Senopati Pamungkas Bagian 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Senopati Pamungkas
Buku Pertama

Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

BAGIAN 03

SENOPATI JOYO sempat kaget karena gadanya terlepas dari tangan kanan. Namun tangan kirinya masih sempat menangkap dan mengayunkan ke belakang. Senopati Lebur juga mengayunkan dengan cara yang sama. Begitu juga Senopati Suro mempergunakan dua tombak untuk mengayunkan tubuhnya. Bagai peloncat dengan galah, tubuhnya menyerbu ke arah bayangan Ugrawe yang berkelebat. Cepat sekali. Senopati Suro bergerak, akan tetapi Ugrawe bergerak lebih cepat lagi. Dua prajurit yang membawa tandu bisa direnggut bahunya dan dengan sekali gebrak, dua tubuh itu terlontar ke dalam tandu.

"Kentut bau, keluar. Sambut kedatangan pencabut nyawamu..."

Belum selesai kalimatnya, Senopati Suro sudah datang. Dua tombak dilemparkan dengan keras dari udara. Tombak yang tadi dipakai untuk meminjam tenaga melompat, kini dipakai untuk menyambit. Tanpa menoleh kebelakang, Ugrawe menggerakkan tangan ke belakang. Dua tombak diraup sekaligus! Lalu ditimpukkan balik. Senopati Suro tak kepalang herannya. Kalau ia mendengar Ugrawe tokoh yang disegani, tidak juga sehebat ini. Hanya kebetulan dua gada senopati yang melayang menolong dari kemungkinan luka parah. Dua gada menyampok dua tombak.

Begitu hinggap di tanah, Senopati Suro harus melepaskan diri dari keroyokan para prajurit Gelang-Gelang. Meskipun mereka ini prajurit terdidik, akan tetapi tingkat kepandaiannya masih jauh di bawah para senopati. Hanya saja karena jumlahnya banyak dan seperti bertarung kesetanan, memerlukan waktu untuk menghadapi.

Dan sementara itu terjadi, Ugrawe sudah membunuh dua pembawa tandu yang lain. Senopati Pangastuti menggerung pendek. Berbeda dari senopati yang lain, Pangastuti tidak meloncat maju atau menyambitkan pedang pendeknya. Ia menerjang tanpa tergesa. Dan justru anehnya, Ugrawe selalu melengos setiap kali menghadapi serangan Senopati Pangastuti. Tidak langsung menghadapi keras lawan keras. Ugrawe menyamping. Dengan mengempos kekuatannya, dua tangannya bergerak bersamaan, menjulur ke depan, lalu tiba-tiba dibalikkan lagi. Tenaga mengisap!

Tandu seperti bergoyang-goyang sebelum terangkat ke atas, dan dengan kecepatan tinggi tandu terus terangkat ke atas. Ugrawe berseru keras. Satu tangan terbuka menahan. Dan seperti ada tenaga penghubung, tandu itu tertahan di angkasa. Satu tangan bergerak melontarkan pukulan. Terdengar suara "brak" keras sekali. Tandu hancur berkeping-keping. Akan tetapi tandu ternyata kosong! Ke mana Senamata Karmuka? Tipu daya apa yang dikeluarkan. keempat senopati pun berusaha melindungi?

Ugrawe berteriak keras. Sekali lagi ia meloncat di antara kepala prajurit Gelang-Gelang. Kali ini arah dan sasarannya bukan menyerbu ke arah musuh akan tetapi kembali ke tempat semula. Pikiran Ugrawe cepat bekerja: pada situasi seperti ini, Senamata Karmuka pasti lebih dulu menyerang ke arah pusat. Ia berarti langsung menyerang ke arah kemah Raja Muda Gelang-Gelang.

Ini merupakan salah satu cara untuk menghentikan pertempuran dengan cepat. Karena kalau pucuk pimpinan tertinggi ditawan, apa lagi yang bisa dilakukan. Maka Ugrawe langsung menuju tandu utama. Barisan prajurit pengawal utama dilewati begitu saja. Di depan tandu, Ugrawe berjongkok menghaturkan sembah. Tirai tandu terkuak sedikit.

"Ada apa, Paman Guru?"

Ugrawe menyembah untuk kedua kalinya. "Junjungan dalem, Senamata Karmuka untuk sementara bisa meloloskan diri. Harap Paduka tidak keluar dari tandu."

Tirai tandu tertutup lagi. Ugrawe menghaturkan sembah. Berdiri lagi. Matanya mengawasi sekeliling. Ke arah pengawal utama. Mendadak saja tangan Ugrawe bergerak. Salah seorang pengawal seperti terisap ke depan. Tubuhnya bergerak maju tanpa bisa dikuasai. Ugrawe menyentak keras. Tubuh itu melayang ke arah Ugrawe dan dengan sentakan berikutnya, tubuh itu terbanting ke tanah. Pandangannya melotot, dan napasnya telah putus. Ugrawe bisa membunuh tanpa menyentuh. Pengawal utama yang lain berteriak kaget.

"Kentut itu pasti menyusup kemari. Kalau ada yang sedikit mencurigakan, akan kubunuh kalian semua." Ugrawe menatap sekitar.

Para prajurit utama jadi bergetar hatinya. Wajah mereka pias. Dalam masalah seperti ini, Ugrawe memang selalu langsung bertindak cepat. Masih sekarang ini mau menjelaskan alasannya.

Sementara itu Pembarep mulai terjun ke arena peperangan. Begitu melihat Upasara bergerak melindungi Wilanda, Pembarep langsung meloncat maju. Ia menutup serangan, sekaligus juga serangan ke arah Padmamuka dan Dewa Maut.

"Anakmas Upasara, biar aku yang tua di sini."

"Sembah bekti, Paman...."

"Bergabunglah bersama Jagaddhita. Paman tua ini masih bisa mengajak mereka mundur."

Panengah dan Wuragil juga berbaris bersama. Ketiganya menjadi perisai utama. Wilanda digotong oleh Jaghana dan Padmamuka digotong oleh Dewa Maut. Keduanya berjalan mundur, sementara Tiga Pengelana Gunung Semeru melindungi dalam bentuk lingkaran.

Upasara melejit maju ke depan, menghindari bantuan prajurit Gelang-Gelang yang terus maju merangsek. "Bibi..."

"Wulung ..," sambut Jagaddhita, yang tiba-tiba akrab dengan Upasara. "Kalau kau bisa kembali ke Keraton, sangat baik sekali. Serahkan semua ini pada bibimu...."

Empat ujung selendang Jagaddhita bergerak bersamaan ke arah empat penjuru, dan empat prajurit lawan langsung terjungkal dengan memegangi matanya. Sekali lagi bergerak, empat lagi memegangi matanya. Dari sana mengalir darah.

"Cari jalan lain, Wulung. Jangan pedulikan yang lain."

Kawung Ketip berteriak pendek sambil menerjang ke arah Jagaddhita dan mengayunkan rantainya. Sekali sebat rantainya menggulung, melipat, dan sekaligus menyentak dua ujung selendang Jagaddhita. Karena selendang itu masih dililitkan di tubuhnya, tak urung Jagaddhita tertarik ke depan. Tapi justru dengan itu, dua ujung selendang yang lain menusuk ke arah Kawung Ketip. Berubah bentuk selendang menjadi semacam tombak, Kalau lurus menusuk.

Dengan tangan kiri Kawung Ketip berusaha menangkap dua ujung selendang sekaligus. Dan juga membetotnya. Karena dua tangan sudah digunakan bersama, Kawung Ketip tak mungkin menahan serangan berikut dan dua tangan. Yang serta-merta mengarah ke bagian jakun sedikit ke atas. Kawung Ketip adalah pemimpin ketiga kawung. Bahwa ia paling jago, sudah banyak yang mengetahui. Bahwa Jagaddhita berusaha menggebrak dengan jurus-jurus yang berbahaya, juga bisa dimaklumi. Melawan seorang pemberontak, tokoh-tokoh Keraton memang tak kenal kata kasihan atau ampunan.

Melihat serangan begitu nekat, Kawung Ketip mengerahkan seluruh tenaga dan membetot luar biasa. Tubuh Jagaddhita terayun ke udara. Inilah yang tak diperhitungkan oleh Kawung Ketip. Kelebihan Jagaddhita justru mempermainkan antara tenaga yang keras dan tenaga yang lemah. Gerakan selalu bisa diubah dengan sekehendak hatinya. Senjata selendang warna-warni juga bukan sekadar hiasan.

Dalam pertempuran, selendang itu jika terkena sinar matahari memantulkan aneka cahaya yang aneh. Yang bisa mempengaruhi konsentrasi lawan. Namun lebih dari itu semua, selendang ini juga bisa diloloskan dengan sekehendak hatinya. Ketika ditarik tadi, Kawung Ketip menduga bisa menguasai lawan. ternyata hanya selendang saja yang bisa dibetot. Selebihnya tubuh Jagaddhita terus menerjang ke arahnya. Kawung Ketip menangkis dengan pergelangan tangan.

Satu sentilan halus cukup membuat pergelangan Kawung Ketip kesemutan, dan Jagaddhita merampas kembali selendangnya. Sekali lagi keempat selendang berkibar di udara sebelum menutup wajah Kawung Ketip. Kawung Ketip mengimbangi dengan ayunan rantai ke arah pinggang. Kalau sabetan mengenai sasaran, dengan sekali sentak. Jagaddhita bakal menjadi boneka mainan yang dibanting hancur. Diam-diam Jagaddhita memuji kegesitan lawan. Dalam menghadapi serangan, ternyata Kawung Ketip tidak berusaha bertahan sepenuhnya. Justru bertahan dengan balik menyerang.

Sementara keduanya masih terlibat dalam pertandingan, Gendhuk Tri jadi tak ada yang mengawasi. Gadis kecil ini masih terbengong-bengong tak bereaksi, ketika Pu'un datang kepadanya dan langsung mengepit. Belum sempurna kakinya menotol bumi, Kawung Benggol sudah datang menyapunya. Kawung Benggol dalam gebrakan pertama kena dipecundangi Senopati Suro, sehingga kedua tangannya kena pukulan gada senopati yang lain. Makanya kini melakukan serangan dengan kaki.

Pu'un tak menghindar. Justru memapaki kaki dengan kaki. Dua tulang beradu keras. Lalu disusul dengan dua-tiga tendangan berikutnya. Pu'un terus merangsek maju. Ketika Kawung Benggol terdesak, Pu'un tidak melanjutkan serangan, akan tetapi melarikan diri ke arah lain. Bagi Pu'un tujuannya hanya satu. Mendapat keterangan mengenai Tamu dari Seberang. Ia tak terlibat dengan masalah pemberontakan apa segala. Maka juga tak berniat membunuh lawan. Asal bisa memperoleh Gendhuk Tri sudah lebih dari cukup. Pu'un tidak menduga justru ketika ia melompat itulah ia masuk dalam perangkap. Karena Kawung Sen sudah menebarkan Jala.

"Oho, mau ke mana kau, orang hutan?"

Jala itu terbuat dari tenunan sutra yang ulet. Maka begitu kena dijala, Pu'un tak bisa bergerak. Ia benar-benar seperti seekor burung besar yang terjerat. Tak bisa bergerak apa-apa. Kawung Sen menendang bagian pantat sambil tertawa-tawa.

"Gadis itu bagianku. Bukan bagianmu."

Pu'un tak bisa berbuat sesuatu apa.

"Lihat. Aku akan mengencingimu. Biar kau mandi di sini."

Kalau ini benar-benar terjadi, entah di mana lagi Pu'un bakal menatap dunia. Sebagai pendekar yang diandalkan dari asalnya, sebagai seorang ksatria, mana bisa dimandikan di tempat terbuka seperti ini dengan air kencing?

Mati dalam pertempuran, bukan soal. Kalah dalam pertandingan, masih bisa diterima. Akan tetapi dihina seperti ini, sungguh sangat memalukan. Pu'un berpikir untuk menggigit putus lidahnya. Lebih baik mati sebelum dihina. Kalau bisa, ia akan mengetok kepalanya sendiri. Tetapi diringkus dalam jala, menggerakkan jari pun sulit.

Dan Kawung Sen benar-benar membuka pakainnya. Tapi urung. Karena telinganya mendengar desir yang keras menuju ke arah bagian tubuhnya yang sangat peka. Tangannya bergerak menangkap ke arah desiran dan dengan cepat mengembalikan ke arah sumber suara. Upasara menangkap dengan giginya. Yang dilemparkan tadi adalah kancing baju, yang dilepas dari surjan yang dikenakan.

"Baik kalau kau juga ingin dimandikan." Kawung Sen mengerahkan tenaga dan mulai melancarkan pukulan.

Upasara berdehem kecil. Ia sama sekali tak gentar menghadapi Kawung Sen, yang baru saja membuktikan kekuatan tenaganya membalikkan seekor kuda. Pukulan yang datang disambut dengan dua tangan yang berusaha menjepit. Kawung Sen mengganti dengan gerakan sapuan kaki, akan tetapi sekali ini Upasara tak menggeser kakinya. Dua tangan yang terjulur lurus berubah jadi menjepit ke arah kepala.

"Nekat juga anak kecil ini," teriak Kawung Sen. "Yang begini masih perlu mandi sendiri."

Keduanya berhadapan. Berdiri sama tegak. Di antara ketiga kawung, Kawung Sen paling suka berlagak dan memamerkan kekuatan. Sikap yang rada congkak ini sama dengan Upasara Wulung. Jenis permainan keduanya dengan cara menyerang juga sama. Pola menyerang yang sama-sama terbuka.

"Ini baru hebat. Sekarang aku ketemu lawan. Sayang usiamu masih muda. Kalau kau mati sekarang, kapan lagi aku mempunyai mainan?"

"Sama saja, jika kau mati dulu, aku tak bisa memandikanmu."

"Boleh juga mulutmu. Siapa gurumu?"

"Kawung Sen, dengarlah baik-baik agar kau tak kecewa kukalahkan. Guruku adalah majikan utama Lembu Ugrawe. Ketika Lembu Ugrawe masih ingusan dan hampir mati karena kelaparan, salah seorang pelayan guruku menolong nyawanya. Nah, kini kau sudah cukup mendengar?"

"Bagus. Bagus. Aku suka lelucon seperti ini. Mari kita jajal lagi. Kau pakai jurus apa itu tadi?"

"Dalam sekejap melihat, mestinya kau sudah tahu. Masakan pakai bertanya segala macam."

"Wah, ini repot. Kalau menghafal nama jurus, siapa yang bisa ingat? Setiap orang bisa memberi nama sendiri-sendiri. Tapi kalau dilihat dari gerakanmu, jelas kau berasal dari Keraton Singasari. Kau mungkin tidak tahu bahwa aku sudah masuk ke Keraton."

"Tentu aku ingat. Masakan kau lupa siapa yang memberi ampunan padamu ketika itu?"

"Boleh juga. Makin lama lidahmu makin tajam."

"Lembu Ugrawe belajar bicara dari mana kalau tidak dariku, sehingga berani membuka mulut lebih lebar?

"Sebenarnya aku enggan melawan tukang jala. Tentu karena kau yang maju kemari, apa boleh buat."

Upasara mencabut kerisnya. "Aku tidak suka kau main keris. Tangan kosongmu tadi aneh. Itu yang lebih menarik. Ayolah, kau jajal dengan tangan kosong yang menjotos lurus. Soal keris kita lupakan."

Upasara melirik ke arah Pu'un dan Gendhuk Tri. "Baik, aku buang senjata ini." Upasara melemparkan kerisnya ke tanah. Yang dituju adalah pinggiran jala. Keris itu mengenai simpul hingga amblas ke tanah. Tapi, barangkali belum bisa memutuskan tali jala.

"Tak mungkin kau bisa memutuskan jala itu. Dibakar pun tak bisa."

"Tapi tak adil kalau kau tidak memakai senjata."

"Kau sendiri bakal menyerang dengan tangan kosong. Justru tidak adil kalau aku memakai senjata."

"Justru menjadi adil. Aku tertarik dengan gerakan jala, sedang kau tertarik tangan kosong. Makanya cukup adil kalau kau menyerang dengan jala dan aku menghadapi dengan tangan kosong. Kita bisa mendapatkan jawaban rasa ingin tahu."

"Tapi jalaku cuma satu."

"Lepas saja lebih dulu. Apa susahnya untuk menangkap lagi? Bukankah dengan sekali tebar kau bisa menangkapnya?"

"Masuk akal juga." Kawung Sen langsung mencabut keris Upasara dan mengembalikan. Tak memedulikan bahwa Upasara bisa menusuk dengan sekali sabet. Tapi Upasara tidak melakukan itu. Ia menunggu. Dengan sekali sentak di bagian simpul, jala itu melebar lagi. Dan sekali kebut, Pu'un serta Gendhuk Tri terbebas dari jerat.

"Ayo sekarang kita mulai."

"Baik. silakan mulai."

"Tidak adil. kau yang muda menyerang lebih dulu."

"Tidak adil juga. Kalau begitu kita hitung sampai tiga. Kita sama-sama menyerang."

"Boleh juga."

Sementara Upasara bersiap dengan hitungan, begitu juga Kawung Sen, Pu'un berdiri tegap. Di kepalanya berputar seribu satu pikiran. Ia merasa jago, dan sesungguhnya memang jago, akan tetapi sekali kena jala, tak bisa bergerak. Bahkan hampir saja mendapat kehinaan total. Tak habis pikir bagaimana justru sekarang Upasara Wulung yang tak dikenal membebaskan ia.

"...tiga"

Sebat sekali Kawung Sen menebarkan jala. Upasara bukan menghindar dengan meloncat mundur, sebaliknya ia malah maju. Dengan dua pukulan lurus seperti tanduk banteng. Harus diakui bahwa dalam soal pertempuran seperti ini, Upasara jauh lebih cerdik dari Pu'un yang jalan pikirannya sederhana. Upasara boleh dikata mengenal segala macam rangkaian serangan yang banyak macam ragamnya. Serta mempunyai persiapan bagaimana menghadapi. Dengan melihat bahwa sekali gebrak, Pu'un bisa dijerat, Upasara tak akan meladeni dengan menghindar. Ruang gerak yang luas makin memungkinkan jala lawan meringkus dirinya. Maka sebagai gantinya, Upasara mendesak maju. Jalan pikirannya adalah bahwa lawan tak mungkin memainkan jala dalam jarak dekat. Kecuali kalau ingin menjala dirinya sendiri

"Apa nama jurus ini?"

