Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 38 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 38
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

KEBO SINDET tidak telaten menghadapi lawannya yang tidak segera dapat ditundukkannya. Di dalam hujan yang sangat lebat, orang itu menggeretakkan giginya. Beberapa langkah ia meloncat surut, kemudian bagai sebatang tonggak ia berdiri tegak sambil memusatkan segenap kekuatannya. Dibangkitkannya semua kekuatan dan getaran yang ada di dalam dirinya, disalurkannya lewat urat nadinya, dipusatkannya pada tangan kanannya yang menggenggam goloknya. Bukan sekedar kekuatan yang sudah mencapai puncaknya, tetapi segenap kekuatan cadangan yang tersimpan rapat-rapat di dalam dirinya. Kali ini Kebo Sindet bertekad untuk melepaskan aji pamungkasnya, aji yang dahsyat sedahsyat petir di udara.

Mahisa Agni menjadi berdebar-debar melihat sikap lawannya. Tetapi ia tidak dapat sekedar melihat apa yang akan dilakukan oleh Kebo Sindet. Yang akan terjadi itu pasti langsung menyangkut dirinya. Apabila ia tidak segera berbuat sesuatu untuk mengimbanginya, maka ia akan menjadi lumat sama sekali. Itulah sebabnya, maka Mahisa Agni pun segera berdiri tegak di atas kedua kakinya yang renggang. Meskipun dengan hati yang berdebar-debar, maka segera dibangunkannya kekuatan puncaknya dalam hubungan lahir dan batinnya. Dijulurkannya tangan kirinya lurus ke depan, dan di silangkannya pedangnya di muka dadanya.

Tangan anak muda itu tampak bergetar. Aji Gundala Sasra yang sudah disempurnakan dengan unsur-unsur kekuatan dan gerak yang serasi dari inti kedahsyatan Aji Kala Bama yang luluh, seolah-olah mengalir pada telapak tangannya. Mahisa Agni belum pernah membuat pertandingan-pertandingan dari kekuatannya dengan kekuatan-kekuatan lain dalam benturan langsung. Namun ia dapat menduga, bahwa kekuatan yang ada di dalam dirinya, setidak-tidaknya akan mampu mengimbangi kekuatan lawannya.

Sejenak kedua orang itu seolah-olah membeku. Namun sejenak kemudian berbareng dengan meledaknya guntur di langit, terdengar Kebo Sindet berteriak nyaring. Goloknya terangkat tinggi-tinggi, dan bersamaan dengan loncatannya, goloknya terayun deras sekali menghantam lawannya yang sudah siap menunggunya.

Di Padang Karautan, yang terdengar adalah suara Akuwu Tunggul Ametung berteriak keras sekali, sekeras ledakan petir yang bersabung, “Ken Arok, cepat meloncat ketepi.”

Tetapi Ken Arok sudah tidak mendapat kesempatan lagi. Tanah di bawah kakinya seakan-akan surut dengan cepatnya, sedangkan air naik secepat itu pula. Dada anak muda itu menjadi berdebar-debar. Dikerahkan segenap kekuatan yang ada di dalam dirinya. Kekuatan yang telah ada di dalam tubuhnya tanpa diketahuinya sendiri.

Sejenak Akuwu Tunggul Ametung menjadi bingung. Kebo Ijo dan prajurit-prajurit yang lain seakan-akan telah kehilangan akal mereka. Bahkan mereka telah menjadi berputus asa. Ken Arok tidak akan dapat tertolong lagi. Ki Buyut Panawijen menjadi pucat seperti mayat, sedang orang-orang Panawijen benar-benar telah kehilangan nalar dan harapan.

Akuwu Tunggul Ametung pun masih berdiri membeku. Ia adalah orang yang hampir-hampir tidak pernah berpikir, apalagi menanggapi persoalan yang tiba-tiba. Tetapi, kali ini Akuwu Tunggul Ametung sama sekali tidak berputus asa dan tidak membiarkan Ken Arok hanyut tanpa berbuat sesuatu. Meskipun demikian, meskipun ia sedang dirisaukan oleh persoalan yang sedang dihadapinya, namun sesaat jantungnya bergetar. Ia melihat sesuatu yang aneh baginya.

Ternyata daya tangkap dan tanggapan Akuwu Tunggul Ametung atas persoalan-persoalan yang bukan sekedar masalah lahiriah, jauh lebih baik dari orang-orang yang ada di sekitarnya, bahkan tidak jauh berbeda dari Empu Purwa, Empu Gandring dan beberapa orang lain. Lamat-lamat di dalam hujan yang sangat lebat ia melihat warna yang kemerah-merahan di atas ubun-ubun Ken Arok yang sedang mengerahkan segenap kekuatan yang seakan-akan telah tersedia di dalam dirinya, untuk bertahan supaya ia tidak hanyut.

Bahwa ia masih tetap dapat berdiri, adalah suatu hal yang hampir tidak mungkin dan tidak masuk akal. Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa Ken Arok masih dapat bertahan, berdiri tegak menahan arus air yang luar biasa dan sudah hampir mencapai setinggi dada. Tetapi ia tidak mendapat kesempatan untuk meloncat karena justru tanah di bawah kakinya menjadi surut hanyut di dalam arusnya banjir yang mendapat saluran untuk mengalir. Kalau ia berusaha untuk meloncat juga, maka ia akan terperosok semakin dalam dan segera akan tenggelam.

Akuwu Tunggul Ametung yang sesaat dipukau oleh tanggapan mata hatinya itu, segera menyadari keadaan. Tiba-tiba sekali lagi ia berteriak. Sekali lagi orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel dihadapkan pada suatu keadaan yang tidak masuk diakal mereka. Akuwu itu tiba-tiba melenting seperti bilalang. Sekali sambar tangannya telah menggenggam ujung sebatang bambu yang tertumpuk di pinggir bendungan. Kemudian sekali lagi ia melenting sambil menjinjing bambu itu. Terdengarlah kemudian suaranya mengguntur,

“Tangkaplah pangkalnya. Peganglah erat-erat. Aku akan menarikmu.”

Orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel hampir tidak dapat mengerti apa yang telah terjadi. Adalah di luar nalar mereka bahwa seseorang mampu melakuannya, menjinjing sebatang bambu utuh yang panjang sambil meloncat sedemikian jauhnya, kemudian mengulurkan bambu itu dari pinggir susukan induk kepada Ken Arok yang sedang berjuang menguasai diri, melawan air yang kini telah mencapai setinggi dadanya.

Sejenak Ken Arok terpukau melihat gerak Akuwu Tunggul Ametung. Demikian ia mengaguminya, sehingga ia hampir lupa kepada dirinya sendiri. Tetapi segera ia sadar setelah pangkal sebatang bambu yang dijulurkan Akuwu Tunggul Ametung itu hampir menyentuh hidungnya. Ternyata Akuwu Tunggul Ametung telah berbuat tepat pada waktu. Apabila ia terlambat sekejap, maka keadaannya akan menjadi lain, karena sekejap kemudian tanah di bawah kaki Ken Arok itu seolah-olah telah hanyut diseret oleh banjir bandang.

Apabila Ken Arok ikut serta terseret oleh arus itu maka usahanya untuk melepaskan diri akan menjadi semakin sulit dan usaha untuk menolongnya pun menjadi semakin sulit pula. Tetapi pada saatnya tangan Ken Arok menyambar pangkal bambu yang dijulurkan kepadanya meskipun sesaat ia masih dirayapi oleh keragu-raguan, bahwa justru Akuwu Tunggul Ametung lah yang akan ikut terseret bersamanya.

Tetapi sekali lagi orang-orang Panawijen dan para prajurit itu berdiri dengan mulut ternganga, meskipun air hujan masuk ke dalamnya. Dada mereka terasa berhenti berdetak ketika mereka melihat bagaimana Ken Arok berusaha menahan diri berpegangan pada pangkal bambu yang ujungnya dipegang oleh Akuwu Tunggul Ametung. Dua kekuatan di pangkal dan di ujung itu hampir tidak dapat dinilai oleh orang-orang yang berdiri memaku di sekitarnya. Bahkan orang-orang yang berada di seberang pun terpukau sama sekali melihat apa yang terjadi, meskipun hanya samar-samar karena hujan yang terlampau deras.

Perlahan-lahan Akuwu menarik bambu itu. Dikerahkannya segenap kekuatan yang ada padanya. Bambu, Ken Arok dan banjir adalah lawan yang cukup berat baginya. Tetapi ternyata Akuwu adalah seorang yang memiliki tenaga yang luar biasa. Orang-orang yang terpesona melihat hal itu terjadi, justru berdiri saja mematung, tanpa dapat berbuat sesuatu. Mereka sama sekali tidak beranjak dari tempatnya, apalagi berlari dan ikut serta menahan bambu yang sedang mengangkat tubuh Ken Arok dari dalam arus air.

Sedang Ken Arok sendiri, berpegang pada pangkal bambu itu. Terasa seolah-olah air menghisapnya dan menariknya ke dalam lingkaran maut. Tetapi ia bertahan terus. Bertahan dengan kekuatan yang jauh melampaui kekuatan orang-orang kebanyakan. Betapa lambatnya, namun Ken Arok terseret semakin menepi. Agaknya dua kekuatan di ujung dan pangkal sebatang bambu itu akan dapat menyelamatkannya. Meskipun kadang-kadang segumpal air menghantam wajahnya, namun sekejap kemudian Ken Arok berhasil mengangkatnya ke atas permukaan air.

Mereka yang menyaksikan, Ken Arok tertarik sedikit demi sedikit menepi itu, menahan nafas mereka. Wajah-wajah mereka menjadi semakin tegang dan darah mereka serasa berhenti mengalir.

Seperti Kuda Sempana yang saat itu menahan nafasnya pula, jantungnya pun seakan-akan berhenti berdetak. Ia tahu benar, bahwa kedua orang yang mempersiapkan kekuatan pamungkas mereka. Loncatan Kebo Sindet yang hampir-hampir tidak dapat diikuti oleh mata itu, adalah permulaan dari benturan yang sekejap lagi pasti akan terjadi. Dada Kuda Sempana lah yang akan meledak, sesaat kemudian ketika ia melihat golok Kebo Sindet terayun deras sekali seperti petir yang menyambar dari langit disertai suaranya yang melengking semakin tinggi.

Tetapi Mahisa Agni telah bersiap sepenuhnya untuk menerima serangan itu. Ia kali ini sengaja tidak ingin menghindar. Ia ingin mengalami benturan itu, supaya perkelahian itu segera sampai pada akhirnya. “Disini kita akan mendapat kepastian.” gumannya di dalam hati.

Sesaat kemudian anak muda itu menggeretakkan giginya, Di sentakkannya kakinya menyongsong serangan Kebo Sindet itu. Dengan pedangnya Mahisa Agni dengan sengaja membenturkan kekuatannya melawan kekuatan aji lawannya.

Benturan yang terjadi adalah benturan yang dahsyat sekali. Sepercik bunga api meloncat ke udara, meskipun hujan yang lebat sekali masih tercurah dari langit. Seolah-olah sepasang petir sedang bersabung di udara. Bersabung dengan penuh dendam dan benci. Akibat dari benturan itu pun dahsyat sekali. Keduanya terlempar beberapa langkah surut. Terasa kekuatan benturan itu telah menyalar di tubuh mereka, seakan-akan menghentak jantung di dalam dada masing-masing, sehingga sekejap kemudian mata mereka menjadi berkunang-kunang.

Kebo Sindet merasakan sesuatu yang menyesak pernafasannya, sehingga ia menjadi tersengal-sengal. Namun ia masih cukup menyadari apa yang telah terjadi, sehingga ia masih mampu untuk berusaha jatuh di atas kedua kakinya. Sedang Mahisa Agni masih juga menyadari keadaannya sepenuhnya. Meskipun dadanya terasa sesak, tetapi akibat benturan-benturan itu masih tidak separah Kebo Sindet. Agaknya ilmunya yang luluh dengan kekuatan Aji Empu Sada, telah berhasil mengatasi kekuatan lawannya, meskipun perbedaan itu masih belum terlampau banyak. Ternyata dalam kekurangannya, Kebo Sindet masih memiliki kelebihan pengalaman yang cukup untuk mempertahankan dirinya.

Tetapi sekali lagi Mahisa Agni dihadapkan kepada lawan yang lain. Ketika ia berusaha berdiri tegak di atas kedua kakinya, maka tiba-tiba keseimbangannya terganggu oleh tanah yang licin. Dalam keadaan yang sulit itu, akhirnya Mahisa Agni tidak berhasil mempertahankan keseimbangannya, sehingga sejenak kemudian ia terpelanting jatuh.

Kebo Sindet yang terluka di dadanya, yang berhasil tegak pada kedua kakinya, meskipun agak tertatih-tatih, melihat Mahisa Agni terpelanting jatuh. Baginya itu adalah suatu kesempatan. Tetapi pada saat yang demikian barulah ia menyadari, bahwa golok di tangannya yang langsung berbenturan dengan pedang Mahisa Agni telah terpelanting jatuh. Terasa kemudian bahwa tangannya menjadi pedih. Kebo Sindet itu mengumpat dengan kata-kata yang paling kotor. Ia sadar, bahwa kekuatan Mahisa Agni ternyata telah melampaui kekuatannya.

Namun ia menjadi berpengharapan ketika ia melihat bahwa Mahisa Agni pun telah tidak bersenjata lagi. Meskipun pangkal pedangnya tidak terlepas dari tangannya, betapapun dahsyatnya benturan yang terjadi, tetapi pedang itulah yang ternyata kurang baik bagi benturan kekuatan yang dahsyat. Ternyata pedang itu terputus hampir di pangkalnya. Dan kini Kebo Sindet melihat Mahisa Agni terpelanting jatuh tergelincir karena tanah yang licin. Pada saat Mahisa Agni masih belum menemukan kesempatan untuk bangun, maka ia harus mempergunakan setiap kemungkinan. Ia harus cepat menyerang dan membinasakan lawannya.

Kebo Sindet mencoba mengumpulkan kekuatannya yang terakhir. Terdengar ia menggeram keras. Luka di dalam dadanya tidak dihiraukannya. Sekali lagi ia mateg aji pamungkasnya. Seperti seekor harimau lapar Kobo Sindet meloncat menerkam Mahisa Agni yang masih belum sempat bangkit.

Tetapi Mahisa Agni memang tidak segera bangkit. Ia menyadari bahwa Kebo Sindet pasti akan mempergunakan kesempatan itu. Kesempatan pada saat ia kehilangan keseimbangan. Karena itu maka ia masih saja berbaring di tempatnya. Justru sambil berbaring dipusatkannya segala kekuatan dan getaran di dalam dirinya. Kekuatan lahir dan batin. Mahisa Agni hanya sempat menggeser diri dalam sikap yang dikehendaki. Ia menempatkan dirinya membujur bertentang arah terkaman Kebo Sindet. Dilepaskannya sama sekali hulu pedang yang patah. Ia tidak dapat mempergunakannya lagi. Lawannya pun tidak mempergunakan senjata, selain kekuatan aji tertingginya.

Mahisa Agni yang telah mendalami dan mengenali watak kekuatannya sendiri, kali ini tidak menjalurkannya dan memusatkannya di tangannya, tetapi kekuatannya disalurkannya pada kedua kakinya. Dengan berdebar-debar ia menunggu terkaman iblis dari Kemundungan itu.

Kebo Sindet dengan sepenuh tenaganya, menjulurkan tangannya. Ia telah siap mencekik leher Mahisa Agni, menindihnya dan membuatnya tidak bernafas. Meskipun kekuatannya tidak sebesar kekuatan Mahisa Agni, tetapi perbedaan itu tidak terlampau besar, sehingga apabila tangannya telah menerkam leher lawannya, ia yakin, pada saat sentuhan itu terjadi, Mahisa Agni pasti sudah kehilangan sebagian besar dari kekuatannya. Leher lawannya tidak akan sekuat tangannya untuk menolak kekuatan aji pamungkasnya.

Tetapi Kebo Sindet lupa bahwa Mahisa Agni pun memperhitungkan waktu sekejap demi sekejap. Anak muda itupun menyadari, bahwa apabila ia menyia-nyiakan waktu yang sekejap, maka akibatnya akan tidak diduga-duganya. Itulah sebabnya, ia telah siap menyambut Kebo Sindet yang seakan-akan melayang menerkamnya sambil berteriak nyaring. Matanya yang membara menjadi semakin liar, dan wajahnya yang beku itu memancarkan nafsu iblisnya.

Tetapi Mahisa Agni telah siap menyambutnya. Pada saat yang telah diperhitungkan Mahisa Agni menekuk lututnya, dan menyambut terkaman Kebo Sindet itu dengan kekuatan puncaknya, dengan ajinya yang telah disempurnakan. Sekali lagi terjadi sebuah benturan yang dahsyat. Benturan antara dua kekuatan yang pilih tanding. Dua kekuatan raksasa yang dilontarkan dengan nafas kebencian, dendam dan nafsu yang meluap-luap.

Sekali lagi keduanya harus mengalami akibat yang dahsyat pada tubuh masing-masing. Ternyata Mahisa Agni yang membentur serangan Kebo Sindet itu dengan kakinya, terdorong beberapa langkah, meluncur di atas tanah yang licin menuju ke bibir rawa-rawa. Dengan sekuat tenaga anak muda itu mencoba menahan dirinya dengan mencengkamkan jari-jari tangannya pada tanah berlumpur. Meskipun tidak terlampau banyak, namun usaha itu telah menahannya. Mahisa Agni berhenti beberapa langkah yang pendek saja dari bibir rawa-rawa.

Bahkan kepalanya telah terperosok kedalam gemburnya lumpur rawa-rawa yang berwarna gelap. Tetapi Mahisa Agni tidak terjerumus masuk dalamnya. Sedang sendi-sendi tulang kakinya terasa berpatahan. Perasaan sakit yang luar biasa telah menyalari seluruh tubuhnya. Namun Mahisa masih tetap sadar, apa yang telah terjadi dengan dirinya. Ia masih sempat melihat akibat dari peristiwa itu dan peristiwa-peristiwa berikutnya.

Mahisa Agni masih mendengar Kebo Sindet berteriak mengerikan. Benturan itu agaknya telah membuat lukanya semakin parah. Tetapi lebih dari pada itu, dorongan kaki Mahisa Agni telah melemparkan Kebo Sindet yang seakan-akan sedang terbang di atasnya. Tubuh iblis itu melambung tinggi dan melayang ke arah yang sama sekali tidak dikehendaki oleh Kebo Sindet. Dalam usahanya terakhir Kebo Sindet menggeliat di udara, namun ia tidak berhasil menghentikan lontaran kekuatan Mahisa Agni, sehingga tubuhnya melayang langsung kedalam air yang keruh berlumpur. Sejenak kemudian tubuh itu pun terbanting jatuh ke dalam rawa-rawa.

Suara teriakan Kebo Sindet masih terdengar sesaat. Mahisa Agni sejenak melupakan segala macam penderitaan tubuhnya. Ia berusaha untuk bangkit, dan melihat apa yang telah terjadi. Sebuah desir yang tajam menggores jantungnya. Ia melihat Kebo Sindet menggelepar di dalam air. Dan ia melihat Kebo Sindet masih berusaha untuk mencoba menyelamatkan dirinya. Kebo Sindet itu telah mengenal betul watak dan tabiat rawa-rawa itu, sehingga ketika tubuhnya telah berada di dalam air, justru ia menghentikan segala macam gerak yang sama sekali tidak berarti, yang akan mendorongnya semakin cepat terbenam ke dalam lumpur.

Mahisa Agni kini sudah berdiri pada lututnya. Tubuhnya terasa lemah sekali, seakan-akan semua tulang-tulangnya dilolosi. Karena itu maka ia tidak berusaha untuk berdiri tegak di atas kedua kakinya, Ia tidak mau jatuh tergelincir karena tanah yang licin, apalagi tergelincir masuk rawa-rawa menyusul Kebo Sindet. Dengan demikian maka dengan nafas terengah-engah dan sekali-sekali menyeringai menahan sakit, ia melihat Kebo Sindet berada di dalam air.

“Setan iblis.” Kebo Sindet mengumpat di dalam air. Namun ia masih berdiri diam. Dengan mata yang menyalakan dendam tiada taranya dipandanginya Mahisa Agni.

Tetapi sejenak kemudian ia sadar akan dirinya. Ia harus segera keluar dari rawa-rawa itu. Dicobanya untuk menggerakkan kakinya sedikit, bergeser ke tepi. Tetapi ternyata tanah berlumpur di bawah kakinya terlampau gembur, sahingga sedikit demi sedikit, Kebo Sindet itu seolah-olah dihisap kedalam bumi.

Sejenak terbersit kecemasan membayang di wajah yang beku itu. Bayangan yang hampir sepanjang hidupnya tidak pernah mewarnai wajahnya. Namun kini tampaklah, betapa Kebo Sindet telah dicengkam oleh kecemasan yang sangat. Setiap kali ia bergerak, betapapun kecilnya, maka kakinya menjadi semakin dalam terperosok ke dalam lumpur di dasar rawa-rawa itu. Meskipun demikian Kebo Sindet masih berusaha untuk melangkah ketepi. Perlahan-lahan ia beringsut. Namun perlahan-lahan ia terbenam semakin dalam.

“Gila, kau gila Mahisa Agni.” teriaknya. Kecemasan semakin mencengkam jantungnya, “kalau aku berhasil ke luar dari rawa-rawa ini, maka aku cincang kau habis-habisan.”

Mahisa Agni masih terdiam ditempatnya. Ia masih berdiri pada lututnya. Namun kengerian membayang di hatinya. Ia tahu benar, apakah yang tersimpan di dalam air yang keruh itu. Ia dapat membayangkan apakah yang akan terjadi atas Kebo Sindet itu apabila ia tidak segera dapat keluar dari dalam air berlumpur itu. Sejenak Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Dan sekali lagi ia mendengar suara Kebo Sindet,

“He Mahisa Agni. Kalau aku nanti keluar dari rawa-rawa ini, kaulah yang akan aku lemparkan masuk. Kaulah yang akan menjadi makanan buaya-buaya kerdil di sini.”

Mahisa Agni tidak menjawab. Sekali-sekali perasaan sakit seolah-olah menyengat di seluruh tubuhnya. Namun ia yakin bahwa Kebo Sindet pun terluka setidak-tidaknya separah dirinya sendiri. Tetapi karena keadaannya, maka seolah-olah luka itu tidak terasa, Kebo Sindet sedang dicemaskan oleh rawa-rawa yang kini seakan-akan sudah membelenggunya.

Tetapi iblis itu tidak berputus asa. Ia masih juga berusaha. Setiap kali ia menggerakkan tubuhnya, maka mulutnya pasti mengumpat tidak habis-habisnya. Wajahnya kini sama sekali tidak lagi membeku seperti wajah mayat. Namun jelas ketegangan dan kecemasan yang mengerikan, membayang di wajah itu. Ketika kakinya terperosok semakin dalam, Kebo Sindet itu mengumpat-umpat semakin keras. Tetapi ia masih belum menyerah. Ia masih berusaha terus. Perlahan-lahan sekali. Tetapi ternyata kaki-kakinya semakin dalam terhisap masuk ke dalam tanah berlumpur di dasar rawa-rawa. Kesabaran Kebo Sindet pun semakin lama menjadi semakin mencair. Usaha untuk melepaskan diri semakin lama menjadi semakin kabur, sehingga iblis itu memaki-maki semakin keras dan kotor.

Mahisa Agni yang berdiri pada lututnya melihat, betapa wajah Kebo Sindet yang sehari-hari dilihatnya selalu membeku itu menjadi tegang. Kemudian diulas oleh kecemasan hatinya dan akhirnya wajah itu seolah-olah telah membayangkan keputus asaan. Betapa dendam membara di dalam dada Mahisa Agni, ketika dilihatnya akhir yang mengerikan dari hidup Kebo Sindet itu terasa sentuhan halus menyinggung hatinya. Ia memang ingin membinasakan iblis dari Kemundungan itu, tetapi tidak dengan cara itu. Tidak dengan cara yang demikian mengerikan.

Tiba-tiba Mahisa Agni pun melupakan betapa tubuhnya menjadi hampir lumpuh. Perlahan-lahan dan hati-hati ia bangkit. Setapak-setapak ia melangkahkan kakinya meninggalkan pinggiran rawa-rawa itu. Tetapi langkahnya tertegun ketika ia mendengar Kebo Sindet berteriak,

“He, jangan lari pengecut. Sebentar lagi aku akan keluar dari air ini. Tubuhku terasa bertambah segar. Dan kau akan mengalami kematian yang paling mengerikan.”

Mahisa Agni melihat wajah Kebo Sindet semakin menjadi tegang dan berputus-asa. Namun wajah itu masih juga memancarkan dendam dan kebencian tiada taranya. Tiba-tiba dada Mahisa Agni berdesir tajam Ia melihat sesuatu dikejauhan bergerak-gerak di permukaan air. Satu, dua disusul oleh yang lain semakin lama semakin banyak. Buaya-buaya kerdil. Wajah Mahisa Agni tiba-tiba menjadi pucat. Buaya-buaya itu pasti telah mencium bau darah yang meleleh dari tubuh Mahisa Agni. Dan buaya-buaya itu sebentar lagi pasti akan menyeret tubuh Kebo Sindet semakin ketengah dan mengoyak-ngoyaknya.

Mahisa Agni menjadi ngeri sekali membayangkan apa yang akan terjadi Karena itu maka tiba-tiba ia melangkah semakin cepat, secepat dapat dilakukan. Sejenak ia mencari-cari ditempat ia berkelahi melawan Kebo Sindet sebelum Kebo Sindet terlempar ke dalam air. Ia sama sekali tidak memperdulikan Kebo Sindet berteriak-teriak memanggilnya dan memaki-makinya,

“Pengecut licik. Jangan lari. Tunggu, sebentar lagi aku akan mengoyak tubuhmu dan melemparkannya kemulut-mulut buaya kerdil.”

Dan buaya-buaya kerdil itu benar-benar telah mendekat. Mahisa Agni yang menjadi semakin berdebar-debar karenanya, dengan serta-merta berteriak, “Buaya-buaya itu telah datang. Cepat, kalau kau dapat melakukannya, naiklah.”

Kebo Sindet mengerutkan keningnya. Sesuatu hal yang jarang sekali dilakukannya. Wajahnya kini seakan-akan telah mencair, telah tidak membeku lagi. Ketika ia berpaling, dikejauhan dilihatnya permukaan air yang bergerak-gerak. Dada iblis dari Kemundungan itu berdesir tajam. Kini ia berhadapan dengan kenyataan, bahwa buaya-buaya kerdil itu segera akan menyerangnja, tubuhnyalah yang sebentar lagi akan dikoyak-koyakkannya. Sama sekali bukan Mahisa Agni.

Jantung Kebo Sindet serasa melonjak-lonjak di dalam dadanya. Ia sama sekali tidak mau menerima kenyataan itu. Ia ingin mengikat Mahisa Agni dan menggantungkannya dekat di permukaan air. Ia ingin melihat buaya-buaya kerdil itu melonjak-lonjak meraih tubuh yang tergantung itu, sehingga pada suatu saat tubuh itu terkoyak oleh gigi-gigi buaya kerdil yang tajam. Tetapi buaya-buaya itu kini berenang perlahan-lahan ke arahnya, dan ia tidak dapat berbuat apa-apa.

“Setan, iblis.” ia mengumpat-umpat, “Mahisa Agni, seharusnya kau lah yang berada di sini. Ayo, kemarilah. Kau harus menggantikan tempat ini. Kaulah yang akan menjadi makanan buaya kerdil itu. Cepat, datang kemari supaya aku mengampunkan kesalahanmu.”

Mahisa Agni berdiri tegak ditempatnya. Ia melihat buaya-buaya kerdil itu menjadi semakin dekat. Debar di dalam dadanya pun menjadi semakin cepat. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.

“Kau kemari, he anak setan.” teriak Kebo Sindet, “kau kemari. Aku akan memaafkan semua kesalahanmu. Kau akan kuampuni.” Kebo Sindet itu berhenti sejenak, “tetapi kalau tidak, maka kau akan aku cincang sebelum kau mati. Aku dapat membunuhmu dengan segala macam cara yang aku kehendaki.”

Mahisa Agni kini melihat Kebo Sindet itu kehilangan ketenangannya, Ia berusaha untuk meloncat, tetapi kakinya seolah-olah telah digenggam erat-erat oleh lumpur di dasar rawa itu. Meskipun demikian Kebo Sindet masih berusaha. Ia mencoba untuk tidak menginjakkan kakinya lagi. Ia berusaha untuk berenang. Berenang ketepi. Namun kakinya telah benar-benar terbenam semakin dalam. Sedang buaya-buaya itu menjadi semakin dekat.

Bukan saja Kebo Sindet yang menjadi cemas, tetapi Mahisa Agni pun menjadi semakin cemas juga. Tanpa disengajanya anak muda itu berpaling kepada Kuda Sempana. Ternyata wajah Kuda Sempana pun menjadi kian pucat. Ia tidak menghiraukan lagi titik-titik air hujan yang menyiram wajah itu. Tiba-tiba Mahisa Agni melihat sesuatu tergolek di tanah. Golok Kebo Sindet. Golok yang terlepas dari tangan iblis itu pada saat benturan kekuatan diantara mereka terjadi.

Dengan serta merta, seolah-olah di luar sadarnya Mahisa Agni melangkah mendekati. Diambilnya golok itu, dan sejenak ia berdiri dalam kebimbingan. Namun kemudian ia memutar tubuhnya menghadap kepada Kebo Sindet yang kini sudah kehilangan ketenangannya menggelepar di dalam air yang seakan-akan semakin menghisapnya. Dengan lantang Mahisa Agni itu berkata, “Kebo Sindet, ini senjatamu. Mungkin kau memerlukannya untuk melawan binatang-binatang air yang buas itu.”

Mahisa Agni tidak menunggu jawaban Kebo Sindet. Beberapa langkah ia maju. Kemudian dilontarkannya hulu golok itu kearah Kebo Sindet yang sedang dilanda oleh gejolak perasaan yang dahsyat. Ia sama sekali tidak menghendaki hal itu terjadi atasnya, sehingga kenyataan itu terasa terlampau pahit untuk diterimanya. Mahisa Agni masih berdiri dengan dada yang berdebar-debar. Tetapi menyimpan dendam di dalam hatinya, tetapi ia tidak dapat melihat kenyataan itu terjadi atas Kebo Sindet. Kenyataan yang bertentangan keinginan iblis itu sendiri.

Kebo Sindet ternyata cukup cekatan untuk menerima goloknya. Tepat pada saat itu, buaya-buaya kerdil itu telah menjadi semakin dekat. Darah Mahisa Agni serasa berhenti mengalir ketika ia melihat seekor yang berada di paling depan mengangakan mulutnya yang lebar dengan gerigi yang tajam berderet panjang. Mahisa Agni masih sempat melihat Kebo Sindet mengayunkan goloknya dan buaya yang terdepan itu melengking tinggi. Tubuhnya menggeliat dan darah memancar kemerah-merahan. Buaya yang malang itu pun kemudian terbenam di dalam air. Tetapi buaya-buaya itu tidak hanya seekor. Dibelakangnya segera menyusul seekor, seekor dan seekor lagi. Berturut-turut.

Mahisa Agni tidak ingin melihat apa yang terjadi seterusnya. Segera ia memalingkan wajahnya. Tetapi ia terperanjat ketika ia melihat Kuda Sempana berlari-lari menggenggam pangkal pedangnya yang sudah terputus. “Apa yang akan dilakukannya?” desis Mahisa Agni di dalam hatinya.

Sesaat kemudian Mahisa Agni baru mengetahui apa yang akan diperbuatnya. Kuda Sempana itu ternyata telah memotong dua tiga helai sulur beringin. Seperti pada saat ia pergi kebatang itu, maka ia pun kemudian berlari-lari pula kembali. Mahisa Agni tahu maksud Kuda Sempana. Secercah kebanggaan membersit di hatinya. Ternyata di dalam diri Kuda Sempana itu masih tersisa rasa kemanusiaannya.

“Marilah, kita usahakan agar orang itu dapat terlepas dari mulut buaya-buaya kerdil itu.” katanya dengan nafas terengah-engah.

Dalam keadaan demikian kedua anak-anak muda itu dapat melupakan apa yang telah terjadi atas diri mereka. Mereka ternyata bersungguh-sungguh ingin melepaskan Kebo Sindet dari mulut binatang-binatang air yang rakus itu. Biarlah ia mati, tetapi dengan cara yang lebih baik. Maka dengan tergesa-gesa Kuda Sempana dan Mahisa Agni telah menyambung sulur-sulur itu, dan kemudian terdengar suara Mahisa Agni mengatasi desir air hujan yang masih saja turun,

“Kebo Sindet, tangkaplah ujung sulur itu. Kami akan berusaha menarikmu keluar.”

Perlahan-lahan dengan hati-hati sekali keduanya mendekati bibir rawa-rawa. Kemudian dilontarkannya ujung sulur itu kepada Kebo Sindet yang sedang berjuang melawan binatang-binatang air yang buas itu. Dengan serta-merta maka tangan kiri Kebo Sindet menyambar ujung sulur yang dilontarkan kepadanya. Namun ia masih juga berteriak,

“Mahisa Agni. Kau terlampau sombong. Tetapi kau akan menyesal apabila aku telah keluar dari lumpur ini.”

Mahisa Agni dan Kuda Sempana sama sekali tidak memperdulikannya. Buaya-buaya semakin banyak berkerumun di sekitar Kebo Sindet. Namun sebagian dari buaya-buaya itu tiba-tiba melengking dan tenggelam ke dalam air. Sambil menarik Kebo Sindet, Mahisa Agni masih juga sempat merasa heran. Dalam keadaan serupa itu Kebo Sindet masih mampu bertahan terhadap sekian banyak buaya-buaya kerdil meskipun ia mempergunakan goloknya. Tetapi ia tidak sempat berpikir terlampau lama. Ia harus segera menarik orang itu keluar air.

Perlahan-lahan Kebo Sindet merasa dirinya terangkat menepi. Semakin lama semakin menepi. Tetapi buaya-buaya kerdil itu mengejarnya terus sehingga ia masih juga harus berjuang dengan goloknya melawan buaya-buaya yang menyergapnya. Kebo Sindet menggeliat ketika tubuhnya kemudian terangkat ke atas tanah berlumpur. Ia masih melihat beberapa ekor buaya mengejarnya naik ke darat. Sambil berpegangan pada sulur beringin yang ditarik oleh Mahisa Agni dan Kuda Sempana dengan tangan kirinya ia masih harus mengayun-ayunkan goloknya dengan tangan kanannya, menebas mulut-mulut buaya yang menganga. Dan ia masih juga sempat melihat beberapa ekor buaya yang mengejarnya itu melengking, kemudian menggelepar mati. Berturut-turut, tidak hanya satu dua. Tetapi hampir semua buaya yang mengejarnya ke darat, tidak pernah dapat menyentuhnya.

Tetapi ketika Kebo Sindet itu telah berada di atas permukaan air, barulah dapat dilihat oleh Kuda Sempana dan Mahisa Agni, bahwa sebagian tubuhnya telah terkoyak oleh mulut-mulut buaya kerdil itu. Luka-luka di tubuhnya menjadi arang kranjang dan darah meleleh hampir dari seluruh wajah kulitnya. Sejenak kemudian Kebo Sindet telah berada beberapa langkah dari rawa-rawa itu. Buaya-buaya kerdil telah tidak mengejarnya lagi.

Tiba-tiba saja orang itu melepaskan pegangannya. Dengan tangkasnya ia meloncat berdiri. Dipandanginya Mahisa Agni dan Kuda Sempana dengan mata yang paling liar dan dengan wajah yang merah membara, semerah darah yang meleleh dari luka-luka di seluruh tubuhnya. Tiba-tiba Kebo Sindet itu tertawa. Mengerikan sekali, seperti suara hantu dari dalam kubur yang mendapat mayat baru bagi santapannya. Disela-sela suara tertawanya ia berkata,

“Nah. Mahisa Agni yang sombong. Kini kau akan sampai pada suatu batas kematian dengan cara yang paling mengerikan yang pernah terjadi atas diri seseorang. Jangan menyesal. Kau tidak akan dapat melawan aku. Aku kini bersenjata, dan kau sama sekali tidak.”

Terasa dada kedua anak-anak muda itu berdesir. Mereka tidak menyangka bahwa Kebo Sindet masih mampu berdiri tegak dengan garangnya. Suara tertawa Kebo Sindet masih menggetarkan udara. Semakin lama semakin keras, semakin keras. Akhirnya suara tertawa yang mengerikan itu sampai kepuncaknya. Terdengar suara itu meninggi. Tetapi Mahisa Agni dan Kuda Sempana terkejut, ketika tiba-tiba suara tertawa itu terputus. Mereka melihat Kebo Sindet terhuyung-huyung dan sesaat lagi mereka melihat orang itu berteriak. Matanya yang liar menjadi semakin liar.

Namun tiba-tiba orang itu jatuh di atas lututnya. Dengan susah payah ia bertahan, namun tampak pada wajahnya bahwa Kebo Sindet sedang menahan rasa sakit yang amat sangat. Meskipun demikian ia masih juga berteriak, “Mahisa Agni, berlututlah. Berlututlah sebelum kau mati. Kau juga Kuda Sempana. Kau ternyata telah berkhianat. Kau pun akan mengalami nasib serupa dengan Mahisa Agni. Kau…”

Kebo Sindet tidak dapat menyelesaikan kalimatnya, Dadanya telah digoncangkan oleh perasaan sakit yang tidak tertahankan. Ia menahan dirinya sambil bertelekan pada goloknya. Tetapi tiba-tiba ditengadahkannya dadanya. Dan seolah-olah mendapat kekuatannya kembali ia mengangkat goloknya dan menunjuk Mahisa Agni dengan ujung golok itu.

“Kemari. Kemari.” ia berteriak, “aku bunuh kalian, Aku bunuh…” suaranya terputus. Sejenak Kebo Sindet menengadahkan wajahnya, seolah-olah ingin melihat apakah mendung masih tebal tergantung di langit. Namun sejenak kemudian perlahan-perlahan tubuh itu seakan-akan bergoyang. Dan sejenak berikutnya Kebo Sindet itu roboh di atas tanah berlumpur yang basah.

Hujan masih jatuh dari Iangit. Meskipun sudah tidak terlampau lebat. Seleret cahaya dari Utara memancar berkeredipan diantara titik-titik air hujan yang menjadi semakin mereda. Sesilir angin bertiup dari Selatan, menggerakkan ujung dedaunan yang sedang mengangguk-angguk ditimpa oleh titik-titik hujan satu-satu. Langit semakin lama menjadi semakin cerah, dan hujan pun menjadi semakin tipis. Perlahan-lahan Mahisa Agni dan Kuda Sempana melangkah mendekati tubuh Kebo Sindet yang diam membeku. Goloknya masih erat di dalam genggamannya. Tetapi ternyata orang itu sudah tidak bernafas lagi.

