Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 28 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 28
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

KUDA SEMPANA itu berpaling ketika ia melihat Kebo Sindet menarik nafas dalam-dalam. Anak muda itu menjadi heran ketika ia melihat dahi Kebo Sindet itu menjadi berkerut-merut. Wajah itu hampir selamanya membeku. Agaknya masalah Mahisa Agni itu benar-benar menegangkan urat syarafnya.

“Kuda Sempana” Kebo Sindet itu tiba-tiba memanggilnya,, “lihat dadanya mulai bergerak.”

Kuda Sempana menganggukkan kepalanya.

“Kau lihat dada itu?” bertanya Kebo Sindet pula,, “aku mengharap bahwa bagian-bagian badannya masih cukup baik. Untunglah bahwa daya tahan tubuhnya benar-benar luar biasa. Orang-orang lain pasti sudah mengalami banyak kerusakan apabila mengalami keadaan seperti Mahisa Agni. Ia terlalu lama berada dalam keadaan tidak menyadari dirinya meskipun jantungnya tetap berdetak. Meskipun demikian, akibat dari keadaan ini akan ditanggung oleh Mahisa Agni untuk waktu yang cukup lama. Kau harus telaten memeliharanya sampai ia sembuh benar. Setiap kali aku pergi, kau harus merawatnya. Jangan kau bunuh dia tanpa ijinku lebih dahulu, supaya kau tidak aku bunuh pula.”

Dada Kuda Sempana berdesir, tetapi ia tidak menjawab.

“Kalau ia sudah sembuh benar-benar, nah, kau dapat berbuat sekehendakmu atasnya. Anak itu akan aku ikat pada pohon Randu Alas itu. Lalu kau boleh berbuat sesuka hatimu atasnya, untuk membalas sakit hatimu. Tetapi anak ini harus sembuh lebih dahulu.”

Sekali lagi Kuda Sempana mengangguk. Tetapi hatinya masih saja selalu bertanya-tanya. “Sesungguhnya buat apa Kebo Sindet bersusah payah mengobatinya. Mungkin juga untuk melakukan pemerasan atau apapun. Akan tetapi perbuatan itu benar-benar tidak pantas dilakukan. Disembuhkannya Mahisa Agni dari sakit dan penderitaan badaniah untuk kemudian mengalami penderitaan badaniah yang lain. Bahkan mungkin penderitaan batin untuk sepanjang umurnya.”

Sementara itu wajah Kebo Sindet pun menjadi semakin kendor ketika ia melihat tubuh Mahisa Agni mulai dialiri oleh udara yang hangat. Perlahan-lahan Kebo Sindet melihat anak muda itu menggerakkan kepalanya. Perlahan-lahan sekali. Namun itu adalah pertanda yang menyenangkan bagi Kebo Sindet, pertanda bahwa Mahisa Agni masih dapat dibangunkannya kembali.

“Lihat Kuda Sempana” berkata Kebo Sindet, “anak ini akan segera menyadari keadaannya. Tetapi ia akan menjadi sangat lemah. Ia akan memerlukan waktu dua atau tiga minggu untuk memulihkan kembali tenaganya.”

Kini Kuda Sempana pun memperhatikan keadaan Mahisa Agni itu. Ia melihat anak muda itu mulai menggerakkan tubuhnya. Tangannya dan kakinya.

“Bagus” Kebo Sindet berkata lantang, “aku berhasil.”

Kemudian dilumurkannya air sisa dari larutan obat yang diminumkannya kepada Mahisa Agni itu pada bagian-bagian kaki dan tangannya, sehingga terasa tubuh itu menjadi semakin hangat.

Sementara itu, di Kemundungan, Empu Gandring menunggu kedatangan Kebo Sindet di belakang gerumbul yang agak rimbun. Dari tempatnya itu, ia akan dapat melihat apabila seseorang memasuki lingkungan rumah Kebo Sindet itu. Tetapi sudah begitu lama ia menunggu, namun yang ditunggunya masih juga belum tampak datang.

“Gila benar Kebo Sindet” desahnya, “aku akan menunggu sampai malam. Sampai tengah malam.”

Dan Empu Gandring kemudian duduk bersandar sebatang pohon. Dengan gelisah diikutinya matahari yang merayap dengan lambannya menuju ke Barat, ke balik punggung gunung. Namun sampai matahari kemudian terbenam, Kebo Sindet dan Kuda Sempana tidak juga kunjung datang.

“Baiklah” desahnya, “aku akan menunggu di sini sampai kau datang.”

Tetapi yang ditunggunya tidak juga kunjung datang, sehingga begitu lelahnya maka Empu Gandring itu pun ingin untuk tidur sejenak sambil memanjat pohon. “Tak seorang pun yang akan melihat aku di sini. Mudah-mudahan kudaku pun cukup terlindung juga.”

Kemudian, pada sebuah dahan yang kuat, maka Empu Gandring itu pun menyandarkan diri untuk sejenak beristirahat. Ketika Empu Gandring itu tersadar, maka disekitarnya adalah gelap gulita. Hanya di langit dapat dilihatnya bintang gemintang berhamburan.

“Hem” orang tua itu menghela nafas. Ia masih mendengar dengus nafas kudanya. Tetapi ketika ia memandangi gubug Kebo Sindet maka gubug itu masih juga sepi dan gelap. Tetapi apa yang dilihatnya itu belum memberinya keyakinan. Perlahan-lahan ia turun, dan dengan hati-hati didekatinya gubug itu. Namun gubug itu masih juga kosong.

“Apakah ia tidak kembali kerumahnya?” desisnya. Orang tua itu pun menjadi semakin gelisah. Kalau Mahisa Agni tidak dibawanya kemari, maka sangatlah sulit baginya untuk menemukannya dalam keadaan hidup.

“Apakah Kebo Sindet bersembunyi di belakang rawa-rawa itu?” katanya di dalam hati. Tetapi jawaban atas pertanyaan itu adalah kegelisahan yang menjadi semakin memuncak.

Tetapi Empu Gandring masih menyabarkan dirinya. Betapa ia menjadi gelisah dan cemas, namun orang tua itu tidak segera mau meninggalkan gubug itu. Dengan kesal ia kembali ketempatnya bersembunyi, memanjat sebatang pohon dan mencoba untuk menenangkan hatinya, beristirahat mengurangi lelahnya.

Tetapi hampir setiap saat Empu Gandring menyadari keadaannya. Didengarnya di Pedukuhan kecil yang bernama Kemundungan ayam jantan berkokok untuk yang pertama kalinya. Didengarnya ratapan burung hantu dikejauhan, seperti keluh kesah seorang yang kehilangan anaknya. Didengarnya anjing-anjing liar berteriak mengerikan, sahut menyahut di atas bukit gundul. Dan didengarnya pula kokok ayam untuk yang kedua kalinya. Empu Gandring tidak lagi dapat tidur sekejap pun. Bahkan ia menjadi ngeri mendengar salak anjing-anjing liar sahut-menyahut.

“Ternyata bukit gundul itu menyimpan bahaya yang sempurna” desisnya ”iblis dari Kemundungan dan anjing-anjing liar itu. Keduanya sama-sama berbahaya bagiku.”

Tetapi meskipun kemudian ayam berkokok untuk ketiga kalinya, dan bayangan merah telah memancar di ujung Timur, namun Empu Gandring masih tetap menunggu, kalau-kalau tiba-tiba Kebo Sindet dan Kuda Sempana muncul dari dalam gelap membawa Mahisa Agni.

“Aku menyesal telah melepaskannya” gumam Empu Gandring seorang diri. Kenapa aku tidak menahannya? Ternyata Kuda Sempana telah mengelabui perhitunganku. Aku sangka Kuda Sempana berbuat untuk gurunya." Ketika Kemudian matahari menjenguk dari balik-balik dedaunan di ujung Timur, maka Empu Gandring menjadi tidak bersabar lagi.

“Aku tidak dapat tinggal di sini menunggu Kebo Sindet yang tidak kunjung datang” katanya, “aku harus mencarinya.”

Empu Gandring pun kemudian meloncat turun. Dibenahinya pakaiannya dan dihampirinya kudanya. Desisnya, “Kita akan berjalan lagi. Aku tidak tahu, sampai kapan aku akan berhenti. Mudah-mudahan kita tidak sama-sama menjadi lelah. Bukankah kau telah makan sekenyang-kenyangmu?”

Kudanya seakan-akan dapat memahami kata-kata Empu Gandring. Tetapi kuda itu tidak dapat bertanya, “Apakah kau sudah makan pula Empu?”

Untunglah, bahwa Empu Gandring telah membiasakan dirinya untuk tidak menyentuh makanan sampai beberapa hari, sehingga karena kebiasaan itu, ia menjadi sangat tahan untuk menahan lapar dan dahaga. Ketika terpandang oleh Empu Gandring tidak jauh dari tempat itu pedukuhan kecil yang hijau, yang bernama Kemundungan, maka timbullah keinginannya untuk memasukinya. Mungkin di sana ia akan mendapat keterangan tentang Kebo Sindet atau Kuda Sempana. Mungkin orang-orang itu melihat atau pernah mendengar dimana Kebo Sindet sering bersembunyi apabila ia tidak kembali ke gubugnya, atau barangkali Kebo Sindet mempunyai rumah yang lain selain rumahnya itu.

Dengan demikian maka Empu Gandring itu pun segera meloncat ke punggung kudanya dan kudanya itu pun kemudian berlari ke Kemundungan. Tetapi kuda itu tidak berlari terlampau kencang. Empu Gandring tidak ingin membuat orang-orang Kemundungan menjadi terkejut karenanya. Ketika Empu Gandring memasuki pedukuhan itu, maka segera ia mengetahui bahwa padukuhan itu adalah pedukuhan yang sangat miskin. Tanahnya yang subur tidak cukup luas untuk dapat memberi mereka makan secukupnya. Meskipun ada juga daerah-daerah yang dapat ditanami pada musim hujan, tetapi hasilnya tidak cukup memuaskan. Pedukuhan itu hampir-hampir dikitari oleh bukit-bukit gundul yang tandus.

“Aneh” gumam Empu Gandring, “ada juga orang yang kerasan tinggal di daerah seperti ini. Kalau mereka mau pindah ke daerah Lulumbang, maka di sana akan dapat digarap tanah persawahan yang cukup baik dibandingkan dengan tanah yang cengkar ini. Kenapa mereka tidak berusaha seperti orang-orang Panawijen, membuat bendungan atau apapun yang dapat mengairi tanah di sekitar padukuhan ini, atau pindah berpencaran mencari tempat-tempat baru yang lebih baik?”

Pertanyaan itu telah menyertainya memasuki padesan itu semakin dalam. Dilewatinya lorong-lorong sempit di antara rumah-rumah kecil dari bambu beratap ilalang. Halaman-halaman berpagar batu yang dilekatkan dengan tanah yang agak liat. Sekali-kali Empu Gandring melihat seorang dua orang menjengukkan kepalanya lewat pintu-pintu yang sudah terbuka, tetapi kepala-kepala itu pun segera lenyap kembali di balik dinding.

“Aku harus menemukan rumah tetua padesan ini” desis Empu Gandring seorang diri, “mungkin seorang buyut, atau mungkin seorang yang sekedar dianggap tertua di padukuhan ini.”

Tetapi Empu Gandring tidak menemukan seorang pun yang dapat ditanyainya. Namun akhirnya orang itu menemukan sebuah rumah yang agak lebih baik dari rumah-rumah di sekitarnya. Agak lebih besar dan halamannya agak lebih luas. Pada dinding halaman depan didapatinya sebuah regol yang sangat sederhana, bahkan telah agak condong terdesak oleh umur.

“Aku harus mendapatkan seseorang yang dapat aku ajak berbicara. Mungkin di dalam rumah ini.”

Empu Gandring itu pun kemudian turun dari kudanya dan dituntunnya kudanya memasuki halaman rumah itu. Dengan hati-hati diamatinya segenap bagiannya. Sudut-sudut halaman dan setiap pepohonan. Ternyata di halaman itu pun tumbuh berbagai macam tumbuh-tumbuhan liar yang tidak terpelihara.

“Apakah aku salah masuk?” katanya di dalam hati, “tetapi rumah ini adalah rumah yang terbaik yang terdapat di padesan ini.”

Kemudian Empu Gandring itu pun menambatkan kudanya. Mengingsar sedikit keris di punggungnya, dan kemudian perlahan-lahan berjalan ke arah pintu yang hanya terbuka sedikit. Sampai di muka pintu, Empu Gandring itu menjadi ragu-ragu . Tetapi ia tidak mempunyai cara lain untuk mengetahui serba sedikit tentang padukuhan itu, bahkan apabila mungkin mengenai Kebo Sindet dan kebiasaan-kebiasaannya.

Maka Empu Gandring itu pun kemudian melangkah semakin dekat, dan dengan perlahan-lahan mengetuk pintu rumah itu. Sekali dua kali, tak ada jawaban dari dalam. Tetapi ketika Empu Gandring mengetuk semakin keras, maka terdengar suara orang membentak dari dalam, “He, siapa itu?”

Empu Gandring terkejut mendengar jawaban yang sama sekali tidak disangkanya. Dari lontaran suaranya maka Empu Gandring sudah menduga bahwa orang itu sama sekali bukan orang yang ramah.

“Siapa he?” terdengar teriakan itu lagi.

“Aku” sahut Empu Gandring.

“Aku siapa he, apakah kau tidak mempunyai nama?”

Empu Gandring menarik nafas. Orang apakah yang sedang dihadapinya kini? “Aku, Empu Gandring” terpaksa ia menjawab.

“Empu Gandring” suara itu mengulangi, “aku belum pernah mengenal namamu. Apakah kau bukan orang Kemundungan?”

“Bukan. Aku bukan orang Kemundungan.”

“Persetan dengan kau. Agaknya kau belum mengenal daerah ini.”

Empu Gandring tidak menjawab lagi. Tetapi kata-kata terakhir orang di dalam rumah itu menarik perhatiannya. Sesaat kemudian ia melihat seorang yang bertubuh tinggi kekar muncul dari dalam rumah itu. Wajahnya yang keras dan pandangan matanya yang penuh mengandung kecurigaan, sama sekali tidak menyenangkan Tetapi Empu Gandring tidak mau berprasangka, meskipun ia tidak meninggalkan kewaspadaan.

Dengan tajamnya orang itu memandangi Empu Gandring dari ujung jari kakinya sampai keujung rambutnya yang telah menjadi dua warna. Seolah-olah orang itu keheranan, bahwa dihadapannya berdiri seorang tua yang bernama Empu Gandring. “Kaukah yang menyebut dirimu Empu Gandring?”

“Ya, Ngger” jawab Empu Gandring.

“Umurku hampir setua umurmu. Kau panggil aku dengan panggilan itu?”

“Eh, Benarkah? Maaf” sahut Empu Gandring, “kalau begitu kau benar-benar awet muda. Aku sangka umurmu sebaya dengan umur anakku wuragil.”

“Persetan. Aku tidak peduli. Tetapi apa maumu datang kemari. Apa lagi kau berani memasuki daerah Kemundungan dengan membawa senjata, seolah-olah kau laki-laki sendiri di muka bumi ini.”

“O, maafkan aku adi” berkata Empu Gandring, “tetapi sebenarnya senjataku sama sekali tidak berarti. Aku membawanya sebagai kawan dalam perjalanan apabila aku melewati hutan ilalang, supaya aku mempunyai alat untuk menebasnya.”

Sejenak orang itu berdiam diri. Tapi matanya tidak berkedip memandang hulu keris Empu Gandring yang mencuat dari balik punggungnya. Namun orang itu kemudian berkata, “Aku tidak peduli pada macam senjatamu, tetapi kedatanganmu kedaerah ini dengan senjata itu akan membahayakan nyawamu.”

“Kenapa?” bertanya Empu Gandring.

“Buang saja senjatamu itu ke dalam jurang di pinggiran desa ini. Kemudian pergilah meninggalkan Kemundungan. Jangan kembali lagi, supaya kau tidak diterkam anjing hutan.”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya, “Bukankah senjata ini betapapun jeleknya, akan berguna bagi keselamatanku apabila aku bertemu dengan anjing hutan?”

“Tak ada gunanya. Anjing itu tidak hanya satu. Tidak hanya sepuluh. Bahkan tidak hanya lima belas.”

“Apalagi kalau aku tidak bersenjata” potong Empu Gandring.

“Persetan” teriak orang itu, “tetapi buang senjatamu.”

“Anjing-anjing hutan tidak akan dapat membedakan, apakah seseorang bersenjata atau tidak.”

“Bodoh kau” orang itu semakin berteriak. Ternyata teriakkannya telah didengar oleh beberapa orang tetangganya, yang kemudian menjenguk dari pintu rumahnya atau bahkan keluar halaman melihat apa yang terjadi, “Bahaya yang dapat menerkam nyawamu bukan saja anjing-anjing hutan itu.”

Dahi Empu Gandring itu pun berkerut. Tetapi ia mencoba menghilangkan setiap kesan yang dapat ditangkapnya dari mulut orang itu di wajahnya. Bahkan ia bertanya, “Bukan saja dari anjing hutan itu? Lalu dari siapa lagi.”

“Persetan. Dari setan belang atau dari hantu tetekan. Tetapi bahaya itu akan menerkammu dari segenap arah.”

“Tetapi aku selamat sampai ke tempat ini.”

“O, alangkah bodohnya kau. Alangkah bodohnya kau” orang itu pun berteriak keras-keras, tetapi tiba-tiba suaranya menurun perlahan, tetapi masih juga tajam, “Kau bodoh. Adalah kebetulan bahwa kau selamat sampai padesan ini, meskipun kau bersenjata. Tetapi senjatamu itu justru berbahaya bagimu. Kau dengar.”

“Ya, ya aku dengar” sahut Empu Gandring. Tiba-tiba kesannya terhadap orang itu pun berubah. Orang itu memang seorang yang kasar dan sama sekali tidak ramah. Tetapi maksudnya memberitahukan kepadanya adanya bahaya yang mengancamnya itu benar-benar di luar dugaanya. Ternyata orang itu adalah orang yang baik. Tetapi maksud yang baik itu diungkapkannya dengan caranya yang kasar dan tidak menyenangkan.

“Kalau kau tidak bersenjata” berkata orang itu, “mungkin kau akan keluar dengan selamat dari daerah ini. Tetapi kalau masih juga kau bawa kerismu yang besar dan yang kecil itu. maka bangkaimu tidak akan dapat diketemukan kembali. Bangkaimu akan dicincangnya sampai lumat untuk memberi makan anjing-anjing hutan agar mereka tidak mengganggu ternak padesan ini yang tak seberapa jumlahnya.”

Tetapi dengan demikian Kemendungan menjadi semakin menarik bagi Empu Gandring. Empu Gandring masih juga berdiam diri, tegak pada tempatnya. Tanpa sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepala. Samar-samar ia dapat meraba, apakah sebabnya orang itu berkeras mengusirnya dan bahkan menyuruhnya membuang senjatanya. Orang itu sama sekali tidak ingin merampas apalagi memiliki senjata itu. Tidak pula karena ia ingin mencelakainya. Tetapi bahkan sebaliknya. Orang yang kasar itu ingin menyelamatkannya.

“He” bentak orang itu, “kenapa kau berdiri saja seperti patung. Apakah kau menunggu nyawamu dicabut dari tubuhmu?”

“Tidak Ki Sanak” sahut Empu Gandring, “aku dapat mengerti maksudmu. Karena itu aku mengucapkan terima kasih. Tetapi adi tidak usah mencemaskan nasibku. Aku akan mencoba untuk menyelamatkan diriku sendiri.”

“O, kau benar-benar orang gila. Aku bisa memaksamu. Mengambil senjatamu dan membuangnya jauh-jauh.”

Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Memang di sepanjang hidupnya ia sering menjumpai orang-orang yang demikian. Orang yang bermaksud baik, tetapi caranya benar-benar tidak dapat dimengerti. Seperti kanak-kanak yang tidak ingin melihat adiknya terperosok ke dalam kubangan. Untuk mencegahnya, kadang-kadang adiknya itu pun dipukulinya. Meskipun maksudnya baik, tetapi adik itu menangis sejadi-jadinya.

“Apakah kau tuli” teriak orang kasar itu.

“Baiklah Ki Sanak. Aku akan menurut seperti yang kau nasehatkan itu. Tetapi apakah adi dapat memberitahukan kepadaku, apakah sebabnya maka aku harus berbuat demikian.”

“Tutup mulutmu” bentak orang itu, “jangan terlampau banyak bicara. Kau hanya dapat melakukannya.”

“Bukankah lebih baik bagiku apabila aku melakukan sesuatu dengan pengertian yang baik. Bukan sekedar melakukannya tanpa mengetahui maksudnya.”

Ternyata orang yang bertubuh kekar itu tidak dapat lagi mengendalikan kemarahannya. Dengan serta-merta ia meloncat dan langsung menampar wajah Empu Gandring. Empu Gandring adalah orang yang hampir mumpuni akan ilmu kanuragan. Ia melihat gerak orang itu. Ia mengerti apa yang akan dilakukan. Tetapi Empu Gandring itu tidak beranjak dari tempatnya. Dibiarkannya tangan orang itu mengenai wajahnya yang sudah mulai berkerut-merut dilukisi oleh garis-garis umur.

Pada saat tangan orang itu sudah hampir menyentuh wajahnya, barulah Empu Gandring menggerakkan kepalanya, searah dengan gerak tangan orang itu. Meskipun tangan orang itu merasa mengenai wajah Empu Gandring, tetapi Empu Gandring hampir-hampir tidak merasakan sentuhan itu, seperti yang sudah di perhitungkannya. Namun Empu Gandring itu pun melangkah surut sambil berdesak pendek.

“Jangan adi.”

“Kau tidak mau mendengar kata-kataku” teriak orang kasar itu, “aku harus memaksamu. Kalau perlu, akulah yang akan membunuhmu.”

Empu Gandring tahu benar, bahwa orang itu hanya menakut-nakutinya. Tetapi ia memerlukan keterangan tentang Kebo Sindet segera. Karena itu, maka ia harus segera pula mendapat kesempatan bertanya. Maka orang tua itu tidak banyak lagi mempunyai waktu untuk melayaninya. Ia harus langsung mendapat jalan untuk mendapatkan beberapa keterangan tentang iblis Kemundungan. Maka katanya, “Adi. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih. Aku tahu bahwa kau ingin menyelamatkan aku dari tangan orang yang barangkali ditakuti di daerah ini, bukankah begitu?”

Orang itu telah mengangkat tangannya kembali, tetapi Empu Gandring mencegahnya, “Jangan Ki Sanak. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang terakhir.”

“Itu bukan urusanmu. Pergi atau kau mati di Kemundungan. Kau telah memasuki daerah ini dengan membawa senjata. Hanya akulah yang boleh bersenjata di daerah ini meskipun bukan atas kehendakku sendiri. Aku harus membunuh setiap orang asing yang aku curigai, apalagi yang membawa senjata. Tetapi lebih baik bagimu untuk segera pergi dan jangan mencoba kembali. Jangan bertanya lagi. Kalau kau bertanya lagi, aku akan memukul mulutmu sampai hancur.”

“Baik” berkata Empu Gandring, “Aku tidak akan bertanya, tetapi aku akan menebak. Tunggu, jangan terlampau lekas marah. Bukankah menebak berbeda dengan bertanya? Nah, bukankah kau harus berbuat demikian itu karena di sebelah padesan ini, di lereng bukit gundul tinggal orang-orang yang bernama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat?”

Wajah orang itu tiba-tiba menegang. Sejenak ia berdiri diam tanpa mengucapkan jawaban. “Kebo Sindet dan Wong Sarimpat ingin merahasiakan dirinya sejauh-jauh mungkin. Kau, yang agaknya orang terkuat di Kemundungan, harus membantunya. Kalau tidak maka kau sendiri akan mengalami bencana. Bukankah begitu? Aku tidak bertanya, aku hanya menebak.”

Orang itu masih diam mematung. Dipandanginya wajah Empu Gandring dengan tanpa berkedip.

“Tetapi kau orang baik. Sebenarnya kau tidak ingin berbuat demikian. Karena itu kau berusaha mengusir aku. Bukankah kau seharusnya membunuh aku?”

Terdengar gigi orang itu gemeretak. Dengan suara parau ia berkata, “Mulutmu memang lancang sekali. Kau mengetahui rahasia yang tersimpan di Kemundungan. Sebenarnya aku sayang akan nyawamu orang tua. Tetapi karena kau menebak tepat, maka kau benar-benar akan aku bunuh.”

“Sebaiknya kau tidak melakukannya. Apabila Kebo Sindet marah karenanya, maka biarlah ia marah kepadaku” sahut Empu Gandring, “ketahuilah, bahwa aku datang kemari sengaja untuk mencari Kebo Sindet itu. Tetapi semalam suntuk aku menunggu rumahnya, orang itu tidak datang. Dengan demikian maka aku akan mencoba mencari keterangan tentang orang itu di padesan ini.”

Sejenak orang itu seakan-akan membeku. Kata-kata Empu Gandring itu benar-benar telah menggoncangkan dadanya. Kebo Sindet dan Wong Sarimpat bagi orang-orang Kemundungan merupakan hantu yang tidak dapat disentuh meskipun hanya dengan kata-kata. Tiba-tiba seseorang datang untuk mencarinya. Dalam kebingungan orang itu bertanya di dalam hatinya, “Apakah orang ini kawan Kebo Sindet? Kalau demikian, alangkah mengerikan. Aku telah menampar wajahnya. Mudah-mudahan orang ini belum mengenal siapa Kebo Sindet itu".

Karena orang itu tidak segera menjawab, maka Empu Gandring pun berkata pula, “Bagaimana adi, apakah kau dapat memberi aku beberapa keterangan mengenai Kebo Sindet dan Wong Sarimpat?”

Orang itu tidak segera Menjawab. Sekali lagi ia memandangi Empu Gandring dari ujung kakinya sampai keujung rambutnya yang sudah mulai keputih-putihan.

“Apakah pertanyaanku aneh?” Berkata Empu Gandring pula.

Orang itu menelan ludahnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Siapakah sebenarnya kau? Apakah kau sudah mengenalnya atau belum?”

“Aku sudah mengenal Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Aku sudah bertemu dengan orang-orang itu. Tetapi ketika aku menungguinya di rumahnya, mereka tidak kunjung datang. Yang tidak aku ketahui adalah, apakah mereka mempunyai sarang yang lain selain gubugnya di bukit gundul itu, atau tempat-tempat persembunyian yang lain? Setidak-tidaknya aku ingin mengerti, kemana saja orang-orang itu sering pergi dan apa saja yang dilakukannya setiap hari.”

Orang yang bertubuh kekar itu masih juga dicengkam oleh keragu-raguanan. Tetapi ia tidak mau menunjukkan kelemahannya itu. Bahkan kemudian ia masih membentak, meskipun terasa nada kebimbangannya, “Apakah perlumu mencarinya? Apakah kau ingin mati? Kalau kau sudah mengenalnya, maka mustahil kau mencari sampai ke rumahnya. Kau pasti akan lari menjauhi dan bahkan bersembunyi sepanjang umurmu.”

Empu Gandring dapat mengerti pertanyaan itu. Bagi orang-orang Kemundungan, maka Kebo Sindet adalah hantu yang paling menakutkan. Orang-orang di padesan ini pasti tidak akan berani melanggar pantangan yang diberikan oleh iblis itu. Tetapi ia memerlukannya, memerlukan keterangan itu.

“Ki Sanak” berkata Empu Gandring, “apakah kau mengetahui serba sedikit tentang Kebo Sindet?”

“Jangan menggigau” orang itu masih membentak, “pergi dari sini, atau aku akan membunuhmu?”

Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Terasa sulitnya untuk mendapatkan sedikit saja keterangan tentang orang itu. Apakah orang itu akan dipaksanya untuk berbicara? Tetapi bagaimana kalau ia benar-benar tidak tahu apa-apa tentang Kebo Sindet dan Wong Sarimpat?

Kini Empu Gandring pun menjadi ragu-ragu pula. Ia pasti akan mampu menangkap orang itu, memilin tangannya dan memaksanya berbicara, tetapi apakah ia akan sampai hati berbuat demikian. Mungkin orang itu akan berbicara pula, tetapi orang itu untuk seterusnya pasti akan selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan. Mungkin ia akan kehilangan keseimbangan karena ketakutannya, sehingga orang itu akan berbuat sesuatu yang tidak sepantasnya. Membunuh diri atau lari bersembunyi dan tidak berani muncul kembali diantara manusia.

Tiba-tiba Empu Gandring itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia telah menemukan cara itu. Meskipun mungkin agak tidak disenanginya sendiri. Orang tua itu bukan seorang yang biasa menyombongkan dirinya, menunjukkan kelebihannya kepada orang lain. Tetapi cara ini, menyombongkan dirinya, masih lebih baik dari memaksa dan menyakiti orang itu untuk berbicara.

Karena itulah maka tiba-tiba pula Empu Gandring itu berdiri bertolak pinggang. Katanya lantang, “He, ki Sanak. Aku sudah bersabar bertanya kepadamu tentang Kebo Sindet. Tetapi kau sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan kau selalu mengancam dan menakut-nakuti aku. Aku bukan anak kecil lagi. Rambutku telah berubah menjadi dua warna. Wajahku pun telah mulai berkerut-merut. Karena itu, aku sudah tidak akan mengenal takut lagi. Umurku sudah sampai pada lingsir sore. Sebentar lagi, ibarat matahari, pasti akan terbenam. Karena itu, jangan memaksa lagi aku pergi. Jangan menakut-nakuti aku lagi. Aku tidak takut meskipun Kebo Sindet itu sendiri yang datang kemari sekarang ini. Nah, sekarang kau mau apa?”

Wajah orang itu pun segera berubah. Selangkah ia mundur. Tanpa dikehendakinya sendiri wajahnya pun kemudian beredar ke halaman rumah-rumah di sekitarnya. Sekilas ia melihat beberapa orang tetangganya menyaksikan keributan itu. Beberapa orang laki-laki kurus dengan pakaian yang kumal berdiri dengan gemetar, sedang beberapa anak muda yang berwajah pucat menyaksikannya dengan berdebar-debar. Orang yang bertubuh kekar itu adalah orang yang ditakuti di padepokan itu. Orang itu seakan-akan menjadi wakil dari Kebo Sindet dan Wong Sarimpat untuk melakukan semacam pungutan dan sebagainya.

Meskipun orang itulah yang pertama-tama menentang sikap Kebo Sindet, dan bahkan hanya orang itulah yang berani melawannya, tetapi ia tidak berdaya menghadapi iblis yang bernama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Bahkan dengan licik maka Kebo Sindet dan Wong Sarimpat telah memaksanya untuk melakukan pekerjaan untuk mereka, pekerjaan yang justru bertentangan dengan keinginannya sendiri. Tetapi selagi ia masih ingin hidup, maka ia tidak akan dapat ingkar. Ia harus melakukan pemerasan dan pemaksaan terhadap kawan-kawan sedesanya.

Namun dalam saat-saat yang memungkinkan ia masih juga merasa bahwa lingkungannya itu harus mendapat perlindungan. Tetapi apa yang dilakukannya sama sekali tidak berarti. Sehingga untuk seterusnya orang itu harus melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan suara hatinya. Tetapi hatinya itu tidak cukup kuat untuk mempertahankan suaranya, sehingga ia masih mementingkan hidupnya daripada membela pendiriannya.

Menghadapi Empu Gandring orang itu menjadi ragu-ragu. Ia ingin mengusir orang yang bernama Empu Gandring untuk menghindarkan diri dari pertengkaran atau perkelahian. Sebab adalah menjadi kuwajibannya untuk membunuh orang-orang yang pantas dicurigai. Kalau ia tidak berbasil, maka nasib orang itu pun tidak akan menjadi lebih baik. Setiap kali ada orang yang berkeras kepala, dan ia menjumpai kesulitan untuk mengusirnya maka orang itu pasti akan mati dengan cara yang menyedihkan. Sebab setiap kali Kebo Sindet atau Wong Sarimpat pasti akan bertindak sendiri atas orang itu.

Beberapa puluh kali ia menyaksikan bagaimana Kebo Sindet atau Wong Sarimpat atau kedua-duanya melakukan hal serupa itu. Bahkan orang yang tersesat, masuk ke padesan ini untuk bertanya, akhirnya orang itu tidak lagi dapat keluar dari desa ini. Hanya orang-orang yang bernasib baik, yang kebetulan segera menjadi takut kepada orang Kemundungan yang kekar itu dan lari tanpa dilihat oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat lah yang masih dapat meninggalkan padesan ini dengan tubuhnya.

Tetapi kini orang Kemundungan yang kekar itu tidak berhasil menakut-nakuti Empu Gandring. Bahkan orang tua itu kini berdiri bertolak pinggang dan menantangnya. Orang yang bertubuh kekar itu tiba-tiba menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar sepenuhnya, dengan siapa ia berhadapan. Setelah beberapa lama ia berbicara serta melihat sikap dan mendengar kata-kata Empu Gandring, maka orang Kemundungan dapat menduga, bahwa orang ini bukan orang kebanyakan.

“Bagaimana Ki Sanak?” tiba-tiba Empu Gandring bertanya, “Apakah kau bersedia memberi aku beberapa penjelasan mengenai Kebo Sindet?”

Orang yang bertubuh kekar itu menjadi semakin ragu-ragu. Sekali lagi ia memandangi orang-orang di sekelilingnya. Tetapi ia masih tetap diam. Empu Gandring melihat sikap orang itu. Sikap yang bagi Empu Gandring cukup memberi petunjuk, bahwa orang itu akan dapat memberikan beberapa isyarat kepada kawan-kawannya.

“Hem” Empu Gandring bergumam, “apa yang akan kau lakukan?”

Orang itu tidak menjawab, tetapi ia mundur selangkah.

“Ki Sanak.” berkata Empu Gandring kemudian, “aku dapat mengerti hampir sebagian besar dari apa yang sering terjadi disini“ sejenak Empu Gandring berhenti. Ditatapnya wajah orang yang bertubuh kekar itu. Pengalaman yang mengendap di dalam dada Empu Gandring ternyata mampu menangkap apa yang sebenarnya sedang dihadapi. Katanya seterusnya, “Bukankah kau akan memberikan isyarat bahwa ada seseorang yang tak dapat kau kuasai? Adi, ternyata kau tidak dapat bersikap dalam pendirianmu sendiri. Kau masih terombang-ambing di dalam arus angin pusaran. Kau harus tunduk kemana angin bertiup, supaya kau tidak roboh karenanya. Tetapi bahwa kau telah berusaha untuk berbuat baik itu pantas sekali dihargai. Tetapi belum lagi sesilir bawang kau sudah berpikir untuk memberikan tanda atau isyarat kepada Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Kau tahu akibat dari isyaratmu atas orang yang kau anggap tidak dapat kau kuasai itu. Tetapi hal itu kau lakukan juga karena kau takut dirimu sendiri akan mendapat akibat yang tidak menyenangkan.”

Orang yang bertubuh kekar itu masih berdiri di tempatnya. Kini wajahnya menjadi semakin tegang. Hatinya menjadi semakin bimbang dan bahkan menjadi bingung.

“Tetapi kalau kau berkeras untuk melakukannya, memberi isyarat itu, maka aku tidak akan berkeberatan. Semalam suntuk aku menunggunya, tetapi ia tidak kunjung datang. Kalau mendengar isyaratmu ia akan datang kemari, maka aku akan sangat berterima-kasih kepadamu."

Hati orang itu menjadi semakin berdebar-debar. Agaknya orang tua ini memang orang tua yang mempunyai beberapa kelebihan. Tetapi meskipun demikian orang itu tidak segera berbuat sesuatu. Dipandanginya saja Empu Gandring itu dengan berbagai perasaan yang aneh di dalam dirinya.

“Kenapa kau masih saja berdiam diri? Ayo, berikan isyarat itu. Mungkin seseorang akan memanggilnya atau dengan tanda lain, kentongan misalnya.”

Orang itu menjadi semakin bingung. Belum pernah ia berhadapan dengan seorang yang dengan beraninya menghadapi Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Hanya orang-orang yang belum mengenalnya sajajalah yang berani mencoba melawannya, justru karena orang-orang itu tidak tahu, siapakah Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi orang ini sudah mengenalnya, bahkan menunggunya semalam suntuk.

“Ayo, apalagi yang kau tunggu?”

Tiba-tiba orang itu menggelengkan kepalanya, katanya, “Tidak. Aku tidak akan memberikan isyarat apapun.”

“Kenapa?”

“Kau mempunyai kesan yang lain bagiku. Ternyata kau sama sekali tidak takut terhadap Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Mungkin kau adalah seorang yang pilih tanding seperti Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi mungkin kau juga belum mengetahui sepenuhnya tentang orang itu.”

“Aku sudah mengenalnya dengan baik. Aku sudah bertempur melawannya dan ia melarikan diri.”

Meskipun orang itu sudah menduga bahwa Empu Gandring termasuk seorang yang pilih tanding, tetapi ketika ia mendengar bahwa Kebo Sindet melarikan dirinya, maka dadanya berdesir.

“Apakah kau tidak percaya?”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi apabila benar demikian, maka orang ini adalah orang yang aneh. Ia telah menampar wajah orang itu tanpa berbuat sesuatu. Kenapa ia bersikap demikian? Apabila hal itu terjadi atas Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, maka akibatnya sudah dapat dibayangkan. Alangkah malangnya nasib orang yang demikian. Tetapi meskipun demikian kecemasannya masih juga mencengkam hatinya. Apakah orang ini sengaja membiarkannya dahulu sebelum ia berbuat sesuatu. Memberinya waktu untuk merasakan betapa sakitnya perasaan takut yang menusuk-nusuk jantung?

Orang itu terkejut ketika Empu Gandring membentaknya, “He, kenapa kau diam saja? Ayo, berbuatlah sesuatu. Memberi isyarat kepada Kebo Sindet, memanggilnya atau kalau kau merasa dirimu sanggup, lawanlah aku. Bukankah menjadi kewajibanmu untuk berbuat demikian?” Tetapi karena bukan kebiasaan Empu Gandring menakut-nakuti orang, maka kata-katanya pun berloncatan seolah-olah tidak tersusun dengan baik. Namun justru karena itu, kesan yang timbul di dalam hati orang itu menjadi semakin mencemaskannya.

Sekali lagi orang itu menggeleng, jawabnya, “Tidak. Aku tidak akan memberinya isyarat apapun.”

“Oh, jadi kau sendiri akan melawan aku berkelahi?”

“Juga tidak” orang itu menggeleng lagi.

“Lalu apa yang akan kau lakukan? Bukankah kau sudah mulai menampar mukaku. Dan bukankah kau sudah mengancam aku supaya aku tidak bertanya-tanya lagi?”