"Menutup Langit"

"Kau tidak tanya aku?"

Sambil terus berbicara keduanya terlibat dalam pertempuran.

"Apa?"

"Banteng Ngore."

Kawung Sen berteriak seperti disengat kala. Tak pernah dalam hidupnya ada nama begini aneh. Banteng Ngore? Jurus apa pula ini? Soal gerakan banteng, ia yakin. Penamaan itu tepat. Akan tetapi dengan tambahan ngore, jadi lain sekali. Kawung Sen menarik pulang jalanya, sementara tubuhnya sendiri melayang ke atas. Pegas sekali sentakannya. Sekilas saja, ia bisa berada di atas jala yang siap mengurung Upasara.

Kalau tadinya Upasara meminta lawan menggunakan jala, itu semata-mata taktik agar Kawung Sen melepaskan Gendhuk Tri dan Pu'un. Tetapi tidak mengira sama sekali bahwa Kawung Sen luar biasa. Jala itu sudah menyatu dengan dirinya. Tak ubahnya Senopati Suro dengan kudanya. Upasara sempat melihat bagian ujung simpul jala, Bagian itulah yang langsung direbut lebih dulu. Jadi kalaupun kena jala, tak mungkin bisa dijerat.

"Boleh juga."

Kawung Sen mengedut jalanya, hingga jadi menyimpang dan bergulung bagai tambang. Upasara bisa menduga arah gerakan lawan. Sebelum jala tertebar ia lebih dulu meloncat di antara prajurit Gelang-Gelang. Ia pasti akan merepotkan Kawung Sen. Ia toh bakal repot menjala salah seorang di antara begitu banyak orang. Dengan cerdik Upasara menggunakan prajurit Gelang-Gelang untuk perisai.

"Awas leher..." Ini serangan banteng yang mengutamakan menyerang secara total. Dua tangan ini berfungsi sebagai tanduk. Tapi mesti diperhatikan juga bagian lambung. Serangan ini variasinya cuma sekitar lambung ke atas. Jangan dilawan, hadapi dengan kekuatan yang lebih besar.

"Bagus. Awas yang berikutnya. Punggung sebelah kanan..."

Bedanya dengan banteng, mereka binatang yang tak mungkin mengubah letak tanduk. Pada manusia bisa.

"kenapa kaki saya yang diserang."

Kaki banteng adalah kuda-kuda yang terkuat"

"Bagus, tarik. Ganti yang lain. Ayo gunakan jala. Kekuatanmu di jala. Tanpa jala sama saja tidak bertempur. Seperti bohong-bohongan saja. Tebarkan."

Bagi Upasara bertempur sambil berbicara bukan hal yang sulit. Ia bisa memecah perhatian dengan baik. Apalagi memang kelebihannya justru dalam berbicara. Dalam sepuluh gebrakan berikutnya, Kawung Sen tercecer. Hanya bisa menangkis sambil terus mundur.

"Awas Banteng Noleh."

Persis seperti banteng menengok, Upasara memutar dua tangan dengan gerakan kaku. Dalam bingungnya Kawung Sen menjajal tenaganya untuk diadu. Dalam saat yang bersamaan, lututnya kena digempur. Tanpa bisa berdiri lagi, Kawung Sen tertekuk ke depan. Usahanya terakhir ialah menjerat lawan dengan jala. Di atas angin, Upasara bisa membalikkan gerakan jala itu menutup dirinya sendiri. Kawung Sen terkurung dalam jala.

"Nah, bagaimana kalau kau kumandikan?"

"Bagus, aku menyerah kalah. Tetapi bagaimana mungkin ada jurus Banteng Ngore?"

"Ada saja. Justru itu yang menarik. Selama ini kau pasti hanya mengenal Bango Ngore, Gagak Ngore, atau paling jauh Jaran Kore. Memang hanya sejenis burung yang bisa menisik bulu-bulunya. Tetapi banteng kan juga bisa!"

"Bagaimana mungkin?"

Upasara melepaskan jala. "Kalau badannya gatal, banteng cukup menolehkan kepalanya..."

'Bagus. Bagus. Hari ini aku tambah pelajaran lagi. Kita akan bertemu lagi..."

Upasara berjalan ke depan. Kawung Benggol menyerbu, menghadang didepannya.

"Biarkan dia, Kakang," suara Kawung Sen terdengar berat. "Biarkan Upasara berlalu."

Kawung Benggol menggertakkan kakinya ke tanah, saking kesalnya. Upasara tidak memedulikan. Ia terus berjalan ke depan. Para prajurit Gelang-Gelang tak ada yang berani mengganggu. Hanya saja satu bayangan berkelebat masuk.

"Hehehe... kau belum menjelaskan ilmu Kerbau Gendheng. Dan aku sudah bilang, siapa pun yang tak mau menyembah harus mati." Ugrawe mengayunkan tangan. Gerakannya lurus, lalu turun ke bawah dan ditarik masuk.

Sekejap Upasara merasa berdiri di atas pasir yang ditelan laut. Tanah di bawahnya seperti bergerak. Tenaga mengisap yang sangat kuat. Upasara merasa tak bakal bisa mengeluarkan tenaga untuk melawan. Sama tak mungkinnya untuk menghindar lari. Dua-duanya akan menyebabkan ia kehilangan keseimbangan badan dan membuat ia masuk dalam pusaran lawan. Upasara meloncat sedikit. Lalu tubuhnya turun kembali dan tetap tegak di atas kedua kakinya.

"Maju." Ugrawe mengulangi gerakannya.

Upasara memantul kedua kalinya, kali ini dengan memutar badannya. Bagai gasing. Lalu turun kembali dengan tersenyum. Dua kali Ugrawe mengeluarkan ilmunya, tetapi Upasara bisa menjawab dengan manis. Padahal semua ini hanya dimungkinkan karena Upasara memiliki kejituan dalam menjawab gerakan menyerang Ugrawe. Ketepatan inilah yang sebenarnya tadi menolong Upasara dalam menundukkan Kawung Sen.

"Upasara, kau mau membantah perintahku?"

"Dalam dunia ini, siapa berani membantah Pujangga Pamungkas? Bahkan Raja Muda Gelang-Gelang pun tak akan berani. Bahkan sejarah pun tak berani mengatakan yang lain. Kalau Pujangga Pamungkas mengatakan Ken Arok menurunkan raja rampok, siapa yang berani membantah? Bahwa kini Raja Muda Gelang-Gelang ingin mengembalikan takhta kepada yang lebih berhak, kepada darah priyayi, siapa yang membantah?"

"Hehehe, tak nyana lidahmu tajam sekali. Ketahuilah, anak ingusan, hari ini aku akan meratakan Keraton Singasari..."

"Apa susahnya? Sekarang pun sudah bakal rata. Adalah percuma kau menamakan dirimu Pujangga Pamungkas, kalau ternyata tak berani mengakui sendiri. Perhitunganmu terlalu rumit. Dengan prajurit sebanyak ini, kalian sudah bisa masuk Keraton. Dengan Raja Muda Gelang-Gelang berada di depan, pintu Keraton akan terbuka. Dan pemberontakan yang dulu bisa diulangi dengan hasil yang sempurna. Kenapa kau terlalu kuatir? Begitu kau bisa memancing semua ksatria ke Perguruan Awan, niatmu sudah terlaksana. Kenapa berpikiran kerdil dengan membunuh kami semuanya? Perwira satu dibunuh, esoknya akan ada dua. Ksatria mati satu, esoknya bakal muncul yang lain. Membunuh seekor burung, tidak bisa merebut hutan. Karena burung telurnya banyak, dan tetap tak berani untuk merebut hutan. Seekor harimau tua yang terbunuh, seluruh isi hutan bakal tunduk."

Dengan cerdik sekali Upasara mencoba melempar umpan mengenai strategi Ugrawe yang ingin merebut takhta Keraton. Burung adalah perumpamaan untuk prajurit atau senopati. Sedang harimau adalah perumpamaan untuk Baginda Raja. Semua penduduk mengetahui bahwa Baginda Raja sering diumpamakan sebagai harimau, si raja hutan.

"Harimau sudah tua dan gering. Untuk apa dirisaukan dan ditakuti? Tetapi dengan meratakan hutan, akibatnya akan lain. Semut dan anai-anai pun akan menjadi musuhnya."

Ugrawe mengerutkan keningnya. Jeli sekali anak muda ini. Tidak mungkin berita rahasia dari Adipati Wiraraja kepada Jayakatwang bisa diketahui anak semuda ini, apa pun pangkat dan kedudukannya dalam Keraton Singasari. Bahkan di dalam Gelang-Gelang pun mungkin tak ada tiga yang mengetahui secara persis isi surat itu. Surat itu adalah surat yang kelewat rahasia. Ditulis dalam tembang, penuh dengan perumpamaan. Raja Muda Gelang-Gelang memang menyerahkan kepada Ugrawe untuk ikut membaca.

Surat rahasia Adipati Wiraraja dari Sumenep memberi isyarat bahwa ini adalah saat yang tepat untuk berburu. Seorang pemburu ksatria, adalah seorang yang tepat memilih sangat. Sangat artinya waktu. Dan sekarang ini, tak ada yang menjaga hutan selain harimau tua. Selebihnya hewan kecil, dan tanah tandus. Dalam surat Adipati Wiraraja itu yang dianggap harimau tua adalah Mpu Raganata. Pujangga Keraton yang masih dianggap batu karang yang perlu diperhitungkan.

Senopati yang lain sama sekali tak masuk perhitungan. Bahkan Senamata Karmuka pun tidak terlalu dianggap. Karena dalam banyak hal, Baginda Raja tidak begitu menyukai kesetiaan yang ditunjukkan Senamata Karmuka. Dan sesungguhnya, Baginda Raja Singasari tidak sependapat dengan siapa pun. Termasuk Mpu Raganata!

Memang ada sedikit penafsiran yang keliru. Di sini, Upasara mengumpamakan Baginda Raja sebagai harimau. Sedang yang diperebutkan hutan itu sendiri.

"Tahu apa kau tentang hutan?"

"Sebagai orang yang dibesarkan di tengah hutan, saya tahu mengenai segala yang hidup di dalamnya. Tentang harimau atau binatang kecil lainnya."

"Hehehe, kau tahu sekarang sudah saatnya berburu?"

Upasara merinding melihat sorot mata Ugrawe yang seperti mau menelannya bulat-bulat tanpa mengunyah. "Setiap saat adalah saat yang baik bagi pemburu yang siap," suaranya menjadi sangat rendah. Antara terdengar dan tidak. Sebenarnya Upasara merasa sangat sedih. Karena apa yang dikatakan menggambarkan kenyataan yang sebenarnya.

Ugrawe berpikir mendengar nada sedih. Ia tak pernah menyangka bahwa dalam hidupnya bakal bertemu seorang pemuda yang masih muda usianya akan tetapi mempunyai kecerdikan dan kepandaian yang bisa diandalkan. Caranya bisa mengalahkan Kawung Sen menunjukkan bahwa Upasara mempunyai kelebihan yang secara tepat dimanfaatkan. Ugrawe mencoba dengan melontarkan pertanyaan.

"Cah bagus, bocah bagus, kau mempunyai bakat sebagai pemburu."

Mata Upasara berkilat. Ia tidak menyembunyikan perasaan geramnya. Kalau ia tiba-tiba menerima tawaran kerja sama, diangkat sebagai barisan "pemburu", Ugrawe pasti mengetahui taktiknya ini. Justru karena menebak, Upasara menunjukkan wajah sengitnya.

"Saya lahir dan dibesarkan di hutan ini, bagaimana mungkin saya menjadi pemburu?" Lalu disertai tarikan napas pendek. "Saya mungkin bisa membantu. Akan tetapi mengharapkan saya menjadi pemburu, lebih sulit dari membunuh."

"Kuhargai keberanian dan kesetiaanmu. Cah bagus, dalam hutan kau katakan ada harimau tua. Tinggal harimau tua. Ataukah ada binatang buas yang lain?"

"Harimau tua si raja rimba hanya dijaga harimau tua yang tidak sependapat dengannya. Memang kalau harimau si raja hutan mendengar nasihat harimau tua yang empu, pemburu tak akan sempat merebut. Tetapi itulah kenyataan. Itulah takdir."

"Aku menanyakan binatang buas yang lain."

"Apa artinya seekor atau dua ekor binatang buas yang lain kalau ia tak berada di sarangnya?"

"Setua-tuanya harimau, cakarnya masih keras juga."

"Itulah kalau sempat mencakar. Kalau pemburu sudah dikenal sang harimau, apa susahnya mengelus ekor atau kumisnya?"

"Bagaimana caranya mengelus?"

"Aku tak percaya padamu."

"Ayo, ikut."

Sekali ini Ugrawe tidak memaksa. Ia berjalan lebih dulu. Meloncat ke depan. Upasara ikut meloncat, namun ia harus menutul tanah dua kali untuk bisa menjaga jarak. Sampai di depan tenda, Ugrawe menghaturkan sembah.

"Mohon Baginda berkenan menerima hamba."

"Masuklah, tanpa perlu basa-basi di saat seperti ini, Paman Guru."

Ugrawe menghaturkan sembah lagi. Upasara menunduk, memberi hormat, tapi tidak bersila menyembah. Keduanya hampir seiring masuk ke dalam tandu. Tadinya Upasara menduga Raja Muda Gelang-Gelang berada dalam tandu yang cukup sempit. Akan tetapi tandu itu ternyata hanya merupakan pintu saja. Karena bagian belakangnya bisa disingkapkan, dan keduanya berjalan masuk. Ke dalam suatu tenda. Diam-diam Upasara memuji tempat rahasia yang tidak pernah diduganya.

Seperti antara tandu dan kemah tidak ada hubungannya. Upasara juga memuji Raja Muda Gelang-Gelang yang mampu mengirim suara berjarak. Hingga seolah suara itu muncul dari tandu. Sampai di kemah Upasara turut menghaturkan sembah. Ini bukan karena Upasara memperajakan Raja Muda Gelang-Gelang. Ini semacam adat-istiadat kepada seorang raja muda. Kalaupun Raja Muda Gelang-Gelang berada di Keraton Singasari dan ia disuruh menemui, ia akan melakukan hal yang sama.

"Bagaimana, Paman Guru?"

"Maafkan hamba, Baginda. Ada seorang anak muda yang tahu bagaimana cara berburu harimau. Ia ingin menghaturkan sendiri rencananya kepada Baginda."

Raja Muda Gelang-Gelang menepukkan tangannya dan para pengawal utama pergi. Setelah diberi perintah untuk mendongak, barulah Upasara melihat siapa yang dihadapi. Seorang raja muda yang tampan. Badan dan wajahnya sangat terjaga. Bahkan sampai dengan mata serta alisnya. Kalau dilihat sekilas sulit membayangkan bagaimana seorang raja muda yang begini tampan, yang seluruh tubuhnya seperti tak pernah tersentuh debu dan panas matahari, mampu mengirim suara.

"Ceritakan, anak muda, siapa pun namamu."

"Hamba hanya berani mengatakan kepada Raja Muda."

"Aha, Paman Guru ini lebih tahu dari saya."

"Maafkan, Raja Muda. Kami baru saja bertemu tadi."

Ugrawe menghaturkan sembah. "Biarlah hamba mengundurkan diri. Mau melihat suasana di luar." Sambil menghaturkan sembah, Ugrawe memusatkan tenaganya di tangan. Sampai tergetar. Ini berarti kalau Upasara membuat gerakan mencurigakan sedikit saja, tangan itu akan terayun.

Upasara merasakan getaran itu. Ia tak mau bertindak bodoh. Ia tak akan menyerang begitu saja. Meskipun Ugrawe telah pergi dari kemah, getaran udaranya masih terasa.

"Katakan anak muda."

"Apa jaminan hamba setelah mengatakan rencana?"

"Walau aku belum raja penuh, kata-kataku sama berharganya dengan seorang raja. Tak nanti aku menarik ucapanku. Kau akan selamat sampai akhir hayatmu."

"Sembah nuwun..."

Belum selesai ucapan terima kasih, tiba-tiba terdengar teriakan keras. Angin badai mengguncang tenda. Sampai menimbulkan gempa. Raja Muda Gelang-Gelang meraih tombak di belakang kursi dengan sigap. Upasara bersiap. Belum sepenuhnya bisa memasang kuda-kuda, tenda telah jebol terangkat ke atas, terbang bersama angin. Sungguh tenaga yang luar biasa. Bersamaan dengan itu terdengar deru angin keras. Teriakan prajurit yang terkena sapuan.

Upasara baru melihat dengan jelas. Lembu Ugrawe sedang memutar kedua tangan bersilangan sambil tubuhnya terus berputar keras. Yang terlihat hanya gumpalan angin puting yang bergulung keras. Sementara dalam jarak dua tombak salah seorang prajurit sedang meloncat mencoba menembus pusaran angin.

"Mati kau!"

Teriakan Ugrawe bagai geledek dan guntur sekaligus. Upasara tak bisa melihat jelas apakah pukulan itu dua tangan ditepukkan atau apa, karena terlindung oleh getaran angin yang sangat keras. Prajurit Gelang-Gelang meloncat tinggi sekali, ke atas pohon, dan kemudian meluncur turun dengan sebat. Tujuannya menyerang ke arah Raja Muda Gelang-Gelang.

Upasara berteriak dalam hati. Ia sama sekali tak menyangka yang menyamar sebagai prajurit itu orang yang sangat dikenalnya! Ngabehi Pandu! Itu satu-satunya gaya Ngabehi Pandu yang selalu diunggulkan. Hanya Wilanda yang bisa menyamainya.

"Senamata busuk, tak akan lolos lagi kau!"

Badai angin terus melanda. Bayangan prajurit itu menyerbu masuk. Dua tangan beradu sangat keras. Begitu saling menyentuh, Ugrawe mengganti belitan berikut jotosan dan belum lurus sudah berubah lagi. Menjotos ke arah dada lagi, ditangkis, ke arah wajah, ditangkis, ke arah selangkangan, ditangkis, ke arah dada, ditangkis, ke arah dada lagi, ditangkis, ke arah dada lagi, ditangkis.

