Senopati Pamungkas Kedua Jilid 65 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 65

Nyai Demang menangkap dan mengartikan keganasan senjata roda maut bertaring. Sementara Gendhuk Tri bisa menangkapnya sebagai kekuatan raksasa, kekuatan berlipat, yang dihadapi dengan tidak melawan. Itu perbedaan yang luar biasa.

Nyai Demang hanya bisa menangkap makna dan mengira-ngira apa yang tengah terjadi, sementara Gendhuk Tri dari peristiwa yang sama sudah langsung menemukan kunci jawaban penyelesaian. Dalam hal seperti ini, Halayudha pasti juga melihatnya, pasti mengetahui.

“Adimas Upasara, Pangeran Hiang, anakku Tri…” suara Nyai Demang tetap terdengar lembut. “Biarkan sekarang ini saya yang menghadapi mereka. Kalian masih punya waktu untuk tidak melibatkan diri. Masih ada jalan lain.”

“Ibu Nyai, kita berada di sini bersama-sama, kenapa masih berpikir sendiri-sendiri?”

Upasara mengangguk. Tangannya menarik kaki untuk sedikit diluruskan. “Selama kita masih menemukan irama yang sama, kita bisa memainkan gending bersama-sama.”

Pangeran Hiang ikut mengangguk. Meskipun wajahnya tampak suram. “Pangeran Upasara, saya hanya melibatkan dirimu kepada keruwetan.”

“Maaf, Pangeran, rasanya bukan saat yang tepat untuk membicarakan hal itu.”

“Pangeran Upasara, mereka hanya berurusan dengan saya…”

Tangan Upasara bergerak. Memegang tangan Gendhuk Tri. Tersenyum tipis. Selendang Gendhuk Tri mengembang dengan sendirinya, terkena penyaluran tenaga dalam Upasara. Nyai Demang segera memegangi ujungnya. Pangeran Hiang seakan menangkap isyarat. Karena mengetahui ada tenaga yang bergerak di sekelilingnya.

Melihat Upasara tidak menjawab tawarannya, meskipun sedikit was-was, Halayudha memerintahkan para prajurit bersiaga. “Atas nama Raja, tangkap mereka. Mati atau hidup!”

Tari Perdamaian
TAK ada pilihan lain. Para prajurit segera menyerbu. Dari berbagai arah. Senopati Jabung Krewes juga mengangkat senjata. Meloncat ke depan, bersamaan dengan Halayudha.

Gendhuk Tri mengibaskan selendangnya. Tubuhnya maju, memapak Jabung Krewes. Hanya saja tidak memapak serangan atau menangkis, Gendhuk Tri melenggok. Tubuhnya bergerak luwes bagai memamerkan tarian. Menghindar sambil memiringkan tubuh. Sebelum selesai geraknya, Upasara sudah berada di sampingnya. Meskipun dengan gedingklangan, terpincang-pincang, gerakannya sangat pas berada di sebelah, dan satu langkah menuju gerbang luar.

Nyai Demang dengan cepat membaca apa yang dimaui. Ketika Upasara menyebutkan irama gending bersama-sama, Nyai Demang belum sepenuhnya mengerti. Akan tetapi begitu selendang saling dipegangi, Nyai Demang sudah menangkap isyarat itu. Maka ia bisa menyusul ke dalam barisan di sebelahnya. Hanya Pangeran Hiang yang tampak kikuk. Karena ketika bergerak, tak urung tangannya bentrok dengan Halayudha, yang karena masih merasa jeri menarik mundur pukulannya.

“Gerakkan saja, Pangeran Hiang,” bisik Nyai Demang dalam bahasa yang dimengerti Pangeran Hiang. “Kita memakai gerakan lima langkah, dalam hitungan keenam. Ini adalah langkah yang disebut Langkah Slendro. Entakan langkah adalah satu dengan kekuatan kepala, dua dengan gerakan leher, tiga dengan gerakan dada, empat… empat tidak dikenal, lima dengan gerakan lima, enam dengan gerakan enam.”

Pangeran Hiang mengikuti langkah di samping Nyai Demang. “Ini langkah ketiga, ya…” Pangeran Hiang terhuyung, gerakannya kaku, akan tetapi posisi kakinya sudah tepat seperti yang dimaksudkan Nyai Demang.

“Iramanya biasa saja. Jangan mengikuti pikiran, akan tetapi rasa. Maaf, maaf ini memang masalah yang sulit. Tapi seperti memainkan Langkah Naga, yang sama… Ya, Delapan Langkah Naga, akan tetapi ini hanya berjumlah lima, karena langkah keempat kosong. Tidak melakukan gerakan.”

Meskipun sangat kaku dan terbata-bata, Pangeran Hiang bisa menangkap apa yang dimaksudkan Nyai Demang. Terbukti dengan cepat bisa mengisi kekosongan, dan dalam sekejap keempatnya sudah berada di mulut gerbang yang roboh. Dengan satu putaran lagi, keempatnya kembali ke depan, untuk kemudian berputar melepaskan diri dari kepungan. Lepas dari kurungan, lolos dari serangan tanpa menimbulkan satu korban pun.

Bahkan Nyai Demang masih menerangkan dan kadang tertawa lepas karena gerakan tubuh Pangeran Hiang yang sangat kaku dan terpotong-potong, sementara Upasara melakukan dengan satu kaki. Toh akhirnya mereka berempat bisa lolos.

Sebenarnya bukan sesuatu yang luar biasa. Ketika Jabung Krewes ikut menggerakkan para prajurit, hatinya masih diliputi keraguan untuk benar-benar menyergap. Setengah hati saja melakukannya. Akan tetapi begitu Upasara, Gendhuk Tri melangkah, Jabung Krewes segera menangkap irama gerakan. Gerakan penari yang langkah-langkahnya sangat dikenali.

Sehingga Jabung Krewes memainkan irama yang sama. Seolah ia menggebrak, akan tetapi sering menemukan bayangan yang keliru. Karena memainkan dengan cepat, tak akan mudah diketahui bahwa Jabung Krewes sengaja menyamakan irama. Begitu juga aba-aba yang diberikan kepada para prajuritnya. Mereka mengejar ke tempat yang baru ditinggalkan. Mereka mencegat pada langkah keempat. Itu pula sebabnya keempatnya bisa segera lepas dari kepungan prajurit yang bersenjata lengkap.

Halayudha bukannya tidak mengetahui permainan ini. Permainan tarian yang dimainkan Upasara, maupun permainan yang dimainkan Jabung Krewes. Baginya, sangat mudah membaca kemungkinan gerak yang akan terjadi. Sama mudahnya dengan melihat jari tangannya, karena irama yang menjadi sumber gerakan itu sangat dikenalnya. Hanya Halayudha tak mau bertindak bodoh.

Halayudha tak ingin mengacaukan irama. Karena melihat bahwa semua prajurit yang mengepung, secara serempak juga memahami gerakan itu dan tak ada yang berusaha mematahkan atau mengacaukan. Dengan kata lain, para prajurit berada pada pihak Upasara Wulung. Kalau dirinya mengambil jalan dan irama yang berbeda, Halayudha merasa hanya akan lebih menyulitkan posisinya.

Pertama, itu berarti ia harus menggebrak dari prajuritnya sendiri dan ke arah luar. Kedua, itu berarti dirinya yang akan berada di depan. Paling depan. Halayudha, seperti yang diperhitungkan Nyai Demang, sama sekali tidak ingin membuka pertarungan sekali ini. Upasara yang terpincang-pincang tak akan bisa dilawan sekarang ini. Apalagi masih ada Pangeran Hiang yang masih dalam kondisi istimewa, dengan dendam segunung yang bisa diruntuhkan ke arahnya.

Makanya Halayudha tak terlalu berkeras untuk menahan dan melibatkan diri. Hanya setelah keempatnya berada di luar pendapa, ia memerintahkan untuk terus mengejar. Meskipun sadar tak ada gunanya. Karena para prajurit itu bukan tandingan mereka sedikit pun. Halayudha sendiri lebih suka berbalik, menyiapkan diri untuk sowan, dan merencanakan beberapa langkah utama.

Yang pertama-tama adalah berusaha memulihkan tenaga dalamnya, dan menyiapkan kondisinya agar kembali seperti semula. Yang kedua, kini masalahnya sudah lebih terang. Terutama dengan mundurnya Tujuh Senopati Utama. Ini berarti, secara praktis Keraton sepenuhnya sudah dikuasai. Hanya menghadapi Raja. Dan keyakinannya sejak dulu, itu bukan masalah apa-apa.

Walaupun masih ada sisa ancaman, itu berasal dari Senopati Jabung Krewes. Perlu diperhitungkan mengingat tadi Raja mengangguk-angguk dan merasa bangga akan apa yang dilakukan oleh Jabung Krewes. Itu bisa menjadi pertanda buruk baginya. Akan tetapi ia tak perlu kuatir. Perubahan itu tak akan terjadi dalam waktu dekat. Dan sebelum perubahan itu terjadi, ia telah bergerak!

Dengan cara yang paling gampang. Membuka rahasia cara penyerangan Jabung Krewes yang membiarkan Upasara lolos. Tak begitu sulit menerangkan kepada Raja, tak terlalu sulit Raja memahami Langkah Slendro, yang melahirkan Tarian Perdamaian. Dari satu sisi ini saja, rahasia Jabung Krewes sudah habis. Berarti memang tak ada yang perlu diperhitungkan. Yang ada hanya prajurit kecil. Itu pun hanya Mada.

Mada? Ini bisa jadi masalah ketiga baginya. Halayudha sedang berpikir-pikir mengenai Mada. Yang bersama dengan saudara seperguruannya, bersama dengan Eyang Puspamurti mempunyai kedudukan yang istimewa. Bukan karena ilmu silat mereka lebih unggul dibandingkan yang lain, akan tetapi Mada dan Kwowogen sudah memperlihatkan sesuatu yang mempunyai nilai lebih.

Mada bahkan bisa langsung mengambil langkah memerintah. Sesuatu yang tak terbayangkan bakal bisa dilakukan ketika ia masih mempunyai pangkal prajurit. Mada bisa berbahaya karena kalau dilihat sikapnya selama ini sangat keras. Apalagi dengan Jabung Krewes di belakangnya. Tapi, sekarang masih belum ada apa-apanya. Halayudha sudah mempunyai rencana untuk menghapus semuanya. Itu tak terlalu sulit.