Dada orang itu berdesir. Ternyata orang tua itu mulai mengungkit-ungkit kelancangannya. “Aku tidak akan berbuat sesuatu” berkata orang itu.

Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam mendengar jawabannya. Maka katanya, “Baiklah, kalau kau tidak ingin berbuat sesuatu, maka aku pun tidak akan berbuat sesuatu pula atasmu. Tetapi aku minta kau mengatakan kepadaku, apakah Kebo Sindet mempunyai tempat yang lain selain gubugnya itu?”

Orang itu pun terdiam. Sekali lagi ia memandangi berkeliling. Dilihatnya laki-laki kurus, anak-anak muda yang pucat, perempuan-perempuan dikejauhan, masih memandanginya dengan penuh pertanyaan.

“Hem” Empu Gandring bergumam, “aku tahu, kau takut kepada Kebo Sindet, tetapi apakah kau tidak takut kepadaku? Kalau aku mau, aku pun dapat berbuat seperti Kebo Sindet. Menangkapi kau dan orang-orang Kemundungan, membunuh dengan cara yang sering dilakukan oleh Kebo Sindet. Bukankah Kebo Sindet sering membunuh korbannya dengan perlahan-lahan. Mengikatnya di sarang semut atau memanggangnya di atas api yang tidak cukup panas untuk mematikannya atau merebus dalam air hangat-hangat? Nah, manakah yang kau kehendaki?”

Bulu-bulu orang itu meremang. Tiba-tiba ia telah kehilangan kegarangannya. Belum lagi ia mencoba melawan, tetapi ia sudah terpengaruh oleh kata-kata Empu Gandring. Meskipun demikian, orang itu masih tetap ragu-ragu. Apakah benar Empu Gandring mampu berbuat seperti Kobo Sindet? Antara percaya dan tidak, maka orang itu berdiri kebingungan.

Empu Gandring dapat melihat keragu-raguan itu. Karena itu maka ia harus menguasainya. Menghilangkan keragu-raguan itu tanpa menyakitinya. Karena itu, maka tiba-tiba orang tua itu melangkah mundur sambil berkata, “He orang Kemundungan. Aku ingin kau berkata tentang Kebo Sindet. Aku tahu kau takut kepadanya, tetapi aku pun mampu berbuat seperti orang itu. Terserah kepadamu, siapakah yang akan kau takuti kemudian. Tetapi aku peringatkan, apabila kau telah melihat apa yang aku lakukan, dan kau tidak juga mau berkata tentang Kebo Sindet, maka kau akan mengalami nasib yang menyedihkan."

Suara Empu Gandring itu menderu di telinga orang yang bertubuh kekar itu seperti suara guntur yang meledak di langit. Mengejutkan, menakutkan dan mencemaskan. Tetapi sebelum ia sempat berbuat sesuatu, ia melihat Empu Gandring meloncat seperti belalang. Tanpa mereka lihat dengan mata, keris Empu Gandring yang besar itu pun telah berada di dalam genggamannya.

“Ayo, katakan” katanya, “apa yang dapat dilakukan oleh Kebo Sindet? Membelah batu itu, merobohkan pohon nyiur dengan goloknya atau apa?”

Orang Kemundungan itu justru terbungkam. Tetapi tiba-tiba biji matanya serasa meloncat dari pelupuknya ketika ia melihat keris Empu Gandring berputar seperti baling-baling, sehingga Empu Gandring sendiri seakan-akan hilang ditelan oleh pusaran kerisnya. Belum lagi debar jantungnya mereda, maka orang itu sekali lagi dikejutkan oleh suara berderak. Tiba-tiba ia melihat tiga batang pohon tal roboh bersamaan, disusul oleh sebatang pohon siwalan yang sedang berbuah lebat.

Kini orang itu seakan-akan membeku karenanya. Bukan saja orang itu, tetapi orang-orang lain yang melihat pun menjadi ngeri. Mereka pernah melihat Kebo Sindet membuat pengeram-eram. Dan mereka pun menjadi ngeri. Tetapi kali ini mereka pun dicengkam oleh perasaan yang serupa. Sejenak kemudian orang Kemundungan yang bertubuh tinggi kekar itu melihat Empu Gandring telah berdiri dihadapannya. Kerisnya sudah tidak berada di dalam genggamannya lagi. Yang dilihatnya adalah tangkai keris itu mencuat di belakang pundaknya.

“Apalagi yang dapat dilakukan oleh Kebo Sindet?” bertanya Empu Gandring.

Dengan gemetar orang itu menjawab, “Tuan, aku mohon maaf atas kelancanganku tuan. Barangkali tuan sangat marah kepadaku karenanya.”

“Ya, aku sangat marah” sahut Empu Gandring, tetapi nada suaranya tidak meyakinkan, “aku ingin membunuhmu, mencincangmu atau menghukum picis karena kau sudah menampar mukaku.”

“Ampun tuan. Bunuhlah aku, tetapi jangan dengan cara itu.”

“Sekehendakkulah. Tetapi kalau kau ingin bebas dari penderitaan, maka katakan saja kepadaku, di mana Kebo Sindet sering berada selain di dalam rumahnya itu?”

“Tak ada gunanya tuan. Kalau tuan tidak membunuh aku, maka orang itulah yang akan membunuh aku. Bahkan mungkin dengan cara yang lebih mengerikan. Karena itu, tolonglah tuan, bunuhlah aku dengan cara yang agak baik, supaya aku tidak mengalami penderitaan.”

Empu Ganring terkejut mendengar permintaan orang itu. Orang itu merasa bahwa dirinya pasti akan mati. Kalau tidak dibunuh oleh Empu Gandring maka Kebo Sindet lah yang akan membunuhnya. Sehingga dengan demikian, maka orang itu telah benar-benar menjadi putus asa. Kehadirannya di Padukuhan Kemundungan ternyata telah membawa bencana bagi orang itu. Orang yang sebenarnya baik hati, tetapi karena tekanan keadaan, akhirnya menjadi seorang yang kasar dan tampak bengis. Tetapi Empu Gandring tidak ingin membiarkannya ditelan keputusasaan, sehingga timbulah keinginannya untuk menolong orang itu, melepaskannya dari ketakutan.

Empu Gandring itu pun kemudian bertanya, “Ki Sanak, kenapa kau merasa bahwa kau harus mati? Kenapa kau tidak berbuat sesuatu supaya kau dapat terlepas karenanya?”

“Tak ada gunanya. Kalau aku berbicara tentang Kebo Sindet maka aku pasti akan dibunuhnya. Kalau aku tidak mau berbicara maka tuan akan membunuh aku. Bukankah sudah jelas? Aku tidak dapat melawan tuan seperti aku tidak akan mampu melawan Kebo Sindet. Apakah yang dapat aku lakukan?”

Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Nah, kalau demikian, kalau kau sudah pasti bahwa kau akan mati, kenapa kau masih juga takut kepada Kebo Sindet? Dan bukankah Kebo Sindet sekarang tidak ada di rumah ini sehingga ia tidak akan tahu apa yang kau lakukan?”

“Kebo Sindet tahu segala-galanya. Seperti hantu ia tiba-tiba saja muncul di segala tempat bersama adiknya Wong Sarimpat, atau salah seorang dari mereka.”

“Omong kosong. Mereka adalah orang-orang biasa, Wong Sarimpat ternyata dapat mati terbunuh seperti kebanyakan orang.”

“He” wajah orang itu menegang, “Wong Sarimpat terbunuh?”

“Ya” sahut Empu Gandring, “kami berkelahi berpasangan. Aku berada sepihak dengan Empu Sada melawan kedua iblis. Ternyata Wong Sarimpat terbunuh oleh lawannya dan Kebo Sindet menghindari perkelahian.”

Orang yang bertubuh kekar itu terdiam sejenak. Tetapi matanya memancarkan keragu-raguan. Sehingga, Empu Gandring berkata, “Jangan ragu-ragu. Wong Sarimpat benar-benar telah terbunuh. Ia sudah mati. Aku melihat sendiri mayatnya yang membeku akibat sentuhan Aji Kala Bama.”

Orang yang bertubuh kekar itu masih saja berdiri mematung. Dan Empu Gandring berkata terus, “Dengan demikian, maka kekuasaannya di padukuhan ini pun pasti akan goyah.”

“Tetapi” tiba-tiba orang itu berkata, “Kebo Sindet itu pun mampu melakukannya seorang diri. Membunuh aku dengan caranya.”

“Kau sudah merasa bahwa kau pasti akan mati. Apa lagi yang kau takuti. Nah, sekarang sebaiknya kau katakan kepadaku apa yang kau ketahui tentang Kebo Sindet itu.”

Sekali lagi orang itu terbungkam. Dan Empu Gandring berkata seterusnya, “Berkatalah tentang iblis itu. Bukankah kau lebih senang mati oleh tanganku dari pada oleh iblis itu? Kalau kau harus mati juga, maka kau sudah berbuat sesuatu yang baik bagiku, bagi orang lain dan bagi banyak orang.”

Orang itu masih tetap berdiam diri. “Apalagi Kebo Sindet tidak berada di tempat ini. Ia tidak akan tahu apa yang kau katakan kepadaku. Atau, dapatkah kau memilih? Mati atau pergi bersamaku ke tempat lain . Apakah yang sebenarnya mengikatmu di Kemundungan?”

Orang itu menggeleng lemah, “Tak ada tempat untuk bersembunyi di kolong langit ini.”

“Bodoh. Itu terlampau berlebih-lebihan, menganggap Kebo Sindet seakan-akan seorang yang mampu berbuat apa saja, mengetahui apa saja. Tidak. Ia seorang biasa yang mengenal takut dan cemas. Ternyata ia bersembunyi. Nah, apa katamu?”

Orang yang bertubuh kekar itu memandang Empu Gandring dengan tajamnya. Tetapi kata-kata Empu Gandring yang terakhir itu telah menyentuh hatinya. Memang, selama ini ia takut bukan buatan kepada Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, sehingga seolah-olah kedua orang itu bukan manusia biasa lagi. Tetapi menurut orang yang berdiri dihadapannya, dan bernama Empu Gandring itu, ternyata Wong Sarimpat dapat juga terbunuh dan Kebo Sindet mengenal juga takut dan cemas.

“Bagaimana?” bertanya Empu Gandring, “aku ingin mendengar serba sedikit tentang Kebo Sindet. Sesudah itu, kalau kau takut tinggal di sini, pergilah ke Lulumbang, pedukuhan tempat tinggalku. Kau dapat hidup di sana sebagai seorang petani yang wajar. Kau akan dapat menjadi seorang yang baik, yang berbuat tanpa bertentangan dengan panggilan hatimu. Menakut-nakuti orang, bahkan menyakiti.”

Tiba-tiba orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Apakah mungkin begitu tuan?”

“Kenapa tidak?”

“Alangkah menyenangkan apabila itu bukan sekedar impian saja.”

“Kenapa impian?”

“Tuan akan segera membunuh aku setelah aku berkata apa yang aku ketahui tentang Kebo Sindet.”

“Itu bukan kebiasaanku Ki Sanak” sahut Empu Gandring.

Sekali lagi orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Hidup sebagai seorang petani yang wajar adalah hidup yang diimpikannya selama ini. Tetapi ia merasa bahwa hidup yang demikian itu tidak akan pernah dihayatinya selama Kebo Sindet masih hidup di Kemundungan. Sebab ia terpaksa melakukan hal-hal di luar kemauannya sendiri.

“Apakah kau bersedia?” bertanya Empu Gandring.

Agaknya orang itu masih ragu-ragu. Tetapi akhirnya ia mengangguk, “Marilah, masuklah ke rumah. Barangkali aku dapat memenuhi keinginan tuan meskipun hanya beberapa hal yang mungkin tak berarti bagi tuan.”

Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia berhasil memaksa orang itu untuk berbicara dengan caranya. Meskipun nada suara orang itu masih dipenuhi oleh kebimbangan, namun dengan beberapa penjelasan nanti ia akan dapat meyakinkan, bahwa Kebo Sindet kini tidak akan muncul segera di padukuhan ini. Empu Gandring pun kemudian mengikuti orang itu masuk ke dalam rumah yang agak lebih baik dari rumah-rumah di sekitarnya, meskipun rumah itu sendiri adalah rumah gubug yang terlampau sederhana. Mereka pun kemudian duduk di atas sehelai tikar pandan yang diayam kasar, yang terbentang di atas sebuah bale-bale bambu.

Sejenak Empu Gandring memperhatikan isi rumah itu. Tidak jauh berbeda dengan gubug Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Rumah ini hampir tidak berisi perabot lain yang lajim di dalam rumah tangga yang wajar. Tetapi Empu Gandring menyadari, bahwa keadaan yang sulitlah yang menyebabkan orang-orang di padukuhan ini tidak sempat mengisi rumahnya dengan beberapa macam alat rumah tangga yang diperlukan. Di dalam rumah itu Empu Gandring melihat beberapa alat-alat pertanian yang telah usang tersangkut pada dinding. Agaknya mereka pun tidak sempat membuat atau membeli alat-alat semacam itu.

“Inilah seluruh milikku,” desah orang bertubuh kekar itu.

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya, “Siapakah namamu Ki Sanak?”

Orang itu menarik nafas. Jawabnya, “Namaku Tambi.”

“Tambi” Empu Gandring mengulangi,

“Ya. Aku hidup sendiri di rumah ini. Isteri dan seorang anakku mati Ketakutan. Mereka tidak tahan hidup seperti yang dialaminya. Beberapa tahun mereka bertahan. Tetapi akhirnya perempuan itu tidak kuat lagi. Anaknya masih kecil itu pun mati pula beberapa bulan kemudian.”

Empu Gandring mengerutkan keningnya. Alangkah pahit hidup orang yang bernama Tambi ini. Namun kenapa ia masih saja bertahan tinggal di padukuhan ini? Tetapi Empu Gandring tidak segera bertanya. Dibiarkannya saja Tambi itu berbicara terus,

“Tuan” berkata orang itu, “aku sendiri selama ini harus melakukan pekerjaan yang tidak aku ingini. Setiap kali aku harus bertengkar dengan diri sendiri. Dan setiap kali aku terdorong dalam suatu tindakan yang sama sekali tidak menyenangkan bagiku dan bagi keluargaku semasa isteriku masih hidup. Hal-hal yang demikian itulah yang mempercepat kematian isteriku.”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia terkejut ketika ia mendengar Tambi itu berkata, “Ketahuilah tuan, bahwa isteriku masih mempunyai hubungan keluarga dengan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.”

“Apakah isterimu itu masih bersaudara dengan keduanya?”

“Isteriku adalah saudara sepupunya. Dan kedua saudara sepupu yang menurut aliran darah lebih muda itu, telah membuatnya terlampau susah.”

“Apakah isterimu tidak pernah mencoba menasehatinya?” bertanya Empu Gandring.

“Tak ada orang yang berani menasehatinya” jawab orang itu, yang tiba saja menjadi gelisah. Dipandanginya sekeliling ruangan itu dan dicobanya untuk mendengarkan setiap desir di sekitarnya.

“Kebo Sindet tidak akan segera datang kemari” berkata Empu Gandring, “apalagi kalau diketahuinya aku berada di sini.”

Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kegelisahannya masih terbayang di wajah serta sikapnya. “Aku sekarang sudah tidak beranak dan beristeri. Seharusnya aku sudah tidak takut lagi.”

“Memang kau tidak perlu takut, apalagi kalau kau sudah bersedia untuk mati. Tetapi kau harus berusaha untuk tidak perlu mengalaminya segera. Bermohonlah kepada Yang Maha Agung. Namun kau pun harus berbuat. Kau dapat meninggalkan padukuhan ini.”

Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nah, aku hanya ingin tahu, di mana Kebo Sindet itu bersembunyi?”

“Tak seorang pun tahu pasti” jawab Tambi.

Mendengar jawaban itu Empu Gandring menjadi kecewa. Hanya itulah yang diharapkannya. Tetapi ia merasakan kejujuran jawaban orang yang bernama Tambi itu.

“Tetapi” berkata Tambi kemudian. “Ia masih saja dikuasai oleh kebimbangan, ia sering pergi ke seberang hutan yang berrawa-rawa itu.”

Empu Gandring mengerutkan keningnya. Katanya, “Yang kau maksud hutan di sebelah bukit gundul itu?”

Tambi mengangguk, “Ya. Hutan itu tumbuh di tanah yang berawa-rawa. Tanah yang sulit sekali untuk dilalui. Orang-orang Kemundungan pun tidak berani menyeberangi rawa-rawa itu, selain Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.”

“Apakah ada jalan lain kecuali daerah yang berlumpur itu?”

Tambi menggeleng, “Tidak ada. Tempat itu dikelilingi oleh rawa-rawa dari mana pun kita mendatanginya.”

“Hem” Empu Gandring menggeram, “setan itu benar-benar licin.”

“Selebihnya aku tidak tahu apa-apa, kecuali pada masa kecilnya.”

“Kau mengenalnya sejak kanak-kanak?”

“Anak itu anak Kemundungan sejak lahir” jawab Tambi, “seperti aku dan isteriku juga anak Kemundungan sejak lahir. Tetapi kedua anak itu lama sekali meninggalkan kampung halaman. Ketika mereka kembali, mereka telah menjadi iblis.” Kata-kata itu seakan-akan terloncat tanpa disadari. Namun sesudah itu, wajah Tambi menjadi pucat. Sekali lagi ditebarkannya pandangan matanya berkeliling, seolah-olah Kebo Sindet bersembunyi diantara dinding-dinding bambu yang berlubang-lubang.

Empu Gandring melihat kegelisahan yang masih saja mencengkam perasaan Tambi. Orang yang kekar itu masih saja merasa dirinya selalu dibayangi oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, sehingga ia sama sekali tidak dapat melepaskan diri dari ketakutan dan kecemasan. Sehingga Empu Gandring terpaksa memperingatkan lagi, “Ki Sanak, jangan takut. Percayalah bahwa Kebo Sindet saat ini tidak berada di Kemundungan. Kalau ia berada di sini, maka aku kira aku tidak akan kemari, bertanya kepadamu tentang setan alasan itu.”

Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Seharusnya aku sudah tidak boleh takut lagi. Hidupku seolah-olah sudah tidak berarti sepeninggal isteri dan satu-satunya anakku. Tetapi kadang-kadang aku masih merasa ngeri untuk mengalami dengan cara yang tidak wajar. Aku tidak akan ingkar seandainya aku akan dipenggal leherku atau ditusuk langsung kepusat jantung. Tetapi aku merasa takut apabila aku melihat cara-cara yang sering dipergunakan oleh kedua kakak beradik itu.”

Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Teringatlah ia bahwa kemenakannya, Mahisa Agni kini berada ditangan iblis itu. Tetapi menurut ceritera Empu Sada maka ada kemungkinan bahwa Mahisa Agni tidak akan dibunuh segera oleh Kebo Sindet karena nafsu orang itu untuk mendapatkan tebusan dari Ken Dedes, bakal permaisuri Tunggul Ametung yang sangat mencintai kakaknya itu.

“Mudah-mudahan aku akan mendapat kesempatan” desis Empu Gandring di dalam hatinya.

Sementara itu Tambi masih berbicara selanjutnya, “Apalagi Kebo Sindet kini telah kehilangan adiknya, maka ia pasti akan menjadi lebih gila lagi.”

“Tetapi jangan takut. Ia tidak ada disini.”

Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian ”Mungkin tuan benar. Orang itu tidak berada disini.”

“Percayalah. Karena itu katakan apa yang ingin kau katakan kepadaku tentang Kebo Sindet.”

“Tetapi barangkali tidak akan dapat memberi tuan petunjuk seperti yang tuan harapkan” jawab Tambi, “Yang aku ketahui justru keadaan Kebo Sindet pada masa kanak-kanaknya. Ia adalah seorang anak laki-laki dari keluarga yang sangat miskin di padukuan ini. Apalagi sejak kelahiran adiknya Wong Sarimpat, maka keadaan keluarganya menjadi semakin sulit.”

“Daerah ini daerah yang tandus” sela Empu Ganding.

“Sejak aku kanak-kanak” sahut orang itu.

“Kenapa orang-orang di sini kerasan tinggal di padukuhan yang tandus ini? Kenapa mereka tidak mencari tempat tinggal yang lebih baik?”

“Tanah ini adalah tanah peninggalan nenek-moyang. Di sini kami dilahirkan. Dan di sini pula kami ingin dikuburkan.”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Telah sering benar ia mendengar pernyataan yang demikian. Betapa sulitnya penghidupan, namun tanah pusaka nenek-moyang merupakan tanah yang tidak boleh ditinggalkan. Hidup mati tanah itu adalah tanah yang harus diwarisi, dipelihara dan didiaminya sepanjang umurnya. Demikian juga pendirian keluarga Kebo Sindet itu. Betapa kesulitan mencekik leher mereka, namun mereka tetap bertahan hidup di daerah terpencil dan tandus ini.

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya, dan Tambi berbicara terus, “Apalagi pada saat itu ada seorang yang paling ditakuti di daerah ini. Seorang yang menghisap keringat kami sampai darah kami pun dihisapnya. Keluargaku dan keluarga Kebo Sindet harus bekerja, dari matahari terbit sampai matahari terbenam, namun sebagian dari hasil kerja kami telah masuk ke dalam lumbung orang yang kami takuti itu. Kami, termasuk Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, hampir-hampir tidak lagi dapat bertahan. Sehari kami sempat makan satu kali, tetapi di hari berikutnya kami tidak dapat mengenyam apa pun di mulut kami. Sehingga akhirnya orang tua Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tidak lagi dapat menahan diri. Seorang demi seorang mereka meninggalkan kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Yang mula-mula meninggal adalah ayahnya yang kurus kering dan sakit-sakitan. Kemudian menyusul ibunya. Sehingga dengan demikian kedua anak itu menjadi yatim piatu. Satu-satunya keluarga yang berkewajiban memeliharanya adalah orang tua isteriku. Namun karena keadaannya sendiri yang pahit, maka kedua anak itu pun dipeliharanya sesuai dengan kemampuannya. Namun pada suatu hari kedua anak yang menjadi besar, meskipun kurus kering dan pucat itu, menghilang. Tak seorang pun yang tahu kemana mereka pergi. Keluarga isteriku berusaha mencarinya juga. Mereka mencemaskannya, seandainya kedua anak-anak itu diterkam oleh anjing-anjing liar di atas bukit gundul. Tetapi anak-anak itu tak dapat diketemukan. Tetapi akhirnya kedua anak itu pun dilupakan. Bertahun-tahun kemudian tidak seorang pun lagi yang pernah menyebut namanya. Keluarga isteriku pun sudah tidak ingat lagi kepada mereka itu. Namun adalah mengejutkan sekali, ketika kemudian padukuhan ini didatangi oleh dua orang anak-anak muda yang gagah perkasa. Dengan dua ekor kuda mereka memecahkan ketenangan pedukuhan ini. Akhirnya diketahuilah bahwa kedua anak-anak muda yang perkasa itu adalah Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Mula-mula kedatangannya memberikan harapan kepada kami. Yang mula-mula dikatakannya, bahkan dijanjikannya, adalah menyingkirkan keluarga yang telah menghisap darah kami sampai kering. Semula kami ragu-ragu. Orang itu adalah orang yang pilih tanding. Sekian lama ia seakan-akan berkuasa di padukuhan ini tanpa dapat dikalahkan. Apakah kedua anak-anak muda itu mampu melakukannya? Namun yang dilakukannya telah menggemparkan pedukuhan ini. Seorang dari mereka, yang pada saat itu dilakukan oleh Wong Sarimpat, dengan mudahnya dapat mengalahkan orang yang selama ini berkuasa.” Tambi berhenti sejenak untuk menelan ludahnya.

Empu Gandring mendengarkan ceritera itu dengan penuh minat. Mungkin ceritera Tambi itu dapat dipercayanya. Meskipun ceritera itu sama sekali tidak bersangkut-paut dengan pertanyaannya, tentang persembunyian Kebo Sindet, namun ceritera itu dapat memberikan gambaran tentang latar belakang dari kelakuan iblis yang aneh itu. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Empu Gandring berkata, “Apakah Wong Sarimpat berkelahi seorang diri tanpa bantuan kakaknya ketika ia melawan orang yang sedang berkuasa itu?”

“Ya” sabut Tambi, “Wong Sarimpat yang sedang tumbuh itu dengan mudah dapat mengalahkan orang yang sedang berkuasa itu, yang semakin lama telah menjadi semakin tua. Bahkan beberapa orang pengikut dan pengawalnya pun dapat dikalahkannya.”

“Apakah yang kau lakukan waktu itu, Ki Sanak?”

“Aku tidak berani berbuat apa-apa. Aku melihat kekuasaan itu sejak aku masih kanak-kanak. Aku tidak pernah meninggalkan padukuhan ini.”

Empu Gandring mengangguk-angguk lagi. Keningnya tampak berkerut-merut.

“Pada saat-saat yang demikian itu, tumbuhlah harapan di hati kami, bahwa kami tidak akan mengalami pemerasan lagi. Kami tidak akan menjadi budak-budak yang tidak dapat berbuat apa-apa, sebab nyawa kami terancam. Di sini sama sekali tidak ada perlindungan atas jiwa kami. Kekuasaan orang itu benar-benar mutlak.”

“Bagaimana dengan kekuasaan Tumapel dan Kediri?”

“Tak seorang pun yang sempat berpikir, bahwa kami dapat memohon perlindungan. Seperti akhir-akhir ini kami pun tidak tahu apa yang seharusnya kami lakukan? Tumapel apalagi Kediri terlampau jauh. Bukan saja jaraknya, tetapi juga jauh dari hati kami. Seolah-olah kami belum pernah mendengar nama-nama itu.”

Sekali lagi Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tetapi” Tambi meneruskan, “ketika kami melihat apa yang dilakukan oleh Wong Sarimpat pada saat ia mengakhiri perkelahian, segera timbul kebimbangan di hati kami. Kami menjadi sangat ngeri melihat Wong Sarimpat melepaskan dendamnya kepada orang yang sedang berkuasa di padukuhan ini pada saat itu. Apa yang dilakukannya sama sekali tidak terbayang di dalam hati kami. Mungkin Wong Sarimpat merasa bahwa hidupnya benar-benar telah tersia-sia karena perbuatan orang itu. Mungkin dendam yang tak terbilang telah membakar jantungnya pada saat itu, karena kematian kedua orang tuanya. Tetapi apa pun yang menyebabkannya, namun keadaan telah membentuknya menjadi seorang yang paling buas yang pernah aku lihat.”

Tambi berhenti sejenak. Kemudian sekali lagi ia memandangi ruangan itu berkeliling. Akhirnya matanya berhenti menatap pintu rumah yang masih terbuka. “Sebaiknya aku menutup pintu itu.”

“Tidak perlu” jawab Empu Gandring, “biarlah Kebo Sindet melihat aku disini apabila ia lewat di jalan di muka rumah ini.”

Tambi terdiam sejenak. Tetapi masih juga terbayang kegelisahan dan kecemasan diwajahnya. Perlahan-lahan ia bergumam, “Ya, aku sudah tidak takut lagi, memang seharusnya aku sudah tidak takut. Tetapi kematian-kematian yang pernah aku saksikan adalah mengerikan sekali. Atau barangkali tuan ingin membunuh aku saja?”

“Jangan berputus asa dan membunuh diri bagaimana pun caranya” sahut Empu Gandring, “teruskan saja ceriteramu.”

Sekali lagi Tambi menelan ludahnya, seolah-olah kerongkongannya tersumbat, “Baiklah” desisnya, “apa yang aku katakan tadi?”

“Wong Sarimpat membunuh orang yang kalian anggap paling berkuasa di sini.”

“Ya. Orang itu pun terbunuhlah. Tetapi harapan kami untuk mendapat kebebasan ternyata sama sekali keliru. Setelah orang itu mati, meskipun Kebo Sindet dan Wong Sarimpat selalu mengatakan bahwa kita sudah sampai pada hari-hari yang kita tunggu-tunggu, pembebasan, namun apa yang kita alami hampir tidak ada bedanya sama sekali. Pemerasan dan perkosaan atas kebebasan hidup kami sebagai manusia. Dan kami masih tetap mengalami hidup kami yang lama. Bekerja dan bekerja. Sedang basil kerja kami harus kami serahkan kepada Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Namun karena mereka hanya berdua, dan mereka tidak memiliki lumbung yang besar, maka untuk hal ini, kami mendapat keringanan. Kami hanya menyerahkan hasil tanaman kami menurut kebutuhan dan permintaan mereka. Sehingga dengan demikian, kami mendapat makanan kami agak lebih banyak dari masa-masa lampau.”

“Kalau demikian apa yang menyulitkan kalian?”

“Tetapi apa yang kami miliki di sini tidak lebih dari sisa-sisa makanan kami yang kami hasilkan dari tanah yang tandus itu. Tidak ada lain. Kami tidak akan dapat menukarkan milik kami dengan benda-benda apapun. Bahkan dengan alat-alat yang kami perlukan untuk bercocok tanam. Setiap barang yang disenangi oleh kedua orang itu harus kami serahkan.”

“Juga alat-alat bercocok tanam?”

“Ya, mereka senang menyimpan alat-alat bercocok tanam yang baik.”

“Aneh. Untuk apakah barang-barang itu?”

“Tak seorang pun yang tahu. Bahkan kadang-kadang kami terpaksa mengumpulkan hasil tanah kami, untuk kami tukar dengan barang-barang yang dikehendaki oleh kedua orang-orang itu.”

“Kemanakah kalian menukarkan barang-barang itu?”

“Kebo Sindet membawa beberapa orang kemari untuk menukar barang-barang itu. Kadang-kadang hasil tanah kami itu benar-benar dibawa oleh mereka yang menukarnya, tetapi kadang-kadang orang-orang itu tidak dapat keluar dari padukuhan ini setelah mereka menyerahkan barang-barang yang seharusnya kami tukar dengan hasil tanah kami.”

“Perampokan” geram Empu Gandring.

“Ya, lebih dari pada itu. Apalagi apabila mereka mencoba mempertahankan diri mereka.”

Empu Gandring sudah dapat menangkap kata-kata yang tidak lengkap itu. Tambi pasti akan berkata, bahwa mereka yang berani mempertahankan diri, maka nasib mereka akan menjadi lebih jelek. Seperti yang sudah dikatakan, maka Kebo Sindet akan melakukan pembunuhan dengan caranya.

Sejenak kini mereka berdiam diri. Angin yang silir berhembus lewat pintu yang masih terbuka. Diluar, Tambi masih melihat beberapa orang tetangganya di halaman di seberang halaman rumahnya berdiri berlindung di balik pepohonan. Adalah menjadi kebiasaan mereka untuk melihat orang-orang yang datang ke rumah Tambi. Dan sudah menjadi kebiasaan mereka pula, apabila Tambi tidak dapat menyelesaikannya sendiri, Tambi pasti memberi mereka isyarat untuk membunyikan kentongan memanggil salah seorang atau bahkan keduanya iblis Kemundungan yang bernama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi kali ini Tambi masih belum memberikan isyarat apa-apa, meskipun tampaknya Tambi sendiri tidak berbuat apa-apa. Dan bahkan orang yang belum mereka kenal dan membawa keris dipunggungnya itu dibawanya masuk kerumahnya.

“Tuan” berkata Tambi ilu lebih lanjut, “tak seorang pun di antara kami yang berani menentang perbuatan itu. Aku adalah satu-satunya orang yang mencoba melawannya dengan caraku. Meskipun aku tidak dapat melawan dalam olah kanuragan. Tetapi akibatnya jelek sekali bagiku. Meskipun keduanya tidak membunuhku dengan caranya karena aku suami saudara sepupunya, tetapi tidak banyak bedanya dengan itu. Mereka telah membunuh isteriku dan anakku perlahan-lahan, meskipun barangkali tidak mereka sadari seperti apabila mereka membunuh korbannya. Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa isteriku meninggal justru karena aku mendapat jabatan dari kedua orang itu. Jabatanku cukup mengerikan. Seperti yang tuan lihat sekarang. Dan jabatan ini agaknya telah menyiksaku sepanjang umurku.”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Kau benar adi. Keadaan telah membuat mereka menjadi buas. Dendam yang membara di dada mereka, hidup mereka yang pahit di masa kanak-kanak, ketidak-adilan yang mencekiknya dalam kepailitan itu, telah menjadikan mereka orang yang tidak lagi mengenal kasih sesama. Mereka telah kehilangan segala kepercayaan mereka terhadap orang-orang di sekitarnya. Mereka menganggap dunia ini seperti sebuah hutan rimba. Siapa yang kuat ialah yang berkuasa. Mereka tidak mengenal adab lagi yang mengikat manusia dalam bentuk kemanusiaannya. Tetapi mereka lebih percaya kepada pedangnya daripada kepada manusia sesamanya. Mereka lebih mendambakan diri pada benda-benda dan harta daripada kepada Sumber Hidupnya.”

“Ya tuan. Itu adalah gambaran yang tepat mengenai Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.”

“Itu adalah suatu bentuk yang menyedihkan dari ledakan perasaan yang merasa tertekan. Tetapi bentuk itu adalah bentuk yang tidak diharapkan. Seorang yang tidak mau mendapat perlakuan yang tidak adil, yang telah berusaha untuk melenyapkan perlakuan itu atas dirinya sendiri, tetapi setelah ia berhasil melenyapkan kekuasaan yang memperlakukannya tidak adil itu dengan kekuatan, maka ia sendiri terjerumus dalam kekuasaan yang serupa. Kekuasaan yang didasari oleh kekuatan, bukan oleh hasrat hidup bersama dalam adab kemanusiaan. Dan kekuasaan yang dilandaskan pada kekuatan itu akan berlangsung terus...”

Empu Gandring berhenti sejenak untuk menyeka peluhnya yang mengalir dikeningnya. Dan sesaat kemudian ia berkata lagi, “tetapi aku juga mengenal bentuk lain dari pada itu. Bentuk yang manis, yang serasi dengan pancaran sumbernya. Menentang ketidak-adilan justru untuk menegakkan keadilan. Bukan untuk merubah kekuatan yang menentukan kekuasaan. Bentuk itu adalah bentuk yang paling indah, meskipun seolah-olah hanya dapat terjadi di dalam mimpi. Namun adalah menjadi kewajiban kita bersama untuk berusaha menemukan bentuk yang paling indah itu. Ketidak-adilan, dan segala macam bentuk nafsu duniawi akan dapat ditumbangkan oleh kekuatan yang tidak ada batasnya. Cinta kasih. Cinta kasih diantara sesama yang dilahirkan di atas bumi ini dari sumber yang sama. Cinta kasih yang akan dapat melahirkan segala macam pengertian dan pengekangan diri dalam satu lingkaran hidup yang tenteram damai. Bukan karena dirinya merasa terikat oleh ancaman yang merampas kebebasan hidupnya, tetapi bersama-sama dengan tulus dan ikhlas mengekang diri sendiri dalam lingkaran yang dibuat bersama-sama.”

Tambi mengerutkan keningnya. Seleret ia dapat mengenali maksud Empu Gandring, tetapi sebagian daripadanya hanya dapat dimengertinya samar-samar.

“O” Empu Gandring berdesah, seolah-olah ia baru saja terbangun dari mimpinya “maafkan aku Ki Sanak. Barangkali aku terlampau banyak berbicara. Barangkali bicaraku tidak kau harapkan. Tetapi agaknya aku lebih banyak berbicara kepadaku sendiri. Karena aku pun melihat betapa banyak kekurangan di dalam diri. Aku dapat berkata tentang cinta kasih yang melampaui segala kekuatan dan kekuasaan. Tetapi aku masih mendukung senjata dipunggungku. Mudah-mudahan senjata tidak salah arah. Mudah-mudahan aku selalu dapat melihat apakah yang sebenarnya sedang aku hadapi. Lebih daripada itu, mudah-mudahan aku segera dapat menanggalkan senjata ini dari tubuhku.”

Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat merasakan sentuhan yang tajam pada dinding hatinya. Dan tiba-tiba ia merasakan sesuatu bergerak di dalam hatinya itu. Dan dengan tiba-tiba pula ia berkata, “Tuan, aku sekarang tidak takut lagi. Aku tidak akan lari dari pedukuhan ini. Aku akan tetap tinggal di sini.”

Empu Gandring memandangi orang itu dengan tajamnya Perlahan-lahan ia berdesis, “Kenapa?”

“Adalah menggelikan sekali bahwa selama ini aku selalu dikejar oleh ketakutan. Tuan, aku seolah-olah telah menemukan keberanian yang aku inginkan. Aku tidak takut lagi tuan.”

Empu Gandring tidak segera menyahut. Dipandanginya wajah orang yang bertubuh kekar itu. Ia melihat perubahan yang membayang diwajahnya. Tambi itu tiba-tiba telah menjadi seorang yang seolah-olah lain dari pada orang yang tadi ditemuinya di halaman. Wajah itu tidak lagi membayangkan kebengisan dan kekerasan. Kini wajah itu menjadi terang.

“Adalah aneh bahwa tuan telah membuka perasaanku. Aku tidak tahu, apakah tuan berbuat dengan sengaja atau tidak. Tetapi ternyata aku menemukan sesuatu setelah aku bertemu dan berbicara dengan tuan“ berkata Tambi itu kemudian.

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Tak ada yang dapat aku lakukan bagimu Ki Sanak, apalagi membuka perasaanmu. Hanya pancaran kasih dari Yang Maha Agung sajalah yang dapat memberimu ketenteraman. Agaknya kau telah mendapatkan kurnia yaug tiada taranya. Bukan kekuatan jasmaniah sehingga kau mampu mengalahkan Kebo Sindet, tetapi justru kekuatan rohaniah. Meskipun jasmaniah kau tidak akan mampu berbuat apa pun melawan orang itu, tetapi ternyata kau telah memiliki kekuatan itu. Kau sudah tidak takut lagi melawannya dengan caramu. Itu adalah kelebihanmu Ki Sanak, kelebibanmu dari padaku. Aku masih belum menemukan kurnia serupa itu. Aku masih harus mencoba menghadapi Kebo Sindet dengan Senjata.”

Tambi tertawa. Namun tiba-tiba suara tertawanya itu terputus, sehingga Empu Gandring terkejut karenanya. Apalagi ketika ia melibat kening Tambi itu berkerut-merut.

“Kenapa Ki Sanak?”

“Aneh. Aku merasakan keanehan di dalam diriku” gumam Tambi itu seolah-olah pada diri sendiri, “aku tidak pernah tertawa selama ini. Sejak aku lepas dari dukungan ibuku, aku hampir tidak pernah merasakan kesegaran yang tidak dapat membuat aku tertawa. Di padesan ini, hanyalah anak-anak yang masih menyusu ibunya sajalah yang dapat tertawa bila ibunya menciumnya, atau tertawa manis selagi ia bermimpi. Tetapi sejak kami turun dari selendang ibu, kami sudah harus bekerja membantu orang tua. Di sawah, di kebun, di rumah dan dimana-mana saja. Itu terjadi sejak aku masih kecil. Sejak Kebo Sindet masih kecil. Dan itu masih berlangsung sampai kini.”