Entah berapa puluh kali dua-duanya mengadu tenaga keras. Partai keras— sangat keras. Hanya saja kenapa Ugrawe meneriakkan nama Senamata Karmuka dan bukan Ngabehi Pandu? Bukankah itu Ngabehi Pandu?

Sejenak Upasara tak bisa mengerti siapa yang tengah bertempur didepannya. Ia memang mendengar bahwa Senamata Karmuka dan Ngabehi Pandu adalah dua bersaudara. Akan tetapi selama ini yang dikenal di dunia luar adalah Senamata Karmuka. Ngabehi Pandu hanya dikenal di kalangan para pesilat. Dua saudara itu sangat berbeda sifatnya. Ngabehi Pandu digelari si mayat bisu, sedang Senamata Karmuka justru sebaliknya. Sangat mungkin sekali ini adalah Senamata Karmuka. Karena setahu Upasara, Ngabehi Pandu tak perlu menyamar sebagai prajurit segala.

"Angin kentut masih lebih keras dari ini. Aku maju lagi."

Ugrawe menyerbu. Pukulannya yang menyerbu. Menyapu ke tanah, dan terasa betotan yang luar biasa. Tangan yang satunya mengemplang dari atas. Belum selesai sepenuhnya, gerakan diubah. Tangan yang sebelumnya menarik, lalu berbalik. Yang tadinya menghantam, jadi menyedot. Putaran pergantian begitu mendadak keras, dan terpatah-patah. Gemuruh suaranya. Tanaman pendek di sekitar tercerabut beserta akar, dan tanahnya ikut terbang, berputar di udara, dan kembali lagi. Lalu bagai disuntak mendesak ke depan.

Ketika melawan Dewa Maut, Upasara merasakan betapa dahsyat ilmu Membalik Arus Sampan, yang mempunyai dasar gerakan yang kurang lebih sama. Juga dalam mengatur tenaga. Akan tetapi yang disaksikan ini jauh lebih perkasa dari itu. Namun Upasara tak mau membuang waktu percuma. Siapa pun yang dihadapi Ugrawe—Ngabehi Pandu atau Senamata Karmuka ada di pihaknya. Dan dengan keberanian besar berani menyerbu langsung ke dalam tenda. Sasarannya pastilah Raja Muda Gelang-Gelang. Ini saat yang baik.

"Maaf..."

Upasara meloncat ke arah Jayakatwang, yang langsung memutar tombak. Miring sabetan tombak yang ujungnya diberi bunga-bunga hiasan. Tangan kanan Upasara berusaha menangkis persis di bawah ujung yang runcing, sementara tangan kiri merebut bagian tangkai. Dalam gerakan pertama Upasara tidak ingin langsung menyerang, akan tetapi berusaha memperdayakan. Maka ketika Jayakatwang langsung menarik mundur tombaknya, Upasara sudah bersiap untuk mengubah tangannya, agar tak tergores. Yang membuatnya agak was was adalah desis dingin dari ujung tombak. Pertanda tombak pusaka yang linuwih, pusaka yang memperlihatkan kelebihan setiap geraknya.

Dengan menggeser kaki ke depan, Upasara tetap dalam posisi merebut tombak. Kali ini yang dicengkeram adalah tangan Jayakatwang. Hebat juga Raja Muda Gelang-Gelang ini Telapak tangannya membuka dan baik menangkap tangan Upasara. Tinju Upasara seperti mau digenggam. Upasara menggunakan sikunya untuk menyentil gagang tombak dan jotosannya diubah menjadi tangan kiri.

Plak. Terdengar suara keras. Gagang tombak bergoyang. Dua tangan beradu keras. Jayakatwang justru maju ke depan. Mengarah ke leher lawan. Upasara memancal tubuhnya dan kaki dan kini mulai menunjukkan bagian terakhir dan Banteng Ketaton. Leher digerakkan miring sehingga pukulan lawan akan mengenai pundak, akan tetapi serta-merta dengan itu tombak lawan dapat direbut. Tinggal membalik arahnya kepada Jayakatwang sendiri.

"Maaf." Lagi Upasara mengeluarkan seruan keras. Tombak bisa digenggam erat, Hanya saja Upasara tidak memperhitungkan bahwa tombak itu ternyata bisa dipatahkan di tengah. Upasara hanya memegang bagian ujung, sementara sisanya justru untuk menusuk dada pula bagian yang lancip. Menjadi dua buah tombak. Tombak yang dipegang Upasara bisa menangkis, akan tetapi pundaknya bakal kena sasaran.

Akan tetapi Jayakatwang tidak bertindak maju, ia malah meloncat mundur. Sedetik Upasara menduga bahwa lawan merencanakan serangan berikut, makanya ia setengah menunggu. Akan tetapi ternyata Jayakatwang lebih suka tidak melibatkan diri dalam pertempuran secara langsung. Cukup dengan menggerakkan tangannya, puluhan prajurit langsung mengepung.

"Tangkap hidup-hidup semuanya."

Belum prajurit itu maju, desir angin panas bergulung-gulung memadati ruangan. Upasara tak habis pikir ketika merasa sedotan tenaga dalam Ugrawe sudah berhasil menindihnya. Dua kali tadi Upasara berhasil menghindari gerak-gerak sederhana Sindhung Aliwawar. Tapi sekali ini merasa darahnya digojlok habis-habisan. Rasanya darahnya mengalir tak karuan, bertubrukan di dinding-dinding pembuluhnya. Belum bisa menguasai diri sepenuhnya, bayangan Ugrawe sudah meloncat ke arahnya.

Bersamaan dengan bayangan Ugrawe bayangan lain masuk ke dalam lingkaran angin ribut, dan langsung menyerang. Di tengah udara kedua bayangan itu memukul, ditangkis, ditangkis, memukul, dan ketika turun lagi ke tanah, saling menjejak, dan kembali ke atas lagi.

Ugrawe memang luar biasa. Justru ketika berada di atas, ia menghimpun seluruh tenaganya dan seperti mendorong gunung, kedua tangannya terdorong ke depan. Angin dahsyat mengimpit dengan keras, bagai gelombang laut yang mengempas. Upasara meloncat mundur dan terdorong angin hingga tiga tombak. Kakinya tak bisa berdiri tegak. Jatuh tergeletak. Dengan sigap ia bangun, menghadapi keributan prajurit yang mendesak.

Luar biasa. Justru karena sebagian tenaga itu telah dapat ditangkis. Secara kedudukan, Ugrawe lebih lemah. Karena ia berada di tengah udara. Nyatanya ia terdorong mundur. Sambil berjumpalitan, sebelum kakinya menyentuh tanah, pukulan berikutnya sudah susul-menyusul.

Kemah menjadi porak-poranda. Daerah sekitar Ugrawe seperti tanah kosong. Prajurit yang mencoba mendekat, terseret pusaran angin dan terpental. Kalau kemudian jatuh ke tanah tak bisa bangkit lagi. Ugrawe menyentak keras. Merampas bendera dan menggerakkan ke kanan, ke atas. Barisan pun berubah. Kini semua bergerak ke arah Ugrawe. Menyerbu ke satu titik.

Upasara melawan arus prajurit yang menyerbu ke arahnya. Ia berusaha membuka terobosan, akan tetapi selalu saja terdesak mundur kembali. Terpaksa mengurung diri dengan kerisnya.

"Anak yang tak tahu diuntung, terimalah kematianmu!" Suara Ugrawe sangat dekat di punggung Upasara.

"Jangan takut." Terdengar teriakan dingin yang sama kerasnya. Pu'un berdiri menghadang.

"Pu'un, hari-hati!"

Teriakan Upasara tak berguna. Ugrawe telah memutar kedua tangannya di atas kepala. Angin puting beliung tercipta, dan dengan seruan keras putarannya tertumpah ke arah Pu'un. Pu'un menggeram seperti seekor harimau. Ia justru masuk ke dalam pusaran angin.

Terdengar suara dingin Ugrawe, dua buah tangan yang berputar di udara, meliuk ke arah Pu'un. Yang langsung datang menyambut. Dua tangan beradu, dan dalam sekejap tubuh Pu'un seperti terpelintir, ikut berputar. Ugrawe terus memutar tubuh Pu'un di udara. Disertai gelak yang memekak ia melemparkan tubuh ke atas. Sebelum tubuh menyentuh tanah, kaki Ugrawe menendang bagian dada, leher, dada lagi, dan leher lagi. Begitu jatuh di atas tanah, Ugrawe meloncat ke atas dan mendarat tepat di dada Pu'un.

Ketika Ugrawe menyerbu tadi, prajurit jadi terbelah. Tak ada yang berani mendekat. Kesempatan ini digunakan Upasara untuk meloloskan diri. Ia menerobos dan dengan cepat meninggalkan pertempuran. Masih mendengar teriakan keras Pu'un sebelum yang terakhir ini mengembuskan napas penghabisan.

"Wulung, jangan pedulikan. Lakukan tugasmu."

Jagaddhita meloncat mendampingi. Bayangan Ugrawe berkelebat masuk. Jagaddhita mengangkat seorang prajurit untuk dilemparkan ke arah Ugrawe. Yang langsung ditangkap dan dibanting. Tak sempat kaget dan berpikir lagi, si prajurit telah meninggal dunia. Jagaddhita menggunakan prajurit yang bisa dipegang sebagai senjata. Akan tetapi Ugrawe tak memikirkan keselamatan prajuritnya sendiri. Setiap lemparan yang datang ditangkis dengan tangan dan tendangan.

Sembilan nyawa prajurit secara berurutan jadi korban main lempar-lemparan. Dengan keras Ugrawe melempar balik setiap umpan yang datang. Pada korban yang kesembilan, Ugrawe mengubah. Ketika dilempar lagi, ia bukan menolak seperti biasanya. Melainkan menangkap dan membalikkan. Tapi yang melayang ke depan bukan tubuh prajurit, melainkan tubuhnya sendiri. Dua telunjuknya terjulur ke depan, sementara ketiga jari yang lain tertekuk ke dalam. Seperti mau mencungkil mata Jagaddhita.

Jurus ini berbeda dengan jurus yang selalu diunggulkan sebelumnya. Ugrawe kini menyerbu Jagaddhita dengan totokan dua jari yang menggunakan tenaga dalam yang penguasaannya mirip dengan tenaga dalam Jagaddhita. Dua jari yang terulur ini, satu berisi tenaga yang sesungguhnya dan satu lagi berisi tenaga biasa. Kelebihan pengaturan tenaga ini. lawan menjadi bingung untuk menentukan di jari yang mana tenaga sesungguhnya tersimpan.

Sebenarnya itu tidak menjadi soal benar, andai bukan Ugrawe yang memainkan. Toh perbedaan jarak antara jari yang satu dan yang kedua sangat dekat. Apalah artinya kalau tinggal menyampok saja. Namun, meskipun jaraknya dekat, daya pancarnya berbeda. Satu jari diangkat ke atas, bisa mengarah ke mata. Satu jari lain ditundukkan ke bawah, bisa menotok ke arah pinggang.

Lebih menyulitkan lagi, karena Ugrawe menggunakan empat jari dua tangan yang menyerang serentak. Menghadapi pertempuran jarak pendek, Jagaddhita keteter. Lima jurus berikutnya, kakinya sudah terlalu sulit untuk mengatur pertahanan. Dan dalam sekejap saja ia sudah terkurung. Tinggal waktu saja. Berada pada titik kritis, Jagaddhita memancing dengan serangan balik. Dua jari tangan kanan dibiarkan menelusup ke depan, ia membarengi dengan sentilan ke arah jakun.

Ugrawe berseru dingin. Ia terus menerjang. Kalau tipuan yang sama pernah dipraktekkan Jagaddhita kepada Pu'un, kali ini ternyata hasilnya berbeda. Justru Ugrawe tidak memedulikan sentilan ke arah jakunnya. Tangan kiri meraup ke depan, angin berdesir dari samping, langsung menghantam tangan Jagaddhita. Mengira kecolongan, Jagaddhita mencoba menarik balik tangannya.

Duk!

Tubuh Jagaddhita bergoyang. Tersurung mundur tiga tindak. Ugrawe meloncat maju sekali lagi. Jagaddhita meloncat ke atas sambil berbalik. Ia melancarkan pukulan dengan punggung menghadap ke arah lawan. Tanpa memedulikan serangan lawan, Ugrawe terus menjotos.

Duk.

Kali ini tubuh Jagaddhita terayun dan terbanting di tanah.

"Ayo menyanyi lagi tentang waktu kecil temanmu adalah bidadari. Sekarang diganti, waktu mati temanmu adalah cacing busuk."

Tangan kiri Ugrawe berputar satu lingkaran sementara tangan kanan terbuka telapaknya. Sekali terayun, Jagaddhita tak bakal bisa menghindar. Kemungkinan paling kecil hanya bisa menangkis dengan sisa tenaganya.

Upasara sudah meloncat beberapa tombak jauhnya. Akan tetapi ia merasa tak tega melihat adegan yang mengerikan. Untuk menolong sudah tak mungkin. Bahkan kalau ingin melemparkan kerisnya pun rasanya hanya sedikit artinya. Bisa merepotkan Ugrawe tetapi tetap tak menolong Jagaddhita. Upasara menjilat bibirnya.

"Jangan kuatir, Bibi, aku akan menunaikan tugas terakhir. Kematian bukanlah akhir. Kehidupan bukanlah awal. Yang muda bisa mati, yang tua lebih lama." Upasara melakukan sembah, lalu berbalik.

Ugrawe menganggap bahwa Upasara adalah yang paling cerdik dari semua yang hadir. Perhatiannya sempat terpecah juga dengan kata-kata yang diduga mempunyai sayap lain. Siapa yang dimaksudkan dengan yang tua? Apakah hal ini menyinggung Eyang Sepuh?

"Anak muda, soal mati-hidup bibimu ini hanya soal kapan aku membalik telapak tangan. Hiburanmu tak akan berguna."

"Ugrawe, kau selalu berhitung sangat teliti dan rapi. Kau sudah menang. Untuk apa ragu lagi? Aku sekadar mengacau perhatianmu. Agar kau tak seketika membunuh Bibi. Mungkin dengan begitu akan ada pertolongan datang. Kenapa kau menduga Eyang Sepuh bisa meloloskan diri dan bakal melaporkan hal ini ke Keraton? Sampai sekarang pun kita sama-sama tidak tahu di mana Eyang. Apakah masih bersembunyi di sini, ataukah sudah berada di Keraton, ataukah sedang ditawan lawan yang entah dari mana, atau justru menemui Tamu dari Seberang. Ugrawe, kau boleh merencanakan tipu daya macam-macam. Mengundang para pendekar kelas satu kemari, dengan umpan Tamu dari Seberang. Dan kenyataannya kau berhasil mengundang semuanya. Aku mengatakan semuanya, meskipun kau sendiri hanya membawa Kawung Bersaudara dan mengandalkan prajurit-prajurit yang lain. Satu hal kau lupakan, bahwa umpan yang kau sodorkan berdasarkan perhitungan yang matang. Dan perhitungan itu, memang memungkinkan bahwa Tamu dari Seberang akan datang. Siklus datangnya persis saat-saat sekarang ini. Bahwa yang dituju adalah Perguruan Awan, itulah satu-satunya tempat yang memungkinkan. Ugrawe, tidak sadarkah bahwa yang kau anggap jebakan, itu sebenarnya bisa terjadi? Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin Pu'un yang dari ujung barat tanah Jawa bisa datang kemari pada waktunya?"

"Aku senang caramu bicara. Kau sangat cerdik. Lebih cerdik dari murid-muridku. Tapi mana mungkin aku terkecoh dengan akal bulusku sendiri? Tamu dari Seberang tak pernah ada. Ken Arok zaman dulu hanya membuat kisah itu untuk memantapkan Kehadirannya. Ia mencari persamaan dengan dewa-dewa sebagai nenek moyangnya. Ia mencari darah biru. Tapi sesungguhnya ia perampok besar, bromocorah yang bisa naik takhta. Dan semua keturunannya adalah keturunan perampok besar. Yang hanya akan menghancurkan, yang hanya akan merampok tanah Jawa. Termasuk Kertanegara."

"Tugasmu mulia, Ugrawe. Kau ingin mengembalikan takhta di tanah Jawa ini kepada darah biru, darah para dewa. Hanya saja kenapa kau melakukan seperti kerja para perampok?"

"Ini urusanku. Itu tanggung jawabku sendiri." Telapak tangan Ugrawe bergetar. "Jagaddhita, hari ini terimalah kematianmu. Sudah kukatakan, Upasara hanya memperpanjang waktu saja. Langit pun tak bisa membantumu..."

Jagaddhita bangun dengan susah. Rasa nyeri dua pukulan seperti meremukkan isi tubuhnya.

"Kau salah perhitungan, Ugrawe. Gendhuk Tri bisa menolong Bibi...."

Ugrawe meleletkan lidahnya. Hingga menyentuh kumisnya. "Anak ini sudah kena sirep Pu'un. Tak akan ada yang membebaskannya."

"Kau cerdik, akan tetapi salah perhitungan. Pu'un telah membebaskan pengaruh sihirnya. Gendhuk Tri, kau bisa menyerang Ugrawe seketika."

Teriakan Upasara mengguntur. Memang, dalam perhitungan hanya Gendhuk Tri yang bisa menyelamatkan Jagaddhita. Pertama karena ia tak diduga bakal menyerang secara tiba-tiba. Kedua, posisinya sangat dekat dengan Ugrawe dan Jagaddhita, tanpa dicurigai. Dengan memberi komando, Upasara mengharap Gendhuk Tri segera bertindak. Upasara menduga bahwa Gendhuk Tri sudah dibebaskan pengaruh sihirnya oleh Pu'un. Karena keduanya sudah diringkus bersama di dalam jala Kawung Sen. Ternyata perhitungan Upasara meleset. Gendhuk Tri menoleh ke arah Upasara, akan tetapi. tak bereaksi. Sinar matanya masih kosong saja.

"Gendhuk... sekarang!"

Ugrawe mengelus kumisnya. Jagaddhita terhuyung ke belakang. Suasana sekeliling terasa hening mencekam. Upasara menggertakkan gerahamnya. Jagaddhita menerawang pasrah.

