Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
Episode Kutukan Brahmana Loka Arya
Karya Sandro S
Cetakan Pertama Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Episode Kutukan Brahmana Loka Arya
Karya Sandro S
Cetakan Pertama Penerbit Gultom Agency, Jakarta
SATU
DARI kejauhan tampak seorang lelaki tengah memacu kuda. Di ambil tergambar di suatu pertemuan. Sekali-kali membantah mengibas kais, atau menepuk kemenangan kuda yang seketika itu lari kencang.
"Hia, hia, hia!"
Tubuh kurus itu terus terbawa oleh derap langkah kaki kuda yang memacu. Tergoncang-goncang dengan gerakan mengikuti sang kuda. Sesekali lelaki itu menengok ke belakang, dan kembali digebahnya kuda yang ditumpangi. Mulutnya tak henti-hentinya berseru.
"Ayo lari Poleng! Jangan sampai iblis mengejar kita!"
Bagaikan mengerti saja, kuda itu semakin mempercepat larinya. Sekali-kali kuda itu meringkik, lalu kembali berlari dengan kencangnya. Bila dilihat dari pakaian lelaki muda itu, jelas bahwa ia adalah seorang Biksu. Dia adalah murid Brahmana Loka Arya, seorang Brahmana sakti mandraguna.
Tiga hari sudah Kidang Emas memacu kuda untuk menyampaikan pusaka gurunya pada Adipati Brebes. Namun jejaknya telah dikuntit oleh kakak seperguruannya yang hendak merebut pusaka tersebut ketika baru saja ia hendak pergi. Sebagai murid yang baik, jelas ia tak mau begitu saja melimpahkan tugas yang telah diperintahkan gurunya.
Hal ini menjadikan kakak seperguruannya yang bernama Cipta Angkara gusar. Merasa secara baik-baik tak memperoleh hasil, Cipta Angkara pun akhirnya memakai jalan kekerasan. Ketika kakak beradik seperguruan itu tengah bertempur, sang guru seketika itu datang.
"Murid murtad! Apa hakmu untuk meminta Pusaka Kyai Sangkar?"
"Guru...!"
"Jangan sebut lagi kata itu! Tak sudi aku mempunyai murid murtad sepertimu. Minggat dari sini, cepat!" membentak Brahmana Loka Arya. Betapa tidak! Murid yang sangat diagung-agungkan untuk kelak menggantikannya, ternyata telah mencoreng arang di wajahnya.
Cipta Angkara tidak segera bangkit. Bahkan dengan pasrah ia bersimpuh di kaki Brahmana Loka Arya. Tak dirasa air mata Cipta Angkara meleleh, membasahi kedua pipinya. "Ampun, Guru. Ijinkanlah muridmu mengubah langkah yang selama ini murid lakukan."
"Janjimu terlalu muluk, Cipta. Tapi tindakanmu, tak ubahnya tindakan syetan."
"Guru...!" memekik Cipta Angkara. "Kalau saja guru mengijinkan murid membawa Kyai Sangkar..."
"Ah, sudahlah... Kidang, cepat kau bawa pusaka itu. Bupati Brebes telah menantimu!" berkata Brahmana Loka Arya pada Kidang Emas, tanpa memperdulikan Cipta Angkara yang masih tersimpuh duduk. Mendengar ucapan gurunya, dengan segera Kidang Emas memacu kudanya pergi.
Entah apa yang telah terjadi, tiba-tiba Cipta Angkara telah mengejarnya. Kejar mengejar antara kedua kakak beradik seperguruan itu terus terjadi.
"Serahkan pusaka itu padaku! Atau aku bunuh kau, Kidang!"
"Tidak! Pusaka ini diamanatkan guru padaku untuk menyampaikannya pada kanjeng Adipati Brebes," menjawab Kidang Emas.
Hal itu membuat Cipta Angkara seketika melototkan matanya marah. Nafasnya memburu hingga hidungnya tampak kembang kempis. Tanpa diduga sebelumnya oleh Kidang Emas, seketika Cipta Angkara melompat menyerangnya.
"Kunyuk! Serahkan pusaka itu padaku!"
"Hem, jangan mimpi, Angkara."
"Bedebah! Akan aku buktikan bahwa aku akan segera mengirimmu ke akherat, Hiat...!"
Cipta Angkara yang telah dirasuki keserakahan bagaikan seekor macan ia menyerang. Terkaman-terkamannya selalu mengarah pada tempat-tempat yang mematikan. Namun begitu, Kidang Emas yang membawa pusaka Kyai Sangkal tampak percaya diri. Ditebaskan keris pusaka itu manakala Cipta Angkara hendak merangseknya.
Hawa panas yang keluar dari keris, menjadikan Cipta Angkara harus menarik serangannya. Cipta Angkara tahu tuah keris itu, yang mampu menjadikan segalanya bisa berubah. Air laut akan mengering bila keris Kyai Sangkar dicelupkan. Apalagi bila manusia yang terkena. Luluh lantahlah tubuhnya, hangus bagaikan dipanggang.
"Suwe! Kalau begini caranya aku tak akan mampu. Aku harus mencari siasat," berkata hati Cipta Angkara, yang kemudian melentingkan tubuhnya ke angkasa. Hal itu tidak disia-siakan oleh Kidang Emas yang segera memacu kudanya kembali.
"Bedebah! Jangan kabur kau, Kidang!" memaki Cipta Angkara kembali mengejarnya. Namun dikarenakan ia hanya berlari, Cipta Angkara pun akhirnya tertinggal jauh. Walau begitu, Cipta Angkara yang telah dirasuki oleh nafsu serakah tak mau tinggal diam. Dia terus mengejar meski harus mengeluarkan tenaganya untuk berlari. Tekadnya untuk dapat merampas pusaka Kyai Sangkar, menjadikannya bagai tak kenal lelah. Ketika malam telah tiba, Cipta Angkara yang telah memasuki perkampungan berusaha mencari kuda. Dicurinya seekor kuda milik salah seorang saudagar hingga seketika mengundang warga memburunya.
"Maling...! Maliiingg...!"
"Edan! Mereka meneriaki maling," Dihentikan kudanya dan menghadang warga yang mengejar. Warga yang merasa buruannya berhenti, dengan segera mengepungnya.
"Ternyata ini orangnya yang selalu mengganggu kampung kita," berkata ketua kampung, yang menjadikan semua warganya geram. Maka bagaikan dikomando saja, seluruh warga seketika menyerbu Cipta Angkara.
"Edan! Kalian telah salah sangka. Aku bukan maling, aku hanya ingin meminjam kuda sebentar."
"Bohong! Mana mungkin kami mau percaya! Kalau kau bukan maling, kenapa kau mencuri kuda milik salah seorang penduduk? Jangan banyak berdalih, menyerahlah!"
"Bedebah! Rupanya kalian mencari mati. Kalian jangan menyesal kalau tahu siapa aku," menggeretak Cipta Angkara marah.
"Jangan banyak bacot! Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu!"
Seketika itu semua warga berkelebat menyerang Cipta Angkara, yang dengan gesit mengelakkan setiap babatan golok. Kaki dan tangannya bergerak cepat, menghantam dan menendang musuh-musuhnya yang datang hendak menyerang. Tak ketinggalan kuda yang ditumpanginya, turut serta melakukan perlawanan. Korban demi korban berjatuhan, manakala tangan dan kaki Cipta Angkara beraksi.
Namun bagaikan tak mengenal takut, warga desa itu terus merangsek. Hal itu menjadikan Cipta Angkara harus kembali berpikir. Walau ia seorang murid dari Brahmana Loka Arya yang terkenal sakti, namun menghadapi keroyokan ratusan orang bersenjata ia keder juga. Apalagi ia sendiri tak memakai senjata barang sebatang tangkai pun.
"Sia-sia kalau aku teruskan melayani mereka. Bukannya aku takut kalah, namun waktuku begitu mendesak. Aku harus segera meninggalkan tempat ini," berkata hatinya membatin. Dengan segera, dihentakkannya tali kekang kuda. Seketika kuda yang ditumpanginya pun meringkik.
"Hia...!" Berbareng dengan pekikkan Cipta Angkara, kuda yang ditumpanginya seketika mengangkat kedua kaki depannya. Bagaikan terbang, kuda itu melompat meninggalkan semua warga yang hanya terbengong tanpa dapat mencegah. Cipta Angkara dan kuda curiannya segera menerobos kegelapan malam, menjadikan semua warga hanya terlolong bisu. Tanpa dapat berbuat apa-apa, warga desa itu pun kembali ke tempat di mana teman-temannya mati.
Dipacunya kuda terus berlari menerobos malam, meninggalkan desa Bandar Rejo. Cipta Angkara sesekali menyeka keringatnya yang tampak terus mengalir. Ringkikkan kudanya, menjadikan Cipta Angkara seketika merinding bulu tengkuknya. Matanya nanar memandang ke muka. Gelap terpampang melebar dan hanya pohon-pohon jati yang tampak menghitam. Pohon-pohon jati itu, seperti berjalan.
"Weeerrr...!"
Angin bertiup dengan kencangnya, menerpa tubuh Cipta Angkara yang makin merinding. "Hem, sepertinya ada sesuatu yang tak beres," membatin Cipta Angkara.
Dengan perasaan agak sedikit takut, Cipta Angkara memperlambat langkah kudanya. Matanya tajam mengawasi sekeliling. Tangannya telah terkepal, siap untuk menghantamkan pukulan jarak jauhnya.
"Hua, ha, ha Hua ha, ha!"
Tersentak Cipta Angkara hampir terjatuh dari kudanya demi mendengar gelak tawa yang merindingkan bulu kuduk. Namun sebagai seorang lelaki yang memiliki kepandaian, serta merta Cipta Angkara membentak. "Siapa, Kau!"
Tak ada jawaban yang keluar, hanya angin malam yang berlalu dan kembali menepiskan rambutnya yang gondrong. Demi tak terdengar jawaban, maka untuk kedua kalinya ia membentak. "Siapa kau! Kalau kau manusia, tunjukkan batang hidungmu! Tapi kalau kau iblis, jangan ganggu aku!"
Angin malam kembali bertiup, kali ini agak kencang. Bersama dengan tiupan angin, saat itu juga berdiri di hadapan Cipta Angkara sesosok tubuh tinggi besar. Tak jelas Cipta Angkara melihat wajah orang itu, yang tertutup oleh gelapnya malam.
Tampak lelaki tinggi besar itu berjalan menghampirinya. Mulut lelaki itu menyeringai hingga tampaklah gigi-giginya yang tajam meruncing. Bergidik juga Cipta Angkara melihatnya hingga keringat dingin pun keluar membasahi tubuh. Tengah Cipta Angkara tercekam dalam ketakutan, tiba-tiba lelaki tinggi besar itu berkata dengan suara yang besar pula.
"Anak muda. Jangan kau takut padaku, karena aku sebenarnya hendak bermaksud baik padamu. Hem, bukankah kau murid Brahmana Loka Arya?"
"Benar. Siapa kau? Mengapa kau mengetahui kedatanganku?" bertanya Cipta Angkara. Rasa takutnya sedikit demi sedikit hilang, manakala menatap mata lelaki di hadapannya. Kembali lelaki di hadapannya tertawa bergelak-gelak mendengar ucapannya.
"Hua, ha, ha.,.! Cipta Angkara, ketahuilah bahwa sejak lama aku menguntit mu. Kaulah orang yang pantas menjadi abdi setiaku. Sifatmu, adalah sifat keangkaramurkaan. Hal itu merupakan sebagian dari sifatku. Maka jangan kaget kalau aku menyukaimu dan bermaksud mengangkatmu sebagai titisanku."
"Hai, siapakah orang ini? Sepertinya ia telah mengetahui segala yang ada pada diriku?" bertanya hati Cipta Angkara. Belum habis rasa tak mengerti di hati Cipta Angkara, lelaki itu kembali tertawa dan berkata:
"Hua, ha, ha... Cipta Angkara, ketahuilah bahwa aku memang mengetahui apa saja yang selama ini kau lakukan. Karena sifatmu seperti itu hingga aku kembali bangkit sesuai janjiku pada gurumu."
"Siapa kau sebenarnya, Ki Sanak?"
"Aku? Akulah Raja Siluman Kerta Ganda Mayit."
Tersentak Cipta Angkara demi mendengar lelaki itu menyebutkan namanya. Karena saking kagetnya, tanpa sadar Cipta Angkara berseru. "Kerta Ganda Mayit! Jadi kau...?"
"Ya, akulah raja siluman yang pernah gurumu ceritakan."
"Apa maksudmu menghadangku?"
"Hua, ha, ha!!! Aku ingin mengangkatmu sebagai muridku. Aku akan menitis padamu. Dengan cara itu, aku akan dapat melaksanakan cita-citaku untuk menghancurkan umat manusia. Lima puluhan tahun sudah aku menanti. Lima puluh tahun aku harus bersabar menunggu salah seorang murid Brahmana Loka Arya untuk membalas kekalahanku lima puluh tahun yang silam."
Mengerut alis mata Cipta Angkara mendengar penuturan Raja Siluman Kerta Ganda Mayit. Ia tak mengerti maksud ucapan itu. Maka dengan agak sedikit berani Cipta Angkara pun bertanya. "Kenapa kau menunggu salah seorang murid guruku? Kenapa pula kau hendak menitis padaku?"
"Hua, ha, ha. Ketahuilah, bahwa kami yaitu aku dan gurumu telah mengadakan janji manakala kami bertempur. Gurumu yang memang orang bijak, telah dapat mengalahkanku lima puluh tahun yang lalu. Lima puluh tahun yang lalu, akulah pendekar yang paling tinggi ilmunya di antara deretan tokoh persilatan. Namun karena aku merupakan tokoh sesat, akhirnya aku dimusuhi oleh semua tokoh persilatan termasuk Begawan Wungkal Gunung. Mereka berusaha melenyapkan aku dari dunia. Namun usaha mereka mengalami kesia-siaan karena aku tak dapat mati. Hampir saja para tokoh persilatan putus asa kalau saja tidak datang seorang pendekar muda dari wetan bernama Loka Arya yang menyanggupi untuk menyingkirkan aku dari dunia. Kami pun bertempur hingga sampai tujuh hari tujuh malam..."
"Ah!" memekik Cipta Angkara demi mendengar ucapan Kerta Ganda Mayit, membuat Kerta Ganda Mayit seketika menghentikan ceritanya dan memandang pada Cipta Angkara dengan alis mata mengerut.
"Kenapa, Cipta?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya heran, apakah kalian bertempur begitu lama tak capai?"
"Ya, karena kami berdua sama-sama sakti hingga sukar bagi kami untuk dapat menjatuhkan lawan. Namun ketika hari menginjak kedelapan, aku tak sanggup lagi mengimbangi ilmu-ilmunya. Saat itu juga aku mengakui kekalahanku. Kukatakan padanya bahwa aku tak akan menampakkan diri lagi di dunia. Tapi sebelum aku kembali ke dunia, aku sempat berjanji dengannya. Adapun isi perjanjiannya sebagai berikut. "Mulai hari itu, aku tak akan mengganggu dunia lagi. Aku boleh muncul kembali setelah ada salah satu muridnya yang murtad."
"Lalu ke mana saja kau selama lima puluh tahun?"
"Selama lima puluh tahun aku bersemadi meminta pada Yang Widi agar dapat menemukan orang yang nantinya dapat aku titisi. Dan ternyata hari ini aku menemukanmu. Rupanya Yang Widi masih memberikan kesempatan padaku untuk yang terakhir."
"Yang terakhir?" bertanya Cipta Angkara seraya mengerutkan keningnya. Ia tak mengerti mengapa Kerta Ganda Mayit berkata begitu? Setahunya, Siluman tak pernah akan mati sebelum akhir jaman. Tapi kenapa Kerta Ganda Mayit mengatakan yang terakhir?
"Ya, yang terakhir. Sebab dalam dunia Siluman tak boleh mengalami kegagalan berturut-turut," jawab Kerta Ganda Mayit. Namun jawaban Kerta Ganda Mayit sepertinya belum juga dimengerti Cipta Angkara yang kembali bertanya.
"Maksudmu terakhir bagaimana?"
"Bila untuk kedua kalinya aku gagal, maka aku tak akan pernah menginjakkan dunia manusia lagi," berkata Kerta Ganda Mayit menerangkan.
"Bukankah kau seorang raja?" kembali Cipta Angkara bertanya.
Tertawa bergelak-gelak Kerta Ganda Mayit mendengar pertanyaan Cipta Angkara, lalu ucapnya kemudian: "Di alam siluman semuanya sama, tidak seperti manusia. Di sana raja sama dengan rakyat bila hal itu memang mengenai tugas. Biarpun raja, bila ia gagal dua kali maka ia tak akan dapat diberikan kepercayaan lagi. Hai, hari menjelang pagi. Maukah kau menjadi abdiku? Ketahuilah, kau akan sakti mandraguna bila aku sudah menitis pada tubuhmu. Tidakkah kau ingin merajai dunia persilatan?"
Sesaat Cipta Angkara terdiam mendengar penuturan Kerta Ganda Mayit. Matanya memandang tajam, pikirannya berpikir keras. "Haruskah aku menerima?" bisik hatinya. "Baiklah. Aku menerima," akhirnya Cipta Angkara pun berkata, yang membuat Kerta Ganda Mayit seketika tertawa bergelak-gelak.
"Hua, ha, ha...! Bagus, bagus. Nah, bersiaplah!" Habis berkata begitu, tiba-tiba tubuh Kerta Ganda Mayit seketika lenyap. Tubuh itu berubah menjadi seberkas sinar. Sinar berwarna merah itu, seketika meloncat masuk ke tubuh Cipta Angkara. Rasa panas seketika menggelegar di tubuh Cipta Angkara hingga iapun seketika memekik bagaikan dibeset kulitnya.
"Aaaaahhhh Tobat!"
Memekik Cipta Angkara bersamaan dengan lenyapnya Kerta Ganda Mayit yang masuk ke tubuhnya. Seketika itu pula Cipta Angkara pingsan. Tubuhnya nampak bersinar merah, membara bagaikan api. Sementara kuda yang ditumpanginya, seketika ambruk ke tanah dengan tubuh mengering. Darah kuda itu, telah terhisap habis.
Cipta Angkara menggeliat bangun setelah pingsan beberapa lama. Dirasakan olehnya perasaan lain yang kini bergayut di benaknya. Perasaan itu seperti menyuruhnya, mendesaknya untuk berbuat sesuatu. "Aku harus segera mendapatkan Keris Pusaka Kyai Sangkar," berkata Cipta Angkara dalam hati.
Maka dengan segera Cipta Angkara berkelebat, pergi meninggalkan hutan itu. Tersentak kaget Cipta Angkara, manakala merasakan tubuhnya enteng. Larinya begitu cepat laksana angin. Tenaganya besar bagaikan tenaga gajah seratus.
"Hai, kenapa aku dapat berbuat begini?" Terheran-heran Cipta Angkara melihat perubahan pada dirinya. Dihentikan larinya, ia tercenung diam. Manakala ia tengah terdiam penuh ketidak mengertian.
Terdengar suara Kerta Ganda Mayit berkata: "Jangan kaget, Cipta! Dengan menyatunya aku dengan dirimu, maka kau akan dapat melakukan semuanya. Rentangkan kedua tanganmu."
Cipta Angkara menurut merentangkan kedua tangannya.
"Hantamkan tangan kananmu ke batu besar itu!"
Kembali Cipta Angkara menurut. Dihantamkannya tangan kanan ke muka, pada batu besar yang berjarak sekitar 10 tombak.
"Hiaat...!"
"Duar...!"
Seketika terdengar ledakan dahsyat, bersamaan dengan runtuhnya batu itu. Batu itu hancur berantakan, berhamburan menjadi tepung. Makin tak mengerti saja Cipta Angkara melihat kejadian itu. Namun belum sempat semuanya terjawab, terdengar suara Kerta Ganda Mayit kembali berkata.
"Nah, masihkah kau kurang yakin?"
"Aku yakin."
"Bagus! Sekarang juga kau harus menurut padaku. Kau harus dapat mengambil Keris Kyai Sangkar, juga Tombak Inti Jagad. Bila dua benda itu telah kau kuasai, maka kau akan menjadi orang tak tertandingi di dunia ini. Lakukankah! Kejar adik seperguruanmu."
"Apakah kau tahu di mana adik seperguruanku berada?"
"Dia berada di wilayah Tegal. Cepat kejar dia, jangan sampai dia menjumpai Bupati Brebes!"
"Baiklah. Aku akan melaksanakan semua yang kau maui."
Habis berkata begitu, dengan segera Cipta Angkara kembali berkelebat. Langkahnya lebar-lebar hingga dalam beberapa saat saja, ia telah jauh meninggalkan hutan itu.
Tak terasa Cipta Angkara berlari, ia telah sampai perbatasan Tegal. Hari telah menjelang siang hingga matahari begitu panasnya menerpa bumi. Cipta Angkara segera memperlambat larinya dan mencari sebuah kedai karena perutnya telah bernyanyi, meminta untuk diisi.
"Hem, tak terasa aku telah berlari jauh. Setengah hari telah aku lewati untuk berlari." kata Kerta, "Aku akan menemukan Kidang Emas di kota ini Hai, bukankah itu kuda tunggangannya? Ya, itu memang kuda tunggangannya. Aku akan pura-pura tak tahu. Aku akan masuk ke kedai itu untuk mengisi perutku," bergumam Cipta Angkara dalam hati, yang kemudian berjalan mendekati kedai.
Pengunjung kedai nampak banyak hingga tempat duduk pun habis terisi. Sesaat Cipta Angkara melemparkan pandangannya ke sekeliling. Matanya seketika tertuju pada salah seorang yang duduk di ujung membelakanginya.
"Hem, jangan harap kau bisa lolos dari tanganku," bergumam hati Cipta Angkara, demi dilihatnya Kidang Emas yang tengah menyantap makan tak tahu kedatangannya. Cipta Angkara segera memesan makan dengan suara pelan. Maksudnya agar kedatangannya tidak diketahui Oleh Kidang Emas.
Cipta Angkara menyantap makanannya dengan mata sekali-kali menengok ke arah Kidang Emas. Namun betapa tersentaknya Cipta Angkara, manakala dilihatnya Kidang Emas tak ada lagi di tempatnya. Bergegas ia membayar makanannya, lalu dengan segera Cipta Angkara pun berkelebat pergi.
"Itu dia....'" berseru Cipta Angkara dalam hati. Dilihat olehnya Kidang Emas tengah memacu kudanya. Maka dengan segera Cipta Angkara mempercepat larinya. Bagaikan kibasan angin, secepat itu pula Cipta Angkara berlari. Angin lariannya, menjadikan daun-daun kering beterbangan.
"Berhenti!" teriak Cipta Angkara yang tiba-tiba telah berdiri di hadapan Kidang Emas.
Kidang Emas tersentak sesaat demi dilihatnya Cipta Angkara telah berdiri menghadangnya. Namun bagaikan tak perduli, Kidang Emas terus menghentakkan kudanya. Dicobanya untuk menerjang Cipta Angkara yang berdiri. Namun belum juga hal itu terjadi, kuda yang ditumpanginya seketika meringkik dan bagai ketakutan mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi. Beruntung Kidang Emas waspada. Ia segera melompat turun. Sementara kudanya, dilihatnya telah mati.
"Hem, ilmu apa yang ia gunakan? Tak kusangka, kalau dia mempunyai ilmu yang begitu tinggi. Heh, bukankah guru tak pernah mengajari ilmu semacam itu? Dari mana ia memperoleh ilmu itu?" bertanya Kidang Emas dalam hati. Matanya menatap tajam, melawan pandangan Cipta Angkara yang tersenyum. "Apa maumu, Iblis!"
"Aku menginginkan apa yang kau bawa."
"Huh, jangan kira aku akan memberikannya."
"Kita buktikan. Bila kau tak mau memberikannya, maka aku yang akan mengambilnya dari tanganmu." Habis berkata begitu, Cipta Angkara tiba-tiba berteriak. Tubuhnya melompat tinggi, lalu berdiri di hadapan Kidang Emas. Senyumnya mengembang sinis, sepertinya memendam kebencian.
Tersentak Kidang Emas melompat mundur. Ditatapnya lekat bekas kakak seperguruannya. Tangannya seketika meraba gagang Kyai Sangkar, siap untuk menghadapi segalanya.
"Kidang Emas, berikan senjata itu padaku!"
"Tidak! Ini bukan hakmu. Ini milik kanjeng Adipati Brebes!"
"Heh, rupanya kau keras kepala, Kidang Emas! Jangan salahkan aku," menggeretak Cipta Angkara marah. Tangannya seketika menyatu, lalu dengan didahului pekikkan Cipta Angkara berkelebat menyerang. "Kau seperti si tua bangka itu. Kau harus kusingkirkan dari muka bumi ini."
"Jangan sombong, Cipta," berkata Kidang Emas seraya mengelakkan serangan Cipta Angkara. Dengan keris Kyai Sangkar di tangan Kidang Emas berusaha mematahkan setiap serangan.
Namun Cipta Angkara yang telah menyatu dengan Kerta Ganda Mayit, sepertinya tenang saja menghadapi senjata sakti itu. Tubuhnya bagai belut, licin hingga selalu lolos dari serangan Kidang Emas. Hal itu menjadikan Kidang Emas makin kalap. Maka dengan penuh emosi, Kidang Emas makin menambah daya serangannya.
"Keluarkan seluruh kepandaianmu, Kidang! Keluarkan apa yang kau peroleh dari si tua bangkotan itu. Ha, ha, ha.... Jangan harap kau bakalan mampu menandingiku."
"Sombong!" mendengus Kidang Emas dan terus menyerang.
"Aku tidak sombong seperti gurumu, Kidang. Akan aku buktikan bahwa aku akan segera menjatuhkanmu."
Bareng dengan habisnya suara itu, secepat kilat Cipta Angkara berkelebat. Tangannya yang membara bagai bara api, berkelebat mengarah pada Kidang Emas. Saat itu juga, terdengar pekikkan Kidang Emas. Tubuhnya seketika memerah, bagaikan terbakar.
Cipta Angkara tersenyum sinis melihat adik seperguruannya telah dapat dikalahkan. Dengan bergerak cepat laksana angin, Cipta Angkara segera merebut keris Kyai Sangkar dari tangan Kidang Emas yang tengah sekarat. Lalu dengan tanpa mengenal belas kasihan, kembali dihantamnya tubuh Kidang Emas. Untuk kedua kalinya Kidang Emas memekik panjang. Tubuhnya ambruk hangus bagaikan arang. Setelah sesaat memandangi tubuh Kidang Emas, dengan segera Cipta Angkara pun berkelebat pergi.
"Murid durhaka! Murid sesat! Bahaya, bahaya! Sungguh bahaya bila terjadi. Ah, mengapa siluman itu kembali muncul?" bertanya Brahmana Loka Arya pada diri sendiri. Brahmana Loka sebagai seorang Wiku yang sakti mandraguna, tampak telah mengetahui apa yang telah terjadi. Naluri batinnya, mengatakan bahwa muridnya yang diberi amanat telah mati di tangan Cipta Angkara. Wajah Brahmana Loka nampak pucat. Mulutnya tampak komat-kamit seperti berdo'a. Ya, dia memang telah berdo'a untuk kematian seorang muridnya yang patuh. Dia juga berdo'a untuk muridnya yang telah murtad, yang kini telah bersekutu dengan musuhnya.
"Tak kusangka, kalau akhirnya aku memelihara anak singa," mengeluh Brahmana Loka. "Tapi memang itu sudah kodrat Yang Widi. Ah, mungkin umurku sudah harus berakhir."
"Longkat...!!" berseru Brahmana Loka memanggil salah seorang cantriknya.
"Saya, Wiku?" menjawab Longkat dan segera berlari menghadap.
"Perintahkan pada teman-temanmu untuk mengungsi."
"Mengungsi, Wiku?" bertanya Cantrik Longkat tak mengerti.
"Ya, mengungsi."
"Untuk apa, Wiku? Bukankah di sini tenang?"
"Memang saat ini tenang. Tapi sesaat lagi di sini akan berubah menjadi ajang angkara murka," menjelaskan Brahmana Loka.
Tersentak Longkat melototkan mata demi mendengar penuturan Brahmana Loka. Melihat hal itu, Brahmana Loka tersenyum sepertinya hendak memberi semangat pada cantriknya dan katanya kemudian: "Longkat..."
"Ya, Wiku!"
"Bukannya aku tidak suka kalian bersamaku. Tapi..."
"Tapi kenapa, Wiku?" bertanya Longkat seraya mengerutkan alis matanya demi mendengar ucapan Brahmana Loka yang diputus.
Sesaat Brahmana Loka terdiam. Matanya memandang Longkat dengan pandangan sayu. Hatinya bergetar, manakala melihat wajah Longkat. Dua puluh lima tahun mereka bersatu. Dua puluh lima tahun pula Longkat, Tenggiri, Sanur, Lomber, dan Angsono mengabdikan diri padanya. Kini semuanya hendak berakhir, hanya karena seorang muridnya yang durhaka. Tak disadarinya, air matanya pun menetes.
Melihat Wikunya menangis, Longkat pun seketika menderai air mata. Tengah keduanya menangis, keempat cantrik lainnya datang. Mereka sesaat menatap pada keduanya tak mengerti. Baru mereka turut menangis manakala Longkat bercerita pada mereka.
"Kita akan berpisah dengan sang Wiku, Kawan."
"Apa...? Kita akan berpisah dengan sang Wiku?" bertanya keempat cantrik lainnya bareng. Seperti mereka terkejut.
"Benarkah, Wiku?"
Brahmana Loka hanya mengangguk. Namun hal itu telah cukup menjadi jawaban bagi mereka yang spontanitas mengencangkan tangisnya.
"Jangan tinggalkan kami, Wiku. Jangan...!"
"Aku bukan bermaksud meninggalkan kalian untuk pergi."
"Tapi, kenapa Wiku mengatakan hendak menyuruh kami pergi?"
"Para cantrikku? Ketahuilah oleh kalian, bahwa aku tak ingin kalian terbawa bencana yang bakal melanda padepokan ini. Aku ingin, kalian dapat hidup terus..."
"Tidak, Wiku. Apapun yang terjadi, kami ikut," berkata Angsono dengan mata berlinang linang.
"Benar, Wiku," sambung Tenggiri.
"Ijinkanlah kami selalu bersama Wiku," tambah Sanur.
"Apakah gerangan yang bakal terjadi hingga Wiku begitu cemas?" bertanya Lomber yang tampak agak tenang dibanding dengan keempat teman-temannya.
Sesaat Brahmana Loka terdiam. Matanya terpejam rapat, sepertinya tengah meditasi. Tangannya menyatu di depan dada, lalu dengan suara serak ia berkata. "Longkat, Lomber, Tenggiri, Sanur, dan kau Angsono. Ketahuilah oleh kalian, bahwa sesaat lagi akan datang petaka. Petaka yang bakal menjadikan sebuah catatan kehidupan. Petaka yang diibaratkan dengan pepatah Air Susu Dibalas Air Tuba."
"Ah, Wiku menuduh kami tidak setia," memotong Lomber. Ia menyangka ucapan Wiku tertuju pada mereka.
Brahmana Loka tersenyum dalam diam. Digelengkan kepalanya, lalu kembali ia berkata. "Bukan pada kalian ucapan itu kutujukan."
"Lalu pada siapakah, Wiku?" bertanya Angsono.
"Masihkah kalian mengingat seorang muridku?"
"Maksud Wiku, Cipta Angkara?"
"Benar jawabanmu, Tenggiri. Dialah yang aku maksud."
"Maksud, Wiku?" bertanya Longkat belum mengerti.
"Dia telah membalas air susu dengan air tuba. Dia telah membunuh adik seperguruannya, Kidang Emas, hanya karena keserakahan. Dia juga telah bersekutu dengan siluman Kerta Ganda Mayit, musuhku. Nah, mungkin dengan keterangan ini kalian telah mengerti maksudku."
"Kami mengerti, Wiku," menjawab mereka serempak.
"Tapi kami ingin mati bersama Wiku," lanjut Longkat.
"Benar. Aku juga, Wiku," lanjut Tegiri. "Aku juga!"
"Aku juga! Biar kami bersama-sama sehidup dan semati, Wiku."
Trenyuh hati Brahmana Loka mendengar kesaksian kelima cantriknya. Maka untuk kedua kalinya Brahmana Loka pun kembali menangis. Ia menangis bukan sedih, namun menangis karena rasa haru. Melihat Wikunya kembali menangis, kelima cantrik itu pun turut menangis pula.
"Jangan kalian sia-sia mengikutiku, Para Cantrik."
"Tapi kami tak dapat berpisah denganmu, Wiku," berkata Angsono sambil menyeka air mata. "Biarkanlah kami ikut denganmu. Kami telah rela, Wiku."
"Aku tahu. Aku mengerti perasaan kalian. Tapi dengarlah, bahwa kalian masih dibutuhkan oleh yang lainnya. Nanti bila aku benar telah mati, carilah oleh kalian seorang pendekar muda..."
"Untuk apa, Wiku?"
"Dengar dulu ucapanku, Tenggiri."
"Baik, Wiku," jawab Tenggiri seraya menunduk.
"Bila kalian telah menemukan pendekar muda itu, katakan padanya bahwa kalian ingin mengabdi padanya. Niscaya ia akan mau menerima kalian. Dia seorang pendekar aneh. Dengan segala sifatnya, dia bernama Jaka. Karena sifatnya yang konyol, dia lebih dikenal dengan sebutan Jaka Ndableg. Hanya dialah yang kelak mampu mengalahkan murid durhaka itu. Percayalah, dia akan dengan senang hati menerima kalian. Mengabdilah dengan sepenuh hati, seperti padaku. Kalian mengerti, Cantrik?"
"Mengerti, Wiku. Namun bolehkah kami tahu apa yang bakal terjadi hingga Wiku menyimpulkan begitu?" bertanya Longkat.
Tersenyum Brahmana Loka mendengar pertanyaan Longkat. Diangguk-anggukkan kepalanya, seperti memahami apa yang terkuak di hati cantriknya. Lalu dengan seperti bergumam pada diri sendiri, Brahmana Loka berkata: "Takdir, Jodoh, Rizki, dan maut adalah kuasaNya. Tak akan ada seorang pun yang sanggup menentangnya. Tak akan ada yang terlepas dari tangan-Nya. Aku hanyalah manusia, yang hanya bisa berusaha. Takdirku hanya sampai hari ini."
Terbelalak mata kelima cantriknya mendengar ucapan Brahmana Loka. Sesaat kelimanya saling pandang, kemudian serentak kelimanya bersujud di kaki Brahmana Loka sembari menangis.
"Duh, Wiku Agung. Sungguh kami sangat bahagia menjadi abdimu selama ini. Segala yang telah Wiku berikan pada kami, akan kami amalkan kelak."
"Apakah Wiku tidak lebih baik pergi?"
"Percuma, Angsono. Ke mana langkah kaki, kalau ajal pasti terpaut juga. Begitu juga dengan kejadian yang bakal terjadi atas diriku. Sudah menjadi kodratNya, kalau aku harus mati di tangan muridku sendiri. Jagad Dewa Batara, semoga kalian mengampuni segala perbuatannya," mendesah Brahmana Loka sembari menyapu mukanya dengan tangan. "Nah, pergilah kalian. Bawalah Tombak Inti Jagad dan serahkan pada pendekar muda itu, sebab dialah yang berjodoh. Laksanakan segera!"
"Baik, Wiku. Segala apa yang terucap oleh Wiku adalah suatu kebahagiaan bagi kami. Ijinkanlah kami pergi," berkata Angsono mewakili keempat cantrik lainnya.
"Ya, pergilah! Do'a dan puji aku ucapkan menyertai kalian."
"Terimakasih, Wiku."
"Angsono, jaga baik-baik tombak Inti Jagad itu. Jangan sekali-kali kau berikan pada orang lain. Berikanlah tombak itu pada pendekar muda itu. Apabila tombak itu berada di tangan orang-orang sesat, niscaya dunia akan hancur. Tombak itu pula yang dapat menandingi keris Kyai Sangkar. Nah, pergilah"
Dengan mata menangis, kelima cantrik itupun pergi meninggalkan Brahmana Loka. Dilambaikan tangannya lemas, sepertinya tak ingin perpisahan itu terjadi. Seperti kelima cantriknya, Brahmana Loka pun menangis. Ditatapnya kepergian kelima cantriknya yang telah dua puluh lima tahun menjadi abdinya.
"Kalian orang-orang baik. Kalian orang-orang jujur. Kelak kalian akan memperoleh ganjarannya," berkata Brahmana Loka setelah dilihatnya kelima cantrik itu telah hilang dari pandangan. Lalu dengan segera Brahmana Loka berkelebat, masuk ke dalam kamarnya. Di situ ia segera melakukan meditasi, sepertinya telah siap menghadapi segalanya.
Tengah kusuk Brahmana Loka bersemedi, seketika terdengar suara tawa bergelak. Bersamaan dengan itu, sesosok tubuh berkelebat dengan cepat dan langsung mengobrak-abrik pesanggrahannya. Brahmana Loka tampak tenang, sepertinya ia telah mengetahui sebelumnya. Perlahan matanya dibuka. Ditatapnya dengan tajam orang yang kini berdiri di hadapannya dengan angkuh.
"Hem, sudah kuduga kalau kau pasti datang," berkata Brahmana Loka pelan. Ia segera bangkit dari duduknya, berdiri berhadapan dengan pemuda di hadapannya.
"Hua, ha, ha.... Loka Arya, selamat berjumpa. Bagaimana kabarmu?" bertanya pemuda yang berdiri di hadapannya.
Sosok pemuda itu memang Cipta Angkara, muridnya. Namun nalurinya, mengatakan bahwa yang bicara bukanlah muridnya yang durhaka. Nalurinya mengatakan bahwa orang yang berdiri di hadapannya tak lain Siluman Kerta Ganda Mayit. "Ganda Mayit, apa perlumu muncul kembali?"
"Hua, ha, ha.... Loka Arya, lima puluh tahun aku menanti-nanti kesempatan seperti ini. Lima puluh tahun aku tersiksa didera oleh perjanjian kita. Kini apa yang telah kita janjikan telah terjadi. Salah seorang muridmu telah membantuku."
"Jadi kau ingin menuntut?"
"Ya.... Bukan itu saja maksudku. Aku akan kembali membuat semua manusia bertekuk lutut padaku. Akulah raja mereka! Akulah yang paling tersakti di dunia persilatan."
"Jangan harap, Ganda Mayit!"
"Akan aku buktikan, Loka Arya!"
Brahmana Loka Arya tersenyum mendengar ucapan Kerta Ganda Mayit. Sepertinya ia tak gentar menghadapi siluman yang telah menyatu dalam tubuh muridnya. Lalu dengan masih tersenyum, Brahmana Loka kembali berkata: "Ganda Mayit, buanglah semua impianmu. Kembalilah pada asalmu."
"Hem, rupanya kau masih sombong seperti dulu, Loka."
"Bukan aku sombong. Tapi ketahuilah olehmu. Bahwa kau tak akan mampu meluluskan cita-citamu."
