PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 44
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 44
Karya Singgih Hadi Mintardja
BELUM lagi Panji Kunal sempat menjawab, maka dari dalam rumah, terbungkuk-bungkuk menyusup di bawah tangan Panji Kunal itu, keluarlah seorang anak muda yang lain, Panji Kenengkung, anak keempat Bango Samparan. Katanya “O, ternyata kakang Ken Arok itulah yang kalian ributkan. Aku sangka ada seorang tamu yang cukup berharga untuk dilayani”. Panji Kenengkung itu menjadi acuh tak acuh. Tanpa berbuat sesuatu ia kembali masuk ke dalam rumahnya, menyusup pula di bawah tangan kakaknya.
Sikap anak-anak Bango Samparan itu membuat darah Ken Arok benar-benar menjadi mendidih. Semula ia memang berhasrat untuk meninggalkan saja rumah itu. Tetapi justru sikap anak-anak Bango Samparan itulah, kemudian yang manahannya. “Aku akan tetap berada di sini” katanya di dalam hati.
Karena itulah maka Ken Arok masih tetap berdiri tanpa bergerak di tempatnya. Kedua kakinya seolah-olah terhunjam dalam-dalam sampai ke pusat bumi. Hanya pandangannya sajalah yang beredar dari satu wajah ke wajah yang lain. Panji Bawuk, Panji Kuncang, Kunal dan kemudian Bango Samparan.
Bango Samparan menjadi kebingungan melihat perkembangan keadaan. Ia tidak mengira bahwa sikap permusuhan dari anak-anaknya masih juga membekas demikian dalamnya, sehingga kedatangan Ken Arok telah menumbuhkan persoalan di dalam rumahnya.
“He” Panji Kuncang lah yang pertama-tama menyobek kebekunan di halaman itu, “Kenapa kau masih saja berdiri di situ Ken Arok. Sebelum aku berubah pendirian, pergilah. Rumah ini sama sekali tidak ada tempat bagimu. Jangan mengharap kau dapat masuk menjadi salah seorang dari keluarga kami. Kalau kami kelak membagi warisan, maka kamu sama sekali tidak mendapatkan apapun yang cukup berharga. Karena itu, kau tidak perlu ikut serta memperebutkannya. Tanah yang hanya selidah kadal ini, rumah yang hampir roboh dan regol yang miring. Apa kau sangka ayah mempunyai timbunan harta benda yang bernilai?”
Kini Ken Arok tidak dapat menahan mulutnya lagi. Betapa dadanya bergejolak, dan betapa ia telah mencoba menahannya sehingga dada itu rasa-rasanya akan meledak. Dengan nada yang datar Ken Arok menjawab “Ya, aku tahu bahwa ayah Bango Samparan mempunyai harta benda yang tidak ternilai harganya. Itulah sebabnya aku kembali ke rumah ini untuk mendapatkan bagianku sebagai anak angkatnya”
Panji Kuncang mengerutkan keningnya. Kemudian ia menggeram, “Hem, ternyata kau telah menjadi seorang laki-laki yang berani. Kau tidak saja berani menyamun di tempat-tempat yang sepi, dan kemudian sebagai seorang prajurit yeng beramai-ramai membuat bendungan di Padang Karautan. Ternyata kau tidak gemetar mendengar ancamanku”
Ken Arok mangatubkan bibirnya rapat-rapat.
“Jangan kau usir anak itu Kuncang”, berkata Panji Bawuk kemudian. Selangkah ia maju mendekati Ken Arok sambil berkata selanjutnya, “Menilik sikapnya, pandangan matanya yang lurus ke depan, serta wajahnya yang tengadah, ia sama sekali tidak cemas menghadapi keadaannya kini”
“Anak ini benar-benar berani. Tetapi itu tidak mengherankan. Ia dapat melepaskan diri dari tangan orang-orang Pamalantenan dan lari ke Nagamasa. Ia dapat menghantui Tanah Tumapel dan kemudian bahkan menjadi seorang hamba istana yaag baik”. Panji Bawuk berhenti sejenak, lalu, “Nasibmu memang baik Ken Arok. Terlampau baik”
“Nah” tiba-tiba Bango Samparan memotong, “Bukankah aku juga mengatakan, bahwa nasibmu terlampau baik”
Panji Bawuk tertawa rendah. Katanya kemudian, “Tetapi tidak selamanya nasibmu bisa terlampau baik. Suatu ketika kau akan terbentur pada keadaan yang sama sekali tidak kau sangka-sangka. Misalnya bahwa kau telah tersesat sampai ke rumah ini”
“He” mata Bango Samparan terbelalak, “Apa yang akan kau lakukan atasnya?”
Panji Bawuk tertawa dengan nada yang terlampau rendah, tetapi dibalik nada yang rendah itu teresa getaran kebencian yang tiada taranya. “Sebuah permainan yang baik. Aku yakin bahwa ia tidak akan menyerahkan lehernya begitu saja. Ia pasti akan melawan, karena aku percaya bahwa Ken Arok adalah seorang prajurit yang berani. Nah, bukankah kita mendapat ketempatan untuk bermain-main”
“Itu gila. Gila sekali. Ia tamuku di sini”
“Bukankah aku sudah berterima kasih kepada ayah, karena ayah membawa permainan itu”
“Persetan kalian” teriak Bango Samparan, “Kalau kalian berbuat sesuatu atasnya, maka aku akan berdiri dipihaknya”
“Apa” tiba-tiba terdengar suara melengking dari dalam rumah yang kotor itu, “Kalau kau mau membantunya, akulah lawanmu”.
Tiba-tiba muncul seorang perempuan sambil menyingsingkan kainnya. Ialah isteri Bango Samparan yang muda. Dengan tergesa-gesa ia mendekati Bango Samparan sambil menuding-nuding wajahnya, “Kau bawa lagi anak setan itu, he. Ayo, tinggalkan anak itu. Biarlah anak-anak yang mengurusnya”
Sementara itu terdengar suara lain. Suara perempuan. Namun terlalu dalam dan perlahan-lahan, “Kenapa kalian mambencinya sampai ke ujung nyawa kalian?”
Tetapi justru suara itu telah menggetarkan dada Ken Arok. Suara itu adalah suara ibu angkatnya. Isteri tua Bango Samparan. Perlahan-lahan ia berpaling. Dilihatnya seorang perempuan tua yang kurus berdiri di samping rumah sambil menakupkan kedua telapak tangan di muka dadanya.
“Jangan ikut campur” bentak isteri muda Bango Samparan, “Ini sama sekali bukan urusanmu”.
“Tunggulah sebentar” Bango Samparan tergagap, “Maksudku, aku ingin keluarga ini menjadi bertambah baik. Kalau kalian mau mendengarkan penjelasanku, kenapa aku membawa Ken Arok ke rumah ini, maka kalian pasti tidak akan marah-marah lagi”.
“Aku tidak peduli” teriak isteri mudanya. Satu tangannya bertolak pinggang, sedang tanganya yang lain masih menunjuk-nunjuk, “Ayo tinggalkan anak-anak itu. Masuk. Masuklah”.
“Tunggu” Bango Samparan meminta. “Masuk kataku. Ayo masuk”.
Ken Arok menjadi heran. Bango Samparan adalah seorang yang buas, bahkan liar. Tetapi ia begitu takut kepada isteri mudanya. Ia mengetahui hal itu sejak ia tinggal di dalam rumah itu. Tetapi dalam hal yang terlampau penting, seperti keadaan saat ini, Bango Samparan sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu.
Dengan kasarnya isteri muda Bango Samparan itu menarik tangannya dan menyeretnya masuk ke dalam rumah. Bango Samparan yang garang itupun sama sekali tidak dapat melawan. Namun sambil berjalan ia berteriak-teriak, “Maafkan aku Ken Arok. Pergilah. Pergilah sebelum setan-setan itu berbuat sesuatu atasmu”.
Ken Arok sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Dipandanginya Bango Samparan yang berjalan terloncat-loncat diseret oleh isteri mudanya sambil menyingsingkan kainnya tinggi-tinggi.
“Laki-laki tidak tahu diri” gerutu isterinya, “Sekian lama kau tidak pulang. Sekarang kau bawa cucurut jelek itu untuk mengotori halaman rumahku”.
Tanpa sesadarnya Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Agaknya sikap isterinya itu sama sekali tidak membantu usaha untuk menyembuhkan Bango Samparan dari penyakit judinya. Agaknya ia tidak menemukan ketenteraman di rumahnya. Isterinya terlampau menguasainya, sehingga bagi Bango Samparan, keadaan di luar rumahnya jauh lebih bebas dan menyenangkan, meskipun kadang-kadang ia harus berkelahi dan bahkan mempertaruhkan nyawanya. Namun hasrat ia lepas bebas dan sebagai seorang laki-laki, bahkan jiwa petualangan yang memang ada padanya, dapat terpenuhi.
Di rumah, seperti keadaarnya kini, meskipun ia membawa pedang dilambungnya, namun ia tidak kuasa melawan apapun ketika ia diseret oleh isterinya masuk ke rumah sambil mengumpat-umpat. Panji Kunal kini sudah tidak berdiri di tengah-tengah pintu lagi untuk memberi jalan ibunya yang menyeret ayahnya masuk. Sambil bersandar bibir pintu ia tertawa berkepanjangan.
Dalam pada itu terdengar suara perempuan tua yang berdiri di samping rumah, “Pergilah Ken Arok. Tidak ada gunanya kau datang kemari. Aku sudah puas dapat melihat kau tumbuh menjadi besar dan gagah. Aku dengar kau kini tnenjadi seorang prajurit. Nah, lakukanlah pekerjaanmu dengan baik”.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, “Terima kasih ibu, mudah-mudahan aku dapat melakukannya. Aku minta ibu selalu berdoa untukku”.
“Tentu, tentu anakku. Aku berdoa untukmu. Mudah-mudahan kau terhindar dari tindakan-tindakan yang takabur dan tamak”.
Belum lagi Ken Arok menjawab, terdengar suara Panji Kuncang, “Ah, jangan kau ajari anak itu jadi seorang pendeta. Agaknya lebih baik baginya untuk mengulangi saja kelakuannya beberapa tahun yang lampau”.
“Jangan menghina Kuncang” sahut perempuan itu “adalah nasib baik yang membawanya. Jangan iri akan nasib seseorang. Nasibnya memang terlampau baik”.
Ken Arok sama sekati tidak terpengaruh, ketika ia mendengar orang lain mengatakan tentang nasibnya. Bahkan ia muak apabila ia mendengar Bango Samparan mengatakan nasibnya pula. Tetapi kini ia mendengar perempuan tua itu mengatakan pula, bahwa nasibnya memang terlampau baik.
“Kalau kau berusaha terus Ken Arok” berkata perempuan tua itu, “Maka kau akan sampai kepada tempat yang setinggi-tingginya yang kau inginkan”.
Tetapi kata-kata itu disambut oleh suara tertawa Panji Bawuk dalam nada yang datar, “Ho, ajari saja anak itu untuk bermimpi”. Kemudian kepada Ken Arok itu berkata “Mimpilah anak manis. Kau akan dibawa melambung tinggi oleh nasibmu yang baik. Mungkin kau dapat menjadi seorang Akuwu, eh siapa tahu bahwa kau akan dapat mendesak kekuatan Maharaja Kediri dan menggantikannya kelak”.
Kata-kata itu disambut oleh suara tertawa yang meledak. Panji Bawuk, Panji Kuncang, Kunal dan bahkan kemudian Kenengkung pun keluar lagi dari pintu rumahnya. Katanya “Eh, kalian menjadi terlampau bergembira hari ini”.
“Tidur saja kau anak malas” sahut Panji Bawuk.
“Kami sedang bermain-main”.
“Aku ingin ikut bermain-main pula”.
Panji Bawuk tidak menjawab. Tetapi ia melangkah lagi lebih dekat dihadapan Ken Arok. Diamat-amatinya Ken Arok dari ujung kaki sampai ke ujung kepalanya.
“Pergi sajalah Ken Arok” suara perempuan di samping rumah terdengar lagi.
Tetapi jawab Ken Arok ternyata telah mengejutkan, seisi halaman itu, “Tidak ibu. Aku tidak akan pergi. Aku sudah terlanjur menginjakkan kakiku di halaman ini. Aku ingin masuk ke dalam rumah ayah dan ibuku. Aku ingin bermalam di sini dan ingin mendapat hak warisan dari ayah seperti anak-anak ayah yang lain, meskipun aku hanya sekedar anak angkatnya. Tidak seorang pun dapat menghalangi aku. Apa lagi aku sudah memasuki halaman ini dengan pedang di lambung”.
Yang terdengar kemudian adalah geram Panji Kuncang. Selangkah ia meloncat maju sambil berteriak, “Setan alas. Ayo, cabut pedangmu. Aku akan membunuhmu”.
Panji Bawuk menegang sebentar, namun kemudian ia tertawa. Nadanya masih tetap rendah dan datar, “O, anak ini benar-benar tidak tahu diri. Disangkanya bahwa karena ia seorang prajurit, maka ia pasti akan mampu menyelesaikan semua masalah dengan pedangnya”.
Ken Arok terdiam. Dikatupkannya bibirnya rapat-rapat. Terhadap Panji Kuncang ia telah menemukan cara yang sebaik-baiknya untuk melawan. Agaknya anak kedua ini lebih cepat marah dan kehilangan kesabaran. Tetapi agaknya anak yang pertama ini justru jauh lebih berbahaya dari saudara-saudaranya yang lain.
Ternyata bukan saja kedua orang anak-anak Bango Samparan yang terbesar saja yang mendekati Ken Arok, tetapi kedua saudaranya yang lain, yang masih terlampau muda itupun datang mengerumuninya. Wajah-wajah mereka telah menjadi tegang oleh kemarahan yang memuncak. Tetapi Ken Arok masih tetap berdiri tegak di tempatnya. Ia sama sekali tidak bergeser setapakpun. Pandangannya masih tetap lurus ke depan dan dadanya masih tetap tengadah.
Sikapnya memang egak berpengaruh juga atas keempat anak-anak Bango Samparan itu. Namun disamping itu, kemarahan mereka pun menjadi semakin menyala pula. Ken Arok bagi mereka adalah seorang yang teramat sombong. Karena itu, maka mereka harus menghajarnya dan bahkan mereka tidak lagi akan mengekang diri seandainya Senjata-senjata mereka akan berbicara.
Diantara keempat saudara itu, Kuncang lah yang hampir tidak lagi dapat mengekang dirinya. Namun sikap yang demikian sama sekali tidak berpengaruh apapun kepada Ken Arok. Yang mendapat perhatiannya paling tajam justru Panji Bawuk yang kelihatannya masih tenang-tenang saja, dan bahkan tersenyum-senyum.
“Apakah kau benar-benar ingin melawan kami kakang?” bertanya Panji Bawuk itu.
Ken Arok tidak segera menjawab. Ditatapnya mata Panji Bawuk itu tajam-tajam seolah-olah ingin melihat sampai ke pusat otaknya.
“Aku memang berharap demikian” berkata Panji Bawuk itu pula, “Sudah agak lama kami tidak berkelahi melawan seseorang yang agak berarti untuk memanaskan badan kami. Karena itu kami sangat berterima kasih kepada ayah, yang telah membawa kau kemari”.
“Panji Bawuk” terdengar suara perempuan tua di samping rumah, “Aku minta kau tidak akan berbuat demikian kepada Ken Arok. Terserahlah apa yang akan kau lakukan terhadap orang lain, tetapi tidak kepada keluarga sendiri”.
Panji Bawuk tertawa, “Hanya orang gilalah yang bersedia menerimanya lagi di dalam keluarga ini. Ia sudah cukup membuat kami marah dan mendendamnya, di saat-saat yang lalu. Tiba-tiba kini ia datang dengan penuh kesombongan. Apakah kami harus membiarkannya?”
“Aku minta maaf untuknya” berkata perempuan itu lagi.
“Tutup mulutmu” tiba-tiba terdengar suara dari balik dinding rumah, suara perempuan pula. Suara ibu Panji Bawuk, “Sudah aku katakan. Itu adalah urusan anak-anak, biarlah diselesaikan oleh anak-anak”.
Perempuan tua itu mengerutkan keningnya yang telah berkerut-merut. Namun ia mencoba menjawab, “Aku hanya mencoba melerai perselisihan di antara anak-anak”.
“Persetan dengan anakmu itu”.
“Sudahlah” potong Panji Bawuk dengan tenangnya “Jangan kau pedulikan lagi anak ini. Ia akan terjerumus ke dalam lubang yang telah digalinya sendiri”.
“Kita tidak usah banyak berbicara” geram Kuncang. Kemudian sambil menunjuk ke bawah sebuah rumpun bambu ia berkata, “Di sana kami kuburkan dua orang penjudi muda yang mencoba melawan kami. Mereka sombong seperti kau. Kami berkelahi. Ternyata Senjata-senjata kami tidak mau memaafkannya”.
Dada Ken Arok berdesir mendengar kata Panji Kuncang itu. Tanpa sesadarnya ia berpaling. Di muka halaman ini membujur sebuah lorong padukuhan. Bagaimanakah tanggapan orang-orang padukuhan ini apabila mereka tahu, bahwa halaman ini adalah halaman pembantaian? Bukankah Ki Buyut Karuman sudah mengancam, untuk mengusir mereka apabila mereka berbuat kejahatan lagi di dalam padukuhan ini?”
Tetapi lorong ini memang terlampau sepi. Lorong yang jarang sekali dilalui orang. Hanya orang-orang yang terpaksa sekali yang mau lewat di lorong di muka rumah Bango Samparan. Rumah yang mereka anggap sebagai rumah hantu.
“Nah” berkata Kuncang kemudian, “Kau akan menjadi orang ketiga yang akan berkubur di bawah rumpun bambu itu”.
Wajah Ken Arok menjadi semakin lama semakin tegang. Dipandanginya arah yang ditunjuk oleh Panji Kuncang. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Tanah itu masih tetap rata. Tetapi ketegangan wajah Ken Arok itu semakin meningkat ketika ia mendengar Panji Bawuk berkata,
“Tidak Kuncang. Karena anak ini adalah saudara tua kita, maka ia tidak akan kita kuburkan di bawah rumpun bambu itu. Kita masih harus menghormatinya. Aku ingan membuat anjang-anjang bagi mayatnya nanti. Kami letakkan saja di halaman belakang, di atas pohon Kayu Kembang. Biarlah dagingnya menjadi makanan burung-burung gagak”.
Sejenak mereka yang mendengar pendapat anak tertua Bango Samparan itu terdiam. Namun kemudian terdengar suara tertawa Kenengkung meledak.
“Kenapa kau tertawa?” bertanya Panji Kunal.
“Lucu” sahut Kenengkung, “Kita kelak akan mempunyai sebuah kerangka. Kalau dagingnya sudah habis, bukankah akan tinggal kerangkanya saja? Kita mempunyai sebuah perhiasan yang menyenangkan”.
Panji Kunal pun tersenyum pula. Katanya, “Tetapi kalau ada orang yang melihatnya, akan dapat menumbuhkan perkara. Orang-orang Karuman adalah orang-orang dengki yang suka mengganggu kesenangan orang lain. Kalau mereka berbuat sesuatu karena kerangka itu, maka kita akan terpaksa menyimpan kerangka-kerangka lebih banyak lagi”.
“Ah” desah Panji Bawuk, “Anak-anak gila. Apakah yang kau bicarakan itu? Sekarang, ambillah parangku yang besar. Jangan yang kecil. Kalian membawa senjata kalian masing-masing, apabila kalian ingin ikut bermain-main. Berganti-ganti. Kita masing-masing akan mendapat bagian kita. Tetapi apabila Ken Arok lekas mati, maka jangan menyesal, siapa yang tidak mendapat kesempatan untuk berkelahi dan menggoreskan luka di tubuhnya”.
“Gila” Ken Arok mengumpat di dalam hatinya, “Sikap Panji Bawuk tenang sekali. Dibiarkan adiknya masuk ke dalam rumah sementara ia berdiri seenaknya dihadapan Ken Arok”.
“Kalau kau tidak sabar menunggu adikku mengambil senjata, mulailah. Aku akan melawanmu tanpa Senjata”.
“Akulah yang pertama-tama” potong Kuncang, “Akulah yang melihatnya ia pertama kali ketika ia memasuki regol”.
Kini Ken Arok terpaksa berbuat sesuatu. Ia benar-benar menyesal, karena ia telah masuk ke rumah hantu itu. Tetapi dalam keadaan yang demikian ia sama sekali tidak mau beranjak pergi. Ia masih belum tahu, sampai berapa jauh kemampuan keempat anak Bango Samparan. Ia telah melihat Panji Kuncang mampu menghindar dengan cara yang sederhana, ketika ayahnya mencoba menampar wajahnya.
Sebentar kemudian sambil berlari-lari Kenengkung datang membawa dua buah parang dan Panji Kunal pun membawanya pula. Untuk kakaknya dan untuk dirinya sendiri. “Aku akan mencoba senjataku ini” desis Panji Kunal. Ia memegang sebuah tombak pendek yang ujungnya berkait.
Ken Arok berdiri tegak seperti sebuah patung. Ia menjadi heran melihat sikap anak-anak Bango Samparan. Agaknya mereka benar-benar menganggap dirinya permainan yang mengasyikkan. “Apakah kemampuan mereka jauh melampaui ayahnya?” pertanyaan itu telah mengetuk dada Ken Arok.
Namun Ken Arok tidak sempat terlampau banyak membuat pertimbangan-pertimbangan. Ia segera melihat tombak pendek Kunal yang ujungnya berkait telah merunduk di muka dadanya. Terdengar anak itu berkata “He, kakang Ken Arok. Ayo cabut senjatamu”.
Ken Arok tidak segera berbuat sesuatu. Sekilas dipandangmya perempuan tua di samping rumah Bango Samparan. Perempuan itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, kemudian dengan tergesa-gesa berputar dan pergi ke belakang. “Lebih baik ia pergi”, berkata Ken Arok di dalam hatinya.
“Ayo, cepat” teriak Panji Kunal.
“Hati-hati Kunal” desis Panji Bawuk, “Ia adalah seorang Prajurit Tumapel. Mungkin ia pernah mendapat petunjuk bagaimana ia harus mempergunakan senjata. Sebelum ia menjadi seorang prajurit, ia adalah seorang anak yang paling senang berkelahi. Meskipun kau juga senang berkelahi, tetapi belum seliar kakang Ken Arok itu”.
Kunal seolah-olah tidak mendengar kata-kata kakaknya itu. Ia melangkah semakin dekat, dan ujung tombaknya kini semakin dekat pula ke dada Ken Arok, “Ayo, cepat, ambil senjatamu” teriaknya, “Kalau kau tidak juga mencabut pedangmu, aku akan berbuat menurut kehendakku sendiri atasmu”.
Ken Arok masih tetap berdiri tegak. Tetapi tiba-tiba ia terkejut ujung tombak berkait itu semakin merunduk dan menyentuh kain panjangnya, dengan sekali renggut, kainnya telah tersobek lebih dari sejengkal di arah pahanya. Terdengarlah suara tertawa meledak di halaman itu. Panji Kenengkung tidak dapat menahan dirinya lagi, sehingga ia terbungkuk-bungkuk menekan perutnya dengan kedua tangannya. Suara tertawanya berderai memenuhi seluruh padesan.
Kini Ken Arok tidak akan dapat tetap tinggal diam. Kalau ia tidak segera berbuat sesuatu maka Kunal akan menjadi lebih gila lagi. Bahkan mungkin ia akan menjadi telanjang di halaman itu karena seluruh pakaiannya akan di kait oleh tombak pendek itu.
“Baiklah” berkata Ken Arok tiba-tiba sehingga Kunal terperanjat, “Kau sudah mulai. Aku pun harus segera mulai pula”.
Perlahan-lahan Ken Arok melangkah kesamping. Sama sekali tidak ada kesan apapun pada dirinya. Ia masih tetap tenang seperti juga Panji Bawuk tetap tenang. Diletakkannya bungkusan pakaiannya di atas tanah di bawah sebatang pohon melinjo.
“He, apa kau mau lari?” teriak panji Kunal.
Ken Arok menggeleng, “Sudah aku katakan. Aku akan melayani kau bermain-main”.
“Bagus, bagus” sahut Kunal sambil tertawa.
Ken Arok menjadi semakin muak memandanginya. Karena itu, maka tumbuhlah keinginan di dalam hatinya untuk membuat mereka menjadi jera. “Tetapi”, pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya “Apakah aku akan mampu berbuat demikian? Aku belum dapat mengukur betapa tingkat ilmu masing-masing. Adalah tidak mustahil apabila pada suatu ketika mereka akan berkelahi bersama-sama”.
Karena itu, maka Ken Arok harus tetap berhati-hati. Ia tidak mau jatuh ke dalam keadaan yang tidak menguntungkannya, sehingga untuk melawan anak itupun ia harus berada dalam persiapan yang tertinggi.
“Ayo, cabut pedangmu, cepat” teriak Panji Kunal.
“Baik” sahut Ken Arok. Perlahan-lahan tangannya meraba hulu pedangnya, dan perlahan-lahan pula ia mencabut pedang itu dari wrangka di lambungnya.
“Pedang yang bagus” tiba-tiba Kuncang berteriak, “Kalau kita berhasil membunuhnya, maka pedang itu adalah milikku. Akulah yang pertama-tama melihat ia memasuki regol ini”.
Ken Arok berdesah di dalam hatinya “Agaknya Kuncang telah sampai pada maksud itu, membunuh, sebenarnya membunuh”.
“Tidak” teriak Panji Kunal, “Siapa yang berhasil membunuhnyalah yang akan memiliki pedang itu”.
“Kalau begitu akulah yang akan berkelahi lebih dahulu” potong Kenengkung, “Supaya akulah yang berhasil membunuhnya. Dengan demikian pedang prajurit itu akan menjadi milikku”.
“Jangan berebut dahulu” potong Panji Bawuk “Kalian hanya terlampau banyak bicara. Aku yakin bahwa Ken Arok tidak akan dengan senang hati menyerahkan lehernya. Nah, sekarang Kunal, mulailah. Hati-hatilah. Aku ingin melihat bagaimana ia menggerakkan pedangnya yang bagus itu, supaya aku dapat menilai, siapakah kira-kira yang akan dapat membunuhnya”.
Kunal mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah” katanya.
Ken Arok yang sudah semakin muak melihat anak-anak Bango Samparan itupun segera bersiap. Ia tidak mau memandang 1awannya terlampau rendah, meskipun masih cukup muda. Ia menyadari, bahwa sikap yang demikian kadang-kadang dapat menyesatkan seseorang ke dalam kekalahan. Karena itu ketika Kunal mendekatinya lagi dengan tombak pendeknya, maka segera ia pun bersiap.
“Cepat Kunal” teriak Kuncang yang tidak sabar lagi. Panji Kunal menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan cepatnya ia meloncat langsung menyerang Ken Arok. Mata tombaknya mematuk ke dadanya, seperti paruh burung rajawali yang menyambar dari udara.
Tetapi Ken Arok telah siap. Dengan sigapnya ia meloncat kesamping menghindari serangan itu. Dan seperti yang telah diduganya, Kunal pasti akan mempergunakan kaitan tombaknya, ketika ia menarik tombak itu. Dan ternyata dugaannya itu benar. Kunal memutar tombaknya dan mencoba mengait pelipis Ken Arok pada saat ia menarik tombaknya. Tetapi tombak berkait itu sama sekali sudah tidak mengejutkan lagi bagi Ken Arok. Dimiringkannya kepalanya sedikit, dan kait pada ujung tombak itu meluncur disamping keningnya.
Panji Kunal menggeram. Ternyata serangannya sama sekali tidak berhasil menyentuh lawannya. Ia ingin melihat darah yang segera memencar dari pelipis Ken Arok. Tetapi Ken Arok berhasil menghindarinya. Kunal yang masih muda itu segera memperbaiki sikapnya. Tombaknya bergetar secepat getar jantungnya. Beberapa langkah ia berputar, mencari kesempatan untuk menyerang lagi.
Ken Arok pun telah mempersiapkan dirinya pula. Tetapi ia harus memperhitungkan pula orang-orang yang tidak sedang terlibat dalam pertempuran. Ken Arok tidak dapat mempercayai mereka sepenuhnya, bahkan mereka akan berkelahi secara jantan sepenuhnya. Dalam kesempatan yang tak terduga-duga dapat saja salah seorang dari mereka menyerangnya dengan licik. Apalagi apabila salah seorang dari mereka mengalami kekalahan.
Kunal yang melangkah berputaran itu, tiba-tiba meloncat menyerang kembali sambil menggeram. Tombaknya mematuk dengan cepatnya, melingkar dengan tiba-tiba pula dan berputar sekali lagi. Beberapa macam gerak yang tidak terduga-duga membuat lawannya kehilangan kesempatan untuk mengerti, apakah yang dilakukannya.
Tetapi Ken Arok bukan lawan yang mudah menjadi bingung dan kehilangan akal. Bahkan segera ia mengerti, bahwa lawannya masih terlampau hijau dan sederhana. Yang ingin membuat bermacam-macam cara untuk membingungkan musuhnya, seolah-olah lawannya tidak dapat membuat perhitungan-perhitungan yang lebih baik dan akan segera kehilangan akal karena ujung tombak lawannya berkeliaran diseputar tubuhnya.
Ken Arok telah kenyang menyimpan pengalaman di dalam dirinya sama sekali tidak menjadi bingung. Ia masih tetap tenang dan bahkan berdiri tegak ditempatnya. Hanya matanya sajalah yang mengikuti ujung tombak berkait di tangan Panji Kunal. Tetapi dada Ken Arok menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar Panji Bawuk tertawa.
Katanya “Kunal, kenapa kau berkelahi seperti menghalau burung di sawah? Lawanmu kali in adalah seorang prajurit Istana Tumapel yang terkenal. Lebih daripada itu ia adalah seorang penyamun yang paling menggemparkan diseluruh Tumapel pada suatu saat. Hati-hatilah, ia tidak akan dapat kau takut-takuti dengan cara yang menggelikan itu. Kau akan kehilangan pengamatan diri karena kau sendiri sibuk menari tanpa arti apapun dalam perkelahian itu. Cobalah dengen cara yang lain. Tetapi sebaiknya kau berkelahi berpasangan dengan Kenengkung. Aku mulai menjadi cemas melihat sikap Ken Arok. Agaknya ia benar-benar yakin dapat menguasai kalian. Lihat, apakah ia tampak cemas atau berdebar-debar setelah melihat seranganmu yang menggelikan itu. Ayo, cepat, mulailah berpasangan”.
“Bagus” teriak Kenengkung ”Aku ikut”.
Tetapi Panji Kunal menjadi kecewa, katanya “Aku ingin membunuhnya sendiri kakang. Sendiri, tanpa Kenengkung”.
“Jangan terlampau sombong” jawab Panji Bawuk “Kalau Ken Arok bersungguh-sungguh, maka kaulah yang akan terbunuh”.
“Tidak, aku mampu membunuhnya”.
“Jangan keras kepala” kemudian, kepada Kenengkung ia berkata “Ayo, cepat. Masuklah ke gelanggang”.
Tetapi Kenengkung menjadi ragu-ragu. Agaknya Kunal tidak begitu senang apabila ia ikut membantunya.
“Cepat” tiba-tiba Panji Bawuk berteriak tinggi. Kenengkung menjadi takut, dan Kunal pun tidak mau membantah lagi. Sehingga dengan demikian Ken Arok kini harus berhadapan dengan dua orang lawan yang masih cukup muda.
Namun dengan demikian Ken Arok mendapat gambaran bahwa keempat anak Bango Samparan itu benar-benar ingin mempermainkannya dengan segala cara. Tetapi juga tidak mustahil, bahwa akhir dari permainan itu adalah kematian yang sebenarnya baginya, apabila ia tidak berhasil membela dirinya sebaik-baiknya.
Tetapi meskipun demikian, betapa kemarahan menyala di dada Ken Arok, ia masih tetap tidak kehilangan akal. Dengan demikian, maka ia masih tetap menekan sedalam-dalamnya nafsunya untuk membunuh. Ia masih tetap menyadari dirinya. Apabila ia membunuh hanya karena kemarahan dan dendam, maka ia akan menodai kedudukannya sendiri, yang justru harus berbuat sebaliknya. Melindungi kelemahan dan meluruskan kesalahan dalam pengertian, menuntun mereka kembali kepada jalan yang lurus, bukan harus membinasakan tanpa pertimbangan.
Melawan kedua kakak beradik yang terkecil dari saudara-saudara anak Bango Samparan itupun, Ken Arok tidak menjadi waringutan dan bermata gelap. Ternyata mereka masih benar hijau dalam olah senjata. Mereka lebih senang menari dan mencoba menipu lawannya dengan gerak-gerak yang tidak berarti, sehingga apabila mereka harus berkelahi dalam waktu yang agak lama maka mereka akan segera kehabisan nafas.
Tetapi karena mereka berdua, maka Ken Arok pun harus lebih berhati-hati lagi. Ia mencoba menyesuaikan dirinya pada kedua lawannya. Dengan lincahnya ia pun berloncatan, dan menggerakkan senjatanya dengan ayunan-ayunan yang manis, seperti juga kedua lawannya yang sedang menari. Sekali-kali senjata mereka memang berbenturan, tetapi sama sekali tidak menumbuhkan tekanan-tekanan yang berarti. Meskipun demikian sekali-kali Ken Arok memberi peringatan pula kepada lawannya. Ujung pedangnya kadang-kadang berhasil menyentuh pakaian Kunal dan Kenengkung, bahkan kemudian kulitnya.
“Setan alas” kadang-kadang Kenengkung yang masih terlalu muda itu mengumpat. Geraknya menjadi semakin cepat dan lincah. Namun dalam tanggapan Ken Arok, ia pasti akan segera kehabisan tenaga.
Justru karena lawan-lawannya itulah, maka kemarahan di dalam dada Ken Arok menjadi reda. Ia benar-benar tidak sampai hati untuk melukai lawannya yang masih belum dapat berbuat terlampau banyak dengan senjata-senjata mereka yang garang. Tetapi, apakah demikian juga kedua kakak-kakaknya yang terbesar?
Ken Arok bertempur sambil berteka-teki di dalam hatinya. Sekali-kali ia mencoba memandang wajah Panji Kuncang yang tegang dan Panji Bawuk yang tersenyum-senyum. Ia tidak segera dapat mengerti apakah yang bergolak di dalam dada kedua orang itu. Tetapi menilik sikapnya, maka mereka berdua mempunyai tanggapan yang berbeda atas kedua adik-adik mereka yang sedang berkelahi.
Ternyata Panji Kunal dan Kenengkung sendiri tidak dapat menjajagi kemampuan lawannya. Karena Ken Arok berkelahi sambil berloncatan, maka mereka menyangka, bahwa Ken Arok pun telah mempergunakan segenap kemampuannya untuk melawan mereka berdua. Karena itu maka mereka menjadi semakin bernafsu. Kalau sekali-sekali ujung senjata Ken Arok menyentuh kulit mereka, maka mereka pun segera menggeram dan mengumpat-umpat.
Kunal dan Kenengkung pun semakin lama menjadi semakin dalam tenggelam dalam perkelahian yang kurang dapat mereka nilai. Mereka telah memeras segenap kemampuan yang ada di dalam diri mereka. Namun mereka sama sekali tidak berhasil melukai lawannya, bahkan menyentuh pun tidak. Karena itu, kemarahan di dalam dada mereka serasa menjadi semakin menyala. Mereka memeras tenaga mereka tanpa perhitungan didorong oleh keinginan mereka untuk segera menjadi seorang pahlawan.
Kuncang memandang perkelahian itu dengan wajah yang tegang. Ia tahu, bahwa kedua adiknya tidak akan dapat mengalahkan Ken Arok. Tetapi ia pun tidak mendapat penilaian yang sebenarnya tentang lawan kedua adik-adiknya. Meskipun demikian ia mengerti, bahwa ternyata Ken Arok bukanlah seorang yang dapat dibuat permainan yang menyenangkan seperti yang mereka sangka.
Kemarahan di dalam dada Kuncang pun menjadi semakin menyala. Ia hamper-hampir tak dapat mengekang dirinya lagi ketika ia melihat kedua adiknya seakan-akan tidak mampu berbuat apapun selain meloncat-loncat dan melonjak-lonjak. Setiap kali mereka kehilangan sasaran dan terkejut oleh sentuhan-sentuhan senjata lawan. Bahkan sekali-sekali Ken Arok mengenai mereka tidak dengan ujung pedang, tetapi dengan ujung-ujung jari tangan kirinya. Demikian kuat tekanan ujung-ujung jari Ken Arok, sehingga Kunal, yang terdorong oleh kekuatan jari-jari Ken Arok itu pun terhuyung-huyung baberapa langkah, dan hampir saja ia jatuh terjerembab.
“Setan” Kunal mengumpat. Dengan segenap tangannya maka ia menyerang sejadi-jadinya. Tombaknya mematuk-matuk dengan cepatnya, tetapi sudah kehilangan keseimbangan. Apalagi Kenengkung. Ia bahkan menjadi bingung dan kadang-kadang kedua anak-anak muda itu saling berbenturan di antara mereka sendiri.
Panji Bawuk melihat perkelahian itu sambil tertawa-tawa. Kadang-kadang suara tawanya meninggi, kadang-kadang merendah. Akan tetapi kadang-kadang wajahnya pun menjadi kerkerut-merut membayangkan ketegangan di dalam dadanya. Tetapi karena sikapnya, karena bayangan-bayangan yang berbeda-beda diwajahnya, maka Ken Arok pun tidak segera dapat menebak kesan daripadanya. Kesan yang didapatnya pada wajah Kuncang menjadi semakin nyata. Ketegangan dan gemeretak giginya mengatakan, bahwa Kuncang pun akan segera turun ke gelanggang.
Dugaan Ken Arok memang tidak salah. Ketika Kunal dan Kenengkung telah menjadi terengah-engah dan hampir-hampir kehabisan nafas, maka terdengar Kuncang berteriak, “Minggir setan-setan kecil. Kalian tidak akan mampu menyelesaikannya. Akulah yang akan membunuhnya dan memiliki pedang yang bagus itu”.
“Aku belum puas”, teriak Kunal. Tetapi nafasnya hampir putus “Aku dan Kenengkung akan mampu menyelesaikan pekerjaan ini. Nanti kau tinggal menguburnya di bawah rumpun bambu itu”.
“Minggir”, Panji Kuncang berteriak, “Jangan menunggu sampai lehermu terpenggal”.
Suara Kuncang ternyata telah mengejutkan Kunal dan Kenengkung, bahkan Panji Bawuk pun mengerutkan keningnya pula. Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun. Agaknya ia ingin melihat, apakah yang dapat dilakukan oleh adiknya dan untuk menilai sampai puncak kemampuan Ken Arok itu. Panji Kunal dan Kenengkung pun kemudian berloncatan menepi. Apapun yang mereka katakan, tetapi mereka harus mengakui bahwa sebenarnyalah bahwa mereka tidak akan mampu melawan Ken Arok berdua.
Kini mereka berdiri menepi. Mereka melihat Kuncang dengan mata menyala karena kemarahan yang membakar dadanya, maju setapak demi setapak mendekati Ken Arok yang berdiri tegak dengan pedang ditangannya.
“Hem, kau merasa bangga, bahwa kau dapat mengalahkan bayi-bayi ingusan itu?”
Ken Arok menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya. Aku berbangga sekali”.
Jawaban itu sama sekali tidak terduga-duga oleh Panji Kuncang sehingga juttru ia terdiam sejenak. Namun yang terdengar adalah suara Panji Bawuk, “Hati-hatilah Kuncang. Orang ini agaknya cukup berbisa. Lihat, betapa tenang matanya dan betapa yakin ia menggenggam pedangnya”.
