Tongkat Delapan Naga - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Tongkat Delapan Naga
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat serial Pendekar Naga Putih

SATU

Di tengah padang rumput yang luas dan sunyi, dua sosok bayangan melesat dengan kecepatan tinggi. Mereka seperti tengah berlomba dan saling mengungguli dalam ilmu meringankan tubuh. Kelihatan betapa keduanya sama-sama mengerahkan segenap kemampuan untuk dapat mencapai sebuah tanah perbukitan di depan mereka.

“Haiiittt..!”

Ketika tinggal beberapa tombak lagi keduanya mencapai bukit, tiba-tiba sosok yang berlari di sebelah kanan memekik nyaring. Tubuhnya yang pendek gemuk melenting ke udara, dan berputaran beberapa kali. Kemudian menjejakkan kaki dengan ringan di atas tanah.

“Ha ha ha...! Ternyata ilmu meringankan tubuhku masih lebih unggul daripada kau, Kakang...!”

Sosok gemuk pendek itu tertawa gelak, hingga perut buncitnya tampak berguncang. Wajahnya tampak berseri-seri, merasa bangga karena berhasil mencapai bukit itu lebih dulu daripada kawannya.

Sosok kedua yang bertubuh tinggi kurus dan bermata sayu, memang kalah cepat dengan kawannya. Kendati perbedaannya hanya sekejapan mata, ia tetap tiba belakangan. Disambutnya kekalahan itu dengan senyum getir. Tak sepatah kata pun terlontar dari mulutnya.

Kedua sosok tubuh yang telah tiba di kaki bukit itu sama-sama menjatuhkan diri di atas rerumputan kering. Wajah keduanya tampak agak memerah dan dipenuhi peluh. Mereka telah berlomba menempuh jarak yang cukup jauh. Kendati demikian, deru napas mereka terdengar tidak memburu. Hal itu menandakan bahwa kedua orang itu memang telah terlatih dengan baik.

Plok! Plok! Plok!

Saat keduanya tengah melepaskan kelelahan, tiba-tiba terdengar suara tepukan yang mengandung kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi. Karuan saja mereka tersentak kaget, dan segera menolehkan kepala ke arah suara tepukan itu. Dan..., betapa terkejut hati keduanya ketika melihat seorang bertubuh jangkung dengan kumis lebat telah berdiri tak jauh dari tempat mereka berdua duduk.

“Hua ha ha...! Hebat..., hebat! Suatu ilmu meringankan tubuh yang mengagumkan. Tapi sayang masih terlalu mentah...!” Sambil berdiri dan menatap penuh ejekan, sosok bertubuh jangkung melontarkan kata-kata yang jelas memandang rendah kedua orang itu.

Meskipun kata-kata itu jelas merupakan sebuah penghinaan, keduanya masih tetap tenang dan berdiri sambil menatap sosok jangkung itu dengan penuh perhatian. Kemudian terdengar ucapan yang membuat sosok jangkung mengerutkan kening agak heran.

“Hm..., kata-katamu sungguh tepat sekali, Kisanak! Kami memang tak bermaksud memamerkan kepandaian yang tak seberapa ini di hadapanmu. Kalau boleh tahu, siapa Kisanak ini? Dan ada keperluan apa menghampiri kami...?” Sosok tinggi kurus bermata sayu berkata sambil menatap tajam sosok di depannya, seakan hendak mengenali siapa sebenarnya sosok jangkung itu.

Lelaki bertubuh jangkung dan berkumis lebat yang berusia sekitar enam puluh lima tahun itu tertegun beberapa saat. Dirinya sama sekali tak menduga akan mendapat jawaban seperti itu Sehingga untuk beberapa saat lamanya, ia hanya berdiri mematung karena kehilangan kata-kata. Hal itu tak berlangsung lama. Karena kemudian terdengar suaranya yang menggelegar penuh ejekan.

“Hua ha ha...! Apa kalian tak akan lari terbirit-birit kalau ku perkenalkan nama besarku?”

Seketika itu juga wajah kedua lelaki pendek gemuk dan si tinggi kurus bermata sayu berubah merah padam mendengar ucapan bernada menghina itu. Kedu- anya saling bertukar pandang sejenak dengan tangan terkepal. Kemudian kembali berpaling kepada lelaki tua bertubuh jangkung dan berkumis tebal yang masih tertawaterbahak-bahak.

“Maafkan kami yang tak mengenal nama besarmu, Ki! Maklumlah kami hanya perantau yang memiliki sedikit bekal untuk menjaga diri,” ujar lelaki tinggi kurus. “Dan karena takut kemalaman di jalan, maka kami harus mempercepat perjalanan dengan berlomba.”

Lelaki tinggi kurus bermata sayu berusaha menekan kemarahan dalam dadanya. Biar bagaimanapun dirinya tak ingin bertindak ceroboh. Sebab hatinya menduga kalau lelaki berwajah kasar yang menghadang mereka bukan orang sembarangan. Terbukti sosok bertubuh jangkung itu dapat membaca ilmu meringankan tubuh, bahkan melontarkan hinaan.

“Hua ha ha...! Tokoh-tokoh Perguruan Gunung Sumbing mengaku perantau kemalaman! Kalau begitu, aku, Tongkat Delapan Naga akan segera mencarikan tempat untuk kalian beristirahat..!”

Begitu Ucapannya selesai, sosok jangkung berkumis lebat yang mengaku berjuluk Tongkat Delapan Naga itu langsung melesat ke depan dengan kecepatan kilat Dan sebatang tongkat kepala naga di tangan kanannya meluncur ke depan. Suara bergemuruh yang timbul dari lesatannya menandakan betapa kuat tenaga sakti yang terkandung dalam hantaman tongkat hitam itu.

Whuttt...!

Dua orang lelaki yang memang merupakan tokoh-tokoh Perguruan Gunung Sumbing itu cepat melompat ke belakang. Keduanya langsung berpencar ke kiri kanan, bersiap untuk menghadapi serangan selanjutnya. Mereka sadar bahwa Tongkat Delapan Naga bukanlah sekadar menggertak saja.

“Hati-hati, Adi Gumilang...!” Lelaki tinggi kurus bermata sayu mengingatkan kawannya. Dari serangan tongkat kepala naga barusan, ia tahu betapa kuat tenaga dalam Tongkat Delapan Naga itu.

Lelaki pendek gemuk yang bernama Gumilang hanya mengangguk tipis. Lalu tanpa banyak bicara lagi tangannya meloloskan sebatang golok besar yang pada bagian punggungnya bergerigi.

Bwet! Bwettt..!

Gumilang memutar-mutar golok besarnya hingga menimbulkan suara berkesiutan. Menilik dari caranya, jelas Gumilang seorang yang ahli dalam permainan ilmu golok. Tak mengherankan karena lelaki gemuk itu termasuk salah seorang tokoh Perguruan Gunung Sumbing. Tadi pun Gumilang sudah memperlihatkan kelebihan dengan mengalahkan kawannya dalam ilmu lari cepat. Padahal lelaki tinggi kurus bermata sayu yang bernama Gompala itu kakak seperguruannya. Namun Gompala hanya memiliki kelebihan dalam hal penguasaan ilmu tenaga dalam.

“Haaattt..!”

Disertai teriakan keras, Gumilang menerjang maju. Golok besarnya berkelebatan cepat membentuk gulungan sinar yang menderu-deru. Untuk sesaat Tongkat Delapan Naga dibuat kagum oleh kehebatan ilmu golok lawannya. Bibirnya bergerak membentuk senyum mengejek. Kemudian dengan sebuah gerakan cepat, tubuhnya yang jangkung bergerak menyelinap di antara sambaran sinar golok Gumilang. Gerakan Tongkat Delapan Naga memang hebat bukan main!

Gumilang sama sekali tak berhasil menyarangkan golok besarnya ke tubuh lawan. Sebab, sebelum ujung goloknya datang menyambar, sosok Tongkat Delapan Naga telah lebih dulu lenyap dari pandangan mata. Sehingga, Gumilang tampak bagaikan mengejar bayangan goloknya sendiri.

“Heaaa...!”

Melihat kawannya mulai kewalahan, Gompala pun tak tinggal diam. Diiringi pekikan nyaring, tubuhnya melesat ke tengah arena. Tangan kanannya yang menggenggam sebatang pedang, langsung melancarkan serangan kilat yang mengarah bagian-bagian terlemah di tubuh lawan.

Wut! Wuttt..!

Trak! Trakkk...!

“Heh!”

Dua kali sambaran pedang Gompala dapat digagalkan oleh tongkat hitam lawannya. Akibat benturan itu tubuh Gompala tergetar mundur sampai beberapa langkah. Wajahnya menyeringai menahan rasa nyeri pada lengannya. Untung genggamannya sangat kuat Kalau tidak, pasti pedang di tangannya terlepas saat Tongkat Delapan Naga menangkisnya.

“Satu...!”

Wuttt..!

Tongkat Delapan Naga yang berhasil memukul mundur Gompala, tiba-tiba membentak keras. Disusul dengan sambaran tongkatnya memburu tubuh pendek gemuk Gumilang.

Blukkk...!

“Hukh...!” Gumilang yang tak sempat menyadari datangnya ancaman ujung tongkat dengan kecepatan tinggi itu, terpental deras dengan tubuh membungkuk. Ujung tongkat lawan menghantam telak perut buncitnya. Hingga, Gumilang terbanting ke tanah, tak sanggup mempertahankan kuda-kudanya.

“Hua ha ha...!” Tongkat Delapan Naga tertawa parau. Sesaat kemudian tubuhnya kembali menerjang sambil menghantamkan tongkat dari atas ke bawah, sebelum Gumilang sempat berdiri tegak.

“Hah...?”

Prakkk...!

Malang nian nasib Gumilang. Belum lagi sempat menyadari bahaya, tahu-tahu kepalanya terhantam tongkat lawan. Pukulan tongkat yang dikerahkan dengan tenaga dalam itu langsung mengakibatkan kepalanya retak. Darah segar pun mengalir membasahi kepala seiring tubuhnya yang terbanting ke rerumputan. Seketika itu pula Gumilang tewas.

“Adi Gumilang...?!” Gompala memekik dengan wajah pucat. Tubuhnya menggigil melihat Gumilang terkapar berlumuran darah. Dia telah menduga apa yang dialami kawannya.

“He he he...! Sudah kubilang kalau aku akan mengirim kalian berdua ke akherat..,” ujar Tongkat Delapan Naga dengan tertawa terkekeh-kekeh, yang bagi Gompala tentu saja terdengar menyakitkan.

“Keparat! Apa salah kami! Mengapa kau berlaku sekejam ini!” pekik Gompala yang dadanya bagai hendak meledak menahankan dendam dan amarah.

“He he he...! Sebaiknya kau bersiap saja untuk menyusul kawanmu.,.!” tukas Tongkat Delapan Naga seolah, tak peduli dengan kemarahan dan rasa penasaran Gompala. Bahkan mulutnya tersenyum sinis, membuat Gompala tak sanggup lagi menahan kemarahannya.

“Sekarang terimalah pembalasanku ini, Iblis Keji! Heaaa...!”

Dengan kemarahan yang menggelegak, Gompala menerjang maju. Pedangnya berputaran menimbulkan gulungan sinar putih yang mengaung bagaikan ratusan lebah marah. Namun Tongkat Delapan Naga menghadapinya sambil tertawa terkekeh-kekeh, seakan menganggap remeh lawan.

Serangan pedang yang dilakukan Gompala sama sekali tidak berhasil menyentuh tubuhnya yang jangkung. Sebab, gerakan Tongkat Delapan Naga memang cepat luar biasa. Sehingga, meskipun Gompala telah mengerahkan seluruh kemampuannya, tetap saja tak berdaya menghadapi kecepatan gerak lawan. Bahkan ketika pertarungan menginjak pada jurus ketiga puluh, Gompala tak sempat menghindari sebuah hantaman tongkat lawan pada tubuhnya.

“Hih...!”

Blukkk...!

“Aaakh...!” Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki tinggi kurus itu terlempar deras. Darah segar menyembur dari mulutnya. Dan sebelum dirinya sempat mengatur keseimbangan, sebuah pukulan keras menghantam tubuhnya. Seketika dada Gompala remuk. Mulutnya mengerang menahan rasa sakit yang mendera.

“Kau...,” Gompala tak sempat lagi menyelesaikan ucapannya, karena tubuhnya ambruk dan langsung tewas.

“Hua ha ha...!”

Tongkat Delapan Naga terbahak-bahak melihat kedua lawannya terkapar tewas berlumuran darah. Sesaat kemudian tubuhnya melesat meninggalkan kaki Bukit Gundul. Hanya gema suara tawanya yang masih terdengar sayup-sayup.

********************

Sinar matahari terasa panas menyengat kulit. Angin sesekali bertiup kencang membawa hawa pengab, membuat orang berpeluh. Seorang pemuda tampan berjubah putih melangkah tenang di bawah terik matahari. Kakinya mengayun ringan, dan dengan tenang memasuki mulut Desa Kranggan. Jubahnya yang panjang dan berwarna putih berkibaran tertiup angin siang itu.

Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Panji, yang di kalangan persilatan lebih dikenal dengan julukan Pendekar Naga Putih. Kabar tentang berbagai peristiwa yang menimpa kaum persilatan akhir-akhir ini mem- buat langkahnya sampai ke Desa Kranggan. Sebagai seorang pendekar, Panji merasa berkewajiban untuk menyelidiki pelaku dari semua kejadian yang didengarnya.

Cukup lama Panji menyusuri jalan utama desa itu, sampai akhirnya menemukan sebuah kedai minum yang cukup ramai pengunjung. Namun belum sempat kakinya menyentuh ambang pintu, tiba-tiba terdengar sebuah bentakan kasar. Mulanya Panji tidak begitu peduli, tapi ketika mendengar adanya suara jerit kesakitan di sela bentakan, ia pun menolehkan kepala. Keningnya berkerut ketika melihat adanya kerumunan penduduk yang memandang ke satu arah.

Merasa penasaran dan ingin tahu, Panji segera mengayun langkahnya hendak melihat apa yang menarik perhatian sebagian penduduk desa itu. Kemudian menyeruak kerumunan untuk melihat apa yang sedang terjadi.

Beberapa tombak di hadapan Panji tampak seorang lelaki berwajah kasar tengah membentak-bentak sambil memukuli lelaki lain yang berusia setengah baya. Lelaki setengah baya yang berpakaian petani miskin itu menjawab dengan suara gemetar ketakutan. Beberapa luka memar tampak menghias wajah tuanya, saat menengadah. Karena saat itu dirinya, tengah berlutut di bawah kaki lelaki berwajah kasar yang menyiksanya.

Panji yang belum mengetahui duduk persoalannya, tentu saja tak berani mengambil tindakan. Pemuda tampan itu berdiri memandang dengan kening berkerut penuh perhatian. Namun biar bagaimanapun dirinya tentu saja tak setuju dengan perbuatan lelaki kasar itu yang menyiksa orang semaunya.

“Ingat, Parta! Perbuatanmu ini akan menjadi malapetaka bagi seluruh keluargamu!” bentak lelaki kasar itu dengan suara menggelegar.

"Tapi Tuan, aku betul-betul belum mempunyai uang untuk membayar hutang-hutang itu. Tolonglah! Beri aku waktu beberapa hari lagi untuk melunasinya...!” ujar lelaki setengah baya, yang dipanggil Parta. Suaranya gemetar dan terbata-bata. Tapi...,

Blukkk...!

“Aduuuh...! Ampun, Tuan!”

Sebuah tendangan keras menghantam iga Parta. Karuan saja tubuhnya yang tengah berlutut, langsung terjengkang dan terguling. Mulutnya meringis-ringis kesakitan sambil memegangi iganya yang terasa remuk. Dari celah-celah bibirnya tampak mengalir cairan merah. Kendati demikian, lelaki malang itu tetap tak berani bangkit untuk melawan, bahkan tetap bersimpuh dan menyembah-nyembah.

“Bangsat! Orang tua keras kepala! Apa kau ingin seluruh keluargamu digantung Juragan Labang?! Kau tahu, sudah berapa lama tak membayar hutang-hutangmu itu?! Hampir dua bulan, tahu! Dan setiap kali ditagih, selalu bilang tak punya uang! Lalu, apa saja kerjamu selama ini, hah!” bentak lelaki kasar itu semakin geram. Tangannya kembali terangkat siap untuk menghajar orang tua malang itu.

Namun gerakannya terhenti ketika mendengar suara halus, disusul munculnya seorang gadis manis yang langsung menghambur ke arah lelaki tua yang tengah bersimpuh itu.

“Ayaaah...!” Tubuh semampai itu langsung memeluk tubuh Parta yang tengah bersimpuh sambil mengiba-iba.

Sejenak mata tua lelaki itu membelalak kaget. Kemudian berubah diliputi kekhawatiran yang dalam. “Warti! Mengapa kau kemari, Nak? Tak tahukah bahwa kedatanganmu justru akan semakin memperburuk keadaan? Ya, Tuhan... selamatkanlah anakku dari kekejaman orang-orang berhati iblis itu...!” ujar Parta dengan suara gemetar penuh rasa takut dan cemas.

Kekhawatiran yang ditunjukkan lelaki tua itu tak berlebihan. Sebab orang yang disebut dengan nama Juragan Labang oleh lelaki kasar yang menyiksanya itu, seorang juragan tanah mata keranjang. Apabila sampai mengetahui bahwa dirinya mempunyai seorang putri yang masih remaja, terlebih berwajah cantik dan menarik seperti Warti, juragan tanah itu sudah pasti tak akan tinggal diam.

Putrinya jelas bakal terancam bahaya yang lebih mengerikan daripada maut! Jangankan Warti yang masih gadis. Wanita bersuami pun, kalau Juragan Labang menginginkan, tak seorang pun yang bisa menolongnya. Itu sebabnya mengapa petani tua itu sangat khawatirakan nasib putrinya.

DUA

"Tidak, Ayah! Aku tak tahan melihat orang-orang kejam ini menyiksamu terus-menerus. Aku..., aku tak tahan, Ayah!”

Warti, gadis desa berwajah manis berusia sekitar tujuh belas tahun itu sama sekali tak peduli. Ia menangis keras sambil memeluk tubuh ayahnya disaksikan puluhan pasang mata yang telah menjadi basah. Mereka tentu saja merasa kasihan melihat kemalangan yang menimpa keluarga itu. Namun, tak ada yang dapat mereka lakukan, karena tak seorang pun yang berani menentang Juragan Labang. Terlebih lelaki kasar yang melakukan penyiksaan itu merupakan salah seorang dari sekian banyak tukang pukul yang sangat kejam.

Tidak demikian halnya dengan Warti. Ia yang selama ini disembunyikan ayahnya dan tak pernah keluar rumah, sama sekali tak merasa takut. Matanya yang basah, tiba-tiba menatap lelaki kasar yang menyiksa ayahnya. Tatapan mata gadis itu demikian tajam serta memancarkan kemarahan dan kebencian.

“Kalian manusia berhati iblis yang tak punya perasaan! Mengapa sekarang kalian diam? Ayo, bunuh kami! Siksa kami! Lebih baik mati daripada diperlakukan seperti binatang begini!” teriak Warti seraya bergerak bangkit dan berdiri dengan sikap menantang.

Semenjak melihat kedatangan Warti yang berwajah cantik dan bertubuh menggairahkan itu, lelaki kasar, tukang pukul Juragan Labang yang didampingi dua orang kawannya, tersenyum licik. Di benaknya seketika terbayang sekantung uang yang sudah pasti bakal didapat apabila bisa membawa gadis itu ke hadapan majikannya. Maka, ia sama sekali tak peduli terhadap caci maki gadis itu. Bahkan sikap garangnya lenyap seketika.

“He he he...! Anak gadis Pak Tua itu boleh juga, Kakang...,” bisik salah seorang dari kedua kawan lelaki kasar itu. Mulutnya menyeringai dengan sepasang mata menjelajahi sekujur tubuh Warti.

“Wah, kita bakal mendapat hadiah besar dari Juragan Labang jika dapat membawa gadis itu ke hadapannya...!” yang satunya lagi menimpali. Wajahnya tampak berseri membayangkan uang yang bakal diterima dari majikan mereka.

Sebenarnya tanpa ucapan kedua kawannya pun, lelaki kasar yang tadi menyiksa orangtua Warti sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Senyumnya tampak semakin lebar ketika mendengar ucapan kedua kawannya. Perlahan kakinya melangkah menghampiri Warti dan ayahnya.

“Hm..., Pak Tua! Kalau saja anakmu itu mau datang menghadap Juragan Labang dan membicarakan masalah hutangmu, kami yakin kau malah akan mendapatkan keuntungan besar. Selain hutang-hutangmu lunas, kau pun pasti akan mendapatkan modal besar untuk membeli bibit-bibit tanaman atau pun peralatan pertanian. Nah, bukankah kehidupanmu bisa meningkat lebih baik?” Lelaki kasar yang semula berwajah bengis dan tak berperasaan itu, kini berkata manis membujuk. Tentu saja sikap itu dibuat-buat.

Mendengar ucapan tukang pukul Juragan Labang itu, ayah Warti bukan merasa gembira, tetapi sebaliknya. Wajahnya tampak memucat dengan mata terbelalak lebar menyiratkan rasa takut yang tak dapat disembunyikan. Lelaki setengah baya itu telah membayangkan apa maksud lelaki kasar itu. Merasa tak berdaya, petani tua itu mengalihkan tatapan matanya ke tempat kerumunan penduduk, seolah hendak meminta pertolongan.

Namun setiap wajah yang mendapat tatapan matanya, selalu menunduk. Parta memaklumi, bahwa tak seorang pun di antara para penduduk yang ingin mencari penyakit Karena mencampuri urusan itu berarti melawan Juragan Labang.

"Tuan, kasihanilah kami yang miskin ini! Berilah waktu dua hari! Aku berjanji akan melunasi hutang-hutangku. Janganlah putri ku yang tak tahu apa-apa, harus dibawa...!” akhirnya Parta meminta belas kasihan. Sebab dirinya tak bisa mengharapkan bantuan penduduk yang hanya berkerumun dan menatap penuh iba.

Jawaban tak menyenangkan itu membuat tukang pukul Juragan Labang menggeram gusar. Wajahnya yang semula dibuat seramah mungkin, berubah bengis. Bahkan sepasang matanya menyorot tajam menyiratkan ancaman.

“Ah, sudahlah, Kang! Untuk apa melayani monyet tua tak berguna itu?! Bawa saja anak gadisnya. Kalau ia melawan, biar aku yang kasih hadiah!” usul salah seorang tukang pukul Juragan Labang yang berkumis tebal dan bermata lebar.

“Jangan, Tuan! Kasihanilah kami...!” Parta tampak semakin gelisah. Dipegangnya lengan Warti yang juga mulai ketakutan, karena wajah ketiga lelaki kasar itu berubah garang menakutkan.

“Minggat kau! Tua bangka tak tahu diuntung!” bentak lelaki kasar itu sambil melayangkan pukulan ke tubuh Parta. Petani malang itu terjungkal ke tanah.

Plakkk...!

“Manusia kejam! Iblis...!” Warti berteriak-teriak dengan air mata berlinang. Karena marah melihat keadaan ayahnya, tanpa pikir panjang, gadis cantik itu langsung menyerbu dan memukuli tubuh lelaki kasar yang memukul ayahnya.

Namun apa artinya pukulan seorang gadis lemah seperti Warti. Pukulan-pukulan itu tentu saja tidak menimbulkan rasa sakit bagi tukang pukul Juragan Labang. Lelaki kasar itu kemudian menangkap kedua tangan Warti.

“Lepaskan aku! Kau bukan manusia! Kau pantasnya menjadi iblis penghuni neraka jahanam...!”

“Diam!”

Plakkk!

Tubuh Warti yang meronta-ronta sekuat tenaga, langsung terpelanting akibat tamparan keras mendarat di wajahnya. Sebelum gadis itu sempat bangkit, lelaki kasar itu telah menyeret tangannya dan dipaksa bangkit.

“Suka atau tidak kau tetap akan kubawa menghadap majikanku!” bentak lelaki kasar itu sambil menjambak rambut Warti hingga terangkat menatapnya.

Panji yang semenjak tadi mengikuti kejadian itu, sudah siap untuk menolong ayah-beranak yang malang itu. Namun niat untuk itu terpaksa diurungkan. Karena tiba-tiba ada sesosok bayangan putih yang berkelebat mendahuluinya. Akhirnya Panji memutuskan untuk melihat perkembangan selanjutnya.

“Hei, Anjing-anjing Busuk! Hendak kau bawa ke mana gadis itu?!” bentak sosok bayangan tadi yang sudah berdiri dengan kaki terpentang. Jelas kalau ia hendak mencegah perbuatan tiga orang tukang pukul Juragan Labang itu.

Panji sempat mengerutkan kening ketika melihat sosok bayangan putih itu ternyata seorang gadis muda. Ingatannya langsung melayang pada wajah Kenanga, kekasihnya. Sebab, gadis berpakaian serba putih berusia sekitar delapan belas tahun itu, memiliki wajah cantik dan manis. Namun, sorot matanya tampak demikian tajam menusuk jantung. Sekilas saja Panji tahu kalau gadis berpakaian putih itu akan mampu menolong Warti dan ayahnya.

Teringat akan Kenanga, Panji pun kembali tersadar apa yang tengah dilakukannya saat itu. Dirinya dan Kenanga memang sengaja berpisah untuk menyelidiki orang-orang yang telah melakukan serangkaian kejahatan dengan membunuhi beberapa tokoh persilatan serta murid-murid perguruan terkenal. Adanya beberapa kejadian yang berlangsung dalam waktu bersamaan, membuat keduanya memutuskan berpisah untuk sama-sama menyelidiki si pembuat kekacauan itu. Itu sebabnya Pendekar Naga Putih datang seorang diri ke Desa Kranggan.

Perkiraan Panji ternyata tidak meleset Sosok bayangan putih yang ternyata seorang gadis muda itu memang bukan wanita sembarangan. Terbukti selain ge- rakannya sangat cepat tampak sebilah pedang tergantung di punggung. Jelas gadis muda itu dari kalangan persilatan yang tentu saja memiliki kepandaian. Kalau tidak, mana berani mencampuri urusan itu.

"Turunkan gadis itu, atau nyawa kalian melayang!” Gadis cantik berpakaian serba putih itu kembali membentak galak Jari telunjuknya menuding Warti yang saat itu berada dalam pondongan salah seorang tukang pukul Juragan Labang.

“Wah..., Kakang! Gadis desa ini tak ada artinya bila dibandingkan dengannya!” salah seorang kawan lelaki kasar itu berseru dengan wajah membayangkan kekaguman yang sangat Kemudian kembali menyambung ucapannya, “Eh, Nini yang cantik dan manis, apa kau ingin menggantikan gadis ini untuk kami bawa menghadap Juragan Labang? Kalau kau bersedia, dengan senang hati gadis ini akan kami bebaskan. Bahkan hutang-hutang tua bangka itu pun akan kami anggap lunas...!”

Rupanya salah seorang dari ketiga tukang pukul Juragan Labang itu tidak sabar. Tangannya menjulur hendak menangkap lengan berkulit kuning langsat dan halus milik gadis itu.

Plakkk!

“Auuuh...!”

Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu saja lelaki yang hendak menangkap tangan gadis cantik berpakaian serba putih itu terpelanting sambil menjerit kesakitan. Tubuhnya terbanting ke tanah. Dari celah-celah bibirnya terlihat cairan merah mengalir keluar. Tampak bibirnya pecah akibat tamparan kilat yang dilancarkan gadis itu.

“Bangsat! Perempuan setan! Kau rupanya mencari mampus!” sambil membentak penuh amarah, tangan lelaki berkumis lebat dan bermata lebar itu bergerak mencabut pedang di punggungnya.

Sringngng!

Sebentuk sinar putih berkeredep ketika pedang tercabut dari sarungnya. Dan...,

“Haaattt..!”

Wut! Wuttt...!

Disertai teriakan nyaring, lelaki berkumis lebat itu bergerak menerjang. Pedang di tangannya berkelebatan cepat membentak kilatan sinar dan suara berkesiut.

“Hm...,” Gadis cantik berpakaian serba putih itu hanya mendengus perlahan. Kakinya bergerak ke kanan, sambaran pedang itu pun lewat dari sasarannya. Saat itu pula kaki kirinya bergerak cepat melakukan sebuah tendangan kilat ke perut lawan.

“Heaaa...!”

Bukkk!

“Hukh!”

Tendangan kaki mungil itu mendarat telak pada sasarannya. Akibatnya sungguh mengagumkan! Tubuh lelaki berkumis tebal dan bertubuh tinggi besar itu terdorong ke belakang lalu terjungkal ke tanah. Beberapa saat lamanya, lelaki itu tak mampu bangkit Tendangan gadis itu membuat isi perutnya bagai hendak termuntah keluar. Sehingga, ia hanya bisa meringis dan memandang dengan sinar mata penuh dendam.

Kejadian itu tentu saja di luar dugaan dua orang tukang pukul lainnya. Mereka hampir tak percaya kalau gadis cantik yang kelihatan lemah itu ternyata sanggup membuat kawan mereka roboh tak berdaya hanya dengan sekali gebrak!

“Perempuan iblis! Siapa kau sebenarnya? Dan apa maksudmu mencampuri urusan kami?!” bentak lelaki kasar itu gusar, penuh kemarahan. Meskipun sebenarnya agak gentar, mereka merasa malu untuk menunjukkan kelemahan di depan para penduduk.

“Hm..., kalian ingin kenal siapa aku? Nah, dengarlah baik-baik!. Aku Dewi Kematian, yang akan mencabut nyawa kalian sekarang juga!” gadis cantik berpakaian serba putih itu menyahut dengan senyum mengejek.

“Keparat! Tidak peduli siapa pun kau adanya, yang jelas kau akan menerima akibat dari kelancanganmu ini!” lelaki kasar bertubuh kekar berotot, yang menjadi pimpinan kedua orang kawannya, membentak sambil menggenggam pedang erat-erat Tubuhnya langsung merangsek maju diikuti kawannya yang juga sudah menghunus pedang.

“Heaaattt..!”

Wut! Wuttt!

Serangan kedua orang tukang pukul Juragan Labang itu memang cukup cepat dan kuat. Namun tidak demikian anggapan gadis cantik yang mengaku sebagai Dewi Kematian. Dengan hanya menggeser-geser tubuhnya, sambaran pedang kedua orang lawannya selalu saja dapat dihindarkan. Bahkan ketika ia mulai membalas, kedua orang tukang pukul itulah yang menjadi kewalahan dibuatnya.

Panji menyaksikan perkelahian itu dengan hati terkejut. Hatinya sama sekali tak menyangka, kalau gadis cantik berpakaian serba putih itu ternyata tokoh yang berjuluk Dewi Kematian. Nama tokoh itu memang telah cukup lama didengarnya. Sebab, sepak terjang Dewi Kematian memang membikin penasaran para tokoh persilatan khususnya golongan putih.

Dewi Kematian memang selalu menentang kejahatan. Namun tindakannya terlalu kejam. Tidak aneh memang kalau tokoh itu dijuluki sebagai Dewi Kematian. Sebab, setiap penjahat yang naas berjumpa dengannya, sudah pasti tak bakal selamat! Dewi Kematian tak pernah membiarkan setiap pelaku kejahatan hidup apabila berjumpa dengannya.

“Hm..., siapa sangka tokoh yang memiliki julukan sedemikian menyeramkan itu ternyata hanya seorang gadis muda yang berwajah cantik dan manis. Kalau tidak mendengar sendiri, rasanya aku tak bisa percaya begitu saja...,” gumam Panji tanpa mengalihkan pandangannya dari arena perkelahian.

“Hiaaat...!”

Dewi Kematian yang sudah mendesak kedua lawannya hingga tak berdaya, tiba-tiba mengeluarkan lengkingan tinggi yang mengejutkan! Kemudian disusul dengan lesatan tubuhnya yang sulit diikuti mata. Dan...,

Wuttt!

Bret! Brettt...!

“Aaa...!”

Terdengar jeritan yang panjang merobek udara siang. Disusul kemudian dengan robohnya kedua orang tukang pukul Juragan Labang dengan tubuh bersimbah darah. Kedua lelaki muda itu seketika tewas dengan tubuh bagian depan tergores luka memanjang seperti bekas sambaran mata pedang. Padahal tak seorang pun melihat adanya pedang di tangan gadis cantik berpakaian serba putih itu.

Pendekar Naga Putih yang masih mengawasi gadis itu tampak tersenyum. Seberapa pun kecepatan gerak yang dilakukan Dewi Kematian itu tak dapat mengelabui matanya. Meski gerakan wanita cantik itu demikian cepat sewaktu mencabut dan menyarungkan pedang, semua dapat dilihat Panji dengan jelas. Dan memang hanya dirinya seoranglah yang tahu kalau kedua orang lelaki kasar itu terbunuh oleh tebasan pedang Dewi Kematian.

Tewasnya kedua orang tukang pukul Juragan Labang itu, membuat para penduduk yang berkerumun merasa ketakutan! Satu persatu mereka bergerak meninggalkan tempat itu. Para penduduk tak ingin terlibat dan terbawa-bawa, karena tentu saja akan membuat susah hidup mereka.

Dewi Kematian sendiri sama sekali tak peduli. Dengan langkah tenang, dihampirinya tukang pukul berkumis tebal yang masih terduduk merasakan sakit pada perutnya. Tanpa berkata sepatah pun, kaki mungil wanita cantik ini langsung saja bergerak.

Bukkk!

"Pergi kau, Anjing Buduk! Laporkan pada majikanmu bahwa Dewi Kematian akan berkunjung untuk mengambil kepalanya!” bentak Dewi Kematian.