“Sekarang apa yang terasa olehmu Ki Sanak?”

“Semua itu tak ubahnya dari pada sebuah mimpi. Pada saatnya aku akan bangun dari mimpi yang mengerikan ini.”

“Dan kau akan mengalami hidup yang sebenarnya. Bukan suatu mimpi yang mengerikan lagi. Justru kau akan mendapat kemenangan dari perjuanganmu yang terjadi di dalam mimpi itu.”

Tambi menarik nafas dalam-dalam. Gumamnya, “Bukankah ini hanya suatu pemupus? Bukankah dengan demikian aku hanya ingin menenteramkan hatiku sendiri?”

Empu Gandring menggeleng, “Pemupus adalah salah satu bentuk dari pada keputus-asaan. Tak ada jalan lain yang dapat ditempuh, selain apa yang telah terjadi. Tetapi kau tidak berada dalam keadaan yang demikian. Kau masih mempunyai banyak kesempatan. Kau masih dapat lari meninggalkan pedukuhan ini. Misalnya pergi bersamaku ke padukuhanku. Kau akan dapat hidup di sana dengan tenteram. Aku kira Kebo Sindet tidak akan mencarimu ke padukuhanku, sebab aku pun sedang mencarinya. Apakah begitu? Kau pergi ke Lulumbang?”

Tambi menggelengkan kepalanya, “Terima kasih Ki Sanak. Tetapi aku tidak akan pergi. Kalau aku pergi, maka orang-orang lain akan menjadi sasaran pertanyaan dan kemarahan Kebo Sindet. Orang-orang lain yang tidak bersalah akan mengalami nasib yang lebih jelek lagi. Karena itu biarlah aku tinggal di sini. Aku akan menghadapi segala tanggung jawab. Apa pun yang terjadi atas diriku, maka aku tidak akan ingkar, sebab aku sudah tidak takut lagi. Aku ingin segera bangun dari tidur dan mimpi yang mengerikan ini. Apa yang akan terjadi segeralah terjadi.”

Dada Empu Gandring berdesir mendengar jawaban itu. Tiba-tiba ia merasa bahwa kedatangannya benar-benar telah menyebabkan Tambi tersudut dalam keadaannya. Apalagi setelah ia menemukan suatu keyakinan di dalam dirinya, bahwa ia tidak akan lari. Karena itu tanpa disadarinya maka Empu Gandring berkata, “Ki Sanak, apakah kedatanganku telah menyebabkan kau mendapat kesulitan?”

“O, tidak tuan, tidak. Kalau aku ingin melepaskan diri, maka aku akan dapat berbuat sesuatu. Aku akan dapat memberi isyarat kepada Kebo Sindet. Ia akan datang kemari dan tanggung jawab persoalan tuan sudah tidak ada lagi padaku.”

Empu Gandring mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia bertanya, “Kenapa kau tidak berbuat demikian kali ini?”

“Tuan adalah seorang yang memiliki kelainan dari orang-orang yang pernah datang kemari. Orang-orang yang datang terdahulu tidak ada yang dapat memberikan sesuatu kepadaku selain kemarahan dan kehilangan akal.”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kerut-merut di keningnya menjadi semakin dalam. Orang tua itu ternyata sedang mencoba mencari jalan yang baik baginya dan baik bagi orang-orang Kemundungan, supaya mereka tidak menjadi sasaran kemarahan Kebo Sindet. “Adi,” berkata Empu Gandring kemudian, “apakah kau tidak bersalah apabila kau tidak memberikan tanda kepada Kebo Sindet?”

“Mungkin demikian tuan. Mungkin ada satu dua orang yang tidak senang kepadaku akan mengadukan hal itu. Bahwa aku telah berbicara dengan orang yang tak dikenal, dan bahwa aku tidak memberikan isyarat untuk memanggil Kebo Sindet.”

“Nah, kalau demikian” berkata Empu Gandring, “bukankah kau mau menolong aku, sedang kau sendiri akan terlepas dari tuduhan semacam itu? Ki Sanak, aku minta, berikan isyarat itu.”

Tambi mengerutkan keningnya, jawabnya, “Apakah aku harus mencelakakan tuan?”

“Bukan salahmu, akulah yang mencari Kebo Sindet.” jawab Empu Gandring.

Tambi terdiam sejenak. Tetapi diwajahnya membayang kebimbangan yang mencengkam hatinya. Bagi Tambi, kehadiran Kebo Sindet akan berarti maut yang mengerikan bagi orang yang tidak dikenal. Tetapi ketika disadari bahwa yang ada dihadapannya itu adalah seorang yang justru mencari Kebo Sindet, maka kesannya menjadi berbeda. Mungkin akibat yang akan terjadi kali ini berbeda.

Namun kebiasaan yang berulang-kali dilihatnya sama sekali tidak dapat dilupakannya. Ada juga satu-dua orang yang berani melawan seperti Empu Gandring ini. Tetapi akibatnya justru lebih mengerikan lagi. Kebiasaan itu telah terjadi sepanjang Kebo Sindet dan Wong Sarimpat kembali ke pedukuhan ini. Karena itu keragu-raguarnya atas kemampuan Empu Gandring masih belum lenyap dari kepalanya, meskipun ia telah dikagumkan oleh keccpatan gerak, ketangkasan dan kekuatan Empu Gandring yang sengaja diperlihatkan.

Melihat keragu-raguan itu, maka Empu Gandring berkata, “Jangan ragu-ragu. Mungkin kau masih membandingkan kemungkinan yang ada padaku dan Kebo Sindet. Biarlah aku yang akan mempertanggung-jawabkan sendiri apa yang akan terjadi dengan diriku. Tetapi perlu kau percayai bahwa aku telah pernah berkelahi melawannya, sehingga aku dapat menilai diriku sendiri.”

Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya cara itu memberikan kemungkinan-kemungkinan yang baik baginya. Apalagi seandainya benar-benar Empu Gandring dapat mengalahkan Kebo Sindet. Tetapi setidak-tidaknya ia akan terlepas dari segala macam prasangka, meskipun ia kini sudah tidak takut lagi menghadapi apapun. Sebab ia merasa berdiri pada landasan yang harus diyakininya.

Bahkan untuk seterusnya ia tidak akan lagi melakukan perbuatan terkutuk atas orang-orang yang datang ke pedukuhan ini, apalagi orang-orang yang tersesat dan mencari jalan. Meskipun ia menyadari akibat dari tindakannya itu, namun ia telah menyimpan keberanian di dalam dirinya. Kalau kali ini ia masih juga akan memberikan isyarat kepada Kebo Sindet, itu adalah karena permintaan orang yang tidak dikenal di pedukuhannya itu sendiri. Justru orang itu mencari orang yang bernama Kebo Sindet.

“Bagaimana Ki Sanak?” bertanya Empu Gandring.

Tambi menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, “Bukankah tuan yakin bahwa kedatangan Kebo Sindet tidak akan mencelakakan tuan?”

“Aku mengharap demikian. Tetapi aku tidak tahu, apa yang dikehendaki oleh Yang Maha Agung atas diriku. Namun aku berdoa semoga sifat-sifat yang ada pada Kebo Sindet itu segera lenyap dari antara kita manusia. Mungkin kita terpaksa melenyapkan orangnya itu pula. Tetapi bukan maksudnya. Dalam bentuknya yang tajam, aku mengharap bahwa sifat-sifat semacam itu akan dapat dilenyapkan tanpa menyentuh kulit wadagnya. Tetapi itu hanya dapat terjadi di dalam mimpi atau karena suatu keajaiban karena pengaruh kekuatan di luar kekuatan manusia, meskipun kadang-kadang manusia pulalah yang menjadi alatnya.”

Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia makin mengenal watak dan sifat tamunya itu. Meskipun apa yang didengarnya itu belum pernah menyentuh telinganya sebelumnya, namun hatinya seolah-olah menjadi terbuka menghadapi masa depannya dan menilai masa-masa lampaunya.

“Nah, apakah kau bersedia memberikan isyarat itu?” bertanya Empu Gandring kemudian.

Tambi masih mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baiklah tuan, aku akan memberikan isyarat. Tetapi hal itu justru karena aku percaya kepada tuan, bahwa tuan tidak akan mengalami perlakuan yang tidak aku kehendaki. Aku sudah jemu melihat semua peristiwa-peristiwa dimasa-masa lampau. Aku sudah jemu melihat Kemundungan ini menjadi tidak ubahnya hutan yang liar. Kekuasaan di sini sama sekali tidak tumbuh karena keinginan bersama atas dasar kepercayaan dan kesatuan hasrat dalam hidup bersama untuk saling menghormati dan mengekang diri dengan tulus seperti kata tuan, tetapi kekuasaan di sini sama artinya dengan kekuatan.”

“Mudah-mudahan demikianlah hendaknya” sahut Empu Gandring.

“Baiklah tuan. Adalah menjadi kebiasaan orang-orang di padukuhan ini untuk menunggu aku memberikan isyarat kepada mereka. Kemudian salah seorang dari mereka akan segera pergi ke sudut desa, naik ke atas menara bambu yang kita buat sengaja untuk menggantungkan kentongan.”

“Lakukanlah Ki Sanak. Kalau kau berhasil mengundang Kebo Sindet aku akan berterima kasih kepadamu.”

Tambi itu pun kemudian berdiri. Beberapa langkah ia maju ke depan pintu. Kemudian ditebarkannya pandangan matanya berkeliling. Kehalaman-halaman di sekitar halaman rumahnya. Dilihatnya beberapa orang berdiri termangu-mangu.

“Mereka lebih senang menunggu apa yang akan terjadi dari pada pergi ke ladang” gumam Tambi di dalam hatinya, bahkan orang yang sudah berada di ladang pun tergesa-gesa pulang untuk melihat peristiwa-peristiwa yang mengerikan.

Sejenak orang-orang itu berdiri termangu-mangu. Mereka melihat perbedaan dari kejadian-kejadian yang pernah mereka saksikan. Mereka tidak melihat Tambi berkelahi dengan orang itu. Mereka hanya melihat orang yang tidak mereka kenal itu bergerak dengan kecepatan yang tidak dapat mereka bayangkan, menggerakkan kerisnya, dan tiba-tiba pohon-pohon Tal dan Siwalan itu pun roboh hampir bersamaan.

“Kakang Tambi tidak berdaya menghadapinya” bisik di antara mereka.

Dan kini mereka melihat Tambi itu berdiri di muka pintu rumahnya. Biasanya Tambi tidak menunggu terlampau lama, apabila ia merasa bahwa lawannya tidak dapat dikalahkan, segera ia memberikan isyarat untuk memanggil Kebo Sindet atau Wong Sarimpat atau malahan kedua-duanya akan datang bersama-sama. Tetapi kali ini Tambi masih berdiam diri. Namun akhirnya orang-orang itu melihat Tambi menggerakkan tangannya. Gerak yang sudah mereka kenal betul artinya. Membunyikan isyarat untuk memanggil Kebo Sindet atau Wong Sarimpat.

Seperti berebutan beberapa orang meloncat berlari-larian ke menara bambu di sudut desa. Mereka menjadi seperti kanak-kanak yang sedang berlomba. Kebiasaan itu lambat laun telah menumbuhkan kesenangan tersendiri. Siapakah yang paling dahulu mencapai menara dan membunyikan tanda untuk memanggil Kebo Sindet merasa mendapatkan kepuasan. Seolah-olah ia telah memberikan jasa yang berharga bagi padukuhannya, meskipun kemudian apabila mereka melihat mayat yang terkapar di jalan pedukuhan mereka, mereka masih juga merasa ngeri. Mereka akan mengeluh berkepanjangan apabila mereka kemudian harus menggali lubang, mengusung mayat itu dan kemudian menguburkannya.

Dengan demikian maka hidup mereka selalu diliputi oleh suasana yang selalu bertentangan. Mereka tidak dapat hidup dalam keserasian sikap dan perasaan. Bahkan di dalam setiap dada orang-orang Kemundungan itu pun telah tumbuh berbagai pertentangan yang menjadikan hidup mereka seakan-akan tidak berarti dan tanpa tujuan. Demikianlah maka sejenak kemudian terdengar suara kentongan bergema di padukuhan kecil itu. Suaranya seakan-akan beruntun melontar kembali setelah membentur dinding-dinding bukit gundul. Susul-menyusul seperti seperti suara yang memanggil-manggil dari dunia yang lain.

Tambi sudah terlalu biasa mendengar suara kentongan itu. Bahkan apabila ia berada dalam kesulitan, maka suara itu dapat memberinya ketenteraman. Sebab sejenak kemudian pasti akan datang Kebo Sindet atau Wong Sarimpat atau kedua-duanya yang akan melepaskannya dari kesulitan itu. Namun kemudian ia terpaksa menyaksikan peristiwa yang mengerikan. Setiap kali, demikianlah yang terjadi. Dan setiap kali hatinya menjadi sakit setelah ia bersenang hati karena ia sendiri dapat dibebaskan dari kesulitannya.

Pertentangan-pertentangan yang terjadi di dalam diri Tambi dan orang-orang Kemundungan itu telah berlangsung bertahun-tahun. Setiap kali mereka merasakan pertentangan itu di dalam diri mereka. Namun lambat-laun perasaan itu seolah-olah menjadi semakin kebal. Hanya dalam keadaan-keadaan tertentu perasaan itu masih juga tumbuh di dalam hati mereka. Korban-korban yang malang, yang sama sekali tidak bersalah dan tidak menyadari kesalahannya, masih juga menumbuhkan iba di hati mereka yang sudah mengeras.

Kali ini orang-orang Kemundungan tidak dapat menilai, apakah orang yang bersenjata keris raksasa dipunggungnya itu pantas dikasihani atau tidak. Mereka tidak tahu, apakah sudah sepantasnya orang yang tak dikenal itu akan dihadapkan kepada Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Sebab meskipun mereka menjadi kagum dan hampir-hampir tidak mengerti akan apa yang dilihatnya, namun seolah-olah telah hampir menjadi suatu kepastian, bahwa kehadiran Kebo Sindet berarti bencana bagi orang yang tidak dikenal yang masuk ke dalam padesan ini.

Sejenak halaman rumah Tambi itu menjadi sepi tegang. Setiap orang berdiri kaku di tempatnya, seperti batang-batang pepohonan yang beku di halaman di sekitarnya. Mereka menunggu apakah yang akan terjadi kemudian. Apakah yang akan dilakukan oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat atas orang tua yang kini duduk di dalam rumah Tambi itu. Mereka merasa ada kelainan dari peristiwa-peristiwa yang parnah terjadi.

Tambi pun kini menjadi berdebar-debar. Suara kentongan itu telah menjadikannya muak. Ia yang telah biasa mendengar suara itu, dan bahkan suara itu dapat memberinya ketenteraman dalam setiap kesulitan, namun kali ini ia menjadi sedemikian benci mendengar suara itu. Suara itu di telinganya kini bagaikan suara iblis yang berteriak-teriak dari lubang kubur. Tetapi ketika suara itu kemudian berhenti, hati Tambi pun menjadi semakin berdebar-debar. Biasanya, sesaat kemudian mereka pasti akan mendengar langkah kuda berderap di atas tanah berbatu-batu. Dan sesaat berikutnya mereka segera akan melihat pertunjukan maut.

Kesepian masih mencengkam halaman rumah Tambi dan halaman-halaman di sekitarnya. Beberapa orang laki-laki kurus berdiri tegak tanpa bergerak. Sedang anak-anak muda yang pucat bergerombol di bawah batang-batang pisang. Perempuan-perempuan biasanya hanya mengintip saja dari sela-sela pintu rumahnya yang tidak terkatub rapat sambil memeluk bayi-bayinya yang menangis ketakutan. Sejenak mereka diam menunggu.

Empu Gandring pun duduk dengan hati berdebar-debar pula. Bukan karena cemas, bahwa Kebo Sindet akan datang, tetapi justru karena teka-teki di dalam hatinya, apakah Kebo Sindet akan datang atau tidak. Ketegangan di halaman di sekitar rumah Tambi itu menjadi semakin memuncak. Mereka benar-benar merasakan perbedaan keadaan. Sudah beberapa lama bunyi kentongan menggetarkan lereng bukit gundul, namun mereka sama sekali belum mendengar kuda berderap. Mereka belum melihat Kebo Sindet atau Wong Sarimpat datang sambil berteriak-teriak. Mereka belum melihat sesuatu.

Tambi pun berdebar-debar pula. Kebo Sindet ternyata tidak segera datang. Dan teringatlah ia kepada kata-kata Empu Gandring, bahwa Kebo Sindet sedang menyembunyikan diri. Sebenarnya Tambi sudah sejak beberapa saat menemukan kepercayaan pada orang tua itu. Kini ia semakin yakin, bahwa semua kata-katanya bukan sekedar sesuatu sikap untuk membanggakan diri. Ternyata Kebo Sindet tidak segera datang. Sudah pasti bahwa Kebo Sindet tidak berani berhadapan dengan orang yang bernama Empu Gandring itu.

Meskipun demikian Tambi tidak segera berbuat sesuatu. Ditunggunya saja keadaan berkembang menurut keadaannya. Beberapa lama ia berdiri di muka pintu rumahnya memandangi tetangga-tetangganya yang tidak pula kalah tegangnya. Bahkan seakan mereka telah menggantungkan mata mereka di pagar-pagar batu yang rendah di sekeliling halaman masing-masing untuk melihat, apakah segera datang seekor kuda berderap di jalan berbatu-batu itu. Namun ternyata Kebo Sindet tidak segera datang. Orang-orang di padukuhan Kemundungan itu mulai gelisah. Hal yang serupa jarang-jarang terjadi. Hampir dapat dipastikan bahwa setiap kentungan itu berbunyi, Kebo Sindet atau Wong Sarimpat segera akan muncul.

Tetapi sekali hal yang demikian memang pernah terjadi. Kebo Sindet dan Wong Sarimpat sedang tidak ada di gubuknya. Ketika kedua orang itu tidak segera datang, maka terdorong oleh rasa takut kepada mereka, maka Tambi mengambil kebijaksanaan lain. Sambil berteriak-teriak ia memanggil setiap laki-laki dan anak-anak muda. Mereka harus membantu Tambi menyelesaikan tugasnya. Panggilan itu menjalar dari setiap mulut kemulut yang lain.

Sejenak kemudian hampir setiap laki-laki dan anak-anak muda sudah berkumpul. Bahkan anak-anak tanggung pun berdatangan pula. Mereka lebih takut kepada Kebo Sindet dari pada orang yang tidak mereka kenal, yang tidak segera dapat dikalahkan oleh Tambi. Pada saat itu, orang yang sedang berkelahi melawan Tambi menjadi cemas nielihat sekian laki-laki dan anak-anak muda, sehingga orang itu segera melarikan dirinya, sebelum ia melawan orang-orang Kemundungan itu.

Kini terjadi hal yang serupa. Kentongan itu sudah lama berbunyi. Tetapi Kebo Sindet masih juga belum datang. Dengan demikian maka laki-laki yang berada di sekitar halaman rumah Tambi itu berpikir, apakah Tambi akan mengambil kebijaksanaan yang serupa. Memanggil mereka, dan mengeroyok beramai-ramai. Tetapi ternyata Tambi tidak berbuat demikian. Kali ini ia tidak berteriak-teriak dengan penuh kemarahan. Tidak pula memanggil orang-orang yang berdiri di halaman di sekitar halaman rumahnya.

Tetapi dengan kepala tunduk Tambi melangkah masuk ke rumahnya kembali dan kemudian duduk dihadapan Empu Gandring sambil berdesis, “Tuan agaknya iblis itu tidak berani datang. Mungkin ia sudah menduga bahwa tuan akan kemari.”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi menurut pendapatnya, tempat Kebo Sindet itu bersembunyi agaknya terlampau jauh, sehingga suara kentongan itu tidak dapat didengarnya. Karena itu maka ia bertanya, “Ki Sanak, apakah suara kentongan itu dapat melampaui bukit gundul, menembus hutan dan mencapai rawa-rawa di mana Kebo Sindet itu bersembunyi, apabila ia benar ia berada di sana?”

Tambi mengerutkan keningnya. Katanya, “Tuan benar. Kalau tuan memang sudah mencari di gubuknya dan tuan tidak menemuinya setelah tuan mengejarnya, maka satu-satunya kemungkinan baginya adalah bersembunyi di tengah rawa-rawa itu.”

“Jadi tak ada gunanya aku menunggunya di sini.”

“Kalau ia sudah berada di gubugnya, maka ia akan segera datang kemari, apabila ia mendengar isyarat itu, tuan.”

“Kalau ia tahu bahwa aku lah yang di sini, mungkin ia tidak akan datang meskipun ia mendengar isyarat itu pula.”

Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ia melihat wajah Empu Gandring menjadi kecewa. “Maaf tuan” berkata Tambi kemudian, “aku tidak dapat membantu tuan lebih dari pada itu.”

“Oh” sahut Empu Gandring dengan serta-merta, “kau tidak mengecewakan aku. Kau sudah berbuat apa saja yang dapat kau lakukan. Tetapi aku kecewa karena Kebo Sindet tidak datang ke padukuhan ini seperti biasa.”

Tambi tidak menjawab. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.

“Persoalanku dengan Kebo Sindet adalah persoalan yang tidak dapat dibiarkan. Aku harus menemukan penyelesaian.”

Tambi masih mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tetapi apa boleh buat,” gumam Empu Gandring seakan-akan kepada diri sendiri, “aku harus menemukannya, meskipun aku harus menyeberangi rawa-rawa itu.”

“Tuan” tiba-tiba Tambi memotong, “kalau tuan mau mendengarkan permintaanku, jangan tuan mencoba menyeberangi rawa-rawa itu. Tak seorang pun yang akan pernah berhasil.”

“Kalau Kebo Sindet dapat melakukannya, kenapa aku tidak?”

“Orang itu sudah mengenal betul jalan yang harus dilaluinya. Mungkin ia mengenal pohon-pohon yang dapat dijadikannya sebagai ancar-ancar.”

“Bagaimanakah ia untuk pertama kalinya dapat sampai tempat itu?” bertanya Empu Gandring.

Tambi menggelengkan kepalanya, jawabnya, “Mungkin seseorang telah menunjukkannya, tetapi mungkin hanya karena kebetulan saja, atau barangkali sengaja ia menjajagi rawa-rawa itu setiap hari dengan telaten untuk menemukan jalan memasuki hutan itu.”

“Aku akan menempuh cara yang terakhir. Aku akan menjajagi dengan hati-hati, sehingga aku menemukan jalan yang dapat langsung sampai ke tengah hutan itu.”

“Tuan akan memerlukan waktu yang lama. Tetapi kalau nasib tuan tidak begitu baik, maka tuan akan terperosok ke dalam lumpur. Jika demikian maka kemungkinan untuk menarik diri dari dalamnya adalah sulit sekali.”

“Terima kasih Ki Sanak, tetapi yang menjadi taruhan adalah sebuah nyawa. Kemanakanku telah dibawa oleh Kebo Sindet. Aku harus membebaskannya.”

“Tetapi bagaimana dengan nyawa tuan sendiri.”

“Aku sudah tua. Nyawaku sudah tidak begitu berharga dibanding dengan nyawa kemanakanku yang memiliki hari depan yang masih panjang.”

“Tetapi kalau tuan gagal menyeberangi rawa-rawa itu, maka tidak hanya satu nyawa, tetapi kedua-duanya tidak dapat diselamatkan.”

Empu Gandring terdiam sejenak. Kerut-merut dikeningnya menjadi kian dalam. Sesaat kemudian ia bergumam, “Aku tidak boleh menyerah. Aku harus menemukannya. Aku mengharap bahwa aku akan dapat membebaskannya.”

Tambi menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang tua itu sudah membulatkan tekadnya, sehingga tidak akan dapat dihalanginya lagi. Meskipun demikian, sekali lagi ia berkata, “Tuan, pertimbangkanlah baik-baik. Apakah tuan tidak dapat mencari jalan lain?”

Empu Gandring menggelengkan kepalanya, “Aku tidak dapat melihat jalan lain. Mungkin aku dapat menunggu Kebo Sindet keluar dari persembunyiannya, tetapi waktu itu akan terlampau panjang. Sadangkan dalam waktu yang panjang itu, segala kemungkinan dapat terjadi atas kemanakanku.”

“Jadi tuan akan mencoba menyeberangi rawa-rawa berlumpur itu?”

“Ya.”

Sekali lagi Tambi menarik nafas dalam-dalam, “Tuan akan mendapatkan kesulitan.”

“Tak ada pilihan lain” Empu Gandring bergumam sambil bergeser. Tiba-tiba ia berdiri dan berkata, “Sudahlah Ki Sanak. Aku akan pergi. Doakan saja, semoga aku dapat menyelesaikan pekerjaanku dengan baik.”

Tambi tidak dapat berbuat lain dari pada mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun wajahnya membayangkan kecemasan, namun ia berkata, “Mudah-mudahan tuan selamat.”

Empu Gandring tersenyum, “Aku menyerahkan segalanya kepada Yang Maha Agung. Aku hanya sekedar berusaha. Mudah-mudahan usahaku dibenarkan-Nya.”

“Ya, mudah-mudahan. Tuan berada dipihak yang benar.”

Sekali lagi Empu Gandring tersenyum, “Baiklah kau di padesan ini. Mudah-mudahan kau selamat.”

“Mudah-mudahan tuan. Tetapi aku tak akan menggigil lagi meskipun aku akan mengalami nasib yang bagaimanapun juga.”

“Apa yang akan kau lakukan.”

“Tentu tidak berarti. Dan barangkali sebelum ada yang dapat aku lakukan, aku sudah dikejar maut.”

Empu Gandring tertawa perlahan-lahan, “Jalan kita serupa. Aku pun demikian. Mungkin belum ada yang dapat aku lakukan, dan aku sudah mati ditelan oleh lumpur itu. Tetapi aku tidak akan mundur. Aku akan terus berusaha.”

Tambi mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia menjawab Empu Gandring telah melangkah keluar rumah itu sambil berkata, “Kita melakukan pekerjaan kita masing-masing. Kita berada dalam keadaan yang serupa. Kita saling berdoa, semoga pekerjaan kita masing mendapat perlindungan-Nya. Nah, selamat tinggal.”

“Terima kasih tuan” gumam Tambi perlahan-lahan.

“Kenapa terima kasih? Akulah yang harus berterima kasih kepadamu.”

“Karena kehadiran tuan aku menemukan ketenteraman.”

“Ah” Empu Gandring berdesah. Kini ia telah melangkahi tlundak pintu. Ketika kakinya melangkah turun dari tangga rumah itu, maka dilihatnya berpasang-pasang mata mengawasinya dengan sorot mata yang aneh. Sejenak Empu Gandring tertegun. Tetapi sebelum ia bertanya Tambi telah memberinya keterangan,

“Tuan, mereka heran melihat tuan. Tuan datang ke pedukuhan ini dengan tiba-tiba. Tuan telah mempertunjukkan suatu keajaiban. Beberapa batang Tal dan Siwalanku telah tuan tumbangkan hanya dengan sabetan keris. Sekarang tuan pergi meninggalkan padukuhan ini tanpa berbuat sesuatu setelah Kebo Sindet tidak hadir meskipun kami telah memberikan isyarat kepadanya. Hal ini adalah suatu yang jarang-jarang sekali terjadi disini. Karena itu mereka menjadi heran. Dan mungkin mereka menunggu apakah yang akan tuan lakukan. Mungkin mereka menyangka bahwa tuan akan membunuh aku, atau aku akan memanggil mereka untuk beramai-ramai mengeroyok tuan.”

Empu Gandring tersenyum. Katanya, “Aku minta diri. Katakanlah kepada mereka pula. Aku minta pamit. Kedatanganku kemari benar-benar untuk mencari Kebo Sindet, tanpa maksud yang lain.”

Tambi mengangguk, “Baik tuan.”

Sesaat kemudian mereka melihat Empu Gandring itu berjalan menuju ke kudanya yang diikatnya di halaman. Perlahan-lahan orang tua itu meloncat naik. “Selamat tinggal” katanya.

Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kuda yang ditumpangi oleh orang tua berkeris dipunggungnya itu segera bergerak melangkah meninggalkan halaman rumah Tambi. Sesekali Empu Gandring menoleh. Ia masih melihat Tambi berdiri di halaman rumahnya. Sesudah itu, maka kuda itu pun segera berlari. Semakin lama semakin kencang meninggalkan Padukuhan Kemundungan.

Sepeninggal Empu Gandring, orang-orang Kemundungan segera pergi menemui Tambi dengan tergesa-gesa. Berbagai hal mereka tanyakan kepada orang yang bertubuh kekar itu. Namun mereka menjadi heran mendengar jawaban Tambi. Bahkan keterangan Tambi pun terdengar sangat aneh di telinga mereka. Seolah-olah Tambi bukanlah Tambi yang mereka kenal sehari-hari. Apakah yang telah mendorong Tambi untuk berbuat demikian, seolah-olah ia sama sekali tidak takut lagi kepada Kebo Sindet.

Sementara itu Empu Gandring berpacu meninggalkan padukuhan kecil yang tandus itu. Ia menjadi agak kecewa karena dari pedukuhan itu, ia sama sekali tidak mendapat suatu penjelasan apa pun jang dapat memperingan pekerjaannya. Ia hanja sekedar mendengar beberapa ceritera lama tentang Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Namun dengan ceritera itu, Empu Gandring dapat meraba-raba, kenapa Kebo Sindet dan Wong Sarimpat selama ini berbuat aneh. Menimbun kekayaan, harta benda dan permata, tanpa menikmatinya sama sekali.

Masa-masa lampau mereka telah menjadikan mereka ketakutan untuk mengalaminya seperti yang pernah terjadi itu. Mereka tidak ingin lagi kelaparan, kekurangan makan dan tidak memiliki selembar pakaianpun. Itulah sebabnya maka mereka menimbun sebanyak-banyaknya. Pengaruh yang masih mengendap di sudut relung hatinya, dimasa kanak-kanaknya telah membuat mereka orang yang aneh.

Kedua orang kakak beradik itu melihat dunia ini dengan hati mereka yang gelap, seolah-olah dunia ini penuh dengan tindak kejahatan, kekejaman dan penghisapan dari seorang kepada yang lain, dari yang kuat atas yang lemah. Supaya mereka pada suatu ketika tidak akan kehabisan persediaan untuk hidupnya dihari mendatang, apalagi apabila datang orang baru yang melampaui kekuatan mereka berdua, maka mereka telah mernpunyai simpanan yang mereka sembunyikan baik-baik.

Dengan demikian, mereka telah terjerumus dalam cara hidup yang aneh. Siang malam berusaha untuk menambah timbunan harta benda tanpa pernah merasakannya. Makan dan pakaian mereka hanya sekedar untuk mencukupi kebutuhan dalam tataran yang paling rendah, seperti kebanyak orang-orang Kemundungan yang lain. Kesempatan-kesempatan untuk merasakan kenikmatan hidup, terlampau jarang dihayatinya.

Kedua kakak beradik yang seakan-akan hidup di dunia yang asing itu sama sekali tidak dapat melihat, apa yang sebenarnya gumelar di atas bumi ini. Lingkungan mereka adalah lingkungan yang memaksa mereka untuk menjadi seorang yang berhati hitam.

“Kasihan” tiba-tiba Empu Gandring itu berdesis sambil memacu kudanya, “orang-orang demikianlah, orang yang sebenarnya harus dikasihani. Nasibnya terlampau jelek, sehingga hampir-hampir tidak ada kesempatan untuk bangkit kembali. Nasib Wong Sarimpat ternyata lebih malang lagi. Ia sudah tidak mendapat kesempatan untuk berbuat apa-apa lagi. Ia mati dalam keadaan yang kelam.

Tetapi Empu Gandring itu pun segera menarik nafas dalam-dalam sambil bergumam, “Aku pun kini membawa senjata ini untuk mencari Kebo Sindet. Apakah senjata ini akan dapat menjadi alat untuk menolongnya, mengambilnya dari dunianya yang sekarang, atau justru akan mendorongnya lebih dalam? Tetapi aku tidak dapat membiarkan Mahisa Agni. Aku harus melepaskannya. Kalau hal ini akan berakibat buruk bagi Kebo Sindet, maka hal itu sama sekali bukan tujuanku.”

Empu Gandring mengerutkan keningnya, dan menahan kendali kudanya sedikit ketika kuda itu mulai mendaki bukit gundul. Kemudian dengan menebarkan debu yang keputih-putihan kuda itu berderap di atas padas dan tanah yang kering. Sebentar kemudian kuda itu telah menuruni tebing yang curam. Empu Gandring terpaksa menahan kuda itu supaya berjalan perlahan-lahan dan hati-hati.

Setelah bukit gundul itu dilalui, maka segera Empu Gandring menuju ke hutan yang berawa-rawa. Hati orang tua itu mulai berdebar-debar ketika dari kejauhan dilihatnya hutan yang tidak begitu lebat. Dari sela-sela rimbunnya dedaunan, sinar matahari yang telah menjadi panas, seolah-olah bermain-main di atas air yang keruh berlumpur. Angin yang silir menggerakkan dedaunan dan bayang-bayang di wajah air.

Ketika kudanya telah sampai di bibir rawa-rawa itu, maka Empu Gandring segera menahan kendali, sehingga kuda itu pun berhenti sebelum kaki belakangnya menginjak air. Tetapi injakan kaki depan kuda itu telah mengejutkan Empu Gandring, karena tiba-tiba kuda itu meringkik dan dengan sekuat tenaga ditariknya kedua belah kakinya. Tetapi dengan demikian, maka tenaga kuda itu telah mendorong kaki belakangnya untuk menginjak air itu pula.

Empu Gandring segera menyadari keadaannya. Sebelum kuda itu melonjak-lonjak dan justru menjadi semakin ketengah, segera ia meloncar turun di atas tanah yang tidak tergenang lumpur. Kemudian diteriak-teriaknya kudanya menepi. Lambat laun, kuda itu pun berhasil melepaskan kakinya dari dalam lumpur. Terdengar kuda itu meringkik sekali lagi sambil mengibas-ibaskan ekornya.

“Hem” Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam, “inilah isi dari rawa-rawa ini. Tanah berlumpur yang gembur. Tetapi pasti ada bagian-bagian yang keras, yang dapat dilalui oleh kuda. Sebab terbukti bahwa Kebo Sindet dapat menyeberangi rawa-rawa ini pula.”

Empu Gandring masih ingat betul, dimanakah kuda Kebo Sindet yang diikutinya masuk ke dalam air. Tetapi setelah itu, ia tidak tahu, arah yang diambil oleh buruannya. Ia akan dapat mengikuti jejak itu masuk ke dalam rawa-rawa. Namun setelah itu, apakah ia tidak akan tersesat, terjerumus ke dalam lumpur, bahkan lumpur yang cukup dalam? Empu Gandring kini berdiri termangu-mangu. Diingatnya pesan Tambi, orang yang rumahnya tidak terlalu jauh dari rawa-rawa itu. Bahwa rawa-rawa itu sangat berbahaya baginya.

“Tetapi aku harus menolong Mahisa Agni.” desisnya.

Sejenak Empu Gandring tidak berbuat sesuatu. Ia masih memegang kendali kudanya. “Aku akan menjajagi rawa-rawa itu dengan kaki” gumamnya kemudian.

Diikatkannya kudanya itu pada sebatang pohon. Diikatkannya kain panjangnya di lambungnya. Dengan hati-hati kemudian ia pergi ke tepi rawa itu, tempat bekas-bekas kaki kuda Kebo Sindet lenyap ditelan air.

“Di sini kuda itu masuk” desisnya kepada diri sendiri, “pasti bagian ini cukup keras.”

Dengan hati-hati Empu Gandring itu menginjakkan kakinya ke dalam air yang coklat berlumpur. Ternyata dugaannya benar. Ia mendapat tempat berpijak yang cukup keras. Setapak lagi ia maju setelah kakinya meraba-raba. Setapak demi setapak ia maju. Tetapi pekerjaan itu memakan waktu yang sangat lama. Namun Empu Gandring sama sekali tidak berputus asa. Ketika tiba-tiba kakinya tidak menemukan tanah yang keras di depannya, maka beberapa langkah ia surut sambil mencari bagian2 lain yang dapat diinjaknya.

“Ini adalah jalan satu-satunya” gumamnya. Tetapi tiba-tiba ia tertegun ketika ia melihat sesuatu yang bergerak di dalam air. Semakin lama semakin dekat, seolah-olah sengaja menyerangnya.

Empu Gandring berdiri diam dengan hati yang berdebar. Namun segera ia melihat, bahwa yang meluncur di dalam air yang keruh itu adalah seekor ular air hitam. Sejenis ular yang mempunyai bisa yang tajam. “Hem” Empu Gandring berdesah, “ternyata rawa ini menyimpan seribu macam bahaya.”

Tetapi ternyata ular itu tidak langsung menyerangnya. Beberapa langkah dari Empu Gandring ular itu mengambil arah yang lain. Meskipun demikian Empu Gandring masih belum bargerak. Ia menyadari, babwa gerak yang paling kecil sekalipun akan dapat menarik perhatian ular itu. Namun demikian tangannya telah siap untuk menarik kerisnya apabila perlu.

Dipandanginya ular yang meluncur tidak jauh disampingnya itu dengan tanpa berkedip. Setiap saat ular itu dapat berhenti, berpaling dan meluncur mematuknya. Di tanah yang kering dan keras ia tidak perlu mencemaskan serangan seekor ular apabila ular itu dilihatnya. Empu Gandring termasuk salah seorang yang gemar bermain-main dengan bisa, sesuai dengan pekerjaannya, membuat keris. Tetapi di dalam air berlumpur, maka ia harus membuat perhitungan lain. Mungkin selangkah ia bergeser, maka kakinya akan terhisap masuk ke dalam lumpur. Karena itu, lebih baik ia berdiri tegak tanpa bergerak sedikit pun dari pada harus melakukan perlawanan atas ular itu dengan kemungkinan-kemungkinan yang tidak menyenangkannya.

Ular itu pun meluncur semakin lama semakin jauh. Namun ular itu telah menimbulkan kesan yang mendebarkan jantung Empu Gandring. Ternyata ular air hitam itu cukup besar untuk menelan seekor kelinci. Sejenak Empu Gandring diam termangu-mangu. Ditatapnya rawa-rawa yang terbentang dihadapannya. Rawa itu masih cukup luas. Sedang airnya sama sekali tidak rata. Sebagian terlampau dangkal sehingga beberapa cengkang tanah kadang-kadang menonjol ke atas permukaan air. Namun di bagian yang lain ternyata terlampau dalam.

