ha-ha-ha! Kiu-bwe Toanio, lebih baik kau menyerah saja dan menyerahkan nyawamu agar kau dapat mati dengan tubuh utuh! Engkau tidak akan dapat menandingi Cap-sha Toa-to (Tiga Belas Golok Besar) dari Beng-san!" seorang mengejek.

"Tar-tar-tar!"

Cambuk pada tangan Kiu-bwe Toanio meledak-ledak menyambar, akan tetapi tanpa hasil dan kembali dia terkurung oleh cahaya golok yang berkilauan sehingga nenek ini cepat memutar cambuk melindungi tubuhnya.

"Tiga belas perampok laknat dari Beng-san! Bila aku tidak mampu membasmi perampok-perampok jahat semacam kalian ini, percuma saja aku menyebut diriku sebagai pendekar wanita!" Nenek itu berseru, suaranya garang dan semangatnya tak kunjung padam meski pun dia terancam bahaya maut dan terdesak terus.

"Ha-ha-ha-ha! Mungkin dahulu engkau terkenal sebagai pendekar wanita yang cantik dan perkasa, akan tetapi sekarang engkau tidak lebih hanyalah seorang nenek tua keriputan yang sudah hampir mampus. Phuahh, tua bangka tak tahu diri, sudah mendekati kuburan masih berlagak pendekar!"

Wajah nenek itu menjadi merah dan dia pun memutar cambuknya makin hebat sehingga terpaksa para pengeroyoknya melompat mundur. Kiu-bwe Toanio kemudian menudingkan telunjuk tangan kirinya. "Penjahat-penjahat rendah! Kalian sudah merampok dusun-dusun di sebelah selatan gunung, melakukan banyak pembunuhan dan perkosaan, tidak pantang melakukan segala macam kekejian. Aku Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu yang kebetulan lewat dan mendengar akan kejahatan kalian, jika hari ini tidak mampu membasmi kalian, jangan sebut lagi aku seorang pendekar dan aku rela mampus tercacah-cacah oleh golok kalian, Majulah!"

Keng Hong memandang kagum. Dia sudah mendengar dari suhu-nya siapa nenek ini. Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu semenjak muda terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang paling anti terhadap perampok. Wanita ini sudah membuat nama besar karena dia telah membasmi banyak sekali sarang perampok, membunuh banyak kepala rampok dan membubarkan gerombolan-gerombolan. sekarang hingga menjadi nenek-nenek pun masih gigih membasmi perampok.

Seorang pendekar wanita yang patut dikagumi. Akan tetapi juga seorang pendekar wanita yang memusuhi gurunya!

Keng Hong tersenyum dan mengeleng-gelengkan kepala bila mana ia teringat akan cerita gurunya mengenai wanita sakti ini. Ia mencoba untuk membayangkan Kiu-bwe Toanio di waktu muda. Memang tidak sukar.

Wajah nenek itu masih membayangkan bekas kecantikan, dan tubuh itu masih ramping, hanya buah dadanya yang luar biasa besarnya itulah yang sukar dibayangkan bagaimana bentuknya pada waktu nenek itu masih muda.

Akan tetapi, jika Sin-jiu Kiam-ong mau melayani cinta kasih wanita itu, tentu pada waktu mudanya dahulu dia cantik menarik. Keng Hong menghela napas. Wanita ini pun menjadi korban petualangan gurunya. Gurunya tentu melayani cinta wanita itu, seperti halnya dia melayani Cui Im, atau Ciang Bi, Bwee Ceng dan Swat Si. Melayani cinta wanita-wanita itu hanya seperti orang menikmati keindahan bunga.

Akan tetapi nenek ini mencinta gurunya secara mendalam, maka menjadi sakit hati ketika ditinggalkan! Ah, nenek ini juga telah menjadi korban gurunya, dialah yang harus berusaha memperbaiki kesalahan itu. Kini secara kebetulan sekali dia mendapat kesempatan baik. Sekarang nenek itu terdesak hebat, bahkan terancam oleh tiga belas golok besar yang memang lihai itu.

Tanpa banyak cakap lagi Keng Hong melompat keluar dari tempat sembunyiannya dan menerjang barisan tiga belas orang yang mengurung Kiu-bwe Toanio. Karena pemuda ini menerjang dari luar kepungan dan gerakannya amat hebat, maka begitu kaki tangannya bergerak, tiga orang pengeroyok roboh terlempar keluar kepungan dan tiga belas orang itu menjadi kacau-balau.

Lima orang kemudian membalikkan tubuh dan dengan marah sekali lalu menerjang Keng Hong dengan golok mereka, sedangkan yang lima orang lagi masih mengeroyok Kiu-bwe Toanio. Cambuk nenek ini bagaikan sembilan ekor burung garuda menyambar-nyambar.

Tadi ketika dikeroyok tiga belas orang dia terdesak hebat, akan tetapi setelah kini yang mengeroyoknya hanya tinggal lima orang saja, begitu dia memutar cambuknya, dua orang terjungkal roboh dengan leher terkait ujung cambuk sehingga urat lehernya putus-putus! Mereka roboh mengeluarkan suara seperti babi disembelih, dari leher yang sudah rusak pula. Kiu-bwe Toanio tertawa lagi dan betapa pun keras melindungi diri, namun belasan jurus saja sisa tiga orang pengeroyoknya juga menggeletak dan berkelojotan.

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget, heran dan kagumnya pada saat nenek itu menoleh, ia melihat pemuda yang menolongnya itu agaknya telah sejak tadi merobohkan lima orang lawannya! Ternyata ia kalah cepat merobohkan para pengeroyoknya, padahal pemuda itu hanya bertangan kosong saja!

"Orang muda yang gagah perkasa! Sungguh mengagumkan sekali, aku Kiu-bwe Toanio harus mengakui bahwa kepandaianmu jauh melampauiku!" berkata nenek ini yang masih terheran-heran dan kagum.

Keng Hong tersenyum dan menjura dengan hormat. "Selamat berjumpa, Toanio. Agaknya Toanio telah lupa lagi kepadaku."

"Engkau... siapakah...?" Nenek itu melebarkan matanya, memandang lebih tajam dengan sepasang matanya yang sudah kurang awas. Ia melangkah dekat dan kini ia mengenal pemuda itu. Rasa kagetnya bertambah dan ia berseru, "Engkau... engkau muridnya...!"

Keng Hong mengangguk sambil tersenyum. "Benar, Toanio. Aku adalah murid mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong dan karena itulah maka aku sengaja membantumu melawan para perampok ini, untuk membuktikan bahwa baik suhu mau pun aku tidak mempunyai rasa permusuhan terhadap Toanio. Dengan jalan ini aku hendak mewakili suhu mohon maaf kepada Toanio apa bila pada waktu dahulu suhu pernah melakukan kesalahan-kesalahan terhadap Toanio yang semenjak muda sampai kini ternyata merupakan seorang pendekar wanita yang hebat!"

Wajah nenek itu berubah pucat, kemudian mengeluh, "Ahhh... kau murid Sie Cun Hong..." Tiba-tiba tubuhnya terhuyung dan terguling roboh.

"Toanio...!" Keng Hong cepat melompat dan menangkap lengan nenek itu sehingga tubuh itu tak sampai terguling. Tubuh itu lemas tergantung di lengan Keng Hong yang merangkul pinggangnya.

"Kau kenapa, Toanio...?" Keng Hong bertanya, khawatir.
"Terluka... aku... terluka oleh pukulan perampok-perampok laknat..."

Tadi Keng Hong tidak melihat nenek itu terkena pukulan. Mungkin sebelum dia datang atau sesudah dia membantunya, pikirnya.

"Boleh kutolong engkau, Toanio? Mana yang terpukul?"

"Dadaku... tidak apa-apa, hanya aku telah lama menderita penyakit jantung, dan.. melihat engkau... murid Sie Cun Hong... Aduuuhhh... Aku kaget dan jantungku..." Dia mencegah tangan Keng Hong yang hendak memeriksanya. "Tidak usah, hanya... maukah engkau menolongku, membawaku ke pondokku... tidak jauh dari sini… hanya kira-kira tiga puluh li..."

