Munculnya Ratu Siluman Darah - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
Episode Munculnya Ratu Siluman Darah
Karya Sandro S
Cetakan Pertama Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Cerita silat Serial Pendekar Pedang Siluman Darah

SATU

RENGGANA yang berhasil dimiliki tiada makna sama sekali telah putus asa. Dia bertekad tak akan keluar-keluar lagi menginjakkan kembali di dunia persilatan. Dia begitu terpukul perasaannya begitu tersayat-sayat. Segalanya seakan berubah bagi dirinya.

Cita-citanya untuk menjadi Datuk segala Datuk sekarang terkubur sudah dengan penyesalan. Dia bertekad untuk mencoba hidup di jalan yang benar, jalan yang ditempuh oleh adik seperguruannya.

Dengan hati penuh rasa sesal, Renggana terus berlari dan berlari meninggalkan Jaka Ndableg dan Senggara yang mengejarnya jauh di belakang. Renggana malu, malu pada realitas dirinya yang telah lupa pada segalanya.

"Kakang, tunggu!" Senggara terus berusaha menyadarkan kakak seperguruannya, namun nampaknya Renggana tak perduli akan seruan adiknya. Dia terus berlari, semakin cepat dan cepat. "Kakang... kenapa kakang meninggalkan aku?!"

"Pergi Kamu! Jangan ikuti aku!"

"Tidak! Kami tak akan pergi sebelum kau mau sadar!" Jaka yang ikut berusaha terus membantu menyadarkan diri Renggana. "Percayalah kami sangat mengharapkan dirimu! Kami sangat membutuhkan pikiranmu!"

"Tidak! Aku bukan orang baik-baik! Aku tak layak harus sejajar dengan langkah-langkahmu, juga langkah adikku! Biarkanlah aku pergi mencari damai!"

Jaka yang melihat Renggana terus berlari dan mendekati jurang yang menganga di hadapannya, segera percepat larinya untuk menghadang. Dikerahkan ajian Angin Puyuh, sehingga tubuh Jaka melesat bagaikan terbang mendahului Senggara yang hanya terbengong melihat hal itu.

Jaka terus melesat, tapi ilmu lari Renggana yang seperti burung Gagak mampu membuat Jaka agak kewalahan dan tertinggal jauh. Jaka tak mau putus asa, dia terus mengerahkan ilmu larinya. Angin Puyuh tingkat satu, dua, tiga... hingga akhirnya tingkat terakhir Jaka kerahkan. Namun jarak antaranya dengan Renggana nampak masih agak jauh.

"Ilmu lari macam apa yang dia gunakan, hingga ajian Angin Puyuhku tak mampu menandingi?" keluh Jaka dalam hati, kaget bercampur tak mengerti menyelimuti hatinya. Bagaimana mungkin ada orang yang mampu lari melebihi kecepatan angin? Sungguh tidak masuk di akal. "Wah, bagaimana aku ini? Kenapa ajian Angin Puyuhku tak ada arti sama sekali untuk menandingi ilmu larinya?"

Jaka tak mau begitu saja mengalah, segera ia kerahkan segenap tenaganya untuk menambah larinya. Hingga dalam sekejap saja tubuh kedua orang tersebut melesat bagaikan dua larikan sinar yang bergerak di alam bebas.

"Ki Sanak Renggana, berhentilah!"

"Tidak! Jangan kau paksa aku!"

"Aku tidak memaksamu, tapi aku hanya ingin kau sadar!" Jaka terus ngotot meminta agar Renggana mau menghentikan larinya yang sungguh begitu cepat. "Berpikirlah kembali dengan penuh ketenangan, apakah jalan yang hendak engkau tempuh sudah benar?"

"Perduli apa kau!" bentak Renggana marah. "Minggatlah jangan kau terus paksa aku, atau barangkali engkau minta aku harus menyingkirkan dirimu!"

"Ah..." Jaka mengeluh.

"Cepat minggat dari sini!" kembali Renggana menggeretak.

"Kalau aku tak mau?"

"Heh, jangan harap engkau mampu lolos dari tangan mautku!"

Jaka merasakan ucapan Renggana bukan ucapan sekedar gertak sambal belaka. Ia tahu sungguh ilmu Renggana bukanlah ilmu sembarangan. Namun bila ia mengalah, maka kemalanganlah yang akan diterima oleh Renggana karena dia akan nekad menjeburkan dirinya ke dalam jurang. Pikiran Jaka berkecamuk, bingung harus memilih yang mana. Menghalangi Renggana, atau membiarkan Renggana dengan kenestapaannya membunuh diri sendiri. Ah, macam apa dirinya kalau harus mengalah begitu saja.

"Aku harus berbuat sesuatu. Apa pun resikonya, aku harus mampu memberikan arti bagi kehidupan Renggana. Ya, aku harus berbuat sesuatu," gumam hatinya. Maka dengan tak hiraukan ancaman Renggana, Jaka segera mempercepat larinya manakala Renggana memperlambat larinya.

"Rupanya kau nekad, Anak muda! Kau minta mampus!" Renggana nampak gusar, sehingga guratan-guratan wajahnya yang mencerminkan keberingasan jelas kentara. Napasnya mendesah berat, membuat suara napasnya bagaikan gema yang sangat menggetarkan hati para pendengarnya.

"Demi adikmu, aku rela kalau tubuhku kau hancurkan sekalipun. Aku relakan diriku, asal engkau dan adikmu dapat berkumpul kembali dan melangkah seiring di jalan yang benar." Jaka mencoba kembali menyadarkan Renggana.

"Hem, jangan kau kira mampu memaksaku!"

"Aku tidak memaksamu, Renggana! Sekali lagi, aku tidak memaksa dirimu!"

"Kau terlalu rewel!" dengus Renggana jengkel.

"Mungkin begitu," Jaka enak saja menyahuti tanpa memperlihatkan rasa gentar sedikit pun. Matanya memandang penuh kesiap siagaan pada Renggana yang nampaknya sewot. "Aku memang rewel, tapi kerewelanku semata demi kebaikan."

Renggana tampak diam, sepertinya Renggana juga berpikir tentang segala kemungkinan yang hendak ia perbuat. Ia telah tahu siapa adanya Jaka Ndableg, seorang pendekar yang tidak dapat disepelekan begitu saja. Pendekar yang namanya telah kondang dengan senjatanya yang sangat sakti yaitu Pedang Siluman Darah.

"Hem, mampukah aku menggempurnya?!" desis hati Renggana. Sementara matanya kini memandang tajam pada Jaka, menyala bagaikan kobaran api yang setiap saat siap membakar apa saja. "Aku minta, pergilah kau dan adikku dan jangan sekali-sekali ganggu aku!"

"Sudah aku katakan, bahwa aku dan adikmu ingin agar engkau jangan menjadi orang yang pesimis. Tabahkan hatimu, dan katakan pada dirimu bahwa engkau sebenarnya bisa baik."

"Diomong malah ngomong! Kau rupanya memang keras adat. Jangan salahkan aku kalau aku akhirnya nekad melawanmu."

"Aku sudah siap, Renggana!" Jaka akhirnya menyadari bahwa Renggana memang tak bisa diajak kompromi. Ia sadar, Renggana bukanlah orang sembarangan. Ia juga telah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kehebatan Renggana. Tapi demi menegakkan kebenaran, Jaka rela tubuhnya sebagai wadal bagi Renggana.

Renggana nampak mendesis, seketika matanya nampak makin menyala. Sementara Senggara pun telah datang, berdiri mendampingi Jaka seraya memandang tajam penuh ketidakmengertian pada kakak seperguruannya yang penuh misteri.

"Kakang, apabila engkau memang keras kepala, maka jangan salahkan aku dan Jaka menindakmu."

Bergelak tawa Renggana demi mendengar ancaman Senggara. Entah karena apa, tiba-tiba saja Renggana tak ada takut sedikit pun pada adik seperguruannya yang dijuluki anak Dewa. Renggana yang telah tahu bahwa adiknya dan Jaka bukan orang-orang sembarangan, sepertinya tak hiraukan semua itu. Ditatapnya lekat-lekat saling berganti, sesekali mendesis atau lebih tepat dikata menggerekak.

"Kalian memang manusia-manusia tak mau diuntung! Kalian rupanya hendak menentang pada Raja Siluman Gunung Kapur. Hem, apakah kalian memang sudah siap menghadapi diriku, orang-orang bodoh!" bentak Renggana sengit.

"Sudah aku duga, bahwa sebenarnya di dalam dirimu kini telah bersemayam roh siluman atau roh iblis! Pantas ambisimu terlalu tinggi dan mengada-ada, menentang dengan kodrat Ilahi yang menentukan semuanya!" Senggara nampak mendengus marah, tak mau kalah dengan apa yang dikatakan kakak seperguruannya. Tekadnya hanya satu yaitu mengusir roh jahat di diri kakaknya atau mati bersama-sama pendekar Jaka Ndableg.

"Jangan banyak kotbah! Sekali lagi aku katakan, kalian mau minggat dari sini atau mau terus menghalangi maksudku!" Renggana nampak sudah marah. Mulutnya nampak menganga lebar, seakan hendak memangsa dua orang yang ada di hadapannya.

"Kami mau pergi, asalkan engkau mau mengikuti kami!" Jaka berkata dengan tenang, sepertinya ia tak merasakan adanya getaran aneh yang keluar bersamaan habisnya ucapan Renggana.

Di sampingnya Senggara nampak memucat muka, seakan Renggana kini merupakan iblis di hadapan mukanya. Dan memang begitulah adanya, Renggana bagi Senggara yang mampu memandang lubuk hati melihat yang berdiri di hadapannya kini bukan kakaknya, melainkan Iblis Sedayu Mukti. Iblis yang sangat sakti dan berkehendak untuk menghancurkan umat manusia di dunia. Jaka tersentak kaget manakala Senggara mendesis.

"Sedayu Mukti, apa tujuanmu mempengaruhi jiwa kakakku!"

"Heh, ternyata Senggara mampu menembus alam gaib. Oh, kenapa aku tak menggunakan ajian Pembuka Tabir. Baik, akan aku lihat siapa sebenarnya yang ada di tubuh Renggana," Jaka bergumam dalam hatinya. Perlahan dikibaskan tangannya, menyapu lewat di depan kedua matanya. Kini tampaklah oleh Jaka siapa yang tengah berdiri di hadapannya. "Sedayu Mukti!"

"Apa kabar Pendekar sombong!" Sedayu Mukti menyeringai sinis pada Jaka yang telah mampu melihat siapa adanya dia. "Dulu engkau berbuat seenaknya pada segala keturunanku, maka kini aku akan melenyapkan dirimu!"

"Pantas! Apa hakmu mempengaruhi jiwa Renggana, Sedayu!" bentak Jaka sengit. Ia kini benar-benar telah was-was dengan apa yang ada. Bukannya Jaka takut kalah bila harus menandingi Iblis yang terkenal dengan ajiannya yang beraneka ragam, tapi ia takut kalau ilmunya akan membuat tubuh Renggana berantakan. "Aku minta, minggatlah engkau, jangan ganggu jiwa orang itu, Sedayu!"

"Tidak! Aku akan memakainya karena kami sudah saling mengikat janji."

"Bedebah!" gertak Senggara marah. "Minggatlah engkau, Iblis! Jangan kau ganggu kakakku, atau aku dengan terpaksa menghujatmu!"

"Lakukan bila kau mampu, Senggara! Aku tak akan takut!" Sedayu Mukti berkata. "Dan kau Pendekar sombong! Kau tentunya tak akan tega dengan tubuh ini, bukan?!"

"Kurang ajar! Kenapa kau pengecut seperti itu, Renggana! Sedayu keluarlah dari tubuhnya, dan hadapilah aku!" Jaka bimbang, sebab ia tahu kalau ajiannya menghantam tubuh Renggana maka sia-sialah ia berbuat. Bukannya Sedayu Mukti yang lenyap, tapi tubuh Rengganalah yang akan hancur. Sedangkan untuk mengusir Sedayu Mukti sangatlah susah kalau tidak harus dengan ajian Tapak Bahananya. Jaka benar-benar serba salah. Sesaat diliriknya Senggara, nampaknya Senggara pun mengalami hal yang seperti dialami oleh dirinya. "Bagaimana, Saudara Senggara?"

"Kita terpaksa!"

"Terpaksa...?" Jaka membeliak kaget mendengar ucapan Senggara. "Terpaksa bagaimana maksudmu...?"

"Kita terpaksa harus berkorban. Kita yang hancur, atau tubuh kakak seperguruanku yang hancur. Iblis memang begitu, Saudara Jaka. Iblis tak akan mau pergi tanpa membawa korban!"

Jaka tercenung demi mendengar ucapan Senggara. Memang benar akan apa yang dikatakan oleh Senggara, bahwa Iblis tak akan mau pergi tanpa membawa korban.

"Kenapa saudara Jaka...?" Senggara menanya demi melihat Jaka nampak bimbang. "Kau nampaknya ragu untuk bertindak."

"Benar! Hanya karena Iblis, kita harus mengorbankan salah satu di antara kita," jawab Jaka.

"Aku minta engkau jangan pikirkan itu. Lakukanlah apa yang kau anggap baik. Jangan hiraukan siapa adanya kakakku, kalau akhirnya kelak dia akan menyusahkan kita dan manusia lainnya."

"Hai! Kalian manusia-manusia sombong, kalau kalian takut aku minta cepatlah minggat dari sini jangan sampai aku mengirim kalian ke akherat sana!"

"Bagaimana saudara Jaka?"

"Baiklah Senggara, aku akan berbuat," jawab Jaka akhirnya.

Kini hatinya agak tenang mendengar penuturan Senggara yang telah menumbuhkan rasa percaya diri. Memang apa artinya pengorbanan seseorang, kalau akhirnya menjadi ketentraman orang lain. Kini Jaka sadar, kalau Renggana tidak musnah, maka petaka akan selalu datang menimpa umat manusia. Sejenak Jaka memandang tajam pada Renggana, sepertinya hendak menembus sorot mata penghuni jasad Renggana yaitu Sedayu Mukti.

"Sedayu Mukti, sekali lagi aku katakan pergilah engkau jangan ganggu jasad orang tersebut atau dengan terpaksa aku akan menghancur leburkan dirimu!"

"Hua, ha, ha....! Lakukan bila memang engkau menghendaki tubuh orang ini hancur, Jaka! Lakukanlah dengan ajian yang engkau miliki atau dengan Pedang Siluman Darah! Hua, ha, ha...! Aku Sedayu Mukti, Iblis dari segala Iblis tak akan dapat engkau usir dari muka bumi ini!"

"Sombong!" Senggara menggeretak marah, mendengus penuh kobaran api emosi. "Biar aku yang akan menghajarnya terlebih dahulu, Jaka!"

"Hati-hatilah, Senggara!" Jaka memperingatkan. "Serang dia dengan ketenangan batinmu. Jangan engkau gentar bila dia berubah banyak, sebab dia hanyalah hendak menipu pandangan mu saja. Cerca yang satu."

"Baik, akan aku turuti apa yang menjadi saranmu," Senggara segera maju ke muka, dihampirinya Renggana kakaknya yang nampak tersenyum bagai menyepelekannya. "Sedayu, aku terpaksa harus memaksamu untuk minggat dari tubuh kakakku. Bersiaplah!"

"Hua, ha, ha...! Percuma, kau tak akan mampu menandingi ilmu yang aku miliki," Renggana berkata sombong.

"Kita buktikan saja, Sedayu!" dengus Senggara, pucat wajahnya karena dilanda kemarahan. Batinnya bergolak, kesal dan marah berbaur menjadi satu. "Minggatlah kau dari sini, Sedayu. Hiat...!"

Tanpa banyak kata lagi Senggara segera berkelebat menyerang Sedayu yang dengan segera berkelebat mengelakkannya. Kini dengan cepat kedua kakak beradik itu saling serang, saling ingin menunjukkan siapa di antara keduanya yang berilmu tinggi. Jurus demi jurus berlalu, hampir segala jurus-jurus yang mereka miliki keluarkan. Yang lebih sangat mengejutkan, hampir segala jurus milik keduanya sama persis hingga setiap kali Senggara menyerang dengan cepat Sedayu memapaki dan memunahkannya.

"Sudah aku katakan percuma, sebab aku akan mampu mengembangkan segala ilmu yang engkau miliki karena aku pun mampu mengetahui dan memecahkannya," gelak Sedayu sombong.

"Jangan senang dulu, Iblis. Mari kita teruskan. Hiat...!"

Kembali Senggara berkelebat menyerang dengan cepat, kini jurus yang ia gunakan adalah jurus-jurus yang dahsyat. Jurus-jurus yang tidak dimiliki oleh kakak seperguruannya. Ya, Senggara sadar bahwa kalau ia menggunakan jurus yang diajarkan oleh gurunya niscaya iblis Sedayu akan dapat mengetahui titik kelemahannya karena iblis tersebut kini telah mampu menjalankan pikiran kakaknya. Terbukti, setelah Senggara menggunakan jurus-jurus lain, Renggana tak dapat memecahkannya.

"Ah...." Renggana terdengar mengeluh. Matanya membeliak kaget melihat jurus-jurus kembangan yang dilancarkan oleh adik seperguruannya. Tapi ia telah dikuasai iblis, menjadikan dirinya seperti tak kenal takut barang setitik darah pun. Dalam hatinya hanya ada satu bisikan: "Jangan takut, Renggana. Aku ada di sampingmu. Aku akan membantumu."

"Menyerahlah, Iblis!" bentak Senggara sambil terus mencerca.

"Tidak! Pantang bagiku untuk menyerah!" balas Renggana keras. "Lihat...!" Tiba-tiba tubuhnya berputar kencang, memusingkan pandangan Senggara yang kini bingung dan terdiam.

"Ilmu Siluman Iblis!" pekik Senggara kaget melompat kebelakang dua tombak. Tampak kini tubuh Renggana keluar satu demi satu dari baling-baling tubuh utamanya. Tubuh Renggana terus bertambah banyak, dari 1... 2, 3, 4, 25... 40... 100... 1000. Ya, kini tubuh Renggana nampak ada seribu sosok yang sama persis, susah untuk menentukan mana yang asli dan mana yang hanya bayang-bayang Iblis.

"Hua, ha, ha...! Bagaimana Senggara, apakah kau tak mau mengakui kekalahanmu?!" bergelak Renggana sombong. Keseribu tubuhnya melangkah mendekati Senggara yang menyurut mundur.

Senggara memang benar-benar terpojok, tak tahu harus berbuat bagaimana untuk menghadapi ilmu Iblis kakaknya. Tengah Senggara tersurut ke belakang, dan Renggana hendak menyerang tiba-tiba terdengar seruan Jaka.

"Saudara Senggara, serang dengan mata batinmu. Jangan engkau terpengaruh dengan pandangan semu mu!"

"Hem, apa benar ucapan Jaka? Tapi baiklah, aku percaya kalau dia memang benar-benar seorang tokoh silat yang bukan sembarangan. Akan aku coba...." Senggara segera pejamkan mata, mulutnya komat kamit mengucap mantra pembuka batin. Kini nampaklah mana yang asli tubuh kakaknya. Maka dengan tanpa membuang-buang waktu lagi Senggara segera berkelebat manakala kakaknya juga hendak menyerangnya.

"Hiat...!"

"Kau harus minggat dari dunia, Senggara. Hiat...!"

Seribu tubuh Renggana mengurung, namun dengan cepat Senggara memapaki dan langsung menggenjotkan tubuh melayang menyerang ke arah tubuh yang asli.

"Bug, bug, bug!"

"Ah...!" Renggana mengeluh, tubuhnya mental terhantam pukulan yang dilontarkan Senggara. Renggana nampak terheran-heran melihat Senggara mampu memecahkan ilmunya. Sambil meringis menahan sakit Renggana tiba-tiba memekik. "Keaak...! Kuhancurkan kau, Senggara!"

Tersentak Jaka yang melihat hal itu, Senggara kini nampak terkejut, heran pukulannya yang dilandasi oleh tenaga dalam yang kuat seakan tak ada artinya sama sekali. Namun ia sebagai seorang yang dijuluki Anak Dewa tak mau kalah begitu saja. Secepat kilat ia rubah tubuhnya menjadi Cobra Merah. Ular Cobra besar sebesar pohon kelapa berwarna merah seketika mendesis dan memapaki serangan Renggana.

Tersentak Renggana kini, demi melihat adiknya telah mengubah ujud menjadi seekor Cobra Merah. Jelas bahwa Senggara atau si Cobra Merah telah benar-benar marah. Tak hanya Renggana yang telah mengerti maksud Senggara, Jaka pun kini nampak tersentak kaget demi melihat kejadian tersebut. Renggana telah mengerti bahwa adik seperguruannya kini benar-benar siap mengadu jiwa.

"Rupanya kau benar-benar ingin mengadu jiwa denganku, Senggara!" desis Renggana menyurut mundur, mengurungkan niatnya untuk menyerang.

"Terpaksa! Terpaksa ini aku lakukan, karena ternyata engkau tak mau minggir dari tubuh kakak seperguruanku!" jawab Ular Cobra Merah. Dari mulutnya keluar desisan keras, sepertinya Cobra Merah itu hendak menunjukkan bahwa dirinya telah siap segala-galanya.

"Baik, kalau itu yang engkau mau! Jangan kira aku akan mau mengalah dan meninggalkan tubuh kakakmu, karena dia telah berhutang budi padaku. Kau tahu, dari siapa kakakmu memiliki kesaktian? Huh, dia memiliki kesaktian sepertimu bukan dari gurumu, sebab gurumu tak memberikannya. Dia ngiri padamu, dia ingin memiliki ilmu yang sepertimu. Dengan aku mau memberikan ilmu seperti yang engkau miliki, kakakmu rela kalau tubuhnya untuk menjadi sandaran sukmaku. Aku akan kembali ke dunia, aku akan menguasai alam ini. Manusia harus tunduk padaku.... Aku telah dendam, dendam pada anak cucu Adam! Hua, ha, ha...!"

Berbarengan dengan habisnya suara Sedayu, seketika tubuh Renggana berubah menjadi burung gagak hitam besar, sebesar burung dalam masa kepurbaan. "Kak... Kak... kak...! Ayo, Senggara kita buktikan!"

Wuss... wusss!

"Mari, kita mengadu jiwa..."

Wuss...!

Jaka yang menyaksikan nampak hanya mampu memandang dengan takjub dan mata tak berkedip. Ia begitu tercekam dengan kenyataan yang ia lihat. Sungguh tidak disangka kalau kedua kakak beradik itu harus saling serang demi ambisi mereka masing-masing. Memang apa yang dilakukan Senggara benar adanya, ia ingin agar kakaknya yang ditumpangi Iblis Sedayu Mukti sadar. Namun kenyataannya hanya dengan jalan pertarungan saja yang akan dapat menyelesaikan.

Kini dua hewan raksasa jelmaan dua manusia kakak beradik tersebut saling serang bagaikan dua kekuatan dahsyat beradu. Setiap kebasan sayap Gagak Hitam legam itu mengeluarkan angin besar yang mampu menerbangkan dan menggoncangkan pepohonan. Sebaliknya desisan Cobra Merah, nampak begitu menggema dan mampu meruntuhkan gunung kapur yang tak jauh dari tempat mereka bertarung. Pertarungan tersebut berjalan dengan alot, tampak seru. Tak ada yang mau mengalah atau mengakhiri pertarungan tersebut.

"Bahaya kalau begitu terus-menerus! Malah bisa-bisa keduanya yang akan jadi korban," Jaka nampak bimbang untuk menentukan langkahnya. Sebenarnya hatinya tak ingin menyaksikan dua kakak beradik itu saling gempur yang akan mengakibatkan keduanya harus mengalami hal yang tak diinginkan. Betapa akan tragis bila keduanya sangat menghendaki salah seorang di antaranya harus mati. "Hem, semua ini gara-gara Iblis laknat Sedayu. Tapi aku.... Ah, aku tak dapat harus berbuat apa?"

Dua mahluk hewan jejadian dari dua tokoh sakti itu terus saling serang dan gempur. Naga-naganya keduanya tak akan ada yang dapat mengendalikan hawa membunuh. Dari serangannya nampak betapa mereka benar-benar menguras segala ilmu yang mereka miliki. Kilatan-kilatan api nampak menyembur dari Cobra Merah manakala mulutnya menganga.

Sebaliknya Gagak Hitam pun tak mau kalah, dari matanya membersit sinar ungu berubah hitam legam menyerang Cobra Merah. Sungguh pertarungan penentuan antara hidup dan mati. Jaka melihat gundah, cemas dan bingung harus berbuat apa. "Apakah aku akan membiarkan kedua-duanya mengalami kematian? Ah, sungguh aku tiada guna!"

Jaka tersentak kaget, manakala selarik sinar ungu berbaur hitam melesat hendak menghantam tubuh Cobra Merah. Mata Jaka melotot, tak percaya pada apa yang dilihatnya. Dengan gerak cepat, Jaka segera hantamkan pukulan jarak jauhnya menangkis serangan yang hampir saja merenggut riwayat Cobra Merah.

"Getih Sakti. Hiat...!"

"Crooot...!" Getih Sakti yang keluar dari telunjuk Jaka melesat, kencang laksana seberkas sinar merah membara dan...!

"Duar...!"

"Ah...!" Gagak Hitam melenguh, tubuhnya mental ke belakang.

Jaka nampak terpaku melihat hal itu. Sebenarnya ia tak ingin turun tangan. Tapi bila melihat bahwa Cobra Merah akan mengalami kenaasan, maka dengan terpaksalah Jaka melakukannya. Kini nampak Gagak Hitam mengalihkan pandangannya pada Jaka. Sinar matanya nampak merah, lalu dengan memekak Gagak Hitam melejit terbang memburu di mana Jaka berada.

"Keak...!" suaranya begitu keras, sepertinya mengatakan bahwa kematian harus diterima Jaka yang telah turut campur masalah itu.

Jaka tersentak, hindarkan dari sabetan sayap Gagak Hitam yang menderu laksana topan. Merasa serangannya gagal, segera Gagak Hitam putar tubuh dan menghadap Jaka lalu kembali menyerang.

"Keak...!"

"Cobra Merah, bagaimana ini?!" Jaka berseru seraya hindarkan serangan Gagak Hitam yang benar-benar menghendaki kematiannya.

"Lakukan apa yang engkau mampu, Jaka!"

"Tapi...!" Jaka ragu.

"Jangan engkau ragu. Biarlah ia lenyap demi ketentraman umat manusia. Lakukan apa yang kau bisa. Lakukan!"

"Baiklah! Kalau memang itu yang harus aku lakukan!"

Burung Gagak Hitam raksasa itu kembali mengarah ke arah Jaka. Sinar matanya nampak memendam kebengisan yang teramat sangat, sepertinya mengisyaratkan sebuah dendam. Ya, dendam dan kemarahan yang meluap-luap.

Jaka juga sudah tahu siapa adanya yang bersemayam pada tubuh Gagak Hitam, tak lain Iblis Sedayu Mukti musuhnya. Tapi Jaka masih menghendaki kompromi, sebab ia tak menginginkan adanya korban. Korban yang merenggut nyawa seorang manusia. Walau manusia itu seorang yang terlalu angkara, tapi tetap saja manusia juga. Apalagi dia adalah kakak seperguruan Cobra Merah. Jaka tampak merenung, manakala tiba-tiba terdengar seruan Cobra Merah menyadarkannya:

"Awas Jaka, serangan!"

Jaka Ndableg tampak kaget, sementara burung Gagak Hitam raksasa benar-benar susah untuk dapatlah dihindarkan lagi. Jarak burung Gagak dengannya tinggal setombak belaka. Paruh burung itu menganga, seakan menunjukkan kekuatannya.

"Keak...!"

"Mati aku!" renguh Jaka dalam hati.

Burung Gagak Hitam itu menukik siap untuk mematuk Jaka yang ada di bawahnya. Dengan tanpa mempertimbangkan apa yang akan terjadi Jaka segera hantamkan pukulan Petir Sewunya.

"Bletar! Bletar! Bletar!"

Suara petir membahana, menyambut tubuh burung Gagak Hitam yang tersentak berusaha mengelak. Namun tak urung, salah sebuah lidah petir menghantam matanya yang seketika melelehkan darah. Mata burung Gagak itu pecah berantakan. Sesaat burung Gagak Hitam putar-putar menahan sakit yang teramat sangat, lalu tubuhnya kelabakan di tanah sesaat dan berubah menjadi Renggana kembali.

Cobra Merah dan Jaka segera bermaksud menghampiri, manakala Renggana yang mukanya sudah hancur dan menyerupai hantu bangkit menyerang Jaka. Jaka yang tersentak kaget tak mampu lagi berbuat banyak. Serta merta Jaka hantamkan Tapak Bahananya.

"Hiat...!"

"Aahhh...!" Tubuh Renggana atau Gagak Hitam melayang mental ke bawah jurang. Tubuh itu hancur berantakan. Tapi yang membuat Jaka heran Renggana tidak menjadi serpihan abu seperti musuh lainnya bila berhadapan dengan Tapak Bahananya.

"Dia telah mati oleh tanganku," keluh Jaka sepertinya menyesal menjadikan Senggara seketika mendekatinya seraya berkata menghibur.

"Jangan kau sesali, Jaka. Aku rela, sebab bila tidak demikian Iblis tersebut tak akan lenyap."

Dengan beriringan, kedua pendekar itu segera meninggalkan Jurang Gunung Kapur yang telah menelan sesosok tubuh milik Renggana. Apakah Renggana benar-benar mati? Apakah Iblis Sedayu Mukti benar-benar merelakan Renggana yang dijadikan sebagai penitip sukmanya mati? Ikuti saja terus cerita ini.

********************

DUA

Pedati yang ditarik oleh dua ekor kuda itu melintasi jalan bulakan di Gunung Kapur. Wajah penunggang-penunggangnya nampak penuh ketegangan. Sejak dua bulan terakhir setelah kematian Gagak Hitam daerah Gunung Kapur terkenal dengan keangkerannya. Pernah sekali seorang musyafir memergoki sebuah bayangan berkelebat dari bawah jurang mencelat dan menghadangnya.

Dan manakala musyafir itu memandangnya dengan seksama, ternyata orang tersebut berbentuk sesosok tubuh menyeramkan. Tubuh orang itu hancur berantakan, sehingga kulit-kulitnya mengelupas, bergumpal-gumpal laksana dera darah kering atau lilin yang terkena panas.

Musyafir itu tanpa banyak pikir panjang lagi segera berlari menghindari. Namun tampaknya sosok manusia hancur berantakan itu tak mau melepaskannya begitu saja. Sosok hancur berantakan tersebut terus mengejarnya, lalu dengan ganas ditangkapnya tubuh sang musyafir. Musyafir itu meronta meminta dilepaskan, tapi dengan sadis digigitnya leher musyafir itu hingga lehernya tembus terhantam gigi-giginya yang runcing. Maka dalam sekejap saja, darah musyafir itu habis terhisap.

Wajah para penunggang pedati itu makin tambah pucat pasi ketakutan, manakala pedati makin melaju tak menentu. Sepertinya lari kedua kuda itu ada yang menuntun dan makin mendekat ke arah jurang yang telah menelan tubuh Renggana.

"Mang kusir, kenapa ke arah ini?" tanya salah seorang penunggang pedati dengan mata membeliak dan wajah pucat pasi ketakutan.

"Ia mang, kenapa ke sini?" yang lainnya ikut bicara.

"Kenapa kalian ribut!"

Tersentak kaget seluruh penunggang pedati, manakala mendengar bentakan sang kusir. Sungguh mereka tidak menyangka kalau kusir pedati itu berani membentak. Keenam orang jawara yang terkenal itu sangat geram. Mereka yang terkenal dengan sebuatan Enam Jalak Sungu dari Warangrang, belum pernah sekalipun dibentak.

Jangkan membentak, orang mendengarnya saja akan lari terkencing-kencing. Tapi tukang pedati ini sungguh lancang, berani membentak. Mungkin tukang pedati belum tahu siapa adanya mereka, sehingga tanpa sadar berani menentang. Maka dengan geram Jalak Kuning yang merupakan Jalak tertua membentak balik.

"Kusir kurang ajar! Berani kau membentak kami! Apa kau tak tahu siapa adanya kami, hah?!"

Sang kusir tak hiraukan caci maki orang tersebut, ia tampak asyik mengendalikan kudanya melangkah menuju makin dekat saja ke arah jurang.

"Bedebah! Rupanya kau sengaja, Kusir!" kembali Jalak Kuning membentak marah. "Apa kau ingin kami mencabut nyawa tuamu!"

"Kusir, helakan kuda-kudamu jangan sampai terus ke arah situ. Bahaya," Jalak Merah yang berkata, nada suaranya agak sedikit sabar tidak seperti kakaknya. "Tak dapatkah kau diajak kompromi?"

Kusir itu terus diam saja, sepertinya tak mendengar kata-kata yang diucapkan para penunggangnya. Menengok pun ia tidak, matanya terus memandang ke muka, sepertinya ada sesuatu yang menarik pandangannya ke sana.

Tak dapat lagi keenam Jalak Sakti itu menahan amarahnya, segera dengan cepat Jalak Kuning menyerobot ke muka dengan maksud untuk mengambil alih kais kuda. Namun seketika Jalak Kuning terjengah, wajahnya pucat demi melihat apa yang terjadi pada diri kusir pedati yang ditumpanginya. Hal itu menjadikan Jalak lainnya serentak bertanya:

"Ada apa, Kakang?"

"Dia... dia bukan manusia!" Jalak Kuning memekik, loncatkan tubuhnya melesat pergi. Melihat kakaknya meloncat, serta merta kelima Jalak lainnya pun mengikutinya keluar dari pedati.

Tukang pedati itu segera hentikan kuda-kudanya, lalu dengan sekali lompat ia telah berdiri di hadapan keenam Jalak Sakti. Di buangnya topi yang menutupi wajahnya, dan kini tampaklah wajah tukang pedati sesungguhnya. Wajah yang sangat menyeramkan tak nampak seperti manusia melainkan wajah hantu.

"Ah...." mengeluh keenam Jalak Sakti kaget. Tak terasa kaki mereka menyurut mundur.

Manusia bertampang rusak pekak tak karuan terus berjalan menghampiri mereka yang ketakutan. Mulutnya menyeringai, menunjukkan giginya yang tajam bertaring. Matanya yang sebelah kiri telah hancur, membentuk lubang dalam. Hidungnya rusak berat, tinggal daging-daging busuk mengkiwil-kiwil menyebarkan bau busuk yang teramat sangat. Orang bertampang hantu yang nampak lelaki itu seketika membuka pakaiannya. Dan seketika mata keenam Jalak Sakti itu kembali membelalakkan mata, tak percaya pada apa yang kini mereka lihat.

"Ah...!" Kembali mereka mendesah dengan mata melotot. Mereka melihat bahwa tubuh lelaki itu pun tak karuan adanya. Dagingnya bagaikan teriris-iris, atau dapat dikatakan meleleh. Ketika angin gunung Kapur berhembus, bau daging busuk pun seketika menyengat hidung mereka.

"Iblis Sedayu Mukti! Kenapa engkau bangkit!" Jalak Kuning berseru kaget.

"Hua, ha, ha...! Aku memang yang bangkit dari kematian! Aku bangkit untuk melakukan pembalasan! Pembalasan yang akan menimpa segenap manusia. Hua, ha, ha...!"

Bergidig keenam Jalak Sakti mendengar suara orang amburadul fisiknya itu. Bagaimana pun juga, walau mereka tidak termasuk golongan lurus tapi mereka manusia. Kalau benar Iblis itu bermaksud mengadakan pembalasan pada manusia, jelas mereka pun akan terkena juga.

"Tapi kami bukan musuh-musuhmu, Sedayu," Jalak Kuning berkata mencoba mencari jalan untuk dapat meloloskan diri mereka dari daftar Iblis Sedayu. "Bukankah musuh-musuhmu tak lain adik seperguruanmu Senggara dan Pendekar muda Pedang Siluman Darah."

"Aku tak perduli!"

"Ah..." Jalak Hijau mendesah berat.

"Kenapa begitu? Bukankah kita sealiran?" Jalak Coklat turut buka suara dengan harapan hati Iblis Sedayu mau melemah dan dapat diajak kerja sama. Mereka tahu bahwa Iblis itu bukanlah orang sembarangan. Pendekar Pedang Siluman Darah dan Cobra Merah yang terkenal sakti mandraguna pun hampir saja kerepotan menghadapinya, apalagi dengan diri mereka?

"Sekali lagi aku tak perduli! Aku butuh darah!"

"Ah...! Apa kau tak mau sabar? Biarlah nanti kami yang mencarikan darah untukmu," Jalak Biru juga ikut buka suara. Tujuannya sama, ia mengharap agar Iblis Sedayu mau mengampuni nyawa mereka dan mau menjadi sekutu mereka.

"Benar! Kami akan mencarikan darah untukmu!" Jalak Ungu yang paling muda pun kini ikut berkata. "Biarlah kami menjadi pengikutmu."

Renggana yang berantakan tubuhnya itu seketika terdiam. Namun begitu, sorot matanya nampak masih tajam menghunjam, memandang pada keenam Jalak Sakti yang masih berdiri di hadapannya mematung dengan penuh harap-harap cemas. Mereka takut kalau-kalau Iblis Sedayu tak mau menerima. Renggana dan Iblis Sedayu masih terdiam bisu, sepertinya tengah berpikir dengan pengajuan kerja sama yang disarankan oleh Jalak Sakti. Sesaat kemudian mulutnya menyeringai. Sebenarnya ia tersenyum, namun dikarenakan mulutnya telah rusak berantakan hingga senyumnya bukanlah berupa senyum tapi berupa seringai.

"Baiklah, aku ampuni nyawa kalian. Tapi ingat, setiap malam Jum'at kalian harus mempersembahkan darah manusia atau manusia hidup-hidup padaku. Taruh manusia itu di tepi jurang ini. Kalau kalian ingkar, hem.... Kalian akan tahu apa akibatnya..."

"Baiklah! Kami juga akan selalu menuruti apa yang engkau pinta, tapi kami juga minta syarat," Jalak Kuning membuka kata.

"Apa syaratmu..."

"Kami minta engkau mau melindungi kami bila kami dalam kesusahan..."

"Hua, ha, ha...! Gampang, gampang! Semua bagiku mudah! Baiklah, aku akan datang membantu kalian bila kalian tengah menghadapi kesusahan. Panggilah aku tiga kali, maka aku akan datang."

"Bagaimana aku harus menyebutmu?"

"Sebut Raja Iblis. Maka aku akan segera tergugah dari tidurku dan akan segera datang menemui kalian. Kini aku akan kembali tidur, kalian pergilah, cari oleh kalian manusia-manusia gemuk yang darahnya banyak. Ingat, hari Jum'at tinggal dua hari lagi!"

Tanpa hiraukan keenam Jalak Sakti segera Renggana yang sudah amburadul tubuhnya berkelebat pergi tinggalkan mereka kembali menuju ke bawah jurang Gunung Kapur. Tinggallah keenam Jalak Sakti yang terbengong-bengong tak percaya bahwa diri mereka akan luput dari maut.

"Bagaimana, apakah kalian sanggup untuk mempersembahkan seorang manusia dalam dua hari lagi?"

Kelima adiknya nampak terdiam demi mendengar pertanyaan Jalak Kuning. Hatinya bimbang untuk menjawabnya. Pertama mereka takut pada Iblis Sedayu Mukti, lalu kedua mereka takut kalau Pendekar Pedang Siluman Darah atau Cobra Merah mendengarnya. Kini mereka bagaikan berdiri di antara dua sisi jurang yang siap menelan tubuh-tubuh mereka ke dalamnya. Bila mereka salah jatuh, maka tak ayal lagi remuklah tubuh mereka.

"Bagaimana?!" kembali Jalak Kuning menanya demi melihat kelima adiknya masih terdiam tak ada yang menjawab. "Apakah kita akan menjadi korban Iblis Sedayu?"

Bergidik kelima Jalak Sakti lainnya demi mendengar kakaknya menyebut korban. Jelas mereka tak mau menjadi korban Iblis yang terkenal sakti itu. Tapi mereka pun tak ingin jadi ajang kemarahan Dua Pendekar yaitu Jaka Ndableg dan Senggara.