"Bedebah! Rupanya kau masih banyak omong. Akan aku buktikan, bahwa aku lain dengan lima puluh tahun yang silam, Loka. Bersiaplah, hiat...!" Amarah Kerta Ganda Mayit tak dapat ditahan lagi. Ia merasa tak perlu banyak kata dengan Brahmana Loka yang ia tahu bukan tokoh sembarangan.
Diserang dengan begitu tiba-tiba, Brahmana Loka segera berkelit menghindar. Dengan cepat Brahmana Loka segera balik menyerang. Pertarungan ulang lima puluh tahun silam, kini kembali terjadi.
"Suiitttt... Duar!"
Terdengar ledakan dahsyat, manakala tangan Cipta Angkara berkiblat. Sebenarnya tujuan serangan itu pada Brahmana Loka. Namun bagaikan burung walet, Brahmana Loka segera menghindar. Walau begitu, tak urung rumahnyalah yang termakan. Rumah yang sekaligus pesanggrahan seketika hancur terbakar.
"Edan! Ilmunya makin gila," mengeluh Brahmana Loka dalam hati melihat apa yang terjadi. Dilontarkan tubuhnya ke udara, keluar dari kobaran api yang melalap pesanggrahannya.
"Jangan lari, Loka!"
"Aku tidak lari! Aku menunggumu di luar!" Mendengar jawaban Loka Arya, seketika Kerta Ganda Mayit segera berkelebat keluar. Di luar Loka Arya telah berdiri, menunggu kedatangannya dengan mata memandang tajam.
"Kita lanjutkan, Loka."
"Baik. Apa maumu, aku penuhi."
Habis keduanya berkata, kembali keduanya segera saling serang. Pekikan-pekikan keduanya membahana, memecahkan sore itu. Jurus demi jurus mereka lalui dengan tanpa disadari. Walau usia Brahmana Loka sudah tua, namun gerakan-gerakannya masih tampak gesit. Gerakan mengelak dan menyerang masih lincah. Tangannya bergerak cepat, menyambarnyambar ke kepala lawan.
"Percuma kau datang ke dunia manusia, Ganda Mayit! Kau akan mengalami kegagalan seperti dulu. Jangan bermimpi, kalau kau akan mampu menjadikan dunia ini ajang Iblis."
"Akan aku buktikan, Loka! Akan aku buktikan!"
Brahmana Loka tersenyum mendengar ucapan Ganda Mayit, lalu katanya kemudian. "Walau kau dapat mengalahkanku. Masih banyak orang-orang yang melebihi aku. Masih banyak orang-orang yang dapat mengalahkanmu, Ganda Mayit."
"Huh, akan aku lumatkan mereka! Akan aku buktikan, Loka!"
"Hua, ha, ha... Kau bermimpi! Kau bermimpi!"
"Bedebah! Kau rupanya ingin menurunkan semangatku. Terimalah kebinasaanmu, Loka. Hiat...!"
Kembali keduanya bergerak cepat. Kini bukan saja jurus-jurus silat yang mereka keluarkan, tapi ajian-ajian yang mereka miliki juga di keluarkan. Tempat yang mereka gunakan untuk berlaga bagai diguncang gempa. Pohon-pohon banyak yang roboh terhantam ajian mereka. Batu-batu berhamburan, tersapu setiap kibasan tangan mereka. Tak terhitung berapa jurus mereka keluarkan. Yang jelas mereka telah bertempur sehari semalam.
Kita tinggalkan dulu Brahmana Loka yang tengah bertempur dengan Ganda Mayit yang telah mencapai sehari semalam. Kita tengok kembali kelima cantrik yang tengah pergi, meninggalkan pesanggrahan mereka.
"Ke mana kita harus mencari pendekar muda itu?" tanya Longkat pada keempat temannya.
"Entahlah, yang pasti kita harus mencarinya untuk menyerahkan tombak pusaka ini. Juga kita harus mengabdikan diri padanya." menjawab Anggsono.
"Tapi firasatku mengatakan bahwa Wika dalam bahaya. Apakah kita tidak bermaksud menolongnya?" tanya Sanur.
"Ah, bukankah Wiku telah menyuruh kita jangan sekali-kali kembali ke sana?" balik bertanya Angsono.
"Benar. Tapi aku tak enak, aku ingin kembali."
"Jangan, Sanur! Kau akan mendapat murka Wiku," mencegah Longkat.
"Benar, Sanur. Jangan kau melanggar," lanjut Tenggiri.
"Aku bukan ingin melanggar. Aku hanya ingin melihat apa yang tengah terjadi di sana."
"Sama, Sanur. Setiap penentangan ucapan Wiku, berarti suatu pelanggaran. Ah, sudahlah jangan pikirkan itu. Ayo kita lanjutkan perjalanan kita," memberi tahu Angsono.
Maka tanpa banyak kata lagi, kelima cantrik itu pun kembali meneruskan perjalanannya. Dilintasi hutan rimba, lembah dan ngarai. Dengan tanpa mengenal lelah kelima cantrik itu terus melangkah. Hanya satu tujuan mereka, yaitu mencari pendekar muda yang bernama Jaka Ndableg.
Pertarungan Brahmana Loka dengan Ganda Mayit masih terus berlangsung. Sudah tiga hari lamanya mereka bertarung, namun sepertinya tak bakal ada yang kalah. Kesenjaan usia tak menjadikan Brahmana Loka mudah dijatuhkan. Bahkan dengan gesit, ia mengelak dan membalas menyerang.
"Rupanya kau kedot juga, Loka!"
"Hem... sebenarnya bukan hal itu. Aku hanya ingin menyadarkan kau, bahwa di dunia manusia masih banyak orang yang ilmunya jauh lebih tinggi."
"Jangan banyak omong! Hari ini adalah akhir dari kehidupanmu, Loka! Bersiaplah!"
Habis berkata begitu, Ganda Mayit segera melipatgandakan serangannya. Segera ajian yang ia miliki, dijadikannya menjadi satu. Lalu dengan didahului pekikkan, Ganda Mayit menghantamkan ajiannya.
"Aji Pegat Nyawa, hiat...!"
"Duar! Duuuaaar! Duaaarr...!"
Ganda Mayit nampak menyunggingkan senyum, menyangka kalau Brahmana Loka telah mati. Namun betapa alang kepalang kagetnya Ganda Mayit melihat apa yang terjadi. Ternyata Brahmana Loka bukannya binasa, malah kini telah bertengger di atas sebuah cabang pohon dengan tersenyum.
"Kurang asem! Turun kau, Loka!"
"Tak semudah itu, Ganda Mayit."
"Bedebah! Akan aku lumatkan tubuhmu!"
"Lakukan bila kau mampu. Keluarkan segala ajianmu. Aku tak akan gentar, Ganda Mayit."
"Bedebah! Jangan sombong, Hiaat...!"
Dihantamnya pohon tempat Brahmana Loka bertengger. Seketika pohon itu hancur berantakan. Namun Brahmana Loka seperti tak mengalami sesuatu. Ia kini pindah di cabang pohon yang lainnya masih dengan uraian senyum sembari berkata:
"Adakah yang lebih dari itu, Ganda Mayit?"
"Kunyuk!"
"Kenapa, Ganda Mayit? Apakah kau mengaku kalah?"
"Jangan harap, Loka!" menjawab Ganda Mayit mendengus marah.
"Kenapa kau terdiam, Ganda Mayit? Ayo, keluarkan segala ilmu yang kau miliki." mengejek Brahmana Loka.
Hal itu menjadikan Ganda Mayit makin marah. Nafasnya memburu, matanya menyorot tajam penuh permusuhan, lalu katanya: "Mungkin aku tak dapat mengalahkanmu. Tapi aku akan memperalat muridmu ini. Ketahuilah olehmu, Loka. Muridmulah yang akan membinasakanmu."
Tersentak Brahmana Loka mendengar ucapan Ganda Mayit. Sesaat ia terdiam mematung, memandang pada tubuh murid durhaka. Angannya melayang jauh, sepertinya tengah mengingat sesuatu. "Hem, apakah benar wangsit itu? Apakah memang aku harus mati di tangan muridku?" bertanya hati Brahmana Loka.
Dari tubuh Cipta Angkara, keluar asap tebal bergulung-gulung mengangkasa. Perlahan-lahan asap itu membentuk ujud, ujud asli Ganda Mayit. Sesaat tubuh Cipta Angkara terdiam, lalu matanya perlahan membuka. Ditatapnya Ganda Mayit yang berdiri di sisinya dan bertanya.
"Ada apa, Ganda Mayit? Kenapa kau memanggilku?"
"Bunuh orang tua yang nangkring itu!" Ditunjukknya Loka Arya yang tampak terbelalak. Sesaat Cipta Angkara ragu, diam hanya memandang. Hal ini menjadikan Ganda Mayit mengerutkan alis matanya dan kembali memerintah.
"Kenapa kau diam, Cipta! Bunuh orang tua itu. Bunuh!"
"Tapi, dia guruku."
"Dia bukan gurumu. Dia musuhmu, Cipta."
"Aku gurumu, Cipta. Kalau kau melakukannya, kau kualat."
"Jangan hiraukan ucapannya, Cipta. Apakah kau tak ingin menjadi orang sakti? Bunuh dia!"
"Aku tak mampu, Ganda Mayit."
"Bodoh! Bukankah kau memiliki keris Kyai Sangkar?"
"Kenapa tidak kau saja, Ganda!" memekik Cipta Angkara.
"Aku tak mampu memegang keris itu."
"Cipta! Apakah kau benar-benar ingin murtad dan durhaka?" bertanya Brahmana Loka, ia ingin menyadarkan Cipta Angkara. Namun ternyata dugaannya meleset. Cipta Angkara yang telah dipengaruhi oleh Ganda Mayit tak menggubrisnya. Malah dengan membentak Cipta Angkara berkata:
"Serahkan tombak Inti Jagad padaku, maka kau akan selamat."
"Jangan bermimpi, Anak sundel!"
"Jadi kau lebih memilih mati, Tua bangka?"
"Dia bukan gurumu. Bukan?" berkata Ganda Mayit memanas-manasi.
"Anak sundel, pusaka itu bukan hakmu, serahkan padaku."
"Syetan alas! Jangan kau bermimpi, tua bangka!" memaki Cipta Angkara tak dapat membendung kemarahannya. Tubuhnya seketika berkelebat, terbang ke atas cabang.
Melihat Cipta Angkara menyerang, dengan segera Brahmana Loka segera lemparkan tubuh ke belakang. Lalu dengan gaya akrobat, Brahmana Loka berjumpalitan di udara sesaat sebelum akhirnya kembali duduk di cabang pohon lainnya.
"Bedebah! Rupanya kau menganggap aku kroco, Tua Bangka!"
Brahmana Loka tak berkata sepatahpun. Keringatnya tampak mengalir deras. Ditatapnya keris Kyai Sangkar yang tergenggam di tangan Cipta Angkara. "Mungkin ajalku hampir tiba," batin Brahmana Loka
"Serang dengan kerismu, Cipta!"
"Hiaaaaatttt...!" Cipta Angkara kembali berkelebat. Tubuhnya lurus melayang bagaikan terbang. Keris pusaka Kyai Sangkar, menjurus lurus ke dada Brahmana Loka yang telah berdiri di atas cabang. Tubuh Cipta Angkara bagaikan ada yang mendorong, laju dengan derasnya.
Membeliak mata Brahmana Loka sesaat, sebelum akhirnya memekik. Keris di tangan Cipta Angkara, tembus melobangi dadanya. Tubuh Brahmana Loka melayang ke bawah dengan darah menyembur dari dadanya. "Kau.... Kau, murid durhaka. Kau telah mengotori tanganmu dengan darahku, darah gurumu. Kelak kau akan mati dengan tragis. Tubuhmu, kelak akan hancur."
"Persetan dengan ucapanmu, Tua Bangka!" Ditendangnya tubuh Brahmana Loka, setelah mencabut kerisnya. Lalu dengan gelak tawa berkepanjangan, Cipta Angkara berlalu masuk ke pesanggrahan. Diobrak-abrik seluruh pesanggrahan untuk mencari pusaka Tombak Inti Jagad, tapi tak ditemukannya. Maka dengan penuh amarah, dihantamnya pesanggrahan itu hingga runtuh menjadi puing-puing.
"Sudahlah, Cipta. Jangan kau takut dengan ucapan tua bangka itu. Percayalah, kaulah yang akan merajai semua persilatan. Kau akan menjadi orang nomor satu. Hua, ha, ha..."
Tubuh Ganda Mayit kembali lenyap, masuk ke tubuh Cipta Angkara. Mata Cipta Angkara yang tadinya sayu mengingat ucapan gurunya, berubah membara bagaikan mengandung api. "Akulah penguasa dunia persilatan! Akulah orang tersakti di dunia persilatan! Hua, ha, ha!"
Dengan berkelebat cepat bagaikan seekor srigala, Cipta Angkara pergi meninggalkan pesanggrahan. Ia pergi dengan membawa ambisi untuk menguasai dunia.
Pada sebuah dangau seorang pemuda tengah duduk sambil bernyanyi-nyanyi. Kadang kala tangannya menarik-narik ujung tali yang direntangkan pada sebuah hantu sawah, untuk mengusir burung-burung yang hendak memakan padi. Seorang lelaki lain tampak datang menuju ke tempat pemuda itu. Lelaki itu tersenyum, saat melihat pemuda yang berada di atas dangau. Dengan langkah dipercepat, lelaki yang baru datang dengan membawa bungkusan makanan berseru.
"Jaka...! Aku bawakan makanan untukmu, kau telah lapar bukan?"
Pemuda yang tak lain memang Jaka atau si Pendekar Pedang Siluman tersenyum dan dengan berteriak Jaka berkata: "Benar...! Kau membawakan aku makanan, Dulah...?"
Dulah mengangguk mengiyakan, membuat Jaka segera turun dari dangau memapakinya. Dengan bercanda ria, keduanya kembali menuju dangau untuk makan siang. Lahap sekali Dulah makan, membuat Jaka membelalakkan mata. Dengan nada bercanda, Jaka pun berkata pada Dulah:
"Lah... kalau orang sekampung ini seperti kamu, aku rasa dalam sebulan hasil panen akan habis."
"Kenapa begitu...?" bertanya Dulah tak mengerti sembari menyipitkan matanya.
Jaka tersenyum, sebelum akhirnya berkata kembali: "Betapa tidak! Kalau seluruh warga kampung ini rakus sepertimu, mana mungkin hasil panen tersisa? Paling-paling untuk makan saja tak cukup."
Dulah bukannya marah, malah tertawa ngakak mendengar omongan Jaka. Dengan masih menyantap makanannya, Dulah berkata membela diri. "Tapi.... Bukankah dengan banyak makan akan menambah tenaga untuk bekerja? Buktinya aku..."
Jaka menganggukkan kepalanya. "Memang benar apa yang dikatakan Dulah. Buktinya Dulah bekerja sangat giat dan rajin, sepertinya tak mengenal lelah. Membajak sawah, menanami, menyiangi, dan lain-lainnya. Semuanya dikerjakan Dulah tanpa mengeluh." berkata hati Jaka.
"Lah Sudah satu bulan aku di sini."
"Ya. Kenapa...?" tanya Dulah yang masih menyantap makanannya dengan lahap.
Jaka tak segera berkata. Sesaat ditatapnya langit di ujung kulon yang tampak berwarna cerah. Lalu dengan sekali menghempaskan nafas, Jaka pun segera melanjutkan ucapannya: "Sebenarnya, aku di sini tengah mencari seseorang, yang telah membuat keonaran di wilayah kulon sana. Dia bernama Kowara, atau bergelar Setan Tengkorak."
Mendengar Jaka tengah mencari seseorang dari dunia persilatan. Seketika Dulah tersentak kaget, hingga makanan yang masih dalam mulutnya tersemprot ke luar, menjadikannya tersendak dan terbatukbatuk. Melihat hal itu Jaka tersenyum dan segera mengambilkan air yang segera disambut Dulah.
"Kau.... Kau...?" berkata Dulah terbata-bata sembari mengurutkan lehernya yang terasa sakit akibat nasi belum ketelan masuk, menjadikan Jaka makin melebarkan senyumnya.
"Makanya. Kalau sedang makan, jangan ngomong dulu. Pamali, kata orang tua."
Dulah hanya menyengir. Dan setelah dapat menenangkan keadaan, Dulah pun segera meneruskan ucapannya: "Kau ternyata seorang pendekar, Jaka?"
"Ah.... Kau terlalu melebihkan, dalam menilaiku. Aku tak ubahnya seperti kamu, yang dapat sakit atau sedih dan bingung," menjawab Jaka merendah.
Dulah tak mau percaya begitu saja. Namun ketika ia hendak berkata lagi, Jaka telah mendahuluinya. "Sudahlah, jangan terlalu kau pikirkan tentang siapa aku ini. Yang pasti, aku suka bergaul dan berteman dengan kamu. Mengenai orang yang sedang aku buru, aku mendapatkan berita bahwa orang itu kini berada di wilayah ini."
"Kenapa kau tak mengatakannya dari dulu, bahwa kau seorang pendekar?" tanya Dulah. Dengan mata tak berkedip, Dulah pun memperhatikan Jaka dari ujung rambut sampai ujung kaki. Di hatinya menggumam, "Memang Jaka seorang pendekar. Dilihat dari pakaiannya. Itu suatu bukti bahwa ia seorang pendekar. Ah.... Kenapa aku tak memperhatikannya dari semula...?"
Jaka kembali menggelengkan kepala, demi mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Dulah. Maka dengan memegang pundak Dulah, Jaka pun berkata: "Dulah.... Pendekar sejati, adalah pantang baginya memamerkan diri. Ia lebih suka diam dalam kedamaian, daripada terkenal tapi selalu diburu dan banyak musuhnya di mana-mana. Aku bukanlah seorang pendekar. Sebab kalau aku seorang pendekar, pasti aku telah menemukan orang yang aku cari. Sedangkan kini, nyatanya aku tak lebih dari seorang petani macammu. Bukan begitu, Dulah...?"
Dulah hanya terdiam. Hatinya selalu ragu, untuk mempercayai omongan Jaka. Yang menurutnya, adalah seorang pendekar sejati.
"Hidup seperti diriku tak pernah menetap pada sebuah kampung, apakah kau akan kuat? Biasanya orang yang hidup menetap, akan merasa sungkan bila harus berjalan-jalan tak tentu arah."
"Tapi aku sanggup, Jaka. Aku kuat melakukan perjalanan sejauh apapun?" berkata Dulah penuh semangat, seakan ingin meyakinkan pada Jaka agar mengijinkan dirinya ikut serta.
Untuk kesekian kalinya Jaka menarik nafas panjang, sebelum akhirnya kembali berkata sambil tersenyum. "Ah.... Aku senang mendengarnya, Dulah. Tapi sungguh aku sangat menyesal, karena aku tak mungkin dapat mengajakmu pergi bersamaku."
Mendengar ucapan Jaka, seketika di wajah Dulah tergambar rasa kecewa, Jaka yang melihatnya merasa iba. Maka dengan mencoba menghibur Jaka pun berkata kembali: "Ku harap kau tidak kecewa. Aku yakin bila umur kita panjang, kita akan dapat bertemu lagi. Bukan begitu, Dulah,..?"
Dulah sesaat tercenung, diresapinya ucapan Jaka. Perlahan ditatapnya wajah Jaka yang di bibirnya terurai senyuman. Tanpa disadari oleh Jaka, dengan seketika Dulah memeluk tubuhnya hingga Jaka terdorong ke belakang. Lalu dengan penuh rasa persaudaraan keduanya tertawa bergelak-gelak. Ketika sore tiba, dengan beriringan keduanya segera pulang ke desa, di mana Dulah dan keluarganya tinggal.
Malam begitu mencekam. Bulan di angkasa lamat-lamat tertutup oleh awan hitam. Angin malam berhembus dengan cepatnya. Menjadikan hawa dingin yang mendirikan bulu kuduk. Di ruang depan, tampak Dulah dan keluarganya tengah duduk-duduk sembari bercengkrama. Di situ pula tampak Jaka turut serta. Tampak keluarga Dulah sangat senang dengan kehadiran Jaka di rumah mereka, yang secara langsung telah memperingan beban Dulah sebagai anak lelakinya.
"Jaka.... Emak dengar kau tengah memburu seorang tokoh persilatan, apa benar?" bertanya Emak Dulah ketika mereka ngobrol.
Ditanya seperti itu, sesaat Jaka tak mampu menjawab. Ia hanya tertunduk memandang pada lantai yang masih asli dari tanah. Dihempaskan nafasnya sesaat sebelum akhirnya ia mengangguk
"Rupanya kau seorang pendekar, Anakku?" tanya ayah Dulah setelah melihat Jaka mengangguk. Pertanyaan itu membuat Jaka tersentak, dan seketika menatap pada Dulah.
Melihat Jaka terdiam, ayah Dulah kembali meneruskan ucapannya: "Sungguh sebuah kehormatan bagi kami, sebab ternyata nak Jaka sudi bertandang di gubug ini."
"Benar, Nak Jaka. Betapa pun kami akan merasa tentram dan bahagia bila nak Jaka akan lebih lama tinggal di rumah ini," menambahkan Emak Dulah, membuat Jaka seketika makin mendalamkan tundukan mukanya karena haru.
Sesaat setelah menghela nafas, Jaka pun berkata pelan dan tenang. "Emak dan Bapak, juga Dulah. Sebenarnya aku pun ingin lebih lama tinggal di sini. Tapi bila orang yang sedang aku cari telah aku dapati, maka aku pun harus pergi."
"Kenapa begitu?" bertanya Emak Dulah terbelalak kaget dengan rasa tak mengerti.
Hingga membuat Jaka kembali terdiam sebelum kembali berkata. "Emak.... Sudah menjadi tugasku, harus menumpas kejahatan yang ada di dunia ini. Walau nyawa sebagai taruhannya."
Terbelalak semua mata yang ada di ruangan itu, demi mendengar penerangan Jaka. Dalam hati mereka bergumam rasa kagum. Tanpa sadar dari mulut mereka keluar desahan panjang. "Oh...!"
"Itulah, Emak dan Bapak. Mengapa aku tak berkenan menerima Dulah ikut bersamaku. Aku takut Dulah akan menderita."
Sedang mereka asyik bercengkerama, tiba-tiba terdengar bunyi kentongan tanda bahaya bergema. Sesaat keempat orang yang tengah bercakap-cakap itu saling pandang bertanya-tanya. Setelah menyarankan agar keluarga Dulah tetap di rumah, Jaka segera berkelebat pergi. Kepergian Jaka yang begitu cepatnya bak angin, menjadikan semua yang ada di ruangan itu membelalakkan mata dengan mulut terbuka bengong. Jaka terus berlari menuju asal suara kentongan itu. Ia segera mendapati orang yang menabuhnya dan segera ditanyainya.
"Bapak, ada apakah gerangan?"
"Penculikan seorang gadis," menjawab orang penabuh kentongan. Orang itu terus memukul kentongan hingga yang lainnya pun turut membunyikannya.
"Di mana penculikan itu, Pak?" kembali Jaka bertanya. Tanpa bicara sepatahpun, bapak tua penabuh kentongan itu menunjuk arah dengan telunjuknya.
Setelah mendapat petunjuk dari bapak tua itu, dengan cepat Jaka segera berlari menuju ke arah tersebut. Dengan ajian Angin Puyuh maka tanpa mengalami kesulitan, Jaka Ndableg dapat segera menyusul begal-begal itu.
"Berhenti...!!" membentak Jaka setelah dapat menghadang lari ketiga begal itu, yang tampak tersentak melihat kedatangan Jaka Ndableg.
Setelah tahu siapa orang yang menghadangnya, yang ternyata hanyalah seorang anak muda dan sendirian pula. Maka tertawa bergelak-gelaklah ketiga begal itu. "Anak muda, lancang benar kau! Berani kau menghadang kami, Tiga Begal Dari Susukan yang sudah kesohor," berkata salah seorang dari ketiga begal itu dengan sombongnya.
Jaka tampak tenang. Perlahan, tanpa rasa takut dihampirinya ketiga begal itu. Lalu dengan bibir mengurai senyum, Jaka berkata: "Hai begal-begal kecoa. Apa kalian merasa paling tinggi ilmunya di jagat raya ini, hingga tindakan kalian begitu telengas dan biadab. Hai, begal-begal kecoa busuk, mungkin orang lain akan takut padamu. Tapi aku, tidak! Serahkan gadis itu padaku, atau kalian akan direncah oleh penduduk desa ini."
Mendengar ucapan Jaka yang dianggap mereka hanya untuk menakut-nakuti. Maka ketiga begal itu kembali bergelak tawa. Begal yang membopong tubuh gadis dengan mendengus berkata: "Slompret! Apa kau kira kami takut dengan ancamanmu, Anak muda! Panggil seluruh warga desa ini untuk menangkap kami. Ha... ha..."
Jaka sesaat mendenguskan nafasnya. Matanya dengan liar dan tajam memperhatikan ketiga begal itu. Maka dengan kembali tertawa bergelak-gelak yang membikin ketiga begal itu tersentak kaget dan segera menutupi telinga mereka karena tawa Jaka kali ini dibarengi dengan ajian Pekik Prahara, berkata:
"Begal-begal kecoa busuk! Jangan kalian takabur! Kalian boleh bergembira karena warga desa tak berani menghadapi kalian. Tapi kini, kalian akan segera merasakan sakitnya disiksa oleh warga desa. Nah, bersiaplah!"
"Slompret! Jangan kira kami takut padamu, anak muda. Jangan banyak bacot, ayo tangkap kami atau kau akan menjadi bubur blohok oleh kami." kembali berkata Begal yang menggendong tubuh gadis di pundaknya dengan penuh amarah.
"Serang!" Kembali begal itu berseru mengomandokan pada kedua rekannya, yang seketika itu juga maju menyerang cepat dengan jurus-jurus yang langsung mematikan.
Jaka yang sudah menduga sebelumnya, dengan bersuit nyaring segera melompat mengelak. Hingga kedua begal itu mendapatkan angin belaka, hal itu membuat keduanya makin marah dan segera meningkatkan serangannya. Sejauh itu, Jaka belum berniat untuk membalik menyerang. Ia ingin mengukur sampai di mana tingkat ilmu begal-begal itu. Maka dengan mengelak dan terus mengelak Jaka mengimbangi serangan keduanya.
Perkelahian satu lawan dua pun berjalan dengan serunya. Tubuh mereka berkelebat dengan cepatnya. Jurus demi jurus mereka lalui, tampak tak ada yang bakal menang. Tapi...! Secepat kilat Jaka melentingkan tubuhnya tinggi, lalu setelah mencapai ketinggian hampir sepuluh tombak segera menukik. Dan...!
"Tok! Dug.... Dug!"
Tanpa dapat dielakan ataupun dicegah oleh kedua begal yang mengeroyoknya, Jaka telah menghantamkan pukulan totokannya pada keduanya. Seketika keduanya terkulai dan terjatuh ke tanah dengan tubuh lemas. Melihat kedua temannya roboh, pucat pasilah wajah begal yang memanggul tubuh gadis culikannya.
Jaka tersenyum sinis. Dengan perlahan dihampirinya begal yang masih berdiri dengan memanggul tubuh gadis culikan itu. Sebelum Jaka sampai, dengan segera dilemparkannya tubuh gadis itu. Lalu dengan penuh ketakutan begal itu berlari. Belum juga ia berlari jauh, tiba-tiba Jaka telah berdiri menghadang di muka. Maka makin takut sajalah begal itu. Tubuhnya seketika menggigil, dan ambruk bersujud di hadapan Jaka.
"Kenapa kau sepengecut ini? Mana nama besarmu?" bertanya Jaka dengan nada sengau, membuat begal itu makin mendalamkan sujudnya seraya berkata dengan terbata-bata:
"Ampun... Ampunilah nyawaku, Anak muda. Aku... aku hanya diperintah. Jangan bunuh aku."
"Bangunlah.... Katakan siapa yang menyuruhmu? Dan di mana orang yang menyuruhmu itu berada?" bertanya Jaka setelah mendengar ucapan begal itu.
Dengan perasaan takut, sang begal pun segera menurut bangun dan berdiri di hadapan Jaka. Lalu dengan terlebih dahulu menengok ke kanan dan ke kiri, sepertinya ada yang ditakutinya, begal itupun berkata: "Aku disuruh oleh.... Oleh Ko.... Kowara atau Setan Tengkorak yang bersarang di Bukit Perawan..."
"Di mana letak Bukit Perawan?" bertanya kembali Jaka meminta penjelasan. Dari belakang terdengar orang-orang kampung berseru, membuat Jaka segera memalingkan mukanya untuk melihat apa yang tengah terjadi. Hal itu membuat kesempatan bagi si begal untuk melarikan diri. Jaka tersentak dan berusaha mengejar begal itu, namun ternyata begal itu telah berlalu dengan cepatnya.
"Sialan! Licik benar. Tapi awas, kalau aku bertemu lagi." menggerutu Jaka penuh kekesalan merasa telah dipermainkan oleh si begal. Maka dengan kesal di hatinya, Jaka segera kembali ke tempat di mana warga kampung berkerumun.
Warga kampung tengah menghajar habis-habisan kedua begal yang sudah tak berdaya itu. Sementara yang lainnya segera mengurus gadis yang masih dalam keadaan pingsan. Melihat kedatangan Jaka dengan segera semua warga kampung yang sedari tadi mengeroyok kedua begal, berpaling memperhatikan Jaka dengan penuh rasa hormat.
"Saudara-saudara. Janganlah kalian main hakim sendiri, sebab hal itu akan merugikan sepihak. Biarkanlah pengurus kampung ini yang akan menghukum mereka." berkata Jaka.
Semua orang yang di situ segera menepi, membiarkan Jaka menemui kedua begal yang masih tertotok itu. Dengan segera Jaka membebaskan totokan pada kedua begal itu, yang seketika pulih seperti sediakala. Maka dengan diarak oleh warga kampung, begalbegal itu digiring menuju ke balai desa. Ketika mereka berjalan menuju ke balai desa. Jaka segera berkelebat kembali menuju ke rumah keluarga Dulah yang tampak masih menanti Jaka dengan perasaan was-was.
Melihat kedatangan Jaka seketika di wajah keluarga Dulah terbersit rasa gembira. Hingga tak dirasa dari mulut Dulah membersit kata-kata: "Wah Aku rasa kau telah berhasil menangkap begal-begal itu, bukan begitu?"
Mendengar ucapan Dulah, Jaka hanya tersenyum menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dulah Dulah. Bukan aku yang menangkap, tapi orang-orang kampunglah yang menangkapnya," berkata Jaka mengelak.
Tapi Dulah yang memang kagum pada Jaka dan telah tahu siapa Jaka adanya tak mau percaya begitu saja. Maka seketika itu, Dulah pun berkelebat menuju ke balai desa tanpa dapat dicegah oleh Jaka yang hanya dapat terbengang-bengong. Tak berapa lama antaranya, Dulah telah kembali dengan wajah berseri-seri. Emak dan Bapaknya saling pandang tak mengerti seraya bertanya.
"Kenapa kau, Lah? Kok dari balai desa cengar-cengir kaya orang kesambat setan?" bertanya Bapaknya.
Namun Dulah tak menggubrisnya, bahkan dengan segera ditariknya tangan Jaka yang masih berdiri terpaku.
"Nah, kau telah berbohong. Ternyata memang kaulah yang telah menangkap kedua dari tiga begal itu. Dan kata orang-orang kau berilmu aneh, apa benar?" cerocos Dulah membuat Jaka geleng-geleng kepala dan memandang pada kedua orang tua Dulah yang tersenyum senang. "Dulah, mana ada orang berilmu aneh?" berkata Jaka hendak mengelak kembali.
Namun Dulah yang telah mendengar langsung dari orang-orang kampung tak mau percaya begitu saja. Dengan menggeleng kepala, Dulah kembali berkata. "Ada.... Buktinya kau dapat melumpuhkan kedua begal itu. Apakah itu bukan bukti? Mengaku dong?"
Jaka terdiam sesaat. Lalu setelah menarik napas dalam-dalam. Jaka menceritakan apa yang telah diceritakan orang kampung pada Dulah. Tentang ilmu totok, yang dapat melumpuhkan orang. "Oh...! Kalau begitu, aku pun bisa. Beginikah...?"
Maka dengan gaya kekonyolannya, Dulah pun beraksi dengan jurus-jurus karyanya sendiri. Kedua orang tuanya dan Jaka seketika tertawa bergelak-gelak, demi melihat tingkah laku Dulah.
"Ini jurus, Kera Makan Roti. Hiat...!"
Kembali Dulah berjumpalitan dan melompat-lompat memperagakan jurus-jurus ciptaannya. Hingga saking asyiknya, Dulah sampai tak melihat meja di depannya. Dan ketika kakinya hendak mengait.
"Aduh...!" Dulah menjerit kesakitan, kala kakinya beradu dengan kaki meja. Bagaikan ayam dipotong, Dulah pun berguling-guling menahan sakit yang teramat sangat.
Melihat hal itu, kembali Jaka dan kedua orang tua Dulah tertawa tergelak-gelak. Tinggal Dulah yang menggerutu sambil menahan sakit.
Malam kian larut. Mungkin tak lama antaranya pagi akan datang. Sesosok tubuh berkelebat pergi meninggalkan rumah keluarga Dulah. Tubuh itu ternyata Jaka adanya dengan cepat berlari ke arah Selatan di mana terletak Bukit Perawan, tempat bersembunyinya Kowara atau Iblis Tengkorak.
"Kowara! Keluar kau!" berseru Jaka memanggil nama orang yang sudah sekian lama diburunya, orang yang telah membuat keonaran di desa Sindang Gempol.
"Kowara! Apa kau telah tuli?!" Kembali Jaka berteriak, setelah sekian lama menunggu jawaban dari orang dipanggilnya tak kunjung datang.
Masih juga tak ada jawaban. Hal ini membuat Jaka kesal. Maka dengan tanpa sabar, Jaka segera menerobos masuk pada sebuah goa.
"Tak ada! Ke mana perginya iblis itu? Hai! Jangan-jangan ia telah diberitahu oleh anak buahnya." Sedang Jaka membatin, tiba-tiba matanya menangkap sebuah bayangan berkelebat dari samping goa. Dengan segera Jaka pun berlari keluar memburunya.
"Itu dia! Mau lari ke mana, Kau!" berseru Jaka dengan kesal. Dengan mengerahkan aji Angin Puyuh terus memburu Kowara. "Berhenti!" membentak Jaka setelah dapat menghadang Kowara yang tampak tersentak surut.
"Kau...?"
"Ya, aku. Selamat berjumpa kembali, Kowara. Hari ini juga aku hendak meringkusmu untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu di wilayah kulon."
Mendengar ucapan Jaka bagaikan tanpa rasa takut Kowara atau Iblis Tengkorak tertawa bergelak-gelak. Lalu dengan congkaknya berkata: "Anak muda! Percuma kau ingin menjadi pahlawan kesiangan. Ha... ha...!"
"Sombong! Mari kita buktikan. Hiat...!" Seketika tubuh Jaka berkelebat dengan cepatnya, menyerang Kowara yang segera mengelak.
Keduanya pun segera terlibat perkelahian. Jurus demi jurus mereka keluarkan. Hampir empat puluh jurus sudah berlalu. Namun tampak keduanya sama-sama tangguh dan seimbang.
"Anak muda! Terimalah kematianmu. Hiat...!" Kowara atau Tengkorak Iblis berkelebat dengan cepatnya, membentuk sebuah lingkaran. Dari sinar-sinar yang keluar membersit bau busuk yang menyesakkan pernapasan. Itulah ajian Racun Tengkorak Darah. Sebuah ajian yang dapat membunuh musuhnya perlahan, dengan menyumbat pernapasan.
Jaka tersentak, kala merasakan adanya hawa aneh yang bergerak menyerangnya. Dengan seketika Jaka pun melentingkan tubuhnya ke udara. Dan dengan menutup jalan darahnya Jaka segera menukik. Saat itu juga, tampak dari tangan Jaka larikan warna merah. Itulah aji Getih Sakti. Kali ini Kowara yang tersentak kaget. Ia bermaksud mengeluarkannya, namun sinar merah itu telah mendahuluinya. Hingga...!
Wussttt...!
"Aaahhh...!" Seketika terdengar jeritan Kowara sesaat, sebelum tubuhnya hancur menjadi debu. Setelah melihat Kowara telah mati, Jaka segera berlalu pergi, kembali ke rumah keluarga Dulah.
Pagi telah datang, kala Jaka meminta ijin pada keluarga Dulah untuk kembali meneruskan pengembaraannya. Dengan perasaan berat, keluarga Dulah pun terpaksa melepas kepergian Jaka dari rumah mereka.
Di depan empat makam gurunya tampak Jaka bersimpuh. Di sampingnya duduk seorang gadis yang tak lain Sri Ratih. Seperti Jaka, Ratih pun tengah mengheningkan cipta berdo'a.
"Guru sekalian, semoga kalian tentram di alam sana."
"Kakang Jaka..."
"Ada apa, Ratih?"
"Ada orang datang ke mari, Kakang."
Jaka segera menengok ke samping kanannya. Tampak lima orang berjalan menuju ke arahnya. "Siapakah mereka?" bertanya Jaka sepertinya pada diri sendiri.
"Entahlah, Kakang. Aku sendiri tak mengenal mereka."
"Tapi dilihat dari tingkah mereka, sepertinya mereka bukan orang jahat." kembali Jaka berkata.
"Sampurasun...!" menyapa salah seorang dari kelimanya.
"Rampes...!" menjawab Jaka dan Ratih bareng.
"Kalau boleh kami bertanya di manakah kami bisa menemukan pendekar muda bernama Jaka Ndableg?" bertanya Angsono, menjadikan Jaka dan Ratih sesaat saling pandang. Kemudian Jaka sejenak memandang pada kelimanya bergantian.
"Adakah keperluan penting hingga kalian mencariku?"
"Jadi, jadi tuankah orangnya?"
Terbelalak kelimanya mendengar jawaban Jaka sampai-sampai kelimanya melototkan mata dan bareng bertanya. Jaka tersenyum mengangguk. "Ya, akulah orangnya yang kalian can. Ada apakah?"
"Ampun, tuan pendekar. Kami adalah para cantrik Brahmana Loka. Kami diberi amanat oleh beliau untuk menyerahkan benda ini." Disodorkan tombak Inti Jagat oleh Angsono pada Jaka.
Sesaat Jaka terdiam tak segera menerimanya. Kembali dipandangi kelima cantrik itu, seperti bimbang. "Apakah kau tak salah alamat, Cantrik?"
"Tidak, Tuan Pendekar," menjawab Angsono.
"Benar Tuan Pendekar. Kami juga disuruh mengabdikan diri pada tuan," menambah Longkat.
"Ah, apa kalian tidak main-main?" kembali Jaka bertanya sepertinya ia belum yakin. Dipandangi Ratih yang memandang ke arahnya juga dengan bibir tersenyum. "Bagaimana, Ratih?"
"Kalau memang itu suatu amanat. Terimalah, Kakang."
"Baiklah. Aku terima semuanya."
"Maksud tuan pendekar?" tanya Angsono belum mengerti.