"Baiklah, Toanio. Biar kupondong engkau!" Keng Hong cepat-cepat membungkuk hendak memondong nenek itu.

Akan tetapi Kiu-bwe Toanio dengan kasar menolak lengannya. "Jangan pondong aku!"

Pemuda itu terheran menyaksikan kekasaran nenek itu.

"Selama hidupku, baru satu kali ada pria menyentuh dan memondongku, hanya Sie Cun Hong... ahhh, Cun Hong, laki-laki tidak setia... dan semenjak itu, belum pernah ada pria menyentuhku.."

Keng Hong merasa geli hatinya, juga terharu menyaksikan betapa nenek ini ternyata amat mencinta dan setia pada gurunya. "Habis, bagaimana aku dapat membawamu, Toanio?" tanyanya bingung.

"Kalau kau mau... kau gendong saja aku di punggungmu... Begitu lebih sopan."

Keng Hong menahan senyumnya. Sudah nenek-nenek begini tua, masih memiliki pikiran malu dipondong seorang pemuda seperti dia! Ah, wanita memang aneh, begini tua masih genit, pikirnya.

"Baiklah, mari kugendong kau, Toanio." Keng Hong kemudian membalikkan tubuh dan membelakangi nenek itu sambil berjongkok.

Dengan tubuh lemas Kiu-bwe Toanio lalu naik ke punggung Keng Hong dan pemuda itu segera bangkit berdiri, menyangga kedua paha nenek itu yang sudah peyot.

"Tar-tar-tar-tar-tar...!"

Keng Hong mendengar pecut nenek itu meledak-ledak di atas kepalanya dan sembilan cabang cambuk itu menyambar ke depan, menghantam kepala delapan orang perampok yang tadi roboh di tangan Keng Hong. Delapan orang itu ia robohkan dan ia sengaja tidak membunuh mereka, berbeda dengan nenek itu yang tadi membunuh seluruh lima orang pengeroyoknya. Keng Hong terkejut. Kepala delapan orang itu remuk dan mereka tewas seketika.

"Aihhh, Toanio, mengapa kau...?"

"Kalau tidak dibunuh tentu mereka akan mendatangkan malapetaka kepada penduduk dusun-dusun. Kalau tidak dibunuh, apa artinya aku menentang para perampok laknat itu?"

Keng Hong menghela napas. Dia memang setuju saja kalau nenek itu menentang para perampok, akan tetapi membunuhi lawan yang telah roboh, sungguh-sungguh merupakan perbuatan yang kejam, yang tentu tidak akan dapat dia lakukan.

"Toanio yang melakukan, Toanio sendiri pula yang merasakan," katanya dan dia mulai melangkah. "Ke mana kita harus menuju, Toanio?"

"Maju terus, keluar dari hutan ini. Nanti kutunjukkan jalannya," kata si nenek yang biar pun tubuhnya lemas ternyata masih sangat hebat cambuknya itu, sekali bergerak membunuh delapan orang!

Keng Hong melangkah keluar dari hutan dan selanjutnya menuruti petunjuk nenek itu menuju ke sebuah bukit. Tubuh nenek itu ringan sekali, dan menggendongnya merupakan pekerjaan yang mudah dan tidak berat bagi Keng Hong.

"Namamu siapa?"

"Keng Hong, Cia Keng Hong, Toanio."

"Hemmm, Keng Hong, tahukah engkau dosa apa yang dilakukan gurumu kepadaku?"

Tentu saja Keng Hong telah mendengar penuturan gurunya tentang nenek ini, akan tetapi untuk menghilangkan rasa sunyi di dalam perjalanan itu, dia ingin mendengar penuturan Kiu-bwe Toanio sendiri, karena itu dia menjawab, "Aku hanya tahu bahwa Toanio dahulu mendendam kepada suhu, akan tetapi aku tidak tahu jelas persoalannya."

"Hemmm, gurumu seorang pria yang tidak setia, tidak kenal budi, tidak menghargai cinta kasih seorang wanita!" Sejenak nenek itu terengah-engah, agaknya dia hendak menekan kemarahannya yang timbul dari rasa sakit hati.

"Dahulu aku adalah seorang pendekar wanita muda yang cantik jelita dan gagah perkasa. Tak terhitung banyaknya orang yang tergila-gila kepadaku, yang meminangku, akan tetapi semua kutolak karena aku belum dapat menjatuhkan hatiku kepada seorang pria. Aku ingin memilih seorang pria yang selain mempunyai wajah yang mencocoki seleraku, juga memiliki kepandaian yang jauh melampauiku. Betapa sukarnya menemukan pria seperti idaman hatiku. Kemudian... hemmm, terjadinya hampir sama dengan munculmu tadi. Aku dikeroyok penjahat, kemudian Sie Cun Hong muncul dan membantuku. Aku jatuh cinta kepadanya. Aku mencintanya dengan seluruh jiwa ragaku. Dia muda dan tampan, seperti engkau, dia gagah perkasa seperti engkau. Akan tetapi dia hangat dan pandai merayu, tidak seperti engkau yang dingin dan kaku. Aku semakin cinta kepadanya sehingga aku menyerahkan jiwa ragaku, aku terbuai dalam rayuan dan belaiannya, aku menyerahkan kehormatanku. Akan tetapi... akhirnya dia meninggalkan aku, tak mau menjadi suamiku!"

"Bukankah suhu mencintaimu, Toanio?"

"Uhhh, cinta apa? Cinta mulut, cinta palsu, dia hanya ingin memiliki tubuhku seperti tubuh wanita-wanita lain! Dia seorang laki-laki yang berhati palsu, hanya suka mempermainkan wanita. Terkutuk!"

Keng Hong menarik napas panjang lalu memberanikan diri bertanya, "Akan tetapi, kenapa Toanio dahulu suka menyerahkan... kehormatan Toanio kepada suhu? Mengapa Toanio begitu... begitu... mudah...?"

"Setan alas kau! Aku terjebak oleh bujuk rayunya! Aku mabuk oleh nafsu birahi yang dia bangkitkan! Kalau aku tahu... ahhh, kalau aku tahu..." Nenek itu seperti meronta-ronta di gendongan Keng Hong. "Akhirnya… sebelum meninggalkan aku, dia bilang bahwa cinta kasih antara pria dan wanita tidak seharusnya selalu diakhiri perkawinan! Cih, omongan laki-laki bangsat! Mau enaknya saja. Dia bebas dan enak saja mempermainkan ribuan orang wanita, laki-laki tetap dihargai. Akan tetapi wanita? Sekali menjadi permainan pria dan ditinggalkan, siapa sudi menghargainya lagi? Hidupku rusak oleh gurumu, maka aku penasaran sekali tidak dapat menghancurkan kepalanya! Akan tetapi, masih ada engkau muridnya!"

Keng Hong terkejut bukan main ketika merasa betapa ujung jari yang keras menyentuh ubun-ubun kepalanya. Ia maklum bahwa sekali dia melawan, maka jari-jari itu tentu akan mencengkeram dan tak mungkin ia mampu melindungi ubun-ubun kepalanya. Namun dia bersikap tenang dan bertanya,

"Apa maksudmu, Toanio?"

"Maksudku? Hi-hi-hik, maksudku, aku yang tidak berhasil membalas dendam kepadanya, masih dapat melampiaskan dendamku kepadamu, kepada muridnya. Dalam sekejap mata aku dapat membunuhmu, Cia Keng Hong murid Sie Cun Hong!"

Keng Hong merasa bulu tengkuknya berdiri. Kalau nenek itu membuktikan ancamannya, tidak ada yang akan dapat menolongnya, juga kepandaiannya yang bertahun-tahun dia pelajari tidak akan ada gunanya. Tentu saja dia dapat menyerang nenek yang berada di punggungnya itu, akan tetapi serangan macam apa yang akan dapat melebihi kecepatan nenek itu menanamkan jari-jari tangan di ubun-ubun kepalanya?

