Senopati Pamungkas Bagian 23 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Senopati Pamungkas
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

BAGIAN 23

Naga Nareswara menggerakkan bibirnya, ketika tongkat pusaka kembali ke arahnya dalam gerak sedikit oleng! Ini berarti kekuatan tenaga dalam yang disalurkan Upasara mampu menggoyang tongkat emas kebanggaannya.

"Tidak jelek, tidak terlalu jelek tikus gunung ini."

Baik Jaghana maupun Wilanda menduga komentar ini terdengar dari bibir Naga Nareswara. Akan tetapi Gendhuk Tri menggeleng. Walau nada dan caranya persis sama, Gendhuk Tri yakin bukan suara Naga Nareswara yang dikenalnya. Ataukah ini suara Kiai Sambartaka, Kiai Kiamat yang mampu bersuara tanpa menggerakkan bibir? Sebaliknya Nyai Demang yakin bahwa bukan Kiai Sambartaka yang bersuara. Tak mungkin ada pujian darinya. Berarti ada tokoh sakti yang lain lagi!

Gerak Tanpa Getaran

BEGITU tongkat emas kembali ke genggaman Naga Nareswara, Kama Kangkam memegang pedang panjang dengan dua tangan.

"Aku ingin menguji sebelum kamu secara resmi ikut dalam pertarungan ini." Pendek dan singkat kalimat Kama Kangkam yang langsung bersiap. Kedua tangan menggenggam pedang panjang yang dipegang menjulang di tengah jidatnya. Pandangan matanya sangat tajam. Kucirnya tak bergerak. Rahangnya kaku.

Upasara mengangguk. Pedang tipis hitam diangkat, tangan kirinya ditekuk, dan sikapnya kurang-lebih sama dengan Kama Kangkam. Hanya saja bagian yang tajam menghadap ke arah wajah Upasara Wulung! Dengan satu tangan! Tangan kiri. Sementara tangan kanannya terkulai. Kalau Kama Kangkam berdiri dengan posisi kedua kaki setengah mengangkang terbuka, dengan kaki kanan sedikit di depan kaki kiri, sebaliknya kedua kaki Upasara lurus.

Jarak keduanya tak lebih dari tiga tombak. Dibarengi dengan teriakan yang menyayat, kedua kaki Kama Kangkam bergerak sangat cepat sekali, dengan langkah yang berat dan kukuh, pedang panjangnya menyabet begitu dekat dengan Upasara Wulung! Sesuai dengan posisi kakinya yang sudah bersiaga menyerang!

Upasara membalik pedangnya dengan sama gesit dan cepatnya, dan dengan membabat berusaha menangkis. Serangan Kama Kangkam memutar ke arah pundak kirinya sendiri. Yang berarti menghantam dengan tebasan kuat dari arah kanan.

Napas Nyai Demang jadi ngos-ngosan! Dadanya seperti ditindih oleh balok-balok yang makin lama makin berat mengimpit. Wilanda bahkan mencelos dan merasa harapannya habis karena melihat pedang hitam tipis Upasara terlepas dari tangan dan melayang di tengah udara. Teriakan... Radeeeen... barangkali telah terlepas dari bibirnya, atau barangkali hanya jeritan dalam hati saja.

Gendhuk Tri bahkan tak sempat berteriak. Wajahnya berpaling ke arah lain! Untuk pertama kalinya, Gendhuk Tri yang suka ugal-ugalan, yang tega melihat segala macam bencana, memalingkan wajahnya! Tak tahan melihat apa yang terjadi. Bahkan juga Jaghana meletakkan kedua tangan di depan dada, sebagai sikap pasrah sumarah, apa pun yang terjadi.

Secara keseluruhan, baik Nyai Demang, Gendhuk Tri, Wilanda, maupun Jaghana, tidak menganggap bahwa Upasara Wulung bakal bisa dikalahkan dalam satu gebrakan. Rasa was was muncul, justru karena selama ini Upasara dikenal tidak seperti dulu. Itu yang pertama. Bahwa kemudian Upasara bisa pulih kembali seperti sediakala, jelas itu menunjukkan kualitas yang luar biasa. Akan tetapi ini tak mengurangi rasa cemas!

Karena yang dihadapi sekarang ini justru tokoh-tokoh puncak yang tak bisa diperkirakan sampai di mana tingkat ilmunya. Itu yang kedua. Sebab yang ketiga memang karena hubungan emosi yang ada. Namun kalaupun tanpa hubungan emosi, kekuatiran itu tetap ada. Karena tokoh-tokoh sakti mandraguna ini, sudah berada pada tingkat di mana ilmu yang dimainkan tak bisa dimainkan setengah-setengah atau sepertiga. Dalam pengertian, bahwa andaipun Kama Kangkam tidak menyerang dengan sepenuh tenaga, namun akibatnya tetap fatal.

Dua belas murid utama Kiai Sumelang Gandring yang belum kering darahnya dan belum dingin mayatnya bukti yang masih bisa dilihat dengan mata telanjang. Dan mereka semua menyaksikan secara langsung!

Jaghana yang melihat secara jelas beradunya dua tebasan keras itu. Begitu pedang panjang Kama Kangkam menebas pinggang dengan songkelan ke atas, Upasara menangkis dengan gerak yang sama. Beradunya dua senjata andalan utama meninggalkan bunyi tipis, membersit, seolah merobek udara. Pada saat itu, Galih Kangkam terlepas ke udara!

Justru pada saat yang sama, Kama Kangkam mengayunkan tebasan kedua, sebagai bagian kelanjutan dari gerakan tebasan yang pertama. Jaghana sedikit-banyak mengenal kehebatan gerakan samurai yang selain mengandalkan kekerasan tenaga dan kecepatan gerak, juga jenis serangan, sabetan yang satu mudah ditangkis, tapi seketika itu pula dilanjutkan dengan sabetan yang lain.

Perbedaan utama dengan jurus yang biasa dimainkan di tanah Jawa maupun dari Tartar ialah, bahwa kebiasaan mengadu kekuatan dan senjata dengan membenturkan diri tidak terlalu menonjol. Satu tebasan lebih banyak dihindari dan melancarkan serangan balasan.

Sementara Kama Kangkam justru berlari kencang, menebas, dan sambil berbalik tubuhnya masih menyertakan tebasan kedua. Yang tak kalah ganasnya. Karena yang diarah adalah pangkal leher Upasara. Padahal posisi berdiri Upasara bukan berada dalam keadaan untuk meloncat menghindar, dengan merendahkan tubuh, atau membuang tubuh. Cara Upasara membentuk kuda-kuda, paling banter hanya untuk digerakkan satu atau dua langkah. Itu belum cukup, karena daya jangkau samurai yang panjang. Dengan kata lain, lehernya tetap bakal tertebas, ke mana pun kakinya membawa pergi.

Apa yang dikuatirkan dan diperhitungkan Jaghana dengan teliti, bukan tak terpikirkan oleh Upasara. Dengan penguasaan Kitab Bumi, kemampuan Upasara lebih dari sekadar mengenal jurus-jurus yang diajarkan. Akan tetapi juga berhasil menyerang inti ilmu tersebut. Barangkali titik kecil ini yang membedakan Upasara dari mereka yang sama-sama mempelajari Kitab Bumi. Pada yang lain, sesuai dengan pengenalan pertama, lebih menjadi titik pokok mempelajari dan mematahkan jurus-jurus yang disebut Dua Belas Jurus Nujum Bintang, serta Delapan Jurus Penolak Bumi.

Sementara Upasara, selain mempelajari dan mematangkan jurus-jurus, juga berusaha mempelajari intisari utama. Sesungguhnya pada bagian inilah Upasara sempat terombang-ambing pikirannya, antara meneruskan dan tidak. Karena seolah menemukan jalan buntu. Sehingga tak ada jalan lain kecuali melepaskan kembali semua tenaga dalamnya yang dianggap sia-sia!

Akan tetapi perjalanan hidupnya tidak berhenti ketika itu. Sebaliknya menjadi semacam titik balik. Menjadi hidup kedua kalinya, apalagi setelah bertemu dengan Paman Sepuh Dodot Bintulu yang secara tidak langsung mengajarkan bagaimana mengubah tenaga simpanan menjadi tenaga yang bisa dipergunakan. Maka, boleh dikatakan Upasara telah siap menghadapi apa yang terjadi sekarang ini.

Sewaktu menghadapi serangan uji coba dari Naga Nareswara, Upasara berani langsung menusuk ke pusat tenaga pusaran. Karena di situlah inti kekuatan. Dalam ilmu Kitab Bumi, inti kekuatan juga sekaligus inti kelemahan. Kalau ia berhasil tepat memasukkan tenaga, berarti menguasai sepenuhnya kekuatan lawan. Nyatanya begitu.

Menghadapi Kama Kangkam, Upasara menyadari bahwa tumbal atau tenaga penolak dari jurus yang sama bisa gagal. Karena Kama Kangkam mengatur tenaga yang sama di seluruh pedang panjangnya. Bahkan juga pada sabetan kedua atau ketiga tak berbeda jauh dari tenaga sabetan pertama. Ini terlepas apakah sabetan kedua perlu ayunan panjang atau gerakan pendek. Inilah kehebatan pedang Jepun!

Pada benturan pertama, tenaga Kama Kangkam seolah sengatan matahari yang mengiris. Akan tetapi bukan karena itu pedang Upasara terlepas. Justru dilepaskan untuk menolak tenaga yang menebasnya. Dengan melepaskan, tenaga itu akan diterima alam semesta. Buyar!

Pada saat yang tepat Galih Kangkam ditarik kembali, dan begitu tebasan kedua datang, kuda-kuda Upasara jauh lebih kuat daripada Kama Kangkam yang tubuhnya berbalik. Sehingga benturan kedua itu mendorong pedang Kama Kangkam mendekat ke arah tubuhnya sendiri. Kama Kangkam cepat berbalik, dengan dua tangan siap memegang hulu pedang. Sebaliknya Upasara siap seperti semula.

"Saya, Kama Kangkam, menerima Saudara ke dalam pertarungan ini..."

Kali ini bahkan Wilanda pun tahu bahwa bukan Kama Kangkam yang mengucapkan itu! Karena kemudian Kama Kangkam mendongak ke arah langit dan berteriak mengguntur,

"Apakah Eyang Sepuh masih perlu menyembunyikan diri lagi? Kenapa kita semua orang tua di sini dianggap anak-anak?"

Wilanda dan Jaghana berlutut tanpa terasa. Upasara menggigil. Siapa lagi tokoh yang mampu bergerak tanpa membuat getaran, bersuara tanpa nada, berkata tanpa membuat angin bergerak, selain Eyang Sepuh? Tokoh pepunden, tokoh pujaan para ksatria, ternyata muncul juga pada akhirnya.

Pukulan Beku

KIAI SAMBARTAKA memiringkan wajahnya. Wajahnya yang gelap, tanpa mengungkapkan perasaan yang mudah terbaca, menatap ke arah Upasara. Tanpa memperlihatkan bahwa ada perubahan tarikan napas, Kiai Sambartaka merenggangkan jarinya.

Upasara melepaskan pedang hitam panjang. Bersiap menghadapi dengan tangan kosong. Keduanya bertatapan. Sama tajam dan menusuk pandangannya. Upasara menatap langsung ke biji mata Kiai Sambartaka yang menukik, mempengaruhi, dan sekaligus menguasai. Hanya Kiai Sambartaka yang agaknya tak tergoda melirik sedikit pun, sewaktu mendengar nama Eyang Sepuh disebut-sebut. Kalau Kama Kangkam sampai perlu mengucapkan nama dan menaruh hormat, Kiai Sambartaka seperti tak menganggap sebelah mata. Pusat perhatiannya kepada Upasara Wulung. Yang dalam anggapannya menunjukkan sesuatu yang luar biasa.

Diperhitungkan dari usianya, Upasara masih sekitar 25 tahun. Usia yang masih terlalu muda, bahkan untuk menjadi cucu murid tokoh kelas utama. Akan tetapi dilihat dari kemampuannya, sungguh memperlihatkan kelas utama. Tongkat emas sakti Naga Nareswara bisa digagalkan. Dan juga sabetan pedang panjang Kama Kangkam yang merupakan jurus maut-ganas-telengas, berhasil dimentahkan. Tua dalam usia, matang dalam berbagai pengalaman, Kiai Sambartaka tetap tak bisa menahan diri untuk menjajal.

Sebenarnya hal ini bukan sesuatu yang luar biasa. Di kalangan jago silat, keinginan menguji ilmu, mengadu kepandaian, adalah hal yang sangat lumrah. Dalam berbagai keadaan dan situasi, keinginan yang utama adalah membuktikan kemampuan, menakar keunggulan lawan. Apalagi kalau dirasakan ada ilmu yang belum diketahui.

Bagi Kiai Sambartaka, penampilan Upasara sangat menarik perhatiannya. Puluhan tahun ia melatih ilmunya, dan merasa telah mencapai puncak yang paling tinggi, ia diakui di negerinya sendiri. Nama dan julukan sebagai Kiai Kiamat, lebih ditakuti daripada malaikat pencabut nyawa sekalipun. Dan setelah sekian lama mengembara, nama besar itu tetap tak tertandingi. Dan itu pula sebabnya, Kiai Sambartaka melanglang buana, menuju tanah Jawa. Untuk merebut gelar sebagai lelananging jagat, ksatria yang paling ksatria, pendekar nomor satu di dunia.

Kiai Sambartaka tahu bahwa yang bakal ditemui adalah juga dewa-dewa dunia persilatan yang tak kepalang tanggung. Maka sangat mengherankan hatinya, bahwa ada seorang anak muda yang terjun ke gelanggang! Itu betul-betul di luar perhitungannya! Tak masuk akal ada anak muda yang mampu menyejajarkan dirinya di kalangan sesepuh yang memerlukan waktu lebih dari usia Upasara untuk memantapkan latihan tenaga dalam. Lebih mengejutkan lagi, justru Upasara bersiap menghadapi dengan tangan kosong!

Memang di kalangan yang sudah mencapai puncak kemahiran, senjata ampuh atau sebatang ranting, tak banyak menentukan. Akan tetapi adalah sangat luar biasa, kalau Upasara berani menghadapi dengan tangan kosong. Ini berarti, bersiap menghadapi dirinya yang justru kondang tanpa tanding dalam tangan kosong.

Dari sekian banyak yang menjadi kuatir dan cemas, Nyai Demang-lah yang paling was was. Nyai Demang menyadari bahwa Kiai Sambartaka memiliki pukulan yang disebut Pukulan Beku, atau pukulan Mandeg-Mangu. Atau dalam arti harfiahnya adalah pukulan Terhenti-Termangu. Jenis pukulan yang menjadi andalan dalam khazanah ilmu dari tlatah Hindia.

Sudah menjadi rahasia di kalangan tokoh persilatan dan keagamaan, bahwa jago-jago utama dari Hindia selalu merasa lebih hebat ilmunya, lebih tua penguasaannya daripada jago-jago di tanah Jawa. Bahkan hampir semua jawara Hindia menganggap bahwa ilmu yang ada di tanah Jawa hanyalah ilmu tetiron, atau ilmu tiruan dari Hindia. Hal ini termasuk dalam berbagai ilmu yang kini diterapkan dalam pemerintahan Keraton. Segala jenis peraturan, perundangan, semua mempunyai asal-usul sari perundangan yang ada di Hindia!

Ada semacam kesombongan akan adanya pengakuan, bahwa segala yang lebih dari tanah Jawa, hanyalah bayangan perpanjangan dari apa yang ada di tanah Hindia. Anggapan ini tidak sepenuhnya salah. Bahkan kitab-kitab utama juga berasal secara langsung dari Hindia. Maka ketika Eyang Sepuh mengeluarkan tantangan untuk mengadakan pertemuan, Kiai Sambartaka tak terlalu memperhitungkan. Yang lebih diperhatikan adalah kemunculan Naga Nareswara dan Kama Kangkam. Perebutan utama sumber ilmu silat memang berkisar dari tiga negara ini.

Maka sungguh tak terduga, bahwa ada seorang Jawa yang mampu menunjukkan awal yang sama. Bahkan langsung berdiri sama tinggi. Walau bukan tak percaya bahwa Naga Nareswara dan Kama Kangkam sengaja memberi kesempatan, Kiai Sambartaka ingin menguji sendiri secara langsung.

Upasara menggeser kakinya. Tangan kirinya bergerak perlahan, dari bawah, berhenti di dekat pusar, sementara pandangannya lurus ke depan. Gerahamnya beradu. Perlahan telapak tangan kiri yang membuka bergerak naik, sama perlahan, seakan mengurut udara mengumpul di dada. Tangan kanannya masih terkulai, agak ditarik ke belakang karena tubuhnya sedikit miring. Angin dingin mengalir seakan disemburkan dari suatu gua entah di mana.

Nyai Demang mundur dua tindak. Pukulan Beku, bukan hanya andalan dan memperlihatkan ciri khas pukulan tanah Hindia, akan tetapi juga pukulan maut yang tiada duanya. Merupakan ciri khas, karena dalam Pukulan Beku ini terkandung segala ajaran mengenai ilmu keras dan ganas, yang dibumbui dengan beberapa ajian tertentu. Lebih dari negara lain, pukulan dari tanah Hindia mengandung tenaga-tenaga yang tidak sewajarnya. Ada pengembangan ilmu kebal yang berbeda dengan ilmu kebal dari negeri Tartar, misalnya.

Melatih otot menjadi kuat, kulit tidak mempan kena sabet, adalah hal yang biasa. Akan tetapi ilmu dari negeri Kiai Sambartaka lebih khusus mengembangkan lagi. Sehingga adalah hal yang biasa jika dalam keadaan sehari-hari pun mereka selalu melatihnya. Tidur di atas tumpukan pedang, keris dengan menusuk punggung atau dada adalah merupakan latihan sehari-hari. Di tengah kepulasan tidur, ditusuk merupakan kebiasaan sehari-hari.

Demikian juga halnya dengan jenis-jenis pukulan yang dilancarkan. Ada campuran antara tenaga dalam murni dan tenaga yang untuk mereka yang berasal dari wilayah lain masih misteri. Karena bahkan tanpa bergerak pun, pukulan bisa dilontarkan, dan segala jenis paku, keris, pedang, tiba-tiba saja bisa menyusup ke dalam anggota tubuh lawan!

Bahwa jenis ilmu semacam itu juga banyak berkembang di tanah Jawa atau di mana saja, sebenarnya juga bukan sesuatu yang luar biasa. Hanya saja Nyai Demang mengetahui bahwa jenis pukulan semacam itu digolongkan dalam pukulan hitam. Yang dianggap tidak cukup ksatria. Karena bersekutu dengan tenaga setan-iblis-hantu yang tidak suci. Namun, setan atau bukan, keganasan ilmu itu diakui. Dan kini dimainkan sendiri oleh salah seorang empu yang menguasai. Yang dijuluki Kiai Kiamat. Karena setiap kali pukulan maut bekerja, lawan tamat riwayatnya.

Keunggulan utama Pukulan Beku, terutama sekali bukan karena pengerahan tenaga yang luar biasa besar, atau meremukkan batu gunung. Justru sebaliknya, keunggulan Pukulan Beku terutama sekali mengarah kepada usaha menghentikan atau membekukan kekuatan lawan pada satu titik yang lemah!

Kalau pukulan Kiai Sambartaka bisa menyambar lengan Upasara, pada saat itu pula lengannya akan membeku. Semua darah, urat, nadi, otot, saraf di bagian itu akan membeku. Mati rasa! Bisa dibayangkan akibatnya jika Pukulan Beku singgah di tempat yang berbahaya. Jantung atau ulu hati akan membeku selamanya. Satu tarikan napas sangat berguna bagi kelangsungan pertempuran atau justru kehidupan. Kalau terhenti sesaat atau beberapa saat bisa diperkirakan sendiri akibatnya!

Nyai Demang telah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kehebatan Pukulan Beku. Selama berkenalan, Nyai Demang menyaksikan bahwa sebatang pohon yang diusap oleh Kiai Sambartaka menjadi beku. Bagian yang tersentuh itu mendadak mati seketika. Sehingga kelangsungan proses kehidupan secara keseluruhan terganggu. Diusapkan ke kaki seekor kuda, kaki itu seketika membeku: aliran darah, urat nadi, saraf, tak bekerja lagi. Melepuh dan menjadi hitam kaku tanpa bisa digerakkan.

Untuk lawan yang bergerak pun, keampuhan Pukulan Beku tak menjadi berkurang karenanya. Dalam perjalanan menuju Trowulan, Nyai Demang melihat Kiai Sambartaka bisa menangkap ikan di Brantas hanya dengan menepuk air sungai. Seketika ada bagian air yang membeku, seolah menjadi es. Berikut binatang yang tengah berenang di air tersebut. Ketika bongkahan itu diangkat, ikan yang berada dalam air membeku itu telah matang dan siap disantap. Kalau ini mengenai jalan darah atau jalan napas Upasara, nasibnya sama dengan dua murid Kiai Sumelang Gandring. Dua murid Kiai Sumelang Gandring juga tewas karena Pukulan Beku. Bahkan untuk muntah darah pun tak sempat!

Suara Lewat Gendang Telinga

Bagi Naga Nareswara, ilmu pukulan dari tanah Hindia memang mengandung teka-teki. Di negerinya yang berkembang adalah ilmu menotok jalan darah. Dengan totokan ini jalan darah membeku, dan orang yang terkena akan kaku karenanya. Namun, dibandingkan dengan pukulan Mandeg-Mangu, tidaklah terlalu ganas. Karena totokan hanya menghentikan sementara, sedangkan Pukulan Beku agaknya justru diciptakan untuk akibat seterusnya! Dan wilayah yang terkena pukulan bukan hanya satu titik dalam aliran darah, melainkan bisa di mana saja, dengan wilayah yang lebih luas.

Paman Sepuh Dodot Bintulu yang sejak tadi berdiam diri, kali ini sedikit menggerakkan caping penutup wajahnya. Seakan ingin melihat lebih jelas apa yang dilakukan Kiai Sambartaka.

