Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 17 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 17
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

NAMUN sesaat kemudian kembali timbul pertanyaan. Akan tetapi kenapa Kuda Sempana, Cundaka dan Sungsang belum juga menampakkan dirinya? Kalau para prajurit Tumapel ini dibiarkan terlampau lama menunggu, maka mereka akan berhasil menguasai keadaan. Tetapi kalau sekarang ketiganya datang dan menyerang beberapa orang prajurit yang mengawal Ken Dedes itu, maka agaknya Kuda Sempana akan berhasil membawa gadis itu. Sebab Empu Sada yakin, bahwa ketiga muridnya akan dapat mengalahkan beberapa orang prajurit yang berjaga-jaga di sekitar Ken Dedes.

Tapi Kuda Sempana, Cundaka dan Sungsang yang ditunggu-tunggunya tidak juga segera datang. Apakah mereka tidak bisa mendengar segala macam keributan ini karena mereka terlampau jauh bersembunyi, atau tiba-tiba saja mereka tertidur di tempat persembunyian mereka? Dalam kegelisahan itu maka terdengar Empu Sada berteriak nyaring, “Kuda Sempana. Telah sampai saatnya kau melakukan tugasmu.”

Suara Empu Sada itu menggelora seolah-olah memenuhi hutan itu. Daun-daunan bergetaran dan ranting-ranting bergoyang-goyang karena gelombang suara orang tua itu. Gemanya memukul setiap pepohonan dan membuat bunyi ulangan yang serupa melingkari sampai jarak yang sangat jauh. Tetapi Empu Sada tidak segera melihat ketiga muridnya. Bahkan yang dilihatnya, para prajurit Tumapel semakin lama semakin menguasai keadaan. Apalagi ketika Empu Sada kemudian melihat, bahwa orang-orangnya telah mulai lelah karena gerak dan tandang mereka yang berlebih-lebihan. Sebab menurut perhitungan mereka, apa yang terjadi dengan mereka, tidak akan berlangsung lama.

Witantra dan kawan-kawannya pun menjadi heran. Kenapa Kuda Sempana yang telah dipanggil oleh gurunya itu tidak juga muncul. Namun dengan demikian timbullah berbagai dugaan diantara mereka. Diantaranya menyangka bahwa Kuda Sempana sengaja menunggu sampai orang-orang Tumapel menjadi lengah benar-benar, sedang yang lain menganggap bahwa apa yang terjadi itu telah berubah dari rencana semula. Tetapi bagi Ken Dedes sendiri, nama Kuda Sempana itu telah hampir membuatnya pingsan. Kuda Sempana bagi Ken Dedes sungguh menakutkan, melampaui hantu yang paling mengerikan sekalipun. Ternyata kini orang yang menakutkan itu datang kembali kepadanya, bahkan kali ini dengan membawa sejumlah kawan yang bersedia membantunya.

Meskipun Ken Dedes merasa, bahwa para prajurit Tumapel telah berusaha melindunginya sejauh-jauh mungkin, namun melihat keributan perkelahian itu, hati Ken Dedes pun menjadi sangat cemas karenanya. Ia menyesal bahwa ia telah menyebut Kuda Sempana sebagai alasan untuk memohon kepada Akuwu sejumlah pengawal yang akan mengantarnya. Ternyata ucapannya itu kini terjadi, seperti sebuah mimpi dara-asih. Karena itu maka kini Ken Dedes telah berpegangan erat-erat pada tandunya, seolah-olah ia ingin segera meloncat masuk dan dengan cepat-cepat berjalan ke Panawijen.

Dalam keadaan yang demikian, teringat olehnya murid ayahnya, Mahisa Agni yang sudah dianggapnya sebagai kakak kandungnya sendiri. Telah beberapa kali Mahisa Agni melepaskannya dari tangan Kuda Sempana. Meskipun kemudian Kuda Sempana berhasil membawanya, namun yang terjadi itu adalah benar-benar diluar kemampuan Mahisa Agni. Kini Kuda Sempana itu kembali menghantuinya. Dan disini tidak ada Mahisa Agni. Justru ia sedang berjalan ke padukuhan Mahisa Agni, untuk menunjukkan kebesarannya, supaya Mahisa Agni menyadari, bahwa ia telah salah menafsirkan maksud Akuwu Tunggul Ametung.

Pertempuran yang hiruk pikuk masih terjadi. Orang-orang Empu Sada masih saja bertempur sambil berteriak-teriak. Namun Kuda Sempana dan kedua saudara seperguruannya masih belum menampakkan dirinya. Empu Sada yang gelisah, sekali lagi berseru, “He Kuda Sempana, apakah kau tertidur? Cepat bangunlah, pertempuran telah hampir selesai. Pintu telah terbuka bagimu.”

Suara Empu Sada itu pun melontar memenuhi hutan. Dikejauhan terdengar suara anjing hutan menggonggong berkepanjangan, seakan-akan menyahut seruan orang tua bertongkat panjang itu. Namun Kuda Sempana belum juga tampil ke medan peperangan. Empu Sada pun menjadi semakin gelisah. Namun dengan demikian kemarahannya pun semakin menyala di dalam dadanya. Dalam kegelisahan itu Empu Sada mencoba membuat perhitungan atas anak buahnya dan para prajurit Tumapel.

Ketika ia mendengar salah seorang dari orangnya memekik tinggi dan kemudian jatuh terguling karena dadanya tersobek oleh ujung tombak, maka matanya yang cekung, tiba-tiba seperti memancarkan api. Korban telah jatuh di pihaknya, sedang Kuda Sempana belum juga menampakkan dirinya. Di samping kemarahannya, orang tua itu pun menjadi jengkel pula kepada Kuda Sempana.

Tetapi tempat yang paling baik untuk menumpahkan kemarahannya itu adalah Witantra dan kawan-kawannya. Karena itu, maka segera ia mengambil keputusan, untuk secepat-cepatnya membinasakan Witantra dan kawan-kawannya, kemudian membinasakan segenap prajurit Tumapel sebelum orang-orangnya menjadi punah. Bersama-sama dengan orang-orangnya itu, maka ia pasti segera akan dapat melumpuhkan pasukan Tumapel itu, untuk seterusnya dengan kasar mengambil gadis bakal Permaisuri Akuwu Tumapel untuk muridnya.

Tetapi apabila diingatnya, bahwa muridnya kini sama sekali tidak menampakkan dirinya, maka Empu Sada pun menjadi ragu-ragu untuk melakukan keputusannya dan bahkan menjadi acuh tak acuh akan gadis itu. Namun berbagai pertimbangan yang lain telah mendorongnya untuk meneruskan rencananya. Kalau Kuda Sempana tidak meneruskan rencananya, biarlah. Aku sudah terlanjur melawan pemimpin prajurit Tumapel ini. Mau tidak mau aku harus mengambil alih pertanggungan jawabnya. Sehingga wajarlah kalau aku yang akan mengambil keuntungan dari pencegatan ini. Bukankah bakal permaisuri itu memiliki perhiasan yang tiada-tara nilai harganya.

Dengan ketetapan hati, Empu Sada itu pun kemudian bertempur dengan hampir segenap kemampuannya supaya pekerjaannya cepat selesai sebelum orang-orangnya semakin banyak menjadi korban. Meskipun orang-orang itu adalah murid-murid dari murid-muridnya, namun ia tidak dapat membiarkan korban berjatuhan apabila hal itu masih mungkin dihindari.

Demikianlah pertempuran antara Empu Sada dan keempat lawannya menjadi semakin dahsyat. Terasa bagi keempat lawannya, bahwa Empu Sada telah benar-benar hampir sampai puncak kewajaran ilmunya, meskipun ia belum mempergunakan ilmu pemungkasnya, seperti yang telah diturunkannya kepada murid-muridnya, Kuda Sempana, Cundaka dan beberapa orang yang lain. Witantra dan ketiga kawannya terpaksa memeras tenaganya pula. Namun bagaimanapun juga, terasa bahwa suatu ketika mereka pasti akan dibinasakan oleh Empu Sada itu Kemudian akan lenyap pulalah gadis yang harus dipertanggung-jawabkan.

Witantra itu pun kemudian menggeram. Alangkah aib namanya. Ketika ia bertugas untuk mengawal Ken Dedes, seorang bakal permaisuri Tumapel hanya dalam jarak antar Tumapel dan Panawijen, ia telah gagal. Kematiannya bukanlah hal yang dicemaskannya. Tetapi dengan hilangnya Ken Dedes, maka namanya akan menjadi buah pembicaraan setiap prajurit dan bahkan setiap orang Tumapel, bahwa hilangnya Ken Dedes, adalah karena tidak kemampuan Witantra, pimpinan pasukan pengawal istana.

Tetapi ternyata bahwa kegelisahan Empu Sada berpengaruh juga dalam pertempuran itu. Sekali-sekali orang tua itu masih mencoba mencari Kuda Sempana diantara orang-orang yang sedang bertempur hiruk-pikuk itu. Namun setiap kali orang itu menjadi kecewa dan menggeram marah. Dalam hal demikian, kembali orang tua itu memperketat serangannya.

Sehingga akhirnya tenaga Kebo Ijo semakin lama semakin menjadi surut. Nafas Mahendra pun menjadi semakin terengah-engah, bahkan seluruh tubuhnya telah basah oleh keringat. Tangkai pedangnya pun menjadi basah pula, dan terasa seolah-olah pedang itu ingin meloncat dari genggamannya. Sidatta pun tidak kalah cemasnya ketika tangannya seakan menjadi semakin lemah.

Tetapi Empu Sada pun tidak pula kalah cemasnya. Ia pun dapat menduga bahwa sebentar lagi, korban akan berjatuhan di pihaknya apabila Kuda Sempana dan kawan-kawannya tidak segera tampil ke medan. Betapa ia mengerahkan kemampuannya untuk membunuh Witantra dan kawan-kawannya sebelum ia berhasil membantu orang-orangnya, namun ia memerlukan waktu pula. Karena itu dengan nada penuh kejengkelan sekali lagi ia berteriak, “He, Kuda Sempana, dimana kau?”

Pertanyaan itu telah menimbulkan pikiran baru bagi para perwira yang berdiri di samping Ken Dedes. Pertanyaan itu meyakinkannya bahwa ada sesuatu yang tidak semestinya terjadi. Sehingga karena itu ia telah mengambil suatu sikap untung-untungan. Kepada seorang prajurit yang dipercayainya ia berkata, “Gantikan tempatku. Berdua, sebelah menyebelah. Aku akan membantu kakang Witantra dan kakang Sidatta, kalau terjadi sesuatu, cepat, panggil aku kemari.”

“Baik,“ sahut prajurit itu yang kemudian berdua dengan seorang kawannya mereka berdiri sebelah menyebelah tandu Ken Dedes di dalam lingkaran beberapa kawannya yang lain. Di tangan prajurit itu tergenggam sebatang tombak pendek dan Prajurit yang lain menggegam pedang yang panjang.

Ketika kedua Prajurit itu telah bersiap di kedua sisi tandu itu, maka berkatalah perwira itu kepada Ken Dedes, “Tuan Puteri, hamba mohon ijin untuk membantu kakang Witantra yang agaknya mengalami kesulitan. Apabila terjadi sesuatu disini, biarlah hamba segera datang kemari.”

Ken Dedes ragu-ragu sesaat, tetapi ketika ia melihat kedua prajurit yang bertubuh besar kekar dan berwajah keras berdiri di kedua sisi tandunya ia mengangguk sambil berkata, “Tetapi kau harus segera kembali apabila kami disini memerlukan.”

“Hamba tuan Puteri,“ jawab perwira itu. Dan tanpa menunggu lagi segera ia meloncat menembus lingkaran prajurit yang dibuatnya. Dengan tangkasnya segera ia terjun dalam pertempuran bersama dengan Witantra dengan kawan-kawannya. Sepasang senjatanya segera berputaran. Dengan kesegaran tenaganya cepat ia dapat mempengaruhi keadaan.

Witantra terkejut melihat kehadirannya. Karena itu dengan serta merta ia bertanya, “Kau datang juga kemari?”

“Aku telah menyerahkannya kepada para prajurit pilihan. Aku akan segera kembali ke sana kalau diperlukan.”

Witantra tidak menjawab. Ia memang memerlukan bantuan itu. Dan ia sependapat, apabila diperlukan, biarlah ia meninggalkan arena ini. Dengan kehadiran lawan barunya, maka pekerjaan Empu Sada menjadi kian berat. Namun dengan demikian ia menjadi semakin marah. Orang baru itu hanya akan mampu memperpanjang waktu, tetapi tidak akan mampu menyelamatkan mereka dari bencana.

Tetapi memperpanjang waktu itu pun benar-benar telah mencemaskan hati Empu Sada. Di sekitarnya ia melihat bahwa orang-orangnya pun telah menjadi kian sulit. Kalau semua mereka sengaja membuat kegaduhan dengan serangan-serangan yang tidak teratur, maka semakin lama mereka benar-benar menjadi tidak teratur bukan karena kesengajaan. Ternyata prajurit Tumapel lebih berpengalaman dalam pertempuran bersama. Mungkin orang-orang Empu Sada itu seorang-seorang tidak kalah dari para prajurit Tumapel, tetapi kerja sama dan bertempur dalam pasangan-pasangan yang serasi, ternyata para prajurit Tumapel telah melampaui mereka.

Orang tua bertongkat panjang itu pun menggeram. Kemarahannya kini telah memuncak. Dengan demikian maka tidak lagi dapat mengekang dirinya dalam pertempuran itu. Namun melawan lima orang perwira prajurit pengawal Akuwu Tumapel, ternyata Empu Sada memerlukan waktu pula. Sampai demikian jauh, ternyata Kuda Sempana dan kawan-kawannya masih belum menampakkan dirinya pula. Bahkan sampai saat-saat yang sangat mencemaskan Empu Sada, sehingga akhirnya Empu Sada mengambil keputusan untuk menyelesaikan perkelahian itu menurut seleranya sendiri. Ia tidak tertarik lagi kepada rencananya yang telah disusunnya bersama Kuda Sempana.

“Aku musnahkan saja semua orang Tumapel ini,“ katanya di dalam hati. Dan ia benar-benar ingin melaksanakannya.

Ken Dedes yang melihat perkelahian itu, hatinya benar-benar menjadi cemas. Ia tidak tahu apa yang sedang berlangsung antara Empu Sada dan kelima lawannya. Namun menurut penilaian Ken Dedes, apabila lawan Witantra bukan benar-benar orang yang sangat sakti, maka ia pasti tidak memerlukan tiga orang untuk mencoba melawannya. Bahkan lima orang pun tidak segera dapat mengatasi keadaan. Mereka seakan-akan mampu berlari-lari melingkari Empu Sada, untuk kemudian berloncatan menjauh bersama-sama sebelum satu dua orang menyerangnya dari arah yang berbeda.

Tetapi apabila Ken Dedes melihat pertempuran di sudut-sudut yang lain, ia melihat para prajurit Tumapel selalu berusaha mendesak dan bahkan mengejar orang-orang liar itu berlari-lari melingkar-lingkar. Tetapi para penyerang itu masih saja berteriak-teriak tak menentu dengan nada yang menyakitkan telinga, meskipun suara teriakan-teriakan itu tidak sekeras pada saat-saat mereka datang.

Ketika mereka kemudian telah sampai ke puncak yang paling gawat dari pertempuran itu, baik bagi Witantra dan kawan-kawannya, maupun bagi orang Empu Sada, yang masing-masing selalu terdesak oleh lawan-lawan mereka, dikejauhan terdengar sebuah suitan nyaring. Sekali, dua kali dan kemudian diulangi lagi sekali, sehingga menjadi tiga kali. Suara itu seperti suara seekor burung yang melengking memecah gelap malam. Ternyata suara itu telah mengejutkan semua orang yang berada di arena pertempuran itu.

Bagi Witantra dan para prajurit Tumapel suara itu seakan-akan suara hantu yang telah siap menerkam mereka dan sikap yang sangat mengerikan. Dalam kesulitan itu, maka mereka masih harus menunggu bencana yang bakal datang. Para prajurit yang berada di sekitar Ken Dedes pun segera merapatkan diri, seakan-akan mereka mendapat perintah untuk menghadapi kemungkinan yang paling akhir dari perjuangan mereka.

Tetapi Witantra, Mahendra, Kebo Ijo dan kedua perwira bawahan Witantra menjadi semakin terkejut melihat sikap Empu Sada. Ternyata orang tua itu pun terkejut bukan buatan mendengar suara suitan tiga kali berturut-turut. Seperti disengat seribu lebah biru Empu Sada itu melontar surut beberapa langkah. Diangkatnya wajahnya sambil memanjangkan lehernya.

Witantra dan kawan-kawannya yang menjadi keheranan. justru berdiri saja tegak di tempatnya. Seolah-olah mereka melihat sesuatu yang bukan seharusnya. Mereka menyangka bahwa suara suitan itu adalah pertanda kehadiran Kuda Sempana dan kawan-kawannya yang mungkin bukan saja tiga orang, tapi dengan beberapa orang lain. Namun menilik sikap Empu Sada, maka kemungkinan itu pasti berbeda dari peristiwa yang akan mereka hadapi.

Terdengar Empu Sada itu menggeram. Sekali dilayangkannya pandangan matanya kepada orang-orangnya yang masih bertempur melawan prajurit-prajurit Tumapel. Ternyata mereka semakin menjadi terdesak. Dalam ketegangan itu sekali lagi dikejauhan terdengar suara itu. Suara suitan tiga kali berturut-turut.

“Setan,“ geram Empu Sada, “apa pula yang terjadi dengan anak cengeng itu?”

Witantra masih tegak di tempatnya. Kawannya pun masih belum berbuat sesuatu. Namun di dalam dada mereka berdetaklah berbagai pertanyaan tentang sikap orang tua yang mengerikan itu. Tiba-tiba Witantra dan kawan-kawannya dikejutkan oleh suitan Empu Sada itu. Mirip dengan sebuah siulan panjang. Suaranya menyusup menembus gelap malam melingkar-lingkar di dalam hutan.

Witantra dan kawan-kawannya tidak tahu sama sekali sasmita sandi semacam itu. Karena itu, mereka harus mempersiapkan diri mereka menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Mungkin siulan Empu Sada itu memperdengarkan kidung kematian bagi mereka dan para prajurit Tumapel.

Tetapi yang terjadi adalah berbeda dengan dugaan mereka. Mendengar suara siulan itu. maka serentak orang-orang Empu Sada berteriak semakin keras, namun apa yang mereka lakukan justru sebaliknya. Mereka berlari-larian di arena itu untuk sesaat, kemudian dengan cepatnya mereka meloncat menyusup ke dalam gerumbul-gerumbul yang gelap di balik rimbunnya hutan.

Beberapa orang prajurit Tumapel berusaha mengejar mereka, namun terdengar Witantra memberi aba-aba, “Biarkan mereka.”

Para prajurit Tumapel terhenti di tempatnya. Terasa pula oleh mereka itu, suasana yang seolah-olah menyimpan rahasia. Suara-suara suitan dan siulan, kegelapan malam diantara batang-batang pohonan, Empu Sada yang masih berdiri di tempatnya dan suara teriakan-teriakan orang-orang yang berbuat seakan-akan orang-orang liar itu yang semakin lama menjadi semakin lemah. Keadaan itu pulalah yang memaksa Witantra mencegah anak buahnya terjerumus di dalam keadaan yang tak mereka kenal.

Sesaat setiap orang di perkemahan itu berdiri tegak di tempatnya. Wajah-wajah mereka menjadi semakin tegang, namun mulut mereka terkatub rapat-rapat. Witantra, Mahendra, Kebo Ijo, kedua perwira bawahan Witantra. Para prajurit, Ken Dedes dan bahkan Empu Sada sendiri. Mereka seakan-akan sedang menunggu suatu peristiwa yang akan meledak setiap saat.

Tetapi yang terdengar kemudian sekali lagi suara suitan kini menjadi kian dekat. Tiga kali berturut-turut. bahkan kini tidak saja dilontarkan oleh seseorang, tetapi dua orang hampir bersamaan. Sekali lagi terdengar Empu Sada menggeram. Diantara suaranya yang berat terdengar ia mengumpat, “Setan manakah yang berani mengganggu Empu Sada dan murid-muridnya.”

Kata-kata Empu Sada itu pun mengejutkan Witantra dan kawan-kawannya. Terasa bahwa Empu Sada merasa terganggu karena suara-suara suitan itu. Karena itu maka Witantra dan kawan-kawannya menjadi semakin tidak mengerti, apakah yang sedang terjadi. Namun mereka terkejut ketika Empu Sada itu berteriak lantang, “He, Kuda Sempana. Dimana kau? Siapakah yang telah berani mencoba menghalangi rencana kami itu?”

Suara Empu Sada menggelegar seperti suara guruh di musim kesanga. Tetapi suara Empu Sada itu tidak segera mendapat jawaban. Sejenak mereka terpaku menunggu, apakah yang bakal terjadi, dan apakah jawaban yang akan mereka dengar atas pertanyaan Empu Sada itu. Namun jawaban itu tidak segera mereka dengar. Empu Sada yang masih berdiri tegak itu sekali lagi menggeram. Wajahnya menjadi semakin tegang dan tubuhnya gemetar menahan marah. Tetapi dengan demikian, Witantra dan kawan-kawannya perlahan-lahan dapat mengurai keadaan. Ternyata dugaan mereka benar, ada sesuatu yang tidak wajar menurut rencana Empu Sada.

Ketika sejenak kemudian masih juga tidak ada jawaban, maka sekali lagi terdengar Empu Sada berteriak, “Kuda Sempana, sekali lagi aku beri tanda. Aku akan segera datang.”

Alangkah terkejut mereka bersama-sama ketika sekali lagi terdengar suara tidak begitu jauh dari tempat mereka. Meskipun suara itu tidak jelas, namun terdengar juga lamat-lamat, “Aku disini guru. Ada orang gila yang menghalangi aku.”

Empu Sada tidak menunggu lebih lama lagi. Cepat-cepat ia meloncat meninggalkan Witantra dan kawan-kawannya. Hilang di dalam semak-semak. Adalah pasti bahwa Empu Sada berusaha untuk menolong muridnya. Agaknya suitan-suitan itu adalah tanda dari murid-murid Empu Sada untuk menyatakan, bahwa mereka berada dalam bahaya.

Witantra masih berdiri sejenak di tempatnya. Tetapi tanggapannya atas peristiwa itu telah memaksanya untuk mencoba mengikuti Empu Sada. Karena itu maka katanya, “Sidatta, tetaplah disini berdua. Aku, Mahendra dan Kebo Ijo akan mencoba melihat apa yang terjadi dengan orang tua itu."

Wajah Sidatta yang masih tegang tampak berkerut. Ia masih lihat peristiwa ini diliputi oleh suatu keragu-raguan yang tidak menentu. Karena itu katanya, “Kakang Witantra, apakah tidak terlampau berbahaya bagi kakang untuk pergi ke dalam semak-semak yang tidak kakang kenal.”

“Aku tidak akan pergi terlampau jauh. Kalau Kuda Sempana dapat kami dengar dari sini, maka suaraku pun pasti akan kalian dengar apabila kalau aku memerlukan kalian.“ jawab Witantra.

Sidatta menganggukkan kepalanya. Sebenarnya di dalam hatinya sendiri terpancar keinginannya untuk melihat, kenapa Kuda Sempana tidak dapat menyelesaikan rencananya dengan baik. Tetapi ia tidak dapat meninggalkan perkemahan itu tanpa penjagaan. Karena itu maka katanya, “Silahkan kakang. Tetapi kakang, kita akan saling memberikan tanda apabila kita saling memerlukan.”

“Baik,“ sahut Witantra, yang kemudian bersama dengan kedua adik seperguruannya, menyusup ke dalam semak-semak dan hilang di balik rimbunnya dedaunan.

Tetapi mereka bertiga tidak segera dapat menemukan arah, kemana mereka harus pergi. Mereka hanya mampu membuat ancar-ancar arah suara Kuda Sempana. Tetapi suara itu pun tidak begitu jelas bagi mereka. Karena itu untuk sesaat mereka berjalan dengan hati-hati ke arah itu. Mereka menyibak dedaunan dan menyusup di bawah akar-akar pepohonan. Mereka tidak dapat mencari jalan lain. Mereka hanya dapat memintas lurus ke tempat yang mereka sangka akan didatangi oleh Empu Sada pula.

Namun dalam pada itu, mereka tetap dalam kewaspadaan, sebab mereka masih belum dapat menentukan apa yang sebenarnya telah terjadi. Mungkin mereka masih tetap berada dalam jebakan Empu Sada yang membuat rencana demikian berbelit-belit. Tetapi setelah mereka berjalan beberapa lama, mereka sama sekali belum menemukan apa-apa. Mereka tidak mendengar suara apapun dan bahkan mereka seolah-olah terkurung dalam sebuah goa yang gelap pepat. Hitam dan kelam di sekeliling mereka. Yang dapat mereka lihat hanyalah bayangan dedaunan yang menggapai-gapai ditiup angin malam, seperti tangan-tangan hantu raksasa yang akan menerkam mereka.

Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara tertawa yang seakan-akan meledak-ledak tidak begitu jauh dari tempat mereka. Suara itu adalah suara Empu Sada dalam nada yang tinggi menyakitkan telinga. Diantara suara tertawa itu terdengar ia berkata, “He, rupanya kau yang datang kelinci kurus.”

Tak ada suara menyahut. Yang terdengar masih saja suara tertawa Empu Sada. Bukan karena orang tua itu menjadi bergembira, atau menemukan permainan yang menyenangkan, tetapi nada suaranya melontarkan keheranan dan kebencian yang melonjak-lonjak di dalam dadanya. Witantra memasang telinganya baik-baik. Perlahan-lahan ia menemukan arah yang harus dianutnya. Karena itu maka segera ia berbisik kepada adik-adik seperguruannya, “Kita menerobos ke Utara.”

Mahendra dan Kebo Ijo tidak menjawab. Dengan pedang terhunus mereka berjalan terbongkok-bongkok menghindari sulur-sulur yang bergayutan pada pepohonan. Tetapi kini mereka melangkah dengan pasti. Mereka telah menemukan arah. Semakin dekat mereka dengan arah suara tertawa Empu Sada mereka menjadi semakin berdebar-debar. Apalagi kemudian suara tertawa itu tidak mereka dengar lagi. Meskipun demikian mereka berjalan terus.

Tiba-tiba mereka tertegun ketika beberapa puluh langkah lagi dihadapan mereka, terdengar suara Empu Sada, ”Kuda Sempana, kenapa tidak kau bunuh saja kelinci ini he? kenapa kau dan kedua saudara seperguruanmu itu berteriak-teriak memanggil aku? Bukankah membunuhnya tidak lebih sulit dari pada membantai ayam sakit-sakitan.”

Tidak terdengar jawaban. Seolah-olah yang berada di tempat itu hanyalah Empu Sada seorang diri. Setiap kali ia berbicara, maka tak ada suara yang menyahut. Kali ini Kuda Sempana itu pun tidak menjawab. Kembali tumbuh keragu-raguan di dalam hati Witantra. Apakah ini bukan salah satu pokal Empu Sada untuk memisahkannya dari para prajurit yang lain, ataukah memang ada tujuan tersembunyi yang tidak dimengertinya? Tetapi jarak itu sudah dekat, sehingga Witantra pun memutuskan untuk maju beberapa langkah lagi.

Ketika mereka maju meloncati beberapa dahan-dahan yang rontok dan melintang dihadapan mereka, maka segera mereka melihat, bagian yang luang dari hutan itu. Bagian yang meskipun sempit namun cukup memberikan tempat untuk bertempur seperti tempat yang mereka pergunakan untuk berkemah. Dengan hati-hati Witantra melangkah lagi beberapa langkah. Dari sela-sela rimbunnya dedaunan ia mencoba melihat, apa yang ada di tempat yang agak longgar itu.

Namun malam gelapnya bukan kepalang. Tetapi di tempat yang longgar itu, kepekatan malam seakan-akan menipis. Sinar bintang-bintang di langit tidak tertutup oleh dedaunan dan dahan-dahan kayu yang rimbun di atasnya. Dan apa yang dilihatnya benar-benar menggetarkan hatinya, meskipun seakan-akan hanyalah bayangan-bayangan hantu yang hitam legam. Mereka terdiri dari lima orang. Namun Witantra dapat memastikan, bahwa seorang diantaranya adalah Empu Sada. yang tiga adalah murid-murid Empu Sada sendiri. Namun yang satu, berdiri agak terlampau ke sudut, sehingga Witantra hampir tidak dapat melihatnya, seandainya bayangan itu tidak bergerak. Yang tampak hanya hitam. Bahkan garis-garis bentuknya pun tak dapat dikenalnya.

Namun betapa terkejut Witantra yang tiba-tiba mendengar Empu Sada berteriak, “He, siapa yang mencoba mengintip pertemuan ini?”

Sebelum Witantra menjawab, ia melihat salah seorang dari kelima bayangan itu memutar tubuhnya dan maju selangkah, tepat ke arah Witantra dan adik-adik seperguruannya bersembunyi. Tetapi Witantra lebih terkejut lagi ketika ia mendengar bayangan yang di sudut itu berkata, “Biarkan mereka berada di sana.”

Sesaat Witantra terpaku di tempatnya. Bukan saja Witantra, namun kedua saudara seperguruannya pun terkejut pula mendengar suara itu. Bahkan Kebo Ijo, yang termuda diantara mereka bertiga tidak dapat menahan perasaannya. Setelah sekian lama mereka berjuang melawan Empu Sada, dan bahkan hampir saja mereka mengalami bencana, tiba-tiba mereka melihat kehadiran orang itu. Karena itu, meledaklah kegembiraan Kebo Ijo. Hampir berteriak ia memanggil orang yang berdiri di dalam bayangan yang kelam itu, “Guru. Gurukah itu?”

Witantra menggamit tangan Kebo Ijo, tetapi anak muda itu tidak memperhatikannya. Bahkan selangkah ia meloncat maju dan sekali lagi memanggil, “Guru. Kami bertiga dengan kakang Witantra dan kakang Mahendra.”

Orang yang berdiri di sudut yang gelap itu menyahut, “kemarilah.”

Kebo Ijo menjadi ragu-ragu. Dilihatnya Empu Sada berdiri tegak seperti patung. Kalau ia berjalan ke tempat gurunya berdiri, Empu Sada itu dapat dengan tiba-tiba memotong jalannya, dan dengan sebuah serangan mungkin ia telah terpelanting untuk tidak bangun lagi. Tongkat yang panjang itu pasti mampu mematahkan tulang-tulang rusuknya. Sehingga dengan demikian, anak muda itu berpaling kepada kedua saudaranya. Kalau mereka berjalan bersama-sama, maka kemungkinan untuk mempertahankan diri menjadi lebih besar.

Agaknya gurunya melihat keragu-raguan itu, sehingga katanya mengulangi, “Kemarilah. Witantra, Mahendra dan Kebo Ijo. Jangan hiraukan Empu Sada. Ia orang yang baik hati. Ia pasti tidak akan berbuat sesuatu.”

Empu Sada menggeram. Selangkah ia maju sambil bergumam, “Kalau kalian bergerak selangkah, maka kalian akan berkubur di hutan ini.”

“Kita akan terlampau banyak pekerjaan Empu,” berkata bayangan di kegelapan, yang ternyata adalah guru Witantra yang kekurus-kurusan dan bernama Panji Bojong Santi, “Kalau kau membunuh murid-muridku, maka sedikitnya kita harus mengubur enam orang sekaligus disini.”

“Kenapa enam,“ teriak Empu Sada.

“Apakah kau tidak mengerti hitungan sama sekali? Bukankah tiga ditambah dengan tiga itu berjumlah enam?”

“Kenapa enam?” sekali lagi Empu Sada berteriak, “aku hanya membunuh tiga orang.”

“Kau membunuh muridku tiga orang dan aku membunuh muridmu tiga orang. Bukankah jumlahnya enam.”

Sekali lagi Empu Sada menggeram. Kali ini lebih keras lagi. Tetapi ia tidak menyahut.

“Nah, Witantra, kemarilah.“ Ulang Panji Bojong Santi.

Witantra, Mahendra, dan Kebo Ijo kemudian melangkah bersama-sama. Pedang-pedang mereka masih erat di dalam genggaman tangan mereka. Dengan penuh kesiap-siagaan mereka berjalan beberapa langkah di samping Empu Sada. Tetapi Empu Sada itu berdiri saja seperti tonggak. Ketika mereka telah berada di samping guru mereka, maka Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Untung guru segera datang. Kalau tidak, maka kami pasti akan ditelan oleh anak-anak Empu Sada.”

Panji Bojong Santi tidak menjawab. Tetapi ia berkata kepada Empu Sada, “Anak-anak ayam kini telah kembali ke induk masing-masing. Nah, Empu yang baik. Apakah sebenarnya yang kau kehendaki?”

Empu Sada memutar tubuhnya. Ditatapnya Panji Bojong Santi dengan penuh kebencian. Namun ia tidak segera menjawab. Ketika kemudian ia berpaling, dilihatnya ketiga murid-muridnya, Kuda Sempana, Cundaka yang lebih senang disebut Bahu Reksa Kali Elo dan Sungsang pun masih menggenggam pedangnya masing-masing. Sesaat suasana menjadi sepi tegang. Mereka berdiri berhadapan di dalam kelompok masing-masing, seolah-olah mereka telah berjanji untuk mengadakan perang tanding. Seorang guru dengan tiga orang murid masing-masing.

Yang terdengar kemudian adalah suara angin malam yang mengalir diantara dedaunan. Suara burung malam dikejauhan dan suara anjing-anjing liar berebutan makan. Dalam keheningan itulah maka Empu Sada mencoba membuat perimbangan dari dua kekuatan yang sudah berhadap-hadapan. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Orang-orangnya tidak akan mampu menghadapi para prajurit Tumapel yang lebih banyak berpengalaman dan terlatih cukup baik. Apalagi kini ia tidak sempat mengikat para pemimpinnya dalam satu perkelahian, karena kehadiran Panji Bojong Santi. Karena itu, yang terdengar kemudian adalah suara giginya yang gemeretak.

Yang berbicara kemudian adalah Panji Bojong Santi, “Bagaimana Empu, apakah kita masih sempat untuk melihat anak-anak kita berkelahi, atau kau mempunyai keputusan lain?”

Empu Sada menggelengkan kepalanya, “Tidak,“ katanya dalam nada yang keras, “Kali ini rencanaku telah kau rusakkan. Aku tidak dapat berkata lain dari pada itu. Tetapi kesalahan yang telah kau lakukan ini membuat aku mendendammu, seperti aku mendendam Empu Gandring yang mengganggu aku pula.”

“Aku telah mendengar dari Mahendra,“ sahut Panji Bojong Santi, “tetapi seperti Empu Gandring aku ingin memperingatkanmu, jangan bermain-main bersama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Kau akan dapat ditelannya Empu. Seperti Empu Gandring, menurut Mahendra, aku mengganggapmu lain dari kedua orang-orang liar itu.”

Sekali lagi Empu Sada berteriak, “Apa pedulimu?”

“Aku hanya memperingatkan. Aku masih mengharap kau lepaskan segala macam keinginanmu yang aneh-aneh itu. Jangan terlampau kau manjakan muridmu yang bernama Kuda Sempana. Seandainya Mahendra yang berbuat seperti Kuda Sempana, maka ia akan aku lepaskan untuk berbuat sendiri, atas tanggung jawabnya sendiri. Tetapi Mahendra tidak berbuat demikian. Ia menyadari keadaannya.”

Empu Sada tertawa, meskipun nadanya pahit. Katanya, “Kau menjadi ketakutan seperti Empu Gandring itu juga.”

Panji Bojong Santi tidak segera menjawab. Dilihatnya Empu Sada berdiri dengan gemetar menahan marah. Tetapi kemarahan itu benar-benar tidak mampu dilepaskannya, karena ia berhadapan dengan Panji yang kurus itu. Kalau ia memaksa diri untuk bertempur, maka pasti tidak akan mencapai penyelesaian. Perkelahian itu tidak akan berkesudahan. Tetapi apakah murid-muridnya mampu melawan ketiga murid Bojong Santi itu?”

Empu Sada menggeram. Ia menyesal bahwa selama ini ia tidak benar-benar menempa muridnya dengan kesadaran. Ia memberikan ilmunya dengan acuh tak acuh. Meskipun murid-muridnya menjadi orang-orang yang melampaui orang kebanyakan, namun mereka tidak dapat menyamai murid-murid Bojong Santi dan murid Empu Purwa yang bernama Mahisa Agni. Empu Sada menyesal. Namun waktu telah berjalan terlampau jauh. Saat-saat itu ia hanya sekedar menjual ilmunya. Dengan sedikit harta dan benda, Empu Sada telah dengan mudahnya menerima seseorang menjadi muridnya. Tetapi murid-murid itu pun tidak mempunyai tingkatan yang serasi menurut urut-urutannya. Siapa yang lebih banyak memberinya sesuatu, ialah yang lebih banyak menerima ilmu.

Tetapi ketika ia harus berhadapan dengan perguruan lain, terasa bahwa apa yang dilakukannya itu keliru. Kini harga dirinya langsung tersentuh, ketika ia berhadapan dalam jumlah yang sama. Namun sudah pasti, bahwa ketiga muridnya tidak akan mampu berhadapan dengan ketiga murid Panji Bojong Santi. Untuk menenteramkan dirinya sendiri, Empu Sada itu berkata di dalam hatinya.