Ken Arok berpaling. Dipandanginya wajah Panji Bawuk sekilas. Kini orang itu tidak lagi tersenyum-senyum. Wajahnya menjadi semakin bersungguh-sungguh. “Kenapa dengan tikus itu”, mereka dikejutkan oleh pertanyaan dari pintu rumah mereka. Serentak mereka berpaliug, dan melihat isteri muda Bango Samparan berdiri bertolak pinggang, “Apakah kalian tidak mampu menyelesaikan”.
“Tunggu”, terdengar suara Bango Samparan pula. Dijengukkannya kepalanya dari balik pintu rumahnya di belakang isteri mudanya, “Hentikan pertengkaran itu”.
“Apa, apa?” isteri mudanya berteriak sambil memutar tubuhnya. Sekali lagi ia menyeret Bango Samparan menghilang di balik pintu rumahnya.
Sekali lagi Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Bango Samparan benar-benar tidak berdaya menghadapi istri mudanya. Sampai pada persoalan nyawa sekalipun ia tidak berani berbuat sesuatu. Ken Arok menengadah wajahnya ketika ia mendengar Kuncang berkata sambil menggeretakkan giginya
“Sekarang kau lawan aku Ken Arok. Kalau kau masih juga ingin memperpanjang umurmu barang sekejap, ayo, lawanlah”.
Dan tanpa diduganya pula Ken Arok menjawab “Aku ingin memperpanjang umurku tidak hanya sekejap”.
“Apa kau sangka kau akan mampu meninggalkan halaman ini?” teriak Kuncang.
“Ya, aku memang mengira bahwa aku akan keluar dari halaman ini dengan selamat dan tanpa rintangan apa pun. Aku dapat berbuat sekehendakku tanpa seorang pun dapat menahan. Kalian juga tidak”.
Kemarahan Kuncang telah membakar seluruh kepalanya, sehingga tanpa berbicara lagi, ia langsung melompat sambil menyerang.
Terasa oleh Ken Arok, bahwa serangan ini sama sekali berbeda dengan serangan Kenengkung dan bahkan Kunal. Meskipun Kuncang adalah kakak langsung Panji Kunal, namun ternyata tingkat ilmu mereka agak jauh berbeda. Kuncang memiliki tenaga yang cukup kuat, serta kecepatan bergerak yang tinggi. Dalam saat-saat permulaan dari perkelahian itu, senjatanya telah berputaran dengan dahsyatnya.
Untuk melawannya Ken Arok harus menjadi semakin berhati-hati. Kuncang yang agaknya memiliki pengalaman yang cukup luas, seperti yang dikatakan oleh kakaknya, bahwa ia mampu menjaga dirinya terhadap lawan-lawannya.
“Lawanmu kali seorang Pelayan Dalam Istana Tumapel Kuncang” berkata Panji Bawuk, “Pelayan tidak berbeda dengan seorang prajurit. Apalagi prajurit yang satu ini mempunyai pengalaman yang luas sekali. Mungkin sebagai seorang prajurit ia belum mendapat pengetahuan apapun, karena selama ini ia sekedar menjadi petugas yang diletakkan di Padang Karautan, bukan untuk berperang, tetapi untuk membuat bendungan. Namun pengalamannya sebagai penyamun yang berkeliaran di segala tempat, agaknya sangat berbahaya bagimu”.
Panji Kuncang menggeram. Namun tandangnya menjadi semakin garang. Senjatanya mematuk-matuk dari segala arah, berputaran seperti asap yang bergulung-gulung melanda lawannya. Ken Arok kini tidak lagi dapat bermain-main, seperti pada waktu ia berkelahi melawan Kunal dan Kenengkung. Sambaran senjata Kuncang cukup berbahaya baginya. Parang yang panjang itu terayun-ayun, dengan dahsyatnya.
Sejenak kemudian mereka segera terlibat dalam perkelahian yang sengit. Kadang terdengar dentang senjata mereka beradu. Semakin lama semakin sering. Kuncang pun menjadi semakin bernafsu. Benturan-benturan senjata di antara mereka, sama sekali tidak mencemaskan hati Panji Kuncang. Tangan Ken Arok ternyata terasa terlampau kuat. Benturan-benturan yang terjadi, tidak menggetarkan parangnya. Bahkan sekali-kali Ken Arok terpaksa berloncatan surut.
“Akan lari kemaua kau anak setan?” teriak Kuncang. Ken Arok tidak menjawab. Ia sedang mencoba mendapatkan kesan dari Panji Bawuk, saudara tertua dari anak-anak Bango Samparan itu.
Wajah Panji Bawuk yang semula mulai menegang kini telah tampak dibayangi oleh senyumnya yang penuh rahasia itu lagi. Ia melihat bahwa Kuncang segera dapat mendesak lawannya. Ketika Ken Arok terdorong beberapa langkah surut, maka Panji Bawuk itu tertawa sambil berkata ”Nasibmu memang terlampau jelek hari ini Ken Arok. Selama ini kau mendapat kesempatan yang tidak terduga-duga. Kau pada saat-saat kelaparan datang merunduk-runduk ke rumah ini, tetapi setelah kau menjadi seorang prajurit yang agak baik, kau sudah melupakan kami. Kau tidak pernah lagi menginjakkan kakimu di halaman rumah ini. Dan kini, aku tidak tahu, nasib apakah yang telah menuntunmu kemari. Eh, barangkali kau jumpa dengan ayah diperjalanan dan kau tahu bahwa ayah sedang berusaha untuk memiliki seberkas perhiasan sehingga kau dengan merunduk-runduk pula datang kemari”.
Dada Ken Arok berdesir mendengar kata-kata Panji Bawuk. Agaknya mereka, anak-anak Bango Samparan itu telah tahu, bahwa Bango Samparan membawa seikat perhiasan.
“Jangan ingkar Ken Arok. Perhiasan itulah yang menuntunmu kemari”.
Tanpa sesadarnya tiba-tiba Ken Arok bcrtanya, “Darimana kau tahu hal itu?”
Panji Bawuk tertawa terbahak-bahak. Disela-sela suara tertawanya ia berkata, “Ha, dengan tidak langsung kau mengaku bukan?”
Ken Arok tidak menjawab, karena serangan Panji Kuncang menjadi semakin dahsyat membelit dirinya. Tiba-tiba dari dalam rumah terdengar suara Bango Samparan, “Darimana kau tahu he, dari mana?”
Suara tertawa Panji Bawuk semakin menggelegar. Las-lasan ia berkata, “Seseorang singgah kemari. Nafasnya terengah dan bahkan ia hampir mati. Katanya, ayah sedang berkelahi dibantu oleh seorang anaknya laki-laki. Ayah sedang memperebutkan seberkas perhiasan yang sangat berharga. Nah, benarkah kata-kata orang itu?”
“Kalau kau dengar kabar itu, kenapa kalian tidak segera datang membantu?” bantah Bango Samparan dari dalam rumahnya.
“Ayah telah disertai seorang anaknya. Anak laki-laki yang tampan dan bernama Ken Arok. Buat apa kami datang membantu ayah? Bukankah ayah telah berhasil memenangkan perkelahian itu dan membawa seberkas perhiasan pulang? Nah, kini datang gilirannya untuk menyingkirkan Ken Arok, supaya ia tidak ikut serta berebut perhiasan itu. Bukankah persoalannya menjadi jelas? Perhiasan itu hanya boleh jatuh ketangan kami, keluarga kami. Tidak kepada orang lain yang selama kami dalam kesulitan sama sekali tidak mau tahu, meskipun pada saat kelaparan ia menjilat kaki kami”.
Ken Arok yang masih bertempur melawan Panji Kuncang mendengarkan keterangan-keterangan Panji Bawuk itu dengan getar yang semakin cepat di dadanya. Agaknya seseorang yang telah singgah di rumah ini, adalah kawan Bango Samparan yang masih hidup dan melarikan diri dalam kesempatan yang diberikan oleh Ken Arok. Agaknya orang itu tahu, bahwa Bango Samparan tidak juga segera lari meninggalkan arena, sehingga ia memerlukan singgah di rumah Bango Samparan untuk mengabarkan hal itu.
“Nah Ken Arok”, berkata Panji Bawuk, “Agaknya sudah jelas bagimu, kenapa kami bernafsu untuk membunuhmu. Bagi kami lebih baik membunuh kau sama sekali dari pada mengusir kau dari halaman ini. Sebab dengan demikian, persoalan antara kita belum dapat dianggap selesai. Tetapi kalau kau sudah terbunuh, maka tidak akan ada persoalan lagi di antara kita tentang permata itu”.
Ken Arok msnjadi semakin muak melihat sikap-sikap itu, sehingga ia tidak dapat menahan hati lagi untuk menjawab sambil berkelahi, “He, Panji Bawuk, apakah kau sudah melihat permata yang kau katakan itu?”
Panji Bawuk mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia tertawa, “Tentu belum. Bukankah kalian baru saja datang? Tetapi apabila kau sudah mati, maka kami akan segera melihatnya”
“Bagaimana kalau permata itu sama sekali tidak berharga, karena dipalsukannya”
“He?” wajah Panji Bawuk menegang, tetapi sekali lagi ia tertawa, “O, kau sedang mencari jalan untuk menyelamatkan dirimu Ken Arok? Jangan kau sangka, bahwa kami akan mempercayaimu. Seandainya permata itu palsu sekalipun, kami tidak akan terugikan karena kami telah membunuhmu”
Yang terdengar adalah gemeretak gigi Ken Arok. Seolah-olah ia sudah tidak akan mampu lagi menekan diri. Seandainya, seandainya ia bukan seorang prajurit, seandainya ia tidak pernah tinggal di rumah ini sebagai seorang anak yang hampir kelaparan, seandainya isteri tua Bango Samparan tidak terlampau baik kepadanya, seandainya, seandainya ya banyak sekali persoalan yang harus dipertimbangkan.
“Akibat dari keadaanku masa lalu, ketika aku mendapat perlakuan baik dari orang-orang di sekitarku. Aku tidak dapat melupakan hutang budi itu” Tetapi sikap keempat anak-anak muda itu benar memuakkan Ken Arok.
Dalam pada itu Panji Bawuk berkata, “Ken Arok, kami sudah mendengar seluruhnya, meskipun dengan singkat. Bahwa, kau telah berkelahi melawan seseorang yang disangka membawa permata-permata itu”.
“Tetapi aku hanya memberi kesempatan kepada orang itu dan kepada ayah untuk lari, sampai datang saatnya aku sendiri lari dari arena” Ken Arok mencoba membantah.
“O, begitu?” suara Bango Samparan meninggi, “tetapi Ken Arok kalau begitu, maka kau tidak akan singgah kemari. Kalau kau dan ayah tidak berhasil bersama-sama membunuh orang yang disebutnya bekas seorang prajurit Kediri itu, kau pasti tidak akan sudi lagi menginjakkan kakimu di halaman yang pasti kau anggap terlampau kotor ini, karena kakimu biasa berpijak di halaman istana yang gilar-gilar seperti permadani”.
Dada Ken Arok menjadi kian menyesak. Itulah penilaian orang seperti Panji Bawuk terhadapnya, seperti ia menilai dirinya sendiri. Anak sulung Bango Samparan itu menganggap bahwa setiap orang selalu dicengkam oleh pamrih yang berlebih-lebihan, sehingga tanpa pamrih, maka. seseorang pasti tidak akan berbuat sesuatu.
Panji Bawuk itu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar suara Bango Samparan berteriak dari dalam rumahnya, “Kau keliru Bawuk. Ken Arok sebenarnya tidak tahu menahu tentang permata-permata yang kau katakan itu”.
“Diam kau” teriak isteri mudanya.
“Tetapi anak-anak itu harus bersikap adil”.
“Sikap yang dilakukannya sekarang adalah sikap yang seadil-adilnya”.
“Tetapi mereka hanya bernafsu untuk membunuh tanpa mengetahui persoalan yang sebenarnya”.
“Apakah kau sudah mulai lagi he?” isteri mudanya itu berteriak semakin keras, “Kau akan membela anak keparat itu? Ayo, lakukan, lakukan?”
“Bukan begitu, aku ingin semua menjadi baik tanpa kekerasan seperti ini”.
“Kapan kau menjadi takut melihat kekerasan. Sejak kapan he?”
Suara Bango Samparan terdiam ketika isterinya berteriak dan berteriak semakin keras. Sedang di halaman perkelahian antara Panji Kuncang dan Ken Arok masih berlangsung dengan serunya. Namun dalam pada itu, Ken Arok telah menemukan rahasia perlawanan Panji Kuncang. Setelah Panji Kuncang mengerahkan kemampuannya, maka segera Ken Arok tahu, bahwa anak ini pun sama sekali bukan lawannya.
Meskipun demikian, Ken Arok tidak segera berbuat terlampau jauh. Kekangan atas dirinya sendiri masih cukup kuat. Apalagi pedang yang dibawanya adalah pedang keprajuritan Tumapel. Apabila pedang itu mencabut nyawa seseorang, maka ia harus mempertanggung jawabkan sepenuhnya, bertanggung jawab sebagai seorang prajurit, apalagi sebagai seorang yang pernah berlindung di dalam rumah ini juga pada saat yang paling sulit.
Itulah sebabnya maka Ken Arok selalu mengekang kemarahan dan segala macam rasa muak di dalam dadanya. Dilayaninya saja Panji Kuncang seperti ia melayani anak-anak sedang bermain-main. Betapapun lincah dan cepatnya Kuncang memainkan senjatanya, namun bagi Ken Arok yang pernah berkelahi melawan seseorang semacam Kebo Sindet, maka pekerjaannya kali ini terasa tidak terlampau berat. Yang sangat berat baginya justru bagaimana ia tetap mampu menguasai perasaannya yang ingin melonjak-lonjak.
“Tetapi apakah Panji Bawuk masih juga setingkat dengan adiknya?” bertanya Ken Arok di dalam hatinya. Tetapi menilik sikap dan ketenangannya, maka anak muda itu benar-benar harus diperhitungkan.
Sementara itu perempuan tua yang semula berdiri di samping rumah kini tegak bersandar dinding. Ia tidak sampai hati melihat Ken Arok mengalami perlakuan yang demikian jeleknya dari anak-anak madunya, meskipun madunya itu saudaranya sendiri. Tetapi ia berkeinginan untuk melihat akhir dari peristiwa yang sangat menyakitkan hati itu. Karena itu, kadang-kadang ia mencoba melihat perkelahian itu dari sela-sela dedaunan, namun kadang-kadang ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Panji Kuncang yang tidak segera berhasil mengalahkan lawannya, menjadi semakin marah. Menurut penilaiannya, Ken Arok bukan lawan yang terlampau berat. Benturan-benturan senjata diantara mereka, sama sekali tidak menumbuhkan getaran yang mengganggu tangannya. Namun, sampai begitu lama, ia sama sekali tidak berhasil menyentuh lawannya.
Sedang Ken Arok yang telah menemukan penilaian yang mantap, membiarkannya berkelahi sampai ia kehabisan tenaga. Ken Arok ingin, Kuncang nanti tidak akan mengganggunya apabila Panji Bawuk yaag harus dilawannya. Kalau tenaga Kuncang ini sudah terperas habis, maka peranannya sama sekali sudah tidak akan berarti lagi meskipun ia akan membantu kakaknya nanti. Itulah sebabnya Ken Arok membiarkannya berkelahi terus, seolah-olah keadaan mereka tetap seimbang, sedang bagi Ken Arok permainan yang demikian sama sekali tidak melepaskan terlampau banyak tenaga. Tenaga yang tersimpan di dalam diri anak muda yang ajaib itu. Tenaga yang mampu menyamai tenaga beberapa orang pilihan.
Meskipun tampaknya perkelahian antara Panji Kuncang dan Ken Arok itu menjadi semakin seru, tetapi sebenarnya tidak terjadi apapun atas Ken Arok itu. Nafasnya masih tetap teratur dan tenaganya masih tetap segar, meskipun ia berusaha menunjukkan bahwa ia pun telah menjadi lelah. Maka perhatian Ken Arok selanjutnya pasti akan terpusat kepada Panji Bawuk. Meskipun Ken Arok tidak akan meremehkannya, namun menilik tingkat ilmu Panji Kuncang, maka setidak-tidaknya ia tidak akan menjadi bahan permainan yang menyenangkan bagi Panji Bawuk. Bahkan seandainya mereka berempat bergabung menjadi satu, maka Ken Arok masih juga akan mampu bertahan.
Tetapi Ken Arok tidak boleh segera berbesar hati. Ia belum pernah melihat Panji Bawuk berbuat sesuatu. Itulah sebabnya, maka ia masih harus tetap berwaspada. Namun ia masih tetap dalam pendiriannya, membuat Kuncang tidak berdaya tanpa membuat persoalan menjadi semakin parah. Kalau Kuncang nanti berhenti dengan sendirinya karena kelelahan, maka kesannya pasti akan berbeda daripada ia menjatuhkannya, atau melukainya bahkan membunuhnya.
Demikianlah maka perkelahian itu masih juga berlangsung dengan sengitnya. Panji Bawuk yang telah mulai tertawa-tawa itu kini menjadi tegang kembali. Wajahnya mulai berkerut-merut dan dari matanya yang menyimpan seribu macam rahasia itu terpancar seribu macam pertanyaan. Kini ia mengikuti perkelahian itu dengan saksama. Tetapi ternyata Ken Arok dapat melakukan peranannya dengan sempurna. Bahkan kemudian memang timbul di hati Ken Arok, untuk mempermainkan anak-anak Bango Samparan yang sambong itu.
“Aku harus membuat mereka jera” katanya di dalam hati, “Mereka harus menyadari, bahwa mereka bukan orang yang paling kuat di dunia. Bahwa mereka tidak dapat berbuat sewenang-wenang dan sekehendak mereka sendiri tanpa mengingat kepentingan orang lain”.
Kini Ken Arok telah berhasil mengatasi kesulitan di dalam dirinya sendiri. Ia tidak lagi dicengkam oleh kebencian dan muak yang berlebih-lebihan sehingga tidak lagi tumbuh niat di dalam hatinya, betapapun buramnya, nafsu untuk membinasakan lawannya, yang harus dikekangnya kuat-kuat.
Tetapi yang terjadi atas Panji Kuncang adalah sebaliknya. Kalau Ken Arok kini telah menemukan kemantapan diri, sehingga perasaannya tidak lagi bergejolak, maka Panji Kuncang menjadi semakin membara dibakar oleh kemarahannya. Apapun yang telah dilakukannya, sama sekali tidak berhasil membuat lawannya lumpuh. Meskipun kadang-kadang ia berhasil mendesak Ken Arok, dan bahkan berhasil mendorongnya beberapa langkah surut dan tampaknya menjadi kebingungan, namun setiap kali lawannya itu berhasil menemukan keseimbangannya lagi.
Dengan demikian, maka semakin lama Panji Kuncang menjadi semakin bermata gelap. Tandangnya menjadi semakin kasar dan tidak terarah. Ia menyerang sejadi-jadinya, semakin lama semakin garang dan bahkan menjadi liar seperti serigala mencium bau darah. Tetapi seekor kambing yang sudah berada di depan hidungnya tidak berhasil segera diterkamnya.
Namun semakin bernafsu, maka Kuncang semakin mengerahkan segenap tenaganya. Keringatnya membasahi segenap tubuhnya seperti terperas. Kulitnya yang berwarna sawo menjadi kemerah-merahan dan berkilat tersentuh sinar matahari yang menyusup dari sela-sela dedaunan. Sehingga dengan demikian maka ia telah hampir kehilangan pengamatan atas gerak dan sikapnya. Kadang-kadang ia bahkan kehilangan keseimbangan karena tenaganya sendiri. Ayunan senjatanya sendiri kadang-kadang telah menyeretnya sehingga anak muda itu hampir jatuh terjerembab.
Dalam keadaan yang demikian, betapapun Ken Arok mencoba menyesuaikan dirinya, namun mata Panji Bawuk yang aneh itu akhirnya melihat juga kejanggalan-kejanggalan yang terjadi. Ken Arok telah terlampau banyak melepaskan kesempatan yang dapat dipergunakan untuk membinasakan lewannya seandainya ia mau. Tetapi kesempatan itu dilampauinya saja. Betapa ia membuat dirinya seperti lawannya, namun kemudian menjadi semakin jelas, bahwa ia telah berbuat tidak sewajarnya.
Justru sikap itulah yang telah membuat dada Panji Bawuk serasa menjadi retak. Baginya itu adalah suatu penghinaan. Penghinaan tiada taranya bagi adiknya dan sudah tentu bagi dirinya sendiri. Panji Bawuk itu pun menggeretakkan giginya. Wajahnya kini seakan menyala. Ternyata bahwa tanggapan atas perkelahian antara adiknya dan Ken Arok itu terlampau jauh meleset.
Untuk menebus penghinaan itu, maka Panji Bawuk merasa perlu berbuat sesuatu yang dapat menghentakkan perasaan Ken Arok, agar ia tidak menganggap, bahwa seluruhnya, keempat saudara itu hanya sekedar pantas untuk dibawa bermain-main. Karena itu, maka disela-sela gemeretak giginya terdengar ia menggeram. Sekali lagi diamatinya perkelahian yang semakin lama menjadi semakin lemah. Kadang-kadang Kuncang tidak lagi dapat menahan tarikan senjatanya sendiri, sehingga ia jatuh di atas lututnya.
Namun sementara itu, Ken Arok pun tidak segera dapat mengangkat pedangnya. Tertatih-tatih ia mencoba mendekati lawannya yang sedang berlutut itu, tetapi sementara itu nafasnya sendiri seolah-olah akan menjadi putus. Tetapi Ken Arok itu terkejut, ketika tiba-tiba ia mendengar Panji Bawuk berteriak nyaring. Tanpa sesadarnya, baik Ken Arok maupun Panji Kuncang tertegun. Mereka serentak berpaling, dan melihat Panji Bawuk meloncat sambil mengayunkan parangnya dengan dahsyatnya. Semua dada mereka yang melihat serasa terguncang. Parang Panji Bawuk yang terayun itu langsung menghantam sebatang pohon kemiri yang sedang berbuah lebat.
Akibatnya benar-benar luar biasa. Yang terdengar kemudian adalah derap buah-buah kemiri yang rontok di tanah. Namun kemudian terdengar pula gemeretak batang kemiri itu. Perlahan-lahan, semakin lama semakin keras. Perlahan-lahan batang kemiri itupun bergerak pula. Semakin condong. Akhirnya terdengar suara gemuruh di halaman rumah Bango Samparan, sehingga baik isteri mudanya, isteri tuanya dan Bango Samparan sendiri berloncatan keluar dari rumahnya.
“Kenapa dengan pohon kemiri itu?” teriak isteri muda Bango Samparan.
Tidak ada seorang pun yang menjawab. Tetapi mereka melihat Panji Bawuk berusaha menarik pedangnya yang terjepit di atas batang kemiri yang patah itu.
“Kau tebang pohon itu?” bertanya isteri muda Bango Samparan itu.
Panji Bawuk tidak menjawab. Tetapi ia berteriak kepada Ken Arok, “Nah anak yang sombong. Sekarang buatlah penilaian atas keluarga kami. Kau telah mencoba menghina kami dalam perkelahianmu melawan Kuncang dan anak-anak ingusan itu. Kau sangka bahwa dengan demikian kau akan berhasil membujuk hati kami? Tetapi kau salah. Penghinaan itu justru menuntut kepada keluarga kami untuk membinasakan kau secepat-cepatnya. Jangan kau sangka, bahwa di antara kami sama sekali tidak ada kekuatan yang dapat kami banggakan. Sekarang kau dapat memperhitungkan, apakah kau mampu melawan ayunan parangku dengan pedang prajuritmu. Kalau pedang itu tidak patah maka tanganmulah yang akan patah. Nah, apakah kau akan mencobanya?”
Sesaat Ken Arok berdiri diam. Dipandanginya wajah Panji Bawuk yang seolah-olah sedang terbakar. Matanya menyorotkan kebencian tiada taranya, serasa api yang menjilat jantungnya.
“Kuncang, minggir” nada suara Panji Bawuk merendah.
“Aku hampir menyelesaikannya kakang” sahut Kuncang.
“Kau gila. Kunal dan Kenengkung pun sudah gila. Kalian membuat keluarga kami malu. Apakah kau tidak sadar, bahwa Ken Arok hanya sekedar mempermainkan kalian”.
Panji Kuncang mengerutkan keningnya. Di sela-sela nafasnya yang memburu ia menjawab, “Ken Arok hampir mati kehabisan nafas”.
“Kau yang gila. Kaulah yang akan mati kehabisan nafas. Kau tidak sadar, bahwa Ken Arok sengaja memancingmu untuk berkelahi terus dan membiarkan kau terkapar karena pokalmu sendiri. Apakah kau sangka bahwa Ken Arok telah benar-benar kehabisan nafas”.
“Ia sudah tidak mampu lagi mengayunkan pedangnya”.
“Anak gila. Kau adalah anak yang paling bodoh di dunia”.
Panji Kuncang masih akan menjawab. Tetapi tiba-tiba Panji Bawuk itu meloncat dengan derasnya sambil mengayunkan parangnya menyambar leher Ken Arok yang berdiri termangu-mangu. Ken Arok terkejut melihat serangan yang tiba-tiba itu. Mata parang Panji Bawuk meluncur seperti kuku-kuku harimau yang terbang untuk menerkamnya.
Tetapi Ken Arok mempunyai tanggapan naluriah yang terlampau tajam menghadapi suatu keadaan yang tiba-tiba. Karena itu, maka seperti tergerak oleh dorongan urat-uratnya yang bekerja sendiri, Ken Arok pun meloncat dengan cepatnya, menghindari sambaran parang Panji Bawuk itu. Dengan sigapnya ia merendah, melontarkan diri beberapa langkah kesamping.
Namun agaknya Panji Bawuk tidak berhenti. Begitu kakinya berjejak di atas tanah, maka segera tubuhnya terlempar kembali memburu lawannya dengan parang berputar seperti baling-baling. Sekali lagi Ken Arok terus menghindar. Kali ini ia menjadi semakin mapan, sehingga dengan lincahnya ia meloncat beberapa langkah surut tanpa kesulitan apapun. Dan dengan segera pula ia bersiaga untuk menghadapi seranganserangan Panji Bawuk selanjutnya. Pedangnya kini bersilang di depan dadanya, lututnya sedikit merendah, dan satu telapak tangannya terkembang di atas pergelangan tangannya yang lain.
Tetapi Ken Arok itu menjadi heran. Panji Bawuk tidak memburunya lagi. Kini ia berdiri tegak sambil menyeringai. Katanya, “Kuncang, bukalah matamu. Itukah gambaran seseorang yang telah kehabisan nafas dan bahkan hampir mati membeku. Itukah gambaran seseorang yang sudah tidak mampu lagi menggerakkan pedangnya karena kelelahan? Nah, bandingkan dengan jalan nafasmu sendiri. Apakah kau dapat melihat perbedaannya? Dan apakah kau masih juga akan berkata bahwa kau sudah hampir berhasil karena Ken Arok sudah kehabisan nafas?”
Panji Kuncang berdiri membeku seperti tonggak yang terpancang di regol halaman. Kini ia baru menyadari kebenaran kata-kata kakaknya, bahwa sebenarnya Ken Arok sama sekali belum kehabisan nafas seperti yang diduganya. Tiba-tiba terasa tengkuk Panji Kuncang itu meremang, di samping keheranan yang menjalari hatinya. Kenapa Ken Arok berbuat demikian? Kenapa ia berpura-pura kehabisan tenaga dan tidak membunuhnya. Ketika ia jatuh berlutut, dan dengan susah payah berdiri bertelekan senjatanya, adalah merupakan kesempatan yang sebaik-baiknya bagi Ken Arok untuk membunuhnya. Kalau bagi Ken Arok itu meloncat dan mengayunkan pedangnya, maka ia pasti tidak akan mendapat kesempatan untuk berbuat apapun. Pedang itu pasti akan menebas lehernya, atau menghunjam di punggungnya. Tetapi Ken Arok tidak berbuat demikian.
“Anak itu harus memperhitungkan kehadiran kakang Panji Bawuk”, Kuncang mancoba mencari jawab. “Seandainya ia ingin berbuat demikian, ingin membunuhku, maka kakang Panji Bawuk yang mumpuni itu pasti mampu mencegahnya”. Kuncang kini mengangguk-angguk, tetapi pertanyaan itu timbul pula, “Tetapi kenapa ia tidak mencobanya, bahkan berpura-pura kelelahan juga”.
Terasa benturan-benturan perasaan bergejolak di dalam dada Panji Kuncang. Tetapi ia mencoba menemukan jawabnya pada keterangan kakaknya, “Ken Arok dengan sengaja telah menghina keluarga kami. Ia ingin melihat aku jatuh karena pokalku sendiri. Dan penghinaan yang demikian benar-benar tidak dapat dimaafkan”.
Kini Kuncang menggeretakkan giginya. Tetapi ia terbungkam ketika ia mendengar kakaknya bertanya, “Kau mau apa lagi he?”
Panji Kuncang menelan ludahnya. Titik-titik keringat kini mengembun di atas keningnya, menetes satu-satu ditubuhnya yang telah basah. Kini Panji Bawuk berdiri dengan parangnya tergenggam erat-erat. Dipandanginya Ken Arok dengan matanya yang merah oleh kemarahan yang bergejolak tanpa terkendalikan lagi. Penghinaan itu benar-benar membuatnya mata gelap.
“Sudahlah, sudahlah” suara Bango Samparan sendat.
“Hajar anak gila itu” teriak isteri mudanya.
“Sudahlah” berkata Bango Samparan pula.
“Ia menghina keluarga kami ayah” jawab Panji Bawuk, “Ia menganggap bahwa kami tidak cukup bernilai untuk bertempur beradu dada. Ia menganggap Kuncang seperti anak-anak yang merengek-rengek berebut permainan. Dan Ken Arok sebagai saudara tua merasa wajib untuk mengalah. Tetapi bukankah itu suatu penghinaan? Apakah disangkanya kita tidak berani menitikkan darah? Bagiku ayah, lebih baik mati ditebas senjata dari pada mendapat penghinaan serupa itu”.
“Tetapi tidak baik kalian semakin jauh tenggelam dalam pertengkaran yang tidak berujung pangkal”.
“Aku akan membunuhnya”.
“Kalau kau berpangkal pada perhiasan-perhiasan itu, baiklah aku memberi penjelasan. Perhiasan itu sama sekali tidak ada padaku”.
Panji Bawuk mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah ayahnya sejenak, kemudian wajah Ken Arok, ibunya dan setiap wajah di halaman itu. Namun kemudian ia menggeram, “Aku tidak percaya”.
“Aku berkata sebenarnya. Orang yang membawa permata itu berhasil melarikan dirinya. Kami sudah berusaha tetapi kami tidak berhasil”.
Sekali lagi Panji Bawuk terdiam. Sekali lagi ditatapnya wajah ayahnya dengan pandangan yang aneh.
“Kau menipu kami” teriak isteri mudanya, “Kau pasti membawa perhiasan itu. Nah, kalau kau ingkar, maka apakah perhiasan itu sudah kau janjikan akan kau berikan kepada Ken Arok?”
“O, kau mengigau lagi” Bango Samparan mencoba mengelak, “Jika aku ingin memberikan kepadanya, kenapa aku membawanya kemari? Aku sudah dapat membayangkan kalau permata itu ada padaku, dan Ken Arok datang ke rumah ini, maka yang akan terjadi adalah seperti ini. Tetapi permata itu tidak ada padaku”.
Sejenak mereka terbungkam. Sorot-sorot mata mereka membayangkan perasaan yang tidak dapat ditebak. Ken Arok ysng berdiri tegak ditempatnya, merasa seolah-olah dadanya telah diguncang-guncang oleh berbagai macam perasaan. Ia mengumpat pula di dalam hatinya mendengar kata-kata Bango Samparan yang mengingkari permata yang dibawanya. Kalau maksudnya untuk mencegah perkelahian dan pertumpahan darah, Ken Arok menunduk hormat kepadanya. Tetapi menilik sikap dan keadaan rumah itu, maka Bango Samparan memang akan ingkar. Ia akan menyembunyikan permata itu, dan tidak memperlihatkan kepada anak-anaknya.
Tiba-tiba mereka yang sedang termenung itu dikejutkan oleh suara Panji Bawuk “Persetan dengan permata itu. Ken Arok sudah menghina kami. Ia harus mati”.
“Sama sekali ia tidak bermaksud menghina” bantah Bango Samparan.
“Diam kau” bentak isteri mudanya. Kemudian kepada Panji Bawuk ia berkata, “Lakukanlah. Biarlah aku yang mengurus tentang permata itu. Aku yakin bahwa permata itu masih ada padanya”.
“Sebaiknya Ken Arok meninggalkan tempat ini” terdengar suara yang lain dari sudut rumah, suara isteri tua Bango Samparan.
“Persetan” isteri mudanyalah yang menyahut, “Kita tidak akan kehilangan apapun kalau anak itu mati. Kita akan menjadi puas, dan seterusnya kita tidak akan selalu dibayanginya. Kalau kita menunda-nunda persoalan tanpa membuat penyelesaian, maka kita akan selalu dihantui oleh persoalan itu sepanjang hidup kita. Siapa tahu, karena Ken Arok menjadi sakit hati, ia akan membawa kawan-kawannya prajurit-prajurit Tumapel datang ke tempat ini. Siapa tahu, ia melaporkan kepada tuannya, Akuwu Tunggul Ametung. O, jangan sampai Akuwu itu datang kemari. Ia akan melihat anak gadis kita. Ia pasti akan menculiknya seperti ia menculik anak Panawijen itu”.
Suatu desir yang tajam tergores di hati Ken Arok. Betapa isteri Bango Samparan itu tidak tahu diri. Adalah mustahil Akuwu akan melakukannya atas gadis kecil anak Bango Samparan yang sampai saat itu masih belum dilihatnya di halaman yang kotor itu, meskipun seluruh keluarganya yang lain telah lengkap dan sedang mempersoalkannya. Tetapi yang penting bagi Ken Arok kini adalah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi Panji Bawuk.
Berbeda dengan adik-adiknya, maka agaknya Panji Bawuk benar-benar mempunyai bekal yang cukup untuk menengadahkan dadanya. Karena itu untuk menghadapinya, Ken Arok pun harus bersikap lain.
Namun dalam pada itu dengan cemas Bango Samparan berkata, “Panji Bawuk. Apakah keuntunganmu dengan membunuh anak itu? Kalau kau memang tidak dapat menerimanya di rumah ini meskipun hanya singgah sebentar biarlah ia pergi. Tetapi jangan kau perlakukan ia seperti kau memperlakukan orang-orang lain yang menyakiti hatimu”.
Panji Bawuk menggeram. Katanya, “Ia telah menghina kami. Kalau sejak ia menginjakkan kakinya di halaman ini, ia menurut perintah Kuncang untuk pergi, maka ia tidak akan menyesal seperti sekarang. Tetapi kini sudah terlambat”.
“Tetapi ia belum mendapat apa-apa” bantah Bango Samparan yang menjadi semakin cemas, “Biarlah ia pergi. Aku tahu Panji Bawuk, bahwa kau mempunyai kekuatan yang luar biasa. Kau sanggup merobohkan pohon kemiri itu dengan sekali ayunan parangmu”.
“Tidak ada jalan untuk keluar dari halaman ini”.
“Aku minta untuknya. Akulah yang membawanya kemari. Dan akulah yang minta supaya ia dapat meninggalkan tempat ini. Apabila lain kali kau bertemu dengannya, maka terserahkah kepadamu apa yang akan kau lakukan”.
“Aku tidak mau kehilangan kesempatan. Aku akan melakukannya kali ini”.
Bango Samparan masih akan menjawab lagi. Tetapi sekali lagi ia ditarik oleh isteri mudanya, dan menyeretnya masuk ke dalam rumah. “Ayo, masuk saja kau” bentak isterinya itu.
“Tetapi aku harus mencegah perkelahian itu” teriak Bango Samparan.
“Kalau kau masih membantah juga, aku panggil Panji Bawuk atau Kuncang atau yang lain untuk membungkam mulutmu”.
Bango Sampiran terdiam. Meskipun demikian ia masih juga berusaha menjengukkan kepalanya di pintu rumahnya. Karena isteri mudanya sendiri juga ingin melihat apa yang akan terjadi, maka dibiarkannya saja Bango Samparan berdiri sambil mengulurkan kepalanya.
Kini Kuncang, Kunal dan Kenengkung telah menepi. Yang berdiri berhadapan adalah Panji Bawuk dan Ken Arok. Masing-masing dengan senjata di tangan. Sejenak mereka berdiri tegak dengan mulut terkatup rapat. Betapa kemarahan telah menjalari segenap urat darah Panji Bawuk. Ketika ia setapak maju, maka Ken Arok pun surut selangkah. Tetapi Panji Bawuk mendesaknya terus. Matanya yang menyala menjadi semakin merah, seakan-akan basah oleh darahnya yang menggelegak.
“Kau tidak dapat lari anak malang” terdengar suara Panji Bawuk dalam nada yang datar.
Dada Ken Arok berdesir melihat sikap dan pandangan mata Panji Bawuk yang semakin lama menjadi semakin liar, sehingga ia bergumam didalam hatinya, “Semoga aku tidak kehilangan akal. Kalau aku terpaksa melakukannya, maka hal itu hanya terjadi karena aku tidak mempunyai jalan lain, atau aku sendirilah yang akau binasa”.
“Katakanlah kalau kau mempunyai pesan” Panji Bawuk menggeram pula, “Sebentar lagi kau akan mati. Aku dapat membunuhmu dengan ayunan parangku yang pertama, seperti aku mampu menebang pohon itu. Tetapi itu terlampau haik untukmu. Kau harus merasakannya, betapa kau menyesali kesombonganmu”.
Ken Arok tidak menjawab. Sekilas ia melihat wajah-wajah yang tegang disekitarnya. Ketika ia memandang ke pintu rumah Bango Samparan, dilihatnya orang itu menjengukkan kepalanya dengan penuh kecemasan. Sedang isterinya berdiri dengan tegangnya berpegangan uger-uger pintu. Di samping rumah itu, dibalik serumpun dedaunan, isteri tua Bango Samparan berdiri bersandar dinding sambil menahan rafasnya yang tersengal-sengal.
“Aku akan segera mulai” geram Panji Bawuk. Matanya menjadi semakin merah, dan bahkan kini parangnya menjadi gemetar.
Ken Arok pun telah mempersiapkan dirinya sepenuhnya. Meski ia belum membenturkan senjatanya, tetapi ia telah mendapat penilaian, betapa kuatnya tangan Panji Bawuk yang dengan sekali ayunan parangnya, mampu merobohkan sebatang pohon kemiri.
Selangkah demi selangkah Panji Bawuk mendekati lawannya dengan pandangan matanya yang memancarkan kebencian. Kini parangnya telah bergerak-gerak dan sejenak kemudian ia tegak sambil berkata, “Lihatlah sekali legi betapa cerahnya sinar matahari. Sebentar lagi kau akan kehilangan kesempatan untuk menikmatinya. Kau akan segera terjun ke dalam daerah maut yang gelap pekat. Dan bangkaimu akan ditarang di atas pohon di belakang rumah ini”.
Ken Arok masih tetap berdiam diri. Tetapi ia sudah tidak lagi melangkah surut. Kini jarak mereka tinggal tidak lebih dari tiga langkah. Panji Bawuk memandangi parangnya sejenak, kemudian merendahkan lututnya sambil berkata “Jangan mimpi. Hadapi hari matimu dengan jantan”.
Ken Arok sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia menyadari keadaannya sepenuhnya. Karena ia tidak ingin berkelahi seperti orang-orang yang kehilangan akal, maka ia harus berbuat dengan tepat. Itulah sebabnya, maka ketika kemudian ia mendengar Panji Bawuk berteriak nyaring sambil meloncat seperti loncatan harimau lapar sambil mengembangkan kuku-kukunya, Ken Arok sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Ia bertekad untuk membuat Panji Bawuk menyadari keadaan, dengan siapa ia berhadapan. Meskipun Ken Arok tidak dapat meyakinkan dirinya, bahwa ia akan dapat menguasai keadaan, namun dengan demikian, maka Panji Bawuk akan terpaksa membuat pertimbangan-pertimbangan yang baru.
