Senopati Pamungkas Bagian 28 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Senopati Pamungkas
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

BAGIAN 28

Pangeran Jenang adalah penguasa yang terusir setelah gagal merebut kembali keratonnya dari penguasaan bangsa Vietnam. Ke mana lagi larinya kalau tidak minta bantuan Keraton Singasari yang memang mempunyai kekuasaan di wilayah itu?

Kedatangan Pangeran Jenang diterima dengan baik oleh Permaisuri Indreswari dan dimanfaatkan sebagai bagian upacara kebesarannya. Pangeran Jenang diterima sebagai tamu kehormatan. Dan diperlakukan sebagai penguasa tertinggi. Sebutan pangeran, menunjukkan sedikit di bawah raja.

Bisa dimengerti bahwa ucapan Nyai Demang bagai melempar noda yang busuk. Dengan enteng Nyai Demang mengatakan sebagai raja yang berkeliaran. Tak berbeda dari Ratu Ayu! Yang dianggap ratu keluyuran dan hanya mencari jodoh.

Telinga Putra Mahkota pun terasa seperti terbakar. Karena kehadiran Pangeran Jenang secara politis sangat berarti sekali. Seakan peresmian dihadiri oleh beberapa utusan berbagai negara dari tanah seberang. Namun dengan beberapa patah kata, Nyai Demang telah memorak-porandakan tata upacara kenegaraan.

Kalau istilah itu ditujukan kepada Ratu Ayu Bawah Langit, mungkin tak akan membakar gusar seperti sekarang ini. Bukan karena Ratu Ayu gagal dipersunting Putra Mahkota, akan tetapi karena selama ini tak ada hubungan langsung dengan negeri Turkana yang jauh di ujung jagat.

Sementara hubungan dengan Pangeran Jenang sudah terjalin dengan baik sejak Baginda Raja Sri Kertanegara. Sama-sama tamu negara, kedudukan Pangeran Jenang jauh berbeda dari Ratu Ayu. Putra Mahkota berdehem, mengeluarkan suara di tenggorokan karena geramnya.

“Tujuh turunan di atasmu pastilah manusia yang tak mengenal tata krama. Tujuh turunan di bawahmu akan tetap seliar binatang. Dihukum cincang pun rasanya masih kurang. Wanita biadab.”

“Enak saja bisa memaki orang lain. Percuma saja menjadi calon sesembahan seluruh masyarakat jika bisanya hanya memamerkan kekuasaan. Putra Mahkota Keraton yang begini besar dan jaya, tak tahunya hanyalah…”

Empat senopati sudah langsung mengepung. Dengan sangat bernafsu menubruk dan berusaha membungkam Nyai Demang. Nyai Demang hanya mengeluarkan suara pendek, menggeliatkan tubuhnya, dan serta-merta meloncat ke atas. Satu tangan bergerak menangkis, didahului dengan gerakan kaki. Sangat cepat. Dan mengena. Namun yang terkena tak peduli, apalagi yang lainnya. Tetap saja menubruk. Ingin meringkus secepatnya.

“Biar aku yang menjajal dan memberi pelajaran. Mohon perkenan Gusti Permaisuri.”

Pangeran Jenang menyembah hormat kepada Permaisuri Indreswari dan Putra Mahkota, lalu dengan sebat meloncat ke arah Nyai Demang. “Wanita ayu, tubuhmu indah, gerakanmu memesona. Lidahmu tajam. Aku tak bisa menahan diri untuk menangkapmu secara istimewa. Aku masih memerlukan beberapa dayang.”

“Coba saja kalau mampu. Kalau berdiri di negeri sendiri tidak mampu, jangan mencoba bertolak pinggang di negeri orang.”

“Sangat luar biasa. Kamu mengenaliku. Siapa namamu, wanita ayu?”

Nyai Demang mengeluarkan senyuman mengejek. “Kalau pemimpin keraton hanya memperhatikan wanita ayu dan gerakan tubuh, bagaimana memimpin negeri? Soal nama, apa pedulimu?”

Dengan menyebut mu, Nyai Demang betul-betul menunjukkan kekurangajarannya. Walau sebenarnya karena kemuakan melihat gaya dan tingkah laku Pangeran Jenang.

“Aku suka kuda liar seperti ini. Lebih menarik untuk ditaklukkan dan dikendarai.”

Kali ini justru Nyai Demang yang menggebrak langsung. Bagian dari Dua Belas Jurus Nujum Bintang dimainkan dengan sepenuh hati yang terbakar dendam. Langsung menyodok ke arah ulu hati, dibarengi sapuan kaku yang ganas, Mengarah ke selangkangan Pangeran Jenang, yang dengan cepat mencoba menangkis dengan kedua tangan sekaligus! Gerakan patah, tapi kentara menyimpan tenaga dalam yang terlatih.

Pangeran Jenang memang bukan sembarang pangeran! Walau mata keranjang dan suka main-main, ilmunya cukup tinggi. Tak terlena dengan segala kemewahan dan kelebihan yang dimiliki. Menangkis gerakan dengan dua tangan ke bawah, tubuh Pangeran Jenang berputar maju. Memapak ke arah Nyai Demang, dan dua sikunya menusuk ke arah dada. Gerakan dua tangan yang seolah satu sodokan. Kaku, akan tetapi jitu. Menusuk langsung.

Akan tetapi Nyai Demang justru menyambut keras lawan keras. Dadanya yang terbuka serangan hanya ditarik mundur, sementara kakinya menebas dengan keras. Menebas sedikit di bawah lutut, yang segera ditarik ke atas. Lagi-lagi selangkangan lawan yang diincar. Sebat, seolah kain yang dipakai Nyai Demang bukan merupakan penghalang. Bahkan sebaliknya, seakan menyatukan dengan tendangan berturut turut.

Agaknya Pangeran Jenang tak menduga sedikit pun bahwa Nyai Demang begitu nekat. Adalah di luar perhitungannya, bahwa kata-katanya telah membakar harga diri Nyai Demang. Menyentuh bagian rasa kewanitaannya yang paling peka. Bagi Nyai Demang adalah pantangan untuk hanya dianggap sebagai wanita pemuas dahaga asmara. Sikap dan kata-kata Pangeran Jenang justru menjurus ke arah itu. Tak bisa ditafsirkan lain. Rasanya Nyai Demang rela mati untuk membela harga dirinya. Itulah sebabnya tak mengubah serangannya.

Lulur Pengantin

PANGERAN JENANG menurunkan tangannya, ganti dipakai untuk menebas kaki Nyai Demang. Karena Nyai Demang tak menarik mundur, bentrokan tenaga tak bisa dicegah. Keras lawan keras. Tenaga lawan tenaga. Benturan itu membuat kaki kiri Nyai Demang terasa sedikit ngilu. Akan tetapi kaki kanannya terus menghajar ke atas. Ke arah wajah Pangeran Jenang, saat Nyai Demang membalikkan tubuh.

Mengetahui datangnya serangan nekat, Pangeran Jenang tak bertindak ayal. Dengan serta-merta, kepalanya ditarik ke arah belakang bersamaan dengan tubuhnya. Mau tak mau harus meloncat mundur!

Nyai Demang justru menyusuli dengan tendangan kedua. Ketiga. Sambil terus berputar bagai gasing. Pangeran Jenang tak bisa tidak juga mundur. Dua langkah. Tiga langkah. Bukan pemandangan yang menyenangkan bagi Pangeran Jenang. Karena seolah ia dipaksa mundur, didesak dalam gebrakan pertama. Dipaksa bertahan kembali ke bagian awal. Tidak persis seperti ini, akan tetapi inilah yang terlihat.

Tidak persis, karena justru dalam soal adu tenaga, terlihat betapa sesungguhnya tenaga dalam Pangeran Jenang lebih unggul. Dalam sekejap, Pangeran Jenang mengetahui bahwa tenaga dalamnya jauh lebih besar daripada yang dimiliki Nyai Demang. Akan tetapi kini justru nampak terdesak. Inilah yang tidak enak. Namun untuk membalikkan arah serangan, juga tak bisa begitu saja. Kedua kaki Nyai Demang berturut-turut menyambar, dan arah yang dituju selalu wajah. Dua kali diseling sambaran ke arah ulu hati.

Nyai Demang memang memainkan Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Rangkaian gerakan dalam Kitab Bumi yang sudah dihafal hampir semua pendekar silat. Akan tetapi tidak berarti bisa terbaca jelas gerakan-gerakannya. Karena Kitab Bumi justru hanya mengajarkan tentang pengaturan tenaga, cara memperoleh, dan menyalurkannya. Gerakannya sendiri bisa mempunyai banyak kembangan, atau perubahan. Apalagi Nyai Demang sedang didorong oleh dendam yang membakar.

Ini salah satu sebab kenapa Nyai Demang sedikit unggul pada gebrakan awal. Kelebihan Nyai Demang justru dalam hal mengerti nama-nama jurus dan bisa di luar kepala semua kidungan dan atau lirik-lirik dalam Kitab Bumi. Lebih dari itu, Nyai Demang juga mengetahui berbagai kembangan seperti yang terjadi pada Kiai Sambartaka ataupun pada Naga Nareswara. Semua ini mempunyai pengaruh akan keluasan pandangan Nyai Demang.

Dalam keadaan menyerang Nyai Demang bisa mengeluarkan semua kemampuannya. Tidak sebaliknya. Nyai Demang tak akan cukup mampu bertahan. Karena memang kekuatan tenaganya sangat terbatas dibandingkan para pendekar yang sudah mencapai tingkatan tertentu. Hal ini sangat disadari oleh Nyai Demang. Tak ada yang mampu menilai diri sendiri seperti Nyai Demang. Dalam keadaan terdesak, semua ilmu yang beragam yang dimiliki akan hilang dan terpusat pada pembelaan diri. Kelemahan utama ini bisa dimanfaatkan oleh lawan secepatnya.

Itu pula sebabnya Nyai Demang terkadang begitu mudah ditumbangkan. Dan dianggap kelasnya masih jauh di bawah. Namun ini semua tidak berlaku di saat ia bisa menguasai lawan dan menyerang. Sadar di mana kelebihan dan kekurangannya, Nyai Demang terus menghajar Pangeran Jenang. Dua belas jurus berturut-turut, ia memaksa Pangeran Jenang mundur ke segala penjuru. Dan bertahan dengan ketat dan geram.

Sebenarnya Nyai Demang bisa memancing lawan ganti menyerang, dan saat itu ia memainkan jurus-jurus dalam Kitab Penolak Bumi. Ibarat kata tinggal menjebak lawan. Hanya saja Nyai Demang tidak yakin bahwa pada saat lawan ganti menyerang, ia mampu menjebak dengan baik. Justru karena mengetahui kekuatannya tak mampu mengimbangi. Maka selesai dua belas jurus, Nyai Demang menyambung dengan jurus ketujuh, kedelapan, dan kemudian menyentak lagi dari awal.

Dua kali tendangannya hampir mengenai wajah lawan, sehingga Pangeran Jenang terpaksa menyambar tombak trisula. Ujung tombak yang terkena sentakan kaki Nyai Demang sampai tergetar. Pada saat itu tangan kiri Nyai Demang terulur maju, seakan dengan satu tangan siap menggotong mayit, atau menggotong mayat. Pangeran Jenang mengeluarkan suara tertahan. Tombaknya bisa direbut Nyai Demang. Tiga ujung tombaknya berbalik ke arah lambungnya sendiri. Bahaya!

Pangeran Jenang tak menyangka bahwa dalam dua puluh jurus ia terdesak terus dan kini betul-betul repot menyelamatkan diri. Risiko paling buruk bagi pesilat. Karena dengan membiarkan dirinya terdesak satu langkah, rangkaian langkah berikutnya makin kuat dan tak terduga. Bahaya! Tiga ujung tombak sudah mendekat.

Tangan Pangeran Jenang turun dengan cepat. Mau atau tidak ia akan beradu tenaga. Merampas ujung tombak dan mengerahkan tenaga dalam untuk membetotnya. Berarti adu tenaga. Yang dalam perhitungan Pangeran Jenang akan bisa dimenangkan. Walau memang mengandung sedikit risiko. Karena satu torehan sedikit saja akan menyebabkan kantong nasinya terobek.

Pada saat yang kritis tak terlalu banyak pilihan. Pangeran Jenang memusatkan konsentrasi pikiran, mengerahkan tenaga ke arah dua tangannya. Satu jari di bawah ujung yang runcing digenggam dengan cepat, dan disentakkan. Berhasil. Tapi kecele. Karena Nyai Demang tidak mengerahkan tenaga di situ. Malah sebaliknya. Kaki kiri Nyai Demang-lah yang melayang bersamaan dengan tubuhnya bergerak ke atas. Bahaya!

Terlambat Pangeran Jenang menyadari bahaya yang sesungguhnya. Tak masuk dalam perhitungannya bahwa Nyai Demang tetap mampu melancarkan serangan kaki berupa tendangan, justru pada saat menusuk. Tak masuk dalam perhitungan Pangeran Jenang, justru karena tak mengetahui bahwa Nyai Demang tidak begitu mampu menguasai permainan tombak.

Kalau saja Pangeran Jenang sedikit cerdik, bisa mengetahui bahwa serangan Nyai Demang yang terutama adalah permainan kaki, seperti pada awal yang telah dipertunjukkan. Gerakan yang lain sekadar perubahan untuk membingungkan lawan, dan bukan merupakan serangan utama.

Plak!

Bahaya! Kepala Pangeran Jenang terdongak ke atas, tombak trisula terlepas dari genggamannya, dan tubuhnya terbanting di lantai. Kemenangan Nyai Demang yang gilang-gemilang. Keunggulan mutlak. Akan tetapi, bersamaan dengan ambruknya tubuh Pangeran Jenang serentak itu pula kepungan dan serangan mendadak muncul. Nyai Demang yang tengah melayang di angkasa, mengerahkan sepenuh tenaganya untuk mencari pijakan. Tidak mudah.

Karena begitu tubuhnya melayang turun, hampir semua senjata digerakkan untuk memotongnya. Sehingga Nyai Demang meminjam tenaga dari salah satu senjata yang ada, untuk mumbul, naik ke atas lagi. Akan tetapi tiga kali melambung, tenaga perlawanan Nyai Demang sudah merosot jauh. Bahaya!

Pertarungan di tengah udara bukan keunggulan Nyai Demang. Pun andai di atas tanah, tetap tak akan mengimbangi serbuan para senopati yang tak terhitung banyaknya. Kini ia benar-benar dalam bahaya. Satu sabetan pedang saja bisa membuat kakinya kutung atau tubuhnya putus. Satu tusukan saja bisa membuat Nyai Demang bagai terpanggang. Nyai Demang tak mungkin memenangkan pertarungan secara keroyokan begini.

Pada saat loncatan kelima, Nyai Demang merasa bahwa akhir hidupnya tak tertolong lagi. Karena kekuatannya sudah makin merosot, dan ia tak bisa sepenuhnya menguasai gerakan tubuhnya. Pada saat itulah, mendadak di bawah terjadi perubahan. Serbuan para senopati seperti terobek. Menguak. Sehingga Nyai Demang bisa turun dan berdiri tegap. Pinggangnya didekap seseorang. Upasara Wulung!

“Adimas.”

“Mbakyu Demang… Mari kita menyingkir.”

“Astaga, tubuhmu masih bau lulur pengantin. Bedak pengantin Turkana ini…”

Upasara Wulung membalikkan telapak tangannya. Tiga ujung senjata yang menusuk ke arahnya diraup dengan satu tangan. Dibanting ke tanah. Lalu dengan menggandeng Nyai Demang, meloncat pergi.

“Bagaimana nasib dua putri Permaisuri Rajapatni?”

Raja Turkana

BAIK Nyai Demang maupun Upasara menanyakan isi hati masing-masing. Dalam benak Nyai Demang kemunculan Upasara adalah sesuatu yang sama sekali di luar dugaannya. Karena seharusnya saat itu Upasara sedang menikmati malam pengantin bersama Ratu Ayu Bawah Langit. Kesempatan yang begitu diimpikan oleh banyak lelaki. Sebaliknya Upasara justru lebih memikirkan keselamatan Rajadewi dan Tunggadewi. Aneh atau tidak aneh, itulah kenyataannya.

Sesaat setelah pertarungan yang berhasil dimenangkan, Upasara diboyong oleh Ratu Ayu dan para senopatinya. Saat itu Upasara tak sadar sepenuhnya apa yang terjadi. Ia tak bisa menolak dan tak bisa menerangkan apa-apa ketika digiring masuk ke dalam kediaman Ratu Ayu. Juga ketika masuk ke dalam ruangan, Upasara makin kikuk, karena Ratu Ayu bersujud di ujung kakinya. Disusul oleh para Senopati Turkana.

“Paman Senopati, maaf… Juga Ratu Ayu… Saya kira ada yang perlu dijelaskan,” suaranya menjadi gugup tak menentu. Bau wangi dupa di dalam ruangan membuat Upasara makin gelapan.

“Raja Turkana yang gagah perwira, Baginda sekarang memegang kekuasaan tertinggi.”

“Saya tak bisa. Tak bisa. Pokoknya tak bisa saja.”

Ratu Ayu memandang dengan sorot mata memohon. “Sampai hamba membunuh diri di depan kaki Raja Turkana sesembahan kami, kenyataan ini tak bisa berubah.”

Upasara menggelengkan kepalanya. “Bukan saya menolak kehormatan yang demikian besarnya, Ratu. Bukan untuk membunuh diri siapa pun. Hanya saja, rasanya masih ada sesuatu yang belum selesai. Saya masih harus mengembalikan dua putri yang saya jaga, masih ada berbagai urusan yang harus saya selesaikan.”

Ratu Ayu menyembah. Diikuti para senopati. Upasara makin merasa tak betah duduk di kursi.

“Sebagai Raja Turkana, Baginda bebas melakukan apa saja. Menyelesaikan urusan, memilih istri kedua atau kesepuluh. Tetap tinggal di tanah Jawa, atau memilih kembali ke singgasana di Turkana. Sebagai Raja Turkana, Baginda bisa melakukan apa saja. Kami tak akan pernah mungkin menghalangi atau menawar perintah. Sebab Baginda yang paling menentukan.”

Upasara melengak tak habis pikir. Asap wewangian membuatnya setengah sadar setengah tidak. Pikirannya yang jernih seperti teraduk. Ia tak membayangkan dirinya akan menjadi raja. Benar-benar dipanggil dengan sebutan Baginda dan disembah. Raja sebuah negeri! Lebih dari itu semua, ialah kenyataan bahwa itu semua tak mengurangi apa yang bisa dilakukan. Sebagai raja, ia bisa melakukan dan memutuskan apa saja. Ratu Ayu yang kesohor itu akan mengikuti jejaknya. Ini yang justru sangat merepotkan.

