X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Senopati Pamungkas Kedua Jilid 21

Senopati Pamungkas Buku Kedua Jilid 21 karya Arswendo Atmowiloto
Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 21

Halayudha tersenyum dalam hati. Selama ini hubungannya dengan sesama senopati memang kurang baik. Apalagi dengan senopati utama yang diangkat sebagai dharmaputra oleh Baginda Kertarajasa. Di antara tujuh senopati yang diistimewakan, Senopati Kuti dan Senopati Semi yang secara terang-terangan memperlihatkan ketidaksukaannya kepada Halayudha. Kini saatnya ia memainkan peranannya.

“Saya hanya ngemban dawuh, menjalankan perintah Raja. Senopati Tantra jangan memperlambat gerak maju saya.”

“Begitu tergesakah?”

“Bahkan barangkali sudah terlambat, kalau diingat persiapan yang sudah sedemikian rapi.”

Senopati Tantra mengerutkan keningnya.

“Tak ada untungnya bagi saya mengatakan apa keperluan saya. Harap diketahui saja, bahwa belum tentu kalian bisa menemukan jalan yang lapang menjadi pegangan kalian senopati yang diistimewakan Baginda, tak bersisa lagi. Baginda telah kena tundung ke Simping."

Halayudha sengaja menggunakan kata tundung yang artinya diusir. Sebutan menyakitkan dan menghina karena diucapkan untuk Baginda. Sama dengan membakar jenggot para pengikutnya yang setia.

“Kamu terlalu kasar, Halayudha…”

“Saya bisa lebih kasar lagi, Tantra… Mari kita lihat, siapa yang bisa bergerak lebih cepat. Dengan Mahapatih berpihak kepada Raja, kalian semua bisa memperkirakan apa yang akan terjadi.”

“Kamu akan ke Lumajang?”

“Terlalu mudah diketahui, karena tak ada kepercayaan kepada para senopati yang kini ada di Keraton. Segala macam senopati pengasihan, yang diberi pangkat dan derajat, tak lebih dari cacing yang diberi prada…”

Umpan yang pertama bagi Halayudha ialah memastikan agar lawan mengetahui dirinya pergi ke Lumajang. Yang berarti memanggil kembali Mahapatih Nambi. Yang ditambahi arti oleh Halayudha bahwa ini bukti bahwa Raja tidak mempercayai senopati yang ada. Sekaligus Halayudha mengaitkan dengan diangkatnya berbagai senopati yang memakai nama Pengasihan, yang dianggap tetap cacing meskipun dilapisi emas.

“Halayudha tahu bahwa semua senopati pengasihan diangkat oleh Manmathaba. Namun dengan melemparkan kesalahan, seolah kelompok dharmaputra yang sengaja membentuk barisan. Tak segampang itu. Halayudha…”

“Apakah aku perlu memperlihatkan surat perintah Raja?”

Halayudha mencabut cincin dari jari manisnya. Tantra tak ragu lagi bahwa Halayudha memang menjadi utusan resmi Raja.

“Tantra, masih ada waktu untuk bertobat. Sebagai sesama senopati, saya memberi kesempatan padamu untuk sowan kepada Raja. Besar kemungkinan Raja berkenan mengampuni orang yang bersedia bertobat…”

Senopati Tantra menggeram. Kakinya menginjak tanah lebih keras.

“Saya tahu selama ini pengaruh Senopati Semi dan Senopati Kuti…”

Beringas Senopati Tantra menggebrak maju. Satu tangan bergerak cepat merampas tali kekang kuda Halayudha. Yang hanya dengan sedikit menjepit perut kuda dan menarik keras, sambaran lawan bisa dihindari. Senyum kemenangan Halayudha memancing kemarahan Senopati Tantra yang segera menghunus kerisnya. Tubuhnya terayun ke depan, mengangkasa. Tusukan kerisnya langsung ke tangan Halayudha, persis yang memegang tali kekang.

Halayudha menjilat bibirnya. Tali kekangnya justru dibuka, disabetkan kearah keris. Dengan sekali sentak, tali ditarik kuat. Senopati Tantra merasa tenaganya terpancing. Masih terkelebat bayangan untuk adu tenaga Karena merasa lebih unggul. Keris dan tali kekang, bagaimanapun lebih menguntungkan pemegang keris.

Tapi Halayudha tidak membiarkan tali kekangnya putus. Bersamaan dengan menyentak, tangan kanannya yang bebas meraup wajah Senopati Tantra. Yang terpaksa membuang ke belakang dan melepaskan sergapannya. Hanya ketika membuang ke belakang, pada saat menyentuh tanah, tubuhnya kembali lagi menyerang. Halayudha hanya mengeluarkan suara dingin. Kaki depan kuda yang ditunggangi mendadak terangkat keras, disertai ringkikan tinggi.

Tendangan kaki kuda ke arah tubuh yang tengah menyergap. Bagi Senopati Tantra serangan kaki kuda tak menjadi masalah besar. Dengan mudah Ia bisa menangkis atau menghindar. Akan tetapi ternyata bersamaan dengan itu, tubuh Halayudha melorot turun, memutari punggung dan perut kuda, untuk menyerang dan bawah. Gesit, liat, dan tepat. Tungkai kaki Senopati Tantra bisa disentuh dan disentakkan. Sehingga ketika bisa menginjak tanah, agak terpincang-pincang. Sementara Halayudha sudah duduk kembali di punggung kuda dengan gagah.

“Tantra… cukup…” Suara yang mempunyai pengaruh besar menghentikan langkah Senopati Tantra.