Hanya tiba-tiba Halayudha seperti tersadar. Matanya berkejap-kejap, bibirnya menjadi gemetar. Tangannya menepuk keningnya beberapa kali. Bayangan Upasara Wulung, Nyai Demang, Gendhuk Tri, Pangeran Hiang muncul silih berganti. Yang kemudian muncul berulang adalah bayangan Gendhuk Tri. Yang bisa menenggelamkan Gemuka. Betapa mengagumkan.

Halayudha melihat dirinya sendiri. Menyelam ke dalam batinnya. Kalau semua tokoh bisa langsung melejit dan menemukan pencerahan, kenapa dirinya seperti berjalan di tempat? Kenapa dirinya hanya bisa menjadi saksi, dan bukan pelaku? Apakah karena dirinya hanya berpikir yang kecil dan sepele?

Halayudha menepuk keningnya. Mengurut dadanya. Matanya terpejam. Bibirnya terkatup erat. Seolah semua geraknya takut terbaca orang lain. Ada sesuatu yang melintas di kepala Halayudha, dan ia merasa bisa dibaca oleh orang lain. Yaitu kesempatan terakhir dari kemungkinan yang bisa dicapai olehnya. Menjadi orang pertama. Duduk di singgasana. Duduk di dampar kencana, kursi emas.

Sekarang saatnya! Leher Halayudha bergerak-gerak. Ia tak kuasa menahan gejolak hatinya, dorongan keinginannya yang meledak-ledak. Sekarang ini. Para ksatria sedang menyingkir dan tak akan peduli. Tujuh Senopati Utama dalam keadaan tidak mempunyai kekuasaan. Di Keraton tak ada pelindung dari Tartar, Syangka, Hindia, atau mana saja. Tak ada tokoh Keraton yang disegani. Tak ada siapa-siapa. Selain dirinya. Selain Halayudha!

Pemahaman, Bukan Kekalahan
KALAU Halayudha sedang melayang karena merencanakan langkah menduduki singgasana, Pangeran Anom juga melayang pikirannya karena terjungkal. Terjungkal dari angan-angan, impian yang tersisa dalam lubuk hatinya yang paling tersembunyi. Harapannya terpupus tandas.

Selama ini secara diam-diam dan terang-terangan, Pangeran Anom menaruh hati kepada Gendhuk Tri. Lebih dari putri Keraton yang mana pun, hati Pangeran Anom menemukan getar yang paling memabukkan dan membahagiakan ketika melihat Gendhuk Tri. Perjalanannya ke Pamalayu bersama kedua orangtuanya pun urung karena ingin mengikuti Gendhuk Tri.

Dalam pandangan Pangeran Anom, Gendhuk Tri adalah wanita yang selama ini hanya bisa ditemukan dalam angan-angan. Seorang wanita yang bersikap dewasa, yang menjawab rasa rindu, dan mempunyai daya tarik asmara sejati. Meskipun tidak secara terang-terangan menolak, Pangeran Anom mengetahui dan merasakan bahwa hati Gendhuk Tri terlalu keras untuk lumer tersinggung daya asmara. Itu menggelisahkan, akan tetapi tak mengurangi masa yang akan datang.

Juga sewaktu secara terang-terangan Gendhuk Tri mengatakan bahwa ia memilih Maha Singanada. Dengan jujur Pangeran Anom mengakui, bahwa Maha Singanada menunjukkan kelebihan dibandingkan dirinya. Dalam hatinya, Pangeran Anom mengakui kesetiaan Gendhuk Tri. Akan tetapi, dalam hati kecil Pangeran Anom masih juga bersemi harapan-harapan bahwa sebelum ada janur kuning melengkung di gapura-tanda adanya upacara pernikahan-Pangeran Anom masih melihat peluang untuk menemukan idamannya.

Betapapun kecil. Hati kecilnya, rasa kalbunya, mengisyaratkan bahwa masih ada kemungkinan untuk menyelinap ke dalam perhatian Gendhuk Tri. Bukan karena Maha Singanada telah menjadi cacat dan kutung kakinya, akan tetapi tanpa alasan itu pun seberkas cahaya keinginan masih membersit. Tapi tidak sekarang ini.

Kalau sebelumnya bunga-bunga kerinduannya terus bersemi, kali ini seperti rontok sebelum disapa matahari. Karena yang muncul adalah Upasara Wulung. Ksatria yang dikagumi, lelaki yang membuatnya menunduk hormat, dan rasa-rasanya memang lelaki seperti Upasara Wulung-lah yang pantas mendampingi pujaan hatinya.

Pangeran Anom tak bisa menipu hatinya. Kehadiran kembali Upasara mempunyai arti yang dalam bagi Gendhuk Tri. Apa pun dan bagaimana pun perjalanan hidup Upasara di masa lalu, tetap tak akan mengubah pandangan Gendhuk Tri. Pangeran Anom merasa yakin akan hal ini. Bahkan boleh dikatakan lebih yakin dari Gendhuk Tri sendiri.

Justru karena Pangeran Anom merasa sangat mengenal Gendhuk Tri, mengetahui reaksi ujung rambutnya sekalipun. Pangeran Anom seakan bisa membaca impian yang menyelinap di balik tidur Gendhuk Tri yang paling lelap sekalipun. Seakan mendengar suara hati Gendhuk Tri yang bernyanyi riang, setiap kali memandang bayangan Upasara Wulung.

Peristiwa besar yang baru saja terjadi menyadarkan sepenuhnya akan hal itu. Bukan karena ia tak disapa secara khusus, bukan karena dirinya tidak memperlihatkan keunggulan dibandingkan ksatria yang lain, melainkan karena memang itulah yang menjadi kenyataan sesungguhnya. Bagaimana Gendhuk Tri menunduk beku ketika Putri Tunggadewi meneriakkan sesuatu, terguguk dan bersemadi, ketika itulah tangan Upasara menyentuh pundak Gendhuk Tri.

Sentuhan lembut. Sentuhan sederhana. Senggolan yang tak mempunyai arti apa-apa, andai bukan Upasara yang melakukan. Andai bukan Gendhuk Tri yang diperlukan. Dan karena itu terjadi pada Gendhuk Tri dan Upasara, getaran itu jadi berbeda. Dalam pandangan Pangeran Anom, Gendhuk Tri menjadi sumringah, bergembira lahir-batin. Seolah menemukan kebahagiaan dan keriangan. Dan berdiri bersama, menghadapi lawan bersama. Saling memperlihatkan dengan lirikan pendek atau saling tahu di mana posisi masing-masing.

Pangeran Anom tahu persis karena memang hanya mereka berdua yang diperhatikan. Apalagi ketika kemudian menarikan gerakan yang sama untuk meloloskan diri dari pendapa. Betapa rukun, betapa mesra, betapa menyatu dalam irama kebersamaan. Pangeran Anom mengakui, dan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa itulah pasangan yang paling sempurna. Dewa atau Dewi lain tak akan mungkin memisahkan keabadian yang membahagiakan ini. Dewa dan Dewi hanya bisa iri pada mereka berdua.

Dirinya telah kalah. Kalah? Pangeran Anom mengakui sampai ke dasar hatinya. Disebut dengan istilah lain apa pun, jawabannya berarti sama. Dirinya telah dikalahkan oleh yang paling pantas mengalahkan. Kalah? Kalah dalam rebutan asmara. Kalah karena sepenuh-penuhnya Gendhuk Tri memasrahkan dirinya dalam rangkulan kekuatan asmara Upasara.

Tak ada kalah-menang dalam soal daya asmara, bantah batinnya lirih. Yang ada hanyalah jodoh. Hanyalah nasib, hanyalah garis tangan yang sudah ditakdirkan sebelum manusia dilahirkan. Pembenaran ini sedikit-banyak menghibur. Kehadiran Upasara sedikit-banyak membuatnya bersyukur. Kalau bukan Upasara, hati kecil Pangeran Anom masih akan menggeliat. Masih berkutat mempertanyakan. Akan tetapi, Upasara adalah Upasara, kakang Gendhuk Tri yang sesungguh-sungguhnya.

Tapi apa arti pembenaran ini? Pangeran Anom bertanya pada dirinya sendiri. Dan menjawab sendiri dengan keraguan. Bahwa ini hanyalah upaya untuk menyenangkan, untuk menenangkan, untuk menenteramkan hatinya. Bahwa yang terbaik yang bisa mengalahkannya. Ini bukan kekalahan, ini pemahaman. Memahami bagaimana sebenarnya Dewa Yang Maha dewa mengatur jodoh manusia. Tak bisa diubah, tak bisa ditentang, tak mungkin digeser.

Jalan pikiran itu hanya menenteramkan sesaat. Sesaat berikutnya timbunan pembenaran yang lainnya. Bahwa semuanya baik, selama Gendhuk Tri menjadi lebih bahagia. Dan itu yang akan dialami nanti. Sesaat yang berikutnya lagi, Pangeran Anom menemukan pertanyaan yang mengguncang akar ketenteramannya. Apakah benar begitu? Apakah kalau Gendhuk Tri lebih bahagia, berarti dirinya juga bahagia? Apakah arti ketulusan semacam itu?

Sesaat dan sesaat berikutnya, putaran jalan pikiran Pangeran Anom tetap tak ada yang melegakan. Kecuali satu kenyataan, bahwa harapannya untuk menyimpan kenangan lama, akan tetap sebagai kenangan yang menyakitkan tapi juga memabukkan. Sedemikian puteg, sedemikian kalut pikiran Pangeran Anom sehingga tidak sadar dirinya tertinggal dari iringan yang menuju Keraton.

Dan dirinya tak tahu mau ke mana. Menghadapi kenyataan rasanya tak sanggup lagi. Satu-satunya jalan adalah mengikuti kehendak orangtuanya, Senopati Agung Brahma, menuju ke tanah seberang. Atau masih perlu mengucapkan selamat sejahtera kepada Gendhuk Tri? Ada gunanya. Untuk siapa? Apakah masih ada artinya bagi Gendhuk Tri, atau juga baginya sendiri? Kembali putaran pertanyaan tetaplah keraguan.

“Yayi Tri, biarlah Kakang mengenang daya asmaramu, dengan cara Kakang sendiri…”

Entah kalimat itu tercetus atau hanya terucapkan dalam hati. Tak ada bedanya. Tidak juga dengan menghela napas yang berat. Tak bisa melepaskan dengan memejamkan mata. Berpencar ke berbagai jurusan jalan pikirannya. Apakah ini karena garis keturunan, di mana rama-nya dulu juga mengalami kegagalan asmara yang mengenaskan, yang menyebabkan ia menyembunyikan diri separuh sisa hidupnya?

