Pedang Kayu Harum Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pedang Kayu Harum Jilid 05
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Cui Im tidak bicara lagi, hanya terdengar dia ketawa dan mencambuk empat ekor kuda itu sehingga jalannya kereta makin kencang. Kembali Keng Hong tergoncang-goncang, akan tetapi dia segera dapat mengerahkan sinkang-nya dan kini dia duduk diam tidak bergerak seperti nona di depannya.

Mulailah nona itu memandangnya, dan sungguh pun mulutnya tidak menyatakan sesuatu, akan tetapi pandang matanya penuh pengertian bahwa pemuda di depannya ini memiliki sinkang yang hebat.

"Nona, jangan perhatikan omongan Cui... ehhh, dia itu. Aku sama sekali tidak membujuk rayu, Nona, melainkan hendak bertanya kenapa setelah Nona menyelamatkan nyawaku, kini malah menawanku."

"Ibuku yang menyuruhku, aku hanya pelaksana saja," jawabnya sederhana. "Dan jangan mengira aku sudi menolongmu. Apa bila tidak ingin memenuhi perintah ibu, biar suci mau membunuh seribu orang macam engkau, aku tidak akan peduli."

Wahhh, pahit benar ucapan ini, pikir Keng Hong. Akan tetapi tak mungkin dia bisa marah menghadapi seorang gadis seperti ini. "Ibumu? Siapakah dia, Nona?"

"Lam-hai Sin-ni!"

"Ohhhh...!" Tadinya Keng Hong mengira bahwa sebagai sumoi dari Cui Im tentu nona ini merupakan murid ke dua Lam-hai Sin-ni. Kiranya bukan hanya muridnya, malah puterinya! Pantas saja, biar pun disebut sumoi oleh Cui Im, akan tetapi nona ini memiliki tingkat ilmu kepandaian yang lebih tinggi dan juga disegani oleh suci-nya itu.

"Kau sudah mengenal nama ibuku?"

"Sudah, Nona, Ibumu adalah datuk pertama dari Bu-tek Su-kwi, bukan?"

"Hemm, kau hanya mendengar saja dari suci tentu."

"Aku sudah pernah bertemu dengan tiga orang dari Bu-tek Su-kwi yang semuanya kalah oleh suhu."

"Hemm..., sombong! Kalau bertemu ibu, suhu-mu akan mampus sampai seratus kali."

"Nona, bolehkah aku mengetahui namamu?"

Alis yang indah itu terangkat, mata yang bagus itu mengeluarkan sinar berapi dan mulut yang segar itu membentak, "Kau...! Selain hidung belang, juga ceriwis sekali!"

"Hi-hi-hik, Sumoi. Tidak benarkah kata-kataku bahwa dia pandai merayu?"

"Suci, berhenti dulu!"

Kereta berhenti secara tiba-tiba dan hal ini saja membuktikan betapa pandainya Cui Im menguasai empat ekor kuda yg menarik kereta, dan betapa kuat kedua lengan yang kecil itu. Alis nona baju putih itu masih berdiri ketika dia melolos sabuknya yang putih panjang, lalu tanpa banyak cakap dia mengikat kedua kaki Keng Hong dengan ujung sabuk dan setelah itu dia melempar tubuh pemuda itu ke belakang kereta!

"Jalan terus, Suci!"

"Hi-hi-hik-hik, agaknya engkau pun tidak tahan terhadap rayuannya, sumoi. Hati-hatilah..., engkau sama sekali belum berpengalaman."

"Diam, suci!" bentak gadis itu sambil merenggut, dan kereta dijalankan cepat oleh Cui Im yang terkekeh-kekeh.

Kini tubuh Keng Hong yang rebah terlentang di belakang kereta, diseret di atas tanah berbatu! Kedua tangannya dibelenggu, kedua kakinya diikat ujung sabuk, ada pun ujung sabuk lainnya oleh gadis itu diikatkan pada tiang kereta. Sabuk itu cukup panjang hingga tubuh Keng Hong terpisah empat meter dari kereta.

Pemuda ini cepat-cepat mengerahkan sinkang untuk melindungi tubuh belakangnya yang terseret. Apa bila tidak kuat sinkang-nya, tentu kulit tubuh belakangnya akan habis babak bundas. Biar pun kini hawa sakti di tubuhnya melindungi kulitnya, akan tetapi tidak dapat melindungi pakaiannya sehingga sebentar saja habislah pakaiannya di bagian belakang, compang-camping tidak karuan.

Diam-diam Keng Hong mengutuk, "Wah, gadis setan! Dua orang gadis itu benar-benar seperti iblis-iblis betina, sungguh pun kekejian mereka itu agak berbeda. Cui Im cabul dan pengejar kepuasan hawa nafsu, sebaliknya sumoi-nya ini alim dan pendiam, akan tetapi keduanya mempunyai kekejaman yang sama. Bahkan boleh jadi gadis baju putih ini lebih kejam lagi."

Keng Hong yang rebah terlentang dan terseret di belakang kereta sekarang dapat melihat keadaan di kanan kiri kereta sampai jauh di depan. Mereka sedang melalui jalan sunyi di pegunungan, jauh dari dusun-dusun. Diam-diam dia berpikir dan ingin sekali mengetahui apakah dua orang gadis iblis itu akan tetap menyeretnya seperti ini kalau melalui dusun dan kota? Apakah mereka akan membiarkan dia terseret dan menjadi tontonan? Tentu penguasa setempat akan turun tangan kalau melihat peristiwa ini, akan tetapi penguasa manakah yang sanggup melarang dua orang gadis iblis itu?

Tiba-tiba Keng Hong melihat di depan sebelah kiri muncul dua orang penunggang kuda, yakni dua orang laki-laki tinggi besar berusia lima puluh tahun yang menghadang kereta dengan senjata golok di tangan, memberi isyarat dengan tangan agar kereta dihentikan. Cui Im menghentikan kereta itu dan memandang dengan alis berkerut marah.

"Kalian ini mau apakah? Apakah perampok-perampok buta?"

"Hemm, Ang-kiam Tok-sian-li! Masih berpura-pura tidak mengenal kami Thian-te Siang-to (Sepasang Golok Bumi Langit)? Kami memenuhi perintah suhu untuk minta tawananmu, murid Sin-jiu Kiam-ong. Memandang muka suhu kami, harap kau suka mengalah kepada kami!" Jawaban ini keluar dari mulut kakek yang sebelah kiri.

Setelah kini berhadapan, barulah Cui Im melihat jelas betapa muka kedua orang kakek itu serupa benar. Teringatlah dia akan murid kembar dari Pat-jiu Sian-ong, maka dia tertawa mengejek.

"Hi-hi-hik, jangan hanya kalian Thian-te Siang-to yang maju meminta tawanan, walau pun gurumu sendiri yang datang takkan kuberikan. Kalian mau apa?"

"Hah, Ang-kiam Tok-sian-li! Kami masih memandang muka gurumu maka masih bicara dengan baik-baik, akan tetapi engkau sombong. Turunlah dan mari kita lihat siapa yang lebih unggul di antara kita. Yang unggul berhak membawa pergi murid Sian-jiu Kiam-ong!"

"Bagus, kalian sudah bosan hidup!"

Cui Im meloncat turun dari kereta sambil mencabut pedang merahnya. Akan tetapi begitu meloncat dan menerjang, Cui Im mengeluh karena dia baru teringat akan keadaannya, akan tenaga sinkang yang sebagian besar telah lenyap semenjak malam tadi dia bermain cinta dengan Keng Hong. Apa lagi sekarang yang dihadapinya adalah dua orang murid Pat-jiu Sian-ong yang merupakan seorang di antara empat datuk Bu-tek Su-kwi!

Kalau dalam keadaan normal sekali pun, tak mungkin ia dapat menangkan pengeroyokan dua orang ini dan mungkin hanya akan sanggup mengalahkan seorang di antara mereka. Akan tetapi sekarang, dengan sinkang-nya habis setengahnya lebih, melawan seorang di antara mereka sekali pun dia tak akan menang.

Keng Hong yang sekarang sudah bangkit duduk karena kereta itu tidak menyeretnya lagi, melihat betapa Cui Im sedang terdesak hebat oleh dua orang laki-laki bersenjata golok yang menggunakan julukan Sepasang Golok Bumi Langit itu. Untung bahwa pedang Cui Im benar-benar hebat, kalau tidak, tentu dalam beberapa gebrakan saja ia akan roboh.

Cui Im mainkan pedangnya secepat mungkin, dan biar pun dia sama sekali tidak mampu melakukan serangan balasan, namun dia masih mampu mempertahankan dirinya dengan gerakan pedang dan juga sambil mengelak ke sana ke mari. Dia sudah terdesak hebat dan menurut taksiran Keng Hong, tidak sampai sepuluh jurus lagi gadis itu tentu akan roboh.

"Sumoi, tidak lekas membantuku kau menunggu apa lagi?" Cui Im yang repot itu akhirnya berteriak-teriak.

Keng Hong hanya melihat muili (tirai) kereta itu tersingkap dari dalam, lantas berkelebat segulung cahaya putih berturut-turut dua kali. Cahaya ini menyebar ke arah kedua orang kakek yang mendesak Cui Im.

Mereka cepat menangkis dengan pedang, namun mereka segera berteriak kesakitan dan meloncat ke belakang. Ternyata pangkal lengan kedua orang kakek itu sudah terluka dan mengeluarkan darah. Yang melukai mereka ialah dua butir bola putih yang permukannya halus namun mempunyai duri-duri runcing dan pada saat dua bola tadi berhasil ditangkis, bola itu tidak runtuh ke atas tanah melainkan melesat dan melukai lengan mereka.

Pada waktu dua orang kakek itu melihat wajah ayu yang tersembul keluar dari balik tirai, mereka terkejut dan cepat menjura ke arah kereta.

"Kiranya Song-bun Siu-li (Gadis Cantik Berkabung) juga turut hadir di sini. Maafkan atas kelancangan kami!" Sesudah berkata demikian, kakek kembar itu lalu membalikkan tubuh dan berlari pergi.

"Heiii, kembalilah! Mari kita bertanding sampai seribu jurus! Belum bolong dadamu sudah lari, pengecut!" Cui Im berteriak-teriak menantang.

"Suci, jalan terus!" terdengar gadis baju putih yang kini julukannya telah dikenal oleh Keng Hong berkata halus.

Kereta berjalan lagi amat kencangnya, dan terpaksa Keng Hong kembali merebahkan diri telentang lagi, diseret-seret kereta. Ia bergidik bila mengingat julukan gadis baju putih itu. Song-bun Siu-li (Gadis Cantik Berkabung). Mengapa berkabung? Pantas saja pakaiannya serba putih, bahkan senjatanya yang lihai, sabuk yang kini mengikat kedua kakinya, juga putih dan senjata rahasia yang berbentuk bola itu pun putih!

"Cepatlah, suci. Setelah murid-murid Pat-jiu Siang-ong muncul, kurasa yang lainnya akan muncul pula."

"Untung kau berada di sini, sumoi, kalau tidak... wah berabe juga. Aku... aku kehilangan sebagian besar sinkang di tubuhku karena... bocah setan itu!"

"Apa? Mengapa dan bagaimana?" Song-bun Siu-li bertanya heran.

"Benar, tenagaku disedot habis olehnya. Keparat! Setelah malam tadi, entah bagaimana aku pun tidak tahu. Dia memang hebat, aku sampai lupa diri dan aku... tersedot habis... uhhh..."

"Suci, diam! Kau tahu aku tidak sudi mendengarkan omongan-omonganmu yang cabul!"

Kereta berjalan terus lebih cepat lagi. Keng Hong tertegun mendengar omongan mereka itu. Dia sendiri pun tidak tahu mengapa Cui Im menjadi lemah. Tersedot olehnya? Ia lalu teringat akan peristiwa di Kun-lun-san, di mana tanpa dia sadari dia pun telah menyedot sinkang dari Kiang Tojin dan tosu-tosu lain.

Akan tetapi pada saat itu dia menghadapi pukulan sinkang yang amat berat. Sedangkan malam tadi dengan Cui Im... ahhh… dia tetap tidak mengerti.

Diam-diam dia kagumi Song-bun Siu-li. Betapa lihai gadis muda itu. Hanya dengan dua butir bola saja dia mampu mengusir murid-murid Pat-jiu Sian-ong yang dia lihat tadi amat lihai ilmu goloknya.

Lewat tengah hari, ketika matahari mulai condong ke barat, mereka tiba di sebuah hutan dan jauh di depan menjulang tinggi pegunungan yang rupanya banyak dusun-dusunnya karena dari jauh sudah nampak genteng-genteng rumah yang kemerahan.

Keng Hong yang diseret kereta mulai merasa tersiksa karena selain haus dan lapar, juga debu yang mengebul dari roda-roda kereta itu seolah-olah dilemparkan semua padanya, membuat rambut dan alisnya menjadi putih, juga mukanya menjadi putih semua. Untuk bernapas pun terasa sukar di dalam kepulan debu yang tebal ini.

Tiba-tiba Cui Im berseru nyaring dan tangan kirinya menyabar dua batang anak panah yang menyambarnya. Hebat kepandaian ini dan diam-diam Keng Hong yang melihat itu menjadi kagum.

"Jalan terus, suci. Biarkan aku yang melayani mereka!" berkata Song-bun Siu-li dengan suara dingin.

Kini berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu gadis itu sudah berdiri di atap kereta, lalu minta pinjam cambuk kuda yang masih dipegang oleh Cui Im. Cambuk ini cukup panjang dan dengan tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanannya memegang gagang cambuk, Song-bun Siu-li berdiri dengan gagah tanpa bergerak, hanya matanya saja yang menatap tajam ke depan.

Tiba-tiba dari arah kiri menyambar tiga batang anak panah, sebuah ke arah Cui Im dan yang ke dua ke arah Song-bun Siu-li dan anak panah yang datang menyambar sekali ini, walau pun warnanya juga hitam seperti tadi, namun mengandung kecepatan dan tenaga dahsyat sehingga mengeluarkan bunyi mendesing.

Cui Im tidak mempedulikan datangnya anak panah yang menyerangnya, melainkan tetap mencurahkan seluruh perhatian kepada kendali empat ekor kuda yang dipegangnya dan dibalapkannya dengan cepat. Dia sudah percaya penuh akan penjagaan sumoi-nya dan kepercayaan ini pun tidak sia-sia. Terdengar suara cambuk meledak-ledak, dan... tiga batang anak panah itu sudah kena digulung dan dibelit ujung cambuk.

Keng Hong melongo melihat itu dan dia lebih terbelalak lagi ketika nona baju putih itu menggerakkan cambuknya, membuat tiga batang anak panah meluncur ke arah kiri dan... terdengar jerit-jerit mengerikan yang lantas disusul dengan terjungkalnya tubuh tiga orang yang tadi bersembunyi di balik batang pohon. Kiranya nona baju putih yang lihai sekali itu telah meretour anak panah kepada pemiliknya masing-masing dan secara kontan keras telah membalas mereka!

Tiba-tiba terdengarlah suara keras yang bergema di seluruh hutan itu, seolah-olah suara raksasa yang sakit, padahal suara itu merupakan suara banyak orang yang mengucapkan sebuah kalimat secara berbareng, "Atas perintah Pak-san Kwi-ong, kami mohon tawanan putera Sin-jiu Kiam-ong ditinggalkan di hutan ini!"

"Suci, berhenti sebentar," kata Song-bun Siu-li dengan suara halus.

Kereta berhenti dan kini tampaklah puluhan orang, sedikitnya ada tiga puluh orang yang mengurung kereta itu dalam jarak lima puluh meter. Mereka itu tadinya bersembunyi di balik pohon-pohon dan di dalam gerombolan-gerombolan semak.

Terdengar suara Song-bun Siu-li yang berdiri di atas kereta dengan cambuk di tangan, suaranya masih tetap halus merdu, namun kini dikerahkan dengan penggunaan tenaga khikang sehingga menjadi nyaring dan bergema lebih dahsyat dari pada suara banyak orang tadi.

"Murid Sin-jiu Kiam-ong menjadi tawanan Lam-hai Sin-ni! Di sini ada Song-bun Siu-li dan Ang-kiam Tok-sian-li yang melindunginya, siapa pun tidak boleh mengganggu tawanan!"

Keng Hong yang kini sudah duduk di atas tanah, diam-diam memandang dengan hati geli. Dia tidak tahu siapakah adanya banyak orang-orang laki-laki yang tinggi besar dan kelihatan galak-galak itu, akan tetapi yang dia tahu adalah bahwa dia dijadikan rebutan! Dijadikan rebutan di antara para tokoh kang-ouw, bukan tokoh-tokoh kaum bersih seperti ketika gurunya dulu dikepung di Kiam-kok-san, melainkan tokoh-tokoh hitam yang amat lihai.

Namun, baik tokoh bersih mau pun tokoh sesat, semua memiliki pamrih yang sama yaitu menghendaki Siang-bhok-kiam dan warisan mendiang suhu-nya. Kini timbullah keinginan hatinya untuk mencari serta mendapatkan pusaka peninggalan suhu-nya. Apa bila semua tokoh kang-ouw menginginkan pusaka itu, sudah barang tentu pusaka itu amat berharga dan penting.

Sesudah mendengar disebutnya nama Song-bun Siu-li, kini para pengurung itu menjadi ragu-ragu dan mereka terdiam, kemudian muncul empat orang tinggi besar yang usianya sudah empat puluh tahun lebih. Di tangan masing-masing memegang sehelai rantai baja yang digantungi sebuah tengkorak manusia!