“Kebo Sindet telah mati.” desih Mahisa Agni.

“Ya.” sahut Kuda Sempana pendek.

Mereka kemudian menyentuh tubuh yang membeku itu. Menelentangkannya dan dengan wajah tegang memandangi wajah yang hampir tidak pernah bergetar oleh tanggapan yang bagaimanapun juga. Kali ini wajah itu pun membeku pula. Bahkan masih tampak betapa ketegangan mencengkam jantungnya. Tetapi dari sepasang matanya sama sekali sudah tidak memancar apa pun lagi. Sorot yang menyala di mata itu telah pudar, bahkan telah padam sama sekali.

Sejenak Mahisa Agni dan Kuda Sempana masih berdiri di sisi mayat itu. Perlahan-lahan tubuh Mahisa Agni kini mulai merasa, betapa nyeri dan pedih menyengat segenap bagian tubuhnya. Tulang-tulangnya serasa berpatahan dan kulitnya menjadi lenyu, akibat perkelahiannya melawan Kebo Sindet agaknya memang terlampau payah bagi dirinya. Luka-lukanya kini terasa betapa sakit dan pedih. Ketika tanpa disengajanya ia berpaling, maka dadanya berdesir. Dilihatnya bangkai buaya-buaya kerdil berserakan di pinggir rawa-rawa itu.

“Aneh.” Mahisa Agni berdesis, “Apakah Kebo Sindet dalam keadaannya itu mampu membunuh sekian banyak binatang air yang cukup lincah menghadapinya itu?” Tetapi Mahisa Agni melihat kenyataan itu. Bangkai-bangkai binatang air itu berserakan di pinggir rawa-rawa.

Bahkan Mahisa Agni masih melihat permukaan air di pinggiran rawa-rawa itu bergolak seakan-akan mendidih. Ternyata buaya-buaya kerdil itu sedang berebut bangkai kawan-kawan mereka sendiri. Bau darah telah membuat mereka menjadi semakin buas dan garang. Ternyata bukan saja Mahisa Agni yang menjadi heran melihat sekian banyak bangkai berceceran. Bangkai buaya-buaya yang mencoba mengejar Kebo Sindet yang tertarik ketepian.

Perlahan-lahan terdengar Mahisa Agni berdesis, “Bukan main. Kebo Sindet benar-benar seorang yang luar biasa. Dalam keadaannya ia masih mampu melakukan perlawanan yang luar biasa atas buaya-buaya yang buas itu.”

Kuda Sempana mengangguk perlahan-lahan. Ia tidak dapat membayangkan kekuatan apakah yang dapat membuatnya begitu tangkas dan garang. Bahkan Mahisa Agni berkata di dalam hatinya, “Seandainya aku yang mengalami nasib itu, apakah aku dapat berbuat seperti itu?”

Dengan wajah yang disaput oleh keheranan mereka kedua anak-anak muda itu sejenak berdiri saja membeku berdiri saja membeku di samping mayat Kebo Sindet. Sejenak mereka merenung apa yang baru saja terjadi atas diri mereka. Terasa bulu-bulu diseluruh tubuh Mahisa Agni meremang. Bagaimanakah kiranya seandainya ia harus mengulangi peristiwa yang baru saja terjadi?

“Mengerikan sekali.” tiba-tiba Mahisa Agni itu berdesis.

Kuda Sempana berpaling mendengar desis itu. Bahkan ia bertanya, “Apakah yang mengerikan?”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menjawab, “Buaya-buaya itu.”

Kuda Sempana percaya saja akan jawaban Mahisa Agni. Ia tidak tahu, apakah yang sebenarnya bergolak di dalam dada anak muda yang masih tampak lemah dan pucat itu.

“Bagaimanakah dengan mayat itu?” terdengar Mahisa Agni kemudian bertanya.

“Terserahlah kepadamu.” jawab Kuda Sempana.

“Marilah kita jauhkan dari rawa-rawa ini, supaya buaya-buaya kerdil itu tidak mencium bau darahnya dan nanti malam menyeretnya ke dalam sarang mereka.”

Kuda Sempana ragu-ragu sejenak. Kemudian terdengar ia bertanya, “apakah kau tidak ingin beristirahat dahulu?”

Mahisa Agni menarik nafas sekali lagi. Perlahan-lahan ia menggeleng, “Biarlah aku menitikkan keringat sampai tuntas. Nanti aku akan beristirahat dengan tenang.”

“Baiklah.” jawab Kuda Sempana.

Tetapi ketika keduanya mulai berlutut disamping mayat Kebo Sindet untuk mengakatnya, mereka terkejut oleh desir dedaunan di dalam gerumbul tidak jauh dari mereka. Mereka melihat daun-daun yang bergerak. Tetapi mereka menyadari, bahwa bukan angin dan bukan titik-titik air hujan yang telah mengguncangnya. Perlahan-lahan Mahisa Agni berdiri. Di sebelahnya Kuda Sempana pun telah berdiri tegak sambil menengadahkan dadanya. la mendengar gemerisik pula dan melihat dedaunan yang bergoyang di gerumbul dihadapan mereka.

Mahisa Agni yang masih lemah itu mencoba menenangkan pernafasannya. Dicobanya untuk mengusai segenap sisa-sisa kekuatan yang ada padanya, supaya apabila diperlukan, ia masih juga mampu mengadakan perlawanan untuk membela dirinya. Daun yang bergoyang-goyang itu semakin keras berguncang. Namun sejenak kemudian Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dilihatnya dari dalam gerumbul itu seseorang merangkak keluar. Dan ternyata orang itu adalah orang yang telah dikenal dengan sebaik-baiknya. Empu Purwa.

“Guru.” dengan serta merta Mahisa Agni berdesis.

Empu Purwa itu kemudian menggeliat sambil bertelekan lambung, desahnya, “penat sekali aku bersembunyi di dalam gerumbul itu. Hampir aku tidak tahan. Air hujan yang melimpah dari langit membuat aku hampir-hampir tidak dapat bernafas. Apalagi setelah aku melihat beberapa buah gerumbul yang lain telah tersapu rata oleh perkelahian yang baru saja terjadi.” orang tua itu berhenti sejenak, lalu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Bagaimana dengan kau Agni?”

Mahisa Agni pun menarik nafas dalam-dalam pula. Kemudian jawabnya, “Aku selamat guru. Dan inilah Kebo Sindet.”

Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Selangkah ia maju mendekat sambil bergumam, “Bersyukurlah kepada Yang Maha Agung. Aku melihat seluruhnya. Sejak kau mulai sampai kau berhasil melemparkan Kebo Sindet ke dalam rawa-rawa.”

Mahisa Agni mengangguk lemah, “Ya guru.”

“Semula aku menjadi cemas melihat keadaanmu. Kau terlampau bernafsu, sehingga kau kurang cermat mempersiapkan dirimu di dalam perlawananmu atas Kebo Sindet itu. Hampir-hampir kau menjadi korban ketergesa-gesaanmu itu.” Empu Purwa berhenti sejenak, lalu, “Tetapi sekali lagi kau harus mengucap sukur. Kau mendapatkan pertolongan dalam keadaan yang sulit itu. Ternyata Angger Kuda Sempana telah menolongmu.”

“Ya guru.” jawab Mahisa Agni perlahan-lahan.

“Kau harus berterima kasih kepadanya.”

“Ya guru. Aku berterima kasih kepada Kuda Sempana.”

“Akulah yang harus berterima kasih kepada Mahisa Agni. Ia telah membebaskan aku dari kemungkinan yang paling pahit dari akhir hidupku. Dibunuh oleh Kebo Sindet dengan caranya.” Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Kemudian katanya semakin lambat, “Kini terserah kepada Mahisa Agni. Tetapi aku mengharap, bahwa seandainya ia ingin juga membunuh aku, mudah-mudahan ia mempergunakan cara yang lebih baik dari cara yang akan dipilih oleh Kebo Sindet.”

“Ah.” Empu Purwa berdesah, “apakah Mahisa Agni juga akan membunuhmu?”

“Seandainya demikian, itu pun wajar sekali.” sahut Kuda Sempana.

Empu Purwa mengerutkan keningnya. Didampinginya Mahisa Agni yang berdiri tegak ditempatnya, meskipun tubuhnya masih tampak lemah, Namun orang tua itu telah mendapat keyakinan, menilik sikap dan wajah muridnya, bahwa Mahisa Agni sudah pasti tidak akan melakukannya. Meskipun demikian Empu Purwa itu bertanya kepada muridnya, “Apakah kau akan berbuat demikian?”

Mahisa Agni menggeleng lemah. Jawabnya, “Tidak guru. Aku tidak mempunyai kepentingan apa pun untuk membunuhnya sekarang. Kebo Sindet sudah mati. Mudah-mudahan kejahatannya mati pula bersamanya.”

Dada Kuda Sempana berdesir. Ia tahu benar maksud kata-kata Mahisa Agni tentang Kebo Sindet. Ia tahu benar, bahwa Mahisa Agni mengharap, agar ia masih belum dicengkam dalam pengaruh orang yang telah mengurungnya beberapa lama itu. Karena itu maka katanya, “Aku mengharap seperti harapanmu itu pula Agni. Mudah-mudahan kejahatan Kebo Sindet mati bersama matinya. Aku mengharap bahwa selama aku di sini, kejahatan dan wataknya itu tidak terlampau banyak mempengaruhi otakku. Aku sendiri bukanlah orang baik-baik, tetapi mudah-mudahan kejahatan yang ada di dalam diriku tidak bertambah-tambah karenanya.”

Empu Purwa menggelengkan kepalanya. Katanya, “Ada dua kemungkinan Ngger. Kau memang dapat menjadi semakin tersesat seperti Kebo Sindet, seandainya kau menemukan kepuasan di sarang ini, atau kau merasa mendapat daerah pelarian yang dapat melupakan segala bentuk kekecewaanmu. Tetapi aku kira kau tidak menemukannya di dalam dunia Kebo Sindet. Kau agaknya bertambah kecewa dan kehilangan gairah untuk menentukan hari depanmu. Bahkan mungkin kau telah sampai pada suatu garis perbatasan dari daerah keputus asan. Setapak kau maju lagi maka hidupmu tidak terasa kau miliki lagi.”

“Bukan setapak lagi Kiai.” sahut Kuda Sempana, ”aku telah sampai ke daerah itu. Aku sudah menjadi putus asa dan kehilangan hidupku sendiri. Aku sama sekali menjadi acuh tidak acuh tentang diriku, tentang keadaan di sekitarku dan tentang apa saja. Karena itu aku pun tidak akan mengacuhkan lagi sendainya Mahisa Agni akan membunuhku.”

Empu Purwa tersenyum. Katanya, “Pengakuanmu itu mempunyai arti penting di dalam langkah-langkahmu kemudian. Pengakuanmu telah membawa kau selangkah surut dari daerah yang tidak kau kenal itu. Dari sikap acuh tidak acuh tentang hari depanmu sendiri. Mudah-mudahan kau berhasil menemukan dirimu kembali.”

Kuda Sempana menundukkan kepalanya. Sekilas terbang di dalam angan-angannya masa-masa yang telah pernah dilampauinya. Sebersit penyesalan melonjak di dalam dadanya. Tetapi segera ia sadar, bahwa ia telah berdiri di atas keadaannya kini. Dan kata-kata Empu Purwa itu agaknya dapat menyentuh hatinya. Menemukan dirinya kembali dalam keseimbangan yang wajar.

Hujan yang tercurah dari langit telah berangsur teduh. Titik-titik kecil yang masih berjatuhan satu-satu melontarkan kilatan sinar yang memancar dari langit. Sejenak mereka yang berdiri di atas tanah berlumpur itu saling berdiam diri. Empu Purwa merenungi mayat Kebo Sindet dengan mata yang hampir tidak berkedip.

Namun sejenak kemudian ia berkata, “Memang seharusnya ia mati. Tidak ada usaha yang dapat menyelamatkannya.”

Mahisa Agni mengangkat wajahnya, lalu katanya, “Aku sudah berusaha guru. Seandainya ia harus mati, biarlah ia mati dengan cara yang lebih baik.”

Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku melihat bahwa kalian telah berusaha. Aku melihat, betapa Angger Kuda Sempana berlari-lari memotong sulur-sulur batang beringin. Tetapi kalian tidak berhasil. Golok yang kau lemparkan itu pun hanya dapat menyelamatkannya dari beberapa ekor buaya yang kelaparan. Sedang jumlah buaya di dalam rawa-rawa itu cukup banyak, apalagi di sekitar tempat ini.”

Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Tanpa sesadarnya dipandanginya mayat Kebo Sindet yang arang kranjang. “Tetapi orang itu terlampau dahsyat.” desisnya, “dalam keadaannya, ia masih mampu membunuh sekian banyak buaya-buaya kerdil.”

Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berpaling kearah bangkai buaya yang berserakan di pinggir rawa-rawa, bahkan dilayangkannya pandangan matanya beredar di wajah air yang keruh itu.

“Aku tidak dapat membayangkan, apakah yang terjadi seandainya akulah yang terperosok masuk ke dalamnya.” gumam Mahisa Agni seolah-olah kepada diri sendiri.

Empu Purwa tersenyum. Tetapi ia tidak menyahut. Namun tiba-tiba ia memutar tubuhnya sambil berkata, “Marilah kita lihat. Hati-hati, jangan sampai tergelincir.”

Sejenak Mahisa Agni terdiam. Ia menjadi heran. Mengapa gurunya mempunyai perhatian yang demikian besar terhadap buaya-buaya kerdil yang telah menjadi bangkai itu. Namun sejenak kemudian dilangkahkannya kakinya, mengikuti langkah gurunya. Dan dibelakang mereka Kuda Sempana berjalan pula mengikuti mereka. Ketika mereka telah sampai diantara mayat-mayat buaya-buaya kerdil itu, mereka pun segera berhenti. Seleret dipandanginya warna air yang masih memerah. Mereka masih melihat sesuatu yang bergerak-gerak di antara warna air yang merah itu. Buaya-buaya kerdil.

Namun sekali lagi terdengar Mahisa Agni berdesis, “Bukan main. Kebo Sindet berhasil membunuh sekian banyak buaya-buaya ini dalam keadaannya. Sebelah tangannya berpegangan pada sulur kayu yang kami tarik. Sambil berbaring ia harus melawan buaya-buaya ini.”

Gurunya tidak menyahut. Tetapi dipandanginya saja bangkai-bangkai buaya itu, sehingga Mahisa Agni dan Kuda Sempana pun kemudian ikut pula memandangi bangkai-bangkai itu seperti sedang menghitungnya. Di antara buaya-buaya itu terdapat luka-luka yang panjang. Ternyata ayunan golok Kebo Sindet benar-benar dahsyat dan mengerikan. Sekali ayun, buaya yang disentuhnya tidak akan dapat hidup lagi.

Tetapi ia mengerutkan keningnya ketika ia melihat pada beberapa ekor diantara mereka tidak ditemukan bekas sobekan golok pada tubuh bangkai itu. Bahkan buaya-buaya itu hampir tidak terluka sama sekali. Hal itu agaknya telah sangat menarik perhatian Mahisa Agni sehingga selangkah ia maju. Diamatinya beberapa ekor bangkai buaya di antara mereka. Yang ada pada bangkai-bangkai itu hanyalah luka yang tidak terlampau besar. Pada umumnya sebuah lubang dikepalanya.

Bukan saja Mahisa Agni yang sangat tertarik atas luka yang aneh itu, tetapi Kuda Sempana pun agaknya menaruh perhatiannya pula. Seperti Mahisa Agni, maka ia pun mengamat-amati luka yang baginya agak terlampau aneh.

“Apakah Kebo Sindet telah melubangi kepala buaya-buaya kerdil ini dengan tusukan goloknya?” pertanyaan itu membersit di dalam hati Mahisa Agni dan Kuda Sempana.

Tetapi sebagai seeorang yang mengenal bermacam-macam jenis senjata, mereka menjadi ragu-ragu. Luka-luka tusukan golok itu tidak akan meninggalkan bekas yang demikian.

“Kau heran melihat lubang-lubang itu?” bertanya Empu Purwa sambil tersenyum.

Mahisa Agni mengangguk kecil. Jawabnya, “Ya guru. Luka-luka ini tidak dapat kami mengerti. Senjata Kebo Sindet adalah sebuah golok. Dan golok tidak akan dapat menimbulkan luka-luka yang demikian.”

Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Jangan kau hiraukan luka-luka itu. Buang sajalah bangkai-bangkai itu ke dalam rawa-rawa. Lalu kalian masih mempunyai pekerjaan lagi, menguburkan mayat Kebo Sindet. Sesudah itu, sebaiknya kalian meninggalkan tempat ini. Kalian masih mempunyai hari depan yang cukup panjang untuk mulai dengan kehidupan yang baru.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi agaknya ia masih belum puas sebelum dapat menemukan sebab dari luka yang berbentuk lubang itu. Maka katanya, “Baiklah guru. Bangkai ini akan aku buang ke dalam rawa-rawa Tetapi lubang-lubang ini selalu menimbulkan pertanyaan bagiku. Apakah yang sudah dilakukan oleh Kebo Sindet sehingga ia berhasil melakukan keanehan ini. Dalam keadaannya yang parah dengan sebelah tangan yang menggengam golok dan yang lain berpegangan pada sulur itu, namun ia masih mampu membunuh sekian banyak buaya-buaya kerdil ini dengan luka-luka yang terlampau aneh bagi kami.”

Sekali lagi Empu Purwa tersenyum. Katanya, “Apakah kau ingin tahu benar, apakah sebabnya maka luka-luka itu berbentuk lubang? Dan apakah sebabnya Kebo Sindet berhasil membunuh sekian banyak buaya kerdil ini?”

Hampir bersamaan Mahisa Agni dan Kuda Sempana menganggukkan kepalanya, “Ya Kiai.”

Empu Purwa mengangguk-angguk perlahan. Kemudian diedarkannya pandangan matanya, mencari sesuatu di atas tanah-tanah berlumpur itu. Tiba-tiba orang tua itu membungkukkan badannya memungut sebutir batu kecil sebesar telur merpati. “Lihatlah.” katanya sambil melepaskan batu itu jatuh di atas tanah yang gembur, “lihatlah bekasnya. Sebuah lubang.”

Dada kedua anak-anak muda itu berdesir. Mereka melihat sebuah lubang pada tanah yang gembur, mirip seperti lubang-lubang yang ada di kepala beberapa ekor buaya-buaya kerdil itu.

“Tetapi.” tiba-tiba Mahisa Agni berdesis, “bagaimana mungkin Kebo Sindet mampu melakukannya.”

Empu Purwa mengerutkan keningnya. Tetapi ia kemudian melangkahkan kakinya sambil berkata, “Sudahlah, jangan hiraukan. Kalian masih mempunyai banyak pekerjaan.”

Mahisa Agni dan Kuda Sempana menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka memandangi bangkai-bangkai yang berserakan itu. Namun kemudian mereka menyadari, bahwa pekerjaan mereka memang masih banyak. Melemparkan bangkai-bangkai itu ke dalam rawa-rawa dan kemudian menguburkan Kebo Sindet.

Tetapi ketika mereka akan segera mulai, terdengar Empu Purwa berkata, “Sebaiknya kalian menunggu tanah menjadi agak kering, supaya tidak terlampau licin. Kalau kau tergelincir maka kau lah yang akan masuk ke dalam rawa-rawa itu. Terutama Mahisa Agni, beristirahatlah dahulu. Mungkin kau masih mempunyai sisa makanan.”

Mahisa Agni mengangguk kecil sambil menjawab, “Ya guru. Aku memang merasa terlampau letih.”

“Itu adalah wajar sekali.” jawab gurunya sambil berjalan meninggalkan tempat itu.

Mahisa Agni dan Kuda Sempana pun kemudian melangkah pula dengan hati-hati meninggalkan tempat itu untuk sejenak beristirahat. Tubuh Mahisa Agni masih terasa lemah sekali. Tulang-tulangnya masih terasa nyeri dan otot-ototnya pun masih terlampau tegang. Namun dalam pada itu, ia mendapat kesempatan untuk memikirkan lubang-lubang di kepala buaya-buaya kerdil itu. Sehingga akhirnya ia berdesis, “Ternyata guru pun sudah berusaha, membantu melepaskan Kebo Sindet dari mulut-mulut buaya itu.”

“He.” Kuda Sempana bertanya.

“Gurulah yang melakukannya.” jawab Mahisa Agni, “dilemparinya buaya-buaya itu dengan batu dari tempat persembunyiannya, supaya tubuh Kebo Sindet tidak diseret masuk ke dalam rawa-rawa itu.”

Kuda Sempana mengerutkan keningnya, Tetapi kemudian diangguk-anggukkannya kepalanya. “Itu adalah mungkin sekali. Ternyata Empu Purwa telah berbuat banyak.” Kuda Sempana berhenti sejenak, lalu, “Kini aku tahu, apakah kira-kira yang terjadi di sini. Agaknya selama ini kau tetap berada di dalam asuhan gurumu, yang dahulu aku sangka tidak lebih dari seorang tua yang tidak banyak berarti di Panawijen. Kau mendapat kesempatan itu, sehingga kau mampu mengalahkan Kebo Sindet.”

Tetapi Kuda Sempana dan bahkan Mahisa Agni terperanjat ketika mereka mendengar jawaban dari belakang mereka, “Bukan saja aku yang telah berbuat banyak, Kuda Sempana. Tetapi apakah kau sudah mengenal orang ini?”

Dengan serta merta keduanya berpaling. Mereka terperanjat, terlebih-lebih lagi adalah Kuda Sempana ketika dilihatnya seseorang berdiri di samping Empu Purwa itu sambil tersenyum kepadanya. Sejenak Kuda Sempana seakan-akan membeku di tempatnya. Sama sekali tidak diduganya, bahwa ia akan dapat bertemu di tempat itu. Peristiwa yang tiba-tiba itu ternyata telah membuat goncangan di dalam dadanya.

Orang itu masih berdiri di samping Empu Purwa sambil tersenyum. Ditatapnya saja wajah Kuda Sempana yang menjadi pucat, namun kemudian menjadi kemerah-merahan penuh kebimbangan dan kecemasan. Wajah orang itu dikenalnya dengan baik, tetapi ciri kekhususannya tidak dilihatnya waktu itu.

“Apakah kau ragu-ragu Kuda Sempana?” bertanya orang itu, “Mungkin kau merasa aneh bahwa aku tidak membawa tongkat panjangku, tetapi kini aku membawa pedang.”

Dada Kuda Sempana tergetar. Tetapi ia tidak segera menjawab.

“Tongkat itu telah aku serahkan kepada muridku yang aku anggap paling jauh dari padaku saat itu. Muridku yang sama sekali tidak menarik perhatianku karena sifat-sifatnya yang tidak sejalan dengan perguruanku. Tetapi ternyata murid itu adalah murid yang paling dekat dengan jalan yang benar. Jalan yang kita jauhi bersama-sama sehingga tampak oleh kita anak itu adalah anak yang paling bengal diantara kita.”

Kuda Sempana masih berdiri kaku ditempatnya. Tetapi debar di dadanya menjadi semakin bergelora.

“Tetapi kau tidak usah ragu-ragu Kuda Sempana, bahwa aku adalah gurumu.”

Terasa sesuatu mendesak di dalam hatinya. Sekian lama ia terlempar ke dalam neraka yang paling pedih. Sekian lama ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu atas kehendaknya sendiri. Dan ia menekan perasaan itu dalam-dalam dilubuk hati. Kini tiba-tiba ia bertemu dengan gurunya. Gurunya yang dahulu selalu berusaha untuk memenuhi keinginannya, meskipun ia harus memberikan imbalan kepadanya. Gurunya yang telah pernah disangkanya mati, setelah beberapa kali bertemu dengan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Pertemuan-pertemuannya dengan gurunya, selama ia berada di bawah pengaruh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, telah membuatnya kehilangan jalur-jalur ikatan batin.

Tiba-tiba kini orang itu berdiri dihadannya. Kuda Sempana akhirnya tidak dapat lagi menahan gelora hatinya yang sudah sekian lama membeku, Tiba-tiba ia meloncat dan berlutut di depan Empu Sada. Banyak sekali yang akan ditumpahkannya untuk mengurangi kepepatan hati. Banyak sekali yang akan dikatakannya untuk melapangkan perasaannya. Tetapi kerongkongannya serasa tersumbat, sehingga sama sekali tidak sepatah kata pun yang diucapkannya.

“Aku tahu sebagian besar dari perasaanmu, karena aku melihat sikapmu pada saat-saat terakhir. Kau agaknya telah menyesali semuanya yang terjadi atasmu. Bukan sekedar kesulitan jasmaniah yang kau alami tetapi kau menyesali pula sebab-sebab dari peristiwa yang telah menyeretmu di tempat ini.”

Empu Sada berhenti sejenak, lalu, “dan penyesalanmu itu adalah jalan yang sudah terbuka bagimu untuk menemukan kembali hari depan yang wajar. Kalau kau menyesali semua perbuatanmu dengan jujur, maka dalam umurmu yang masih muda itu, kau pasti masih akan menemukan kesempatan.”

Kuda Sempana tidak dapat berkata apa pun selain menundukkan kepalanya. Kini penyesalan yang tajam telah memuncak di dalam hatinya. Tetapi semuanya telah terjadi. Noda yang hitam telah melekat pada perjalanan hidupnya. Tetapi ia mendengar gurunya berkata,

“Hari depanmu masih panjang.”

Kuda Sempana masih juga berdiam diri. Ia tidak dapat berbuat apa-apa selain menundukkan kepala. Terasa tangan gurunya meraba pundaknya dan menarik berdiri. Seperti anak-anak yang sedang berlati berjalan, ia dibimbing oleh gurunya dan dibawanya duduk bersama-sama di samping sebongkah batu besar. Empu Purwa dan Mahisa Agni pun ikut pula bersama mereka, duduk di atas batu-batu kecil yang basah. Tetapi tubuh dan pakaian mereka pun ternyata masih basah kuyup oleh hujan. Bahkan warna darah masih melekat pada pakaian Mahisa Agni.

Ketika gurunya melihat setitik-titik darah masih meleleh dari luka-luka anak muda itu, maka segera diberikannya obat yang untuk sementara dapat memempatkan darah, sehingga luka-luka itu menjadi tertutup karenanya. Sambil berbicara tentang Kuda Sempana dan hari-hari yang akan datang, maka mereka pun beristirahat sebelum mereka mengerjakan pekerjaan yang telah menunggu mereka. Melemparkannya bangkai-bangkai buaya ke dalam rawa-rawa dan menguburkan Kebo Sindet.

Pada saat itu. Ken Arok pun duduk dengan lemahnya di atas sebuah brunjung bambu yang masih belum dilemparkan ke dalam sungai. Disamping-sampingnya duduk Akuwu Tunggul Ametung, Ki Buyut Panawijen, Kebo Ijo dan beberapa orang lain. Mereka melihat, betapa Ken Arok menahankan lelah dan kecemasan. Nafasnya menjadi terengah-engah dan tubuhnya terasa gemetar. Tetapi bibirnya membayangkan sebuah senyum kelegaan.

“Mudah-mudahan bendungan itu selamat.” desisnya.

Akuwu Tunggul Ametung pun ternyata sedang kelelahan pula setelah dengan sekuat tenaganya, ia menarik Ken Arok dari dalam air yang melandanya. “Aku kira bendungan itu akan selamat.” berkata Akuwu itu pula.

Ken Arok tidak menyahut. Ia melihat orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel masih berdiri memagari ujung bendungan. Tetapi bahwa hujan telah menjadi reda adalah suatu harapan bagi orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel bahwa bendungan mereka akan terselamatkan.

“Air tidak naik lagi.” desis seseorang.

“Ya.” sahut yang lain, “sebagian telah berhasil meluncur lewat susukan induk.”

“Tetapi taman itu tergenang air sama sekali. Mungkin sebagian menjadi rusak karenanya.”

Beberapa orang yang mendengarnya tanpa mereka sengaja segera berpaling kearah taman yang sedang disiapka oleh Ken Arok agak jauh ketengah Padang Karautan. Tetapi mereka tidak melihat sesuatu selain sebuah kelompok yang hijau kehitam-hitaman dikejauhan. Seperti bayangan sebuah puntuk kecil menjorok ditengah-tengah padang yang luas. Tetapi mereka telah membayangkan, bahwa taman itu telah digenangi air yang meluap dari sendang buatan karena air susukan induk yang menampung banjir. Dan mereka membayangkan, bahwa sebagian dari pepohonan yang baru tumbuh dan berkembang akan menjadi berserakan.

Tetapi seperti perintah Akuwu Tunggul Ametung sendiri bendungan itu jauh lebih penting dari taman yang sedang disiapkan itu. Apabila bendungan itu gagal, maka taman itu pun tidak akan dapat diselesaikan, karena tidak ada air yang akan menggenangi sendang buatan. Dan tanahnya pun akan menjadi kering.

Orang-orang Panawijen yang berdiri di ujung bendungan itu pun masih juga berdiri rapat. Di antara mereka terdapat para prajurit Tumapel yang dengan tegang melihat, apakah air masih akan naik terus dan menghanyutkan bendungan. Mereka kemudian menguak ketika mereka melihat Akuwu Tunggul Ametung, Ken Arok dan beberapa orang yang lain berjalan ketepi sungai di ujung bendungan itu. Meskipun mereka masih kelelahan, tetapi mereka ingin juga melihat apakah yang kini terjadi dengan bendungan mereka.

Air yang keruh masih juga bergulung-gulung? seolah-olah menggoncang bendungan itu perlahan-lahan. Tetapi kini sebagian dari arus banjir itu telah meluap dan tumpah tertampung pada susukan induk yang mengalir membelah Padang Karautan. Mulut susukan induk itu ternyata semakin lama menjadi semakin besar disobek oleh arus air yang tidak tertahankan. Namun dengan demikian bahaya bagi bendungan itu pun menjadi berkurang. Tetapi di sana-sini tampak tebing susukan itu menjadi longsor. Susukan itu memang belum siap benar menerima arus air, apalagi arus banjir. Namun terlebih penting lagi bagi mereka, adalah menyelamatkan bendungan itu.

Akuwu Tunggul Ametung dan Ken Arok menjadi berdebar-debar memandang air yang keruh kehitam-hitaman itu bergulung-gulung di depan bendungan. Mereka masih membayangkan bahwa bencana masih bisa terjadi.

Dalam ketegangan itu tiba-tiba terdengar seseorang berbisik, “Air telah turun.”

Kawannya yang berdiri di sampingnya mencoba melihat permukaan air yang keruh itu. Dan tiba-tiba ia berdesis pula, “Ya, air telah turun.”

Desis itu kemudian menjalar dari mulut ke mulut. Mereka memang melihat bendungan itu seolah-olah naik semakin tinggi. Jarak permukaan air dan bendungan itu menjadi semakin lebar.

“Air telah turun.” desis itu terdengar terus.

“Ya, air telah turun.”

Sejenak kemudian hampir setiap mulut mengatakan tentang air yang telah mulai turun, meskipun belum selebar tapak tangan. Tetapi hal itu telah menumbuhkan kegembiraan bagi orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel. Kemungkinan bahwa bendungan itu akan hanyut menjadi semakin kecil, meskipun mereka harus memeras tenaga pada saat banjir yang pertama itu. Hampir setiap orang menarik nafas dalam-dalam pada saat yang bersamaan. Mereka menyaksikan air semakin lama memang semakin surut. Sedang langit pun menjadi semakin cerah. Agaknya di ujung sungai itu pun hujan sudah teduh.

Sejenak Akuwu Tunggul Ametung dan Ken Arok berdiri saja mematung, seolah-olah mereka ingin meyakinkan apakah benar-benar air sudah mulai turun. Ternyata mereka pun kemudian melihat, seolah-olah bendungan itu bergerak naik menyembul dari permukaan air. Akuwu Ken Arok, Kebo Ijo, Ki Buyut Panawijen dan beberapa orang yang berada disekitarnya pun kemudian menarik nafas dalam-dalam.

Bahkan terdengar Ken Arok berdesis perlahan, “Air memang sudah turun.”

“Ya.” sahut Akuwu Tunggul Ametung, “kalian berhasil menyelamatkannya. Tetapi ingat, ini baru banjir yang pertama dalam musim hujan ini. Pada saat-saat mendatang akan datang banjir yang kedua dan berikutnya.”

“Kami akan bekerdja sekuat tenaga kami, Tuanku, semoga banjir yang kemudian tidak pula menghancurkan bendungan ini.”

“Kalian telah berhasil menyelamatkannya kini. Kalian dapat melihat bagian-bagian yang masih harus kalian sempurnakan. Jangan kalian lepaskan tali-tali pengikat brunjung-brunjung dengan patok-patok di tepian. Ternyata tali-tali dan tambang-tambang itu telah membantu menyelamatkan berdungan ini, sampai pada saatnya kalian yakin, bahwa bendungan kalian telah sempurna.”

Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Hamba, Tuanku. Tali-tali itu justru akan hamba tambah lagi. Tetapi hamba akan dapat membuat parit-parit pembantu, untuk membuang air yang berlebihan apabila banjir datang. Hamba dapat memotong saluran induk itu dan mengorbankan beberapa bagian dari tanah persawahan untuk membuat parit-parit yang dapat mengurangi tekanan banjir. Parit-parit yang dangkal yang hanya berguna apabila air naik terlampau tinggi.”

Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. “Pikiran itu adalah pikiran yang sangat baik, yang segera dapat dipergunakan untuk melawan banjir yang pasti akan datang susul menyusul selama musim basah ini. Meskipun menurut peritungan pranata mangsa, hujan yang paling lebat masih akan turun satu atau dua bulan lagi.”

Tetapi tiba-tiba Akuwu itu pun memalingkan wajahnya, memandang kejauhan agak ketengah Padang Karautan. Dilihatnya segerumbul tanaman yang hijau Perlahan-lahan ia berdesis, “Apakah yang kira-kira terjadi atas taman itu setelah banjir.”

“Mungkin sebagian akan menjadi rusak, Tuanku.”

Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Lalu bergumam, “Pekerjaanmu berikutnya adalah memperbaiki petamanan itu."

Ken Arok megerutkan keningnya. Dipandanginya segerumbul tanaman yang hijau kehitam-hitaman dikejauhan. Taman itu tampak menjadi semakin segar. Tetapi Ken Arok menyadari, bahwa ada bagian-bagian yang pasti harus diperbaikinya. Meskipun demikian, bahwa bendungan itu terselamatkan, adalah suatu hal yang sangat menggembirakannya. Tanpa disadari ia merasa bertanggung jawab terhadap Mahisa Agni tentang keselamatan bendungan itu. Seolah-olah Mahisa Agni telah memberikan beban itu diatas pundaknya, tanpa dapat diserahkannya kepada orang lain. Dan baginya terasa, tanggung jawab atas bendungan itu justru lebih dari tanggung jawabnya membuat taman yang justru dibebankan oleh Akuwu Tunggul Ametung. Apalagi setelah Akuwu Tunggul Ametung sendiri bersikap demikian pula. Keselamatan bendungan itulah yang tebih penting dari segalanya.

Ternyata air semakin lama semakin susut meskipun perlahan-lahan sekali. Tetapi dengan demikian bahaya bagi bendungan itu pun susut pula meskipun juga perlahan-lahan sekali. Ketika orang-orang yang berada di ujung bendungan itu yakin bahwa bencana yang lebih besar sudah tidak akan menimpa lagi untuk saat itu, maka ketegangan di dalam dada mereka pun perlahan-lahan menjadi semakin kendor. Beberapa orang telah bergerak dari tempatnya, mundur beberapa langkah.

Sedang Akuwu Tunggul Ametung, Ken Arok, Ki Buyut Panawijen, Kebo Ijo dan beberapa orang lain segera meninggalkan tempat itu, duduk di atas batu-batu sambil melepaskan ketegangangan yang selama ini mencengkam hati mereka. Witantra yang duduk di belakang Akuwu Tunggul Ametung, masih saja merenungi orang-orang yang berdiri di pinggir sungai yang banjir itu.

Namun tiba-tiba Ken Arok bergumam, “Sebelum air surut, orang-orang yang berada di seberang tidak dapat pulang keperkemahan malam ini.”

Akuwu pun berpaling kearah mereka. Mereka pun masih juga berdiri di ujung bendungan di seberang. Tetapi agaknya ketegangan di dalam hati mereka pun telah menjadi reda.

“Bagaimana mereka makan hari ini?” bertanya Akuwu.

Ken Arok mengerutkan keningnya, “Hamba belum tahu, Tuanku.”

“Mereka harus berpuasa sehari ini. Nanti apabila air semakin surut, mereka akan dapat meniti bendungan menyeberang kemari bersama-sama.”

“Hamba, Tuanku.” sahut Ken Arok.

“Mereka pun harus beristirahat untuk melepaskan ketegangan dan kelelahan.”

“Hamba, Tuanku.”

“Tetapi besok mereka harus bekerja lebih berat. Banjir pasti akan datang susul menyusul.”

“Hamba, Tuanku.”

“Tetapi…“ tiba-tiba Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya, “Bagaimana dengan kau sendiri?”

Ken Arok tidak segera dapat menjawab. Ia masih belum tahu maksud pertanyaan Akuwu Tunggul Ametung itu. “Maksudku.” Akuwu meneruskan, “apakah kau sempat meninggalkan bendungan ini dalam keadaan demikian?”

Terasa dada Ken Arok berdesir. Kini ia tahu benar maksud itu. Ternyata Akuwu masih juga bermaksud membawanya mencari Mahisa Agni. “Tetapi bagaimana dengan bendungan ini?” pertanyaan itu selalu mengganggunya. Justru pada saat udara selalu mendung dan hujan dapat turun setiap saat.

“Aku tahu keberatanmu.” desis Akuwu itu kemudian, “justru akulah yang memberimu pekerjaan di Padang Karautan ini.”

Ken Arok masih belum dapat menjawab.

“Biarlah soal ini kita tunda sampai besok. Aku sudah kehilangan gairah hari ini. Aku terlalu lelah setelah berusaha mengambilmu dari dalam air itu.”

Ken Arok mengangguk dalam-dalam sambil berkata, “Hamba, Tuanku. Sebaiknya, Tuanku beristirahat di perkemahan, Besok hamba tinggal menerima perintah, Tuanku.”

Tunggul Ametung mengerutkan dahinya. Kemudian katanya, “Kau harus membuat pertimbang. Aku tidak dapat memaksamu, kau menghadapi pekerjaan yang cukup berat pula disini.”