Kalau ia bisa melepaskan takhta, atau keluar begitu saja, masalahnya akan selesai. Batinnya tidak mempunyai beban apa-apa. Akan tetapi sekarang justru lain. Ia tetap bisa berbuat apa saja, hanya saja anggapan sebagai Baginda Raja Turkana tak pernah bisa ditanggalkan.

“Saya akan mengembalikan kedua putri dan…”

“Hamba bisa melakukan, Baginda,” sembah Senopati Uighur.

“Tidak, tidak. Nanti akan merepotkan.”

“Tidak bagi hamba, Baginda.”

“Saya akan melakukan sendiri.”

“Kalau itu kehendak Baginda, hamba akan mengikuti titah.”

Upasara merasa punggungnya menjadi gatal tak menentu. Digaruk susah, tidak digaruk membuat gelisah. “Ratu Ayu.”

“Siap menerima perintah Baginda.”

“Saya tak tahu harus bersikap bagaimana. Kejadian ini di luar pengertian saya. Karena masih ada beberapa urusan, saya akan menyelesaikan sendiri. Barangkali ini akan lebih baik. Sementara saya pergi, Ratu Ayu tetap menjadi pemimpin seperti sebelumnya.” Akhirnya Upasara mampu juga mengutarakan gagasannya.

“Hamba akan menjalankan semua perintah Baginda. Apa pun sabda Baginda itu yang berlaku bagi kami semua. Hanya saja hamba tak mungkin mewakili Baginda. Tidak dalam pengertian apa pun. Hamba sama dengan semua senopati di sini.”

Upasara menggeleng sedih. “Begini… begini… Masalah negeri Turkana atau pengembaraan kalian di sini, kalian bebas melakukan apa saja, selama saya menyelesaikan urusan. Setelah itu kita akan membicarakannya lagi.”

“Ke mana Baginda melangkah, ke tempat itulah kami semua mengikuti. Kalau tidak begitu kami, hamba sahaya ini, tak akan mengikuti Ratu Ayu sampai ke tanah Jawa.”

Suara Senopati Uighur menyadarkan Upasara bahwa ia tak bisa berkelit lagi. Secara resmi ia adalah Raja Turkana. Tak ada gunanya mendebat atau mempertanyakan kembali.

“Kalau begitu, kalian semua menjaga diri baik-baik. Akan saya tinggalkan Galih Kangkam sebagai pengganti saya di tempat ini. Malam ini saya akan kembali ke Keraton untuk menyelesaikan tugas yang ada. Kalian semua, termasuk Ratu Ayu, tak perlu campur tangan agar tidak terjadi permusuhan.”

“Kami jalankan titah Baginda.”

Semua melakukan sembah. Lalu delapan senopati menyembah dan dengan berjongkok setengah merangkak ke luar. Tinggal Upasara dan Ratu Ayu.

“Berdirilah, Ratu.”

Ratu Ayu Bawah Langit berdiri, mengambil tempat duduk di sebelah Upasara. Baginda akan berangkat malam ini juga?”

“Ya, Ratu.”

“Doa dan pujian kami semua menyertai perjalanan Baginda.”

“Ratu Ayu, kalau terjadi apa-apa dengan saya di Keraton, itu sepenuhnya tanggung jawab saya. Ratu tak usah menuntut balas atau memperhitungkan di kelak kemudian hari.”

“Sebagai hamba, saya tak bisa menolak perintah. Akan tetapi sebagai istri, sebagai permaisuri, saya berhak membalas dendam kalau ada kulit Baginda yang lecet karenanya. Sebagai permaisuri, saya berhak memuji dan menyerang kawan atau lawan Baginda. Baginda adalah kehormatan dan pujaan seluruh tanah Turkana.”

Upasara memang tak terlalu pandai menyusun kalimat, sehingga hanya bisa menggerakkan kepala tanpa jelas maksudnya.

“Baginda…”

“Ini membingungkan.”

“Maaf, Baginda. Kami semua hanya pengikut dan pengabdi Baginda. Tak ada bedanya dengan semua senopati Keraton kepada Baginda di Majapahit ini. Atau di belahan mana pun. Kalau Baginda tidak puas dengan pelayanan kami, Baginda bisa memecat, mengganti, atau menambah permaisuri dan senopati. Akan tetapi sampai mati pun, kami hanya mengabdi kepada satu orang sesembahan.”

“Baik, baik, Ratu. Saya akan mencoba memahami perlahan-lahan. Karena pedang hitam tipis ini merupakan pusaka utama Keraton Turkana, untuk sementara saya titipkan kepada Ratu. Dengan menggenggam Galih Kangkam, Ratu bisa berbuat apa saja pada saat yang diperlukan. Saya akan kembali ke dalam Keraton menyelesaikan dua urusan. Setelah itu kita bicarakan lagi.”

Ratu Ayu menunduk. “Apa pun sabda Baginda. Saya terlalu rendah untuk mengingatkan bahwa ini adalah malam pengantin Baginda.”

Wajah Upasara menjadi merah karena jengah. Meskipun hanya berdua, Upasara tak bisa menyembunyikan rasa kikuk yang mencapai puncaknya. Ia tak pernah berdua-dua seperti ini, apalagi sekarang ini dalam pengertian sebagai baginda dan permaisuri.

“Kalau Baginda tak menghendaki saya, Baginda bisa mengambil permaisuri yang mana saja.”

“Bukan begitu masalahnya, Ratu. Saya tak tahu apakah saya cukup berharga atau tidak mendampingi Ratu Ayu. Saya tak mempunyai pikiran apa-apa. Jangan terlalu membayangkan dan menilai diri terlalu rendah. Ah, apakah omongan saya ini urut? Hmmmmm…” Upasara segera berdiri.

“Baginda, kami semua menunggu Baginda.” Ratu Ayu menyembah dengan dalam. Turun ke bawah, kedua tangannya menyentuh kaki Upasara.

Membersihkan Ilalang

BAHWA Ratu Ayu melakukan itu semua dengan hati yang tulus, dengan kecintaan dan pemujaan yang muncul dari lubuk hati, membuat Upasara makin canggung. Kalau ia segera keluar dan menuju Keraton, karena ingin melepaskan diri dari suasana yang membuatnya serbasalah. Bagi Upasara, suasana yang dihadapi sama sekali tidak siap diterima. Sebagai raja. Sebagai suami.

Maka begitu melesat ke luar, Upasara segera merasakan udara segar. Ia bergegas masuk ke dalam Keraton. Untuk mencari tahu apakah Rajadewi dan Tunggadewi sudah selamat sampai ke kaputren. Sesudah itu, ia tak tahu lagi harus bagaimana. Apakah kembali ke dalam rangkulan kehormatan atau kembali ke Perguruan Awan. Atau meneruskan berkelana. Mengambil jalan berputar, Upasara menuju ke kaputren. Kali ini hatinya berkebat-kebit lebih keras. Darahnya berdesir lebih cepat.

Kaputren dalam keadaan kosong. Ruangan yang biasa ditempati Permaisuri Rajapatni hanya ditunggui dua dayang yang mematung. Tak ada suara napas Permaisuri Rajapatni maupun suara Rajadewi dan Tunggadewi. Sewaktu Upasara nekat menyusup ke dalam pun, kamar yang ditemui kosong. Tak ada yang bisa dilakukan selain mencari di ruangan lain. Ketiga permaisuri yang lain tetap berada dalam kamarnya masing-masing. Pikir Upasara, pasti sedang terjadi sesuatu. Dan kalau terjadi sesuatu terhadap Rajadewi dan Tunggadewi, itu berhubungan dengan Putra Mahkota.

Maka Upasara menuju ke dalem pangeranan, kediaman Putra Mahkota Bagus Kala Gemet, yang sedang memaklumkan dirinya dengan gelar yang baru. Upasara terlambat sampai di tempat itu. Yang dilihatnya saat itu hanyalah terancamnya jiwa Nyai Demang yang tadinya dipasrahi menjaga dua putri. Tanpa berpikir dua kali, Upasara segera bergerak. Dan lawan-lawan bisa tersingkir. Itu pula sebabnya pertanyaan pertama adalah mengenai keselamatan dua putri yang menjadi tanggungannya.

Digandeng oleh Upasara, Nyai Demang merasakan getaran yang lain. Semacam getaran asmara yang menyengat ketika untuk pertama kalinya Upasara memegang pinggang Nyai Demang. Apalagi sekarang ini digandeng untuk meloloskan diri.

“Bagaimana keadaannya, Nyai?”

“Aman.”

Nyai Demang memilih jawaban yang menenteramkan, meskipun sadar bahwa keadaan yang sebenarnya bisa berarti lain. Tapi Nyai Demang merasa itulah jawaban yang paling baik. Ia tidak merasa mendustai Upasara. Karena memang, boleh dipastikan, keadaan Rajadewi dan Tunggadewi aman tak kurang suatu apa. Hanya saja kini sepenuhnya dalam kekuasaan Putra Mahkota. Yang dikuasai oleh Permaisuri Indreswari di satu pihak dan Sidateka, Pendeta Syangka, di lain pihak. Dua unsur antara kekuasaan dan kekuatan.

Pilihan jawaban ini menenangkan hati Nyai Demang. Karena ia merasa mengetahui isi hati Upasara Wulung. Lelaki perkasa yang dikenalnya dengan baik. Sejak masih menyorotkan pandangan tertarik dulu, sampai dengan ketika seluruh daya asmara Upasara tersedot ke dalam diri Gayatri. Nyai Demang bisa memahami sepenuhnya. Walau kadang juga timbul pikiran yang aneh. Aneh bagi dirinya sendiri.

Ada semacam desiran darah dan guncangan hati yang tak mampu dikuasai setiap kali bersama Upasara Wulung. Adalah benar pandangan Gendhuk Tri yang sering mencemburuinya. Karena diam-diam Nyai Demang juga menaruh hati kepada Upasara! Sesuatu yang diakui oleh Upasara dan pernah diutarakan pada permulaan perjumpaan. Namun jauh di dalam lubuk hati Nyai Demang, ada kesadaran lain yang mengerem tindakannya. Secara sadar Nyai Demang bersikap sebagai mbakyu, kakak perempuan, pada Upasara. Ia mencintai Upasara, kalau mau dikatakan dengan jujur.

Ia mengharapkan Upasara menemukan yang terbaik. Dan Nyai Demang merasa dirinya bukan yang terbaik untuk Upasara. Jalan hidup Upasara terlalu bersih, lurus. Upasara mempunyai masa depan yang lebih elok. Ditambah berbagai alasan lain, Nyai Demang merasa bahagia bisa mendampingi Upasara. Tidak sebagai kekasih, tidak karena daya asmara semata. Karena persahabatan, kekaguman, dan kebersamaan.

Ia merasa memiliki Upasara tanpa merusaknya. Itulah daya asmara yang paling murni. Yang akhirnya terasakan oleh Nyai Demang dan kemudian membuatnya bahagia. Akan tetapi pada saat tertentu, seperti sekarang ini, Nyai Demang tak bisa menyembunyikan isi hatinya. Tangannya menjadi dingin.

Sementara tangan Upasara terasa panas. Kalau jalan pikiran Nyai Demang berliku, jalan pikiran Upasara lebih sederhana. Ia menangkap tubuh Nyai Demang, dan kemudian menggandengnya melewati pasukan yang mengejarnya, karena memang itulah jalan yang terbaik. Menyelamatkan Nyai Demang.

Sejak terbetot perhatiannya kepada Gayatri, Upasara boleh dikatakan tak pernah dilintasi pikiran adanya wanita lain. Apalagi Nyai Demang yang telah dianggap sebagai kakak kandung, yang banyak melalui pengalaman hidup getir bersama-sama. Termasuk usaha keras Nyai Demang untuk mengembalikan kesadaran Upasara, di saat jiwanya blong, kosong, setelah semua ilmunya dimusnahkan. Dengan mencekal keras, Upasara menarik tubuh Nyai Demang melayang ke atas, melompati dinding Keraton. Lenyap ke dalam kegelapan.

Sementara itu Permaisuri Indreswari menggigit bibirnya dengan keras. Sejak kemunculan Nyai Demang dan kemudian datangnya Upasara, hatinya menjadi sangat gusar. Sebagian jalannya upacara jadi berantakan.

“Inilah saatnya membersihkan ilalang, agar padi bisa tumbuh sempurna.” Suara Senopati Halayudha terdengar berbisik.

“Apa maksudnya, Halayudha?”

“Sebagai permaisuri utama dan satu-satunya, tidak seharusnya melarutkan diri dalam soal-soal yang remeh tak berharga. Kehadiran Nyai Demang atau juga penyusupan Upasara Wulung, malah bisa melapangkan jalan. Ibarat kata mereka ini adalah ilalang yang sedang tumbuh. Sebelum besar, tangan Permaisuri Indreswari bisa menudingnya, dan dengan senang hati Mahapatih akan mencabutnya.”

Permaisuri Indreswari tersenyum. Apa yang dikatakan oleh Halayudha bisa tertangkap maksudnya. Halayudha memakai perumpamaan “membersihkan ilalang”. Kemunculan Nyai Demang, Upasara, serta ketidakhadiran Senopati Sora dan Gajah Biru boleh dikatakan ilalang. Ilalang yang bisa mengganggu pertumbuhan padi. Kalau padi ingin tumbuh subur, ilalang harus dibersihkan. Dicabut sampai ke akar-akarnya. Bagian yang tersulit ialah menentukan mana yang ilalang, mana tumbuhan lain yang membantu pertumbuhan padi. Sekarang justru menjadi jelas.

Perlawanan Nyai Demang dengan mudah bisa dikatakan sebagai ilalang. Semua orang bisa mengerti. Lebih penting lagi, Baginda pun akan menyetujui. Sekarang saatnya membasmi. Bagi Halayudha, ini juga kesempatan terakhir. Dengan memihak sepenuhnya kepada Permaisuri Indreswari, Halayudha memainkan kartunya dengan cerdik. Menjadi orang kepercayaan Baginda saja tidak cukup. Harus bisa mendapatkan dukungan juga dari Permaisuri Indreswari. Sebab sering terjadi, justru kebijaksanaan dan keputusan yang besar datang dari usulan Permaisuri Indreswari.

Dalam perhitungan Halayudha, lawan terbesar dalam urutan keperwiraan dan kepangkatan di Keraton kini adalah Senopati Sora. Kalau sekarang ini ia menjatuhkan Mahapatih Nambi, pilihan sebagai pemegang jabatan utama kedua, akan jatuh ke tangan Senopati Sora. Karena dibandingkan dengan senopati yang lain, Senopati Sora tetap yang lebih unggul. Kalau Senopati Sora yang tampil menggantikan Nambi sebagai mahapatih, ia tak bisa berkutik. Senopati Sora jauh lebih keras sikapnya, tak mudah termakan oleh hasutan.

Maka jalan satu-satunya adalah melenyapkan Senopati Sora. Dengan demikian tak ada yang menduga apa yang dilakukan. Tidak juga Mahapatih Nambi, yang dalam pikiran Halayudha tak terlalu berbahaya. Dengan tudingan jari Permaisuri Indreswari, Mahapatih Nambi bisa pindah tempat dan jabatan. Dan tak akan menimbulkan banyak pergolakan. Karena Mahapatih Nambi tidak mempunyai pendukung kuat seperti Senopati Sora!

Duka Ibu Tak Bisa Dibagi

PERMAISURI INDRESWARI memerintahkan agar pesta dan kemeriahan terus berlangsung. Ia sendiri kemudian mengajak Senopati Halayudha langsung menghadap Baginda.

“Maaf, Gusti Permaisuri, di tengah malam seperti ini?”

“Baginda juga membangunkan saya di tengah malam seperti ini.”

“Apakah hamba patut menyertai?”

“Halayudha, kamu menjadi saksi, bila Baginda menanyakan sesuatu. Kalau kamu kubawa serta, besok pagi semua perintah telah dikeluarkan. Jangan menunggu sampai matahari meninggi.”

“Gusti Permaisuri sungguh bijak bestari.”

“Satu lagi, Halayudha, apakah betul yang muncul tadi Upasara Wulung yang perkasa?”

“Begitulah, Gusti.”

“Apakah di belakang hari tidak akan menimbulkan masalah mengingat ilmunya begitu tinggi?”

“Seorang yang mengaku ksatria tak akan membuat gangguan selama tidak diganggu bersilat. Upasara tak ada maksud untuk turut berebut pangkat dan derajat. Lagi pula sebagai suami Ratu Ayu, kita bisa mempergunakan titik lemah ini untuk mengusirnya.”

“Kalau ia tak mau pergi?”

“Banyak jalan untuk membuat Upasara bertarung dengan para ksatria karena Ratu Ayu dizinahi lelaki lain.”

“Hmmm, jalan pikiranmu panjang, Halayudha. Aku rada bimbang, apakah di belakang hari kamu tidak akan berpaling dariku.”

Halayudha menyembah. “Kalau ada setitik kebusukan dalam diri hamba mengenai Putra Mahkota atau Permaisuri, biarlah sekarang juga hamba…”

“Tak perlu kuragukan kesetiaanmu sampai saat ini.”

Dalam hati, Halayudha tertawa puas. Permaisuri boleh merasa unggul dan berkuasa. Boleh merasa mampu mengawasi semua orang dan mengatur, akan tetapi tidak diriku ini. Satu kaki membalik, Permaisuri Indreswari tak akan menyadari. Sampai akhirnya ia sendiri terjerembap keluar.

Bagi Halayudha, Permaisuri Indreswari adalah tokoh yang menggelikan. Yang puas atas kemenangannya di antara semua permaisuri dan wanita Keraton. Yang merasa mampu memaksakan kehendaknya pada Baginda. Yang menjadi satu-satunya pendamping Baginda. Itulah kekuatan utama dan sekaligus juga kelemahannya. Karena Permaisuri Indreswari dalam soal taktik dan strategi masih terlalu hijau.

Halayudha mengiringi Permaisuri menuju ke kediaman Baginda. Menyusuri lantai yang megah dan sepi. Di depan kamar Baginda, nampak Permaisuri Rajapatni bersujud. Semua rambutnya diurai, wajahnya menunduk, tak bergerak sedikit pun. Permaisuri Indreswari memalingkan mukanya, seakan tak melihat sama sekali. Dan melangkah masuk ke dalam. Berjongkok, melakukan sembah. Halayudha mengiringkan. Bersujud di tempat yang agak jauh di belakang.

Baginda hanya melirik, lalu menghela napas. Sebelum akhirnya kembali ke tempat peraduannya. “Pintu itu selalu terbuka. Ada yang berani langsung masuk, ada yang lebih suka menangis di luar. Apa lagi?”

“Mohon ampun, Baginda. Keberanian abdi Baginda menerobos masuk karena merasa tak tahan lagi dengan tingkah laku Senopati Sora yang justru mengadakan kraman saat-saat upacara berlangsung.”