"Loh, bukankah kalian ingin ikut denganku?" balik bertanya Jaka, menjadikan kelima cantrik sesaat mengerutkan alis matanya. Lalu bagaikan dipimpin, kelima cantrik itu segera jatuhkan diri bersujud.
"Terimakasih, Tuan. Terimakasih," ucap mereka bersamaan.
"Ah, tak usahlah kalian menyembah-nyembah seperti itu."
Mendengar ucapan Jaka, kelima cantrik itu segera bangun. "Tuan Pendekar, hidup dan mati kami sepenuhnya untuk mengabdi pada tuan."
"Hai, apakah kalian sedang mengigau?"
"Tidak! Kami tidak mengigo, Tuan," menjawab Angsono.
Jaka hanya garuk-garuk kepala, lalu katanya kemudian. "Wah, aku bukan raja. Aku tak berani menerima pengorbanan kalian tanpa aku dapat membantu. Apa yang harus aku lakukan untuk kalian semua?"
"Tanpa apa pun yang kami minta," menjawab Tenggiri.
Terbelalak mata Jaka sampai melotot mendengar ucapan Tenggiri. Hal itu menjadikan kelima cantrik kembali bertanya.
"Kenapa tuan pendekar?"
"Tidak apa-apa. Baiklah, aku terima pengabdian kalian."
Mendengar ucapan Jaka, bagaikan seorang anak kecil yang diberi permen kelima cantrik itu tersenyum bahagia. Sementara Jaka hanya mampu mengulum senyum memandangi kelimanya yang tampak berangkulan. Diliriknya Ratih yang juga tertawa geli.
"Eh, apakah kalian sudah makan?"
"Belum, Tuan pendekar!" menjawab kelimanya serempak.
"Wah! Ratih, kau sudah masak?"
"Sudah, Kakang Jaka."
"Nah para cantrik, kalian makanlah dulu. Ratih, ajak mereka makan."
"Baik, Kakang Jaka." menjawab. Ratih. "Mari, Paman-paman sekalian." ajak Ratih yang dengan segera diikuti oleh kelimanya.
Jaka tampak menggelengkan kepala setelah kepergian mereka. Ia tak habis pikir, mengapa dirinya yang menerima senjata pusaka itu. "Hai, siapakah nama mereka? Kenapa aku tidak menanyakannya? Dan kenapa mereka pergi dari pesanggrahan? Ah, macam-macam saja kehidupan." Dengan perlahan Jaka segera berlalu meninggalkan makam menuju ke pondoknya.
"Oh ya, siapa nama kalian semuanya?" bertanya Jaka setelah kelima cantrik itu telah selesai makan.
"Nama hamba Longkat."
"Nama hamba, Tenggiri."
"Hamba Sanur, Tuanku."
"Hamba bernama Lomber, Tuanku."
"Dan hamba, Angsono."
"Kalian semua, kenapa kalian pergi dari pesanggrahan?" bertanya Jaka pada kelimanya setelah sesaat mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kelima cantrik itu saling pandang, lalu Angsono yang paling tertua berkata:
"Hamba diperintah oleh Wiku untuk pergi."
"Kenapa? Apakah kalian mempunyai kesalahan?"
"Tidak, Tuanku." menjawab Longkat.
"Lalu kenapa? Apakah Wiku Brahmana Loka ada sesuatu kepentingan hingga menyuruh kalian pergi?"
"Benar, Tuanku. Wiku menyuruh kami pergi, karena Wiku tak menginginkan kami celaka," berkata Tenggiri.
"Celaka...?" bergumam Jaka kaget. "Celaka bagaimana?"
"Salah seorang murid Wiku yang murtad hendak membuat kerusakan."
"Maksudmu, Angsono?" bertanya Jaka belum mengerti.
"Murid murtad itu telah bersekutu dengan siluman. Dia menghendaki pusaka milik Wiku. Wiku memiliki dua pusaka sakti. Yang pertama keris Kyai Sangkar, kedua Tombak Inti Jagad yang sekarang berada di tangan tuan," menerangkan Angsono.
"Kenapa tidak diberikan?"
"Bahaya, Tuanku."
"Bahaya bagaimana, Angsono?" Jaka kembali bertanya.
"Kalau kedua senjata pusaka itu berada di tangannya, mungkin senjata itu akan menjadi bencana."
Jaka terangguk-angguk mengerti. Dihelanya napas panjang-panjang, sebelum akhirnya kembali berkata. "Lalu, bagaimana dengan Tuan Brahmana Loka?"
"Entahlah, Tuan. Mungkin kini tengah bertarung melawan murid murtadnya yang bersekutu dengan Siluman Kerta Ganda Mayit."
"Apa...! Jadi sekarang Wiku tengah menghadapi Siluman Kerta Ganda Mayit?" bertanya Jaka terbelalak kaget. Matanya seketika memandang tajam pada kelimanya. "Kenapa kalian malah pergi?"
"Kami disuruh pergi oleh Wiku." menjawab Angsono seraya menundukkan muka tak berani mengadu pandang dengan Jaka.
Terdiam Jaka penuh rasa. Nafasnya turun naik, memburu bagaikan memendam amarah. Kelima cantrik di hadapannya turut hening! Begitu juga Ratih yang duduk di sampingnya.
"Kita harus kembali," berkata Jaka kemudian.
"Maksud, Tuan?" serempak kelima cantrik bertanya tak mengerti.
"Kita harus kembali ke pesanggrahan."
"Jangan, Tuan."
"Kenapa, Longkat? Apakah kalian takut?"
"Tidak, Tuan. Kami tidak takut, tapi Wiku telah berpesan pada kami agar kami jangan sekali-kali balik bila tombak Inti Jagad masih berada pada kami. Juga kami disuruh mengabdi pada tuan belaka."
"Sekarang kalian telah menemui aku dan telah menjadi abdiku. Sekarang juga, kita berangkat ke sana."
Tanpa dapat dicegah oleh kelima cantrik yang akhirnya mengikuti, Jaka segera bergegas pergi menuju ke pesanggrahan Brahmana Loka. Ratih pun tak ketinggalan ikut serta bersama mereka.
Perguruan Singa Putih...
Langit di atas perguruan Singa Putih tampak mendung. Awan tampak bergayut dengan tebal. Angin puyuh berhembus kencang, menyapu awan dari selatan yang makin menambah menggulung. Walau mendung telah begitu tebalnya, namun hujan tak kunjung jatuh. Di sebuah kursi kepemimpinan, tampak seorang lelaki dengan usia 40 tahun duduk. Alis matanya nampak mengerut. Dengan mata memandang ke luar.
"He, sepertinya pertanda buruk. Ada gerangan apakah?" bertanya hati lelaki itu. Perlahan ia bangkit dari duduknya. Sesaat dia berdiri, lalu melangkah keluar. Di samping perguruan, tampak murid-muridnya tengah berlatih dipimpin oleh murid tertuanya. "Ehm...!"
Melihat ketua perguruan datang, tanpa dikomando keseluruhan murid perguruan serentak menjura.
"Raspati...!"
"Hamba, Guru," menjawab Raspati yaitu pimpinan latihan. Ia adalah seorang murid utama perguruan Singa Putih. Sebenarnya murid utama Singa Putih ada lima orang yaitu, Raspati, Bambang Sodra, Rangka Lanang, Lumajang Geni, dan Srenggani seorang murid wanita. Namun keempat murid utama lainnya kini tengah mengabdi pada kerajaan hingga tinggal Raspati yang masih di situ.
"Raspati, tidakkah kau mempunyai firasat?"
"Firasat? Firasat apakah, Guru?" bertanya Raspati tak mengerti.
"Hem, tidakkah kau lihat mendung di langit itu?"
Raspati segera menengadahkan mukanya ke langit. Tampak mendung seperti tak mau pergi, bergayut di atas perguruan. Pertanda apakah? "Benar, Guru. Hamba melihat mendung sepertinya tak beranjak pergi. Gerangan apakah, Guru?"
"Mendung itu pertanda kegelapan, Raspati,"
"Apa...?" serentak keseratus murid perguruan berseru kaget demi mendengar ucapan ketuanya. Mata mereka seketika saling pandang, lalu sejurus kemudian menatap pada ketuanya.
"Ampun, Guru. Petaka apa yang bakal tiba? Ijinkanlah kami mengetahuinya, agar kami dapat berusaha mencegahnya," bertanya Raspati.
Sejenak pemimpin Singa Putih yang bernama Singa Amangkurat terdiam. Dihelanya napas panjang, lalu dihembuskan perlahan. Matanya kembali menengadah ke langit, di mana mendung masih. bergayut. Tengah mereka dicekam diam, tiba-tiba terdengar suara gelak tawa panjang. Bersamaan dengan habisnya gelak tawa itu, seketika berkelebat sesosok tubuh.
"Siapa kau?!" membentak Raspati.
"Singa Amangkurat, tidakkah kau dapat mengajar adat muridmu? Lancang benar ucapannya," berkata pemuda yang telah berdiri di hadapan Singa Amangkurat.
"Maafkan kelakuan muridku, Ki Sanak. Siapakah gerangan Ki Sanak sebenarnya? Lalu, ada keperluan apakah?"
"Amangkurat. Aku datang ke mari untuk mengajakmu menjadi pengikutku. Bagaimana, Amangkurat?"
"Maaf, Ki Sanak. Kami belum mengenalmu, untuk itulah sudi kiranya Ki Sanak mengenalkan nama."
"Namaku Cipta Angkara atau Penguasa Tunggal Persilatan."
"Setan Alas! Jangan kau ngaco belo, Anak muda!"
"Amangkurat, sungguh lancang muridmu. Apakah kau tidak dapat mengajarnya? Apakah aku yang harus mengajarnya?"
"Kau terlalu lancang, Anak muda. Kau seakan merendahkan kami. Datang tanpa permisi, tiba-tiba kau mengaku-aku penguasa tunggal Dunia Persilatan. Jangan mimpi!"
Geram hati Cipta Angkara mendengar ucapan Raspati. Maka tanpa memperdulikan Singa Amangkurat, Cipta Angkara segera berkelebat hendak menyerang Raspati. Namun langkahnya seketika terhalang oleh Amangkurat yang dengan cepat menghadangnya. "Rupanya kau pun hendak menentangku, Amangkurat!"
"Kalau kau berlaku baik. Aku tak akan menentangmu, Anak muda." menjawab Amangkurat tenang.
"Jangan banyak dalih, Amangkurat. Katakan, mau atau tidak kau menjadi pengikutku!"
"Tidak!" menjawab Raspati mendahului gurunya
"Bedebah! Rupanya murid dan guru sama. Baik, jangan salahkan aku bertindak telengas!" memaki Cipta Angkara, lalu dengan penuh amarah Cipta Angkara segera menyerang.
Diserang begitu rupa, dengan segera keseratus anak murid Singa Putih serempak maju mengurung. Hal itu makin menjadikan amarah Cipta Angkara. Dengan membabi buta bagai tak kenal rasa kasihan, Cipta Angkara menghantamkan ajiannya Lebur Sukma. Seketika pekik-pekik kematian pun bergema.
Melihat hal itu, serentak Raspati menghadang. Ia tak ingin adik-adik seperguruannya mati sia-sia. Dipapakinya serangan Cipta Angkara dengan ajian Loreng Cabik. Seketika kuku-kuku tangan Raspati memanjang. Tubuhnya berubah sedikit demi sedikit. Mukanya yang bagus, seketika berubah menjadi muka harimau. "Auum.... Gerr...!"
"Ilmu Siluman," berkata Cipta Angkara dalam hati. "Hem, jangan kira aku tak mampu. Tapi biarlah, akan aku hadapi dengan ajianku dulu."
"Hiaat...!"
"Auummm Gerr!"
Kedua makhluk itu saling loncat, bagaikan terbang ke angkasa. Keduanya segera bertemu, saling adu ilmu yang mereka miliki. Tersentak Cipta Angkara seketika, manakala ajiannya tak berarti apa-apa bagi siluman harimau itu. Bahkan pundaknya terasa perih, tersobek kuku runcing yang mengandung racun. Cipta Angkara segera melentingkan tubuh jauh, menghindari serangan Raspati yang telah berubah menjadi harimau. Ketika ia memandang pada pundaknya, ia tersentak. Pundaknya membiru gelap. Darahnya seakan membeku.
"Racun Singa Paya. Hem, aku harus hati-hati," membatin Cipta Angkara. Ditatapnya lekat-lekat pundak yang membiru, lalu dengan ludahnya diusapnya luka itu. Seketika luka di pundaknya menghilang, lenyap tak berbekas.
"Bedebah! Jangan harap kau mampu mengalahkanku!"
"Aum Gerr!"
"Hentikan, Raspati. Dia bukan tandingan mu!" berseru Amangkurat memperingatkan. Namun bagaikan tak mendengar, Raspati yang sudah dibakar amarah kembali menerjang Cipta Angkara.
"Raspati!"
"Aauuummmm..."
Raspati melolong panjang, manakala keris Kyai Sangkar di tangan Cipta Angkara berkelebat dan menikam ulu hatinya. Seketika darah memuncrat dari badannya. Tubuh Raspati kembali berubah menjadi manusia, ambruk dengan tubuh mengering bagai terbakar. Terbelalak mata Amangkurat melihat muridnya mati. Dengan penuh amarah Amangkurat segera berkelebat menyerang Cipta Angkara.
"Kau harus membayar nyawa muridku, Iblis!"
"Hua, ha, ha.... Kau yang akan kukirim ke akherat, Amangkurat. Bersiaplah!"
"Takabur! Jangan kau kira semudah kau bicara, Iblis!"
"Hua, ha, ha.... Lebih baik kau menjadi pengikutku, daripada kau mati percuma, Amangkurat!"
"Iblis! Jangan bermimpi di siang bolong!"
"Baik! Aku bukan bermimpi. Akan aku buktikan, hiat!"
Dengan harapan dapat segera menjatuhkan Amangkurat, Cipta Angkara tak segan-segan memakai keris Kyai Sangkar. Dengan Kyai Sangkar di tangannya menjadikan Cipta Angkara makin gesit. Hawa keris itu membuat nafsu membunuhnya makin menjadi-jadi. Ditebaskan keris itu pada pundak Amangkurat yang segera berkelit.
Amangkurat telah maklum, kalau keris itulah yang sungguh-sungguh berbahaya. Keris Kyai Sangkar bukanlah keris sembarangan. Bila ditempelkan pada air laut, seketika laut akan kering. Bila ditusukkan ke gunung, akan leburlah gunung itu menjadi debu. Keris itu juga mengandung hawa panas, hawa membunuh.
Amangkurat terus berkelit, sebisa-bisanya menghindari keris di tangan Cipta Angkara. Namun Cipta Angkara yang telah mengetahui bahwa lawannya ngeri melihat kerisnya, terus mendesak. Sekali-kali dihantamnya tubuh Amangkurat dengan ajian yang dimiliki. Namun dengan segera Amangkurat balas menghadang dengan ajiannya pula. Runtuhlah ajian Cipta Angkara, ia terhempas ajian yang dilancarkan Amangkurat.
"Suwe! Kalau begini terus menerus, tak akan berakhir," menggeretak Cipta Angkara dalam hati. Lalu dengan segera dipusatkan kedua tangannya memegang keris. Diusapnya ujung keris Kyai Sangkar. Seketika dari ujung keris keluar selarik sinar merah membara.
Tersentak Amangkurat melihat hal itu. Ia berusaha menghindar, namun akibatnya malah fatal. Anak buahnya seketika menjerit, terpanggang oleh api yang menyala keluar dari ujung keris,
"Menyerahkan, Amangkurat!"
"Jangan harapkan itu, Iblis! Aku akan mengadu nyawa."
Seketika Amangkurat terdiam, menyatukan tangan di dadanya. Sekejap kemudian, tubuh Amangkurat telah berubah menjadi raksasa besar. Mukanya yang berbentuk harimau, sungguh sangat menyeramkan, "Aauummm...!"
"He, tinggi juga ilmunya. Baik akan aku ladeni." berkata Cipta Angkara dalam hati. Kemudian, dengan segera Cipta Angkara melompat menyerang Amangkurat dengan keris Kyai Sangkar. Api membara keluar dari ujung keris, membakar tubuh Amangkurat. Namun bagaikan tak terasa, Amangkurat terus menyergap Cipta Angkara. Ditangkapnya tubuh kecil Cipta Angkara, lalu ditelannya hidup-hidup.
Sesaat Amangkurat tampak tersenyum. Namun kemudian, Amangkurat seketika memekik. Dari perutnya, keluar tubuh Cipta Angkara dengan keris pusaka berlumuran darah. Makin marah Amangkurat melihat musuhnya dapat keluar. Dengan tubuh yang telah sobek di perutnya, Amangkurat kembali menyerang Cipta Angkara. Dibantingnya tubuh Cipta Angkara hingga pingsan.
Ketika tubuh Cipta Angkara hendak diremukkan oleh Amangkurat, seketika tubuh Cipta Angkara berubah menjadi asap. Dari asap tebal berbentuk sesosok tubuh tinggi besar, setinggi tubuh Amangkurat. Tersentak Amangkurat dengan mata melotot menyaksikan hal itu. Lebih-lebih ketika ia tahu siapa yang kini berada di hadapannya. Karena saking kagetnya, Amangkurat seketika berseru menyebut orang yang berdiri di hadapannya.
"Kaukah kiranya, Ganda Mayit!" "Benar, aku Amangkurat."
"Mengapa kau datang lagi ke alam manusia, Ganda Mayit?"
"Hua, ha, ha.... Kau jangan egois, Amangkurat. Kau juga siluman, seperti aku. Kalau kau boleh menginjakkan kakimu di dunia manusia, kenapa aku tidak?"
"Bukankah kau telah berjanji tidak akan datang lagi?"
"Itu benar, Amangkurat. Tapi bila aku tak menemukan salah seorang murid murtad Brahmana Loka. Tapi kini, aku telah bebas dari perjanjian itu. Bahkan si Brahmana Loka telah mati di tangan muridnya sendiri. Kini tak akan ada yang dapat menghalangi aku. Hua, ha, ha...!"
"Jangan bermimpi, Ganda Mayit. Akulah yang akan menghalangimu. Dan aku juga yang akan mengirimmu kembali ke alam siluman."
"Hem, memang kita tak pernah bersatu, Amangkurat. Di mana kau berada, kau adalah penghalangku. Untuk itu, kau harus aku singkirkan dari dunia ini," mendengus Ganda Mayit marah. Seketika Ganda Mayit berkelebat menyerang. Tubuhnya yang sebesar gunung anakan, menghantam membabi buta.
"Minggirlah kalian semua!" berseru Amangkurat memperingatkan pada anak muridnya yang segera menyingkir.
Pertarungan dua siluman itu pun terjadi. Walau tubuh-tubuh mereka besar, namun sepertinya tak menghalangi gerakan-gerakan silat mereka. Setiap hantaman tangan dan kaki mereka, menjadikan suara yang membahana.
Kita tinggalkan kedua siluman yang tengah mengadu ilmu mereka. Marilah kita tinjau Jaka dan kelima cantrik yang tengah menuju ke pesanggrahan milik Brahmana Loka. Manakala ketujuh orang itu tengah berjalan menerobos hutan, menuruni lembah dan ngarai. Tiba-tiba langkah mereka dihentikan oleh seruan seseorang.
"Anak Gendeng. Berhenti kau!"
Jaka Ndableg yang merasa seruan itu ditujukan padanya, dengan segera menghentikan langkahnya. Dibalikkan tubuhnya, menghadap pada asal suara itu. Kini tampak olehnya siapa yang telah memanggil. Ratih yang berdiri di samping Jaka, seketika tersentak. Ia tahu persis siapa adanya mereka yang tak lain Lima Iblis Penghisap Darah.
"Kakang Jaka " kata Ratih dengan gemetar.
"Jangan takut, Ratih. Hem, mereka belum kapok. Menyingkirlah kalian." berkata Jaka memerintah. Dengan segera, keenam orang pengikutnya pergi bersembunyi. Kini tinggal Jaka sendiri, menunggu kedatangan kelima Iblis Penghisap Darah.
"Pucuk di cinta ulam tiba. Rupanya kita menemukannya di sini, Kakang Lawer!"
"Benar adik, Suwing. Selamat ketemu kembali, Anak edan."
"Ha, ha, ha, ha " tertawa Jaka bergelak, menjadikan kelima Iblis Penghisap Darah tersentak saling pandang.
"Diam! Tak ada yang lucu di sini!" membentak Lawer.
"Ha, ha, ha.... Tak ada yang lucu? Bukankah kalian memang lucu? Julukan kalian menyeramkan, tapi nama kalian bagaikan nama para pengemis kere. Ha, ha, ha...!"
"Monyet!"
"Apa? Kalian mengaku keturunan monyet? Pantas-pantas, muka kalian memang seperti monyet."
Makin marah saja kelima Iblis Penghisap Darah mendengar ucapan Jaka yang ngelantur. Namun begitu, mereka tidak mau berlaku sembrono. Mereka telah tahu siapa adanya pemuda di hadapannya. Pemuda yang konyol, namun berilmu tinggi.
"Pemuda edan! Serahkan gadis yang kau bawa itu pada kami. Maka kami akan memutuskan segala silang sengketa denganmu."
"Klawer, ngomongmu bak raja kelaparan. Seenak udel kau ngomong. Jangan harap aku akan menyerahkan gadis itu, sebab gadis itu telah tergila-gila padaku. Kalau pun aku serahkan, niscaya dia tak akan mau dengan adikmu yang bermuka oncom!"
"Bedebah! Kau terlalu menghina, Bocah edan!"
"Hai, rupanya kau bisa marah juga. Apa maumu, Klawer?"
"Bangsat! Serang dia!" berseru Klawer memerintah. Seketika keempat adiknya segera menyerbu Jaka. Golok di tangan kelima orang itu berkelebat, membabat tubuh Jaka yang segera berkelit.
"Tooobaat Aku hendak dibikin sate?"
"Bangsat! Jangan banyak bacot!" memaki Klawer marah merasa diledek oleh Jaka.
"Jangan galak-galak, Oom!"
"Jangan terpengaruh dengan ocehan gilanya. Serang terus!"
Wuut!
Sebatang golong berkelebat di atas kepala Jaka yang menunduk. Jaka segera membuang tubuhnya ke kanan, lalu dengan jari menyentil, disentilnya golok itu. Seketika golok di tangan musuhnya patah menjadi dua. Terbelalak mata musuhnya melihat hal itu. Melihat salah seorang musuhnya terbengong, Jaka segera menjejakkan kakinya setelah melenting ke angkasa. Tubuh orang yang ditumpangi, seketika amblas menyerosot ke dalam tanah. Jaka baru melompat pergi manakala tubuh musuhnya telah amblas sebatas dada.
Bergidik keempat Iblis Penghisap Darah yang lain demi melihat kenyataan itu. Tanpa memperdulikan temannya, keempatnya segera kabur. Jaka yang memang tak bermaksud mengejar mereka hanya tersenyum. Dihampiri orang yang terbenam dalam tanah. Orang itu nampak ketakutan hingga keringat dingin deras keluar dari pelipisnya.
"Ampunilah aku. Jangan bunuh aku," meratap orang itu.
"Heh, siapa yang mau membunuh kamu?"
"Terimakasih, Tuan pendekar. Terima kasih."
"Hua, ha, ha.... Ternyata Iblis Penghisap Darah bisa ketakutan. Hoy teman-teman, keluarlah!"
Dari semak-semak, tampak bermunculan kelima cantrik bersama Ratih. Mereka segera berlarian menuju ke tempat Jaka yang tengah jongkok memandangi musuhnya.
"Bagaimana menurut kalian? Apakah orang ini dibiarkan saja di sini biar dikeloni sama cacing tanah?"
"Hii. Jangan, Tuan! Saya minta ampun," bergidik orang Iblis Penghisap Darah demi mendengar ucapan Jaka. Namun bagaikan tak memperdulikannya, Jaka hendak segera berlalu.
"Ayo, kita pergi!"
"Tapi, Tuan?" bertanya Angsono.
"Biar dia di situ, ayo!"
"Tuan.... Ampunilah saya. Lepaskan saya dari himpitan tanah ini! Tolonglah saya, Tuan. Saya mempunyai anak dan istri."
"Ah, kamu ngaco ngomongnya!" membentak Jaka pura-pura marah.
"Tidak, Tuan. Aku tidak ngaco, aku punya anak dan istri."
"Hem, jadi kau punya anak dulu baru beristri. Kau kumpul kebo, ya?"
Ratih dan kelima cantrik seketika tertawa mendengar ucapan Jaka yang konyol. Sebaliknya, Iblis Penghisap Darah makin tak mengerti dengan omongan Jaka yang aneh-aneh. "Tidak, tuan. Aku tidak kumpul kebo."
"Lalu kumpul apa?" tanya Jaka masih ngebanyol
"Kumpul orang, Tuan." menjawab Iblis Penghisap Darah saking takut dan gugupnya, menjadikan kelima cantrik dan Ratih kembali tertawa.
"Kakang Jaka, sudahlah. Nanti dia bisa kencing di celana."
"Biar, sekali-kali biar dia merasakan betapa wanginya ompol orang tua. Siapa namamu, Ki Sanak?"
"Nama saya, Rosmad," menjawab Rosmad masih gemetaran. Ketika dirasakannya ada yang bergerak-gerak di kakinya, serta merta Rosmad memekik. "Aooh, tolong Tuan!"
"Hai, kenapa kau menjerit-jerit kayak anak kecil?"
"Aduh, kaki saya, Tuan. Kaki saya...." berkata Rosmad terbata.
"Kenapa dengan kakimu, Rosmad?"
"Kaki saya ada yang menggigit."
Kasihan juga Jaka melihatnya meringis-ringis. Maka sekali kaki Jaka menghentak tanah di samping Rosmad, tubuh Rosmad seketika meloncat terbang ke angkasa lolos dari tanah. Terbelalak kelima cantrik melihat hal itu, sampai-sampai mata mereka melotot memandang pada tubuh Rosmad yang melayang.
"Aoh...." Ratih menjerit seraya menutupi mukanya, manakala melihat Rosmad tak memakai celana lagi. Di kaki Rosmad menempel seekor kepiting. Cepitan kepiting yang keras menjadikan Rosmad berteriakteriak kesakitan. Ia berlari-lari tak menghiraukan keadaan tubuhnya yang telanjang.
Tertawa bergelak seketika kelima cantrik demi melihat hal itu. Hanya Ratih yang masih menutupi muka dengan kedua tangannya. Setelah Rosmad tak dilihat lagi, merakapun segera kembali meneruskan perjalanan ke Pesanggrahan milik Brahmana Loka.
Pertarungan antara Ganda Mayit melawan Amangkurat masih berjalan. Keduanya tampak samasama tangguh, keduanya sama-sama warga siluman. Berpuluh bahkan beratus-ratus ilmu telah mereka keluarkan untuk dapat mengalahkan lawannya. Namun sampai pertarungan berjalan dua hari, sepertinya mereka tak ada yang bakal kalah. Ketika hari menginjak ketiga, dengan licik Ganda Mayit menghantamkan ajiannya ke tubuh Amangkurat. Seketika Amangkurat meraung-raung kesakitan, sebelum akhirnya roboh tanpa nyawa. Melihat pemimpinnya mati, seketika anak murid Amangkurat jatuhkan diri bersujud meminta ampun. Hal itu membuat Ganda Mayit tertawa bergelakgelak.
"Bagus, bagus! Rupanya kalian masih menghendaki hidup."
"Benar, Sang Kuasa," jawab mereka serempak.
"Nah, dengar oleh kalian. Mulai hari ini, akulah rajamu."
"Daulat, Sang Kuasa!"
"Kalian harus nurut padaku! Kalian harus tunduk dan menyembah aku, mengerti!"
"Daulat, Sang Kuasa!"
Perlahan-lahan tubuh Ganda Mayit menyusut, mengecil dan kembali berubah menjadi Cipta Angkara. Mata Cipta Angkara tampak memandang tajam, dan dengan angkuhnya ia berkata. "Kau, siapa kau namanya?"
Orang yang ditunjuk nampak gemetaran, menjawab dengan terbata-bata. "Hamba, Gajah Biru, Tuanku."
"Gajah Biru, mulai sekarang kau kutunjuk menjadi wakilku."
"Daulat, Tuanku."
"Nah, dengar oleh kalian semua. Mulai hari ini, kalian harus menurut pada apa yang dikatakan Gajah Biru. Mulai hari ini pula, kalian harus beraksi. Rampok orang-orang kaya, teror tokoh-tokoh persilatan. Katakan pada mereka, mau atau tidak menjadi pengikut kita. Bila mau biarkan ia hidup menjadi anggota. Tapi bila menolak, jangan segan-segan, bunuh dia!"
"Daulat, Tuanku...!" menjawab mereka serempak.
"Nama perguruan ini, mulai sekarang aku ganti menjadi "Persekutuan Iblis", Hua, ha, ha...!"
"Daulat, Tuanku!"
"Nah, Gajah Biru pimpin olehmu mereka semua. Ingat! Jangan sekali-kali membantah! Kalau membantah, maka kau akan seperti ini."
Dikiblatkan kerisnya ke salah seorang bekas anggota Singa Putih. Seketika orang itu meraung, sebelum akhirnya roboh dengan tubuh kering kerontang. Darahnya seperti tersedot oleh keris Kyai Sangkar. Tercekam yang lainnya melihat hal itu. Maka dengan penuh rasa takut, yang lainnya segera menyembah. Makin membuat Cipta Angkara yang mabok kuasa tertawa bergelak-gelak senang.
"Ingat baik-baik tugas kalian. Bila kalian mengalami kesulitan, datanglah segera menemui aku." Habis berkata begitu, secepat kilat Cipta Angkara berkelebat pergi meninggalkan mereka yang hanya terdiam tercekam.
Cipta Angkara yang tengah berlari, seketika menghentikan langkahnya manakala dirasa ada orang yang menguntitnya. Dengan gemas bercampur marah, Cipta Angkara segera membentak. "Orang-orang yang bersembunyi, keluarlah! Jangan suka main kucing-kucingan!"
Satu persatu orang yang menguntitnya ke luar dari persembunyian. Kelima orang itu yang ternyata Iblis Penghisap Darah tersenyum sembari menjura hormat.
"Maafkan kami yang bodoh ini, Tuan pendekar," berkata Lawer mewakili keempat adiknya.
"Siapa kalian?"
"Kami lima Iblis Penghisap Darah."
"He, nama yang sudah terkenal. Mau apa kalian menghadang dan mengikuti langkahku?"
"Ampun, Tuan pendekar. Kami ingin menjadi anggota Persekutuan Iblis yang tuan pimpin."
"Bagus, bagus. Apakah kalian tahu syaratnya?"
"Tidak, Tuan pendekar," menjawab Lower.
"Dengar oleh kalian. Syarat untuk menjadi anggota Persekutuan Iblis, kalian harus mampu membawa hasil rampokan kalian. Kalian sanggup?"
"Sanggup, Tuan pendekar."
"Baik! Bawalah hasil rampokan kalian nanti pada malam Jum'at ke markas. Kedua, teror semua tokoh-tokoh persilatan agar mau menjadi anggota kita. Bila ia menolak, jangan segan-segan bunuh!"
"Baik. Kami akan selalu menuruti apa yang tuan katakan."
"Laksanakan sekarang juga. Ingat malam Jum'at!"
Setelah berkata begitu, kembali Cipta Angkara berkelebat pergi meninggalkan kelima Iblis Penghisap Darah yang hanya terbengong-bengong tak mengerti. Kelima Iblis Penghisap Darah pun segera berlalu setelah sekian lama terdiam memandang pada kepergian Cipta Angkara.
Menangis kelima cantrik itu demi melihat tubuh Wikunya telah mati. Tubuh Brahmana Loka tersangsang di atas cabang pohon dengan dada bolong. Jaka yang melihat hal itu, seketika merasa trenyuh. Dengan sekali lompat, diambilnya tubuh Brahmana Loka dari sangsangan cabang pohon.
"Duh, Wiku. Mengapa kau secepat ini meninggalkan kami?"
"Benar, Wiku. Kenapa engkau secepat ini pergi?"
"Mengapa engkau tak menghindar pergi saja?"
"Sudahlah, Longkat, Tenggiri, Lomber. Janganlah kalian menangisi kepergiannya. Dia pergi dengan kebaikan, dia akan diterima oleh Yang Jati Wisesa," berkata Jaka menghibur. Sementara Ratih sepertinya turut terbawa arus, ia pun turut menangis.
"Mari kita semayam kan tubuhnya dengan baik. Dia adalah seorang Wiku, sepantasnyalah bila dia harus dihormati."
"Apakah beliau akan masuk surga, Tuan Pendekar?"
"Aku tak mengerti, Angsono. Masuk atau tidaknya seseorang, terletak pada perbuatannya kala masih hidup. Bila orang itu berbuat baik, niscaya ia akan masuk surga. Ah, sudahlah, yang penting kita rawat mayatnya dengan baik."
Habis berkata begitu, dengan tanpa memperdulikan kelima cantrik yang masih menangis Jaka menggali tanah. Dengan memakai selembar papan kayu Jaka terus menggali dan menggali. Keringat bercucuran tak dihiraukannya. Tak berapa lama antaranya, liang lahat pun telah dalam. Jaka segera melompat naik dan menghampiri tubuh Brahmana Loka yang masih ditangisi oleh kelima cantriknya.
"Sudahlah, kalian jangan terus menangis. Bantu aku menyemayamkan tubuhnya," berkata Jaka. Dibopongnya mayat Brahmana Loka menuju ke galian liang. Perlahan tubuh Brahmana Loka direbahkan. Dengan dibantu oleh kelima cantrik, diurugnya liang itu kembali.
"Mari kita berdo'a untuk arwahnya. Semoga dapat diterima di sisi Yang Jati Wisesa."
Kesemuanya seketika terdiam hening, tanpa kata-tanpa suara. Mereka seperti kusuk memanjatkan do'a. Angin bersemilir meniup rambut mereka, sepertinya memberikan penghormatan yang terakhir.
"Bukankah lebih baik kalian menetap di sini?"
"Ah, kami takut, Tuan!" berkata Angsono.
"Takut...? Takut pada siapa?"
"Kami takut kalau-kalau dia datang," kata Longkat beralasan.
"Hem, takut mati karena kebaikan adalah kepengecutan. Apakah kalian mau dikatakan orang pengecut?"
"Tidak, Tuan."
"Nah, kenapa kalian mesti takut? Ingat, bila ajal tiba semuanya pasti akan mati juga. Baik itu orang sakti, rakyat biasa, ataupun titisan dewa. Maka itu, janganlah kalian takut mati sebab kematian adalah kekekalan hidup. Kalian mengerti?"
"Mengerti, Tuan Pendekar."
"Sekarang juga, kita bangun kembali pesanggarahan ini. Kita menempati pesanggrahan ini kembali, bagaimana?"
"Kami sebagai abdi hanyalah menurut apa kata tuannya," menjawab Angsono mewakili teman-temannya.
"Ayo, kita dirikan lagi pesanggrahan ini,"
Hari itu juga, dengan gotong royong mereka kembali mendirikan pesanggrahan yang telah menjadi puing-puing. Ada yang mencari kayu, bambu, ijuk, dan bahan lainnya. Setelah hari telah menjelang sore, pesanggrahan itu pun jadi.
"Nah, karena pesanggrahan ini telah jadi, aku minta kalian dapat tetap di sini," berkata Jaka kala mereka tengah duduk-duduk menikmati makam malam.
"Tuan pendekar sendiri, apakah tidak di sini?"
"Aku juga di sini, Longkat. Namun untuk sementara, aku hendak pergi."
"Ke mana, Kakang?"
"Aku hendak mencari murid durhaka itu."
"Jadi tuan hendak pergi?"
"Benar, Tenggiri. Tapi aku pergi tak akan lama. Aku hanya akan mencari murid durhaka itu. Kalian tenang-tenanglah di sini, aku akan segera kembali lagi."
Jaka Ndableg segera berkelebat pergi, meninggalkan kelima temannya. Sepeninggalan Jaka kelima temannya tampak hening. Mereka seperti was-was, mereka takut kalau-kalau Cipta Angkara datang. Malam itu pun dilalui mereka dengan keheningan, tanpa ada yang berani berkata-kata. Kala hari telah agak larut, kelima cantrik dan Ratih pun segera beranjak tidur.
Malam begitu sunyi, tiada suara lain selain suara binatang malam. Ketika kesunyian itu mencekam, tampak seorang lelaki berjalan mengendap-endap menuju ke sebuah rumah. Rumah itu, adalah rumah Bupati Brebes. Langkahnya begitu ringan hingga tak ada suara sedikitpun. Sesaat mata lelaki itu memandang sekeliling, lalu dengan berjingkat-jingkat ia kembali berjalan.
"Hoop, ya." Dengan sekali hentak, tubuh lelaki itu telah melompati pagar rumah. Sesaat lelaki itu diam, memandang pada para penjaga yang tengah duduk-duduk sambil main gaple.
"Hem, kebetulan," ucapnya dalam hati.
Dipungutnya sebuah kerikil, lalu dengan segera disambitkan pada salah seorang penjaga. Seketika penjaga itu pun ambruk tertotok darahnya.
"He, kenapa Jaran Langan?" bertanya seorang penjaga lainnya.
"Entahlah, ia tiba-tiba pingsan," jawab yang lain.
"Heh, rupanya ada orang di sekitar sini. Lihat, ada batu kerikil!"
"Benar, Kucing Ireng."
"Itu dia!" berseru Kucing Ireng demi dilihatnya sebuah bayangan berkelebat dari pepohonan. Serentak ketiga orang itu segera berkelebat memburu. "Jangan lari!"
"Aku tidak akan lari. Ini untuk kalian!" berkata lelaki yang mereka kejar. Tangan lelaki itu bergerak cepat, dan bertaburanlah selarik sinar putih memburu ke arah ketiga pengejarnya.
"Awas racun!" memekik Kucing Ireng mengingatkan pada kedua temannya yang dengan segera bergerak mengelak. Mendengar suara ribut-ribut, Bupati Brebes segera bangun. Serta merta ia keluar dari kamarnya menuju ke luar.
"Ada apa, Kebo Lanang?"
"Ampun Kanjeng Bupati. Ada maling masuk."
"Maling?" bertanya Bupati Brebes seperti tak percaya.
"Benar, Kanjeng. Itu dia!" berseru Kucing Ireng seraya kembali melompat memburu diikuti oleh kedua rekannya. "Jangan lari, Bangsat!"
"Aku tidak lari. Aku di sini."
Terbelalak ketiganya, manakala melihat ke belakang. Tampak oleh mereka bupati tengah meregang nyawa. Karena sangking terkejutnya hingga ketiganya seketika memekik. "Kanjeng Bupati!"
"Iblis! Kau telah membunuh kanjeng Bupati. Maka kau pun harus mati pula, hiat...!" Kucing Ireng yang terkenal gesit dan cekatan dengan segera berkelebat menyerang.