Panji Bawuk yang matanya menjadi semakin liar itu, melihat Ken Arok tidak bergerak dari tempatnya. Sekilas ia mencoba menebak, kenapa anak itu terpaku saja di tempatnya. Namun oleh kepercayaan kepada diri sendiri yang berlebih-lebihan, maka Panji Bawuk menyangka, bahwa Ken Arok tidak sempat untuk mengelakkan dirinya. Karena itu, ketika ia melihat pedang Ken Arok bersilang di dadanya, maka ia berteriak semakin keras lagi.
“Pedang itu harus aku patahkan” ia menggeram di dalam hatinya, “Atau kalau pedang prajurit Tumapel itu terlampau baik, maka tangannyalah yang akan patah. Kemudian aku akan dapat berbuat sesuka hatiku atasnya. Anak itu akan dapat menjadi permainan yang menyenangkan bagi Kuncang, Kunal dan Kenengkung”.
Sebenarnyalah bahwa Ken Arok memang tidak menghindari serangan itu, ia melihat ayunan parang Panji Bawuk menyambar dirinya. Ia sadar, bahwa Panji Bawuk telah mengerahkan segenap tenaganya. Dan tenaga Panji Bawuk itu mampu merobohkan sebatang pohon kemiri yang telah berbuah dengan lebatnya. Itulah sebabnya, maka ia pun harus bertahan dengan sekuat tenaganya. Sejenak kemudian, ketika parang Panji Bawuk terayun ke leher Ken Arok, maka Ken Arok segera mengayunkan pedangnya pula, menyambar ayunan parang Panji Bawuk.
Sejenak kemudian terdengarlah benturan yang dahsyat sekali antara kedua senjata itu. Parang Panji Bawuk yang besar dan pedang keprajuritan Ken Arok. Sepercik bunga api meloncat ke udara. Namun bukan saja bunga api yang berloncatan, tetapi ternyata bahwa parang Panji Bawuk pun terloncat dari tangannya. Terasa seolah-olah tangannya yang menggenggam hulu pedangnya tersengat bara. Kemudian menjalar sepanjang urat darahnya, membakar jantungnya.
Ken Arok pun merasa tangannya bergetar. Tetapi kekuatannya yang ajaib mampu menahan benturan itu tanpa akibat apapun. Namun dengan sepenuh kesadaran, ia pun melepaskan pedangnya, sehingga pedangnya itupun terloncat beberapa langkah dari padanya.
Mereka yang menyaksikan benturan itu merasakan, seolah-olah dadanya ikut bergetar pula. Kedua senjata yang terloncat dari tangan kedua orang yang berkelahi itu membuat mereka terpaku dengan tegangnya. Apalagi Panji Bawuk sendiri, yang sama sekali tidak menduga, bahwa justru parangnya pun terloncat dari tangannya pula. Ia tidak menyangka, bahwa sebenarnya di dalam tubuh Ken Arok itu pun tersimpan kekuatan yang tiada taranya. Apalagi sengatan kesakitan yang membakar telapak tangannya dan seakan-akan telah menjalari seluruh tubuhnya.
“Anak setan” ia menggeram. Dan di dalam hatinya ia berkata, “Aku terlampau memandangnya rendah, sehingga aku kurang mantap menggengam parangku”.
Kemudian dengan sigapnya Panji Bawuk meloncat memungut parangnya, sementara Ken Arok pun telah mengambil pedangnya pula. “Agaknya nasibmu memang terlampau baik” Panji Bawuk menggeram, “Aku menganggap kau terlampau lemah, sehingga justru parangku sendiri yang terlepas dari tanganku. Tetapi tidak seterusnya nasibmu akan tetap baik. Sebentar lagi kau akan menyadari bahwa hari ini adalah harimu yang paling jelek”.
Panji Bawuk yang telah menggenggam parangnya kembali, selangkah demi selangkah mendekati Ken Arok. Meskipun tangannya masih terasa nyeri, namun ia sudah bertekat untuk membinasakan lawannya. Ia kini bertekat untuk benar-benar bertempur tanpa mengabaikan kekuatan lawan.
Meskipun demikian, otaknya telah pula dijalari oleh berbagai macam pertimbangan. Ternyata Ken Arok memiliki kekuatan yang luar biasa. Tetapi kenapa ia tidak berbuat sesuatu untuk mencelakakan adik-adiknya. Kenapa ia sama sekali tidak melukai Kunal, atau melumpuhkan Kenengkung dan bahkan Panji Kuncang?
Pertanyaan itu betapapun lirihnya, namun terasa mulai mengganggunya. Panji Bawuk adalah seorang yang kasar, hampir sekasar ayahnya. Ia berjudi dan berkelahi dimanapun. Apalagi karena ia terlampau mempercayakan diri kepada kekuatannya yang memang melampaui kekuatan orang-orang kebiasaan. Namun menghadapi sikap Ken Arok yang aneh itu, ia sama sekali tidak dapat mengerti. Ia tidak pernah bertempur melawan seseorang yang menumbuhkan teka-teki dan membuat kepalanya menjadi pening seperti saat ini. Lawannya itu mampu membunuh adik-adiknya kalau ia mau, tetapi kenapa tidak?
Sementara itu Panji Bawuk kini telah berdiri berhadapan dengan Ken Arok. Keduanya telah menggenggam senjatanya kembali dan keduanya pun telah siap untuk menghadapi setiap kemungkinan. Tetapi Panji Bawuk masih saja diganggu oleh teka-teki di dalam benaknya. Namun tiba-tiba anak muda itu mengeram sambil berkata, “Persetan, apa saja yang ku lakukan. Kau harus mati hari ini”.
Ken Arok mengerutkan keningnya. Disilargkannya pedangnya di muka dadanya, seperti ketika ia siap melawan ayunan parang Panji Bawuk.
“Kau jangan merasa berbesar hati, bahwa kau mampu melepaskan senjataku dari tanganku. Itu hanya sekedar suatu kelengahan. Bukan suatu keunggulan dari padamu. Kalau aku mengerti, bahwa kau mampu juga memamerkan kekuatanmu, maka untuk seterusnya kau akan menyesal”.
Tetapi Ken Arok tidak menunggu Panji Bawuk selesai berbicara. Kini ialah yang meloncat menyerang dengan garangnya. Pedangnya diangkatnya tinggi-tinggi ke udara, kemudian terayun deras sekali mengarah kepundak lawannya. Panji Bawuk terkejut bukan kepalang. Gerakan itu terlampau cepat, sehingga tidak ada jalan lain kecuali menangkis serangan itu. Namun kini Panji Bawuk telah dapat melilai kekuatan tangan Ken Arok, sehingga untuk melawan ayunan pedang itu ia harus mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada padanya.
Kali ini Ken Arok tidak ingin memberi gambaran yang salah lagi buat Panji Bawuk. Ia ingin anak muda itu segera menyadari dirinya dan memikirkan lagi sikapnya. Karena itu, maka Ken Arok ingin untuk sekali melepaskan senjata Panji Bawuk dari tangannya, tanpa melepaskan senjatanya sendiri. Sekejap kemudian, maka sekali lagi terjadi benturan yang dahsyat antara pedang Ken Arok dan parang Panji Bawuk. Sekali lagi bunga api memercik ke udara dari titik benturan dari kedua senjata itu.
Dan sekali lagi Panji Bawuk terperanjat bukan alang kepalang. Tangannya bergetar dan seakan-akan tergenggam olehnya segumpal bara. Dengan demikian, maka dengan dada yang berguncang ia menyaksikan parangnya terlepas dari tangannya dan terlempar beberapa langkah dari padanya. Yang lebih mengejutkan lagi adalah, bahwa kini Ken Arok berdiri tegak di hadapannya dengan pedang masih tetap tergenggam di tangannya.
Sejenak ia tegak membeku di tempatnya. Dipandanginya wajah Ken Arok dengan sorot mata yang menyala-nyala. Ternyata ia tidak segera mengakui kenyataan yang dihadapinya. Bahkan jantungnya serasa dibakar oleh kemarahan yang meluap-luap. Ken Arok yang berdiri dihadapannya memandanginya dengan cemas. Ia mengharap Panji Bawuk mengerti tentang dirinya, tentang orang yang dihadapinya dan segera merubah sikapnya. Tetapi agaknya yang terjadi adalah di luar dugaan Ken Arok. Sikap Ken Arok itu telah benar menyinggung harga diri Panji Bawuk yang sombong. Di hadapan adik-adiknya ia merasa benar-benar terhina. Apalagi ayahnya, ibunya dan ibu tirinya melihat pula apa yang terjadi. Karena itu, maka kemarahan di dalam dadanya menjadi semakin membakar jantungnya.
Sesaat kemudian, tiba-tiba ia memungut pedangnya. Tanpa mengucapkan sepatah katapun segera ia meloncat menyerang Ken Arok dengan tangkasnya. Kini ia tidak ingin membenturkan senjatanya beradu tenaga. Ken Arok berdesah di dalam hatinya. Panji Bawuk benar-benar keras kepala. Karena itu, maka ia pun bertekat untuk melayaninya, menundukannya dan memaksa anak itu mengakui, bahwa ia bukan orang yang paling mumpuni di muka bumi.
Sejenak kemudian terjadilah perkelahian yang sengit diantara keduanya. Panji Bawuk memang mempunyai bekal yang cukup. Tenaganya cukup kuat, dan geraknya cukup tangkas dan lincah. Sehingga dengan demikian, ia mampu memberikan perlawanan yang baik terhadap Ken Arok.
“Sayang” gumam Ken Arok di dalam hatinya, “kalau ia mendapat penyaluran yang baik. Kemampuanya tidak kalah dengan prajurit kebanyakan. Prajurit Tumapel dan bahkan prajurit Kediri. Tatapi, agaknya ia sudah terlanjur terperosok ke dalam daerah yang kelam seperti ayahnya”.
Sementara itu tandang Panji Bawuk menjadi semakin lama semakin garang. Parangnya terayun-ayun mengerikan, ia sudah tidak dapat lagi berpikir bening lagi. Satu-satunya tujuan saat itu adalah membunuh Ken Arok dan melumatkan tubuhnya. Tetapi ternyata bahwa Ken Arok adalah lawan yang tangguh. Bahkan kadang-kadang terlampau membingungkannya. Setiap kali ia kehilangan keseimbangan dan kadang-kadang hampir saja ia terbanting jatuh oleh geraknya sendiri.
Semakin lama Ken Arok pun harus menjadi semakin hati-hati. Pada saatnya Panji Bawuk pasti akan kehilangan perihitungan dan berkelahi membabi buta. Ia harus cukup berwaspada dan mampu menempatkan diri tanpa kehilangan akal. Sampai saat itu, Ken Arok masih cukup sadar, bahwa ia datang ke rumah itu tidak untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan. Karena itu, maka ia masih tetap berusaha untuk tidak langsung mengenai lawannya ditempat-tempat yang dapat membahayakan jiwanya.
Karena sikap hati-hati Ken Arok, agar tidak menumbuhkan bencana itulah, maka Panji Bawuk menganggap, bahwa ia masih mempunyai peluang untuk memenangkannya, apapun caranya. Tetapi bagaimanapun juga Ken Arok masih harus tetap mengendalikan diri. Setelah sekian lama bertempur, maka ternyata bahwa Panji Bawuk yang mampu merobohkan sebatang pohon kemiri yang sedang berbuah itu, tidaklah harus disegani. Karena ternyata bahwa cara berkelahi Panji Bawuk itu semakin lama menjadi semakin kehilangan pegangan dan tata kesopanan. Geraknya menjadi semakin kasar, sekasar serigala kelaparan menemukan bangkai anak domba ditepitepi pategalan, namun tiba-tiba bangkai itu terlepas dari mulutnya.
Semakin lama mereka berkelahi, maka Panji Bawuk semakin kehilangan pengamatan diri. Tandangnya menjadi buas dan liar. Senjatanya terayun-ayun tanpa terkendali lagi. Dengan demikian, kesempatan bagi Ken Arok untuk berbuat sesuatu atas lawannya menjadi semakin banyak. Kesempatan-kesempatan yang terbuka diantara tandang lawannya yang menjadi semakin gila dipertimbangkannya masak-masak. Apakah yang dilakukan terhadap anak sulung Bango Samparan itu?
Tetapi setiap kali Ken Arok harus mempertahankan kesadarannya bahwa ia datang ke rumah itu tidak untuk membunuh. Namun ia terkejut ketika tiba-tiba Panji Bawuk yang sudah menjadi semakin payah itu meraung, “He, Kuncang, Kunal dan Kenengkung. Kenapa kalian berdiri saja seperti orang kehilangan ingatan. Aku sudah berusaha melemahkannya. Sekarang datanglah giliran kalian ikut bermain-main dengan kambing yang bodoh ini”.
Kuncang, Kunal dan Kenengkung, yang berdiri dengan cemasnya melihat perkelahian itu, terkejut mendengar suara kakaknya menggelepar di udara. Sejenak mereka terpukau ditempatnya, namun sejenak kemudian mereka pun menyadari keadaannya dan keadaan Panji Bawuk yang sulit itu. Karena itu, maka tanpa diulang lagi, Kunal dan Kenangkung segera meloncat dengan senjata masing-masing, bersama-sama dengan kakaknya yang sulung berkelahi melawan Ken Arok.
Sementara itu Panji Kuncang masih belum beranjak dari tempatnya. Berbagai pertanyaan telah membelit hatinya tentang lawannya yang aneh. Setiap kali ia menggeretakkan giginya sambil mengeram di dalam hati, “Anak itu memang ingin menghina aku. Menghina keluargaku”. Namun setiap kali pula pertanyaan itu menggelepar di dadanya, “Kenapa ia sama sekali tidak melukai apalagi membunuh aku?”
Karena pertanyaan-pertanyaan itulah, maka untuk sejenak Kuncang tidak segera terjun ke dalam arena perkelahian. Tanpa sesadarnya ia menyaksikan ketiga saudaranya bertempur melawan Ken Arok. Kuncang tersandar ketika ia mendengar Panji Bawuk berteriak, “He Kuncang, apakah yang kau tunggu?”
Kuncang mengerutkan keningnya. Dikatubkannya mulutnya rapat-rapat. Sambil menggeretakkan giginya ia melangkah maju. Dengan sekuat tenaganya ia mencoba mengusir semua kebimbangan dan keragu-raguan yang mencengkam dadanya. Sejenak kemudian terdengar anak muda itu berteriak nyaring. Kemudian, dengan menghentakkan diri ia meloncat masuk ke dalam lingkaran pertempuran.
“Sebaiknya Ken Arok meninggalkan tempat ini” terdengar suara yang lain dari sudut rumah, suara isteri tua Bango Samparan.
Kini Ken Arok harus berkelahi melawan keempat saudara anak Bango Samparan itu. Dalam sekilas terkenanglah masa-masa lalunya yang pedih. Keadaan serupa ini kini terulang kembali. Ia harus berkelahi melawan keempatnya. Pada saat ia berada di rumah itu, memang ia sering bertengkar dengan keempat anak laki-laki Bango Samparan itu. Bahkan kadang-kadang ia memang harus berkelahi melawan keempatnya. Tetapi ia belum pernah merasa dikalahkan. Kalau kemudian ia berlari terbirit-birit adalah karena ibu keempat anak laki-laki itu ikut campur sambil membawa sepotong kayu.
Dan keadaan itu kini terulang kembali. Tetapi kini mereka membawa senjata di tangan masing-masing. Mereka tidak sekedar memperebutkan buah jambu yang masak, atau bertengkar karena adu jengkerik atau berebut telur gemak di kebun. Tetapi kini mereka telah siap untuk membunuh. Bayangan tentang permata dan seikat perhiasan melintas di kepala Ken Arok. Seperti sebuah permainan yang menyenangkan sekali disaat mereka masih kanak-kanak.
Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin sengit. Isteri muda Bango Samparan menyaksikan dengan mata tak berkedip. Semula ia yakin bahwa anak-anaknya akan menang Tetapi kemudian, meskipun ia tidak dapat mengerti apa yang sebenarnya terjadi, namun setiap kali ia melihat salah seorang dari keempat anaknya lagi-lagi terdorong dan bahkan terlempar jatuh.
Bango Samparan pun kemudian menjadi terlampau cemas. Tetapi kini ia tidak lagi mencemaskan Ken Arok. Yang dicemaskan justru anak-anaknya sendiri, karena ia yakin, bahwa sebentar lagi Ken Arok pasti akan segera menguasai keadaan. Jika ia menjadi kehilangan kesabaran, maka pasti akan terlampau sulit bagi anak-anaknya. Meskipun demikian, Bango Samparan masih saja berdiri di ambang pintu, di belakang isteri mudanya sambil berpegangan uger-uger pintu. Seolah-olah ia sudah tidak mampu lagi untuk berdiri tegak di atas kedua kakinya.
Sementara itu Ken Arok benar-benar semakin banyak menguasai keadaan. Keempat lawan-lawannya hampir tidak mendapat kesempatan lagi untuk berbuat sesuatu. Mereka hanya dapat berputar-putar, menghindar dan berloncatan surut, karena tiba-tiba saja Ken Arok itu seakan-akan telah berubah menjadi seekor burung sikatan raksasa yang bertaji pedang. Setiap kali, ujung pedang Ken Arok itu berdesing di telinga anak-anak Bango Samparan itu, seakan-akan telah menyentuh daun telinga mereka. Tetapi setiap kali mereka meraba, mereka tidak menyentuh setetes darah sama sekali.
“Apakah kakang Ken Arok memang tidak ingin melukai kami?” pertanyaan itu sekali lagi merentul dihati Panji Kuncang. Namun meskipun demikian, ia masih juga mencoba berkelahi sebaik-baiknya.
Kunal dan Kenengkung pun merasa heran pula. Mereka sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya dapat meloncat-loncat di seputar Ken Arok atau bahkan sama sekali di luar arena. Setiap kali mereka mencoba mendekat, maka setiap kali pula, ujung pedang lawannya terayun-ayun di muka hidungnya. Kalau sekali-kali mereka memberanikan diri mencoba menyerang dengan senjata, maka seresa dari pangkal Senjata-senjata mereka menjalar api yang membakar telapak tangan. Sehingga dengan demikian, mereka menjadi bingung dan tidak tahu, apa yang sebaiknya dilakukan.
Tetapi Ken Arok yang sekarang adalah berbeda dengan Ken Arok di masa kanak-kanaknya. Ken Arok kini tidak legi sekasar dan sebuas Ken Arok di masa lampau. Pertemuannya dengan Empu Purwa, kemudian dengan Lohgawe telah benar-benar mencuci dunianya yang kelam, dan membuatnya sebening air pancuran di lereng-lereng gunung. Tetapi apakah yang terkandung di jantung sumber air itu, pada suatu ketika masih akan dapat mewarnainya dengan tanpa disadarinya.
Namun, menghadapi keempat anak-anak muda ini, Ken Arok ternyata telah berhasil menahan perasaannya. Semakin yakin ia akan kemenangannya, maka hatinya menjadi semakin lunak. Ia sudah tidak dicemaskan lagi oleh akibat dari perkelahian itu. Kini yang dilakukan adalah, membuat keempat lawannya itu mengakui, bahwa mereka tidak dapat berbuat apa saja menurut selera mereka sendiri.
Kuncang yang sejak semula sudah ragu-ragu, menjadi semakin bingung menghadapi Ken Arok. Bersama kakaknya yang selama ini dibangga-banggakannya, mereka sama sekali tidak dapat menyentuh kulit lawannya Namun sampai sekian lamanya ia bertempur, kulitnya pun seakan-akan hampir tidak pernah tersentuh ujung senjata lawannya, meskipun terasa olehnya, bahwa kesempatan itu sebenarnya dimiliki oleh Ken Arok.
Dengan demikian, maka hatinya semakin dicengkam oleh kebimbangan. Sehingga karena itu, maka tandangnya pun menjadi semakin lamban pula. Senjatanya sudah tidak lagi segarang gigi serigala kelaparan. Bahkan kemudian, Kuncang tidak lebih dari pada berputar-putar tanpa berbuat sesuatu yang dapat membantu kakaknya lagi.
Sementara itu, Kunal dan Kenengkung yang berlari-lari berputaran di sekitar arena menjadi semakin lelah. Meskipun seakan-akan Ken Arok acuh tidak acuh saja kepada mereka, tetapi mereka sendirilah yang telah memeras tenaga mereka tanpa arti, sehingga apabila sekali-kali pedang Ken Arok berdesing di telinga mereka, dengan gugup mereka berloncatan surut, sehingga kadang-kadang mereka terdorong oleh loncatan mereka sendiri, jatuh terlentang.
Namun dalam saat-saat yang demikian Ken Arok sama sekali tidak berbuat apa-apa atas keduanya. Hanya sekali saja, Ken Arok menyentuh tubuh mereka dengan ujung jari kakinya. Tetapi ternyata bahwa sentuhan itu benar-benar telah menyakiti kedua anak-anak muda itu. Sehingga ketika sekali Ken Arok menyentuh lambung Kunal agak keras dan kemudian mendorong Kenengkung dengan ujung telunjuknya, maka keduanya terbanting jatuh berguling-guling di tanah sambil mengerang kesakitan.
Meskipun Panji Bawuk masih juga bertempur dengan garangnya, namun kecemasan telah mulai merayapi dadanya. Ia melihat satu-satu adiknya telah kehilangan kemampuan untuk membuat perlawanan yang berarti. Dan seperti semula, ia melihat bahwa Ken Arok tidak ingin mempergunakan kesempatan-kesempatan yang terbuka baginya untuk melakukan suatu serangan yang berbahaya terhadap adik-adiknya dan bahkan terhadap dirinya sendiri.
Namun setiap kali ia menggeretakkan giginya. Kesombongan yang bersarang di dadanya telah memaksanya untuk bertempur terus. Dengan memeras segenap tenaganya ia memutar parangnya, menghantam dan mematuk tidak henti-hentinya. Semakin lama semakin kasar dan bahkan membabi buta. Kemungkinan itu memang telah diperhitungkan oleh Ken Arok. Suatu saat ia akan menghadapi Panji Bawuk yang telah kehilangan akal. Dan suatu saat ia akan menghentikan perlawatan ketiga adik-adiknya.
Sejenak kemudian Ken Arok sampai pada akhir rencananya. la harus berbuat cepat dan tiba-tiba, sehingga anak-anak muda itu tidak sempat berpikir. Mereka harus digerakkan oleh kejutan perasaan dan tunduk tanpa perlawanan dan cidera apapun. Ketika saat itu tiba-tiba, maka sambil berteriak nyaring Ken Arok meloncat memutar pedangnya. Begitu cepat sehingga tidak seorang pun dari anak-anak Bango Samparan itu yang sempat berbuat sesuatu.
Mereka hanya merasakan getaran yang dahsyat di tangan mereka, dan ketika mereka menyadari diri mereka masing-masing, maka Senjata-senjata mereka telah tidak ada ditangan, selain parang Panji Bawuk. Ken Arok sengaja membiarkan parang itu masih tetap ditangannya. Tetapi untuk anak sulung Bango Samparan ini, Ken Arok telah mempunyai rencana tersendiri.
Kuncang, Kunal dan Kenengkung terperanjat sekali mengalami peristiwa itu sehingga sejenak mereka berdiri terpaku ditempatnya sambil ternganga-nganga. Sekilas mereka melihat senjata-senjata mereka yang terletak di tanah beberapa langkah dari mereka masing-masing, dan sekilas mereka melihat Ken Arok yang berdiri dengan garangnya. Namun mereka pun masih juga berharap-harap cemas karena senjata Panji Bawuk masih tetap ditangannya.
Tetapi ternyata Panji Bawuk itu tidak sempat berbuat terlampau banyak dengan senjatanya. Karena sesaat kemudian, selagi kesadarannya dalam menanggapi keadaan itu masih belum seutuhnya, serangan Ken Arok tiba-tiba saja datang membadai. Pedangnya berputar seperti baling-baling memutari tubuh lawannya. Suaranya berdesing-desing dengan dahsyatnya. Seolah-olah ribuan lebah sedang mengerumuninya.
Ternyata bahwa ujung pedang Ken Arok itu tidak hanya sekadar berputaran dan berdesing-desing mengitari tubuh Panji Bawuk. Tidak hanya sekedar seperti ribuan lebah yang berterbangan diseputar tubuhnya, tetapi ternyata bahwa lebah-lebah itu sempat menyentuh kulitnya dan bahkan menyengatnya di segenap penjuru.
Demikianlah ujung pedang Ken Arok itu telah mematuk dari segenap arah, menyentuh tubuh Panji Bawuk. Tidak terlampau keras sehingga tidak menumbuhkan luka yang dalam pada tubuh itu. Tetapi sentuhan-sentuhan ujung pedang Ken Arok itu telah menyobek pakaiannya disegala tempat dan bahkan telah memutuskan ikat pinggangnya.
“Setan” Panji Bawuk mengumpat-umpat.
Namun Ken Arok tidak mau berhenti. Serangannya semakin lama semakin membingungkan. Bukan saja pakaian Panji Bawuk yang kini menjadi terkoyak-koyak, tetapi sentuhan-sentuhan itu telah merambat kekulitnya. Meskipun sentuhan-sentuhan itu tidak terlampau dalam, namun dibeberapa tempat, darahnya yang merah telah mengembun seperti titik-titik air didedaunan pada pagi-pagi yang dingin.
“He” teriak Panji Bawuk yang menjadi semakin kebingungan, “Kenapa kalian hanya menonton saja?”
Ketiga adiknya tersedar dari keadaannya. Mereka melihat warna-warna merah yang memulasi kulit kakaknya dibeberapa tempat. Meskipun mereka mengerti bahwa luka-luka itu tidak parah, namun kecemasan telah mencengkam hati mereka.
“He Kuncang, Kunal dan Kenengkung” teriak ibu nya tiba-tiba, “Cepat, berbuatlah sesuatu”.
Secepat suara ibunya itu lenyap di udara, secepat itulah ketiga anak-anak muda itu berloncatan memungut senjata-senjata mereka. Namun kini perkelahian itu sudah bergeser menjauhi mereka. Panji Bawuk seakan-akan telah didorong ketengah-tengah halaman yang kotor itu tanpa dapat berbuat sesuatu. Meskipun ia berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk melawan, namun perlawanannya itu seolah-olah sama sekali tidak berarti bagi Ken Arok.
Sejenak kemudian, Kuncang, Kunal dan Kenengkung pun segera berlari-lari mendekati titik pertempuran. Namun mereka tidak segera dapat berbuat sesuatu. Sajenak mereka memandangi perkelahian itu dan sejenak kemudian mereka berputar-putar. Namun setiap kali mereka tegak seperti tonggak sambil mengagumi gerak Ken Arok yang semakin lama semakin cepat.
Panji Bawuk pun menjadi bingung. Sekali lagi ia berteriak, “He, apakah kalian sudah menjadi pengecut”.
Suara itu sudah membangunkan ketiga adiknya dari kekaguman mereka terhadap Ken Arok. Akan tetapi mereka tidak akan dapat membiarkan kakak mereka tertua mengalami bencana. Karena itu, betapa hati mereka berkeriput sekecil biji mentimun, namun mereka mencoba juga melangkah maju mendekati perkelahian itu dengan senjata teracung.
Namun sekali mereka dikejutkan oleh sambaran senjata Ken Arok yang sama sekali tidak terduga-duga dan bahkan sama sekali tidak dapat dibayangkan, bagaimana hal itu terjadi. Mereka menyadari diri ketika senjata-senjata mereka telah terlepas lagi dari tangan mereka dan berjatuhan di atas tanah beberapa langkah dari mereka. Melihat hal itu maka terdengar gigi Panji Bawuk menjadi gemeretak. Kemarahan dan kecemasan bercampur baur di dalam hatinya. Sementara itu tumbuh pula di dalam dadanya suatu pengakuan bahwa sebenarnya ia tidak akan mampu melawan Ken Arok. Apalagi seorang diri.
Meskipun demikian, terdorong oleh keterlanjuran dan kesombongannya, maka masih juga Panji Bawuk berteriak ”Setan alas. Kau memang terlampau sombong Ken Arok. Aku menjadi semakin yakin bahwa kau tidak akan dapat ampun”.
Namun mata Panji Bawuk itu terbelalak, dan darahnya serasa terhenti mengalir. Baru saja ia mengatupkan mulutnya, maka terasa tangannya bergetar dahsyat sekali. Tangannya yang kokoh kuat, yang mampu merobohkan sebatang pohon kemiri yang sudah berbuah dengan satu kali ayunan itu, terasa seakan-akan sama sakali tidak berdaya. Telapak tangannya merasakan getaran yang luar biasa, seakan-akan tulang-tulangnya berpatahan. Perasaan sakit yang sangat menjalar di tangannya menusuk pusat dadanya.
Panji Bawuk itu terlempar beberapa langkah dan terbanting jatuh di tanah setelah parang telontar dari genggamannya. Kepalanya menjadi pening dan matanya berkunang-kunang. Sejenak ia kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu karena kesadarsnnya terganggu. Namun ketika ia benar-benar telah menyadari keadaan dirinya dan berusaha untuk bangkit, ia merasa seakan ujung Gunung Kawi telah menindih dadanya. Ketika Panji Bawuk menengadah wajahnya, maka dilihatnya Ken Arok berdiri tegak disampingnya. Satu telapak kakinya telah menekan dadanya, sedang ujung pedangnya tepat menunjuk ke biji mata.
Sejenak Panji Bawuk terpukau dalam keadaannya. Tubuhnya menjadi gemetar dan dadanya serasa pecah karenanya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Yang diketahuinya saat itu adalah tekanan kaki Ken Arok yang semakin lama menjadi semakin menyesakkan nafasnya, sedang ujung pedang Ken Arok pun menjadi semakin dekat ke matanya.
Tiba-tiba terdengar suara Ken Arok seperti guruh yang meledak di atas kepalanya, “Panji Bawuk. Permusuhan kita sejak kita masih terlampau muda kini akan sampai kepuncaknya. Karena kau sudah benar-benar ingin membunuh aku, maka aku pun akan berbuat serupa. Jangan kau sangka bahwa aku tidak dapat berbuat sekasar dan seliar kau. Kalau kau tumbuh menjadi seorang penjudi dan seorang penjahat yang keji, maka aku pun akan dapat berbuat lebih keji lagi. Aku adalah seorang penjahat sejak dilahirkan. Aku mempunyai kebuasan dan keliaran alami yang aku bawa sejak aku ada. Nah, sekarang kau dapat menghayati, betapa aku mampu berbuat kejam melampaui kalian di sini”.
“Ken Arok” tiba-tiba Bango Samparan berteriak “Apa yang akan kau lakukan atasnya”.
Ken Arok tertawa rendah. Jawabnya, “Kalau Panji Bawuk ingin membunuhku dan menggantungkan tubuhku untuk menjadi makanan burung-burung liar, dan kelak membuat kerangkaku menjadi perhiasan, maka aku akan berbuat lain. Aku ingin membuat Panji Bawuk mati dalam hidupnya. Aku ingin mengambil kedua biji matanya”.
“Ken Arok” tiba-tiba isteri muda Bango Samparan, ibu Panji Bawuk itu berteriak.
“Jangan halangi aku. Siapa yang mencoba mencegahnya akan mengalami nasib serupa” sahut Ken Arok tegas. “Bukankah kalian telah melihat, bahwa tidak seorang pun dapat mengalahkan aku, bahkan anak-anak gila ini berkelahi bersama pun tidak berarti sama sekali bagiku, meskipun seandainya ayah Bango Samparan ikut serta? Nah. biarlah aku berbuat sekehendakku”.
Suasana di halaman itu kini dicengkam oleh ketegangan yang memuncak. Wajah-wajah mereka telah basah oleh keringat. Sadang tubuh isteri muda Bango Samparan menggigil seperti orang kedinginan. Tiba-tiba dalam ketegangan itu terdengar suara Panji Bawuk gemetar, “Ampun, aku minta ampun Ken Arok. Aku tidak benar-benar ingin membuatmu celaka. Aku hanya mengertak saja. Sekarang aku minta ampun”.
Ken Arok mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah Panji Bawuk yang masih terbaring di tanah. Kakinya masih menginjak dada anak muda yang sombong itu, sedang ujung pedangnya masih juga teracung ke biji mata.
“Ampun Ken Arok, ampun”.
Tetapi Ken Arok menggelengkan kepalanya, “Aku akan menyelesaikan setiap persoalan sampai tuntas. Kalau tidak, maka kita akan tetap mempunyai persoalan yang tidak terselesaikan. Setiap kali kita akan kembali kepada persoalan ini. Tetapi apabila kau sudah mati dalam hidupmu, maka kau tidak akan mampu menuntut apapun lagi dari padaku”.
Wajah Panji Bawuk yang garang, buas dan liar itu tiba-tiba berubah menjadi pucat seperti kapas. Nafasnya yang terengah-engah seolah-olah telah putus ditengah kerongkongannya. Semakin keras telapak kaki Ken Arok menekan dadanya, maka seakan-akan jantungnya semakin lambat berdenyut. Dengan penuh ketakutan dan kecemasan ia merengek seperti anak-anak yang cengeng, “Ampun Ken Arok. Aku minta ampun. Aku bersumpah bahwa aku tidak akan mengganggu gugat apapun lagi. Tetapi aku minta kau hidupi aku”.
Ken Arok tidak segera menjawab. Sepercik keheranan menjalar di dadanya. Orang yang dapat bersikap segarang Panji Bawuk itu, dapat juga merengek seperti kanak-kanak. Tanpa malu-malu merendahkan dirinya minta diampuni kesalahannya. Tetapi menilik pandangan matanya yang licik, memang pada suatu saat, apabila ia mendapat kesulitan yang tak teratasi, orang-orang seperti Panji Bawuk, yang sombong dan garang tetapi licik itu, akan dan dapat berbuat apa saja meskipun merendahkan harga dirinya.
Namun kali ini Ken Arok masih tetap menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Aku telah berguru kepadamu dan kepada ayah Bango Samparan, yang agaknya mendidik anak-anaknya untuk berbuat demikian. Merampungkan semua persoalan sampai tuntas. Agaknya bagi ayah Bango Samparan dan anak-anaknya sama sekali tidak berlaku kebijaksanaan dan pertimbangan tentang perkembangan persoalan dan pikiran seseorang. Persoalan hari ini pasti akan berlangsung terus. Seorang yang kau anggap bersalah hari ini, untuk seterusnya akan melakukan kesalahan yang serupa. Kau tidak dapat mengerti bahwa mungkin sekali seseorang menyesali kesalahan di masa lampau dan merubah pendirian serta sikapnya. Kau tidak dapat membayangkan bahwa seorang penjahat yang paling keji akan dapat berubah menjadi seorang yang pantas digurui. Bahkan kau pun berdiri pada pendirian, siapa yang tidak sejalan dengan kau, orang itu harus disingkirkan, disingkirkan untuk tidak mungkin datang kembali. Disingkirkan ke daerah yang paling jauh”.
Ken Arok berhenti sejenak. Dipandanginya wajah Panji Bawuk yang semakin pucat, wajah Kuncang yang tegang membeku, wajah Kunal dan Kenengkung yang ketakutan. Kemudian ditatapnya wajah isteri muda Bango Samparan yang sudah menjadi seputih mayat dan Bango Samparan sendiri yang menggigil di belakang isterinya. Tetapi Ken Arok tidak dapat melihat wajah isteri tua Bango Samparan.
Dalam pada itu ia berkata seterusnya, “Karena itu Panji Bawuk. Baik kau maupun ayah Bango Samparan menganggap bahwa persoalan akan selesai apabila pihak yang lain telah disingkirkan, menurut pengertianmu harus dibunuh. Bagimu tidak ada cara lain untuk membuat penyelesaian selain mematikan pihak yang lain. Penyelesaian yang tuntas dan mutlak. Nah, aku akan berbuat serupa. Aku akan membunuh semua orang di rumah ini yang mencoba menghalangi aku berbuat apa saja di sini”.
Panji Bawuk menjadi semakin pucat. Darahnya serasa benar-benar sudah tidak mengalir lagi. Dengan suara gemetar ia meminta ngasih-asih, “Ampun Ken Arok. Aku minta belai kasihanmu. Aku minta kau menghidupi aku. Aku akan tunduk kepadamu apapun yang akan kau kehendaki”.
“Tetapi dengan demikian persoalan tidak akan selesai. Pada suatu saat persoalan akan tumbuh lagi. Kalau seberkas perhiasan itu nanti jatuh ketanganku, maka kau pasti akan mencari jalan untuk merebutnya. Kalau kalian di sini mencemaskan bahwa aku akan membawa kawan-kawanku Prajurit Tumapel untuk menangkap kalian, maka aku pun mencemaskan kalian, bahwa kalian akan memanggil semua penjahat dari ujung sampai ke ujung Karuman, dan akan merampokku”.
“Tidak. Tidak. Aku bersumpah” rintih Panji Bawuk.
Ken Arok tidak segera menyahut. Sekali lagi ditatapnya wajah Bango Samparan yang pucat dan gemetar. “Bagaimana ayah?” bertanya Ken Arok, “Apakah aku harus menyelesaikannya sampai tuntas seperti apa yang ayah lakukan terhadap bekas prajurit Kediri itu?”
Bango Samparan terbungkam. Tetapi bibirnya bergetar. Berkali-kali ia menelan ludahnya namun tidak sepatah kata pun yang terloncat dari bibirnya.
“He, kenapa ayah tidak menjawab?” desak Ken Arok.
Bango Samparan masih terdiam. Dengan kaki gemetar ia maju selangkah. Tangannya diangkatnya ke dadanya untuk menahan gelora yang seakan-akan memecahkan dadanya itu. Perlahan-lahan ia menggeleng.
Ken Arok menarik nafas dalam. Katanya, “Pendirian seseorang akan berobah apabila arah persoalan juga berobah. Kita tidak akan sampai tuntas apabila kita memegang kendali kemenangan. Tetapi pihak yang lemah pasti akan berpendirian lain. Pendirian ini tidak pernah kalian pikirkan. Nah, sekarang kalian menghayati. Kalian akan tahu, betapa tersiksanya perasaan kalian. Betapa kalian merasakan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Betapa kalian akan mengumpat dan mengutuk di dalam hati, meskipun mulut kalian berkata lain, karena kalian dicengkam oleh ketakutan. Tetapi apabila ada kekuatan lain yang datang menolong kalian saat ini, maka kalian akan bersikap lain”.
“Tidak, tidak” teriak Panji Bawuk “Aku sudah menyerah. Tetapi aku ingin hidup”.
“Sumber penyerahanmu pada persoalan yang kau hadapi adalah persoalan hidup. Tetapi itu wajar. Persoalan yang demikian ada juga pada orang lain. Dorongan naluriah memaksa seseorang untuk mempertahankan hidupnya dengan cara apapun. Berkelahi, merengek-rengek dan apapun. Sadarilah. Orang lain pun ingin tetap hidup. Pertimbangkan dalam setiap perbuatan. Jangan menengadahkan dada ketika kau lagi menang dan mampu berbuat apa saja atas orang lain. Kini kau tahu, bahwa orang lain itu mempunyai perasaan seperti yang kau rasakan sekarang. Dikatakan atau tidak dikatakan. Cemas, takut dan unsur-unsur badaniah, sakit, pedih, nyeri dan perasaan manusiawi seutuhnya”.
Panji Bawuk menjadi semakin gemetar. Matanya yang selama berkelahi memancarkan keliaran sikapnya, kini tampak padam sama sekali pada wajahnya yang pucat. Yang terdengar kemudian adalah suara isteri muda Bango Samparan yang gemetar pula, “Jagan Ken Arok. Jangan kau bunuh anakku itu”.