"Tidak...!" jawab mereka serentak.

"Nah, apakah kita siap untuk menghadapi segalanya?"

"Itulah yang sedang kami pikirkan, Kakang," Jalak Merah mengutarakan apa yang sebenarnya tersandung di hatinya juga adik-adiknya. "Kami merasa takut juga apabila kegiatan kami nantinya dapat diketahui oleh Jaka Ndableg atau si Cobra Merah."

Jalak Kuning tercenung diam. Memang benar apa yang dikatakan oleh adiknya. Kini pun mereka dalam pengejaran Jaka Ndableg karena mereka telah berbuat yang membikin keonaran diwilayah tengah, yaitu merampok Bupati Slawi.

Keenam Jalak Sakti masih terdiam, bingung harus berbuat bagaimana. Kalau menentang, mereka tentu akan menggantikan korban-korbannya dengan diri mereka sendiri. Tapi kalau menurut, jelas mereka harus berkeliaran mencari korban, sampai akhirnya Jaka mendengar dan memburu mereka kembali. Sungguh sebuah pilihan yang sangat sulit. Ibarat mereka kini menghadapi buah Simalakama. Dimakan ayah mati, tidak dimakan ibu pun mati juga. Tengah mereka terdiam dalam kebimbangan, tiba-tiba terdengar suara bentakan dari dalam jurang mengagetkan mereka.

"Kenapa kalian masih di situ, hah!"

"Ampun, kami hendak segera pergi!" jawab mereka serentak setelah dapat menyadarkan diri mereka dari kekagetan.

"Cepatlah kalian minggat! Aku berisik tak dapat tidur!"

"Baik, Ketua...!"

"Ayo, apa lagi yang kalian pikirkan! Kalian apa mau menentangku, hah!"

"Ti... tidak...!"

Dengan hati diselimuti rasa bimbang dan takut keenam Jalak Sakti itu pun tanpa banyak bicara lagi segera berkelebat pergi tinggalkan Jurang Gunung Kapur yang kembali nampak sunyi dan sepi sepertinya penuh keangkeran.

Kini yang terdengar hanya dengkur keras dari si Iblis Sedayu, yang suaranya begitu menggema mampu mendirikan bulu kuduk bagi yang mendengar. Bagaimana tidak, mereka yang mendengar pasti akan mencari-cari asal dengkuran yang begitu besar padahal mahluk yang tidur ada di bawah jurang yang cukup dalam.

********************

TIGA

Sejak munculnya Iblis Sedayu, kini teror mencekam para penduduk. Sebentar-sebentar mereka kehilangan warganya, sebentar-sebentar terjadi penculikan. Penduduk desa Slawi nampak resah, gelisah dan tak tenang untuk hidup. Banyak sudah korban-korban yang menghilang. Dan manakala mereka ditemukan, tubuh mereka telah kering kerontang di dekat jurang Gunung Kapur. Untuk mengambil tubuh-tubuh korban, jelas mereka tidak berani karena mereka tak mau menjadi korban.

Untuk sekian lama mereka tercekam dalam ketakutan, tak tahu siapa sebenarnya pelaku dari semua kejadian yang mengganas dan menimpa desa Slawi. Mereka tidak menyangka siapa adanya pelaku semuanya. Mereka hanya mengerti bahwa korban-korban tersebut merupakan korban dari Iblis Penghuni Jurang Gunung Kapur.

Malam itu telah larut, diselingi dengan rintikan hujan yang turun secara mendadak. Entah apa sebabnya, sepertinya hujan pun turut meratapi segala bencana yang menimpa desa Slawi. Malam itu adalah malam Jum'at, di mana malam-malam yang mengandung misteri bagi orang-orang yang mempercayai adanya Hantu Demit, Setan Marakayangan.

Di malam itu pula, biasanya orang-orang yang mengikuti aliran Aninisme dan Dinamisme selalu membakar dupa, memanjatkan do'a-do'a bagi roh-roh yang bersemayam di batu-batu besar atau pohon-pohon yang terkenal angker. Namun malam itu nampaknya hal seperti sebelumnya tak terjadi, sepi bagaikan mati. Mungkin karena gerimis yang menyayat, atau karena petaka yang datang bertubitubi melanda yang menjadikan mereka takut untuk keluar rumah.

Dalam rintikan gerimis yang mengiris, nampak enam orang bertudung melintas berlari menerobos gelap malam, memecah rintikan hujan. Keenam orang tersebut terus menuju ke kampung, entah apa yang hendak mereka lakukan. Keenam orang tersebut, tak lain dari Enam Jalak Sakti. Mereka adalah utusan-utusan Iblis Penghuni Jurang Gunung Kapur untuk mencari darah manusia setiap Jum'at.

"Rupanya penduduk desa ini telah dapat kita perdayai," gumam Jalak Kuning di sela-sela lari kecilnya.

"Ya! Itu malah makin menjadikan kita gampang beroperasi," kata yang lainnya. "Dengan begitu, kita tak akan mendapat rintangan yang sukar."

"Apakah Pendekar itu belum mendengar?" tanya Jalak Merah.

"Aku harap tidak," desis Jalak Kuning. Hatinya nampak ciut manakala mendengar nama Pendekar Pedang Siluman Darah.

Bagaimanapun, mereka pernah merasakan batunya oleh Pendekar Jaka Ndableg, manakala mereka bentrok akibat tindakan mereka merampok. Akibat kejadian tersebut, mereka benar-benar merasakan ketakutan pada Jaka. Mereka telah sebisa-bisanya menghindar untuk tidak sampai ketahuan oleh Jaka. Sebab mereka akan mengalami hal yang makin menyulitkan bila ternyata Jaka tahu siapa adanya pembuat bencana di desa Slawi.

"Sudahlah, jangan kita memikirkan Pendekar Muda itu," Jalak Biru segera menengahi agar kedua saudaranya jangan merisaukan pendekar yang telah membuat mereka lari puntang-panting, sampai akhirnya bertemu dengan Iblis Sedayu. "Kalau kita memikirkan Pendekar Pedang Siluman Darah, jelas kitalah yang akan merugi sendiri. Kita akan takut dalam segala apa yang hendak kita lakukan. Dan bukanlah hal itu malah menjadikan kita celaka? Jaka Ndableg masih dapat memaafkan, tapi Iblis Sedayu...? Tak ada kata maaf baginya untuk manusia. Hii...!" Jalak Biru bergidik sendiri bila mengingat apa yang dilakukan oleh Iblis Sedayu pada orang-orang yang dijadikan korban. Mereka mati mendelik, mengering dengan mulut menganga bagaikan orang mati banyak dosa.

"Benar juga katamu, Biru. Memang Jaka Ndableg masih mau memberi ampun, tapi Iblis Sedayu...? Kalian tahu sendiri bagaimana Iblis itu mengancam kita. Dan kalian pun tahu sendiri, betapa korbannya sungguh sangat mengerikan," Jalak Kuning menimpali. "Ah, sudahlah jangan kita membicarakan Iblis tersebut. Yang penting bagaimana Kita mendapatkan korban untuknya agar kita aman."

Kembali keenam Jalak Sakti itu berlari, kini mereka makin mempercepat larinya menuju ke kampung yang tampak tak begitu jauh dari tempatnya. Hujan terus menerpa, namun mereka tak hiraukannya. Dalam benak mereka hanya ada satu prinsip, mencari korban untuk mereka persembahkan kepada Iblis Sedayu.

Sungguh perasaan apa yang malam itu mendera Ki Perwira yang menjadi ketua kampung. Hati Ki Perwira menghentak dan mengajaknya untuk melek tak tidur. Hawa panas menyengat tubuhnya, sampai-sampai keringat deras bercucuran membasahi tubuh, padahal malam itu hujan turun. Ki Perwira mencoba menghibur diri dengan menghisap rokok kawungnya. Namun hatinya seketika makin bertambah gundah. Semakin asap rokok bergulung-gulung menyelimuti ruangan di mana dirinya termenung, semakin bertambah tak menentu saja degup jantungnya.

Apakah ini pertanda bahwa dia menderita penyakit jantung seperti orang-orang kaya jaman komputerisasi nanti? Atau barangkali karena seharian ia capai memikirkan nomor SDSB yang tak tembus-tembus seperti Bapak Subari? Entahlah, yang jelas bukan karena itu semua jantung Ki Perwira berdegup keras.

"Hem, ada gerangan apa lagi hingga jantungku berdegup memburu?" gumam Ki Perwira dalam kehehingannya sendirian. "Apakah bencana itu akan datang lagi? Oh, Yang Widi, sampai kapankah kami rakyat desa Slawi ini tenang tanpa banyak tantangan dan teror seperti sekarang ini? Dulu perampokan, kini penculikan gadis dan pengorbanan gadis di Jurang Gunung Kapur."

Ki Perwira terus merenung tak tahu apa sebenarnya yang telah menimpa desa yang diketuai olehnya. Ia tak habis pikir mengapa bencana demi bencana selalu menyelimuti desanya. Baru saja desanya aman dari penggarongan dan pencurian, kini timbul petaka baru yang lebih menakutkan yaitu penculikan dan pengorbanan para gadis di tepi jurang Gunung Kapur.

Ki Perwira sebenarnya ingin menghentikan semua kejadian yang selama ini menimpa desanya, namun mana ada keberaniannya menghadapi Iblis Penghuni Jurang Gunung Kapur yang telah terkenal telengas dengan segala macam tindakannya.

Tengah Ki Perwira tercenung dalam hening, tiba-tiba pintu rumah terdengar digedor dari luar. Mata Ki Perwira melotot, menghunjam pada pintu rumahnya. Ada sedikit rasa takut menyelimuti tatapan mata Ki Perwira, seorang lelaki tua renta yang masih mengabdi pada desanya. Bertahun-tahun hampir setengah abad ia menjadi kepala kampung, baru sekarang ini kampungnya direncah oleh orang-orang yang sangat biadab.

"Siapa...?" tanya Ki Perwira dengan suara berat. Dimatikan rokok kawungnya, matanya memandang tajam pada pintu yang masih digedor dari luar. Tak ada jawaban dari pertanyaannya. "Siapa yang malam-malam begini datang?"

"Ki Perwira, buka pintu," terdengar suara serak dibuat-buat berkata, menjadikan Ki Perwira makin mendera saja keringat dinginnya. Perlahan ia bangkit, tapi diurungkannya dan kembali duduk sepertinya tak mau perduli dengan orang yang menggedor pintu.

"Ki Perwira... bukakan pintu...." suara itu seperti merintih, makin menjadikan Ki Perwira tambah takut bukan alang kepalang dengan mata kini berurai air mata. Ya, Ki Perwira yang tua renta itu menangis ketakutan.

"Ooh... Bune, kenapa engkau mendahului aku, Bune? Kini aku sebatang kara Bune. Hu, hu, hu... Bune, mungkinkah engkau yang datang menyambut diriku yang telah renta ini? Kalau benar engkau maka aku pun akan menurut, Bune. Biarlah aku mati bersama dirimu, sebab aku tak tahan harus hidup begini. Hu, hu, hu..."

"Ki Perwira... Ki Perwira... Ki Perwira bukakan pintu !"

"Tidak...! Jangan ganggu aku!" pekik Ki Perwira ketakutan dan tersentak dari tangisnya. Matanya melotot, memandang penuh rasa takut ke arah pintu rumahnya yang terdengar berderek-derek didorong dari luar. "Jangan...! Jangan kau paksa aku. Jangan!"

Ki Perwira yang sudah ketakutan dengan puntang langkang lari ke dalam kamar. Saking takutnya hingga Ki Perwira tanpa sadar berlari serabutan, maka ketika dia melompat tak ayal kaki yang tinggal tulang kering itu menghantam kursi yang terbuat dari kayu jati. Tak ayal, Ki perwira pun terjerembab mencium tanah dengan tulang kaki terasa sakit yang bukan alang kepalang. Sesontak itu juga Ki Perwira pun menjerit:

"Aduh...! Bune, aku tersentak kursi... Bune, sakit, Bune." Ki Perwira kembali menggerung-gerung karena sakit yang tak alang kepalang di tulang kering kakinya. Namun seketika isak tangisnya berhenti manakala pintu dari luar terbuka dengan paksa. Sepontan Ki Perwira bangkit dengan mata melotot, lalu sepontan itu juga Ki Perwira lari dengan serabutan ke kamar seraya menjerit-jerit ketakutan:

"Wadauw demit, mengapa demit itu datang....! Hu, hu,hu...! Bune, tolonglah suamimu ini, Bune."

Ki Perwira sembunyikan kepalanya di bawah tikar tempatnya tidur dengan harapan demit yang datang tidak ia ketahui. Namun seketika Ki Perwira tersentak, manakala sebuah tangan merayap di kepalanya yang tertutup tikar itu. "Jangan...! Jangan ganggu aku...!"

"Ki Perwira... kenapa kau begitu, sayang...?" rintihan suara itu makin menjadikan Ki Perwira tak dapat lagi menahan ketakutannya. Manakala kepalanya mendongak, sepontanitas pingsanlah Ki Perwira dengan segala ketakutannya. Orang yang menakut-nakuti segera buka kedoknya, dan nampaklah siapa adanya orang-orang tersebut yang tidak lain Keenam Jalak Sakti. Keenam Jalak Sakti dengan sabar menunggui kesadaran Ki Perwira.

Lama juga Ki Perwira terbaring pingsan, namun keenam Jalak Sakti dengan sabar menungguinya. Sesaat kemudian Ki Perwira tampak menggeliat, rupanya ia kini telah siuman. Matanya yang telah tua membuka pelan dan memandang sekeliling.

"Di manakah aku? Apakah aku telah mati?" tanyanya seperti pada diri sendiri. "Hai, kaliankah...? Oh, rupanya aku banyak dosa hingga harus bertemu dengan kalian," keluhnya kemudian.

"Kau belum mati, Ki," Jalak Kuning berkata. "Kau masih hidup, kami menemukan dirimu dalam keadaan pingsan, sehingga kami yang tadinya hendak mencegah setan itu agar jangan mengganggumu telah terlambat. Benarkah engkau telah diganggu setan, Ki?"

Ki Perwira mencoba mengingat-ingat akan apa yang dialami olehnya. Setelah ingat, nampak Ki Perwira anggukkan kepalanya membenarkan apa yang menjadi pertanyaan Jalak Kuning. "Benar, tadi aku baru saja diganggu oleh sebuah hantu. Oh, untung ada kalian datang, kalau tidak...!"

"Kalau tidak, mungkin nyawamu bahkan nyawa warga desa ini akan menjadi tiada arti. Nah, Ki Perwira telah tahu sendiri. Hantu itulah yang menginginkan korban. Kalau Ki Perwira tak percaya, kami akan mengajak Ki Perwira dan segenap warga desa ini untuk melihat kebenarannya. Asalkan malam ini kami harus mendapatkan seorang korban wanita muda yang masih gadis," Jalak Biru berkata. "Sekarang tunjukkanlah pada kami di mana adanya gadis yang masih perawan?"

Ki Perwira kejapkan mata tuanya memandang sesaat bergantian seperti tak mempercayai kata-kata Jalak Biru yang dikenalnya sebagai garong yang telah menjarah desanya beberapa waktu yang lalu. "Untuk apa...?" tanyanya kemudian.

"Ki Perwira, bukankah telah kami katakan bahwa gadis itu, yaitu gadis yang masih suci untuk korban hantu yang telah tadi mengganggu Ki Perwira? Kalau permintaannya tak dipenuhi, sungguh petakalah bagi warga desa ini," Jalak Ungu kini yang ngomong.

"Kalian tidak mendusta?"

"Untuk apa?" Jalak Coklat mencoba meyakinkan. "Kalau kami berdusta, toh kami biarkan saja hantu itu menteror desa ini. Bukankah kami tak rugi? Kami hanya ingin menolong warga desa ini dari bencana, Ki Perwira. Memang dulu kami oleh kalian terkenal orang-orang yang menyusahkan kalian, untuk itulah, sekarang kami ingin membantu kalian dari bencana."

Kembali Ki Perwira tercenung diam, sepertinya dia tengah memikirkan segalanya. Ya, memang segalanya harus dipikirkan masak-masak untung ruginya. Kalaulah memang benar ucapan keenam Jalak Sakti, tapi bila tidak! Jelas dirinyalah yang akan mendapat kecaman dari warganya atau barangkali dirinyalah yang akan menjadi korban amukan warga desanya.

"Baiklah, mari kita temui warga yang lain," ucap Ki Perwira kemudian. "Memang aku sebagai ketua desa di sini, namun untuk menentukan segalanya aku perlu mengadakan pembicaraan dengan warga desanya."

"Tak apa, Ki," jawab Jalak Kuning. "Memang kami pun menghendaki demikian. Kami pun tak ingin warga desa ini terus menerus menuduh kami dalam keburukan belaka. Kami pun ingin agar warga desa Slawi ini melihat bahwa kami ingin berbuat baik kepada mereka."

"Kalau begitu, marilah kita menemui para penduduk lainnya. Bukankah malam telah makin larut? Aku takut Iblis itu tak sabar..."

Bergidik seketika kelima Jalak Sakti lainnya demi mendengar Jalak Coklat berkata. Ya, mereka tahu kalau mereka terlambat memberikan korban maka diri merekalah yang akan menjadi korbannya. Sedangkan waktu yang ditentukan oleh Iblis Sedayu hanya sampai waktu dini hari.

"Ayo, Ki...!" Jalak Kuning mengajak, nampak di wajahnya ketakutan mendera. "Kita jangan sampai terlambat."

Ki Perwira dengan rasa tak mengerti segera menuruti apa yang dikehendaki oleh keenam Jalak Sakti. Ia pun sepertinya tak ingin korban makin banyak hanya karena tidak mau memberikan korban seorang pun pada Iblis Penguasa Jurang Gunung Kapur. Ketujuh orang itu pun segera keluar dari rumah Ki Perwira.

********************

Hujan masih turun rintik-rintik, manakala ketujuh orang tersebut melangkahkan kaki menerobos hujan untuk mendatangi rumah-rumah penduduk. Satu persatu para penduduk keluar untuk menghadiri apa yang hendak dikatakan dan dilakukan oleh Kepala Desanya dengan keenam Jalak Sakti. Tak lama kemudian telah banyak penduduk yang keluar rumah. Mereka berkumpul di sebuah lapangan, mengelilingi Ki Perwira dan keenam Jalak Sakti yang berdiri di tengah.

"Ada apakah hingga Ki Perwira mengundang kami?"

"Tenang saudara-saudara. Kami mengundang kalian semata-mata ingin supaya desa kita aman. Bukankah kalian tidak menghendaki teror dan penculikan-penculikan berlarut-larut?!" tanya Ki Perwira mencoba menenangkan rakyatnya yang tampak sudah tak sabaran.

"Memang hal itu yang kami inginkan! Tapi untuk apa kami mesti menuruti apa yang dikatakan oleh bekas garong?!" seseorang yang agak berani menyeru. Nadanya seperti tak suka pada keenam Jalak Sakti yang sudah dikenal oleh mereka sebagai orang-orang yang telah membuat keonaran dan kejahatan di desa mereka. "Kami takut malah mereka akan memperdaya kita, Ki?!"

Keenam Jalak Sakti nampak tenang tidak seperti biasanya. Memang mereka sengaja berbuat demikian dengan maksud supaya seluruh warga desa Slawi mempercayai mereka. Mereka yang biasanya telengas dan cepat marah, kini bagaikan tak menghiraukannya. Malah dengan suara tenang Jalak Kuning selaku Jalak tertua dari Jalak Sakti berkata:

"Memang dulu kami menjadi orang jahat. Tapi apakah kami tak boleh untuk berbuat baik pada orang-orang yang telah kami jahati? Kami ingin membantu menolong kalian dari bencana besar yang sewaktu-waktu akan mengganas di desa ini. Kami juga mengajak kalian untuk melihat dengan mata kalian sendiri apa sebenarnya yang selama ini telah meminta korban kalian, manusia. Nah, malam ini kami ingin mengajak kalian semua untuk menemani kami ke tempat di mana Iblis itu berada. Kami hanya perantara agar kalian tidak selalu mendera kami dengan tuduhan-tuduhan yang sungguh kami tidak melaksanakannya. Maka kami minta malam ini juga sediakan korban seorang wanita."

Terjengah seketika semuanya demi mendengar ucapan Jalak Kuning. Hati mereka masih ditandai dengan seribu satu macam pertanyaan, yang tak mudah mereka lupakan adalah tindakan Jalak Sakti pada dua bulan yang lalu. Tindakan mereka sungguh menjadikan dendam yang mendalam, yang tergurat bagaikan sebuah catatan terpahat di hati mereka.

Tapi malam itu mereka benar-benar bagaikan di tengah-tengah perasaan lain. Perasaan untuk tidak mempercayai ucapan Jalak Sakti, atau mempercayai dengan harapan dapat terlepas dari bencana yang bakal menimpa.

Melihat semuanya terdiam tiada seorang pun berkata, kembali Jalak Kuning meneruskan bicara: "Dengan kalian menjadi pengikut Penguasa Jurang Gunung Kapur, maka kalian akan tenang. Rejeki kalian juga akan banyak berdatangan."

"Apakah kalian tak mendusta?!" tanya seorang dari warga yang rupanya tertarik juga dengan ucapan Jalak Kuning.

"Benar! Apakah kalian tak mendusta?" yang lainnya ikut bertanya.

"Tidak! Sekali lagi kami tidak mendusta. Nah, kalau kalian tak percaya, kami malam ini mengajak kalian untuk ikut bersama kami menuju ke Jurang Gunung Kapur untuk menemui Penguasanya."

Rupanya setan lebih berpengaruh di hati orang-orang yang memang diliputi oleh rasa takut dan kurang percaya diri. Ya, begitulah janji setan, ia akan mengajak umat manusia dengan jalan membuat manusia takut dan mempercayai apa yang sebenarnya belum berarti dibandingkan azab dari Tuhan.

Malam itu juga setelah mereka memaksa salah seorang gadis warga desanya mereka segera berangkat menuju ke Jurang Gunung Kapur. Malam itu mereka benar-benar telah menjadi hamba Iblis, yang menuruti apa yang dikehendaki oleh Iblis.

********************

Hujan masih turun, kali ini malah makin deras, sepertinya menangisi atas segala perbuatan mereka yang hendak mengorbankan gadis yang tak berdosa. Juga hujan itu seperti menangisi keingkaran mereka pada Yang Mencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Orang-orang itu sepertinya tak perduli pada hujan, tak perduli pada malam yang gelap. Mereka terus melangkah, memapaki kaki mereka yang berjalan dengan terseret menuju ke Jurang Gunung Kapur.

Semakin langkah mereka mendekati Jurang Gunung Kapur, hawa dingin terasa makin mengiris pada tubuh mereka. Hawa dingin itu makin bertambah, manakala mereka makin terus mendekati jurang tersebut. Mereka tak ada yang berkata-kata, bisu seribu kata. Hati mereka begitu tercekam, rasa takut menggayut dan menyelimuti tatapan mata mereka yang kosong bagaikan tak bersemangat.

Keenam Jalak Sakti berjalan di muka dengan gadis calon korban berada di mukanya. Seperti orang-orang yang mengikuti di belakang, di wajah keenam Jalak Sakti pun terbersit ketakutan yang teramat sangat manakala kaki mereka makin mendekat ke tepi jurang. Tengah kesemuanya tercekam diam, tiba-tiba dari dasar jurang mencelat sesosok tubuh berkelebat naik dengan gelak tawa bagaikan orang bungah dan tiba-tiba telah berdiri di depan menghadang mereka.

"Hua, ha, ha...! Bagus! Bagus! Rupanya kalian telah menjalankan apa yang telah aku tugaskan pada kalian dengan baik," Orang yang bertubuh amburadul tak karuan tersebut makin mendekat. Sorot matanya menyala, seperti bara api yang mampu menerangi keadaan di sekitar itu.

Maka tampaklah oleh orang-orang yang ada di situ bentuk sebenarnya mahluk yang kini menghadapi mereka. Seketika semua yang berada di situ terjengah. Di wajah kesemuanya tampak ketakutan, mereka hendak lari manakala dirasakan lutut mereka goyah. Tubuh mereka gemetaran, tak kuat menahan beban tubuh. Maka tanpa ayal lagi, mereka pun akhirnya menggeleprak dengan lemah, sementara dari milik mereka deras mengucur cairan yang baunya bukan alang kepalang.

"Ini yang kami bawa, Raja," Jalak Kuning berkata. "Semoga baginda Raja Penguasa Jurang Gunung Kapur sekaligus penguasa para Iblis berkenan menerimanya,"

"Hua, ha, ha...! Bagus! Bagus!" Renggana atau Iblis Sedayu Mukti kembali bergelak. "Nah, kalian pergilah, aku akan menyantap dulu darah gadis ini. Eh tunggu...!" serunya manakala keenam Jalak Sakti hendak melangkah meninggalkannya.

"Adakah kesalahan kami, Paduka?" tanya Jalak Kuning seraya hentikan langkahnya. "Kalau memang ada, kami mohon ampun."

"Kalian tidak salah. Hem, Jalak Kuning, siapakah mereka adanya yang kalian bawa ke mari?"

"Mereka adalah pengikut-pengikut baginda yang Mulia."

"Bagus,, bagus!" Renggana nampak kegirangan, sehingga matanya tampak berbinar-binar. "Kalian semua, kalau kalian menurut padaku, maka kalian akan tentram dan aman serta akan aku bantu rejekinya. Asal kalian setiap malam Jum'at harus memberiku darah wanita muda. Mengerti kalian?"

"Da... daulat, Baginda...!" jawab mereka masih penuh ketakutan dan dengan tubuh masih menggigil menggejuprak di atas batu kapur. Mereka tak ada yang berani lagi memandang ke mahluk tersebut setelah mereka tahu ujud dari mahluk itu. Ujud yang menyeramkan, yang mampu mendirikan bulu kuduk bagi yang melihatnya.

"Nah, bila kalian mengikuti apa kataku, maka kalian akan tentram murah rejeki dan panjang usia. Tapi bila kalian ingkar, maka aku tak akan segan-segan mencabut nyawa kalian dan menghisapnya seperti gadis ini..."

Bergidik semua orang yang berada di situ, manakala melihat mahluk menyeramkan itu menunjukkan gigi-giginya yang runcing dan tajam. Gigi-gigi itu langsung menghunjam di leher gadis yang masih pingsan akibat ketakutan.

"Aah...!" sesaat gadis itu memekik, kelojotan bagaikan tak rela darahnya terhisap lalu lemas terkulai.

Mata mereka yang ada di situ seketika memejam, ngeri dan tak kuasa untuk melihat hal tersebut. Mahluk menyeramkan itu sesaat menyeringai, lalu dengan mulut masih belepotan darah ia berkata:

"Nah, mulai sekarang kalian harus menurut denganku. Kalian harus setia padaku, sebab aku akan memberikan pada kalian segala apa yang kalian inginkan!"

Setelah berkata begitu, tanpa hiraukan orang-orang yang masih terlolong-lolong bengong Renggana segera berkelebat pergi turun ke dalam jurang. Mereka seketika membelalakkan mata, seakan baru saja sadar dari pengaruh sihir.

Dengan langkah gontai mereka pun melangkah kembali pulang, meninggalkan Jurang Gunung Kapur yang kembali sunyi senyap dengan sejuta misteri, meninggalkan sesosok tubuh yang terkulai tanpa nyawa. Tubuh seorang gadis yang tak mengetahui apa sebabnya ia dijadikan korban untuk iblis.

********************

EMPAT

Bila dilihat dari kejauhan Gunung Sumbing nampak begitu sepi bagaikan tak ada penghuninya. Sepi dan tenang, terbalut oleh kabut yang bergulung-gulung, menyelimuti puncaknya yang menjulang ke angkasa. Biru, laksana ketenangan yang abadi akan bertengger di sana. Memang ketenangan itu jelas nampak di Gunung Sumbing, di mana Eyang Dewa Ilmu tinggal. Eyang Dewa Ilmu adalah guru dari Senggara dan Renggana.

Eyang Dewa Ilmu merupakan tokoh persilatan yang wataknya angin-anginan. Ia tak akan mau ambil perduli dengan segala apa yang terjadi bila bukan atas keinginannya, tapi ia akan begitu ngotot bila itu merupakan yang sesuai dengan apa yang ada di hatinya. Seperti hari itu, nampak Eyang Dewa Ilmu tengah duduk bersila. Di hadapannya duduk pula dengan bersila salah seorang muridnya yaitu Senggara atau si Cobra Merah.

"Senggara, ketahuilah olehmu bahwa Renggana itu kini bukanlah kakak seperguruanmu lagi. Dia kini telah mengumbar nafsu Iblisnya yang sungguh-sungguh harus dihentikan. Dia yang kini bersekutu dengan Iblis Sedayu telah membuat keresahan dengan mengambil korban setiap malam Jum'at."

Senggara terkejut kaget demi mendengar penuturan gurunya. Ia kaget bukan kepalang, ia kaget karena merasa yakin kalau kakak seperguruannya telah mati manakala terhantam oleh ajian yang dilontarkan oleh Jaka Ndableg. Mana mungkin dapat hidup kembali? Sungguh tidak masuk di akal kedengarannya. Dan hal itulah yang akhirnya ditanyakan oleh Senggara pada gurunya.

"Tapi guru, bukankah Renggana telah mati manakala jatuh ke dalam jurang tatkala dihantam oleh ajian Tapak Banana manakala kami bertarung?"

Sang guru tersenyum, seakan pertanyaan muridnya lucu. Begitulah sifat Eyang Dewa Ilmu, aneh dan tak dapat dimengerti oleh siapa pun. "Kau harus tahu, Iblis tak akan mati selama bertarung dengan manusia. Iblis akan mati bila harus bertarung dengan sebangsanya yang tercipta dari api atau cahaya. Dia akan dapat mati bila ia bertarung dengan Siluman atau Malaikat. Tapi Malaikat sudah diutus oleh Tuhan untuk tidak mengganggu Iblis, sampai akhir jaman nantinya. Maka hanya ada satu yang kita harapkan, yaitu Jin atau Siluman."

Eyang Dewa Ilmu menarik napas sesaat, lalu kembali berkata menuturi muridnya yang masih nampak terdiam tundukkan kepalanya: "Dia tidak mati. Yang mati adalah jasad Renggana, sementara sukma Renggana dan sukma Iblis itu masih hidup. Jadi biarpun jasad Renggana telah hancur mengerikan, Renggana tetap saja hidup karena pengaruh sukmanya."

"Lalu apa yang harus murid lakukan, Guru?"

Eyang Dewa Ilmu kembali mendesah panjang dan berat, sepertinya ada sesuatu yang sangat berat menimpa pikiran dan perasaannya. Ia menyadari sebagai seorang tokoh persilatan harus turun tangan menyelesaikan kemelut yang melanda kehidupan. Tapi ia tak dapat berbuat apa-apa, sebab tubuhnya telah lemah tak dapat untuk menjalankan segala apa yang diinginkannya.

Dia hanya berharap muridnya saja yang mampu melaksanakannya. Tapi murid-muridnya kini telah jauhjauh, mengabdi pada kerajaan-kerajaan, di mana dulu mereka dilahirkan. Tinggallah kini murid yang paling akhir Senggara atau yang sering dijuluki Anak Dewa. Namun Eyang Dewa Ilmu tak dapat memastikan kalau muridnya ini pun akan mampu menandingi Renggana yang sudah bersekutu dengan iblis.

"Senggara..."

"Saya, Guru," jawab Senggara masih menunduk kepala.

"Sebagai seorang manusia, memang kita dituntut untuk menghentikan sepak terjangnya. Tapi sudah saya katakan tadi, bahwa mereka tak akan dapat mati kalau bukan dari kehendak Yang Maha Kuasa atau mahluk sejenisnya."

"Bagaimana dengan Pendekar Pedang Siluman Darah, Guru?"

Eyang Dewa Ilmu kembali terdiam ditanya oleh muridnya. Mata tuanya memandang pada sang murid dengan bersinar-sinar, sepertinya menemukan sesuatu yang dapat membuka jalan. Kepalanya mengangguk-angguk, lalu katanya kemudian: "Hem, kau kenal dengannya, Senggara? Dia adalah seorang pendekar yang mumpuni dan memiliki ilmu-ilmu siluman. Kau kenal dengannya di mana, Senggara?"

"Dialah yang bernama Jaka Ndableg, Guru," jawab Senggara.

"Oh, jadi diakah yang memiliki ajian Tapak Bahana itu?"

"Benar, Guru..."

"Dan kabarnya ia memiliki sebuah senjata berupa pedang yang mampu mengeluarkan darah bila berhadapan dengan musuh. Pedang tersebut juga kabarnya bersinar kuning kemerahan?"

"Begitulah yang murid ketahui, Guru."

"Hem...." Eyang Dewa Ilmu kembali angguk-anggukan kepala, sepertinya mengerti apa yang dikatakan oleh muridnya. "Mungkin hanya dia yang mampu mengalahkannya."

"Kenapa guru yakin?"

"Menurut pengetahuan mata batinku, dia adalah murid angkat siluman yang sangat sakti yang tak dapat ditandingi ilmunya oleh mahluk apapun juga,"

Eyang Dewa Ilmu menerangkan, menjadikan Senggara terdiam mengerti. Kini ia makin kagum dan simpati dengan temannya Jaka Ndableg. Tidak disangka kalau anak semuda itu telah memiliki ilmu yang begitu tinggi, juga mempunyai guru angkat siluman yang sangat ditakuti oleh mahluk halus lainnya yaitu Siluman Darah.

"Siluman Darah. Ya, dia adalah anak angkat sekaligus murid angkat Siluman Darah, seorang siluman yang sangat sakti mandraguna dan memiliki segala ilmu yang tidak dimiliki oleh para lelembut lainnya. Para prajuritnya saja sangat sakti, apalagi Ratunya?" Eyang Dewa Ilmu bergumam sendiri, seakan ia tengah merenungi keberadaan Ratu Siluman Darah. Memang mata batinnya yang sudah sidik dalam segala hal telah mengetahui alam gaib di mana para siluman berada.

"Lalu bagaimana menurut pendapat guru?" tanya Senggara menyentakkan lamunan gurunya yang telah melayang pada kejadian-kejadian di alam keramaian, di mana seorang pendekar muda yang bergelar Pendekar Pedang Siluman Darah sebagai pelakunya. Pendekar yang disegani baik kawan maupun lawan. Pendekar yang banyak teman tapi tak sedikit musuhnya yang berusaha menghancurkannya.

"Sungguh dia merupakan seorang yang tabah. Dia banyak kawan, tetapi dia juga banyak lawan-lawannya yang benci dan sirik dan bermaksud menjatuhkannya," Eyang Dewa Ilmu kembali bergumam, tak hiraukan pertanyaan muridnya.

"Siapa yang guru maksudkan?"

"Temanmu itu yang bernama Jaka Ndableg..."

Keduanya kembali hening, seakan keduanya tengah meresapi apa yang telah terjadi pada sisi kehidupan di mana Jaka Ndableg seorang pemuda harus bersusah payah untuk memerangi segala kemungkaran sendirian tanpa ada yang membantu. Ia juga harus menghadapi orang-orang yang tidak menyukainya, walau banyak sekali teman-temannya. Ia juga harus bergulat dalam dua jalan untuk menjadikan gadis-gadis yang menyintainya tidak menaruh dendam cinta pada dirinya.

"Guru, kalau memang itu jalan satu-satunya, maka aku akan mencari Jaka atau aku akan berusaha untuk sementara mencegah tindakan Iblis tersebut. Saya hanya minta do'a dari guru."

"Ya, kalau memang itu yang hendak engkau lakukan aku hanya dapat mengiringimu dengan do'a. Hati-hatilah dalam menghadapi Iblis tersebut. Dia tak kenal siapa adanya dirimu, sebab dia kini bukanlah kakakmu. Dia kini adalah musuhmu yang sangat mendendam pada dirimu juga diri temanmu, Jaka Ndableg atas segala yang pernah kalian lakukan terhadapnya. Aku juga akan membantumu dari kejauhan, dan akan berusaha mencari Jaka Ndableg."

Terhanyut Senggara mendengar penuturan gurunya. Ia tak terasa melelehkan air bening. Ya, Senggara kini menangis, terharu bukan sedih. Ia begitu terharu dengan segala petuah gurunya. Ia juga terharu dengan sahabatnya Jaka Ndableg, yang walau masih muda tapi beban yang dipikulnya sungguh bukan ringan.

"Baiklah, Guru. Saya mohon pamit..."

"Ya, hati-hatilah. Ingat olehmu, Tuhan akan selalu bersamamu bila kau selalu dalam kebenaran. Dan Tuhan akan selalu di pihakmu." Diusapnya dengan lembut rambut Senggara.

Senggara tak menyadari bahwa gurunya secara diam-diam telah menyalurkan sebuah ilmu yang menjadi rahasianya tanpa sepengetahuan murid-murid yang lain pada dirinya. Hingga ketika gurunya tiba-tiba menggeletak pingsan, Senggara tersentak kaget bukan alang kepalang.

"Guru...! Guru...! Kenapa kau, Guru!" Tengah Senggara meratapi gurunya yang tiba-tiba pingsan, terdengar suara gurunya menggema dalam goa itu berkata padanya:

"Senggara anakku, aku hanya mati suri. Aku telah membekali dirimu dengan ilmu yang tidak seorang kakak-kakak seperguruanmu yang tahu. Ilmu itu bernama aji Jati Diri, yaitu sebuah ajian yang dapat menangkal Iblis. Bila memang Renggana hendak membunuhmu, maka kau tak akan dapat mati olehnya. Kalau kau nanti kalah olehnya, maka tak akan dia mampu membunuhmu. Aku tahu bahwa Renggana memang kini bukan tandinganmu juga tandingan diriku, tapi dengan ilmu tersebut kau mampu menangkal dari kematian yang bukan atas kehendak Allah. Nah, berangkatlah. Gunakan ilmu yang engkau miliki untuk kebenaran, jangan seperti kakakmu yang telah durhaka pada Tuhannya."

"Terimakasih, Guru..." Senggara segera menyembah, lalu dengan terlebih dahulu membetulkan letak tidur gurunya, Senggara pun kemudian berangkat untuk menuju ke Jurang Gunung Kapur.

Dengan menggunakan ilmu larinya, Senggara terus melesat dari wilayah Kulon menuju ke wilayah Wetan. Senggara harus menempuh puluhan hari perjalanan untuk dapat sampai ke tempat yang dituju. Dengan tekad untuk dapat menghentikan sepak terjang Iblis Sedayu tak dihiraukannya kaki yang untuk berlari telah begitu letih.

Hari telah beranjak sore, manakala Senggara sampai di perbatasan wilayah Kulon dengan wilayah Wetan. Tiga hari telah ia lalui dengan cepat, tanpa mengenal lelah Senggara terus menyusuri jalan pegunungan. Sore itu Senggara sampai di daerah Cirebon, di mana mau tidak mau Senggara harus beristirahat untuk melepas segala kepenatan. Dicarinya sebuah penginapan, yang sekaligus mempunyai kedai karena perutnya telah begitu laparnya.

Tak begitu lama Senggara mencari sebuah penginapan, ia pun akhirnya menemukannya. Sebuah penginapan yang memiliki kedai sendiri. Tanpa banyak pikir lagi Senggara pun segera memesan sebuah kamar.

"Masih adakah kamar yang tersisa?" tanya Senggara pada pemilik kedai yang telah ditemuinya.

"Wah, sudah disewa semua," jawab pemilik penginapan dengan nada menyesal, menjadikan Senggara kerutkan kening. "Baru saja orang-orang itu datang menyewanya. Orangnya sih cuma ada lima tapi mereka minta agar kamar yang lainnya tidak boleh disewakan. Mereka nampaknya orang galak, Tuan," bisik pemilik penginapan dengan takut-takut.

"Hem, apakah di belakang tak ada tempat kosong?"

"Ada, Tuan. Apakah tuan mau?" pemilik penginapan balik bertanya, yang dengan segera dipelototi oleh Senggara.

"Bukan untukku, tapi untuk tamu-tamumu..."