Namun seperti tak memandang sebelah mata pun, lelaki itu tertawa bergelak. Dikibaskan tangannya, dan dari tangannya seketika berhamburan selarik sinar putih menderu ke arah mereka. Ketiganya sesaat tersentak, lalu dengan berjumpalitan ketiganya mengelak. Belum juga ketiganya dapat tenang, tiba-tiba lelaki itu telah menyerang mereka kembali. Dari tangan lelaki itu keluar cahaya merah menyala. Semakin lama semakin besar cahaya itu, membentuk sebuah larikan sinar.
Sinar yang ternyata dari ujung keris berkiblat ke arah mereka. Ketiganya berusaha mengelak, namun tak urung salah seorang terkena juga. Dua orang lainnya seketika melototkan mata, manakala melihat apa yang terjadi. Tubuh temannya seketika meregang nyawa dengan tubuh kering bagai tak berdarah. Belum hilang kekagetan mereka berdua, kembali selarik sinar berkelebat mengarah ke arahnya. Tanpa ampun lagi, keduanya terhantam oleh larikan sinar merah itu. Seperti temannya yang pertama, keduanya pun mati dengan tubuh mongering bagai tak berdarah.
"Hua, ha, ha...! Kini akulah yang berkuasa. Akulah pimpinan dunia persilatan!" berkata lelaki itu yang ternyata Cipta Angkara dengan sombongnya. Lalu dengan masih meninggalkan tawa, Cipta Angkara segera berkelebat pergi.
Sejak kepemimpinan Singa Putih yang berganti nama dengan Persekutuan Iblis berada di tangan Cipta Angkara, sepak terjangnya makin mengganas. Mereka merampok, memperkosa, menteror, bahkan tidak segan-segan membunuh. Hal itu menjadikan tokoh-tokoh persilatan dari golongan lurus dibuat bingung. Betapa tidak! Mereka selalu menteror para tokoh persilatan. Bila para tokoh itu menolak, maka kematianlah yang didapatkan. Tapi bila mereka menerima, niscaya mereka akan menjadi pengikutnya.
"Aku jadi tak habis pikir," berkata Ki Rami Wilaba pada saat diadakan pertemuan antar tokoh persilatan.
"Apakah Ki Rami bimbang?"
"Tidak, Adipati. Aku bukan bimbang atau takut. Namun aku bertanya dalam hatiku, apa maksud mereka sebenarnya."
"Jelas mereka bermaksud membuat kita was-was, Ki Ranu," menjawab Raka Jengger.
"Apakah tak ada yang dapat menandingi pimpinan Persekutuan Iblis? Apakah telah begitu lemahnya ilmu-ilmu yang kita miliki?" kembali Ki Ranu bertanya, menjadikan kesemua yang hadir terdiam.
"Telah banyak korban berjatuhan dari tokoh-tokoh persilatan. Telah menderita rakyat kecil yang tak berdosa. Ah, apakah dunia akan benar-benar kiamat?"
"Jangan putus asa, Ki Ranu."
Tengah mereka dalam kebimbingan, terdengar suara tanpa rupa berkata. Seketika semua yang hadir terperanjat dan serta merta menengok ke asal suara itu. Tampak kini seorang lelaki muda berdiri dengan angkuhnya menghadap mereka.
"Siapa kau, Anak muda?" bertanya Ki Ranu yang dijawab oleh pemuda itu dengan tersenyum sinis sembari menjawab.
"Akulah Cipta Angkara penguasa Dunia Persilatan."
"Iblis! Rupanya kaulah orangnya?"
"Benar, Ki Ranu. Akulah orang yang kalian cari."
"Mau apa kau datang ke mari?"
"Seperti pada tokoh-tokoh persilatan yang lain, aku datang untuk satu tujuan. Kalian mengerti tujuanku?" bertanya Cipta Angkara dengan sombongnya. Matanya memandang tajam pada kesepuluh tokoh persilatan yang hadir di situ. "Kalian boleh milih. Ikut menggabung denganku, atau mati."
"Lebih baik kami mati, Iblis!" menjawab Raka.
"Bagus! Siapa lagi yang ingin mati?"
"Kami semua!" menjawab serentak kesembilan orang lainnya.
"Hua, ha, ha. Bagus! Rupanya kalian memang pantas untuk mati. Nah, bersiaplah!"
Habis berkata begitu, serta merta Cipta Angkara segera berkelebat menyerang kesepuluh tokoh persilatan. Kesepuluh tokoh persilatan tak mau tinggal diam. Mereka dengan segera berkelit, lalu dengan berbareng kesepuluh orang itu menyerang balik. Terkejut Cipta Angkara bersamaan. Dengan berjumpalitan, Cipta Angkara segera menghindari.
"Jangan lari, Iblis!"
"Aku tidak lari, Ki Ranu. Aku menunggu kalian di luar!"
Mendengar jawaban Cipta Angkara, segera kesepuluh tokoh persilatan berhamburan ke luar. Mereka segera kembali mengepung Cipta Angkara yang tampak masih tersenyum-senyum.
"Nah, bukankah di sini lebih leluasa? Buatlah lobang untuk kalian sendiri!"
"Sombong! Jangan kira semudah kau bicara, Anak muda!"
"Baik! Kalau kalian tak mau membuat lubang untuk kalian, maka akulah yang akan membikinkan. Lihat...!" dikiblatkan keris Kyai Sangkar sepuluh kali. Maka dalam sesaat, lobang pun telah menganga di hadapan mereka.
Tersentak kesepuluh tokoh persilatan melihat hal itu. Sampai-sampai kesepuluhnya melompat mundur. Mata mereka tajam mengawasi segala gerak-gerik Cipta Angkara.
"Terlalu banyak kau membuat, Iblis! Semestinya hanya satu lobang, yaitu untukmu sendiri," berkata Raka, bagaikan tak gentar sedikitpun melihat hal itu. Hiat...!"
"Hem, kita buktikan saja. Mari kita mulai,.."
Melihat Cipta Angkara menyerang dengan keris Kyai Sangkar di tangannya. Maka dengan segera kesepuluh tokoh persilatanpun tak malu-malu lagi bareng mengeroyok. Mereka tahu, apa pun yang terjadi mereka harus mampu melepaskan keris pusaka itu dari tangan Cipta Angkara.
Pertarungan satu melawan sepuluh telah terjadi. Walau dikeroyok oleh tokoh-tokoh persilatan, namun tampaknya Cipta Angkara tak gentar. Gerakannya gesit dan lincah. Keris Kyai Sangkar makin menambah nafsunya untuk membunuh. Larikan-larikan sinar yang keluar dari keris Kyai Sangkar terus memburu kesepuluh musuhnya, menjadikan mereka harus berjumpalitan mengelakkan serangan itu.
Jurus demi jurus mereka lalui dengan cepatnya. Tak terasa telah mencapai puluhan jurus. Ketika hendak menuju ke jurus enam puluh, di mana para tokoh persilatan agak keteter. Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan yang menghadang serangan Cipta Angkara. Bayangan itu yang tak lain Jaka Ndableg, dengan segera menangkis larikan sinar merah dengan tombak Inti Jagad. Seketika larikan merah itu, mental berbalik menyerang Cipta Angkara.
Tersentak Cipta Angkara melihat kenyataan yang terjadi. Matanya menatap lekat pada tombak yang berada di tangan Jaka. Setelah pasti bahwa tongkat di tangan Jaka memang Inti Jagad adanya, Cipta Angkara membentak. "Siapa kau!"
"Aku Aku adalah Jaka Ndableg. Karena sifatnya yang kata orang-orang agak sinting, mereka memanggilku dengan nama Jaka Ndableg."
Tersentak Cipta Angkara demi mendengar nama pemuda di hadapannya. Seketika ia menyusut mundur. Lalu dengan tanpa diduga oleh Jaka, dia segera berkelebat pergi.
"Siapa dia adanya, Ki Sanak?" bertanya Jaka pada para tokoh pendekar setelah kepergian Cipta Angkara.
"Kenapa anak muda tidak membunuhnya sekalian?" balik bertanya Ki Ranu, menjadikan Jaka terbelalak tak mengerti seraya kembali bertanya.
"Apa maksudmu, Ki?"
"Kalau benar anak adalah Jaka Ndableg adanya, maka anak adalah seorang tokoh pendekar muda pembela kebenaran."
"Hai, kau menyindirku, Ki?"
"Aku tak bermaksud menyindirmu, Pendekar. Tapi ketahuilah, bahwa pemuda tadi adalah tokoh yang kini telah menteror persilatan. Dialah yang bernama Cipta Angkara, pemimpin Persekutuan Iblis."
"Apa? Jadi..."
"Ya, dialah orangnya."
"Kalau begitu, aku harus mengejarnya." Tanpa mengucap salam sedikitpun, Jaka Ndableg segera melesat pergi meninggalkan kesepuluh tokoh persilatan.
Terheran-heran kesepuluh tokoh persilatan melihat tingkah Jaka. Saking herannya hingga mereka sampai menggeleng-gelengkan kepala, "Sungguh pendekar aneh. Kendablegannya, menjadikannya seperti orang kebanyakan. Namun ilmunya, oh.... Sungguh tiada taranya," bergumam Ki Ranu, sepertinya pada diri sendiri.
"Benar, Ki Ranu. Walaupun dia ndableg, namun ilmunya tak terjangkau oleh tangan, tak terjajagi oleh kaki. Kita yang tua-tua, seperti tak ada artinya bila dibanding dengannya," menambahkan Ki Buyung Lemah Abang. "Apakah kita hanya tinggal diam?"
"Tidak, Ki Buyung. Hari ini juga, kita segera bergerak."
"Maksudmu, Ki Ranu?" bertanya Raka belum mengerti.
"Kita segera bergerak membantu pendekar muda itu."
"Itulah yang paling tepat, Ki Ranu," kata Ki Gandrek.
Malam itu juga, kesepuluh tokoh persilatanpun segera mengatur rencana. Dan malam itu juga kesepuluh tokoh itu segera berangkat menuju pusat Persekutuan Iblis.
"Tolong.... Tolong...!" Terdengar jeritan memecah malam buta.
Penduduk desa Bojong seketika tersentak dari tidurnya, demi mendengar suara jeritan itu. Serta merta mereka berlarian keluar. Dibunyikan kentongan tanda bahaya. Mendengar bunyi kentongan itu, seketika penduduk yang lainpun segera berdatangan keluar.
"Ada apakah?"
"Ada perampokan," menjawab yang ditanya.
"Perampokan?"
"Di mana...?"
"Di sana."
Seketika semua penduduk berlari menuju ke arah yang ditunjuk oleh peronda tadi. Memang benar bahwa di tempat itu tengah terjadi perampokan.
"Tangkap rampok itu! Ayo...!" seru seorang lelaki yang menjadi kepala desa. Bojong. "Ayo, ayo.... Tangkap rampok itu!"
Dengan senjata apa adanya, semua penduduk segera menyerbu pada kelima rampok. Kelima rampok yang ternyata Iblis Penghisap Darah sepertinya tak gentar. Dihadapinya serbuan penduduk dengan balik menyerang. Seketika jerit kematian pun melengking, makin membuat keheningan malam itu pecah. Setiap babatan golok kelima Iblis Penghisap Darah selalu memakan korban.
"Menyerahlah kalian dan pulang ke rumah masing-masing. Ayo, cepat!" membentak Lower sembari membabatkan goloknya. Kembali terdengar pekikkan kematian, manakala golok Lower membabat putus leher penyerangnya.
Namun bagaikan tak ada rasa takut, penduduk desa Bojong terus menyerang. Walau korban makin banyak berjatuhan, tapi yang masih hidup terus berusaha melawan. "Jangan biarkan rampok-rampok biadab itu kabur. Serang...!"
Kembali berteriak pimpinan desa Bojong memberi semangat. Hal itu menjadikan semangat penduduk makin membara. Dengan penuh keberanian, semua penduduk kembali menyerbu. Kembali terdengar jerit kematian manakala golok kelima iblis berkelebat.
"Rupanya kalian ingin mati. Hiat...!"
"Kalianlah yang mencari mati, Garong biadab!"
"Adik-adik, jangan biarkan segelintir dari mereka hidup. Bunuh semua!" berseru Lower memberi perintah. Maka dengan tanpa mengenal rasa kasihan, golok mereka terus mencari korban.
Pekikkan-pekikkan kembali menggema bersama dengan makin larutnya malam. Para wanita berlarian, mencari keselamatan. Desa Bojong bagaikan diaduk, dibakar oleh hiruk pikuk wanita mencari selamat. Manakala kecamuk perang makin mengganas, tiba-tiba terdengar suara seseorang berkata.
"Hai.... Ternyata kunyuk-kunyuk ini berada disini!"
Tersentak semua orang yang tengah bertarung demi mendengar seruan itu. Seketika semua menghentikan pertempuran, memandangkan matanya pada seorang pemuda yang tiba-tiba telah berdiri di tengah-tengah ajang pertarungan.
"Bujur buset, rupanya kalian masih belum sadar."
"Diam kau, Anak gendeng! Jangan ikut campur urusan kami," membentak Lower, manakala tahu siapa orang yang telah berdiri di hadapannya.
Pemuda itu yang tak lain Jaka Ndableg cuma tersenyum. "Gila Eh, kapankah aku gila? Atau barangkali kalian sendiri yang gila?"
"Edan...! Percuma kita ladeni omongannya yang ngelantur. Serang...!"
Mendengar seruan Lower, seketika keempat Iblis Penghisap Darah serentak menyerang Jaka. Golok di tangan mereka berkelebat, membabat dan menusuk tubuh Jaka. Diserang begitu rupa, tidak menjadikan Jaka keder. Malah dengan garuk-garuk kepala dan sekali-kali mendekap pantatnya Jaka terus berkelit menghindar.
Melihat tingkah laku Jaka, seketika makin marah saja Kelima Iblis Penghisap Darah. Salah seorang dari kelimanya bermaksud menendang pantat Jaka yang nungging. Namun dengan segera, Jaka lentingkan tubuhnya ke udara, dan...!
"Duuutttt...!"
Dari pantat Jaka terdengar suara gas beracun mengepul, menjadikan orang yang hendak menendangnya segera menghindar. Bau dari gas itu begitu menyesakkan.
"Bangsat! Kau berani mengentuti aku!"
"Heh, bukankah kau yang meminta?"
"Edan! Kucincang kau!" Dengan segera ditebaskan golok ke arah Jaka yang secepat itu pula mengelit.
"Ampun, Oom. Jangan... Jangan dicincang, Om...!"
"Bedebah! Dasar edan!" kembali orang itu tebaskan golok.
Jaka tersentak seketika, kala golok orang itu lewat dua inci di sampingnya. Namun dengan gaya seekor monyet, Jaka menggeliat dengan cepat. Dilentingkannya kembali tubuhnya ke udara, lalu dengan segera tanpa dapat dielakkan Jaka telah menjitak kepala musuhnya.
"Ampuun...!" memekik orang itu dengan darah mengucur dari kepalanya. Sesaat orang itu menggelepar-gelepar, lalu ambruk dengan nyawa hijrah ke akherat.
Terbelalak keempat Iblis Penghisap Darah lainnya demi melihat temannya telah pergi meninggalkan alam fana. Mata keempatnya melotot seketika, memandang pada Jaka yang masih tersenyum-senyum.
"Kenapa dengan temanmu itu, Sobat?"
"Monyet! Jangan kau berlagak bodoh! Kau harus menebus nyawa seorang temanku!" membentak Lower selaku paling tua.
"Hah Kapan aku menggadu pada kalian?"
"Bedebah! Kau masih banyak bacot, Sinting!" Diterjangnya Jaka dengan penuh amarah.
Melihat musuhnya telah menerjang, Jaka dengan segera mengegoskan tubuh menghindar sembari berseru. "Ampun Oom, Jangan mengeroyok..."
"Sundel! Masih saja kau berteriak-teriak kaya orang tak waras!"
"Aduh.... Dia galak, Mak. Tolong Jaka, Mak!"
Jaka segera melentingkan tubuhnya ke udara, berputar-putar sesaat bagai main akrobat. Jaka bagaikan orang menari, melenggak-lenggokkan tangannya. Mulutnya tersenyum, lalu dengan segera dimoyongkan. Tak dapat lagi kemarahan keempat Iblis Penghisap Darah terbendung melihat tingkah laku Jaka yang seperti orang gila. Bukan hanya keempat Iblis Penghisap Darah saja yang melototkan mata. Namun seluruh penduduk pun turut terdiam, takjub melihat ilmu silat yang dipakai Jaka. Belum juga keempat Iblis Penghisap Darah sadar dari bengongnya, tiba-tiba Jaka menyemburkan ludahnya ke arah mereka.
"Ini untuk kalian Cuih!"
Keempat Iblis Penghisap Darah berusaha menghindar. Namun semburan ludah Jaka lebih cepat melaju dan langsung mengenai mata mereka. Seketika itu mata mereka terasa perih, hingga mereka tak dapat melihat lagi. Ketika keempat orang musuhnya belum dapat mengendalikan diri. Jaka yang memang ndableg dengan cepat bergerak, Dipetiknya setangkai daun yang terdapat semut rangrang, lalu disemprotkan pada tubuh keempat Iblis Penghisap Darah.
Semut-semut rangrang yang terjaga dari tidurnya, seketika beraksi. Digigitnya tubuh keempat Iblis Penghisap Darah yang seketika meraung-raung, menggaruk-garuk tubuhnya karena gatal. Saking banyaknya semut di tubuh mereka, mau tak mau segera melepaskan pakaian. Melihat keempat iblis Penghisap Darah telanjang dengan menggaruk-garuk tubuh, tertawalah seluruh penduduk yang berada di situ.
"Lihat saudara-saudara semua, bukankah mereka persis monyet-monyet yang kebanyakan kutu?" berkata Jaka menjadikan semuanya tertawa. "Nah, bukankah dengan cara ini saudara-saudara mudah menangkap mereka? Tangkap mereka dan berikan pada mereka tai kebo."
Mendengar ucapan Jaka, seketika keempat Iblis Penghisap Darah yang sudah tak berdaya segera jatuhkan diri bersimpuh. Tubuh mereka menggigil ketakutan, dengan keringat dingin membasahi kening. "Ampun, jangan beri kami tai kebo, Tuan," merengek Lower.
"Benar, Tuan. Kami tak akan mengulangi perbuatan ini lagi," berkata yang lainnya.
"Ah, kenapa kalian seperti anak kecil? Baru disuruh makan tai Kebo, kalian sudah panas dingin kayak orang cacingan. Saudara-saudara, beri mereka kalajengking."
Makin menjadi-jadi rasa takut keempat Iblis Penghisap Darah mendengar ucapan Jaka yang memerintahkan pada semua penduduk. Beberapa penduduk yang memang sudah kesal dengan mereka, segera menjalankan tugasnya. Mereka segera mencari tai Kebo dan Kalajengking. Melotot mata keempat Iblis Penghisap Darah, manakala melihat apa yang dibawa oleh sebagian penduduk. Sebagian penduduk itu, membawa tai Kebo dan Kalajengking.
"Ini, Tuan Pendekar," berkata pimpinan desa menyerahkan apa yang diperintahkan oleh Jaka. Dengan segera Jaka menerima, lalu bergegas menghampiri keempat Iblis Penghisap Darah.
"Nah, ini makanan kalian, makanlah."
Seketika keempat Iblis Penghisap Darah melototkan mata dengan mulut menganga. Wajah mereka pucat pasi dengan mata membeliak seperti menahan sesuatu. Yang lebih membuat semua tertawa, dari arah bawah mereka mengucur air dengan derasnya. Keempat Iblis Penghisap Darah ternyata ngompol saking takutnya.
"Wao, kenapa kalian ngompol seperti anak kecil? Apakah kalian memang ingat masa balita kalian?"
"Ampun, Tuan pendekar. Jangan suruh kami makan itu," berkata mereka hampir bersamaan. Tubuh mereka semakin gemetaran dan ngejuprak menduduki bekas ompolan mereka.
Melihat musuh-musuhnya telah ketakutan, Jaka yang ndableg bukannya menghentikan tingkahnya. Malah dengan segera dibukanya bungkusan yang berisi kotoran kerbau dan disodorkan pada keempatnya. Keempat Iblis Penghisap Darah nampak makin ketakutan, menatap Jaka dengan mengiba. Namun Jaka tampak tak perduli, dibukanya bungkusan yang lain. Membelalak mata keempatnya melihat apa isi bungkusan itu. Bungkusan itu, memang benar-benar berisi Kalajengking besar-besar.
"Ini untuk lauk kalian!" berkata Jaka seraya menyodorkan bungkusan di tangannya pada mereka, yang seketika itu langsung lari terbirit-birit dengan pakaian lepas dari tubuh mereka. Hal itu menjadikan lari mereka tak dapat cepat hingga dengan mudahnya penduduk desa Bojong menangkap mereka.
"Heh, Firasatku tidak enak. Ada apakah gerangan di pesanggarahan?" berkata Jaka pada diri sendiri. Dengan segera sebelum para penduduk kembali datang, Jaka berkelebat pergi meninggalkan desa Bojong. Penduduk yang telah kembali membekuk keempat Iblis Penghisap Darah, bermaksud menyerahkannya kembali pada Jaka. Namun seketika semuanya terbengong, manakala tak ditemukannya Jaka di tempatnya.
"Ke mana pendekar muda itu?" bertanya ketua desa.
"Ya, ke mana pendekar muda itu?" bertanya yang lain.
"Jangan-jangan dia siluman, Ketua."
"Ah, sudahlah jangan pikiran lagi. Ayo, kita bawa maling-maling ini ke kantor."
Dengan diiringi semua penduduk kampung yang sekali-kali memukul, keempat maling itu digiring menuju ke kantor tetua desa. Hening kembali malam itu, seperti tercekam kebisuan.
"Bunuh garong itu...!"
"Cincang!"
"Puntungkan saja kedua tangan mereka!"
"Coplok kedua mata mereka!"
Terdengar suara jeritan kekesalan penduduk desa Bojong, manakala mereka melihat keempat garong itu. Pentungan, tendangan, hantaman sebagai pelampiasan kekesalan warga, menjadikan keempat Iblis Penghisap Darah menjerit-jerit. Tubuh mereka memar dengan luka-luka. Mata mereka yang dulu liar, kini sayu bagai tak ada gairah hidup.
Keempatnya kini digiring ke kantor tetua desa, dengan terlebih dahulu mengitari desa Bojong. Tak henti-hentinya siksaan melanda keempat Iblis Penghisap Darah hingga karena terlalu parah, satu persatu dari mereka mati dengan tubuh berlumuran darah.
"Mereka telah mati," berkata tetua desa.
"Buang saja mayat mereka," mengusulkan warganya.
"Jangan!"
"Kenapa, Tetua?"
"Sebagai orang beragama, sepatutnya kita mengurus jenazahnya."
Malam itu juga, dengan diterangi sinar bulan mereka bekerja menggali kubur. Dan malam itu juga, tubuh keempat Iblis Penghisap Darah dikuburkan.
Terbelalak mata Jaka demi melihat apa yang terjadi di pesanggarahan yang kemarin dibuatnya. Tubuh-tubuh tanpa nyawa, bergelimpangan memenuhi halaman pesanggarahan.
"Cantrik...! Heh, mereka telah mati. Di mana Ratih...?"
Segera Jaka berkelebat masuk ke dalam. Matanya liar memandang ke segenap penjuru, mencari Ratih. Di balai-balai Jaka tak menemukannya. Dengan segera Jaka kembali berkelebat masuk. Langkahnya begitu ringan hingga tak terdengar tapak kakinya. Perlahan, dibukanya pintu kamar. Melotot mata Jaka tak percaya demi melihat tubuh Ratih tersender di bilik dengan keadaan yang menyedihkan. Tubuhnya tak tertutup sehelai benang pun dan dari mulutnya menetes darah yang hampir mengering.
"Ratih, Adikku...!"
Dihampirinya tubuh Ratih, lalu dengan penuh kasih sebagai seorang kakak digendongnya tubuh Ratih keluar. Dibaringkannya di atas dipan. Bergegas Jaka mencari air, lalu diminumkan pada Ratih. Sesaat Ratih menggeliat dan perlahan membuka matanya. Dari mulutnya yang mungil dengan bibir memucat, terdengar suara lemah berkata.
"Kakang Jaka..."
"Ya, Adikku."
"Dia, dia, telah datang ke mari. Dia, dia telah membuat semuanya."
"Maksudmu, Adikku?" bertanya Jaka tak mengerti.
"Kakang Jaka, aku, aku mencintaimu. Apakah kau mau menerima cintaku, Kakang?"
Jaka menganggukkan kepalanya. "Aku menerima, Sayang. Katakanlah, siapa yang telah berbuat begini?"
Sejurus Ratih terdiam. Matanya memandang pada Jaka dengan penuh kasih. Tangannya yang lemas, bergerak menggapai tangan Jaka. Digenggamnya tangan Jaka erat, lalu katanya kemudian. "Orang itu bernama Cipta Angkara. Ia mencari Tombak Inti Jagat. Karena ia tak menemukannya, ia marah. Kelima cantrik dibunuhnya, dan aku Oh, aku kakang Aku sudah tak ada artinya, Kakang."
Menangis Ratih tersendat, membuat Jaka iba melihatnya. Dengan penuh kasih, didekapnya tubuh Ratih. Dari mulut Jaka yang gemetar, terucap kata-kata makian sebagai pelampias kemarahannya.
"Iblis jahanam! Akan aku hancurkan dia! Akan aku potong kepalanya sebagai pengganti semua ini!"
"Kakang, aku, aku... men-cin-tai-mu..."
"Ratih!" meraung Jaka menangis, melihat Ratih telah terkulai mati. Diguncang-guncangkan tubuh Ratih, yang tetap bisu dan diam.
"Cipta Angkara, tunggulah aku! Kau harus bertanggung jawab atas semua ini!"
Bagaikan orang gila, Jaka bergerak cepat. Dihantamnya apa yang ada di sekelilingnya dengan ajian yang ia miliki. Hancur lebur seketika Pesanggrahan itu, terhantam pukulan Jaka yang dilandasi dengan ajian. Karena saking kecewa dan marahnya, sampaisampai Jaka lupa diri. Ajian Jamus Kalimusada yang sangat ganas, diumbarnya bagaikan mengumbar mainan. Dari tubuh Jaka yang telah menggunakan ajian Jamus Kalimusada, seketika menyala bagaikan bara api. Apa saja yang dipegangnya seketika terbakar.
Bergelora ombak di laut, seperti turut merasakan kemarahan Jaka. Binatang-binatang hutan berselaweran, berlari ketakutan. Sungguh bukan sembarangan ajian hingga seluruh alam seperti turut merasakan hawa panas yang menggelegar itu. Jangankan mahluk nyata, siluman dan dedemit pun mengerung-gerung merasakan panasnya ajian itu. Bagaikan orang gila, Jaka dengan penuh amarah berlari. Ditujunya tempat di mana Cipta Angkara berada, yaitu perguruan Singa Putih yang sekarang berganti nama menjadi Persekutuan Iblis.
Di Persekutuan Iblis saat itu tengah terjadi pertempuran. Tokoh-tokoh persilatan yang sudah tak mau diteror, telah mendatangi markas Persekutuan Iblis langsung dipimpin oleh Cipta Angkara.
"Bunuh mereka semua, jangan biarkan seorang pun hidup!"
"Jangan hanya memerintah, Cipta! Turun kau ke laga hadapi kami!" balik membentak Ki Ranu dengan penuh amarah.
"Ki Ranu, aku rasa aku tak perlu turun dulu. Biarlah anak buahku yang akan mengganyang kalian. Hua, ha, ha..."
"Iblis! Kau terlalu menyepelekan kami, Hiat!"
Ki Ranu segera berkelebat, langsung menyerang Cipta Angkara. Diserang begitu cepat, Cipta Angkara nampak seperti tak keder. Diegoskan tubuhnya ke samping mengelak, lalu dengan gerak tipu kakinya menyodok ke lambung Ki Ranu. Terbelalak mata Ki Ranu seketika. Hampir saja lambungnya terhantam tendangan, kalau saja ia tidak segera melompat mundur. Melihat musuhnya melompat, Cipta Angkara lebarkan senyum penuh ejekan.
"Percuma kau melawanku, Ki Ranu."
"Sombong! Jangan kira aku takut, Iblis!"
"Hua, ha, ha. Walau usiamu sudah bau tanah, namun ucapanmu masih menyengat, Ki Ranu."
"Jangan banyak omong. Ayo, kita mengadu jiwa"
"Hem, apa andalanmu, Ki Ranu?" bertanya Cipta Angkara dengan sinis, menjadikan Ki Ranu makin bertambah marah.
Maka dengan tanpa banyak kata, Ki Ramu kembali menyerang. Jurus-jurusnya makin tinggi dan ganas. Namun begitu, Cipta Angkara bagai telah mengetahui kuncinya hingga dengan mudah dielakkan setiap serangan Ki Ranu.
Di pihak lain, nampak anggota Persekutuan Iblis keteter menghadapi amukan sembilan tokoh utama persilatan. Korban banyak berjatuhan, bergelimpangan dengan tubuh hancur. Tapi karena melihat pimpinannya turun, semangat mereka bagaikan api yang terus menyala.
"Setan! Rupanya kalian lebih memilih mati!" membentak Ki Buntung. Dengan kakinya yang buntung, tidak menjadikan hambatan baginya. Malah dengan lincah, Ki Buntung menghantamkan tongkat penyanggah kakinya menyerang. Setiap hantaman tongkat penyanggah Ki Buntung, seketika menjadikan pekik kematian.
Makin banyak korban yang berjatuhan, makin seru pertempuran itu. Walau jumlah anggota Persekutuan Iblis banyak, namun menghadapi tokoh-tokoh persilatan sia-sialah perlawanan mereka. Pertarungan Ki Ranu dengan Cipta Angkara masih berlangsung. Jurus-jurus tingkat tinggi mereka keluarkan, namun sejauh itu tak ada tanda-tanda siapa di antara keduanya bakal kalah.
"Percuma aku menguras tenaga," dengus Cipta Angkara dalam hati. Seketika ia melompat ke belakang, lalu dengan segera dihunusnya keris Kyai Sangkar.
Terbelalak mata Ki Ranu hingga kakinya terseret mundur ke belakang. "Keris Kyai Sangkar!"
"Hua, ha, ha.... Kenapa, Ki Ranu? Apakah kau takut?"
Ki Ranu hanya terdiam tak menjawab. Ia tahu kehebatan keris di tangan Cipta Angkara. Matanya terus mengawasi langkah-langkah Cipta Angkara, yang berjalan makin mendekat ke arahnya. "Apakah aku akan mati di tangannya?" mengeluh Ki Ranu lirih. Keringat dingin seketika menetes deras dari pelipisnya. Bayangan kematian, seketika tergambar di pelupuk mata Ki Ranu yang telah tua.
Sementara itu, Cipta Angkara dengan bibir terurai senyum dan dengan tangan menggenggam keris Kyai Sangkar terus melangkah mendekat. "Hiat...!"
"Oh, Yang Widi. Matilah aku hari ini," mengeluh Ki Ranu, manakala Cipta Angkara memekik dan berkelebat menyerangnya.
"Matilah kau, Ki Ranu!"
Hampir saja nyawa Ki Ranu melayang saat itu, kalau saja tidak ada bayangan seseorang yang berkelebat dan menangkis keris Kyai Sangkar. Terbelalak Cipta Angkara seraya melompat mundur. Tangannya terasa panas, sampai-sampai bergetar. Hampir saja keris Kyai Sangkar terlepas dari tangannya, kalau dia tidak segera menarik mundur serangan.
"Siapa, Kau!"
"Monyet! Rupanya inikah iblis yang telah membuat kematian kelima cantrik dan Ratih? Hem, pantas! Cipta Angkara, hari ini juga kau harus menebus kematian kelima temanku."
"Hua, ha, ha Apa katamu, Gembel? Kau ingin membunuhku? Jangan bermimpi, hua, ha, ha..."
"Sombong! Terimalah ini!"
Bagaikan desiran angin yang cepat, Jaka dengan segera menghantamkan pukulan jarak jauhnya ke tubuh Cipta Angkara. Tersentak Cipta Angkara melihat hal itu, segera ia pun mengelak. Hal itu menjadikannya terlepas dari pukulan Jaka. Tapi akibatnya, anak buahnyalah yang menjadi sasaran. Hangus seketika tubuh beberapa anak buahnya, bagai terpanggang api.
Merasa musuhnya dapat lolos, dengan segera Jaka kembali hantamkan ajiannya yang kedua, yang diperoleh dari gurunya Ki Darsa. "Ajian Petir Sewu." dari tangan Jaka, seketika berkilat-kilat sinar kuning kemerahan. Bersamaan dengan kilatan itu, terdengar ledakan-ledakan dahsyat menggelegar-gelegar. Hal itu menjadikan gendang telinga musuhnya bagaikan hampir pecah. Namun yang lebih bahaya lagi, adalah kilatan-kilatannya. Apabila kilatan itu menghantam tubuh, niscaya akan hancur tubuh orang tersebut.
Melihat Jaka mengkiblatkan serangannya ke arah dirinya, dengan segera Cipta Angkara yang tercengang melihat ilmu itu tersentak dan berusaha mengelak. Namun rupanya kecepatan serangan Jaka lebih cepat dibandingkan elakannya. Tak ampun lagi, kilatan petir yang mengandung hawa panas jutaan Watt menghantam tubuh Cipta Angkara. Seketika tubuh Cipta Angkara hancur berkeping-keping. Namun betapa tersentak semua yang ada di situ, manakala dilihatnya keganjilan pada kepingan tubuh Cipta Angkara. Kepingan-kepingan tubuh Cipta, bergerak-gerak dan kembali menyatu membentuk jasad semula. Membelalak mata Jaka, tak percaya pada apa yang dilihatnya.
"Hua, ha, ha.... Keluarkan semua ajianmu, Anak muda!" berkata Cipta Angkara dengan sombongnya, merasa dirinya tak mempan dengan ajian Petir Sewu.
"Iblis! Jangan kau bangga dulu, terimalah ini!"
Jaka segera melompat, berkelebat bagaikan terbang. Tangannya yang telah disaluri ajian Tapak Prahara, membara bagaikan bara api. Melihat Jaka Ndableg telah berkelebat hendak menyerangnya, Cipta Angkara segera menghadang. Tangan Cipta Angkara menggenggam keris Kyai Sangkar, yang terjurus ke arah Jaka bergerak.
Jaka tersentak, segera mengurungkan niatnya menyerang. Ditariknya tombak Inti Jagad dan dengan cepat dipapaki serangan Cipta. Dua senjata pusaka itu beradu, menjadikan suara ledakan. Keris di tangan Cipta Angkara mental jauh. Dari tempat mentalnya keris, mengepul asap putih yang bergulung-gulung ke angkasa. Berbareng dengan itu, Tombak Inti Jagad seketika terbang memburu asap itu. Tercekam Cipta Angkara melihat kerisnya telah lepas dari genggaman tangannya. Namun tengah Cipta Angkara bimbang, terdengar bisikan yang hanya didengar olehnya sendiri.
"Jangan gentar, Cipta. Aku bersamamu, lawanlah dia."
"Baik, Ganda Mayit."
Sejenak keduanya saling pandang, sepertinya mereka tengah menjajagi ilmu masing-masing. Lalu dengan didahului pekikkan, keduanya berkelebat melompat bagaikan terbang ke udara.
"Duar...!"
Ledakan dahsyat seketika menggema, manakala keduanya mengadu ilmu di udara. Keduanya terpental ke belakang beberapa tombak. Dari bibir Jaka, meleleh darah segar. Dadanya terasa sesak, nafasnya pun tersendat. Sebaliknya, Cipta Angkara bagaikan tak mengalami apa-apa. Ia bangkit kembali dari jatuhnya, lalu dengan mata beringas di hampirinya tubuh Jaka.
"Matilah aku! Oh, apakah aku benar-benar akan mati di sini?" mengeluh hati Jaka. Ketika Jaka tengah dalam kebimbingan, ia kembali teringat akan apa yang dipesankan oleh ayah-nya. "Akan aku coba dengan ini."
Sementara itu, Cipta Angkara yang telah sepenuhnya digerakkan oleh Ganda Mayit makin mendekat. Bibirnya tersenyum sinis, lalu dengan congkaknya berkata. "Anak muda, hari inilah akhir hidupmu. Tak akan ada lagi Pendekar Pedang Siluman, tapi akulah.... Aku Cipta Angkara. Bersiaplah untuk mati, Anak muda!"
Hampir saja tangan Cipta Angkara mengakhiri hidup Jaka Ndableg, manakala tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat menghadangnya. Tersentak mundur Cipta Angkara, demi mengetahui siapa bayangan itu sebenarnya.
"Guru...!"
Bayangan itu hanya tersenyum sinis memandang pada Cipta, lalu dengan suara parau, Brahmana Loka berkata. "Ingat kata-kataku sebelum aku menemui ajal, Cipta? Kau akan mati dengan tubuh hancur. Tubuh hancur!"
Melihat Cipta Angkara menyusut mundur, kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Jaka. Dengan segera, Jaka merapalkan apa yang telah diajarkan oleh ayahnya. "Dening Ratu Siluman Darah. Datanglah!" Seketika itu, di tangan Jaka Ndableg telah tergenggam sebilah pedang yang memancarkan sinar kuning kemerahan. Dari ujung menetes darah membasahi batang pedang.
Tersentak Cipta Angkara melihat pedang yang tiba-tiba telah berada di tangan Jaka. "Hem, inilah Pedang Siluman Darah? Oh, guru ampunilah aku..."
Belum habis ucapan Cipta, tiba-tiba Jaka telah membabatkan pedangnya ke tubuh Cipta Angkara. Seketika tubuh Cipta terpotong menjadi dua dengan darah yang telah mengering. Dari tubuh Cipta Angkara yang telah mati, keluar asap hitam bergulung. Asap itu makin besar dan besar, lalu berubah ujud menjadi Siluman Kerta Ganda Mayit.
"Rupanya kau, Siluman! Hiat...!" Kembali Jaka berkelebat, ditebaskan Pedang Siluman Darah ke arah Kerta Ganda Mayit.
Kerta Ganda Mayit melolong panjang. Itulah kehebatan Pedang Siluman Darah. Jangankan manusia, silumanpun akan mati bila tertebas oleh pedang tersebut.
"Hem, rupanya siluman itu telah mati," berkata Jaka dalam hati.
Ketika para tokoh persilatan yang telah menundukan anggota Persekutuan Iblis pada berdatangan ke arahnya, Pedang Siluman Darah telah hilang dengan sendirinya.
"Jadi, kaukah pendekar Pedang Siluman Darah, Anak muda?"
"Begitulah, Ki," menjawab Jaka hormat, manakala mendengar pertanyaan Ki Ranu yang seketika membelalakkan mata. Begitu juga dengan yang lainnya, mereka tersentak kaget bercampur kagum. Tengah semuanya terbengong saling pandang, tiba-tiba Jaka telah berkelebat pergi sembari meninggalkan suara.
"Aku pergi dulu, sampai ketemu lagi. Maaf, aku bukannya tak menaruh hormat pada kalian. Tapi karena aku terlalu sibuk serta masih banyak urusan. Selamat berjuang. Para pendekar...."
"Aneh.... Kenapa kita tak tahu kepergiannya?" bergumam Ki Ranu seperti pada diri sendiri. Akhirnya kesepuluh tokoh persilatan itu segera berkelebat pergi kembali ke Padepokannya masing-masing....