"...kenapa harus bersedih hati.. waktu kecil tontonanmu adalah bidadari..."

Mendadak terjadi perubahan. Gendhuk Tri seperti tersadar, dan mencabut patrem dari setagennya, langsung meloncat ke arah Ugrawe. Pusat perhatian Ugrawe memang sepenuhnya tertuju kepada Jagaddhita. Ia tak mengira sama sekali bahwa Gendhuk Tri bakal meloncat langsung ke arahnya. Meloncat dan mendaki tangan Ugrawe. Begitu berada di atas, patrem Gendhuk Tri menyabet ke bawah dengan cepat sekali. Irisan tajam mengarah ke wajah!

Berteriak pun Ugrawe tak sempat. Tangan kanan yang dipakai pancalan, ditarik mundur. Berikut tangan kiri berusaha menutup wajah. Tenaga terkumpul ditangan sedemikian kuat, sehingga arah patrem melenceng ke kiri. Tak urung, menyambar, daun telinga Ugrawe kena diiris. Darah muncrat membanjir, Ugrawe melontarkan tubuhnya ke belakang dan dua tangannya kini menyambar ke atas. Gendhuk Tri tidak menarik mundur serangan kedua, malah berusaha melompat maju lagi. Dengan cara berjumpalitan di angkasa.

Upasara meloncat maju bersamaan dengan gerak Gendhuk Tri tadi, menyambar tubuh Gendhuk Tri dan membawa lari. Perhitungan Upasara tepat dan menentukan. Karena saat itu Ugrawe sudah melontarkan pukulan andalannya. Bumi seperti tergetar. Menggandeng Gendhuk Tri, Upasara meluncur sambil tangan kirinya menyambut uluran tangan Jagaddhita. Dalam sekejap ketiga tubuh melayang ke arah jauh. Walau dalam keadaan terluka, ilmu meringankan tubuh Jagaddhita masih bisa diandalkan. Dengan empat kali loncatan, mereka telah terbebas dari serangan Ugrawe.

Sementara itu Ugrawe tidak langsung menyerbu. Ia memegangi telinganya yang telah somplak. Darah yang mengucur segera dihentikan dengan memijit urat di dekat pelipis. Lalu tangannya merampas bendera dan memberi komando untuk serbuan total. Kini seluruh prajurit menyerbu ke arah satu jurusan.

Bagi Upasara, Gendhuk Tri, dan Jagaddhita tak terlalu sulit untuk meloloskan diri. Akan tetapi di depan berdiri Kawung Benggol yang menunggu. Dengan tetap bergandengan tangan, ketiganya melabrak lawan. Menduga lawan bakal mengeroyok, Kawung Benggol yang sudah terluka tangannya tak berani adu keras lawan keras. Ia menarik pukulannya. Kesempatan ini digunakan Upasara untuk terus menerobos maju.

"Gendhuk, kau tak apa-apa?"

"Entahlah," jawab Gendhuk Tri. "Kadang aku seperti mengantuk."

"Masih mengantuk?"

Tak ada jawaban. Upasara menggeleng lembut. Ternyata pengaruh sihir Pu'un masih sangat kuat. Belum bisa dibebaskan sepenuhnya. Hanya waktu Jagaddhita mendendangkan tembang yang dikenal tadi, ingatannya pulih normal. Kini masih bengong kembali.

Di arena yang lain, Kawung Ketip beserta puluhan prajuritnya menyerbu ke arah rombongan yang dilindungi oleh Tiga Pengelana Gunung Semeru. Wilanda terhuyung-huyung, sementara Dewa Maut mencoba menjaga Padmamuka yang kelihatannya makin berat. Obat bubuk yang ditaburkan dalam badannya ternyata menjadi racun yang keras. Dewa Maut tak tahan. Ia bopong Padmamuka dan mencoba mencari jalan sendiri.

"Jangan keluar dari lingkaran," Panengah berteriak memberi peringatan. Ia sendiri mengubah tempatnya, mencoba mendampingi Dewa Maut. Pembarep dan Wuragil segera mengikuti gerak Panengah, agar bentuk lingkaran sebagai payung tetap kuat.

Apa yang dikuatirkan Panengah memang terjadi. Begitu menerobos ke luar, Dewa Maut sudah langsung terkurung. Kawung Ketip menyabet kaki Dewa Maut, yang langsung menjadi limbung karenanya. Tubuhnya bergerak-gerak, Padmamuka sendiri lepas dari bopongannya. Tubuhnya jatuh ke tanah, dan Kawung Ketip menendang keris. Terdengar teriakan mengaduh perlahan, tubuh Padmamuka membal ke atas.

"Toleee..." Dewa Maut menjerit, berusaha bangkit. Akan tetapi luka dalam membuatnya makin parah. Darah segar muntah dari bibirnya, Sebagian berwarna gelap. Belum bisa berdiri lurus, Kawung Ketip sudah melontarkan pukulan berikutnya.

Dewa Maut tak berkelit, tak menghindar. Tujuannya hanya satu, mendekat ke arah Padmamuka. Kena senggol angin pukulan saja, Dewa Maut langsung terguling. Tubuhnya jatuh bagai pisang ditebang. Rubuh seketika. Tangannya mencoba menggapai ke depan, tetapi seperti memegang udara kosong.

Jaghana yang melihat Kawung Ketip mencoba menerjang lagi, cepat sekali menggulung dirinya. Masuk ke dalam perkelahian. Kawung Ketip bersiap, tapi seketika ia terseret arus berputar. Tak ada jalan lain. Ia ikut berputar masuk dalam lingkaran.

Kalau saja Upasara sempat mengamati dengan teliti, ia bisa mengerti bahwa kini yang dimainkan Jaghana adalah permainan sepenuhnya. Bukan seperti ketika menghadapi Upasara tadi. Pesat bagai gasing, Jaghana berputar melipat. Makin lama putarannya makin sempit, sehingga jarak keduanya makin dekat, makin dekat, makin lekat, dan akan saling menempel.

Kawung Ketip bukan jagoan sembarangan. Ia dulu, bersama dua adiknya, termasuk yang menyerbu sampai ke dinding Keraton Singasari. Ilmunya tidak sembarangan. Apalagi selama menyembunyikan diri ini, Kawung Ketip makin memperdalam. Hanya saja sekarang ini yang dihadapi adalah lawan yang sekelas dengannya.

Sebelum ia mengembangkan ilmunya, sudah terpancing jenis permainan lawan. ilmu berputar memang bukan ilmu yang bisa dipelajari dengan mudah. Mana lagi ia membuat kesalahan fatal, yang baru diketahui kemudian. Ketika menendang tubuh Padmamuka tadi, secara tidak langsung ia terkena racun. Kakinya yang untuk menendang mulai terasa kesemutan. Itu tentu saja menghambat kemampuan geraknya.

Sebaliknya Jaghana justru sedang berusaha melipat habis. Telapak tangannya berputar, sementara tubuhnya sendiri terus berputar. Merasa bahwa lawan makin tertekan, Jaghana mengeluarkan seluruh kemampuannya.

Kawung Ketip berusaha membetot lawan. Bagian yang diserang di arah selangkangan. Melihat lawan begitu licik, Jaghana menjadi lebih kuat. Tangan lawan ditangkap, sementara tubuhnya terus berputar. Kali ini Kawung Ketip benar-benar turut berputar sambil berpegangan. Satu tangan lagi mencoba menyodet lubang hidung. Jaghana menangkap pula. Lengkaplah kini. Dua tangan berpegangan, saling menggempur dengan menyalurkan tenaga dalam. Kawung Ketip berusaha, sementara terus berputar mengangkat lututnya. Lagi-lagi yang diarah adalah selangkangan.

Risikonya bukan tidak ada. Kuda-kudanya menjadi agak timpang. Akan tetapi kalau sodokannya mengena, Jaghana bakal habis di sini. Paling tidak bakal ada yang pecah kena sodokan lutut. Tapi justru Jaghana melihat kelemahan lawan. Begitu kaki lawan terangkat, satu kaki langsung menyapu. Keras, cepat, dan menebas. Kena gaet satu kakinya, Kawung Ketip mengeluarkan suara tertahan.

Gempuran kaki Jaghana bukan hanya sangat keras, tetapi membuat ngilu sampai ke sumsum. Tak tahan, Kawung Ketip berusaha mencengkeram lawan dengan kencang, seperti mau memencet urat nadinya. Jaghana justru merasa bagian bawah lawan tak ada perlawanan sama sekali. Gempuran kaki berubah menjadi semacam gaetan, dan ketika disentakkan, Kawung Ketip melayang di angkasa.

Wuragil berseru keras sambil meloncat dan mengayunkan pedangnya. Tiga kali menebas, tiga-tiganya bisa mengenai tubuh lawan. Sebelum tubuh Kawung Ketip menyentuh tanah, sudah terpisah menjadi tiga potong.

Kawung Benggol tak menduga bahwa kakak sulungnya begitu cepat bisa ditaklukkan lawan. Dalam geramnya ia mengayunkan rantai panjang, menyerang Wuragil dari belakang. Di tengah udara, Wuragil membalikkan tubuhnya, menyabet rantai lawan. Pedangnya bisa dilihat. Kawung Benggol menyentakkan. Meskipun sebenarnya dua tangan, dan terutama kakinya, terluka, akan tetapi tenaganya cukup kuat. Apalagi dibandingkan dengan Wuragil yang masih berada di angkasa. Pedang Wuragil bisa terlepas. Dalam sentakan berikutnya, Kawung Benggol melepaskan libatan, dan pedang itu berbalik meluncur ke arah pemiliknya.

Pembarep meloncat ke atas, sementara Panengah langsung memasang kuda-kuda. Ternyata Pembarep naik ke atas pundak Panengah. Di atas bahu Panengah, Pembarep mengayunkan tangan, dan menangkap pedang. Sementara itu, Wuragil melayang turun dengan aman. Hebat gerakan Trisula ini! Karena begitu menyentuh tanah, Wuragil langsung ganti memasang kuda-kuda. Melihat Kawung Benggol menyerbu masuk, Panengah meloncat. Dengan Pembarep masih berada di pundaknya, ia meloncat maju dan hinggap di pundak Wuragil!

Kini Tiga Pengelana Gunung Semeru berdiri tegak lurus satu sama lain. Menjulang ke atas. Inilah yang disebut Semeru Manjing Langit, atau Gunung Semeru Bersatu dengan Langit. Ini salah satu dari tiga jurus berantai andalan dari Gunung Semeru. Konon jurus ini merupakan jurus yang berintikan penyerahan diri kepada kekuasaan Yang Maha tinggi. Semeru Manjing Langit adalah sinonim dari Curiga Manjing Warangka, atau Keris Kembali ke Sarungnya. Dalam pengertian Jawa ini mengandung falsafah penyerahan diri secara total. Sering disebut-sebut sebagai bersatunya umat manusia dengan Sang Maha Pencipta.

Pada Tiga Pengelana Gunung Semeru, jurus ini akan mencapai hasil maksimal jika di antara ketiga ksatria bisa menyatukan pikiran. Seolah-olah hanya satu pikiran tiga badan. Berdasarkan latihan bersama yang memakan waktu lama, kemungkinan ini bisa tercapai. Walau ketiganya memiliki perangai yang berbeda, akan tetapi ketika menghadapi lawan bisa satu kehendak. Seperti ketika Wuragil turun ke bawah tadi, ia langsung memasang kuda-kuda, dan Panengah langsung hinggap di pundak Wuragil. Sementara Pembarep tetap bertengger di atas.

Kalau tidak ada saling pengertian, gerakan itu tak bisa terwujud dengan sempurna. Karena walau Wuragil sudah berdiri memasang kuda-kuda di depan, tidak selalu kedua ksatria yang lain akan melakukan jurus Semeru Manjing Langit. Tergantung pada situasi yang dihadapi. Dan Wuragil cukup tanggap. Melihat Kawung Benggol meloncat tinggi, ia langsung memasang dasar dari jurus andalan. Dan rupanya Panengah pun melihat jalan keluar yang sama, sehingga langsung meloncat ke atas pundak. Kalau saat itu Pembarep melihat kemungkinan yang tidak sama, ia bisa memilih gerakan tersendiri. Tapi agaknya justru sekarang ini melihat satu titik penyelesaian yang sama!

Tak alang kepalang kagetnya Kawung Benggol! Ia sudah meloncat ke atas. Yang dihadapi adalah tiga orang yang berdiri secara lurus satu sama lain. Sempat tergetar hatinya, Kawung Benggol merasa makin tak bisa memusatkan pikiran. Mau menyerang bagian yang mana. Bagian atas atau bagian tengah. Tak ada pilihan selain harus menggempur semuanya. Dan ini dirasa tak menguntungkan. Kawung Benggol tak sempat menutup diri sepenuhnya ketika tangan Pembarep menyentuh pundaknya dan menekan ke bawah, sementara siku Panengah menyodok dada. Dua sodokan yang masuk secara telak. Kawung Benggol belum bisa sepenuhnya merasakan rasa pedih dan ngilu, ketika Wuragil menusukkan tombak yang diraup dari tanah.

Bagai sate besar, tubuh Kawung Benggol tertahan pada tombak, yang oleh Wuragil disentakkan kembali ke atas. Dan Kawung Benggol melayang ke atas. Panengah bisa menambahi dengan beberapa pukulan. Akan tetapi agaknya Pembarep tidak tega. Ia lebih dulu mengulurkan tangan, merampas tubuh Kawung Benggol dan melemparkan ke tengah prajurit yang datang menyerbu. Ia sendiri langsung turun, disusul oleh Panengah dan ketiganya membentuk barisan menahan serbuan. Bagi Wuragil semua tadi adalah kesempatan untuk memamerkan kemampuannya. Sejak datang ia kena dipecundangi, dan belum sedikit pun bisa memperlihatkan kepandaiannya. Maka begitu Kawung Ketip dan Kawung Benggol menyerbu, ia menyambut dengan gairah.

Berbeda dengan Pembarep yang paling tenang. Ia tak berniat jahat. Bahkan kalau mungkin tak ingin membunuh lawan. Namun Kawung Benggol tak bisa bertahan lama, Tubuhnya terlempar dengan tombak masih menancap. Dua sodokan siku Panengah telah mengacaukan sistem pernapasannya. Maka begitu berdentam di tanah, ia hanya berkelojotan sebentar lalu terbaring untuk selamanya.

Ketiga Pengelana Gunung Semeru memasang barisan rapat. Setiap serbuan bisa dihalau, meskipun dengan demikian mereka terpaksa bekerja sangat keras. Jaghana juga turut menahan dari samping kiri, agar masih mempunyai ruang tersisa. Rombongan Upasara juga mulai bergabung. Mereka terdesak dan terus mundur.

Mendadak terdengar sangkakala ditiup sangat nyaring. Pasukan Gelang-Gelang yang berada di depan tak masuk menyerbu. Bertahan. Sementara lapisan ketiga di belakangnya, semua memasang anak panah yang ujungnya dibakar. Agak jauh di tengah, Ugrawe berdiri di atas papan yang diangkat tinggi-tinggi.

"Panah api..."

Teriakan Ugrawe disusul dengan ratusan anak panah berapi menderu bagai disiram dari langit. Beberapa bisa disampok, beberapa berbenturan sendiri. Namun tak urung semua terdorong mundur dan makin mundur.

"Awas, beracun. Jaga pernapasan."

Pembarep lebih dulu menutup diri. Kedudukan memang makin sulit. Ratusan anak panah yang secara terus-menerus dilepaskan adalah anak panah berapi. Bahaya sesungguhnya bukan berasal dari api itu, melainkan berasal dari api yang padam. Asapnya akan mengeluarkan sejenis bau yang menusuk hidung. Sebenarnya justru karena baunya yang sangit, seperti kain terbakar, mudah cara menghindarinya. Hanya saja karena jumlahnya kelewat banyak, asap tak bisa dihindari. Kalau panah tidak ditebas, apinya juga menyulitkan. Jagaddhita yang berjalan sempoyongan mulai merasa betapa ganasnya bau itu.

"Celaka, kita bisa habis di sini."

Wilanda, yang paling lemah daya tahannya, sudah langsung terduduk. Jaghana duduk di belakangnya. Sementara itu hujan panah makin keras, dan asap mulai tercium di mana- mana.

"Kisanak Jaghana..." Suara Jagaddhita sangat lemah.

"Biar rata dengan tanah, saya akan berada di sini."

"Apakah orang luar boleh melangkahi Lawang Sewu?"

Jaghana menghela napas. "Kau telah mengetahui hal itu, kenapa masih perlu minta izin?"

"Maafkan, Kisanak Jaghana, kalau saya terlalu lancang."

"Tidak. Tidak ada lancang, tidak ada tidak lancang. Kalau dahulu dibangun untuk keselamatan negara, sekarang inilah saatnya."

"Di mana?"

"Satu kanan, dua kiri, bintang selatan bertiup pelan." Jagaddhita menggertakkan giginya. "Wulung..."

Upasara menoleh.

"Papah Bibi..."

Upasara maju, membopong Jagaddhita. Satu tangan lain menggandeng Gendhuk Tri. Tapi Gendhuk Tri mengibaskan tangan. Ia berjalan sendiri. Mendampingi. Mereka mundur ke bagian belakang sekali. Beberapa kali Upasara menyampok anak panah yang terus menyerbu. Sampai di deretan pohon-pohon besar bagian belakang yang rapat, Jagaddhita mendongak mengawasi langit.

"Wulung... kau melihat ada gua di belakangmu?"

"Tidak ada."

"Bagus. Masuk ke dalam. Lima puluh tindak ke kanan, seratus tindak ke kiri. Mulai!"

Upasara masih bingung akan tetapi mengikuti perintah Jagaddhita.

Ugrawe di kejauhan memerintahkan pasukan panah menyerbu maju. "Jangan ada satu pun yang bisa lolos." Teriakannya disusul bayangan tubuhnya menuju ke depan.

Ketiga Pengelana Gunung Semeru memapaki dan segera terjadi pertempuran. Jaghana menghadang serbuan prajurit yang lain. Korban makin banyak berjatuhan, tetapi serbuan makin gencar. Bagai air bah yang tak menghiraukan apa yang menghadang...