“Belum terlambat. Aku masih dapat menempa beberapa orang diantara murid-muridku untuk menyamai ketiga murid Panji yang gila ini. Mungkin ketiga muridku ini, mungkin yang lain lagi. Namun kelebihanku adalah, aku mempunyai banyak murid, sedang Panji yang gila ini hanya tiga dan Empu Purwa hanya satu. Apalagi Gandring tukang membuat keris itu. Ia hampir tidak pernah mempedulikan apa-apa selain keris-kerisnya.”

Keheningan yang sejenak itu kemudian dipecahkan oleh suara Panji Bojong Santi, “Empu Sada, apakah kau masih tetap berkeinginan bekerja bersama-sama dengan kedua orang liar itu?”

“Tentu,“ jawab Empu Sada, “aku sudah melihat kalian menjadi ketakutan. Kau dan Empu Gandring.”

“Ya, aku memang takut,” sahut Bojong Santi.

“Nah. Kau sudah mengaku. Karena itu, jangan menghalangi aku.”

“Kau belum tahu apa yang aku takutkan. Bukan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.”

“Apa yang kau takutkan?”

“Kau.”

“Kenapa aku?” Empu Sada menjadi heran.

“Aku takut kalau kau akan menjadi korban ketamakanmu. Aku takut kalau kau akan lenyap ditelan oleh kedua orang itu setelah kau mencoba menghubunginya.”

Sekali lagi Empu Sada tertawa. Tetapi tiba-tiba terdengar ia bersiul panjang. Apa yang terjadi kemudian adalah terlampau cepat sehingga Witantra dan saudara-saudara seperguruannya berdiri saja memandangi mereka yang tiba-tiba meloncat dan menghilang ke dalam semak-semak. Baru sejenak kemudian Witantra menyadari keadaan. Dengan serta merta ia berkata,

“Apakah kita biarkan mereka lari?”

“Jangan hiraukan mereka kini,“ jawab gurunya, “bukankah kalian mempunyai tanggungan? Kalau kalian berhasil menyelamatkan gadis itu, kalian harus sudah mengucap syukur atas lindungan Yang Maha Agung.”

Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, “Ya guru.”

Tetapi Kebo Ijo lah yang kemudian bertanya, “Kenapa guru tiba-tiba saja berada di tempat ini?”

Panji Bojong Santi mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Aku sudah menyangka bahwa hal ini akan terjadi. Sejak aku mendengar ceritera Mahendra yang bertemu dengan Empu Sada dipadang Karautan. Berita tentang perjalanan Ken Dedes ini sudah didengar oleh hampir setiap orang Tumapel yang pasti telah didengar pula oleh salah seorang saudara seperguruan Kuda Sempana yang tersebar di mana-mana. Aku sudah menyangka bahwa Empu Sada akan melakukan pencegatan ini. Karena itu, aku memerlukan mengikuti arak-arakan sejak dari Tumapel."

“Kenapa guru tidak berjalan saja bersama-sama kami dalam satu rombongan?”

“Aku lebih senang berjalan sendiri. Aku tidak biasa berjalan menurut irama yang ditentukan oleh Witantra.”

Witantra tersenyum. Katanya, “Terima kasih guru. Kalau guru tidak hadir disini, maka aku dan semua anak buahku akan musnah. Bukan saja itu, tetapi namaku akan hancur pula bersama lenyapnya bakal permaisuri.”

Tiba-tiba Bojong Santi menggeleng, “Tidak. Kau salah sangka.”

“Kenapa?” bertanya ketiga muridnya hampir serentak.

“Ketika aku menahan Kuda Sempana dan kedua kawan-kawannya, aku melihat seseorang di sekitar tempat itu. Aku sudah mengenalnya meskipun belum terlampau akrab.”

“Siapa?”

“Ayah gadis itu.”

“Empu Purwa?”

“Ya. Ia berada di tempat ini juga sekarang. Mungkin Empu Purwa mendengar pula percakapan ini. Kalau aku tidak ada di tempat ini, orang tua itu tidak akan sampai hati membiarkan gadisnya diambil oleh Kuda Sempana.”

“Tetapi kenapa Empu Purwa itu tidak menampakkan dirinya dihadapan puterinya.”

Panji Bojong Santi menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba dilayangkan pandangan matanya berkeliling, seakan-akan mencari seseorang di dalam gelapnya malam. Tetapi yang dikatakan adalah, “Kembalilah kepada tugasmu. Cepat. Sebelum Empu Sada mendahuluimu. Kalau orang itu datang, beri aku tanda. Panggil saja namaku keras, tanpa siul-siulan atau segala macam tanda sandi. Aku tetap disini.”

Witantra segera menyadari keadaannya. Saat itu ia masih harus mempertanggung jawabkan seorang gadis bakal permaisuri Akuwu Tunggul Ametung, Karena itu tiba-tiba ia menyahut, “Ya guru. Aku akan segera kembali ke perkemahan.”

“Pergilah.”

Witantra pun kemudian segera mohon diri bersama saudara-saudara seperguruannya. Dengan tergesa-gesa mereka menyusuri dedaunan dan ranting-ranting perdu, kembali ke tempat para prajurit Tumapel menunggu dengan cemas. Ternyata jalan kembali itu agak lebih mudah ditempuhnya daripada saat mereka mencari Empu Sada. Mereka kini dapat melihat bayangan api di ujung pepohonan sebagai penunjuk arah, meskipun kadang-kadang bayangan itu sama sekali tidak dapat mereka lihat karena rimbunnya batang-batang kayu. Tetapi sekali-sekali cahaya yang kemerah-merahan dapat menunjukkan kemana mereka harus pergi. Agaknya beberapa orang prajurit tetap memelihara supaya api tidak padam, sehingga mereka dapat lebih cermat mengawasi keadaan.

Sepeninggal Witantra dan kedua saudara seperguruannya. Panji Bojong Santi masih saja berdiri tegak seperti patung, seakan-akan sengaja ia membiarkan dirinya tidak bergerak dan tidak dikenal diantara batang-batang kayu. Tetapi Panji Bojong Santi itu agaknya sedang menunggu seseorang, ia yakin bahwa orang yang ditunggunya itu pasti akan datang. Ternyata Bojong Santi tidak menjadi kecewa karenanya. Sejenak kemudian ia mendengar gemersik halus di sampingnya. Namun orang tua yang kurus itu sama sekali tidak bergeser dari tempatnya.

Ketika dari semak-semak muncul seseorang, maka dengan serta merta Panji Bojong Santi itu memutar tubuhnya sambil mengangguk dalam-dalam, katanya, “Selamat malam Empu.”

“Terpujilah tuan, karena tuan telah menolong anakku dari bencana. Langsung atau tidak langsung.”

Panji Bojong Santi tersenyum. Jawabnya, “Empu terlampau merendahkan diri. Apakah artinya tenagaku dibanding dengan Empu sendiri. Kalau aku tahu bahwa tuan ada disini, maka aku tidak akan bersombong diri, mencegah perbuatan Kuda Sempana. Sebab pasti tuan sendiri akan berbuat jauh lebih baik dari yang aku lakukan. Aku melihat kehadiran tuan setelah aku terlanjur mengikat Kuda Sempana dalam perkelahian.”

Orang yang baru datang itu, yang ternyata adalah Empu Purwa, kini tersenyum pula. Katanya, “Tetapi aku memang tidak dapat berbuat secepat tuan. Tuan telah mendahuluiku. Namun adalah lucu sekali, bahwa agaknya maksud kita bersamaan. Aku pun sebenarnya ingin memanggil Empu Sada dan ketiga muridnya seperti yang tuan lakukan.”

Panji Bojong Santi tertawa. “Aku sudah menyangka,” jawabnya, “kalau tidak tuan pasti langsung menolong puteri tuan di perkemahan. Dan inilah yang tidak aku ketahui. Ketika Witantra bertanya kepadaku, kenapa tuan tidak menampakan diri, bahkan langsung di arena, maka aku tidak dapat menjawabnya.”

Empu Purwa kini tidak tersenyum lagi. Bahkan kemudian ia menarik nafas dalam. Namun segera ia berusaha menghilangkan segala macam kesan yang mencengkam perasaannya. Katanya, “Aku mendengarkan percakapan tuan dengan murid-murid tuan. Aku sebenarnya ingin tahu, apakah jawab tuan atas pertanyaan itu.”

“Tentu aku tidak akan dapat menjawab,“ sahut Panji Bojong Santi.

Sekali lagi Empu Purwa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku hanya ingin bermain-main sembunyi-sembunyian seperti tuan.”

Panji Bojong Santi menangkap kesan yang suram dalam kata-kata Empu Purwa. Terasa sebuah sentuhan halus pada perasaan orang tua itu. Sehingga karena itu, maka berkata Panji kurus itu, “Maaf Empu. Mungkin pertanyaan itu tidak berkenan di hati tuan.”

“Oh, tidak,“ jawab Empu Purwa tergesa-gesa, “tidak. Tidak apa-apa. Mungkin ada baiknya aku mengatakan kepada tuan supaya beban yang menyumbat dadaku dapat melimpah keluar. Selama ini tak ada seorang pun yang dapat membantu meringankan perasaanku.”

Panji Bojong Santi sama sekali tidak menyahut. Ia menyesal bahwa pertanyaannya agaknya telah mengungkat kepahitan perasaan Empu Purwa. Tetapi pertanyaan itu sudah terlanjur diucapkan.

“Tuan,“ berkata Empu Purwa kemudian, “pertanyaanya adalah pertanyaan yang wajar. Kadang-kadang aku sendiri bertanya demikian. Kenapa aku tidak langsung menemui anakku yang mungkin sangat mengharap hal itu terjadi.”

Panji Bojong Santi hanya menganggukkan kepalanya saja. Tetapi ia sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun.

“Tetapi aku tidak dapat melakukannya,“ berkata Empu Purwa seterusnya, “meskipun sebenarnya keinginan yang demikian melonjak-lonjak pula di dalam dadaku.”

Empu Purwa terdiam sesaat, sehingga suasana menjadi sepi hening. Dikejauhan lamat-lamat terdengar suara burung ekak menusuk-nusuk telinga dengan suaranya yang parau menyakitkan.

“Tuan,“ berkata Empu Purwa kemudian, “betapa rinduku kepada puteriku, namun betapa kecewanya aku terhadapnya. Sejak anak itu hilang, aku sudah tidak mengharap dapat bertemu lagi. Aku tidak mau kehilangan, tetapi apakah aku harus melawan Akuwu Tunggul Ametung? Bukan karena Tunggul Ametung mempunyai kesaktian tanpa batas, tetapi ia adalah pemimpin pemerintahan. Perlawananku akan dapat menimbulkan malapetaka bagi Tumapel. Tiba-tiba aku mendengar kemudian, bahwa anak itu telah menjadi seorang bakal Permaisuri. Alangkah kecewanya hatiku. Tetapi aku tidak ingin mengecewakan hati puteriku. Kalau telah berkenan di hatinya, biarlah ia menemukan kebahagiaan. Tetapi kekecewaanku terhadap tingkah laku Tunggul Ametung yang melindungi Kuda Sempana mengambil anakku, tidak akan dapat terhapus dari dinding hatiku. Karena itu, lebih baik aku tidak bertemu lagi dengan puteriku. Biarlah ia menemukan kebahagiaan yang dikehendakinya, aku adalah orang tua. Hari depannya masih jauh lebih panjang dari hari depanku.”

Bojong Santi tidak berkata sepatah katapun. Ia dapat merasakan betapa pedih hati orang tua itu. Ia dihadapkan kepada keadaan yang serba salah. Betapa rindunya orang tua itu kepada puterinya, tetapi betapa kecewanya ia menghadapi perkembangan keadaan puterinya itu. Mungkin ia dapat melepaskan perasaan rindunya dengan menemui gadis itu, memeluknya seperti masa-masa lampau sambil menghibur dan membesarkan hati gadis itu. Tetapi apabila disadarinya bahwa di sisi gadis itu kelak akan berdiri Tunggul Ametung, maka dadanya pasti segera akan menyala kembali.

Sesaat kedua orang tua itu saling berdiam diri. Dibiarkannya angin malam membelai tubuh-tubuh yang sudah mulai dihiasi lengan keriput-keriput kulit. Betapa mereka sakti tiada tandingnya, namun mereka tidak dapat melawan kekuasaan tangan Penciptanya. Mereka tidak akan mampu melawan umur mereka sendiri yang semakin lama menjadi semakin tua. Meskipun mereka mampu bertempur melawan setiap orang sakti, namun mereka tidak bisa melawan kekuasaan maut yang semakin tua menjadi semakin dekat.

Empu Purwa pun menyadari hal itu pula. Apabila orang tua itu sedang merenungi kepahitan hidupnya, maka kelak ia kembali kepada Sumber hidup itu sendiri. Dicarinya ketenteraman dan hiburan yang sejati. Sehingga dengan demikian, maka hatinya pun menjadi mengendap. Ia tidak lagi bernafsu membiarkan dirinya dikuasai oleh kemarahan dan kekecewaan. Sehingga dengan demikian, kemudian ia dapat menempatkan kepentingan anaknya yang masih muda itu di atas kepentingannya sendiri.

Tetapi sebagai manusia, Empu Purwa adalah manusia perasa. Manusia yang kadang-kadang hanyut dilanda perasaannya sendiri. Perasaan yang tersinggung oleh sentuhan-sentuhan yang kadang-kadang dapat menggoncangkan keseimbangan berpikir. Empu Purwa pun menyadari pula. Ia menyesal bahwa karena goncangan perasaan, ia telah mengutuk orang-orang Panawijen, bahkan memecahkan bendungannya pula.

Ia kini menyesal bahwa ia mengutuk setiap orang yang turut melarikan anaknya, bahwa mereka akan mati dengan keris. Tetapi semuanya telah terjadi. Dan orang tua itu tidak mau terjadi pula peristiwa-peristiwa serupa. Karena itu, lebih baik ia tidak bertemu dengan puterinya, supaya ia tidak mengalami goncangan perasaan, dan berbuat diluar keseimbangan berpikir.

Malam yang sunyi itu pun menjadi semakin malam. Di langit bintang-bintang yang gemerlapan seolah-olah ditaburkan di atas layar yang hitam legam. Suara-suara burung engkak yang parau sekali-sekali masih terdengar, menjerit-jerit.

Dalam kesunyian itu, kembali terdengar Empu Purwa berkata, “Aku lebih baik menemani tuan disini.”

Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa betapa dalam luka di hati Empu Purwa. Karena itu maka jawabnya kemudian, “Terima kasih tuan. Aku akan senang sekali apabila tuan bersedia menemani aku disini.”

“Bukankah kita tidak lagi mempunyai pekerjaan?” berkata Empu Purwa, “dan bukankah tuan berjanji kepada murid-murid tuan, bahwa tuan akan tetap berada disini.”

Bojong Santi menjawab, “Ya. Itulah sebabnya, aku bergembira bahwa tuan sudi menemani aku.”

Empu Purwa tersenyum. Tetapi senyumnya terasa hambar. Katanya kemudian, “Aku akan beristirahat. Mungkin tuan juga lelah setelah bermain kejar-kejaran dengan murid-murid Empu Sada.”

Panji Bojong Santi pun tersenyum. Jawabnya, “Ya. Aku juga ingin duduk.”

Keduanya kemudian duduk berhadapan di atas rumput-rumput kering. Namun sejenak mereka tidak berbicara apapun. Empu Purwa masih mencoba menenangkan perasaannya yang terasa mulai bergolak. Sedang Panji Bojong Santi mencoba memahami sepenuhnya semua kata-kata Empu Purwa.

“Bersukurlah aku, bahwa gadisku tidak mengalami banyak persoalan seperti gadis Empu Purwa,“ berkata Bojong Santi itu di dalam hatinya. Ia berdoa semoga anaknya kelak akan mendapatkan jalan yang baik, meskipun tidak usah menjadi seorang permaisuri Akuwu. Karena Panji Bojong Santi itu pun mempunyai seorang anak gadis pula, maka apa yang dirasakan Empu Purwa, seolah-olah dapat dirasakannya pula. Namun di samping itu, Panji Bojong Santi itu pun menyimpan perasaan iba terhadap Ken Dedes yang malang. Garis hidupnya seakan-akan selalu diliputi oleh duka dan derita. Mudah-mudahan, seperti Empu Purwa menginginkan, berbahagialah gadis itu kelak setelah ia menjadi seorang permaisuri.

Sejenak kemudian barulah mereka mulai berbicara kembali. Tetapi mereka sudah tidak membincangkan Ken Dedes lagi. Apa yang mereka percakapkan adalah soal-soal yang tidak berarti, menjelang hari-hari tua mereka. Tetapi akhirnya pembicaraan itu sampai pula kepada Empu Sada, yang akan mencoba mempergunakan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.

“Kasian Empu Sada,“ gumam Empu Purwa, “ia akan terjerumus ke dalam kesulitan yang besar.”

“Mudah-mudahan ia mengurungkan niatnya,“ sahut Panji Bojong Santi.

Kembali mereka berdiam sejenak. Kembali Bojong Santi mencoba merasakan perasaan Empu Purwa. Betapapun kekecewaan membakar hati seorang ayah, namun ternyata ia tidak sampai hati melihat anaknya mengalami bencana. Empu Purwa, meskipun tidak mau menemui gadisnya, namun ia berada hampir di segala tempat untuk mengawasi anaknya. demikianlah cinta orang tua terhadap anaknya, dan adakah demikian pula sebaliknya?

Dalam pada itu Witantra dan kedua saudara seperguruannya telah berada kembali diantara anak buahnya. Sidatta segera menanyakan apakah yang sebenarnya terjadi dengan Kuda Sempana. Sebelum Witantra menjawab, maka Kebo Ijo telah menyahut dengan lantangnya. Diceritakannya apa yang dilihatnya dan apa yang dialaminya. Lancar dan penuh tekanan, sehingga setiap orang menjadi sangat asyik mendengarnya. Tidak terkecuali Ken Dedes sendiri.

Gadis bakal permaisuri Akuwu Tunggul Ametung itu mendengarkan dengan hati yang berdebar-debar. Ia tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi dengan dirinya, apabila Kuda Sempana berhasil dengan rencananya. Mungkin ia telah mengambil keputusan untuk membunuh diri.

“Untunglah bahwa guru datang,“ berkata Kebo Ijo, “kalau tidak, kita semua pasti akan musnah dibakar oleh kemarahan Empu Sada.”

Yang mendengar ceritera itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka pun mengucapkan terima kasih di dalam hati mereka.

“Guruku adalah seorang yang bijaksana, yang dapat memperhitungkan apa yang kira-kira akan terjadi dengan kita di perjalanan ini,“ berkata Kebo Ijo pula. Dan setiap orang pun menjadi semakin kagum.

Tetapi dalam pada itu Witantra berkata, “Sudahlah Kebo Ijo jangan membual.”

“Bukankah sebenarnya demikian kakang,“ sahut Kebo Ijo, “langsung apa tidak langsung, bukankah guru kita yang telah menyelamatkan puteri? Guru berbuat demikian tanpa pamrih. Kita adalah prajurit-prajurit Tumapel. Adalah kuwajiban kita untuk mempertahankan tuan puteri, tetapi guru, sama sekali tidak mempunyai kepentingan apa-apa. Namun ia telah berbuat, dan bahkan menentukan.”

“Kau sendiri telah mengurangi nilai dari perbuatan guru kita Kebo Ijo,“ berkata Witantra.

“Kenapa?”

“Hanya orang-orang yang ingin menerima pujian, ingin menerima balas jasa sajalah yang dengan bangganya memamerkan jasa itu kepada orang lain,“ potong Mahendra, “apakah guru akan senang mendengar kau berceritera semacam itu?”

Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Wajahnya tiba-tiba menjadi murung, tetapi ia tidak berkata apapun lagi.

“Bukankah guru berkata, “Mahendra meneruskan, “bahwa seandainya guru tidak hadir, maka ada orang lain yang dapat berbuat serupa. Bahkan orang itu adalah ayah tuan puteri sendiri.”

“Mahendra,“ potong Witantra.

Mahendra terkejut mendengar suara kakak seperguruannya. Sesaat ia tidak mengerti maksud kakaknya, kenapa ia memotong kata-katanya. Tetapi kemudian disadarinya, bahwa ia telah terdorong menyebut ayah Ken Dedes, sedangkan orang tua itu sengaja tidak mau menunjukkan dirinya. Meskipun Witantra dan Mahendra tidak tahu sebabnya, kenapa orang tua itu tidak hadir di perkemahan ini, namun pastilah ada sesuatu sebab, kenapa orang tua itu lebih baik bersembunyi di belakang rumpun-rumpun liar.

Tetapi segera Mahendra terkejut ketika didengarnya suara Ken Dedes dengan serta merta, “Mahendra, apakah kau bertemu dengan ayah?”

Mahendra memandang Ken Dedes sesaat. Hanya sesaat, kemudian ia menundukkan wajahnya. Hatinya menjadi berdebar-debar. Bukan saja karena pertanyaan Ken Dedes itu, tetapi sesaat ia melihat wajah yang pernah menggoncangkan hatinya itu, maka jantungnya seakan-akan semakin cepat berdenyut. Sementara itu, yang menjawab adalah Witantra,

“Tidak tuan puteri. Kami tidak bertemu dengan ayah tuan puteri. Kami hanya membayangkan dan menduga, bahwa ayah tuan puteri tidak akan sampai hati apabila bencana menimpa diri tuan puteri.”

“Kakang Witantra,“ berkata Ken Dedes kemudian, “berkatalah sebenarnya.”

“Hamba berkata sebenarnya tuan puteri,“ sahut Witantra sambil membungkukkan kepalanya dalam-dalam, “guru hambalah yang berkata kepada kami bertiga, bahwa kemungkinan besar adalah ayah tuan puteri akan selalu membayangi kemana tuan puteri pergi. Namun itu hanyalah dugaan semata-mata.”

Ken Dedes mengerutkan keningnya. Wajahnya yang pucat karena peristiwa yang mendebarkan jantung itu kini menjadi semakin suram, perlahan-lahan gadis itu duduk di sisi tandunya. Sesaat ia memandangi api yang masih menyala, namun kemudian tiba-tiba ia menundukkan kepalanya dan mengusap matanya dengan selendangnya. Hati Ken Dedes itu tiba-tiba serasa tersayat ketika ia mengenangkan keadaan ayahnya dibandingkan dengan keadaannya sendiri, “Apakah ayah bergembira melihat keadaanku?” katanya di dalam hati, “atau ayah kini telah membenciku?”

Perkemahan itu kini menjadi sunyi senyap. Mahendra yang menundukkan wajahnya, mencoba untuk menguasai perasaannya. Ia tidak mau menjadi gila seperti Kuda Sempana. Ketika sekali ia memandang Ken Dedes dengan sudut matanya, ia terkejut. Gadis itu menangis meskipun ditahannya. Mahendra menyesal bukan kepalang. Perkataannyalah yang telah menuntun gadis itu ke dalam suatu kenangan yang pahit. Ia kehilangan ayahnya.

Tak seorang pun yang kemudian berbicara diantara mereka. Para prajurit itu pun kemudian beristirahat didekat perapian, berkelompok-kelompok. Beberapa orang telah menyingkirkan beberapa korban dari orang-orang Empu Sada. Seorang dari mereka yang terluka, telah dicoba oleh para prajurit Tumapel untuk mengobatinya dengan reramuan yang memang telah tersedia. Namun karena lukanya terlampau parah, maka orang itu pun tidak tertolong pula. Tiga orang yang terbunuh dalam pertempuran itu. Sedang dua orang prajurit Tumapel mendapat luka-luka. Tetapi untunglah bahwa luka itu tidak terlampau parah sehingga keadaan mereka tidak berbahaya.

Semalam itu hampir tak seorang pun yang dapat memejamkan matanya. Meskipun Ken Dedes berusaha sambil bersandar pada sisi tandunya, namun semua yang pernah terjadi seakan-akan selalu membayang. Bahkan menjadi sedemikian jelasnya, sehingga terasa seolah-olah baru siang tadi terjadi. berturut-turut sehingga saat yang terakhir, yang baru saja terjadi. Kuda Sempana baginya benar-benar seperti hantu yang selalu menakut-nakutinya kemana ia pergi dan dimana saja ia berada. Tetapi Witantra sendiri saat itu dapat beristirahat dengan tenangnya meskipun tidak juga sempat tertidur. Ia tahu benar bahwa gurunya berada tidak terlampau jauh dari padanya, bahkan ia pun percaya bahwa ayah gadis itu pun berada di sana pula.

Meskipun demikian, perasaan Witantra masih juga diganggu oleh pembicaraan antara gurunya dengan Empu Sada. Gurunya telah menyebut-nyebut nama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Witantra pernah mendengar nama-nama itu disebut gurunya sebelumnya sebagai nama-nama yang telah dilumuri oleh noda-noda hitam. Jauh lebih kotor dari nama Empu Sada. Tetapi Witantra belum pernah mendengar, apa yang pernah dilakukan oleh orang-orang itu.

Tidak bedanya dengan Witantra, Mahendra pun selalu digelisahkan oleh nama-nama yang belum banyak dikenalnya itu. ketika ia mendengar nama itu dipercakapkan oleh Empu Sada dan Empu Gandring, ia tidak begitu menghiraukannya. Tetapi gurunya telah menyebut nama itu pula. Bahkan ketika ia menceriterakan nama-nama itu kepada gurunya, tampak kerut-kerut kening orang tua itu.

Disebelah lain, Kebo Ijo berbaring diatas rerumputan kering. Ia sama sekali tidak memikirkan apa yang akan dilakukan Empu Sada kemudian. Ia sama sekali tidak mempedulikan nama-nama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Anak muda itu sedang mengenangkan apa yang telah terjadi. Bahkan tiba-tiba bulu-bulu tengkuknya berdiri. Apakah jadinya seandainya gurunya tidak datang menolong mereka?”

“Hem,“ desahnya di dalam hati, “hampir aku menjadi daging. Alangkah kecewanya bakal isteriku nanti. Ayah dan ibunya pasti menjadi pingsan. Mereka urung mendapat seorang menantu seperti aku. Seorang prajurit pengawal Akuwu Tumapel.

Kebo Ijo itu tersenyum sendiri. Diamatinya bayangan nyala api yang bermain-main di dedaunan. Ketika angin menghembus tubuhnya disertai dengan suara gemerisik di sela-sela pepohonan, Kebo Ijo mencoba memejamkan matanya. Tetapi ia tidak berhasil. Yang bermain-main di rongga angan-angannya adalah, beberapa hari lagi ia menjadi seorang mempelai. Namun dengan demikian, ia selalu digelisahkan oleh kekhawatiran tentang dirinya. Katanya kemudian di dalam hatinya,

“Kalau aku harus bertempur kembali, sebaiknya kelak, apabila aku telah melampaui hari-hari perkawinan itu. Mudah-mudahan Empu Sada tidak mencegat perjalanan ini sekali lagi. Apalagi bersama-sama dengan orang-orang yang disebutnya bernama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.”

Berbeda dengan mereka. Sidatta dan para prajurit yang lain masih selalu dibayangi oleh kegelisahan. Mereka belum dapat memastikan bahwa bencana tidak akan kembali malam nanti. Meskipun Kebo Ijo telah mengatakan bahwa gurunya akan selalu mengawasi iring-iringan itu, namun hatinya masih juga dicemaskan oleh bayangan-bayangan yang selalu mendebarkan jantungnya. Sebagai seorang prajurit ia merasa bahwa seluruh pasukan itu bertanggung jawab atas keselamatan Ken Dedes.

Malam berjalan menurut iramanya yang ajeg. Sesaat demi sesaat, menjelang ujung hari berikutnya. Meskipun betapa lambatnya, namun pagi hari yang mereka tunggu itu pun pasti akan datang. Meskipun demikian, terasa bahwa tubuh-tubuh mereka menjadi sangat penat. Bukan karena mereka baru saja bertempur, justru karena mereka harus menunggu. menunggu bagi mereka adalah pekerjaan yang menjemukan. Mereka tidak dapat berjalan dimalam yang gelap. Akibatnya akan lebih berbahaya. Di belakang dedaunan dan di belakang pepohonan, mungkin bersembunyi bahaya yang telah siap menerkam mereka.

Namun akhirnya langit pun menjadi semburat merah. Bintang-bintang semakin lama menjadi semakin kabur, satu demi satu bersembunyi di balik cahaya yang semakin cerah di langit. Demikian cahaya fajar menyentuh hutan itu, maka segera Witantra mempersiapkan diri beserta seluruh iring-iringan. Setelah mereka mengemasi semua perlengkapan dan membenahi diri, maka segera iring-iringan itu berangkat meninggalkan hutan. perlahan-lahan mereka maju menyusup diantara pepohonan dan akar-akar yang bergayutan dari cabang-cabang pohon yang besar.

Sekali-sekali Witantra yang kemudian berjalan dialling depan bersama Sidatta, mencoba memperhatikan keadaan di sekitarnya. Bahkan sekali-sekali Witantra mencoba mengetahui, apakah gurunya ikut juga berangkat ke Panawijen meskipun tidak berada di dalam rombongan itu. Meskipun kemudian mereka berjalan dalam limpahan cahaya matahari, namun bahaya masih juga dapat datang setiap saat. Empu Sada mungkin akan menganggap bahwa di siang hari mereka akan dapat lebih berhasil dari pada di malam hari. Mungkin mereka telah berhasil menghubungi Kebo Sindet dan Wong Sarimpat untuk kemudian mereka datang bersama-sama untuk menebus kekalahan semalam.

Tetapi ternyata mereka tidak lagi bertemu dengan Empu Sada. Hutan itu pun semakin lama menjadi semakin tipis. Perjalanan mereka sebenarnya termasuk perjalanan yang sulit. Namun daerah yang paling pepat telah mereka lampaui. Bahkan sekali-sekali mereka sempat melihat binatang-binatang buruan yang berlari-lari ketakutan melihat barisan itu menerobos sarang-sarang mereka. Apabila mereka nanti meninggalkan hutan itu, mereka masih juga harus melewati padang Karautan, meskipun tidak terlampau panjang. Mereka akan melewati desa Talrampak untuk kemudian sampai pada sebuah bulak panjang. Bulak itulah bulak yang terakhir harus mereka lalui. Di ujung bulak itulah terletak pedukuhan Panawijen.

Ken Dedes yang duduk diatas tandu, merasa betapa penatnya pula. Tandu itu bergetar apabila para pengusungnya harus meloncati batang-batang yang roboh melintang perjalanan. Kadang-kadang bergoyang demikian kerasnya apabila mereka harus menyusup dan kemudian mendaki batu-batu padas. Bahkan sekali-sekali kepala gadis itu terpaksa terantuk pada tiang-tiang tandunya sehingga terdengar ia memekik kecil.

Kebo Ijo, yang kadang-kadang mendengar pula pekik itu tersenyum di dalam hati. Kadang-kadang bahkan ia mengumpat, “Anak itu seolah kurang saja yang dikerjakan. Kenapa ia ingin menempuh perjalanan yang sesulit ini.” Namun lepas dari bahaya yang datang dari Empu Sada, berjalan lewat hutan ini agak lebih baik dari pada apabila mereka dibakar terik matahari dipadang Karautan. Kini, padang yang harus mereka lewati hanyalah beberapa tonggak saja. Sebelum matahari naik terlampau tinggi, mereka pasti sudah meninggalkan padang itu sampai di sebuah padang perdu yang agak dingin. Seterusnya mereka akan memasuki daerah persawahan dari pedukuhan Talrampak.

Ketika iring-iringan itu lewat daerah padukuhan Talrampak, maka seperti dihisap oleh sebuah tenaga gaib, seluruh penduduk padukuhan kecil itu, keluar dari rumah-rumah mereka. Dengan kagumnya mereka melihat iring-iringan itu. Iring-iringan yang belum pernah dilihatnya. Hanya satu dua orang tua-tua yang pernah mengunjungi Tumapel berkata, “Aku dahulu pernah melihat pula di Tumapel. Tetapi sudah terlalu lama.”

“Tetapi waktu itu iring-iringan yang megah semacam ini tidak pernah keluar dari dinding kota,“ sahut orang tua yang lain.

Orang pertama menganggukkan kepalanya sambil menyahut, “Ya. Iring-iringan itu hanya berkeliling kota.”

Kemudian tak seorang pun yang dapat memberi penjelasan, kenapa kali ini iring-iringan yang megah dikawal oleh prajurit-prajurit yang perkasa lewat dekat dengan padukuhan mereka. Ketika orang-orang Talrampak melihat iring-iringan itu memasuki jalan di tengah-tengah bulak, maka segera mereka tahu bahwa iring-iringan itu akan menuju ke Panawijen.

“Mereka pergi ke Panawijen,“ berkata salah seorang dari mereka.

Yang lain mengangguk. Katanya, “Apakah iring-iringan itu datang dari Tumapel untuk melihat keadaan Panawijen sekarang?”

Tetapi iring-iringan itu seakan-akan tidak mempedulikannya. Iring-iringan itu berjalan terus dalam irama yang tetap. Langkah para prajurit masih juga berderap dengan gagahnya. Satu dua ekor kuda yang turut dalam barisan itu pun kadang-kadang terdengar meringkik. Ken Dedes yang sudah cukup lama tidak melihat kampung halamannya, semakin dekat dengan Panawijen, terasa justru semakin rindu. Seakan-akan ia ingin meloncat mendahului iring-iringan yang dirasanya terlampau lambat. Namun ia berada diatas tandu, sehingga ia tidak akan dapat mempercepat perjalanan menurut kehendaknya.

Kini iring-iringan itu sudah memasuki sebuah bulak yang panjang. Bulak terakhir yang harus mereka lalui, di sana-sini masih terbentang lapangan-lapangan rumput dan perdu yang belum diusahakan tangan. Sawah-sawah dari padukuhan Talrampak ternyata tidak terlampau luas. Kemampuan penduduknya untuk menggarap sawah sangat terbatas. Namun Ken Dedes tahu, bahwa di sebelah yang lain, akan terbentanglah sawah-sawah yang subur, pategalan yang hijau segar dan kemudian padukuhan yang aman damai. Tetapi gadis itu mengeluh di dalam hatinya. Padukuhan yang damai itu pernah digoncangkan oleh peristiwa yang mengerikan. Peristiwa yang berkisar pada dirinya.

“Mudah-mudahan Panawijen tidak kehilangan sifat-sifatnya,“ desahnya di dalam hati.

Matahari yang beredar di langit semakin lama menjadi semakin tinggi, dan iring-iringan itu pun menjadi semakin mendekati Panawijen. Lapangan-lapangan rumput dan perdu itu pun semakin lama menjadi semakin tipis. Beberapa tonggak lagi, mereka akan sampai ke daerah garapan orang-orang Panawijen. Tegalan dan sawah-sawah yang mendapat saluran air yang dibuat oleh orang-orang Panawijen. Sawah-sawah yang lebih subur dan baik dari pada sawah dan tegalan orang-orang Talrampak.

Tetapi semakin lama mereka berjalan, timbullah berbagai pertanyaan di hati Ken Dedes. Lapangan rumput itu pun semakin lama menjadi semakin tipis dan kering. Gerumbul-gerumbul perdu liar yang rimbun yang hijau semakin lama menjadi semakin jarang.

“Apakah orang-orang Panawijen kini mampu untuk mencoba menjadikan daerah ini sebuah tegalan,“ berkata Ken Dedes di dalam hatinya, “apakah orang-orang Panawijen sudah mencoba merambas pepohonan liar di lapangan perdu ini?”

Tetapi Ken Dedes tidak segera dapat menjawab. Namun yang dilihatnya kemudian adalah sebuah lapangan yang kering. Hati Ken Dedes menjadi berdebar-debar. Jauh-jauh ia memandang ke depan, tetapi ia belum melihat warna-warna hijau segar yang dirindukan. Bahkan yang terbentang dihadapannya seolah-olah padang rumput Karautan yang kering. Ken Dedes menjadi gelisah. Apakah jalan yang ditempuhnya ini keliru? Tidak mungkin. Ia adalah seorang gadis Panawijen. Witantra, Mahendra dan beberapa prajurit Tumapel yang lain pasti mengenal Panawijen pula. Namun apa yang dilihatnya benar-benar bukan yang diangan-angankannya.

Gadis itu melihat Witantra kini berjalan kaki saja di ujung barisannya. Di sampingnya berjalan Sidatta. Di belakang tandu Ken Dedes beberapa orang pemanggul tandunya berjalan berurutan untuk saling berganti. Dan di belakang lagi, para prajurit berjalan dengan tegapnya. Di sisi tandu itu masih berkibar panji-panji kebesaran dipanggul oleh para prajurit pula, tersangkut pada tunggul-tunggul yang megah, dengan landean kayu berlian.

Tetapi ternyata bukan saja Ken Dedes yang menjadi heran melihat alam yang terbentang dihadapannya. Witantra yang berjalan di ujung barisan itu pun menjadi ragu-ragu. Tetapi ia tidak segera melihat, apakah yang tampak lain dari pada masa-masa sebelumnya. Yang segera dilihat oleh Witantra adalah tanah yang kering di sisi-sisi jalan. Debu yang berhamburan dan panas matahari yang menjadi semakin terik.

“Kenapa parit-parit itu tidak disalurkan kemari,“ katanya di dalam hati, “apabila demikian, maka tanah ini akan dapat dijadikan tanah persawahan pula.“ Namun segera dijawabnya sendiri, “Agaknya tanah masih berlebihan disini. Tanah ini mungkin merupakan tanah cadangan. Baik orang Talrampak maupun orang-orang Panawijen tidak cukup tenaga untuk merubah tanah ini menjadi tanah yang ditanami.”