Tukang pukul Juragan Labang itu tampak meringis kesakitan. Terdengar suara rintihan dari mulutnya. Hati lelaki berwajah kasar itu pun merasa bimbang. Namun, ketika Dewi Kematian kembali mengulang bentakannya, langsung saja ia memaksa diri bangkit Kemudian, berlari tertatih-tatih meninggalkan tempat itu.

Dewi Kematian berdiri terpaku memandangi kepergian lelaki itu. Kendati demikian, telinganya menang- kap gerakan dua orang yang ditolongnya. Kedua anak dan bapak itu bergerak menghampiri.

“Nisanak..., terima kasih atas pertolonganmu. Entah apa yang akan terjadi dengan putri ku tanpa pertolonganmu. Sekali lagi, kami mengucapkan terima kasih...,” ujar Parta dengan terbungkuk-bungkuk sambil menggandeng tangan putrinya.

“Bangunlah, Paman! Dan kau juga, Adik Manis. Bangunlah! Yang kulakukan tadi bukan apa-apa. Lagi pula mereka memang pantas menerima kematian. Orang-orang seperti itu tak boleh dibiarkan hidup! Hanya menyusahkan orang lain saja,” ujar Dewi Kematian dengan suara dingin.

“Nisanak...,” Parta, lelaki tua itu kembali memanggil, “Sebaiknya Nini segera meninggalkan desa ini. Kami khawatir orang-orang tadi akan datang dengan membawa kawan-kawan mereka yang lain dalam jumlah banyak. Tukang-tukang pukul Juragan Labang rata-rata pandai ilmu silat. Terutama sekali orang yang bernama Sarpala. Bahkan kalau tak salah dijuluki sebagai Golok Tanpa Bayangan. Aku sendiri belum mengerti mengapa dijuluki demikian. Yang jelas kami merasa khawatir kalau sampai Nisanak celaka di tangan mereka...,”

“Hm..., aku memang akan pergi, Paman. Tapi bukan untuk meninggalkan desa ini. Melainkan untuk mengunjungi orang yang bernama Juragan Labang itu!” jelas Dewi Kematian yang tentu-saja membuat ayah beranak itu merasa terkejut.

"Tapi..., jumlah tukang pukul Juragan Labang sangat banyak sekali! Sangat berbahaya kalau Nisanak yang seorang diri harus menghadapi mereka. Apalagi mereka orang-orang yang licik dan sangat kejam. Aku bukan hendak menakut-nakuti. Tapi, sudah ada beberapa orang jago silat mendatangi Juragan Labang untuk meminta agar menghentikan perbuatannya yang memeras penduduk. Tapi, mereka semua tewas bahkan kepalanya digantung di balai desa! Maksudnya tentu saja agar penduduk semakin takut dan tak berani berbuat macam-macam,” Parta menjelaskan dengan wajah penuh kecemasan. Kelihatannya lelaki tua itu tak ingin orang lain mendapat celaka hanya karena membela keluarganya.

“Hm..., jadi orang yang bernama Juragan Labang itu lintah darat? Dan apa yang menyebabkan mereka menyiksamu seperti ini, Paman?” tanpa mempedulikan kecemasan petani tua itu, Dewi Kematian malah mengalihkan pembicaraan.

Secara singkat dan jelas, Parta menceritakan apa yang menimpa keluarganya, yang juga dialami kebanyakan penduduk Desa Kranggan.

“Hm..., kalau begitu Juragan Labang memang perlu dibasmi...!” gumam Dewi Kematian setelah mendengar penjelasan petani tua itu. “Dan aku akan berusaha merubah kehidupan penduduk desa ini, Paman. Nah, selamat tinggal...!”

Belum lagi Parta sempat berbicara, tahu-tahu saja sosok Dewi Kematian telah lenyap dari hadapannya. Ia hanya melihat berkelebatnya bayangan putih dengan kecepatan yang tak bisa diikuti pandangan matanya. Dan di kejauhan ia melihat sosok Dewi Kematian yang semakin mengecil.

“Mungkinkah ia seorang dewi yang sengaja diturunkan, untuk menolong penduduk Desa Kranggan..-.? Rasanya mustahil kalau seorang manusia dapat menghilang seperti itu...?” gumam Parta yang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya dengan penuh takjub.

Tanpa sepengetahuan Dewi Kematian, sesosok bayangan putih lainnya bergerak menyusul. Parta dan putrinya hanya merasakan ada sambaran angin keras yang membuat pakaian mereka berkibar. Mereka sama sekali tak tahu kalau angin besar itu tercipta karena gerakan sosok bayangan putih yang berkelebat demikian cepatnya.

Bayangan putih yang menyusul Dewi Kematian itu tentu saja Panji. Ia menyusul karena ingin mengetahui apa yang akan dilakukan tokoh wanita yang selalu bertindak kejam terhadap para penjahat itu. Selain itu, ia pun khawatir kalau-kalau Dewi Kematian akan menemui celaka di tangan tukang-tukang pukul Juragan Labang, yang didengarnya memiliki kepandaian tinggi. Semua itu didengar dari penjelasan Parta.

TIGA

Dewi Kematian yang tengah mencari rumah Juragan Labang tampaknya tidak menemukan kesulitan. Setelah bertanya pada salah seorang penduduk desa, gadis cantik itu langsung melesat menuju sebuah ban- gunan besar dan megah.

“Hm..., ini mencurigakan...,” gumam Dewi Kematian setelah menghentikan langkahnya di depan pintu gerbang. Sepasang matanya yang tajam menyapu halaman rumah besar itu yang tampak sunyi. Tak seorang tukang pukul pun terlihat berjaga-jaga.

Sebagai seorang tokoh yang telah cukup banyak pengalaman, Dewi Kematian bisa menduga akan adanya persiapan lawan dalam menyambut kedatangannya. Namun mana mungkin Dewi Kematian yang nama besarnya sanggup membuat ketakutan seorang penjahat kejam akan merasa gentar. Meskipun sadar bahwa kesunyian rumah Juragan Labang tidak wajar, gadis cantik berpakaian putih itu tetap melangkah masuk. Tentu saja kewaspadaannya tetap dikerahkan, menjaga kemungkinan yang bakal terjadi.

Wut wut wuttt...!

Ternyata benar dugaan Dewi Kematian. Baru saja empat langkah dari ambang pintu gerbang, terdengar suara berdesingan menyambut kedatangannya.

“Hhh...!” Dewi Kematian mendengus. Sepasang matanya yang tajam menangkap adanya enam batang tombak meluncur ke arahnya. Namun tak ada gelagat pada dirinya untuk mengelak. Seolah Dewi Kematian ingin menunjukkan bahwa dirinya tidaklah mudah untuk dirobohkan dengan serangan gelap seperti itu.

“Hih...!”

Trak! Trak! Trak!

Sekali mengibaskan kedua tangannya yang berkulit halus, terdengar suara benda berpatahan. Dan keenam batang tombak yang meluncur ke tubuhnya, langsung berpentalan ke tanah dalam keadaan patah menjadi dua. Dari sini dapat dilihat betapa lihai dan kuatnya tenaga dalam Dewi Kematian. Tampaknya dia sengaja mempertunjukkan kemampuan itu agar musuh tahu siapa dirinya. Dan Dewi Kematian jelas tak bisa dipan- dang sebelah mata!

“Keluarlah, Manusia-manusia Pengecut! Tak ada gunanya kalian berbuat seperti ini terhadap Dewi Kematian!” tantang gadis cantik berpakaian serba putih itu. Dewi Kematian sengaja mengerahkan tenaga dalamnya hingga suara teriakan itu terdengar bergema masuk ke seluruh bagian bangunan megah, rumah Juragan Labang.

Gadis cantik berwajah dingin yang berjuluk Dewi Kematian ini memang bukan hanya kejam terhadap orang-orang jahat. Ia pun memiliki sifat tinggi hati dan selalu tak sudi dipandang rendah. Itu sebabnya mengapa ia tidak mengelak dari serangan tombak.

Dewi Kematian tak perlu menunggu lama atas sambutan lawan-lawannya. Sebab beberapa saat kemudian, belasan sosok tubuh berloncatan dari sekelilingnya. Sehingga, dalam waktu singkat dirinya sudah terkepung belasan orang tukang pukul yang rata-rata bertampang bengis.

“Hmh!” Dewi Kematian mendengus. Diperhatikannya satu persatu para tukang pukul Juragan Labang sambil menghitung jumlah mereka. Tanpa rasa gentar sedikit pun gadis cantik itu berdiri tegap di tengah kepungan musuh-musuhnya.

“Hua ha ha...! Sungguh tak kusangka kalau musuh yang bakal kita hadapi hanyalah seorang gadis muda yang berwajah cantik dan bertubuh menggiurkan! Kalau sejak semula aku tahu, tentu aku akan menyambutnya di dalam kamar yang indah dan harum!” Seorang lelaki tinggi kekar berkepala botak mengkilat, tertawa meremehkan. Bahkan melontarkan ucapan yang tentu saja maknanya dapat ditangkap oleh Dewi Kematian.

Namun untuk perkataannya itu ternyata harus dibayar cukup mahal. Sebab, baru saja ucapannya selesai, tahu-tahu sesosok bayangan putih berkelebat dengan kecepatan tinggi, hingga sulit untuk ditangkap secara jelas. Dan...,

Plak! Plakkk...!

“Augh...!”

Luar biasa memang kecepatan gerak yang dimiliki Dewi Kematian. Lelaki botak bertubuh kekar berotot itu tak sanggup menyelamatkan mulutnya dari dua kali tamparan keras, yang membuatnya terpekik kesakitan. Bahkan tubuh lelaki kekar itu terbanting ke tanah dengan kerasnya. Lelaki kekar berkepala botak mengkilat itu mengaduh-aduh sambil memegangi mulutnya dengan kedua tangan. Tamparan itu bukan hanya membuat bibirnya pecah berdarah. Empat buah giginya langsung tanggal seketika.

Karuan saja kejadian tak terduga ini membuat yang lainnya terkejut setengah mati! Sungguh mereka tak menyangka kalau gadis cantik berwajah dingin itu, ternyata dapat bergerak secepat sambaran kilat! Kejadian itu membuat mereka sadar kalau Dewi Kematian memang tak bisa dianggap remeh.

“Hm..., masih adakah yang ingin menyambutku di dalam sebuah kamar yang indah dan harum?” tanya Dewi Kematian seraya mengedarkan pandangan mengawasi pengepungnya dengan senyum mengejek.

Sadar bahwa gadis muda itu bukanlah orang sembarangan, tak seorang pun yang sudi membuka mulut mendengar tantangan Dewi Kematian. Namun bukan berarti mereka merasa gentar dan membiarkan wanita cantik itu bebas berbuat sekehendak hatinya. Bahkan kepungan semakin rapat. Belasan senjata terhunus siap menggempur Dewi Kematian.

“Serbuuu...! Heaaa...!”

“Heaaa...!”

Seorang lelaki berpakaian serba hitam memekik nyaring. Tubuhnya langsung bergerak menerjang Dewi Kematian dengan sambaran pedang. Kawan-kawannya yang lain juga tak lagi merasa tertarik terhadap kecantikan maupun keindahan tubuh Dewi Kematian.

“Heaaa...!”

Wut! Wuttt..!

“Hait! Heaaa...!”

Dengan mengandalkan kecepatan geraknya, Dewi Kematian menghindari setiap tebasan senjata para pengeroyok. Tubuhnya berkelebatan cepat di antara kilatan-kilatan sinar pedang yang berdesingan memburu. Sejauh itu, tak satu pun mata pedang dapat menyentuh tubuhnya. Jangankan untuk dapat melukainya, untuk menyentuh ujung pakaiannya pun tak dapat mereka lakukan. Sebab, gerakan yang dilakukan gadis cantik itu selalu dapat mendahului kecepatan sambaran senjata lawan.

“Haiiit! Heaaa...!.”

Setelah dalam belasan jurus hanya menghindar dengan mengandalkan kecepatan geraknya, Dewi Kematian merasa tak cukup. Diiringi teriakan keras dan melengking, tubuhnya bergerak lebih cepat, sambil melontarkan pukulan ke tubuh lawan-lawannya.

Bukkk! Plakkk...!

“Aaakh...!”

Pekik kesakitan seketika terdengar. Tiga orang pengeroyok terjungkal ke tanah terkena pukulan yang dilancarkan Dewi Kematian.

“Hueh...!”

“Hukh...!”

Ketiga orang berpakaian hitam itu berkelojotan di tanah. Dari mulut mereka keluar darah segar. Sesaat kemudian ketiganya tewas dengan mata membeliak. Tampaknya pukulan yang dilancarkan Dewi Kematian tak tanggung-tanggung. Tak mengherankan kalau ketiga lelaki yang terkena pukulan itu langsung muntah darah bahkan tewas seketika.

“Heat..!”

Tiba-tiba terdengar suara pekikan keras menggelegar. Dewi Kematian yang tengah sibuk melancarkan pukulan dan tendangan kepada lawan-lawannya sempat tersentak. Sesosok bayangan kehitaman berkelebat cepat, memasuki arena pertarungan dan langsung me- lancarkan serangan.

Bwet! Bwettt!

Dewi Kematian tersentak ketika mendengar adanya sambaran angin keras menderu ke tubuhnya. Disadari kalau serangan ini tak dapat disamakan dengan para pengeroyoknya yang lain. Maka dengan cepat dibalikkan tubuhnya dan menyambut serangan itu dengan tangkisan kedua tangannya yang telah diisi tenaga dalam.

Dukkk! Plakkk!

Dewi Kematian kembali dilanda rasa kaget! Betapa tidak? Tangkisan yang dilakukan membuat kuda-kudanya tergempur mundur sampai dua langkah. Tampaknya serangan yang dilakukan sosok bayangan itu sangat kuat Kedua lengannya dirasakan bergetar hebat, hingga meninggalkan rasa nyeri.

Bukan hanya Dewi Kematian yang merasa terkejut Penyerangnya pun tak kalah kaget. Selain serangannya dapat digagalkan, sosok tubuh berpakaian hitam terlontar deras ke belakang. Namun dengan cepat dirinya berusaha memperbaiki keseimbangan dengan melakukan salto, lalu meluncur turun. Melihat dari raut wajahnya yang meringis, dapat ditebak kalau pembokong licik itu merasa linu pada kedua lengannya.

Perkelahian tertunda sesaat. Sosok jangkung yang tingginya melebihi ukuran biasa, menatap tajam wajah Dewi Kematian yang juga menatapnya. Tampaknya kedua tokoh itu hendak mengukur kekuatan lawan melalui tatapan mata masing-masing.

“Hm..., kau pasti orang yang berjuluk Golok Tanpa Bayangan!” Dewi Kematian membuka suaranya yang bening namun terasa dingin, membuat bulu kuduk meremang.

“Sungguh tak kusangka kalau orang yang berjuluk Dewi Kematian adalah seorang gadis muda yang cantik menggiurkan. Semula, kukira seorang nenek tua yang sudah bau tanah...!” sosok jangkung terbungkus pakaian serba hitam itu menukas, juga dengan suara dingin dan terkesan merendahkan. Tampaknya lelaki jangkung ini tak ingin menunjukkan bahwa ia sedikit gentar setelah merasakan betapa kuat tenaga dalam Dewi Kematian.

“Aku meragukan julukanmu yang berlebihan itu, Kisanak! Buktikanlah bahwa kau memang memiliki ilmu golok yang hebat laksana tanpa bayangan...!” tantang Dewi Kematian dengan nada sinis. Dan..., entah kapan tangannya bergerak, tiba-tiba saja di tangan gadis cantik berwajah dingin itu telah tergenggam sebatang pedang. Sinar pedang itu sanggup membuat bulu kuduk meremang. Jelas senjata di tangan Dewi Kematian bukan sembarangan pedang.

“Hmh...!” Golok Tanpa Bayangan mendengus kasar. Sekali tangan bergerak, golok di pinggangnya telah pindah ke tangan kanan. Gerakan tokoh jangkung itu begitu cepat. Caranya mencabut senjata pun, menunjukkan bahwa dirinya seorang ahli ilmu golok yang tangguh. “Kau jangan mimpi dapat berbuat sekehendak hatimu di tempat ini, Dewi Kematian! Kedatanganmu sama saja dengan ular menghampiri penggebuk!” ujar Golok Tanpa Bayangan dengan senyum mengejek.

“Buktikan! Haiiittt..!”

Wung! Wungngng!

Tanpa banyak cakap, Dewi Kematian melesat disertai kibasan pedangnya yang begitu cepat. Seketika terdengar suara mengaung bagaikan dengung ratusan lebah yang marah. Suara ini jelas menandakan bahwa Dewi Kematian tidak ingin menganggap remeh dan main-main dalam melancarkan serangan.

Golok Tanpa Bayangan pun bukan tak tahu kalau lawan kali ini dihadapinya sangat lihai dalam ilmu pedang. Matanya sempat melihat gulungan sinar dari putaran pedang yang sangat cepat dan berubah-ubah itu. Maka, ia pun tak segan-segan segera mengeluarkan kepandaian yang membuat namanya terkenal di kalangan persilatan itu.

“Heaaa...!”

Trang! Trangngng...!

Wut! Wuttt..!

Bunga api memercik ketika kedua senjata saling berbenturan keras. Dewi Kematian agak kaget ketika mencium adanya bau busuk memuakkan berasal dari golok lawan. Tahulah gadis cantik ini kalau senjata lawan ternyata mengandung racun jahat yang berbahaya. Dan itu membuat kemarahannya semakin memuncak!

“Hiaaa...!”

Setelah mengetahui bahwa senjata lawan mengandung racun yang berbahaya, Dewi Kematian semakin memperhebat serangan pedangnya. Sehingga, kali ini Golok Tanpa Bayangan terpaksa harus bermain mundur. Sebab, lawannya benar-benar tak ingin memberi peluang kepadanya untuk membangun serangan. Tentu saja hal itu membuatnya tambah penasaran dan marah!

Meskipun salah satu tampak terdesak, pertarungan itu tampak indah. Sinar senjata mereka yang bergulung-gulung saling tindih, merupakan sebuah pemandangan yang sungguh mengagumkan. Apalagi sesekali masih diselingi dengan pijaran bunga api, saat kedua senjata saling berbenturan keras. Membuat pertempuran itu tak membosankan untuk disaksikan.

Ketika pertarungan menginjak pada jurus yang ketiga puluh, terlihatlah betapa Dewi Kematian masih jauh lebih unggul ketimbang lawannya. Terbukti sinar lingkaran pedang semakin mendesak sinar golok lawan yang kian menyempit. Bahkan Golok Tanpa Bayangan tak mampu melancarkan serangan balasan. Yang dapat dilakukan hanya membuat benteng pertahanan sekuatnya agar tak sampai celaka oleh pedang gadis cantik berwajah dingin itu.

“Shaaah...!”

Di saat merasa benar-benar sudah tak berdaya menghadapi gempuran lawan, mendadak Golok Tanpa Bayangan membentak sambil mengebutkan sapu tangan berwarna hijau. Seketika itu pula mengepulkan asap kekuningan yang berbau harum memabukkan. Rupanya tokoh jangkung itu mulai berbuat curang dengan menebarkan bubuk beracun ke arah lawannya.

“Bangsat licik..!” Dewi Kematian mencaci maki kelicikan Golok Tanpa Bayangan. Tubuhnya tampak terhuyung. Racun ber- bau harum itu telah membuat kepalanya pening. Dan pandangannya pun kabur. Hingga, sosok lawan seolah menjadi banyak dalam pandangannya.

“Hih...!”

Trangngng!

“Uuuh...!”

Kendati demikian, Dewi Kematian masih sempat menyambut datangnya sambaran golok lawan yang mengancam tubuhnya. Namun tangkisan itu membuat kepalanya dirasakan kian berat Hingga tubuhnya kembali terjajar mundur. Terdengar keluhan lirih dari mulutnya.

"Pergilah menghadap malaikat maut, Perempuan Liar...!” Golok Tanpa Bayangan yang merasa gembira melihat keadaan lawan, kembali melesat melanjutkan serangannya. Tubuhnya meluncur ke depan dengan mata golok siap menghunjam perut Dewi Kematian!

Whuttt..!

Plakkk...!

“Aaakh...!”

Belum sampai mata golok itu menemui sasarannya, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih yang langsung memapaki serangan Golok Tanpa Bayangan. Tubuh lelaki jangkung itu pun terpental disertai pekik kesakitannya.

Sedangkan sosok bayangan putih itu langsung menyambut tubuh Dewi Kematian, yang telah sempoyongan hampir jatuh ke tanah. Tampaknya racun wangi yang ditaburkan Golok Tanpa Bayangan benar-benar telah merasuk ke tubuh gadis cantik itu.

“Keparat! Siapa kau...? Berani bertingkah di hadapan Golok Tanpa Bayangan?” Golok Tanpa Bayangan menatap tajam pemuda tampan berjubah putih yang ternyata Panji.

“Hm..., siapa pun adanya aku, yang jelas perbuatan curangmu tak bisa dibiarkan, Golok Tanpa Bayangan!” tukas Panji yang tengah memondong tubuh Dewi Kematian.

“Kurang ajar! Habisi pemuda itu...!” teriak Golok Tanpa Bayangan ditujukan kepada para tukang pukul lain yang sejak tadi hanya diam menyaksikan pertarungan itu. Karena merasa tersinggung mendengar jawaban Panji, Golok Tanpa Bayangan langsung melesat maju menyerang, diikuti para anak buahnya. Dalam sekejap belasan tukang pukul Juragan Labang menge- royok Panji, si Pendekar Naga Putih.

“Seraaang...!”

“Hiaaa...!”

Plak! Bukkk!

Kendati hanya menggunakan satu tangan, sekali bergerak Panji mampu memapak dan menghantam lawan. Tiga orang anak buah Golok Tanpa Bayangan seketika terpelanting. Sedangkan serangan Golok Tanpa Bayangan sendiri dapat dielakkan dengan menggeser dan memiringkan tubuh. Kemudian langsung mengirimkan sebuah tendangan kilat ke perut lelaki jangkung itu.

Wuttt..!

“Aaakh...?!” Golok Tanpa Bayangan tersentak kaget ketika melihat betapa cepatnya tendangan yang dilancarkan pemuda itu. Gerakan itu jauh lebih cepat daripada yang dilakukan Dewi Kematian. Sadar kalau dirinya terancam bahaya, lelaki jangkung itu langsung melemparkan tubuhnya ke belakang untuk menyelamatkan diri.

“Gila...?! Pemuda keparat itu jauh lebih lihai ketimbang Dewi Kematian?! Hm... siapa lagi pemuda itu...?” desis Golok Tanpa Bayangan setelah meluncur turun dengan selamat. Wajahnya masih pucat, karena rasa terkejutnya belum hilang akibat serangan balasan yang dilancarkan Panji.

Keterkejutan itu tampaknya tak hanya melanda Golok Tanpa Bayangan, melainkan semua tukang pukul Golok Tanpa Bayangan yang ada di tempat itu. Mereka merasa kecut juga menyaksikan kemampuan yang diperlihatkan Panji. Sehingga mereka hanya berani mengepung dari jarak agak jauh.

Panji berdiri tegak mengawasi lawan-lawannya. Ketika melihat mereka belum menunjukkan gerakan, disempatkan matanya melirik wajah Dewi Kematian. Hatinya menjadi cemas ketika melihat betapa wajah cantik itu kini tampak semakin memucat. Bahkan ada warna kehijauan yang masih samar. Sadarlah Panji bahwa keadaan Dewi Kematian cukup gawat!

“Hua ha ha...! Perempuan kejam itu tak akan selamat dari ‘Racun Kelabang Hijau’, Pemuda Keparat! Tak seorang pun yang dapat menyembuhkannya. Dan kau boleh tangisi kekasihmu yang malang itu...!” Golok Tanpa Bayangan tertawa bergelak ketika melihat kecemasan membayang di wajah Panji.

“Manusia keji...!” desis Panji yang tentu saja merasa geram terhadap Golok Tanpa Bayangan. Namun dirinya memutuskan untuk cepat meninggalkan tempat itu. Hatinya khawatir kalau racun yang telah merasuk ke tubuh Dewi Kematian akan semakin bertambah parah. Tanpa mempedulikan lawan-lawannya, Panji langsung berkelebat meninggalkan halaman depan kediaman Juragan Labang.

Golok Tanpa Bayangan tentu saja tak bisa berbuat apa-apa. Karena sebelum dia sempat melakukan pengejaran, bayangan Panji sudah jauh meninggalkan pintu gerbang. Sehingga, lelaki jangkung itu cuma bisa membanting kakinya ke tanah karena kesal.

********************

EMPAT

Pendekar Naga Putih terus berlari meninggalkan Desa Kranggan, membawa tubuh Dewi Kematian. Sampai di sebuah hutan kecil dihentikan larinya. Kemudian dilanjutkan dengan langkah perlahan sambil mencari tempat yang cocok untuk mengobati Dewi Kematian yang terserang racun ganas.

Setelah agak jauh memasuki hutan itu, akhirnya Panji menemukan sebuah pondok yang terbuat dari kayu yang keadaannya sudah tak layak untuk dihuni. Setelah memeriksa dan merasa yakin bahwa di dalam pondok itu tak ada siapa-siapa, Panji membawa masuk Dewi Kematian. Di atas sebuah balai bambu yang masih cukup baik, direbahkan gadis itu dengan tubuh tertelungkup.

Pendekar Naga Putih memejamkan mata untuk memusatkan pikirannya sejenak. Kemudian diulurkan kedua telapak tangan dan ditempelkan pada punggung Dewi Kematian. Sementara tubuhnya sendiri telah terbungkus sinar kuning yang menebarkan hawa panas. Sinar itu berasal dari ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ yang dikerahkannya. Panji memang bermaksud memindahkan kekuatan itu guna mengobati tubuh gadis yang terserang racun.

Tidak lama kemudian, setelah seluruh tenaga mukjizat itu pindah ke tubuh Dewi Kematian, Panji pun melepaskan telapak tangannya, la menunggu beberapa saat sampai sinar kuning keemasan yang kini menyelimuti tubuh Dewi Kematian lenyap. Jika sinar itu lenyap berarti tenaga mukjizatnya benar-benar telah merasuk ke tubuh gadis cantik yang masih terkulai lemas itu.

Panji tak perlu menunggu terlalu lama untuk melihat Dewi Kematian sadar dari pingsannya. ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ bekerja cepat mengusir racun yang terisap gadis itu. Dengan sabar Panji memperhatikan perubahan yang terjadi pada tubuh Dewi Kematian. Dilihatnya ada uap tipis berwarna kehitaman keluar dari ubun-ubun Dewi Kematian. Uap tipis itu perlahan-lahan lenyap, menandakan bahwa hawa beracun telah terusir keluar dari dalam tubuh gadis cantik berwajah dingin itu.

Namun lenyapnya hawa beracun itu bukan berarti bahwa Dewi Kematian telah pulih. Kendati bahaya sudah lewat, tenaga gadis itu belum seluruhnya pulih.

“Emhh... uhh...!” Dewi Kematian menggeliat perlahan. Dari mulutnya terdengar desahan. Perlahan-lahan tubuhnya hendak bangkit, tapi tak mampu karena tenaganya masih terlalu lemah. Samar-samar matanya yang bening menangkap ada bayangan putih duduk tak jauh dari tempat pembaringannya.

“Si... apa..., kau...?” tanya Dewi Kematian dengan suara lemah. Keningnya tampak berkerut. Dan sepasang matanya menyiratkan kecurigaan.

Panji merasa belum perlu untuk memberikan jawaban. Bergegas ia bangkit dan melangkah mendekati tepi pembaringan. Di tangannya tergenggam sebutir pil berwarna putih salju, yang berkhasiat untuk memulihkan tenaga.

“Kau tak perlu banyak bicara dulu, Nisanak! Sebaiknya telanlah pil ini guna memulihkan tenagamu. Percayalah, aku tak punya maksud apa-apa selain menolongmu...!” ujar Panji seraya menyodorkan pil itu ke mulut Dewi Kematian.

Dewi Kematian tampaknya tak begitu saja langsung percaya. Matanya menatap tajam wajah Panji, meskipun hanya tampak samar-samar. Wajah Panji tersenyum ramah dan menyiratkan satu ketulusan. Hal itu pula membuat Dewi Kematian membuka mulutnya menerima pil pemberian Panji.

“Nah, sekarang pusatkanlah pikiranmu seperti biasa jika melakukan semadi. Hal itu dapat membantu daya kerja obat tadi...!” jelas Panji seraya menatap wajah gadis cantik di depannya.

Tanpa ragu-ragu Dewi Kematian menuruti perintah Panji. Sebab dirinya merasakan ada hawa hangat yang mulai menjalar ke bagian dalam sekujur tubuhnya, beberapa saat setelah pil berwarna putih salju itu memasuki kerongkongan.

Panji tersenyum lega melihat Dewi Kematian menuruti petunjuknya tanpa ragu. Tubuhnya bangkit lalu melangkah menjauhi balai bambu tempat gadis itu terbaring. Perlahan kakinya berjalan mendekati ambang pintu. Dengan sabar pendekar muda berwajah tampan itu menunggu pulihnya kekuatan Dewi Kematian.

Pendekar Naga Putih yang tengah duduk di ambang pintu rumah itu tiba-tiba tersentak lalu bangkit berdiri. Matanya yang tajam melihat ada sosok bayangan berkelebat menuju pondok tempatnya berada. Hatinya terkejut demi menyadari bahwa yang datang itu orang yang memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Hal itu diketahui dari gerakan yang sama sekali tak tertangkap pendengarannya. Padahal seharusnya Panji sudah bisa menangkap suara langkah sebelum melihat orangnya.

Sosok bayangan yang kini tiba-tiba telah berdiri di depan Panji sangat mengagumkan. Selain itu Panji belum tahu secara jelas, apakah yang datang kawan atau lawan. Maka, dengan cepat tubuhnya melesat turun dari pondok menyambut kedatangan sosok bayangan itu.

“Kisanak siapa...? Ada keperluan apa datang ke tempat ini?” meskipun diliputi rasa curiga, Panji tetap menyapa dengan bahasa halus dan sopan. Bahkan dibungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat

Sosok tubuh yang ternyata seorang lelaki tua memegang tongkat berkepala naga, tak segera menjawab pertanyaan Panji. Sepasang matanya yang lebar dan selalu bergerak liar, menatap sosok pemuda tampan yang menyapanya. Mulutnya tampak menyeringai aneh, membuat Panji curiga dan bersikap waspada.

“Heh heh heh...! Kau lucu sekali!” Lelaki tua itu tertawa terkekeh-kekeh sambil memperhatikan Panji. Belum juga terdengar jawaban atas pertanyaan pemuda tampan berjubah putih itu. Mulutnya masih terus tertawa-tawa, seakan benar-benar merasa lucu melihat sosok Panji.

Pendekar Naga Putih sama sekali tak merasa tersinggung dengan sikap lelaki tua itu. Sebab dirinya telah maklum, banyak tokoh kaum rimba persilatan yang memiliki sikap aneh. Bahkan mendekati kegilaan. Sehingga dia hanya tersenyum dan menghela napas perlahan-lahan. Ditatapnya sosok lelaki tua bertongkat kepala naga itu dengan pandangan penuh selidik. Hatinya kembali dilanda keterkejutan ketika mulai dapat menduga siapa sebenarnya lelaki tua yang berdiri di hadapannya itu.

“Maaf, Orang Tua! Kalau aku tak salah duga, bukankah kau Tongkat Delapan Naga yang kesohor itu...?” ujar Panji mencoba menerka lelaki tua bertongkat kepala naga itu. Ciri-ciri lelaki tua yang berdiri di hadapannya memang sama dengan tokoh sakti itu. Pendekar Naga Putih semakin kaget Karena dirinya telah mendengar bahwa Tongkat Delapan Naga sudah lama menghilang dari dunia persilatan. Namun sekarang tahu-tahu muncul dihadapannya. Semua ini membuat dirinya berpikir.

“Huah hah hah...! Kau tak salah, Bocah! Aku memang yang dijuluki Tongkat Delapan Naga, dan akan segera menjadi jago nomor satu di kolong langit! Huah hah hah...!” Lelaki tua itu terbahak-bahak kegirangan ketika mendengar pemuda tampan di depannya telah mengenal siapa dirinya. Dan itu membuat hatinya semakin merasa bangga akan ketenaran namanya.

Sebenarnya hati Panji hampir percaya kalau lelaki tua yang berdiri di depannya sebenarnya tokoh sakti berjuluk Tongkat Delapan Naga. Namun keraguan menyelinap di hatinya ketika melihat sikap kakek itu yang tidak pantas ditunjukkan seorang tokoh tua dari golongan pendekar. Ucapan lelaki tua itu menunjukkan kesombongan yang seharusnya dijauhi oleh tokoh-tokoh golongan putih. Ini yang membuat Panji mulai meragukan keaslian Tongkat Delapan Naga.

“Hm..., kau kelihatannya meragukan nama besarku, Bocah...?” tukas Tongkat Delapan Naga yang telah menghentikan tawanya dan menatap wajah Panji dengan sorot mata menikam jantung. Belum sempat Panji memberikan jawaban, tiba-tiba kakek tua itu sudah mengayunkan tongkat kepala naganya menyerang Panji.

“Hei...?!” Panji tentu saja kaget melihat serangan mendadak yang sama sekali tak disangkanya itu. Karena menyangka bahwa Tongkat Delapan Naga hanya sekadar ingin mengujinya, Panji mencoba mengelak dengan lompatan ke samping. Namun serangan itu ternyata terus berkelanjutan. Bahkan mendengar deru suara sambaran angin yang berkesiutan, sadarlah Panji kalau serangan itu sangat berbahaya dan bisa mengancam keselamatan jiwanya.