"Bangsat! Siapa yang berani lancang pada kami!" tiba-tiba terdengar suara membentak dari dalam kamar yang letaknya berdekatan dengan Senggara dan pemilik kedai yang nampak ketakutan dengan wajah pucat pasi berbicara: "Siapa anjing busuk itu, Kempo? Apakah kau tak dapat mengusir anjing kurapan yang menjijikkan itu!"

"Siapa dia adanya, Pak?" tanya Senggara.

"A... anu, Tuan.... Sudahlah, tuan jangan hiraukan. Sekarang tuan pergilah dan carilah penginapan lain. Mereka bukan orang baik-baik. Mereka orang jahat," Kempo kembali berbisik, yang hanya disenyumi oleh Senggara.

"Hai, para kuntilanak yang berada di dalam, kalau kalian ingin mengusirku keluarlah. Aku jadi ingin melihat tampang-tampang kalian. Kayaknya kalian bertampang buruk saja, sehingga kalian terlalu takut kalau muka kalian diketahui oleh orang lain, ya!" Senggara berteriak-teriak bagaikan di hutan. Memang sengaja ia berbuat begitu, dengan harapan kelima wanita yang berada di dalam kamar mau menunjukkan muka-muka mereka.

Dan memang benar, kelima wanita yang ternyata cantik-cantik dan muda itu berkelebat keluar menemui Senggara. Kelima wanita muda itu seketika terkesiap, manakala menyaksikan siapa adanya yang telah berkata lancang. Tadinya mereka menyangka orang yang bertampang jelek, atau gembel yang tak tahu diri. Tapi nyatanya seorang lelaki tampan dengan sorot mata tajam menghunjam yang mereka temui, sehingga kelima Gadis Liar itu seketika cengengesan sendiri.

"Kaukah orangnya?" tanya Gadis Liar yang berpakaian seronok warna orange dengan senyum genit memikat. Matanya mengedip pada Senggara yang nampak hanya balas senyum hambar.

"Ya, aku orangnya. Masihkah kalian hendak melarang aku ikut nginap di sini?"

"Oh, jelas tidak. Malah kami sangat suka kau mau nginap di sini, apalagi bila..." Gadis Liar berbaju orange tak meneruskan ucapannya. Ia tampak menggeliat manja, menjadikan Senggara hanya gelengkan kepala.

"Jadi kalian mengijinkan aku nginap di sini?"

"Ya, asalkan kau mau tidur dengan kami," kembali gadis berpakaian orange berkata. "Bukan begitu adik-adikku?"

Keempat Gadis Liar lainnya mengangguk sambil lemparkan senyumnya yang memikat ke arah Senggara. Senggara tak hiraukan ucapan mereka, dan dengan segera berlalu masuk ke dalam salah satu kamar. Hal itu menjadikan kelima Gadis Liar tersebut marah. Mereka seperti dianggap angin saja oleh Senggara.

Tanpa dapat dicegah, kemarahan mereka pun seketika meledak. Dengan menggeram keras kelimanya segera memburu dan hendak mencengkeram Senggara. Senggara tanpa menoleh segera kibaskan tangannya. Tanpa ampun, kelima Gadis Liar itu mental terhantam angin pukulan yang dilontarkan oleh Senggara.

"Brak!"

Pintu kamar itu ditutupnya, lalu dengan tak hiraukan caci maki kelima Gadis Liar Senggara langsung rebahkan tubuhnya untuk melepas lelah. "Macam-macam saja kehidupan," desisnya seraya gelengkan kepala demi mengingat kejadian yang baru saja terjadi.

Sementara caci maki kelima Gadis Liar itu masih menggema, namun nampaknya kelima gadis itu tak berani menerobos masuk. Mungkin mereka menyadari bahwa ilmu mereka belum seberapa bila dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki oleh Senggara.

"Siapa adanya engkau hai manusia sombong!" geretak gadis baju orange. "Katakan siapa adanya kau, biar kami nanti dapat membalas perlakuanmu malam ini!"

"Kenapa mesti menunggu nanti? Kalau kalian ingin melakukan pembalasan karena kalian tak senang padaku, lakukanlah! Aku Senggara atau Cobra Merah atau Datuk Putih! Nah, kalian dengar!"

Tersentak kelima gadis-gadis itu demi mendengar nama orang yang telah membuat mereka kecewa. "Pantas..." gumam mereka bareng dengan penuh kelesuan, seorang tokoh silat dari Kulon yang ilmunya bukan alang kepalang.

Dengan wajah lesu dan tak berani berkoar lagi, kelimanya segera masuk ke kamar masing-masing dan menutup pintu. Tinggallah pemilik penginapan yang bengong melihat tingkah laku kelimanya sembari gelengkan kepala.

********************

LIMA

Malam telah larut, ketika nampak enam orang berjalan dengan langkah cepat menuju ke desa Slawi. Wajah keenam orang itu nampak kuyu, sepertinya keenam orang tersebut memendam ketakutan yang teramat sangat. Langkahlangkah mereka jelas merupakan langkahlangkah yang memburu waktu. Keenam orang tersebut tak lain Jalak Sakti adanya. Mereka bergerak begitu terburu-buru karena mereka kini dalam kecemasan karena hari telah begitu larut malam.

"Inilah akibat engkau menyepelekan waktu!" Jalak Kuning ngedumel yang ditujukan kepada adiknya Jalak Ungu. Memang Jalak Ungu yang masih muda tersebut telah membuang-buang waktu dengan bermesra ria bersama wanita-wanita penghibur.

"Lagi pula, apa kau tidak takut terkena penyakit kelamin kalau saban hari main melulu, Ungu!" timpal Jalak Merah.

"Bagaimana kalau kita terlambat memberikan korban?" tanya Jalak Hitam seakan pada diri sendiri. "Bukankah kita yang akan mendapat murka sang Raja Iblis?"

"Ah, sudahlah. Kini aku mengakui salah, yang penting sekarang kita harus cepat-cepat agar kita tak terlambat. Mungkin orang-orang desa telah menanti kedatangan kita." Jalak Ungu yang merasa disudutkan dengan segala tetek bengek kesalahan segera mencoba mengalihkan pembicaraan. Kembali mereka melangkah dengan bisu, hampir dapat dikatakan mereka itu lari. Ya, mereka nampak berlari-lari dengan harapan dapat mengejar waktu yang tinggal beberapa jam lagi.

Bulan bersinar dengan terangnya, menjadikan bayang-bayang mereka seperti bayang-bayang hantu yang panjang bergerak-gerak seirama dengan gerakan lari mereka. Sesosok tubuh dengan mata tajam terus mengawasi mereka dari jarak yang agak jauh. Tubuh orang itu sesekali berkelebat, lalu berhenti manakala jarak antara-nya dengan keenam Jalak Sakti agak dekatan.

"Apa yang akan mereka lakukan?" tanya orang tersebut pada dirinya sendiri. "Sepertinya mereka adalah Jalak Sakti. Ya, mereka tak lain Jalak Sakti adanya. Hem, rupanya mereka tak kapok-kapok dengan apa yang telah mereka terima. Tapi biarlah apa yang akan mereka lakukan, biar aku awasi dulu mereka." Tubuh lelaki muda yang ternyata Jaka Ndableg adanya perlahan-lahan melangkah meng-ikuti langkah-langkah keenam Jalak Sakti yang terus menuju ke desa tanpa hiraukan bahwa mereka ada yang menguntitnya.

"Dengar, nampaknya orang-orang desa sudah tak sabar menunggu kedatangan kita," yang berkata Jalak Kuning.

"Ya, mari kita percepat langkah kita," Jalak Merah menimpali.

Dengan segera keenam Jalak Sakti pun seketika melesat berlari dengan ilmu lari yang mereka miliki. Maka tak lama kemudian mereka pun telah sampai di tempat yang seperti biasanya mereka gunakan untuk pertemuan.

"Maaf saudara-saudara kami terlambat," Jalak Kuning segera membuka kata meminta maaf karena kedatangan mereka yang terlambat. "Semoga kalian semua mau memakluminya. Nah, apakah sekarang kita akan langsung menuju ke sana? Sudahkah ada korban yang telah kalian persiapkan?!"

"Sudah! Kami sudah mempersiapkannya. Bukankah setelah kami menjadi pengikut Penguasa Jurang Gunung Kapur hidup kami makin tentram? Kami juga merasakan rejeki kami makin bertambah!" seseorang di antara penduduk berkata. "Maka sebagai ungkapan rasa terima kasih dan rasa kesetiaan kami, kami setiap malam Jum'at telah merelakan korban. Dan yang menjadi korban pun kini mau merelakan tubuhnya untuk menjadi santapan Raja Agung!"

"He, apa pula dengan mereka?" gumam Jaka demi mendengar disebut-sebut oleh mereka korban. "Apa yang sebenarnya yang dijadikan korban? Lalu pada siapa korban itu diberikan? Sungguh merupakan teka teki..."

Jaka segera menyelinap bersembunyi, manakala dilihatnya orang-orang tersebut berjalan melewati tempat yang ada dirinya. Lebih kaget Jaka manakala melihat seorang gadis dengan tatapan mata hampa berjalan di depan mereka yang lelaki semua. Tubuh-tubuh mereka menggunakan tudung tinggi, menutupi kepala dan hanya muka mereka yang tak tertutup. Mereka berjalan laksana robot, tiada berpaling-paling sedikit pun, lurus tanpa suara yang keluar dari mulut mereka.

"Apa yang sesungguhnya telah terjadi di desa ini? Sepertinya mereka memang hendak mengorbankan gadis itu. Pada siapa gadis itu hendak mereka korbankan? Baiklah, aku akan mengikuti mereka..."

Jaka segera melangkah perlahan menjaga jarak di belakang mereka yang terus berjalan dengan kebisuan. Langkah mereka bagaikan sudah teratur rapi, tak seorang pun mereka berjalan serabutan. Sebenarnya mereka bukannya membisu, namun rasa tercekam karena takut telah berhasil mempengaruhi mereka untuk diam seribu kata. Pandangan mereka pun seperti diperintahkan oleh sesuatu kekuatan, sehingga pandangan mata mereka hanya lurus ke muka itu pun pandangan kosong tanpa gairah. Wajah mereka walau malam, nampak pucat, putih seperti tak berdarah setetes pun.

Orang-orang itu terus melangkah, makin lama makin jauh meninggalkan kampung dan terus berjalan menuju ke Selatan di mana Gunung Kapur menjulang tinggi. Warnanya yang putih, memantulkan sinar rembulan, menjadikan bias yang indah. Namun bila tahu apa sebenarnya yang terkandung di sana, kita akan melupakan keindahan warna tersebut.

Jaka Ndableg yang terus mengikuti langkah mereka seketika tercengang manakala melihat bahwa mereka berjalan menuju ke Gunung Kapur. Ingatan Jaka kembali melayang pada kejadian lima bulan yang lalu di mana ia telah menjatuhkan seorang tokoh persekutuan Iblis Renggana ke dalam jurang.

"Mungkinkah mereka menuju ke jurang tersebut?" Jaka bertanya pada diri sendiri. Ia belum percaya bahwa orang-orang tersebut hendak menuju ke jurang tersebut. "Memang aku mendengar sejak kematian Renggana tempat ini terkenal angker. Kabarnya ada pernah seorang musyafir menjadi korban di tempat ini. Hem, apakah semua itu cerita benar bukan cerita isapan jempol belaka? Kalau memang benar adanya, jadi Renggana tidak mati. Ah, lebih baik aku ikuti mereka saja."

Dengan melesat cepat Jaka segera menguntit mereka di belakang. Perlahan-lahan Jaka melangkah, lalu bersembunyi di balik pepohonan yang ada di sekitar tempat itu manakala mereka menengok ke arahnya.

Orang-orang itu terus melangkah menghampiri pinggir jurang. Dan mereka hentikan langkah manakala mereka benar-benar telah berada di sisi jurang. Sementara gadis yang diam tanpa kata dengan wajah pucat pasi itu mereka dirikan di pinggir jurang. Mereka terdiam tanpa kata, tundukkan kepala seperti mengheningkan cipta. Keenam Jalak Sakti duduk menyiku di deretan paling muka, di belakang gadis yang berdiri mematung tanpa ada reaksi. Tiba-tiba dari mulut orang-orang tersebut keluar lantunan lagu-lagu pujian yang entah ditujukan pada siapa.

Jaka kerutkan kening demi mendengar nyanyian yang tampaknya sudah diatur sedemikian rupa. Sambil nyanyi-nyanyi, nampak tubuh mereka meliuk-liuk. Semakin keras alunan lagu, semakin kencang tarian tubuh mereka.

"Pengikut Iblis!" maki Jaka dalam hati. "Sungguh mereka orang-orang yang harus disadarkan. Tapi aku tak mau mengusik mereka lebih dulu. Aku ingin melihat apa yang bakal terjadi setelah nyanyian orang-orang itu habis."

Orang-orang pengikut Penguasa Jurang Gunung Kapur masih menyanyi. Kini tangannya diangkat ke angkasa, diputar-putarkan tangannya bagaikan hendak meminta sesuatu dengan mulutnya tidak henti-hentinya menyanyi.

"Alur-alur Kembang Jambu, Kembang Putri Kencana, Siapa mau menjadi hambamu, Kelak ia akan bahagia..."

Bait-bait lagu itu yang mereka lantunkan, berulang-ulang seperti tak puas-puasnya. Mereka berbuat begitu sambil menunggu kemunculan Iblis Sedayu yang dianggap oleh mereka penolong. Memang sejak mereka mengabdi pada Iblis tersebut, mereka mendapatkan kebahagiaan. Rejeki mereka gampang datang, juga desa mereka kini jarang tertimpa bencana.

"Benar-benar manusia-manusia sirik," gumam Jaka.

Tengah Jaka tercenung dalam ketidak mengertian dengan apa yang tengah dilakukan oleh orang-orang tersebut, tiba-tiba Jaka dikagetkan oleh suara gelak tawa seseorang. Bersamaan dengan gelak tawa tersebut, sesosok tubuh yang mengerikan mencelat dari dalam jurang dan berdiri dengan congkaknya menghadang mereka.

"Gusti Allah! Ternyata benar apa yang diceritakan oleh orang-orang, bahwa Renggana atau Iblis Sedayu masih hidup. Hem, walau ajian Tapak Bahana telah menghancurkan tubuhnya, ternyata Iblis itu masih mampu bertahan!" pekik Jaka lirih, matanya melotot tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di kucaknya kedua mata dengan tangan, ia berharap ia tengah dalam mimpi. Tapi nyatanya ia tidak bermimpi. Dicubitnya tangan, terasa sakit. "Heh, tak aku sangka kalau dia mampu hidup dengan tubuh amburadul begitu rupa!"

"Hua, ha, ha...! Bagus-bagus! Kalian ternyata hamba-hambaku yang setia! Kalian akan selalu aku lindungi, aku jaga dan aku berikan kebahagiaan. Apakah ini korban untukku?" tanya Iblis Sedayu yang dijawab serentak oleh orang-orang yang mengaku sebagai hamba-hambanya.

"Benar, Baginda!"

Iblis Sedayu pandangkan mata pada gadis yang masih mematung berdiri. Ditatapnya dari ujung kaki ke ujung rambut si gadis yang masih terdiam. Keringat dingin nampak mengalir dari pelipis si gadis yang menahan rasa takut yang amat sangat. Tengah Iblis Sedayu memandangi gadis tersebut, gadis itu seketika memekik.

"Aaaah...!"

Tersentak Iblis Sedayu seketika, demi melihat tubuh si gadis terkulai pingsan. Mata Iblis Sedayu seketika menyapu segenap tempat tersebut, mencari siapa adanya orang yang telah berani mencampuri urusannya. "Bangsat! Siapa yang telah berani membuat ulah di sini! Tunjukkan mukamu!" pekik Iblis Sedayu marah.

"Aku di sini, Sedayu!" Bersamaan dengan habisnya ucapan orang tersebut, seketika melompat sesosok bayangan berkelebat dan menghadang Iblis Sedayu yang terjengah melompat mundur.

"Kau...!"

"Ya, masih ingat denganku, Iblis busuk!" maki orang tersebut.

"Mengapa kau datang menggangguku lagi, Senggara!"

"Karena tindakanmu sudah keterlaluan! Kau sesatkan manusia untuk mengikutimu. Kalau kau memang tak menggunakan tubuh kakakku, aku tak akan ambil perduli. Tapi kau telah menggunakan tubuh kakakku yang hancur itu, yang seharusnya telah tenang di alamnya hingga aku harus perduli."

Sedayu nampak menggeretak marah demi mendengar omongan Senggara. Mulutnya menyeringai, lalu terdengar suara menggelegar bagaikan suara gertakan: "Hoar...! Kau rupanya tak mau tahu bahwa kau tak akan mampu membunuhku!"

"Aku tahu, tapi demi ketentraman dunia, maka aku terpaksa pura-pura tak tahu. Aku telah siap untuk engkau jadikan wadal bila memang harus begitu!"

"Jadi kau mencari mampus, Senggara!"

Senggara nampak tenang, tersenyum bagaikan sebuah sunggingan yang berarti. Sunggingan bibirnya, nampak sebuah sunggingan yang mengandung seribu makna. Entah itu ejekan atau senyum kecut atas ucapan Sedayu. "Kau bukan Tuhan, maka kau tak berhak menentukan mati hidupnya seseorang termasuk diriku. Walau kau Iblis, atau raja Iblis sekalipun, kalau memang harus mati kau pun mati!"

"Bedebah! Jangan kau sebut-sebut nama Tuhan! Serang...!"

Bagaikan orang-orang yang terkena sihir, serentak semua yang ada di situ serentak bangkit dari duduknya. Mereka bagaikan monster menyerang keroyokan Senggara. Mulut mereka diam, hanya pandangan mereka saja yang menyala bagaikan mengandung percikan-percikan api pembunuhan.

Diserang begitu rupa, tidak menjadikan Senggara murid Dewa Ilmu gentar atau takut. Dengan hanya bergerak cepat Senggara mampu menghindari serangan-serangan mereka. "Kalian orang-orang sirik. Kalian telah terpengaruh oleh iblis hingga melupakan pada Tuhan kalian! Minggatlah dari sini!"

Senggara memaki-maki marah. Tangan dan kakinya berkelebat cepat, dan setiap kelebatannya menjadikan pekikan kesakitan orang yang terkenanya. Orang yang terkena pukulan dan tendangan Senggara sesaat menggelepar-gelepar, lalu terkulai lemah dengan nyawa melayang terbang dari raganya.

Melihat para pengikutnya banyak yang mati, Iblis Sedayu seketika lupa tubuh gadis yang terkulai itu. Sejenak Iblis Sedayu memandang pada Senggara yang masih sibuk dikeroyok oleh para pengikutnya, lalu dengan nada mengejek ia berseru: "Senggara, bermain-mainlah engkau dengan para pengikutku! Bila nanti engkau ternyata menang, aku tunggu dirimu di bawah jurang!"

"Iblis busuk! Jangan lari!" Senggara memaki-maki marah melihat Iblis Sedayu hendak meninggalkannya. Namun secepat kilat sesosok tubuh berkelebat dari balik pohon dan langsung menghadang Iblis tersebut sembari berseru pada Senggara.

"Senggara, kau urusi dulu keroco-keroco Iblis itu, biar aku mengurus Iblis ini!"

"Jaka Ndableg, kebetulan kau datang!" seru Senggara dengan mata berbinar-binar penuh ketenangan. Bagaimanapun juga dengan kedatangan Jaka sedikit banyaknya bebannya untuk menumpas Iblis-iblis itu akan agak ringan.

"Kau...!" Iblis Sedayu memekik kaget, lompatkan tubuh ke belakang. "Kau pun rupanya suka usil dengan apa yang dilakukan orang lain, Jaka!"

"Aku tak akan usil, asalkan engkau tidak menuntun mereka pada jalanmu yang sesat!" Jaka tersenyum dingin menghadapi Iblis yang sudah ia ketahui betapa ilmunya ternyata tinggi. "Hem, aku jadi tak habis pikir, mengapa iblis ini sanggup menghadapi ajian Tapak Bahanaku. Padahal ajian itu adalah ajian yang dahsyat!" gumam hati Jaka penuh ketidakmengertian. "Apakah ia mampu menghadapi Pedang Siluman Darah,?"

Mata Iblis itu nampak menyala, memakukan pandangannya pada Jaka yang juga memandangnya dengan penuh kesiagaan. Jaka menyadari bahwa bagaimanapun juga Iblis di hadapannya bukanlah Iblis sembarangan. Bagaimana bentuk Iblis apa pun, bila terhantam ajian Tapak Bahana akan luluh lantak, tapi Iblis Sedayu sepertinya tak mempan ajian tersebut. Kedua musuh bebuyutan itu saling pandang, sepertinya hendak menancapkan sorot mata masing-masing ke ulu hati musuh.

"Jaka Ndableg, seharusnya kau sadar bahwa ilmu yang engkau miliki tiada arti bagiku. Aku sarankan, jadilah pengikutku!"

"Hem, jangan kau bermimpi. Lebih baik aku mati daripada harus menjadi budakmu!" Jaka membalas dengan sengit.

"Manusia tak mau diuntung! Bersiaplah kau aku kirim ke akherat sana. Hiat...!" Iblis Sedayu tiba-tiba berkelebat menyerang. Serangannya kini tak tanggung-tanggung, langsung dengan segala ajian yang ia miliki.

Jaka yang sudah tahu siapa adanya Iblis dihadapannya segera berkelebat mengelakkannya. Dengan segera Jaka pun balas menyerang dengan ajian-ajian yang ia miliki. "Getih Sakti. Hiat...!"

Wuss...! Crooot...!

Duar! Duar...!

Terdengar ledakan manakala dua kekuatan itu beradu di udara di tengah-tengah tubuh mereka. Keduanya seketika terpental ke belakang. Namun dengan segera Iblis Sedayu bangkit, lalu tanpa menunggu Jaka bangkit ia hantamkan ajiannya.

"Lulur Iblis. Hiat...!"

"Ah... mati aku!" Jaka mengeluh, segera ia pun dengan cepat tanpa pikir panjang lagi hantamkan Petir Sewunya untuk memapaki serangan tersebut. "Petir Sewu. Hiat...!"

Bletar! Bletar! Bletar!

Ledakan-ledakan petir seketika membahana, menjadikan semua orang yang saat itu tengah mengeroyok Senggara tersentak dan bagaikan baru tersadar dari sihir mereka memekik. Telinga mereka yang tak tahan langsung mengeluarkan darah.

Mereka seketika menggelepar-gelepar sesaat, sebelum akhirnya ambruk dengan darah keluar membasahi hidung, mulut dan telinga mereka. Hanya enam Jalak Sakti yang tidak langsung mati, tapi keadaan mereka pun cukup parah. Kini ringanlah Senggara, yang segera melesat ke arah di mana Jaka dan Iblis Sedayu tengah bertarung.

"Jaka, mari kita serang bareng! Iblis itu sukar untuk dibinasakan!"

"Aku pun menyadari itu, Senggara! Biarlah, lebih baik aku mati daripada Iblis ini merajalela di depan hidungku. Hiat...!" Jaka Ndableg telah kembali mencelat menyerang.

"Hiat...!" Begitu pula dengan Senggara.

Maka kini Iblis Sedayu dikeroyok oleh dua orang musuh-musuhnya. Dua orang yang telah membuat tubuhnya hancur berantakan. Nampak Iblis Sedayu menyeringai demi melihat kedua orang yang dianggapnya akan menghalangi segala tindakannya menyerang. Hal itu memang telah ditunggu-tunggunya. Maka dengan segera Iblis Sedayu pun berkelebat memapakinya.

"Hiat...!"

"Tapak Prahara. Hiat...!"

"Cobra Api. Hiat...!"

Bareng keduanya hantamkan ajian yang merupakan ajian pamungkas mereka. Api menyala-nyala dari tangan keduanya, seperti hendak membakar apa saja yang ada di sekitar tempat itu. Dan manakala Iblis Sedayu menyerang, secepat kilat keduanya hantamkan ajian mereka masing-masing. Tak ayal lagi, seketika api yang keluar dari tangan keduanya membakar tubuh Iblis Sedayu, rapat menutupi tubuh Iblis Sedayu.

Keduanya nampak agak sedikit tenang, menyaksikan api yang mereka ciptakan melalap habis tubuh Iblis tersebut. Tapi baru saja mereka merasa senang, tiba-tiba mereka membeliak kaget manakala melihat kejadian yang tidak masuk akal. Tubuh Iblis Sedayu yang kini tinggal kerangka hitam, masih mampu menghadapi mereka.

"Gusti Allah, apakah aku tidak tengah bermimpi?" keluh Jaka kaget. Bagaimana mungkin, tubuh yang sudah menjadi arang masih dapat bangkit dan menyerang mereka.

"Edan! Ini jelas-Jelas kelakuan Iblis!" maki Senggara.

Namun keduanya tak sempat berkata-kata lama, sebab tiba-tiba saja keduanya telah dikejutkan oleh hantaman yang dilontarkan oleh manusia tulang-belulang tersebut.

"Awas serangan!" Jaka memekik, melemparkan tubuhnya kesamping. Begitu juga Senggara, dengan sigap lemparkan tubuh ke samping hingga larikan sinar yang keluar dari tulang-tulang tangan orang yang hangus itu membersit di tengah-tengah.

Sinar itu terus melesat, lalu menghantam tubuh orang-orang yang masih tergeletak. Seketika tubuh orang yang terkena hantaman itu langsung meleleh. Dan dari sinar tersebut, nampak mahluk-mahluk menyeramkan berupa kepala manusia beterbangan.

"Gusti Allah, ini tidak bisa dibuat main-main!" Jaka mendengus demi melihat ratusan kepala hidup beterbangan dan menuju ke arahnya. "Dening Ratu Siluman Darah. Datanglah!" Pedang Siluman Darah tiba-tiba muncul, terbang melayang-layang dan langsung tanpa dipegang oleh Jaka berkelebat-kelebat menyerang kepala-kepala hidup tersebut.

Seketika memekiklah kepala-kepala itu lalu lenyap menjadi serpihan-serpihan debu. Pedang Siluman Darah segera kembali melesat dan hinggap di tangan Jaka yang langsung menerimanya.

Senggara masih terus berusaha menyerang Iblis Sedayu, namun serangannya seperti tak berarti sama sekali bagi Iblis tersebut. Bahkan kini Iblis Sedayu malah balik menyerang. Senggara yang marah tanpa sungkan-sungkan lagi hantamkan ajiannya kembali.

"Cobra Api. Hiat...!"

Api kembali membakar tulang-tulang tersebut. Tulang-tulang itu berantakan dan berserakan copot dari sel-selnya. Tersenyum Senggara menyangka Iblis itu telah mati. Ya, memang tulang-tulang itu telah berserakan. Namun benarkah Iblis Sedayu telah mati? Kedua pendekar itu berdiri mematung memandang pada tulang-tulang yang berserakan. Mereka tak menyadari bahwa bahaya telah siap mengancam jiwa mereka. Salah seorang dari Jalak Sakti yang tengah pingsan, tiba-tiba bangkit dan...

Pedang Siluman Darah seperti berontak dari tangan Jaka, menjadikan Jaka tersentak. Pedang itu selalu mengacungkan ujungnya ke belakang seperti ada yang ingin dikatakan pada tuannya. Dan manakala Jaka mengikuti arah Pedang Siluman Darah, seketika Jaka memekik.

"Awas!" Ternyata Jalak Ungu telah dekat dan sebentar saja bila Pedang Siluman Darah tidak menunjukkan padanya niscaya dirinya dan Senggara telah jadi korban. Keduanya segera loncat ke muka, menghindari cengkeraman Jalak Ungu.

"Bangsat! Ternyata kau masih hidup, Iblis!" maki Senggara.

"Hua, ha, ha...! Sudah aku katakan, bahwa aku tak akan kalah oleh kalian!"

"Sombong! Terimalah ini. Hiat...!"

Bersamaan Jaka berkelebat dengan Pedang Siluman Darahnya, berkelebat pula Senggara dengan senjatanya Pecut Cobra Merah. Dua senjata itu bagaikan menyala-nyala, lalu dengan berbarengan keduanya hantamkan senjata masing-masing.

"Cros…!"

"Bletar!"

Hancur lebur tubuh Jalak Ungu, terbelah dan terhisap darahnya oleh Pedang Siluman Darah. Tubuhnya hancur, tercambuk oleh Cambuk Cobra Merah. Namun sungguh tak keduanya sadar. Manakala keduanya menghantamkan senjata mereka, ternyata Iblis tersebut telah meninggalkan tubuh Jalak Ungu. Tanpa ayal lagi, tubuh Jalak Ungu-lah yang jadi sasaran.

Dan manakala Iblis Sedayu hantamkan pukulan, keduanya tak mampu untuk melayang menghindar. Tanpa dapat dihindari keduanya pun seketika melayang bagaikan ditiup angin. Tubuh keduanya mental, lalu melayang ke dalam jurang. Berbarengan dengan keduanya menjerit, dua buah bayangan berkelebat dengan entengnya menangkap tubuh keduanya dengan cepat sebelum keduanya jatuh ke dasar jurang.

"Wess...!"

"Suit...!"

Tap! Tap!"

Kedua orang pemilik tubuh itu hanya saling pandang sesaat dengan senyum, lalu keduanya melesat membawa tubuh Jaka dan Senggara ke tujuan masing-masing.

"Hua, ha, ha...! Kini tak ada lagi penghalangku. Kini akulah yang paling berkuasa di dunia. Akan aku jadikan semua manusia sebagai abdiku. Akan aku jadikan dunia ini sebagai istanaku. Istana Raja Iblis!"

Iblis Sedayu tertawa bergelak-gelak, lalu dengan ilmu iblisnya dia bangkitkan tubuh-tubuh anak buahnya yang terdiri dari empat Jalak Sakti dan warga desa Slawi. Sementara dia sendiri menggunakan jasad Jalak Kuning sebagai pengganti jasad Renggana yang telah hancur berantakan.

"Kalian telah aku hidupkan kembali. Maka kalian mulai sekarang harus menjadi pengikutpengikutku. Akan aku bangun kerajaan di muka bumi ini, kerajaan Iblis Penguasa Gunung Kapur! Kalian harus memanggilku, Sri Baginda Raja Diraja Iblis Sedayu Mukti. Hua, ha, ha...!"

"Daulat, Sri Baginda Raja Diraja Sedayu Mukti...." serentak mereka menyembah. "Hamba mohon ampun bila hamba telah melakukan segala kesalahan!"

"Hua, ha, ha...! Tidak! Kalian tidak salah. Kini kalian aku perintahkan untuk makin perbanyaklah korban-korban yang kalian persembahkan pada rajamu ini!"

"Daulat, Sri Baginda...!"

Makin bergelak tawa Sedayu melihat manusia-manusia bonekanya yang nampak menurut dan patuh. Memang, sejak saat itu pula resmilah Sedayu mengangkat dirinya sebagai Raja Iblis yang memerintahkan manusia. Ke manakah Jaka dan Senggara? Apakah ia mati? Marilah kita ikuti terus bab demi bab selanjutnya.

********************

ENAM

KERAJAAN SILUMAN DARAH...

Kerajaan Siluman Darah nampak sepi. Para pengawal istana nampak terdiam bisu dengan senjata siap selalu di tangan mereka masingmasing. Mereka nampaknya tengah menunggu seseorang yang bakal datang. Dan memang tak berapa lama kemudian sesosok bayangan merah berkelebat menuju ke arah istana.

Bayangan tersebut adalah milik seorang wanita, dialah Ratu Siluman Darah. Di tangan sang Ratu yang cantik jelita itu, tergeletak sesosok tubuh muda berambut gondrong dan berwajah tampan pingsan, pemuda itu tak lain Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Darah. Pedang Siluman Darah nampak masih tergenggam di tangan kanannya.

Memang Jaka waktu tiba-tiba terhantam oleh pukulan tenaga dalam yang dilontarkan oleh Iblis Sedayu, tak mampu mengelakkannya karena Jaka tak sadar bahwa orang yang dibelah dengan pedangnya tak lain adalah jasad yang telah kosong ditinggal oleh Iblis Sedayu yang sudah memikirkan bahwa Jaka dan Senggara pasti akan menyerang dengan senjata pusaka masing-masing. Maka ketika Jaka membabatkan pedangnya, si Iblis Sedayu telah berkelebat ke luar dan telah siaga di belakang kedua orang penyerangnya. Maka tak ayal lagi dengan mudah Iblis Sedayu mampu menjatuhkan dua pendekar sekaligus.

"Bukakan pintu!" Ratu Siluman Darah memerintah pada pengawalnya yang dengan segera membuka pintu gerbang tabir alam siluman. Dengan cepat Ratu Siluman Darah pun berkelebat masuk menuju ke sebuah ruangan pengobatan.

"Panggil Nenek Darah Biru ke mari!" kembali ia memerintah.

Dengan tanpa membantah orang yang disuruh itu segera berkelebat pergi meninggalkan sang Ratu yang telah membaringkan Jaka di kasur untuk memanggil Nenek Darah Biru. Tak lama kemudian Nenek Darah Biru pun datang bersamaan Siluman yang tadi diutus. Nenek Darah Biru segera menyembah, lalu dengan suara tuanya ia berkata:

"Sri Ratu memanggil hamba?"

"Benar! Tolong kau rawat Jaka. Dia menderita luka dalam."

"Daulat, Sri Ratu," jawab Nenek Darah Biru.

Sri Ratu Siluman Darah tanpa hiraukan Nenek Darah Biru segera meninggalkannya dan melangkah menuju ke kamar pribadinya di mana biasanya ia akan mengurung diri selama tiga hari tiga malam untuk melakukan Tapa Brata. Namun ternyata kali ini ia tidak hendak melakukan Tapa Brata, tapi ia tengah melakukan sebuah upacara adat yang hanya dilakukan oleh dirinya sendiri. Matanya terpejam, tangan bersilang dengan kaki dilipat menyila.

Sementara di ruang pengobatan Nenek Darah Biru terus berusaha mengobati luka-luka Jaka. Jaka masih pingsan, nampaknya ia benar-benar terpukul manakala melayang ke jurang Gunung Kapur.

"Pemuda ini sungguh sangat hebat. Jarang orang yang memiliki tulang-tulang serapi dan sekokoh ini. Hem, pantas kalau Sri Ratu mau mengangkatnya menjadi murid sekaligus anak," gumam Nenek Darah Biru manakala tangannya memijit tubuh Jaka.

Jaka nampak menggeliat dan meringis setiap kali tangan Nenek Darah Biru memijit dan mengurutnya. Sebenarnya pijitan dan urutan si Nenek Darah Biru bukanlah pijitan dan urutan biasa, tetapi urutan dan pijitan itu mengandung sebuah kekuatan magis yang mampu membuat bertambah kekuatan Jaka, sebab secara tak langsung si Nenek Darah Biru telah menyalurkan tenaga ke tubuh Jaka. Dan pada waktu pijitan yang terakhir, Jaka seketika menjerit keras. Jaka merasakan bagaikan hawa panas menyengat sendi-sendi tubuhnya.

"Aaah...!"

"Tenang Jaka, kau tak akan apa-apa," Nenek Darah Biru berkata menghibur: "Setelah kau diurut dan dipijit, niscaya tubuhmu akan seperti sedia kala."

Jaka menurut diam, tak berkata-kata lagi. Pijitan dan urutan tangan Nenek Darah Biru terus menyelusuri tubuhnya. Pijitan itu sangat keras, menekan-nekan pada sendi-sendi yang dirasakan perlu. Setelah beberapa lama kemudian dan dirasa cukup, Nenek Darah Biru berkata:

"Sudah! Kini engkau telah sempurna tulang dan aliran darahnya."

"Sebenarnya aku ini berada di mana. Nek?" Jaka bertanya ingin mengetahui keberadaannya. Matanya memandang sekeliling tempat itu, tempat yang indah dengan mutiara dan permata yang serba gemerlapan mewarnai tempat tersebut.

"Sepertinya aku pernah singgah di tempat ini. Kapankah? Dan di manakah?" Jaka merenung dalam hati, merasakan bahwa dia merasa pernah singgah di tempat tersebut. Matanya terasa memandang sekeliling, lalu setelah sekian lama ia berbuat begitu Jaka pun akhirnya mengingat bahwa dia memang pernah berada di tempat tersebut. "Ya, aku ingat. Aku memang pernah di tempat ini manakala aku bertarung dengan Prahista. Oh, di manakah ayah dan ibu?"

"Nek, bukankah ini kerajaan Siluman Darah?" tanyanya pada Nenek Darah Biru yang mengangguk sembari tersenyum. "Di manakah ayah dan emakku, Nek?"

"Ayah dan ibumu ada di sini, mungkin sebentar lagi akan datang bersama Sri Ratu."

Memang benar apa yang dikatakan oleh Nenek Darah Biru, sebab tak lama kemudian dari ruangan lain nampak tiga orang berjalan menuju ke ruangan di mana Jaka berbaring istirahat. Tiga orang itu tak lain dua orang wanita cantik dan seorang lelaki tampan yang wajahnya persis seperti Jaka. Dua orang wanita itu tak lain Ratu Siluman Darah dan ibunya Jaka. Sementara yang lelaki tidak lain adalah ayahnya Eka Bilawa. Ketiga orang tersebut nampak mengurai senyum di bibir mereka, dan terkadang bercakap-cakap.

"Sampurasun...!" ketiganya menyapa.

"Rampes...!"

Jaka dan Nenek Darah Biru membalas. Nenek Darah Biru segera menjura hormat, lalu menyingkir menepi memberikan jalan pada ketiganya untuk menghampiri Jaka.

"Ayah, Ibu...! Oh, benarkah itu ibu, Ayah?" tanya Jaka terheran-heran melihat ibunya nampak masih begitu muda dan cantik.

"Benar, Anakku. Akulah ibumu," wanita cantik itu menjawab mendahului si lelaki yang hanya tersenyum. "Kau sungguh sudah dewasa, Anakku." Dengan rasa haru dipeluknya tubuh Jaka yang segera membalas memeluk ibunya.

Suasana di tempat itu kini nampak sahdu, penuh rasa haru, bungah dan macam-macam rasa yang tak dapat diurai kata-kata. Ketiga sanak beranak itu terus saling melepas kerinduan yang sekian lama tak pernah bertemu. Jaka bagaikan anak kecil, menangis dalam pelukan ibunya.

"Ayah, Jaka ingin tinggal di sini saja. Jaka sudah bosan di dunia ramai yang selalu diwarnai oleh banyak masalah yang rumit. Sepertinya Jaka hendak tak mampu untuk menghadapinya," Jaka berkata seperti putus asa, menjadikan sang ayah dan Ratu Siluman Darah gelengkan kepala tak menyetujui akan permintaan Jaka.

"Tidak, Anakku. Kau harus tetap di dunia ramai. Ketahuilah, bahwa dirimu memang sudah dikodratkan harus menjadi seorang pendekar yang memerangi kejahatan. Dan sebagai seorang pendekar maka sudah selayaknya mendapat rintangan, karena kau manusia juga. Manusia itu kadang jaya, kadang pula harus kalah. Kau harus ingat bahwa di atas segalanya hanya Yang Maha Kuasa saja yang paling mampu berbuat segalanya. Tak ada mahluk apa pun yang dapat menandingi-Nya." Ayahnya menuturi.

"Benar Jaka. Memang apa yang dikatakan oleh ayahmu benar adanya. Kembalilah kau ke sana lagi, jangan kau putus asa hanya karena kau menderita kalah. Ingat, kekalahan bukan selamanya berpihak pada dirimu. Kekalahan sebaiknya jadikanlah pelajaran atau guru yang utama untukmu," Ratu Siluman Darah yang berkata. "Aku akan memberikan padamu bekal, bekal yang nantinya dapat engkau gunakan. Tapi untuk menghadapi musuhmu yang sekarang, maka aku akan ikut membantu. Aku akan muncul di alam manusia."

"Mengapa Sri Ratu hendak ke alam manusia?"