“Sora?”

“Demikian, Baginda junjungan hamba.”

“Sora memang pemberani. Sedikit keras kepala. Itu aku suka. Tapi karena tidak pada tempatnya… perlu diperingatkan pula. Besok diminta menghadap kemari.”

Sunyi. Permaisuri Indreswari menyembah.

“Rasanya tak cukup diperingatkan, Baginda. Kali ini sangat keterlaluan sekali. Hukum buang pun rasanya…”

Tangan kiri Baginda bergerak perlahan. “Aku yang menentukan, Yayi! Aku tak pernah berkata dua kali. Halayudha, perintahkan Sora menghadap kepadaku. Aku akan berbicara langsung.”

“Sembah dalem, hamba akan menjalankan titah Baginda, malam ini juga.”

“Kamu pergi sendiri, Halayudha.”

Halayudha menyembah, lalu mundur.

“Tunggu, sebentar. Aku ingin mendengar pendapatmu…”

Halayudha menyembah lagi.

“Permaisuriku yang lain lagi, Rajapatni, bersila sejak sore tadi di depan pintu. Kutanya ada apa, ia malah menangis. Kuajak masuk, ia menunduk. Hanya beberapa patah kata yang terucap, ‘Duka permaisuri bisa dibagi seperti panas matahari, akan tetapi duka seorang ibu yang kehilangan anaknya adalah duka yang tak bisa dibagi.’ Kamu bisa mengerti apa maksudnya?”

Halayudha menyembah. “Seratus kali bertambah pandai, hamba tetap tak menangkap isinya, Baginda. Hanya barangkali Permaisuri Rajapatni yang mengerti susastra tinggi ingin menyampaikan bahwa kegelisahan hati Permaisuri Rajapatni karena kehilangan kedua putrinya, yaitu Putri Ayu Rajadewi dan Putri Ayu Tunggadewi. Kerisauan ini hanya bisa dirasakan oleh ibu.”

Baginda tersenyum. “Itu aku tahu. Yang ingin kuketahui, apakah kamu tahu di mana kedua putriku itu?”

Halayudha terdiam.

Baginda melirik ke Permaisuri Indreswari. “Bicaralah, Yayi.”

“Kami terpaksa mengasuhnya, karena putri sekar kedaton, bunga Keraton, dibiarkan keluyuran di luar. Sungguh aib dan ternoda kalau sampai diketahui orang luar.”

Baginda mengangguk. “Sampai kapan?”

“Sampai ibu yang melahirkan dan merasa berduka bisa mengasuhnya.”

“Baik, kalau begitu.” Baginda menggerakkan kedua tangannya.

Permaisuri Indreswari dan Halayudha menyembah bersamaan dan berjongkok mundur, agar tidak memunggungi Baginda.

Baru kemudian Baginda melangkah ke pintu. Memandang Permaisuri Rajapatni. “Yayi, kamu dengar sendiri semuanya?”

Permaisuri Rajapatni tak bergerak.

“Cukup. Sekarang kembalilah ke kaputren.”

Permaisuri Rajapatni menyembah. “Hamba tak akan beranjak dari tempat ini kalau kedua putri hamba belum kembali ke dalam pelukan hamba.”

Baginda tertawa kecil. “Inilah susahnya. Siapa menduga bahwa menjadi raja justru susah mengatur permaisuri yang mempunyai jalan pikiran sendiri-sendiri? Dengan satu patah kata aku bisa menentukan perang besar atau perdamaian. Semua akan mengikutiku. Tapi soal begini, ah, sungguh runyam. Kubenarkan tindakan Indreswari yang merasa menjaga tata krama Keraton. Kusalahkan kamu karena membiarkan putriku keluyuran. Kurasakan beratnya dukamu, Yayi. Bersabarlah, besok atau lusa, kedua putrimu akan kembali tanpa putus sehelai rambut pun. Kalau ada yang mengganggu, aku sendiri yang akan bertindak. Sekarang kembalilah.”

Permaisuri Rajapatni tetap tak bergerak.

“Aku tak hanya mengurusi putriku. Aku dititahkan oleh Dewa Penguasa Tanah Jawa untuk mengurus semuanya. Aku tahu siapa kamu, siapa Indreswari, siapa Sora, siapa Halayudha. Sebagai raja, aku harus bertindak adil untuk semuanya. Masih mau bertahan di situ?”

Permaisuri Rajapatni menyembah.

Baginda menggelengkan kepalanya. “Yayi Gayatri, kalau bukan kamu, malam ini juga kamu sudah kuusir dan tak kuizinkan bayangan tubuhmu masuk ke dalam Keraton untuk selamanya. Tapi kamu lain. Kamu memberikan kasih padaku, kamu ditakdirkan Dewa menjadi pendampingku. Tapi kamu sendiri yang menakdirkan berada di situ sampai tua!” Baginda segera melangkah ke dalam.

Sedia Senjata Sebelum Mendung

SEWAKTU Baginda masuk kembali ke kamar peraduan, Permaisuri Gayatri masih tetap bersila. Tak bergerak seujung rambut pun. Ketika itu Halayudha sudah langsung mempersiapkan diri untuk menyusul ke Dahanapura, setelah lebih dulu menemui Mahapatih Nambi. Yang merasa agak heran, karena Permaisuri juga menyertai.

“Saya sendiri merasa berat, Mahapatih. Akan tetapi inilah titah Baginda. Agar menyelesaikan Senopati Sora yang berniat kraman. Kalau Senopati Sora tetap menolak untuk hukum buang besok, berarti Mahapatih yang harus menyelesaikan.”

Mahapatih mengangguk ragu. Permaisuri Indreswari mengangguk dalam.

“Keputusan Baginda hanya dua. Membuang Sora atau menghukum mati. Yang pertama akan lebih berharga bagi Sora, kecuali kalau ia menghendaki lain.”

Halayudha menyembah ke arah Permaisuri Indreswari. “Dalam satu-dua hari ini, saya akan menghadap Mahapatih, dengan atau tidak bisa membawa Senopati Sora.”

“Kamu tak perlu kuatir hal itu, Nambi. Siapkan seluruh prajurit utama, semua senopati, untuk menghadapi bahaya sewaktu-waktu.”

Bagi Mahapatih Nambi ini menimbulkan kebimbangan yang cukup berat. Baginya, apa yang dilakukan Senopati Sora jelas keliru. Menentang secara terbuka. Akan tetapi untuk menghukum mati juga tak bisa begitu saja. Akan tetapi kecil sekali kemungkinannya menafsirkan bahwa Halayudha maupun Permaisuri mengartikan lain perintah Baginda. Rasanya sangat tidak mungkin! Itu seperti menyangsikan Baginda!

Tak akan terjadi pada seorang prajurit sejati, prajurit pengabdi. Maka tak ada pilihan lain kecuali menyiapkan pasukan istana yang siap gegaman, siap senjata tempur, untuk menghadapi kemungkinan yang tak diinginkan. Kesulitan yang juga muncul malam itu ialah kenyataan bahwa pertarungan di halaman depan Keraton ternyata tak seperti yang diharapkan. Pendeta Syangka yang sangat diandalkan, ternyata tak mampu menangkap Maha Singanada.

Maha Singanada berhasil melarikan diri. Atau meloloskan diri karena merasa dikerubut begitu banyak lawan. Kalau mau dipersoalkan, ini termasuk tanggung jawabnya juga. Bahkan sampai Pangeran Jenang kena tendang wajahnya oleh Nyai Demang, termasuk bagian yang bisa disalahkan ke arahnya. Permaisuri bisa menumpahkan semua kesalahan ini padanya. Yang berarti sandungan bagi pengabdiannya yang tulus. Yang berarti kegagalan dari sekian banyak tugas dan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Nambi menyadari sepenuhnya.

Sebagai senopati, Nambi merasakan puncak tertinggi pangkat yang bisa disandang adalah mahapatih, Karena senopati seperti dirinya bukannya titisan Dewa yang bakal bisa menduduki takhta. Ia tak mempunyai wahyu untuk itu. Hal itu sangat disadari betul. Dalam perhitungan ketika mengucapkan doa di dalam hati, Mahapatih Nambi makin menyadari posisinya. Di seluruh Keraton ini, siapa yang bakal menjadi raja sudah ditentukan oleh Dewa yang menguasai Jagat.

Akan tetapi siapa yang menjadi mahapatih, tergantung siapa yang bisa meraih. Dari seluruh penduduk Keraton, hanya ada satu mahapatih. Atas kemurahan Dewa Agung, maka dirinya terpilih untuk tugas sangat suci. Satu-satunya yang dipercaya menjadi mahapatih, dari sekian ratus senopati yang unggul, dan sepuluh senopati yang pantas menduduki jabatan tertinggi kedua ini.

Tidak, bagi Mahapatih Nambi bukan keinginan untuk mempertahankan jabatan dan pangkat ini selamanya. Baginya pangkat dan derajat adalah kepercayaan yang diberikan padanya. Pangkat yang dititipkan oleh Dewa melalui tangan Baginda. Sebagai ksatria, Mahapatih Nambi tidak tamak dan serakah mengenai kemewahan dan kekuasaan. Ia menerima segalanya berdasarkan rasa pengabdiannya. Sebagai perwujudan tanggung jawabnya. Juga sekarang ini.

Kalau ia terpaksa bertindak keras kepada kawan yang dikenal semasa berjuang mengenyahkan prajurit Raja Jayakatwang dan mengusir pasukan Tartar dulu, semata-mata karena tugas. Karena pengabdian. Hanya itulah yang dimiliki dan wajib dilakukan sebagai prajurit. Jangan kata sahabat, anak sendiri bila perlu disingkirkan kalau ternyata mengganggu ketenteraman Keraton. Percakapan dalam hati Mahapatih Nambi membuatnya sedikit tenteram. Hanya saja tak bisa dipungkiri adanya sedikit ganjalan yang menggelisahkan.

Kalau Baginda bertindak adil dan benar, kenapa masih ada tokoh-tokoh seperti Upasara Wulung? Kenapa Upasara Wulung muncul secara terang-terangan dan membuat gegeran? Mahapatih Nambi bisa membuat perhitungan sendiri atas Upasara Wulung dengan beberapa pertimbangan. Setidaknya bagi mereka yang tergabung dalam Perguruan Awan. Mereka ini adalah ksatria sejati. Hal ini tak perlu diragukan lagi. Sifat-sifat luhur ksatria mengalir dalam darah dan terembus dalam semua tindakannya, sampai napasnya pun murni. Tanpa keinginan jahat untuk merusak atau mengacau.

Kurang apa untuk seorang Upasara, kalau ia lebih dulu dipilih Baginda untuk menduduki derajat dan pangkat sebagai mahapatih? Kurang apa kalau sekarang Upasara menjadi lelananging jagat, dan mampu mempersunting Ratu Ayu Bawah Langit? Semua yang diharapkan telah berada dalam genggamannya. Semua yang diidamkan lelaki berhasil digenggam. Tanpa perlu membuat keonaran pun, Upasara bisa hidup dengan tenang dan bahagia. Akan tetapi justru bukan itu semua yang menjadi dasar pergerakan batinnya.

Di mana ada ketidakberesan, Upasara akan muncul dan berani menantangnya. Termasuk pengeroyokan terhadap Nyai Demang. Alasan bergerak Upasara hanyalah karena merasa ada sesuatu yang tidak benar. Ada perlakuan yang tidak adil. Bukan karena iri, bukan karena mau merebut derajat dan pangkat, bukan pula karena harta.

Usikan ini membuat Mahapatih Nambi sedikit gelisah. Kalau Upasara memperjuangkan kebenaran dan keadilan, kenapa harus bentrok dengan Keraton? Apakah ini berarti Keraton tidak benar dan kurang adil? Bahwa masih banyak masalah yang perlu dibenahi dan didandani, Mahapatih Nambi mengetahui lebih dari siapa pun. Akan tetapi itu semua bisa dilakukan tanpa menimbulkan gegeran yang sifatnya terbuka menantang Keraton. Yang justru kini dilakukan oleh Upasara. Yang justru dulunya begitu rapi menyembunyikan diri.

Akan tetapi apa pun kebimbangan yang ada, suara kegelisahan yang mengusik, tak berarti banyak. Bagi Mahapatih hanya ada satu kebenaran yang abadi sebagai abdi. Menjalankan perintah Baginda. Kalau untuk itu ia harus memindahkan gunung atau membendung sungai, tetap akan dijalankan. Juga kalau harus menghadapi Upasara Wulung! Musuh Keraton adalah musuhnya. Penghalang kebijaksanaan Raja adalah lawan yang harus dibasmi.

Kemantapan dalam hati ini datang bersama fajar pagi yang menyemburatkan sinar. Mengusir hawa dingin dan mendung. Mahapatih sudah menyiapkan seluruh prajurit utama untuk berjaga-jaga. Untuk menangkap Senopati Sora. Atau kalau perlu memburu ke Dahanapura. Prajurit telik sandi yang dikirimkan secara diam-diam sudah memberi laporan bahwa Senopati Halayudha sudah mengadakan pembicaraan dengan Senopati Sora. Prajurit kedua memberi laporan bahwa Senopati Sora menolak untuk dihukum buang. Prajurit ketiga melaporkan bahwa kini justru Senopati Sora sedang mempersiapkan prajuritnya yang setia untuk datang ke Keraton.

Utusan dari Halayudha menjelaskan kemudian bahwa dalam rombongan yang akan menghadap Baginda, selain Senopati Sora dan Gajah Biru, juga ada Senopati Juru Demung. Serta beberapa tokoh persilatan lain yang agaknya akan mendampingi Senopati Sora. Termasuk dalam rombongan itu, Upasara Wulung dan Nyai Demang dari Perguruan Awan. Dan sudah barang tentu akan disertai senopati Turkana yang pasti akan berpihak kepada Upasara.

Mahapatih diminta dengan hormat mengawasi gerak-gerik delapan senopati Turkana. Jalan pikiran yang paling sederhana mengartikan bahwa Senopati Sora tidak sekadar ingin sowan kepada Baginda, melainkan sekaligus menyiapkan langkah terakhir, jika usahanya gagal. Berarti juga perang besar. Jalan pikiran Mahapatih Nambi bukan terlalu mencurigai dan dicari-cari. Sejarah mengajarkan bahwa sejak Raja Jayakatwang, Raden Sanggrama Wijaya juga melakukan cara yang sama. Menyusup ke dalam Keraton dengan persiapan penuh. Mahapatih Nambi cepat mengambil keputusan.

Kebo Berune

UPASARA yang masih menggandeng Nyai Demang meninggalkan Kamandungan dengan langkah enteng.

“Adimas mau ke mana?”

Upasara tidak bisa menjawab seketika. “Ke mana sebaiknya, Mbakyu?”

Nyai Demang tertawa. Dengan sedikit sungkan ia melepaskan tangan kiri Upasara yang mencekalnya. Upasara jadi tersipu.

“Mana saya tahu? Adimas kan pengantin baru? Pasti mempunyai acara dan kesibukan sendiri. Saya tak mau disalahkan di belakang hari jika pada malam pengantin ini Adimas keluyuran tak menentu.”

Kali ini Upasara menggeleng mantap. “Tak sepenuhnya begitu, Mbakyu. Tapi sudahlah, akan panjang kalau diceritakan. Nanti Mbakyu Demang akan mengetahui sendiri.”

“Maaf, saya tak ingin mencampuri urusan pribadi.”

Mereka berdua berjalan menjauhi Keraton. Bintang di langit sebagian bisa dilihat dengan jelas. Juga angin perlahan bisa dirasakan.

Upasara menghela napas berat. “Saya juga tak ingin mencampuri urusan Keraton. Kalau sekarang atau nanti terjadi pergolakan, itu semata urusan Keraton. Sejauh tidak menyakiti Tunggadewi dan Rajadewi yang menjadi tanggungan saya. Rasanya kita masih perlu mencari Gendhuk Tri dan Dewa Maut.”

“Kalau sudah bertemu kenapa?”

Upasara melengak lagi. Ia benar-benar tak tahu apa yang harus dilakukan. Dan Nyai Demang bisa menebak dengan jitu.

“Kenapa Adimas ingin menjauhi Ratu Ayu?”

Sesaat tak ada jawaban. “Tidak juga, Mbakyu. Saya tidak berusaha menjauhi atau mendekati. Mbakyu Demang lebih tahu, ada beberapa salah pengertian dalam hubungan ini. Saya kira Ratu Ayu Azeri Baijani telah menemukan yang dicari. Yaitu Pedang Kelana, Galih Kangkam yang selama ini musnah dari Keraton Turkana. Setelah menemukan yang dicari, masalahnya sudah selesai.”

“Tidak sesederhana itu, Adimas Upasara. Salah pengertian atau bukan, semua telah mengetahui Adimas resmi menjadi suami Ratu Ayu. Beban atau kesenangan itu tak bisa dielakkan lagi. Saya bisa memahami perasaan Adimas, akan tetapi tidak demikian halnya dengan seluruh penduduk yang menyaksikan pertarungan di Kamandungan.”

“Lalu harus bagaimana?”

Nyai Demang mengangkat bahu. “Sudah saja jalani hidup dengan baik. Belum tentu tidak menyenangkan. Bagi saya pribadi, itu lebih baik daripada Adimas selalu mengenang Gayatri.”

Wajah Upasara menjadi merah. Sebenarnyalah itu yang menjadi ganjalan di hatinya. Upasara mengakui dan sadar sepenuh-penuhnya. Ratu Ayu, sesuai dengan julukannya, memang sangat elok. Mempunyai kekuasaan tertinggi. Akan tetapi Upasara tak bisa menerima dengan tenang. Selama ini yang masih memenuhi bayangan dan mimpinya adalah sosok Gayatri, yang telah menjadi Permaisuri Rajapatni. Bahkan ketika Ratu Ayu menyilakan Upasara memilih juga yang lainnya dan tak menghalangi, Upasara merasa makin terjepit perasaannya. Rasanya tak bisa melupakan Gayatri begitu saja. Nyatanya memang begitu. Upasara malu mengakui hal itu.

“Bukan itu, Mbakyu. Soalnya…”

“Adimas masih ingin merahasiakan kepada mbakyumu ini? Ah, Upasara… Upasara! Mbakyumu ini sudah tua, sudah cukup kenyang dengan garam asmara. Kenapa masih menganggap saya ini orang lain?”

Upasara memalingkan wajahnya ke arah lain. Dalam gelap perubahan wajahnya tidak bisa terlihat jelas. Tapi dari suaranya bisa dikenali getaran perasaan hatinya.

“Saya tak mengerti kenapa ada sisa-sisa perasaan seperti itu. Ah, Mbakyu Demang, mari kita bicarakan hal yang lain saja.”