"Hia, hia, hia!"
Tubuh kurus itu terus terbawa oleh derap langkah kaki kuda yang memacu. Tergoncang-goncang dengan gerakan mengikuti sang kuda. Sesekali lelaki itu menengok ke belakang, dan kembali digebahnya kuda yang ditumpangi. Mulutnya tak henti-hentinya berseru.
"Ayo lari Poleng! Jangan sampai iblis mengejar kita!"
Bagaikan mengerti saja, kuda itu semakin mempercepat larinya. Sekali-kali kuda itu meringkik, lalu kembali berlari dengan kencangnya. Bila dilihat dari pakaian lelaki muda itu, jelas bahwa ia adalah seorang Biksu. Dia adalah murid Brahmana Loka Arya, seorang Brahmana sakti mandraguna.
Tiga hari sudah Kidang Emas memacu kuda untuk menyampaikan pusaka gurunya pada Adipati Brebes. Namun jejaknya telah dikuntit oleh kakak seperguruannya yang hendak merebut pusaka tersebut ketika baru saja ia hendak pergi. Sebagai murid yang baik, jelas ia tak mau begitu saja melimpahkan tugas yang telah diperintahkan gurunya.
Hal ini menjadikan kakak seperguruannya yang bernama Cipta Angkara gusar. Merasa secara baik-baik tak memperoleh hasil, Cipta Angkara pun akhirnya memakai jalan kekerasan. Ketika kakak beradik seperguruan itu tengah bertempur, sang guru seketika itu datang.
"Murid murtad! Apa hakmu untuk meminta Pusaka Kyai Sangkar?"
"Guru...!"
"Jangan sebut lagi kata itu! Tak sudi aku mempunyai murid murtad sepertimu. Minggat dari sini, cepat!" membentak Brahmana Loka Arya. Betapa tidak! Murid yang sangat diagung-agungkan untuk kelak menggantikannya, ternyata telah mencoreng arang di wajahnya.
Cipta Angkara tidak segera bangkit. Bahkan dengan pasrah ia bersimpuh di kaki Brahmana Loka Arya. Tak dirasa air mata Cipta Angkara meleleh, membasahi kedua pipinya. "Ampun, Guru. Ijinkanlah muridmu mengubah langkah yang selama ini murid lakukan."
"Janjimu terlalu muluk, Cipta. Tapi tindakanmu, tak ubahnya tindakan syetan."
"Guru...!" memekik Cipta Angkara. "Kalau saja guru mengijinkan murid membawa Kyai Sangkar..."
"Ah, sudahlah... Kidang, cepat kau bawa pusaka itu. Bupati Brebes telah menantimu!" berkata Brahmana Loka Arya pada Kidang Emas, tanpa memperdulikan Cipta Angkara yang masih tersimpuh duduk. Mendengar ucapan gurunya, dengan segera Kidang Emas memacu kudanya pergi.
Entah apa yang telah terjadi, tiba-tiba Cipta Angkara telah mengejarnya. Kejar mengejar antara kedua kakak beradik seperguruan itu terus terjadi.
"Serahkan pusaka itu padaku! Atau aku bunuh kau, Kidang!"
"Tidak! Pusaka ini diamanatkan guru padaku untuk menyampaikannya pada kanjeng Adipati Brebes," menjawab Kidang Emas.
Hal itu membuat Cipta Angkara seketika melototkan matanya marah. Nafasnya memburu hingga hidungnya tampak kembang kempis. Tanpa diduga sebelumnya oleh Kidang Emas, seketika Cipta Angkara melompat menyerangnya.
"Kunyuk! Serahkan pusaka itu padaku!"
"Hem, jangan mimpi, Angkara."
"Bedebah! Akan aku buktikan bahwa aku akan segera mengirimmu ke akherat, Hiat...!"
Cipta Angkara yang telah dirasuki keserakahan bagaikan seekor macan ia menyerang. Terkaman-terkamannya selalu mengarah pada tempat-tempat yang mematikan. Namun begitu, Kidang Emas yang membawa pusaka Kyai Sangkal tampak percaya diri. Ditebaskan keris pusaka itu manakala Cipta Angkara hendak merangseknya.
Hawa panas yang keluar dari keris, menjadikan Cipta Angkara harus menarik serangannya. Cipta Angkara tahu tuah keris itu, yang mampu menjadikan segalanya bisa berubah. Air laut akan mengering bila keris Kyai Sangkar dicelupkan. Apalagi bila manusia yang terkena. Luluh lantahlah tubuhnya, hangus bagaikan dipanggang.
"Suwe! Kalau begini caranya aku tak akan mampu. Aku harus mencari siasat," berkata hati Cipta Angkara, yang kemudian melentingkan tubuhnya ke angkasa. Hal itu tidak disia-siakan oleh Kidang Emas yang segera memacu kudanya kembali.
"Bedebah! Jangan kabur kau, Kidang!" memaki Cipta Angkara kembali mengejarnya. Namun dikarenakan ia hanya berlari, Cipta Angkara pun akhirnya tertinggal jauh. Walau begitu, Cipta Angkara yang telah dirasuki oleh nafsu serakah tak mau tinggal diam. Dia terus mengejar meski harus mengeluarkan tenaganya untuk berlari. Tekadnya untuk dapat merampas pusaka Kyai Sangkar, menjadikannya bagai tak kenal lelah. Ketika malam telah tiba, Cipta Angkara yang telah memasuki perkampungan berusaha mencari kuda. Dicurinya seekor kuda milik salah seorang saudagar hingga seketika mengundang warga memburunya.
"Maling...! Maliiingg...!"
"Edan! Mereka meneriaki maling," Dihentikan kudanya dan menghadang warga yang mengejar. Warga yang merasa buruannya berhenti, dengan segera mengepungnya.
"Ternyata ini orangnya yang selalu mengganggu kampung kita," berkata ketua kampung, yang menjadikan semua warganya geram. Maka bagaikan dikomando saja, seluruh warga seketika menyerbu Cipta Angkara.
"Edan! Kalian telah salah sangka. Aku bukan maling, aku hanya ingin meminjam kuda sebentar."
"Bohong! Mana mungkin kami mau percaya! Kalau kau bukan maling, kenapa kau mencuri kuda milik salah seorang penduduk? Jangan banyak berdalih, menyerahlah!"
"Bedebah! Rupanya kalian mencari mati. Kalian jangan menyesal kalau tahu siapa aku," menggeretak Cipta Angkara marah.
"Jangan banyak bacot! Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu!"
Seketika itu semua warga berkelebat menyerang Cipta Angkara, yang dengan gesit mengelakkan setiap babatan golok. Kaki dan tangannya bergerak cepat, menghantam dan menendang musuh-musuhnya yang datang hendak menyerang. Tak ketinggalan kuda yang ditumpanginya, turut serta melakukan perlawanan. Korban demi korban berjatuhan, manakala tangan dan kaki Cipta Angkara beraksi.
Namun bagaikan tak mengenal takut, warga desa itu terus merangsek. Hal itu menjadikan Cipta Angkara harus kembali berpikir. Walau ia seorang murid dari Brahmana Loka Arya yang terkenal sakti, namun menghadapi keroyokan ratusan orang bersenjata ia keder juga. Apalagi ia sendiri tak memakai senjata barang sebatang tangkai pun.
"Sia-sia kalau aku teruskan melayani mereka. Bukannya aku takut kalah, namun waktuku begitu mendesak. Aku harus segera meninggalkan tempat ini," berkata hatinya membatin. Dengan segera, dihentakkannya tali kekang kuda. Seketika kuda yang ditumpanginya pun meringkik.
"Hia...!" Berbareng dengan pekikkan Cipta Angkara, kuda yang ditumpanginya seketika mengangkat kedua kaki depannya. Bagaikan terbang, kuda itu melompat meninggalkan semua warga yang hanya terbengong tanpa dapat mencegah. Cipta Angkara dan kuda curiannya segera menerobos kegelapan malam, menjadikan semua warga hanya terlolong bisu. Tanpa dapat berbuat apa-apa, warga desa itu pun kembali ke tempat di mana teman-temannya mati.
********************
Dipacunya kuda terus berlari menerobos malam, meninggalkan desa Bandar Rejo. Cipta Angkara sesekali menyeka keringatnya yang tampak terus mengalir. Ringkikkan kudanya, menjadikan Cipta Angkara seketika merinding bulu tengkuknya. Matanya nanar memandang ke muka. Gelap terpampang melebar dan hanya pohon-pohon jati yang tampak menghitam. Pohon-pohon jati itu, seperti berjalan.
"Weeerrr...!"
Angin bertiup dengan kencangnya, menerpa tubuh Cipta Angkara yang makin merinding. "Hem, sepertinya ada sesuatu yang tak beres," membatin Cipta Angkara.
Dengan perasaan agak sedikit takut, Cipta Angkara memperlambat langkah kudanya. Matanya tajam mengawasi sekeliling. Tangannya telah terkepal, siap untuk menghantamkan pukulan jarak jauhnya.
"Hua, ha, ha Hua ha, ha!"
Tersentak Cipta Angkara hampir terjatuh dari kudanya demi mendengar gelak tawa yang merindingkan bulu kuduk. Namun sebagai seorang lelaki yang memiliki kepandaian, serta merta Cipta Angkara membentak. "Siapa, Kau!"
Tak ada jawaban yang keluar, hanya angin malam yang berlalu dan kembali menepiskan rambutnya yang gondrong. Demi tak terdengar jawaban, maka untuk kedua kalinya ia membentak. "Siapa kau! Kalau kau manusia, tunjukkan batang hidungmu! Tapi kalau kau iblis, jangan ganggu aku!"
Angin malam kembali bertiup, kali ini agak kencang. Bersama dengan tiupan angin, saat itu juga berdiri di hadapan Cipta Angkara sesosok tubuh tinggi besar. Tak jelas Cipta Angkara melihat wajah orang itu, yang tertutup oleh gelapnya malam.
Tampak lelaki tinggi besar itu berjalan menghampirinya. Mulut lelaki itu menyeringai hingga tampaklah gigi-giginya yang tajam meruncing. Bergidik juga Cipta Angkara melihatnya hingga keringat dingin pun keluar membasahi tubuh. Tengah Cipta Angkara tercekam dalam ketakutan, tiba-tiba lelaki tinggi besar itu berkata dengan suara yang besar pula.
"Anak muda. Jangan kau takut padaku, karena aku sebenarnya hendak bermaksud baik padamu. Hem, bukankah kau murid Brahmana Loka Arya?"
"Benar. Siapa kau? Mengapa kau mengetahui kedatanganku?" bertanya Cipta Angkara. Rasa takutnya sedikit demi sedikit hilang, manakala menatap mata lelaki di hadapannya. Kembali lelaki di hadapannya tertawa bergelak-gelak mendengar ucapannya.
"Hua, ha, ha.,.! Cipta Angkara, ketahuilah bahwa sejak lama aku menguntit mu. Kaulah orang yang pantas menjadi abdi setiaku. Sifatmu, adalah sifat keangkaramurkaan. Hal itu merupakan sebagian dari sifatku. Maka jangan kaget kalau aku menyukaimu dan bermaksud mengangkatmu sebagai titisanku."
"Hai, siapakah orang ini? Sepertinya ia telah mengetahui segala yang ada pada diriku?" bertanya hati Cipta Angkara. Belum habis rasa tak mengerti di hati Cipta Angkara, lelaki itu kembali tertawa dan berkata:
"Hua, ha, ha... Cipta Angkara, ketahuilah bahwa aku memang mengetahui apa saja yang selama ini kau lakukan. Karena sifatmu seperti itu hingga aku kembali bangkit sesuai janjiku pada gurumu."
"Siapa kau sebenarnya, Ki Sanak?"
"Aku? Akulah Raja Siluman Kerta Ganda Mayit."
Tersentak Cipta Angkara demi mendengar lelaki itu menyebutkan namanya. Karena saking kagetnya, tanpa sadar Cipta Angkara berseru. "Kerta Ganda Mayit! Jadi kau...?"
"Ya, akulah raja siluman yang pernah gurumu ceritakan."
"Apa maksudmu menghadangku?"
"Hua, ha, ha!!! Aku ingin mengangkatmu sebagai muridku. Aku akan menitis padamu. Dengan cara itu, aku akan dapat melaksanakan cita-citaku untuk menghancurkan umat manusia. Lima puluhan tahun sudah aku menanti. Lima puluh tahun aku harus bersabar menunggu salah seorang murid Brahmana Loka Arya untuk membalas kekalahanku lima puluh tahun yang silam."
Mengerut alis mata Cipta Angkara mendengar penuturan Raja Siluman Kerta Ganda Mayit. Ia tak mengerti maksud ucapan itu. Maka dengan agak sedikit berani Cipta Angkara pun bertanya. "Kenapa kau menunggu salah seorang murid guruku? Kenapa pula kau hendak menitis padaku?"
"Hua, ha, ha. Ketahuilah, bahwa kami yaitu aku dan gurumu telah mengadakan janji manakala kami bertempur. Gurumu yang memang orang bijak, telah dapat mengalahkanku lima puluh tahun yang lalu. Lima puluh tahun yang lalu, akulah pendekar yang paling tinggi ilmunya di antara deretan tokoh persilatan. Namun karena aku merupakan tokoh sesat, akhirnya aku dimusuhi oleh semua tokoh persilatan termasuk Begawan Wungkal Gunung. Mereka berusaha melenyapkan aku dari dunia. Namun usaha mereka mengalami kesia-siaan karena aku tak dapat mati. Hampir saja para tokoh persilatan putus asa kalau saja tidak datang seorang pendekar muda dari wetan bernama Loka Arya yang menyanggupi untuk menyingkirkan aku dari dunia. Kami pun bertempur hingga sampai tujuh hari tujuh malam..."
"Ah!" memekik Cipta Angkara demi mendengar ucapan Kerta Ganda Mayit, membuat Kerta Ganda Mayit seketika menghentikan ceritanya dan memandang pada Cipta Angkara dengan alis mata mengerut.
"Kenapa, Cipta?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya heran, apakah kalian bertempur begitu lama tak capai?"
"Ya, karena kami berdua sama-sama sakti hingga sukar bagi kami untuk dapat menjatuhkan lawan. Namun ketika hari menginjak kedelapan, aku tak sanggup lagi mengimbangi ilmu-ilmunya. Saat itu juga aku mengakui kekalahanku. Kukatakan padanya bahwa aku tak akan menampakkan diri lagi di dunia. Tapi sebelum aku kembali ke dunia, aku sempat berjanji dengannya. Adapun isi perjanjiannya sebagai berikut. "Mulai hari itu, aku tak akan mengganggu dunia lagi. Aku boleh muncul kembali setelah ada salah satu muridnya yang murtad."
"Lalu ke mana saja kau selama lima puluh tahun?"
"Selama lima puluh tahun aku bersemadi meminta pada Yang Widi agar dapat menemukan orang yang nantinya dapat aku titisi. Dan ternyata hari ini aku menemukanmu. Rupanya Yang Widi masih memberikan kesempatan padaku untuk yang terakhir."
"Yang terakhir?" bertanya Cipta Angkara seraya mengerutkan keningnya. Ia tak mengerti mengapa Kerta Ganda Mayit berkata begitu? Setahunya, Siluman tak pernah akan mati sebelum akhir jaman. Tapi kenapa Kerta Ganda Mayit mengatakan yang terakhir?
"Ya, yang terakhir. Sebab dalam dunia Siluman tak boleh mengalami kegagalan berturut-turut," jawab Kerta Ganda Mayit. Namun jawaban Kerta Ganda Mayit sepertinya belum juga dimengerti Cipta Angkara yang kembali bertanya.
"Maksudmu terakhir bagaimana?"
"Bila untuk kedua kalinya aku gagal, maka aku tak akan pernah menginjakkan dunia manusia lagi," berkata Kerta Ganda Mayit menerangkan.
"Bukankah kau seorang raja?" kembali Cipta Angkara bertanya.
Tertawa bergelak-gelak Kerta Ganda Mayit mendengar pertanyaan Cipta Angkara, lalu ucapnya kemudian: "Di alam siluman semuanya sama, tidak seperti manusia. Di sana raja sama dengan rakyat bila hal itu memang mengenai tugas. Biarpun raja, bila ia gagal dua kali maka ia tak akan dapat diberikan kepercayaan lagi. Hai, hari menjelang pagi. Maukah kau menjadi abdiku? Ketahuilah, kau akan sakti mandraguna bila aku sudah menitis pada tubuhmu. Tidakkah kau ingin merajai dunia persilatan?"
Sesaat Cipta Angkara terdiam mendengar penuturan Kerta Ganda Mayit. Matanya memandang tajam, pikirannya berpikir keras. "Haruskah aku menerima?" bisik hatinya. "Baiklah. Aku menerima," akhirnya Cipta Angkara pun berkata, yang membuat Kerta Ganda Mayit seketika tertawa bergelak-gelak.
"Hua, ha, ha...! Bagus, bagus. Nah, bersiaplah!" Habis berkata begitu, tiba-tiba tubuh Kerta Ganda Mayit seketika lenyap. Tubuh itu berubah menjadi seberkas sinar. Sinar berwarna merah itu, seketika meloncat masuk ke tubuh Cipta Angkara. Rasa panas seketika menggelegar di tubuh Cipta Angkara hingga iapun seketika memekik bagaikan dibeset kulitnya.
"Aaaaahhhh Tobat!"
Memekik Cipta Angkara bersamaan dengan lenyapnya Kerta Ganda Mayit yang masuk ke tubuhnya. Seketika itu pula Cipta Angkara pingsan. Tubuhnya nampak bersinar merah, membara bagaikan api. Sementara kuda yang ditumpanginya, seketika ambruk ke tanah dengan tubuh mengering. Darah kuda itu, telah terhisap habis.
********************
DUA
Cipta Angkara menggeliat bangun setelah pingsan beberapa lama. Dirasakan olehnya perasaan lain yang kini bergayut di benaknya. Perasaan itu seperti menyuruhnya, mendesaknya untuk berbuat sesuatu. "Aku harus segera mendapatkan Keris Pusaka Kyai Sangkar," berkata Cipta Angkara dalam hati.
Maka dengan segera Cipta Angkara berkelebat, pergi meninggalkan hutan itu. Tersentak kaget Cipta Angkara, manakala merasakan tubuhnya enteng. Larinya begitu cepat laksana angin. Tenaganya besar bagaikan tenaga gajah seratus.
"Hai, kenapa aku dapat berbuat begini?" Terheran-heran Cipta Angkara melihat perubahan pada dirinya. Dihentikan larinya, ia tercenung diam. Manakala ia tengah terdiam penuh ketidak mengertian.
Terdengar suara Kerta Ganda Mayit berkata: "Jangan kaget, Cipta! Dengan menyatunya aku dengan dirimu, maka kau akan dapat melakukan semuanya. Rentangkan kedua tanganmu."
Cipta Angkara menurut merentangkan kedua tangannya.
"Hantamkan tangan kananmu ke batu besar itu!"
Kembali Cipta Angkara menurut. Dihantamkannya tangan kanan ke muka, pada batu besar yang berjarak sekitar 10 tombak.
"Hiaat...!"
"Duar...!"
Seketika terdengar ledakan dahsyat, bersamaan dengan runtuhnya batu itu. Batu itu hancur berantakan, berhamburan menjadi tepung. Makin tak mengerti saja Cipta Angkara melihat kejadian itu. Namun belum sempat semuanya terjawab, terdengar suara Kerta Ganda Mayit kembali berkata.
"Nah, masihkah kau kurang yakin?"
"Aku yakin."
"Bagus! Sekarang juga kau harus menurut padaku. Kau harus dapat mengambil Keris Kyai Sangkar, juga Tombak Inti Jagad. Bila dua benda itu telah kau kuasai, maka kau akan menjadi orang tak tertandingi di dunia ini. Lakukankah! Kejar adik seperguruanmu."
"Apakah kau tahu di mana adik seperguruanku berada?"
"Dia berada di wilayah Tegal. Cepat kejar dia, jangan sampai dia menjumpai Bupati Brebes!"
"Baiklah. Aku akan melaksanakan semua yang kau maui."
Habis berkata begitu, dengan segera Cipta Angkara kembali berkelebat. Langkahnya lebar-lebar hingga dalam beberapa saat saja, ia telah jauh meninggalkan hutan itu.
********************
Tak terasa Cipta Angkara berlari, ia telah sampai perbatasan Tegal. Hari telah menjelang siang hingga matahari begitu panasnya menerpa bumi. Cipta Angkara segera memperlambat larinya dan mencari sebuah kedai karena perutnya telah bernyanyi, meminta untuk diisi.
"Hem, tak terasa aku telah berlari jauh. Setengah hari telah aku lewati untuk berlari." kata Kerta, "Aku akan menemukan Kidang Emas di kota ini Hai, bukankah itu kuda tunggangannya? Ya, itu memang kuda tunggangannya. Aku akan pura-pura tak tahu. Aku akan masuk ke kedai itu untuk mengisi perutku," bergumam Cipta Angkara dalam hati, yang kemudian berjalan mendekati kedai.
Pengunjung kedai nampak banyak hingga tempat duduk pun habis terisi. Sesaat Cipta Angkara melemparkan pandangannya ke sekeliling. Matanya seketika tertuju pada salah seorang yang duduk di ujung membelakanginya.
"Hem, jangan harap kau bisa lolos dari tanganku," bergumam hati Cipta Angkara, demi dilihatnya Kidang Emas yang tengah menyantap makan tak tahu kedatangannya. Cipta Angkara segera memesan makan dengan suara pelan. Maksudnya agar kedatangannya tidak diketahui Oleh Kidang Emas.
Cipta Angkara menyantap makanannya dengan mata sekali-kali menengok ke arah Kidang Emas. Namun betapa tersentaknya Cipta Angkara, manakala dilihatnya Kidang Emas tak ada lagi di tempatnya. Bergegas ia membayar makanannya, lalu dengan segera Cipta Angkara pun berkelebat pergi.
"Itu dia....'" berseru Cipta Angkara dalam hati. Dilihat olehnya Kidang Emas tengah memacu kudanya. Maka dengan segera Cipta Angkara mempercepat larinya. Bagaikan kibasan angin, secepat itu pula Cipta Angkara berlari. Angin lariannya, menjadikan daun-daun kering beterbangan.
"Berhenti!" teriak Cipta Angkara yang tiba-tiba telah berdiri di hadapan Kidang Emas.
Kidang Emas tersentak sesaat demi dilihatnya Cipta Angkara telah berdiri menghadangnya. Namun bagaikan tak perduli, Kidang Emas terus menghentakkan kudanya. Dicobanya untuk menerjang Cipta Angkara yang berdiri. Namun belum juga hal itu terjadi, kuda yang ditumpanginya seketika meringkik dan bagai ketakutan mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi. Beruntung Kidang Emas waspada. Ia segera melompat turun. Sementara kudanya, dilihatnya telah mati.
"Hem, ilmu apa yang ia gunakan? Tak kusangka, kalau dia mempunyai ilmu yang begitu tinggi. Heh, bukankah guru tak pernah mengajari ilmu semacam itu? Dari mana ia memperoleh ilmu itu?" bertanya Kidang Emas dalam hati. Matanya menatap tajam, melawan pandangan Cipta Angkara yang tersenyum. "Apa maumu, Iblis!"
"Aku menginginkan apa yang kau bawa."
"Huh, jangan kira aku akan memberikannya."
"Kita buktikan. Bila kau tak mau memberikannya, maka aku yang akan mengambilnya dari tanganmu." Habis berkata begitu, Cipta Angkara tiba-tiba berteriak. Tubuhnya melompat tinggi, lalu berdiri di hadapan Kidang Emas. Senyumnya mengembang sinis, sepertinya memendam kebencian.
Tersentak Kidang Emas melompat mundur. Ditatapnya lekat bekas kakak seperguruannya. Tangannya seketika meraba gagang Kyai Sangkar, siap untuk menghadapi segalanya.
"Kidang Emas, berikan senjata itu padaku!"
"Tidak! Ini bukan hakmu. Ini milik kanjeng Adipati Brebes!"
"Heh, rupanya kau keras kepala, Kidang Emas! Jangan salahkan aku," menggeretak Cipta Angkara marah. Tangannya seketika menyatu, lalu dengan didahului pekikkan Cipta Angkara berkelebat menyerang. "Kau seperti si tua bangka itu. Kau harus kusingkirkan dari muka bumi ini."
"Jangan sombong, Cipta," berkata Kidang Emas seraya mengelakkan serangan Cipta Angkara. Dengan keris Kyai Sangkar di tangan Kidang Emas berusaha mematahkan setiap serangan.
Namun Cipta Angkara yang telah menyatu dengan Kerta Ganda Mayit, sepertinya tenang saja menghadapi senjata sakti itu. Tubuhnya bagai belut, licin hingga selalu lolos dari serangan Kidang Emas. Hal itu menjadikan Kidang Emas makin kalap. Maka dengan penuh emosi, Kidang Emas makin menambah daya serangannya.
"Keluarkan seluruh kepandaianmu, Kidang! Keluarkan apa yang kau peroleh dari si tua bangkotan itu. Ha, ha, ha.... Jangan harap kau bakalan mampu menandingiku."
"Sombong!" mendengus Kidang Emas dan terus menyerang.
"Aku tidak sombong seperti gurumu, Kidang. Akan aku buktikan bahwa aku akan segera menjatuhkanmu."
Bareng dengan habisnya suara itu, secepat kilat Cipta Angkara berkelebat. Tangannya yang membara bagai bara api, berkelebat mengarah pada Kidang Emas. Saat itu juga, terdengar pekikkan Kidang Emas. Tubuhnya seketika memerah, bagaikan terbakar.
Cipta Angkara tersenyum sinis melihat adik seperguruannya telah dapat dikalahkan. Dengan bergerak cepat laksana angin, Cipta Angkara segera merebut keris Kyai Sangkar dari tangan Kidang Emas yang tengah sekarat. Lalu dengan tanpa mengenal belas kasihan, kembali dihantamnya tubuh Kidang Emas. Untuk kedua kalinya Kidang Emas memekik panjang. Tubuhnya ambruk hangus bagaikan arang. Setelah sesaat memandangi tubuh Kidang Emas, dengan segera Cipta Angkara pun berkelebat pergi.
********************
"Murid durhaka! Murid sesat! Bahaya, bahaya! Sungguh bahaya bila terjadi. Ah, mengapa siluman itu kembali muncul?" bertanya Brahmana Loka Arya pada diri sendiri. Brahmana Loka sebagai seorang Wiku yang sakti mandraguna, tampak telah mengetahui apa yang telah terjadi. Naluri batinnya, mengatakan bahwa muridnya yang diberi amanat telah mati di tangan Cipta Angkara. Wajah Brahmana Loka nampak pucat. Mulutnya tampak komat-kamit seperti berdo'a. Ya, dia memang telah berdo'a untuk kematian seorang muridnya yang patuh. Dia juga berdo'a untuk muridnya yang telah murtad, yang kini telah bersekutu dengan musuhnya.
"Tak kusangka, kalau akhirnya aku memelihara anak singa," mengeluh Brahmana Loka. "Tapi memang itu sudah kodrat Yang Widi. Ah, mungkin umurku sudah harus berakhir."
"Longkat...!!" berseru Brahmana Loka memanggil salah seorang cantriknya.
"Saya, Wiku?" menjawab Longkat dan segera berlari menghadap.
"Perintahkan pada teman-temanmu untuk mengungsi."
"Mengungsi, Wiku?" bertanya Cantrik Longkat tak mengerti.
"Ya, mengungsi."
"Untuk apa, Wiku? Bukankah di sini tenang?"
"Memang saat ini tenang. Tapi sesaat lagi di sini akan berubah menjadi ajang angkara murka," menjelaskan Brahmana Loka.
Tersentak Longkat melototkan mata demi mendengar penuturan Brahmana Loka. Melihat hal itu, Brahmana Loka tersenyum sepertinya hendak memberi semangat pada cantriknya dan katanya kemudian: "Longkat..."
"Ya, Wiku!"
"Bukannya aku tidak suka kalian bersamaku. Tapi..."
"Tapi kenapa, Wiku?" bertanya Longkat seraya mengerutkan alis matanya demi mendengar ucapan Brahmana Loka yang diputus.
Sesaat Brahmana Loka terdiam. Matanya memandang Longkat dengan pandangan sayu. Hatinya bergetar, manakala melihat wajah Longkat. Dua puluh lima tahun mereka bersatu. Dua puluh lima tahun pula Longkat, Tenggiri, Sanur, Lomber, dan Angsono mengabdikan diri padanya. Kini semuanya hendak berakhir, hanya karena seorang muridnya yang durhaka. Tak disadarinya, air matanya pun menetes.
Melihat Wikunya menangis, Longkat pun seketika menderai air mata. Tengah keduanya menangis, keempat cantrik lainnya datang. Mereka sesaat menatap pada keduanya tak mengerti. Baru mereka turut menangis manakala Longkat bercerita pada mereka.
"Kita akan berpisah dengan sang Wiku, Kawan."
"Apa...? Kita akan berpisah dengan sang Wiku?" bertanya keempat cantrik lainnya bareng. Seperti mereka terkejut.
"Benarkah, Wiku?"
Brahmana Loka hanya mengangguk. Namun hal itu telah cukup menjadi jawaban bagi mereka yang spontanitas mengencangkan tangisnya.
"Jangan tinggalkan kami, Wiku. Jangan...!"
"Aku bukan bermaksud meninggalkan kalian untuk pergi."
"Tapi, kenapa Wiku mengatakan hendak menyuruh kami pergi?"
"Para cantrikku? Ketahuilah oleh kalian, bahwa aku tak ingin kalian terbawa bencana yang bakal melanda padepokan ini. Aku ingin, kalian dapat hidup terus..."
"Tidak, Wiku. Apapun yang terjadi, kami ikut," berkata Angsono dengan mata berlinang linang.
"Benar, Wiku," sambung Tenggiri.
"Ijinkanlah kami selalu bersama Wiku," tambah Sanur.
"Apakah gerangan yang bakal terjadi hingga Wiku begitu cemas?" bertanya Lomber yang tampak agak tenang dibanding dengan keempat teman-temannya.
Sesaat Brahmana Loka terdiam. Matanya terpejam rapat, sepertinya tengah meditasi. Tangannya menyatu di depan dada, lalu dengan suara serak ia berkata. "Longkat, Lomber, Tenggiri, Sanur, dan kau Angsono. Ketahuilah oleh kalian, bahwa sesaat lagi akan datang petaka. Petaka yang bakal menjadikan sebuah catatan kehidupan. Petaka yang diibaratkan dengan pepatah Air Susu Dibalas Air Tuba."
"Ah, Wiku menuduh kami tidak setia," memotong Lomber. Ia menyangka ucapan Wiku tertuju pada mereka.
Brahmana Loka tersenyum dalam diam. Digelengkan kepalanya, lalu kembali ia berkata. "Bukan pada kalian ucapan itu kutujukan."
"Lalu pada siapakah, Wiku?" bertanya Angsono.
"Masihkah kalian mengingat seorang muridku?"
"Maksud Wiku, Cipta Angkara?"
"Benar jawabanmu, Tenggiri. Dialah yang aku maksud."
"Maksud, Wiku?" bertanya Longkat belum mengerti.
"Dia telah membalas air susu dengan air tuba. Dia telah membunuh adik seperguruannya, Kidang Emas, hanya karena keserakahan. Dia juga telah bersekutu dengan siluman Kerta Ganda Mayit, musuhku. Nah, mungkin dengan keterangan ini kalian telah mengerti maksudku."
"Kami mengerti, Wiku," menjawab mereka serempak.
"Tapi kami ingin mati bersama Wiku," lanjut Longkat.
"Benar. Aku juga, Wiku," lanjut Tegiri. "Aku juga!"
"Aku juga! Biar kami bersama-sama sehidup dan semati, Wiku."
Trenyuh hati Brahmana Loka mendengar kesaksian kelima cantriknya. Maka untuk kedua kalinya Brahmana Loka pun kembali menangis. Ia menangis bukan sedih, namun menangis karena rasa haru. Melihat Wikunya kembali menangis, kelima cantrik itu pun turut menangis pula.
"Jangan kalian sia-sia mengikutiku, Para Cantrik."
"Tapi kami tak dapat berpisah denganmu, Wiku," berkata Angsono sambil menyeka air mata. "Biarkanlah kami ikut denganmu. Kami telah rela, Wiku."
"Aku tahu. Aku mengerti perasaan kalian. Tapi dengarlah, bahwa kalian masih dibutuhkan oleh yang lainnya. Nanti bila aku benar telah mati, carilah oleh kalian seorang pendekar muda..."
"Untuk apa, Wiku?"
"Dengar dulu ucapanku, Tenggiri."
"Baik, Wiku," jawab Tenggiri seraya menunduk.
"Bila kalian telah menemukan pendekar muda itu, katakan padanya bahwa kalian ingin mengabdi padanya. Niscaya ia akan mau menerima kalian. Dia seorang pendekar aneh. Dengan segala sifatnya, dia bernama Jaka. Karena sifatnya yang konyol, dia lebih dikenal dengan sebutan Jaka Ndableg. Hanya dialah yang kelak mampu mengalahkan murid durhaka itu. Percayalah, dia akan dengan senang hati menerima kalian. Mengabdilah dengan sepenuh hati, seperti padaku. Kalian mengerti, Cantrik?"
"Mengerti, Wiku. Namun bolehkah kami tahu apa yang bakal terjadi hingga Wiku menyimpulkan begitu?" bertanya Longkat.
Tersenyum Brahmana Loka mendengar pertanyaan Longkat. Diangguk-anggukkan kepalanya, seperti memahami apa yang terkuak di hati cantriknya. Lalu dengan seperti bergumam pada diri sendiri, Brahmana Loka berkata: "Takdir, Jodoh, Rizki, dan maut adalah kuasaNya. Tak akan ada seorang pun yang sanggup menentangnya. Tak akan ada yang terlepas dari tangan-Nya. Aku hanyalah manusia, yang hanya bisa berusaha. Takdirku hanya sampai hari ini."
Terbelalak mata kelima cantriknya mendengar ucapan Brahmana Loka. Sesaat kelimanya saling pandang, kemudian serentak kelimanya bersujud di kaki Brahmana Loka sembari menangis.
"Duh, Wiku Agung. Sungguh kami sangat bahagia menjadi abdimu selama ini. Segala yang telah Wiku berikan pada kami, akan kami amalkan kelak."
"Apakah Wiku tidak lebih baik pergi?"
"Percuma, Angsono. Ke mana langkah kaki, kalau ajal pasti terpaut juga. Begitu juga dengan kejadian yang bakal terjadi atas diriku. Sudah menjadi kodratNya, kalau aku harus mati di tangan muridku sendiri. Jagad Dewa Batara, semoga kalian mengampuni segala perbuatannya," mendesah Brahmana Loka sembari menyapu mukanya dengan tangan. "Nah, pergilah kalian. Bawalah Tombak Inti Jagad dan serahkan pada pendekar muda itu, sebab dialah yang berjodoh. Laksanakan segera!"
"Baik, Wiku. Segala apa yang terucap oleh Wiku adalah suatu kebahagiaan bagi kami. Ijinkanlah kami pergi," berkata Angsono mewakili keempat cantrik lainnya.
"Ya, pergilah! Do'a dan puji aku ucapkan menyertai kalian."
"Terimakasih, Wiku."
"Angsono, jaga baik-baik tombak Inti Jagad itu. Jangan sekali-kali kau berikan pada orang lain. Berikanlah tombak itu pada pendekar muda itu. Apabila tombak itu berada di tangan orang-orang sesat, niscaya dunia akan hancur. Tombak itu pula yang dapat menandingi keris Kyai Sangkar. Nah, pergilah"
Dengan mata menangis, kelima cantrik itupun pergi meninggalkan Brahmana Loka. Dilambaikan tangannya lemas, sepertinya tak ingin perpisahan itu terjadi. Seperti kelima cantriknya, Brahmana Loka pun menangis. Ditatapnya kepergian kelima cantriknya yang telah dua puluh lima tahun menjadi abdinya.
"Kalian orang-orang baik. Kalian orang-orang jujur. Kelak kalian akan memperoleh ganjarannya," berkata Brahmana Loka setelah dilihatnya kelima cantrik itu telah hilang dari pandangan. Lalu dengan segera Brahmana Loka berkelebat, masuk ke dalam kamarnya. Di situ ia segera melakukan meditasi, sepertinya telah siap menghadapi segalanya.
********************
Tengah kusuk Brahmana Loka bersemedi, seketika terdengar suara tawa bergelak. Bersamaan dengan itu, sesosok tubuh berkelebat dengan cepat dan langsung mengobrak-abrik pesanggrahannya. Brahmana Loka tampak tenang, sepertinya ia telah mengetahui sebelumnya. Perlahan matanya dibuka. Ditatapnya dengan tajam orang yang kini berdiri di hadapannya dengan angkuh.
"Hem, sudah kuduga kalau kau pasti datang," berkata Brahmana Loka pelan. Ia segera bangkit dari duduknya, berdiri berhadapan dengan pemuda di hadapannya.
"Hua, ha, ha.... Loka Arya, selamat berjumpa. Bagaimana kabarmu?" bertanya pemuda yang berdiri di hadapannya.
Sosok pemuda itu memang Cipta Angkara, muridnya. Namun nalurinya, mengatakan bahwa yang bicara bukanlah muridnya yang durhaka. Nalurinya mengatakan bahwa orang yang berdiri di hadapannya tak lain Siluman Kerta Ganda Mayit. "Ganda Mayit, apa perlumu muncul kembali?"
"Hua, ha, ha.... Loka Arya, lima puluh tahun aku menanti-nanti kesempatan seperti ini. Lima puluh tahun aku tersiksa didera oleh perjanjian kita. Kini apa yang telah kita janjikan telah terjadi. Salah seorang muridmu telah membantuku."
"Jadi kau ingin menuntut?"
"Ya.... Bukan itu saja maksudku. Aku akan kembali membuat semua manusia bertekuk lutut padaku. Akulah raja mereka! Akulah yang paling tersakti di dunia persilatan."
"Jangan harap, Ganda Mayit!"
"Akan aku buktikan, Loka Arya!"
Brahmana Loka Arya tersenyum mendengar ucapan Kerta Ganda Mayit. Sepertinya ia tak gentar menghadapi siluman yang telah menyatu dalam tubuh muridnya. Lalu dengan masih tersenyum, Brahmana Loka kembali berkata: "Ganda Mayit, buanglah semua impianmu. Kembalilah pada asalmu."
"Hem, rupanya kau masih sombong seperti dulu, Loka."
"Bukan aku sombong. Tapi ketahuilah olehmu. Bahwa kau tak akan mampu meluluskan cita-citamu."
"Bedebah! Rupanya kau masih banyak omong. Akan aku buktikan, bahwa aku lain dengan lima puluh tahun yang silam, Loka. Bersiaplah, hiat...!" Amarah Kerta Ganda Mayit tak dapat ditahan lagi. Ia merasa tak perlu banyak kata dengan Brahmana Loka yang ia tahu bukan tokoh sembarangan.