Tetapi semakin jauh mereka berjalan, tanah di sekitar itu pun masih tetap tanah yang kering berdebu. Di langit matahari merayap semakin tinggi. Meskipun masih belum terlampau siang, namun terasa panasnya bukan main. Meskipun mereka tidak berjalan di tengah-tengah padang rumput Karautan, tetapi sinar matahari terasa menyengat tubuh mereka. Angin yang kering terasa mengusap wajah yang berkeringat, memberikan sedikit kesejukan. Tetapi kembali terasa panas matahari, seperti membakar kulit. Ken Dedes semakin lama menjadi semakin berdebar-debar. Satu-satu dilihatnya juga pepohonan yang masih hijau. Namun seolah betapa lesunya. Daunnya menunduk rendah tanpa pucuk-pucuk baru di ujung-ujung rantingnya.

Tetapi iring-iringan itu berjalan terus. Panji-panji kebesaran Tumapel berkibar dengan megahnya. Beberapa umbul-umbul dan rontek berkibaran pula di sekitar tandu gadis Panawijen. Namun rumput-rumput kering dan pohon-pohon perdu yang layu, sama sekali tidak tertarik untuk menatap kemegahan itu. Seandainya mereka dapat berbisik, maka akan terdengarlah bisikan sayu, “Air, air.”

Meskipun rerumputan dan pepohonan itu tidak meneriakkannya, tetapi apa yang tampak oleh mata Ken Dedes dan para prajurit Tumapel itu ada ungkapan dari jerit tumbuh-tumbuhan itu. Dan hati Ken Dedes pun menjerit pula, “Kenapa daerah ini menjadi kering kerontang?”

Dikejauhan Ken Dedes melihat lamat-lamat sebuah padesan yang hijau. Ya. Ia masih melihat warna itu. Hijau. Dan padesan itu adalah Panawijen. Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Mudah-mudahan penglihatannya bukan sekedar sebuah khayalan. Karena itu, maka kepada seorang prajurit yang berjalan di sisinya. Ken Dedes minta untuk memanggil Panglima dari pasukan pengawalnya.

Dengan tergesa-gesa Witantra berjalan menyongsong barisannya mendekati tandu Ken Dedes. Kemudian dengan hormatnya ia bertanya, “Apakah perintah tuan puteri?”

Meskipun sudah berpuluh bahkan beratus kali Ken Dedes mendengar sebutan yang diberikan kepadanya oleh Akuwu Tunggul Ametung, namun kadang-kadang masih terdengar aneh di telinganya. Apalagi kini ia berada dekat dari desanya. Sehingga sebutan tuan puteri itu pun menjadi semakin janggal. Ia tidak ingin sebutan itu, tetapi ia tidak berani melawan kehendak Akuwu Tunggul Ametung.

“Kakang,“ berkata Ken Dedes itu kemudian, “aku menjadi sangat bimbang atas penglihatanku. Bukankah kita telah hampir sampai ke Panawijen?”

Witantra menganggukkan kepalanya, “Hamba tuan puteri.”

“Bukankah yang tampak itu padukukan Panawijen?”

“Kalau hamba tidak salah tuan puteri.”

“Bukankah kau pernah mengunjungi Panawijen?”

“Hamba tuan puteri.”

“Seharusnya kau tahu pasti, apakah itu Panawijen?”

“Tuan puteri adalah gadis Panawijen sejak kecil. Agaknya tuan puteri menjadi ragu-ragu pula atas daerah ini.”

Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun dengan demikian ia mendapat kesimpulan bahwa bukan saja dirinya yang menjadi bimbang atas pengamatannya, tetapi juga Witantra. Sejenak Ken Dedes berdiam diri. Tetapi ia tidak dapat menahan diri. Sehingga kembali ia bertanya, “Kakang Witantra, penglihatan atas daerah ini sangat mencemaskan sekali.”

Witantra tidak menjawab. Tetapi hatinya mengiakannya. Bahkan ia menambahkan di dalam hatinya, “Daerah ini seperti hutan yang terbakar.”

Karena Witantra tidak segera menjawab, kembali Ken Dedes berkata, “Kakang, bagaimana menurut pendapatmu. Seharusnya sebelum kita sampai ke Panawijen yang sudah tampak itu, kita melalui suatu bulak persawahan yang panjang dan subur. Tetapi yang kita lihat adalah sebuah lapangan yang kering.”

Witantra menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Tuan puteri, aku pun menjadi sangat cemas melihat keadaan daerah ini.”

Tiba-tiba teringatlah Ken Dedes kepada embannya. Embannya itu tidak bersedia mengikutinya ke Panawijen. Apakah karena emban itu tidak akan tahan melihat keadaan ini setelah ia menyaksikannya beberapa hari yang lalu, pada saat ia menjemput Mahisa Agni. Tetapi kenapa emban tua itu sama sekali tidak mengatakan kepadanya tentang kampung halamannya.

Tetapi hari Ken Dedes masih cukup tenang ketika semakin lama Panawijen menjadi semakin jelas. Warna-warna hijau yang memancar dari padukuhan itu telah menenteramkan hatinya. Meskipun ia tidak lagi melihat batang-batang padi yang hijau subur, serta tidak lagi melihat air yang tergenang melimpah-limpah dan mengalir di parit-parit, namun Panawijen masih hijau seperti Panawijen pada saat ditinggalkannya. Yang ada di sawah-sawah kini hanyalah tanaman palawija. Tanaman-tanaman itu pun tampak betapa hausnya. Daun-daunnya yang kecil dan kekuning-kuningan. Batangnya yang kerdil dan tanah yang berbongkah-bongkah seperti akan pecah.

Ken Dedes menjadi semakin ingin lebih cepat sampai. Tetapi ia harus menahan dirinya. Ia harus bersikap tenang. Kini ia menjadi pusat perhatian setiap prajurit Tumapel. Ia tidak lagi dapat berbuat menuruti luapan-luapan perasaannya. Seandainya Ken Dedes yang duduk di dalam tandu itu adalah Ken Dedes yang masih tinggal di Panawijen beberapa waktu yang lalu, maka gadis itu pasti akan meloncat dan berlari mendahului. Tetapi Ken Dedes yang sekarang tidak berbuat demikian. Betapa perasaannya menjadi berdebar-debar, namun ia duduk saja di dalam tandunya.

Yang mendebarkan hati Ken Dedes bukan saja Panawijen yang lain dari Panawijen yang ditinggalkan, tetapi apakah nanti yang akan dikatakannya kepada kakak angkatnya? Apakah yang akan diucapkannya dan bagaimanakah kira-kira tanggapan kakak angkatnya itu? Ken Dedes sama sekali tidak berpikir tentang gadis-gadis kawan-kawannya bermain. Juga tidak tentang tetangganya. Apapun yang akan dikatakan oleh mereka. Tetapi bagaimana dengan Mahisa Agni?

Semakin dekat dengan padukuhan Panawijen hati Ken Dedes menjadi semakin berdebar-debar. Debu yang putih menghambur dari belakang kaki-kaki para prajurit Tumapel mengepul di bawa angin yang lemah. Kampung halaman, tempat Ken Dedes dibesarkan, tempat gadis itu bermain-main setiap hari, kini terasa sangat asing baginya.

Sejenak ia mereka-reka, bagaimana ia harus bersikap. Bagaimana ia harus meyakinkan Mahisa Agni, bahwa ia tidak dapat berbuat lain dari pada menerima kesempatan yang datang. Bagaimana ia akan mengatakan, bahwa Mahisa Agni tidak perlu merasa tersinggung, bahwa ia menerima Akuwu Tunggul Ametung sebelum minta ijinnya karena keadaan yang hampir tak dapat dikuasainya. Bukankah kemudian Akuwu telah ingin mendapat kesempatan menemuinya untuk menjelaskan persoalannya dan memenuhi adat tata cara?

Tetapi angan-angan Ken Dedes selalu saja diganggu oleh panasnya udara, teriknya matahari dan parit-parit yang kering. Bahkan sampai beberapa tonggak di muka padukuhan Panawijen, sawah-sawahnya juga sama sekali tidak berair. Tidak ada batang-batang padi yang hijau, tidak ada tanam-tanaman yang subur. Witantra masih juga berjalan di samping tandu Ken Dedes. Namun hatinya juga selalu dililiti oleh berbagai pertanyaan tentang Panawijen yang kering.

Padukuhan dihadapannya masih nampak hijau gelap. Pepohonan masih juga berdaun rimbun. Tetapi semakin dekat mereka dengan padukuhan itu, semakin jelas bagi mereka, bahwa diantara daun-daun yang hijau itu, bertebaranlah daun-daun yang mulai mengering. Dengan dada yang berdebar-debar maka iring-iringan itu kini telah mendekati Panawijen. Beberapa ratus langkah lagi mereka akan menginjakkan kaki-kaki mereka, diatas jalan induk padukuhan yang terasa sangat asing itu.

Beberapa orang anak-anak yang sedang bermain-main, telah melihat iringan yang hampir memasuki desa mereka. Dengan tergesa-gesa anak itu berlarian, berteriak-teriak memanggil ibu-ibu mereka. Tetapi sebagian dari mereka menjadi ketakutan. Mereka masih ingat beberapa waktu yang lampau, ketika beberapa ekor kuda membawa Kuda Sempana datang ke pedukuhan itu untuk merampas seorang gadis puteri Empu Purwa.

Tetapi beberapa orang tua-tua melihat bahwa iringan itu bukanlah iring-iringan orang berkuda. Bahkan mereka melihat, di dalam iring-iringan itu terdapat sebuah tandu. Karena itu maka orang-orang tua mencoba membicarakan diantara mereka, apakah sebenarnya yang mereka saksikan itu.

“Panji itu adalah panji-panji kebesaran Tumapel,“ berkata salah seorang yang berambut putih seperti kapas.

Di sampingnya, seorang laki-laki kurus yang berjanggut panjang dan telah memutih pula menyahut, “Ya. Hanya Akuwu lah yang berhak mendapat kehormatan dengan rontek, umbul-umbul dan Panji kebesaran itu.”

“Apakah Akuwu akan datang sekali lagi ke padukuhan ini seperti pada saat Akuwu itu merampas Ken Dedes, puteri Empu Purwa,“ desis laki-laki yang pertama.

Laki-laki berjanggut putih menggelengkan kepalanya. Katanya, “Akuwu yang sekarang tidak akan telaten bepergian sejauh ini dengan naik tandu. Kalau yang datang itu Akuwu Tunggul Ametung, maka Akuwu itu pasti naik kuda.”

“Kalau begitu siapakah yang datang? Tanda-tanda itu mengatakan bahwa di dalam tandu itu adalah Akuwu, atau ayah bundanya. Tetapi ayah bundanya sudah tidak ada. Mungkin pula permaisurinya. Tetapi Akuwu belum berpermaisuri.”

Keduanya kemudian berdiam diri. Anak-anak sudah berlari-lari bersembunyi ke dalam rumah masing-masing. Tetapi kedua orang tua itu mendapat firasat yang lain. Iring-iringan itu sama sekali tidak mencemaskan mereka. Karena itu maka kepada seorang perempuan yang mengintip dari balik pagar batu halamannya ia berkata, “Tidak apa-apa. Keluarlah, dan sambutlah iring-iringan itu. Mungkin sesuatu yang akan mendatangkan kebaikan bagi padukuhan kita ini.”

Perempuan itu menjadi ragu-ragu. Tetapi orang tua itu menjelaskan, “Kalau mereka ingin berbuat jahat, mereka tidak akan membawa tandu itu. Mereka pasti datang berkuda dengan pedang terhunus.”

Tetapi perempuan itu tidak mau keluar seorang diri. Segera ia berlari ke rumah tetangganya. Ajakannya itu pun kemudian tertebar dari pintu ke pintu, sehingga beberapa orang, walaupun dengan ragu-ragu, keluar dari rumah-rumah mereka, berdiri di tepi-tepi jalan menyambut kedatangan iring-iringan itu.

Iring-iringan itu pun semakin lama menjadi semakin dekat. Laki-laki tua dan perempuan berdiri berjajar di mulut pedukuhan. Semakin lama semakin banyak. Ketika biyung-biyung mereka berani melihat iring-iringan itu, maka anak-anak pun bermunculan pula, meskipun mereka tidak berani terlampau dekat dengan orang tua mereka.

Ken Dedes melihat beberapa orang di mulut lorong padukuhannya. Semakin lama semakin jelas. Ia melihat dua orang tua yang pernah dikenalnya. Di dekatnya adalah perempuan-perempuan dan agak kebelakang beberapa anak-anak kecil dengan ragu-ragu berdiri di regol-regol halaman rumah. Tetapi sekali lagi Ken Dedes menjadi heran. Ia tidak melihat anak-anak muda yang biasanya berkeliaran di sawah-sawah dan tegalan. Hati Ken Dedes menjadi semakin gelisah. Panawijen benar-benar terasa asing baginya.

Ketika iring-iringan itu menjadi semakin dekat, maka orang-orang itu pun menepi, memberi kesempatan yang sebaiknya. Mereka menyangka bahwa iring-iringan itu pasti akan langsung menuju ke rumah Ki Buyut Panawijen, atau hanya sekedar lewat di padukuhan ini untuk tujuan yang lebih jauh. Ketika ujung dari iring-iringan itu hampir menginjakkan kakinya di padesan itu, maka orang-orang Panawijen segera membungkuk dalam-dalam. Mereka mencoba menghormat orang-orang besar dari Tumapel yang datang dalam sikap kebesaran.

Sidatta yang berjalan di ujung iring-iringan itu menganggukkan kepalanya pula. Namun segera ia berhenti dan berpaling ke arah Witantra. Ia belum tahu kemana iring-iringan itu harus dibawa. Witantra menangkap pertanyaan itu, tetapi karena ia sendiri belum mendapat perintah, maka segera ia bertanya, “Kemana kita akan pergi tuan puteri. Apakah kita akan pergi ke padepokan ayahanda tuan puteri?”

Ken Dedes mengangguk, jawabnya, “Ya kakang. Aku akan terus langsung menemui kakang Mahisa Agni.”

Kini Witantra segera maju mendampingi Sidatta. Ia telah mengenal jalan, menuju ke padepokan di ujung desa Panawijen. Ketika iring-iringan itu kemudian masuk ke dalam padukuhan dan orang-orang yang berdiri di pinggir jalan itu melihat tandu diantara derap para prajurit menjadi semakin dekat, maka hati mereka pun tiba-tiba berdesir. Darah mereka serasa akan berhenti mengalir ketika mereka melihat siapakah yang duduk di dalam tandu itu.

Tiba-tiba seorang perempuan tua berdesis, “Apakah aku bermimpi?”

Perempuan lain yang berdiri di sampingnya mengusap matanya sambil bergumam, “Kita semuanya sedang bermimpi. Arak-arakan ini hanya dapat terjadi di dalam mimpi.”

Seorang perempuan yang lebih tua lagi mencubit perempuan yang mengusap matanya itu. Ketika yang dicubit berjingkat, maka katanya, “Kau tidak bermimpi. Kalau kau merasakan sentuhan orang lain maka kau tidak sedang tidur.”

Tandu itu menjadi kian dekat. Iringan rontek dan umbul-umbul telah melewati mulut jalan, kini sebuah panji-panji berkibar dihembus angin. Kemudian beberapa orang prajurit di sisi jalan, dan diantara mereka adalah tandu itu. Tandu yang sangat bagus dan berukir. Di dalamnya duduk seorang gadis muda yang cantik seperti patung terindah di candi-candi. Kulitnya yang kuning sekuning temugiring, dengan pakaian kebesaran yang berwarna cemerlang, seperti golek yang diwarnai oleh juru sungging yang sempurna.

Tetapi bukan kecantikan gadis itu yang telah mempesona mereka, bukan pakaiannya yang cemerlang dan bukan keperkasaan para prajurit Tumapel yang memandu panji-panji, tetapi yang telah mencengkam jantung mereka adalah, bahwa wajah gadis itu pernah dilihatnya. Gadis itu adalah gadis yang pernah menjadi buah bibir rakyat Panawijen. Gadis yang pernah meruntuhkan air mata dari setiap mata perempuan Panawijen.

Seorang perempuan yang sudah ubanan berdiri dengan mulut ternganga memandangi gadis di dalam tandu itu. Bahkan dengan serta merta terloncat dari sela-sela bibirnya, “Ken Dedes, adakah kau Ken Dedes puteri Empu Purwa.”

Ken Dedes yang duduk di dalam tandu itu pun tergetar dadanya. Dijulurkannya kepalanya sambil menjawab terbata-bata, “Ya bibi. Aku Ken Dedes.”

Perempuan-perempuan itu pun seakan-akan menjadi terpaku diam. Hati mereka benar-benar bergelora, dan jantung mereka berdegupan semakin keras. Tetapi iring-iringan itu berjalan terus. Ken Dedes hanya dapat menjulurkan sebagian dari badannya dan melambaikan tangannya. Ia sebenarnya ingin meloncat turun dan memeluk perempuan-perempuan yang telah dikenalnya dengan baik itu. Tetapi ia menjadi ragu-ragu. Apakah hal itu tidak akan di anggap menyalahi kedudukannya?

Ken Dedes sendiri sebenarnya tidak ingin mendapat penghormatan yang terlampau berlebih-lebihan. Tetapi ia sendiri masih belum tahu benar batas-batas yang dapat dilakukan dan yang sebaiknya tidak dilakukan sebagai seorang calon permaisuri. Karena itu, dengan ragu-ragu ia hanya sempat melambaikan tangannya dari atas tandunya. Kalau kali ini ia berkeras hati datang ke Panawijen dengan sebuah iring-iringan kebesaran, hanyalah karena hatinya terlampau kecewa atas sikap Mahisa Agni yang dirasakannya terlampau keras. Terlampau menghargai diri sendiri tanpa melihat kepentingannya sebagai seorang adik.

Iring-iringan dari Tumapel itu kini telah memasuki Panawijen lebih dalam lagi. Sejenak kemudian Ken Dedes melihat gadis-gadis Panawijen berlarian menyambut iring-iringan itu. Beberapa orang yang dikenalnya baik-baik hampir-hampir tak dapat mengendalikan diri mereka. Bahkan ada pula diantara mereka yang berteriak-teriak, “Ken Dedes. Ken Dedes.”

Ken Dedes masih melambaikan tangannya. Tidak disadarinya bahwa dari sepasang matanya mengalir butiran-butiran air yang menetes satu dua di pangkuannya. Ken Dedes benar-benar terharu melihat kampung halamannya. Sejenak ia dapat melupakan daun-daun kuning yang berguguran semakin lama semakin banyak tanpa ada pupus-pupus hijau yang tumbuh dari ujung-ujung ranting pepohonan.

Gadis-gadis Panawijen itu pun menjadi sangat terharu melihat Ken Dedes yang pernah hilang dari kampung halamannya. Mereka menyangka bahwa mereka tidak akan pernah dapat melihat gadis itu lagi. Namun tiba-tiba gadis itu datang dalam suatu iring-iringan yang megah, iring-iringan yang belum pernah dibayangkan akan dapat dilihatnya.

“Apakah Kuda Sempana itu kini menjadi orang yang sangat kaya-raya, sehingga mampu memelihara prajurit dan perlengkapan sebanyak dan semewah itu,“ desis seorang gadis yang bertubuh tinggi semampai.

Kawannya yang agak lebih pendek daripadanya berdiri di atas ujung kakinya sambil memanjangkan lehernya, “Aku tidak melihat Kuda Sempana.”

“Ya. Aku pun tidak,“ sahut gadis yang tinggi.

Keduanya kemudian terdiam. Mereka tidak dapat menebak apakah yang sebenarnya telah terjadi dengan Ken Dedes itu. Tetapi Ken Dedes pun sejak memasuki padukuhannya selalu diliputi oleh sebuah pertanyaan yang belum terjawab pula. Ia tidak melihat seorang laki-laki muda dan bahkan hampir tidak dilihatnya laki-laki selain orang-orang tua. Hal itu telah menambah kegelisahannya di samping keharuan yang menusuk-nusuk hati. Namun ia masih belum sempat untuk bertanya kepada seseorang, kemana gerangan setiap laki-laki dari pedukuhannya. Apakah Mahisa Agni pun tidak ada di padepokannya? Dan apakah karena laki-laki Panawijen menjadi ketakutan akan sesuatu, sehingga mereka pergi meninggalkan Padukuhan ini.

Kedatangan Ken Dedes telah benar menimbulkan berbagai tanggapan bagi para penduduk Panawijen yang melihatnya. Mereka belum pernah mendengar kabar yang meyakinkan sampai ke kampung halamannya, bahwa Ken Dedes kini justru seorang bakal permaisuri Akuwu Tunggul Ametung. Mahisa Agni yang mengetahui dengan pasti akan hal itu, sama sekali tidak mengatakannya kepada kawan-kawannya atau kepada siapapun, karena hatinya sendiri yang menjadi resah.

Orang-orang Panawijen itu pun kemudian berbondong ikut pula di belakang iring-iringan itu, sehingga semakin lama menjadi semakin panjang. Perempuan-perempuan tua, gadis-gadis anak-anak dan laki-laki tua. Hampir semua penghuni yang tinggal, mengikuti iringan itu sepanjang jalan pedukuhan mereka. Tetapi Ken Dedes masih belum melihat seorang anak muda pun. Ia belum melihat Ki Buyut Panawijen. Belum melihat laki-laki yang pernah dikenalnya selain yang sudah terlampau tua dan sudah dipenuhi oleh uban diatas kepalanya.

Witantra yang kini berjalan di samping Sidatta pun melihat keganjilan itu. Tetapi disimpannya pertanyaan yang serupa dengan pertanyaan yang mengetuk hati Ken Dedes itu di dalam hatinya. Sekali-sekali ia berpaling memandangi wajah Sidatta. Tetapi perwira itu agaknya tidak sempat memperhatikan para penyambutnya. Matahari semakin tinggi mendaki langit, maka iring-iringan itu pun menjadi semakin dalam memasuki padukuhan Panawijen. Iring-iringan itu langsung menuju ke padepokan di ujung padukuhan itu. Padepokan Empu Purwa.

Ketika orang-orang Panawijen mengetahui arah dari iring-iringan itu segera mereka berbisik diantara sesama. Seorang perempuan yang kurus berdesis, “Apakah gadis itu akan pulang kembali?”

Perempuan yang berjalan di sisinya menyahut, “Mungkin gadis itu belum tahu bahwa ayahnya telah pergi meninggalkan padukuhannya karena hatinya yang sedih kehilangan gadis satu-satunya.”

Keduanya terdiam. Namun mereka menjadi iba di dalam hati. Ken Dedes sendiri, merasa bahwa sesuatu yang tidak wajar telah terjadi di pedukuhannya. Tanah yang kering, anak-anak muda yang seakan-akan lenyap dari padukuhannya adalah pertanda yang pertama-tama dapat dilihatnya. Untuk menghibur diri sendiri ia berkata di dalam hatinya,

“Mungkin anak-anak muda Panawijen yang bukan anak-anak muda yang cukup berani. Mungkin mereka menjadi ketakutan melihat iring-iringan ini sehingga mereka bersembunyi. Nanti apabila mereka menyadari bahwa kami tidak akan berbuat sesuatu, mereka pasti akan datang kembali. Tetapi Kakang Mahisa Agni pasti berpendirian lain. Kakang Mahisa Agni adalah bukan seorang penakut sehingga ia pasti tidak akan turut bersembunyi dengan anak-anak muda yang lain."

Karena pikiran itulah, maka Ken Dedes berjalan terus menuju kepadepokannya. Ketika iringan itu membelok pada tikungan terakhir, hati Ken Dedes berdesir keras. Dikejauhan ia melihat ujung lorong yang dilalui itu. Di sisi lorong itulah terletak padepokannya. Padepokan Empu Purwa. Dengan gelora yang semakin cepat di dalam dada gadis itu, maka iring-iringan itu menjadi semakin dekat dengan regol halaman Padepokan Empu Purwa.

Yang mula-mula sampai di regol itu adalah Sidatta dan Witantra. Sejenak mereka berdiri tegak sambil memandangi halaman Padepokan itu. Sidatta belum pernah melihatnya, karena itu ia tidak melihat perubahan yang terjadi. Meskipun demikian ia berkata di dalam hatinya, “Padepokan ini agaknya kurang terpelihara. Taman-tamanannya menjadi layu dan rerumputannya menjadi kering. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata pun tentang tanggapannya itu.

Berbeda dengan Witantra. Ia pernah melihat halaman yang dahulu sejuk segar. Halaman yang diwarnai oleh kehijauan dedaunan dan bunga yang beraneka warna. Kini yang dilihatnya adalah daun-daun kering, rumput-rumput kering dan bunga-bunga yang layu. Kuning gersang. Dilumuri oleh debu yang putih. Meskipun Witantra seorang prajurit yang hampir tidak sempat menikmati warna-warna tetumbuhan, namun hatinya serasa dilanda oleh suatu perasaan yang aneh. Halaman ini sekarang seperti padang rumput yang kering.

Sementara itu tandu Ken Dedes berjalan semakin maju. Di mukanya berjalan Mahendra dan kemudian Kebo Ijo dengan beberapa orang prajurit. Mereka pun kemudian berhenti pula di belakang Witantra dan Sidatta. Para prajurit itu pun kemudian menyibak, memberi jalan kepada para pengusung tandu untuk maju mendekati regol halaman itu. Demikian tandu itu sampai di depan regol, terdengarlah Ken Dedes memekik kecil. Tanpa ada sesadarnya kedua belah tangannya menutupi mulutnya. Matanya tiba-tiba terbeliak dan jantungnya memukul terlampau keras. Apa yang dilihatnya tentang halaman rumahnya benar-benar telah menghentak dadanya sehingga serasa akan pecah.

Sejenak para pengusung tandu itu tertegun. Mereka mendengar Ken Dedes memekik kecil, sehingga mereka tidak segera melangkahkan kaki-kaki mereka memasuki halaman. Dalam pada itu, dari sisi pendapa rumah di padepokan itu, muncullah beberapa emban. Emban yang telah dikenal oleh Ken Dedes. Emban kawannya bermain sejak kanak-kanak. Betapa hatinya tergetar ketika ia melihat emban-emban itu berdiri tegak dengan wajah yang pucat. Bukan saja pucat karena ketakutan melihat iring-iringan prajurit itu, namun wajah itu memang pucat dan sayu. Tubuh-tubuh mereka tiba-tiba telah menjadi semakin kurus. Sekurus tanaman di halaman padepokan itu.

Sesaat Ken Dedes terpaku diam. Bagaimana mungkin semuanya segera berubah dalam waktu yang tidak terlampau lama. Bagaimana mungkin emban-emban itu menjadi cepat bertambah kurus dan sayu. Wajah-wajah yang dahulu memancar gembira, kini menjadi seolah-olah pelita yang kehabisan minyak. Wajah emban-emban itu demikian suramnya sehingga hampir-hampir Ken Dedes tak percaya, bahwa emban itulah yang dahulu pernah dikenalnya.

Ken Dedes kemudian, setelah melihat keadaan padepokannya, benar-benar tidak lagi dapat menguasai dirinya. Ia tidak lagi teringat akan kedudukannya. Ia tidak peduli apakah yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan sebagai seorang bakal permaisuri. Dengan serta merta ia berteriak, “Aku akan turun. Aku akan turun.”

Para pengusungnya terkejut mendengar teriakan itu, mereka menjadi ketakutan dan dengan tergesa-gesa mereka meletakkan tandu. Ken Dedes pun segera meloncat turun dari tandu itu. Sesaat ia memandangi para emban yang berdiri di sisi pendapa. Tampaklah betapa wajah para emban itu menjadi tegang. Hampir tidak percaya mereka melihat, bahwa yang turun dari tandu dalam pakaian yang cerah itu adalah Ken Dedes.

Ken Dedes yang tidak dapat lagi menahan diri segera berlari-lari mendapatkan emban-emban itu. Seorang emban yang sebaya benar dengan Ken Dedes, yang hampir setiap hari bermain bersama, berkumpul dalam setiap saat, mengerjakan pekerjaan mereka bersama, ternyata menjadi sangat terharu. Seperti Ken Dedes ia pun tidak dapat mengendalikan dirinya. Sambil berlari pula ia menyongsong gadis yang pernah dianggapnya hilang itu. Sejenak kemudian keduanya saling berpelukan dan bertangisan. Para emban yang lain pun segera berkumpul, mengelilingi kedua gadis itu.

Witantra, Sidatta, Mahendra dan para prajurit yang lain melihat pertemuan itu dengan hati yang tersentuh-sentuh pula. Tetapi mereka kini berdiri saja mematung, menunggu perintah apa yang harus mereka lakukan. Tetapi rupanya Ken Dedes yang sedang meluapkan rasa rindunya kepada orang-orang yang pernah dikenalnya baik-baik dan seolah-olah tidak akan bertemu lagi itu, tidak lagi mempedulikan para pengiringnya. Dengan air mata yang satu-satu menetes, maka gadis itu kemudian berjalan diiringkan oleh beberapa orang emban memasuki pendapa rumahnya dan hilang di balik pintu di belakang pendapa.

Witantra menggigit bibirnya. Ketika berpaling ke arah Sidatta, perwira itu mengangkat bahunya. “Kita tidak mendapat perintah apapun,“ desis Witantra.

Sidatta mengangguk. Kemudian Witantra harus mengambil sikap sendiri untuk melindungi keamanan bakal permaisuri. Maka katanya kepada Sidatta, “Kau disini bersama para prajurit, aku akan berada di halaman belakang supaya tidak seorang pun yang tidak kita kehendaki memasuki halaman ini dari belakang.”

“Apakah ada regol butulan di halaman belakang?” bertanya Sidatta.

Witantra tersenyum, jawabnya, “Aku belum pernah melihat halaman belakang. Tetapi adalah berbahaya sekali kalau kita tidak sempat mengawasinya. Seandainya tidak ada regol butulan sekalipun agaknya untuk meloncati dinding batu setinggi ini tidak terlampau sulit.”

“Mungkin seseorang atau beberapa orang akan dapat memasuki tempat ini lewat belakang kakang, tetapi apakah mereka akan dapat membawa tuan puteri meloncat dinding ini?”

“Adi Sidatta.” Sahut Witantra, “Seseorang yang menjadi kecewa, bahkan merasa bahwa usahanya telah gagal, akan dapat berbuat hal-hal diluar dugaan. Orang yang demikian akan dapat menjadi berputus asa dan berpendirian, lebih baik dihancurkan sama sekali daripada tidak berhasil memiliki.”

“Hanya orang yang berputus asa yang berbuat demikian.”

“Ternyata Kuda Sempana dan Empu Sada pun telah menjadi putus asa. Apa yang dilakukan sekarang sebenarnya adalah luapan dendam yang tak dapat diendapkan. Aku sangka Kuda Sempana sudah tidak lagi mengharap akan memiliki Ken Dedes seperti impiannya masa-masa lampau. Apa yang dilakukan sekarang adalah, pancaran dari hati yang gelap.”

Sidatta menganggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan Witantra. Bukan saja dalam persoalan ini, persoalan seorang gadis, namun dalam persoalan-persoalan yang akan terjadi pula perbuatan serupa. Keinginan yang gagal memang dapat menimbulkan perbuatan yang tidak terduga-duga.

Kisah-kisah kidung dan kakawin-kakawin mengatakan, betapa kadang-kadang orang mengorbankan dirinya, keluarganya dan bahkan negerinya untuk mendapatkan suatu cita-cita. Kalau cita-cita itu menjadi kabur, maka yang tinggal hanyalah bentuk keputusasaan. Demikian pulalah yang terjadi dalam pemerintahan. Seorang gadis akan sama bentuknya dengan sebuah pusaka dan jabatan. Seseorang yang gagal mendapatkan gadis idaman, atau sebuah pusaka keramat atau sebuah keinginan untuk memangku jabatan agung, maka akibatnya dapat mengerikan sekali.

Kegagalan itu akan dikorbankan tanpa kesadaran bahkan kadang-kadang timbullah malapetaka apabila kegagalan itu dibakar oleh pandangan yang mengerikan, yang bertekad untuk hancur bersama, gagal bersama. Karena pendirian yang demikian itu, akan terjadi, membakar perahu yang sedang berlayar di tengah lautan, hanya karena orang itu tidak tahan melihat orang lain menjadi nakhoda, bukan dirinya sendiri.

Betapa indahnya sebuah cita-cita, namun apabila dilandasi oleh hati yang hitam, pikiran yang kelam dan cara-cara yang sesat, maka akan lenyaplah keindahan yang hakiki. Dan manusia akan menjadi korban dari ketamakan mereka sendiri. Manusia akan menggali liang dimana ia sendiri akan terperosok kedalamnya. Hanya mereka yang menyadari dirinya, menyadari kemanusiaannya yang lahir dari sebuah kekuasaan yang Maha Kuasa, akan dapat membuat neraca yang seimbang dari usaha, perjuangan dan cita-cita lahiriahnya dengan kewajiban yang membebaninya akibat dari adanya, atas kuasa dari Yang Maha Kuasa itu, sehingga akan terpenuhilah Kebaktian yang utuh kepada Yang Maha Agung dan pengabdian yang tulus kepada kemanusiaannya sebagai suatu sikap rohaniah dan badaniah.

Tetapi ternyata bahwa Kuda Sempana telah menjadi bureng, menjadi kehilangan keseimbangan, sehingga apa yang akan dilakukan mungkin sekali diluar perhitungan. Karena itu, maka Witantra tidak dapat membiarkan halaman belakang tanpa pengawasan. Bersama saudara seperguruannya, dan dua orang prajurit ia pergi ke halaman belakang dan duduk di bawah sebatang pohon kemuning. Namun alangkah memelasnya. Pohon yang rindang itu, selalu meruntuhkan daun-daunnya yang telah menjadi kekuning-kuningan. Apabila hujan tidak segera turun, maka padukuhan Panawijen pasti akan dilanda kekeringan yang dahsyat.

“Apakah sebabnya?” pikir Witantra. Tetapi ia tidak bertanya kepada siapapun.

Mahendra dan Kebo Ijo pun kemudian duduk beristirahat di bawah rimbunnya dedaunan pula. Di sudut lain tampak kedua prajurit Tumapel duduk pula bersandar dinding halaman. Udara di padepokan itu terasa panas sekali.

“Pohon bunga-bungaan dan petamanan sudah menjadi kering,“ pikir Witantra di dalam hatinya, “lalu apakah kerja para emban yang menunggui padepokan ini, apabila untuk menyiram tanaman-tanaman itu saja tidak dapat dilakukan?”

Tetapi Witantra itu berpikir lain ketika ia melihat kolam-kolam yang kering. Kolam-kolam yang tidak berair. Di halaman depan, Sidatta segera mengatur para prajuritnya. Beberapa orang segera dapat beristirahat, sedang dua orang bergantian harus tetap berada di regol halaman. Mereka harus mengawasi setiap keadaan yang mungkin dapat berakibat tidak seperti yang diharapkan. Perempuan dan orang-orang tua, anak-anak dan gadis-gadis yang mengikuti iring-iringan itu pun kemudian berdiri berjejal-jejal diluar regol.

Mereka kini yakin benar, bahwa yang berada diatas tandu itu memang Ken Dedes yang pernah dilarikan orang. Tetapi alangkah mengherankan, bahwa gadis itu kini kembali dalam keadaan yang sama sekali tidak disangka-sangka. Tetapi orang-orang Panawijen itu tidak berani memasuki regol halaman karena di dalam halaman itu dilihatnya para prajurit Tumapel bertebaran dan dua orang penjaga yang berdiri di sisi sebelah-menyebelah regol halaman. Witantra yang di halaman belakang dan Sidatta kini tinggal duduk menunggu, apa yang seharusnya mereka lakukan. Dalam pada itu, Sidatta memerintahkan kepada para prajurit yang berkewajiban untuk menyiapkan perbekalan mereka.

“Kita akan tinggal disini sampai kapan kakang?” bertanya perwira bawahan Sidatta.

Sidatta menggeleng sambil tersenyum, “Aku tidak tahu. Tetapi menurut pesan Akuwu, tuan puteri harus segera kembali, sesudah bertemu dengan kakaknya, Mahisa Agni. Bahkan tuan puteri diharap untuk kembali bersama-sama dengan kakaknya itu.”

Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ken Dedes yang masuk ke dalam rumahnya tanpa memberikan pesan apapun itu, masih saja belum menampakkan dirinya.

Sementara itu Ken Dedes yang berada di dalam rumah, segera dikerumuni oleh para endang. Betapa banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh Ken Dedes dari para endang itu, tetapi betapa pula banyak pertanyaan yang tersimpan di dalam hatinya sendiri. Karena itu, sebelum ia mengatakan tentang dirinya, maka yang pertama-tama ditanyakannya adalah “Dimana kakang Mahisa Agni?”

Para endang itu saling berpandangan sejenak, seolah-olah mereka menjadi ragu-ragu untuk menjawab, sehingga Ken Dedes mendesaknya, “Dimana kakang Agni?”

Salah seorang endang mencoba untuk mengatakan jawabnya, “ke Padang rumput Karautan.”

“Ke Padang Karautan? Apa kerjanya di sana?”

“Membuat bendungan,“ sahut endang yang lain.

Dahi Ken Dedes tampak berkerut-kerut. Tiba-tiba ia pun teringat akan semua penglihatannya di sepanjang jalan. Kering kerontang. Sehingga dengan serta merta ia bertanya, “Endang, kenapa sawah-sawah di Panawijen menjadi kering. Halaman padepokan ini pun menjadi kering dan bahkan Panawijen tampak begini gersang?”

Kembali para endang menjadi ragu-ragu. Namun Ken Dedes mendesaknya lagi, sehingga seorang endang terpaksa menjawab, “Bendungan kita itu pecah.”