Apakah ini karena kutukan suatu kesalahan dan dosa kakek moyangnya dulu? Apakah, apakah, apakah sebenarnya daya asmara itu? Kenapa dulu mengenal Gendhuk Tri, kenapa bukan yang lainnya? Kenapa begitu hebat getaran hatinya terhadap Gendhuk Tri dan bukan Putri Tunggadewi, atau Putri Rajadewi, atau wanita yang lain? Apa sebenarnya arti ini semua?

Pangeran Anom tak bisa menjawab. Bahkan kemudian merasa tak bisa bertanya. Tubuhnya seperti melayang di atas mega, lembut, akan tetapi setiap kali kakinya seperti terjeblos dan membuatnya sadar apa yang terjadi dengan perjalanan hidupnya. Berapa lama duka ini harus ditanggung? Berapa lama beban melekat ini menghancurkan kekuatan jiwanya?

Akhirnya Pangeran Anom memutuskan kembali ke Keraton lebih dulu. Untuk segera mengumpulkan prajurit dan pengikutnya, yang akan menyertai ke tanah seberang. Itu satu-satunya jalan. Satu-satunya kemungkinan, apa pun namanya. Apakah pelarian asmara, apakah ketololan asmara, atau jalan terbaik, Pangeran Anom tak bisa menilai.

“Daya asmara yang tak bermuara adalah air Kali Brantas, akan selalu mengalir…” Kalimat itu cair, menenggelamkan dirinya.

Pedang yang Tersimpan
SEMENTARA itu Pangeran Hiang, Upasara Wulung, Gendhuk Tri, serta Nyai Demang masih menarikan gerakan bersama. Pangeran Hiang tampak sangat kesengsem, sangat tertarik. Karena mulai bisa mengikuti irama. Bahkan tanpa ada yang mengejar pun, Pangeran Hiang masih terus mencoba meloncat ke kiri, ke kanan, melangkah kosong, dan menggerakkan lehernya. Hanya karena Upasara tampak kaku, kakinya masih lurus tak tergerakkan, mereka bertiga berhenti. Dan berteduh di bawah pepohonan.

“Bagaimana kakimu, Anakmas…?”

Upasara menggeleng. “Entahlah, Nyai. Entahlah kalau Mpu Tanca tidak segera membubuhkan reramuan.”

Ketika Upasara menyingkapkan kainnya, tampak garis hitam membujur di pahanya hingga ke kaki. Luka itu telah sembuh.

“Anakmas jangan terlalu banyak bergerak.”

Baru sekarang Upasara mendengar sebutan “Anakmas”. Panggilan yang tidak biasanya. Baru kemudian Upasara sadar ada sesuatu yang dimaksud, ketika Nyai Demang berbicara kepada Gendhuk Tri dengan menyebut sebagai anakku.

“Kangkam Galih benar-benar luar biasa. Selama ini kita semua tak pernah mengetahui.”

“Memang, itulah pedang yang tersimpan. Keunggulan yang begitu sempurna, ciptaan maha karya yang linuwih, yang unggul, tersimpan begitu saja. Apakah Anakmas sama sekali tak mengetahui asal-usul Kangkam Galih?”

“Tidak, Nyai.”

“Tak pernah mendengar?”

“Tidak.”

“Apa Ibu Nyai pernah mendengar?” Suara Gendhuk Tri datar, lembut, tapi menggetar.

Nyai Demang menggeleng. Sangat perlahan. “Rasanya aku pernah mendengar cerita. Barangkali saja ada hubungannya dengan Kangkam Galih. Tapi susah dirunut benar-tidaknya. Di masa kekuasaan Sri Baginda Raja Kertanegara, begitu banyak keunggulan yang tergali. Salah satu yang kita rasakan hingga sekarang adalah lahirnya Kitab Bumi. Sesungguhnya apa yang Sri Baginda Raja lakukan tidak hanya terbatas pada kitab silat. Melainkan juga pembuatan senjata pusaka, pengiriman para senopati ke tanah seberang. Ah, Anak Tri, apakah Mpu Raganata tak pernah bercerita?”

“Tidak. Atau saya tak tahu. Saya tidak langsung diasuh Eyang Raganata yang mulia."

“Apa Jagaddhita tak pernah bercerita?”

“Tidak. Atau saya lupa.”

“Kalau tidak salah, di masa awal pemerintahan Sri Baginda Raja, para empu pembuat senjata pusaka juga dikerahkan untuk menciptakan keris yang mahasakti. Di antaranya adalah Kiai Sumelang Gandring yang menciptakan banyak keris pusaka. Akan tetapi karena gagal memenuhi permintaan Sri Baginda Raja, Kiai Sumelang Gandring mengembara ke tanah kulon, dan sampai sekarang tak kembali. Saya dengar ada beberapa muridnya yang mengembara kembali, akan tetapi cures, punah semuanya. Sungguh sayang. Bagaimana mungkin tokoh yang demikian sakti tak meninggalkan bekas apa-apa? Hmmm. Tapi kembali ke asal-mula Kangkam Galih. Kalau tak salah memang ada empu yang sakti, yang menciptakan senjata ampuh. Sedemikian ampuhnya, sehingga sang pencipta pusaka sendiri kuatir akan banyak sekali korban yang jatuh. Maka senjata itu disembunyikan. Kalau cerita ini benar adanya, sangat cocok dengan diketemukannya Kangkam Galih. Pedang pusaka itu disembunyikan di tengah galih asam. Sedemikian sempurnanya, sehingga kita tak ada yang mengetahui bahwa tongkat kayu yang digunakan Galih Kaliki menyimpan pedang sakti. Hanya itu yang kuketahui sejauh ini. Siapa penciptanya, dan bagaimana kisah selanjutnya aku tak tahu. Barangkali kalau kita membuka-buka kitab di perpustakaan Keraton, kita bisa melacak.”

“Mungkin juga tidak,” sambung Gendhuk Tri ringan. “Ada yang merasa tak perlu dikenang. Baik karena meninggalkan kenangan tidak menyenangkan, atau karena menganggap itu semua tidak perlu.”

Nyai Demang merasa Gendhuk Tri seperti membicarakan sesuatu yang berbeda. Walau bisa dihubungkan dengan apa yang tengah dibicarakan. Bisa saja berarti bahwa empu pencipta Kangkam Galih merasa gagal karena menciptakan senjata pembunuh yang dahsyat. Atau karena merasa tak ada gunanya dikenang. Tetapi arti yang lain juga mencuat. Bahwa sesungguhnya ada masa lalu yang seharusnya dihapus, karena selalu menimbulkan kenangan tidak menyenangkan. Atau karena tak mempunyai makna apa-apa.

Nyai Demang bertanya-tanya. Apakah yang dimaksudkan Gendhuk Tri kenangan dalam diri Upasara tentang Permaisuri Rajapatni? Atau justru Ratu Ayu? Atau Gendhuk Tri sendiri dengan Maha Singanada? Atau Pangeran Hiang? Semuanya bisa terkena. Termasuk dirinya sendiri.

“Bagaimana rasanya, Anakmas?”

“Masih ngilu.”

“Barangkali…”

Kali ini Nyai Demang tak bisa melanjutkan. Karena kuatir jika akhirnya ada kesimpulan kaki itu harus dipotong. Kisah Maha Singanada sudah cukup mengerikan. Dan apa yang dirasakan Gendhuk Tri nantinya jika harus mengalami dua kali kejadian yang sama-sama mengerikan?

“Adik Tri benar. Kalau empu yang menciptakan pedang tak meninggalkan apa-apa, beliau sendiri yang memutuskan begitu. Saya kira Adik Tri benar.”

“Sejak kapan Kakang memanggil dengan sebutan itu?”

Upasara tersenyum. “Sejak bertemu dulu mestinya sudah memanggil itu. Apa berkeberatan?”

Gendhuk Tri tersenyum geli. “Kita sekarang ini sudah jadi penganggur iseng yang kurang pekerjaan. Sehingga soal sebutan saja menjadi pembicaraan. Apa benar kita tak punya tanggung jawab apa-apa lagi?”

“Apa maksudmu, anakku?”

“Keraton saat ini…”

“Keraton selalu seperti itu!”

“Raja…”

“Raja masih akan selalu begitu.”

“Di sana masih ada Putri Tunggadewi dan Putri Rajadewi yang tak ketahuan nasibnya di tengah kekuasaan Raja. Di sana ada senopati-senopati yang kini diberangus. Dan di sana juga ada Halayudha yang makin memperlihatkan siapa dia sebenarnya.”

“Lalu?”

“Lalu kita berada di sini membicarakan soal panggilan, sebutan.”

“Kamu sendiri yang memulai.”

Gendhuk Tri mengangguk. “Saya yang memulai, karena saya merasa tak mempunyai beban lagi. Saya tak mempunyai tanggung jawab apa-apa sekarang ini. Tidak ada pegangan, tidak ada yang…”

“Jadi kamu anggap ibumu ini…”

“Ibu Nyai kan di sini bersama kami dan tak perlu dikuatirkan.” Ucapan Gendhuk Tri tertuju kepada Upasara. Yang hanya menghela napas pendek.

“Pedang yang tersimpan. Pedang yang memerlukan waktu untuk berdiam diri. Agar pedang-pedang yang lain, agar keris, tombak yang lain berbicara. Kalau semua perlu ditebas dengan Kangkam Galih, yang lainnya tak perlu diciptakan.”

“Pedang itu hanya ciptaan. Manusia yang menciptakan.”

“Ada benarnya. Akan tetapi, kalau setiap kali aku yang berada di sekitar Putri Tunggadewi dan Rajadewi, sampai kapan mereka berdua menemukan dirinya? Menemukan pasangannya? Adik Tri lihat sendiri mereka berdua telah tumbuh sebagai wanita yang akan menjalani kodratnya.”

“Kenapa Kakang membicarakan soal jodoh?”

“Cepat atau bahkan sangat cepat, hal itu akan menjadi masalah utama, Adik. Mereka berdua berbeda dengan kita. Yang bisa gentayangan, tak merasa tak mempunyai beban.”

“Kakang, saya mengatakan mengenai perlindungan kepada Putri Tunggadewi dan Putri Rajadewi, sebab saya pernah berjanji akan melindungi mereka berdua.”

“Berjanji kepada…”

“Permaisuri Rajapatni.”

Upasara mengangguk.

Percakapan Perjodohan
TAK terlihat bahwa penyebutan nama Permaisuri Rajapatni membuat Upasara sedikit pun berubah. Tidak wajahnya. Tidak juga kalimatnya. Bahkan anggukannya tampak sangat wajar.

“Sebaiknya Adik Tri penuhi janji itu. Sebisanya. Kalau tidak memberati.”