Upasara mengangguk pendek. Separuh anggukan, karena Kiai Sambartaka sudah bergerak. Membalikkan tubuh, bergulung maju, dengan kedua tangan langsung ke arah leher, jantung, ulu hati, pusar Upasara. Benar-benar pukulan maut!

Naga Nareswara sendiri tak menggeser kakinya ketika menjajal Upasara. Kama Kangkam meskipun bergerak maju, akan tetapi jelas arah sabetannya, walau mengarah leher, tidaklah seganas Kiai Sambartaka. Yang sekali menggempur mencakup semua bagian sumber kehidupan.

Upasara tidak mendengus, tidak menarik napas lebih panjang. Pandangan matanya tetap ke arah Kiai Sambartaka, seakan ingin menguasai lewat mata. Tangan kirinya yang terbuka sampai di depan dada, disorong ke depan. Dua pukulan Kiai Sambartaka seakan dibiarkan menerobos masuk, memilih sasaran yang empuk. Tapi pada saat yang bersamaan, tangan kanan Upasara bergerak bagai kitiran lepas. Memutar dan menghadang!

Blek. Blek.

Bukan suara plak atau adu tenaga yang keras. Melainkan suara lembek. Dua serangan Kiai Sambartaka berhasil menyentuh tangan kanan Upasara Wulung! Tapi sebaliknya tangan kiri Upasara seakan bisa menempeleng Kiai Sambartaka, yang terpaksa secepatnya membuang diri ke belakang dalam suatu putaran cepat sekali!

Lagi terdengar suara menirukan nada Kiai Sambartaka! Seakan mewakili sikap Kiai Sambartaka yang tak mau mengakui kekalahannya. Sebenarnya, bagi yang berpandangan sangat jeli, dalam satu gebrakan ini boleh dikatakan Kiai Sambartaka bisa dikalahkan dengan telak. Lebih dari Naga Nareswara maupun Kama Kangkam. Dua dewa utama hanya berhasil dibuyarkan serangannya, akan tetapi Kiai Sambartaka kena gempur!

"Baru sekarang saya tahu, Penolak Bumi memang ilmu yang menarik, Bejujag, kamu ternyata pantas mendongak."

Pujian Paman Sepuh terdengar tulus. Dalam pandangan Paman Sepuh, gerakan satu gebrakan itu sudah menggambarkan kemenangan Upasara Wulung. Dengan kejelian yang tinggi Upasara sengaja melepaskan pedangnya. Seakan mau mengimbangi keunggulan Kiai Sambartaka yang lihai dalam tangan kosong. Dengan keunggulan siasat, Upasara justru membiarkan Kiai Sambartaka masuk menyerang dan menyalurkan Pukulan Beku. Dibiarkan mengenai sasaran, sementara ia sendiri membarengi dengan pukulan!

Apa pun yang terjadi, Kiai Sambartaka masuk perangkap! Pukulan Beku berhasil menyentuh tangan kanan Upasara, akan tetapi tak berarti banyak. Justru karena tangan kanan Upasara sejak terkena pukulan Halayudha tak mampu digerakkan secara sempurna. Justru karena tangan itu sendiri sebenarnya telah membeku. Inilah hebatnya Upasara!

Kiai Sambartaka bisa terjebak dalam kesalahan yang fatal! Seorang tokoh kaliber dewa yang menguasai ilmunya menjadi pendekar utama di Hindia, yang menganggap ilmunya lebih tua, justru dimakan seorang yang masih muda. Langit dan bumi bisa tak percaya karenanya!

Namun sesungguhnya, inilah ilmu silat. Bukan hanya kemampuan bergerak, memukul, atau melihat kekuatan dan kelemahan lawan, tetapi juga pikiran jernih. Pikiran bersih untuk menangkap dan bertindak dalam waktu yang singkat. Ilmu boleh dilatih setinggi langit, strategi boleh dilatih serumit bumi, akan tetapi itu tetap bukan segalanya.

Hal ini sangat jelas terbukti dalam gerak jawaban Upasara. Pasti bukan suatu kebetulan kalau tiga kali Upasara berhasil membaca dan mementahkan serangan lawan-lawannya. Bahkan sebenarnya empat kali, kalau pertarungan pertama melawan Paman Sepuh ikut dihitung!

Pertama, Upasara masuk ke tengah perputaran tenaga. Menusuk langsung ke tengah lingkaran, dan mementahkan putaran tongkat emas Naga Nareswara. Kedua, dalam menghadapi sabetan pedang Kama Kangkam. Keras diadu keras, tapi saat yang sama dilepaskan untuk menghadapi sabetan kedua. Tenaga sabetan pertama berhasil dimentahkan dengan melepaskan pedangnya, yang justru pada sabetan kedua tenaganya menjadi utuh, pulih, tak terpancing getaran sabetan pertama!

Ketiga, tenaga pukulan Kiai Sambartaka dipancing masuk untuk mengenai tangan yang sudah tidak bergerak, dan kemudian mencuri satu tamparan kecil. Ini berarti tiga jenis serangan yang berbeda, dengan cara pemecahan yang berbeda pula.

Dalam pandangan mata, Gendhuk Tri memang tidak melihat sesuatu yang hebat dan luar biasa. Gerakannya sederhana, hanya sangat cepat. Namun akibatnya tidak seperti ketika dua belas murid Kiai Sumelang Gandring mati seketika. Namun Gendhuk Tri bukannya tak mengetahui bahwa apa yang baru saja terjadi tak kalah ganas.

Hanya Gendhuk Tri tak melihat secara teliti. Tidak juga Nyai Demang. Tak sempat mengetahui cara pemecahan yang dipakai Upasara. Satu-satunya yang memberi komentar adalah Paman Sepuh! Komentar yang membuat Kiai Sambartaka merasa panas-dingin tubuhnya. Karena yang dipuji Paman Sepuh tetap ilmu Penolak Bumi. Ini berarti Paman Sepuh ingin menekankan bahwa Bantala Parwa tetap yang lebih unggul dari yang lain. Tak perlu dimainkan oleh Eyang Sepuh yang tetap dipanggil Bejujag-ilmu Penolak Bumi tetap bisa mengatasi!

Inilah komentar yang paling menyakitkan. Memang dalam pertarungan satu gebrakan masih jauh dari ukuran menentukan siapa pemenangnya. Akan tetapi juga bisa diperhitungkan dalam gebrakan pembukaan kali ini, Upasara berhasil mengungguli Kiai Sambartaka, yang agaknya justru tak menduga akan dilumpuhkan. Kalau Paman Sepuh lebih memuji Eyang Sepuh dengan ilmu Penolak Bumi-nya, sebenarnya lebih mengatakan apa adanya. Bukan sekadar memojokkan Kiai Sambartaka.

Apa yang dipertontonkan Upasara Wulung sebenarnya pertunjukan murni dari seluruh rangkaian ilmu Bantala Parwa, atau Kitab Bumi. Yang baru saja dimainkan adalah bagian Penolak Bumi. Keutamaan dalam mempelajari ilmu silat, sebenarnya bukanlah sekadar menghafal gerakan atau cara berlatih napas untuk menghimpun tenaga. Akan tetapi, lebih dari semua itu adalah menyelami kearifan yang tertulis atau tersembunyi dalam baris-baris kidungan. Itulah sesungguhnya inti, sukma ajaran silat.

Bahwa Upasara bisa menangkap lebih total dan utuh, karena memang pada dasarnya Upasara berhasil menyerahkan diri secara sepenuhnya kepada apa yang dipelajari. Sikap batin itu telah tercermin semenjak ia dididik dalam Ksatria Pingitan. Upasara memperlihatkan penguasaan ilmu Penolak Bumi dari inti yang paling dalam. Bukan dari gerakan, melainkan dari cara memecahkan persoalan, cara mementahkan, cara menolak, cara menjadi tumbal.

Ilmu Kitab Bumi, pada bagian delapan jurus terakhir yang disebut Penolak Bumi, seperti hanya untuk mementahkan jurus-jurus dalam Dua Belas Jurus Nujum Bintang! Tetapi sebenarnya, intinya bermula dari mementahkan semua serangan! Begitu menghadapi berbagai serangan, dengan sendirinya daya tumbal itu muncul. Tidak berlebihan kalau Paman Sepuh menyebutkan bahwa yang lebih hebat dari Upasara adalah yang menciptakan ilmu itu. Pujian kepada Eyang Sepuh.

"Bejujag, apa benar kamu bisa memainkan ilmu itu seperti Upasara ini? Karena kupikir gendang telingamu sekarang ini sudah membatu, sehingga tak bisa mendengar kata-kataku."

Upasara seperti mendapat penjelasan dari Paman sepuh. Bahwa di samping pancingannya memanggil Eyang Sepuh, Paman Sepuh mampu mengetahui bahwa Upasara memainkan ilmu memindahkan tenaga suara. Tumbal atau penolakan atas serangan Kiai Sambartaka dilakukan dengan memindahkan suara, dengan cara meneroboskan suara dari gendang telinga kanan melewati gendang telinga kiri, dan sebaliknya. Dengan kata lain, gendang telinganya menjadi kosong, meneruskan getar suara paling keras dari kanan dan kiri, sepenuhnya!

Semua Jalan Adalah Kebenaran

KIAI SAMBARTAKA bukannya tidak menangkap apa yang dikatakan Paman Sepuh. Dalam penilaiannya, Upasara Wulung memang mempunyai dasar dan alasan untuk terjun ke gelanggang para dewa. Keunggulan atas dirinya, bagi Kiai Sambartaka, menunjukkan kelas Upasara Wulung yang sesungguhnya.

Bahwa kebetulan tangan kanannya sudah setengah lumpuh, itu tidak menjadi alasan. Karena siapa pun bisa saja tangannya lumpuh atau sangat kuat. Namun nyatanya, Upasara mampu mempergunakan kelumpuhannya sebagai kekuatan. Mampu menerjemahkan sebagai kekuatan dan atau kekuatan yang bisa dipahami. Meskipun bercekat, diam-diam Kiai Sambartaka sedikit bersyukur. Karena dari gebrakan pertama ia menjadi sadar bahwa kini tak bisa sembarangan sedikit pun.

Di lain pihak, walau Upasara mampu menggagalkan serangan Naga Nareswara, Kama Kangkam, dan juga Kiai Sambartaka, kepercayaan dirinya tidak bangkit utuh dengan sendirinya. Justru sebaliknya, hatinya menjadi kebat-kebit. Tiga kali gebrakan yang dilakukan lebih banyak membuka mata batin lawan-lawannya, yang biar bagaimanapun masih berada satu tingkat di atasnya. Rasa-rasanya, penguasaan dirinya belum sepenuhnya bisa dibandingkan para tokoh utama saat ini. Karena kemenangan sementara ini bukanlah sesuatu yang bisa disadari dan dikuasai sejak awal. Maka bukan basa-basi, kalau Upasara menunduk hormat kepada keempat tokoh yang berdiri mengelilingi.

"Sungguh tak terhingga ucapan terima kasih saya, atas perlakuan baik para ksatria utama di jagat ini."

Paman Sepuh menggerakkan tangan, menyuruh Upasara berdiam. "Bejujag, kamu masih main petak umpet?"

Angin seperti bergetar dari berbagai arah ketika terdengar jawaban. "Aku malu untuk memunculkan diri. Lima puluh tahun lalu aku mengundang kalian turun dari kayangan, tempat para dewa bersemayam. Kukira ada alasan untuk mendatangkan kalian semua. Setelah kupikir-kurasa-kulakukan, aku menyadari betapa tololnya aku ini. Kenapa kita berebut menemukan satu-satunya jalan kebenaran, kalau ternyata semua jalan menuju kepada kebenaran?"

Panjang jawaban Eyang Sepuh, akan tetapi bahkan Upasara tak bisa memastikan dari mana asal suara. Sebentar terdengar sangat dekat, sebentar menjauh. Dari berbagai arah, yang tak bisa dipastikan.

"Lalu, apakah kamu menganggap main sembunyi seperti ini lebih baik daripada memperebutkan Jalan Budha?"

"Iya."

"Kalau itu berarti mengundurkan diri, untuk apa dipaksa-paksa?" Suara Naga Nareswara meninggi. "Kita sudah datang, sudah saling menjajal diri. Sungguh sayang kalau dilewatkan percuma."

"Bejujag, kamu sudah dihitung kalah."

"Itu lebih baik. Aku memang sudah kalah sejak mengundang kalian."

"Baik, kalau begitu, kita akan melanjutkan pertemuan tanpa kamu. Naga Nareswara, Kiai Sambartaka, Kama Kangkam, Upasara Wulung, marilah kita lanjutkan. Karena kita semua ada lima orang, lebih baik kita saling tempur saja. Setiap sepuluh jurus, kita berganti lawan. Boleh pilih yang mana saja. Sampai tinggal satu orang yang masih bisa berdiri. Bagaimana?"

Naga Nareswara mengangguk.

Kama Kangkam menekuk tubuhnya.

Kiai Sambartaka menunduk.

Upasara menahan udara di dadanya ketika menghormat.

"Tapi bagaimana mungkin," mendadak suara Gendhuk Tri bagai kaca pecah. "Kalau hanya lima orang, berarti setiap kali ada yang beristirahat lebih dulu."

Sederhana kata-kata Gendhuk Tri, tetapi berhasil menyusup. Memang jika semua bertempur satu lawan satu, berarti ada satu orang yang menganggur selama sepuluh jurus pertama. Walaupun menganggurnya bisa bergiliran, akan tetapi agaknya ini tidak cocok dengan keinginan untuk bertempur terus-menerus tanpa ada yang berhenti, sampai tinggal satu orang yang masih sempat berdiri.

Jalan pikiran Gendhuk Tri sebenarnya ingin mengistirahatkan Upasara Wulung. Akan tetapi justru terbalik. Paman Sepuh yang berjingkrak.

"Bejujag, kamu masuklah kemari. Untuk menemani kami!"

Kalau ini terjadi, berarti Eyang Sepuh akan turun ke gelanggang. Mau tidak mau akan ada giliran untuk bertempur melawan Upasara Wulung! Sungguh mati, Gendhuk Tri tak bisa membayangkan hal itu akan terjadi. Biar bagaimanapun, rasanya tak mungkin Upasara mempunyai keberanian untuk menggempur Eyang Sepuh. Sepuluh titisan yang akan datang tetap tak akan mengubah hal ini.

Celakanya juga, tak mungkin Eyang Sepuh maupun Upasara berpura-pura saling menggempur. Pada tingkat pertarungan seperti sekarang, hal itu boleh dipastikan tak akan terjadi! Ini sama juga mengeroyok keempat peserta yang lain! Tak masuk akal hal semacam ini akan dilakukan oleh Eyang Sepuh!

"Kenapa harus mengganggu Eyang Sepuh? Aku masuk cukup untuk..."

Suara Gendhuk Tri terputus di tengah jalan. Jaghana, Wilanda, dan Nyai Demang secara bersamaan telah melindungi Gendhuk Tri. Jalan pikiran mereka sama! Kalau sampai Gendhuk Tri berbuat nekat, malaikat pun tak bisa mencegah kematian!

"Tikus-tikus dengan lidah berbisa, kalian membuat aku tidak sabar saja." Suara Naga Nareswara yang meninggi membuat Paman Sepuh menggerakkan capingnya.

"Majulah. Kita mulai."

Tanpa membuang waktu, tongkat emas bergelang menerjang ke arah caping Paman Sepuh. Pada saat yang bersamaan, Kiai Sambartaka menggulung kedua tangannya, menyampuk tubuh Upasara Wulung. Dalam satu kejapan, uap putih bergulung di tengah, saling menerjang!

Pertempuran telah mulai! Bahkan kesiuran angin saja membuat Jaghana, Wilanda, Gendhuk Tri, dan Nyai Demang mundur lebih jauh lagi. Begitu juga kedua murid Kama Kangkam. Kesiuran angin betul-betul bagai maut. Menyambar, menusuk, mematikan.

Kama Kangkam yang berada di tengah sendirian, menggenggam pedang panjang dengan kedua tangan dan menggerung keras. Lalu tubuhnya melayang ke arah satu titik. Antara terlihat dan tidak, dari arah yang digempur Kama Kangkam melayang satu getaran angin yang aneh. Sejuk, lembut, meliuk, dan berputar bersama tubuh Kama Kangkam.

"Eyang!" Teriakan Jaghana seperti rintihan, semacam jeritan bahagia sukma yang memasrahkan diri masuk ke pintu surga.

Wilanda menggigil tak berani bergerak sedikit pun. Gendhuk Tri bahkan tak berani menelan ludahnya. Hanya Nyai Demang yang menghela napas sambil menutupkan kedua matanya. Di antara semua yang menyaksikan pertarungan, barangkali hanya Nyai Demang yang sedemikian luas pengetahuannya, dan sedemikian haus menyelami berbagai ilmu persilatan kelas dunia. Nyai Demang yang mengetahui secara teori ilmu-ilmu dari negeri Tartar, dan kemudian juga mengenal ilmu dari negeri Hindia.

Adalah keinginan yang wajar jika Nyai Demang ingin menyaksikan apa dan bagaimana ilmu-ilmu kelas dunia yang didengar dan dipelajari itu dimainkan oleh tokoh-tokoh kelas dunia. Akan tetapi justru sewaktu kesempatan itu datang, Nyai Demang menutup kedua matanya. Untuk pertama kali, Nyai Demang tak tahan melihat apa yang ingin dilihat. Sukmanya seperti terbetot dan tercabik-cabik. Dan ini bukan semata-mata karena Upasara Wulung tengah bertarung di tengahnya. Terutama karena kesadaran bahwa kematian dan penguasaan ilmu itu tak bisa dibedakan.

Lain yang dirasakan oleh Wilanda. Ia berjongkok, menutup mata karena merasa tak mempunyai tenaga sama sekali. Bahkan seekor nyamuk yang hinggap tak mungkin bisa ditepuk. Semua kekuatannya telah lolos, hilang entah ke mana. Begitu juga Gendhuk Tri yang tak tahu harus berbuat apa. Menyaksikan jalannya pertempuran pun tak bisa leluasa.

Bagi Jaghana, teriakan menyayat yang meluncur dari bibirnya menandai bahwa rasa kecewa dan gembira menyatu. Kecewa dan gembira karena pada akhirnya Eyang Sepuh dipaksa muncul! Bagi batin Jaghana, biar apa pun yang terjadi, Eyang Sepuh tak perlu mengotori diri untuk tampil kembali. Tapi Kama Kangkam bisa menentukan arah, dan memaksanya!

Semua Kebenaran, di Mana Jalan...

EYANG SEPUH berada dalam medan pertempuran! Walau Jaghana tidak melihat jelas. Pastilah Kama Kangkam tidak sekadar menyerang angin hingga jungkir balik. Pedang panjang menggores, mengiris, menebas, menerjang dengan torehan bertenaga. Sementara hanya goyangan angin yang kadang terasa memberat, menekan, silih berganti.

Yang membingungkan Wilanda ialah kenyataan bahwa sebenarnya Eyang Sepuh tidak sedang menggunakan ilmu meringankan tubuh. Dalam soal ini, Wilanda merasa belum tertandingi. Namun, kalau sosok tubuh Eyang Sepuh tidak terlihat, agaknya karena mempergunakan ajian manjing ajur-ajer, atau ajian bisa berada di mana saja. Itu salah satu ajian untuk pergaulan. Dalam arti harfiah, bisa bermakna dapat bergaul dengan siapa saja dari golongan mana saja. Dalam tingkat Eyang Sepuh, juga berarti bisa berada di berbagai tempat, seakan, pada saat yang sama.

Sebenarnya, kalau Wilanda mencoba berpikir, sedikit-banyak keunggulan ada pada pihaknya. Dari enam tokoh utama dunia persilatan yang tengah bertarung ini, tiga di antaranya mewakili Perguruan Awan, baik secara langsung atau tidak. Yaitu Eyang Sepuh dan Upasara Wulung. Sedangkan Paman Sepuh Dodot Bintulu juga bisa dimasukkan, karena beliau adalah "adik seperguruan" Eyang Sepuh. Dan kalau ini diperhitungkan satu lawan satu, berarti ketiga tokoh itu bisa memilih menghadapi tokoh dari Jepun, Hindia, maupun dari Tartar!

Akan tetapi kenyataannya, medan pertarungan tidak seperti itu. Melainkan mereka saling menggempur, sehingga kawan seperguruan pun terpaksa bertarung. Dalam menentukan gelar lelananging jagat, tidak terbedakan mana saudara mana bukan. Dari sisi ini, Wilanda benar-benar menyesal. Timbul secuil pertanyaan dalam lubuk hatinya: apakah ilmu silat justru menjadi pemisah persaudaraan?

Sementara penonton berpikir sesuai dengan jalan pikirannya, pada saat itu yang berada di tengah pertarungan sedang bergulat antara mati dan hidup. Satu tarikan pukulan bisa mengakibatkan kematian. Kalau tidak kematian lawan, ya kematian diri sendiri. Sehingga setiap gerak yang paling kecil pun mempunyai perhitungan yang sangat teliti.

Upasara tidak sempat berpikir banyak dan bercabang. Apa yang dihadapi tidak memungkinkan untuk itu. Pedang hitam kurus menyabet, menutup, dan serentak dengan itu berusaha menerobos cengkeraman Kiai Sambartaka. Yang dengan sepenuh tenaga mencoba menindih Upasara. Pukulan Beku yang menjadi andalannya seakan membekukan udara di sekitar. Beberapa kali tangan kanan Upasara yang susah bergerak sempurna nyaris menjadi sasaran!

Kalau sekarang tangan kanan Upasara kena tersentuh, jangan berharap akan bisa memakai tipuan yang sama! Kiai Sambartaka mampu mengubah tenaga penyerangan beku menjadi tenaga yang menghancurkan. Digempur ketat seperti itu, Upasara hanya mampu bertahan. Gempuran arah atas berganti dengan gempuran kaki. Yang menguntungkan Upasara hanyalah jarak dan jangkauan pedang kurusnya lebih panjang. Dan agaknya Kiai Sambartaka merasa ngeri untuk merampas. Keuntungan kedua adalah Upasara lebih menunggu dibandingkan dengan Kiai Sambartaka. Serangan pertama Kiai Sambartaka yang agaknya tidak sabar menunggu lama. Pada titik itulah Upasara menerjang!