“Bagus, kamu mendengar perintah dengan baik. Seperti kuda ini…”

Halayudha tidak memedulikan wajah Senopati Tantra yang marah terbakar. Halayudha memutar kudanya dan segera melaju ke arah timur. Tanpa melihat pun Halayudha mengetahui bahwa Senopati Semi yang memerintahkan agar pertarungan tak usah dilanjutkan. Bagi Halayudha sudah cukup untuk meletikkan dendam permusuhan. Api telah disulut. Dengan cara seperti ini, biar bagaimanapun kelompok Senopati Semi akan memperhitungkan apa yang akan dilakukan nanti.

Dengan harapan, bahwa mereka tidak sabar dan membuat gerakan perlawanan. Saat itulah Halayudha akan maju menumpas. Perlawanan semu itu sengaja diciptakan, agar lawan terpancing. Dan lawan bergerak lebih dulu. Saat itu Halayudha akan mendahului. Untuk itu Halayudha memerlukan sedikit persiapan. Maka kira-kira sepenanak nasi, ia memberi perintah kepada sepuluh anak buahnya untuk tidak menyatu.

“Kita berpencar untuk menghindari kuntitan orang yang tidak menyukai tugas. Kalau perlu kita hanya bertemu di Lumajang.”

Tak sulit bagi Halayudha untuk memutar kudanya ketika sendirian. Memutar balik ke Keraton. Berindap masuk, menemui Permaisuri Indreswari.

“Apa lagi yang kamu ributkan?”

Dengan suaranya yang gemetar Halayudha menceritakan apa yang ada di kepalanya. Bahwa ketika sedang mengemban dawuh, ia mendengar adanya kelompok senopati yang akan melakukan perlawanan.

“Saat Keraton tengah sepi. Karena Manmathaba sudah kalah, karena tak ada lagi yang ditakuti. Duh, Permaisuri yang agung dan bijaksana… Bahkan mereka menyinggung-nyinggung nama Yang Mulia…”

“Apa yang mereka katakan tentang diriku?”

“Mereka mengatakan, kenapa Permaisuri tidak mengikuti Baginda ke Simping? Kata mereka, bukankah selayaknya istri mengikuti suaminya? Mereka picik dan tak bisa membedakan antara permaisuri dan selir yang harus melayani Baginda…”

“Orang-orang kecil mulai berani bersuara… Aku tak bisa menerima kalimat mu begitu saja, Halayudha. Aku akan meneliti secara saksama apakah laporanmu benar atau tidak. Kalau tidak, kamu tahu sendiri akibatnya.”

“Hamba hanya melaporkan apa adanya…”

“Apa yang ada di kepala mereka ini? Dikiranya aku lebih suka di sini karena di sini lebih enak? Keraton ini makin lama makin menjadi tempat orang bisa membuka mulut sembarangan… Baik kalau begitu. Akan kuselesaikan sekarang juga. Akan kupanggil semuanya…”

Halayudha tak menduga bahwa itu yang akan dilakukan Permaisuri Indreswari. Dugaannya secara diam-diam Permaisuri Indreswari akan mengadakan penyelidikan. Dan bukan memanggil secara terbuka.

“Maaf, Permaisuri Yang Mulia, mana ada pencuri mengakui perbuatannya?"

"Aku sudah muak dengan omongan di belakang. Panggil Kuti, Semi, Pangsa… menghadapku, sekarang juga. Bersama kamu di sini. Aku ingin tahu semuanya.”

Taktik Menampi Beras
SEKALI ini Halayudha tak berkutik. Ia tak bisa pergi ke mana pun, sementara tujuh senopati utama yang diistimewakan diperintahkan menghadap Permaisuri. Bagi Halayudha, kini dirinya seperti ditelanjangi. Dengan berhadapan langsung, kedoknya terbuka. Secara tidak langsung Senopati Semi mengetahui dengan jelas tak terbantah bahwa Halayudha mempunyai tipu muslihat busuk. Di belakang hari atau sekarang ini juga, dirinya bisa hancur.

Sebagai sesama ksatria, menghadapi para senopati pilihan ini, Halayudha tidak gentar. Pertarungan satu melawan satu akan dihadapi dengan tenang. Akan tetapi sekali ini jauh berbeda. Tak ada pertarungan terbuka satu lawan satu. Yang ada adalah satu orang melawan kekuasaan. Dirinya menghadapi seluruh Keraton. Terang tak mungkin bisa menang. Bahkan untuk mundur pun tak sempat.

Selama menunggu, Halayudha berusaha berpikir keras. Segala taktiknya yang dikira kuat, setiap kali buyar tak menentu. Keinginannya untuk mengadu domba yang dianggap begitu matang, bisa dimengerti oleh Permaisuri. Padahal dengan melaporkan kepada Permaisuri, Halayudha tadinya mengira bisa masuk ke sisi yang lebih aman. Akan tetapi justru sebaliknya. Berarti hanya tinggal satu pegangan. Yaitu Raja!

Berbekal cincin Keraton, Halayudha berusaha menghadap Raja. Meskipun ini hanya bersifat untung-untungan, akan tetapi tak ada kesempatan yang lain. Di saat para senopati yang dipanggil belum terkumpul, Halayudha berharap bisa sowan ke Raja. Betapa leganya ketika akhirnya dirinya dipersilakan menghadap. Sekali ini Halayudha memantapkan dirinya. Tak akan ragu lagi.

“Apa lagi urusannya?”