Tentu dia kalah cepat dan akan tewas sebelum mampu bergerak. Pula, nenek itu berada di punggungnya. Karena semua gerakan tangan diawali oleh gerakan pundak sedangkan gerakan kaki diawali gerakan pangkal paha, tak mungkin dia mendahului nenek itu, maka berusaha menyerangnya sama dengan bunuh diri.

"Toanio, setelah aku membantumu dan menggendongmu, mengantar engkau yang terluka ke pondok, engkau masih hendak membunuhku...?"

"Hi-hi-hik! Siapa menolongku? Apa kau kira aku kalah dikeroyok tiga belas ekor tikus tadi? Jangan sombong seperti gurumu! Dan kau tidak secerdik gurumu. Siapa bilang aku luka? Aku sehat segar tidak terluka apa-apa. Akan tetapi kini aku berada di punggungmu dan kau akan dapat berbuat apa? Engkau telah mewarisi banyak ilmu gurumu, tentu aku tidak dapat membunuhmu mengandalkan kepandaian. Sekarang, aku tidak akan membunuhmu asal saja engkau suka mengajarkan Ilmu Thi-khi I-beng kepadaku."

Keng Hong merasa geli dan juga muak. Yang baik mau pun yang jahat, sekali manusia dikuasai oleh angkara murka dan menghendaki sesuatu yang tak dimilikinya, sama saja, memuakkan! Kelakukan jahat yang tidak segan merugikan orang, tidak segan melakukan kecurangan, timbul dari hati yang angkara murka, yang menghendaki sesuatu yang bukan menjadi haknya!

Akan tetapi dia tidak berdaya, dan tidak ada pilihan lain. Meski pun hatinya merasa berat untuk membuka rahasia ilmu yang pada waktu itu tiada orang lain yang mengetahuinya, akan tetapi kalau dia menolak tentu dia akan tewas. "Toanio, apakah kalau aku memberi ilmu itu kepadamu, Toanio pasti akan membebaskan aku?"

"Tentu saja!"

"Bagaimana kalau Toanio melanggar janji?"

"Plakkk!" Kepala Keng Hong ditampar sehingga dia merasa pening dan pandang matanya berkunang.

"Apa bila sekali lagi engkau meragukan janji seorang pendekar seperti aku, tentu engkau akan kubunuh! Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu bukan seorang rendah budi yang tidak bisa memegang janji. Janji lebih berharga dari pada nyawa, tahu?"

"Hemm, kalau begitu boleh saja. Harap Toanio turun dulu dari punggungku dan aku akan mengajarkan Thi-khi I-beng kepada Toanio."

"Mana bisa? Kalau aku turun, benar-benarkah engkau akan mengajarkan Thi-khi I-beng?"

"Tentu, Toanio."

"Bagaimana kalau melanggar janji?" Engkau bukan pendekar seperti aku. Engkau adalah murid Sie Cun Hong yang plin-plan, mulut laki-laki perayu, berani sumpah tak berani mati. Mana bisa aku percaya?"

Hati Keng Hong mendongkol bukan main, akan tetapi apa dayanya? Dia lalu menekan kemarahan di hatinya dan tersenyum. "Terserah kepada Toanio akan percaya kepadaku ataukah tidak. Akan tetapi kalau Toanio tidak turun dari punggung, bagaimana aku dapat mengajarkan Thi-khi I-beng kepadamu?"

Sejenak nenek itu berpikir, kemudian baru berkata, "Baiklah, sekarang kau bersumpahlah! Bersumpahlah demi arwah gurumu, demi nenek moyangmu bahwa engkau tidak akan menipu aku. Setelah aku turun dari punggungmu engkau tidak akan menyerangku dan benar-benar akan mengajarkan Thi-khi I-beng kepadaku."

Keng Hong makin mendongkol, akan tetapi dia menekan hatinya, bahkan dia mengejek sambil tersenyum, "Apakah Toanio tidak takut kalau-kalau aku melanggar sumpah, seperti yang Toanio katakan tadi bahwa mulut laki-laki berani bersumpah tak berani mati?"

"Cerewet! Bersumpahlah!"

Keng Hong kemudian mengucapkan sumpah seperti yang dikehendaki nenek itu. Kiu-bwe Toanio melompat turun, siap dengan cambuknya kalau-kalau pemuda itu akan melanggar sumpahnya. Akan tetapi Keng Hong malah duduk bersila dan berkata,

"Marilah duduk bersila di depanku, Toanio. Aku akan mengajarkan Thi-khi I-beng kepada Toanio."

Dengan hati penuh gairah Kiu-bwe Toanio duduk bersila di depan Keng Hong. Nenek itu menganggap ilmu menyedot hawa sinkang lawan itu merupakan ilmu mukjijat yang tiada taranya sehingga kalau ia memiliki ilmu itu tentu dia akan menjadi seorang tokoh nomor satu di dunia kang-ouw!

Keng Hong juga menduga demikian, maka diam-diam hatinya geli. Ah, betapa dangkalnya pendapat itu, pikirnya. Ilmu tidak dapat diukur tinggi atau dalamnya, tidak ada batasnya dan setiap macam ilmu pasti akan ada yang mengatasinya.

"Toanio, ilmu ini sesungguhnya merupakan ilmu yang amat sukar dipelajari dan amat sulit, karena bukan hanya membutuhkan dasar tenaga sinkang yang sangat kuat, akan tetapi juga harus melatih tenaga di dalam tubuh sehingga dapat menimbulkan tenaga menyedot yang otomatis. Terus terang saja, mendiang suhu tidak menguasai ilmu ini, dan saya pun selama hidup belum pernah mempelajari Ilmu Thi-khi I-beng, dan ilmu menyedot sinkang lawan yang kumiliki timbul secara mukjijat pada saat saya menerima pemindahan sinkang dari suhu."

Keng Hong lalu menceritakan pengalamannya ketika tanpa dia sadari dia sudah memiliki ilmu mukjijat yang tak dapat dikendalikannya itu.

"Kemudian, berkat kitab-kitab peninggalan Thai Kek Couwsu, saya bisa menemukan cara untuk mengatur tenaga mukjijat itu, dan menurut pendapat saya, seorang seperti Toanio yang telah memiliki sinkang cukup kuat akan dapat mempelajari ilmu itu asal saja Toanio bersabar. Kalau Toanio sudah mulai dapat mempergunakan tenaga menyedot itu, jangan sembarangan Toanio pergunakan secara berlebihan, melainkan sedikit demi sedikit."

"Hemmm, orang muda. Engkau tidak perlu menasehati aku yang sudah menjadi seorang ahli sebelum engkau terlahir di dunia ini. Lekas ajarkan ilmu itu."

"Agar supaya Toanio bisa mendapatkan penambahan tenaga secara tiba-tiba, maka saya harus mengoper sebagian tenaga saya kepada Toanio, harap Toanio tidak melawan dan menerima sinkang saya itu sehingga akan timbul tenaga menyedot di pusar Toanio, baru kemudian saya akan ajarkan cara melatih tenaga menyedot itu."

"Lakukanlah, aku sudah siap!" kata nenek itu dengan hati penuh ketegangan karena dia ingin sekali memiliki ilmu itu.

Keng Hong lalu menggeser duduknya di belakang, dan telapak tangannya ditempelkan ke punggung nenek tadi sambil mengerahkan sinkang dari pusar. Tenaga yang sangat kuat menerobos melalui kedua telapak tangannya.

Nenek itu terkejut dan kagum. Hebat bukan main tenaga yang memasuki tubuhnya dan kalau saja ia tidak menaruh kepercayaan besar, tentu ia akan melawan tenaga itu karena biasanya tenaga itu dipergunakan untuk menyerang lawan. Namun ia membuka pusarnya dan menerima tenaga yang membanjir memasuki tubuhnya, berkumpul di pusar. Karena ia membuka pusarnya, maka tenaga itu memenuhi tubuhnya dan ia merasa betapa timbul daya menyedot di tubuhnya yang membuat tenaga sinkang pemuda itu membanjir makin banyak.