Berjalan lima jurus, walau posisi Upasara bertahan, akan tetapi sesungguhnya malah menunjukkan beberapa keunggulan. Delapan Jurus Penolak Bumi dengan sebat dimainkan dalam satu tarikan jurus yang terus mengalir. Memecah dan mencegah serangan Kiai Sambartaka yang semakin tidak sabar. Masuk ke jurus ketujuh, Kiai Sambartaka mendadak mengubah serangannya. Kedua tangannya membuka, dan mendadak tubuhnya berputar. Kali ini Kiai Sambartaka menggertak dengan tangan kiri menghantam ulu hati Upasara. Tanpa memedulikan sabetan pedang. Karena pada saat yang bersamaan, tangan kanan dan kedua kakinya menggunting tubuh Upasara.

Upasara menarik pedangnya dan menggertak ke arah serangan tangan kiri lawan. Akan tetapi pada saat itu tangan kanan yang justru maju cepat sekali, dibarengi guntingan dua kaki, dan tangan kiri ditarik! Begitu Upasara mengubah sedikit arah tebasan pedang, kaki kiri menggantikan posisi penyerangan tangan kanan, sementara kedua tangan dan kaki melipat habis tubuh Upasara! Inilah jurus yang disebut Tiga Langkah Kresna. Atau yang dikenal Upasara dengan julukan tiwikrama, dalam gerakan aslinya!

Inilah tenaga Kresna yang berubah menjadi dahsyat. Seorang ksatria yang bertenaga raksasa dengan sepuluh kepala dan tubuh kebal mampu menahan aliran banjir dan lahar gunung yang paling panas. Mampu berdiri sampai ke langit! Betul-betul mencengkeram tanpa ampun. Tumbal permainan Upasara, sebentar ke arah selatan, sebentar ke arah utara, berbalik ke kanan, dan terpaksa memutar. Upasara mengertakkan giginya, dan mendadak tubuhnya berputar kencang, meluncur lurus. Bagai angin puting beliung!

Jaghana mengertakkan giginya. Jurus penyerangan sambil memutar tubuh adalah jurus yang paling banyak menguras tenaga dan berbahaya. Karena dalam keadaan berputar kencang dan tubuh melayang, lawan akan mudah terkena serangan, dan sekaligus membuka diri pada serangan lawan. Jaghana mengenal sekali, karena penyerangan dengan memutar tubuh adalah ilmu yang menjadi andalannya. Yang hanya dikeluarkan kala terpaksa.

Agak mengejutkan, justru Upasara yang dalam satu gebrakan terpaksa bisa menampar Kiai Sambartaka, kini ketika memasuki jurus kesembilan sudah mengeluarkan ilmu simpanan. Upasara tak melihat pilihan lain! Daya tindih serangan Kiai Sambartaka memang membuat tangan atau kakinya seolah bergumpal dan membeku, sehingga untuk bernapas sangat menyakitkan.

Hampir semua jago silat memang sengaja menguasai udara sekitar medan pertempuran dengan menindih dan menguasai. Boleh dikatakan siapa yang menguasai udara, dialah yang menguasai lawan. Biasanya udara menjadi tipis atau panas, sehingga lawan akan tersengal-sengal. Akan tetapi Kiai Sambartaka mampu mengubah menjadi gumpalan! Inilah kehebatan ilmu Hindia.

Dan Upasara yang merasa makin tertindih, membebaskan dengan serangan bergulung di tengah udara! Ini berarti Upasara melepaskan ilmu Kitab Bumi! Karena inti Kitab Bumi yang diajarkan selalu memakai kekuatan bumi. Mengambil tenaga bumi untuk menghadapi lawan. Dengan melayang di angkasa, berarti Upasara membebaskan sepenuhnya dari ketergantungan tenaga bumi. Dengan cara ini Upasara berusaha menumbalkan, atau mengorbankan diri atas pengaruh bumi. Yang berarti juga membuyarkan daya tindih angin beku dari Kiai Sambartaka. Akan tetapi memasuki suatu wilayah tenaga baru. Bukan tenaga bumi.

Kiai Sambartaka mengeluarkan desis panjang karena sama sekali tidak menduga bahwa Upasara juga mampu mengubah sama sekali jurus-jurusnya! Seakan anak kemarin sore yang melupakan satu permainan dan bermain yang lain. Kiai Sambartaka seperti menghadapi lawan yang lain, pada kejap yang bersambungan!

Upasara memang mencoba apa yang selama ini dipahami dalam kidungan Tumbal Bantala Parwa. Inti kidungan itu sebagian tadi diucapkan oleh Eyang Sepuh:

Jika semua jalan adalah kebenaran
untuk apa kita memperebutkan
jika semua kebenaran adalah jalan
apa itu kebenaran
mana itu jalan
semua jalan adalah semua kebenaran
semua perebutan
adalah kebenaran
adalah jalan!


Bait pertama dalam kidungan itu diucapkan Eyang Sepuh sebagai kata-kata ketika menghadapi pembicaraan Paman Sepuh Dodot Bintulu. Akan tetapi bagi Upasara memberi semacam petunjuk untuk memahami gencetan Kiai Sambartaka. Nyatanya, tindihan Kiai Sambartaka menjadi buyar. Gumpalan udara yang tadinya membeku bisa dihirup oleh Upasara yang tetap menggulung di udara, dengan serangan bolak-balik seakan memutari Kiai Sambartaka! Ini luar biasa.

"Cukup. Sepuluh jurus kedua!"

Belum Upasara hinggap di tanah, Kama Kangkam telah datang.

Sebelum Ada Kawan, Jadilah Lawan

KAMA KANGKAM menyentakkan samurai, dan dengan dibarengi "ciaaat"an panjang, memotong lambung Upasara. Upasara menarik pedangnya hingga lekat ke dada dan menangkis.

Trang!

Sabetan kedua.

Traaaang!

Disusul sabetan ketiga, keempat, dan berubah menjadi tusukan ke arah ulu hati. Trang! Trang! Trang!

Upasara menjajal terus. Memapak setiap serangan yang datang secara berurutan dengan tenaga sabetan yang makin keras, makin kencang, dan makin cepat. Dua puluh kali bunyi trang yang makin pendek jaraknya tetapi makin mantap desakannya, Upasara membarengi tangkisannya dengan sabetan kaki. Tumpuan kaki Kama Kangkam yang menjadi sumber kekuatan berhasil dijegal. Begitu tubuh Kama Kangkam terangkat karena kuda-kudanya jebol, Upasara ganti menebas.

Kama Kangkam mengeluarkan teriakan "ciaaaat" yang membelah telinga sewaktu tubuhnya melayang ke atas. Ini bahaya. Bahaya terbesar. Karena sewaktu tubuhnya melayang tegak lurus, samurai Kama Kangkam mengarah pada jidat Upasara. Lurus, mantap, tepat!

Untuk sepersekian kejap, Upasara merasa nyawanya telah lenyap. Ubun-ubunnya menjadi dingin seperti teriris es! Rasanya tak bisa dibedakan apakah yang mengiris jidatnya persis di tengah pedang panjang ataukah hanya angin. Upasara menjatuhkan tubuhnya ke atas, pedang hitamnya menebas ke arah samping.

Trang!

Dua pedang beradu keras. Seakan saling membelit. Tusukan Kama Kangkam tegak lurus, menjadi sedikit mencong karena tebasan Galih Kangkam. Sebaliknya tangan Upasara menjadi luar biasa ngilunya. Sehingga ketika punggungnya menjadi pengganjal kekuatan dengan gerakan uler kaget, masih belum sepenuhnya bisa menggenggam kencang. Sebaliknya Kama Kangkam juga segera menjauhkan diri. Kini keduanya berdiri dalam jarak dua tombak. Saling menatap, dengan angin mendidih berembus dari semua lubang tubuh. Terutama memancar dari hidung! Siap dengan gerakan penghabisan!

Bagi Upasara, cara bertarung seperti ini memang baru dikenalnya. Ketika memasuki jurus kesepuluh, Upasara tidak menduga dalam waktu seketika lawannya kemudian berganti. Dan Upasara yang merasa sedikit di atas angin sewaktu menggempur Kiai Sambartaka, seakan tidak siap menghadapi Kama Kangkam. Sebaliknya justru Kama Kangkam nampak siap begitu mendengar Paman Sepuh meneriakkan jurus kesepuluh telah berlalu!

Ketidaksiapan Upasara bukannya karena tidak tahu bahwa setelah sepuluh jurus ia harus berganti lawan. Ketidaksiagaannya terutama karena dalam waktu yang bersamaan, yang merupakan sambungan jurus kesepuluh, datang lawan yang lain sama sekali. Pada jurus kesebelas yang dimainkannya! Ini pengalaman baru. Karena berarti ia memainkan partai terusan yang tadi dimainkan Eyang Sepuh!

Seperti juga Eyang Sepuh yang kini menghadapi Naga Nareswara, dan Kiai Sambartaka yang menghadapi Paman Sepuh. Ini juga berarti keadaan bisa berubah sama sekali! Upasara Wulung merasa lolos dari lubang jarum. Nyawanya yang sudah berada di ujung bibir, kembali menyelinap sewaktu meloloskan diri dari gempuran Kama Kangkam yang menusuk dari atas. Dalam keadaan berdiri, berhadapan, Upasara menjadi sadar apa yang sesungguhnya terjadi. Pedang hitamnya ditarik ke dekat dada.

Kama Kangkam, kali ini tidak mencekal dengan kedua tangan. Tapi menggenggam erat pada tangan kanan, dengan posisi membuka. Pedang di arah samping, dadanya terbuka. Yang sedikit menyelamatkan Upasara adalah bahwa tempo serangan ksatria Jepun ini mempunyai jeda sesaat sebelum jurus berikutnya. Kalau gempuran itu bergelombang dan bersambungan seperti yang dilakukan Kiai Sambartaka, barangkali ia sudah tak mampu berdiri lagi!

Sepersekian kejap, pikiran Upasara berurut kembali. Pemusatan pikiran menyatu kembali. Pertarungan kali ini ibarat permainan congklak atau catur bersamaan. Ada tiga papan yang dimainkan, dengan enam pemain. Setelah memainkan sepuluh jurus, masing-masing pemain pindah papan lain, menghadapi lawan yang lain, dengan posisi memainkan apa yang ditinggalkan lawannya. Ibarat kata, Upasara sekarang ini harus memainkan biji catur atau biji congklak pada papan yang tadi dimainkan Eyang Sepuh. Tidak berangkat dari awal, akan tetapi tinggal melanjutkan.

Dengan susunan biji congklak atau biji catur yang sudah dimainkan oleh masing-masing, baik Eyang Sepuh maupun Kama Kangkam selama sepuluh jurus! Ini yang baru saja dipahami! Pertarungan menyeluruh. Sebelum terjun ke gelanggang, Upasara berpikir bahwa ia akan menghadapi Kiai Sambartaka yang langsung menyambarnya dalam sepuluh jurus. Lalu berhenti, dan berganti menghadapi entah siapa selama sepuluh jurus dari awal. Itu yang berada dalam benaknya.

Maka sungguh tak menyangka kalau mendadak saja Kama Kangkam sudah menerkam ke arahnya. Keunggulan Kama Kangkam terutama karena kejelian melihat medan lain, sehingga bisa merangsek ke arah Upasara, yang dipaksa main "di papan catur atau papan congklak" di mana ia memainkan bersama Eyang Sepuh. Dari segi pengenalan medan, jelas Kama Kangkam lebih unggul. Ini yang nyaris membuat ubun-ubunnya terbelah.

Begitu lolos dari lubang jarum, Upasara mengenali cara pertarungan secara menyeluruh seperti ini. Berarti juga dalam bertarung, ia harus memperhatikan suasana sekitar dengan cepat, dan memaksa lawan bermain di "papan permainannya". Atau setidaknya, ia tidak main pada papan di mana lawannya tinggal melanjutkan saja! Upasara menarik udara sepenuhnya, memompa ke dadanya. Hingga menggelembung sempurna. Pasrah. Sumarah. Menyerahkan diri secara total, mengikuti suara, mengikuti gerak yang muncul dari tenaganya.

Seperti ketika mendengar bisikan Eyang Sepuh dalam pembicaraan, yang menjadi petunjuk dari gerakannya menghadapi Kiai Sambartaka. Bait-bait kidungan tentang "kebenaran" dan "jalan" yang bertentangan. Kilatan pikiran itu membersit dengan sendirinya, dan bait-bait kidungan dalam Kitab Penolak Bumi menemukan maknanya. Bahwa kalau semua jalan adalah kebenaran, tak ada lagi kebenaran. Bahwa kalau semua kebenaran adalah jalan, sebenarnya bukan lagi kebenaran dan bukan lagi jalan.

Bersitan sesaat itu yang terwujud dalam gebrakan Upasara yang berani meninggalkan pengambilan pusat tenaga bumi! Dan nyatanya berhasil. Justru karena tidak mengambil kekuatan bumi, Upasara lepas dari pengaruh ilmu Kiai Sambartaka. Kini menghadapi Kama Kangkam, Upasara memusatkan serangan berikut yang bakalan dahsyat, akan tetapi juga mulai memperhitungkan bahwa sepuluh jurus nanti, lawan yang dihadapi bisa siapa saja. Bisa Kiai Sambartaka lagi, bisa Eyang Sepuh, Paman Sepuh, atau Naga Nareswara. Yang jelas bukan Kama Kangkam lagi.

Ini berarti dalam setiap sepuluh jurus, dari lima lawan dihadapi, empat adalah kemungkinan menjadi lawan, dan satu yang jelas tak terulang. Mata Upasara menyempit. Kama Kangkam masih menunggu.

Sebelum ada kawan, jadilah lawan
lawan membuat kita menang
kawan membuat kita tak tenang
hanya lawan yang bisa dikalahkan
hanya kawan yang jadi persahabatan
sebelum ada kawan, jadilah lawan
lawanlah kawan
ilmu tumbal ialah ilmu penolak
kebenaran pun ditolak
sebab kebenaran adalah kawan
kawan adalah kebenaran
setelah ada kawan, jadilah lawan
sebab ilmu tumbal ialah ilmu penolak
menolak kawan, menolak lawan, menolak kebenaran
menolak ialah tidak
tiada kawan, melainkan lawan!


Inilah kuncinya! Upasara menerjang maju!

Timinggila, Jurus Ikan Gajah

KALAU Upasara lebih dulu menerjang maju, berarti ia memapak apa yang menjadi keunggulan Kama Kangkam. Ilmu Jepun adalah ilmu yang keras, tajam, dan mendahului. Dengan gerakan sangat cepat menyabet atau menyodet sekaligus. Saat berdiam diri adalah pemusatan pikiran sepenuhnya. Begitu bergerak dengan berlari kencang, sabetan samurai akan mengenai sasaran. Ataukah sabetannya yang lebih dulu, atau tusukan lawan. Dalam hal ini tak ada kemungkinan lain.

Berbeda dengan ilmu silat dari tanah Hindia maupun Tartar, gerakan-gerakan Jepun tidak mempunyai bunga-bunga. Permainan secara langsung. Upasara mengenai dalam beberapa hal, justru karena mengenai permainan ilmu silat Galih Kaliki yang ternyata mempunyai sumber yang sama. Maka kini ia mendahului!

Jaghana yang berdiri di tepi, seperti mendengar kidungan lirih Upasara. Rasanya, seperti Upasara yang mengumumkan, akan tetapi nadanya seperti dikidungkan oleh Eyang Sepuh. Bukan sesuatu yang luar biasa, mengingat kemampuan Eyang Sepuh yang luar biasa. Kalaupun benar Eyang Sepuh yang mengidungkan dalam hati dan mampu tertangkap oleh Upasara karena gelombang rasa pasrah yang sama, bukan berarti Eyang Sepuh memberi petunjuk perlawanan Upasara. Karena kidungan itu sudah dihafal dengan sendirinya, oleh siapa pun yang mempelajari Kitab Bumi.

Yang menjadi titik cerah sebagai pemecahan adalah bagaimana menerapkan lirik-lirik dalam kidungan itu menjadi gerakan yang mempunyai makna. Sesungguhnya, inilah yang dipuji oleh Paman Sepuh Dodot Bintulu. Karena Eyang Sepuh mampu mengembangkan lirik-lirik dalam kidungan menjadi sesuatu yang bisa ditafsirkan secara luas dan mengena. Saripati ilmu Bantala Parwa adalah ilmu yang dimulai dari penolakan. Ilmu yang mendasari kepada ada yang berasal dari ketiadaan. Dimulai dengan tiada... selain... Peniadaan inilah yang disebut sebagai tumbal, sesuatu yang harus dikorbankan.

Seperti lirik dalam kidungan yang baru saja menggema dalam hati. Dengan menolak arti persahabatan, arti persaudaraan, arti perkawanan, akan menemukan tenaga yang sesungguhnya. Dengan menganggap siapa saja sudah lawan, terbuka kesempatan untuk mengembangkan diri. Karena, hanya dengan adanya lawan, seseorang bisa muncul, bisa maju, bisa melawan.

Pengertian-pengertian ini mempunyai arti yang luas. Karena dengan demikian, Upasara akan menghadapi semua bayangan yang bergerak sebagai lawan. Siapa pun dan apa pun yang melintas harus dikalahkan, ditaklukkan. Apakah itu Kama Kangkam atau Eyang Sepuh, tak ada bedanya. Apakah itu gerakan berbahaya atau tidak, menjadi sama dalam pandangan Upasara. Maka begitu Kama Kangkam mengumpulkan tenaga, Upasara menyerang lebih dulu. Sebelum ada kawan...

Kama Kangkam berlari kencang sekali, memapak serangan Upasara. Sabetan keras merobek udara dan menoreh segalanya. Semua bagian tubuh Upasara diserang tajam. Galih Kangkam di tangan Upasara mengeluarkan desiran angin tajam, sebelum beradu keras lawan keras. Ketika dua tubuh seolah bertabrakan, terdengar beradunya pedang dengan sangat tajam menimbulkan suara yang memekakkan.

Kini bukan hanya Nyai Demang, Gendhuk Tri, dan Wilanda yang terpaksa menutup telinganya, kedua Kama pun menutup telinganya dan mundur sampai delapan langkah! Menjauh dari gelanggang. Gempuran dan gelombang keras lawan keras makin lama makin mencapai puncaknya, setelah mendadak saja suasana berubah bersamaan dengan teriakan Paman Sepuh. Sepuluh jurus kedua telah berlalu. Caping dan tongkat kurus Paman Sepuh telah menutup pandangan Upasara, yang segera menyambut dengan loncatan ke atas. Melewati caping dan galah. Serta-merta dengan itu tangan kirinya menyabet ke bawah dari segala arah.

Menutup segala kemungkinan untuk meloloskan diri. Karena tiba-tiba saja pedang hitam Upasara menutup bagian bawah dengan hujan tusukan, pada kecepatan yang tinggi. Siwamba Siwapatra, desisan Paman Sepuh antara terdengar dan tidak. Seakan mengenali apa yang dilakukan Upasara, tapi sekaligus juga mengagumi bahwa dari ilmu Penolak Bumi bisa dimainkan begitu sempurna!

Siwamba bisa diibaratkan Air Penghidupan. Dalam penguasaan Upasara, air penghidupan adalah air hujan. Tusukan pedangnya berubah menjadi air hujan yang tertumpah dari langit. Hanya saja yang jatuh menusuk bukan air penghidupan, melainkan tusukan pedang yang naik-turun dengan cepat. Itu sebabnya bagian tersebut dirangkai dengan Siwapatra atau gerakan Teratai Merah. Tusukan air penghidupan, menyebabkan teratai merah berkembang, dan terkena! Dalam keadaan seperti ini, Paman Sepuh yang menjadi teratai merah. Kekuatannya tak bisa dipencarkan, karena ia menjadi pusat serangan.

Terdengar batuk-batuk kecil. Serentak dengan itu, bagian tubuh Paman Sepuh mendadak berubah. Seolah menjadi gumpalan raksasa yang mengeluarkan gelombang besar, dengan kibasan angin yang terasakan sampai ke pinggir medan pertarungan. Tubuh tua Paman Sepuh berubah menjadi naga yang mengeluarkan tenaga luar biasa besarnya, dan udara sekitarnya seperti ombak laut yang tersibak dalam gelombang besar.

"Timinggila." Upasara mendesis karena kagum.

Apa yang dipamerkan Paman Sepuh memang pameran kekuatan yang luar biasa. Dalam sekejap, kekuatan dan tubuhnya berubah seakan ikan gajah, atau ikan paus, atau timinggila. Kekuatan ikan gajah yang menyeruak dari dasar laut, dan menyebabkan gelombang sekitarnya terpecah. Ketika ikan gajah menyeruak dari dasar samudra, titik-titik hujan tak menjadi bahaya! Paman Sepuh bukan teratai merah yang diam, melainkan ikan gajah!

Upasara terperangah. Paman Sepuh yang berada di bawah menjadi gagah. Gelombang kekuatannya juga berpengaruh pada suasana sekitar yang mau tak mau kecipratan ulah sibakan tenaga ikan gajah.

"Timinggila Kurda."

Kembali Upasara mendesiskan nama jurus, Ikan Gajah Murka, lebih untuk meyakinkan diri sendiri bahwa lawan di bawahnya memang menyapu apa saja yang ada di sekitarnya. Sebenarnya bagi Upasara ini adalah pengalaman yang paling berharga dalam perjalanan hidupnya sebagai ksatria. Karena apa yang dialami secara langsung, merupakan bagian-bagian yang telah dipelajari!