Keduanya terdiam. Hanya angin yang menggoyang ujung pohon dan dedaunan. Samar-samar terdengar seperti kidungan.

Kalau bulan diselimuti awan
kenapa bicara tentang surya
Kalau hati sedang tertawan
kenapa bicara tentang surya?
Gerhana bulan
pasti datang
seperti gelombang
kerinduan…


Bukan hanya Upasara yang terkejut. Bahkan Nyai Demang seperti tersengat. Jelas sekali kidungan itu ditujukan kepada mereka berdua. Yang membuat Nyai Demang tersengat, karena seakan mengenali lirik-lirik kidungan itu. Yang sengaja dibelokkan ucapannya.

“Kalau bisa bicara terbuka, kenapa bersembunyi seperti kura-kura?”

Nyai Demang berseru perlahan sambil mengerahkan tenaga dalamnya. Karena sadar bahwa yang dihadapi adalah tokoh yang cukup sakti. Dari tenaga dalam ketika melantunkan kidungan maupun dari keberanian mencampuri urusan.

“Menguping pembicaraan orang lain bukan pekerjaan ksatria. Masih ada tempat untuk muncul bersama.”

Tantangan Nyai Demang mendapat jawaban yang mengejutkan.

“Kalau yang tua mendatangi yang muda, apakah tidak akan dibilang kurang ajar?”

Upasara mencekal tangan Nyai Demang. Dengan satu tekukan kaki, tubuhnya melayang ke arah datangnya suara. Ternyata di balik pohon-pohon, tersembunyi gubuk yang sangat sederhana. Sedemikian sederhananya, sehingga lebih mirip kandang kuda yang belum selesai. Upasara menunduk.

“Izinkanlah kami mengganggu ketenangan Kakek yang mulia.”

Nyai Demang merasa heran, karena Upasara menyebut sebagai Kakek. Lebih kaget lagi karena terdengar jawaban yang disertai batuk-batuk kecil.

“Saya sudah tua, tetapi siapa mengajarimu menyebut Kakek? Apa susahnya menyebut sebagai Eyang?”

“Maafkan, Eyang.”

Terdengar tawa lirih. “Tak kusangka. Ksatria lelananging jagat ternyata tahu sopan santun, mengerti tata krama. Sungguh, budaya Keraton yang mulia telah mendidik dengan sangat baik. Itu yang terbaik.”

Aneh kata-katanya, seperti tak keruan arah dan tujuannya. Upasara menyembah sekali lagi. Sementara Nyai Demang masih berdiri kaku.

“Bocah slemok, kamu juga perlu menyembah sebelum masuk keratonku.”

Nyai Demang mengangkat hidungnya tinggi-tinggi. Dipanggil dengan sebutan bocah slemok, yang artinya anak yang gemuk menggemaskan, hati wanitanya tersinggung. Mana mungkin dirinya dipanggil sebagai bocah?

“Saya yang rendah, Upasara Wulung, dengan ini mewakili menyampaikan hormat kepada Eyang.”

Nyai Demang mengerutkan kening. Ia tahu bahwa Upasara sangat menghormati seseorang, apalagi lebih tua. Akan tetapi tidak seperti sekarang ini. Kerutan di kening Nyai Demang bisa berarti pertanyaan. Apakah ada orang yang begitu harus dihormati seperti penghormatan yang dilakukan oleh Upasara? Yang bersedia memanggil dengan sebutan Eyang secara seketika?

“Itu sejak tadi telah kurasakan. Sayang, kenapa bocah cerdik seperti kamu kurang bisa mengenali tata krama. Bukankah ini terakhir kali kamu bisa memberi hormat kepada aku yang sudah bakal pergi ke alam baka?”

Kini Nyai Demang seperti disadarkan bahwa ia bertemu tokoh sakti yang ganjil sekali. Setelah munculnya Kiai Sambartaka, Naga Nareswara, Kama Kangkam, dan Ratu Ayu, bukan tidak mungkin tokoh yang setara masih bisa muncul seketika.

“Menghormat hanyalah sekadar membungkukkan badan dan merangkapkan tangan. Apa susahnya? Sebelum tahu kepada siapa saya harus menghormat, buat apa susah-susah menyembah.”

“Jawaban yang bagus. Kalian pasangan yang tak ada tandingannya. Dari Berune aku datang, tak percuma bisa bertemu dengan pewaris darah ksatria Singasari. Mati pun aku tak begitu menyesal sekarang ini.”

Tri Parwa, Tiga Buku Utama

NYAI DEMANG merasakan suara kesakitan yang amat memedihkan. Sedikit keluhan yang tak tertahankan. Bersama Upasara, segera masuk ke dalam gubuk. Apa yang disaksikan membuatnya menatap tak berkedip. Gubuk yang didiami Kakek dari Berune tidak mirip rumah atau kamar yang biasa dihuni. Banyak debu menempel di tiang, di balai-balai. Seakan memang tak pernah ada yang menyentuh.

Di ruang tengah seorang kakek yang sangat tua wajahnya, kurus kering, bernapas satu-satu. Matanya seperti mendelik, rambutnya panjang tetapi jarang. Engahan napas itu yang membuat hati Nyai Demang seperti tercakar. Pilu. Spontan Nyai Demang bergerak untuk menolong, akan tetapi tangan Upasara bergerak menahan. Nyai Demang tertahan geraknya.

Tak ada yang bergerak. Tidak juga Kakek Berune yang bernapas terengah-engah, dadanya naik-turun, tersengal-sengal. Aneh, Nyai Demang tidak membayangkan bakal bertemu dengan tubuh tua yang susah bernapas. Baru saja ia mendengar kidungan yang dilantunkan tenaga dalam sangat kuat. Baru saja terdengar pembicaraan yang tangkas dan seolah mengerti banyak hal. Akan tetapi ketika masuk menemukan seseorang yang sangat tua dan kelihatan sangat menderita, sedang sekarat.

Dalam pandangan Nyai Demang, yang luar biasa justru Upasara Wulung. Dengan segera, Upasara bisa membaca dengan siapa ia berbicara. Begitu menghormat, begitu cepat mengetahui dengan siapa ia berhadapan.

Nyai Demang yakin, bahwa Upasara belum tentu tahu pasti di mana letak tlatah Berune. Tapi itu tak menghalangi dan mengurangi ketajaman pandangan. Barangkali inilah bedanya.

Nyai Demang merasa mempunyai pengetahuan yang luas. Dengan satu kata saja ia bisa mengenali dan menjelaskan di mana tanah Berune. Sebuah keraton kecil di ujung utara. Dalam kitab-kitab yang dibaca, Keraton Berune adalah wilayah luas yang subur, akan tetapi ksatrianya cukup tinggi ilmunya. Bersama dengan Keraton Balineo, dua tata pemerintahan itu termasuk wilayah besar Keraton Singasari. Kalau tidak keliru, dua wilayah itu di bawah tata pengaturan Keraton Sukadana di tlatah Karimata.

Namun ternyata pengertian-pengertian seperti itu tak membuatnya arif. Justru Upasara yang menangkap arti sebenarnya dari kehadiran seorang yang sangat tua, menderita. Pendekatan kemanusiaan Upasara jauh lebih mengena. Toh pada akhirnya, dari mana asal-usulnya, tak berarti banyak kalau ingin berkenalan dan menolong.

Kalau sekarang ini Upasara berdiam diri, bukannya tak mau bergerak menolong. Sekadar memindahkan ke tempat yang lebih bersih ataupun membantu pernapasan, sangat mudah dilakukan. Akan tetapi agaknya Upasara tak perlu turun tangan. Karena ketajaman pandang bahwa penderitaan yang sedang ditanggung Kakek Berune ini penderitaan karena pengaturan napas. Yang tidak bisa sembarangan dimasuki oleh orang lain.

Apalagi tadi disebut-sebut dari Berune. Yang bisa saja terjadi kekeliruan sewaktu ingin membantu. Dan ini semua diketahui oleh Upasara dalam sekejap. Dalam perjalanan. Sungguh kemajuan tenaga dalam yang luar biasa. Rasanya Nyai Demang masih mengenali Upasara yang menjadi murid utama Ngabehi Pandu. Gagah perkasa, akan tetapi tidak setinggi dan sedalam ini. Tidak sampai tingkatan yang begitu dalam. Engahan napas berakhir. Nyai Demang melihat bahwa keringat membasahi seluruh wajah dan dada yang kurus kering.

“Tidak jadi lagi. Setiap kali mau mati, urung lagi. Padahal aku, Kebo tua ini, sudah ikhlas. Semua temanku sudah enak-enak di alam sana, sementara aku masih menderita begini. Benarkah kamu lelananging jagat? Bagaimana kabar Eyang Sepuh sekarang ini? Bagaimana kabar Mpu Raganata? Apa betul ia telah berkumpul dengan bidadari? Bagaimana dengan Paman Sepuh Bintulu? Apa betul wajahnya sekarang lebih jelek dari aku? Ceritakan dengan cepat. Sebentar lagi aku akan mati.”

Upasara menyembah hormat. “Saya Upasara Wulung, sekarang berdiam di Perguruan Awan tempat Eyang Sepuh menunggui hutan dan awan. Memang benar ada pertemuan besar di Trowulan. Akan tetapi sesungguhnya tidak ada pemberian gelar lelananging jagat.”

“Istrimu menarik sekali. Sayang aku sudah tua dan mau mati.”

Wajah Nyai Demang berubah keruh. Kalimat-kalimat Kebo Berune masih tetap membuat daun telinga sangat panas. Betapa tidak. Sejak pertama bertemu, sudah memanggil dengan bocah slemok. Kini memuji kecantikan tubuh, dengan tambahan dirinya sudah tua dan mau mati. Memangnya kalau masih muda mau…

“Kakek Berune… Jauh-jauh Kakek datang hanya untuk menunjukkan diri masih punya pikiran kotor?”

Kebo Berune menyeringai. Tubuhnya tetap tak bergerak. Tergeletak.

“Kami bersahabat, sebagai sesama penghuni Perguruan Awan.”

Suara Upasara membuat Kebo Berune berdecak. “Kawini saja. Lima puluh tahun lagi, pada pertemuan besar, kalian sudah punya keturunan yang bakal menyelamatkan pertarungan besar di Trowulan. Berarti Singasari tetap yang paling murni dan besar. Sungguh menyenangkan. Sayang, Baginda Raja Sri Kertanegara tak menyaksikan kebesaran ini.”

Nyai Demang menggenggam tangannya yang basah oleh keringat. “Apakah Kakek termasuk senopati Singasari yang dikirim ke tanah Berune, seperti halnya Senopati Kebo Anabrang?”

“Siapa itu Anabrang?”

“Senopati yang dikirim ke tlatah Melayu.”

“Aku cuma mengenal senopati yang ternama. Kalau yang kecil-kecil, mana mungkin aku mengenalnya? Bisa jadi mereka mengenal aku dengan baik. Cepat kalian ceritakan yang pokok. Singkat saja, sebelum aku mati.”

Upasara menyembah dan menceritakan jalannya pertarungan di Trowulan. Kebo Berune mendengarkan sambil memejamkan matanya.

“Kalau benar begitu, Paman Sepuh Bintulu sudah mati. Sayang aku belum sempat mengejek wajahnya yang jelek. Ia dulu paling sombong…”

Sampai di sini Nyai Demang tak bisa menahan rasa gelinya. Jelas Kebo Berune ini yang angkuh dan tinggi hati dengan mengatakan tak mengenal Kebo Anabrang, masih juga bisa menilai orang lain yang sombong.

“…Bintulu merasa paling gagah. Paling tampan. Hmmm, tak tahunya jadi paling jelek dan menyembunyikan wajahnya. Tapi ia bisa menciptakan Bantala Parwa dengan baik. Berarti tugas selesai. Bintulu, kamu pasti tertawa-tawa di sana dan balik menertawakan aku. Iya, kan? Aku bisa merasakan. Tapi tunggulah sebentar lagi. Aku akan bertemu denganmu di sana.”

“Jadi benar bahwa Bantala Parwa ditulis oleh Paman Sepuh Bintulu?”

“Siapa lagi yang rajin menulis seperti Bintulu? Sejak dulu ia begitu. Ia selalu berpikir bahwa yang menguasai jagat ini adalah ilmu silat. Bukan pengetahuan mengenai ketatanegaraan yang ditekuni Raganata. Juga bukan omongan dan pikiran yang melayang seperti yang dikatakan Bejujag.”

“Bejujag?” Nada tanya Nyai Demang mendapat anggukan dari Upasara yang kemudian berbisik, bahwa Bejujag adalah nama panggilan buat Eyang Sepuh. Kalau sekarang Kebo Berune menyebutkan juga nama itu, berarti Kebo Berune hidup pada zaman yang sama.

“Kakek mengenal Eyang Sepuh secara langsung?”

“Apa untungnya? Apa istimewanya? Bejujag, Bintulu, Raganata tak berbeda jauh dengan aku. Hanya saja mereka yang sejak dahulu diakui. Terutama Bejujag itu. Ia yang berhasil mengundang para ksatria seluruh jagat untuk berkumpul setiap lima puluh tahun. Di seluruh tanah Jawa ini hanya diakui ada Tri Parwa Utama. Hanya ada Tiga Kitab Utama. Aku tak pernah diperhitungkan. Ini kesalahan terbesar sejarah. Tapi aku tak bisa membuktikan kesalahan itu, karena kau tak bisa datang di Trowulan. Dan aku akan mati sebentar lagi. Jadi ada benarnya, hanya ada Tiga Kitab Utama! Tiga? Sejauh ini kamu hanya mendengar Bantala Parwa.”

Kebo Berune menggelengkan kepalanya. “Raganata juga membuat kitab mengenai tata pemerintahan, Nagara Parwa. Tapi mana kamu tahu. Itu hanya diperuntukkan Baginda Raja Sri Kertanegara yang tanpa tanding. Sedangkan Bejujag juga menulis kitab yang setiap kali ditulis kembali. Aku tak pernah mengerti, karena setiap kali klika yang dikirimkan selalu berubah.”

Kidung Paminggir

BAGI Upasara, keterangan Eyang Kebo Berune melengkapi apa yang selama ini sedikit-banyak telah diketahui, secara sepotong-sepotong. Seperti diketahui, selama ini Upasara merasa gelap mengenai asal-usul Perguruan Awan. Apalagi mengenai tokoh sepuh, pujaan seluruh ksatria, yaitu Eyang Sepuh. Barulah ketika bertemu dengan Paman Sepuh Dodot Bintulu, gambaran masa lalu itu sedikit terbentuk. Kini menjadi lebih sempurna dengan penjelasan Eyang Kebo Berune.

Pada masa lima puluh tahun yang lalu, di tanah Jawa ada tiga ksatria muda yang telah mengukir nama dalam dunia persilatan. Ketiga ksatria muda itu di belakang hari dikenal sebagai Eyang Sepuh, Paman Sepuh, dan Mpu Raganata. Ketiga ksatria inilah yang mendapat kepercayaan utama dari Baginda Sri Kertanegara untuk mengembangkan ilmu silat yang ada.

Payung kebesaran Baginda Raja bukan hanya menyatukan mereka bertiga, akan tetapi juga memberi kelonggaran kepada masing-masing untuk mengembangkan kemampuannya sendiri-sendiri. Paman Sepuh yang kemudian memilih untuk menekuni ilmu silat dan akhirnya berhasil menuliskan Kitab Bumi. Dengan kelebihan ilmu dan kawicaksanan yang luar biasa, Paman Sepuh mampu mengumpulkan berbagai sari ilmu kanuragan yang ada.

Sebaliknya Mpu Raganata lebih memusatkan diri untuk menuliskan berbagai tata cara penyelenggaraan Keraton. Baik mengenai hubungan di dalam yaitu peraturan dan tata krama, maupun mengenai hubungan ke luar dengan keraton-keraton yang lain. Sementara Eyang Sepuh mengerahkan seluruh kemampuannya dalam ilmu silat yang lebih murni.

Ketiga ksatria perkasa ini sambil bertukar pikiran, lewat tulisan dari klika, memberitahukan apa yang dialami satu sama lain. Jurus-jurus, cara melatih pernapasan, maupun tata krama yang kemudian dijadikan perundangan, boleh dikatakan melalui ketiga ksatria yang berangsur-angsur juga bertambah usianya.

Dari sisi ini, Upasara bisa memahami kebesaran dan jiwa luhur Baginda Raja. Yang mampu menanamkan benih-benih kebesaran negara di atas segalanya. Dalam suasana pertentangan yang mungkin saja terjadi, ketiga ksatria masih selalu berhubungan dan memberikan hasil yang terbaik dari pencariannya selama ini. Dan kalau dihubungkan dengan senopati yang lain lagi, bukan hanya mereka bertiga yang saling bertukar pikiran dan mendapatkan hasilnya. Melainkan juga para senopati utama. Tak peduli di mana pun berada.

Dengan demikian segala kemajuan dan pengetahuan yang diperoleh bisa diteruskan kepada yang lain. Tanpa perasaan iri atau mau menang sendiri. Sungguh dalam hal seperti ini Baginda Raja Sri Kertanegara mengungguli pemikiran lain yang ada. Mampu menanamkan kebesaran dalam kebersamaan. Bukan hanya Kebo Berune yang tetap memakai nama itu, melainkan juga Maha Singanada, ataupun Maha Singa Marutma, atau Kebo Anabrang, atau yang lain lagi.

Keunggulan Paman Sepuh Dodot Bintulu dalam merampungkan Kitab Bumi tidak hanya untuk dirinya sendiri. Melainkan untuk kebesaran Keraton Singasari. Untuk tanah tumpah darah di mana ksatria Singasari lahir dan dibesarkan.

Upasara sadar bahwa di samping ketiga ksatria muda itu, banyak yang lainnya. Salah seorang di antaranya adalah Eyang Kebo Berune. Yang bukan hanya hidup sezaman, melainkan juga merupakan suatu bagian yang saling bertukar pikiran. Nama Kebo Berune lebih menunjukkan bahwa kebo adalah simbol nama yang dipakai di zaman Baginda Raja, sementara Berune menunjukkan tanah di mana panji-panji Singasari dikibarkan.

Salah satu keelokan yang ditunjukkan oleh Eyang Sepuh ialah bahwa kehadirannya mampu memancing kedatangan para pendekar seluruh jagat. Untuk bertemu setiap lima puluh tahun. Sesuatu yang tak mungkin terjadi tanpa perlindungan sepenuhnya dari Baginda Raja. Bahkan ini termasuk salah satu kebijaksanaan Baginda Raja, menjadi penyelenggara pertemuan sejati para pendekar utama. Ini pula yang membuat Eyang Kebo Berune datang kembali ke tanah Jawa dari pengembaraannya di negeri asing...