BAGIAN 02CERSIL LAINNYABAGIAN 04

Senopati Pamungkas Bagian 03

Senopati Pamungkas
Buku Pertama

Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

BAGIAN 03

SENOPATI JOYO sempat kaget karena gadanya terlepas dari tangan kanan. Namun tangan kirinya masih sempat menangkap dan mengayunkan ke belakang. Senopati Lebur juga mengayunkan dengan cara yang sama. Begitu juga Senopati Suro mempergunakan dua tombak untuk mengayunkan tubuhnya. Bagai peloncat dengan galah, tubuhnya menyerbu ke arah bayangan Ugrawe yang berkelebat. Cepat sekali. Senopati Suro bergerak, akan tetapi Ugrawe bergerak lebih cepat lagi. Dua prajurit yang membawa tandu bisa direnggut bahunya dan dengan sekali gebrak, dua tubuh itu terlontar ke dalam tandu.

"Kentut bau, keluar. Sambut kedatangan pencabut nyawamu..."

Belum selesai kalimatnya, Senopati Suro sudah datang. Dua tombak dilemparkan dengan keras dari udara. Tombak yang tadi dipakai untuk meminjam tenaga melompat, kini dipakai untuk menyambit. Tanpa menoleh kebelakang, Ugrawe menggerakkan tangan ke belakang. Dua tombak diraup sekaligus! Lalu ditimpukkan balik. Senopati Suro tak kepalang herannya. Kalau ia mendengar Ugrawe tokoh yang disegani, tidak juga sehebat ini. Hanya kebetulan dua gada senopati yang melayang menolong dari kemungkinan luka parah. Dua gada menyampok dua tombak.

Begitu hinggap di tanah, Senopati Suro harus melepaskan diri dari keroyokan para prajurit Gelang-Gelang. Meskipun mereka ini prajurit terdidik, akan tetapi tingkat kepandaiannya masih jauh di bawah para senopati. Hanya saja karena jumlahnya banyak dan seperti bertarung kesetanan, memerlukan waktu untuk menghadapi.

Dan sementara itu terjadi, Ugrawe sudah membunuh dua pembawa tandu yang lain. Senopati Pangastuti menggerung pendek. Berbeda dari senopati yang lain, Pangastuti tidak meloncat maju atau menyambitkan pedang pendeknya. Ia menerjang tanpa tergesa. Dan justru anehnya, Ugrawe selalu melengos setiap kali menghadapi serangan Senopati Pangastuti. Tidak langsung menghadapi keras lawan keras. Ugrawe menyamping. Dengan mengempos kekuatannya, dua tangannya bergerak bersamaan, menjulur ke depan, lalu tiba-tiba dibalikkan lagi. Tenaga mengisap!

Tandu seperti bergoyang-goyang sebelum terangkat ke atas, dan dengan kecepatan tinggi tandu terus terangkat ke atas. Ugrawe berseru keras. Satu tangan terbuka menahan. Dan seperti ada tenaga penghubung, tandu itu tertahan di angkasa. Satu tangan bergerak melontarkan pukulan. Terdengar suara "brak" keras sekali. Tandu hancur berkeping-keping. Akan tetapi tandu ternyata kosong! Ke mana Senamata Karmuka? Tipu daya apa yang dikeluarkan. keempat senopati pun berusaha melindungi?

Ugrawe berteriak keras. Sekali lagi ia meloncat di antara kepala prajurit Gelang-Gelang. Kali ini arah dan sasarannya bukan menyerbu ke arah musuh akan tetapi kembali ke tempat semula. Pikiran Ugrawe cepat bekerja: pada situasi seperti ini, Senamata Karmuka pasti lebih dulu menyerang ke arah pusat. Ia berarti langsung menyerang ke arah kemah Raja Muda Gelang-Gelang.

Ini merupakan salah satu cara untuk menghentikan pertempuran dengan cepat. Karena kalau pucuk pimpinan tertinggi ditawan, apa lagi yang bisa dilakukan. Maka Ugrawe langsung menuju tandu utama. Barisan prajurit pengawal utama dilewati begitu saja. Di depan tandu, Ugrawe berjongkok menghaturkan sembah. Tirai tandu terkuak sedikit.

"Ada apa, Paman Guru?"

Ugrawe menyembah untuk kedua kalinya. "Junjungan dalem, Senamata Karmuka untuk sementara bisa meloloskan diri. Harap Paduka tidak keluar dari tandu."

Tirai tandu tertutup lagi. Ugrawe menghaturkan sembah. Berdiri lagi. Matanya mengawasi sekeliling. Ke arah pengawal utama. Mendadak saja tangan Ugrawe bergerak. Salah seorang pengawal seperti terisap ke depan. Tubuhnya bergerak maju tanpa bisa dikuasai. Ugrawe menyentak keras. Tubuh itu melayang ke arah Ugrawe dan dengan sentakan berikutnya, tubuh itu terbanting ke tanah. Pandangannya melotot, dan napasnya telah putus. Ugrawe bisa membunuh tanpa menyentuh. Pengawal utama yang lain berteriak kaget.

"Kentut itu pasti menyusup kemari. Kalau ada yang sedikit mencurigakan, akan kubunuh kalian semua." Ugrawe menatap sekitar.

Para prajurit utama jadi bergetar hatinya. Wajah mereka pias. Dalam masalah seperti ini, Ugrawe memang selalu langsung bertindak cepat. Masih sekarang ini mau menjelaskan alasannya.

Sementara itu Pembarep mulai terjun ke arena peperangan. Begitu melihat Upasara bergerak melindungi Wilanda, Pembarep langsung meloncat maju. Ia menutup serangan, sekaligus juga serangan ke arah Padmamuka dan Dewa Maut.

"Anakmas Upasara, biar aku yang tua di sini."

"Sembah bekti, Paman...."

"Bergabunglah bersama Jagaddhita. Paman tua ini masih bisa mengajak mereka mundur."

Panengah dan Wuragil juga berbaris bersama. Ketiganya menjadi perisai utama. Wilanda digotong oleh Jaghana dan Padmamuka digotong oleh Dewa Maut. Keduanya berjalan mundur, sementara Tiga Pengelana Gunung Semeru melindungi dalam bentuk lingkaran.

Upasara melejit maju ke depan, menghindari bantuan prajurit Gelang-Gelang yang terus maju merangsek. "Bibi..."

"Wulung ..," sambut Jagaddhita, yang tiba-tiba akrab dengan Upasara. "Kalau kau bisa kembali ke Keraton, sangat baik sekali. Serahkan semua ini pada bibimu...."

Empat ujung selendang Jagaddhita bergerak bersamaan ke arah empat penjuru, dan empat prajurit lawan langsung terjungkal dengan memegangi matanya. Sekali lagi bergerak, empat lagi memegangi matanya. Dari sana mengalir darah.

"Cari jalan lain, Wulung. Jangan pedulikan yang lain."

Kawung Ketip berteriak pendek sambil menerjang ke arah Jagaddhita dan mengayunkan rantainya. Sekali sebat rantainya menggulung, melipat, dan sekaligus menyentak dua ujung selendang Jagaddhita. Karena selendang itu masih dililitkan di tubuhnya, tak urung Jagaddhita tertarik ke depan. Tapi justru dengan itu, dua ujung selendang yang lain menusuk ke arah Kawung Ketip. Berubah bentuk selendang menjadi semacam tombak, Kalau lurus menusuk.

Dengan tangan kiri Kawung Ketip berusaha menangkap dua ujung selendang sekaligus. Dan juga membetotnya. Karena dua tangan sudah digunakan bersama, Kawung Ketip tak mungkin menahan serangan berikut dan dua tangan. Yang serta-merta mengarah ke bagian jakun sedikit ke atas. Kawung Ketip adalah pemimpin ketiga kawung. Bahwa ia paling jago, sudah banyak yang mengetahui. Bahwa Jagaddhita berusaha menggebrak dengan jurus-jurus yang berbahaya, juga bisa dimaklumi. Melawan seorang pemberontak, tokoh-tokoh Keraton memang tak kenal kata kasihan atau ampunan.

Melihat serangan begitu nekat, Kawung Ketip mengerahkan seluruh tenaga dan membetot luar biasa. Tubuh Jagaddhita terayun ke udara. Inilah yang tak diperhitungkan oleh Kawung Ketip. Kelebihan Jagaddhita justru mempermainkan antara tenaga yang keras dan tenaga yang lemah. Gerakan selalu bisa diubah dengan sekehendak hatinya. Senjata selendang warna-warni juga bukan sekadar hiasan.

Dalam pertempuran, selendang itu jika terkena sinar matahari memantulkan aneka cahaya yang aneh. Yang bisa mempengaruhi konsentrasi lawan. Namun lebih dari itu semua, selendang ini juga bisa diloloskan dengan sekehendak hatinya. Ketika ditarik tadi, Kawung Ketip menduga bisa menguasai lawan. ternyata hanya selendang saja yang bisa dibetot. Selebihnya tubuh Jagaddhita terus menerjang ke arahnya. Kawung Ketip menangkis dengan pergelangan tangan.

Satu sentilan halus cukup membuat pergelangan Kawung Ketip kesemutan, dan Jagaddhita merampas kembali selendangnya. Sekali lagi keempat selendang berkibar di udara sebelum menutup wajah Kawung Ketip. Kawung Ketip mengimbangi dengan ayunan rantai ke arah pinggang. Kalau sabetan mengenai sasaran, dengan sekali sentak. Jagaddhita bakal menjadi boneka mainan yang dibanting hancur. Diam-diam Jagaddhita memuji kegesitan lawan. Dalam menghadapi serangan, ternyata Kawung Ketip tidak berusaha bertahan sepenuhnya. Justru bertahan dengan balik menyerang.

Sementara keduanya masih terlibat dalam pertandingan, Gendhuk Tri jadi tak ada yang mengawasi. Gadis kecil ini masih terbengong-bengong tak bereaksi, ketika Pu'un datang kepadanya dan langsung mengepit. Belum sempurna kakinya menotol bumi, Kawung Benggol sudah datang menyapunya. Kawung Benggol dalam gebrakan pertama kena dipecundangi Senopati Suro, sehingga kedua tangannya kena pukulan gada senopati yang lain. Makanya kini melakukan serangan dengan kaki.

Pu'un tak menghindar. Justru memapaki kaki dengan kaki. Dua tulang beradu keras. Lalu disusul dengan dua-tiga tendangan berikutnya. Pu'un terus merangsek maju. Ketika Kawung Benggol terdesak, Pu'un tidak melanjutkan serangan, akan tetapi melarikan diri ke arah lain. Bagi Pu'un tujuannya hanya satu. Mendapat keterangan mengenai Tamu dari Seberang. Ia tak terlibat dengan masalah pemberontakan apa segala. Maka juga tak berniat membunuh lawan. Asal bisa memperoleh Gendhuk Tri sudah lebih dari cukup. Pu'un tidak menduga justru ketika ia melompat itulah ia masuk dalam perangkap. Karena Kawung Sen sudah menebarkan Jala.

"Oho, mau ke mana kau, orang hutan?"

Jala itu terbuat dari tenunan sutra yang ulet. Maka begitu kena dijala, Pu'un tak bisa bergerak. Ia benar-benar seperti seekor burung besar yang terjerat. Tak bisa bergerak apa-apa. Kawung Sen menendang bagian pantat sambil tertawa-tawa.

"Gadis itu bagianku. Bukan bagianmu."

Pu'un tak bisa berbuat sesuatu apa.

"Lihat. Aku akan mengencingimu. Biar kau mandi di sini."

Kalau ini benar-benar terjadi, entah di mana lagi Pu'un bakal menatap dunia. Sebagai pendekar yang diandalkan dari asalnya, sebagai seorang ksatria, mana bisa dimandikan di tempat terbuka seperti ini dengan air kencing?

Mati dalam pertempuran, bukan soal. Kalah dalam pertandingan, masih bisa diterima. Akan tetapi dihina seperti ini, sungguh sangat memalukan. Pu'un berpikir untuk menggigit putus lidahnya. Lebih baik mati sebelum dihina. Kalau bisa, ia akan mengetok kepalanya sendiri. Tetapi diringkus dalam jala, menggerakkan jari pun sulit.

Dan Kawung Sen benar-benar membuka pakainnya. Tapi urung. Karena telinganya mendengar desir yang keras menuju ke arah bagian tubuhnya yang sangat peka. Tangannya bergerak menangkap ke arah desiran dan dengan cepat mengembalikan ke arah sumber suara. Upasara menangkap dengan giginya. Yang dilemparkan tadi adalah kancing baju, yang dilepas dari surjan yang dikenakan.

"Baik kalau kau juga ingin dimandikan." Kawung Sen mengerahkan tenaga dan mulai melancarkan pukulan.

Upasara berdehem kecil. Ia sama sekali tak gentar menghadapi Kawung Sen, yang baru saja membuktikan kekuatan tenaganya membalikkan seekor kuda. Pukulan yang datang disambut dengan dua tangan yang berusaha menjepit. Kawung Sen mengganti dengan gerakan sapuan kaki, akan tetapi sekali ini Upasara tak menggeser kakinya. Dua tangan yang terjulur lurus berubah jadi menjepit ke arah kepala.

"Nekat juga anak kecil ini," teriak Kawung Sen. "Yang begini masih perlu mandi sendiri."

Keduanya berhadapan. Berdiri sama tegak. Di antara ketiga kawung, Kawung Sen paling suka berlagak dan memamerkan kekuatan. Sikap yang rada congkak ini sama dengan Upasara Wulung. Jenis permainan keduanya dengan cara menyerang juga sama. Pola menyerang yang sama-sama terbuka.

"Ini baru hebat. Sekarang aku ketemu lawan. Sayang usiamu masih muda. Kalau kau mati sekarang, kapan lagi aku mempunyai mainan?"

"Sama saja, jika kau mati dulu, aku tak bisa memandikanmu."

"Boleh juga mulutmu. Siapa gurumu?"

"Kawung Sen, dengarlah baik-baik agar kau tak kecewa kukalahkan. Guruku adalah majikan utama Lembu Ugrawe. Ketika Lembu Ugrawe masih ingusan dan hampir mati karena kelaparan, salah seorang pelayan guruku menolong nyawanya. Nah, kini kau sudah cukup mendengar?"

"Bagus. Bagus. Aku suka lelucon seperti ini. Mari kita jajal lagi. Kau pakai jurus apa itu tadi?"

"Dalam sekejap melihat, mestinya kau sudah tahu. Masakan pakai bertanya segala macam."

"Wah, ini repot. Kalau menghafal nama jurus, siapa yang bisa ingat? Setiap orang bisa memberi nama sendiri-sendiri. Tapi kalau dilihat dari gerakanmu, jelas kau berasal dari Keraton Singasari. Kau mungkin tidak tahu bahwa aku sudah masuk ke Keraton."

"Tentu aku ingat. Masakan kau lupa siapa yang memberi ampunan padamu ketika itu?"

"Boleh juga. Makin lama lidahmu makin tajam."

"Lembu Ugrawe belajar bicara dari mana kalau tidak dariku, sehingga berani membuka mulut lebih lebar?

"Sebenarnya aku enggan melawan tukang jala. Tentu karena kau yang maju kemari, apa boleh buat."

Upasara mencabut kerisnya. "Aku tidak suka kau main keris. Tangan kosongmu tadi aneh. Itu yang lebih menarik. Ayolah, kau jajal dengan tangan kosong yang menjotos lurus. Soal keris kita lupakan."

Upasara melirik ke arah Pu'un dan Gendhuk Tri. "Baik, aku buang senjata ini." Upasara melemparkan kerisnya ke tanah. Yang dituju adalah pinggiran jala. Keris itu mengenai simpul hingga amblas ke tanah. Tapi, barangkali belum bisa memutuskan tali jala.

"Tak mungkin kau bisa memutuskan jala itu. Dibakar pun tak bisa."

"Tapi tak adil kalau kau tidak memakai senjata."

"Kau sendiri bakal menyerang dengan tangan kosong. Justru tidak adil kalau aku memakai senjata."

"Justru menjadi adil. Aku tertarik dengan gerakan jala, sedang kau tertarik tangan kosong. Makanya cukup adil kalau kau menyerang dengan jala dan aku menghadapi dengan tangan kosong. Kita bisa mendapatkan jawaban rasa ingin tahu."

"Tapi jalaku cuma satu."

"Lepas saja lebih dulu. Apa susahnya untuk menangkap lagi? Bukankah dengan sekali tebar kau bisa menangkapnya?"

"Masuk akal juga." Kawung Sen langsung mencabut keris Upasara dan mengembalikan. Tak memedulikan bahwa Upasara bisa menusuk dengan sekali sabet. Tapi Upasara tidak melakukan itu. Ia menunggu. Dengan sekali sentak di bagian simpul, jala itu melebar lagi. Dan sekali kebut, Pu'un serta Gendhuk Tri terbebas dari jerat.

"Ayo sekarang kita mulai."

"Baik. silakan mulai."

"Tidak adil. kau yang muda menyerang lebih dulu."

"Tidak adil juga. Kalau begitu kita hitung sampai tiga. Kita sama-sama menyerang."

"Boleh juga."

Sementara Upasara bersiap dengan hitungan, begitu juga Kawung Sen, Pu'un berdiri tegap. Di kepalanya berputar seribu satu pikiran. Ia merasa jago, dan sesungguhnya memang jago, akan tetapi sekali kena jala, tak bisa bergerak. Bahkan hampir saja mendapat kehinaan total. Tak habis pikir bagaimana justru sekarang Upasara Wulung yang tak dikenal membebaskan ia.

"...tiga"

Sebat sekali Kawung Sen menebarkan jala. Upasara bukan menghindar dengan meloncat mundur, sebaliknya ia malah maju. Dengan dua pukulan lurus seperti tanduk banteng. Harus diakui bahwa dalam soal pertempuran seperti ini, Upasara jauh lebih cerdik dari Pu'un yang jalan pikirannya sederhana. Upasara boleh dikata mengenal segala macam rangkaian serangan yang banyak macam ragamnya. Serta mempunyai persiapan bagaimana menghadapi. Dengan melihat bahwa sekali gebrak, Pu'un bisa dijerat, Upasara tak akan meladeni dengan menghindar. Ruang gerak yang luas makin memungkinkan jala lawan meringkus dirinya. Maka sebagai gantinya, Upasara mendesak maju. Jalan pikirannya adalah bahwa lawan tak mungkin memainkan jala dalam jarak dekat. Kecuali kalau ingin menjala dirinya sendiri

"Apa nama jurus ini?"