Melihat rantai dengan tengkorak itu teringatlah Keng Hong akan kakek tinggi besar yang berkulit hitam arang, yang matanya putih, telinganya seperti telinga gajah dan badannya berbulu, yaitu Pak-san Kwi-ong. Senjata kakek itu pun berupa seutas rantai besar dengan dua buah tengkorak pada kedua ujungnya. Hanya bedanya, rantai empat orang laki-laki ini hanya bertengkorak satu.

"Kami Pak-san Su-liong (Empat Naga Pegunungan Utara), jauh-jauh datang melakukan perintah suhu. Mengingat akan sahabat segolongan, biarlah kami menyampaikan salam suhu kepada Ji-wi Siocia (Nona Berdua) untuk disampaikan kepada Lam-hai Sin-ni dan salam kami sendiri kepada Ji-wi. Kemudian, mengingat akan persahabatan, harap Ji-wi luluskan kami meminjam sebentar tawanan itu."

"Hi-hi-hik-hik! Enak saja membuka mulut!" Cui Im tertawa mengejek. "Kami yang susah payah menawan, tapi kalian yang hendak memboyong. Aturan mana ini? Lebih baik kalian pergi dari sini dan sampaikan kepada Pak-san Kwi-ong bahwa apa bila dia menghendaki tawanan, biarlah dia mencoba merampasnya dari tangan guruku!"

"Suci, tidak perlu banyak bicara melayani mereka. Pak-san Su-liong harap tahu diri dan jangan mengganggu kami. Betapa pun juga, kami tak akan menyerahkan tawanan!" kata gadis baju putih sambil menudingkan telunjuknya ke arah empat orang tinggi besar itu.

"Hemm, kalau begitu, terpaksa kami akan menguji kepandaian Ji-wi, apakah cukup patut menjadi pengawal tawanan penting!"

"Bagus, majulah!" Song-bun Siu-li dan Ang-kiam Tok-sian-li sudah meloncat turun.

Tenaga sinkang Cui Im masih belum normal, belum pulih seperti biasa, akan tetapi tidak selemah tadi karena di sepanjang jalan gadis ini telah melatih napas untuk menghimpun tenaganya yang tercecer. Dia masih dapat mengandalkan ilmu pedangnya yang memang hebat dan pedang merahnya yang ampuh. Ada pun gadis baju putih itu sudah memutar cambuknya sehingga terdengar bunyi ledakan-ledakan nyaring.

Empat orang tinggi besar itu menyambut kedua orang nona ini dengan sambaran rantai mereka dan terdengarlah suara bersiutan, tanda bahwa mereka itu memiliki tenaga besar sekali dan dari mulut tengkorak-tengkorak itu kadang-kadang mengebul asap putih yang beracun!

Pertandingan dua lawan empat ini berlangsung seru, akan tetapi Keng Hong yang duduk di belakang kereta dapat melihat jelas betapa sebetulnya Cui Im hanya melawan seorang saja sedangkan lawan yang tiga orang diborong oleh Song-bun Siu-li. Makin kagumlah hatinya menyaksikan nona baju putih itu.

Tiga rantai tengkorak yang mengepungnya tidak boleh dipandang ringan karena ternyata bahwa naga-naga dari Pak-san itu benar-benar mempunyai kepandaian tinggi, malah jika dibandingkan dengan Thian-te Siang-to murid Pat-jiu Sian-ong, agaknya empat orang ini masih lebih berat. Akan tetapi pecut di tangan Song-bun Siu-li amat lincah gerakannya, menyambar-nyambar dengan suara nyaring seperti halilintar mengamuk dan mengancam kepala tiga orang lawanya.

Asap putih yang mengepul dari mulut empat tengkorak itu adalah hawa beracun. Akan tetapi menghadapi ini, dua orang murid Lam-hai Sin-ni tentu saja memandang rendah karena guru mereka adalah ahli racun nomor satu di dunia ini!

Baik Song-bun Siu-li mau pun Cui Im sudah mengeluarkan sehelai sapu tangan berwarna kuning yang amat harum, lalu menggosok-gosokan sapu tangan masing-masing dengan keras ke hidung dan mulut mereka, kemudian menyimpan kembali sapu tangan itu baru menghadapi lawan tanpa mengkhawatirkan asap beracun.

Biar pun tenaga sinkang-nya belum pulih seluruhnya, akan tetapi ilmu pedang Ang-kiam Tok-sian-li memang hebat, sehingga tidak percuma dia berjulukan si pedang merah, dan kecerdikannya serta kekejamannya membuat dia patut pula dijuluki Tok-sian-li Si Dewi Beracun! Karena tiga orang lawan diborong sumoi-nya dan dia sendiri hanya menghadapi seorang lawan, pedangnya sudah sanggup mengimbangi gulungan sinar rantai, bahkan beberapa kali hampir berhasil melukai lawan, yaitu memapas bagian ujung bajunya dan membuat retak rahang tengkorak.

Keng Hong yang menonton pertandingan itu, duduk dengan hati tegang, juga dia menjadi kagum. Semenjak turun gunung, dia telah menyaksikan pertandingan-pertandingan yang hebat. Sekarang mengikuti pertandingan antara murid-murid orang sakti, murid-murid dua orang datuk dari golongan sesat yang tinggi ilmunya, matanya menjadi kabur.

Gulungan sinar pedang di tangan Cui Im merah dan indah sekali, membentuk lingkaran-lingkaran yang makin lama makin melebar, mengurung gulungan sinar yang dibuat oleh rantai tengkorak lawannya. Ada pun cambuk di tangan Song-bun Siu-li juga telah lenyap bentuknya, yang tampak hanya gulungan sinar hitam yang berkelebatan di angkasa dan mengeluarkan bunyi meledak-meledak keras sekali. Sinar hitam ini dapat menahan rantai tengkorak ketiga orang lawannya yang berusaha keras untuk mengalahkan gadis muda yang namanya sudah amat dikenal di dunia kang-ouw itu.

Mendadak Keng Hong mendapat perasaan aneh dan menengok ke belakang. Alangkah kagetnya pada saat dia melihat bahwa dari arah belakang berindap-indap datang puluhan orang dan jelas sekali mereka berniat untuk menangkapnya.

Mereka adalah anak buah Pak-san Su-liong yang datang menghampirinya dengan sikap mengancam, seperti segerombolan serigala yang hendak menyergap seekor kijang. Keng Hong maklum akan bahayanya apa bila terjatuh ke tangan anak buah Pak-san Kwi-ong. Memang tidak enak juga menjadi tawanan dua orang gadis berhati ganas itu, akan tetapi menjadi tawanan orang-orang kasar ini agaknya akan lebih mengerikan pula.

Kenapa dia tidak membebaskan diri saja? Kalau tadinya dia masih belum membebaskan diri adalah pertama, dia suka melayani permainan asmara Cui Im yang benar-benar telah dinikmatinya dan ke dua, karena dia tertarik dan berterima kasih kepada Song-bun Siu-li yang menyelamatkan nyawanya.

Akan tetapi sekarang, melihat dirinya mulai diperebutkan seperti sebuah benda berharga, Keng Hong menjadi muak dan tiba-tiba timbul keinginannya untuk meloloskan diri selagi ada kesempatan mereka saling gasak itu.

Keng Hong mengerahkan sinkang-nya, mendesak pusat tenaga di pusar lalu menyalurkan hawa sakti yang dia luncurkan ke arah sepasang lengannya, kemudian sekuat tenaga dia merenggut. Tali sutera hitam yang mengikat pergelangan tangannya bukan sembarang tali, kuatnya melebihi kawat baja. Namun tali itu masih tidak dapat menahan sinkang yang tersalur di kedua lengan itu, yang kekuatannya amat luar biasa, seperti tarikan dua buah belalai gajah.

Tali itu mengeluarkan bunyi keras ketika terputus dan bergerak-gerak seperti tubuh ular terputus di atas tanah. Keng Hong hanya merasakan kulit pergelangannya panas. Dia cepat membungkuk dan melepaskan tali sutera putih yang mengikat kakinya. Dia tidak mau memutuskan tali kakinya yang dia tahu adalah sabuk sutera yang dijadikan senjata si nona baju putih, maka setelah tangannya bebas dia melepaskan tali kakinya.

Pada saat itu, empat orang tinggi besar telah menubruk dan menangkapnya, ada yang merangkul kaki, ada yang merangkul pinggangnya, ada yang memegangi tangan dan ada yang memiting leher. Akan tetapi Keng Hong tidak peduli, dia terus bangun dan berjalan mendekati kereta, menyeret empat orang itu yang melekat di tubuhnya seperti lintah. Keng Hong menyendal sabuk putih kemudian berseru kepada Song-bun Siu-li yang sibuk melayani tiga orang musuhnya.

"Song-bun Siu-li! Nih senjatamu, terimalah!"

Dia sudah menggulung sabuk itu dan melemparkannya ke arah gadis berbaju putih yang mengeluarkan suara heran akan tetapi cepat menyambar senjatanya yang istimewa ini dan mengganti cambuknya dengan sabuk putih. Hebat bukan main gerakan Song-bun Siu-li setelah dia kini mainkan sabuk sutera putih itu.

Tampak sinar putih bergulung, sangat tebal menyilaukan mata laksana pelangi berwarna putih perak dan dalam tiga jurus saja sabuknya sudah melibat rantai seorang di antara tiga lawannya dan sekali renggut, rantai itu terlepas dari tangan lawan dan ujung sabuk yang sebelah lagi sudah menotoknya roboh!

Dua orang lawan yang lain menjadi marah dan menerjang lebih dahsyat lagi, akan tetapi dilayani oleh gadis baju putih itu dengan sikap tenang. Setelah kini senjatanya kembali ke tangannya, gadis ini menjadi lebih tenang dan penuh kepercayaannya pada diri sendiri.

Keng Hong masih dikeroyok oleh empat orang tinggi besar yang hendak menawannya, dan sambil berteriak-teriak belasan orang tinggi besar lain merubungnya, siap membantu teman-teman mereka kalau kewalahan. Keadaan Keng Hong seperti seekor jengkrik yang dirubung semut.

Keng Hong menjadi marah dan tidak sabar lagi. Dia mengeluarkan seruan keras sambil menggoyang tubuhnya, gerakannya seperti seekor harimau yang menggoyang tubuhnya sehabis tertimpa air hujan. Terdengar pekik kaget kemudian tubuh empat orang yang tadi menempel di tubuhnya, mencelat ke empat penjuru sampai lima enam meter jauhnya lalu menimpa teman-teman sendiri!

"Tangkap...!"

"Jangan sampai dia lari!"
Orang-orang yang menjadi kaki tangan Pak-san Su-liong itu terus berteriak-teriak sambil mengepung. Mereka ini hanya merupakan segerombolan orang liar yang mengandalkan tenaga, keberanian dan pengalaman bertempur karena orang-orang ini datang dari utara, menjadi anak buah Pak-san Su-liong yang terkenal sebagai pemimpin orang-orang liar di luar tembok besar sebelah utara.

Namun tenaga mereka hanyalah tenaga otot dan tebalnya kulit, tentu saja menghadapi Keng Hong mereka itu tidak banyak artinya. Keng Hong mulai mengamuk untuk mencari kebebasannya. Ia menggunakan kaki dan tangannya, menendang dan memukul.

Para pengeroyok berteriak-teriak kesakitan karena setiap pertemuan kaki tangan mereka dengan kaki tangan Keng Hong pasti mengakibatkan tulang patah dan kulit pecah. Melihat anak buah mereka kocar-kacir, ditambah lagi seorang di antara mereka sudah tertotok roboh, tiga orang di antara Pak-san Su-liong menjadi kacau permainannya.

Apa lagi kini Song-bun Siu-li sudah memegang senjatanya sendiri yang sangat ampuh, maka tiga orang tinggi besar murid-murid Pak-san Kwi-ong itu tidak dapat bertahan lagi. Pedang merah di tangan Cui Im berhasil melukai pundak kiri lawannya, sedangkan kedua ujung sabuk sutera putih di tangan sumoi-nya yang amat lihai itu telah merampas sehelai rantai dan memecut muka seorang lawan lagi sehingga pipinya terluka dan berdarah.

Melihat empat lawannya mundur dan para anak buah mereka pun kocar-kacir dan mulai menjauhi Keng Hong, Song-bun Siu-li cepat berkata dan meloncat mendekati Keng Hong, "Lekas masuk kereta. Kita melanjutkan perjalanan!"

Keng Hong berdiri memandang gadis itu, kemudian menjawab, "Aku tidak mau! Aku ingin melanjutkan perjalananku sendiri, Nona."

"Kau... kau hendak melawanku?" Song-bun Siu-li berkata halus, namun suaranya dingin, dan sabuknya siap di tangan.

"Hati-hati, Sumoi. Dia memiliki tenaga mukjijat!" kata Cui Im yang juga sudah melompat dekat, tidak mempedulikan Pak-san Su-liong yang mulai menolong teman-temannya dan meninggalkan tempat itu karena maklum bahwa mereka tidak mungkin dapat melanjutkan usaha mereka merampas tawanan.

"Cia Keng Hong, lekas kembali ke kereta. Mereka tentu akan datang kembali, dan kalau yang muncul guru mereka Pak-san Kwi-ong, atau guru Thian-te Siang-to tadi yaitu Pat-jiu Sian-ong, kami tidak akan dapat mempertahankan engkau lagi!" berkata pula Song-bun Siu-li, suaranya tetap halus akan tetapi bukan merupakan bujukan, melainkan peringatan.

Keng Hong masih berdiri dengan kedua kaki terpentang, kokoh kuat seperti batu gunung, akan tetapi pakaian pada sebelah belakangnya sudah compang-camping tak karuan. Dia menggeleng kepala dan memandang kedua orang nona itu dengan pandang mata tajam.

"Tidak, aku ingin bebas!"

"Sumoi, hajar mampus saja laki-laki tak berbudi ini!" teriak Cui Im yang sudah melangkah maju dan siap dengan pedang merahnya.

"Tahan, Suci. ibu menghendaki dia hidup-hidup! Ehhh, Keng Hong. Engkau sendiri tadi mengaku bahwa aku telah menyelamatkan jiwamu. Inikah balasanmu? Hendak melawan aku? Beginikah kegagahan murid Sin-jiu Kiam-ong? Kasihan kakek itu yang tentu gelisah di dalam akhirat kalau menyaksikan muridnya yang tak mengenal budi."

Wajah Keng Hong menjadi merah sekali dan dia mengepal tinjunya. "Sudahlah, jangan membawa-bawa nama suhu. Baik, aku mau ikut akan tetapi ingat, hanya untuk menuruti perintahmu sebagai balas jasa atas pertolonganmu. Sesudah bertemu dengan Lam-hai Sin-ni, kuanggap hutangku kepadamu telah lunas!" Setelah berkata demikian Keng Hong lalu berjalan menuju ke kereta.

Cui Im menyenggol lengan sumoi-nya dengan siku sambil menggerakkan muka ke arah Keng Hong yang tampak oleh mereka dari belakang, sambil terkekeh dan berbisik, "Lihat, Sumoi..., hebat tidak dia?"

Gadis baju putih itu memandang dan wajah yang cantik jelita itu seketika menjadi merah sekali. Matanya yang jelita terbelalak pada saat dia melihat ke arah tubuh belakang Keng Hong. Pakaian bagian belakang yang compang-camping dan kulitnya yang penuh debu itu masih tidak dapat menyembunyikan sebuah punggung yang tegak dengan lengkung kuat di bagian bawah seperti terbuat dari pada baja. Bahu yang bidang, pinggang yang kecil dan sepasang pinggul yang bulat membayangkan otot-otot yang dipenuhi tenaga di atas kaki yang kuat.

Cepat-cepat dia memejamkan mata, tidak mau memandang lagi dan mulutnya mencela. "Suci, kau selalu mendahulukan nafsu-nafsumu. Kau tahu aku tidak sudi memperhatikan pria!" Gadis ini membuang muka dan setelah Keng Hong memasuki kereta, barulah dia berkata, "Ambilkan selimut dan suruh dia menutupi tubuh belakangnya secara pantas!"

Cui Im terkekeh dan berlarian ke kereta, mengambil selimut dan melemparnya ke arah Keng Hong.

"Keng Hong, tutupi rapat-rapat badanmu yang sebelah belakang, kau membikin sumoi menjadi jijik, hi-hi-hik!"

Kemudian dia melompat ke atas di sebelah depan dan segera membalapkan empat ekor kuda setelah sumoi-nya pun melompat masuk dan duduk di hadapan Keng Hong dengan sikap tidak acuh.

Dari luar terdengar suara seorang di antara Pak-san Su-liong. "Kalian tunggu saja! Suhu sendiri yang akan merampas tawanan itu!"

Namun dua orang murid Lam-jai Sin-ni ini tidak mempedulikan teriakan mereka dan terus membalapkan kereta ke selatan. Kereta berguncang-guncang, namun Keng Hong duduk anteng, matanya tak pernah terlepas dari wajah gadis di depannya.

Dia menjadi makin kagum. Gadis ini amat lihai ilmu silatnya, juga wataknya jauh berbeda dengan watak Cui Im yang cabul dan senang mengumbar nafsunya. Gadis ini pendiam, bahkan sama sekali tidak pernah memperlihatkan kegembiraan. Betapa pun juga dalam hal kekejaman dan keganasan, gadis baju putih ini mungkin sepuluh kali lebih ganas dari Cui Im, sungguh pun agaknya tidak berwatak licik dan curang seperti suci-nya itu.

Diam-diam dia membuat perbandingan. Yang manakah yang baik di antara kedua orang gadis ini? Cui Im hidup sebagai seorang yang ingin menikmati hidup sebanyaknya, selalu menuruti nafsunya tanpa peduli akan apa pun, hendak meraih sebanyaknya kesenangan dunia tanpa peduli dia akan dicap gadis cabul atau tidak.