"Tongkat Delapan Naga, harap jangan main-main...!” seru Panji mengingatkan lelaki tua itu.

“Hua hah hah...!” Tongkat Delapan Naga sama sekali tak menanggapi, justru tertawa terbahak-bahak. Bahkan serangan tongkatnya tampak semakin diperhebat. Hal itu membuat Panji sedikit kewalahan, untuk menghindari sambaran tongkat yang berbahaya itu.

“Heeaaa...!”

Wuutt! Bweettt..!

Panji terus melompat ke sana kemari menggunakan kelincahannya untuk mengelakkan sambaran tongkat lawan. Namun hal itu tentu saja sangat berbahaya baginya. Sehingga sesekali dicobanya menangkis tongkat lawan. Bahkan melepaskan serangan saat benar-benar merasa terdesak.

“Hih...!”

Plakk! Wutt!

Tangkisan telapak tangan Panji memang berhasil membuat sambaran tongkat itu menyeleweng dari sasarannya. Namun dirasakan ada hawa panas menyengat telapak tangannya. Sedangkan tongkat kepala naga itu sudah melesat dan kembali mengancam dadanya dengan kecepatan tinggi!

“Celaka...!” desis Panji terkejut. “Heaa...!”

Tak ada jalan lain bagi Panji kecuali mengelak. Dengan pekikan nyaring tubuhnya melenting ke udara. Setelah melakukan putaran beberapa kali, tubuh pemuda berjubah putih itu meluncur dan mendarat di tanah.

“Gerakan yang bagus...!” terdengar Tongkat Delapan Naga memuji gerakan Panji. “Kau ternyata cukup pandai untuk menghadapiku, Bocah!” lanjutnya yang kini semakin bersemangat untuk melanjutkan pertarungan.

"Tunggu, Tongkat Delapan Naga..;!” sebelum lelaki tua itu memulai serangannya kembali, Panji mengangkat tangan dan berseru mencegah.

“Heh heh heh...! Kau takut menghadapiku?” ejek Tongkat Delapan Naga sembari memperdengarkan kekehnya yang parau.

"Tidak pernah ada kata takut dalam pikiranku, Tongkat Delapan Naga. Tapi, aku tak ingin bertarung tanpa sebab. Apalagi aku sekarang ingat bahwa kau seorang tokoh terhormat dari sebuah perguruan,” tukas Panji menatap wajah lawan. “Dan aku pun rasanya dapat menduga mengapa kau meninggalkan perguruan dan berkeliaran sampai ke tempat ini. Bukankah kau ingin menyelidiki kekacauan yang terjadi di kalangan persilatan? Hal ini tentu saja tak sulit untuk ditebak. Karena hampir semua tokoh persilatan saat ini merasa berkewajiban untuk meredakan kekacauan yang tengah terjadi. Jadi jelas, tak ada gunanya kita lanjutkan perkelahian ini!” tandas Panji tegas.

“Heh heh heh...! Itu menurutmu, Bocah! Tapi, bagiku pertarungan ini sangat perlu, bahkan harus dilanjutkan! Kulihat kau bukan merupakan lawan yang mudah untuk dirobohkan. Hal ini membangkitkan semangatku Untuk merobohkanmu. Sebaiknya kau bersiaplah menghadapi seranganku...!” sahut Tongkat Delapan Naga yang tetap bersikeras melanjutkan pertarungan.

“Orang Tua! Kuharap kau tak terlalu memaksakan kehendak! Sebagai tokoh terhormat yang nama besarmu sudah sangat kesohor, tak sepantasnya kau bersikap seperti ini. Masih banyak hal yang lebih penting ketimbang perkelahian ini. Apalagi kita tokoh segolongan. Kalau hal ini sampai tersebar di kalangan persilatan, bukankah kita hanya akan menjadi bahan tertawaan dan cemoohan orang banyak? Karena sementara yang lain sibuk mencari penyebab kekacauan, kita malah bertarung dengan orang sendiri. Tanpa sebab yang jelas lagi. Bukankah hal ini sangat memalukan?” Panji masih tetap bertahan tak ingin pertarungan tanpa guna itu berkelanjutan.

“Heh heh heh...! Sebuah nasihat yang sangat bagus, Bocah! Tapi, yang jelas aku akan tetap menyerangmu. Jadi tak ada gunanya kau berbicara lagi...,” Dan, baru saja perkataan itu selesai diucapkan, tubuh Tongkat Delapan Naga sudah melesat cepat sambil membabatkan tongkatnya.

Wutt! Wrrets!

Daun-daun kering dan debu beterbangan saat tongkat berkepala naga di tangan lelaki tua itu menderu- deru begitu cepat Sadar bahwa lawannya tak mungkin dapat dinasihati, tidak ada jalan lain bagi Panji kecuali membela diri. Dan dengan sangat terpaksa dirinya meladeni kakek yang dianggapnya sinting dan gila nama besar itu. Sebab, ia tentu saja tak ingin mati di tangan kakek yang berjuluk Tongkat Delapan Naga itu.

Pertarungan sengit pun tak terelakan. Sambaran tongkat berkepala naga itu benar-benar membuat Panji kewalahan. Hal itu disebabkan karena dirinya tak bersungguh-sungguh dalam menghadapi lawannya. Sehingga, tentu saja pemuda itu terdesak hebat. Sebab, ilmu tongkat kakek itu benar-benar hebat dan sangat berbahaya!

“Yeeaahhh...!”

Tongkat Delapan Naga yang tahu kalau lawan tak bersungguh-sungguh, semakin bernafsu melancarkan serangan. Tongkatnya yang berkepala naga berkelebatan menyambar secepat kilat memburu sasarannya.

Panji mau tak mau mengeluarkan ilmu andalannya guna mengatasi gencarnya serangan lawan. Kalau tidak, dirinya bisa celaka, bahkan mungkin tewas di tangan Tongkat Delapan Naga yang semakin ganas dalam melancarkan serangannya itu.

“Heaa...!”

Whuukkkk!

Memasuki jurus yang kelima puluh, tongkat berkepala naga menyambar datar mengarah pinggang lawan. Dengan cepat Panji menggeser tubuh sambil menepiskan tongkat dengan kibasan tangan kirinya yang sudah dilindungi ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’.

“Hih...!”

Takkkk!

“Heh...?!”

Tongkat Delapan Naga terpekik kaget. Sambaran tongkatnya berhasil dipapaki lawan hingga menyeleweng ke samping. Di samping itu lengannya dirasakan tergetar disertai ada hawa dingin menyusup melalui tongkatnya. Kejadian ini membuat Tongkat Delapan Naga melompat mundur sejauh satu tombak. Sepasang matanya yang tajam menatap sosok lawan seolah baru sekarang menyadari siapa sebenarnya pemuda tampan berjubah putih yang menjadi lawannya itu.

“Hm..., Bocah! Kaukah yang dijuluki sebagai Pendekar Naga Putih? Bukankah jurus-jurus yang kau pergunakan adalah ‘Ilmu Silat Naga Sakti’?” tanya Tongkat Delapan Naga dengan mata membelalak. “Hmmm..., aku tahu tangkisanmu tadi memakai ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’, bukan? Benar-benar hebat, membuat aku semakin bersemangat untuk mengalahkanmu,” lanjutnya seraya menatap tajam wajah Pendekar Naga Putih, seakan ingin meyakinkan dugaannya.

“Kau tidak salah, Orang Tua. Meskipun julukan Pendekar Naga Putih tak ada artinya jika dibandingkan dengan nama besar Tongkat Delapan Naga, tapi begitulah orang-orang menjuluki aku. Dan harap kau bersedia, mengakhiri perkelahian ini setelah mengetahui nama julukan yang kosong itu...,” sahut Panji seolah ingin membuang rasa bangga meski nama julukannya telah sampai pula ke telinga tokoh sakti itu. Malah pendekar muda itu meminta agar perkelahian yang menurutnya tak berguna segera dihentikan.

“Sudah, tak perlu banyak cakap lagi! Aku tak akan berhenti sebelum merobohkanmu, Pendekar Naga Putih! Bayangkan, betapa dunia persilatan akan geger jika mendengar bahwa pendekar muda yang dibangga-banggakan tokoh persilatan ternyata roboh di tangan Tongkat Delapan Naga! Jadi percuma saja kau minta aku menyudahi perkelahian yang akan membuat namaku semakin menjulang ini...!” bantah Tongkat Delapan Naga yang justru semakin bersikeras hendak merobohkan lawan. Apalagi setelah tahu bahwa yang dihadapinya ternyata Pendekar Naga Putih. Seorang tokoh muda yang akhir-akhir ini menggemparkan dunia persilatan dengan sepak terjang yang bertujuan menegakkan kebenaran.

Tanpa menunggu jawaban lagi, Tongkat Delapan Naga memutar senjatanya yang membuat sekitar tempat itu bagai dilanda angin ribut. Bahkan pondok tempat Panji meninggalkan Dewi Kematian, tampak berderak-derak bagaikan hendak roboh. Tentu saja hal itu membuat Panji merasa cemas. Karena khawatir terhadap keadaan pondok yang hampir ambruk oleh angin putaran tongkat lawan, Panji segera melompat mundur menaiki tangga. Namun, baru saja mendaratkan kakinya, terdengar sebuah suara halus bernada dingin yang ditujukan kepada Tongkat Delapan Naga.

“Hm..., bagus sekali perbuatanmu, Tongkat Delapan Naga! Sebagai seorang tokoh yang mempunyai nama besar, perbuatanmu benar-benar memalukan dan mencemarkan nama Perguruan Bukit Dewa! Tak dapat kubayangkan, betapa hancurnya hati Ki Sela Panda, kakak seperguruanmu. Apa yang membuatmu berubah menjadi iblis kejam yang memiliki keinginan gila untuk menjadi tokoh nomor satu di rimba persilatan? Kau benar-benar sinting, Tongkat Delapan Naga!”

Suara itu ternyata milik Dewi Kematian yang telah berdiri di ambang pintu pondok. Pendekar Naga Putih terkejut, lalu menatap wajah gadis cantik itu dengan penuh kecemasan. Sebab, ucapan itu jelas dapat menimbulkan kemarahan Tongkat Delapan Naga. Namun ternyata Tongkat Delapan Naga sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda kemarahan, walau mendapat kecaman yang pedas dari Dewi Kematian. Lelaki tua itu hanya terkekeh perlahan, tapi terasa menggetarkan dada, karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi.

“Hm..., siapa kau, Anak Manis? Lancang benar mulutmu di depanku?” tanya Tongkat Delapan Naga dengan suara tak menunjukkan kemarahan. Sepasang matanya meneliti sosok Dewi Kematian dengan penuh selidik.

“Aku Dewi Kematian yang akan segera mengakhiri petualangan jahatmu! Aku datang mewakili eyang guruku, Eyang Guna Wisesa untuk menghukum mu! Kau tentu kenal dengan guruku itu!” sahut Dewi Kematian memperkenalkan nama sekaligus gurunya.

Pendekar Naga Putih merasa heran bukan main ketika melihat betapa wajah Tongkat Delapan Naga tampak berubah pucat. Dan menduga bahwa kakek itu pasti mengenal orang yang bernama Eyang Guna Wisesa. Karena saat Dewi Kematian menyebutkan nama itulah wajah Tongkat Delapan Naga berubah. Kelihatannya lelaki tua itu menjadi gentar mendengar nama guru Dewi Kematian.

“Kau..., kau murid tua bangka Guna Wisesa...?” desis Tongkat Delapan Naga seraya bergerak mundur. Kepalanya menoleh ke sana kemari memperhatikan sekelilingnya. Sepertinya merasa khawatir kalau-kalau Eyang Guna Wisesa berada di sekitar tempat itu.

“Hi hi hik! Kau kelihatannya takut kalau-kalau eyang guruku berada di sekitar tempat ini, Tongkat Delapan Naga! Kurasa guru pasti akan datang ke tempat ini untuk menghukum dirimu” Dewi Kematian tertawa mengejek. Dan sengaja menakut-nakuti tokoh itu dengan mengatakan bahwa gurunya akan muncul untuk menghukum Tongkat Delapan Naga.

Ucapan Dewi Kematian ternyata ditanggapi dengan sungguh-sungguh oleh Tongkat Delapan Naga. Terlihat lelaki tua itu semakin gelisah dan terus bergerak mundur sambil memperhatikan sekelilingnya. Dan mendadak tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu. Kelihatannya Tongkat Delapan Naga benar-benar ketakutan terhadap Eyang Guna Wisesa, hingga melarikan diri.

Dewi Kematian tertawa mengiringi kepergian kakek sakti itu. Tinggal Panji yang menatap bingung, karena tak tahu kenapa Tongkat Delapan Naga yang begitu sakti itu ketakutan setengah mati. Pendekar Naga Putih hanya bisa menatap sosok Tongkat Delapan Naga yang semakin jauh. Kemudian ganti menatap Dewi Kematian yang masih tertawa terpingkal-pingkal, melihat tingkah kakek itu yang baginya sangat lucu.

LIMA

“Aku tak mengerti, mengapa lelaki tua itu begitu ketakutan setelah mendengar nama gurumu, Dewi Kematian,” ujar Panji setelah sosok Tongkat Delapan Naga tak lagi terlihat Dan tawa gadis cantik berwajah dingin itu pun telah terhenti.

"Tidak perlu heran, Pendekar Naga Putih. Terima kasih atas pertolonganmu. Aku benar-benar merasa bangga karena seorang pendekar besar sepertimu ternyata masih menaruh perhatian kepada orang sepertiku. Kau pun tak perlu heran mengapa aku bisa mengenalmu. Sebab, secara samar-samar tadi aku mendengar Tongkat Delapan Naga menyebut nama julukanmu,” ujar Dewi Kematian. Semua ucapannya belum merupakan jawaban bagi pertanyaan Panji. Tampaknya gadis cantik berwajah dingin itu tak ingin segera memberikan jawaban. Bahkan tampak kakinya melangkah menuruni tangga. Kemudian duduk di atas sebatang pohon tua yang tumbang.

Panji pun melangkah mengikuti Dewi Kematian, dan ikut duduk di dekat gadis cantik berpakaian serba putih itu. Sesaat ada kekaguman dalam hatinya melihat kecantikan wajah Dewi Kematian yang tengah menatap lurus ke depan. Seolah gadis itu tak sadar bahwa Panji tengah memperhatikannya dan menunggu jawaban.

“Guruku, Eyang Guna Wisesa adalah paman guru dari Ki Sela Panda yang menjadi Ketua Perguruan Bukit Dewa, dan juga termasuk Paman Guru Tongkat Delapan Naga. Dia pernah memberi didikan kepada kedua orang yang terhitung kakak seperguruanku itu, kendati hanya beberapa macam ilmu. Baik Ki Sela Panda maupun Tongkat Delapan Naga telah menganggap guruku sebagai pengganti orangtua mereka. Selain itu, Eyang Guna Wisesa juga termasuk satu-satunya sesepuh Perguruan Bukit Dewa yang masih hidup. Semua tokoh perguruan sangat menaruh hormat dan merasa segan kepada beliau. Kendati beliau sendiri sudah memutuskan untuk tak mencampuri urusan perguruan. Bahkan sangat jarang sekali berkunjung ke Bukit Dewa. Boleh dikatakan nyaris tak pernah. Namun beliau tetap dianggap sebagai sesepuh yang kata-katanya ditaati, bahkan kuasa menjatuhkan hukuman terhadap murid yang menyeleweng. Mungkin itu sebabnya mengapa Tongkat Delapan Naga sangat takut ketika aku menyebutkan nama eyang guruku.” Dewi Kematian mengakhiri ceritanya, kemudian menghela napas. Wajahnya menoleh ke arah Panji yang duduk di sampingnya.

“Hm..., pantas saja Tongkat Delapan Naga kelihatan demikian takut terhadap gurumu. Berarti beliau memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Tongkat Delapan Naga lebih memilih menghindar ketimbang harus menerima hukuman dari gurumu itu. Satu hal yang masih membuatku tak mengerti. Mengapa tadi kau melontarkan kata-kata yang demikian tajam? Seolah Tongkat Delapan Naga telah berbuat dosa besar dan menyeleweng dari jalan kebenaran. Dapatkah kau menjelaskannya padaku?” tanya Panji lagi, tanpa menghilangkan sikap sopannya terhadap wanita cantik di sampingnya.

“Hm..., jadi kau belum mendengar tentang terbunuhnya beberapa orang tokoh persilatan?” Dewi Kematian balik bertanya.

"Tentu saja sudah. Justru aku sedang berusaha untuk menyelidikinya,” sahut Panji cepat

“Nah, menurut keterangan yang kudengar selama perjalananku, Tongkat Delapan Naga-lah yang melakukannya. Tapi, tentu saja aku belum percaya sepenuhnya. Sebab, aku belum menyaksikannya sendiri. Lagi pula, Tongkat Delapan Naga selama ini terhitung tokoh besar yang dihormati banyak orang. Jadi, kupikir kemungkinan besar ada orang ketiga yang memfitnahnya. Tapi sekarang aku mulai ragu, dan mempercayai kabar-kabar itu. Kau lihat tadi, bukan? Bagaimana Tongkat Delapan Naga lari terbirit-birit ketika aku menyebut nama guruku. Padahal aku hanya sekadar hendak mengujinya. Sebab, kalau orang tua tadi merupakan samaran dari Tongkat Delapan Naga, tentu tak akan setakut itu terhadap guruku. Kenyataannya ia benar-benar Tongkat Delapan Naga tulen. Kini aku mulai yakin kalau tokoh-tokoh yang terbunuh itu adalah hasil perbuatannya. Apa yang menjadi sebabnya, aku sendiri belum tahu...!” jelas Dewi Kematian yang membuat Panji menjadi heran. Tentu saja ia pun belum bisa percaya kalau Tongkat Delapan Naga akan bertindak sejauh itu.

“Hm..., kalau kabar itu sudah tersiar secara luas, berarti Perguruan Bukit Dewa tengah terancam kehancuran! Sebab, bukan tak mungkin kalau tokoh-tokoh persilatan yang merasa yakin kalau semua itu perbuatan Tongkat Delapan Naga, akan datang ke Bukit Dewa untuk meminta keadilan. Jika sudah demikian, pertempuran pasti sulit untuk dihindarkan. Apalagi bagi kelompok yang memang menaruh rasa tak suka kepada Perguruan Bukit Dewa, mereka tentu akan membakar hati tokoh-tokoh persilatan. Dan ini bencana besar bagi tokoh-tokoh golongan putih. Sebab jika mereka saling bunuh, tokoh-tokoh golongan hitam akan bersorak kegirangan,” Panji menghentikan ucapannya, dan menoleh ke wajah Dewi Kematian. “Aku harus mencegah jangan sampai peristiwa berdarah itu terjadi, Dewi Kematian! Apakah kau tak ada keinginan untuk itu?”

“Hm..., urusanku belum selesai, Pendekar Naga Putih. Pantang bagi Dewi Kematian meninggalkan urusan yang belum tuntas!” sahut gadis cantik itu dengan suara ditekan. Seolah ada dendam di dalam hatinya.

“Maksudmu, kau hendak kembali ke tempat Juragan Labang itu?” tanya Panji yang sudah dapat menebak ke mana tujuan ucapan gadis cantik berpakaian serba putih itu.

“Kira-kira begitulah...,”

“Hm..., jangan menurutkan nafsu yang hanya akan membuatmu celaka, Dewi Kematian!” tukas Panji menasihati dengan nada penuh persahabatan, “Bukan maksudku meremehkan kepandaianmu. Tapi, sikapmu yang ceroboh itulah yang harus kau ubah. Selain jumlah mereka belum jelas, mereka pun sangat licik dan tak segan-segan melakukan kecurangan.”

“Hm..., jadi kau merasa bangga telah dapat menolong dan menyelamatkan nyawaku? Dan merasa berhak untuk memberi nasihat kepadaku, begitu?” dingin tetapi tajam sekali ucapan yang dilontarkan Dewi Kematian, membuat Panji tersentak kaget Karena dirinya sama sekali tak menyangka kalau Dewi Kematian akan berkata seperti itu.

“Bukan itu maksudku...,” sanggah Panji dengan suara lemah.

“Jadi...?” tukas Dewi Kematian menyunggingkan senyum sinis yang membuat Panji semakin tak enak.

“Aku hanya mengingatkan bukan berbicara soal hak. Soal saling mengingatkan itu kurasa tak ada anehnya. Sebab, sudah kewajiban bagi setiap manusia untuk saling mengingatkan sesamanya. Nah, apa aku salah kalau mengingatkan mu agar jangan sampai celaka?”

Dewi Kematian tak menyahut Ditatapnya wajah Panji dengan sorot mata tajam, seolah ingin menjenguk ke dalam hati pendekar muda berwajah tampan itu. Terdengar pertanyaannya yang bernada menuntut.

“Katakanlah secara jujur, mengapa kau mengkhawatirkan keselamatanku, Pendekar Naga Putih? Sedangkan kita baru saling mengenal dan belum menge- tahui sifat masing-masing.”

Pendekar Naga Putih sempat terkejut ketika mendengar pertanyaan yang tentu saja ia tahu benar maksudnya itu. Memang diakuinya bahwa Dewi Kematian memiliki wajah cantik dan tubuh langsing padat menggiurkan. Sebagai lelaki normal, tentu saja dirinya pun merasa tertarik dengan gadis Itu. Namun, bukan berarti akan mengkhianati Kenanga yang sangat dicintainya. Boleh jadi hatinya kagum dan suka kepada Dewi Kematian. Tapi, untuk mengkhianati kekasihnya, Panji harus berpikir seribu kali.

“Aku merasa kagum dan suka kepadamu, Dewi Kematian. Itu sebabnya aku merasa khawatir mendengar kau berniat untuk mendatangi tempat Juragan Labang kembali...,” jawab Panji sejujurnya.

“Hm..., jadi bukan karena kau cinta kepadaku.. ?” desak gadis cantik itu menyerang langsung tanpa merasa jengah. Hal itu tentu saja tak aneh, mengingat siapa adanya gadis berpakaian putih ini. Dewi Kematian merupakan tokoh persilatan yang telah cukup lama malang melintang. Dan sepertinya wanita itu pun terjangkit penyakit seperti kebanyakan tokoh persilatan yang bersifat aneh. Tanpa tedeng aling-aling, atau merasa malu mengungkapkan keinginan hatinya.

Mendengar pertanyaan itu, Panji menarik napas panjang. Matanya menerawang menatap langit senja hari yang redup. Baru kemudian menoleh kepada Dewi Kematian, setelah cukup lama terdiam. "Tidak sulit bagi seorang lelaki untuk jatuh cinta kepadamu, Dewi Kematian. Kau memiliki segala syarat untuk jadi idaman setiap lelaki. Aku sendiri merasa kagum dan suka kepadamu. Tapi, rasanya aku yakin kalau hal itu bukanlah apa yang dinamakan cinta,” jawab Panji yang malah membuat Dewi Kematian tersenyum manis. Panji yang tahu benar kalau gadis itu jarang tersenyum, terpaksa harus mengakui betapa jauh lebih cantik dan menariknya wajah Dewi Kematian saat tersenyum seperti itu. Seolah alam pun ikut tersenyum dan menjadi cerah seketika.

“Itulah awal dari cinta, Pendekar Naga Putih...,” ujar Dewi Kematian yang kelihatannya merasa sangat yakin kalau Pendekar Naga Putih yang sejak lama dikaguminya itu telah jatuh cinta terhadapnya.

“Hhh..., sudahlah! Bukankah kau hendak menyatroni tempat kediaman Juragan Labang? Marilah kutemani! Setelah persoalan ini selesai, baru aku akan pergi ke Bukit Dewa untuk mencegah kemungkinan terjadinya pertumpahan darah...,” tukas Panji mengalihkan pembicaraan. Dirinya tidak ingin gadis itu menjadi kecewa apabila disebutkan bahwa ia telah mempunyai seorang pujaan hati, dan tak mungkin akan berkhianat

Dewi Kematian tertawa kecil. Kemudian bergegas bangkit dan melangkah meninggalkan pondok. Panji mengikuti dan menjajari langkah gadis cantik berwajah dingin, yang mulai banyak tersenyum.

“Sebaiknya kita mempercepat langkah agar tak kemalaman...!” usul Panji yang langsung disetujui oleh Dewi Kematian. Sebentar kemudian, keduanya melesat menggunakan ilmu lari cepat masing-masing.

********************

“Hei, Labang, Manusia Serakah, keluar kau! Kami datang mewakili penduduk desa yang kau cekik lehernya!”

Begitu tiba di depan gerbang rumah besar tempat kediaman Juragan Labang, Dewi Kematian langsung berteriak dengan mengerahkan tenaga dalam. Sehingga, suaranya bergaung jauh, menembus dinding rumah juragan tanah itu. Dewi Kematian yakin kalau orang yang bernama Juragan Labang maupun kaki tangannya akan mendengar teriakan itu. Namun, Dewi Kematian tampaknya tak bisa bersabar menunggu kemunculan Juragan Labang ataupun kaki tangannya. Kakinya segera melangkah lebar diikuti Panji memasuki halaman rumah besar itu.

“Berhenti...!”

Terdengar suara bentakan yang disusul dengan munculnya belasan sosok tubuh berpakaian serba hitam. Mereka langsung menyebar, mengurung Panji dan Dewi Kematian.

“Heh heh heh...! Rupanya kau kembali datang untuk mengantarkan nyawa, Dewi Kematian...!” ujar lelaki jangkung yang tak lain si Golok Tanpa Bayangan. Lelaki ini menyembunyikan rasa terkejutnya ketika melihat Dewi Kematian sudah segar bugar tanpa adanya tanda-tanda keracunan. Hingga, ia mengalihkan pandang menatap sosok pemuda tampan berjubah putih yang berdiri di samping gadis cantik itu.

“Aku tak tahu bagaimana caranya kau menyembuhkan perempuan liar ini, Kisanak. Yang jelas aku merasa kagum terhadapmu. Sebab, jarang sekali orang yang dapat bertahan setelah ‘Racun Kelabang Hijau’ terisap ke dalam tubuhnya,” ujar Golok Tanpa Bayangan ditujukan kepada Pendekar Naga Putih.

“Jangan lupa, Golok Tanpa Bayangan! Setiap penyakit sudah pasti ada obatnya. Jadi, percuma saja kalau sekarang kau masih hendak menggunakan racun keji itu,” sahut Panji tersenyum tipis, membuat wajah Golok Tanpa Bayangan mengetam.

“Hhh...!” Golok Tanpa Bayangan menggeram gusar. Kemudian dikibaskan kedua tangannya sebagai isyarat bagi kawan-kawannya agar mulai menyerang. Namun langkah mereka tertunda ketika mendengar sebuah bentakan yang menggetarkan dada.

“Siapa yang barusan berteriak-teriak mencari Juragan Labang?”

Pendekar Naga Putih dan Dewi Kematian pun tak luput dari keterkejutan. Keduanya langsung menolehkan wajah memandang sesosok lelaki bertubuh kecil yang berdiri di ambang pintu didampingi sosok lainnya yang berperawakan gemuk. Dalam sepintas saja Panji dapat mengetahui kalau kedua orang lelaki itu tentu memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari Golok Tanpa Bayangan. Selain suara bentakannya mengandung tenaga dalam tinggi, Golok Tanpa Bayangan terlihat tak berani bergerak untuk menyerang. Jelas bahwa lelaki jangkung itu menunggu perintah.

“Hm..., mereka adalah Kerbau Mata Satu dan Setan Cebol. Keduanya merupakan tokoh-tokoh golongan sesat berkepandaian tinggi. Entah ada hubungan apa mereka dengan Juragan Labang?” bisik Dewi Kematian yang langsung mengenali kedua orang lelaki itu. Diam-diam dirinya membenarkan apa yang pernah dikatakan Panji sebelum mendatangi tempat itu. Untung saja Pendekar Naga Putih mendampinginya. Kalau tidak, sudah pasti ia akan celaka menghadapi lawan-lawan yang diketahui sangat tangguh itu.

“Hm..., sejak semula aku sudah curiga dengan orang yang bernama Juragan Labang itu. Tak mungkin ia sedemikian berani memeras penduduk desa ini kalau tak punya andalan. Sekarang terbukti kalau juragan tanah itu mempunyai hubungan erat dengan tokoh-tokoh sesat Hhh..., kurasa Juragan Labang menyisihkan sebagian hartanya untuk tokoh-tokoh sesat demi untuk melindungi keselamatannya,” ujar Panji yang memang telah menduganya semenjak semula. Jadi dirinya tak merasa heran melihat adanya dua orang tokoh sesat di tempat kediaman Juragan Labang itu.

“Kalau begitu, kita mempunyai alasan yang lebih kuat untuk membekuk Juragan Labang itu...!” timpal Dewi Kematian yang kini sudah menghunus pedangnya.

Kerbau Mata Satu dan Setan Cebol yang tak men- dapat jawaban, langsung saja menggenjotkan kaki. Seketika itu juga tubuhnya melesat ke tengah arena. Keduanya mendarat ringan dua tombak lebih di hadapan Panji dan Dewi Kematian. Sikap kedua tokoh sesat itu terlihat angkuh dan sangat memandang rendah.

“Hm..., jangan banyak jual lagak di hadapan Dewi Kematian dan Pendekar Naga Putih, Badut-badut Kotor...!” ujar Dewi Kematian sengaja memperkenalkan julukannya dan menyebut Pendekar Naga Putih, ketika melihat kesombongan sikap kedua tokoh sesat itu.

Gertakan Dewi Kematian ternyata membuat Kerbau Mata Satu, Setan Cebol, juga Golok Tanpa Bayangan tersentak kaget bukan main! Kalau nama Dewi Kematian saja sudah sempat membuat mereka terkejut, apalagi nama Pendekar Naga Putih yang sangat terkenal itu. Wajah tokoh-tokoh sesat itu berubah pucat untuk sesaat. Namun, mereka cepat menyembunyikandan mencoba bersikap untuk tetap tenang. Seolah kedua nama itu sama sekali tak ada artinya bagi mereka.

“Hm..., jadi tokoh yang berjuluk Dewi Kematian itu ternyata seorang gadis muda? Hhh... menggiurkan lagi!Sungguh sangat tak sesuai dengan sepak terjangnya yang kudengar selama ini! Tapi, petualanganmu akan segera berakhir di sini, Nisanak!” ujar Kerbau Mata Stu setelah dapat menekan rasa terkejut dan gentar dihatinya.

“Hm..., jangan kira aku tidak tahu kalau hati kalian sudah menjadi gentar ketika mendengar nama kami berdua. Dan aku yakin kalau di hati kalian telah ada rencana untuk melarikan diri mencari selamat..!” Dewi Kematian memperdengarkan suara tawa bernada mengejek, yang membuat wajah tokoh-tokoh sesat itu berubah kelam. Apalagi ketika gadis cantik itu mengeluarkan ucapannya, yang bernada menghina.

"Perempuan Keparat..! Kurobek mulutmu...!” Setan Cebol tampaknya sudah tak mampu menahan kemarahannya setelah mendengar hinaan Dewi Kematian. Seketika tubuhnya langsung melesat dengan tamparan tangan kanannya yang siap meremukkan mulut Dewi Kematian.

“Hih...!”

Wutt!

“Haits...!” Dewi Kematian tentu saja tak mudah untuk diserang secara demikian. Sekali bergerak saja, serangan itu luput dan hanya mengenai angin kosong. Bahkan gadis cantik itu langsung mengirimkan serangan balasan dengan sebuah tendangan kilat yang mengejutkan!

“Hih...!”

Plakkk!

Setan Cebol memutar tamparannya yang gagal dan menangkis tendangan itu. Hingga tubuhnya mencelat mundur dengan telapak tangan terasa ngilu. Tahulah tokoh cebol ini kalau tenaga dalam Dewi Kematian masih berada diatasnya.

“Hi hi hi...!” Dewi Kematian yang melihat lawannya terdorong ke belakang, langsung tertawa-tawa cekikikan mengejek. Hal itu membuat wajah Setan Cebol berubah merah padam. Lelaki bertubuh gemuk pendek itu tentu saja tahu bahwa Dewi Kematian memang sengaja menghinanya dengan suara tawa itu.

“Hm..., mari kita bekuk perempuan liar itu, Setan Cebol! Tapi, jangan dibunuh dulu! Aku ingin menikmati kehangatan tubuhnya...” Kerbau Mata Satu yang sejak tadi sudah berkali-kali menelan air liur karena tergiur kecantikan dan keindahan tubuh Dewi Kematian, langsung menawarkan bantuan untuk mengeroyok wanita cantik berwajah dingin itu.

Setan Cebol tentu saja sadar, dirinya tak mungkin mampu mengalahkan Dewi Kematian kalau seorang diri. Maka lelaki pendek itu mengangguk, dan bergerak ke kanan. Sementara Kerbau Mata Satu sudah bergerak ke kiri. Keduanya mengapit Dewi Kematian dan siap menyerang perempuan cantik itu.

Dewi Kematian sama sekali tak memperlihatkan rasa gentar. Bahkan gadis itu tampak mulai mengatur kuda-kuda dan siap menghadapi keroyokan kedua orang tokoh sesat andalan Juragan Labang itu.

ENAM

“Hyaattt..!”

“Heaaa...!”

Kerbau Mata Satu dan Setan Cebol menerjang maju secara bersamaan. Tampaknya kedua tokoh sesat itu ingin membuat Dewi Kematian kebingungan dalam menghadapi serangan yang sekaligus dilakukan dari dua arah itu.