Seperti diketahui, sumber ilmu silat Upasara yang kemudian berkembang pesat berasal dari Kitab Bumi. Menurut pengakuan yang didengar, Kitab Bumi yang sesungguhnya diciptakan kembali oleh Paman Sepuh, dan mendapat kesempurnaan di sana-sini oleh Eyang Sepuh. Sampai di tangan Eyang Sepuh, tentu saja banyak perbedaan, baik penambahan maupun pengurangan pada bagian-bagian tertentu. Namun di atas semua itu, intisari tetap sama. Maka, baik Paman Sepuh maupun Upasara saling mengenali dasar-dasar apa yang tengah dimainkannya sendiri maupun lawannya.

Bahwa Timinggila adalah raja segala ikan di laut, yang besar dan buas, Upasara bisa mengerti. Akan tetapi bahwa Paman Sepuh bisa mengubah dirinya menjadi kekuatan itu, sungguh membuatnya kagum dan tak habis pikir. Ternyata nama-nama yang dipakai dan atau disebutkan dalam kidungan itu bukan sekadar nama. Bukan merupakan perumpamaan, akan tetapi betul-betul bisa diperhatikan secara jelas.

Kembali Upasara seperti menemukan jalan buntu. Hujan tusukan yang dimainkan seperti mandul dan percuma. Mentah oleh gelombang ombak munculnya Timinggila yang sedang murka. Bahkan mau tidak mau, Upasara terdesak ke arah tempat yang agak jauh, karena tak mampu meniti gelombang untuk mendekat. Tanpa terasa sepuluh jurus kembali berlalu. Mau tak mau lawan yang dihadapi berganti!

Di pinggir lapangan, Wilanda menyadari bahwa matahari sudah makin condong ke barat, dan kegelapan mulai menyelimuti. Akan tetapi tak ada tanda-tanda pertarungan dihentikan sejenak. Bayangan-bayangan yang tengah bertarung-Wilanda tak bisa memastikan apakah yang bergerak enam bayangan atau lima atau hanya empat-masih sama ketika mulai. Wilanda tak bisa mengikuti kini, siapa melawan siapa. Siapa menghadapi siapa, dan siapa yang lebih unggul dari siapa.

Hal yang sama dihadapi Gendhuk Tri. Karena memaksakan diri untuk mengikuti dengan jelas, kepalanya mulai pusing, kesadarannya menurun. Beberapa kali tenaga dalamnya dikerahkan agar terjaga, namun makin lama makin sia-sia. Malam, kini, sepenuhnya kelam.

Kemenangan yang Kalah

DALAM keadaan terang benderang pun susah mengikuti jalannya pertempuran, apalagi sekarang ini. Tanpa cahaya bulan. Bahkan rasanya tanpa desir angin. Gendhuk Tri tertunduk lemas, sementara Nyai Demang beberapa kali menghela napas. Antara sadar dan tidak, Nyai Demang masih memaksa diri melihat kelebatan bayangan. Akan tetapi pandangannya makin kabur.

"Jangan memaksa diri," suara Jaghana terdengar mengalir perlahan. Baru sekarang terdengar suaranya, diawali dengan helaan napas dan batuk kecil. Wajahnya seolah menggigil.

"Apa yang terjadi di medan pertarungan di luar kemampuan kita. Bahkan untuk menyaksikannya. Kita bukan apa-apa dibandingkan para sesepuh. Marilah kita memanjatkan doa dan pujian kepada Dewa yang Mahaagung, agar jalannya dan petunjukNya yang terjadi."

"Apa kita tak bisa berbuat sesuatu?"

"Gendhuk Tri, rasanya berat, akan tetapi saya hanya bisa membenarkan apa yang Gendhuk Tri kuatirkan."

"Paman Jaghana juga tak bisa berbuat apa-apa?"

"Sama sekali."

Geraham Nyai Demang menggertak. "Paman Jaghana tak bisa mengetahui sekarang ini siapa melawan siapa dan bagaimana keadaannya?"

Jaghana menghela napas berat. "Apa bedanya kalau saya katakan Adimas Upasara melawan Kiai Sambartaka atau Eyang Sepuh sekalipun? Pada setiap jurus terjadi pergantian pertarungan. Tak ada yang mampu memisahkan mereka. Hanya maut yang bisa menghentikan."

"Paman..." Suara Gendhuk Tri seakan memohon dengan sangat. "Apakah benar-benar Paman tak mengetahui siapa yang bakal keluar dari medan pertarungan dengan selamat?"

"Tidak."

"Tidak mampu memperkirakan siapa yang bakal keluar sebagai pemenang?"

"Tidak ada yang keluar sebagai pemenang. Inilah kemenangan yang kalah. Bahkan juga termasuk Eyang Sepuh. Saya sedih mengatakan ini. Akan tetapi batin saya makin merintih, tertindih beban yang tak kuasa saya panggul kalau tidak mengatakan hal ini. Saya tak ingin membagi kecemasan, akan tetapi agaknya tak bisa lain. Pemunculan Eyang Sepuh dari kedamaian yang dicapainya adalah kegagalan. Eyang Sepuh dipaksa turun ke gelanggang dan bertempur. Ah, betapa sesungguhnya ilmu silat itu jalan sesat yang maha jahat. Ketika kaki kita melangkah di jalan itu, tak ada langkah surut kembali. Di sana hanya ada lingkaran yang membelit tak keruan ujungnya. Semakin mempelajari ilmu silat, semakin jauh kita tersesat. Pertarungan ini hanya mempunyai makna dari segi ini. Bahwa pada akhirnya semua jago silat di jagat ini harus memamerkan keunggulannya. Secara rela maupun tidak sengaja. Betapa sesungguhnya, Eyang Sepuh lebih bahagia di kedamaian dan Upasara di kedamaian ketika melepaskan semua ilmunya."

"Paman..." Kali ini suara Wilanda yang memohon. "...Inilah titik akhir dan sekaligus awalnya."

"Paman tidak akan..."

Jaghana membisu. Sebentar. "Saya tak cukup berarti. Memiliki atau tidak memiliki ilmu silat, saya tak akan mengubah apa-apa."

"Paman!" Kali ini Wilanda berseru, bersamaan dengan Gendhuk Tri dan Nyai Demang. Badan Jaghana bergoyang-goyang.

Wilanda segera menunduk, bersila, dan menempelkan telapak tangannya ke tubuh Jaghana. Nyai Demang dan Gendhuk Tri juga melakukan hal yang sama. Serentak dengan itu terasakan udara dingin dan panas berganti-ganti bergolak dari tubuh Jaghana. Kalau tadi Gendhuk Tri merasakan pusing, itu karena gangguan penglihatan. Sedangkan Jaghana, sebenarnya, lebih parah lagi! Peristiwa yang dilihatnya lebih melukai jiwanya! Sehingga terjadi keguncangan.

Sehingga Wilanda, Gendhuk Tri, dan Nyai Demang berusaha menenteramkan. Sewaktu usaha ketiganya mulai menyatu, mendadak terdengar teriakan keras. Semacam jeritan yang menyayat. Nyai Demang bergoyang tubuhnya. Napasnya menjadi kacau-balau. Di kejauhan nampak dua tubuh terbanting! Tak bergerak lagi!

"Duh, Dewa."

Rintihan suara Gendhuk Tri menyadarkan semuanya. Bahwa dua orang telah menjadi korban. Dua-duanya telah menjadi mayat. Gendhuk Tri menggigil. Di saat yang kritis, suara Wilanda terdengar tipis mengelus.

"Kedua Kama, murid utama Kama Kangkam, telah menemukan jalan buruk menuju kepada kematian. Sebaiknya kita menyingkir dari tempat ini. Sementara..."

Memang, dua tubuh yang terkapar tak berdaya adalah Kama Kalandara dan Kama Kalacakra. Mereka berdua mengalami proses keguncangan yang sama parahnya. Hanya karena latihan dasar ilmunya berbeda, lebih keras dari Jaghana, ketidakmampuan menahan diri itu berakibat fatal. Keduanya mencabut pedang pendek dan menusuk perut sendiri!

Begitulah dua murid utama pendekar Jepun mengakhiri ketegangan dan guncangan dirinya. Tradisi bunuh diri karena merasa tak mampu mengikuti jalannya pertempuran, menemukan bentuknya. Itu pula sebabnya Wilanda mengusulkan untuk berpindah tempat. Yang segera dituruti, walau dengan berat hati. Barulah mereka berempat sadar, bahwa di sekitar Trowulan banyak dijumpai mayat para prajurit Keraton. Yang agaknya secara sembunyi-sembunyi menyaksikan dan mengikuti pertarungan. Barangkali karena tenaga dalam mereka masih belum kuat, kesiuran angin atau pukulan tak langsung, membunuh tanpa sempat bereaksi.

"Pasrahkan kepada Dewa yang Maha Mengetahui..." Wilanda terus memimpin pemusatan pikiran ketiga kawannya.

Sampai fajar menyingsing. Berarti pertarungan dahsyat sudah berjalan sehari-semalam. Tanpa henti! Tanpa mengendor. Dalam kemelut pertarungan, Upasara sendiri tidak tahu apakah kini sudah fajar atau siang hari. Ia bagai tenggelam dalam gelombang yang makin lama makin menyeret dirinya. Membetot sukmanya. Gerakan-gerakan yang dimainkan telah membuat getaran yang menjalar di seluruh tubuhnya. Upasara tenggelam, larut, menyatu dengan ilmu silat yang dimainkan.

Tak bisa membedakan lagi siapa lawan yang dihadapi. Seolah segalanya berjalan berdasarkan naluri semata-mata. Tubuhnya kuyup oleh keringat dan mengering lagi. Dahaga dan kesesakan datang dan hilang kembali. Pedang hitam ratusan kali mengulang gerak yang sama, sedikit berbeda di bagian awal atau akhir. Kalau sebelumnya sempat mengingat kidungan dan melihat pemecahan, kini sepenuhnya larut. Menyatu. Tak bisa menghentikan atau menunda. Semua mengalir begitu saja. Sampai gelap seluruhnya, dan mendadak gerakannya terhenti begitu saja.

Terlintas dalam kejapan ingatannya bahwa tongkat emas Naga Nareswara seperti menari-nari di depannya, dan mendadak tongkat kurus Paman Sepuh berhasil mengenyahkan. Naga Nareswara berlutut, memegangi dadanya yang terbelah. Torehan melenceng dari pundak kiri, ke arah pangkal paha di sebelah kanan. Luka menganga, hingga rasanya Upasara melihat tulang, otot, dan urat nadi Naga Nareswara. Dan melihat bahwa tongkat emas pusaka itu bergulir, menghantam wajah Paman Sepuh yang seketika seperti mengepulkan debu.

Pada saat yang sama, Upasara merasa ada angin berdesir di pundak kanannya, dan melihat Kama Kangkam tersungkur dengan pedang hitam amblas masuk ke tubuhnya! Upasara berdiri dengan kaki limbung. Ada semacam rasa mual dan mabuk yang menguasai diri sepenuhnya. Tak jelas sekali, apakah Paman Sepuh telah hancur kepalanya, dan Naga Nareswara telah terbelah, atau Kama Kangkam yang lebih dulu tertusuk Galih Kangkam hingga amblas.

"Aku, utusan dari Jepun, menyerah kalah!" Tubuh Kama Kangkam masih berlutut, kaku seketika.

Naga Nareswara mengeluarkan suara mengguntur. "Hebat. Tikus-tikus ini bukan hanya lidahnya yang sakti. Aku puas. Terimalah hormatku."

Tangannya berusaha terangkat dan memberi hormat, sebagaimana kebiasaan ksatria Tartar. Akan tetapi tangan itu telah terlepas, dan tubuhnya terempas!

Bait Terakhir yang Tersisa

INI yang luar biasa! Akhir yang tak terduga. Naga Nareswara terbelah bagai disobek paksa. Terkelupas secara sempurna. Sementara Paman Sepuh hancur bagai debu, rontok seluruh isi kepalanya. Dan Kama Kangkam terpanggang pedang hitam hingga ke gagang. Dalam tarikan napas terakhir, ketiga senopati utama dunia ini mengakui kekalahannya dan memberi penghormatan kepada pemenang.

Kalau dibuat perhitungan secara kasar, Upasara yang bisa muncul sebagai pemenang dengan bersih. Kama Kangkam, ksatria utama dari Jepun berhasil dirobohkan. Sedangkan Paman Sepuh yang lebih dulu unggul, dalam sekejap berikutnya menjadi tak bersisa. Hanya satu perhitungan yang harusnya masih berjalan. Antara Eyang Sepuh melawan Kiai Sambartaka. Yang pasti sudah mencapai titik akhir juga.

Karena dalam pertarungan yang berlangsung tinggi dan penuh dengan ilmu-ilmu utama yang dilontarkan secara bersamaan, tak bisa berakhir sendirian. Nyatanya memang begitu! Hanya saja hasilnya lain! Antara sadar dan tidak, Upasara Wulung melihat bahwa pertarungan Eyang Sepuh dengan Kiai Sambartaka sampai ke bagian yang paling menentukan. Tak bisa dicegah tak bisa dipisah. Hanya akan menghasilkan satu pemenang!

Eyang Sepuh berhasil menguasai semua ilmu Kiai Sambartaka, dan berhasil mempengaruhi getaran udara. Akan tetapi agaknya Eyang Sepuh tidak ingin merebut kemenangan. Dengan penguasaan yang maha sempurna, Eyang Sepuh berhasil membebaskan dirinya, tanpa membunuh Kiai Sambartaka. Pada tingkat yang serba sempurna ini, ternyata Eyang Sepuh tetap mendudukkan dirinya sebagai di atas yang paling atas.

Tubuh Kiai Sambartaka hanya bergulingan di tanah. Tapi akhirnya memang berbeda. Begitu terbebas dari pengaruh ilmu Eyang Sepuh, Kiai Sambartaka bukannya mengucapkan terima kasih atau menerima kalah. Justru sebaliknya. Teriakan mengguntur, mirip jeritan yang memilukan, terdengar menyayat, dan serentak dengan itu dua tangannya memukul Eyang Sepuh! Pukulan terakhir yang menggemuruh!

Pekikannya serta-merta membuat semua binatang berbisa di sekitar Trowulan mendesis dan menyerbu dengan ganas siapa saja yang ada di dekatnya. Kiai Sambartaka mengerahkan ilmunya yang terakhir. Upasara tak menduga sama sekali. Hanya bisa memandang dengan kaki masih limbung. Melihat tanpa bereaksi munculnya ular berbisa, kalajengking yang secara mendadak menyerbu ke arahnya. Juga ke arah Gendhuk Tri, Wilanda, Jaghana, maupun Nyai Demang.

Sebagian binatang berbisa itu muncul dari tanah, sebagian muncul dari tubuh Kiai Sambartaka. Bahwa Kiai Sambartaka mampu menjinakkan dan menggunakan ular kobra sebagai senjata, hal itu bukan sesuatu yang luar biasa. Semua pendeta dari tlatah Hindia menguasai dengan sempurna. Dan Kiai Sambartaka lebih dari sekadar menguasai!

Yang tak terduga ialah bahwa Kiai Sambartaka menggunakan secara licik. Sungguh tak masuk akal bahwa tokoh pujaan yang telah mencapai ilmu sedemikian tinggi masih bisa berbuat busuk! Sungguh tak sepadan dengan sifat ksatria Kama Kangkam maupun Naga Nareswara serta Paman Sepuh. Tapi itulah jalan yang ditempuh Kiai Sambartaka. Terlambat Upasara untuk menangkis. Apalagi yang lain. Dalam sepersekian kejap, segala binatang beracun akan memangsa! Memekik pun tak sempat.

Upasara berusaha berdiri dengan tegak. Akan tetapi puyeng di kepalanya makin berdenyut. Yang bisa dilakukan hanyalah menahan napas. Pada saat itu terasa angin berdesir. Antara kelihatan dan tidak, bayangan putih Eyang Sepuh mendesir, mengibaskan pakaian putih, dan semua binatang berbisa, berikut pukulan Kiai Sambartaka, terarah padanya. Pada Eyang Sepuh! Yang mengambil alih semua bencana dan risiko. Pujian dan segala kehormatan bagi Eyang Sepuh yang mulia! Kiai Sambartaka terbanting, muntah darah kental, dan tubuhnya bergoyang-goyang sebelum akhirnya terbanting ke Kali Brantas dan lenyap!

Kini Jaghana, Wilanda, Gendhuk Tri, dan Nyai Demang bisa melihat jelas. Melihat bayangan tubuh Eyang Sepuh yang bergerak perlahan. Kalau tadinya antara kelihatan dan tidak, sekarang terlihat gerakannya. Lembut. Ringan. Bahkan Jaghana bisa mengamati jubah yang dikenakan Eyang Sepuh ada tanda darah dan luka. Bisa jadi cipratan darah segala binatang terluka. Bisa jadi Eyang Sepuh sendiri yang terluka!

"Eyang!"

Hampir bersamaan, kelima warga Perguruan Awan itu bersujud dan meneriakkan nama yang sama. Terdengar suara batuk kecil. Terdengar suara, antara terdengar dan tidak:

Kenapa menyesali yang pergi
kalau rumput bisa bersemi
berkorban itu melepas harapan
pergi itu lahir kembali
dalam Kitab Bumi
Ada bait terakhir, tak terbaca hati!


Suara batuk menghebat. Disusul batuk-batuk kecil. Bayangan tubuh Eyang Sepuh semakin menjauh, tapi perlahan. Menghilang di kesenyapan. Lenyap. Senyap. Gelap.

Upasara Wulung tertekuk tubuhnya. Samar-samar masih terasa seperti terlibat dalam pertarungan, yang makin lama makin tak bisa dibedakan siapa yang dihadapi, dengan siapa ia bertarung, yang menyeretnya begitu saja, seolah ia dipaksa memainkan jurus-jurus tanpa bisa mengontrol. Semua kemampuan silatnya mengalir begitu saja. Tubuhnya seperti digerakkan oleh kekuatan lain. Gerakan silatnya menjadi, membentuk. Tubuhnya menyerang dan menekuk dengan sendirinya. Lalu korban berjatuhan. Dan Kiai Sambartaka yang berbuat sangat licik dan hina. Lalu pengorbanan Eyang Sepuh.

Sehari-semalam Upasara Wulung selalu terseret dalam lamunan dan lingkaran pikiran yang begitu berat serta meletihkan. Dan tak bisa ditanggalkan. Baru kemudian tubuhnya seperti terseret arus gelap. Malam hari Upasara sadar kembali. Menemukan dirinya dikelilingi Jaghana, Wilanda, Gendhuk Tri, serta Nyai Demang.

"Paman..."

"Tenangkan pikiran, Anakmas Upasara." Suara Jaghana terdengar parau, seperti memaksa dengan sebutan "Anakmas".

"Eyang Sepuh..."

"Eyang sudah tindak."

Suara Gendhuk Tri lebih mengesankan hati yang tersayat dibandingkan keharuan. Upasara Wulung bersila. Menghaturkan sembah.

"Sugeng tindak, Eyang."

Akhirnya, Upasara Wulung dengan ikhlas melepas kepergian Eyang Sepuh. Ikhlas karena sadar bahwa barangkali ini kepergian Eyang Sepuh yang terakhir kali. Pertemuan pertama dan juga pertemuan penghabisan. Pertemuan dengan bayangan, karena Eyang Sepuh telah menguasai ilmu moksa, sehingga bahkan tubuhnya seperti tak terlihat, walau terasa keberadaannya. Inilah akhir dari pertarungan penghabisan di Trowulan. Beberapa kuburan, dan sisa-sisa pertarungan.

"Tenangkan hati Kakang," kata Gendhuk Tri seperti suara nenek memberi nasihat. "Eyang Sepuh bangga dengan Kakang. Kakang telah menunaikan kewajiban sebagai pemimpin Perguruan Awan."

Dada Upasara membusung. "Sebagian telah selesai. Sebagian lagi harus segera diselesaikan. Kakang ingin mencari Halayudha sebagai perhitungan terakhir."

Suara Upasara terdengar getir. Masih diwarnai dendam yang mencakar batinnya.

Rata Ayu Bawah Langit

DALAM pendengaran Jaghana, kalimat terakhir yang diucapkan Upasara sangat ganjil. Rasanya hal semacam itu tak mungkin keluar dari bibir Upasara!

Wilanda bisa merasakan hal yang sama. Dari segi kemampuan penguasaan ilmu silat, Upasara sudah tingkat di atas rata-rata para kampiun. Kematangan penguasaan ilmu Kitab Bumi, boleh dikatakan belum menemukan tandingan. Akan tetapi dari sisi lain tetap menunjukkan usia yang masih muda. Yang masih dibakar oleh dendam. Kalaupun Upasara menganggap Halayudha yang paling busuk, hal itu tak perlu dilontarkan. Mengumbar perasaan hati adalah sesuatu yang pantang bagi seorang yang berhati bijak. Kawicaksanan, atau kebijaksanaan, justru diukur dari kemampuan mengendalikan amarah dan dendam.

Yang tak diperhitungkan oleh Jaghana maupun Wilanda-dua sesepuh Perguruan Awan dan sekaligus murid langsung Eyang Sepuh adalah kenyataan bahwa Upasara melihat sisi busuk Halayudha. Halayudha sumber dari segala keonaran. Baik dalam mengacaubalaukan tata pemerintahan Keraton, maupun dalam dunia persilatan.

Yang lebih membuat Upasara meneriakkan dendam dengan suara perih ialah kenyataan bahwa yang selama ini membunuh Pak Toikromo, tak lain tak bukan adalah Halayudha. Yang membunuh semua penduduk desa tak berdosa juga Halayudha. Halayudha-lah satu-satunya yang menguasai dan mampu memainkan sabetan tongkat secara miring sebagaimana gurunya. Yaitu Paman Sepuh Dodot Bintulu!

Halayudha sengaja memainkan ilmu itu, agar tuduhan utama jatuh ke Paman Sepuh. Agar Upasara melabrak Paman Sepuh. Dan itu sesungguhnya telah terjadi. Jebakan yang luar biasa licinnya telah menyebabkan Upasara menantang dan mendendam habis-habisan. Yang barangkali tak diduga oleh Halayudha sendiri ialah kenyataan bahwa Upasara bisa membedakan sabetan tongkat kurus...!