Diserang dengan begitu tiba-tiba, Brahmana Loka segera berkelit menghindar. Dengan cepat Brahmana Loka segera balik menyerang. Pertarungan ulang lima puluh tahun silam, kini kembali terjadi.
"Suiitttt... Duar!"
Terdengar ledakan dahsyat, manakala tangan Cipta Angkara berkiblat. Sebenarnya tujuan serangan itu pada Brahmana Loka. Namun bagaikan burung walet, Brahmana Loka segera menghindar. Walau begitu, tak urung rumahnyalah yang termakan. Rumah yang sekaligus pesanggrahan seketika hancur terbakar.
"Edan! Ilmunya makin gila," mengeluh Brahmana Loka dalam hati melihat apa yang terjadi. Dilontarkan tubuhnya ke udara, keluar dari kobaran api yang melalap pesanggrahannya.
"Jangan lari, Loka!"
"Aku tidak lari! Aku menunggumu di luar!" Mendengar jawaban Loka Arya, seketika Kerta Ganda Mayit segera berkelebat keluar. Di luar Loka Arya telah berdiri, menunggu kedatangannya dengan mata memandang tajam.
"Kita lanjutkan, Loka."
"Baik. Apa maumu, aku penuhi."
Habis keduanya berkata, kembali keduanya segera saling serang. Pekikan-pekikan keduanya membahana, memecahkan sore itu. Jurus demi jurus mereka lalui dengan tanpa disadari. Walau usia Brahmana Loka sudah tua, namun gerakan-gerakannya masih tampak gesit. Gerakan mengelak dan menyerang masih lincah. Tangannya bergerak cepat, menyambarnyambar ke kepala lawan.
"Percuma kau datang ke dunia manusia, Ganda Mayit! Kau akan mengalami kegagalan seperti dulu. Jangan bermimpi, kalau kau akan mampu menjadikan dunia ini ajang Iblis."
"Akan aku buktikan, Loka! Akan aku buktikan!"
Brahmana Loka tersenyum mendengar ucapan Ganda Mayit, lalu katanya kemudian. "Walau kau dapat mengalahkanku. Masih banyak orang-orang yang melebihi aku. Masih banyak orang-orang yang dapat mengalahkanmu, Ganda Mayit."
"Huh, akan aku lumatkan mereka! Akan aku buktikan, Loka!"
"Hua, ha, ha... Kau bermimpi! Kau bermimpi!"
"Bedebah! Kau rupanya ingin menurunkan semangatku. Terimalah kebinasaanmu, Loka. Hiat...!"
Kembali keduanya bergerak cepat. Kini bukan saja jurus-jurus silat yang mereka keluarkan, tapi ajian-ajian yang mereka miliki juga di keluarkan. Tempat yang mereka gunakan untuk berlaga bagai diguncang gempa. Pohon-pohon banyak yang roboh terhantam ajian mereka. Batu-batu berhamburan, tersapu setiap kibasan tangan mereka. Tak terhitung berapa jurus mereka keluarkan. Yang jelas mereka telah bertempur sehari semalam.
********************
Kita tinggalkan dulu Brahmana Loka yang tengah bertempur dengan Ganda Mayit yang telah mencapai sehari semalam. Kita tengok kembali kelima cantrik yang tengah pergi, meninggalkan pesanggrahan mereka.
"Ke mana kita harus mencari pendekar muda itu?" tanya Longkat pada keempat temannya.
"Entahlah, yang pasti kita harus mencarinya untuk menyerahkan tombak pusaka ini. Juga kita harus mengabdikan diri padanya." menjawab Anggsono.
"Tapi firasatku mengatakan bahwa Wika dalam bahaya. Apakah kita tidak bermaksud menolongnya?" tanya Sanur.
"Ah, bukankah Wiku telah menyuruh kita jangan sekali-kali kembali ke sana?" balik bertanya Angsono.
"Benar. Tapi aku tak enak, aku ingin kembali."
"Jangan, Sanur! Kau akan mendapat murka Wiku," mencegah Longkat.
"Benar, Sanur. Jangan kau melanggar," lanjut Tenggiri.
"Aku bukan ingin melanggar. Aku hanya ingin melihat apa yang tengah terjadi di sana."
"Sama, Sanur. Setiap penentangan ucapan Wiku, berarti suatu pelanggaran. Ah, sudahlah jangan pikirkan itu. Ayo kita lanjutkan perjalanan kita," memberi tahu Angsono.
Maka tanpa banyak kata lagi, kelima cantrik itu pun kembali meneruskan perjalanannya. Dilintasi hutan rimba, lembah dan ngarai. Dengan tanpa mengenal lelah kelima cantrik itu terus melangkah. Hanya satu tujuan mereka, yaitu mencari pendekar muda yang bernama Jaka Ndableg.
********************
Pertarungan Brahmana Loka dengan Ganda Mayit masih terus berlangsung. Sudah tiga hari lamanya mereka bertarung, namun sepertinya tak bakal ada yang kalah. Kesenjaan usia tak menjadikan Brahmana Loka mudah dijatuhkan. Bahkan dengan gesit, ia mengelak dan membalas menyerang.
"Rupanya kau kedot juga, Loka!"
"Hem... sebenarnya bukan hal itu. Aku hanya ingin menyadarkan kau, bahwa di dunia manusia masih banyak orang yang ilmunya jauh lebih tinggi."
"Jangan banyak omong! Hari ini adalah akhir dari kehidupanmu, Loka! Bersiaplah!"
Habis berkata begitu, Ganda Mayit segera melipatgandakan serangannya. Segera ajian yang ia miliki, dijadikannya menjadi satu. Lalu dengan didahului pekikkan, Ganda Mayit menghantamkan ajiannya.
"Aji Pegat Nyawa, hiat...!"
"Duar! Duuuaaar! Duaaarr...!"
Ganda Mayit nampak menyunggingkan senyum, menyangka kalau Brahmana Loka telah mati. Namun betapa alang kepalang kagetnya Ganda Mayit melihat apa yang terjadi. Ternyata Brahmana Loka bukannya binasa, malah kini telah bertengger di atas sebuah cabang pohon dengan tersenyum.
"Kurang asem! Turun kau, Loka!"
"Tak semudah itu, Ganda Mayit."
"Bedebah! Akan aku lumatkan tubuhmu!"
"Lakukan bila kau mampu. Keluarkan segala ajianmu. Aku tak akan gentar, Ganda Mayit."
"Bedebah! Jangan sombong, Hiaat...!"
Dihantamnya pohon tempat Brahmana Loka bertengger. Seketika pohon itu hancur berantakan. Namun Brahmana Loka seperti tak mengalami sesuatu. Ia kini pindah di cabang pohon yang lainnya masih dengan uraian senyum sembari berkata:
"Adakah yang lebih dari itu, Ganda Mayit?"
"Kunyuk!"
"Kenapa, Ganda Mayit? Apakah kau mengaku kalah?"
"Jangan harap, Loka!" menjawab Ganda Mayit mendengus marah.
"Kenapa kau terdiam, Ganda Mayit? Ayo, keluarkan segala ilmu yang kau miliki." mengejek Brahmana Loka.
Hal itu menjadikan Ganda Mayit makin marah. Nafasnya memburu, matanya menyorot tajam penuh permusuhan, lalu katanya: "Mungkin aku tak dapat mengalahkanmu. Tapi aku akan memperalat muridmu ini. Ketahuilah olehmu, Loka. Muridmulah yang akan membinasakanmu."
Tersentak Brahmana Loka mendengar ucapan Ganda Mayit. Sesaat ia terdiam mematung, memandang pada tubuh murid durhaka. Angannya melayang jauh, sepertinya tengah mengingat sesuatu. "Hem, apakah benar wangsit itu? Apakah memang aku harus mati di tangan muridku?" bertanya hati Brahmana Loka.
Dari tubuh Cipta Angkara, keluar asap tebal bergulung-gulung mengangkasa. Perlahan-lahan asap itu membentuk ujud, ujud asli Ganda Mayit. Sesaat tubuh Cipta Angkara terdiam, lalu matanya perlahan membuka. Ditatapnya Ganda Mayit yang berdiri di sisinya dan bertanya.
"Ada apa, Ganda Mayit? Kenapa kau memanggilku?"
"Bunuh orang tua yang nangkring itu!" Ditunjukknya Loka Arya yang tampak terbelalak. Sesaat Cipta Angkara ragu, diam hanya memandang. Hal ini menjadikan Ganda Mayit mengerutkan alis matanya dan kembali memerintah.
"Kenapa kau diam, Cipta! Bunuh orang tua itu. Bunuh!"
"Tapi, dia guruku."
"Dia bukan gurumu. Dia musuhmu, Cipta."
"Aku gurumu, Cipta. Kalau kau melakukannya, kau kualat."
"Jangan hiraukan ucapannya, Cipta. Apakah kau tak ingin menjadi orang sakti? Bunuh dia!"
"Aku tak mampu, Ganda Mayit."
"Bodoh! Bukankah kau memiliki keris Kyai Sangkar?"
"Kenapa tidak kau saja, Ganda!" memekik Cipta Angkara.
"Aku tak mampu memegang keris itu."
"Cipta! Apakah kau benar-benar ingin murtad dan durhaka?" bertanya Brahmana Loka, ia ingin menyadarkan Cipta Angkara. Namun ternyata dugaannya meleset. Cipta Angkara yang telah dipengaruhi oleh Ganda Mayit tak menggubrisnya. Malah dengan membentak Cipta Angkara berkata:
"Serahkan tombak Inti Jagad padaku, maka kau akan selamat."
"Jangan bermimpi, Anak sundel!"
"Jadi kau lebih memilih mati, Tua bangka?"
"Dia bukan gurumu. Bukan?" berkata Ganda Mayit memanas-manasi.
"Anak sundel, pusaka itu bukan hakmu, serahkan padaku."
"Syetan alas! Jangan kau bermimpi, tua bangka!" memaki Cipta Angkara tak dapat membendung kemarahannya. Tubuhnya seketika berkelebat, terbang ke atas cabang.
Melihat Cipta Angkara menyerang, dengan segera Brahmana Loka segera lemparkan tubuh ke belakang. Lalu dengan gaya akrobat, Brahmana Loka berjumpalitan di udara sesaat sebelum akhirnya kembali duduk di cabang pohon lainnya.
"Bedebah! Rupanya kau menganggap aku kroco, Tua Bangka!"
Brahmana Loka tak berkata sepatahpun. Keringatnya tampak mengalir deras. Ditatapnya keris Kyai Sangkar yang tergenggam di tangan Cipta Angkara. "Mungkin ajalku hampir tiba," batin Brahmana Loka
"Serang dengan kerismu, Cipta!"
"Hiaaaaatttt...!" Cipta Angkara kembali berkelebat. Tubuhnya lurus melayang bagaikan terbang. Keris pusaka Kyai Sangkar, menjurus lurus ke dada Brahmana Loka yang telah berdiri di atas cabang. Tubuh Cipta Angkara bagaikan ada yang mendorong, laju dengan derasnya.
Membeliak mata Brahmana Loka sesaat, sebelum akhirnya memekik. Keris di tangan Cipta Angkara, tembus melobangi dadanya. Tubuh Brahmana Loka melayang ke bawah dengan darah menyembur dari dadanya. "Kau.... Kau, murid durhaka. Kau telah mengotori tanganmu dengan darahku, darah gurumu. Kelak kau akan mati dengan tragis. Tubuhmu, kelak akan hancur."
"Persetan dengan ucapanmu, Tua Bangka!" Ditendangnya tubuh Brahmana Loka, setelah mencabut kerisnya. Lalu dengan gelak tawa berkepanjangan, Cipta Angkara berlalu masuk ke pesanggrahan. Diobrak-abrik seluruh pesanggrahan untuk mencari pusaka Tombak Inti Jagad, tapi tak ditemukannya. Maka dengan penuh amarah, dihantamnya pesanggrahan itu hingga runtuh menjadi puing-puing.
"Sudahlah, Cipta. Jangan kau takut dengan ucapan tua bangka itu. Percayalah, kaulah yang akan merajai semua persilatan. Kau akan menjadi orang nomor satu. Hua, ha, ha..."
Tubuh Ganda Mayit kembali lenyap, masuk ke tubuh Cipta Angkara. Mata Cipta Angkara yang tadinya sayu mengingat ucapan gurunya, berubah membara bagaikan mengandung api. "Akulah penguasa dunia persilatan! Akulah orang tersakti di dunia persilatan! Hua, ha, ha!"
Dengan berkelebat cepat bagaikan seekor srigala, Cipta Angkara pergi meninggalkan pesanggrahan. Ia pergi dengan membawa ambisi untuk menguasai dunia.
********************
TIGA
Pada sebuah dangau seorang pemuda tengah duduk sambil bernyanyi-nyanyi. Kadang kala tangannya menarik-narik ujung tali yang direntangkan pada sebuah hantu sawah, untuk mengusir burung-burung yang hendak memakan padi. Seorang lelaki lain tampak datang menuju ke tempat pemuda itu. Lelaki itu tersenyum, saat melihat pemuda yang berada di atas dangau. Dengan langkah dipercepat, lelaki yang baru datang dengan membawa bungkusan makanan berseru.
"Jaka...! Aku bawakan makanan untukmu, kau telah lapar bukan?"
Pemuda yang tak lain memang Jaka atau si Pendekar Pedang Siluman tersenyum dan dengan berteriak Jaka berkata: "Benar...! Kau membawakan aku makanan, Dulah...?"
Dulah mengangguk mengiyakan, membuat Jaka segera turun dari dangau memapakinya. Dengan bercanda ria, keduanya kembali menuju dangau untuk makan siang. Lahap sekali Dulah makan, membuat Jaka membelalakkan mata. Dengan nada bercanda, Jaka pun berkata pada Dulah:
"Lah... kalau orang sekampung ini seperti kamu, aku rasa dalam sebulan hasil panen akan habis."
"Kenapa begitu...?" bertanya Dulah tak mengerti sembari menyipitkan matanya.
Jaka tersenyum, sebelum akhirnya berkata kembali: "Betapa tidak! Kalau seluruh warga kampung ini rakus sepertimu, mana mungkin hasil panen tersisa? Paling-paling untuk makan saja tak cukup."
Dulah bukannya marah, malah tertawa ngakak mendengar omongan Jaka. Dengan masih menyantap makanannya, Dulah berkata membela diri. "Tapi.... Bukankah dengan banyak makan akan menambah tenaga untuk bekerja? Buktinya aku..."
Jaka menganggukkan kepalanya. "Memang benar apa yang dikatakan Dulah. Buktinya Dulah bekerja sangat giat dan rajin, sepertinya tak mengenal lelah. Membajak sawah, menanami, menyiangi, dan lain-lainnya. Semuanya dikerjakan Dulah tanpa mengeluh." berkata hati Jaka.
"Lah Sudah satu bulan aku di sini."
"Ya. Kenapa...?" tanya Dulah yang masih menyantap makanannya dengan lahap.
Jaka tak segera berkata. Sesaat ditatapnya langit di ujung kulon yang tampak berwarna cerah. Lalu dengan sekali menghempaskan nafas, Jaka pun segera melanjutkan ucapannya: "Sebenarnya, aku di sini tengah mencari seseorang, yang telah membuat keonaran di wilayah kulon sana. Dia bernama Kowara, atau bergelar Setan Tengkorak."
Mendengar Jaka tengah mencari seseorang dari dunia persilatan. Seketika Dulah tersentak kaget, hingga makanan yang masih dalam mulutnya tersemprot ke luar, menjadikannya tersendak dan terbatukbatuk. Melihat hal itu Jaka tersenyum dan segera mengambilkan air yang segera disambut Dulah.
"Kau.... Kau...?" berkata Dulah terbata-bata sembari mengurutkan lehernya yang terasa sakit akibat nasi belum ketelan masuk, menjadikan Jaka makin melebarkan senyumnya.
"Makanya. Kalau sedang makan, jangan ngomong dulu. Pamali, kata orang tua."
Dulah hanya menyengir. Dan setelah dapat menenangkan keadaan, Dulah pun segera meneruskan ucapannya: "Kau ternyata seorang pendekar, Jaka?"
"Ah.... Kau terlalu melebihkan, dalam menilaiku. Aku tak ubahnya seperti kamu, yang dapat sakit atau sedih dan bingung," menjawab Jaka merendah.
Dulah tak mau percaya begitu saja. Namun ketika ia hendak berkata lagi, Jaka telah mendahuluinya. "Sudahlah, jangan terlalu kau pikirkan tentang siapa aku ini. Yang pasti, aku suka bergaul dan berteman dengan kamu. Mengenai orang yang sedang aku buru, aku mendapatkan berita bahwa orang itu kini berada di wilayah ini."
"Kenapa kau tak mengatakannya dari dulu, bahwa kau seorang pendekar?" tanya Dulah. Dengan mata tak berkedip, Dulah pun memperhatikan Jaka dari ujung rambut sampai ujung kaki. Di hatinya menggumam, "Memang Jaka seorang pendekar. Dilihat dari pakaiannya. Itu suatu bukti bahwa ia seorang pendekar. Ah.... Kenapa aku tak memperhatikannya dari semula...?"
Jaka kembali menggelengkan kepala, demi mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Dulah. Maka dengan memegang pundak Dulah, Jaka pun berkata: "Dulah.... Pendekar sejati, adalah pantang baginya memamerkan diri. Ia lebih suka diam dalam kedamaian, daripada terkenal tapi selalu diburu dan banyak musuhnya di mana-mana. Aku bukanlah seorang pendekar. Sebab kalau aku seorang pendekar, pasti aku telah menemukan orang yang aku cari. Sedangkan kini, nyatanya aku tak lebih dari seorang petani macammu. Bukan begitu, Dulah...?"
Dulah hanya terdiam. Hatinya selalu ragu, untuk mempercayai omongan Jaka. Yang menurutnya, adalah seorang pendekar sejati.
"Hidup seperti diriku tak pernah menetap pada sebuah kampung, apakah kau akan kuat? Biasanya orang yang hidup menetap, akan merasa sungkan bila harus berjalan-jalan tak tentu arah."
"Tapi aku sanggup, Jaka. Aku kuat melakukan perjalanan sejauh apapun?" berkata Dulah penuh semangat, seakan ingin meyakinkan pada Jaka agar mengijinkan dirinya ikut serta.
Untuk kesekian kalinya Jaka menarik nafas panjang, sebelum akhirnya kembali berkata sambil tersenyum. "Ah.... Aku senang mendengarnya, Dulah. Tapi sungguh aku sangat menyesal, karena aku tak mungkin dapat mengajakmu pergi bersamaku."
Mendengar ucapan Jaka, seketika di wajah Dulah tergambar rasa kecewa, Jaka yang melihatnya merasa iba. Maka dengan mencoba menghibur Jaka pun berkata kembali: "Ku harap kau tidak kecewa. Aku yakin bila umur kita panjang, kita akan dapat bertemu lagi. Bukan begitu, Dulah,..?"
Dulah sesaat tercenung, diresapinya ucapan Jaka. Perlahan ditatapnya wajah Jaka yang di bibirnya terurai senyuman. Tanpa disadari oleh Jaka, dengan seketika Dulah memeluk tubuhnya hingga Jaka terdorong ke belakang. Lalu dengan penuh rasa persaudaraan keduanya tertawa bergelak-gelak. Ketika sore tiba, dengan beriringan keduanya segera pulang ke desa, di mana Dulah dan keluarganya tinggal.
********************
Malam begitu mencekam. Bulan di angkasa lamat-lamat tertutup oleh awan hitam. Angin malam berhembus dengan cepatnya. Menjadikan hawa dingin yang mendirikan bulu kuduk. Di ruang depan, tampak Dulah dan keluarganya tengah duduk-duduk sembari bercengkrama. Di situ pula tampak Jaka turut serta. Tampak keluarga Dulah sangat senang dengan kehadiran Jaka di rumah mereka, yang secara langsung telah memperingan beban Dulah sebagai anak lelakinya.
"Jaka.... Emak dengar kau tengah memburu seorang tokoh persilatan, apa benar?" bertanya Emak Dulah ketika mereka ngobrol.
Ditanya seperti itu, sesaat Jaka tak mampu menjawab. Ia hanya tertunduk memandang pada lantai yang masih asli dari tanah. Dihempaskan nafasnya sesaat sebelum akhirnya ia mengangguk
"Rupanya kau seorang pendekar, Anakku?" tanya ayah Dulah setelah melihat Jaka mengangguk. Pertanyaan itu membuat Jaka tersentak, dan seketika menatap pada Dulah.
Melihat Jaka terdiam, ayah Dulah kembali meneruskan ucapannya: "Sungguh sebuah kehormatan bagi kami, sebab ternyata nak Jaka sudi bertandang di gubug ini."
"Benar, Nak Jaka. Betapa pun kami akan merasa tentram dan bahagia bila nak Jaka akan lebih lama tinggal di rumah ini," menambahkan Emak Dulah, membuat Jaka seketika makin mendalamkan tundukan mukanya karena haru.
Sesaat setelah menghela nafas, Jaka pun berkata pelan dan tenang. "Emak dan Bapak, juga Dulah. Sebenarnya aku pun ingin lebih lama tinggal di sini. Tapi bila orang yang sedang aku cari telah aku dapati, maka aku pun harus pergi."
"Kenapa begitu?" bertanya Emak Dulah terbelalak kaget dengan rasa tak mengerti.
Hingga membuat Jaka kembali terdiam sebelum kembali berkata. "Emak.... Sudah menjadi tugasku, harus menumpas kejahatan yang ada di dunia ini. Walau nyawa sebagai taruhannya."
Terbelalak semua mata yang ada di ruangan itu, demi mendengar penerangan Jaka. Dalam hati mereka bergumam rasa kagum. Tanpa sadar dari mulut mereka keluar desahan panjang. "Oh...!"
"Itulah, Emak dan Bapak. Mengapa aku tak berkenan menerima Dulah ikut bersamaku. Aku takut Dulah akan menderita."
Sedang mereka asyik bercengkerama, tiba-tiba terdengar bunyi kentongan tanda bahaya bergema. Sesaat keempat orang yang tengah bercakap-cakap itu saling pandang bertanya-tanya. Setelah menyarankan agar keluarga Dulah tetap di rumah, Jaka segera berkelebat pergi. Kepergian Jaka yang begitu cepatnya bak angin, menjadikan semua yang ada di ruangan itu membelalakkan mata dengan mulut terbuka bengong. Jaka terus berlari menuju asal suara kentongan itu. Ia segera mendapati orang yang menabuhnya dan segera ditanyainya.
"Bapak, ada apakah gerangan?"
"Penculikan seorang gadis," menjawab orang penabuh kentongan. Orang itu terus memukul kentongan hingga yang lainnya pun turut membunyikannya.
"Di mana penculikan itu, Pak?" kembali Jaka bertanya. Tanpa bicara sepatahpun, bapak tua penabuh kentongan itu menunjuk arah dengan telunjuknya.
Setelah mendapat petunjuk dari bapak tua itu, dengan cepat Jaka segera berlari menuju ke arah tersebut. Dengan ajian Angin Puyuh maka tanpa mengalami kesulitan, Jaka Ndableg dapat segera menyusul begal-begal itu.
"Berhenti...!!" membentak Jaka setelah dapat menghadang lari ketiga begal itu, yang tampak tersentak melihat kedatangan Jaka Ndableg.
Setelah tahu siapa orang yang menghadangnya, yang ternyata hanyalah seorang anak muda dan sendirian pula. Maka tertawa bergelak-gelaklah ketiga begal itu. "Anak muda, lancang benar kau! Berani kau menghadang kami, Tiga Begal Dari Susukan yang sudah kesohor," berkata salah seorang dari ketiga begal itu dengan sombongnya.
Jaka tampak tenang. Perlahan, tanpa rasa takut dihampirinya ketiga begal itu. Lalu dengan bibir mengurai senyum, Jaka berkata: "Hai begal-begal kecoa. Apa kalian merasa paling tinggi ilmunya di jagat raya ini, hingga tindakan kalian begitu telengas dan biadab. Hai, begal-begal kecoa busuk, mungkin orang lain akan takut padamu. Tapi aku, tidak! Serahkan gadis itu padaku, atau kalian akan direncah oleh penduduk desa ini."
Mendengar ucapan Jaka yang dianggap mereka hanya untuk menakut-nakuti. Maka ketiga begal itu kembali bergelak tawa. Begal yang membopong tubuh gadis dengan mendengus berkata: "Slompret! Apa kau kira kami takut dengan ancamanmu, Anak muda! Panggil seluruh warga desa ini untuk menangkap kami. Ha... ha..."
Jaka sesaat mendenguskan nafasnya. Matanya dengan liar dan tajam memperhatikan ketiga begal itu. Maka dengan kembali tertawa bergelak-gelak yang membikin ketiga begal itu tersentak kaget dan segera menutupi telinga mereka karena tawa Jaka kali ini dibarengi dengan ajian Pekik Prahara, berkata:
"Begal-begal kecoa busuk! Jangan kalian takabur! Kalian boleh bergembira karena warga desa tak berani menghadapi kalian. Tapi kini, kalian akan segera merasakan sakitnya disiksa oleh warga desa. Nah, bersiaplah!"
"Slompret! Jangan kira kami takut padamu, anak muda. Jangan banyak bacot, ayo tangkap kami atau kau akan menjadi bubur blohok oleh kami." kembali berkata Begal yang menggendong tubuh gadis di pundaknya dengan penuh amarah.
"Serang!" Kembali begal itu berseru mengomandokan pada kedua rekannya, yang seketika itu juga maju menyerang cepat dengan jurus-jurus yang langsung mematikan.
Jaka yang sudah menduga sebelumnya, dengan bersuit nyaring segera melompat mengelak. Hingga kedua begal itu mendapatkan angin belaka, hal itu membuat keduanya makin marah dan segera meningkatkan serangannya. Sejauh itu, Jaka belum berniat untuk membalik menyerang. Ia ingin mengukur sampai di mana tingkat ilmu begal-begal itu. Maka dengan mengelak dan terus mengelak Jaka mengimbangi serangan keduanya.
Perkelahian satu lawan dua pun berjalan dengan serunya. Tubuh mereka berkelebat dengan cepatnya. Jurus demi jurus mereka lalui, tampak tak ada yang bakal menang. Tapi...! Secepat kilat Jaka melentingkan tubuhnya tinggi, lalu setelah mencapai ketinggian hampir sepuluh tombak segera menukik. Dan...!
"Tok! Dug.... Dug!"
Tanpa dapat dielakan ataupun dicegah oleh kedua begal yang mengeroyoknya, Jaka telah menghantamkan pukulan totokannya pada keduanya. Seketika keduanya terkulai dan terjatuh ke tanah dengan tubuh lemas. Melihat kedua temannya roboh, pucat pasilah wajah begal yang memanggul tubuh gadis culikannya.
Jaka tersenyum sinis. Dengan perlahan dihampirinya begal yang masih berdiri dengan memanggul tubuh gadis culikan itu. Sebelum Jaka sampai, dengan segera dilemparkannya tubuh gadis itu. Lalu dengan penuh ketakutan begal itu berlari. Belum juga ia berlari jauh, tiba-tiba Jaka telah berdiri menghadang di muka. Maka makin takut sajalah begal itu. Tubuhnya seketika menggigil, dan ambruk bersujud di hadapan Jaka.
"Kenapa kau sepengecut ini? Mana nama besarmu?" bertanya Jaka dengan nada sengau, membuat begal itu makin mendalamkan sujudnya seraya berkata dengan terbata-bata:
"Ampun... Ampunilah nyawaku, Anak muda. Aku... aku hanya diperintah. Jangan bunuh aku."
"Bangunlah.... Katakan siapa yang menyuruhmu? Dan di mana orang yang menyuruhmu itu berada?" bertanya Jaka setelah mendengar ucapan begal itu.
Dengan perasaan takut, sang begal pun segera menurut bangun dan berdiri di hadapan Jaka. Lalu dengan terlebih dahulu menengok ke kanan dan ke kiri, sepertinya ada yang ditakutinya, begal itupun berkata: "Aku disuruh oleh.... Oleh Ko.... Kowara atau Setan Tengkorak yang bersarang di Bukit Perawan..."
"Di mana letak Bukit Perawan?" bertanya kembali Jaka meminta penjelasan. Dari belakang terdengar orang-orang kampung berseru, membuat Jaka segera memalingkan mukanya untuk melihat apa yang tengah terjadi. Hal itu membuat kesempatan bagi si begal untuk melarikan diri. Jaka tersentak dan berusaha mengejar begal itu, namun ternyata begal itu telah berlalu dengan cepatnya.
"Sialan! Licik benar. Tapi awas, kalau aku bertemu lagi." menggerutu Jaka penuh kekesalan merasa telah dipermainkan oleh si begal. Maka dengan kesal di hatinya, Jaka segera kembali ke tempat di mana warga kampung berkerumun.
Warga kampung tengah menghajar habis-habisan kedua begal yang sudah tak berdaya itu. Sementara yang lainnya segera mengurus gadis yang masih dalam keadaan pingsan. Melihat kedatangan Jaka dengan segera semua warga kampung yang sedari tadi mengeroyok kedua begal, berpaling memperhatikan Jaka dengan penuh rasa hormat.
"Saudara-saudara. Janganlah kalian main hakim sendiri, sebab hal itu akan merugikan sepihak. Biarkanlah pengurus kampung ini yang akan menghukum mereka." berkata Jaka.
Semua orang yang di situ segera menepi, membiarkan Jaka menemui kedua begal yang masih tertotok itu. Dengan segera Jaka membebaskan totokan pada kedua begal itu, yang seketika pulih seperti sediakala. Maka dengan diarak oleh warga kampung, begalbegal itu digiring menuju ke balai desa. Ketika mereka berjalan menuju ke balai desa. Jaka segera berkelebat kembali menuju ke rumah keluarga Dulah yang tampak masih menanti Jaka dengan perasaan was-was.
Melihat kedatangan Jaka seketika di wajah keluarga Dulah terbersit rasa gembira. Hingga tak dirasa dari mulut Dulah membersit kata-kata: "Wah Aku rasa kau telah berhasil menangkap begal-begal itu, bukan begitu?"
Mendengar ucapan Dulah, Jaka hanya tersenyum menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dulah Dulah. Bukan aku yang menangkap, tapi orang-orang kampunglah yang menangkapnya," berkata Jaka mengelak.
Tapi Dulah yang memang kagum pada Jaka dan telah tahu siapa Jaka adanya tak mau percaya begitu saja. Maka seketika itu, Dulah pun berkelebat menuju ke balai desa tanpa dapat dicegah oleh Jaka yang hanya dapat terbengang-bengong. Tak berapa lama antaranya, Dulah telah kembali dengan wajah berseri-seri. Emak dan Bapaknya saling pandang tak mengerti seraya bertanya.
"Kenapa kau, Lah? Kok dari balai desa cengar-cengir kaya orang kesambat setan?" bertanya Bapaknya.
Namun Dulah tak menggubrisnya, bahkan dengan segera ditariknya tangan Jaka yang masih berdiri terpaku.
"Nah, kau telah berbohong. Ternyata memang kaulah yang telah menangkap kedua dari tiga begal itu. Dan kata orang-orang kau berilmu aneh, apa benar?" cerocos Dulah membuat Jaka geleng-geleng kepala dan memandang pada kedua orang tua Dulah yang tersenyum senang. "Dulah, mana ada orang berilmu aneh?" berkata Jaka hendak mengelak kembali.
Namun Dulah yang telah mendengar langsung dari orang-orang kampung tak mau percaya begitu saja. Dengan menggeleng kepala, Dulah kembali berkata. "Ada.... Buktinya kau dapat melumpuhkan kedua begal itu. Apakah itu bukan bukti? Mengaku dong?"
Jaka terdiam sesaat. Lalu setelah menarik napas dalam-dalam. Jaka menceritakan apa yang telah diceritakan orang kampung pada Dulah. Tentang ilmu totok, yang dapat melumpuhkan orang. "Oh...! Kalau begitu, aku pun bisa. Beginikah...?"
Maka dengan gaya kekonyolannya, Dulah pun beraksi dengan jurus-jurus karyanya sendiri. Kedua orang tuanya dan Jaka seketika tertawa bergelak-gelak, demi melihat tingkah laku Dulah.
"Ini jurus, Kera Makan Roti. Hiat...!"
Kembali Dulah berjumpalitan dan melompat-lompat memperagakan jurus-jurus ciptaannya. Hingga saking asyiknya, Dulah sampai tak melihat meja di depannya. Dan ketika kakinya hendak mengait.
"Aduh...!" Dulah menjerit kesakitan, kala kakinya beradu dengan kaki meja. Bagaikan ayam dipotong, Dulah pun berguling-guling menahan sakit yang teramat sangat.
Melihat hal itu, kembali Jaka dan kedua orang tua Dulah tertawa tergelak-gelak. Tinggal Dulah yang menggerutu sambil menahan sakit.
Malam kian larut. Mungkin tak lama antaranya pagi akan datang. Sesosok tubuh berkelebat pergi meninggalkan rumah keluarga Dulah. Tubuh itu ternyata Jaka adanya dengan cepat berlari ke arah Selatan di mana terletak Bukit Perawan, tempat bersembunyinya Kowara atau Iblis Tengkorak.
"Kowara! Keluar kau!" berseru Jaka memanggil nama orang yang sudah sekian lama diburunya, orang yang telah membuat keonaran di desa Sindang Gempol.
"Kowara! Apa kau telah tuli?!" Kembali Jaka berteriak, setelah sekian lama menunggu jawaban dari orang dipanggilnya tak kunjung datang.
Masih juga tak ada jawaban. Hal ini membuat Jaka kesal. Maka dengan tanpa sabar, Jaka segera menerobos masuk pada sebuah goa.
"Tak ada! Ke mana perginya iblis itu? Hai! Jangan-jangan ia telah diberitahu oleh anak buahnya." Sedang Jaka membatin, tiba-tiba matanya menangkap sebuah bayangan berkelebat dari samping goa. Dengan segera Jaka pun berlari keluar memburunya.
"Itu dia! Mau lari ke mana, Kau!" berseru Jaka dengan kesal. Dengan mengerahkan aji Angin Puyuh terus memburu Kowara. "Berhenti!" membentak Jaka setelah dapat menghadang Kowara yang tampak tersentak surut.
"Kau...?"
"Ya, aku. Selamat berjumpa kembali, Kowara. Hari ini juga aku hendak meringkusmu untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu di wilayah kulon."
Mendengar ucapan Jaka bagaikan tanpa rasa takut Kowara atau Iblis Tengkorak tertawa bergelak-gelak. Lalu dengan congkaknya berkata: "Anak muda! Percuma kau ingin menjadi pahlawan kesiangan. Ha... ha...!"
"Sombong! Mari kita buktikan. Hiat...!" Seketika tubuh Jaka berkelebat dengan cepatnya, menyerang Kowara yang segera mengelak.
Keduanya pun segera terlibat perkelahian. Jurus demi jurus mereka keluarkan. Hampir empat puluh jurus sudah berlalu. Namun tampak keduanya sama-sama tangguh dan seimbang.
"Anak muda! Terimalah kematianmu. Hiat...!" Kowara atau Tengkorak Iblis berkelebat dengan cepatnya, membentuk sebuah lingkaran. Dari sinar-sinar yang keluar membersit bau busuk yang menyesakkan pernapasan. Itulah ajian Racun Tengkorak Darah. Sebuah ajian yang dapat membunuh musuhnya perlahan, dengan menyumbat pernapasan.
Jaka tersentak, kala merasakan adanya hawa aneh yang bergerak menyerangnya. Dengan seketika Jaka pun melentingkan tubuhnya ke udara. Dan dengan menutup jalan darahnya Jaka segera menukik. Saat itu juga, tampak dari tangan Jaka larikan warna merah. Itulah aji Getih Sakti. Kali ini Kowara yang tersentak kaget. Ia bermaksud mengeluarkannya, namun sinar merah itu telah mendahuluinya. Hingga...!
Wussttt...!
"Aaahhh...!" Seketika terdengar jeritan Kowara sesaat, sebelum tubuhnya hancur menjadi debu. Setelah melihat Kowara telah mati, Jaka segera berlalu pergi, kembali ke rumah keluarga Dulah.
Pagi telah datang, kala Jaka meminta ijin pada keluarga Dulah untuk kembali meneruskan pengembaraannya. Dengan perasaan berat, keluarga Dulah pun terpaksa melepas kepergian Jaka dari rumah mereka.
********************
EMPAT
Di depan empat makam gurunya tampak Jaka bersimpuh. Di sampingnya duduk seorang gadis yang tak lain Sri Ratih. Seperti Jaka, Ratih pun tengah mengheningkan cipta berdo'a.
"Guru sekalian, semoga kalian tentram di alam sana."
"Kakang Jaka..."
"Ada apa, Ratih?"
"Ada orang datang ke mari, Kakang."
Jaka segera menengok ke samping kanannya. Tampak lima orang berjalan menuju ke arahnya. "Siapakah mereka?" bertanya Jaka sepertinya pada diri sendiri.
"Entahlah, Kakang. Aku sendiri tak mengenal mereka."
"Tapi dilihat dari tingkah mereka, sepertinya mereka bukan orang jahat." kembali Jaka berkata.
"Sampurasun...!" menyapa salah seorang dari kelimanya.
"Rampes...!" menjawab Jaka dan Ratih bareng.
"Kalau boleh kami bertanya di manakah kami bisa menemukan pendekar muda bernama Jaka Ndableg?" bertanya Angsono, menjadikan Jaka dan Ratih sesaat saling pandang. Kemudian Jaka sejenak memandang pada kelimanya bergantian.
"Adakah keperluan penting hingga kalian mencariku?"
"Jadi, jadi tuankah orangnya?"
Terbelalak kelimanya mendengar jawaban Jaka sampai-sampai kelimanya melototkan mata dan bareng bertanya. Jaka tersenyum mengangguk. "Ya, akulah orangnya yang kalian can. Ada apakah?"
"Ampun, tuan pendekar. Kami adalah para cantrik Brahmana Loka. Kami diberi amanat oleh beliau untuk menyerahkan benda ini." Disodorkan tombak Inti Jagat oleh Angsono pada Jaka.
Sesaat Jaka terdiam tak segera menerimanya. Kembali dipandangi kelima cantrik itu, seperti bimbang. "Apakah kau tak salah alamat, Cantrik?"
"Tidak, Tuan Pendekar," menjawab Angsono.
"Benar Tuan Pendekar. Kami juga disuruh mengabdikan diri pada tuan," menambah Longkat.
"Ah, apa kalian tidak main-main?" kembali Jaka bertanya sepertinya ia belum yakin. Dipandangi Ratih yang memandang ke arahnya juga dengan bibir tersenyum. "Bagaimana, Ratih?"
"Kalau memang itu suatu amanat. Terimalah, Kakang."
"Baiklah. Aku terima semuanya."
"Maksud tuan pendekar?" tanya Angsono belum mengerti.
"Loh, bukankah kalian ingin ikut denganku?" balik bertanya Jaka, menjadikan kelima cantrik sesaat mengerutkan alis matanya. Lalu bagaikan dipimpin, kelima cantrik itu segera jatuhkan diri bersujud.