“Hamba, Tuanku.” sahut Ken Arok.

“Sekarang aku akan kembali ke gubug itu.” berkata Akuwu itu kemudian. Ternyata orang yang dalam hidup sehari-hari hanya menuruti kehendak sendiri saja itu dapat juga membuat pertimbangan yang menyangkut kepentingan orang lain. Katanya, “Jangan lupa kepada orang-orang di seberang. Mereka pasti merasa lelah dan lapar seperti kalian. Usahakan, secepatnya mereka dapat dihubungi, maka mereka harus mendapat makan mereka.”

“Hamba, Tuanku.” sahut Ken Arok sambil membungkukkan badannya.

Akuwu itu pun segera berdiri dan meniggalkan tempat itu, kembali ke gubug yang disediakan untuknya. Ia memang merasa terlampau letih setelah bermain-main dengan sebatang bambu untuk menggait Ken Arok dari dalam air. Tetapi Ken Arok pun tidak kalah lelahnya. Ia sudah mengerahkan segenap kekuatannya untuk bertahan diri dari dorongan arus air yang meluap-luap.

Ketika Akuwu Tunggul Ametung telah menjadi semakin jauh bersama pengawal-pengawalnya, maka terdengar Kebo Ijo tertawa. Katanya, “Huh, apa saja yang dikatakan oleh Akuwu Tunggul Ametung itu?”

“Kenapa?”

“Seperti seorang yang sedang mimpi. Apakah ia tidak melihat kesibukanmu disini? Ia masih juga dapat bertanya kepadamu untuk mencari anak yang hilang itu.”

“Ah..."

Orang itu memang terlampau aneh dan terlampau memikirkan diri sendiri. Dihadapannya kakang Witantra tidak lebih dari seekor kerbau penarik pedati. Diam sambil menundukkan kepala. Kemudian ngangguk dalam-dalam sambil berkata, “Segala titah, Tuanku hamba junjung di atas kepala. Dan kau pun rupanya akan dijangkiti penyakit itu pula.”

“Jangan berkata begitu Kebo Ijo.” desis Ken Arok, “Witantra adalah pimpinan pengawalnya. Apakah yang harus dilakukannya? Ia sudah berbuat sebaik-baiknya melakukan tugas dan tanggung jawabnya.”

Kebo Ijo tersenyum. Tetapi senyumnya mengandung arti yang terasa sangat menyakitkan hati. Bahkan tanpa segan-segan dihadapan orang-orang Panawijen ia menggeliat sambil berdesis, “Hem, memang sebaiknya berbuat demikian. Kau dan kakang Witantra akan segera naik pangkat.”

Ken Arok mencoba untuk menahan diri. Ketika ia berpaling dan memendangi wajah Ki Buyut Panawijen, tampak orang tua itu terheran-heran. Ia tidak mendengar seluruhnya kata-kata Kebo Ijo, tetapi ia melihat sikap Kebo Ijo yang aneh. Tetapi Ki Buyut Panawijen itu tidak bertanya apapun. Bahkan kemudian ia pun pergi meninggalkan kedua prajurit Tumapel yang mendapat tugas untuk memimpin pembuatan bendungan itu.

“Hati-hatilah berbicara.” berkata Ken Arok Kemudian.

Kebo Ijo tidak menjawab. Ia hanya tertawa saja sambil melangkah pergi.

“Anak itu memang terlampau menuruti perasaannya saja.” gumam Ken Arok, “Keduanya, Kebo Ijo dan Akuwu Tunggul Ametung mempunyai beberapa persamaan. Meledak-ledak dan bahkan kadang-kadang tidak terkendali. Tetapi Akuwu adalah orang yang luar biasa. Otaknya terlampau tajam meskipun hanya kadang-kadang saja digunakan. Kekuatannya pun luar biasa. Ia mempunyai banyak kelebihan dari orang-orang kebanyakan.”

Dipandanginya langkah Kebo Ijo yang gontai. Anak muda itu pun sebenarnya kelelahan pula. Mungkin juga kejemuan telah melanda jantungnya. Telah cukup lama ia berada di Padang Karautan. Berbeda dengan Ken Arok sendiri, yang tidak meninggalkan apa pun di Tumapel, maka Kebo Ijo meninggalkan keluarganya. Isterinya mungkin selalu merasa kesepian seperti Kebo Ijo itu pula. Tetapi Ken Arok sejenak kemudian sudah berusaha untuk melupakannya. Ia sudah mengenal betul tabiat anak muda itu, meskipun ia tidak menyukainya. Kadang-kadang perbuatan Kebo Ijo itu dapat berbahaya bagi dirinya sendiri.

Pada saat guru Kebo Ijo itu berada di padang ini, maka kelakuan Kebo Ijo tampak agak lebih baik. Tetapi kemudian pada suatu saat ketika Kebo Ijo itu sudah ditinggalkan lagi oleh gurunya kembali ke Tumapel, maka sifat-sifatnya tumbuh kembali betapapun ia mencoba mengekangnya. Kehadiran kakak seperguruannya tidak bisa mempengaruhinya, apalagi setelah ia merasa dirinya cukup dewasa dan sudah berkeluarga pula. Meskipun dihadapan kakak seperguruannya, ia mencoba berbuat sebaik-baiknya.

“Anak itu tidak juga menjadi jera.” gumamnya kemudian, “tetapi justru kata-katanya yang lebih berbahaya dari perbuatannya. Dihadapanku ia berkata seperti itu, mungkin dihadapan orang lain, bahkan mungkin dihadapan anak buahnya, ia pun berkata demikian pula. Mungkin kata-katanya terdorong lebih jauh lagi, dan bahkan mungkin akan sampai pada kata-kata yang tidak sepantasnya diucapkan oleh seorang prajurit.”

Tetapi Ken Arok tidak dapat berbuat apa-apa. Kakak seperguruan Kebo Ijo ada dipadang ini pula. Biarlah saudara seperguruannya itulah yang memberinya petunjuk-petunjuk seperlunya supaya tidak terjadi salah paham. Ketika Ken Arok kemudian memandangi orang-orang yang berdiri di ujung bendungan itu, dilihatnya beberapa orang telah bercakap-cakap dengan asyiknya. Mereka telah terlepas dari ketegangan yang mencengkam dada mereka. Sebagian lagi telah duduk melepaskan lelah dan bahkan ada yang sudah pergi meninggalkan tebing.

Ternyata bahwa air sungai telah benar-benar menjadi surut. Tetapi Ken Arok itu pun kemudian justru pergi ke pinggir sungai itu kembali. Diamatinya bendungan yang saat itu telah berhasil mereka selamatkan. Dicobanya untuk mencari kemungkinan yang lebih baik disaat-saat banjir datang dikemudian hari.

“Disini harus dibuat parit-parit pertolongan untuk membuang air yang terlampau tinggi.” desisnya di dalam hati. Terbayang di kepalanya, susukan yang dangkal, yang menampung air yang meluap apabila banjir mencapai keadaan yang membahayakan.

Namun sejenak kemudian Ken Arok pun teringat kepada orang-orang yang berada di seberang. Mereka masih berdiri berderet di pinggir sungai. Beberapa orang tampak melambaikan tangan mereka untuk memberikan isyarat. Mereka ingin tahu apakah yang harus mereka kerjakan. Beberapa orang justru mengganggu mereka dengan berbagai tingkah laku. Tetapi mereka itu pun segera menyadari bahwa apabila banjir tidak segera susut cukup banyak, mereka akan terpaksa berada di seberang sampai besok. Bahkan apabila hujan turun lagi di ujung sungai, dan banjir menjadi bertambah pula, mereka terpaksa menunggu lagi sampai hari berikutnya, sampai bendungan itu dapat dilewatinya.

“Mereka harus mendapat makan.” gumam Ken Arok.

Seorang prajurit yang mendengar menyahut, “Ya, seperti kita di sini, mereka pun pasti juga lapar.”

Ken Arok berpaling. Sejenak ia mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia tersenyum, “Apakah kau juga lapar?”

Prajurit itu tersenyum pula. Tetapi ia tidak menjawab. “Tetapi kau tidak usah cemas. Juru adang, sudah melakukan tugasnya dengan baik. Kau akan segera mendapat rangsummu. Tetapi bagaimana dengan mereka?”

Prajurit itu tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi kemerah-merahan. Karena prajurit itu masih diam, maka Ken Arok meneruskan, “Aku kira nasi telah masak. Kalian akan segera dapat makan.”

Wajah prajurit itu menjadi semakin merah. Tetapi kemudian ia mengerutkan keningnya ketika ia mendengar Ken Arok berkata, “Bendungan itu sudah tidak membahayakan lagi. Apabila kita berhati-hati, kita akan dapat menitinya.” Dan sebelum prajurit itu menjawab, Ken Arok sudah melangkah meninggalkannya.

Ternyata Ken Arok itu pergi ke ujung bendungan. Ditatapnya bendungan itu dengan saksama, seakan-akan ingin mengukur kekuatannya, apakah bendungan itu tidak berbahaya apabila ia pergi ke seberang meniti di atasnya.

“He, Ken Arok.” terdengar seseorang memanggilnya. Ketika Ken Arok berpaling, dilihatnya Kebo Ijo berdiri di antara beberapa orang prajurit. “Kemana kau?” ia bertanya.

“Aku akan pergi ke seberang.” jawab Ken Arok pendek.

Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Katanya, “Kau selalu berbuat nekad. Lihat, air masih terlampau besar.”

“Aku akan meniti di atas bendungan.”

“Terlampau berbahaya. Sedikit gocangan telah cukup melemparkan kau ke dalam air yang seolah-olah sedang bergumul itu.”

“Aku harus berhati-hati supaya aku tidak tergelincir.”

“Apakah ada sesuatu yang penting sekali harus kau kerjakan di seberang.”

“Orang-orang di seberang itu cukup gelisah. Aku harus datang untuk menenteramkannya dan memberitahukan apa yang harus mereka kerjakan.”

Kebo Ijo mengangkat pundaknya. Ia tidak menyahut lagi, tetapi tampak di wajahnya, bahwa ia agak mencemaskannya.

“Ada juga perasaan cemas di dalam dadanya buat orang lain.” Ken Arok bergumam di dalam hatinya. Sedang kakinya telah mulai menyentuh ujung bendungan.

Perlahan-lahan dan dengan sangat hati-hati ia mulai meniti bendungan itu. Beberapa orang segera datang berkerumun di ujung jembatan. Ada di antara mereka yang mencoba mencegahnya. Tetapi Ken Arok berjalan terus. Ia cukup mengerti kekuatan bendungannya dan kekuatan air yang sudah mulai surut itu, sehingga menurut perhitungannya, maka bendungan itu sama sekali sudah tidak berbahaya. Hanya apabila ia tidak hati-hati ia akan dapat tergelincir masuk ke dalam air yang bergulung-gulung dengan warnanya yang keruh.

Ternyata perhitungan Ken Arok itu benar. Sampai ke ujung yang lain di seberang, Ken Arok tidak mengalami peristiwa apapun. Ia selamat menginjakkan kakinya ke seberang. Kedatangannya segera dikerumuni oleh prajurit-prajuritnya. Prajurit-prajurit yang cemas dan tidak mengerti apa yang sebaiknya mereka lakukan, selain menunggu. Menunggu untuk waktu yang tidak mereka ketahui.

“Akulah yang membawa kalian ke seberang ini, karena itu, maka aku datang menjemput kalian.”

“Apakah kami harus menyeberang?” bertanya seseorang.

“Meniti di atas bendungan itu.” jawab Ken Arok, “tetapi tidak bersama-sama, karena bendungan itu masih belum kuat benar. Satu demi satu atau dua. Tetapi jangan lebih dari lima orang sekaligus.”

Prajurit-prajurit itu saling berpandangan. Ada yang tampak ragu-ragu, tetapi ada yang segera menjawab, “Baiklah. Satu-satu berurutan dengan jarak yang agak panjang, sehingga tidak terlampau banyak yang berada sekaligus di atas bendungan itu. Bukankah begitu?”

“Ya.” sahut Ken Arok pendek.

“Baiklah.” sahut prajurit yang lain, yang bertubuh gemuk, “supaya kita tidak terlampau lama kedinginan di sini. Di sana kita dapat segera berganti pakaian. Kemudian duduk menghangatkan diri dimuka perapian.”

“Maksudmu, di muka perapian tempat menanak nasi?” potong kawannya.

“Ah.” desah Ken Arok, “dimana-mana aku bertemu dengan orang yang kelaparan.”

Prajurit yang gemuk itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah ada orang lain selain aku yang kelaparan?”

“Hus.” desis Ken Arok, “sekarang bersiaplah. Siapakah yang akan pergi dahulu? Jangan berebut. Aku akan menyeberang paling akhir, setelah kalian selesai.”

Beberapa orang prajurit saling berpandangan. Namun kemudian mereka pun segera pergi satu demi satu ke ujung bendungan itu. Seorang yang sudah menyentuh bendungan itu dengan kakinya menjadi ragu-ragu. Air yang bergejolak di depan bendungan itu membuatnya agak pening.

“Aku menjadi singunen.” Katanya.

“Jangan kau tatap air yang bergerak itu. Kau akan merasa seakan-akan terhisap olehnya, dan kau akan terjun ke dalamnya.”

“Marilah, siapa yang akan berjalan di depan.” berkata prajurit itu sambil melangkah surut.

Tetapi orang lain pun menjadi ragu-ragu pula. Sehingga akhirnya Ken Arok bertanya, “Tidak ada yang berani berjalan dahulu?”

Seorang prajurit yang berewok melangkah maju. Katanya, “Biarlah aku berjalan dahulu.”

“Kau tidak singunen.” bertanya kawannya.

“Tidak. Rumahku pinggir Bengawan. Aku sudah biasa melihat air banjir.”

“Pergilah.” berkata Ken Arok.

Prajurit itu pun segera berjalan perlahan-lahan meniti bendungan yang sudah menjadi semakin banyak tersembul di permukaan air. Perlahan-lahan sekali dan sangat berhati-hati. Seorang yang lain segera menyusulnya beberapa langkah di belakangnya. Setelah mereka agak ketengah maka seorang yang lain mulai menginjak bendungan itu pula. Berturut-turut seperti pesan Ken Arok. Sehingga dalam saat yang bersamaan, di atas bendungan itu tidak berdiri lebih dari lima orang.

Karena kawan-kawannya yang lain kemudian berani meniti bendungan itu, maka prajurit-prajurit yang semula ragu-ragu pun akhirnya berani juga melakukannya, meskipun sama sekali tidak berani berpaling dan memandang air yang seolah-olah akan menelannya. Apalagi apabila mereka melihat putaran air di muka susukan induk, seolah-olah mereka akan ikut serta terhisap dan hanyut ke dalamnya.

Orang-orang yang berada di seberang, kemudian berkumpul kembali menyaksikan kawan-kawannya yang berjalan beriringan menyeberang di atas bendungan. Betapapun juga, mereka menjadi tegang pula karenanya. Ternyata prajurit-prajurit yang meniti jembatan itu memerlukan waktu yang agak panjang. Ketika warna-warna suram telah mulai mengambang di atas Padang Karautan, mereka mencoba mempercepat langkah mereka, meskipun mereka tidak boleh lengah. Mereka masih harus tetap berhati-hati supaya tidak tergelincir masuk.

Namun mereka berusaha sebelum gelap, mereka harus sudah selesai. Apabila malam yang gelap sudah menyelubungi padang, maka meniti bendungan itu akan menjadi terlampau sulit dan berbahaya. Tetapi untuk menunggu sampai esok bagi para prajurit itu pasti akan terlampau lama, sebab hampir sehari-harian mereka belum makan. Apalagi pakaian mereka telah basah kuyup oleh hujan yang seperti dicurahkan dari langit.

Seperti air yang bergumul di depan bendungan itu, maka prajurit yang ada di seberang itu pun semakin lama menjadi semakin susut pula. Akhirnya tinggal beberapa orang saja bersama dengan Ken Arok. Sedang langit sudah menjadi semakin merah kehitam-hitaman.

“Cepat.” desis seorang prajurit yang bertubuh kecil berkumis tipis, “kita harus selesai sebelum gelap, supaya kita tidak terjerumus masuk ke dalam air.”

“Jangan terlalu tergesa-gesa.” berkata Ken Arok, “hati-hati jangan sampai tergelincir.”

Dan prajurit-prajurit itu memang tidak dapat terlalu tergesa-gesa dan harus selalu berhati-hati. Tetapi akhirnya prajurit yang terakhir telah menyentuhkan kakinya di atas bendungan. Namun pada saat itu hari telah mulai menjadi gelap, sehingga dengan ragu-ragu prajurit itu melangkahkan kakinya, Sekali-sekali ia berhenti menarik nafas dalam-dalam. Sedang suara air yang sedang banjir masih saja bergemuruh mengganggu telinganya. Lamat-lamat dalam keremangan ujung malam dapat dilihatnya air bergulung-gulung di depan bendungan yang sedang dititinya.

“Jangan tergesa-gesa.” berkata Ken Arok yang berjalan di belakang prajurit yang terakhir itu. ”Lebih baik perlahan-lahan dan hati-hati daripada tergesa-gesa tetapi masuk ke dalam air itu.”

“Ya.” jawab prajurit itu.

Selangkah-selangkah mereka maju. Beberapa orang di seberang ternyata dapat mengerti kesulitan para prajurit yang sedang menyeberang itu. Ternyata beberapa orang dari mereka segera menyediakan obor-obor untuk membantu menerangi bendungan. Tetapi obor-obor itu kadang malah membuat para prajurit yang menyeberang menjadi silau. Namun akhirnya semuanya dapat sampai ke seberang dengan selamat.

Ken Arok lah yang terakhir menginjakkan kakinya di pinggir seberang sambil menarik nafas dalam-dalam. Ketika dilihatnya prajurit yang gemuk masih berdiri di dekat bendungan itu sambil berceritera kepada kawannya, maka berkatalah Ken Arok, “Apakah kau sudah memanasi dirimu di perapian sambil makan? Aku kira kau terlampau lapar dan aku kira nasi sudah masak.”

Prajurit yang gemuk itu tertawa. Jawabnya, “Aku masih belum lapar. Sudah terbiasa bagiku, dua hari dua malam tidak makan dan tidak minum.”

“Itukah sebabnya kau menjadi gemuk?” bertanya kawannya yang berdiri di sampingnya.

Sekali lagi prajurit itu tertawa lepas, sehingga beberapa orang berpaling kepadanya sehingga tiba-tiba ditutupnya mulutnya dengan tangannya. “Ah, aku akan pergi.” desisnya kemudian.

“Kemana?” bertanya kawannya.

“Keperapian. Mungkin aku masih dapat mengeringkan pakaianku dan mendapat rangsum hangat.” Prajurit yang gemuk itu tidak menunggu kawannya menjawab. Segera ia melangkah pergi. Sekali ia berpaling sambil tertawa. Cahaya obor yang kemerah-merahan membuat bayangan yang lucu pada wajahnya yang gemuk.

Tetapi bukan saja prajurit yang gemuk itu yang pergi kedapur. Prajurit-prajurit yang lain pun segera menyusul. Ada di antara mereka yang memerlukan berganti pakaian lebih dahulu, tetapi ada juga yang langsung dengan pakaian basah, menerima rangsum hangat sambil duduk-duduk di muka perapian. Ternyata mereka benar-benar telah lapar sehingga mereka makan tanpa banyak berbicara.

Ken Arok berdiri tegak beberapa langkah dari mereka. Meskipun ia sendiri belum makan, tetapi ia senang melihat prajurit-prajuritnya makan dengan lahapnya. Satu-dua di antara mereka masih sempat berkelakar, meskipun sambil menyuapi mulut-mulut mereka dengan suapan-suapan yang besar. Ken Arok berpaling ketika terasa pundaknya ditepuk seseorang. Ternyata Kebo Ijo telah berdiri dibelakangnya. Sambil tersenyum anak muda itu berkata, “Tuanku Akuwu Tunggul Ametung, yang kalis dari segala bahaya, yang bijaksana dan yang dilindungi oleh Bintang Cakra telah memanggilmu.”

“Ah.” Ken Arok berdesah.

“Aku berkata sesungguhnya, bahwa kau harus menghadapnya sekarang juga. Bahkan sebenarnya sejak tadi kau dicarinya, tetapi ternyata kau masih berada di seberang.”

“Aku percaya bahwa Akuwu memanggilku. Tetapi sebutan yang kau ucapkan adalah sebutan bagi Maharaja Kediri.”

Kebo Ijo tertawa. Katanya, “Akuwu itu merasa dirinya lebih besar dari Maharaja Kediri.”

“Kaulah yang beranggapan begitu.”

“Huh.” Katanya, “ia merasa bukan manusia biasa lagi. Ia merasa dirinya jauh lebih berharga dari pada kita. Dan Kakang Witantra membiarkan dirinya direndahkan. Agaknya kau pun akan berlutut sambil mencium kakinya pula.”

Ken Arok mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Adi Kebo Ijo, jangan berkata begitu. Aku tahu bahwa Akuwu memang kadang-kadang berbuat sekehendak sendiri. Tetapi itu tidak berarti bahwa ia sudah lupa diri. Itu adalah tabiatnya, seperti kau sering berkata menurut seleramu sendiri.”

“Tetapi ia benar-benar seperti Maharaja yang paling perkasa. Suatu ketika aku cekik ia sampai mati.”

Ken Arok mengerutkan keningnya. Tampaklah perubahan pada wajahnya. Namun sejenak justru ia berdiam diri. Ia tidak segera menanggapi kata-kata Kebo Ijo itu, karena ia sama sekali tidak senang mendengarnya. Ken Arok menggigit bibirnya ketika ia mendengar justru Kebo Ijo tertawa terbahak-bahak. Orang-orang yang berdiri dikejauhan, yang mendengar suara tertawanya, serentak berpaling kearahnya. Ada diantara mereka yang ikut tertawa meskipun tidak mengetahui persoalannya, hanya karena melihat cara tertawa Kebo Ijo yang menggelikan. Tetapi ada juga yang acuh tidak acuh sambil menyuapi mulutnya dengan nasi hangat.

“Kebo Ijo.” berkata Ken Arok kemudian, “aku sudah mencoba memperingatkanmu. Jangan terdorong mengucapkan kata-kata yang begitu tajam.”

“Kau cemas bahwa aku akan melakukannya? Jangan takut kehilangan tempat untuk menghambakan diri Ken Arok. Aku tidak akan benar-benar melakukannya.” sahut Kebo Ijo.

“Aku tahu bahwa kau tidak akan melakukannya. Tetapi kelakar yang demikian agak berlebih-lebihan. Sebaiknya kau mengucapkan kata-kata yang lain, yang tidak langsung menusuk perasaan. Mungkin aku dapat mengerti caramu bergurau. Tetapi mungkin orang lain tidak, atau justru meskipun orang lain tahu benar, bahwa kau hanya bergurau, namun mereka yang tidak senang denganmu akan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya.”

“Apakah kepentingan orang lain dengan aku? Apakah yang diinginkannya dariku? Kedudukanku yang tidak pernah naik pangkat ini, justru karena aku tidak dapat menjilat kaki Akuwu itu, atau apa?”

“Kau benar-benar tidak mampu mengendalikan lidahmu. Coba katakan berapa tahun kau mengabdikan diri menjadi seorang prajurit di Tumapel. Coba sebutkan di antara orang-orangmu, apakah tidak ada yang sudah lebih dari dua kali lipat waktu pengabdiannya kepada Akuwu Tunggul Ametung dan masih saja berada di tingkat di bawahmu.”

“Tetapi mereka adalah orang-orang bodoh yang tidak pantas untuk disebut namanya.”

“Sedang kau.” Ken Arok memotong, “adalah orang yang berilmu tinggi dan tidak ada duanya.”

Wajah Kebo Ijo tiba-tiba menegang. Tetapi hanya sesaat, kemudian terdengar sekali lagi suara tertawanya lepas mengumandang di Padang Karautan yang sudah mulai gelap.

“Ah, sudahlah.” berkata Ken Arok, “tetapi ingat-ingatlah pesanku supaya kau tidak terjerumus dalam kesulitan. Jangan kau lepaskan saja kata-katamu tanpa pertimbangan dan pengendalian.”

“Baiklah.” sahut Kebo Ijo, “akan aku pergunakan mulutku untuk memujinya supaya aku segera diangkat menjadi senapati agung.”

Ken Arok tidak menjawab lagi. Tapi ia benar-benar tidak senang mendengar kelakar yang berlebih-lebihan justru tentang Akuwu Tunggul Ametung. Meskipun ia masih mendengar suara tertawa Kebo Ijo namun Ken Arok itu melangkah pergi meninggalkannya. Akuwu Tunggul Ametung yang memanggilnya, mungkin sudah terlalu lama menunggunya. Karena itu maka langkahnya pun menjadi tergesa-gesa, tidak saja supaya ia segera sampai ke gubug yang dipergunakan oleh Akuwu Tunggul Ametung untuk beristirahat, tetapi juga supaya ia segera menjauhi Kebo Ijo.

“Anak itu harus mendapat peringatan.” desis Ken Arok, “tetapi karena kakak seperguruannya ada di sini, biarlah aku katakan saja kepadanya tentang adiknya itu.”

Langkah Ken Arok itu pun segera terhenti. Dilihatnya gubug itu sepi. Namun perlahan-lahan supaya tidak mengejutkan, ia berjalan mendekati pintu. Ia terhenti ketika ia melihat Witantra keluar dari dalam gubug itu.

Perlahan-lahan Witantra berkata, “Akuwu sedang tidur.”

Ken Arok mengerutkan keningnya. Katanya, “Bukan kah Akuwu Tunggul Ametung memanggil aku.”

“Ya. Sejak sore ia mencarimu.”

“Kebo Ijo baru saja menjampaikan pesan itu ke padaku.”

“Ya.”

“Dan sekarang Akuwu sedang tidur?”

“Ya.”

Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Kadang-kadang memang terbersit kejengkelan di dalam hatinya. Tergesa-gesa ia datang memenuhi panggilannya, tetapi yang memanggilnya itu ternyata sedang tidur. Tetapi justru dengan demikian ia teringat kepada Kebo Ijo. Ia ingin mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya selagi ia bertemu dengan Witantra. Maka sejenak kemudian ia berkata, “Aku ingin berbicara dengan kau Witantra.”

Witantra mengerinyitkan alisnya. “Tentang?”

“Tentang adikmu Kebo Ijo.”

Kini Witantra lah yang menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu benar tabiat dan kebiasaan Kebo Ijo. Katanya kemudian, “Apakah anak itu mengganggu pekerjaanmu disini? Aku sebenarnya juga kurang sependapat, bahwa Kebo Ijo lah yang dikirim oleh Akuwu untuk membantu pekerjaanmu.”

“Tidak.” Ken Arok menggeleng, “Kebo Ijo sama sekali tidak mengganggu. Ia termasuk pekerja yang baik, meskipun mula-mula agak canggung. Tetapi pada saat-saat terakhir ia merupakan tenaga yang ikut menentukan.”

“Lalu?”

“Kita duduk di sini Witantra.”

Witantra mengangguk. Keduanya segera duduk di atas rerumputan dimuka gubug itu.

“Adikmu memang senang berkelakar dan bergurau.” berkata Ken Arok.

“Ya.” Witantra mengangguk, lalu diteruskannya, “bukankah kau merasa terganggu oleh kelakarnya yang berlebih-lebihan?”

Ken Arok mengerutkan keningnya. Agaknya kakak seperguruan Kebo Ijo itu pun telah menyadari sifat-sifatnya, yang kadang-kadang terlampau berlebih-lebihan, bahwa sering sudah melampaui batas. Hal yang demikian seharusnya tidak boleh berkepanjangan. Sejenak kemudian maka ia pun menjawab, “Sebenarnya aku sendiri tidak merasa terlampau terganggu. Tetapi aku mencemaskannya, bahwa kadang-kadang kelakarnya dapat membahayakannya.”

Witantra mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah yang dikatakannya?”

“Tentang Akuwu Tunggul Ametung.” jawab Ken Arok, “kadang-kadang terloncat ucapan-ucapannya yang mendebarkan hati.”

Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “mungkin sekali, Anak itu benar-benar anak yang bengal. Apakah yang dikatakannya tentang Akuwu?”

“Mungkin pernah mendengar apa yang dikatakannya tentang kita?”

“Dalam hubungan dengan Akuwu?”

“Ya.”

“Ya. Aku memang sering mendengar. Anak itu menganggap kita terlampau merendahkan diri dihadapan Akuwu Tunggul Ametung.”

“Begitulah. Lalu bagaimana sikapnya sendiri?”

“Seperti seekor tikus dihadapan seekor kucing. Tetapi anak itu memang harus mendapat peringatan. Apakah yang dikatakan kepadamu?”

“Itu tidak terlampau berbahaya baginya, Witantra. Tetapi yang lebih menyinggung perasaan orang-orang yang dekat dengan Akuwu adalah sebutan-sebutannya yang mengandung hinaan atas Akuwu Tunggul Ametung. Bahkan.” Ken Arok diam sejenak. Diedarkannya pandangan matanya berkeliling, seolah-olah takut didengar orang lain. Lalu, “Kebo Ijo pernah berkata kepadaku, meskipun aku tahu bahwa ia hanya bergurau, katanya, “Aku akan mencekiknya sampai mati.”

“Ah.” Witantra berdesah, “begitukah?”

“Ya. Aku cemas apabila seseorang pernah mendengar ia berkata begitu pula.”

“Hem.” Witantra menarik nafas dalam-dalam, “sebenarnyalah demikian Ken Arok. Aku pernah mendapat laporan dari seorang prajurit pengawal. Ia mendengar Kebo Ijo memaki Akuwu meskipun sambil tertawa. Sebagai seorang prajurit pengawal, ia lapor kepadaku tentang seorang prajurit yang lain yang bersikap demikian.”

“Apakah yang sudah kau lakukan?”

“Aku panggil anak itu. Aku memarahinya hampir separo malam. Tampaknya ia menjadi jera. Tetapi kini penyakit itu agaknya telah kambuh kembali.”

“Nah, terserahlah kepadamu Witantra, untuk kepentingan adikmu itu sendiri.”

“Terima kasih. Aku akan memperhatikannya.”

“Baiklah. Sekarang, sebelum Akuwu bangun, aku akan beristirahat sejenak. Aku akan berganti pakaian, makan dan duduk-duduk bersama prajurit-prajurit yang sedang beristirahat itu.”

Witantra mengerutkan keningnya. Lalu ia berkata, “Aku ikut bersamamu. Aku ingin melihat-lihat keadaan mereka disini sebelum besok aku pergi mengawal Akuwu ke Kemundungan.”

Keduanya pun kemudian berdiri. Witantra melambaikan tangannya, memanggil seorang prajurit yang dibawanya dari Tumapel, prajurit pengawal, “Lakukan tugasmu baik-baik. Aku akan pergi sebentar. Laporkan kepada perwira yang sedang bertugas.”

Prajurit itu menganggukkan kepalanya, sedang tangan kirinya menggenggam hulu pedangnya yang masih berada di dalam sarungnya. “Baik.” Jawabnya, “akan aku lakukan.”

Witantra pun kemudian melangkah bersama-sama dengan Ken Arok, sementara itu, prajurit pengawal itu melaporkannya kepada perwira pengawal bawahan Witantra, yang segera mengambil alih tugasnya, berjaga-jaga di depan gubug Akuwu Tunggul Ametung yang sedang tidur itu. Beberapa langkah kemudian, maka kedua orang itu terhenti ketika mereka melihat Kebo Ijo mendatanginya. Sambil tertawa ia bertanya kepada Ken Arok, “Kenapa kau tidak menghadap Akuwu?”

“Akuwu sedang tidur.” jawab Ken Arok.

“He.” Kebo Ijo mengerutkan keningnya, “tetapi ia memanggilmu menurut Kakang Witantra.”

“Ya.” sahut Witantra, “tetapi pada saat Ken Arok datang, Akuwu sudah tertidur. Mungkin ia terlampau lelah setelah bekerja keras hari ini.”

Wajah Kebo Ijo menjadi berkerut-merut. Tetapi kemudian meledaklah suara tertawanya.

“Kenapa kau tertawa?” bertanya Witantra.

“Tidak apa-apa.” Kebo Ijo menggeleng-gelengkan kepalanya, “Tidak apa-apa.”

Sejenak Ken Arok dan Witantra saling berpandangan. Namun kemudian mereka meneruskan langkah mereka tanpa menghiraukan anak yang masih saja tertawa-tawa itu. Tetapi ternyata Kebo Ijo tidak membiarkannya pergi. Ia pun kemudian mengikutnya di belakang. Sejenak kemudian ia bertanya, “Kakang, apakah Akuwu akan membicarakan tentang keberangkatannya besok bersama Ken Arok?”

“Aku tidak tahu.” sahut kakanya.

“Tetapi bukankah itu yang dimaksud oleh Akuwu Tunggul Ametung? Membawa sepasukkan prajurit untuk membebaskan Mahisa Agni?”

“Ya.”

“Apakah Ken Arok besok harus ikut serta?”

“Aku tidak tahu.”

“Hem.” Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Ia masih saja berjalan mengikuti Ken Arok dan Witantra, “Aku kira begitulah. Dan seandainya benar, maka Akuwu benar-benar berbuat aneh.”

“Kenapa?” bertanya Witantra dengan serta merta.

“Bendungan ini seharusnya jauh lebih penting dari pada seorang Mahisa Agni. Apakah perlunya Akuwu bersusah payah berusaha membebaskannya?”

Langkah Witantra tertegun mendengar kata-kata Kebo Ijo. Ken Arok pun kemudian terhenti juga. Bahkan keduanya kemudian berpaling memandangi Kebo Ijo yang kemudian berdiri tegak di belakang mereka.

“Kebo Ijo.” berkata Witantra kemudian, “kita adalah prajurit. Kita sebaiknya mentabukan perintah yang dijatuhkan atas kita. Memang mungkin perintah itu tidak tepat. Apabila demikian kita dapat memberikan pertimbangan seperlunya. Nah, adalah wajar sekali apabila besok, seandainya Akuwu masih ingin membawa Ken Arok, kita dapat mengajukan keberatan-keberatan itu.”

Kebo Ijo tidak segera menyahut. Diangguk-anggukkannya kepalanya. Tetapi sejenak kemudian ia berkata, “Apakah sebenarnya pentingnya Mahisa Agni bagi Akuwu.”

“Ia kakak Tuan Puteri Ken Dedes, Permaisuri Akuwu Tunggul Ametung.”

“Tetapi Mahisa Agni sendiri adalah seorang anak padesan. Kalau ia hilang di dalam sarang iblis Kemundungan itu, adalah nasibnya yang terlampau jelek. Buat apa sebenarnya Akuwu memaksa diri untuk mencarinya dengan sepasukan prajurit? Bagiku, hal itu tidak akan banyak memberikan arti bagi Tumapel. Pantaslah kiranya, apabila yang hilang itu seorang putera Raja, setidak-tidaknya putera Akuwu Tunggul Ametung sendiri. Bukan hanya sekedar anak padesan. Apabila Tuan Puteri Ken Dedes merajuk, biarlah Akuwu mengancamnya untuk mengembalikan saja kepadepokannya.”

Witantra mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Sebaiknya kau tidak usah ikut memperbincangkannya. Itu adalah persoalan Akuwu Tunggul Ametung.”

Kebo Ijo justru tertawa pendek, “Aku kasihan melihat Akuwu begitu bersusah payah untuk seorang pidak pedarakan.”

“Kau Keliru Kebo Ijo.” Ken Aroklah yang kemudian menyahut, “kau membedakan antara seorang anak pidak pedarakan dengan seorang pangeran atau putera Akuwu di dalam persoalan ini.”

“Sudah tentu. Nilai dari mereka jauh berbeda.”

“Tidak Kebo Ijo. Baik ia seorang pangeran, bahkan seorang pangeran dari seorang Maharaja sekalipun dan seorang yang paling rendah dan paling hina, berhak mendapat perlindungan.”

“O, tentu. Sudah tentu. Tetapi harus disesuaikan dengan kedudukannya. Kalau yang hilang seorang pangeran, pantaslah Akuwu sendiri yang pergi mencarinya. Tetapi kalau hanya seorang Mahisa Agni?”

“Mahisa Agni kini adalah seorang kakak dari Permaisuri Akuwu sendiri.”

Kebo Ijo tertawa. Katanya, “Kau terbalik mengucapkannya Ken Arok. Seharusnya kau berkata, “Permaisuri Akuwu Tunggul Ametung hanyalah adik Mahisa Agni. Anak dari pedukuhan Panawijen.”

“Kau telah menarik garis perbedaan terlampau tajam antara seorang yang lahir di dalam lingkungan yang baik dan orang-orang yang lahir dalam keadaan yang buruk.”

“Tentu. Aku sendiri harus menghargai keturunanku.”

“Kau sudah gila Kebo Ijo.” desis Witantra, “diamlah supaya aku tidak memaksamu.”

Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak ingin diam, ia masih ingin berbicara. Namun Witantralah yang berbicara pula, “Pergilah beristirahat. Tetapi sebelumnya, dengarlah dahulu sebagai bekalmu berangan-angan sebelum tidur. Tak ada perbedaan apa-apa antara yang kebetulan lahir sebagai seorang yang sangat miskin. Mereka berhak mendapat perlindungan yang sama, Mahisa Agni yang kini berada dalam bahaya yang mengerikan harus mendapat pertolongan.”

Sekali lagi Kebo Ijo tertawa. Tetapi ia tidak mendapat kesempatan berbicara karena Ken Arok berkata, “Kebo Ijo. Nilai seseorang tidak saja tergantung kepada darah keturunan. Tetapi tergantung pula atas perbuatannya sendiri. Atas apa yang dikerjakannya.” Ken Arok berhenti sejenak, lalu, “Aku adalah seorang yang paling hina ketika dilahirkan. Tetapi penilaian orang terhadap diriku kini telah menjadi jauh berbeda. Apakah kau pernah membayangkannya, bahwa aku seolah-olah terbuang di masa-masa itu. Disaat aku baru dilahirkan?”

Kebo Ijo tidak segera menyahut. Ditatapnya wajah Ken Arok yang tegang.

“Tetapi sekarang aku mendapat kesempatan ini.” Ken Arok meneruskannya.

Kini Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia masih mempunyai kesadaran untuk tidak membuat keributan. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Itu memang bukan persoalanku. Tetapi bagiku Mahisa Agni sama sekali tidak cukup bernilai untuk memaksa Akuwu meninggalkan istana. Lebih baik baginya untuk berburu kijang di hutan-hutan.”

“Pergilah Kebo Ijo.” potong Witantra, “beristirahatlah, tetapi jangan tidur dulu. Aku perlu menemuimu.”