Namun Dewi Kematian bukan tokoh wanita yang dapat dianggap remeh, sehingga dengan mudah dapat roboh seperti yang mereka bayangkan. Meskipun usianya masih terbilang muda, gadis cantik itu sudah memiliki pengalaman bertempur yang cukup banyak. Sehingga, dalam menghadapi dua serangan sekaligus itu, sama sekali tak tampak gugup. Tubuhnya melenting ke udara dengan gerakan indah. Dan dari atas pedangnya menyambar secepat kilat mengancam Kerbau Mata Satu yang menyerang dari sebelah kirinya itu.

“Heaaa...!”

Bweet!

Kerbau Mata Satu yang gagal menyarangkan serangannya, bahkan terancam bahaya maut itu, tentu saja tersentak kaget bukan main! Dengan cepat dilemparkan tubuhnya ke belakang guna menyelamatkan diri. Sehingga, serangan pedang Dewi Kematian pun menemui kegagalan. Namun ilmu pedang yang dimiliki gadis cantik itu benar-benar di luar dugaan. Begitu cepat dan dahsyat.

Ketika serangannya kepada Kerbau Mata Satu gagal, pedang di tangannya berputar setengah lingkaran. Dan langsung menusuk ubun-ubun Setan Cebol. Semua itu dilakukan Dewi Kematian dengan posisi tubuh terbalik dengan kaki berada di atas. Gerakan yang sangat cepat itu membuat semua yang berada di halaman rumah Juragan Labang tergeleng-geleng kagum. Benar-benar mengagumkan ilmu pedang gadis cantik ini!

Wuutt!

“Heaaaa...!”

Tidak seperti Kerbau Mata Satu yang agak gugup dalam mengatasi serangan lawan, Setan Cebol terlihat tenang. Kendati ia tahu nyawanya terancam, lelaki pendek itu sama sekali tak merasa gugup. Dengan sebuah gerakan yang manis, tubuhnya meliuk dalam posisi kuda-kuda rendah. Tusukan pedang Dewi Kematian pun lewat setengah jengkal di belakang lehernya. Bahkan Setan Cebol yang memiliki gerakan cepat seperti setan itu, masih sempat mengirimkan sebuah tendangan yang mengarah kepala Dewi Kematian! Sayang serangan itu pun menemui kegagalan, karena tubuh Dewi Kematian sudah berjungkir balik dengan menotolkan ujung pedangnya ke tanah. Lalu meluncur turun dengan manis.

Pertarungan sengit pun berlanjut. Kendati kedua tokoh sesat itu berusaha keras untuk merobohkan lawannya, tetap saja mereka belum mampu melakukannya. Pertarungan cepat itu telah menginjak jurus yang ketiga puluh. Namun Dewi Kematian yang tak mudah untuk ditundukkan, terus melompat ke kanan dan kiri mengelakkan serangan lawan, sambil sesekali menangkis dan membalas serangan.

Sementara itu, Pendekar Naga Putih pun tampak menghadapi keroyokan Golok Tanpa Bayangan yang dibantu delapan belas orang kawannya. Namun keroyokan itu tentu saja tak berarti banyak baginya. Meskipun hanya mengandalkan tangan kosong, setiap senjata lawan yang datang mengancam, selalu saja terpental balik dan pemiliknya jatuh terjungkal. Karena kedua tangan Panji yang terlapisi kabut bersinar putih keperakan, sama sekali tak dapat dilukai pedang dan golok lawan.

Kenyataan itu membuat para pengeroyoknya menjadi gentar. Apalagi jika teringat bahwa pemuda itu seorang tokoh besar yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Sehingga, para tukang pukul Juragan Labang itu lebih banyak melompat menghindar ketimbang melancarkan serangan. Karena sepasang tangan Panji merupakan senjata yang ampuh untuk memukul roboh setiap lawan yang berani mendekat

Golok Tanpa Bayangan tentu saja merasa penasaran bukan main. Ilmu andalan yang telah membuat namanya ditakuti, ternyata sama sekali tak berarti menghadapi pemuda tampan berjubah putih itu. Sebab, serangan goloknya selalu kalah cepat dengan gerakan lawan. Selama kurang lebih sepuluh jurus ia menyerang dengan seluruh kemampuannya, tetapi tetap saja sia-sia. Bahkan dirinya nyaris terkena tamparan pemuda itu, yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung dalam upaya menyelamatkan diri.

“Haattt..!”

Kali ini Golok Tanpa Bayangan kembali menerjang maju, setelah terdiam sejenak memikirkan cara untuk melumpuhkan Pendekar Naga Putih. Begitu teringat akan Racun Kelabang Hijau-nya, timbul harapan baru dalam hati tokoh sesat bertubuh jangkung itu. Dirinya merasa yakin kalau kali ini lawan akan dapat dirobohkan.

Sedangkan para pengepung yang melihat sang Pemimpin kembali menyerang pemuda itu, beberapa di antaranya ikut melompat maju sambil membabatkan senjata masing-masing. Namun semua itu dapat dihalau dengan mudah oleh Pendekar Naga Putih. Kibasan tangannya yang mengeluarkan angin keras, membuat enam penyerang terpental balik dengan senjata berpatahan. Panji kembali berpaling menghadapi Golok Tanpa Bayangan.

Betapapun cepatnya gerakan tangan Golok Tanpa Bayangan saat mengeluarkan sapu tangan berwarna hijau dari balik pakaiannya, tetap saja tertangkap mata Panji. Pemuda itu langsung dapat menebak kalau lawannya hendak menggunakan Racun Kelabang Hijau untuk merobohkannya.

“Heaa!”

Beettt!

Sambaran golok yang merupakan tipuan itu sama sekali tak dipedulikan Panji. Karena matanya melihat gerakan yang tak bersungguh-sungguh sewaktu golok datang menyambar. Dugaannya tidak meleset. Karena sebelum senjata itu tiba, Golok Tanpa Bayangan segera menarik pulang senjatanya, sambil mengibaskan tangan kiri yang memegang sapu tangan berisi bubuk Racun Kelabang Hijau.

Namun Pendekar Naga Putih telah lebih dulu waspada. Begitu melihat adanya serbuk berbau harum memabukkan menyebar ke wajahnya, dengan cepat tangan kanannya dihentakkan ke depan. Begitu kuatnya angin pukulan yang diciptakan dorongan tangan Panji. Serbuk berwarna kehijauan itu tersapu balik dan mengenai wajah majikannya sendiri. Bahkan Panji masih menyusulnya dengan sebuah tendangan kilat...

“Hih...!”

Bukkk!

“Huakkhh!”

Blukk!

Golok Tanpa Bayangan yang gelagapan karena bubuk Racun Kelabang Hijau berbalik dan mengenai wajahnya, langsung terjungkal muntah darah akibat tendangan keras itu. Tubuhnya terbanting ke tanah dengan suara berdebuk. Tokoh sesat bertubuh jangkung itu bergulingan di tanah, karena bubuk racun itu pun telah mengenai kedua matanya.

“Aaaa...!”

Terdengar suara seperti api yang diceburkan ke dalam air. Dan dari sepasang mata Golok Tanpa Bayangan yang terpejam, tampak mengepul asap tipis berbau busuk. Rupanya bubuk beracun itu telah membutakan kedua mata majikannya. Hal itu membuat Golok Tanpa Bayangan langsung sekarat. Dirinya tak sempat mengingat untuk mengambil obat penangkal racun yang ada di dalam pakaiannya. Sehingga, dalam waktu yang tak terlalu lama, tubuh lelaki jangkung itu pun menggelepar lalu tewas termakan racunnya sendiri. Karena hampir semua racun yang ditebarkan terisap ke dalam tubuhnya.

Menyaksikan pimpinannya tewas, wajah para pengeroyok yang lain pucat ketakutan. Mereka yang masih tersisa kurang lebih enam orang, langsung saja mengambil langkah seribu mencari selamat masing-masing.

Pendekar Naga Putih berusaha untuk tidak melakukan pengejaran. Dirinya merasa lebih penting mencari Juragan Labang, yang menjadi biang keladi dari semua kesengsaraan penduduk Desa Kranggan. Maka, langsung saja tubuhnya melesat ke dalam bangunan.

Bagian dalam bangunan itu ternyata berisi barang-barang mahal yang kebanyakan berupa benda lukisan berbentuk indah. Pendekar Naga Putih menggeleng-geleng kepala melihat kemewahan hidup juragan tanah itu. Diperiksanya kamar-kamar yang cukup banyak terdapat di dalam bangunan. Sampai akhirnya dia menemukan seorang lelaki setengah baya berkepala setengah botak dan berperut buncit. Lelaki itu tengah bersembunyi di balik lemari pakaian, di salah satu kamar yang dihuni gundiknya.

“Ampun..., ampunkan aku, Tuan Pendekar...! Ambillah semua hartaku asalkan aku tak dibunuh...!” ratap Juragan Labang ketika Panji mencengkeram leher bajunya. Lalu diseretnya dari dalam kamar, tanpa mempedulikan perempuan setengah telanjang yang tampak ketakutan di sudut pembaringan.

“Aku bukan sebangsa perampok sepertimu, Juragan Labang! Tapi semua ini buah dari perbuatan serakah mu sendiri yang berbuat sewenang-wenang mengandalkan tukang-tukang pukulmu yang galak dan kejam itu!” bentak Panji sambil terus menyeret tubuh Juragan Labang keluar dari rumahnya.

Baru saja Panji tiba di ambang pintu, tampak Dewi Kematian berlari menyongsongnya. Rupanya gadis itu telah berhasil mengatasi kedua orang lawan. “Kerbau Mata Satu dan Setan Cebol berhasil melarikan diri dengan cara yang sangat licik!” tanpa diminta, Dewi Kematian langsung saja menjelaskan tentang kedua orang lawannya. Kemudian mengalihkan pandang kepada lelaki setengah baya berkepala setengah botak itu. “Hm..., inikah orang yang bernama Juragan Labang...?” tanyanya seraya menatap tajam penuh kebencian.

Panji tak perlu memberikan jawaban. Sebab, lelaki setengah baya yang dilepaskannya itu, langsung menjatuhkan diri berlutut di hadapan Dewi Kematian. Rupanya ia sudah mendengar dari para pembantu siapa sebenarnya wanita muda berwajah cantik itu.

“Hm..., manusia sepertimu tak pantas dibiarkan hidup lebih lama! Terimalah kematianmu, Jahanam!” begitu ucapannya selesai, Dewi Kematian langsung mengayunkan tangan siap mematahkan batang leher Juragan Labang. Namun, serangan itu tak sampai pada sasarannya, karena Panji lebih dulu menangkap lengan gadis cantik itu.

"Tunggu! Masih ada sedikit persoalan yang hendak kutanyakan kepadanya...!” cegah Panji ketika melihat sinar mata menentang dari Dewi Kematian.

Dengan helaan napas berat, Dewi Kematian mau juga menuruti keinginan Panji. Matanya menatap tajam wajah lelaki setengah baya berperut buncit itu dengan penuh ancaman.

“Jelaskan, kau punya hubungan apa dengan Kerbau Mata Satu dan Setan Cebol?” tanya Panji setengah membentak, membuat tubuh Juragan Labang semakin gemetar ketakutan.

“Mereka... mempunyai sebuah perkumpulan yang memerlukan biaya. Dengan janji akan memberikan perlindungan kepada keluarga ku, mereka datang menagih uang setiap minggu. Karena mereka jagoan-jagoan yang hebat, aku berikan apa saja yang mereka minta. Dan apabila diperlukan, mereka siap membantuku,” tutur Juragan Labang, yang tampaknya tak berani berbohong, karena nyawanya tergantung dari jawaban itu.

Mendengar jawaban itu, Pendekar Naga Putih dan Dewi Kematian saling bertukar pandang sejenak. Mereka tentu saja dapat menduga perkumpulan yang dimaksud tentu merupakan perkumpulan kaum sesat. Dan ada kemungkinan mempunyai kaitan dengan kekacauan yang belakangan ini meresahkan kalangan persilatan.

“Sekarang biar kuhabisi nyawa bandot tua ini...!” ujar Dewi Kematian yang siap mengirim pukulan maut ke kepala Juragan Labang. Namun niatnya tak disetujui Panji. Tentu saja gadis itu merasa penasaran.

“Labang!” panggil Panji tanpa mempedulikan sinar mata menentang dari Dewi Kematian. “Apakah kau sanggup bersumpah untuk merubah semua kelakuanmu apabila dibebaskan dari hukuman mati?” tanya Panji seraya mengangkat bangkit lelaki tua itu.

Sejenak Juragan Labang seperti tak percaya. Matanya menatap wajah pemuda tampan yang menjanjikan kehidupan kepadanya. Kemudian ganti menatap wajah Dewi Kematian. Namun buru-buru ia menundukkan wajahnya, karena sepasang mata gadis cantik berpakaian serba putih itu terasa seperti ujung pisau yang menikam jantungnya.

“Aku berjanji, Tuan Pendekar...,” jawab Juragan Labang dengan suara tersendat, namun kelihatan bersungguh-sungguh.

“Hm..., bagaimana kalau kemudian kau mengingkarinya...?” Dewi Kematian menukas cepat dengan suara dingin.

Tubuh lelaki berperut buncit itu kembali menggigil ketakutan. “Nyawaku sebagai taruhannya...,” jawab Juragan Labang tanpa berpikir lagi. Sebab hatinya sudah merasa lega mendengar tawaran kebebasan dari kedua orang itu.

“Hm..., kau yang berjanji, Labang! Dan jika kudengar kau mengingkari janjimu, aku akan datang untuk mengambil kepalamu!” ujar Panji yang membuat lelaki tua itu bergidik membayangkan kepalanya akan dipenggal dari tubuhnya.

“Aku berjanji... aku berjanji...!” jawab Juragan Labang sambil manggut-manggut seperti burung pelatuk

Panji percaya melihat kesungguhan Juragan Labang. Dia pun yakin kalau juragan tanah itu akan merubah semua kelakuan buruknya. Dengan isyarat gerakan kepala, diajaknya Dewi Kematian untuk meninggalkan tempat itu. Gerakan keduanya yang nyaris tanpa suara, membuat lelaki setengah baya itu tak sadar dan masih tetap menunduk. Padahal Pendekar Naga Putih dan Dewi Kematian telah lenyap dari tempat itu.

“Hm..., kau terlalu lemah, Pendekar Naga Putih!” ujar Dewi Kematian saat keduanya menerobos keremangan dengan langkah tidak terburu-buru.

“Dewi Kematian,” ujar Panji tersenyum, “Kita harus melihat mana yang patut untuk dibunuh, dan mana yang harus dibiarkan hidup! Aku percaya kalau Juragan Labang akan merubah semua kelakuannya. Tadi kulihat kesungguhan dalam ucapan dan sikapnya. Lagi pula kalaupun ia mengingkari, apa susahnya untuk datang dan mengambil kepalanya seperti yang aku katakan? Jelasnya, tidak semua penjahat harus dibunuh!” tegas Panji sekaligus memberi nasihat terselubung. Karena dirinya juga bermaksud agar Dewi Kematian tak lagi selalu membunuh setiap penjahat yang dijumpai.

“Jangan menggurui aku, Pendekar Naga Putih! Aku tahu apa yang harus kulakukan terhadap manusia-manusia busuk yang kerjanya menyusahkan orang lain!” Dewi Kematian menukas cepat dengan suara dingin dan penuh tekanan.

Panji menghela napas berat, karena tahu kalau gadis itu memiliki watak yang keras dan tak mudah diluruskan. "Tentu saja aku tak menggurui mu, hanya sekadar memberikan pandangan. Aku tak akan memintamu untuk merubah sikap yang selama ini kau yakini itu,” ujar Panji dengan nada perlahan. Kemudian dilemparkan pandangannya ke langit yang mulai terselimut kegelapan. “Sebaiknya kita mencari tempat menginap. Esok, pagi-pagi sekali aku harus segera meninggalkan desa ini.”

“Kau hendak pergi ke Bukit Dewa...?” tanya Dewi Kematian. Wajahnya tampak berubah ketika mendengar ucapan Panji yang seolah mengatakan ingin pergi sendiri tanpa perlu ditemani olehnya.

Panji mengangguk tipis, dan tidak berkata apa-apa lagi. Dewi Kematian pun diam seribu bahasa. Kelihatannya gadis itu merasa malu untuk mengatakan bahwa ia ingin menyertainya. Ucapan itu hanya disimpan di dalam hati. Dirinya tak ingin Pendekar Naga Putih menuduhnya tak tahu malu, karena ingin menyertai pemuda itu, yang berarti ingin selalu berdekatan.

Malam mulai menyelimuti bumi. Rembulan muncul setengah, menggantung di langit kelabu. Panji dan Dewi Kematian memasuki sebuah rumah penginapan yang cuma ada satu-satunya di Desa Kranggan. Beruntung masih ada tiga kamar yang tersisa. Sehingga, mereka tidak perlu mencari rumah penduduk untuk melewatkan malam itu.

********************

TUJUH

“Berhenti...!”

Sepuluh orang lelaki gagah serentak berhenti ketika mendengar suara bentakan keras menggelegar. Untuk sesaat, mereka saling bertukar pandang satu sama lain. Wajah mereka mencerminkan keheranan. Kendati demikian, kesepuluh lelaki muda itu tetap bersikap tenang. Seolah sama sekali tak merasa khawatir oleh suara bentakan yang jelas mengandung tenaga dalam kuat itu.

Sekitar lima tombak di hadapan sepuluh lelaki gagah itu, tampak belasan sosok tubuh berdiri menghadang jalan. Dengan wajah bengis para penghadang itu seakan mengancam. Tentu saja sikap yang jelas tidak menampilkan itikad baik itu membuat sepuluh lelaki gagah bersikap waspada. Bahkan beberapa di antaranya tampak meraba gagang pedang di pinggang.

“Hendak ke mana, kalian? Kelihatannya begitu tergesa-gesa?” tegur seorang lelaki berwajah keras, dengan kumis lebat sambil berkacak pinggang dengan lagak sombong. Seolah-olah ia tengah bertanya kepada anak buahnya, sedikit pun tak memandang sebelah mata kepada rombongan lelaki yang rata-rata bersikap gagah itu.

Seorang anggota rombongan yang berada paling depan, melangkah maju beberapa tindak, mewakili kawan-kawannya. Wajahnya yang dihiasi cambang dan kumis tipis tampak memancarkan kewibawaan. Tatapan matanya demikian tenang, menandakan bahwa lelaki berpakaian kuning itu memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Dia memang sengaja mendahului kawan-kawannya demi untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan.

“Maaf, Kisanak sekalian! Kami tengah menghadapi sebuah persoalan yang sifatnya sangat mendesak sekali. Harap Kisanak sekalian suka memberi jalan kepada kami!” ucap lelaki berewok itu dengan sikap sopan namun terdengar tegas.

“Hm..., kau kira kami tak tahu ke mana tujuanmu, Pendekar Cambuk Halilintar? Jangan heran kalau aku mengenal julukanmu! Dan, hutan ini merupakan satu- satunya jalan untuk menuju kaki Bukit Dewa. Nah, apa dugaanku salah?" Lelaki berkumis lebat itu tersenyum sinis, membuat lelaki berewok yang berjuluk Pendekar Cambuk Halilintar merasa terkejut, dan sadar bahwa orang-orang itu memang sengaja hendak mencari perkara.

“Siapa kalian sebenarnya? Dan apa maksud kalian menghadang perjalanan kami?” salah seorang anggota rombongan yang merasa tersinggung mendengar perkataan itu, langsung melangkah maju. Ditentangnya pandang mata lelaki berkumis lebat itu tanpa rasa gentar sedikit pun.

“Benarkah kau ingin tahu, Kisanak? Nah, dengarlah baik-baik! Kami murid-murid Perguruan Bukit Dewa yang akan menghalangi siapa saja yang hendak naik ke bukit Bagi siapa yang membantah. Hm..., aku akan mengantarkannya ke... akherat! Hah hah hah...!” lelaki berkumis tebal dan berpakaian merah itu tertawa terbahak-bahak, diikuti pula kawan-kawan di belakangnya.

“Setan...!” geram lelaki muda berusia sekitar dua puluh delapan tahun yang marah mendengar perkataan itu. Sepasang matanya memancarkan api seperti hendak membakar hangus lelaki berkumis lebat yang masih terbahak-bahak itu. Bukan hanya pemuda tinggi tegap itu yang tak bisa menahan kemarahan. Hampir semua anggota rombongan tampak sudah siap untuk bertarung mati-matian. Namun, Pendekar Cambuk Halilintar mencegah kawan-kawannya dengan melintangkan lengan.

“Hm..., aku tak percaya kalau kalian murid-murid Ki Sela Panda! Sebaiknya berterus-terang saja, atau menyingkir dan membiarkan kami melanjutkan perjalanan!” Pendekar Cambuk Halilintar berkata dengan lantang dan tegas. Bahkan jari-jari tangan kanannya sudah meraba gagang cambuk yang melingkar di pinggangnya. Jelas ia siap bertindak apabila para penghadang tetap berkeras.

“Hmh!” Lelaki berkumis lebat itu mendengus kasar. Dengan cepat tangannya meloloskan pedang kembar yang tergantung di punggung.

Sriingngng!

Cepat dan kuat sekali gerakan lelaki ini ketika meloloskan pedangnya. Seolah ia hendak memamerkan kepandaiannya di hadapan Pendekar Cambuk Halilintar dan kawan-kawannya.

“Sepasang Pedang Darah...?!” Pendekar Cambuk Halilintar tampak kaget ketika melihat sepasang pedang berwarna merah darah itu. Kilatan sinarnya terasa panas seperti api. Sehingga, ia bergeser mundur. Dirinya pernah mendengar tentang kehebatan tokoh sesat dari wilayah utara itu.

Sembilan orang lelaki gagah rombongan tokoh-tokoh persilatan yang hendak menuntut keadilan kepada Ki Sela Panda itu pun tampak kaget. Meski nama Setan Pedang Darah belum mereka dengar, tetapi kilatan sinar sepasang pedang itu membuat sebagian semangat mereka terbang. Hingga wajah mereka terlihat pucat Karena Sepasang Pedang Darah memang memiliki pengaruh yang menggetarkan. Terlebih warnanya yang seperti bara api itu. Memandangnya saja seolah terasa panas sekujur tubuh. Tokoh berkumis lebat yang berjuluk Setan Pedang Darah ini tak banyak cakap lagi. Dengan suara dengusan kasar, ia memerintahkan para pengikutnya agar bergerak maju.

“Habisi yang lainnya! Biar Pendekar Cambuk Halilintar bagianku!” perintah Setan Pedang Darah, lalu melangkah lebar menghampiri Pendekar Cambuk Halilintar.

Pendekar Cambuk Halilintar pun sadar bahwa lawannya seorang tokoh sesat ternama yang berhati kejam. Namun hatinya tak mengerti mengapa tokoh itu hendak membunuhnya. Senjata andalannya sudah tergenggam erat

Whuukk! Whuukk!

Cambuk di tangan lelaki berwajah berewok itu diputar di atas kepala, menimbulkan suara menderu-deru. Sementara itu kawan-kawannya sudah bertarung dengan para pengikut Setan Pedang Darah. Dia sendiri siap menghadapi tokoh sesat wilayah utara itu.

“Saaattt!”

Setan Pedang Darah membentak nyaring. Tubuhnya bergerak ke depan dengan langkah menyilang yang aneh, tapi cepat bukan main. Sepasang pedangnya tampak membentuk dua buah gundukan merah yang menimbulkan hawa panas menyengat

“Heaaa...!”

Jtarrr!

Glaarrr...!

Wuut! Wuukk...!

Pendekar Cambuk Halilintar tak mau kalah gertak. Senjatanya meledak-ledak menimbulkan suara menggelegar yang memekakkan telinga. Kalau saja lawannya bukan orang yang memiliki tenaga dalam kuat, pasti sudah menggeloso ke tanah, tak sanggup menahan suara ledakan yang berdentum-dentum itu.

Dalam sekejap mata saja, kedua tokoh dari dua golongan berbeda ini sudah saling serang dengan ganasnya. Namun, setelah dua puluh jurus kemudian, Pendekar Cambuk Halilintar tampak mulai terdesak oleh sambaran sepasang pedang lawan. Tubuhnya sudah mulai dibasahi peluh yang terus membanjir. Hawa panas yang sangat mengganggu itu membuat pikirannya terpecah. Hingga, gerakan cambuknya lebih sering kacau dan tak terarah. Hal itulah yang membuat tubuhnya terdesak serangan gencar lawan. Sehingga terpaksa bermain mundur sambil memutar cambuk melindungi tubuh.

“Saaattt...!”

Setan Pedang Darah yang melihat lawan sudah tampak tak berdaya, semakin mempergencar serangan. Sepasang pedangnya menyambar-nyambar mengeluarkan hawa panas menyengat

Beett! Wuuttt! Slats!

“Aaahhh...?!” Pendekar Cambuk Halilintar terpekik ketika melihat dua bentuk cahaya merah meluncur ke tubuhnya. Dengan cepat dilecutkan cambuknya guna menghalau serangan maut itu. Tapi....

Tasss! Tasss!

Seraut wajah Pendekar Cambuk Halilintar pucat ketika senjatanya terbantai putus menjadi tiga. Sedang- kan sepasang pedang lawan terus meluncur datang mengancam nyawanya.

"Pergilah ke neraka...!” ejek Setan Pedang Darah yang merasa yakin bahwa kemenangan akan segera diperolehnya. Tapi....

Whuuusss!

Saat kedua ujung senjata Setan Pedang Darah tinggal satu jengkal dari sasarannya, tiba-tiba terdengar suara angin menderu keras. Dan sebelum ia sadar akan suara itu, tahu-tahu kedua lengannya terpental menyeleweng dari sasaran. Bahkan tubuhnya terhuyung-huyung akibat lontaran pukulan jarak jauh yang kuat itu. Belum lagi, Setan Pedang Darah sempat memperbaiki kedudukan kuda-kudanya, sesosok bayangan putih berkelebat laksana sambaran kilat. Sosok bayangan itu turun di hadapan Pendekar Cambuk Halilintar.

“Pendekar Naga Putih...?!” Pendekar Cambuk Halilintar berseru penuh kelegaan dan kegembiraan. Karena dirinya telah kenal benar sosok pemuda tampan berjubah putih yang telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut barusan.

Mendengar nama Pendekar Naga Putih, Setan Pedang Darah tersentak kaget. Diangkat wajahnya menatap sosok yang memang Panji. Kemunculan pendekar muda itu membuat Setan Pedang Darah kelihatan cemas. Kedatangan pemuda itu jelas membuat pihak lawan menjadi jauh lebih kuat. Dirinya sadar, untuk melanjutkan niatnya sama saja dengan mencari penyakit Maka, mulutnya segera mengeluarkan suitan nyaring, sebagai isyarat kepada para anak buah agar meninggalkan tempat itu.

“Pendekar Naga Putih, jangan biarkan Setan Pedang Darah meloloskan diri! Ia harus menjelaskan alasannya menghadang kepergian kami ke Bukit Dewa...!” seru Pendekar Cambuk Halilintar.

Panji yang tak mengetahui duduk persoalannya, sejenak tertegun. Namun ketika teringat akan kekacauan yang belakangan ini telah meresahkan kaum persilatan khususnya golongan putih, langsung melesat mengejar Setan Pedang Darah. Pendekar Cambuk Halilintar tertegun menyaksikan kecepatan gerak Pendekar Naga Putih. Matanya dirasakan silau karena hanya sempat melihat kelebat bayangan putih. Tubuh Pendekar Naga Putih telah lenyap dari hadapannya.

“Luar biasa...! Pemuda itu dapat bergerak bagai kilat! Seolah ia pandai menghilang saja! Rasanya sangat sulit mencari orang yang setingkat dengannya. Padahal usianya masih terbilang sangat muda...!” gumam Pendekar Cambuk Halilintar dengan mata terbelalak kagum terhadap kecepatan gerak Pendekar Naga Putih.

“Setan Pedang Darah, berhentilah! Tak ada gunanya kau melarikan diri...!” bentak Panji ketika jarak di antara mereka tinggal tiga tombak lagi

Namun tampaknya tokoh sesat tak menuruti seruan Pendekar Naga Putih. Bahkan semakin menambah kecepatannya. Sehingga, jarak di antara mereka kembali terpisah sejauh enam tombak.

“Haiiitt...!”

Melihat Setan Pedang Darah semakin mempercepat larinya, Panji berseru nyaring. Seketika itu juga tubuhnya melambung ke udara. Dan setelah berjumpali-tan beberapa kali di udara tubuhnya meluncur turun. Begitu mendarat kakinya langsung menghentak, maka tubuhnya kembali melenting. Kali ini lewat di atas kepala lawannya.

Jlegg!

Setan Pedang Darah kaget bukan kepalang. Dirinya hanya merasakan sambaran angin di atas kepalanya. Namun tahu-tahu di depannya dalam jarak satu tombak, telah berdiri sosok Pendekar Naga Putih. Tokoh sesat itu tampak tertegun sesaat. Kemudian melesat menerjang maju dengan sepasang pedangnya yang menyambar-nyambar membawa hawa panas menyengat

Merasakan adanya hawa panas yang terasa menyengat kulit, Panji segera mengerahkan Tenaga Sakti Gerhana Bulan’-nya. Seketika itu pula tubuhnya terbungkus sinar putih keperakan yang menebarkan hawa dingin menusuk tulang. Dengan demikian, hawa panas yang keluar dari sepasang pedang lawan, tak lagi mengganggunya.

“Hih...!”

Bweet! Bweett!

“Hait!”

Ketika sepasang pedang yang berpijar seperti bara itu berkelebat menyambar, Panji menggeser tubuhnya ke kanan. Kemudian langsung mengirimkan sebuah tendangan cepat ke perut lawan.

Zzeebbb!

“Hait..!”

Setan Pedang Darah ternyata cukup tangkas. Melihat adanya tendangan yang datang mengancam perutnya, dengan cepat dilemparkan tubuhnya ke kiri. Gerakan itu disertai kibasan pedang di tangan kanannya, maksudnya hendak membabat kaki lawan. Sayang, lagi-lagi serangan itu gagal! Karena Panji sudah menarik pulang tendangan dengan menekuk lututnya. Dan begitu sambaran pedang lawan lewat, kakinya langsung dilepas kembali menghajar bahu kanan lawannya.

Buukkk!

Kendati tak terlalu telak, tendangan itu cukup untuk membuat tubuh Setan Pedang Darah terhuyung-huyung. Namun tokoh sesat itu mampu menguasai keseimbangan tubuhnya dengan baik. Dan kembali siap menghadapi lawannya.

“Sebaiknya kau menyerahlah, Setan Pedang Darah! Dan jelaskan apa yang membuatmu hendak membunuh Pendekar Cambuk Halilintar beserta rombongannya!” pinta Panji menatap tajam wajah lawannya, yang terpaksa menunduk. Sorot mata pemuda itu bersinar dan terasa menggetarkan dada dan membuat bulu kuduknya meremang.

“Mata pemuda itu seperti mata iblis saja...!” desis Setan Pedang Darah dalam hati. Dirinya tak mau menyerah begitu saja kepada Pendekar Naga Putih. Bahkan tanpa berkata sepatah kata pun dia menerjang maju dengan ganasnya.

“Hm..., rupanya kau lebih suka menghadapi kekerasan...!” desis Panji geram. Begitu pedang lawan tiba, tubuhnya langsung berkelebat lenyap, menyelinap di antara sambaran sepasang pedang maut itu. Kemudian sambil mengelak tangannya melancarkan tamparan yang menghembuskan hawa dingin menusuk tulang.

“Aaahhh...?!” Setan Pedang Darah terpekik kaget ketika kepalanya nyaris terkena tamparan pemuda itu. Dengan cepat dilemparkan tubuhnya lalu bergulingan sambil memutar pedang melindungi diri.

“Heaahh...!”

Melihat tubuh lawannya bergulingan menjauh, Panji cepat melompat lurus ke depan dengan menghentak kedua tangannya, melancarkan pukulan jarak jauh. Tepat pada saat itu tubuh Setan Pedang Darah melenting bangkit.

Breesshh...!

“Uuuhh...!” Setan Pedang Darah terpekik. Meskipun pukulan jarak jauh Pendekar Naga Putih berhasil diredam dengan kibasan sepasang pedangnya, tak urung tubuhnya terdorong mundur. Mulutnya meringis. Dirasakan dadanya begitu serak. Pendekar Naga Putih segera melancarkan serangan susulan, menendang perut lawan.

Buugk...!

“Huakkhh...!”

Tendangan keras mendarat telak pada sasarannya. Akibatnya tubuh Setan Pedang Darah terpental ke samping disertai semburan darah segar dari mulutnya. Tubuhnya terbanting ke tanah tanpa ampun. Sedangkan sepasang senjatanya terpental lepas dari genggaman. Dan sebelum sempat bangkit berdiri, Panji telah melepaskan totokan cepat yang membuat tokoh sesat itu mengeluh. Tubuhnya terkulai tak mampu bergerak. Hanya sinar matanya yang menatap Pendekar Naga Putih dengan penuh dendam dan kebencian.

Pendekar Cambuk Halilintar dan rombongannya berlarian mendatangi Panji. Rombongan itu tinggal delapan orang karena dua di antara mereka tewas terbunuh di tangan para pengikut Setan Pedang Darah, yang rata-rata berkepandaian tinggi.

“Syukurlah, kau berhasil menawannya, Pendekar Naga Putih...!” ujar Pendekar Cambuk Halilintar menghela napas lega melihat Setan Pedang Darah dalam keadaan terkulai lumpuh.