"Terimakasih, Tuan. Terimakasih," ucap mereka bersamaan.
"Ah, tak usahlah kalian menyembah-nyembah seperti itu."
Mendengar ucapan Jaka, kelima cantrik itu segera bangun. "Tuan Pendekar, hidup dan mati kami sepenuhnya untuk mengabdi pada tuan."
"Hai, apakah kalian sedang mengigau?"
"Tidak! Kami tidak mengigo, Tuan," menjawab Angsono.
Jaka hanya garuk-garuk kepala, lalu katanya kemudian. "Wah, aku bukan raja. Aku tak berani menerima pengorbanan kalian tanpa aku dapat membantu. Apa yang harus aku lakukan untuk kalian semua?"
"Tanpa apa pun yang kami minta," menjawab Tenggiri.
Terbelalak mata Jaka sampai melotot mendengar ucapan Tenggiri. Hal itu menjadikan kelima cantrik kembali bertanya.
"Kenapa tuan pendekar?"
"Tidak apa-apa. Baiklah, aku terima pengabdian kalian."
Mendengar ucapan Jaka, bagaikan seorang anak kecil yang diberi permen kelima cantrik itu tersenyum bahagia. Sementara Jaka hanya mampu mengulum senyum memandangi kelimanya yang tampak berangkulan. Diliriknya Ratih yang juga tertawa geli.
"Eh, apakah kalian sudah makan?"
"Belum, Tuan pendekar!" menjawab kelimanya serempak.
"Wah! Ratih, kau sudah masak?"
"Sudah, Kakang Jaka."
"Nah para cantrik, kalian makanlah dulu. Ratih, ajak mereka makan."
"Baik, Kakang Jaka." menjawab. Ratih. "Mari, Paman-paman sekalian." ajak Ratih yang dengan segera diikuti oleh kelimanya.
Jaka tampak menggelengkan kepala setelah kepergian mereka. Ia tak habis pikir, mengapa dirinya yang menerima senjata pusaka itu. "Hai, siapakah nama mereka? Kenapa aku tidak menanyakannya? Dan kenapa mereka pergi dari pesanggrahan? Ah, macam-macam saja kehidupan." Dengan perlahan Jaka segera berlalu meninggalkan makam menuju ke pondoknya.
"Oh ya, siapa nama kalian semuanya?" bertanya Jaka setelah kelima cantrik itu telah selesai makan.
"Nama hamba Longkat."
"Nama hamba, Tenggiri."
"Hamba Sanur, Tuanku."
"Hamba bernama Lomber, Tuanku."
"Dan hamba, Angsono."
"Kalian semua, kenapa kalian pergi dari pesanggrahan?" bertanya Jaka pada kelimanya setelah sesaat mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kelima cantrik itu saling pandang, lalu Angsono yang paling tertua berkata:
"Hamba diperintah oleh Wiku untuk pergi."
"Kenapa? Apakah kalian mempunyai kesalahan?"
"Tidak, Tuanku." menjawab Longkat.
"Lalu kenapa? Apakah Wiku Brahmana Loka ada sesuatu kepentingan hingga menyuruh kalian pergi?"
"Benar, Tuanku. Wiku menyuruh kami pergi, karena Wiku tak menginginkan kami celaka," berkata Tenggiri.
"Celaka...?" bergumam Jaka kaget. "Celaka bagaimana?"
"Salah seorang murid Wiku yang murtad hendak membuat kerusakan."
"Maksudmu, Angsono?" bertanya Jaka belum mengerti.
"Murid murtad itu telah bersekutu dengan siluman. Dia menghendaki pusaka milik Wiku. Wiku memiliki dua pusaka sakti. Yang pertama keris Kyai Sangkar, kedua Tombak Inti Jagad yang sekarang berada di tangan tuan," menerangkan Angsono.
"Kenapa tidak diberikan?"
"Bahaya, Tuanku."
"Bahaya bagaimana, Angsono?" Jaka kembali bertanya.
"Kalau kedua senjata pusaka itu berada di tangannya, mungkin senjata itu akan menjadi bencana."
Jaka terangguk-angguk mengerti. Dihelanya napas panjang-panjang, sebelum akhirnya kembali berkata. "Lalu, bagaimana dengan Tuan Brahmana Loka?"
"Entahlah, Tuan. Mungkin kini tengah bertarung melawan murid murtadnya yang bersekutu dengan Siluman Kerta Ganda Mayit."
"Apa...! Jadi sekarang Wiku tengah menghadapi Siluman Kerta Ganda Mayit?" bertanya Jaka terbelalak kaget. Matanya seketika memandang tajam pada kelimanya. "Kenapa kalian malah pergi?"
"Kami disuruh pergi oleh Wiku." menjawab Angsono seraya menundukkan muka tak berani mengadu pandang dengan Jaka.
Terdiam Jaka penuh rasa. Nafasnya turun naik, memburu bagaikan memendam amarah. Kelima cantrik di hadapannya turut hening! Begitu juga Ratih yang duduk di sampingnya.
"Kita harus kembali," berkata Jaka kemudian.
"Maksud, Tuan?" serempak kelima cantrik bertanya tak mengerti.
"Kita harus kembali ke pesanggrahan."
"Jangan, Tuan."
"Kenapa, Longkat? Apakah kalian takut?"
"Tidak, Tuan. Kami tidak takut, tapi Wiku telah berpesan pada kami agar kami jangan sekali-kali balik bila tombak Inti Jagad masih berada pada kami. Juga kami disuruh mengabdi pada tuan belaka."
"Sekarang kalian telah menemui aku dan telah menjadi abdiku. Sekarang juga, kita berangkat ke sana."
Tanpa dapat dicegah oleh kelima cantrik yang akhirnya mengikuti, Jaka segera bergegas pergi menuju ke pesanggrahan Brahmana Loka. Ratih pun tak ketinggalan ikut serta bersama mereka.
********************
Perguruan Singa Putih...
Langit di atas perguruan Singa Putih tampak mendung. Awan tampak bergayut dengan tebal. Angin puyuh berhembus kencang, menyapu awan dari selatan yang makin menambah menggulung. Walau mendung telah begitu tebalnya, namun hujan tak kunjung jatuh. Di sebuah kursi kepemimpinan, tampak seorang lelaki dengan usia 40 tahun duduk. Alis matanya nampak mengerut. Dengan mata memandang ke luar.
"He, sepertinya pertanda buruk. Ada gerangan apakah?" bertanya hati lelaki itu. Perlahan ia bangkit dari duduknya. Sesaat dia berdiri, lalu melangkah keluar. Di samping perguruan, tampak murid-muridnya tengah berlatih dipimpin oleh murid tertuanya. "Ehm...!"
Melihat ketua perguruan datang, tanpa dikomando keseluruhan murid perguruan serentak menjura.
"Raspati...!"
"Hamba, Guru," menjawab Raspati yaitu pimpinan latihan. Ia adalah seorang murid utama perguruan Singa Putih. Sebenarnya murid utama Singa Putih ada lima orang yaitu, Raspati, Bambang Sodra, Rangka Lanang, Lumajang Geni, dan Srenggani seorang murid wanita. Namun keempat murid utama lainnya kini tengah mengabdi pada kerajaan hingga tinggal Raspati yang masih di situ.
"Raspati, tidakkah kau mempunyai firasat?"
"Firasat? Firasat apakah, Guru?" bertanya Raspati tak mengerti.
"Hem, tidakkah kau lihat mendung di langit itu?"
Raspati segera menengadahkan mukanya ke langit. Tampak mendung seperti tak mau pergi, bergayut di atas perguruan. Pertanda apakah? "Benar, Guru. Hamba melihat mendung sepertinya tak beranjak pergi. Gerangan apakah, Guru?"
"Mendung itu pertanda kegelapan, Raspati,"
"Apa...?" serentak keseratus murid perguruan berseru kaget demi mendengar ucapan ketuanya. Mata mereka seketika saling pandang, lalu sejurus kemudian menatap pada ketuanya.
"Ampun, Guru. Petaka apa yang bakal tiba? Ijinkanlah kami mengetahuinya, agar kami dapat berusaha mencegahnya," bertanya Raspati.
Sejenak pemimpin Singa Putih yang bernama Singa Amangkurat terdiam. Dihelanya napas panjang, lalu dihembuskan perlahan. Matanya kembali menengadah ke langit, di mana mendung masih. bergayut. Tengah mereka dicekam diam, tiba-tiba terdengar suara gelak tawa panjang. Bersamaan dengan habisnya gelak tawa itu, seketika berkelebat sesosok tubuh.
"Siapa kau?!" membentak Raspati.
"Singa Amangkurat, tidakkah kau dapat mengajar adat muridmu? Lancang benar ucapannya," berkata pemuda yang telah berdiri di hadapan Singa Amangkurat.
"Maafkan kelakuan muridku, Ki Sanak. Siapakah gerangan Ki Sanak sebenarnya? Lalu, ada keperluan apakah?"
"Amangkurat. Aku datang ke mari untuk mengajakmu menjadi pengikutku. Bagaimana, Amangkurat?"
"Maaf, Ki Sanak. Kami belum mengenalmu, untuk itulah sudi kiranya Ki Sanak mengenalkan nama."
"Namaku Cipta Angkara atau Penguasa Tunggal Persilatan."
"Setan Alas! Jangan kau ngaco belo, Anak muda!"
"Amangkurat, sungguh lancang muridmu. Apakah kau tidak dapat mengajarnya? Apakah aku yang harus mengajarnya?"
"Kau terlalu lancang, Anak muda. Kau seakan merendahkan kami. Datang tanpa permisi, tiba-tiba kau mengaku-aku penguasa tunggal Dunia Persilatan. Jangan mimpi!"
Geram hati Cipta Angkara mendengar ucapan Raspati. Maka tanpa memperdulikan Singa Amangkurat, Cipta Angkara segera berkelebat hendak menyerang Raspati. Namun langkahnya seketika terhalang oleh Amangkurat yang dengan cepat menghadangnya. "Rupanya kau pun hendak menentangku, Amangkurat!"
"Kalau kau berlaku baik. Aku tak akan menentangmu, Anak muda." menjawab Amangkurat tenang.
"Jangan banyak dalih, Amangkurat. Katakan, mau atau tidak kau menjadi pengikutku!"
"Tidak!" menjawab Raspati mendahului gurunya
"Bedebah! Rupanya murid dan guru sama. Baik, jangan salahkan aku bertindak telengas!" memaki Cipta Angkara, lalu dengan penuh amarah Cipta Angkara segera menyerang.
Diserang begitu rupa, dengan segera keseratus anak murid Singa Putih serempak maju mengurung. Hal itu makin menjadikan amarah Cipta Angkara. Dengan membabi buta bagai tak kenal rasa kasihan, Cipta Angkara menghantamkan ajiannya Lebur Sukma. Seketika pekik-pekik kematian pun bergema.
Melihat hal itu, serentak Raspati menghadang. Ia tak ingin adik-adik seperguruannya mati sia-sia. Dipapakinya serangan Cipta Angkara dengan ajian Loreng Cabik. Seketika kuku-kuku tangan Raspati memanjang. Tubuhnya berubah sedikit demi sedikit. Mukanya yang bagus, seketika berubah menjadi muka harimau. "Auum.... Gerr...!"
"Ilmu Siluman," berkata Cipta Angkara dalam hati. "Hem, jangan kira aku tak mampu. Tapi biarlah, akan aku hadapi dengan ajianku dulu."
"Hiaat...!"
"Auummm Gerr!"
Kedua makhluk itu saling loncat, bagaikan terbang ke angkasa. Keduanya segera bertemu, saling adu ilmu yang mereka miliki. Tersentak Cipta Angkara seketika, manakala ajiannya tak berarti apa-apa bagi siluman harimau itu. Bahkan pundaknya terasa perih, tersobek kuku runcing yang mengandung racun. Cipta Angkara segera melentingkan tubuh jauh, menghindari serangan Raspati yang telah berubah menjadi harimau. Ketika ia memandang pada pundaknya, ia tersentak. Pundaknya membiru gelap. Darahnya seakan membeku.
"Racun Singa Paya. Hem, aku harus hati-hati," membatin Cipta Angkara. Ditatapnya lekat-lekat pundak yang membiru, lalu dengan ludahnya diusapnya luka itu. Seketika luka di pundaknya menghilang, lenyap tak berbekas.
"Bedebah! Jangan harap kau mampu mengalahkanku!"
"Aum Gerr!"
"Hentikan, Raspati. Dia bukan tandingan mu!" berseru Amangkurat memperingatkan. Namun bagaikan tak mendengar, Raspati yang sudah dibakar amarah kembali menerjang Cipta Angkara.
"Raspati!"
"Aauuummmm..."
Raspati melolong panjang, manakala keris Kyai Sangkar di tangan Cipta Angkara berkelebat dan menikam ulu hatinya. Seketika darah memuncrat dari badannya. Tubuh Raspati kembali berubah menjadi manusia, ambruk dengan tubuh mengering bagai terbakar. Terbelalak mata Amangkurat melihat muridnya mati. Dengan penuh amarah Amangkurat segera berkelebat menyerang Cipta Angkara.
"Kau harus membayar nyawa muridku, Iblis!"
"Hua, ha, ha.... Kau yang akan kukirim ke akherat, Amangkurat. Bersiaplah!"
"Takabur! Jangan kau kira semudah kau bicara, Iblis!"
"Hua, ha, ha.... Lebih baik kau menjadi pengikutku, daripada kau mati percuma, Amangkurat!"
"Iblis! Jangan bermimpi di siang bolong!"
"Baik! Aku bukan bermimpi. Akan aku buktikan, hiat!"
Dengan harapan dapat segera menjatuhkan Amangkurat, Cipta Angkara tak segan-segan memakai keris Kyai Sangkar. Dengan Kyai Sangkar di tangannya menjadikan Cipta Angkara makin gesit. Hawa keris itu membuat nafsu membunuhnya makin menjadi-jadi. Ditebaskan keris itu pada pundak Amangkurat yang segera berkelit.
Amangkurat telah maklum, kalau keris itulah yang sungguh-sungguh berbahaya. Keris Kyai Sangkar bukanlah keris sembarangan. Bila ditempelkan pada air laut, seketika laut akan kering. Bila ditusukkan ke gunung, akan leburlah gunung itu menjadi debu. Keris itu juga mengandung hawa panas, hawa membunuh.
Amangkurat terus berkelit, sebisa-bisanya menghindari keris di tangan Cipta Angkara. Namun Cipta Angkara yang telah mengetahui bahwa lawannya ngeri melihat kerisnya, terus mendesak. Sekali-kali dihantamnya tubuh Amangkurat dengan ajian yang dimiliki. Namun dengan segera Amangkurat balas menghadang dengan ajiannya pula. Runtuhlah ajian Cipta Angkara, ia terhempas ajian yang dilancarkan Amangkurat.
"Suwe! Kalau begini terus menerus, tak akan berakhir," menggeretak Cipta Angkara dalam hati. Lalu dengan segera dipusatkan kedua tangannya memegang keris. Diusapnya ujung keris Kyai Sangkar. Seketika dari ujung keris keluar selarik sinar merah membara.
Tersentak Amangkurat melihat hal itu. Ia berusaha menghindar, namun akibatnya malah fatal. Anak buahnya seketika menjerit, terpanggang oleh api yang menyala keluar dari ujung keris,
"Menyerahkan, Amangkurat!"
"Jangan harapkan itu, Iblis! Aku akan mengadu nyawa."
Seketika Amangkurat terdiam, menyatukan tangan di dadanya. Sekejap kemudian, tubuh Amangkurat telah berubah menjadi raksasa besar. Mukanya yang berbentuk harimau, sungguh sangat menyeramkan, "Aauummm...!"
"He, tinggi juga ilmunya. Baik akan aku ladeni." berkata Cipta Angkara dalam hati. Kemudian, dengan segera Cipta Angkara melompat menyerang Amangkurat dengan keris Kyai Sangkar. Api membara keluar dari ujung keris, membakar tubuh Amangkurat. Namun bagaikan tak terasa, Amangkurat terus menyergap Cipta Angkara. Ditangkapnya tubuh kecil Cipta Angkara, lalu ditelannya hidup-hidup.
Sesaat Amangkurat tampak tersenyum. Namun kemudian, Amangkurat seketika memekik. Dari perutnya, keluar tubuh Cipta Angkara dengan keris pusaka berlumuran darah. Makin marah Amangkurat melihat musuhnya dapat keluar. Dengan tubuh yang telah sobek di perutnya, Amangkurat kembali menyerang Cipta Angkara. Dibantingnya tubuh Cipta Angkara hingga pingsan.
Ketika tubuh Cipta Angkara hendak diremukkan oleh Amangkurat, seketika tubuh Cipta Angkara berubah menjadi asap. Dari asap tebal berbentuk sesosok tubuh tinggi besar, setinggi tubuh Amangkurat. Tersentak Amangkurat dengan mata melotot menyaksikan hal itu. Lebih-lebih ketika ia tahu siapa yang kini berada di hadapannya. Karena saking kagetnya, Amangkurat seketika berseru menyebut orang yang berdiri di hadapannya.
"Kaukah kiranya, Ganda Mayit!" "Benar, aku Amangkurat."
"Mengapa kau datang lagi ke alam manusia, Ganda Mayit?"
"Hua, ha, ha.... Kau jangan egois, Amangkurat. Kau juga siluman, seperti aku. Kalau kau boleh menginjakkan kakimu di dunia manusia, kenapa aku tidak?"
"Bukankah kau telah berjanji tidak akan datang lagi?"
"Itu benar, Amangkurat. Tapi bila aku tak menemukan salah seorang murid murtad Brahmana Loka. Tapi kini, aku telah bebas dari perjanjian itu. Bahkan si Brahmana Loka telah mati di tangan muridnya sendiri. Kini tak akan ada yang dapat menghalangi aku. Hua, ha, ha...!"
"Jangan bermimpi, Ganda Mayit. Akulah yang akan menghalangimu. Dan aku juga yang akan mengirimmu kembali ke alam siluman."
"Hem, memang kita tak pernah bersatu, Amangkurat. Di mana kau berada, kau adalah penghalangku. Untuk itu, kau harus aku singkirkan dari dunia ini," mendengus Ganda Mayit marah. Seketika Ganda Mayit berkelebat menyerang. Tubuhnya yang sebesar gunung anakan, menghantam membabi buta.
"Minggirlah kalian semua!" berseru Amangkurat memperingatkan pada anak muridnya yang segera menyingkir.
Pertarungan dua siluman itu pun terjadi. Walau tubuh-tubuh mereka besar, namun sepertinya tak menghalangi gerakan-gerakan silat mereka. Setiap hantaman tangan dan kaki mereka, menjadikan suara yang membahana.
********************
Kita tinggalkan kedua siluman yang tengah mengadu ilmu mereka. Marilah kita tinjau Jaka dan kelima cantrik yang tengah menuju ke pesanggrahan milik Brahmana Loka. Manakala ketujuh orang itu tengah berjalan menerobos hutan, menuruni lembah dan ngarai. Tiba-tiba langkah mereka dihentikan oleh seruan seseorang.
"Anak Gendeng. Berhenti kau!"
Jaka Ndableg yang merasa seruan itu ditujukan padanya, dengan segera menghentikan langkahnya. Dibalikkan tubuhnya, menghadap pada asal suara itu. Kini tampak olehnya siapa yang telah memanggil. Ratih yang berdiri di samping Jaka, seketika tersentak. Ia tahu persis siapa adanya mereka yang tak lain Lima Iblis Penghisap Darah.
"Kakang Jaka " kata Ratih dengan gemetar.
"Jangan takut, Ratih. Hem, mereka belum kapok. Menyingkirlah kalian." berkata Jaka memerintah. Dengan segera, keenam orang pengikutnya pergi bersembunyi. Kini tinggal Jaka sendiri, menunggu kedatangan kelima Iblis Penghisap Darah.
"Pucuk di cinta ulam tiba. Rupanya kita menemukannya di sini, Kakang Lawer!"
"Benar adik, Suwing. Selamat ketemu kembali, Anak edan."
"Ha, ha, ha, ha " tertawa Jaka bergelak, menjadikan kelima Iblis Penghisap Darah tersentak saling pandang.
"Diam! Tak ada yang lucu di sini!" membentak Lawer.
"Ha, ha, ha.... Tak ada yang lucu? Bukankah kalian memang lucu? Julukan kalian menyeramkan, tapi nama kalian bagaikan nama para pengemis kere. Ha, ha, ha...!"
"Monyet!"
"Apa? Kalian mengaku keturunan monyet? Pantas-pantas, muka kalian memang seperti monyet."
Makin marah saja kelima Iblis Penghisap Darah mendengar ucapan Jaka yang ngelantur. Namun begitu, mereka tidak mau berlaku sembrono. Mereka telah tahu siapa adanya pemuda di hadapannya. Pemuda yang konyol, namun berilmu tinggi.
"Pemuda edan! Serahkan gadis yang kau bawa itu pada kami. Maka kami akan memutuskan segala silang sengketa denganmu."
"Klawer, ngomongmu bak raja kelaparan. Seenak udel kau ngomong. Jangan harap aku akan menyerahkan gadis itu, sebab gadis itu telah tergila-gila padaku. Kalau pun aku serahkan, niscaya dia tak akan mau dengan adikmu yang bermuka oncom!"
"Bedebah! Kau terlalu menghina, Bocah edan!"
"Hai, rupanya kau bisa marah juga. Apa maumu, Klawer?"
"Bangsat! Serang dia!" berseru Klawer memerintah. Seketika keempat adiknya segera menyerbu Jaka. Golok di tangan kelima orang itu berkelebat, membabat tubuh Jaka yang segera berkelit.
"Tooobaat Aku hendak dibikin sate?"
"Bangsat! Jangan banyak bacot!" memaki Klawer marah merasa diledek oleh Jaka.
"Jangan galak-galak, Oom!"
"Jangan terpengaruh dengan ocehan gilanya. Serang terus!"
Wuut!
Sebatang golong berkelebat di atas kepala Jaka yang menunduk. Jaka segera membuang tubuhnya ke kanan, lalu dengan jari menyentil, disentilnya golok itu. Seketika golok di tangan musuhnya patah menjadi dua. Terbelalak mata musuhnya melihat hal itu. Melihat salah seorang musuhnya terbengong, Jaka segera menjejakkan kakinya setelah melenting ke angkasa. Tubuh orang yang ditumpangi, seketika amblas menyerosot ke dalam tanah. Jaka baru melompat pergi manakala tubuh musuhnya telah amblas sebatas dada.
Bergidik keempat Iblis Penghisap Darah yang lain demi melihat kenyataan itu. Tanpa memperdulikan temannya, keempatnya segera kabur. Jaka yang memang tak bermaksud mengejar mereka hanya tersenyum. Dihampiri orang yang terbenam dalam tanah. Orang itu nampak ketakutan hingga keringat dingin deras keluar dari pelipisnya.
"Ampunilah aku. Jangan bunuh aku," meratap orang itu.
"Heh, siapa yang mau membunuh kamu?"
"Terimakasih, Tuan pendekar. Terima kasih."
"Hua, ha, ha.... Ternyata Iblis Penghisap Darah bisa ketakutan. Hoy teman-teman, keluarlah!"
Dari semak-semak, tampak bermunculan kelima cantrik bersama Ratih. Mereka segera berlarian menuju ke tempat Jaka yang tengah jongkok memandangi musuhnya.
"Bagaimana menurut kalian? Apakah orang ini dibiarkan saja di sini biar dikeloni sama cacing tanah?"
"Hii. Jangan, Tuan! Saya minta ampun," bergidik orang Iblis Penghisap Darah demi mendengar ucapan Jaka. Namun bagaikan tak memperdulikannya, Jaka hendak segera berlalu.
"Ayo, kita pergi!"
"Tapi, Tuan?" bertanya Angsono.
"Biar dia di situ, ayo!"
"Tuan.... Ampunilah saya. Lepaskan saya dari himpitan tanah ini! Tolonglah saya, Tuan. Saya mempunyai anak dan istri."
"Ah, kamu ngaco ngomongnya!" membentak Jaka pura-pura marah.
"Tidak, Tuan. Aku tidak ngaco, aku punya anak dan istri."
"Hem, jadi kau punya anak dulu baru beristri. Kau kumpul kebo, ya?"
Ratih dan kelima cantrik seketika tertawa mendengar ucapan Jaka yang konyol. Sebaliknya, Iblis Penghisap Darah makin tak mengerti dengan omongan Jaka yang aneh-aneh. "Tidak, tuan. Aku tidak kumpul kebo."
"Lalu kumpul apa?" tanya Jaka masih ngebanyol
"Kumpul orang, Tuan." menjawab Iblis Penghisap Darah saking takut dan gugupnya, menjadikan kelima cantrik dan Ratih kembali tertawa.
"Kakang Jaka, sudahlah. Nanti dia bisa kencing di celana."
"Biar, sekali-kali biar dia merasakan betapa wanginya ompol orang tua. Siapa namamu, Ki Sanak?"
"Nama saya, Rosmad," menjawab Rosmad masih gemetaran. Ketika dirasakannya ada yang bergerak-gerak di kakinya, serta merta Rosmad memekik. "Aooh, tolong Tuan!"
"Hai, kenapa kau menjerit-jerit kayak anak kecil?"
"Aduh, kaki saya, Tuan. Kaki saya...." berkata Rosmad terbata.
"Kenapa dengan kakimu, Rosmad?"
"Kaki saya ada yang menggigit."
Kasihan juga Jaka melihatnya meringis-ringis. Maka sekali kaki Jaka menghentak tanah di samping Rosmad, tubuh Rosmad seketika meloncat terbang ke angkasa lolos dari tanah. Terbelalak kelima cantrik melihat hal itu, sampai-sampai mata mereka melotot memandang pada tubuh Rosmad yang melayang.
"Aoh...." Ratih menjerit seraya menutupi mukanya, manakala melihat Rosmad tak memakai celana lagi. Di kaki Rosmad menempel seekor kepiting. Cepitan kepiting yang keras menjadikan Rosmad berteriakteriak kesakitan. Ia berlari-lari tak menghiraukan keadaan tubuhnya yang telanjang.
Tertawa bergelak seketika kelima cantrik demi melihat hal itu. Hanya Ratih yang masih menutupi muka dengan kedua tangannya. Setelah Rosmad tak dilihat lagi, merakapun segera kembali meneruskan perjalanan ke Pesanggrahan milik Brahmana Loka.
********************
LIMA
Pertarungan antara Ganda Mayit melawan Amangkurat masih berjalan. Keduanya tampak samasama tangguh, keduanya sama-sama warga siluman. Berpuluh bahkan beratus-ratus ilmu telah mereka keluarkan untuk dapat mengalahkan lawannya. Namun sampai pertarungan berjalan dua hari, sepertinya mereka tak ada yang bakal kalah. Ketika hari menginjak ketiga, dengan licik Ganda Mayit menghantamkan ajiannya ke tubuh Amangkurat. Seketika Amangkurat meraung-raung kesakitan, sebelum akhirnya roboh tanpa nyawa. Melihat pemimpinnya mati, seketika anak murid Amangkurat jatuhkan diri bersujud meminta ampun. Hal itu membuat Ganda Mayit tertawa bergelakgelak.
"Bagus, bagus! Rupanya kalian masih menghendaki hidup."
"Benar, Sang Kuasa," jawab mereka serempak.
"Nah, dengar oleh kalian. Mulai hari ini, akulah rajamu."
"Daulat, Sang Kuasa!"
"Kalian harus nurut padaku! Kalian harus tunduk dan menyembah aku, mengerti!"
"Daulat, Sang Kuasa!"
Perlahan-lahan tubuh Ganda Mayit menyusut, mengecil dan kembali berubah menjadi Cipta Angkara. Mata Cipta Angkara tampak memandang tajam, dan dengan angkuhnya ia berkata. "Kau, siapa kau namanya?"
Orang yang ditunjuk nampak gemetaran, menjawab dengan terbata-bata. "Hamba, Gajah Biru, Tuanku."
"Gajah Biru, mulai sekarang kau kutunjuk menjadi wakilku."
"Daulat, Tuanku."
"Nah, dengar oleh kalian semua. Mulai hari ini, kalian harus menurut pada apa yang dikatakan Gajah Biru. Mulai hari ini pula, kalian harus beraksi. Rampok orang-orang kaya, teror tokoh-tokoh persilatan. Katakan pada mereka, mau atau tidak menjadi pengikut kita. Bila mau biarkan ia hidup menjadi anggota. Tapi bila menolak, jangan segan-segan, bunuh dia!"
"Daulat, Tuanku...!" menjawab mereka serempak.
"Nama perguruan ini, mulai sekarang aku ganti menjadi "Persekutuan Iblis", Hua, ha, ha...!"
"Daulat, Tuanku!"
"Nah, Gajah Biru pimpin olehmu mereka semua. Ingat! Jangan sekali-kali membantah! Kalau membantah, maka kau akan seperti ini."
Dikiblatkan kerisnya ke salah seorang bekas anggota Singa Putih. Seketika orang itu meraung, sebelum akhirnya roboh dengan tubuh kering kerontang. Darahnya seperti tersedot oleh keris Kyai Sangkar. Tercekam yang lainnya melihat hal itu. Maka dengan penuh rasa takut, yang lainnya segera menyembah. Makin membuat Cipta Angkara yang mabok kuasa tertawa bergelak-gelak senang.
"Ingat baik-baik tugas kalian. Bila kalian mengalami kesulitan, datanglah segera menemui aku." Habis berkata begitu, secepat kilat Cipta Angkara berkelebat pergi meninggalkan mereka yang hanya terdiam tercekam.
********************
Cipta Angkara yang tengah berlari, seketika menghentikan langkahnya manakala dirasa ada orang yang menguntitnya. Dengan gemas bercampur marah, Cipta Angkara segera membentak. "Orang-orang yang bersembunyi, keluarlah! Jangan suka main kucing-kucingan!"
Satu persatu orang yang menguntitnya ke luar dari persembunyian. Kelima orang itu yang ternyata Iblis Penghisap Darah tersenyum sembari menjura hormat.
"Maafkan kami yang bodoh ini, Tuan pendekar," berkata Lawer mewakili keempat adiknya.
"Siapa kalian?"
"Kami lima Iblis Penghisap Darah."
"He, nama yang sudah terkenal. Mau apa kalian menghadang dan mengikuti langkahku?"
"Ampun, Tuan pendekar. Kami ingin menjadi anggota Persekutuan Iblis yang tuan pimpin."
"Bagus, bagus. Apakah kalian tahu syaratnya?"
"Tidak, Tuan pendekar," menjawab Lower.
"Dengar oleh kalian. Syarat untuk menjadi anggota Persekutuan Iblis, kalian harus mampu membawa hasil rampokan kalian. Kalian sanggup?"
"Sanggup, Tuan pendekar."
"Baik! Bawalah hasil rampokan kalian nanti pada malam Jum'at ke markas. Kedua, teror semua tokoh-tokoh persilatan agar mau menjadi anggota kita. Bila ia menolak, jangan segan-segan bunuh!"
"Baik. Kami akan selalu menuruti apa yang tuan katakan."
"Laksanakan sekarang juga. Ingat malam Jum'at!"
Setelah berkata begitu, kembali Cipta Angkara berkelebat pergi meninggalkan kelima Iblis Penghisap Darah yang hanya terbengong-bengong tak mengerti. Kelima Iblis Penghisap Darah pun segera berlalu setelah sekian lama terdiam memandang pada kepergian Cipta Angkara.
********************
Menangis kelima cantrik itu demi melihat tubuh Wikunya telah mati. Tubuh Brahmana Loka tersangsang di atas cabang pohon dengan dada bolong. Jaka yang melihat hal itu, seketika merasa trenyuh. Dengan sekali lompat, diambilnya tubuh Brahmana Loka dari sangsangan cabang pohon.
"Duh, Wiku. Mengapa kau secepat ini meninggalkan kami?"
"Benar, Wiku. Kenapa engkau secepat ini pergi?"
"Mengapa engkau tak menghindar pergi saja?"
"Sudahlah, Longkat, Tenggiri, Lomber. Janganlah kalian menangisi kepergiannya. Dia pergi dengan kebaikan, dia akan diterima oleh Yang Jati Wisesa," berkata Jaka menghibur. Sementara Ratih sepertinya turut terbawa arus, ia pun turut menangis.
"Mari kita semayam kan tubuhnya dengan baik. Dia adalah seorang Wiku, sepantasnyalah bila dia harus dihormati."
"Apakah beliau akan masuk surga, Tuan Pendekar?"
"Aku tak mengerti, Angsono. Masuk atau tidaknya seseorang, terletak pada perbuatannya kala masih hidup. Bila orang itu berbuat baik, niscaya ia akan masuk surga. Ah, sudahlah, yang penting kita rawat mayatnya dengan baik."
Habis berkata begitu, dengan tanpa memperdulikan kelima cantrik yang masih menangis Jaka menggali tanah. Dengan memakai selembar papan kayu Jaka terus menggali dan menggali. Keringat bercucuran tak dihiraukannya. Tak berapa lama antaranya, liang lahat pun telah dalam. Jaka segera melompat naik dan menghampiri tubuh Brahmana Loka yang masih ditangisi oleh kelima cantriknya.
"Sudahlah, kalian jangan terus menangis. Bantu aku menyemayamkan tubuhnya," berkata Jaka. Dibopongnya mayat Brahmana Loka menuju ke galian liang. Perlahan tubuh Brahmana Loka direbahkan. Dengan dibantu oleh kelima cantrik, diurugnya liang itu kembali.
"Mari kita berdo'a untuk arwahnya. Semoga dapat diterima di sisi Yang Jati Wisesa."
Kesemuanya seketika terdiam hening, tanpa kata-tanpa suara. Mereka seperti kusuk memanjatkan do'a. Angin bersemilir meniup rambut mereka, sepertinya memberikan penghormatan yang terakhir.
"Bukankah lebih baik kalian menetap di sini?"
"Ah, kami takut, Tuan!" berkata Angsono.
"Takut...? Takut pada siapa?"
"Kami takut kalau-kalau dia datang," kata Longkat beralasan.
"Hem, takut mati karena kebaikan adalah kepengecutan. Apakah kalian mau dikatakan orang pengecut?"
"Tidak, Tuan."
"Nah, kenapa kalian mesti takut? Ingat, bila ajal tiba semuanya pasti akan mati juga. Baik itu orang sakti, rakyat biasa, ataupun titisan dewa. Maka itu, janganlah kalian takut mati sebab kematian adalah kekekalan hidup. Kalian mengerti?"
"Mengerti, Tuan Pendekar."
"Sekarang juga, kita bangun kembali pesanggarahan ini. Kita menempati pesanggrahan ini kembali, bagaimana?"
"Kami sebagai abdi hanyalah menurut apa kata tuannya," menjawab Angsono mewakili teman-temannya.
"Ayo, kita dirikan lagi pesanggrahan ini,"
Hari itu juga, dengan gotong royong mereka kembali mendirikan pesanggrahan yang telah menjadi puing-puing. Ada yang mencari kayu, bambu, ijuk, dan bahan lainnya. Setelah hari telah menjelang sore, pesanggrahan itu pun jadi.
"Nah, karena pesanggrahan ini telah jadi, aku minta kalian dapat tetap di sini," berkata Jaka kala mereka tengah duduk-duduk menikmati makam malam.
"Tuan pendekar sendiri, apakah tidak di sini?"
"Aku juga di sini, Longkat. Namun untuk sementara, aku hendak pergi."
"Ke mana, Kakang?"
"Aku hendak mencari murid durhaka itu."
"Jadi tuan hendak pergi?"
"Benar, Tenggiri. Tapi aku pergi tak akan lama. Aku hanya akan mencari murid durhaka itu. Kalian tenang-tenanglah di sini, aku akan segera kembali lagi."
Jaka Ndableg segera berkelebat pergi, meninggalkan kelima temannya. Sepeninggalan Jaka kelima temannya tampak hening. Mereka seperti was-was, mereka takut kalau-kalau Cipta Angkara datang. Malam itu pun dilalui mereka dengan keheningan, tanpa ada yang berani berkata-kata. Kala hari telah agak larut, kelima cantrik dan Ratih pun segera beranjak tidur.
********************
Malam begitu sunyi, tiada suara lain selain suara binatang malam. Ketika kesunyian itu mencekam, tampak seorang lelaki berjalan mengendap-endap menuju ke sebuah rumah. Rumah itu, adalah rumah Bupati Brebes. Langkahnya begitu ringan hingga tak ada suara sedikitpun. Sesaat mata lelaki itu memandang sekeliling, lalu dengan berjingkat-jingkat ia kembali berjalan.
"Hoop, ya." Dengan sekali hentak, tubuh lelaki itu telah melompati pagar rumah. Sesaat lelaki itu diam, memandang pada para penjaga yang tengah duduk-duduk sambil main gaple.
"Hem, kebetulan," ucapnya dalam hati.
Dipungutnya sebuah kerikil, lalu dengan segera disambitkan pada salah seorang penjaga. Seketika penjaga itu pun ambruk tertotok darahnya.
"He, kenapa Jaran Langan?" bertanya seorang penjaga lainnya.
"Entahlah, ia tiba-tiba pingsan," jawab yang lain.
"Heh, rupanya ada orang di sekitar sini. Lihat, ada batu kerikil!"
"Benar, Kucing Ireng."
"Itu dia!" berseru Kucing Ireng demi dilihatnya sebuah bayangan berkelebat dari pepohonan. Serentak ketiga orang itu segera berkelebat memburu. "Jangan lari!"
"Aku tidak akan lari. Ini untuk kalian!" berkata lelaki yang mereka kejar. Tangan lelaki itu bergerak cepat, dan bertaburanlah selarik sinar putih memburu ke arah ketiga pengejarnya.
"Awas racun!" memekik Kucing Ireng mengingatkan pada kedua temannya yang dengan segera bergerak mengelak. Mendengar suara ribut-ribut, Bupati Brebes segera bangun. Serta merta ia keluar dari kamarnya menuju ke luar.
"Ada apa, Kebo Lanang?"
"Ampun Kanjeng Bupati. Ada maling masuk."
"Maling?" bertanya Bupati Brebes seperti tak percaya.
"Benar, Kanjeng. Itu dia!" berseru Kucing Ireng seraya kembali melompat memburu diikuti oleh kedua rekannya. "Jangan lari, Bangsat!"
"Aku tidak lari. Aku di sini."
Terbelalak ketiganya, manakala melihat ke belakang. Tampak oleh mereka bupati tengah meregang nyawa. Karena sangking terkejutnya hingga ketiganya seketika memekik. "Kanjeng Bupati!"
"Iblis! Kau telah membunuh kanjeng Bupati. Maka kau pun harus mati pula, hiat...!" Kucing Ireng yang terkenal gesit dan cekatan dengan segera berkelebat menyerang.
Namun seperti tak memandang sebelah mata pun, lelaki itu tertawa bergelak. Dikibaskan tangannya, dan dari tangannya seketika berhamburan selarik sinar putih menderu ke arah mereka. Ketiganya sesaat tersentak, lalu dengan berjumpalitan ketiganya mengelak. Belum juga ketiganya dapat tenang, tiba-tiba lelaki itu telah menyerang mereka kembali. Dari tangan lelaki itu keluar cahaya merah menyala. Semakin lama semakin besar cahaya itu, membentuk sebuah larikan sinar.