"Ketahuilah olehmu, bahwa musuhmu itu bukanlah mahluk sembarangan. Dia tak akan dapat mati oleh tangan manusia, sebab Yang Kuasa memang mentakdirkan begitu. Musuhmu adalah orangku, maka hanya akulah yang akan mampu menghancurkannya," Ratu Siluman Darah berkata berapi-api, sepertinya dalam kata-katanya mengandung sesuatu yang besar. "Dia adalah Panglima Perangku. Dia melarikan diri setelah pemberontakan yang dilakukan olehnya beserta beberapa anak buahnya dapat kami tumpas. Ternyata dia nekad lari ke alam manusia. Sebenarnya ia tak dapat hidup lama kalau saja ia tidak segera menemukan Renggana. Tapi sudahlah tak usah dipikirkan masalah itu. Kini yang penting kau akan aku gembleng untuk menambah ilmu yang engkau miliki. Bila kau telah rampung, maka kau pun akan menjadi manusia yang berilmu Siluman."

"Oh, benarkah itu, Sri Ratu?" Jaka bertanya. "Sungguhkah aku akan memiliki ilmu-ilmu Siluman?"

"Ya, mengapa? Kau tak suka, Jaka?" Sri Ratu bertanya.

"Suka! Saya memang ingin menambah ilmu yang ada pada diri saya, Sri Ratu."

"Nah, mulai saat ini kau harus rajin belajar dengan ayahmu, sebab ayahmulah yang akan mendidikmu mengenai ilmu-ilmu mahluk siluman!" Ratu Siluman Darah melirik pada Eka Bilawa dengan bibir terurai senyum, sepertinya ia tidak cemburu sama sekali kalau Eka Bilawa sekarang telah bersanding dengan istrinya. Namun malah sebaliknya ia bangga, sebab Eka Bilawa tidak membedakan istri-istrinya. Eka Bilawa bertindak adil dan bijaksana. Wajah Eka Bilawa yang tampan memang persis Jaka, sehingga menjadikan Ratu Siluman Darah menyayangi Jaka sampai-sampai ke mana pun Jaka selalu didampingi.

Sejak saat itu Jaka untuk sementara menjadi penghuni Kerajaan Siluman Darah. Sejak saat itu juga Jaka harus berlatih apa yang diajarkan oleh ayahnya Eka Bilawa dalam hal ilmu-ilmu Siluman yang hanya dimiliki oleh para siluman belaka. Hal itu dimaksudkan agar Jaka makin mampu menangani segala apa yang menjadi rintangan, juga agar Jaka dapat melakukan kewajibannya sebagai seorang pendekar untuk menumpas segala kejahatan.

********************

TUJUH

Sejak menghilangnya Jaka Ndableg dari dunia entah ke mana, maka kejahatan yang kini dipimpin oleh Iblis Sedayu yang mengangkat dirinya sebagai Raja Diraja Iblis makin merajalela. Kini Iblis Sedayu yang telah menggunakan jasa Jalak Kuning, tak segan-segan melakukan tindakan telengas pada umat manusia.

Pada umumnya, para anggota Raja Diraja Iblis bertindak dengan tanpa mengenal belas kasihan. Memang bukannya mereka merampok harta, namun mereka merampok bahkan yang lebih dari itu yaitu merampok nyawa seseorang untuk dijadikan korban. Bukan itu saja, cita-cita Iblis Sedayu untuk menjadikan seorang Raja Iblis pertama yang memimpin manusia perlahan namun pasti dijalankan...

"Untuk mendapatkan segala cita-citaku, maka aku harus menundukkan kerajaan-kerajaan di tanah Jawa ini. Aku akan mengutus abdiku untuk melakukannya. Aku sebentar lagi akan menjadi Raja Diraja Iblis yang mampu memimpin manusia untuk mengikuti jalanku. Seperti janjiku pada Tuhan, maka aku pun akan berusaha mengajak sebanyak-banyaknya anak cucu Adam untuk menjadi sahabatku yang kelak akan menemaniku di neraka. Hua, ha ha...!" bergelak tawa Iblis Sedayu bila mengingat hal itu, sementara keempat Jalak Sakti lainnya yang ia angkat sebagai patih serta penasehatnya nampak tundukan kepala duduk bersila di hadapannya.

"Jalak Merah!"

"Daulat, Baginda Raja Diraja," jawab Jalak Merah sembari menyembah

"Aku perintahkan padamu untuk kumpulkan tentara guna menyerang kerajaan Sebrang Gunung!"

Jalak Merah terdiam tanpa kata mendengarkan ucapan Rajanya. Hati kecilnya sebenarnya tak suka, sebab ia tahu sendiri bahwa kerajaan Sebrang Gunung banyak tokoh-tokoh silat yang berilmu tinggi. Namun untuk menolaknya, jelas ia tak berani karena tidak mungkin tidak rajanya akan murka. Dan apabila rajanya telah murka pasti dirinyalah yang menjadi korban. Maka dengan segala ketakutan itu Jalak Merah pun berkata:

"Daulat, Baginda Raja Diraja yang mulia, kami akan melaksanakan segala titah paduka."

"Bagus! Sekarang juga persiapkan para prajurit!"

"Daulat, Yang Mulia!" Jalak Merah kembali menyembah, lalu dengan beringsut ia pun segera berlalu meninggalkan tempat tersebut untuk menemui para prajuritnya yang dihimpun dari masyarakat desa Slawi. Langkahnya nampak tak bersemangat, sepertinya langkah itu sedikit dipaksa hingga nampak terseret. Jalak Merah terus melangkah meninggalkan keraton menuju ke lapangan yang telah dijadikan alun-alun. Di situ Jalak Merah hentikan langkah, lalu dengan menggunakan tenaga dalam ia berseru.

"Para prajurit, berkumpul...!"

Ternyata seruan Jalak Merah sungguh kencang, sehingga dari jarak yang cukup jauh pun dapat didengar. Maka seketika berbondong-bondong para prajurit yang terdiri dari warga desa Slawi tersebut berdatangan menuju ke lapangan di mana Jalak Merah telah menunggu berdiri di tengah-tengah lapangan itu.

"Para prajurit, berkumpulah! Ada berita penting...!"

"Berita apakah, Tuan Patih?!" Warga yang sudah mendekat bertanya. "Adakah berita yang membuat bencana? Atau berita kegembiraan?!"

"Kalian berkumpul dulu, jangan banyak bertanya!"

Warga desa itu menurut diam, sepertinya mereka merasakan ketakutan. Mata mereka memandang hampa, tak berani menatap pandang pada Jalak Merah yang telah dianggap oleh mereka sebagai patihnya. Mereka terus melangkah, makin dekat dan dekat menuju ke lapangan di mana Jalak Merah berada. Dan tak lama kemudian, mereka pun telah berkumpul membentuk sebuah lingkaran mengelilingi Jalak Merah.

"Sri Baginda Raja Diraja memerintahkan kita untuk mengadakan peperangan. Kita akan menyerang kerajaan Sebrang Gunung. Apakah kalian telah siap!" terdengar suara Jalak Merah berseru, memberitahukan.

Seketika semua yang hadiir terdiam, sedangkan diri mereka tak menghendaki perang. Dalam hati mereka bertanya-tanya, mengapa harus berperang? Bukankah sekarang telah tentram dan damai? Mereka tak tahu apa sebenarnya yang dikehendaki oleh raja mereka sesungguhnya.

Sebenarnya mereka ingin menolak, namun mereka tak berani. Di samping karena raja mereka sakti dan telah mampu mengalahkan dua pendekar yang tiada tanding itu, juga mereka merasa berhutang budi pada raja mereka yang telah memberikan segala apa yang mereka pinta.

Tengah mereka tercenung diam, dari kejauhan tepatnya dari kerajaan berjalan dengan langkah-langkah bagaikan terbang seseorang yang mengenakan pakaian kebesaran. Dialah raja mereka, yaitu Raja Diraja Sedayu. Karena Sedayu berlari dengan menggunakan ilmu larinya, maka dalam beberapa kejap saja tubuhnya telah sampai di tempat tersebut. Mata Sedayu seketika memandang pada para prajuritnya yang seketika itu pula tundukan muka sembari menyembah.

"Terimalah sembah kami, Yang Mulia...!"

"Hua, ha, ha...! Bagus! Sembah kalian aku terima!" Sedayu nampak senang dan katanya kemudian: "Apakah kalian telah tahu mengapa kalian dikumpulkan di tempat ini?"

"Daulat, Yang Mulia, kami telah mengetahuinya!"

"Kalian jangan takut, sebab kalian akan aku bantu dengan prajurit-prajurit lelembutku. Nah, kini di samping-samping kalian telah muncul mereka."

Tersentak semuanya manakala menengokkan kepala ke samping kirinya telah ada mahluk serupa dengan dirinya. Mereka seperti tak percaya, menjadikan mereka terus memandang pada mahluk-mahluk yang bagi mereka adalah bayangan mereka sendiri. Tapi ternyata bukan. Mahluk-mahluk itu bukan bayangan mereka, terbukti mahluk-mahluk itu tidak memandang balik melainkan diam mematung dengan wajah terus tegar memaku ke muka.

"Nah, itulah teman kalian untuk menyerang kerajaan Sebrang Gunung. Mereka akan menuruti apa yang kalian perintahkan! Tapi mereka akan dapat mengadu bila ternyata kalian tidak menuruti segala perintahku! Maka apabila ada teman kalian yang mengadu padaku bahwa kalian ada yang tidak menurut, kalian tentunya tahu apa hukumannya? Hukumannya adalah teman kalian sendiri yang akan menghisap darah kalian sampai kering kerontang!"

Bergidik juga orang-orang itu mendengar penuturan rajanya. Mereka tahu bahwa ucapan rajanya bukanlah ucapan penakut anak kecil belaka, tetapi ucapan yang benar-benar akan terlaksana bila mereka membangkang.

"Daulat, Baginda Yang Mulia...!"

"Nah, berangkatlah kalian! Tegarkan hati kalian dengan semangat bahwa kalian akan mampu menundukkan kerajaan Sebrang Gunung!"

"Daulat, Baginda Yang Mulia...!"

"Ampun, Baginda Yang Mulia, saya menjalankan tugas!" Jalak Merah menyembah, lalu dengan melangkah mundur ia pun segera menuju ke barisan prajurit dan berjalan paling muka. Melihat para prajuritnya telah melangkah, segera Iblis Sedayu berkelebat pergi tinggalkan lapangan kembali ke istananya.

Para prajurit itu bagaikan monster yang selalu dikendalikan oleh pemiliknya. Mereka berjalan dengan bisu, sepertinya tak ada gairah untuk berkata-kata. Di setiap seorang prajurit, nampak sesuatu mahluk yang menyerupai mereka berjalan mengiringi. Mahluk-mahluk tersebut adalah ciptaan Iblis Sedayu yang diambil dari darah kehidupan mereka, sehingga wajar kalau mahluk-mahluk tersebut menyerupai mereka. Mahluk-mahluk itulah yang akan mengantar mereka dan membantu mereka dalam menyerbu ke kerajaan Sebrang Gunung.

Sebenarnya warga desa yang dijadikan prajurit itu merasakan takut untuk menghadapi prajurit-prajurit Sebrang Gunung. Walau mereka dalam pengaruh Iblis Sedayu, namun mereka masih dapat sadar dan mengingat-ingat segalanya. Mereka tahu bahwa di kerajaan Sebrang Gunung banyak berkumpul para tokoh persilatan yang tidak berilmu rendah. Namun bila mereka ingat akan ancaman dan karena jasa raja yang telah membantu mereka selama ini, mereka pun dengan takut dan jeri menurut.

Barisan prajurit yang terdiri dari manusia dan duplikatnya yang tak lain bangsa Iblis terus melangkah. Barisan itu panjang, hampir menyerupai kelokan-kelokan ular naga bila dilihat dari kejauhan. Mereka berjalan menyusuri lereng gunung, menuruni sungai dan lembah, seakan tiada rasa lelah sedikit pun.

********************

"Heh, seperti ada iring-iringan menuju ke mari!" teriak seseorang warga kerajaan Sebrang Gunung yang bekerja sebagai pencari kayu berkata pada temannya.

"Benar! Ya, sepertinya mereka itu para prajurit!"

"Mereka seperti hendak berperang!"

"Mereka menuju ke mari! Ayo kita tinggalkan tempat ini untuk memberitahukan pada Paman Patih Sungkar!"

Dengan segera ketiga orang pencari kayu itu berlari meninggalkan hutan itu. Mereka berlari bagai kesetanan, sehingga tak mereka hiraukan segala apa yang menghalangi mereka diterobosnya. Mereka juga, nampak berlari kencang, hampir dapat dikatakan mereka yang hanya seorang petani pencari kayu mampu menggunakan tenaga mereka untuk menyalurkan ke kaki-kaki mereka hingga mereka, bagai terbang.

"Ada musuh...! Musuh datang...!"

Mereka berteriak-teriak bagaikan kesetanan, menjadikan orang-orang yang saat itu berada di pasar berserabutan lari tunggang langgang sembari meneruskan teriakan ketiga orang pencari kayu, sehingga dengan sendirinya riuhlah mereka dengan teriakan-teriakan yang sama. Ketiga orang pencari kayu itu terus berlari dengan cepat sambil berseru-seru menyebut-nyebut musuh datang. Mereka terus menuju ke arah Utara di mana kerajaan berada.

"Musuh datang...! Musuh datang...!" Walau jarak kerajaan sudah dekat, namun mereka terus berlari dengan kencang, sepertinya mereka tak ingin dapat ditangkap oleh musuh yang datang masih jauh. Hal itu menjadikan seorang prajurit yang melihatnya seketika menghentikan lari mereka!

"Ki Sanak sekalian, kenapa kalian berteriak-teriak?"

"Musuh datang, Tuan Prajurit!" jawab seorang dari mereka dengan napas ngos-ngosan, menjadikan prajurit itu kerutkan kening memandang mereka satu persatu seperti belum mau percaya begitu saja pada apa yang dikatakan ketiga tukang kayu itu.

"Benarkah...?"

"Benar, Tuan Prajurit, kami melihat musuh datang dengan ribuan prajurit yang siap bertempur," Yang berkata tukang kayu yang nampak masih muda di antara kedua orang lainya.

"Baiklah, kalian ikut aku!"

Dengan tak menghiraukan orang-orang yang masih serabutan untuk lari, keempat orang itu pun segera melesat menuju ke istana kerajaan. Langkah mereka begitu lebar, seakan mereka tak ingin didahului dengan kedatangan musuh yang sudah berada di gunung. Tak begitu lama kemudian mereka pun telah sampai di kerajaan.

"Ada apa, Sasongko? Sepertinya ada hal yang penting?" Seorang penjaga pintu istana bertanya pada Sasongko, yaitu prajurit yang membawa ketiga tukang kayu itu.

"Paman patih ada?"

"Ada. Dia ada di dalam bersama Baginda Raja."

"Aku dan ketiga orang ini ingin menghadap..."

Penjaga pintu istana kerutkan kening memandang pada Sasongko dan ketiga tukang kayu itu sesaat. Kemudian salah seorang dari penjaga pintu itu pun berkelebat masuk ke dalam istana. Tak lama kemudian ia kembali keluar menemui Sasongko dan berkata:

"Kalian dipersilahkan masuk!"

Sasongko dan ketiga tukang kayu yang nampak gemetaran sebab tak biasa memasuki istana segera menuju ke dalam. Di sana nampak Sri Baginda dengan dihadapi oleh para tokoh persilatan dan patih serta pembesar istana lainnya tengah berbincang-bincang. Sasongko dan ketiga tukang kayu itu segera menyembah.

"Ada gerangan apa kalian menghadapku?"

"Ampun, Yang Mulia Baginda Raja sesembahan hamba. Kami menghadap untuk menghadapkan ketiga tukang kayu ini yang hendak memberikan kabar pada Yang Mulia," Sasongko berkata, dengan terlebih dahulu menyembah.

"Ada kabar apa yang kalian bawa, Pak?"

Ketiga pencari kayu itu nampak menelan ludah, seperti sukar untuk berkata-kata. Keringat dingin keluar membasahi pelipis mereka. Mereka begitu tegang, maklum mereka baru pertama kali menginjakkan kaki dan menghadap rajanya. Walau mereka tahu bahwa raja mereka adalah seorang raja yang bijaksana, namun sebagai seorang rakyat jelata jelas mereka merasakan hawa lain. Rasa takut dan kaku pun menyelimuti ketiganya. Hal itu diketahui oleh Sri Baginda yang dengan segera kembali berkata:

"Kenapa? Kalian tak perlu takut. Aku rajamu, aku juga abdi kalian. Katakanlah apa yang menjadi unek-unek kalian."

"Mu... musuh menuju ke mari, Baginda," jawab salah seorang dari ketiganya, menjadikan Sri Baginda dan orang-orang yang berada di situ seketika terperanjat kaget.

"Musuh!"

"Ya, mereka telah sampai di gunung Kidul..."

Tengah mereka dalam keterkejutan, tiba-tiba di luar terdengar suara seruan rakyat yang lari serabutan sambil berteriak-teriak:

"Musuh datang...! Musuh Datang...!"

Serta merta semua yang hadir di situ berkelebat ke luar. Semuanya kini dengan tergesa-gesa mempersiapkan para prajurit untuk segera menanggulangi musuh yang sudah tak mungkin dapat dibendung. Dan memang benar, musuh telah tiba. Maka tanpa dapat berkata-kata lagi, prajurit-prajurit Kerajaan Sebrang Gunung pun segera memapaki hingga terjadilah pertempuran.

Namun karena mereka tak mempersiapkan segalanya, juga karena di pihak musuh dibantu oleh para Iblis yang sukar untuk dikalahkan, mereka dari pihak kerajaan Sebrang Gunung pun nampak keteter. Tak ada arti sama sekali para tokoh persilatan yang ikut turun menyerang musuh.

Pertarungan terus berkobar, sepertinya kedua prajurit dua kerajaan itu tak mau ada yang kalah dan mundur. Kedua prajurit kerajaan itu seperti ganas, membabi buta dalam setiap serangannya. Darah telah membanjir di alun-alun, diselingi oleh jerit kematian.

Melihat bahwa para prajuritnya nampak tak dapat membendung musuh, dengan dibantu oleh ponggawa istana raja dan keluarganya segera meninggalkan istana untuk mengungsi. Dan memang benar bahwa prajurit-prajurit kerajaan Sebrang Gunung tak mampu menghalau musuh, apalagi ketika Iblis Sedayu tiba-tiba muncul. Maka makin kacaulah para prajurit kerajaan Sebrang Gunung. Dalam sekejap saja mereka dengan cepat dapat ditaklukkan.

"Hua, ha, ha...! Kini akulah yang bakal menjadi Raja Diraja! Akulah yang mampu membangun sebuah kerajaan di tanah Jawa ini! Akulah Raja Iblis yang mampu membuat anak cucu  Adam menuruti apa yang menjadi perintahku. Hua, ha, ha...!"

Iblis Sedayu seketika bergelak tawa. Tampak kebahagiaan menyelimuti sorot matanya yang menyala-nyala. Ya, sejak itu Kerajaan Sebrang Gunung resmilah di bawah cengkraman Iblis.

********************

DELAPAN

Dengan menyerang ke kerajaan Sebrang Gunung, maka makin terkenal saja nama Iblis Sedayu. Namanya begitu ditakuti, tersebar di mana-mana. Nama Iblis Sedayu Mukti, kini menjadi momok bagai orang mendengar nama Tuhan Yang Maha Kuasa saja. Bagi orang yang memang suka berbuat jahat, jelas hal itu merupakan sebuah lampu hijau untuk kembali menampakkan diri mereka dan berkecimpung di dunia kejahatan. Tapi bagi orang yang mencintai ketentraman dan kedamaian, jelas nama Iblis Sedayu merupakan nama yang harus sebisa mungkin dilenyapkan.

Siang itu di daerah pesisir Utara nampak seseorang bercadar putih ala ninja melangkah menyusuri pesisir yang panas terik. Kakinya begitu ringan menapak, sehingga pasir-pasir yang diinjaknya bagaikan tak amblas semili pun. Yang lebih aneh adalah cadar penutup kepalanya. Apakah ia tidak merasakan kepanasan?

Padahal hari begitu teriknya. Ternyata cadar itu juga bukan hanya sebatas kepala saja, tapi kain putih pembungkus itu membungkus segenap tubuhnya. Dilihat dari pakainnya yang begitu aneh, kita dapat mengetahui siapa adanya dia. Dialah Murid Sunan Kali Jaga, yang bergelar Maling Siluman.

"Aku tidak mendengar adanya Jaka. Mungkinkah Jaka telah mengetahui kejadian yang kini menimpa dunia persilatan?" gumamnya bertanya pada diri sendiri. "Atau barangkali Jaka tak mendengarnya? Ah, itu tidak mungkin, sebab Jaka selalu berkelana ke mana saja. Sungguh-sungguh sebuah bencana bila hal ini tidak segera dihentikan."

Maling Siluman terus melangkah menyusuri pantai laut Jawa menuju ke Selatan. Tengah ia berjalan, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat mendahuluinya berlari. Hal itu menjadikan Maling Siluman tersentak kaget, segera ia pun mengejarnya.

"Hoi...! Jangan lari!"

Maling Siluman terus mengejar, dan nampaknya orang tersebut yang ternyata seorang wanita menghentikan langkah larinya. Wanita muda yang tak lain Miranti si Bidadari Selendang Ungu membalikkan mukanya memandang pada Maling Siluman.

"Ada apa engkau menyuruhku berhenti?"

"Apakah boleh aku tahu, ke mana tujuan Ni Sanak?"

"Aku hendak ke Kerajaan Sebrang Gunung. Aku ingin menjajaki ilmu yang dimiliki oleh Iblis Sedayu yang kabarnya mampu mengalahkan Jaka Ndableg," Miranti berkata, menjadikan Maling Siluman seketika tersentak kaget seraya memekik tertahan.

"Ah...! Benarkah, Ni Sanak?!"

"Untuk apa aku berdusta. Aku adalah Oh, sudahlah!"

"Kenapa Ni Sanak? Sepertinya kau ragu untuk mengatakannya?"

Miranti terdiam didesak pertanyaan begitu rupa oleh Maling Siluman. Wajahnya seketika redup, seakan ia tengah memendam sebuah perasaan tersendiri pada Jaka. Dan memang begitulah adanya. Sejak ia bertemu dengan Jaka, hati Miranti seperti diselimuti oleh perasaan rindu yang mendayu-dayu seperti rindunya tak dapat dihilangkan atau dihibur.

"Aku, aku... aku mencintainya," Miranti berkata polos, menjadikan Maling Siluman yang telah tua mengerti akan perasaan yang berkecamuk di dada gadis ini.

"Ah, tidak engkau saja yang sedih, Ni Sanak," hibur Maling Siluman. "Aku pun begitu. Kami adalah dua sahabat, seiring sejalan yang rasanya sukar untuk dipisahkan."

"Aku telah sebatang kara. Maka apabila Jaka benar-benar telah mati, maka lebih baik aku pun ikut mati saja."

"Ah...." Maling Siluman mendesah. Ia sadar bahwa cinta Miranti sungguh tulus dan suci pada Jaka. Maling Siluman hanya mampu terpaku diam, tak tahu apa yang harus dibuatnya.

Tengah kedua orang pendekar itu berdiri mematung dalam diam, seseorang berjalan menuju ke arahnya. Orang itu nampak bukan orang-orang tanah Jawa. Kulit orang itu kuning langsat, menjadikan pemuda itu nampak seperti orang Cina. Dan memang, pemuda itu yang tak lain Daeng Surih adanya adalah keturunan Cina-Jawa. Bapaknya adalah Amangkurat, yaitu seorang Jawa, sedang ibunya adalah Nan-Cin-Cu putri kerajaan Cina.

Daeng Surih menghampiri keduanya, lalu dengan menjura hormat terlebih dahulu ia pun bertanya: "Ki Sanak dan Ni Sanak, dapatkah kalian berdua menunjukkan pada kami untuk menemui tempat Kerajaan Sebrang Gunung?"

"Siapakah adanya, Ki Sanak? Dan dari manakah Ki Sanak sebenarnya, serta ada keperluan apakah hendak menuju ke Kerajaan Sebrang Gunung?" tanya Maling Siluman.

"Hamba yang rendah ini bernama Daeng Surih. Orang sering menjuluki hamba dengan sebutan Pendekar Suling Kematian. Hamba datang dari tanah Andalas tepatnya di Gunung Kerinci ke mari semata-mata ingin mengecek kebenaran tentang kalahnya sahabat hamba yang bernama Jaka Ndableg oleh seorang Iblis. Kalau memang sahabatku kalah dan mati, maka hamba akan turut berperang dengan Iblis tersebut sampai hamba atau Iblis itu mati."

"Jadi Ki Sanak adalah sahabat Jaka?" tiba-tiba Miranti menanya.

"Ya, hamba adalah sahabatnya."

"Kalau begitu kita setujuan."

"Setujuan bagaimana maksudmu, Nona?"

"Kami berdua juga sahabat Jaka, bahkan nona ini adalah kekasihnya," Maling Siluman menerangkan, menjadikan Miranti tersipu-sipu memerah pipinya.

Sementara Daeng Surih yang telah tahu siapa adanya Miranti, segera menjura penuh hormat seraya kembali berkata: "Oh, kalau begitu hambalah yang terlalu bodoh tak mau tahu siapa adanya Nona. Maafkan segala kelancangan hamba..."

"Tidak mengapa. Kau tidak bersalah. Kita adalah sahabat yang patut saling bantu. Marilah kita selekasnya ke sana. Aku merasa bahwa kita belum terlambat untuk mencegah perbuatannya yang telengas."

"Baiklah, Nona! Mari, Ki Sanak Daeng Surih!" Maling Siluman mengajak.

Dengan segera ketiganya pun berkelebat meninggalkan pesisir Utara yang kembali sepi dengan desahan gelombang yang bergulung-gulung menepiskan pasir-pasir dan sampah-sampah yang akhirnya menepi di pantai. Angin pantai semilir bertiup, menambah kesejukan dan rasa tenang.

********************

Ternyata tidak hanya para pendekar saja yang merasa gundah dengan hilangnya Jaka yang menurut desas-desus jatuh ke jurang Gunung Kapur, akan tetapi para tokoh masyarakat dan para pimpinan perguruan-perguruan yang beraliran putih pun merasakan hal yang serupa. Juga para kerajaan yang pernah merasa berhutang budi pada Jaka Ndableg, seketika menjadi panas oleh desas-desus tersebut.

Maka sebagai pelampiasan kemarahan mereka pada Iblis Sedayu yang kini berkuasa di Kerajaan Sebrang Gunung, mereka pun mengirim pasukan dengan maksud membumi hanguskan kerajaan Sebrang Gunung dan apabila mampu membunuh rajanya. Dari beberapa kerajaan itu langsung dipimpin oleh patih utamanya, sementara dari perguruan-perguruan seperti Rajawali, Teratai, Tangan Dewa, dan perguruan lainnya langsung dipimpin oleh pimpinan sekaligus guru mereka.

Dari arah Selatan, Barat, Utara, dan Timur nampak rombongan-rombongan itu berjalan menuju ke satu arah yaitu Kerajaan Sebrang Gunung di mana Iblis Sedayu menjadi rajanya. Ketiga orang yang juga bertujuan sama seketika tersentak manakala ketiganya mendengar seruan-seruan dari belakang yang keluar dengan nada marah dan dendam yang dilontarkan untuk mencaci maki Iblis Sedayu Mukti.

"Kita ganyang Iblis laknat itu!"

"Kita lumatkan dengan tanah!"

Berbagai macam caci maki keluar dari para prajurit dan orang-orang persilatan yang berjalan dari sebelah Utara di mana ketiga pendekar itu juga berasal.

"Nampaknya berita hilangnya Jaka telah menjadikan beberapa kerajaan dan perguruan yang pernah dibantunya marah. Apakah kita akan bergabung dengan mereka?" tanya Maling Siluman pada kedua rekannya.

"Sebaiknya menurutmu, bagaimana?" Miranti balik bertanya.

"Kita bergabung saja?"

"Ya, kita bergabung dengan mereka saja," jawab Daeng Surih.

Maka setelah mengambil keputusan begitu ketiganya segera berkelebat menuju ke arah di mana mereka datang. Dan tanpa mengalami kesulitan ketiga pendekar tersebut akhirnya diterima bergabung dengan mereka. Mereka terus berjalan menapak demi setapak menuju ke Kerajaan Sebrang Gunung. Dalam hati mereka ada satu tujuan yang sama, yaitu menghancur-leburkan kerajaan Sebrang Gunung beserta rajanya.

********************

Kehadiran para tokoh persilatan, kerajaan-kerajaan, serta perguruan-perguruan yang datang dari empat penjuru itu menjadikan hirup pikuk rakyat kerajaan Sebrang Gunung. Mereka ada yang senang karena merasa akan datang kebebasan dari cengkraman raja mereka yang selalu meminta korban setiap Jum'at hingga gadis-gadis di situ sudah hampir habis. Ya, setelah kerajaan dipimpin oleh Raja Iblis Sedayu, maka sudah menjadi kebiasaan bagi rakyatnya untuk selalu mengorbankan seorang gadis untuk tumbal rajanya.

Tak terkecuali tokoh-tokoh persilatan di wilayah kerajaan, mereka menyambut kedatangan para prajurit persatuan itu dengan hati bungah, sebab tidak mungkin tidak bahwa kebebasan mereka untuk kembali mendirikan perguruan akan kembali muncul.

Maka sebelum para penyerbu itu sampai, para tokoh persilatan di kerajaan Sebrang Gunung segera menyambut mereka. Makin bertambah banyak saja jumlah mereka dengan menggabungnya banyak warga kerajaan Sebrang Gunung. Kini kekuatan mereka benar-benar sebuah kekuatan dahsyat. Namun apakah mereka akan mampu membunuh Iblis Sedayu Mukti?

Orang-orang yang datang dari empat penjuru itu kini makin mendekat ke wilayah Kerajaan Sebrang Gunung. Hal itu menjadikan amarah Sedayu yang dengan segera menyiapkan pasukannya untuk memapaki mereka. Pasukan yang terdiri dari bangsa manusia dan bangsa Iblis itu segera menuju ke alun-alun, menanti kedatangan para pemberontak yang jumlahnya hampir seratus kali jumlah mereka. Sebenarnya hati prajurit manusia Kerajaan Sebrang Gunung ciut juga melihat hal tersebut, namun karena tugasnya sebagai prajurit mau tak mau ia harus menjalankannya.

"Serang...! Hancur leburkan Iblis laknat!"

Tanpa ayal lagi, mereka pun segera terlibat dalam pertempuran. Nampaknya para prajuritprajurit yang bercampur baur dengan tokohtokoh persilatan itu tanpa mengenal adanya takut mati. Di hati mereka hanya ada satu pilihan, lebih baik mati demi membela kebenaran dan keadilan daripada hidup harus nantinya terkekang oleh Iblis.

Sebaliknya para prajurit Kerajaan Sebrang Gunung, walau jumlah mereka kecil namun dikarenakan mereka mendera rasa takut pada rajanya hingga keberanian mereka pun seperti api. Ditambah lagi dengan bantuan prajurit-prajurit Iblis, makin ramailah perang besar itu.

"Trang! Trang!"

"Aaaah...!"

Senjata saling beradu, yang akhirnya harus diakhiri dengan lengkingan kematian dari salah seorang di antara yang bertarung. Dan bila musuhnya telah mati, maka orang yang menang segera mencari musuh yang lain.

Tiga pendekar terdiri dari Maling Siluman, Daeng Surih dan Miranti nampak mengamuk membabi buta. Setiap hantaman tangan dan kaki mereka seketika menjadikan kematian bagi yang terkena. Apalagi Miranti, dengan Selendang Ungunya yang setiap kali dikibaskan menjadikan bunyi ledakan yang mampu menghancurkan gunung tanpa ayal lagi mengamuk menghantamkan selendangnya. Sepuluh orang musuh mati dengan tubuh hancur, terkena sabetan Selendang Ungu.

Dalam sekejap saja prajurit-prajurit kerajaan Sebrang Gunung dapat terdesak mundur. Tengah keadaan genting menyelimuti prajurit-prajurit kerajaan Sebrang Gunung, tiba-tiba terdengar suara bentakan membahana. Bersamaan dengan itu, sesosok tubuh berkelebat menghadang ketiga pendekar tersebut.

"Mundurlah kalian semua! Biar aku yang menghadapi mereka!"

"Iblis Sedayu! Memang engkaulah yang aku tunggu-tunggu!" bentak Miranti marah.

"Hua, ha, ha...! Kalian mau mengantar nyawa rupanya! Jangankan kalian, Jaka Ndableg yang kalian anggap manusia dewa pun dengan mudah aku bunuh!"

Iblis Sedayu bergelak tawa sombong, menjadikan ketiga pendekar tersebut melototkan mata marah. Hati mereka bagaikan dibakar api. Ya, ketiganya kini telah dibakar oleh api amarah pada Iblis tersebut. Sementara para prajurit dua kekuatan itu telah mundur, mereka hanya diam untuk menyaksikan apa yang bakal terjadi.

"Sombong kau, Iblis! Kami datang untuk memusnahkan nyawa busukmu!" yang membentak ini Maling Siluman. "Serang...!"

Dengan segera ketiganya pun berkelebat menyerang bergantian. Namun demikian, sepertinya Iblis Sedayu tak merasakan apa-apa diserang oleh tokoh-tokoh persilatan kelas wahid. Pertempuran antara ketiga tokoh utama persilatan mengeroyok Iblis Sedayu terus berjalan. Miranti dengan Selendang Ungunya tanpa segan-segan mencerca dengan jurus-jurus yang dahsyat. Dan Maling Siluman dengan pedangnya terus membabatkan pedang di tangannya ke arah yang mematikan.

Sementara Daeng Surih dengan Suling Kematiannya dengan enaknya meniup seruling yang ditujukan langsung ke arah musuh. Akibat tiupan seruling itu, seketika prajurit-prajurit kerajaan Sebrang Gunung hancur berantakan. Dan prajurit-prajurit manusianya seketika berbuat aneh. Mereka mencekik leher mereka sendiri hingga mati melotot dengan lidah menjulur keluar.

"Hiat...!" suara Miranti menggelegar.

"Hiat…!" Maling Siluman.

"Hiat...!" Daeng Surih. Ketiganya bersamasama hantamkan ilmu yang mereka miliki, dan...

"Duar...!"

Meledak seketika tubuh Jalak Kuning, hancur berantakan terhantam oleh ajian-ajian yang mereka miliki. Seketika bersorak giranglah para prajurit yang menonton. Namun belum juga hilang rasa bahagia mereka, tiba-tiba terdengar gelak tawa membahana memecahkan keramaian.

"Kalian jangan bungah dulu, aku masih hidup! Hua, ha, ha...!"

Tersentak semuanya yang berada di situ termasuk ketiga pendekar itu. Mata mereka tak percaya demi melihat apa yang kini berjalan ke arah mereka. Sebuah mahluk yang terdiri dari darah belaka berjalan menuju ke arah ketiga pendekar tersebut.

"Inilah ujudku! Kalian tak akan mampu membunuhku. Hua...!" Mahluk itu segera berkelebat menyerang ketiga pendekar tersebut yang dengan segera bermaksud menghindar. Namun cipratan darah itu begitu cepat, hampir saja dapat mengenai tubuh mereka, ketika nampak dua bayangan berkelebat memapakinya.

"Wuuuttt...!"

"Desst...!"

"Kau....'" pekik mahluk itu demi melihat siapa adanya yang datang.

Tak kalah kaget dan senangnya ketiga pendekar itu demi melihat siapa yang kini tengah tersenyum menghadapi mahluk menyeramkan. Dia adalah Jaka Ndableg yang digegerkan telah mati.

"Jaka...." seru ketiganya demi melihat Jaka telah ada bersamaan dengan seorang wanita cantik jelita di sisinya.

Miranti nampak mengkerut, melengos cemburu. Namun segera Jaka yang tahu hal itu kedipkan mata, sehingga Miranti kini tahu siapa adanya wanita di sisi Jaka.

"Dia adalah gurunya!"

"Gurunya...?!" terheran-heran Maling Siluman dan Daeng Surih mendengar penuturan Miranti. "Bagaimana mungkin gadis semuda itu adalah guru Jaka?"

Namun pertanyaan Daeng Surih dan Maling Siluman tak terjawab ketika dengan segera terpecah oleh sebuah bentakan yang dilontarkan oleh gadis cantik bak bidadari yang berdiri di samping Jaka.

"Sedayu! Kau ternyata telah membuat nama kerajaan cemar! Masihkah engkau akan melawanku! Masihkah engkau akan menentangku! Kalau memang begitu jangan salahkan aku bertindak!" Ratu Siluman Darah nampak ngotot marah.

"Aku kini bukan wargamu! Maka engkau minggirlah!"

"Hem, kau kira kau mudah untuk menjadikan dirimu sebagai Raja bagi manusia. Sayang Sedayu, ternyata usahamu akan mengalami kesia-siaan, sebab anakku inilah yang akan mengakhiri petualanganmu." Ratu Siluman Darah cibirkan bibirnya. "Nah Jaka, hadapilah dia. Gunakan ilmu yang ayahmu ajarkan. Hanya dengan ilmu itu dia akan mati..."

"Baik, Ibunda Ratu. Segala apa yang disarankan ibunda akan Jaka laksanakan!"

Tengah Jaka bersiap-siap, tiba-tiba Iblis Sedayu telah berkelebat menyerangnya. Dengan segera Jaka pun rapalkan ajian yang telah diajarkan oleh ayahnya yaitu ajian Penghalau Berkala Iblis.

"Ajian Penghalau Iblis. Hiat...!"

Tersentak Iblis Sedayu melihat Jaka mengeluarkan ajian yang hanya dimiliki oleh bangsa Siluman Darah saja. Sayang ia tidak memilikinya, menjadikan Iblis Sedayu tak dapat berbuat banyak. Larikan sinar merah, kuning, hijau, perak dan lainnya seperti pelangi bergerak cepat. Bersamaan dengan larikan sinar pelangi itu, segera Jaka ambil Pedang Siluman Darah yang tergantung di punggungnya dan diarahkan ke tubuh mahluk darah tersebut.

Sinar pelangi itu seperti menyedot tubuh darah mahluk itu, semakin dekat dan dekat ke arah Jaka. Dan manakala jarak mereka tinggal beberapa jengkal, Jaka segera kiblatkan Pedang Siluman Darah. Maka dalam sekejap saja darah yang berada di tubuh mahluk itu tersedot masuk ke dalam pedang. Tinggallah mata mahluk itu menggeletak tak berdaya. Jaka kembali hantamkan ajiannya, seketika mata itu hancur berantakan ditimpa sinar pelangi. Lenyaplah sudah Iblis Sedayu.

Sorak sorai kegembiraan pun mewarnai tempat itu. Mereka segera memburu pada Jaka yang masih terpaku memegangi Pedang Siluman Darah. Setelah menyaksikan muridnya mampu menunaikan tugas, dengan segera Ratu Siluman Darah pun lenyap, menjadikan semua yang ada di situ terheran-heran.

Miranti nampak tersenyum, lalu dengan manja merebahkan kepalanya di dada bidang Jaka yang berjalan membawanya melangkah meninggalkan kerumunan massa. "Siapakah adanya gadis cantik tadi, Jaka?" tanya Miranti manja, manakala keduanya terus melangkah.

"Kau cemburu rupanya, Sayang?"

Miranti bersungut, dicubitnya pinggang Jaka. "Aku sangat mencintaimu, Jaka!"

"Aku juga. Tapi jangan terlalu cemburu begitu, Sayang. Dia adalah ibuku."

"Ibumu...?!" membeliak mata Miranti mendengar penuturan Jaka. Bagaimana mungkin ibunya semuda itu?

Jaka yang melihat keragu-raguan di mata Miranti dengan segera menerangkan. "Dia ibuku. Ibuku adalah bangsa Siluman, jadi selamanya masih muda saja, bukan?"

Ucapan Jaka yang konyol, seketika mengundang rasa gemes di hati Miranti yang dengan segera mencium bibirnya. Daeng Surih dan Maling Siluman hanya gelengkan kepala, seakan mengerti perasaan kedua sejoli itu....