Ken Arok berpaling. Dilihatnya ibu Panji Bawuk itu melangkah perlahan-lahan ke arahnya. Kemudian berjongkok sambil membungkukkan kepalanya hampir menyentuh tanah. “Aku mohonkan ampun kepadamu Ken Arok, seperti anakku pun telah mohon ampun pula kepadamu”.
“Aku juga Ken Arok” sahut suara yang lain, suara Bango Samparan sendiri, “Aku juga minta ampun untuknya”.
Ken Arok mengerutkan keningnya. Betapa liarnya Bango Samparan dan betapa ia menganggap nyawa seseorang seperti nyawa ayam saja, namun terhadap anaknya ia tidak sampai hati untuk membiarkannya mati atau tersiksa sepanjang hidupnya. Sambil memandang orang-orang yang berada di sekitarnya Ken Arok bertanya, “Jadi bagaimana dengan Panji Bawuk ini? Apakah harus aku ambil biji matanya, atau aku bunuh saja sama sekali”.
Hampir berbareng ayah dan ibunya meayahut, “Jangan, jangan”.
“Ayah Bango Samparan” berkata Ken Arok pula “Bukankah anak ini sama sekali tidak mau mendengarkan kata-katamu lagi? Bahkan dengan sepenuh hinaan ia dan ibunya bersama dengan adik-adiknya telah sengaja melanggar harapan ayah atas orang-orang yang dibawanya masuk ke dalam lingkungan halaman rumahnya? Di sini ayah Bango Samparan adalah pimpinan keluarga. Tetapi seandainya aku orang lain, aku adalah tamu pimpinan keluarga itu. Penghinaan atas tamunya maka itu berarti penghinaan atas ayah sendiri. Apalagi sikap bibi sungguh menyakitkan hati”.
“Ya, ya” Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya, “Tetapi ia adalah anakku”.
“Bagaimana ajaran ayah tentang menyelesaikan persoalan sampai tuntas seperti yang telah meresap pula di dalam hati Panji Bawuk dan seperti yang ayah lakukan atas bekas prajurit itu?”
“Itu suatu kesalahan. Suatu kesalahan” sahut Bango Samparan, “Sekarang kami semuanya minta maaf”.
Ken Arok tidak segera menjawab. Tetapi kini ditebarkannya pandangan matanya ke sekelilingnya, sedang satu telapak kakinya masih berada di dada Panji Bawuk yang terlentang. Ujung pedangnya masih juga berada di depan mata Panji Bawuk yang ketakutan itu.
“Bukankah kau mendengarkan permohonan kami Ken Arok” bertanya Bango Samparan.
Ken Arok tidak segera menjawab, tetapi ia masih mencari sesuatu di halaman itu. Dan tiba-tiba saja, tanpa diduga-duga oleh semua orang di halaman itu Ken Arok memanggil, “Biyung, kemarilah biyung”.
Semua berpaling, memandang kearah pandangan mata Ken Arok. Dada mereka berdebaran ketika mereka melihat seorang perempuan tua yang berdiri termangu-mangu di samping rumah.
“Kemarilah” sekali lagi Ken Arok memanggil.
Dengan ragu-ragu orang itu melangkah maju. Tetapi kemudian ia berhenti. Sorot matanya memancarkan berbagai pertanyaan yang bergelora di dadanya.
“Aku memerlukan pertolonganmu ibu” berkata Ken Arok kepada perempuan tua kurus itu “Kemarilah”.
Perempuan itu maju lagi beberapa langkah.
“Nah” Ken Arok berkata seterusnya, “Sejak aku pertama-tama menginjakkan kakiku di halaman ini di masa aku masih terlampau muda, maka perempuan tua itulah yang memelihara aku. Sejak semula aku mengerti, dan kini semakin ternyata, bahwa hidupnya terlampau kering, ia sendiri tidak mempunyai seorang anak pun dari ayah Bango Samparan, dan agaknya bibi terlampau mementingkan dirinya sendiri. Apalagi anak-anak gila ini”.
Ken Arok berhenti sejenak. Ditatapnya mata perempuan tua yang sayu tetapi melontarkan keragu-raguan dan kebimbangan, teka-teki dan kecemasan. Isteri tua Bango Samparan itu agaknya telah terlampau lama mengalami masa-masa yang pahit. Sejenak kemudian Ken Arok melanjutkan,
“Sekarang dengarlah keputusanku. Bertanyalah kepada ibu. Kalau biyungku itu bersedia memberi kalian maaf, maka aku pun akan memberi maaf kepada kalian. Tetapi kalau tidak, aku pun tidak akan memaafkan kalian. Aku akan melakukan apa saja atas perintah biyungku itu”.
Sesaat kemudian halaman itu disambar oleh kesenyapan yang tegang. Bahkan Ken Arok sendiri menjadi tegang. Sepercik penyesalan merayap di hatinya. Ia telah berbuat terlampau tergesa-gesa diluar pertimbangan nalarnya. Apakah kira-kira yang akan dilakukan, seandainya perempuan tua yang kurus dan kering itu telah dipenuhi oleh dendam dan kebencian. Apakah ia akan melakukan seandainya perempuan tua yang selama ini tertekan itu, melonjak oleh ledakan kebencian yang selama ini terhimpit didasar perasaannya?
Dalam ketegangan itu, dada Ken Arok sendiri menjadi berdebar-debar. Agaknya ia tidak kalah cemasnya dari orang-orang lain yang berada di halaman itu. Namun ia mencoba berdoa. Semoga yang terjadi, seperti yeng diharapkannya. Perempuan tua, isteri tua Bango Samparan itu tidak segera berkata sepatah katapun. Ditatapnya setiap wajah berganti-ganti. Ken Arok, madunya, suaminya dan anak-anak tirinya. Secercah warna merah menyambar sepasang mata yang suram itu. Orang-orang yang selama ini bertolak pinggang dihadapannya, membentak-bentak dan memakinya, kini terpaku diam menunggu keputusan yang akan meloncat dari mulut perempuan tua itu.
Sejenak kemudian, semua orang telah dikejutkan oleh sikapnya. Perempuan tua yang lemah itu tiba-tiba menggeretak kan giginya. Wajahnya yang suram itu seolah-olah menyala. Menyalakan dendam yang selama ini tersimpan di dalam dadanya. Dada yang tipis dan kering. Dengan sorot mata yang mengerikan, perempuan itu melangkah maju. Selangkah demi selangkah semakin lana semakin dekat dengan tubuh Panji Bawuk yang terlentang di tanah, di bawah telapak kaki Ken Arok. Sebuah desir yang tajam tergores di dada Ken Arok. Kemudian terasa darahnya menjadi semakin cepat mengalir. Yang dilihatnya kini bukanlah seorarg perempuan tua yang lemah dan kering, tetapi seolah-olah ia sedang berhadapan dengan hantu betina yang haus darah.
“Sekian tahun ia mengalami penderitaan” desis Ken Arok di dalam hatinya, “Sekarang tiba-tiba semuanya itu akan meledak”. Penyesalan yang tajam telah tergurat di dinding jantung Ken Arok. Ia telah bermain dengan api, dan yang kini api itu telah menyala, membakar hati perempuan tua itu.
Sejenak kemudian isteri tua Bango Samparan itu berhenti. Ditatapnya wajah Panji Bawuk dengan tajamnya. Kemudian berganti-ganti dipandanginya keempat anak-anak Bango Samparan dari isteri mudanya, lalu Bango Samparan sendiri dan yang terakhir adalah isteri mudanya. Seorang perempuan yang terlampau keras hati, tamak dan dengki. Perempuan itulah sumber dari segala macam kepahitan hidupnya. Perempuan itulah yang menyebabkan ia menjadi kurus kering. Perempuan itulah yang menyebabkan ia mati di dalam hidupnya. Dan kini ia mendapat kesempatan untuk berbuat apapun. Ternyata anak angkatnya telah memberinya jalan untuk melepaskan dendamnya. Tetapi untuk sesaat perempuan itu masih berdiri membeku di tempatnya. Hanya sorot matanya sajalah yang seakan-akan menjilat setiap hati.
Bango Samparan, isterinya yang muda, dan keempat anak-anaknya pun menjadi ngeri melihat sikap perempuan itu. Wajahnya, matanya dan gemeretak giginya. Dada mereka berdentangan ketika mereka mendengar perempuan itu tiba-tiba saja tertawa. Perlahan-lahan, tetapi suaranya seperti lengking hantu yang melagukan dendang kematian.
“Apakah yang harus aku lakukan Ken Arok?” bertanya perempuan itu tiba-tiba dengan nada yang datar.
Dada Ken Arok berdesir mendengar pertanyaan itu. Sejenak ia berdiri mematung. Kakinya yang masih menginjak dada Panji Bawuk itu menjadi gemetar, dan ujung pedangnya pun justru telah berkisar dari depan mata Panji Bawuk.
“Apa yang harus aku lakukan he?” desak perempuan itu, “Apakah aku yang harus menghunjamkan pedangmu, atau aku tinggal mengucapkan keinginanku, lalu kau yang akan membantai setiap orang di halaman ini, atau apa?”
Pertanyaan itu telah menggetarkan setiap dada mereka yang berada di halaman itu. Terlebih-lebih isteri muda Bango Samparan. Bahkan Ken Arok sendiri menjadi cemas dan bingung. Ia tidak mengerti, apa yang harus diucapkannya untuk menjawab pertanyaan yang mengerikan itu.
Namun dalam pada itu, selagi halaman itu dicengkam oleh ketegangan yang semakin memuncak, tiba-tiba terdengar dikejauhan suara dendang seorang gadis kecil. Semakin lama semakin dekat. Tetapi tiba-tiba suara itu terputus. Sejenak keheningan telah menerkam suasana.
Keheningan yang tegang itu kemudian dipecahkan oleh langkah gadis kecil berlari-lari masuk kehalaman. Begitu ia melangkahi regol, maka langkahnya pun segera terhenti. Hampir terpekik ia menyaksikan apa yang terjadi. Dilihatnya kakaknya yang tertua terlantang di halaman, sedang seorang telah menginjak dada kakaknya itu dengan telapak kakinya. Ayahnya berdiri gemetar dan ibunya bersimpuh sambil membungkuk-bungkuk. Ketiga kakaknya yang lain berdiri bagaikan patung. Dan yang terakhir dilihatnya isteri tua ayahnya berdiri tegak dengan wajah yang mengerikan.
Ketakutan dan kebingungan telah menerkam hati gadis kecil itu. Namun ia tidak lari meninggalkan halaman rumah itu, tetapi justru ia melangkah mendekat perlahan-lahan. Dan tiba-tiba saja ia berlari-lari kecil, justru mendekati isteri tua Bango Samparan yang sedang dicengkam oleh luapan perasaannya yang selama ini dihimpitnya rapat-rapat. “Ibu, apakah yang terjadi?”
Mata perempuan itu telah menjadi merah. Sejenak ia berpaling kepada gadis kecil, anak Bungsu Bango Samparan dari isteri mudanya. Gadis kecil itu kini berhenti beberapa langkah di hadapannya. Matanya yang jernih sama sekali tidak membayangkan perasaan dan prasangka apapun. Bahkan selangkah ia maju dan bertanya,
“Ibu, apa yang telah terjadi dengan kakang Panji Bawuk, ibu muda, dan ayah serta kakak-kakak yang lain?”
“Minggir kau” isteri tua Bango Samparan itu menggeram, “Aku akan berbuat sesuka hatiku atas mereka. Kalau kau tidak pergi, maka kau akan mengalami nasib serupa”.
Gadis itu menjadi heran. Ketakutan semakin mencengkam di hatinya. Tetapi ia masih juga tidak berprasangka apapun atas isteri tua Bango Samparan itu. “Kenapa aku harus pergi ibu?” bertanya anak itu, “Siapakah laki-laki yang telah berbuat jahat terhadap kakang Panji Bawuk itu, dan kenapa ayah dan kakang-kakang yang lain tidak berbuat sesuatu?”
Isteri tua Bango Samparan itu tidak segera menjawab. Ditatatapnya saja wajah gadis kecil itu, seolah-olah anak itu belum pernah dikenalnya selama ini. “Pergilah, pergilah” desis perempuan itu.
“Kenapa ibu, kenapa aku harus pergi? Aku baru saja pulang dari belumbang”.
“Pergilah bermain-main bersama kawan-kawanmu”.
“Tidak ada ibu. Aku tidak mempunyai kawan. Anak-anak yang berada di belumbang berlari-larian pergi ketika aku datang kesana. Mereka tidak mau berkawan dengan aku. Aku tidak tahu, kenapa? Aku kira aku tidak pernah nakal. Tetapi mereka tidak mau berkawan dengan aku. Katanya, aku anak Bango Samparan. Kenapa dengan anak ayah Bango Samparan?”
Perempuan tua itu tidak segera menyahut. Dipandanginya saja wajah gadis kecil itu semakin tajam. Tetapi gadis kecil itu sama sekali tidak berprasangka apapun. Sorot matanya memancarkan kebeningan hatinya yang masih bersih. Dengan tanpa dibuat-buat ia berkata selanjutnya, “Aku sudah berusaha ibu. Setiap hari aku berusaha mendekati mereka. Tetapi mereka tetap bersikap demikian kepadaku. Apakah itu salahku ibu?”
Perempuan tua itu tidak menyahut. Ia masih tetap memandangi anak itu dengan tajamnya. Dan anak itu masih berbicara lagi, “Kenapa ibu memandang aku demikian? Apakah ibu marah kepadaku?”
Karena perempuan tua itu masih belum menjawab, maka gadis kecil itu berpaling kepada ibunya sendiri yang masih borjongkok dihadapan Ken Arok, “Kemarilah Puranti, kemarilah” panggil isteri muda Bango Samparan, “Berjongkoklah dan mintalah maaf kepada kakangmu Ken Arok”.
Gadis kecil itu menjadi bingung. Dengan setulus hatinya ia bertanya, “Kenapa ibu? Apakah aku bersalah? Dan apakah ibu atau kakang Panji Bawuk atau ayah Bango Samparan bersalah?”
Ibunya tertegun sejenak dengan penuh kebimbangan. Tetapi kemudian perlahan-lahan ia mengangguk, “Ya Ngger. Ibu bersalah. Kakangmu Panji Bawuk bersalah, ayah bersalah dan kita semua bersalah. Karena itu, mintalah maaf”.
“Apakah ibu tua juga bersalah?”
Pertanyaan itu telah membingungkan ibunya. Tanpa sesadarnya ia memandang kepada isteri tua Bango Samparan. Tetapi isteri tua Bango Samparan itu tidak sedang memandanginya. Matanya yang menyala masih hinggap pada gadis kecil yang tidak mengerti keadaan yang sebenarnya terjadi di halaman itu.
Kini semua mata terpancang pada isteri tua Bango Samparan. Ia memegang seluruh persoalan. Kepadanya harapan ditumpahkan, tetapi terhadap sikapnya jugalah semua orang dicengkam kecemasan. Apakah yang akan dikatakannya dan apakah yang diingininya atas semua orang itu. Bahkan Ken Arok sendiri telah tegak mematung dipukau oleh sikap perempuan tua itu. Semakin lama dadanya semakin berdebaran.
Karena perempuan tua itu tidak segera menjawab, maka gadis kecil itu mengulang pertanyaannya, “Apakah ibu tua juga bersalah kepada orang itu?”
Perempuan tua itu tidak menjawab. Matanya masih memancarkan kebencian yang menyala-nyala. Tetapi tiba-tiba halaman itu seakan-akan tergetar oleh kata gadis kecil yang masih bersikap terlampau wajar, tanpa dibuat-buat itu,
“Tuan” katanya kepada Ken Arok “Kalau ibu tua ini juga bersalah, aku minta maaf untuknya. Kasihan, selama ini ibu tua selalu menderita. Sepengetahuanku, ibu tua belum pernah tersenyum apalagi tertawa karena perasaannya. Ia tertawa sekedar untuk menyenangkan hatiku apabila ibu tua berceritera tentang burung yang hinggap di bulan bersama seekor kuda bersayap dan kucing candramawa. Tetapi, apabila tuan berkenan, aku minta maaf untuk semua orang yang bersalah kepada tuan, eh, kepada kakang Ken Arok”.
Kata-kata gadis kecil itu serasa alun yang berguncang karena taufan yang dahsyat menghantam dada perempuan tua itu. Sejenak serasa ia melayang-layang dalam ketiada ketentuan. Namun kemudian terlampar pada suatu kesadaran diri, dalam hubunganya dengan gadis kecil itu. Gadis kecil yang bernama Puranti itu, anak bungsu Bango Samparan dari isteri mudanya, adalah orang yang paling baik di dalam rumah ini. Gadis kecil itulah kawan satu-satunya bagi isteri tua Bango Samparan. Tidak Seperti kakak-kakaknya, gadis kecil itu bersikap baik kepadanya.
Mungkin sikap itu didorong oleh keadaan gadis kecil itu sendiri. Gadis kecil yang juga tidak mempunyai seorang kawan pun di luar halaman rumahnya karena ia adalah anak Bango Samparan. Sedang kakak-kakaknya dan ibunya, apalagi ayahnya terlampau sibuk dengan persoalan mereka sendiri-sendiri, sehingga setiap kali, gadis itu hanya dapat berbicara, bermain-main dan berkawan dengan isteri tua Bango Samparan. Kehadiran gadis kecil di rumah Bango Samparan itulah yang menahan isteri tuanya tidak membunuh dirinya. Bersama gadis kecil itu ia masih melanjutkan sisa hidupnya betapapun pahitnya.
Tiba-tiba mata perempuan tua yang menyalakan dendam dan kebencian itu perlahan-lahan menjadi pudar. Di dalam pandangan matanya, tampaklah kelembutan dan harapan di wajah anak itu. Bahkan tiba-tiba terbayanglah di wajah itu, wajah yang lain, yang dimasa kecilnya hampir tepat seperti wajah gadis kecil itu, yaitu wajah ibunya, isteri muda Bango Samparan. Perempuan itu dikenalnya baik-baik sejak masa kecilnya, bahkan didukungnya dan dimandikannya setiap pagi. Isteri muda Bango Samparan yang tidak lain adalah adiknya sendiri itu, terbayang jelas di wajah anak gadisnya. Namun anak ini mempunyai jauh lebih banyak kelebihan dari ibunya. Gadis ini adalah gadis yang baik. Terlampau baik.
“Tuan, eh, kakang” terdengar suara kecil itu melengking, “Bukankah tuan ingin memaafkannya, terutama ibu tua? Ibu tua selalu menangis. Hampir setiap hari. Kalau tuan marah pula kepadanya, maka ia akan semakin menangis sehingga air matanya akan terperas habis dan dengan demikian ibu tua akan menjadi semakin kering dan kurus”.
Anak itu tidak dapat menyelesaikan katanya. Tiba-tiba ia terkejut karena tiba-tiba perempuan tua itu berjongkok memeluknya sambil berkata, “Ya, ya Puranti. Ken Arok akan memaafkan aku. Ken Arok tidak akan menghukum aku, dan tidak akan menghukum kau”.
Gadis itu memandang wajah perempuan tua itu dengan mata yang bertanya-tanya. Sejenak kemudian ia berpaling kepada Ken Arok dan bertanya pula, “Benarkah begitu kakang? Kakang tidak akan menghukum ibu tua dan aku?”
Ken Arok telah terpukau oleh suatu pesona yang tidak dimengertinya sendiri. Perlahan-lahan ia menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Tentu Puranti. Aku tidak akan menghukum ibu tua dan kau”.
“Lalu bagaimana dengan kakak-kakak yang lain, ibu muda dan ayah?” bertanya gadis itu pula.
Sekali lagi halaman rumah Bango Samparan itu dicengkam oleh kediaman. Tetapi getar yang tersirat disetiap hati kini bernada jauh berbeda dengan ketegangan yang sudah terjadi. Ujung pedang Ken Arok kini telah terkulai hampir menyentuh tanah, sedang telapak kakinya pun telah kehilangan daya tekanannya. Bahkan kemudian kaki itu perlahan-lahan ditariknya dan diletakkannya di atas tanah.
Kini seluruh perhatian terpancang kepada gadis kecil dan perempuan tua itu. Hampir setiap mata tidak berkedip memandang mereka dengan penuh kecemasan dan teka-teki di dalam diri masing-masing. Jantung mereka serasa berhenti bergetar ketika mereka mendengar gadis kecil itu tiba-tiba bertanya, “Ibu, kenapa ibu menangis?”
Isteri tua Bango Samparan mengusap matanya. Mata itu kini sama sekali telah pudar. Dendam yang memancar dari padanya, telah padam seperti api yang tersiram air.
“Kenapa?” desak gadis kecil itu.
Perempuan tua itu tidak menjawab. Dengan mata yang buram dipandanginya setiap orang yang berada di halaman itu. Bango Samparan, adiknya yang menjadi isteri muda Bango Samparan, Panji Bawuk, Kuncang, Kunal, Kenengkung dan kemudian Ken Arok. Tiba-tiba perempuan tua itu berdiri. Nafasnya menjadi tertahan-tahan oleh perasaannya yang bergejolak di dalam dirinya. Dibimbingnya gadis kecil itu melangkah meninggalkan mereka yang masih membeku di tempatnya.
“Kemana kita ibu?” bertanya gadis kecil itu.
“Marilah kita masuk Puranti. Aku mempunyai beberapa buah sawo kecik untukmu”.
“Dari mana ibu dapatkan?”
“Aku dapatkan pagi-pagi tadi, anakku. Di bawah pohonnya”.
Puranti tersenyum. Tetapi tiba-tiba langkahnya tertegun. Katanya, “Lalu bagaimana dengan ibu muda, ayah dan kakak-kakak itu?”
Isteri tua Bango Samparan itupun terhenti pula. Dipalingkannya wajahnya. Dipandanginya Ken Arok dengan wajah yang sayu. Dan tiba-tiba saja ia berkata dalam nada yang datar, “Tidak ada yang harus kau lakukan Ken Arok. Sebaiknya kita tidak membiarkan dendam membakar hati kita. Anak ini telah mengajari aku, dan syukurlah bahwa aku belum menjadi hangus dijilat oleh api kebencian dan dendam yang selama ini tersimpan di dalam dada”.
Perempuan tua itu berhenti sejenak. Sekali lagi dipandanginya adiknya yang menjadi isteri muda Bango Samparan, lalu, “Bukan kuwajiban kita untuk menentukan jalan hidup seseorang. Kita memang harus berusaha. Tetapi yang terakhir adalah Yang Maha Agung. Mudah-mudahan Yang Maha Agung berkenan merubah segala macam sifat yang ada pada diri adikku dan anak-anaknya. Semoga. Tetapi sudah tentu bukan jalan yang paling parah. Kematian. Tidak. Aku masih ingin melihat kesempatan bagi mereka untuk menyesali segala kekeliruan yang telah mereka perbuat”.
Perempuan itu terdiam. Kemudian kaki-kakinya yang lemah melangkah kembali sambil membimbing Puranti masuk ke dalam rumah lewat pintu samping. Mereka yang ditinggalkan di halaman masih juga membeku di tempat masing-masing. Mereka tidak segera tahu apa yang sebaiknya mereka lakukan. Bango Samparan sama sekali tidak bergerak ditempatnya, sedang isterinya masih juga berlutut di tanah. Panji Bawuk masih terbaring diam, sedang Ken Arok kini berdiri di sisinya dengan penuh kebimbangan.
Angin yang silir telah mengusap wajah Ken Arok yang dengan bintik-bintik keringat dinginnya. Bahkan seluruh tubuhnya seolah-olah telah tersiram dengan air hujan. Basah oleh keringat. Sejuknya angin yang berhembus lambat agaknya telah menyegarkan ingatan Ken Arok. Segera menyadari, bahwa ia harus mengambil keputusan. Karena itu, maka dicobanya untuk menenangkan hatinya sambil menarik nafas dalam-dalam. Sikap Puranti benar-benar berkesan di hatinya. Gadis kecil itu benar-benar berhati bersih meskipun ia hidup diantara serigala-serigala liar yang buas.
“Masih juga dapat diketemukan sebutir mutiara di dalam lumpur yang paling kotor“, berkata Ken Arok di dalam hatinya, “Sikap biyung Bango Samparan terhadap anak itu pasti bukan tanpa sebab. Agaknya anak itu adalah satu-satunya manusia yang masih memperhatikannya”.
Tanpa sesadarnya Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ditatapinya wajah Panji Bawuk dan adiknya berganti-ganti. Wajah yang tiba-tiba telah dicengkam kembali oleh ketegangan dan ketakutan. Tetapi mereka menjadi terheran-heran. Ken Arok tiba-tiba saja menyarungkan pedangnya sambil berkata,
“Ibu tua sudah menentukan keputusannya. Itu adalah ucapan hati seorang yang berbudi. Kalian telah mendengar apa yang dikatakannya. Ibu tua itu masih ingin melihat kalian mendapat kesempatan untuk menyesali kesalahan kalian selama ini. Karena itu tidak sepantasnya kalian dibunuh. Kalian harus dimaafkan, dan diberi kesempatan untuk menentukan sikap dan memaksa diri sendiri untuk meneliti, manakah yang benar dan manakah yang salah menurut penilaian yang wajar. Bukan menurut penilaian demi kepentingan kalian sendiri”.
Isteri muda Bango Samparan menundukkan kepalanya. Sama sekali tidak diduganya, bahwa suatu ketika ia akan terbentur pada keadaan yang aneh baginya, tetapi serasa mengorek sampai kepusat jantungnya. Masih juga ada orang yang betapapun alasannya, memaafkan kesalahan yang telah diperbuatnya. Meskipun orang itu dapat berbuat sekehendak hati atasnya dan anak-anaknya. Masih juga ada orang yang terpengaruh oleh kebeningan hati gadis kecilnya. Hal yang serupa itu tidak akan pernah terlintas di kepalanya dan kepala anak-anaknya. Mereka akan dengan bangga membunuh atau lebih jahat lagi dari padanya, dengan penuh kebengisan memperlakukan korbannya sewenang-wenang. Dera dan siksa. Penuh dengan kebencian kepada sesama didorong oleh ketamakan dan kedengkian hati.
Dan kini tiba-tiba isteri muda Bango Samparan itu mendapat perlakuan yang berlawanan dari seseorang yang hampir saja menjadi korban kebenciannya. Hampir saja Ken Arok mereka perlakukan semena-mena seandainya tidak secara kebetulan Ken Arok mempunyai kelebihan dari mereka seluruhnya. Seandainya Ken Arok itu tidak mampu melawan senjata anak-anak Bango Samparan itu, maka Ken Arok akan menjadi makanan burung-burung gagak di atas anjang-anjang yang akan mereka buat di atas sebatang pohon. Isteri muda Bango Samparan itu terperanjat ketika ia mendengarkan Ken Arok berkata,
“Sekarang pergilah kalian. Aku tidak akan berbuat sesuatu. Aku akan segera meninggalkan tempat ini. Mudah-mudahan semuanya akan berubah. Terutama hati yang tersimpan di dalam dada kalian”, Ken Arok berhenti sejenak sambil menatap wajah Panji Bawuk. Kemudian ia melanjutkan, “Aku dahulu adalah seorang penjahat yang paling liar dan buas. Yang sama sekali tidak mengenal peradaban, karena sejak aku dilahirkan aku sudah terbuang dari lingkungan peradaban manusia yang baik. Aku hidup diantara pencuri, penjudi dan kejahatan-kejahatan yang lain. Tetapi pada suatu saat aku menemukan kesadaran baru di dalam diriku, sehingga aku mendapat jalan untuk menempuh hidup dengan cara yang sekarang ini”.
Tidak seorang pun yang beranjak dari tempatnya. Dengan ragu-ragu mereka mendengar Ken Arok berkata selanjutnya, “Pergilah. Kenapa kalian diam membeku?” Lalu kepada Bango Samparan ia berkata, “Aku minta diri ayah”.
Bango Samparan tergagap. Namun kemudian ia menyahut terbata-bata, “Jangan pergi dahulu Ken Arok. Baiklah kau singgah sebentar. Kau akan dapat lebih banyak memberikan jalan kepada kami. Mudah-mudahan kedatanganmu berpengaruh atas kami sekeluarga”.
“Pikirkan saja kata-kataku. Kalau kalian dapat membuat membuat pertimbangan, maka kalian akan menemukan kesimpulan itu. Di rumah ini ada juga seorang yang berbudi dan seorang gadis kecil yang terlampau baik. Kepada mereka kalian dapat mencari percikan-percikan sinar yang dapat kau pakai untuk mencari jalan keluar dari kegelapan. Selebihnya, kalian harus selalu berusaha mendekatkan diri kepada sumber hidup kalian”.
“Ya, ya”, sahut Bango Samparan ”Tetapi kau tidak boleh segera pergi. Kau harus tinggal di sini meskipun hanya semalam”.
Ken Arok tidak segera menyahut. Tetapi terbayang keragu-raguan di wajahnya. Sekali ditatapnya wajah isteri muda Bango Samparan yang kini tertunduk lesu. Kemudian wajah anak-anaknya dan wajah Bango Samparan sendiri.
“Apakah kau masih ragu-ragu?” bertanya Bango Samparan, “Kami sudah benar-benar menyesali perbuatan kami. Kami tidak akan membuat jebakan atau pengkhianatan di malam hari seandainya kau bermalam di sini”.
“Aku percaya” jawab Ken Arok ”Tetapi aku ingin berjalan mengikuti langkah kakiku. Aku ingin melihat daerah-daerah yang terbuka untuk menyegarkan nalar dan perasaanku”.
“Tetapi kau sudah sampai ke rumah ini. Aku memang bermaksud memintamu bermalam di rumah yang jelek ini. Mungkin ada kenangan yang dapat menumbuhkan ikatan baru di antara kita setelah selama ini kita seakan-akan tidak berhubungan lagi”.
Ken Arok mengerutkan keningnya. Seakan-akan sesuatu telah mendesaknya untuk meninggalkan saja halaman rumah itu. Tetapi ia mendengar Bango Samparan berkata seterusnya “Atau kau anggap bahwa kau sudah tidak pantas lagi masuk ke rumah yang kotor ini?”
Ken Arok berdesah. Tetapi ia tidak dapat lagi menolak permintaan Bango Samparan untuk bermalam barang semalam di rumahnya. Karena itu, maka dengan ragu-ragu ia menjawab “Baiklah ayah, aku akan bermalam di rumah ini semalam”.
“Terima kasih, terima kasih” Bango Samparan hampir berteriak. Kemudian dengan serta-merta ia meloncat menarik tangan Ken Arok masuk ke dalam rumahnya.
“Nanti dulu”, Ken Arok pun hampir berteriak ”Pakaianku”.
“O”, lalu Bango Samparan berteriak, “Kunal, bawalah bungkusan itu masuk”.
“Biarlah aku sendiri yang membawanya” sahut Ken Arok.
Tampak wajah Bango Samparan berkerut sesaat. Namun kemudian ia berkata, “Baiklah Ken Arok. Memang sudah tidak ada seorang pun diantara kami yang dapat kau percaya”.
“Bukan itu maksudku” berkata Ken Arok, “Aku hanya ingin tidak membuatnya repot”.
Tetapi Bango Samparan tersenyum. Katanya, “Baiklah, apapun alasanmu, namun aku dapat meraba perasaanmu. Tetapi ini sama sekali bukan salahmu atau bahwa kau terlampau berprasangka atas kami. Memang salah kami sendirilah, bahwa kami telah membuat orang lain kehilangan kepercayaan kepada kami”.
“Kau menangkap sikapku terlampau jauh”.
Bango Samparan tidak menjawab lagi. Dibiarkannya Ken Arok melangkah mengambil sebuah bungkusan. Bungkusan pakaian yang dibawanya. Ketika Ken Arok dan Bango Samparan telah hampir melangkahi tlundak pintu, tiba-tiba Bango Samparan berhenti sejenak sambil berpaling, “He, anak-anak. Tangkap dua ekor ayam kita yang paling gemuk. Kita merayakan hari yang baik ini”.
Panji Bawuk yang sudah bangkit dan duduk di tanah memandang ayahnya dengan heran. Kemudian ditatapnya wajah ibunya yang termangu-mangu.
“He, kenapa kalian menjadi bingung” teriak Bango Samparan “Tangkap dua ekor ayam yang paling gemuk”.
Namun anak-anaknya dan isteri mudanya masih juga kebingungan. Sehingga mereka sejenak hanya saling memandang sambil bertanya-tanya di dalam hati. Tetapi Ken Arok yang pernah tinggal di rumah itu, dapat mengerti maksud Bango Samparan. Karena itu maka segera ia menyahut, “Kalian tidak usah bingung. Bukankah kalian telah berjanji untuk memperbaiki semua kesalahan dan tingkah laku?”
Sepercik warna merah menyambar wajah Bango Samparan. Sejenak ia diam mematung sambil memandang wajah Ken Arok. Sedang anak-anaknya dan isteri mudanya masih saja tidak beranjak dari tempatnya. Dan tiba-tiba Bango Samparan tersenyum sambil bertanya, “Kenapa dengan ayam yang dua ekor itu? Aku kira tidak ada hubungan apapun dengan janji kami untuk memperbaiki tingkah laku kami”.
“Aku tahu ayah” sahut Ken Arok, “Kalian tidak mempunyai dua ekor ayam itu. Ayah masih juga mempunyai kebiasaan itu. Kebiasaan yang mengasingkan ayah dari pergaulan”.
“Tetapi, tetapi…” Bango Samparan tergagap.
“Adalah kebiasaan ayah dan anak-anak ayah yang sudah mulai liar itu dengan menangkap ayam siapapun yang berkeliaran di jalan-jalan. Kebiasaan itu pun harus ditinggalkan. Kalian harus menyadari akibat dari kebiasaan itu. Puranti tidak dapat berkawan dengan siapapun. Itu sama sekali bukan salah Puranti. Tetapi salah kalian. Sedang Puranti hanya menerima akibat dari perbuatan kalian”.
“Oh, tidak. Tidak Ken Arok. Maksudku, aku mempunyai beberapa ekor ayam sendiri”.
Ken Arok menggeleng-geleng, “Seandainya ada, pasti ayam-ayam itu sudah habis kalian makan sendiri”.
Bango Samparan menundukkan kepalanya. Agaknya Ken Arok yang memang sudah mengenal keadaannya itu tidak dapat dikelabuinya, sehingga suara Bango Samparan itu merendah, “Kau benar Ken Arok. Tetapi jika tidak demikian, kami tidak mempunyai apapun untuk menjamumu” Bango Samparan berhenti sejenak. Lalu kepada isteri mudanya ia bertanya, “Apakah kita mempunyai sesuatu di rumah sepeninggalku?”
Isterinya menggelengkan kepalanya perlahan-lahan. Jawabnya, “Tidak. Tetapi aku masih mempunyai beberapa mangkuk beras”.
“Bagus” tiba-tiba Bango Samparan berteriak, “Kau menanak nasi. Aku akan mencari lauk di tegalan”.
“Apa yang akan kau cari?” bertanya Ken Arok.
“Kijang atau kancil”.
“Sampai besok kau tidak akan dapat”.
“Kalau begitu ayam alas”.
“Terlalu sukar dicari disiang hari”.
Bango Samparan mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia ber bisik, “Bagaimana kalau kelinci?”
Ken Arok menggelengkan kepalanya. Hampir saja ia tidak berhasil menahan tertawanya. Sambil menunjuk buah kelapa yang bergayutan ditangkainya ia berkata, “Bukankah dengan kelapa muda kita dapat membuat bermacam-macam lauk”.
“O, ya, ya. Kau masih seperti dulu Ken Arek. Kalau tergesa-gesa, kau makan saja nasi dengan kelapa parut”.
“Itu lebih baik dari pada kita makan ayam panggang milik tetangga”.
“Eh” kembali wajah Bango Sambaran dijalari oleh warna-warna merah. Katanya kemudian, “Baiklah. Baiklah kita makan dengan kelapa parut”.
Sebelum Ken Arok menyahut, maka sekali lagi Bango Samparan menyeretnya masuk ke dalam rumah yang kotor itu. Ketika Ken Arok telah hilang dibalik pintu, maka perlahan-lahan Panji Bawuk bangkit berdiri tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia berjalan dengan kepala tunduk kebelakang rumahnya. Kemudian melepaskan pakaiannya yang kotor. Dibantingnya dirinya dibelakang kandang yang kosong. Sambil berbaring hanya dengan celananya yang kumal, ia memandangi langit yang biru.
Dilihatnya segumpal awan yang putih terbang seperti kapas tertiup angin. Hanyut perlahan-lahan ke utara. Sedang burung-burung yang berterbangan seakan-akan telah mengisi kekosongan langit yang tiada bertepi. “Alangkah luasnya” tanpa sesadarnya ia berdesis, “Jauh lebih luas dari kenungkinan yang pernah aku angan-angankan”.
Panji Bawuk menarik nafas dalam-dalam. Peristiwa yang baru saja terjadi telah menumbuhkan persoalan yang panas di dalam dirinya. Ia tidak dapat lagi membutakan mata hatinya, bahwa sebenarnyalah ia telah sesat memilih jalan. Lingkungannya dan tuntunan yang diterimanya sejak kanak-kanak. Pertengkaran dan perselisihan. Kegelapan den ketiadaan jalan yang lain. Kini tiba-tiba seperti terbangun dari mimpinya yang dahsyat, ia melihat bentangan langit yang biru bersih.
“Dibawah langit ini ada berjuta-juta macam persoalan peristiwa dan berjuta-juta cara penyelesaiannya. Tetapi di bawah langit ini ada berjuta-juta manusia dalam kediriannya masing-masing, dalam pendiriannya masing-masing dan dalam keutuhannya masing-masing”, Panji Bawuk mengerutkan keningnya. Kemudian ia berdesah pula “Sebenarnyalah kata Ken Arok. Kalau semua pihak berbuat menurut kehendak dan kesenangan sendiri, maka alangkah ngerinya hidup di dalam dunia ini. Sebenarnyalah kata Ken Arok bahwa kita masing-masing hurus berusaha mendekatkan diri kepada sumber hidup ini. Apabila setiap orang berusaha demikian, maka dunia akan menjadi sebuah taman raksasa yang paling indah”.
Sekali lagi Panji Bawuk menarik nafas dalam-dalam. Angin yang lembut mengusap tubuhnya yang kotor dan berkeringat. Meskipun masih juga terjadi benturan-benturan yang tegang di dalam dirinya, tetapi ia berusaha untuk mengerti, apa yang baru saja didengarnya dari Ken Arok.
Dalam pada itu, isteri muda Bango Samparan sibuk mengumpulkan kayu. Kuncang dengan penuh pertanyaan di dalam dirinya tentang peristiwa yang baru saja dialami, duduk tepekur di sudut rumahnya. Sedang Kunal dengan tangkasnya memanjat sebatang pohon kelapa. Seperti Kenengkung, ia tidak mempunyai perasaan apapun selain kegembiraan yang meluap. Ia merasa beruntung bahwa Ken Arok tidak menghukumnya. Itu saja.
Sambil menunggu jamuannya, Ken Arok berbicara tentang berbagai persoalan dengan Bango Samparan berbicara seperti gerojogan. Tanpa henti-hentinya. Dari satu soal ke soal yang lain. Tentang kedua isterinya dan tentang anak-anaknya.
Sementara itu nasi pun menjadi masak dan dengan kelapa parut dihidangkan untuk menjamu Ken Arok yang menanggapinya dengan baik, seperti pada masa-masa ia berada di rumah itu. Makan dengan kelapa parut dan garam. Terlebih enak lagi adalah keraknya yang tidak terlampau keras.