Setelah merasa bahwa bantuannya seperti yang dulu dilakukan gurunya kepadanya telah cukup untuk membangkitkan daya sedot dari pusar nenek itu, Keng Hong menghentikan pemindahan tenaganya. Dia melepaskan dua tangannya, kemudian duduk bersila dengan wajah pucat. Hampir setengah tenaga sinkang-nya telah dia buang dan dia pindahkan ke tubuh Kiu-bwe Toanio!

Juga nenek itu duduk bersila sambil memejamkan mata, tubuhnya bergoyang-goyang dan dia merasa seakan-akan hendak terbang oleh gelora tenaga yang memenuhi tubuhnya. Sampai berjam-jam keduanya duduk bersila, yang seorang berusaha untuk memulihkan kekuatannya yang banyak terbuang, yang seorang lagi berusaha mengendalikan tenaga yang membanjiri tubuhnya.

Kemudian terdengar suara Keng Hong, lemah dan lirih namun cukup jelas, "Toanio, kau kendalikan tenaga yang berlebihan itu, tekan tenaga itu melalui jalan darah Ci-kiong-hiat kemudian terus disalurkan melalui Tiong-teng-hiat. Setelah berkumpul lalu kau kerahkan melalui Thai-hiat-to menuju ke pusar. Setelah kau ulangi sampai lancar betul, coba kau kerahkan kembali tenaga dari pusar menuju ke seluruh bagian tubuh yang kiranya sedang terserang lawan, kemudian tiba-tiba mengosongkan bagian itu sehingga sinkang Toanio tertarik kembali bersama-sama sinkang lawan itu." Keng Hong terus memberi penerangan seperti dia pelajari dari kitab-kitab di tempat rahasia gurunya.

Kiu-bwe Toanio mendengarkan penuh perhatian. Memang ia pun adalah seorang ahli silat yang pandai dan pengertiannya tentang penggunaan sinkang sudah cukup. Maka setelah keterangan-keterangan itu diulangi beberapa kali saja, dia pun telah dapat menangkap inti sarinya dan mulailah nenek ini berlatih.

Diam-diam Keng Hong merasa kagum dan juga geli hatinya melihat betapa nenek ini amat tekunnya berlatih. Kagum menyaksikan semangat yang tidak kalah oleh semangat orang muda ini dan geli memikirkan betapa manusia amat serakahnya, juga dalam hal mengejar ilmu. Usia sudah begitu tua, hidup pun tentu tidak akan lama lagi, untuk apa bersusah payah mempelajari ilmu itu?

Kiu-bwe Toanio berlatih sampai tiga hari tiga malam dengan tekun, lupa makan lupa tidur. Keng Hong tidak mau mengganggunya dan pemuda ini terpaksa makan buah-buah yang dapat dia cari di dalam hutan dan minum air sungai. Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali Toanio melompat bangun dari atas tanah di mana dia berlatih sambil duduk bersila dan berkata,

"Keng Hong, kurasa aku sudah dapat menguasai Thi-khi I-beng! Coba kau serang aku, hendak kucoba ilmu ini!"

Keng Hong tersenyum menyaksikan kegembiraan pada wajah nenek itu. "Toanio memang hebat dan tekun sekali. Aku tidak akan merasa heran kalau Toanio sudah berhasil dalam waktu tiga hari. Akan tetapi amat perlu dijaga agar Toanio tidak keburu nafsu, dan hanya mempergunakan ilmu apa bila perlu saja. Dasar sinkang Toanio sungguh pun sudah kuat, akan tetapi belum tentu akan dapat menerima serbuan sinkang lawan yang disedot dan hal ini amat berbahaya, demikian menurut petunjuk jalan kitab yang kubaca."

"Kitab petunjuk gurumu? Heh, siapa bisa percaya Sie Cun Hong? Dia selalu membohong. Hayo, kau pukul aku untuk mencoba ilmu ini."

"Toanio..."

"Hemm, orang muda. Engkau sudah berjanji untuk mengajarkan Thi-khi I-beng kepadaku, mana bisa aku tahu buktinya bahwa pelajaran ini benar atau palsu? Apa bila nanti sudah kubuktikan hasilnya, baru aku tahu bahwa selama ini kau tidak membohong dan tidak melanggar sumpahmu sendiri. Hayo, kau pukullah aku sekarang juga."

Keng Hong menarik napas panjang dan merasa serba salah. Dia tahu nenek ini memiliki kekerasan hati dan kehendaknya sukar dibantah. Sebab itu dia lalu melangkah maju dan berkata, "Hati-hatilah, Toanio!"

Tangannya melayang dan menepuk pundak nenek itu, sengaja mengerahkan sedikit saja sinkang untuk menguji ‘daya sedot’ nenek itu.

"Plakkkkk!"

Keng Hong merasa betapa tenaga sinkang di tangannya yang menempel pada pundak nenek itu tersedot melalui pundak dan tangannya tidak dapat dia lepaskan kembali, juga hawa sinkang-nya molos keluar. Akan tetapi tentu saja dia juga tahu bagaimana caranya melepaskan tangan. Kalau dia menyimpan hawa sinkang-nya, maka otomatis tangannya akan terlepas. Tiba-tiba saja dia terkejut sekali karena tangan nenek itu sudah menyentuh dadanya, tepat di bagian jantung.

"Jangan lepaskan tanganmu, jangan coba-coba tarik kembali sinkang-mu atau... engkau akan kubunuh!"

Keng Hong yang merasa terkejut itu menjadi penasaran. "Toanio, apa yang hendak kau lakukan ini?"

Pemuda itu merasa betapa tenaganya terus menerobos melalui telapak tangannya yang melekat pada pundak Kiu-bwe Toanio.

"Hemmm, kau bocah murid Sie Cun Hong. Di dunia ini tidak boleh ada dua orang yang menguasai Thi-khi I-beng! Hanya aku seoranglah yang boleh memilikinya," kata nenek itu sambil terus mengerahkan tenaga menyedot. Muka nenek itu kini menjadi merah sekali, matanya melotot dan napasnya terengah-engah.

Keng Hong menjadi pucat. Ia maklum bahwa kalau sinkang-nya habis, dia akan menjadi lemas atau bahkan dia dapat tewas karenanya. Namun, kalau dia menghentikan saluran sinkang-nya, tentu nenek itu akan menotok dadanya dan dia akan tewas pula.

Tidak ada pilihan lain baginya. Dia akan mengisi terus tubuh itu dengan sinkang-nya, dan sebelum kehabisan tenaga sama sekali, dia akan menghentikan lantas pura-pura roboh kehabisan tenaga.

"Hi-hi-hik, hawa sinkang-mu kuat sekali, bocah bagus! Aduhhh, tubuhku panas... aduhhh, seperti dibakar...!"

"Hentikan, Toanio, hentikanlah..."

"Tidak! Dan jangan kau berani melepaskan tanganmu atau menarik kembali sinkang-mu, hemm, sedikit saja engkau bergerak, engkau akan mati!" Jari tangan nenek itu menegang di dadanya, siap mencengkeram.

"Toanio... lekas hentikan, demi keselamatanmu sendiri. Aku tidak akan melawanmu, akan tetapi kalau tidak kau hentikan, kau... kau akan celaka..."

"Hi-hik-hik! Engkau... Aahhh... Hahhh... panas...! Engkau anak kemarin sore... hi-hik-hik... jangan mencoba menipuku. Aku akan celaka kalau kau lepaskan... Engkau lihai, tentu akan menyerangku... heh-heh-heh, akan kusedot sinkang-mu sampai habis... hi-hik-hik... aaahhhhh...!"

Tiba-tiba saja nenek itu mengeluarkan jerit melengking dan mengerikan lalu dari mulutnya tersembur darah. Keng Hong yang melihat betapa jari tangan nenek itu sedetik kejang, cepat melompat ke belakang sehingga mukanya tidak terkena semburan darah.

Ia cepat maju lagi untuk menolong ketika melihat tubuh nenek itu terkulai. Betapa kaget dan menyesal hatinya melihat nenek itu terus muntah-muntah darah. Dengan mata yang tidak bersinar lagi nenek yang sudah rebah terlentang itu memandangnya.