S E L E S A I

Munculnya Ratu Siluman Darah

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
Episode Munculnya Ratu Siluman Darah
Karya Sandro S
Cetakan Pertama Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Cerita silat Serial Pendekar Pedang Siluman Darah

SATU

RENGGANA yang berhasil dimiliki tiada makna sama sekali telah putus asa. Dia bertekad tak akan keluar-keluar lagi menginjakkan kembali di dunia persilatan. Dia begitu terpukul perasaannya begitu tersayat-sayat. Segalanya seakan berubah bagi dirinya.

Cita-citanya untuk menjadi Datuk segala Datuk sekarang terkubur sudah dengan penyesalan. Dia bertekad untuk mencoba hidup di jalan yang benar, jalan yang ditempuh oleh adik seperguruannya.

Dengan hati penuh rasa sesal, Renggana terus berlari dan berlari meninggalkan Jaka Ndableg dan Senggara yang mengejarnya jauh di belakang. Renggana malu, malu pada realitas dirinya yang telah lupa pada segalanya.

"Kakang, tunggu!" Senggara terus berusaha menyadarkan kakak seperguruannya, namun nampaknya Renggana tak perduli akan seruan adiknya. Dia terus berlari, semakin cepat dan cepat. "Kakang... kenapa kakang meninggalkan aku?!"

"Pergi Kamu! Jangan ikuti aku!"

"Tidak! Kami tak akan pergi sebelum kau mau sadar!" Jaka yang ikut berusaha terus membantu menyadarkan diri Renggana. "Percayalah kami sangat mengharapkan dirimu! Kami sangat membutuhkan pikiranmu!"

"Tidak! Aku bukan orang baik-baik! Aku tak layak harus sejajar dengan langkah-langkahmu, juga langkah adikku! Biarkanlah aku pergi mencari damai!"

Jaka yang melihat Renggana terus berlari dan mendekati jurang yang menganga di hadapannya, segera percepat larinya untuk menghadang. Dikerahkan ajian Angin Puyuh, sehingga tubuh Jaka melesat bagaikan terbang mendahului Senggara yang hanya terbengong melihat hal itu.

Jaka terus melesat, tapi ilmu lari Renggana yang seperti burung Gagak mampu membuat Jaka agak kewalahan dan tertinggal jauh. Jaka tak mau putus asa, dia terus mengerahkan ilmu larinya. Angin Puyuh tingkat satu, dua, tiga... hingga akhirnya tingkat terakhir Jaka kerahkan. Namun jarak antaranya dengan Renggana nampak masih agak jauh.

"Ilmu lari macam apa yang dia gunakan, hingga ajian Angin Puyuhku tak mampu menandingi?" keluh Jaka dalam hati, kaget bercampur tak mengerti menyelimuti hatinya. Bagaimana mungkin ada orang yang mampu lari melebihi kecepatan angin? Sungguh tidak masuk di akal. "Wah, bagaimana aku ini? Kenapa ajian Angin Puyuhku tak ada arti sama sekali untuk menandingi ilmu larinya?"

Jaka tak mau begitu saja mengalah, segera ia kerahkan segenap tenaganya untuk menambah larinya. Hingga dalam sekejap saja tubuh kedua orang tersebut melesat bagaikan dua larikan sinar yang bergerak di alam bebas.

"Ki Sanak Renggana, berhentilah!"

"Tidak! Jangan kau paksa aku!"

"Aku tidak memaksamu, tapi aku hanya ingin kau sadar!" Jaka terus ngotot meminta agar Renggana mau menghentikan larinya yang sungguh begitu cepat. "Berpikirlah kembali dengan penuh ketenangan, apakah jalan yang hendak engkau tempuh sudah benar?"

"Perduli apa kau!" bentak Renggana marah. "Minggatlah jangan kau terus paksa aku, atau barangkali engkau minta aku harus menyingkirkan dirimu!"

"Ah..." Jaka mengeluh.

"Cepat minggat dari sini!" kembali Renggana menggeretak.

"Kalau aku tak mau?"

"Heh, jangan harap engkau mampu lolos dari tangan mautku!"

Jaka merasakan ucapan Renggana bukan ucapan sekedar gertak sambal belaka. Ia tahu sungguh ilmu Renggana bukanlah ilmu sembarangan. Namun bila ia mengalah, maka kemalanganlah yang akan diterima oleh Renggana karena dia akan nekad menjeburkan dirinya ke dalam jurang. Pikiran Jaka berkecamuk, bingung harus memilih yang mana. Menghalangi Renggana, atau membiarkan Renggana dengan kenestapaannya membunuh diri sendiri. Ah, macam apa dirinya kalau harus mengalah begitu saja.

"Aku harus berbuat sesuatu. Apa pun resikonya, aku harus mampu memberikan arti bagi kehidupan Renggana. Ya, aku harus berbuat sesuatu," gumam hatinya. Maka dengan tak hiraukan ancaman Renggana, Jaka segera mempercepat larinya manakala Renggana memperlambat larinya.

"Rupanya kau nekad, Anak muda! Kau minta mampus!" Renggana nampak gusar, sehingga guratan-guratan wajahnya yang mencerminkan keberingasan jelas kentara. Napasnya mendesah berat, membuat suara napasnya bagaikan gema yang sangat menggetarkan hati para pendengarnya.

"Demi adikmu, aku rela kalau tubuhku kau hancurkan sekalipun. Aku relakan diriku, asal engkau dan adikmu dapat berkumpul kembali dan melangkah seiring di jalan yang benar." Jaka mencoba kembali menyadarkan Renggana.

"Hem, jangan kau kira mampu memaksaku!"

"Aku tidak memaksamu, Renggana! Sekali lagi, aku tidak memaksa dirimu!"

"Kau terlalu rewel!" dengus Renggana jengkel.

"Mungkin begitu," Jaka enak saja menyahuti tanpa memperlihatkan rasa gentar sedikit pun. Matanya memandang penuh kesiap siagaan pada Renggana yang nampaknya sewot. "Aku memang rewel, tapi kerewelanku semata demi kebaikan."

Renggana tampak diam, sepertinya Renggana juga berpikir tentang segala kemungkinan yang hendak ia perbuat. Ia telah tahu siapa adanya Jaka Ndableg, seorang pendekar yang tidak dapat disepelekan begitu saja. Pendekar yang namanya telah kondang dengan senjatanya yang sangat sakti yaitu Pedang Siluman Darah.

"Hem, mampukah aku menggempurnya?!" desis hati Renggana. Sementara matanya kini memandang tajam pada Jaka, menyala bagaikan kobaran api yang setiap saat siap membakar apa saja. "Aku minta, pergilah kau dan adikku dan jangan sekali-sekali ganggu aku!"

"Sudah aku katakan, bahwa aku dan adikmu ingin agar engkau jangan menjadi orang yang pesimis. Tabahkan hatimu, dan katakan pada dirimu bahwa engkau sebenarnya bisa baik."

"Diomong malah ngomong! Kau rupanya memang keras adat. Jangan salahkan aku kalau aku akhirnya nekad melawanmu."

"Aku sudah siap, Renggana!" Jaka akhirnya menyadari bahwa Renggana memang tak bisa diajak kompromi. Ia sadar, Renggana bukanlah orang sembarangan. Ia juga telah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kehebatan Renggana. Tapi demi menegakkan kebenaran, Jaka rela tubuhnya sebagai wadal bagi Renggana.

Renggana nampak mendesis, seketika matanya nampak makin menyala. Sementara Senggara pun telah datang, berdiri mendampingi Jaka seraya memandang tajam penuh ketidakmengertian pada kakak seperguruannya yang penuh misteri.

"Kakang, apabila engkau memang keras kepala, maka jangan salahkan aku dan Jaka menindakmu."

Bergelak tawa Renggana demi mendengar ancaman Senggara. Entah karena apa, tiba-tiba saja Renggana tak ada takut sedikit pun pada adik seperguruannya yang dijuluki anak Dewa. Renggana yang telah tahu bahwa adiknya dan Jaka bukan orang-orang sembarangan, sepertinya tak hiraukan semua itu. Ditatapnya lekat-lekat saling berganti, sesekali mendesis atau lebih tepat dikata menggerekak.

"Kalian memang manusia-manusia tak mau diuntung! Kalian rupanya hendak menentang pada Raja Siluman Gunung Kapur. Hem, apakah kalian memang sudah siap menghadapi diriku, orang-orang bodoh!" bentak Renggana sengit.

"Sudah aku duga, bahwa sebenarnya di dalam dirimu kini telah bersemayam roh siluman atau roh iblis! Pantas ambisimu terlalu tinggi dan mengada-ada, menentang dengan kodrat Ilahi yang menentukan semuanya!" Senggara nampak mendengus marah, tak mau kalah dengan apa yang dikatakan kakak seperguruannya. Tekadnya hanya satu yaitu mengusir roh jahat di diri kakaknya atau mati bersama-sama pendekar Jaka Ndableg.

"Jangan banyak kotbah! Sekali lagi aku katakan, kalian mau minggat dari sini atau mau terus menghalangi maksudku!" Renggana nampak sudah marah. Mulutnya nampak menganga lebar, seakan hendak memangsa dua orang yang ada di hadapannya.

"Kami mau pergi, asalkan engkau mau mengikuti kami!" Jaka berkata dengan tenang, sepertinya ia tak merasakan adanya getaran aneh yang keluar bersamaan habisnya ucapan Renggana.

Di sampingnya Senggara nampak memucat muka, seakan Renggana kini merupakan iblis di hadapan mukanya. Dan memang begitulah adanya, Renggana bagi Senggara yang mampu memandang lubuk hati melihat yang berdiri di hadapannya kini bukan kakaknya, melainkan Iblis Sedayu Mukti. Iblis yang sangat sakti dan berkehendak untuk menghancurkan umat manusia di dunia. Jaka tersentak kaget manakala Senggara mendesis.

"Sedayu Mukti, apa tujuanmu mempengaruhi jiwa kakakku!"

"Heh, ternyata Senggara mampu menembus alam gaib. Oh, kenapa aku tak menggunakan ajian Pembuka Tabir. Baik, akan aku lihat siapa sebenarnya yang ada di tubuh Renggana," Jaka bergumam dalam hatinya. Perlahan dikibaskan tangannya, menyapu lewat di depan kedua matanya. Kini tampaklah oleh Jaka siapa yang tengah berdiri di hadapannya. "Sedayu Mukti!"

"Apa kabar Pendekar sombong!" Sedayu Mukti menyeringai sinis pada Jaka yang telah mampu melihat siapa adanya dia. "Dulu engkau berbuat seenaknya pada segala keturunanku, maka kini aku akan melenyapkan dirimu!"

"Pantas! Apa hakmu mempengaruhi jiwa Renggana, Sedayu!" bentak Jaka sengit. Ia kini benar-benar telah was-was dengan apa yang ada. Bukannya Jaka takut kalah bila harus menandingi Iblis yang terkenal dengan ajiannya yang beraneka ragam, tapi ia takut kalau ilmunya akan membuat tubuh Renggana berantakan. "Aku minta, minggatlah engkau, jangan ganggu jiwa orang itu, Sedayu!"

"Tidak! Aku akan memakainya karena kami sudah saling mengikat janji."

"Bedebah!" gertak Senggara marah. "Minggatlah engkau, Iblis! Jangan kau ganggu kakakku, atau aku dengan terpaksa menghujatmu!"

"Lakukan bila kau mampu, Senggara! Aku tak akan takut!" Sedayu Mukti berkata. "Dan kau Pendekar sombong! Kau tentunya tak akan tega dengan tubuh ini, bukan?!"

"Kurang ajar! Kenapa kau pengecut seperti itu, Renggana! Sedayu keluarlah dari tubuhnya, dan hadapilah aku!" Jaka bimbang, sebab ia tahu kalau ajiannya menghantam tubuh Renggana maka sia-sialah ia berbuat. Bukannya Sedayu Mukti yang lenyap, tapi tubuh Rengganalah yang akan hancur. Sedangkan untuk mengusir Sedayu Mukti sangatlah susah kalau tidak harus dengan ajian Tapak Bahananya. Jaka benar-benar serba salah. Sesaat diliriknya Senggara, nampaknya Senggara pun mengalami hal yang seperti dialami oleh dirinya. "Bagaimana, Saudara Senggara?"

"Kita terpaksa!"

"Terpaksa...?" Jaka membeliak kaget mendengar ucapan Senggara. "Terpaksa bagaimana maksudmu...?"

"Kita terpaksa harus berkorban. Kita yang hancur, atau tubuh kakak seperguruanku yang hancur. Iblis memang begitu, Saudara Jaka. Iblis tak akan mau pergi tanpa membawa korban!"

Jaka tercenung demi mendengar ucapan Senggara. Memang benar akan apa yang dikatakan oleh Senggara, bahwa Iblis tak akan mau pergi tanpa membawa korban.

"Kenapa saudara Jaka...?" Senggara menanya demi melihat Jaka nampak bimbang. "Kau nampaknya ragu untuk bertindak."

"Benar! Hanya karena Iblis, kita harus mengorbankan salah satu di antara kita," jawab Jaka.

"Aku minta engkau jangan pikirkan itu. Lakukanlah apa yang kau anggap baik. Jangan hiraukan siapa adanya kakakku, kalau akhirnya kelak dia akan menyusahkan kita dan manusia lainnya."

"Hai! Kalian manusia-manusia sombong, kalau kalian takut aku minta cepatlah minggat dari sini jangan sampai aku mengirim kalian ke akherat sana!"

"Bagaimana saudara Jaka?"

"Baiklah Senggara, aku akan berbuat," jawab Jaka akhirnya.

Kini hatinya agak tenang mendengar penuturan Senggara yang telah menumbuhkan rasa percaya diri. Memang apa artinya pengorbanan seseorang, kalau akhirnya menjadi ketentraman orang lain. Kini Jaka sadar, kalau Renggana tidak musnah, maka petaka akan selalu datang menimpa umat manusia. Sejenak Jaka memandang tajam pada Renggana, sepertinya hendak menembus sorot mata penghuni jasad Renggana yaitu Sedayu Mukti.

"Sedayu Mukti, sekali lagi aku katakan pergilah engkau jangan ganggu jasad orang tersebut atau dengan terpaksa aku akan menghancur leburkan dirimu!"

"Hua, ha, ha....! Lakukan bila memang engkau menghendaki tubuh orang ini hancur, Jaka! Lakukanlah dengan ajian yang engkau miliki atau dengan Pedang Siluman Darah! Hua, ha, ha...! Aku Sedayu Mukti, Iblis dari segala Iblis tak akan dapat engkau usir dari muka bumi ini!"

"Sombong!" Senggara menggeretak marah, mendengus penuh kobaran api emosi. "Biar aku yang akan menghajarnya terlebih dahulu, Jaka!"

"Hati-hatilah, Senggara!" Jaka memperingatkan. "Serang dia dengan ketenangan batinmu. Jangan engkau gentar bila dia berubah banyak, sebab dia hanyalah hendak menipu pandangan mu saja. Cerca yang satu."

"Baik, akan aku turuti apa yang menjadi saranmu," Senggara segera maju ke muka, dihampirinya Renggana kakaknya yang nampak tersenyum bagai menyepelekannya. "Sedayu, aku terpaksa harus memaksamu untuk minggat dari tubuh kakakku. Bersiaplah!"

"Hua, ha, ha...! Percuma, kau tak akan mampu menandingi ilmu yang aku miliki," Renggana berkata sombong.

"Kita buktikan saja, Sedayu!" dengus Senggara, pucat wajahnya karena dilanda kemarahan. Batinnya bergolak, kesal dan marah berbaur menjadi satu. "Minggatlah kau dari sini, Sedayu. Hiat...!"

Tanpa banyak kata lagi Senggara segera berkelebat menyerang Sedayu yang dengan segera berkelebat mengelakkannya. Kini dengan cepat kedua kakak beradik itu saling serang, saling ingin menunjukkan siapa di antara keduanya yang berilmu tinggi. Jurus demi jurus berlalu, hampir segala jurus-jurus yang mereka miliki keluarkan. Yang lebih sangat mengejutkan, hampir segala jurus milik keduanya sama persis hingga setiap kali Senggara menyerang dengan cepat Sedayu memapaki dan memunahkannya.

"Sudah aku katakan percuma, sebab aku akan mampu mengembangkan segala ilmu yang engkau miliki karena aku pun mampu mengetahui dan memecahkannya," gelak Sedayu sombong.

"Jangan senang dulu, Iblis. Mari kita teruskan. Hiat...!"

Kembali Senggara berkelebat menyerang dengan cepat, kini jurus yang ia gunakan adalah jurus-jurus yang dahsyat. Jurus-jurus yang tidak dimiliki oleh kakak seperguruannya. Ya, Senggara sadar bahwa kalau ia menggunakan jurus yang diajarkan oleh gurunya niscaya iblis Sedayu akan dapat mengetahui titik kelemahannya karena iblis tersebut kini telah mampu menjalankan pikiran kakaknya. Terbukti, setelah Senggara menggunakan jurus-jurus lain, Renggana tak dapat memecahkannya.

"Ah...." Renggana terdengar mengeluh. Matanya membeliak kaget melihat jurus-jurus kembangan yang dilancarkan oleh adik seperguruannya. Tapi ia telah dikuasai iblis, menjadikan dirinya seperti tak kenal takut barang setitik darah pun. Dalam hatinya hanya ada satu bisikan: "Jangan takut, Renggana. Aku ada di sampingmu. Aku akan membantumu."

"Menyerahlah, Iblis!" bentak Senggara sambil terus mencerca.

"Tidak! Pantang bagiku untuk menyerah!" balas Renggana keras. "Lihat...!" Tiba-tiba tubuhnya berputar kencang, memusingkan pandangan Senggara yang kini bingung dan terdiam.

"Ilmu Siluman Iblis!" pekik Senggara kaget melompat kebelakang dua tombak. Tampak kini tubuh Renggana keluar satu demi satu dari baling-baling tubuh utamanya. Tubuh Renggana terus bertambah banyak, dari 1... 2, 3, 4, 25... 40... 100... 1000. Ya, kini tubuh Renggana nampak ada seribu sosok yang sama persis, susah untuk menentukan mana yang asli dan mana yang hanya bayang-bayang Iblis.

"Hua, ha, ha...! Bagaimana Senggara, apakah kau tak mau mengakui kekalahanmu?!" bergelak Renggana sombong. Keseribu tubuhnya melangkah mendekati Senggara yang menyurut mundur.

Senggara memang benar-benar terpojok, tak tahu harus berbuat bagaimana untuk menghadapi ilmu Iblis kakaknya. Tengah Senggara tersurut ke belakang, dan Renggana hendak menyerang tiba-tiba terdengar seruan Jaka.

"Saudara Senggara, serang dengan mata batinmu. Jangan engkau terpengaruh dengan pandangan semu mu!"

"Hem, apa benar ucapan Jaka? Tapi baiklah, aku percaya kalau dia memang benar-benar seorang tokoh silat yang bukan sembarangan. Akan aku coba...." Senggara segera pejamkan mata, mulutnya komat kamit mengucap mantra pembuka batin. Kini nampaklah mana yang asli tubuh kakaknya. Maka dengan tanpa membuang-buang waktu lagi Senggara segera berkelebat manakala kakaknya juga hendak menyerangnya.

"Hiat...!"

"Kau harus minggat dari dunia, Senggara. Hiat...!"

Seribu tubuh Renggana mengurung, namun dengan cepat Senggara memapaki dan langsung menggenjotkan tubuh melayang menyerang ke arah tubuh yang asli.

"Bug, bug, bug!"

"Ah...!" Renggana mengeluh, tubuhnya mental terhantam pukulan yang dilontarkan Senggara. Renggana nampak terheran-heran melihat Senggara mampu memecahkan ilmunya. Sambil meringis menahan sakit Renggana tiba-tiba memekik. "Keaak...! Kuhancurkan kau, Senggara!"

Tersentak Jaka yang melihat hal itu, Senggara kini nampak terkejut, heran pukulannya yang dilandasi oleh tenaga dalam yang kuat seakan tak ada artinya sama sekali. Namun ia sebagai seorang yang dijuluki Anak Dewa tak mau kalah begitu saja. Secepat kilat ia rubah tubuhnya menjadi Cobra Merah. Ular Cobra besar sebesar pohon kelapa berwarna merah seketika mendesis dan memapaki serangan Renggana.

Tersentak Renggana kini, demi melihat adiknya telah mengubah ujud menjadi seekor Cobra Merah. Jelas bahwa Senggara atau si Cobra Merah telah benar-benar marah. Tak hanya Renggana yang telah mengerti maksud Senggara, Jaka pun kini nampak tersentak kaget demi melihat kejadian tersebut. Renggana telah mengerti bahwa adik seperguruannya kini benar-benar siap mengadu jiwa.

"Rupanya kau benar-benar ingin mengadu jiwa denganku, Senggara!" desis Renggana menyurut mundur, mengurungkan niatnya untuk menyerang.

"Terpaksa! Terpaksa ini aku lakukan, karena ternyata engkau tak mau minggir dari tubuh kakak seperguruanku!" jawab Ular Cobra Merah. Dari mulutnya keluar desisan keras, sepertinya Cobra Merah itu hendak menunjukkan bahwa dirinya telah siap segala-galanya.

"Baik, kalau itu yang engkau mau! Jangan kira aku akan mau mengalah dan meninggalkan tubuh kakakmu, karena dia telah berhutang budi padaku. Kau tahu, dari siapa kakakmu memiliki kesaktian? Huh, dia memiliki kesaktian sepertimu bukan dari gurumu, sebab gurumu tak memberikannya. Dia ngiri padamu, dia ingin memiliki ilmu yang sepertimu. Dengan aku mau memberikan ilmu seperti yang engkau miliki, kakakmu rela kalau tubuhnya untuk menjadi sandaran sukmaku. Aku akan kembali ke dunia, aku akan menguasai alam ini. Manusia harus tunduk padaku.... Aku telah dendam, dendam pada anak cucu Adam! Hua, ha, ha...!"

Berbarengan dengan habisnya suara Sedayu, seketika tubuh Renggana berubah menjadi burung gagak hitam besar, sebesar burung dalam masa kepurbaan. "Kak... Kak... kak...! Ayo, Senggara kita buktikan!"

Wuss... wusss!

"Mari, kita mengadu jiwa..."

Wuss...!

Jaka yang menyaksikan nampak hanya mampu memandang dengan takjub dan mata tak berkedip. Ia begitu tercekam dengan kenyataan yang ia lihat. Sungguh tidak disangka kalau kedua kakak beradik itu harus saling serang demi ambisi mereka masing-masing. Memang apa yang dilakukan Senggara benar adanya, ia ingin agar kakaknya yang ditumpangi Iblis Sedayu Mukti sadar. Namun kenyataannya hanya dengan jalan pertarungan saja yang akan dapat menyelesaikan.

Kini dua hewan raksasa jelmaan dua manusia kakak beradik tersebut saling serang bagaikan dua kekuatan dahsyat beradu. Setiap kebasan sayap Gagak Hitam legam itu mengeluarkan angin besar yang mampu menerbangkan dan menggoncangkan pepohonan. Sebaliknya desisan Cobra Merah, nampak begitu menggema dan mampu meruntuhkan gunung kapur yang tak jauh dari tempat mereka bertarung. Pertarungan tersebut berjalan dengan alot, tampak seru. Tak ada yang mau mengalah atau mengakhiri pertarungan tersebut.

"Bahaya kalau begitu terus-menerus! Malah bisa-bisa keduanya yang akan jadi korban," Jaka nampak bimbang untuk menentukan langkahnya. Sebenarnya hatinya tak ingin menyaksikan dua kakak beradik itu saling gempur yang akan mengakibatkan keduanya harus mengalami hal yang tak diinginkan. Betapa akan tragis bila keduanya sangat menghendaki salah seorang di antaranya harus mati. "Hem, semua ini gara-gara Iblis laknat Sedayu. Tapi aku.... Ah, aku tak dapat harus berbuat apa?"

Dua mahluk hewan jejadian dari dua tokoh sakti itu terus saling serang dan gempur. Naga-naganya keduanya tak akan ada yang dapat mengendalikan hawa membunuh. Dari serangannya nampak betapa mereka benar-benar menguras segala ilmu yang mereka miliki. Kilatan-kilatan api nampak menyembur dari Cobra Merah manakala mulutnya menganga.

Sebaliknya Gagak Hitam pun tak mau kalah, dari matanya membersit sinar ungu berubah hitam legam menyerang Cobra Merah. Sungguh pertarungan penentuan antara hidup dan mati. Jaka melihat gundah, cemas dan bingung harus berbuat apa. "Apakah aku akan membiarkan kedua-duanya mengalami kematian? Ah, sungguh aku tiada guna!"

Jaka tersentak kaget, manakala selarik sinar ungu berbaur hitam melesat hendak menghantam tubuh Cobra Merah. Mata Jaka melotot, tak percaya pada apa yang dilihatnya. Dengan gerak cepat, Jaka segera hantamkan pukulan jarak jauhnya menangkis serangan yang hampir saja merenggut riwayat Cobra Merah.

"Getih Sakti. Hiat...!"

"Crooot...!" Getih Sakti yang keluar dari telunjuk Jaka melesat, kencang laksana seberkas sinar merah membara dan...!

"Duar...!"

"Ah...!" Gagak Hitam melenguh, tubuhnya mental ke belakang.

Jaka nampak terpaku melihat hal itu. Sebenarnya ia tak ingin turun tangan. Tapi bila melihat bahwa Cobra Merah akan mengalami kenaasan, maka dengan terpaksalah Jaka melakukannya. Kini nampak Gagak Hitam mengalihkan pandangannya pada Jaka. Sinar matanya nampak merah, lalu dengan memekak Gagak Hitam melejit terbang memburu di mana Jaka berada.

"Keak...!" suaranya begitu keras, sepertinya mengatakan bahwa kematian harus diterima Jaka yang telah turut campur masalah itu.

Jaka tersentak, hindarkan dari sabetan sayap Gagak Hitam yang menderu laksana topan. Merasa serangannya gagal, segera Gagak Hitam putar tubuh dan menghadap Jaka lalu kembali menyerang.

"Keak...!"

"Cobra Merah, bagaimana ini?!" Jaka berseru seraya hindarkan serangan Gagak Hitam yang benar-benar menghendaki kematiannya.

"Lakukan apa yang engkau mampu, Jaka!"

"Tapi...!" Jaka ragu.

"Jangan engkau ragu. Biarlah ia lenyap demi ketentraman umat manusia. Lakukan apa yang kau bisa. Lakukan!"

"Baiklah! Kalau memang itu yang harus aku lakukan!"

Burung Gagak Hitam raksasa itu kembali mengarah ke arah Jaka. Sinar matanya nampak memendam kebengisan yang teramat sangat, sepertinya mengisyaratkan sebuah dendam. Ya, dendam dan kemarahan yang meluap-luap.

Jaka juga sudah tahu siapa adanya yang bersemayam pada tubuh Gagak Hitam, tak lain Iblis Sedayu Mukti musuhnya. Tapi Jaka masih menghendaki kompromi, sebab ia tak menginginkan adanya korban. Korban yang merenggut nyawa seorang manusia. Walau manusia itu seorang yang terlalu angkara, tapi tetap saja manusia juga. Apalagi dia adalah kakak seperguruan Cobra Merah. Jaka tampak merenung, manakala tiba-tiba terdengar seruan Cobra Merah menyadarkannya:

"Awas Jaka, serangan!"

Jaka Ndableg tampak kaget, sementara burung Gagak Hitam raksasa benar-benar susah untuk dapatlah dihindarkan lagi. Jarak burung Gagak dengannya tinggal setombak belaka. Paruh burung itu menganga, seakan menunjukkan kekuatannya.

"Keak...!"

"Mati aku!" renguh Jaka dalam hati.

Burung Gagak Hitam itu menukik siap untuk mematuk Jaka yang ada di bawahnya. Dengan tanpa mempertimbangkan apa yang akan terjadi Jaka segera hantamkan pukulan Petir Sewunya.

"Bletar! Bletar! Bletar!"

Suara petir membahana, menyambut tubuh burung Gagak Hitam yang tersentak berusaha mengelak. Namun tak urung, salah sebuah lidah petir menghantam matanya yang seketika melelehkan darah. Mata burung Gagak itu pecah berantakan. Sesaat burung Gagak Hitam putar-putar menahan sakit yang teramat sangat, lalu tubuhnya kelabakan di tanah sesaat dan berubah menjadi Renggana kembali.

Cobra Merah dan Jaka segera bermaksud menghampiri, manakala Renggana yang mukanya sudah hancur dan menyerupai hantu bangkit menyerang Jaka. Jaka yang tersentak kaget tak mampu lagi berbuat banyak. Serta merta Jaka hantamkan Tapak Bahananya.

"Hiat...!"

"Aahhh...!" Tubuh Renggana atau Gagak Hitam melayang mental ke bawah jurang. Tubuh itu hancur berantakan. Tapi yang membuat Jaka heran Renggana tidak menjadi serpihan abu seperti musuh lainnya bila berhadapan dengan Tapak Bahananya.

"Dia telah mati oleh tanganku," keluh Jaka sepertinya menyesal menjadikan Senggara seketika mendekatinya seraya berkata menghibur.

"Jangan kau sesali, Jaka. Aku rela, sebab bila tidak demikian Iblis tersebut tak akan lenyap."

Dengan beriringan, kedua pendekar itu segera meninggalkan Jurang Gunung Kapur yang telah menelan sesosok tubuh milik Renggana. Apakah Renggana benar-benar mati? Apakah Iblis Sedayu Mukti benar-benar merelakan Renggana yang dijadikan sebagai penitip sukmanya mati? Ikuti saja terus cerita ini.

********************

DUA

Pedati yang ditarik oleh dua ekor kuda itu melintasi jalan bulakan di Gunung Kapur. Wajah penunggang-penunggangnya nampak penuh ketegangan. Sejak dua bulan terakhir setelah kematian Gagak Hitam daerah Gunung Kapur terkenal dengan keangkerannya. Pernah sekali seorang musyafir memergoki sebuah bayangan berkelebat dari bawah jurang mencelat dan menghadangnya.

Dan manakala musyafir itu memandangnya dengan seksama, ternyata orang tersebut berbentuk sesosok tubuh menyeramkan. Tubuh orang itu hancur berantakan, sehingga kulit-kulitnya mengelupas, bergumpal-gumpal laksana dera darah kering atau lilin yang terkena panas.

Musyafir itu tanpa banyak pikir panjang lagi segera berlari menghindari. Namun tampaknya sosok manusia hancur berantakan itu tak mau melepaskannya begitu saja. Sosok hancur berantakan tersebut terus mengejarnya, lalu dengan ganas ditangkapnya tubuh sang musyafir. Musyafir itu meronta meminta dilepaskan, tapi dengan sadis digigitnya leher musyafir itu hingga lehernya tembus terhantam gigi-giginya yang runcing. Maka dalam sekejap saja, darah musyafir itu habis terhisap.

Wajah para penunggang pedati itu makin tambah pucat pasi ketakutan, manakala pedati makin melaju tak menentu. Sepertinya lari kedua kuda itu ada yang menuntun dan makin mendekat ke arah jurang yang telah menelan tubuh Renggana.

"Mang kusir, kenapa ke arah ini?" tanya salah seorang penunggang pedati dengan mata membeliak dan wajah pucat pasi ketakutan.

"Ia mang, kenapa ke sini?" yang lainnya ikut bicara.

"Kenapa kalian ribut!"

Tersentak kaget seluruh penunggang pedati, manakala mendengar bentakan sang kusir. Sungguh mereka tidak menyangka kalau kusir pedati itu berani membentak. Keenam orang jawara yang terkenal itu sangat geram. Mereka yang terkenal dengan sebuatan Enam Jalak Sungu dari Warangrang, belum pernah sekalipun dibentak.

Jangkan membentak, orang mendengarnya saja akan lari terkencing-kencing. Tapi tukang pedati ini sungguh lancang, berani membentak. Mungkin tukang pedati belum tahu siapa adanya mereka, sehingga tanpa sadar berani menentang. Maka dengan geram Jalak Kuning yang merupakan Jalak tertua membentak balik.

"Kusir kurang ajar! Berani kau membentak kami! Apa kau tak tahu siapa adanya kami, hah?!"

Sang kusir tak hiraukan caci maki orang tersebut, ia tampak asyik mengendalikan kudanya melangkah menuju makin dekat saja ke arah jurang.

"Bedebah! Rupanya kau sengaja, Kusir!" kembali Jalak Kuning membentak marah. "Apa kau ingin kami mencabut nyawa tuamu!"

"Kusir, helakan kuda-kudamu jangan sampai terus ke arah situ. Bahaya," Jalak Merah yang berkata, nada suaranya agak sedikit sabar tidak seperti kakaknya. "Tak dapatkah kau diajak kompromi?"

Kusir itu terus diam saja, sepertinya tak mendengar kata-kata yang diucapkan para penunggangnya. Menengok pun ia tidak, matanya terus memandang ke muka, sepertinya ada sesuatu yang menarik pandangannya ke sana.

Tak dapat lagi keenam Jalak Sakti itu menahan amarahnya, segera dengan cepat Jalak Kuning menyerobot ke muka dengan maksud untuk mengambil alih kais kuda. Namun seketika Jalak Kuning terjengah, wajahnya pucat demi melihat apa yang terjadi pada diri kusir pedati yang ditumpanginya. Hal itu menjadikan Jalak lainnya serentak bertanya:

"Ada apa, Kakang?"

"Dia... dia bukan manusia!" Jalak Kuning memekik, loncatkan tubuhnya melesat pergi. Melihat kakaknya meloncat, serta merta kelima Jalak lainnya pun mengikutinya keluar dari pedati.

Tukang pedati itu segera hentikan kuda-kudanya, lalu dengan sekali lompat ia telah berdiri di hadapan keenam Jalak Sakti. Di buangnya topi yang menutupi wajahnya, dan kini tampaklah wajah tukang pedati sesungguhnya. Wajah yang sangat menyeramkan tak nampak seperti manusia melainkan wajah hantu.

"Ah...." mengeluh keenam Jalak Sakti kaget. Tak terasa kaki mereka menyurut mundur.

Manusia bertampang rusak pekak tak karuan terus berjalan menghampiri mereka yang ketakutan. Mulutnya menyeringai, menunjukkan giginya yang tajam bertaring. Matanya yang sebelah kiri telah hancur, membentuk lubang dalam. Hidungnya rusak berat, tinggal daging-daging busuk mengkiwil-kiwil menyebarkan bau busuk yang teramat sangat. Orang bertampang hantu yang nampak lelaki itu seketika membuka pakaiannya. Dan seketika mata keenam Jalak Sakti itu kembali membelalakkan mata, tak percaya pada apa yang kini mereka lihat.

"Ah...!" Kembali mereka mendesah dengan mata melotot. Mereka melihat bahwa tubuh lelaki itu pun tak karuan adanya. Dagingnya bagaikan teriris-iris, atau dapat dikatakan meleleh. Ketika angin gunung Kapur berhembus, bau daging busuk pun seketika menyengat hidung mereka.

"Iblis Sedayu Mukti! Kenapa engkau bangkit!" Jalak Kuning berseru kaget.

"Hua, ha, ha...! Aku memang yang bangkit dari kematian! Aku bangkit untuk melakukan pembalasan! Pembalasan yang akan menimpa segenap manusia. Hua, ha, ha...!"

Bergidig keenam Jalak Sakti mendengar suara orang amburadul fisiknya itu. Bagaimana pun juga, walau mereka tidak termasuk golongan lurus tapi mereka manusia. Kalau benar Iblis itu bermaksud mengadakan pembalasan pada manusia, jelas mereka pun akan terkena juga.

"Tapi kami bukan musuh-musuhmu, Sedayu," Jalak Kuning berkata mencoba mencari jalan untuk dapat meloloskan diri mereka dari daftar Iblis Sedayu. "Bukankah musuh-musuhmu tak lain adik seperguruanmu Senggara dan Pendekar muda Pedang Siluman Darah."

"Aku tak perduli!"

"Ah..." Jalak Hijau mendesah berat.

"Kenapa begitu? Bukankah kita sealiran?" Jalak Coklat turut buka suara dengan harapan hati Iblis Sedayu mau melemah dan dapat diajak kerja sama. Mereka tahu bahwa Iblis itu bukanlah orang sembarangan. Pendekar Pedang Siluman Darah dan Cobra Merah yang terkenal sakti mandraguna pun hampir saja kerepotan menghadapinya, apalagi dengan diri mereka?

"Sekali lagi aku tak perduli! Aku butuh darah!"

"Ah...! Apa kau tak mau sabar? Biarlah nanti kami yang mencarikan darah untukmu," Jalak Biru juga ikut buka suara. Tujuannya sama, ia mengharap agar Iblis Sedayu mau mengampuni nyawa mereka dan mau menjadi sekutu mereka.

"Benar! Kami akan mencarikan darah untukmu!" Jalak Ungu yang paling muda pun kini ikut berkata. "Biarlah kami menjadi pengikutmu."

Renggana yang berantakan tubuhnya itu seketika terdiam. Namun begitu, sorot matanya nampak masih tajam menghunjam, memandang pada keenam Jalak Sakti yang masih berdiri di hadapannya mematung dengan penuh harap-harap cemas. Mereka takut kalau-kalau Iblis Sedayu tak mau menerima. Renggana dan Iblis Sedayu masih terdiam bisu, sepertinya tengah berpikir dengan pengajuan kerja sama yang disarankan oleh Jalak Sakti. Sesaat kemudian mulutnya menyeringai. Sebenarnya ia tersenyum, namun dikarenakan mulutnya telah rusak berantakan hingga senyumnya bukanlah berupa senyum tapi berupa seringai.

"Baiklah, aku ampuni nyawa kalian. Tapi ingat, setiap malam Jum'at kalian harus mempersembahkan darah manusia atau manusia hidup-hidup padaku. Taruh manusia itu di tepi jurang ini. Kalau kalian ingkar, hem.... Kalian akan tahu apa akibatnya..."

"Baiklah! Kami juga akan selalu menuruti apa yang engkau pinta, tapi kami juga minta syarat," Jalak Kuning membuka kata.

"Apa syaratmu..."

"Kami minta engkau mau melindungi kami bila kami dalam kesusahan..."

"Hua, ha, ha...! Gampang, gampang! Semua bagiku mudah! Baiklah, aku akan datang membantu kalian bila kalian tengah menghadapi kesusahan. Panggilah aku tiga kali, maka aku akan datang."

"Bagaimana aku harus menyebutmu?"

"Sebut Raja Iblis. Maka aku akan segera tergugah dari tidurku dan akan segera datang menemui kalian. Kini aku akan kembali tidur, kalian pergilah, cari oleh kalian manusia-manusia gemuk yang darahnya banyak. Ingat, hari Jum'at tinggal dua hari lagi!"

Tanpa hiraukan keenam Jalak Sakti segera Renggana yang sudah amburadul tubuhnya berkelebat pergi tinggalkan mereka kembali menuju ke bawah jurang Gunung Kapur. Tinggallah keenam Jalak Sakti yang terbengong-bengong tak percaya bahwa diri mereka akan luput dari maut.

"Bagaimana, apakah kalian sanggup untuk mempersembahkan seorang manusia dalam dua hari lagi?"

Kelima adiknya nampak terdiam demi mendengar pertanyaan Jalak Kuning. Hatinya bimbang untuk menjawabnya. Pertama mereka takut pada Iblis Sedayu Mukti, lalu kedua mereka takut kalau Pendekar Pedang Siluman Darah atau Cobra Merah mendengarnya. Kini mereka bagaikan berdiri di antara dua sisi jurang yang siap menelan tubuh-tubuh mereka ke dalamnya. Bila mereka salah jatuh, maka tak ayal lagi remuklah tubuh mereka.

"Bagaimana?!" kembali Jalak Kuning menanya demi melihat kelima adiknya masih terdiam tak ada yang menjawab. "Apakah kita akan menjadi korban Iblis Sedayu?"

Bergidik kelima Jalak Sakti lainnya demi mendengar kakaknya menyebut korban. Jelas mereka tak mau menjadi korban Iblis yang terkenal sakti itu. Tapi mereka pun tak ingin jadi ajang kemarahan Dua Pendekar yaitu Jaka Ndableg dan Senggara.