“Pecah,“ Ken Dedes terkejut bukan buatan. Umur bendungan itu sudah melampaui umurnya. Musim hujan dan banjir telah berpuluh kali dilalui hanya dengan kerusakan-kerusakan kecil yang segera dapat diperbaiki. Tetapi kenapa tiba-tiba bendungan itu pecah.

Endang yang mengatakannya bendungan itu berkata pula, “Empu Purwa lah yang memecahkan bendungan itu.”

“Ayah. Jadi ayah yang memecah bendungan itu?”

Endang itu mengangguk. Tetapi wajahnya menjadi tegang. Ia menyesal bahwa ia telah mengatakannya. Tetapi kata-kata itu telah terlanjur meloncat dari mulutnya.

Keringat Ken Dedes segera mengalir membasahi pakaiannya yang cemerlang. Ia tidak dapat mengerti kenapa ayahnya memecah bendungan itu. Sehingga karena itu maka ia bertanya pula, “Kenapa ayah memecahkan bendungan itu?”

Endang itu menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu. Mungkin kakang Mahisa Agni dapat menjawab pertanyaan itu.”

Hati Ken Dedes menjadi kian berdebar-debar. Sekali lagi ia bertanya, “Dimana kakang Agni.”

“Ke Padang Karautan. Setiap laki-laki dan anak-anak muda pergi ke Padang Karautan untuk membangun bendungan itu.”

“Beberapa hari yang lampau kakang Agni telah datang ke Tumapel,“ sahut Ken Dedes.

“Ya, pada saat itu semua orang telah berangkat ke Padang Karautan. Tinggal kakang Agni dan beberapa orang yang masih menyelesaikan beberapa pekerjaan disini. membuat tampar ijuk dan patok-patok. Begitu kakang Agni datang dari Tumapel, segera mereka berangkat menyusul yang telah berangkat lebih dahulu bersama Ki Buyut Panawijen.”

Terasa sesuatu bergolak di dalam Dada Ken Dedes. banyak benar yang telah terjadi sepeninggalnya di kampung halamannya ini. Namun keterangan emban itu bagi Ken Dedes merupakan jawaban pula atas pertanyaan yang selalu mengganggunya sejak ia memasuki padukuhan Panawijen. Sejak ia memasuki padukuhan ini, ia tidak melihat seorang pun laki-laki dan anak-anak muda Panawijen. Itulah agaknya, maka setiap laki-laki kecuali orang-orang tua tidak ada di rumah. Ternyata mereka sedang berada dipadang rumput Karautan untuk membuat bendungan yang baru.

Tetapi keinginan Ken Dedes untuk segera bertemu dengan Mahisa Agni rasa-rasanya tak dapat ditunda-tunda. Apalagi ia memang mendapat pesan dari Akuwu Tunggul Ametung, supaya segera kembali bersama-sama dengan Mahisa Agni sebagai tebusan atas hukuman yang telah dijatuhkannya kepada Mahisa Agni dan emban pemomongnya. Tetapi Mahisa Agni kini tidak ada di rumah. Tiba-tiba Ken Dedes menyadari keadaannya. Ia datang sebagai seorang calon permaisuri yang disertai oleh serombongan prajurit. Karena itu, maka katanya, “Biarlah aku minta seseorang memanggil kakang Mahisa Agni.”

Para endang itu pun saling berpandangan. Alangkah besarnya kekuasaan Ken Dedes kini. Ia dapat memerintahkan seseorang untuk kepentingannya. Dan para endang itu pun kemudian melihat bahwa hal itu benar terjadi. Ketika Ken Dedes keluar dari rumahnya dan berdiri di pendapa sambil melambaikan tangannya, maka segera menghadaplah Sidatta. Sambil mengangguk dalam-dalam Sidatta bertanya, “Apakah ada perintah tuan puteri.”

“O,“ dada setiap endang yang berdiri di belakangnya melonjak. Serasa mereka berada di dalam mimpi. Ken Dedes datang dengan pakaian yang cemerlang. Memanggil seorang perwira yang gagah hanya dengan lambaian tangannya. Kini perwira itu membungkuk hormat dihadapannya sambil menyebutnya tuan puteri.

“Dimanakah kakang Witantra?“ bertanya Ken Dedes.

“Di halaman belakang tuan Puteri,“ jawab Sidatta.

“Panggillah,“ perintah Ken Dedes.

Sekali lagi Sidatta menganggukkan kepalanya. Kemudian ia meninggalkan Ken Dedes yang masih berdiri saja di pendapa. Seorang endang yang tidak dapat menahan diri tiba-tiba berbisik, “Siapakah orang itu?”

Ken Dedes berpaling. Betapapun hatinya sedang risau, namun ketika terpandang mata endang yang aneh itu, ia tersenyum. Jawabnya, “Namanya Sidatta. Ia adalah seorang perwira dari prajurit pengawal Akuwu.”

“He,“ endang itu terkejut. Pandang matanya menjadi semakin aneh. Kawan-kawannya pun terkejut pula. Hampir tidak percaya endang itu bertanya pula, “Kenapa ia begitu hormat kepadamu?”

Senyum Ken Dedes menjadi semakin lebar. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah yang dikatakan oleh emban pemomongku beberapa hari yang lalu atau oleh kakang Mahisa Agni?”

Endang itu menggelengkan kepalanya, jawabnya, “Tak ada yang dikatakan selain berita keselamatan.”

“Tidak dikatakan dimana aku berada?”

Endang itu berpikir sejenak, jawabnya, “Di Tumapel.”

“Maksudku, di Tumapel aku tinggal di rumah siapa?”

Para endang itu pun saling berpandangan. Tetapi mereka benar-benar tidak banyak mengerti tentang keadaan Ken Dedes, sehingga kemudian mereka itu pun menggeleng-gelengkan kepalanya. Tiba-tiba seorang endang yang lain, yang agak lebih muda dari Ken Dedes berkata, “Kau belum menjawab pertanyaan-pertanyaan kami tentang dirimu. Kamilah yang selalu menjawab pemanyaanmu.”

Sekali lagi Ken Dedes tersenyum, tetapi ia tidak sempat menjawabnya, karena Witantra dan Sidatta kini telah naik ke pendapa. “Kakang Witantra,“ berkata Ken Dedes kemudian, “ternyata kakang Mahisa Agni tidak berada di rumah.”

Witantra mengangguk, katanya, “Menurut pertimbangan tuan puteri apakah yang sebaiknya kami lakukan?”

Sejenak Ken Dedes berdiam diri. Ketika ia memandang ke halaman dilihatnya beberapa orang prajurit sedang beristirahat sambil mencari tempat untuk berteduh. Karena itu, tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu. Apakah mereka tidak terlampau lelah, apabila beberapa diantaranya harus langsung menuju ke Padang Karautan?”

Dalam keragu-raguan itu terdengar Witantra bertanya, “Barangkali seseorang tahu kemana ia pergi?”

Ken Dedes mengangguk sambil menjawab, “Ya. Menurut para endang, kakang Mahisa Agni pergi ke Padang rumput Karautan untuk membuat bendungan.”

Witantra mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Apakah menurut pertimbangan tuan putri, salah seorang dari kami perlu memanggilnya?”

Ken Dedes masih ragu-ragu. Ia melihat betapa tubuh para prajurit itu telah dilumuri oleh keringat mereka yang seperti diperas dari dalam tubuh mereka. Tetapi Witantra berkata, “Apabila demikian, maka biarlah salah seorang dari kami pergi menyusulnya. Mahendra lah satunya orang yang pernah melihat tempat dimana bendungan itu akan dibangun.”

“Bagaimana menurut pendapatmu kakang Witantra?”

“Apabila berkenan di hati tuan puteri.”

“Apakah Mahendra tidak terlampau lelah?”

“Ia akan pergi berkuda.”

“Sendiri?”

“Ia sudah mengenal padang Karautan. Ia sudah mengenal hantu padang. Meskipun demikian biarlah adi Sidatta pergi bersamanya.”

“Hamba akan melakukannya,“ berkata Sidatta.

“Apabila kalian tidak terlampau lelah, terserahlah kepada Kakang Witantra. Tetapi, pesanku kakang, jangan menimbulkan kesan yang dapat membuat keadaanku lebih sulit. Kakang Agni hatinya terlampau keras.”

Sidatta mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling memandangi wajah Witantra dilihatnya orang itu menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ia tuan puteri. Hamba telah mengenal serba sedikit tentang kakak tuan. Memang kakak tuan puteri berhati keras, namun jujur. Karena itu, biarlah nanti adi Sidatta dan Mahendra dapat menyesuaikan dirinya menghadapi kakak tuan puteri.”

Hati Sidatta menjadi bertanya-tanya. Bukankah kakak Ken Dedes itu juga seorang anak muda Panawijen. Seorang anak padesan? Tetapi pertanyaan itu dibiarkannya melingkar-lingkar di dalam dadanya.

Sementara itu Ken Dedes berkata pula, “Apabila terdapat kesulitan, jangan mencoba memaksa. Aku ingin kakang Mahisa Agni datang kemari. Tetapi kalau terpaksa, aku akan menjemputnya sendiri ke Padang Karautan.”

Witantra menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Baik tuan puteri. Biarlah Mahendra dan adi Sidatta berangkat sekarang.”

“Terserah kepadamu kakang.”

Keduanya kemudian mengundurkan diri dari pendapa. Namun tampak betapa wajah Sidatta memancarkan beberapa macam pertanyaan. Meskipun pertanyaan itu tetap disimpannya, tetapi Witantra dapat merasakannya, sehingga katanya, “Mahisa Agni adalah seorang anak muda yang berhati keras. Telah beberapa kali ia berkelahi melawan Mahendra, tetapi Mahendra selalu dikalahkan.”

“Adi Mahendra dikalahkannya?” bertanya Sidatta yang menjadi keheran-heranan.

“Ya,“ sahut Witantra, “anak itu melampaui Mahendra dalam banyak hal.”

Sidatta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia bertanya, “Apakah nanti kalau anak muda itu bertemu dengan adi Mahendra tidak akan terjadi sesuatu?”

Witantra menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak. Mahendra telah minta maaf kepadanya.”

“Minta maaf?” Sidatta menjadi bingung.

“Ya. Mahendra selalu di pihak yang bersalah.”

Sidatta tidak berkata apa-apalagi. Ia tahu benar sifat pemimpinnya itu. Ia tidak pernah berkata lain dari pada menurut tanggapannya yang sewajarnya. Meskipun orang itu saudara seperguruannya, kalau ia berbuat salah, maka Witantra akan berkata demikian.

Witantra pun kemudian segera memanggil Mahendra dari halaman belakang, sementara perwira yang seorang lagi ditugaskannya mengawasi halaman belakang itu. Dalam pada itu Ken Dedes telah kembali masuk ke dalam rumahnya. Orang-orang yang masih berkerumun diluar regol menjadi kecewa ketika mereka melihat Ken Dedes tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk menemuinya. Tetapi mereka tidak segera pergi.

Sejenak kemudian Mahendra dan Kebo Ijo pun telah datang menemui Witantra. Dengan berbagai macam pesan, maka Witantra minta kepada Mahendra untuk memanggil Mahisa Agni ke Padang Karautan bersama dengan Sidatta. Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu benar, bahwa Mahisa Agni seolah-olah tidak mau lagi mempersoalkan hubungan antara adiknya dan Akuwu Tunggul Ametung. Mahendra mengerti betapa perasaan Mahisa Agni tersinggung. Ia merasa dikesampingkan oleh adiknya sebelum ia mengambil keputusan. Ia tidak mau menerima keadaan adiknya itu, sebagai sesuatu yang telah terlanjur.

Tetapi ia tidak mau menolak perintah kakaknya. Sehingga karena itu maka jawabnya, “Baik kakang, Aku akan mencoba bersama kakang Sidatta.”

Setelah keduanya berkemas, sedikit mengisi perut mereka dengan bekal yang mereka bawa, maka segera mereka meninggalkan halaman padepokan menuju ke Padang Karautan. Demikian mereka meninggalkan padesan, maka segera terasa, sinar matahari menyengat tubuh mereka.

“Bukan main panasnya,“ desis Mahendra.

Sidatta tersenyum. Jawabnya, “Sebuah perjalanan yang hangat.”

Mahendra mengangguk. Kemudian katanya pula, “Kita akan menyusur tidak jauh sepanjang sungai yang mengalir lewat padang itu. Pada sungai itulah bendungan akan dibangun. Tetapi bukan itu soalnya. Kalau kita kehausan, kita akan segera mendapatkan air."

Sekali lagi Sidatta tersenyum. Kemudian mereka memacu kuda mereka meninggalkan kepulan debu yang putih. Mereka meluncur di jalan-jalan diantara sawah-sawah yang mengering menuju ke padang rumput Karautan yang panasnya bukan main. Tetapi perjalanan dengan kuda adalah jauh lebih cepat dari pada berjalan dengan kaki. Meskipun sekali-sekali mereka beristirahat di tebing-tebing sungai untuk mengambil air, dan memberi kuda mereka minum, namun waktu yang mereka perlukan tidak terlampau panjang. Sebelum matahari terbenam, mereka telah sampai ke tempat yang pernah dikenal oleh Mahendra.

“Kita hampir sampai,“ desis Mahendra sambil mengusap peluhnya.

Sidatta mengangguk. Wajahnya menjadi merah kehitaman dibakar oleh terik matahari. “Kuda kita terlampau lelah,“ berkata Sidatta.

“Kita berjalan perlahan-lahan,“ sahut Mahendra, “mudah-mudahan di tempat mereka bekerja terdapat sisa makanan hari ini. Perutku terlampau lapar.”

Sidatta tertawa. Tetapi tertawanya masam sekali, sebab sebenarnya perutnya pun telah menjadi lapar. Tetapi saat itu udara telah menjadi sejuk. Matahari telah terlampau rendah, bahkan sejenak kemudian warna merah di langit selapis demi selapis menjadi semakin hitam. Mahendra dan Sidatta berjalan terus. Kuda-kuda mereka kini tidak lagi berpacu terlampau cepat. Sebentar lagi mereka sudah akan sampai di tempat yang mereka tuju. Dalam pada itu, langit pun semakin lama menjadi semakin pekat. Satu-satu bintang seakan muncul dari balik tirai yang hitam. Sidatta sekali-sekali melayangkan pandangan matanya jauh ke garis cakrawala. Padang rumput ini seolah-olah tidak bertepi.

“Adi Mahendra,“ berkata Sidatta kemudian, “apakah orang Panawijen akan membangun di tengah padang yang seluas ini?”

“Ya,“ sahut Mahendra sambil mengangguk.

“Mereka harus membuat saluran-saluran baru.”

“Tetapi kalau mereka berhasil,“ sahut Mahendra, “maka mereka akan dengan leluasa membuat suatu perencanaan menurut selera mereka. Mereka dapat mengatur sekehendak hati, sawah-sawah, ladang dan saluran-saluran air.”

“Kenapa mereka tidak memilih tempat lain. Menebas hutan misalnya? Mereka akan langsung mendapat suatu daerah yang tidak seterik padang ini.”

Mahendra menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu. Mungkin mereka merasa bahwa dengan membuka padang rumput ini, pekerjaan mereka jauh lebih ringan daripada menebas hutan. Kalau mereka berhasil membuat susukan yang besar dan mengalirkan airnya ke tengah-tengah padang rumput ini, maka padang ini pasti akan menjadi daerah yang subur.”

“Tebing ini terlampau dalam,“ desis Sidatta, “untuk menaikkan air dari dalam sungai itu, pasti diperlukan pekerjaan yang maha berat.”

Mahendra tersenyum. Kemudian katanya, “Kau dengar suara gemuruh.”

Sidatta memasang telinganya baik-baik, “Ya lamat-lamat dibawa angin.”

“Suara yang hilang timbul itu adalah suara jeram-jeram.”

“Oh,“ sahut Sidatta, “kalau demikian, maka orang-orang Panawijen pasti membuat bendungan diatas jeram-jeram itu.”

Mahendra mengangguk.

“Kalau begitu kita sudah dekat,“ berkata Sidatta, “mari kita percepat perjalanan ini.”

Tanpa menjawab ajakan itu, Mahendra menggerakkan kendali kudanya sehingga kudanya berjalan lebih cepat lagi. Suara jeram itu ternyata telah menjadi semakin jelas, dan membawa mereka ke arah yang dikehendaki. Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka disela-sela semak-semak yang tumbuh sepanjang tepi sungai, mereka telah melihat beberapa perapian yang menyala. Itu adalah perkemahan orang-orang Panawijen yang sedang bekerja membuat sebuah bendungan.

Mahendra dan Sidatta semakin mempercepat kudanya. Langit kini telah menjadi hitam. Namun bintang-bintang berdesakan memenuhi wajah yang kelam itu. Ternyata suara derap kudanya telah mendahului mereka. Beberapa orang yang mendengar derap kuda itu terkejut. Dengan tergesa-gesa mereka ingin menyampaikannya kepada Mahisa Agni yang ada diantara mereka. Tetapi Mahisa Agni sendiri telah mendengar derap itu pula.

“Aku mendengar derap kuda paman,“ desisnya.

Pamannya Empu Gandring yang duduk memeluk lututnya mengangkat wajahnya. Kemudian sambil menganggukkan kepalanya ia menjawab, “Ya. Aku mendengar.”

Mahisa Agni kemudian berdiri. Katanya, “Aku akan melihatnya.”

“Hati-hatilah,“ pesan pamannya.

Mahisa Agni itu pun kemudian melangkah diantara kawan-kawannya yang sedang beristirahat setelah hampir sehari penuh mereka melakukan pekerjaan mereka, membangun sebuah bendungan. Dengan kemauan yang bulat mereka bekerja dengan sepenuh tenaga. Tak ada tempat bagi mereka yang hanya mampu berbicara dan berteriak-teriak tentang bendungan yang rusak. Tentang kesulitan dan tentang kelaparan yang mungkin akan melanda mereka. Yang penting bagi penduduk Panawijen kini adalah bekerja. Bekerja. Bendungan itu harus segera jadi, sebelum persediaan di dalam lumbung-lumbung mereka terkuras habis.

Anak-anak muda Panawijen menyadari, bahwa kini bukan masanya lagi untuk berbaring-baring di pasir tepian sungai sambil berdendang dan bergurau. Bukan masanya lagi untuk bersenang-senang dan mengadakan jamuan makan diantara mereka. Yang harus mereka lakukan kini adalah bekerja dan berprihatin. Mahisa Agni kini telah berdiri diluar batas perkemahan orang-orang Panawijen. Beberapa langkah ia maju lagi untuk menyongsong dua bayangan orang-orang berkuda yang sudah semakin dekat.

Tetapi melihat derap dan langkah kuda itu, Mahisa Agni menduga bahwa mereka bukanlah orang-orang yang ingin berbuat jahat terhadap mereka yang sedang membuat bendungan itu. Meskipun demikian beberapa orang kawan-kawannya telah menjadi cemas dan berdebar-debar, meskipun kecemasan itu disimpannya saja di dalam hati. Salah seorang dari mereka yang duduk di samping Sinung Sari berbisik, “Sinung Sari. Siapakah yang datang itu?”

Sinung Sari menggelengkan kepalanya sambil berbisik pula, “Aku tidak tahu.”

“Bukankah kau dahulu pernah datang bersama dengan Mahisa Agni kemari? Dan bukankah kau berhasil mengalahkan hantu Karautan atau siapa yang kau katakan dahulu? Kuda Sempana barangkali? Mungkin orang itu datang kembali. Apakah kau tidak akan melawannya.”

Dada Sinung Sari berdesir. Memang ia pernah menyombongkan dirinya terhadap kawan-kawannya. Kalau benar yang datang itu Kuda Sempana atau siapa pun yang akan mengganggu mereka, apakah yang akan dilakukan? Ternyata Jinan dan Patalan yang mendengar pertanyaan itu menjadi berdebar-debar pula. Tetapi mereka menjadi lega ketika mereka mendengar suara Mahisa Agni menyambut orang yang datang itu, “Kau Mahendra.”

Tetapi segera Mahisa Agni mengerutkan keningnya ketika ia melihat seorang prajurit datang bersama Mahendra itu. Sebelum Mahendra menjawab, maka keduanya telah berloncatan turun dari kuda mereka. Dengan akrabnya Mahendra kemudian bertanya, “Bagaimana bendunganmu Agni?”

Mahisa Agni tersenyum kosong. Bendungan itu belum lagi dimulai. Yang mereka kerjakan selama ini barulah persiapan-persiapan untuk bendungan itu. Menancapkan patok-patok, mengisi berunjung-berunjung dengan batu-batu dan membuat barak-barak untuk berteduh di siang hari apabila mereka sedang beristirahat. Maka jawab Agni kemudian, “Bendunganku sudah hampir siap. Siap untuk dimulai.”

Mahendra tertawa. Katanya kemudian, “Kau mungkin belum mengenal kawan seperjalananku. Namanya Sidatta, adalah salah seorang perwira dari pasukan kakang Witantra.”

Mahisa Agni mengangguk hormat dan Sidatta pun pula. “Marilah tuan,“ Mahisa Agni mempersilahkan, “tetapi alangkah jeleknya tempat yang dapat kami pakai untuk menerima tuan.”

“Terima kasih,“ sahut Sidatta, “Kami dapat mengerti, bahwa tuan berada di tempat pekerjaan yang sedang tuan lakukan dengan tekad yang luar biasa. Membuat sebuah bendungan, membuat susukan dan menggali parit-parit adalah pekerjaan raksasa bagi padukuhan tuan.”

“Mudah-mudahan kami berhasil,“ gumam Mahisa Agni.

Maka mereka pun kemudian dibawa oleh Mahisa Agni duduk diantara anak-anak muda Panawijen. Tetapi atas permintaan Mahendra maka mereka mengambil tempat agak terpisah. “Ada yang akan aku katakan,“ bisik Mahendra.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah menduga apa yang akan dikatakan oleh Mahendra. Apalagi ia datang beserta seorang perwira dari Tumapel.

Mahendra yang melihat perubahan wajah Mahisa Agni segera berkata, “Tetapi soalnya sama sekali tidak penting.”

Mahisa Agni menggigit bibinya. Ia tahu bahwa Mahendra hanya ingin menenangkannya sebelum mereka membicarakan persoalan yang sebenarnya. Tetapi bagi Mahisa Agni, persoalan yang menyangkut dirinya sendiri dengan istana Tunggul Ametung adalah menjemukan sekali. berkali-kali persoalan itu selalu membayanginya. Mengganggu ketenangannya dan pasti akan dapat mengganggu rencana kerja yang telah masak dan kini telah dimulai dilakukan bersama-sama dengan seluruh rakyat Panawijen. Tidak ada bedanya dengan Kuda Sempana dan Empu Sada. Orang-orang itu pasti akan mengganggu pekerjaannya pula dengan caranya.

Mungkin dengan orang-orang yang disebutnya bernama Wong Sarimpat dan mungkin dengan orang-orang lain lagi. Meskipun bentuknya berbeda, tetapi akibatnya akan sama saja. Memperlambat pekerjaan itu. Bahkan mungkin dengan kekuasaan yang ada pada Akuwu Tunggul Ametung, gangguan yang datang dari padanya akan justru lebih besar. Tetapi Mahisa Agni mencoba menahan perasaannya. Ia tidak segera menyahut. Ia menunggu apalagi yang akan di katakan oleh Mahendra.

Mahendra itu pun kemudian bergeser maju. Ditatapnya wajah Mahisa Agni. Sekali ia memandang berkeliling. Dan sambil berbisik ia berkata, “Agni. Aku ingin mengatakan sesuatu, tetapi aku tidak ingin mengganggumu.”

Dada Mahisa Agni berdesir. Sambil mengangguk ia berkata, “Katakanlah Mahendra.”

“Baik,“ sahut Mahendra. Kemudian sekali lagi ia bergeser maju. Katanya, “Agni. Pagi-pagi benar aku sudah berjalan dari perkemahan di tengah-tengah hutan. Hampir tengah hari aku sampai ke padepokanmu di Panawijen. Baru sekejab aku beristirahat, aku harus berjalan kembali kemari. Aku ingin berterus terang Agni.“ Mahendra berhenti sesaat, dan dada Mahisa. Agni pun menjadi kian berdebar-debar. bahkan Sidatta pun menjadi berdebar-debar pula. Dalam pada itu Mahendra meneruskan, “Aku ingin berterus terang kepadamu, tetapi tidak kepada orang lain. Agni, aku agak terlampau lapar.”

“He?” mata Mahisa Agni terbelalak. Getar di dadanya bertambah cepat, namun kemudian anak muda itu tertawa. “Hem,“ gumamnya, “segenap otot-ototku menjadi tegang.”

Sidatta pun kemudian menggamit Mahendra sambil bertata, “Ah, terlampau berterus terang adi. Seorang ksatria tidak akan kelaparan meskipun tidak makan empat puluh hari empat puluh malam.”

Mahendra tertawa pula, “Aku tidak malu kepada mahisa Agni. Tetapi mungkin aku malu kepada orang lain.”

“Kalau hanya itu keperluanmu, maka aku akan memenuhinya dengan senang hati,“ berkata Mahisa Agni sambil tertawa. Kemudian ia pun bangkit dan berjalan ke barak, mengambil bekal yang diminta oleh Mahendra. Nasi jagung dan sambal kacang.

“Apakah anak muda itu mau juga makan makanan seperti ini,“ gumamnya, “tetapi apa boleh buat. Aku tidak mempunyai yang lain.”

Dengan menjinjing sebuah bungkusan kecil Mahisa Agni berjalan kembali ke tempat Mahendra dan Sidatta menunggu. Semula ia tidak menaruh perhatian apa-apa atas ceritera Mahendra tentang perjalanannya. Tetapi tiba-tiba ia mengerutkan keningnya. Mahendra itu pagi-pagi benar sudah harus berangkat dari sebuah perkemahan di tengah hutan. Kenapa dari sebuah perkemahan. Kalau ia hanya pergi berdua, kenapa mereka terpaksa berkemah di tengah hutan. Kenapa mereka tidak menempuh jalan lain, sepanjang padang rumput atau langsung menemuinya seperti yang pernah dilakukan oleh Mahendra dahulu dipadang ini. Tetapi anak muda itu telah pergi kepadepokannya, padepokan Empu Purwa.

Kini dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar kembali. Bukan karena kebetulan Mahendra menyebut semuanya itu. Pasti tersembunyi sesuatu maksud di belakangnya. Karena itu langkah Mahisa Agni menjadi semakin panjang. Ia ingin segera mengetahui, apa yang sudah dilakukan oleh Mahendra berdua dengan Sidatta.

Ketika Mahisa Agni sudah duduk di samping Mahendra kembali, maka segera ia bertanya, “Mahendra, dari manakah kau sebenarnya? Apakah kau baru saja menempuh perjalanan yang panjang sehingga kau terpaksa bermalam di perjalanan?”

Tetapi Mahendra telah mengecewakan Mahisa Agni, sebab ia menyahut, “Bungkusan apakah yang kau bawa ini?”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia segera ingin tahu, dari mana dan untuk apa Mahendra datang kepadepokannya dan kemudian setelah beristirahat hanya sesaat yang pendek ia harus dengan tergesa-gesa meninggalkan padepokan itu dan datang ke padang ini, sehingga anak muda itu menjadi sangat lapar.

Meskipun sebenarnya Mahendra lapar, tetapi ia tidak perlu dengan tergesa-gesa dan berterus terang mengatakannya kepada Mahisa Agni. Maksud Mahendra adalah untuk mengurangi ketegangan yang tampak di wajah Mahisa Agni. Tetap dalam pada itu, setelah wajah Agni membayangkan senyum tiba-tiba kini wajah itu menjadi tegang kembali. Mahendra menjadi ragu-ragu. Apakah caranya itu dapat berhasil untuk berbicara dengan Mahisa Agni tanpa sikap yang tegang kaku.

Mahisa Agni yang sudah menjadi tegang kembali itu, menyerahkan bungkusannya sambil menjawab, “Nasi jagung. Apakah kau dan tuan Sidatta biasa makan nasi jagung?”

“Oh tentu,“ sahut Mahendra, “di Tumapel kami juga makan nasi jagung. Bukankah begitu kakang Sidatta?”

Sidatta mengangguk sambil tersenyum, “Ya. Aku juga biasa makan nasi jagung.”

“Apalagi sambal kacang,“ sela Mahendra setelah melihat isi bungkusan itu, “Apakah kau sendiri tidak makan Agni?”

“Baru saja,“ sahut Agni dengan dada yang berdebar-debar. Ia seakan-akan menjadi tidak bersabar menunggu Mahendra menyelesaikan makan. Seolah-olah terasa Mahendra sengaja makan terlalu lambat seperti juga Sidatta. Bahkan kemudian Mahendra itu berkata, “Maaf Agni. Aku perlu air. Aku terlampau haus.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berdiri juga untuk mengambil bumbung berisi air. Dalam pada itu ketika Mahisa Agni sedang meninggalkan Mahendra berdua dengan Sidatta, terdengar Mahendra berbisik, “Kau lihat kakang. Baru melihat wajah-wajah kita, Mahisa Agni telah menjadi tegang. Aku tahu, ia sudah jemu membicarakan masalah adiknya yang satu itu. berkali-kali ia selalu diganggu oleh persoalan itu.”

Sidatta mengangguk-anggukkan kepalanya. Desahnya, “Melihat sikapnya maka anak muda itu benar-benar keras hati.”

“Sebenarnya tidak. Ia anak muda yang baik. Ia tidak mendendam seseorang. Aku pernah berkelahi melawannya karena kesalahanku. Tetapi aku selalu saja dikalahkan. Meskipun ia menang atasku, namun ia tidak berbuat apa-apa atasku ketika aku minta maaf. Ia tidak menghina aku dan tidak ingin membalas dendam. Aku tidak tahu kenapa ia bersikap terlampau keras terhadap adiknya. Mungkin karena ia menjadi banyak kehilangan karena hilangnya adiknya itu. Ayah angkatnya yang juga menjadi gurunya, bendungan, sahabatnya yang juga bakal iparnya yang bernama Wiraprana yang dibunuh oleh Kuda Sempana, dan ia sendiri hampir terbunuh untuk mempertahankan adiknya. Tiba-tiba ia mendengar adiknya menerima lamaran Tunggul Ametung yang turut melarikan gadis itu.”

“Perasaannya tersinggung karenanya,“ desis Sidatta.

“Tersinggung agak terlampau parah,“ sambung Mahendra. Tetapi percakapan itu terhenti ketika Mahisa Agni datang sambil membawa bumbung air.

Mahisa Agni menjadi semakin kecewa ketika ia melihat nasi jagung Mahendra masih hampir utuh. Karena itu maka katanya, “Nasi itu sama sekali tidak memenuhi seleramu Mahendra?”

“O, tidak,“ sahut Mahendra, “aku senang sekali makan nasi jagung dan sambal kacang.”

Mahisa Agni tidak menyahut. Ia mencoba menyabarkan diri menunggu sampai mereka selesai makan. Tetapi hatinya yang selalu bergolak itu tidak dapat ditahannya. Maka terloncatlah pertanyaannya, “Dari manakah kalian berdua Mahendra?”

Mahendra berhenti menyuapi mulutnya. Tetapi ia masih ragu-ragu untuk menjawab. Namun diluar kehendaknya Sidatta lah yang menjawab, “Kami baru saja menempuh sebuah perjalanan.”

Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Ia menunggu Sidatta meneruskan, tetapi orang itu berdiam diri sambil meneguk seteguk air dari bumbung. Karena Sidatta tidak meneruskan kata-katanya maka kembali Agni bertanya, “Perjalanan jauh? Tetapi apakah kalian telah singgah ke padepokanku di Panawijen?”

“Ya,” sahut Mahendra. Ia tidak dapat menyembunyikan persoalan yang sebenarnya. Tetapi ia ingin mengatakannya dengan cara yang lain, “Kami berjalan-jalan bersama kakang Witantra.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin bercuriga. Katanya, “Apakah Witantra sekarang berada di padepokanku di Panawijen?”

“Ya,“ sahut Mahendra acuh tak acuh sambil menyuapi mulutnya, “perjalanan yang sama sekali tidak menarik. Kami harus berjalan kaki dari Tumapel, lewat tengah hutan, untuk menghindari terik matahari.”

“Kenapa?”

Seolah-olah tidak ada soal yang penting sama sekali, Mahendra menjawab, “Kami mengantarkan adikmu.”

“Ken Dedes?“ desis Mahisa Agni.

“Ya. Ia sedemikian rindunya kepadamu sehingga ia memaksa untuk menemuimu. Tetapi setelah kami sampai di padukuhanmu, kau tidak ada. Dengan serta merta aku harus berjalan lagi ke padang rumput Karautan.”

“Bohong,” tiba-tiba terdengar suara Mahisa Agni semakin tegang.

Sidatta mengerutkan keningnya. Benar juga pesan Witantra dan Ken Dedes. Mahisa Agni bersikap agak terlampau keras. Tetapi Mahendra sama sekali tidak terkejut. Ia masih tetap menyuapi mulutnya. Bahkan kemudian sambil tertawa ia berkata, “Ah, nasi mu benar-benar luar biasa. Enak dan cepat menjadi kenyang.”

“Aku tidak percaya Mahendra,“ berkata Agni tanpa menghiraukan kata Mahendra, “kalian datang untuk menangkap aku dan membawa aku menghadap Akuwu Tumapel karena aku pernah meninggalkan Tumapel sebelum aku menghadap.”

Mahendra mengerutkan keningnya. Tetapi wajahnya masih tetap tenang, dan mulutnya masih tetap mengunyah makanannya. Meskipun demikian, degup jantung Mahendra tidaklah setenang wajahnya. Bahkan ia kemudian menjadi cemas, bahwa caranya itu pun tidak akan menyenangkan Mahisa Agni. Sidatta yang duduk di samping Mahendra sudah tidak lagi dapat menelan makanannya dengan lancar. Ia tidak pula bersabar mendengarkan cara Mahendra mengatakan maksudnya.

Dalam pada itu terdengar Mahendra menjawab, “Ah. Kenapa kami harus menangkapmu? Bukankah tidak ada alasan? Jangan berprasangka Mahisa Agni.”

Mahisa Agni terdiam. Ia melihat Mahendra itu masih saja sibuk dengan nasi jagung dan sambal kacang, seolah-olah memang tidak ada sesuatu yang penting. Tetapi kenapa ia begitu tergesa-gesa mencarinya. Apakah benar hanya karena Ken Dedes segera ingin menemuinya? Tetapi menilik cara Mahendra makan dan ketenangannya menyampaikan ceritera perjalanannya, terasa bahwa Mahendra memang tidak sedang mengemban tugas yang terlampau penting. Sidatta sekali menggeser duduknya dengan gelisah. Tetapi ia memahami cara Mahendra menyampaikan maksudnya, sehingga karena itu, ia mencoba untuk menahan perasaannya.

Tiba-tiba terdengar Mahendra berkata, “Adikmu ada di Panawijen sekarang Mahisa Agni.”

“Biar sajalah,“ jawab Mahisa Agni kosong.

Mendengar jawaban itu dahi Mahendra berkerut dan terasa dada Sidatta berdesir. “Ia sangat rindu kepadamu,“ Mahendra meneruskan.

“Anak itu telah menjadi seorang besar di Tumapel. Apalagi yang diharapkan daripadaku?”

“Bukankah ia adikmu?”

“Pada masa kita masih kanak-kanak ia adikku. Tetapi sekarang kami menempuh jalan hidup kami masing-masing. Ia tidak memerlukan aku lagi, dan aku tidak memerlukannya.”

Mahendra tersenyum. Senyum yang aneh. Namun ia hampir kehabisan akal untuk mencari jalan supaya ia dapat mengajak Mahisa Agni pergi ke Panawijen. Kalau ia tidak dapat membawa Mahisa Agni ke Panawijen, maka kemungkinan terbesar adalah Ken Dedes sendiri akan datang ke Padang Karautan untuk mengambil Mahisa Agni dan membawanya ke Tumapel. Dalam keadaan yang demikian segalanya akan dapat terjadi. Ken Dedes membawa serombongan prajurit yang sedang mengemban tugas dan disini banyak anak-anak muda yang pasti akan berpihak kepada Mahisa Agni. Tetapi Mahendra tidak mengetahui bahwa anak-anak muda yang berada di padang ini sebagian terbesar adalah anak-anak muda seperti Sinung Sari, Jinan dan Patalan.

Meskipun demikian Mahendra masih mencoba berkata, “Aku tadi belum mendapat hidangan apa-apa di padukuhanmu Agni. Seharusnya aku besok pagi-pagi harus sudah sampai di sana pula. Tetapi aku kira aku tidak akan kembali ke Panawijen."

Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata itu. Bukan saja Mahisa Agni, tetapi juga Sidatta. Tetapi agaknya Mahendra memang sedang memutar otaknya untuk memancing Mahisa Agni ke Panawijen. “Kenapa?“ bertanya Mahisa Agni.

“Kau tahu perasaanku Agni,“ berkata Mahendra tiba-tiba dengan wajah yang bersungguh-sungguh, “Aku sudah menerima keadaan yang aku hadapi sebagai suatu kenyataan yang tak dapat aku ingkari. Tetapi meskipun demikian, aku tidak akan dapat melihat gadis itu bersedih dan menangis terus menerus.”

“Kenapa?”

“Gadis itu merasa bahwa hidupnya kini benar-benar tinggal sebatang kara. Seolah-olah semua orang yang dikenalnya pada masa kanak-kanaknya, semua orang yang pernah dikasihinya sejak ia masih kanak-kanak telah meninggalkannya. Ayahnya dan kau...”

Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 17

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 17
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

NAMUN sesaat kemudian kembali timbul pertanyaan. Akan tetapi kenapa Kuda Sempana, Cundaka dan Sungsang belum juga menampakkan dirinya? Kalau para prajurit Tumapel ini dibiarkan terlampau lama menunggu, maka mereka akan berhasil menguasai keadaan. Tetapi kalau sekarang ketiganya datang dan menyerang beberapa orang prajurit yang mengawal Ken Dedes itu, maka agaknya Kuda Sempana akan berhasil membawa gadis itu. Sebab Empu Sada yakin, bahwa ketiga muridnya akan dapat mengalahkan beberapa orang prajurit yang berjaga-jaga di sekitar Ken Dedes.

Tapi Kuda Sempana, Cundaka dan Sungsang yang ditunggu-tunggunya tidak juga segera datang. Apakah mereka tidak bisa mendengar segala macam keributan ini karena mereka terlampau jauh bersembunyi, atau tiba-tiba saja mereka tertidur di tempat persembunyian mereka? Dalam kegelisahan itu maka terdengar Empu Sada berteriak nyaring, “Kuda Sempana. Telah sampai saatnya kau melakukan tugasmu.”

Suara Empu Sada itu menggelora seolah-olah memenuhi hutan itu. Daun-daunan bergetaran dan ranting-ranting bergoyang-goyang karena gelombang suara orang tua itu. Gemanya memukul setiap pepohonan dan membuat bunyi ulangan yang serupa melingkari sampai jarak yang sangat jauh. Tetapi Empu Sada tidak segera melihat ketiga muridnya. Bahkan yang dilihatnya, para prajurit Tumapel semakin lama semakin menguasai keadaan. Apalagi ketika Empu Sada kemudian melihat, bahwa orang-orangnya telah mulai lelah karena gerak dan tandang mereka yang berlebih-lebihan. Sebab menurut perhitungan mereka, apa yang terjadi dengan mereka, tidak akan berlangsung lama.

Witantra dan kawan-kawannya pun menjadi heran. Kenapa Kuda Sempana yang telah dipanggil oleh gurunya itu tidak juga muncul. Namun dengan demikian timbullah berbagai dugaan diantara mereka. Diantaranya menyangka bahwa Kuda Sempana sengaja menunggu sampai orang-orang Tumapel menjadi lengah benar-benar, sedang yang lain menganggap bahwa apa yang terjadi itu telah berubah dari rencana semula. Tetapi bagi Ken Dedes sendiri, nama Kuda Sempana itu telah hampir membuatnya pingsan. Kuda Sempana bagi Ken Dedes sungguh menakutkan, melampaui hantu yang paling mengerikan sekalipun. Ternyata kini orang yang menakutkan itu datang kembali kepadanya, bahkan kali ini dengan membawa sejumlah kawan yang bersedia membantunya.

Meskipun Ken Dedes merasa, bahwa para prajurit Tumapel telah berusaha melindunginya sejauh-jauh mungkin, namun melihat keributan perkelahian itu, hati Ken Dedes pun menjadi sangat cemas karenanya. Ia menyesal bahwa ia telah menyebut Kuda Sempana sebagai alasan untuk memohon kepada Akuwu sejumlah pengawal yang akan mengantarnya. Ternyata ucapannya itu kini terjadi, seperti sebuah mimpi dara-asih. Karena itu maka kini Ken Dedes telah berpegangan erat-erat pada tandunya, seolah-olah ia ingin segera meloncat masuk dan dengan cepat-cepat berjalan ke Panawijen.

Dalam keadaan yang demikian, teringat olehnya murid ayahnya, Mahisa Agni yang sudah dianggapnya sebagai kakak kandungnya sendiri. Telah beberapa kali Mahisa Agni melepaskannya dari tangan Kuda Sempana. Meskipun kemudian Kuda Sempana berhasil membawanya, namun yang terjadi itu adalah benar-benar diluar kemampuan Mahisa Agni. Kini Kuda Sempana itu kembali menghantuinya. Dan disini tidak ada Mahisa Agni. Justru ia sedang berjalan ke padukuhan Mahisa Agni, untuk menunjukkan kebesarannya, supaya Mahisa Agni menyadari, bahwa ia telah salah menafsirkan maksud Akuwu Tunggul Ametung.

Pertempuran yang hiruk pikuk masih terjadi. Orang-orang Empu Sada masih saja bertempur sambil berteriak-teriak. Namun Kuda Sempana dan kedua saudara seperguruannya masih belum menampakkan dirinya. Empu Sada yang gelisah, sekali lagi berseru, “He Kuda Sempana, apakah kau tertidur? Cepat bangunlah, pertempuran telah hampir selesai. Pintu telah terbuka bagimu.”

Suara Empu Sada itu pun melontar memenuhi hutan. Dikejauhan terdengar suara anjing hutan menggonggong berkepanjangan, seakan-akan menyahut seruan orang tua bertongkat panjang itu. Namun Kuda Sempana belum juga tampil ke medan peperangan. Empu Sada pun menjadi semakin gelisah. Namun dengan demikian kemarahannya pun semakin menyala di dalam dadanya. Dalam kegelisahan itu Empu Sada mencoba membuat perhitungan atas anak buahnya dan para prajurit Tumapel.

Ketika ia mendengar salah seorang dari orangnya memekik tinggi dan kemudian jatuh terguling karena dadanya tersobek oleh ujung tombak, maka matanya yang cekung, tiba-tiba seperti memancarkan api. Korban telah jatuh di pihaknya, sedang Kuda Sempana belum juga menampakkan dirinya. Di samping kemarahannya, orang tua itu pun menjadi jengkel pula kepada Kuda Sempana.

Tetapi tempat yang paling baik untuk menumpahkan kemarahannya itu adalah Witantra dan kawan-kawannya. Karena itu, maka segera ia mengambil keputusan, untuk secepat-cepatnya membinasakan Witantra dan kawan-kawannya, kemudian membinasakan segenap prajurit Tumapel sebelum orang-orangnya menjadi punah. Bersama-sama dengan orang-orangnya itu, maka ia pasti segera akan dapat melumpuhkan pasukan Tumapel itu, untuk seterusnya dengan kasar mengambil gadis bakal Permaisuri Akuwu Tumapel untuk muridnya.

Tetapi apabila diingatnya, bahwa muridnya kini sama sekali tidak menampakkan dirinya, maka Empu Sada pun menjadi ragu-ragu untuk melakukan keputusannya dan bahkan menjadi acuh tak acuh akan gadis itu. Namun berbagai pertimbangan yang lain telah mendorongnya untuk meneruskan rencananya. Kalau Kuda Sempana tidak meneruskan rencananya, biarlah. Aku sudah terlanjur melawan pemimpin prajurit Tumapel ini. Mau tidak mau aku harus mengambil alih pertanggungan jawabnya. Sehingga wajarlah kalau aku yang akan mengambil keuntungan dari pencegatan ini. Bukankah bakal permaisuri itu memiliki perhiasan yang tiada-tara nilai harganya.

Dengan ketetapan hati, Empu Sada itu pun kemudian bertempur dengan hampir segenap kemampuannya supaya pekerjaannya cepat selesai sebelum orang-orangnya semakin banyak menjadi korban. Meskipun orang-orang itu adalah murid-murid dari murid-muridnya, namun ia tidak dapat membiarkan korban berjatuhan apabila hal itu masih mungkin dihindari.

Demikianlah pertempuran antara Empu Sada dan keempat lawannya menjadi semakin dahsyat. Terasa bagi keempat lawannya, bahwa Empu Sada telah benar-benar hampir sampai puncak kewajaran ilmunya, meskipun ia belum mempergunakan ilmu pemungkasnya, seperti yang telah diturunkannya kepada murid-muridnya, Kuda Sempana, Cundaka dan beberapa orang yang lain. Witantra dan ketiga kawannya terpaksa memeras tenaganya pula. Namun bagaimanapun juga, terasa bahwa suatu ketika mereka pasti akan dibinasakan oleh Empu Sada itu Kemudian akan lenyap pulalah gadis yang harus dipertanggung-jawabkan.

Witantra itu pun kemudian menggeram. Alangkah aib namanya. Ketika ia bertugas untuk mengawal Ken Dedes, seorang bakal permaisuri Tumapel hanya dalam jarak antar Tumapel dan Panawijen, ia telah gagal. Kematiannya bukanlah hal yang dicemaskannya. Tetapi dengan hilangnya Ken Dedes, maka namanya akan menjadi buah pembicaraan setiap prajurit dan bahkan setiap orang Tumapel, bahwa hilangnya Ken Dedes, adalah karena tidak kemampuan Witantra, pimpinan pasukan pengawal istana.

Tetapi ternyata bahwa kegelisahan Empu Sada berpengaruh juga dalam pertempuran itu. Sekali-sekali orang tua itu masih mencoba mencari Kuda Sempana diantara orang-orang yang sedang bertempur hiruk-pikuk itu. Namun setiap kali orang itu menjadi kecewa dan menggeram marah. Dalam hal demikian, kembali orang tua itu memperketat serangannya.

Sehingga akhirnya tenaga Kebo Ijo semakin lama semakin menjadi surut. Nafas Mahendra pun menjadi semakin terengah-engah, bahkan seluruh tubuhnya telah basah oleh keringat. Tangkai pedangnya pun menjadi basah pula, dan terasa seolah-olah pedang itu ingin meloncat dari genggamannya. Sidatta pun tidak kalah cemasnya ketika tangannya seakan menjadi semakin lemah.

Tetapi Empu Sada pun tidak pula kalah cemasnya. Ia pun dapat menduga bahwa sebentar lagi, korban akan berjatuhan di pihaknya apabila Kuda Sempana dan kawan-kawannya tidak segera tampil ke medan. Betapa ia mengerahkan kemampuannya untuk membunuh Witantra dan kawan-kawannya sebelum ia berhasil membantu orang-orangnya, namun ia memerlukan waktu pula. Karena itu dengan nada penuh kejengkelan sekali lagi ia berteriak, “He, Kuda Sempana, dimana kau?”

Pertanyaan itu telah menimbulkan pikiran baru bagi para perwira yang berdiri di samping Ken Dedes. Pertanyaan itu meyakinkannya bahwa ada sesuatu yang tidak semestinya terjadi. Sehingga karena itu ia telah mengambil suatu sikap untung-untungan. Kepada seorang prajurit yang dipercayainya ia berkata, “Gantikan tempatku. Berdua, sebelah menyebelah. Aku akan membantu kakang Witantra dan kakang Sidatta, kalau terjadi sesuatu, cepat, panggil aku kemari.”

“Baik,“ sahut prajurit itu yang kemudian berdua dengan seorang kawannya mereka berdiri sebelah menyebelah tandu Ken Dedes di dalam lingkaran beberapa kawannya yang lain. Di tangan prajurit itu tergenggam sebatang tombak pendek dan Prajurit yang lain menggegam pedang yang panjang.

Ketika kedua Prajurit itu telah bersiap di kedua sisi tandu itu, maka berkatalah perwira itu kepada Ken Dedes, “Tuan Puteri, hamba mohon ijin untuk membantu kakang Witantra yang agaknya mengalami kesulitan. Apabila terjadi sesuatu disini, biarlah hamba segera datang kemari.”

Ken Dedes ragu-ragu sesaat, tetapi ketika ia melihat kedua prajurit yang bertubuh besar kekar dan berwajah keras berdiri di kedua sisi tandunya ia mengangguk sambil berkata, “Tetapi kau harus segera kembali apabila kami disini memerlukan.”

“Hamba tuan Puteri,“ jawab perwira itu. Dan tanpa menunggu lagi segera ia meloncat menembus lingkaran prajurit yang dibuatnya. Dengan tangkasnya segera ia terjun dalam pertempuran bersama dengan Witantra dengan kawan-kawannya. Sepasang senjatanya segera berputaran. Dengan kesegaran tenaganya cepat ia dapat mempengaruhi keadaan.

Witantra terkejut melihat kehadirannya. Karena itu dengan serta merta ia bertanya, “Kau datang juga kemari?”

“Aku telah menyerahkannya kepada para prajurit pilihan. Aku akan segera kembali ke sana kalau diperlukan.”

Witantra tidak menjawab. Ia memang memerlukan bantuan itu. Dan ia sependapat, apabila diperlukan, biarlah ia meninggalkan arena ini. Dengan kehadiran lawan barunya, maka pekerjaan Empu Sada menjadi kian berat. Namun dengan demikian ia menjadi semakin marah. Orang baru itu hanya akan mampu memperpanjang waktu, tetapi tidak akan mampu menyelamatkan mereka dari bencana.

Tetapi memperpanjang waktu itu pun benar-benar telah mencemaskan hati Empu Sada. Di sekitarnya ia melihat bahwa orang-orangnya pun telah menjadi kian sulit. Kalau semua mereka sengaja membuat kegaduhan dengan serangan-serangan yang tidak teratur, maka semakin lama mereka benar-benar menjadi tidak teratur bukan karena kesengajaan. Ternyata prajurit Tumapel lebih berpengalaman dalam pertempuran bersama. Mungkin orang-orang Empu Sada itu seorang-seorang tidak kalah dari para prajurit Tumapel, tetapi kerja sama dan bertempur dalam pasangan-pasangan yang serasi, ternyata para prajurit Tumapel telah melampaui mereka.

Orang tua bertongkat panjang itu pun menggeram. Kemarahannya kini telah memuncak. Dengan demikian maka tidak lagi dapat mengekang dirinya dalam pertempuran itu. Namun melawan lima orang perwira prajurit pengawal Akuwu Tumapel, ternyata Empu Sada memerlukan waktu pula. Sampai demikian jauh, ternyata Kuda Sempana dan kawan-kawannya masih belum menampakkan dirinya pula. Bahkan sampai saat-saat yang sangat mencemaskan Empu Sada, sehingga akhirnya Empu Sada mengambil keputusan untuk menyelesaikan perkelahian itu menurut seleranya sendiri. Ia tidak tertarik lagi kepada rencananya yang telah disusunnya bersama Kuda Sempana.

“Aku musnahkan saja semua orang Tumapel ini,“ katanya di dalam hati. Dan ia benar-benar ingin melaksanakannya.

Ken Dedes yang melihat perkelahian itu, hatinya benar-benar menjadi cemas. Ia tidak tahu apa yang sedang berlangsung antara Empu Sada dan kelima lawannya. Namun menurut penilaian Ken Dedes, apabila lawan Witantra bukan benar-benar orang yang sangat sakti, maka ia pasti tidak memerlukan tiga orang untuk mencoba melawannya. Bahkan lima orang pun tidak segera dapat mengatasi keadaan. Mereka seakan-akan mampu berlari-lari melingkari Empu Sada, untuk kemudian berloncatan menjauh bersama-sama sebelum satu dua orang menyerangnya dari arah yang berbeda.

Tetapi apabila Ken Dedes melihat pertempuran di sudut-sudut yang lain, ia melihat para prajurit Tumapel selalu berusaha mendesak dan bahkan mengejar orang-orang liar itu berlari-lari melingkar-lingkar. Tetapi para penyerang itu masih saja berteriak-teriak tak menentu dengan nada yang menyakitkan telinga, meskipun suara teriakan-teriakan itu tidak sekeras pada saat-saat mereka datang.

Ketika mereka kemudian telah sampai ke puncak yang paling gawat dari pertempuran itu, baik bagi Witantra dan kawan-kawannya, maupun bagi orang Empu Sada, yang masing-masing selalu terdesak oleh lawan-lawan mereka, dikejauhan terdengar sebuah suitan nyaring. Sekali, dua kali dan kemudian diulangi lagi sekali, sehingga menjadi tiga kali. Suara itu seperti suara seekor burung yang melengking memecah gelap malam. Ternyata suara itu telah mengejutkan semua orang yang berada di arena pertempuran itu.

Bagi Witantra dan para prajurit Tumapel suara itu seakan-akan suara hantu yang telah siap menerkam mereka dan sikap yang sangat mengerikan. Dalam kesulitan itu, maka mereka masih harus menunggu bencana yang bakal datang. Para prajurit yang berada di sekitar Ken Dedes pun segera merapatkan diri, seakan-akan mereka mendapat perintah untuk menghadapi kemungkinan yang paling akhir dari perjuangan mereka.

Tetapi Witantra, Mahendra, Kebo Ijo dan kedua perwira bawahan Witantra menjadi semakin terkejut melihat sikap Empu Sada. Ternyata orang tua itu pun terkejut bukan buatan mendengar suara suitan tiga kali berturut-turut. Seperti disengat seribu lebah biru Empu Sada itu melontar surut beberapa langkah. Diangkatnya wajahnya sambil memanjangkan lehernya.

Witantra dan kawan-kawannya yang menjadi keheranan. justru berdiri saja tegak di tempatnya. Seolah-olah mereka melihat sesuatu yang bukan seharusnya. Mereka menyangka bahwa suara suitan itu adalah pertanda kehadiran Kuda Sempana dan kawan-kawannya yang mungkin bukan saja tiga orang, tapi dengan beberapa orang lain. Namun menilik sikap Empu Sada, maka kemungkinan itu pasti berbeda dari peristiwa yang akan mereka hadapi.

Terdengar Empu Sada itu menggeram. Sekali dilayangkannya pandangan matanya kepada orang-orangnya yang masih bertempur melawan prajurit-prajurit Tumapel. Ternyata mereka semakin menjadi terdesak. Dalam ketegangan itu sekali lagi dikejauhan terdengar suara itu. Suara suitan tiga kali berturut-turut.

“Setan,“ geram Empu Sada, “apa pula yang terjadi dengan anak cengeng itu?”

Witantra masih tegak di tempatnya. Kawannya pun masih belum berbuat sesuatu. Namun di dalam dada mereka berdetaklah berbagai pertanyaan tentang sikap orang tua yang mengerikan itu. Tiba-tiba Witantra dan kawan-kawannya dikejutkan oleh suitan Empu Sada itu. Mirip dengan sebuah siulan panjang. Suaranya menyusup menembus gelap malam melingkar-lingkar di dalam hutan.

Witantra dan kawan-kawannya tidak tahu sama sekali sasmita sandi semacam itu. Karena itu, mereka harus mempersiapkan diri mereka menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Mungkin siulan Empu Sada itu memperdengarkan kidung kematian bagi mereka dan para prajurit Tumapel.

Tetapi yang terjadi adalah berbeda dengan dugaan mereka. Mendengar suara siulan itu. maka serentak orang-orang Empu Sada berteriak semakin keras, namun apa yang mereka lakukan justru sebaliknya. Mereka berlari-larian di arena itu untuk sesaat, kemudian dengan cepatnya mereka meloncat menyusup ke dalam gerumbul-gerumbul yang gelap di balik rimbunnya hutan.

Beberapa orang prajurit Tumapel berusaha mengejar mereka, namun terdengar Witantra memberi aba-aba, “Biarkan mereka.”

Para prajurit Tumapel terhenti di tempatnya. Terasa pula oleh mereka itu, suasana yang seolah-olah menyimpan rahasia. Suara-suara suitan dan siulan, kegelapan malam diantara batang-batang pohonan, Empu Sada yang masih berdiri di tempatnya dan suara teriakan-teriakan orang-orang yang berbuat seakan-akan orang-orang liar itu yang semakin lama menjadi semakin lemah. Keadaan itu pulalah yang memaksa Witantra mencegah anak buahnya terjerumus di dalam keadaan yang tak mereka kenal.

Sesaat setiap orang di perkemahan itu berdiri tegak di tempatnya. Wajah-wajah mereka menjadi semakin tegang, namun mulut mereka terkatub rapat-rapat. Witantra, Mahendra, Kebo Ijo, kedua perwira bawahan Witantra. Para prajurit, Ken Dedes dan bahkan Empu Sada sendiri. Mereka seakan-akan sedang menunggu suatu peristiwa yang akan meledak setiap saat.

Tetapi yang terdengar kemudian sekali lagi suara suitan kini menjadi kian dekat. Tiga kali berturut-turut. bahkan kini tidak saja dilontarkan oleh seseorang, tetapi dua orang hampir bersamaan. Sekali lagi terdengar Empu Sada menggeram. Diantara suaranya yang berat terdengar ia mengumpat, “Setan manakah yang berani mengganggu Empu Sada dan murid-muridnya.”

Kata-kata Empu Sada itu pun mengejutkan Witantra dan kawan-kawannya. Terasa bahwa Empu Sada merasa terganggu karena suara-suara suitan itu. Karena itu maka Witantra dan kawan-kawannya menjadi semakin tidak mengerti, apakah yang sedang terjadi. Namun mereka terkejut ketika Empu Sada itu berteriak lantang, “He, Kuda Sempana. Dimana kau? Siapakah yang telah berani mencoba menghalangi rencana kami itu?”

Suara Empu Sada menggelegar seperti suara guruh di musim kesanga. Tetapi suara Empu Sada itu tidak segera mendapat jawaban. Sejenak mereka terpaku menunggu, apakah yang bakal terjadi, dan apakah jawaban yang akan mereka dengar atas pertanyaan Empu Sada itu. Namun jawaban itu tidak segera mereka dengar. Empu Sada yang masih berdiri tegak itu sekali lagi menggeram. Wajahnya menjadi semakin tegang dan tubuhnya gemetar menahan marah. Tetapi dengan demikian, Witantra dan kawan-kawannya perlahan-lahan dapat mengurai keadaan. Ternyata dugaan mereka benar, ada sesuatu yang tidak wajar menurut rencana Empu Sada.

Ketika sejenak kemudian masih juga tidak ada jawaban, maka sekali lagi terdengar Empu Sada berteriak, “Kuda Sempana, sekali lagi aku beri tanda. Aku akan segera datang.”

Alangkah terkejut mereka bersama-sama ketika sekali lagi terdengar suara tidak begitu jauh dari tempat mereka. Meskipun suara itu tidak jelas, namun terdengar juga lamat-lamat, “Aku disini guru. Ada orang gila yang menghalangi aku.”

Empu Sada tidak menunggu lebih lama lagi. Cepat-cepat ia meloncat meninggalkan Witantra dan kawan-kawannya. Hilang di dalam semak-semak. Adalah pasti bahwa Empu Sada berusaha untuk menolong muridnya. Agaknya suitan-suitan itu adalah tanda dari murid-murid Empu Sada untuk menyatakan, bahwa mereka berada dalam bahaya.

Witantra masih berdiri sejenak di tempatnya. Tetapi tanggapannya atas peristiwa itu telah memaksanya untuk mencoba mengikuti Empu Sada. Karena itu maka katanya, “Sidatta, tetaplah disini berdua. Aku, Mahendra dan Kebo Ijo akan mencoba melihat apa yang terjadi dengan orang tua itu."

Wajah Sidatta yang masih tegang tampak berkerut. Ia masih lihat peristiwa ini diliputi oleh suatu keragu-raguan yang tidak menentu. Karena itu katanya, “Kakang Witantra, apakah tidak terlampau berbahaya bagi kakang untuk pergi ke dalam semak-semak yang tidak kakang kenal.”

“Aku tidak akan pergi terlampau jauh. Kalau Kuda Sempana dapat kami dengar dari sini, maka suaraku pun pasti akan kalian dengar apabila kalau aku memerlukan kalian.“ jawab Witantra.

Sidatta menganggukkan kepalanya. Sebenarnya di dalam hatinya sendiri terpancar keinginannya untuk melihat, kenapa Kuda Sempana tidak dapat menyelesaikan rencananya dengan baik. Tetapi ia tidak dapat meninggalkan perkemahan itu tanpa penjagaan. Karena itu maka katanya, “Silahkan kakang. Tetapi kakang, kita akan saling memberikan tanda apabila kita saling memerlukan.”

“Baik,“ sahut Witantra, yang kemudian bersama dengan kedua adik seperguruannya, menyusup ke dalam semak-semak dan hilang di balik rimbunnya dedaunan.

Tetapi mereka bertiga tidak segera dapat menemukan arah, kemana mereka harus pergi. Mereka hanya mampu membuat ancar-ancar arah suara Kuda Sempana. Tetapi suara itu pun tidak begitu jelas bagi mereka. Karena itu untuk sesaat mereka berjalan dengan hati-hati ke arah itu. Mereka menyibak dedaunan dan menyusup di bawah akar-akar pepohonan. Mereka tidak dapat mencari jalan lain. Mereka hanya dapat memintas lurus ke tempat yang mereka sangka akan didatangi oleh Empu Sada pula.

Namun dalam pada itu, mereka tetap dalam kewaspadaan, sebab mereka masih belum dapat menentukan apa yang sebenarnya telah terjadi. Mungkin mereka masih tetap berada dalam jebakan Empu Sada yang membuat rencana demikian berbelit-belit. Tetapi setelah mereka berjalan beberapa lama, mereka sama sekali belum menemukan apa-apa. Mereka tidak mendengar suara apapun dan bahkan mereka seolah-olah terkurung dalam sebuah goa yang gelap pepat. Hitam dan kelam di sekeliling mereka. Yang dapat mereka lihat hanyalah bayangan dedaunan yang menggapai-gapai ditiup angin malam, seperti tangan-tangan hantu raksasa yang akan menerkam mereka.

Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara tertawa yang seakan-akan meledak-ledak tidak begitu jauh dari tempat mereka. Suara itu adalah suara Empu Sada dalam nada yang tinggi menyakitkan telinga. Diantara suara tertawa itu terdengar ia berkata, “He, rupanya kau yang datang kelinci kurus.”

Tak ada suara menyahut. Yang terdengar masih saja suara tertawa Empu Sada. Bukan karena orang tua itu menjadi bergembira, atau menemukan permainan yang menyenangkan, tetapi nada suaranya melontarkan keheranan dan kebencian yang melonjak-lonjak di dalam dadanya. Witantra memasang telinganya baik-baik. Perlahan-lahan ia menemukan arah yang harus dianutnya. Karena itu maka segera ia berbisik kepada adik-adik seperguruannya, “Kita menerobos ke Utara.”

Mahendra dan Kebo Ijo tidak menjawab. Dengan pedang terhunus mereka berjalan terbongkok-bongkok menghindari sulur-sulur yang bergayutan pada pepohonan. Tetapi kini mereka melangkah dengan pasti. Mereka telah menemukan arah. Semakin dekat mereka dengan arah suara tertawa Empu Sada mereka menjadi semakin berdebar-debar. Apalagi kemudian suara tertawa itu tidak mereka dengar lagi. Meskipun demikian mereka berjalan terus.

Tiba-tiba mereka tertegun ketika beberapa puluh langkah lagi dihadapan mereka, terdengar suara Empu Sada, ”Kuda Sempana, kenapa tidak kau bunuh saja kelinci ini he? kenapa kau dan kedua saudara seperguruanmu itu berteriak-teriak memanggil aku? Bukankah membunuhnya tidak lebih sulit dari pada membantai ayam sakit-sakitan.”

Tidak terdengar jawaban. Seolah-olah yang berada di tempat itu hanyalah Empu Sada seorang diri. Setiap kali ia berbicara, maka tak ada suara yang menyahut. Kali ini Kuda Sempana itu pun tidak menjawab. Kembali tumbuh keragu-raguan di dalam hati Witantra. Apakah ini bukan salah satu pokal Empu Sada untuk memisahkannya dari para prajurit yang lain, ataukah memang ada tujuan tersembunyi yang tidak dimengertinya? Tetapi jarak itu sudah dekat, sehingga Witantra pun memutuskan untuk maju beberapa langkah lagi.

Ketika mereka maju meloncati beberapa dahan-dahan yang rontok dan melintang dihadapan mereka, maka segera mereka melihat, bagian yang luang dari hutan itu. Bagian yang meskipun sempit namun cukup memberikan tempat untuk bertempur seperti tempat yang mereka pergunakan untuk berkemah. Dengan hati-hati Witantra melangkah lagi beberapa langkah. Dari sela-sela rimbunnya dedaunan ia mencoba melihat, apa yang ada di tempat yang agak longgar itu.

Namun malam gelapnya bukan kepalang. Tetapi di tempat yang longgar itu, kepekatan malam seakan-akan menipis. Sinar bintang-bintang di langit tidak tertutup oleh dedaunan dan dahan-dahan kayu yang rimbun di atasnya. Dan apa yang dilihatnya benar-benar menggetarkan hatinya, meskipun seakan-akan hanyalah bayangan-bayangan hantu yang hitam legam. Mereka terdiri dari lima orang. Namun Witantra dapat memastikan, bahwa seorang diantaranya adalah Empu Sada. yang tiga adalah murid-murid Empu Sada sendiri. Namun yang satu, berdiri agak terlampau ke sudut, sehingga Witantra hampir tidak dapat melihatnya, seandainya bayangan itu tidak bergerak. Yang tampak hanya hitam. Bahkan garis-garis bentuknya pun tak dapat dikenalnya.

Namun betapa terkejut Witantra yang tiba-tiba mendengar Empu Sada berteriak, “He, siapa yang mencoba mengintip pertemuan ini?”

Sebelum Witantra menjawab, ia melihat salah seorang dari kelima bayangan itu memutar tubuhnya dan maju selangkah, tepat ke arah Witantra dan adik-adik seperguruannya bersembunyi. Tetapi Witantra lebih terkejut lagi ketika ia mendengar bayangan yang di sudut itu berkata, “Biarkan mereka berada di sana.”

Sesaat Witantra terpaku di tempatnya. Bukan saja Witantra, namun kedua saudara seperguruannya pun terkejut pula mendengar suara itu. Bahkan Kebo Ijo, yang termuda diantara mereka bertiga tidak dapat menahan perasaannya. Setelah sekian lama mereka berjuang melawan Empu Sada, dan bahkan hampir saja mereka mengalami bencana, tiba-tiba mereka melihat kehadiran orang itu. Karena itu, meledaklah kegembiraan Kebo Ijo. Hampir berteriak ia memanggil orang yang berdiri di dalam bayangan yang kelam itu, “Guru. Gurukah itu?”

Witantra menggamit tangan Kebo Ijo, tetapi anak muda itu tidak memperhatikannya. Bahkan selangkah ia meloncat maju dan sekali lagi memanggil, “Guru. Kami bertiga dengan kakang Witantra dan kakang Mahendra.”

Orang yang berdiri di sudut yang gelap itu menyahut, “kemarilah.”

Kebo Ijo menjadi ragu-ragu. Dilihatnya Empu Sada berdiri tegak seperti patung. Kalau ia berjalan ke tempat gurunya berdiri, Empu Sada itu dapat dengan tiba-tiba memotong jalannya, dan dengan sebuah serangan mungkin ia telah terpelanting untuk tidak bangun lagi. Tongkat yang panjang itu pasti mampu mematahkan tulang-tulang rusuknya. Sehingga dengan demikian, anak muda itu berpaling kepada kedua saudaranya. Kalau mereka berjalan bersama-sama, maka kemungkinan untuk mempertahankan diri menjadi lebih besar.

Agaknya gurunya melihat keragu-raguan itu, sehingga katanya mengulangi, “Kemarilah. Witantra, Mahendra dan Kebo Ijo. Jangan hiraukan Empu Sada. Ia orang yang baik hati. Ia pasti tidak akan berbuat sesuatu.”

Empu Sada menggeram. Selangkah ia maju sambil bergumam, “Kalau kalian bergerak selangkah, maka kalian akan berkubur di hutan ini.”

“Kita akan terlampau banyak pekerjaan Empu,” berkata bayangan di kegelapan, yang ternyata adalah guru Witantra yang kekurus-kurusan dan bernama Panji Bojong Santi, “Kalau kau membunuh murid-muridku, maka sedikitnya kita harus mengubur enam orang sekaligus disini.”

“Kenapa enam,“ teriak Empu Sada.

“Apakah kau tidak mengerti hitungan sama sekali? Bukankah tiga ditambah dengan tiga itu berjumlah enam?”

“Kenapa enam?” sekali lagi Empu Sada berteriak, “aku hanya membunuh tiga orang.”

“Kau membunuh muridku tiga orang dan aku membunuh muridmu tiga orang. Bukankah jumlahnya enam.”

Sekali lagi Empu Sada menggeram. Kali ini lebih keras lagi. Tetapi ia tidak menyahut.

“Nah, Witantra, kemarilah.“ Ulang Panji Bojong Santi.

Witantra, Mahendra, dan Kebo Ijo kemudian melangkah bersama-sama. Pedang-pedang mereka masih erat di dalam genggaman tangan mereka. Dengan penuh kesiap-siagaan mereka berjalan beberapa langkah di samping Empu Sada. Tetapi Empu Sada itu berdiri saja seperti tonggak. Ketika mereka telah berada di samping guru mereka, maka Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Untung guru segera datang. Kalau tidak, maka kami pasti akan ditelan oleh anak-anak Empu Sada.”

Panji Bojong Santi tidak menjawab. Tetapi ia berkata kepada Empu Sada, “Anak-anak ayam kini telah kembali ke induk masing-masing. Nah, Empu yang baik. Apakah sebenarnya yang kau kehendaki?”

Empu Sada memutar tubuhnya. Ditatapnya Panji Bojong Santi dengan penuh kebencian. Namun ia tidak segera menjawab. Ketika kemudian ia berpaling, dilihatnya ketiga murid-muridnya, Kuda Sempana, Cundaka yang lebih senang disebut Bahu Reksa Kali Elo dan Sungsang pun masih menggenggam pedangnya masing-masing. Sesaat suasana menjadi sepi tegang. Mereka berdiri berhadapan di dalam kelompok masing-masing, seolah-olah mereka telah berjanji untuk mengadakan perang tanding. Seorang guru dengan tiga orang murid masing-masing.

Yang terdengar kemudian adalah suara angin malam yang mengalir diantara dedaunan. Suara burung malam dikejauhan dan suara anjing-anjing liar berebutan makan. Dalam keheningan itulah maka Empu Sada mencoba membuat perimbangan dari dua kekuatan yang sudah berhadap-hadapan. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Orang-orangnya tidak akan mampu menghadapi para prajurit Tumapel yang lebih banyak berpengalaman dan terlatih cukup baik. Apalagi kini ia tidak sempat mengikat para pemimpinnya dalam satu perkelahian, karena kehadiran Panji Bojong Santi. Karena itu, yang terdengar kemudian adalah suara giginya yang gemeretak.

Yang berbicara kemudian adalah Panji Bojong Santi, “Bagaimana Empu, apakah kita masih sempat untuk melihat anak-anak kita berkelahi, atau kau mempunyai keputusan lain?”

Empu Sada menggelengkan kepalanya, “Tidak,“ katanya dalam nada yang keras, “Kali ini rencanaku telah kau rusakkan. Aku tidak dapat berkata lain dari pada itu. Tetapi kesalahan yang telah kau lakukan ini membuat aku mendendammu, seperti aku mendendam Empu Gandring yang mengganggu aku pula.”

“Aku telah mendengar dari Mahendra,“ sahut Panji Bojong Santi, “tetapi seperti Empu Gandring aku ingin memperingatkanmu, jangan bermain-main bersama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Kau akan dapat ditelannya Empu. Seperti Empu Gandring, menurut Mahendra, aku mengganggapmu lain dari kedua orang-orang liar itu.”

Sekali lagi Empu Sada berteriak, “Apa pedulimu?”

“Aku hanya memperingatkan. Aku masih mengharap kau lepaskan segala macam keinginanmu yang aneh-aneh itu. Jangan terlampau kau manjakan muridmu yang bernama Kuda Sempana. Seandainya Mahendra yang berbuat seperti Kuda Sempana, maka ia akan aku lepaskan untuk berbuat sendiri, atas tanggung jawabnya sendiri. Tetapi Mahendra tidak berbuat demikian. Ia menyadari keadaannya.”

Empu Sada tertawa, meskipun nadanya pahit. Katanya, “Kau menjadi ketakutan seperti Empu Gandring itu juga.”

Panji Bojong Santi tidak segera menjawab. Dilihatnya Empu Sada berdiri dengan gemetar menahan marah. Tetapi kemarahan itu benar-benar tidak mampu dilepaskannya, karena ia berhadapan dengan Panji yang kurus itu. Kalau ia memaksa diri untuk bertempur, maka pasti tidak akan mencapai penyelesaian. Perkelahian itu tidak akan berkesudahan. Tetapi apakah murid-muridnya mampu melawan ketiga murid Bojong Santi itu?”

Empu Sada menggeram. Ia menyesal bahwa selama ini ia tidak benar-benar menempa muridnya dengan kesadaran. Ia memberikan ilmunya dengan acuh tak acuh. Meskipun murid-muridnya menjadi orang-orang yang melampaui orang kebanyakan, namun mereka tidak dapat menyamai murid-murid Bojong Santi dan murid Empu Purwa yang bernama Mahisa Agni. Empu Sada menyesal. Namun waktu telah berjalan terlampau jauh. Saat-saat itu ia hanya sekedar menjual ilmunya. Dengan sedikit harta dan benda, Empu Sada telah dengan mudahnya menerima seseorang menjadi muridnya. Tetapi murid-murid itu pun tidak mempunyai tingkatan yang serasi menurut urut-urutannya. Siapa yang lebih banyak memberinya sesuatu, ialah yang lebih banyak menerima ilmu.

Tetapi ketika ia harus berhadapan dengan perguruan lain, terasa bahwa apa yang dilakukannya itu keliru. Kini harga dirinya langsung tersentuh, ketika ia berhadapan dalam jumlah yang sama. Namun sudah pasti, bahwa ketiga muridnya tidak akan mampu berhadapan dengan ketiga murid Panji Bojong Santi. Untuk menenteramkan dirinya sendiri, Empu Sada itu berkata di dalam hatinya.