“Duh, Raja yang bijaksana… hamba ternyata tak bisa menunaikan tugas dengan baik. Hamba bersedia dihukum sekarang juga. Dengan ini hamba mengembalikan mandat Raja, mengembalikan cincin…”

“Sebelum aku menghukum mati, apa yang akan kamu katakan?”

“Dalam perjalanan, hamba mendengar suara-suara aneh yang tak bisa dipercaya. Suara dari tujuh senopati utama yang meminta bantuan Permaisuri Indreswari agar Mahapatih Nambi tak perlu ditarik kembali ke Keraton…”

“Tujuh senopati utama… senopati utama?”

“Duh, Raja yang bijak… Mereka masih memakai sebutan dharmaputra, gelar pemberian Baginda. Sesungguhnyalah mereka ini masih berharap Baginda berada di Keraton. Itu sebabnya mereka memohon kepada Permaisuri, yang mengetahui jasa-jasa ketujuh senopati saat membangun Keraton…”

“Apakah suara aneh yang kamu dengar ada buktinya?”

“Saat ini mereka sedang dikumpulkan Permaisuri. Untuk didengar dan dipertimbangkan usulnya, agar Mahapatih Nambi tak usah ditarik kembali. Kalau tidak begitu, pastilah tak perlu menahan hamba yang sudah berada dalam perjalanan…”

Raja Jayanegara mengeluarkan suara agak keras. “Sampai sejauh itukah? Ibu lupa bahwa aku sekarang adalah raja. Dan raja hanya seorang, satu-satunya yang didengar dan memerintah. Kadang aku tidak percaya padamu. Tapi sekali ini agaknya perlu didengarkan. Semakin tidak masuk akal kabar itu, kadang semakin ada kebenarannya.”

Bagi Halayudha ini merupakan permainan terakhir. Kalau usahanya gagal, semuanya berantakan. Dan habislah dirinya. Karena kini ia bermain langsung di pusat kekuasaan. Nyatanya lebih berhasil. Ibarat kata seperti beras yang ditampi. Yang diputar-putar di atas nyiru. Makin di pinggir, gerakan itu makin kuat. Sedang di tengah, berasnya justru tak bergerak. Tapi sumber gerak di pinggir berasal dari bagian tengah. Inilah yang sekarang dimainkan.

“Menurut pendapatmu, kenapa senopati utama melakukan itu?”

“Bisa saja kesalahan ditimpakan kepada para senopati, yang masih lebih setia kepada Baginda. Mohon maaf atas kelancangan yang berdosa ini. Akan tetapi, lebih maaf lagi, rasa-rasanya Permaisuri Indreswari membuka peluang untuk muncul pengaduan seperti ini. Karena tanpa peluang, rasa-rasanya, para senopati tetap tak berani mendongak.”

“Bisa kuterima. Mereka tetap prajurit, tetap kawula. Kalau tak diberi kesempatan, tetap tak berani membuat tafsiran kenapa Baginda pergi ke Simping karena aku telah memerintahkan. Bisa kuterima alasanmu. Yang menjadi pertanyaanku sekarang, kenapa Ibunda memberi kelonggaran itu?"

Masuk! Tepat! Halayudha tahu bahwa kegelisahan dan kecurigaan mulai bersemi. Dan akan sangat cepat tumbuh. Kalau Raja sudah mencurigai Ibunda Ratu dan atau sebaliknya, berarti sudah segalanya. Halayudha tak perlu memberikan jawaban. Karena tanpa dikatakan pun, Raja mengetahui. Atau menduga bahwa campur tangan Ibunda Ratu bisa diartikan belum menganggap raja yang sekarang ini mampu mengatasi sendiri. Bahwa raja yang sekarang ini masih terlalu kanak-kanak untuk mengambil keputusan.

“Agaknya mereka semuanya perlu tahu siapa yang memerintah Keraton. Halayudha, kamu tetap berangkat ke Lumajang…”

“Hamba…”

“Tak ada urusan. Ingsun yang akan menyelesaikan, tanpa harus mengangkat pantat dari tempat ini…”

Halayudha menyembah. Memundurkan diri. Tidak segera menuju Lumajang, akan tetapi menghadap kepada Permaisuri Indreswari. Melaporkan bahwa ia meninggalkan tempat penantian, karena ada prajurit yang mengetahui kehadirannya, dan melaporkan kepada Raja. Sehingga ia dianggap tidak mau menjalankan tugas.

"Hamba melaporkan juga mengenai komplotan senopati utama yang sudah diselesaikan persoalannya oleh Permaisuri Yang Mulia…”

“Apa lagi?”

“Hanya itu…”

“Jangan kamu sembunyikan sesuatu…”

“Duh, hamba tak bisa menghaturkan apa-apa…”

“Apakah Raja juga menanyakan kenapa aku tidak segera ke Simping?”

Halayudha menyembah hormat dan menggeleng.

“Apakah Raja menyinggung kenapa aku yang memanggil para senopati utama?”

Halayudha kembali menyembah dan menggeleng lembut.

“Apakah ini menjadi persoalan?”

Halayudha menyembah, tidak menggeleng.

“Apa? Katakan, Halayudha!”

“Raja Jayanegara hanya mengisyaratkan Permaisuri jangan terlalu berbaik dan bermurah hati…”

Permaisuri bangkit dari duduknya. “Apakah tersirat bahwa aku dianggap tidak mengetahui dan tidak bijaksana, karena terlalu murah dan baik hati? Apakah aku dianggap tidak mengetahui urusan Keraton? Raja Jayanegara adalah putraku. Kukandung. Kulahirkan. Kudidik. Sejak sebelum berada dalam kandungan pun, aku sudah menyiapkan takhta untuknya. Segala penderitaan dan pengorbanan kulakukan untuk putraku. Apakah mungkin aku tidak mengetahui keadaan dan tata pemerintahan dan tipu muslihat? Apa aku sudah sedemikian bodoh, sehingga menjadi terlalu mulia, terlalu baik hati?”