Pada malam harinya Ken Arok benar-benar bermalam di rumah itu. Namun sampai jauh malam ia tidak sempat beristirahat. Di seputar lampu minyak ia duduk bersama-sama dengan Bango Samparan, kedua isterinya dan anak perempuannya Puranti. Menilik percakapan itu, maka Ken Arok mempunyai harapan yang baik, bahwa keluarga Bango Samparan akan dapat mengubah cara hidupnya. Isteri mudanya telah banyak merasa bersalah. Demikian pula Bango Samparan sendiri. Sedang keempat anak laki-lakinya agaknya masih belum merasa bebas untuk duduk bersamanya...
Sikap anak-anak Bango Samparan itu membuat darah Ken Arok benar-benar menjadi mendidih. Semula ia memang berhasrat untuk meninggalkan saja rumah itu. Tetapi justru sikap anak-anak Bango Samparan itulah, kemudian yang manahannya. “Aku akan tetap berada di sini” katanya di dalam hati.
Karena itulah maka Ken Arok masih tetap berdiri tanpa bergerak di tempatnya. Kedua kakinya seolah-olah terhunjam dalam-dalam sampai ke pusat bumi. Hanya pandangannya sajalah yang beredar dari satu wajah ke wajah yang lain. Panji Bawuk, Panji Kuncang, Kunal dan kemudian Bango Samparan.
Bango Samparan menjadi kebingungan melihat perkembangan keadaan. Ia tidak mengira bahwa sikap permusuhan dari anak-anaknya masih juga membekas demikian dalamnya, sehingga kedatangan Ken Arok telah menumbuhkan persoalan di dalam rumahnya.
“He” Panji Kuncang lah yang pertama-tama menyobek kebekunan di halaman itu, “Kenapa kau masih saja berdiri di situ Ken Arok. Sebelum aku berubah pendirian, pergilah. Rumah ini sama sekali tidak ada tempat bagimu. Jangan mengharap kau dapat masuk menjadi salah seorang dari keluarga kami. Kalau kami kelak membagi warisan, maka kamu sama sekali tidak mendapatkan apapun yang cukup berharga. Karena itu, kau tidak perlu ikut serta memperebutkannya. Tanah yang hanya selidah kadal ini, rumah yang hampir roboh dan regol yang miring. Apa kau sangka ayah mempunyai timbunan harta benda yang bernilai?”
Kini Ken Arok tidak dapat menahan mulutnya lagi. Betapa dadanya bergejolak, dan betapa ia telah mencoba menahannya sehingga dada itu rasa-rasanya akan meledak. Dengan nada yang datar Ken Arok menjawab “Ya, aku tahu bahwa ayah Bango Samparan mempunyai harta benda yang tidak ternilai harganya. Itulah sebabnya aku kembali ke rumah ini untuk mendapatkan bagianku sebagai anak angkatnya”
Panji Kuncang mengerutkan keningnya. Kemudian ia menggeram, “Hem, ternyata kau telah menjadi seorang laki-laki yang berani. Kau tidak saja berani menyamun di tempat-tempat yang sepi, dan kemudian sebagai seorang prajurit yeng beramai-ramai membuat bendungan di Padang Karautan. Ternyata kau tidak gemetar mendengar ancamanku”
Ken Arok mangatubkan bibirnya rapat-rapat.
“Jangan kau usir anak itu Kuncang”, berkata Panji Bawuk kemudian. Selangkah ia maju mendekati Ken Arok sambil berkata selanjutnya, “Menilik sikapnya, pandangan matanya yang lurus ke depan, serta wajahnya yang tengadah, ia sama sekali tidak cemas menghadapi keadaannya kini”
“Anak ini benar-benar berani. Tetapi itu tidak mengherankan. Ia dapat melepaskan diri dari tangan orang-orang Pamalantenan dan lari ke Nagamasa. Ia dapat menghantui Tanah Tumapel dan kemudian bahkan menjadi seorang hamba istana yaag baik”. Panji Bawuk berhenti sejenak, lalu, “Nasibmu memang baik Ken Arok. Terlampau baik”
“Nah” tiba-tiba Bango Samparan memotong, “Bukankah aku juga mengatakan, bahwa nasibmu terlampau baik”
Panji Bawuk tertawa rendah. Katanya kemudian, “Tetapi tidak selamanya nasibmu bisa terlampau baik. Suatu ketika kau akan terbentur pada keadaan yang sama sekali tidak kau sangka-sangka. Misalnya bahwa kau telah tersesat sampai ke rumah ini”
“He” mata Bango Samparan terbelalak, “Apa yang akan kau lakukan atasnya?”
Panji Bawuk tertawa dengan nada yang terlampau rendah, tetapi dibalik nada yang rendah itu teresa getaran kebencian yang tiada taranya. “Sebuah permainan yang baik. Aku yakin bahwa ia tidak akan menyerahkan lehernya begitu saja. Ia pasti akan melawan, karena aku percaya bahwa Ken Arok adalah seorang prajurit yang berani. Nah, bukankah kita mendapat ketempatan untuk bermain-main”
“Itu gila. Gila sekali. Ia tamuku di sini”
“Bukankah aku sudah berterima kasih kepada ayah, karena ayah membawa permainan itu”
“Persetan kalian” teriak Bango Samparan, “Kalau kalian berbuat sesuatu atasnya, maka aku akan berdiri dipihaknya”
“Apa” tiba-tiba terdengar suara melengking dari dalam rumah yang kotor itu, “Kalau kau mau membantunya, akulah lawanmu”.
Tiba-tiba muncul seorang perempuan sambil menyingsingkan kainnya. Ialah isteri Bango Samparan yang muda. Dengan tergesa-gesa ia mendekati Bango Samparan sambil menuding-nuding wajahnya, “Kau bawa lagi anak setan itu, he. Ayo, tinggalkan anak itu. Biarlah anak-anak yang mengurusnya”
Sementara itu terdengar suara lain. Suara perempuan. Namun terlalu dalam dan perlahan-lahan, “Kenapa kalian mambencinya sampai ke ujung nyawa kalian?”
Tetapi justru suara itu telah menggetarkan dada Ken Arok. Suara itu adalah suara ibu angkatnya. Isteri tua Bango Samparan. Perlahan-lahan ia berpaling. Dilihatnya seorang perempuan tua yang kurus berdiri di samping rumah sambil menakupkan kedua telapak tangan di muka dadanya.
“Jangan ikut campur” bentak isteri muda Bango Samparan, “Ini sama sekali bukan urusanmu”.
“Tunggulah sebentar” Bango Samparan tergagap, “Maksudku, aku ingin keluarga ini menjadi bertambah baik. Kalau kalian mau mendengarkan penjelasanku, kenapa aku membawa Ken Arok ke rumah ini, maka kalian pasti tidak akan marah-marah lagi”.
“Aku tidak peduli” teriak isteri mudanya. Satu tangannya bertolak pinggang, sedang tanganya yang lain masih menunjuk-nunjuk, “Ayo tinggalkan anak-anak itu. Masuk. Masuklah”.
“Tunggu” Bango Samparan meminta. “Masuk kataku. Ayo masuk”.
Ken Arok menjadi heran. Bango Samparan adalah seorang yang buas, bahkan liar. Tetapi ia begitu takut kepada isteri mudanya. Ia mengetahui hal itu sejak ia tinggal di dalam rumah itu. Tetapi dalam hal yang terlampau penting, seperti keadaan saat ini, Bango Samparan sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu.
Dengan kasarnya isteri muda Bango Samparan itu menarik tangannya dan menyeretnya masuk ke dalam rumah. Bango Samparan yang garang itupun sama sekali tidak dapat melawan. Namun sambil berjalan ia berteriak-teriak, “Maafkan aku Ken Arok. Pergilah. Pergilah sebelum setan-setan itu berbuat sesuatu atasmu”.
Ken Arok sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Dipandanginya Bango Samparan yang berjalan terloncat-loncat diseret oleh isteri mudanya sambil menyingsingkan kainnya tinggi-tinggi.
“Laki-laki tidak tahu diri” gerutu isterinya, “Sekian lama kau tidak pulang. Sekarang kau bawa cucurut jelek itu untuk mengotori halaman rumahku”.
Tanpa sesadarnya Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Agaknya sikap isterinya itu sama sekali tidak membantu usaha untuk menyembuhkan Bango Samparan dari penyakit judinya. Agaknya ia tidak menemukan ketenteraman di rumahnya. Isterinya terlampau menguasainya, sehingga bagi Bango Samparan, keadaan di luar rumahnya jauh lebih bebas dan menyenangkan, meskipun kadang-kadang ia harus berkelahi dan bahkan mempertaruhkan nyawanya. Namun hasrat ia lepas bebas dan sebagai seorang laki-laki, bahkan jiwa petualangan yang memang ada padanya, dapat terpenuhi.
Di rumah, seperti keadaarnya kini, meskipun ia membawa pedang dilambungnya, namun ia tidak kuasa melawan apapun ketika ia diseret oleh isterinya masuk ke rumah sambil mengumpat-umpat. Panji Kunal kini sudah tidak berdiri di tengah-tengah pintu lagi untuk memberi jalan ibunya yang menyeret ayahnya masuk. Sambil bersandar bibir pintu ia tertawa berkepanjangan.
Dalam pada itu terdengar suara perempuan tua yang berdiri di samping rumah, “Pergilah Ken Arok. Tidak ada gunanya kau datang kemari. Aku sudah puas dapat melihat kau tumbuh menjadi besar dan gagah. Aku dengar kau kini tnenjadi seorang prajurit. Nah, lakukanlah pekerjaanmu dengan baik”.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, “Terima kasih ibu, mudah-mudahan aku dapat melakukannya. Aku minta ibu selalu berdoa untukku”.
“Tentu, tentu anakku. Aku berdoa untukmu. Mudah-mudahan kau terhindar dari tindakan-tindakan yang takabur dan tamak”.
Belum lagi Ken Arok menjawab, terdengar suara Panji Kuncang, “Ah, jangan kau ajari anak itu jadi seorang pendeta. Agaknya lebih baik baginya untuk mengulangi saja kelakuannya beberapa tahun yang lampau”.
“Jangan menghina Kuncang” sahut perempuan itu “adalah nasib baik yang membawanya. Jangan iri akan nasib seseorang. Nasibnya memang terlampau baik”.
Ken Arok sama sekati tidak terpengaruh, ketika ia mendengar orang lain mengatakan tentang nasibnya. Bahkan ia muak apabila ia mendengar Bango Samparan mengatakan nasibnya pula. Tetapi kini ia mendengar perempuan tua itu mengatakan pula, bahwa nasibnya memang terlampau baik.
“Kalau kau berusaha terus Ken Arok” berkata perempuan tua itu, “Maka kau akan sampai kepada tempat yang setinggi-tingginya yang kau inginkan”.
Tetapi kata-kata itu disambut oleh suara tertawa Panji Bawuk dalam nada yang datar, “Ho, ajari saja anak itu untuk bermimpi”. Kemudian kepada Ken Arok itu berkata “Mimpilah anak manis. Kau akan dibawa melambung tinggi oleh nasibmu yang baik. Mungkin kau dapat menjadi seorang Akuwu, eh siapa tahu bahwa kau akan dapat mendesak kekuatan Maharaja Kediri dan menggantikannya kelak”.
Kata-kata itu disambut oleh suara tertawa yang meledak. Panji Bawuk, Panji Kuncang, Kunal dan bahkan kemudian Kenengkung pun keluar lagi dari pintu rumahnya. Katanya “Eh, kalian menjadi terlampau bergembira hari ini”.
“Tidur saja kau anak malas” sahut Panji Bawuk.
“Kami sedang bermain-main”.
“Aku ingin ikut bermain-main pula”.
Panji Bawuk tidak menjawab. Tetapi ia melangkah lagi lebih dekat dihadapan Ken Arok. Diamat-amatinya Ken Arok dari ujung kaki sampai ke ujung kepalanya.
“Pergi sajalah Ken Arok” suara perempuan di samping rumah terdengar lagi.
Tetapi jawab Ken Arok ternyata telah mengejutkan, seisi halaman itu, “Tidak ibu. Aku tidak akan pergi. Aku sudah terlanjur menginjakkan kakiku di halaman ini. Aku ingin masuk ke dalam rumah ayah dan ibuku. Aku ingin bermalam di sini dan ingin mendapat hak warisan dari ayah seperti anak-anak ayah yang lain, meskipun aku hanya sekedar anak angkatnya. Tidak seorang pun dapat menghalangi aku. Apa lagi aku sudah memasuki halaman ini dengan pedang di lambung”.
Yang terdengar kemudian adalah geram Panji Kuncang. Selangkah ia meloncat maju sambil berteriak, “Setan alas. Ayo, cabut pedangmu. Aku akan membunuhmu”.
Panji Bawuk menegang sebentar, namun kemudian ia tertawa. Nadanya masih tetap rendah dan datar, “O, anak ini benar-benar tidak tahu diri. Disangkanya bahwa karena ia seorang prajurit, maka ia pasti akan mampu menyelesaikan semua masalah dengan pedangnya”.
Ken Arok terdiam. Dikatupkannya bibirnya rapat-rapat. Terhadap Panji Kuncang ia telah menemukan cara yang sebaik-baiknya untuk melawan. Agaknya anak kedua ini lebih cepat marah dan kehilangan kesabaran. Tetapi agaknya anak yang pertama ini justru jauh lebih berbahaya dari saudara-saudaranya yang lain.
Ternyata bukan saja kedua orang anak-anak Bango Samparan yang terbesar saja yang mendekati Ken Arok, tetapi kedua saudaranya yang lain, yang masih terlampau muda itupun datang mengerumuninya. Wajah-wajah mereka telah menjadi tegang oleh kemarahan yang memuncak. Tetapi Ken Arok masih tetap berdiri tegak di tempatnya. Ia sama sekali tidak bergeser setapakpun. Pandangannya masih tetap lurus ke depan dan dadanya masih tetap tengadah.
Sikapnya memang egak berpengaruh juga atas keempat anak-anak Bango Samparan itu. Namun disamping itu, kemarahan mereka pun menjadi semakin menyala pula. Ken Arok bagi mereka adalah seorang yang teramat sombong. Karena itu, maka mereka harus menghajarnya dan bahkan mereka tidak lagi akan mengekang diri seandainya Senjata-senjata mereka akan berbicara.
Diantara keempat saudara itu, Kuncang lah yang hampir tidak lagi dapat mengekang dirinya. Namun sikap yang demikian sama sekali tidak berpengaruh apapun kepada Ken Arok. Yang mendapat perhatiannya paling tajam justru Panji Bawuk yang kelihatannya masih tenang-tenang saja, dan bahkan tersenyum-senyum.
“Apakah kau benar-benar ingin melawan kami kakang?” bertanya Panji Bawuk itu.
Ken Arok tidak segera menjawab. Ditatapnya mata Panji Bawuk itu tajam-tajam seolah-olah ingin melihat sampai ke pusat otaknya.
“Aku memang berharap demikian” berkata Panji Bawuk itu pula, “Sudah agak lama kami tidak berkelahi melawan seseorang yang agak berarti untuk memanaskan badan kami. Karena itu kami sangat berterima kasih kepada ayah, yang telah membawa kau kemari”.
“Panji Bawuk” terdengar suara perempuan tua di samping rumah, “Aku minta kau tidak akan berbuat demikian kepada Ken Arok. Terserahlah apa yang akan kau lakukan terhadap orang lain, tetapi tidak kepada keluarga sendiri”.
Panji Bawuk tertawa, “Hanya orang gilalah yang bersedia menerimanya lagi di dalam keluarga ini. Ia sudah cukup membuat kami marah dan mendendamnya, di saat-saat yang lalu. Tiba-tiba kini ia datang dengan penuh kesombongan. Apakah kami harus membiarkannya?”
“Aku minta maaf untuknya” berkata perempuan itu lagi.
“Tutup mulutmu” tiba-tiba terdengar suara dari balik dinding rumah, suara perempuan pula. Suara ibu Panji Bawuk, “Sudah aku katakan. Itu adalah urusan anak-anak, biarlah diselesaikan oleh anak-anak”.
Perempuan tua itu mengerutkan keningnya yang telah berkerut-merut. Namun ia mencoba menjawab, “Aku hanya mencoba melerai perselisihan di antara anak-anak”.
“Persetan dengan anakmu itu”.
“Sudahlah” potong Panji Bawuk dengan tenangnya “Jangan kau pedulikan lagi anak ini. Ia akan terjerumus ke dalam lubang yang telah digalinya sendiri”.
“Kita tidak usah banyak berbicara” geram Kuncang. Kemudian sambil menunjuk ke bawah sebuah rumpun bambu ia berkata, “Di sana kami kuburkan dua orang penjudi muda yang mencoba melawan kami. Mereka sombong seperti kau. Kami berkelahi. Ternyata Senjata-senjata kami tidak mau memaafkannya”.
Dada Ken Arok berdesir mendengar kata Panji Kuncang itu. Tanpa sesadarnya ia berpaling. Di muka halaman ini membujur sebuah lorong padukuhan. Bagaimanakah tanggapan orang-orang padukuhan ini apabila mereka tahu, bahwa halaman ini adalah halaman pembantaian? Bukankah Ki Buyut Karuman sudah mengancam, untuk mengusir mereka apabila mereka berbuat kejahatan lagi di dalam padukuhan ini?”
Tetapi lorong ini memang terlampau sepi. Lorong yang jarang sekali dilalui orang. Hanya orang-orang yang terpaksa sekali yang mau lewat di lorong di muka rumah Bango Samparan. Rumah yang mereka anggap sebagai rumah hantu.
“Nah” berkata Kuncang kemudian, “Kau akan menjadi orang ketiga yang akan berkubur di bawah rumpun bambu itu”.
Wajah Ken Arok menjadi semakin lama semakin tegang. Dipandanginya arah yang ditunjuk oleh Panji Kuncang. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Tanah itu masih tetap rata. Tetapi ketegangan wajah Ken Arok itu semakin meningkat ketika ia mendengar Panji Bawuk berkata,
“Tidak Kuncang. Karena anak ini adalah saudara tua kita, maka ia tidak akan kita kuburkan di bawah rumpun bambu itu. Kita masih harus menghormatinya. Aku ingan membuat anjang-anjang bagi mayatnya nanti. Kami letakkan saja di halaman belakang, di atas pohon Kayu Kembang. Biarlah dagingnya menjadi makanan burung-burung gagak”.
Sejenak mereka yang mendengar pendapat anak tertua Bango Samparan itu terdiam. Namun kemudian terdengar suara tertawa Kenengkung meledak.
“Kenapa kau tertawa?” bertanya Panji Kunal.
“Lucu” sahut Kenengkung, “Kita kelak akan mempunyai sebuah kerangka. Kalau dagingnya sudah habis, bukankah akan tinggal kerangkanya saja? Kita mempunyai sebuah perhiasan yang menyenangkan”.
Panji Kunal pun tersenyum pula. Katanya, “Tetapi kalau ada orang yang melihatnya, akan dapat menumbuhkan perkara. Orang-orang Karuman adalah orang-orang dengki yang suka mengganggu kesenangan orang lain. Kalau mereka berbuat sesuatu karena kerangka itu, maka kita akan terpaksa menyimpan kerangka-kerangka lebih banyak lagi”.
“Ah” desah Panji Bawuk, “Anak-anak gila. Apakah yang kau bicarakan itu? Sekarang, ambillah parangku yang besar. Jangan yang kecil. Kalian membawa senjata kalian masing-masing, apabila kalian ingin ikut bermain-main. Berganti-ganti. Kita masing-masing akan mendapat bagian kita. Tetapi apabila Ken Arok lekas mati, maka jangan menyesal, siapa yang tidak mendapat kesempatan untuk berkelahi dan menggoreskan luka di tubuhnya”.
“Gila” Ken Arok mengumpat di dalam hatinya, “Sikap Panji Bawuk tenang sekali. Dibiarkan adiknya masuk ke dalam rumah sementara ia berdiri seenaknya dihadapan Ken Arok”.
“Kalau kau tidak sabar menunggu adikku mengambil senjata, mulailah. Aku akan melawanmu tanpa Senjata”.
“Akulah yang pertama-tama” potong Kuncang, “Akulah yang melihatnya ia pertama kali ketika ia memasuki regol”.
Kini Ken Arok terpaksa berbuat sesuatu. Ia benar-benar menyesal, karena ia telah masuk ke rumah hantu itu. Tetapi dalam keadaan yang demikian ia sama sekali tidak mau beranjak pergi. Ia masih belum tahu, sampai berapa jauh kemampuan keempat anak Bango Samparan. Ia telah melihat Panji Kuncang mampu menghindar dengan cara yang sederhana, ketika ayahnya mencoba menampar wajahnya.
Sebentar kemudian sambil berlari-lari Kenengkung datang membawa dua buah parang dan Panji Kunal pun membawanya pula. Untuk kakaknya dan untuk dirinya sendiri. “Aku akan mencoba senjataku ini” desis Panji Kunal. Ia memegang sebuah tombak pendek yang ujungnya berkait.
Ken Arok berdiri tegak seperti sebuah patung. Ia menjadi heran melihat sikap anak-anak Bango Samparan. Agaknya mereka benar-benar menganggap dirinya permainan yang mengasyikkan. “Apakah kemampuan mereka jauh melampaui ayahnya?” pertanyaan itu telah mengetuk dada Ken Arok.
Namun Ken Arok tidak sempat terlampau banyak membuat pertimbangan-pertimbangan. Ia segera melihat tombak pendek Kunal yang ujungnya berkait telah merunduk di muka dadanya. Terdengar anak itu berkata “He, kakang Ken Arok. Ayo cabut senjatamu”.
Ken Arok tidak segera berbuat sesuatu. Sekilas dipandangmya perempuan tua di samping rumah Bango Samparan. Perempuan itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, kemudian dengan tergesa-gesa berputar dan pergi ke belakang. “Lebih baik ia pergi”, berkata Ken Arok di dalam hatinya.
“Ayo, cepat” teriak Panji Kunal.
“Hati-hati Kunal” desis Panji Bawuk, “Ia adalah seorang Prajurit Tumapel. Mungkin ia pernah mendapat petunjuk bagaimana ia harus mempergunakan senjata. Sebelum ia menjadi seorang prajurit, ia adalah seorang anak yang paling senang berkelahi. Meskipun kau juga senang berkelahi, tetapi belum seliar kakang Ken Arok itu”.
Kunal seolah-olah tidak mendengar kata-kata kakaknya itu. Ia melangkah semakin dekat, dan ujung tombaknya kini semakin dekat pula ke dada Ken Arok, “Ayo, cepat, ambil senjatamu” teriaknya, “Kalau kau tidak juga mencabut pedangmu, aku akan berbuat menurut kehendakku sendiri atasmu”.
Ken Arok masih tetap berdiri tegak. Tetapi tiba-tiba ia terkejut ujung tombak berkait itu semakin merunduk dan menyentuh kain panjangnya, dengan sekali renggut, kainnya telah tersobek lebih dari sejengkal di arah pahanya. Terdengarlah suara tertawa meledak di halaman itu. Panji Kenengkung tidak dapat menahan dirinya lagi, sehingga ia terbungkuk-bungkuk menekan perutnya dengan kedua tangannya. Suara tertawanya berderai memenuhi seluruh padesan.
Kini Ken Arok tidak akan dapat tetap tinggal diam. Kalau ia tidak segera berbuat sesuatu maka Kunal akan menjadi lebih gila lagi. Bahkan mungkin ia akan menjadi telanjang di halaman itu karena seluruh pakaiannya akan di kait oleh tombak pendek itu.
“Baiklah” berkata Ken Arok tiba-tiba sehingga Kunal terperanjat, “Kau sudah mulai. Aku pun harus segera mulai pula”.
Perlahan-lahan Ken Arok melangkah kesamping. Sama sekali tidak ada kesan apapun pada dirinya. Ia masih tetap tenang seperti juga Panji Bawuk tetap tenang. Diletakkannya bungkusan pakaiannya di atas tanah di bawah sebatang pohon melinjo.
“He, apa kau mau lari?” teriak panji Kunal.
Ken Arok menggeleng, “Sudah aku katakan. Aku akan melayani kau bermain-main”.
“Bagus, bagus” sahut Kunal sambil tertawa.
Ken Arok menjadi semakin muak memandanginya. Karena itu, maka tumbuhlah keinginan di dalam hatinya untuk membuat mereka menjadi jera. “Tetapi”, pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya “Apakah aku akan mampu berbuat demikian? Aku belum dapat mengukur betapa tingkat ilmu masing-masing. Adalah tidak mustahil apabila pada suatu ketika mereka akan berkelahi bersama-sama”.
Karena itu, maka Ken Arok harus tetap berhati-hati. Ia tidak mau jatuh ke dalam keadaan yang tidak menguntungkannya, sehingga untuk melawan anak itupun ia harus berada dalam persiapan yang tertinggi.
“Ayo, cabut pedangmu, cepat” teriak Panji Kunal.
“Baik” sahut Ken Arok. Perlahan-lahan tangannya meraba hulu pedangnya, dan perlahan-lahan pula ia mencabut pedang itu dari wrangka di lambungnya.
“Pedang yang bagus” tiba-tiba Kuncang berteriak, “Kalau kita berhasil membunuhnya, maka pedang itu adalah milikku. Akulah yang pertama-tama melihat ia memasuki regol ini”.
Ken Arok berdesah di dalam hatinya “Agaknya Kuncang telah sampai pada maksud itu, membunuh, sebenarnya membunuh”.
“Tidak” teriak Panji Kunal, “Siapa yang berhasil membunuhnyalah yang akan memiliki pedang itu”.
“Kalau begitu akulah yang akan berkelahi lebih dahulu” potong Kenengkung, “Supaya akulah yang berhasil membunuhnya. Dengan demikian pedang prajurit itu akan menjadi milikku”.
“Jangan berebut dahulu” potong Panji Bawuk “Kalian hanya terlampau banyak bicara. Aku yakin bahwa Ken Arok tidak akan dengan senang hati menyerahkan lehernya. Nah, sekarang Kunal, mulailah. Hati-hatilah. Aku ingin melihat bagaimana ia menggerakkan pedangnya yang bagus itu, supaya aku dapat menilai, siapakah kira-kira yang akan dapat membunuhnya”.
Kunal mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah” katanya.
Ken Arok yang sudah semakin muak melihat anak-anak Bango Samparan itupun segera bersiap. Ia tidak mau memandang 1awannya terlampau rendah, meskipun masih cukup muda. Ia menyadari, bahwa sikap yang demikian kadang-kadang dapat menyesatkan seseorang ke dalam kekalahan. Karena itu ketika Kunal mendekatinya lagi dengan tombak pendeknya, maka segera ia pun bersiap.
“Cepat Kunal” teriak Kuncang yang tidak sabar lagi. Panji Kunal menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan cepatnya ia meloncat langsung menyerang Ken Arok. Mata tombaknya mematuk ke dadanya, seperti paruh burung rajawali yang menyambar dari udara.
Tetapi Ken Arok telah siap. Dengan sigapnya ia meloncat kesamping menghindari serangan itu. Dan seperti yang telah diduganya, Kunal pasti akan mempergunakan kaitan tombaknya, ketika ia menarik tombak itu. Dan ternyata dugaannya itu benar. Kunal memutar tombaknya dan mencoba mengait pelipis Ken Arok pada saat ia menarik tombaknya. Tetapi tombak berkait itu sama sekali sudah tidak mengejutkan lagi bagi Ken Arok. Dimiringkannya kepalanya sedikit, dan kait pada ujung tombak itu meluncur disamping keningnya.
Panji Kunal menggeram. Ternyata serangannya sama sekali tidak berhasil menyentuh lawannya. Ia ingin melihat darah yang segera memencar dari pelipis Ken Arok. Tetapi Ken Arok berhasil menghindarinya. Kunal yang masih muda itu segera memperbaiki sikapnya. Tombaknya bergetar secepat getar jantungnya. Beberapa langkah ia berputar, mencari kesempatan untuk menyerang lagi.
Ken Arok pun telah mempersiapkan dirinya pula. Tetapi ia harus memperhitungkan pula orang-orang yang tidak sedang terlibat dalam pertempuran. Ken Arok tidak dapat mempercayai mereka sepenuhnya, bahkan mereka akan berkelahi secara jantan sepenuhnya. Dalam kesempatan yang tak terduga-duga dapat saja salah seorang dari mereka menyerangnya dengan licik. Apalagi apabila salah seorang dari mereka mengalami kekalahan.
Kunal yang melangkah berputaran itu, tiba-tiba meloncat menyerang kembali sambil menggeram. Tombaknya mematuk dengan cepatnya, melingkar dengan tiba-tiba pula dan berputar sekali lagi. Beberapa macam gerak yang tidak terduga-duga membuat lawannya kehilangan kesempatan untuk mengerti, apakah yang dilakukannya.
Tetapi Ken Arok bukan lawan yang mudah menjadi bingung dan kehilangan akal. Bahkan segera ia mengerti, bahwa lawannya masih terlampau hijau dan sederhana. Yang ingin membuat bermacam-macam cara untuk membingungkan musuhnya, seolah-olah lawannya tidak dapat membuat perhitungan-perhitungan yang lebih baik dan akan segera kehilangan akal karena ujung tombak lawannya berkeliaran diseputar tubuhnya.
Ken Arok telah kenyang menyimpan pengalaman di dalam dirinya sama sekali tidak menjadi bingung. Ia masih tetap tenang dan bahkan berdiri tegak ditempatnya. Hanya matanya sajalah yang mengikuti ujung tombak berkait di tangan Panji Kunal. Tetapi dada Ken Arok menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar Panji Bawuk tertawa.
Katanya “Kunal, kenapa kau berkelahi seperti menghalau burung di sawah? Lawanmu kali in adalah seorang prajurit Istana Tumapel yang terkenal. Lebih daripada itu ia adalah seorang penyamun yang paling menggemparkan diseluruh Tumapel pada suatu saat. Hati-hatilah, ia tidak akan dapat kau takut-takuti dengan cara yang menggelikan itu. Kau akan kehilangan pengamatan diri karena kau sendiri sibuk menari tanpa arti apapun dalam perkelahian itu. Cobalah dengen cara yang lain. Tetapi sebaiknya kau berkelahi berpasangan dengan Kenengkung. Aku mulai menjadi cemas melihat sikap Ken Arok. Agaknya ia benar-benar yakin dapat menguasai kalian. Lihat, apakah ia tampak cemas atau berdebar-debar setelah melihat seranganmu yang menggelikan itu. Ayo, cepat, mulailah berpasangan”.
“Bagus” teriak Kenengkung ”Aku ikut”.
Tetapi Panji Kunal menjadi kecewa, katanya “Aku ingin membunuhnya sendiri kakang. Sendiri, tanpa Kenengkung”.
“Jangan terlampau sombong” jawab Panji Bawuk “Kalau Ken Arok bersungguh-sungguh, maka kaulah yang akan terbunuh”.
“Tidak, aku mampu membunuhnya”.
“Jangan keras kepala” kemudian, kepada Kenengkung ia berkata “Ayo, cepat. Masuklah ke gelanggang”.
Tetapi Kenengkung menjadi ragu-ragu. Agaknya Kunal tidak begitu senang apabila ia ikut membantunya.
“Cepat” tiba-tiba Panji Bawuk berteriak tinggi. Kenengkung menjadi takut, dan Kunal pun tidak mau membantah lagi. Sehingga dengan demikian Ken Arok kini harus berhadapan dengan dua orang lawan yang masih cukup muda.
Namun dengan demikian Ken Arok mendapat gambaran bahwa keempat anak Bango Samparan itu benar-benar ingin mempermainkannya dengan segala cara. Tetapi juga tidak mustahil, bahwa akhir dari permainan itu adalah kematian yang sebenarnya baginya, apabila ia tidak berhasil membela dirinya sebaik-baiknya.
Tetapi meskipun demikian, betapa kemarahan menyala di dada Ken Arok, ia masih tetap tidak kehilangan akal. Dengan demikian, maka ia masih tetap menekan sedalam-dalamnya nafsunya untuk membunuh. Ia masih tetap menyadari dirinya. Apabila ia membunuh hanya karena kemarahan dan dendam, maka ia akan menodai kedudukannya sendiri, yang justru harus berbuat sebaliknya. Melindungi kelemahan dan meluruskan kesalahan dalam pengertian, menuntun mereka kembali kepada jalan yang lurus, bukan harus membinasakan tanpa pertimbangan.
Melawan kedua kakak beradik yang terkecil dari saudara-saudara anak Bango Samparan itupun, Ken Arok tidak menjadi waringutan dan bermata gelap. Ternyata mereka masih benar hijau dalam olah senjata. Mereka lebih senang menari dan mencoba menipu lawannya dengan gerak-gerak yang tidak berarti, sehingga apabila mereka harus berkelahi dalam waktu yang agak lama maka mereka akan segera kehabisan nafas.
Tetapi karena mereka berdua, maka Ken Arok pun harus lebih berhati-hati lagi. Ia mencoba menyesuaikan dirinya pada kedua lawannya. Dengan lincahnya ia pun berloncatan, dan menggerakkan senjatanya dengan ayunan-ayunan yang manis, seperti juga kedua lawannya yang sedang menari. Sekali-kali senjata mereka memang berbenturan, tetapi sama sekali tidak menumbuhkan tekanan-tekanan yang berarti. Meskipun demikian sekali-kali Ken Arok memberi peringatan pula kepada lawannya. Ujung pedangnya kadang-kadang berhasil menyentuh pakaian Kunal dan Kenengkung, bahkan kemudian kulitnya.
“Setan alas” kadang-kadang Kenengkung yang masih terlalu muda itu mengumpat. Geraknya menjadi semakin cepat dan lincah. Namun dalam tanggapan Ken Arok, ia pasti akan segera kehabisan tenaga.
Justru karena lawan-lawannya itulah, maka kemarahan di dalam dada Ken Arok menjadi reda. Ia benar-benar tidak sampai hati untuk melukai lawannya yang masih belum dapat berbuat terlampau banyak dengan senjata-senjata mereka yang garang. Tetapi, apakah demikian juga kedua kakak-kakaknya yang terbesar?
Ken Arok bertempur sambil berteka-teki di dalam hatinya. Sekali-kali ia mencoba memandang wajah Panji Kuncang yang tegang dan Panji Bawuk yang tersenyum-senyum. Ia tidak segera dapat mengerti apakah yang bergolak di dalam dada kedua orang itu. Tetapi menilik sikapnya, maka mereka berdua mempunyai tanggapan yang berbeda atas kedua adik-adik mereka yang sedang berkelahi.
Ternyata Panji Kunal dan Kenengkung sendiri tidak dapat menjajagi kemampuan lawannya. Karena Ken Arok berkelahi sambil berloncatan, maka mereka menyangka, bahwa Ken Arok pun telah mempergunakan segenap kemampuannya untuk melawan mereka berdua. Karena itu maka mereka menjadi semakin bernafsu. Kalau sekali-sekali ujung senjata Ken Arok menyentuh kulit mereka, maka mereka pun segera menggeram dan mengumpat-umpat.
Kunal dan Kenengkung pun semakin lama menjadi semakin dalam tenggelam dalam perkelahian yang kurang dapat mereka nilai. Mereka telah memeras segenap kemampuan yang ada di dalam diri mereka. Namun mereka sama sekali tidak berhasil melukai lawannya, bahkan menyentuh pun tidak. Karena itu, kemarahan di dalam dada mereka serasa menjadi semakin menyala. Mereka memeras tenaga mereka tanpa perhitungan didorong oleh keinginan mereka untuk segera menjadi seorang pahlawan.
Kuncang memandang perkelahian itu dengan wajah yang tegang. Ia tahu, bahwa kedua adiknya tidak akan dapat mengalahkan Ken Arok. Tetapi ia pun tidak mendapat penilaian yang sebenarnya tentang lawan kedua adik-adiknya. Meskipun demikian ia mengerti, bahwa ternyata Ken Arok bukanlah seorang yang dapat dibuat permainan yang menyenangkan seperti yang mereka sangka.
Kemarahan di dalam dada Kuncang pun menjadi semakin menyala. Ia hamper-hampir tak dapat mengekang dirinya lagi ketika ia melihat kedua adiknya seakan-akan tidak mampu berbuat apapun selain meloncat-loncat dan melonjak-lonjak. Setiap kali mereka kehilangan sasaran dan terkejut oleh sentuhan-sentuhan senjata lawan. Bahkan sekali-sekali Ken Arok mengenai mereka tidak dengan ujung pedang, tetapi dengan ujung-ujung jari tangan kirinya. Demikian kuat tekanan ujung-ujung jari Ken Arok, sehingga Kunal, yang terdorong oleh kekuatan jari-jari Ken Arok itu pun terhuyung-huyung baberapa langkah, dan hampir saja ia jatuh terjerembab.
“Setan” Kunal mengumpat. Dengan segenap tangannya maka ia menyerang sejadi-jadinya. Tombaknya mematuk-matuk dengan cepatnya, tetapi sudah kehilangan keseimbangan. Apalagi Kenengkung. Ia bahkan menjadi bingung dan kadang-kadang kedua anak-anak muda itu saling berbenturan di antara mereka sendiri.
Panji Bawuk melihat perkelahian itu sambil tertawa-tawa. Kadang-kadang suara tawanya meninggi, kadang-kadang merendah. Akan tetapi kadang-kadang wajahnya pun menjadi kerkerut-merut membayangkan ketegangan di dalam dadanya. Tetapi karena sikapnya, karena bayangan-bayangan yang berbeda-beda diwajahnya, maka Ken Arok pun tidak segera dapat menebak kesan daripadanya. Kesan yang didapatnya pada wajah Kuncang menjadi semakin nyata. Ketegangan dan gemeretak giginya mengatakan, bahwa Kuncang pun akan segera turun ke gelanggang.
Dugaan Ken Arok memang tidak salah. Ketika Kunal dan Kenengkung telah menjadi terengah-engah dan hampir-hampir kehabisan nafas, maka terdengar Kuncang berteriak, “Minggir setan-setan kecil. Kalian tidak akan mampu menyelesaikannya. Akulah yang akan membunuhnya dan memiliki pedang yang bagus itu”.
“Aku belum puas”, teriak Kunal. Tetapi nafasnya hampir putus “Aku dan Kenengkung akan mampu menyelesaikan pekerjaan ini. Nanti kau tinggal menguburnya di bawah rumpun bambu itu”.
“Minggir”, Panji Kuncang berteriak, “Jangan menunggu sampai lehermu terpenggal”.
Suara Kuncang ternyata telah mengejutkan Kunal dan Kenengkung, bahkan Panji Bawuk pun mengerutkan keningnya pula. Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun. Agaknya ia ingin melihat, apakah yang dapat dilakukan oleh adiknya dan untuk menilai sampai puncak kemampuan Ken Arok itu. Panji Kunal dan Kenengkung pun kemudian berloncatan menepi. Apapun yang mereka katakan, tetapi mereka harus mengakui bahwa sebenarnyalah bahwa mereka tidak akan mampu melawan Ken Arok berdua.
Kini mereka berdiri menepi. Mereka melihat Kuncang dengan mata menyala karena kemarahan yang membakar dadanya, maju setapak demi setapak mendekati Ken Arok yang berdiri tegak dengan pedang ditangannya.
“Hem, kau merasa bangga, bahwa kau dapat mengalahkan bayi-bayi ingusan itu?”
Ken Arok menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya. Aku berbangga sekali”.
Jawaban itu sama sekali tidak terduga-duga oleh Panji Kuncang sehingga juttru ia terdiam sejenak. Namun yang terdengar adalah suara Panji Bawuk, “Hati-hatilah Kuncang. Orang ini agaknya cukup berbisa. Lihat, betapa tenang matanya dan betapa yakin ia menggenggam pedangnya”.
Ken Arok berpaling. Dipandanginya wajah Panji Bawuk sekilas. Kini orang itu tidak lagi tersenyum-senyum. Wajahnya menjadi semakin bersungguh-sungguh. “Kenapa dengan tikus itu”, mereka dikejutkan oleh pertanyaan dari pintu rumah mereka. Serentak mereka berpaliug, dan melihat isteri muda Bango Samparan berdiri bertolak pinggang, “Apakah kalian tidak mampu menyelesaikan”.