“Bagaimana dengan para pengikutnya?” tanya Panji kepada Pendekar Cambuk Halilintar.

“Mereka terpaksa kami bunuh! Karena sangat sulit untuk menawan mereka hidup-hidup. Dua orang kawan kami bernasib sial, tewas di tangan pengikut-pengikut Setan Pedang Darah...,” jelas Pendekar Cambuk Halilintar kepada Panji.

“Sebaiknya kita bawa saja Setan Pedang Darah ke atas Bukit Dewa. Biar dia akan menjelaskan maksud jahatnya di depan Ketua Perguruan Bukit Dewa,” usul Panji yang disambut anggukan kepala Pendekar Cambuk Halilintar dan kawan-kawannya.

“Benar, Pendekar Naga Putih! Karena Setan Pedang Darah ini semula telah mengaku sebagai murid Ki Sela Panda. Siapa tahu perbuatannya ini ada kaitan dengan sepak terjang Tongkat Delapan Naga yang telah menewaskan banyak tokoh persilatan, termasuk dua orang tokoh utama dari Perguruan Gunung Sumbing,” timpal Pendekar Cambuk Halilintar yang membuat Panji sempat terkejut.

Namun Pendekar Naga Putih menahan keinginannya untuk bertanya. Sebab, penjelasan tentang semua itu pasti akan didengarnya dari Setan Pedang Darah ataupun Ki Sela Panda, yang menjadi kakak seperguruan Tongkat Delapan Naga. Tanpa banyak cakap lagi, Panji langsung memondong tubuh Setan Pedang Darah. Bersama Pendekar Cambuk Halilintar dan rombongannya, mereka bergerak menuju Bukit Dewa.

********************

DELAPAN

“Saudara-saudara sekalian, harap kalian dapat bersabar dan menyerahkan persoalan ini kepadaku. Aku sendiri akan membawa adik seperguruanku yang telah berdosa itu ke hadapan kalian semua. Tapi, beri aku waktu untuk mencarinya...!”

Lelaki tua berusia sekitar tujuh lima tahun itu berkata dengan suara lantang. Di belakangnya tampak puluhan murid Perguruan Bukit Dewa berdiri dengan wajah diliputi ketegangan. Saat itu perguruan mereka kedatangan tokoh-tokoh persilatan yang menuntut keadilan atas tindakan Tongkat Delapan Naga, membunuhi banyak tokoh persilatan.

“Hei, Ki Sela Panda! Kami bukan tak percaya dengan kegagahan mu! Tapi, apa tak mungkin kau sengaja menyembunyikan adik seperguruanmu di dalam bangunan perguruan yang luas ini? Kalau kau merasa tuduhan kami tak benar, mengapa mencegah kami yang hendak menggeledah tempat ini? Sampai kapan kami harus menunggu janjimu itu?”

Seorang lelaki tinggi besar yang memegang sebuah kapak besar dan berat, berkata lantang, hingga didengar puluhan tokoh-tokoh persilatan yang hadir di tempat itu. Dan ucapannya mendapat dukungan dari lebih sebagian tokoh-tokoh yang ada di belakangnya.

“Saudara Kunta Laga!” ujar Ki Sela Panda dengan suara perlahan dan wajah membayangkan kedukaan yang dalam. Ditatapnya lelaki tinggi kekar itu dengan sinar mata sedih. “Sebagai seorang ketua perguruan, aku tentu tak akan mengingkari janji yang telah kuucapkan. Pantang bagiku berkata dusta! Harap kau beri kelonggaran kepada orang tua seperti aku ini! Aku berjanji akan menyeretnya ke hadapan kalian. Paling lambat sebelum purnama aku berusaha sudah menangkapnya...!”

"Tidak bisa! Kami minta agar kau menyerahkannya sekarang juga kepada kami!” seorang lelaki bermata sipit tampil ke depan. Wajahnya tampak menyiratkan kebencian dan dendam, "Tongkat Delapan Naga telah membunuh dua orang tokoh Perguruan Gunung Sumbing! Dan mereka adalah kakak-kakak seperguruanku! Tidakkah kau rasakan betapa sakit dan sedihnya hatiku ketika mengetahui bahwa pembunuh laknat itu seorang tokoh ternama yang jadi adik seperguruanmu!” lanjut murid Perguruan Gunung Sumbing itu berapi-api. Suara itu disambut para tokoh lainnya yang mendukung ucapan lelaki bermata sipit ini.

Mendengar ucapan itu, Ki Sela Panda menghela napas berat. Wajahnya tertunduk lesu. Dirinya merasa ikut berdosa atas perbuatan yang dilakukan adik seperguruannya. Meskipun belum menyaksikan sendiri, Ketua Perguruan Bukit Dewa tak kuasa mengatakan bahwa para tamunya berdusta dan hanya sekadar melempar fitnah.

"Tunggu apa lagi, ayo kita geledah tempat ini...!” lelaki bermata sipit itu berseru lantang, ketika melihat Ki Sela Panda tak bisa membantah ucapannya. Dan ia sudah bergerak maju diikuti puluhan tokoh persilatan, termasuk Ki Kunta Laga.

Melihat para tokoh persilatan itu memaksa hendak masuk, murid-murid Ki Sela Panda bergegas mencabut senjata dan berloncatan menghadang. Kedua belah pihak sudah sama-sama tegang dan siap saling serang. Tapi...,

“Hentikan semua ketololan ini...!”

Tiba-tiba terdengar sebuah seruan yang mengandung tenaga dalam yang luar biasa. Kedua belah pihak yang siap saling gempur, sama terkejut dan mengerahkan tenaga untuk menenangkan dada mereka yang terguncang. Kemudian sebelum orang-orang itu sadar dari keterkejutannya, tampak sesosok bayangan putih berkelebat dengan kecepatan luar biasa. Sosok bayangan itu mendarat ringan di hadapan tokoh-tokoh persilatan yang hendak menuntut keadilan.

“Pendekar Naga Putih...!”

Hampir setengah lebih dari tokoh-tokoh persilatan yang hadir di tempat itu berseni kaget. Karena sosok bayangan putih yang muncul itu ternyata Panji atau yang lebih dikenal sebagai Pendekar Naga Putih. Kehadiran tokoh muda yang banyak mendatangkan kekaguman di hati para tokoh persilatan itu sempat membuat ketegangan mereda untuk sementara.

“Kita tak boleh mengikuti amarah yang hanya akan mendatangkan penyesalan di kemudian hari! Aku berdiri di sini bukan untuk berpihak kepada siapa pun! Tapi, aku berpijak kepada kebenaran dan keadilan! Nah, marilah kita bicarakan hal ini dengan kepala dingin. Dan mudah-mudahan orang yang kubawa ini bisa memberikan keterangan penting yang kiranya akan dapat membawa titik terang bagi kita semua...!” ujar Panji dengan suara lantang, membuat semua tokoh yang hadir mau tak mau mendengarkan ucapan pendekar muda itu.

Ketika melihat semua tokoh yang hadir tak memberi tanggapan, Panji menoleh kepada Ki Sela Panda. Ketika itu matanya terbentur pada seraut wajah jelita seorang dara berpakaian serba hijau. Panji tersenyum, karena dara jelita itu tak lain Kenanga, kekasihnya. Dengan tersenyum, Kenanga bergerak menghampiri Panji.

“Syukurlah, kau keburu datang, Kakang! Sedikit saja kau terlambat, tempat ini pasti sudah menjadi lautan darah...,” ujar Kenanga yang tak menyembunyikan kebanggaannya atas perbuatan sang Kekasih yang telah mampu membuat suasana kembali tenang.

“Sudah kuduga, kau pun pasti ada di tempat ini, Kenanga...,” sambut Panji tersenyum menatap Kenanga yang sudah di depannya.

Pendekar Naga Putih kemudian didampingi kekasihnya menghadap Ki Sela Panda. Dirinya mengajukan usul untuk mengumpulkan tokoh-tokoh terkemuka guna membicarakan persoalan itu. Tak lupa Panji meminta maaf atas sikapnya yang telah lancang, tanpa izin dari Ki Sela Panda berbicara di depan tamu-tamu Perguruan Bukit Dewa.

Ki Sela Panda sendiri tersenyum penuh rasa syukur. Lelaki tua itu menyetujui usul pendekar muda yang semakin mendatangkan kekaguman di hatinya itu. Maka, segera diajaknya beberapa orang tokoh terkemuka untuk bersama-sama membahas masalah itu di dalam ruang pertemuan perguruan. Sedangkan tokoh-tokoh persilatan lain dipersilakan beristirahat menunggu keputusan yang akan disepakati bersama.

********************

Di bawah siraman sinar matahari yang terik, tampak serombongan orang bergerak meninggalkan bangunan Perguruan Bukit Dewa. Mereka adalah tokoh-tokoh persilatan yang hendak menyerbu markas golongan sesat, sekaligus mencari Tongkat Delapan Naga. Tokoh tua yang telah menggegerkan rimba persilatan dengan ulahnya. Kehadiran Pendekar Naga Putih yang berhasil meredam ketegangan serta permusuhan orang-orang segolongan itu, juga telah membawa titik terang.

Sebab, Setan Pedang Darah menceritakan segala hal yang dipertanyakan para tokoh persilatan di salah satu ruang Perguruan Bukit Dewa. Sebagai seorang tokoh golongan sesat, tentu saja Setan Pedang Darah lebih mementingkan keselamatan diri sendiri. Melihat betapa tokoh-tokoh sakti mengelilinginya dengan sinar mata penuh ancaman, tokoh sesat itu pun tak ragu-ragu untuk menjawab semua pertanyaan dengan jujur.

Apa yang diceritakan Setan Pedang Darah, membuat tokoh-tokoh persilatan menggeram marah. Tokoh sesat wilayah utara itu mengatakan bahwa golongan sesat segera bergabung setelah mendengar sepak terjang Tongkat Delapan Naga yang membunuhi kawan segolongan. Dengan licik, para tokoh sesat menemui Tongkat Delapan Naga dan mengangkat tokoh sakti itu menjadi pemimpin dari golongan sesat.

Tongkat Delapan Naga pun langsung menerima pengangkatan sebagai pemimpin itu. Padahal hal itu dilakukan golongan sesat dengan maksud untuk mengadu domba sesama golongan putih. Karena sepak terjang Tongkat Delapan Naga yang menggegerkan itu, tentu akan melibatkan Perguruan Bukit Dewa. Sehingga sudah pasti perguruan besar yang terkenal itu akan menjadi tumpahan kemarahan tokoh-tokoh persilatan golongan putih. Sayang, Tongkat Delapan Naga yang kelihatan agak kurang waras itu sama sekali tak menyadari kelicikan tokoh-tokoh sesat.

Setan Pedang Darah pun langsung memberikan petunjuk ketika Ki Sela Panda bertanya tentang letak markas yang didirikan kaum golongan sesat itu. Begitu mendapat gambaran, tokoh-tokoh persilatan yang dipimpin Ki Sela Panda, Pendekar Naga Putih, Pendekar Cambuk Halilintar, Kenanga, Ki Kunta Laga, dan banyak lagi tokoh-tokoh terkemuka lainnya, langsung bergerak menuju ke markas yang ditunjukkan Setan Pedang Darah. Tentu saja tokoh sesat itu dijadikan penunjuk jalan. Sebab, mereka belum yakin benar akan keterangan Setan Pedang Darah.

Kira-kira menjelang senja, tibalah rombongan tokoh persilatan itu di mulut sebuah hutan yang sangat lebat. Pepohonan besar tumbuh menjulang, membuat di dalam hutan itu hampir tak terkena cahaya matahari, saking rapatnya pepohonan yang tumbuh.

“Di dalam Hutan Kidul inilah markas kami didirikan...,” ujar Pedang Setan Darah yang menghentikan langkahnya di mulut hutan.

"Tunjukkan jalannya! Kami tentu belum percaya sepenuhnya kepadamu, Pedang Setan Darah! Siapa tahu hutan ini dipenuhi dengan jebakan maut!” ujar Panji sambil mendorong tokoh sesat itu agar lebih dulu masuk ke dalam hutan.

Setan Pedang Darah berjalan di depan. Para tokoh persilatan mengikutinya bergerak menerobos kelebatan pepohonan hutan. Ketika cukup dalam rombongan itu memasuki hutan, tanpa sepengetahuan tokoh-tokoh itu, Setan Pedang Darah sengaja menginjak sebuah jebakan yang memang banyak dipasang di sekitar hutan lebat itu.

Srats! Whuuukkk...!

“Haiittt..!”

Setan Pedang Darah sudah berseru dan melenting ke udara setelah menginjak jebakan itu. Saat itu juga, sebuah benda bulat yang besar dan dipenuhi benda-benda tajam, meluncur cepat ke arah rombongan.

“Awaaasss...!”

Panji yang sempat menangkap suara sambaran benda maut itu, segera berseru memperingatkan kawan-kawannya. Dan ketika melihat tubuh Setan Pedang Darah melesat hendak melarikan diri, langsung saja Panji mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk mengejar. Di udara ia melepaskan sebuah pukulan jarak jauh dengan pengerahan Tenaga Sakti Gerhana Bulan’-nya.

Wutt! Breesshh!

Pukulan jarak jauh yang sangat kuat itu menerjang tubuh bagian belakang Setan Pedang Darah. Hingga tubuh tokoh sesat yang licik itu terbanting ke tanah memuntahkan darah segar. Panji meluncur turun. Dengan telapak kaki, diinjaknya punggung Setan Pedang Darah yang hanya bisa meringis dengan wajah pucat. Namun apa yang tadi dilakukan Setan Pedang Darah ternyata telah membuat enam orang tokoh tewas.

Dua tersambar bola berduri karena tidak sempat menghindar. Empat lainnya yang melesat mengelak dari ancaman maut, telah menginjak jebakan lain saat mendarat di tanah. Dan jebakan itu mendatangkan belasan tombak yang meluncur dengan kecepatan tinggi. Sehingga, keempat tokoh itu tewas tertembus tombak.

“Setan Pedang Darah, tunjukkan jalan lain yang lebih aman! Jangan coba main gila jika masih ingin melihat matahari esok pagi!” bentak Panji menambah tekanan pada telapak kakinya.

Setan Pedang Darah terpekik kesakitan. Berat kaki Pendekar Naga Putih yang menekan punggungnya bagaikan tindihan seekor gajah. Lelaki berpakaian merah dan berkumis tebal itu mengangguk lemah. Melihat kesungguhan dalam pandang mata pendekar muda yang sakti itu, dirinya tak berani main-main lagi. Perlahan tubuhnya bangkit lalu berjalan membawa rombongan itu melalui tempat yang aman, hingga tiba di dekat sebuah bangunan tua yang cukup besar.

Setelah menotok pingsan Setan Pedang Darah, Pendekar Naga Putih menyusun penyerangan bersama tokoh-tokoh terkemuka. Rombongan dipecah empat kelompok. Masing-masing dipimpin oleh Ki Sela Panda, Pendekar Cambuk Halilintar, Kenanga, dan Ki Kunta Laga. Pendekar Naga Putih bergerak sendiri, karena mendapat tugas khusus dari Ki Sela Panda untuk mencari adik seperguruannya. Memang kepada Panji seoranglah Ki Sela Panda menjelaskan mengapa Tongkat Delapan Naga berlaku demikian keji terhadap kawan segolongan.

Setelah keempat kelompok itu bergerak dari empat jurusan, Panji langsung berkelebat dan bergerak masuk dari bagian depan. Hal itu dilakukan setelah telinganya mendengar suara-suara pertempuran, tanda bahwa mereka telah menyerbu masuk. Dengan kepandaiannya yang tinggi, tak sulit bagi Panji untuk bergerak tanpa menemui kesulitan yang berarti.

Kakinya melangkah memasuki bagian dalam bangunan tua itu untuk mencari Tongkat Delapan Naga. Di arena pertempuran tadi Panji sempat melihat adanya Kerbau Mata Satu dan Setan Cebol. Namun, hal itu sama sekali tak membuatnya terkejut. Sejak semula telah diduganya kalau kedua orang tokoh sesat itu pasti mempunyai kaitan dengan kekacauan yang terjadi di dunia persilatan.

“Heaattt...!”

“Yeaaa...!”

Ketika Panji memasuki bagian tengah bangunan, dari balik dinding tiba-tiba muncul delapan orang lelaki berwajah bengis yang langsung menerjang dengan senjata terhunus. Pendekar Naga Putih sama sekali tak merasa gugup. Kendati dilihat dari cara menyerang, mereka rata-rata memiliki tenaga yang cukup kuat dan kelincahan yang mengagumkan, semua itu dapat di- atasinya dengan baik.

Sambil bergerak melompat ke kanan dan ke kiri serta meliuk untuk mengelak dari babatan senjata, Panji mengirimkan tamparan dan pukulan. Serangan balasan itu membuat lawannya roboh satu persatu. Hingga, dalam sepuluh jurus saja kedelapan lelaki berwajah bengis telah tergeletak dengan tubuh luka parah.

“Hyaaattt..!”

Panji yang baru saja hendak kembali melangkah untuk mencari Tongkat Delapan Naga, tersentak kaget ketika mendengar suara bentakan mengguntur. Belum lagi ia sempat melihat sosok penyerang itu, sebuah sambaran angin kuat membuat Panji harus melemparkan tubuhnya ke belakang.

Whuukkk!

Baru saja kedua kakinya menginjak tanah, angin keras kembali menyambar dengan kecepatan tinggi. Karena untuk mengelak tak ada waktu lagi, Panji bergegas mengerahkan tenaga saktinya dan mengangkat tangan kiri untuk memapaki.

Dukkk!

Pendekar Naga Putih terkejut ketika lengannya yang dipakai menangkis, terasa panas dan nyeri. Bahkan kuda-kudanya sempat tergempur dua langkah ke belakang. Dan dalam keadaan tubuh belum seimbang Panji menyempatkan diri untuk melihat penyerangnya yang ia tahu memiliki kepandaian tinggi itu.

“Tongkat Delapan Naga...!” seru Panji terkejut dan juga girang. Sebab, orang yang dicari-cari justru datang menghampirinya.

“Heh heh heh...! Selamat berjumpa lagi, Pendekar Naga Putih! Kali ini kau tak mungkin dapat lolos dari kematian...!” ujar lelaki tua yang tak lain si Tongkat Delapan Naga. Tawa paraunya terdengar meningkahi deruan putaran tongkat yang menimbulkan hawa dingin di tempat itu.

“Tongkat Delapan Naga, aku mendapat perintah dari Ki Sela Panda untuk membawamu kembali ke perguruan. Kuharap kau tak menyalahkan apabila aku terpaksa bertindak lancang...!” ujar Panji yang segera menyiapkan ‘Ilmu Silat Naga Sakti’nya. Kali ini disimpannya ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’, dan mengerahkan ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’.

Karena sebagaimana yang dikatakan Ki Sela Panda, Tongkat Delapan Naga telah menderita keracunan pada jalan darah besar di kepalanya. Semua itu akibat usaha keras berlatih sebuah ilmu yang sangat sulit untuk dipelajari. Itulah yang menyebabkan Tongkat Delapan Naga terganggu pikirannya. Dan ketika Panji berjanji untuk berusaha mengembalikan kewarasan Tongkat Delapan Naga, Ki Sela Panda langsung meminta pendekar muda itu agar jangan sampai membunuh adik seperguruannya. Karena pada dasarnya Tongkat Delapan Naga bukan orang jahat.

“Hyaattt..!”

Tongkat Delapan Naga yang kelihatan kaget begitu mendengar ucapan Pendekar Naga Putih, berubah menjadi kemarahan yang meledak-ledak. Seketika tokoh tua itu melancarkan serangan dahsyat dari jurus-jurus mukjizat yang telah membuat otaknya terganggu. Kali ini Panji tak mau lagi mengalah. Tugas dari Ki Sela Panda memang berat. Namun ia harus dapat melumpuhkan Tongkat Delapan Naga tanpa harus membuat kakek itu terluka berat

Ki Sela Panda sendiri sudah menguji kepandaian Pendekar Naga Putih sebelum mengutarakan permintaannya. Dan ketika mendapati kenyataan bahwa kepandaian Pendekar Naga Putih dapat diandalkan, Ketua Perguruan Bukit Dewa itu yakin kalau tugas yang diberikannya dapat dijalankan dengan baik. Lelaki tua itu juga meminta agar kalau bisa Pendekar Naga Putih tidak sampai menewaskan adik seperguruannya. Tugas itu memang tak mudah. Dengan kepandaian Tongkat Delapan Naga yang sedemikian tinggi, sulit bagi Panji untuk melumpuhkan kakek itu tanpa membuatnya terluka.

Menghadapi gempuran-gempuran hebat yang mengandung hawa mukjizat, Pendekar Naga Putih tampak terdesak dalam jurus-jurus awal. Pemuda itu hanya bisa mengelak tanpa mendapat kesempatan untuk membalas. Karena sebelum sempat melepaskan serangan balasan, tongkat berkepala naga lawan selalu mendahului, memotong geraknya. Sehingga, Panji terpaksa harus mengerahkan kelincahannya agar tidak sampai celaka di tangan lawan.

“Heeaaa...!” Wuutt! Wuutt!

Tongkat Delapan Naga sendiri merasa penasaran bukan main. Meskipun berhasil membuat lawan terdesak, sampai sejauh itu senjatanya belum juga berhasil mengenai sasaran. Dan ini membuat serangannya semakin bertambah ganas!

“Haaaiiittt..! Heaa...!”

Sadar bahwa kalau dibiarkan lama-lama dirinya bisa celaka, Pendekar Naga Putih memutuskan untuk mengerahkan jurus-jurus pamungkasnya. Tubuhnya melenting ke udara untuk kemudian meluncur turun dengan kecepatan kilat Sepasang tangannya berputaran cepat membentuk gulungan sinar yang menyilaukan mata, hingga lawan sulit menduga serangan itu. Sebab sepasang tangan bahkan tubuh Panji sangat sulit untuk dilihat jelas.

“Hih...!”

Brretts!

“Ehh...!”

Tapi, Tongkat Delapan Naga memang nyata bukan tokoh sembarangan! Jurus ‘Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi’ yang selama ini tak pernah gagal, dapat dihalau dengan baik oleh sambaran tongkat kepala naga kakek itu. Benturan keras pun tak dapat dihindarkan lagi. Meski serangan itu gagal, tubuh Tongkat Delapan Naga tak urung tergetar mundur sejauh satu tombak.

“Heeaattt..!”

Kesempatan baik itu tak dilewatkan begitu saja oleh Panji. Dengan cepat kedua tangannya bergerak melakukan dorongan sambil mengerahkan ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ seluruhnya.

Brressh!

“Aakh...!”

Blukk!

Tongkat Delapan Naga yang sama sekali tak menduga serangan itu, terpekik ngeri. Pukulan dahsyat lawan menghantam telak tubuhnya. Tubuh lelaki tua itu pun terlempar ke belakang hingga menabrak dinding, dan terbanting ke tanah. Sekujur tubuhnya terbungkus sinar kuning keemasan yang memancarkan hawa panas membakar.

Melihat hal itu, Pendekar Naga Putih menghela napas lega. Kakinya baru melangkah setelah sinar kuning keemasan yang membungkus tubuh lelaki tua itu lenyap, tanda bahwa tenaga mukjizat yang dilontarkan telah seluruhnya merasuk ke dalam tubuh lawan. Hati Panji yakin kalau kekuatan mukjizat yang ajaib itu akan dapat menyembuhkan kegilaan Tongkat Delapan Naga.

"Pendekar Naga Putih...!”

“Kakang...!”

Dua sosok tubuh bergerak menghampiri Pendekar Naga Putih tengah memondong tubuh Tongkat Delapan Naga. Mereka Ki Sela Panda dan Kenanga. Yang satu mengkhawatirkan adik seperguruannya, sedang yang satunya lagi mengkhawatirkan keselamatan ke- kasih pujaan hatinya.

“Syukurlah kau tidak apa-apa, Kakang,..!” Kenanga menghela napas lega seraya melingkarkan lengannya ke lengan Panji.

“Tidak perlu cemas, Ki. Ia cuma pingsan untuk beberapa saat saja. Dan setelah sadar nanti, mudah-mudahan ia akan sembuh seperti sediakala...!” jelas Panji ketika melihat kecemasan membayang di wajah Ki Sela Panda. Kemudian langsung menyerahkan tubuh Tongkat Delapan Naga kepada kakek itu. Tak lupa Panji menyerahkan beberapa butir pil berwarna putih salju yang berkhasiat untuk memulihkan tenaga dalam. Serta diberikan beberapa petunjuk cara pemakaian obat itu.

Tiba di luar bangunan, Pendekar Naga Putih melihat pertempuran telah selesai. Mayat-mayat bergelimpangan saling tumpang tindih. Sedangkan para tokoh persilatan tengah sibuk mengurus kawan-kawannya yang terluka ataupun tewas. Panji juga melihat adanya belasan orang tokoh sesat yang menyerah. Hatinya kagum terhadap sikap para tokoh persilatan itu karena ternyata masih mau mengampuni lawan-lawan yang menyerah kalah. Bahkan tokoh-tokoh sesat yang tertawan dibebaskan setelah berjanji akan mengubah jalan hidup yang selama ini dipenuhi dosa itu.

“Kurasa sudah waktunya kami mohon diri, Ki...” Pendekar Naga Putih menoleh kepada Ki Sela Panda, mohon pamit setelah merasakan bahwa Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ telah merasuk kembali ke dalam tubuhnya. Tak seorang pun yang mengetahui, juga Kenanga! Karena memang hanya dirinya yang tahu kepulangan tenaga mukjizat itu ke dalam tubuh. Dan itu pun berarti bahwa Tenaga Inti Panas Bumi telah dapat memusnahkan keracunan yang diderita tokoh ternama Perguruan Bukit Dewa itu.

Ki Sela Panda baru saja hendak mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Pendekar Naga Putih, ketika dilihatnya sosok pemuda perkasa itu telah berkelebat pergi membawa Kenanga, kekasihnya. Panji dan Kenanga sama sekali tak tahu betapa sepasang mata bening yang basah mengiringi kepergian mereka.

Pemilik mata yang menggambarkan kekecewaan itu tak lain Dewi Kematian, yang datang terlambat ke tempat itu. Saat ia datang, pertempuran sudah usai, dan ketika melihat sosok Pendekar Naga Putih berdiri di samping Ki Sela Panda serta dara jelita berpakaian serba hijau, dirinya tak berani menghampiri. Karena melihat betapa dara jelita berpakaian serba hijau itu memandang mesra dan manja kepada pemuda tampan berjubah putih yang diam-diam telah menawan hatinya itu.

“Hhhh...” Dewi Kematian menghela napas berat ketika bayangan pasangan pendekar muda itu lenyap dari pandangan. Kakinya melangkah gontai meninggalkan tempat itu. Dirinya tak lagi mempedulikan tokoh-tokoh persilatan yang saat itu masih sibuk menguburkan mayat-mayat kawan maupun lawannya.

Rasa kecewa melihat Pendekar Naga Putih ternyata telah mempunyai gadis pilihan yang cantik jelita bagaikan bidadari, membuat wajah Dewi Kematian menjadi semakin membeku. Bibirnya terkatup rapat, tak lagi mengulas senyum seperti ketika tengah melakukan perjalanan bersama Pendekar Naga Putih. Dan kini semua tinggal kenangan manis yang tak mungkin dapat terulang lagi.

S E L E S A I

Tongkat Delapan Naga

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Tongkat Delapan Naga
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat serial Pendekar Naga Putih

SATU

Di tengah padang rumput yang luas dan sunyi, dua sosok bayangan melesat dengan kecepatan tinggi. Mereka seperti tengah berlomba dan saling mengungguli dalam ilmu meringankan tubuh. Kelihatan betapa keduanya sama-sama mengerahkan segenap kemampuan untuk dapat mencapai sebuah tanah perbukitan di depan mereka.

“Haiiittt..!”

Ketika tinggal beberapa tombak lagi keduanya mencapai bukit, tiba-tiba sosok yang berlari di sebelah kanan memekik nyaring. Tubuhnya yang pendek gemuk melenting ke udara, dan berputaran beberapa kali. Kemudian menjejakkan kaki dengan ringan di atas tanah.

“Ha ha ha...! Ternyata ilmu meringankan tubuhku masih lebih unggul daripada kau, Kakang...!”

Sosok gemuk pendek itu tertawa gelak, hingga perut buncitnya tampak berguncang. Wajahnya tampak berseri-seri, merasa bangga karena berhasil mencapai bukit itu lebih dulu daripada kawannya.

Sosok kedua yang bertubuh tinggi kurus dan bermata sayu, memang kalah cepat dengan kawannya. Kendati perbedaannya hanya sekejapan mata, ia tetap tiba belakangan. Disambutnya kekalahan itu dengan senyum getir. Tak sepatah kata pun terlontar dari mulutnya.

Kedua sosok tubuh yang telah tiba di kaki bukit itu sama-sama menjatuhkan diri di atas rerumputan kering. Wajah keduanya tampak agak memerah dan dipenuhi peluh. Mereka telah berlomba menempuh jarak yang cukup jauh. Kendati demikian, deru napas mereka terdengar tidak memburu. Hal itu menandakan bahwa kedua orang itu memang telah terlatih dengan baik.

Plok! Plok! Plok!

Saat keduanya tengah melepaskan kelelahan, tiba-tiba terdengar suara tepukan yang mengandung kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi. Karuan saja mereka tersentak kaget, dan segera menolehkan kepala ke arah suara tepukan itu. Dan..., betapa terkejut hati keduanya ketika melihat seorang bertubuh jangkung dengan kumis lebat telah berdiri tak jauh dari tempat mereka berdua duduk.

“Hua ha ha...! Hebat..., hebat! Suatu ilmu meringankan tubuh yang mengagumkan. Tapi sayang masih terlalu mentah...!” Sambil berdiri dan menatap penuh ejekan, sosok bertubuh jangkung melontarkan kata-kata yang jelas memandang rendah kedua orang itu.

Meskipun kata-kata itu jelas merupakan sebuah penghinaan, keduanya masih tetap tenang dan berdiri sambil menatap sosok jangkung itu dengan penuh perhatian. Kemudian terdengar ucapan yang membuat sosok jangkung mengerutkan kening agak heran.

“Hm..., kata-katamu sungguh tepat sekali, Kisanak! Kami memang tak bermaksud memamerkan kepandaian yang tak seberapa ini di hadapanmu. Kalau boleh tahu, siapa Kisanak ini? Dan ada keperluan apa menghampiri kami...?” Sosok tinggi kurus bermata sayu berkata sambil menatap tajam sosok di depannya, seakan hendak mengenali siapa sebenarnya sosok jangkung itu.

Lelaki bertubuh jangkung dan berkumis lebat yang berusia sekitar enam puluh lima tahun itu tertegun beberapa saat. Dirinya sama sekali tak menduga akan mendapat jawaban seperti itu Sehingga untuk beberapa saat lamanya, ia hanya berdiri mematung karena kehilangan kata-kata. Hal itu tak berlangsung lama. Karena kemudian terdengar suaranya yang menggelegar penuh ejekan.

“Hua ha ha...! Apa kalian tak akan lari terbirit-birit kalau ku perkenalkan nama besarku?”

Seketika itu juga wajah kedua lelaki pendek gemuk dan si tinggi kurus bermata sayu berubah merah padam mendengar ucapan bernada menghina itu. Kedu- anya saling bertukar pandang sejenak dengan tangan terkepal. Kemudian kembali berpaling kepada lelaki tua bertubuh jangkung dan berkumis tebal yang masih tertawaterbahak-bahak.

“Maafkan kami yang tak mengenal nama besarmu, Ki! Maklumlah kami hanya perantau yang memiliki sedikit bekal untuk menjaga diri,” ujar lelaki tinggi kurus. “Dan karena takut kemalaman di jalan, maka kami harus mempercepat perjalanan dengan berlomba.”

Lelaki tinggi kurus bermata sayu berusaha menekan kemarahan dalam dadanya. Biar bagaimanapun dirinya tak ingin bertindak ceroboh. Sebab hatinya menduga kalau lelaki berwajah kasar yang menghadang mereka bukan orang sembarangan. Terbukti sosok bertubuh jangkung itu dapat membaca ilmu meringankan tubuh, bahkan melontarkan hinaan.

“Hua ha ha...! Tokoh-tokoh Perguruan Gunung Sumbing mengaku perantau kemalaman! Kalau begitu, aku, Tongkat Delapan Naga akan segera mencarikan tempat untuk kalian beristirahat..!”

Begitu Ucapannya selesai, sosok jangkung berkumis lebat yang mengaku berjuluk Tongkat Delapan Naga itu langsung melesat ke depan dengan kecepatan kilat Dan sebatang tongkat kepala naga di tangan kanannya meluncur ke depan. Suara bergemuruh yang timbul dari lesatannya menandakan betapa kuat tenaga sakti yang terkandung dalam hantaman tongkat hitam itu.

Whuttt...!

Dua orang lelaki yang memang merupakan tokoh-tokoh Perguruan Gunung Sumbing itu cepat melompat ke belakang. Keduanya langsung berpencar ke kiri kanan, bersiap untuk menghadapi serangan selanjutnya. Mereka sadar bahwa Tongkat Delapan Naga bukanlah sekadar menggertak saja.

“Hati-hati, Adi Gumilang...!” Lelaki tinggi kurus bermata sayu mengingatkan kawannya. Dari serangan tongkat kepala naga barusan, ia tahu betapa kuat tenaga dalam Tongkat Delapan Naga itu.

Lelaki pendek gemuk yang bernama Gumilang hanya mengangguk tipis. Lalu tanpa banyak bicara lagi tangannya meloloskan sebatang golok besar yang pada bagian punggungnya bergerigi.