Halayudha menggigil. Kali ini betul-betul karena gemetar. Untuk pertama kalinya, komentar Permaisuri Indreswari terdengar secara langsung. Dan di luar dugaannya. Tak pernah diperhitungkan sama sekali. Selama ini dianggapnya sebagai satu. Ya ibunya, ya anaknya. Ternyata tersisa pula ganjalan. Betapapun kecilnya, ternyata bisa diperbesar.

“Lalu apa maumu?”

“Hamba hanya mengabdi…”

“Kamu tetap akan ke Lumajang?”

“Biarlah hamba mati kaku di tempat ini…”

“Tidak, Halayudha. Matamu bersinar terang ketika kusebut nama Lumajang. Kamu lebih suka pergi ke sana. Karena itu berarti menunaikan tugas Raja. Itulah mengabdi.”

Halayudha tak berani menelan ludah.

“Kala Gemet putraku. Tapi ia raja… Ibunya bukan ibunya, ramanya bukan lagi ramanya…” Suaranya mengandung nada getir.

Luh Putri Boyongan
NAPAS Permaisuri Indreswari tersengal. Bibirnya gemetar, kering, pandangannya kosong, menembus jarak pandang di depannya. Walaupun Halayudha mampu menyelam ke dalam alam pikiran Permaisuri, barangkali tetap tak bisa menemukan alasan yang tepat. Apa yang sesungguhnya membuat Permaisuri Indreswari mendadak begitu berduka, begitu merintih. Jalan pikiran Halayudha terhenti kepada perhitungan bahwa duka itu terasakan, karena kini Raja memutuskan sesuatu di luar pengetahuan ibunya. Atau sekitar itu. Lebih jauh lagi tak teraba.

Bukan salah Halayudha kalau tak bisa menangkap getaran kepiluan. Karena selama ini Halayudha tidak benar-benar bisa merasakan apa yang sesungguhnya bertarung dalam batin Permaisuri. Apa yang membuat Permaisuri yang selalu kelihatan perkasa, yang jari tangan lentiknya mampu mengubah kehidupan seseorang, yang tatapannya tak pernah menunduk itu, kini meneteskan luh, air mata, sementara tangannya terkulai. Derita batin yang hanya bisa dirasakan oleh wanita yang menjalani.

Itulah yang menyelimuti dengan rapat seluruh perasaan Permaisuri. Yang secara diam-diam tak pernah dirasakan, tak pernah dipikirkan, karena takut inti perasaan itu diketahui orang lain. Dirinya tumbuh sebagai gadis remaja di Keraton Melayu, dengan segala kemewahan, segala kebahagiaan yang ada taranya. Masa-masa yang paling indah.

Sampai suatu ketika, di suatu pagi yang menyenangkan, ia mendengar kabar bahwa ada utusan dari Keraton Singasari memasuki Keraton. Melalui pertemuan dengan Raja, akhirnya diputuskan bahwa dirinya dan kakak perempuannya dikirim ke tanah Jawa. Indreswari masih mengingat jelas. Pagi itu ramanya mengunjungi kaputren, tidak seperti biasanya. Tidak berada di luar kamar seperti biasanya, melainkan langsung masuk ke kamar. Tidak seperti biasanya, ramanya berdiam diri lama sekali.

Sewaktu dirinya menghadap bersama kakak perempuannya, tetap tak ada suara yang keluar. Sampai waktu yang lama, sampai helaan napas yang kesekian belas kalinya. Saat itu Indreswari menyadari bahwa ramanya kelihatan menjadi tua puluhan tahun. Pandangan matanya yang gagah, sikapnya yang berwibawa sebagai raja tak bersisa. Akhirnya setelah sekian lama,

“Anakku, putriku, bungaku. Pagi ini, Rama meminta pengorbanan kalian berdua, demi keselamatan dan kedamaian di Keraton. Hanya kalian berdua yang bisa menolong.”

Kalimatnya terhenti oleh dehaman panjang.