"Kau... kau benar... aaahhhh, Cun Hong... Kau tunggulah aku..!" kepala itu terkulai lemas, matanya terpejam dan napasnya terhenti.

Keng Hong memeriksa tubuh itu dan melepaskan kembali lengan yang dipegang sambil menarik napas panjang. Nenek itu sudah tewas. Tentu jantungnya pecah karena tak kuat menerima pengoperan sinkang yang terlalu penuh, terlalu kuat. Dia merasa kasihan dan terharu betapa dalam saat terakhir, nenek itu masih menyebut nama gurunya.

Ah, nenek bekas pendekar wanita perkasa yang selalu membasmi kejahatan, yang selalu menaruh dendam terhadap gurunya, sudah tewas. Bukan karena kesalahannya, sungguh pun nenek itu seolah-olah mati ‘dalam tangannya’ melainkan karena kesalahan nenek itu sendiri.

Kiu-bwe Toanio yang gagah perkasa ini begitu dikuasai nafsu angkara murka sehingga hendak memonopoli Ilmu Thi-khi I-beng, lupa akan kesadaran dan kebenaran, lupa akan wataknya sebagai seorang pendekar yang selalu harus menjunjung tinggi kebenaran. Dia akhirnya mengorbankan jiwanya dalam pelaksanaan perbuatannya sendiri yang terdorong oleh nafsu kemurkaan. Sungguh sayang!

Dengan hati penuh rasa penyesalan bahwa ‘jalan keluar’ yang ditempuhnya seperti yang dicita-citakannya untuk menebus semua kesalahan gurunya dulu kembali gagal, bahkan telah mengorbankan nyawa nenek itu, sungguh pun dia tahu bahwa hal itu bukan terjadi karena kesalahannya, Keng Hong lalu menggali tanah dan mengubur jenazah nenek itu sebagaimana mestinya.

Setelah selesai menguburkan jenazah Kiu-bwe Toanio dan sejenak mengheningkan cipta memberi penghormatan terakhir, Keng Hong kemudian pergi meninggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanannya.

Dia harus dapat mencari Cui Im, harus dapat merampas kembali kitab-kitab dan pusaka-pusaka milik beberapa buah partai yang dahulu diambil gurunya kemudian dilarikan oleh Cui Im. Karena teringat bahwa Cui Im berasal dari selatan di mana Lam-hai Sin-ni menjadi tokoh utamanya, Keng Hong lalu melanjutkan perjalanan menuju ke selatan.

********************

Di sepanjang perjalanannya Keng Hong bertanya-tanya tentang keadaan. Dia mendengar bahwa perang sudah selesai dengan kemenangan pihak utara. Raja muda Yung Lo yang memperebutkan kedudukan dan perang melawan keponakannya, lalu naik tahta Kerajaan Beng-tiauw (1403). Keadaan mulai aman dan raja atau Kaisar Yung Lo memindahkan kota raja ke utara (Peking).

Keng Hong melakukan perjalanan berbulan-bulan, melintasi sungai Cialing dan melewati Pegunungan Tapa-san. Ia menyeberangi sungai Han-sui kemudian menginap selama dua malam di kota Han-tiong yang terletak di pinggiran sebelah utara sungai itu, kemudian kembali melanjutkan perjalanan.

Pemuda ini sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pada malam kedua, dia berada sekota dengan Sie Biauw Eng, gadis yang selama ini menjadi kenangannya! Tidak tahu bahwa Biauw Eng bersama seorang buta bermalam di sebuah penginapan yang tidak begitu jauh letaknya dari rumah penginapan di mana dia bermalam!

Bagaimanakah Biauw Eng si gadis yang selalu berpakaian putih seperti orang berkabung itu bisa berada di kota Han-tiong? Seperti telah diceritakan pada bagian depan, semenjak ibunya terbunuh oleh Cui Im dan dia sendiri diselamatkan nyawanya oleh pemuda murid Hoa-san-pai, Sim Lai Sek sehingga pemuda itu mengorbankan sepasang matanya yang menjadi buta, Biauw Eng tidak tega meninggalkan pemuda yang amat mencintanya dan ia rela untuk menjadi teman Lai Sek, kalau perlu selama hidupnya!

Ia merasa berhutang budi kepada pemuda itu dan melihat cinta kasih pemuda itu yang demikian mendalam, ia berusaha keras untuk membalas cintanya, sungguh pun hatinya sudah terampas oleh Keng Hong yang selamanya takkan dapat ia lupakan itu! Akan tetapi Keng Hong mungkin sudah mati! Biar pun ia mendengar kata-kata Cui Im yang seakan menyatakan bahwa Keng Hong masih hidup, akan tetapi kalau pemuda pujaan hatinya itu selamanya terasing dan takkan mungkin muncul di dunia ramai, apa gunanya ia tunggu-tunggu?

Hari itu ia bersama Lai-Sek tiba di Han-tiong dalam perjalanan mereka ke utara. Lai Sek mempunyai seorang sahabat baik yang sekarang telah menjabat pangkat di kota raja dan menurut usul Lai Sek dapat mengharapkan pertolongan sahabatnya itu.

"Tidak mungkin kita terus menjadi orang-orang perantauan yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap," demikian pemuda itu berkata kepada wanita yang dicintanya. "Di kota raja, sahabatku tentu akan suka membantu kita. Kita dapat membuka toko obat, atau dapat membuka bu-koan (perguruan silat). Dengan kepandaian yang kau miliki, kita tentu akan dapat hidup layak di sana, dan jika kita sudah mempunyai tempat tinggal tetap, aku akan minta bantuan sahabatku itu untuk merayakan pernikahan kita. Kita akan hidup berumah tangga dengan bahagia, memiliki anak-anak di sekeliling kita. Ahh, Biauw Eng kekasihku, betapa akan bahagianya kita!"

Biauw Eng menatap wajah tampan yang matanya buta itu dengan hati terharu. Pemuda ini sangat rindu akan kebahagiaan, seperti juga dia! Manusia manakah di dunia ini yang tidak mencita-citakan kebahagiaan hidup? Dan apakah dia akan bahagia, menjadi isteri Lai Sek? Biauw Eng menarik napas panjang dan hatinya menjeritkan nama Keng Hong.

Lai Sek memegang lengannya. "Mengapa engkau menghela napas, kekasihku?"
Biauw Eng balas memegang tangan itu. "Aku menurut saja dengan segala kehendakmu, Koko. Bagiku, kalau engkau bahagia, aku pun ikut bahagia. Kebahagiaanku terletak pada kebahagiaanmu, Koko."

Memang, dia tidak membohong. Dia tidak mempunyai siapa pun juga di dunia ini. Keng Hong seperti sudah mati. Satu-satunya orang yang dekat dengannya, dekat lahir batin, hanyalah Sim Lai Sek, pemuda yang sudah mengorbankan matanya untuknya. Untuk membalas budi, satu-satunya jalan hanyalah membahagiakan pemuda ini, dan agaknya itulah kebahagiaanya baginya.

Mereka melakukan perjalanan seenaknya, tidak tergesa-gesa mengingat keadaan Lai Sek yang buta. Biauw Eng membeli dua ekor kuda dan mereka menunggang kuda. Kuda yang ditunggangi pemuda itu dituntunnya.

Di sepanjang jalan, Lai Sek menceritakan pengalaman dan keadaan dirinya. Dia sudah yatim piatu, dan dahulu hanya hidup berdua dengan cici-nya, Sim Ciang Bi yang tewas di tangan Cui Im pula. Kini dia sebatang kara, tiada bedanya dengan Biauw Eng sendiri.

Biauw Eng makin kasihan dan suka kepada pemuda ini. Apa lagi ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa pemuda ini ternyata amat sopan dan tidak pernah melakukan sesuatu yang terdorong oleh nafsu birahi, betapa pun besar rasa kasih sayangnya kepada dirinya. Kemesraan satu-satunya dari pemuda ini terhadap dirinya hanya tercurah pada suaranya apa bila berbicara dengannya, atau paling banyak hanya pada sentuhan jari tangannya pada lengan atau pundaknya.