"Menutup Langit"

"Kau tidak tanya aku?"

Sambil terus berbicara keduanya terlibat dalam pertempuran.

"Apa?"

"Banteng Ngore."

Kawung Sen berteriak seperti disengat kala. Tak pernah dalam hidupnya ada nama begini aneh. Banteng Ngore? Jurus apa pula ini? Soal gerakan banteng, ia yakin. Penamaan itu tepat. Akan tetapi dengan tambahan ngore, jadi lain sekali. Kawung Sen menarik pulang jalanya, sementara tubuhnya sendiri melayang ke atas. Pegas sekali sentakannya. Sekilas saja, ia bisa berada di atas jala yang siap mengurung Upasara.

Kalau tadinya Upasara meminta lawan menggunakan jala, itu semata-mata taktik agar Kawung Sen melepaskan Gendhuk Tri dan Pu'un. Tetapi tidak mengira sama sekali bahwa Kawung Sen luar biasa. Jala itu sudah menyatu dengan dirinya. Tak ubahnya Senopati Suro dengan kudanya. Upasara sempat melihat bagian ujung simpul jala, Bagian itulah yang langsung direbut lebih dulu. Jadi kalaupun kena jala, tak mungkin bisa dijerat.

"Boleh juga."

Kawung Sen mengedut jalanya, hingga jadi menyimpang dan bergulung bagai tambang. Upasara bisa menduga arah gerakan lawan. Sebelum jala tertebar ia lebih dulu meloncat di antara prajurit Gelang-Gelang. Ia pasti akan merepotkan Kawung Sen. Ia toh bakal repot menjala salah seorang di antara begitu banyak orang. Dengan cerdik Upasara menggunakan prajurit Gelang-Gelang untuk perisai.

"Awas leher..." Ini serangan banteng yang mengutamakan menyerang secara total. Dua tangan ini berfungsi sebagai tanduk. Tapi mesti diperhatikan juga bagian lambung. Serangan ini variasinya cuma sekitar lambung ke atas. Jangan dilawan, hadapi dengan kekuatan yang lebih besar.

"Bagus. Awas yang berikutnya. Punggung sebelah kanan..."

Bedanya dengan banteng, mereka binatang yang tak mungkin mengubah letak tanduk. Pada manusia bisa.

"kenapa kaki saya yang diserang."

Kaki banteng adalah kuda-kuda yang terkuat"

"Bagus, tarik. Ganti yang lain. Ayo gunakan jala. Kekuatanmu di jala. Tanpa jala sama saja tidak bertempur. Seperti bohong-bohongan saja. Tebarkan."

Bagi Upasara bertempur sambil berbicara bukan hal yang sulit. Ia bisa memecah perhatian dengan baik. Apalagi memang kelebihannya justru dalam berbicara. Dalam sepuluh gebrakan berikutnya, Kawung Sen tercecer. Hanya bisa menangkis sambil terus mundur.

"Awas Banteng Noleh."

Persis seperti banteng menengok, Upasara memutar dua tangan dengan gerakan kaku. Dalam bingungnya Kawung Sen menjajal tenaganya untuk diadu. Dalam saat yang bersamaan, lututnya kena digempur. Tanpa bisa berdiri lagi, Kawung Sen tertekuk ke depan. Usahanya terakhir ialah menjerat lawan dengan jala. Di atas angin, Upasara bisa membalikkan gerakan jala itu menutup dirinya sendiri. Kawung Sen terkurung dalam jala.

"Nah, bagaimana kalau kau kumandikan?"

"Bagus, aku menyerah kalah. Tetapi bagaimana mungkin ada jurus Banteng Ngore?"

"Ada saja. Justru itu yang menarik. Selama ini kau pasti hanya mengenal Bango Ngore, Gagak Ngore, atau paling jauh Jaran Kore. Memang hanya sejenis burung yang bisa menisik bulu-bulunya. Tetapi banteng kan juga bisa!"

"Bagaimana mungkin?"

Upasara melepaskan jala. "Kalau badannya gatal, banteng cukup menolehkan kepalanya..."

'Bagus. Bagus. Hari ini aku tambah pelajaran lagi. Kita akan bertemu lagi..."

Upasara berjalan ke depan. Kawung Benggol menyerbu, menghadang didepannya.

"Biarkan dia, Kakang," suara Kawung Sen terdengar berat. "Biarkan Upasara berlalu."

Kawung Benggol menggertakkan kakinya ke tanah, saking kesalnya. Upasara tidak memedulikan. Ia terus berjalan ke depan. Para prajurit Gelang-Gelang tak ada yang berani mengganggu. Hanya saja satu bayangan berkelebat masuk.

"Hehehe... kau belum menjelaskan ilmu Kerbau Gendheng. Dan aku sudah bilang, siapa pun yang tak mau menyembah harus mati." Ugrawe mengayunkan tangan. Gerakannya lurus, lalu turun ke bawah dan ditarik masuk.

Sekejap Upasara merasa berdiri di atas pasir yang ditelan laut. Tanah di bawahnya seperti bergerak. Tenaga mengisap yang sangat kuat. Upasara merasa tak bakal bisa mengeluarkan tenaga untuk melawan. Sama tak mungkinnya untuk menghindar lari. Dua-duanya akan menyebabkan ia kehilangan keseimbangan badan dan membuat ia masuk dalam pusaran lawan. Upasara meloncat sedikit. Lalu tubuhnya turun kembali dan tetap tegak di atas kedua kakinya.

"Maju." Ugrawe mengulangi gerakannya.

Upasara memantul kedua kalinya, kali ini dengan memutar badannya. Bagai gasing. Lalu turun kembali dengan tersenyum. Dua kali Ugrawe mengeluarkan ilmunya, tetapi Upasara bisa menjawab dengan manis. Padahal semua ini hanya dimungkinkan karena Upasara memiliki kejituan dalam menjawab gerakan menyerang Ugrawe. Ketepatan inilah yang sebenarnya tadi menolong Upasara dalam menundukkan Kawung Sen.

"Upasara, kau mau membantah perintahku?"

"Dalam dunia ini, siapa berani membantah Pujangga Pamungkas? Bahkan Raja Muda Gelang-Gelang pun tak akan berani. Bahkan sejarah pun tak berani mengatakan yang lain. Kalau Pujangga Pamungkas mengatakan Ken Arok menurunkan raja rampok, siapa yang berani membantah? Bahwa kini Raja Muda Gelang-Gelang ingin mengembalikan takhta kepada yang lebih berhak, kepada darah priyayi, siapa yang membantah?"

"Hehehe, tak nyana lidahmu tajam sekali. Ketahuilah, anak ingusan, hari ini aku akan meratakan Keraton Singasari..."

"Apa susahnya? Sekarang pun sudah bakal rata. Adalah percuma kau menamakan dirimu Pujangga Pamungkas, kalau ternyata tak berani mengakui sendiri. Perhitunganmu terlalu rumit. Dengan prajurit sebanyak ini, kalian sudah bisa masuk Keraton. Dengan Raja Muda Gelang-Gelang berada di depan, pintu Keraton akan terbuka. Dan pemberontakan yang dulu bisa diulangi dengan hasil yang sempurna. Kenapa kau terlalu kuatir? Begitu kau bisa memancing semua ksatria ke Perguruan Awan, niatmu sudah terlaksana. Kenapa berpikiran kerdil dengan membunuh kami semuanya? Perwira satu dibunuh, esoknya akan ada dua. Ksatria mati satu, esoknya bakal muncul yang lain. Membunuh seekor burung, tidak bisa merebut hutan. Karena burung telurnya banyak, dan tetap tak berani untuk merebut hutan. Seekor harimau tua yang terbunuh, seluruh isi hutan bakal tunduk."

Dengan cerdik sekali Upasara mencoba melempar umpan mengenai strategi Ugrawe yang ingin merebut takhta Keraton. Burung adalah perumpamaan untuk prajurit atau senopati. Sedang harimau adalah perumpamaan untuk Baginda Raja. Semua penduduk mengetahui bahwa Baginda Raja sering diumpamakan sebagai harimau, si raja hutan.

"Harimau sudah tua dan gering. Untuk apa dirisaukan dan ditakuti? Tetapi dengan meratakan hutan, akibatnya akan lain. Semut dan anai-anai pun akan menjadi musuhnya."

Ugrawe mengerutkan keningnya. Jeli sekali anak muda ini. Tidak mungkin berita rahasia dari Adipati Wiraraja kepada Jayakatwang bisa diketahui anak semuda ini, apa pun pangkat dan kedudukannya dalam Keraton Singasari. Bahkan di dalam Gelang-Gelang pun mungkin tak ada tiga yang mengetahui secara persis isi surat itu. Surat itu adalah surat yang kelewat rahasia. Ditulis dalam tembang, penuh dengan perumpamaan. Raja Muda Gelang-Gelang memang menyerahkan kepada Ugrawe untuk ikut membaca.

Surat rahasia Adipati Wiraraja dari Sumenep memberi isyarat bahwa ini adalah saat yang tepat untuk berburu. Seorang pemburu ksatria, adalah seorang yang tepat memilih sangat. Sangat artinya waktu. Dan sekarang ini, tak ada yang menjaga hutan selain harimau tua. Selebihnya hewan kecil, dan tanah tandus. Dalam surat Adipati Wiraraja itu yang dianggap harimau tua adalah Mpu Raganata. Pujangga Keraton yang masih dianggap batu karang yang perlu diperhitungkan.

Senopati yang lain sama sekali tak masuk perhitungan. Bahkan Senamata Karmuka pun tidak terlalu dianggap. Karena dalam banyak hal, Baginda Raja tidak begitu menyukai kesetiaan yang ditunjukkan Senamata Karmuka. Dan sesungguhnya, Baginda Raja Singasari tidak sependapat dengan siapa pun. Termasuk Mpu Raganata!

Memang ada sedikit penafsiran yang keliru. Di sini, Upasara mengumpamakan Baginda Raja sebagai harimau. Sedang yang diperebutkan hutan itu sendiri.

"Tahu apa kau tentang hutan?"

"Sebagai orang yang dibesarkan di tengah hutan, saya tahu mengenai segala yang hidup di dalamnya. Tentang harimau atau binatang kecil lainnya."

"Hehehe, kau tahu sekarang sudah saatnya berburu?"

Upasara merinding melihat sorot mata Ugrawe yang seperti mau menelannya bulat-bulat tanpa mengunyah. "Setiap saat adalah saat yang baik bagi pemburu yang siap," suaranya menjadi sangat rendah. Antara terdengar dan tidak. Sebenarnya Upasara merasa sangat sedih. Karena apa yang dikatakan menggambarkan kenyataan yang sebenarnya.

Ugrawe berpikir mendengar nada sedih. Ia tak pernah menyangka bahwa dalam hidupnya bakal bertemu seorang pemuda yang masih muda usianya akan tetapi mempunyai kecerdikan dan kepandaian yang bisa diandalkan. Caranya bisa mengalahkan Kawung Sen menunjukkan bahwa Upasara mempunyai kelebihan yang secara tepat dimanfaatkan. Ugrawe mencoba dengan melontarkan pertanyaan.

"Cah bagus, bocah bagus, kau mempunyai bakat sebagai pemburu."

Mata Upasara berkilat. Ia tidak menyembunyikan perasaan geramnya. Kalau ia tiba-tiba menerima tawaran kerja sama, diangkat sebagai barisan "pemburu", Ugrawe pasti mengetahui taktiknya ini. Justru karena menebak, Upasara menunjukkan wajah sengitnya.

"Saya lahir dan dibesarkan di hutan ini, bagaimana mungkin saya menjadi pemburu?" Lalu disertai tarikan napas pendek. "Saya mungkin bisa membantu. Akan tetapi mengharapkan saya menjadi pemburu, lebih sulit dari membunuh."

"Kuhargai keberanian dan kesetiaanmu. Cah bagus, dalam hutan kau katakan ada harimau tua. Tinggal harimau tua. Ataukah ada binatang buas yang lain?"

"Harimau tua si raja rimba hanya dijaga harimau tua yang tidak sependapat dengannya. Memang kalau harimau si raja hutan mendengar nasihat harimau tua yang empu, pemburu tak akan sempat merebut. Tetapi itulah kenyataan. Itulah takdir."

"Aku menanyakan binatang buas yang lain."

"Apa artinya seekor atau dua ekor binatang buas yang lain kalau ia tak berada di sarangnya?"

"Setua-tuanya harimau, cakarnya masih keras juga."

"Itulah kalau sempat mencakar. Kalau pemburu sudah dikenal sang harimau, apa susahnya mengelus ekor atau kumisnya?"

"Bagaimana caranya mengelus?"

"Aku tak percaya padamu."

"Ayo, ikut."

Sekali ini Ugrawe tidak memaksa. Ia berjalan lebih dulu. Meloncat ke depan. Upasara ikut meloncat, namun ia harus menutul tanah dua kali untuk bisa menjaga jarak. Sampai di depan tenda, Ugrawe menghaturkan sembah.

"Mohon Baginda berkenan menerima hamba."

"Masuklah, tanpa perlu basa-basi di saat seperti ini, Paman Guru."

Ugrawe menghaturkan sembah lagi. Upasara menunduk, memberi hormat, tapi tidak bersila menyembah. Keduanya hampir seiring masuk ke dalam tandu. Tadinya Upasara menduga Raja Muda Gelang-Gelang berada dalam tandu yang cukup sempit. Akan tetapi tandu itu ternyata hanya merupakan pintu saja. Karena bagian belakangnya bisa disingkapkan, dan keduanya berjalan masuk. Ke dalam suatu tenda. Diam-diam Upasara memuji tempat rahasia yang tidak pernah diduganya.

Seperti antara tandu dan kemah tidak ada hubungannya. Upasara juga memuji Raja Muda Gelang-Gelang yang mampu mengirim suara berjarak. Hingga seolah suara itu muncul dari tandu. Sampai di kemah Upasara turut menghaturkan sembah. Ini bukan karena Upasara memperajakan Raja Muda Gelang-Gelang. Ini semacam adat-istiadat kepada seorang raja muda. Kalaupun Raja Muda Gelang-Gelang berada di Keraton Singasari dan ia disuruh menemui, ia akan melakukan hal yang sama.

"Bagaimana, Paman Guru?"

"Maafkan hamba, Baginda. Ada seorang anak muda yang tahu bagaimana cara berburu harimau. Ia ingin menghaturkan sendiri rencananya kepada Baginda."

Raja Muda Gelang-Gelang menepukkan tangannya dan para pengawal utama pergi. Setelah diberi perintah untuk mendongak, barulah Upasara melihat siapa yang dihadapi. Seorang raja muda yang tampan. Badan dan wajahnya sangat terjaga. Bahkan sampai dengan mata serta alisnya. Kalau dilihat sekilas sulit membayangkan bagaimana seorang raja muda yang begini tampan, yang seluruh tubuhnya seperti tak pernah tersentuh debu dan panas matahari, mampu mengirim suara.

"Ceritakan, anak muda, siapa pun namamu."

"Hamba hanya berani mengatakan kepada Raja Muda."

"Aha, Paman Guru ini lebih tahu dari saya."

"Maafkan, Raja Muda. Kami baru saja bertemu tadi."

Ugrawe menghaturkan sembah. "Biarlah hamba mengundurkan diri. Mau melihat suasana di luar." Sambil menghaturkan sembah, Ugrawe memusatkan tenaganya di tangan. Sampai tergetar. Ini berarti kalau Upasara membuat gerakan mencurigakan sedikit saja, tangan itu akan terayun.

Upasara merasakan getaran itu. Ia tak mau bertindak bodoh. Ia tak akan menyerang begitu saja. Meskipun Ugrawe telah pergi dari kemah, getaran udaranya masih terasa.

"Katakan anak muda."

"Apa jaminan hamba setelah mengatakan rencana?"

"Walau aku belum raja penuh, kata-kataku sama berharganya dengan seorang raja. Tak nanti aku menarik ucapanku. Kau akan selamat sampai akhir hayatmu."

"Sembah nuwun..."

Belum selesai ucapan terima kasih, tiba-tiba terdengar teriakan keras. Angin badai mengguncang tenda. Sampai menimbulkan gempa. Raja Muda Gelang-Gelang meraih tombak di belakang kursi dengan sigap. Upasara bersiap. Belum sepenuhnya bisa memasang kuda-kuda, tenda telah jebol terangkat ke atas, terbang bersama angin. Sungguh tenaga yang luar biasa. Bersamaan dengan itu terdengar deru angin keras. Teriakan prajurit yang terkena sapuan.

Upasara baru melihat dengan jelas. Lembu Ugrawe sedang memutar kedua tangan bersilangan sambil tubuhnya terus berputar keras. Yang terlihat hanya gumpalan angin puting yang bergulung keras. Sementara dalam jarak dua tombak salah seorang prajurit sedang meloncat mencoba menembus pusaran angin.

"Mati kau!"

Teriakan Ugrawe bagai geledek dan guntur sekaligus. Upasara tak bisa melihat jelas apakah pukulan itu dua tangan ditepukkan atau apa, karena terlindung oleh getaran angin yang sangat keras. Prajurit Gelang-Gelang meloncat tinggi sekali, ke atas pohon, dan kemudian meluncur turun dengan sebat. Tujuannya menyerang ke arah Raja Muda Gelang-Gelang.

Upasara berteriak dalam hati. Ia sama sekali tak menyangka yang menyamar sebagai prajurit itu orang yang sangat dikenalnya! Ngabehi Pandu! Itu satu-satunya gaya Ngabehi Pandu yang selalu diunggulkan. Hanya Wilanda yang bisa menyamainya.

"Senamata busuk, tak akan lolos lagi kau!"

Badai angin terus melanda. Bayangan prajurit itu menyerbu masuk. Dua tangan beradu sangat keras. Begitu saling menyentuh, Ugrawe mengganti belitan berikut jotosan dan belum lurus sudah berubah lagi. Menjotos ke arah dada lagi, ditangkis, ke arah wajah, ditangkis, ke arah selangkangan, ditangkis, ke arah dada, ditangkis, ke arah dada lagi, ditangkis, ke arah dada lagi, ditangkis.