“Tunggu”, terdengar suara Bango Samparan pula. Dijengukkannya kepalanya dari balik pintu rumahnya di belakang isteri mudanya, “Hentikan pertengkaran itu”.
“Apa, apa?” isteri mudanya berteriak sambil memutar tubuhnya. Sekali lagi ia menyeret Bango Samparan menghilang di balik pintu rumahnya.
Sekali lagi Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Bango Samparan benar-benar tidak berdaya menghadapi istri mudanya. Sampai pada persoalan nyawa sekalipun ia tidak berani berbuat sesuatu. Ken Arok menengadah wajahnya ketika ia mendengar Kuncang berkata sambil menggeretakkan giginya
“Sekarang kau lawan aku Ken Arok. Kalau kau masih juga ingin memperpanjang umurmu barang sekejap, ayo, lawanlah”.
Dan tanpa diduganya pula Ken Arok menjawab “Aku ingin memperpanjang umurku tidak hanya sekejap”.
“Apa kau sangka kau akan mampu meninggalkan halaman ini?” teriak Kuncang.
“Ya, aku memang mengira bahwa aku akan keluar dari halaman ini dengan selamat dan tanpa rintangan apa pun. Aku dapat berbuat sekehendakku tanpa seorang pun dapat menahan. Kalian juga tidak”.
Kemarahan Kuncang telah membakar seluruh kepalanya, sehingga tanpa berbicara lagi, ia langsung melompat sambil menyerang.
Terasa oleh Ken Arok, bahwa serangan ini sama sekali berbeda dengan serangan Kenengkung dan bahkan Kunal. Meskipun Kuncang adalah kakak langsung Panji Kunal, namun ternyata tingkat ilmu mereka agak jauh berbeda. Kuncang memiliki tenaga yang cukup kuat, serta kecepatan bergerak yang tinggi. Dalam saat-saat permulaan dari perkelahian itu, senjatanya telah berputaran dengan dahsyatnya.
Untuk melawannya Ken Arok harus menjadi semakin berhati-hati. Kuncang yang agaknya memiliki pengalaman yang cukup luas, seperti yang dikatakan oleh kakaknya, bahwa ia mampu menjaga dirinya terhadap lawan-lawannya.
“Lawanmu kali seorang Pelayan Dalam Istana Tumapel Kuncang” berkata Panji Bawuk, “Pelayan tidak berbeda dengan seorang prajurit. Apalagi prajurit yang satu ini mempunyai pengalaman yang luas sekali. Mungkin sebagai seorang prajurit ia belum mendapat pengetahuan apapun, karena selama ini ia sekedar menjadi petugas yang diletakkan di Padang Karautan, bukan untuk berperang, tetapi untuk membuat bendungan. Namun pengalamannya sebagai penyamun yang berkeliaran di segala tempat, agaknya sangat berbahaya bagimu”.
Panji Kuncang menggeram. Namun tandangnya menjadi semakin garang. Senjatanya mematuk-matuk dari segala arah, berputaran seperti asap yang bergulung-gulung melanda lawannya. Ken Arok kini tidak lagi dapat bermain-main, seperti pada waktu ia berkelahi melawan Kunal dan Kenengkung. Sambaran senjata Kuncang cukup berbahaya baginya. Parang yang panjang itu terayun-ayun, dengan dahsyatnya.
Sejenak kemudian mereka segera terlibat dalam perkelahian yang sengit. Kadang terdengar dentang senjata mereka beradu. Semakin lama semakin sering. Kuncang pun menjadi semakin bernafsu. Benturan-benturan senjata di antara mereka, sama sekali tidak mencemaskan hati Panji Kuncang. Tangan Ken Arok ternyata terasa terlampau kuat. Benturan-benturan yang terjadi, tidak menggetarkan parangnya. Bahkan sekali-kali Ken Arok terpaksa berloncatan surut.
“Akan lari kemaua kau anak setan?” teriak Kuncang. Ken Arok tidak menjawab. Ia sedang mencoba mendapatkan kesan dari Panji Bawuk, saudara tertua dari anak-anak Bango Samparan itu.
Wajah Panji Bawuk yang semula mulai menegang kini telah tampak dibayangi oleh senyumnya yang penuh rahasia itu lagi. Ia melihat bahwa Kuncang segera dapat mendesak lawannya. Ketika Ken Arok terdorong beberapa langkah surut, maka Panji Bawuk itu tertawa sambil berkata ”Nasibmu memang terlampau jelek hari ini Ken Arok. Selama ini kau mendapat kesempatan yang tidak terduga-duga. Kau pada saat-saat kelaparan datang merunduk-runduk ke rumah ini, tetapi setelah kau menjadi seorang prajurit yang agak baik, kau sudah melupakan kami. Kau tidak pernah lagi menginjakkan kakimu di halaman rumah ini. Dan kini, aku tidak tahu, nasib apakah yang telah menuntunmu kemari. Eh, barangkali kau jumpa dengan ayah diperjalanan dan kau tahu bahwa ayah sedang berusaha untuk memiliki seberkas perhiasan sehingga kau dengan merunduk-runduk pula datang kemari”.
Dada Ken Arok berdesir mendengar kata-kata Panji Bawuk. Agaknya mereka, anak-anak Bango Samparan itu telah tahu, bahwa Bango Samparan membawa seikat perhiasan.
“Jangan ingkar Ken Arok. Perhiasan itulah yang menuntunmu kemari”.
Tanpa sesadarnya tiba-tiba Ken Arok bcrtanya, “Darimana kau tahu hal itu?”
Panji Bawuk tertawa terbahak-bahak. Disela-sela suara tertawanya ia berkata, “Ha, dengan tidak langsung kau mengaku bukan?”
Ken Arok tidak menjawab, karena serangan Panji Kuncang menjadi semakin dahsyat membelit dirinya. Tiba-tiba dari dalam rumah terdengar suara Bango Samparan, “Darimana kau tahu he, dari mana?”
Suara tertawa Panji Bawuk semakin menggelegar. Las-lasan ia berkata, “Seseorang singgah kemari. Nafasnya terengah dan bahkan ia hampir mati. Katanya, ayah sedang berkelahi dibantu oleh seorang anaknya laki-laki. Ayah sedang memperebutkan seberkas perhiasan yang sangat berharga. Nah, benarkah kata-kata orang itu?”
“Kalau kau dengar kabar itu, kenapa kalian tidak segera datang membantu?” bantah Bango Samparan dari dalam rumahnya.
“Ayah telah disertai seorang anaknya. Anak laki-laki yang tampan dan bernama Ken Arok. Buat apa kami datang membantu ayah? Bukankah ayah telah berhasil memenangkan perkelahian itu dan membawa seberkas perhiasan pulang? Nah, kini datang gilirannya untuk menyingkirkan Ken Arok, supaya ia tidak ikut serta berebut perhiasan itu. Bukankah persoalannya menjadi jelas? Perhiasan itu hanya boleh jatuh ketangan kami, keluarga kami. Tidak kepada orang lain yang selama kami dalam kesulitan sama sekali tidak mau tahu, meskipun pada saat kelaparan ia menjilat kaki kami”.
Ken Arok yang masih bertempur melawan Panji Kuncang mendengarkan keterangan-keterangan Panji Bawuk itu dengan getar yang semakin cepat di dadanya. Agaknya seseorang yang telah singgah di rumah ini, adalah kawan Bango Samparan yang masih hidup dan melarikan diri dalam kesempatan yang diberikan oleh Ken Arok. Agaknya orang itu tahu, bahwa Bango Samparan tidak juga segera lari meninggalkan arena, sehingga ia memerlukan singgah di rumah Bango Samparan untuk mengabarkan hal itu.
“Nah Ken Arok”, berkata Panji Bawuk, “Agaknya sudah jelas bagimu, kenapa kami bernafsu untuk membunuhmu. Bagi kami lebih baik membunuh kau sama sekali dari pada mengusir kau dari halaman ini. Sebab dengan demikian, persoalan antara kita belum dapat dianggap selesai. Tetapi kalau kau sudah terbunuh, maka tidak akan ada persoalan lagi di antara kita tentang permata itu”.
Ken Arok msnjadi semakin muak melihat sikap-sikap itu, sehingga ia tidak dapat menahan hati lagi untuk menjawab sambil berkelahi, “He, Panji Bawuk, apakah kau sudah melihat permata yang kau katakan itu?”
Panji Bawuk mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia tertawa, “Tentu belum. Bukankah kalian baru saja datang? Tetapi apabila kau sudah mati, maka kami akan segera melihatnya”
“Bagaimana kalau permata itu sama sekali tidak berharga, karena dipalsukannya”
“He?” wajah Panji Bawuk menegang, tetapi sekali lagi ia tertawa, “O, kau sedang mencari jalan untuk menyelamatkan dirimu Ken Arok? Jangan kau sangka, bahwa kami akan mempercayaimu. Seandainya permata itu palsu sekalipun, kami tidak akan terugikan karena kami telah membunuhmu”
Yang terdengar adalah gemeretak gigi Ken Arok. Seolah-olah ia sudah tidak akan mampu lagi menekan diri. Seandainya, seandainya ia bukan seorang prajurit, seandainya ia tidak pernah tinggal di rumah ini sebagai seorang anak yang hampir kelaparan, seandainya isteri tua Bango Samparan tidak terlampau baik kepadanya, seandainya, seandainya ya banyak sekali persoalan yang harus dipertimbangkan.
“Akibat dari keadaanku masa lalu, ketika aku mendapat perlakuan baik dari orang-orang di sekitarku. Aku tidak dapat melupakan hutang budi itu” Tetapi sikap keempat anak-anak muda itu benar memuakkan Ken Arok.
Dalam pada itu Panji Bawuk berkata, “Ken Arok, kami sudah mendengar seluruhnya, meskipun dengan singkat. Bahwa, kau telah berkelahi melawan seseorang yang disangka membawa permata-permata itu”.
“Tetapi aku hanya memberi kesempatan kepada orang itu dan kepada ayah untuk lari, sampai datang saatnya aku sendiri lari dari arena” Ken Arok mencoba membantah.
“O, begitu?” suara Bango Samparan meninggi, “tetapi Ken Arok kalau begitu, maka kau tidak akan singgah kemari. Kalau kau dan ayah tidak berhasil bersama-sama membunuh orang yang disebutnya bekas seorang prajurit Kediri itu, kau pasti tidak akan sudi lagi menginjakkan kakimu di halaman yang pasti kau anggap terlampau kotor ini, karena kakimu biasa berpijak di halaman istana yang gilar-gilar seperti permadani”.
Dada Ken Arok menjadi kian menyesak. Itulah penilaian orang seperti Panji Bawuk terhadapnya, seperti ia menilai dirinya sendiri. Anak sulung Bango Samparan itu menganggap bahwa setiap orang selalu dicengkam oleh pamrih yang berlebih-lebihan, sehingga tanpa pamrih, maka. seseorang pasti tidak akan berbuat sesuatu.
Panji Bawuk itu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar suara Bango Samparan berteriak dari dalam rumahnya, “Kau keliru Bawuk. Ken Arok sebenarnya tidak tahu menahu tentang permata-permata yang kau katakan itu”.
“Diam kau” teriak isteri mudanya.
“Tetapi anak-anak itu harus bersikap adil”.
“Sikap yang dilakukannya sekarang adalah sikap yang seadil-adilnya”.
“Tetapi mereka hanya bernafsu untuk membunuh tanpa mengetahui persoalan yang sebenarnya”.
“Apakah kau sudah mulai lagi he?” isteri mudanya itu berteriak semakin keras, “Kau akan membela anak keparat itu? Ayo, lakukan, lakukan?”
“Bukan begitu, aku ingin semua menjadi baik tanpa kekerasan seperti ini”.
“Kapan kau menjadi takut melihat kekerasan. Sejak kapan he?”
Suara Bango Samparan terdiam ketika isterinya berteriak dan berteriak semakin keras. Sedang di halaman perkelahian antara Panji Kuncang dan Ken Arok masih berlangsung dengan serunya. Namun dalam pada itu, Ken Arok telah menemukan rahasia perlawanan Panji Kuncang. Setelah Panji Kuncang mengerahkan kemampuannya, maka segera Ken Arok tahu, bahwa anak ini pun sama sekali bukan lawannya.
Meskipun demikian, Ken Arok tidak segera berbuat terlampau jauh. Kekangan atas dirinya sendiri masih cukup kuat. Apalagi pedang yang dibawanya adalah pedang keprajuritan Tumapel. Apabila pedang itu mencabut nyawa seseorang, maka ia harus mempertanggung jawabkan sepenuhnya, bertanggung jawab sebagai seorang prajurit, apalagi sebagai seorang yang pernah berlindung di dalam rumah ini juga pada saat yang paling sulit.
Itulah sebabnya maka Ken Arok selalu mengekang kemarahan dan segala macam rasa muak di dalam dadanya. Dilayaninya saja Panji Kuncang seperti ia melayani anak-anak sedang bermain-main. Betapapun lincah dan cepatnya Kuncang memainkan senjatanya, namun bagi Ken Arok yang pernah berkelahi melawan seseorang semacam Kebo Sindet, maka pekerjaannya kali ini terasa tidak terlampau berat. Yang sangat berat baginya justru bagaimana ia tetap mampu menguasai perasaannya yang ingin melonjak-lonjak.
“Tetapi apakah Panji Bawuk masih juga setingkat dengan adiknya?” bertanya Ken Arok di dalam hatinya. Tetapi menilik sikap dan ketenangannya, maka anak muda itu benar-benar harus diperhitungkan.
Sementara itu perempuan tua yang semula berdiri di samping rumah kini tegak bersandar dinding. Ia tidak sampai hati melihat Ken Arok mengalami perlakuan yang demikian jeleknya dari anak-anak madunya, meskipun madunya itu saudaranya sendiri. Tetapi ia berkeinginan untuk melihat akhir dari peristiwa yang sangat menyakitkan hati itu. Karena itu, kadang-kadang ia mencoba melihat perkelahian itu dari sela-sela dedaunan, namun kadang-kadang ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Panji Kuncang yang tidak segera berhasil mengalahkan lawannya, menjadi semakin marah. Menurut penilaiannya, Ken Arok bukan lawan yang terlampau berat. Benturan-benturan senjata diantara mereka, sama sekali tidak menumbuhkan getaran yang mengganggu tangannya. Namun, sampai begitu lama, ia sama sekali tidak berhasil menyentuh lawannya.
Sedang Ken Arok yang telah menemukan penilaian yang mantap, membiarkannya berkelahi sampai ia kehabisan tenaga. Ken Arok ingin, Kuncang nanti tidak akan mengganggunya apabila Panji Bawuk yaag harus dilawannya. Kalau tenaga Kuncang ini sudah terperas habis, maka peranannya sama sekali sudah tidak akan berarti lagi meskipun ia akan membantu kakaknya nanti. Itulah sebabnya Ken Arok membiarkannya berkelahi terus, seolah-olah keadaan mereka tetap seimbang, sedang bagi Ken Arok permainan yang demikian sama sekali tidak melepaskan terlampau banyak tenaga. Tenaga yang tersimpan di dalam diri anak muda yang ajaib itu. Tenaga yang mampu menyamai tenaga beberapa orang pilihan.
Meskipun tampaknya perkelahian antara Panji Kuncang dan Ken Arok itu menjadi semakin seru, tetapi sebenarnya tidak terjadi apapun atas Ken Arok itu. Nafasnya masih tetap teratur dan tenaganya masih tetap segar, meskipun ia berusaha menunjukkan bahwa ia pun telah menjadi lelah. Maka perhatian Ken Arok selanjutnya pasti akan terpusat kepada Panji Bawuk. Meskipun Ken Arok tidak akan meremehkannya, namun menilik tingkat ilmu Panji Kuncang, maka setidak-tidaknya ia tidak akan menjadi bahan permainan yang menyenangkan bagi Panji Bawuk. Bahkan seandainya mereka berempat bergabung menjadi satu, maka Ken Arok masih juga akan mampu bertahan.
Tetapi Ken Arok tidak boleh segera berbesar hati. Ia belum pernah melihat Panji Bawuk berbuat sesuatu. Itulah sebabnya, maka ia masih harus tetap berwaspada. Namun ia masih tetap dalam pendiriannya, membuat Kuncang tidak berdaya tanpa membuat persoalan menjadi semakin parah. Kalau Kuncang nanti berhenti dengan sendirinya karena kelelahan, maka kesannya pasti akan berbeda daripada ia menjatuhkannya, atau melukainya bahkan membunuhnya.
Demikianlah maka perkelahian itu masih juga berlangsung dengan sengitnya. Panji Bawuk yang telah mulai tertawa-tawa itu kini menjadi tegang kembali. Wajahnya mulai berkerut-merut dan dari matanya yang menyimpan seribu macam rahasia itu terpancar seribu macam pertanyaan. Kini ia mengikuti perkelahian itu dengan saksama. Tetapi ternyata Ken Arok dapat melakukan peranannya dengan sempurna. Bahkan kemudian memang timbul di hati Ken Arok, untuk mempermainkan anak-anak Bango Samparan yang sambong itu.
“Aku harus membuat mereka jera” katanya di dalam hati, “Mereka harus menyadari, bahwa mereka bukan orang yang paling kuat di dunia. Bahwa mereka tidak dapat berbuat sewenang-wenang dan sekehendak mereka sendiri tanpa mengingat kepentingan orang lain”.
Kini Ken Arok telah berhasil mengatasi kesulitan di dalam dirinya sendiri. Ia tidak lagi dicengkam oleh kebencian dan muak yang berlebih-lebihan sehingga tidak lagi tumbuh niat di dalam hatinya, betapapun buramnya, nafsu untuk membinasakan lawannya, yang harus dikekangnya kuat-kuat.
Tetapi yang terjadi atas Panji Kuncang adalah sebaliknya. Kalau Ken Arok kini telah menemukan kemantapan diri, sehingga perasaannya tidak lagi bergejolak, maka Panji Kuncang menjadi semakin membara dibakar oleh kemarahannya. Apapun yang telah dilakukannya, sama sekali tidak berhasil membuat lawannya lumpuh. Meskipun kadang-kadang ia berhasil mendesak Ken Arok, dan bahkan berhasil mendorongnya beberapa langkah surut dan tampaknya menjadi kebingungan, namun setiap kali lawannya itu berhasil menemukan keseimbangannya lagi.
Dengan demikian, maka semakin lama Panji Kuncang menjadi semakin bermata gelap. Tandangnya menjadi semakin kasar dan tidak terarah. Ia menyerang sejadi-jadinya, semakin lama semakin garang dan bahkan menjadi liar seperti serigala mencium bau darah. Tetapi seekor kambing yang sudah berada di depan hidungnya tidak berhasil segera diterkamnya.
Namun semakin bernafsu, maka Kuncang semakin mengerahkan segenap tenaganya. Keringatnya membasahi segenap tubuhnya seperti terperas. Kulitnya yang berwarna sawo menjadi kemerah-merahan dan berkilat tersentuh sinar matahari yang menyusup dari sela-sela dedaunan. Sehingga dengan demikian maka ia telah hampir kehilangan pengamatan atas gerak dan sikapnya. Kadang-kadang ia bahkan kehilangan keseimbangan karena tenaganya sendiri. Ayunan senjatanya sendiri kadang-kadang telah menyeretnya sehingga anak muda itu hampir jatuh terjerembab.
Dalam keadaan yang demikian, betapapun Ken Arok mencoba menyesuaikan dirinya, namun mata Panji Bawuk yang aneh itu akhirnya melihat juga kejanggalan-kejanggalan yang terjadi. Ken Arok telah terlampau banyak melepaskan kesempatan yang dapat dipergunakan untuk membinasakan lewannya seandainya ia mau. Tetapi kesempatan itu dilampauinya saja. Betapa ia membuat dirinya seperti lawannya, namun kemudian menjadi semakin jelas, bahwa ia telah berbuat tidak sewajarnya.
Justru sikap itulah yang telah membuat dada Panji Bawuk serasa menjadi retak. Baginya itu adalah suatu penghinaan. Penghinaan tiada taranya bagi adiknya dan sudah tentu bagi dirinya sendiri. Panji Bawuk itu pun menggeretakkan giginya. Wajahnya kini seakan menyala. Ternyata bahwa tanggapan atas perkelahian antara adiknya dan Ken Arok itu terlampau jauh meleset.
Untuk menebus penghinaan itu, maka Panji Bawuk merasa perlu berbuat sesuatu yang dapat menghentakkan perasaan Ken Arok, agar ia tidak menganggap, bahwa seluruhnya, keempat saudara itu hanya sekedar pantas untuk dibawa bermain-main. Karena itu, maka disela-sela gemeretak giginya terdengar ia menggeram. Sekali lagi diamatinya perkelahian yang semakin lama menjadi semakin lemah. Kadang-kadang Kuncang tidak lagi dapat menahan tarikan senjatanya sendiri, sehingga ia jatuh di atas lututnya.
Namun sementara itu, Ken Arok pun tidak segera dapat mengangkat pedangnya. Tertatih-tatih ia mencoba mendekati lawannya yang sedang berlutut itu, tetapi sementara itu nafasnya sendiri seolah-olah akan menjadi putus. Tetapi Ken Arok itu terkejut, ketika tiba-tiba ia mendengar Panji Bawuk berteriak nyaring. Tanpa sesadarnya, baik Ken Arok maupun Panji Kuncang tertegun. Mereka serentak berpaling, dan melihat Panji Bawuk meloncat sambil mengayunkan parangnya dengan dahsyatnya. Semua dada mereka yang melihat serasa terguncang. Parang Panji Bawuk yang terayun itu langsung menghantam sebatang pohon kemiri yang sedang berbuah lebat.
Akibatnya benar-benar luar biasa. Yang terdengar kemudian adalah derap buah-buah kemiri yang rontok di tanah. Namun kemudian terdengar pula gemeretak batang kemiri itu. Perlahan-lahan, semakin lama semakin keras. Perlahan-lahan batang kemiri itupun bergerak pula. Semakin condong. Akhirnya terdengar suara gemuruh di halaman rumah Bango Samparan, sehingga baik isteri mudanya, isteri tuanya dan Bango Samparan sendiri berloncatan keluar dari rumahnya.
“Kenapa dengan pohon kemiri itu?” teriak isteri muda Bango Samparan.
Tidak ada seorang pun yang menjawab. Tetapi mereka melihat Panji Bawuk berusaha menarik pedangnya yang terjepit di atas batang kemiri yang patah itu.
“Kau tebang pohon itu?” bertanya isteri muda Bango Samparan itu.
Panji Bawuk tidak menjawab. Tetapi ia berteriak kepada Ken Arok, “Nah anak yang sombong. Sekarang buatlah penilaian atas keluarga kami. Kau telah mencoba menghina kami dalam perkelahianmu melawan Kuncang dan anak-anak ingusan itu. Kau sangka bahwa dengan demikian kau akan berhasil membujuk hati kami? Tetapi kau salah. Penghinaan itu justru menuntut kepada keluarga kami untuk membinasakan kau secepat-cepatnya. Jangan kau sangka, bahwa di antara kami sama sekali tidak ada kekuatan yang dapat kami banggakan. Sekarang kau dapat memperhitungkan, apakah kau mampu melawan ayunan parangku dengan pedang prajuritmu. Kalau pedang itu tidak patah maka tanganmulah yang akan patah. Nah, apakah kau akan mencobanya?”
Sesaat Ken Arok berdiri diam. Dipandanginya wajah Panji Bawuk yang seolah-olah sedang terbakar. Matanya menyorotkan kebencian tiada taranya, serasa api yang menjilat jantungnya.
“Kuncang, minggir” nada suara Panji Bawuk merendah.
“Aku hampir menyelesaikannya kakang” sahut Kuncang.
“Kau gila. Kunal dan Kenengkung pun sudah gila. Kalian membuat keluarga kami malu. Apakah kau tidak sadar, bahwa Ken Arok hanya sekedar mempermainkan kalian”.
Panji Kuncang mengerutkan keningnya. Di sela-sela nafasnya yang memburu ia menjawab, “Ken Arok hampir mati kehabisan nafas”.
“Kau yang gila. Kaulah yang akan mati kehabisan nafas. Kau tidak sadar, bahwa Ken Arok sengaja memancingmu untuk berkelahi terus dan membiarkan kau terkapar karena pokalmu sendiri. Apakah kau sangka bahwa Ken Arok telah benar-benar kehabisan nafas”.
“Ia sudah tidak mampu lagi mengayunkan pedangnya”.
“Anak gila. Kau adalah anak yang paling bodoh di dunia”.
Panji Kuncang masih akan menjawab. Tetapi tiba-tiba Panji Bawuk itu meloncat dengan derasnya sambil mengayunkan parangnya menyambar leher Ken Arok yang berdiri termangu-mangu. Ken Arok terkejut melihat serangan yang tiba-tiba itu. Mata parang Panji Bawuk meluncur seperti kuku-kuku harimau yang terbang untuk menerkamnya.
Tetapi Ken Arok mempunyai tanggapan naluriah yang terlampau tajam menghadapi suatu keadaan yang tiba-tiba. Karena itu, maka seperti tergerak oleh dorongan urat-uratnya yang bekerja sendiri, Ken Arok pun meloncat dengan cepatnya, menghindari sambaran parang Panji Bawuk itu. Dengan sigapnya ia merendah, melontarkan diri beberapa langkah kesamping.
Namun agaknya Panji Bawuk tidak berhenti. Begitu kakinya berjejak di atas tanah, maka segera tubuhnya terlempar kembali memburu lawannya dengan parang berputar seperti baling-baling. Sekali lagi Ken Arok terus menghindar. Kali ini ia menjadi semakin mapan, sehingga dengan lincahnya ia meloncat beberapa langkah surut tanpa kesulitan apapun. Dan dengan segera pula ia bersiaga untuk menghadapi seranganserangan Panji Bawuk selanjutnya. Pedangnya kini bersilang di depan dadanya, lututnya sedikit merendah, dan satu telapak tangannya terkembang di atas pergelangan tangannya yang lain.
Tetapi Ken Arok itu menjadi heran. Panji Bawuk tidak memburunya lagi. Kini ia berdiri tegak sambil menyeringai. Katanya, “Kuncang, bukalah matamu. Itukah gambaran seseorang yang telah kehabisan nafas dan bahkan hampir mati membeku. Itukah gambaran seseorang yang sudah tidak mampu lagi menggerakkan pedangnya karena kelelahan? Nah, bandingkan dengan jalan nafasmu sendiri. Apakah kau dapat melihat perbedaannya? Dan apakah kau masih juga akan berkata bahwa kau sudah hampir berhasil karena Ken Arok sudah kehabisan nafas?”
Panji Kuncang berdiri membeku seperti tonggak yang terpancang di regol halaman. Kini ia baru menyadari kebenaran kata-kata kakaknya, bahwa sebenarnya Ken Arok sama sekali belum kehabisan nafas seperti yang diduganya. Tiba-tiba terasa tengkuk Panji Kuncang itu meremang, di samping keheranan yang menjalari hatinya. Kenapa Ken Arok berbuat demikian? Kenapa ia berpura-pura kehabisan tenaga dan tidak membunuhnya. Ketika ia jatuh berlutut, dan dengan susah payah berdiri bertelekan senjatanya, adalah merupakan kesempatan yang sebaik-baiknya bagi Ken Arok untuk membunuhnya. Kalau bagi Ken Arok itu meloncat dan mengayunkan pedangnya, maka ia pasti tidak akan mendapat kesempatan untuk berbuat apapun. Pedang itu pasti akan menebas lehernya, atau menghunjam di punggungnya. Tetapi Ken Arok tidak berbuat demikian.
“Anak itu harus memperhitungkan kehadiran kakang Panji Bawuk”, Kuncang mancoba mencari jawab. “Seandainya ia ingin berbuat demikian, ingin membunuhku, maka kakang Panji Bawuk yang mumpuni itu pasti mampu mencegahnya”. Kuncang kini mengangguk-angguk, tetapi pertanyaan itu timbul pula, “Tetapi kenapa ia tidak mencobanya, bahkan berpura-pura kelelahan juga”.
Terasa benturan-benturan perasaan bergejolak di dalam dada Panji Kuncang. Tetapi ia mencoba menemukan jawabnya pada keterangan kakaknya, “Ken Arok dengan sengaja telah menghina keluarga kami. Ia ingin melihat aku jatuh karena pokalku sendiri. Dan penghinaan yang demikian benar-benar tidak dapat dimaafkan”.
Kini Kuncang menggeretakkan giginya. Tetapi ia terbungkam ketika ia mendengar kakaknya bertanya, “Kau mau apa lagi he?”
Panji Kuncang menelan ludahnya. Titik-titik keringat kini mengembun di atas keningnya, menetes satu-satu ditubuhnya yang telah basah. Kini Panji Bawuk berdiri dengan parangnya tergenggam erat-erat. Dipandanginya Ken Arok dengan matanya yang merah oleh kemarahan yang bergejolak tanpa terkendalikan lagi. Penghinaan itu benar-benar membuatnya mata gelap.
“Sudahlah, sudahlah” suara Bango Samparan sendat.
“Hajar anak gila itu” teriak isteri mudanya.
“Sudahlah” berkata Bango Samparan pula.
“Ia menghina keluarga kami ayah” jawab Panji Bawuk, “Ia menganggap bahwa kami tidak cukup bernilai untuk bertempur beradu dada. Ia menganggap Kuncang seperti anak-anak yang merengek-rengek berebut permainan. Dan Ken Arok sebagai saudara tua merasa wajib untuk mengalah. Tetapi bukankah itu suatu penghinaan? Apakah disangkanya kita tidak berani menitikkan darah? Bagiku ayah, lebih baik mati ditebas senjata dari pada mendapat penghinaan serupa itu”.
“Tetapi tidak baik kalian semakin jauh tenggelam dalam pertengkaran yang tidak berujung pangkal”.
“Aku akan membunuhnya”.
“Kalau kau berpangkal pada perhiasan-perhiasan itu, baiklah aku memberi penjelasan. Perhiasan itu sama sekali tidak ada padaku”.
Panji Bawuk mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah ayahnya sejenak, kemudian wajah Ken Arok, ibunya dan setiap wajah di halaman itu. Namun kemudian ia menggeram, “Aku tidak percaya”.
“Aku berkata sebenarnya. Orang yang membawa permata itu berhasil melarikan dirinya. Kami sudah berusaha tetapi kami tidak berhasil”.
Sekali lagi Panji Bawuk terdiam. Sekali lagi ditatapnya wajah ayahnya dengan pandangan yang aneh.
“Kau menipu kami” teriak isteri mudanya, “Kau pasti membawa perhiasan itu. Nah, kalau kau ingkar, maka apakah perhiasan itu sudah kau janjikan akan kau berikan kepada Ken Arok?”
“O, kau mengigau lagi” Bango Samparan mencoba mengelak, “Jika aku ingin memberikan kepadanya, kenapa aku membawanya kemari? Aku sudah dapat membayangkan kalau permata itu ada padaku, dan Ken Arok datang ke rumah ini, maka yang akan terjadi adalah seperti ini. Tetapi permata itu tidak ada padaku”.
Sejenak mereka terbungkam. Sorot-sorot mata mereka membayangkan perasaan yang tidak dapat ditebak. Ken Arok ysng berdiri tegak ditempatnya, merasa seolah-olah dadanya telah diguncang-guncang oleh berbagai macam perasaan. Ia mengumpat pula di dalam hatinya mendengar kata-kata Bango Samparan yang mengingkari permata yang dibawanya. Kalau maksudnya untuk mencegah perkelahian dan pertumpahan darah, Ken Arok menunduk hormat kepadanya. Tetapi menilik sikap dan keadaan rumah itu, maka Bango Samparan memang akan ingkar. Ia akan menyembunyikan permata itu, dan tidak memperlihatkan kepada anak-anaknya.
Tiba-tiba mereka yang sedang termenung itu dikejutkan oleh suara Panji Bawuk “Persetan dengan permata itu. Ken Arok sudah menghina kami. Ia harus mati”.
“Sama sekali ia tidak bermaksud menghina” bantah Bango Samparan.
“Diam kau” bentak isteri mudanya. Kemudian kepada Panji Bawuk ia berkata, “Lakukanlah. Biarlah aku yang mengurus tentang permata itu. Aku yakin bahwa permata itu masih ada padanya”.
“Sebaiknya Ken Arok meninggalkan tempat ini” terdengar suara yang lain dari sudut rumah, suara isteri tua Bango Samparan.
“Persetan” isteri mudanyalah yang menyahut, “Kita tidak akan kehilangan apapun kalau anak itu mati. Kita akan menjadi puas, dan seterusnya kita tidak akan selalu dibayanginya. Kalau kita menunda-nunda persoalan tanpa membuat penyelesaian, maka kita akan selalu dihantui oleh persoalan itu sepanjang hidup kita. Siapa tahu, karena Ken Arok menjadi sakit hati, ia akan membawa kawan-kawannya prajurit-prajurit Tumapel datang ke tempat ini. Siapa tahu, ia melaporkan kepada tuannya, Akuwu Tunggul Ametung. O, jangan sampai Akuwu itu datang kemari. Ia akan melihat anak gadis kita. Ia pasti akan menculiknya seperti ia menculik anak Panawijen itu”.
Suatu desir yang tajam tergores di hati Ken Arok. Betapa isteri Bango Samparan itu tidak tahu diri. Adalah mustahil Akuwu akan melakukannya atas gadis kecil anak Bango Samparan yang sampai saat itu masih belum dilihatnya di halaman yang kotor itu, meskipun seluruh keluarganya yang lain telah lengkap dan sedang mempersoalkannya. Tetapi yang penting bagi Ken Arok kini adalah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi Panji Bawuk.
Berbeda dengan adik-adiknya, maka agaknya Panji Bawuk benar-benar mempunyai bekal yang cukup untuk menengadahkan dadanya. Karena itu untuk menghadapinya, Ken Arok pun harus bersikap lain.
Namun dalam pada itu dengan cemas Bango Samparan berkata, “Panji Bawuk. Apakah keuntunganmu dengan membunuh anak itu? Kalau kau memang tidak dapat menerimanya di rumah ini meskipun hanya singgah sebentar biarlah ia pergi. Tetapi jangan kau perlakukan ia seperti kau memperlakukan orang-orang lain yang menyakiti hatimu”.
Panji Bawuk menggeram. Katanya, “Ia telah menghina kami. Kalau sejak ia menginjakkan kakinya di halaman ini, ia menurut perintah Kuncang untuk pergi, maka ia tidak akan menyesal seperti sekarang. Tetapi kini sudah terlambat”.
“Tetapi ia belum mendapat apa-apa” bantah Bango Samparan yang menjadi semakin cemas, “Biarlah ia pergi. Aku tahu Panji Bawuk, bahwa kau mempunyai kekuatan yang luar biasa. Kau sanggup merobohkan pohon kemiri itu dengan sekali ayunan parangmu”.
“Tidak ada jalan untuk keluar dari halaman ini”.
“Aku minta untuknya. Akulah yang membawanya kemari. Dan akulah yang minta supaya ia dapat meninggalkan tempat ini. Apabila lain kali kau bertemu dengannya, maka terserahkah kepadamu apa yang akan kau lakukan”.
“Aku tidak mau kehilangan kesempatan. Aku akan melakukannya kali ini”.
Bango Samparan masih akan menjawab lagi. Tetapi sekali lagi ia ditarik oleh isteri mudanya, dan menyeretnya masuk ke dalam rumah. “Ayo, masuk saja kau” bentak isterinya itu.
“Tetapi aku harus mencegah perkelahian itu” teriak Bango Samparan.
“Kalau kau masih membantah juga, aku panggil Panji Bawuk atau Kuncang atau yang lain untuk membungkam mulutmu”.
Bango Sampiran terdiam. Meskipun demikian ia masih juga berusaha menjengukkan kepalanya di pintu rumahnya. Karena isteri mudanya sendiri juga ingin melihat apa yang akan terjadi, maka dibiarkannya saja Bango Samparan berdiri sambil mengulurkan kepalanya.
Kini Kuncang, Kunal dan Kenengkung telah menepi. Yang berdiri berhadapan adalah Panji Bawuk dan Ken Arok. Masing-masing dengan senjata di tangan. Sejenak mereka berdiri tegak dengan mulut terkatup rapat. Betapa kemarahan telah menjalari segenap urat darah Panji Bawuk. Ketika ia setapak maju, maka Ken Arok pun surut selangkah. Tetapi Panji Bawuk mendesaknya terus. Matanya yang menyala menjadi semakin merah, seakan-akan basah oleh darahnya yang menggelegak.
“Kau tidak dapat lari anak malang” terdengar suara Panji Bawuk dalam nada yang datar.
Dada Ken Arok berdesir melihat sikap dan pandangan mata Panji Bawuk yang semakin lama menjadi semakin liar, sehingga ia bergumam didalam hatinya, “Semoga aku tidak kehilangan akal. Kalau aku terpaksa melakukannya, maka hal itu hanya terjadi karena aku tidak mempunyai jalan lain, atau aku sendirilah yang akau binasa”.
“Katakanlah kalau kau mempunyai pesan” Panji Bawuk menggeram pula, “Sebentar lagi kau akan mati. Aku dapat membunuhmu dengan ayunan parangku yang pertama, seperti aku mampu menebang pohon itu. Tetapi itu terlampau haik untukmu. Kau harus merasakannya, betapa kau menyesali kesombonganmu”.
Ken Arok tidak menjawab. Sekilas ia melihat wajah-wajah yang tegang disekitarnya. Ketika ia memandang ke pintu rumah Bango Samparan, dilihatnya orang itu menjengukkan kepalanya dengan penuh kecemasan. Sedang isterinya berdiri dengan tegangnya berpegangan uger-uger pintu. Di samping rumah itu, dibalik serumpun dedaunan, isteri tua Bango Samparan berdiri bersandar dinding sambil menahan rafasnya yang tersengal-sengal.
“Aku akan segera mulai” geram Panji Bawuk. Matanya menjadi semakin merah, dan bahkan kini parangnya menjadi gemetar.
Ken Arok pun telah mempersiapkan dirinya sepenuhnya. Meski ia belum membenturkan senjatanya, tetapi ia telah mendapat penilaian, betapa kuatnya tangan Panji Bawuk yang dengan sekali ayunan parangnya, mampu merobohkan sebatang pohon kemiri.
Selangkah demi selangkah Panji Bawuk mendekati lawannya dengan pandangan matanya yang memancarkan kebencian. Kini parangnya telah bergerak-gerak dan sejenak kemudian ia tegak sambil berkata, “Lihatlah sekali legi betapa cerahnya sinar matahari. Sebentar lagi kau akan kehilangan kesempatan untuk menikmatinya. Kau akan segera terjun ke dalam daerah maut yang gelap pekat. Dan bangkaimu akan ditarang di atas pohon di belakang rumah ini”.
Ken Arok masih tetap berdiam diri. Tetapi ia sudah tidak lagi melangkah surut. Kini jarak mereka tinggal tidak lebih dari tiga langkah. Panji Bawuk memandangi parangnya sejenak, kemudian merendahkan lututnya sambil berkata “Jangan mimpi. Hadapi hari matimu dengan jantan”.
Ken Arok sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia menyadari keadaannya sepenuhnya. Karena ia tidak ingin berkelahi seperti orang-orang yang kehilangan akal, maka ia harus berbuat dengan tepat. Itulah sebabnya, maka ketika kemudian ia mendengar Panji Bawuk berteriak nyaring sambil meloncat seperti loncatan harimau lapar sambil mengembangkan kuku-kukunya, Ken Arok sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Ia bertekad untuk membuat Panji Bawuk menyadari keadaan, dengan siapa ia berhadapan. Meskipun Ken Arok tidak dapat meyakinkan dirinya, bahwa ia akan dapat menguasai keadaan, namun dengan demikian, maka Panji Bawuk akan terpaksa membuat pertimbangan-pertimbangan yang baru.