Pendeknya segala hal di dunia ini harus diarahkan demi kesenangan diri pribadi. Gadis seperti itu tentu saja tidak memiliki kesetiaan terhadap siapa pun kecuali dirinya sendiri.

Akan tetapi gadis yang jauh lebih muda dan jauh lebih cantik juga lebih lihai yang duduk di depannya ini memiliki type tersendiri dan sukar sekali meraba-raba untuk mempelajari wataknya. Wajah cantik ini seolah-olah memakai kedok dari salju, begitu dingin dan sukar sekali dijenguk isi hatinya karena apa yang terkandung di dalam hati dan pikirannya sama sekali tidak mengubah kulit muka yang halus dan tetap dingin itu.

Tiba-tiba saja muka yang jelita ini bergerak sehingga sepasang mata yang jernih bertemu dengan pandang matanya. Keng Hong terkejut dan tersipu, cepat-cepat dia mengalihkan pandangan matanya, pura-pura melihat pohon-pohon di pinggir jalan.

"Engkau lapar?" Pertanyaan itu pun tiba-tiba dan halus merdu.

Keng Hong mengangguk dan menjawab perlahan, "Haus..."

"Namaku Biauw Eng, dan kau boleh memanggil aku dengan namaku."

Keng Hong terkejut. Eh, kiranya ada juga sikap manis budi pada diri nona aneh ini. Cepat dia mengangkat muka memandang, mengharapkan ada perubahan muka pada nona itu, perubahan muka yang wajar, yang tersenyum seperti halusnya ucapan yang dikeluarkan. Namun dia kecelik, wajah itu tetap dingin dan tenang, sama sekali tidak membayangkan sesuatu kehangatan. Ia menghela napas panjang dan berkata.

"Memang aku lapar, dan terutama sekali haus, Biauw Eng."

Song-bun Siu-li atau yang tadi mengaku bernama Biauw Eng, dengan tenang mengambil sebuah bungkusan dari sebelah belakangnya, di atas tempat duduk kereta itu, membuka bungkusan dan mengeluarkan sebuah roti kering yang besar. Ia mematah-matahkan roti itu, membagi menjadi tiga, lalu memberi sebagian kepada Keng Hong, sebagian lagi dia lemparkan ke arah Cui Im sambil berseru, "Suci, silakan makan!" dan dia sendiri segera memulai makan bagiannya.

Cui Im menggigit roti kering sambil tertawa dan berkata, "Sayang, sumoi. Satu guci arak Ai-ang-ciu (Arak Merah Asmara) telah dihabiskan sekali teguk oleh bocah itu, hi-hi-hik!"

Sepasang alis yang hitam itu berkerut sebentar, tetapi tidak cukup untuk membayangkan bagaimana perasaan Biauw Eng, apakah kecewa, ataukah marah, ataukah perasaan lain lagi. Hanya saja bibirnya yang tadi tertutup ketika dia mengunyah roti di dalam mulut, kini terbuka sedikit mengeluarkan kata-kata.

"Aku masih ada persediaan air minum, jangan khawatir, suci."

Tangan kirinya meraih ke belakang dan gadis ini sudah mengeluarkan sebuah guci yang mengkilap, berwarna putih, terbuat dari pada porselen yang sangat indah. Melihat bahwa Keng Hong paling dulu menghabiskan rotinya, nona ini lalu menyerahkan guci porselen kepadanya sambil berkata,

"Minumlah dulu."

Keng Hong menerima guci itu, memandang kagum lalu bertanya, "Mana cawannya?"

"Hi-hik-hik! Keng Hong, kau selalu bersopan-sopan mencari cawan. Apakah kau khawatir diracuni? Ahh, jangan takut, sumoi selamanya tak sudi main-main dengan racun, lagi pula segala macam racun jika dimasukkan ke dalam guci pusaka itu maka pengaruhnya akan lenyap." Cui Im tertawa-tawa mengejek sehingga muka Keng Hong menjadi merah sekali.

Dia hanya memegangi guci itu dan tidak minum, menunggu sampai nona di hadapannya menghabiskan rotinya. Biauw Eng juga tidak peduli bahwa pemuda itu belum juga minum dari guci.

"Kau minumlah dulu, nona Biauw Eng...," katanya memberikan guci itu.

Sikap nona ini membuat Keng Hong tidak berani untuk menyebut namanya begitu saja, melainkan menaruh sebutan nona di depannya. Nona ini sikapnya seperti seorang puteri istana saja, begitu halus, angkuh namun dingin.

Biauw Eng tidak menjawab, melainkan menerima guci itu, lantas membuka tutupnya dan mengangkat guci ke atas mukanya yang ditengadahkan, lalu dituangnya air dari guci yang memancur memasuki mulutnya yang dingangakan.

Keng Hong menelan ludah, sama sekali bukan karena melihat orang minum atau melihat air yang amat jernih dan segarnya memasuki mulut orang, melainkan melihat mulut yang menggairahkan itu. Mulut yang terbuka, tampak giginya berderet putih, lidah meruncing merah sekali yang bergerak-gerak pada waktu kejatuhan air jernih. Melihat rongga mulut yang segar kemerahan, yang membayangkan kesedapan serta kenikmatan, Keng Hong diam-diam bergidik dan tidak tahu dari mana datangnya perasaan ini yang timbul sejak dia jatuh oleh godaan asmara Cui Im.

Setelah gadis itu menyerahkan guci kepadanya, barulah dia sadar dan cepat menerima guci itu. Akan tetapi sebelum dia minum air itu, dia teringat kepada Cui Im. Keng Hong selama berada di Kun-lun-pai mempelajari tata susila, sopan santun dan telah membaca banyak kitab, maka sifat sopan santun sebenarnya telah meresap di hatinya.

Kini teringat bahwa Cui Im belum minum, meski pun dia kini merasa muak kepada gadis itu sesudah dia mengenal wataknya yang keji dan bahwa bujuk rayu yang sangat mesra pada malam itu bukan timbul dari hati mencinta melainkan sebagai alat membujuk saja, namun dia merasa tidak enak kalau harus mendahului gadis itu minum airnya.

"Kau minumlah dulu," katanya menyerahkan guci.

Cui Im yang duduk di sebelah depan, memutar tubuhnya sambil memandang Keng Hong dengan mata genit, kemudian menerima guci dan terus diteguknya seperti yang dilakukan sumoi-nya tadi. Kemudian ia mengembalikan guci kepada Keng Hong dan ketika pemuda itu menerimanya, sejenak Cui Im membelai tangan pemuda itu dan mencubit lengannya penuh arti sambil terkekeh.

Keng Hong cepat-cepat menarik tangan dan guci itu sambil melirik ke arah Biauw Eng. Namun gadis ini diam saja tidak bergerak-gerak, seolah-olah tidak melihat atau memang tidak peduli akan kecentilan suci-nya. Keng Hong menghilangkan rasa kikuknya dengan menenggak air dari dalam guci dan dia kagum sekali.

Roti kering tadi sangat enaknya, gurih dan agak manis, berbau sedap. Akan tetapi air ini lebih lezat lagi. Memang rasanya air biasa, namun mengandung keharuman buah apel dan amat sejuk dan segar. Tanpa bicara dia mengambilkan guci kepada Biauw Eng yang segera menyimpannya kembali dan berkatalah Biauw Eng,

"Kita perlu menghimpun tenaga karena kurasa masih banyak penghalang di depan."

Sesudah berkata demikian, nona baju putih itu melempangkan punggungnya, kemudian meramkan matanya. Napasnya menjadi semakin lambat sampai akhirnya seperti tidak bernapas lagi. Tahulah Keng Hong bahwa nona ini kembali sudah melatih dirinya dengan semedhi dan ilmu Pi-khi Hoan-hiat.

Ia memandang kagum. Setelah mata itu terpejam, tampak bulu mata yang merapat dan hitam panjang melentik. Jantung Keng Hong berdebar kencang dan cepat dia menekan perasaannya ini. Untuk melawan gelora hatinya dalam menghadapi nona yang luar biasa cantiknya ini, dia pun lalu memejamkan mata menghimpun tenaga.

Untuk apa? Untuk membebaskan diri bila kesempatan muncul, pikirnya. Kalau dia sudah mengikuti nona ini sampai bertemu dengan Lam-hai Sin-ni. Namun, sesudah berhadapan dengan Lam-hai Sin-ni, betapa mungkin dia dapat membebaskan diri? Sedangkan nona Biauw Eng ini saja sudah demikian lihainya dan tak mungkin dapat mengalahkannya, apa lagi ibunya!

Keng Hong diam-diam bergidik ngeri, akan tetapi dia sudah berjanji untuk membalas budi pertolongan nona itu, baru akan membebaskan diri. Hatinya tenteram kembali dan Keng Hong pun segera ‘pulas’ dalam semedhinya walau pun kereta itu melalui jalan yang tidak rata dan berguncang-guncang keras.

Sampai malam tiba, tidak ada lagi rintangan di jalan. Kereta dihentikan di sebuah gunung yang banyak terdapat goa-goanya dari batu. Setelah makan daging kelinci yang ditangkap oleh Cui Im dan minum air gunung, mereka mengaso di luar kereta, di dalam sebuah goa yang agak besar tak jauh dari situ.

Cui Im sudah duduk mendekati Keng Hong, tangannya pun sudah mulai menggerayangi tubuh Keng Hong sedangkan mulutnya membisikkan kata-kata merayu, kadang-kadang hanya mengeluarkan suara seperti seekor kucing memancing belaian.

Akan tetapi Keng Hong tidak mempedulikannya, bahkan menjadi gemas sekali. Ia merasa canggung dan malu sekali karena gadis ini tanpa malu-malu mengajaknya bermain cinta di depan Biauw Eng! Ada pun gadis baju putih itu duduk bersila dan seakan-akan tidak melihat itu semua, tidak mendengar suara merintih-rintih dan meminta-minta yang keluar dari mulut suci-nya.

"Cui Im, kenapa kau tidak bisa diam? Jangan ganggu aku!" akhirnya Keng Hong berkata lirih dan mengibaskan tangan Cui Im.

"Aihh, mengapa engkau berubah, Keng Hong? Setelah berada di depan sumoi yang jauh lebih cantik dariku, engkau pura-pura tidak tahu... hi-hi-hik, masih ingatkah malam mesra itu? Masih terasa olehku, Keng Hong... ahhh..."

"Cui Im, diamlah!" Keng Hong membentak, agak keras karena marah.

Sekarang dia menyesal sekali mengapa malam hari dulu itu dia mau melayani gadis ini. Pengalamannya yang pertama dia hanyutkan begitu saja dengan seorang gadis bermoral bejat seperti ini. Apa bila Cui Im benar-benar mencintanya, dia pun tidak akan menyesal karena dia hanya ingin mengikuti jejak gurunya, melayani cinta kasih setiap wanita yang disukanya. Dan dia memang suka kepada Cui Im seperti rasa sukanya kepada segala yang indah.

Kalau saja Cui Im tidak menggunakan daya tariknya sebagai seorang wanita hanya untuk membujuknya, kalau Cui Im tidak palsu cintanya, tentu dia selamanya akan mengenang pengalamannya dengan Cui Im sebagai kenangan yang manis. Tapi sekarang, dia hanya akan mengenangnya sebagai sebuah kenangan yang memalukan dan menjijikan.

"Suci, jangan ribut. Ada musuh-musuh datang...!" Tiba-tiba Biauw Eng berkata halus.

Kedua orang itu merasa jengah sendiri mengapa mereka ribut-ribut saja sehingga tidak mendengar datangnya ancaman musuh. Pada waktu mereka berdua memandang keluar goa, benar saja, di bawah sinar bintang-bintang yang suram, terlihat berkelebat bayangan belasan orang yang gesit dan ringan.

Bagaikan bayang-bayangan setan, belasan orang itu menerjang kereta dan terdengarlah suara hiruk pikuk, suara senjata-senjata dipukulkan pada kereta sampai kereta itu hancur dan roboh, kudanya pun lari tak karuan. Agaknya orang-orang itu menjadi marah karena mendapatkan kereta itu kosong, kemudian melampiaskan kemarahan mereka pada kereta kosong!

"Kurang ajar! Mereka merusak kereta!" Cui Im berseru marah.

"Tenang, Suci. Mari kita sambut mereka! Dan kau Keng Hong, jangan turut mencampuri urusan kami, kau tinggal saja di sini dan menonton." Sikap Biauw Eng tenang sekali dan kini dia mengajak suci-nya untuk keluar dari goa menyambut belasan orang yang sudah mendengar seruan Cui Im dan kini menyerbu ke arah goa.

Keng Hong hanya duduk bersila di dalam goa, membuka mata memandang bayangan-bayangan itu dan telinganya mendengar suara Biauw Eng yang halus merdu dan tenang.

"Siapa di depan? Mau apa kalian dan mengapa merusak kereta? Di sini Song-bun Siu-li dan Ang-kiam Tok-sian-li!"

Belasan sosok bayangan itu tiba-tiba saja berhenti bergerak, agaknya tertegun dan kaget mendengar nama-nama itu, kemudian terdengar suara.

"Kami empat orang anak murid Hoa-san-pai sedang mewakili suhu-suhu kami Hoa-san Siang-sin-kiam untuk minta diserahkannya tawanan yang bernama Cia Keng Hong!"

Dalam remang-remang tampak oleh Keng Hong bahwa empat orang yang berkelompok itu adalah tiga orang muda dan yang seorang gadis, kesemuanya memegang pedang. Teringat dia akan dua orang tokoh Hoa-san, yaitu Hoa-san Siang-sin-kiam yang bernama Coa Kiu dan Coa Bu, kakak beradik yang hebat ilmu pedangnya itu. Jadi empat orang ini murid-murid mereka? Tentu lihai ilmu silatnya.

"Pinceng bertiga adalah murid-murid Siauw-lim-pai, mentaati perintah ketua kami untuk menangkap Cia Keng Hong!" Tiga orang hwesio gundul Siauw-lim-pai itu masing-masing memegang sebatang toya dan tampaknya mereka itu kuat-kuat.

"Kami sembilan orang adalah murid-murid Kong-thong Ngo-lojin, juga mewakili suhu-suhu kami untuk membawa Cia Keng Hong ke Kong-thong-pai!" Sembilan orang ini pun masih muda-muda dan jika tidak keliru penglihatan Keng Hong di dalam gelap itu, mereka terdiri dari enam orang pemuda dan tiga orang pemudi, dengan senjata bermacam-macam, ada pedang, golok, tombak pendek, ruyung dan cambuk saja.
Diam-diam Keng Hong menjadi gelisah. Bagaimana pun lihainya Cui Im dan Biauw Eng, mana mungkin mereka dapat menang menghadapi pengeroyokan enam belas orang yang semuanya merupakan murid-murid tokoh besar yang sakti?

Akan tetapi, baik Cui Im mau pun Biauw Eng bersikap tenang-tenang saja, bahkan kini terdengar suara Biauw Eng yang halus dan dingin, mengandung ejekan dan tantangan.

"Cia Keng Hong adalah tangkapan yang berada di dalam kekuasaan kami sebagai wakil dari Lam-hai Sin-ni. Tak seorang pun boleh mengganggunya. Kalian ini murid-murid tokoh besar di dunia kang-ouw sungguh tak tahu malu telah merusak kereta kami. Jika memang hendak menggunakan kekerasan, majulah, kami berdua tidak gentar menghadapi kalian!"

"Omitohud, kiranya Song-bun Siu-li masih seorang bocah akan tetapi mulutnya sombong sekali!" bentak seorang murid Siauw-lim-pai.

Dia langsung menerjang maju dengan toyanya, diikuti dua orang sute-nya. Yang lain-lain juga segera berseru keras dan menerjang maju, mengeroyok Cui Im dan Biauw Eng. Dua orang gadis murid Lam-hai Sin-ni mengeluarkan suara melengking tinggi dan tampaklah gulungan sinar pedang merah dari tangan Cui Im yang amat gemilang, disusul gulungan sinar putih dari sabuk sutera Biauw Eng yang lebih gemilang dan lebar lagi. Pertandingan berlangsung dengan seru di malam yang remang-remang itu.

Tingkat kepandaian dua orang murid Lam-hai Sin-ni sesungguhnya lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian murid-murid Siauw-lim-pai, Kong-thong-pai dan Hoa-san-pai itu, apa lagi Biauw Eng. Kiranya kalau hanya menghadapi pengeroyokan lima orang lawan saja, Biauw Eng masih ada harapan untuk menang. Ada pun takaran lawan Cui Im kiranya hanya dua atau paling banyak tiga orang lawan saja.

Jadi bila mereka dikeroyok tujuh atau delapan orang, barulah ramai dan seimbang. Akan tetapi kini yang mengeroyok mereka adalah enam belas orang! Tentu saja kedua orang murid Lam-hai Sin-ni menjadi terdesak hebat sehingga terpaksa mereka itu harus saling bela dengan cara berdiri beradu punggung dan memutar senjata secepat mungkin untuk menangkis hujan senjata yang menimpa mereka.

Sekali ini pun sabuk sutera putih di tangan Biauw Eng berjasa lagi karena sabuk yang panjang itu selain dapat melindungi tubuhnya sendiri, juga dapat membantu suci-nya yang mulai repot. Bahkan beberapa kali Cui Im mengeluarkan teriakan marah pada saat betis kirinya dan pangkal lengan kanannya tercium ujung senjata lawan sehingga walau pun bukan merupakan luka parah, namun cukup merobek baju dan kulit mengeluarkan darah.