"Tidak...!" jawab mereka serentak.

"Nah, apakah kita siap untuk menghadapi segalanya?"

"Itulah yang sedang kami pikirkan, Kakang," Jalak Merah mengutarakan apa yang sebenarnya tersandung di hatinya juga adik-adiknya. "Kami merasa takut juga apabila kegiatan kami nantinya dapat diketahui oleh Jaka Ndableg atau si Cobra Merah."

Jalak Kuning tercenung diam. Memang benar apa yang dikatakan oleh adiknya. Kini pun mereka dalam pengejaran Jaka Ndableg karena mereka telah berbuat yang membikin keonaran diwilayah tengah, yaitu merampok Bupati Slawi.

Keenam Jalak Sakti masih terdiam, bingung harus berbuat bagaimana. Kalau menentang, mereka tentu akan menggantikan korban-korbannya dengan diri mereka sendiri. Tapi kalau menurut, jelas mereka harus berkeliaran mencari korban, sampai akhirnya Jaka mendengar dan memburu mereka kembali. Sungguh sebuah pilihan yang sangat sulit. Ibarat mereka kini menghadapi buah Simalakama. Dimakan ayah mati, tidak dimakan ibu pun mati juga. Tengah mereka terdiam dalam kebimbangan, tiba-tiba terdengar suara bentakan dari dalam jurang mengagetkan mereka.

"Kenapa kalian masih di situ, hah!"

"Ampun, kami hendak segera pergi!" jawab mereka serentak setelah dapat menyadarkan diri mereka dari kekagetan.

"Cepatlah kalian minggat! Aku berisik tak dapat tidur!"

"Baik, Ketua...!"

"Ayo, apa lagi yang kalian pikirkan! Kalian apa mau menentangku, hah!"

"Ti... tidak...!"

Dengan hati diselimuti rasa bimbang dan takut keenam Jalak Sakti itu pun tanpa banyak bicara lagi segera berkelebat pergi tinggalkan Jurang Gunung Kapur yang kembali nampak sunyi dan sepi sepertinya penuh keangkeran.

Kini yang terdengar hanya dengkur keras dari si Iblis Sedayu, yang suaranya begitu menggema mampu mendirikan bulu kuduk bagi yang mendengar. Bagaimana tidak, mereka yang mendengar pasti akan mencari-cari asal dengkuran yang begitu besar padahal mahluk yang tidur ada di bawah jurang yang cukup dalam.

********************

TIGA

Sejak munculnya Iblis Sedayu, kini teror mencekam para penduduk. Sebentar-sebentar mereka kehilangan warganya, sebentar-sebentar terjadi penculikan. Penduduk desa Slawi nampak resah, gelisah dan tak tenang untuk hidup. Banyak sudah korban-korban yang menghilang. Dan manakala mereka ditemukan, tubuh mereka telah kering kerontang di dekat jurang Gunung Kapur. Untuk mengambil tubuh-tubuh korban, jelas mereka tidak berani karena mereka tak mau menjadi korban.

Untuk sekian lama mereka tercekam dalam ketakutan, tak tahu siapa sebenarnya pelaku dari semua kejadian yang mengganas dan menimpa desa Slawi. Mereka tidak menyangka siapa adanya pelaku semuanya. Mereka hanya mengerti bahwa korban-korban tersebut merupakan korban dari Iblis Penghuni Jurang Gunung Kapur.

Malam itu telah larut, diselingi dengan rintikan hujan yang turun secara mendadak. Entah apa sebabnya, sepertinya hujan pun turut meratapi segala bencana yang menimpa desa Slawi. Malam itu adalah malam Jum'at, di mana malam-malam yang mengandung misteri bagi orang-orang yang mempercayai adanya Hantu Demit, Setan Marakayangan.

Di malam itu pula, biasanya orang-orang yang mengikuti aliran Aninisme dan Dinamisme selalu membakar dupa, memanjatkan do'a-do'a bagi roh-roh yang bersemayam di batu-batu besar atau pohon-pohon yang terkenal angker. Namun malam itu nampaknya hal seperti sebelumnya tak terjadi, sepi bagaikan mati. Mungkin karena gerimis yang menyayat, atau karena petaka yang datang bertubitubi melanda yang menjadikan mereka takut untuk keluar rumah.

Dalam rintikan gerimis yang mengiris, nampak enam orang bertudung melintas berlari menerobos gelap malam, memecah rintikan hujan. Keenam orang tersebut terus menuju ke kampung, entah apa yang hendak mereka lakukan. Keenam orang tersebut, tak lain dari Enam Jalak Sakti. Mereka adalah utusan-utusan Iblis Penghuni Jurang Gunung Kapur untuk mencari darah manusia setiap Jum'at.

"Rupanya penduduk desa ini telah dapat kita perdayai," gumam Jalak Kuning di sela-sela lari kecilnya.

"Ya! Itu malah makin menjadikan kita gampang beroperasi," kata yang lainnya. "Dengan begitu, kita tak akan mendapat rintangan yang sukar."

"Apakah Pendekar itu belum mendengar?" tanya Jalak Merah.

"Aku harap tidak," desis Jalak Kuning. Hatinya nampak ciut manakala mendengar nama Pendekar Pedang Siluman Darah.

Bagaimanapun, mereka pernah merasakan batunya oleh Pendekar Jaka Ndableg, manakala mereka bentrok akibat tindakan mereka merampok. Akibat kejadian tersebut, mereka benar-benar merasakan ketakutan pada Jaka. Mereka telah sebisa-bisanya menghindar untuk tidak sampai ketahuan oleh Jaka. Sebab mereka akan mengalami hal yang makin menyulitkan bila ternyata Jaka tahu siapa adanya pembuat bencana di desa Slawi.

"Sudahlah, jangan kita memikirkan Pendekar Muda itu," Jalak Biru segera menengahi agar kedua saudaranya jangan merisaukan pendekar yang telah membuat mereka lari puntang-panting, sampai akhirnya bertemu dengan Iblis Sedayu. "Kalau kita memikirkan Pendekar Pedang Siluman Darah, jelas kitalah yang akan merugi sendiri. Kita akan takut dalam segala apa yang hendak kita lakukan. Dan bukanlah hal itu malah menjadikan kita celaka? Jaka Ndableg masih dapat memaafkan, tapi Iblis Sedayu...? Tak ada kata maaf baginya untuk manusia. Hii...!" Jalak Biru bergidik sendiri bila mengingat apa yang dilakukan oleh Iblis Sedayu pada orang-orang yang dijadikan korban. Mereka mati mendelik, mengering dengan mulut menganga bagaikan orang mati banyak dosa.

"Benar juga katamu, Biru. Memang Jaka Ndableg masih mau memberi ampun, tapi Iblis Sedayu...? Kalian tahu sendiri bagaimana Iblis itu mengancam kita. Dan kalian pun tahu sendiri, betapa korbannya sungguh sangat mengerikan," Jalak Kuning menimpali. "Ah, sudahlah jangan kita membicarakan Iblis tersebut. Yang penting bagaimana Kita mendapatkan korban untuknya agar kita aman."

Kembali keenam Jalak Sakti itu berlari, kini mereka makin mempercepat larinya menuju ke kampung yang tampak tak begitu jauh dari tempatnya. Hujan terus menerpa, namun mereka tak hiraukannya. Dalam benak mereka hanya ada satu prinsip, mencari korban untuk mereka persembahkan kepada Iblis Sedayu.

Sungguh perasaan apa yang malam itu mendera Ki Perwira yang menjadi ketua kampung. Hati Ki Perwira menghentak dan mengajaknya untuk melek tak tidur. Hawa panas menyengat tubuhnya, sampai-sampai keringat deras bercucuran membasahi tubuh, padahal malam itu hujan turun. Ki Perwira mencoba menghibur diri dengan menghisap rokok kawungnya. Namun hatinya seketika makin bertambah gundah. Semakin asap rokok bergulung-gulung menyelimuti ruangan di mana dirinya termenung, semakin bertambah tak menentu saja degup jantungnya.

Apakah ini pertanda bahwa dia menderita penyakit jantung seperti orang-orang kaya jaman komputerisasi nanti? Atau barangkali karena seharian ia capai memikirkan nomor SDSB yang tak tembus-tembus seperti Bapak Subari? Entahlah, yang jelas bukan karena itu semua jantung Ki Perwira berdegup keras.

"Hem, ada gerangan apa lagi hingga jantungku berdegup memburu?" gumam Ki Perwira dalam kehehingannya sendirian. "Apakah bencana itu akan datang lagi? Oh, Yang Widi, sampai kapankah kami rakyat desa Slawi ini tenang tanpa banyak tantangan dan teror seperti sekarang ini? Dulu perampokan, kini penculikan gadis dan pengorbanan gadis di Jurang Gunung Kapur."

Ki Perwira terus merenung tak tahu apa sebenarnya yang telah menimpa desa yang diketuai olehnya. Ia tak habis pikir mengapa bencana demi bencana selalu menyelimuti desanya. Baru saja desanya aman dari penggarongan dan pencurian, kini timbul petaka baru yang lebih menakutkan yaitu penculikan dan pengorbanan para gadis di tepi jurang Gunung Kapur.

Ki Perwira sebenarnya ingin menghentikan semua kejadian yang selama ini menimpa desanya, namun mana ada keberaniannya menghadapi Iblis Penghuni Jurang Gunung Kapur yang telah terkenal telengas dengan segala macam tindakannya.

Tengah Ki Perwira tercenung dalam hening, tiba-tiba pintu rumah terdengar digedor dari luar. Mata Ki Perwira melotot, menghunjam pada pintu rumahnya. Ada sedikit rasa takut menyelimuti tatapan mata Ki Perwira, seorang lelaki tua renta yang masih mengabdi pada desanya. Bertahun-tahun hampir setengah abad ia menjadi kepala kampung, baru sekarang ini kampungnya direncah oleh orang-orang yang sangat biadab.

"Siapa...?" tanya Ki Perwira dengan suara berat. Dimatikan rokok kawungnya, matanya memandang tajam pada pintu yang masih digedor dari luar. Tak ada jawaban dari pertanyaannya. "Siapa yang malam-malam begini datang?"

"Ki Perwira, buka pintu," terdengar suara serak dibuat-buat berkata, menjadikan Ki Perwira makin mendera saja keringat dinginnya. Perlahan ia bangkit, tapi diurungkannya dan kembali duduk sepertinya tak mau perduli dengan orang yang menggedor pintu.

"Ki Perwira... bukakan pintu...." suara itu seperti merintih, makin menjadikan Ki Perwira tambah takut bukan alang kepalang dengan mata kini berurai air mata. Ya, Ki Perwira yang tua renta itu menangis ketakutan.

"Ooh... Bune, kenapa engkau mendahului aku, Bune? Kini aku sebatang kara Bune. Hu, hu, hu... Bune, mungkinkah engkau yang datang menyambut diriku yang telah renta ini? Kalau benar engkau maka aku pun akan menurut, Bune. Biarlah aku mati bersama dirimu, sebab aku tak tahan harus hidup begini. Hu, hu, hu..."

"Ki Perwira... Ki Perwira... Ki Perwira bukakan pintu !"

"Tidak...! Jangan ganggu aku!" pekik Ki Perwira ketakutan dan tersentak dari tangisnya. Matanya melotot, memandang penuh rasa takut ke arah pintu rumahnya yang terdengar berderek-derek didorong dari luar. "Jangan...! Jangan kau paksa aku. Jangan!"

Ki Perwira yang sudah ketakutan dengan puntang langkang lari ke dalam kamar. Saking takutnya hingga Ki Perwira tanpa sadar berlari serabutan, maka ketika dia melompat tak ayal kaki yang tinggal tulang kering itu menghantam kursi yang terbuat dari kayu jati. Tak ayal, Ki perwira pun terjerembab mencium tanah dengan tulang kaki terasa sakit yang bukan alang kepalang. Sesontak itu juga Ki Perwira pun menjerit:

"Aduh...! Bune, aku tersentak kursi... Bune, sakit, Bune." Ki Perwira kembali menggerung-gerung karena sakit yang tak alang kepalang di tulang kering kakinya. Namun seketika isak tangisnya berhenti manakala pintu dari luar terbuka dengan paksa. Sepontan Ki Perwira bangkit dengan mata melotot, lalu sepontan itu juga Ki Perwira lari dengan serabutan ke kamar seraya menjerit-jerit ketakutan:

"Wadauw demit, mengapa demit itu datang....! Hu, hu,hu...! Bune, tolonglah suamimu ini, Bune."

Ki Perwira sembunyikan kepalanya di bawah tikar tempatnya tidur dengan harapan demit yang datang tidak ia ketahui. Namun seketika Ki Perwira tersentak, manakala sebuah tangan merayap di kepalanya yang tertutup tikar itu. "Jangan...! Jangan ganggu aku...!"

"Ki Perwira... kenapa kau begitu, sayang...?" rintihan suara itu makin menjadikan Ki Perwira tak dapat lagi menahan ketakutannya. Manakala kepalanya mendongak, sepontanitas pingsanlah Ki Perwira dengan segala ketakutannya. Orang yang menakut-nakuti segera buka kedoknya, dan nampaklah siapa adanya orang-orang tersebut yang tidak lain Keenam Jalak Sakti. Keenam Jalak Sakti dengan sabar menunggui kesadaran Ki Perwira.

Lama juga Ki Perwira terbaring pingsan, namun keenam Jalak Sakti dengan sabar menungguinya. Sesaat kemudian Ki Perwira tampak menggeliat, rupanya ia kini telah siuman. Matanya yang telah tua membuka pelan dan memandang sekeliling.

"Di manakah aku? Apakah aku telah mati?" tanyanya seperti pada diri sendiri. "Hai, kaliankah...? Oh, rupanya aku banyak dosa hingga harus bertemu dengan kalian," keluhnya kemudian.

"Kau belum mati, Ki," Jalak Kuning berkata. "Kau masih hidup, kami menemukan dirimu dalam keadaan pingsan, sehingga kami yang tadinya hendak mencegah setan itu agar jangan mengganggumu telah terlambat. Benarkah engkau telah diganggu setan, Ki?"

Ki Perwira mencoba mengingat-ingat akan apa yang dialami olehnya. Setelah ingat, nampak Ki Perwira anggukkan kepalanya membenarkan apa yang menjadi pertanyaan Jalak Kuning. "Benar, tadi aku baru saja diganggu oleh sebuah hantu. Oh, untung ada kalian datang, kalau tidak...!"

"Kalau tidak, mungkin nyawamu bahkan nyawa warga desa ini akan menjadi tiada arti. Nah, Ki Perwira telah tahu sendiri. Hantu itulah yang menginginkan korban. Kalau Ki Perwira tak percaya, kami akan mengajak Ki Perwira dan segenap warga desa ini untuk melihat kebenarannya. Asalkan malam ini kami harus mendapatkan seorang korban wanita muda yang masih gadis," Jalak Biru berkata. "Sekarang tunjukkanlah pada kami di mana adanya gadis yang masih perawan?"

Ki Perwira kejapkan mata tuanya memandang sesaat bergantian seperti tak mempercayai kata-kata Jalak Biru yang dikenalnya sebagai garong yang telah menjarah desanya beberapa waktu yang lalu. "Untuk apa...?" tanyanya kemudian.

"Ki Perwira, bukankah telah kami katakan bahwa gadis itu, yaitu gadis yang masih suci untuk korban hantu yang telah tadi mengganggu Ki Perwira? Kalau permintaannya tak dipenuhi, sungguh petakalah bagi warga desa ini," Jalak Ungu kini yang ngomong.

"Kalian tidak mendusta?"

"Untuk apa?" Jalak Coklat mencoba meyakinkan. "Kalau kami berdusta, toh kami biarkan saja hantu itu menteror desa ini. Bukankah kami tak rugi? Kami hanya ingin menolong warga desa ini dari bencana, Ki Perwira. Memang dulu kami oleh kalian terkenal orang-orang yang menyusahkan kalian, untuk itulah, sekarang kami ingin membantu kalian dari bencana."

Kembali Ki Perwira tercenung diam, sepertinya dia tengah memikirkan segalanya. Ya, memang segalanya harus dipikirkan masak-masak untung ruginya. Kalaulah memang benar ucapan keenam Jalak Sakti, tapi bila tidak! Jelas dirinyalah yang akan mendapat kecaman dari warganya atau barangkali dirinyalah yang akan menjadi korban amukan warga desanya.

"Baiklah, mari kita temui warga yang lain," ucap Ki Perwira kemudian. "Memang aku sebagai ketua desa di sini, namun untuk menentukan segalanya aku perlu mengadakan pembicaraan dengan warga desanya."

"Tak apa, Ki," jawab Jalak Kuning. "Memang kami pun menghendaki demikian. Kami pun tak ingin warga desa ini terus menerus menuduh kami dalam keburukan belaka. Kami pun ingin agar warga desa Slawi ini melihat bahwa kami ingin berbuat baik kepada mereka."

"Kalau begitu, marilah kita menemui para penduduk lainnya. Bukankah malam telah makin larut? Aku takut Iblis itu tak sabar..."

Bergidik seketika kelima Jalak Sakti lainnya demi mendengar Jalak Coklat berkata. Ya, mereka tahu kalau mereka terlambat memberikan korban maka diri merekalah yang akan menjadi korbannya. Sedangkan waktu yang ditentukan oleh Iblis Sedayu hanya sampai waktu dini hari.

"Ayo, Ki...!" Jalak Kuning mengajak, nampak di wajahnya ketakutan mendera. "Kita jangan sampai terlambat."

Ki Perwira dengan rasa tak mengerti segera menuruti apa yang dikehendaki oleh keenam Jalak Sakti. Ia pun sepertinya tak ingin korban makin banyak hanya karena tidak mau memberikan korban seorang pun pada Iblis Penguasa Jurang Gunung Kapur. Ketujuh orang itu pun segera keluar dari rumah Ki Perwira.

********************

Hujan masih turun rintik-rintik, manakala ketujuh orang tersebut melangkahkan kaki menerobos hujan untuk mendatangi rumah-rumah penduduk. Satu persatu para penduduk keluar untuk menghadiri apa yang hendak dikatakan dan dilakukan oleh Kepala Desanya dengan keenam Jalak Sakti. Tak lama kemudian telah banyak penduduk yang keluar rumah. Mereka berkumpul di sebuah lapangan, mengelilingi Ki Perwira dan keenam Jalak Sakti yang berdiri di tengah.

"Ada apakah hingga Ki Perwira mengundang kami?"

"Tenang saudara-saudara. Kami mengundang kalian semata-mata ingin supaya desa kita aman. Bukankah kalian tidak menghendaki teror dan penculikan-penculikan berlarut-larut?!" tanya Ki Perwira mencoba menenangkan rakyatnya yang tampak sudah tak sabaran.

"Memang hal itu yang kami inginkan! Tapi untuk apa kami mesti menuruti apa yang dikatakan oleh bekas garong?!" seseorang yang agak berani menyeru. Nadanya seperti tak suka pada keenam Jalak Sakti yang sudah dikenal oleh mereka sebagai orang-orang yang telah membuat keonaran dan kejahatan di desa mereka. "Kami takut malah mereka akan memperdaya kita, Ki?!"

Keenam Jalak Sakti nampak tenang tidak seperti biasanya. Memang mereka sengaja berbuat demikian dengan maksud supaya seluruh warga desa Slawi mempercayai mereka. Mereka yang biasanya telengas dan cepat marah, kini bagaikan tak menghiraukannya. Malah dengan suara tenang Jalak Kuning selaku Jalak tertua dari Jalak Sakti berkata:

"Memang dulu kami menjadi orang jahat. Tapi apakah kami tak boleh untuk berbuat baik pada orang-orang yang telah kami jahati? Kami ingin membantu menolong kalian dari bencana besar yang sewaktu-waktu akan mengganas di desa ini. Kami juga mengajak kalian untuk melihat dengan mata kalian sendiri apa sebenarnya yang selama ini telah meminta korban kalian, manusia. Nah, malam ini kami ingin mengajak kalian semua untuk menemani kami ke tempat di mana Iblis itu berada. Kami hanya perantara agar kalian tidak selalu mendera kami dengan tuduhan-tuduhan yang sungguh kami tidak melaksanakannya. Maka kami minta malam ini juga sediakan korban seorang wanita."

Terjengah seketika semuanya demi mendengar ucapan Jalak Kuning. Hati mereka masih ditandai dengan seribu satu macam pertanyaan, yang tak mudah mereka lupakan adalah tindakan Jalak Sakti pada dua bulan yang lalu. Tindakan mereka sungguh menjadikan dendam yang mendalam, yang tergurat bagaikan sebuah catatan terpahat di hati mereka.

Tapi malam itu mereka benar-benar bagaikan di tengah-tengah perasaan lain. Perasaan untuk tidak mempercayai ucapan Jalak Sakti, atau mempercayai dengan harapan dapat terlepas dari bencana yang bakal menimpa.

Melihat semuanya terdiam tiada seorang pun berkata, kembali Jalak Kuning meneruskan bicara: "Dengan kalian menjadi pengikut Penguasa Jurang Gunung Kapur, maka kalian akan tenang. Rejeki kalian juga akan banyak berdatangan."

"Apakah kalian tak mendusta?!" tanya seorang dari warga yang rupanya tertarik juga dengan ucapan Jalak Kuning.

"Benar! Apakah kalian tak mendusta?" yang lainnya ikut bertanya.

"Tidak! Sekali lagi kami tidak mendusta. Nah, kalau kalian tak percaya, kami malam ini mengajak kalian untuk ikut bersama kami menuju ke Jurang Gunung Kapur untuk menemui Penguasanya."

Rupanya setan lebih berpengaruh di hati orang-orang yang memang diliputi oleh rasa takut dan kurang percaya diri. Ya, begitulah janji setan, ia akan mengajak umat manusia dengan jalan membuat manusia takut dan mempercayai apa yang sebenarnya belum berarti dibandingkan azab dari Tuhan.

Malam itu juga setelah mereka memaksa salah seorang gadis warga desanya mereka segera berangkat menuju ke Jurang Gunung Kapur. Malam itu mereka benar-benar telah menjadi hamba Iblis, yang menuruti apa yang dikehendaki oleh Iblis.

********************

Hujan masih turun, kali ini malah makin deras, sepertinya menangisi atas segala perbuatan mereka yang hendak mengorbankan gadis yang tak berdosa. Juga hujan itu seperti menangisi keingkaran mereka pada Yang Mencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Orang-orang itu sepertinya tak perduli pada hujan, tak perduli pada malam yang gelap. Mereka terus melangkah, memapaki kaki mereka yang berjalan dengan terseret menuju ke Jurang Gunung Kapur.

Semakin langkah mereka mendekati Jurang Gunung Kapur, hawa dingin terasa makin mengiris pada tubuh mereka. Hawa dingin itu makin bertambah, manakala mereka makin terus mendekati jurang tersebut. Mereka tak ada yang berkata-kata, bisu seribu kata. Hati mereka begitu tercekam, rasa takut menggayut dan menyelimuti tatapan mata mereka yang kosong bagaikan tak bersemangat.

Keenam Jalak Sakti berjalan di muka dengan gadis calon korban berada di mukanya. Seperti orang-orang yang mengikuti di belakang, di wajah keenam Jalak Sakti pun terbersit ketakutan yang teramat sangat manakala kaki mereka makin mendekat ke tepi jurang. Tengah kesemuanya tercekam diam, tiba-tiba dari dasar jurang mencelat sesosok tubuh berkelebat naik dengan gelak tawa bagaikan orang bungah dan tiba-tiba telah berdiri di depan menghadang mereka.

"Hua, ha, ha...! Bagus! Bagus! Rupanya kalian telah menjalankan apa yang telah aku tugaskan pada kalian dengan baik," Orang yang bertubuh amburadul tak karuan tersebut makin mendekat. Sorot matanya menyala, seperti bara api yang mampu menerangi keadaan di sekitar itu.

Maka tampaklah oleh orang-orang yang ada di situ bentuk sebenarnya mahluk yang kini menghadapi mereka. Seketika semua yang berada di situ terjengah. Di wajah kesemuanya tampak ketakutan, mereka hendak lari manakala dirasakan lutut mereka goyah. Tubuh mereka gemetaran, tak kuat menahan beban tubuh. Maka tanpa ayal lagi, mereka pun akhirnya menggeleprak dengan lemah, sementara dari milik mereka deras mengucur cairan yang baunya bukan alang kepalang.

"Ini yang kami bawa, Raja," Jalak Kuning berkata. "Semoga baginda Raja Penguasa Jurang Gunung Kapur sekaligus penguasa para Iblis berkenan menerimanya,"

"Hua, ha, ha...! Bagus! Bagus!" Renggana atau Iblis Sedayu Mukti kembali bergelak. "Nah, kalian pergilah, aku akan menyantap dulu darah gadis ini. Eh tunggu...!" serunya manakala keenam Jalak Sakti hendak melangkah meninggalkannya.

"Adakah kesalahan kami, Paduka?" tanya Jalak Kuning seraya hentikan langkahnya. "Kalau memang ada, kami mohon ampun."

"Kalian tidak salah. Hem, Jalak Kuning, siapakah mereka adanya yang kalian bawa ke mari?"

"Mereka adalah pengikut-pengikut baginda yang Mulia."

"Bagus,, bagus!" Renggana nampak kegirangan, sehingga matanya tampak berbinar-binar. "Kalian semua, kalau kalian menurut padaku, maka kalian akan tentram dan aman serta akan aku bantu rejekinya. Asal kalian setiap malam Jum'at harus memberiku darah wanita muda. Mengerti kalian?"

"Da... daulat, Baginda...!" jawab mereka masih penuh ketakutan dan dengan tubuh masih menggigil menggejuprak di atas batu kapur. Mereka tak ada yang berani lagi memandang ke mahluk tersebut setelah mereka tahu ujud dari mahluk itu. Ujud yang menyeramkan, yang mampu mendirikan bulu kuduk bagi yang melihatnya.

"Nah, bila kalian mengikuti apa kataku, maka kalian akan tentram murah rejeki dan panjang usia. Tapi bila kalian ingkar, maka aku tak akan segan-segan mencabut nyawa kalian dan menghisapnya seperti gadis ini..."

Bergidik semua orang yang berada di situ, manakala melihat mahluk menyeramkan itu menunjukkan gigi-giginya yang runcing dan tajam. Gigi-gigi itu langsung menghunjam di leher gadis yang masih pingsan akibat ketakutan.

"Aah...!" sesaat gadis itu memekik, kelojotan bagaikan tak rela darahnya terhisap lalu lemas terkulai.

Mata mereka yang ada di situ seketika memejam, ngeri dan tak kuasa untuk melihat hal tersebut. Mahluk menyeramkan itu sesaat menyeringai, lalu dengan mulut masih belepotan darah ia berkata:

"Nah, mulai sekarang kalian harus menurut denganku. Kalian harus setia padaku, sebab aku akan memberikan pada kalian segala apa yang kalian inginkan!"

Setelah berkata begitu, tanpa hiraukan orang-orang yang masih terlolong-lolong bengong Renggana segera berkelebat pergi turun ke dalam jurang. Mereka seketika membelalakkan mata, seakan baru saja sadar dari pengaruh sihir.

Dengan langkah gontai mereka pun melangkah kembali pulang, meninggalkan Jurang Gunung Kapur yang kembali sunyi senyap dengan sejuta misteri, meninggalkan sesosok tubuh yang terkulai tanpa nyawa. Tubuh seorang gadis yang tak mengetahui apa sebabnya ia dijadikan korban untuk iblis.

********************

EMPAT

Bila dilihat dari kejauhan Gunung Sumbing nampak begitu sepi bagaikan tak ada penghuninya. Sepi dan tenang, terbalut oleh kabut yang bergulung-gulung, menyelimuti puncaknya yang menjulang ke angkasa. Biru, laksana ketenangan yang abadi akan bertengger di sana. Memang ketenangan itu jelas nampak di Gunung Sumbing, di mana Eyang Dewa Ilmu tinggal. Eyang Dewa Ilmu adalah guru dari Senggara dan Renggana.

Eyang Dewa Ilmu merupakan tokoh persilatan yang wataknya angin-anginan. Ia tak akan mau ambil perduli dengan segala apa yang terjadi bila bukan atas keinginannya, tapi ia akan begitu ngotot bila itu merupakan yang sesuai dengan apa yang ada di hatinya. Seperti hari itu, nampak Eyang Dewa Ilmu tengah duduk bersila. Di hadapannya duduk pula dengan bersila salah seorang muridnya yaitu Senggara atau si Cobra Merah.

"Senggara, ketahuilah olehmu bahwa Renggana itu kini bukanlah kakak seperguruanmu lagi. Dia kini telah mengumbar nafsu Iblisnya yang sungguh-sungguh harus dihentikan. Dia yang kini bersekutu dengan Iblis Sedayu telah membuat keresahan dengan mengambil korban setiap malam Jum'at."

Senggara terkejut kaget demi mendengar penuturan gurunya. Ia kaget bukan kepalang, ia kaget karena merasa yakin kalau kakak seperguruannya telah mati manakala terhantam oleh ajian yang dilontarkan oleh Jaka Ndableg. Mana mungkin dapat hidup kembali? Sungguh tidak masuk di akal kedengarannya. Dan hal itulah yang akhirnya ditanyakan oleh Senggara pada gurunya.

"Tapi guru, bukankah Renggana telah mati manakala jatuh ke dalam jurang tatkala dihantam oleh ajian Tapak Banana manakala kami bertarung?"

Sang guru tersenyum, seakan pertanyaan muridnya lucu. Begitulah sifat Eyang Dewa Ilmu, aneh dan tak dapat dimengerti oleh siapa pun. "Kau harus tahu, Iblis tak akan mati selama bertarung dengan manusia. Iblis akan mati bila harus bertarung dengan sebangsanya yang tercipta dari api atau cahaya. Dia akan dapat mati bila ia bertarung dengan Siluman atau Malaikat. Tapi Malaikat sudah diutus oleh Tuhan untuk tidak mengganggu Iblis, sampai akhir jaman nantinya. Maka hanya ada satu yang kita harapkan, yaitu Jin atau Siluman."

Eyang Dewa Ilmu menarik napas sesaat, lalu kembali berkata menuturi muridnya yang masih nampak terdiam tundukkan kepalanya: "Dia tidak mati. Yang mati adalah jasad Renggana, sementara sukma Renggana dan sukma Iblis itu masih hidup. Jadi biarpun jasad Renggana telah hancur mengerikan, Renggana tetap saja hidup karena pengaruh sukmanya."

"Lalu apa yang harus murid lakukan, Guru?"

Eyang Dewa Ilmu kembali mendesah panjang dan berat, sepertinya ada sesuatu yang sangat berat menimpa pikiran dan perasaannya. Ia menyadari sebagai seorang tokoh persilatan harus turun tangan menyelesaikan kemelut yang melanda kehidupan. Tapi ia tak dapat berbuat apa-apa, sebab tubuhnya telah lemah tak dapat untuk menjalankan segala apa yang diinginkannya.

Dia hanya berharap muridnya saja yang mampu melaksanakannya. Tapi murid-muridnya kini telah jauhjauh, mengabdi pada kerajaan-kerajaan, di mana dulu mereka dilahirkan. Tinggallah kini murid yang paling akhir Senggara atau yang sering dijuluki Anak Dewa. Namun Eyang Dewa Ilmu tak dapat memastikan kalau muridnya ini pun akan mampu menandingi Renggana yang sudah bersekutu dengan iblis.

"Senggara..."

"Saya, Guru," jawab Senggara masih menunduk kepala.

"Sebagai seorang manusia, memang kita dituntut untuk menghentikan sepak terjangnya. Tapi sudah saya katakan tadi, bahwa mereka tak akan dapat mati kalau bukan dari kehendak Yang Maha Kuasa atau mahluk sejenisnya."

"Bagaimana dengan Pendekar Pedang Siluman Darah, Guru?"

Eyang Dewa Ilmu kembali terdiam ditanya oleh muridnya. Mata tuanya memandang pada sang murid dengan bersinar-sinar, sepertinya menemukan sesuatu yang dapat membuka jalan. Kepalanya mengangguk-angguk, lalu katanya kemudian: "Hem, kau kenal dengannya, Senggara? Dia adalah seorang pendekar yang mumpuni dan memiliki ilmu-ilmu siluman. Kau kenal dengannya di mana, Senggara?"

"Dialah yang bernama Jaka Ndableg, Guru," jawab Senggara.

"Oh, jadi diakah yang memiliki ajian Tapak Bahana itu?"

"Benar, Guru..."

"Dan kabarnya ia memiliki sebuah senjata berupa pedang yang mampu mengeluarkan darah bila berhadapan dengan musuh. Pedang tersebut juga kabarnya bersinar kuning kemerahan?"

"Begitulah yang murid ketahui, Guru."

"Hem...." Eyang Dewa Ilmu kembali angguk-anggukan kepala, sepertinya mengerti apa yang dikatakan oleh muridnya. "Mungkin hanya dia yang mampu mengalahkannya."

"Kenapa guru yakin?"

"Menurut pengetahuan mata batinku, dia adalah murid angkat siluman yang sangat sakti yang tak dapat ditandingi ilmunya oleh mahluk apapun juga,"

Eyang Dewa Ilmu menerangkan, menjadikan Senggara terdiam mengerti. Kini ia makin kagum dan simpati dengan temannya Jaka Ndableg. Tidak disangka kalau anak semuda itu telah memiliki ilmu yang begitu tinggi, juga mempunyai guru angkat siluman yang sangat ditakuti oleh mahluk halus lainnya yaitu Siluman Darah.

"Siluman Darah. Ya, dia adalah anak angkat sekaligus murid angkat Siluman Darah, seorang siluman yang sangat sakti mandraguna dan memiliki segala ilmu yang tidak dimiliki oleh para lelembut lainnya. Para prajuritnya saja sangat sakti, apalagi Ratunya?" Eyang Dewa Ilmu bergumam sendiri, seakan ia tengah merenungi keberadaan Ratu Siluman Darah. Memang mata batinnya yang sudah sidik dalam segala hal telah mengetahui alam gaib di mana para siluman berada.

"Lalu bagaimana menurut pendapat guru?" tanya Senggara menyentakkan lamunan gurunya yang telah melayang pada kejadian-kejadian di alam keramaian, di mana seorang pendekar muda yang bergelar Pendekar Pedang Siluman Darah sebagai pelakunya. Pendekar yang disegani baik kawan maupun lawan. Pendekar yang banyak teman tapi tak sedikit musuhnya yang berusaha menghancurkannya.

"Sungguh dia merupakan seorang yang tabah. Dia banyak kawan, tetapi dia juga banyak lawan-lawannya yang benci dan sirik dan bermaksud menjatuhkannya," Eyang Dewa Ilmu kembali bergumam, tak hiraukan pertanyaan muridnya.

"Siapa yang guru maksudkan?"

"Temanmu itu yang bernama Jaka Ndableg..."

Keduanya kembali hening, seakan keduanya tengah meresapi apa yang telah terjadi pada sisi kehidupan di mana Jaka Ndableg seorang pemuda harus bersusah payah untuk memerangi segala kemungkaran sendirian tanpa ada yang membantu. Ia juga harus menghadapi orang-orang yang tidak menyukainya, walau banyak sekali teman-temannya. Ia juga harus bergulat dalam dua jalan untuk menjadikan gadis-gadis yang menyintainya tidak menaruh dendam cinta pada dirinya.

"Guru, kalau memang itu jalan satu-satunya, maka aku akan mencari Jaka atau aku akan berusaha untuk sementara mencegah tindakan Iblis tersebut. Saya hanya minta do'a dari guru."

"Ya, kalau memang itu yang hendak engkau lakukan aku hanya dapat mengiringimu dengan do'a. Hati-hatilah dalam menghadapi Iblis tersebut. Dia tak kenal siapa adanya dirimu, sebab dia kini bukanlah kakakmu. Dia kini adalah musuhmu yang sangat mendendam pada dirimu juga diri temanmu, Jaka Ndableg atas segala yang pernah kalian lakukan terhadapnya. Aku juga akan membantumu dari kejauhan, dan akan berusaha mencari Jaka Ndableg."

Terhanyut Senggara mendengar penuturan gurunya. Ia tak terasa melelehkan air bening. Ya, Senggara kini menangis, terharu bukan sedih. Ia begitu terharu dengan segala petuah gurunya. Ia juga terharu dengan sahabatnya Jaka Ndableg, yang walau masih muda tapi beban yang dipikulnya sungguh bukan ringan.

"Baiklah, Guru. Saya mohon pamit..."

"Ya, hati-hatilah. Ingat olehmu, Tuhan akan selalu bersamamu bila kau selalu dalam kebenaran. Dan Tuhan akan selalu di pihakmu." Diusapnya dengan lembut rambut Senggara.

Senggara tak menyadari bahwa gurunya secara diam-diam telah menyalurkan sebuah ilmu yang menjadi rahasianya tanpa sepengetahuan murid-murid yang lain pada dirinya. Hingga ketika gurunya tiba-tiba menggeletak pingsan, Senggara tersentak kaget bukan alang kepalang.

"Guru...! Guru...! Kenapa kau, Guru!" Tengah Senggara meratapi gurunya yang tiba-tiba pingsan, terdengar suara gurunya menggema dalam goa itu berkata padanya:

"Senggara anakku, aku hanya mati suri. Aku telah membekali dirimu dengan ilmu yang tidak seorang kakak-kakak seperguruanmu yang tahu. Ilmu itu bernama aji Jati Diri, yaitu sebuah ajian yang dapat menangkal Iblis. Bila memang Renggana hendak membunuhmu, maka kau tak akan dapat mati olehnya. Kalau kau nanti kalah olehnya, maka tak akan dia mampu membunuhmu. Aku tahu bahwa Renggana memang kini bukan tandinganmu juga tandingan diriku, tapi dengan ilmu tersebut kau mampu menangkal dari kematian yang bukan atas kehendak Allah. Nah, berangkatlah. Gunakan ilmu yang engkau miliki untuk kebenaran, jangan seperti kakakmu yang telah durhaka pada Tuhannya."

"Terimakasih, Guru..." Senggara segera menyembah, lalu dengan terlebih dahulu membetulkan letak tidur gurunya, Senggara pun kemudian berangkat untuk menuju ke Jurang Gunung Kapur.

Dengan menggunakan ilmu larinya, Senggara terus melesat dari wilayah Kulon menuju ke wilayah Wetan. Senggara harus menempuh puluhan hari perjalanan untuk dapat sampai ke tempat yang dituju. Dengan tekad untuk dapat menghentikan sepak terjang Iblis Sedayu tak dihiraukannya kaki yang untuk berlari telah begitu letih.

Hari telah beranjak sore, manakala Senggara sampai di perbatasan wilayah Kulon dengan wilayah Wetan. Tiga hari telah ia lalui dengan cepat, tanpa mengenal lelah Senggara terus menyusuri jalan pegunungan. Sore itu Senggara sampai di daerah Cirebon, di mana mau tidak mau Senggara harus beristirahat untuk melepas segala kepenatan. Dicarinya sebuah penginapan, yang sekaligus mempunyai kedai karena perutnya telah begitu laparnya.

Tak begitu lama Senggara mencari sebuah penginapan, ia pun akhirnya menemukannya. Sebuah penginapan yang memiliki kedai sendiri. Tanpa banyak pikir lagi Senggara pun segera memesan sebuah kamar.

"Masih adakah kamar yang tersisa?" tanya Senggara pada pemilik kedai yang telah ditemuinya.

"Wah, sudah disewa semua," jawab pemilik penginapan dengan nada menyesal, menjadikan Senggara kerutkan kening. "Baru saja orang-orang itu datang menyewanya. Orangnya sih cuma ada lima tapi mereka minta agar kamar yang lainnya tidak boleh disewakan. Mereka nampaknya orang galak, Tuan," bisik pemilik penginapan dengan takut-takut.

"Hem, apakah di belakang tak ada tempat kosong?"

"Ada, Tuan. Apakah tuan mau?" pemilik penginapan balik bertanya, yang dengan segera dipelototi oleh Senggara.

"Bukan untukku, tapi untuk tamu-tamumu..."