“Sejak beberapa waktu yang lalu, ada utusan dari tanah Jawa. Ada seorang senopati lengkap dengan persenjataan dan kedigdayaan datang kemari. Rama menyambut dengan baik dan hormat, karena mereka ini utusan dari raja di tanah Jawa yang gagah perkasa. Sri Baginda Raja Kertanegara. Yang tersohor. Setiap tahun sekali, Rama mengirimkan utusan ke tanah Jawa, mempersembahkan upeti. Tak pernah terlambat satu hari pun. Tak pernah berkurang satu barang pun. Maka sungguh mengherankan bahwa ada utusan yang khusus dikirimkan kemari. Senopati membawa cincin Keraton dan mengatakan bahwa Sri Baginda Raja berkenan melestarikan dan mengukuhkan hubungan kekerabatan antara Keraton Melayu dan Keraton Singasari. Itu artinya tawaran secara resmi. Selama ini kita mengakui kebesaran Keraton di tanah Jawa. Selama ini kita tak pernah berbuat sesuatu yang membuat Sri Baginda Raja murka. Akan tetapi sekarang ini, kehendak Sri Baginda Raja untuk lebih mengukuhkan dan menyatukan semua Keraton di luar tanah Jawa. Ini artinya tawaran secara resmi. Tawaran untuk menolak dan tawaran untuk menerima. Pilihan untuk menolak, dan pilihan untuk menerima. Penolakan berarti perang besar. Aku sedikit pun tak gentar dengan utusan ini. Jumlah mereka tak seberapa. Aku sudah menyiasati bahwa dalam suatu sergapan kuat, para senopati kita akan berhasil melumpuhkan, meskipun akan banyak jatuh korban. Para senopatiku telah berjanji akan melakukan tugas dengan baik, dengan kesediaan berkorban. Begitu aku memberi perintah, mati atau hidup mereka akan maju ke medan perang. Kalau kamu tanya hati kecilku, aku menyetujui pendapat para senopati. Berperang sebagai ksatria, mempertahankan sejengkal tanah dengan darah dan kepahlawanan. Aku tak pernah takut mati. Apalagi mempertahankan Keraton warisan leluhur ini. Putriku, permataku, bungaku… Dalam aku merenung, kudengar suara Dewa. Yang berbisik lirih di telingaku, bahwa Sri Baginda Raja adalah raja yang pantas disuwitani diabdi. Beliau raja besar yang tidak serakah. Senopatinya bisa menyerang langsung, tetapi memilih perundingan lebih dulu. Pedang dan kerisnya datang dalam keadaan terbungkus. Aku memilih yang kedua. Bukan hanya karena dengan demikian kita terhindar dari pertumpahan darah, bukan dengan demikian kehormatan besar kita terjaga. Akan tetapi sesungguhnya, itu yang terbaik. Yang bisa melakukan itu, hanyalah kalian dua putriku. Kalian berdua akan mengabdi, menemukan sesembahan seorang raja yang tiada taranya. Yang berwibawa, yang namanya berkumandang sampai batas langit. Kalian akan meneruskan bibit-bibit yang mulia. Putriku, permataku, bungaku, Itu semua tak menghalangi Rama bersedih. Karena kalian berdua akan segera meninggalkan Keraton, menempuh perjalanan yang sangat jauh akan berada di negeri seberang yang tata kramanya berbeda, yang tak menjanjikan kita akan saling bertemu kembali. Rama tahu itu yang terberat. Tapi itu yang terbaik. Betapa leganya, akhirnya Rama bisa mengatakan ini semua. Berangkatlah putriku, bungaku, hatiku… Berangkatlah sebagai dewi, sebagai bidadari, sebagai bunga Keraton yang meninggalkan warisan kedamaian dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat, yang akan menyemaikan kebesaran Keraton Melayu. Jangan teteskan air mata, sebab ini kegembiraan. Luh yang kalian teteskan adalah puji syukur kepada Dewa Yang Mahaagung. Berangkatlah, putriku… Bersama sukmaku. Bersama seluruh kebahagiaan Keraton. Berjanjilah bahwa kalian akan menunaikan tugas dengan baik dan mulia, berjanjilah kalian tak akan meneteskan air mata di negeri seberang…”

Indreswari bisa mendengar ulang semuanya dengan lengkap. Bisa mengingat betapa mendadak ramanya memeluknya kencang, menciumi pipi kanan dan kiri, tangannya mengusapi wajah, dan kemudian meninggalkan kaputren. Kemudian disusul dengan upacara kenegaraan yang lengkap, dirinya diantarkan ke dalam kapal. Semua rakyat Melayu datang mengelukan sepanjang perjalanan. Seluruh rakyat seakan tumpah ke jalanan untuk menunjukkan rasa hormat yang dalam. Untuk pertama kali, Indreswari merasa dirinya benar-benar putri raja dengan segala kebesarannya.

Tak ada yang kurang selama perjalanan. Dayang-dayang yang dibawa, ditambah pelayanan yang luar biasa selama perjalanan, sedikitnya menghibur hati. Tak ada mainan dan perhiasan yang dikenali yang tertinggal. Setiap malam setiap siang, hatinya tergetar karena mendengar cerita kebesaran Sri Baginda Raja. Raja seperti apakah yang mampu membuat Dewa membisikkan kegagahannya ke telinga ramanya? Kalau ada sesuatu yang sedikit mengganggu hanyalah sikap kakak perempuannya yang wajahnya lebih muram.

“Kakang Ayu menangis?”

“Tidak akan pernah. Tak akan ada air mata karena kita sudah berjanji di depan Rama.”

“Kenapa Kakang Ayu bersedih?"

Tidak akan pernah ada kesedihan.”

Baru pada malam harinya, kala berduaan, Indreswari mendengar sebagian dari duka kakaknya. Bahwa mereka berdua disebut-sebut sebagai putri boyongan, putri yang dipersembahkan kepada Raja, sebagai tanda takluk, sebagai tanda kalah.

“Kita berdua adalah korban, adalah bebanten. Tahukah, Yayi Ayu, bahkan mereka tak mau menyebut nama kita. Mereka menamai kita Dyah Dara Jingga dan Dyah Dara Petak, karena warna kulit kita. Nama kita, nama besar pemberian Rama, nama Keraton Melayu, tak akan terdengar lagi. Terkubur bersama kekalahan kita, lenyap dalam kemenangan Sri Baginda Raja. Kita ini tak berbeda dengan emas, berlian, permata yang dipersembahkan. Kita tidak menjadi manusia lagi.”

Kesadaran itu merayap lebih pelan, mengalir lebih lambat dalam pembuluh Indreswari. Ia tak pernah melihat kakak perempuannya begitu berduka, begitu merasa seperti sekarang ini. Perlahan kesadaran itu menemukan bentuk dalam sikapnya. Membatu, dan lebih keras, serta liat. Itu terasakan benar ketika kakinya sudah mendarat di tanah Jawa.