Sinar yang ternyata dari ujung keris berkiblat ke arah mereka. Ketiganya berusaha mengelak, namun tak urung salah seorang terkena juga. Dua orang lainnya seketika melototkan mata, manakala melihat apa yang terjadi. Tubuh temannya seketika meregang nyawa dengan tubuh kering bagai tak berdarah. Belum hilang kekagetan mereka berdua, kembali selarik sinar berkelebat mengarah ke arahnya. Tanpa ampun lagi, keduanya terhantam oleh larikan sinar merah itu. Seperti temannya yang pertama, keduanya pun mati dengan tubuh mongering bagai tak berdarah.
"Hua, ha, ha...! Kini akulah yang berkuasa. Akulah pimpinan dunia persilatan!" berkata lelaki itu yang ternyata Cipta Angkara dengan sombongnya. Lalu dengan masih meninggalkan tawa, Cipta Angkara segera berkelebat pergi.
Sejak kepemimpinan Singa Putih yang berganti nama dengan Persekutuan Iblis berada di tangan Cipta Angkara, sepak terjangnya makin mengganas. Mereka merampok, memperkosa, menteror, bahkan tidak segan-segan membunuh. Hal itu menjadikan tokoh-tokoh persilatan dari golongan lurus dibuat bingung. Betapa tidak! Mereka selalu menteror para tokoh persilatan. Bila para tokoh itu menolak, maka kematianlah yang didapatkan. Tapi bila mereka menerima, niscaya mereka akan menjadi pengikutnya.
********************
"Aku jadi tak habis pikir," berkata Ki Rami Wilaba pada saat diadakan pertemuan antar tokoh persilatan.
"Apakah Ki Rami bimbang?"
"Tidak, Adipati. Aku bukan bimbang atau takut. Namun aku bertanya dalam hatiku, apa maksud mereka sebenarnya."
"Jelas mereka bermaksud membuat kita was-was, Ki Ranu," menjawab Raka Jengger.
"Apakah tak ada yang dapat menandingi pimpinan Persekutuan Iblis? Apakah telah begitu lemahnya ilmu-ilmu yang kita miliki?" kembali Ki Ranu bertanya, menjadikan kesemua yang hadir terdiam.
"Telah banyak korban berjatuhan dari tokoh-tokoh persilatan. Telah menderita rakyat kecil yang tak berdosa. Ah, apakah dunia akan benar-benar kiamat?"
"Jangan putus asa, Ki Ranu."
Tengah mereka dalam kebimbingan, terdengar suara tanpa rupa berkata. Seketika semua yang hadir terperanjat dan serta merta menengok ke asal suara itu. Tampak kini seorang lelaki muda berdiri dengan angkuhnya menghadap mereka.
"Siapa kau, Anak muda?" bertanya Ki Ranu yang dijawab oleh pemuda itu dengan tersenyum sinis sembari menjawab.
"Akulah Cipta Angkara penguasa Dunia Persilatan."
"Iblis! Rupanya kaulah orangnya?"
"Benar, Ki Ranu. Akulah orang yang kalian cari."
"Mau apa kau datang ke mari?"
"Seperti pada tokoh-tokoh persilatan yang lain, aku datang untuk satu tujuan. Kalian mengerti tujuanku?" bertanya Cipta Angkara dengan sombongnya. Matanya memandang tajam pada kesepuluh tokoh persilatan yang hadir di situ. "Kalian boleh milih. Ikut menggabung denganku, atau mati."
"Lebih baik kami mati, Iblis!" menjawab Raka.
"Bagus! Siapa lagi yang ingin mati?"
"Kami semua!" menjawab serentak kesembilan orang lainnya.
"Hua, ha, ha. Bagus! Rupanya kalian memang pantas untuk mati. Nah, bersiaplah!"
Habis berkata begitu, serta merta Cipta Angkara segera berkelebat menyerang kesepuluh tokoh persilatan. Kesepuluh tokoh persilatan tak mau tinggal diam. Mereka dengan segera berkelit, lalu dengan berbareng kesepuluh orang itu menyerang balik. Terkejut Cipta Angkara bersamaan. Dengan berjumpalitan, Cipta Angkara segera menghindari.
"Jangan lari, Iblis!"
"Aku tidak lari, Ki Ranu. Aku menunggu kalian di luar!"
Mendengar jawaban Cipta Angkara, segera kesepuluh tokoh persilatan berhamburan ke luar. Mereka segera kembali mengepung Cipta Angkara yang tampak masih tersenyum-senyum.
"Nah, bukankah di sini lebih leluasa? Buatlah lobang untuk kalian sendiri!"
"Sombong! Jangan kira semudah kau bicara, Anak muda!"
"Baik! Kalau kalian tak mau membuat lubang untuk kalian, maka akulah yang akan membikinkan. Lihat...!" dikiblatkan keris Kyai Sangkar sepuluh kali. Maka dalam sesaat, lobang pun telah menganga di hadapan mereka.
Tersentak kesepuluh tokoh persilatan melihat hal itu. Sampai-sampai kesepuluhnya melompat mundur. Mata mereka tajam mengawasi segala gerak-gerik Cipta Angkara.
"Terlalu banyak kau membuat, Iblis! Semestinya hanya satu lobang, yaitu untukmu sendiri," berkata Raka, bagaikan tak gentar sedikitpun melihat hal itu. Hiat...!"
"Hem, kita buktikan saja. Mari kita mulai,.."
Melihat Cipta Angkara menyerang dengan keris Kyai Sangkar di tangannya. Maka dengan segera kesepuluh tokoh persilatanpun tak malu-malu lagi bareng mengeroyok. Mereka tahu, apa pun yang terjadi mereka harus mampu melepaskan keris pusaka itu dari tangan Cipta Angkara.
Pertarungan satu melawan sepuluh telah terjadi. Walau dikeroyok oleh tokoh-tokoh persilatan, namun tampaknya Cipta Angkara tak gentar. Gerakannya gesit dan lincah. Keris Kyai Sangkar makin menambah nafsunya untuk membunuh. Larikan-larikan sinar yang keluar dari keris Kyai Sangkar terus memburu kesepuluh musuhnya, menjadikan mereka harus berjumpalitan mengelakkan serangan itu.
Jurus demi jurus mereka lalui dengan cepatnya. Tak terasa telah mencapai puluhan jurus. Ketika hendak menuju ke jurus enam puluh, di mana para tokoh persilatan agak keteter. Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan yang menghadang serangan Cipta Angkara. Bayangan itu yang tak lain Jaka Ndableg, dengan segera menangkis larikan sinar merah dengan tombak Inti Jagad. Seketika larikan merah itu, mental berbalik menyerang Cipta Angkara.
Tersentak Cipta Angkara melihat kenyataan yang terjadi. Matanya menatap lekat pada tombak yang berada di tangan Jaka. Setelah pasti bahwa tongkat di tangan Jaka memang Inti Jagad adanya, Cipta Angkara membentak. "Siapa kau!"
"Aku Aku adalah Jaka Ndableg. Karena sifatnya yang kata orang-orang agak sinting, mereka memanggilku dengan nama Jaka Ndableg."
Tersentak Cipta Angkara demi mendengar nama pemuda di hadapannya. Seketika ia menyusut mundur. Lalu dengan tanpa diduga oleh Jaka, dia segera berkelebat pergi.
"Siapa dia adanya, Ki Sanak?" bertanya Jaka pada para tokoh pendekar setelah kepergian Cipta Angkara.
"Kenapa anak muda tidak membunuhnya sekalian?" balik bertanya Ki Ranu, menjadikan Jaka terbelalak tak mengerti seraya kembali bertanya.
"Apa maksudmu, Ki?"
"Kalau benar anak adalah Jaka Ndableg adanya, maka anak adalah seorang tokoh pendekar muda pembela kebenaran."
"Hai, kau menyindirku, Ki?"
"Aku tak bermaksud menyindirmu, Pendekar. Tapi ketahuilah, bahwa pemuda tadi adalah tokoh yang kini telah menteror persilatan. Dialah yang bernama Cipta Angkara, pemimpin Persekutuan Iblis."
"Apa? Jadi..."
"Ya, dialah orangnya."
"Kalau begitu, aku harus mengejarnya." Tanpa mengucap salam sedikitpun, Jaka Ndableg segera melesat pergi meninggalkan kesepuluh tokoh persilatan.
Terheran-heran kesepuluh tokoh persilatan melihat tingkah Jaka. Saking herannya hingga mereka sampai menggeleng-gelengkan kepala, "Sungguh pendekar aneh. Kendablegannya, menjadikannya seperti orang kebanyakan. Namun ilmunya, oh.... Sungguh tiada taranya," bergumam Ki Ranu, sepertinya pada diri sendiri.
"Benar, Ki Ranu. Walaupun dia ndableg, namun ilmunya tak terjangkau oleh tangan, tak terjajagi oleh kaki. Kita yang tua-tua, seperti tak ada artinya bila dibanding dengannya," menambahkan Ki Buyung Lemah Abang. "Apakah kita hanya tinggal diam?"
"Tidak, Ki Buyung. Hari ini juga, kita segera bergerak."
"Maksudmu, Ki Ranu?" bertanya Raka belum mengerti.
"Kita segera bergerak membantu pendekar muda itu."
"Itulah yang paling tepat, Ki Ranu," kata Ki Gandrek.
Malam itu juga, kesepuluh tokoh persilatanpun segera mengatur rencana. Dan malam itu juga kesepuluh tokoh itu segera berangkat menuju pusat Persekutuan Iblis.
********************
ENAM
"Tolong.... Tolong...!" Terdengar jeritan memecah malam buta.
Penduduk desa Bojong seketika tersentak dari tidurnya, demi mendengar suara jeritan itu. Serta merta mereka berlarian keluar. Dibunyikan kentongan tanda bahaya. Mendengar bunyi kentongan itu, seketika penduduk yang lainpun segera berdatangan keluar.
"Ada apakah?"
"Ada perampokan," menjawab yang ditanya.
"Perampokan?"
"Di mana...?"
"Di sana."
Seketika semua penduduk berlari menuju ke arah yang ditunjuk oleh peronda tadi. Memang benar bahwa di tempat itu tengah terjadi perampokan.
"Tangkap rampok itu! Ayo...!" seru seorang lelaki yang menjadi kepala desa. Bojong. "Ayo, ayo.... Tangkap rampok itu!"
Dengan senjata apa adanya, semua penduduk segera menyerbu pada kelima rampok. Kelima rampok yang ternyata Iblis Penghisap Darah sepertinya tak gentar. Dihadapinya serbuan penduduk dengan balik menyerang. Seketika jerit kematian pun melengking, makin membuat keheningan malam itu pecah. Setiap babatan golok kelima Iblis Penghisap Darah selalu memakan korban.
"Menyerahlah kalian dan pulang ke rumah masing-masing. Ayo, cepat!" membentak Lower sembari membabatkan goloknya. Kembali terdengar pekikkan kematian, manakala golok Lower membabat putus leher penyerangnya.
Namun bagaikan tak ada rasa takut, penduduk desa Bojong terus menyerang. Walau korban makin banyak berjatuhan, tapi yang masih hidup terus berusaha melawan. "Jangan biarkan rampok-rampok biadab itu kabur. Serang...!"
Kembali berteriak pimpinan desa Bojong memberi semangat. Hal itu menjadikan semangat penduduk makin membara. Dengan penuh keberanian, semua penduduk kembali menyerbu. Kembali terdengar jerit kematian manakala golok kelima iblis berkelebat.
"Rupanya kalian ingin mati. Hiat...!"
"Kalianlah yang mencari mati, Garong biadab!"
"Adik-adik, jangan biarkan segelintir dari mereka hidup. Bunuh semua!" berseru Lower memberi perintah. Maka dengan tanpa mengenal rasa kasihan, golok mereka terus mencari korban.
Pekikkan-pekikkan kembali menggema bersama dengan makin larutnya malam. Para wanita berlarian, mencari keselamatan. Desa Bojong bagaikan diaduk, dibakar oleh hiruk pikuk wanita mencari selamat. Manakala kecamuk perang makin mengganas, tiba-tiba terdengar suara seseorang berkata.
"Hai.... Ternyata kunyuk-kunyuk ini berada disini!"
Tersentak semua orang yang tengah bertarung demi mendengar seruan itu. Seketika semua menghentikan pertempuran, memandangkan matanya pada seorang pemuda yang tiba-tiba telah berdiri di tengah-tengah ajang pertarungan.
"Bujur buset, rupanya kalian masih belum sadar."
"Diam kau, Anak gendeng! Jangan ikut campur urusan kami," membentak Lower, manakala tahu siapa orang yang telah berdiri di hadapannya.
Pemuda itu yang tak lain Jaka Ndableg cuma tersenyum. "Gila Eh, kapankah aku gila? Atau barangkali kalian sendiri yang gila?"
"Edan...! Percuma kita ladeni omongannya yang ngelantur. Serang...!"
Mendengar seruan Lower, seketika keempat Iblis Penghisap Darah serentak menyerang Jaka. Golok di tangan mereka berkelebat, membabat dan menusuk tubuh Jaka. Diserang begitu rupa, tidak menjadikan Jaka keder. Malah dengan garuk-garuk kepala dan sekali-kali mendekap pantatnya Jaka terus berkelit menghindar.
Melihat tingkah laku Jaka, seketika makin marah saja Kelima Iblis Penghisap Darah. Salah seorang dari kelimanya bermaksud menendang pantat Jaka yang nungging. Namun dengan segera, Jaka lentingkan tubuhnya ke udara, dan...!
"Duuutttt...!"
Dari pantat Jaka terdengar suara gas beracun mengepul, menjadikan orang yang hendak menendangnya segera menghindar. Bau dari gas itu begitu menyesakkan.
"Bangsat! Kau berani mengentuti aku!"
"Heh, bukankah kau yang meminta?"
"Edan! Kucincang kau!" Dengan segera ditebaskan golok ke arah Jaka yang secepat itu pula mengelit.
"Ampun, Oom. Jangan... Jangan dicincang, Om...!"
"Bedebah! Dasar edan!" kembali orang itu tebaskan golok.
Jaka tersentak seketika, kala golok orang itu lewat dua inci di sampingnya. Namun dengan gaya seekor monyet, Jaka menggeliat dengan cepat. Dilentingkannya kembali tubuhnya ke udara, lalu dengan segera tanpa dapat dielakkan Jaka telah menjitak kepala musuhnya.
"Ampuun...!" memekik orang itu dengan darah mengucur dari kepalanya. Sesaat orang itu menggelepar-gelepar, lalu ambruk dengan nyawa hijrah ke akherat.
Terbelalak keempat Iblis Penghisap Darah lainnya demi melihat temannya telah pergi meninggalkan alam fana. Mata keempatnya melotot seketika, memandang pada Jaka yang masih tersenyum-senyum.
"Kenapa dengan temanmu itu, Sobat?"
"Monyet! Jangan kau berlagak bodoh! Kau harus menebus nyawa seorang temanku!" membentak Lower selaku paling tua.
"Hah Kapan aku menggadu pada kalian?"
"Bedebah! Kau masih banyak bacot, Sinting!" Diterjangnya Jaka dengan penuh amarah.
Melihat musuhnya telah menerjang, Jaka dengan segera mengegoskan tubuh menghindar sembari berseru. "Ampun Oom, Jangan mengeroyok..."
"Sundel! Masih saja kau berteriak-teriak kaya orang tak waras!"
"Aduh.... Dia galak, Mak. Tolong Jaka, Mak!"
Jaka segera melentingkan tubuhnya ke udara, berputar-putar sesaat bagai main akrobat. Jaka bagaikan orang menari, melenggak-lenggokkan tangannya. Mulutnya tersenyum, lalu dengan segera dimoyongkan. Tak dapat lagi kemarahan keempat Iblis Penghisap Darah terbendung melihat tingkah laku Jaka yang seperti orang gila. Bukan hanya keempat Iblis Penghisap Darah saja yang melototkan mata. Namun seluruh penduduk pun turut terdiam, takjub melihat ilmu silat yang dipakai Jaka. Belum juga keempat Iblis Penghisap Darah sadar dari bengongnya, tiba-tiba Jaka menyemburkan ludahnya ke arah mereka.
"Ini untuk kalian Cuih!"
Keempat Iblis Penghisap Darah berusaha menghindar. Namun semburan ludah Jaka lebih cepat melaju dan langsung mengenai mata mereka. Seketika itu mata mereka terasa perih, hingga mereka tak dapat melihat lagi. Ketika keempat orang musuhnya belum dapat mengendalikan diri. Jaka yang memang ndableg dengan cepat bergerak, Dipetiknya setangkai daun yang terdapat semut rangrang, lalu disemprotkan pada tubuh keempat Iblis Penghisap Darah.
Semut-semut rangrang yang terjaga dari tidurnya, seketika beraksi. Digigitnya tubuh keempat Iblis Penghisap Darah yang seketika meraung-raung, menggaruk-garuk tubuhnya karena gatal. Saking banyaknya semut di tubuh mereka, mau tak mau segera melepaskan pakaian. Melihat keempat iblis Penghisap Darah telanjang dengan menggaruk-garuk tubuh, tertawalah seluruh penduduk yang berada di situ.
"Lihat saudara-saudara semua, bukankah mereka persis monyet-monyet yang kebanyakan kutu?" berkata Jaka menjadikan semuanya tertawa. "Nah, bukankah dengan cara ini saudara-saudara mudah menangkap mereka? Tangkap mereka dan berikan pada mereka tai kebo."
Mendengar ucapan Jaka, seketika keempat Iblis Penghisap Darah yang sudah tak berdaya segera jatuhkan diri bersimpuh. Tubuh mereka menggigil ketakutan, dengan keringat dingin membasahi kening. "Ampun, jangan beri kami tai kebo, Tuan," merengek Lower.
"Benar, Tuan. Kami tak akan mengulangi perbuatan ini lagi," berkata yang lainnya.
"Ah, kenapa kalian seperti anak kecil? Baru disuruh makan tai Kebo, kalian sudah panas dingin kayak orang cacingan. Saudara-saudara, beri mereka kalajengking."
Makin menjadi-jadi rasa takut keempat Iblis Penghisap Darah mendengar ucapan Jaka yang memerintahkan pada semua penduduk. Beberapa penduduk yang memang sudah kesal dengan mereka, segera menjalankan tugasnya. Mereka segera mencari tai Kebo dan Kalajengking. Melotot mata keempat Iblis Penghisap Darah, manakala melihat apa yang dibawa oleh sebagian penduduk. Sebagian penduduk itu, membawa tai Kebo dan Kalajengking.
"Ini, Tuan Pendekar," berkata pimpinan desa menyerahkan apa yang diperintahkan oleh Jaka. Dengan segera Jaka menerima, lalu bergegas menghampiri keempat Iblis Penghisap Darah.
"Nah, ini makanan kalian, makanlah."
Seketika keempat Iblis Penghisap Darah melototkan mata dengan mulut menganga. Wajah mereka pucat pasi dengan mata membeliak seperti menahan sesuatu. Yang lebih membuat semua tertawa, dari arah bawah mereka mengucur air dengan derasnya. Keempat Iblis Penghisap Darah ternyata ngompol saking takutnya.
"Wao, kenapa kalian ngompol seperti anak kecil? Apakah kalian memang ingat masa balita kalian?"
"Ampun, Tuan pendekar. Jangan suruh kami makan itu," berkata mereka hampir bersamaan. Tubuh mereka semakin gemetaran dan ngejuprak menduduki bekas ompolan mereka.
Melihat musuh-musuhnya telah ketakutan, Jaka yang ndableg bukannya menghentikan tingkahnya. Malah dengan segera dibukanya bungkusan yang berisi kotoran kerbau dan disodorkan pada keempatnya. Keempat Iblis Penghisap Darah nampak makin ketakutan, menatap Jaka dengan mengiba. Namun Jaka tampak tak perduli, dibukanya bungkusan yang lain. Membelalak mata keempatnya melihat apa isi bungkusan itu. Bungkusan itu, memang benar-benar berisi Kalajengking besar-besar.
"Ini untuk lauk kalian!" berkata Jaka seraya menyodorkan bungkusan di tangannya pada mereka, yang seketika itu langsung lari terbirit-birit dengan pakaian lepas dari tubuh mereka. Hal itu menjadikan lari mereka tak dapat cepat hingga dengan mudahnya penduduk desa Bojong menangkap mereka.
"Heh, Firasatku tidak enak. Ada apakah gerangan di pesanggarahan?" berkata Jaka pada diri sendiri. Dengan segera sebelum para penduduk kembali datang, Jaka berkelebat pergi meninggalkan desa Bojong. Penduduk yang telah kembali membekuk keempat Iblis Penghisap Darah, bermaksud menyerahkannya kembali pada Jaka. Namun seketika semuanya terbengong, manakala tak ditemukannya Jaka di tempatnya.
"Ke mana pendekar muda itu?" bertanya ketua desa.
"Ya, ke mana pendekar muda itu?" bertanya yang lain.
"Jangan-jangan dia siluman, Ketua."
"Ah, sudahlah jangan pikiran lagi. Ayo, kita bawa maling-maling ini ke kantor."
Dengan diiringi semua penduduk kampung yang sekali-kali memukul, keempat maling itu digiring menuju ke kantor tetua desa. Hening kembali malam itu, seperti tercekam kebisuan.
"Bunuh garong itu...!"
"Cincang!"
"Puntungkan saja kedua tangan mereka!"
"Coplok kedua mata mereka!"
Terdengar suara jeritan kekesalan penduduk desa Bojong, manakala mereka melihat keempat garong itu. Pentungan, tendangan, hantaman sebagai pelampiasan kekesalan warga, menjadikan keempat Iblis Penghisap Darah menjerit-jerit. Tubuh mereka memar dengan luka-luka. Mata mereka yang dulu liar, kini sayu bagai tak ada gairah hidup.
Keempatnya kini digiring ke kantor tetua desa, dengan terlebih dahulu mengitari desa Bojong. Tak henti-hentinya siksaan melanda keempat Iblis Penghisap Darah hingga karena terlalu parah, satu persatu dari mereka mati dengan tubuh berlumuran darah.
"Mereka telah mati," berkata tetua desa.
"Buang saja mayat mereka," mengusulkan warganya.
"Jangan!"
"Kenapa, Tetua?"
"Sebagai orang beragama, sepatutnya kita mengurus jenazahnya."
Malam itu juga, dengan diterangi sinar bulan mereka bekerja menggali kubur. Dan malam itu juga, tubuh keempat Iblis Penghisap Darah dikuburkan.
********************
TUJUH
Terbelalak mata Jaka demi melihat apa yang terjadi di pesanggarahan yang kemarin dibuatnya. Tubuh-tubuh tanpa nyawa, bergelimpangan memenuhi halaman pesanggarahan.
"Cantrik...! Heh, mereka telah mati. Di mana Ratih...?"
Segera Jaka berkelebat masuk ke dalam. Matanya liar memandang ke segenap penjuru, mencari Ratih. Di balai-balai Jaka tak menemukannya. Dengan segera Jaka kembali berkelebat masuk. Langkahnya begitu ringan hingga tak terdengar tapak kakinya. Perlahan, dibukanya pintu kamar. Melotot mata Jaka tak percaya demi melihat tubuh Ratih tersender di bilik dengan keadaan yang menyedihkan. Tubuhnya tak tertutup sehelai benang pun dan dari mulutnya menetes darah yang hampir mengering.
"Ratih, Adikku...!"
Dihampirinya tubuh Ratih, lalu dengan penuh kasih sebagai seorang kakak digendongnya tubuh Ratih keluar. Dibaringkannya di atas dipan. Bergegas Jaka mencari air, lalu diminumkan pada Ratih. Sesaat Ratih menggeliat dan perlahan membuka matanya. Dari mulutnya yang mungil dengan bibir memucat, terdengar suara lemah berkata.
"Kakang Jaka..."
"Ya, Adikku."
"Dia, dia, telah datang ke mari. Dia, dia telah membuat semuanya."
"Maksudmu, Adikku?" bertanya Jaka tak mengerti.
"Kakang Jaka, aku, aku mencintaimu. Apakah kau mau menerima cintaku, Kakang?"
Jaka menganggukkan kepalanya. "Aku menerima, Sayang. Katakanlah, siapa yang telah berbuat begini?"
Sejurus Ratih terdiam. Matanya memandang pada Jaka dengan penuh kasih. Tangannya yang lemas, bergerak menggapai tangan Jaka. Digenggamnya tangan Jaka erat, lalu katanya kemudian. "Orang itu bernama Cipta Angkara. Ia mencari Tombak Inti Jagat. Karena ia tak menemukannya, ia marah. Kelima cantrik dibunuhnya, dan aku Oh, aku kakang Aku sudah tak ada artinya, Kakang."
Menangis Ratih tersendat, membuat Jaka iba melihatnya. Dengan penuh kasih, didekapnya tubuh Ratih. Dari mulut Jaka yang gemetar, terucap kata-kata makian sebagai pelampias kemarahannya.
"Iblis jahanam! Akan aku hancurkan dia! Akan aku potong kepalanya sebagai pengganti semua ini!"
"Kakang, aku, aku... men-cin-tai-mu..."
"Ratih!" meraung Jaka menangis, melihat Ratih telah terkulai mati. Diguncang-guncangkan tubuh Ratih, yang tetap bisu dan diam.
"Cipta Angkara, tunggulah aku! Kau harus bertanggung jawab atas semua ini!"
Bagaikan orang gila, Jaka bergerak cepat. Dihantamnya apa yang ada di sekelilingnya dengan ajian yang ia miliki. Hancur lebur seketika Pesanggrahan itu, terhantam pukulan Jaka yang dilandasi dengan ajian. Karena saking kecewa dan marahnya, sampaisampai Jaka lupa diri. Ajian Jamus Kalimusada yang sangat ganas, diumbarnya bagaikan mengumbar mainan. Dari tubuh Jaka yang telah menggunakan ajian Jamus Kalimusada, seketika menyala bagaikan bara api. Apa saja yang dipegangnya seketika terbakar.
Bergelora ombak di laut, seperti turut merasakan kemarahan Jaka. Binatang-binatang hutan berselaweran, berlari ketakutan. Sungguh bukan sembarangan ajian hingga seluruh alam seperti turut merasakan hawa panas yang menggelegar itu. Jangankan mahluk nyata, siluman dan dedemit pun mengerung-gerung merasakan panasnya ajian itu. Bagaikan orang gila, Jaka dengan penuh amarah berlari. Ditujunya tempat di mana Cipta Angkara berada, yaitu perguruan Singa Putih yang sekarang berganti nama menjadi Persekutuan Iblis.
Di Persekutuan Iblis saat itu tengah terjadi pertempuran. Tokoh-tokoh persilatan yang sudah tak mau diteror, telah mendatangi markas Persekutuan Iblis langsung dipimpin oleh Cipta Angkara.
"Bunuh mereka semua, jangan biarkan seorang pun hidup!"
"Jangan hanya memerintah, Cipta! Turun kau ke laga hadapi kami!" balik membentak Ki Ranu dengan penuh amarah.
"Ki Ranu, aku rasa aku tak perlu turun dulu. Biarlah anak buahku yang akan mengganyang kalian. Hua, ha, ha..."
"Iblis! Kau terlalu menyepelekan kami, Hiat!"
Ki Ranu segera berkelebat, langsung menyerang Cipta Angkara. Diserang begitu cepat, Cipta Angkara nampak seperti tak keder. Diegoskan tubuhnya ke samping mengelak, lalu dengan gerak tipu kakinya menyodok ke lambung Ki Ranu. Terbelalak mata Ki Ranu seketika. Hampir saja lambungnya terhantam tendangan, kalau saja ia tidak segera melompat mundur. Melihat musuhnya melompat, Cipta Angkara lebarkan senyum penuh ejekan.
"Percuma kau melawanku, Ki Ranu."
"Sombong! Jangan kira aku takut, Iblis!"
"Hua, ha, ha. Walau usiamu sudah bau tanah, namun ucapanmu masih menyengat, Ki Ranu."
"Jangan banyak omong. Ayo, kita mengadu jiwa"
"Hem, apa andalanmu, Ki Ranu?" bertanya Cipta Angkara dengan sinis, menjadikan Ki Ranu makin bertambah marah.
Maka dengan tanpa banyak kata, Ki Ramu kembali menyerang. Jurus-jurusnya makin tinggi dan ganas. Namun begitu, Cipta Angkara bagai telah mengetahui kuncinya hingga dengan mudah dielakkan setiap serangan Ki Ranu.
Di pihak lain, nampak anggota Persekutuan Iblis keteter menghadapi amukan sembilan tokoh utama persilatan. Korban banyak berjatuhan, bergelimpangan dengan tubuh hancur. Tapi karena melihat pimpinannya turun, semangat mereka bagaikan api yang terus menyala.
"Setan! Rupanya kalian lebih memilih mati!" membentak Ki Buntung. Dengan kakinya yang buntung, tidak menjadikan hambatan baginya. Malah dengan lincah, Ki Buntung menghantamkan tongkat penyanggah kakinya menyerang. Setiap hantaman tongkat penyanggah Ki Buntung, seketika menjadikan pekik kematian.
Makin banyak korban yang berjatuhan, makin seru pertempuran itu. Walau jumlah anggota Persekutuan Iblis banyak, namun menghadapi tokoh-tokoh persilatan sia-sialah perlawanan mereka. Pertarungan Ki Ranu dengan Cipta Angkara masih berlangsung. Jurus-jurus tingkat tinggi mereka keluarkan, namun sejauh itu tak ada tanda-tanda siapa di antara keduanya bakal kalah.
"Percuma aku menguras tenaga," dengus Cipta Angkara dalam hati. Seketika ia melompat ke belakang, lalu dengan segera dihunusnya keris Kyai Sangkar.
Terbelalak mata Ki Ranu hingga kakinya terseret mundur ke belakang. "Keris Kyai Sangkar!"
"Hua, ha, ha.... Kenapa, Ki Ranu? Apakah kau takut?"
Ki Ranu hanya terdiam tak menjawab. Ia tahu kehebatan keris di tangan Cipta Angkara. Matanya terus mengawasi langkah-langkah Cipta Angkara, yang berjalan makin mendekat ke arahnya. "Apakah aku akan mati di tangannya?" mengeluh Ki Ranu lirih. Keringat dingin seketika menetes deras dari pelipisnya. Bayangan kematian, seketika tergambar di pelupuk mata Ki Ranu yang telah tua.
Sementara itu, Cipta Angkara dengan bibir terurai senyum dan dengan tangan menggenggam keris Kyai Sangkar terus melangkah mendekat. "Hiat...!"
"Oh, Yang Widi. Matilah aku hari ini," mengeluh Ki Ranu, manakala Cipta Angkara memekik dan berkelebat menyerangnya.
"Matilah kau, Ki Ranu!"
Hampir saja nyawa Ki Ranu melayang saat itu, kalau saja tidak ada bayangan seseorang yang berkelebat dan menangkis keris Kyai Sangkar. Terbelalak Cipta Angkara seraya melompat mundur. Tangannya terasa panas, sampai-sampai bergetar. Hampir saja keris Kyai Sangkar terlepas dari tangannya, kalau dia tidak segera menarik mundur serangan.
"Siapa, Kau!"
"Monyet! Rupanya inikah iblis yang telah membuat kematian kelima cantrik dan Ratih? Hem, pantas! Cipta Angkara, hari ini juga kau harus menebus kematian kelima temanku."
"Hua, ha, ha Apa katamu, Gembel? Kau ingin membunuhku? Jangan bermimpi, hua, ha, ha..."
"Sombong! Terimalah ini!"
Bagaikan desiran angin yang cepat, Jaka dengan segera menghantamkan pukulan jarak jauhnya ke tubuh Cipta Angkara. Tersentak Cipta Angkara melihat hal itu, segera ia pun mengelak. Hal itu menjadikannya terlepas dari pukulan Jaka. Tapi akibatnya, anak buahnyalah yang menjadi sasaran. Hangus seketika tubuh beberapa anak buahnya, bagai terpanggang api.
Merasa musuhnya dapat lolos, dengan segera Jaka kembali hantamkan ajiannya yang kedua, yang diperoleh dari gurunya Ki Darsa. "Ajian Petir Sewu." dari tangan Jaka, seketika berkilat-kilat sinar kuning kemerahan. Bersamaan dengan kilatan itu, terdengar ledakan-ledakan dahsyat menggelegar-gelegar. Hal itu menjadikan gendang telinga musuhnya bagaikan hampir pecah. Namun yang lebih bahaya lagi, adalah kilatan-kilatannya. Apabila kilatan itu menghantam tubuh, niscaya akan hancur tubuh orang tersebut.
Melihat Jaka mengkiblatkan serangannya ke arah dirinya, dengan segera Cipta Angkara yang tercengang melihat ilmu itu tersentak dan berusaha mengelak. Namun rupanya kecepatan serangan Jaka lebih cepat dibandingkan elakannya. Tak ampun lagi, kilatan petir yang mengandung hawa panas jutaan Watt menghantam tubuh Cipta Angkara. Seketika tubuh Cipta Angkara hancur berkeping-keping. Namun betapa tersentak semua yang ada di situ, manakala dilihatnya keganjilan pada kepingan tubuh Cipta Angkara. Kepingan-kepingan tubuh Cipta, bergerak-gerak dan kembali menyatu membentuk jasad semula. Membelalak mata Jaka, tak percaya pada apa yang dilihatnya.
"Hua, ha, ha.... Keluarkan semua ajianmu, Anak muda!" berkata Cipta Angkara dengan sombongnya, merasa dirinya tak mempan dengan ajian Petir Sewu.
"Iblis! Jangan kau bangga dulu, terimalah ini!"
Jaka segera melompat, berkelebat bagaikan terbang. Tangannya yang telah disaluri ajian Tapak Prahara, membara bagaikan bara api. Melihat Jaka Ndableg telah berkelebat hendak menyerangnya, Cipta Angkara segera menghadang. Tangan Cipta Angkara menggenggam keris Kyai Sangkar, yang terjurus ke arah Jaka bergerak.
Jaka tersentak, segera mengurungkan niatnya menyerang. Ditariknya tombak Inti Jagad dan dengan cepat dipapaki serangan Cipta. Dua senjata pusaka itu beradu, menjadikan suara ledakan. Keris di tangan Cipta Angkara mental jauh. Dari tempat mentalnya keris, mengepul asap putih yang bergulung-gulung ke angkasa. Berbareng dengan itu, Tombak Inti Jagad seketika terbang memburu asap itu. Tercekam Cipta Angkara melihat kerisnya telah lepas dari genggaman tangannya. Namun tengah Cipta Angkara bimbang, terdengar bisikan yang hanya didengar olehnya sendiri.
"Jangan gentar, Cipta. Aku bersamamu, lawanlah dia."
"Baik, Ganda Mayit."
Sejenak keduanya saling pandang, sepertinya mereka tengah menjajagi ilmu masing-masing. Lalu dengan didahului pekikkan, keduanya berkelebat melompat bagaikan terbang ke udara.
"Duar...!"
Ledakan dahsyat seketika menggema, manakala keduanya mengadu ilmu di udara. Keduanya terpental ke belakang beberapa tombak. Dari bibir Jaka, meleleh darah segar. Dadanya terasa sesak, nafasnya pun tersendat. Sebaliknya, Cipta Angkara bagaikan tak mengalami apa-apa. Ia bangkit kembali dari jatuhnya, lalu dengan mata beringas di hampirinya tubuh Jaka.
"Matilah aku! Oh, apakah aku benar-benar akan mati di sini?" mengeluh hati Jaka. Ketika Jaka tengah dalam kebimbingan, ia kembali teringat akan apa yang dipesankan oleh ayah-nya. "Akan aku coba dengan ini."
Sementara itu, Cipta Angkara yang telah sepenuhnya digerakkan oleh Ganda Mayit makin mendekat. Bibirnya tersenyum sinis, lalu dengan congkaknya berkata. "Anak muda, hari inilah akhir hidupmu. Tak akan ada lagi Pendekar Pedang Siluman, tapi akulah.... Aku Cipta Angkara. Bersiaplah untuk mati, Anak muda!"
Hampir saja tangan Cipta Angkara mengakhiri hidup Jaka Ndableg, manakala tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat menghadangnya. Tersentak mundur Cipta Angkara, demi mengetahui siapa bayangan itu sebenarnya.
"Guru...!"
Bayangan itu hanya tersenyum sinis memandang pada Cipta, lalu dengan suara parau, Brahmana Loka berkata. "Ingat kata-kataku sebelum aku menemui ajal, Cipta? Kau akan mati dengan tubuh hancur. Tubuh hancur!"
Melihat Cipta Angkara menyusut mundur, kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Jaka. Dengan segera, Jaka merapalkan apa yang telah diajarkan oleh ayahnya. "Dening Ratu Siluman Darah. Datanglah!" Seketika itu, di tangan Jaka Ndableg telah tergenggam sebilah pedang yang memancarkan sinar kuning kemerahan. Dari ujung menetes darah membasahi batang pedang.
Tersentak Cipta Angkara melihat pedang yang tiba-tiba telah berada di tangan Jaka. "Hem, inilah Pedang Siluman Darah? Oh, guru ampunilah aku..."
Belum habis ucapan Cipta, tiba-tiba Jaka telah membabatkan pedangnya ke tubuh Cipta Angkara. Seketika tubuh Cipta terpotong menjadi dua dengan darah yang telah mengering. Dari tubuh Cipta Angkara yang telah mati, keluar asap hitam bergulung. Asap itu makin besar dan besar, lalu berubah ujud menjadi Siluman Kerta Ganda Mayit.
"Rupanya kau, Siluman! Hiat...!" Kembali Jaka berkelebat, ditebaskan Pedang Siluman Darah ke arah Kerta Ganda Mayit.
Kerta Ganda Mayit melolong panjang. Itulah kehebatan Pedang Siluman Darah. Jangankan manusia, silumanpun akan mati bila tertebas oleh pedang tersebut.
"Hem, rupanya siluman itu telah mati," berkata Jaka dalam hati.
Ketika para tokoh persilatan yang telah menundukan anggota Persekutuan Iblis pada berdatangan ke arahnya, Pedang Siluman Darah telah hilang dengan sendirinya.
"Jadi, kaukah pendekar Pedang Siluman Darah, Anak muda?"
"Begitulah, Ki," menjawab Jaka hormat, manakala mendengar pertanyaan Ki Ranu yang seketika membelalakkan mata. Begitu juga dengan yang lainnya, mereka tersentak kaget bercampur kagum. Tengah semuanya terbengong saling pandang, tiba-tiba Jaka telah berkelebat pergi sembari meninggalkan suara.
"Aku pergi dulu, sampai ketemu lagi. Maaf, aku bukannya tak menaruh hormat pada kalian. Tapi karena aku terlalu sibuk serta masih banyak urusan. Selamat berjuang. Para pendekar...."
"Aneh.... Kenapa kita tak tahu kepergiannya?" bergumam Ki Ranu seperti pada diri sendiri. Akhirnya kesepuluh tokoh persilatan itu segera berkelebat pergi kembali ke Padepokannya masing-masing....
S E L E S A I