"Nona berdua sebaiknya menyerah saja. Kami tidak bermusuhan dengan nona berdua, juga tidak ingin membunuh. Kami hanya ingin menawan Cia Keng Hong karena guru-guru kami mempunyai urusan dengan dia sebagai wakil gurunya yang telah berdosa terhadap partai kami," terdengar seorang pemuda murid Hoa-san-pai berkata nyaring.

"Mulut besar!" Cui Im membentak. "Keng Hong adalah tawanan kami, kalau kalian dapat membunuh kami, baru boleh bicara tentang menawan Keng Hong!"

"Bagus! Memang kaum sesat selalu nekat dan mau menang sendiri!" teriak seorang anak murid Kong-thong-pai dan kepungan lalu diperketat, serangan diperdahsyat sehingga dua orang murid Lam-hai Sin-ni menjadi semakin repot untuk melindungi tubuh mereka dari cengkeraman maut.

Kini cuaca mulai makin terang karena bulan sepotong yang munculnya sudah malam itu mulai memuntahkan sinarnya. Keng Hong yang menyaksikan pertandingan itu menjadi gelisah. Dia maklum bahwa dua orang nona itu sudah pasti akan roboh, kalau tidak tewas sedikitnya tentu terluka hebat.

Dia sedang mempertimbangkan pendiriannya. Harus berpihak yang mana? Pihak enam belas orang itu juga mempunyai pamrih yang sama, yaitu menawannya dan memaksanya menunjukkan tempat simpanan pusaka gurunya seperti juga guru-guru mereka yang dulu memperebutkan Siang-bhok-kiam adalah untuk mencari pusaka gurunya itu.

Sebaliknya, pihak kedua, dua orang murid Lam-hai Sin-ni itu pun sama juga. Jelas bahwa kedua pihak itu tidak ada yang bermaksud baik terhadap dirinya.dan dia merasa kasihan kepada dua orang gadis itu yang dianggapnya berada di pihak yang harus dia bantu.

Dua melawan enam belas. Mana adil? Pula, pantaslah kalau dia kini berpeluk tangan saja menyaksikan gadis itu terancam bahaya? Bagaimana tindakan suhu-nya kalau suhu-nya menjadi dia? Pernah suhu-nya menasehatinya,

"Kalau menolong orang, tolonglah saja berdasarkan perasaan hatimu. Jangan menengok latar belakangnya, jangan melihat keadaannya, jangan pula memperhitungkan urusannya. Apa bila kau merasa kasihan dan ingin menolong, tolonglah tanpa ada perasaan pamrih lainnya. Jika tidak ada rasa kasihan dan ingin menolong seperti itu, lebih baik kau tinggal tidur dan tidak perlu melibatkan diri dengan urusan orang lain."

Keng Hong segera bangkit berdiri. Mingkinkah dia membiarkan saja dua orang gadis itu tewas? Tidak! Biar pun dia tidak suka kepada Cui Im, merasa sebal menyaksikan tingkah laku gadis itu, akan tetapi harus dia akui bahwa dia telah mengalami kesenangan dengan gadis itu dan dia merasa tidak tega kalau melihat Cui Im tewas di ujung senjata banyak lawan yang mengeroyoknya.

Apa lagi terhadap Song-bun Siu-li yang ternyata bernama Biauw Eng. Gadis ini pernah membebaskan dirinya dari kematian di ujung pedang Cui Im. Tentu saja dia tak akan tega membiarkan gadis ini mati dikeroyok.

Keng Hong lalu melompat ke dekat tempat pertempuran, sebelah tangannya memegang sebatang ranting, dan dia berseru, "Cia Keng Hong berada di sini! Siapa yang hendak menangkap aku, majulah! Mengeroyok anak-anak perempuan kecil, apa tidak malu?"

"Keng Hong, tutup mulutmu yang sombong!" Cui Im memaki marah karena dia dikatakan anak perempuan kecil. Juga dia menjadi sangat gelisah karena sekali Keng Hong keluar, terbukalah kesempatan bagi para pengeroyok untuk melarikan pemuda itu.

Benar saja. Mendengar teriakan ini, sebagian besar para pengeroyok meninggalkan dua orang gadis itu dan mengejar Keng Hong! Kini yang mengeroyok Cui Im dan Biauw Eng hanya tinggal enam orang saja, yaitu seorang hwesio Siauw-lim-pai, dua orang murid Hoa-san-pai, dan tiga orang murid Kong-thong-pai. Ada pun yang sepuluh orang sudah berlari dan berebutan menubruk Keng Hong dengan tangan kosong karena mereka ingin menangkap pemuda itu hidup-hidup seperti yang diperintahkan guru masing-masing.

Akan tetapi tubrukan mereka itu disambut sinar yang bergulung-gulung dari ranting yang diputar oleh Keng Hong. Terdengar bunyi plak-plik-pluk pada saat ranting di tangan Keng Hong itu menyabet-nyabet mereka, ada yang terkena pipinya, ada yang terkena lehernya atau lengannya.

Mereka berseru kaget dan cepat meloncat mundur. Tidak mereka sangka bahwa sabetan ranting bisa mendatangkan rasa nyeri yang begitu hebat. Tahulah mereka bahwa murid Sin-jiu Kiam-ong ini tidak boleh dianggap remeh. Sekarang mereka maju lagi dan mulai mengirim pukulan, sungguh pun hal ini masih dilakukan dengan tangan kosong karena mereka ingin menangkapnya hidup-hidup.

Melihat datangnya pukulan-pukulan ini, Keng Hong menggerakkan rantingnya lagi. Tetapi dia merasa kaku sekali untuk memainkan Siang-bhok Kiam-sut dengan ranting itu dalam menghadapi pengeroyokan begini banyak orang.

Hujan pukulan dan cengkeraman itu ada yang dapat ditangkisnya, namun ada pula yang mengenai tubuhnya, bahkan sekarang selimut penutup tubuh belakangnya telah terlepas, bajunya yang kena dicengkeram juga mulai robek-robek. Timbulah kemarahan dalam hati Keng Hong.

"Kalian nekat, ya?!" bentaknya.

Ketika seorang hwesio Siauw-lim yang mempunyai sinkang paling kuat mencengkeram ke arah pundak kirinya dengan ilmu cengkeraman Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Garuda), dia cepat mengulur tangan kanannya memapaki cengkeraman itu hingga kedua telapak tangan itu bertumbukan di udara.

"Plakkk!!"

Hwesio dari Siauw-lim-pai itu terkejut bukan main, merasa betapa lengannya tergetar dan panas. Dia cepat-cepat berusaha menarik kembali tangannya, akan tetapi sia-sia belaka, tangannya sudah melekat dengan tangan pemuda itu dan alangkah kaget hatinya ketika merasa hawa sinkang dari tubuhnya berserabutan keluar dari tubuh melalui tangannya itu, disedot oleh telapak tangan Keng Hong!

Hwesio itu mengeluarkan teriakan-teriakan aneh dan teriakan-teriakan ini segera disusul teriakan-teriakan lain ketika banyak tangan sudah menempel di tubuh Keng Hong tanpa dapat ditarik kembali! Ada enam orang di antara para pengroyok yang sekarang telapak tangannya menempel di tubuh Keng Hong dan sinkang mereka membocor terus disedot oleh tubuh pemuda yang luar biasa ini.

Yang menjadi paling bingung dan juga jengah sekali adalah seorang murid perempuan Kong-thong-pai dan seorang murid perempuan Hoa-san-pai. Mereka ini adalah dua orang gadis muda yang cantik dan gagah. Kini mereka membetot-betot kedua tangan mereka tanpa hasil.

Padahal mereka tadi menyerang dari belakang sehingga tangan salah seorang di antara mereka menempel pada pinggul Keng Hong yang telanjang, sedangkan yang seorang lagi tangannya menempel pada leher pemuda itu. Dilihat begitu saja seolah-olah mereka ini sedang main gila, sedang main raba dan colek terhadap tubuh si pemuda!

Empat orang gagah yang lainnya ternganga keheranan. Akan tetapi sebagai murid-murid orang sakti mereka dapat pula menduga bahwa si pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong tentu menggunakan ilmu siluman sehingga teman-teman mereka melekat seperti itu. Seorang hwesio Siauw-lim-pai segera berkata,

"Kita kumpulkan sinkang, kemudian berbareng kita membetot!" Ia lalu memegang tangan teman-temannya yang belum tersedot sinkang-nya, kemudian mereka lantas memegang pundak mereka yang tersedot dan bersiap-siap mengerahkan kekuatan secara berbareng untuk menarik. Agar dapat menarik berbareng, hwesio itu memberi aba-aba.

"Satu... dua... tiga, tarikkk…!"

Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri rasa hati mereka ketika tiba-tiba saja tangan empat orang yang lain ini pun amblas seperti air dicampurkan ke dalam lautan! Jangan kata menarik teman-teman yang sudah melekat, menarik diri sendiri pun tidak sanggup lagi karena tenaga mereka yang digunakan untuk menarik itu tidak mendapatkan tempat berpijak, melainkan molos mengalir masuk melalui tubuh yang mereka pegang kemudian mengoperkan hawa sinkang ini ke dalam tubuh Keng Hong!

Keng Hong sendiri mulai merasa bingung. Seperti yang pernah dia alami di Kun-lun-pai, kini pun dia merasa betapa tubuhnya kebanjiran hawa sinkang, dadanya serasa hampir meledak-ledak, kepalanya bagai menjadi sebesar gentong beras, terus berdenyut-denyut, matanya merah membelalak dan hampir terloncat keluar dari pelupuknya, seluruh tubuh terasa berdenyutan dan gatal-gatal panas.

Sungguh pun sinkang sepuluh orang ini masih belum menyamai sinkang Kiang Tojin dan beberapa orang sute-nya, namun bagi Keng Hong tetap saja merupakan siksaan yang hebat dan dia sendiri tidak tahu harus berbuat apa untuk melepaskan mereka. Ia maklum bahwa sekali dia mengerahkan tenaga yang mendesak-desak ini untuk mengibas tubuh mereka, akibatnya tentu hebat seperti yang pernah dia lakukan di Kun-lun-san. Tapi pada waktu itu yang dia robohkan hanyalah belasan batang pohon-pohon raksasa.

Sementara itu, setelah kini Cui Im dan Biauw Eng hanya dikeroyok enam orang lawan, mereka sebentar saja dapat merobohkan semua lawan itu. Cui Im merobohkan dua orang dengan pedangnya, ada pun Biauw Eng membuat empat orang lainnya terguling.

Sekarang dua orang gadis itu berdiri melongo memandang Keng Hong yang digelut oleh sepuluh orang! Memang amat aneh pemandangan ini. Keng Hong berdiri dengan tubuh menggigil di tengah-tengah, sedangkan sepuluh orang itu menggeluti tubuhnya, banyak yang diam tanpa bergerak, ada pula yang masih mencoba untuk membetot-betot, namun semuanya tak berhasil sehingga terdengarlah keluhan dan rintihan putus asa keluar dari mulut sepuluh orang itu.

"Itulah, Sumoi. ilmunya yang mukjijat, menyedot sinkang orang seperti yang kuceritakan kepadamu... heiii! Sekarang aku tahu kenapa sebagian besar sinkang-ku lenyap! Kiranya malam itu... dia... dia telah menyedot hawa sakti tubuhku, kurang ajar!" Cui Im memaki.

"Heran benar. Benarkah dia bisa memiliki Thi-khi I-beng? Menurut ibu, di dunia ini tidak ada lagi yang mengerti ilmu itu. Ibu sendiri hanya mengerti sedikit. Bocah ini hebat, Suci. Jika didiamkan saja, sepuluh orang ini tentu akan mati semua dan ibu tidak akan senang apa bila kita menanam bibit permusuhan dengan partai-partai persilatan besar. Hayo kita lepaskan mereka."

"Mana mungkin, sumoi? Jangan-jangan kau akan ikut tersedot! Hiiihhh... ilmu setan yang mengerikan!"

"Aku mengetahui caranya, suci."

"Kau? Kalau begitu subo telah mengajarmu ilmu ini? Ahh, mengapa aku tidak diberi tahu sama sekali?" Cui Im bertanya dengan cara mencela, penuh iri.

"Hanya mengerti cara membebaskannya, sama sekali aku pun tidak tahu akan ilmu ini. Kalau kau menguasainya, alangkah banyaknya orang-orang yang kau sedot habis!"

Biauw Eng segera memunggut cambuk kuda dari atas tanah di dekat kereta yang sudah hancur.

"Kau pergunakan cambuk ini. Jangan sekali-kali pergunakan tanganmu untuk menyentuh mereka. Kalau kau sudah menotok pergelangan tangan Keng Hong, kau gunakan ujung cambuk untuk membetot tangan-tangan yang menempel di tubuhnya. Mengerti?"

Cui Im mengangguk dan mereka cepat menghampiri sebelas orang yang bergelut tanpa bergerak sambil berdiri itu. Biauw Eng kemudian memutar sabuk sutera putihnya ke atas hingga terdengar suara berdetak-detak, lalu kedua ujung sabuk itu menyambar ke depan, tepat menotok pergelangan kedua tangan Keng Hong.

Dan pada saat itu, selagi Keng Hong merasa seolah-olah kedua lengannya lumpuh dan saluran hawa sakti yang membanjir ke tubuhnya terhenti, Cui Im sudah menggerakkan cambuknya melibat tangan-tangan yang menempel pada tubuh Keng Hong lalu membetot sekuatnya.

Dengan menggunakan sabuk suteranya Biauw Eng juga melakukan hal sama sehingga dalam beberapa saat saja sepuluh orang itu telah terjengkang roboh dan sambil mengeluh mereka itu cepat duduk bersila lalu mengatur napas untuk memulihkan, atau setidaknya mendapatkan sedikit tenaga sehingga mereka tidak roboh pingsan terus tewas.

Keng Hong yang sudah terlepas dari pada kebanjiran hawa sinkang, berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang seperti orang mabuk. Dia memang persis seperti orang mabuk arak, bahkan ketika dia berjalan menghampiri Cui Im dan Biauw Eng, dia berjalan dengan dua kaki diseret, seolah-olah kedua kakinya menjadi kaku dan kejang. Kedua lengannya juga tergantung kaku di kanan kiri, matanya yang memandang dua orang gadis itu dikejap-kejapkan karena dalam pandang matanya yang berkunang-kunang, dua orang gadis itu kini berubah menjadi empat!

Keng Hong mengusahakan diri untuk tersenyum dan mengucapkan terima kasih, namun senyumnya berubah menjadi menyeringai menakutkan, dan pandangan matanya menjadi liar sehingga Cui Im dan Biauw Eng yang amat lihai itu pun sampai mudur-mundur akibat ketakutan!

"Heh-heh-heh, terima kasih... terima kasih kepada Ji-wi Siocia (Nona Berdua) yang telah membebaskan diriku dari... hemmm... lintah-lintah itu...!"

Biauw Eng memandang tajam sambil berkata halus, "Keng Hong, kau simpanlah kembali ilmumu menyedot sinkang itu."

Keng Hong menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak bisa... tidak bisa..., disimpan bagai mana? Tubuhku terlalu penuh... dadaku terasa sakit, kepalaku mau meledak..., tenaga ini, mendorong-dorongku... ahhh...!"

Keng Hong memegangi kepalanya dan memejamkan kedua matanya. Ingin dia memukul, menendang, ingin dia merobohkan apa saja, dan keinginan ini timbul secara serentak, mendesak kepadanya menjadi seorang liar yang memuaskan nafsu untuk merobohkan dan membunuh apa saja.

Enam belas orang yang telah terluka semua itu, akan tetapi tidak ada yang tewas karena kedua orang gadis itu memang tidak bermaksud membunuh mereka agar supaya jangan mendatangkan bibit permusuhan, kini juga memandang ke arah Keng Hong dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.

Keadaan pemuda itu memang menyeramkan. Tidak saja mukanya menjadi merah seperti udang direbus, dan matanya jelalatan seperti mata setan, akan tetapi bahkan rambut di kepalanya bagai berdiri satu-satu. Tanpa disadari dan dimengerti oleh Keng Hong sendiri, setelah sekarang tidak ada sinkang orang lain yang membanjiri tubuhnya, otomatis daya sedotnya lenyap dan kini sebaliknya berubah menjadi daya serang yang amat luar biasa.

Memang sebetulnya ketika Sin-jiu Kiam-ong mengoper sinkang-nya kepada Keng Hong, kakek ini tak sempat lagi untuk memberi pelajaran tentang cara menguasai sinkang yang kelebihan di dalam tubuh muridnya. Karena paksaan ini, terjadilah salah susunan salah kerja sehingga sinkang yang membanjiri ke dalam tubuh pemuda itu menjadi liar, ibarat ia ditampung tanpa ada pintu untuk memasukkan dan mengeluarkan, datangnya membanjir secara liar.

Jika saja Keng Hong telah dapat mengusai dirinya sendiri, tentu dia akan dapat mengatur hingga hawa yang masuk dapat disesuaikan dengan tempatnya, dan dapat pula mengatur bagaimana untuk membuka pintu dan menyalurkan sinkang dalam penggunaan hawa itu sesuai dengan keperluannya.

Kini, sesudah secara liar hawa sinkang membanjiri masuk, keadaannya menjadi terbalik. Pintu masuk tertutup dan pintu keluar sukar dibuka apa bila tidak dipaksa dengan pukulan dan tendangan, tidak dipaksa untuk bertanding! Maka hawa itu pun mendesak-desak dan membuat tubuhnya seperti sebuah balon karet yang terlalu penuh diisi hawa, siap untuk meletus setiap saat...
Selanjutnya,

Pedang Kayu Harum Jilid 05

Pedang Kayu Harum Jilid 05
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Cui Im tidak bicara lagi, hanya terdengar dia ketawa dan mencambuk empat ekor kuda itu sehingga jalannya kereta makin kencang. Kembali Keng Hong tergoncang-goncang, akan tetapi dia segera dapat mengerahkan sinkang-nya dan kini dia duduk diam tidak bergerak seperti nona di depannya.