Kini malah Gendhuk Tri yang merah wajahnya. Sekilas menduga bahwa Upasara mengetahui apa yang pernah diperbincangkan dengan Permaisuri Rajapatni. Saat itu belum ketahuan bagaimana nasib Upasara. Gendhuk Tri belum mengetahui. Ketika itulah Permaisuri Rajapatni mengajukan dua permintaan. Yang pertama meminta agar kedua putrinya dijaga. Yang kedua, yang kedua… kesediaan Gendhuk Tri menerima Upasara Wulung. Sekilas saja. Gendhuk Tri tak merasa perlu bertanya-tanya bahwa selama itu Upasara telah bertemu sendiri dengan Permaisuri Rajapatni.

Upasara tersenyum tipis. “Adik Tri mengerti maksud saya?”

Nyai Demang yang kadang merasa bisa menangkap sesuatu yang tak terucapkan kali ini hanya bisa mendengarkan. Tak mampu menebak apa yang tengah diperbincangkan. Ketika Nyai Demang membuang pandangan, barulah ia sadar bahwa sejak tadi Pangeran Hiang hanya berdiam diri.

“Apakah Pangeran Sang Hiang masih memikirkan langkah yang tadi?”

“Sungguh bahagia jika saja Nyai Demang bersedia memberikan petunjuk.”

“Saya sendiri tidak mengetahui. Tapi bisa kita coba. Barangkali di sebelah situ kita bisa leluasa.”

Nyai Demang menuju ke tempat yang agak jauh. Diiringi Pangeran Hiang. Sebenarnya tidak perlu, kalau maksudnya agar Upasara dan Gendhuk Tri tidak menjadi rikuh, enggan, dan terganggu. Karena bagi Upasara Wulung, satu tataran pemikiran telah dilalui. Kini penguasaan emosi dan gejolak hatinya bisa dilakukan dengan sangat baik. Mendekati kesempurnaan. Dan kepekaan penguasaan itu pula yang dilihat Upasara memancar dari dalam diri Gendhuk Tri. Terutama saat-saat terakhir ketika menghadapi Gemuka.

“Saya mengerti maksud Kakang.”

“Saya merasa lebih tenang sekarang ini. Adik Tri, saya mengerti bahwa sebagian isi hati dan kesetiaan yang Adik miliki telah diserahkan kepada Maha Singanada. Bahwa kemudian Maha Singanada memilih menggantikan Kakang, Dewa Yang Maha tahu yang mencatat. Tetapi saya pun bisa mencatat dan mengakui, pasti bukan tanpa sebab. Itu sebabnya di pulau terpencil dulu saya membuka persoalan ini kepada Adik. Adik Tri. Kita bukan kanak-kanak lagi. Kita bukan remaja yang digelorai daya asmara yang berkobar. Kita telah menjadi tua karena usia, karena kedunguan, karena pengalaman. Dengan mengecap kekuatan Sukma Sejati, dengan Ngrogoh Sukma Sejati, saya bisa mengetahui apa yang terjadi pada diri orang lain. Pada diri Pangeran Anom sekarang ini misalnya. Pada Ki Dalang Memeling, misalnya. Akan tetapi tetap saja sebagian yang tersangkut dengan diri saya, tak saya pahami.”

“Hal yang sama saya rasakan, Kakang.”

“Saya mengerti, Adik Tri. Saya mengerti.”

Keduanya berpandangan. Menyembunyikan senyuman.

“Penguasaan diri Adik Tri sangat luar biasa. Bibi Jagaddhita pun tak akan menduga bahwa Gemuka yang tak terkalahkan bisa bersujud di kaki Adik.”

“Kakang bilang kita bukan kanak-kanak. Tapi ngomongnya seperti kanak-kanak yang memerlukan pujian.”

“Saya mengatakan apa adanya.”

“Saya tahu, Kakang. Saya tahu Kakang adalah ksatria lelananging jagat, pendekar tanpa tanding. Akan tetapi sebenarnya masih ada pedang yang tersimpan, yang suatu hari kelak akan muncul ke permukaan. Saya tahu Kakang juga mengerti hal ini.”

“Adik Tri, saya tidak membicarakan ilmu silat. Saya membicarakan kita.”

Gendhuk Tri berdiri. “Kakang… Kapan Kakang mengenal wanita?”

Wajah Upasara berubah.

“Bahkan siapa ibu Kakang saja, Kakang tak bisa kenal. Kakang tak mengerti apa-apa tentang wanita. Tak apa.”

“Adik…”

“Apakah sekarang ini Kakang melamar… saya?”

“Ya.”

“Dan Kakang berharap mendengar jawabannya sekarang?”

“Ya.”

Wajah polos Upasara membuat Gendhuk Tri tersenyum makin lebar. Terkikik beberapa saat. Lalu menghela napas lagi. Wajahnya berubah murung.

“Apa yang Kakang harapkan dari saya?”

Upasara tak bisa menjawab. Tak menduga bakal ditanya seperti itu. Jadi malah terbatuk.

“Saya merasa Kakang bisa mematikan rasa yang pernah ada. Rasa asmara yang bersemi, yang tumbuh berhasil ditenggelamkan. Dengan penguasaan itu, berarti sekarang sebenarnya rasa yang sesungguhnya itu tak ada lagi. Apakah itu yang menjadi bekal Kakang melamar saya? Jawabannya juga sama. Selama ini saya telah menyerahkan perasaan yang sesungguhnya kepada Kakang Mada Singanada. Semua getaran dan perasaan saya yang sesungguhnya telah tercurah. Apakah kita akan menjalani kehidupan bersama yang kosong, Kakang?”

“Saya tidak memahaminya dari sisi itu,” jawab Upasara lebih cepat. “Karena daya asmara bukan satu-satunya. Yang selesai setelah diserahkan. Impian tidak habis ketika kita terbangun, Adik Tri. Dengan memecah sukma, menjelma menjadi mahamanusia, saya seolah bisa terpecah menjadi tiga…”

“Kakang…”

“Adik Tri, Yayi Gendhuk, saya memang dungu. Saya kasar dan tak mengenal tata susila. Namun apa yang saya katakan adalah sesungguhnya yang ingin saya katakan. Saya mengetahui sampai saat-saat terakhir sebelum bertapa, bahwa Gayatri masih menyimpan kenangan asmara terhadap diri saya. Demikian juga saya. Betapapun aneh, ganjil, dan tidak mempunyai makna apa-apa selain bunga-bunga impian. Akan tetapi itu tidak berarti Gayatri tidak mempunyai daya asmara terhadap Baginda. Tidak harus diartikan Gayatri melalui masa-masa yang kosong. Pelarian rasa kepada bunga impian tidak berarti mengurangi apa yang dialami.”

“Kakang… sejak kapan Kakang memikirkan hal itu?”

“Sejak lama. Dalam masalah asmara, Kakang lebih suka menjadi pedang yang tersimpan.”

Gendhuk Tri mengikik kembali. Kali ini selendangnya menyambar ke arah Upasara. Dan tak dihindarkan. Tapi sambaran itu lembut, dan sebagian ujung selendang masih berada di pundak Upasara. Gendhuk Tri tak segera menarik.

“Sebenarnya untuk apa kita bersama-sama, Kakang?”

“Tidak untuk apa-apa. Untuk bersama-sama. Untuk kodrat yang kita alami, kita jalani. Untuk jodoh. Untuk mengakui bahwa ada Dewa Yang Mahadewa, yang telah menjodohkan.”

Gendhuk Tri terdiam. Selendangnya ditarik. “Itulah yang disebut kehidupan. Barangkali…” Gendhuk Tri berdiri. Menghela napas.

“Adik Tri…”

“Kenapa Eyang Sepuh dan Eyang Putri Pulangsih…”

“Karena begitulah perjalanan hidup yang digariskan Dewa Yang Mahadewa…”

“Kakang, apakah jalan yang kita tempuh ini benar adanya?”

“Benar dan tidak benar bukan pertanyaan, dan tidak memerlukan jawaban. Kita akan menjalani.”

Gendhuk Tri melangkah. Tertahan. Karena tangan Upasara meraup selendang Gendhuk Tri.

“Apakah jawabannya harus sekarang?”

“Ya. Karena sejak kita bertemu sudah cukup waktu untuk berpikir.” Gendhuk Tri menggeleng.

Tarian Rasa
NYAI DEMANG yang sejak tadi melirik-lirik tampak tegang. Meskipun tidak secara jelas mendengar percakapan Gendhuk Tri dengan Upasara, akan tetapi dari sikap keduanya, terasakan suasana yang kurang menyenangkan. Nyai Demang mengerti bahwa Upasara Wulung bukanlah lelaki yang mengerti bagaimana mengasihi, bagaimana menunjukkan daya asmara. Sikap yang bisa dimengerti, karena sepanjang usianya yang remaja dihabiskan di Ksatrian Pingitan. Setelah itu tak sempat mempunyai waktu untuk memperhatikan dan menyalurkan hal itu.

Nyai Demang sangat mengetahui, karena ia pernah merasakan betapa sesungguhnya Upasara tergetar daya asmara terhadapnya. Akan tetapi juga terasakan begitu kikuknya. Kalau saja saat itu dirinya masuk dan memberi kesempatan, tak bisa tidak Upasara akan menyambut. Kalau dirinya membuka kemungkinan, Upasara akan berani bertindak. Namun pada saat itu pun Nyai Demang sadar sepenuhnya. Bahwa hatinya tak bisa menerima asmara pemuda yang masih hijau dalam pengalaman. Bahkan memang pintu hatinya sudah tertutup, betapapun kisah di luaran berbalik dari kenyataannya.

Pada hati Nyai Demang, rasa yang tumbuh terhadap Upasara adalah rasa sayang seorang kakak, seorang ibu, seorang dari darah dagingnya sendiri. Di lain pihak, Gendhuk Tri dikenal sebagai gadis yang luar biasa keras hati, keras kepala, dan sangat cugetan aten. Hati dan kemauannya mudah patah, dan kalau sudah begitu semua masalah ditarik mundur. Sebaliknya, kalau sudah menjadi kemauannya, tak ada yang bisa menghalangi.

Dua sifat yang mempunyai banyak persamaan, dalam hal susah mengalah. Segan menunjukkan rasa kalah untuk hal yang dianggap sangat peka. Dan kalau berbenturan, tak ada yang mau mengalah. Kalau sudah begitu, masalah utama yang seharusnya tidak menjadi persoalan, bisa seolah prinsip yang tak bisa digeser. Ini bisa bahaya.