Hal ini saja membuktikan bahwa Lai Sek benar-benar seorang pemuda yang baik, dan cintanya terhadap dirinya murni, tidak dimabuk nafsu birahi. Kalau dia buat perbandingan, sungguh jauh bedanya antara Keng Hong dengan Lai Sek. Keng Hong sangat romantis, bahkan mendekati mata keranjang sehingga pemuda pujaannya itu mau melayani cinta birahi seperti Cui Im, bahkan, seperti yang ia dengar, telah pula melayani cinta badani cici Lai Sek dan beberapa orang wanita lain lagi.

Akan tetapi, entah bagaimana, dia tidak pernah dapat melupakan Keng Hong. Bahkan, setiap kali Lai Sek berbicara dengan suara menggetar penuh cinta kasih, setiap kali jari tangan Lai Sek yang menggetar penuh perasaan mesra menyentuh tangannya, di depan matanya terbayang wajah Keng Hong!

Menjelang senja mereka sampai di kota Han-tiong, kemudian bermalam di sebuah rumah penginapan. Seperti biasanya, mereka menyewa dua buah kamar yang berdampingaan. Karena lelah, setelah makan malam kedua orang ini lalu tidur nyenyak.

Biauw Eng tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, di dalam sebuah kamar penginapan lain berbaring tubuh Keng Hong. Juga ia tidak tahu betapa tak jauh dari rumah penginapan itu, tampak beberapa orang hwesio beberapa kali berjalan di depan penginapan dan bahkan sekarang menjaga rumah penginapan itu sambil bicara berbisik-bisik tentang dia!

Ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Biauw Eng bersama Lai Sek berangkat meninggalkan rumah penginapan untuk melanjutkan perjalanannya, dengan tergesa-gesa lima orang hwesio turut berangkat pula meninggalkan kota itu dan dari jauh membayangi perjalanan dua orang muda itu.

Biauw Eng dan Lai Sek melalui lembah-lembah Gunung Cin-ling-san, mencari jalan yang termudah untuk menuju ke kota Sian. Pemandangan di sepanjang lembah Pegunungan Cin-ling-san amatlah indahnya, akan tetapi Biauw Eng yang berhati-hati itu sama sekali tak pernah mau membicarakan tentang segala keindahan itu, maklum bahwa hal ini akan menyakiti hati temannya, mengingatkan Lai Sek akan kebutaannya. Diam-diam ia merasa terharu jika mengingat betapa pemuda itu kini tidak lagi mampu menikmati segala macam keindahan karena telah menjadi buta, buta karena dia!

Menjelang tengah hari mereka melewati sebuah lereng yang penuh dengan hutan lebat. Mereka berhenti untuk makan perbekalan mereka. Tetapi baru saja Biauw Eng membantu Lai Sek yang meloncat dari kudanya, tiba-tiba dia menarik Lai Sek ke pinggir dan diajak duduk di bawah pohon, lalu mengikatkan kedua ekor kuda mereka pada batang pohon.

Telinganya yang tajam mendengar derap kaki kuda dan tidak lama kemudian dia dapat melihat lima orang penunggang kuda menuju ke tempat itu dari belakang. Lai Sek juga mendengar derap kaki kuda yang sudah mendekat itu dan dia merasa bahwa Biauw Eng dalam keadaan tegang, sebab sejak turun dari kuda gadis itu tidak bicara sesuatu dan dia pun tidak mendengar gerakan gadis itu.

"Ada orang datang...," katanya.

"Kau duduklah saja, Koko. Syukur kalau mereka itu hanya orang-orang lewat saja, kalau mereka berniat jahat, biar aku yang melayani mereka."

Hati Lai Sek tenang-tenang saja, ia percaya penuh akan kelihaian kekasihnya. Melakukan perjalanan di sisi Biauw Eng, baginya jauh lebih aman dibandingkan dengan perjalanan yang dia lakukan dahulu bersama cici-nya, meski pun dia belum buta. Kepandaian Biauw Eng jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaian cici-nya ditambah kepandaian dia sendiri, beberapa kali lipat lebih tinggi! Betapa pun juga, oleh karena dia tidak akan dapat menyaksikan sendiri apa yang akan terjadi, hatinya menjadi tidak enak.

Setelah para penunggang kuda yang berjumlah lima orang itu datang dekat, Biauw Eng melihat bahwa mereka itu adalah lima orang hwesio! Hemm, tentu ada sesuatu, pikirnya. Para hwesio tidak akan tega naik kuda kalau saja tidak ada kepentingan yang mendesak sekali.

Betul saja dugaannya karena setelah melihat Biauw Eng dan Lai Sek, lima orang hwesio itu segera menghentikan kuda mereka dan meloncat turun. Dari gerakan mereka yang sangat sigap, tahulah Biauw Eng bahwa mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai kepandaian tinggi, lebih-lebih pemimpin mereka, seorang hwesio tua yang bertubuh tinggi besar, berkulit hitam, dan bermata lebar. Hwesio tua inilah yang lantas menegur Biauw Eng dengan suaranya yang kasar dan keras.

"Bukankah nona ini Song-bun Siu-li Biauw Eng, puteri dari Lam-hai Sin-ni yang dahulu menjadi tawanan di Kun-lun-san?"

Biauw Eng memandang tajam, akan tetapi tidak mengenal hwesio tua berusia enam puluh tahun lebih dan empat orang hwesio lain yang usianya tidak kurang dari lima puluh tahun itu. Ia mengangguk, di dalam hatinya ia dapat menduga bahwa tentu hwesio ini hadir pula ketika Kun-lun-pai ‘mengadili’ Keng Hong, lalu berkata tenang,

"Benar seperti yang dikatakan Losuhu tadi, aku adalah Sie Biauw Eng. Tidak tahu apakah maksud hati Losuhu berlima, agaknya menyusul dan mencariku?"

"Song-bun Siu-li, ketahuilah bahwa pinceng adalah Thian Kek Hwesio dan ini adalah para sute pinceng. Kami adalah orang-orang dari Siauw-lim-pai yang sengaja datang untuk menemuimu. Setelah engkau tahu bahwa kami adalah hwesio-hwesio dari Siauw-lim-pai, tentu engkau tahu apa maksud kedatangan pinceng berlima."

Biauw Eng mengerutkan alisnya. "Aku tidak mempunyai urusan apa-apa dengan pihak Siauw-lim-pai!" dengan suara tegas dia berkata. "Sungguh aku tidak tahu, ada urusan apakah maka Losuhu mencariku dan apakah kehendak Losuhu?"

Sejenak hwesio hitam itu memandang tajam, lalu berkata, "Hemm, Song-bun Siu-li, perlu apa engkau berpura-pura lagi? Pada saat berada di Kun-lun-san, engkau membela murid mendiang Sin-jiu Kiam-ong, tentu engkau bersekongkol dengan dia. Kami menghendaki kembalinya kitab-kitab kami yang dahulu dicuri Sin-jiu Kiam-ong, maka dengan sendirinya engkau adalah musuh kami. Ke dua, bukankah Ang-kiam Tok-sian-li yang kini berganti julukan Ang-kiam Bu-tek itu adalah suci-mu, murid dari ibumu? Nah, dia telah membunuh suheng Thian Ti Hwesio! Mau berkata apa lagi engkau?"

"Ahhh...!" Song-bun Siu-li Biauw Eng berseru karena dia benar-benar terkejut mendengar betapa suci-nya sudah membunuh seorang tokoh Siauw-lim-pai. Kemudian dia menghela napas dan berkata,

"Tentang... murid Sin-jiu Kiam-ong, aku sama sekali tidak ada hubungan, Losuhu. Bahkan aku... Ahh, aku tidak tahu di mana sekarang dia berada! Aku tidak tahu tentang kitab-kitab Siauw-lim-pai yang dicuri oleh Sin-jiu Kiam-ong, dan hal itu sama sekali bukan urusanku. Ada pun mengenai urusan bekas suci-ku Bhe Cui Im yang kini bukan lagi menjadi suci-ku, aku sama sekali tidak tahu dan juga tidak ada sangkut-pautnya. Nah, kini Losuhu sudah mendengar semua dan sekarang apa lagi yang hendak Losuhu lakukan?"