BAGIAN 18CERSIL LAINNYABAGIAN 24

Senopati Pamungkas Bagian 23

Senopati Pamungkas
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

BAGIAN 23

Naga Nareswara menggerakkan bibirnya, ketika tongkat pusaka kembali ke arahnya dalam gerak sedikit oleng! Ini berarti kekuatan tenaga dalam yang disalurkan Upasara mampu menggoyang tongkat emas kebanggaannya.

"Tidak jelek, tidak terlalu jelek tikus gunung ini."

Baik Jaghana maupun Wilanda menduga komentar ini terdengar dari bibir Naga Nareswara. Akan tetapi Gendhuk Tri menggeleng. Walau nada dan caranya persis sama, Gendhuk Tri yakin bukan suara Naga Nareswara yang dikenalnya. Ataukah ini suara Kiai Sambartaka, Kiai Kiamat yang mampu bersuara tanpa menggerakkan bibir? Sebaliknya Nyai Demang yakin bahwa bukan Kiai Sambartaka yang bersuara. Tak mungkin ada pujian darinya. Berarti ada tokoh sakti yang lain lagi!

Gerak Tanpa Getaran

BEGITU tongkat emas kembali ke genggaman Naga Nareswara, Kama Kangkam memegang pedang panjang dengan dua tangan.

"Aku ingin menguji sebelum kamu secara resmi ikut dalam pertarungan ini." Pendek dan singkat kalimat Kama Kangkam yang langsung bersiap. Kedua tangan menggenggam pedang panjang yang dipegang menjulang di tengah jidatnya. Pandangan matanya sangat tajam. Kucirnya tak bergerak. Rahangnya kaku.

Upasara mengangguk. Pedang tipis hitam diangkat, tangan kirinya ditekuk, dan sikapnya kurang-lebih sama dengan Kama Kangkam. Hanya saja bagian yang tajam menghadap ke arah wajah Upasara Wulung! Dengan satu tangan! Tangan kiri. Sementara tangan kanannya terkulai. Kalau Kama Kangkam berdiri dengan posisi kedua kaki setengah mengangkang terbuka, dengan kaki kanan sedikit di depan kaki kiri, sebaliknya kedua kaki Upasara lurus.

Jarak keduanya tak lebih dari tiga tombak. Dibarengi dengan teriakan yang menyayat, kedua kaki Kama Kangkam bergerak sangat cepat sekali, dengan langkah yang berat dan kukuh, pedang panjangnya menyabet begitu dekat dengan Upasara Wulung! Sesuai dengan posisi kakinya yang sudah bersiaga menyerang!

Upasara membalik pedangnya dengan sama gesit dan cepatnya, dan dengan membabat berusaha menangkis. Serangan Kama Kangkam memutar ke arah pundak kirinya sendiri. Yang berarti menghantam dengan tebasan kuat dari arah kanan.

Napas Nyai Demang jadi ngos-ngosan! Dadanya seperti ditindih oleh balok-balok yang makin lama makin berat mengimpit. Wilanda bahkan mencelos dan merasa harapannya habis karena melihat pedang hitam tipis Upasara terlepas dari tangan dan melayang di tengah udara. Teriakan... Radeeeen... barangkali telah terlepas dari bibirnya, atau barangkali hanya jeritan dalam hati saja.

Gendhuk Tri bahkan tak sempat berteriak. Wajahnya berpaling ke arah lain! Untuk pertama kalinya, Gendhuk Tri yang suka ugal-ugalan, yang tega melihat segala macam bencana, memalingkan wajahnya! Tak tahan melihat apa yang terjadi. Bahkan juga Jaghana meletakkan kedua tangan di depan dada, sebagai sikap pasrah sumarah, apa pun yang terjadi.

Secara keseluruhan, baik Nyai Demang, Gendhuk Tri, Wilanda, maupun Jaghana, tidak menganggap bahwa Upasara Wulung bakal bisa dikalahkan dalam satu gebrakan. Rasa was was muncul, justru karena selama ini Upasara dikenal tidak seperti dulu. Itu yang pertama. Bahwa kemudian Upasara bisa pulih kembali seperti sediakala, jelas itu menunjukkan kualitas yang luar biasa. Akan tetapi ini tak mengurangi rasa cemas!

Karena yang dihadapi sekarang ini justru tokoh-tokoh puncak yang tak bisa diperkirakan sampai di mana tingkat ilmunya. Itu yang kedua. Sebab yang ketiga memang karena hubungan emosi yang ada. Namun kalaupun tanpa hubungan emosi, kekuatiran itu tetap ada. Karena tokoh-tokoh sakti mandraguna ini, sudah berada pada tingkat di mana ilmu yang dimainkan tak bisa dimainkan setengah-setengah atau sepertiga. Dalam pengertian, bahwa andaipun Kama Kangkam tidak menyerang dengan sepenuh tenaga, namun akibatnya tetap fatal.

Dua belas murid utama Kiai Sumelang Gandring yang belum kering darahnya dan belum dingin mayatnya bukti yang masih bisa dilihat dengan mata telanjang. Dan mereka semua menyaksikan secara langsung!

Jaghana yang melihat secara jelas beradunya dua tebasan keras itu. Begitu pedang panjang Kama Kangkam menebas pinggang dengan songkelan ke atas, Upasara menangkis dengan gerak yang sama. Beradunya dua senjata andalan utama meninggalkan bunyi tipis, membersit, seolah merobek udara. Pada saat itu, Galih Kangkam terlepas ke udara!

Justru pada saat yang sama, Kama Kangkam mengayunkan tebasan kedua, sebagai bagian kelanjutan dari gerakan tebasan yang pertama. Jaghana sedikit-banyak mengenal kehebatan gerakan samurai yang selain mengandalkan kekerasan tenaga dan kecepatan gerak, juga jenis serangan, sabetan yang satu mudah ditangkis, tapi seketika itu pula dilanjutkan dengan sabetan yang lain.

Perbedaan utama dengan jurus yang biasa dimainkan di tanah Jawa maupun dari Tartar ialah, bahwa kebiasaan mengadu kekuatan dan senjata dengan membenturkan diri tidak terlalu menonjol. Satu tebasan lebih banyak dihindari dan melancarkan serangan balasan.

Sementara Kama Kangkam justru berlari kencang, menebas, dan sambil berbalik tubuhnya masih menyertakan tebasan kedua. Yang tak kalah ganasnya. Karena yang diarah adalah pangkal leher Upasara. Padahal posisi berdiri Upasara bukan berada dalam keadaan untuk meloncat menghindar, dengan merendahkan tubuh, atau membuang tubuh. Cara Upasara membentuk kuda-kuda, paling banter hanya untuk digerakkan satu atau dua langkah. Itu belum cukup, karena daya jangkau samurai yang panjang. Dengan kata lain, lehernya tetap bakal tertebas, ke mana pun kakinya membawa pergi.

Apa yang dikuatirkan dan diperhitungkan Jaghana dengan teliti, bukan tak terpikirkan oleh Upasara. Dengan penguasaan Kitab Bumi, kemampuan Upasara lebih dari sekadar mengenal jurus-jurus yang diajarkan. Akan tetapi juga berhasil menyerang inti ilmu tersebut. Barangkali titik kecil ini yang membedakan Upasara dari mereka yang sama-sama mempelajari Kitab Bumi. Pada yang lain, sesuai dengan pengenalan pertama, lebih menjadi titik pokok mempelajari dan mematahkan jurus-jurus yang disebut Dua Belas Jurus Nujum Bintang, serta Delapan Jurus Penolak Bumi.

Sementara Upasara, selain mempelajari dan mematangkan jurus-jurus, juga berusaha mempelajari intisari utama. Sesungguhnya pada bagian inilah Upasara sempat terombang-ambing pikirannya, antara meneruskan dan tidak. Karena seolah menemukan jalan buntu. Sehingga tak ada jalan lain kecuali melepaskan kembali semua tenaga dalamnya yang dianggap sia-sia!

Akan tetapi perjalanan hidupnya tidak berhenti ketika itu. Sebaliknya menjadi semacam titik balik. Menjadi hidup kedua kalinya, apalagi setelah bertemu dengan Paman Sepuh Dodot Bintulu yang secara tidak langsung mengajarkan bagaimana mengubah tenaga simpanan menjadi tenaga yang bisa dipergunakan. Maka, boleh dikatakan Upasara telah siap menghadapi apa yang terjadi sekarang ini.

Sewaktu menghadapi serangan uji coba dari Naga Nareswara, Upasara berani langsung menusuk ke pusat tenaga pusaran. Karena di situlah inti kekuatan. Dalam ilmu Kitab Bumi, inti kekuatan juga sekaligus inti kelemahan. Kalau ia berhasil tepat memasukkan tenaga, berarti menguasai sepenuhnya kekuatan lawan. Nyatanya begitu.

Menghadapi Kama Kangkam, Upasara menyadari bahwa tumbal atau tenaga penolak dari jurus yang sama bisa gagal. Karena Kama Kangkam mengatur tenaga yang sama di seluruh pedang panjangnya. Bahkan juga pada sabetan kedua atau ketiga tak berbeda jauh dari tenaga sabetan pertama. Ini terlepas apakah sabetan kedua perlu ayunan panjang atau gerakan pendek. Inilah kehebatan pedang Jepun!

Pada benturan pertama, tenaga Kama Kangkam seolah sengatan matahari yang mengiris. Akan tetapi bukan karena itu pedang Upasara terlepas. Justru dilepaskan untuk menolak tenaga yang menebasnya. Dengan melepaskan, tenaga itu akan diterima alam semesta. Buyar!

Pada saat yang tepat Galih Kangkam ditarik kembali, dan begitu tebasan kedua datang, kuda-kuda Upasara jauh lebih kuat daripada Kama Kangkam yang tubuhnya berbalik. Sehingga benturan kedua itu mendorong pedang Kama Kangkam mendekat ke arah tubuhnya sendiri. Kama Kangkam cepat berbalik, dengan dua tangan siap memegang hulu pedang. Sebaliknya Upasara siap seperti semula.

"Saya, Kama Kangkam, menerima Saudara ke dalam pertarungan ini..."

Kali ini bahkan Wilanda pun tahu bahwa bukan Kama Kangkam yang mengucapkan itu! Karena kemudian Kama Kangkam mendongak ke arah langit dan berteriak mengguntur,

"Apakah Eyang Sepuh masih perlu menyembunyikan diri lagi? Kenapa kita semua orang tua di sini dianggap anak-anak?"

Wilanda dan Jaghana berlutut tanpa terasa. Upasara menggigil. Siapa lagi tokoh yang mampu bergerak tanpa membuat getaran, bersuara tanpa nada, berkata tanpa membuat angin bergerak, selain Eyang Sepuh? Tokoh pepunden, tokoh pujaan para ksatria, ternyata muncul juga pada akhirnya.

Pukulan Beku

KIAI SAMBARTAKA memiringkan wajahnya. Wajahnya yang gelap, tanpa mengungkapkan perasaan yang mudah terbaca, menatap ke arah Upasara. Tanpa memperlihatkan bahwa ada perubahan tarikan napas, Kiai Sambartaka merenggangkan jarinya.

Upasara melepaskan pedang hitam panjang. Bersiap menghadapi dengan tangan kosong. Keduanya bertatapan. Sama tajam dan menusuk pandangannya. Upasara menatap langsung ke biji mata Kiai Sambartaka yang menukik, mempengaruhi, dan sekaligus menguasai. Hanya Kiai Sambartaka yang agaknya tak tergoda melirik sedikit pun, sewaktu mendengar nama Eyang Sepuh disebut-sebut. Kalau Kama Kangkam sampai perlu mengucapkan nama dan menaruh hormat, Kiai Sambartaka seperti tak menganggap sebelah mata. Pusat perhatiannya kepada Upasara Wulung. Yang dalam anggapannya menunjukkan sesuatu yang luar biasa.

Diperhitungkan dari usianya, Upasara masih sekitar 25 tahun. Usia yang masih terlalu muda, bahkan untuk menjadi cucu murid tokoh kelas utama. Akan tetapi dilihat dari kemampuannya, sungguh memperlihatkan kelas utama. Tongkat emas sakti Naga Nareswara bisa digagalkan. Dan juga sabetan pedang panjang Kama Kangkam yang merupakan jurus maut-ganas-telengas, berhasil dimentahkan. Tua dalam usia, matang dalam berbagai pengalaman, Kiai Sambartaka tetap tak bisa menahan diri untuk menjajal.

Sebenarnya hal ini bukan sesuatu yang luar biasa. Di kalangan jago silat, keinginan menguji ilmu, mengadu kepandaian, adalah hal yang sangat lumrah. Dalam berbagai keadaan dan situasi, keinginan yang utama adalah membuktikan kemampuan, menakar keunggulan lawan. Apalagi kalau dirasakan ada ilmu yang belum diketahui.

Bagi Kiai Sambartaka, penampilan Upasara sangat menarik perhatiannya. Puluhan tahun ia melatih ilmunya, dan merasa telah mencapai puncak yang paling tinggi, ia diakui di negerinya sendiri. Nama dan julukan sebagai Kiai Kiamat, lebih ditakuti daripada malaikat pencabut nyawa sekalipun. Dan setelah sekian lama mengembara, nama besar itu tetap tak tertandingi. Dan itu pula sebabnya, Kiai Sambartaka melanglang buana, menuju tanah Jawa. Untuk merebut gelar sebagai lelananging jagat, ksatria yang paling ksatria, pendekar nomor satu di dunia.

Kiai Sambartaka tahu bahwa yang bakal ditemui adalah juga dewa-dewa dunia persilatan yang tak kepalang tanggung. Maka sangat mengherankan hatinya, bahwa ada seorang anak muda yang terjun ke gelanggang! Itu betul-betul di luar perhitungannya! Tak masuk akal ada anak muda yang mampu menyejajarkan dirinya di kalangan sesepuh yang memerlukan waktu lebih dari usia Upasara untuk memantapkan latihan tenaga dalam. Lebih mengejutkan lagi, justru Upasara bersiap menghadapi dengan tangan kosong!

Memang di kalangan yang sudah mencapai puncak kemahiran, senjata ampuh atau sebatang ranting, tak banyak menentukan. Akan tetapi adalah sangat luar biasa, kalau Upasara berani menghadapi dengan tangan kosong. Ini berarti, bersiap menghadapi dirinya yang justru kondang tanpa tanding dalam tangan kosong.

Dari sekian banyak yang menjadi kuatir dan cemas, Nyai Demang-lah yang paling was was. Nyai Demang menyadari bahwa Kiai Sambartaka memiliki pukulan yang disebut Pukulan Beku, atau pukulan Mandeg-Mangu. Atau dalam arti harfiahnya adalah pukulan Terhenti-Termangu. Jenis pukulan yang menjadi andalan dalam khazanah ilmu dari tlatah Hindia.

Sudah menjadi rahasia di kalangan tokoh persilatan dan keagamaan, bahwa jago-jago utama dari Hindia selalu merasa lebih hebat ilmunya, lebih tua penguasaannya daripada jago-jago di tanah Jawa. Bahkan hampir semua jawara Hindia menganggap bahwa ilmu yang ada di tanah Jawa hanyalah ilmu tetiron, atau ilmu tiruan dari Hindia. Hal ini termasuk dalam berbagai ilmu yang kini diterapkan dalam pemerintahan Keraton. Segala jenis peraturan, perundangan, semua mempunyai asal-usul sari perundangan yang ada di Hindia!

Ada semacam kesombongan akan adanya pengakuan, bahwa segala yang lebih dari tanah Jawa, hanyalah bayangan perpanjangan dari apa yang ada di tanah Hindia. Anggapan ini tidak sepenuhnya salah. Bahkan kitab-kitab utama juga berasal secara langsung dari Hindia. Maka ketika Eyang Sepuh mengeluarkan tantangan untuk mengadakan pertemuan, Kiai Sambartaka tak terlalu memperhitungkan. Yang lebih diperhatikan adalah kemunculan Naga Nareswara dan Kama Kangkam. Perebutan utama sumber ilmu silat memang berkisar dari tiga negara ini.

Maka sungguh tak terduga, bahwa ada seorang Jawa yang mampu menunjukkan awal yang sama. Bahkan langsung berdiri sama tinggi. Walau bukan tak percaya bahwa Naga Nareswara dan Kama Kangkam sengaja memberi kesempatan, Kiai Sambartaka ingin menguji sendiri secara langsung.

Upasara menggeser kakinya. Tangan kirinya bergerak perlahan, dari bawah, berhenti di dekat pusar, sementara pandangannya lurus ke depan. Gerahamnya beradu. Perlahan telapak tangan kiri yang membuka bergerak naik, sama perlahan, seakan mengurut udara mengumpul di dada. Tangan kanannya masih terkulai, agak ditarik ke belakang karena tubuhnya sedikit miring. Angin dingin mengalir seakan disemburkan dari suatu gua entah di mana.

Nyai Demang mundur dua tindak. Pukulan Beku, bukan hanya andalan dan memperlihatkan ciri khas pukulan tanah Hindia, akan tetapi juga pukulan maut yang tiada duanya. Merupakan ciri khas, karena dalam Pukulan Beku ini terkandung segala ajaran mengenai ilmu keras dan ganas, yang dibumbui dengan beberapa ajian tertentu. Lebih dari negara lain, pukulan dari tanah Hindia mengandung tenaga-tenaga yang tidak sewajarnya. Ada pengembangan ilmu kebal yang berbeda dengan ilmu kebal dari negeri Tartar, misalnya.

Melatih otot menjadi kuat, kulit tidak mempan kena sabet, adalah hal yang biasa. Akan tetapi ilmu dari negeri Kiai Sambartaka lebih khusus mengembangkan lagi. Sehingga adalah hal yang biasa jika dalam keadaan sehari-hari pun mereka selalu melatihnya. Tidur di atas tumpukan pedang, keris dengan menusuk punggung atau dada adalah merupakan latihan sehari-hari. Di tengah kepulasan tidur, ditusuk merupakan kebiasaan sehari-hari.

Demikian juga halnya dengan jenis-jenis pukulan yang dilancarkan. Ada campuran antara tenaga dalam murni dan tenaga yang untuk mereka yang berasal dari wilayah lain masih misteri. Karena bahkan tanpa bergerak pun, pukulan bisa dilontarkan, dan segala jenis paku, keris, pedang, tiba-tiba saja bisa menyusup ke dalam anggota tubuh lawan!

Bahwa jenis ilmu semacam itu juga banyak berkembang di tanah Jawa atau di mana saja, sebenarnya juga bukan sesuatu yang luar biasa. Hanya saja Nyai Demang mengetahui bahwa jenis pukulan semacam itu digolongkan dalam pukulan hitam. Yang dianggap tidak cukup ksatria. Karena bersekutu dengan tenaga setan-iblis-hantu yang tidak suci. Namun, setan atau bukan, keganasan ilmu itu diakui. Dan kini dimainkan sendiri oleh salah seorang empu yang menguasai. Yang dijuluki Kiai Kiamat. Karena setiap kali pukulan maut bekerja, lawan tamat riwayatnya.

Keunggulan utama Pukulan Beku, terutama sekali bukan karena pengerahan tenaga yang luar biasa besar, atau meremukkan batu gunung. Justru sebaliknya, keunggulan Pukulan Beku terutama sekali mengarah kepada usaha menghentikan atau membekukan kekuatan lawan pada satu titik yang lemah!

Kalau pukulan Kiai Sambartaka bisa menyambar lengan Upasara, pada saat itu pula lengannya akan membeku. Semua darah, urat, nadi, otot, saraf di bagian itu akan membeku. Mati rasa! Bisa dibayangkan akibatnya jika Pukulan Beku singgah di tempat yang berbahaya. Jantung atau ulu hati akan membeku selamanya. Satu tarikan napas sangat berguna bagi kelangsungan pertempuran atau justru kehidupan. Kalau terhenti sesaat atau beberapa saat bisa diperkirakan sendiri akibatnya!

Nyai Demang telah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kehebatan Pukulan Beku. Selama berkenalan, Nyai Demang menyaksikan bahwa sebatang pohon yang diusap oleh Kiai Sambartaka menjadi beku. Bagian yang tersentuh itu mendadak mati seketika. Sehingga kelangsungan proses kehidupan secara keseluruhan terganggu. Diusapkan ke kaki seekor kuda, kaki itu seketika membeku: aliran darah, urat nadi, saraf, tak bekerja lagi. Melepuh dan menjadi hitam kaku tanpa bisa digerakkan.

Untuk lawan yang bergerak pun, keampuhan Pukulan Beku tak menjadi berkurang karenanya. Dalam perjalanan menuju Trowulan, Nyai Demang melihat Kiai Sambartaka bisa menangkap ikan di Brantas hanya dengan menepuk air sungai. Seketika ada bagian air yang membeku, seolah menjadi es. Berikut binatang yang tengah berenang di air tersebut. Ketika bongkahan itu diangkat, ikan yang berada dalam air membeku itu telah matang dan siap disantap. Kalau ini mengenai jalan darah atau jalan napas Upasara, nasibnya sama dengan dua murid Kiai Sumelang Gandring. Dua murid Kiai Sumelang Gandring juga tewas karena Pukulan Beku. Bahkan untuk muntah darah pun tak sempat!

Suara Lewat Gendang Telinga

Bagi Naga Nareswara, ilmu pukulan dari tanah Hindia memang mengandung teka-teki. Di negerinya yang berkembang adalah ilmu menotok jalan darah. Dengan totokan ini jalan darah membeku, dan orang yang terkena akan kaku karenanya. Namun, dibandingkan dengan pukulan Mandeg-Mangu, tidaklah terlalu ganas. Karena totokan hanya menghentikan sementara, sedangkan Pukulan Beku agaknya justru diciptakan untuk akibat seterusnya! Dan wilayah yang terkena pukulan bukan hanya satu titik dalam aliran darah, melainkan bisa di mana saja, dengan wilayah yang lebih luas.

Paman Sepuh Dodot Bintulu yang sejak tadi berdiam diri, kali ini sedikit menggerakkan caping penutup wajahnya. Seakan ingin melihat lebih jelas apa yang dilakukan Kiai Sambartaka.