Mulailah nona itu memandangnya, dan sungguh pun mulutnya tidak menyatakan sesuatu, akan tetapi pandang matanya penuh pengertian bahwa pemuda di depannya ini memiliki sinkang yang hebat.

"Nona, jangan perhatikan omongan Cui... ehhh, dia itu. Aku sama sekali tidak membujuk rayu, Nona, melainkan hendak bertanya kenapa setelah Nona menyelamatkan nyawaku, kini malah menawanku."

"Ibuku yang menyuruhku, aku hanya pelaksana saja," jawabnya sederhana. "Dan jangan mengira aku sudi menolongmu. Apa bila tidak ingin memenuhi perintah ibu, biar suci mau membunuh seribu orang macam engkau, aku tidak akan peduli."

Wahhh, pahit benar ucapan ini, pikir Keng Hong. Akan tetapi tak mungkin dia bisa marah menghadapi seorang gadis seperti ini. "Ibumu? Siapakah dia, Nona?"

"Lam-hai Sin-ni!"

"Ohhhh...!" Tadinya Keng Hong mengira bahwa sebagai sumoi dari Cui Im tentu nona ini merupakan murid ke dua Lam-hai Sin-ni. Kiranya bukan hanya muridnya, malah puterinya! Pantas saja, biar pun disebut sumoi oleh Cui Im, akan tetapi nona ini memiliki tingkat ilmu kepandaian yang lebih tinggi dan juga disegani oleh suci-nya itu.

"Kau sudah mengenal nama ibuku?"

"Sudah, Nona, Ibumu adalah datuk pertama dari Bu-tek Su-kwi, bukan?"

"Hemm, kau hanya mendengar saja dari suci tentu."

"Aku sudah pernah bertemu dengan tiga orang dari Bu-tek Su-kwi yang semuanya kalah oleh suhu."

"Hemm..., sombong! Kalau bertemu ibu, suhu-mu akan mampus sampai seratus kali."

"Nona, bolehkah aku mengetahui namamu?"

Alis yang indah itu terangkat, mata yang bagus itu mengeluarkan sinar berapi dan mulut yang segar itu membentak, "Kau...! Selain hidung belang, juga ceriwis sekali!"

"Hi-hi-hik, Sumoi. Tidak benarkah kata-kataku bahwa dia pandai merayu?"

"Suci, berhenti dulu!"

Kereta berhenti secara tiba-tiba dan hal ini saja membuktikan betapa pandainya Cui Im menguasai empat ekor kuda yg menarik kereta, dan betapa kuat kedua lengan yang kecil itu. Alis nona baju putih itu masih berdiri ketika dia melolos sabuknya yang putih panjang, lalu tanpa banyak cakap dia mengikat kedua kaki Keng Hong dengan ujung sabuk dan setelah itu dia melempar tubuh pemuda itu ke belakang kereta!

"Jalan terus, Suci!"

"Hi-hi-hik-hik, agaknya engkau pun tidak tahan terhadap rayuannya, sumoi. Hati-hatilah..., engkau sama sekali belum berpengalaman."

"Diam, suci!" bentak gadis itu sambil merenggut, dan kereta dijalankan cepat oleh Cui Im yang terkekeh-kekeh.

Kini tubuh Keng Hong yang rebah terlentang di belakang kereta, diseret di atas tanah berbatu! Kedua tangannya dibelenggu, kedua kakinya diikat ujung sabuk, ada pun ujung sabuk lainnya oleh gadis itu diikatkan pada tiang kereta. Sabuk itu cukup panjang hingga tubuh Keng Hong terpisah empat meter dari kereta.

Pemuda ini cepat-cepat mengerahkan sinkang untuk melindungi tubuh belakangnya yang terseret. Apa bila tidak kuat sinkang-nya, tentu kulit tubuh belakangnya akan habis babak bundas. Biar pun kini hawa sakti di tubuhnya melindungi kulitnya, akan tetapi tidak dapat melindungi pakaiannya sehingga sebentar saja habislah pakaiannya di bagian belakang, compang-camping tidak karuan.

Diam-diam Keng Hong mengutuk, "Wah, gadis setan! Dua orang gadis itu benar-benar seperti iblis-iblis betina, sungguh pun kekejian mereka itu agak berbeda. Cui Im cabul dan pengejar kepuasan hawa nafsu, sebaliknya sumoi-nya ini alim dan pendiam, akan tetapi keduanya mempunyai kekejaman yang sama. Bahkan boleh jadi gadis baju putih ini lebih kejam lagi."

Keng Hong yang rebah terlentang dan terseret di belakang kereta sekarang dapat melihat keadaan di kanan kiri kereta sampai jauh di depan. Mereka sedang melalui jalan sunyi di pegunungan, jauh dari dusun-dusun. Diam-diam dia berpikir dan ingin sekali mengetahui apakah dua orang gadis iblis itu akan tetap menyeretnya seperti ini kalau melalui dusun dan kota? Apakah mereka akan membiarkan dia terseret dan menjadi tontonan? Tentu penguasa setempat akan turun tangan kalau melihat peristiwa ini, akan tetapi penguasa manakah yang sanggup melarang dua orang gadis iblis itu?

Tiba-tiba Keng Hong melihat di depan sebelah kiri muncul dua orang penunggang kuda, yakni dua orang laki-laki tinggi besar berusia lima puluh tahun yang menghadang kereta dengan senjata golok di tangan, memberi isyarat dengan tangan agar kereta dihentikan. Cui Im menghentikan kereta itu dan memandang dengan alis berkerut marah.

"Kalian ini mau apakah? Apakah perampok-perampok buta?"

"Hemm, Ang-kiam Tok-sian-li! Masih berpura-pura tidak mengenal kami Thian-te Siang-to (Sepasang Golok Bumi Langit)? Kami memenuhi perintah suhu untuk minta tawananmu, murid Sin-jiu Kiam-ong. Memandang muka suhu kami, harap kau suka mengalah kepada kami!" Jawaban ini keluar dari mulut kakek yang sebelah kiri.

Setelah kini berhadapan, barulah Cui Im melihat jelas betapa muka kedua orang kakek itu serupa benar. Teringatlah dia akan murid kembar dari Pat-jiu Sian-ong, maka dia tertawa mengejek.

"Hi-hi-hik, jangan hanya kalian Thian-te Siang-to yang maju meminta tawanan, walau pun gurumu sendiri yang datang takkan kuberikan. Kalian mau apa?"

"Hah, Ang-kiam Tok-sian-li! Kami masih memandang muka gurumu maka masih bicara dengan baik-baik, akan tetapi engkau sombong. Turunlah dan mari kita lihat siapa yang lebih unggul di antara kita. Yang unggul berhak membawa pergi murid Sian-jiu Kiam-ong!"

"Bagus, kalian sudah bosan hidup!"

Cui Im meloncat turun dari kereta sambil mencabut pedang merahnya. Akan tetapi begitu meloncat dan menerjang, Cui Im mengeluh karena dia baru teringat akan keadaannya, akan tenaga sinkang yang sebagian besar telah lenyap semenjak malam tadi dia bermain cinta dengan Keng Hong. Apa lagi sekarang yang dihadapinya adalah dua orang murid Pat-jiu Sian-ong yang merupakan seorang di antara empat datuk Bu-tek Su-kwi!

Kalau dalam keadaan normal sekali pun, tak mungkin ia dapat menangkan pengeroyokan dua orang ini dan mungkin hanya akan sanggup mengalahkan seorang di antara mereka. Akan tetapi sekarang, dengan sinkang-nya habis setengahnya lebih, melawan seorang di antara mereka sekali pun dia tak akan menang.

Keng Hong yang sekarang sudah bangkit duduk karena kereta itu tidak menyeretnya lagi, melihat betapa Cui Im sedang terdesak hebat oleh dua orang laki-laki bersenjata golok yang menggunakan julukan Sepasang Golok Bumi Langit itu. Untung bahwa pedang Cui Im benar-benar hebat, kalau tidak, tentu dalam beberapa gebrakan saja ia akan roboh.

Cui Im mainkan pedangnya secepat mungkin, dan biar pun dia sama sekali tidak mampu melakukan serangan balasan, namun dia masih mampu mempertahankan dirinya dengan gerakan pedang dan juga sambil mengelak ke sana ke mari. Dia sudah terdesak hebat dan menurut taksiran Keng Hong, tidak sampai sepuluh jurus lagi gadis itu tentu akan roboh.

"Sumoi, tidak lekas membantuku kau menunggu apa lagi?" Cui Im yang repot itu akhirnya berteriak-teriak.

Keng Hong hanya melihat muili (tirai) kereta itu tersingkap dari dalam, lantas berkelebat segulung cahaya putih berturut-turut dua kali. Cahaya ini menyebar ke arah kedua orang kakek yang mendesak Cui Im.

Mereka cepat menangkis dengan pedang, namun mereka segera berteriak kesakitan dan meloncat ke belakang. Ternyata pangkal lengan kedua orang kakek itu sudah terluka dan mengeluarkan darah. Yang melukai mereka ialah dua butir bola putih yang permukannya halus namun mempunyai duri-duri runcing dan pada saat dua bola tadi berhasil ditangkis, bola itu tidak runtuh ke atas tanah melainkan melesat dan melukai lengan mereka.

Pada waktu dua orang kakek itu melihat wajah ayu yang tersembul keluar dari balik tirai, mereka terkejut dan cepat menjura ke arah kereta.

"Kiranya Song-bun Siu-li (Gadis Cantik Berkabung) juga turut hadir di sini. Maafkan atas kelancangan kami!" Sesudah berkata demikian, kakek kembar itu lalu membalikkan tubuh dan berlari pergi.

"Heiii, kembalilah! Mari kita bertanding sampai seribu jurus! Belum bolong dadamu sudah lari, pengecut!" Cui Im berteriak-teriak menantang.

"Suci, jalan terus!" terdengar gadis baju putih yang kini julukannya telah dikenal oleh Keng Hong berkata halus.

Kereta berjalan lagi amat kencangnya, dan terpaksa Keng Hong kembali merebahkan diri telentang lagi, diseret-seret kereta. Ia bergidik bila mengingat julukan gadis baju putih itu. Song-bun Siu-li (Gadis Cantik Berkabung). Mengapa berkabung? Pantas saja pakaiannya serba putih, bahkan senjatanya yang lihai, sabuk yang kini mengikat kedua kakinya, juga putih dan senjata rahasia yang berbentuk bola itu pun putih!

"Cepatlah, suci. Setelah murid-murid Pat-jiu Siang-ong muncul, kurasa yang lainnya akan muncul pula."

"Untung kau berada di sini, sumoi, kalau tidak... wah berabe juga. Aku... aku kehilangan sebagian besar sinkang di tubuhku karena... bocah setan itu!"

"Apa? Mengapa dan bagaimana?" Song-bun Siu-li bertanya heran.

"Benar, tenagaku disedot habis olehnya. Keparat! Setelah malam tadi, entah bagaimana aku pun tidak tahu. Dia memang hebat, aku sampai lupa diri dan aku... tersedot habis... uhhh..."

"Suci, diam! Kau tahu aku tidak sudi mendengarkan omongan-omonganmu yang cabul!"

Kereta berjalan terus lebih cepat lagi. Keng Hong tertegun mendengar omongan mereka itu. Dia sendiri pun tidak tahu mengapa Cui Im menjadi lemah. Tersedot olehnya? Ia lalu teringat akan peristiwa di Kun-lun-san, di mana tanpa dia sadari dia pun telah menyedot sinkang dari Kiang Tojin dan tosu-tosu lain.

Akan tetapi pada saat itu dia menghadapi pukulan sinkang yang amat berat. Sedangkan malam tadi dengan Cui Im... ahhh… dia tetap tidak mengerti.

Diam-diam dia kagumi Song-bun Siu-li. Betapa lihai gadis muda itu. Hanya dengan dua butir bola saja dia mampu mengusir murid-murid Pat-jiu Sian-ong yang dia lihat tadi amat lihai ilmu goloknya.

Lewat tengah hari, ketika matahari mulai condong ke barat, mereka tiba di sebuah hutan dan jauh di depan menjulang tinggi pegunungan yang rupanya banyak dusun-dusunnya karena dari jauh sudah nampak genteng-genteng rumah yang kemerahan.

Keng Hong yang diseret kereta mulai merasa tersiksa karena selain haus dan lapar, juga debu yang mengebul dari roda-roda kereta itu seolah-olah dilemparkan semua padanya, membuat rambut dan alisnya menjadi putih, juga mukanya menjadi putih semua. Untuk bernapas pun terasa sukar di dalam kepulan debu yang tebal ini.

Tiba-tiba Cui Im berseru nyaring dan tangan kirinya menyabar dua batang anak panah yang menyambarnya. Hebat kepandaian ini dan diam-diam Keng Hong yang melihat itu menjadi kagum.

"Jalan terus, suci. Biarkan aku yang melayani mereka!" berkata Song-bun Siu-li dengan suara dingin.

Kini berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu gadis itu sudah berdiri di atap kereta, lalu minta pinjam cambuk kuda yang masih dipegang oleh Cui Im. Cambuk ini cukup panjang dan dengan tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanannya memegang gagang cambuk, Song-bun Siu-li berdiri dengan gagah tanpa bergerak, hanya matanya saja yang menatap tajam ke depan.

Tiba-tiba dari arah kiri menyambar tiga batang anak panah, sebuah ke arah Cui Im dan yang ke dua ke arah Song-bun Siu-li dan anak panah yang datang menyambar sekali ini, walau pun warnanya juga hitam seperti tadi, namun mengandung kecepatan dan tenaga dahsyat sehingga mengeluarkan bunyi mendesing.

Cui Im tidak mempedulikan datangnya anak panah yang menyerangnya, melainkan tetap mencurahkan seluruh perhatian kepada kendali empat ekor kuda yang dipegangnya dan dibalapkannya dengan cepat. Dia sudah percaya penuh akan penjagaan sumoi-nya dan kepercayaan ini pun tidak sia-sia. Terdengar suara cambuk meledak-ledak, dan... tiga batang anak panah itu sudah kena digulung dan dibelit ujung cambuk.

Keng Hong melongo melihat itu dan dia lebih terbelalak lagi ketika nona baju putih itu menggerakkan cambuknya, membuat tiga batang anak panah meluncur ke arah kiri dan... terdengar jerit-jerit mengerikan yang lantas disusul dengan terjungkalnya tubuh tiga orang yang tadi bersembunyi di balik batang pohon. Kiranya nona baju putih yang lihai sekali itu telah meretour anak panah kepada pemiliknya masing-masing dan secara kontan keras telah membalas mereka!

Tiba-tiba terdengarlah suara keras yang bergema di seluruh hutan itu, seolah-olah suara raksasa yang sakit, padahal suara itu merupakan suara banyak orang yang mengucapkan sebuah kalimat secara berbareng, "Atas perintah Pak-san Kwi-ong, kami mohon tawanan putera Sin-jiu Kiam-ong ditinggalkan di hutan ini!"

"Suci, berhenti sebentar," kata Song-bun Siu-li dengan suara halus.

Kereta berhenti dan kini tampaklah puluhan orang, sedikitnya ada tiga puluh orang yang mengurung kereta itu dalam jarak lima puluh meter. Mereka itu tadinya bersembunyi di balik pohon-pohon dan di dalam gerombolan-gerombolan semak.

Terdengar suara Song-bun Siu-li yang berdiri di atas kereta dengan cambuk di tangan, suaranya masih tetap halus merdu, namun kini dikerahkan dengan penggunaan tenaga khikang sehingga menjadi nyaring dan bergema lebih dahsyat dari pada suara banyak orang tadi.

"Murid Sin-jiu Kiam-ong menjadi tawanan Lam-hai Sin-ni! Di sini ada Song-bun Siu-li dan Ang-kiam Tok-sian-li yang melindunginya, siapa pun tidak boleh mengganggu tawanan!"

Keng Hong yang kini sudah duduk di atas tanah, diam-diam memandang dengan hati geli. Dia tidak tahu siapakah adanya banyak orang-orang laki-laki yang tinggi besar dan kelihatan galak-galak itu, akan tetapi yang dia tahu adalah bahwa dia dijadikan rebutan! Dijadikan rebutan di antara para tokoh kang-ouw, bukan tokoh-tokoh kaum bersih seperti ketika gurunya dulu dikepung di Kiam-kok-san, melainkan tokoh-tokoh hitam yang amat lihai.

Namun, baik tokoh bersih mau pun tokoh sesat, semua memiliki pamrih yang sama yaitu menghendaki Siang-bhok-kiam dan warisan mendiang suhu-nya. Kini timbullah keinginan hatinya untuk mencari serta mendapatkan pusaka peninggalan suhu-nya. Apa bila semua tokoh kang-ouw menginginkan pusaka itu, sudah barang tentu pusaka itu amat berharga dan penting.

Sesudah mendengar disebutnya nama Song-bun Siu-li, kini para pengurung itu menjadi ragu-ragu dan mereka terdiam, kemudian muncul empat orang tinggi besar yang usianya sudah empat puluh tahun lebih. Di tangan masing-masing memegang sehelai rantai baja yang digantungi sebuah tengkorak manusia!