"Omitohud...! Siapa percaya omongan puteri Lam-hai Sin-ni? Kau tanya apa yang hendak kulakukan? Pinceng dan para sute hendak membunuhmu!"

"Tidak...! Tidak boleh! Losuhu sekalian adalah hwesio-hwesio yang berhati mulia, kenapa hendak membunuh orang yang tidak berdosa? Teecu juga hadir di dalam persidangan di Kun-lun-pai itu dan teecu yakin bahwa nona Sie Biauw Eng tidak berdosa sama sekali!"

Lima pasang mata memandang kepada Lai Sek yang telah bangkit berdiri dan tadi bicara penuh semangat itu. Thian Kek Hwesio menatap tajam dan mengingat-ingat, akan tetapi dia tidak mengenal siapa adanya pemuda buta ini, juga tidak ingat bahwa dahulu dalam persidangan itu terdapat seorang buta.

"Engkau siapakah?" tanya hwesio itu dengan suara kereng.

"Teecu adalah Sim Lai Sek, murid Hoa-san-pai yang pada waktu itu hadir pula bersama kedua supek Hoa-san Siang-sin-kiam!"

"Omitohud...! Engkau adalah adik murid wanita Hoa-san-pai yang diperkosa murid Sin-jiu Kiam-ong? Dan kini engkau bersahabat dengan wanita ini? Matamu menjadi buta, tentu dibutakan olehnya!"

"Tidak, tidak... harap Locianpwe jangan salah menuduh. Nona Sie Biauw Eng ini sama sekali tidak berdosa. Semua pembunuhan itu dilakukan oleh Ang-kiam Tok-sian-li yang mendurhakai gurunya, bahkan... Lam-hai Sin-ni sendiri dibunuhnya..."

"Koko, diamlah, jangan ikut campur!" Biauw Eng membentak.

Gadis ini semenjak dahulu memiliki kekerasan hati. Ia tidak takut menghadapi ancaman para hwesio Siauw-lim-pai ini, juga ia tidak senang kalau kematian ibunya diketahui orang lain, apa lagi kalau kematian itu disebabkan tangan suci-nya sendiri, murid ibunya! Hal ini adalah urusan dalam, urusan antara dia dan Cui Im, dan tidak perlu diketahui orang lain.

"Losuhu, pendeknya, aku tidak mempunyai urusan sedikit pun dengan Siauw-lim-pai, dan jika Losuhu tidak percaya omonganku, terserah. Losuhu sekalian mau apa pun, aku tidak takut!"

"Omitohud... Siapa dapat percaya omonganmu?" seru Thian Kek Hwesio.

"Suheng, terpaksa kita harus melanggar pantangan membunuh." Seorang di antara empat orang sute Thian Kek Hwesio itu berseru sambil mencabut toya yang tadinya terselip di pinggangnya. Tiga orang hwesio lainnya juga sudah mencabut toya mereka dan langsung mengurung Biauw Eng.

"Song-bun Siu-li, karena orang seperti engkau ini hanya mengotorkan dunia dan dapat membahayakan keselamatan hidup manusia lain, terpaksa pinceng berlima harus turun tangan membasmimu dari muka bumi!" Sambil berkata demikian, Thian Kek Hwesio telah membuka bajunya sehingga tubuhnya bagian atas telanjang. Hwesio ini memang terkenal dengan senjatanya yang istimewa, yaitu jubahnya sendiri!

"Para Losuhu, harap tunggu dulu...!" Sim Lai Sek yang buta itu menggerak-gerakkan dua tangannya ke atas dengan muka penuh kegelisahan! "Nona Sie Biauw Eng tidak bersalah apa-apa! Dia bukan orang jahat, sebaliknya, dia seorang yang paling mulia di dunia ini…, harap jangan membunuh dia...!"

"Omitohud... orang yang sudah teracun cinta, bukan hanya buta mata namun juga buta hatinya...," kata seorang di antara para hwesio itu sambil menggeleng-gelengkan kepala karena kasihan.

"Koko, kau duduklah! Aku tidak takut kepada hwesio-hwesio ini!" Biauw Eng berseru, hatinya panas melihat sikap Lai Sek yang seolah-olah merendahkan dia karena pemuda itu takut. "Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai, majulah!" Ia menantang sambil meloloskan sabuk suteranya dan siap menghadapi para pengeroyokan para lawan itu.

Thian Kek Hwesio berseru keras dan jubah pada tangannya sudah menyambar dengan kekuatan yang hebat. Angin kekuatan jubah ini saja sudah membuat pakaian dan rambut Biauw Eng berkibar seperti tertiup angin besar.

Biauw Eng maklum bahwa hwesio tinggi besar berkulit hitam ini amat lihai, maka cepat ia mengelak ke kiri dan menggerakkan ujung sabuknya membalas dengan totokan ke arah jalan darah di dada Thian Kek Hwesio. Akan tetapi dua batang toya telah menangkisnya dari kanan kiri sehingga ujung sabuknya membalik. Ternyata tangkisan dua orang hwesio Siauw-lim-pai itu juga mengandung tenaga yang dahsyat.

Pada detik berikutnya dua buah toya datang lagi menyambar, yang satu menyerampang kaki, yang sebuah lagi mengemplang kepala! Biauw Eng terkejut, cepat mengelak sambil meloncat mundur agak tinggi, sabuknya diputar di depan tubuh mengancam lawan.

Thian Kek Hwesio adalah seorang tokoh tingkat dua dari Siauw-lim-pai, maka tentu saja ilmu silatnya hebat, tenaganya pun dahsyat sekali. Ada pun empat orang hwesio lainnya adalah sute-sute-nya, dan sungguh pun kepandaian serta tenaga sinkang mereka tidak setinggi suheng mereka, namun mereka ini pun termasuk tokoh-tokoh tingkat dua dan telah memiliki ilmu silat yang tinggi.

Apa lagi ketika itu mereka mengeroyok Biauw Eng. Mereka yang maklum akan kelihaian gadis itu, sudah mempergunakan gerakan-gerakan teratur dari Lo-han-tin (Barisan Kakek Gagah) sehingga mereka itu bergerak saling bantu, seakan-akan kelima orang lihai itu dikendalikan oleh sebuah pikiran dan perasaan.

Biauw Eng terdesak hebat. Terpaksa gadis ini mengerahkan semua kepandaiannya untuk menjaga diri. Dia terus terdesak hebat. Menurut penilaiannya, jika dia melawan mereka seorang demi seorang, biar Thian Kek Hwesio sendiri tidak akan dapat mengalahkannya. Akan tetapi pengeroyokan mereka benar-benar sangat teratur sehingga dia tidak mampu menekan seorang saja untuk merobohkan ereka seorang demi seorang.

Gadis itu kini memutar sabuk suteranya dengan memegang senjata itu di bagian tengah sehingga kedua ujung sabuk menyambar-nyambar dan ujungnya berubah menjadi amat banyak saking cepatnya gerakannya. Kalau Biauw Eng hanya mengandalkan senjatanya untuk menangkis hujan serangan itu saja, tentu dia tidak kuat bertahan lama, maka ia pun mengerahkan ginkang-nya yang luar biasa untuk berloncatan ke sana ke mari, mengelak dan menangkis.

Gerakan Biauw Eng amat ringannya, pakaian dan sabuknya yang putih berkibar-kibar dan dia laksana seeokor kupu-kupu bersayap putih yang dikejar-kejar hendak ditangkap oleh lima orang anak-anak. Biauw Eng maklum bahwa kalau dia terus mempertahankan diri dengan mengelak dan menangkis, akhirnya dia tentu tidak akan kuat bertahan dan akan tewas di tangan lima orang hwesio yang lihai ini.

Juga ia mulai merasa penasaran dan marah sekali, maka dia mengambil keputusan untuk berlaku nekat. Setidaknya dia harus dapat merobohkan seorang di antara mereka. Kalau dia harus mati, dia harus dapat membunuh sedikitnya seorang di antara mereka.