Upasara mengangguk pendek. Separuh anggukan, karena Kiai Sambartaka sudah bergerak. Membalikkan tubuh, bergulung maju, dengan kedua tangan langsung ke arah leher, jantung, ulu hati, pusar Upasara. Benar-benar pukulan maut!

Naga Nareswara sendiri tak menggeser kakinya ketika menjajal Upasara. Kama Kangkam meskipun bergerak maju, akan tetapi jelas arah sabetannya, walau mengarah leher, tidaklah seganas Kiai Sambartaka. Yang sekali menggempur mencakup semua bagian sumber kehidupan.

Upasara tidak mendengus, tidak menarik napas lebih panjang. Pandangan matanya tetap ke arah Kiai Sambartaka, seakan ingin menguasai lewat mata. Tangan kirinya yang terbuka sampai di depan dada, disorong ke depan. Dua pukulan Kiai Sambartaka seakan dibiarkan menerobos masuk, memilih sasaran yang empuk. Tapi pada saat yang bersamaan, tangan kanan Upasara bergerak bagai kitiran lepas. Memutar dan menghadang!

Blek. Blek.

Bukan suara plak atau adu tenaga yang keras. Melainkan suara lembek. Dua serangan Kiai Sambartaka berhasil menyentuh tangan kanan Upasara Wulung! Tapi sebaliknya tangan kiri Upasara seakan bisa menempeleng Kiai Sambartaka, yang terpaksa secepatnya membuang diri ke belakang dalam suatu putaran cepat sekali!

Lagi terdengar suara menirukan nada Kiai Sambartaka! Seakan mewakili sikap Kiai Sambartaka yang tak mau mengakui kekalahannya. Sebenarnya, bagi yang berpandangan sangat jeli, dalam satu gebrakan ini boleh dikatakan Kiai Sambartaka bisa dikalahkan dengan telak. Lebih dari Naga Nareswara maupun Kama Kangkam. Dua dewa utama hanya berhasil dibuyarkan serangannya, akan tetapi Kiai Sambartaka kena gempur!

"Baru sekarang saya tahu, Penolak Bumi memang ilmu yang menarik, Bejujag, kamu ternyata pantas mendongak."

Pujian Paman Sepuh terdengar tulus. Dalam pandangan Paman Sepuh, gerakan satu gebrakan itu sudah menggambarkan kemenangan Upasara Wulung. Dengan kejelian yang tinggi Upasara sengaja melepaskan pedangnya. Seakan mau mengimbangi keunggulan Kiai Sambartaka yang lihai dalam tangan kosong. Dengan keunggulan siasat, Upasara justru membiarkan Kiai Sambartaka masuk menyerang dan menyalurkan Pukulan Beku. Dibiarkan mengenai sasaran, sementara ia sendiri membarengi dengan pukulan!

Apa pun yang terjadi, Kiai Sambartaka masuk perangkap! Pukulan Beku berhasil menyentuh tangan kanan Upasara, akan tetapi tak berarti banyak. Justru karena tangan kanan Upasara sejak terkena pukulan Halayudha tak mampu digerakkan secara sempurna. Justru karena tangan itu sendiri sebenarnya telah membeku. Inilah hebatnya Upasara!

Kiai Sambartaka bisa terjebak dalam kesalahan yang fatal! Seorang tokoh kaliber dewa yang menguasai ilmunya menjadi pendekar utama di Hindia, yang menganggap ilmunya lebih tua, justru dimakan seorang yang masih muda. Langit dan bumi bisa tak percaya karenanya!

Namun sesungguhnya, inilah ilmu silat. Bukan hanya kemampuan bergerak, memukul, atau melihat kekuatan dan kelemahan lawan, tetapi juga pikiran jernih. Pikiran bersih untuk menangkap dan bertindak dalam waktu yang singkat. Ilmu boleh dilatih setinggi langit, strategi boleh dilatih serumit bumi, akan tetapi itu tetap bukan segalanya.

Hal ini sangat jelas terbukti dalam gerak jawaban Upasara. Pasti bukan suatu kebetulan kalau tiga kali Upasara berhasil membaca dan mementahkan serangan lawan-lawannya. Bahkan sebenarnya empat kali, kalau pertarungan pertama melawan Paman Sepuh ikut dihitung!

Pertama, Upasara masuk ke tengah perputaran tenaga. Menusuk langsung ke tengah lingkaran, dan mementahkan putaran tongkat emas Naga Nareswara. Kedua, dalam menghadapi sabetan pedang Kama Kangkam. Keras diadu keras, tapi saat yang sama dilepaskan untuk menghadapi sabetan kedua. Tenaga sabetan pertama berhasil dimentahkan dengan melepaskan pedangnya, yang justru pada sabetan kedua tenaganya menjadi utuh, pulih, tak terpancing getaran sabetan pertama!

Ketiga, tenaga pukulan Kiai Sambartaka dipancing masuk untuk mengenai tangan yang sudah tidak bergerak, dan kemudian mencuri satu tamparan kecil. Ini berarti tiga jenis serangan yang berbeda, dengan cara pemecahan yang berbeda pula.

Dalam pandangan mata, Gendhuk Tri memang tidak melihat sesuatu yang hebat dan luar biasa. Gerakannya sederhana, hanya sangat cepat. Namun akibatnya tidak seperti ketika dua belas murid Kiai Sumelang Gandring mati seketika. Namun Gendhuk Tri bukannya tak mengetahui bahwa apa yang baru saja terjadi tak kalah ganas.

Hanya Gendhuk Tri tak melihat secara teliti. Tidak juga Nyai Demang. Tak sempat mengetahui cara pemecahan yang dipakai Upasara. Satu-satunya yang memberi komentar adalah Paman Sepuh! Komentar yang membuat Kiai Sambartaka merasa panas-dingin tubuhnya. Karena yang dipuji Paman Sepuh tetap ilmu Penolak Bumi. Ini berarti Paman Sepuh ingin menekankan bahwa Bantala Parwa tetap yang lebih unggul dari yang lain. Tak perlu dimainkan oleh Eyang Sepuh yang tetap dipanggil Bejujag-ilmu Penolak Bumi tetap bisa mengatasi!

Inilah komentar yang paling menyakitkan. Memang dalam pertarungan satu gebrakan masih jauh dari ukuran menentukan siapa pemenangnya. Akan tetapi juga bisa diperhitungkan dalam gebrakan pembukaan kali ini, Upasara berhasil mengungguli Kiai Sambartaka, yang agaknya justru tak menduga akan dilumpuhkan. Kalau Paman Sepuh lebih memuji Eyang Sepuh dengan ilmu Penolak Bumi-nya, sebenarnya lebih mengatakan apa adanya. Bukan sekadar memojokkan Kiai Sambartaka.

Apa yang dipertontonkan Upasara Wulung sebenarnya pertunjukan murni dari seluruh rangkaian ilmu Bantala Parwa, atau Kitab Bumi. Yang baru saja dimainkan adalah bagian Penolak Bumi. Keutamaan dalam mempelajari ilmu silat, sebenarnya bukanlah sekadar menghafal gerakan atau cara berlatih napas untuk menghimpun tenaga. Akan tetapi, lebih dari semua itu adalah menyelami kearifan yang tertulis atau tersembunyi dalam baris-baris kidungan. Itulah sesungguhnya inti, sukma ajaran silat.

Bahwa Upasara bisa menangkap lebih total dan utuh, karena memang pada dasarnya Upasara berhasil menyerahkan diri secara sepenuhnya kepada apa yang dipelajari. Sikap batin itu telah tercermin semenjak ia dididik dalam Ksatria Pingitan. Upasara memperlihatkan penguasaan ilmu Penolak Bumi dari inti yang paling dalam. Bukan dari gerakan, melainkan dari cara memecahkan persoalan, cara mementahkan, cara menolak, cara menjadi tumbal.

Ilmu Kitab Bumi, pada bagian delapan jurus terakhir yang disebut Penolak Bumi, seperti hanya untuk mementahkan jurus-jurus dalam Dua Belas Jurus Nujum Bintang! Tetapi sebenarnya, intinya bermula dari mementahkan semua serangan! Begitu menghadapi berbagai serangan, dengan sendirinya daya tumbal itu muncul. Tidak berlebihan kalau Paman Sepuh menyebutkan bahwa yang lebih hebat dari Upasara adalah yang menciptakan ilmu itu. Pujian kepada Eyang Sepuh.

"Bejujag, apa benar kamu bisa memainkan ilmu itu seperti Upasara ini? Karena kupikir gendang telingamu sekarang ini sudah membatu, sehingga tak bisa mendengar kata-kataku."

Upasara seperti mendapat penjelasan dari Paman sepuh. Bahwa di samping pancingannya memanggil Eyang Sepuh, Paman Sepuh mampu mengetahui bahwa Upasara memainkan ilmu memindahkan tenaga suara. Tumbal atau penolakan atas serangan Kiai Sambartaka dilakukan dengan memindahkan suara, dengan cara meneroboskan suara dari gendang telinga kanan melewati gendang telinga kiri, dan sebaliknya. Dengan kata lain, gendang telinganya menjadi kosong, meneruskan getar suara paling keras dari kanan dan kiri, sepenuhnya!

Semua Jalan Adalah Kebenaran

KIAI SAMBARTAKA bukannya tidak menangkap apa yang dikatakan Paman Sepuh. Dalam penilaiannya, Upasara Wulung memang mempunyai dasar dan alasan untuk terjun ke gelanggang para dewa. Keunggulan atas dirinya, bagi Kiai Sambartaka, menunjukkan kelas Upasara Wulung yang sesungguhnya.

Bahwa kebetulan tangan kanannya sudah setengah lumpuh, itu tidak menjadi alasan. Karena siapa pun bisa saja tangannya lumpuh atau sangat kuat. Namun nyatanya, Upasara mampu mempergunakan kelumpuhannya sebagai kekuatan. Mampu menerjemahkan sebagai kekuatan dan atau kekuatan yang bisa dipahami. Meskipun bercekat, diam-diam Kiai Sambartaka sedikit bersyukur. Karena dari gebrakan pertama ia menjadi sadar bahwa kini tak bisa sembarangan sedikit pun.

Di lain pihak, walau Upasara mampu menggagalkan serangan Naga Nareswara, Kama Kangkam, dan juga Kiai Sambartaka, kepercayaan dirinya tidak bangkit utuh dengan sendirinya. Justru sebaliknya, hatinya menjadi kebat-kebit. Tiga kali gebrakan yang dilakukan lebih banyak membuka mata batin lawan-lawannya, yang biar bagaimanapun masih berada satu tingkat di atasnya. Rasa-rasanya, penguasaan dirinya belum sepenuhnya bisa dibandingkan para tokoh utama saat ini. Karena kemenangan sementara ini bukanlah sesuatu yang bisa disadari dan dikuasai sejak awal. Maka bukan basa-basi, kalau Upasara menunduk hormat kepada keempat tokoh yang berdiri mengelilingi.

"Sungguh tak terhingga ucapan terima kasih saya, atas perlakuan baik para ksatria utama di jagat ini."

Paman Sepuh menggerakkan tangan, menyuruh Upasara berdiam. "Bejujag, kamu masih main petak umpet?"

Angin seperti bergetar dari berbagai arah ketika terdengar jawaban. "Aku malu untuk memunculkan diri. Lima puluh tahun lalu aku mengundang kalian turun dari kayangan, tempat para dewa bersemayam. Kukira ada alasan untuk mendatangkan kalian semua. Setelah kupikir-kurasa-kulakukan, aku menyadari betapa tololnya aku ini. Kenapa kita berebut menemukan satu-satunya jalan kebenaran, kalau ternyata semua jalan menuju kepada kebenaran?"

Panjang jawaban Eyang Sepuh, akan tetapi bahkan Upasara tak bisa memastikan dari mana asal suara. Sebentar terdengar sangat dekat, sebentar menjauh. Dari berbagai arah, yang tak bisa dipastikan.

"Lalu, apakah kamu menganggap main sembunyi seperti ini lebih baik daripada memperebutkan Jalan Budha?"

"Iya."

"Kalau itu berarti mengundurkan diri, untuk apa dipaksa-paksa?" Suara Naga Nareswara meninggi. "Kita sudah datang, sudah saling menjajal diri. Sungguh sayang kalau dilewatkan percuma."

"Bejujag, kamu sudah dihitung kalah."

"Itu lebih baik. Aku memang sudah kalah sejak mengundang kalian."

"Baik, kalau begitu, kita akan melanjutkan pertemuan tanpa kamu. Naga Nareswara, Kiai Sambartaka, Kama Kangkam, Upasara Wulung, marilah kita lanjutkan. Karena kita semua ada lima orang, lebih baik kita saling tempur saja. Setiap sepuluh jurus, kita berganti lawan. Boleh pilih yang mana saja. Sampai tinggal satu orang yang masih bisa berdiri. Bagaimana?"

Naga Nareswara mengangguk.

Kama Kangkam menekuk tubuhnya.

Kiai Sambartaka menunduk.

Upasara menahan udara di dadanya ketika menghormat.

"Tapi bagaimana mungkin," mendadak suara Gendhuk Tri bagai kaca pecah. "Kalau hanya lima orang, berarti setiap kali ada yang beristirahat lebih dulu."

Sederhana kata-kata Gendhuk Tri, tetapi berhasil menyusup. Memang jika semua bertempur satu lawan satu, berarti ada satu orang yang menganggur selama sepuluh jurus pertama. Walaupun menganggurnya bisa bergiliran, akan tetapi agaknya ini tidak cocok dengan keinginan untuk bertempur terus-menerus tanpa ada yang berhenti, sampai tinggal satu orang yang masih sempat berdiri.

Jalan pikiran Gendhuk Tri sebenarnya ingin mengistirahatkan Upasara Wulung. Akan tetapi justru terbalik. Paman Sepuh yang berjingkrak.

"Bejujag, kamu masuklah kemari. Untuk menemani kami!"

Kalau ini terjadi, berarti Eyang Sepuh akan turun ke gelanggang. Mau tidak mau akan ada giliran untuk bertempur melawan Upasara Wulung! Sungguh mati, Gendhuk Tri tak bisa membayangkan hal itu akan terjadi. Biar bagaimanapun, rasanya tak mungkin Upasara mempunyai keberanian untuk menggempur Eyang Sepuh. Sepuluh titisan yang akan datang tetap tak akan mengubah hal ini.

Celakanya juga, tak mungkin Eyang Sepuh maupun Upasara berpura-pura saling menggempur. Pada tingkat pertarungan seperti sekarang, hal itu boleh dipastikan tak akan terjadi! Ini sama juga mengeroyok keempat peserta yang lain! Tak masuk akal hal semacam ini akan dilakukan oleh Eyang Sepuh!

"Kenapa harus mengganggu Eyang Sepuh? Aku masuk cukup untuk..."

Suara Gendhuk Tri terputus di tengah jalan. Jaghana, Wilanda, dan Nyai Demang secara bersamaan telah melindungi Gendhuk Tri. Jalan pikiran mereka sama! Kalau sampai Gendhuk Tri berbuat nekat, malaikat pun tak bisa mencegah kematian!

"Tikus-tikus dengan lidah berbisa, kalian membuat aku tidak sabar saja." Suara Naga Nareswara yang meninggi membuat Paman Sepuh menggerakkan capingnya.

"Majulah. Kita mulai."

Tanpa membuang waktu, tongkat emas bergelang menerjang ke arah caping Paman Sepuh. Pada saat yang bersamaan, Kiai Sambartaka menggulung kedua tangannya, menyampuk tubuh Upasara Wulung. Dalam satu kejapan, uap putih bergulung di tengah, saling menerjang!

Pertempuran telah mulai! Bahkan kesiuran angin saja membuat Jaghana, Wilanda, Gendhuk Tri, dan Nyai Demang mundur lebih jauh lagi. Begitu juga kedua murid Kama Kangkam. Kesiuran angin betul-betul bagai maut. Menyambar, menusuk, mematikan.

Kama Kangkam yang berada di tengah sendirian, menggenggam pedang panjang dengan kedua tangan dan menggerung keras. Lalu tubuhnya melayang ke arah satu titik. Antara terlihat dan tidak, dari arah yang digempur Kama Kangkam melayang satu getaran angin yang aneh. Sejuk, lembut, meliuk, dan berputar bersama tubuh Kama Kangkam.

"Eyang!" Teriakan Jaghana seperti rintihan, semacam jeritan bahagia sukma yang memasrahkan diri masuk ke pintu surga.

Wilanda menggigil tak berani bergerak sedikit pun. Gendhuk Tri bahkan tak berani menelan ludahnya. Hanya Nyai Demang yang menghela napas sambil menutupkan kedua matanya. Di antara semua yang menyaksikan pertarungan, barangkali hanya Nyai Demang yang sedemikian luas pengetahuannya, dan sedemikian haus menyelami berbagai ilmu persilatan kelas dunia. Nyai Demang yang mengetahui secara teori ilmu-ilmu dari negeri Tartar, dan kemudian juga mengenal ilmu dari negeri Hindia.

Adalah keinginan yang wajar jika Nyai Demang ingin menyaksikan apa dan bagaimana ilmu-ilmu kelas dunia yang didengar dan dipelajari itu dimainkan oleh tokoh-tokoh kelas dunia. Akan tetapi justru sewaktu kesempatan itu datang, Nyai Demang menutup kedua matanya. Untuk pertama kali, Nyai Demang tak tahan melihat apa yang ingin dilihat. Sukmanya seperti terbetot dan tercabik-cabik. Dan ini bukan semata-mata karena Upasara Wulung tengah bertarung di tengahnya. Terutama karena kesadaran bahwa kematian dan penguasaan ilmu itu tak bisa dibedakan.

Lain yang dirasakan oleh Wilanda. Ia berjongkok, menutup mata karena merasa tak mempunyai tenaga sama sekali. Bahkan seekor nyamuk yang hinggap tak mungkin bisa ditepuk. Semua kekuatannya telah lolos, hilang entah ke mana. Begitu juga Gendhuk Tri yang tak tahu harus berbuat apa. Menyaksikan jalannya pertempuran pun tak bisa leluasa.

Bagi Jaghana, teriakan menyayat yang meluncur dari bibirnya menandai bahwa rasa kecewa dan gembira menyatu. Kecewa dan gembira karena pada akhirnya Eyang Sepuh dipaksa muncul! Bagi batin Jaghana, biar apa pun yang terjadi, Eyang Sepuh tak perlu mengotori diri untuk tampil kembali. Tapi Kama Kangkam bisa menentukan arah, dan memaksanya!

Semua Kebenaran, di Mana Jalan...

EYANG SEPUH berada dalam medan pertempuran! Walau Jaghana tidak melihat jelas. Pastilah Kama Kangkam tidak sekadar menyerang angin hingga jungkir balik. Pedang panjang menggores, mengiris, menebas, menerjang dengan torehan bertenaga. Sementara hanya goyangan angin yang kadang terasa memberat, menekan, silih berganti.

Yang membingungkan Wilanda ialah kenyataan bahwa sebenarnya Eyang Sepuh tidak sedang menggunakan ilmu meringankan tubuh. Dalam soal ini, Wilanda merasa belum tertandingi. Namun, kalau sosok tubuh Eyang Sepuh tidak terlihat, agaknya karena mempergunakan ajian manjing ajur-ajer, atau ajian bisa berada di mana saja. Itu salah satu ajian untuk pergaulan. Dalam arti harfiah, bisa bermakna dapat bergaul dengan siapa saja dari golongan mana saja. Dalam tingkat Eyang Sepuh, juga berarti bisa berada di berbagai tempat, seakan, pada saat yang sama.

Sebenarnya, kalau Wilanda mencoba berpikir, sedikit-banyak keunggulan ada pada pihaknya. Dari enam tokoh utama dunia persilatan yang tengah bertarung ini, tiga di antaranya mewakili Perguruan Awan, baik secara langsung atau tidak. Yaitu Eyang Sepuh dan Upasara Wulung. Sedangkan Paman Sepuh Dodot Bintulu juga bisa dimasukkan, karena beliau adalah "adik seperguruan" Eyang Sepuh. Dan kalau ini diperhitungkan satu lawan satu, berarti ketiga tokoh itu bisa memilih menghadapi tokoh dari Jepun, Hindia, maupun dari Tartar!

Akan tetapi kenyataannya, medan pertarungan tidak seperti itu. Melainkan mereka saling menggempur, sehingga kawan seperguruan pun terpaksa bertarung. Dalam menentukan gelar lelananging jagat, tidak terbedakan mana saudara mana bukan. Dari sisi ini, Wilanda benar-benar menyesal. Timbul secuil pertanyaan dalam lubuk hatinya: apakah ilmu silat justru menjadi pemisah persaudaraan?

Sementara penonton berpikir sesuai dengan jalan pikirannya, pada saat itu yang berada di tengah pertarungan sedang bergulat antara mati dan hidup. Satu tarikan pukulan bisa mengakibatkan kematian. Kalau tidak kematian lawan, ya kematian diri sendiri. Sehingga setiap gerak yang paling kecil pun mempunyai perhitungan yang sangat teliti.

Upasara tidak sempat berpikir banyak dan bercabang. Apa yang dihadapi tidak memungkinkan untuk itu. Pedang hitam kurus menyabet, menutup, dan serentak dengan itu berusaha menerobos cengkeraman Kiai Sambartaka. Yang dengan sepenuh tenaga mencoba menindih Upasara. Pukulan Beku yang menjadi andalannya seakan membekukan udara di sekitar. Beberapa kali tangan kanan Upasara yang susah bergerak sempurna nyaris menjadi sasaran!

Kalau sekarang tangan kanan Upasara kena tersentuh, jangan berharap akan bisa memakai tipuan yang sama! Kiai Sambartaka mampu mengubah tenaga penyerangan beku menjadi tenaga yang menghancurkan. Digempur ketat seperti itu, Upasara hanya mampu bertahan. Gempuran arah atas berganti dengan gempuran kaki. Yang menguntungkan Upasara hanyalah jarak dan jangkauan pedang kurusnya lebih panjang. Dan agaknya Kiai Sambartaka merasa ngeri untuk merampas. Keuntungan kedua adalah Upasara lebih menunggu dibandingkan dengan Kiai Sambartaka. Serangan pertama Kiai Sambartaka yang agaknya tidak sabar menunggu lama. Pada titik itulah Upasara menerjang!