JILID 64BUKU PERTAMAJILID 66

Senopati Pamungkas Kedua Jilid 65

Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 65

Nyai Demang menangkap dan mengartikan keganasan senjata roda maut bertaring. Sementara Gendhuk Tri bisa menangkapnya sebagai kekuatan raksasa, kekuatan berlipat, yang dihadapi dengan tidak melawan. Itu perbedaan yang luar biasa.

Nyai Demang hanya bisa menangkap makna dan mengira-ngira apa yang tengah terjadi, sementara Gendhuk Tri dari peristiwa yang sama sudah langsung menemukan kunci jawaban penyelesaian. Dalam hal seperti ini, Halayudha pasti juga melihatnya, pasti mengetahui.

“Adimas Upasara, Pangeran Hiang, anakku Tri…” suara Nyai Demang tetap terdengar lembut. “Biarkan sekarang ini saya yang menghadapi mereka. Kalian masih punya waktu untuk tidak melibatkan diri. Masih ada jalan lain.”

“Ibu Nyai, kita berada di sini bersama-sama, kenapa masih berpikir sendiri-sendiri?”

Upasara mengangguk. Tangannya menarik kaki untuk sedikit diluruskan. “Selama kita masih menemukan irama yang sama, kita bisa memainkan gending bersama-sama.”

Pangeran Hiang ikut mengangguk. Meskipun wajahnya tampak suram. “Pangeran Upasara, saya hanya melibatkan dirimu kepada keruwetan.”

“Maaf, Pangeran, rasanya bukan saat yang tepat untuk membicarakan hal itu.”

“Pangeran Upasara, mereka hanya berurusan dengan saya…”

Tangan Upasara bergerak. Memegang tangan Gendhuk Tri. Tersenyum tipis. Selendang Gendhuk Tri mengembang dengan sendirinya, terkena penyaluran tenaga dalam Upasara. Nyai Demang segera memegangi ujungnya. Pangeran Hiang seakan menangkap isyarat. Karena mengetahui ada tenaga yang bergerak di sekelilingnya.

Melihat Upasara tidak menjawab tawarannya, meskipun sedikit was-was, Halayudha memerintahkan para prajurit bersiaga. “Atas nama Raja, tangkap mereka. Mati atau hidup!”

Tari Perdamaian
TAK ada pilihan lain. Para prajurit segera menyerbu. Dari berbagai arah. Senopati Jabung Krewes juga mengangkat senjata. Meloncat ke depan, bersamaan dengan Halayudha.

Gendhuk Tri mengibaskan selendangnya. Tubuhnya maju, memapak Jabung Krewes. Hanya saja tidak memapak serangan atau menangkis, Gendhuk Tri melenggok. Tubuhnya bergerak luwes bagai memamerkan tarian. Menghindar sambil memiringkan tubuh. Sebelum selesai geraknya, Upasara sudah berada di sampingnya. Meskipun dengan gedingklangan, terpincang-pincang, gerakannya sangat pas berada di sebelah, dan satu langkah menuju gerbang luar.

Nyai Demang dengan cepat membaca apa yang dimaui. Ketika Upasara menyebutkan irama gending bersama-sama, Nyai Demang belum sepenuhnya mengerti. Akan tetapi begitu selendang saling dipegangi, Nyai Demang sudah menangkap isyarat itu. Maka ia bisa menyusul ke dalam barisan di sebelahnya. Hanya Pangeran Hiang yang tampak kikuk. Karena ketika bergerak, tak urung tangannya bentrok dengan Halayudha, yang karena masih merasa jeri menarik mundur pukulannya.

“Gerakkan saja, Pangeran Hiang,” bisik Nyai Demang dalam bahasa yang dimengerti Pangeran Hiang. “Kita memakai gerakan lima langkah, dalam hitungan keenam. Ini adalah langkah yang disebut Langkah Slendro. Entakan langkah adalah satu dengan kekuatan kepala, dua dengan gerakan leher, tiga dengan gerakan dada, empat… empat tidak dikenal, lima dengan gerakan lima, enam dengan gerakan enam.”

Pangeran Hiang mengikuti langkah di samping Nyai Demang. “Ini langkah ketiga, ya…” Pangeran Hiang terhuyung, gerakannya kaku, akan tetapi posisi kakinya sudah tepat seperti yang dimaksudkan Nyai Demang.

“Iramanya biasa saja. Jangan mengikuti pikiran, akan tetapi rasa. Maaf, maaf ini memang masalah yang sulit. Tapi seperti memainkan Langkah Naga, yang sama… Ya, Delapan Langkah Naga, akan tetapi ini hanya berjumlah lima, karena langkah keempat kosong. Tidak melakukan gerakan.”

Meskipun sangat kaku dan terbata-bata, Pangeran Hiang bisa menangkap apa yang dimaksudkan Nyai Demang. Terbukti dengan cepat bisa mengisi kekosongan, dan dalam sekejap keempatnya sudah berada di mulut gerbang yang roboh. Dengan satu putaran lagi, keempatnya kembali ke depan, untuk kemudian berputar melepaskan diri dari kepungan. Lepas dari kurungan, lolos dari serangan tanpa menimbulkan satu korban pun.

Bahkan Nyai Demang masih menerangkan dan kadang tertawa lepas karena gerakan tubuh Pangeran Hiang yang sangat kaku dan terpotong-potong, sementara Upasara melakukan dengan satu kaki. Toh akhirnya mereka berempat bisa lolos.

Sebenarnya bukan sesuatu yang luar biasa. Ketika Jabung Krewes ikut menggerakkan para prajurit, hatinya masih diliputi keraguan untuk benar-benar menyergap. Setengah hati saja melakukannya. Akan tetapi begitu Upasara, Gendhuk Tri melangkah, Jabung Krewes segera menangkap irama gerakan. Gerakan penari yang langkah-langkahnya sangat dikenali.

Sehingga Jabung Krewes memainkan irama yang sama. Seolah ia menggebrak, akan tetapi sering menemukan bayangan yang keliru. Karena memainkan dengan cepat, tak akan mudah diketahui bahwa Jabung Krewes sengaja menyamakan irama. Begitu juga aba-aba yang diberikan kepada para prajuritnya. Mereka mengejar ke tempat yang baru ditinggalkan. Mereka mencegat pada langkah keempat. Itu pula sebabnya keempatnya bisa segera lepas dari kepungan prajurit yang bersenjata lengkap.

Halayudha bukannya tidak mengetahui permainan ini. Permainan tarian yang dimainkan Upasara, maupun permainan yang dimainkan Jabung Krewes. Baginya, sangat mudah membaca kemungkinan gerak yang akan terjadi. Sama mudahnya dengan melihat jari tangannya, karena irama yang menjadi sumber gerakan itu sangat dikenalnya. Hanya Halayudha tak mau bertindak bodoh.

Halayudha tak ingin mengacaukan irama. Karena melihat bahwa semua prajurit yang mengepung, secara serempak juga memahami gerakan itu dan tak ada yang berusaha mematahkan atau mengacaukan. Dengan kata lain, para prajurit berada pada pihak Upasara Wulung. Kalau dirinya mengambil jalan dan irama yang berbeda, Halayudha merasa hanya akan lebih menyulitkan posisinya.

Pertama, itu berarti ia harus menggebrak dari prajuritnya sendiri dan ke arah luar. Kedua, itu berarti dirinya yang akan berada di depan. Paling depan. Halayudha, seperti yang diperhitungkan Nyai Demang, sama sekali tidak ingin membuka pertarungan sekali ini. Upasara yang terpincang-pincang tak akan bisa dilawan sekarang ini. Apalagi masih ada Pangeran Hiang yang masih dalam kondisi istimewa, dengan dendam segunung yang bisa diruntuhkan ke arahnya.

Makanya Halayudha tak terlalu berkeras untuk menahan dan melibatkan diri. Hanya setelah keempatnya berada di luar pendapa, ia memerintahkan untuk terus mengejar. Meskipun sadar tak ada gunanya. Karena para prajurit itu bukan tandingan mereka sedikit pun. Halayudha sendiri lebih suka berbalik, menyiapkan diri untuk sowan, dan merencanakan beberapa langkah utama.

Yang pertama-tama adalah berusaha memulihkan tenaga dalamnya, dan menyiapkan kondisinya agar kembali seperti semula. Yang kedua, kini masalahnya sudah lebih terang. Terutama dengan mundurnya Tujuh Senopati Utama. Ini berarti, secara praktis Keraton sepenuhnya sudah dikuasai. Hanya menghadapi Raja. Dan keyakinannya sejak dulu, itu bukan masalah apa-apa.

Walaupun masih ada sisa ancaman, itu berasal dari Senopati Jabung Krewes. Perlu diperhitungkan mengingat tadi Raja mengangguk-angguk dan merasa bangga akan apa yang dilakukan oleh Jabung Krewes. Itu bisa menjadi pertanda buruk baginya. Akan tetapi ia tak perlu kuatir. Perubahan itu tak akan terjadi dalam waktu dekat. Dan sebelum perubahan itu terjadi, ia telah bergerak!

Dengan cara yang paling gampang. Membuka rahasia cara penyerangan Jabung Krewes yang membiarkan Upasara lolos. Tak begitu sulit menerangkan kepada Raja, tak terlalu sulit Raja memahami Langkah Slendro, yang melahirkan Tarian Perdamaian. Dari satu sisi ini saja, rahasia Jabung Krewes sudah habis. Berarti memang tak ada yang perlu diperhitungkan. Yang ada hanya prajurit kecil. Itu pun hanya Mada.

Mada? Ini bisa jadi masalah ketiga baginya. Halayudha sedang berpikir-pikir mengenai Mada. Yang bersama dengan saudara seperguruannya, bersama dengan Eyang Puspamurti mempunyai kedudukan yang istimewa. Bukan karena ilmu silat mereka lebih unggul dibandingkan yang lain, akan tetapi Mada dan Kwowogen sudah memperlihatkan sesuatu yang mempunyai nilai lebih.

Mada bahkan bisa langsung mengambil langkah memerintah. Sesuatu yang tak terbayangkan bakal bisa dilakukan ketika ia masih mempunyai pangkal prajurit. Mada bisa berbahaya karena kalau dilihat sikapnya selama ini sangat keras. Apalagi dengan Jabung Krewes di belakangnya. Tapi, sekarang masih belum ada apa-apanya. Halayudha sudah mempunyai rencana untuk menghapus semuanya. Itu tak terlalu sulit.