Melihat rantai dengan tengkorak itu teringatlah Keng Hong akan kakek tinggi besar yang berkulit hitam arang, yang matanya putih, telinganya seperti telinga gajah dan badannya berbulu, yaitu Pak-san Kwi-ong. Senjata kakek itu pun berupa seutas rantai besar dengan dua buah tengkorak pada kedua ujungnya. Hanya bedanya, rantai empat orang laki-laki ini hanya bertengkorak satu.

"Kami Pak-san Su-liong (Empat Naga Pegunungan Utara), jauh-jauh datang melakukan perintah suhu. Mengingat akan sahabat segolongan, biarlah kami menyampaikan salam suhu kepada Ji-wi Siocia (Nona Berdua) untuk disampaikan kepada Lam-hai Sin-ni dan salam kami sendiri kepada Ji-wi. Kemudian, mengingat akan persahabatan, harap Ji-wi luluskan kami meminjam sebentar tawanan itu."

"Hi-hi-hik-hik! Enak saja membuka mulut!" Cui Im tertawa mengejek. "Kami yang susah payah menawan, tapi kalian yang hendak memboyong. Aturan mana ini? Lebih baik kalian pergi dari sini dan sampaikan kepada Pak-san Kwi-ong bahwa apa bila dia menghendaki tawanan, biarlah dia mencoba merampasnya dari tangan guruku!"

"Suci, tidak perlu banyak bicara melayani mereka. Pak-san Su-liong harap tahu diri dan jangan mengganggu kami. Betapa pun juga, kami tak akan menyerahkan tawanan!" kata gadis baju putih sambil menudingkan telunjuknya ke arah empat orang tinggi besar itu.

"Hemm, kalau begitu, terpaksa kami akan menguji kepandaian Ji-wi, apakah cukup patut menjadi pengawal tawanan penting!"

"Bagus, majulah!" Song-bun Siu-li dan Ang-kiam Tok-sian-li sudah meloncat turun.

Tenaga sinkang Cui Im masih belum normal, belum pulih seperti biasa, akan tetapi tidak selemah tadi karena di sepanjang jalan gadis ini telah melatih napas untuk menghimpun tenaganya yang tercecer. Dia masih dapat mengandalkan ilmu pedangnya yang memang hebat dan pedang merahnya yang ampuh. Ada pun gadis baju putih itu sudah memutar cambuknya sehingga terdengar bunyi ledakan-ledakan nyaring.

Empat orang tinggi besar itu menyambut kedua orang nona ini dengan sambaran rantai mereka dan terdengarlah suara bersiutan, tanda bahwa mereka itu memiliki tenaga besar sekali dan dari mulut tengkorak-tengkorak itu kadang-kadang mengebul asap putih yang beracun!

Pertandingan dua lawan empat ini berlangsung seru, akan tetapi Keng Hong yang duduk di belakang kereta dapat melihat jelas betapa sebetulnya Cui Im hanya melawan seorang saja sedangkan lawan yang tiga orang diborong oleh Song-bun Siu-li. Makin kagumlah hatinya menyaksikan nona baju putih itu.

Tiga rantai tengkorak yang mengepungnya tidak boleh dipandang ringan karena ternyata bahwa naga-naga dari Pak-san itu benar-benar mempunyai kepandaian tinggi, malah jika dibandingkan dengan Thian-te Siang-to murid Pat-jiu Sian-ong, agaknya empat orang ini masih lebih berat. Akan tetapi pecut di tangan Song-bun Siu-li amat lincah gerakannya, menyambar-nyambar dengan suara nyaring seperti halilintar mengamuk dan mengancam kepala tiga orang lawanya.

Asap putih yang mengepul dari mulut empat tengkorak itu adalah hawa beracun. Akan tetapi menghadapi ini, dua orang murid Lam-hai Sin-ni tentu saja memandang rendah karena guru mereka adalah ahli racun nomor satu di dunia ini!

Baik Song-bun Siu-li mau pun Cui Im sudah mengeluarkan sehelai sapu tangan berwarna kuning yang amat harum, lalu menggosok-gosokan sapu tangan masing-masing dengan keras ke hidung dan mulut mereka, kemudian menyimpan kembali sapu tangan itu baru menghadapi lawan tanpa mengkhawatirkan asap beracun.

Biar pun tenaga sinkang-nya belum pulih seluruhnya, akan tetapi ilmu pedang Ang-kiam Tok-sian-li memang hebat, sehingga tidak percuma dia berjulukan si pedang merah, dan kecerdikannya serta kekejamannya membuat dia patut pula dijuluki Tok-sian-li Si Dewi Beracun! Karena tiga orang lawan diborong sumoi-nya dan dia sendiri hanya menghadapi seorang lawan, pedangnya sudah sanggup mengimbangi gulungan sinar rantai, bahkan beberapa kali hampir berhasil melukai lawan, yaitu memapas bagian ujung bajunya dan membuat retak rahang tengkorak.

Keng Hong yang menonton pertandingan itu, duduk dengan hati tegang, juga dia menjadi kagum. Semenjak turun gunung, dia telah menyaksikan pertandingan-pertandingan yang hebat. Sekarang mengikuti pertandingan antara murid-murid orang sakti, murid-murid dua orang datuk dari golongan sesat yang tinggi ilmunya, matanya menjadi kabur.

Gulungan sinar pedang di tangan Cui Im merah dan indah sekali, membentuk lingkaran-lingkaran yang makin lama makin melebar, mengurung gulungan sinar yang dibuat oleh rantai tengkorak lawannya. Ada pun cambuk di tangan Song-bun Siu-li juga telah lenyap bentuknya, yang tampak hanya gulungan sinar hitam yang berkelebatan di angkasa dan mengeluarkan bunyi meledak-meledak keras sekali. Sinar hitam ini dapat menahan rantai tengkorak ketiga orang lawannya yang berusaha keras untuk mengalahkan gadis muda yang namanya sudah amat dikenal di dunia kang-ouw itu.

Mendadak Keng Hong mendapat perasaan aneh dan menengok ke belakang. Alangkah kagetnya pada saat dia melihat bahwa dari arah belakang berindap-indap datang puluhan orang dan jelas sekali mereka berniat untuk menangkapnya.

Mereka adalah anak buah Pak-san Su-liong yang datang menghampirinya dengan sikap mengancam, seperti segerombolan serigala yang hendak menyergap seekor kijang. Keng Hong maklum akan bahayanya apa bila terjatuh ke tangan anak buah Pak-san Kwi-ong. Memang tidak enak juga menjadi tawanan dua orang gadis berhati ganas itu, akan tetapi menjadi tawanan orang-orang kasar ini agaknya akan lebih mengerikan pula.

Kenapa dia tidak membebaskan diri saja? Kalau tadinya dia masih belum membebaskan diri adalah pertama, dia suka melayani permainan asmara Cui Im yang benar-benar telah dinikmatinya dan ke dua, karena dia tertarik dan berterima kasih kepada Song-bun Siu-li yang menyelamatkan nyawanya.

Akan tetapi sekarang, melihat dirinya mulai diperebutkan seperti sebuah benda berharga, Keng Hong menjadi muak dan tiba-tiba timbul keinginannya untuk meloloskan diri selagi ada kesempatan mereka saling gasak itu.

Keng Hong mengerahkan sinkang-nya, mendesak pusat tenaga di pusar lalu menyalurkan hawa sakti yang dia luncurkan ke arah sepasang lengannya, kemudian sekuat tenaga dia merenggut. Tali sutera hitam yang mengikat pergelangan tangannya bukan sembarang tali, kuatnya melebihi kawat baja. Namun tali itu masih tidak dapat menahan sinkang yang tersalur di kedua lengan itu, yang kekuatannya amat luar biasa, seperti tarikan dua buah belalai gajah.

Tali itu mengeluarkan bunyi keras ketika terputus dan bergerak-gerak seperti tubuh ular terputus di atas tanah. Keng Hong hanya merasakan kulit pergelangannya panas. Dia cepat membungkuk dan melepaskan tali sutera putih yang mengikat kakinya. Dia tidak mau memutuskan tali kakinya yang dia tahu adalah sabuk sutera yang dijadikan senjata si nona baju putih, maka setelah tangannya bebas dia melepaskan tali kakinya.

Pada saat itu, empat orang tinggi besar telah menubruk dan menangkapnya, ada yang merangkul kaki, ada yang merangkul pinggangnya, ada yang memegangi tangan dan ada yang memiting leher. Akan tetapi Keng Hong tidak peduli, dia terus bangun dan berjalan mendekati kereta, menyeret empat orang itu yang melekat di tubuhnya seperti lintah. Keng Hong menyendal sabuk putih kemudian berseru kepada Song-bun Siu-li yang sibuk melayani tiga orang musuhnya.

"Song-bun Siu-li! Nih senjatamu, terimalah!"

Dia sudah menggulung sabuk itu dan melemparkannya ke arah gadis berbaju putih yang mengeluarkan suara heran akan tetapi cepat menyambar senjatanya yang istimewa ini dan mengganti cambuknya dengan sabuk putih. Hebat bukan main gerakan Song-bun Siu-li setelah dia kini mainkan sabuk sutera putih itu.

Tampak sinar putih bergulung, sangat tebal menyilaukan mata laksana pelangi berwarna putih perak dan dalam tiga jurus saja sabuknya sudah melibat rantai seorang di antara tiga lawannya dan sekali renggut, rantai itu terlepas dari tangan lawan dan ujung sabuk yang sebelah lagi sudah menotoknya roboh!

Dua orang lawan yang lain menjadi marah dan menerjang lebih dahsyat lagi, akan tetapi dilayani oleh gadis baju putih itu dengan sikap tenang. Setelah kini senjatanya kembali ke tangannya, gadis ini menjadi lebih tenang dan penuh kepercayaannya pada diri sendiri.

Keng Hong masih dikeroyok oleh empat orang tinggi besar yang hendak menawannya, dan sambil berteriak-teriak belasan orang tinggi besar lain merubungnya, siap membantu teman-teman mereka kalau kewalahan. Keadaan Keng Hong seperti seekor jengkrik yang dirubung semut.

Keng Hong menjadi marah dan tidak sabar lagi. Dia mengeluarkan seruan keras sambil menggoyang tubuhnya, gerakannya seperti seekor harimau yang menggoyang tubuhnya sehabis tertimpa air hujan. Terdengar pekik kaget kemudian tubuh empat orang yang tadi menempel di tubuhnya, mencelat ke empat penjuru sampai lima enam meter jauhnya lalu menimpa teman-teman sendiri!

"Tangkap...!"

"Jangan sampai dia lari!"
Orang-orang yang menjadi kaki tangan Pak-san Su-liong itu terus berteriak-teriak sambil mengepung. Mereka ini hanya merupakan segerombolan orang liar yang mengandalkan tenaga, keberanian dan pengalaman bertempur karena orang-orang ini datang dari utara, menjadi anak buah Pak-san Su-liong yang terkenal sebagai pemimpin orang-orang liar di luar tembok besar sebelah utara.

Namun tenaga mereka hanyalah tenaga otot dan tebalnya kulit, tentu saja menghadapi Keng Hong mereka itu tidak banyak artinya. Keng Hong mulai mengamuk untuk mencari kebebasannya. Ia menggunakan kaki dan tangannya, menendang dan memukul.

Para pengeroyok berteriak-teriak kesakitan karena setiap pertemuan kaki tangan mereka dengan kaki tangan Keng Hong pasti mengakibatkan tulang patah dan kulit pecah. Melihat anak buah mereka kocar-kacir, ditambah lagi seorang di antara mereka sudah tertotok roboh, tiga orang di antara Pak-san Su-liong menjadi kacau permainannya.

Apa lagi kini Song-bun Siu-li sudah memegang senjatanya sendiri yang sangat ampuh, maka tiga orang tinggi besar murid-murid Pak-san Kwi-ong itu tidak dapat bertahan lagi. Pedang merah di tangan Cui Im berhasil melukai pundak kiri lawannya, sedangkan kedua ujung sabuk sutera putih di tangan sumoi-nya yang amat lihai itu telah merampas sehelai rantai dan memecut muka seorang lawan lagi sehingga pipinya terluka dan berdarah.

Melihat empat lawannya mundur dan para anak buah mereka pun kocar-kacir dan mulai menjauhi Keng Hong, Song-bun Siu-li cepat berkata dan meloncat mendekati Keng Hong, "Lekas masuk kereta. Kita melanjutkan perjalanan!"

Keng Hong berdiri memandang gadis itu, kemudian menjawab, "Aku tidak mau! Aku ingin melanjutkan perjalananku sendiri, Nona."

"Kau... kau hendak melawanku?" Song-bun Siu-li berkata halus, namun suaranya dingin, dan sabuknya siap di tangan.

"Hati-hati, Sumoi. Dia memiliki tenaga mukjijat!" kata Cui Im yang juga sudah melompat dekat, tidak mempedulikan Pak-san Su-liong yang mulai menolong teman-temannya dan meninggalkan tempat itu karena maklum bahwa mereka tidak mungkin dapat melanjutkan usaha mereka merampas tawanan.

"Cia Keng Hong, lekas kembali ke kereta. Mereka tentu akan datang kembali, dan kalau yang muncul guru mereka Pak-san Kwi-ong, atau guru Thian-te Siang-to tadi yaitu Pat-jiu Sian-ong, kami tidak akan dapat mempertahankan engkau lagi!" berkata pula Song-bun Siu-li, suaranya tetap halus akan tetapi bukan merupakan bujukan, melainkan peringatan.

Keng Hong masih berdiri dengan kedua kaki terpentang, kokoh kuat seperti batu gunung, akan tetapi pakaian pada sebelah belakangnya sudah compang-camping tak karuan. Dia menggeleng kepala dan memandang kedua orang nona itu dengan pandang mata tajam.

"Tidak, aku ingin bebas!"

"Sumoi, hajar mampus saja laki-laki tak berbudi ini!" teriak Cui Im yang sudah melangkah maju dan siap dengan pedang merahnya.

"Tahan, Suci. ibu menghendaki dia hidup-hidup! Ehhh, Keng Hong. Engkau sendiri tadi mengaku bahwa aku telah menyelamatkan jiwamu. Inikah balasanmu? Hendak melawan aku? Beginikah kegagahan murid Sin-jiu Kiam-ong? Kasihan kakek itu yang tentu gelisah di dalam akhirat kalau menyaksikan muridnya yang tak mengenal budi."

Wajah Keng Hong menjadi merah sekali dan dia mengepal tinjunya. "Sudahlah, jangan membawa-bawa nama suhu. Baik, aku mau ikut akan tetapi ingat, hanya untuk menuruti perintahmu sebagai balas jasa atas pertolonganmu. Sesudah bertemu dengan Lam-hai Sin-ni, kuanggap hutangku kepadamu telah lunas!" Setelah berkata demikian Keng Hong lalu berjalan menuju ke kereta.

Cui Im menyenggol lengan sumoi-nya dengan siku sambil menggerakkan muka ke arah Keng Hong yang tampak oleh mereka dari belakang, sambil terkekeh dan berbisik, "Lihat, Sumoi..., hebat tidak dia?"

Gadis baju putih itu memandang dan wajah yang cantik jelita itu seketika menjadi merah sekali. Matanya yang jelita terbelalak pada saat dia melihat ke arah tubuh belakang Keng Hong. Pakaian bagian belakang yang compang-camping dan kulitnya yang penuh debu itu masih tidak dapat menyembunyikan sebuah punggung yang tegak dengan lengkung kuat di bagian bawah seperti terbuat dari pada baja. Bahu yang bidang, pinggang yang kecil dan sepasang pinggul yang bulat membayangkan otot-otot yang dipenuhi tenaga di atas kaki yang kuat.

Cepat-cepat dia memejamkan mata, tidak mau memandang lagi dan mulutnya mencela. "Suci, kau selalu mendahulukan nafsu-nafsumu. Kau tahu aku tidak sudi memperhatikan pria!" Gadis ini membuang muka dan setelah Keng Hong memasuki kereta, barulah dia berkata, "Ambilkan selimut dan suruh dia menutupi tubuh belakangnya secara pantas!"

Cui Im terkekeh dan berlarian ke kereta, mengambil selimut dan melemparnya ke arah Keng Hong.

"Keng Hong, tutupi rapat-rapat badanmu yang sebelah belakang, kau membikin sumoi menjadi jijik, hi-hi-hik!"

Kemudian dia melompat ke atas di sebelah depan dan segera membalapkan empat ekor kuda setelah sumoi-nya pun melompat masuk dan duduk di hadapan Keng Hong dengan sikap tidak acuh.

Dari luar terdengar suara seorang di antara Pak-san Su-liong. "Kalian tunggu saja! Suhu sendiri yang akan merampas tawanan itu!"

Namun dua orang murid Lam-jai Sin-ni ini tidak mempedulikan teriakan mereka dan terus membalapkan kereta ke selatan. Kereta berguncang-guncang, namun Keng Hong duduk anteng, matanya tak pernah terlepas dari wajah gadis di depannya.

Dia menjadi makin kagum. Gadis ini amat lihai ilmu silatnya, juga wataknya jauh berbeda dengan watak Cui Im yang cabul dan senang mengumbar nafsunya. Gadis ini pendiam, bahkan sama sekali tidak pernah memperlihatkan kegembiraan. Betapa pun juga dalam hal kekejaman dan keganasan, gadis baju putih ini mungkin sepuluh kali lebih ganas dari Cui Im, sungguh pun agaknya tidak berwatak licik dan curang seperti suci-nya itu.

Diam-diam dia membuat perbandingan. Yang manakah yang baik di antara kedua orang gadis ini? Cui Im hidup sebagai seorang yang ingin menikmati hidup sebanyaknya, selalu menuruti nafsunya tanpa peduli akan apa pun, hendak meraih sebanyaknya kesenangan dunia tanpa peduli dia akan dicap gadis cabul atau tidak.