Panji Bawuk yang matanya menjadi semakin liar itu, melihat Ken Arok tidak bergerak dari tempatnya. Sekilas ia mencoba menebak, kenapa anak itu terpaku saja di tempatnya. Namun oleh kepercayaan kepada diri sendiri yang berlebih-lebihan, maka Panji Bawuk menyangka, bahwa Ken Arok tidak sempat untuk mengelakkan dirinya. Karena itu, ketika ia melihat pedang Ken Arok bersilang di dadanya, maka ia berteriak semakin keras lagi.
“Pedang itu harus aku patahkan” ia menggeram di dalam hatinya, “Atau kalau pedang prajurit Tumapel itu terlampau baik, maka tangannyalah yang akan patah. Kemudian aku akan dapat berbuat sesuka hatiku atasnya. Anak itu akan dapat menjadi permainan yang menyenangkan bagi Kuncang, Kunal dan Kenengkung”.
Sebenarnyalah bahwa Ken Arok memang tidak menghindari serangan itu, ia melihat ayunan parang Panji Bawuk menyambar dirinya. Ia sadar, bahwa Panji Bawuk telah mengerahkan segenap tenaganya. Dan tenaga Panji Bawuk itu mampu merobohkan sebatang pohon kemiri yang telah berbuah dengan lebatnya. Itulah sebabnya, maka ia pun harus bertahan dengan sekuat tenaganya. Sejenak kemudian, ketika parang Panji Bawuk terayun ke leher Ken Arok, maka Ken Arok segera mengayunkan pedangnya pula, menyambar ayunan parang Panji Bawuk.
Sejenak kemudian terdengarlah benturan yang dahsyat sekali antara kedua senjata itu. Parang Panji Bawuk yang besar dan pedang keprajuritan Ken Arok. Sepercik bunga api meloncat ke udara. Namun bukan saja bunga api yang berloncatan, tetapi ternyata bahwa parang Panji Bawuk pun terloncat dari tangannya. Terasa seolah-olah tangannya yang menggenggam hulu pedangnya tersengat bara. Kemudian menjalar sepanjang urat darahnya, membakar jantungnya.
Ken Arok pun merasa tangannya bergetar. Tetapi kekuatannya yang ajaib mampu menahan benturan itu tanpa akibat apapun. Namun dengan sepenuh kesadaran, ia pun melepaskan pedangnya, sehingga pedangnya itupun terloncat beberapa langkah dari padanya.
Mereka yang menyaksikan benturan itu merasakan, seolah-olah dadanya ikut bergetar pula. Kedua senjata yang terloncat dari tangan kedua orang yang berkelahi itu membuat mereka terpaku dengan tegangnya. Apalagi Panji Bawuk sendiri, yang sama sekali tidak menduga, bahwa justru parangnya pun terloncat dari tangannya pula. Ia tidak menyangka, bahwa sebenarnya di dalam tubuh Ken Arok itu pun tersimpan kekuatan yang tiada taranya. Apalagi sengatan kesakitan yang membakar telapak tangannya dan seakan-akan telah menjalari seluruh tubuhnya.
“Anak setan” ia menggeram. Dan di dalam hatinya ia berkata, “Aku terlampau memandangnya rendah, sehingga aku kurang mantap menggengam parangku”.
Kemudian dengan sigapnya Panji Bawuk meloncat memungut parangnya, sementara Ken Arok pun telah mengambil pedangnya pula. “Agaknya nasibmu memang terlampau baik” Panji Bawuk menggeram, “Aku menganggap kau terlampau lemah, sehingga justru parangku sendiri yang terlepas dari tanganku. Tetapi tidak seterusnya nasibmu akan tetap baik. Sebentar lagi kau akan menyadari bahwa hari ini adalah harimu yang paling jelek”.
Panji Bawuk yang telah menggenggam parangnya kembali, selangkah demi selangkah mendekati Ken Arok. Meskipun tangannya masih terasa nyeri, namun ia sudah bertekat untuk membinasakan lawannya. Ia kini bertekat untuk benar-benar bertempur tanpa mengabaikan kekuatan lawan.
Meskipun demikian, otaknya telah pula dijalari oleh berbagai macam pertimbangan. Ternyata Ken Arok memiliki kekuatan yang luar biasa. Tetapi kenapa ia tidak berbuat sesuatu untuk mencelakakan adik-adiknya. Kenapa ia sama sekali tidak melukai Kunal, atau melumpuhkan Kenengkung dan bahkan Panji Kuncang?
Pertanyaan itu betapapun lirihnya, namun terasa mulai mengganggunya. Panji Bawuk adalah seorang yang kasar, hampir sekasar ayahnya. Ia berjudi dan berkelahi dimanapun. Apalagi karena ia terlampau mempercayakan diri kepada kekuatannya yang memang melampaui kekuatan orang-orang kebiasaan. Namun menghadapi sikap Ken Arok yang aneh itu, ia sama sekali tidak dapat mengerti. Ia tidak pernah bertempur melawan seseorang yang menumbuhkan teka-teki dan membuat kepalanya menjadi pening seperti saat ini. Lawannya itu mampu membunuh adik-adiknya kalau ia mau, tetapi kenapa tidak?
Sementara itu Panji Bawuk kini telah berdiri berhadapan dengan Ken Arok. Keduanya telah menggenggam senjatanya kembali dan keduanya pun telah siap untuk menghadapi setiap kemungkinan. Tetapi Panji Bawuk masih saja diganggu oleh teka-teki di dalam benaknya. Namun tiba-tiba anak muda itu mengeram sambil berkata, “Persetan, apa saja yang ku lakukan. Kau harus mati hari ini”.
Ken Arok mengerutkan keningnya. Disilargkannya pedangnya di muka dadanya, seperti ketika ia siap melawan ayunan parang Panji Bawuk.
“Kau jangan merasa berbesar hati, bahwa kau mampu melepaskan senjataku dari tanganku. Itu hanya sekedar suatu kelengahan. Bukan suatu keunggulan dari padamu. Kalau aku mengerti, bahwa kau mampu juga memamerkan kekuatanmu, maka untuk seterusnya kau akan menyesal”.
Tetapi Ken Arok tidak menunggu Panji Bawuk selesai berbicara. Kini ialah yang meloncat menyerang dengan garangnya. Pedangnya diangkatnya tinggi-tinggi ke udara, kemudian terayun deras sekali mengarah kepundak lawannya. Panji Bawuk terkejut bukan kepalang. Gerakan itu terlampau cepat, sehingga tidak ada jalan lain kecuali menangkis serangan itu. Namun kini Panji Bawuk telah dapat melilai kekuatan tangan Ken Arok, sehingga untuk melawan ayunan pedang itu ia harus mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada padanya.
Kali ini Ken Arok tidak ingin memberi gambaran yang salah lagi buat Panji Bawuk. Ia ingin anak muda itu segera menyadari dirinya dan memikirkan lagi sikapnya. Karena itu, maka Ken Arok ingin untuk sekali melepaskan senjata Panji Bawuk dari tangannya, tanpa melepaskan senjatanya sendiri. Sekejap kemudian, maka sekali lagi terjadi benturan yang dahsyat antara pedang Ken Arok dan parang Panji Bawuk. Sekali lagi bunga api memercik ke udara dari titik benturan dari kedua senjata itu.
Dan sekali lagi Panji Bawuk terperanjat bukan alang kepalang. Tangannya bergetar dan seakan-akan tergenggam olehnya segumpal bara. Dengan demikian, maka dengan dada yang berguncang ia menyaksikan parangnya terlepas dari tangannya dan terlempar beberapa langkah dari padanya. Yang lebih mengejutkan lagi adalah, bahwa kini Ken Arok berdiri tegak di hadapannya dengan pedang masih tetap tergenggam di tangannya.
Sejenak ia tegak membeku di tempatnya. Dipandanginya wajah Ken Arok dengan sorot mata yang menyala-nyala. Ternyata ia tidak segera mengakui kenyataan yang dihadapinya. Bahkan jantungnya serasa dibakar oleh kemarahan yang meluap-luap. Ken Arok yang berdiri dihadapannya memandanginya dengan cemas. Ia mengharap Panji Bawuk mengerti tentang dirinya, tentang orang yang dihadapinya dan segera merubah sikapnya. Tetapi agaknya yang terjadi adalah di luar dugaan Ken Arok. Sikap Ken Arok itu telah benar menyinggung harga diri Panji Bawuk yang sombong. Di hadapan adik-adiknya ia merasa benar-benar terhina. Apalagi ayahnya, ibunya dan ibu tirinya melihat pula apa yang terjadi. Karena itu, maka kemarahan di dalam dadanya menjadi semakin membakar jantungnya.
Sesaat kemudian, tiba-tiba ia memungut pedangnya. Tanpa mengucapkan sepatah katapun segera ia meloncat menyerang Ken Arok dengan tangkasnya. Kini ia tidak ingin membenturkan senjatanya beradu tenaga. Ken Arok berdesah di dalam hatinya. Panji Bawuk benar-benar keras kepala. Karena itu, maka ia pun bertekat untuk melayaninya, menundukannya dan memaksa anak itu mengakui, bahwa ia bukan orang yang paling mumpuni di muka bumi.
Sejenak kemudian terjadilah perkelahian yang sengit diantara keduanya. Panji Bawuk memang mempunyai bekal yang cukup. Tenaganya cukup kuat, dan geraknya cukup tangkas dan lincah. Sehingga dengan demikian, ia mampu memberikan perlawanan yang baik terhadap Ken Arok.
“Sayang” gumam Ken Arok di dalam hatinya, “kalau ia mendapat penyaluran yang baik. Kemampuanya tidak kalah dengan prajurit kebanyakan. Prajurit Tumapel dan bahkan prajurit Kediri. Tatapi, agaknya ia sudah terlanjur terperosok ke dalam daerah yang kelam seperti ayahnya”.
Sementara itu tandang Panji Bawuk menjadi semakin lama semakin garang. Parangnya terayun-ayun mengerikan, ia sudah tidak dapat lagi berpikir bening lagi. Satu-satunya tujuan saat itu adalah membunuh Ken Arok dan melumatkan tubuhnya. Tetapi ternyata bahwa Ken Arok adalah lawan yang tangguh. Bahkan kadang-kadang terlampau membingungkannya. Setiap kali ia kehilangan keseimbangan dan kadang-kadang hampir saja ia terbanting jatuh oleh geraknya sendiri.
Semakin lama Ken Arok pun harus menjadi semakin hati-hati. Pada saatnya Panji Bawuk pasti akan kehilangan perihitungan dan berkelahi membabi buta. Ia harus cukup berwaspada dan mampu menempatkan diri tanpa kehilangan akal. Sampai saat itu, Ken Arok masih cukup sadar, bahwa ia datang ke rumah itu tidak untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan. Karena itu, maka ia masih tetap berusaha untuk tidak langsung mengenai lawannya ditempat-tempat yang dapat membahayakan jiwanya.
Karena sikap hati-hati Ken Arok, agar tidak menumbuhkan bencana itulah, maka Panji Bawuk menganggap, bahwa ia masih mempunyai peluang untuk memenangkannya, apapun caranya. Tetapi bagaimanapun juga Ken Arok masih harus tetap mengendalikan diri. Setelah sekian lama bertempur, maka ternyata bahwa Panji Bawuk yang mampu merobohkan sebatang pohon kemiri yang sedang berbuah itu, tidaklah harus disegani. Karena ternyata bahwa cara berkelahi Panji Bawuk itu semakin lama menjadi semakin kehilangan pegangan dan tata kesopanan. Geraknya menjadi semakin kasar, sekasar serigala kelaparan menemukan bangkai anak domba ditepitepi pategalan, namun tiba-tiba bangkai itu terlepas dari mulutnya.
Semakin lama mereka berkelahi, maka Panji Bawuk semakin kehilangan pengamatan diri. Tandangnya menjadi buas dan liar. Senjatanya terayun-ayun tanpa terkendali lagi. Dengan demikian, kesempatan bagi Ken Arok untuk berbuat sesuatu atas lawannya menjadi semakin banyak. Kesempatan-kesempatan yang terbuka diantara tandang lawannya yang menjadi semakin gila dipertimbangkannya masak-masak. Apakah yang dilakukan terhadap anak sulung Bango Samparan itu?
Tetapi setiap kali Ken Arok harus mempertahankan kesadarannya bahwa ia datang ke rumah itu tidak untuk membunuh. Namun ia terkejut ketika tiba-tiba Panji Bawuk yang sudah menjadi semakin payah itu meraung, “He, Kuncang, Kunal dan Kenengkung. Kenapa kalian berdiri saja seperti orang kehilangan ingatan. Aku sudah berusaha melemahkannya. Sekarang datanglah giliran kalian ikut bermain-main dengan kambing yang bodoh ini”.
Kuncang, Kunal dan Kenengkung, yang berdiri dengan cemasnya melihat perkelahian itu, terkejut mendengar suara kakaknya menggelepar di udara. Sejenak mereka terpukau ditempatnya, namun sejenak kemudian mereka pun menyadari keadaannya dan keadaan Panji Bawuk yang sulit itu. Karena itu, maka tanpa diulang lagi, Kunal dan Kenangkung segera meloncat dengan senjata masing-masing, bersama-sama dengan kakaknya yang sulung berkelahi melawan Ken Arok.
Sementara itu Panji Kuncang masih belum beranjak dari tempatnya. Berbagai pertanyaan telah membelit hatinya tentang lawannya yang aneh. Setiap kali ia menggeretakkan giginya sambil mengeram di dalam hati, “Anak itu memang ingin menghina aku. Menghina keluargaku”. Namun setiap kali pula pertanyaan itu menggelepar di dadanya, “Kenapa ia sama sekali tidak melukai apalagi membunuh aku?”
Karena pertanyaan-pertanyaan itulah, maka untuk sejenak Kuncang tidak segera terjun ke dalam arena perkelahian. Tanpa sesadarnya ia menyaksikan ketiga saudaranya bertempur melawan Ken Arok. Kuncang tersandar ketika ia mendengar Panji Bawuk berteriak, “He Kuncang, apakah yang kau tunggu?”
Kuncang mengerutkan keningnya. Dikatubkannya mulutnya rapat-rapat. Sambil menggeretakkan giginya ia melangkah maju. Dengan sekuat tenaganya ia mencoba mengusir semua kebimbangan dan keragu-raguan yang mencengkam dadanya. Sejenak kemudian terdengar anak muda itu berteriak nyaring. Kemudian, dengan menghentakkan diri ia meloncat masuk ke dalam lingkaran pertempuran.
“Sebaiknya Ken Arok meninggalkan tempat ini” terdengar suara yang lain dari sudut rumah, suara isteri tua Bango Samparan.
Kini Ken Arok harus berkelahi melawan keempat saudara anak Bango Samparan itu. Dalam sekilas terkenanglah masa-masa lalunya yang pedih. Keadaan serupa ini kini terulang kembali. Ia harus berkelahi melawan keempatnya. Pada saat ia berada di rumah itu, memang ia sering bertengkar dengan keempat anak laki-laki Bango Samparan itu. Bahkan kadang-kadang ia memang harus berkelahi melawan keempatnya. Tetapi ia belum pernah merasa dikalahkan. Kalau kemudian ia berlari terbirit-birit adalah karena ibu keempat anak laki-laki itu ikut campur sambil membawa sepotong kayu.
Dan keadaan itu kini terulang kembali. Tetapi kini mereka membawa senjata di tangan masing-masing. Mereka tidak sekedar memperebutkan buah jambu yang masak, atau bertengkar karena adu jengkerik atau berebut telur gemak di kebun. Tetapi kini mereka telah siap untuk membunuh. Bayangan tentang permata dan seikat perhiasan melintas di kepala Ken Arok. Seperti sebuah permainan yang menyenangkan sekali disaat mereka masih kanak-kanak.
Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin sengit. Isteri muda Bango Samparan menyaksikan dengan mata tak berkedip. Semula ia yakin bahwa anak-anaknya akan menang Tetapi kemudian, meskipun ia tidak dapat mengerti apa yang sebenarnya terjadi, namun setiap kali ia melihat salah seorang dari keempat anaknya lagi-lagi terdorong dan bahkan terlempar jatuh.
Bango Samparan pun kemudian menjadi terlampau cemas. Tetapi kini ia tidak lagi mencemaskan Ken Arok. Yang dicemaskan justru anak-anaknya sendiri, karena ia yakin, bahwa sebentar lagi Ken Arok pasti akan segera menguasai keadaan. Jika ia menjadi kehilangan kesabaran, maka pasti akan terlampau sulit bagi anak-anaknya. Meskipun demikian, Bango Samparan masih saja berdiri di ambang pintu, di belakang isteri mudanya sambil berpegangan uger-uger pintu. Seolah-olah ia sudah tidak mampu lagi untuk berdiri tegak di atas kedua kakinya.
Sementara itu Ken Arok benar-benar semakin banyak menguasai keadaan. Keempat lawan-lawannya hampir tidak mendapat kesempatan lagi untuk berbuat sesuatu. Mereka hanya dapat berputar-putar, menghindar dan berloncatan surut, karena tiba-tiba saja Ken Arok itu seakan-akan telah berubah menjadi seekor burung sikatan raksasa yang bertaji pedang. Setiap kali, ujung pedang Ken Arok itu berdesing di telinga anak-anak Bango Samparan itu, seakan-akan telah menyentuh daun telinga mereka. Tetapi setiap kali mereka meraba, mereka tidak menyentuh setetes darah sama sekali.
“Apakah kakang Ken Arok memang tidak ingin melukai kami?” pertanyaan itu sekali lagi merentul dihati Panji Kuncang. Namun meskipun demikian, ia masih juga mencoba berkelahi sebaik-baiknya.
Kunal dan Kenengkung pun merasa heran pula. Mereka sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya dapat meloncat-loncat di seputar Ken Arok atau bahkan sama sekali di luar arena. Setiap kali mereka mencoba mendekat, maka setiap kali pula, ujung pedang lawannya terayun-ayun di muka hidungnya. Kalau sekali-kali mereka memberanikan diri mencoba menyerang dengan senjata, maka seresa dari pangkal Senjata-senjata mereka menjalar api yang membakar telapak tangan. Sehingga dengan demikian, mereka menjadi bingung dan tidak tahu, apa yang sebaiknya dilakukan.
Tetapi Ken Arok yang sekarang adalah berbeda dengan Ken Arok di masa kanak-kanaknya. Ken Arok kini tidak legi sekasar dan sebuas Ken Arok di masa lampau. Pertemuannya dengan Empu Purwa, kemudian dengan Lohgawe telah benar-benar mencuci dunianya yang kelam, dan membuatnya sebening air pancuran di lereng-lereng gunung. Tetapi apakah yang terkandung di jantung sumber air itu, pada suatu ketika masih akan dapat mewarnainya dengan tanpa disadarinya.
Namun, menghadapi keempat anak-anak muda ini, Ken Arok ternyata telah berhasil menahan perasaannya. Semakin yakin ia akan kemenangannya, maka hatinya menjadi semakin lunak. Ia sudah tidak dicemaskan lagi oleh akibat dari perkelahian itu. Kini yang dilakukan adalah, membuat keempat lawannya itu mengakui, bahwa mereka tidak dapat berbuat apa saja menurut selera mereka sendiri.
Kuncang yang sejak semula sudah ragu-ragu, menjadi semakin bingung menghadapi Ken Arok. Bersama kakaknya yang selama ini dibangga-banggakannya, mereka sama sekali tidak dapat menyentuh kulit lawannya Namun sampai sekian lamanya ia bertempur, kulitnya pun seakan-akan hampir tidak pernah tersentuh ujung senjata lawannya, meskipun terasa olehnya, bahwa kesempatan itu sebenarnya dimiliki oleh Ken Arok.
Dengan demikian, maka hatinya semakin dicengkam oleh kebimbangan. Sehingga karena itu, maka tandangnya pun menjadi semakin lamban pula. Senjatanya sudah tidak lagi segarang gigi serigala kelaparan. Bahkan kemudian, Kuncang tidak lebih dari pada berputar-putar tanpa berbuat sesuatu yang dapat membantu kakaknya lagi.
Sementara itu, Kunal dan Kenengkung yang berlari-lari berputaran di sekitar arena menjadi semakin lelah. Meskipun seakan-akan Ken Arok acuh tidak acuh saja kepada mereka, tetapi mereka sendirilah yang telah memeras tenaga mereka tanpa arti, sehingga apabila sekali-kali pedang Ken Arok berdesing di telinga mereka, dengan gugup mereka berloncatan surut, sehingga kadang-kadang mereka terdorong oleh loncatan mereka sendiri, jatuh terlentang.
Namun dalam saat-saat yang demikian Ken Arok sama sekali tidak berbuat apa-apa atas keduanya. Hanya sekali saja, Ken Arok menyentuh tubuh mereka dengan ujung jari kakinya. Tetapi ternyata bahwa sentuhan itu benar-benar telah menyakiti kedua anak-anak muda itu. Sehingga ketika sekali Ken Arok menyentuh lambung Kunal agak keras dan kemudian mendorong Kenengkung dengan ujung telunjuknya, maka keduanya terbanting jatuh berguling-guling di tanah sambil mengerang kesakitan.
Meskipun Panji Bawuk masih juga bertempur dengan garangnya, namun kecemasan telah mulai merayapi dadanya. Ia melihat satu-satu adiknya telah kehilangan kemampuan untuk membuat perlawanan yang berarti. Dan seperti semula, ia melihat bahwa Ken Arok tidak ingin mempergunakan kesempatan-kesempatan yang terbuka baginya untuk melakukan suatu serangan yang berbahaya terhadap adik-adiknya dan bahkan terhadap dirinya sendiri.
Namun setiap kali ia menggeretakkan giginya. Kesombongan yang bersarang di dadanya telah memaksanya untuk bertempur terus. Dengan memeras segenap tenaganya ia memutar parangnya, menghantam dan mematuk tidak henti-hentinya. Semakin lama semakin kasar dan bahkan membabi buta. Kemungkinan itu memang telah diperhitungkan oleh Ken Arok. Suatu saat ia akan menghadapi Panji Bawuk yang telah kehilangan akal. Dan suatu saat ia akan menghentikan perlawatan ketiga adik-adiknya.
Sejenak kemudian Ken Arok sampai pada akhir rencananya. la harus berbuat cepat dan tiba-tiba, sehingga anak-anak muda itu tidak sempat berpikir. Mereka harus digerakkan oleh kejutan perasaan dan tunduk tanpa perlawanan dan cidera apapun. Ketika saat itu tiba-tiba, maka sambil berteriak nyaring Ken Arok meloncat memutar pedangnya. Begitu cepat sehingga tidak seorang pun dari anak-anak Bango Samparan itu yang sempat berbuat sesuatu.
Mereka hanya merasakan getaran yang dahsyat di tangan mereka, dan ketika mereka menyadari diri mereka masing-masing, maka Senjata-senjata mereka telah tidak ada ditangan, selain parang Panji Bawuk. Ken Arok sengaja membiarkan parang itu masih tetap ditangannya. Tetapi untuk anak sulung Bango Samparan ini, Ken Arok telah mempunyai rencana tersendiri.
Kuncang, Kunal dan Kenengkung terperanjat sekali mengalami peristiwa itu sehingga sejenak mereka berdiri terpaku ditempatnya sambil ternganga-nganga. Sekilas mereka melihat senjata-senjata mereka yang terletak di tanah beberapa langkah dari mereka masing-masing, dan sekilas mereka melihat Ken Arok yang berdiri dengan garangnya. Namun mereka pun masih juga berharap-harap cemas karena senjata Panji Bawuk masih tetap ditangannya.
Tetapi ternyata Panji Bawuk itu tidak sempat berbuat terlampau banyak dengan senjatanya. Karena sesaat kemudian, selagi kesadarannya dalam menanggapi keadaan itu masih belum seutuhnya, serangan Ken Arok tiba-tiba saja datang membadai. Pedangnya berputar seperti baling-baling memutari tubuh lawannya. Suaranya berdesing-desing dengan dahsyatnya. Seolah-olah ribuan lebah sedang mengerumuninya.
Ternyata bahwa ujung pedang Ken Arok itu tidak hanya sekadar berputaran dan berdesing-desing mengitari tubuh Panji Bawuk. Tidak hanya sekedar seperti ribuan lebah yang berterbangan diseputar tubuhnya, tetapi ternyata bahwa lebah-lebah itu sempat menyentuh kulitnya dan bahkan menyengatnya di segenap penjuru.
Demikianlah ujung pedang Ken Arok itu telah mematuk dari segenap arah, menyentuh tubuh Panji Bawuk. Tidak terlampau keras sehingga tidak menumbuhkan luka yang dalam pada tubuh itu. Tetapi sentuhan-sentuhan ujung pedang Ken Arok itu telah menyobek pakaiannya disegala tempat dan bahkan telah memutuskan ikat pinggangnya.
“Setan” Panji Bawuk mengumpat-umpat.
Namun Ken Arok tidak mau berhenti. Serangannya semakin lama semakin membingungkan. Bukan saja pakaian Panji Bawuk yang kini menjadi terkoyak-koyak, tetapi sentuhan-sentuhan itu telah merambat kekulitnya. Meskipun sentuhan-sentuhan itu tidak terlampau dalam, namun dibeberapa tempat, darahnya yang merah telah mengembun seperti titik-titik air didedaunan pada pagi-pagi yang dingin.
“He” teriak Panji Bawuk yang menjadi semakin kebingungan, “Kenapa kalian hanya menonton saja?”
Ketiga adiknya tersedar dari keadaannya. Mereka melihat warna-warna merah yang memulasi kulit kakaknya dibeberapa tempat. Meskipun mereka mengerti bahwa luka-luka itu tidak parah, namun kecemasan telah mencengkam hati mereka.
“He Kuncang, Kunal dan Kenengkung” teriak ibu nya tiba-tiba, “Cepat, berbuatlah sesuatu”.
Secepat suara ibunya itu lenyap di udara, secepat itulah ketiga anak-anak muda itu berloncatan memungut senjata-senjata mereka. Namun kini perkelahian itu sudah bergeser menjauhi mereka. Panji Bawuk seakan-akan telah didorong ketengah-tengah halaman yang kotor itu tanpa dapat berbuat sesuatu. Meskipun ia berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk melawan, namun perlawanannya itu seolah-olah sama sekali tidak berarti bagi Ken Arok.
Sejenak kemudian, Kuncang, Kunal dan Kenengkung pun segera berlari-lari mendekati titik pertempuran. Namun mereka tidak segera dapat berbuat sesuatu. Sajenak mereka memandangi perkelahian itu dan sejenak kemudian mereka berputar-putar. Namun setiap kali mereka tegak seperti tonggak sambil mengagumi gerak Ken Arok yang semakin lama semakin cepat.
Panji Bawuk pun menjadi bingung. Sekali lagi ia berteriak, “He, apakah kalian sudah menjadi pengecut”.
Suara itu sudah membangunkan ketiga adiknya dari kekaguman mereka terhadap Ken Arok. Akan tetapi mereka tidak akan dapat membiarkan kakak mereka tertua mengalami bencana. Karena itu, betapa hati mereka berkeriput sekecil biji mentimun, namun mereka mencoba juga melangkah maju mendekati perkelahian itu dengan senjata teracung.
Namun sekali mereka dikejutkan oleh sambaran senjata Ken Arok yang sama sekali tidak terduga-duga dan bahkan sama sekali tidak dapat dibayangkan, bagaimana hal itu terjadi. Mereka menyadari diri ketika senjata-senjata mereka telah terlepas lagi dari tangan mereka dan berjatuhan di atas tanah beberapa langkah dari mereka. Melihat hal itu maka terdengar gigi Panji Bawuk menjadi gemeretak. Kemarahan dan kecemasan bercampur baur di dalam hatinya. Sementara itu tumbuh pula di dalam dadanya suatu pengakuan bahwa sebenarnya ia tidak akan mampu melawan Ken Arok. Apalagi seorang diri.
Meskipun demikian, terdorong oleh keterlanjuran dan kesombongannya, maka masih juga Panji Bawuk berteriak ”Setan alas. Kau memang terlampau sombong Ken Arok. Aku menjadi semakin yakin bahwa kau tidak akan dapat ampun”.
Namun mata Panji Bawuk itu terbelalak, dan darahnya serasa terhenti mengalir. Baru saja ia mengatupkan mulutnya, maka terasa tangannya bergetar dahsyat sekali. Tangannya yang kokoh kuat, yang mampu merobohkan sebatang pohon kemiri yang sudah berbuah dengan satu kali ayunan itu, terasa seakan-akan sama sakali tidak berdaya. Telapak tangannya merasakan getaran yang luar biasa, seakan-akan tulang-tulangnya berpatahan. Perasaan sakit yang sangat menjalar di tangannya menusuk pusat dadanya.
Panji Bawuk itu terlempar beberapa langkah dan terbanting jatuh di tanah setelah parang telontar dari genggamannya. Kepalanya menjadi pening dan matanya berkunang-kunang. Sejenak ia kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu karena kesadarsnnya terganggu. Namun ketika ia benar-benar telah menyadari keadaan dirinya dan berusaha untuk bangkit, ia merasa seakan ujung Gunung Kawi telah menindih dadanya. Ketika Panji Bawuk menengadah wajahnya, maka dilihatnya Ken Arok berdiri tegak disampingnya. Satu telapak kakinya telah menekan dadanya, sedang ujung pedangnya tepat menunjuk ke biji mata.
Sejenak Panji Bawuk terpukau dalam keadaannya. Tubuhnya menjadi gemetar dan dadanya serasa pecah karenanya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Yang diketahuinya saat itu adalah tekanan kaki Ken Arok yang semakin lama menjadi semakin menyesakkan nafasnya, sedang ujung pedang Ken Arok pun menjadi semakin dekat ke matanya.
Tiba-tiba terdengar suara Ken Arok seperti guruh yang meledak di atas kepalanya, “Panji Bawuk. Permusuhan kita sejak kita masih terlampau muda kini akan sampai kepuncaknya. Karena kau sudah benar-benar ingin membunuh aku, maka aku pun akan berbuat serupa. Jangan kau sangka bahwa aku tidak dapat berbuat sekasar dan seliar kau. Kalau kau tumbuh menjadi seorang penjudi dan seorang penjahat yang keji, maka aku pun akan dapat berbuat lebih keji lagi. Aku adalah seorang penjahat sejak dilahirkan. Aku mempunyai kebuasan dan keliaran alami yang aku bawa sejak aku ada. Nah, sekarang kau dapat menghayati, betapa aku mampu berbuat kejam melampaui kalian di sini”.
“Ken Arok” tiba-tiba Bango Samparan berteriak “Apa yang akan kau lakukan atasnya”.
Ken Arok tertawa rendah. Jawabnya, “Kalau Panji Bawuk ingin membunuhku dan menggantungkan tubuhku untuk menjadi makanan burung-burung liar, dan kelak membuat kerangkaku menjadi perhiasan, maka aku akan berbuat lain. Aku ingin membuat Panji Bawuk mati dalam hidupnya. Aku ingin mengambil kedua biji matanya”.
“Ken Arok” tiba-tiba isteri muda Bango Samparan, ibu Panji Bawuk itu berteriak.
“Jangan halangi aku. Siapa yang mencoba mencegahnya akan mengalami nasib serupa” sahut Ken Arok tegas. “Bukankah kalian telah melihat, bahwa tidak seorang pun dapat mengalahkan aku, bahkan anak-anak gila ini berkelahi bersama pun tidak berarti sama sekali bagiku, meskipun seandainya ayah Bango Samparan ikut serta? Nah. biarlah aku berbuat sekehendakku”.
Suasana di halaman itu kini dicengkam oleh ketegangan yang memuncak. Wajah-wajah mereka telah basah oleh keringat. Sadang tubuh isteri muda Bango Samparan menggigil seperti orang kedinginan. Tiba-tiba dalam ketegangan itu terdengar suara Panji Bawuk gemetar, “Ampun, aku minta ampun Ken Arok. Aku tidak benar-benar ingin membuatmu celaka. Aku hanya mengertak saja. Sekarang aku minta ampun”.
Ken Arok mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah Panji Bawuk yang masih terbaring di tanah. Kakinya masih menginjak dada anak muda yang sombong itu, sedang ujung pedangnya masih juga teracung ke biji mata.
“Ampun Ken Arok, ampun”.
Tetapi Ken Arok menggelengkan kepalanya, “Aku akan menyelesaikan setiap persoalan sampai tuntas. Kalau tidak, maka kita akan tetap mempunyai persoalan yang tidak terselesaikan. Setiap kali kita akan kembali kepada persoalan ini. Tetapi apabila kau sudah mati dalam hidupmu, maka kau tidak akan mampu menuntut apapun lagi dari padaku”.
Wajah Panji Bawuk yang garang, buas dan liar itu tiba-tiba berubah menjadi pucat seperti kapas. Nafasnya yang terengah-engah seolah-olah telah putus ditengah kerongkongannya. Semakin keras telapak kaki Ken Arok menekan dadanya, maka seakan-akan jantungnya semakin lambat berdenyut. Dengan penuh ketakutan dan kecemasan ia merengek seperti anak-anak yang cengeng, “Ampun Ken Arok. Aku minta ampun. Aku bersumpah bahwa aku tidak akan mengganggu gugat apapun lagi. Tetapi aku minta kau hidupi aku”.
Ken Arok tidak segera menjawab. Sepercik keheranan menjalar di dadanya. Orang yang dapat bersikap segarang Panji Bawuk itu, dapat juga merengek seperti kanak-kanak. Tanpa malu-malu merendahkan dirinya minta diampuni kesalahannya. Tetapi menilik pandangan matanya yang licik, memang pada suatu saat, apabila ia mendapat kesulitan yang tak teratasi, orang-orang seperti Panji Bawuk, yang sombong dan garang tetapi licik itu, akan dan dapat berbuat apa saja meskipun merendahkan harga dirinya.
Namun kali ini Ken Arok masih tetap menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Aku telah berguru kepadamu dan kepada ayah Bango Samparan, yang agaknya mendidik anak-anaknya untuk berbuat demikian. Merampungkan semua persoalan sampai tuntas. Agaknya bagi ayah Bango Samparan dan anak-anaknya sama sekali tidak berlaku kebijaksanaan dan pertimbangan tentang perkembangan persoalan dan pikiran seseorang. Persoalan hari ini pasti akan berlangsung terus. Seorang yang kau anggap bersalah hari ini, untuk seterusnya akan melakukan kesalahan yang serupa. Kau tidak dapat mengerti bahwa mungkin sekali seseorang menyesali kesalahan di masa lampau dan merubah pendirian serta sikapnya. Kau tidak dapat membayangkan bahwa seorang penjahat yang paling keji akan dapat berubah menjadi seorang yang pantas digurui. Bahkan kau pun berdiri pada pendirian, siapa yang tidak sejalan dengan kau, orang itu harus disingkirkan, disingkirkan untuk tidak mungkin datang kembali. Disingkirkan ke daerah yang paling jauh”.
Ken Arok berhenti sejenak. Dipandanginya wajah Panji Bawuk yang semakin pucat, wajah Kuncang yang tegang membeku, wajah Kunal dan Kenengkung yang ketakutan. Kemudian ditatapnya wajah isteri muda Bango Samparan yang sudah menjadi seputih mayat dan Bango Samparan sendiri yang menggigil di belakang isterinya. Tetapi Ken Arok tidak dapat melihat wajah isteri tua Bango Samparan.
Dalam pada itu ia berkata seterusnya, “Karena itu Panji Bawuk. Baik kau maupun ayah Bango Samparan menganggap bahwa persoalan akan selesai apabila pihak yang lain telah disingkirkan, menurut pengertianmu harus dibunuh. Bagimu tidak ada cara lain untuk membuat penyelesaian selain mematikan pihak yang lain. Penyelesaian yang tuntas dan mutlak. Nah, aku akan berbuat serupa. Aku akan membunuh semua orang di rumah ini yang mencoba menghalangi aku berbuat apa saja di sini”.
Panji Bawuk menjadi semakin pucat. Darahnya serasa benar-benar sudah tidak mengalir lagi. Dengan suara gemetar ia meminta ngasih-asih, “Ampun Ken Arok. Aku minta belai kasihanmu. Aku minta kau menghidupi aku. Aku akan tunduk kepadamu apapun yang akan kau kehendaki”.
“Tetapi dengan demikian persoalan tidak akan selesai. Pada suatu saat persoalan akan tumbuh lagi. Kalau seberkas perhiasan itu nanti jatuh ketanganku, maka kau pasti akan mencari jalan untuk merebutnya. Kalau kalian di sini mencemaskan bahwa aku akan membawa kawan-kawanku Prajurit Tumapel untuk menangkap kalian, maka aku pun mencemaskan kalian, bahwa kalian akan memanggil semua penjahat dari ujung sampai ke ujung Karuman, dan akan merampokku”.
“Tidak. Tidak. Aku bersumpah” rintih Panji Bawuk.
Ken Arok tidak segera menyahut. Sekali lagi ditatapnya wajah Bango Samparan yang pucat dan gemetar. “Bagaimana ayah?” bertanya Ken Arok, “Apakah aku harus menyelesaikannya sampai tuntas seperti apa yang ayah lakukan terhadap bekas prajurit Kediri itu?”
Bango Samparan terbungkam. Tetapi bibirnya bergetar. Berkali-kali ia menelan ludahnya namun tidak sepatah kata pun yang terloncat dari bibirnya.
“He, kenapa ayah tidak menjawab?” desak Ken Arok.
Bango Samparan masih terdiam. Dengan kaki gemetar ia maju selangkah. Tangannya diangkatnya ke dadanya untuk menahan gelora yang seakan-akan memecahkan dadanya itu. Perlahan-lahan ia menggeleng.
Ken Arok menarik nafas dalam. Katanya, “Pendirian seseorang akan berobah apabila arah persoalan juga berobah. Kita tidak akan sampai tuntas apabila kita memegang kendali kemenangan. Tetapi pihak yang lemah pasti akan berpendirian lain. Pendirian ini tidak pernah kalian pikirkan. Nah, sekarang kalian menghayati. Kalian akan tahu, betapa tersiksanya perasaan kalian. Betapa kalian merasakan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Betapa kalian akan mengumpat dan mengutuk di dalam hati, meskipun mulut kalian berkata lain, karena kalian dicengkam oleh ketakutan. Tetapi apabila ada kekuatan lain yang datang menolong kalian saat ini, maka kalian akan bersikap lain”.
“Tidak, tidak” teriak Panji Bawuk “Aku sudah menyerah. Tetapi aku ingin hidup”.
“Sumber penyerahanmu pada persoalan yang kau hadapi adalah persoalan hidup. Tetapi itu wajar. Persoalan yang demikian ada juga pada orang lain. Dorongan naluriah memaksa seseorang untuk mempertahankan hidupnya dengan cara apapun. Berkelahi, merengek-rengek dan apapun. Sadarilah. Orang lain pun ingin tetap hidup. Pertimbangkan dalam setiap perbuatan. Jangan menengadahkan dada ketika kau lagi menang dan mampu berbuat apa saja atas orang lain. Kini kau tahu, bahwa orang lain itu mempunyai perasaan seperti yang kau rasakan sekarang. Dikatakan atau tidak dikatakan. Cemas, takut dan unsur-unsur badaniah, sakit, pedih, nyeri dan perasaan manusiawi seutuhnya”.
Panji Bawuk menjadi semakin gemetar. Matanya yang selama berkelahi memancarkan keliaran sikapnya, kini tampak padam sama sekali pada wajahnya yang pucat. Yang terdengar kemudian adalah suara isteri muda Bango Samparan yang gemetar pula, “Jagan Ken Arok. Jangan kau bunuh anakku itu”.
Ken Arok berpaling. Dilihatnya ibu Panji Bawuk itu melangkah perlahan-lahan ke arahnya. Kemudian berjongkok sambil membungkukkan kepalanya hampir menyentuh tanah. “Aku mohonkan ampun kepadamu Ken Arok, seperti anakku pun telah mohon ampun pula kepadamu”.