Pondokan di Luar Tembok
SAAT itu mulai dirasakan kebenaran yang dikatakan kakak perempuannya, Indreswari tidak menemukan upacara penyambutan besar-besaran sebagai calon mempelai Sri Baginda Raja. Bahkan untuk kurun waktu sepasar, lima hari, setelah kapal merapat, tak ada yang memberitahukan apa yang terjadi. Tak ada jemputan istimewa.

“Apa yang terjadi, Paman Senopati?”

“Tak ada apa-apa. Putri menunggu perintah untuk turun, dan menempati pondokan…”

“Perintah untuk turun? Pondokan?”

“Ya.”

Suara Senopati Anabrang sangat dingin seperti es. Dan pada malam hari, dirinya diboyong bersama dalam pengawalan yang sederhana untuk menempati sebuah rumah besar yang terawat, teratur sempurna. Tak ada yang kurang dalam pelayanan, karena kini dayang-dayang yang melayani jumlahnya jauh lebih banyak. Tapi kenyataan bahwa dirinya menunggu di luar Keraton, itulah yang membuatnya sakit hati, terhina.

“Adakah Rama mengetahui kita dipermalukan seperti ini, Kakang Ayu?”

“Kita mencegah jangan sampai Rama mengetahui.”

“Kakang Ayu…”

“Yayi Ayu, inilah pengorbanan yang kita berikan. Berbakti kepada Rama, kepada Keraton. Perlakuan apa pun akan kita terima dengan ikhlas. Sri Baginda Raja telah mangkat. Barangkali nasib kita akan lebih buruk lagi, kalau tak ada prajurit yang mau memperistrikan kita. Kita dibuang dan kembali sebagai wanita yang tidak mempunyai harga.”

Indreswari terpukul keras. Batinnya guncang. Sejak saat itu ia memutuskan untuk melakukan semadi. Melakukan tapa brata tak mau menyentuh makanan, minuman, tak mau berdandan. Siang dan malam, hanya batinnya yang berbicara. Menerobos langit-langit, menerobos langit menuju ke arah Dewa Yang Maha Mengetahui. Indreswari tak peduli hidup atau mati. Tidak mau mendengar bujukan kakak perempuannya. Tidak mau mendengar kata-kata Senopati Anabrang yang memberitahukan bahwa raja yang menggantikan Sri Baginda Raja berkenan menerima mereka berdua.

Indreswari tetap bergeming. Sampai ia terpaksa digotong ke dalam Keraton. Sampai ia mendengar suara Baginda. Dendam, kekecewaan, sakit hati atas perlakuan selama ini, membuat Indreswari berbuat sebaliknya. Sejak mendengar suara Baginda, Indreswari mau melakukan apa saja untuk Baginda. Ketulusan, kesetiaan, pengabdian, diserahkan dengan tulus dan ikhlas. Tak ada yang didengar dan dibayangkan selain Baginda.

Juga ketika secara resmi dirinya diangkat menjadi permaisuri utama, dengan gelar Permaisuri Indreswari. Tak ada yang mengetahui apa sesungguhnya isi hatinya yang sebenarnya. Tidak juga kakak perempuannya diberitahu, atau diberi kisikan. Bahwa dengan demikian hubungannya dengan kakak perempuannya menjadi renggang, Indreswari tak memedulikan. Yang dilakukan hanyalah pengabdian secara total. Sepenuh hati.

Semakin dendam, semakin sakit hati, semakin tulus Permaisuri Indreswari melayani Baginda. Segala keinginannya, impiannya, dendamnya tersalurkan kepada putranya. Bagus Kala Gemet. Sejak dalam kandungan, Permaisuri telah menyiapkan segala macam doa dan jampi. Segala apa yang dipegang, dipandang, dilihat oleh putranya, berada dalam pengawasannya. Siang dan malam tugasnya yang mulia adalah menyiapkan putranya, yang kelak akan naik takhta.

Bagus Kala Gemet adalah cahaya yang bersinar, yang terakhir dirasakan. Permaisuri Indreswari memusatkan semua perhatiannya, arahan batinnya, untuk membesarkan putranya. Segala apa ditempuhnya. Termasuk menghubungi guru-guru yang akan melatih, pendekar yang memberi bekal, dan semua dayang. Bahwa dengan itu dirinya akan berhadapan dan bisa bentrok dengan siapa saja, Indreswari sudah memperhitungkan dan siap menghadapi. Maka segalanya dijalani. Menemui para senopati, mempelajari tata pemerintahan, meredakan permusuhan batin dengan permaisuri yang lain. Bagus Kala Gemet adalah segalanya.

Puncak dari itu semua ialah ketika penobatan putranya, Permaisuri Indreswari bertindak langsung, muncul sebagai pelindung utama, berada dalam barisan terdepan. Puncak dari segala puncak itu ialah ketika Baginda memerintahkan untuk berangkat ke Simping, dan Indreswari mengatakan keinginan untuk mendampingi putranya. Menjadi jelas baginya sekarang, di mana kakinya harus berdiri di mana harus memilih.

Kini saatnya untuk memperlihatkan dirinya, setelah sepuluh tahun lebih merayap di tanah bagai cacing. Tumpuannya, harapannya, hanyalah putranya. Jangan kata Baginda, bahkan kakak perempuannya pun direlakan untuk pergi atas permintaannya sendiri. Demi putranya! Demi kesumatnya! Demi rintihan putri boyongan!