Bwet! Bwettt..!

Gumilang memutar-mutar golok besarnya hingga menimbulkan suara berkesiutan. Menilik dari caranya, jelas Gumilang seorang yang ahli dalam permainan ilmu golok. Tak mengherankan karena lelaki gemuk itu termasuk salah seorang tokoh Perguruan Gunung Sumbing. Tadi pun Gumilang sudah memperlihatkan kelebihan dengan mengalahkan kawannya dalam ilmu lari cepat. Padahal lelaki tinggi kurus bermata sayu yang bernama Gompala itu kakak seperguruannya. Namun Gompala hanya memiliki kelebihan dalam hal penguasaan ilmu tenaga dalam.

“Haaattt..!”

Disertai teriakan keras, Gumilang menerjang maju. Golok besarnya berkelebatan cepat membentuk gulungan sinar yang menderu-deru. Untuk sesaat Tongkat Delapan Naga dibuat kagum oleh kehebatan ilmu golok lawannya. Bibirnya bergerak membentuk senyum mengejek. Kemudian dengan sebuah gerakan cepat, tubuhnya yang jangkung bergerak menyelinap di antara sambaran sinar golok Gumilang. Gerakan Tongkat Delapan Naga memang hebat bukan main!

Gumilang sama sekali tak berhasil menyarangkan golok besarnya ke tubuh lawan. Sebab, sebelum ujung goloknya datang menyambar, sosok Tongkat Delapan Naga telah lebih dulu lenyap dari pandangan mata. Sehingga, Gumilang tampak bagaikan mengejar bayangan goloknya sendiri.

“Heaaa...!”

Melihat kawannya mulai kewalahan, Gompala pun tak tinggal diam. Diiringi pekikan nyaring, tubuhnya melesat ke tengah arena. Tangan kanannya yang menggenggam sebatang pedang, langsung melancarkan serangan kilat yang mengarah bagian-bagian terlemah di tubuh lawan.

Wut! Wuttt..!

Trak! Trakkk...!

“Heh!”

Dua kali sambaran pedang Gompala dapat digagalkan oleh tongkat hitam lawannya. Akibat benturan itu tubuh Gompala tergetar mundur sampai beberapa langkah. Wajahnya menyeringai menahan rasa nyeri pada lengannya. Untung genggamannya sangat kuat Kalau tidak, pasti pedang di tangannya terlepas saat Tongkat Delapan Naga menangkisnya.

“Satu...!”

Wuttt..!

Tongkat Delapan Naga yang berhasil memukul mundur Gompala, tiba-tiba membentak keras. Disusul dengan sambaran tongkatnya memburu tubuh pendek gemuk Gumilang.

Blukkk...!

“Hukh...!” Gumilang yang tak sempat menyadari datangnya ancaman ujung tongkat dengan kecepatan tinggi itu, terpental deras dengan tubuh membungkuk. Ujung tongkat lawan menghantam telak perut buncitnya. Hingga, Gumilang terbanting ke tanah, tak sanggup mempertahankan kuda-kudanya.

“Hua ha ha...!” Tongkat Delapan Naga tertawa parau. Sesaat kemudian tubuhnya kembali menerjang sambil menghantamkan tongkat dari atas ke bawah, sebelum Gumilang sempat berdiri tegak.

“Hah...?”

Prakkk...!

Malang nian nasib Gumilang. Belum lagi sempat menyadari bahaya, tahu-tahu kepalanya terhantam tongkat lawan. Pukulan tongkat yang dikerahkan dengan tenaga dalam itu langsung mengakibatkan kepalanya retak. Darah segar pun mengalir membasahi kepala seiring tubuhnya yang terbanting ke rerumputan. Seketika itu pula Gumilang tewas.

“Adi Gumilang...?!” Gompala memekik dengan wajah pucat. Tubuhnya menggigil melihat Gumilang terkapar berlumuran darah. Dia telah menduga apa yang dialami kawannya.

“He he he...! Sudah kubilang kalau aku akan mengirim kalian berdua ke akherat..,” ujar Tongkat Delapan Naga dengan tertawa terkekeh-kekeh, yang bagi Gompala tentu saja terdengar menyakitkan.

“Keparat! Apa salah kami! Mengapa kau berlaku sekejam ini!” pekik Gompala yang dadanya bagai hendak meledak menahankan dendam dan amarah.

“He he he...! Sebaiknya kau bersiap saja untuk menyusul kawanmu.,.!” tukas Tongkat Delapan Naga seolah, tak peduli dengan kemarahan dan rasa penasaran Gompala. Bahkan mulutnya tersenyum sinis, membuat Gompala tak sanggup lagi menahan kemarahannya.

“Sekarang terimalah pembalasanku ini, Iblis Keji! Heaaa...!”

Dengan kemarahan yang menggelegak, Gompala menerjang maju. Pedangnya berputaran menimbulkan gulungan sinar putih yang mengaung bagaikan ratusan lebah marah. Namun Tongkat Delapan Naga menghadapinya sambil tertawa terkekeh-kekeh, seakan menganggap remeh lawan.

Serangan pedang yang dilakukan Gompala sama sekali tidak berhasil menyentuh tubuhnya yang jangkung. Sebab, gerakan Tongkat Delapan Naga memang cepat luar biasa. Sehingga, meskipun Gompala telah mengerahkan seluruh kemampuannya, tetap saja tak berdaya menghadapi kecepatan gerak lawan. Bahkan ketika pertarungan menginjak pada jurus ketiga puluh, Gompala tak sempat menghindari sebuah hantaman tongkat lawan pada tubuhnya.

“Hih...!”

Blukkk...!

“Aaakh...!” Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki tinggi kurus itu terlempar deras. Darah segar menyembur dari mulutnya. Dan sebelum dirinya sempat mengatur keseimbangan, sebuah pukulan keras menghantam tubuhnya. Seketika dada Gompala remuk. Mulutnya mengerang menahan rasa sakit yang mendera.

“Kau...,” Gompala tak sempat lagi menyelesaikan ucapannya, karena tubuhnya ambruk dan langsung tewas.

“Hua ha ha...!”

Tongkat Delapan Naga terbahak-bahak melihat kedua lawannya terkapar tewas berlumuran darah. Sesaat kemudian tubuhnya melesat meninggalkan kaki Bukit Gundul. Hanya gema suara tawanya yang masih terdengar sayup-sayup.

********************

Sinar matahari terasa panas menyengat kulit. Angin sesekali bertiup kencang membawa hawa pengab, membuat orang berpeluh. Seorang pemuda tampan berjubah putih melangkah tenang di bawah terik matahari. Kakinya mengayun ringan, dan dengan tenang memasuki mulut Desa Kranggan. Jubahnya yang panjang dan berwarna putih berkibaran tertiup angin siang itu.

Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Panji, yang di kalangan persilatan lebih dikenal dengan julukan Pendekar Naga Putih. Kabar tentang berbagai peristiwa yang menimpa kaum persilatan akhir-akhir ini mem- buat langkahnya sampai ke Desa Kranggan. Sebagai seorang pendekar, Panji merasa berkewajiban untuk menyelidiki pelaku dari semua kejadian yang didengarnya.

Cukup lama Panji menyusuri jalan utama desa itu, sampai akhirnya menemukan sebuah kedai minum yang cukup ramai pengunjung. Namun belum sempat kakinya menyentuh ambang pintu, tiba-tiba terdengar sebuah bentakan kasar. Mulanya Panji tidak begitu peduli, tapi ketika mendengar adanya suara jerit kesakitan di sela bentakan, ia pun menolehkan kepala. Keningnya berkerut ketika melihat adanya kerumunan penduduk yang memandang ke satu arah.

Merasa penasaran dan ingin tahu, Panji segera mengayun langkahnya hendak melihat apa yang menarik perhatian sebagian penduduk desa itu. Kemudian menyeruak kerumunan untuk melihat apa yang sedang terjadi.

Beberapa tombak di hadapan Panji tampak seorang lelaki berwajah kasar tengah membentak-bentak sambil memukuli lelaki lain yang berusia setengah baya. Lelaki setengah baya yang berpakaian petani miskin itu menjawab dengan suara gemetar ketakutan. Beberapa luka memar tampak menghias wajah tuanya, saat menengadah. Karena saat itu dirinya, tengah berlutut di bawah kaki lelaki berwajah kasar yang menyiksanya.

Panji yang belum mengetahui duduk persoalannya, tentu saja tak berani mengambil tindakan. Pemuda tampan itu berdiri memandang dengan kening berkerut penuh perhatian. Namun biar bagaimanapun dirinya tentu saja tak setuju dengan perbuatan lelaki kasar itu yang menyiksa orang semaunya.

“Ingat, Parta! Perbuatanmu ini akan menjadi malapetaka bagi seluruh keluargamu!” bentak lelaki kasar itu dengan suara menggelegar.

"Tapi Tuan, aku betul-betul belum mempunyai uang untuk membayar hutang-hutang itu. Tolonglah! Beri aku waktu beberapa hari lagi untuk melunasinya...!” ujar lelaki setengah baya, yang dipanggil Parta. Suaranya gemetar dan terbata-bata. Tapi...,

Blukkk...!

“Aduuuh...! Ampun, Tuan!”

Sebuah tendangan keras menghantam iga Parta. Karuan saja tubuhnya yang tengah berlutut, langsung terjengkang dan terguling. Mulutnya meringis-ringis kesakitan sambil memegangi iganya yang terasa remuk. Dari celah-celah bibirnya tampak mengalir cairan merah. Kendati demikian, lelaki malang itu tetap tak berani bangkit untuk melawan, bahkan tetap bersimpuh dan menyembah-nyembah.

“Bangsat! Orang tua keras kepala! Apa kau ingin seluruh keluargamu digantung Juragan Labang?! Kau tahu, sudah berapa lama tak membayar hutang-hutangmu itu?! Hampir dua bulan, tahu! Dan setiap kali ditagih, selalu bilang tak punya uang! Lalu, apa saja kerjamu selama ini, hah!” bentak lelaki kasar itu semakin geram. Tangannya kembali terangkat siap untuk menghajar orang tua malang itu.

Namun gerakannya terhenti ketika mendengar suara halus, disusul munculnya seorang gadis manis yang langsung menghambur ke arah lelaki tua yang tengah bersimpuh itu.

“Ayaaah...!” Tubuh semampai itu langsung memeluk tubuh Parta yang tengah bersimpuh sambil mengiba-iba.

Sejenak mata tua lelaki itu membelalak kaget. Kemudian berubah diliputi kekhawatiran yang dalam. “Warti! Mengapa kau kemari, Nak? Tak tahukah bahwa kedatanganmu justru akan semakin memperburuk keadaan? Ya, Tuhan... selamatkanlah anakku dari kekejaman orang-orang berhati iblis itu...!” ujar Parta dengan suara gemetar penuh rasa takut dan cemas.

Kekhawatiran yang ditunjukkan lelaki tua itu tak berlebihan. Sebab orang yang disebut dengan nama Juragan Labang oleh lelaki kasar yang menyiksanya itu, seorang juragan tanah mata keranjang. Apabila sampai mengetahui bahwa dirinya mempunyai seorang putri yang masih remaja, terlebih berwajah cantik dan menarik seperti Warti, juragan tanah itu sudah pasti tak akan tinggal diam.

Putrinya jelas bakal terancam bahaya yang lebih mengerikan daripada maut! Jangankan Warti yang masih gadis. Wanita bersuami pun, kalau Juragan Labang menginginkan, tak seorang pun yang bisa menolongnya. Itu sebabnya mengapa petani tua itu sangat khawatirakan nasib putrinya.

DUA

"Tidak, Ayah! Aku tak tahan melihat orang-orang kejam ini menyiksamu terus-menerus. Aku..., aku tak tahan, Ayah!”

Warti, gadis desa berwajah manis berusia sekitar tujuh belas tahun itu sama sekali tak peduli. Ia menangis keras sambil memeluk tubuh ayahnya disaksikan puluhan pasang mata yang telah menjadi basah. Mereka tentu saja merasa kasihan melihat kemalangan yang menimpa keluarga itu. Namun, tak ada yang dapat mereka lakukan, karena tak seorang pun yang berani menentang Juragan Labang. Terlebih lelaki kasar yang melakukan penyiksaan itu merupakan salah seorang dari sekian banyak tukang pukul yang sangat kejam.

Tidak demikian halnya dengan Warti. Ia yang selama ini disembunyikan ayahnya dan tak pernah keluar rumah, sama sekali tak merasa takut. Matanya yang basah, tiba-tiba menatap lelaki kasar yang menyiksa ayahnya. Tatapan mata gadis itu demikian tajam serta memancarkan kemarahan dan kebencian.

“Kalian manusia berhati iblis yang tak punya perasaan! Mengapa sekarang kalian diam? Ayo, bunuh kami! Siksa kami! Lebih baik mati daripada diperlakukan seperti binatang begini!” teriak Warti seraya bergerak bangkit dan berdiri dengan sikap menantang.

Semenjak melihat kedatangan Warti yang berwajah cantik dan bertubuh menggairahkan itu, lelaki kasar, tukang pukul Juragan Labang yang didampingi dua orang kawannya, tersenyum licik. Di benaknya seketika terbayang sekantung uang yang sudah pasti bakal didapat apabila bisa membawa gadis itu ke hadapan majikannya. Maka, ia sama sekali tak peduli terhadap caci maki gadis itu. Bahkan sikap garangnya lenyap seketika.

“He he he...! Anak gadis Pak Tua itu boleh juga, Kakang...,” bisik salah seorang dari kedua kawan lelaki kasar itu. Mulutnya menyeringai dengan sepasang mata menjelajahi sekujur tubuh Warti.

“Wah, kita bakal mendapat hadiah besar dari Juragan Labang jika dapat membawa gadis itu ke hadapannya...!” yang satunya lagi menimpali. Wajahnya tampak berseri membayangkan uang yang bakal diterima dari majikan mereka.

Sebenarnya tanpa ucapan kedua kawannya pun, lelaki kasar yang tadi menyiksa orangtua Warti sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Senyumnya tampak semakin lebar ketika mendengar ucapan kedua kawannya. Perlahan kakinya melangkah menghampiri Warti dan ayahnya.

“Hm..., Pak Tua! Kalau saja anakmu itu mau datang menghadap Juragan Labang dan membicarakan masalah hutangmu, kami yakin kau malah akan mendapatkan keuntungan besar. Selain hutang-hutangmu lunas, kau pun pasti akan mendapatkan modal besar untuk membeli bibit-bibit tanaman atau pun peralatan pertanian. Nah, bukankah kehidupanmu bisa meningkat lebih baik?” Lelaki kasar yang semula berwajah bengis dan tak berperasaan itu, kini berkata manis membujuk. Tentu saja sikap itu dibuat-buat.

Mendengar ucapan tukang pukul Juragan Labang itu, ayah Warti bukan merasa gembira, tetapi sebaliknya. Wajahnya tampak memucat dengan mata terbelalak lebar menyiratkan rasa takut yang tak dapat disembunyikan. Lelaki setengah baya itu telah membayangkan apa maksud lelaki kasar itu. Merasa tak berdaya, petani tua itu mengalihkan tatapan matanya ke tempat kerumunan penduduk, seolah hendak meminta pertolongan.

Namun setiap wajah yang mendapat tatapan matanya, selalu menunduk. Parta memaklumi, bahwa tak seorang pun di antara para penduduk yang ingin mencari penyakit Karena mencampuri urusan itu berarti melawan Juragan Labang.

"Tuan, kasihanilah kami yang miskin ini! Berilah waktu dua hari! Aku berjanji akan melunasi hutang-hutangku. Janganlah putri ku yang tak tahu apa-apa, harus dibawa...!” akhirnya Parta meminta belas kasihan. Sebab dirinya tak bisa mengharapkan bantuan penduduk yang hanya berkerumun dan menatap penuh iba.

Jawaban tak menyenangkan itu membuat tukang pukul Juragan Labang menggeram gusar. Wajahnya yang semula dibuat seramah mungkin, berubah bengis. Bahkan sepasang matanya menyorot tajam menyiratkan ancaman.

“Ah, sudahlah, Kang! Untuk apa melayani monyet tua tak berguna itu?! Bawa saja anak gadisnya. Kalau ia melawan, biar aku yang kasih hadiah!” usul salah seorang tukang pukul Juragan Labang yang berkumis tebal dan bermata lebar.

“Jangan, Tuan! Kasihanilah kami...!” Parta tampak semakin gelisah. Dipegangnya lengan Warti yang juga mulai ketakutan, karena wajah ketiga lelaki kasar itu berubah garang menakutkan.

“Minggat kau! Tua bangka tak tahu diuntung!” bentak lelaki kasar itu sambil melayangkan pukulan ke tubuh Parta. Petani malang itu terjungkal ke tanah.

Plakkk...!

“Manusia kejam! Iblis...!” Warti berteriak-teriak dengan air mata berlinang. Karena marah melihat keadaan ayahnya, tanpa pikir panjang, gadis cantik itu langsung menyerbu dan memukuli tubuh lelaki kasar yang memukul ayahnya.

Namun apa artinya pukulan seorang gadis lemah seperti Warti. Pukulan-pukulan itu tentu saja tidak menimbulkan rasa sakit bagi tukang pukul Juragan Labang. Lelaki kasar itu kemudian menangkap kedua tangan Warti.

“Lepaskan aku! Kau bukan manusia! Kau pantasnya menjadi iblis penghuni neraka jahanam...!”

“Diam!”

Plakkk!

Tubuh Warti yang meronta-ronta sekuat tenaga, langsung terpelanting akibat tamparan keras mendarat di wajahnya. Sebelum gadis itu sempat bangkit, lelaki kasar itu telah menyeret tangannya dan dipaksa bangkit.

“Suka atau tidak kau tetap akan kubawa menghadap majikanku!” bentak lelaki kasar itu sambil menjambak rambut Warti hingga terangkat menatapnya.

Panji yang semenjak tadi mengikuti kejadian itu, sudah siap untuk menolong ayah-beranak yang malang itu. Namun niat untuk itu terpaksa diurungkan. Karena tiba-tiba ada sesosok bayangan putih yang berkelebat mendahuluinya. Akhirnya Panji memutuskan untuk melihat perkembangan selanjutnya.

“Hei, Anjing-anjing Busuk! Hendak kau bawa ke mana gadis itu?!” bentak sosok bayangan tadi yang sudah berdiri dengan kaki terpentang. Jelas kalau ia hendak mencegah perbuatan tiga orang tukang pukul Juragan Labang itu.

Panji sempat mengerutkan kening ketika melihat sosok bayangan putih itu ternyata seorang gadis muda. Ingatannya langsung melayang pada wajah Kenanga, kekasihnya. Sebab, gadis berpakaian serba putih berusia sekitar delapan belas tahun itu, memiliki wajah cantik dan manis. Namun, sorot matanya tampak demikian tajam menusuk jantung. Sekilas saja Panji tahu kalau gadis berpakaian putih itu akan mampu menolong Warti dan ayahnya.

Teringat akan Kenanga, Panji pun kembali tersadar apa yang tengah dilakukannya saat itu. Dirinya dan Kenanga memang sengaja berpisah untuk menyelidiki orang-orang yang telah melakukan serangkaian kejahatan dengan membunuhi beberapa tokoh persilatan serta murid-murid perguruan terkenal. Adanya beberapa kejadian yang berlangsung dalam waktu bersamaan, membuat keduanya memutuskan berpisah untuk sama-sama menyelidiki si pembuat kekacauan itu. Itu sebabnya Pendekar Naga Putih datang seorang diri ke Desa Kranggan.

Perkiraan Panji ternyata tidak meleset Sosok bayangan putih yang ternyata seorang gadis muda itu memang bukan wanita sembarangan. Terbukti selain ge- rakannya sangat cepat tampak sebilah pedang tergantung di punggung. Jelas gadis muda itu dari kalangan persilatan yang tentu saja memiliki kepandaian. Kalau tidak, mana berani mencampuri urusan itu.

"Turunkan gadis itu, atau nyawa kalian melayang!” Gadis cantik berpakaian serba putih itu kembali membentak galak Jari telunjuknya menuding Warti yang saat itu berada dalam pondongan salah seorang tukang pukul Juragan Labang.

“Wah..., Kakang! Gadis desa ini tak ada artinya bila dibandingkan dengannya!” salah seorang kawan lelaki kasar itu berseru dengan wajah membayangkan kekaguman yang sangat Kemudian kembali menyambung ucapannya, “Eh, Nini yang cantik dan manis, apa kau ingin menggantikan gadis ini untuk kami bawa menghadap Juragan Labang? Kalau kau bersedia, dengan senang hati gadis ini akan kami bebaskan. Bahkan hutang-hutang tua bangka itu pun akan kami anggap lunas...!”

Rupanya salah seorang dari ketiga tukang pukul Juragan Labang itu tidak sabar. Tangannya menjulur hendak menangkap lengan berkulit kuning langsat dan halus milik gadis itu.

Plakkk!

“Auuuh...!”

Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu saja lelaki yang hendak menangkap tangan gadis cantik berpakaian serba putih itu terpelanting sambil menjerit kesakitan. Tubuhnya terbanting ke tanah. Dari celah-celah bibirnya terlihat cairan merah mengalir keluar. Tampak bibirnya pecah akibat tamparan kilat yang dilancarkan gadis itu.

“Bangsat! Perempuan setan! Kau rupanya mencari mampus!” sambil membentak penuh amarah, tangan lelaki berkumis lebat dan bermata lebar itu bergerak mencabut pedang di punggungnya.

Sringngng!

Sebentuk sinar putih berkeredep ketika pedang tercabut dari sarungnya. Dan...,

“Haaattt..!”

Wut! Wuttt...!

Disertai teriakan nyaring, lelaki berkumis lebat itu bergerak menerjang. Pedang di tangannya berkelebatan cepat membentak kilatan sinar dan suara berkesiut.

“Hm...,” Gadis cantik berpakaian serba putih itu hanya mendengus perlahan. Kakinya bergerak ke kanan, sambaran pedang itu pun lewat dari sasarannya. Saat itu pula kaki kirinya bergerak cepat melakukan sebuah tendangan kilat ke perut lawan.

“Heaaa...!”

Bukkk!

“Hukh!”

Tendangan kaki mungil itu mendarat telak pada sasarannya. Akibatnya sungguh mengagumkan! Tubuh lelaki berkumis tebal dan bertubuh tinggi besar itu terdorong ke belakang lalu terjungkal ke tanah. Beberapa saat lamanya, lelaki itu tak mampu bangkit Tendangan gadis itu membuat isi perutnya bagai hendak termuntah keluar. Sehingga, ia hanya bisa meringis dan memandang dengan sinar mata penuh dendam.

Kejadian itu tentu saja di luar dugaan dua orang tukang pukul lainnya. Mereka hampir tak percaya kalau gadis cantik yang kelihatan lemah itu ternyata sanggup membuat kawan mereka roboh tak berdaya hanya dengan sekali gebrak!

“Perempuan iblis! Siapa kau sebenarnya? Dan apa maksudmu mencampuri urusan kami?!” bentak lelaki kasar itu gusar, penuh kemarahan. Meskipun sebenarnya agak gentar, mereka merasa malu untuk menunjukkan kelemahan di depan para penduduk.

“Hm..., kalian ingin kenal siapa aku? Nah, dengarlah baik-baik!. Aku Dewi Kematian, yang akan mencabut nyawa kalian sekarang juga!” gadis cantik berpakaian serba putih itu menyahut dengan senyum mengejek.

“Keparat! Tidak peduli siapa pun kau adanya, yang jelas kau akan menerima akibat dari kelancanganmu ini!” lelaki kasar bertubuh kekar berotot, yang menjadi pimpinan kedua orang kawannya, membentak sambil menggenggam pedang erat-erat Tubuhnya langsung merangsek maju diikuti kawannya yang juga sudah menghunus pedang.

“Heaaattt..!”

Wut! Wuttt!

Serangan kedua orang tukang pukul Juragan Labang itu memang cukup cepat dan kuat. Namun tidak demikian anggapan gadis cantik yang mengaku sebagai Dewi Kematian. Dengan hanya menggeser-geser tubuhnya, sambaran pedang kedua orang lawannya selalu saja dapat dihindarkan. Bahkan ketika ia mulai membalas, kedua orang tukang pukul itulah yang menjadi kewalahan dibuatnya.

Panji menyaksikan perkelahian itu dengan hati terkejut. Hatinya sama sekali tak menyangka, kalau gadis cantik berpakaian serba putih itu ternyata tokoh yang berjuluk Dewi Kematian. Nama tokoh itu memang telah cukup lama didengarnya. Sebab, sepak terjang Dewi Kematian memang membikin penasaran para tokoh persilatan khususnya golongan putih.

Dewi Kematian memang selalu menentang kejahatan. Namun tindakannya terlalu kejam. Tidak aneh memang kalau tokoh itu dijuluki sebagai Dewi Kematian. Sebab, setiap penjahat yang naas berjumpa dengannya, sudah pasti tak bakal selamat! Dewi Kematian tak pernah membiarkan setiap pelaku kejahatan hidup apabila berjumpa dengannya.

“Hm..., siapa sangka tokoh yang memiliki julukan sedemikian menyeramkan itu ternyata hanya seorang gadis muda yang berwajah cantik dan manis. Kalau tidak mendengar sendiri, rasanya aku tak bisa percaya begitu saja...,” gumam Panji tanpa mengalihkan pandangannya dari arena perkelahian.

“Hiaaat...!”

Dewi Kematian yang sudah mendesak kedua lawannya hingga tak berdaya, tiba-tiba mengeluarkan lengkingan tinggi yang mengejutkan! Kemudian disusul dengan lesatan tubuhnya yang sulit diikuti mata. Dan...,

Wuttt!

Bret! Brettt...!

“Aaa...!”

Terdengar jeritan yang panjang merobek udara siang. Disusul kemudian dengan robohnya kedua orang tukang pukul Juragan Labang dengan tubuh bersimbah darah. Kedua lelaki muda itu seketika tewas dengan tubuh bagian depan tergores luka memanjang seperti bekas sambaran mata pedang. Padahal tak seorang pun melihat adanya pedang di tangan gadis cantik berpakaian serba putih itu.

Pendekar Naga Putih yang masih mengawasi gadis itu tampak tersenyum. Seberapa pun kecepatan gerak yang dilakukan Dewi Kematian itu tak dapat mengelabui matanya. Meski gerakan wanita cantik itu demikian cepat sewaktu mencabut dan menyarungkan pedang, semua dapat dilihat Panji dengan jelas. Dan memang hanya dirinya seoranglah yang tahu kalau kedua orang lelaki kasar itu terbunuh oleh tebasan pedang Dewi Kematian.

Tewasnya kedua orang tukang pukul Juragan Labang itu, membuat para penduduk yang berkerumun merasa ketakutan! Satu persatu mereka bergerak meninggalkan tempat itu. Para penduduk tak ingin terlibat dan terbawa-bawa, karena tentu saja akan membuat susah hidup mereka.

Dewi Kematian sendiri sama sekali tak peduli. Dengan langkah tenang, dihampirinya tukang pukul berkumis tebal yang masih terduduk merasakan sakit pada perutnya. Tanpa berkata sepatah pun, kaki mungil wanita cantik ini langsung saja bergerak.

Bukkk!

"Pergi kau, Anjing Buduk! Laporkan pada majikanmu bahwa Dewi Kematian akan berkunjung untuk mengambil kepalanya!” bentak Dewi Kematian.

Tukang pukul Juragan Labang itu tampak meringis kesakitan. Terdengar suara rintihan dari mulutnya. Hati lelaki berwajah kasar itu pun merasa bimbang. Namun, ketika Dewi Kematian kembali mengulang bentakannya, langsung saja ia memaksa diri bangkit Kemudian, berlari tertatih-tatih meninggalkan tempat itu.

Dewi Kematian berdiri terpaku memandangi kepergian lelaki itu. Kendati demikian, telinganya menang- kap gerakan dua orang yang ditolongnya. Kedua anak dan bapak itu bergerak menghampiri.

“Nisanak..., terima kasih atas pertolonganmu. Entah apa yang akan terjadi dengan putri ku tanpa pertolonganmu. Sekali lagi, kami mengucapkan terima kasih...,” ujar Parta dengan terbungkuk-bungkuk sambil menggandeng tangan putrinya.

“Bangunlah, Paman! Dan kau juga, Adik Manis. Bangunlah! Yang kulakukan tadi bukan apa-apa. Lagi pula mereka memang pantas menerima kematian. Orang-orang seperti itu tak boleh dibiarkan hidup! Hanya menyusahkan orang lain saja,” ujar Dewi Kematian dengan suara dingin.

“Nisanak...,” Parta, lelaki tua itu kembali memanggil, “Sebaiknya Nini segera meninggalkan desa ini. Kami khawatir orang-orang tadi akan datang dengan membawa kawan-kawan mereka yang lain dalam jumlah banyak. Tukang-tukang pukul Juragan Labang rata-rata pandai ilmu silat. Terutama sekali orang yang bernama Sarpala. Bahkan kalau tak salah dijuluki sebagai Golok Tanpa Bayangan. Aku sendiri belum mengerti mengapa dijuluki demikian. Yang jelas kami merasa khawatir kalau sampai Nisanak celaka di tangan mereka...,”

“Hm..., aku memang akan pergi, Paman. Tapi bukan untuk meninggalkan desa ini. Melainkan untuk mengunjungi orang yang bernama Juragan Labang itu!” jelas Dewi Kematian yang tentu-saja membuat ayah beranak itu merasa terkejut.

"Tapi..., jumlah tukang pukul Juragan Labang sangat banyak sekali! Sangat berbahaya kalau Nisanak yang seorang diri harus menghadapi mereka. Apalagi mereka orang-orang yang licik dan sangat kejam. Aku bukan hendak menakut-nakuti. Tapi, sudah ada beberapa orang jago silat mendatangi Juragan Labang untuk meminta agar menghentikan perbuatannya yang memeras penduduk. Tapi, mereka semua tewas bahkan kepalanya digantung di balai desa! Maksudnya tentu saja agar penduduk semakin takut dan tak berani berbuat macam-macam,” Parta menjelaskan dengan wajah penuh kecemasan. Kelihatannya lelaki tua itu tak ingin orang lain mendapat celaka hanya karena membela keluarganya.

“Hm..., jadi orang yang bernama Juragan Labang itu lintah darat? Dan apa yang menyebabkan mereka menyiksamu seperti ini, Paman?” tanpa mempedulikan kecemasan petani tua itu, Dewi Kematian malah mengalihkan pembicaraan.

Secara singkat dan jelas, Parta menceritakan apa yang menimpa keluarganya, yang juga dialami kebanyakan penduduk Desa Kranggan.

“Hm..., kalau begitu Juragan Labang memang perlu dibasmi...!” gumam Dewi Kematian setelah mendengar penjelasan petani tua itu. “Dan aku akan berusaha merubah kehidupan penduduk desa ini, Paman. Nah, selamat tinggal...!”

Belum lagi Parta sempat berbicara, tahu-tahu saja sosok Dewi Kematian telah lenyap dari hadapannya. Ia hanya melihat berkelebatnya bayangan putih dengan kecepatan yang tak bisa diikuti pandangan matanya. Dan di kejauhan ia melihat sosok Dewi Kematian yang semakin mengecil.

“Mungkinkah ia seorang dewi yang sengaja diturunkan, untuk menolong penduduk Desa Kranggan..-.? Rasanya mustahil kalau seorang manusia dapat menghilang seperti itu...?” gumam Parta yang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya dengan penuh takjub.

Tanpa sepengetahuan Dewi Kematian, sesosok bayangan putih lainnya bergerak menyusul. Parta dan putrinya hanya merasakan ada sambaran angin keras yang membuat pakaian mereka berkibar. Mereka sama sekali tak tahu kalau angin besar itu tercipta karena gerakan sosok bayangan putih yang berkelebat demikian cepatnya.

Bayangan putih yang menyusul Dewi Kematian itu tentu saja Panji. Ia menyusul karena ingin mengetahui apa yang akan dilakukan tokoh wanita yang selalu bertindak kejam terhadap para penjahat itu. Selain itu, ia pun khawatir kalau-kalau Dewi Kematian akan menemui celaka di tangan tukang-tukang pukul Juragan Labang, yang didengarnya memiliki kepandaian tinggi. Semua itu didengar dari penjelasan Parta.

TIGA

Dewi Kematian yang tengah mencari rumah Juragan Labang tampaknya tidak menemukan kesulitan. Setelah bertanya pada salah seorang penduduk desa, gadis cantik itu langsung melesat menuju sebuah ban- gunan besar dan megah.

“Hm..., ini mencurigakan...,” gumam Dewi Kematian setelah menghentikan langkahnya di depan pintu gerbang. Sepasang matanya yang tajam menyapu halaman rumah besar itu yang tampak sunyi. Tak seorang tukang pukul pun terlihat berjaga-jaga.

Sebagai seorang tokoh yang telah cukup banyak pengalaman, Dewi Kematian bisa menduga akan adanya persiapan lawan dalam menyambut kedatangannya. Namun mana mungkin Dewi Kematian yang nama besarnya sanggup membuat ketakutan seorang penjahat kejam akan merasa gentar. Meskipun sadar bahwa kesunyian rumah Juragan Labang tidak wajar, gadis cantik berpakaian putih itu tetap melangkah masuk. Tentu saja kewaspadaannya tetap dikerahkan, menjaga kemungkinan yang bakal terjadi.

Wut wut wuttt...!

Ternyata benar dugaan Dewi Kematian. Baru saja empat langkah dari ambang pintu gerbang, terdengar suara berdesingan menyambut kedatangannya.