Kebo Ijo menjadi heran, sehingga terloncat pertanyaannya, ”Kenapa nanti? Bukankah kita sudah bertemu.”

Adik seperguruan Witantra itu memang menjengkelkan sekali, sehingga Witantra menyahut agak keras, ”Aku perlu berbicara dengan kau seorang diri. Aku nanti ingin memberimu peringatan supaya kau tidak malu dilihat orang. Kau telah membuat banyak sekali kesalahan. Mengerti?”

Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Diangkatnya pundaknya sambil berdesis, “Baiklah kakang. Sebaiknya aku makan dahulu sebanyaknya sebelum aku menghadap kakang nanti.”

“Lebih baik begitu. Makanlah, supaya mulutmu berhenti berbicara tentang hal-hal yang sama sekali tidak bermanfaat dan kadang-kadang dapat berbahaya bagimu.” sahut Witantra.

Kebo Ijo menganggukakan kepalanya. Berlahan-lahan ia melangkah pergi meninggalkan Ken Arok dan Witantra yang mengawasinya. “Anak itu benar-benar bengal. Umurnya sudah cukup dewasa, dan ia sudah berkeluarga pula. Tetapi sifatnya itu masih kadang-kadang membuat aku pusing dan bahkan guru sendiri. Ia dapat menjadi seorang yang baik dihadapan guru. Tetapi kemudian penyakitnya itu datang lagi mengganggunya.”

Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa kakak seperguruannya ini pun telah dibuatnya pening. Apalagi orang lain. Tetapi bahwa kata-katanya terlampau sering melukai hati orang lain dan kadang-kadang tanpa terkendali itulah yang harus mendapat perhatian. Saudara-saudara seperguruannya dan kawan-kawannya yang dekat, yang telah mengerti akan tabiatnya, tidak akan menjerumuskannya ke dalam kesulitan, bahwa akan berusaha melindunginya, meskipun kemudian memberikan peringatan yang keras kepadanya. Tetapi orang-orang lain akan berbuat sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing. Bahkan mungkin akan menjerumuskannya ke dalam kesulitan.

Ken Arok tersedar ketika Witantra kemudian berkata, “Biarlah anak itu makan. Nanti aku akan memberinya peringatan. Mungkin aku perlu menakutinya dengan berbagai macam cara, atau mengancamnya.”

“Mudah-mudahan kau berhasil.” desis Ken Arok.

Keduanya pun kemudian melanjutkan langkah mereka pergi ketempat para prajurit sedang beristirahat dan makan. Ken Arok pun kemudian ikut pula makan bersama mereka. Tetapi Witantra agaknya sudah makan lebih dahulu di gubugnya. Ketika malam menjadi semakin dalam, maka Ken Arok dan Witantra pun kembali ke gubug Akuwu Tunggul Ametung. Begitu mereka mendekat, maka terdengar suara Akuwu yang ternyata sedang terbangun, “He, apakah Ken Arok sudah datang?”

“Hamba, Tuanku.” sahut pengawal, ”itulah Ken Arok sudah datang.”

“Suruh ia masuk.”

“Hamba, Tuanku.”

Tetapi ketika pengawal itu hampir saja mengucapkan kata-kata untuk memberi tahukan panggilan itu kepada Ken Arok terdengar Ken Arok berdesis perlahan-lahan, “Aku sudah mendengarnya.”

Pengawal itu mengerinyitkan alisnya, Tetapi ia pun kemudian tersenyum tanpa mengucapkan sepatah katapun. Ken Arok bersama Witantra kemudian melangkah masuk ke dalam gubug yang rendah itu. Kemudian mereka duduk di atas tikar yang dibentangkan di atas batang-batang rumput yang sudah kering.

“Kau baru datang?” bertanya Akuwu Tunggul Ametung.

“Tidak, Tuanku.” jawab Ken Arok, “hamba telah menghadap sejak lama.”

“Bohong. Aku berteriak-teriak memanggilmu. Yang selalu menyahut hanyalah para pengawal. Bahkan Witantra pun pergi pula.”

“Hamba berdua hanya sekedar berjalan-jalan di luar, Tuanku.” berkata Witantra.

“Tetapi kalian tidak mendengar panggilanku.”

“Mungkin hamba berdua berjalan-jalan agak terlampau jauh. Agaknya kami lupa untuk mengingat-ingat waktu dan jarak, Tuanku.”

Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan dahinya. Kemudian katanya, “Aku ingin berbicara dengan kalian.”

Witantra dan Ken Arok hampir bersamaan menjawab, “Hamba, Tuanku.”

Akuwu yang masih berada di pembaringannya itu menguap. Diusapnya matanya dengan jari-jarinya. Kemudian katanya, “Besok pagi aku akan meneruskan perjalananku. Aku harus menemukan Mahisa Agni supaya hidupku menjadi tenteram.”

Terbersit desis di dalam dada Ken Arok, “Hem, ada juga kebenarannya apabila seseorang mengatakan bahwa Akuwu Tunggul Ametung hanya memikirkan dirinya sendiri, meskipun tidak sepenuhnya. Tetapi pada saat-saat tertentu maka dirinya sendirilah yang menjadi pusat segala persoalan.” Tetapi tiba-tiba dikenangnya pada saat ia hampir hanyut didorong oleh arus banjir yang meluap kesusukan induk. “Hem Akuwu memang orang yang aneh. Apakah hatinya terlampau meledak-ledak sehingga kadang-kadang dirinya sendiri tidak mampu menguasainya? Ada beberapa persamaan sifat diantara Akuwu Tunggul Ametung ini dengan Kebo Ijo.”

“He.” Akuwu itu membentak, “kenapa kalian diam saja.”

Ken Arok dan Witantra terperanjat juga. Dan bersama-sama pula mereka menjawab, “Hamba, Tuanku.”

“Aku ingin mendapat kepastian apakah aku besok akan berangkat bersamamu Ken Arok?”

“Hamba menunggu perintah, Tuanku.” jawab Ken Arok, “tetapi apabila diperkenankan hamba ingin mengajukan pertimbangan untuk itu.”

“Apa pertimbanganmu.?”

“Langit sudah menjadi semakin tebal dilapisi oleh air, Tuanku. Hujan pasti akan semakin turun, sedang bendungan itu masih belum siap sama sekali, meskipun sebagian terbesar telah selesai dan bahkan telah dapat diselamatkan dari banjir yang pertama. Tetapi hamba masih selalu dicemaskannya. Apabila datang banjir yang lebih besar lagi, maka bendungan itu akan mengkhawatirkan.”

“Apakah kau sudah membuat parit-parit untuk menyalurkan air seperti yang kau rencanakan. Apabila air terlampau tinggi-tinggi maka air akan mengalir lewat parit-pari yang dangkal itu sehingga mengurangi tekanan yang mendorong bendungan itu.”

“Belum Tuhanku.”

“He, kenapa belum? Apakah kau menunggu bendunganmu pecah.”

“Baru hari ini kami merencanakannya. Seandainya rencana itu dikerjakan, maka baru besoklah hamba mulai.”

“Oh kalian bekerja seperti siput. Kenapa tidak kau mulai malam ini?”

Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Tetapi diberanikannya juga menjawab, “Orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel telah terlampau letih, Tuanku.”

Akuwu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Jadi bagaimana dengan kau? Apakah kau tidak jadi pergi besok?”

“Seandainya hamba diperkenankan, hamba ingin menyelesaikan bendungan ini saja. Bukan karena hamba tidak sanggup untuk melakukan perintah, Tuanku, tetapi hamba hanya sekedar memberikan pertimbangan.”

“Apakah kau takut bertemu dengan Kebo Sindet?”

Dada Ken Arok tersirap mendengar pertanyaan itu. Seandainya yang bertanya bukan Akuwu Tunggul Ametung, maka orang itu akan ditantangnya berlomba untuk menangkap Kebo Sindet, meskipun Ken Arok tahu, bahwa Kebo Sindet bukanlah seorang yang dapat dianggapnya seperti orang-orang kebanyakan. Bahkan pada saat Mahisa Agni hilang, Ken Arok tahu pasti, bahwa ia tidak dapat mengalahkannya, meskipun pada saat itu ia tidak terbunuh oleh iblis-iblis dan Kemundungan kakak beradik. Tetapi tanpa diketahuinya sendiri, ia kini merasa bahwa ia akan mampu menghadapinya, menghadapi Kebo Sindet seorang lawan seorang.

Tetapi kepada Akuwu Tunggul Ametung, sambil menahan hati, Ken Arok menjawab, “Ampun, Tuanku. Seandainya, Tuanku memerintahkan hamba untuk pergi mencari Mahisa Agni, maka hamba pasti akan berangkat. Untuk memenuhi perintah, maka seorang prajurit tidak boleh mengenal takut, meskipun seandainya ada juga perasaan itu di dalam dadanya. Karena itu, maka hamba akan melakukan segala perintah, Tuanku, apa pun yang akan terjadi atas diri hamba. Hamba sama sekali tidak memikirkan diri hamba sendiri, melainkan harapan yang telah dipupuk, selapis demi selapis di dalam dada orang-orang Panawijen, seperti selapis demi selapis brunjung yang disusun untuk membentuk bendungan itu, jangan sampai hanyut bersama banjir. Tetapi apabila Tuanku menghendaki lain, maka hamba pasti akan menjalankannya.”

Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Kemudian diangguk-anggukkannya kepalanya. Katanya, “Aku percaya bahwa kau tidak akan mengenal takut. Tetapi pendapatmu benar juga. Bendungan ini memang memerlukan perhatian.” Akuwu itu berhenti sebentar, lalu, “Sebenarnya tanpa kau pun pasukanku telah cukup kuat. Seandainya Kebo Sindet mempunyai beberapa orang pengikut di dalam sarangnya, Witantra dan para pengawal pasti akan mampu berhadapan dengan orang-orang itu, sedang Kebo Sindet sendiri harus berhahapan dengan aku. Dengan Akuwu Tumapel.”

Sekali lagi dada Ken Arok berdesir. Tetapi yang ada di dalam hatinya adalah kesan yang lain. Ternyata Akuwu dapat mengerti juga keterangannya, dan bahkan membenarkannya.

“Ken Arok.” berkata Akuwu, “besok pada saat matahari terbit, aku akan meninggalkan bendungan ini. Aku serahkan semuanya di sini kepadamu. Bendungan ini dan taman yang mengalami kerusakan-kerusakan kecil itu. Pada saatnya, taman itu harus siap. Aku ingin menghadiahkannya kepada isteriku. Aku mengharap bahwa aku akan dapat menghadiahkannya sekaligus, taman itu dan kakaknya yang hampir membuatnya gila.”

Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling memandangi wajah Witantra, maka Witantra itu pun mengangguk kecil.

“Lakukanlah pekerjaanmu sebaik-baikanya Ken Arok. Sekarang pergilah, aku akan segera tidur, supaya besok aku akan dapat bangun pada waktunya.” Akuwu diam sejenak, kemudian kepada Witantra ia berkata, “Kau pun harus menyiapkan pasukan kecilmu itu Witantra. Supaya besok pada saat matahari terbit, kita akan dapat berangkat segera.”

“Hamba, Tuanku. Segala titah, Tuanku akan hamba lakukan sebaik-baiknya.”

“Sekarang kalian boleh pergi.”

Ken Arok dan Witantra membungkukkan kepalanya bersama-sama sambil berkata hampir beriamaan pula, “Hamba, Tuanku.”

Keduanya pun kemudian pergi meninggalkan gubug Akuwu Tunggul Ametung. Witantra sambil mengangguk-anggukkan kepalanya berkata-kata, “Akuwu kadang-kadang sempat juga berpikir dan mempertimbangkan, mana yang baik dilakukannya.”

Ken Arok mengerinyitkan alisnya. Kemudian ia tersenyum, “Ya. Akuwu kadang-kadang memang aneh.”

“Hem.” Witantra menarik nafas dalam-dalam, ”Akuwu yang memang aneh atau karena kita telah kejangkitan penyakit Kebo Ijo itu.”

Ken Arok kini tidak hanya sekedar tersenyum, tetapi ia tertawa. Dan Witantra pun tertawa pula. Katanya kemudian, “Sudahlah. Sudah terlampau malam untuk berjalan-jalan. Sedang besok kita akan melakukan tugas kisa masing-masing Aku masih harus menemui Kebo Ijo malam ini, dan memberinya peringatan-peringatan. Aku akan memberinya banyak pesan agar ia tidak terjerumus ke dalam kesulitan karena kata-katanya dan mungkin sikapnya yang berlebih-lebihan.”

“Ya, sebaiknya kau memberinya pesan. Aku kadang-kadang mendapatkan kesulitan, karena Kebo Ijo benar-benar sukar dikendalikan. Pada saat ia datang ketempat ini, aku sudah harus melayaninya bermain-main. Untunglah pada saat itu gurumu datang tepat pada waktunya.”

“Aku mendengar pula. Kebo Ijo sendiri berkata kepadaku, meskipun tidak lengkap.”

“Aku kadang-kadang menjadi segan untuk menegurnya terus menerus seperti kanak-kanak. Aku segan juga kepadamu dan kepada gurumu. Aku takut menyinggung persaanmu dan perguruanmu.”

Witantra tertawa. Katanya, “Kau terlampau berterus-terang. Aku senang mendengarnya. Demikian seharusnya supaya kita tidak menyimpan terlampau banyak persoalan. Tentang Kebo Ijo, aku titipkan kepadamu. Aku yakin kau dapat mengatasinya. Aku akan berpesan pula kepadanya, bahwa kau akan menjadi penggantiku dan pengganti guru disini. Kebo Ijo tidak boleh menjadi bersakit hati oleh teguranmu. Kalau perlu kau dapat berbuat lebih banyak atas namaku.”

“Terima kasih atas kepercayaan itu. Tetapi aku kira, ia akan menjadi baik kalau kau menganyamnya, sehingga aku tidak perlu berbuat apa-apa lagi.”

“Mudah-mudahan.” desis Witantra, “sekarang aku akan menyiapkan para pengawal, supaya Akuwu besok pagi tidak berteriak-teriak apabila aku terlambat sedikit.”

Keduanya pun kemudian segera berpisah. Witantra pergi menemui para pengawal yang dibawanya dari Tumapel. Besok mereka harus bersiap tepat pada saatnya. Kemudian di dalam gubugnya Witantra menunggu kedatangan Kebo Ijo untuk menemuinya. Sementara itu Ken Arok masih juga berjalan-jalan mengelilingi gubug-gubug yang sudah menjadi semakin lama semakin sepi.

Malam menjadi semakin lama semakin dalam. Dikejauhan terdengar bilalang berderik-derik bersahut-sahutan di atas rerumputan yang masih basah. Angin yang dingin bertiup perlahan-lahan. Ketika Ken Arok menengadahkan wajahnya kelangit, hatinya menjadi berdebar-debar. Ternyata mendung di langit masih juga mengalir berurutan meskipun tidak terlampau tebal, seperti noda-noda raksasa yang bergeser dipermukaan wajah malam yang gelap. Meskipun demikian satu-satu bintang tampak berkeredipan disudut-sudut langit yang tidak disaput oleh awan yang kelabu.

Ken Arok menarik nafas dalam-dalam menghirup udara yang sejuk. Dipandanginya Padang Karautan yang seakan-akan tidak bertepi, menjorok ke dalam kelam yang pekat. Tiba-tiba Ken Arok tertegun sejenak. Ternyata langkahnya telah membawanya terlampau jauh. Dihadapannya, di dalam kesamaran malam, dilihatnya petamanan yang sedang di bangunnya.

“Hem, kakiku telah membawa aku kemari.”

Tetapi Ken Arok tidak segera kembali. Dilanjutkannya langkahnya. Dilihatnya petamanannya yang mengalami beberapa kerusakan. Tanah yang longsor di pinggir susukan induk, beberapa macam tanaman telah terendam air, dan pagar batu yang miring karena tanah yang bergeser akibat dorongan air yang keras. “Taman ini perlu diperbaiki.” desisnya.

Tetapi Ken Arok memusatkan segenap perhatiannya pada waktu yang dekat kepada bendungannya. Mungkin besok atau lusa banjir akan datang lagi. Sejenak Ken Arok duduk di atas pagar batu merenungi malam yang gelap dan dingin. Sekilas-sekilas terbang kembali di dalam ingatannya, masa-masa lampaunya di Padang Karautan ini, selagi ia masih hidup sebagai hantu yang menakutkan. Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali.

“Nasibmu memang terlampau baik Ken Arok.” suara itu terngiang ditelinganya. Suara Bango Samparan.

“Persetan.” Ken Arok menggeram, “Aku sama sekali tidak mau diganggunya lagi. Bukan karena aku tidak mengenal terima kasih. Aku akan bersedia memberinya bantuan untuk hidupnya sehari-hari. Tetapi caranya berpikir akan dapat menyesatkan aku lagi. Aku sudah mencoba untuk hidup seperti manusia biasa. Bukan seperti hantu di padang ini, yang hanya berlindung dari terik matahari di dalam semak-semak dan gerumbul-gerumbul perdu dan berlindung di bawah hujan dipereng-pereng kali.”

Dada Ken Arok menjadi berdebar-debar. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia mencoba mengusir pikiran yang mengganggunya itu. “Aku tidak akan mau diganggunya lagi dengan pikiran-pikiran yang gila itu.” desis Ken Arok kemudian sambil berdiri, “aku harus bekerja keras untuk menyelesaikan bendungan dan taman ini.”

Perlahan-lahan Ken Arok kemudian melangkahkan kakinya lagi, meninggalkan petamanan itu, kembali ke gubugnya. Malam telah menjadi semakin larut, dan bintang-bintang telah jauh berkisar dari tempatnya. Tetapi Ken Arok masih berjalan seenaknya. Lelah tubuhnya justru terasa berkurang oleh segarnya angin malam. Tetapi lambat laun matanya menjadi terlampau berat, dan mulutnya pun mulai menguap.

“Aku harus beristirahat. Besok aku akan mulai dengan kerja yang lebih keras.”

Ken Arok itu pun kemudian mempercepat langkahnya, seolah-olah ia takut bahwa ia akan kehabisan sisa-sisa malam. Ketika ia sampai diperkemahan, ternyata seluruh isi perkemahan itu tertidur nyenyak. Tidak ada seorang pun lagi yang masih bangun. Penjaga yang bertugas malam itu ditemui oleh Ken Arok tidur bersandar seonggok batu sambil menggenggam tombak pendek. Sedang kawannya tidak jauh dari padanya, tidur mendekur di tanah yang basah.

“Hem.” Ken Arok berdesah, “mereka terlampau lelah.” Karenanya maka Ken Arok tidak sampai hati untuk membangunkannya. Tetapi dengan demikian Ken Arok sendiri tidak segera pergi ke gubugnya untuk tidur. Sepi malam telah mencengkamnya untuk tetap bangun betapa matanya terasa terlampau berat. Dan bahkan akhirnya ia memutuskan untuk tidur saja di luar, di atas berunjung-brunjung bambu di dekat para penjaga yang sedang tidur itu.

Ken Arok tidak tahu, betapa lama ia tertidur. Tetapi tiba-tiba ia terbangun. Layap-layap ia mendengar sesuatu dikejauhan dibawa silirnya angin malam menyentuh lubang telinganya. Ternyata telinga Ken Arok adalah telinga yang terlampau tajam. Yang seolah-olah dirangkapi oleh ilmu Sapta Pangrungu. Yang mempunyai ketajaman mendengar tujuh kali lipat dari telinga biasa. Namun agaknya malam yang terlampau sepi telah membantunya pula untuk dapat mendengar suara yang paling halus sekalipun. Dan yang didengarnya kini adalah telapak kaki-kaki kuda meskipun masih terlampau jauh.

Ken Arok menggosok-gosok matanya dengan tangannya. Sekali lagi ia mencoba untuk meyakinkan pendengarannya. Dan perlahan-lahan ia berdesis, “Ya, aku mendengar derap kaki-kaki kuda yang masih jauh sekali.”

Ken Arok menarik nafas dalam-dalam Malam sudah hampir sampai pada akhirnya. Sebentar lagi langit di ujung Timur akan dibayangi oleh warna-warna merah. Dan disaat yang demikian, ia mendengar derap kaki-kaki kuda mendekati perkemahannya. Perlahan-lahan Ken Arok bangkit dan turun dari atas berunjung-berunjung bambu. Suara derap kaki-kaki kuda itu menjadi semakin jelas mendekati perkemahan itu. Tetapi tidak terlampau banyak. Dua atau tiga.

“Siapakah mereka itu?” desisnya.

Penjaga yang tidur bersandar batu itu masih juga tidur. Yang tidur mendengkur di tanah kini justru melingkar menyembunyikan tangannya yang kedinginan.

“Biar sajalah.” desis Ken Arok, “Pada saatnya mereka akan terbangun.”

Ken Arok itu pun kemudian melangkah perlahan-lahan menyongsong arah derap kaki-kaki kuda itu. Ia belum tahu, apakah yang datang itu akan berbahaya bagi perkemahannya atau tidak. Namun kemudian dadanya terasa berdesir ketika ia melihat ternyata Akuwu Tunggul Ametung pun telah berdiri tegak seperti sebatang tonggak baja di muka gubugnya, dan di belakangnya Witantra berdiri dengan pedang di lambung. Tetapi Akuwu itu pun menjadi terkejut pula ketika ia mendengar desir langkah di belakangnya. Ketika ia berpaling ternyata Ken Arok telah berada beberapa langkah di belakangnya.

“Apakah yang kau dengar?” bertanya Akuwu.

“Derap kaki-kaki kuda.” sahut Ken Arok.

“Hem.” Akuwu mengangguk-anggukkan kepalanya, “telingamu cukup baik. Tidak ada orang lain yang mendengar derap kaki-kaki kuda itu selain kau.”

“Bukankah, Tuanku mendengar juga?” bertanya Ken Arok.

“Ya.” sahut Akuwu.

Ketiganya kemudian terdiam. Mereka mencoba memperhatikan derap yang semakin lama menjadi semakin dekat.

“Beberapa ekor kuda menurut tangkapan telingamu?” bertanya Akuwu kepada Ken Arok.

“Dua.”

“Kau?” Akuwu itu berpaling kepada Witantra.

“Dua.”

“Aku menduga bahwa ada dua ekor kuda yang datang.”

Ken Arok dan Witantra saling berpandangan sejenak. Ternyata perhitungan mereka sama seperti hitungan Akuwu Tunggul Ametung. Derap kaki-kaki kuda di Padang Karautan yang sepi itu semakin lama menjadi semakin jelas. Angin padang yang basah seolah-olah telah mengantarkan berita kedatangan penunggang-penunggang kuda itu jauh mendahului kuda-kuda itu sendiri.

“Apakah ada utusan dari istana?” desis Ken Arok.

“He.” Akuwu mengerutkan keningnya, “bukankah kau masih prajurit Tumapel?”

Ken Arok menjadi heran, sehingga karena itu ia tidak segera menjawab.

“Seorang prajurit Tumapel tidak akan bertanya demikian.”

Ken Arok menjadi semakin tidak mengerti.

“Arah itukah arah Tumapel?” bertanya Akuwu.

Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Barulah ia menyadari kekeliruannya, dan barulah ia tahu maksud pertanyaan Akuwu Tunggul Ametung itu.

“Arah itu sama sekali bukan arah ke Tumapel.”

“Hamba, Tuanku. Hamba keliru. Hamba ternyata telah berkata tanpa memikirkannya lebih dahulu.”

Akuwu tidak menyahut. Perhatiannya kini tertumpah kepada dua ekor kuda itu, yang semakin lama menjadi semakin dekat. “Aku mengharap Kebo Sindet yang datang kepadaku tanpa aku cari.” desis Akuwu Tunggul Ametung.

“Mudah-mudahan.” hampir bersamaan Ken Arok dan Witantra menyahut.

Tiba-tiba Akuwu itu berpaling, lalu bertanya, “Kenapa mudah-mudahan? Apakah kau hanya sekedar ingin melihat aku berkelahi seperti melihat ayam sabungan?”

Witantra dan Ken Arok mengerutkan keningnya. Tetapi mereka sudah tahu benar tabiat Akuwu itu. Meskipun ia sendiri yang mengucapkannya, tetapi apabila orang lain mengatakannya pula, ia menjadi tidak bersenang hati. Karena itu maka Witantra segera menyahut, “Bukan begitu, Tuanku, maksud hamba, bukankah dengan demikian pekerjaan, Tuanku akan lekas selesai. Tuanku dapat menangkap Kebo Sindet dan memaksanya berkata dimana disembunyikannya Mahisa Agni.”

“Bagaimanakah kalau aku yang ditangkapnya atau dibunuhnya?”

“Apakah hamba berdua dan semua prajurit yang ada di padang ini akan tetap berdiam diri?”

“Tidak. Tidak.” tiba-tiba Akuwu itu berteriak, “kau sangka aku tidak mampu melawannya sendiri? Kau sangka bahwa orang-orang macam kalian ini dapat menyelamatkan aku? Aku sendiri mampu berbuat apa saja.”

Witantra menundukkan kepalanya. Bukan karena ngeri, tetapi ia menyembunyikan bibirnya yang tersenyum. Katanya, “Hamba, Tuanku.”

Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian menggeram, “Kalian tidak usah membangunkan mereka yang sedang tidur.”

“Hamba, Tuanku.”

“Aku akan melihat, siapakah yang datang itu.”

“Kemana, Tuanku akan pergi?”

Akuwu Tunggul Ametung tidak menjawab. Dengan tergesa-gesa ia melangkah menyongsong ke arah derap kaki-kaki kuda yang menjadi semakin dekat.

“Tuanku.” Witantra mamanggil.

Tetapi Akuwu tidak menghiraukannya. Ia berjalan saja menerobos gelap malam tanpa berpaling sama sekali. Witantra tidak dapat membiarkannya pergi tanpa seorang pengawalpun. Dan ia tidak mendapat kesempatan untuk memanggil orang lain, sehingga karena itu, maka ia pun melangkah pula mengikuti sambil berkata, “Tuanku sebaiknya tidak usah menyongsongnya. Ia akan datang kemari dan Tuanku akan melihat siapakah orang itu.”

Tetapi Akuwu seolah-olah sama sekali tidak mendengar. Ia melangkah terus, diikuti oleh Witantra yang membawa pedang di lambungnya. Namun hati Witantra itu menjadi agak tenteram ketika dilihatnya, dibawah kain panjang Akuwu Tunggul Ametung yang diselimutkan di badannya, tergantung sebuah penggada yang berwarna kekuning-kuningan, yang seolah-olah bercahaya di dalam gelapnya malam.

“Akuwu telah membawa pusakanya. Ia akan menjadi seorang yang luar biasa dengan senjata itu di tangannya.” desis Witantra di dalam hatinya.

Ternyata Ken Arok pun kemudian tidak dapat membiarkan kedua orang itu pergi menyongsong derap kaki-kaki kuda itu. Karena itu, maka ia pun segera menyusul di belakangnya. Berloncat-loncatan sehingga akhirnya ia telah berjalan di samping Witantra. Dengan dada tengadah Akuwu melangkah terus. Semakin lama bahkan semakin cepat. Seakan-akan ia menjadi tidak sabar lagi menunggu kuda-kuda itu mendekatinya. Derap kuda itu pun semakin lama menjadi semakin jelas. Dua ekor kuda. Suaranya menggeletar menggetarkan udara padang yang sepi. Hanyut bersama silirnya angin yang basah.

Akuwu Tunggul Ametung itu akhirnya berhenti. Ia berdiri tegak bertolak pinggang. Ia kini sudah mendapat keyakinan arah derap kaki-kaki kuda itu. Karena itu ia tidak perlu maju lagi. Sebentar lagi kuda-kuda itu akan lewat tepat di mukanya. Dan seandainya yang menunggang kuda itu Kebo Sindet, maka ia harus menghentikannya dan menangkapnya.

“Aku tidak boleh mempergunakan pusaka ini.” desisnya. Witantra yang tidak begitu jelas mendengar desis itu melangkah maju dan bertanya, “Apakah yang Tuanku katakan?”

Akuwu berpaling. Jawabnya, “Aku tidak berbicara kepadamu?”

“Apakah Tuanku maksudkan, Tuanku berbicara berbicara dengan Ken Arok.”

“Juga tidak. Aku berbicara kepada diriku sendiri. Aku tidak boleh mempergunakan senjataku, supaya Kebo Sindet tidak menjadi hancur sewalang-walang.”

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling kepada Ken Arok maka Ken Arok pun sedang mengerutkan keningnya. Tetapi mereka percaya sepenuhnya akan kata-kata Akuwu itu. Memang pusaka Akuwu itu benar-benar luar biasa. Sentuhan pada sesuatu, akibatnya sangat dahsyat. Hancur berkeping-keping.

“Aku harus menangkapnya utuh.” berkata Akuwu itu.

Sekali lagi Ken Arok mengerutkan keningnya dan Witantra menggigit bibirnya. “Ya.” berkata Witantra di dalam hati, “Akuwu tidak dapat menangkapnya separo atau sepertiga, apabila ia masih ingin mendengar pengakuan Kebo Sindet.”

Kini kuda itu sudah menjadi semakin dekat. Mata mereka yang tajam segera melihat bayangan yang samar-samar bergerak di Padang Karautan itu. Semakin lama semakin dekat. Bayangan itu langsung menuju kearah mereka. Tetapi beberapa langkah agak jauh, kedua ekor kuda itu berhenti. Seperti Akuwu Tunggul Ametung, Ken Arok dan Witantra yang ragu-ragu, penunggang-penunggang kuda itu pun ragu-ragu pula. Keduanya masih berada di atas punggung kuda masing-masing.

Akuwu Tunnggul Ametung tidak sabar lagi untuk menunggu. Tiba-tiba ia berteriak, “He, siapa di atas punggung kuda itu?”

Tidak segera terdengar jawaban.

“Turun.” teriak Akuwu, “turun dan datang kemari. Sebutkan siapakah kau berdua.”

Kedua bayangan di atas punggung kuda itu masih belum menyahut. Sejenak keduanya saling berpandangan. Namun kemudian mereka pun meloncat turun. Akuwu Tunggul Ametung dan kedua orang pengiringnya mengerutkan keningnya. Pada saat keduanya turun, maka tampaklah di lambung mereka sarung pedang yang mencuat ke samping.

“Mereka bersenjata pedang.” desis mereka di dalam hati.

Tetapi ternyata kedua orang itu masih saja berdiri di samping kuda masing-masing. Akuwu Tunggul Ametung tidak sabar lagi menunggu lebih lama. Karena itu maka segera ia melangkah mendekati. Ia sama sekali tidak menghiraukannya ketika Witantra berdesis, “Tuanku. Tunggu.”

Akuwu berjalan terus mendekati kedua orang itu. Witantra dan Kren Aroklah yang kemudian meloncat disampingnya, dikiri dan dikanan tanpa berjanji.

“Siapa kau?” bertanya Akuwu Tunggul Ametung.

Terdengar salah seorang dari mereka berkata, “Apakah hamba beradapan dengan, Tuanku Akuwu?”

“Ya.” sahut Akuwu Tunggul Ametung, “akulah, Akuwu Tunggul Ametung.”

“Oh.” desis salah seorang dari kedua orang itu.

Kemudian dengan langkah yang pendek, salah seorang dari mereka menyongsong Akuwu Tunggul Ametung itu. Dengan hormatnya ia menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Dada Akuwu menjadi berdebar-debar. Kini jarak mereka menjadi lebih pendek. Dan Akuwu telah melihat bentuk orang yang sedang mengangguk kepadanya itu.

“He, siapa kau?”

“Hamba, Mahisa Agni.”

“He.” Akuwu terperanjat meskipun bentuk Mahisa Agni itu sudah membuat Akuwu berdebar.

Juga Witantra dan Ken Arok tidak kalah terkejut pula. Bahkan terasa dada mereka berdesir dan kemudian berdebar-debar. Sejenak mereka diam mematung.

Tetapi sejenak kemudian Akuwu Tunggul Ametung meloncat maju. Dicengkamnya pundak Mahisa Agni dan di guncang-guncangkannya. Katanya, “He, kau masih hidup?”

“Seperti yang, Tuanku lihat.”

“Dan kau masih dapat melepaskan dirimu dari tangan Kebo Sindet yang gila itu?”

“Hamba, Tuanku.”

“Siapa yang menolongmu he?” bertanya Akuwu itu tiba.

Mahisa Agni menjadi ragu-ragu sejenak. Gurunya berpesan kepadanya supaya ia tidak menyebut-nyebut namanya. Gurunya tidak ingin menimbulkan kenangan lagi bagi puterinya, apalagi dalam keadaan yang paling sulit dimasa-masa mendatang.

“Siapa he, siapa Setan, gendruwo atau dewa-dewa dari langit?”

“Tuanku.” berkata Mahisa Agni kemudian, “yang menolong hamba adalah guru Kuda Sempana. Empu Sada.”

“He?” sekali lagi Akuwu Tunggul Ametung terperanjat. Juga Witantra dan Ken Arok terperanjat pula.

“Jadi orang itu telah benar-benar menyesali perbuatannya?” bertanya Akuwu.

“Hamba, Tuanku.”

Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba ia berteriak, “He, kenapa kau tidak menunggu aku? Kenapa kau lari lebih dahulu dari tangan Kebo Sindet sebelum aku datang he?”

Mahisa Agni terkejut mendengar pertanyaan itu. Sejenak ia diam mematung, dan bahkan dipandanginya Witantra dan Ken Arok berganti-ganti, seolah-olah ia ingin mendapat penjelasan dari pertanyaan Akuwu Tunggul Ametung itu. Tetapi Witantra dan Ken Arok itu pun tidak dapat berbuat apa-apa selain saling berpandangan pula.

“Kenapa?” kembali terdengar suara Akuwu Tunggul Ametung.

Mahisa Agni masih berdiri mematung. Ia menjadi ragu-ragu untuk menjawab.

“Kenapa kau tidak menunggu aku membebaskanmu? Kenapa Empu Sada he?”

Mahisa Agni menjadi semakin tidak mengerti. Karena itu ia masih saja berdiri mematung.

“Kau tidak memberi kesempatan kepadaku.” berkata Akuwu itu kemudian, “Bukan kau, tetapi Empu Sada itu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk menunjuklan bahwa aku pun mampu melakukannya. Tidak perlu orang lain. Ken Dedes harus yakin, bahwa aku dapat berbuat seperti yang diingininya, membebaskan Mahisa Agni dan memhunuh Kebo Sindet. Tetapi kesempatan itu kini sudah tertutup.”

Mahisa Agni masih berdiri saja sambil berdiam diri. Ia masih ragu-ragu, bagaimana ia harus menanggapi pikiran Akuwu Tunggul Ametung yang aneh itu.

“He, kenapa? Kenapa kau diam saja?” Akuwu itu kemudian berteriak, “apakah Empu Sada menganggap aku sama sekali tidak berdaya untuk bertindak atas Kebo Sindet itu? Itu suatu penghinaan bagi Akuwu Tunggul Ametung?”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Samar-samar ia kini dapat menangkap perasaan Akuwu yang kecewa, karena seolah-olah ia tidak mampu melepaskannya. Akuwu ingin menunjukkan kepada Ken Dedes bahwa ialah yang berhasil melepaskan Mahisa Agni dari tengan Kebo Sindet. Tetapi yang kemudian menggetarkan dada Mahisa Agni bukanlah sikap Akuwu Tunggul Ametung itu sendiri. Namun dengan demikian ternyata kepadanya, bahwa selama ini Ken Dedes selalu berusaha agar Akuwu membebaskannya dari tangan iblis dari Kemundungan itu.

Dan sebelum Akuwu itu berteriak lagi, Maiisa Agni mencoba untuk menjawab, “Ampun, Tuanku. Sebenarnyalah bahwa, Tuanku mempunyai kemampuan lebih dari Empu Sada. Tetapi adalah suatu kebetulan saja bahwa Empu Sada bertemu dengan Kebo Sindet, berkelahi dan Kebo Sindet terbunuh. Kebetulan yang datang tepat pada waktunya, sebab pada saat itu Kebo Sindet telah siap untuk membunuh hamba dengan caranya, karena usahanya untuk mempergunakan hamba sebagai alat pemeras dirasanya telah gagal.”

Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Lalu terdengar suaranya menggeram, “Bagaimanakah cara yang akan ditempuh oleh Kebo Sindet itu untuk membunuhmu? Gantung atau pancung atau apa?”

Mahisa Agni ragu-ragu sejenak. Kemudian jawabnya, “Kebo Sindet belum sempat melakukannya. Tetapi yang telah diucapkan, cara itu adalah cara yang paling mengerikan. Hamba akan diikat di atas rawa-rawa yang menyimpan banyak sekali buaya-buaya kerdil. Kebo Sindet ingin melihat buaya-buaya itu menggapai-gapai hamba, sehingga pada saatnya, salah seekor dari padanya sempat merobek tubuh hamba dan menyeret ke dalam rawa-rawa.”

Wajah Akuwu Tunggul Ametung tiba-tiba menjadi tegang. Terdengar ia menggeram, “Kejam sekali. Kejam sekali. Apakah kira-kira hal itu akan dilakukannya benar-benar?”

“Hamba, Tuanku. Demikianlah tabiat Keto Sindet itu.”

“Setan. Seharusnya akulah yang membunuhnya. Akulah yang harus menghentikan segala kejahatannya yang mengerikan itu.” Akuwu bergumam seolah-olah kepada diri sendiri. Tiba-tiba teringat pula olehnya cara yang dipilih oleh Kebo Sindet untuk membunuh Jajar yang gemuk yang telah mencoba berkhianat kepadanya. Hidup-hidup di masukkan ke dalam api yang menelan rumahnya sendiri. Oleh kenangan itu, maka wajah Akuwu itu menjadi semakin tegang. Dengan tajamnya dipandanginya seseorang yang berdiri disamping kudanya, yang datang bersama-sama dengan Mahisa Agni. Dan tiba-tiba pula Akuwu itu berteriak, “He bukankah kau Kuda Sempana?”

Dada Mahisa Agni berdesir mendengar suara Akuwu dalam nada yang tinggi itu. Apalagi Kuda Sempana yang telah merasa banyak sekali menyimpan kesalahan, sehingga sejenak ia tidak dapat mengucapkan kata-kata. Witantra dan Ken Arok pun menjadi tegang pula. Mereka tahu benar, peranan apakah yang selama ini telah dilakukan oleh Kuda Sempana sehingga keadaan Mahisa Agni, Ken Dedes, dan bahkan seluruh Panawijen menjadi sedemikian buruknya.

“Jawab pertanyaanku.” Akuwu mulai berteriak lagi, “bukankah kau bernama Kuda Sempana?”

Terasa darah Kuda Sempana menjadi semakin cepat mengalir sehingga dadanya menjadi berdentangan.

“He, apa jawabmu...?”

Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 38

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 38
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

KEBO SINDET tidak telaten menghadapi lawannya yang tidak segera dapat ditundukkannya. Di dalam hujan yang sangat lebat, orang itu menggeretakkan giginya. Beberapa langkah ia meloncat surut, kemudian bagai sebatang tonggak ia berdiri tegak sambil memusatkan segenap kekuatannya. Dibangkitkannya semua kekuatan dan getaran yang ada di dalam dirinya, disalurkannya lewat urat nadinya, dipusatkannya pada tangan kanannya yang menggenggam goloknya. Bukan sekedar kekuatan yang sudah mencapai puncaknya, tetapi segenap kekuatan cadangan yang tersimpan rapat-rapat di dalam dirinya. Kali ini Kebo Sindet bertekad untuk melepaskan aji pamungkasnya, aji yang dahsyat sedahsyat petir di udara.

Mahisa Agni menjadi berdebar-debar melihat sikap lawannya. Tetapi ia tidak dapat sekedar melihat apa yang akan dilakukan oleh Kebo Sindet. Yang akan terjadi itu pasti langsung menyangkut dirinya. Apabila ia tidak segera berbuat sesuatu untuk mengimbanginya, maka ia akan menjadi lumat sama sekali. Itulah sebabnya, maka Mahisa Agni pun segera berdiri tegak di atas kedua kakinya yang renggang. Meskipun dengan hati yang berdebar-debar, maka segera dibangunkannya kekuatan puncaknya dalam hubungan lahir dan batinnya. Dijulurkannya tangan kirinya lurus ke depan, dan di silangkannya pedangnya di muka dadanya.

Tangan anak muda itu tampak bergetar. Aji Gundala Sasra yang sudah disempurnakan dengan unsur-unsur kekuatan dan gerak yang serasi dari inti kedahsyatan Aji Kala Bama yang luluh, seolah-olah mengalir pada telapak tangannya. Mahisa Agni belum pernah membuat pertandingan-pertandingan dari kekuatannya dengan kekuatan-kekuatan lain dalam benturan langsung. Namun ia dapat menduga, bahwa kekuatan yang ada di dalam dirinya, setidak-tidaknya akan mampu mengimbangi kekuatan lawannya.

Sejenak kedua orang itu seolah-olah membeku. Namun sejenak kemudian berbareng dengan meledaknya guntur di langit, terdengar Kebo Sindet berteriak nyaring. Goloknya terangkat tinggi-tinggi, dan bersamaan dengan loncatannya, goloknya terayun deras sekali menghantam lawannya yang sudah siap menunggunya.

Di Padang Karautan, yang terdengar adalah suara Akuwu Tunggul Ametung berteriak keras sekali, sekeras ledakan petir yang bersabung, “Ken Arok, cepat meloncat ketepi.”

Tetapi Ken Arok sudah tidak mendapat kesempatan lagi. Tanah di bawah kakinya seakan-akan surut dengan cepatnya, sedangkan air naik secepat itu pula. Dada anak muda itu menjadi berdebar-debar. Dikerahkan segenap kekuatan yang ada di dalam dirinya. Kekuatan yang telah ada di dalam tubuhnya tanpa diketahuinya sendiri.

Sejenak Akuwu Tunggul Ametung menjadi bingung. Kebo Ijo dan prajurit-prajurit yang lain seakan-akan telah kehilangan akal mereka. Bahkan mereka telah menjadi berputus asa. Ken Arok tidak akan dapat tertolong lagi. Ki Buyut Panawijen menjadi pucat seperti mayat, sedang orang-orang Panawijen benar-benar telah kehilangan nalar dan harapan.

Akuwu Tunggul Ametung pun masih berdiri membeku. Ia adalah orang yang hampir-hampir tidak pernah berpikir, apalagi menanggapi persoalan yang tiba-tiba. Tetapi, kali ini Akuwu Tunggul Ametung sama sekali tidak berputus asa dan tidak membiarkan Ken Arok hanyut tanpa berbuat sesuatu. Meskipun demikian, meskipun ia sedang dirisaukan oleh persoalan yang sedang dihadapinya, namun sesaat jantungnya bergetar. Ia melihat sesuatu yang aneh baginya.

Ternyata daya tangkap dan tanggapan Akuwu Tunggul Ametung atas persoalan-persoalan yang bukan sekedar masalah lahiriah, jauh lebih baik dari orang-orang yang ada di sekitarnya, bahkan tidak jauh berbeda dari Empu Purwa, Empu Gandring dan beberapa orang lain. Lamat-lamat di dalam hujan yang sangat lebat ia melihat warna yang kemerah-merahan di atas ubun-ubun Ken Arok yang sedang mengerahkan segenap kekuatan yang seakan-akan telah tersedia di dalam dirinya, untuk bertahan supaya ia tidak hanyut.

Bahwa ia masih tetap dapat berdiri, adalah suatu hal yang hampir tidak mungkin dan tidak masuk akal. Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa Ken Arok masih dapat bertahan, berdiri tegak menahan arus air yang luar biasa dan sudah hampir mencapai setinggi dada. Tetapi ia tidak mendapat kesempatan untuk meloncat karena justru tanah di bawah kakinya menjadi surut hanyut di dalam arusnya banjir yang mendapat saluran untuk mengalir. Kalau ia berusaha untuk meloncat juga, maka ia akan terperosok semakin dalam dan segera akan tenggelam.

Akuwu Tunggul Ametung yang sesaat dipukau oleh tanggapan mata hatinya itu, segera menyadari keadaan. Tiba-tiba sekali lagi ia berteriak. Sekali lagi orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel dihadapkan pada suatu keadaan yang tidak masuk diakal mereka. Akuwu itu tiba-tiba melenting seperti bilalang. Sekali sambar tangannya telah menggenggam ujung sebatang bambu yang tertumpuk di pinggir bendungan. Kemudian sekali lagi ia melenting sambil menjinjing bambu itu. Terdengarlah kemudian suaranya mengguntur,

“Tangkaplah pangkalnya. Peganglah erat-erat. Aku akan menarikmu.”

Orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel hampir tidak dapat mengerti apa yang telah terjadi. Adalah di luar nalar mereka bahwa seseorang mampu melakuannya, menjinjing sebatang bambu utuh yang panjang sambil meloncat sedemikian jauhnya, kemudian mengulurkan bambu itu dari pinggir susukan induk kepada Ken Arok yang sedang berjuang menguasai diri, melawan air yang kini telah mencapai setinggi dadanya.

Sejenak Ken Arok terpukau melihat gerak Akuwu Tunggul Ametung. Demikian ia mengaguminya, sehingga ia hampir lupa kepada dirinya sendiri. Tetapi segera ia sadar setelah pangkal sebatang bambu yang dijulurkan Akuwu Tunggul Ametung itu hampir menyentuh hidungnya. Ternyata Akuwu Tunggul Ametung telah berbuat tepat pada waktu. Apabila ia terlambat sekejap, maka keadaannya akan menjadi lain, karena sekejap kemudian tanah di bawah kaki Ken Arok itu seolah-olah telah hanyut diseret oleh banjir bandang.

Apabila Ken Arok ikut serta terseret oleh arus itu maka usahanya untuk melepaskan diri akan menjadi semakin sulit dan usaha untuk menolongnya pun menjadi semakin sulit pula. Tetapi pada saatnya tangan Ken Arok menyambar pangkal bambu yang dijulurkan kepadanya meskipun sesaat ia masih dirayapi oleh keragu-raguan, bahwa justru Akuwu Tunggul Ametung lah yang akan ikut terseret bersamanya.

Tetapi sekali lagi orang-orang Panawijen dan para prajurit itu berdiri dengan mulut ternganga, meskipun air hujan masuk ke dalamnya. Dada mereka terasa berhenti berdetak ketika mereka melihat bagaimana Ken Arok berusaha menahan diri berpegangan pada pangkal bambu yang ujungnya dipegang oleh Akuwu Tunggul Ametung. Dua kekuatan di pangkal dan di ujung itu hampir tidak dapat dinilai oleh orang-orang yang berdiri memaku di sekitarnya. Bahkan orang-orang yang berada di seberang pun terpukau sama sekali melihat apa yang terjadi, meskipun hanya samar-samar karena hujan yang terlampau deras.

Perlahan-lahan Akuwu menarik bambu itu. Dikerahkannya segenap kekuatan yang ada padanya. Bambu, Ken Arok dan banjir adalah lawan yang cukup berat baginya. Tetapi ternyata Akuwu adalah seorang yang memiliki tenaga yang luar biasa. Orang-orang yang terpesona melihat hal itu terjadi, justru berdiri saja mematung, tanpa dapat berbuat sesuatu. Mereka sama sekali tidak beranjak dari tempatnya, apalagi berlari dan ikut serta menahan bambu yang sedang mengangkat tubuh Ken Arok dari dalam arus air.

Sedang Ken Arok sendiri, berpegang pada pangkal bambu itu. Terasa seolah-olah air menghisapnya dan menariknya ke dalam lingkaran maut. Tetapi ia bertahan terus. Bertahan dengan kekuatan yang jauh melampaui kekuatan orang-orang kebanyakan. Betapa lambatnya, namun Ken Arok terseret semakin menepi. Agaknya dua kekuatan di ujung dan pangkal sebatang bambu itu akan dapat menyelamatkannya. Meskipun kadang-kadang segumpal air menghantam wajahnya, namun sekejap kemudian Ken Arok berhasil mengangkatnya ke atas permukaan air.

Mereka yang menyaksikan, Ken Arok tertarik sedikit demi sedikit menepi itu, menahan nafas mereka. Wajah-wajah mereka menjadi semakin tegang dan darah mereka serasa berhenti mengalir.

Seperti Kuda Sempana yang saat itu menahan nafasnya pula, jantungnya pun seakan-akan berhenti berdetak. Ia tahu benar, bahwa kedua orang yang mempersiapkan kekuatan pamungkas mereka. Loncatan Kebo Sindet yang hampir-hampir tidak dapat diikuti oleh mata itu, adalah permulaan dari benturan yang sekejap lagi pasti akan terjadi. Dada Kuda Sempana lah yang akan meledak, sesaat kemudian ketika ia melihat golok Kebo Sindet terayun deras sekali seperti petir yang menyambar dari langit disertai suaranya yang melengking semakin tinggi.

Tetapi Mahisa Agni telah bersiap sepenuhnya untuk menerima serangan itu. Ia kali ini sengaja tidak ingin menghindar. Ia ingin mengalami benturan itu, supaya perkelahian itu segera sampai pada akhirnya. “Disini kita akan mendapat kepastian.” gumannya di dalam hati.

Sesaat kemudian anak muda itu menggeretakkan giginya, Di sentakkannya kakinya menyongsong serangan Kebo Sindet itu. Dengan pedangnya Mahisa Agni dengan sengaja membenturkan kekuatannya melawan kekuatan aji lawannya.

Benturan yang terjadi adalah benturan yang dahsyat sekali. Sepercik bunga api meloncat ke udara, meskipun hujan yang lebat sekali masih tercurah dari langit. Seolah-olah sepasang petir sedang bersabung di udara. Bersabung dengan penuh dendam dan benci. Akibat dari benturan itu pun dahsyat sekali. Keduanya terlempar beberapa langkah surut. Terasa kekuatan benturan itu telah menyalar di tubuh mereka, seakan-akan menghentak jantung di dalam dada masing-masing, sehingga sekejap kemudian mata mereka menjadi berkunang-kunang.

Kebo Sindet merasakan sesuatu yang menyesak pernafasannya, sehingga ia menjadi tersengal-sengal. Namun ia masih cukup menyadari apa yang telah terjadi, sehingga ia masih mampu untuk berusaha jatuh di atas kedua kakinya. Sedang Mahisa Agni masih juga menyadari keadaannya sepenuhnya. Meskipun dadanya terasa sesak, tetapi akibat benturan-benturan itu masih tidak separah Kebo Sindet. Agaknya ilmunya yang luluh dengan kekuatan Aji Empu Sada, telah berhasil mengatasi kekuatan lawannya, meskipun perbedaan itu masih belum terlampau banyak. Ternyata dalam kekurangannya, Kebo Sindet masih memiliki kelebihan pengalaman yang cukup untuk mempertahankan dirinya.

Tetapi sekali lagi Mahisa Agni dihadapkan kepada lawan yang lain. Ketika ia berusaha berdiri tegak di atas kedua kakinya, maka tiba-tiba keseimbangannya terganggu oleh tanah yang licin. Dalam keadaan yang sulit itu, akhirnya Mahisa Agni tidak berhasil mempertahankan keseimbangannya, sehingga sejenak kemudian ia terpelanting jatuh.

Kebo Sindet yang terluka di dadanya, yang berhasil tegak pada kedua kakinya, meskipun agak tertatih-tatih, melihat Mahisa Agni terpelanting jatuh. Baginya itu adalah suatu kesempatan. Tetapi pada saat yang demikian barulah ia menyadari, bahwa golok di tangannya yang langsung berbenturan dengan pedang Mahisa Agni telah terpelanting jatuh. Terasa kemudian bahwa tangannya menjadi pedih. Kebo Sindet itu mengumpat dengan kata-kata yang paling kotor. Ia sadar, bahwa kekuatan Mahisa Agni ternyata telah melampaui kekuatannya.

Namun ia menjadi berpengharapan ketika ia melihat bahwa Mahisa Agni pun telah tidak bersenjata lagi. Meskipun pangkal pedangnya tidak terlepas dari tangannya, betapapun dahsyatnya benturan yang terjadi, tetapi pedang itulah yang ternyata kurang baik bagi benturan kekuatan yang dahsyat. Ternyata pedang itu terputus hampir di pangkalnya. Dan kini Kebo Sindet melihat Mahisa Agni terpelanting jatuh tergelincir karena tanah yang licin. Pada saat Mahisa Agni masih belum menemukan kesempatan untuk bangun, maka ia harus mempergunakan setiap kemungkinan. Ia harus cepat menyerang dan membinasakan lawannya.

Kebo Sindet mencoba mengumpulkan kekuatannya yang terakhir. Terdengar ia menggeram keras. Luka di dalam dadanya tidak dihiraukannya. Sekali lagi ia mateg aji pamungkasnya. Seperti seekor harimau lapar Kobo Sindet meloncat menerkam Mahisa Agni yang masih belum sempat bangkit.

Tetapi Mahisa Agni memang tidak segera bangkit. Ia menyadari bahwa Kebo Sindet pasti akan mempergunakan kesempatan itu. Kesempatan pada saat ia kehilangan keseimbangan. Karena itu maka ia masih saja berbaring di tempatnya. Justru sambil berbaring dipusatkannya segala kekuatan dan getaran di dalam dirinya. Kekuatan lahir dan batin. Mahisa Agni hanya sempat menggeser diri dalam sikap yang dikehendaki. Ia menempatkan dirinya membujur bertentang arah terkaman Kebo Sindet. Dilepaskannya sama sekali hulu pedang yang patah. Ia tidak dapat mempergunakannya lagi. Lawannya pun tidak mempergunakan senjata, selain kekuatan aji tertingginya.

Mahisa Agni yang telah mendalami dan mengenali watak kekuatannya sendiri, kali ini tidak menjalurkannya dan memusatkannya di tangannya, tetapi kekuatannya disalurkannya pada kedua kakinya. Dengan berdebar-debar ia menunggu terkaman iblis dari Kemundungan itu.

Kebo Sindet dengan sepenuh tenaganya, menjulurkan tangannya. Ia telah siap mencekik leher Mahisa Agni, menindihnya dan membuatnya tidak bernafas. Meskipun kekuatannya tidak sebesar kekuatan Mahisa Agni, tetapi perbedaan itu tidak terlampau besar, sehingga apabila tangannya telah menerkam leher lawannya, ia yakin, pada saat sentuhan itu terjadi, Mahisa Agni pasti sudah kehilangan sebagian besar dari kekuatannya. Leher lawannya tidak akan sekuat tangannya untuk menolak kekuatan aji pamungkasnya.

Tetapi Kebo Sindet lupa bahwa Mahisa Agni pun memperhitungkan waktu sekejap demi sekejap. Anak muda itupun menyadari, bahwa apabila ia menyia-nyiakan waktu yang sekejap, maka akibatnya akan tidak diduga-duganya. Itulah sebabnya, ia telah siap menyambut Kebo Sindet yang seakan-akan melayang menerkamnya sambil berteriak nyaring. Matanya yang membara menjadi semakin liar, dan wajahnya yang beku itu memancarkan nafsu iblisnya.

Tetapi Mahisa Agni telah siap menyambutnya. Pada saat yang telah diperhitungkan Mahisa Agni menekuk lututnya, dan menyambut terkaman Kebo Sindet itu dengan kekuatan puncaknya, dengan ajinya yang telah disempurnakan. Sekali lagi terjadi sebuah benturan yang dahsyat. Benturan antara dua kekuatan yang pilih tanding. Dua kekuatan raksasa yang dilontarkan dengan nafas kebencian, dendam dan nafsu yang meluap-luap.

Sekali lagi keduanya harus mengalami akibat yang dahsyat pada tubuh masing-masing. Ternyata Mahisa Agni yang membentur serangan Kebo Sindet itu dengan kakinya, terdorong beberapa langkah, meluncur di atas tanah yang licin menuju ke bibir rawa-rawa. Dengan sekuat tenaga anak muda itu mencoba menahan dirinya dengan mencengkamkan jari-jari tangannya pada tanah berlumpur. Meskipun tidak terlampau banyak, namun usaha itu telah menahannya. Mahisa Agni berhenti beberapa langkah yang pendek saja dari bibir rawa-rawa.

Bahkan kepalanya telah terperosok kedalam gemburnya lumpur rawa-rawa yang berwarna gelap. Tetapi Mahisa Agni tidak terjerumus masuk dalamnya. Sedang sendi-sendi tulang kakinya terasa berpatahan. Perasaan sakit yang luar biasa telah menyalari seluruh tubuhnya. Namun Mahisa masih tetap sadar, apa yang telah terjadi dengan dirinya. Ia masih sempat melihat akibat dari peristiwa itu dan peristiwa-peristiwa berikutnya.

Mahisa Agni masih mendengar Kebo Sindet berteriak mengerikan. Benturan itu agaknya telah membuat lukanya semakin parah. Tetapi lebih dari pada itu, dorongan kaki Mahisa Agni telah melemparkan Kebo Sindet yang seakan-akan sedang terbang di atasnya. Tubuh iblis itu melambung tinggi dan melayang ke arah yang sama sekali tidak dikehendaki oleh Kebo Sindet. Dalam usahanya terakhir Kebo Sindet menggeliat di udara, namun ia tidak berhasil menghentikan lontaran kekuatan Mahisa Agni, sehingga tubuhnya melayang langsung kedalam air yang keruh berlumpur. Sejenak kemudian tubuh itu pun terbanting jatuh ke dalam rawa-rawa.

Suara teriakan Kebo Sindet masih terdengar sesaat. Mahisa Agni sejenak melupakan segala macam penderitaan tubuhnya. Ia berusaha untuk bangkit, dan melihat apa yang telah terjadi. Sebuah desir yang tajam menggores jantungnya. Ia melihat Kebo Sindet menggelepar di dalam air. Dan ia melihat Kebo Sindet masih berusaha untuk mencoba menyelamatkan dirinya. Kebo Sindet itu telah mengenal betul watak dan tabiat rawa-rawa itu, sehingga ketika tubuhnya telah berada di dalam air, justru ia menghentikan segala macam gerak yang sama sekali tidak berarti, yang akan mendorongnya semakin cepat terbenam ke dalam lumpur.

Mahisa Agni kini sudah berdiri pada lututnya. Tubuhnya terasa lemah sekali, seakan-akan semua tulang-tulangnya dilolosi. Karena itu maka ia tidak berusaha untuk berdiri tegak di atas kedua kakinya, Ia tidak mau jatuh tergelincir karena tanah yang licin, apalagi tergelincir masuk rawa-rawa menyusul Kebo Sindet. Dengan demikian maka dengan nafas terengah-engah dan sekali-sekali menyeringai menahan sakit, ia melihat Kebo Sindet berada di dalam air.

“Setan iblis.” Kebo Sindet mengumpat di dalam air. Namun ia masih berdiri diam. Dengan mata yang menyalakan dendam tiada taranya dipandanginya Mahisa Agni.

Tetapi sejenak kemudian ia sadar akan dirinya. Ia harus segera keluar dari rawa-rawa itu. Dicobanya untuk menggerakkan kakinya sedikit, bergeser ke tepi. Tetapi ternyata tanah berlumpur di bawah kakinya terlampau gembur, sahingga sedikit demi sedikit, Kebo Sindet itu seolah-olah dihisap kedalam bumi.

Sejenak terbersit kecemasan membayang di wajah yang beku itu. Bayangan yang hampir sepanjang hidupnya tidak pernah mewarnai wajahnya. Namun kini tampaklah, betapa Kebo Sindet telah dicengkam oleh kecemasan yang sangat. Setiap kali ia bergerak, betapapun kecilnya, maka kakinya menjadi semakin dalam terperosok ke dalam lumpur di dasar rawa-rawa itu. Meskipun demikian Kebo Sindet masih berusaha untuk melangkah ketepi. Perlahan-lahan ia beringsut. Namun perlahan-lahan ia terbenam semakin dalam.

“Gila, kau gila Mahisa Agni.” teriaknya. Kecemasan semakin mencengkam jantungnya, “kalau aku berhasil ke luar dari rawa-rawa ini, maka aku cincang kau habis-habisan.”

Mahisa Agni masih terdiam ditempatnya. Ia masih berdiri pada lututnya. Namun kengerian membayang di hatinya. Ia tahu benar, apakah yang tersimpan di dalam air yang keruh itu. Ia dapat membayangkan apakah yang akan terjadi atas Kebo Sindet itu apabila ia tidak segera dapat keluar dari dalam air berlumpur itu. Sejenak Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Dan sekali lagi ia mendengar suara Kebo Sindet,

“He Mahisa Agni. Kalau aku nanti keluar dari rawa-rawa ini, kaulah yang akan aku lemparkan masuk. Kaulah yang akan menjadi makanan buaya-buaya kerdil di sini.”

Mahisa Agni tidak menjawab. Sekali-sekali perasaan sakit seolah-olah menyengat di seluruh tubuhnya. Namun ia yakin bahwa Kebo Sindet pun terluka setidak-tidaknya separah dirinya sendiri. Tetapi karena keadaannya, maka seolah-olah luka itu tidak terasa, Kebo Sindet sedang dicemaskan oleh rawa-rawa yang kini seakan-akan sudah membelenggunya.

Tetapi iblis itu tidak berputus asa. Ia masih juga berusaha. Setiap kali ia menggerakkan tubuhnya, maka mulutnya pasti mengumpat tidak habis-habisnya. Wajahnya kini sama sekali tidak lagi membeku seperti wajah mayat. Namun jelas ketegangan dan kecemasan yang mengerikan, membayang di wajah itu. Ketika kakinya terperosok semakin dalam, Kebo Sindet itu mengumpat-umpat semakin keras. Tetapi ia masih belum menyerah. Ia masih berusaha terus. Perlahan-lahan sekali. Tetapi ternyata kaki-kakinya semakin dalam terhisap masuk ke dalam tanah berlumpur di dasar rawa-rawa. Kesabaran Kebo Sindet pun semakin lama menjadi semakin mencair. Usaha untuk melepaskan diri semakin lama menjadi semakin kabur, sehingga iblis itu memaki-maki semakin keras dan kotor.

Mahisa Agni yang berdiri pada lututnya melihat, betapa wajah Kebo Sindet yang sehari-hari dilihatnya selalu membeku itu menjadi tegang. Kemudian diulas oleh kecemasan hatinya dan akhirnya wajah itu seolah-olah telah membayangkan keputus asaan. Betapa dendam membara di dalam dada Mahisa Agni, ketika dilihatnya akhir yang mengerikan dari hidup Kebo Sindet itu terasa sentuhan halus menyinggung hatinya. Ia memang ingin membinasakan iblis dari Kemundungan itu, tetapi tidak dengan cara itu. Tidak dengan cara yang demikian mengerikan.

Tiba-tiba Mahisa Agni pun melupakan betapa tubuhnya menjadi hampir lumpuh. Perlahan-lahan dan hati-hati ia bangkit. Setapak-setapak ia melangkahkan kakinya meninggalkan pinggiran rawa-rawa itu. Tetapi langkahnya tertegun ketika ia mendengar Kebo Sindet berteriak,

“He, jangan lari pengecut. Sebentar lagi aku akan keluar dari air ini. Tubuhku terasa bertambah segar. Dan kau akan mengalami kematian yang paling mengerikan.”

Mahisa Agni melihat wajah Kebo Sindet semakin menjadi tegang dan berputus-asa. Namun wajah itu masih juga memancarkan dendam dan kebencian tiada taranya. Tiba-tiba dada Mahisa Agni berdesir tajam Ia melihat sesuatu dikejauhan bergerak-gerak di permukaan air. Satu, dua disusul oleh yang lain semakin lama semakin banyak. Buaya-buaya kerdil. Wajah Mahisa Agni tiba-tiba menjadi pucat. Buaya-buaya itu pasti telah mencium bau darah yang meleleh dari tubuh Mahisa Agni. Dan buaya-buaya itu sebentar lagi pasti akan menyeret tubuh Kebo Sindet semakin ketengah dan mengoyak-ngoyaknya.

Mahisa Agni menjadi ngeri sekali membayangkan apa yang akan terjadi Karena itu maka tiba-tiba ia melangkah semakin cepat, secepat dapat dilakukan. Sejenak ia mencari-cari ditempat ia berkelahi melawan Kebo Sindet sebelum Kebo Sindet terlempar ke dalam air. Ia sama sekali tidak memperdulikan Kebo Sindet berteriak-teriak memanggilnya dan memaki-makinya,

“Pengecut licik. Jangan lari. Tunggu, sebentar lagi aku akan mengoyak tubuhmu dan melemparkannya kemulut-mulut buaya kerdil.”

Dan buaya-buaya kerdil itu benar-benar telah mendekat. Mahisa Agni yang menjadi semakin berdebar-debar karenanya, dengan serta-merta berteriak, “Buaya-buaya itu telah datang. Cepat, kalau kau dapat melakukannya, naiklah.”

Kebo Sindet mengerutkan keningnya. Sesuatu hal yang jarang sekali dilakukannya. Wajahnya kini seakan-akan telah mencair, telah tidak membeku lagi. Ketika ia berpaling, dikejauhan dilihatnya permukaan air yang bergerak-gerak. Dada iblis dari Kemundungan itu berdesir tajam. Kini ia berhadapan dengan kenyataan, bahwa buaya-buaya kerdil itu segera akan menyerangnja, tubuhnyalah yang sebentar lagi akan dikoyak-koyakkannya. Sama sekali bukan Mahisa Agni.

Jantung Kebo Sindet serasa melonjak-lonjak di dalam dadanya. Ia sama sekali tidak mau menerima kenyataan itu. Ia ingin mengikat Mahisa Agni dan menggantungkannya dekat di permukaan air. Ia ingin melihat buaya-buaya kerdil itu melonjak-lonjak meraih tubuh yang tergantung itu, sehingga pada suatu saat tubuh itu terkoyak oleh gigi-gigi buaya kerdil yang tajam. Tetapi buaya-buaya itu kini berenang perlahan-lahan ke arahnya, dan ia tidak dapat berbuat apa-apa.

“Setan, iblis.” ia mengumpat-umpat, “Mahisa Agni, seharusnya kau lah yang berada di sini. Ayo, kemarilah. Kau harus menggantikan tempat ini. Kaulah yang akan menjadi makanan buaya kerdil itu. Cepat, datang kemari supaya aku mengampunkan kesalahanmu.”

Mahisa Agni berdiri tegak ditempatnya. Ia melihat buaya-buaya kerdil itu menjadi semakin dekat. Debar di dalam dadanya pun menjadi semakin cepat. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.

“Kau kemari, he anak setan.” teriak Kebo Sindet, “kau kemari. Aku akan memaafkan semua kesalahanmu. Kau akan kuampuni.” Kebo Sindet itu berhenti sejenak, “tetapi kalau tidak, maka kau akan aku cincang sebelum kau mati. Aku dapat membunuhmu dengan segala macam cara yang aku kehendaki.”

Mahisa Agni kini melihat Kebo Sindet itu kehilangan ketenangannya, Ia berusaha untuk meloncat, tetapi kakinya seolah-olah telah digenggam erat-erat oleh lumpur di dasar rawa itu. Meskipun demikian Kebo Sindet masih berusaha. Ia mencoba untuk tidak menginjakkan kakinya lagi. Ia berusaha untuk berenang. Berenang ketepi. Namun kakinya telah benar-benar terbenam semakin dalam. Sedang buaya-buaya itu menjadi semakin dekat.

Bukan saja Kebo Sindet yang menjadi cemas, tetapi Mahisa Agni pun menjadi semakin cemas juga. Tanpa disengajanya anak muda itu berpaling kepada Kuda Sempana. Ternyata wajah Kuda Sempana pun menjadi kian pucat. Ia tidak menghiraukan lagi titik-titik air hujan yang menyiram wajah itu. Tiba-tiba Mahisa Agni melihat sesuatu tergolek di tanah. Golok Kebo Sindet. Golok yang terlepas dari tangan iblis itu pada saat benturan kekuatan diantara mereka terjadi.

Dengan serta merta, seolah-olah di luar sadarnya Mahisa Agni melangkah mendekati. Diambilnya golok itu, dan sejenak ia berdiri dalam kebimbingan. Namun kemudian ia memutar tubuhnya menghadap kepada Kebo Sindet yang kini sudah kehilangan ketenangannya menggelepar di dalam air yang seakan-akan semakin menghisapnya. Dengan lantang Mahisa Agni itu berkata, “Kebo Sindet, ini senjatamu. Mungkin kau memerlukannya untuk melawan binatang-binatang air yang buas itu.”

Mahisa Agni tidak menunggu jawaban Kebo Sindet. Beberapa langkah ia maju. Kemudian dilontarkannya hulu golok itu kearah Kebo Sindet yang sedang dilanda oleh gejolak perasaan yang dahsyat. Ia sama sekali tidak menghendaki hal itu terjadi atasnya, sehingga kenyataan itu terasa terlampau pahit untuk diterimanya. Mahisa Agni masih berdiri dengan dada yang berdebar-debar. Tetapi menyimpan dendam di dalam hatinya, tetapi ia tidak dapat melihat kenyataan itu terjadi atas Kebo Sindet. Kenyataan yang bertentangan keinginan iblis itu sendiri.

Kebo Sindet ternyata cukup cekatan untuk menerima goloknya. Tepat pada saat itu, buaya-buaya kerdil itu telah menjadi semakin dekat. Darah Mahisa Agni serasa berhenti mengalir ketika ia melihat seekor yang berada di paling depan mengangakan mulutnya yang lebar dengan gerigi yang tajam berderet panjang. Mahisa Agni masih sempat melihat Kebo Sindet mengayunkan goloknya dan buaya yang terdepan itu melengking tinggi. Tubuhnya menggeliat dan darah memancar kemerah-merahan. Buaya yang malang itu pun kemudian terbenam di dalam air. Tetapi buaya-buaya itu tidak hanya seekor. Dibelakangnya segera menyusul seekor, seekor dan seekor lagi. Berturut-turut.

Mahisa Agni tidak ingin melihat apa yang terjadi seterusnya. Segera ia memalingkan wajahnya. Tetapi ia terperanjat ketika ia melihat Kuda Sempana berlari-lari menggenggam pangkal pedangnya yang sudah terputus. “Apa yang akan dilakukannya?” desis Mahisa Agni di dalam hatinya.

Sesaat kemudian Mahisa Agni baru mengetahui apa yang akan diperbuatnya. Kuda Sempana itu ternyata telah memotong dua tiga helai sulur beringin. Seperti pada saat ia pergi kebatang itu, maka ia pun kemudian berlari-lari pula kembali. Mahisa Agni tahu maksud Kuda Sempana. Secercah kebanggaan membersit di hatinya. Ternyata di dalam diri Kuda Sempana itu masih tersisa rasa kemanusiaannya.

“Marilah, kita usahakan agar orang itu dapat terlepas dari mulut buaya-buaya kerdil itu.” katanya dengan nafas terengah-engah.

Dalam keadaan demikian kedua anak-anak muda itu dapat melupakan apa yang telah terjadi atas diri mereka. Mereka ternyata bersungguh-sungguh ingin melepaskan Kebo Sindet dari mulut binatang-binatang air yang rakus itu. Biarlah ia mati, tetapi dengan cara yang lebih baik. Maka dengan tergesa-gesa Kuda Sempana dan Mahisa Agni telah menyambung sulur-sulur itu, dan kemudian terdengar suara Mahisa Agni mengatasi desir air hujan yang masih saja turun,

“Kebo Sindet, tangkaplah ujung sulur itu. Kami akan berusaha menarikmu keluar.”

Perlahan-lahan dengan hati-hati sekali keduanya mendekati bibir rawa-rawa. Kemudian dilontarkannya ujung sulur itu kepada Kebo Sindet yang sedang berjuang melawan binatang-binatang air yang buas itu. Dengan serta-merta maka tangan kiri Kebo Sindet menyambar ujung sulur yang dilontarkan kepadanya. Namun ia masih juga berteriak,

“Mahisa Agni. Kau terlampau sombong. Tetapi kau akan menyesal apabila aku telah keluar dari lumpur ini.”

Mahisa Agni dan Kuda Sempana sama sekali tidak memperdulikannya. Buaya-buaya semakin banyak berkerumun di sekitar Kebo Sindet. Namun sebagian dari buaya-buaya itu tiba-tiba melengking dan tenggelam ke dalam air. Sambil menarik Kebo Sindet, Mahisa Agni masih juga sempat merasa heran. Dalam keadaan serupa itu Kebo Sindet masih mampu bertahan terhadap sekian banyak buaya-buaya kerdil meskipun ia mempergunakan goloknya. Tetapi ia tidak sempat berpikir terlampau lama. Ia harus segera menarik orang itu keluar air.

Perlahan-lahan Kebo Sindet merasa dirinya terangkat menepi. Semakin lama semakin menepi. Tetapi buaya-buaya kerdil itu mengejarnya terus sehingga ia masih juga harus berjuang dengan goloknya melawan buaya-buaya yang menyergapnya. Kebo Sindet menggeliat ketika tubuhnya kemudian terangkat ke atas tanah berlumpur. Ia masih melihat beberapa ekor buaya mengejarnya naik ke darat. Sambil berpegangan pada sulur beringin yang ditarik oleh Mahisa Agni dan Kuda Sempana dengan tangan kirinya ia masih harus mengayun-ayunkan goloknya dengan tangan kanannya, menebas mulut-mulut buaya yang menganga. Dan ia masih juga sempat melihat beberapa ekor buaya yang mengejarnya itu melengking, kemudian menggelepar mati. Berturut-turut, tidak hanya satu dua. Tetapi hampir semua buaya yang mengejarnya ke darat, tidak pernah dapat menyentuhnya.

Tetapi ketika Kebo Sindet itu telah berada di atas permukaan air, barulah dapat dilihat oleh Kuda Sempana dan Mahisa Agni, bahwa sebagian tubuhnya telah terkoyak oleh mulut-mulut buaya kerdil itu. Luka-luka di tubuhnya menjadi arang kranjang dan darah meleleh hampir dari seluruh wajah kulitnya. Sejenak kemudian Kebo Sindet telah berada beberapa langkah dari rawa-rawa itu. Buaya-buaya kerdil telah tidak mengejarnya lagi.

Tiba-tiba saja orang itu melepaskan pegangannya. Dengan tangkasnya ia meloncat berdiri. Dipandanginya Mahisa Agni dan Kuda Sempana dengan mata yang paling liar dan dengan wajah yang merah membara, semerah darah yang meleleh dari luka-luka di seluruh tubuhnya. Tiba-tiba Kebo Sindet itu tertawa. Mengerikan sekali, seperti suara hantu dari dalam kubur yang mendapat mayat baru bagi santapannya. Disela-sela suara tertawanya ia berkata,

“Nah. Mahisa Agni yang sombong. Kini kau akan sampai pada suatu batas kematian dengan cara yang paling mengerikan yang pernah terjadi atas diri seseorang. Jangan menyesal. Kau tidak akan dapat melawan aku. Aku kini bersenjata, dan kau sama sekali tidak.”

Terasa dada kedua anak-anak muda itu berdesir. Mereka tidak menyangka bahwa Kebo Sindet masih mampu berdiri tegak dengan garangnya. Suara tertawa Kebo Sindet masih menggetarkan udara. Semakin lama semakin keras, semakin keras. Akhirnya suara tertawa yang mengerikan itu sampai kepuncaknya. Terdengar suara itu meninggi. Tetapi Mahisa Agni dan Kuda Sempana terkejut, ketika tiba-tiba suara tertawa itu terputus. Mereka melihat Kebo Sindet terhuyung-huyung dan sesaat lagi mereka melihat orang itu berteriak. Matanya yang liar menjadi semakin liar.

Namun tiba-tiba orang itu jatuh di atas lututnya. Dengan susah payah ia bertahan, namun tampak pada wajahnya bahwa Kebo Sindet sedang menahan rasa sakit yang amat sangat. Meskipun demikian ia masih juga berteriak, “Mahisa Agni, berlututlah. Berlututlah sebelum kau mati. Kau juga Kuda Sempana. Kau ternyata telah berkhianat. Kau pun akan mengalami nasib serupa dengan Mahisa Agni. Kau…”

Kebo Sindet tidak dapat menyelesaikan kalimatnya, Dadanya telah digoncangkan oleh perasaan sakit yang tidak tertahankan. Ia menahan dirinya sambil bertelekan pada goloknya. Tetapi tiba-tiba ditengadahkannya dadanya. Dan seolah-olah mendapat kekuatannya kembali ia mengangkat goloknya dan menunjuk Mahisa Agni dengan ujung golok itu.

“Kemari. Kemari.” ia berteriak, “aku bunuh kalian, Aku bunuh…” suaranya terputus. Sejenak Kebo Sindet menengadahkan wajahnya, seolah-olah ingin melihat apakah mendung masih tebal tergantung di langit. Namun sejenak kemudian perlahan-perlahan tubuh itu seakan-akan bergoyang. Dan sejenak berikutnya Kebo Sindet itu roboh di atas tanah berlumpur yang basah.

Hujan masih jatuh dari Iangit. Meskipun sudah tidak terlampau lebat. Seleret cahaya dari Utara memancar berkeredipan diantara titik-titik air hujan yang menjadi semakin mereda. Sesilir angin bertiup dari Selatan, menggerakkan ujung dedaunan yang sedang mengangguk-angguk ditimpa oleh titik-titik hujan satu-satu. Langit semakin lama menjadi semakin cerah, dan hujan pun menjadi semakin tipis. Perlahan-lahan Mahisa Agni dan Kuda Sempana melangkah mendekati tubuh Kebo Sindet yang diam membeku. Goloknya masih erat di dalam genggamannya. Tetapi ternyata orang itu sudah tidak bernafas lagi.