Tetapi Empu Gandring masih belum berputus asa. Ia masih mencoba melangkah maju, meraba-raba dengan kakinya. Beberapa kali ia terpaksa melangkah surut dan mencari tanah yang cukup keras. Kadang-kadang tanah itu mengeras seperti padas, tetapi licinnya bukan main. Namun selangkah lagi yang diinjaknya adalah lumpur yang sangat gembur.

Ketika Empu Gandring berpaling ke tanah yang tidak digenangi air maka ia menarik nafas dalam-dalam. Ternyata jarak yang dicapainya sama sekali belum seberapa dibandingkan dengan waktu yang dipergunakannya Ia masih melihat jelas kudanya makan rerumputan yang hijau. Bahkan ia masih melihat batang-batang perdu yang rendah diantara kaki-kaki kudanya itu.

“Aku akan memerlukan waktu berapa hari untuk menemukan jalan ke seberang” gumamnya, “tetapi apa boleh buat.”

Beberapa kali Empu Gandring mencoba berpegangan pada sulur-sulur tumbuh-tumbuhan air yang tampaknya menjadi semakin garang. Tetapi ia tidak dapat meloncat dari akar-akar sebatang pohon ke batang yang lain. Bahkan ia juga tidak menemukan kemungkinan untuk meloncat dari dahan pohon ke dahan berikutnya, karena jarak yang sama sekali tidak rata. Ketika Empu Gandring menengadahkan wajahnya, sekali lagi ia berdesah. Matahari sudah menjadi semakin condong.

“Sebentar lagi hari akan menjadi gelap. Dan aku masih belum berajak dari tempat ini.”

Ketika angin berdesir perlahan-lahan menyentuh dedaunan, maka Empu Gandring bersandar sebatang pohon, dan berdiri pada akar-akarnya. Sesaat ia menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya ia mengambil keputusan, bahwa ia harus menunda usahanya itu sampai besok. Sebelum gelap ia harus sudah berada di luar rawa itu, supaya ia tidak kehilangan jalan. Di dalam gelap maka bahaya akan menjadi lebih besar. Ular-ular air dan binatang-binatang berbisa lainnya.

Desir ular-ular yang cukup besar akan dapat didengarnya, tetapi ular-ular yang kecil sama sekali tidak dapat diketahuinya. Sedang bisa ular-ular kecil itu pun cukup tajam untuk membenamkannya ke dalam rawa-rawa dan tidak akan bangkit kembali. Meskipun Empu Gandring membawa juga beberapa macam reramuan untuk menawarkan bisa, tetapi obat itu tidak terlampau banyak, sedang agaknya ular dirawa-rawa ini merupakan penghuni utamanya.

Lewat tanah-tanah yang telah diingatnya, Empu Gandring berjalan kembali menepi. Ia dapat berjalan lebih cepat dari pada ketika ia sedang mencari jalan itu. Meskipun demikian, kadang-kadang ia masih juga merasa kakinya menyentuh lumpur-lumpur yang lunak di sebelah batu-batu padas yang diinjaknya. Sebelum gelap Empu Gandring sudah berada di pinggir rawa itu. Ia sama sekali tidak merasa lapar. Tetapi lehernya rerasa kering. Sedang air yang dihadapinya adalah air berlumpur.

“Apakah aku harus minum air itu?” pikirnya. Tetapi Empu Gandring masih mencoba menahan haus. Kalau terpaksa, ia harus minum air itu juga.

Untuk menghindarkan diri dari serangan binatang-binatang yang tidak dikenalnya, maka ketika hari menjadi gelap Empu Gandring memanjat sebatang pohon di tempat yang agak lapang. Di sekitarnya tidak tumbuh pohon yang rimbun dan lebat. Sedang kudanya diikatnya di bawah pohon itu. Empu Gandring adalah seorang yang telah membiasakan diri hidup dalam keadaan yang sulit. Orang tua itu pun mempunyai ketahanan tubuh yang luar biasa. Ia mampu berkelahi tidak saja sehari semalam terus menerus tanpa berhenti, tetapi tiga hari ia akan dapat melakukannya.

Namun kini terasa tubuhnya menjadi letih. Hatinya juga letih. Usahanya untuk menemukan jalan menyeberangi rawa-rawa itu telah menegangkan segala urat syarafnya. Dengan demikian maka Empu Gandring itu benar-benar ingin beristirahat untuk menyegarkan tubuhnya kembali. Besok ia masih harus bekerja keras. Meraba-raba jalan untuk menyeberangi rawa-rawa itu. Namun kadang tumbuh juga berbagai macam kecemasan di dalam hatinya. Ternyata di dalam air itu banyak terdapat ular-ular air hitam, dan mungkin binatang-binatang air yang lain yang belum dikenalnya. Kadal air yang berwarna abu-abu kehitam-hitaman pun mempunyai bisa setajam ular bandotan.

Tetapi yang lebih berbahaya lagi, apabila Kebo Sindet sengaja menemuinya di dalam rawa-rawa itu. Orang itu telah memiliki kemenangan pertama dari padanya. Ia jauh lebih mengenal watak dan sifat dari rawa-rawa berlumpur ini. Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam, “Tetapi aku tidak akan mundur.”

Dengan demikian maka hatinya menjadi semakin bulat. Dan kini ia ingin benar-benar melepaskan segala macam ketegangan. Perlahan-lahan ia berdesah, “Biarlah aku pikirkan besok. Sekarang aku akan beristirahat, badan dan pikiran.”

Sekali lagi Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Kemudian diselimutkannya kain panjangnya pada hampir seluruh tubuhnya. Ternyata di atas dahan itu pun banyak sekali terdapat nyamuk. Sejenak Empu Gandring itu dapat benar-benar beristirahat. Matanya terpejam dan nafasnya berjalan dengan teratur. Meskipun orang tua tidak tertidur nyenyak, karena sebagian dari indranya masih mampu menangkap getaran-getaran yang terjadi di luar dirinya meskipun hanya lamat-lamat, namun istirahat yang demikian telah memberinya kesegaran baru.

Tetapi kesempatan itu ternyata tidak terlampau lama. Empu Gandring membuka matanya ketika ia mendengar kudanya menjadi gelisah. Sejenak Empu Gandring masih berdiam diri. Bahkan seakan-akan ia tidak banyak menaruh perhatian. Ia menyangka bahwa kudanya pun telah diganggu oleh semacam nyamuk-nyamuk yang cukup banyak dan besar di bawah pohon itu.

Namun ternyata kuda itu tidak saja berjalan melingkari pohon itu. Kemudian di garuk-garukkan kakinya dan sejenak kemudian bahkan kuda itu meringkik perlahan. Kini Empu Gandring tidak lagi dapat membiarkan kudanya menjadi gelisah. Sebagai seorang yang memiliki pengalaman yang cukup maka segera ia tahu, bahwa kudanya telah mencium bau atau mendengar suara di sekellingnya.

“Aku menjadi iri pada kuda itu” berkata Empu Gandring di dalam batinnya, “beberapa tahun aku melatih diri, tetapi aku tidak akan mempunyai ketajaman firasat seperti seekor kuda. Mungkin seekor kuda mempunyai daya tangkap atas getaran-getaran yang tidak dapat dilakukan oleh manusia. Ternyata sampai sekarang aku belum mendengar, melihat apalagi mencium bau sesuatu yang dapat membuat aku menjadi gelisah seperti kuda itu.”

Meskipun demikian, meskipun tampaknya Empu Gandring masih belum beranjak dari tempatnya, bahkan masih belum mengangkat kepalanya yang diletakkannya di atas sebatang dahan yang menyalang dahan tempatnya duduk, namun ia telah bersiaga sepenuhnya. Apabila ada bahaya yang mendatang setiap saat, maka Empu Gandring telah siap untuk menghadapinya. Tetapi Empu Gandring masih belum mendengar maupun melihat sesuatu yang mencurigakannya, selain kudanya yang gelisah. Dedaunan di sekitarnya seolah-olah tidur dengan nyenyaknya. Tak ada yang kelihatan bergerak atau terdengar gemerisik di antara mereka.

Meskipun demikian Empu Gandring sudah tidak lagi dapat beristirahat dengan tenang. Kudanya yang gelisah itu membuatnya gelisah pula. Yang pertama-tama mengganggu perasaannya adalah Kebo Sindet. “Mungkin orang itu akan berusaha untuk mengintai aku dan kemudian dengan diam menyerang” katanya di dalam hati, “tetapi mudah-mudahan aku cukup sadar.”

Empu Gandring kemudian tidak lagi berusaha untuk tidur. Bahkan dipasangnya segenap daya tangkapnya setajam-tajamnya. Lambat laun, maka orang tua itu berhasil mendengar sesuatu di antara dedaunan beberapa langkah dari pohon tempat ia memanjat. Suara gemersik dedaunan, tetapi bukan karena angin malam.

“Apakah ada binatang buas di dalam rimbunnya dedaunan itu” pikirnya, “apabila demikian, maka binatang itu pasti sedang mengintai kudaku. Tetapi kalau yang berada di dalam gerumbul itu Kebo Sindet, maka pasti akulah yang diintainya.”

Sejenak Empu Gandring masih tetap ditempatnya. Ia ingin mengetahui, siapakah yang berada di dalam gerumbul itu. Akhirnya ia mengambil kesimpulan, bahwa yang berada di dalam gerumbul itu pasti bukan seekor binatang buas. Apabila yang bergerak-gerak itu binatang buas yang mengintai kudanya, maka binatang itu pasti sudah merayap mendekati, karena kudanya tidak juga pergi meninggalkan tempatnya karena terikat. Tetapi yang bergerak-gerak itu masih saja berada di tempatnya, bahkan kadang-kadang Empu Gandring seakan-akan kehilangan pengamatannya, karena dedaunan itu tiba-tiba sama sekali menjadi diam.

“Baiklah,” berkata Empu Gandring di dalam hatinya, “kita saling menunggu. Manakah yang lebih sabar berada di tempatnya. Aku atau orang bersembunyi itu.”

Meskipun demikian Empu Gandring telah membetulkan letak kerisnya, dan mengikatkan kain panjangnya di lambungnya. Disingsatkannya ikat pinggangnya dan rambutnya pula. Orang tua itu kini duduk di atas sebatang dahan. Setiap saat ia dapat turun meluncur pada batang pohon, atau apabila perlu meloncat langsung turun di tanah. Tetapi ia masih belum melihat sesuatu. Namun kudanya semakin gelisah dan bahkan terdengar kuda itu beberapa kali meringkik. Tiba-tiba kuda itu melonjak, berdiri pada kaki belakang dan berputar putar sehingga tali pengikatnya menjadi semakin pendek.

Empu Gandring mengerutkan keningnya. Ternyata orang yang berada di dalam gerumbul itu sudah mulai. Kudanya menjadi ketakutan dan berusaha untuk melarikan diri. Karena itu, maka Empu Gandring tidak akan dapat tetap berada di atas dahan pohon itu saja. Ia harus segera menghadapi keadaan itu. Tetapi seandainya yang datang itu Kebo Sindet, maka ia akan berterima kasih atas kedatangannya, sehingga ia tidak lagi perlu bersusah payah mencarinya. Tetapi bagaimanakah kalau Mahisa Agni masih ditinggalkannya di seberang rawa-rawa itu?

Meskipun Empu Gandring tidak dapat meyakinkan dirinya, bahwa ia akan dapat mengalahkan Kebo Sindet, tetapi ia harus berusaha berbuat demikian untuk kepentingan kemenakannya itu. Kalau akhirnya tidak seperti yang diharapkannya, maka itu adalah akibat yang dapat saja terjadi. Namun ia percaya kepada Yang Maha Agung, bahwa akhirnya yang benar juga yang akan dilindunginya. Ketika kudanya melonjak sekali lagi, maka Empu Gandring pun segera meloncat turun. Dengan penuh kesiagaan ia berjalan mendekati kudanya. Ditangkapnya kendali kuda itu, dan dibelainya lehernya untuk menenangkannya sambil bergumam perlahan,

“Tenanglah. Tak ada bahaya yang berarti bagimu. Orang yang bersembunyi di dalam gerumbul itu pun tidak akan berbuat jahat kepadamu.”

Kuda itu pun menjadi tenang. Namun Empu Gandring masih tetap dalam kesiagaan sepenuhnya meskipun tampaknya ia acuh tak acuh saja kepada orang yang bersembunyi di dalam gerumbul itu. Tetapi Empu Gandring pun kemudian berpaling ketika ia mendengar suara dari dalam gerumbul itu, “Benar Empu, Aku memang tidak akan berbuat jahat.”

“Hem” Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam, “kenapa kau bersembunyi? Marilah kita berbicara.”

“Maaf Empu, aku tidak bermaksud bersembunyi. Aku hanya ingin supaya aku tidak mengejutkan Empu dan kuda itu. Tetapi ternyata kudamu mempunyai indera yang luar biasa tajamnya, sehingga ia menjadi gelisah.”

“Ah” Empu Gandring berdesah, “apakah kau ingin mengatakan bahwa ketajaman inderaku kalah dengan seekor kuda?”

“Eh” sahut suara itu, “jangan terlampau dalam menangkap kata-kataku. Aku sesungguhnya bermaksud baik. Tetapi aku memang tidak ingin mengganggumu. Bukankah kau ingin beristirahat?”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak peduli apakah orang yang berada di dalam kegelapan gerumbul itu melihat anggukan kepalanya atau tidak. Tetapi Empu Gandring menjadi heran ketika ternyata suara itu sama sekali bukan suara Kebo Sindet. “Apakah ada orang lain yang akan turut campur dalam persoalan ini? Mungkin Empu Sada? Tetapi suara itu pun bukan suara Empu Sada.” Katanya di dalam hati.

Tetapi bagi Empu Gandring lebih baik untuk langsung bertemu dengan orang yang bersembunyi itu dari pada ia masih harus berteka-teki. Karena itu maka katanya, “Ki Sanak. Sebaiknya Ki Sanak tidak bersembunyi saja disitu. Kemarilah, kita berbicara dengan baik apabila maksudmu benar-benar baik.”

“Baiklah Empu” sahut suara itu, “aku akan datang. Sebenarnya aku pun akan mendekat, tetapi kudamu terlampau peka terhadap suara yang bagaimanapun lirihnya.”

“Kudaku sudah tenang Ki Sanak, kemarilah.”

Meskipun percakapan itu terdengar terlampau ramah, namun Empu Gandring tidak dapat melepaskan kewaspadaannya. Bahkan kerisnya telah mapan di punggungnya. Sejenak kemudian ia melihat gerumbul itu bergerak-gerak. Ternyata orang yang ditunggunya tidak bersembunyi di dalam gerumbul, tetapi hanya berlindung di belakang. Karena itu maka suara desir dedaunan yang ditimbulkannya terlampau lemah.

“Maafkan aku Empu, apabila aku mengganggumu.”

Empu Gandring tidak segera menjawab. Dicoba mengamati orang yang baru muncul dari balik gerumbul itu. Di dalam gelap malam ia tidak segera dapat melibat dengan jelas, siapa yang berdiri dihadapannya. Tetapi sudah jelas bahwa orang itu bukan Kebo Sindet dan juga bukan Empu Sada.

Setapak demi setapak orang itu melangkah maju. Namun langkah yang setapak-setapak itu memberitahukan kepada Empu Gandring bahwa orang yang dihadapinya ini adalah seorang yang tidak kalah berbahaya dari Kebo Sindet. Tetapi orang itu berkata bahwa ia tidak akan berbuat jahat. Meskipun demikian, karena Empu Gandring tidak segera dapat mengenalnya, maka ia masih belum dapat mempercayainya.

“Kemarilah Ki Sanak” berkata Empu Gandring kemudian. Orang itu melangkah semakin dekat. Dan Empu Gandring melihat orang itu berjalan semakin lambat. “Kemarilah” panggil Empu Gandring.

“Terima kasih Empu” sahut orang itu, “mudah-mudahan aku tidak mengejutkanmu.”

“Tidak, aku tidak terkejut karena kedatanganmu. Ternyata kau mempunyai cara yang baik sekali untuk mendekati pohon ini tanpa membangunkan aku. Tetapi aku terkejut karena kudaku yang menjadi gelisah. Nah, bukankah kudaku yang tidak pernah berlatih mempergunakan daya tangkap indera yang bagaimanapun juga itu mampu berbuat melebihi aku.”

“Ah” desah orang itu, “aku memang pernah mendengar ceritera, bahwa Empu Gandring senang berkelakar. Aku gembira dapat bertemu Empu lagi kali ini. Kesempatan yang lampau terlalu sedikit untuk mendengar kelakarmu yang segar.

Empu Gandring mengerutkan keningnya. Orang itu mengenalnya dengan baik. Bahkan orang itu berkata bahwa ia pernah bertemu dengan dirinya. “Hem,” Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam, “aku sudah pikun, dan malam terlampau gelap. Tetapi bagaimana ia dapat mengenal aku?” katanya di dalam hati.

Dan kini Empu Gandring melihat orang itu berhenti beberapa langkah dari padanya. Samar-samar Empu Gandring dapat melihat garis-garis bentuknya sebagai sebuah bayangan yang hitam. Tetapi wajah orang itu masih belum dilihatnya. Akhirnya Empu Gandring terpaksa bertanya, “Siapakah kau Ki Sanak? Dan apakah maksudmu mendekati aku?”

Terdengar orang itu menarik nafas dalam-dalam. Menilik suaranya maka orang itu pun setidak-tidaknya sudah setua Empu Gandring sendiri. Perlahan-lahan orang itu berkata dalam nada yang datar, “Empu, aku ingin mencoba mencegahmu menyeberangi rawa-rawa ini.”

“He,” dada Empu Gandring berdesir, “kenapa Ki Sanak? Apakah dengan demikian aku telah mengganggumu.”

“O tidak, tidak Empu. Kau sama sekali tidak mengganggu aku. Maaf, bahwa akulah yang sebenarnya mengganggumu.”

Empu Gandring mengerutkan keningnya mendengar jawaban yang ramah sopan itu. Tetapi meskipun demikian ia masih tetap dalam kewaspadaannya. “Kalau demikian kenapa Ki Sanak berkeberatan apabila aku menyebrangi rawa-rawa ini?”

“Aku bermaksud baik Empu. Rawa-rawa ini adalah rawa yang sangat jahat. Banyak sekali tersimpan bahaya di dalamnya. Mungkin Empu akan bertemu dengan ular air hitam, mungkin buaya-buaya kerdil yang sangat buas, yang hidup di dalam air pula."

“Ya, ya. Aku mengenal jenis-jenis binatang berbisa itu.”

“Tetapi Empu tidak menyangka bahwa binatang semacam itu banyak sekali terdapat di dalam rawa-rawa itu.”

“Aku sudah melihat. Aku sudah bertemu dengan sejenis ular air hitam sebesar lenganku.”

“Nah, itu adalah suatu contoh saja. Tetapi justru yang kecillah yang lebih berbahaya, sebab Empu akan dapat melihat kedatangan binatang-binatang yang cukup besar, tetapi yang kecil-kecil kadang-kadang dapat lepas dari perhatian.”

“Terima kasih Ki Sanak. Tetapi rawa-rawa ini tidak mustahil untuk diseberangi. Ternyata Kebo Sindet dapat menyeberangi rawa-rawa ini. Coba bayangkan. Kebo Sindet yang berada di atas punggung kuda membawa serta pula di atas punggung kuda itu seorang lagi yang sedang pingsan. Berapakah kira-kira berat beban yang menekan pada ujung telapak kaki kuda itu di atas tanah di bawah air rawa-rawa ini? Ternyata beban seberat itu dapat juga lewat. Apalagi aku seorang diri, berdiri di atas telapak kakiku.”

“Empu, Kebo Sindet telah mengenal rawa-rawa ini sebaik ia mengenal dirinya sendiri. Ia tahu benar manakah tanah padas yang dapat diinjak, dan manakah tanah berlumpur yang harus dijauhinya. Tetapi Empu sama sekali belum mengenal rawa-rawa ini.”

“Tetapi Ki Sanak, ular, buaya-buaya kerdil dan kadal-kadal berbisa sama sekali tidak dapat membedakan, apakah yang lewat itu orang yang sudah mengenal tempat ini baik-baik atau bukan.”

Terdengar orang itu tertawa. Jawabnya, “Empu benar. Ular-ular air dan kadal-kadal yang buas itu tidak akan dapat mengenal apakah orang yang lewat itu sahabatnya atau bukan, tetapi Kebo Sindet lah yang telah mengenal dengan baik tiap bunyi dan gerak dari binatang-binatang berbisa itu. Bahkan orang-orang yang telah biasa dengan binatang-binatang semacam itu dapat membedakan lewat penciumannya. Kebo Sindet mengenal pula riak air rawa-rawa ini. Apakah didekatnya ada ular air atau kadal air yang sedang meluncur. Dengan demikian ia dapat menyiapkan dirinya. Cara yang paling baik adalah berdiam diri tanpa bergerak, untuk tidak menarik perhatian binatang-binatang itu.”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya, “Aku juga biasa bermain-main dengan binatang-binatang berbisa Ki Sanak. Mungkin aku akan dapat menyesuaikan diriku dengan kebiasaan binatang di dalam rawa-rawa ini.”

“O” orang itu terdiam sejenak, kemudian katanya, “ya, aku lupa bahwa aku berhadapan dengan seorang Empu keris yang kenamaan. Seorang yang pasti jauh lebih mengenal watak dari binatang-binatang berbisa daripada aku. Namun meskipun demikian, aku tetap berpendapat bahwa sebaiknya Empu mengurungkan niat untuk menyeberangi rawa-rawa ini.”

Empu Gandring tidak segera menjawab. Dicobanya untuk menatap wajah orang yang berdiri beberapa langkah dari padanya. Ia sama sekali tidak melihat sikap yang mencurigakan pada orang itu. Dan kata-katanya pun cukup sopan dan ramah. Bahkan terasa hasrat yang sebenarnya tersirat pada kata-katanya, seperti yang pernah didengarnya dari Tambi. Sejenak Empu Gandring mempertimbangkan nasehat itu. Tetapi sejenak kemudian perasaannya telah hinggap kembali kepada hasratnya untuk menolong Mahisa Agni. Ia tidak dapat berbuat lain dari menyeberangi rawa-rawa itu.

Karena itu, maka kemudian Empu Gandring itu pun berkata, “Maaf Ki Sanak, aku tidak mempunyai cara lain dari menyeberangi rawa-rawa ini. Aku harus mendatangi tempat persembunyian Kebo Sindet untuk mengambil kemanakanku itu.”

“Empu, katakan bahwa Empu dapat melawan segala macam binatang berbisa karena Empu mempunyai obat penawarnya. Tetapi berapa lama Empu memerlukan waktu untuk mencari jalan di dasar rawa-rawa itu?”

“Mungkin sehari, mungkin sebulan dan mungkin setahun. Tetapi aku bertekad untuk melakukannya.”

“Empu, aku tahu apakah yang telah mendorong Empu untuk membulatkan tekad menyeberangi rawa-rawa ini. Tetapi sebaiknya niat itu Empu urungkan saja. Kalau Empu percaya kepadaku, serahkanlah Mahisa Agni, bukankah kemanakan Empu itu bernama Mahisa Agni, itu kepadaku. Aku kira cara yang tidak terlampau mengejut akan lebih baik bagi kemanakan Empu itu, supaya Kebo Sindet tidak menjadi mata gelap dan mencelakainya. Kita mempunyai kepentingan yang sama atas anak muda itu.”

Empu Gandring terdiam sejenak. Ia mecoba mengamati bayangan yang berdiri di dalam gelapnya malam beberapa langkah dari padanya. Tetapi orang yang berdiri dalam kegelapan itu sama sekali tidak menumbuhkan kecurigaannya.

“Ki Sanak,” berkata Empu Gandring kemudian, “siapakah sebenarnya Ki Sanak itu?”

“Kau memang senang bergurau Empu.”

Sekali lagi Empu Gandring terdiam. Dicobanya mengingat orang-orang yang pernah dikenalnya. Orang-orang itu sebenarnya tidak terlampau banyak. Tetapi suara ini nadanya terlampau dalam. Empu Gandring perlahan-lahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia perlahan-lahan berhasil mengingat gaya bicara yang demikian. Tetapi nada suaranya sudah agak jauh berubah dari nada yang pernah dikenalnya. Meskipun demikian maka Empu Gandring tidak melihat orang lain yang lebih dekat dari dugaannya itu. Apalagi orang itu pulalah yang memang mempunyai kemungkinan paling besar untuk berbuat demikian. Meskipun demikian untuk meyakinkan dugaannya Empu Gandring bertanya,

“Ki Sanak. Sebaiknya Ki Sanak menolong aku. Aku memang sudah pikun. Apalagi pada saat-saat hatiku gelap seperti saat ini. Aku hampir tidak berhasil mengingat apapun lagi kecuali berangan-angan tentang rawa itu.”

“Hem” orang yang berada di dalam kegelapan itu berdesah, “apakah Empu benar-benar tidak dapat mengenal aku? Mungkin suaraku agak berubah karena keadaanku akhir-akhir ini. Aku hampir-hampir tidak pernah lagi berada di dalam lingkungan hidup sesama. Aku memang ingin mengasingkan diriku di tempat yang sepi. Mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung. Tetapi ternyata bahwa aku memang belum diperkenankan untuk tinggal berdiam diri menghadapi keadaan lahir yang penuh dengan noda-noda yang hitam. Kalau sekali-kali aku melihat keadaan Mahisa Agni, maka suatu kali aku melihat hal-hal yang tidak wajar yang dapat membahayakan jiwanya. Itulah sebabnya aku terpaksa wudar dari pengasinganku untuk membayanginya. Tetapi ternyata aku tidak mampu mencegah semuanya yang telah terjadi. Bahkan aku sama sekali tidak berbuat sesuatu. Ternyata Empu Gandring lebih cepat berbuat dari padaku. Namun Empu Gandring pun telah gagal untuk mencegah Kebo Sindet membawanya. Tetapi, itu bukan salah Empu. Empu telah berbuat apa saja yang dapat Empu lakukan karena Mahisa Agni adalah kemanakan Empu. Namun ternyata Mahisa Agni sampai kini masih belum dapat diketemukan.”

Empu Gandring memandang bayangan itu semakin tajam. Ia semakin dapat mengenal gaya bicara orang itu. Bahkan beberapa kali ia menangkap kepastian, siapakah yang sedang berbicara itu. Tetapi Empu Gandring itu masih bertanya, “Ki Sanak. Aku tidak bergurau. Aku tidak segera dapat mengenal Ki Sanak. Aku hanya dapat menduga-duga. Mungkin Ki Sanak sengaja merubah suara Ki Sanak dalam nada yang berbeda. Sedang bentuk wajah Ki Sanak di dalam kegelapan tidak dapat aku lihat dengan jelas. Apakah aku dapat melangkah mendekat?”

“Empu” jawab orang itu, “sebenarnya aku sudah memutuskan untuk mengasingkan diri. Aku lebih baik tidak lagi berhubungan dengan siapa pun kecuali Mahisa Agni dalam hubungannya untuk melepaskan dari tangan Kebo Sindet.”

“Tetapi sikap Ki Sanak semakin meyakinkan aku, dengan siapa aku berhadapan.”

“Aku sudah menyangka bahwa Empu dapat mengenal aku. Tetapi baiklah kita untuk seterusnya tidak usah bertemu lagi. Sebaiknya Empu kembali ke Lulumbang. Mungkin Empu dapat singgah sebentar di Karautan, untuk memberitahukan bahwa seseorang sedang berusaha melepaskan Mahisa Agni apabila berhasil.”

“Tetapi aku harus mendapat suatu keyakinan bahwa orang yang mengatakan dirinya bersedia melepaskan Mahisa Agni, setidak-tidaknya berusaha melepaskannya adalah seorang yang dapat aku percaya.”

“Bukankah Empu telah mengetahui, siapakah yang menyatakan dirinya akan berusaha melepaskannya?”

Empu Gandring mengangguk anggukkan kepalanya. “Kenapa kau begitu jauh mengasingkan dirimu?” tiba tiba Empu Gandring bertanya.

“Tak ada lagi gairah hidupku kini, selain melepaskan Mahisa Agni itu. Sesudah itu, sesudah aku berhasil melepaskannya, maka aku tidak akan dapat ditemui lagi oleh siapapun.”

“Apakah semula kau ingin mcnyembunyikan dirimu dalam pertemuan ini?”

“Sebenarnya, tetapi aku tidak akan dapat memberi Empu kepercayaan, apabila Empu tidak mengenal aku.”

Empu Gandring mengangguk-angguk pula. Perlahan-lahan ia ia menarik nafas dalam-dalam sambil bertanya, “Bagaimana Ki Sanak akan dapat menyeberangi rawa-rawa ini?”

“Aku seorang perantau Empu. Hidupku, apalagi akhir akhirnya ini sebagian besar adalah di dalam perjalanan. Aku menjajagi rawa-rawa ini bukan hanya karena Mahisa Agni. Tetapi sebelumnya aku pernah melihat Kebo Sindet menyeberangi rawa-rawa ini sambil membawa barang yang berhasil dirampasnya. Aku tidak hanya melihatnya satu dua kali. Tetapi beberapa kali bersama Wong Sarimpat. Maka pada suatu kali tumbuhlah keinginanku untuk mengikutinya. Tentu saja dengan sangat hati-hati. Akhirnya aku menemukan jalan juga untuk sampai ke seberang rawa-rawa.”

Empu Gandring mengerutkan keningnya. Tiba tiba ia berkata, “Apakah kita tidak dapat bersama sama pergi keseberang rawa-rawa itu dan mengambil Mahisa Agni dengan kekerasan?”

“Mungkin kita berdua akan dapat mengalahkan Kebo Sindet” jawab orang itu, “tetapi hal itu akan sangat berbahaya bagi Mahisa Agni. Kebo Sindet akan dapat mempergunakan Mahisa Agni sebagai alat untuk menyelamatkan diri atau bahkan membunuh anak muda itu sama sekali.”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Jadi bagaimanakah sebaiknya?”

Sejenak orang yang berdiri di dalam kegelapan itu tidak menjawab, sehingga mereka dicengkam oleh kediaman. Masing-masing mengikuti arus pikiran sendiri. Angin malam yang basah bertiup perlahan-lahan menggerakkan dedaunan yang hijau. Batang-batang pohon bergerak seperti hantu-hantu yang sedang menari-nari dengan malasnya. Sekali-sekali kuda Empu Gandring menggaruk-garukkan kakinya yang digigit oleh nyamuk-nyamuk yang besar. Di langit bintang bergayutan seperti ditaburkan di wajah yang biru pekat. Dari sela-sela dedaunan yang jarang bintang-bintang itu mengintip air rawa-rawa yang pekat berlumpur.

Ketika dikejauhan terdengar suara anjing liar menggonggong maka bertanyalah Empu Gandring mengulang, “Jadi bagaimanakah sebaiknya?”

“Sebaiknya Empu pulang ke Lulumbang. Akulah yang akan mengusahakan agar Mahisa Agni dapat lepas dari tangan Kebo Sindet dengan bahaya yang sekecil-kecilnya bagi anak muda itu sendiri.”

“Aku akan tinggal di sini bersamamu.”

Orang itu tertawa perlahan-lahan. Jawabnya, “Jangan Empu. Semakin banyak orang disini, Kebo Sindet akan semakin cepat mengetahui bahwa ia sedang diintai. Karena itu percayakanlah Mahisa Agni itu kepadaku.”

Empu Gandring termenung sejenak. Ia percaya kepada orang itu. Tetapi apakah ia mampu berbuat demikian? Dirinya sendiri sedang mencobanya pula, tetapi belum berhasil. Dan bagaimanakah dengan orang itu? Tetapi selayaknyalah ia mempercayainya. Kesungguhan dan ketekunannya pasti akan dapat dipertaruhkan.

“Apakah Empu percaya kepadaku?”

Empu Gandring mengangguk, “Ya. Aku percaya.”

“Kalau begitu Empu dapat segera meninggalkan tempat ini.”

Sekali lagi Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya, “Sekarang, malam ini juga?”

Orang itu tertawa. Jawabnya, “Terserah kepadamu Empu. Sekarang atau nanti atau besok sesudah matahari terbit.”

Empu Gandring pun tertawa pula. Meskipun hatinya masih dipenuhi oleh kecemasan tentang nasib kemenakannya, namun kesanggupan orang itu telah memberinya sedikit ketenteraman. Karena itu maka Empu Gandring itu pun kemudian berkata, “Baiklah. Besok aku akan pergi meninggalkan tempat yang penuh dengan nyamuk-nyamuk yang buas ini.”

“Aku percaya ke padamu. Aku akan kembali ke Lulumbang dan aku akan singgah ke Padang Karautan. Memberitahukan kepada orang-orang Panawijen dan para Prajurit Tumapel yang ikut serta dalam pembuatan bendungan itu, supaya mereka menunggu Mahisa Agni dengan sabar. Begitu?”

“Ya Empu.” sahut orang itu perlahan-lahan dalam nada yang dalam, “seterusnya aku mengucapkan terima kasih ke padamu atas kepercayaan itu. Hati-hatilah. Disini bukan saja nyamuk-nyamuk dan Kebo Sindet yang cukup buas, tetapi juga anjing-anjing liar di malam hari cukup berbahaya bagi kudamu.”

“Terima kasih atas peringatanmu. Mudah-mudahan anjing-anjing itu tidak datang kemari kali ini.”

“Nah Empu” berkata orang itu kemudian, “aku sudah cukup lama bercakap-cakap dengan Empu. Baiklah sekarang aku pergi. Aku masih mempunyai beberapa kepentingan.”

“Malam begini?” bertanya Empu Gandring.

“Ya. Tetapi kepentingan yang sebenarnya tidak penting.”

“Baiklah. Aku akan selalu berdoa mudah-mudahan kau berhasil melepaskan anak itu. Sampaikan pesanku kepadanya, apabila ia sempat, supaya segera pergi ke Lulumbang. Sebelum aku melihatnya, maka aku masih akan selalu diganggu oleh kegelisahan. Mudah-mudahan usaha itu segera berhasil.”

“Mudah-mudahan.” desis orang itu, yang kemudian disambungnya, “Selamat malam Empu. Mungkin kita tidak akan bertemu lagi.”

“Ah, jangan begitu. Tak akan ada pengasingan diri yang mutlak.”

“Ah, kenapa tidak ada?”

“Itu menyalahi kuwajiban kita diantara sesama. Kebajikan hanya ada di antara sesama.”

“Kau benar Empu. tetapi dosa pun akan mudah tumbuh di dalam lingkungan sesama. Betapa sudah besar dosaku. Apakah aku masih harus menambah lagi?”

“Kesadaran dan pengendalian diri akan mengekang segala perbuatan.”

“Aku kira aku sudah cukup lama hidup di dalam lingkungan sesama. Aku ingin menemukan kejernihan hati. Aku ingin melihat diri betapa dosaku telah bertimbun.”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia mempunyai pendirian yang agak berbeda, tetapi ia tidak membantah lagi.

“Sampaikan salamku kepada siapa saja yang pernah mengedal aku Empu. Aku minta maaf atas segala kesalahan dan kekeliruan yang pernah aku lakukan atas mereka."

“Baiklah” jawab Empu Gandring, “tetapi percayalah, bahwa tidak akan ada pengasingan yang mutlak.”

Orang itu tertawa. Kemudian perlahan-lahan ia melangkah surut. Ketika orang itu berbalik dan melangkah beberapa langkah menjauh, maka orang itu seakan-akan hilang ditelan gelapnya malam. Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia masih saja berdiri memandangi arah orang itu menghilang.

“Hem, begitu besar tekadnya. Tetapi pengasingan diri bukanlah suatu penyelesaian yang baik. Namun aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan apabila aku mengalaminya?” desisnya lambat.

Empu Gandring itu tersadar ketika ia mendengar kudanya meringkik kecil. Perlahan-lahan dibelainya suri kuda itu sambil berbisik, “Besok kita pulang. Aku percaya bahwa Mahisa Agni akan mendapat pertolongan. Sudah terlampau lama aku meninggalkan Lulumbang, Perjalanan ini menjadi pengalaman yang menarik bagiku.”

Meskipun kuda Empu Gandring tidak dapat menjawab. tetapi tatapan matanya seakan-akan dapat mengerti kata-kata orang tua itu.

“Kita masih mempunyai waktu sedikit” berkata Empa Gandring seterusnya, “kita menunggu fajar, supaya kita dapat melihat jalan yang kita lalui dengan baik.”

Sejenak kemudian, setelah Empu Gandring mengendorkan kembali tali kudanya yang melingkar-lingkar pada pohon tambatannya, maka ia pun memanjat pohon itu lagi. Ia masih akan mempergunakan waktu yang tersisa sebelum fajar untuk beristirahat. Namun kini ia tidak lagi dapat melupakan persoalannya. Kadang-kadang hatinya masih disentuh olah keragu-raguan. Apakah Mahisa Agni akan berhasil dibebaskan?

“Tetapi aku percaya kepadanya” desisnya untuk mencoba menemtramkan hatinya. Namun sampai cahaya fajar yang kemarah-merahan membayang di Timur, Empu Gandring tidak lagi dapat mcmejamkan matanya sama sekali. Tetapi dengan demikian terasa tubuhnya telah menjadi agak segar, meskipun lehernya juga kering.

Ketika kemudian langit menjadi semakin terang, Empu Gandring telah siap di punggung kudanya. Sejenak kemudian kuda itu pun meluncur meninggalkan hutan yang tidak terlampau lebat itu, namun digenangi oleh rawa berlumpur yang penuh dengan bermacam binatang air. Dilaluinya padang rumput yang tidak terlampau luas dan didakinya beberapa puncak-puncak kecil dari bukit-bukit gundul yang berpadas-padas dilumuri oleh lumpur pula. Tetapi Empu Gandring tidak menuju ke Kemundungan. Kudanya segera menempuh jalan kembali ke Padang Karautan. Berbagai macam pikiran berkecamuk di kepala orang tua itu. Ia masih belum dapat melepaskan keragu-raguannya sama sekali. Tetapi ia selalu berdoa, semoga usaha yang dilakukan untuk melepaskan Mahisa Agni segera berhasil.

Perjalanan yang ditempuh oleh Empu Gandring ternyata tidak mengalami kesulitan. Sekali-sekali ia berhenti untuk mencari air. Bukan saja untuk minum kudanya, tatapi untuk minumnya sendiri pula. Kemudian sesudah itu, ia langsung menuju ke Padang Karautan. Kudanya berlari tidak terlampau cepat, tetapi juga tidak terlampau lamban. Dilaluinya jalan berbatu-batu, padang-padang perdu dan kemudian dimasukinya Padang Karautan yang kering. Sinar matahari yang terlampau tinggi terasa menyengat kulit. Debu yang beterbangan dilemparkan oleh kaki-kaki kuda hinggap pada tubuh yang basah oleh keringat...

Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 28

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 28
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

KUDA SEMPANA itu berpaling ketika ia melihat Kebo Sindet menarik nafas dalam-dalam. Anak muda itu menjadi heran ketika ia melihat dahi Kebo Sindet itu menjadi berkerut-merut. Wajah itu hampir selamanya membeku. Agaknya masalah Mahisa Agni itu benar-benar menegangkan urat syarafnya.

“Kuda Sempana” Kebo Sindet itu tiba-tiba memanggilnya,, “lihat dadanya mulai bergerak.”

Kuda Sempana menganggukkan kepalanya.

“Kau lihat dada itu?” bertanya Kebo Sindet pula,, “aku mengharap bahwa bagian-bagian badannya masih cukup baik. Untunglah bahwa daya tahan tubuhnya benar-benar luar biasa. Orang-orang lain pasti sudah mengalami banyak kerusakan apabila mengalami keadaan seperti Mahisa Agni. Ia terlalu lama berada dalam keadaan tidak menyadari dirinya meskipun jantungnya tetap berdetak. Meskipun demikian, akibat dari keadaan ini akan ditanggung oleh Mahisa Agni untuk waktu yang cukup lama. Kau harus telaten memeliharanya sampai ia sembuh benar. Setiap kali aku pergi, kau harus merawatnya. Jangan kau bunuh dia tanpa ijinku lebih dahulu, supaya kau tidak aku bunuh pula.”

Dada Kuda Sempana berdesir, tetapi ia tidak menjawab.

“Kalau ia sudah sembuh benar-benar, nah, kau dapat berbuat sekehendakmu atasnya. Anak itu akan aku ikat pada pohon Randu Alas itu. Lalu kau boleh berbuat sesuka hatimu atasnya, untuk membalas sakit hatimu. Tetapi anak ini harus sembuh lebih dahulu.”

Sekali lagi Kuda Sempana mengangguk. Tetapi hatinya masih saja selalu bertanya-tanya. “Sesungguhnya buat apa Kebo Sindet bersusah payah mengobatinya. Mungkin juga untuk melakukan pemerasan atau apapun. Akan tetapi perbuatan itu benar-benar tidak pantas dilakukan. Disembuhkannya Mahisa Agni dari sakit dan penderitaan badaniah untuk kemudian mengalami penderitaan badaniah yang lain. Bahkan mungkin penderitaan batin untuk sepanjang umurnya.”

Sementara itu wajah Kebo Sindet pun menjadi semakin kendor ketika ia melihat tubuh Mahisa Agni mulai dialiri oleh udara yang hangat. Perlahan-lahan Kebo Sindet melihat anak muda itu menggerakkan kepalanya. Perlahan-lahan sekali. Namun itu adalah pertanda yang menyenangkan bagi Kebo Sindet, pertanda bahwa Mahisa Agni masih dapat dibangunkannya kembali.

“Lihat Kuda Sempana” berkata Kebo Sindet, “anak ini akan segera menyadari keadaannya. Tetapi ia akan menjadi sangat lemah. Ia akan memerlukan waktu dua atau tiga minggu untuk memulihkan kembali tenaganya.”

Kini Kuda Sempana pun memperhatikan keadaan Mahisa Agni itu. Ia melihat anak muda itu mulai menggerakkan tubuhnya. Tangannya dan kakinya.

“Bagus” Kebo Sindet berkata lantang, “aku berhasil.”

Kemudian dilumurkannya air sisa dari larutan obat yang diminumkannya kepada Mahisa Agni itu pada bagian-bagian kaki dan tangannya, sehingga terasa tubuh itu menjadi semakin hangat.

Sementara itu, di Kemundungan, Empu Gandring menunggu kedatangan Kebo Sindet di belakang gerumbul yang agak rimbun. Dari tempatnya itu, ia akan dapat melihat apabila seseorang memasuki lingkungan rumah Kebo Sindet itu. Tetapi sudah begitu lama ia menunggu, namun yang ditunggunya masih juga belum tampak datang.

“Gila benar Kebo Sindet” desahnya, “aku akan menunggu sampai malam. Sampai tengah malam.”

Dan Empu Gandring kemudian duduk bersandar sebatang pohon. Dengan gelisah diikutinya matahari yang merayap dengan lambannya menuju ke Barat, ke balik punggung gunung. Namun sampai matahari kemudian terbenam, Kebo Sindet dan Kuda Sempana tidak juga kunjung datang.

“Baiklah” desahnya, “aku akan menunggu di sini sampai kau datang.”

Tetapi yang ditunggunya tidak juga kunjung datang, sehingga begitu lelahnya maka Empu Gandring itu pun ingin untuk tidur sejenak sambil memanjat pohon. “Tak seorang pun yang akan melihat aku di sini. Mudah-mudahan kudaku pun cukup terlindung juga.”

Kemudian, pada sebuah dahan yang kuat, maka Empu Gandring itu pun menyandarkan diri untuk sejenak beristirahat. Ketika Empu Gandring itu tersadar, maka disekitarnya adalah gelap gulita. Hanya di langit dapat dilihatnya bintang gemintang berhamburan.

“Hem” orang tua itu menghela nafas. Ia masih mendengar dengus nafas kudanya. Tetapi ketika ia memandangi gubug Kebo Sindet maka gubug itu masih juga sepi dan gelap. Tetapi apa yang dilihatnya itu belum memberinya keyakinan. Perlahan-lahan ia turun, dan dengan hati-hati didekatinya gubug itu. Namun gubug itu masih juga kosong.

“Apakah ia tidak kembali kerumahnya?” desisnya. Orang tua itu pun menjadi semakin gelisah. Kalau Mahisa Agni tidak dibawanya kemari, maka sangatlah sulit baginya untuk menemukannya dalam keadaan hidup.

“Apakah Kebo Sindet bersembunyi di belakang rawa-rawa itu?” katanya di dalam hati. Tetapi jawaban atas pertanyaan itu adalah kegelisahan yang menjadi semakin memuncak.

Tetapi Empu Gandring masih menyabarkan dirinya. Betapa ia menjadi gelisah dan cemas, namun orang tua itu tidak segera mau meninggalkan gubug itu. Dengan kesal ia kembali ketempatnya bersembunyi, memanjat sebatang pohon dan mencoba untuk menenangkan hatinya, beristirahat mengurangi lelahnya.

Tetapi hampir setiap saat Empu Gandring menyadari keadaannya. Didengarnya di Pedukuhan kecil yang bernama Kemundungan ayam jantan berkokok untuk yang pertama kalinya. Didengarnya ratapan burung hantu dikejauhan, seperti keluh kesah seorang yang kehilangan anaknya. Didengarnya anjing-anjing liar berteriak mengerikan, sahut menyahut di atas bukit gundul. Dan didengarnya pula kokok ayam untuk yang kedua kalinya. Empu Gandring tidak lagi dapat tidur sekejap pun. Bahkan ia menjadi ngeri mendengar salak anjing-anjing liar sahut-menyahut.

“Ternyata bukit gundul itu menyimpan bahaya yang sempurna” desisnya ”iblis dari Kemundungan dan anjing-anjing liar itu. Keduanya sama-sama berbahaya bagiku.”

Tetapi meskipun kemudian ayam berkokok untuk ketiga kalinya, dan bayangan merah telah memancar di ujung Timur, namun Empu Gandring masih tetap menunggu, kalau-kalau tiba-tiba Kebo Sindet dan Kuda Sempana muncul dari dalam gelap membawa Mahisa Agni.

“Aku menyesal telah melepaskannya” gumam Empu Gandring seorang diri. Kenapa aku tidak menahannya? Ternyata Kuda Sempana telah mengelabui perhitunganku. Aku sangka Kuda Sempana berbuat untuk gurunya." Ketika Kemudian matahari menjenguk dari balik-balik dedaunan di ujung Timur, maka Empu Gandring menjadi tidak bersabar lagi.

“Aku tidak dapat tinggal di sini menunggu Kebo Sindet yang tidak kunjung datang” katanya, “aku harus mencarinya.”

Empu Gandring pun kemudian meloncat turun. Dibenahinya pakaiannya dan dihampirinya kudanya. Desisnya, “Kita akan berjalan lagi. Aku tidak tahu, sampai kapan aku akan berhenti. Mudah-mudahan kita tidak sama-sama menjadi lelah. Bukankah kau telah makan sekenyang-kenyangmu?”

Kudanya seakan-akan dapat memahami kata-kata Empu Gandring. Tetapi kuda itu tidak dapat bertanya, “Apakah kau sudah makan pula Empu?”

Untunglah, bahwa Empu Gandring telah membiasakan dirinya untuk tidak menyentuh makanan sampai beberapa hari, sehingga karena kebiasaan itu, ia menjadi sangat tahan untuk menahan lapar dan dahaga. Ketika terpandang oleh Empu Gandring tidak jauh dari tempat itu pedukuhan kecil yang hijau, yang bernama Kemundungan, maka timbullah keinginannya untuk memasukinya. Mungkin di sana ia akan mendapat keterangan tentang Kebo Sindet atau Kuda Sempana. Mungkin orang-orang itu melihat atau pernah mendengar dimana Kebo Sindet sering bersembunyi apabila ia tidak kembali ke gubugnya, atau barangkali Kebo Sindet mempunyai rumah yang lain selain rumahnya itu.

Dengan demikian maka Empu Gandring itu pun segera meloncat ke punggung kudanya dan kudanya itu pun kemudian berlari ke Kemundungan. Tetapi kuda itu tidak berlari terlampau kencang. Empu Gandring tidak ingin membuat orang-orang Kemundungan menjadi terkejut karenanya. Ketika Empu Gandring memasuki pedukuhan itu, maka segera ia mengetahui bahwa padukuhan itu adalah pedukuhan yang sangat miskin. Tanahnya yang subur tidak cukup luas untuk dapat memberi mereka makan secukupnya. Meskipun ada juga daerah-daerah yang dapat ditanami pada musim hujan, tetapi hasilnya tidak cukup memuaskan. Pedukuhan itu hampir-hampir dikitari oleh bukit-bukit gundul yang tandus.

“Aneh” gumam Empu Gandring, “ada juga orang yang kerasan tinggal di daerah seperti ini. Kalau mereka mau pindah ke daerah Lulumbang, maka di sana akan dapat digarap tanah persawahan yang cukup baik dibandingkan dengan tanah yang cengkar ini. Kenapa mereka tidak berusaha seperti orang-orang Panawijen, membuat bendungan atau apapun yang dapat mengairi tanah di sekitar padukuhan ini, atau pindah berpencaran mencari tempat-tempat baru yang lebih baik?”

Pertanyaan itu telah menyertainya memasuki padesan itu semakin dalam. Dilewatinya lorong-lorong sempit di antara rumah-rumah kecil dari bambu beratap ilalang. Halaman-halaman berpagar batu yang dilekatkan dengan tanah yang agak liat. Sekali-kali Empu Gandring melihat seorang dua orang menjengukkan kepalanya lewat pintu-pintu yang sudah terbuka, tetapi kepala-kepala itu pun segera lenyap kembali di balik dinding.

“Aku harus menemukan rumah tetua padesan ini” desis Empu Gandring seorang diri, “mungkin seorang buyut, atau mungkin seorang yang sekedar dianggap tertua di padukuhan ini.”

Tetapi Empu Gandring tidak menemukan seorang pun yang dapat ditanyainya. Namun akhirnya orang itu menemukan sebuah rumah yang agak lebih baik dari rumah-rumah di sekitarnya. Agak lebih besar dan halamannya agak lebih luas. Pada dinding halaman depan didapatinya sebuah regol yang sangat sederhana, bahkan telah agak condong terdesak oleh umur.

“Aku harus mendapatkan seseorang yang dapat aku ajak berbicara. Mungkin di dalam rumah ini.”

Empu Gandring itu pun kemudian turun dari kudanya dan dituntunnya kudanya memasuki halaman rumah itu. Dengan hati-hati diamatinya segenap bagiannya. Sudut-sudut halaman dan setiap pepohonan. Ternyata di halaman itu pun tumbuh berbagai macam tumbuh-tumbuhan liar yang tidak terpelihara.

“Apakah aku salah masuk?” katanya di dalam hati, “tetapi rumah ini adalah rumah yang terbaik yang terdapat di padesan ini.”

Kemudian Empu Gandring itu pun menambatkan kudanya. Mengingsar sedikit keris di punggungnya, dan kemudian perlahan-lahan berjalan ke arah pintu yang hanya terbuka sedikit. Sampai di muka pintu, Empu Gandring itu menjadi ragu-ragu . Tetapi ia tidak mempunyai cara lain untuk mengetahui serba sedikit tentang padukuhan itu, bahkan apabila mungkin mengenai Kebo Sindet dan kebiasaan-kebiasaannya.

Maka Empu Gandring itu pun kemudian melangkah semakin dekat, dan dengan perlahan-lahan mengetuk pintu rumah itu. Sekali dua kali, tak ada jawaban dari dalam. Tetapi ketika Empu Gandring mengetuk semakin keras, maka terdengar suara orang membentak dari dalam, “He, siapa itu?”

Empu Gandring terkejut mendengar jawaban yang sama sekali tidak disangkanya. Dari lontaran suaranya maka Empu Gandring sudah menduga bahwa orang itu sama sekali bukan orang yang ramah.

“Siapa he?” terdengar teriakan itu lagi.

“Aku” sahut Empu Gandring.

“Aku siapa he, apakah kau tidak mempunyai nama?”

Empu Gandring menarik nafas. Orang apakah yang sedang dihadapinya kini? “Aku, Empu Gandring” terpaksa ia menjawab.

“Empu Gandring” suara itu mengulangi, “aku belum pernah mengenal namamu. Apakah kau bukan orang Kemundungan?”

“Bukan. Aku bukan orang Kemundungan.”

“Persetan dengan kau. Agaknya kau belum mengenal daerah ini.”

Empu Gandring tidak menjawab lagi. Tetapi kata-kata terakhir orang di dalam rumah itu menarik perhatiannya. Sesaat kemudian ia melihat seorang yang bertubuh tinggi kekar muncul dari dalam rumah itu. Wajahnya yang keras dan pandangan matanya yang penuh mengandung kecurigaan, sama sekali tidak menyenangkan Tetapi Empu Gandring tidak mau berprasangka, meskipun ia tidak meninggalkan kewaspadaan.

Dengan tajamnya orang itu memandangi Empu Gandring dari ujung jari kakinya sampai keujung rambutnya yang telah menjadi dua warna. Seolah-olah orang itu keheranan, bahwa dihadapannya berdiri seorang tua yang bernama Empu Gandring. “Kaukah yang menyebut dirimu Empu Gandring?”

“Ya, Ngger” jawab Empu Gandring.

“Umurku hampir setua umurmu. Kau panggil aku dengan panggilan itu?”

“Eh, Benarkah? Maaf” sahut Empu Gandring, “kalau begitu kau benar-benar awet muda. Aku sangka umurmu sebaya dengan umur anakku wuragil.”

“Persetan. Aku tidak peduli. Tetapi apa maumu datang kemari. Apa lagi kau berani memasuki daerah Kemundungan dengan membawa senjata, seolah-olah kau laki-laki sendiri di muka bumi ini.”

“O, maafkan aku adi” berkata Empu Gandring, “tetapi sebenarnya senjataku sama sekali tidak berarti. Aku membawanya sebagai kawan dalam perjalanan apabila aku melewati hutan ilalang, supaya aku mempunyai alat untuk menebasnya.”

Sejenak orang itu berdiam diri. Tapi matanya tidak berkedip memandang hulu keris Empu Gandring yang mencuat dari balik punggungnya. Namun orang itu kemudian berkata, “Aku tidak peduli pada macam senjatamu, tetapi kedatanganmu kedaerah ini dengan senjata itu akan membahayakan nyawamu.”

“Kenapa?” bertanya Empu Gandring.

“Buang saja senjatamu itu ke dalam jurang di pinggiran desa ini. Kemudian pergilah meninggalkan Kemundungan. Jangan kembali lagi, supaya kau tidak diterkam anjing hutan.”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya, “Bukankah senjata ini betapapun jeleknya, akan berguna bagi keselamatanku apabila aku bertemu dengan anjing hutan?”

“Tak ada gunanya. Anjing itu tidak hanya satu. Tidak hanya sepuluh. Bahkan tidak hanya lima belas.”

“Apalagi kalau aku tidak bersenjata” potong Empu Gandring.

“Persetan” teriak orang itu, “tetapi buang senjatamu.”

“Anjing-anjing hutan tidak akan dapat membedakan, apakah seseorang bersenjata atau tidak.”

“Bodoh kau” orang itu semakin berteriak. Ternyata teriakkannya telah didengar oleh beberapa orang tetangganya, yang kemudian menjenguk dari pintu rumahnya atau bahkan keluar halaman melihat apa yang terjadi, “Bahaya yang dapat menerkam nyawamu bukan saja anjing-anjing hutan itu.”

Dahi Empu Gandring itu pun berkerut. Tetapi ia mencoba menghilangkan setiap kesan yang dapat ditangkapnya dari mulut orang itu di wajahnya. Bahkan ia bertanya, “Bukan saja dari anjing hutan itu? Lalu dari siapa lagi.”

“Persetan. Dari setan belang atau dari hantu tetekan. Tetapi bahaya itu akan menerkammu dari segenap arah.”

“Tetapi aku selamat sampai ke tempat ini.”

“O, alangkah bodohnya kau. Alangkah bodohnya kau” orang itu pun berteriak keras-keras, tetapi tiba-tiba suaranya menurun perlahan, tetapi masih juga tajam, “Kau bodoh. Adalah kebetulan bahwa kau selamat sampai padesan ini, meskipun kau bersenjata. Tetapi senjatamu itu justru berbahaya bagimu. Kau dengar.”

“Ya, ya aku dengar” sahut Empu Gandring. Tiba-tiba kesannya terhadap orang itu pun berubah. Orang itu memang seorang yang kasar dan sama sekali tidak ramah. Tetapi maksudnya memberitahukan kepadanya adanya bahaya yang mengancamnya itu benar-benar di luar dugaanya. Ternyata orang itu adalah orang yang baik. Tetapi maksud yang baik itu diungkapkannya dengan caranya yang kasar dan tidak menyenangkan.

“Kalau kau tidak bersenjata” berkata orang itu, “mungkin kau akan keluar dengan selamat dari daerah ini. Tetapi kalau masih juga kau bawa kerismu yang besar dan yang kecil itu. maka bangkaimu tidak akan dapat diketemukan kembali. Bangkaimu akan dicincangnya sampai lumat untuk memberi makan anjing-anjing hutan agar mereka tidak mengganggu ternak padesan ini yang tak seberapa jumlahnya.”

Tetapi dengan demikian Kemendungan menjadi semakin menarik bagi Empu Gandring. Empu Gandring masih juga berdiam diri, tegak pada tempatnya. Tanpa sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepala. Samar-samar ia dapat meraba, apakah sebabnya orang itu berkeras mengusirnya dan bahkan menyuruhnya membuang senjatanya. Orang itu sama sekali tidak ingin merampas apalagi memiliki senjata itu. Tidak pula karena ia ingin mencelakainya. Tetapi bahkan sebaliknya. Orang yang kasar itu ingin menyelamatkannya.

“He” bentak orang itu, “kenapa kau berdiri saja seperti patung. Apakah kau menunggu nyawamu dicabut dari tubuhmu?”

“Tidak Ki Sanak” sahut Empu Gandring, “aku dapat mengerti maksudmu. Karena itu aku mengucapkan terima kasih. Tetapi adi tidak usah mencemaskan nasibku. Aku akan mencoba untuk menyelamatkan diriku sendiri.”

“O, kau benar-benar orang gila. Aku bisa memaksamu. Mengambil senjatamu dan membuangnya jauh-jauh.”

Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Memang di sepanjang hidupnya ia sering menjumpai orang-orang yang demikian. Orang yang bermaksud baik, tetapi caranya benar-benar tidak dapat dimengerti. Seperti kanak-kanak yang tidak ingin melihat adiknya terperosok ke dalam kubangan. Untuk mencegahnya, kadang-kadang adiknya itu pun dipukulinya. Meskipun maksudnya baik, tetapi adik itu menangis sejadi-jadinya.

“Apakah kau tuli” teriak orang kasar itu.

“Baiklah Ki Sanak. Aku akan menurut seperti yang kau nasehatkan itu. Tetapi apakah adi dapat memberitahukan kepadaku, apakah sebabnya maka aku harus berbuat demikian.”

“Tutup mulutmu” bentak orang itu, “jangan terlampau banyak bicara. Kau hanya dapat melakukannya.”

“Bukankah lebih baik bagiku apabila aku melakukan sesuatu dengan pengertian yang baik. Bukan sekedar melakukannya tanpa mengetahui maksudnya.”

Ternyata orang yang bertubuh kekar itu tidak dapat lagi mengendalikan kemarahannya. Dengan serta-merta ia meloncat dan langsung menampar wajah Empu Gandring. Empu Gandring adalah orang yang hampir mumpuni akan ilmu kanuragan. Ia melihat gerak orang itu. Ia mengerti apa yang akan dilakukan. Tetapi Empu Gandring itu tidak beranjak dari tempatnya. Dibiarkannya tangan orang itu mengenai wajahnya yang sudah mulai berkerut-merut dilukisi oleh garis-garis umur.

Pada saat tangan orang itu sudah hampir menyentuh wajahnya, barulah Empu Gandring menggerakkan kepalanya, searah dengan gerak tangan orang itu. Meskipun tangan orang itu merasa mengenai wajah Empu Gandring, tetapi Empu Gandring hampir-hampir tidak merasakan sentuhan itu, seperti yang sudah di perhitungkannya. Namun Empu Gandring itu pun melangkah surut sambil berdesak pendek.

“Jangan adi.”

“Kau tidak mau mendengar kata-kataku” teriak orang kasar itu, “aku harus memaksamu. Kalau perlu, akulah yang akan membunuhmu.”

Empu Gandring tahu benar, bahwa orang itu hanya menakut-nakutinya. Tetapi ia memerlukan keterangan tentang Kebo Sindet segera. Karena itu, maka ia harus segera pula mendapat kesempatan bertanya. Maka orang tua itu tidak banyak lagi mempunyai waktu untuk melayaninya. Ia harus langsung mendapat jalan untuk mendapatkan beberapa keterangan tentang iblis Kemundungan. Maka katanya, “Adi. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih. Aku tahu bahwa kau ingin menyelamatkan aku dari tangan orang yang barangkali ditakuti di daerah ini, bukankah begitu?”

Orang itu telah mengangkat tangannya kembali, tetapi Empu Gandring mencegahnya, “Jangan Ki Sanak. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang terakhir.”

“Itu bukan urusanmu. Pergi atau kau mati di Kemundungan. Kau telah memasuki daerah ini dengan membawa senjata. Hanya akulah yang boleh bersenjata di daerah ini meskipun bukan atas kehendakku sendiri. Aku harus membunuh setiap orang asing yang aku curigai, apalagi yang membawa senjata. Tetapi lebih baik bagimu untuk segera pergi dan jangan mencoba kembali. Jangan bertanya lagi. Kalau kau bertanya lagi, aku akan memukul mulutmu sampai hancur.”

“Baik” berkata Empu Gandring, “Aku tidak akan bertanya, tetapi aku akan menebak. Tunggu, jangan terlampau lekas marah. Bukankah menebak berbeda dengan bertanya? Nah, bukankah kau harus berbuat demikian itu karena di sebelah padesan ini, di lereng bukit gundul tinggal orang-orang yang bernama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat?”

Wajah orang itu tiba-tiba menegang. Sejenak ia berdiri diam tanpa mengucapkan jawaban. “Kebo Sindet dan Wong Sarimpat ingin merahasiakan dirinya sejauh-jauh mungkin. Kau, yang agaknya orang terkuat di Kemundungan, harus membantunya. Kalau tidak maka kau sendiri akan mengalami bencana. Bukankah begitu? Aku tidak bertanya, aku hanya menebak.”

Orang itu masih diam mematung. Dipandanginya wajah Empu Gandring dengan tanpa berkedip.

“Tetapi kau orang baik. Sebenarnya kau tidak ingin berbuat demikian. Karena itu kau berusaha mengusir aku. Bukankah kau seharusnya membunuh aku?”

Terdengar gigi orang itu gemeretak. Dengan suara parau ia berkata, “Mulutmu memang lancang sekali. Kau mengetahui rahasia yang tersimpan di Kemundungan. Sebenarnya aku sayang akan nyawamu orang tua. Tetapi karena kau menebak tepat, maka kau benar-benar akan aku bunuh.”

“Sebaiknya kau tidak melakukannya. Apabila Kebo Sindet marah karenanya, maka biarlah ia marah kepadaku” sahut Empu Gandring, “ketahuilah, bahwa aku datang kemari sengaja untuk mencari Kebo Sindet itu. Tetapi semalam suntuk aku menunggu rumahnya, orang itu tidak datang. Dengan demikian maka aku akan mencoba mencari keterangan tentang orang itu di padesan ini.”

Sejenak orang itu seakan-akan membeku. Kata-kata Empu Gandring itu benar-benar telah menggoncangkan dadanya. Kebo Sindet dan Wong Sarimpat bagi orang-orang Kemundungan merupakan hantu yang tidak dapat disentuh meskipun hanya dengan kata-kata. Tiba-tiba seseorang datang untuk mencarinya. Dalam kebingungan orang itu bertanya di dalam hatinya, “Apakah orang ini kawan Kebo Sindet? Kalau demikian, alangkah mengerikan. Aku telah menampar wajahnya. Mudah-mudahan orang ini belum mengenal siapa Kebo Sindet itu".

Karena orang itu tidak segera menjawab, maka Empu Gandring pun berkata pula, “Bagaimana adi, apakah kau dapat memberi aku beberapa keterangan mengenai Kebo Sindet dan Wong Sarimpat?”

Orang itu tidak segera Menjawab. Sekali lagi ia memandangi Empu Gandring dari ujung kakinya sampai keujung rambutnya yang sudah mulai keputih-putihan.

“Apakah pertanyaanku aneh?” Berkata Empu Gandring pula.

Orang itu menelan ludahnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Siapakah sebenarnya kau? Apakah kau sudah mengenalnya atau belum?”

“Aku sudah mengenal Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Aku sudah bertemu dengan orang-orang itu. Tetapi ketika aku menungguinya di rumahnya, mereka tidak kunjung datang. Yang tidak aku ketahui adalah, apakah mereka mempunyai sarang yang lain selain gubugnya di bukit gundul itu, atau tempat-tempat persembunyian yang lain? Setidak-tidaknya aku ingin mengerti, kemana saja orang-orang itu sering pergi dan apa saja yang dilakukannya setiap hari.”

Orang yang bertubuh kekar itu masih juga dicengkam oleh keragu-raguanan. Tetapi ia tidak mau menunjukkan kelemahannya itu. Bahkan kemudian ia masih membentak, meskipun terasa nada kebimbangannya, “Apakah perlumu mencarinya? Apakah kau ingin mati? Kalau kau sudah mengenalnya, maka mustahil kau mencari sampai ke rumahnya. Kau pasti akan lari menjauhi dan bahkan bersembunyi sepanjang umurmu.”

Empu Gandring dapat mengerti pertanyaan itu. Bagi orang-orang Kemundungan, maka Kebo Sindet adalah hantu yang paling menakutkan. Orang-orang di padesan ini pasti tidak akan berani melanggar pantangan yang diberikan oleh iblis itu. Tetapi ia memerlukannya, memerlukan keterangan itu.

“Ki Sanak” berkata Empu Gandring, “apakah kau mengetahui serba sedikit tentang Kebo Sindet?”

“Jangan menggigau” orang itu masih membentak, “pergi dari sini, atau aku akan membunuhmu?”

Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Terasa sulitnya untuk mendapatkan sedikit saja keterangan tentang orang itu. Apakah orang itu akan dipaksanya untuk berbicara? Tetapi bagaimana kalau ia benar-benar tidak tahu apa-apa tentang Kebo Sindet dan Wong Sarimpat?

Kini Empu Gandring pun menjadi ragu-ragu pula. Ia pasti akan mampu menangkap orang itu, memilin tangannya dan memaksanya berbicara, tetapi apakah ia akan sampai hati berbuat demikian. Mungkin orang itu akan berbicara pula, tetapi orang itu untuk seterusnya pasti akan selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan. Mungkin ia akan kehilangan keseimbangan karena ketakutannya, sehingga orang itu akan berbuat sesuatu yang tidak sepantasnya. Membunuh diri atau lari bersembunyi dan tidak berani muncul kembali diantara manusia.

Tiba-tiba Empu Gandring itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia telah menemukan cara itu. Meskipun mungkin agak tidak disenanginya sendiri. Orang tua itu bukan seorang yang biasa menyombongkan dirinya, menunjukkan kelebihannya kepada orang lain. Tetapi cara ini, menyombongkan dirinya, masih lebih baik dari memaksa dan menyakiti orang itu untuk berbicara.

Karena itulah maka tiba-tiba pula Empu Gandring itu berdiri bertolak pinggang. Katanya lantang, “He, ki Sanak. Aku sudah bersabar bertanya kepadamu tentang Kebo Sindet. Tetapi kau sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan kau selalu mengancam dan menakut-nakuti aku. Aku bukan anak kecil lagi. Rambutku telah berubah menjadi dua warna. Wajahku pun telah mulai berkerut-merut. Karena itu, aku sudah tidak akan mengenal takut lagi. Umurku sudah sampai pada lingsir sore. Sebentar lagi, ibarat matahari, pasti akan terbenam. Karena itu, jangan memaksa lagi aku pergi. Jangan menakut-nakuti aku lagi. Aku tidak takut meskipun Kebo Sindet itu sendiri yang datang kemari sekarang ini. Nah, sekarang kau mau apa?”

Wajah orang itu pun segera berubah. Selangkah ia mundur. Tanpa dikehendakinya sendiri wajahnya pun kemudian beredar ke halaman rumah-rumah di sekitarnya. Sekilas ia melihat beberapa orang tetangganya menyaksikan keributan itu. Beberapa orang laki-laki kurus dengan pakaian yang kumal berdiri dengan gemetar, sedang beberapa anak muda yang berwajah pucat menyaksikannya dengan berdebar-debar. Orang yang bertubuh kekar itu adalah orang yang ditakuti di padepokan itu. Orang itu seakan-akan menjadi wakil dari Kebo Sindet dan Wong Sarimpat untuk melakukan semacam pungutan dan sebagainya.

Meskipun orang itulah yang pertama-tama menentang sikap Kebo Sindet, dan bahkan hanya orang itulah yang berani melawannya, tetapi ia tidak berdaya menghadapi iblis yang bernama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Bahkan dengan licik maka Kebo Sindet dan Wong Sarimpat telah memaksanya untuk melakukan pekerjaan untuk mereka, pekerjaan yang justru bertentangan dengan keinginannya sendiri. Tetapi selagi ia masih ingin hidup, maka ia tidak akan dapat ingkar. Ia harus melakukan pemerasan dan pemaksaan terhadap kawan-kawan sedesanya.

Namun dalam saat-saat yang memungkinkan ia masih juga merasa bahwa lingkungannya itu harus mendapat perlindungan. Tetapi apa yang dilakukannya sama sekali tidak berarti. Sehingga untuk seterusnya orang itu harus melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan suara hatinya. Tetapi hatinya itu tidak cukup kuat untuk mempertahankan suaranya, sehingga ia masih mementingkan hidupnya daripada membela pendiriannya.

Menghadapi Empu Gandring orang itu menjadi ragu-ragu. Ia ingin mengusir orang yang bernama Empu Gandring untuk menghindarkan diri dari pertengkaran atau perkelahian. Sebab adalah menjadi kuwajibannya untuk membunuh orang-orang yang pantas dicurigai. Kalau ia tidak berbasil, maka nasib orang itu pun tidak akan menjadi lebih baik. Setiap kali ada orang yang berkeras kepala, dan ia menjumpai kesulitan untuk mengusirnya maka orang itu pasti akan mati dengan cara yang menyedihkan. Sebab setiap kali Kebo Sindet atau Wong Sarimpat pasti akan bertindak sendiri atas orang itu.

Beberapa puluh kali ia menyaksikan bagaimana Kebo Sindet atau Wong Sarimpat atau kedua-duanya melakukan hal serupa itu. Bahkan orang yang tersesat, masuk ke padesan ini untuk bertanya, akhirnya orang itu tidak lagi dapat keluar dari desa ini. Hanya orang-orang yang bernasib baik, yang kebetulan segera menjadi takut kepada orang Kemundungan yang kekar itu dan lari tanpa dilihat oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat lah yang masih dapat meninggalkan padesan ini dengan tubuhnya.

Tetapi kini orang Kemundungan yang kekar itu tidak berhasil menakut-nakuti Empu Gandring. Bahkan orang tua itu kini berdiri bertolak pinggang dan menantangnya. Orang yang bertubuh kekar itu tiba-tiba menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar sepenuhnya, dengan siapa ia berhadapan. Setelah beberapa lama ia berbicara serta melihat sikap dan mendengar kata-kata Empu Gandring, maka orang Kemundungan dapat menduga, bahwa orang ini bukan orang kebanyakan.

“Bagaimana Ki Sanak?” tiba-tiba Empu Gandring bertanya, “Apakah kau bersedia memberi aku beberapa penjelasan mengenai Kebo Sindet?”

Orang yang bertubuh kekar itu menjadi semakin ragu-ragu. Sekali lagi ia memandangi orang-orang di sekelilingnya. Tetapi ia masih tetap diam. Empu Gandring melihat sikap orang itu. Sikap yang bagi Empu Gandring cukup memberi petunjuk, bahwa orang itu akan dapat memberikan beberapa isyarat kepada kawan-kawannya.

“Hem” Empu Gandring bergumam, “apa yang akan kau lakukan?”

Orang itu tidak menjawab, tetapi ia mundur selangkah.

“Ki Sanak.” berkata Empu Gandring kemudian, “aku dapat mengerti hampir sebagian besar dari apa yang sering terjadi disini“ sejenak Empu Gandring berhenti. Ditatapnya wajah orang yang bertubuh kekar itu. Pengalaman yang mengendap di dalam dada Empu Gandring ternyata mampu menangkap apa yang sebenarnya sedang dihadapi. Katanya seterusnya, “Bukankah kau akan memberikan isyarat bahwa ada seseorang yang tak dapat kau kuasai? Adi, ternyata kau tidak dapat bersikap dalam pendirianmu sendiri. Kau masih terombang-ambing di dalam arus angin pusaran. Kau harus tunduk kemana angin bertiup, supaya kau tidak roboh karenanya. Tetapi bahwa kau telah berusaha untuk berbuat baik itu pantas sekali dihargai. Tetapi belum lagi sesilir bawang kau sudah berpikir untuk memberikan tanda atau isyarat kepada Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Kau tahu akibat dari isyaratmu atas orang yang kau anggap tidak dapat kau kuasai itu. Tetapi hal itu kau lakukan juga karena kau takut dirimu sendiri akan mendapat akibat yang tidak menyenangkan.”

Orang yang bertubuh kekar itu masih berdiri di tempatnya. Kini wajahnya menjadi semakin tegang. Hatinya menjadi semakin bimbang dan bahkan menjadi bingung.

“Tetapi kalau kau berkeras untuk melakukannya, memberi isyarat itu, maka aku tidak akan berkeberatan. Semalam suntuk aku menunggunya, tetapi ia tidak kunjung datang. Kalau mendengar isyaratmu ia akan datang kemari, maka aku akan sangat berterima-kasih kepadamu."

Hati orang itu menjadi semakin berdebar-debar. Agaknya orang tua ini memang orang tua yang mempunyai beberapa kelebihan. Tetapi meskipun demikian orang itu tidak segera berbuat sesuatu. Dipandanginya saja Empu Gandring itu dengan berbagai perasaan yang aneh di dalam dirinya.

“Kenapa kau masih saja berdiam diri? Ayo, berikan isyarat itu. Mungkin seseorang akan memanggilnya atau dengan tanda lain, kentongan misalnya.”

Orang itu menjadi semakin bingung. Belum pernah ia berhadapan dengan seorang yang dengan beraninya menghadapi Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Hanya orang-orang yang belum mengenalnya sajajalah yang berani mencoba melawannya, justru karena orang-orang itu tidak tahu, siapakah Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi orang ini sudah mengenalnya, bahkan menunggunya semalam suntuk.

“Ayo, apalagi yang kau tunggu?”

Tiba-tiba orang itu menggelengkan kepalanya, katanya, “Tidak. Aku tidak akan memberikan isyarat apapun.”

“Kenapa?”

“Kau mempunyai kesan yang lain bagiku. Ternyata kau sama sekali tidak takut terhadap Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Mungkin kau adalah seorang yang pilih tanding seperti Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi mungkin kau juga belum mengetahui sepenuhnya tentang orang itu.”

“Aku sudah mengenalnya dengan baik. Aku sudah bertempur melawannya dan ia melarikan diri.”

Meskipun orang itu sudah menduga bahwa Empu Gandring termasuk seorang yang pilih tanding, tetapi ketika ia mendengar bahwa Kebo Sindet melarikan dirinya, maka dadanya berdesir.

“Apakah kau tidak percaya?”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi apabila benar demikian, maka orang ini adalah orang yang aneh. Ia telah menampar wajah orang itu tanpa berbuat sesuatu. Kenapa ia bersikap demikian? Apabila hal itu terjadi atas Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, maka akibatnya sudah dapat dibayangkan. Alangkah malangnya nasib orang yang demikian. Tetapi meskipun demikian kecemasannya masih juga mencengkam hatinya. Apakah orang ini sengaja membiarkannya dahulu sebelum ia berbuat sesuatu. Memberinya waktu untuk merasakan betapa sakitnya perasaan takut yang menusuk-nusuk jantung?

Orang itu terkejut ketika Empu Gandring membentaknya, “He, kenapa kau diam saja? Ayo, berbuatlah sesuatu. Memberi isyarat kepada Kebo Sindet, memanggilnya atau kalau kau merasa dirimu sanggup, lawanlah aku. Bukankah menjadi kewajibanmu untuk berbuat demikian?” Tetapi karena bukan kebiasaan Empu Gandring menakut-nakuti orang, maka kata-katanya pun berloncatan seolah-olah tidak tersusun dengan baik. Namun justru karena itu, kesan yang timbul di dalam hati orang itu menjadi semakin mencemaskannya.

Sekali lagi orang itu menggeleng, jawabnya, “Tidak. Aku tidak akan memberinya isyarat apapun.”

“Oh, jadi kau sendiri akan melawan aku berkelahi?”

“Juga tidak” orang itu menggeleng lagi.

“Lalu apa yang akan kau lakukan? Bukankah kau sudah mulai menampar mukaku. Dan bukankah kau sudah mengancam aku supaya aku tidak bertanya-tanya lagi?”