BAGIAN 27CERSIL LAINNYABAGIAN 29

Senopati Pamungkas Bagian 28

Senopati Pamungkas
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

BAGIAN 28

Pangeran Jenang adalah penguasa yang terusir setelah gagal merebut kembali keratonnya dari penguasaan bangsa Vietnam. Ke mana lagi larinya kalau tidak minta bantuan Keraton Singasari yang memang mempunyai kekuasaan di wilayah itu?

Kedatangan Pangeran Jenang diterima dengan baik oleh Permaisuri Indreswari dan dimanfaatkan sebagai bagian upacara kebesarannya. Pangeran Jenang diterima sebagai tamu kehormatan. Dan diperlakukan sebagai penguasa tertinggi. Sebutan pangeran, menunjukkan sedikit di bawah raja.

Bisa dimengerti bahwa ucapan Nyai Demang bagai melempar noda yang busuk. Dengan enteng Nyai Demang mengatakan sebagai raja yang berkeliaran. Tak berbeda dari Ratu Ayu! Yang dianggap ratu keluyuran dan hanya mencari jodoh.

Telinga Putra Mahkota pun terasa seperti terbakar. Karena kehadiran Pangeran Jenang secara politis sangat berarti sekali. Seakan peresmian dihadiri oleh beberapa utusan berbagai negara dari tanah seberang. Namun dengan beberapa patah kata, Nyai Demang telah memorak-porandakan tata upacara kenegaraan.

Kalau istilah itu ditujukan kepada Ratu Ayu Bawah Langit, mungkin tak akan membakar gusar seperti sekarang ini. Bukan karena Ratu Ayu gagal dipersunting Putra Mahkota, akan tetapi karena selama ini tak ada hubungan langsung dengan negeri Turkana yang jauh di ujung jagat.

Sementara hubungan dengan Pangeran Jenang sudah terjalin dengan baik sejak Baginda Raja Sri Kertanegara. Sama-sama tamu negara, kedudukan Pangeran Jenang jauh berbeda dari Ratu Ayu. Putra Mahkota berdehem, mengeluarkan suara di tenggorokan karena geramnya.

“Tujuh turunan di atasmu pastilah manusia yang tak mengenal tata krama. Tujuh turunan di bawahmu akan tetap seliar binatang. Dihukum cincang pun rasanya masih kurang. Wanita biadab.”

“Enak saja bisa memaki orang lain. Percuma saja menjadi calon sesembahan seluruh masyarakat jika bisanya hanya memamerkan kekuasaan. Putra Mahkota Keraton yang begini besar dan jaya, tak tahunya hanyalah…”

Empat senopati sudah langsung mengepung. Dengan sangat bernafsu menubruk dan berusaha membungkam Nyai Demang. Nyai Demang hanya mengeluarkan suara pendek, menggeliatkan tubuhnya, dan serta-merta meloncat ke atas. Satu tangan bergerak menangkis, didahului dengan gerakan kaki. Sangat cepat. Dan mengena. Namun yang terkena tak peduli, apalagi yang lainnya. Tetap saja menubruk. Ingin meringkus secepatnya.

“Biar aku yang menjajal dan memberi pelajaran. Mohon perkenan Gusti Permaisuri.”

Pangeran Jenang menyembah hormat kepada Permaisuri Indreswari dan Putra Mahkota, lalu dengan sebat meloncat ke arah Nyai Demang. “Wanita ayu, tubuhmu indah, gerakanmu memesona. Lidahmu tajam. Aku tak bisa menahan diri untuk menangkapmu secara istimewa. Aku masih memerlukan beberapa dayang.”

“Coba saja kalau mampu. Kalau berdiri di negeri sendiri tidak mampu, jangan mencoba bertolak pinggang di negeri orang.”

“Sangat luar biasa. Kamu mengenaliku. Siapa namamu, wanita ayu?”

Nyai Demang mengeluarkan senyuman mengejek. “Kalau pemimpin keraton hanya memperhatikan wanita ayu dan gerakan tubuh, bagaimana memimpin negeri? Soal nama, apa pedulimu?”

Dengan menyebut mu, Nyai Demang betul-betul menunjukkan kekurangajarannya. Walau sebenarnya karena kemuakan melihat gaya dan tingkah laku Pangeran Jenang.

“Aku suka kuda liar seperti ini. Lebih menarik untuk ditaklukkan dan dikendarai.”

Kali ini justru Nyai Demang yang menggebrak langsung. Bagian dari Dua Belas Jurus Nujum Bintang dimainkan dengan sepenuh hati yang terbakar dendam. Langsung menyodok ke arah ulu hati, dibarengi sapuan kaku yang ganas, Mengarah ke selangkangan Pangeran Jenang, yang dengan cepat mencoba menangkis dengan kedua tangan sekaligus! Gerakan patah, tapi kentara menyimpan tenaga dalam yang terlatih.

Pangeran Jenang memang bukan sembarang pangeran! Walau mata keranjang dan suka main-main, ilmunya cukup tinggi. Tak terlena dengan segala kemewahan dan kelebihan yang dimiliki. Menangkis gerakan dengan dua tangan ke bawah, tubuh Pangeran Jenang berputar maju. Memapak ke arah Nyai Demang, dan dua sikunya menusuk ke arah dada. Gerakan dua tangan yang seolah satu sodokan. Kaku, akan tetapi jitu. Menusuk langsung.

Akan tetapi Nyai Demang justru menyambut keras lawan keras. Dadanya yang terbuka serangan hanya ditarik mundur, sementara kakinya menebas dengan keras. Menebas sedikit di bawah lutut, yang segera ditarik ke atas. Lagi-lagi selangkangan lawan yang diincar. Sebat, seolah kain yang dipakai Nyai Demang bukan merupakan penghalang. Bahkan sebaliknya, seakan menyatukan dengan tendangan berturut turut.

Agaknya Pangeran Jenang tak menduga sedikit pun bahwa Nyai Demang begitu nekat. Adalah di luar perhitungannya, bahwa kata-katanya telah membakar harga diri Nyai Demang. Menyentuh bagian rasa kewanitaannya yang paling peka. Bagi Nyai Demang adalah pantangan untuk hanya dianggap sebagai wanita pemuas dahaga asmara. Sikap dan kata-kata Pangeran Jenang justru menjurus ke arah itu. Tak bisa ditafsirkan lain. Rasanya Nyai Demang rela mati untuk membela harga dirinya. Itulah sebabnya tak mengubah serangannya.

Lulur Pengantin

PANGERAN JENANG menurunkan tangannya, ganti dipakai untuk menebas kaki Nyai Demang. Karena Nyai Demang tak menarik mundur, bentrokan tenaga tak bisa dicegah. Keras lawan keras. Tenaga lawan tenaga. Benturan itu membuat kaki kiri Nyai Demang terasa sedikit ngilu. Akan tetapi kaki kanannya terus menghajar ke atas. Ke arah wajah Pangeran Jenang, saat Nyai Demang membalikkan tubuh.

Mengetahui datangnya serangan nekat, Pangeran Jenang tak bertindak ayal. Dengan serta-merta, kepalanya ditarik ke arah belakang bersamaan dengan tubuhnya. Mau tak mau harus meloncat mundur!

Nyai Demang justru menyusuli dengan tendangan kedua. Ketiga. Sambil terus berputar bagai gasing. Pangeran Jenang tak bisa tidak juga mundur. Dua langkah. Tiga langkah. Bukan pemandangan yang menyenangkan bagi Pangeran Jenang. Karena seolah ia dipaksa mundur, didesak dalam gebrakan pertama. Dipaksa bertahan kembali ke bagian awal. Tidak persis seperti ini, akan tetapi inilah yang terlihat.

Tidak persis, karena justru dalam soal adu tenaga, terlihat betapa sesungguhnya tenaga dalam Pangeran Jenang lebih unggul. Dalam sekejap, Pangeran Jenang mengetahui bahwa tenaga dalamnya jauh lebih besar daripada yang dimiliki Nyai Demang. Akan tetapi kini justru nampak terdesak. Inilah yang tidak enak. Namun untuk membalikkan arah serangan, juga tak bisa begitu saja. Kedua kaki Nyai Demang berturut-turut menyambar, dan arah yang dituju selalu wajah. Dua kali diseling sambaran ke arah ulu hati.

Nyai Demang memang memainkan Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Rangkaian gerakan dalam Kitab Bumi yang sudah dihafal hampir semua pendekar silat. Akan tetapi tidak berarti bisa terbaca jelas gerakan-gerakannya. Karena Kitab Bumi justru hanya mengajarkan tentang pengaturan tenaga, cara memperoleh, dan menyalurkannya. Gerakannya sendiri bisa mempunyai banyak kembangan, atau perubahan. Apalagi Nyai Demang sedang didorong oleh dendam yang membakar.

Ini salah satu sebab kenapa Nyai Demang sedikit unggul pada gebrakan awal. Kelebihan Nyai Demang justru dalam hal mengerti nama-nama jurus dan bisa di luar kepala semua kidungan dan atau lirik-lirik dalam Kitab Bumi. Lebih dari itu, Nyai Demang juga mengetahui berbagai kembangan seperti yang terjadi pada Kiai Sambartaka ataupun pada Naga Nareswara. Semua ini mempunyai pengaruh akan keluasan pandangan Nyai Demang.

Dalam keadaan menyerang Nyai Demang bisa mengeluarkan semua kemampuannya. Tidak sebaliknya. Nyai Demang tak akan cukup mampu bertahan. Karena memang kekuatan tenaganya sangat terbatas dibandingkan para pendekar yang sudah mencapai tingkatan tertentu. Hal ini sangat disadari oleh Nyai Demang. Tak ada yang mampu menilai diri sendiri seperti Nyai Demang. Dalam keadaan terdesak, semua ilmu yang beragam yang dimiliki akan hilang dan terpusat pada pembelaan diri. Kelemahan utama ini bisa dimanfaatkan oleh lawan secepatnya.

Itu pula sebabnya Nyai Demang terkadang begitu mudah ditumbangkan. Dan dianggap kelasnya masih jauh di bawah. Namun ini semua tidak berlaku di saat ia bisa menguasai lawan dan menyerang. Sadar di mana kelebihan dan kekurangannya, Nyai Demang terus menghajar Pangeran Jenang. Dua belas jurus berturut-turut, ia memaksa Pangeran Jenang mundur ke segala penjuru. Dan bertahan dengan ketat dan geram.

Sebenarnya Nyai Demang bisa memancing lawan ganti menyerang, dan saat itu ia memainkan jurus-jurus dalam Kitab Penolak Bumi. Ibarat kata tinggal menjebak lawan. Hanya saja Nyai Demang tidak yakin bahwa pada saat lawan ganti menyerang, ia mampu menjebak dengan baik. Justru karena mengetahui kekuatannya tak mampu mengimbangi. Maka selesai dua belas jurus, Nyai Demang menyambung dengan jurus ketujuh, kedelapan, dan kemudian menyentak lagi dari awal.

Dua kali tendangannya hampir mengenai wajah lawan, sehingga Pangeran Jenang terpaksa menyambar tombak trisula. Ujung tombak yang terkena sentakan kaki Nyai Demang sampai tergetar. Pada saat itu tangan kiri Nyai Demang terulur maju, seakan dengan satu tangan siap menggotong mayit, atau menggotong mayat. Pangeran Jenang mengeluarkan suara tertahan. Tombaknya bisa direbut Nyai Demang. Tiga ujung tombaknya berbalik ke arah lambungnya sendiri. Bahaya!

Pangeran Jenang tak menyangka bahwa dalam dua puluh jurus ia terdesak terus dan kini betul-betul repot menyelamatkan diri. Risiko paling buruk bagi pesilat. Karena dengan membiarkan dirinya terdesak satu langkah, rangkaian langkah berikutnya makin kuat dan tak terduga. Bahaya! Tiga ujung tombak sudah mendekat.

Tangan Pangeran Jenang turun dengan cepat. Mau atau tidak ia akan beradu tenaga. Merampas ujung tombak dan mengerahkan tenaga dalam untuk membetotnya. Berarti adu tenaga. Yang dalam perhitungan Pangeran Jenang akan bisa dimenangkan. Walau memang mengandung sedikit risiko. Karena satu torehan sedikit saja akan menyebabkan kantong nasinya terobek.

Pada saat yang kritis tak terlalu banyak pilihan. Pangeran Jenang memusatkan konsentrasi pikiran, mengerahkan tenaga ke arah dua tangannya. Satu jari di bawah ujung yang runcing digenggam dengan cepat, dan disentakkan. Berhasil. Tapi kecele. Karena Nyai Demang tidak mengerahkan tenaga di situ. Malah sebaliknya. Kaki kiri Nyai Demang-lah yang melayang bersamaan dengan tubuhnya bergerak ke atas. Bahaya!

Terlambat Pangeran Jenang menyadari bahaya yang sesungguhnya. Tak masuk dalam perhitungannya bahwa Nyai Demang tetap mampu melancarkan serangan kaki berupa tendangan, justru pada saat menusuk. Tak masuk dalam perhitungan Pangeran Jenang, justru karena tak mengetahui bahwa Nyai Demang tidak begitu mampu menguasai permainan tombak.

Kalau saja Pangeran Jenang sedikit cerdik, bisa mengetahui bahwa serangan Nyai Demang yang terutama adalah permainan kaki, seperti pada awal yang telah dipertunjukkan. Gerakan yang lain sekadar perubahan untuk membingungkan lawan, dan bukan merupakan serangan utama.

Plak!

Bahaya! Kepala Pangeran Jenang terdongak ke atas, tombak trisula terlepas dari genggamannya, dan tubuhnya terbanting di lantai. Kemenangan Nyai Demang yang gilang-gemilang. Keunggulan mutlak. Akan tetapi, bersamaan dengan ambruknya tubuh Pangeran Jenang serentak itu pula kepungan dan serangan mendadak muncul. Nyai Demang yang tengah melayang di angkasa, mengerahkan sepenuh tenaganya untuk mencari pijakan. Tidak mudah.

Karena begitu tubuhnya melayang turun, hampir semua senjata digerakkan untuk memotongnya. Sehingga Nyai Demang meminjam tenaga dari salah satu senjata yang ada, untuk mumbul, naik ke atas lagi. Akan tetapi tiga kali melambung, tenaga perlawanan Nyai Demang sudah merosot jauh. Bahaya!

Pertarungan di tengah udara bukan keunggulan Nyai Demang. Pun andai di atas tanah, tetap tak akan mengimbangi serbuan para senopati yang tak terhitung banyaknya. Kini ia benar-benar dalam bahaya. Satu sabetan pedang saja bisa membuat kakinya kutung atau tubuhnya putus. Satu tusukan saja bisa membuat Nyai Demang bagai terpanggang. Nyai Demang tak mungkin memenangkan pertarungan secara keroyokan begini.

Pada saat loncatan kelima, Nyai Demang merasa bahwa akhir hidupnya tak tertolong lagi. Karena kekuatannya sudah makin merosot, dan ia tak bisa sepenuhnya menguasai gerakan tubuhnya. Pada saat itulah, mendadak di bawah terjadi perubahan. Serbuan para senopati seperti terobek. Menguak. Sehingga Nyai Demang bisa turun dan berdiri tegap. Pinggangnya didekap seseorang. Upasara Wulung!

“Adimas.”

“Mbakyu Demang… Mari kita menyingkir.”

“Astaga, tubuhmu masih bau lulur pengantin. Bedak pengantin Turkana ini…”

Upasara Wulung membalikkan telapak tangannya. Tiga ujung senjata yang menusuk ke arahnya diraup dengan satu tangan. Dibanting ke tanah. Lalu dengan menggandeng Nyai Demang, meloncat pergi.

“Bagaimana nasib dua putri Permaisuri Rajapatni?”

Raja Turkana

BAIK Nyai Demang maupun Upasara menanyakan isi hati masing-masing. Dalam benak Nyai Demang kemunculan Upasara adalah sesuatu yang sama sekali di luar dugaannya. Karena seharusnya saat itu Upasara sedang menikmati malam pengantin bersama Ratu Ayu Bawah Langit. Kesempatan yang begitu diimpikan oleh banyak lelaki. Sebaliknya Upasara justru lebih memikirkan keselamatan Rajadewi dan Tunggadewi. Aneh atau tidak aneh, itulah kenyataannya.

Sesaat setelah pertarungan yang berhasil dimenangkan, Upasara diboyong oleh Ratu Ayu dan para senopatinya. Saat itu Upasara tak sadar sepenuhnya apa yang terjadi. Ia tak bisa menolak dan tak bisa menerangkan apa-apa ketika digiring masuk ke dalam kediaman Ratu Ayu. Juga ketika masuk ke dalam ruangan, Upasara makin kikuk, karena Ratu Ayu bersujud di ujung kakinya. Disusul oleh para Senopati Turkana.

“Paman Senopati, maaf… Juga Ratu Ayu… Saya kira ada yang perlu dijelaskan,” suaranya menjadi gugup tak menentu. Bau wangi dupa di dalam ruangan membuat Upasara makin gelapan.

“Raja Turkana yang gagah perwira, Baginda sekarang memegang kekuasaan tertinggi.”

“Saya tak bisa. Tak bisa. Pokoknya tak bisa saja.”

Ratu Ayu memandang dengan sorot mata memohon. “Sampai hamba membunuh diri di depan kaki Raja Turkana sesembahan kami, kenyataan ini tak bisa berubah.”

Upasara menggelengkan kepalanya. “Bukan saya menolak kehormatan yang demikian besarnya, Ratu. Bukan untuk membunuh diri siapa pun. Hanya saja, rasanya masih ada sesuatu yang belum selesai. Saya masih harus mengembalikan dua putri yang saya jaga, masih ada berbagai urusan yang harus saya selesaikan.”

Ratu Ayu menyembah. Diikuti para senopati. Upasara makin merasa tak betah duduk di kursi.

“Sebagai Raja Turkana, Baginda bebas melakukan apa saja. Menyelesaikan urusan, memilih istri kedua atau kesepuluh. Tetap tinggal di tanah Jawa, atau memilih kembali ke singgasana di Turkana. Sebagai Raja Turkana, Baginda bisa melakukan apa saja. Kami tak akan pernah mungkin menghalangi atau menawar perintah. Sebab Baginda yang paling menentukan.”

Upasara melengak tak habis pikir. Asap wewangian membuatnya setengah sadar setengah tidak. Pikirannya yang jernih seperti teraduk. Ia tak membayangkan dirinya akan menjadi raja. Benar-benar dipanggil dengan sebutan Baginda dan disembah. Raja sebuah negeri! Lebih dari itu semua, ialah kenyataan bahwa itu semua tak mengurangi apa yang bisa dilakukan. Sebagai raja, ia bisa melakukan dan memutuskan apa saja. Ratu Ayu yang kesohor itu akan mengikuti jejaknya. Ini yang justru sangat merepotkan.