“Kebo Sindet telah mati.” desih Mahisa Agni.

“Ya.” sahut Kuda Sempana pendek.

Mereka kemudian menyentuh tubuh yang membeku itu. Menelentangkannya dan dengan wajah tegang memandangi wajah yang hampir tidak pernah bergetar oleh tanggapan yang bagaimanapun juga. Kali ini wajah itu pun membeku pula. Bahkan masih tampak betapa ketegangan mencengkam jantungnya. Tetapi dari sepasang matanya sama sekali sudah tidak memancar apa pun lagi. Sorot yang menyala di mata itu telah pudar, bahkan telah padam sama sekali.

Sejenak Mahisa Agni dan Kuda Sempana masih berdiri di sisi mayat itu. Perlahan-lahan tubuh Mahisa Agni kini mulai merasa, betapa nyeri dan pedih menyengat segenap bagian tubuhnya. Tulang-tulangnya serasa berpatahan dan kulitnya menjadi lenyu, akibat perkelahiannya melawan Kebo Sindet agaknya memang terlampau payah bagi dirinya. Luka-lukanya kini terasa betapa sakit dan pedih. Ketika tanpa disengajanya ia berpaling, maka dadanya berdesir. Dilihatnya bangkai buaya-buaya kerdil berserakan di pinggir rawa-rawa itu.

“Aneh.” Mahisa Agni berdesis, “Apakah Kebo Sindet dalam keadaannya itu mampu membunuh sekian banyak binatang air yang cukup lincah menghadapinya itu?” Tetapi Mahisa Agni melihat kenyataan itu. Bangkai-bangkai binatang air itu berserakan di pinggir rawa-rawa.

Bahkan Mahisa Agni masih melihat permukaan air di pinggiran rawa-rawa itu bergolak seakan-akan mendidih. Ternyata buaya-buaya kerdil itu sedang berebut bangkai kawan-kawan mereka sendiri. Bau darah telah membuat mereka menjadi semakin buas dan garang. Ternyata bukan saja Mahisa Agni yang menjadi heran melihat sekian banyak bangkai berceceran. Bangkai buaya-buaya yang mencoba mengejar Kebo Sindet yang tertarik ketepian.

Perlahan-lahan terdengar Mahisa Agni berdesis, “Bukan main. Kebo Sindet benar-benar seorang yang luar biasa. Dalam keadaannya ia masih mampu melakukan perlawanan yang luar biasa atas buaya-buaya yang buas itu.”

Kuda Sempana mengangguk perlahan-lahan. Ia tidak dapat membayangkan kekuatan apakah yang dapat membuatnya begitu tangkas dan garang. Bahkan Mahisa Agni berkata di dalam hatinya, “Seandainya aku yang mengalami nasib itu, apakah aku dapat berbuat seperti itu?”

Dengan wajah yang disaput oleh keheranan mereka kedua anak-anak muda itu sejenak berdiri saja membeku berdiri saja membeku di samping mayat Kebo Sindet. Sejenak mereka merenung apa yang baru saja terjadi atas diri mereka. Terasa bulu-bulu diseluruh tubuh Mahisa Agni meremang. Bagaimanakah kiranya seandainya ia harus mengulangi peristiwa yang baru saja terjadi?

“Mengerikan sekali.” tiba-tiba Mahisa Agni itu berdesis.

Kuda Sempana berpaling mendengar desis itu. Bahkan ia bertanya, “Apakah yang mengerikan?”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menjawab, “Buaya-buaya itu.”

Kuda Sempana percaya saja akan jawaban Mahisa Agni. Ia tidak tahu, apakah yang sebenarnya bergolak di dalam dada anak muda yang masih tampak lemah dan pucat itu.

“Bagaimanakah dengan mayat itu?” terdengar Mahisa Agni kemudian bertanya.

“Terserahlah kepadamu.” jawab Kuda Sempana.

“Marilah kita jauhkan dari rawa-rawa ini, supaya buaya-buaya kerdil itu tidak mencium bau darahnya dan nanti malam menyeretnya ke dalam sarang mereka.”

Kuda Sempana ragu-ragu sejenak. Kemudian terdengar ia bertanya, “apakah kau tidak ingin beristirahat dahulu?”

Mahisa Agni menarik nafas sekali lagi. Perlahan-lahan ia menggeleng, “Biarlah aku menitikkan keringat sampai tuntas. Nanti aku akan beristirahat dengan tenang.”

“Baiklah.” jawab Kuda Sempana.

Tetapi ketika keduanya mulai berlutut disamping mayat Kebo Sindet untuk mengakatnya, mereka terkejut oleh desir dedaunan di dalam gerumbul tidak jauh dari mereka. Mereka melihat daun-daun yang bergerak. Tetapi mereka menyadari, bahwa bukan angin dan bukan titik-titik air hujan yang telah mengguncangnya. Perlahan-lahan Mahisa Agni berdiri. Di sebelahnya Kuda Sempana pun telah berdiri tegak sambil menengadahkan dadanya. la mendengar gemerisik pula dan melihat dedaunan yang bergoyang di gerumbul dihadapan mereka.

Mahisa Agni yang masih lemah itu mencoba menenangkan pernafasannya. Dicobanya untuk mengusai segenap sisa-sisa kekuatan yang ada padanya, supaya apabila diperlukan, ia masih juga mampu mengadakan perlawanan untuk membela dirinya. Daun yang bergoyang-goyang itu semakin keras berguncang. Namun sejenak kemudian Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dilihatnya dari dalam gerumbul itu seseorang merangkak keluar. Dan ternyata orang itu adalah orang yang telah dikenal dengan sebaik-baiknya. Empu Purwa.

“Guru.” dengan serta merta Mahisa Agni berdesis.

Empu Purwa itu kemudian menggeliat sambil bertelekan lambung, desahnya, “penat sekali aku bersembunyi di dalam gerumbul itu. Hampir aku tidak tahan. Air hujan yang melimpah dari langit membuat aku hampir-hampir tidak dapat bernafas. Apalagi setelah aku melihat beberapa buah gerumbul yang lain telah tersapu rata oleh perkelahian yang baru saja terjadi.” orang tua itu berhenti sejenak, lalu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Bagaimana dengan kau Agni?”

Mahisa Agni pun menarik nafas dalam-dalam pula. Kemudian jawabnya, “Aku selamat guru. Dan inilah Kebo Sindet.”

Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Selangkah ia maju mendekat sambil bergumam, “Bersyukurlah kepada Yang Maha Agung. Aku melihat seluruhnya. Sejak kau mulai sampai kau berhasil melemparkan Kebo Sindet ke dalam rawa-rawa.”

Mahisa Agni mengangguk lemah, “Ya guru.”

“Semula aku menjadi cemas melihat keadaanmu. Kau terlampau bernafsu, sehingga kau kurang cermat mempersiapkan dirimu di dalam perlawananmu atas Kebo Sindet itu. Hampir-hampir kau menjadi korban ketergesa-gesaanmu itu.” Empu Purwa berhenti sejenak, lalu, “Tetapi sekali lagi kau harus mengucap sukur. Kau mendapatkan pertolongan dalam keadaan yang sulit itu. Ternyata Angger Kuda Sempana telah menolongmu.”

“Ya guru.” jawab Mahisa Agni perlahan-lahan.

“Kau harus berterima kasih kepadanya.”

“Ya guru. Aku berterima kasih kepada Kuda Sempana.”

“Akulah yang harus berterima kasih kepada Mahisa Agni. Ia telah membebaskan aku dari kemungkinan yang paling pahit dari akhir hidupku. Dibunuh oleh Kebo Sindet dengan caranya.” Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Kemudian katanya semakin lambat, “Kini terserah kepada Mahisa Agni. Tetapi aku mengharap, bahwa seandainya ia ingin juga membunuh aku, mudah-mudahan ia mempergunakan cara yang lebih baik dari cara yang akan dipilih oleh Kebo Sindet.”

“Ah.” Empu Purwa berdesah, “apakah Mahisa Agni juga akan membunuhmu?”

“Seandainya demikian, itu pun wajar sekali.” sahut Kuda Sempana.

Empu Purwa mengerutkan keningnya. Didampinginya Mahisa Agni yang berdiri tegak ditempatnya, meskipun tubuhnya masih tampak lemah, Namun orang tua itu telah mendapat keyakinan, menilik sikap dan wajah muridnya, bahwa Mahisa Agni sudah pasti tidak akan melakukannya. Meskipun demikian Empu Purwa itu bertanya kepada muridnya, “Apakah kau akan berbuat demikian?”

Mahisa Agni menggeleng lemah. Jawabnya, “Tidak guru. Aku tidak mempunyai kepentingan apa pun untuk membunuhnya sekarang. Kebo Sindet sudah mati. Mudah-mudahan kejahatannya mati pula bersamanya.”

Dada Kuda Sempana berdesir. Ia tahu benar maksud kata-kata Mahisa Agni tentang Kebo Sindet. Ia tahu benar, bahwa Mahisa Agni mengharap, agar ia masih belum dicengkam dalam pengaruh orang yang telah mengurungnya beberapa lama itu. Karena itu maka katanya, “Aku mengharap seperti harapanmu itu pula Agni. Mudah-mudahan kejahatan Kebo Sindet mati bersama matinya. Aku mengharap bahwa selama aku di sini, kejahatan dan wataknya itu tidak terlampau banyak mempengaruhi otakku. Aku sendiri bukanlah orang baik-baik, tetapi mudah-mudahan kejahatan yang ada di dalam diriku tidak bertambah-tambah karenanya.”

Empu Purwa menggelengkan kepalanya. Katanya, “Ada dua kemungkinan Ngger. Kau memang dapat menjadi semakin tersesat seperti Kebo Sindet, seandainya kau menemukan kepuasan di sarang ini, atau kau merasa mendapat daerah pelarian yang dapat melupakan segala bentuk kekecewaanmu. Tetapi aku kira kau tidak menemukannya di dalam dunia Kebo Sindet. Kau agaknya bertambah kecewa dan kehilangan gairah untuk menentukan hari depanmu. Bahkan mungkin kau telah sampai pada suatu garis perbatasan dari daerah keputus asan. Setapak kau maju lagi maka hidupmu tidak terasa kau miliki lagi.”

“Bukan setapak lagi Kiai.” sahut Kuda Sempana, ”aku telah sampai ke daerah itu. Aku sudah menjadi putus asa dan kehilangan hidupku sendiri. Aku sama sekali menjadi acuh tidak acuh tentang diriku, tentang keadaan di sekitarku dan tentang apa saja. Karena itu aku pun tidak akan mengacuhkan lagi sendainya Mahisa Agni akan membunuhku.”

Empu Purwa tersenyum. Katanya, “Pengakuanmu itu mempunyai arti penting di dalam langkah-langkahmu kemudian. Pengakuanmu telah membawa kau selangkah surut dari daerah yang tidak kau kenal itu. Dari sikap acuh tidak acuh tentang hari depanmu sendiri. Mudah-mudahan kau berhasil menemukan dirimu kembali.”

Kuda Sempana menundukkan kepalanya. Sekilas terbang di dalam angan-angannya masa-masa yang telah pernah dilampauinya. Sebersit penyesalan melonjak di dalam dadanya. Tetapi segera ia sadar, bahwa ia telah berdiri di atas keadaannya kini. Dan kata-kata Empu Purwa itu agaknya dapat menyentuh hatinya. Menemukan dirinya kembali dalam keseimbangan yang wajar.

Hujan yang tercurah dari langit telah berangsur teduh. Titik-titik kecil yang masih berjatuhan satu-satu melontarkan kilatan sinar yang memancar dari langit. Sejenak mereka yang berdiri di atas tanah berlumpur itu saling berdiam diri. Empu Purwa merenungi mayat Kebo Sindet dengan mata yang hampir tidak berkedip.

Namun sejenak kemudian ia berkata, “Memang seharusnya ia mati. Tidak ada usaha yang dapat menyelamatkannya.”

Mahisa Agni mengangkat wajahnya, lalu katanya, “Aku sudah berusaha guru. Seandainya ia harus mati, biarlah ia mati dengan cara yang lebih baik.”

Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku melihat bahwa kalian telah berusaha. Aku melihat, betapa Angger Kuda Sempana berlari-lari memotong sulur-sulur batang beringin. Tetapi kalian tidak berhasil. Golok yang kau lemparkan itu pun hanya dapat menyelamatkannya dari beberapa ekor buaya yang kelaparan. Sedang jumlah buaya di dalam rawa-rawa itu cukup banyak, apalagi di sekitar tempat ini.”

Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Tanpa sesadarnya dipandanginya mayat Kebo Sindet yang arang kranjang. “Tetapi orang itu terlampau dahsyat.” desisnya, “dalam keadaannya, ia masih mampu membunuh sekian banyak buaya-buaya kerdil.”

Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berpaling kearah bangkai buaya yang berserakan di pinggir rawa-rawa, bahkan dilayangkannya pandangan matanya beredar di wajah air yang keruh itu.

“Aku tidak dapat membayangkan, apakah yang terjadi seandainya akulah yang terperosok masuk ke dalamnya.” gumam Mahisa Agni seolah-olah kepada diri sendiri.

Empu Purwa tersenyum. Tetapi ia tidak menyahut. Namun tiba-tiba ia memutar tubuhnya sambil berkata, “Marilah kita lihat. Hati-hati, jangan sampai tergelincir.”

Sejenak Mahisa Agni terdiam. Ia menjadi heran. Mengapa gurunya mempunyai perhatian yang demikian besar terhadap buaya-buaya kerdil yang telah menjadi bangkai itu. Namun sejenak kemudian dilangkahkannya kakinya, mengikuti langkah gurunya. Dan dibelakang mereka Kuda Sempana berjalan pula mengikuti mereka. Ketika mereka telah sampai diantara mayat-mayat buaya-buaya kerdil itu, mereka pun segera berhenti. Seleret dipandanginya warna air yang masih memerah. Mereka masih melihat sesuatu yang bergerak-gerak di antara warna air yang merah itu. Buaya-buaya kerdil.

Namun sekali lagi terdengar Mahisa Agni berdesis, “Bukan main. Kebo Sindet berhasil membunuh sekian banyak buaya-buaya ini dalam keadaannya. Sebelah tangannya berpegangan pada sulur kayu yang kami tarik. Sambil berbaring ia harus melawan buaya-buaya ini.”

Gurunya tidak menyahut. Tetapi dipandanginya saja bangkai-bangkai buaya itu, sehingga Mahisa Agni dan Kuda Sempana pun kemudian ikut pula memandangi bangkai-bangkai itu seperti sedang menghitungnya. Di antara buaya-buaya itu terdapat luka-luka yang panjang. Ternyata ayunan golok Kebo Sindet benar-benar dahsyat dan mengerikan. Sekali ayun, buaya yang disentuhnya tidak akan dapat hidup lagi.

Tetapi ia mengerutkan keningnya ketika ia melihat pada beberapa ekor diantara mereka tidak ditemukan bekas sobekan golok pada tubuh bangkai itu. Bahkan buaya-buaya itu hampir tidak terluka sama sekali. Hal itu agaknya telah sangat menarik perhatian Mahisa Agni sehingga selangkah ia maju. Diamatinya beberapa ekor bangkai buaya di antara mereka. Yang ada pada bangkai-bangkai itu hanyalah luka yang tidak terlampau besar. Pada umumnya sebuah lubang dikepalanya.

Bukan saja Mahisa Agni yang sangat tertarik atas luka yang aneh itu, tetapi Kuda Sempana pun agaknya menaruh perhatiannya pula. Seperti Mahisa Agni, maka ia pun mengamat-amati luka yang baginya agak terlampau aneh.

“Apakah Kebo Sindet telah melubangi kepala buaya-buaya kerdil ini dengan tusukan goloknya?” pertanyaan itu membersit di dalam hati Mahisa Agni dan Kuda Sempana.

Tetapi sebagai seeorang yang mengenal bermacam-macam jenis senjata, mereka menjadi ragu-ragu. Luka-luka tusukan golok itu tidak akan meninggalkan bekas yang demikian.

“Kau heran melihat lubang-lubang itu?” bertanya Empu Purwa sambil tersenyum.

Mahisa Agni mengangguk kecil. Jawabnya, “Ya guru. Luka-luka ini tidak dapat kami mengerti. Senjata Kebo Sindet adalah sebuah golok. Dan golok tidak akan dapat menimbulkan luka-luka yang demikian.”

Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Jangan kau hiraukan luka-luka itu. Buang sajalah bangkai-bangkai itu ke dalam rawa-rawa. Lalu kalian masih mempunyai pekerjaan lagi, menguburkan mayat Kebo Sindet. Sesudah itu, sebaiknya kalian meninggalkan tempat ini. Kalian masih mempunyai hari depan yang cukup panjang untuk mulai dengan kehidupan yang baru.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi agaknya ia masih belum puas sebelum dapat menemukan sebab dari luka yang berbentuk lubang itu. Maka katanya, “Baiklah guru. Bangkai ini akan aku buang ke dalam rawa-rawa Tetapi lubang-lubang ini selalu menimbulkan pertanyaan bagiku. Apakah yang sudah dilakukan oleh Kebo Sindet sehingga ia berhasil melakukan keanehan ini. Dalam keadaannya yang parah dengan sebelah tangan yang menggengam golok dan yang lain berpegangan pada sulur itu, namun ia masih mampu membunuh sekian banyak buaya-buaya kerdil ini dengan luka-luka yang terlampau aneh bagi kami.”

Sekali lagi Empu Purwa tersenyum. Katanya, “Apakah kau ingin tahu benar, apakah sebabnya maka luka-luka itu berbentuk lubang? Dan apakah sebabnya Kebo Sindet berhasil membunuh sekian banyak buaya kerdil ini?”

Hampir bersamaan Mahisa Agni dan Kuda Sempana menganggukkan kepalanya, “Ya Kiai.”

Empu Purwa mengangguk-angguk perlahan. Kemudian diedarkannya pandangan matanya, mencari sesuatu di atas tanah-tanah berlumpur itu. Tiba-tiba orang tua itu membungkukkan badannya memungut sebutir batu kecil sebesar telur merpati. “Lihatlah.” katanya sambil melepaskan batu itu jatuh di atas tanah yang gembur, “lihatlah bekasnya. Sebuah lubang.”

Dada kedua anak-anak muda itu berdesir. Mereka melihat sebuah lubang pada tanah yang gembur, mirip seperti lubang-lubang yang ada di kepala beberapa ekor buaya-buaya kerdil itu.

“Tetapi.” tiba-tiba Mahisa Agni berdesis, “bagaimana mungkin Kebo Sindet mampu melakukannya.”

Empu Purwa mengerutkan keningnya. Tetapi ia kemudian melangkahkan kakinya sambil berkata, “Sudahlah, jangan hiraukan. Kalian masih mempunyai banyak pekerjaan.”

Mahisa Agni dan Kuda Sempana menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka memandangi bangkai-bangkai yang berserakan itu. Namun kemudian mereka menyadari, bahwa pekerjaan mereka memang masih banyak. Melemparkan bangkai-bangkai itu ke dalam rawa-rawa dan kemudian menguburkan Kebo Sindet.

Tetapi ketika mereka akan segera mulai, terdengar Empu Purwa berkata, “Sebaiknya kalian menunggu tanah menjadi agak kering, supaya tidak terlampau licin. Kalau kau tergelincir maka kau lah yang akan masuk ke dalam rawa-rawa itu. Terutama Mahisa Agni, beristirahatlah dahulu. Mungkin kau masih mempunyai sisa makanan.”

Mahisa Agni mengangguk kecil sambil menjawab, “Ya guru. Aku memang merasa terlampau letih.”

“Itu adalah wajar sekali.” jawab gurunya sambil berjalan meninggalkan tempat itu.

Mahisa Agni dan Kuda Sempana pun kemudian melangkah pula dengan hati-hati meninggalkan tempat itu untuk sejenak beristirahat. Tubuh Mahisa Agni masih terasa lemah sekali. Tulang-tulangnya masih terasa nyeri dan otot-ototnya pun masih terlampau tegang. Namun dalam pada itu, ia mendapat kesempatan untuk memikirkan lubang-lubang di kepala buaya-buaya kerdil itu. Sehingga akhirnya ia berdesis, “Ternyata guru pun sudah berusaha, membantu melepaskan Kebo Sindet dari mulut-mulut buaya itu.”

“He.” Kuda Sempana bertanya.

“Gurulah yang melakukannya.” jawab Mahisa Agni, “dilemparinya buaya-buaya itu dengan batu dari tempat persembunyiannya, supaya tubuh Kebo Sindet tidak diseret masuk ke dalam rawa-rawa itu.”

Kuda Sempana mengerutkan keningnya, Tetapi kemudian diangguk-anggukkannya kepalanya. “Itu adalah mungkin sekali. Ternyata Empu Purwa telah berbuat banyak.” Kuda Sempana berhenti sejenak, lalu, “Kini aku tahu, apakah kira-kira yang terjadi di sini. Agaknya selama ini kau tetap berada di dalam asuhan gurumu, yang dahulu aku sangka tidak lebih dari seorang tua yang tidak banyak berarti di Panawijen. Kau mendapat kesempatan itu, sehingga kau mampu mengalahkan Kebo Sindet.”

Tetapi Kuda Sempana dan bahkan Mahisa Agni terperanjat ketika mereka mendengar jawaban dari belakang mereka, “Bukan saja aku yang telah berbuat banyak, Kuda Sempana. Tetapi apakah kau sudah mengenal orang ini?”

Dengan serta merta keduanya berpaling. Mereka terperanjat, terlebih-lebih lagi adalah Kuda Sempana ketika dilihatnya seseorang berdiri di samping Empu Purwa itu sambil tersenyum kepadanya. Sejenak Kuda Sempana seakan-akan membeku di tempatnya. Sama sekali tidak diduganya, bahwa ia akan dapat bertemu di tempat itu. Peristiwa yang tiba-tiba itu ternyata telah membuat goncangan di dalam dadanya.

Orang itu masih berdiri di samping Empu Purwa sambil tersenyum. Ditatapnya saja wajah Kuda Sempana yang menjadi pucat, namun kemudian menjadi kemerah-merahan penuh kebimbangan dan kecemasan. Wajah orang itu dikenalnya dengan baik, tetapi ciri kekhususannya tidak dilihatnya waktu itu.

“Apakah kau ragu-ragu Kuda Sempana?” bertanya orang itu, “Mungkin kau merasa aneh bahwa aku tidak membawa tongkat panjangku, tetapi kini aku membawa pedang.”

Dada Kuda Sempana tergetar. Tetapi ia tidak segera menjawab.

“Tongkat itu telah aku serahkan kepada muridku yang aku anggap paling jauh dari padaku saat itu. Muridku yang sama sekali tidak menarik perhatianku karena sifat-sifatnya yang tidak sejalan dengan perguruanku. Tetapi ternyata murid itu adalah murid yang paling dekat dengan jalan yang benar. Jalan yang kita jauhi bersama-sama sehingga tampak oleh kita anak itu adalah anak yang paling bengal diantara kita.”

Kuda Sempana masih berdiri kaku ditempatnya. Tetapi debar di dadanya menjadi semakin bergelora.

“Tetapi kau tidak usah ragu-ragu Kuda Sempana, bahwa aku adalah gurumu.”

Terasa sesuatu mendesak di dalam hatinya. Sekian lama ia terlempar ke dalam neraka yang paling pedih. Sekian lama ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu atas kehendaknya sendiri. Dan ia menekan perasaan itu dalam-dalam dilubuk hati. Kini tiba-tiba ia bertemu dengan gurunya. Gurunya yang dahulu selalu berusaha untuk memenuhi keinginannya, meskipun ia harus memberikan imbalan kepadanya. Gurunya yang telah pernah disangkanya mati, setelah beberapa kali bertemu dengan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Pertemuan-pertemuannya dengan gurunya, selama ia berada di bawah pengaruh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, telah membuatnya kehilangan jalur-jalur ikatan batin.

Tiba-tiba kini orang itu berdiri dihadannya. Kuda Sempana akhirnya tidak dapat lagi menahan gelora hatinya yang sudah sekian lama membeku, Tiba-tiba ia meloncat dan berlutut di depan Empu Sada. Banyak sekali yang akan ditumpahkannya untuk mengurangi kepepatan hati. Banyak sekali yang akan dikatakannya untuk melapangkan perasaannya. Tetapi kerongkongannya serasa tersumbat, sehingga sama sekali tidak sepatah kata pun yang diucapkannya.

“Aku tahu sebagian besar dari perasaanmu, karena aku melihat sikapmu pada saat-saat terakhir. Kau agaknya telah menyesali semuanya yang terjadi atasmu. Bukan sekedar kesulitan jasmaniah yang kau alami tetapi kau menyesali pula sebab-sebab dari peristiwa yang telah menyeretmu di tempat ini.”

Empu Sada berhenti sejenak, lalu, “dan penyesalanmu itu adalah jalan yang sudah terbuka bagimu untuk menemukan kembali hari depan yang wajar. Kalau kau menyesali semua perbuatanmu dengan jujur, maka dalam umurmu yang masih muda itu, kau pasti masih akan menemukan kesempatan.”

Kuda Sempana tidak dapat berkata apa pun selain menundukkan kepalanya. Kini penyesalan yang tajam telah memuncak di dalam hatinya. Tetapi semuanya telah terjadi. Noda yang hitam telah melekat pada perjalanan hidupnya. Tetapi ia mendengar gurunya berkata,

“Hari depanmu masih panjang.”

Kuda Sempana masih juga berdiam diri. Ia tidak dapat berbuat apa-apa selain menundukkan kepala. Terasa tangan gurunya meraba pundaknya dan menarik berdiri. Seperti anak-anak yang sedang berlati berjalan, ia dibimbing oleh gurunya dan dibawanya duduk bersama-sama di samping sebongkah batu besar. Empu Purwa dan Mahisa Agni pun ikut pula bersama mereka, duduk di atas batu-batu kecil yang basah. Tetapi tubuh dan pakaian mereka pun ternyata masih basah kuyup oleh hujan. Bahkan warna darah masih melekat pada pakaian Mahisa Agni.

Ketika gurunya melihat setitik-titik darah masih meleleh dari luka-luka anak muda itu, maka segera diberikannya obat yang untuk sementara dapat memempatkan darah, sehingga luka-luka itu menjadi tertutup karenanya. Sambil berbicara tentang Kuda Sempana dan hari-hari yang akan datang, maka mereka pun beristirahat sebelum mereka mengerjakan pekerjaan yang telah menunggu mereka. Melemparkannya bangkai-bangkai buaya ke dalam rawa-rawa dan menguburkan Kebo Sindet.

Pada saat itu. Ken Arok pun duduk dengan lemahnya di atas sebuah brunjung bambu yang masih belum dilemparkan ke dalam sungai. Disamping-sampingnya duduk Akuwu Tunggul Ametung, Ki Buyut Panawijen, Kebo Ijo dan beberapa orang lain. Mereka melihat, betapa Ken Arok menahankan lelah dan kecemasan. Nafasnya menjadi terengah-engah dan tubuhnya terasa gemetar. Tetapi bibirnya membayangkan sebuah senyum kelegaan.

“Mudah-mudahan bendungan itu selamat.” desisnya.

Akuwu Tunggul Ametung pun ternyata sedang kelelahan pula setelah dengan sekuat tenaganya, ia menarik Ken Arok dari dalam air yang melandanya. “Aku kira bendungan itu akan selamat.” berkata Akuwu itu pula.

Ken Arok tidak menyahut. Ia melihat orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel masih berdiri memagari ujung bendungan. Tetapi bahwa hujan telah menjadi reda adalah suatu harapan bagi orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel bahwa bendungan mereka akan terselamatkan.

“Air tidak naik lagi.” desis seseorang.

“Ya.” sahut yang lain, “sebagian telah berhasil meluncur lewat susukan induk.”

“Tetapi taman itu tergenang air sama sekali. Mungkin sebagian menjadi rusak karenanya.”

Beberapa orang yang mendengarnya tanpa mereka sengaja segera berpaling kearah taman yang sedang disiapka oleh Ken Arok agak jauh ketengah Padang Karautan. Tetapi mereka tidak melihat sesuatu selain sebuah kelompok yang hijau kehitam-hitaman dikejauhan. Seperti bayangan sebuah puntuk kecil menjorok ditengah-tengah padang yang luas. Tetapi mereka telah membayangkan, bahwa taman itu telah digenangi air yang meluap dari sendang buatan karena air susukan induk yang menampung banjir. Dan mereka membayangkan, bahwa sebagian dari pepohonan yang baru tumbuh dan berkembang akan menjadi berserakan.

Tetapi seperti perintah Akuwu Tunggul Ametung sendiri bendungan itu jauh lebih penting dari taman yang sedang disiapkan itu. Apabila bendungan itu gagal, maka taman itu pun tidak akan dapat diselesaikan, karena tidak ada air yang akan menggenangi sendang buatan. Dan tanahnya pun akan menjadi kering.

Orang-orang Panawijen yang berdiri di ujung bendungan itu pun masih juga berdiri rapat. Di antara mereka terdapat para prajurit Tumapel yang dengan tegang melihat, apakah air masih akan naik terus dan menghanyutkan bendungan. Mereka kemudian menguak ketika mereka melihat Akuwu Tunggul Ametung, Ken Arok dan beberapa orang yang lain berjalan ketepi sungai di ujung bendungan itu. Meskipun mereka masih kelelahan, tetapi mereka ingin juga melihat apakah yang kini terjadi dengan bendungan mereka.

Air yang keruh masih juga bergulung-gulung? seolah-olah menggoncang bendungan itu perlahan-lahan. Tetapi kini sebagian dari arus banjir itu telah meluap dan tumpah tertampung pada susukan induk yang mengalir membelah Padang Karautan. Mulut susukan induk itu ternyata semakin lama menjadi semakin besar disobek oleh arus air yang tidak tertahankan. Namun dengan demikian bahaya bagi bendungan itu pun menjadi berkurang. Tetapi di sana-sini tampak tebing susukan itu menjadi longsor. Susukan itu memang belum siap benar menerima arus air, apalagi arus banjir. Namun terlebih penting lagi bagi mereka, adalah menyelamatkan bendungan itu.

Akuwu Tunggul Ametung dan Ken Arok menjadi berdebar-debar memandang air yang keruh kehitam-hitaman itu bergulung-gulung di depan bendungan. Mereka masih membayangkan bahwa bencana masih bisa terjadi.

Dalam ketegangan itu tiba-tiba terdengar seseorang berbisik, “Air telah turun.”

Kawannya yang berdiri di sampingnya mencoba melihat permukaan air yang keruh itu. Dan tiba-tiba ia berdesis pula, “Ya, air telah turun.”

Desis itu kemudian menjalar dari mulut ke mulut. Mereka memang melihat bendungan itu seolah-olah naik semakin tinggi. Jarak permukaan air dan bendungan itu menjadi semakin lebar.

“Air telah turun.” desis itu terdengar terus.

“Ya, air telah turun.”

Sejenak kemudian hampir setiap mulut mengatakan tentang air yang telah mulai turun, meskipun belum selebar tapak tangan. Tetapi hal itu telah menumbuhkan kegembiraan bagi orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel. Kemungkinan bahwa bendungan itu akan hanyut menjadi semakin kecil, meskipun mereka harus memeras tenaga pada saat banjir yang pertama itu. Hampir setiap orang menarik nafas dalam-dalam pada saat yang bersamaan. Mereka menyaksikan air semakin lama memang semakin surut. Sedang langit pun menjadi semakin cerah. Agaknya di ujung sungai itu pun hujan sudah teduh.

Sejenak Akuwu Tunggul Ametung dan Ken Arok berdiri saja mematung, seolah-olah mereka ingin meyakinkan apakah benar-benar air sudah mulai turun. Ternyata mereka pun kemudian melihat, seolah-olah bendungan itu bergerak naik menyembul dari permukaan air. Akuwu Ken Arok, Kebo Ijo, Ki Buyut Panawijen dan beberapa orang yang berada disekitarnya pun kemudian menarik nafas dalam-dalam.

Bahkan terdengar Ken Arok berdesis perlahan, “Air memang sudah turun.”

“Ya.” sahut Akuwu Tunggul Ametung, “kalian berhasil menyelamatkannya. Tetapi ingat, ini baru banjir yang pertama dalam musim hujan ini. Pada saat-saat mendatang akan datang banjir yang kedua dan berikutnya.”

“Kami akan bekerdja sekuat tenaga kami, Tuanku, semoga banjir yang kemudian tidak pula menghancurkan bendungan ini.”

“Kalian telah berhasil menyelamatkannya kini. Kalian dapat melihat bagian-bagian yang masih harus kalian sempurnakan. Jangan kalian lepaskan tali-tali pengikat brunjung-brunjung dengan patok-patok di tepian. Ternyata tali-tali dan tambang-tambang itu telah membantu menyelamatkan berdungan ini, sampai pada saatnya kalian yakin, bahwa bendungan kalian telah sempurna.”

Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Hamba, Tuanku. Tali-tali itu justru akan hamba tambah lagi. Tetapi hamba akan dapat membuat parit-parit pembantu, untuk membuang air yang berlebihan apabila banjir datang. Hamba dapat memotong saluran induk itu dan mengorbankan beberapa bagian dari tanah persawahan untuk membuat parit-parit yang dapat mengurangi tekanan banjir. Parit-parit yang dangkal yang hanya berguna apabila air naik terlampau tinggi.”

Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. “Pikiran itu adalah pikiran yang sangat baik, yang segera dapat dipergunakan untuk melawan banjir yang pasti akan datang susul menyusul selama musim basah ini. Meskipun menurut peritungan pranata mangsa, hujan yang paling lebat masih akan turun satu atau dua bulan lagi.”

Tetapi tiba-tiba Akuwu itu pun memalingkan wajahnya, memandang kejauhan agak ketengah Padang Karautan. Dilihatnya segerumbul tanaman yang hijau Perlahan-lahan ia berdesis, “Apakah yang kira-kira terjadi atas taman itu setelah banjir.”

“Mungkin sebagian akan menjadi rusak, Tuanku.”

Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Lalu bergumam, “Pekerjaanmu berikutnya adalah memperbaiki petamanan itu."

Ken Arok megerutkan keningnya. Dipandanginya segerumbul tanaman yang hijau kehitam-hitaman dikejauhan. Taman itu tampak menjadi semakin segar. Tetapi Ken Arok menyadari, bahwa ada bagian-bagian yang pasti harus diperbaikinya. Meskipun demikian, bahwa bendungan itu terselamatkan, adalah suatu hal yang sangat menggembirakannya. Tanpa disadari ia merasa bertanggung jawab terhadap Mahisa Agni tentang keselamatan bendungan itu. Seolah-olah Mahisa Agni telah memberikan beban itu diatas pundaknya, tanpa dapat diserahkannya kepada orang lain. Dan baginya terasa, tanggung jawab atas bendungan itu justru lebih dari tanggung jawabnya membuat taman yang justru dibebankan oleh Akuwu Tunggul Ametung. Apalagi setelah Akuwu Tunggul Ametung sendiri bersikap demikian pula. Keselamatan bendungan itulah yang tebih penting dari segalanya.

Ternyata air semakin lama semakin susut meskipun perlahan-lahan sekali. Tetapi dengan demikian bahaya bagi bendungan itu pun susut pula meskipun juga perlahan-lahan sekali. Ketika orang-orang yang berada di ujung bendungan itu yakin bahwa bencana yang lebih besar sudah tidak akan menimpa lagi untuk saat itu, maka ketegangan di dalam dada mereka pun perlahan-lahan menjadi semakin kendor. Beberapa orang telah bergerak dari tempatnya, mundur beberapa langkah.

Sedang Akuwu Tunggul Ametung, Ken Arok, Ki Buyut Panawijen, Kebo Ijo dan beberapa orang lain segera meninggalkan tempat itu, duduk di atas batu-batu sambil melepaskan ketegangangan yang selama ini mencengkam hati mereka. Witantra yang duduk di belakang Akuwu Tunggul Ametung, masih saja merenungi orang-orang yang berdiri di pinggir sungai yang banjir itu.

Namun tiba-tiba Ken Arok bergumam, “Sebelum air surut, orang-orang yang berada di seberang tidak dapat pulang keperkemahan malam ini.”

Akuwu pun berpaling kearah mereka. Mereka pun masih juga berdiri di ujung bendungan di seberang. Tetapi agaknya ketegangan di dalam hati mereka pun telah menjadi reda.

“Bagaimana mereka makan hari ini?” bertanya Akuwu.

Ken Arok mengerutkan keningnya, “Hamba belum tahu, Tuanku.”

“Mereka harus berpuasa sehari ini. Nanti apabila air semakin surut, mereka akan dapat meniti bendungan menyeberang kemari bersama-sama.”

“Hamba, Tuanku.” sahut Ken Arok.

“Mereka pun harus beristirahat untuk melepaskan ketegangan dan kelelahan.”

“Hamba, Tuanku.”

“Tetapi besok mereka harus bekerja lebih berat. Banjir pasti akan datang susul menyusul.”

“Hamba, Tuanku.”

“Tetapi…“ tiba-tiba Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya, “Bagaimana dengan kau sendiri?”

Ken Arok tidak segera dapat menjawab. Ia masih belum tahu maksud pertanyaan Akuwu Tunggul Ametung itu. “Maksudku.” Akuwu meneruskan, “apakah kau sempat meninggalkan bendungan ini dalam keadaan demikian?”

Terasa dada Ken Arok berdesir. Kini ia tahu benar maksud itu. Ternyata Akuwu masih juga bermaksud membawanya mencari Mahisa Agni. “Tetapi bagaimana dengan bendungan ini?” pertanyaan itu selalu mengganggunya. Justru pada saat udara selalu mendung dan hujan dapat turun setiap saat.

“Aku tahu keberatanmu.” desis Akuwu itu kemudian, “justru akulah yang memberimu pekerjaan di Padang Karautan ini.”

Ken Arok masih belum dapat menjawab.

“Biarlah soal ini kita tunda sampai besok. Aku sudah kehilangan gairah hari ini. Aku terlalu lelah setelah berusaha mengambilmu dari dalam air itu.”

Ken Arok mengangguk dalam-dalam sambil berkata, “Hamba, Tuanku. Sebaiknya, Tuanku beristirahat di perkemahan, Besok hamba tinggal menerima perintah, Tuanku.”

Tunggul Ametung mengerutkan dahinya. Kemudian katanya, “Kau harus membuat pertimbang. Aku tidak dapat memaksamu, kau menghadapi pekerjaan yang cukup berat pula disini.”