Dada orang itu berdesir. Ternyata orang tua itu mulai mengungkit-ungkit kelancangannya. “Aku tidak akan berbuat sesuatu” berkata orang itu.

Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam mendengar jawabannya. Maka katanya, “Baiklah, kalau kau tidak ingin berbuat sesuatu, maka aku pun tidak akan berbuat sesuatu pula atasmu. Tetapi aku minta kau mengatakan kepadaku, apakah Kebo Sindet mempunyai tempat yang lain selain gubugnya itu?”

Orang itu pun terdiam. Sekali lagi ia memandangi berkeliling. Dilihatnya laki-laki kurus, anak-anak muda yang pucat, perempuan-perempuan dikejauhan, masih memandanginya dengan penuh pertanyaan.

“Hem” Empu Gandring bergumam, “aku tahu, kau takut kepada Kebo Sindet, tetapi apakah kau tidak takut kepadaku? Kalau aku mau, aku pun dapat berbuat seperti Kebo Sindet. Menangkapi kau dan orang-orang Kemundungan, membunuh dengan cara yang sering dilakukan oleh Kebo Sindet. Bukankah Kebo Sindet sering membunuh korbannya dengan perlahan-lahan. Mengikatnya di sarang semut atau memanggangnya di atas api yang tidak cukup panas untuk mematikannya atau merebus dalam air hangat-hangat? Nah, manakah yang kau kehendaki?”

Bulu-bulu orang itu meremang. Tiba-tiba ia telah kehilangan kegarangannya. Belum lagi ia mencoba melawan, tetapi ia sudah terpengaruh oleh kata-kata Empu Gandring. Meskipun demikian, orang itu masih tetap ragu-ragu. Apakah benar Empu Gandring mampu berbuat seperti Kobo Sindet? Antara percaya dan tidak, maka orang itu berdiri kebingungan.

Empu Gandring dapat melihat keragu-raguan itu. Karena itu maka ia harus menguasainya. Menghilangkan keragu-raguan itu tanpa menyakitinya. Karena itu, maka tiba-tiba orang tua itu melangkah mundur sambil berkata, “He orang Kemundungan. Aku ingin kau berkata tentang Kebo Sindet. Aku tahu kau takut kepadanya, tetapi aku pun mampu berbuat seperti orang itu. Terserah kepadamu, siapakah yang akan kau takuti kemudian. Tetapi aku peringatkan, apabila kau telah melihat apa yang aku lakukan, dan kau tidak juga mau berkata tentang Kebo Sindet, maka kau akan mengalami nasib yang menyedihkan."

Suara Empu Gandring itu menderu di telinga orang yang bertubuh kekar itu seperti suara guntur yang meledak di langit. Mengejutkan, menakutkan dan mencemaskan. Tetapi sebelum ia sempat berbuat sesuatu, ia melihat Empu Gandring meloncat seperti belalang. Tanpa mereka lihat dengan mata, keris Empu Gandring yang besar itu pun telah berada di dalam genggamannya.

“Ayo, katakan” katanya, “apa yang dapat dilakukan oleh Kebo Sindet? Membelah batu itu, merobohkan pohon nyiur dengan goloknya atau apa?”

Orang Kemundungan itu justru terbungkam. Tetapi tiba-tiba biji matanya serasa meloncat dari pelupuknya ketika ia melihat keris Empu Gandring berputar seperti baling-baling, sehingga Empu Gandring sendiri seakan-akan hilang ditelan oleh pusaran kerisnya. Belum lagi debar jantungnya mereda, maka orang itu sekali lagi dikejutkan oleh suara berderak. Tiba-tiba ia melihat tiga batang pohon tal roboh bersamaan, disusul oleh sebatang pohon siwalan yang sedang berbuah lebat.

Kini orang itu seakan-akan membeku karenanya. Bukan saja orang itu, tetapi orang-orang lain yang melihat pun menjadi ngeri. Mereka pernah melihat Kebo Sindet membuat pengeram-eram. Dan mereka pun menjadi ngeri. Tetapi kali ini mereka pun dicengkam oleh perasaan yang serupa. Sejenak kemudian orang Kemundungan yang bertubuh tinggi kekar itu melihat Empu Gandring telah berdiri dihadapannya. Kerisnya sudah tidak berada di dalam genggamannya lagi. Yang dilihatnya adalah tangkai keris itu mencuat di belakang pundaknya.

“Apalagi yang dapat dilakukan oleh Kebo Sindet?” bertanya Empu Gandring.

Dengan gemetar orang itu menjawab, “Tuan, aku mohon maaf atas kelancanganku tuan. Barangkali tuan sangat marah kepadaku karenanya.”

“Ya, aku sangat marah” sahut Empu Gandring, tetapi nada suaranya tidak meyakinkan, “aku ingin membunuhmu, mencincangmu atau menghukum picis karena kau sudah menampar mukaku.”

“Ampun tuan. Bunuhlah aku, tetapi jangan dengan cara itu.”

“Sekehendakkulah. Tetapi kalau kau ingin bebas dari penderitaan, maka katakan saja kepadaku, di mana Kebo Sindet sering berada selain di dalam rumahnya itu?”

“Tak ada gunanya tuan. Kalau tuan tidak membunuh aku, maka orang itulah yang akan membunuh aku. Bahkan mungkin dengan cara yang lebih mengerikan. Karena itu, tolonglah tuan, bunuhlah aku dengan cara yang agak baik, supaya aku tidak mengalami penderitaan.”

Empu Ganring terkejut mendengar permintaan orang itu. Orang itu merasa bahwa dirinya pasti akan mati. Kalau tidak dibunuh oleh Empu Gandring maka Kebo Sindet lah yang akan membunuhnya. Sehingga dengan demikian, maka orang itu telah benar-benar menjadi putus asa. Kehadirannya di Padukuhan Kemundungan ternyata telah membawa bencana bagi orang itu. Orang yang sebenarnya baik hati, tetapi karena tekanan keadaan, akhirnya menjadi seorang yang kasar dan tampak bengis. Tetapi Empu Gandring tidak ingin membiarkannya ditelan keputusasaan, sehingga timbulah keinginannya untuk menolong orang itu, melepaskannya dari ketakutan.

Empu Gandring itu pun kemudian bertanya, “Ki Sanak, kenapa kau merasa bahwa kau harus mati? Kenapa kau tidak berbuat sesuatu supaya kau dapat terlepas karenanya?”

“Tak ada gunanya. Kalau aku berbicara tentang Kebo Sindet maka aku pasti akan dibunuhnya. Kalau aku tidak mau berbicara maka tuan akan membunuh aku. Bukankah sudah jelas? Aku tidak dapat melawan tuan seperti aku tidak akan mampu melawan Kebo Sindet. Apakah yang dapat aku lakukan?”

Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Nah, kalau demikian, kalau kau sudah pasti bahwa kau akan mati, kenapa kau masih juga takut kepada Kebo Sindet? Dan bukankah Kebo Sindet sekarang tidak ada di rumah ini sehingga ia tidak akan tahu apa yang kau lakukan?”

“Kebo Sindet tahu segala-galanya. Seperti hantu ia tiba-tiba saja muncul di segala tempat bersama adiknya Wong Sarimpat, atau salah seorang dari mereka.”

“Omong kosong. Mereka adalah orang-orang biasa, Wong Sarimpat ternyata dapat mati terbunuh seperti kebanyakan orang.”

“He” wajah orang itu menegang, “Wong Sarimpat terbunuh?”

“Ya” sahut Empu Gandring, “kami berkelahi berpasangan. Aku berada sepihak dengan Empu Sada melawan kedua iblis. Ternyata Wong Sarimpat terbunuh oleh lawannya dan Kebo Sindet menghindari perkelahian.”

Orang yang bertubuh kekar itu terdiam sejenak. Tetapi matanya memancarkan keragu-raguan. Sehingga, Empu Gandring berkata, “Jangan ragu-ragu. Wong Sarimpat benar-benar telah terbunuh. Ia sudah mati. Aku melihat sendiri mayatnya yang membeku akibat sentuhan Aji Kala Bama.”

Orang yang bertubuh kekar itu masih saja berdiri mematung. Dan Empu Gandring berkata terus, “Dengan demikian, maka kekuasaannya di padukuhan ini pun pasti akan goyah.”

“Tetapi” tiba-tiba orang itu berkata, “Kebo Sindet itu pun mampu melakukannya seorang diri. Membunuh aku dengan caranya.”

“Kau sudah merasa bahwa kau pasti akan mati. Apa lagi yang kau takuti. Nah, sekarang sebaiknya kau katakan kepadaku apa yang kau ketahui tentang Kebo Sindet itu.”

Sekali lagi orang itu terbungkam. Dan Empu Gandring berkata seterusnya, “Berkatalah tentang iblis itu. Bukankah kau lebih senang mati oleh tanganku dari pada oleh iblis itu? Kalau kau harus mati juga, maka kau sudah berbuat sesuatu yang baik bagiku, bagi orang lain dan bagi banyak orang.”

Orang itu masih tetap berdiam diri. “Apalagi Kebo Sindet tidak berada di tempat ini. Ia tidak akan tahu apa yang kau katakan kepadaku. Atau, dapatkah kau memilih? Mati atau pergi bersamaku ke tempat lain . Apakah yang sebenarnya mengikatmu di Kemundungan?”

Orang itu menggeleng lemah, “Tak ada tempat untuk bersembunyi di kolong langit ini.”

“Bodoh. Itu terlampau berlebih-lebihan, menganggap Kebo Sindet seakan-akan seorang yang mampu berbuat apa saja, mengetahui apa saja. Tidak. Ia seorang biasa yang mengenal takut dan cemas. Ternyata ia bersembunyi. Nah, apa katamu?”

Orang yang bertubuh kekar itu memandang Empu Gandring dengan tajamnya. Tetapi kata-kata Empu Gandring yang terakhir itu telah menyentuh hatinya. Memang, selama ini ia takut bukan buatan kepada Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, sehingga seolah-olah kedua orang itu bukan manusia biasa lagi. Tetapi menurut orang yang berdiri dihadapannya, dan bernama Empu Gandring itu, ternyata Wong Sarimpat dapat juga terbunuh dan Kebo Sindet mengenal juga takut dan cemas.

“Bagaimana?” bertanya Empu Gandring, “aku ingin mendengar serba sedikit tentang Kebo Sindet. Sesudah itu, kalau kau takut tinggal di sini, pergilah ke Lulumbang, pedukuhan tempat tinggalku. Kau dapat hidup di sana sebagai seorang petani yang wajar. Kau akan dapat menjadi seorang yang baik, yang berbuat tanpa bertentangan dengan panggilan hatimu. Menakut-nakuti orang, bahkan menyakiti.”

Tiba-tiba orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Apakah mungkin begitu tuan?”

“Kenapa tidak?”

“Alangkah menyenangkan apabila itu bukan sekedar impian saja.”

“Kenapa impian?”

“Tuan akan segera membunuh aku setelah aku berkata apa yang aku ketahui tentang Kebo Sindet.”

“Itu bukan kebiasaanku Ki Sanak” sahut Empu Gandring.

Sekali lagi orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Hidup sebagai seorang petani yang wajar adalah hidup yang diimpikannya selama ini. Tetapi ia merasa bahwa hidup yang demikian itu tidak akan pernah dihayatinya selama Kebo Sindet masih hidup di Kemundungan. Sebab ia terpaksa melakukan hal-hal di luar kemauannya sendiri.

“Apakah kau bersedia?” bertanya Empu Gandring.

Agaknya orang itu masih ragu-ragu. Tetapi akhirnya ia mengangguk, “Marilah, masuklah ke rumah. Barangkali aku dapat memenuhi keinginan tuan meskipun hanya beberapa hal yang mungkin tak berarti bagi tuan.”

Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia berhasil memaksa orang itu untuk berbicara dengan caranya. Meskipun nada suara orang itu masih dipenuhi oleh kebimbangan, namun dengan beberapa penjelasan nanti ia akan dapat meyakinkan, bahwa Kebo Sindet kini tidak akan muncul segera di padukuhan ini. Empu Gandring pun kemudian mengikuti orang itu masuk ke dalam rumah yang agak lebih baik dari rumah-rumah di sekitarnya, meskipun rumah itu sendiri adalah rumah gubug yang terlampau sederhana. Mereka pun kemudian duduk di atas sehelai tikar pandan yang diayam kasar, yang terbentang di atas sebuah bale-bale bambu.

Sejenak Empu Gandring memperhatikan isi rumah itu. Tidak jauh berbeda dengan gubug Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Rumah ini hampir tidak berisi perabot lain yang lajim di dalam rumah tangga yang wajar. Tetapi Empu Gandring menyadari, bahwa keadaan yang sulitlah yang menyebabkan orang-orang di padukuhan ini tidak sempat mengisi rumahnya dengan beberapa macam alat rumah tangga yang diperlukan. Di dalam rumah itu Empu Gandring melihat beberapa alat-alat pertanian yang telah usang tersangkut pada dinding. Agaknya mereka pun tidak sempat membuat atau membeli alat-alat semacam itu.

“Inilah seluruh milikku,” desah orang bertubuh kekar itu.

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya, “Siapakah namamu Ki Sanak?”

Orang itu menarik nafas. Jawabnya, “Namaku Tambi.”

“Tambi” Empu Gandring mengulangi,

“Ya. Aku hidup sendiri di rumah ini. Isteri dan seorang anakku mati Ketakutan. Mereka tidak tahan hidup seperti yang dialaminya. Beberapa tahun mereka bertahan. Tetapi akhirnya perempuan itu tidak kuat lagi. Anaknya masih kecil itu pun mati pula beberapa bulan kemudian.”

Empu Gandring mengerutkan keningnya. Alangkah pahit hidup orang yang bernama Tambi ini. Namun kenapa ia masih saja bertahan tinggal di padukuhan ini? Tetapi Empu Gandring tidak segera bertanya. Dibiarkannya saja Tambi itu berbicara terus,

“Tuan” berkata orang itu, “aku sendiri selama ini harus melakukan pekerjaan yang tidak aku ingini. Setiap kali aku harus bertengkar dengan diri sendiri. Dan setiap kali aku terdorong dalam suatu tindakan yang sama sekali tidak menyenangkan bagiku dan bagi keluargaku semasa isteriku masih hidup. Hal-hal yang demikian itulah yang mempercepat kematian isteriku.”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia terkejut ketika ia mendengar Tambi itu berkata, “Ketahuilah tuan, bahwa isteriku masih mempunyai hubungan keluarga dengan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.”

“Apakah isterimu itu masih bersaudara dengan keduanya?”

“Isteriku adalah saudara sepupunya. Dan kedua saudara sepupu yang menurut aliran darah lebih muda itu, telah membuatnya terlampau susah.”

“Apakah isterimu tidak pernah mencoba menasehatinya?” bertanya Empu Gandring.

“Tak ada orang yang berani menasehatinya” jawab orang itu, yang tiba saja menjadi gelisah. Dipandanginya sekeliling ruangan itu dan dicobanya untuk mendengarkan setiap desir di sekitarnya.

“Kebo Sindet tidak akan segera datang kemari” berkata Empu Gandring, “apalagi kalau diketahuinya aku berada di sini.”

Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kegelisahannya masih terbayang di wajah serta sikapnya. “Aku sekarang sudah tidak beranak dan beristeri. Seharusnya aku sudah tidak takut lagi.”

“Memang kau tidak perlu takut, apalagi kalau kau sudah bersedia untuk mati. Tetapi kau harus berusaha untuk tidak perlu mengalaminya segera. Bermohonlah kepada Yang Maha Agung. Namun kau pun harus berbuat. Kau dapat meninggalkan padukuhan ini.”

Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nah, aku hanya ingin tahu, di mana Kebo Sindet itu bersembunyi?”

“Tak seorang pun tahu pasti” jawab Tambi.

Mendengar jawaban itu Empu Gandring menjadi kecewa. Hanya itulah yang diharapkannya. Tetapi ia merasakan kejujuran jawaban orang yang bernama Tambi itu.

“Tetapi” berkata Tambi kemudian. “Ia masih saja dikuasai oleh kebimbangan, ia sering pergi ke seberang hutan yang berrawa-rawa itu.”

Empu Gandring mengerutkan keningnya. Katanya, “Yang kau maksud hutan di sebelah bukit gundul itu?”

Tambi mengangguk, “Ya. Hutan itu tumbuh di tanah yang berawa-rawa. Tanah yang sulit sekali untuk dilalui. Orang-orang Kemundungan pun tidak berani menyeberangi rawa-rawa itu, selain Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.”

“Apakah ada jalan lain kecuali daerah yang berlumpur itu?”

Tambi menggeleng, “Tidak ada. Tempat itu dikelilingi oleh rawa-rawa dari mana pun kita mendatanginya.”

“Hem” Empu Gandring menggeram, “setan itu benar-benar licin.”

“Selebihnya aku tidak tahu apa-apa, kecuali pada masa kecilnya.”

“Kau mengenalnya sejak kanak-kanak?”

“Anak itu anak Kemundungan sejak lahir” jawab Tambi, “seperti aku dan isteriku juga anak Kemundungan sejak lahir. Tetapi kedua anak itu lama sekali meninggalkan kampung halaman. Ketika mereka kembali, mereka telah menjadi iblis.” Kata-kata itu seakan-akan terloncat tanpa disadari. Namun sesudah itu, wajah Tambi menjadi pucat. Sekali lagi ditebarkannya pandangan matanya berkeliling, seolah-olah Kebo Sindet bersembunyi diantara dinding-dinding bambu yang berlubang-lubang.

Empu Gandring melihat kegelisahan yang masih saja mencengkam perasaan Tambi. Orang yang kekar itu masih saja merasa dirinya selalu dibayangi oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, sehingga ia sama sekali tidak dapat melepaskan diri dari ketakutan dan kecemasan. Sehingga Empu Gandring terpaksa memperingatkan lagi, “Ki Sanak, jangan takut. Percayalah bahwa Kebo Sindet saat ini tidak berada di Kemundungan. Kalau ia berada di sini, maka aku kira aku tidak akan kemari, bertanya kepadamu tentang setan alasan itu.”

Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Seharusnya aku sudah tidak boleh takut lagi. Hidupku seolah-olah sudah tidak berarti sepeninggal isteri dan satu-satunya anakku. Tetapi kadang-kadang aku masih merasa ngeri untuk mengalami dengan cara yang tidak wajar. Aku tidak akan ingkar seandainya aku akan dipenggal leherku atau ditusuk langsung kepusat jantung. Tetapi aku merasa takut apabila aku melihat cara-cara yang sering dipergunakan oleh kedua kakak beradik itu.”

Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Teringatlah ia bahwa kemenakannya, Mahisa Agni kini berada ditangan iblis itu. Tetapi menurut ceritera Empu Sada maka ada kemungkinan bahwa Mahisa Agni tidak akan dibunuh segera oleh Kebo Sindet karena nafsu orang itu untuk mendapatkan tebusan dari Ken Dedes, bakal permaisuri Tunggul Ametung yang sangat mencintai kakaknya itu.

“Mudah-mudahan aku akan mendapat kesempatan” desis Empu Gandring di dalam hatinya.

Sementara itu Tambi masih berbicara selanjutnya, “Apalagi Kebo Sindet kini telah kehilangan adiknya, maka ia pasti akan menjadi lebih gila lagi.”

“Tetapi jangan takut. Ia tidak ada disini.”

Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian ”Mungkin tuan benar. Orang itu tidak berada disini.”

“Percayalah. Karena itu katakan apa yang ingin kau katakan kepadaku tentang Kebo Sindet.”

“Tetapi barangkali tidak akan dapat memberi tuan petunjuk seperti yang tuan harapkan” jawab Tambi, “Yang aku ketahui justru keadaan Kebo Sindet pada masa kanak-kanaknya. Ia adalah seorang anak laki-laki dari keluarga yang sangat miskin di padukuan ini. Apalagi sejak kelahiran adiknya Wong Sarimpat, maka keadaan keluarganya menjadi semakin sulit.”

“Daerah ini daerah yang tandus” sela Empu Ganding.

“Sejak aku kanak-kanak” sahut orang itu.

“Kenapa orang-orang di sini kerasan tinggal di padukuhan yang tandus ini? Kenapa mereka tidak mencari tempat tinggal yang lebih baik?”

“Tanah ini adalah tanah peninggalan nenek-moyang. Di sini kami dilahirkan. Dan di sini pula kami ingin dikuburkan.”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Telah sering benar ia mendengar pernyataan yang demikian. Betapa sulitnya penghidupan, namun tanah pusaka nenek-moyang merupakan tanah yang tidak boleh ditinggalkan. Hidup mati tanah itu adalah tanah yang harus diwarisi, dipelihara dan didiaminya sepanjang umurnya. Demikian juga pendirian keluarga Kebo Sindet itu. Betapa kesulitan mencekik leher mereka, namun mereka tetap bertahan hidup di daerah terpencil dan tandus ini.

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya, dan Tambi berbicara terus, “Apalagi pada saat itu ada seorang yang paling ditakuti di daerah ini. Seorang yang menghisap keringat kami sampai darah kami pun dihisapnya. Keluargaku dan keluarga Kebo Sindet harus bekerja, dari matahari terbit sampai matahari terbenam, namun sebagian dari hasil kerja kami telah masuk ke dalam lumbung orang yang kami takuti itu. Kami, termasuk Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, hampir-hampir tidak lagi dapat bertahan. Sehari kami sempat makan satu kali, tetapi di hari berikutnya kami tidak dapat mengenyam apa pun di mulut kami. Sehingga akhirnya orang tua Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tidak lagi dapat menahan diri. Seorang demi seorang mereka meninggalkan kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Yang mula-mula meninggal adalah ayahnya yang kurus kering dan sakit-sakitan. Kemudian menyusul ibunya. Sehingga dengan demikian kedua anak itu menjadi yatim piatu. Satu-satunya keluarga yang berkewajiban memeliharanya adalah orang tua isteriku. Namun karena keadaannya sendiri yang pahit, maka kedua anak itu pun dipeliharanya sesuai dengan kemampuannya. Namun pada suatu hari kedua anak yang menjadi besar, meskipun kurus kering dan pucat itu, menghilang. Tak seorang pun yang tahu kemana mereka pergi. Keluarga isteriku berusaha mencarinya juga. Mereka mencemaskannya, seandainya kedua anak-anak itu diterkam oleh anjing-anjing liar di atas bukit gundul. Tetapi anak-anak itu tak dapat diketemukan. Tetapi akhirnya kedua anak itu pun dilupakan. Bertahun-tahun kemudian tidak seorang pun lagi yang pernah menyebut namanya. Keluarga isteriku pun sudah tidak ingat lagi kepada mereka itu. Namun adalah mengejutkan sekali, ketika kemudian padukuhan ini didatangi oleh dua orang anak-anak muda yang gagah perkasa. Dengan dua ekor kuda mereka memecahkan ketenangan pedukuhan ini. Akhirnya diketahuilah bahwa kedua anak-anak muda yang perkasa itu adalah Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Mula-mula kedatangannya memberikan harapan kepada kami. Yang mula-mula dikatakannya, bahkan dijanjikannya, adalah menyingkirkan keluarga yang telah menghisap darah kami sampai kering. Semula kami ragu-ragu. Orang itu adalah orang yang pilih tanding. Sekian lama ia seakan-akan berkuasa di padukuhan ini tanpa dapat dikalahkan. Apakah kedua anak-anak muda itu mampu melakukannya? Namun yang dilakukannya telah menggemparkan pedukuhan ini. Seorang dari mereka, yang pada saat itu dilakukan oleh Wong Sarimpat, dengan mudahnya dapat mengalahkan orang yang selama ini berkuasa.” Tambi berhenti sejenak untuk menelan ludahnya.

Empu Gandring mendengarkan ceritera itu dengan penuh minat. Mungkin ceritera Tambi itu dapat dipercayanya. Meskipun ceritera itu sama sekali tidak bersangkut-paut dengan pertanyaannya, tentang persembunyian Kebo Sindet, namun ceritera itu dapat memberikan gambaran tentang latar belakang dari kelakuan iblis yang aneh itu. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Empu Gandring berkata, “Apakah Wong Sarimpat berkelahi seorang diri tanpa bantuan kakaknya ketika ia melawan orang yang sedang berkuasa itu?”

“Ya” sabut Tambi, “Wong Sarimpat yang sedang tumbuh itu dengan mudah dapat mengalahkan orang yang sedang berkuasa itu, yang semakin lama telah menjadi semakin tua. Bahkan beberapa orang pengikut dan pengawalnya pun dapat dikalahkannya.”

“Apakah yang kau lakukan waktu itu, Ki Sanak?”

“Aku tidak berani berbuat apa-apa. Aku melihat kekuasaan itu sejak aku masih kanak-kanak. Aku tidak pernah meninggalkan padukuhan ini.”

Empu Gandring mengangguk-angguk lagi. Keningnya tampak berkerut-merut.

“Pada saat-saat yang demikian itu, tumbuhlah harapan di hati kami, bahwa kami tidak akan mengalami pemerasan lagi. Kami tidak akan menjadi budak-budak yang tidak dapat berbuat apa-apa, sebab nyawa kami terancam. Di sini sama sekali tidak ada perlindungan atas jiwa kami. Kekuasaan orang itu benar-benar mutlak.”

“Bagaimana dengan kekuasaan Tumapel dan Kediri?”

“Tak seorang pun yang sempat berpikir, bahwa kami dapat memohon perlindungan. Seperti akhir-akhir ini kami pun tidak tahu apa yang seharusnya kami lakukan? Tumapel apalagi Kediri terlampau jauh. Bukan saja jaraknya, tetapi juga jauh dari hati kami. Seolah-olah kami belum pernah mendengar nama-nama itu.”

Sekali lagi Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tetapi” Tambi meneruskan, “ketika kami melihat apa yang dilakukan oleh Wong Sarimpat pada saat ia mengakhiri perkelahian, segera timbul kebimbangan di hati kami. Kami menjadi sangat ngeri melihat Wong Sarimpat melepaskan dendamnya kepada orang yang sedang berkuasa di padukuhan ini pada saat itu. Apa yang dilakukannya sama sekali tidak terbayang di dalam hati kami. Mungkin Wong Sarimpat merasa bahwa hidupnya benar-benar telah tersia-sia karena perbuatan orang itu. Mungkin dendam yang tak terbilang telah membakar jantungnya pada saat itu, karena kematian kedua orang tuanya. Tetapi apa pun yang menyebabkannya, namun keadaan telah membentuknya menjadi seorang yang paling buas yang pernah aku lihat.”

Tambi berhenti sejenak. Kemudian sekali lagi ia memandangi ruangan itu berkeliling. Akhirnya matanya berhenti menatap pintu rumah yang masih terbuka. “Sebaiknya aku menutup pintu itu.”

“Tidak perlu” jawab Empu Gandring, “biarlah Kebo Sindet melihat aku disini apabila ia lewat di jalan di muka rumah ini.”

Tambi terdiam sejenak. Tetapi masih juga terbayang kegelisahan dan kecemasan diwajahnya. Perlahan-lahan ia bergumam, “Ya, aku sudah tidak takut lagi, memang seharusnya aku sudah tidak takut. Tetapi kematian-kematian yang pernah aku saksikan adalah mengerikan sekali. Atau barangkali tuan ingin membunuh aku saja?”

“Jangan berputus asa dan membunuh diri bagaimana pun caranya” sahut Empu Gandring, “teruskan saja ceriteramu.”

Sekali lagi Tambi menelan ludahnya, seolah-olah kerongkongannya tersumbat, “Baiklah” desisnya, “apa yang aku katakan tadi?”

“Wong Sarimpat membunuh orang yang kalian anggap paling berkuasa di sini.”

“Ya. Orang itu pun terbunuhlah. Tetapi harapan kami untuk mendapat kebebasan ternyata sama sekali keliru. Setelah orang itu mati, meskipun Kebo Sindet dan Wong Sarimpat selalu mengatakan bahwa kita sudah sampai pada hari-hari yang kita tunggu-tunggu, pembebasan, namun apa yang kita alami hampir tidak ada bedanya sama sekali. Pemerasan dan perkosaan atas kebebasan hidup kami sebagai manusia. Dan kami masih tetap mengalami hidup kami yang lama. Bekerja dan bekerja. Sedang basil kerja kami harus kami serahkan kepada Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Namun karena mereka hanya berdua, dan mereka tidak memiliki lumbung yang besar, maka untuk hal ini, kami mendapat keringanan. Kami hanya menyerahkan hasil tanaman kami menurut kebutuhan dan permintaan mereka. Sehingga dengan demikian, kami mendapat makanan kami agak lebih banyak dari masa-masa lampau.”

“Kalau demikian apa yang menyulitkan kalian?”

“Tetapi apa yang kami miliki di sini tidak lebih dari sisa-sisa makanan kami yang kami hasilkan dari tanah yang tandus itu. Tidak ada lain. Kami tidak akan dapat menukarkan milik kami dengan benda-benda apapun. Bahkan dengan alat-alat yang kami perlukan untuk bercocok tanam. Setiap barang yang disenangi oleh kedua orang itu harus kami serahkan.”

“Juga alat-alat bercocok tanam?”

“Ya, mereka senang menyimpan alat-alat bercocok tanam yang baik.”

“Aneh. Untuk apakah barang-barang itu?”

“Tak seorang pun yang tahu. Bahkan kadang-kadang kami terpaksa mengumpulkan hasil tanah kami, untuk kami tukar dengan barang-barang yang dikehendaki oleh kedua orang-orang itu.”

“Kemanakah kalian menukarkan barang-barang itu?”

“Kebo Sindet membawa beberapa orang kemari untuk menukar barang-barang itu. Kadang-kadang hasil tanah kami itu benar-benar dibawa oleh mereka yang menukarnya, tetapi kadang-kadang orang-orang itu tidak dapat keluar dari padukuhan ini setelah mereka menyerahkan barang-barang yang seharusnya kami tukar dengan hasil tanah kami.”

“Perampokan” geram Empu Gandring.

“Ya, lebih dari pada itu. Apalagi apabila mereka mencoba mempertahankan diri mereka.”

Empu Gandring sudah dapat menangkap kata-kata yang tidak lengkap itu. Tambi pasti akan berkata, bahwa mereka yang berani mempertahankan diri, maka nasib mereka akan menjadi lebih jelek. Seperti yang sudah dikatakan, maka Kebo Sindet akan melakukan pembunuhan dengan caranya.

Sejenak kini mereka berdiam diri. Angin yang silir berhembus lewat pintu yang masih terbuka. Diluar, Tambi masih melihat beberapa orang tetangganya di halaman di seberang halaman rumahnya berdiri berlindung di balik pepohonan. Adalah menjadi kebiasaan mereka untuk melihat orang-orang yang datang ke rumah Tambi. Dan sudah menjadi kebiasaan mereka pula, apabila Tambi tidak dapat menyelesaikannya sendiri, Tambi pasti memberi mereka isyarat untuk membunyikan kentongan memanggil salah seorang atau bahkan keduanya iblis Kemundungan yang bernama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi kali ini Tambi masih belum memberikan isyarat apa-apa, meskipun tampaknya Tambi sendiri tidak berbuat apa-apa. Dan bahkan orang yang belum mereka kenal dan membawa keris dipunggungnya itu dibawanya masuk kerumahnya.

“Tuan” berkata Tambi ilu lebih lanjut, “tak seorang pun di antara kami yang berani menentang perbuatan itu. Aku adalah satu-satunya orang yang mencoba melawannya dengan caraku. Meskipun aku tidak dapat melawan dalam olah kanuragan. Tetapi akibatnya jelek sekali bagiku. Meskipun keduanya tidak membunuhku dengan caranya karena aku suami saudara sepupunya, tetapi tidak banyak bedanya dengan itu. Mereka telah membunuh isteriku dan anakku perlahan-lahan, meskipun barangkali tidak mereka sadari seperti apabila mereka membunuh korbannya. Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa isteriku meninggal justru karena aku mendapat jabatan dari kedua orang itu. Jabatanku cukup mengerikan. Seperti yang tuan lihat sekarang. Dan jabatan ini agaknya telah menyiksaku sepanjang umurku.”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Kau benar adi. Keadaan telah membuat mereka menjadi buas. Dendam yang membara di dada mereka, hidup mereka yang pahit di masa kanak-kanak, ketidak-adilan yang mencekiknya dalam kepailitan itu, telah menjadikan mereka orang yang tidak lagi mengenal kasih sesama. Mereka telah kehilangan segala kepercayaan mereka terhadap orang-orang di sekitarnya. Mereka menganggap dunia ini seperti sebuah hutan rimba. Siapa yang kuat ialah yang berkuasa. Mereka tidak mengenal adab lagi yang mengikat manusia dalam bentuk kemanusiaannya. Tetapi mereka lebih percaya kepada pedangnya daripada kepada manusia sesamanya. Mereka lebih mendambakan diri pada benda-benda dan harta daripada kepada Sumber Hidupnya.”

“Ya tuan. Itu adalah gambaran yang tepat mengenai Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.”

“Itu adalah suatu bentuk yang menyedihkan dari ledakan perasaan yang merasa tertekan. Tetapi bentuk itu adalah bentuk yang tidak diharapkan. Seorang yang tidak mau mendapat perlakuan yang tidak adil, yang telah berusaha untuk melenyapkan perlakuan itu atas dirinya sendiri, tetapi setelah ia berhasil melenyapkan kekuasaan yang memperlakukannya tidak adil itu dengan kekuatan, maka ia sendiri terjerumus dalam kekuasaan yang serupa. Kekuasaan yang didasari oleh kekuatan, bukan oleh hasrat hidup bersama dalam adab kemanusiaan. Dan kekuasaan yang dilandaskan pada kekuatan itu akan berlangsung terus...”

Empu Gandring berhenti sejenak untuk menyeka peluhnya yang mengalir dikeningnya. Dan sesaat kemudian ia berkata lagi, “tetapi aku juga mengenal bentuk lain dari pada itu. Bentuk yang manis, yang serasi dengan pancaran sumbernya. Menentang ketidak-adilan justru untuk menegakkan keadilan. Bukan untuk merubah kekuatan yang menentukan kekuasaan. Bentuk itu adalah bentuk yang paling indah, meskipun seolah-olah hanya dapat terjadi di dalam mimpi. Namun adalah menjadi kewajiban kita bersama untuk berusaha menemukan bentuk yang paling indah itu. Ketidak-adilan, dan segala macam bentuk nafsu duniawi akan dapat ditumbangkan oleh kekuatan yang tidak ada batasnya. Cinta kasih. Cinta kasih diantara sesama yang dilahirkan di atas bumi ini dari sumber yang sama. Cinta kasih yang akan dapat melahirkan segala macam pengertian dan pengekangan diri dalam satu lingkaran hidup yang tenteram damai. Bukan karena dirinya merasa terikat oleh ancaman yang merampas kebebasan hidupnya, tetapi bersama-sama dengan tulus dan ikhlas mengekang diri sendiri dalam lingkaran yang dibuat bersama-sama.”

Tambi mengerutkan keningnya. Seleret ia dapat mengenali maksud Empu Gandring, tetapi sebagian daripadanya hanya dapat dimengertinya samar-samar.

“O” Empu Gandring berdesah, seolah-olah ia baru saja terbangun dari mimpinya “maafkan aku Ki Sanak. Barangkali aku terlampau banyak berbicara. Barangkali bicaraku tidak kau harapkan. Tetapi agaknya aku lebih banyak berbicara kepadaku sendiri. Karena aku pun melihat betapa banyak kekurangan di dalam diri. Aku dapat berkata tentang cinta kasih yang melampaui segala kekuatan dan kekuasaan. Tetapi aku masih mendukung senjata dipunggungku. Mudah-mudahan senjata tidak salah arah. Mudah-mudahan aku selalu dapat melihat apakah yang sebenarnya sedang aku hadapi. Lebih daripada itu, mudah-mudahan aku segera dapat menanggalkan senjata ini dari tubuhku.”

Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat merasakan sentuhan yang tajam pada dinding hatinya. Dan tiba-tiba ia merasakan sesuatu bergerak di dalam hatinya itu. Dan dengan tiba-tiba pula ia berkata, “Tuan, aku sekarang tidak takut lagi. Aku tidak akan lari dari pedukuhan ini. Aku akan tetap tinggal di sini.”

Empu Gandring memandangi orang itu dengan tajamnya Perlahan-lahan ia berdesis, “Kenapa?”

“Adalah menggelikan sekali bahwa selama ini aku selalu dikejar oleh ketakutan. Tuan, aku seolah-olah telah menemukan keberanian yang aku inginkan. Aku tidak takut lagi tuan.”

Empu Gandring tidak segera menyahut. Dipandanginya wajah orang yang bertubuh kekar itu. Ia melihat perubahan yang membayang diwajahnya. Tambi itu tiba-tiba telah menjadi seorang yang seolah-olah lain dari pada orang yang tadi ditemuinya di halaman. Wajah itu tidak lagi membayangkan kebengisan dan kekerasan. Kini wajah itu menjadi terang.

“Adalah aneh bahwa tuan telah membuka perasaanku. Aku tidak tahu, apakah tuan berbuat dengan sengaja atau tidak. Tetapi ternyata aku menemukan sesuatu setelah aku bertemu dan berbicara dengan tuan“ berkata Tambi itu kemudian.

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Tak ada yang dapat aku lakukan bagimu Ki Sanak, apalagi membuka perasaanmu. Hanya pancaran kasih dari Yang Maha Agung sajalah yang dapat memberimu ketenteraman. Agaknya kau telah mendapatkan kurnia yaug tiada taranya. Bukan kekuatan jasmaniah sehingga kau mampu mengalahkan Kebo Sindet, tetapi justru kekuatan rohaniah. Meskipun jasmaniah kau tidak akan mampu berbuat apa pun melawan orang itu, tetapi ternyata kau telah memiliki kekuatan itu. Kau sudah tidak takut lagi melawannya dengan caramu. Itu adalah kelebihanmu Ki Sanak, kelebibanmu dari padaku. Aku masih belum menemukan kurnia serupa itu. Aku masih harus mencoba menghadapi Kebo Sindet dengan Senjata.”

Tambi tertawa. Namun tiba-tiba suara tertawanya itu terputus, sehingga Empu Gandring terkejut karenanya. Apalagi ketika ia melibat kening Tambi itu berkerut-merut.

“Kenapa Ki Sanak?”

“Aneh. Aku merasakan keanehan di dalam diriku” gumam Tambi itu seolah-olah pada diri sendiri, “aku tidak pernah tertawa selama ini. Sejak aku lepas dari dukungan ibuku, aku hampir tidak pernah merasakan kesegaran yang tidak dapat membuat aku tertawa. Di padesan ini, hanyalah anak-anak yang masih menyusu ibunya sajalah yang dapat tertawa bila ibunya menciumnya, atau tertawa manis selagi ia bermimpi. Tetapi sejak kami turun dari selendang ibu, kami sudah harus bekerja membantu orang tua. Di sawah, di kebun, di rumah dan dimana-mana saja. Itu terjadi sejak aku masih kecil. Sejak Kebo Sindet masih kecil. Dan itu masih berlangsung sampai kini.”