Entah berapa puluh kali dua-duanya mengadu tenaga keras. Partai keras— sangat keras. Hanya saja kenapa Ugrawe meneriakkan nama Senamata Karmuka dan bukan Ngabehi Pandu? Bukankah itu Ngabehi Pandu?

Sejenak Upasara tak bisa mengerti siapa yang tengah bertempur didepannya. Ia memang mendengar bahwa Senamata Karmuka dan Ngabehi Pandu adalah dua bersaudara. Akan tetapi selama ini yang dikenal di dunia luar adalah Senamata Karmuka. Ngabehi Pandu hanya dikenal di kalangan para pesilat. Dua saudara itu sangat berbeda sifatnya. Ngabehi Pandu digelari si mayat bisu, sedang Senamata Karmuka justru sebaliknya. Sangat mungkin sekali ini adalah Senamata Karmuka. Karena setahu Upasara, Ngabehi Pandu tak perlu menyamar sebagai prajurit segala.

"Angin kentut masih lebih keras dari ini. Aku maju lagi."

Ugrawe menyerbu. Pukulannya yang menyerbu. Menyapu ke tanah, dan terasa betotan yang luar biasa. Tangan yang satunya mengemplang dari atas. Belum selesai sepenuhnya, gerakan diubah. Tangan yang sebelumnya menarik, lalu berbalik. Yang tadinya menghantam, jadi menyedot. Putaran pergantian begitu mendadak keras, dan terpatah-patah. Gemuruh suaranya. Tanaman pendek di sekitar tercerabut beserta akar, dan tanahnya ikut terbang, berputar di udara, dan kembali lagi. Lalu bagai disuntak mendesak ke depan.

Ketika melawan Dewa Maut, Upasara merasakan betapa dahsyat ilmu Membalik Arus Sampan, yang mempunyai dasar gerakan yang kurang lebih sama. Juga dalam mengatur tenaga. Akan tetapi yang disaksikan ini jauh lebih perkasa dari itu. Namun Upasara tak mau membuang waktu percuma. Siapa pun yang dihadapi Ugrawe—Ngabehi Pandu atau Senamata Karmuka ada di pihaknya. Dan dengan keberanian besar berani menyerbu langsung ke dalam tenda. Sasarannya pastilah Raja Muda Gelang-Gelang. Ini saat yang baik.

"Maaf..."

Upasara meloncat ke arah Jayakatwang, yang langsung memutar tombak. Miring sabetan tombak yang ujungnya diberi bunga-bunga hiasan. Tangan kanan Upasara berusaha menangkis persis di bawah ujung yang runcing, sementara tangan kiri merebut bagian tangkai. Dalam gerakan pertama Upasara tidak ingin langsung menyerang, akan tetapi berusaha memperdayakan. Maka ketika Jayakatwang langsung menarik mundur tombaknya, Upasara sudah bersiap untuk mengubah tangannya, agar tak tergores. Yang membuatnya agak was was adalah desis dingin dari ujung tombak. Pertanda tombak pusaka yang linuwih, pusaka yang memperlihatkan kelebihan setiap geraknya.

Dengan menggeser kaki ke depan, Upasara tetap dalam posisi merebut tombak. Kali ini yang dicengkeram adalah tangan Jayakatwang. Hebat juga Raja Muda Gelang-Gelang ini Telapak tangannya membuka dan baik menangkap tangan Upasara. Tinju Upasara seperti mau digenggam. Upasara menggunakan sikunya untuk menyentil gagang tombak dan jotosannya diubah menjadi tangan kiri.

Plak. Terdengar suara keras. Gagang tombak bergoyang. Dua tangan beradu keras. Jayakatwang justru maju ke depan. Mengarah ke leher lawan. Upasara memancal tubuhnya dan kaki dan kini mulai menunjukkan bagian terakhir dan Banteng Ketaton. Leher digerakkan miring sehingga pukulan lawan akan mengenai pundak, akan tetapi serta-merta dengan itu tombak lawan dapat direbut. Tinggal membalik arahnya kepada Jayakatwang sendiri.

"Maaf." Lagi Upasara mengeluarkan seruan keras. Tombak bisa digenggam erat, Hanya saja Upasara tidak memperhitungkan bahwa tombak itu ternyata bisa dipatahkan di tengah. Upasara hanya memegang bagian ujung, sementara sisanya justru untuk menusuk dada pula bagian yang lancip. Menjadi dua buah tombak. Tombak yang dipegang Upasara bisa menangkis, akan tetapi pundaknya bakal kena sasaran.

Akan tetapi Jayakatwang tidak bertindak maju, ia malah meloncat mundur. Sedetik Upasara menduga bahwa lawan merencanakan serangan berikut, makanya ia setengah menunggu. Akan tetapi ternyata Jayakatwang lebih suka tidak melibatkan diri dalam pertempuran secara langsung. Cukup dengan menggerakkan tangannya, puluhan prajurit langsung mengepung.

"Tangkap hidup-hidup semuanya."

Belum prajurit itu maju, desir angin panas bergulung-gulung memadati ruangan. Upasara tak habis pikir ketika merasa sedotan tenaga dalam Ugrawe sudah berhasil menindihnya. Dua kali tadi Upasara berhasil menghindari gerak-gerak sederhana Sindhung Aliwawar. Tapi sekali ini merasa darahnya digojlok habis-habisan. Rasanya darahnya mengalir tak karuan, bertubrukan di dinding-dinding pembuluhnya. Belum bisa menguasai diri sepenuhnya, bayangan Ugrawe sudah meloncat ke arahnya.

Bersamaan dengan bayangan Ugrawe bayangan lain masuk ke dalam lingkaran angin ribut, dan langsung menyerang. Di tengah udara kedua bayangan itu memukul, ditangkis, ditangkis, memukul, dan ketika turun lagi ke tanah, saling menjejak, dan kembali ke atas lagi.

Ugrawe memang luar biasa. Justru ketika berada di atas, ia menghimpun seluruh tenaganya dan seperti mendorong gunung, kedua tangannya terdorong ke depan. Angin dahsyat mengimpit dengan keras, bagai gelombang laut yang mengempas. Upasara meloncat mundur dan terdorong angin hingga tiga tombak. Kakinya tak bisa berdiri tegak. Jatuh tergeletak. Dengan sigap ia bangun, menghadapi keributan prajurit yang mendesak.

Luar biasa. Justru karena sebagian tenaga itu telah dapat ditangkis. Secara kedudukan, Ugrawe lebih lemah. Karena ia berada di tengah udara. Nyatanya ia terdorong mundur. Sambil berjumpalitan, sebelum kakinya menyentuh tanah, pukulan berikutnya sudah susul-menyusul.

Kemah menjadi porak-poranda. Daerah sekitar Ugrawe seperti tanah kosong. Prajurit yang mencoba mendekat, terseret pusaran angin dan terpental. Kalau kemudian jatuh ke tanah tak bisa bangkit lagi. Ugrawe menyentak keras. Merampas bendera dan menggerakkan ke kanan, ke atas. Barisan pun berubah. Kini semua bergerak ke arah Ugrawe. Menyerbu ke satu titik.

Upasara melawan arus prajurit yang menyerbu ke arahnya. Ia berusaha membuka terobosan, akan tetapi selalu saja terdesak mundur kembali. Terpaksa mengurung diri dengan kerisnya.

"Anak yang tak tahu diuntung, terimalah kematianmu!" Suara Ugrawe sangat dekat di punggung Upasara.

"Jangan takut." Terdengar teriakan dingin yang sama kerasnya. Pu'un berdiri menghadang.

"Pu'un, hari-hati!"

Teriakan Upasara tak berguna. Ugrawe telah memutar kedua tangannya di atas kepala. Angin puting beliung tercipta, dan dengan seruan keras putarannya tertumpah ke arah Pu'un. Pu'un menggeram seperti seekor harimau. Ia justru masuk ke dalam pusaran angin.

Terdengar suara dingin Ugrawe, dua buah tangan yang berputar di udara, meliuk ke arah Pu'un. Yang langsung datang menyambut. Dua tangan beradu, dan dalam sekejap tubuh Pu'un seperti terpelintir, ikut berputar. Ugrawe terus memutar tubuh Pu'un di udara. Disertai gelak yang memekak ia melemparkan tubuh ke atas. Sebelum tubuh menyentuh tanah, kaki Ugrawe menendang bagian dada, leher, dada lagi, dan leher lagi. Begitu jatuh di atas tanah, Ugrawe meloncat ke atas dan mendarat tepat di dada Pu'un.

Ketika Ugrawe menyerbu tadi, prajurit jadi terbelah. Tak ada yang berani mendekat. Kesempatan ini digunakan Upasara untuk meloloskan diri. Ia menerobos dan dengan cepat meninggalkan pertempuran. Masih mendengar teriakan keras Pu'un sebelum yang terakhir ini mengembuskan napas penghabisan.

"Wulung, jangan pedulikan. Lakukan tugasmu."

Jagaddhita meloncat mendampingi. Bayangan Ugrawe berkelebat masuk. Jagaddhita mengangkat seorang prajurit untuk dilemparkan ke arah Ugrawe. Yang langsung ditangkap dan dibanting. Tak sempat kaget dan berpikir lagi, si prajurit telah meninggal dunia. Jagaddhita menggunakan prajurit yang bisa dipegang sebagai senjata. Akan tetapi Ugrawe tak memikirkan keselamatan prajuritnya sendiri. Setiap lemparan yang datang ditangkis dengan tangan dan tendangan.

Sembilan nyawa prajurit secara berurutan jadi korban main lempar-lemparan. Dengan keras Ugrawe melempar balik setiap umpan yang datang. Pada korban yang kesembilan, Ugrawe mengubah. Ketika dilempar lagi, ia bukan menolak seperti biasanya. Melainkan menangkap dan membalikkan. Tapi yang melayang ke depan bukan tubuh prajurit, melainkan tubuhnya sendiri. Dua telunjuknya terjulur ke depan, sementara ketiga jari yang lain tertekuk ke dalam. Seperti mau mencungkil mata Jagaddhita.

Jurus ini berbeda dengan jurus yang selalu diunggulkan sebelumnya. Ugrawe kini menyerbu Jagaddhita dengan totokan dua jari yang menggunakan tenaga dalam yang penguasaannya mirip dengan tenaga dalam Jagaddhita. Dua jari yang terulur ini, satu berisi tenaga yang sesungguhnya dan satu lagi berisi tenaga biasa. Kelebihan pengaturan tenaga ini. lawan menjadi bingung untuk menentukan di jari yang mana tenaga sesungguhnya tersimpan.

Sebenarnya itu tidak menjadi soal benar, andai bukan Ugrawe yang memainkan. Toh perbedaan jarak antara jari yang satu dan yang kedua sangat dekat. Apalah artinya kalau tinggal menyampok saja. Namun, meskipun jaraknya dekat, daya pancarnya berbeda. Satu jari diangkat ke atas, bisa mengarah ke mata. Satu jari lain ditundukkan ke bawah, bisa menotok ke arah pinggang.

Lebih menyulitkan lagi, karena Ugrawe menggunakan empat jari dua tangan yang menyerang serentak. Menghadapi pertempuran jarak pendek, Jagaddhita keteter. Lima jurus berikutnya, kakinya sudah terlalu sulit untuk mengatur pertahanan. Dan dalam sekejap saja ia sudah terkurung. Tinggal waktu saja. Berada pada titik kritis, Jagaddhita memancing dengan serangan balik. Dua jari tangan kanan dibiarkan menelusup ke depan, ia membarengi dengan sentilan ke arah jakun.

Ugrawe berseru dingin. Ia terus menerjang. Kalau tipuan yang sama pernah dipraktekkan Jagaddhita kepada Pu'un, kali ini ternyata hasilnya berbeda. Justru Ugrawe tidak memedulikan sentilan ke arah jakunnya. Tangan kiri meraup ke depan, angin berdesir dari samping, langsung menghantam tangan Jagaddhita. Mengira kecolongan, Jagaddhita mencoba menarik balik tangannya.

Duk!

Tubuh Jagaddhita bergoyang. Tersurung mundur tiga tindak. Ugrawe meloncat maju sekali lagi. Jagaddhita meloncat ke atas sambil berbalik. Ia melancarkan pukulan dengan punggung menghadap ke arah lawan. Tanpa memedulikan serangan lawan, Ugrawe terus menjotos.

Duk.

Kali ini tubuh Jagaddhita terayun dan terbanting di tanah.

"Ayo menyanyi lagi tentang waktu kecil temanmu adalah bidadari. Sekarang diganti, waktu mati temanmu adalah cacing busuk."

Tangan kiri Ugrawe berputar satu lingkaran sementara tangan kanan terbuka telapaknya. Sekali terayun, Jagaddhita tak bakal bisa menghindar. Kemungkinan paling kecil hanya bisa menangkis dengan sisa tenaganya.

Upasara sudah meloncat beberapa tombak jauhnya. Akan tetapi ia merasa tak tega melihat adegan yang mengerikan. Untuk menolong sudah tak mungkin. Bahkan kalau ingin melemparkan kerisnya pun rasanya hanya sedikit artinya. Bisa merepotkan Ugrawe tetapi tetap tak menolong Jagaddhita. Upasara menjilat bibirnya.

"Jangan kuatir, Bibi, aku akan menunaikan tugas terakhir. Kematian bukanlah akhir. Kehidupan bukanlah awal. Yang muda bisa mati, yang tua lebih lama." Upasara melakukan sembah, lalu berbalik.

Ugrawe menganggap bahwa Upasara adalah yang paling cerdik dari semua yang hadir. Perhatiannya sempat terpecah juga dengan kata-kata yang diduga mempunyai sayap lain. Siapa yang dimaksudkan dengan yang tua? Apakah hal ini menyinggung Eyang Sepuh?

"Anak muda, soal mati-hidup bibimu ini hanya soal kapan aku membalik telapak tangan. Hiburanmu tak akan berguna."

"Ugrawe, kau selalu berhitung sangat teliti dan rapi. Kau sudah menang. Untuk apa ragu lagi? Aku sekadar mengacau perhatianmu. Agar kau tak seketika membunuh Bibi. Mungkin dengan begitu akan ada pertolongan datang. Kenapa kau menduga Eyang Sepuh bisa meloloskan diri dan bakal melaporkan hal ini ke Keraton? Sampai sekarang pun kita sama-sama tidak tahu di mana Eyang. Apakah masih bersembunyi di sini, ataukah sudah berada di Keraton, ataukah sedang ditawan lawan yang entah dari mana, atau justru menemui Tamu dari Seberang. Ugrawe, kau boleh merencanakan tipu daya macam-macam. Mengundang para pendekar kelas satu kemari, dengan umpan Tamu dari Seberang. Dan kenyataannya kau berhasil mengundang semuanya. Aku mengatakan semuanya, meskipun kau sendiri hanya membawa Kawung Bersaudara dan mengandalkan prajurit-prajurit yang lain. Satu hal kau lupakan, bahwa umpan yang kau sodorkan berdasarkan perhitungan yang matang. Dan perhitungan itu, memang memungkinkan bahwa Tamu dari Seberang akan datang. Siklus datangnya persis saat-saat sekarang ini. Bahwa yang dituju adalah Perguruan Awan, itulah satu-satunya tempat yang memungkinkan. Ugrawe, tidak sadarkah bahwa yang kau anggap jebakan, itu sebenarnya bisa terjadi? Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin Pu'un yang dari ujung barat tanah Jawa bisa datang kemari pada waktunya?"

"Aku senang caramu bicara. Kau sangat cerdik. Lebih cerdik dari murid-muridku. Tapi mana mungkin aku terkecoh dengan akal bulusku sendiri? Tamu dari Seberang tak pernah ada. Ken Arok zaman dulu hanya membuat kisah itu untuk memantapkan Kehadirannya. Ia mencari persamaan dengan dewa-dewa sebagai nenek moyangnya. Ia mencari darah biru. Tapi sesungguhnya ia perampok besar, bromocorah yang bisa naik takhta. Dan semua keturunannya adalah keturunan perampok besar. Yang hanya akan menghancurkan, yang hanya akan merampok tanah Jawa. Termasuk Kertanegara."

"Tugasmu mulia, Ugrawe. Kau ingin mengembalikan takhta di tanah Jawa ini kepada darah biru, darah para dewa. Hanya saja kenapa kau melakukan seperti kerja para perampok?"

"Ini urusanku. Itu tanggung jawabku sendiri." Telapak tangan Ugrawe bergetar. "Jagaddhita, hari ini terimalah kematianmu. Sudah kukatakan, Upasara hanya memperpanjang waktu saja. Langit pun tak bisa membantumu..."

Jagaddhita bangun dengan susah. Rasa nyeri dua pukulan seperti meremukkan isi tubuhnya.

"Kau salah perhitungan, Ugrawe. Gendhuk Tri bisa menolong Bibi...."

Ugrawe meleletkan lidahnya. Hingga menyentuh kumisnya. "Anak ini sudah kena sirep Pu'un. Tak akan ada yang membebaskannya."

"Kau cerdik, akan tetapi salah perhitungan. Pu'un telah membebaskan pengaruh sihirnya. Gendhuk Tri, kau bisa menyerang Ugrawe seketika."

Teriakan Upasara mengguntur. Memang, dalam perhitungan hanya Gendhuk Tri yang bisa menyelamatkan Jagaddhita. Pertama karena ia tak diduga bakal menyerang secara tiba-tiba. Kedua, posisinya sangat dekat dengan Ugrawe dan Jagaddhita, tanpa dicurigai. Dengan memberi komando, Upasara mengharap Gendhuk Tri segera bertindak. Upasara menduga bahwa Gendhuk Tri sudah dibebaskan pengaruh sihirnya oleh Pu'un. Karena keduanya sudah diringkus bersama di dalam jala Kawung Sen. Ternyata perhitungan Upasara meleset. Gendhuk Tri menoleh ke arah Upasara, akan tetapi. tak bereaksi. Sinar matanya masih kosong saja.

"Gendhuk... sekarang!"

Ugrawe mengelus kumisnya. Jagaddhita terhuyung ke belakang. Suasana sekeliling terasa hening mencekam. Upasara menggertakkan gerahamnya. Jagaddhita menerawang pasrah.