“Hamba, Tuanku.” sahut Ken Arok.

“Sekarang aku akan kembali ke gubug itu.” berkata Akuwu itu kemudian. Ternyata orang yang dalam hidup sehari-hari hanya menuruti kehendak sendiri saja itu dapat juga membuat pertimbangan yang menyangkut kepentingan orang lain. Katanya, “Jangan lupa kepada orang-orang di seberang. Mereka pasti merasa lelah dan lapar seperti kalian. Usahakan, secepatnya mereka dapat dihubungi, maka mereka harus mendapat makan mereka.”

“Hamba, Tuanku.” sahut Ken Arok sambil membungkukkan badannya.

Akuwu itu pun segera berdiri dan meniggalkan tempat itu, kembali ke gubug yang disediakan untuknya. Ia memang merasa terlampau letih setelah bermain-main dengan sebatang bambu untuk menggait Ken Arok dari dalam air. Tetapi Ken Arok pun tidak kalah lelahnya. Ia sudah mengerahkan segenap kekuatannya untuk bertahan diri dari dorongan arus air yang meluap-luap.

Ketika Akuwu Tunggul Ametung telah menjadi semakin jauh bersama pengawal-pengawalnya, maka terdengar Kebo Ijo tertawa. Katanya, “Huh, apa saja yang dikatakan oleh Akuwu Tunggul Ametung itu?”

“Kenapa?”

“Seperti seorang yang sedang mimpi. Apakah ia tidak melihat kesibukanmu disini? Ia masih juga dapat bertanya kepadamu untuk mencari anak yang hilang itu.”

“Ah..."

Orang itu memang terlampau aneh dan terlampau memikirkan diri sendiri. Dihadapannya kakang Witantra tidak lebih dari seekor kerbau penarik pedati. Diam sambil menundukkan kepala. Kemudian ngangguk dalam-dalam sambil berkata, “Segala titah, Tuanku hamba junjung di atas kepala. Dan kau pun rupanya akan dijangkiti penyakit itu pula.”

“Jangan berkata begitu Kebo Ijo.” desis Ken Arok, “Witantra adalah pimpinan pengawalnya. Apakah yang harus dilakukannya? Ia sudah berbuat sebaik-baiknya melakukan tugas dan tanggung jawabnya.”

Kebo Ijo tersenyum. Tetapi senyumnya mengandung arti yang terasa sangat menyakitkan hati. Bahkan tanpa segan-segan dihadapan orang-orang Panawijen ia menggeliat sambil berdesis, “Hem, memang sebaiknya berbuat demikian. Kau dan kakang Witantra akan segera naik pangkat.”

Ken Arok mencoba untuk menahan diri. Ketika ia berpaling dan memendangi wajah Ki Buyut Panawijen, tampak orang tua itu terheran-heran. Ia tidak mendengar seluruhnya kata-kata Kebo Ijo, tetapi ia melihat sikap Kebo Ijo yang aneh. Tetapi Ki Buyut Panawijen itu tidak bertanya apapun. Bahkan kemudian ia pun pergi meninggalkan kedua prajurit Tumapel yang mendapat tugas untuk memimpin pembuatan bendungan itu.

“Hati-hatilah berbicara.” berkata Ken Arok Kemudian.

Kebo Ijo tidak menjawab. Ia hanya tertawa saja sambil melangkah pergi.

“Anak itu memang terlampau menuruti perasaannya saja.” gumam Ken Arok, “Keduanya, Kebo Ijo dan Akuwu Tunggul Ametung mempunyai beberapa persamaan. Meledak-ledak dan bahkan kadang-kadang tidak terkendali. Tetapi Akuwu adalah orang yang luar biasa. Otaknya terlampau tajam meskipun hanya kadang-kadang saja digunakan. Kekuatannya pun luar biasa. Ia mempunyai banyak kelebihan dari orang-orang kebanyakan.”

Dipandanginya langkah Kebo Ijo yang gontai. Anak muda itu pun sebenarnya kelelahan pula. Mungkin juga kejemuan telah melanda jantungnya. Telah cukup lama ia berada di Padang Karautan. Berbeda dengan Ken Arok sendiri, yang tidak meninggalkan apa pun di Tumapel, maka Kebo Ijo meninggalkan keluarganya. Isterinya mungkin selalu merasa kesepian seperti Kebo Ijo itu pula. Tetapi Ken Arok sejenak kemudian sudah berusaha untuk melupakannya. Ia sudah mengenal betul tabiat anak muda itu, meskipun ia tidak menyukainya. Kadang-kadang perbuatan Kebo Ijo itu dapat berbahaya bagi dirinya sendiri.

Pada saat guru Kebo Ijo itu berada di padang ini, maka kelakuan Kebo Ijo tampak agak lebih baik. Tetapi kemudian pada suatu saat ketika Kebo Ijo itu sudah ditinggalkan lagi oleh gurunya kembali ke Tumapel, maka sifat-sifatnya tumbuh kembali betapapun ia mencoba mengekangnya. Kehadiran kakak seperguruannya tidak bisa mempengaruhinya, apalagi setelah ia merasa dirinya cukup dewasa dan sudah berkeluarga pula. Meskipun dihadapan kakak seperguruannya, ia mencoba berbuat sebaik-baiknya.

“Anak itu tidak juga menjadi jera.” gumamnya kemudian, “tetapi justru kata-katanya yang lebih berbahaya dari perbuatannya. Dihadapanku ia berkata seperti itu, mungkin dihadapan orang lain, bahkan mungkin dihadapan anak buahnya, ia pun berkata demikian pula. Mungkin kata-katanya terdorong lebih jauh lagi, dan bahkan mungkin akan sampai pada kata-kata yang tidak sepantasnya diucapkan oleh seorang prajurit.”

Tetapi Ken Arok tidak dapat berbuat apa-apa. Kakak seperguruan Kebo Ijo ada dipadang ini pula. Biarlah saudara seperguruannya itulah yang memberinya petunjuk-petunjuk seperlunya supaya tidak terjadi salah paham. Ketika Ken Arok kemudian memandangi orang-orang yang berdiri di ujung bendungan itu, dilihatnya beberapa orang telah bercakap-cakap dengan asyiknya. Mereka telah terlepas dari ketegangan yang mencengkam dada mereka. Sebagian lagi telah duduk melepaskan lelah dan bahkan ada yang sudah pergi meninggalkan tebing.

Ternyata bahwa air sungai telah benar-benar menjadi surut. Tetapi Ken Arok itu pun kemudian justru pergi ke pinggir sungai itu kembali. Diamatinya bendungan yang saat itu telah berhasil mereka selamatkan. Dicobanya untuk mencari kemungkinan yang lebih baik disaat-saat banjir datang dikemudian hari.

“Disini harus dibuat parit-parit pertolongan untuk membuang air yang terlampau tinggi.” desisnya di dalam hati. Terbayang di kepalanya, susukan yang dangkal, yang menampung air yang meluap apabila banjir mencapai keadaan yang membahayakan.

Namun sejenak kemudian Ken Arok pun teringat kepada orang-orang yang berada di seberang. Mereka masih berdiri berderet di pinggir sungai. Beberapa orang tampak melambaikan tangan mereka untuk memberikan isyarat. Mereka ingin tahu apakah yang harus mereka kerjakan. Beberapa orang justru mengganggu mereka dengan berbagai tingkah laku. Tetapi mereka itu pun segera menyadari bahwa apabila banjir tidak segera susut cukup banyak, mereka akan terpaksa berada di seberang sampai besok. Bahkan apabila hujan turun lagi di ujung sungai, dan banjir menjadi bertambah pula, mereka terpaksa menunggu lagi sampai hari berikutnya, sampai bendungan itu dapat dilewatinya.

“Mereka harus mendapat makan.” gumam Ken Arok.

Seorang prajurit yang mendengar menyahut, “Ya, seperti kita di sini, mereka pun pasti juga lapar.”

Ken Arok berpaling. Sejenak ia mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia tersenyum, “Apakah kau juga lapar?”

Prajurit itu tersenyum pula. Tetapi ia tidak menjawab. “Tetapi kau tidak usah cemas. Juru adang, sudah melakukan tugasnya dengan baik. Kau akan segera mendapat rangsummu. Tetapi bagaimana dengan mereka?”

Prajurit itu tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi kemerah-merahan. Karena prajurit itu masih diam, maka Ken Arok meneruskan, “Aku kira nasi telah masak. Kalian akan segera dapat makan.”

Wajah prajurit itu menjadi semakin merah. Tetapi kemudian ia mengerutkan keningnya ketika ia mendengar Ken Arok berkata, “Bendungan itu sudah tidak membahayakan lagi. Apabila kita berhati-hati, kita akan dapat menitinya.” Dan sebelum prajurit itu menjawab, Ken Arok sudah melangkah meninggalkannya.

Ternyata Ken Arok itu pergi ke ujung bendungan. Ditatapnya bendungan itu dengan saksama, seakan-akan ingin mengukur kekuatannya, apakah bendungan itu tidak berbahaya apabila ia pergi ke seberang meniti di atasnya.

“He, Ken Arok.” terdengar seseorang memanggilnya. Ketika Ken Arok berpaling, dilihatnya Kebo Ijo berdiri di antara beberapa orang prajurit. “Kemana kau?” ia bertanya.

“Aku akan pergi ke seberang.” jawab Ken Arok pendek.

Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Katanya, “Kau selalu berbuat nekad. Lihat, air masih terlampau besar.”

“Aku akan meniti di atas bendungan.”

“Terlampau berbahaya. Sedikit gocangan telah cukup melemparkan kau ke dalam air yang seolah-olah sedang bergumul itu.”

“Aku harus berhati-hati supaya aku tidak tergelincir.”

“Apakah ada sesuatu yang penting sekali harus kau kerjakan di seberang.”

“Orang-orang di seberang itu cukup gelisah. Aku harus datang untuk menenteramkannya dan memberitahukan apa yang harus mereka kerjakan.”

Kebo Ijo mengangkat pundaknya. Ia tidak menyahut lagi, tetapi tampak di wajahnya, bahwa ia agak mencemaskannya.

“Ada juga perasaan cemas di dalam dadanya buat orang lain.” Ken Arok bergumam di dalam hatinya. Sedang kakinya telah mulai menyentuh ujung bendungan.

Perlahan-lahan dan dengan sangat hati-hati ia mulai meniti bendungan itu. Beberapa orang segera datang berkerumun di ujung jembatan. Ada di antara mereka yang mencoba mencegahnya. Tetapi Ken Arok berjalan terus. Ia cukup mengerti kekuatan bendungannya dan kekuatan air yang sudah mulai surut itu, sehingga menurut perhitungannya, maka bendungan itu sama sekali sudah tidak berbahaya. Hanya apabila ia tidak hati-hati ia akan dapat tergelincir masuk ke dalam air yang bergulung-gulung dengan warnanya yang keruh.

Ternyata perhitungan Ken Arok itu benar. Sampai ke ujung yang lain di seberang, Ken Arok tidak mengalami peristiwa apapun. Ia selamat menginjakkan kakinya ke seberang. Kedatangannya segera dikerumuni oleh prajurit-prajuritnya. Prajurit-prajurit yang cemas dan tidak mengerti apa yang sebaiknya mereka lakukan, selain menunggu. Menunggu untuk waktu yang tidak mereka ketahui.

“Akulah yang membawa kalian ke seberang ini, karena itu, maka aku datang menjemput kalian.”

“Apakah kami harus menyeberang?” bertanya seseorang.

“Meniti di atas bendungan itu.” jawab Ken Arok, “tetapi tidak bersama-sama, karena bendungan itu masih belum kuat benar. Satu demi satu atau dua. Tetapi jangan lebih dari lima orang sekaligus.”

Prajurit-prajurit itu saling berpandangan. Ada yang tampak ragu-ragu, tetapi ada yang segera menjawab, “Baiklah. Satu-satu berurutan dengan jarak yang agak panjang, sehingga tidak terlampau banyak yang berada sekaligus di atas bendungan itu. Bukankah begitu?”

“Ya.” sahut Ken Arok pendek.

“Baiklah.” sahut prajurit yang lain, yang bertubuh gemuk, “supaya kita tidak terlampau lama kedinginan di sini. Di sana kita dapat segera berganti pakaian. Kemudian duduk menghangatkan diri dimuka perapian.”

“Maksudmu, di muka perapian tempat menanak nasi?” potong kawannya.

“Ah.” desah Ken Arok, “dimana-mana aku bertemu dengan orang yang kelaparan.”

Prajurit yang gemuk itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah ada orang lain selain aku yang kelaparan?”

“Hus.” desis Ken Arok, “sekarang bersiaplah. Siapakah yang akan pergi dahulu? Jangan berebut. Aku akan menyeberang paling akhir, setelah kalian selesai.”

Beberapa orang prajurit saling berpandangan. Namun kemudian mereka pun segera pergi satu demi satu ke ujung bendungan itu. Seorang yang sudah menyentuh bendungan itu dengan kakinya menjadi ragu-ragu. Air yang bergejolak di depan bendungan itu membuatnya agak pening.

“Aku menjadi singunen.” Katanya.

“Jangan kau tatap air yang bergerak itu. Kau akan merasa seakan-akan terhisap olehnya, dan kau akan terjun ke dalamnya.”

“Marilah, siapa yang akan berjalan di depan.” berkata prajurit itu sambil melangkah surut.

Tetapi orang lain pun menjadi ragu-ragu pula. Sehingga akhirnya Ken Arok bertanya, “Tidak ada yang berani berjalan dahulu?”

Seorang prajurit yang berewok melangkah maju. Katanya, “Biarlah aku berjalan dahulu.”

“Kau tidak singunen.” bertanya kawannya.

“Tidak. Rumahku pinggir Bengawan. Aku sudah biasa melihat air banjir.”

“Pergilah.” berkata Ken Arok.

Prajurit itu pun segera berjalan perlahan-lahan meniti bendungan yang sudah menjadi semakin banyak tersembul di permukaan air. Perlahan-lahan sekali dan sangat berhati-hati. Seorang yang lain segera menyusulnya beberapa langkah di belakangnya. Setelah mereka agak ketengah maka seorang yang lain mulai menginjak bendungan itu pula. Berturut-turut seperti pesan Ken Arok. Sehingga dalam saat yang bersamaan, di atas bendungan itu tidak berdiri lebih dari lima orang.

Karena kawan-kawannya yang lain kemudian berani meniti bendungan itu, maka prajurit-prajurit yang semula ragu-ragu pun akhirnya berani juga melakukannya, meskipun sama sekali tidak berani berpaling dan memandang air yang seolah-olah akan menelannya. Apalagi apabila mereka melihat putaran air di muka susukan induk, seolah-olah mereka akan ikut serta terhisap dan hanyut ke dalamnya.

Orang-orang yang berada di seberang, kemudian berkumpul kembali menyaksikan kawan-kawannya yang berjalan beriringan menyeberang di atas bendungan. Betapapun juga, mereka menjadi tegang pula karenanya. Ternyata prajurit-prajurit yang meniti jembatan itu memerlukan waktu yang agak panjang. Ketika warna-warna suram telah mulai mengambang di atas Padang Karautan, mereka mencoba mempercepat langkah mereka, meskipun mereka tidak boleh lengah. Mereka masih harus tetap berhati-hati supaya tidak tergelincir masuk.

Namun mereka berusaha sebelum gelap, mereka harus sudah selesai. Apabila malam yang gelap sudah menyelubungi padang, maka meniti bendungan itu akan menjadi terlampau sulit dan berbahaya. Tetapi untuk menunggu sampai esok bagi para prajurit itu pasti akan terlampau lama, sebab hampir sehari-harian mereka belum makan. Apalagi pakaian mereka telah basah kuyup oleh hujan yang seperti dicurahkan dari langit.

Seperti air yang bergumul di depan bendungan itu, maka prajurit yang ada di seberang itu pun semakin lama menjadi semakin susut pula. Akhirnya tinggal beberapa orang saja bersama dengan Ken Arok. Sedang langit sudah menjadi semakin merah kehitam-hitaman.

“Cepat.” desis seorang prajurit yang bertubuh kecil berkumis tipis, “kita harus selesai sebelum gelap, supaya kita tidak terjerumus masuk ke dalam air.”

“Jangan terlalu tergesa-gesa.” berkata Ken Arok, “hati-hati jangan sampai tergelincir.”

Dan prajurit-prajurit itu memang tidak dapat terlalu tergesa-gesa dan harus selalu berhati-hati. Tetapi akhirnya prajurit yang terakhir telah menyentuhkan kakinya di atas bendungan. Namun pada saat itu hari telah mulai menjadi gelap, sehingga dengan ragu-ragu prajurit itu melangkahkan kakinya, Sekali-sekali ia berhenti menarik nafas dalam-dalam. Sedang suara air yang sedang banjir masih saja bergemuruh mengganggu telinganya. Lamat-lamat dalam keremangan ujung malam dapat dilihatnya air bergulung-gulung di depan bendungan yang sedang dititinya.

“Jangan tergesa-gesa.” berkata Ken Arok yang berjalan di belakang prajurit yang terakhir itu. ”Lebih baik perlahan-lahan dan hati-hati daripada tergesa-gesa tetapi masuk ke dalam air itu.”

“Ya.” jawab prajurit itu.

Selangkah-selangkah mereka maju. Beberapa orang di seberang ternyata dapat mengerti kesulitan para prajurit yang sedang menyeberang itu. Ternyata beberapa orang dari mereka segera menyediakan obor-obor untuk membantu menerangi bendungan. Tetapi obor-obor itu kadang malah membuat para prajurit yang menyeberang menjadi silau. Namun akhirnya semuanya dapat sampai ke seberang dengan selamat.

Ken Arok lah yang terakhir menginjakkan kakinya di pinggir seberang sambil menarik nafas dalam-dalam. Ketika dilihatnya prajurit yang gemuk masih berdiri di dekat bendungan itu sambil berceritera kepada kawannya, maka berkatalah Ken Arok, “Apakah kau sudah memanasi dirimu di perapian sambil makan? Aku kira kau terlampau lapar dan aku kira nasi sudah masak.”

Prajurit yang gemuk itu tertawa. Jawabnya, “Aku masih belum lapar. Sudah terbiasa bagiku, dua hari dua malam tidak makan dan tidak minum.”

“Itukah sebabnya kau menjadi gemuk?” bertanya kawannya yang berdiri di sampingnya.

Sekali lagi prajurit itu tertawa lepas, sehingga beberapa orang berpaling kepadanya sehingga tiba-tiba ditutupnya mulutnya dengan tangannya. “Ah, aku akan pergi.” desisnya kemudian.

“Kemana?” bertanya kawannya.

“Keperapian. Mungkin aku masih dapat mengeringkan pakaianku dan mendapat rangsum hangat.” Prajurit yang gemuk itu tidak menunggu kawannya menjawab. Segera ia melangkah pergi. Sekali ia berpaling sambil tertawa. Cahaya obor yang kemerah-merahan membuat bayangan yang lucu pada wajahnya yang gemuk.

Tetapi bukan saja prajurit yang gemuk itu yang pergi kedapur. Prajurit-prajurit yang lain pun segera menyusul. Ada di antara mereka yang memerlukan berganti pakaian lebih dahulu, tetapi ada juga yang langsung dengan pakaian basah, menerima rangsum hangat sambil duduk-duduk di muka perapian. Ternyata mereka benar-benar telah lapar sehingga mereka makan tanpa banyak berbicara.

Ken Arok berdiri tegak beberapa langkah dari mereka. Meskipun ia sendiri belum makan, tetapi ia senang melihat prajurit-prajuritnya makan dengan lahapnya. Satu-dua di antara mereka masih sempat berkelakar, meskipun sambil menyuapi mulut-mulut mereka dengan suapan-suapan yang besar. Ken Arok berpaling ketika terasa pundaknya ditepuk seseorang. Ternyata Kebo Ijo telah berdiri dibelakangnya. Sambil tersenyum anak muda itu berkata, “Tuanku Akuwu Tunggul Ametung, yang kalis dari segala bahaya, yang bijaksana dan yang dilindungi oleh Bintang Cakra telah memanggilmu.”

“Ah.” Ken Arok berdesah.

“Aku berkata sesungguhnya, bahwa kau harus menghadapnya sekarang juga. Bahkan sebenarnya sejak tadi kau dicarinya, tetapi ternyata kau masih berada di seberang.”

“Aku percaya bahwa Akuwu memanggilku. Tetapi sebutan yang kau ucapkan adalah sebutan bagi Maharaja Kediri.”

Kebo Ijo tertawa. Katanya, “Akuwu itu merasa dirinya lebih besar dari Maharaja Kediri.”

“Kaulah yang beranggapan begitu.”

“Huh.” Katanya, “ia merasa bukan manusia biasa lagi. Ia merasa dirinya jauh lebih berharga dari pada kita. Dan Kakang Witantra membiarkan dirinya direndahkan. Agaknya kau pun akan berlutut sambil mencium kakinya pula.”

Ken Arok mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Adi Kebo Ijo, jangan berkata begitu. Aku tahu bahwa Akuwu memang kadang-kadang berbuat sekehendak sendiri. Tetapi itu tidak berarti bahwa ia sudah lupa diri. Itu adalah tabiatnya, seperti kau sering berkata menurut seleramu sendiri.”

“Tetapi ia benar-benar seperti Maharaja yang paling perkasa. Suatu ketika aku cekik ia sampai mati.”

Ken Arok mengerutkan keningnya. Tampaklah perubahan pada wajahnya. Namun sejenak justru ia berdiam diri. Ia tidak segera menanggapi kata-kata Kebo Ijo itu, karena ia sama sekali tidak senang mendengarnya. Ken Arok menggigit bibirnya ketika ia mendengar justru Kebo Ijo tertawa terbahak-bahak. Orang-orang yang berdiri dikejauhan, yang mendengar suara tertawanya, serentak berpaling kearahnya. Ada diantara mereka yang ikut tertawa meskipun tidak mengetahui persoalannya, hanya karena melihat cara tertawa Kebo Ijo yang menggelikan. Tetapi ada juga yang acuh tidak acuh sambil menyuapi mulutnya dengan nasi hangat.

“Kebo Ijo.” berkata Ken Arok kemudian, “aku sudah mencoba memperingatkanmu. Jangan terdorong mengucapkan kata-kata yang begitu tajam.”

“Kau cemas bahwa aku akan melakukannya? Jangan takut kehilangan tempat untuk menghambakan diri Ken Arok. Aku tidak akan benar-benar melakukannya.” sahut Kebo Ijo.

“Aku tahu bahwa kau tidak akan melakukannya. Tetapi kelakar yang demikian agak berlebih-lebihan. Sebaiknya kau mengucapkan kata-kata yang lain, yang tidak langsung menusuk perasaan. Mungkin aku dapat mengerti caramu bergurau. Tetapi mungkin orang lain tidak, atau justru meskipun orang lain tahu benar, bahwa kau hanya bergurau, namun mereka yang tidak senang denganmu akan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya.”

“Apakah kepentingan orang lain dengan aku? Apakah yang diinginkannya dariku? Kedudukanku yang tidak pernah naik pangkat ini, justru karena aku tidak dapat menjilat kaki Akuwu itu, atau apa?”

“Kau benar-benar tidak mampu mengendalikan lidahmu. Coba katakan berapa tahun kau mengabdikan diri menjadi seorang prajurit di Tumapel. Coba sebutkan di antara orang-orangmu, apakah tidak ada yang sudah lebih dari dua kali lipat waktu pengabdiannya kepada Akuwu Tunggul Ametung dan masih saja berada di tingkat di bawahmu.”

“Tetapi mereka adalah orang-orang bodoh yang tidak pantas untuk disebut namanya.”

“Sedang kau.” Ken Arok memotong, “adalah orang yang berilmu tinggi dan tidak ada duanya.”

Wajah Kebo Ijo tiba-tiba menegang. Tetapi hanya sesaat, kemudian terdengar sekali lagi suara tertawanya lepas mengumandang di Padang Karautan yang sudah mulai gelap.

“Ah, sudahlah.” berkata Ken Arok, “tetapi ingat-ingatlah pesanku supaya kau tidak terjerumus dalam kesulitan. Jangan kau lepaskan saja kata-katamu tanpa pertimbangan dan pengendalian.”

“Baiklah.” sahut Kebo Ijo, “akan aku pergunakan mulutku untuk memujinya supaya aku segera diangkat menjadi senapati agung.”

Ken Arok tidak menjawab lagi. Tapi ia benar-benar tidak senang mendengar kelakar yang berlebih-lebihan justru tentang Akuwu Tunggul Ametung. Meskipun ia masih mendengar suara tertawa Kebo Ijo namun Ken Arok itu melangkah pergi meninggalkannya. Akuwu Tunggul Ametung yang memanggilnya, mungkin sudah terlalu lama menunggunya. Karena itu maka langkahnya pun menjadi tergesa-gesa, tidak saja supaya ia segera sampai ke gubug yang dipergunakan oleh Akuwu Tunggul Ametung untuk beristirahat, tetapi juga supaya ia segera menjauhi Kebo Ijo.

“Anak itu harus mendapat peringatan.” desis Ken Arok, “tetapi karena kakak seperguruannya ada di sini, biarlah aku katakan saja kepadanya tentang adiknya itu.”

Langkah Ken Arok itu pun segera terhenti. Dilihatnya gubug itu sepi. Namun perlahan-lahan supaya tidak mengejutkan, ia berjalan mendekati pintu. Ia terhenti ketika ia melihat Witantra keluar dari dalam gubug itu.

Perlahan-lahan Witantra berkata, “Akuwu sedang tidur.”

Ken Arok mengerutkan keningnya. Katanya, “Bukan kah Akuwu Tunggul Ametung memanggil aku.”

“Ya. Sejak sore ia mencarimu.”

“Kebo Ijo baru saja menjampaikan pesan itu ke padaku.”

“Ya.”

“Dan sekarang Akuwu sedang tidur?”

“Ya.”

Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Kadang-kadang memang terbersit kejengkelan di dalam hatinya. Tergesa-gesa ia datang memenuhi panggilannya, tetapi yang memanggilnya itu ternyata sedang tidur. Tetapi justru dengan demikian ia teringat kepada Kebo Ijo. Ia ingin mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya selagi ia bertemu dengan Witantra. Maka sejenak kemudian ia berkata, “Aku ingin berbicara dengan kau Witantra.”

Witantra mengerinyitkan alisnya. “Tentang?”

“Tentang adikmu Kebo Ijo.”

Kini Witantra lah yang menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu benar tabiat dan kebiasaan Kebo Ijo. Katanya kemudian, “Apakah anak itu mengganggu pekerjaanmu disini? Aku sebenarnya juga kurang sependapat, bahwa Kebo Ijo lah yang dikirim oleh Akuwu untuk membantu pekerjaanmu.”

“Tidak.” Ken Arok menggeleng, “Kebo Ijo sama sekali tidak mengganggu. Ia termasuk pekerja yang baik, meskipun mula-mula agak canggung. Tetapi pada saat-saat terakhir ia merupakan tenaga yang ikut menentukan.”

“Lalu?”

“Kita duduk di sini Witantra.”

Witantra mengangguk. Keduanya segera duduk di atas rerumputan dimuka gubug itu.

“Adikmu memang senang berkelakar dan bergurau.” berkata Ken Arok.

“Ya.” Witantra mengangguk, lalu diteruskannya, “bukankah kau merasa terganggu oleh kelakarnya yang berlebih-lebihan?”

Ken Arok mengerutkan keningnya. Agaknya kakak seperguruan Kebo Ijo itu pun telah menyadari sifat-sifatnya, yang kadang-kadang terlampau berlebih-lebihan, bahwa sering sudah melampaui batas. Hal yang demikian seharusnya tidak boleh berkepanjangan. Sejenak kemudian maka ia pun menjawab, “Sebenarnya aku sendiri tidak merasa terlampau terganggu. Tetapi aku mencemaskannya, bahwa kadang-kadang kelakarnya dapat membahayakannya.”

Witantra mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah yang dikatakannya?”

“Tentang Akuwu Tunggul Ametung.” jawab Ken Arok, “kadang-kadang terloncat ucapan-ucapannya yang mendebarkan hati.”

Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “mungkin sekali, Anak itu benar-benar anak yang bengal. Apakah yang dikatakannya tentang Akuwu?”

“Mungkin pernah mendengar apa yang dikatakannya tentang kita?”

“Dalam hubungan dengan Akuwu?”

“Ya.”

“Ya. Aku memang sering mendengar. Anak itu menganggap kita terlampau merendahkan diri dihadapan Akuwu Tunggul Ametung.”

“Begitulah. Lalu bagaimana sikapnya sendiri?”

“Seperti seekor tikus dihadapan seekor kucing. Tetapi anak itu memang harus mendapat peringatan. Apakah yang dikatakan kepadamu?”

“Itu tidak terlampau berbahaya baginya, Witantra. Tetapi yang lebih menyinggung perasaan orang-orang yang dekat dengan Akuwu adalah sebutan-sebutannya yang mengandung hinaan atas Akuwu Tunggul Ametung. Bahkan.” Ken Arok diam sejenak. Diedarkannya pandangan matanya berkeliling, seolah-olah takut didengar orang lain. Lalu, “Kebo Ijo pernah berkata kepadaku, meskipun aku tahu bahwa ia hanya bergurau, katanya, “Aku akan mencekiknya sampai mati.”

“Ah.” Witantra berdesah, “begitukah?”

“Ya. Aku cemas apabila seseorang pernah mendengar ia berkata begitu pula.”

“Hem.” Witantra menarik nafas dalam-dalam, “sebenarnyalah demikian Ken Arok. Aku pernah mendapat laporan dari seorang prajurit pengawal. Ia mendengar Kebo Ijo memaki Akuwu meskipun sambil tertawa. Sebagai seorang prajurit pengawal, ia lapor kepadaku tentang seorang prajurit yang lain yang bersikap demikian.”

“Apakah yang sudah kau lakukan?”

“Aku panggil anak itu. Aku memarahinya hampir separo malam. Tampaknya ia menjadi jera. Tetapi kini penyakit itu agaknya telah kambuh kembali.”

“Nah, terserahlah kepadamu Witantra, untuk kepentingan adikmu itu sendiri.”

“Terima kasih. Aku akan memperhatikannya.”

“Baiklah. Sekarang, sebelum Akuwu bangun, aku akan beristirahat sejenak. Aku akan berganti pakaian, makan dan duduk-duduk bersama prajurit-prajurit yang sedang beristirahat itu.”

Witantra mengerutkan keningnya. Lalu ia berkata, “Aku ikut bersamamu. Aku ingin melihat-lihat keadaan mereka disini sebelum besok aku pergi mengawal Akuwu ke Kemundungan.”

Keduanya pun kemudian berdiri. Witantra melambaikan tangannya, memanggil seorang prajurit yang dibawanya dari Tumapel, prajurit pengawal, “Lakukan tugasmu baik-baik. Aku akan pergi sebentar. Laporkan kepada perwira yang sedang bertugas.”

Prajurit itu menganggukkan kepalanya, sedang tangan kirinya menggenggam hulu pedangnya yang masih berada di dalam sarungnya. “Baik.” Jawabnya, “akan aku lakukan.”

Witantra pun kemudian melangkah bersama-sama dengan Ken Arok, sementara itu, prajurit pengawal itu melaporkannya kepada perwira pengawal bawahan Witantra, yang segera mengambil alih tugasnya, berjaga-jaga di depan gubug Akuwu Tunggul Ametung yang sedang tidur itu. Beberapa langkah kemudian, maka kedua orang itu terhenti ketika mereka melihat Kebo Ijo mendatanginya. Sambil tertawa ia bertanya kepada Ken Arok, “Kenapa kau tidak menghadap Akuwu?”

“Akuwu sedang tidur.” jawab Ken Arok.

“He.” Kebo Ijo mengerutkan keningnya, “tetapi ia memanggilmu menurut Kakang Witantra.”

“Ya.” sahut Witantra, “tetapi pada saat Ken Arok datang, Akuwu sudah tertidur. Mungkin ia terlampau lelah setelah bekerja keras hari ini.”

Wajah Kebo Ijo menjadi berkerut-merut. Tetapi kemudian meledaklah suara tertawanya.

“Kenapa kau tertawa?” bertanya Witantra.

“Tidak apa-apa.” Kebo Ijo menggeleng-gelengkan kepalanya, “Tidak apa-apa.”

Sejenak Ken Arok dan Witantra saling berpandangan. Namun kemudian mereka meneruskan langkah mereka tanpa menghiraukan anak yang masih saja tertawa-tawa itu. Tetapi ternyata Kebo Ijo tidak membiarkannya pergi. Ia pun kemudian mengikutnya di belakang. Sejenak kemudian ia bertanya, “Kakang, apakah Akuwu akan membicarakan tentang keberangkatannya besok bersama Ken Arok?”

“Aku tidak tahu.” sahut kakanya.

“Tetapi bukankah itu yang dimaksud oleh Akuwu Tunggul Ametung? Membawa sepasukkan prajurit untuk membebaskan Mahisa Agni?”

“Ya.”

“Apakah Ken Arok besok harus ikut serta?”

“Aku tidak tahu.”

“Hem.” Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Ia masih saja berjalan mengikuti Ken Arok dan Witantra, “Aku kira begitulah. Dan seandainya benar, maka Akuwu benar-benar berbuat aneh.”

“Kenapa?” bertanya Witantra dengan serta merta.

“Bendungan ini seharusnya jauh lebih penting dari pada seorang Mahisa Agni. Apakah perlunya Akuwu bersusah payah berusaha membebaskannya?”

Langkah Witantra tertegun mendengar kata-kata Kebo Ijo. Ken Arok pun kemudian terhenti juga. Bahkan keduanya kemudian berpaling memandangi Kebo Ijo yang kemudian berdiri tegak di belakang mereka.

“Kebo Ijo.” berkata Witantra kemudian, “kita adalah prajurit. Kita sebaiknya mentabukan perintah yang dijatuhkan atas kita. Memang mungkin perintah itu tidak tepat. Apabila demikian kita dapat memberikan pertimbangan seperlunya. Nah, adalah wajar sekali apabila besok, seandainya Akuwu masih ingin membawa Ken Arok, kita dapat mengajukan keberatan-keberatan itu.”

Kebo Ijo tidak segera menyahut. Diangguk-anggukkannya kepalanya. Tetapi sejenak kemudian ia berkata, “Apakah sebenarnya pentingnya Mahisa Agni bagi Akuwu.”

“Ia kakak Tuan Puteri Ken Dedes, Permaisuri Akuwu Tunggul Ametung.”

“Tetapi Mahisa Agni sendiri adalah seorang anak padesan. Kalau ia hilang di dalam sarang iblis Kemundungan itu, adalah nasibnya yang terlampau jelek. Buat apa sebenarnya Akuwu memaksa diri untuk mencarinya dengan sepasukan prajurit? Bagiku, hal itu tidak akan banyak memberikan arti bagi Tumapel. Pantaslah kiranya, apabila yang hilang itu seorang putera Raja, setidak-tidaknya putera Akuwu Tunggul Ametung sendiri. Bukan hanya sekedar anak padesan. Apabila Tuan Puteri Ken Dedes merajuk, biarlah Akuwu mengancamnya untuk mengembalikan saja kepadepokannya.”

Witantra mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Sebaiknya kau tidak usah ikut memperbincangkannya. Itu adalah persoalan Akuwu Tunggul Ametung.”

Kebo Ijo justru tertawa pendek, “Aku kasihan melihat Akuwu begitu bersusah payah untuk seorang pidak pedarakan.”

“Kau Keliru Kebo Ijo.” Ken Aroklah yang kemudian menyahut, “kau membedakan antara seorang anak pidak pedarakan dengan seorang pangeran atau putera Akuwu di dalam persoalan ini.”

“Sudah tentu. Nilai dari mereka jauh berbeda.”

“Tidak Kebo Ijo. Baik ia seorang pangeran, bahkan seorang pangeran dari seorang Maharaja sekalipun dan seorang yang paling rendah dan paling hina, berhak mendapat perlindungan.”

“O, tentu. Sudah tentu. Tetapi harus disesuaikan dengan kedudukannya. Kalau yang hilang seorang pangeran, pantaslah Akuwu sendiri yang pergi mencarinya. Tetapi kalau hanya seorang Mahisa Agni?”

“Mahisa Agni kini adalah seorang kakak dari Permaisuri Akuwu sendiri.”

Kebo Ijo tertawa. Katanya, “Kau terbalik mengucapkannya Ken Arok. Seharusnya kau berkata, “Permaisuri Akuwu Tunggul Ametung hanyalah adik Mahisa Agni. Anak dari pedukuhan Panawijen.”

“Kau telah menarik garis perbedaan terlampau tajam antara seorang yang lahir di dalam lingkungan yang baik dan orang-orang yang lahir dalam keadaan yang buruk.”

“Tentu. Aku sendiri harus menghargai keturunanku.”

“Kau sudah gila Kebo Ijo.” desis Witantra, “diamlah supaya aku tidak memaksamu.”

Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak ingin diam, ia masih ingin berbicara. Namun Witantralah yang berbicara pula, “Pergilah beristirahat. Tetapi sebelumnya, dengarlah dahulu sebagai bekalmu berangan-angan sebelum tidur. Tak ada perbedaan apa-apa antara yang kebetulan lahir sebagai seorang yang sangat miskin. Mereka berhak mendapat perlindungan yang sama, Mahisa Agni yang kini berada dalam bahaya yang mengerikan harus mendapat pertolongan.”

Sekali lagi Kebo Ijo tertawa. Tetapi ia tidak mendapat kesempatan berbicara karena Ken Arok berkata, “Kebo Ijo. Nilai seseorang tidak saja tergantung kepada darah keturunan. Tetapi tergantung pula atas perbuatannya sendiri. Atas apa yang dikerjakannya.” Ken Arok berhenti sejenak, lalu, “Aku adalah seorang yang paling hina ketika dilahirkan. Tetapi penilaian orang terhadap diriku kini telah menjadi jauh berbeda. Apakah kau pernah membayangkannya, bahwa aku seolah-olah terbuang di masa-masa itu. Disaat aku baru dilahirkan?”

Kebo Ijo tidak segera menyahut. Ditatapnya wajah Ken Arok yang tegang.

“Tetapi sekarang aku mendapat kesempatan ini.” Ken Arok meneruskannya.

Kini Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia masih mempunyai kesadaran untuk tidak membuat keributan. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Itu memang bukan persoalanku. Tetapi bagiku Mahisa Agni sama sekali tidak cukup bernilai untuk memaksa Akuwu meninggalkan istana. Lebih baik baginya untuk berburu kijang di hutan-hutan.”

“Pergilah Kebo Ijo.” potong Witantra, “beristirahatlah, tetapi jangan tidur dulu. Aku perlu menemuimu.”