Tiba-tiba jubah di tangan Thian Kek Hwesio menyambar ke arah pahanya, membabat dari kanan ke kiri. Biauw Eng melompat tinggi untuk menghindarkan diri. Sesudah tubuhnya mencelat ke atas, sebatang toya menusuk ke arah perutnya dan dua batang toya lainnya menghantamnya dari kanan! Cepat dia menggunakan sehelai ujung sabuknya membelit toya dari depan, terus menggunakan sinkang-nya secara mendadak menarik toya itu ke kanan sehingga toya itu menangkis dua toya dari kanan.

Pada detik itu, sebatang toya lagi menyambar dari kiri, pada saat kakinya sudah turun ke tanah. Inilah kesempatannya, pikirnya. Ia menggunakan tangan kiri meraih toya itu sambil menggerakkan tubuhnya miring, toya itu ia betot sehingga hwesio yang memegang toya tertarik ke depan, sebelah ujung sabuknya menyambar dan menotok pundak hwesio itu yang seketika menjadi lemas sambil mengeluarkan rintihan perlahan.

Akan tetapi pada detik itu pula, amat cepat datangnya, jubah di tangan Thian Kek Hwesio sudah datang menghantam kepalanya! Tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak bagi Biauw Eng, juga untuk menangkis dengan sabuk karena jaraknya sudah terlampau dekat. Terpaksa ia mengerahkan sinkang ke lengan kanannya dan menangkis jubah itu dengan lengannya.

Kalau jubah itu mengandung saluran sinkang hingga menjadi kaku, tentu saat tertangkis akan menjadi lemas. Akan tetapi, meski pun sudah tertangkis, ujungnya masih meliuk ke belakang dan ujung yang mengandung tenaga sinkang itu memukul punggung Biauw Eng dengan kuatnya.

Biauw Eng mengeluh dan cepat meloncat ke belakang, masih sempat mengebutkan sabuknya ke depan dibarengi tangan kirinya yang mengeluarkan senjata rahasianya tusuk konde bunga bwee sebanyak tiga buah yang menyambar ke arah kedua mata dan ulu hati Thian Kek Hwesio! Namun hwesio ini mendengus dan mengebutkan jubahnya sehingga tiga buah senjata itu runtuh semua.

Thian Kek Hwesio menghampiri sute-nya yang kena ditotok oleh sabuk sutera gadis itu, lalu menotok punggung dan pundak sute-nya. Dalam waktu singkat saja hwesio itu sudah sembuh kembali.

Sedangkan Biauw Eng pun telah dapat mengembalikan tenaganya meski pun dia merasa betapa dadanya sesak, tanda bahwa ia telah menderita luka di sebelah dalam tubuhnya sebagai akibat hantaman ujung sabuk pada punggungnya tadi. Akan tetapi luka di dalam dada itu tidak dirasakanya, malah menambah kemarahannya sehingga ia menerjang maju sambil berseru keras.

"Haaaiiiiiitttt…!"

Sabuk sutera berubah menjadi cahaya putih dibarengi meluncurnya senjata rahasia bola putih berduri yang menyambar ke arah lima orang pengeroyoknya. Akan tetapi, kelima orang hwesio itu sudah siap dan dapat mengelak atau menangkis, juga sambil melompat mundur menghindarkan diri dari ancaman sabuk sutera yang menjadi sinar putih panjang.

Thian Kek Hwesio yang berpandangan tajam itu dapat mengetahui bahwa lawan lihai itu terluka dan bahwa gerakan-gerakan Biauw Eng adalah gerakan orang nekat yang hendak mengadu nyawa. Karena itu dia memberi aba-aba kepada para sute-nya untuk bersikap waspada dan kini mereka mengurung dengan sikap tenang namun dengan pertahanan yang amat kuat.

Biar pun Biauw Eng lihai, namun dia kalah pengalaman. Gadis ini terpengaruh oleh nafsu marah dan terus mengamuk laksana harimau terluka. Namun semua serangannya gagal semua, bahkan semua persediaan senjata rahasianya habis, sudah dilemparkan ke arah para lawannya. Setelah semua senjata rahasianya habis, dia mengamuk dengan sabuk suteranya yang merupakan tangan-tangan maut menyambar nyawa lawan.

Tetapi karena para hwesio itu sudah bersiap siaga, semua serangannya dapat tertangkap dan dielakkan. Sekarang mereka mengurung makin rapat, tidak tergesa-gesa membalas serangan karena Thian Kek Hwesio maklum bahwa jika tenaga gadis itu sudah melemah atau hampir habis, tidak akan sukar lagi bagi dia dan sute-nya untuk merobohkan lawan yang amat lihai ini.

Sim Lai Sek yang bermata buta berdiri dengan tubuh kejang dan kaku, sepasang lengan tergantung di kanan kiri tubuhnya dan jari-jari tangannya bergerak-gerak, kadang-kadang mengepal kadang-kadang terbuka mencengkeram saking tegangnya hatinya. Ia menyesal sekali dan baru sekarang dia merasa menyesal akan kebutaan matanya karena dia tidak bisa melihat jalannya pertempuran atau lebih tepat lagi, dia tidak bisa melihat bagaimana keadaan kekasihnya yang dikeroyok oleh lima orang hwesio yang dia tahu tentu sangat kosen itu. Bagi dia yang hanya dapat mendengarkan, pertempuran itu terasa bukan main lamanya sehingga ketegangan hatinya makin memuncak, apa lagi ketika dia mendengar kekasihnya mengeluh lirih.

Tepat seperti perhitungan Thian Kek Hwesio, makin lama Biauw Eng menjadi semakin lemah dan tenaganya berkurang. Wajah gadis yang tadinya merah saking marahnya, kini menjadi pucat dan leher gadis itu basah oleh peluhnya. Sambaran sabuknya tidak sekuat tadi lagi, dan sinar putih dari sabuknya biar pun masih menyambar-nyambar namun tidak sepanjang tadi.

Kini mulailah Thian Kek Hwesio membalas dengan serangan-serangan yang sangat kuat. Serangan hwesio ini merupakan pertanda bagi para sute-nya untuk segera turun tangan menyerang. Serangan mereka tidak lagi bertubi-tubi terlalu cepat seperti tadi, melainkan secara bergiliran.

Akan tetapi karena setiap serangan dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, maka tentu saja Biauw Eng menjadi sibuk sekali. Bila mana sesekali menangkis dengan sabuknya, ia lantas merasa telapak tangannya tergetar. Kedua telapak tangannya sudah berkeringat dan hal ini membuat sabuk yang dipegangnya menjadi licin sekali sehingga tiap kali ia melibat ujung toya lawan dan hendak membetotnya, sabuknya malah terbawa dan kalau ia tidak mau melepaskan libatannya, tentu bukan senjata lawan yang terampas, malah senjatanya sendiri yang akan terampas lawan!

Sekarang bagi lima orang hwesio itu tinggal menunggu waktu tidak lama lagi untuk dapat merobohkan Biauw Eng. Akan tetapi, mereka adalah hwesio-hwesio yang memiliki watak gagah dan welas asih. Mereka tidak ingin menyiksa gadis itu, tetapi hendak merobohkan dengan sekali pukul agar dapat terus menewaskannya. Pula, mereka terpaksa melakukan pengeroyokan karena mereka maklum bahwa kalau maju satu-satu, mereka tentu kalah.

Dalam pandangan mereka, Biauw Eng sama jahatnya dengan ibunya yang menjadi datuk hitam, sama jahatnya dengan Cui Im yang membunuh Thian Ti Hwesio. Karena itu, bagi mereka yang juga menjadi orang-orang gagah, sudah menjadi ‘kewajiban’ mereka untuk mengenyahkan tokoh sejahat ini dari muka bumi!

Karena Biauw Eng tak pernah mengeluh, dan karena senjata yang dipergunakan gadis ini adalah senjata lemas sehingga tidak pernah terdengar beradunya senjata keras, maka Lai Sek yang mendengarkan gerakan kaki serta angin gerakan tubuh dan senjata mereka, sama sekali tidak tahu betapa keadaan wanita yang dikasihinya itu kini terancam bahaya maut...
Selanjutnya,