“Hhh...!” Dewi Kematian mendengus. Sepasang matanya yang tajam menangkap adanya enam batang tombak meluncur ke arahnya. Namun tak ada gelagat pada dirinya untuk mengelak. Seolah Dewi Kematian ingin menunjukkan bahwa dirinya tidaklah mudah untuk dirobohkan dengan serangan gelap seperti itu.

“Hih...!”

Trak! Trak! Trak!

Sekali mengibaskan kedua tangannya yang berkulit halus, terdengar suara benda berpatahan. Dan keenam batang tombak yang meluncur ke tubuhnya, langsung berpentalan ke tanah dalam keadaan patah menjadi dua. Dari sini dapat dilihat betapa lihai dan kuatnya tenaga dalam Dewi Kematian. Tampaknya dia sengaja mempertunjukkan kemampuan itu agar musuh tahu siapa dirinya. Dan Dewi Kematian jelas tak bisa dipan- dang sebelah mata!

“Keluarlah, Manusia-manusia Pengecut! Tak ada gunanya kalian berbuat seperti ini terhadap Dewi Kematian!” tantang gadis cantik berpakaian serba putih itu. Dewi Kematian sengaja mengerahkan tenaga dalamnya hingga suara teriakan itu terdengar bergema masuk ke seluruh bagian bangunan megah, rumah Juragan Labang.

Gadis cantik berwajah dingin yang berjuluk Dewi Kematian ini memang bukan hanya kejam terhadap orang-orang jahat. Ia pun memiliki sifat tinggi hati dan selalu tak sudi dipandang rendah. Itu sebabnya mengapa ia tidak mengelak dari serangan tombak.

Dewi Kematian tak perlu menunggu lama atas sambutan lawan-lawannya. Sebab beberapa saat kemudian, belasan sosok tubuh berloncatan dari sekelilingnya. Sehingga, dalam waktu singkat dirinya sudah terkepung belasan orang tukang pukul yang rata-rata bertampang bengis.

“Hmh!” Dewi Kematian mendengus. Diperhatikannya satu persatu para tukang pukul Juragan Labang sambil menghitung jumlah mereka. Tanpa rasa gentar sedikit pun gadis cantik itu berdiri tegap di tengah kepungan musuh-musuhnya.

“Hua ha ha...! Sungguh tak kusangka kalau musuh yang bakal kita hadapi hanyalah seorang gadis muda yang berwajah cantik dan bertubuh menggiurkan! Kalau sejak semula aku tahu, tentu aku akan menyambutnya di dalam kamar yang indah dan harum!” Seorang lelaki tinggi kekar berkepala botak mengkilat, tertawa meremehkan. Bahkan melontarkan ucapan yang tentu saja maknanya dapat ditangkap oleh Dewi Kematian.

Namun untuk perkataannya itu ternyata harus dibayar cukup mahal. Sebab, baru saja ucapannya selesai, tahu-tahu sesosok bayangan putih berkelebat dengan kecepatan tinggi, hingga sulit untuk ditangkap secara jelas. Dan...,

Plak! Plakkk...!

“Augh...!”

Luar biasa memang kecepatan gerak yang dimiliki Dewi Kematian. Lelaki botak bertubuh kekar berotot itu tak sanggup menyelamatkan mulutnya dari dua kali tamparan keras, yang membuatnya terpekik kesakitan. Bahkan tubuh lelaki kekar itu terbanting ke tanah dengan kerasnya. Lelaki kekar berkepala botak mengkilat itu mengaduh-aduh sambil memegangi mulutnya dengan kedua tangan. Tamparan itu bukan hanya membuat bibirnya pecah berdarah. Empat buah giginya langsung tanggal seketika.

Karuan saja kejadian tak terduga ini membuat yang lainnya terkejut setengah mati! Sungguh mereka tak menyangka kalau gadis cantik berwajah dingin itu, ternyata dapat bergerak secepat sambaran kilat! Kejadian itu membuat mereka sadar kalau Dewi Kematian memang tak bisa dianggap remeh.

“Hm..., masih adakah yang ingin menyambutku di dalam sebuah kamar yang indah dan harum?” tanya Dewi Kematian seraya mengedarkan pandangan mengawasi pengepungnya dengan senyum mengejek.

Sadar bahwa gadis muda itu bukanlah orang sembarangan, tak seorang pun yang sudi membuka mulut mendengar tantangan Dewi Kematian. Namun bukan berarti mereka merasa gentar dan membiarkan wanita cantik itu bebas berbuat sekehendak hatinya. Bahkan kepungan semakin rapat. Belasan senjata terhunus siap menggempur Dewi Kematian.

“Serbuuu...! Heaaa...!”

“Heaaa...!”

Seorang lelaki berpakaian serba hitam memekik nyaring. Tubuhnya langsung bergerak menerjang Dewi Kematian dengan sambaran pedang. Kawan-kawannya yang lain juga tak lagi merasa tertarik terhadap kecantikan maupun keindahan tubuh Dewi Kematian.

“Heaaa...!”

Wut! Wuttt..!

“Hait! Heaaa...!”

Dengan mengandalkan kecepatan geraknya, Dewi Kematian menghindari setiap tebasan senjata para pengeroyok. Tubuhnya berkelebatan cepat di antara kilatan-kilatan sinar pedang yang berdesingan memburu. Sejauh itu, tak satu pun mata pedang dapat menyentuh tubuhnya. Jangankan untuk dapat melukainya, untuk menyentuh ujung pakaiannya pun tak dapat mereka lakukan. Sebab, gerakan yang dilakukan gadis cantik itu selalu dapat mendahului kecepatan sambaran senjata lawan.

“Haiiit! Heaaa...!.”

Setelah dalam belasan jurus hanya menghindar dengan mengandalkan kecepatan geraknya, Dewi Kematian merasa tak cukup. Diiringi teriakan keras dan melengking, tubuhnya bergerak lebih cepat, sambil melontarkan pukulan ke tubuh lawan-lawannya.

Bukkk! Plakkk...!

“Aaakh...!”

Pekik kesakitan seketika terdengar. Tiga orang pengeroyok terjungkal ke tanah terkena pukulan yang dilancarkan Dewi Kematian.

“Hueh...!”

“Hukh...!”

Ketiga orang berpakaian hitam itu berkelojotan di tanah. Dari mulut mereka keluar darah segar. Sesaat kemudian ketiganya tewas dengan mata membeliak. Tampaknya pukulan yang dilancarkan Dewi Kematian tak tanggung-tanggung. Tak mengherankan kalau ketiga lelaki yang terkena pukulan itu langsung muntah darah bahkan tewas seketika.

“Heat..!”

Tiba-tiba terdengar suara pekikan keras menggelegar. Dewi Kematian yang tengah sibuk melancarkan pukulan dan tendangan kepada lawan-lawannya sempat tersentak. Sesosok bayangan kehitaman berkelebat cepat, memasuki arena pertarungan dan langsung me- lancarkan serangan.

Bwet! Bwettt!

Dewi Kematian tersentak ketika mendengar adanya sambaran angin keras menderu ke tubuhnya. Disadari kalau serangan ini tak dapat disamakan dengan para pengeroyoknya yang lain. Maka dengan cepat dibalikkan tubuhnya dan menyambut serangan itu dengan tangkisan kedua tangannya yang telah diisi tenaga dalam.

Dukkk! Plakkk!

Dewi Kematian kembali dilanda rasa kaget! Betapa tidak? Tangkisan yang dilakukan membuat kuda-kudanya tergempur mundur sampai dua langkah. Tampaknya serangan yang dilakukan sosok bayangan itu sangat kuat Kedua lengannya dirasakan bergetar hebat, hingga meninggalkan rasa nyeri.

Bukan hanya Dewi Kematian yang merasa terkejut Penyerangnya pun tak kalah kaget. Selain serangannya dapat digagalkan, sosok tubuh berpakaian hitam terlontar deras ke belakang. Namun dengan cepat dirinya berusaha memperbaiki keseimbangan dengan melakukan salto, lalu meluncur turun. Melihat dari raut wajahnya yang meringis, dapat ditebak kalau pembokong licik itu merasa linu pada kedua lengannya.

Perkelahian tertunda sesaat. Sosok jangkung yang tingginya melebihi ukuran biasa, menatap tajam wajah Dewi Kematian yang juga menatapnya. Tampaknya kedua tokoh itu hendak mengukur kekuatan lawan melalui tatapan mata masing-masing.

“Hm..., kau pasti orang yang berjuluk Golok Tanpa Bayangan!” Dewi Kematian membuka suaranya yang bening namun terasa dingin, membuat bulu kuduk meremang.

“Sungguh tak kusangka kalau orang yang berjuluk Dewi Kematian adalah seorang gadis muda yang cantik menggiurkan. Semula, kukira seorang nenek tua yang sudah bau tanah...!” sosok jangkung terbungkus pakaian serba hitam itu menukas, juga dengan suara dingin dan terkesan merendahkan. Tampaknya lelaki jangkung ini tak ingin menunjukkan bahwa ia sedikit gentar setelah merasakan betapa kuat tenaga dalam Dewi Kematian.

“Aku meragukan julukanmu yang berlebihan itu, Kisanak! Buktikanlah bahwa kau memang memiliki ilmu golok yang hebat laksana tanpa bayangan...!” tantang Dewi Kematian dengan nada sinis. Dan..., entah kapan tangannya bergerak, tiba-tiba saja di tangan gadis cantik berwajah dingin itu telah tergenggam sebatang pedang. Sinar pedang itu sanggup membuat bulu kuduk meremang. Jelas senjata di tangan Dewi Kematian bukan sembarangan pedang.

“Hmh...!” Golok Tanpa Bayangan mendengus kasar. Sekali tangan bergerak, golok di pinggangnya telah pindah ke tangan kanan. Gerakan tokoh jangkung itu begitu cepat. Caranya mencabut senjata pun, menunjukkan bahwa dirinya seorang ahli ilmu golok yang tangguh. “Kau jangan mimpi dapat berbuat sekehendak hatimu di tempat ini, Dewi Kematian! Kedatanganmu sama saja dengan ular menghampiri penggebuk!” ujar Golok Tanpa Bayangan dengan senyum mengejek.

“Buktikan! Haiiittt..!”

Wung! Wungngng!

Tanpa banyak cakap, Dewi Kematian melesat disertai kibasan pedangnya yang begitu cepat. Seketika terdengar suara mengaung bagaikan dengung ratusan lebah yang marah. Suara ini jelas menandakan bahwa Dewi Kematian tidak ingin menganggap remeh dan main-main dalam melancarkan serangan.

Golok Tanpa Bayangan pun bukan tak tahu kalau lawan kali ini dihadapinya sangat lihai dalam ilmu pedang. Matanya sempat melihat gulungan sinar dari putaran pedang yang sangat cepat dan berubah-ubah itu. Maka, ia pun tak segan-segan segera mengeluarkan kepandaian yang membuat namanya terkenal di kalangan persilatan itu.

“Heaaa...!”

Trang! Trangngng...!

Wut! Wuttt..!

Bunga api memercik ketika kedua senjata saling berbenturan keras. Dewi Kematian agak kaget ketika mencium adanya bau busuk memuakkan berasal dari golok lawan. Tahulah gadis cantik ini kalau senjata lawan ternyata mengandung racun jahat yang berbahaya. Dan itu membuat kemarahannya semakin memuncak!

“Hiaaa...!”

Setelah mengetahui bahwa senjata lawan mengandung racun yang berbahaya, Dewi Kematian semakin memperhebat serangan pedangnya. Sehingga, kali ini Golok Tanpa Bayangan terpaksa harus bermain mundur. Sebab, lawannya benar-benar tak ingin memberi peluang kepadanya untuk membangun serangan. Tentu saja hal itu membuatnya tambah penasaran dan marah!

Meskipun salah satu tampak terdesak, pertarungan itu tampak indah. Sinar senjata mereka yang bergulung-gulung saling tindih, merupakan sebuah pemandangan yang sungguh mengagumkan. Apalagi sesekali masih diselingi dengan pijaran bunga api, saat kedua senjata saling berbenturan keras. Membuat pertempuran itu tak membosankan untuk disaksikan.

Ketika pertarungan menginjak pada jurus yang ketiga puluh, terlihatlah betapa Dewi Kematian masih jauh lebih unggul ketimbang lawannya. Terbukti sinar lingkaran pedang semakin mendesak sinar golok lawan yang kian menyempit. Bahkan Golok Tanpa Bayangan tak mampu melancarkan serangan balasan. Yang dapat dilakukan hanya membuat benteng pertahanan sekuatnya agar tak sampai celaka oleh pedang gadis cantik berwajah dingin itu.

“Shaaah...!”

Di saat merasa benar-benar sudah tak berdaya menghadapi gempuran lawan, mendadak Golok Tanpa Bayangan membentak sambil mengebutkan sapu tangan berwarna hijau. Seketika itu pula mengepulkan asap kekuningan yang berbau harum memabukkan. Rupanya tokoh jangkung itu mulai berbuat curang dengan menebarkan bubuk beracun ke arah lawannya.

“Bangsat licik..!” Dewi Kematian mencaci maki kelicikan Golok Tanpa Bayangan. Tubuhnya tampak terhuyung. Racun ber- bau harum itu telah membuat kepalanya pening. Dan pandangannya pun kabur. Hingga, sosok lawan seolah menjadi banyak dalam pandangannya.

“Hih...!”

Trangngng!

“Uuuh...!”

Kendati demikian, Dewi Kematian masih sempat menyambut datangnya sambaran golok lawan yang mengancam tubuhnya. Namun tangkisan itu membuat kepalanya dirasakan kian berat Hingga tubuhnya kembali terjajar mundur. Terdengar keluhan lirih dari mulutnya.

"Pergilah menghadap malaikat maut, Perempuan Liar...!” Golok Tanpa Bayangan yang merasa gembira melihat keadaan lawan, kembali melesat melanjutkan serangannya. Tubuhnya meluncur ke depan dengan mata golok siap menghunjam perut Dewi Kematian!

Whuttt..!

Plakkk...!

“Aaakh...!”

Belum sampai mata golok itu menemui sasarannya, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih yang langsung memapaki serangan Golok Tanpa Bayangan. Tubuh lelaki jangkung itu pun terpental disertai pekik kesakitannya.

Sedangkan sosok bayangan putih itu langsung menyambut tubuh Dewi Kematian, yang telah sempoyongan hampir jatuh ke tanah. Tampaknya racun wangi yang ditaburkan Golok Tanpa Bayangan benar-benar telah merasuk ke tubuh gadis cantik itu.

“Keparat! Siapa kau...? Berani bertingkah di hadapan Golok Tanpa Bayangan?” Golok Tanpa Bayangan menatap tajam pemuda tampan berjubah putih yang ternyata Panji.

“Hm..., siapa pun adanya aku, yang jelas perbuatan curangmu tak bisa dibiarkan, Golok Tanpa Bayangan!” tukas Panji yang tengah memondong tubuh Dewi Kematian.

“Kurang ajar! Habisi pemuda itu...!” teriak Golok Tanpa Bayangan ditujukan kepada para tukang pukul lain yang sejak tadi hanya diam menyaksikan pertarungan itu. Karena merasa tersinggung mendengar jawaban Panji, Golok Tanpa Bayangan langsung melesat maju menyerang, diikuti para anak buahnya. Dalam sekejap belasan tukang pukul Juragan Labang menge- royok Panji, si Pendekar Naga Putih.

“Seraaang...!”

“Hiaaa...!”

Plak! Bukkk!

Kendati hanya menggunakan satu tangan, sekali bergerak Panji mampu memapak dan menghantam lawan. Tiga orang anak buah Golok Tanpa Bayangan seketika terpelanting. Sedangkan serangan Golok Tanpa Bayangan sendiri dapat dielakkan dengan menggeser dan memiringkan tubuh. Kemudian langsung mengirimkan sebuah tendangan kilat ke perut lelaki jangkung itu.

Wuttt..!

“Aaakh...?!” Golok Tanpa Bayangan tersentak kaget ketika melihat betapa cepatnya tendangan yang dilancarkan pemuda itu. Gerakan itu jauh lebih cepat daripada yang dilakukan Dewi Kematian. Sadar kalau dirinya terancam bahaya, lelaki jangkung itu langsung melemparkan tubuhnya ke belakang untuk menyelamatkan diri.

“Gila...?! Pemuda keparat itu jauh lebih lihai ketimbang Dewi Kematian?! Hm... siapa lagi pemuda itu...?” desis Golok Tanpa Bayangan setelah meluncur turun dengan selamat. Wajahnya masih pucat, karena rasa terkejutnya belum hilang akibat serangan balasan yang dilancarkan Panji.

Keterkejutan itu tampaknya tak hanya melanda Golok Tanpa Bayangan, melainkan semua tukang pukul Golok Tanpa Bayangan yang ada di tempat itu. Mereka merasa kecut juga menyaksikan kemampuan yang diperlihatkan Panji. Sehingga mereka hanya berani mengepung dari jarak agak jauh.

Panji berdiri tegak mengawasi lawan-lawannya. Ketika melihat mereka belum menunjukkan gerakan, disempatkan matanya melirik wajah Dewi Kematian. Hatinya menjadi cemas ketika melihat betapa wajah cantik itu kini tampak semakin memucat. Bahkan ada warna kehijauan yang masih samar. Sadarlah Panji bahwa keadaan Dewi Kematian cukup gawat!

“Hua ha ha...! Perempuan kejam itu tak akan selamat dari ‘Racun Kelabang Hijau’, Pemuda Keparat! Tak seorang pun yang dapat menyembuhkannya. Dan kau boleh tangisi kekasihmu yang malang itu...!” Golok Tanpa Bayangan tertawa bergelak ketika melihat kecemasan membayang di wajah Panji.

“Manusia keji...!” desis Panji yang tentu saja merasa geram terhadap Golok Tanpa Bayangan. Namun dirinya memutuskan untuk cepat meninggalkan tempat itu. Hatinya khawatir kalau racun yang telah merasuk ke tubuh Dewi Kematian akan semakin bertambah parah. Tanpa mempedulikan lawan-lawannya, Panji langsung berkelebat meninggalkan halaman depan kediaman Juragan Labang.

Golok Tanpa Bayangan tentu saja tak bisa berbuat apa-apa. Karena sebelum dia sempat melakukan pengejaran, bayangan Panji sudah jauh meninggalkan pintu gerbang. Sehingga, lelaki jangkung itu cuma bisa membanting kakinya ke tanah karena kesal.

********************

EMPAT

Pendekar Naga Putih terus berlari meninggalkan Desa Kranggan, membawa tubuh Dewi Kematian. Sampai di sebuah hutan kecil dihentikan larinya. Kemudian dilanjutkan dengan langkah perlahan sambil mencari tempat yang cocok untuk mengobati Dewi Kematian yang terserang racun ganas.

Setelah agak jauh memasuki hutan itu, akhirnya Panji menemukan sebuah pondok yang terbuat dari kayu yang keadaannya sudah tak layak untuk dihuni. Setelah memeriksa dan merasa yakin bahwa di dalam pondok itu tak ada siapa-siapa, Panji membawa masuk Dewi Kematian. Di atas sebuah balai bambu yang masih cukup baik, direbahkan gadis itu dengan tubuh tertelungkup.

Pendekar Naga Putih memejamkan mata untuk memusatkan pikirannya sejenak. Kemudian diulurkan kedua telapak tangan dan ditempelkan pada punggung Dewi Kematian. Sementara tubuhnya sendiri telah terbungkus sinar kuning yang menebarkan hawa panas. Sinar itu berasal dari ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ yang dikerahkannya. Panji memang bermaksud memindahkan kekuatan itu guna mengobati tubuh gadis yang terserang racun.

Tidak lama kemudian, setelah seluruh tenaga mukjizat itu pindah ke tubuh Dewi Kematian, Panji pun melepaskan telapak tangannya, la menunggu beberapa saat sampai sinar kuning keemasan yang kini menyelimuti tubuh Dewi Kematian lenyap. Jika sinar itu lenyap berarti tenaga mukjizatnya benar-benar telah merasuk ke tubuh gadis cantik yang masih terkulai lemas itu.

Panji tak perlu menunggu terlalu lama untuk melihat Dewi Kematian sadar dari pingsannya. ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ bekerja cepat mengusir racun yang terisap gadis itu. Dengan sabar Panji memperhatikan perubahan yang terjadi pada tubuh Dewi Kematian. Dilihatnya ada uap tipis berwarna kehitaman keluar dari ubun-ubun Dewi Kematian. Uap tipis itu perlahan-lahan lenyap, menandakan bahwa hawa beracun telah terusir keluar dari dalam tubuh gadis cantik berwajah dingin itu.

Namun lenyapnya hawa beracun itu bukan berarti bahwa Dewi Kematian telah pulih. Kendati bahaya sudah lewat, tenaga gadis itu belum seluruhnya pulih.

“Emhh... uhh...!” Dewi Kematian menggeliat perlahan. Dari mulutnya terdengar desahan. Perlahan-lahan tubuhnya hendak bangkit, tapi tak mampu karena tenaganya masih terlalu lemah. Samar-samar matanya yang bening menangkap ada bayangan putih duduk tak jauh dari tempat pembaringannya.

“Si... apa..., kau...?” tanya Dewi Kematian dengan suara lemah. Keningnya tampak berkerut. Dan sepasang matanya menyiratkan kecurigaan.

Panji merasa belum perlu untuk memberikan jawaban. Bergegas ia bangkit dan melangkah mendekati tepi pembaringan. Di tangannya tergenggam sebutir pil berwarna putih salju, yang berkhasiat untuk memulihkan tenaga.

“Kau tak perlu banyak bicara dulu, Nisanak! Sebaiknya telanlah pil ini guna memulihkan tenagamu. Percayalah, aku tak punya maksud apa-apa selain menolongmu...!” ujar Panji seraya menyodorkan pil itu ke mulut Dewi Kematian.

Dewi Kematian tampaknya tak begitu saja langsung percaya. Matanya menatap tajam wajah Panji, meskipun hanya tampak samar-samar. Wajah Panji tersenyum ramah dan menyiratkan satu ketulusan. Hal itu pula membuat Dewi Kematian membuka mulutnya menerima pil pemberian Panji.

“Nah, sekarang pusatkanlah pikiranmu seperti biasa jika melakukan semadi. Hal itu dapat membantu daya kerja obat tadi...!” jelas Panji seraya menatap wajah gadis cantik di depannya.

Tanpa ragu-ragu Dewi Kematian menuruti perintah Panji. Sebab dirinya merasakan ada hawa hangat yang mulai menjalar ke bagian dalam sekujur tubuhnya, beberapa saat setelah pil berwarna putih salju itu memasuki kerongkongan.

Panji tersenyum lega melihat Dewi Kematian menuruti petunjuknya tanpa ragu. Tubuhnya bangkit lalu melangkah menjauhi balai bambu tempat gadis itu terbaring. Perlahan kakinya berjalan mendekati ambang pintu. Dengan sabar pendekar muda berwajah tampan itu menunggu pulihnya kekuatan Dewi Kematian.

Pendekar Naga Putih yang tengah duduk di ambang pintu rumah itu tiba-tiba tersentak lalu bangkit berdiri. Matanya yang tajam melihat ada sosok bayangan berkelebat menuju pondok tempatnya berada. Hatinya terkejut demi menyadari bahwa yang datang itu orang yang memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Hal itu diketahui dari gerakan yang sama sekali tak tertangkap pendengarannya. Padahal seharusnya Panji sudah bisa menangkap suara langkah sebelum melihat orangnya.

Sosok bayangan yang kini tiba-tiba telah berdiri di depan Panji sangat mengagumkan. Selain itu Panji belum tahu secara jelas, apakah yang datang kawan atau lawan. Maka, dengan cepat tubuhnya melesat turun dari pondok menyambut kedatangan sosok bayangan itu.

“Kisanak siapa...? Ada keperluan apa datang ke tempat ini?” meskipun diliputi rasa curiga, Panji tetap menyapa dengan bahasa halus dan sopan. Bahkan dibungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat

Sosok tubuh yang ternyata seorang lelaki tua memegang tongkat berkepala naga, tak segera menjawab pertanyaan Panji. Sepasang matanya yang lebar dan selalu bergerak liar, menatap sosok pemuda tampan yang menyapanya. Mulutnya tampak menyeringai aneh, membuat Panji curiga dan bersikap waspada.

“Heh heh heh...! Kau lucu sekali!” Lelaki tua itu tertawa terkekeh-kekeh sambil memperhatikan Panji. Belum juga terdengar jawaban atas pertanyaan pemuda tampan berjubah putih itu. Mulutnya masih terus tertawa-tawa, seakan benar-benar merasa lucu melihat sosok Panji.

Pendekar Naga Putih sama sekali tak merasa tersinggung dengan sikap lelaki tua itu. Sebab dirinya telah maklum, banyak tokoh kaum rimba persilatan yang memiliki sikap aneh. Bahkan mendekati kegilaan. Sehingga dia hanya tersenyum dan menghela napas perlahan-lahan. Ditatapnya sosok lelaki tua bertongkat kepala naga itu dengan pandangan penuh selidik. Hatinya kembali dilanda keterkejutan ketika mulai dapat menduga siapa sebenarnya lelaki tua yang berdiri di hadapannya itu.

“Maaf, Orang Tua! Kalau aku tak salah duga, bukankah kau Tongkat Delapan Naga yang kesohor itu...?” ujar Panji mencoba menerka lelaki tua bertongkat kepala naga itu. Ciri-ciri lelaki tua yang berdiri di hadapannya memang sama dengan tokoh sakti itu. Pendekar Naga Putih semakin kaget Karena dirinya telah mendengar bahwa Tongkat Delapan Naga sudah lama menghilang dari dunia persilatan. Namun sekarang tahu-tahu muncul dihadapannya. Semua ini membuat dirinya berpikir.

“Huah hah hah...! Kau tak salah, Bocah! Aku memang yang dijuluki Tongkat Delapan Naga, dan akan segera menjadi jago nomor satu di kolong langit! Huah hah hah...!” Lelaki tua itu terbahak-bahak kegirangan ketika mendengar pemuda tampan di depannya telah mengenal siapa dirinya. Dan itu membuat hatinya semakin merasa bangga akan ketenaran namanya.

Sebenarnya hati Panji hampir percaya kalau lelaki tua yang berdiri di depannya sebenarnya tokoh sakti berjuluk Tongkat Delapan Naga. Namun keraguan menyelinap di hatinya ketika melihat sikap kakek itu yang tidak pantas ditunjukkan seorang tokoh tua dari golongan pendekar. Ucapan lelaki tua itu menunjukkan kesombongan yang seharusnya dijauhi oleh tokoh-tokoh golongan putih. Ini yang membuat Panji mulai meragukan keaslian Tongkat Delapan Naga.

“Hm..., kau kelihatannya meragukan nama besarku, Bocah...?” tukas Tongkat Delapan Naga yang telah menghentikan tawanya dan menatap wajah Panji dengan sorot mata menikam jantung. Belum sempat Panji memberikan jawaban, tiba-tiba kakek tua itu sudah mengayunkan tongkat kepala naganya menyerang Panji.

“Hei...?!” Panji tentu saja kaget melihat serangan mendadak yang sama sekali tak disangkanya itu. Karena menyangka bahwa Tongkat Delapan Naga hanya sekadar ingin mengujinya, Panji mencoba mengelak dengan lompatan ke samping. Namun serangan itu ternyata terus berkelanjutan. Bahkan mendengar deru suara sambaran angin yang berkesiutan, sadarlah Panji kalau serangan itu sangat berbahaya dan bisa mengancam keselamatan jiwanya.

"Tongkat Delapan Naga, harap jangan main-main...!” seru Panji mengingatkan lelaki tua itu.

“Hua hah hah...!” Tongkat Delapan Naga sama sekali tak menanggapi, justru tertawa terbahak-bahak. Bahkan serangan tongkatnya tampak semakin diperhebat. Hal itu membuat Panji sedikit kewalahan, untuk menghindari sambaran tongkat yang berbahaya itu.

“Heeaaa...!”

Wuutt! Bweettt..!

Panji terus melompat ke sana kemari menggunakan kelincahannya untuk mengelakkan sambaran tongkat lawan. Namun hal itu tentu saja sangat berbahaya baginya. Sehingga sesekali dicobanya menangkis tongkat lawan. Bahkan melepaskan serangan saat benar-benar merasa terdesak.

“Hih...!”

Plakk! Wutt!

Tangkisan telapak tangan Panji memang berhasil membuat sambaran tongkat itu menyeleweng dari sasarannya. Namun dirasakan ada hawa panas menyengat telapak tangannya. Sedangkan tongkat kepala naga itu sudah melesat dan kembali mengancam dadanya dengan kecepatan tinggi!

“Celaka...!” desis Panji terkejut. “Heaa...!”

Tak ada jalan lain bagi Panji kecuali mengelak. Dengan pekikan nyaring tubuhnya melenting ke udara. Setelah melakukan putaran beberapa kali, tubuh pemuda berjubah putih itu meluncur dan mendarat di tanah.

“Gerakan yang bagus...!” terdengar Tongkat Delapan Naga memuji gerakan Panji. “Kau ternyata cukup pandai untuk menghadapiku, Bocah!” lanjutnya yang kini semakin bersemangat untuk melanjutkan pertarungan.

"Tunggu, Tongkat Delapan Naga..;!” sebelum lelaki tua itu memulai serangannya kembali, Panji mengangkat tangan dan berseru mencegah.

“Heh heh heh...! Kau takut menghadapiku?” ejek Tongkat Delapan Naga sembari memperdengarkan kekehnya yang parau.

"Tidak pernah ada kata takut dalam pikiranku, Tongkat Delapan Naga. Tapi, aku tak ingin bertarung tanpa sebab. Apalagi aku sekarang ingat bahwa kau seorang tokoh terhormat dari sebuah perguruan,” tukas Panji menatap wajah lawan. “Dan aku pun rasanya dapat menduga mengapa kau meninggalkan perguruan dan berkeliaran sampai ke tempat ini. Bukankah kau ingin menyelidiki kekacauan yang terjadi di kalangan persilatan? Hal ini tentu saja tak sulit untuk ditebak. Karena hampir semua tokoh persilatan saat ini merasa berkewajiban untuk meredakan kekacauan yang tengah terjadi. Jadi jelas, tak ada gunanya kita lanjutkan perkelahian ini!” tandas Panji tegas.

“Heh heh heh...! Itu menurutmu, Bocah! Tapi, bagiku pertarungan ini sangat perlu, bahkan harus dilanjutkan! Kulihat kau bukan merupakan lawan yang mudah untuk dirobohkan. Hal ini membangkitkan semangatku Untuk merobohkanmu. Sebaiknya kau bersiaplah menghadapi seranganku...!” sahut Tongkat Delapan Naga yang tetap bersikeras melanjutkan pertarungan.

“Orang Tua! Kuharap kau tak terlalu memaksakan kehendak! Sebagai tokoh terhormat yang nama besarmu sudah sangat kesohor, tak sepantasnya kau bersikap seperti ini. Masih banyak hal yang lebih penting ketimbang perkelahian ini. Apalagi kita tokoh segolongan. Kalau hal ini sampai tersebar di kalangan persilatan, bukankah kita hanya akan menjadi bahan tertawaan dan cemoohan orang banyak? Karena sementara yang lain sibuk mencari penyebab kekacauan, kita malah bertarung dengan orang sendiri. Tanpa sebab yang jelas lagi. Bukankah hal ini sangat memalukan?” Panji masih tetap bertahan tak ingin pertarungan tanpa guna itu berkelanjutan.

“Heh heh heh...! Sebuah nasihat yang sangat bagus, Bocah! Tapi, yang jelas aku akan tetap menyerangmu. Jadi tak ada gunanya kau berbicara lagi...,” Dan, baru saja perkataan itu selesai diucapkan, tubuh Tongkat Delapan Naga sudah melesat cepat sambil membabatkan tongkatnya.

Wutt! Wrrets!

Daun-daun kering dan debu beterbangan saat tongkat berkepala naga di tangan lelaki tua itu menderu- deru begitu cepat Sadar bahwa lawannya tak mungkin dapat dinasihati, tidak ada jalan lain bagi Panji kecuali membela diri. Dan dengan sangat terpaksa dirinya meladeni kakek yang dianggapnya sinting dan gila nama besar itu. Sebab, ia tentu saja tak ingin mati di tangan kakek yang berjuluk Tongkat Delapan Naga itu.

Pertarungan sengit pun tak terelakan. Sambaran tongkat berkepala naga itu benar-benar membuat Panji kewalahan. Hal itu disebabkan karena dirinya tak bersungguh-sungguh dalam menghadapi lawannya. Sehingga, tentu saja pemuda itu terdesak hebat. Sebab, ilmu tongkat kakek itu benar-benar hebat dan sangat berbahaya!

“Yeeaahhh...!”

Tongkat Delapan Naga yang tahu kalau lawan tak bersungguh-sungguh, semakin bernafsu melancarkan serangan. Tongkatnya yang berkepala naga berkelebatan menyambar secepat kilat memburu sasarannya.

Panji mau tak mau mengeluarkan ilmu andalannya guna mengatasi gencarnya serangan lawan. Kalau tidak, dirinya bisa celaka, bahkan mungkin tewas di tangan Tongkat Delapan Naga yang semakin ganas dalam melancarkan serangannya itu.

“Heaa...!”

Whuukkkk!

Memasuki jurus yang kelima puluh, tongkat berkepala naga menyambar datar mengarah pinggang lawan. Dengan cepat Panji menggeser tubuh sambil menepiskan tongkat dengan kibasan tangan kirinya yang sudah dilindungi ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’.

“Hih...!”

Takkkk!

“Heh...?!”