Kalau ia bisa melepaskan takhta, atau keluar begitu saja, masalahnya akan selesai. Batinnya tidak mempunyai beban apa-apa. Akan tetapi sekarang justru lain. Ia tetap bisa berbuat apa saja, hanya saja anggapan sebagai Baginda Raja Turkana tak pernah bisa ditanggalkan.

“Saya akan mengembalikan kedua putri dan…”

“Hamba bisa melakukan, Baginda,” sembah Senopati Uighur.

“Tidak, tidak. Nanti akan merepotkan.”

“Tidak bagi hamba, Baginda.”

“Saya akan melakukan sendiri.”

“Kalau itu kehendak Baginda, hamba akan mengikuti titah.”

Upasara merasa punggungnya menjadi gatal tak menentu. Digaruk susah, tidak digaruk membuat gelisah. “Ratu Ayu.”

“Siap menerima perintah Baginda.”

“Saya tak tahu harus bersikap bagaimana. Kejadian ini di luar pengertian saya. Karena masih ada beberapa urusan, saya akan menyelesaikan sendiri. Barangkali ini akan lebih baik. Sementara saya pergi, Ratu Ayu tetap menjadi pemimpin seperti sebelumnya.” Akhirnya Upasara mampu juga mengutarakan gagasannya.

“Hamba akan menjalankan semua perintah Baginda. Apa pun sabda Baginda itu yang berlaku bagi kami semua. Hanya saja hamba tak mungkin mewakili Baginda. Tidak dalam pengertian apa pun. Hamba sama dengan semua senopati di sini.”

Upasara menggeleng sedih. “Begini… begini… Masalah negeri Turkana atau pengembaraan kalian di sini, kalian bebas melakukan apa saja, selama saya menyelesaikan urusan. Setelah itu kita akan membicarakannya lagi.”

“Ke mana Baginda melangkah, ke tempat itulah kami semua mengikuti. Kalau tidak begitu kami, hamba sahaya ini, tak akan mengikuti Ratu Ayu sampai ke tanah Jawa.”

Suara Senopati Uighur menyadarkan Upasara bahwa ia tak bisa berkelit lagi. Secara resmi ia adalah Raja Turkana. Tak ada gunanya mendebat atau mempertanyakan kembali.

“Kalau begitu, kalian semua menjaga diri baik-baik. Akan saya tinggalkan Galih Kangkam sebagai pengganti saya di tempat ini. Malam ini saya akan kembali ke Keraton untuk menyelesaikan tugas yang ada. Kalian semua, termasuk Ratu Ayu, tak perlu campur tangan agar tidak terjadi permusuhan.”

“Kami jalankan titah Baginda.”

Semua melakukan sembah. Lalu delapan senopati menyembah dan dengan berjongkok setengah merangkak ke luar. Tinggal Upasara dan Ratu Ayu.

“Berdirilah, Ratu.”

Ratu Ayu Bawah Langit berdiri, mengambil tempat duduk di sebelah Upasara. Baginda akan berangkat malam ini juga?”

“Ya, Ratu.”

“Doa dan pujian kami semua menyertai perjalanan Baginda.”

“Ratu Ayu, kalau terjadi apa-apa dengan saya di Keraton, itu sepenuhnya tanggung jawab saya. Ratu tak usah menuntut balas atau memperhitungkan di kelak kemudian hari.”

“Sebagai hamba, saya tak bisa menolak perintah. Akan tetapi sebagai istri, sebagai permaisuri, saya berhak membalas dendam kalau ada kulit Baginda yang lecet karenanya. Sebagai permaisuri, saya berhak memuji dan menyerang kawan atau lawan Baginda. Baginda adalah kehormatan dan pujaan seluruh tanah Turkana.”

Upasara memang tak terlalu pandai menyusun kalimat, sehingga hanya bisa menggerakkan kepala tanpa jelas maksudnya.

“Baginda…”

“Ini membingungkan.”

“Maaf, Baginda. Kami semua hanya pengikut dan pengabdi Baginda. Tak ada bedanya dengan semua senopati Keraton kepada Baginda di Majapahit ini. Atau di belahan mana pun. Kalau Baginda tidak puas dengan pelayanan kami, Baginda bisa memecat, mengganti, atau menambah permaisuri dan senopati. Akan tetapi sampai mati pun, kami hanya mengabdi kepada satu orang sesembahan.”

“Baik, baik, Ratu. Saya akan mencoba memahami perlahan-lahan. Karena pedang hitam tipis ini merupakan pusaka utama Keraton Turkana, untuk sementara saya titipkan kepada Ratu. Dengan menggenggam Galih Kangkam, Ratu bisa berbuat apa saja pada saat yang diperlukan. Saya akan kembali ke dalam Keraton menyelesaikan dua urusan. Setelah itu kita bicarakan lagi.”

Ratu Ayu menunduk. “Apa pun sabda Baginda. Saya terlalu rendah untuk mengingatkan bahwa ini adalah malam pengantin Baginda.”

Wajah Upasara menjadi merah karena jengah. Meskipun hanya berdua, Upasara tak bisa menyembunyikan rasa kikuk yang mencapai puncaknya. Ia tak pernah berdua-dua seperti ini, apalagi sekarang ini dalam pengertian sebagai baginda dan permaisuri.

“Kalau Baginda tak menghendaki saya, Baginda bisa mengambil permaisuri yang mana saja.”

“Bukan begitu masalahnya, Ratu. Saya tak tahu apakah saya cukup berharga atau tidak mendampingi Ratu Ayu. Saya tak mempunyai pikiran apa-apa. Jangan terlalu membayangkan dan menilai diri terlalu rendah. Ah, apakah omongan saya ini urut? Hmmmmm…” Upasara segera berdiri.

“Baginda, kami semua menunggu Baginda.” Ratu Ayu menyembah dengan dalam. Turun ke bawah, kedua tangannya menyentuh kaki Upasara.

Membersihkan Ilalang

BAHWA Ratu Ayu melakukan itu semua dengan hati yang tulus, dengan kecintaan dan pemujaan yang muncul dari lubuk hati, membuat Upasara makin canggung. Kalau ia segera keluar dan menuju Keraton, karena ingin melepaskan diri dari suasana yang membuatnya serbasalah. Bagi Upasara, suasana yang dihadapi sama sekali tidak siap diterima. Sebagai raja. Sebagai suami.

Maka begitu melesat ke luar, Upasara segera merasakan udara segar. Ia bergegas masuk ke dalam Keraton. Untuk mencari tahu apakah Rajadewi dan Tunggadewi sudah selamat sampai ke kaputren. Sesudah itu, ia tak tahu lagi harus bagaimana. Apakah kembali ke dalam rangkulan kehormatan atau kembali ke Perguruan Awan. Atau meneruskan berkelana. Mengambil jalan berputar, Upasara menuju ke kaputren. Kali ini hatinya berkebat-kebit lebih keras. Darahnya berdesir lebih cepat.

Kaputren dalam keadaan kosong. Ruangan yang biasa ditempati Permaisuri Rajapatni hanya ditunggui dua dayang yang mematung. Tak ada suara napas Permaisuri Rajapatni maupun suara Rajadewi dan Tunggadewi. Sewaktu Upasara nekat menyusup ke dalam pun, kamar yang ditemui kosong. Tak ada yang bisa dilakukan selain mencari di ruangan lain. Ketiga permaisuri yang lain tetap berada dalam kamarnya masing-masing. Pikir Upasara, pasti sedang terjadi sesuatu. Dan kalau terjadi sesuatu terhadap Rajadewi dan Tunggadewi, itu berhubungan dengan Putra Mahkota.

Maka Upasara menuju ke dalem pangeranan, kediaman Putra Mahkota Bagus Kala Gemet, yang sedang memaklumkan dirinya dengan gelar yang baru. Upasara terlambat sampai di tempat itu. Yang dilihatnya saat itu hanyalah terancamnya jiwa Nyai Demang yang tadinya dipasrahi menjaga dua putri. Tanpa berpikir dua kali, Upasara segera bergerak. Dan lawan-lawan bisa tersingkir. Itu pula sebabnya pertanyaan pertama adalah mengenai keselamatan dua putri yang menjadi tanggungannya.

Digandeng oleh Upasara, Nyai Demang merasakan getaran yang lain. Semacam getaran asmara yang menyengat ketika untuk pertama kalinya Upasara memegang pinggang Nyai Demang. Apalagi sekarang ini digandeng untuk meloloskan diri.

“Bagaimana keadaannya, Nyai?”

“Aman.”

Nyai Demang memilih jawaban yang menenteramkan, meskipun sadar bahwa keadaan yang sebenarnya bisa berarti lain. Tapi Nyai Demang merasa itulah jawaban yang paling baik. Ia tidak merasa mendustai Upasara. Karena memang, boleh dipastikan, keadaan Rajadewi dan Tunggadewi aman tak kurang suatu apa. Hanya saja kini sepenuhnya dalam kekuasaan Putra Mahkota. Yang dikuasai oleh Permaisuri Indreswari di satu pihak dan Sidateka, Pendeta Syangka, di lain pihak. Dua unsur antara kekuasaan dan kekuatan.

Pilihan jawaban ini menenangkan hati Nyai Demang. Karena ia merasa mengetahui isi hati Upasara Wulung. Lelaki perkasa yang dikenalnya dengan baik. Sejak masih menyorotkan pandangan tertarik dulu, sampai dengan ketika seluruh daya asmara Upasara tersedot ke dalam diri Gayatri. Nyai Demang bisa memahami sepenuhnya. Walau kadang juga timbul pikiran yang aneh. Aneh bagi dirinya sendiri.

Ada semacam desiran darah dan guncangan hati yang tak mampu dikuasai setiap kali bersama Upasara Wulung. Adalah benar pandangan Gendhuk Tri yang sering mencemburuinya. Karena diam-diam Nyai Demang juga menaruh hati kepada Upasara! Sesuatu yang diakui oleh Upasara dan pernah diutarakan pada permulaan perjumpaan. Namun jauh di dalam lubuk hati Nyai Demang, ada kesadaran lain yang mengerem tindakannya. Secara sadar Nyai Demang bersikap sebagai mbakyu, kakak perempuan, pada Upasara. Ia mencintai Upasara, kalau mau dikatakan dengan jujur.

Ia mengharapkan Upasara menemukan yang terbaik. Dan Nyai Demang merasa dirinya bukan yang terbaik untuk Upasara. Jalan hidup Upasara terlalu bersih, lurus. Upasara mempunyai masa depan yang lebih elok. Ditambah berbagai alasan lain, Nyai Demang merasa bahagia bisa mendampingi Upasara. Tidak sebagai kekasih, tidak karena daya asmara semata. Karena persahabatan, kekaguman, dan kebersamaan.

Ia merasa memiliki Upasara tanpa merusaknya. Itulah daya asmara yang paling murni. Yang akhirnya terasakan oleh Nyai Demang dan kemudian membuatnya bahagia. Akan tetapi pada saat tertentu, seperti sekarang ini, Nyai Demang tak bisa menyembunyikan isi hatinya. Tangannya menjadi dingin.

Sementara tangan Upasara terasa panas. Kalau jalan pikiran Nyai Demang berliku, jalan pikiran Upasara lebih sederhana. Ia menangkap tubuh Nyai Demang, dan kemudian menggandengnya melewati pasukan yang mengejarnya, karena memang itulah jalan yang terbaik. Menyelamatkan Nyai Demang.

Sejak terbetot perhatiannya kepada Gayatri, Upasara boleh dikatakan tak pernah dilintasi pikiran adanya wanita lain. Apalagi Nyai Demang yang telah dianggap sebagai kakak kandung, yang banyak melalui pengalaman hidup getir bersama-sama. Termasuk usaha keras Nyai Demang untuk mengembalikan kesadaran Upasara, di saat jiwanya blong, kosong, setelah semua ilmunya dimusnahkan. Dengan mencekal keras, Upasara menarik tubuh Nyai Demang melayang ke atas, melompati dinding Keraton. Lenyap ke dalam kegelapan.

Sementara itu Permaisuri Indreswari menggigit bibirnya dengan keras. Sejak kemunculan Nyai Demang dan kemudian datangnya Upasara, hatinya menjadi sangat gusar. Sebagian jalannya upacara jadi berantakan.

“Inilah saatnya membersihkan ilalang, agar padi bisa tumbuh sempurna.” Suara Senopati Halayudha terdengar berbisik.

“Apa maksudnya, Halayudha?”

“Sebagai permaisuri utama dan satu-satunya, tidak seharusnya melarutkan diri dalam soal-soal yang remeh tak berharga. Kehadiran Nyai Demang atau juga penyusupan Upasara Wulung, malah bisa melapangkan jalan. Ibarat kata mereka ini adalah ilalang yang sedang tumbuh. Sebelum besar, tangan Permaisuri Indreswari bisa menudingnya, dan dengan senang hati Mahapatih akan mencabutnya.”

Permaisuri Indreswari tersenyum. Apa yang dikatakan oleh Halayudha bisa tertangkap maksudnya. Halayudha memakai perumpamaan “membersihkan ilalang”. Kemunculan Nyai Demang, Upasara, serta ketidakhadiran Senopati Sora dan Gajah Biru boleh dikatakan ilalang. Ilalang yang bisa mengganggu pertumbuhan padi. Kalau padi ingin tumbuh subur, ilalang harus dibersihkan. Dicabut sampai ke akar-akarnya. Bagian yang tersulit ialah menentukan mana yang ilalang, mana tumbuhan lain yang membantu pertumbuhan padi. Sekarang justru menjadi jelas.

Perlawanan Nyai Demang dengan mudah bisa dikatakan sebagai ilalang. Semua orang bisa mengerti. Lebih penting lagi, Baginda pun akan menyetujui. Sekarang saatnya membasmi. Bagi Halayudha, ini juga kesempatan terakhir. Dengan memihak sepenuhnya kepada Permaisuri Indreswari, Halayudha memainkan kartunya dengan cerdik. Menjadi orang kepercayaan Baginda saja tidak cukup. Harus bisa mendapatkan dukungan juga dari Permaisuri Indreswari. Sebab sering terjadi, justru kebijaksanaan dan keputusan yang besar datang dari usulan Permaisuri Indreswari.

Dalam perhitungan Halayudha, lawan terbesar dalam urutan keperwiraan dan kepangkatan di Keraton kini adalah Senopati Sora. Kalau sekarang ini ia menjatuhkan Mahapatih Nambi, pilihan sebagai pemegang jabatan utama kedua, akan jatuh ke tangan Senopati Sora. Karena dibandingkan dengan senopati yang lain, Senopati Sora tetap yang lebih unggul. Kalau Senopati Sora yang tampil menggantikan Nambi sebagai mahapatih, ia tak bisa berkutik. Senopati Sora jauh lebih keras sikapnya, tak mudah termakan oleh hasutan.

Maka jalan satu-satunya adalah melenyapkan Senopati Sora. Dengan demikian tak ada yang menduga apa yang dilakukan. Tidak juga Mahapatih Nambi, yang dalam pikiran Halayudha tak terlalu berbahaya. Dengan tudingan jari Permaisuri Indreswari, Mahapatih Nambi bisa pindah tempat dan jabatan. Dan tak akan menimbulkan banyak pergolakan. Karena Mahapatih Nambi tidak mempunyai pendukung kuat seperti Senopati Sora!

Duka Ibu Tak Bisa Dibagi

PERMAISURI INDRESWARI memerintahkan agar pesta dan kemeriahan terus berlangsung. Ia sendiri kemudian mengajak Senopati Halayudha langsung menghadap Baginda.

“Maaf, Gusti Permaisuri, di tengah malam seperti ini?”

“Baginda juga membangunkan saya di tengah malam seperti ini.”

“Apakah hamba patut menyertai?”

“Halayudha, kamu menjadi saksi, bila Baginda menanyakan sesuatu. Kalau kamu kubawa serta, besok pagi semua perintah telah dikeluarkan. Jangan menunggu sampai matahari meninggi.”

“Gusti Permaisuri sungguh bijak bestari.”

“Satu lagi, Halayudha, apakah betul yang muncul tadi Upasara Wulung yang perkasa?”

“Begitulah, Gusti.”

“Apakah di belakang hari tidak akan menimbulkan masalah mengingat ilmunya begitu tinggi?”

“Seorang yang mengaku ksatria tak akan membuat gangguan selama tidak diganggu bersilat. Upasara tak ada maksud untuk turut berebut pangkat dan derajat. Lagi pula sebagai suami Ratu Ayu, kita bisa mempergunakan titik lemah ini untuk mengusirnya.”

“Kalau ia tak mau pergi?”

“Banyak jalan untuk membuat Upasara bertarung dengan para ksatria karena Ratu Ayu dizinahi lelaki lain.”

“Hmmm, jalan pikiranmu panjang, Halayudha. Aku rada bimbang, apakah di belakang hari kamu tidak akan berpaling dariku.”

Halayudha menyembah. “Kalau ada setitik kebusukan dalam diri hamba mengenai Putra Mahkota atau Permaisuri, biarlah sekarang juga hamba…”

“Tak perlu kuragukan kesetiaanmu sampai saat ini.”

Dalam hati, Halayudha tertawa puas. Permaisuri boleh merasa unggul dan berkuasa. Boleh merasa mampu mengawasi semua orang dan mengatur, akan tetapi tidak diriku ini. Satu kaki membalik, Permaisuri Indreswari tak akan menyadari. Sampai akhirnya ia sendiri terjerembap keluar.

Bagi Halayudha, Permaisuri Indreswari adalah tokoh yang menggelikan. Yang puas atas kemenangannya di antara semua permaisuri dan wanita Keraton. Yang merasa mampu memaksakan kehendaknya pada Baginda. Yang menjadi satu-satunya pendamping Baginda. Itulah kekuatan utama dan sekaligus juga kelemahannya. Karena Permaisuri Indreswari dalam soal taktik dan strategi masih terlalu hijau.

Halayudha mengiringi Permaisuri menuju ke kediaman Baginda. Menyusuri lantai yang megah dan sepi. Di depan kamar Baginda, nampak Permaisuri Rajapatni bersujud. Semua rambutnya diurai, wajahnya menunduk, tak bergerak sedikit pun. Permaisuri Indreswari memalingkan mukanya, seakan tak melihat sama sekali. Dan melangkah masuk ke dalam. Berjongkok, melakukan sembah. Halayudha mengiringkan. Bersujud di tempat yang agak jauh di belakang.

Baginda hanya melirik, lalu menghela napas. Sebelum akhirnya kembali ke tempat peraduannya. “Pintu itu selalu terbuka. Ada yang berani langsung masuk, ada yang lebih suka menangis di luar. Apa lagi?”

“Mohon ampun, Baginda. Keberanian abdi Baginda menerobos masuk karena merasa tak tahan lagi dengan tingkah laku Senopati Sora yang justru mengadakan kraman saat-saat upacara berlangsung.”