Akan tetapi, ternyata yang terjadi di luar dugaannya. Tumpuan dari semua tumpuan, harapan dari semua harapan, putranya yang perkasa menoleh ke arah lain. Putranya yang sudah menduduki takhta, seakan menjadi manusia yang lain. Hanya dalam satu-dua bulan, putranya memberi perintah yang berbeda. Sesungguhnyalah, ini merupakan pukulan paling tajam di dasar batin Permaisuri Indreswari. Yang membuatnya meneteskan luh duka untuk pertama kalinya.

Indreswari tak bisa segera menguasai dirinya. Desisan suara di bibir menandai keperihan hati dan guncangan batin yang tak bisa ditutup-tutupi. Selama ini semua penderitaan, semua duka, semua kehinaan bisa diatasi. Bisa dialihkan menjadi pengabdian. Tapi tidak sekarang ini. Kala Gemet putraku. Tapi ia raja…. Kalimatnya bergema sendiri, lebih nyaring. Kembali terbayang ramanya.

Apa dosanya yang dilakukan selama ini? Bukankah ia menjalani sebagaimana yang tertuliskan? Menjadi putri boyongan. Datang ke negeri seberang untuk nyuwita. Bahkan ketika Sri Baginda Raja sudah mangkat, ia rela mengabdi kepada penggantinya. Ia rela, bahkan untuk hal ini tak ada satu kata pun yang meminta persetujuannya. Seolah ia tinggal menjalani. Nyatanya begitu.

Apa dosaku selama ini? Apakah aku kurang bekti kepada Rama? Kepada kakak perempuan? Kepada Keraton? Kenapa semua bisa terjadi? Kenapa putraku menilai keliru? Indreswari memejamkan matanya. Seluruh punggungnya tersandar di kursi. Dadanya naik turun.

Halayudha masih duduk bersila menunduk. Sampai agak lama.

“Halayudha…”

“Hamba masih di sini, Permaisuri…"

"Apakah ketika kamu sowan, masih ada wulanjar tua itu di dekatnya?” Suaranya bernada dingin. Sebenarnya, jauh dalam hatinya, Indreswari tak ingin siapa pun mengetahui apa yang dikuatirkan. Ia merasa dirinya paling bisa menguasai perasaannya, jauh dari siapa pun. Akan tetapi sekarang ini, pertanyaan itu tercetus. Sebagian rahasia kekuatirannya dibuka di depan orang lain.

Halayudha menyembah pelan. Baginya juga menjadi lebih jelas. Bahwa ada yang dikuatirkan Permaisuri, yang kini menguasai Raja. Yang disebutkan sebagai wulanjar tua. Sebutan yang agak aneh. Wulanjar adalah sebutan untuk janda muda. Namun Permaisuri Indreswari menyebutkan sebagai “janda muda yang sudah tua”.

“Apa ia masih di sana?”

“Hamba tak menangkap apa yang Permaisuri maksudkan…”

Permaisuri Indreswari menggeleng lembut. Pandangannya masih menerawang. “Tak perlu pura-pura itu. Semua, seisi Keraton sudah tahu.”

Lalu terdiam agak lama.

“Aku menertawakan Janaka Rajendra yang memilih gadis liar, tak tahunya…" Mendadak suaranya terhenti. Penguasaan atas emosi berhasil dimenangkan. “Telingamu seperti tikus, Halayudha. Kamu bisa mendengar segala yang busuk, dan akan kamu ceritakan lebih busuk lagi. Agar kamu tak main-main dengan lidah dan pendengaranmu, hari ini aku akan membuatmu bisu dan tuli untuk selamanya.”

Praba Raga Karana
HALAYUDHA menyembah. Tangannya sedikit dimiringkan, sehingga cincin pemberian Raja terlihat jelas. Di satu pihak seakan menerima hukuman untuk dibisutulikan, di lain pihak menjelaskan bahwa saat ini masih menjalankan tugas Raja. Seseorang yang sedang menjalankan tugas dari Raja, mempunyai posisi yang sangat istimewa. Menjadi sangat penting, sehingga siapa pun yang menghalangi tugasnya, seolah menantang Raja.

Apalagi yang berbekal cincin tanda kekuasaan. Berarti sedang menjalankan tugas sangar penting dan rahasia. Para pemakai cincin tugas, biasanya menyembunyikan tanda tersebut, karena bisa memancing keramaian yang bisa menggagalkan tugasnya. Para pejabat di pusat atau di daerah jika mengetahui ada utusan khusus Raja, akan memperlakukan dengan hormat dan baik. Mengundang makan, menikmati hiburan, dan lain sebagainya. Undangan semacam ini agak merepotkan kalau ditolak. Kali ini justru Halayudha berusaha memamerkan.

“Segera setelah menunaikan tugas, hamba akan sowan Permaisuri untuk menerima hukuman. Bila Permaisuri berkenan, hamba akan membawa Kiai Truwilun, dukun terkondang yang bisa membuat jampi…”

Permaisuri Indreswari tertegun sejenak. “Setiap kali aku akan menghukummu, setiap kali kamu bisa mengajukan usul. Entah Dewa mana yang sudi melindungimu selama ini. Sungguh suatu keberuntungan bagimu.”

Permaisuri Indreswari segera meninggalkan Halayudha. Melalui dayang kepercayaan dikisikkan bahwa ia akan menemui Raja. Jika diketahui sedang berada di mana, ia akan segera mendatangi. Tidak perlu melewati senopati atau prajurit kepercayaannya. Namun laporan yang diberitahukan seketika membuat Permaisuri Indreswari menahan rasa gusarnya. Raja sedang tidak mau diganggu atau tak ada yang berani mengusik.