Hanya tiba-tiba Halayudha seperti tersadar. Matanya berkejap-kejap, bibirnya menjadi gemetar. Tangannya menepuk keningnya beberapa kali. Bayangan Upasara Wulung, Nyai Demang, Gendhuk Tri, Pangeran Hiang muncul silih berganti. Yang kemudian muncul berulang adalah bayangan Gendhuk Tri. Yang bisa menenggelamkan Gemuka. Betapa mengagumkan.

Halayudha melihat dirinya sendiri. Menyelam ke dalam batinnya. Kalau semua tokoh bisa langsung melejit dan menemukan pencerahan, kenapa dirinya seperti berjalan di tempat? Kenapa dirinya hanya bisa menjadi saksi, dan bukan pelaku? Apakah karena dirinya hanya berpikir yang kecil dan sepele?

Halayudha menepuk keningnya. Mengurut dadanya. Matanya terpejam. Bibirnya terkatup erat. Seolah semua geraknya takut terbaca orang lain. Ada sesuatu yang melintas di kepala Halayudha, dan ia merasa bisa dibaca oleh orang lain. Yaitu kesempatan terakhir dari kemungkinan yang bisa dicapai olehnya. Menjadi orang pertama. Duduk di singgasana. Duduk di dampar kencana, kursi emas.

Sekarang saatnya! Leher Halayudha bergerak-gerak. Ia tak kuasa menahan gejolak hatinya, dorongan keinginannya yang meledak-ledak. Sekarang ini. Para ksatria sedang menyingkir dan tak akan peduli. Tujuh Senopati Utama dalam keadaan tidak mempunyai kekuasaan. Di Keraton tak ada pelindung dari Tartar, Syangka, Hindia, atau mana saja. Tak ada tokoh Keraton yang disegani. Tak ada siapa-siapa. Selain dirinya. Selain Halayudha!

Pemahaman, Bukan Kekalahan
KALAU Halayudha sedang melayang karena merencanakan langkah menduduki singgasana, Pangeran Anom juga melayang pikirannya karena terjungkal. Terjungkal dari angan-angan, impian yang tersisa dalam lubuk hatinya yang paling tersembunyi. Harapannya terpupus tandas.

Selama ini secara diam-diam dan terang-terangan, Pangeran Anom menaruh hati kepada Gendhuk Tri. Lebih dari putri Keraton yang mana pun, hati Pangeran Anom menemukan getar yang paling memabukkan dan membahagiakan ketika melihat Gendhuk Tri. Perjalanannya ke Pamalayu bersama kedua orangtuanya pun urung karena ingin mengikuti Gendhuk Tri.

Dalam pandangan Pangeran Anom, Gendhuk Tri adalah wanita yang selama ini hanya bisa ditemukan dalam angan-angan. Seorang wanita yang bersikap dewasa, yang menjawab rasa rindu, dan mempunyai daya tarik asmara sejati. Meskipun tidak secara terang-terangan menolak, Pangeran Anom mengetahui dan merasakan bahwa hati Gendhuk Tri terlalu keras untuk lumer tersinggung daya asmara. Itu menggelisahkan, akan tetapi tak mengurangi masa yang akan datang.

Juga sewaktu secara terang-terangan Gendhuk Tri mengatakan bahwa ia memilih Maha Singanada. Dengan jujur Pangeran Anom mengakui, bahwa Maha Singanada menunjukkan kelebihan dibandingkan dirinya. Dalam hatinya, Pangeran Anom mengakui kesetiaan Gendhuk Tri. Akan tetapi, dalam hati kecil Pangeran Anom masih juga bersemi harapan-harapan bahwa sebelum ada janur kuning melengkung di gapura-tanda adanya upacara pernikahan-Pangeran Anom masih melihat peluang untuk menemukan idamannya.

Betapapun kecil. Hati kecilnya, rasa kalbunya, mengisyaratkan bahwa masih ada kemungkinan untuk menyelinap ke dalam perhatian Gendhuk Tri. Bukan karena Maha Singanada telah menjadi cacat dan kutung kakinya, akan tetapi tanpa alasan itu pun seberkas cahaya keinginan masih membersit. Tapi tidak sekarang ini.

Kalau sebelumnya bunga-bunga kerinduannya terus bersemi, kali ini seperti rontok sebelum disapa matahari. Karena yang muncul adalah Upasara Wulung. Ksatria yang dikagumi, lelaki yang membuatnya menunduk hormat, dan rasa-rasanya memang lelaki seperti Upasara Wulung-lah yang pantas mendampingi pujaan hatinya.

Pangeran Anom tak bisa menipu hatinya. Kehadiran kembali Upasara mempunyai arti yang dalam bagi Gendhuk Tri. Apa pun dan bagaimana pun perjalanan hidup Upasara di masa lalu, tetap tak akan mengubah pandangan Gendhuk Tri. Pangeran Anom merasa yakin akan hal ini. Bahkan boleh dikatakan lebih yakin dari Gendhuk Tri sendiri.

Justru karena Pangeran Anom merasa sangat mengenal Gendhuk Tri, mengetahui reaksi ujung rambutnya sekalipun. Pangeran Anom seakan bisa membaca impian yang menyelinap di balik tidur Gendhuk Tri yang paling lelap sekalipun. Seakan mendengar suara hati Gendhuk Tri yang bernyanyi riang, setiap kali memandang bayangan Upasara Wulung.

Peristiwa besar yang baru saja terjadi menyadarkan sepenuhnya akan hal itu. Bukan karena ia tak disapa secara khusus, bukan karena dirinya tidak memperlihatkan keunggulan dibandingkan ksatria yang lain, melainkan karena memang itulah yang menjadi kenyataan sesungguhnya. Bagaimana Gendhuk Tri menunduk beku ketika Putri Tunggadewi meneriakkan sesuatu, terguguk dan bersemadi, ketika itulah tangan Upasara menyentuh pundak Gendhuk Tri.

Sentuhan lembut. Sentuhan sederhana. Senggolan yang tak mempunyai arti apa-apa, andai bukan Upasara yang melakukan. Andai bukan Gendhuk Tri yang diperlukan. Dan karena itu terjadi pada Gendhuk Tri dan Upasara, getaran itu jadi berbeda. Dalam pandangan Pangeran Anom, Gendhuk Tri menjadi sumringah, bergembira lahir-batin. Seolah menemukan kebahagiaan dan keriangan. Dan berdiri bersama, menghadapi lawan bersama. Saling memperlihatkan dengan lirikan pendek atau saling tahu di mana posisi masing-masing.

Pangeran Anom tahu persis karena memang hanya mereka berdua yang diperhatikan. Apalagi ketika kemudian menarikan gerakan yang sama untuk meloloskan diri dari pendapa. Betapa rukun, betapa mesra, betapa menyatu dalam irama kebersamaan. Pangeran Anom mengakui, dan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa itulah pasangan yang paling sempurna. Dewa atau Dewi lain tak akan mungkin memisahkan keabadian yang membahagiakan ini. Dewa dan Dewi hanya bisa iri pada mereka berdua.

Dirinya telah kalah. Kalah? Pangeran Anom mengakui sampai ke dasar hatinya. Disebut dengan istilah lain apa pun, jawabannya berarti sama. Dirinya telah dikalahkan oleh yang paling pantas mengalahkan. Kalah? Kalah dalam rebutan asmara. Kalah karena sepenuh-penuhnya Gendhuk Tri memasrahkan dirinya dalam rangkulan kekuatan asmara Upasara.

Tak ada kalah-menang dalam soal daya asmara, bantah batinnya lirih. Yang ada hanyalah jodoh. Hanyalah nasib, hanyalah garis tangan yang sudah ditakdirkan sebelum manusia dilahirkan. Pembenaran ini sedikit-banyak menghibur. Kehadiran Upasara sedikit-banyak membuatnya bersyukur. Kalau bukan Upasara, hati kecil Pangeran Anom masih akan menggeliat. Masih berkutat mempertanyakan. Akan tetapi, Upasara adalah Upasara, kakang Gendhuk Tri yang sesungguh-sungguhnya.

Tapi apa arti pembenaran ini? Pangeran Anom bertanya pada dirinya sendiri. Dan menjawab sendiri dengan keraguan. Bahwa ini hanyalah upaya untuk menyenangkan, untuk menenangkan, untuk menenteramkan hatinya. Bahwa yang terbaik yang bisa mengalahkannya. Ini bukan kekalahan, ini pemahaman. Memahami bagaimana sebenarnya Dewa Yang Maha dewa mengatur jodoh manusia. Tak bisa diubah, tak bisa ditentang, tak mungkin digeser.

Jalan pikiran itu hanya menenteramkan sesaat. Sesaat berikutnya timbunan pembenaran yang lainnya. Bahwa semuanya baik, selama Gendhuk Tri menjadi lebih bahagia. Dan itu yang akan dialami nanti. Sesaat yang berikutnya lagi, Pangeran Anom menemukan pertanyaan yang mengguncang akar ketenteramannya. Apakah benar begitu? Apakah kalau Gendhuk Tri lebih bahagia, berarti dirinya juga bahagia? Apakah arti ketulusan semacam itu?

Sesaat dan sesaat berikutnya, putaran jalan pikiran Pangeran Anom tetap tak ada yang melegakan. Kecuali satu kenyataan, bahwa harapannya untuk menyimpan kenangan lama, akan tetap sebagai kenangan yang menyakitkan tapi juga memabukkan. Sedemikian puteg, sedemikian kalut pikiran Pangeran Anom sehingga tidak sadar dirinya tertinggal dari iringan yang menuju Keraton.

Dan dirinya tak tahu mau ke mana. Menghadapi kenyataan rasanya tak sanggup lagi. Satu-satunya jalan adalah mengikuti kehendak orangtuanya, Senopati Agung Brahma, menuju ke tanah seberang. Atau masih perlu mengucapkan selamat sejahtera kepada Gendhuk Tri? Ada gunanya. Untuk siapa? Apakah masih ada artinya bagi Gendhuk Tri, atau juga baginya sendiri? Kembali putaran pertanyaan tetaplah keraguan.

“Yayi Tri, biarlah Kakang mengenang daya asmaramu, dengan cara Kakang sendiri…”

Entah kalimat itu tercetus atau hanya terucapkan dalam hati. Tak ada bedanya. Tidak juga dengan menghela napas yang berat. Tak bisa melepaskan dengan memejamkan mata. Berpencar ke berbagai jurusan jalan pikirannya. Apakah ini karena garis keturunan, di mana rama-nya dulu juga mengalami kegagalan asmara yang mengenaskan, yang menyebabkan ia menyembunyikan diri separuh sisa hidupnya?