Pendeknya segala hal di dunia ini harus diarahkan demi kesenangan diri pribadi. Gadis seperti itu tentu saja tidak memiliki kesetiaan terhadap siapa pun kecuali dirinya sendiri.

Akan tetapi gadis yang jauh lebih muda dan jauh lebih cantik juga lebih lihai yang duduk di depannya ini memiliki type tersendiri dan sukar sekali meraba-raba untuk mempelajari wataknya. Wajah cantik ini seolah-olah memakai kedok dari salju, begitu dingin dan sukar sekali dijenguk isi hatinya karena apa yang terkandung di dalam hati dan pikirannya sama sekali tidak mengubah kulit muka yang halus dan tetap dingin itu.

Tiba-tiba saja muka yang jelita ini bergerak sehingga sepasang mata yang jernih bertemu dengan pandang matanya. Keng Hong terkejut dan tersipu, cepat-cepat dia mengalihkan pandangan matanya, pura-pura melihat pohon-pohon di pinggir jalan.

"Engkau lapar?" Pertanyaan itu pun tiba-tiba dan halus merdu.

Keng Hong mengangguk dan menjawab perlahan, "Haus..."

"Namaku Biauw Eng, dan kau boleh memanggil aku dengan namaku."

Keng Hong terkejut. Eh, kiranya ada juga sikap manis budi pada diri nona aneh ini. Cepat dia mengangkat muka memandang, mengharapkan ada perubahan muka pada nona itu, perubahan muka yang wajar, yang tersenyum seperti halusnya ucapan yang dikeluarkan. Namun dia kecelik, wajah itu tetap dingin dan tenang, sama sekali tidak membayangkan sesuatu kehangatan. Ia menghela napas panjang dan berkata.

"Memang aku lapar, dan terutama sekali haus, Biauw Eng."

Song-bun Siu-li atau yang tadi mengaku bernama Biauw Eng, dengan tenang mengambil sebuah bungkusan dari sebelah belakangnya, di atas tempat duduk kereta itu, membuka bungkusan dan mengeluarkan sebuah roti kering yang besar. Ia mematah-matahkan roti itu, membagi menjadi tiga, lalu memberi sebagian kepada Keng Hong, sebagian lagi dia lemparkan ke arah Cui Im sambil berseru, "Suci, silakan makan!" dan dia sendiri segera memulai makan bagiannya.

Cui Im menggigit roti kering sambil tertawa dan berkata, "Sayang, sumoi. Satu guci arak Ai-ang-ciu (Arak Merah Asmara) telah dihabiskan sekali teguk oleh bocah itu, hi-hi-hik!"

Sepasang alis yang hitam itu berkerut sebentar, tetapi tidak cukup untuk membayangkan bagaimana perasaan Biauw Eng, apakah kecewa, ataukah marah, ataukah perasaan lain lagi. Hanya saja bibirnya yang tadi tertutup ketika dia mengunyah roti di dalam mulut, kini terbuka sedikit mengeluarkan kata-kata.

"Aku masih ada persediaan air minum, jangan khawatir, suci."

Tangan kirinya meraih ke belakang dan gadis ini sudah mengeluarkan sebuah guci yang mengkilap, berwarna putih, terbuat dari pada porselen yang sangat indah. Melihat bahwa Keng Hong paling dulu menghabiskan rotinya, nona ini lalu menyerahkan guci porselen kepadanya sambil berkata,

"Minumlah dulu."

Keng Hong menerima guci itu, memandang kagum lalu bertanya, "Mana cawannya?"

"Hi-hik-hik! Keng Hong, kau selalu bersopan-sopan mencari cawan. Apakah kau khawatir diracuni? Ahh, jangan takut, sumoi selamanya tak sudi main-main dengan racun, lagi pula segala macam racun jika dimasukkan ke dalam guci pusaka itu maka pengaruhnya akan lenyap." Cui Im tertawa-tawa mengejek sehingga muka Keng Hong menjadi merah sekali.

Dia hanya memegangi guci itu dan tidak minum, menunggu sampai nona di hadapannya menghabiskan rotinya. Biauw Eng juga tidak peduli bahwa pemuda itu belum juga minum dari guci.

"Kau minumlah dulu, nona Biauw Eng...," katanya memberikan guci itu.

Sikap nona ini membuat Keng Hong tidak berani untuk menyebut namanya begitu saja, melainkan menaruh sebutan nona di depannya. Nona ini sikapnya seperti seorang puteri istana saja, begitu halus, angkuh namun dingin.

Biauw Eng tidak menjawab, melainkan menerima guci itu, lantas membuka tutupnya dan mengangkat guci ke atas mukanya yang ditengadahkan, lalu dituangnya air dari guci yang memancur memasuki mulutnya yang dingangakan.

Keng Hong menelan ludah, sama sekali bukan karena melihat orang minum atau melihat air yang amat jernih dan segarnya memasuki mulut orang, melainkan melihat mulut yang menggairahkan itu. Mulut yang terbuka, tampak giginya berderet putih, lidah meruncing merah sekali yang bergerak-gerak pada waktu kejatuhan air jernih. Melihat rongga mulut yang segar kemerahan, yang membayangkan kesedapan serta kenikmatan, Keng Hong diam-diam bergidik dan tidak tahu dari mana datangnya perasaan ini yang timbul sejak dia jatuh oleh godaan asmara Cui Im.

Setelah gadis itu menyerahkan guci kepadanya, barulah dia sadar dan cepat menerima guci itu. Akan tetapi sebelum dia minum air itu, dia teringat kepada Cui Im. Keng Hong selama berada di Kun-lun-pai mempelajari tata susila, sopan santun dan telah membaca banyak kitab, maka sifat sopan santun sebenarnya telah meresap di hatinya.

Kini teringat bahwa Cui Im belum minum, meski pun dia kini merasa muak kepada gadis itu sesudah dia mengenal wataknya yang keji dan bahwa bujuk rayu yang sangat mesra pada malam itu bukan timbul dari hati mencinta melainkan sebagai alat membujuk saja, namun dia merasa tidak enak kalau harus mendahului gadis itu minum airnya.

"Kau minumlah dulu," katanya menyerahkan guci.

Cui Im yang duduk di sebelah depan, memutar tubuhnya sambil memandang Keng Hong dengan mata genit, kemudian menerima guci dan terus diteguknya seperti yang dilakukan sumoi-nya tadi. Kemudian ia mengembalikan guci kepada Keng Hong dan ketika pemuda itu menerimanya, sejenak Cui Im membelai tangan pemuda itu dan mencubit lengannya penuh arti sambil terkekeh.

Keng Hong cepat-cepat menarik tangan dan guci itu sambil melirik ke arah Biauw Eng. Namun gadis ini diam saja tidak bergerak-gerak, seolah-olah tidak melihat atau memang tidak peduli akan kecentilan suci-nya. Keng Hong menghilangkan rasa kikuknya dengan menenggak air dari dalam guci dan dia kagum sekali.

Roti kering tadi sangat enaknya, gurih dan agak manis, berbau sedap. Akan tetapi air ini lebih lezat lagi. Memang rasanya air biasa, namun mengandung keharuman buah apel dan amat sejuk dan segar. Tanpa bicara dia mengambilkan guci kepada Biauw Eng yang segera menyimpannya kembali dan berkatalah Biauw Eng,

"Kita perlu menghimpun tenaga karena kurasa masih banyak penghalang di depan."

Sesudah berkata demikian, nona baju putih itu melempangkan punggungnya, kemudian meramkan matanya. Napasnya menjadi semakin lambat sampai akhirnya seperti tidak bernapas lagi. Tahulah Keng Hong bahwa nona ini kembali sudah melatih dirinya dengan semedhi dan ilmu Pi-khi Hoan-hiat.

Ia memandang kagum. Setelah mata itu terpejam, tampak bulu mata yang merapat dan hitam panjang melentik. Jantung Keng Hong berdebar kencang dan cepat dia menekan perasaannya ini. Untuk melawan gelora hatinya dalam menghadapi nona yang luar biasa cantiknya ini, dia pun lalu memejamkan mata menghimpun tenaga.

Untuk apa? Untuk membebaskan diri bila kesempatan muncul, pikirnya. Kalau dia sudah mengikuti nona ini sampai bertemu dengan Lam-hai Sin-ni. Namun, sesudah berhadapan dengan Lam-hai Sin-ni, betapa mungkin dia dapat membebaskan diri? Sedangkan nona Biauw Eng ini saja sudah demikian lihainya dan tak mungkin dapat mengalahkannya, apa lagi ibunya!

Keng Hong diam-diam bergidik ngeri, akan tetapi dia sudah berjanji untuk membalas budi pertolongan nona itu, baru akan membebaskan diri. Hatinya tenteram kembali dan Keng Hong pun segera ‘pulas’ dalam semedhinya walau pun kereta itu melalui jalan yang tidak rata dan berguncang-guncang keras.

Sampai malam tiba, tidak ada lagi rintangan di jalan. Kereta dihentikan di sebuah gunung yang banyak terdapat goa-goanya dari batu. Setelah makan daging kelinci yang ditangkap oleh Cui Im dan minum air gunung, mereka mengaso di luar kereta, di dalam sebuah goa yang agak besar tak jauh dari situ.

Cui Im sudah duduk mendekati Keng Hong, tangannya pun sudah mulai menggerayangi tubuh Keng Hong sedangkan mulutnya membisikkan kata-kata merayu, kadang-kadang hanya mengeluarkan suara seperti seekor kucing memancing belaian.

Akan tetapi Keng Hong tidak mempedulikannya, bahkan menjadi gemas sekali. Ia merasa canggung dan malu sekali karena gadis ini tanpa malu-malu mengajaknya bermain cinta di depan Biauw Eng! Ada pun gadis baju putih itu duduk bersila dan seakan-akan tidak melihat itu semua, tidak mendengar suara merintih-rintih dan meminta-minta yang keluar dari mulut suci-nya.

"Cui Im, kenapa kau tidak bisa diam? Jangan ganggu aku!" akhirnya Keng Hong berkata lirih dan mengibaskan tangan Cui Im.

"Aihh, mengapa engkau berubah, Keng Hong? Setelah berada di depan sumoi yang jauh lebih cantik dariku, engkau pura-pura tidak tahu... hi-hi-hik, masih ingatkah malam mesra itu? Masih terasa olehku, Keng Hong... ahhh..."

"Cui Im, diamlah!" Keng Hong membentak, agak keras karena marah.

Sekarang dia menyesal sekali mengapa malam hari dulu itu dia mau melayani gadis ini. Pengalamannya yang pertama dia hanyutkan begitu saja dengan seorang gadis bermoral bejat seperti ini. Apa bila Cui Im benar-benar mencintanya, dia pun tidak akan menyesal karena dia hanya ingin mengikuti jejak gurunya, melayani cinta kasih setiap wanita yang disukanya. Dan dia memang suka kepada Cui Im seperti rasa sukanya kepada segala yang indah.

Kalau saja Cui Im tidak menggunakan daya tariknya sebagai seorang wanita hanya untuk membujuknya, kalau Cui Im tidak palsu cintanya, tentu dia selamanya akan mengenang pengalamannya dengan Cui Im sebagai kenangan yang manis. Tapi sekarang, dia hanya akan mengenangnya sebagai sebuah kenangan yang memalukan dan menjijikan.

"Suci, jangan ribut. Ada musuh-musuh datang...!" Tiba-tiba Biauw Eng berkata halus.

Kedua orang itu merasa jengah sendiri mengapa mereka ribut-ribut saja sehingga tidak mendengar datangnya ancaman musuh. Pada waktu mereka berdua memandang keluar goa, benar saja, di bawah sinar bintang-bintang yang suram, terlihat berkelebat bayangan belasan orang yang gesit dan ringan.

Bagaikan bayang-bayangan setan, belasan orang itu menerjang kereta dan terdengarlah suara hiruk pikuk, suara senjata-senjata dipukulkan pada kereta sampai kereta itu hancur dan roboh, kudanya pun lari tak karuan. Agaknya orang-orang itu menjadi marah karena mendapatkan kereta itu kosong, kemudian melampiaskan kemarahan mereka pada kereta kosong!

"Kurang ajar! Mereka merusak kereta!" Cui Im berseru marah.

"Tenang, Suci. Mari kita sambut mereka! Dan kau Keng Hong, jangan turut mencampuri urusan kami, kau tinggal saja di sini dan menonton." Sikap Biauw Eng tenang sekali dan kini dia mengajak suci-nya untuk keluar dari goa menyambut belasan orang yang sudah mendengar seruan Cui Im dan kini menyerbu ke arah goa.

Keng Hong hanya duduk bersila di dalam goa, membuka mata memandang bayangan-bayangan itu dan telinganya mendengar suara Biauw Eng yang halus merdu dan tenang.

"Siapa di depan? Mau apa kalian dan mengapa merusak kereta? Di sini Song-bun Siu-li dan Ang-kiam Tok-sian-li!"

Belasan sosok bayangan itu tiba-tiba saja berhenti bergerak, agaknya tertegun dan kaget mendengar nama-nama itu, kemudian terdengar suara.

"Kami empat orang anak murid Hoa-san-pai sedang mewakili suhu-suhu kami Hoa-san Siang-sin-kiam untuk minta diserahkannya tawanan yang bernama Cia Keng Hong!"

Dalam remang-remang tampak oleh Keng Hong bahwa empat orang yang berkelompok itu adalah tiga orang muda dan yang seorang gadis, kesemuanya memegang pedang. Teringat dia akan dua orang tokoh Hoa-san, yaitu Hoa-san Siang-sin-kiam yang bernama Coa Kiu dan Coa Bu, kakak beradik yang hebat ilmu pedangnya itu. Jadi empat orang ini murid-murid mereka? Tentu lihai ilmu silatnya.

"Pinceng bertiga adalah murid-murid Siauw-lim-pai, mentaati perintah ketua kami untuk menangkap Cia Keng Hong!" Tiga orang hwesio gundul Siauw-lim-pai itu masing-masing memegang sebatang toya dan tampaknya mereka itu kuat-kuat.

"Kami sembilan orang adalah murid-murid Kong-thong Ngo-lojin, juga mewakili suhu-suhu kami untuk membawa Cia Keng Hong ke Kong-thong-pai!" Sembilan orang ini pun masih muda-muda dan jika tidak keliru penglihatan Keng Hong di dalam gelap itu, mereka terdiri dari enam orang pemuda dan tiga orang pemudi, dengan senjata bermacam-macam, ada pedang, golok, tombak pendek, ruyung dan cambuk saja.
Diam-diam Keng Hong menjadi gelisah. Bagaimana pun lihainya Cui Im dan Biauw Eng, mana mungkin mereka dapat menang menghadapi pengeroyokan enam belas orang yang semuanya merupakan murid-murid tokoh besar yang sakti?

Akan tetapi, baik Cui Im mau pun Biauw Eng bersikap tenang-tenang saja, bahkan kini terdengar suara Biauw Eng yang halus dan dingin, mengandung ejekan dan tantangan.

"Cia Keng Hong adalah tangkapan yang berada di dalam kekuasaan kami sebagai wakil dari Lam-hai Sin-ni. Tak seorang pun boleh mengganggunya. Kalian ini murid-murid tokoh besar di dunia kang-ouw sungguh tak tahu malu telah merusak kereta kami. Jika memang hendak menggunakan kekerasan, majulah, kami berdua tidak gentar menghadapi kalian!"

"Omitohud, kiranya Song-bun Siu-li masih seorang bocah akan tetapi mulutnya sombong sekali!" bentak seorang murid Siauw-lim-pai.

Dia langsung menerjang maju dengan toyanya, diikuti dua orang sute-nya. Yang lain-lain juga segera berseru keras dan menerjang maju, mengeroyok Cui Im dan Biauw Eng. Dua orang gadis murid Lam-hai Sin-ni mengeluarkan suara melengking tinggi dan tampaklah gulungan sinar pedang merah dari tangan Cui Im yang amat gemilang, disusul gulungan sinar putih dari sabuk sutera Biauw Eng yang lebih gemilang dan lebar lagi. Pertandingan berlangsung dengan seru di malam yang remang-remang itu.

Tingkat kepandaian dua orang murid Lam-hai Sin-ni sesungguhnya lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian murid-murid Siauw-lim-pai, Kong-thong-pai dan Hoa-san-pai itu, apa lagi Biauw Eng. Kiranya kalau hanya menghadapi pengeroyokan lima orang lawan saja, Biauw Eng masih ada harapan untuk menang. Ada pun takaran lawan Cui Im kiranya hanya dua atau paling banyak tiga orang lawan saja.

Jadi bila mereka dikeroyok tujuh atau delapan orang, barulah ramai dan seimbang. Akan tetapi kini yang mengeroyok mereka adalah enam belas orang! Tentu saja kedua orang murid Lam-hai Sin-ni menjadi terdesak hebat sehingga terpaksa mereka itu harus saling bela dengan cara berdiri beradu punggung dan memutar senjata secepat mungkin untuk menangkis hujan senjata yang menimpa mereka.

Sekali ini pun sabuk sutera putih di tangan Biauw Eng berjasa lagi karena sabuk yang panjang itu selain dapat melindungi tubuhnya sendiri, juga dapat membantu suci-nya yang mulai repot. Bahkan beberapa kali Cui Im mengeluarkan teriakan marah pada saat betis kirinya dan pangkal lengan kanannya tercium ujung senjata lawan sehingga walau pun bukan merupakan luka parah, namun cukup merobek baju dan kulit mengeluarkan darah.