“Belum terlambat. Aku masih dapat menempa beberapa orang diantara murid-muridku untuk menyamai ketiga murid Panji yang gila ini. Mungkin ketiga muridku ini, mungkin yang lain lagi. Namun kelebihanku adalah, aku mempunyai banyak murid, sedang Panji yang gila ini hanya tiga dan Empu Purwa hanya satu. Apalagi Gandring tukang membuat keris itu. Ia hampir tidak pernah mempedulikan apa-apa selain keris-kerisnya.”

Keheningan yang sejenak itu kemudian dipecahkan oleh suara Panji Bojong Santi, “Empu Sada, apakah kau masih tetap berkeinginan bekerja bersama-sama dengan kedua orang liar itu?”

“Tentu,“ jawab Empu Sada, “aku sudah melihat kalian menjadi ketakutan. Kau dan Empu Gandring.”

“Ya, aku memang takut,” sahut Bojong Santi.

“Nah. Kau sudah mengaku. Karena itu, jangan menghalangi aku.”

“Kau belum tahu apa yang aku takutkan. Bukan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.”

“Apa yang kau takutkan?”

“Kau.”

“Kenapa aku?” Empu Sada menjadi heran.

“Aku takut kalau kau akan menjadi korban ketamakanmu. Aku takut kalau kau akan lenyap ditelan oleh kedua orang itu setelah kau mencoba menghubunginya.”

Sekali lagi Empu Sada tertawa. Tetapi tiba-tiba terdengar ia bersiul panjang. Apa yang terjadi kemudian adalah terlampau cepat sehingga Witantra dan saudara-saudara seperguruannya berdiri saja memandangi mereka yang tiba-tiba meloncat dan menghilang ke dalam semak-semak. Baru sejenak kemudian Witantra menyadari keadaan. Dengan serta merta ia berkata,

“Apakah kita biarkan mereka lari?”

“Jangan hiraukan mereka kini,“ jawab gurunya, “bukankah kalian mempunyai tanggungan? Kalau kalian berhasil menyelamatkan gadis itu, kalian harus sudah mengucap syukur atas lindungan Yang Maha Agung.”

Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, “Ya guru.”

Tetapi Kebo Ijo lah yang kemudian bertanya, “Kenapa guru tiba-tiba saja berada di tempat ini?”

Panji Bojong Santi mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Aku sudah menyangka bahwa hal ini akan terjadi. Sejak aku mendengar ceritera Mahendra yang bertemu dengan Empu Sada dipadang Karautan. Berita tentang perjalanan Ken Dedes ini sudah didengar oleh hampir setiap orang Tumapel yang pasti telah didengar pula oleh salah seorang saudara seperguruan Kuda Sempana yang tersebar di mana-mana. Aku sudah menyangka bahwa Empu Sada akan melakukan pencegatan ini. Karena itu, aku memerlukan mengikuti arak-arakan sejak dari Tumapel."

“Kenapa guru tidak berjalan saja bersama-sama kami dalam satu rombongan?”

“Aku lebih senang berjalan sendiri. Aku tidak biasa berjalan menurut irama yang ditentukan oleh Witantra.”

Witantra tersenyum. Katanya, “Terima kasih guru. Kalau guru tidak hadir disini, maka aku dan semua anak buahku akan musnah. Bukan saja itu, tetapi namaku akan hancur pula bersama lenyapnya bakal permaisuri.”

Tiba-tiba Bojong Santi menggeleng, “Tidak. Kau salah sangka.”

“Kenapa?” bertanya ketiga muridnya hampir serentak.

“Ketika aku menahan Kuda Sempana dan kedua kawan-kawannya, aku melihat seseorang di sekitar tempat itu. Aku sudah mengenalnya meskipun belum terlampau akrab.”

“Siapa?”

“Ayah gadis itu.”

“Empu Purwa?”

“Ya. Ia berada di tempat ini juga sekarang. Mungkin Empu Purwa mendengar pula percakapan ini. Kalau aku tidak ada di tempat ini, orang tua itu tidak akan sampai hati membiarkan gadisnya diambil oleh Kuda Sempana.”

“Tetapi kenapa Empu Purwa itu tidak menampakkan dirinya dihadapan puterinya.”

Panji Bojong Santi menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba dilayangkan pandangan matanya berkeliling, seakan-akan mencari seseorang di dalam gelapnya malam. Tetapi yang dikatakan adalah, “Kembalilah kepada tugasmu. Cepat. Sebelum Empu Sada mendahuluimu. Kalau orang itu datang, beri aku tanda. Panggil saja namaku keras, tanpa siul-siulan atau segala macam tanda sandi. Aku tetap disini.”

Witantra segera menyadari keadaannya. Saat itu ia masih harus mempertanggung jawabkan seorang gadis bakal permaisuri Akuwu Tunggul Ametung, Karena itu tiba-tiba ia menyahut, “Ya guru. Aku akan segera kembali ke perkemahan.”

“Pergilah.”

Witantra pun kemudian segera mohon diri bersama saudara-saudara seperguruannya. Dengan tergesa-gesa mereka menyusuri dedaunan dan ranting-ranting perdu, kembali ke tempat para prajurit Tumapel menunggu dengan cemas. Ternyata jalan kembali itu agak lebih mudah ditempuhnya daripada saat mereka mencari Empu Sada. Mereka kini dapat melihat bayangan api di ujung pepohonan sebagai penunjuk arah, meskipun kadang-kadang bayangan itu sama sekali tidak dapat mereka lihat karena rimbunnya batang-batang kayu. Tetapi sekali-sekali cahaya yang kemerah-merahan dapat menunjukkan kemana mereka harus pergi. Agaknya beberapa orang prajurit tetap memelihara supaya api tidak padam, sehingga mereka dapat lebih cermat mengawasi keadaan.

Sepeninggal Witantra dan kedua saudara seperguruannya. Panji Bojong Santi masih saja berdiri tegak seperti patung, seakan-akan sengaja ia membiarkan dirinya tidak bergerak dan tidak dikenal diantara batang-batang kayu. Tetapi Panji Bojong Santi itu agaknya sedang menunggu seseorang, ia yakin bahwa orang yang ditunggunya itu pasti akan datang. Ternyata Bojong Santi tidak menjadi kecewa karenanya. Sejenak kemudian ia mendengar gemersik halus di sampingnya. Namun orang tua yang kurus itu sama sekali tidak bergeser dari tempatnya.

Ketika dari semak-semak muncul seseorang, maka dengan serta merta Panji Bojong Santi itu memutar tubuhnya sambil mengangguk dalam-dalam, katanya, “Selamat malam Empu.”

“Terpujilah tuan, karena tuan telah menolong anakku dari bencana. Langsung atau tidak langsung.”

Panji Bojong Santi tersenyum. Jawabnya, “Empu terlampau merendahkan diri. Apakah artinya tenagaku dibanding dengan Empu sendiri. Kalau aku tahu bahwa tuan ada disini, maka aku tidak akan bersombong diri, mencegah perbuatan Kuda Sempana. Sebab pasti tuan sendiri akan berbuat jauh lebih baik dari yang aku lakukan. Aku melihat kehadiran tuan setelah aku terlanjur mengikat Kuda Sempana dalam perkelahian.”

Orang yang baru datang itu, yang ternyata adalah Empu Purwa, kini tersenyum pula. Katanya, “Tetapi aku memang tidak dapat berbuat secepat tuan. Tuan telah mendahuluiku. Namun adalah lucu sekali, bahwa agaknya maksud kita bersamaan. Aku pun sebenarnya ingin memanggil Empu Sada dan ketiga muridnya seperti yang tuan lakukan.”

Panji Bojong Santi tertawa. “Aku sudah menyangka,” jawabnya, “kalau tidak tuan pasti langsung menolong puteri tuan di perkemahan. Dan inilah yang tidak aku ketahui. Ketika Witantra bertanya kepadaku, kenapa tuan tidak menampakan diri, bahkan langsung di arena, maka aku tidak dapat menjawabnya.”

Empu Purwa kini tidak tersenyum lagi. Bahkan kemudian ia menarik nafas dalam. Namun segera ia berusaha menghilangkan segala macam kesan yang mencengkam perasaannya. Katanya, “Aku mendengarkan percakapan tuan dengan murid-murid tuan. Aku sebenarnya ingin tahu, apakah jawab tuan atas pertanyaan itu.”

“Tentu aku tidak akan dapat menjawab,“ sahut Panji Bojong Santi.

Sekali lagi Empu Purwa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku hanya ingin bermain-main sembunyi-sembunyian seperti tuan.”

Panji Bojong Santi menangkap kesan yang suram dalam kata-kata Empu Purwa. Terasa sebuah sentuhan halus pada perasaan orang tua itu. Sehingga karena itu, maka berkata Panji kurus itu, “Maaf Empu. Mungkin pertanyaan itu tidak berkenan di hati tuan.”

“Oh, tidak,“ jawab Empu Purwa tergesa-gesa, “tidak. Tidak apa-apa. Mungkin ada baiknya aku mengatakan kepada tuan supaya beban yang menyumbat dadaku dapat melimpah keluar. Selama ini tak ada seorang pun yang dapat membantu meringankan perasaanku.”

Panji Bojong Santi sama sekali tidak menyahut. Ia menyesal bahwa pertanyaannya agaknya telah mengungkat kepahitan perasaan Empu Purwa. Tetapi pertanyaan itu sudah terlanjur diucapkan.

“Tuan,“ berkata Empu Purwa kemudian, “pertanyaanya adalah pertanyaan yang wajar. Kadang-kadang aku sendiri bertanya demikian. Kenapa aku tidak langsung menemui anakku yang mungkin sangat mengharap hal itu terjadi.”

Panji Bojong Santi hanya menganggukkan kepalanya saja. Tetapi ia sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun.

“Tetapi aku tidak dapat melakukannya,“ berkata Empu Purwa seterusnya, “meskipun sebenarnya keinginan yang demikian melonjak-lonjak pula di dalam dadaku.”

Empu Purwa terdiam sesaat, sehingga suasana menjadi sepi hening. Dikejauhan lamat-lamat terdengar suara burung ekak menusuk-nusuk telinga dengan suaranya yang parau menyakitkan.

“Tuan,“ berkata Empu Purwa kemudian, “betapa rinduku kepada puteriku, namun betapa kecewanya aku terhadapnya. Sejak anak itu hilang, aku sudah tidak mengharap dapat bertemu lagi. Aku tidak mau kehilangan, tetapi apakah aku harus melawan Akuwu Tunggul Ametung? Bukan karena Tunggul Ametung mempunyai kesaktian tanpa batas, tetapi ia adalah pemimpin pemerintahan. Perlawananku akan dapat menimbulkan malapetaka bagi Tumapel. Tiba-tiba aku mendengar kemudian, bahwa anak itu telah menjadi seorang bakal Permaisuri. Alangkah kecewanya hatiku. Tetapi aku tidak ingin mengecewakan hati puteriku. Kalau telah berkenan di hatinya, biarlah ia menemukan kebahagiaan. Tetapi kekecewaanku terhadap tingkah laku Tunggul Ametung yang melindungi Kuda Sempana mengambil anakku, tidak akan dapat terhapus dari dinding hatiku. Karena itu, lebih baik aku tidak bertemu lagi dengan puteriku. Biarlah ia menemukan kebahagiaan yang dikehendakinya, aku adalah orang tua. Hari depannya masih jauh lebih panjang dari hari depanku.”

Bojong Santi tidak berkata sepatah katapun. Ia dapat merasakan betapa pedih hati orang tua itu. Ia dihadapkan kepada keadaan yang serba salah. Betapa rindunya orang tua itu kepada puterinya, tetapi betapa kecewanya ia menghadapi perkembangan keadaan puterinya itu. Mungkin ia dapat melepaskan perasaan rindunya dengan menemui gadis itu, memeluknya seperti masa-masa lampau sambil menghibur dan membesarkan hati gadis itu. Tetapi apabila disadarinya bahwa di sisi gadis itu kelak akan berdiri Tunggul Ametung, maka dadanya pasti segera akan menyala kembali.

Sesaat kedua orang tua itu saling berdiam diri. Dibiarkannya angin malam membelai tubuh-tubuh yang sudah mulai dihiasi lengan keriput-keriput kulit. Betapa mereka sakti tiada tandingnya, namun mereka tidak dapat melawan kekuasaan tangan Penciptanya. Mereka tidak akan mampu melawan umur mereka sendiri yang semakin lama menjadi semakin tua. Meskipun mereka mampu bertempur melawan setiap orang sakti, namun mereka tidak bisa melawan kekuasaan maut yang semakin tua menjadi semakin dekat.

Empu Purwa pun menyadari hal itu pula. Apabila orang tua itu sedang merenungi kepahitan hidupnya, maka kelak ia kembali kepada Sumber hidup itu sendiri. Dicarinya ketenteraman dan hiburan yang sejati. Sehingga dengan demikian, maka hatinya pun menjadi mengendap. Ia tidak lagi bernafsu membiarkan dirinya dikuasai oleh kemarahan dan kekecewaan. Sehingga dengan demikian, kemudian ia dapat menempatkan kepentingan anaknya yang masih muda itu di atas kepentingannya sendiri.

Tetapi sebagai manusia, Empu Purwa adalah manusia perasa. Manusia yang kadang-kadang hanyut dilanda perasaannya sendiri. Perasaan yang tersinggung oleh sentuhan-sentuhan yang kadang-kadang dapat menggoncangkan keseimbangan berpikir. Empu Purwa pun menyadari pula. Ia menyesal bahwa karena goncangan perasaan, ia telah mengutuk orang-orang Panawijen, bahkan memecahkan bendungannya pula.

Ia kini menyesal bahwa ia mengutuk setiap orang yang turut melarikan anaknya, bahwa mereka akan mati dengan keris. Tetapi semuanya telah terjadi. Dan orang tua itu tidak mau terjadi pula peristiwa-peristiwa serupa. Karena itu, lebih baik ia tidak bertemu dengan puterinya, supaya ia tidak mengalami goncangan perasaan, dan berbuat diluar keseimbangan berpikir.

Malam yang sunyi itu pun menjadi semakin malam. Di langit bintang-bintang yang gemerlapan seolah-olah ditaburkan di atas layar yang hitam legam. Suara-suara burung engkak yang parau sekali-sekali masih terdengar, menjerit-jerit.

Dalam kesunyian itu, kembali terdengar Empu Purwa berkata, “Aku lebih baik menemani tuan disini.”

Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa betapa dalam luka di hati Empu Purwa. Karena itu maka jawabnya kemudian, “Terima kasih tuan. Aku akan senang sekali apabila tuan bersedia menemani aku disini.”

“Bukankah kita tidak lagi mempunyai pekerjaan?” berkata Empu Purwa, “dan bukankah tuan berjanji kepada murid-murid tuan, bahwa tuan akan tetap berada disini.”

Bojong Santi menjawab, “Ya. Itulah sebabnya, aku bergembira bahwa tuan sudi menemani aku.”

Empu Purwa tersenyum. Tetapi senyumnya terasa hambar. Katanya kemudian, “Aku akan beristirahat. Mungkin tuan juga lelah setelah bermain kejar-kejaran dengan murid-murid Empu Sada.”

Panji Bojong Santi pun tersenyum. Jawabnya, “Ya. Aku juga ingin duduk.”

Keduanya kemudian duduk berhadapan di atas rumput-rumput kering. Namun sejenak mereka tidak berbicara apapun. Empu Purwa masih mencoba menenangkan perasaannya yang terasa mulai bergolak. Sedang Panji Bojong Santi mencoba memahami sepenuhnya semua kata-kata Empu Purwa.

“Bersukurlah aku, bahwa gadisku tidak mengalami banyak persoalan seperti gadis Empu Purwa,“ berkata Bojong Santi itu di dalam hatinya. Ia berdoa semoga anaknya kelak akan mendapatkan jalan yang baik, meskipun tidak usah menjadi seorang permaisuri Akuwu. Karena Panji Bojong Santi itu pun mempunyai seorang anak gadis pula, maka apa yang dirasakan Empu Purwa, seolah-olah dapat dirasakannya pula. Namun di samping itu, Panji Bojong Santi itu pun menyimpan perasaan iba terhadap Ken Dedes yang malang. Garis hidupnya seakan-akan selalu diliputi oleh duka dan derita. Mudah-mudahan, seperti Empu Purwa menginginkan, berbahagialah gadis itu kelak setelah ia menjadi seorang permaisuri.

Sejenak kemudian barulah mereka mulai berbicara kembali. Tetapi mereka sudah tidak membincangkan Ken Dedes lagi. Apa yang mereka percakapkan adalah soal-soal yang tidak berarti, menjelang hari-hari tua mereka. Tetapi akhirnya pembicaraan itu sampai pula kepada Empu Sada, yang akan mencoba mempergunakan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.

“Kasian Empu Sada,“ gumam Empu Purwa, “ia akan terjerumus ke dalam kesulitan yang besar.”

“Mudah-mudahan ia mengurungkan niatnya,“ sahut Panji Bojong Santi.

Kembali mereka berdiam sejenak. Kembali Bojong Santi mencoba merasakan perasaan Empu Purwa. Betapapun kekecewaan membakar hati seorang ayah, namun ternyata ia tidak sampai hati melihat anaknya mengalami bencana. Empu Purwa, meskipun tidak mau menemui gadisnya, namun ia berada hampir di segala tempat untuk mengawasi anaknya. demikianlah cinta orang tua terhadap anaknya, dan adakah demikian pula sebaliknya?

Dalam pada itu Witantra dan kedua saudara seperguruannya telah berada kembali diantara anak buahnya. Sidatta segera menanyakan apakah yang sebenarnya terjadi dengan Kuda Sempana. Sebelum Witantra menjawab, maka Kebo Ijo telah menyahut dengan lantangnya. Diceritakannya apa yang dilihatnya dan apa yang dialaminya. Lancar dan penuh tekanan, sehingga setiap orang menjadi sangat asyik mendengarnya. Tidak terkecuali Ken Dedes sendiri.

Gadis bakal permaisuri Akuwu Tunggul Ametung itu mendengarkan dengan hati yang berdebar-debar. Ia tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi dengan dirinya, apabila Kuda Sempana berhasil dengan rencananya. Mungkin ia telah mengambil keputusan untuk membunuh diri.

“Untunglah bahwa guru datang,“ berkata Kebo Ijo, “kalau tidak, kita semua pasti akan musnah dibakar oleh kemarahan Empu Sada.”

Yang mendengar ceritera itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka pun mengucapkan terima kasih di dalam hati mereka.

“Guruku adalah seorang yang bijaksana, yang dapat memperhitungkan apa yang kira-kira akan terjadi dengan kita di perjalanan ini,“ berkata Kebo Ijo pula. Dan setiap orang pun menjadi semakin kagum.

Tetapi dalam pada itu Witantra berkata, “Sudahlah Kebo Ijo jangan membual.”

“Bukankah sebenarnya demikian kakang,“ sahut Kebo Ijo, “langsung apa tidak langsung, bukankah guru kita yang telah menyelamatkan puteri? Guru berbuat demikian tanpa pamrih. Kita adalah prajurit-prajurit Tumapel. Adalah kuwajiban kita untuk mempertahankan tuan puteri, tetapi guru, sama sekali tidak mempunyai kepentingan apa-apa. Namun ia telah berbuat, dan bahkan menentukan.”

“Kau sendiri telah mengurangi nilai dari perbuatan guru kita Kebo Ijo,“ berkata Witantra.

“Kenapa?”

“Hanya orang-orang yang ingin menerima pujian, ingin menerima balas jasa sajalah yang dengan bangganya memamerkan jasa itu kepada orang lain,“ potong Mahendra, “apakah guru akan senang mendengar kau berceritera semacam itu?”

Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Wajahnya tiba-tiba menjadi murung, tetapi ia tidak berkata apapun lagi.

“Bukankah guru berkata, “Mahendra meneruskan, “bahwa seandainya guru tidak hadir, maka ada orang lain yang dapat berbuat serupa. Bahkan orang itu adalah ayah tuan puteri sendiri.”

“Mahendra,“ potong Witantra.

Mahendra terkejut mendengar suara kakak seperguruannya. Sesaat ia tidak mengerti maksud kakaknya, kenapa ia memotong kata-katanya. Tetapi kemudian disadarinya, bahwa ia telah terdorong menyebut ayah Ken Dedes, sedangkan orang tua itu sengaja tidak mau menunjukkan dirinya. Meskipun Witantra dan Mahendra tidak tahu sebabnya, kenapa orang tua itu tidak hadir di perkemahan ini, namun pastilah ada sesuatu sebab, kenapa orang tua itu lebih baik bersembunyi di belakang rumpun-rumpun liar.

Tetapi segera Mahendra terkejut ketika didengarnya suara Ken Dedes dengan serta merta, “Mahendra, apakah kau bertemu dengan ayah?”

Mahendra memandang Ken Dedes sesaat. Hanya sesaat, kemudian ia menundukkan wajahnya. Hatinya menjadi berdebar-debar. Bukan saja karena pertanyaan Ken Dedes itu, tetapi sesaat ia melihat wajah yang pernah menggoncangkan hatinya itu, maka jantungnya seakan-akan semakin cepat berdenyut. Sementara itu, yang menjawab adalah Witantra,

“Tidak tuan puteri. Kami tidak bertemu dengan ayah tuan puteri. Kami hanya membayangkan dan menduga, bahwa ayah tuan puteri tidak akan sampai hati apabila bencana menimpa diri tuan puteri.”

“Kakang Witantra,“ berkata Ken Dedes kemudian, “berkatalah sebenarnya.”

“Hamba berkata sebenarnya tuan puteri,“ sahut Witantra sambil membungkukkan kepalanya dalam-dalam, “guru hambalah yang berkata kepada kami bertiga, bahwa kemungkinan besar adalah ayah tuan puteri akan selalu membayangi kemana tuan puteri pergi. Namun itu hanyalah dugaan semata-mata.”

Ken Dedes mengerutkan keningnya. Wajahnya yang pucat karena peristiwa yang mendebarkan jantung itu kini menjadi semakin suram, perlahan-lahan gadis itu duduk di sisi tandunya. Sesaat ia memandangi api yang masih menyala, namun kemudian tiba-tiba ia menundukkan kepalanya dan mengusap matanya dengan selendangnya. Hati Ken Dedes itu tiba-tiba serasa tersayat ketika ia mengenangkan keadaan ayahnya dibandingkan dengan keadaannya sendiri, “Apakah ayah bergembira melihat keadaanku?” katanya di dalam hati, “atau ayah kini telah membenciku?”

Perkemahan itu kini menjadi sunyi senyap. Mahendra yang menundukkan wajahnya, mencoba untuk menguasai perasaannya. Ia tidak mau menjadi gila seperti Kuda Sempana. Ketika sekali ia memandang Ken Dedes dengan sudut matanya, ia terkejut. Gadis itu menangis meskipun ditahannya. Mahendra menyesal bukan kepalang. Perkataannyalah yang telah menuntun gadis itu ke dalam suatu kenangan yang pahit. Ia kehilangan ayahnya.

Tak seorang pun yang kemudian berbicara diantara mereka. Para prajurit itu pun kemudian beristirahat didekat perapian, berkelompok-kelompok. Beberapa orang telah menyingkirkan beberapa korban dari orang-orang Empu Sada. Seorang dari mereka yang terluka, telah dicoba oleh para prajurit Tumapel untuk mengobatinya dengan reramuan yang memang telah tersedia. Namun karena lukanya terlampau parah, maka orang itu pun tidak tertolong pula. Tiga orang yang terbunuh dalam pertempuran itu. Sedang dua orang prajurit Tumapel mendapat luka-luka. Tetapi untunglah bahwa luka itu tidak terlampau parah sehingga keadaan mereka tidak berbahaya.

Semalam itu hampir tak seorang pun yang dapat memejamkan matanya. Meskipun Ken Dedes berusaha sambil bersandar pada sisi tandunya, namun semua yang pernah terjadi seakan-akan selalu membayang. Bahkan menjadi sedemikian jelasnya, sehingga terasa seolah-olah baru siang tadi terjadi. berturut-turut sehingga saat yang terakhir, yang baru saja terjadi. Kuda Sempana baginya benar-benar seperti hantu yang selalu menakut-nakutinya kemana ia pergi dan dimana saja ia berada. Tetapi Witantra sendiri saat itu dapat beristirahat dengan tenangnya meskipun tidak juga sempat tertidur. Ia tahu benar bahwa gurunya berada tidak terlampau jauh dari padanya, bahkan ia pun percaya bahwa ayah gadis itu pun berada di sana pula.

Meskipun demikian, perasaan Witantra masih juga diganggu oleh pembicaraan antara gurunya dengan Empu Sada. Gurunya telah menyebut-nyebut nama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Witantra pernah mendengar nama-nama itu disebut gurunya sebelumnya sebagai nama-nama yang telah dilumuri oleh noda-noda hitam. Jauh lebih kotor dari nama Empu Sada. Tetapi Witantra belum pernah mendengar, apa yang pernah dilakukan oleh orang-orang itu.

Tidak bedanya dengan Witantra, Mahendra pun selalu digelisahkan oleh nama-nama yang belum banyak dikenalnya itu. ketika ia mendengar nama itu dipercakapkan oleh Empu Sada dan Empu Gandring, ia tidak begitu menghiraukannya. Tetapi gurunya telah menyebut nama itu pula. Bahkan ketika ia menceriterakan nama-nama itu kepada gurunya, tampak kerut-kerut kening orang tua itu.

Disebelah lain, Kebo Ijo berbaring diatas rerumputan kering. Ia sama sekali tidak memikirkan apa yang akan dilakukan Empu Sada kemudian. Ia sama sekali tidak mempedulikan nama-nama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Anak muda itu sedang mengenangkan apa yang telah terjadi. Bahkan tiba-tiba bulu-bulu tengkuknya berdiri. Apakah jadinya seandainya gurunya tidak datang menolong mereka?”

“Hem,“ desahnya di dalam hati, “hampir aku menjadi daging. Alangkah kecewanya bakal isteriku nanti. Ayah dan ibunya pasti menjadi pingsan. Mereka urung mendapat seorang menantu seperti aku. Seorang prajurit pengawal Akuwu Tumapel.

Kebo Ijo itu tersenyum sendiri. Diamatinya bayangan nyala api yang bermain-main di dedaunan. Ketika angin menghembus tubuhnya disertai dengan suara gemerisik di sela-sela pepohonan, Kebo Ijo mencoba memejamkan matanya. Tetapi ia tidak berhasil. Yang bermain-main di rongga angan-angannya adalah, beberapa hari lagi ia menjadi seorang mempelai. Namun dengan demikian, ia selalu digelisahkan oleh kekhawatiran tentang dirinya. Katanya kemudian di dalam hatinya,

“Kalau aku harus bertempur kembali, sebaiknya kelak, apabila aku telah melampaui hari-hari perkawinan itu. Mudah-mudahan Empu Sada tidak mencegat perjalanan ini sekali lagi. Apalagi bersama-sama dengan orang-orang yang disebutnya bernama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.”

Berbeda dengan mereka. Sidatta dan para prajurit yang lain masih selalu dibayangi oleh kegelisahan. Mereka belum dapat memastikan bahwa bencana tidak akan kembali malam nanti. Meskipun Kebo Ijo telah mengatakan bahwa gurunya akan selalu mengawasi iring-iringan itu, namun hatinya masih juga dicemaskan oleh bayangan-bayangan yang selalu mendebarkan jantungnya. Sebagai seorang prajurit ia merasa bahwa seluruh pasukan itu bertanggung jawab atas keselamatan Ken Dedes.

Malam berjalan menurut iramanya yang ajeg. Sesaat demi sesaat, menjelang ujung hari berikutnya. Meskipun betapa lambatnya, namun pagi hari yang mereka tunggu itu pun pasti akan datang. Meskipun demikian, terasa bahwa tubuh-tubuh mereka menjadi sangat penat. Bukan karena mereka baru saja bertempur, justru karena mereka harus menunggu. menunggu bagi mereka adalah pekerjaan yang menjemukan. Mereka tidak dapat berjalan dimalam yang gelap. Akibatnya akan lebih berbahaya. Di belakang dedaunan dan di belakang pepohonan, mungkin bersembunyi bahaya yang telah siap menerkam mereka.

Namun akhirnya langit pun menjadi semburat merah. Bintang-bintang semakin lama menjadi semakin kabur, satu demi satu bersembunyi di balik cahaya yang semakin cerah di langit. Demikian cahaya fajar menyentuh hutan itu, maka segera Witantra mempersiapkan diri beserta seluruh iring-iringan. Setelah mereka mengemasi semua perlengkapan dan membenahi diri, maka segera iring-iringan itu berangkat meninggalkan hutan. perlahan-lahan mereka maju menyusup diantara pepohonan dan akar-akar yang bergayutan dari cabang-cabang pohon yang besar.

Sekali-sekali Witantra yang kemudian berjalan dialling depan bersama Sidatta, mencoba memperhatikan keadaan di sekitarnya. Bahkan sekali-sekali Witantra mencoba mengetahui, apakah gurunya ikut juga berangkat ke Panawijen meskipun tidak berada di dalam rombongan itu. Meskipun kemudian mereka berjalan dalam limpahan cahaya matahari, namun bahaya masih juga dapat datang setiap saat. Empu Sada mungkin akan menganggap bahwa di siang hari mereka akan dapat lebih berhasil dari pada di malam hari. Mungkin mereka telah berhasil menghubungi Kebo Sindet dan Wong Sarimpat untuk kemudian mereka datang bersama-sama untuk menebus kekalahan semalam.

Tetapi ternyata mereka tidak lagi bertemu dengan Empu Sada. Hutan itu pun semakin lama menjadi semakin tipis. Perjalanan mereka sebenarnya termasuk perjalanan yang sulit. Namun daerah yang paling pepat telah mereka lampaui. Bahkan sekali-sekali mereka sempat melihat binatang-binatang buruan yang berlari-lari ketakutan melihat barisan itu menerobos sarang-sarang mereka. Apabila mereka nanti meninggalkan hutan itu, mereka masih juga harus melewati padang Karautan, meskipun tidak terlampau panjang. Mereka akan melewati desa Talrampak untuk kemudian sampai pada sebuah bulak panjang. Bulak itulah bulak yang terakhir harus mereka lalui. Di ujung bulak itulah terletak pedukuhan Panawijen.

Ken Dedes yang duduk diatas tandu, merasa betapa penatnya pula. Tandu itu bergetar apabila para pengusungnya harus meloncati batang-batang yang roboh melintang perjalanan. Kadang-kadang bergoyang demikian kerasnya apabila mereka harus menyusup dan kemudian mendaki batu-batu padas. Bahkan sekali-sekali kepala gadis itu terpaksa terantuk pada tiang-tiang tandunya sehingga terdengar ia memekik kecil.

Kebo Ijo, yang kadang-kadang mendengar pula pekik itu tersenyum di dalam hati. Kadang-kadang bahkan ia mengumpat, “Anak itu seolah kurang saja yang dikerjakan. Kenapa ia ingin menempuh perjalanan yang sesulit ini.” Namun lepas dari bahaya yang datang dari Empu Sada, berjalan lewat hutan ini agak lebih baik dari pada apabila mereka dibakar terik matahari dipadang Karautan. Kini, padang yang harus mereka lewati hanyalah beberapa tonggak saja. Sebelum matahari naik terlampau tinggi, mereka pasti sudah meninggalkan padang itu sampai di sebuah padang perdu yang agak dingin. Seterusnya mereka akan memasuki daerah persawahan dari pedukuhan Talrampak.

Ketika iring-iringan itu lewat daerah padukuhan Talrampak, maka seperti dihisap oleh sebuah tenaga gaib, seluruh penduduk padukuhan kecil itu, keluar dari rumah-rumah mereka. Dengan kagumnya mereka melihat iring-iringan itu. Iring-iringan yang belum pernah dilihatnya. Hanya satu dua orang tua-tua yang pernah mengunjungi Tumapel berkata, “Aku dahulu pernah melihat pula di Tumapel. Tetapi sudah terlalu lama.”

“Tetapi waktu itu iring-iringan yang megah semacam ini tidak pernah keluar dari dinding kota,“ sahut orang tua yang lain.

Orang pertama menganggukkan kepalanya sambil menyahut, “Ya. Iring-iringan itu hanya berkeliling kota.”

Kemudian tak seorang pun yang dapat memberi penjelasan, kenapa kali ini iring-iringan yang megah dikawal oleh prajurit-prajurit yang perkasa lewat dekat dengan padukuhan mereka. Ketika orang-orang Talrampak melihat iring-iringan itu memasuki jalan di tengah-tengah bulak, maka segera mereka tahu bahwa iring-iringan itu akan menuju ke Panawijen.

“Mereka pergi ke Panawijen,“ berkata salah seorang dari mereka.

Yang lain mengangguk. Katanya, “Apakah iring-iringan itu datang dari Tumapel untuk melihat keadaan Panawijen sekarang?”

Tetapi iring-iringan itu seakan-akan tidak mempedulikannya. Iring-iringan itu berjalan terus dalam irama yang tetap. Langkah para prajurit masih juga berderap dengan gagahnya. Satu dua ekor kuda yang turut dalam barisan itu pun kadang-kadang terdengar meringkik. Ken Dedes yang sudah cukup lama tidak melihat kampung halamannya, semakin dekat dengan Panawijen, terasa justru semakin rindu. Seakan-akan ia ingin meloncat mendahului iring-iringan yang dirasanya terlampau lambat. Namun ia berada diatas tandu, sehingga ia tidak akan dapat mempercepat perjalanan menurut kehendaknya.

Kini iring-iringan itu sudah memasuki sebuah bulak yang panjang. Bulak terakhir yang harus mereka lalui, di sana-sini masih terbentang lapangan-lapangan rumput dan perdu yang belum diusahakan tangan. Sawah-sawah dari padukuhan Talrampak ternyata tidak terlampau luas. Kemampuan penduduknya untuk menggarap sawah sangat terbatas. Namun Ken Dedes tahu, bahwa di sebelah yang lain, akan terbentanglah sawah-sawah yang subur, pategalan yang hijau segar dan kemudian padukuhan yang aman damai. Tetapi gadis itu mengeluh di dalam hatinya. Padukuhan yang damai itu pernah digoncangkan oleh peristiwa yang mengerikan. Peristiwa yang berkisar pada dirinya.

“Mudah-mudahan Panawijen tidak kehilangan sifat-sifatnya,“ desahnya di dalam hati.

Matahari yang beredar di langit semakin lama menjadi semakin tinggi, dan iring-iringan itu pun menjadi semakin mendekati Panawijen. Lapangan-lapangan rumput dan perdu itu pun semakin lama menjadi semakin tipis. Beberapa tonggak lagi, mereka akan sampai ke daerah garapan orang-orang Panawijen. Tegalan dan sawah-sawah yang mendapat saluran air yang dibuat oleh orang-orang Panawijen. Sawah-sawah yang lebih subur dan baik dari pada sawah dan tegalan orang-orang Talrampak.

Tetapi semakin lama mereka berjalan, timbullah berbagai pertanyaan di hati Ken Dedes. Lapangan rumput itu pun semakin lama menjadi semakin tipis dan kering. Gerumbul-gerumbul perdu liar yang rimbun yang hijau semakin lama menjadi semakin jarang.

“Apakah orang-orang Panawijen kini mampu untuk mencoba menjadikan daerah ini sebuah tegalan,“ berkata Ken Dedes di dalam hatinya, “apakah orang-orang Panawijen sudah mencoba merambas pepohonan liar di lapangan perdu ini?”

Tetapi Ken Dedes tidak segera dapat menjawab. Namun yang dilihatnya kemudian adalah sebuah lapangan yang kering. Hati Ken Dedes menjadi berdebar-debar. Jauh-jauh ia memandang ke depan, tetapi ia belum melihat warna-warna hijau segar yang dirindukan. Bahkan yang terbentang dihadapannya seolah-olah padang rumput Karautan yang kering. Ken Dedes menjadi gelisah. Apakah jalan yang ditempuhnya ini keliru? Tidak mungkin. Ia adalah seorang gadis Panawijen. Witantra, Mahendra dan beberapa prajurit Tumapel yang lain pasti mengenal Panawijen pula. Namun apa yang dilihatnya benar-benar bukan yang diangan-angankannya.

Gadis itu melihat Witantra kini berjalan kaki saja di ujung barisannya. Di sampingnya berjalan Sidatta. Di belakang tandu Ken Dedes beberapa orang pemanggul tandunya berjalan berurutan untuk saling berganti. Dan di belakang lagi, para prajurit berjalan dengan tegapnya. Di sisi tandu itu masih berkibar panji-panji kebesaran dipanggul oleh para prajurit pula, tersangkut pada tunggul-tunggul yang megah, dengan landean kayu berlian.

Tetapi ternyata bukan saja Ken Dedes yang menjadi heran melihat alam yang terbentang dihadapannya. Witantra yang berjalan di ujung barisan itu pun menjadi ragu-ragu. Tetapi ia tidak segera melihat, apakah yang tampak lain dari pada masa-masa sebelumnya. Yang segera dilihat oleh Witantra adalah tanah yang kering di sisi-sisi jalan. Debu yang berhamburan dan panas matahari yang menjadi semakin terik.

“Kenapa parit-parit itu tidak disalurkan kemari,“ katanya di dalam hati, “apabila demikian, maka tanah ini akan dapat dijadikan tanah persawahan pula.“ Namun segera dijawabnya sendiri, “Agaknya tanah masih berlebihan disini. Tanah ini mungkin merupakan tanah cadangan. Baik orang Talrampak maupun orang-orang Panawijen tidak cukup tenaga untuk merubah tanah ini menjadi tanah yang ditanami.”