Apakah ini karena kutukan suatu kesalahan dan dosa kakek moyangnya dulu? Apakah, apakah, apakah sebenarnya daya asmara itu? Kenapa dulu mengenal Gendhuk Tri, kenapa bukan yang lainnya? Kenapa begitu hebat getaran hatinya terhadap Gendhuk Tri dan bukan Putri Tunggadewi, atau Putri Rajadewi, atau wanita yang lain? Apa sebenarnya arti ini semua?

Pangeran Anom tak bisa menjawab. Bahkan kemudian merasa tak bisa bertanya. Tubuhnya seperti melayang di atas mega, lembut, akan tetapi setiap kali kakinya seperti terjeblos dan membuatnya sadar apa yang terjadi dengan perjalanan hidupnya. Berapa lama duka ini harus ditanggung? Berapa lama beban melekat ini menghancurkan kekuatan jiwanya?

Akhirnya Pangeran Anom memutuskan kembali ke Keraton lebih dulu. Untuk segera mengumpulkan prajurit dan pengikutnya, yang akan menyertai ke tanah seberang. Itu satu-satunya jalan. Satu-satunya kemungkinan, apa pun namanya. Apakah pelarian asmara, apakah ketololan asmara, atau jalan terbaik, Pangeran Anom tak bisa menilai.

“Daya asmara yang tak bermuara adalah air Kali Brantas, akan selalu mengalir…” Kalimat itu cair, menenggelamkan dirinya.

Pedang yang Tersimpan
SEMENTARA itu Pangeran Hiang, Upasara Wulung, Gendhuk Tri, serta Nyai Demang masih menarikan gerakan bersama. Pangeran Hiang tampak sangat kesengsem, sangat tertarik. Karena mulai bisa mengikuti irama. Bahkan tanpa ada yang mengejar pun, Pangeran Hiang masih terus mencoba meloncat ke kiri, ke kanan, melangkah kosong, dan menggerakkan lehernya. Hanya karena Upasara tampak kaku, kakinya masih lurus tak tergerakkan, mereka bertiga berhenti. Dan berteduh di bawah pepohonan.

“Bagaimana kakimu, Anakmas…?”

Upasara menggeleng. “Entahlah, Nyai. Entahlah kalau Mpu Tanca tidak segera membubuhkan reramuan.”

Ketika Upasara menyingkapkan kainnya, tampak garis hitam membujur di pahanya hingga ke kaki. Luka itu telah sembuh.

“Anakmas jangan terlalu banyak bergerak.”

Baru sekarang Upasara mendengar sebutan “Anakmas”. Panggilan yang tidak biasanya. Baru kemudian Upasara sadar ada sesuatu yang dimaksud, ketika Nyai Demang berbicara kepada Gendhuk Tri dengan menyebut sebagai anakku.

“Kangkam Galih benar-benar luar biasa. Selama ini kita semua tak pernah mengetahui.”

“Memang, itulah pedang yang tersimpan. Keunggulan yang begitu sempurna, ciptaan maha karya yang linuwih, yang unggul, tersimpan begitu saja. Apakah Anakmas sama sekali tak mengetahui asal-usul Kangkam Galih?”

“Tidak, Nyai.”

“Tak pernah mendengar?”

“Tidak.”

“Apa Ibu Nyai pernah mendengar?” Suara Gendhuk Tri datar, lembut, tapi menggetar.

Nyai Demang menggeleng. Sangat perlahan. “Rasanya aku pernah mendengar cerita. Barangkali saja ada hubungannya dengan Kangkam Galih. Tapi susah dirunut benar-tidaknya. Di masa kekuasaan Sri Baginda Raja Kertanegara, begitu banyak keunggulan yang tergali. Salah satu yang kita rasakan hingga sekarang adalah lahirnya Kitab Bumi. Sesungguhnya apa yang Sri Baginda Raja lakukan tidak hanya terbatas pada kitab silat. Melainkan juga pembuatan senjata pusaka, pengiriman para senopati ke tanah seberang. Ah, Anak Tri, apakah Mpu Raganata tak pernah bercerita?”

“Tidak. Atau saya tak tahu. Saya tidak langsung diasuh Eyang Raganata yang mulia."

“Apa Jagaddhita tak pernah bercerita?”

“Tidak. Atau saya lupa.”

“Kalau tidak salah, di masa awal pemerintahan Sri Baginda Raja, para empu pembuat senjata pusaka juga dikerahkan untuk menciptakan keris yang mahasakti. Di antaranya adalah Kiai Sumelang Gandring yang menciptakan banyak keris pusaka. Akan tetapi karena gagal memenuhi permintaan Sri Baginda Raja, Kiai Sumelang Gandring mengembara ke tanah kulon, dan sampai sekarang tak kembali. Saya dengar ada beberapa muridnya yang mengembara kembali, akan tetapi cures, punah semuanya. Sungguh sayang. Bagaimana mungkin tokoh yang demikian sakti tak meninggalkan bekas apa-apa? Hmmm. Tapi kembali ke asal-mula Kangkam Galih. Kalau tak salah memang ada empu yang sakti, yang menciptakan senjata ampuh. Sedemikian ampuhnya, sehingga sang pencipta pusaka sendiri kuatir akan banyak sekali korban yang jatuh. Maka senjata itu disembunyikan. Kalau cerita ini benar adanya, sangat cocok dengan diketemukannya Kangkam Galih. Pedang pusaka itu disembunyikan di tengah galih asam. Sedemikian sempurnanya, sehingga kita tak ada yang mengetahui bahwa tongkat kayu yang digunakan Galih Kaliki menyimpan pedang sakti. Hanya itu yang kuketahui sejauh ini. Siapa penciptanya, dan bagaimana kisah selanjutnya aku tak tahu. Barangkali kalau kita membuka-buka kitab di perpustakaan Keraton, kita bisa melacak.”

“Mungkin juga tidak,” sambung Gendhuk Tri ringan. “Ada yang merasa tak perlu dikenang. Baik karena meninggalkan kenangan tidak menyenangkan, atau karena menganggap itu semua tidak perlu.”

Nyai Demang merasa Gendhuk Tri seperti membicarakan sesuatu yang berbeda. Walau bisa dihubungkan dengan apa yang tengah dibicarakan. Bisa saja berarti bahwa empu pencipta Kangkam Galih merasa gagal karena menciptakan senjata pembunuh yang dahsyat. Atau karena merasa tak ada gunanya dikenang. Tetapi arti yang lain juga mencuat. Bahwa sesungguhnya ada masa lalu yang seharusnya dihapus, karena selalu menimbulkan kenangan tidak menyenangkan. Atau karena tak mempunyai makna apa-apa.

Nyai Demang bertanya-tanya. Apakah yang dimaksudkan Gendhuk Tri kenangan dalam diri Upasara tentang Permaisuri Rajapatni? Atau justru Ratu Ayu? Atau Gendhuk Tri sendiri dengan Maha Singanada? Atau Pangeran Hiang? Semuanya bisa terkena. Termasuk dirinya sendiri.

“Bagaimana rasanya, Anakmas?”

“Masih ngilu.”

“Barangkali…”

Kali ini Nyai Demang tak bisa melanjutkan. Karena kuatir jika akhirnya ada kesimpulan kaki itu harus dipotong. Kisah Maha Singanada sudah cukup mengerikan. Dan apa yang dirasakan Gendhuk Tri nantinya jika harus mengalami dua kali kejadian yang sama-sama mengerikan?

“Adik Tri benar. Kalau empu yang menciptakan pedang tak meninggalkan apa-apa, beliau sendiri yang memutuskan begitu. Saya kira Adik Tri benar.”

“Sejak kapan Kakang memanggil dengan sebutan itu?”

Upasara tersenyum. “Sejak bertemu dulu mestinya sudah memanggil itu. Apa berkeberatan?”

Gendhuk Tri tersenyum geli. “Kita sekarang ini sudah jadi penganggur iseng yang kurang pekerjaan. Sehingga soal sebutan saja menjadi pembicaraan. Apa benar kita tak punya tanggung jawab apa-apa lagi?”

“Apa maksudmu, anakku?”

“Keraton saat ini…”

“Keraton selalu seperti itu!”

“Raja…”

“Raja masih akan selalu begitu.”

“Di sana masih ada Putri Tunggadewi dan Putri Rajadewi yang tak ketahuan nasibnya di tengah kekuasaan Raja. Di sana ada senopati-senopati yang kini diberangus. Dan di sana juga ada Halayudha yang makin memperlihatkan siapa dia sebenarnya.”

“Lalu?”

“Lalu kita berada di sini membicarakan soal panggilan, sebutan.”

“Kamu sendiri yang memulai.”

Gendhuk Tri mengangguk. “Saya yang memulai, karena saya merasa tak mempunyai beban lagi. Saya tak mempunyai tanggung jawab apa-apa sekarang ini. Tidak ada pegangan, tidak ada yang…”

“Jadi kamu anggap ibumu ini…”

“Ibu Nyai kan di sini bersama kami dan tak perlu dikuatirkan.” Ucapan Gendhuk Tri tertuju kepada Upasara. Yang hanya menghela napas pendek.

“Pedang yang tersimpan. Pedang yang memerlukan waktu untuk berdiam diri. Agar pedang-pedang yang lain, agar keris, tombak yang lain berbicara. Kalau semua perlu ditebas dengan Kangkam Galih, yang lainnya tak perlu diciptakan.”

“Pedang itu hanya ciptaan. Manusia yang menciptakan.”

“Ada benarnya. Akan tetapi, kalau setiap kali aku yang berada di sekitar Putri Tunggadewi dan Rajadewi, sampai kapan mereka berdua menemukan dirinya? Menemukan pasangannya? Adik Tri lihat sendiri mereka berdua telah tumbuh sebagai wanita yang akan menjalani kodratnya.”

“Kenapa Kakang membicarakan soal jodoh?”

“Cepat atau bahkan sangat cepat, hal itu akan menjadi masalah utama, Adik. Mereka berdua berbeda dengan kita. Yang bisa gentayangan, tak merasa tak mempunyai beban.”

“Kakang, saya mengatakan mengenai perlindungan kepada Putri Tunggadewi dan Putri Rajadewi, sebab saya pernah berjanji akan melindungi mereka berdua.”

“Berjanji kepada…”

“Permaisuri Rajapatni.”

Upasara mengangguk.

Percakapan Perjodohan
TAK terlihat bahwa penyebutan nama Permaisuri Rajapatni membuat Upasara sedikit pun berubah. Tidak wajahnya. Tidak juga kalimatnya. Bahkan anggukannya tampak sangat wajar.

“Sebaiknya Adik Tri penuhi janji itu. Sebisanya. Kalau tidak memberati.”