“Sora?”

“Demikian, Baginda junjungan hamba.”

“Sora memang pemberani. Sedikit keras kepala. Itu aku suka. Tapi karena tidak pada tempatnya… perlu diperingatkan pula. Besok diminta menghadap kemari.”

Sunyi. Permaisuri Indreswari menyembah.

“Rasanya tak cukup diperingatkan, Baginda. Kali ini sangat keterlaluan sekali. Hukum buang pun rasanya…”

Tangan kiri Baginda bergerak perlahan. “Aku yang menentukan, Yayi! Aku tak pernah berkata dua kali. Halayudha, perintahkan Sora menghadap kepadaku. Aku akan berbicara langsung.”

“Sembah dalem, hamba akan menjalankan titah Baginda, malam ini juga.”

“Kamu pergi sendiri, Halayudha.”

Halayudha menyembah, lalu mundur.

“Tunggu, sebentar. Aku ingin mendengar pendapatmu…”

Halayudha menyembah lagi.

“Permaisuriku yang lain lagi, Rajapatni, bersila sejak sore tadi di depan pintu. Kutanya ada apa, ia malah menangis. Kuajak masuk, ia menunduk. Hanya beberapa patah kata yang terucap, ‘Duka permaisuri bisa dibagi seperti panas matahari, akan tetapi duka seorang ibu yang kehilangan anaknya adalah duka yang tak bisa dibagi.’ Kamu bisa mengerti apa maksudnya?”

Halayudha menyembah. “Seratus kali bertambah pandai, hamba tetap tak menangkap isinya, Baginda. Hanya barangkali Permaisuri Rajapatni yang mengerti susastra tinggi ingin menyampaikan bahwa kegelisahan hati Permaisuri Rajapatni karena kehilangan kedua putrinya, yaitu Putri Ayu Rajadewi dan Putri Ayu Tunggadewi. Kerisauan ini hanya bisa dirasakan oleh ibu.”

Baginda tersenyum. “Itu aku tahu. Yang ingin kuketahui, apakah kamu tahu di mana kedua putriku itu?”

Halayudha terdiam.

Baginda melirik ke Permaisuri Indreswari. “Bicaralah, Yayi.”

“Kami terpaksa mengasuhnya, karena putri sekar kedaton, bunga Keraton, dibiarkan keluyuran di luar. Sungguh aib dan ternoda kalau sampai diketahui orang luar.”

Baginda mengangguk. “Sampai kapan?”

“Sampai ibu yang melahirkan dan merasa berduka bisa mengasuhnya.”

“Baik, kalau begitu.” Baginda menggerakkan kedua tangannya.

Permaisuri Indreswari dan Halayudha menyembah bersamaan dan berjongkok mundur, agar tidak memunggungi Baginda.

Baru kemudian Baginda melangkah ke pintu. Memandang Permaisuri Rajapatni. “Yayi, kamu dengar sendiri semuanya?”

Permaisuri Rajapatni tak bergerak.

“Cukup. Sekarang kembalilah ke kaputren.”

Permaisuri Rajapatni menyembah. “Hamba tak akan beranjak dari tempat ini kalau kedua putri hamba belum kembali ke dalam pelukan hamba.”

Baginda tertawa kecil. “Inilah susahnya. Siapa menduga bahwa menjadi raja justru susah mengatur permaisuri yang mempunyai jalan pikiran sendiri-sendiri? Dengan satu patah kata aku bisa menentukan perang besar atau perdamaian. Semua akan mengikutiku. Tapi soal begini, ah, sungguh runyam. Kubenarkan tindakan Indreswari yang merasa menjaga tata krama Keraton. Kusalahkan kamu karena membiarkan putriku keluyuran. Kurasakan beratnya dukamu, Yayi. Bersabarlah, besok atau lusa, kedua putrimu akan kembali tanpa putus sehelai rambut pun. Kalau ada yang mengganggu, aku sendiri yang akan bertindak. Sekarang kembalilah.”

Permaisuri Rajapatni tetap tak bergerak.

“Aku tak hanya mengurusi putriku. Aku dititahkan oleh Dewa Penguasa Tanah Jawa untuk mengurus semuanya. Aku tahu siapa kamu, siapa Indreswari, siapa Sora, siapa Halayudha. Sebagai raja, aku harus bertindak adil untuk semuanya. Masih mau bertahan di situ?”

Permaisuri Rajapatni menyembah.

Baginda menggelengkan kepalanya. “Yayi Gayatri, kalau bukan kamu, malam ini juga kamu sudah kuusir dan tak kuizinkan bayangan tubuhmu masuk ke dalam Keraton untuk selamanya. Tapi kamu lain. Kamu memberikan kasih padaku, kamu ditakdirkan Dewa menjadi pendampingku. Tapi kamu sendiri yang menakdirkan berada di situ sampai tua!” Baginda segera melangkah ke dalam.

Sedia Senjata Sebelum Mendung

SEWAKTU Baginda masuk kembali ke kamar peraduan, Permaisuri Gayatri masih tetap bersila. Tak bergerak seujung rambut pun. Ketika itu Halayudha sudah langsung mempersiapkan diri untuk menyusul ke Dahanapura, setelah lebih dulu menemui Mahapatih Nambi. Yang merasa agak heran, karena Permaisuri juga menyertai.

“Saya sendiri merasa berat, Mahapatih. Akan tetapi inilah titah Baginda. Agar menyelesaikan Senopati Sora yang berniat kraman. Kalau Senopati Sora tetap menolak untuk hukum buang besok, berarti Mahapatih yang harus menyelesaikan.”

Mahapatih mengangguk ragu. Permaisuri Indreswari mengangguk dalam.

“Keputusan Baginda hanya dua. Membuang Sora atau menghukum mati. Yang pertama akan lebih berharga bagi Sora, kecuali kalau ia menghendaki lain.”

Halayudha menyembah ke arah Permaisuri Indreswari. “Dalam satu-dua hari ini, saya akan menghadap Mahapatih, dengan atau tidak bisa membawa Senopati Sora.”

“Kamu tak perlu kuatir hal itu, Nambi. Siapkan seluruh prajurit utama, semua senopati, untuk menghadapi bahaya sewaktu-waktu.”

Bagi Mahapatih Nambi ini menimbulkan kebimbangan yang cukup berat. Baginya, apa yang dilakukan Senopati Sora jelas keliru. Menentang secara terbuka. Akan tetapi untuk menghukum mati juga tak bisa begitu saja. Akan tetapi kecil sekali kemungkinannya menafsirkan bahwa Halayudha maupun Permaisuri mengartikan lain perintah Baginda. Rasanya sangat tidak mungkin! Itu seperti menyangsikan Baginda!

Tak akan terjadi pada seorang prajurit sejati, prajurit pengabdi. Maka tak ada pilihan lain kecuali menyiapkan pasukan istana yang siap gegaman, siap senjata tempur, untuk menghadapi kemungkinan yang tak diinginkan. Kesulitan yang juga muncul malam itu ialah kenyataan bahwa pertarungan di halaman depan Keraton ternyata tak seperti yang diharapkan. Pendeta Syangka yang sangat diandalkan, ternyata tak mampu menangkap Maha Singanada.

Maha Singanada berhasil melarikan diri. Atau meloloskan diri karena merasa dikerubut begitu banyak lawan. Kalau mau dipersoalkan, ini termasuk tanggung jawabnya juga. Bahkan sampai Pangeran Jenang kena tendang wajahnya oleh Nyai Demang, termasuk bagian yang bisa disalahkan ke arahnya. Permaisuri bisa menumpahkan semua kesalahan ini padanya. Yang berarti sandungan bagi pengabdiannya yang tulus. Yang berarti kegagalan dari sekian banyak tugas dan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Nambi menyadari sepenuhnya.

Sebagai senopati, Nambi merasakan puncak tertinggi pangkat yang bisa disandang adalah mahapatih, Karena senopati seperti dirinya bukannya titisan Dewa yang bakal bisa menduduki takhta. Ia tak mempunyai wahyu untuk itu. Hal itu sangat disadari betul. Dalam perhitungan ketika mengucapkan doa di dalam hati, Mahapatih Nambi makin menyadari posisinya. Di seluruh Keraton ini, siapa yang bakal menjadi raja sudah ditentukan oleh Dewa yang menguasai Jagat.

Akan tetapi siapa yang menjadi mahapatih, tergantung siapa yang bisa meraih. Dari seluruh penduduk Keraton, hanya ada satu mahapatih. Atas kemurahan Dewa Agung, maka dirinya terpilih untuk tugas sangat suci. Satu-satunya yang dipercaya menjadi mahapatih, dari sekian ratus senopati yang unggul, dan sepuluh senopati yang pantas menduduki jabatan tertinggi kedua ini.

Tidak, bagi Mahapatih Nambi bukan keinginan untuk mempertahankan jabatan dan pangkat ini selamanya. Baginya pangkat dan derajat adalah kepercayaan yang diberikan padanya. Pangkat yang dititipkan oleh Dewa melalui tangan Baginda. Sebagai ksatria, Mahapatih Nambi tidak tamak dan serakah mengenai kemewahan dan kekuasaan. Ia menerima segalanya berdasarkan rasa pengabdiannya. Sebagai perwujudan tanggung jawabnya. Juga sekarang ini.

Kalau ia terpaksa bertindak keras kepada kawan yang dikenal semasa berjuang mengenyahkan prajurit Raja Jayakatwang dan mengusir pasukan Tartar dulu, semata-mata karena tugas. Karena pengabdian. Hanya itulah yang dimiliki dan wajib dilakukan sebagai prajurit. Jangan kata sahabat, anak sendiri bila perlu disingkirkan kalau ternyata mengganggu ketenteraman Keraton. Percakapan dalam hati Mahapatih Nambi membuatnya sedikit tenteram. Hanya saja tak bisa dipungkiri adanya sedikit ganjalan yang menggelisahkan.

Kalau Baginda bertindak adil dan benar, kenapa masih ada tokoh-tokoh seperti Upasara Wulung? Kenapa Upasara Wulung muncul secara terang-terangan dan membuat gegeran? Mahapatih Nambi bisa membuat perhitungan sendiri atas Upasara Wulung dengan beberapa pertimbangan. Setidaknya bagi mereka yang tergabung dalam Perguruan Awan. Mereka ini adalah ksatria sejati. Hal ini tak perlu diragukan lagi. Sifat-sifat luhur ksatria mengalir dalam darah dan terembus dalam semua tindakannya, sampai napasnya pun murni. Tanpa keinginan jahat untuk merusak atau mengacau.

Kurang apa untuk seorang Upasara, kalau ia lebih dulu dipilih Baginda untuk menduduki derajat dan pangkat sebagai mahapatih? Kurang apa kalau sekarang Upasara menjadi lelananging jagat, dan mampu mempersunting Ratu Ayu Bawah Langit? Semua yang diharapkan telah berada dalam genggamannya. Semua yang diidamkan lelaki berhasil digenggam. Tanpa perlu membuat keonaran pun, Upasara bisa hidup dengan tenang dan bahagia. Akan tetapi justru bukan itu semua yang menjadi dasar pergerakan batinnya.

Di mana ada ketidakberesan, Upasara akan muncul dan berani menantangnya. Termasuk pengeroyokan terhadap Nyai Demang. Alasan bergerak Upasara hanyalah karena merasa ada sesuatu yang tidak benar. Ada perlakuan yang tidak adil. Bukan karena iri, bukan karena mau merebut derajat dan pangkat, bukan pula karena harta.

Usikan ini membuat Mahapatih Nambi sedikit gelisah. Kalau Upasara memperjuangkan kebenaran dan keadilan, kenapa harus bentrok dengan Keraton? Apakah ini berarti Keraton tidak benar dan kurang adil? Bahwa masih banyak masalah yang perlu dibenahi dan didandani, Mahapatih Nambi mengetahui lebih dari siapa pun. Akan tetapi itu semua bisa dilakukan tanpa menimbulkan gegeran yang sifatnya terbuka menantang Keraton. Yang justru kini dilakukan oleh Upasara. Yang justru dulunya begitu rapi menyembunyikan diri.

Akan tetapi apa pun kebimbangan yang ada, suara kegelisahan yang mengusik, tak berarti banyak. Bagi Mahapatih hanya ada satu kebenaran yang abadi sebagai abdi. Menjalankan perintah Baginda. Kalau untuk itu ia harus memindahkan gunung atau membendung sungai, tetap akan dijalankan. Juga kalau harus menghadapi Upasara Wulung! Musuh Keraton adalah musuhnya. Penghalang kebijaksanaan Raja adalah lawan yang harus dibasmi.

Kemantapan dalam hati ini datang bersama fajar pagi yang menyemburatkan sinar. Mengusir hawa dingin dan mendung. Mahapatih sudah menyiapkan seluruh prajurit utama untuk berjaga-jaga. Untuk menangkap Senopati Sora. Atau kalau perlu memburu ke Dahanapura. Prajurit telik sandi yang dikirimkan secara diam-diam sudah memberi laporan bahwa Senopati Halayudha sudah mengadakan pembicaraan dengan Senopati Sora. Prajurit kedua memberi laporan bahwa Senopati Sora menolak untuk dihukum buang. Prajurit ketiga melaporkan bahwa kini justru Senopati Sora sedang mempersiapkan prajuritnya yang setia untuk datang ke Keraton.

Utusan dari Halayudha menjelaskan kemudian bahwa dalam rombongan yang akan menghadap Baginda, selain Senopati Sora dan Gajah Biru, juga ada Senopati Juru Demung. Serta beberapa tokoh persilatan lain yang agaknya akan mendampingi Senopati Sora. Termasuk dalam rombongan itu, Upasara Wulung dan Nyai Demang dari Perguruan Awan. Dan sudah barang tentu akan disertai senopati Turkana yang pasti akan berpihak kepada Upasara.

Mahapatih diminta dengan hormat mengawasi gerak-gerik delapan senopati Turkana. Jalan pikiran yang paling sederhana mengartikan bahwa Senopati Sora tidak sekadar ingin sowan kepada Baginda, melainkan sekaligus menyiapkan langkah terakhir, jika usahanya gagal. Berarti juga perang besar. Jalan pikiran Mahapatih Nambi bukan terlalu mencurigai dan dicari-cari. Sejarah mengajarkan bahwa sejak Raja Jayakatwang, Raden Sanggrama Wijaya juga melakukan cara yang sama. Menyusup ke dalam Keraton dengan persiapan penuh. Mahapatih Nambi cepat mengambil keputusan.

Kebo Berune

UPASARA yang masih menggandeng Nyai Demang meninggalkan Kamandungan dengan langkah enteng.

“Adimas mau ke mana?”

Upasara tidak bisa menjawab seketika. “Ke mana sebaiknya, Mbakyu?”

Nyai Demang tertawa. Dengan sedikit sungkan ia melepaskan tangan kiri Upasara yang mencekalnya. Upasara jadi tersipu.

“Mana saya tahu? Adimas kan pengantin baru? Pasti mempunyai acara dan kesibukan sendiri. Saya tak mau disalahkan di belakang hari jika pada malam pengantin ini Adimas keluyuran tak menentu.”

Kali ini Upasara menggeleng mantap. “Tak sepenuhnya begitu, Mbakyu. Tapi sudahlah, akan panjang kalau diceritakan. Nanti Mbakyu Demang akan mengetahui sendiri.”

“Maaf, saya tak ingin mencampuri urusan pribadi.”

Mereka berdua berjalan menjauhi Keraton. Bintang di langit sebagian bisa dilihat dengan jelas. Juga angin perlahan bisa dirasakan.

Upasara menghela napas berat. “Saya juga tak ingin mencampuri urusan Keraton. Kalau sekarang atau nanti terjadi pergolakan, itu semata urusan Keraton. Sejauh tidak menyakiti Tunggadewi dan Rajadewi yang menjadi tanggungan saya. Rasanya kita masih perlu mencari Gendhuk Tri dan Dewa Maut.”

“Kalau sudah bertemu kenapa?”

Upasara melengak lagi. Ia benar-benar tak tahu apa yang harus dilakukan. Dan Nyai Demang bisa menebak dengan jitu.

“Kenapa Adimas ingin menjauhi Ratu Ayu?”

Sesaat tak ada jawaban. “Tidak juga, Mbakyu. Saya tidak berusaha menjauhi atau mendekati. Mbakyu Demang lebih tahu, ada beberapa salah pengertian dalam hubungan ini. Saya kira Ratu Ayu Azeri Baijani telah menemukan yang dicari. Yaitu Pedang Kelana, Galih Kangkam yang selama ini musnah dari Keraton Turkana. Setelah menemukan yang dicari, masalahnya sudah selesai.”

“Tidak sesederhana itu, Adimas Upasara. Salah pengertian atau bukan, semua telah mengetahui Adimas resmi menjadi suami Ratu Ayu. Beban atau kesenangan itu tak bisa dielakkan lagi. Saya bisa memahami perasaan Adimas, akan tetapi tidak demikian halnya dengan seluruh penduduk yang menyaksikan pertarungan di Kamandungan.”

“Lalu harus bagaimana?”

Nyai Demang mengangkat bahu. “Sudah saja jalani hidup dengan baik. Belum tentu tidak menyenangkan. Bagi saya pribadi, itu lebih baik daripada Adimas selalu mengenang Gayatri.”

Wajah Upasara menjadi merah. Sebenarnyalah itu yang menjadi ganjalan di hatinya. Upasara mengakui dan sadar sepenuh-penuhnya. Ratu Ayu, sesuai dengan julukannya, memang sangat elok. Mempunyai kekuasaan tertinggi. Akan tetapi Upasara tak bisa menerima dengan tenang. Selama ini yang masih memenuhi bayangan dan mimpinya adalah sosok Gayatri, yang telah menjadi Permaisuri Rajapatni. Bahkan ketika Ratu Ayu menyilakan Upasara memilih juga yang lainnya dan tak menghalangi, Upasara merasa makin terjepit perasaannya. Rasanya tak bisa melupakan Gayatri begitu saja. Nyatanya memang begitu. Upasara malu mengakui hal itu.

“Bukan itu, Mbakyu. Soalnya…”

“Adimas masih ingin merahasiakan kepada mbakyumu ini? Ah, Upasara… Upasara! Mbakyumu ini sudah tua, sudah cukup kenyang dengan garam asmara. Kenapa masih menganggap saya ini orang lain?”

Upasara memalingkan wajahnya ke arah lain. Dalam gelap perubahan wajahnya tidak bisa terlihat jelas. Tapi dari suaranya bisa dikenali getaran perasaan hatinya.

“Saya tak mengerti kenapa ada sisa-sisa perasaan seperti itu. Ah, Mbakyu Demang, mari kita bicarakan hal yang lain saja.”