“Sekarang apa yang terasa olehmu Ki Sanak?”

“Semua itu tak ubahnya dari pada sebuah mimpi. Pada saatnya aku akan bangun dari mimpi yang mengerikan ini.”

“Dan kau akan mengalami hidup yang sebenarnya. Bukan suatu mimpi yang mengerikan lagi. Justru kau akan mendapat kemenangan dari perjuanganmu yang terjadi di dalam mimpi itu.”

Tambi menarik nafas dalam-dalam. Gumamnya, “Bukankah ini hanya suatu pemupus? Bukankah dengan demikian aku hanya ingin menenteramkan hatiku sendiri?”

Empu Gandring menggeleng, “Pemupus adalah salah satu bentuk dari pada keputus-asaan. Tak ada jalan lain yang dapat ditempuh, selain apa yang telah terjadi. Tetapi kau tidak berada dalam keadaan yang demikian. Kau masih mempunyai banyak kesempatan. Kau masih dapat lari meninggalkan pedukuhan ini. Misalnya pergi bersamaku ke padukuhanku. Kau akan dapat hidup di sana dengan tenteram. Aku kira Kebo Sindet tidak akan mencarimu ke padukuhanku, sebab aku pun sedang mencarinya. Apakah begitu? Kau pergi ke Lulumbang?”

Tambi menggelengkan kepalanya, “Terima kasih Ki Sanak. Tetapi aku tidak akan pergi. Kalau aku pergi, maka orang-orang lain akan menjadi sasaran pertanyaan dan kemarahan Kebo Sindet. Orang-orang lain yang tidak bersalah akan mengalami nasib yang lebih jelek lagi. Karena itu biarlah aku tinggal di sini. Aku akan menghadapi segala tanggung jawab. Apa pun yang terjadi atas diriku, maka aku tidak akan ingkar, sebab aku sudah tidak takut lagi. Aku ingin segera bangun dari tidur dan mimpi yang mengerikan ini. Apa yang akan terjadi segeralah terjadi.”

Dada Empu Gandring berdesir mendengar jawaban itu. Tiba-tiba ia merasa bahwa kedatangannya benar-benar telah menyebabkan Tambi tersudut dalam keadaannya. Apalagi setelah ia menemukan suatu keyakinan di dalam dirinya, bahwa ia tidak akan lari. Karena itu tanpa disadarinya maka Empu Gandring berkata, “Ki Sanak, apakah kedatanganku telah menyebabkan kau mendapat kesulitan?”

“O, tidak tuan, tidak. Kalau aku ingin melepaskan diri, maka aku akan dapat berbuat sesuatu. Aku akan dapat memberi isyarat kepada Kebo Sindet. Ia akan datang kemari dan tanggung jawab persoalan tuan sudah tidak ada lagi padaku.”

Empu Gandring mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia bertanya, “Kenapa kau tidak berbuat demikian kali ini?”

“Tuan adalah seorang yang memiliki kelainan dari orang-orang yang pernah datang kemari. Orang-orang yang datang terdahulu tidak ada yang dapat memberikan sesuatu kepadaku selain kemarahan dan kehilangan akal.”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kerut-merut di keningnya menjadi semakin dalam. Orang tua itu ternyata sedang mencoba mencari jalan yang baik baginya dan baik bagi orang-orang Kemundungan, supaya mereka tidak menjadi sasaran kemarahan Kebo Sindet. “Adi,” berkata Empu Gandring kemudian, “apakah kau tidak bersalah apabila kau tidak memberikan tanda kepada Kebo Sindet?”

“Mungkin demikian tuan. Mungkin ada satu dua orang yang tidak senang kepadaku akan mengadukan hal itu. Bahwa aku telah berbicara dengan orang yang tak dikenal, dan bahwa aku tidak memberikan isyarat untuk memanggil Kebo Sindet.”

“Nah, kalau demikian” berkata Empu Gandring, “bukankah kau mau menolong aku, sedang kau sendiri akan terlepas dari tuduhan semacam itu? Ki Sanak, aku minta, berikan isyarat itu.”

Tambi mengerutkan keningnya, jawabnya, “Apakah aku harus mencelakakan tuan?”

“Bukan salahmu, akulah yang mencari Kebo Sindet.” jawab Empu Gandring.

Tambi terdiam sejenak. Tetapi diwajahnya membayang kebimbangan yang mencengkam hatinya. Bagi Tambi, kehadiran Kebo Sindet akan berarti maut yang mengerikan bagi orang yang tidak dikenal. Tetapi ketika disadari bahwa yang ada dihadapannya itu adalah seorang yang justru mencari Kebo Sindet, maka kesannya menjadi berbeda. Mungkin akibat yang akan terjadi kali ini berbeda.

Namun kebiasaan yang berulang-kali dilihatnya sama sekali tidak dapat dilupakannya. Ada juga satu-dua orang yang berani melawan seperti Empu Gandring ini. Tetapi akibatnya justru lebih mengerikan lagi. Kebiasaan itu telah terjadi sepanjang Kebo Sindet dan Wong Sarimpat kembali ke pedukuhan ini. Karena itu keragu-raguarnya atas kemampuan Empu Gandring masih belum lenyap dari kepalanya, meskipun ia telah dikagumkan oleh keccpatan gerak, ketangkasan dan kekuatan Empu Gandring yang sengaja diperlihatkan.

Melihat keragu-raguan itu, maka Empu Gandring berkata, “Jangan ragu-ragu. Mungkin kau masih membandingkan kemungkinan yang ada padaku dan Kebo Sindet. Biarlah aku yang akan mempertanggung-jawabkan sendiri apa yang akan terjadi dengan diriku. Tetapi perlu kau percayai bahwa aku telah pernah berkelahi melawannya, sehingga aku dapat menilai diriku sendiri.”

Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya cara itu memberikan kemungkinan-kemungkinan yang baik baginya. Apalagi seandainya benar-benar Empu Gandring dapat mengalahkan Kebo Sindet. Tetapi setidak-tidaknya ia akan terlepas dari segala macam prasangka, meskipun ia kini sudah tidak takut lagi menghadapi apapun. Sebab ia merasa berdiri pada landasan yang harus diyakininya.

Bahkan untuk seterusnya ia tidak akan lagi melakukan perbuatan terkutuk atas orang-orang yang datang ke pedukuhan ini, apalagi orang-orang yang tersesat dan mencari jalan. Meskipun ia menyadari akibat dari tindakannya itu, namun ia telah menyimpan keberanian di dalam dirinya. Kalau kali ini ia masih juga akan memberikan isyarat kepada Kebo Sindet, itu adalah karena permintaan orang yang tidak dikenal di pedukuhannya itu sendiri. Justru orang itu mencari orang yang bernama Kebo Sindet.

“Bagaimana Ki Sanak?” bertanya Empu Gandring.

Tambi menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, “Bukankah tuan yakin bahwa kedatangan Kebo Sindet tidak akan mencelakakan tuan?”

“Aku mengharap demikian. Tetapi aku tidak tahu, apa yang dikehendaki oleh Yang Maha Agung atas diriku. Namun aku berdoa semoga sifat-sifat yang ada pada Kebo Sindet itu segera lenyap dari antara kita manusia. Mungkin kita terpaksa melenyapkan orangnya itu pula. Tetapi bukan maksudnya. Dalam bentuknya yang tajam, aku mengharap bahwa sifat-sifat semacam itu akan dapat dilenyapkan tanpa menyentuh kulit wadagnya. Tetapi itu hanya dapat terjadi di dalam mimpi atau karena suatu keajaiban karena pengaruh kekuatan di luar kekuatan manusia, meskipun kadang-kadang manusia pulalah yang menjadi alatnya.”

Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia makin mengenal watak dan sifat tamunya itu. Meskipun apa yang didengarnya itu belum pernah menyentuh telinganya sebelumnya, namun hatinya seolah-olah menjadi terbuka menghadapi masa depannya dan menilai masa-masa lampaunya.

“Nah, apakah kau bersedia memberikan isyarat itu?” bertanya Empu Gandring kemudian.

Tambi masih mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baiklah tuan, aku akan memberikan isyarat. Tetapi hal itu justru karena aku percaya kepada tuan, bahwa tuan tidak akan mengalami perlakuan yang tidak aku kehendaki. Aku sudah jemu melihat semua peristiwa-peristiwa dimasa-masa lampau. Aku sudah jemu melihat Kemundungan ini menjadi tidak ubahnya hutan yang liar. Kekuasaan di sini sama sekali tidak tumbuh karena keinginan bersama atas dasar kepercayaan dan kesatuan hasrat dalam hidup bersama untuk saling menghormati dan mengekang diri dengan tulus seperti kata tuan, tetapi kekuasaan di sini sama artinya dengan kekuatan.”

“Mudah-mudahan demikianlah hendaknya” sahut Empu Gandring.

“Baiklah tuan. Adalah menjadi kebiasaan orang-orang di padukuhan ini untuk menunggu aku memberikan isyarat kepada mereka. Kemudian salah seorang dari mereka akan segera pergi ke sudut desa, naik ke atas menara bambu yang kita buat sengaja untuk menggantungkan kentongan.”

“Lakukanlah Ki Sanak. Kalau kau berhasil mengundang Kebo Sindet aku akan berterima kasih kepadamu.”

Tambi itu pun kemudian berdiri. Beberapa langkah ia maju ke depan pintu. Kemudian ditebarkannya pandangan matanya berkeliling. Kehalaman-halaman di sekitar halaman rumahnya. Dilihatnya beberapa orang berdiri termangu-mangu.

“Mereka lebih senang menunggu apa yang akan terjadi dari pada pergi ke ladang” gumam Tambi di dalam hatinya, bahkan orang yang sudah berada di ladang pun tergesa-gesa pulang untuk melihat peristiwa-peristiwa yang mengerikan.

Sejenak orang-orang itu berdiri termangu-mangu. Mereka melihat perbedaan dari kejadian-kejadian yang pernah mereka saksikan. Mereka tidak melihat Tambi berkelahi dengan orang itu. Mereka hanya melihat orang yang tidak mereka kenal itu bergerak dengan kecepatan yang tidak dapat mereka bayangkan, menggerakkan kerisnya, dan tiba-tiba pohon-pohon Tal dan Siwalan itu pun roboh hampir bersamaan.

“Kakang Tambi tidak berdaya menghadapinya” bisik di antara mereka.

Dan kini mereka melihat Tambi itu berdiri di muka pintu rumahnya. Biasanya Tambi tidak menunggu terlampau lama, apabila ia merasa bahwa lawannya tidak dapat dikalahkan, segera ia memberikan isyarat untuk memanggil Kebo Sindet atau Wong Sarimpat atau malahan kedua-duanya akan datang bersama-sama. Tetapi kali ini Tambi masih berdiam diri. Namun akhirnya orang-orang itu melihat Tambi menggerakkan tangannya. Gerak yang sudah mereka kenal betul artinya. Membunyikan isyarat untuk memanggil Kebo Sindet atau Wong Sarimpat.

Seperti berebutan beberapa orang meloncat berlari-larian ke menara bambu di sudut desa. Mereka menjadi seperti kanak-kanak yang sedang berlomba. Kebiasaan itu lambat laun telah menumbuhkan kesenangan tersendiri. Siapakah yang paling dahulu mencapai menara dan membunyikan tanda untuk memanggil Kebo Sindet merasa mendapatkan kepuasan. Seolah-olah ia telah memberikan jasa yang berharga bagi padukuhannya, meskipun kemudian apabila mereka melihat mayat yang terkapar di jalan pedukuhan mereka, mereka masih juga merasa ngeri. Mereka akan mengeluh berkepanjangan apabila mereka kemudian harus menggali lubang, mengusung mayat itu dan kemudian menguburkannya.

Dengan demikian maka hidup mereka selalu diliputi oleh suasana yang selalu bertentangan. Mereka tidak dapat hidup dalam keserasian sikap dan perasaan. Bahkan di dalam setiap dada orang-orang Kemundungan itu pun telah tumbuh berbagai pertentangan yang menjadikan hidup mereka seakan-akan tidak berarti dan tanpa tujuan. Demikianlah maka sejenak kemudian terdengar suara kentongan bergema di padukuhan kecil itu. Suaranya seakan-akan beruntun melontar kembali setelah membentur dinding-dinding bukit gundul. Susul-menyusul seperti seperti suara yang memanggil-manggil dari dunia yang lain.

Tambi sudah terlalu biasa mendengar suara kentongan itu. Bahkan apabila ia berada dalam kesulitan, maka suara itu dapat memberinya ketenteraman. Sebab sejenak kemudian pasti akan datang Kebo Sindet atau Wong Sarimpat atau kedua-duanya yang akan melepaskannya dari kesulitan itu. Namun kemudian ia terpaksa menyaksikan peristiwa yang mengerikan. Setiap kali, demikianlah yang terjadi. Dan setiap kali hatinya menjadi sakit setelah ia bersenang hati karena ia sendiri dapat dibebaskan dari kesulitannya.

Pertentangan-pertentangan yang terjadi di dalam diri Tambi dan orang-orang Kemundungan itu telah berlangsung bertahun-tahun. Setiap kali mereka merasakan pertentangan itu di dalam diri mereka. Namun lambat-laun perasaan itu seolah-olah menjadi semakin kebal. Hanya dalam keadaan-keadaan tertentu perasaan itu masih juga tumbuh di dalam hati mereka. Korban-korban yang malang, yang sama sekali tidak bersalah dan tidak menyadari kesalahannya, masih juga menumbuhkan iba di hati mereka yang sudah mengeras.

Kali ini orang-orang Kemundungan tidak dapat menilai, apakah orang yang bersenjata keris raksasa dipunggungnya itu pantas dikasihani atau tidak. Mereka tidak tahu, apakah sudah sepantasnya orang yang tak dikenal itu akan dihadapkan kepada Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Sebab meskipun mereka menjadi kagum dan hampir-hampir tidak mengerti akan apa yang dilihatnya, namun seolah-olah telah hampir menjadi suatu kepastian, bahwa kehadiran Kebo Sindet berarti bencana bagi orang yang tidak dikenal yang masuk ke dalam padesan ini.

Sejenak halaman rumah Tambi itu menjadi sepi tegang. Setiap orang berdiri kaku di tempatnya, seperti batang-batang pepohonan yang beku di halaman di sekitarnya. Mereka menunggu apakah yang akan terjadi kemudian. Apakah yang akan dilakukan oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat atas orang tua yang kini duduk di dalam rumah Tambi itu. Mereka merasa ada kelainan dari peristiwa-peristiwa yang parnah terjadi.

Tambi pun kini menjadi berdebar-debar. Suara kentongan itu telah menjadikannya muak. Ia yang telah biasa mendengar suara itu, dan bahkan suara itu dapat memberinya ketenteraman dalam setiap kesulitan, namun kali ini ia menjadi sedemikian benci mendengar suara itu. Suara itu di telinganya kini bagaikan suara iblis yang berteriak-teriak dari lubang kubur. Tetapi ketika suara itu kemudian berhenti, hati Tambi pun menjadi semakin berdebar-debar. Biasanya, sesaat kemudian mereka pasti akan mendengar langkah kuda berderap di atas tanah berbatu-batu. Dan sesaat berikutnya mereka segera akan melihat pertunjukan maut.

Kesepian masih mencengkam halaman rumah Tambi dan halaman-halaman di sekitarnya. Beberapa orang laki-laki kurus berdiri tegak tanpa bergerak. Sedang anak-anak muda yang pucat bergerombol di bawah batang-batang pisang. Perempuan-perempuan biasanya hanya mengintip saja dari sela-sela pintu rumahnya yang tidak terkatub rapat sambil memeluk bayi-bayinya yang menangis ketakutan. Sejenak mereka diam menunggu.

Empu Gandring pun duduk dengan hati berdebar-debar pula. Bukan karena cemas, bahwa Kebo Sindet akan datang, tetapi justru karena teka-teki di dalam hatinya, apakah Kebo Sindet akan datang atau tidak. Ketegangan di halaman di sekitar rumah Tambi itu menjadi semakin memuncak. Mereka benar-benar merasakan perbedaan keadaan. Sudah beberapa lama bunyi kentongan menggetarkan lereng bukit gundul, namun mereka sama sekali belum mendengar kuda berderap. Mereka belum melihat Kebo Sindet atau Wong Sarimpat datang sambil berteriak-teriak. Mereka belum melihat sesuatu.

Tambi pun berdebar-debar pula. Kebo Sindet ternyata tidak segera datang. Dan teringatlah ia kepada kata-kata Empu Gandring, bahwa Kebo Sindet sedang menyembunyikan diri. Sebenarnya Tambi sudah sejak beberapa saat menemukan kepercayaan pada orang tua itu. Kini ia semakin yakin, bahwa semua kata-katanya bukan sekedar sesuatu sikap untuk membanggakan diri. Ternyata Kebo Sindet tidak segera datang. Sudah pasti bahwa Kebo Sindet tidak berani berhadapan dengan orang yang bernama Empu Gandring itu.

Meskipun demikian Tambi tidak segera berbuat sesuatu. Ditunggunya saja keadaan berkembang menurut keadaannya. Beberapa lama ia berdiri di muka pintu rumahnya memandangi tetangga-tetangganya yang tidak pula kalah tegangnya. Bahkan seakan mereka telah menggantungkan mata mereka di pagar-pagar batu yang rendah di sekeliling halaman masing-masing untuk melihat, apakah segera datang seekor kuda berderap di jalan berbatu-batu itu. Namun ternyata Kebo Sindet tidak segera datang. Orang-orang di padukuhan Kemundungan itu mulai gelisah. Hal yang serupa jarang-jarang terjadi. Hampir dapat dipastikan bahwa setiap kentungan itu berbunyi, Kebo Sindet atau Wong Sarimpat segera akan muncul.

Tetapi sekali hal yang demikian memang pernah terjadi. Kebo Sindet dan Wong Sarimpat sedang tidak ada di gubuknya. Ketika kedua orang itu tidak segera datang, maka terdorong oleh rasa takut kepada mereka, maka Tambi mengambil kebijaksanaan lain. Sambil berteriak-teriak ia memanggil setiap laki-laki dan anak-anak muda. Mereka harus membantu Tambi menyelesaikan tugasnya. Panggilan itu menjalar dari setiap mulut kemulut yang lain.

Sejenak kemudian hampir setiap laki-laki dan anak-anak muda sudah berkumpul. Bahkan anak-anak tanggung pun berdatangan pula. Mereka lebih takut kepada Kebo Sindet dari pada orang yang tidak mereka kenal, yang tidak segera dapat dikalahkan oleh Tambi. Pada saat itu, orang yang sedang berkelahi melawan Tambi menjadi cemas nielihat sekian laki-laki dan anak-anak muda, sehingga orang itu segera melarikan dirinya, sebelum ia melawan orang-orang Kemundungan itu.

Kini terjadi hal yang serupa. Kentongan itu sudah lama berbunyi. Tetapi Kebo Sindet masih juga belum datang. Dengan demikian maka laki-laki yang berada di sekitar halaman rumah Tambi itu berpikir, apakah Tambi akan mengambil kebijaksanaan yang serupa. Memanggil mereka, dan mengeroyok beramai-ramai. Tetapi ternyata Tambi tidak berbuat demikian. Kali ini ia tidak berteriak-teriak dengan penuh kemarahan. Tidak pula memanggil orang-orang yang berdiri di halaman di sekitar halaman rumahnya.

Tetapi dengan kepala tunduk Tambi melangkah masuk ke rumahnya kembali dan kemudian duduk dihadapan Empu Gandring sambil berdesis, “Tuan agaknya iblis itu tidak berani datang. Mungkin ia sudah menduga bahwa tuan akan kemari.”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi menurut pendapatnya, tempat Kebo Sindet itu bersembunyi agaknya terlampau jauh, sehingga suara kentongan itu tidak dapat didengarnya. Karena itu maka ia bertanya, “Ki Sanak, apakah suara kentongan itu dapat melampaui bukit gundul, menembus hutan dan mencapai rawa-rawa di mana Kebo Sindet itu bersembunyi, apabila ia benar ia berada di sana?”

Tambi mengerutkan keningnya. Katanya, “Tuan benar. Kalau tuan memang sudah mencari di gubuknya dan tuan tidak menemuinya setelah tuan mengejarnya, maka satu-satunya kemungkinan baginya adalah bersembunyi di tengah rawa-rawa itu.”

“Jadi tak ada gunanya aku menunggunya di sini.”

“Kalau ia sudah berada di gubugnya, maka ia akan segera datang kemari, apabila ia mendengar isyarat itu, tuan.”

“Kalau ia tahu bahwa aku lah yang di sini, mungkin ia tidak akan datang meskipun ia mendengar isyarat itu pula.”

Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ia melihat wajah Empu Gandring menjadi kecewa. “Maaf tuan” berkata Tambi kemudian, “aku tidak dapat membantu tuan lebih dari pada itu.”

“Oh” sahut Empu Gandring dengan serta-merta, “kau tidak mengecewakan aku. Kau sudah berbuat apa saja yang dapat kau lakukan. Tetapi aku kecewa karena Kebo Sindet tidak datang ke padukuhan ini seperti biasa.”

Tambi tidak menjawab. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.

“Persoalanku dengan Kebo Sindet adalah persoalan yang tidak dapat dibiarkan. Aku harus menemukan penyelesaian.”

Tambi masih mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tetapi apa boleh buat,” gumam Empu Gandring seakan-akan kepada diri sendiri, “aku harus menemukannya, meskipun aku harus menyeberangi rawa-rawa itu.”

“Tuan” tiba-tiba Tambi memotong, “kalau tuan mau mendengarkan permintaanku, jangan tuan mencoba menyeberangi rawa-rawa itu. Tak seorang pun yang akan pernah berhasil.”

“Kalau Kebo Sindet dapat melakukannya, kenapa aku tidak?”

“Orang itu sudah mengenal betul jalan yang harus dilaluinya. Mungkin ia mengenal pohon-pohon yang dapat dijadikannya sebagai ancar-ancar.”

“Bagaimanakah ia untuk pertama kalinya dapat sampai tempat itu?” bertanya Empu Gandring.

Tambi menggelengkan kepalanya, jawabnya, “Mungkin seseorang telah menunjukkannya, tetapi mungkin hanya karena kebetulan saja, atau barangkali sengaja ia menjajagi rawa-rawa itu setiap hari dengan telaten untuk menemukan jalan memasuki hutan itu.”

“Aku akan menempuh cara yang terakhir. Aku akan menjajagi dengan hati-hati, sehingga aku menemukan jalan yang dapat langsung sampai ke tengah hutan itu.”

“Tuan akan memerlukan waktu yang lama. Tetapi kalau nasib tuan tidak begitu baik, maka tuan akan terperosok ke dalam lumpur. Jika demikian maka kemungkinan untuk menarik diri dari dalamnya adalah sulit sekali.”

“Terima kasih Ki Sanak, tetapi yang menjadi taruhan adalah sebuah nyawa. Kemanakanku telah dibawa oleh Kebo Sindet. Aku harus membebaskannya.”

“Tetapi bagaimana dengan nyawa tuan sendiri.”

“Aku sudah tua. Nyawaku sudah tidak begitu berharga dibanding dengan nyawa kemanakanku yang memiliki hari depan yang masih panjang.”

“Tetapi kalau tuan gagal menyeberangi rawa-rawa itu, maka tidak hanya satu nyawa, tetapi kedua-duanya tidak dapat diselamatkan.”

Empu Gandring terdiam sejenak. Kerut-merut dikeningnya menjadi kian dalam. Sesaat kemudian ia bergumam, “Aku tidak boleh menyerah. Aku harus menemukannya. Aku mengharap bahwa aku akan dapat membebaskannya.”

Tambi menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang tua itu sudah membulatkan tekadnya, sehingga tidak akan dapat dihalanginya lagi. Meskipun demikian, sekali lagi ia berkata, “Tuan, pertimbangkanlah baik-baik. Apakah tuan tidak dapat mencari jalan lain?”

Empu Gandring menggelengkan kepalanya, “Aku tidak dapat melihat jalan lain. Mungkin aku dapat menunggu Kebo Sindet keluar dari persembunyiannya, tetapi waktu itu akan terlampau panjang. Sadangkan dalam waktu yang panjang itu, segala kemungkinan dapat terjadi atas kemanakanku.”

“Jadi tuan akan mencoba menyeberangi rawa-rawa berlumpur itu?”

“Ya.”

Sekali lagi Tambi menarik nafas dalam-dalam, “Tuan akan mendapatkan kesulitan.”

“Tak ada pilihan lain” Empu Gandring bergumam sambil bergeser. Tiba-tiba ia berdiri dan berkata, “Sudahlah Ki Sanak. Aku akan pergi. Doakan saja, semoga aku dapat menyelesaikan pekerjaanku dengan baik.”

Tambi tidak dapat berbuat lain dari pada mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun wajahnya membayangkan kecemasan, namun ia berkata, “Mudah-mudahan tuan selamat.”

Empu Gandring tersenyum, “Aku menyerahkan segalanya kepada Yang Maha Agung. Aku hanya sekedar berusaha. Mudah-mudahan usahaku dibenarkan-Nya.”

“Ya, mudah-mudahan. Tuan berada dipihak yang benar.”

Sekali lagi Empu Gandring tersenyum, “Baiklah kau di padesan ini. Mudah-mudahan kau selamat.”

“Mudah-mudahan tuan. Tetapi aku tak akan menggigil lagi meskipun aku akan mengalami nasib yang bagaimanapun juga.”

“Apa yang akan kau lakukan.”

“Tentu tidak berarti. Dan barangkali sebelum ada yang dapat aku lakukan, aku sudah dikejar maut.”

Empu Gandring tertawa perlahan-lahan, “Jalan kita serupa. Aku pun demikian. Mungkin belum ada yang dapat aku lakukan, dan aku sudah mati ditelan oleh lumpur itu. Tetapi aku tidak akan mundur. Aku akan terus berusaha.”

Tambi mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia menjawab Empu Gandring telah melangkah keluar rumah itu sambil berkata, “Kita melakukan pekerjaan kita masing-masing. Kita berada dalam keadaan yang serupa. Kita saling berdoa, semoga pekerjaan kita masing mendapat perlindungan-Nya. Nah, selamat tinggal.”

“Terima kasih tuan” gumam Tambi perlahan-lahan.

“Kenapa terima kasih? Akulah yang harus berterima kasih kepadamu.”

“Karena kehadiran tuan aku menemukan ketenteraman.”

“Ah” Empu Gandring berdesah. Kini ia telah melangkahi tlundak pintu. Ketika kakinya melangkah turun dari tangga rumah itu, maka dilihatnya berpasang-pasang mata mengawasinya dengan sorot mata yang aneh. Sejenak Empu Gandring tertegun. Tetapi sebelum ia bertanya Tambi telah memberinya keterangan,

“Tuan, mereka heran melihat tuan. Tuan datang ke pedukuhan ini dengan tiba-tiba. Tuan telah mempertunjukkan suatu keajaiban. Beberapa batang Tal dan Siwalanku telah tuan tumbangkan hanya dengan sabetan keris. Sekarang tuan pergi meninggalkan padukuhan ini tanpa berbuat sesuatu setelah Kebo Sindet tidak hadir meskipun kami telah memberikan isyarat kepadanya. Hal ini adalah suatu yang jarang-jarang sekali terjadi disini. Karena itu mereka menjadi heran. Dan mungkin mereka menunggu apakah yang akan tuan lakukan. Mungkin mereka menyangka bahwa tuan akan membunuh aku, atau aku akan memanggil mereka untuk beramai-ramai mengeroyok tuan.”

Empu Gandring tersenyum. Katanya, “Aku minta diri. Katakanlah kepada mereka pula. Aku minta pamit. Kedatanganku kemari benar-benar untuk mencari Kebo Sindet, tanpa maksud yang lain.”

Tambi mengangguk, “Baik tuan.”

Sesaat kemudian mereka melihat Empu Gandring itu berjalan menuju ke kudanya yang diikatnya di halaman. Perlahan-lahan orang tua itu meloncat naik. “Selamat tinggal” katanya.

Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kuda yang ditumpangi oleh orang tua berkeris dipunggungnya itu segera bergerak melangkah meninggalkan halaman rumah Tambi. Sesekali Empu Gandring menoleh. Ia masih melihat Tambi berdiri di halaman rumahnya. Sesudah itu, maka kuda itu pun segera berlari. Semakin lama semakin kencang meninggalkan Padukuhan Kemundungan.

Sepeninggal Empu Gandring, orang-orang Kemundungan segera pergi menemui Tambi dengan tergesa-gesa. Berbagai hal mereka tanyakan kepada orang yang bertubuh kekar itu. Namun mereka menjadi heran mendengar jawaban Tambi. Bahkan keterangan Tambi pun terdengar sangat aneh di telinga mereka. Seolah-olah Tambi bukanlah Tambi yang mereka kenal sehari-hari. Apakah yang telah mendorong Tambi untuk berbuat demikian, seolah-olah ia sama sekali tidak takut lagi kepada Kebo Sindet.

Sementara itu Empu Gandring berpacu meninggalkan padukuhan kecil yang tandus itu. Ia menjadi agak kecewa karena dari pedukuhan itu, ia sama sekali tidak mendapat suatu penjelasan apa pun jang dapat memperingan pekerjaannya. Ia hanja sekedar mendengar beberapa ceritera lama tentang Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Namun dengan ceritera itu, Empu Gandring dapat meraba-raba, kenapa Kebo Sindet dan Wong Sarimpat selama ini berbuat aneh. Menimbun kekayaan, harta benda dan permata, tanpa menikmatinya sama sekali.

Masa-masa lampau mereka telah menjadikan mereka ketakutan untuk mengalaminya seperti yang pernah terjadi itu. Mereka tidak ingin lagi kelaparan, kekurangan makan dan tidak memiliki selembar pakaianpun. Itulah sebabnya maka mereka menimbun sebanyak-banyaknya. Pengaruh yang masih mengendap di sudut relung hatinya, dimasa kanak-kanaknya telah membuat mereka orang yang aneh.

Kedua orang kakak beradik itu melihat dunia ini dengan hati mereka yang gelap, seolah-olah dunia ini penuh dengan tindak kejahatan, kekejaman dan penghisapan dari seorang kepada yang lain, dari yang kuat atas yang lemah. Supaya mereka pada suatu ketika tidak akan kehabisan persediaan untuk hidupnya dihari mendatang, apalagi apabila datang orang baru yang melampaui kekuatan mereka berdua, maka mereka telah mernpunyai simpanan yang mereka sembunyikan baik-baik.

Dengan demikian, mereka telah terjerumus dalam cara hidup yang aneh. Siang malam berusaha untuk menambah timbunan harta benda tanpa pernah merasakannya. Makan dan pakaian mereka hanya sekedar untuk mencukupi kebutuhan dalam tataran yang paling rendah, seperti kebanyak orang-orang Kemundungan yang lain. Kesempatan-kesempatan untuk merasakan kenikmatan hidup, terlampau jarang dihayatinya.

Kedua kakak beradik yang seakan-akan hidup di dunia yang asing itu sama sekali tidak dapat melihat, apa yang sebenarnya gumelar di atas bumi ini. Lingkungan mereka adalah lingkungan yang memaksa mereka untuk menjadi seorang yang berhati hitam.

“Kasihan” tiba-tiba Empu Gandring itu berdesis sambil memacu kudanya, “orang-orang demikianlah, orang yang sebenarnya harus dikasihani. Nasibnya terlampau jelek, sehingga hampir-hampir tidak ada kesempatan untuk bangkit kembali. Nasib Wong Sarimpat ternyata lebih malang lagi. Ia sudah tidak mendapat kesempatan untuk berbuat apa-apa lagi. Ia mati dalam keadaan yang kelam.

Tetapi Empu Gandring itu pun segera menarik nafas dalam-dalam sambil bergumam, “Aku pun kini membawa senjata ini untuk mencari Kebo Sindet. Apakah senjata ini akan dapat menjadi alat untuk menolongnya, mengambilnya dari dunianya yang sekarang, atau justru akan mendorongnya lebih dalam? Tetapi aku tidak dapat membiarkan Mahisa Agni. Aku harus melepaskannya. Kalau hal ini akan berakibat buruk bagi Kebo Sindet, maka hal itu sama sekali bukan tujuanku.”

Empu Gandring mengerutkan keningnya, dan menahan kendali kudanya sedikit ketika kuda itu mulai mendaki bukit gundul. Kemudian dengan menebarkan debu yang keputih-putihan kuda itu berderap di atas padas dan tanah yang kering. Sebentar kemudian kuda itu telah menuruni tebing yang curam. Empu Gandring terpaksa menahan kuda itu supaya berjalan perlahan-lahan dan hati-hati.

Setelah bukit gundul itu dilalui, maka segera Empu Gandring menuju ke hutan yang berawa-rawa. Hati orang tua itu mulai berdebar-debar ketika dari kejauhan dilihatnya hutan yang tidak begitu lebat. Dari sela-sela rimbunnya dedaunan, sinar matahari yang telah menjadi panas, seolah-olah bermain-main di atas air yang keruh berlumpur. Angin yang silir menggerakkan dedaunan dan bayang-bayang di wajah air.

Ketika kudanya telah sampai di bibir rawa-rawa itu, maka Empu Gandring segera menahan kendali, sehingga kuda itu pun berhenti sebelum kaki belakangnya menginjak air. Tetapi injakan kaki depan kuda itu telah mengejutkan Empu Gandring, karena tiba-tiba kuda itu meringkik dan dengan sekuat tenaga ditariknya kedua belah kakinya. Tetapi dengan demikian, maka tenaga kuda itu telah mendorong kaki belakangnya untuk menginjak air itu pula.

Empu Gandring segera menyadari keadaannya. Sebelum kuda itu melonjak-lonjak dan justru menjadi semakin ketengah, segera ia meloncar turun di atas tanah yang tidak tergenang lumpur. Kemudian diteriak-teriaknya kudanya menepi. Lambat laun, kuda itu pun berhasil melepaskan kakinya dari dalam lumpur. Terdengar kuda itu meringkik sekali lagi sambil mengibas-ibaskan ekornya.

“Hem” Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam, “inilah isi dari rawa-rawa ini. Tanah berlumpur yang gembur. Tetapi pasti ada bagian-bagian yang keras, yang dapat dilalui oleh kuda. Sebab terbukti bahwa Kebo Sindet dapat menyeberangi rawa-rawa ini pula.”

Empu Gandring masih ingat betul, dimanakah kuda Kebo Sindet yang diikutinya masuk ke dalam air. Tetapi setelah itu, ia tidak tahu, arah yang diambil oleh buruannya. Ia akan dapat mengikuti jejak itu masuk ke dalam rawa-rawa. Namun setelah itu, apakah ia tidak akan tersesat, terjerumus ke dalam lumpur, bahkan lumpur yang cukup dalam? Empu Gandring kini berdiri termangu-mangu. Diingatnya pesan Tambi, orang yang rumahnya tidak terlalu jauh dari rawa-rawa itu. Bahwa rawa-rawa itu sangat berbahaya baginya.

“Tetapi aku harus menolong Mahisa Agni.” desisnya.

Sejenak Empu Gandring tidak berbuat sesuatu. Ia masih memegang kendali kudanya. “Aku akan menjajagi rawa-rawa itu dengan kaki” gumamnya kemudian.

Diikatkannya kudanya itu pada sebatang pohon. Diikatkannya kain panjangnya di lambungnya. Dengan hati-hati kemudian ia pergi ke tepi rawa itu, tempat bekas-bekas kaki kuda Kebo Sindet lenyap ditelan air.

“Di sini kuda itu masuk” desisnya kepada diri sendiri, “pasti bagian ini cukup keras.”

Dengan hati-hati Empu Gandring itu menginjakkan kakinya ke dalam air yang coklat berlumpur. Ternyata dugaannya benar. Ia mendapat tempat berpijak yang cukup keras. Setapak lagi ia maju setelah kakinya meraba-raba. Setapak demi setapak ia maju. Tetapi pekerjaan itu memakan waktu yang sangat lama. Namun Empu Gandring sama sekali tidak berputus asa. Ketika tiba-tiba kakinya tidak menemukan tanah yang keras di depannya, maka beberapa langkah ia surut sambil mencari bagian2 lain yang dapat diinjaknya.

“Ini adalah jalan satu-satunya” gumamnya. Tetapi tiba-tiba ia tertegun ketika ia melihat sesuatu yang bergerak di dalam air. Semakin lama semakin dekat, seolah-olah sengaja menyerangnya.

Empu Gandring berdiri diam dengan hati yang berdebar. Namun segera ia melihat, bahwa yang meluncur di dalam air yang keruh itu adalah seekor ular air hitam. Sejenis ular yang mempunyai bisa yang tajam. “Hem” Empu Gandring berdesah, “ternyata rawa ini menyimpan seribu macam bahaya.”

Tetapi ternyata ular itu tidak langsung menyerangnya. Beberapa langkah dari Empu Gandring ular itu mengambil arah yang lain. Meskipun demikian Empu Gandring masih belum bargerak. Ia menyadari, babwa gerak yang paling kecil sekalipun akan dapat menarik perhatian ular itu. Namun demikian tangannya telah siap untuk menarik kerisnya apabila perlu.

Dipandanginya ular yang meluncur tidak jauh disampingnya itu dengan tanpa berkedip. Setiap saat ular itu dapat berhenti, berpaling dan meluncur mematuknya. Di tanah yang kering dan keras ia tidak perlu mencemaskan serangan seekor ular apabila ular itu dilihatnya. Empu Gandring termasuk salah seorang yang gemar bermain-main dengan bisa, sesuai dengan pekerjaannya, membuat keris. Tetapi di dalam air berlumpur, maka ia harus membuat perhitungan lain. Mungkin selangkah ia bergeser, maka kakinya akan terhisap masuk ke dalam lumpur. Karena itu, lebih baik ia berdiri tegak tanpa bergerak sedikit pun dari pada harus melakukan perlawanan atas ular itu dengan kemungkinan-kemungkinan yang tidak menyenangkannya.

Ular itu pun meluncur semakin lama semakin jauh. Namun ular itu telah menimbulkan kesan yang mendebarkan jantung Empu Gandring. Ternyata ular air hitam itu cukup besar untuk menelan seekor kelinci. Sejenak Empu Gandring diam termangu-mangu. Ditatapnya rawa-rawa yang terbentang dihadapannya. Rawa itu masih cukup luas. Sedang airnya sama sekali tidak rata. Sebagian terlampau dangkal sehingga beberapa cengkang tanah kadang-kadang menonjol ke atas permukaan air. Namun di bagian yang lain ternyata terlampau dalam.