“Aku juga Ken Arok” sahut suara yang lain, suara Bango Samparan sendiri, “Aku juga minta ampun untuknya”.
Ken Arok mengerutkan keningnya. Betapa liarnya Bango Samparan dan betapa ia menganggap nyawa seseorang seperti nyawa ayam saja, namun terhadap anaknya ia tidak sampai hati untuk membiarkannya mati atau tersiksa sepanjang hidupnya. Sambil memandang orang-orang yang berada di sekitarnya Ken Arok bertanya, “Jadi bagaimana dengan Panji Bawuk ini? Apakah harus aku ambil biji matanya, atau aku bunuh saja sama sekali”.
Hampir berbareng ayah dan ibunya meayahut, “Jangan, jangan”.
“Ayah Bango Samparan” berkata Ken Arok pula “Bukankah anak ini sama sekali tidak mau mendengarkan kata-katamu lagi? Bahkan dengan sepenuh hinaan ia dan ibunya bersama dengan adik-adiknya telah sengaja melanggar harapan ayah atas orang-orang yang dibawanya masuk ke dalam lingkungan halaman rumahnya? Di sini ayah Bango Samparan adalah pimpinan keluarga. Tetapi seandainya aku orang lain, aku adalah tamu pimpinan keluarga itu. Penghinaan atas tamunya maka itu berarti penghinaan atas ayah sendiri. Apalagi sikap bibi sungguh menyakitkan hati”.
“Ya, ya” Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya, “Tetapi ia adalah anakku”.
“Bagaimana ajaran ayah tentang menyelesaikan persoalan sampai tuntas seperti yang telah meresap pula di dalam hati Panji Bawuk dan seperti yang ayah lakukan atas bekas prajurit itu?”
“Itu suatu kesalahan. Suatu kesalahan” sahut Bango Samparan, “Sekarang kami semuanya minta maaf”.
Ken Arok tidak segera menjawab. Tetapi kini ditebarkannya pandangan matanya ke sekelilingnya, sedang satu telapak kakinya masih berada di dada Panji Bawuk yang terlentang. Ujung pedangnya masih juga berada di depan mata Panji Bawuk yang ketakutan itu.
“Bukankah kau mendengarkan permohonan kami Ken Arok” bertanya Bango Samparan.
Ken Arok tidak segera menjawab, tetapi ia masih mencari sesuatu di halaman itu. Dan tiba-tiba saja, tanpa diduga-duga oleh semua orang di halaman itu Ken Arok memanggil, “Biyung, kemarilah biyung”.
Semua berpaling, memandang kearah pandangan mata Ken Arok. Dada mereka berdebaran ketika mereka melihat seorang perempuan tua yang berdiri termangu-mangu di samping rumah.
“Kemarilah” sekali lagi Ken Arok memanggil.
Dengan ragu-ragu orang itu melangkah maju. Tetapi kemudian ia berhenti. Sorot matanya memancarkan berbagai pertanyaan yang bergelora di dadanya.
“Aku memerlukan pertolonganmu ibu” berkata Ken Arok kepada perempuan tua kurus itu “Kemarilah”.
Perempuan itu maju lagi beberapa langkah.
“Nah” Ken Arok berkata seterusnya, “Sejak aku pertama-tama menginjakkan kakiku di halaman ini di masa aku masih terlampau muda, maka perempuan tua itulah yang memelihara aku. Sejak semula aku mengerti, dan kini semakin ternyata, bahwa hidupnya terlampau kering, ia sendiri tidak mempunyai seorang anak pun dari ayah Bango Samparan, dan agaknya bibi terlampau mementingkan dirinya sendiri. Apalagi anak-anak gila ini”.
Ken Arok berhenti sejenak. Ditatapnya mata perempuan tua yang sayu tetapi melontarkan keragu-raguan dan kebimbangan, teka-teki dan kecemasan. Isteri tua Bango Samparan itu agaknya telah terlampau lama mengalami masa-masa yang pahit. Sejenak kemudian Ken Arok melanjutkan,
“Sekarang dengarlah keputusanku. Bertanyalah kepada ibu. Kalau biyungku itu bersedia memberi kalian maaf, maka aku pun akan memberi maaf kepada kalian. Tetapi kalau tidak, aku pun tidak akan memaafkan kalian. Aku akan melakukan apa saja atas perintah biyungku itu”.
Sesaat kemudian halaman itu disambar oleh kesenyapan yang tegang. Bahkan Ken Arok sendiri menjadi tegang. Sepercik penyesalan merayap di hatinya. Ia telah berbuat terlampau tergesa-gesa diluar pertimbangan nalarnya. Apakah kira-kira yang akan dilakukan, seandainya perempuan tua yang kurus dan kering itu telah dipenuhi oleh dendam dan kebencian. Apakah ia akan melakukan seandainya perempuan tua yang selama ini tertekan itu, melonjak oleh ledakan kebencian yang selama ini terhimpit didasar perasaannya?
Dalam ketegangan itu, dada Ken Arok sendiri menjadi berdebar-debar. Agaknya ia tidak kalah cemasnya dari orang-orang lain yang berada di halaman itu. Namun ia mencoba berdoa. Semoga yang terjadi, seperti yeng diharapkannya. Perempuan tua, isteri tua Bango Samparan itu tidak segera berkata sepatah katapun. Ditatapnya setiap wajah berganti-ganti. Ken Arok, madunya, suaminya dan anak-anak tirinya. Secercah warna merah menyambar sepasang mata yang suram itu. Orang-orang yang selama ini bertolak pinggang dihadapannya, membentak-bentak dan memakinya, kini terpaku diam menunggu keputusan yang akan meloncat dari mulut perempuan tua itu.
Sejenak kemudian, semua orang telah dikejutkan oleh sikapnya. Perempuan tua yang lemah itu tiba-tiba menggeretak kan giginya. Wajahnya yang suram itu seolah-olah menyala. Menyalakan dendam yang selama ini tersimpan di dalam dadanya. Dada yang tipis dan kering. Dengan sorot mata yang mengerikan, perempuan itu melangkah maju. Selangkah demi selangkah semakin lana semakin dekat dengan tubuh Panji Bawuk yang terlentang di tanah, di bawah telapak kaki Ken Arok. Sebuah desir yang tajam tergores di dada Ken Arok. Kemudian terasa darahnya menjadi semakin cepat mengalir. Yang dilihatnya kini bukanlah seorarg perempuan tua yang lemah dan kering, tetapi seolah-olah ia sedang berhadapan dengan hantu betina yang haus darah.
“Sekian tahun ia mengalami penderitaan” desis Ken Arok di dalam hatinya, “Sekarang tiba-tiba semuanya itu akan meledak”. Penyesalan yang tajam telah tergurat di dinding jantung Ken Arok. Ia telah bermain dengan api, dan yang kini api itu telah menyala, membakar hati perempuan tua itu.
Sejenak kemudian isteri tua Bango Samparan itu berhenti. Ditatapnya wajah Panji Bawuk dengan tajamnya. Kemudian berganti-ganti dipandanginya keempat anak-anak Bango Samparan dari isteri mudanya, lalu Bango Samparan sendiri dan yang terakhir adalah isteri mudanya. Seorang perempuan yang terlampau keras hati, tamak dan dengki. Perempuan itulah sumber dari segala macam kepahitan hidupnya. Perempuan itulah yang menyebabkan ia menjadi kurus kering. Perempuan itulah yang menyebabkan ia mati di dalam hidupnya. Dan kini ia mendapat kesempatan untuk berbuat apapun. Ternyata anak angkatnya telah memberinya jalan untuk melepaskan dendamnya. Tetapi untuk sesaat perempuan itu masih berdiri membeku di tempatnya. Hanya sorot matanya sajalah yang seakan-akan menjilat setiap hati.
Bango Samparan, isterinya yang muda, dan keempat anak-anaknya pun menjadi ngeri melihat sikap perempuan itu. Wajahnya, matanya dan gemeretak giginya. Dada mereka berdentangan ketika mereka mendengar perempuan itu tiba-tiba saja tertawa. Perlahan-lahan, tetapi suaranya seperti lengking hantu yang melagukan dendang kematian.
“Apakah yang harus aku lakukan Ken Arok?” bertanya perempuan itu tiba-tiba dengan nada yang datar.
Dada Ken Arok berdesir mendengar pertanyaan itu. Sejenak ia berdiri mematung. Kakinya yang masih menginjak dada Panji Bawuk itu menjadi gemetar, dan ujung pedangnya pun justru telah berkisar dari depan mata Panji Bawuk.
“Apa yang harus aku lakukan he?” desak perempuan itu, “Apakah aku yang harus menghunjamkan pedangmu, atau aku tinggal mengucapkan keinginanku, lalu kau yang akan membantai setiap orang di halaman ini, atau apa?”
Pertanyaan itu telah menggetarkan setiap dada mereka yang berada di halaman itu. Terlebih-lebih isteri muda Bango Samparan. Bahkan Ken Arok sendiri menjadi cemas dan bingung. Ia tidak mengerti, apa yang harus diucapkannya untuk menjawab pertanyaan yang mengerikan itu.
Namun dalam pada itu, selagi halaman itu dicengkam oleh ketegangan yang semakin memuncak, tiba-tiba terdengar dikejauhan suara dendang seorang gadis kecil. Semakin lama semakin dekat. Tetapi tiba-tiba suara itu terputus. Sejenak keheningan telah menerkam suasana.
Keheningan yang tegang itu kemudian dipecahkan oleh langkah gadis kecil berlari-lari masuk kehalaman. Begitu ia melangkahi regol, maka langkahnya pun segera terhenti. Hampir terpekik ia menyaksikan apa yang terjadi. Dilihatnya kakaknya yang tertua terlantang di halaman, sedang seorang telah menginjak dada kakaknya itu dengan telapak kakinya. Ayahnya berdiri gemetar dan ibunya bersimpuh sambil membungkuk-bungkuk. Ketiga kakaknya yang lain berdiri bagaikan patung. Dan yang terakhir dilihatnya isteri tua ayahnya berdiri tegak dengan wajah yang mengerikan.
Ketakutan dan kebingungan telah menerkam hati gadis kecil itu. Namun ia tidak lari meninggalkan halaman rumah itu, tetapi justru ia melangkah mendekat perlahan-lahan. Dan tiba-tiba saja ia berlari-lari kecil, justru mendekati isteri tua Bango Samparan yang sedang dicengkam oleh luapan perasaannya yang selama ini dihimpitnya rapat-rapat. “Ibu, apakah yang terjadi?”
Mata perempuan itu telah menjadi merah. Sejenak ia berpaling kepada gadis kecil, anak Bungsu Bango Samparan dari isteri mudanya. Gadis kecil itu kini berhenti beberapa langkah di hadapannya. Matanya yang jernih sama sekali tidak membayangkan perasaan dan prasangka apapun. Bahkan selangkah ia maju dan bertanya,
“Ibu, apa yang telah terjadi dengan kakang Panji Bawuk, ibu muda, dan ayah serta kakak-kakak yang lain?”
“Minggir kau” isteri tua Bango Samparan itu menggeram, “Aku akan berbuat sesuka hatiku atas mereka. Kalau kau tidak pergi, maka kau akan mengalami nasib serupa”.
Gadis itu menjadi heran. Ketakutan semakin mencengkam di hatinya. Tetapi ia masih juga tidak berprasangka apapun atas isteri tua Bango Samparan itu. “Kenapa aku harus pergi ibu?” bertanya anak itu, “Siapakah laki-laki yang telah berbuat jahat terhadap kakang Panji Bawuk itu, dan kenapa ayah dan kakang-kakang yang lain tidak berbuat sesuatu?”
Isteri tua Bango Samparan itu tidak segera menjawab. Ditatatapnya saja wajah gadis kecil itu, seolah-olah anak itu belum pernah dikenalnya selama ini. “Pergilah, pergilah” desis perempuan itu.
“Kenapa ibu, kenapa aku harus pergi? Aku baru saja pulang dari belumbang”.
“Pergilah bermain-main bersama kawan-kawanmu”.
“Tidak ada ibu. Aku tidak mempunyai kawan. Anak-anak yang berada di belumbang berlari-larian pergi ketika aku datang kesana. Mereka tidak mau berkawan dengan aku. Aku tidak tahu, kenapa? Aku kira aku tidak pernah nakal. Tetapi mereka tidak mau berkawan dengan aku. Katanya, aku anak Bango Samparan. Kenapa dengan anak ayah Bango Samparan?”
Perempuan tua itu tidak segera menyahut. Dipandanginya saja wajah gadis kecil itu semakin tajam. Tetapi gadis kecil itu sama sekali tidak berprasangka apapun. Sorot matanya memancarkan kebeningan hatinya yang masih bersih. Dengan tanpa dibuat-buat ia berkata selanjutnya, “Aku sudah berusaha ibu. Setiap hari aku berusaha mendekati mereka. Tetapi mereka tetap bersikap demikian kepadaku. Apakah itu salahku ibu?”
Perempuan tua itu tidak menyahut. Ia masih tetap memandangi anak itu dengan tajamnya. Dan anak itu masih berbicara lagi, “Kenapa ibu memandang aku demikian? Apakah ibu marah kepadaku?”
Karena perempuan tua itu masih belum menjawab, maka gadis kecil itu berpaling kepada ibunya sendiri yang masih borjongkok dihadapan Ken Arok, “Kemarilah Puranti, kemarilah” panggil isteri muda Bango Samparan, “Berjongkoklah dan mintalah maaf kepada kakangmu Ken Arok”.
Gadis kecil itu menjadi bingung. Dengan setulus hatinya ia bertanya, “Kenapa ibu? Apakah aku bersalah? Dan apakah ibu atau kakang Panji Bawuk atau ayah Bango Samparan bersalah?”
Ibunya tertegun sejenak dengan penuh kebimbangan. Tetapi kemudian perlahan-lahan ia mengangguk, “Ya Ngger. Ibu bersalah. Kakangmu Panji Bawuk bersalah, ayah bersalah dan kita semua bersalah. Karena itu, mintalah maaf”.
“Apakah ibu tua juga bersalah?”
Pertanyaan itu telah membingungkan ibunya. Tanpa sesadarnya ia memandang kepada isteri tua Bango Samparan. Tetapi isteri tua Bango Samparan itu tidak sedang memandanginya. Matanya yang menyala masih hinggap pada gadis kecil yang tidak mengerti keadaan yang sebenarnya terjadi di halaman itu.
Kini semua mata terpancang pada isteri tua Bango Samparan. Ia memegang seluruh persoalan. Kepadanya harapan ditumpahkan, tetapi terhadap sikapnya jugalah semua orang dicengkam kecemasan. Apakah yang akan dikatakannya dan apakah yang diingininya atas semua orang itu. Bahkan Ken Arok sendiri telah tegak mematung dipukau oleh sikap perempuan tua itu. Semakin lama dadanya semakin berdebaran.
Karena perempuan tua itu tidak segera menjawab, maka gadis kecil itu mengulang pertanyaannya, “Apakah ibu tua juga bersalah kepada orang itu?”
Perempuan tua itu tidak menjawab. Matanya masih memancarkan kebencian yang menyala-nyala. Tetapi tiba-tiba halaman itu seakan-akan tergetar oleh kata gadis kecil yang masih bersikap terlampau wajar, tanpa dibuat-buat itu,
“Tuan” katanya kepada Ken Arok “Kalau ibu tua ini juga bersalah, aku minta maaf untuknya. Kasihan, selama ini ibu tua selalu menderita. Sepengetahuanku, ibu tua belum pernah tersenyum apalagi tertawa karena perasaannya. Ia tertawa sekedar untuk menyenangkan hatiku apabila ibu tua berceritera tentang burung yang hinggap di bulan bersama seekor kuda bersayap dan kucing candramawa. Tetapi, apabila tuan berkenan, aku minta maaf untuk semua orang yang bersalah kepada tuan, eh, kepada kakang Ken Arok”.
Kata-kata gadis kecil itu serasa alun yang berguncang karena taufan yang dahsyat menghantam dada perempuan tua itu. Sejenak serasa ia melayang-layang dalam ketiada ketentuan. Namun kemudian terlampar pada suatu kesadaran diri, dalam hubunganya dengan gadis kecil itu. Gadis kecil yang bernama Puranti itu, anak bungsu Bango Samparan dari isteri mudanya, adalah orang yang paling baik di dalam rumah ini. Gadis kecil itulah kawan satu-satunya bagi isteri tua Bango Samparan. Tidak Seperti kakak-kakaknya, gadis kecil itu bersikap baik kepadanya.
Mungkin sikap itu didorong oleh keadaan gadis kecil itu sendiri. Gadis kecil yang juga tidak mempunyai seorang kawan pun di luar halaman rumahnya karena ia adalah anak Bango Samparan. Sedang kakak-kakaknya dan ibunya, apalagi ayahnya terlampau sibuk dengan persoalan mereka sendiri-sendiri, sehingga setiap kali, gadis itu hanya dapat berbicara, bermain-main dan berkawan dengan isteri tua Bango Samparan. Kehadiran gadis kecil di rumah Bango Samparan itulah yang menahan isteri tuanya tidak membunuh dirinya. Bersama gadis kecil itu ia masih melanjutkan sisa hidupnya betapapun pahitnya.
Tiba-tiba mata perempuan tua yang menyalakan dendam dan kebencian itu perlahan-lahan menjadi pudar. Di dalam pandangan matanya, tampaklah kelembutan dan harapan di wajah anak itu. Bahkan tiba-tiba terbayanglah di wajah itu, wajah yang lain, yang dimasa kecilnya hampir tepat seperti wajah gadis kecil itu, yaitu wajah ibunya, isteri muda Bango Samparan. Perempuan itu dikenalnya baik-baik sejak masa kecilnya, bahkan didukungnya dan dimandikannya setiap pagi. Isteri muda Bango Samparan yang tidak lain adalah adiknya sendiri itu, terbayang jelas di wajah anak gadisnya. Namun anak ini mempunyai jauh lebih banyak kelebihan dari ibunya. Gadis ini adalah gadis yang baik. Terlampau baik.
“Tuan, eh, kakang” terdengar suara kecil itu melengking, “Bukankah tuan ingin memaafkannya, terutama ibu tua? Ibu tua selalu menangis. Hampir setiap hari. Kalau tuan marah pula kepadanya, maka ia akan semakin menangis sehingga air matanya akan terperas habis dan dengan demikian ibu tua akan menjadi semakin kering dan kurus”.
Anak itu tidak dapat menyelesaikan katanya. Tiba-tiba ia terkejut karena tiba-tiba perempuan tua itu berjongkok memeluknya sambil berkata, “Ya, ya Puranti. Ken Arok akan memaafkan aku. Ken Arok tidak akan menghukum aku, dan tidak akan menghukum kau”.
Gadis itu memandang wajah perempuan tua itu dengan mata yang bertanya-tanya. Sejenak kemudian ia berpaling kepada Ken Arok dan bertanya pula, “Benarkah begitu kakang? Kakang tidak akan menghukum ibu tua dan aku?”
Ken Arok telah terpukau oleh suatu pesona yang tidak dimengertinya sendiri. Perlahan-lahan ia menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Tentu Puranti. Aku tidak akan menghukum ibu tua dan kau”.
“Lalu bagaimana dengan kakak-kakak yang lain, ibu muda dan ayah?” bertanya gadis itu pula.
Sekali lagi halaman rumah Bango Samparan itu dicengkam oleh kediaman. Tetapi getar yang tersirat disetiap hati kini bernada jauh berbeda dengan ketegangan yang sudah terjadi. Ujung pedang Ken Arok kini telah terkulai hampir menyentuh tanah, sedang telapak kakinya pun telah kehilangan daya tekanannya. Bahkan kemudian kaki itu perlahan-lahan ditariknya dan diletakkannya di atas tanah.
Kini seluruh perhatian terpancang kepada gadis kecil dan perempuan tua itu. Hampir setiap mata tidak berkedip memandang mereka dengan penuh kecemasan dan teka-teki di dalam diri masing-masing. Jantung mereka serasa berhenti bergetar ketika mereka mendengar gadis kecil itu tiba-tiba bertanya, “Ibu, kenapa ibu menangis?”
Isteri tua Bango Samparan mengusap matanya. Mata itu kini sama sekali telah pudar. Dendam yang memancar dari padanya, telah padam seperti api yang tersiram air.
“Kenapa?” desak gadis kecil itu.
Perempuan tua itu tidak menjawab. Dengan mata yang buram dipandanginya setiap orang yang berada di halaman itu. Bango Samparan, adiknya yang menjadi isteri muda Bango Samparan, Panji Bawuk, Kuncang, Kunal, Kenengkung dan kemudian Ken Arok. Tiba-tiba perempuan tua itu berdiri. Nafasnya menjadi tertahan-tahan oleh perasaannya yang bergejolak di dalam dirinya. Dibimbingnya gadis kecil itu melangkah meninggalkan mereka yang masih membeku di tempatnya.
“Kemana kita ibu?” bertanya gadis kecil itu.
“Marilah kita masuk Puranti. Aku mempunyai beberapa buah sawo kecik untukmu”.
“Dari mana ibu dapatkan?”
“Aku dapatkan pagi-pagi tadi, anakku. Di bawah pohonnya”.
Puranti tersenyum. Tetapi tiba-tiba langkahnya tertegun. Katanya, “Lalu bagaimana dengan ibu muda, ayah dan kakak-kakak itu?”
Isteri tua Bango Samparan itupun terhenti pula. Dipalingkannya wajahnya. Dipandanginya Ken Arok dengan wajah yang sayu. Dan tiba-tiba saja ia berkata dalam nada yang datar, “Tidak ada yang harus kau lakukan Ken Arok. Sebaiknya kita tidak membiarkan dendam membakar hati kita. Anak ini telah mengajari aku, dan syukurlah bahwa aku belum menjadi hangus dijilat oleh api kebencian dan dendam yang selama ini tersimpan di dalam dada”.
Perempuan tua itu berhenti sejenak. Sekali lagi dipandanginya adiknya yang menjadi isteri muda Bango Samparan, lalu, “Bukan kuwajiban kita untuk menentukan jalan hidup seseorang. Kita memang harus berusaha. Tetapi yang terakhir adalah Yang Maha Agung. Mudah-mudahan Yang Maha Agung berkenan merubah segala macam sifat yang ada pada diri adikku dan anak-anaknya. Semoga. Tetapi sudah tentu bukan jalan yang paling parah. Kematian. Tidak. Aku masih ingin melihat kesempatan bagi mereka untuk menyesali segala kekeliruan yang telah mereka perbuat”.
Perempuan itu terdiam. Kemudian kaki-kakinya yang lemah melangkah kembali sambil membimbing Puranti masuk ke dalam rumah lewat pintu samping. Mereka yang ditinggalkan di halaman masih juga membeku di tempat masing-masing. Mereka tidak segera tahu apa yang sebaiknya mereka lakukan. Bango Samparan sama sekali tidak bergerak ditempatnya, sedang isterinya masih juga berlutut di tanah. Panji Bawuk masih terbaring diam, sedang Ken Arok kini berdiri di sisinya dengan penuh kebimbangan.
Angin yang silir telah mengusap wajah Ken Arok yang dengan bintik-bintik keringat dinginnya. Bahkan seluruh tubuhnya seolah-olah telah tersiram dengan air hujan. Basah oleh keringat. Sejuknya angin yang berhembus lambat agaknya telah menyegarkan ingatan Ken Arok. Segera menyadari, bahwa ia harus mengambil keputusan. Karena itu, maka dicobanya untuk menenangkan hatinya sambil menarik nafas dalam-dalam. Sikap Puranti benar-benar berkesan di hatinya. Gadis kecil itu benar-benar berhati bersih meskipun ia hidup diantara serigala-serigala liar yang buas.
“Masih juga dapat diketemukan sebutir mutiara di dalam lumpur yang paling kotor“, berkata Ken Arok di dalam hatinya, “Sikap biyung Bango Samparan terhadap anak itu pasti bukan tanpa sebab. Agaknya anak itu adalah satu-satunya manusia yang masih memperhatikannya”.
Tanpa sesadarnya Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ditatapinya wajah Panji Bawuk dan adiknya berganti-ganti. Wajah yang tiba-tiba telah dicengkam kembali oleh ketegangan dan ketakutan. Tetapi mereka menjadi terheran-heran. Ken Arok tiba-tiba saja menyarungkan pedangnya sambil berkata,
“Ibu tua sudah menentukan keputusannya. Itu adalah ucapan hati seorang yang berbudi. Kalian telah mendengar apa yang dikatakannya. Ibu tua itu masih ingin melihat kalian mendapat kesempatan untuk menyesali kesalahan kalian selama ini. Karena itu tidak sepantasnya kalian dibunuh. Kalian harus dimaafkan, dan diberi kesempatan untuk menentukan sikap dan memaksa diri sendiri untuk meneliti, manakah yang benar dan manakah yang salah menurut penilaian yang wajar. Bukan menurut penilaian demi kepentingan kalian sendiri”.
Isteri muda Bango Samparan menundukkan kepalanya. Sama sekali tidak diduganya, bahwa suatu ketika ia akan terbentur pada keadaan yang aneh baginya, tetapi serasa mengorek sampai kepusat jantungnya. Masih juga ada orang yang betapapun alasannya, memaafkan kesalahan yang telah diperbuatnya. Meskipun orang itu dapat berbuat sekehendak hati atasnya dan anak-anaknya. Masih juga ada orang yang terpengaruh oleh kebeningan hati gadis kecilnya. Hal yang serupa itu tidak akan pernah terlintas di kepalanya dan kepala anak-anaknya. Mereka akan dengan bangga membunuh atau lebih jahat lagi dari padanya, dengan penuh kebengisan memperlakukan korbannya sewenang-wenang. Dera dan siksa. Penuh dengan kebencian kepada sesama didorong oleh ketamakan dan kedengkian hati.
Dan kini tiba-tiba isteri muda Bango Samparan itu mendapat perlakuan yang berlawanan dari seseorang yang hampir saja menjadi korban kebenciannya. Hampir saja Ken Arok mereka perlakukan semena-mena seandainya tidak secara kebetulan Ken Arok mempunyai kelebihan dari mereka seluruhnya. Seandainya Ken Arok itu tidak mampu melawan senjata anak-anak Bango Samparan itu, maka Ken Arok akan menjadi makanan burung-burung gagak di atas anjang-anjang yang akan mereka buat di atas sebatang pohon. Isteri muda Bango Samparan itu terperanjat ketika ia mendengarkan Ken Arok berkata,
“Sekarang pergilah kalian. Aku tidak akan berbuat sesuatu. Aku akan segera meninggalkan tempat ini. Mudah-mudahan semuanya akan berubah. Terutama hati yang tersimpan di dalam dada kalian”, Ken Arok berhenti sejenak sambil menatap wajah Panji Bawuk. Kemudian ia melanjutkan, “Aku dahulu adalah seorang penjahat yang paling liar dan buas. Yang sama sekali tidak mengenal peradaban, karena sejak aku dilahirkan aku sudah terbuang dari lingkungan peradaban manusia yang baik. Aku hidup diantara pencuri, penjudi dan kejahatan-kejahatan yang lain. Tetapi pada suatu saat aku menemukan kesadaran baru di dalam diriku, sehingga aku mendapat jalan untuk menempuh hidup dengan cara yang sekarang ini”.
Tidak seorang pun yang beranjak dari tempatnya. Dengan ragu-ragu mereka mendengar Ken Arok berkata selanjutnya, “Pergilah. Kenapa kalian diam membeku?” Lalu kepada Bango Samparan ia berkata, “Aku minta diri ayah”.
Bango Samparan tergagap. Namun kemudian ia menyahut terbata-bata, “Jangan pergi dahulu Ken Arok. Baiklah kau singgah sebentar. Kau akan dapat lebih banyak memberikan jalan kepada kami. Mudah-mudahan kedatanganmu berpengaruh atas kami sekeluarga”.
“Pikirkan saja kata-kataku. Kalau kalian dapat membuat membuat pertimbangan, maka kalian akan menemukan kesimpulan itu. Di rumah ini ada juga seorang yang berbudi dan seorang gadis kecil yang terlampau baik. Kepada mereka kalian dapat mencari percikan-percikan sinar yang dapat kau pakai untuk mencari jalan keluar dari kegelapan. Selebihnya, kalian harus selalu berusaha mendekatkan diri kepada sumber hidup kalian”.
“Ya, ya”, sahut Bango Samparan ”Tetapi kau tidak boleh segera pergi. Kau harus tinggal di sini meskipun hanya semalam”.
Ken Arok tidak segera menyahut. Tetapi terbayang keragu-raguan di wajahnya. Sekali ditatapnya wajah isteri muda Bango Samparan yang kini tertunduk lesu. Kemudian wajah anak-anaknya dan wajah Bango Samparan sendiri.
“Apakah kau masih ragu-ragu?” bertanya Bango Samparan, “Kami sudah benar-benar menyesali perbuatan kami. Kami tidak akan membuat jebakan atau pengkhianatan di malam hari seandainya kau bermalam di sini”.
“Aku percaya” jawab Ken Arok ”Tetapi aku ingin berjalan mengikuti langkah kakiku. Aku ingin melihat daerah-daerah yang terbuka untuk menyegarkan nalar dan perasaanku”.
“Tetapi kau sudah sampai ke rumah ini. Aku memang bermaksud memintamu bermalam di rumah yang jelek ini. Mungkin ada kenangan yang dapat menumbuhkan ikatan baru di antara kita setelah selama ini kita seakan-akan tidak berhubungan lagi”.
Ken Arok mengerutkan keningnya. Seakan-akan sesuatu telah mendesaknya untuk meninggalkan saja halaman rumah itu. Tetapi ia mendengar Bango Samparan berkata seterusnya “Atau kau anggap bahwa kau sudah tidak pantas lagi masuk ke rumah yang kotor ini?”
Ken Arok berdesah. Tetapi ia tidak dapat lagi menolak permintaan Bango Samparan untuk bermalam barang semalam di rumahnya. Karena itu, maka dengan ragu-ragu ia menjawab “Baiklah ayah, aku akan bermalam di rumah ini semalam”.
“Terima kasih, terima kasih” Bango Samparan hampir berteriak. Kemudian dengan serta-merta ia meloncat menarik tangan Ken Arok masuk ke dalam rumahnya.
“Nanti dulu”, Ken Arok pun hampir berteriak ”Pakaianku”.
“O”, lalu Bango Samparan berteriak, “Kunal, bawalah bungkusan itu masuk”.
“Biarlah aku sendiri yang membawanya” sahut Ken Arok.
Tampak wajah Bango Samparan berkerut sesaat. Namun kemudian ia berkata, “Baiklah Ken Arok. Memang sudah tidak ada seorang pun diantara kami yang dapat kau percaya”.
“Bukan itu maksudku” berkata Ken Arok, “Aku hanya ingin tidak membuatnya repot”.
Tetapi Bango Samparan tersenyum. Katanya, “Baiklah, apapun alasanmu, namun aku dapat meraba perasaanmu. Tetapi ini sama sekali bukan salahmu atau bahwa kau terlampau berprasangka atas kami. Memang salah kami sendirilah, bahwa kami telah membuat orang lain kehilangan kepercayaan kepada kami”.
“Kau menangkap sikapku terlampau jauh”.
Bango Samparan tidak menjawab lagi. Dibiarkannya Ken Arok melangkah mengambil sebuah bungkusan. Bungkusan pakaian yang dibawanya. Ketika Ken Arok dan Bango Samparan telah hampir melangkahi tlundak pintu, tiba-tiba Bango Samparan berhenti sejenak sambil berpaling, “He, anak-anak. Tangkap dua ekor ayam kita yang paling gemuk. Kita merayakan hari yang baik ini”.
Panji Bawuk yang sudah bangkit dan duduk di tanah memandang ayahnya dengan heran. Kemudian ditatapnya wajah ibunya yang termangu-mangu.
“He, kenapa kalian menjadi bingung” teriak Bango Samparan “Tangkap dua ekor ayam yang paling gemuk”.
Namun anak-anaknya dan isteri mudanya masih juga kebingungan. Sehingga mereka sejenak hanya saling memandang sambil bertanya-tanya di dalam hati. Tetapi Ken Arok yang pernah tinggal di rumah itu, dapat mengerti maksud Bango Samparan. Karena itu maka segera ia menyahut, “Kalian tidak usah bingung. Bukankah kalian telah berjanji untuk memperbaiki semua kesalahan dan tingkah laku?”
Sepercik warna merah menyambar wajah Bango Samparan. Sejenak ia diam mematung sambil memandang wajah Ken Arok. Sedang anak-anaknya dan isteri mudanya masih saja tidak beranjak dari tempatnya. Dan tiba-tiba Bango Samparan tersenyum sambil bertanya, “Kenapa dengan ayam yang dua ekor itu? Aku kira tidak ada hubungan apapun dengan janji kami untuk memperbaiki tingkah laku kami”.
“Aku tahu ayah” sahut Ken Arok, “Kalian tidak mempunyai dua ekor ayam itu. Ayah masih juga mempunyai kebiasaan itu. Kebiasaan yang mengasingkan ayah dari pergaulan”.
“Tetapi, tetapi…” Bango Samparan tergagap.
“Adalah kebiasaan ayah dan anak-anak ayah yang sudah mulai liar itu dengan menangkap ayam siapapun yang berkeliaran di jalan-jalan. Kebiasaan itu pun harus ditinggalkan. Kalian harus menyadari akibat dari kebiasaan itu. Puranti tidak dapat berkawan dengan siapapun. Itu sama sekali bukan salah Puranti. Tetapi salah kalian. Sedang Puranti hanya menerima akibat dari perbuatan kalian”.
“Oh, tidak. Tidak Ken Arok. Maksudku, aku mempunyai beberapa ekor ayam sendiri”.
Ken Arok menggeleng-geleng, “Seandainya ada, pasti ayam-ayam itu sudah habis kalian makan sendiri”.
Bango Samparan menundukkan kepalanya. Agaknya Ken Arok yang memang sudah mengenal keadaannya itu tidak dapat dikelabuinya, sehingga suara Bango Samparan itu merendah, “Kau benar Ken Arok. Tetapi jika tidak demikian, kami tidak mempunyai apapun untuk menjamumu” Bango Samparan berhenti sejenak. Lalu kepada isteri mudanya ia bertanya, “Apakah kita mempunyai sesuatu di rumah sepeninggalku?”
Isterinya menggelengkan kepalanya perlahan-lahan. Jawabnya, “Tidak. Tetapi aku masih mempunyai beberapa mangkuk beras”.
“Bagus” tiba-tiba Bango Samparan berteriak, “Kau menanak nasi. Aku akan mencari lauk di tegalan”.
“Apa yang akan kau cari?” bertanya Ken Arok.
“Kijang atau kancil”.
“Sampai besok kau tidak akan dapat”.
“Kalau begitu ayam alas”.
“Terlalu sukar dicari disiang hari”.
Bango Samparan mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia ber bisik, “Bagaimana kalau kelinci?”
Ken Arok menggelengkan kepalanya. Hampir saja ia tidak berhasil menahan tertawanya. Sambil menunjuk buah kelapa yang bergayutan ditangkainya ia berkata, “Bukankah dengan kelapa muda kita dapat membuat bermacam-macam lauk”.
“O, ya, ya. Kau masih seperti dulu Ken Arek. Kalau tergesa-gesa, kau makan saja nasi dengan kelapa parut”.
“Itu lebih baik dari pada kita makan ayam panggang milik tetangga”.
“Eh” kembali wajah Bango Sambaran dijalari oleh warna-warna merah. Katanya kemudian, “Baiklah. Baiklah kita makan dengan kelapa parut”.
Sebelum Ken Arok menyahut, maka sekali lagi Bango Samparan menyeretnya masuk ke dalam rumah yang kotor itu. Ketika Ken Arok telah hilang dibalik pintu, maka perlahan-lahan Panji Bawuk bangkit berdiri tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia berjalan dengan kepala tunduk kebelakang rumahnya. Kemudian melepaskan pakaiannya yang kotor. Dibantingnya dirinya dibelakang kandang yang kosong. Sambil berbaring hanya dengan celananya yang kumal, ia memandangi langit yang biru.
Dilihatnya segumpal awan yang putih terbang seperti kapas tertiup angin. Hanyut perlahan-lahan ke utara. Sedang burung-burung yang berterbangan seakan-akan telah mengisi kekosongan langit yang tiada bertepi. “Alangkah luasnya” tanpa sesadarnya ia berdesis, “Jauh lebih luas dari kenungkinan yang pernah aku angan-angankan”.
Panji Bawuk menarik nafas dalam-dalam. Peristiwa yang baru saja terjadi telah menumbuhkan persoalan yang panas di dalam dirinya. Ia tidak dapat lagi membutakan mata hatinya, bahwa sebenarnyalah ia telah sesat memilih jalan. Lingkungannya dan tuntunan yang diterimanya sejak kanak-kanak. Pertengkaran dan perselisihan. Kegelapan den ketiadaan jalan yang lain. Kini tiba-tiba seperti terbangun dari mimpinya yang dahsyat, ia melihat bentangan langit yang biru bersih.
“Dibawah langit ini ada berjuta-juta macam persoalan peristiwa dan berjuta-juta cara penyelesaiannya. Tetapi di bawah langit ini ada berjuta-juta manusia dalam kediriannya masing-masing, dalam pendiriannya masing-masing dan dalam keutuhannya masing-masing”, Panji Bawuk mengerutkan keningnya. Kemudian ia berdesah pula “Sebenarnyalah kata Ken Arok. Kalau semua pihak berbuat menurut kehendak dan kesenangan sendiri, maka alangkah ngerinya hidup di dalam dunia ini. Sebenarnyalah kata Ken Arok bahwa kita masing-masing hurus berusaha mendekatkan diri kepada sumber hidup ini. Apabila setiap orang berusaha demikian, maka dunia akan menjadi sebuah taman raksasa yang paling indah”.
Sekali lagi Panji Bawuk menarik nafas dalam-dalam. Angin yang lembut mengusap tubuhnya yang kotor dan berkeringat. Meskipun masih juga terjadi benturan-benturan yang tegang di dalam dirinya, tetapi ia berusaha untuk mengerti, apa yang baru saja didengarnya dari Ken Arok.
Dalam pada itu, isteri muda Bango Samparan sibuk mengumpulkan kayu. Kuncang dengan penuh pertanyaan di dalam dirinya tentang peristiwa yang baru saja dialami, duduk tepekur di sudut rumahnya. Sedang Kunal dengan tangkasnya memanjat sebatang pohon kelapa. Seperti Kenengkung, ia tidak mempunyai perasaan apapun selain kegembiraan yang meluap. Ia merasa beruntung bahwa Ken Arok tidak menghukumnya. Itu saja.
Sambil menunggu jamuannya, Ken Arok berbicara tentang berbagai persoalan dengan Bango Samparan berbicara seperti gerojogan. Tanpa henti-hentinya. Dari satu soal ke soal yang lain. Tentang kedua isterinya dan tentang anak-anaknya.
Sementara itu nasi pun menjadi masak dan dengan kelapa parut dihidangkan untuk menjamu Ken Arok yang menanggapinya dengan baik, seperti pada masa-masa ia berada di rumah itu. Makan dengan kelapa parut dan garam. Terlebih enak lagi adalah keraknya yang tidak terlampau keras.
Pada malam harinya Ken Arok benar-benar bermalam di rumah itu. Namun sampai jauh malam ia tidak sempat beristirahat. Di seputar lampu minyak ia duduk bersama-sama dengan Bango Samparan, kedua isterinya dan anak perempuannya Puranti. Menilik percakapan itu, maka Ken Arok mempunyai harapan yang baik, bahwa keluarga Bango Samparan akan dapat mengubah cara hidupnya. Isteri mudanya telah banyak merasa bersalah. Demikian pula Bango Samparan sendiri. Sedang keempat anak laki-lakinya agaknya masih belum merasa bebas untuk duduk bersamanya...