Keduanya terdiam. Hanya angin yang menggoyang ujung pohon dan dedaunan. Samar-samar terdengar seperti kidungan.

Kalau bulan diselimuti awan
kenapa bicara tentang surya
Kalau hati sedang tertawan
kenapa bicara tentang surya?
Gerhana bulan
pasti datang
seperti gelombang
kerinduan…


Bukan hanya Upasara yang terkejut. Bahkan Nyai Demang seperti tersengat. Jelas sekali kidungan itu ditujukan kepada mereka berdua. Yang membuat Nyai Demang tersengat, karena seakan mengenali lirik-lirik kidungan itu. Yang sengaja dibelokkan ucapannya.

“Kalau bisa bicara terbuka, kenapa bersembunyi seperti kura-kura?”

Nyai Demang berseru perlahan sambil mengerahkan tenaga dalamnya. Karena sadar bahwa yang dihadapi adalah tokoh yang cukup sakti. Dari tenaga dalam ketika melantunkan kidungan maupun dari keberanian mencampuri urusan.

“Menguping pembicaraan orang lain bukan pekerjaan ksatria. Masih ada tempat untuk muncul bersama.”

Tantangan Nyai Demang mendapat jawaban yang mengejutkan.

“Kalau yang tua mendatangi yang muda, apakah tidak akan dibilang kurang ajar?”

Upasara mencekal tangan Nyai Demang. Dengan satu tekukan kaki, tubuhnya melayang ke arah datangnya suara. Ternyata di balik pohon-pohon, tersembunyi gubuk yang sangat sederhana. Sedemikian sederhananya, sehingga lebih mirip kandang kuda yang belum selesai. Upasara menunduk.

“Izinkanlah kami mengganggu ketenangan Kakek yang mulia.”

Nyai Demang merasa heran, karena Upasara menyebut sebagai Kakek. Lebih kaget lagi karena terdengar jawaban yang disertai batuk-batuk kecil.

“Saya sudah tua, tetapi siapa mengajarimu menyebut Kakek? Apa susahnya menyebut sebagai Eyang?”

“Maafkan, Eyang.”

Terdengar tawa lirih. “Tak kusangka. Ksatria lelananging jagat ternyata tahu sopan santun, mengerti tata krama. Sungguh, budaya Keraton yang mulia telah mendidik dengan sangat baik. Itu yang terbaik.”

Aneh kata-katanya, seperti tak keruan arah dan tujuannya. Upasara menyembah sekali lagi. Sementara Nyai Demang masih berdiri kaku.

“Bocah slemok, kamu juga perlu menyembah sebelum masuk keratonku.”

Nyai Demang mengangkat hidungnya tinggi-tinggi. Dipanggil dengan sebutan bocah slemok, yang artinya anak yang gemuk menggemaskan, hati wanitanya tersinggung. Mana mungkin dirinya dipanggil sebagai bocah?

“Saya yang rendah, Upasara Wulung, dengan ini mewakili menyampaikan hormat kepada Eyang.”

Nyai Demang mengerutkan kening. Ia tahu bahwa Upasara sangat menghormati seseorang, apalagi lebih tua. Akan tetapi tidak seperti sekarang ini. Kerutan di kening Nyai Demang bisa berarti pertanyaan. Apakah ada orang yang begitu harus dihormati seperti penghormatan yang dilakukan oleh Upasara? Yang bersedia memanggil dengan sebutan Eyang secara seketika?

“Itu sejak tadi telah kurasakan. Sayang, kenapa bocah cerdik seperti kamu kurang bisa mengenali tata krama. Bukankah ini terakhir kali kamu bisa memberi hormat kepada aku yang sudah bakal pergi ke alam baka?”

Kini Nyai Demang seperti disadarkan bahwa ia bertemu tokoh sakti yang ganjil sekali. Setelah munculnya Kiai Sambartaka, Naga Nareswara, Kama Kangkam, dan Ratu Ayu, bukan tidak mungkin tokoh yang setara masih bisa muncul seketika.

“Menghormat hanyalah sekadar membungkukkan badan dan merangkapkan tangan. Apa susahnya? Sebelum tahu kepada siapa saya harus menghormat, buat apa susah-susah menyembah.”

“Jawaban yang bagus. Kalian pasangan yang tak ada tandingannya. Dari Berune aku datang, tak percuma bisa bertemu dengan pewaris darah ksatria Singasari. Mati pun aku tak begitu menyesal sekarang ini.”

Tri Parwa, Tiga Buku Utama

NYAI DEMANG merasakan suara kesakitan yang amat memedihkan. Sedikit keluhan yang tak tertahankan. Bersama Upasara, segera masuk ke dalam gubuk. Apa yang disaksikan membuatnya menatap tak berkedip. Gubuk yang didiami Kakek dari Berune tidak mirip rumah atau kamar yang biasa dihuni. Banyak debu menempel di tiang, di balai-balai. Seakan memang tak pernah ada yang menyentuh.

Di ruang tengah seorang kakek yang sangat tua wajahnya, kurus kering, bernapas satu-satu. Matanya seperti mendelik, rambutnya panjang tetapi jarang. Engahan napas itu yang membuat hati Nyai Demang seperti tercakar. Pilu. Spontan Nyai Demang bergerak untuk menolong, akan tetapi tangan Upasara bergerak menahan. Nyai Demang tertahan geraknya.

Tak ada yang bergerak. Tidak juga Kakek Berune yang bernapas terengah-engah, dadanya naik-turun, tersengal-sengal. Aneh, Nyai Demang tidak membayangkan bakal bertemu dengan tubuh tua yang susah bernapas. Baru saja ia mendengar kidungan yang dilantunkan tenaga dalam sangat kuat. Baru saja terdengar pembicaraan yang tangkas dan seolah mengerti banyak hal. Akan tetapi ketika masuk menemukan seseorang yang sangat tua dan kelihatan sangat menderita, sedang sekarat.

Dalam pandangan Nyai Demang, yang luar biasa justru Upasara Wulung. Dengan segera, Upasara bisa membaca dengan siapa ia berbicara. Begitu menghormat, begitu cepat mengetahui dengan siapa ia berhadapan.

Nyai Demang yakin, bahwa Upasara belum tentu tahu pasti di mana letak tlatah Berune. Tapi itu tak menghalangi dan mengurangi ketajaman pandangan. Barangkali inilah bedanya.

Nyai Demang merasa mempunyai pengetahuan yang luas. Dengan satu kata saja ia bisa mengenali dan menjelaskan di mana tanah Berune. Sebuah keraton kecil di ujung utara. Dalam kitab-kitab yang dibaca, Keraton Berune adalah wilayah luas yang subur, akan tetapi ksatrianya cukup tinggi ilmunya. Bersama dengan Keraton Balineo, dua tata pemerintahan itu termasuk wilayah besar Keraton Singasari. Kalau tidak keliru, dua wilayah itu di bawah tata pengaturan Keraton Sukadana di tlatah Karimata.

Namun ternyata pengertian-pengertian seperti itu tak membuatnya arif. Justru Upasara yang menangkap arti sebenarnya dari kehadiran seorang yang sangat tua, menderita. Pendekatan kemanusiaan Upasara jauh lebih mengena. Toh pada akhirnya, dari mana asal-usulnya, tak berarti banyak kalau ingin berkenalan dan menolong.

Kalau sekarang ini Upasara berdiam diri, bukannya tak mau bergerak menolong. Sekadar memindahkan ke tempat yang lebih bersih ataupun membantu pernapasan, sangat mudah dilakukan. Akan tetapi agaknya Upasara tak perlu turun tangan. Karena ketajaman pandang bahwa penderitaan yang sedang ditanggung Kakek Berune ini penderitaan karena pengaturan napas. Yang tidak bisa sembarangan dimasuki oleh orang lain.

Apalagi tadi disebut-sebut dari Berune. Yang bisa saja terjadi kekeliruan sewaktu ingin membantu. Dan ini semua diketahui oleh Upasara dalam sekejap. Dalam perjalanan. Sungguh kemajuan tenaga dalam yang luar biasa. Rasanya Nyai Demang masih mengenali Upasara yang menjadi murid utama Ngabehi Pandu. Gagah perkasa, akan tetapi tidak setinggi dan sedalam ini. Tidak sampai tingkatan yang begitu dalam. Engahan napas berakhir. Nyai Demang melihat bahwa keringat membasahi seluruh wajah dan dada yang kurus kering.

“Tidak jadi lagi. Setiap kali mau mati, urung lagi. Padahal aku, Kebo tua ini, sudah ikhlas. Semua temanku sudah enak-enak di alam sana, sementara aku masih menderita begini. Benarkah kamu lelananging jagat? Bagaimana kabar Eyang Sepuh sekarang ini? Bagaimana kabar Mpu Raganata? Apa betul ia telah berkumpul dengan bidadari? Bagaimana dengan Paman Sepuh Bintulu? Apa betul wajahnya sekarang lebih jelek dari aku? Ceritakan dengan cepat. Sebentar lagi aku akan mati.”

Upasara menyembah hormat. “Saya Upasara Wulung, sekarang berdiam di Perguruan Awan tempat Eyang Sepuh menunggui hutan dan awan. Memang benar ada pertemuan besar di Trowulan. Akan tetapi sesungguhnya tidak ada pemberian gelar lelananging jagat.”

“Istrimu menarik sekali. Sayang aku sudah tua dan mau mati.”

Wajah Nyai Demang berubah keruh. Kalimat-kalimat Kebo Berune masih tetap membuat daun telinga sangat panas. Betapa tidak. Sejak pertama bertemu, sudah memanggil dengan bocah slemok. Kini memuji kecantikan tubuh, dengan tambahan dirinya sudah tua dan mau mati. Memangnya kalau masih muda mau…

“Kakek Berune… Jauh-jauh Kakek datang hanya untuk menunjukkan diri masih punya pikiran kotor?”

Kebo Berune menyeringai. Tubuhnya tetap tak bergerak. Tergeletak.

“Kami bersahabat, sebagai sesama penghuni Perguruan Awan.”

Suara Upasara membuat Kebo Berune berdecak. “Kawini saja. Lima puluh tahun lagi, pada pertemuan besar, kalian sudah punya keturunan yang bakal menyelamatkan pertarungan besar di Trowulan. Berarti Singasari tetap yang paling murni dan besar. Sungguh menyenangkan. Sayang, Baginda Raja Sri Kertanegara tak menyaksikan kebesaran ini.”

Nyai Demang menggenggam tangannya yang basah oleh keringat. “Apakah Kakek termasuk senopati Singasari yang dikirim ke tanah Berune, seperti halnya Senopati Kebo Anabrang?”

“Siapa itu Anabrang?”

“Senopati yang dikirim ke tlatah Melayu.”

“Aku cuma mengenal senopati yang ternama. Kalau yang kecil-kecil, mana mungkin aku mengenalnya? Bisa jadi mereka mengenal aku dengan baik. Cepat kalian ceritakan yang pokok. Singkat saja, sebelum aku mati.”

Upasara menyembah dan menceritakan jalannya pertarungan di Trowulan. Kebo Berune mendengarkan sambil memejamkan matanya.

“Kalau benar begitu, Paman Sepuh Bintulu sudah mati. Sayang aku belum sempat mengejek wajahnya yang jelek. Ia dulu paling sombong…”

Sampai di sini Nyai Demang tak bisa menahan rasa gelinya. Jelas Kebo Berune ini yang angkuh dan tinggi hati dengan mengatakan tak mengenal Kebo Anabrang, masih juga bisa menilai orang lain yang sombong.

“…Bintulu merasa paling gagah. Paling tampan. Hmmm, tak tahunya jadi paling jelek dan menyembunyikan wajahnya. Tapi ia bisa menciptakan Bantala Parwa dengan baik. Berarti tugas selesai. Bintulu, kamu pasti tertawa-tawa di sana dan balik menertawakan aku. Iya, kan? Aku bisa merasakan. Tapi tunggulah sebentar lagi. Aku akan bertemu denganmu di sana.”

“Jadi benar bahwa Bantala Parwa ditulis oleh Paman Sepuh Bintulu?”

“Siapa lagi yang rajin menulis seperti Bintulu? Sejak dulu ia begitu. Ia selalu berpikir bahwa yang menguasai jagat ini adalah ilmu silat. Bukan pengetahuan mengenai ketatanegaraan yang ditekuni Raganata. Juga bukan omongan dan pikiran yang melayang seperti yang dikatakan Bejujag.”

“Bejujag?” Nada tanya Nyai Demang mendapat anggukan dari Upasara yang kemudian berbisik, bahwa Bejujag adalah nama panggilan buat Eyang Sepuh. Kalau sekarang Kebo Berune menyebutkan juga nama itu, berarti Kebo Berune hidup pada zaman yang sama.

“Kakek mengenal Eyang Sepuh secara langsung?”

“Apa untungnya? Apa istimewanya? Bejujag, Bintulu, Raganata tak berbeda jauh dengan aku. Hanya saja mereka yang sejak dahulu diakui. Terutama Bejujag itu. Ia yang berhasil mengundang para ksatria seluruh jagat untuk berkumpul setiap lima puluh tahun. Di seluruh tanah Jawa ini hanya diakui ada Tri Parwa Utama. Hanya ada Tiga Kitab Utama. Aku tak pernah diperhitungkan. Ini kesalahan terbesar sejarah. Tapi aku tak bisa membuktikan kesalahan itu, karena kau tak bisa datang di Trowulan. Dan aku akan mati sebentar lagi. Jadi ada benarnya, hanya ada Tiga Kitab Utama! Tiga? Sejauh ini kamu hanya mendengar Bantala Parwa.”

Kebo Berune menggelengkan kepalanya. “Raganata juga membuat kitab mengenai tata pemerintahan, Nagara Parwa. Tapi mana kamu tahu. Itu hanya diperuntukkan Baginda Raja Sri Kertanegara yang tanpa tanding. Sedangkan Bejujag juga menulis kitab yang setiap kali ditulis kembali. Aku tak pernah mengerti, karena setiap kali klika yang dikirimkan selalu berubah.”

Kidung Paminggir

BAGI Upasara, keterangan Eyang Kebo Berune melengkapi apa yang selama ini sedikit-banyak telah diketahui, secara sepotong-sepotong. Seperti diketahui, selama ini Upasara merasa gelap mengenai asal-usul Perguruan Awan. Apalagi mengenai tokoh sepuh, pujaan seluruh ksatria, yaitu Eyang Sepuh. Barulah ketika bertemu dengan Paman Sepuh Dodot Bintulu, gambaran masa lalu itu sedikit terbentuk. Kini menjadi lebih sempurna dengan penjelasan Eyang Kebo Berune.

Pada masa lima puluh tahun yang lalu, di tanah Jawa ada tiga ksatria muda yang telah mengukir nama dalam dunia persilatan. Ketiga ksatria muda itu di belakang hari dikenal sebagai Eyang Sepuh, Paman Sepuh, dan Mpu Raganata. Ketiga ksatria inilah yang mendapat kepercayaan utama dari Baginda Sri Kertanegara untuk mengembangkan ilmu silat yang ada.

Payung kebesaran Baginda Raja bukan hanya menyatukan mereka bertiga, akan tetapi juga memberi kelonggaran kepada masing-masing untuk mengembangkan kemampuannya sendiri-sendiri. Paman Sepuh yang kemudian memilih untuk menekuni ilmu silat dan akhirnya berhasil menuliskan Kitab Bumi. Dengan kelebihan ilmu dan kawicaksanan yang luar biasa, Paman Sepuh mampu mengumpulkan berbagai sari ilmu kanuragan yang ada.

Sebaliknya Mpu Raganata lebih memusatkan diri untuk menuliskan berbagai tata cara penyelenggaraan Keraton. Baik mengenai hubungan di dalam yaitu peraturan dan tata krama, maupun mengenai hubungan ke luar dengan keraton-keraton yang lain. Sementara Eyang Sepuh mengerahkan seluruh kemampuannya dalam ilmu silat yang lebih murni.

Ketiga ksatria perkasa ini sambil bertukar pikiran, lewat tulisan dari klika, memberitahukan apa yang dialami satu sama lain. Jurus-jurus, cara melatih pernapasan, maupun tata krama yang kemudian dijadikan perundangan, boleh dikatakan melalui ketiga ksatria yang berangsur-angsur juga bertambah usianya.

Dari sisi ini, Upasara bisa memahami kebesaran dan jiwa luhur Baginda Raja. Yang mampu menanamkan benih-benih kebesaran negara di atas segalanya. Dalam suasana pertentangan yang mungkin saja terjadi, ketiga ksatria masih selalu berhubungan dan memberikan hasil yang terbaik dari pencariannya selama ini. Dan kalau dihubungkan dengan senopati yang lain lagi, bukan hanya mereka bertiga yang saling bertukar pikiran dan mendapatkan hasilnya. Melainkan juga para senopati utama. Tak peduli di mana pun berada.

Dengan demikian segala kemajuan dan pengetahuan yang diperoleh bisa diteruskan kepada yang lain. Tanpa perasaan iri atau mau menang sendiri. Sungguh dalam hal seperti ini Baginda Raja Sri Kertanegara mengungguli pemikiran lain yang ada. Mampu menanamkan kebesaran dalam kebersamaan. Bukan hanya Kebo Berune yang tetap memakai nama itu, melainkan juga Maha Singanada, ataupun Maha Singa Marutma, atau Kebo Anabrang, atau yang lain lagi.

Keunggulan Paman Sepuh Dodot Bintulu dalam merampungkan Kitab Bumi tidak hanya untuk dirinya sendiri. Melainkan untuk kebesaran Keraton Singasari. Untuk tanah tumpah darah di mana ksatria Singasari lahir dan dibesarkan.

Upasara sadar bahwa di samping ketiga ksatria muda itu, banyak yang lainnya. Salah seorang di antaranya adalah Eyang Kebo Berune. Yang bukan hanya hidup sezaman, melainkan juga merupakan suatu bagian yang saling bertukar pikiran. Nama Kebo Berune lebih menunjukkan bahwa kebo adalah simbol nama yang dipakai di zaman Baginda Raja, sementara Berune menunjukkan tanah di mana panji-panji Singasari dikibarkan.

Salah satu keelokan yang ditunjukkan oleh Eyang Sepuh ialah bahwa kehadirannya mampu memancing kedatangan para pendekar seluruh jagat. Untuk bertemu setiap lima puluh tahun. Sesuatu yang tak mungkin terjadi tanpa perlindungan sepenuhnya dari Baginda Raja. Bahkan ini termasuk salah satu kebijaksanaan Baginda Raja, menjadi penyelenggara pertemuan sejati para pendekar utama. Ini pula yang membuat Eyang Kebo Berune datang kembali ke tanah Jawa dari pengembaraannya di negeri asing...

BAGIAN 27CERSIL LAINNYABAGIAN 29