Tak usah dijelaskan, tak usah diulang, berarti Raja sedang bersama wanita yang dalam penilaian Permaisuri Indreswari tak memiliki sesuatu yang pantas dari ujung rambut hingga ujung kuku kaki. Tak ada sedikit pun. Wajahnya terlalu biasa, dengan jidat yang menonjol. Pipi dan bibirnya tebal. Dalam penilaian berdasarkan bentuk tubuh, wanita itu tak menyimpan satu pun nilai lebih.

Maka bagi Permaisuri Indreswari agak mengherankan bahwa putranya bisa tertambat daya asmaranya oleh wanita seperti itu. Lebih mengherankan lagi karena selama ini selalu dikelilingi oleh gadis-gadis yang ayu, cantik, jelita, dan sedang tumbuh mekar. Akan tetapi justru putranya tengah kesengsem dengan yang sama sekali tak diperhitungkan! Sebagai ibu yang mengawasi setiap gerak bayangan putra yang sangat dikasihi. Permaisuri Indreswari bukannya tidak mengetahui ketika putranya menanyakan wanita itu.

"Siapa dia?”

“Waila yang mana?”

Sengaja ia menyebutkan waila atau sebutan untuk wanita kebanyakan. Saat itu Permaisuri merasa heran karena yang ditunjuk Raja adalah wanita yang bekerja sebagai pengurut. Juru pijat bagi para putri atau para selir. Tak ada gambaran sedikit pun bahwa hubungan itu akan terus berlanjut. Sejak malam itu, Raja memerintahkan untuk membuatkannya kamar khusus yang berada dalam lingkungan Keraton. Dan mendapat perlakuan sebagaimana selir-selir yang lain, dengan segala kehormatan yang pantas diterima.

Sebenarnya sampai sejauh itu, Permaisuri tidak merasa risau. Dirinya dibesarkan dalam tata krama Keraton. Sejak kecil, sejak sebelum bisa mengeja huruf, telah melihat kenyataan bahwa seorang raja mempunyai banyak sekali selir. Demikian juga ketika dirinya menjadi permaisuri, sebelumnya. Baginda telah memiliki empat permaisuri yang setengah resmi. Demikian juga sesudahnya, bila sesekali Baginda menghendaki atau tertarik kepada seseorang. Ibarat kata tinggal membalik telapak tangan. Atau semudah mengangkat alls.

Semua itu diterima sebagai bagian dari suatu kehidupan yang memang begitulah keharusannya. Hanya kemudian Permaisuri merasa ada sesuatu yang salah, ketika putranya lebih sering mengunjungi wanita itu, atau lebih sering memanggilnya ke dalam Keraton. Untuk bermalam di kamar Raja! Sejak itu Permaisuri memerintahkan secara khusus untuk mencari tahu siapa sebenarnya wanita yang bisa menyambar dan menyengat asmara putranya. Keterangan yang diperoleh tak lebih dari yang diketahui sebelumnya.

Wanita itu bekerja sebagai juru urut, seorang yang menjanda karena semua dayang yang tinggal di wilayah Keraton-meskipun tidak di dalam tidak boleh mempunyai suami atau kekasih. Permaisuri tak mau mengingat siapa nama wanita itu. Baginya tetap tidak penting. Betapa terkejutnya ketika dari dayang-dayang, Permaisuri mengetahui bahwa wanita itu mendapat gelar Praba Raga Karana. Ini benar-benar tak bisa dibiarkan.

Bahwa Raja sampai memanggil untuk masuk ke kamar peraduan saja, merupakan kehormatan yang tertinggi. Biasanya, kalau seorang raja menghendaki, cukup memberitahukan lewat prajurit yang dipercaya, agar selir yang bersangkutan bersedia, karena Raja berkenan datang. Dan bukan mengundang. Apalagi memberi gelar. Yang bukan sembarang gelar. Praba adalah gelar yang mulia, yang suci karena mempunyai arti “cahaya suci”. Cahaya yang memancar dari orang yang suci.

Selama ini bahkan para pendeta Keraton belum pernah ada yang memakai gelaran itu.Tidak juga permaisuri-permaisuri sebelumnya. Tambahan sebutan Raga Karana juga membuat Permaisuri tak habis mengerti. Kata itu berarti memberahikan, membuat bangkitnya nafsu asmara. Gabungan kata itu berarti wanita yang memancarkan cahaya suci dan cahaya berahi. Semacam cara berolok-olok yang keterlaluan.

Akan tetapi itulah kenyataannya. Raja selalu menyempatkan diri berduaan, dan kala berduaan tak ada yang berani mengusik. Bahkan dirinya, sebagai permaisuri, sebagai ibu, tetap tak akan mendapat kesempatan melewati penjagaan yang berlapis. Ganjalan yang luar biasa menampar Permaisuri. Tak dibayangkan bahwa dalam sisa hidupnya setelah mencapai puncak kekuasaan tertinggi, akan dipermalukan seperti sekarang ini.

Kalau Halayudha mengusulkan memanggil Truwilun, itu bukan sesuatu yang luar biasa. Sejak wanita itu berada dalam lingkungan Keraton, sejak menempati salah satu kaputren, Permaisuri sudah melakukan berbagai cara. Yang pertama, mengadakan pesta suka ria, menghadirkan putri-putri Keraton yang bisa memalingkan pandangan Raja. Akan tetapi tak ada hasilnya. Ada satu atau dua yang berkenan di hati Raja, akan tetapi tak pernah berumur lebih dari tiga hari.

JILID 20BUKU PERTAMAJILID 22