"Nona berdua sebaiknya menyerah saja. Kami tidak bermusuhan dengan nona berdua, juga tidak ingin membunuh. Kami hanya ingin menawan Cia Keng Hong karena guru-guru kami mempunyai urusan dengan dia sebagai wakil gurunya yang telah berdosa terhadap partai kami," terdengar seorang pemuda murid Hoa-san-pai berkata nyaring.

"Mulut besar!" Cui Im membentak. "Keng Hong adalah tawanan kami, kalau kalian dapat membunuh kami, baru boleh bicara tentang menawan Keng Hong!"

"Bagus! Memang kaum sesat selalu nekat dan mau menang sendiri!" teriak seorang anak murid Kong-thong-pai dan kepungan lalu diperketat, serangan diperdahsyat sehingga dua orang murid Lam-hai Sin-ni menjadi semakin repot untuk melindungi tubuh mereka dari cengkeraman maut.

Kini cuaca mulai makin terang karena bulan sepotong yang munculnya sudah malam itu mulai memuntahkan sinarnya. Keng Hong yang menyaksikan pertandingan itu menjadi gelisah. Dia maklum bahwa dua orang nona itu sudah pasti akan roboh, kalau tidak tewas sedikitnya tentu terluka hebat.

Dia sedang mempertimbangkan pendiriannya. Harus berpihak yang mana? Pihak enam belas orang itu juga mempunyai pamrih yang sama, yaitu menawannya dan memaksanya menunjukkan tempat simpanan pusaka gurunya seperti juga guru-guru mereka yang dulu memperebutkan Siang-bhok-kiam adalah untuk mencari pusaka gurunya itu.

Sebaliknya, pihak kedua, dua orang murid Lam-hai Sin-ni itu pun sama juga. Jelas bahwa kedua pihak itu tidak ada yang bermaksud baik terhadap dirinya.dan dia merasa kasihan kepada dua orang gadis itu yang dianggapnya berada di pihak yang harus dia bantu.

Dua melawan enam belas. Mana adil? Pula, pantaslah kalau dia kini berpeluk tangan saja menyaksikan gadis itu terancam bahaya? Bagaimana tindakan suhu-nya kalau suhu-nya menjadi dia? Pernah suhu-nya menasehatinya,

"Kalau menolong orang, tolonglah saja berdasarkan perasaan hatimu. Jangan menengok latar belakangnya, jangan melihat keadaannya, jangan pula memperhitungkan urusannya. Apa bila kau merasa kasihan dan ingin menolong, tolonglah tanpa ada perasaan pamrih lainnya. Jika tidak ada rasa kasihan dan ingin menolong seperti itu, lebih baik kau tinggal tidur dan tidak perlu melibatkan diri dengan urusan orang lain."

Keng Hong segera bangkit berdiri. Mingkinkah dia membiarkan saja dua orang gadis itu tewas? Tidak! Biar pun dia tidak suka kepada Cui Im, merasa sebal menyaksikan tingkah laku gadis itu, akan tetapi harus dia akui bahwa dia telah mengalami kesenangan dengan gadis itu dan dia merasa tidak tega kalau melihat Cui Im tewas di ujung senjata banyak lawan yang mengeroyoknya.

Apa lagi terhadap Song-bun Siu-li yang ternyata bernama Biauw Eng. Gadis ini pernah membebaskan dirinya dari kematian di ujung pedang Cui Im. Tentu saja dia tak akan tega membiarkan gadis ini mati dikeroyok.

Keng Hong lalu melompat ke dekat tempat pertempuran, sebelah tangannya memegang sebatang ranting, dan dia berseru, "Cia Keng Hong berada di sini! Siapa yang hendak menangkap aku, majulah! Mengeroyok anak-anak perempuan kecil, apa tidak malu?"

"Keng Hong, tutup mulutmu yang sombong!" Cui Im memaki marah karena dia dikatakan anak perempuan kecil. Juga dia menjadi sangat gelisah karena sekali Keng Hong keluar, terbukalah kesempatan bagi para pengeroyok untuk melarikan pemuda itu.

Benar saja. Mendengar teriakan ini, sebagian besar para pengeroyok meninggalkan dua orang gadis itu dan mengejar Keng Hong! Kini yang mengeroyok Cui Im dan Biauw Eng hanya tinggal enam orang saja, yaitu seorang hwesio Siauw-lim-pai, dua orang murid Hoa-san-pai, dan tiga orang murid Kong-thong-pai. Ada pun yang sepuluh orang sudah berlari dan berebutan menubruk Keng Hong dengan tangan kosong karena mereka ingin menangkap pemuda itu hidup-hidup seperti yang diperintahkan guru masing-masing.

Akan tetapi tubrukan mereka itu disambut sinar yang bergulung-gulung dari ranting yang diputar oleh Keng Hong. Terdengar bunyi plak-plik-pluk pada saat ranting di tangan Keng Hong itu menyabet-nyabet mereka, ada yang terkena pipinya, ada yang terkena lehernya atau lengannya.

Mereka berseru kaget dan cepat meloncat mundur. Tidak mereka sangka bahwa sabetan ranting bisa mendatangkan rasa nyeri yang begitu hebat. Tahulah mereka bahwa murid Sin-jiu Kiam-ong ini tidak boleh dianggap remeh. Sekarang mereka maju lagi dan mulai mengirim pukulan, sungguh pun hal ini masih dilakukan dengan tangan kosong karena mereka ingin menangkapnya hidup-hidup.

Melihat datangnya pukulan-pukulan ini, Keng Hong menggerakkan rantingnya lagi. Tetapi dia merasa kaku sekali untuk memainkan Siang-bhok Kiam-sut dengan ranting itu dalam menghadapi pengeroyokan begini banyak orang.

Hujan pukulan dan cengkeraman itu ada yang dapat ditangkisnya, namun ada pula yang mengenai tubuhnya, bahkan sekarang selimut penutup tubuh belakangnya telah terlepas, bajunya yang kena dicengkeram juga mulai robek-robek. Timbulah kemarahan dalam hati Keng Hong.

"Kalian nekat, ya?!" bentaknya.

Ketika seorang hwesio Siauw-lim yang mempunyai sinkang paling kuat mencengkeram ke arah pundak kirinya dengan ilmu cengkeraman Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Garuda), dia cepat mengulur tangan kanannya memapaki cengkeraman itu hingga kedua telapak tangan itu bertumbukan di udara.

"Plakkk!!"

Hwesio dari Siauw-lim-pai itu terkejut bukan main, merasa betapa lengannya tergetar dan panas. Dia cepat-cepat berusaha menarik kembali tangannya, akan tetapi sia-sia belaka, tangannya sudah melekat dengan tangan pemuda itu dan alangkah kaget hatinya ketika merasa hawa sinkang dari tubuhnya berserabutan keluar dari tubuh melalui tangannya itu, disedot oleh telapak tangan Keng Hong!

Hwesio itu mengeluarkan teriakan-teriakan aneh dan teriakan-teriakan ini segera disusul teriakan-teriakan lain ketika banyak tangan sudah menempel di tubuh Keng Hong tanpa dapat ditarik kembali! Ada enam orang di antara para pengroyok yang sekarang telapak tangannya menempel di tubuh Keng Hong dan sinkang mereka membocor terus disedot oleh tubuh pemuda yang luar biasa ini.

Yang menjadi paling bingung dan juga jengah sekali adalah seorang murid perempuan Kong-thong-pai dan seorang murid perempuan Hoa-san-pai. Mereka ini adalah dua orang gadis muda yang cantik dan gagah. Kini mereka membetot-betot kedua tangan mereka tanpa hasil.

Padahal mereka tadi menyerang dari belakang sehingga tangan salah seorang di antara mereka menempel pada pinggul Keng Hong yang telanjang, sedangkan yang seorang lagi tangannya menempel pada leher pemuda itu. Dilihat begitu saja seolah-olah mereka ini sedang main gila, sedang main raba dan colek terhadap tubuh si pemuda!

Empat orang gagah yang lainnya ternganga keheranan. Akan tetapi sebagai murid-murid orang sakti mereka dapat pula menduga bahwa si pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong tentu menggunakan ilmu siluman sehingga teman-teman mereka melekat seperti itu. Seorang hwesio Siauw-lim-pai segera berkata,

"Kita kumpulkan sinkang, kemudian berbareng kita membetot!" Ia lalu memegang tangan teman-temannya yang belum tersedot sinkang-nya, kemudian mereka lantas memegang pundak mereka yang tersedot dan bersiap-siap mengerahkan kekuatan secara berbareng untuk menarik. Agar dapat menarik berbareng, hwesio itu memberi aba-aba.

"Satu... dua... tiga, tarikkk…!"

Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri rasa hati mereka ketika tiba-tiba saja tangan empat orang yang lain ini pun amblas seperti air dicampurkan ke dalam lautan! Jangan kata menarik teman-teman yang sudah melekat, menarik diri sendiri pun tidak sanggup lagi karena tenaga mereka yang digunakan untuk menarik itu tidak mendapatkan tempat berpijak, melainkan molos mengalir masuk melalui tubuh yang mereka pegang kemudian mengoperkan hawa sinkang ini ke dalam tubuh Keng Hong!

Keng Hong sendiri mulai merasa bingung. Seperti yang pernah dia alami di Kun-lun-pai, kini pun dia merasa betapa tubuhnya kebanjiran hawa sinkang, dadanya serasa hampir meledak-ledak, kepalanya bagai menjadi sebesar gentong beras, terus berdenyut-denyut, matanya merah membelalak dan hampir terloncat keluar dari pelupuknya, seluruh tubuh terasa berdenyutan dan gatal-gatal panas.

Sungguh pun sinkang sepuluh orang ini masih belum menyamai sinkang Kiang Tojin dan beberapa orang sute-nya, namun bagi Keng Hong tetap saja merupakan siksaan yang hebat dan dia sendiri tidak tahu harus berbuat apa untuk melepaskan mereka. Ia maklum bahwa sekali dia mengerahkan tenaga yang mendesak-desak ini untuk mengibas tubuh mereka, akibatnya tentu hebat seperti yang pernah dia lakukan di Kun-lun-san. Tapi pada waktu itu yang dia robohkan hanyalah belasan batang pohon-pohon raksasa.

Sementara itu, setelah kini Cui Im dan Biauw Eng hanya dikeroyok enam orang lawan, mereka sebentar saja dapat merobohkan semua lawan itu. Cui Im merobohkan dua orang dengan pedangnya, ada pun Biauw Eng membuat empat orang lainnya terguling.

Sekarang dua orang gadis itu berdiri melongo memandang Keng Hong yang digelut oleh sepuluh orang! Memang amat aneh pemandangan ini. Keng Hong berdiri dengan tubuh menggigil di tengah-tengah, sedangkan sepuluh orang itu menggeluti tubuhnya, banyak yang diam tanpa bergerak, ada pula yang masih mencoba untuk membetot-betot, namun semuanya tak berhasil sehingga terdengarlah keluhan dan rintihan putus asa keluar dari mulut sepuluh orang itu.

"Itulah, Sumoi. ilmunya yang mukjijat, menyedot sinkang orang seperti yang kuceritakan kepadamu... heiii! Sekarang aku tahu kenapa sebagian besar sinkang-ku lenyap! Kiranya malam itu... dia... dia telah menyedot hawa sakti tubuhku, kurang ajar!" Cui Im memaki.

"Heran benar. Benarkah dia bisa memiliki Thi-khi I-beng? Menurut ibu, di dunia ini tidak ada lagi yang mengerti ilmu itu. Ibu sendiri hanya mengerti sedikit. Bocah ini hebat, Suci. Jika didiamkan saja, sepuluh orang ini tentu akan mati semua dan ibu tidak akan senang apa bila kita menanam bibit permusuhan dengan partai-partai persilatan besar. Hayo kita lepaskan mereka."

"Mana mungkin, sumoi? Jangan-jangan kau akan ikut tersedot! Hiiihhh... ilmu setan yang mengerikan!"

"Aku mengetahui caranya, suci."

"Kau? Kalau begitu subo telah mengajarmu ilmu ini? Ahh, mengapa aku tidak diberi tahu sama sekali?" Cui Im bertanya dengan cara mencela, penuh iri.

"Hanya mengerti cara membebaskannya, sama sekali aku pun tidak tahu akan ilmu ini. Kalau kau menguasainya, alangkah banyaknya orang-orang yang kau sedot habis!"

Biauw Eng segera memunggut cambuk kuda dari atas tanah di dekat kereta yang sudah hancur.

"Kau pergunakan cambuk ini. Jangan sekali-kali pergunakan tanganmu untuk menyentuh mereka. Kalau kau sudah menotok pergelangan tangan Keng Hong, kau gunakan ujung cambuk untuk membetot tangan-tangan yang menempel di tubuhnya. Mengerti?"

Cui Im mengangguk dan mereka cepat menghampiri sebelas orang yang bergelut tanpa bergerak sambil berdiri itu. Biauw Eng kemudian memutar sabuk sutera putihnya ke atas hingga terdengar suara berdetak-detak, lalu kedua ujung sabuk itu menyambar ke depan, tepat menotok pergelangan kedua tangan Keng Hong.

Dan pada saat itu, selagi Keng Hong merasa seolah-olah kedua lengannya lumpuh dan saluran hawa sakti yang membanjir ke tubuhnya terhenti, Cui Im sudah menggerakkan cambuknya melibat tangan-tangan yang menempel pada tubuh Keng Hong lalu membetot sekuatnya.

Dengan menggunakan sabuk suteranya Biauw Eng juga melakukan hal sama sehingga dalam beberapa saat saja sepuluh orang itu telah terjengkang roboh dan sambil mengeluh mereka itu cepat duduk bersila lalu mengatur napas untuk memulihkan, atau setidaknya mendapatkan sedikit tenaga sehingga mereka tidak roboh pingsan terus tewas.

Keng Hong yang sudah terlepas dari pada kebanjiran hawa sinkang, berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang seperti orang mabuk. Dia memang persis seperti orang mabuk arak, bahkan ketika dia berjalan menghampiri Cui Im dan Biauw Eng, dia berjalan dengan dua kaki diseret, seolah-olah kedua kakinya menjadi kaku dan kejang. Kedua lengannya juga tergantung kaku di kanan kiri, matanya yang memandang dua orang gadis itu dikejap-kejapkan karena dalam pandang matanya yang berkunang-kunang, dua orang gadis itu kini berubah menjadi empat!

Keng Hong mengusahakan diri untuk tersenyum dan mengucapkan terima kasih, namun senyumnya berubah menjadi menyeringai menakutkan, dan pandangan matanya menjadi liar sehingga Cui Im dan Biauw Eng yang amat lihai itu pun sampai mudur-mundur akibat ketakutan!

"Heh-heh-heh, terima kasih... terima kasih kepada Ji-wi Siocia (Nona Berdua) yang telah membebaskan diriku dari... hemmm... lintah-lintah itu...!"

Biauw Eng memandang tajam sambil berkata halus, "Keng Hong, kau simpanlah kembali ilmumu menyedot sinkang itu."

Keng Hong menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak bisa... tidak bisa..., disimpan bagai mana? Tubuhku terlalu penuh... dadaku terasa sakit, kepalaku mau meledak..., tenaga ini, mendorong-dorongku... ahhh...!"

Keng Hong memegangi kepalanya dan memejamkan kedua matanya. Ingin dia memukul, menendang, ingin dia merobohkan apa saja, dan keinginan ini timbul secara serentak, mendesak kepadanya menjadi seorang liar yang memuaskan nafsu untuk merobohkan dan membunuh apa saja.

Enam belas orang yang telah terluka semua itu, akan tetapi tidak ada yang tewas karena kedua orang gadis itu memang tidak bermaksud membunuh mereka agar supaya jangan mendatangkan bibit permusuhan, kini juga memandang ke arah Keng Hong dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.

Keadaan pemuda itu memang menyeramkan. Tidak saja mukanya menjadi merah seperti udang direbus, dan matanya jelalatan seperti mata setan, akan tetapi bahkan rambut di kepalanya bagai berdiri satu-satu. Tanpa disadari dan dimengerti oleh Keng Hong sendiri, setelah sekarang tidak ada sinkang orang lain yang membanjiri tubuhnya, otomatis daya sedotnya lenyap dan kini sebaliknya berubah menjadi daya serang yang amat luar biasa.

Memang sebetulnya ketika Sin-jiu Kiam-ong mengoper sinkang-nya kepada Keng Hong, kakek ini tak sempat lagi untuk memberi pelajaran tentang cara menguasai sinkang yang kelebihan di dalam tubuh muridnya. Karena paksaan ini, terjadilah salah susunan salah kerja sehingga sinkang yang membanjiri ke dalam tubuh pemuda itu menjadi liar, ibarat ia ditampung tanpa ada pintu untuk memasukkan dan mengeluarkan, datangnya membanjir secara liar.

Jika saja Keng Hong telah dapat mengusai dirinya sendiri, tentu dia akan dapat mengatur hingga hawa yang masuk dapat disesuaikan dengan tempatnya, dan dapat pula mengatur bagaimana untuk membuka pintu dan menyalurkan sinkang dalam penggunaan hawa itu sesuai dengan keperluannya.

Kini, sesudah secara liar hawa sinkang membanjiri masuk, keadaannya menjadi terbalik. Pintu masuk tertutup dan pintu keluar sukar dibuka apa bila tidak dipaksa dengan pukulan dan tendangan, tidak dipaksa untuk bertanding! Maka hawa itu pun mendesak-desak dan membuat tubuhnya seperti sebuah balon karet yang terlalu penuh diisi hawa, siap untuk meletus setiap saat...
Selanjutnya,