"...kenapa harus bersedih hati.. waktu kecil tontonanmu adalah bidadari..."

Mendadak terjadi perubahan. Gendhuk Tri seperti tersadar, dan mencabut patrem dari setagennya, langsung meloncat ke arah Ugrawe. Pusat perhatian Ugrawe memang sepenuhnya tertuju kepada Jagaddhita. Ia tak mengira sama sekali bahwa Gendhuk Tri bakal meloncat langsung ke arahnya. Meloncat dan mendaki tangan Ugrawe. Begitu berada di atas, patrem Gendhuk Tri menyabet ke bawah dengan cepat sekali. Irisan tajam mengarah ke wajah!

Berteriak pun Ugrawe tak sempat. Tangan kanan yang dipakai pancalan, ditarik mundur. Berikut tangan kiri berusaha menutup wajah. Tenaga terkumpul ditangan sedemikian kuat, sehingga arah patrem melenceng ke kiri. Tak urung, menyambar, daun telinga Ugrawe kena diiris. Darah muncrat membanjir, Ugrawe melontarkan tubuhnya ke belakang dan dua tangannya kini menyambar ke atas. Gendhuk Tri tidak menarik mundur serangan kedua, malah berusaha melompat maju lagi. Dengan cara berjumpalitan di angkasa.

Upasara meloncat maju bersamaan dengan gerak Gendhuk Tri tadi, menyambar tubuh Gendhuk Tri dan membawa lari. Perhitungan Upasara tepat dan menentukan. Karena saat itu Ugrawe sudah melontarkan pukulan andalannya. Bumi seperti tergetar. Menggandeng Gendhuk Tri, Upasara meluncur sambil tangan kirinya menyambut uluran tangan Jagaddhita. Dalam sekejap ketiga tubuh melayang ke arah jauh. Walau dalam keadaan terluka, ilmu meringankan tubuh Jagaddhita masih bisa diandalkan. Dengan empat kali loncatan, mereka telah terbebas dari serangan Ugrawe.

Sementara itu Ugrawe tidak langsung menyerbu. Ia memegangi telinganya yang telah somplak. Darah yang mengucur segera dihentikan dengan memijit urat di dekat pelipis. Lalu tangannya merampas bendera dan memberi komando untuk serbuan total. Kini seluruh prajurit menyerbu ke arah satu jurusan.

Bagi Upasara, Gendhuk Tri, dan Jagaddhita tak terlalu sulit untuk meloloskan diri. Akan tetapi di depan berdiri Kawung Benggol yang menunggu. Dengan tetap bergandengan tangan, ketiganya melabrak lawan. Menduga lawan bakal mengeroyok, Kawung Benggol yang sudah terluka tangannya tak berani adu keras lawan keras. Ia menarik pukulannya. Kesempatan ini digunakan Upasara untuk terus menerobos maju.

"Gendhuk, kau tak apa-apa?"

"Entahlah," jawab Gendhuk Tri. "Kadang aku seperti mengantuk."

"Masih mengantuk?"

Tak ada jawaban. Upasara menggeleng lembut. Ternyata pengaruh sihir Pu'un masih sangat kuat. Belum bisa dibebaskan sepenuhnya. Hanya waktu Jagaddhita mendendangkan tembang yang dikenal tadi, ingatannya pulih normal. Kini masih bengong kembali.

Di arena yang lain, Kawung Ketip beserta puluhan prajuritnya menyerbu ke arah rombongan yang dilindungi oleh Tiga Pengelana Gunung Semeru. Wilanda terhuyung-huyung, sementara Dewa Maut mencoba menjaga Padmamuka yang kelihatannya makin berat. Obat bubuk yang ditaburkan dalam badannya ternyata menjadi racun yang keras. Dewa Maut tak tahan. Ia bopong Padmamuka dan mencoba mencari jalan sendiri.

"Jangan keluar dari lingkaran," Panengah berteriak memberi peringatan. Ia sendiri mengubah tempatnya, mencoba mendampingi Dewa Maut. Pembarep dan Wuragil segera mengikuti gerak Panengah, agar bentuk lingkaran sebagai payung tetap kuat.

Apa yang dikuatirkan Panengah memang terjadi. Begitu menerobos ke luar, Dewa Maut sudah langsung terkurung. Kawung Ketip menyabet kaki Dewa Maut, yang langsung menjadi limbung karenanya. Tubuhnya bergerak-gerak, Padmamuka sendiri lepas dari bopongannya. Tubuhnya jatuh ke tanah, dan Kawung Ketip menendang keris. Terdengar teriakan mengaduh perlahan, tubuh Padmamuka membal ke atas.

"Toleee..." Dewa Maut menjerit, berusaha bangkit. Akan tetapi luka dalam membuatnya makin parah. Darah segar muntah dari bibirnya, Sebagian berwarna gelap. Belum bisa berdiri lurus, Kawung Ketip sudah melontarkan pukulan berikutnya.

Dewa Maut tak berkelit, tak menghindar. Tujuannya hanya satu, mendekat ke arah Padmamuka. Kena senggol angin pukulan saja, Dewa Maut langsung terguling. Tubuhnya jatuh bagai pisang ditebang. Rubuh seketika. Tangannya mencoba menggapai ke depan, tetapi seperti memegang udara kosong.

Jaghana yang melihat Kawung Ketip mencoba menerjang lagi, cepat sekali menggulung dirinya. Masuk ke dalam perkelahian. Kawung Ketip bersiap, tapi seketika ia terseret arus berputar. Tak ada jalan lain. Ia ikut berputar masuk dalam lingkaran.

Kalau saja Upasara sempat mengamati dengan teliti, ia bisa mengerti bahwa kini yang dimainkan Jaghana adalah permainan sepenuhnya. Bukan seperti ketika menghadapi Upasara tadi. Pesat bagai gasing, Jaghana berputar melipat. Makin lama putarannya makin sempit, sehingga jarak keduanya makin dekat, makin dekat, makin lekat, dan akan saling menempel.

Kawung Ketip bukan jagoan sembarangan. Ia dulu, bersama dua adiknya, termasuk yang menyerbu sampai ke dinding Keraton Singasari. Ilmunya tidak sembarangan. Apalagi selama menyembunyikan diri ini, Kawung Ketip makin memperdalam. Hanya saja sekarang ini yang dihadapi adalah lawan yang sekelas dengannya.

Sebelum ia mengembangkan ilmunya, sudah terpancing jenis permainan lawan. ilmu berputar memang bukan ilmu yang bisa dipelajari dengan mudah. Mana lagi ia membuat kesalahan fatal, yang baru diketahui kemudian. Ketika menendang tubuh Padmamuka tadi, secara tidak langsung ia terkena racun. Kakinya yang untuk menendang mulai terasa kesemutan. Itu tentu saja menghambat kemampuan geraknya.

Sebaliknya Jaghana justru sedang berusaha melipat habis. Telapak tangannya berputar, sementara tubuhnya sendiri terus berputar. Merasa bahwa lawan makin tertekan, Jaghana mengeluarkan seluruh kemampuannya.

Kawung Ketip berusaha membetot lawan. Bagian yang diserang di arah selangkangan. Melihat lawan begitu licik, Jaghana menjadi lebih kuat. Tangan lawan ditangkap, sementara tubuhnya terus berputar. Kali ini Kawung Ketip benar-benar turut berputar sambil berpegangan. Satu tangan lagi mencoba menyodet lubang hidung. Jaghana menangkap pula. Lengkaplah kini. Dua tangan berpegangan, saling menggempur dengan menyalurkan tenaga dalam. Kawung Ketip berusaha, sementara terus berputar mengangkat lututnya. Lagi-lagi yang diarah adalah selangkangan.

Risikonya bukan tidak ada. Kuda-kudanya menjadi agak timpang. Akan tetapi kalau sodokannya mengena, Jaghana bakal habis di sini. Paling tidak bakal ada yang pecah kena sodokan lutut. Tapi justru Jaghana melihat kelemahan lawan. Begitu kaki lawan terangkat, satu kaki langsung menyapu. Keras, cepat, dan menebas. Kena gaet satu kakinya, Kawung Ketip mengeluarkan suara tertahan.

Gempuran kaki Jaghana bukan hanya sangat keras, tetapi membuat ngilu sampai ke sumsum. Tak tahan, Kawung Ketip berusaha mencengkeram lawan dengan kencang, seperti mau memencet urat nadinya. Jaghana justru merasa bagian bawah lawan tak ada perlawanan sama sekali. Gempuran kaki berubah menjadi semacam gaetan, dan ketika disentakkan, Kawung Ketip melayang di angkasa.

Wuragil berseru keras sambil meloncat dan mengayunkan pedangnya. Tiga kali menebas, tiga-tiganya bisa mengenai tubuh lawan. Sebelum tubuh Kawung Ketip menyentuh tanah, sudah terpisah menjadi tiga potong.

Kawung Benggol tak menduga bahwa kakak sulungnya begitu cepat bisa ditaklukkan lawan. Dalam geramnya ia mengayunkan rantai panjang, menyerang Wuragil dari belakang. Di tengah udara, Wuragil membalikkan tubuhnya, menyabet rantai lawan. Pedangnya bisa dilihat. Kawung Benggol menyentakkan. Meskipun sebenarnya dua tangan, dan terutama kakinya, terluka, akan tetapi tenaganya cukup kuat. Apalagi dibandingkan dengan Wuragil yang masih berada di angkasa. Pedang Wuragil bisa terlepas. Dalam sentakan berikutnya, Kawung Benggol melepaskan libatan, dan pedang itu berbalik meluncur ke arah pemiliknya.

Pembarep meloncat ke atas, sementara Panengah langsung memasang kuda-kuda. Ternyata Pembarep naik ke atas pundak Panengah. Di atas bahu Panengah, Pembarep mengayunkan tangan, dan menangkap pedang. Sementara itu, Wuragil melayang turun dengan aman. Hebat gerakan Trisula ini! Karena begitu menyentuh tanah, Wuragil langsung ganti memasang kuda-kuda. Melihat Kawung Benggol menyerbu masuk, Panengah meloncat. Dengan Pembarep masih berada di pundaknya, ia meloncat maju dan hinggap di pundak Wuragil!

Kini Tiga Pengelana Gunung Semeru berdiri tegak lurus satu sama lain. Menjulang ke atas. Inilah yang disebut Semeru Manjing Langit, atau Gunung Semeru Bersatu dengan Langit. Ini salah satu dari tiga jurus berantai andalan dari Gunung Semeru. Konon jurus ini merupakan jurus yang berintikan penyerahan diri kepada kekuasaan Yang Maha tinggi. Semeru Manjing Langit adalah sinonim dari Curiga Manjing Warangka, atau Keris Kembali ke Sarungnya. Dalam pengertian Jawa ini mengandung falsafah penyerahan diri secara total. Sering disebut-sebut sebagai bersatunya umat manusia dengan Sang Maha Pencipta.

Pada Tiga Pengelana Gunung Semeru, jurus ini akan mencapai hasil maksimal jika di antara ketiga ksatria bisa menyatukan pikiran. Seolah-olah hanya satu pikiran tiga badan. Berdasarkan latihan bersama yang memakan waktu lama, kemungkinan ini bisa tercapai. Walau ketiganya memiliki perangai yang berbeda, akan tetapi ketika menghadapi lawan bisa satu kehendak. Seperti ketika Wuragil turun ke bawah tadi, ia langsung memasang kuda-kuda, dan Panengah langsung hinggap di pundak Wuragil. Sementara Pembarep tetap bertengger di atas.

Kalau tidak ada saling pengertian, gerakan itu tak bisa terwujud dengan sempurna. Karena walau Wuragil sudah berdiri memasang kuda-kuda di depan, tidak selalu kedua ksatria yang lain akan melakukan jurus Semeru Manjing Langit. Tergantung pada situasi yang dihadapi. Dan Wuragil cukup tanggap. Melihat Kawung Benggol meloncat tinggi, ia langsung memasang dasar dari jurus andalan. Dan rupanya Panengah pun melihat jalan keluar yang sama, sehingga langsung meloncat ke atas pundak. Kalau saat itu Pembarep melihat kemungkinan yang tidak sama, ia bisa memilih gerakan tersendiri. Tapi agaknya justru sekarang ini melihat satu titik penyelesaian yang sama!

Tak alang kepalang kagetnya Kawung Benggol! Ia sudah meloncat ke atas. Yang dihadapi adalah tiga orang yang berdiri secara lurus satu sama lain. Sempat tergetar hatinya, Kawung Benggol merasa makin tak bisa memusatkan pikiran. Mau menyerang bagian yang mana. Bagian atas atau bagian tengah. Tak ada pilihan selain harus menggempur semuanya. Dan ini dirasa tak menguntungkan. Kawung Benggol tak sempat menutup diri sepenuhnya ketika tangan Pembarep menyentuh pundaknya dan menekan ke bawah, sementara siku Panengah menyodok dada. Dua sodokan yang masuk secara telak. Kawung Benggol belum bisa sepenuhnya merasakan rasa pedih dan ngilu, ketika Wuragil menusukkan tombak yang diraup dari tanah.

Bagai sate besar, tubuh Kawung Benggol tertahan pada tombak, yang oleh Wuragil disentakkan kembali ke atas. Dan Kawung Benggol melayang ke atas. Panengah bisa menambahi dengan beberapa pukulan. Akan tetapi agaknya Pembarep tidak tega. Ia lebih dulu mengulurkan tangan, merampas tubuh Kawung Benggol dan melemparkan ke tengah prajurit yang datang menyerbu. Ia sendiri langsung turun, disusul oleh Panengah dan ketiganya membentuk barisan menahan serbuan. Bagi Wuragil semua tadi adalah kesempatan untuk memamerkan kemampuannya. Sejak datang ia kena dipecundangi, dan belum sedikit pun bisa memperlihatkan kepandaiannya. Maka begitu Kawung Ketip dan Kawung Benggol menyerbu, ia menyambut dengan gairah.

Berbeda dengan Pembarep yang paling tenang. Ia tak berniat jahat. Bahkan kalau mungkin tak ingin membunuh lawan. Namun Kawung Benggol tak bisa bertahan lama, Tubuhnya terlempar dengan tombak masih menancap. Dua sodokan siku Panengah telah mengacaukan sistem pernapasannya. Maka begitu berdentam di tanah, ia hanya berkelojotan sebentar lalu terbaring untuk selamanya.

Ketiga Pengelana Gunung Semeru memasang barisan rapat. Setiap serbuan bisa dihalau, meskipun dengan demikian mereka terpaksa bekerja sangat keras. Jaghana juga turut menahan dari samping kiri, agar masih mempunyai ruang tersisa. Rombongan Upasara juga mulai bergabung. Mereka terdesak dan terus mundur.

Mendadak terdengar sangkakala ditiup sangat nyaring. Pasukan Gelang-Gelang yang berada di depan tak masuk menyerbu. Bertahan. Sementara lapisan ketiga di belakangnya, semua memasang anak panah yang ujungnya dibakar. Agak jauh di tengah, Ugrawe berdiri di atas papan yang diangkat tinggi-tinggi.

"Panah api..."

Teriakan Ugrawe disusul dengan ratusan anak panah berapi menderu bagai disiram dari langit. Beberapa bisa disampok, beberapa berbenturan sendiri. Namun tak urung semua terdorong mundur dan makin mundur.

"Awas, beracun. Jaga pernapasan."

Pembarep lebih dulu menutup diri. Kedudukan memang makin sulit. Ratusan anak panah yang secara terus-menerus dilepaskan adalah anak panah berapi. Bahaya sesungguhnya bukan berasal dari api itu, melainkan berasal dari api yang padam. Asapnya akan mengeluarkan sejenis bau yang menusuk hidung. Sebenarnya justru karena baunya yang sangit, seperti kain terbakar, mudah cara menghindarinya. Hanya saja karena jumlahnya kelewat banyak, asap tak bisa dihindari. Kalau panah tidak ditebas, apinya juga menyulitkan. Jagaddhita yang berjalan sempoyongan mulai merasa betapa ganasnya bau itu.

"Celaka, kita bisa habis di sini."

Wilanda, yang paling lemah daya tahannya, sudah langsung terduduk. Jaghana duduk di belakangnya. Sementara itu hujan panah makin keras, dan asap mulai tercium di mana- mana.

"Kisanak Jaghana..." Suara Jagaddhita sangat lemah.

"Biar rata dengan tanah, saya akan berada di sini."

"Apakah orang luar boleh melangkahi Lawang Sewu?"

Jaghana menghela napas. "Kau telah mengetahui hal itu, kenapa masih perlu minta izin?"

"Maafkan, Kisanak Jaghana, kalau saya terlalu lancang."

"Tidak. Tidak ada lancang, tidak ada tidak lancang. Kalau dahulu dibangun untuk keselamatan negara, sekarang inilah saatnya."

"Di mana?"

"Satu kanan, dua kiri, bintang selatan bertiup pelan." Jagaddhita menggertakkan giginya. "Wulung..."

Upasara menoleh.

"Papah Bibi..."

Upasara maju, membopong Jagaddhita. Satu tangan lain menggandeng Gendhuk Tri. Tapi Gendhuk Tri mengibaskan tangan. Ia berjalan sendiri. Mendampingi. Mereka mundur ke bagian belakang sekali. Beberapa kali Upasara menyampok anak panah yang terus menyerbu. Sampai di deretan pohon-pohon besar bagian belakang yang rapat, Jagaddhita mendongak mengawasi langit.

"Wulung... kau melihat ada gua di belakangmu?"

"Tidak ada."

"Bagus. Masuk ke dalam. Lima puluh tindak ke kanan, seratus tindak ke kiri. Mulai!"

Upasara masih bingung akan tetapi mengikuti perintah Jagaddhita.

Ugrawe di kejauhan memerintahkan pasukan panah menyerbu maju. "Jangan ada satu pun yang bisa lolos." Teriakannya disusul bayangan tubuhnya menuju ke depan.

Ketiga Pengelana Gunung Semeru memapaki dan segera terjadi pertempuran. Jaghana menghadang serbuan prajurit yang lain. Korban makin banyak berjatuhan, tetapi serbuan makin gencar. Bagai air bah yang tak menghiraukan apa yang menghadang...


BAGIAN 02CERSIL LAINNYABAGIAN 04