Kebo Ijo menjadi heran, sehingga terloncat pertanyaannya, ”Kenapa nanti? Bukankah kita sudah bertemu.”

Adik seperguruan Witantra itu memang menjengkelkan sekali, sehingga Witantra menyahut agak keras, ”Aku perlu berbicara dengan kau seorang diri. Aku nanti ingin memberimu peringatan supaya kau tidak malu dilihat orang. Kau telah membuat banyak sekali kesalahan. Mengerti?”

Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Diangkatnya pundaknya sambil berdesis, “Baiklah kakang. Sebaiknya aku makan dahulu sebanyaknya sebelum aku menghadap kakang nanti.”

“Lebih baik begitu. Makanlah, supaya mulutmu berhenti berbicara tentang hal-hal yang sama sekali tidak bermanfaat dan kadang-kadang dapat berbahaya bagimu.” sahut Witantra.

Kebo Ijo menganggukakan kepalanya. Berlahan-lahan ia melangkah pergi meninggalkan Ken Arok dan Witantra yang mengawasinya. “Anak itu benar-benar bengal. Umurnya sudah cukup dewasa, dan ia sudah berkeluarga pula. Tetapi sifatnya itu masih kadang-kadang membuat aku pusing dan bahkan guru sendiri. Ia dapat menjadi seorang yang baik dihadapan guru. Tetapi kemudian penyakitnya itu datang lagi mengganggunya.”

Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa kakak seperguruannya ini pun telah dibuatnya pening. Apalagi orang lain. Tetapi bahwa kata-katanya terlampau sering melukai hati orang lain dan kadang-kadang tanpa terkendali itulah yang harus mendapat perhatian. Saudara-saudara seperguruannya dan kawan-kawannya yang dekat, yang telah mengerti akan tabiatnya, tidak akan menjerumuskannya ke dalam kesulitan, bahwa akan berusaha melindunginya, meskipun kemudian memberikan peringatan yang keras kepadanya. Tetapi orang-orang lain akan berbuat sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing. Bahkan mungkin akan menjerumuskannya ke dalam kesulitan.

Ken Arok tersedar ketika Witantra kemudian berkata, “Biarlah anak itu makan. Nanti aku akan memberinya peringatan. Mungkin aku perlu menakutinya dengan berbagai macam cara, atau mengancamnya.”

“Mudah-mudahan kau berhasil.” desis Ken Arok.

Keduanya pun kemudian melanjutkan langkah mereka pergi ketempat para prajurit sedang beristirahat dan makan. Ken Arok pun kemudian ikut pula makan bersama mereka. Tetapi Witantra agaknya sudah makan lebih dahulu di gubugnya. Ketika malam menjadi semakin dalam, maka Ken Arok dan Witantra pun kembali ke gubug Akuwu Tunggul Ametung. Begitu mereka mendekat, maka terdengar suara Akuwu yang ternyata sedang terbangun, “He, apakah Ken Arok sudah datang?”

“Hamba, Tuanku.” sahut pengawal, ”itulah Ken Arok sudah datang.”

“Suruh ia masuk.”

“Hamba, Tuanku.”

Tetapi ketika pengawal itu hampir saja mengucapkan kata-kata untuk memberi tahukan panggilan itu kepada Ken Arok terdengar Ken Arok berdesis perlahan-lahan, “Aku sudah mendengarnya.”

Pengawal itu mengerinyitkan alisnya, Tetapi ia pun kemudian tersenyum tanpa mengucapkan sepatah katapun. Ken Arok bersama Witantra kemudian melangkah masuk ke dalam gubug yang rendah itu. Kemudian mereka duduk di atas tikar yang dibentangkan di atas batang-batang rumput yang sudah kering.

“Kau baru datang?” bertanya Akuwu Tunggul Ametung.

“Tidak, Tuanku.” jawab Ken Arok, “hamba telah menghadap sejak lama.”

“Bohong. Aku berteriak-teriak memanggilmu. Yang selalu menyahut hanyalah para pengawal. Bahkan Witantra pun pergi pula.”

“Hamba berdua hanya sekedar berjalan-jalan di luar, Tuanku.” berkata Witantra.

“Tetapi kalian tidak mendengar panggilanku.”

“Mungkin hamba berdua berjalan-jalan agak terlampau jauh. Agaknya kami lupa untuk mengingat-ingat waktu dan jarak, Tuanku.”

Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan dahinya. Kemudian katanya, “Aku ingin berbicara dengan kalian.”

Witantra dan Ken Arok hampir bersamaan menjawab, “Hamba, Tuanku.”

Akuwu yang masih berada di pembaringannya itu menguap. Diusapnya matanya dengan jari-jarinya. Kemudian katanya, “Besok pagi aku akan meneruskan perjalananku. Aku harus menemukan Mahisa Agni supaya hidupku menjadi tenteram.”

Terbersit desis di dalam dada Ken Arok, “Hem, ada juga kebenarannya apabila seseorang mengatakan bahwa Akuwu Tunggul Ametung hanya memikirkan dirinya sendiri, meskipun tidak sepenuhnya. Tetapi pada saat-saat tertentu maka dirinya sendirilah yang menjadi pusat segala persoalan.” Tetapi tiba-tiba dikenangnya pada saat ia hampir hanyut didorong oleh arus banjir yang meluap kesusukan induk. “Hem Akuwu memang orang yang aneh. Apakah hatinya terlampau meledak-ledak sehingga kadang-kadang dirinya sendiri tidak mampu menguasainya? Ada beberapa persamaan sifat diantara Akuwu Tunggul Ametung ini dengan Kebo Ijo.”

“He.” Akuwu itu membentak, “kenapa kalian diam saja.”

Ken Arok dan Witantra terperanjat juga. Dan bersama-sama pula mereka menjawab, “Hamba, Tuanku.”

“Aku ingin mendapat kepastian apakah aku besok akan berangkat bersamamu Ken Arok?”

“Hamba menunggu perintah, Tuanku.” jawab Ken Arok, “tetapi apabila diperkenankan hamba ingin mengajukan pertimbangan untuk itu.”

“Apa pertimbanganmu.?”

“Langit sudah menjadi semakin tebal dilapisi oleh air, Tuanku. Hujan pasti akan semakin turun, sedang bendungan itu masih belum siap sama sekali, meskipun sebagian terbesar telah selesai dan bahkan telah dapat diselamatkan dari banjir yang pertama. Tetapi hamba masih selalu dicemaskannya. Apabila datang banjir yang lebih besar lagi, maka bendungan itu akan mengkhawatirkan.”

“Apakah kau sudah membuat parit-parit untuk menyalurkan air seperti yang kau rencanakan. Apabila air terlampau tinggi-tinggi maka air akan mengalir lewat parit-pari yang dangkal itu sehingga mengurangi tekanan yang mendorong bendungan itu.”

“Belum Tuhanku.”

“He, kenapa belum? Apakah kau menunggu bendunganmu pecah.”

“Baru hari ini kami merencanakannya. Seandainya rencana itu dikerjakan, maka baru besoklah hamba mulai.”

“Oh kalian bekerja seperti siput. Kenapa tidak kau mulai malam ini?”

Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Tetapi diberanikannya juga menjawab, “Orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel telah terlampau letih, Tuanku.”

Akuwu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Jadi bagaimana dengan kau? Apakah kau tidak jadi pergi besok?”

“Seandainya hamba diperkenankan, hamba ingin menyelesaikan bendungan ini saja. Bukan karena hamba tidak sanggup untuk melakukan perintah, Tuanku, tetapi hamba hanya sekedar memberikan pertimbangan.”

“Apakah kau takut bertemu dengan Kebo Sindet?”

Dada Ken Arok tersirap mendengar pertanyaan itu. Seandainya yang bertanya bukan Akuwu Tunggul Ametung, maka orang itu akan ditantangnya berlomba untuk menangkap Kebo Sindet, meskipun Ken Arok tahu, bahwa Kebo Sindet bukanlah seorang yang dapat dianggapnya seperti orang-orang kebanyakan. Bahkan pada saat Mahisa Agni hilang, Ken Arok tahu pasti, bahwa ia tidak dapat mengalahkannya, meskipun pada saat itu ia tidak terbunuh oleh iblis-iblis dan Kemundungan kakak beradik. Tetapi tanpa diketahuinya sendiri, ia kini merasa bahwa ia akan mampu menghadapinya, menghadapi Kebo Sindet seorang lawan seorang.

Tetapi kepada Akuwu Tunggul Ametung, sambil menahan hati, Ken Arok menjawab, “Ampun, Tuanku. Seandainya, Tuanku memerintahkan hamba untuk pergi mencari Mahisa Agni, maka hamba pasti akan berangkat. Untuk memenuhi perintah, maka seorang prajurit tidak boleh mengenal takut, meskipun seandainya ada juga perasaan itu di dalam dadanya. Karena itu, maka hamba akan melakukan segala perintah, Tuanku, apa pun yang akan terjadi atas diri hamba. Hamba sama sekali tidak memikirkan diri hamba sendiri, melainkan harapan yang telah dipupuk, selapis demi selapis di dalam dada orang-orang Panawijen, seperti selapis demi selapis brunjung yang disusun untuk membentuk bendungan itu, jangan sampai hanyut bersama banjir. Tetapi apabila Tuanku menghendaki lain, maka hamba pasti akan menjalankannya.”

Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Kemudian diangguk-anggukkannya kepalanya. Katanya, “Aku percaya bahwa kau tidak akan mengenal takut. Tetapi pendapatmu benar juga. Bendungan ini memang memerlukan perhatian.” Akuwu itu berhenti sebentar, lalu, “Sebenarnya tanpa kau pun pasukanku telah cukup kuat. Seandainya Kebo Sindet mempunyai beberapa orang pengikut di dalam sarangnya, Witantra dan para pengawal pasti akan mampu berhadapan dengan orang-orang itu, sedang Kebo Sindet sendiri harus berhahapan dengan aku. Dengan Akuwu Tumapel.”

Sekali lagi dada Ken Arok berdesir. Tetapi yang ada di dalam hatinya adalah kesan yang lain. Ternyata Akuwu dapat mengerti juga keterangannya, dan bahkan membenarkannya.

“Ken Arok.” berkata Akuwu, “besok pada saat matahari terbit, aku akan meninggalkan bendungan ini. Aku serahkan semuanya di sini kepadamu. Bendungan ini dan taman yang mengalami kerusakan-kerusakan kecil itu. Pada saatnya, taman itu harus siap. Aku ingin menghadiahkannya kepada isteriku. Aku mengharap bahwa aku akan dapat menghadiahkannya sekaligus, taman itu dan kakaknya yang hampir membuatnya gila.”

Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling memandangi wajah Witantra, maka Witantra itu pun mengangguk kecil.

“Lakukanlah pekerjaanmu sebaik-baikanya Ken Arok. Sekarang pergilah, aku akan segera tidur, supaya besok aku akan dapat bangun pada waktunya.” Akuwu diam sejenak, kemudian kepada Witantra ia berkata, “Kau pun harus menyiapkan pasukan kecilmu itu Witantra. Supaya besok pada saat matahari terbit, kita akan dapat berangkat segera.”

“Hamba, Tuanku. Segala titah, Tuanku akan hamba lakukan sebaik-baiknya.”

“Sekarang kalian boleh pergi.”

Ken Arok dan Witantra membungkukkan kepalanya bersama-sama sambil berkata hampir beriamaan pula, “Hamba, Tuanku.”

Keduanya pun kemudian pergi meninggalkan gubug Akuwu Tunggul Ametung. Witantra sambil mengangguk-anggukkan kepalanya berkata-kata, “Akuwu kadang-kadang sempat juga berpikir dan mempertimbangkan, mana yang baik dilakukannya.”

Ken Arok mengerinyitkan alisnya. Kemudian ia tersenyum, “Ya. Akuwu kadang-kadang memang aneh.”

“Hem.” Witantra menarik nafas dalam-dalam, ”Akuwu yang memang aneh atau karena kita telah kejangkitan penyakit Kebo Ijo itu.”

Ken Arok kini tidak hanya sekedar tersenyum, tetapi ia tertawa. Dan Witantra pun tertawa pula. Katanya kemudian, “Sudahlah. Sudah terlampau malam untuk berjalan-jalan. Sedang besok kita akan melakukan tugas kisa masing-masing Aku masih harus menemui Kebo Ijo malam ini, dan memberinya peringatan-peringatan. Aku akan memberinya banyak pesan agar ia tidak terjerumus ke dalam kesulitan karena kata-katanya dan mungkin sikapnya yang berlebih-lebihan.”

“Ya, sebaiknya kau memberinya pesan. Aku kadang-kadang mendapatkan kesulitan, karena Kebo Ijo benar-benar sukar dikendalikan. Pada saat ia datang ketempat ini, aku sudah harus melayaninya bermain-main. Untunglah pada saat itu gurumu datang tepat pada waktunya.”

“Aku mendengar pula. Kebo Ijo sendiri berkata kepadaku, meskipun tidak lengkap.”

“Aku kadang-kadang menjadi segan untuk menegurnya terus menerus seperti kanak-kanak. Aku segan juga kepadamu dan kepada gurumu. Aku takut menyinggung persaanmu dan perguruanmu.”

Witantra tertawa. Katanya, “Kau terlampau berterus-terang. Aku senang mendengarnya. Demikian seharusnya supaya kita tidak menyimpan terlampau banyak persoalan. Tentang Kebo Ijo, aku titipkan kepadamu. Aku yakin kau dapat mengatasinya. Aku akan berpesan pula kepadanya, bahwa kau akan menjadi penggantiku dan pengganti guru disini. Kebo Ijo tidak boleh menjadi bersakit hati oleh teguranmu. Kalau perlu kau dapat berbuat lebih banyak atas namaku.”

“Terima kasih atas kepercayaan itu. Tetapi aku kira, ia akan menjadi baik kalau kau menganyamnya, sehingga aku tidak perlu berbuat apa-apa lagi.”

“Mudah-mudahan.” desis Witantra, “sekarang aku akan menyiapkan para pengawal, supaya Akuwu besok pagi tidak berteriak-teriak apabila aku terlambat sedikit.”

Keduanya pun kemudian segera berpisah. Witantra pergi menemui para pengawal yang dibawanya dari Tumapel. Besok mereka harus bersiap tepat pada saatnya. Kemudian di dalam gubugnya Witantra menunggu kedatangan Kebo Ijo untuk menemuinya. Sementara itu Ken Arok masih juga berjalan-jalan mengelilingi gubug-gubug yang sudah menjadi semakin lama semakin sepi.

Malam menjadi semakin lama semakin dalam. Dikejauhan terdengar bilalang berderik-derik bersahut-sahutan di atas rerumputan yang masih basah. Angin yang dingin bertiup perlahan-lahan. Ketika Ken Arok menengadahkan wajahnya kelangit, hatinya menjadi berdebar-debar. Ternyata mendung di langit masih juga mengalir berurutan meskipun tidak terlampau tebal, seperti noda-noda raksasa yang bergeser dipermukaan wajah malam yang gelap. Meskipun demikian satu-satu bintang tampak berkeredipan disudut-sudut langit yang tidak disaput oleh awan yang kelabu.

Ken Arok menarik nafas dalam-dalam menghirup udara yang sejuk. Dipandanginya Padang Karautan yang seakan-akan tidak bertepi, menjorok ke dalam kelam yang pekat. Tiba-tiba Ken Arok tertegun sejenak. Ternyata langkahnya telah membawanya terlampau jauh. Dihadapannya, di dalam kesamaran malam, dilihatnya petamanan yang sedang di bangunnya.

“Hem, kakiku telah membawa aku kemari.”

Tetapi Ken Arok tidak segera kembali. Dilanjutkannya langkahnya. Dilihatnya petamanannya yang mengalami beberapa kerusakan. Tanah yang longsor di pinggir susukan induk, beberapa macam tanaman telah terendam air, dan pagar batu yang miring karena tanah yang bergeser akibat dorongan air yang keras. “Taman ini perlu diperbaiki.” desisnya.

Tetapi Ken Arok memusatkan segenap perhatiannya pada waktu yang dekat kepada bendungannya. Mungkin besok atau lusa banjir akan datang lagi. Sejenak Ken Arok duduk di atas pagar batu merenungi malam yang gelap dan dingin. Sekilas-sekilas terbang kembali di dalam ingatannya, masa-masa lampaunya di Padang Karautan ini, selagi ia masih hidup sebagai hantu yang menakutkan. Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali.

“Nasibmu memang terlampau baik Ken Arok.” suara itu terngiang ditelinganya. Suara Bango Samparan.

“Persetan.” Ken Arok menggeram, “Aku sama sekali tidak mau diganggunya lagi. Bukan karena aku tidak mengenal terima kasih. Aku akan bersedia memberinya bantuan untuk hidupnya sehari-hari. Tetapi caranya berpikir akan dapat menyesatkan aku lagi. Aku sudah mencoba untuk hidup seperti manusia biasa. Bukan seperti hantu di padang ini, yang hanya berlindung dari terik matahari di dalam semak-semak dan gerumbul-gerumbul perdu dan berlindung di bawah hujan dipereng-pereng kali.”

Dada Ken Arok menjadi berdebar-debar. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia mencoba mengusir pikiran yang mengganggunya itu. “Aku tidak akan mau diganggunya lagi dengan pikiran-pikiran yang gila itu.” desis Ken Arok kemudian sambil berdiri, “aku harus bekerja keras untuk menyelesaikan bendungan dan taman ini.”

Perlahan-lahan Ken Arok kemudian melangkahkan kakinya lagi, meninggalkan petamanan itu, kembali ke gubugnya. Malam telah menjadi semakin larut, dan bintang-bintang telah jauh berkisar dari tempatnya. Tetapi Ken Arok masih berjalan seenaknya. Lelah tubuhnya justru terasa berkurang oleh segarnya angin malam. Tetapi lambat laun matanya menjadi terlampau berat, dan mulutnya pun mulai menguap.

“Aku harus beristirahat. Besok aku akan mulai dengan kerja yang lebih keras.”

Ken Arok itu pun kemudian mempercepat langkahnya, seolah-olah ia takut bahwa ia akan kehabisan sisa-sisa malam. Ketika ia sampai diperkemahan, ternyata seluruh isi perkemahan itu tertidur nyenyak. Tidak ada seorang pun lagi yang masih bangun. Penjaga yang bertugas malam itu ditemui oleh Ken Arok tidur bersandar seonggok batu sambil menggenggam tombak pendek. Sedang kawannya tidak jauh dari padanya, tidur mendekur di tanah yang basah.

“Hem.” Ken Arok berdesah, “mereka terlampau lelah.” Karenanya maka Ken Arok tidak sampai hati untuk membangunkannya. Tetapi dengan demikian Ken Arok sendiri tidak segera pergi ke gubugnya untuk tidur. Sepi malam telah mencengkamnya untuk tetap bangun betapa matanya terasa terlampau berat. Dan bahkan akhirnya ia memutuskan untuk tidur saja di luar, di atas berunjung-brunjung bambu di dekat para penjaga yang sedang tidur itu.

Ken Arok tidak tahu, betapa lama ia tertidur. Tetapi tiba-tiba ia terbangun. Layap-layap ia mendengar sesuatu dikejauhan dibawa silirnya angin malam menyentuh lubang telinganya. Ternyata telinga Ken Arok adalah telinga yang terlampau tajam. Yang seolah-olah dirangkapi oleh ilmu Sapta Pangrungu. Yang mempunyai ketajaman mendengar tujuh kali lipat dari telinga biasa. Namun agaknya malam yang terlampau sepi telah membantunya pula untuk dapat mendengar suara yang paling halus sekalipun. Dan yang didengarnya kini adalah telapak kaki-kaki kuda meskipun masih terlampau jauh.

Ken Arok menggosok-gosok matanya dengan tangannya. Sekali lagi ia mencoba untuk meyakinkan pendengarannya. Dan perlahan-lahan ia berdesis, “Ya, aku mendengar derap kaki-kaki kuda yang masih jauh sekali.”

Ken Arok menarik nafas dalam-dalam Malam sudah hampir sampai pada akhirnya. Sebentar lagi langit di ujung Timur akan dibayangi oleh warna-warna merah. Dan disaat yang demikian, ia mendengar derap kaki-kaki kuda mendekati perkemahannya. Perlahan-lahan Ken Arok bangkit dan turun dari atas berunjung-berunjung bambu. Suara derap kaki-kaki kuda itu menjadi semakin jelas mendekati perkemahan itu. Tetapi tidak terlampau banyak. Dua atau tiga.

“Siapakah mereka itu?” desisnya.

Penjaga yang tidur bersandar batu itu masih juga tidur. Yang tidur mendengkur di tanah kini justru melingkar menyembunyikan tangannya yang kedinginan.

“Biar sajalah.” desis Ken Arok, “Pada saatnya mereka akan terbangun.”

Ken Arok itu pun kemudian melangkah perlahan-lahan menyongsong arah derap kaki-kaki kuda itu. Ia belum tahu, apakah yang datang itu akan berbahaya bagi perkemahannya atau tidak. Namun kemudian dadanya terasa berdesir ketika ia melihat ternyata Akuwu Tunggul Ametung pun telah berdiri tegak seperti sebatang tonggak baja di muka gubugnya, dan di belakangnya Witantra berdiri dengan pedang di lambung. Tetapi Akuwu itu pun menjadi terkejut pula ketika ia mendengar desir langkah di belakangnya. Ketika ia berpaling ternyata Ken Arok telah berada beberapa langkah di belakangnya.

“Apakah yang kau dengar?” bertanya Akuwu.

“Derap kaki-kaki kuda.” sahut Ken Arok.

“Hem.” Akuwu mengangguk-anggukkan kepalanya, “telingamu cukup baik. Tidak ada orang lain yang mendengar derap kaki-kaki kuda itu selain kau.”

“Bukankah, Tuanku mendengar juga?” bertanya Ken Arok.

“Ya.” sahut Akuwu.

Ketiganya kemudian terdiam. Mereka mencoba memperhatikan derap yang semakin lama menjadi semakin dekat.

“Beberapa ekor kuda menurut tangkapan telingamu?” bertanya Akuwu kepada Ken Arok.

“Dua.”

“Kau?” Akuwu itu berpaling kepada Witantra.

“Dua.”

“Aku menduga bahwa ada dua ekor kuda yang datang.”

Ken Arok dan Witantra saling berpandangan sejenak. Ternyata perhitungan mereka sama seperti hitungan Akuwu Tunggul Ametung. Derap kaki-kaki kuda di Padang Karautan yang sepi itu semakin lama menjadi semakin jelas. Angin padang yang basah seolah-olah telah mengantarkan berita kedatangan penunggang-penunggang kuda itu jauh mendahului kuda-kuda itu sendiri.

“Apakah ada utusan dari istana?” desis Ken Arok.

“He.” Akuwu mengerutkan keningnya, “bukankah kau masih prajurit Tumapel?”

Ken Arok menjadi heran, sehingga karena itu ia tidak segera menjawab.

“Seorang prajurit Tumapel tidak akan bertanya demikian.”

Ken Arok menjadi semakin tidak mengerti.

“Arah itukah arah Tumapel?” bertanya Akuwu.

Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Barulah ia menyadari kekeliruannya, dan barulah ia tahu maksud pertanyaan Akuwu Tunggul Ametung itu.

“Arah itu sama sekali bukan arah ke Tumapel.”

“Hamba, Tuanku. Hamba keliru. Hamba ternyata telah berkata tanpa memikirkannya lebih dahulu.”

Akuwu tidak menyahut. Perhatiannya kini tertumpah kepada dua ekor kuda itu, yang semakin lama menjadi semakin dekat. “Aku mengharap Kebo Sindet yang datang kepadaku tanpa aku cari.” desis Akuwu Tunggul Ametung.

“Mudah-mudahan.” hampir bersamaan Ken Arok dan Witantra menyahut.

Tiba-tiba Akuwu itu berpaling, lalu bertanya, “Kenapa mudah-mudahan? Apakah kau hanya sekedar ingin melihat aku berkelahi seperti melihat ayam sabungan?”

Witantra dan Ken Arok mengerutkan keningnya. Tetapi mereka sudah tahu benar tabiat Akuwu itu. Meskipun ia sendiri yang mengucapkannya, tetapi apabila orang lain mengatakannya pula, ia menjadi tidak bersenang hati. Karena itu maka Witantra segera menyahut, “Bukan begitu, Tuanku, maksud hamba, bukankah dengan demikian pekerjaan, Tuanku akan lekas selesai. Tuanku dapat menangkap Kebo Sindet dan memaksanya berkata dimana disembunyikannya Mahisa Agni.”

“Bagaimanakah kalau aku yang ditangkapnya atau dibunuhnya?”

“Apakah hamba berdua dan semua prajurit yang ada di padang ini akan tetap berdiam diri?”

“Tidak. Tidak.” tiba-tiba Akuwu itu berteriak, “kau sangka aku tidak mampu melawannya sendiri? Kau sangka bahwa orang-orang macam kalian ini dapat menyelamatkan aku? Aku sendiri mampu berbuat apa saja.”

Witantra menundukkan kepalanya. Bukan karena ngeri, tetapi ia menyembunyikan bibirnya yang tersenyum. Katanya, “Hamba, Tuanku.”

Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian menggeram, “Kalian tidak usah membangunkan mereka yang sedang tidur.”

“Hamba, Tuanku.”

“Aku akan melihat, siapakah yang datang itu.”

“Kemana, Tuanku akan pergi?”

Akuwu Tunggul Ametung tidak menjawab. Dengan tergesa-gesa ia melangkah menyongsong ke arah derap kaki-kaki kuda yang menjadi semakin dekat.

“Tuanku.” Witantra mamanggil.

Tetapi Akuwu tidak menghiraukannya. Ia berjalan saja menerobos gelap malam tanpa berpaling sama sekali. Witantra tidak dapat membiarkannya pergi tanpa seorang pengawalpun. Dan ia tidak mendapat kesempatan untuk memanggil orang lain, sehingga karena itu, maka ia pun melangkah pula mengikuti sambil berkata, “Tuanku sebaiknya tidak usah menyongsongnya. Ia akan datang kemari dan Tuanku akan melihat siapakah orang itu.”

Tetapi Akuwu seolah-olah sama sekali tidak mendengar. Ia melangkah terus, diikuti oleh Witantra yang membawa pedang di lambungnya. Namun hati Witantra itu menjadi agak tenteram ketika dilihatnya, dibawah kain panjang Akuwu Tunggul Ametung yang diselimutkan di badannya, tergantung sebuah penggada yang berwarna kekuning-kuningan, yang seolah-olah bercahaya di dalam gelapnya malam.

“Akuwu telah membawa pusakanya. Ia akan menjadi seorang yang luar biasa dengan senjata itu di tangannya.” desis Witantra di dalam hatinya.

Ternyata Ken Arok pun kemudian tidak dapat membiarkan kedua orang itu pergi menyongsong derap kaki-kaki kuda itu. Karena itu, maka ia pun segera menyusul di belakangnya. Berloncat-loncatan sehingga akhirnya ia telah berjalan di samping Witantra. Dengan dada tengadah Akuwu melangkah terus. Semakin lama bahkan semakin cepat. Seakan-akan ia menjadi tidak sabar lagi menunggu kuda-kuda itu mendekatinya. Derap kuda itu pun semakin lama menjadi semakin jelas. Dua ekor kuda. Suaranya menggeletar menggetarkan udara padang yang sepi. Hanyut bersama silirnya angin yang basah.

Akuwu Tunggul Ametung itu akhirnya berhenti. Ia berdiri tegak bertolak pinggang. Ia kini sudah mendapat keyakinan arah derap kaki-kaki kuda itu. Karena itu ia tidak perlu maju lagi. Sebentar lagi kuda-kuda itu akan lewat tepat di mukanya. Dan seandainya yang menunggang kuda itu Kebo Sindet, maka ia harus menghentikannya dan menangkapnya.

“Aku tidak boleh mempergunakan pusaka ini.” desisnya. Witantra yang tidak begitu jelas mendengar desis itu melangkah maju dan bertanya, “Apakah yang Tuanku katakan?”

Akuwu berpaling. Jawabnya, “Aku tidak berbicara kepadamu?”

“Apakah Tuanku maksudkan, Tuanku berbicara berbicara dengan Ken Arok.”

“Juga tidak. Aku berbicara kepada diriku sendiri. Aku tidak boleh mempergunakan senjataku, supaya Kebo Sindet tidak menjadi hancur sewalang-walang.”

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling kepada Ken Arok maka Ken Arok pun sedang mengerutkan keningnya. Tetapi mereka percaya sepenuhnya akan kata-kata Akuwu itu. Memang pusaka Akuwu itu benar-benar luar biasa. Sentuhan pada sesuatu, akibatnya sangat dahsyat. Hancur berkeping-keping.

“Aku harus menangkapnya utuh.” berkata Akuwu itu.

Sekali lagi Ken Arok mengerutkan keningnya dan Witantra menggigit bibirnya. “Ya.” berkata Witantra di dalam hati, “Akuwu tidak dapat menangkapnya separo atau sepertiga, apabila ia masih ingin mendengar pengakuan Kebo Sindet.”

Kini kuda itu sudah menjadi semakin dekat. Mata mereka yang tajam segera melihat bayangan yang samar-samar bergerak di Padang Karautan itu. Semakin lama semakin dekat. Bayangan itu langsung menuju kearah mereka. Tetapi beberapa langkah agak jauh, kedua ekor kuda itu berhenti. Seperti Akuwu Tunggul Ametung, Ken Arok dan Witantra yang ragu-ragu, penunggang-penunggang kuda itu pun ragu-ragu pula. Keduanya masih berada di atas punggung kuda masing-masing.

Akuwu Tunnggul Ametung tidak sabar lagi untuk menunggu. Tiba-tiba ia berteriak, “He, siapa di atas punggung kuda itu?”

Tidak segera terdengar jawaban.

“Turun.” teriak Akuwu, “turun dan datang kemari. Sebutkan siapakah kau berdua.”

Kedua bayangan di atas punggung kuda itu masih belum menyahut. Sejenak keduanya saling berpandangan. Namun kemudian mereka pun meloncat turun. Akuwu Tunggul Ametung dan kedua orang pengiringnya mengerutkan keningnya. Pada saat keduanya turun, maka tampaklah di lambung mereka sarung pedang yang mencuat ke samping.

“Mereka bersenjata pedang.” desis mereka di dalam hati.

Tetapi ternyata kedua orang itu masih saja berdiri di samping kuda masing-masing. Akuwu Tunggul Ametung tidak sabar lagi menunggu lebih lama. Karena itu maka segera ia melangkah mendekati. Ia sama sekali tidak menghiraukannya ketika Witantra berdesis, “Tuanku. Tunggu.”

Akuwu berjalan terus mendekati kedua orang itu. Witantra dan Kren Aroklah yang kemudian meloncat disampingnya, dikiri dan dikanan tanpa berjanji.

“Siapa kau?” bertanya Akuwu Tunggul Ametung.

Terdengar salah seorang dari mereka berkata, “Apakah hamba beradapan dengan, Tuanku Akuwu?”

“Ya.” sahut Akuwu Tunggul Ametung, “akulah, Akuwu Tunggul Ametung.”

“Oh.” desis salah seorang dari kedua orang itu.

Kemudian dengan langkah yang pendek, salah seorang dari mereka menyongsong Akuwu Tunggul Ametung itu. Dengan hormatnya ia menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Dada Akuwu menjadi berdebar-debar. Kini jarak mereka menjadi lebih pendek. Dan Akuwu telah melihat bentuk orang yang sedang mengangguk kepadanya itu.

“He, siapa kau?”

“Hamba, Mahisa Agni.”

“He.” Akuwu terperanjat meskipun bentuk Mahisa Agni itu sudah membuat Akuwu berdebar.

Juga Witantra dan Ken Arok tidak kalah terkejut pula. Bahkan terasa dada mereka berdesir dan kemudian berdebar-debar. Sejenak mereka diam mematung.

Tetapi sejenak kemudian Akuwu Tunggul Ametung meloncat maju. Dicengkamnya pundak Mahisa Agni dan di guncang-guncangkannya. Katanya, “He, kau masih hidup?”

“Seperti yang, Tuanku lihat.”

“Dan kau masih dapat melepaskan dirimu dari tangan Kebo Sindet yang gila itu?”

“Hamba, Tuanku.”

“Siapa yang menolongmu he?” bertanya Akuwu itu tiba.

Mahisa Agni menjadi ragu-ragu sejenak. Gurunya berpesan kepadanya supaya ia tidak menyebut-nyebut namanya. Gurunya tidak ingin menimbulkan kenangan lagi bagi puterinya, apalagi dalam keadaan yang paling sulit dimasa-masa mendatang.

“Siapa he, siapa Setan, gendruwo atau dewa-dewa dari langit?”

“Tuanku.” berkata Mahisa Agni kemudian, “yang menolong hamba adalah guru Kuda Sempana. Empu Sada.”

“He?” sekali lagi Akuwu Tunggul Ametung terperanjat. Juga Witantra dan Ken Arok terperanjat pula.

“Jadi orang itu telah benar-benar menyesali perbuatannya?” bertanya Akuwu.

“Hamba, Tuanku.”

Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba ia berteriak, “He, kenapa kau tidak menunggu aku? Kenapa kau lari lebih dahulu dari tangan Kebo Sindet sebelum aku datang he?”

Mahisa Agni terkejut mendengar pertanyaan itu. Sejenak ia diam mematung, dan bahkan dipandanginya Witantra dan Ken Arok berganti-ganti, seolah-olah ia ingin mendapat penjelasan dari pertanyaan Akuwu Tunggul Ametung itu. Tetapi Witantra dan Ken Arok itu pun tidak dapat berbuat apa-apa selain saling berpandangan pula.

“Kenapa?” kembali terdengar suara Akuwu Tunggul Ametung.

Mahisa Agni masih berdiri mematung. Ia menjadi ragu-ragu untuk menjawab.

“Kenapa kau tidak menunggu aku membebaskanmu? Kenapa Empu Sada he?”

Mahisa Agni menjadi semakin tidak mengerti. Karena itu ia masih saja berdiri mematung.

“Kau tidak memberi kesempatan kepadaku.” berkata Akuwu itu kemudian, “Bukan kau, tetapi Empu Sada itu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk menunjuklan bahwa aku pun mampu melakukannya. Tidak perlu orang lain. Ken Dedes harus yakin, bahwa aku dapat berbuat seperti yang diingininya, membebaskan Mahisa Agni dan memhunuh Kebo Sindet. Tetapi kesempatan itu kini sudah tertutup.”

Mahisa Agni masih berdiri saja sambil berdiam diri. Ia masih ragu-ragu, bagaimana ia harus menanggapi pikiran Akuwu Tunggul Ametung yang aneh itu.

“He, kenapa? Kenapa kau diam saja?” Akuwu itu kemudian berteriak, “apakah Empu Sada menganggap aku sama sekali tidak berdaya untuk bertindak atas Kebo Sindet itu? Itu suatu penghinaan bagi Akuwu Tunggul Ametung?”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Samar-samar ia kini dapat menangkap perasaan Akuwu yang kecewa, karena seolah-olah ia tidak mampu melepaskannya. Akuwu ingin menunjukkan kepada Ken Dedes bahwa ialah yang berhasil melepaskan Mahisa Agni dari tengan Kebo Sindet. Tetapi yang kemudian menggetarkan dada Mahisa Agni bukanlah sikap Akuwu Tunggul Ametung itu sendiri. Namun dengan demikian ternyata kepadanya, bahwa selama ini Ken Dedes selalu berusaha agar Akuwu membebaskannya dari tangan iblis dari Kemundungan itu.

Dan sebelum Akuwu itu berteriak lagi, Maiisa Agni mencoba untuk menjawab, “Ampun, Tuanku. Sebenarnyalah bahwa, Tuanku mempunyai kemampuan lebih dari Empu Sada. Tetapi adalah suatu kebetulan saja bahwa Empu Sada bertemu dengan Kebo Sindet, berkelahi dan Kebo Sindet terbunuh. Kebetulan yang datang tepat pada waktunya, sebab pada saat itu Kebo Sindet telah siap untuk membunuh hamba dengan caranya, karena usahanya untuk mempergunakan hamba sebagai alat pemeras dirasanya telah gagal.”

Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Lalu terdengar suaranya menggeram, “Bagaimanakah cara yang akan ditempuh oleh Kebo Sindet itu untuk membunuhmu? Gantung atau pancung atau apa?”

Mahisa Agni ragu-ragu sejenak. Kemudian jawabnya, “Kebo Sindet belum sempat melakukannya. Tetapi yang telah diucapkan, cara itu adalah cara yang paling mengerikan. Hamba akan diikat di atas rawa-rawa yang menyimpan banyak sekali buaya-buaya kerdil. Kebo Sindet ingin melihat buaya-buaya itu menggapai-gapai hamba, sehingga pada saatnya, salah seekor dari padanya sempat merobek tubuh hamba dan menyeret ke dalam rawa-rawa.”

Wajah Akuwu Tunggul Ametung tiba-tiba menjadi tegang. Terdengar ia menggeram, “Kejam sekali. Kejam sekali. Apakah kira-kira hal itu akan dilakukannya benar-benar?”

“Hamba, Tuanku. Demikianlah tabiat Keto Sindet itu.”

“Setan. Seharusnya akulah yang membunuhnya. Akulah yang harus menghentikan segala kejahatannya yang mengerikan itu.” Akuwu bergumam seolah-olah kepada diri sendiri. Tiba-tiba teringat pula olehnya cara yang dipilih oleh Kebo Sindet untuk membunuh Jajar yang gemuk yang telah mencoba berkhianat kepadanya. Hidup-hidup di masukkan ke dalam api yang menelan rumahnya sendiri. Oleh kenangan itu, maka wajah Akuwu itu menjadi semakin tegang. Dengan tajamnya dipandanginya seseorang yang berdiri disamping kudanya, yang datang bersama-sama dengan Mahisa Agni. Dan tiba-tiba pula Akuwu itu berteriak, “He bukankah kau Kuda Sempana?”

Dada Mahisa Agni berdesir mendengar suara Akuwu dalam nada yang tinggi itu. Apalagi Kuda Sempana yang telah merasa banyak sekali menyimpan kesalahan, sehingga sejenak ia tidak dapat mengucapkan kata-kata. Witantra dan Ken Arok pun menjadi tegang pula. Mereka tahu benar, peranan apakah yang selama ini telah dilakukan oleh Kuda Sempana sehingga keadaan Mahisa Agni, Ken Dedes, dan bahkan seluruh Panawijen menjadi sedemikian buruknya.

“Jawab pertanyaanku.” Akuwu mulai berteriak lagi, “bukankah kau bernama Kuda Sempana?”

Terasa darah Kuda Sempana menjadi semakin cepat mengalir sehingga dadanya menjadi berdentangan.

“He, apa jawabmu...?”