Tetapi semakin jauh mereka berjalan, tanah di sekitar itu pun masih tetap tanah yang kering berdebu. Di langit matahari merayap semakin tinggi. Meskipun masih belum terlampau siang, namun terasa panasnya bukan main. Meskipun mereka tidak berjalan di tengah-tengah padang rumput Karautan, tetapi sinar matahari terasa menyengat tubuh mereka. Angin yang kering terasa mengusap wajah yang berkeringat, memberikan sedikit kesejukan. Tetapi kembali terasa panas matahari, seperti membakar kulit. Ken Dedes semakin lama menjadi semakin berdebar-debar. Satu-satu dilihatnya juga pepohonan yang masih hijau. Namun seolah betapa lesunya. Daunnya menunduk rendah tanpa pucuk-pucuk baru di ujung-ujung rantingnya.

Tetapi iring-iringan itu berjalan terus. Panji-panji kebesaran Tumapel berkibar dengan megahnya. Beberapa umbul-umbul dan rontek berkibaran pula di sekitar tandu gadis Panawijen. Namun rumput-rumput kering dan pohon-pohon perdu yang layu, sama sekali tidak tertarik untuk menatap kemegahan itu. Seandainya mereka dapat berbisik, maka akan terdengarlah bisikan sayu, “Air, air.”

Meskipun rerumputan dan pepohonan itu tidak meneriakkannya, tetapi apa yang tampak oleh mata Ken Dedes dan para prajurit Tumapel itu ada ungkapan dari jerit tumbuh-tumbuhan itu. Dan hati Ken Dedes pun menjerit pula, “Kenapa daerah ini menjadi kering kerontang?”

Dikejauhan Ken Dedes melihat lamat-lamat sebuah padesan yang hijau. Ya. Ia masih melihat warna itu. Hijau. Dan padesan itu adalah Panawijen. Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Mudah-mudahan penglihatannya bukan sekedar sebuah khayalan. Karena itu, maka kepada seorang prajurit yang berjalan di sisinya. Ken Dedes minta untuk memanggil Panglima dari pasukan pengawalnya.

Dengan tergesa-gesa Witantra berjalan menyongsong barisannya mendekati tandu Ken Dedes. Kemudian dengan hormatnya ia bertanya, “Apakah perintah tuan puteri?”

Meskipun sudah berpuluh bahkan beratus kali Ken Dedes mendengar sebutan yang diberikan kepadanya oleh Akuwu Tunggul Ametung, namun kadang-kadang masih terdengar aneh di telinganya. Apalagi kini ia berada dekat dari desanya. Sehingga sebutan tuan puteri itu pun menjadi semakin janggal. Ia tidak ingin sebutan itu, tetapi ia tidak berani melawan kehendak Akuwu Tunggul Ametung.

“Kakang,“ berkata Ken Dedes itu kemudian, “aku menjadi sangat bimbang atas penglihatanku. Bukankah kita telah hampir sampai ke Panawijen?”

Witantra menganggukkan kepalanya, “Hamba tuan puteri.”

“Bukankah yang tampak itu padukukan Panawijen?”

“Kalau hamba tidak salah tuan puteri.”

“Bukankah kau pernah mengunjungi Panawijen?”

“Hamba tuan puteri.”

“Seharusnya kau tahu pasti, apakah itu Panawijen?”

“Tuan puteri adalah gadis Panawijen sejak kecil. Agaknya tuan puteri menjadi ragu-ragu pula atas daerah ini.”

Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun dengan demikian ia mendapat kesimpulan bahwa bukan saja dirinya yang menjadi bimbang atas pengamatannya, tetapi juga Witantra. Sejenak Ken Dedes berdiam diri. Tetapi ia tidak dapat menahan diri. Sehingga kembali ia bertanya, “Kakang Witantra, penglihatan atas daerah ini sangat mencemaskan sekali.”

Witantra tidak menjawab. Tetapi hatinya mengiakannya. Bahkan ia menambahkan di dalam hatinya, “Daerah ini seperti hutan yang terbakar.”

Karena Witantra tidak segera menjawab, kembali Ken Dedes berkata, “Kakang, bagaimana menurut pendapatmu. Seharusnya sebelum kita sampai ke Panawijen yang sudah tampak itu, kita melalui suatu bulak persawahan yang panjang dan subur. Tetapi yang kita lihat adalah sebuah lapangan yang kering.”

Witantra menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Tuan puteri, aku pun menjadi sangat cemas melihat keadaan daerah ini.”

Tiba-tiba teringatlah Ken Dedes kepada embannya. Embannya itu tidak bersedia mengikutinya ke Panawijen. Apakah karena emban itu tidak akan tahan melihat keadaan ini setelah ia menyaksikannya beberapa hari yang lalu, pada saat ia menjemput Mahisa Agni. Tetapi kenapa emban tua itu sama sekali tidak mengatakan kepadanya tentang kampung halamannya.

Tetapi hari Ken Dedes masih cukup tenang ketika semakin lama Panawijen menjadi semakin jelas. Warna-warna hijau yang memancar dari padukuhan itu telah menenteramkan hatinya. Meskipun ia tidak lagi melihat batang-batang padi yang hijau subur, serta tidak lagi melihat air yang tergenang melimpah-limpah dan mengalir di parit-parit, namun Panawijen masih hijau seperti Panawijen pada saat ditinggalkannya. Yang ada di sawah-sawah kini hanyalah tanaman palawija. Tanaman-tanaman itu pun tampak betapa hausnya. Daun-daunnya yang kecil dan kekuning-kuningan. Batangnya yang kerdil dan tanah yang berbongkah-bongkah seperti akan pecah.

Ken Dedes menjadi semakin ingin lebih cepat sampai. Tetapi ia harus menahan dirinya. Ia harus bersikap tenang. Kini ia menjadi pusat perhatian setiap prajurit Tumapel. Ia tidak lagi dapat berbuat menuruti luapan-luapan perasaannya. Seandainya Ken Dedes yang duduk di dalam tandu itu adalah Ken Dedes yang masih tinggal di Panawijen beberapa waktu yang lalu, maka gadis itu pasti akan meloncat dan berlari mendahului. Tetapi Ken Dedes yang sekarang tidak berbuat demikian. Betapa perasaannya menjadi berdebar-debar, namun ia duduk saja di dalam tandunya.

Yang mendebarkan hati Ken Dedes bukan saja Panawijen yang lain dari Panawijen yang ditinggalkan, tetapi apakah nanti yang akan dikatakannya kepada kakak angkatnya? Apakah yang akan diucapkannya dan bagaimanakah kira-kira tanggapan kakak angkatnya itu? Ken Dedes sama sekali tidak berpikir tentang gadis-gadis kawan-kawannya bermain. Juga tidak tentang tetangganya. Apapun yang akan dikatakan oleh mereka. Tetapi bagaimana dengan Mahisa Agni?

Semakin dekat dengan padukuhan Panawijen hati Ken Dedes menjadi semakin berdebar-debar. Debu yang putih menghambur dari belakang kaki-kaki para prajurit Tumapel mengepul di bawa angin yang lemah. Kampung halaman, tempat Ken Dedes dibesarkan, tempat gadis itu bermain-main setiap hari, kini terasa sangat asing baginya.

Sejenak ia mereka-reka, bagaimana ia harus bersikap. Bagaimana ia harus meyakinkan Mahisa Agni, bahwa ia tidak dapat berbuat lain dari pada menerima kesempatan yang datang. Bagaimana ia akan mengatakan, bahwa Mahisa Agni tidak perlu merasa tersinggung, bahwa ia menerima Akuwu Tunggul Ametung sebelum minta ijinnya karena keadaan yang hampir tak dapat dikuasainya. Bukankah kemudian Akuwu telah ingin mendapat kesempatan menemuinya untuk menjelaskan persoalannya dan memenuhi adat tata cara?

Tetapi angan-angan Ken Dedes selalu saja diganggu oleh panasnya udara, teriknya matahari dan parit-parit yang kering. Bahkan sampai beberapa tonggak di muka padukuhan Panawijen, sawah-sawahnya juga sama sekali tidak berair. Tidak ada batang-batang padi yang hijau, tidak ada tanam-tanaman yang subur. Witantra masih juga berjalan di samping tandu Ken Dedes. Namun hatinya juga selalu dililiti oleh berbagai pertanyaan tentang Panawijen yang kering.

Padukuhan dihadapannya masih nampak hijau gelap. Pepohonan masih juga berdaun rimbun. Tetapi semakin dekat mereka dengan padukuhan itu, semakin jelas bagi mereka, bahwa diantara daun-daun yang hijau itu, bertebaranlah daun-daun yang mulai mengering. Dengan dada yang berdebar-debar maka iring-iringan itu kini telah mendekati Panawijen. Beberapa ratus langkah lagi mereka akan menginjakkan kaki-kaki mereka, diatas jalan induk padukuhan yang terasa sangat asing itu.

Beberapa orang anak-anak yang sedang bermain-main, telah melihat iringan yang hampir memasuki desa mereka. Dengan tergesa-gesa anak itu berlarian, berteriak-teriak memanggil ibu-ibu mereka. Tetapi sebagian dari mereka menjadi ketakutan. Mereka masih ingat beberapa waktu yang lampau, ketika beberapa ekor kuda membawa Kuda Sempana datang ke pedukuhan itu untuk merampas seorang gadis puteri Empu Purwa.

Tetapi beberapa orang tua-tua melihat bahwa iringan itu bukanlah iring-iringan orang berkuda. Bahkan mereka melihat, di dalam iring-iringan itu terdapat sebuah tandu. Karena itu maka orang-orang tua mencoba membicarakan diantara mereka, apakah sebenarnya yang mereka saksikan itu.

“Panji itu adalah panji-panji kebesaran Tumapel,“ berkata salah seorang yang berambut putih seperti kapas.

Di sampingnya, seorang laki-laki kurus yang berjanggut panjang dan telah memutih pula menyahut, “Ya. Hanya Akuwu lah yang berhak mendapat kehormatan dengan rontek, umbul-umbul dan Panji kebesaran itu.”

“Apakah Akuwu akan datang sekali lagi ke padukuhan ini seperti pada saat Akuwu itu merampas Ken Dedes, puteri Empu Purwa,“ desis laki-laki yang pertama.

Laki-laki berjanggut putih menggelengkan kepalanya. Katanya, “Akuwu yang sekarang tidak akan telaten bepergian sejauh ini dengan naik tandu. Kalau yang datang itu Akuwu Tunggul Ametung, maka Akuwu itu pasti naik kuda.”

“Kalau begitu siapakah yang datang? Tanda-tanda itu mengatakan bahwa di dalam tandu itu adalah Akuwu, atau ayah bundanya. Tetapi ayah bundanya sudah tidak ada. Mungkin pula permaisurinya. Tetapi Akuwu belum berpermaisuri.”

Keduanya kemudian berdiam diri. Anak-anak sudah berlari-lari bersembunyi ke dalam rumah masing-masing. Tetapi kedua orang tua itu mendapat firasat yang lain. Iring-iringan itu sama sekali tidak mencemaskan mereka. Karena itu maka kepada seorang perempuan yang mengintip dari balik pagar batu halamannya ia berkata, “Tidak apa-apa. Keluarlah, dan sambutlah iring-iringan itu. Mungkin sesuatu yang akan mendatangkan kebaikan bagi padukuhan kita ini.”

Perempuan itu menjadi ragu-ragu. Tetapi orang tua itu menjelaskan, “Kalau mereka ingin berbuat jahat, mereka tidak akan membawa tandu itu. Mereka pasti datang berkuda dengan pedang terhunus.”

Tetapi perempuan itu tidak mau keluar seorang diri. Segera ia berlari ke rumah tetangganya. Ajakannya itu pun kemudian tertebar dari pintu ke pintu, sehingga beberapa orang, walaupun dengan ragu-ragu, keluar dari rumah-rumah mereka, berdiri di tepi-tepi jalan menyambut kedatangan iring-iringan itu.

Iring-iringan itu pun semakin lama menjadi semakin dekat. Laki-laki tua dan perempuan berdiri berjajar di mulut pedukuhan. Semakin lama semakin banyak. Ketika biyung-biyung mereka berani melihat iring-iringan itu, maka anak-anak pun bermunculan pula, meskipun mereka tidak berani terlampau dekat dengan orang tua mereka.

Ken Dedes melihat beberapa orang di mulut lorong padukuhannya. Semakin lama semakin jelas. Ia melihat dua orang tua yang pernah dikenalnya. Di dekatnya adalah perempuan-perempuan dan agak kebelakang beberapa anak-anak kecil dengan ragu-ragu berdiri di regol-regol halaman rumah. Tetapi sekali lagi Ken Dedes menjadi heran. Ia tidak melihat anak-anak muda yang biasanya berkeliaran di sawah-sawah dan tegalan. Hati Ken Dedes menjadi semakin gelisah. Panawijen benar-benar terasa asing baginya.

Ketika iring-iringan itu menjadi semakin dekat, maka orang-orang itu pun menepi, memberi kesempatan yang sebaiknya. Mereka menyangka bahwa iring-iringan itu pasti akan langsung menuju ke rumah Ki Buyut Panawijen, atau hanya sekedar lewat di padukuhan ini untuk tujuan yang lebih jauh. Ketika ujung dari iring-iringan itu hampir menginjakkan kakinya di padesan itu, maka orang-orang Panawijen segera membungkuk dalam-dalam. Mereka mencoba menghormat orang-orang besar dari Tumapel yang datang dalam sikap kebesaran.

Sidatta yang berjalan di ujung iring-iringan itu menganggukkan kepalanya pula. Namun segera ia berhenti dan berpaling ke arah Witantra. Ia belum tahu kemana iring-iringan itu harus dibawa. Witantra menangkap pertanyaan itu, tetapi karena ia sendiri belum mendapat perintah, maka segera ia bertanya, “Kemana kita akan pergi tuan puteri. Apakah kita akan pergi ke padepokan ayahanda tuan puteri?”

Ken Dedes mengangguk, jawabnya, “Ya kakang. Aku akan terus langsung menemui kakang Mahisa Agni.”

Kini Witantra segera maju mendampingi Sidatta. Ia telah mengenal jalan, menuju ke padepokan di ujung desa Panawijen. Ketika iring-iringan itu kemudian masuk ke dalam padukuhan dan orang-orang yang berdiri di pinggir jalan itu melihat tandu diantara derap para prajurit menjadi semakin dekat, maka hati mereka pun tiba-tiba berdesir. Darah mereka serasa akan berhenti mengalir ketika mereka melihat siapakah yang duduk di dalam tandu itu.

Tiba-tiba seorang perempuan tua berdesis, “Apakah aku bermimpi?”

Perempuan lain yang berdiri di sampingnya mengusap matanya sambil bergumam, “Kita semuanya sedang bermimpi. Arak-arakan ini hanya dapat terjadi di dalam mimpi.”

Seorang perempuan yang lebih tua lagi mencubit perempuan yang mengusap matanya itu. Ketika yang dicubit berjingkat, maka katanya, “Kau tidak bermimpi. Kalau kau merasakan sentuhan orang lain maka kau tidak sedang tidur.”

Tandu itu menjadi kian dekat. Iringan rontek dan umbul-umbul telah melewati mulut jalan, kini sebuah panji-panji berkibar dihembus angin. Kemudian beberapa orang prajurit di sisi jalan, dan diantara mereka adalah tandu itu. Tandu yang sangat bagus dan berukir. Di dalamnya duduk seorang gadis muda yang cantik seperti patung terindah di candi-candi. Kulitnya yang kuning sekuning temugiring, dengan pakaian kebesaran yang berwarna cemerlang, seperti golek yang diwarnai oleh juru sungging yang sempurna.

Tetapi bukan kecantikan gadis itu yang telah mempesona mereka, bukan pakaiannya yang cemerlang dan bukan keperkasaan para prajurit Tumapel yang memandu panji-panji, tetapi yang telah mencengkam jantung mereka adalah, bahwa wajah gadis itu pernah dilihatnya. Gadis itu adalah gadis yang pernah menjadi buah bibir rakyat Panawijen. Gadis yang pernah meruntuhkan air mata dari setiap mata perempuan Panawijen.

Seorang perempuan yang sudah ubanan berdiri dengan mulut ternganga memandangi gadis di dalam tandu itu. Bahkan dengan serta merta terloncat dari sela-sela bibirnya, “Ken Dedes, adakah kau Ken Dedes puteri Empu Purwa.”

Ken Dedes yang duduk di dalam tandu itu pun tergetar dadanya. Dijulurkannya kepalanya sambil menjawab terbata-bata, “Ya bibi. Aku Ken Dedes.”

Perempuan-perempuan itu pun seakan-akan menjadi terpaku diam. Hati mereka benar-benar bergelora, dan jantung mereka berdegupan semakin keras. Tetapi iring-iringan itu berjalan terus. Ken Dedes hanya dapat menjulurkan sebagian dari badannya dan melambaikan tangannya. Ia sebenarnya ingin meloncat turun dan memeluk perempuan-perempuan yang telah dikenalnya dengan baik itu. Tetapi ia menjadi ragu-ragu. Apakah hal itu tidak akan di anggap menyalahi kedudukannya?

Ken Dedes sendiri sebenarnya tidak ingin mendapat penghormatan yang terlampau berlebih-lebihan. Tetapi ia sendiri masih belum tahu benar batas-batas yang dapat dilakukan dan yang sebaiknya tidak dilakukan sebagai seorang calon permaisuri. Karena itu, dengan ragu-ragu ia hanya sempat melambaikan tangannya dari atas tandunya. Kalau kali ini ia berkeras hati datang ke Panawijen dengan sebuah iring-iringan kebesaran, hanyalah karena hatinya terlampau kecewa atas sikap Mahisa Agni yang dirasakannya terlampau keras. Terlampau menghargai diri sendiri tanpa melihat kepentingannya sebagai seorang adik.

Iring-iringan dari Tumapel itu kini telah memasuki Panawijen lebih dalam lagi. Sejenak kemudian Ken Dedes melihat gadis-gadis Panawijen berlarian menyambut iring-iringan itu. Beberapa orang yang dikenalnya baik-baik hampir-hampir tak dapat mengendalikan diri mereka. Bahkan ada pula diantara mereka yang berteriak-teriak, “Ken Dedes. Ken Dedes.”

Ken Dedes masih melambaikan tangannya. Tidak disadarinya bahwa dari sepasang matanya mengalir butiran-butiran air yang menetes satu dua di pangkuannya. Ken Dedes benar-benar terharu melihat kampung halamannya. Sejenak ia dapat melupakan daun-daun kuning yang berguguran semakin lama semakin banyak tanpa ada pupus-pupus hijau yang tumbuh dari ujung-ujung ranting pepohonan.

Gadis-gadis Panawijen itu pun menjadi sangat terharu melihat Ken Dedes yang pernah hilang dari kampung halamannya. Mereka menyangka bahwa mereka tidak akan pernah dapat melihat gadis itu lagi. Namun tiba-tiba gadis itu datang dalam suatu iring-iringan yang megah, iring-iringan yang belum pernah dibayangkan akan dapat dilihatnya.

“Apakah Kuda Sempana itu kini menjadi orang yang sangat kaya-raya, sehingga mampu memelihara prajurit dan perlengkapan sebanyak dan semewah itu,“ desis seorang gadis yang bertubuh tinggi semampai.

Kawannya yang agak lebih pendek daripadanya berdiri di atas ujung kakinya sambil memanjangkan lehernya, “Aku tidak melihat Kuda Sempana.”

“Ya. Aku pun tidak,“ sahut gadis yang tinggi.

Keduanya kemudian terdiam. Mereka tidak dapat menebak apakah yang sebenarnya telah terjadi dengan Ken Dedes itu. Tetapi Ken Dedes pun sejak memasuki padukuhannya selalu diliputi oleh sebuah pertanyaan yang belum terjawab pula. Ia tidak melihat seorang laki-laki muda dan bahkan hampir tidak dilihatnya laki-laki selain orang-orang tua. Hal itu telah menambah kegelisahannya di samping keharuan yang menusuk-nusuk hati. Namun ia masih belum sempat untuk bertanya kepada seseorang, kemana gerangan setiap laki-laki dari pedukuhannya. Apakah Mahisa Agni pun tidak ada di padepokannya? Dan apakah karena laki-laki Panawijen menjadi ketakutan akan sesuatu, sehingga mereka pergi meninggalkan Padukuhan ini.

Kedatangan Ken Dedes telah benar menimbulkan berbagai tanggapan bagi para penduduk Panawijen yang melihatnya. Mereka belum pernah mendengar kabar yang meyakinkan sampai ke kampung halamannya, bahwa Ken Dedes kini justru seorang bakal permaisuri Akuwu Tunggul Ametung. Mahisa Agni yang mengetahui dengan pasti akan hal itu, sama sekali tidak mengatakannya kepada kawan-kawannya atau kepada siapapun, karena hatinya sendiri yang menjadi resah.

Orang-orang Panawijen itu pun kemudian berbondong ikut pula di belakang iring-iringan itu, sehingga semakin lama menjadi semakin panjang. Perempuan-perempuan tua, gadis-gadis anak-anak dan laki-laki tua. Hampir semua penghuni yang tinggal, mengikuti iringan itu sepanjang jalan pedukuhan mereka. Tetapi Ken Dedes masih belum melihat seorang anak muda pun. Ia belum melihat Ki Buyut Panawijen. Belum melihat laki-laki yang pernah dikenalnya selain yang sudah terlampau tua dan sudah dipenuhi oleh uban diatas kepalanya.

Witantra yang kini berjalan di samping Sidatta pun melihat keganjilan itu. Tetapi disimpannya pertanyaan yang serupa dengan pertanyaan yang mengetuk hati Ken Dedes itu di dalam hatinya. Sekali-sekali ia berpaling memandangi wajah Sidatta. Tetapi perwira itu agaknya tidak sempat memperhatikan para penyambutnya. Matahari semakin tinggi mendaki langit, maka iring-iringan itu pun menjadi semakin dalam memasuki padukuhan Panawijen. Iring-iringan itu langsung menuju ke padepokan di ujung padukuhan itu. Padepokan Empu Purwa.

Ketika orang-orang Panawijen mengetahui arah dari iring-iringan itu segera mereka berbisik diantara sesama. Seorang perempuan yang kurus berdesis, “Apakah gadis itu akan pulang kembali?”

Perempuan yang berjalan di sisinya menyahut, “Mungkin gadis itu belum tahu bahwa ayahnya telah pergi meninggalkan padukuhannya karena hatinya yang sedih kehilangan gadis satu-satunya.”

Keduanya terdiam. Namun mereka menjadi iba di dalam hati. Ken Dedes sendiri, merasa bahwa sesuatu yang tidak wajar telah terjadi di pedukuhannya. Tanah yang kering, anak-anak muda yang seakan-akan lenyap dari padukuhannya adalah pertanda yang pertama-tama dapat dilihatnya. Untuk menghibur diri sendiri ia berkata di dalam hatinya,

“Mungkin anak-anak muda Panawijen yang bukan anak-anak muda yang cukup berani. Mungkin mereka menjadi ketakutan melihat iring-iringan ini sehingga mereka bersembunyi. Nanti apabila mereka menyadari bahwa kami tidak akan berbuat sesuatu, mereka pasti akan datang kembali. Tetapi Kakang Mahisa Agni pasti berpendirian lain. Kakang Mahisa Agni adalah bukan seorang penakut sehingga ia pasti tidak akan turut bersembunyi dengan anak-anak muda yang lain."

Karena pikiran itulah, maka Ken Dedes berjalan terus menuju kepadepokannya. Ketika iringan itu membelok pada tikungan terakhir, hati Ken Dedes berdesir keras. Dikejauhan ia melihat ujung lorong yang dilalui itu. Di sisi lorong itulah terletak padepokannya. Padepokan Empu Purwa. Dengan gelora yang semakin cepat di dalam dada gadis itu, maka iring-iringan itu menjadi semakin dekat dengan regol halaman Padepokan Empu Purwa.

Yang mula-mula sampai di regol itu adalah Sidatta dan Witantra. Sejenak mereka berdiri tegak sambil memandangi halaman Padepokan itu. Sidatta belum pernah melihatnya, karena itu ia tidak melihat perubahan yang terjadi. Meskipun demikian ia berkata di dalam hatinya, “Padepokan ini agaknya kurang terpelihara. Taman-tamanannya menjadi layu dan rerumputannya menjadi kering. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata pun tentang tanggapannya itu.

Berbeda dengan Witantra. Ia pernah melihat halaman yang dahulu sejuk segar. Halaman yang diwarnai oleh kehijauan dedaunan dan bunga yang beraneka warna. Kini yang dilihatnya adalah daun-daun kering, rumput-rumput kering dan bunga-bunga yang layu. Kuning gersang. Dilumuri oleh debu yang putih. Meskipun Witantra seorang prajurit yang hampir tidak sempat menikmati warna-warna tetumbuhan, namun hatinya serasa dilanda oleh suatu perasaan yang aneh. Halaman ini sekarang seperti padang rumput yang kering.

Sementara itu tandu Ken Dedes berjalan semakin maju. Di mukanya berjalan Mahendra dan kemudian Kebo Ijo dengan beberapa orang prajurit. Mereka pun kemudian berhenti pula di belakang Witantra dan Sidatta. Para prajurit itu pun kemudian menyibak, memberi jalan kepada para pengusung tandu untuk maju mendekati regol halaman itu. Demikian tandu itu sampai di depan regol, terdengarlah Ken Dedes memekik kecil. Tanpa ada sesadarnya kedua belah tangannya menutupi mulutnya. Matanya tiba-tiba terbeliak dan jantungnya memukul terlampau keras. Apa yang dilihatnya tentang halaman rumahnya benar-benar telah menghentak dadanya sehingga serasa akan pecah.

Sejenak para pengusung tandu itu tertegun. Mereka mendengar Ken Dedes memekik kecil, sehingga mereka tidak segera melangkahkan kaki-kaki mereka memasuki halaman. Dalam pada itu, dari sisi pendapa rumah di padepokan itu, muncullah beberapa emban. Emban yang telah dikenal oleh Ken Dedes. Emban kawannya bermain sejak kanak-kanak. Betapa hatinya tergetar ketika ia melihat emban-emban itu berdiri tegak dengan wajah yang pucat. Bukan saja pucat karena ketakutan melihat iring-iringan prajurit itu, namun wajah itu memang pucat dan sayu. Tubuh-tubuh mereka tiba-tiba telah menjadi semakin kurus. Sekurus tanaman di halaman padepokan itu.

Sesaat Ken Dedes terpaku diam. Bagaimana mungkin semuanya segera berubah dalam waktu yang tidak terlampau lama. Bagaimana mungkin emban-emban itu menjadi cepat bertambah kurus dan sayu. Wajah-wajah yang dahulu memancar gembira, kini menjadi seolah-olah pelita yang kehabisan minyak. Wajah emban-emban itu demikian suramnya sehingga hampir-hampir Ken Dedes tak percaya, bahwa emban itulah yang dahulu pernah dikenalnya.

Ken Dedes kemudian, setelah melihat keadaan padepokannya, benar-benar tidak lagi dapat menguasai dirinya. Ia tidak lagi teringat akan kedudukannya. Ia tidak peduli apakah yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan sebagai seorang bakal permaisuri. Dengan serta merta ia berteriak, “Aku akan turun. Aku akan turun.”

Para pengusungnya terkejut mendengar teriakan itu, mereka menjadi ketakutan dan dengan tergesa-gesa mereka meletakkan tandu. Ken Dedes pun segera meloncat turun dari tandu itu. Sesaat ia memandangi para emban yang berdiri di sisi pendapa. Tampaklah betapa wajah para emban itu menjadi tegang. Hampir tidak percaya mereka melihat, bahwa yang turun dari tandu dalam pakaian yang cerah itu adalah Ken Dedes.

Ken Dedes yang tidak dapat lagi menahan diri segera berlari-lari mendapatkan emban-emban itu. Seorang emban yang sebaya benar dengan Ken Dedes, yang hampir setiap hari bermain bersama, berkumpul dalam setiap saat, mengerjakan pekerjaan mereka bersama, ternyata menjadi sangat terharu. Seperti Ken Dedes ia pun tidak dapat mengendalikan dirinya. Sambil berlari pula ia menyongsong gadis yang pernah dianggapnya hilang itu. Sejenak kemudian keduanya saling berpelukan dan bertangisan. Para emban yang lain pun segera berkumpul, mengelilingi kedua gadis itu.

Witantra, Sidatta, Mahendra dan para prajurit yang lain melihat pertemuan itu dengan hati yang tersentuh-sentuh pula. Tetapi mereka kini berdiri saja mematung, menunggu perintah apa yang harus mereka lakukan. Tetapi rupanya Ken Dedes yang sedang meluapkan rasa rindunya kepada orang-orang yang pernah dikenalnya baik-baik dan seolah-olah tidak akan bertemu lagi itu, tidak lagi mempedulikan para pengiringnya. Dengan air mata yang satu-satu menetes, maka gadis itu kemudian berjalan diiringkan oleh beberapa orang emban memasuki pendapa rumahnya dan hilang di balik pintu di belakang pendapa.

Witantra menggigit bibirnya. Ketika berpaling ke arah Sidatta, perwira itu mengangkat bahunya. “Kita tidak mendapat perintah apapun,“ desis Witantra.

Sidatta mengangguk. Kemudian Witantra harus mengambil sikap sendiri untuk melindungi keamanan bakal permaisuri. Maka katanya kepada Sidatta, “Kau disini bersama para prajurit, aku akan berada di halaman belakang supaya tidak seorang pun yang tidak kita kehendaki memasuki halaman ini dari belakang.”

“Apakah ada regol butulan di halaman belakang?” bertanya Sidatta.

Witantra tersenyum, jawabnya, “Aku belum pernah melihat halaman belakang. Tetapi adalah berbahaya sekali kalau kita tidak sempat mengawasinya. Seandainya tidak ada regol butulan sekalipun agaknya untuk meloncati dinding batu setinggi ini tidak terlampau sulit.”

“Mungkin seseorang atau beberapa orang akan dapat memasuki tempat ini lewat belakang kakang, tetapi apakah mereka akan dapat membawa tuan puteri meloncat dinding ini?”

“Adi Sidatta.” Sahut Witantra, “Seseorang yang menjadi kecewa, bahkan merasa bahwa usahanya telah gagal, akan dapat berbuat hal-hal diluar dugaan. Orang yang demikian akan dapat menjadi berputus asa dan berpendirian, lebih baik dihancurkan sama sekali daripada tidak berhasil memiliki.”

“Hanya orang yang berputus asa yang berbuat demikian.”

“Ternyata Kuda Sempana dan Empu Sada pun telah menjadi putus asa. Apa yang dilakukan sekarang sebenarnya adalah luapan dendam yang tak dapat diendapkan. Aku sangka Kuda Sempana sudah tidak lagi mengharap akan memiliki Ken Dedes seperti impiannya masa-masa lampau. Apa yang dilakukan sekarang adalah, pancaran dari hati yang gelap.”

Sidatta menganggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan Witantra. Bukan saja dalam persoalan ini, persoalan seorang gadis, namun dalam persoalan-persoalan yang akan terjadi pula perbuatan serupa. Keinginan yang gagal memang dapat menimbulkan perbuatan yang tidak terduga-duga.

Kisah-kisah kidung dan kakawin-kakawin mengatakan, betapa kadang-kadang orang mengorbankan dirinya, keluarganya dan bahkan negerinya untuk mendapatkan suatu cita-cita. Kalau cita-cita itu menjadi kabur, maka yang tinggal hanyalah bentuk keputusasaan. Demikian pulalah yang terjadi dalam pemerintahan. Seorang gadis akan sama bentuknya dengan sebuah pusaka dan jabatan. Seseorang yang gagal mendapatkan gadis idaman, atau sebuah pusaka keramat atau sebuah keinginan untuk memangku jabatan agung, maka akibatnya dapat mengerikan sekali.

Kegagalan itu akan dikorbankan tanpa kesadaran bahkan kadang-kadang timbullah malapetaka apabila kegagalan itu dibakar oleh pandangan yang mengerikan, yang bertekad untuk hancur bersama, gagal bersama. Karena pendirian yang demikian itu, akan terjadi, membakar perahu yang sedang berlayar di tengah lautan, hanya karena orang itu tidak tahan melihat orang lain menjadi nakhoda, bukan dirinya sendiri.

Betapa indahnya sebuah cita-cita, namun apabila dilandasi oleh hati yang hitam, pikiran yang kelam dan cara-cara yang sesat, maka akan lenyaplah keindahan yang hakiki. Dan manusia akan menjadi korban dari ketamakan mereka sendiri. Manusia akan menggali liang dimana ia sendiri akan terperosok kedalamnya. Hanya mereka yang menyadari dirinya, menyadari kemanusiaannya yang lahir dari sebuah kekuasaan yang Maha Kuasa, akan dapat membuat neraca yang seimbang dari usaha, perjuangan dan cita-cita lahiriahnya dengan kewajiban yang membebaninya akibat dari adanya, atas kuasa dari Yang Maha Kuasa itu, sehingga akan terpenuhilah Kebaktian yang utuh kepada Yang Maha Agung dan pengabdian yang tulus kepada kemanusiaannya sebagai suatu sikap rohaniah dan badaniah.

Tetapi ternyata bahwa Kuda Sempana telah menjadi bureng, menjadi kehilangan keseimbangan, sehingga apa yang akan dilakukan mungkin sekali diluar perhitungan. Karena itu, maka Witantra tidak dapat membiarkan halaman belakang tanpa pengawasan. Bersama saudara seperguruannya, dan dua orang prajurit ia pergi ke halaman belakang dan duduk di bawah sebatang pohon kemuning. Namun alangkah memelasnya. Pohon yang rindang itu, selalu meruntuhkan daun-daunnya yang telah menjadi kekuning-kuningan. Apabila hujan tidak segera turun, maka padukuhan Panawijen pasti akan dilanda kekeringan yang dahsyat.

“Apakah sebabnya?” pikir Witantra. Tetapi ia tidak bertanya kepada siapapun.

Mahendra dan Kebo Ijo pun kemudian duduk beristirahat di bawah rimbunnya dedaunan pula. Di sudut lain tampak kedua prajurit Tumapel duduk pula bersandar dinding halaman. Udara di padepokan itu terasa panas sekali.

“Pohon bunga-bungaan dan petamanan sudah menjadi kering,“ pikir Witantra di dalam hatinya, “lalu apakah kerja para emban yang menunggui padepokan ini, apabila untuk menyiram tanaman-tanaman itu saja tidak dapat dilakukan?”

Tetapi Witantra itu berpikir lain ketika ia melihat kolam-kolam yang kering. Kolam-kolam yang tidak berair. Di halaman depan, Sidatta segera mengatur para prajuritnya. Beberapa orang segera dapat beristirahat, sedang dua orang bergantian harus tetap berada di regol halaman. Mereka harus mengawasi setiap keadaan yang mungkin dapat berakibat tidak seperti yang diharapkan. Perempuan dan orang-orang tua, anak-anak dan gadis-gadis yang mengikuti iring-iringan itu pun kemudian berdiri berjejal-jejal diluar regol.

Mereka kini yakin benar, bahwa yang berada diatas tandu itu memang Ken Dedes yang pernah dilarikan orang. Tetapi alangkah mengherankan, bahwa gadis itu kini kembali dalam keadaan yang sama sekali tidak disangka-sangka. Tetapi orang-orang Panawijen itu tidak berani memasuki regol halaman karena di dalam halaman itu dilihatnya para prajurit Tumapel bertebaran dan dua orang penjaga yang berdiri di sisi sebelah-menyebelah regol halaman. Witantra yang di halaman belakang dan Sidatta kini tinggal duduk menunggu, apa yang seharusnya mereka lakukan. Dalam pada itu, Sidatta memerintahkan kepada para prajurit yang berkewajiban untuk menyiapkan perbekalan mereka.

“Kita akan tinggal disini sampai kapan kakang?” bertanya perwira bawahan Sidatta.

Sidatta menggeleng sambil tersenyum, “Aku tidak tahu. Tetapi menurut pesan Akuwu, tuan puteri harus segera kembali, sesudah bertemu dengan kakaknya, Mahisa Agni. Bahkan tuan puteri diharap untuk kembali bersama-sama dengan kakaknya itu.”

Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ken Dedes yang masuk ke dalam rumahnya tanpa memberikan pesan apapun itu, masih saja belum menampakkan dirinya.

Sementara itu Ken Dedes yang berada di dalam rumah, segera dikerumuni oleh para endang. Betapa banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh Ken Dedes dari para endang itu, tetapi betapa pula banyak pertanyaan yang tersimpan di dalam hatinya sendiri. Karena itu, sebelum ia mengatakan tentang dirinya, maka yang pertama-tama ditanyakannya adalah “Dimana kakang Mahisa Agni?”

Para endang itu saling berpandangan sejenak, seolah-olah mereka menjadi ragu-ragu untuk menjawab, sehingga Ken Dedes mendesaknya, “Dimana kakang Agni?”

Salah seorang endang mencoba untuk mengatakan jawabnya, “ke Padang rumput Karautan.”

“Ke Padang Karautan? Apa kerjanya di sana?”

“Membuat bendungan,“ sahut endang yang lain.

Dahi Ken Dedes tampak berkerut-kerut. Tiba-tiba ia pun teringat akan semua penglihatannya di sepanjang jalan. Kering kerontang. Sehingga dengan serta merta ia bertanya, “Endang, kenapa sawah-sawah di Panawijen menjadi kering. Halaman padepokan ini pun menjadi kering dan bahkan Panawijen tampak begini gersang?”

Kembali para endang menjadi ragu-ragu. Namun Ken Dedes mendesaknya lagi, sehingga seorang endang terpaksa menjawab, “Bendungan kita itu pecah.”