"Bangsat! Siapa yang berani lancang pada kami!" tiba-tiba terdengar suara membentak dari dalam kamar yang letaknya berdekatan dengan Senggara dan pemilik kedai yang nampak ketakutan dengan wajah pucat pasi berbicara: "Siapa anjing busuk itu, Kempo? Apakah kau tak dapat mengusir anjing kurapan yang menjijikkan itu!"

"Siapa dia adanya, Pak?" tanya Senggara.

"A... anu, Tuan.... Sudahlah, tuan jangan hiraukan. Sekarang tuan pergilah dan carilah penginapan lain. Mereka bukan orang baik-baik. Mereka orang jahat," Kempo kembali berbisik, yang hanya disenyumi oleh Senggara.

"Hai, para kuntilanak yang berada di dalam, kalau kalian ingin mengusirku keluarlah. Aku jadi ingin melihat tampang-tampang kalian. Kayaknya kalian bertampang buruk saja, sehingga kalian terlalu takut kalau muka kalian diketahui oleh orang lain, ya!" Senggara berteriak-teriak bagaikan di hutan. Memang sengaja ia berbuat begitu, dengan harapan kelima wanita yang berada di dalam kamar mau menunjukkan muka-muka mereka.

Dan memang benar, kelima wanita yang ternyata cantik-cantik dan muda itu berkelebat keluar menemui Senggara. Kelima wanita muda itu seketika terkesiap, manakala menyaksikan siapa adanya yang telah berkata lancang. Tadinya mereka menyangka orang yang bertampang jelek, atau gembel yang tak tahu diri. Tapi nyatanya seorang lelaki tampan dengan sorot mata tajam menghunjam yang mereka temui, sehingga kelima Gadis Liar itu seketika cengengesan sendiri.

"Kaukah orangnya?" tanya Gadis Liar yang berpakaian seronok warna orange dengan senyum genit memikat. Matanya mengedip pada Senggara yang nampak hanya balas senyum hambar.

"Ya, aku orangnya. Masihkah kalian hendak melarang aku ikut nginap di sini?"

"Oh, jelas tidak. Malah kami sangat suka kau mau nginap di sini, apalagi bila..." Gadis Liar berbaju orange tak meneruskan ucapannya. Ia tampak menggeliat manja, menjadikan Senggara hanya gelengkan kepala.

"Jadi kalian mengijinkan aku nginap di sini?"

"Ya, asalkan kau mau tidur dengan kami," kembali gadis berpakaian orange berkata. "Bukan begitu adik-adikku?"

Keempat Gadis Liar lainnya mengangguk sambil lemparkan senyumnya yang memikat ke arah Senggara. Senggara tak hiraukan ucapan mereka, dan dengan segera berlalu masuk ke dalam salah satu kamar. Hal itu menjadikan kelima Gadis Liar tersebut marah. Mereka seperti dianggap angin saja oleh Senggara.

Tanpa dapat dicegah, kemarahan mereka pun seketika meledak. Dengan menggeram keras kelimanya segera memburu dan hendak mencengkeram Senggara. Senggara tanpa menoleh segera kibaskan tangannya. Tanpa ampun, kelima Gadis Liar itu mental terhantam angin pukulan yang dilontarkan oleh Senggara.

"Brak!"

Pintu kamar itu ditutupnya, lalu dengan tak hiraukan caci maki kelima Gadis Liar Senggara langsung rebahkan tubuhnya untuk melepas lelah. "Macam-macam saja kehidupan," desisnya seraya gelengkan kepala demi mengingat kejadian yang baru saja terjadi.

Sementara caci maki kelima Gadis Liar itu masih menggema, namun nampaknya kelima gadis itu tak berani menerobos masuk. Mungkin mereka menyadari bahwa ilmu mereka belum seberapa bila dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki oleh Senggara.

"Siapa adanya engkau hai manusia sombong!" geretak gadis baju orange. "Katakan siapa adanya kau, biar kami nanti dapat membalas perlakuanmu malam ini!"

"Kenapa mesti menunggu nanti? Kalau kalian ingin melakukan pembalasan karena kalian tak senang padaku, lakukanlah! Aku Senggara atau Cobra Merah atau Datuk Putih! Nah, kalian dengar!"

Tersentak kelima gadis-gadis itu demi mendengar nama orang yang telah membuat mereka kecewa. "Pantas..." gumam mereka bareng dengan penuh kelesuan, seorang tokoh silat dari Kulon yang ilmunya bukan alang kepalang.

Dengan wajah lesu dan tak berani berkoar lagi, kelimanya segera masuk ke kamar masing-masing dan menutup pintu. Tinggallah pemilik penginapan yang bengong melihat tingkah laku kelimanya sembari gelengkan kepala.

********************

LIMA

Malam telah larut, ketika nampak enam orang berjalan dengan langkah cepat menuju ke desa Slawi. Wajah keenam orang itu nampak kuyu, sepertinya keenam orang tersebut memendam ketakutan yang teramat sangat. Langkahlangkah mereka jelas merupakan langkahlangkah yang memburu waktu. Keenam orang tersebut tak lain Jalak Sakti adanya. Mereka bergerak begitu terburu-buru karena mereka kini dalam kecemasan karena hari telah begitu larut malam.

"Inilah akibat engkau menyepelekan waktu!" Jalak Kuning ngedumel yang ditujukan kepada adiknya Jalak Ungu. Memang Jalak Ungu yang masih muda tersebut telah membuang-buang waktu dengan bermesra ria bersama wanita-wanita penghibur.

"Lagi pula, apa kau tidak takut terkena penyakit kelamin kalau saban hari main melulu, Ungu!" timpal Jalak Merah.

"Bagaimana kalau kita terlambat memberikan korban?" tanya Jalak Hitam seakan pada diri sendiri. "Bukankah kita yang akan mendapat murka sang Raja Iblis?"

"Ah, sudahlah. Kini aku mengakui salah, yang penting sekarang kita harus cepat-cepat agar kita tak terlambat. Mungkin orang-orang desa telah menanti kedatangan kita." Jalak Ungu yang merasa disudutkan dengan segala tetek bengek kesalahan segera mencoba mengalihkan pembicaraan. Kembali mereka melangkah dengan bisu, hampir dapat dikatakan mereka itu lari. Ya, mereka nampak berlari-lari dengan harapan dapat mengejar waktu yang tinggal beberapa jam lagi.

Bulan bersinar dengan terangnya, menjadikan bayang-bayang mereka seperti bayang-bayang hantu yang panjang bergerak-gerak seirama dengan gerakan lari mereka. Sesosok tubuh dengan mata tajam terus mengawasi mereka dari jarak yang agak jauh. Tubuh orang itu sesekali berkelebat, lalu berhenti manakala jarak antara-nya dengan keenam Jalak Sakti agak dekatan.

"Apa yang akan mereka lakukan?" tanya orang tersebut pada dirinya sendiri. "Sepertinya mereka adalah Jalak Sakti. Ya, mereka tak lain Jalak Sakti adanya. Hem, rupanya mereka tak kapok-kapok dengan apa yang telah mereka terima. Tapi biarlah apa yang akan mereka lakukan, biar aku awasi dulu mereka." Tubuh lelaki muda yang ternyata Jaka Ndableg adanya perlahan-lahan melangkah meng-ikuti langkah-langkah keenam Jalak Sakti yang terus menuju ke desa tanpa hiraukan bahwa mereka ada yang menguntitnya.

"Dengar, nampaknya orang-orang desa sudah tak sabar menunggu kedatangan kita," yang berkata Jalak Kuning.

"Ya, mari kita percepat langkah kita," Jalak Merah menimpali.

Dengan segera keenam Jalak Sakti pun seketika melesat berlari dengan ilmu lari yang mereka miliki. Maka tak lama kemudian mereka pun telah sampai di tempat yang seperti biasanya mereka gunakan untuk pertemuan.

"Maaf saudara-saudara kami terlambat," Jalak Kuning segera membuka kata meminta maaf karena kedatangan mereka yang terlambat. "Semoga kalian semua mau memakluminya. Nah, apakah sekarang kita akan langsung menuju ke sana? Sudahkah ada korban yang telah kalian persiapkan?!"

"Sudah! Kami sudah mempersiapkannya. Bukankah setelah kami menjadi pengikut Penguasa Jurang Gunung Kapur hidup kami makin tentram? Kami juga merasakan rejeki kami makin bertambah!" seseorang di antara penduduk berkata. "Maka sebagai ungkapan rasa terima kasih dan rasa kesetiaan kami, kami setiap malam Jum'at telah merelakan korban. Dan yang menjadi korban pun kini mau merelakan tubuhnya untuk menjadi santapan Raja Agung!"

"He, apa pula dengan mereka?" gumam Jaka demi mendengar disebut-sebut oleh mereka korban. "Apa yang sebenarnya yang dijadikan korban? Lalu pada siapa korban itu diberikan? Sungguh merupakan teka teki..."

Jaka segera menyelinap bersembunyi, manakala dilihatnya orang-orang tersebut berjalan melewati tempat yang ada dirinya. Lebih kaget Jaka manakala melihat seorang gadis dengan tatapan mata hampa berjalan di depan mereka yang lelaki semua. Tubuh-tubuh mereka menggunakan tudung tinggi, menutupi kepala dan hanya muka mereka yang tak tertutup. Mereka berjalan laksana robot, tiada berpaling-paling sedikit pun, lurus tanpa suara yang keluar dari mulut mereka.

"Apa yang sesungguhnya telah terjadi di desa ini? Sepertinya mereka memang hendak mengorbankan gadis itu. Pada siapa gadis itu hendak mereka korbankan? Baiklah, aku akan mengikuti mereka..."

Jaka segera melangkah perlahan menjaga jarak di belakang mereka yang terus berjalan dengan kebisuan. Langkah mereka bagaikan sudah teratur rapi, tak seorang pun mereka berjalan serabutan. Sebenarnya mereka bukannya membisu, namun rasa tercekam karena takut telah berhasil mempengaruhi mereka untuk diam seribu kata. Pandangan mereka pun seperti diperintahkan oleh sesuatu kekuatan, sehingga pandangan mata mereka hanya lurus ke muka itu pun pandangan kosong tanpa gairah. Wajah mereka walau malam, nampak pucat, putih seperti tak berdarah setetes pun.

Orang-orang itu terus melangkah, makin lama makin jauh meninggalkan kampung dan terus berjalan menuju ke Selatan di mana Gunung Kapur menjulang tinggi. Warnanya yang putih, memantulkan sinar rembulan, menjadikan bias yang indah. Namun bila tahu apa sebenarnya yang terkandung di sana, kita akan melupakan keindahan warna tersebut.

Jaka Ndableg yang terus mengikuti langkah mereka seketika tercengang manakala melihat bahwa mereka berjalan menuju ke Gunung Kapur. Ingatan Jaka kembali melayang pada kejadian lima bulan yang lalu di mana ia telah menjatuhkan seorang tokoh persekutuan Iblis Renggana ke dalam jurang.

"Mungkinkah mereka menuju ke jurang tersebut?" Jaka bertanya pada diri sendiri. Ia belum percaya bahwa orang-orang tersebut hendak menuju ke jurang tersebut. "Memang aku mendengar sejak kematian Renggana tempat ini terkenal angker. Kabarnya ada pernah seorang musyafir menjadi korban di tempat ini. Hem, apakah semua itu cerita benar bukan cerita isapan jempol belaka? Kalau memang benar adanya, jadi Renggana tidak mati. Ah, lebih baik aku ikuti mereka saja."

Dengan melesat cepat Jaka segera menguntit mereka di belakang. Perlahan-lahan Jaka melangkah, lalu bersembunyi di balik pepohonan yang ada di sekitar tempat itu manakala mereka menengok ke arahnya.

Orang-orang itu terus melangkah menghampiri pinggir jurang. Dan mereka hentikan langkah manakala mereka benar-benar telah berada di sisi jurang. Sementara gadis yang diam tanpa kata dengan wajah pucat pasi itu mereka dirikan di pinggir jurang. Mereka terdiam tanpa kata, tundukkan kepala seperti mengheningkan cipta. Keenam Jalak Sakti duduk menyiku di deretan paling muka, di belakang gadis yang berdiri mematung tanpa ada reaksi. Tiba-tiba dari mulut orang-orang tersebut keluar lantunan lagu-lagu pujian yang entah ditujukan pada siapa.

Jaka kerutkan kening demi mendengar nyanyian yang tampaknya sudah diatur sedemikian rupa. Sambil nyanyi-nyanyi, nampak tubuh mereka meliuk-liuk. Semakin keras alunan lagu, semakin kencang tarian tubuh mereka.

"Pengikut Iblis!" maki Jaka dalam hati. "Sungguh mereka orang-orang yang harus disadarkan. Tapi aku tak mau mengusik mereka lebih dulu. Aku ingin melihat apa yang bakal terjadi setelah nyanyian orang-orang itu habis."

Orang-orang pengikut Penguasa Jurang Gunung Kapur masih menyanyi. Kini tangannya diangkat ke angkasa, diputar-putarkan tangannya bagaikan hendak meminta sesuatu dengan mulutnya tidak henti-hentinya menyanyi.

"Alur-alur Kembang Jambu, Kembang Putri Kencana, Siapa mau menjadi hambamu, Kelak ia akan bahagia..."

Bait-bait lagu itu yang mereka lantunkan, berulang-ulang seperti tak puas-puasnya. Mereka berbuat begitu sambil menunggu kemunculan Iblis Sedayu yang dianggap oleh mereka penolong. Memang sejak mereka mengabdi pada Iblis tersebut, mereka mendapatkan kebahagiaan. Rejeki mereka gampang datang, juga desa mereka kini jarang tertimpa bencana.

"Benar-benar manusia-manusia sirik," gumam Jaka.

Tengah Jaka tercenung dalam ketidak mengertian dengan apa yang tengah dilakukan oleh orang-orang tersebut, tiba-tiba Jaka dikagetkan oleh suara gelak tawa seseorang. Bersamaan dengan gelak tawa tersebut, sesosok tubuh yang mengerikan mencelat dari dalam jurang dan berdiri dengan congkaknya menghadang mereka.

"Gusti Allah! Ternyata benar apa yang diceritakan oleh orang-orang, bahwa Renggana atau Iblis Sedayu masih hidup. Hem, walau ajian Tapak Bahana telah menghancurkan tubuhnya, ternyata Iblis itu masih mampu bertahan!" pekik Jaka lirih, matanya melotot tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di kucaknya kedua mata dengan tangan, ia berharap ia tengah dalam mimpi. Tapi nyatanya ia tidak bermimpi. Dicubitnya tangan, terasa sakit. "Heh, tak aku sangka kalau dia mampu hidup dengan tubuh amburadul begitu rupa!"

"Hua, ha, ha...! Bagus-bagus! Kalian ternyata hamba-hambaku yang setia! Kalian akan selalu aku lindungi, aku jaga dan aku berikan kebahagiaan. Apakah ini korban untukku?" tanya Iblis Sedayu yang dijawab serentak oleh orang-orang yang mengaku sebagai hamba-hambanya.

"Benar, Baginda!"

Iblis Sedayu pandangkan mata pada gadis yang masih mematung berdiri. Ditatapnya dari ujung kaki ke ujung rambut si gadis yang masih terdiam. Keringat dingin nampak mengalir dari pelipis si gadis yang menahan rasa takut yang amat sangat. Tengah Iblis Sedayu memandangi gadis tersebut, gadis itu seketika memekik.

"Aaaah...!"

Tersentak Iblis Sedayu seketika, demi melihat tubuh si gadis terkulai pingsan. Mata Iblis Sedayu seketika menyapu segenap tempat tersebut, mencari siapa adanya orang yang telah berani mencampuri urusannya. "Bangsat! Siapa yang telah berani membuat ulah di sini! Tunjukkan mukamu!" pekik Iblis Sedayu marah.

"Aku di sini, Sedayu!" Bersamaan dengan habisnya ucapan orang tersebut, seketika melompat sesosok bayangan berkelebat dan menghadang Iblis Sedayu yang terjengah melompat mundur.

"Kau...!"

"Ya, masih ingat denganku, Iblis busuk!" maki orang tersebut.

"Mengapa kau datang menggangguku lagi, Senggara!"

"Karena tindakanmu sudah keterlaluan! Kau sesatkan manusia untuk mengikutimu. Kalau kau memang tak menggunakan tubuh kakakku, aku tak akan ambil perduli. Tapi kau telah menggunakan tubuh kakakku yang hancur itu, yang seharusnya telah tenang di alamnya hingga aku harus perduli."

Sedayu nampak menggeretak marah demi mendengar omongan Senggara. Mulutnya menyeringai, lalu terdengar suara menggelegar bagaikan suara gertakan: "Hoar...! Kau rupanya tak mau tahu bahwa kau tak akan mampu membunuhku!"

"Aku tahu, tapi demi ketentraman dunia, maka aku terpaksa pura-pura tak tahu. Aku telah siap untuk engkau jadikan wadal bila memang harus begitu!"

"Jadi kau mencari mampus, Senggara!"

Senggara nampak tenang, tersenyum bagaikan sebuah sunggingan yang berarti. Sunggingan bibirnya, nampak sebuah sunggingan yang mengandung seribu makna. Entah itu ejekan atau senyum kecut atas ucapan Sedayu. "Kau bukan Tuhan, maka kau tak berhak menentukan mati hidupnya seseorang termasuk diriku. Walau kau Iblis, atau raja Iblis sekalipun, kalau memang harus mati kau pun mati!"

"Bedebah! Jangan kau sebut-sebut nama Tuhan! Serang...!"

Bagaikan orang-orang yang terkena sihir, serentak semua yang ada di situ serentak bangkit dari duduknya. Mereka bagaikan monster menyerang keroyokan Senggara. Mulut mereka diam, hanya pandangan mereka saja yang menyala bagaikan mengandung percikan-percikan api pembunuhan.

Diserang begitu rupa, tidak menjadikan Senggara murid Dewa Ilmu gentar atau takut. Dengan hanya bergerak cepat Senggara mampu menghindari serangan-serangan mereka. "Kalian orang-orang sirik. Kalian telah terpengaruh oleh iblis hingga melupakan pada Tuhan kalian! Minggatlah dari sini!"

Senggara memaki-maki marah. Tangan dan kakinya berkelebat cepat, dan setiap kelebatannya menjadikan pekikan kesakitan orang yang terkenanya. Orang yang terkena pukulan dan tendangan Senggara sesaat menggelepar-gelepar, lalu terkulai lemah dengan nyawa melayang terbang dari raganya.

Melihat para pengikutnya banyak yang mati, Iblis Sedayu seketika lupa tubuh gadis yang terkulai itu. Sejenak Iblis Sedayu memandang pada Senggara yang masih sibuk dikeroyok oleh para pengikutnya, lalu dengan nada mengejek ia berseru: "Senggara, bermain-mainlah engkau dengan para pengikutku! Bila nanti engkau ternyata menang, aku tunggu dirimu di bawah jurang!"

"Iblis busuk! Jangan lari!" Senggara memaki-maki marah melihat Iblis Sedayu hendak meninggalkannya. Namun secepat kilat sesosok tubuh berkelebat dari balik pohon dan langsung menghadang Iblis tersebut sembari berseru pada Senggara.

"Senggara, kau urusi dulu keroco-keroco Iblis itu, biar aku mengurus Iblis ini!"

"Jaka Ndableg, kebetulan kau datang!" seru Senggara dengan mata berbinar-binar penuh ketenangan. Bagaimanapun juga dengan kedatangan Jaka sedikit banyaknya bebannya untuk menumpas Iblis-iblis itu akan agak ringan.

"Kau...!" Iblis Sedayu memekik kaget, lompatkan tubuh ke belakang. "Kau pun rupanya suka usil dengan apa yang dilakukan orang lain, Jaka!"

"Aku tak akan usil, asalkan engkau tidak menuntun mereka pada jalanmu yang sesat!" Jaka tersenyum dingin menghadapi Iblis yang sudah ia ketahui betapa ilmunya ternyata tinggi. "Hem, aku jadi tak habis pikir, mengapa iblis ini sanggup menghadapi ajian Tapak Bahanaku. Padahal ajian itu adalah ajian yang dahsyat!" gumam hati Jaka penuh ketidakmengertian. "Apakah ia mampu menghadapi Pedang Siluman Darah,?"

Mata Iblis itu nampak menyala, memakukan pandangannya pada Jaka yang juga memandangnya dengan penuh kesiagaan. Jaka menyadari bahwa bagaimanapun juga Iblis di hadapannya bukanlah Iblis sembarangan. Bagaimana bentuk Iblis apa pun, bila terhantam ajian Tapak Bahana akan luluh lantak, tapi Iblis Sedayu sepertinya tak mempan ajian tersebut. Kedua musuh bebuyutan itu saling pandang, sepertinya hendak menancapkan sorot mata masing-masing ke ulu hati musuh.

"Jaka Ndableg, seharusnya kau sadar bahwa ilmu yang engkau miliki tiada arti bagiku. Aku sarankan, jadilah pengikutku!"

"Hem, jangan kau bermimpi. Lebih baik aku mati daripada harus menjadi budakmu!" Jaka membalas dengan sengit.

"Manusia tak mau diuntung! Bersiaplah kau aku kirim ke akherat sana. Hiat...!" Iblis Sedayu tiba-tiba berkelebat menyerang. Serangannya kini tak tanggung-tanggung, langsung dengan segala ajian yang ia miliki.

Jaka yang sudah tahu siapa adanya Iblis dihadapannya segera berkelebat mengelakkannya. Dengan segera Jaka pun balas menyerang dengan ajian-ajian yang ia miliki. "Getih Sakti. Hiat...!"

Wuss...! Crooot...!

Duar! Duar...!

Terdengar ledakan manakala dua kekuatan itu beradu di udara di tengah-tengah tubuh mereka. Keduanya seketika terpental ke belakang. Namun dengan segera Iblis Sedayu bangkit, lalu tanpa menunggu Jaka bangkit ia hantamkan ajiannya.

"Lulur Iblis. Hiat...!"

"Ah... mati aku!" Jaka mengeluh, segera ia pun dengan cepat tanpa pikir panjang lagi hantamkan Petir Sewunya untuk memapaki serangan tersebut. "Petir Sewu. Hiat...!"

Bletar! Bletar! Bletar!

Ledakan-ledakan petir seketika membahana, menjadikan semua orang yang saat itu tengah mengeroyok Senggara tersentak dan bagaikan baru tersadar dari sihir mereka memekik. Telinga mereka yang tak tahan langsung mengeluarkan darah.

Mereka seketika menggelepar-gelepar sesaat, sebelum akhirnya ambruk dengan darah keluar membasahi hidung, mulut dan telinga mereka. Hanya enam Jalak Sakti yang tidak langsung mati, tapi keadaan mereka pun cukup parah. Kini ringanlah Senggara, yang segera melesat ke arah di mana Jaka dan Iblis Sedayu tengah bertarung.

"Jaka, mari kita serang bareng! Iblis itu sukar untuk dibinasakan!"

"Aku pun menyadari itu, Senggara! Biarlah, lebih baik aku mati daripada Iblis ini merajalela di depan hidungku. Hiat...!" Jaka Ndableg telah kembali mencelat menyerang.

"Hiat...!" Begitu pula dengan Senggara.

Maka kini Iblis Sedayu dikeroyok oleh dua orang musuh-musuhnya. Dua orang yang telah membuat tubuhnya hancur berantakan. Nampak Iblis Sedayu menyeringai demi melihat kedua orang yang dianggapnya akan menghalangi segala tindakannya menyerang. Hal itu memang telah ditunggu-tunggunya. Maka dengan segera Iblis Sedayu pun berkelebat memapakinya.

"Hiat...!"

"Tapak Prahara. Hiat...!"

"Cobra Api. Hiat...!"

Bareng keduanya hantamkan ajian yang merupakan ajian pamungkas mereka. Api menyala-nyala dari tangan keduanya, seperti hendak membakar apa saja yang ada di sekitar tempat itu. Dan manakala Iblis Sedayu menyerang, secepat kilat keduanya hantamkan ajian mereka masing-masing. Tak ayal lagi, seketika api yang keluar dari tangan keduanya membakar tubuh Iblis Sedayu, rapat menutupi tubuh Iblis Sedayu.

Keduanya nampak agak sedikit tenang, menyaksikan api yang mereka ciptakan melalap habis tubuh Iblis tersebut. Tapi baru saja mereka merasa senang, tiba-tiba mereka membeliak kaget manakala melihat kejadian yang tidak masuk akal. Tubuh Iblis Sedayu yang kini tinggal kerangka hitam, masih mampu menghadapi mereka.

"Gusti Allah, apakah aku tidak tengah bermimpi?" keluh Jaka kaget. Bagaimana mungkin, tubuh yang sudah menjadi arang masih dapat bangkit dan menyerang mereka.

"Edan! Ini jelas-Jelas kelakuan Iblis!" maki Senggara.

Namun keduanya tak sempat berkata-kata lama, sebab tiba-tiba saja keduanya telah dikejutkan oleh hantaman yang dilontarkan oleh manusia tulang-belulang tersebut.

"Awas serangan!" Jaka memekik, melemparkan tubuhnya kesamping. Begitu juga Senggara, dengan sigap lemparkan tubuh ke samping hingga larikan sinar yang keluar dari tulang-tulang tangan orang yang hangus itu membersit di tengah-tengah.

Sinar itu terus melesat, lalu menghantam tubuh orang-orang yang masih tergeletak. Seketika tubuh orang yang terkena hantaman itu langsung meleleh. Dan dari sinar tersebut, nampak mahluk-mahluk menyeramkan berupa kepala manusia beterbangan.

"Gusti Allah, ini tidak bisa dibuat main-main!" Jaka mendengus demi melihat ratusan kepala hidup beterbangan dan menuju ke arahnya. "Dening Ratu Siluman Darah. Datanglah!" Pedang Siluman Darah tiba-tiba muncul, terbang melayang-layang dan langsung tanpa dipegang oleh Jaka berkelebat-kelebat menyerang kepala-kepala hidup tersebut.

Seketika memekiklah kepala-kepala itu lalu lenyap menjadi serpihan-serpihan debu. Pedang Siluman Darah segera kembali melesat dan hinggap di tangan Jaka yang langsung menerimanya.

Senggara masih terus berusaha menyerang Iblis Sedayu, namun serangannya seperti tak berarti sama sekali bagi Iblis tersebut. Bahkan kini Iblis Sedayu malah balik menyerang. Senggara yang marah tanpa sungkan-sungkan lagi hantamkan ajiannya kembali.

"Cobra Api. Hiat...!"

Api kembali membakar tulang-tulang tersebut. Tulang-tulang itu berantakan dan berserakan copot dari sel-selnya. Tersenyum Senggara menyangka Iblis itu telah mati. Ya, memang tulang-tulang itu telah berserakan. Namun benarkah Iblis Sedayu telah mati? Kedua pendekar itu berdiri mematung memandang pada tulang-tulang yang berserakan. Mereka tak menyadari bahwa bahaya telah siap mengancam jiwa mereka. Salah seorang dari Jalak Sakti yang tengah pingsan, tiba-tiba bangkit dan...

Pedang Siluman Darah seperti berontak dari tangan Jaka, menjadikan Jaka tersentak. Pedang itu selalu mengacungkan ujungnya ke belakang seperti ada yang ingin dikatakan pada tuannya. Dan manakala Jaka mengikuti arah Pedang Siluman Darah, seketika Jaka memekik.

"Awas!" Ternyata Jalak Ungu telah dekat dan sebentar saja bila Pedang Siluman Darah tidak menunjukkan padanya niscaya dirinya dan Senggara telah jadi korban. Keduanya segera loncat ke muka, menghindari cengkeraman Jalak Ungu.

"Bangsat! Ternyata kau masih hidup, Iblis!" maki Senggara.

"Hua, ha, ha...! Sudah aku katakan, bahwa aku tak akan kalah oleh kalian!"

"Sombong! Terimalah ini. Hiat...!"

Bersamaan Jaka berkelebat dengan Pedang Siluman Darahnya, berkelebat pula Senggara dengan senjatanya Pecut Cobra Merah. Dua senjata itu bagaikan menyala-nyala, lalu dengan berbarengan keduanya hantamkan senjata masing-masing.

"Cros…!"

"Bletar!"

Hancur lebur tubuh Jalak Ungu, terbelah dan terhisap darahnya oleh Pedang Siluman Darah. Tubuhnya hancur, tercambuk oleh Cambuk Cobra Merah. Namun sungguh tak keduanya sadar. Manakala keduanya menghantamkan senjata mereka, ternyata Iblis tersebut telah meninggalkan tubuh Jalak Ungu. Tanpa ayal lagi, tubuh Jalak Ungu-lah yang jadi sasaran.

Dan manakala Iblis Sedayu hantamkan pukulan, keduanya tak mampu untuk melayang menghindar. Tanpa dapat dihindari keduanya pun seketika melayang bagaikan ditiup angin. Tubuh keduanya mental, lalu melayang ke dalam jurang. Berbarengan dengan keduanya menjerit, dua buah bayangan berkelebat dengan entengnya menangkap tubuh keduanya dengan cepat sebelum keduanya jatuh ke dasar jurang.

"Wess...!"

"Suit...!"

Tap! Tap!"

Kedua orang pemilik tubuh itu hanya saling pandang sesaat dengan senyum, lalu keduanya melesat membawa tubuh Jaka dan Senggara ke tujuan masing-masing.

"Hua, ha, ha...! Kini tak ada lagi penghalangku. Kini akulah yang paling berkuasa di dunia. Akan aku jadikan semua manusia sebagai abdiku. Akan aku jadikan dunia ini sebagai istanaku. Istana Raja Iblis!"

Iblis Sedayu tertawa bergelak-gelak, lalu dengan ilmu iblisnya dia bangkitkan tubuh-tubuh anak buahnya yang terdiri dari empat Jalak Sakti dan warga desa Slawi. Sementara dia sendiri menggunakan jasad Jalak Kuning sebagai pengganti jasad Renggana yang telah hancur berantakan.

"Kalian telah aku hidupkan kembali. Maka kalian mulai sekarang harus menjadi pengikutpengikutku. Akan aku bangun kerajaan di muka bumi ini, kerajaan Iblis Penguasa Gunung Kapur! Kalian harus memanggilku, Sri Baginda Raja Diraja Iblis Sedayu Mukti. Hua, ha, ha...!"

"Daulat, Sri Baginda Raja Diraja Sedayu Mukti...." serentak mereka menyembah. "Hamba mohon ampun bila hamba telah melakukan segala kesalahan!"

"Hua, ha, ha...! Tidak! Kalian tidak salah. Kini kalian aku perintahkan untuk makin perbanyaklah korban-korban yang kalian persembahkan pada rajamu ini!"

"Daulat, Sri Baginda...!"

Makin bergelak tawa Sedayu melihat manusia-manusia bonekanya yang nampak menurut dan patuh. Memang, sejak saat itu pula resmilah Sedayu mengangkat dirinya sebagai Raja Iblis yang memerintahkan manusia. Ke manakah Jaka dan Senggara? Apakah ia mati? Marilah kita ikuti terus bab demi bab selanjutnya.

********************

ENAM

KERAJAAN SILUMAN DARAH...

Kerajaan Siluman Darah nampak sepi. Para pengawal istana nampak terdiam bisu dengan senjata siap selalu di tangan mereka masingmasing. Mereka nampaknya tengah menunggu seseorang yang bakal datang. Dan memang tak berapa lama kemudian sesosok bayangan merah berkelebat menuju ke arah istana.

Bayangan tersebut adalah milik seorang wanita, dialah Ratu Siluman Darah. Di tangan sang Ratu yang cantik jelita itu, tergeletak sesosok tubuh muda berambut gondrong dan berwajah tampan pingsan, pemuda itu tak lain Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Darah. Pedang Siluman Darah nampak masih tergenggam di tangan kanannya.

Memang Jaka waktu tiba-tiba terhantam oleh pukulan tenaga dalam yang dilontarkan oleh Iblis Sedayu, tak mampu mengelakkannya karena Jaka tak sadar bahwa orang yang dibelah dengan pedangnya tak lain adalah jasad yang telah kosong ditinggal oleh Iblis Sedayu yang sudah memikirkan bahwa Jaka dan Senggara pasti akan menyerang dengan senjata pusaka masing-masing. Maka ketika Jaka membabatkan pedangnya, si Iblis Sedayu telah berkelebat ke luar dan telah siaga di belakang kedua orang penyerangnya. Maka tak ayal lagi dengan mudah Iblis Sedayu mampu menjatuhkan dua pendekar sekaligus.

"Bukakan pintu!" Ratu Siluman Darah memerintah pada pengawalnya yang dengan segera membuka pintu gerbang tabir alam siluman. Dengan cepat Ratu Siluman Darah pun berkelebat masuk menuju ke sebuah ruangan pengobatan.

"Panggil Nenek Darah Biru ke mari!" kembali ia memerintah.

Dengan tanpa membantah orang yang disuruh itu segera berkelebat pergi meninggalkan sang Ratu yang telah membaringkan Jaka di kasur untuk memanggil Nenek Darah Biru. Tak lama kemudian Nenek Darah Biru pun datang bersamaan Siluman yang tadi diutus. Nenek Darah Biru segera menyembah, lalu dengan suara tuanya ia berkata:

"Sri Ratu memanggil hamba?"

"Benar! Tolong kau rawat Jaka. Dia menderita luka dalam."

"Daulat, Sri Ratu," jawab Nenek Darah Biru.

Sri Ratu Siluman Darah tanpa hiraukan Nenek Darah Biru segera meninggalkannya dan melangkah menuju ke kamar pribadinya di mana biasanya ia akan mengurung diri selama tiga hari tiga malam untuk melakukan Tapa Brata. Namun ternyata kali ini ia tidak hendak melakukan Tapa Brata, tapi ia tengah melakukan sebuah upacara adat yang hanya dilakukan oleh dirinya sendiri. Matanya terpejam, tangan bersilang dengan kaki dilipat menyila.

Sementara di ruang pengobatan Nenek Darah Biru terus berusaha mengobati luka-luka Jaka. Jaka masih pingsan, nampaknya ia benar-benar terpukul manakala melayang ke jurang Gunung Kapur.

"Pemuda ini sungguh sangat hebat. Jarang orang yang memiliki tulang-tulang serapi dan sekokoh ini. Hem, pantas kalau Sri Ratu mau mengangkatnya menjadi murid sekaligus anak," gumam Nenek Darah Biru manakala tangannya memijit tubuh Jaka.

Jaka nampak menggeliat dan meringis setiap kali tangan Nenek Darah Biru memijit dan mengurutnya. Sebenarnya pijitan dan urutan si Nenek Darah Biru bukanlah pijitan dan urutan biasa, tetapi urutan dan pijitan itu mengandung sebuah kekuatan magis yang mampu membuat bertambah kekuatan Jaka, sebab secara tak langsung si Nenek Darah Biru telah menyalurkan tenaga ke tubuh Jaka. Dan pada waktu pijitan yang terakhir, Jaka seketika menjerit keras. Jaka merasakan bagaikan hawa panas menyengat sendi-sendi tubuhnya.

"Aaah...!"

"Tenang Jaka, kau tak akan apa-apa," Nenek Darah Biru berkata menghibur: "Setelah kau diurut dan dipijit, niscaya tubuhmu akan seperti sedia kala."

Jaka menurut diam, tak berkata-kata lagi. Pijitan dan urutan tangan Nenek Darah Biru terus menyelusuri tubuhnya. Pijitan itu sangat keras, menekan-nekan pada sendi-sendi yang dirasakan perlu. Setelah beberapa lama kemudian dan dirasa cukup, Nenek Darah Biru berkata:

"Sudah! Kini engkau telah sempurna tulang dan aliran darahnya."

"Sebenarnya aku ini berada di mana. Nek?" Jaka bertanya ingin mengetahui keberadaannya. Matanya memandang sekeliling tempat itu, tempat yang indah dengan mutiara dan permata yang serba gemerlapan mewarnai tempat tersebut.

"Sepertinya aku pernah singgah di tempat ini. Kapankah? Dan di manakah?" Jaka merenung dalam hati, merasakan bahwa dia merasa pernah singgah di tempat tersebut. Matanya terasa memandang sekeliling, lalu setelah sekian lama ia berbuat begitu Jaka pun akhirnya mengingat bahwa dia memang pernah berada di tempat tersebut. "Ya, aku ingat. Aku memang pernah di tempat ini manakala aku bertarung dengan Prahista. Oh, di manakah ayah dan ibu?"

"Nek, bukankah ini kerajaan Siluman Darah?" tanyanya pada Nenek Darah Biru yang mengangguk sembari tersenyum. "Di manakah ayah dan emakku, Nek?"

"Ayah dan ibumu ada di sini, mungkin sebentar lagi akan datang bersama Sri Ratu."

Memang benar apa yang dikatakan oleh Nenek Darah Biru, sebab tak lama kemudian dari ruangan lain nampak tiga orang berjalan menuju ke ruangan di mana Jaka berbaring istirahat. Tiga orang itu tak lain dua orang wanita cantik dan seorang lelaki tampan yang wajahnya persis seperti Jaka. Dua orang wanita itu tak lain Ratu Siluman Darah dan ibunya Jaka. Sementara yang lelaki tidak lain adalah ayahnya Eka Bilawa. Ketiga orang tersebut nampak mengurai senyum di bibir mereka, dan terkadang bercakap-cakap.

"Sampurasun...!" ketiganya menyapa.

"Rampes...!"

Jaka dan Nenek Darah Biru membalas. Nenek Darah Biru segera menjura hormat, lalu menyingkir menepi memberikan jalan pada ketiganya untuk menghampiri Jaka.

"Ayah, Ibu...! Oh, benarkah itu ibu, Ayah?" tanya Jaka terheran-heran melihat ibunya nampak masih begitu muda dan cantik.

"Benar, Anakku. Akulah ibumu," wanita cantik itu menjawab mendahului si lelaki yang hanya tersenyum. "Kau sungguh sudah dewasa, Anakku." Dengan rasa haru dipeluknya tubuh Jaka yang segera membalas memeluk ibunya.

Suasana di tempat itu kini nampak sahdu, penuh rasa haru, bungah dan macam-macam rasa yang tak dapat diurai kata-kata. Ketiga sanak beranak itu terus saling melepas kerinduan yang sekian lama tak pernah bertemu. Jaka bagaikan anak kecil, menangis dalam pelukan ibunya.

"Ayah, Jaka ingin tinggal di sini saja. Jaka sudah bosan di dunia ramai yang selalu diwarnai oleh banyak masalah yang rumit. Sepertinya Jaka hendak tak mampu untuk menghadapinya," Jaka berkata seperti putus asa, menjadikan sang ayah dan Ratu Siluman Darah gelengkan kepala tak menyetujui akan permintaan Jaka.

"Tidak, Anakku. Kau harus tetap di dunia ramai. Ketahuilah, bahwa dirimu memang sudah dikodratkan harus menjadi seorang pendekar yang memerangi kejahatan. Dan sebagai seorang pendekar maka sudah selayaknya mendapat rintangan, karena kau manusia juga. Manusia itu kadang jaya, kadang pula harus kalah. Kau harus ingat bahwa di atas segalanya hanya Yang Maha Kuasa saja yang paling mampu berbuat segalanya. Tak ada mahluk apa pun yang dapat menandingi-Nya." Ayahnya menuturi.

"Benar Jaka. Memang apa yang dikatakan oleh ayahmu benar adanya. Kembalilah kau ke sana lagi, jangan kau putus asa hanya karena kau menderita kalah. Ingat, kekalahan bukan selamanya berpihak pada dirimu. Kekalahan sebaiknya jadikanlah pelajaran atau guru yang utama untukmu," Ratu Siluman Darah yang berkata. "Aku akan memberikan padamu bekal, bekal yang nantinya dapat engkau gunakan. Tapi untuk menghadapi musuhmu yang sekarang, maka aku akan ikut membantu. Aku akan muncul di alam manusia."

"Mengapa Sri Ratu hendak ke alam manusia?"