Berjalan lima jurus, walau posisi Upasara bertahan, akan tetapi sesungguhnya malah menunjukkan beberapa keunggulan. Delapan Jurus Penolak Bumi dengan sebat dimainkan dalam satu tarikan jurus yang terus mengalir. Memecah dan mencegah serangan Kiai Sambartaka yang semakin tidak sabar. Masuk ke jurus ketujuh, Kiai Sambartaka mendadak mengubah serangannya. Kedua tangannya membuka, dan mendadak tubuhnya berputar. Kali ini Kiai Sambartaka menggertak dengan tangan kiri menghantam ulu hati Upasara. Tanpa memedulikan sabetan pedang. Karena pada saat yang bersamaan, tangan kanan dan kedua kakinya menggunting tubuh Upasara.

Upasara menarik pedangnya dan menggertak ke arah serangan tangan kiri lawan. Akan tetapi pada saat itu tangan kanan yang justru maju cepat sekali, dibarengi guntingan dua kaki, dan tangan kiri ditarik! Begitu Upasara mengubah sedikit arah tebasan pedang, kaki kiri menggantikan posisi penyerangan tangan kanan, sementara kedua tangan dan kaki melipat habis tubuh Upasara! Inilah jurus yang disebut Tiga Langkah Kresna. Atau yang dikenal Upasara dengan julukan tiwikrama, dalam gerakan aslinya!

Inilah tenaga Kresna yang berubah menjadi dahsyat. Seorang ksatria yang bertenaga raksasa dengan sepuluh kepala dan tubuh kebal mampu menahan aliran banjir dan lahar gunung yang paling panas. Mampu berdiri sampai ke langit! Betul-betul mencengkeram tanpa ampun. Tumbal permainan Upasara, sebentar ke arah selatan, sebentar ke arah utara, berbalik ke kanan, dan terpaksa memutar. Upasara mengertakkan giginya, dan mendadak tubuhnya berputar kencang, meluncur lurus. Bagai angin puting beliung!

Jaghana mengertakkan giginya. Jurus penyerangan sambil memutar tubuh adalah jurus yang paling banyak menguras tenaga dan berbahaya. Karena dalam keadaan berputar kencang dan tubuh melayang, lawan akan mudah terkena serangan, dan sekaligus membuka diri pada serangan lawan. Jaghana mengenal sekali, karena penyerangan dengan memutar tubuh adalah ilmu yang menjadi andalannya. Yang hanya dikeluarkan kala terpaksa.

Agak mengejutkan, justru Upasara yang dalam satu gebrakan terpaksa bisa menampar Kiai Sambartaka, kini ketika memasuki jurus kesembilan sudah mengeluarkan ilmu simpanan. Upasara tak melihat pilihan lain! Daya tindih serangan Kiai Sambartaka memang membuat tangan atau kakinya seolah bergumpal dan membeku, sehingga untuk bernapas sangat menyakitkan.

Hampir semua jago silat memang sengaja menguasai udara sekitar medan pertempuran dengan menindih dan menguasai. Boleh dikatakan siapa yang menguasai udara, dialah yang menguasai lawan. Biasanya udara menjadi tipis atau panas, sehingga lawan akan tersengal-sengal. Akan tetapi Kiai Sambartaka mampu mengubah menjadi gumpalan! Inilah kehebatan ilmu Hindia.

Dan Upasara yang merasa makin tertindih, membebaskan dengan serangan bergulung di tengah udara! Ini berarti Upasara melepaskan ilmu Kitab Bumi! Karena inti Kitab Bumi yang diajarkan selalu memakai kekuatan bumi. Mengambil tenaga bumi untuk menghadapi lawan. Dengan melayang di angkasa, berarti Upasara membebaskan sepenuhnya dari ketergantungan tenaga bumi. Dengan cara ini Upasara berusaha menumbalkan, atau mengorbankan diri atas pengaruh bumi. Yang berarti juga membuyarkan daya tindih angin beku dari Kiai Sambartaka. Akan tetapi memasuki suatu wilayah tenaga baru. Bukan tenaga bumi.

Kiai Sambartaka mengeluarkan desis panjang karena sama sekali tidak menduga bahwa Upasara juga mampu mengubah sama sekali jurus-jurusnya! Seakan anak kemarin sore yang melupakan satu permainan dan bermain yang lain. Kiai Sambartaka seperti menghadapi lawan yang lain, pada kejap yang bersambungan!

Upasara memang mencoba apa yang selama ini dipahami dalam kidungan Tumbal Bantala Parwa. Inti kidungan itu sebagian tadi diucapkan oleh Eyang Sepuh:

Jika semua jalan adalah kebenaran
untuk apa kita memperebutkan
jika semua kebenaran adalah jalan
apa itu kebenaran
mana itu jalan
semua jalan adalah semua kebenaran
semua perebutan
adalah kebenaran
adalah jalan!


Bait pertama dalam kidungan itu diucapkan Eyang Sepuh sebagai kata-kata ketika menghadapi pembicaraan Paman Sepuh Dodot Bintulu. Akan tetapi bagi Upasara memberi semacam petunjuk untuk memahami gencetan Kiai Sambartaka. Nyatanya, tindihan Kiai Sambartaka menjadi buyar. Gumpalan udara yang tadinya membeku bisa dihirup oleh Upasara yang tetap menggulung di udara, dengan serangan bolak-balik seakan memutari Kiai Sambartaka! Ini luar biasa.

"Cukup. Sepuluh jurus kedua!"

Belum Upasara hinggap di tanah, Kama Kangkam telah datang.

Sebelum Ada Kawan, Jadilah Lawan

KAMA KANGKAM menyentakkan samurai, dan dengan dibarengi "ciaaat"an panjang, memotong lambung Upasara. Upasara menarik pedangnya hingga lekat ke dada dan menangkis.

Trang!

Sabetan kedua.

Traaaang!

Disusul sabetan ketiga, keempat, dan berubah menjadi tusukan ke arah ulu hati. Trang! Trang! Trang!

Upasara menjajal terus. Memapak setiap serangan yang datang secara berurutan dengan tenaga sabetan yang makin keras, makin kencang, dan makin cepat. Dua puluh kali bunyi trang yang makin pendek jaraknya tetapi makin mantap desakannya, Upasara membarengi tangkisannya dengan sabetan kaki. Tumpuan kaki Kama Kangkam yang menjadi sumber kekuatan berhasil dijegal. Begitu tubuh Kama Kangkam terangkat karena kuda-kudanya jebol, Upasara ganti menebas.

Kama Kangkam mengeluarkan teriakan "ciaaaat" yang membelah telinga sewaktu tubuhnya melayang ke atas. Ini bahaya. Bahaya terbesar. Karena sewaktu tubuhnya melayang tegak lurus, samurai Kama Kangkam mengarah pada jidat Upasara. Lurus, mantap, tepat!

Untuk sepersekian kejap, Upasara merasa nyawanya telah lenyap. Ubun-ubunnya menjadi dingin seperti teriris es! Rasanya tak bisa dibedakan apakah yang mengiris jidatnya persis di tengah pedang panjang ataukah hanya angin. Upasara menjatuhkan tubuhnya ke atas, pedang hitamnya menebas ke arah samping.

Trang!

Dua pedang beradu keras. Seakan saling membelit. Tusukan Kama Kangkam tegak lurus, menjadi sedikit mencong karena tebasan Galih Kangkam. Sebaliknya tangan Upasara menjadi luar biasa ngilunya. Sehingga ketika punggungnya menjadi pengganjal kekuatan dengan gerakan uler kaget, masih belum sepenuhnya bisa menggenggam kencang. Sebaliknya Kama Kangkam juga segera menjauhkan diri. Kini keduanya berdiri dalam jarak dua tombak. Saling menatap, dengan angin mendidih berembus dari semua lubang tubuh. Terutama memancar dari hidung! Siap dengan gerakan penghabisan!

Bagi Upasara, cara bertarung seperti ini memang baru dikenalnya. Ketika memasuki jurus kesepuluh, Upasara tidak menduga dalam waktu seketika lawannya kemudian berganti. Dan Upasara yang merasa sedikit di atas angin sewaktu menggempur Kiai Sambartaka, seakan tidak siap menghadapi Kama Kangkam. Sebaliknya justru Kama Kangkam nampak siap begitu mendengar Paman Sepuh meneriakkan jurus kesepuluh telah berlalu!

Ketidaksiapan Upasara bukannya karena tidak tahu bahwa setelah sepuluh jurus ia harus berganti lawan. Ketidaksiagaannya terutama karena dalam waktu yang bersamaan, yang merupakan sambungan jurus kesepuluh, datang lawan yang lain sama sekali. Pada jurus kesebelas yang dimainkannya! Ini pengalaman baru. Karena berarti ia memainkan partai terusan yang tadi dimainkan Eyang Sepuh!

Seperti juga Eyang Sepuh yang kini menghadapi Naga Nareswara, dan Kiai Sambartaka yang menghadapi Paman Sepuh. Ini juga berarti keadaan bisa berubah sama sekali! Upasara Wulung merasa lolos dari lubang jarum. Nyawanya yang sudah berada di ujung bibir, kembali menyelinap sewaktu meloloskan diri dari gempuran Kama Kangkam yang menusuk dari atas. Dalam keadaan berdiri, berhadapan, Upasara menjadi sadar apa yang sesungguhnya terjadi. Pedang hitamnya ditarik ke dekat dada.

Kama Kangkam, kali ini tidak mencekal dengan kedua tangan. Tapi menggenggam erat pada tangan kanan, dengan posisi membuka. Pedang di arah samping, dadanya terbuka. Yang sedikit menyelamatkan Upasara adalah bahwa tempo serangan ksatria Jepun ini mempunyai jeda sesaat sebelum jurus berikutnya. Kalau gempuran itu bergelombang dan bersambungan seperti yang dilakukan Kiai Sambartaka, barangkali ia sudah tak mampu berdiri lagi!

Sepersekian kejap, pikiran Upasara berurut kembali. Pemusatan pikiran menyatu kembali. Pertarungan kali ini ibarat permainan congklak atau catur bersamaan. Ada tiga papan yang dimainkan, dengan enam pemain. Setelah memainkan sepuluh jurus, masing-masing pemain pindah papan lain, menghadapi lawan yang lain, dengan posisi memainkan apa yang ditinggalkan lawannya. Ibarat kata, Upasara sekarang ini harus memainkan biji catur atau biji congklak pada papan yang tadi dimainkan Eyang Sepuh. Tidak berangkat dari awal, akan tetapi tinggal melanjutkan.

Dengan susunan biji congklak atau biji catur yang sudah dimainkan oleh masing-masing, baik Eyang Sepuh maupun Kama Kangkam selama sepuluh jurus! Ini yang baru saja dipahami! Pertarungan menyeluruh. Sebelum terjun ke gelanggang, Upasara berpikir bahwa ia akan menghadapi Kiai Sambartaka yang langsung menyambarnya dalam sepuluh jurus. Lalu berhenti, dan berganti menghadapi entah siapa selama sepuluh jurus dari awal. Itu yang berada dalam benaknya.

Maka sungguh tak menyangka kalau mendadak saja Kama Kangkam sudah menerkam ke arahnya. Keunggulan Kama Kangkam terutama karena kejelian melihat medan lain, sehingga bisa merangsek ke arah Upasara, yang dipaksa main "di papan catur atau papan congklak" di mana ia memainkan bersama Eyang Sepuh. Dari segi pengenalan medan, jelas Kama Kangkam lebih unggul. Ini yang nyaris membuat ubun-ubunnya terbelah.

Begitu lolos dari lubang jarum, Upasara mengenali cara pertarungan secara menyeluruh seperti ini. Berarti juga dalam bertarung, ia harus memperhatikan suasana sekitar dengan cepat, dan memaksa lawan bermain di "papan permainannya". Atau setidaknya, ia tidak main pada papan di mana lawannya tinggal melanjutkan saja! Upasara menarik udara sepenuhnya, memompa ke dadanya. Hingga menggelembung sempurna. Pasrah. Sumarah. Menyerahkan diri secara total, mengikuti suara, mengikuti gerak yang muncul dari tenaganya.

Seperti ketika mendengar bisikan Eyang Sepuh dalam pembicaraan, yang menjadi petunjuk dari gerakannya menghadapi Kiai Sambartaka. Bait-bait kidungan tentang "kebenaran" dan "jalan" yang bertentangan. Kilatan pikiran itu membersit dengan sendirinya, dan bait-bait kidungan dalam Kitab Penolak Bumi menemukan maknanya. Bahwa kalau semua jalan adalah kebenaran, tak ada lagi kebenaran. Bahwa kalau semua kebenaran adalah jalan, sebenarnya bukan lagi kebenaran dan bukan lagi jalan.

Bersitan sesaat itu yang terwujud dalam gebrakan Upasara yang berani meninggalkan pengambilan pusat tenaga bumi! Dan nyatanya berhasil. Justru karena tidak mengambil kekuatan bumi, Upasara lepas dari pengaruh ilmu Kiai Sambartaka. Kini menghadapi Kama Kangkam, Upasara memusatkan serangan berikut yang bakalan dahsyat, akan tetapi juga mulai memperhitungkan bahwa sepuluh jurus nanti, lawan yang dihadapi bisa siapa saja. Bisa Kiai Sambartaka lagi, bisa Eyang Sepuh, Paman Sepuh, atau Naga Nareswara. Yang jelas bukan Kama Kangkam lagi.

Ini berarti dalam setiap sepuluh jurus, dari lima lawan dihadapi, empat adalah kemungkinan menjadi lawan, dan satu yang jelas tak terulang. Mata Upasara menyempit. Kama Kangkam masih menunggu.

Sebelum ada kawan, jadilah lawan
lawan membuat kita menang
kawan membuat kita tak tenang
hanya lawan yang bisa dikalahkan
hanya kawan yang jadi persahabatan
sebelum ada kawan, jadilah lawan
lawanlah kawan
ilmu tumbal ialah ilmu penolak
kebenaran pun ditolak
sebab kebenaran adalah kawan
kawan adalah kebenaran
setelah ada kawan, jadilah lawan
sebab ilmu tumbal ialah ilmu penolak
menolak kawan, menolak lawan, menolak kebenaran
menolak ialah tidak
tiada kawan, melainkan lawan!


Inilah kuncinya! Upasara menerjang maju!

Timinggila, Jurus Ikan Gajah

KALAU Upasara lebih dulu menerjang maju, berarti ia memapak apa yang menjadi keunggulan Kama Kangkam. Ilmu Jepun adalah ilmu yang keras, tajam, dan mendahului. Dengan gerakan sangat cepat menyabet atau menyodet sekaligus. Saat berdiam diri adalah pemusatan pikiran sepenuhnya. Begitu bergerak dengan berlari kencang, sabetan samurai akan mengenai sasaran. Ataukah sabetannya yang lebih dulu, atau tusukan lawan. Dalam hal ini tak ada kemungkinan lain.

Berbeda dengan ilmu silat dari tanah Hindia maupun Tartar, gerakan-gerakan Jepun tidak mempunyai bunga-bunga. Permainan secara langsung. Upasara mengenai dalam beberapa hal, justru karena mengenai permainan ilmu silat Galih Kaliki yang ternyata mempunyai sumber yang sama. Maka kini ia mendahului!

Jaghana yang berdiri di tepi, seperti mendengar kidungan lirih Upasara. Rasanya, seperti Upasara yang mengumumkan, akan tetapi nadanya seperti dikidungkan oleh Eyang Sepuh. Bukan sesuatu yang luar biasa, mengingat kemampuan Eyang Sepuh yang luar biasa. Kalaupun benar Eyang Sepuh yang mengidungkan dalam hati dan mampu tertangkap oleh Upasara karena gelombang rasa pasrah yang sama, bukan berarti Eyang Sepuh memberi petunjuk perlawanan Upasara. Karena kidungan itu sudah dihafal dengan sendirinya, oleh siapa pun yang mempelajari Kitab Bumi.

Yang menjadi titik cerah sebagai pemecahan adalah bagaimana menerapkan lirik-lirik dalam kidungan itu menjadi gerakan yang mempunyai makna. Sesungguhnya, inilah yang dipuji oleh Paman Sepuh Dodot Bintulu. Karena Eyang Sepuh mampu mengembangkan lirik-lirik dalam kidungan menjadi sesuatu yang bisa ditafsirkan secara luas dan mengena. Saripati ilmu Bantala Parwa adalah ilmu yang dimulai dari penolakan. Ilmu yang mendasari kepada ada yang berasal dari ketiadaan. Dimulai dengan tiada... selain... Peniadaan inilah yang disebut sebagai tumbal, sesuatu yang harus dikorbankan.

Seperti lirik dalam kidungan yang baru saja menggema dalam hati. Dengan menolak arti persahabatan, arti persaudaraan, arti perkawanan, akan menemukan tenaga yang sesungguhnya. Dengan menganggap siapa saja sudah lawan, terbuka kesempatan untuk mengembangkan diri. Karena, hanya dengan adanya lawan, seseorang bisa muncul, bisa maju, bisa melawan.

Pengertian-pengertian ini mempunyai arti yang luas. Karena dengan demikian, Upasara akan menghadapi semua bayangan yang bergerak sebagai lawan. Siapa pun dan apa pun yang melintas harus dikalahkan, ditaklukkan. Apakah itu Kama Kangkam atau Eyang Sepuh, tak ada bedanya. Apakah itu gerakan berbahaya atau tidak, menjadi sama dalam pandangan Upasara. Maka begitu Kama Kangkam mengumpulkan tenaga, Upasara menyerang lebih dulu. Sebelum ada kawan...

Kama Kangkam berlari kencang sekali, memapak serangan Upasara. Sabetan keras merobek udara dan menoreh segalanya. Semua bagian tubuh Upasara diserang tajam. Galih Kangkam di tangan Upasara mengeluarkan desiran angin tajam, sebelum beradu keras lawan keras. Ketika dua tubuh seolah bertabrakan, terdengar beradunya pedang dengan sangat tajam menimbulkan suara yang memekakkan.

Kini bukan hanya Nyai Demang, Gendhuk Tri, dan Wilanda yang terpaksa menutup telinganya, kedua Kama pun menutup telinganya dan mundur sampai delapan langkah! Menjauh dari gelanggang. Gempuran dan gelombang keras lawan keras makin lama makin mencapai puncaknya, setelah mendadak saja suasana berubah bersamaan dengan teriakan Paman Sepuh. Sepuluh jurus kedua telah berlalu. Caping dan tongkat kurus Paman Sepuh telah menutup pandangan Upasara, yang segera menyambut dengan loncatan ke atas. Melewati caping dan galah. Serta-merta dengan itu tangan kirinya menyabet ke bawah dari segala arah.

Menutup segala kemungkinan untuk meloloskan diri. Karena tiba-tiba saja pedang hitam Upasara menutup bagian bawah dengan hujan tusukan, pada kecepatan yang tinggi. Siwamba Siwapatra, desisan Paman Sepuh antara terdengar dan tidak. Seakan mengenali apa yang dilakukan Upasara, tapi sekaligus juga mengagumi bahwa dari ilmu Penolak Bumi bisa dimainkan begitu sempurna!

Siwamba bisa diibaratkan Air Penghidupan. Dalam penguasaan Upasara, air penghidupan adalah air hujan. Tusukan pedangnya berubah menjadi air hujan yang tertumpah dari langit. Hanya saja yang jatuh menusuk bukan air penghidupan, melainkan tusukan pedang yang naik-turun dengan cepat. Itu sebabnya bagian tersebut dirangkai dengan Siwapatra atau gerakan Teratai Merah. Tusukan air penghidupan, menyebabkan teratai merah berkembang, dan terkena! Dalam keadaan seperti ini, Paman Sepuh yang menjadi teratai merah. Kekuatannya tak bisa dipencarkan, karena ia menjadi pusat serangan.

Terdengar batuk-batuk kecil. Serentak dengan itu, bagian tubuh Paman Sepuh mendadak berubah. Seolah menjadi gumpalan raksasa yang mengeluarkan gelombang besar, dengan kibasan angin yang terasakan sampai ke pinggir medan pertarungan. Tubuh tua Paman Sepuh berubah menjadi naga yang mengeluarkan tenaga luar biasa besarnya, dan udara sekitarnya seperti ombak laut yang tersibak dalam gelombang besar.

"Timinggila." Upasara mendesis karena kagum.

Apa yang dipamerkan Paman Sepuh memang pameran kekuatan yang luar biasa. Dalam sekejap, kekuatan dan tubuhnya berubah seakan ikan gajah, atau ikan paus, atau timinggila. Kekuatan ikan gajah yang menyeruak dari dasar laut, dan menyebabkan gelombang sekitarnya terpecah. Ketika ikan gajah menyeruak dari dasar samudra, titik-titik hujan tak menjadi bahaya! Paman Sepuh bukan teratai merah yang diam, melainkan ikan gajah!

Upasara terperangah. Paman Sepuh yang berada di bawah menjadi gagah. Gelombang kekuatannya juga berpengaruh pada suasana sekitar yang mau tak mau kecipratan ulah sibakan tenaga ikan gajah.

"Timinggila Kurda."

Kembali Upasara mendesiskan nama jurus, Ikan Gajah Murka, lebih untuk meyakinkan diri sendiri bahwa lawan di bawahnya memang menyapu apa saja yang ada di sekitarnya. Sebenarnya bagi Upasara ini adalah pengalaman yang paling berharga dalam perjalanan hidupnya sebagai ksatria. Karena apa yang dialami secara langsung, merupakan bagian-bagian yang telah dipelajari!