Tetapi Empu Gandring masih belum berputus asa. Ia masih mencoba melangkah maju, meraba-raba dengan kakinya. Beberapa kali ia terpaksa melangkah surut dan mencari tanah yang cukup keras. Kadang-kadang tanah itu mengeras seperti padas, tetapi licinnya bukan main. Namun selangkah lagi yang diinjaknya adalah lumpur yang sangat gembur.

Ketika Empu Gandring berpaling ke tanah yang tidak digenangi air maka ia menarik nafas dalam-dalam. Ternyata jarak yang dicapainya sama sekali belum seberapa dibandingkan dengan waktu yang dipergunakannya Ia masih melihat jelas kudanya makan rerumputan yang hijau. Bahkan ia masih melihat batang-batang perdu yang rendah diantara kaki-kaki kudanya itu.

“Aku akan memerlukan waktu berapa hari untuk menemukan jalan ke seberang” gumamnya, “tetapi apa boleh buat.”

Beberapa kali Empu Gandring mencoba berpegangan pada sulur-sulur tumbuh-tumbuhan air yang tampaknya menjadi semakin garang. Tetapi ia tidak dapat meloncat dari akar-akar sebatang pohon ke batang yang lain. Bahkan ia juga tidak menemukan kemungkinan untuk meloncat dari dahan pohon ke dahan berikutnya, karena jarak yang sama sekali tidak rata. Ketika Empu Gandring menengadahkan wajahnya, sekali lagi ia berdesah. Matahari sudah menjadi semakin condong.

“Sebentar lagi hari akan menjadi gelap. Dan aku masih belum berajak dari tempat ini.”

Ketika angin berdesir perlahan-lahan menyentuh dedaunan, maka Empu Gandring bersandar sebatang pohon, dan berdiri pada akar-akarnya. Sesaat ia menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya ia mengambil keputusan, bahwa ia harus menunda usahanya itu sampai besok. Sebelum gelap ia harus sudah berada di luar rawa itu, supaya ia tidak kehilangan jalan. Di dalam gelap maka bahaya akan menjadi lebih besar. Ular-ular air dan binatang-binatang berbisa lainnya.

Desir ular-ular yang cukup besar akan dapat didengarnya, tetapi ular-ular yang kecil sama sekali tidak dapat diketahuinya. Sedang bisa ular-ular kecil itu pun cukup tajam untuk membenamkannya ke dalam rawa-rawa dan tidak akan bangkit kembali. Meskipun Empu Gandring membawa juga beberapa macam reramuan untuk menawarkan bisa, tetapi obat itu tidak terlampau banyak, sedang agaknya ular dirawa-rawa ini merupakan penghuni utamanya.

Lewat tanah-tanah yang telah diingatnya, Empu Gandring berjalan kembali menepi. Ia dapat berjalan lebih cepat dari pada ketika ia sedang mencari jalan itu. Meskipun demikian, kadang-kadang ia masih juga merasa kakinya menyentuh lumpur-lumpur yang lunak di sebelah batu-batu padas yang diinjaknya. Sebelum gelap Empu Gandring sudah berada di pinggir rawa itu. Ia sama sekali tidak merasa lapar. Tetapi lehernya rerasa kering. Sedang air yang dihadapinya adalah air berlumpur.

“Apakah aku harus minum air itu?” pikirnya. Tetapi Empu Gandring masih mencoba menahan haus. Kalau terpaksa, ia harus minum air itu juga.

Untuk menghindarkan diri dari serangan binatang-binatang yang tidak dikenalnya, maka ketika hari menjadi gelap Empu Gandring memanjat sebatang pohon di tempat yang agak lapang. Di sekitarnya tidak tumbuh pohon yang rimbun dan lebat. Sedang kudanya diikatnya di bawah pohon itu. Empu Gandring adalah seorang yang telah membiasakan diri hidup dalam keadaan yang sulit. Orang tua itu pun mempunyai ketahanan tubuh yang luar biasa. Ia mampu berkelahi tidak saja sehari semalam terus menerus tanpa berhenti, tetapi tiga hari ia akan dapat melakukannya.

Namun kini terasa tubuhnya menjadi letih. Hatinya juga letih. Usahanya untuk menemukan jalan menyeberangi rawa-rawa itu telah menegangkan segala urat syarafnya. Dengan demikian maka Empu Gandring itu benar-benar ingin beristirahat untuk menyegarkan tubuhnya kembali. Besok ia masih harus bekerja keras. Meraba-raba jalan untuk menyeberangi rawa-rawa itu. Namun kadang tumbuh juga berbagai macam kecemasan di dalam hatinya. Ternyata di dalam air itu banyak terdapat ular-ular air hitam, dan mungkin binatang-binatang air yang lain yang belum dikenalnya. Kadal air yang berwarna abu-abu kehitam-hitaman pun mempunyai bisa setajam ular bandotan.

Tetapi yang lebih berbahaya lagi, apabila Kebo Sindet sengaja menemuinya di dalam rawa-rawa itu. Orang itu telah memiliki kemenangan pertama dari padanya. Ia jauh lebih mengenal watak dan sifat dari rawa-rawa berlumpur ini. Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam, “Tetapi aku tidak akan mundur.”

Dengan demikian maka hatinya menjadi semakin bulat. Dan kini ia ingin benar-benar melepaskan segala macam ketegangan. Perlahan-lahan ia berdesah, “Biarlah aku pikirkan besok. Sekarang aku akan beristirahat, badan dan pikiran.”

Sekali lagi Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Kemudian diselimutkannya kain panjangnya pada hampir seluruh tubuhnya. Ternyata di atas dahan itu pun banyak sekali terdapat nyamuk. Sejenak Empu Gandring itu dapat benar-benar beristirahat. Matanya terpejam dan nafasnya berjalan dengan teratur. Meskipun orang tua tidak tertidur nyenyak, karena sebagian dari indranya masih mampu menangkap getaran-getaran yang terjadi di luar dirinya meskipun hanya lamat-lamat, namun istirahat yang demikian telah memberinya kesegaran baru.

Tetapi kesempatan itu ternyata tidak terlampau lama. Empu Gandring membuka matanya ketika ia mendengar kudanya menjadi gelisah. Sejenak Empu Gandring masih berdiam diri. Bahkan seakan-akan ia tidak banyak menaruh perhatian. Ia menyangka bahwa kudanya pun telah diganggu oleh semacam nyamuk-nyamuk yang cukup banyak dan besar di bawah pohon itu.

Namun ternyata kuda itu tidak saja berjalan melingkari pohon itu. Kemudian di garuk-garukkan kakinya dan sejenak kemudian bahkan kuda itu meringkik perlahan. Kini Empu Gandring tidak lagi dapat membiarkan kudanya menjadi gelisah. Sebagai seorang yang memiliki pengalaman yang cukup maka segera ia tahu, bahwa kudanya telah mencium bau atau mendengar suara di sekellingnya.

“Aku menjadi iri pada kuda itu” berkata Empu Gandring di dalam batinnya, “beberapa tahun aku melatih diri, tetapi aku tidak akan mempunyai ketajaman firasat seperti seekor kuda. Mungkin seekor kuda mempunyai daya tangkap atas getaran-getaran yang tidak dapat dilakukan oleh manusia. Ternyata sampai sekarang aku belum mendengar, melihat apalagi mencium bau sesuatu yang dapat membuat aku menjadi gelisah seperti kuda itu.”

Meskipun demikian, meskipun tampaknya Empu Gandring masih belum beranjak dari tempatnya, bahkan masih belum mengangkat kepalanya yang diletakkannya di atas sebatang dahan yang menyalang dahan tempatnya duduk, namun ia telah bersiaga sepenuhnya. Apabila ada bahaya yang mendatang setiap saat, maka Empu Gandring telah siap untuk menghadapinya. Tetapi Empu Gandring masih belum mendengar maupun melihat sesuatu yang mencurigakannya, selain kudanya yang gelisah. Dedaunan di sekitarnya seolah-olah tidur dengan nyenyaknya. Tak ada yang kelihatan bergerak atau terdengar gemerisik di antara mereka.

Meskipun demikian Empu Gandring sudah tidak lagi dapat beristirahat dengan tenang. Kudanya yang gelisah itu membuatnya gelisah pula. Yang pertama-tama mengganggu perasaannya adalah Kebo Sindet. “Mungkin orang itu akan berusaha untuk mengintai aku dan kemudian dengan diam menyerang” katanya di dalam hati, “tetapi mudah-mudahan aku cukup sadar.”

Empu Gandring kemudian tidak lagi berusaha untuk tidur. Bahkan dipasangnya segenap daya tangkapnya setajam-tajamnya. Lambat laun, maka orang tua itu berhasil mendengar sesuatu di antara dedaunan beberapa langkah dari pohon tempat ia memanjat. Suara gemersik dedaunan, tetapi bukan karena angin malam.

“Apakah ada binatang buas di dalam rimbunnya dedaunan itu” pikirnya, “apabila demikian, maka binatang itu pasti sedang mengintai kudaku. Tetapi kalau yang berada di dalam gerumbul itu Kebo Sindet, maka pasti akulah yang diintainya.”

Sejenak Empu Gandring masih tetap ditempatnya. Ia ingin mengetahui, siapakah yang berada di dalam gerumbul itu. Akhirnya ia mengambil kesimpulan, bahwa yang berada di dalam gerumbul itu pasti bukan seekor binatang buas. Apabila yang bergerak-gerak itu binatang buas yang mengintai kudanya, maka binatang itu pasti sudah merayap mendekati, karena kudanya tidak juga pergi meninggalkan tempatnya karena terikat. Tetapi yang bergerak-gerak itu masih saja berada di tempatnya, bahkan kadang-kadang Empu Gandring seakan-akan kehilangan pengamatannya, karena dedaunan itu tiba-tiba sama sekali menjadi diam.

“Baiklah,” berkata Empu Gandring di dalam hatinya, “kita saling menunggu. Manakah yang lebih sabar berada di tempatnya. Aku atau orang bersembunyi itu.”

Meskipun demikian Empu Gandring telah membetulkan letak kerisnya, dan mengikatkan kain panjangnya di lambungnya. Disingsatkannya ikat pinggangnya dan rambutnya pula. Orang tua itu kini duduk di atas sebatang dahan. Setiap saat ia dapat turun meluncur pada batang pohon, atau apabila perlu meloncat langsung turun di tanah. Tetapi ia masih belum melihat sesuatu. Namun kudanya semakin gelisah dan bahkan terdengar kuda itu beberapa kali meringkik. Tiba-tiba kuda itu melonjak, berdiri pada kaki belakang dan berputar putar sehingga tali pengikatnya menjadi semakin pendek.

Empu Gandring mengerutkan keningnya. Ternyata orang yang berada di dalam gerumbul itu sudah mulai. Kudanya menjadi ketakutan dan berusaha untuk melarikan diri. Karena itu, maka Empu Gandring tidak akan dapat tetap berada di atas dahan pohon itu saja. Ia harus segera menghadapi keadaan itu. Tetapi seandainya yang datang itu Kebo Sindet, maka ia akan berterima kasih atas kedatangannya, sehingga ia tidak lagi perlu bersusah payah mencarinya. Tetapi bagaimanakah kalau Mahisa Agni masih ditinggalkannya di seberang rawa-rawa itu?

Meskipun Empu Gandring tidak dapat meyakinkan dirinya, bahwa ia akan dapat mengalahkan Kebo Sindet, tetapi ia harus berusaha berbuat demikian untuk kepentingan kemenakannya itu. Kalau akhirnya tidak seperti yang diharapkannya, maka itu adalah akibat yang dapat saja terjadi. Namun ia percaya kepada Yang Maha Agung, bahwa akhirnya yang benar juga yang akan dilindunginya. Ketika kudanya melonjak sekali lagi, maka Empu Gandring pun segera meloncat turun. Dengan penuh kesiagaan ia berjalan mendekati kudanya. Ditangkapnya kendali kuda itu, dan dibelainya lehernya untuk menenangkannya sambil bergumam perlahan,

“Tenanglah. Tak ada bahaya yang berarti bagimu. Orang yang bersembunyi di dalam gerumbul itu pun tidak akan berbuat jahat kepadamu.”

Kuda itu pun menjadi tenang. Namun Empu Gandring masih tetap dalam kesiagaan sepenuhnya meskipun tampaknya ia acuh tak acuh saja kepada orang yang bersembunyi di dalam gerumbul itu. Tetapi Empu Gandring pun kemudian berpaling ketika ia mendengar suara dari dalam gerumbul itu, “Benar Empu, Aku memang tidak akan berbuat jahat.”

“Hem” Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam, “kenapa kau bersembunyi? Marilah kita berbicara.”

“Maaf Empu, aku tidak bermaksud bersembunyi. Aku hanya ingin supaya aku tidak mengejutkan Empu dan kuda itu. Tetapi ternyata kudamu mempunyai indera yang luar biasa tajamnya, sehingga ia menjadi gelisah.”

“Ah” Empu Gandring berdesah, “apakah kau ingin mengatakan bahwa ketajaman inderaku kalah dengan seekor kuda?”

“Eh” sahut suara itu, “jangan terlampau dalam menangkap kata-kataku. Aku sesungguhnya bermaksud baik. Tetapi aku memang tidak ingin mengganggumu. Bukankah kau ingin beristirahat?”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak peduli apakah orang yang berada di dalam kegelapan gerumbul itu melihat anggukan kepalanya atau tidak. Tetapi Empu Gandring menjadi heran ketika ternyata suara itu sama sekali bukan suara Kebo Sindet. “Apakah ada orang lain yang akan turut campur dalam persoalan ini? Mungkin Empu Sada? Tetapi suara itu pun bukan suara Empu Sada.” Katanya di dalam hati.

Tetapi bagi Empu Gandring lebih baik untuk langsung bertemu dengan orang yang bersembunyi itu dari pada ia masih harus berteka-teki. Karena itu maka katanya, “Ki Sanak. Sebaiknya Ki Sanak tidak bersembunyi saja disitu. Kemarilah, kita berbicara dengan baik apabila maksudmu benar-benar baik.”

“Baiklah Empu” sahut suara itu, “aku akan datang. Sebenarnya aku pun akan mendekat, tetapi kudamu terlampau peka terhadap suara yang bagaimanapun lirihnya.”

“Kudaku sudah tenang Ki Sanak, kemarilah.”

Meskipun percakapan itu terdengar terlampau ramah, namun Empu Gandring tidak dapat melepaskan kewaspadaannya. Bahkan kerisnya telah mapan di punggungnya. Sejenak kemudian ia melihat gerumbul itu bergerak-gerak. Ternyata orang yang ditunggunya tidak bersembunyi di dalam gerumbul, tetapi hanya berlindung di belakang. Karena itu maka suara desir dedaunan yang ditimbulkannya terlampau lemah.

“Maafkan aku Empu, apabila aku mengganggumu.”

Empu Gandring tidak segera menjawab. Dicoba mengamati orang yang baru muncul dari balik gerumbul itu. Di dalam gelap malam ia tidak segera dapat melibat dengan jelas, siapa yang berdiri dihadapannya. Tetapi sudah jelas bahwa orang itu bukan Kebo Sindet dan juga bukan Empu Sada.

Setapak demi setapak orang itu melangkah maju. Namun langkah yang setapak-setapak itu memberitahukan kepada Empu Gandring bahwa orang yang dihadapinya ini adalah seorang yang tidak kalah berbahaya dari Kebo Sindet. Tetapi orang itu berkata bahwa ia tidak akan berbuat jahat. Meskipun demikian, karena Empu Gandring tidak segera dapat mengenalnya, maka ia masih belum dapat mempercayainya.

“Kemarilah Ki Sanak” berkata Empu Gandring kemudian. Orang itu melangkah semakin dekat. Dan Empu Gandring melihat orang itu berjalan semakin lambat. “Kemarilah” panggil Empu Gandring.

“Terima kasih Empu” sahut orang itu, “mudah-mudahan aku tidak mengejutkanmu.”

“Tidak, aku tidak terkejut karena kedatanganmu. Ternyata kau mempunyai cara yang baik sekali untuk mendekati pohon ini tanpa membangunkan aku. Tetapi aku terkejut karena kudaku yang menjadi gelisah. Nah, bukankah kudaku yang tidak pernah berlatih mempergunakan daya tangkap indera yang bagaimanapun juga itu mampu berbuat melebihi aku.”

“Ah” desah orang itu, “aku memang pernah mendengar ceritera, bahwa Empu Gandring senang berkelakar. Aku gembira dapat bertemu Empu lagi kali ini. Kesempatan yang lampau terlalu sedikit untuk mendengar kelakarmu yang segar.

Empu Gandring mengerutkan keningnya. Orang itu mengenalnya dengan baik. Bahkan orang itu berkata bahwa ia pernah bertemu dengan dirinya. “Hem,” Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam, “aku sudah pikun, dan malam terlampau gelap. Tetapi bagaimana ia dapat mengenal aku?” katanya di dalam hati.

Dan kini Empu Gandring melihat orang itu berhenti beberapa langkah dari padanya. Samar-samar Empu Gandring dapat melihat garis-garis bentuknya sebagai sebuah bayangan yang hitam. Tetapi wajah orang itu masih belum dilihatnya. Akhirnya Empu Gandring terpaksa bertanya, “Siapakah kau Ki Sanak? Dan apakah maksudmu mendekati aku?”

Terdengar orang itu menarik nafas dalam-dalam. Menilik suaranya maka orang itu pun setidak-tidaknya sudah setua Empu Gandring sendiri. Perlahan-lahan orang itu berkata dalam nada yang datar, “Empu, aku ingin mencoba mencegahmu menyeberangi rawa-rawa ini.”

“He,” dada Empu Gandring berdesir, “kenapa Ki Sanak? Apakah dengan demikian aku telah mengganggumu.”

“O tidak, tidak Empu. Kau sama sekali tidak mengganggu aku. Maaf, bahwa akulah yang sebenarnya mengganggumu.”

Empu Gandring mengerutkan keningnya mendengar jawaban yang ramah sopan itu. Tetapi meskipun demikian ia masih tetap dalam kewaspadaannya. “Kalau demikian kenapa Ki Sanak berkeberatan apabila aku menyebrangi rawa-rawa ini?”

“Aku bermaksud baik Empu. Rawa-rawa ini adalah rawa yang sangat jahat. Banyak sekali tersimpan bahaya di dalamnya. Mungkin Empu akan bertemu dengan ular air hitam, mungkin buaya-buaya kerdil yang sangat buas, yang hidup di dalam air pula."

“Ya, ya. Aku mengenal jenis-jenis binatang berbisa itu.”

“Tetapi Empu tidak menyangka bahwa binatang semacam itu banyak sekali terdapat di dalam rawa-rawa itu.”

“Aku sudah melihat. Aku sudah bertemu dengan sejenis ular air hitam sebesar lenganku.”

“Nah, itu adalah suatu contoh saja. Tetapi justru yang kecillah yang lebih berbahaya, sebab Empu akan dapat melihat kedatangan binatang-binatang yang cukup besar, tetapi yang kecil-kecil kadang-kadang dapat lepas dari perhatian.”

“Terima kasih Ki Sanak. Tetapi rawa-rawa ini tidak mustahil untuk diseberangi. Ternyata Kebo Sindet dapat menyeberangi rawa-rawa ini. Coba bayangkan. Kebo Sindet yang berada di atas punggung kuda membawa serta pula di atas punggung kuda itu seorang lagi yang sedang pingsan. Berapakah kira-kira berat beban yang menekan pada ujung telapak kaki kuda itu di atas tanah di bawah air rawa-rawa ini? Ternyata beban seberat itu dapat juga lewat. Apalagi aku seorang diri, berdiri di atas telapak kakiku.”

“Empu, Kebo Sindet telah mengenal rawa-rawa ini sebaik ia mengenal dirinya sendiri. Ia tahu benar manakah tanah padas yang dapat diinjak, dan manakah tanah berlumpur yang harus dijauhinya. Tetapi Empu sama sekali belum mengenal rawa-rawa ini.”

“Tetapi Ki Sanak, ular, buaya-buaya kerdil dan kadal-kadal berbisa sama sekali tidak dapat membedakan, apakah yang lewat itu orang yang sudah mengenal tempat ini baik-baik atau bukan.”

Terdengar orang itu tertawa. Jawabnya, “Empu benar. Ular-ular air dan kadal-kadal yang buas itu tidak akan dapat mengenal apakah orang yang lewat itu sahabatnya atau bukan, tetapi Kebo Sindet lah yang telah mengenal dengan baik tiap bunyi dan gerak dari binatang-binatang berbisa itu. Bahkan orang-orang yang telah biasa dengan binatang-binatang semacam itu dapat membedakan lewat penciumannya. Kebo Sindet mengenal pula riak air rawa-rawa ini. Apakah didekatnya ada ular air atau kadal air yang sedang meluncur. Dengan demikian ia dapat menyiapkan dirinya. Cara yang paling baik adalah berdiam diri tanpa bergerak, untuk tidak menarik perhatian binatang-binatang itu.”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya, “Aku juga biasa bermain-main dengan binatang-binatang berbisa Ki Sanak. Mungkin aku akan dapat menyesuaikan diriku dengan kebiasaan binatang di dalam rawa-rawa ini.”

“O” orang itu terdiam sejenak, kemudian katanya, “ya, aku lupa bahwa aku berhadapan dengan seorang Empu keris yang kenamaan. Seorang yang pasti jauh lebih mengenal watak dari binatang-binatang berbisa daripada aku. Namun meskipun demikian, aku tetap berpendapat bahwa sebaiknya Empu mengurungkan niat untuk menyeberangi rawa-rawa ini.”

Empu Gandring tidak segera menjawab. Dicobanya untuk menatap wajah orang yang berdiri beberapa langkah dari padanya. Ia sama sekali tidak melihat sikap yang mencurigakan pada orang itu. Dan kata-katanya pun cukup sopan dan ramah. Bahkan terasa hasrat yang sebenarnya tersirat pada kata-katanya, seperti yang pernah didengarnya dari Tambi. Sejenak Empu Gandring mempertimbangkan nasehat itu. Tetapi sejenak kemudian perasaannya telah hinggap kembali kepada hasratnya untuk menolong Mahisa Agni. Ia tidak dapat berbuat lain dari menyeberangi rawa-rawa itu.

Karena itu, maka kemudian Empu Gandring itu pun berkata, “Maaf Ki Sanak, aku tidak mempunyai cara lain dari menyeberangi rawa-rawa ini. Aku harus mendatangi tempat persembunyian Kebo Sindet untuk mengambil kemanakanku itu.”

“Empu, katakan bahwa Empu dapat melawan segala macam binatang berbisa karena Empu mempunyai obat penawarnya. Tetapi berapa lama Empu memerlukan waktu untuk mencari jalan di dasar rawa-rawa itu?”

“Mungkin sehari, mungkin sebulan dan mungkin setahun. Tetapi aku bertekad untuk melakukannya.”

“Empu, aku tahu apakah yang telah mendorong Empu untuk membulatkan tekad menyeberangi rawa-rawa ini. Tetapi sebaiknya niat itu Empu urungkan saja. Kalau Empu percaya kepadaku, serahkanlah Mahisa Agni, bukankah kemanakan Empu itu bernama Mahisa Agni, itu kepadaku. Aku kira cara yang tidak terlampau mengejut akan lebih baik bagi kemanakan Empu itu, supaya Kebo Sindet tidak menjadi mata gelap dan mencelakainya. Kita mempunyai kepentingan yang sama atas anak muda itu.”

Empu Gandring terdiam sejenak. Ia mecoba mengamati bayangan yang berdiri di dalam gelapnya malam beberapa langkah dari padanya. Tetapi orang yang berdiri dalam kegelapan itu sama sekali tidak menumbuhkan kecurigaannya.

“Ki Sanak,” berkata Empu Gandring kemudian, “siapakah sebenarnya Ki Sanak itu?”

“Kau memang senang bergurau Empu.”

Sekali lagi Empu Gandring terdiam. Dicobanya mengingat orang-orang yang pernah dikenalnya. Orang-orang itu sebenarnya tidak terlampau banyak. Tetapi suara ini nadanya terlampau dalam. Empu Gandring perlahan-lahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia perlahan-lahan berhasil mengingat gaya bicara yang demikian. Tetapi nada suaranya sudah agak jauh berubah dari nada yang pernah dikenalnya. Meskipun demikian maka Empu Gandring tidak melihat orang lain yang lebih dekat dari dugaannya itu. Apalagi orang itu pulalah yang memang mempunyai kemungkinan paling besar untuk berbuat demikian. Meskipun demikian untuk meyakinkan dugaannya Empu Gandring bertanya,

“Ki Sanak. Sebaiknya Ki Sanak menolong aku. Aku memang sudah pikun. Apalagi pada saat-saat hatiku gelap seperti saat ini. Aku hampir tidak berhasil mengingat apapun lagi kecuali berangan-angan tentang rawa itu.”

“Hem” orang yang berada di dalam kegelapan itu berdesah, “apakah Empu benar-benar tidak dapat mengenal aku? Mungkin suaraku agak berubah karena keadaanku akhir-akhir ini. Aku hampir-hampir tidak pernah lagi berada di dalam lingkungan hidup sesama. Aku memang ingin mengasingkan diriku di tempat yang sepi. Mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung. Tetapi ternyata bahwa aku memang belum diperkenankan untuk tinggal berdiam diri menghadapi keadaan lahir yang penuh dengan noda-noda yang hitam. Kalau sekali-kali aku melihat keadaan Mahisa Agni, maka suatu kali aku melihat hal-hal yang tidak wajar yang dapat membahayakan jiwanya. Itulah sebabnya aku terpaksa wudar dari pengasinganku untuk membayanginya. Tetapi ternyata aku tidak mampu mencegah semuanya yang telah terjadi. Bahkan aku sama sekali tidak berbuat sesuatu. Ternyata Empu Gandring lebih cepat berbuat dari padaku. Namun Empu Gandring pun telah gagal untuk mencegah Kebo Sindet membawanya. Tetapi, itu bukan salah Empu. Empu telah berbuat apa saja yang dapat Empu lakukan karena Mahisa Agni adalah kemanakan Empu. Namun ternyata Mahisa Agni sampai kini masih belum dapat diketemukan.”

Empu Gandring memandang bayangan itu semakin tajam. Ia semakin dapat mengenal gaya bicara orang itu. Bahkan beberapa kali ia menangkap kepastian, siapakah yang sedang berbicara itu. Tetapi Empu Gandring itu masih bertanya, “Ki Sanak. Aku tidak bergurau. Aku tidak segera dapat mengenal Ki Sanak. Aku hanya dapat menduga-duga. Mungkin Ki Sanak sengaja merubah suara Ki Sanak dalam nada yang berbeda. Sedang bentuk wajah Ki Sanak di dalam kegelapan tidak dapat aku lihat dengan jelas. Apakah aku dapat melangkah mendekat?”

“Empu” jawab orang itu, “sebenarnya aku sudah memutuskan untuk mengasingkan diri. Aku lebih baik tidak lagi berhubungan dengan siapa pun kecuali Mahisa Agni dalam hubungannya untuk melepaskan dari tangan Kebo Sindet.”

“Tetapi sikap Ki Sanak semakin meyakinkan aku, dengan siapa aku berhadapan.”

“Aku sudah menyangka bahwa Empu dapat mengenal aku. Tetapi baiklah kita untuk seterusnya tidak usah bertemu lagi. Sebaiknya Empu kembali ke Lulumbang. Mungkin Empu dapat singgah sebentar di Karautan, untuk memberitahukan bahwa seseorang sedang berusaha melepaskan Mahisa Agni apabila berhasil.”

“Tetapi aku harus mendapat suatu keyakinan bahwa orang yang mengatakan dirinya bersedia melepaskan Mahisa Agni, setidak-tidaknya berusaha melepaskannya adalah seorang yang dapat aku percaya.”

“Bukankah Empu telah mengetahui, siapakah yang menyatakan dirinya akan berusaha melepaskannya?”

Empu Gandring mengangguk anggukkan kepalanya. “Kenapa kau begitu jauh mengasingkan dirimu?” tiba tiba Empu Gandring bertanya.

“Tak ada lagi gairah hidupku kini, selain melepaskan Mahisa Agni itu. Sesudah itu, sesudah aku berhasil melepaskannya, maka aku tidak akan dapat ditemui lagi oleh siapapun.”

“Apakah semula kau ingin mcnyembunyikan dirimu dalam pertemuan ini?”

“Sebenarnya, tetapi aku tidak akan dapat memberi Empu kepercayaan, apabila Empu tidak mengenal aku.”

Empu Gandring mengangguk-angguk pula. Perlahan-lahan ia ia menarik nafas dalam-dalam sambil bertanya, “Bagaimana Ki Sanak akan dapat menyeberangi rawa-rawa ini?”

“Aku seorang perantau Empu. Hidupku, apalagi akhir akhirnya ini sebagian besar adalah di dalam perjalanan. Aku menjajagi rawa-rawa ini bukan hanya karena Mahisa Agni. Tetapi sebelumnya aku pernah melihat Kebo Sindet menyeberangi rawa-rawa ini sambil membawa barang yang berhasil dirampasnya. Aku tidak hanya melihatnya satu dua kali. Tetapi beberapa kali bersama Wong Sarimpat. Maka pada suatu kali tumbuhlah keinginanku untuk mengikutinya. Tentu saja dengan sangat hati-hati. Akhirnya aku menemukan jalan juga untuk sampai ke seberang rawa-rawa.”

Empu Gandring mengerutkan keningnya. Tiba tiba ia berkata, “Apakah kita tidak dapat bersama sama pergi keseberang rawa-rawa itu dan mengambil Mahisa Agni dengan kekerasan?”

“Mungkin kita berdua akan dapat mengalahkan Kebo Sindet” jawab orang itu, “tetapi hal itu akan sangat berbahaya bagi Mahisa Agni. Kebo Sindet akan dapat mempergunakan Mahisa Agni sebagai alat untuk menyelamatkan diri atau bahkan membunuh anak muda itu sama sekali.”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Jadi bagaimanakah sebaiknya?”

Sejenak orang yang berdiri di dalam kegelapan itu tidak menjawab, sehingga mereka dicengkam oleh kediaman. Masing-masing mengikuti arus pikiran sendiri. Angin malam yang basah bertiup perlahan-lahan menggerakkan dedaunan yang hijau. Batang-batang pohon bergerak seperti hantu-hantu yang sedang menari-nari dengan malasnya. Sekali-sekali kuda Empu Gandring menggaruk-garukkan kakinya yang digigit oleh nyamuk-nyamuk yang besar. Di langit bintang bergayutan seperti ditaburkan di wajah yang biru pekat. Dari sela-sela dedaunan yang jarang bintang-bintang itu mengintip air rawa-rawa yang pekat berlumpur.

Ketika dikejauhan terdengar suara anjing liar menggonggong maka bertanyalah Empu Gandring mengulang, “Jadi bagaimanakah sebaiknya?”

“Sebaiknya Empu pulang ke Lulumbang. Akulah yang akan mengusahakan agar Mahisa Agni dapat lepas dari tangan Kebo Sindet dengan bahaya yang sekecil-kecilnya bagi anak muda itu sendiri.”

“Aku akan tinggal di sini bersamamu.”

Orang itu tertawa perlahan-lahan. Jawabnya, “Jangan Empu. Semakin banyak orang disini, Kebo Sindet akan semakin cepat mengetahui bahwa ia sedang diintai. Karena itu percayakanlah Mahisa Agni itu kepadaku.”

Empu Gandring termenung sejenak. Ia percaya kepada orang itu. Tetapi apakah ia mampu berbuat demikian? Dirinya sendiri sedang mencobanya pula, tetapi belum berhasil. Dan bagaimanakah dengan orang itu? Tetapi selayaknyalah ia mempercayainya. Kesungguhan dan ketekunannya pasti akan dapat dipertaruhkan.

“Apakah Empu percaya kepadaku?”

Empu Gandring mengangguk, “Ya. Aku percaya.”

“Kalau begitu Empu dapat segera meninggalkan tempat ini.”

Sekali lagi Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya, “Sekarang, malam ini juga?”

Orang itu tertawa. Jawabnya, “Terserah kepadamu Empu. Sekarang atau nanti atau besok sesudah matahari terbit.”

Empu Gandring pun tertawa pula. Meskipun hatinya masih dipenuhi oleh kecemasan tentang nasib kemenakannya, namun kesanggupan orang itu telah memberinya sedikit ketenteraman. Karena itu maka Empu Gandring itu pun kemudian berkata, “Baiklah. Besok aku akan pergi meninggalkan tempat yang penuh dengan nyamuk-nyamuk yang buas ini.”

“Aku percaya ke padamu. Aku akan kembali ke Lulumbang dan aku akan singgah ke Padang Karautan. Memberitahukan kepada orang-orang Panawijen dan para Prajurit Tumapel yang ikut serta dalam pembuatan bendungan itu, supaya mereka menunggu Mahisa Agni dengan sabar. Begitu?”

“Ya Empu.” sahut orang itu perlahan-lahan dalam nada yang dalam, “seterusnya aku mengucapkan terima kasih ke padamu atas kepercayaan itu. Hati-hatilah. Disini bukan saja nyamuk-nyamuk dan Kebo Sindet yang cukup buas, tetapi juga anjing-anjing liar di malam hari cukup berbahaya bagi kudamu.”

“Terima kasih atas peringatanmu. Mudah-mudahan anjing-anjing itu tidak datang kemari kali ini.”

“Nah Empu” berkata orang itu kemudian, “aku sudah cukup lama bercakap-cakap dengan Empu. Baiklah sekarang aku pergi. Aku masih mempunyai beberapa kepentingan.”

“Malam begini?” bertanya Empu Gandring.

“Ya. Tetapi kepentingan yang sebenarnya tidak penting.”

“Baiklah. Aku akan selalu berdoa mudah-mudahan kau berhasil melepaskan anak itu. Sampaikan pesanku kepadanya, apabila ia sempat, supaya segera pergi ke Lulumbang. Sebelum aku melihatnya, maka aku masih akan selalu diganggu oleh kegelisahan. Mudah-mudahan usaha itu segera berhasil.”

“Mudah-mudahan.” desis orang itu, yang kemudian disambungnya, “Selamat malam Empu. Mungkin kita tidak akan bertemu lagi.”

“Ah, jangan begitu. Tak akan ada pengasingan diri yang mutlak.”

“Ah, kenapa tidak ada?”

“Itu menyalahi kuwajiban kita diantara sesama. Kebajikan hanya ada di antara sesama.”

“Kau benar Empu. tetapi dosa pun akan mudah tumbuh di dalam lingkungan sesama. Betapa sudah besar dosaku. Apakah aku masih harus menambah lagi?”

“Kesadaran dan pengendalian diri akan mengekang segala perbuatan.”

“Aku kira aku sudah cukup lama hidup di dalam lingkungan sesama. Aku ingin menemukan kejernihan hati. Aku ingin melihat diri betapa dosaku telah bertimbun.”

Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia mempunyai pendirian yang agak berbeda, tetapi ia tidak membantah lagi.

“Sampaikan salamku kepada siapa saja yang pernah mengedal aku Empu. Aku minta maaf atas segala kesalahan dan kekeliruan yang pernah aku lakukan atas mereka."

“Baiklah” jawab Empu Gandring, “tetapi percayalah, bahwa tidak akan ada pengasingan yang mutlak.”

Orang itu tertawa. Kemudian perlahan-lahan ia melangkah surut. Ketika orang itu berbalik dan melangkah beberapa langkah menjauh, maka orang itu seakan-akan hilang ditelan gelapnya malam. Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia masih saja berdiri memandangi arah orang itu menghilang.

“Hem, begitu besar tekadnya. Tetapi pengasingan diri bukanlah suatu penyelesaian yang baik. Namun aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan apabila aku mengalaminya?” desisnya lambat.

Empu Gandring itu tersadar ketika ia mendengar kudanya meringkik kecil. Perlahan-lahan dibelainya suri kuda itu sambil berbisik, “Besok kita pulang. Aku percaya bahwa Mahisa Agni akan mendapat pertolongan. Sudah terlampau lama aku meninggalkan Lulumbang, Perjalanan ini menjadi pengalaman yang menarik bagiku.”

Meskipun kuda Empu Gandring tidak dapat menjawab. tetapi tatapan matanya seakan-akan dapat mengerti kata-kata orang tua itu.

“Kita masih mempunyai waktu sedikit” berkata Empa Gandring seterusnya, “kita menunggu fajar, supaya kita dapat melihat jalan yang kita lalui dengan baik.”

Sejenak kemudian, setelah Empu Gandring mengendorkan kembali tali kudanya yang melingkar-lingkar pada pohon tambatannya, maka ia pun memanjat pohon itu lagi. Ia masih akan mempergunakan waktu yang tersisa sebelum fajar untuk beristirahat. Namun kini ia tidak lagi dapat melupakan persoalannya. Kadang-kadang hatinya masih disentuh olah keragu-raguan. Apakah Mahisa Agni akan berhasil dibebaskan?

“Tetapi aku percaya kepadanya” desisnya untuk mencoba menemtramkan hatinya. Namun sampai cahaya fajar yang kemarah-merahan membayang di Timur, Empu Gandring tidak lagi dapat mcmejamkan matanya sama sekali. Tetapi dengan demikian terasa tubuhnya telah menjadi agak segar, meskipun lehernya juga kering.

Ketika kemudian langit menjadi semakin terang, Empu Gandring telah siap di punggung kudanya. Sejenak kemudian kuda itu pun meluncur meninggalkan hutan yang tidak terlampau lebat itu, namun digenangi oleh rawa berlumpur yang penuh dengan bermacam binatang air. Dilaluinya padang rumput yang tidak terlampau luas dan didakinya beberapa puncak-puncak kecil dari bukit-bukit gundul yang berpadas-padas dilumuri oleh lumpur pula. Tetapi Empu Gandring tidak menuju ke Kemundungan. Kudanya segera menempuh jalan kembali ke Padang Karautan. Berbagai macam pikiran berkecamuk di kepala orang tua itu. Ia masih belum dapat melepaskan keragu-raguannya sama sekali. Tetapi ia selalu berdoa, semoga usaha yang dilakukan untuk melepaskan Mahisa Agni segera berhasil.

Perjalanan yang ditempuh oleh Empu Gandring ternyata tidak mengalami kesulitan. Sekali-sekali ia berhenti untuk mencari air. Bukan saja untuk minum kudanya, tatapi untuk minumnya sendiri pula. Kemudian sesudah itu, ia langsung menuju ke Padang Karautan. Kudanya berlari tidak terlampau cepat, tetapi juga tidak terlampau lamban. Dilaluinya jalan berbatu-batu, padang-padang perdu dan kemudian dimasukinya Padang Karautan yang kering. Sinar matahari yang terlampau tinggi terasa menyengat kulit. Debu yang beterbangan dilemparkan oleh kaki-kaki kuda hinggap pada tubuh yang basah oleh keringat...