"Ketahuilah olehmu, bahwa musuhmu itu bukanlah mahluk sembarangan. Dia tak akan dapat mati oleh tangan manusia, sebab Yang Kuasa memang mentakdirkan begitu. Musuhmu adalah orangku, maka hanya akulah yang akan mampu menghancurkannya," Ratu Siluman Darah berkata berapi-api, sepertinya dalam kata-katanya mengandung sesuatu yang besar. "Dia adalah Panglima Perangku. Dia melarikan diri setelah pemberontakan yang dilakukan olehnya beserta beberapa anak buahnya dapat kami tumpas. Ternyata dia nekad lari ke alam manusia. Sebenarnya ia tak dapat hidup lama kalau saja ia tidak segera menemukan Renggana. Tapi sudahlah tak usah dipikirkan masalah itu. Kini yang penting kau akan aku gembleng untuk menambah ilmu yang engkau miliki. Bila kau telah rampung, maka kau pun akan menjadi manusia yang berilmu Siluman."

"Oh, benarkah itu, Sri Ratu?" Jaka bertanya. "Sungguhkah aku akan memiliki ilmu-ilmu Siluman?"

"Ya, mengapa? Kau tak suka, Jaka?" Sri Ratu bertanya.

"Suka! Saya memang ingin menambah ilmu yang ada pada diri saya, Sri Ratu."

"Nah, mulai saat ini kau harus rajin belajar dengan ayahmu, sebab ayahmulah yang akan mendidikmu mengenai ilmu-ilmu mahluk siluman!" Ratu Siluman Darah melirik pada Eka Bilawa dengan bibir terurai senyum, sepertinya ia tidak cemburu sama sekali kalau Eka Bilawa sekarang telah bersanding dengan istrinya. Namun malah sebaliknya ia bangga, sebab Eka Bilawa tidak membedakan istri-istrinya. Eka Bilawa bertindak adil dan bijaksana. Wajah Eka Bilawa yang tampan memang persis Jaka, sehingga menjadikan Ratu Siluman Darah menyayangi Jaka sampai-sampai ke mana pun Jaka selalu didampingi.

Sejak saat itu Jaka untuk sementara menjadi penghuni Kerajaan Siluman Darah. Sejak saat itu juga Jaka harus berlatih apa yang diajarkan oleh ayahnya Eka Bilawa dalam hal ilmu-ilmu Siluman yang hanya dimiliki oleh para siluman belaka. Hal itu dimaksudkan agar Jaka makin mampu menangani segala apa yang menjadi rintangan, juga agar Jaka dapat melakukan kewajibannya sebagai seorang pendekar untuk menumpas segala kejahatan.

********************

TUJUH

Sejak menghilangnya Jaka Ndableg dari dunia entah ke mana, maka kejahatan yang kini dipimpin oleh Iblis Sedayu yang mengangkat dirinya sebagai Raja Diraja Iblis makin merajalela. Kini Iblis Sedayu yang telah menggunakan jasa Jalak Kuning, tak segan-segan melakukan tindakan telengas pada umat manusia.

Pada umumnya, para anggota Raja Diraja Iblis bertindak dengan tanpa mengenal belas kasihan. Memang bukannya mereka merampok harta, namun mereka merampok bahkan yang lebih dari itu yaitu merampok nyawa seseorang untuk dijadikan korban. Bukan itu saja, cita-cita Iblis Sedayu untuk menjadikan seorang Raja Iblis pertama yang memimpin manusia perlahan namun pasti dijalankan...

"Untuk mendapatkan segala cita-citaku, maka aku harus menundukkan kerajaan-kerajaan di tanah Jawa ini. Aku akan mengutus abdiku untuk melakukannya. Aku sebentar lagi akan menjadi Raja Diraja Iblis yang mampu memimpin manusia untuk mengikuti jalanku. Seperti janjiku pada Tuhan, maka aku pun akan berusaha mengajak sebanyak-banyaknya anak cucu Adam untuk menjadi sahabatku yang kelak akan menemaniku di neraka. Hua, ha ha...!" bergelak tawa Iblis Sedayu bila mengingat hal itu, sementara keempat Jalak Sakti lainnya yang ia angkat sebagai patih serta penasehatnya nampak tundukan kepala duduk bersila di hadapannya.

"Jalak Merah!"

"Daulat, Baginda Raja Diraja," jawab Jalak Merah sembari menyembah

"Aku perintahkan padamu untuk kumpulkan tentara guna menyerang kerajaan Sebrang Gunung!"

Jalak Merah terdiam tanpa kata mendengarkan ucapan Rajanya. Hati kecilnya sebenarnya tak suka, sebab ia tahu sendiri bahwa kerajaan Sebrang Gunung banyak tokoh-tokoh silat yang berilmu tinggi. Namun untuk menolaknya, jelas ia tak berani karena tidak mungkin tidak rajanya akan murka. Dan apabila rajanya telah murka pasti dirinyalah yang menjadi korban. Maka dengan segala ketakutan itu Jalak Merah pun berkata:

"Daulat, Baginda Raja Diraja yang mulia, kami akan melaksanakan segala titah paduka."

"Bagus! Sekarang juga persiapkan para prajurit!"

"Daulat, Yang Mulia!" Jalak Merah kembali menyembah, lalu dengan beringsut ia pun segera berlalu meninggalkan tempat tersebut untuk menemui para prajuritnya yang dihimpun dari masyarakat desa Slawi. Langkahnya nampak tak bersemangat, sepertinya langkah itu sedikit dipaksa hingga nampak terseret. Jalak Merah terus melangkah meninggalkan keraton menuju ke lapangan yang telah dijadikan alun-alun. Di situ Jalak Merah hentikan langkah, lalu dengan menggunakan tenaga dalam ia berseru.

"Para prajurit, berkumpul...!"

Ternyata seruan Jalak Merah sungguh kencang, sehingga dari jarak yang cukup jauh pun dapat didengar. Maka seketika berbondong-bondong para prajurit yang terdiri dari warga desa Slawi tersebut berdatangan menuju ke lapangan di mana Jalak Merah telah menunggu berdiri di tengah-tengah lapangan itu.

"Para prajurit, berkumpulah! Ada berita penting...!"

"Berita apakah, Tuan Patih?!" Warga yang sudah mendekat bertanya. "Adakah berita yang membuat bencana? Atau berita kegembiraan?!"

"Kalian berkumpul dulu, jangan banyak bertanya!"

Warga desa itu menurut diam, sepertinya mereka merasakan ketakutan. Mata mereka memandang hampa, tak berani menatap pandang pada Jalak Merah yang telah dianggap oleh mereka sebagai patihnya. Mereka terus melangkah, makin dekat dan dekat menuju ke lapangan di mana Jalak Merah berada. Dan tak lama kemudian, mereka pun telah berkumpul membentuk sebuah lingkaran mengelilingi Jalak Merah.

"Sri Baginda Raja Diraja memerintahkan kita untuk mengadakan peperangan. Kita akan menyerang kerajaan Sebrang Gunung. Apakah kalian telah siap!" terdengar suara Jalak Merah berseru, memberitahukan.

Seketika semua yang hadiir terdiam, sedangkan diri mereka tak menghendaki perang. Dalam hati mereka bertanya-tanya, mengapa harus berperang? Bukankah sekarang telah tentram dan damai? Mereka tak tahu apa sebenarnya yang dikehendaki oleh raja mereka sesungguhnya.

Sebenarnya mereka ingin menolak, namun mereka tak berani. Di samping karena raja mereka sakti dan telah mampu mengalahkan dua pendekar yang tiada tanding itu, juga mereka merasa berhutang budi pada raja mereka yang telah memberikan segala apa yang mereka pinta.

Tengah mereka tercenung diam, dari kejauhan tepatnya dari kerajaan berjalan dengan langkah-langkah bagaikan terbang seseorang yang mengenakan pakaian kebesaran. Dialah raja mereka, yaitu Raja Diraja Sedayu. Karena Sedayu berlari dengan menggunakan ilmu larinya, maka dalam beberapa kejap saja tubuhnya telah sampai di tempat tersebut. Mata Sedayu seketika memandang pada para prajuritnya yang seketika itu pula tundukan muka sembari menyembah.

"Terimalah sembah kami, Yang Mulia...!"

"Hua, ha, ha...! Bagus! Sembah kalian aku terima!" Sedayu nampak senang dan katanya kemudian: "Apakah kalian telah tahu mengapa kalian dikumpulkan di tempat ini?"

"Daulat, Yang Mulia, kami telah mengetahuinya!"

"Kalian jangan takut, sebab kalian akan aku bantu dengan prajurit-prajurit lelembutku. Nah, kini di samping-samping kalian telah muncul mereka."

Tersentak semuanya manakala menengokkan kepala ke samping kirinya telah ada mahluk serupa dengan dirinya. Mereka seperti tak percaya, menjadikan mereka terus memandang pada mahluk-mahluk yang bagi mereka adalah bayangan mereka sendiri. Tapi ternyata bukan. Mahluk-mahluk itu bukan bayangan mereka, terbukti mahluk-mahluk itu tidak memandang balik melainkan diam mematung dengan wajah terus tegar memaku ke muka.

"Nah, itulah teman kalian untuk menyerang kerajaan Sebrang Gunung. Mereka akan menuruti apa yang kalian perintahkan! Tapi mereka akan dapat mengadu bila ternyata kalian tidak menuruti segala perintahku! Maka apabila ada teman kalian yang mengadu padaku bahwa kalian ada yang tidak menurut, kalian tentunya tahu apa hukumannya? Hukumannya adalah teman kalian sendiri yang akan menghisap darah kalian sampai kering kerontang!"

Bergidik juga orang-orang itu mendengar penuturan rajanya. Mereka tahu bahwa ucapan rajanya bukanlah ucapan penakut anak kecil belaka, tetapi ucapan yang benar-benar akan terlaksana bila mereka membangkang.

"Daulat, Baginda Yang Mulia...!"

"Nah, berangkatlah kalian! Tegarkan hati kalian dengan semangat bahwa kalian akan mampu menundukkan kerajaan Sebrang Gunung!"

"Daulat, Baginda Yang Mulia...!"

"Ampun, Baginda Yang Mulia, saya menjalankan tugas!" Jalak Merah menyembah, lalu dengan melangkah mundur ia pun segera menuju ke barisan prajurit dan berjalan paling muka. Melihat para prajuritnya telah melangkah, segera Iblis Sedayu berkelebat pergi tinggalkan lapangan kembali ke istananya.

Para prajurit itu bagaikan monster yang selalu dikendalikan oleh pemiliknya. Mereka berjalan dengan bisu, sepertinya tak ada gairah untuk berkata-kata. Di setiap seorang prajurit, nampak sesuatu mahluk yang menyerupai mereka berjalan mengiringi. Mahluk-mahluk tersebut adalah ciptaan Iblis Sedayu yang diambil dari darah kehidupan mereka, sehingga wajar kalau mahluk-mahluk tersebut menyerupai mereka. Mahluk-mahluk itulah yang akan mengantar mereka dan membantu mereka dalam menyerbu ke kerajaan Sebrang Gunung.

Sebenarnya warga desa yang dijadikan prajurit itu merasakan takut untuk menghadapi prajurit-prajurit Sebrang Gunung. Walau mereka dalam pengaruh Iblis Sedayu, namun mereka masih dapat sadar dan mengingat-ingat segalanya. Mereka tahu bahwa di kerajaan Sebrang Gunung banyak berkumpul para tokoh persilatan yang tidak berilmu rendah. Namun bila mereka ingat akan ancaman dan karena jasa raja yang telah membantu mereka selama ini, mereka pun dengan takut dan jeri menurut.

Barisan prajurit yang terdiri dari manusia dan duplikatnya yang tak lain bangsa Iblis terus melangkah. Barisan itu panjang, hampir menyerupai kelokan-kelokan ular naga bila dilihat dari kejauhan. Mereka berjalan menyusuri lereng gunung, menuruni sungai dan lembah, seakan tiada rasa lelah sedikit pun.

********************

"Heh, seperti ada iring-iringan menuju ke mari!" teriak seseorang warga kerajaan Sebrang Gunung yang bekerja sebagai pencari kayu berkata pada temannya.

"Benar! Ya, sepertinya mereka itu para prajurit!"

"Mereka seperti hendak berperang!"

"Mereka menuju ke mari! Ayo kita tinggalkan tempat ini untuk memberitahukan pada Paman Patih Sungkar!"

Dengan segera ketiga orang pencari kayu itu berlari meninggalkan hutan itu. Mereka berlari bagai kesetanan, sehingga tak mereka hiraukan segala apa yang menghalangi mereka diterobosnya. Mereka juga, nampak berlari kencang, hampir dapat dikatakan mereka yang hanya seorang petani pencari kayu mampu menggunakan tenaga mereka untuk menyalurkan ke kaki-kaki mereka hingga mereka, bagai terbang.

"Ada musuh...! Musuh datang...!"

Mereka berteriak-teriak bagaikan kesetanan, menjadikan orang-orang yang saat itu berada di pasar berserabutan lari tunggang langgang sembari meneruskan teriakan ketiga orang pencari kayu, sehingga dengan sendirinya riuhlah mereka dengan teriakan-teriakan yang sama. Ketiga orang pencari kayu itu terus berlari dengan cepat sambil berseru-seru menyebut-nyebut musuh datang. Mereka terus menuju ke arah Utara di mana kerajaan berada.

"Musuh datang...! Musuh datang...!" Walau jarak kerajaan sudah dekat, namun mereka terus berlari dengan kencang, sepertinya mereka tak ingin dapat ditangkap oleh musuh yang datang masih jauh. Hal itu menjadikan seorang prajurit yang melihatnya seketika menghentikan lari mereka!

"Ki Sanak sekalian, kenapa kalian berteriak-teriak?"

"Musuh datang, Tuan Prajurit!" jawab seorang dari mereka dengan napas ngos-ngosan, menjadikan prajurit itu kerutkan kening memandang mereka satu persatu seperti belum mau percaya begitu saja pada apa yang dikatakan ketiga tukang kayu itu.

"Benarkah...?"

"Benar, Tuan Prajurit, kami melihat musuh datang dengan ribuan prajurit yang siap bertempur," Yang berkata tukang kayu yang nampak masih muda di antara kedua orang lainya.

"Baiklah, kalian ikut aku!"

Dengan tak menghiraukan orang-orang yang masih serabutan untuk lari, keempat orang itu pun segera melesat menuju ke istana kerajaan. Langkah mereka begitu lebar, seakan mereka tak ingin didahului dengan kedatangan musuh yang sudah berada di gunung. Tak begitu lama kemudian mereka pun telah sampai di kerajaan.

"Ada apa, Sasongko? Sepertinya ada hal yang penting?" Seorang penjaga pintu istana bertanya pada Sasongko, yaitu prajurit yang membawa ketiga tukang kayu itu.

"Paman patih ada?"

"Ada. Dia ada di dalam bersama Baginda Raja."

"Aku dan ketiga orang ini ingin menghadap..."

Penjaga pintu istana kerutkan kening memandang pada Sasongko dan ketiga tukang kayu itu sesaat. Kemudian salah seorang dari penjaga pintu itu pun berkelebat masuk ke dalam istana. Tak lama kemudian ia kembali keluar menemui Sasongko dan berkata:

"Kalian dipersilahkan masuk!"

Sasongko dan ketiga tukang kayu yang nampak gemetaran sebab tak biasa memasuki istana segera menuju ke dalam. Di sana nampak Sri Baginda dengan dihadapi oleh para tokoh persilatan dan patih serta pembesar istana lainnya tengah berbincang-bincang. Sasongko dan ketiga tukang kayu itu segera menyembah.

"Ada gerangan apa kalian menghadapku?"

"Ampun, Yang Mulia Baginda Raja sesembahan hamba. Kami menghadap untuk menghadapkan ketiga tukang kayu ini yang hendak memberikan kabar pada Yang Mulia," Sasongko berkata, dengan terlebih dahulu menyembah.

"Ada kabar apa yang kalian bawa, Pak?"

Ketiga pencari kayu itu nampak menelan ludah, seperti sukar untuk berkata-kata. Keringat dingin keluar membasahi pelipis mereka. Mereka begitu tegang, maklum mereka baru pertama kali menginjakkan kaki dan menghadap rajanya. Walau mereka tahu bahwa raja mereka adalah seorang raja yang bijaksana, namun sebagai seorang rakyat jelata jelas mereka merasakan hawa lain. Rasa takut dan kaku pun menyelimuti ketiganya. Hal itu diketahui oleh Sri Baginda yang dengan segera kembali berkata:

"Kenapa? Kalian tak perlu takut. Aku rajamu, aku juga abdi kalian. Katakanlah apa yang menjadi unek-unek kalian."

"Mu... musuh menuju ke mari, Baginda," jawab salah seorang dari ketiganya, menjadikan Sri Baginda dan orang-orang yang berada di situ seketika terperanjat kaget.

"Musuh!"

"Ya, mereka telah sampai di gunung Kidul..."

Tengah mereka dalam keterkejutan, tiba-tiba di luar terdengar suara seruan rakyat yang lari serabutan sambil berteriak-teriak:

"Musuh datang...! Musuh Datang...!"

Serta merta semua yang hadir di situ berkelebat ke luar. Semuanya kini dengan tergesa-gesa mempersiapkan para prajurit untuk segera menanggulangi musuh yang sudah tak mungkin dapat dibendung. Dan memang benar, musuh telah tiba. Maka tanpa dapat berkata-kata lagi, prajurit-prajurit Kerajaan Sebrang Gunung pun segera memapaki hingga terjadilah pertempuran.

Namun karena mereka tak mempersiapkan segalanya, juga karena di pihak musuh dibantu oleh para Iblis yang sukar untuk dikalahkan, mereka dari pihak kerajaan Sebrang Gunung pun nampak keteter. Tak ada arti sama sekali para tokoh persilatan yang ikut turun menyerang musuh.

Pertarungan terus berkobar, sepertinya kedua prajurit dua kerajaan itu tak mau ada yang kalah dan mundur. Kedua prajurit kerajaan itu seperti ganas, membabi buta dalam setiap serangannya. Darah telah membanjir di alun-alun, diselingi oleh jerit kematian.

Melihat bahwa para prajuritnya nampak tak dapat membendung musuh, dengan dibantu oleh ponggawa istana raja dan keluarganya segera meninggalkan istana untuk mengungsi. Dan memang benar bahwa prajurit-prajurit kerajaan Sebrang Gunung tak mampu menghalau musuh, apalagi ketika Iblis Sedayu tiba-tiba muncul. Maka makin kacaulah para prajurit kerajaan Sebrang Gunung. Dalam sekejap saja mereka dengan cepat dapat ditaklukkan.

"Hua, ha, ha...! Kini akulah yang bakal menjadi Raja Diraja! Akulah yang mampu membangun sebuah kerajaan di tanah Jawa ini! Akulah Raja Iblis yang mampu membuat anak cucu  Adam menuruti apa yang menjadi perintahku. Hua, ha, ha...!"

Iblis Sedayu seketika bergelak tawa. Tampak kebahagiaan menyelimuti sorot matanya yang menyala-nyala. Ya, sejak itu Kerajaan Sebrang Gunung resmilah di bawah cengkraman Iblis.

********************

DELAPAN

Dengan menyerang ke kerajaan Sebrang Gunung, maka makin terkenal saja nama Iblis Sedayu. Namanya begitu ditakuti, tersebar di mana-mana. Nama Iblis Sedayu Mukti, kini menjadi momok bagai orang mendengar nama Tuhan Yang Maha Kuasa saja. Bagi orang yang memang suka berbuat jahat, jelas hal itu merupakan sebuah lampu hijau untuk kembali menampakkan diri mereka dan berkecimpung di dunia kejahatan. Tapi bagi orang yang mencintai ketentraman dan kedamaian, jelas nama Iblis Sedayu merupakan nama yang harus sebisa mungkin dilenyapkan.

Siang itu di daerah pesisir Utara nampak seseorang bercadar putih ala ninja melangkah menyusuri pesisir yang panas terik. Kakinya begitu ringan menapak, sehingga pasir-pasir yang diinjaknya bagaikan tak amblas semili pun. Yang lebih aneh adalah cadar penutup kepalanya. Apakah ia tidak merasakan kepanasan?

Padahal hari begitu teriknya. Ternyata cadar itu juga bukan hanya sebatas kepala saja, tapi kain putih pembungkus itu membungkus segenap tubuhnya. Dilihat dari pakainnya yang begitu aneh, kita dapat mengetahui siapa adanya dia. Dialah Murid Sunan Kali Jaga, yang bergelar Maling Siluman.

"Aku tidak mendengar adanya Jaka. Mungkinkah Jaka telah mengetahui kejadian yang kini menimpa dunia persilatan?" gumamnya bertanya pada diri sendiri. "Atau barangkali Jaka tak mendengarnya? Ah, itu tidak mungkin, sebab Jaka selalu berkelana ke mana saja. Sungguh-sungguh sebuah bencana bila hal ini tidak segera dihentikan."

Maling Siluman terus melangkah menyusuri pantai laut Jawa menuju ke Selatan. Tengah ia berjalan, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat mendahuluinya berlari. Hal itu menjadikan Maling Siluman tersentak kaget, segera ia pun mengejarnya.

"Hoi...! Jangan lari!"

Maling Siluman terus mengejar, dan nampaknya orang tersebut yang ternyata seorang wanita menghentikan langkah larinya. Wanita muda yang tak lain Miranti si Bidadari Selendang Ungu membalikkan mukanya memandang pada Maling Siluman.

"Ada apa engkau menyuruhku berhenti?"

"Apakah boleh aku tahu, ke mana tujuan Ni Sanak?"

"Aku hendak ke Kerajaan Sebrang Gunung. Aku ingin menjajaki ilmu yang dimiliki oleh Iblis Sedayu yang kabarnya mampu mengalahkan Jaka Ndableg," Miranti berkata, menjadikan Maling Siluman seketika tersentak kaget seraya memekik tertahan.

"Ah...! Benarkah, Ni Sanak?!"

"Untuk apa aku berdusta. Aku adalah Oh, sudahlah!"

"Kenapa Ni Sanak? Sepertinya kau ragu untuk mengatakannya?"

Miranti terdiam didesak pertanyaan begitu rupa oleh Maling Siluman. Wajahnya seketika redup, seakan ia tengah memendam sebuah perasaan tersendiri pada Jaka. Dan memang begitulah adanya. Sejak ia bertemu dengan Jaka, hati Miranti seperti diselimuti oleh perasaan rindu yang mendayu-dayu seperti rindunya tak dapat dihilangkan atau dihibur.

"Aku, aku... aku mencintainya," Miranti berkata polos, menjadikan Maling Siluman yang telah tua mengerti akan perasaan yang berkecamuk di dada gadis ini.

"Ah, tidak engkau saja yang sedih, Ni Sanak," hibur Maling Siluman. "Aku pun begitu. Kami adalah dua sahabat, seiring sejalan yang rasanya sukar untuk dipisahkan."

"Aku telah sebatang kara. Maka apabila Jaka benar-benar telah mati, maka lebih baik aku pun ikut mati saja."

"Ah...." Maling Siluman mendesah. Ia sadar bahwa cinta Miranti sungguh tulus dan suci pada Jaka. Maling Siluman hanya mampu terpaku diam, tak tahu apa yang harus dibuatnya.

Tengah kedua orang pendekar itu berdiri mematung dalam diam, seseorang berjalan menuju ke arahnya. Orang itu nampak bukan orang-orang tanah Jawa. Kulit orang itu kuning langsat, menjadikan pemuda itu nampak seperti orang Cina. Dan memang, pemuda itu yang tak lain Daeng Surih adanya adalah keturunan Cina-Jawa. Bapaknya adalah Amangkurat, yaitu seorang Jawa, sedang ibunya adalah Nan-Cin-Cu putri kerajaan Cina.

Daeng Surih menghampiri keduanya, lalu dengan menjura hormat terlebih dahulu ia pun bertanya: "Ki Sanak dan Ni Sanak, dapatkah kalian berdua menunjukkan pada kami untuk menemui tempat Kerajaan Sebrang Gunung?"

"Siapakah adanya, Ki Sanak? Dan dari manakah Ki Sanak sebenarnya, serta ada keperluan apakah hendak menuju ke Kerajaan Sebrang Gunung?" tanya Maling Siluman.

"Hamba yang rendah ini bernama Daeng Surih. Orang sering menjuluki hamba dengan sebutan Pendekar Suling Kematian. Hamba datang dari tanah Andalas tepatnya di Gunung Kerinci ke mari semata-mata ingin mengecek kebenaran tentang kalahnya sahabat hamba yang bernama Jaka Ndableg oleh seorang Iblis. Kalau memang sahabatku kalah dan mati, maka hamba akan turut berperang dengan Iblis tersebut sampai hamba atau Iblis itu mati."

"Jadi Ki Sanak adalah sahabat Jaka?" tiba-tiba Miranti menanya.

"Ya, hamba adalah sahabatnya."

"Kalau begitu kita setujuan."

"Setujuan bagaimana maksudmu, Nona?"

"Kami berdua juga sahabat Jaka, bahkan nona ini adalah kekasihnya," Maling Siluman menerangkan, menjadikan Miranti tersipu-sipu memerah pipinya.

Sementara Daeng Surih yang telah tahu siapa adanya Miranti, segera menjura penuh hormat seraya kembali berkata: "Oh, kalau begitu hambalah yang terlalu bodoh tak mau tahu siapa adanya Nona. Maafkan segala kelancangan hamba..."

"Tidak mengapa. Kau tidak bersalah. Kita adalah sahabat yang patut saling bantu. Marilah kita selekasnya ke sana. Aku merasa bahwa kita belum terlambat untuk mencegah perbuatannya yang telengas."

"Baiklah, Nona! Mari, Ki Sanak Daeng Surih!" Maling Siluman mengajak.

Dengan segera ketiganya pun berkelebat meninggalkan pesisir Utara yang kembali sepi dengan desahan gelombang yang bergulung-gulung menepiskan pasir-pasir dan sampah-sampah yang akhirnya menepi di pantai. Angin pantai semilir bertiup, menambah kesejukan dan rasa tenang.

********************

Ternyata tidak hanya para pendekar saja yang merasa gundah dengan hilangnya Jaka yang menurut desas-desus jatuh ke jurang Gunung Kapur, akan tetapi para tokoh masyarakat dan para pimpinan perguruan-perguruan yang beraliran putih pun merasakan hal yang serupa. Juga para kerajaan yang pernah merasa berhutang budi pada Jaka Ndableg, seketika menjadi panas oleh desas-desus tersebut.

Maka sebagai pelampiasan kemarahan mereka pada Iblis Sedayu yang kini berkuasa di Kerajaan Sebrang Gunung, mereka pun mengirim pasukan dengan maksud membumi hanguskan kerajaan Sebrang Gunung dan apabila mampu membunuh rajanya. Dari beberapa kerajaan itu langsung dipimpin oleh patih utamanya, sementara dari perguruan-perguruan seperti Rajawali, Teratai, Tangan Dewa, dan perguruan lainnya langsung dipimpin oleh pimpinan sekaligus guru mereka.

Dari arah Selatan, Barat, Utara, dan Timur nampak rombongan-rombongan itu berjalan menuju ke satu arah yaitu Kerajaan Sebrang Gunung di mana Iblis Sedayu menjadi rajanya. Ketiga orang yang juga bertujuan sama seketika tersentak manakala ketiganya mendengar seruan-seruan dari belakang yang keluar dengan nada marah dan dendam yang dilontarkan untuk mencaci maki Iblis Sedayu Mukti.

"Kita ganyang Iblis laknat itu!"

"Kita lumatkan dengan tanah!"

Berbagai macam caci maki keluar dari para prajurit dan orang-orang persilatan yang berjalan dari sebelah Utara di mana ketiga pendekar itu juga berasal.

"Nampaknya berita hilangnya Jaka telah menjadikan beberapa kerajaan dan perguruan yang pernah dibantunya marah. Apakah kita akan bergabung dengan mereka?" tanya Maling Siluman pada kedua rekannya.

"Sebaiknya menurutmu, bagaimana?" Miranti balik bertanya.

"Kita bergabung saja?"

"Ya, kita bergabung dengan mereka saja," jawab Daeng Surih.

Maka setelah mengambil keputusan begitu ketiganya segera berkelebat menuju ke arah di mana mereka datang. Dan tanpa mengalami kesulitan ketiga pendekar tersebut akhirnya diterima bergabung dengan mereka. Mereka terus berjalan menapak demi setapak menuju ke Kerajaan Sebrang Gunung. Dalam hati mereka ada satu tujuan yang sama, yaitu menghancur-leburkan kerajaan Sebrang Gunung beserta rajanya.

********************

Kehadiran para tokoh persilatan, kerajaan-kerajaan, serta perguruan-perguruan yang datang dari empat penjuru itu menjadikan hirup pikuk rakyat kerajaan Sebrang Gunung. Mereka ada yang senang karena merasa akan datang kebebasan dari cengkraman raja mereka yang selalu meminta korban setiap Jum'at hingga gadis-gadis di situ sudah hampir habis. Ya, setelah kerajaan dipimpin oleh Raja Iblis Sedayu, maka sudah menjadi kebiasaan bagi rakyatnya untuk selalu mengorbankan seorang gadis untuk tumbal rajanya.

Tak terkecuali tokoh-tokoh persilatan di wilayah kerajaan, mereka menyambut kedatangan para prajurit persatuan itu dengan hati bungah, sebab tidak mungkin tidak bahwa kebebasan mereka untuk kembali mendirikan perguruan akan kembali muncul.

Maka sebelum para penyerbu itu sampai, para tokoh persilatan di kerajaan Sebrang Gunung segera menyambut mereka. Makin bertambah banyak saja jumlah mereka dengan menggabungnya banyak warga kerajaan Sebrang Gunung. Kini kekuatan mereka benar-benar sebuah kekuatan dahsyat. Namun apakah mereka akan mampu membunuh Iblis Sedayu Mukti?

Orang-orang yang datang dari empat penjuru itu kini makin mendekat ke wilayah Kerajaan Sebrang Gunung. Hal itu menjadikan amarah Sedayu yang dengan segera menyiapkan pasukannya untuk memapaki mereka. Pasukan yang terdiri dari bangsa manusia dan bangsa Iblis itu segera menuju ke alun-alun, menanti kedatangan para pemberontak yang jumlahnya hampir seratus kali jumlah mereka. Sebenarnya hati prajurit manusia Kerajaan Sebrang Gunung ciut juga melihat hal tersebut, namun karena tugasnya sebagai prajurit mau tak mau ia harus menjalankannya.

"Serang...! Hancur leburkan Iblis laknat!"

Tanpa ayal lagi, mereka pun segera terlibat dalam pertempuran. Nampaknya para prajuritprajurit yang bercampur baur dengan tokohtokoh persilatan itu tanpa mengenal adanya takut mati. Di hati mereka hanya ada satu pilihan, lebih baik mati demi membela kebenaran dan keadilan daripada hidup harus nantinya terkekang oleh Iblis.

Sebaliknya para prajurit Kerajaan Sebrang Gunung, walau jumlah mereka kecil namun dikarenakan mereka mendera rasa takut pada rajanya hingga keberanian mereka pun seperti api. Ditambah lagi dengan bantuan prajurit-prajurit Iblis, makin ramailah perang besar itu.

"Trang! Trang!"

"Aaaah...!"

Senjata saling beradu, yang akhirnya harus diakhiri dengan lengkingan kematian dari salah seorang di antara yang bertarung. Dan bila musuhnya telah mati, maka orang yang menang segera mencari musuh yang lain.

Tiga pendekar terdiri dari Maling Siluman, Daeng Surih dan Miranti nampak mengamuk membabi buta. Setiap hantaman tangan dan kaki mereka seketika menjadikan kematian bagi yang terkena. Apalagi Miranti, dengan Selendang Ungunya yang setiap kali dikibaskan menjadikan bunyi ledakan yang mampu menghancurkan gunung tanpa ayal lagi mengamuk menghantamkan selendangnya. Sepuluh orang musuh mati dengan tubuh hancur, terkena sabetan Selendang Ungu.

Dalam sekejap saja prajurit-prajurit kerajaan Sebrang Gunung dapat terdesak mundur. Tengah keadaan genting menyelimuti prajurit-prajurit kerajaan Sebrang Gunung, tiba-tiba terdengar suara bentakan membahana. Bersamaan dengan itu, sesosok tubuh berkelebat menghadang ketiga pendekar tersebut.

"Mundurlah kalian semua! Biar aku yang menghadapi mereka!"

"Iblis Sedayu! Memang engkaulah yang aku tunggu-tunggu!" bentak Miranti marah.

"Hua, ha, ha...! Kalian mau mengantar nyawa rupanya! Jangankan kalian, Jaka Ndableg yang kalian anggap manusia dewa pun dengan mudah aku bunuh!"

Iblis Sedayu bergelak tawa sombong, menjadikan ketiga pendekar tersebut melototkan mata marah. Hati mereka bagaikan dibakar api. Ya, ketiganya kini telah dibakar oleh api amarah pada Iblis tersebut. Sementara para prajurit dua kekuatan itu telah mundur, mereka hanya diam untuk menyaksikan apa yang bakal terjadi.

"Sombong kau, Iblis! Kami datang untuk memusnahkan nyawa busukmu!" yang membentak ini Maling Siluman. "Serang...!"

Dengan segera ketiganya pun berkelebat menyerang bergantian. Namun demikian, sepertinya Iblis Sedayu tak merasakan apa-apa diserang oleh tokoh-tokoh persilatan kelas wahid. Pertempuran antara ketiga tokoh utama persilatan mengeroyok Iblis Sedayu terus berjalan. Miranti dengan Selendang Ungunya tanpa segan-segan mencerca dengan jurus-jurus yang dahsyat. Dan Maling Siluman dengan pedangnya terus membabatkan pedang di tangannya ke arah yang mematikan.

Sementara Daeng Surih dengan Suling Kematiannya dengan enaknya meniup seruling yang ditujukan langsung ke arah musuh. Akibat tiupan seruling itu, seketika prajurit-prajurit kerajaan Sebrang Gunung hancur berantakan. Dan prajurit-prajurit manusianya seketika berbuat aneh. Mereka mencekik leher mereka sendiri hingga mati melotot dengan lidah menjulur keluar.

"Hiat...!" suara Miranti menggelegar.

"Hiat…!" Maling Siluman.

"Hiat...!" Daeng Surih. Ketiganya bersamasama hantamkan ilmu yang mereka miliki, dan...

"Duar...!"

Meledak seketika tubuh Jalak Kuning, hancur berantakan terhantam oleh ajian-ajian yang mereka miliki. Seketika bersorak giranglah para prajurit yang menonton. Namun belum juga hilang rasa bahagia mereka, tiba-tiba terdengar gelak tawa membahana memecahkan keramaian.

"Kalian jangan bungah dulu, aku masih hidup! Hua, ha, ha...!"

Tersentak semuanya yang berada di situ termasuk ketiga pendekar itu. Mata mereka tak percaya demi melihat apa yang kini berjalan ke arah mereka. Sebuah mahluk yang terdiri dari darah belaka berjalan menuju ke arah ketiga pendekar tersebut.

"Inilah ujudku! Kalian tak akan mampu membunuhku. Hua...!" Mahluk itu segera berkelebat menyerang ketiga pendekar tersebut yang dengan segera bermaksud menghindar. Namun cipratan darah itu begitu cepat, hampir saja dapat mengenai tubuh mereka, ketika nampak dua bayangan berkelebat memapakinya.

"Wuuuttt...!"

"Desst...!"

"Kau....'" pekik mahluk itu demi melihat siapa adanya yang datang.

Tak kalah kaget dan senangnya ketiga pendekar itu demi melihat siapa yang kini tengah tersenyum menghadapi mahluk menyeramkan. Dia adalah Jaka Ndableg yang digegerkan telah mati.

"Jaka...." seru ketiganya demi melihat Jaka telah ada bersamaan dengan seorang wanita cantik jelita di sisinya.

Miranti nampak mengkerut, melengos cemburu. Namun segera Jaka yang tahu hal itu kedipkan mata, sehingga Miranti kini tahu siapa adanya wanita di sisi Jaka.

"Dia adalah gurunya!"

"Gurunya...?!" terheran-heran Maling Siluman dan Daeng Surih mendengar penuturan Miranti. "Bagaimana mungkin gadis semuda itu adalah guru Jaka?"

Namun pertanyaan Daeng Surih dan Maling Siluman tak terjawab ketika dengan segera terpecah oleh sebuah bentakan yang dilontarkan oleh gadis cantik bak bidadari yang berdiri di samping Jaka.

"Sedayu! Kau ternyata telah membuat nama kerajaan cemar! Masihkah engkau akan melawanku! Masihkah engkau akan menentangku! Kalau memang begitu jangan salahkan aku bertindak!" Ratu Siluman Darah nampak ngotot marah.

"Aku kini bukan wargamu! Maka engkau minggirlah!"

"Hem, kau kira kau mudah untuk menjadikan dirimu sebagai Raja bagi manusia. Sayang Sedayu, ternyata usahamu akan mengalami kesia-siaan, sebab anakku inilah yang akan mengakhiri petualanganmu." Ratu Siluman Darah cibirkan bibirnya. "Nah Jaka, hadapilah dia. Gunakan ilmu yang ayahmu ajarkan. Hanya dengan ilmu itu dia akan mati..."

"Baik, Ibunda Ratu. Segala apa yang disarankan ibunda akan Jaka laksanakan!"

Tengah Jaka bersiap-siap, tiba-tiba Iblis Sedayu telah berkelebat menyerangnya. Dengan segera Jaka pun rapalkan ajian yang telah diajarkan oleh ayahnya yaitu ajian Penghalau Berkala Iblis.

"Ajian Penghalau Iblis. Hiat...!"

Tersentak Iblis Sedayu melihat Jaka mengeluarkan ajian yang hanya dimiliki oleh bangsa Siluman Darah saja. Sayang ia tidak memilikinya, menjadikan Iblis Sedayu tak dapat berbuat banyak. Larikan sinar merah, kuning, hijau, perak dan lainnya seperti pelangi bergerak cepat. Bersamaan dengan larikan sinar pelangi itu, segera Jaka ambil Pedang Siluman Darah yang tergantung di punggungnya dan diarahkan ke tubuh mahluk darah tersebut.

Sinar pelangi itu seperti menyedot tubuh darah mahluk itu, semakin dekat dan dekat ke arah Jaka. Dan manakala jarak mereka tinggal beberapa jengkal, Jaka segera kiblatkan Pedang Siluman Darah. Maka dalam sekejap saja darah yang berada di tubuh mahluk itu tersedot masuk ke dalam pedang. Tinggallah mata mahluk itu menggeletak tak berdaya. Jaka kembali hantamkan ajiannya, seketika mata itu hancur berantakan ditimpa sinar pelangi. Lenyaplah sudah Iblis Sedayu.

Sorak sorai kegembiraan pun mewarnai tempat itu. Mereka segera memburu pada Jaka yang masih terpaku memegangi Pedang Siluman Darah. Setelah menyaksikan muridnya mampu menunaikan tugas, dengan segera Ratu Siluman Darah pun lenyap, menjadikan semua yang ada di situ terheran-heran.

Miranti nampak tersenyum, lalu dengan manja merebahkan kepalanya di dada bidang Jaka yang berjalan membawanya melangkah meninggalkan kerumunan massa. "Siapakah adanya gadis cantik tadi, Jaka?" tanya Miranti manja, manakala keduanya terus melangkah.

"Kau cemburu rupanya, Sayang?"

Miranti bersungut, dicubitnya pinggang Jaka. "Aku sangat mencintaimu, Jaka!"

"Aku juga. Tapi jangan terlalu cemburu begitu, Sayang. Dia adalah ibuku."

"Ibumu...?!" membeliak mata Miranti mendengar penuturan Jaka. Bagaimana mungkin ibunya semuda itu?

Jaka yang melihat keragu-raguan di mata Miranti dengan segera menerangkan. "Dia ibuku. Ibuku adalah bangsa Siluman, jadi selamanya masih muda saja, bukan?"

Ucapan Jaka yang konyol, seketika mengundang rasa gemes di hati Miranti yang dengan segera mencium bibirnya. Daeng Surih dan Maling Siluman hanya gelengkan kepala, seakan mengerti perasaan kedua sejoli itu....

S E L E S A I