Kini malah Gendhuk Tri yang merah wajahnya. Sekilas menduga bahwa Upasara mengetahui apa yang pernah diperbincangkan dengan Permaisuri Rajapatni. Saat itu belum ketahuan bagaimana nasib Upasara. Gendhuk Tri belum mengetahui. Ketika itulah Permaisuri Rajapatni mengajukan dua permintaan. Yang pertama meminta agar kedua putrinya dijaga. Yang kedua, yang kedua… kesediaan Gendhuk Tri menerima Upasara Wulung. Sekilas saja. Gendhuk Tri tak merasa perlu bertanya-tanya bahwa selama itu Upasara telah bertemu sendiri dengan Permaisuri Rajapatni.

Upasara tersenyum tipis. “Adik Tri mengerti maksud saya?”

Nyai Demang yang kadang merasa bisa menangkap sesuatu yang tak terucapkan kali ini hanya bisa mendengarkan. Tak mampu menebak apa yang tengah diperbincangkan. Ketika Nyai Demang membuang pandangan, barulah ia sadar bahwa sejak tadi Pangeran Hiang hanya berdiam diri.

“Apakah Pangeran Sang Hiang masih memikirkan langkah yang tadi?”

“Sungguh bahagia jika saja Nyai Demang bersedia memberikan petunjuk.”

“Saya sendiri tidak mengetahui. Tapi bisa kita coba. Barangkali di sebelah situ kita bisa leluasa.”

Nyai Demang menuju ke tempat yang agak jauh. Diiringi Pangeran Hiang. Sebenarnya tidak perlu, kalau maksudnya agar Upasara dan Gendhuk Tri tidak menjadi rikuh, enggan, dan terganggu. Karena bagi Upasara Wulung, satu tataran pemikiran telah dilalui. Kini penguasaan emosi dan gejolak hatinya bisa dilakukan dengan sangat baik. Mendekati kesempurnaan. Dan kepekaan penguasaan itu pula yang dilihat Upasara memancar dari dalam diri Gendhuk Tri. Terutama saat-saat terakhir ketika menghadapi Gemuka.

“Saya mengerti maksud Kakang.”

“Saya merasa lebih tenang sekarang ini. Adik Tri, saya mengerti bahwa sebagian isi hati dan kesetiaan yang Adik miliki telah diserahkan kepada Maha Singanada. Bahwa kemudian Maha Singanada memilih menggantikan Kakang, Dewa Yang Maha tahu yang mencatat. Tetapi saya pun bisa mencatat dan mengakui, pasti bukan tanpa sebab. Itu sebabnya di pulau terpencil dulu saya membuka persoalan ini kepada Adik. Adik Tri. Kita bukan kanak-kanak lagi. Kita bukan remaja yang digelorai daya asmara yang berkobar. Kita telah menjadi tua karena usia, karena kedunguan, karena pengalaman. Dengan mengecap kekuatan Sukma Sejati, dengan Ngrogoh Sukma Sejati, saya bisa mengetahui apa yang terjadi pada diri orang lain. Pada diri Pangeran Anom sekarang ini misalnya. Pada Ki Dalang Memeling, misalnya. Akan tetapi tetap saja sebagian yang tersangkut dengan diri saya, tak saya pahami.”

“Hal yang sama saya rasakan, Kakang.”

“Saya mengerti, Adik Tri. Saya mengerti.”

Keduanya berpandangan. Menyembunyikan senyuman.

“Penguasaan diri Adik Tri sangat luar biasa. Bibi Jagaddhita pun tak akan menduga bahwa Gemuka yang tak terkalahkan bisa bersujud di kaki Adik.”

“Kakang bilang kita bukan kanak-kanak. Tapi ngomongnya seperti kanak-kanak yang memerlukan pujian.”

“Saya mengatakan apa adanya.”

“Saya tahu, Kakang. Saya tahu Kakang adalah ksatria lelananging jagat, pendekar tanpa tanding. Akan tetapi sebenarnya masih ada pedang yang tersimpan, yang suatu hari kelak akan muncul ke permukaan. Saya tahu Kakang juga mengerti hal ini.”

“Adik Tri, saya tidak membicarakan ilmu silat. Saya membicarakan kita.”

Gendhuk Tri berdiri. “Kakang… Kapan Kakang mengenal wanita?”

Wajah Upasara berubah.

“Bahkan siapa ibu Kakang saja, Kakang tak bisa kenal. Kakang tak mengerti apa-apa tentang wanita. Tak apa.”

“Adik…”

“Apakah sekarang ini Kakang melamar… saya?”

“Ya.”

“Dan Kakang berharap mendengar jawabannya sekarang?”

“Ya.”

Wajah polos Upasara membuat Gendhuk Tri tersenyum makin lebar. Terkikik beberapa saat. Lalu menghela napas lagi. Wajahnya berubah murung.

“Apa yang Kakang harapkan dari saya?”

Upasara tak bisa menjawab. Tak menduga bakal ditanya seperti itu. Jadi malah terbatuk.

“Saya merasa Kakang bisa mematikan rasa yang pernah ada. Rasa asmara yang bersemi, yang tumbuh berhasil ditenggelamkan. Dengan penguasaan itu, berarti sekarang sebenarnya rasa yang sesungguhnya itu tak ada lagi. Apakah itu yang menjadi bekal Kakang melamar saya? Jawabannya juga sama. Selama ini saya telah menyerahkan perasaan yang sesungguhnya kepada Kakang Mada Singanada. Semua getaran dan perasaan saya yang sesungguhnya telah tercurah. Apakah kita akan menjalani kehidupan bersama yang kosong, Kakang?”

“Saya tidak memahaminya dari sisi itu,” jawab Upasara lebih cepat. “Karena daya asmara bukan satu-satunya. Yang selesai setelah diserahkan. Impian tidak habis ketika kita terbangun, Adik Tri. Dengan memecah sukma, menjelma menjadi mahamanusia, saya seolah bisa terpecah menjadi tiga…”

“Kakang…”

“Adik Tri, Yayi Gendhuk, saya memang dungu. Saya kasar dan tak mengenal tata susila. Namun apa yang saya katakan adalah sesungguhnya yang ingin saya katakan. Saya mengetahui sampai saat-saat terakhir sebelum bertapa, bahwa Gayatri masih menyimpan kenangan asmara terhadap diri saya. Demikian juga saya. Betapapun aneh, ganjil, dan tidak mempunyai makna apa-apa selain bunga-bunga impian. Akan tetapi itu tidak berarti Gayatri tidak mempunyai daya asmara terhadap Baginda. Tidak harus diartikan Gayatri melalui masa-masa yang kosong. Pelarian rasa kepada bunga impian tidak berarti mengurangi apa yang dialami.”

“Kakang… sejak kapan Kakang memikirkan hal itu?”

“Sejak lama. Dalam masalah asmara, Kakang lebih suka menjadi pedang yang tersimpan.”

Gendhuk Tri mengikik kembali. Kali ini selendangnya menyambar ke arah Upasara. Dan tak dihindarkan. Tapi sambaran itu lembut, dan sebagian ujung selendang masih berada di pundak Upasara. Gendhuk Tri tak segera menarik.

“Sebenarnya untuk apa kita bersama-sama, Kakang?”

“Tidak untuk apa-apa. Untuk bersama-sama. Untuk kodrat yang kita alami, kita jalani. Untuk jodoh. Untuk mengakui bahwa ada Dewa Yang Mahadewa, yang telah menjodohkan.”

Gendhuk Tri terdiam. Selendangnya ditarik. “Itulah yang disebut kehidupan. Barangkali…” Gendhuk Tri berdiri. Menghela napas.

“Adik Tri…”

“Kenapa Eyang Sepuh dan Eyang Putri Pulangsih…”

“Karena begitulah perjalanan hidup yang digariskan Dewa Yang Mahadewa…”

“Kakang, apakah jalan yang kita tempuh ini benar adanya?”

“Benar dan tidak benar bukan pertanyaan, dan tidak memerlukan jawaban. Kita akan menjalani.”

Gendhuk Tri melangkah. Tertahan. Karena tangan Upasara meraup selendang Gendhuk Tri.

“Apakah jawabannya harus sekarang?”

“Ya. Karena sejak kita bertemu sudah cukup waktu untuk berpikir.” Gendhuk Tri menggeleng.

Tarian Rasa
NYAI DEMANG yang sejak tadi melirik-lirik tampak tegang. Meskipun tidak secara jelas mendengar percakapan Gendhuk Tri dengan Upasara, akan tetapi dari sikap keduanya, terasakan suasana yang kurang menyenangkan. Nyai Demang mengerti bahwa Upasara Wulung bukanlah lelaki yang mengerti bagaimana mengasihi, bagaimana menunjukkan daya asmara. Sikap yang bisa dimengerti, karena sepanjang usianya yang remaja dihabiskan di Ksatrian Pingitan. Setelah itu tak sempat mempunyai waktu untuk memperhatikan dan menyalurkan hal itu.

Nyai Demang sangat mengetahui, karena ia pernah merasakan betapa sesungguhnya Upasara tergetar daya asmara terhadapnya. Akan tetapi juga terasakan begitu kikuknya. Kalau saja saat itu dirinya masuk dan memberi kesempatan, tak bisa tidak Upasara akan menyambut. Kalau dirinya membuka kemungkinan, Upasara akan berani bertindak. Namun pada saat itu pun Nyai Demang sadar sepenuhnya. Bahwa hatinya tak bisa menerima asmara pemuda yang masih hijau dalam pengalaman. Bahkan memang pintu hatinya sudah tertutup, betapapun kisah di luaran berbalik dari kenyataannya.

Pada hati Nyai Demang, rasa yang tumbuh terhadap Upasara adalah rasa sayang seorang kakak, seorang ibu, seorang dari darah dagingnya sendiri. Di lain pihak, Gendhuk Tri dikenal sebagai gadis yang luar biasa keras hati, keras kepala, dan sangat cugetan aten. Hati dan kemauannya mudah patah, dan kalau sudah begitu semua masalah ditarik mundur. Sebaliknya, kalau sudah menjadi kemauannya, tak ada yang bisa menghalangi.

Dua sifat yang mempunyai banyak persamaan, dalam hal susah mengalah. Segan menunjukkan rasa kalah untuk hal yang dianggap sangat peka. Dan kalau berbenturan, tak ada yang mau mengalah. Kalau sudah begitu, masalah utama yang seharusnya tidak menjadi persoalan, bisa seolah prinsip yang tak bisa digeser. Ini bisa bahaya.

JILID 64BUKU PERTAMAJILID 66
Loading...