“Pecah,“ Ken Dedes terkejut bukan buatan. Umur bendungan itu sudah melampaui umurnya. Musim hujan dan banjir telah berpuluh kali dilalui hanya dengan kerusakan-kerusakan kecil yang segera dapat diperbaiki. Tetapi kenapa tiba-tiba bendungan itu pecah.

Endang yang mengatakannya bendungan itu berkata pula, “Empu Purwa lah yang memecahkan bendungan itu.”

“Ayah. Jadi ayah yang memecah bendungan itu?”

Endang itu mengangguk. Tetapi wajahnya menjadi tegang. Ia menyesal bahwa ia telah mengatakannya. Tetapi kata-kata itu telah terlanjur meloncat dari mulutnya.

Keringat Ken Dedes segera mengalir membasahi pakaiannya yang cemerlang. Ia tidak dapat mengerti kenapa ayahnya memecah bendungan itu. Sehingga karena itu maka ia bertanya pula, “Kenapa ayah memecahkan bendungan itu?”

Endang itu menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu. Mungkin kakang Mahisa Agni dapat menjawab pertanyaan itu.”

Hati Ken Dedes menjadi kian berdebar-debar. Sekali lagi ia bertanya, “Dimana kakang Agni.”

“Ke Padang Karautan. Setiap laki-laki dan anak-anak muda pergi ke Padang Karautan untuk membangun bendungan itu.”

“Beberapa hari yang lampau kakang Agni telah datang ke Tumapel,“ sahut Ken Dedes.

“Ya, pada saat itu semua orang telah berangkat ke Padang Karautan. Tinggal kakang Agni dan beberapa orang yang masih menyelesaikan beberapa pekerjaan disini. membuat tampar ijuk dan patok-patok. Begitu kakang Agni datang dari Tumapel, segera mereka berangkat menyusul yang telah berangkat lebih dahulu bersama Ki Buyut Panawijen.”

Terasa sesuatu bergolak di dalam Dada Ken Dedes. banyak benar yang telah terjadi sepeninggalnya di kampung halamannya ini. Namun keterangan emban itu bagi Ken Dedes merupakan jawaban pula atas pertanyaan yang selalu mengganggunya sejak ia memasuki padukuhan Panawijen. Sejak ia memasuki padukuhan ini, ia tidak melihat seorang pun laki-laki dan anak-anak muda Panawijen. Itulah agaknya, maka setiap laki-laki kecuali orang-orang tua tidak ada di rumah. Ternyata mereka sedang berada dipadang rumput Karautan untuk membuat bendungan yang baru.

Tetapi keinginan Ken Dedes untuk segera bertemu dengan Mahisa Agni rasa-rasanya tak dapat ditunda-tunda. Apalagi ia memang mendapat pesan dari Akuwu Tunggul Ametung, supaya segera kembali bersama-sama dengan Mahisa Agni sebagai tebusan atas hukuman yang telah dijatuhkannya kepada Mahisa Agni dan emban pemomongnya. Tetapi Mahisa Agni kini tidak ada di rumah. Tiba-tiba Ken Dedes menyadari keadaannya. Ia datang sebagai seorang calon permaisuri yang disertai oleh serombongan prajurit. Karena itu, maka katanya, “Biarlah aku minta seseorang memanggil kakang Mahisa Agni.”

Para endang itu pun saling berpandangan. Alangkah besarnya kekuasaan Ken Dedes kini. Ia dapat memerintahkan seseorang untuk kepentingannya. Dan para endang itu pun kemudian melihat bahwa hal itu benar terjadi. Ketika Ken Dedes keluar dari rumahnya dan berdiri di pendapa sambil melambaikan tangannya, maka segera menghadaplah Sidatta. Sambil mengangguk dalam-dalam Sidatta bertanya, “Apakah ada perintah tuan puteri.”

“O,“ dada setiap endang yang berdiri di belakangnya melonjak. Serasa mereka berada di dalam mimpi. Ken Dedes datang dengan pakaian yang cemerlang. Memanggil seorang perwira yang gagah hanya dengan lambaian tangannya. Kini perwira itu membungkuk hormat dihadapannya sambil menyebutnya tuan puteri.

“Dimanakah kakang Witantra?“ bertanya Ken Dedes.

“Di halaman belakang tuan Puteri,“ jawab Sidatta.

“Panggillah,“ perintah Ken Dedes.

Sekali lagi Sidatta menganggukkan kepalanya. Kemudian ia meninggalkan Ken Dedes yang masih berdiri saja di pendapa. Seorang endang yang tidak dapat menahan diri tiba-tiba berbisik, “Siapakah orang itu?”

Ken Dedes berpaling. Betapapun hatinya sedang risau, namun ketika terpandang mata endang yang aneh itu, ia tersenyum. Jawabnya, “Namanya Sidatta. Ia adalah seorang perwira dari prajurit pengawal Akuwu.”

“He,“ endang itu terkejut. Pandang matanya menjadi semakin aneh. Kawan-kawannya pun terkejut pula. Hampir tidak percaya endang itu bertanya pula, “Kenapa ia begitu hormat kepadamu?”

Senyum Ken Dedes menjadi semakin lebar. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah yang dikatakan oleh emban pemomongku beberapa hari yang lalu atau oleh kakang Mahisa Agni?”

Endang itu menggelengkan kepalanya, jawabnya, “Tak ada yang dikatakan selain berita keselamatan.”

“Tidak dikatakan dimana aku berada?”

Endang itu berpikir sejenak, jawabnya, “Di Tumapel.”

“Maksudku, di Tumapel aku tinggal di rumah siapa?”

Para endang itu pun saling berpandangan. Tetapi mereka benar-benar tidak banyak mengerti tentang keadaan Ken Dedes, sehingga kemudian mereka itu pun menggeleng-gelengkan kepalanya. Tiba-tiba seorang endang yang lain, yang agak lebih muda dari Ken Dedes berkata, “Kau belum menjawab pertanyaan-pertanyaan kami tentang dirimu. Kamilah yang selalu menjawab pemanyaanmu.”

Sekali lagi Ken Dedes tersenyum, tetapi ia tidak sempat menjawabnya, karena Witantra dan Sidatta kini telah naik ke pendapa. “Kakang Witantra,“ berkata Ken Dedes kemudian, “ternyata kakang Mahisa Agni tidak berada di rumah.”

Witantra mengangguk, katanya, “Menurut pertimbangan tuan puteri apakah yang sebaiknya kami lakukan?”

Sejenak Ken Dedes berdiam diri. Ketika ia memandang ke halaman dilihatnya beberapa orang prajurit sedang beristirahat sambil mencari tempat untuk berteduh. Karena itu, tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu. Apakah mereka tidak terlampau lelah, apabila beberapa diantaranya harus langsung menuju ke Padang Karautan?”

Dalam keragu-raguan itu terdengar Witantra bertanya, “Barangkali seseorang tahu kemana ia pergi?”

Ken Dedes mengangguk sambil menjawab, “Ya. Menurut para endang, kakang Mahisa Agni pergi ke Padang rumput Karautan untuk membuat bendungan.”

Witantra mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Apakah menurut pertimbangan tuan putri, salah seorang dari kami perlu memanggilnya?”

Ken Dedes masih ragu-ragu. Ia melihat betapa tubuh para prajurit itu telah dilumuri oleh keringat mereka yang seperti diperas dari dalam tubuh mereka. Tetapi Witantra berkata, “Apabila demikian, maka biarlah salah seorang dari kami pergi menyusulnya. Mahendra lah satunya orang yang pernah melihat tempat dimana bendungan itu akan dibangun.”

“Bagaimana menurut pendapatmu kakang Witantra?”

“Apabila berkenan di hati tuan puteri.”

“Apakah Mahendra tidak terlampau lelah?”

“Ia akan pergi berkuda.”

“Sendiri?”

“Ia sudah mengenal padang Karautan. Ia sudah mengenal hantu padang. Meskipun demikian biarlah adi Sidatta pergi bersamanya.”

“Hamba akan melakukannya,“ berkata Sidatta.

“Apabila kalian tidak terlampau lelah, terserahlah kepada Kakang Witantra. Tetapi, pesanku kakang, jangan menimbulkan kesan yang dapat membuat keadaanku lebih sulit. Kakang Agni hatinya terlampau keras.”

Sidatta mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling memandangi wajah Witantra dilihatnya orang itu menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ia tuan puteri. Hamba telah mengenal serba sedikit tentang kakak tuan. Memang kakak tuan puteri berhati keras, namun jujur. Karena itu, biarlah nanti adi Sidatta dan Mahendra dapat menyesuaikan dirinya menghadapi kakak tuan puteri.”

Hati Sidatta menjadi bertanya-tanya. Bukankah kakak Ken Dedes itu juga seorang anak muda Panawijen. Seorang anak padesan? Tetapi pertanyaan itu dibiarkannya melingkar-lingkar di dalam dadanya.

Sementara itu Ken Dedes berkata pula, “Apabila terdapat kesulitan, jangan mencoba memaksa. Aku ingin kakang Mahisa Agni datang kemari. Tetapi kalau terpaksa, aku akan menjemputnya sendiri ke Padang Karautan.”

Witantra menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Baik tuan puteri. Biarlah Mahendra dan adi Sidatta berangkat sekarang.”

“Terserah kepadamu kakang.”

Keduanya kemudian mengundurkan diri dari pendapa. Namun tampak betapa wajah Sidatta memancarkan beberapa macam pertanyaan. Meskipun pertanyaan itu tetap disimpannya, tetapi Witantra dapat merasakannya, sehingga katanya, “Mahisa Agni adalah seorang anak muda yang berhati keras. Telah beberapa kali ia berkelahi melawan Mahendra, tetapi Mahendra selalu dikalahkan.”

“Adi Mahendra dikalahkannya?” bertanya Sidatta yang menjadi keheran-heranan.

“Ya,“ sahut Witantra, “anak itu melampaui Mahendra dalam banyak hal.”

Sidatta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia bertanya, “Apakah nanti kalau anak muda itu bertemu dengan adi Mahendra tidak akan terjadi sesuatu?”

Witantra menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak. Mahendra telah minta maaf kepadanya.”

“Minta maaf?” Sidatta menjadi bingung.

“Ya. Mahendra selalu di pihak yang bersalah.”

Sidatta tidak berkata apa-apalagi. Ia tahu benar sifat pemimpinnya itu. Ia tidak pernah berkata lain dari pada menurut tanggapannya yang sewajarnya. Meskipun orang itu saudara seperguruannya, kalau ia berbuat salah, maka Witantra akan berkata demikian.

Witantra pun kemudian segera memanggil Mahendra dari halaman belakang, sementara perwira yang seorang lagi ditugaskannya mengawasi halaman belakang itu. Dalam pada itu Ken Dedes telah kembali masuk ke dalam rumahnya. Orang-orang yang masih berkerumun diluar regol menjadi kecewa ketika mereka melihat Ken Dedes tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk menemuinya. Tetapi mereka tidak segera pergi.

Sejenak kemudian Mahendra dan Kebo Ijo pun telah datang menemui Witantra. Dengan berbagai macam pesan, maka Witantra minta kepada Mahendra untuk memanggil Mahisa Agni ke Padang Karautan bersama dengan Sidatta. Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu benar, bahwa Mahisa Agni seolah-olah tidak mau lagi mempersoalkan hubungan antara adiknya dan Akuwu Tunggul Ametung. Mahendra mengerti betapa perasaan Mahisa Agni tersinggung. Ia merasa dikesampingkan oleh adiknya sebelum ia mengambil keputusan. Ia tidak mau menerima keadaan adiknya itu, sebagai sesuatu yang telah terlanjur.

Tetapi ia tidak mau menolak perintah kakaknya. Sehingga karena itu maka jawabnya, “Baik kakang, Aku akan mencoba bersama kakang Sidatta.”

Setelah keduanya berkemas, sedikit mengisi perut mereka dengan bekal yang mereka bawa, maka segera mereka meninggalkan halaman padepokan menuju ke Padang Karautan. Demikian mereka meninggalkan padesan, maka segera terasa, sinar matahari menyengat tubuh mereka.

“Bukan main panasnya,“ desis Mahendra.

Sidatta tersenyum. Jawabnya, “Sebuah perjalanan yang hangat.”

Mahendra mengangguk. Kemudian katanya pula, “Kita akan menyusur tidak jauh sepanjang sungai yang mengalir lewat padang itu. Pada sungai itulah bendungan akan dibangun. Tetapi bukan itu soalnya. Kalau kita kehausan, kita akan segera mendapatkan air."

Sekali lagi Sidatta tersenyum. Kemudian mereka memacu kuda mereka meninggalkan kepulan debu yang putih. Mereka meluncur di jalan-jalan diantara sawah-sawah yang mengering menuju ke padang rumput Karautan yang panasnya bukan main. Tetapi perjalanan dengan kuda adalah jauh lebih cepat dari pada berjalan dengan kaki. Meskipun sekali-sekali mereka beristirahat di tebing-tebing sungai untuk mengambil air, dan memberi kuda mereka minum, namun waktu yang mereka perlukan tidak terlampau panjang. Sebelum matahari terbenam, mereka telah sampai ke tempat yang pernah dikenal oleh Mahendra.

“Kita hampir sampai,“ desis Mahendra sambil mengusap peluhnya.

Sidatta mengangguk. Wajahnya menjadi merah kehitaman dibakar oleh terik matahari. “Kuda kita terlampau lelah,“ berkata Sidatta.

“Kita berjalan perlahan-lahan,“ sahut Mahendra, “mudah-mudahan di tempat mereka bekerja terdapat sisa makanan hari ini. Perutku terlampau lapar.”

Sidatta tertawa. Tetapi tertawanya masam sekali, sebab sebenarnya perutnya pun telah menjadi lapar. Tetapi saat itu udara telah menjadi sejuk. Matahari telah terlampau rendah, bahkan sejenak kemudian warna merah di langit selapis demi selapis menjadi semakin hitam. Mahendra dan Sidatta berjalan terus. Kuda-kuda mereka kini tidak lagi berpacu terlampau cepat. Sebentar lagi mereka sudah akan sampai di tempat yang mereka tuju. Dalam pada itu, langit pun semakin lama menjadi semakin pekat. Satu-satu bintang seakan muncul dari balik tirai yang hitam. Sidatta sekali-sekali melayangkan pandangan matanya jauh ke garis cakrawala. Padang rumput ini seolah-olah tidak bertepi.

“Adi Mahendra,“ berkata Sidatta kemudian, “apakah orang Panawijen akan membangun di tengah padang yang seluas ini?”

“Ya,“ sahut Mahendra sambil mengangguk.

“Mereka harus membuat saluran-saluran baru.”

“Tetapi kalau mereka berhasil,“ sahut Mahendra, “maka mereka akan dengan leluasa membuat suatu perencanaan menurut selera mereka. Mereka dapat mengatur sekehendak hati, sawah-sawah, ladang dan saluran-saluran air.”

“Kenapa mereka tidak memilih tempat lain. Menebas hutan misalnya? Mereka akan langsung mendapat suatu daerah yang tidak seterik padang ini.”

Mahendra menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu. Mungkin mereka merasa bahwa dengan membuka padang rumput ini, pekerjaan mereka jauh lebih ringan daripada menebas hutan. Kalau mereka berhasil membuat susukan yang besar dan mengalirkan airnya ke tengah-tengah padang rumput ini, maka padang ini pasti akan menjadi daerah yang subur.”

“Tebing ini terlampau dalam,“ desis Sidatta, “untuk menaikkan air dari dalam sungai itu, pasti diperlukan pekerjaan yang maha berat.”

Mahendra tersenyum. Kemudian katanya, “Kau dengar suara gemuruh.”

Sidatta memasang telinganya baik-baik, “Ya lamat-lamat dibawa angin.”

“Suara yang hilang timbul itu adalah suara jeram-jeram.”

“Oh,“ sahut Sidatta, “kalau demikian, maka orang-orang Panawijen pasti membuat bendungan diatas jeram-jeram itu.”

Mahendra mengangguk.

“Kalau begitu kita sudah dekat,“ berkata Sidatta, “mari kita percepat perjalanan ini.”

Tanpa menjawab ajakan itu, Mahendra menggerakkan kendali kudanya sehingga kudanya berjalan lebih cepat lagi. Suara jeram itu ternyata telah menjadi semakin jelas, dan membawa mereka ke arah yang dikehendaki. Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka disela-sela semak-semak yang tumbuh sepanjang tepi sungai, mereka telah melihat beberapa perapian yang menyala. Itu adalah perkemahan orang-orang Panawijen yang sedang bekerja membuat sebuah bendungan.

Mahendra dan Sidatta semakin mempercepat kudanya. Langit kini telah menjadi hitam. Namun bintang-bintang berdesakan memenuhi wajah yang kelam itu. Ternyata suara derap kudanya telah mendahului mereka. Beberapa orang yang mendengar derap kuda itu terkejut. Dengan tergesa-gesa mereka ingin menyampaikannya kepada Mahisa Agni yang ada diantara mereka. Tetapi Mahisa Agni sendiri telah mendengar derap itu pula.

“Aku mendengar derap kuda paman,“ desisnya.

Pamannya Empu Gandring yang duduk memeluk lututnya mengangkat wajahnya. Kemudian sambil menganggukkan kepalanya ia menjawab, “Ya. Aku mendengar.”

Mahisa Agni kemudian berdiri. Katanya, “Aku akan melihatnya.”

“Hati-hatilah,“ pesan pamannya.

Mahisa Agni itu pun kemudian melangkah diantara kawan-kawannya yang sedang beristirahat setelah hampir sehari penuh mereka melakukan pekerjaan mereka, membangun sebuah bendungan. Dengan kemauan yang bulat mereka bekerja dengan sepenuh tenaga. Tak ada tempat bagi mereka yang hanya mampu berbicara dan berteriak-teriak tentang bendungan yang rusak. Tentang kesulitan dan tentang kelaparan yang mungkin akan melanda mereka. Yang penting bagi penduduk Panawijen kini adalah bekerja. Bekerja. Bendungan itu harus segera jadi, sebelum persediaan di dalam lumbung-lumbung mereka terkuras habis.

Anak-anak muda Panawijen menyadari, bahwa kini bukan masanya lagi untuk berbaring-baring di pasir tepian sungai sambil berdendang dan bergurau. Bukan masanya lagi untuk bersenang-senang dan mengadakan jamuan makan diantara mereka. Yang harus mereka lakukan kini adalah bekerja dan berprihatin. Mahisa Agni kini telah berdiri diluar batas perkemahan orang-orang Panawijen. Beberapa langkah ia maju lagi untuk menyongsong dua bayangan orang-orang berkuda yang sudah semakin dekat.

Tetapi melihat derap dan langkah kuda itu, Mahisa Agni menduga bahwa mereka bukanlah orang-orang yang ingin berbuat jahat terhadap mereka yang sedang membuat bendungan itu. Meskipun demikian beberapa orang kawan-kawannya telah menjadi cemas dan berdebar-debar, meskipun kecemasan itu disimpannya saja di dalam hati. Salah seorang dari mereka yang duduk di samping Sinung Sari berbisik, “Sinung Sari. Siapakah yang datang itu?”

Sinung Sari menggelengkan kepalanya sambil berbisik pula, “Aku tidak tahu.”

“Bukankah kau dahulu pernah datang bersama dengan Mahisa Agni kemari? Dan bukankah kau berhasil mengalahkan hantu Karautan atau siapa yang kau katakan dahulu? Kuda Sempana barangkali? Mungkin orang itu datang kembali. Apakah kau tidak akan melawannya.”

Dada Sinung Sari berdesir. Memang ia pernah menyombongkan dirinya terhadap kawan-kawannya. Kalau benar yang datang itu Kuda Sempana atau siapa pun yang akan mengganggu mereka, apakah yang akan dilakukan? Ternyata Jinan dan Patalan yang mendengar pertanyaan itu menjadi berdebar-debar pula. Tetapi mereka menjadi lega ketika mereka mendengar suara Mahisa Agni menyambut orang yang datang itu, “Kau Mahendra.”

Tetapi segera Mahisa Agni mengerutkan keningnya ketika ia melihat seorang prajurit datang bersama Mahendra itu. Sebelum Mahendra menjawab, maka keduanya telah berloncatan turun dari kuda mereka. Dengan akrabnya Mahendra kemudian bertanya, “Bagaimana bendunganmu Agni?”

Mahisa Agni tersenyum kosong. Bendungan itu belum lagi dimulai. Yang mereka kerjakan selama ini barulah persiapan-persiapan untuk bendungan itu. Menancapkan patok-patok, mengisi berunjung-berunjung dengan batu-batu dan membuat barak-barak untuk berteduh di siang hari apabila mereka sedang beristirahat. Maka jawab Agni kemudian, “Bendunganku sudah hampir siap. Siap untuk dimulai.”

Mahendra tertawa. Katanya kemudian, “Kau mungkin belum mengenal kawan seperjalananku. Namanya Sidatta, adalah salah seorang perwira dari pasukan kakang Witantra.”

Mahisa Agni mengangguk hormat dan Sidatta pun pula. “Marilah tuan,“ Mahisa Agni mempersilahkan, “tetapi alangkah jeleknya tempat yang dapat kami pakai untuk menerima tuan.”

“Terima kasih,“ sahut Sidatta, “Kami dapat mengerti, bahwa tuan berada di tempat pekerjaan yang sedang tuan lakukan dengan tekad yang luar biasa. Membuat sebuah bendungan, membuat susukan dan menggali parit-parit adalah pekerjaan raksasa bagi padukuhan tuan.”

“Mudah-mudahan kami berhasil,“ gumam Mahisa Agni.

Maka mereka pun kemudian dibawa oleh Mahisa Agni duduk diantara anak-anak muda Panawijen. Tetapi atas permintaan Mahendra maka mereka mengambil tempat agak terpisah. “Ada yang akan aku katakan,“ bisik Mahendra.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah menduga apa yang akan dikatakan oleh Mahendra. Apalagi ia datang beserta seorang perwira dari Tumapel.

Mahendra yang melihat perubahan wajah Mahisa Agni segera berkata, “Tetapi soalnya sama sekali tidak penting.”

Mahisa Agni menggigit bibinya. Ia tahu bahwa Mahendra hanya ingin menenangkannya sebelum mereka membicarakan persoalan yang sebenarnya. Tetapi bagi Mahisa Agni, persoalan yang menyangkut dirinya sendiri dengan istana Tunggul Ametung adalah menjemukan sekali. berkali-kali persoalan itu selalu membayanginya. Mengganggu ketenangannya dan pasti akan dapat mengganggu rencana kerja yang telah masak dan kini telah dimulai dilakukan bersama-sama dengan seluruh rakyat Panawijen. Tidak ada bedanya dengan Kuda Sempana dan Empu Sada. Orang-orang itu pasti akan mengganggu pekerjaannya pula dengan caranya.

Mungkin dengan orang-orang yang disebutnya bernama Wong Sarimpat dan mungkin dengan orang-orang lain lagi. Meskipun bentuknya berbeda, tetapi akibatnya akan sama saja. Memperlambat pekerjaan itu. Bahkan mungkin dengan kekuasaan yang ada pada Akuwu Tunggul Ametung, gangguan yang datang dari padanya akan justru lebih besar. Tetapi Mahisa Agni mencoba menahan perasaannya. Ia tidak segera menyahut. Ia menunggu apalagi yang akan di katakan oleh Mahendra.

Mahendra itu pun kemudian bergeser maju. Ditatapnya wajah Mahisa Agni. Sekali ia memandang berkeliling. Dan sambil berbisik ia berkata, “Agni. Aku ingin mengatakan sesuatu, tetapi aku tidak ingin mengganggumu.”

Dada Mahisa Agni berdesir. Sambil mengangguk ia berkata, “Katakanlah Mahendra.”

“Baik,“ sahut Mahendra. Kemudian sekali lagi ia bergeser maju. Katanya, “Agni. Pagi-pagi benar aku sudah berjalan dari perkemahan di tengah-tengah hutan. Hampir tengah hari aku sampai ke padepokanmu di Panawijen. Baru sekejab aku beristirahat, aku harus berjalan kembali kemari. Aku ingin berterus terang Agni.“ Mahendra berhenti sesaat, dan dada Mahisa. Agni pun menjadi kian berdebar-debar. bahkan Sidatta pun menjadi berdebar-debar pula. Dalam pada itu Mahendra meneruskan, “Aku ingin berterus terang kepadamu, tetapi tidak kepada orang lain. Agni, aku agak terlampau lapar.”

“He?” mata Mahisa Agni terbelalak. Getar di dadanya bertambah cepat, namun kemudian anak muda itu tertawa. “Hem,“ gumamnya, “segenap otot-ototku menjadi tegang.”

Sidatta pun kemudian menggamit Mahendra sambil bertata, “Ah, terlampau berterus terang adi. Seorang ksatria tidak akan kelaparan meskipun tidak makan empat puluh hari empat puluh malam.”

Mahendra tertawa pula, “Aku tidak malu kepada mahisa Agni. Tetapi mungkin aku malu kepada orang lain.”

“Kalau hanya itu keperluanmu, maka aku akan memenuhinya dengan senang hati,“ berkata Mahisa Agni sambil tertawa. Kemudian ia pun bangkit dan berjalan ke barak, mengambil bekal yang diminta oleh Mahendra. Nasi jagung dan sambal kacang.

“Apakah anak muda itu mau juga makan makanan seperti ini,“ gumamnya, “tetapi apa boleh buat. Aku tidak mempunyai yang lain.”

Dengan menjinjing sebuah bungkusan kecil Mahisa Agni berjalan kembali ke tempat Mahendra dan Sidatta menunggu. Semula ia tidak menaruh perhatian apa-apa atas ceritera Mahendra tentang perjalanannya. Tetapi tiba-tiba ia mengerutkan keningnya. Mahendra itu pagi-pagi benar sudah harus berangkat dari sebuah perkemahan di tengah hutan. Kenapa dari sebuah perkemahan. Kalau ia hanya pergi berdua, kenapa mereka terpaksa berkemah di tengah hutan. Kenapa mereka tidak menempuh jalan lain, sepanjang padang rumput atau langsung menemuinya seperti yang pernah dilakukan oleh Mahendra dahulu dipadang ini. Tetapi anak muda itu telah pergi kepadepokannya, padepokan Empu Purwa.

Kini dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar kembali. Bukan karena kebetulan Mahendra menyebut semuanya itu. Pasti tersembunyi sesuatu maksud di belakangnya. Karena itu langkah Mahisa Agni menjadi semakin panjang. Ia ingin segera mengetahui, apa yang sudah dilakukan oleh Mahendra berdua dengan Sidatta.

Ketika Mahisa Agni sudah duduk di samping Mahendra kembali, maka segera ia bertanya, “Mahendra, dari manakah kau sebenarnya? Apakah kau baru saja menempuh perjalanan yang panjang sehingga kau terpaksa bermalam di perjalanan?”

Tetapi Mahendra telah mengecewakan Mahisa Agni, sebab ia menyahut, “Bungkusan apakah yang kau bawa ini?”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia segera ingin tahu, dari mana dan untuk apa Mahendra datang kepadepokannya dan kemudian setelah beristirahat hanya sesaat yang pendek ia harus dengan tergesa-gesa meninggalkan padepokan itu dan datang ke padang ini, sehingga anak muda itu menjadi sangat lapar.

Meskipun sebenarnya Mahendra lapar, tetapi ia tidak perlu dengan tergesa-gesa dan berterus terang mengatakannya kepada Mahisa Agni. Maksud Mahendra adalah untuk mengurangi ketegangan yang tampak di wajah Mahisa Agni. Tetap dalam pada itu, setelah wajah Agni membayangkan senyum tiba-tiba kini wajah itu menjadi tegang kembali. Mahendra menjadi ragu-ragu. Apakah caranya itu dapat berhasil untuk berbicara dengan Mahisa Agni tanpa sikap yang tegang kaku.

Mahisa Agni yang sudah menjadi tegang kembali itu, menyerahkan bungkusannya sambil menjawab, “Nasi jagung. Apakah kau dan tuan Sidatta biasa makan nasi jagung?”

“Oh tentu,“ sahut Mahendra, “di Tumapel kami juga makan nasi jagung. Bukankah begitu kakang Sidatta?”

Sidatta mengangguk sambil tersenyum, “Ya. Aku juga biasa makan nasi jagung.”

“Apalagi sambal kacang,“ sela Mahendra setelah melihat isi bungkusan itu, “Apakah kau sendiri tidak makan Agni?”

“Baru saja,“ sahut Agni dengan dada yang berdebar-debar. Ia seakan-akan menjadi tidak bersabar menunggu Mahendra menyelesaikan makan. Seolah-olah terasa Mahendra sengaja makan terlalu lambat seperti juga Sidatta. Bahkan kemudian Mahendra itu berkata, “Maaf Agni. Aku perlu air. Aku terlampau haus.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berdiri juga untuk mengambil bumbung berisi air. Dalam pada itu ketika Mahisa Agni sedang meninggalkan Mahendra berdua dengan Sidatta, terdengar Mahendra berbisik, “Kau lihat kakang. Baru melihat wajah-wajah kita, Mahisa Agni telah menjadi tegang. Aku tahu, ia sudah jemu membicarakan masalah adiknya yang satu itu. berkali-kali ia selalu diganggu oleh persoalan itu.”

Sidatta mengangguk-anggukkan kepalanya. Desahnya, “Melihat sikapnya maka anak muda itu benar-benar keras hati.”

“Sebenarnya tidak. Ia anak muda yang baik. Ia tidak mendendam seseorang. Aku pernah berkelahi melawannya karena kesalahanku. Tetapi aku selalu saja dikalahkan. Meskipun ia menang atasku, namun ia tidak berbuat apa-apa atasku ketika aku minta maaf. Ia tidak menghina aku dan tidak ingin membalas dendam. Aku tidak tahu kenapa ia bersikap terlampau keras terhadap adiknya. Mungkin karena ia menjadi banyak kehilangan karena hilangnya adiknya itu. Ayah angkatnya yang juga menjadi gurunya, bendungan, sahabatnya yang juga bakal iparnya yang bernama Wiraprana yang dibunuh oleh Kuda Sempana, dan ia sendiri hampir terbunuh untuk mempertahankan adiknya. Tiba-tiba ia mendengar adiknya menerima lamaran Tunggul Ametung yang turut melarikan gadis itu.”

“Perasaannya tersinggung karenanya,“ desis Sidatta.

“Tersinggung agak terlampau parah,“ sambung Mahendra. Tetapi percakapan itu terhenti ketika Mahisa Agni datang sambil membawa bumbung air.

Mahisa Agni menjadi semakin kecewa ketika ia melihat nasi jagung Mahendra masih hampir utuh. Karena itu maka katanya, “Nasi itu sama sekali tidak memenuhi seleramu Mahendra?”

“O, tidak,“ sahut Mahendra, “aku senang sekali makan nasi jagung dan sambal kacang.”

Mahisa Agni tidak menyahut. Ia mencoba menyabarkan diri menunggu sampai mereka selesai makan. Tetapi hatinya yang selalu bergolak itu tidak dapat ditahannya. Maka terloncatlah pertanyaannya, “Dari manakah kalian berdua Mahendra?”

Mahendra berhenti menyuapi mulutnya. Tetapi ia masih ragu-ragu untuk menjawab. Namun diluar kehendaknya Sidatta lah yang menjawab, “Kami baru saja menempuh sebuah perjalanan.”

Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Ia menunggu Sidatta meneruskan, tetapi orang itu berdiam diri sambil meneguk seteguk air dari bumbung. Karena Sidatta tidak meneruskan kata-katanya maka kembali Agni bertanya, “Perjalanan jauh? Tetapi apakah kalian telah singgah ke padepokanku di Panawijen?”

“Ya,” sahut Mahendra. Ia tidak dapat menyembunyikan persoalan yang sebenarnya. Tetapi ia ingin mengatakannya dengan cara yang lain, “Kami berjalan-jalan bersama kakang Witantra.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin bercuriga. Katanya, “Apakah Witantra sekarang berada di padepokanku di Panawijen?”

“Ya,“ sahut Mahendra acuh tak acuh sambil menyuapi mulutnya, “perjalanan yang sama sekali tidak menarik. Kami harus berjalan kaki dari Tumapel, lewat tengah hutan, untuk menghindari terik matahari.”

“Kenapa?”

Seolah-olah tidak ada soal yang penting sama sekali, Mahendra menjawab, “Kami mengantarkan adikmu.”

“Ken Dedes?“ desis Mahisa Agni.

“Ya. Ia sedemikian rindunya kepadamu sehingga ia memaksa untuk menemuimu. Tetapi setelah kami sampai di padukuhanmu, kau tidak ada. Dengan serta merta aku harus berjalan lagi ke padang rumput Karautan.”

“Bohong,” tiba-tiba terdengar suara Mahisa Agni semakin tegang.

Sidatta mengerutkan keningnya. Benar juga pesan Witantra dan Ken Dedes. Mahisa Agni bersikap agak terlampau keras. Tetapi Mahendra sama sekali tidak terkejut. Ia masih tetap menyuapi mulutnya. Bahkan kemudian sambil tertawa ia berkata, “Ah, nasi mu benar-benar luar biasa. Enak dan cepat menjadi kenyang.”

“Aku tidak percaya Mahendra,“ berkata Agni tanpa menghiraukan kata Mahendra, “kalian datang untuk menangkap aku dan membawa aku menghadap Akuwu Tumapel karena aku pernah meninggalkan Tumapel sebelum aku menghadap.”

Mahendra mengerutkan keningnya. Tetapi wajahnya masih tetap tenang, dan mulutnya masih tetap mengunyah makanannya. Meskipun demikian, degup jantung Mahendra tidaklah setenang wajahnya. Bahkan ia kemudian menjadi cemas, bahwa caranya itu pun tidak akan menyenangkan Mahisa Agni. Sidatta yang duduk di samping Mahendra sudah tidak lagi dapat menelan makanannya dengan lancar. Ia tidak pula bersabar mendengarkan cara Mahendra mengatakan maksudnya.

Dalam pada itu terdengar Mahendra menjawab, “Ah. Kenapa kami harus menangkapmu? Bukankah tidak ada alasan? Jangan berprasangka Mahisa Agni.”

Mahisa Agni terdiam. Ia melihat Mahendra itu masih saja sibuk dengan nasi jagung dan sambal kacang, seolah-olah memang tidak ada sesuatu yang penting. Tetapi kenapa ia begitu tergesa-gesa mencarinya. Apakah benar hanya karena Ken Dedes segera ingin menemuinya? Tetapi menilik cara Mahendra makan dan ketenangannya menyampaikan ceritera perjalanannya, terasa bahwa Mahendra memang tidak sedang mengemban tugas yang terlampau penting. Sidatta sekali menggeser duduknya dengan gelisah. Tetapi ia memahami cara Mahendra menyampaikan maksudnya, sehingga karena itu, ia mencoba untuk menahan perasaannya.

Tiba-tiba terdengar Mahendra berkata, “Adikmu ada di Panawijen sekarang Mahisa Agni.”

“Biar sajalah,“ jawab Mahisa Agni kosong.

Mendengar jawaban itu dahi Mahendra berkerut dan terasa dada Sidatta berdesir. “Ia sangat rindu kepadamu,“ Mahendra meneruskan.

“Anak itu telah menjadi seorang besar di Tumapel. Apalagi yang diharapkan daripadaku?”

“Bukankah ia adikmu?”

“Pada masa kita masih kanak-kanak ia adikku. Tetapi sekarang kami menempuh jalan hidup kami masing-masing. Ia tidak memerlukan aku lagi, dan aku tidak memerlukannya.”

Mahendra tersenyum. Senyum yang aneh. Namun ia hampir kehabisan akal untuk mencari jalan supaya ia dapat mengajak Mahisa Agni pergi ke Panawijen. Kalau ia tidak dapat membawa Mahisa Agni ke Panawijen, maka kemungkinan terbesar adalah Ken Dedes sendiri akan datang ke Padang Karautan untuk mengambil Mahisa Agni dan membawanya ke Tumapel. Dalam keadaan yang demikian segalanya akan dapat terjadi. Ken Dedes membawa serombongan prajurit yang sedang mengemban tugas dan disini banyak anak-anak muda yang pasti akan berpihak kepada Mahisa Agni. Tetapi Mahendra tidak mengetahui bahwa anak-anak muda yang berada di padang ini sebagian terbesar adalah anak-anak muda seperti Sinung Sari, Jinan dan Patalan.

Meskipun demikian Mahendra masih mencoba berkata, “Aku tadi belum mendapat hidangan apa-apa di padukuhanmu Agni. Seharusnya aku besok pagi-pagi harus sudah sampai di sana pula. Tetapi aku kira aku tidak akan kembali ke Panawijen."

Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata itu. Bukan saja Mahisa Agni, tetapi juga Sidatta. Tetapi agaknya Mahendra memang sedang memutar otaknya untuk memancing Mahisa Agni ke Panawijen. “Kenapa?“ bertanya Mahisa Agni.

“Kau tahu perasaanku Agni,“ berkata Mahendra tiba-tiba dengan wajah yang bersungguh-sungguh, “Aku sudah menerima keadaan yang aku hadapi sebagai suatu kenyataan yang tak dapat aku ingkari. Tetapi meskipun demikian, aku tidak akan dapat melihat gadis itu bersedih dan menangis terus menerus.”

“Kenapa?”

“Gadis itu merasa bahwa hidupnya kini benar-benar tinggal sebatang kara. Seolah-olah semua orang yang dikenalnya pada masa kanak-kanaknya, semua orang yang pernah dikasihinya sejak ia masih kanak-kanak telah meninggalkannya. Ayahnya dan kau...”