Seperti diketahui, sumber ilmu silat Upasara yang kemudian berkembang pesat berasal dari Kitab Bumi. Menurut pengakuan yang didengar, Kitab Bumi yang sesungguhnya diciptakan kembali oleh Paman Sepuh, dan mendapat kesempurnaan di sana-sini oleh Eyang Sepuh. Sampai di tangan Eyang Sepuh, tentu saja banyak perbedaan, baik penambahan maupun pengurangan pada bagian-bagian tertentu. Namun di atas semua itu, intisari tetap sama. Maka, baik Paman Sepuh maupun Upasara saling mengenali dasar-dasar apa yang tengah dimainkannya sendiri maupun lawannya.

Bahwa Timinggila adalah raja segala ikan di laut, yang besar dan buas, Upasara bisa mengerti. Akan tetapi bahwa Paman Sepuh bisa mengubah dirinya menjadi kekuatan itu, sungguh membuatnya kagum dan tak habis pikir. Ternyata nama-nama yang dipakai dan atau disebutkan dalam kidungan itu bukan sekadar nama. Bukan merupakan perumpamaan, akan tetapi betul-betul bisa diperhatikan secara jelas.

Kembali Upasara seperti menemukan jalan buntu. Hujan tusukan yang dimainkan seperti mandul dan percuma. Mentah oleh gelombang ombak munculnya Timinggila yang sedang murka. Bahkan mau tidak mau, Upasara terdesak ke arah tempat yang agak jauh, karena tak mampu meniti gelombang untuk mendekat. Tanpa terasa sepuluh jurus kembali berlalu. Mau tak mau lawan yang dihadapi berganti!

Di pinggir lapangan, Wilanda menyadari bahwa matahari sudah makin condong ke barat, dan kegelapan mulai menyelimuti. Akan tetapi tak ada tanda-tanda pertarungan dihentikan sejenak. Bayangan-bayangan yang tengah bertarung-Wilanda tak bisa memastikan apakah yang bergerak enam bayangan atau lima atau hanya empat-masih sama ketika mulai. Wilanda tak bisa mengikuti kini, siapa melawan siapa. Siapa menghadapi siapa, dan siapa yang lebih unggul dari siapa.

Hal yang sama dihadapi Gendhuk Tri. Karena memaksakan diri untuk mengikuti dengan jelas, kepalanya mulai pusing, kesadarannya menurun. Beberapa kali tenaga dalamnya dikerahkan agar terjaga, namun makin lama makin sia-sia. Malam, kini, sepenuhnya kelam.

Kemenangan yang Kalah

DALAM keadaan terang benderang pun susah mengikuti jalannya pertempuran, apalagi sekarang ini. Tanpa cahaya bulan. Bahkan rasanya tanpa desir angin. Gendhuk Tri tertunduk lemas, sementara Nyai Demang beberapa kali menghela napas. Antara sadar dan tidak, Nyai Demang masih memaksa diri melihat kelebatan bayangan. Akan tetapi pandangannya makin kabur.

"Jangan memaksa diri," suara Jaghana terdengar mengalir perlahan. Baru sekarang terdengar suaranya, diawali dengan helaan napas dan batuk kecil. Wajahnya seolah menggigil.

"Apa yang terjadi di medan pertarungan di luar kemampuan kita. Bahkan untuk menyaksikannya. Kita bukan apa-apa dibandingkan para sesepuh. Marilah kita memanjatkan doa dan pujian kepada Dewa yang Mahaagung, agar jalannya dan petunjukNya yang terjadi."

"Apa kita tak bisa berbuat sesuatu?"

"Gendhuk Tri, rasanya berat, akan tetapi saya hanya bisa membenarkan apa yang Gendhuk Tri kuatirkan."

"Paman Jaghana juga tak bisa berbuat apa-apa?"

"Sama sekali."

Geraham Nyai Demang menggertak. "Paman Jaghana tak bisa mengetahui sekarang ini siapa melawan siapa dan bagaimana keadaannya?"

Jaghana menghela napas berat. "Apa bedanya kalau saya katakan Adimas Upasara melawan Kiai Sambartaka atau Eyang Sepuh sekalipun? Pada setiap jurus terjadi pergantian pertarungan. Tak ada yang mampu memisahkan mereka. Hanya maut yang bisa menghentikan."

"Paman..." Suara Gendhuk Tri seakan memohon dengan sangat. "Apakah benar-benar Paman tak mengetahui siapa yang bakal keluar dari medan pertarungan dengan selamat?"

"Tidak."

"Tidak mampu memperkirakan siapa yang bakal keluar sebagai pemenang?"

"Tidak ada yang keluar sebagai pemenang. Inilah kemenangan yang kalah. Bahkan juga termasuk Eyang Sepuh. Saya sedih mengatakan ini. Akan tetapi batin saya makin merintih, tertindih beban yang tak kuasa saya panggul kalau tidak mengatakan hal ini. Saya tak ingin membagi kecemasan, akan tetapi agaknya tak bisa lain. Pemunculan Eyang Sepuh dari kedamaian yang dicapainya adalah kegagalan. Eyang Sepuh dipaksa turun ke gelanggang dan bertempur. Ah, betapa sesungguhnya ilmu silat itu jalan sesat yang maha jahat. Ketika kaki kita melangkah di jalan itu, tak ada langkah surut kembali. Di sana hanya ada lingkaran yang membelit tak keruan ujungnya. Semakin mempelajari ilmu silat, semakin jauh kita tersesat. Pertarungan ini hanya mempunyai makna dari segi ini. Bahwa pada akhirnya semua jago silat di jagat ini harus memamerkan keunggulannya. Secara rela maupun tidak sengaja. Betapa sesungguhnya, Eyang Sepuh lebih bahagia di kedamaian dan Upasara di kedamaian ketika melepaskan semua ilmunya."

"Paman..." Kali ini suara Wilanda yang memohon. "...Inilah titik akhir dan sekaligus awalnya."

"Paman tidak akan..."

Jaghana membisu. Sebentar. "Saya tak cukup berarti. Memiliki atau tidak memiliki ilmu silat, saya tak akan mengubah apa-apa."

"Paman!" Kali ini Wilanda berseru, bersamaan dengan Gendhuk Tri dan Nyai Demang. Badan Jaghana bergoyang-goyang.

Wilanda segera menunduk, bersila, dan menempelkan telapak tangannya ke tubuh Jaghana. Nyai Demang dan Gendhuk Tri juga melakukan hal yang sama. Serentak dengan itu terasakan udara dingin dan panas berganti-ganti bergolak dari tubuh Jaghana. Kalau tadi Gendhuk Tri merasakan pusing, itu karena gangguan penglihatan. Sedangkan Jaghana, sebenarnya, lebih parah lagi! Peristiwa yang dilihatnya lebih melukai jiwanya! Sehingga terjadi keguncangan.

Sehingga Wilanda, Gendhuk Tri, dan Nyai Demang berusaha menenteramkan. Sewaktu usaha ketiganya mulai menyatu, mendadak terdengar teriakan keras. Semacam jeritan yang menyayat. Nyai Demang bergoyang tubuhnya. Napasnya menjadi kacau-balau. Di kejauhan nampak dua tubuh terbanting! Tak bergerak lagi!

"Duh, Dewa."

Rintihan suara Gendhuk Tri menyadarkan semuanya. Bahwa dua orang telah menjadi korban. Dua-duanya telah menjadi mayat. Gendhuk Tri menggigil. Di saat yang kritis, suara Wilanda terdengar tipis mengelus.

"Kedua Kama, murid utama Kama Kangkam, telah menemukan jalan buruk menuju kepada kematian. Sebaiknya kita menyingkir dari tempat ini. Sementara..."

Memang, dua tubuh yang terkapar tak berdaya adalah Kama Kalandara dan Kama Kalacakra. Mereka berdua mengalami proses keguncangan yang sama parahnya. Hanya karena latihan dasar ilmunya berbeda, lebih keras dari Jaghana, ketidakmampuan menahan diri itu berakibat fatal. Keduanya mencabut pedang pendek dan menusuk perut sendiri!

Begitulah dua murid utama pendekar Jepun mengakhiri ketegangan dan guncangan dirinya. Tradisi bunuh diri karena merasa tak mampu mengikuti jalannya pertempuran, menemukan bentuknya. Itu pula sebabnya Wilanda mengusulkan untuk berpindah tempat. Yang segera dituruti, walau dengan berat hati. Barulah mereka berempat sadar, bahwa di sekitar Trowulan banyak dijumpai mayat para prajurit Keraton. Yang agaknya secara sembunyi-sembunyi menyaksikan dan mengikuti pertarungan. Barangkali karena tenaga dalam mereka masih belum kuat, kesiuran angin atau pukulan tak langsung, membunuh tanpa sempat bereaksi.

"Pasrahkan kepada Dewa yang Maha Mengetahui..." Wilanda terus memimpin pemusatan pikiran ketiga kawannya.

Sampai fajar menyingsing. Berarti pertarungan dahsyat sudah berjalan sehari-semalam. Tanpa henti! Tanpa mengendor. Dalam kemelut pertarungan, Upasara sendiri tidak tahu apakah kini sudah fajar atau siang hari. Ia bagai tenggelam dalam gelombang yang makin lama makin menyeret dirinya. Membetot sukmanya. Gerakan-gerakan yang dimainkan telah membuat getaran yang menjalar di seluruh tubuhnya. Upasara tenggelam, larut, menyatu dengan ilmu silat yang dimainkan.

Tak bisa membedakan lagi siapa lawan yang dihadapi. Seolah segalanya berjalan berdasarkan naluri semata-mata. Tubuhnya kuyup oleh keringat dan mengering lagi. Dahaga dan kesesakan datang dan hilang kembali. Pedang hitam ratusan kali mengulang gerak yang sama, sedikit berbeda di bagian awal atau akhir. Kalau sebelumnya sempat mengingat kidungan dan melihat pemecahan, kini sepenuhnya larut. Menyatu. Tak bisa menghentikan atau menunda. Semua mengalir begitu saja. Sampai gelap seluruhnya, dan mendadak gerakannya terhenti begitu saja.

Terlintas dalam kejapan ingatannya bahwa tongkat emas Naga Nareswara seperti menari-nari di depannya, dan mendadak tongkat kurus Paman Sepuh berhasil mengenyahkan. Naga Nareswara berlutut, memegangi dadanya yang terbelah. Torehan melenceng dari pundak kiri, ke arah pangkal paha di sebelah kanan. Luka menganga, hingga rasanya Upasara melihat tulang, otot, dan urat nadi Naga Nareswara. Dan melihat bahwa tongkat emas pusaka itu bergulir, menghantam wajah Paman Sepuh yang seketika seperti mengepulkan debu.

Pada saat yang sama, Upasara merasa ada angin berdesir di pundak kanannya, dan melihat Kama Kangkam tersungkur dengan pedang hitam amblas masuk ke tubuhnya! Upasara berdiri dengan kaki limbung. Ada semacam rasa mual dan mabuk yang menguasai diri sepenuhnya. Tak jelas sekali, apakah Paman Sepuh telah hancur kepalanya, dan Naga Nareswara telah terbelah, atau Kama Kangkam yang lebih dulu tertusuk Galih Kangkam hingga amblas.

"Aku, utusan dari Jepun, menyerah kalah!" Tubuh Kama Kangkam masih berlutut, kaku seketika.

Naga Nareswara mengeluarkan suara mengguntur. "Hebat. Tikus-tikus ini bukan hanya lidahnya yang sakti. Aku puas. Terimalah hormatku."

Tangannya berusaha terangkat dan memberi hormat, sebagaimana kebiasaan ksatria Tartar. Akan tetapi tangan itu telah terlepas, dan tubuhnya terempas!

Bait Terakhir yang Tersisa

INI yang luar biasa! Akhir yang tak terduga. Naga Nareswara terbelah bagai disobek paksa. Terkelupas secara sempurna. Sementara Paman Sepuh hancur bagai debu, rontok seluruh isi kepalanya. Dan Kama Kangkam terpanggang pedang hitam hingga ke gagang. Dalam tarikan napas terakhir, ketiga senopati utama dunia ini mengakui kekalahannya dan memberi penghormatan kepada pemenang.

Kalau dibuat perhitungan secara kasar, Upasara yang bisa muncul sebagai pemenang dengan bersih. Kama Kangkam, ksatria utama dari Jepun berhasil dirobohkan. Sedangkan Paman Sepuh yang lebih dulu unggul, dalam sekejap berikutnya menjadi tak bersisa. Hanya satu perhitungan yang harusnya masih berjalan. Antara Eyang Sepuh melawan Kiai Sambartaka. Yang pasti sudah mencapai titik akhir juga.

Karena dalam pertarungan yang berlangsung tinggi dan penuh dengan ilmu-ilmu utama yang dilontarkan secara bersamaan, tak bisa berakhir sendirian. Nyatanya memang begitu! Hanya saja hasilnya lain! Antara sadar dan tidak, Upasara Wulung melihat bahwa pertarungan Eyang Sepuh dengan Kiai Sambartaka sampai ke bagian yang paling menentukan. Tak bisa dicegah tak bisa dipisah. Hanya akan menghasilkan satu pemenang!

Eyang Sepuh berhasil menguasai semua ilmu Kiai Sambartaka, dan berhasil mempengaruhi getaran udara. Akan tetapi agaknya Eyang Sepuh tidak ingin merebut kemenangan. Dengan penguasaan yang maha sempurna, Eyang Sepuh berhasil membebaskan dirinya, tanpa membunuh Kiai Sambartaka. Pada tingkat yang serba sempurna ini, ternyata Eyang Sepuh tetap mendudukkan dirinya sebagai di atas yang paling atas.

Tubuh Kiai Sambartaka hanya bergulingan di tanah. Tapi akhirnya memang berbeda. Begitu terbebas dari pengaruh ilmu Eyang Sepuh, Kiai Sambartaka bukannya mengucapkan terima kasih atau menerima kalah. Justru sebaliknya. Teriakan mengguntur, mirip jeritan yang memilukan, terdengar menyayat, dan serentak dengan itu dua tangannya memukul Eyang Sepuh! Pukulan terakhir yang menggemuruh!

Pekikannya serta-merta membuat semua binatang berbisa di sekitar Trowulan mendesis dan menyerbu dengan ganas siapa saja yang ada di dekatnya. Kiai Sambartaka mengerahkan ilmunya yang terakhir. Upasara tak menduga sama sekali. Hanya bisa memandang dengan kaki masih limbung. Melihat tanpa bereaksi munculnya ular berbisa, kalajengking yang secara mendadak menyerbu ke arahnya. Juga ke arah Gendhuk Tri, Wilanda, Jaghana, maupun Nyai Demang.

Sebagian binatang berbisa itu muncul dari tanah, sebagian muncul dari tubuh Kiai Sambartaka. Bahwa Kiai Sambartaka mampu menjinakkan dan menggunakan ular kobra sebagai senjata, hal itu bukan sesuatu yang luar biasa. Semua pendeta dari tlatah Hindia menguasai dengan sempurna. Dan Kiai Sambartaka lebih dari sekadar menguasai!

Yang tak terduga ialah bahwa Kiai Sambartaka menggunakan secara licik. Sungguh tak masuk akal bahwa tokoh pujaan yang telah mencapai ilmu sedemikian tinggi masih bisa berbuat busuk! Sungguh tak sepadan dengan sifat ksatria Kama Kangkam maupun Naga Nareswara serta Paman Sepuh. Tapi itulah jalan yang ditempuh Kiai Sambartaka. Terlambat Upasara untuk menangkis. Apalagi yang lain. Dalam sepersekian kejap, segala binatang beracun akan memangsa! Memekik pun tak sempat.

Upasara berusaha berdiri dengan tegak. Akan tetapi puyeng di kepalanya makin berdenyut. Yang bisa dilakukan hanyalah menahan napas. Pada saat itu terasa angin berdesir. Antara kelihatan dan tidak, bayangan putih Eyang Sepuh mendesir, mengibaskan pakaian putih, dan semua binatang berbisa, berikut pukulan Kiai Sambartaka, terarah padanya. Pada Eyang Sepuh! Yang mengambil alih semua bencana dan risiko. Pujian dan segala kehormatan bagi Eyang Sepuh yang mulia! Kiai Sambartaka terbanting, muntah darah kental, dan tubuhnya bergoyang-goyang sebelum akhirnya terbanting ke Kali Brantas dan lenyap!

Kini Jaghana, Wilanda, Gendhuk Tri, dan Nyai Demang bisa melihat jelas. Melihat bayangan tubuh Eyang Sepuh yang bergerak perlahan. Kalau tadinya antara kelihatan dan tidak, sekarang terlihat gerakannya. Lembut. Ringan. Bahkan Jaghana bisa mengamati jubah yang dikenakan Eyang Sepuh ada tanda darah dan luka. Bisa jadi cipratan darah segala binatang terluka. Bisa jadi Eyang Sepuh sendiri yang terluka!

"Eyang!"

Hampir bersamaan, kelima warga Perguruan Awan itu bersujud dan meneriakkan nama yang sama. Terdengar suara batuk kecil. Terdengar suara, antara terdengar dan tidak:

Kenapa menyesali yang pergi
kalau rumput bisa bersemi
berkorban itu melepas harapan
pergi itu lahir kembali
dalam Kitab Bumi
Ada bait terakhir, tak terbaca hati!


Suara batuk menghebat. Disusul batuk-batuk kecil. Bayangan tubuh Eyang Sepuh semakin menjauh, tapi perlahan. Menghilang di kesenyapan. Lenyap. Senyap. Gelap.

Upasara Wulung tertekuk tubuhnya. Samar-samar masih terasa seperti terlibat dalam pertarungan, yang makin lama makin tak bisa dibedakan siapa yang dihadapi, dengan siapa ia bertarung, yang menyeretnya begitu saja, seolah ia dipaksa memainkan jurus-jurus tanpa bisa mengontrol. Semua kemampuan silatnya mengalir begitu saja. Tubuhnya seperti digerakkan oleh kekuatan lain. Gerakan silatnya menjadi, membentuk. Tubuhnya menyerang dan menekuk dengan sendirinya. Lalu korban berjatuhan. Dan Kiai Sambartaka yang berbuat sangat licik dan hina. Lalu pengorbanan Eyang Sepuh.

Sehari-semalam Upasara Wulung selalu terseret dalam lamunan dan lingkaran pikiran yang begitu berat serta meletihkan. Dan tak bisa ditanggalkan. Baru kemudian tubuhnya seperti terseret arus gelap. Malam hari Upasara sadar kembali. Menemukan dirinya dikelilingi Jaghana, Wilanda, Gendhuk Tri, serta Nyai Demang.

"Paman..."

"Tenangkan pikiran, Anakmas Upasara." Suara Jaghana terdengar parau, seperti memaksa dengan sebutan "Anakmas".

"Eyang Sepuh..."

"Eyang sudah tindak."

Suara Gendhuk Tri lebih mengesankan hati yang tersayat dibandingkan keharuan. Upasara Wulung bersila. Menghaturkan sembah.

"Sugeng tindak, Eyang."

Akhirnya, Upasara Wulung dengan ikhlas melepas kepergian Eyang Sepuh. Ikhlas karena sadar bahwa barangkali ini kepergian Eyang Sepuh yang terakhir kali. Pertemuan pertama dan juga pertemuan penghabisan. Pertemuan dengan bayangan, karena Eyang Sepuh telah menguasai ilmu moksa, sehingga bahkan tubuhnya seperti tak terlihat, walau terasa keberadaannya. Inilah akhir dari pertarungan penghabisan di Trowulan. Beberapa kuburan, dan sisa-sisa pertarungan.

"Tenangkan hati Kakang," kata Gendhuk Tri seperti suara nenek memberi nasihat. "Eyang Sepuh bangga dengan Kakang. Kakang telah menunaikan kewajiban sebagai pemimpin Perguruan Awan."

Dada Upasara membusung. "Sebagian telah selesai. Sebagian lagi harus segera diselesaikan. Kakang ingin mencari Halayudha sebagai perhitungan terakhir."

Suara Upasara terdengar getir. Masih diwarnai dendam yang mencakar batinnya.

Rata Ayu Bawah Langit

DALAM pendengaran Jaghana, kalimat terakhir yang diucapkan Upasara sangat ganjil. Rasanya hal semacam itu tak mungkin keluar dari bibir Upasara!

Wilanda bisa merasakan hal yang sama. Dari segi kemampuan penguasaan ilmu silat, Upasara sudah tingkat di atas rata-rata para kampiun. Kematangan penguasaan ilmu Kitab Bumi, boleh dikatakan belum menemukan tandingan. Akan tetapi dari sisi lain tetap menunjukkan usia yang masih muda. Yang masih dibakar oleh dendam. Kalaupun Upasara menganggap Halayudha yang paling busuk, hal itu tak perlu dilontarkan. Mengumbar perasaan hati adalah sesuatu yang pantang bagi seorang yang berhati bijak. Kawicaksanan, atau kebijaksanaan, justru diukur dari kemampuan mengendalikan amarah dan dendam.

Yang tak diperhitungkan oleh Jaghana maupun Wilanda-dua sesepuh Perguruan Awan dan sekaligus murid langsung Eyang Sepuh adalah kenyataan bahwa Upasara melihat sisi busuk Halayudha. Halayudha sumber dari segala keonaran. Baik dalam mengacaubalaukan tata pemerintahan Keraton, maupun dalam dunia persilatan.

Yang lebih membuat Upasara meneriakkan dendam dengan suara perih ialah kenyataan bahwa yang selama ini membunuh Pak Toikromo, tak lain tak bukan adalah Halayudha. Yang membunuh semua penduduk desa tak berdosa juga Halayudha. Halayudha-lah satu-satunya yang menguasai dan mampu memainkan sabetan tongkat secara miring sebagaimana gurunya. Yaitu Paman Sepuh Dodot Bintulu!

Halayudha sengaja memainkan ilmu itu, agar tuduhan utama jatuh ke Paman Sepuh. Agar Upasara melabrak Paman Sepuh. Dan itu sesungguhnya telah terjadi. Jebakan yang luar biasa licinnya telah menyebabkan Upasara menantang dan mendendam habis-habisan. Yang barangkali tak diduga oleh Halayudha sendiri ialah kenyataan bahwa Upasara bisa membedakan sabetan tongkat kurus...!

BAGIAN 18CERSIL LAINNYABAGIAN 24