Tongkat Delapan Naga terpekik kaget. Sambaran tongkatnya berhasil dipapaki lawan hingga menyeleweng ke samping. Di samping itu lengannya dirasakan tergetar disertai ada hawa dingin menyusup melalui tongkatnya. Kejadian ini membuat Tongkat Delapan Naga melompat mundur sejauh satu tombak. Sepasang matanya yang tajam menatap sosok lawan seolah baru sekarang menyadari siapa sebenarnya pemuda tampan berjubah putih yang menjadi lawannya itu.

“Hm..., Bocah! Kaukah yang dijuluki sebagai Pendekar Naga Putih? Bukankah jurus-jurus yang kau pergunakan adalah ‘Ilmu Silat Naga Sakti’?” tanya Tongkat Delapan Naga dengan mata membelalak. “Hmmm..., aku tahu tangkisanmu tadi memakai ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’, bukan? Benar-benar hebat, membuat aku semakin bersemangat untuk mengalahkanmu,” lanjutnya seraya menatap tajam wajah Pendekar Naga Putih, seakan ingin meyakinkan dugaannya.

“Kau tidak salah, Orang Tua. Meskipun julukan Pendekar Naga Putih tak ada artinya jika dibandingkan dengan nama besar Tongkat Delapan Naga, tapi begitulah orang-orang menjuluki aku. Dan harap kau bersedia, mengakhiri perkelahian ini setelah mengetahui nama julukan yang kosong itu...,” sahut Panji seolah ingin membuang rasa bangga meski nama julukannya telah sampai pula ke telinga tokoh sakti itu. Malah pendekar muda itu meminta agar perkelahian yang menurutnya tak berguna segera dihentikan.

“Sudah, tak perlu banyak cakap lagi! Aku tak akan berhenti sebelum merobohkanmu, Pendekar Naga Putih! Bayangkan, betapa dunia persilatan akan geger jika mendengar bahwa pendekar muda yang dibangga-banggakan tokoh persilatan ternyata roboh di tangan Tongkat Delapan Naga! Jadi percuma saja kau minta aku menyudahi perkelahian yang akan membuat namaku semakin menjulang ini...!” bantah Tongkat Delapan Naga yang justru semakin bersikeras hendak merobohkan lawan. Apalagi setelah tahu bahwa yang dihadapinya ternyata Pendekar Naga Putih. Seorang tokoh muda yang akhir-akhir ini menggemparkan dunia persilatan dengan sepak terjang yang bertujuan menegakkan kebenaran.

Tanpa menunggu jawaban lagi, Tongkat Delapan Naga memutar senjatanya yang membuat sekitar tempat itu bagai dilanda angin ribut. Bahkan pondok tempat Panji meninggalkan Dewi Kematian, tampak berderak-derak bagaikan hendak roboh. Tentu saja hal itu membuat Panji merasa cemas. Karena khawatir terhadap keadaan pondok yang hampir ambruk oleh angin putaran tongkat lawan, Panji segera melompat mundur menaiki tangga. Namun, baru saja mendaratkan kakinya, terdengar sebuah suara halus bernada dingin yang ditujukan kepada Tongkat Delapan Naga.

“Hm..., bagus sekali perbuatanmu, Tongkat Delapan Naga! Sebagai seorang tokoh yang mempunyai nama besar, perbuatanmu benar-benar memalukan dan mencemarkan nama Perguruan Bukit Dewa! Tak dapat kubayangkan, betapa hancurnya hati Ki Sela Panda, kakak seperguruanmu. Apa yang membuatmu berubah menjadi iblis kejam yang memiliki keinginan gila untuk menjadi tokoh nomor satu di rimba persilatan? Kau benar-benar sinting, Tongkat Delapan Naga!”

Suara itu ternyata milik Dewi Kematian yang telah berdiri di ambang pintu pondok. Pendekar Naga Putih terkejut, lalu menatap wajah gadis cantik itu dengan penuh kecemasan. Sebab, ucapan itu jelas dapat menimbulkan kemarahan Tongkat Delapan Naga. Namun ternyata Tongkat Delapan Naga sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda kemarahan, walau mendapat kecaman yang pedas dari Dewi Kematian. Lelaki tua itu hanya terkekeh perlahan, tapi terasa menggetarkan dada, karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi.

“Hm..., siapa kau, Anak Manis? Lancang benar mulutmu di depanku?” tanya Tongkat Delapan Naga dengan suara tak menunjukkan kemarahan. Sepasang matanya meneliti sosok Dewi Kematian dengan penuh selidik.

“Aku Dewi Kematian yang akan segera mengakhiri petualangan jahatmu! Aku datang mewakili eyang guruku, Eyang Guna Wisesa untuk menghukum mu! Kau tentu kenal dengan guruku itu!” sahut Dewi Kematian memperkenalkan nama sekaligus gurunya.

Pendekar Naga Putih merasa heran bukan main ketika melihat betapa wajah Tongkat Delapan Naga tampak berubah pucat. Dan menduga bahwa kakek itu pasti mengenal orang yang bernama Eyang Guna Wisesa. Karena saat Dewi Kematian menyebutkan nama itulah wajah Tongkat Delapan Naga berubah. Kelihatannya lelaki tua itu menjadi gentar mendengar nama guru Dewi Kematian.

“Kau..., kau murid tua bangka Guna Wisesa...?” desis Tongkat Delapan Naga seraya bergerak mundur. Kepalanya menoleh ke sana kemari memperhatikan sekelilingnya. Sepertinya merasa khawatir kalau-kalau Eyang Guna Wisesa berada di sekitar tempat itu.

“Hi hi hik! Kau kelihatannya takut kalau-kalau eyang guruku berada di sekitar tempat ini, Tongkat Delapan Naga! Kurasa guru pasti akan datang ke tempat ini untuk menghukum dirimu” Dewi Kematian tertawa mengejek. Dan sengaja menakut-nakuti tokoh itu dengan mengatakan bahwa gurunya akan muncul untuk menghukum Tongkat Delapan Naga.

Ucapan Dewi Kematian ternyata ditanggapi dengan sungguh-sungguh oleh Tongkat Delapan Naga. Terlihat lelaki tua itu semakin gelisah dan terus bergerak mundur sambil memperhatikan sekelilingnya. Dan mendadak tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu. Kelihatannya Tongkat Delapan Naga benar-benar ketakutan terhadap Eyang Guna Wisesa, hingga melarikan diri.

Dewi Kematian tertawa mengiringi kepergian kakek sakti itu. Tinggal Panji yang menatap bingung, karena tak tahu kenapa Tongkat Delapan Naga yang begitu sakti itu ketakutan setengah mati. Pendekar Naga Putih hanya bisa menatap sosok Tongkat Delapan Naga yang semakin jauh. Kemudian ganti menatap Dewi Kematian yang masih tertawa terpingkal-pingkal, melihat tingkah kakek itu yang baginya sangat lucu.

LIMA

“Aku tak mengerti, mengapa lelaki tua itu begitu ketakutan setelah mendengar nama gurumu, Dewi Kematian,” ujar Panji setelah sosok Tongkat Delapan Naga tak lagi terlihat Dan tawa gadis cantik berwajah dingin itu pun telah terhenti.

"Tidak perlu heran, Pendekar Naga Putih. Terima kasih atas pertolonganmu. Aku benar-benar merasa bangga karena seorang pendekar besar sepertimu ternyata masih menaruh perhatian kepada orang sepertiku. Kau pun tak perlu heran mengapa aku bisa mengenalmu. Sebab, secara samar-samar tadi aku mendengar Tongkat Delapan Naga menyebut nama julukanmu,” ujar Dewi Kematian. Semua ucapannya belum merupakan jawaban bagi pertanyaan Panji. Tampaknya gadis cantik berwajah dingin itu tak ingin segera memberikan jawaban. Bahkan tampak kakinya melangkah menuruni tangga. Kemudian duduk di atas sebatang pohon tua yang tumbang.

Panji pun melangkah mengikuti Dewi Kematian, dan ikut duduk di dekat gadis cantik berpakaian serba putih itu. Sesaat ada kekaguman dalam hatinya melihat kecantikan wajah Dewi Kematian yang tengah menatap lurus ke depan. Seolah gadis itu tak sadar bahwa Panji tengah memperhatikannya dan menunggu jawaban.

“Guruku, Eyang Guna Wisesa adalah paman guru dari Ki Sela Panda yang menjadi Ketua Perguruan Bukit Dewa, dan juga termasuk Paman Guru Tongkat Delapan Naga. Dia pernah memberi didikan kepada kedua orang yang terhitung kakak seperguruanku itu, kendati hanya beberapa macam ilmu. Baik Ki Sela Panda maupun Tongkat Delapan Naga telah menganggap guruku sebagai pengganti orangtua mereka. Selain itu, Eyang Guna Wisesa juga termasuk satu-satunya sesepuh Perguruan Bukit Dewa yang masih hidup. Semua tokoh perguruan sangat menaruh hormat dan merasa segan kepada beliau. Kendati beliau sendiri sudah memutuskan untuk tak mencampuri urusan perguruan. Bahkan sangat jarang sekali berkunjung ke Bukit Dewa. Boleh dikatakan nyaris tak pernah. Namun beliau tetap dianggap sebagai sesepuh yang kata-katanya ditaati, bahkan kuasa menjatuhkan hukuman terhadap murid yang menyeleweng. Mungkin itu sebabnya mengapa Tongkat Delapan Naga sangat takut ketika aku menyebutkan nama eyang guruku.” Dewi Kematian mengakhiri ceritanya, kemudian menghela napas. Wajahnya menoleh ke arah Panji yang duduk di sampingnya.

“Hm..., pantas saja Tongkat Delapan Naga kelihatan demikian takut terhadap gurumu. Berarti beliau memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Tongkat Delapan Naga lebih memilih menghindar ketimbang harus menerima hukuman dari gurumu itu. Satu hal yang masih membuatku tak mengerti. Mengapa tadi kau melontarkan kata-kata yang demikian tajam? Seolah Tongkat Delapan Naga telah berbuat dosa besar dan menyeleweng dari jalan kebenaran. Dapatkah kau menjelaskannya padaku?” tanya Panji lagi, tanpa menghilangkan sikap sopannya terhadap wanita cantik di sampingnya.

“Hm..., jadi kau belum mendengar tentang terbunuhnya beberapa orang tokoh persilatan?” Dewi Kematian balik bertanya.

"Tentu saja sudah. Justru aku sedang berusaha untuk menyelidikinya,” sahut Panji cepat

“Nah, menurut keterangan yang kudengar selama perjalananku, Tongkat Delapan Naga-lah yang melakukannya. Tapi, tentu saja aku belum percaya sepenuhnya. Sebab, aku belum menyaksikannya sendiri. Lagi pula, Tongkat Delapan Naga selama ini terhitung tokoh besar yang dihormati banyak orang. Jadi, kupikir kemungkinan besar ada orang ketiga yang memfitnahnya. Tapi sekarang aku mulai ragu, dan mempercayai kabar-kabar itu. Kau lihat tadi, bukan? Bagaimana Tongkat Delapan Naga lari terbirit-birit ketika aku menyebut nama guruku. Padahal aku hanya sekadar hendak mengujinya. Sebab, kalau orang tua tadi merupakan samaran dari Tongkat Delapan Naga, tentu tak akan setakut itu terhadap guruku. Kenyataannya ia benar-benar Tongkat Delapan Naga tulen. Kini aku mulai yakin kalau tokoh-tokoh yang terbunuh itu adalah hasil perbuatannya. Apa yang menjadi sebabnya, aku sendiri belum tahu...!” jelas Dewi Kematian yang membuat Panji menjadi heran. Tentu saja ia pun belum bisa percaya kalau Tongkat Delapan Naga akan bertindak sejauh itu.

“Hm..., kalau kabar itu sudah tersiar secara luas, berarti Perguruan Bukit Dewa tengah terancam kehancuran! Sebab, bukan tak mungkin kalau tokoh-tokoh persilatan yang merasa yakin kalau semua itu perbuatan Tongkat Delapan Naga, akan datang ke Bukit Dewa untuk meminta keadilan. Jika sudah demikian, pertempuran pasti sulit untuk dihindarkan. Apalagi bagi kelompok yang memang menaruh rasa tak suka kepada Perguruan Bukit Dewa, mereka tentu akan membakar hati tokoh-tokoh persilatan. Dan ini bencana besar bagi tokoh-tokoh golongan putih. Sebab jika mereka saling bunuh, tokoh-tokoh golongan hitam akan bersorak kegirangan,” Panji menghentikan ucapannya, dan menoleh ke wajah Dewi Kematian. “Aku harus mencegah jangan sampai peristiwa berdarah itu terjadi, Dewi Kematian! Apakah kau tak ada keinginan untuk itu?”

“Hm..., urusanku belum selesai, Pendekar Naga Putih. Pantang bagi Dewi Kematian meninggalkan urusan yang belum tuntas!” sahut gadis cantik itu dengan suara ditekan. Seolah ada dendam di dalam hatinya.

“Maksudmu, kau hendak kembali ke tempat Juragan Labang itu?” tanya Panji yang sudah dapat menebak ke mana tujuan ucapan gadis cantik berpakaian serba putih itu.

“Kira-kira begitulah...,”

“Hm..., jangan menurutkan nafsu yang hanya akan membuatmu celaka, Dewi Kematian!” tukas Panji menasihati dengan nada penuh persahabatan, “Bukan maksudku meremehkan kepandaianmu. Tapi, sikapmu yang ceroboh itulah yang harus kau ubah. Selain jumlah mereka belum jelas, mereka pun sangat licik dan tak segan-segan melakukan kecurangan.”

“Hm..., jadi kau merasa bangga telah dapat menolong dan menyelamatkan nyawaku? Dan merasa berhak untuk memberi nasihat kepadaku, begitu?” dingin tetapi tajam sekali ucapan yang dilontarkan Dewi Kematian, membuat Panji tersentak kaget Karena dirinya sama sekali tak menyangka kalau Dewi Kematian akan berkata seperti itu.

“Bukan itu maksudku...,” sanggah Panji dengan suara lemah.

“Jadi...?” tukas Dewi Kematian menyunggingkan senyum sinis yang membuat Panji semakin tak enak.

“Aku hanya mengingatkan bukan berbicara soal hak. Soal saling mengingatkan itu kurasa tak ada anehnya. Sebab, sudah kewajiban bagi setiap manusia untuk saling mengingatkan sesamanya. Nah, apa aku salah kalau mengingatkan mu agar jangan sampai celaka?”

Dewi Kematian tak menyahut Ditatapnya wajah Panji dengan sorot mata tajam, seolah ingin menjenguk ke dalam hati pendekar muda berwajah tampan itu. Terdengar pertanyaannya yang bernada menuntut.

“Katakanlah secara jujur, mengapa kau mengkhawatirkan keselamatanku, Pendekar Naga Putih? Sedangkan kita baru saling mengenal dan belum menge- tahui sifat masing-masing.”

Pendekar Naga Putih sempat terkejut ketika mendengar pertanyaan yang tentu saja ia tahu benar maksudnya itu. Memang diakuinya bahwa Dewi Kematian memiliki wajah cantik dan tubuh langsing padat menggiurkan. Sebagai lelaki normal, tentu saja dirinya pun merasa tertarik dengan gadis Itu. Namun, bukan berarti akan mengkhianati Kenanga yang sangat dicintainya. Boleh jadi hatinya kagum dan suka kepada Dewi Kematian. Tapi, untuk mengkhianati kekasihnya, Panji harus berpikir seribu kali.

“Aku merasa kagum dan suka kepadamu, Dewi Kematian. Itu sebabnya aku merasa khawatir mendengar kau berniat untuk mendatangi tempat Juragan Labang kembali...,” jawab Panji sejujurnya.

“Hm..., jadi bukan karena kau cinta kepadaku.. ?” desak gadis cantik itu menyerang langsung tanpa merasa jengah. Hal itu tentu saja tak aneh, mengingat siapa adanya gadis berpakaian putih ini. Dewi Kematian merupakan tokoh persilatan yang telah cukup lama malang melintang. Dan sepertinya wanita itu pun terjangkit penyakit seperti kebanyakan tokoh persilatan yang bersifat aneh. Tanpa tedeng aling-aling, atau merasa malu mengungkapkan keinginan hatinya.

Mendengar pertanyaan itu, Panji menarik napas panjang. Matanya menerawang menatap langit senja hari yang redup. Baru kemudian menoleh kepada Dewi Kematian, setelah cukup lama terdiam. "Tidak sulit bagi seorang lelaki untuk jatuh cinta kepadamu, Dewi Kematian. Kau memiliki segala syarat untuk jadi idaman setiap lelaki. Aku sendiri merasa kagum dan suka kepadamu. Tapi, rasanya aku yakin kalau hal itu bukanlah apa yang dinamakan cinta,” jawab Panji yang malah membuat Dewi Kematian tersenyum manis. Panji yang tahu benar kalau gadis itu jarang tersenyum, terpaksa harus mengakui betapa jauh lebih cantik dan menariknya wajah Dewi Kematian saat tersenyum seperti itu. Seolah alam pun ikut tersenyum dan menjadi cerah seketika.

“Itulah awal dari cinta, Pendekar Naga Putih...,” ujar Dewi Kematian yang kelihatannya merasa sangat yakin kalau Pendekar Naga Putih yang sejak lama dikaguminya itu telah jatuh cinta terhadapnya.

“Hhh..., sudahlah! Bukankah kau hendak menyatroni tempat kediaman Juragan Labang? Marilah kutemani! Setelah persoalan ini selesai, baru aku akan pergi ke Bukit Dewa untuk mencegah kemungkinan terjadinya pertumpahan darah...,” tukas Panji mengalihkan pembicaraan. Dirinya tidak ingin gadis itu menjadi kecewa apabila disebutkan bahwa ia telah mempunyai seorang pujaan hati, dan tak mungkin akan berkhianat

Dewi Kematian tertawa kecil. Kemudian bergegas bangkit dan melangkah meninggalkan pondok. Panji mengikuti dan menjajari langkah gadis cantik berwajah dingin, yang mulai banyak tersenyum.

“Sebaiknya kita mempercepat langkah agar tak kemalaman...!” usul Panji yang langsung disetujui oleh Dewi Kematian. Sebentar kemudian, keduanya melesat menggunakan ilmu lari cepat masing-masing.

********************

“Hei, Labang, Manusia Serakah, keluar kau! Kami datang mewakili penduduk desa yang kau cekik lehernya!”

Begitu tiba di depan gerbang rumah besar tempat kediaman Juragan Labang, Dewi Kematian langsung berteriak dengan mengerahkan tenaga dalam. Sehingga, suaranya bergaung jauh, menembus dinding rumah juragan tanah itu. Dewi Kematian yakin kalau orang yang bernama Juragan Labang maupun kaki tangannya akan mendengar teriakan itu. Namun, Dewi Kematian tampaknya tak bisa bersabar menunggu kemunculan Juragan Labang ataupun kaki tangannya. Kakinya segera melangkah lebar diikuti Panji memasuki halaman rumah besar itu.

“Berhenti...!”

Terdengar suara bentakan yang disusul dengan munculnya belasan sosok tubuh berpakaian serba hitam. Mereka langsung menyebar, mengurung Panji dan Dewi Kematian.

“Heh heh heh...! Rupanya kau kembali datang untuk mengantarkan nyawa, Dewi Kematian...!” ujar lelaki jangkung yang tak lain si Golok Tanpa Bayangan. Lelaki ini menyembunyikan rasa terkejutnya ketika melihat Dewi Kematian sudah segar bugar tanpa adanya tanda-tanda keracunan. Hingga, ia mengalihkan pandang menatap sosok pemuda tampan berjubah putih yang berdiri di samping gadis cantik itu.

“Aku tak tahu bagaimana caranya kau menyembuhkan perempuan liar ini, Kisanak. Yang jelas aku merasa kagum terhadapmu. Sebab, jarang sekali orang yang dapat bertahan setelah ‘Racun Kelabang Hijau’ terisap ke dalam tubuhnya,” ujar Golok Tanpa Bayangan ditujukan kepada Pendekar Naga Putih.

“Jangan lupa, Golok Tanpa Bayangan! Setiap penyakit sudah pasti ada obatnya. Jadi, percuma saja kalau sekarang kau masih hendak menggunakan racun keji itu,” sahut Panji tersenyum tipis, membuat wajah Golok Tanpa Bayangan mengetam.

“Hhh...!” Golok Tanpa Bayangan menggeram gusar. Kemudian dikibaskan kedua tangannya sebagai isyarat bagi kawan-kawannya agar mulai menyerang. Namun langkah mereka tertunda ketika mendengar sebuah bentakan yang menggetarkan dada.

“Siapa yang barusan berteriak-teriak mencari Juragan Labang?”

Pendekar Naga Putih dan Dewi Kematian pun tak luput dari keterkejutan. Keduanya langsung menolehkan wajah memandang sesosok lelaki bertubuh kecil yang berdiri di ambang pintu didampingi sosok lainnya yang berperawakan gemuk. Dalam sepintas saja Panji dapat mengetahui kalau kedua orang lelaki itu tentu memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari Golok Tanpa Bayangan. Selain suara bentakannya mengandung tenaga dalam tinggi, Golok Tanpa Bayangan terlihat tak berani bergerak untuk menyerang. Jelas bahwa lelaki jangkung itu menunggu perintah.

“Hm..., mereka adalah Kerbau Mata Satu dan Setan Cebol. Keduanya merupakan tokoh-tokoh golongan sesat berkepandaian tinggi. Entah ada hubungan apa mereka dengan Juragan Labang?” bisik Dewi Kematian yang langsung mengenali kedua orang lelaki itu. Diam-diam dirinya membenarkan apa yang pernah dikatakan Panji sebelum mendatangi tempat itu. Untung saja Pendekar Naga Putih mendampinginya. Kalau tidak, sudah pasti ia akan celaka menghadapi lawan-lawan yang diketahui sangat tangguh itu.

“Hm..., sejak semula aku sudah curiga dengan orang yang bernama Juragan Labang itu. Tak mungkin ia sedemikian berani memeras penduduk desa ini kalau tak punya andalan. Sekarang terbukti kalau juragan tanah itu mempunyai hubungan erat dengan tokoh-tokoh sesat Hhh..., kurasa Juragan Labang menyisihkan sebagian hartanya untuk tokoh-tokoh sesat demi untuk melindungi keselamatannya,” ujar Panji yang memang telah menduganya semenjak semula. Jadi dirinya tak merasa heran melihat adanya dua orang tokoh sesat di tempat kediaman Juragan Labang itu.

“Kalau begitu, kita mempunyai alasan yang lebih kuat untuk membekuk Juragan Labang itu...!” timpal Dewi Kematian yang kini sudah menghunus pedangnya.

Kerbau Mata Satu dan Setan Cebol yang tak men- dapat jawaban, langsung saja menggenjotkan kaki. Seketika itu juga tubuhnya melesat ke tengah arena. Keduanya mendarat ringan dua tombak lebih di hadapan Panji dan Dewi Kematian. Sikap kedua tokoh sesat itu terlihat angkuh dan sangat memandang rendah.

“Hm..., jangan banyak jual lagak di hadapan Dewi Kematian dan Pendekar Naga Putih, Badut-badut Kotor...!” ujar Dewi Kematian sengaja memperkenalkan julukannya dan menyebut Pendekar Naga Putih, ketika melihat kesombongan sikap kedua tokoh sesat itu.

Gertakan Dewi Kematian ternyata membuat Kerbau Mata Satu, Setan Cebol, juga Golok Tanpa Bayangan tersentak kaget bukan main! Kalau nama Dewi Kematian saja sudah sempat membuat mereka terkejut, apalagi nama Pendekar Naga Putih yang sangat terkenal itu. Wajah tokoh-tokoh sesat itu berubah pucat untuk sesaat. Namun, mereka cepat menyembunyikandan mencoba bersikap untuk tetap tenang. Seolah kedua nama itu sama sekali tak ada artinya bagi mereka.

“Hm..., jadi tokoh yang berjuluk Dewi Kematian itu ternyata seorang gadis muda? Hhh... menggiurkan lagi!Sungguh sangat tak sesuai dengan sepak terjangnya yang kudengar selama ini! Tapi, petualanganmu akan segera berakhir di sini, Nisanak!” ujar Kerbau Mata Stu setelah dapat menekan rasa terkejut dan gentar dihatinya.

“Hm..., jangan kira aku tidak tahu kalau hati kalian sudah menjadi gentar ketika mendengar nama kami berdua. Dan aku yakin kalau di hati kalian telah ada rencana untuk melarikan diri mencari selamat..!” Dewi Kematian memperdengarkan suara tawa bernada mengejek, yang membuat wajah tokoh-tokoh sesat itu berubah kelam. Apalagi ketika gadis cantik itu mengeluarkan ucapannya, yang bernada menghina.

"Perempuan Keparat..! Kurobek mulutmu...!” Setan Cebol tampaknya sudah tak mampu menahan kemarahannya setelah mendengar hinaan Dewi Kematian. Seketika tubuhnya langsung melesat dengan tamparan tangan kanannya yang siap meremukkan mulut Dewi Kematian.

“Hih...!”

Wutt!

“Haits...!” Dewi Kematian tentu saja tak mudah untuk diserang secara demikian. Sekali bergerak saja, serangan itu luput dan hanya mengenai angin kosong. Bahkan gadis cantik itu langsung mengirimkan serangan balasan dengan sebuah tendangan kilat yang mengejutkan!

“Hih...!”

Plakkk!

Setan Cebol memutar tamparannya yang gagal dan menangkis tendangan itu. Hingga tubuhnya mencelat mundur dengan telapak tangan terasa ngilu. Tahulah tokoh cebol ini kalau tenaga dalam Dewi Kematian masih berada diatasnya.

“Hi hi hi...!” Dewi Kematian yang melihat lawannya terdorong ke belakang, langsung tertawa-tawa cekikikan mengejek. Hal itu membuat wajah Setan Cebol berubah merah padam. Lelaki bertubuh gemuk pendek itu tentu saja tahu bahwa Dewi Kematian memang sengaja menghinanya dengan suara tawa itu.

“Hm..., mari kita bekuk perempuan liar itu, Setan Cebol! Tapi, jangan dibunuh dulu! Aku ingin menikmati kehangatan tubuhnya...” Kerbau Mata Satu yang sejak tadi sudah berkali-kali menelan air liur karena tergiur kecantikan dan keindahan tubuh Dewi Kematian, langsung menawarkan bantuan untuk mengeroyok wanita cantik berwajah dingin itu.

Setan Cebol tentu saja sadar, dirinya tak mungkin mampu mengalahkan Dewi Kematian kalau seorang diri. Maka lelaki pendek itu mengangguk, dan bergerak ke kanan. Sementara Kerbau Mata Satu sudah bergerak ke kiri. Keduanya mengapit Dewi Kematian dan siap menyerang perempuan cantik itu.

Dewi Kematian sama sekali tak memperlihatkan rasa gentar. Bahkan gadis itu tampak mulai mengatur kuda-kuda dan siap menghadapi keroyokan kedua orang tokoh sesat andalan Juragan Labang itu.

ENAM

“Hyaattt..!”

“Heaaa...!”

Kerbau Mata Satu dan Setan Cebol menerjang maju secara bersamaan. Tampaknya kedua tokoh sesat itu ingin membuat Dewi Kematian kebingungan dalam menghadapi serangan yang sekaligus dilakukan dari dua arah itu.

Namun Dewi Kematian bukan tokoh wanita yang dapat dianggap remeh, sehingga dengan mudah dapat roboh seperti yang mereka bayangkan. Meskipun usianya masih terbilang muda, gadis cantik itu sudah memiliki pengalaman bertempur yang cukup banyak. Sehingga, dalam menghadapi dua serangan sekaligus itu, sama sekali tak tampak gugup. Tubuhnya melenting ke udara dengan gerakan indah. Dan dari atas pedangnya menyambar secepat kilat mengancam Kerbau Mata Satu yang menyerang dari sebelah kirinya itu.

“Heaaa...!”

Bweet!

Kerbau Mata Satu yang gagal menyarangkan serangannya, bahkan terancam bahaya maut itu, tentu saja tersentak kaget bukan main! Dengan cepat dilemparkan tubuhnya ke belakang guna menyelamatkan diri. Sehingga, serangan pedang Dewi Kematian pun menemui kegagalan. Namun ilmu pedang yang dimiliki gadis cantik itu benar-benar di luar dugaan. Begitu cepat dan dahsyat.

Ketika serangannya kepada Kerbau Mata Satu gagal, pedang di tangannya berputar setengah lingkaran. Dan langsung menusuk ubun-ubun Setan Cebol. Semua itu dilakukan Dewi Kematian dengan posisi tubuh terbalik dengan kaki berada di atas. Gerakan yang sangat cepat itu membuat semua yang berada di halaman rumah Juragan Labang tergeleng-geleng kagum. Benar-benar mengagumkan ilmu pedang gadis cantik ini!

Wuutt!

“Heaaaa...!”

Tidak seperti Kerbau Mata Satu yang agak gugup dalam mengatasi serangan lawan, Setan Cebol terlihat tenang. Kendati ia tahu nyawanya terancam, lelaki pendek itu sama sekali tak merasa gugup. Dengan sebuah gerakan yang manis, tubuhnya meliuk dalam posisi kuda-kuda rendah. Tusukan pedang Dewi Kematian pun lewat setengah jengkal di belakang lehernya. Bahkan Setan Cebol yang memiliki gerakan cepat seperti setan itu, masih sempat mengirimkan sebuah tendangan yang mengarah kepala Dewi Kematian! Sayang serangan itu pun menemui kegagalan, karena tubuh Dewi Kematian sudah berjungkir balik dengan menotolkan ujung pedangnya ke tanah. Lalu meluncur turun dengan manis.

Pertarungan sengit pun berlanjut. Kendati kedua tokoh sesat itu berusaha keras untuk merobohkan lawannya, tetap saja mereka belum mampu melakukannya. Pertarungan cepat itu telah menginjak jurus yang ketiga puluh. Namun Dewi Kematian yang tak mudah untuk ditundukkan, terus melompat ke kanan dan kiri mengelakkan serangan lawan, sambil sesekali menangkis dan membalas serangan.

Sementara itu, Pendekar Naga Putih pun tampak menghadapi keroyokan Golok Tanpa Bayangan yang dibantu delapan belas orang kawannya. Namun keroyokan itu tentu saja tak berarti banyak baginya. Meskipun hanya mengandalkan tangan kosong, setiap senjata lawan yang datang mengancam, selalu saja terpental balik dan pemiliknya jatuh terjungkal. Karena kedua tangan Panji yang terlapisi kabut bersinar putih keperakan, sama sekali tak dapat dilukai pedang dan golok lawan.

Kenyataan itu membuat para pengeroyoknya menjadi gentar. Apalagi jika teringat bahwa pemuda itu seorang tokoh besar yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Sehingga, para tukang pukul Juragan Labang itu lebih banyak melompat menghindar ketimbang melancarkan serangan. Karena sepasang tangan Panji merupakan senjata yang ampuh untuk memukul roboh setiap lawan yang berani mendekat

Golok Tanpa Bayangan tentu saja merasa penasaran bukan main. Ilmu andalan yang telah membuat namanya ditakuti, ternyata sama sekali tak berarti menghadapi pemuda tampan berjubah putih itu. Sebab, serangan goloknya selalu kalah cepat dengan gerakan lawan. Selama kurang lebih sepuluh jurus ia menyerang dengan seluruh kemampuannya, tetapi tetap saja sia-sia. Bahkan dirinya nyaris terkena tamparan pemuda itu, yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung dalam upaya menyelamatkan diri.

“Haattt..!”

Kali ini Golok Tanpa Bayangan kembali menerjang maju, setelah terdiam sejenak memikirkan cara untuk melumpuhkan Pendekar Naga Putih. Begitu teringat akan Racun Kelabang Hijau-nya, timbul harapan baru dalam hati tokoh sesat bertubuh jangkung itu. Dirinya merasa yakin kalau kali ini lawan akan dapat dirobohkan.

Sedangkan para pengepung yang melihat sang Pemimpin kembali menyerang pemuda itu, beberapa di antaranya ikut melompat maju sambil membabatkan senjata masing-masing. Namun semua itu dapat dihalau dengan mudah oleh Pendekar Naga Putih. Kibasan tangannya yang mengeluarkan angin keras, membuat enam penyerang terpental balik dengan senjata berpatahan. Panji kembali berpaling menghadapi Golok Tanpa Bayangan.

Betapapun cepatnya gerakan tangan Golok Tanpa Bayangan saat mengeluarkan sapu tangan berwarna hijau dari balik pakaiannya, tetap saja tertangkap mata Panji. Pemuda itu langsung dapat menebak kalau lawannya hendak menggunakan Racun Kelabang Hijau untuk merobohkannya.

“Heaa!”

Beettt!

Sambaran golok yang merupakan tipuan itu sama sekali tak dipedulikan Panji. Karena matanya melihat gerakan yang tak bersungguh-sungguh sewaktu golok datang menyambar. Dugaannya tidak meleset. Karena sebelum senjata itu tiba, Golok Tanpa Bayangan segera menarik pulang senjatanya, sambil mengibaskan tangan kiri yang memegang sapu tangan berisi bubuk Racun Kelabang Hijau.

Namun Pendekar Naga Putih telah lebih dulu waspada. Begitu melihat adanya serbuk berbau harum memabukkan menyebar ke wajahnya, dengan cepat tangan kanannya dihentakkan ke depan. Begitu kuatnya angin pukulan yang diciptakan dorongan tangan Panji. Serbuk berwarna kehijauan itu tersapu balik dan mengenai wajah majikannya sendiri. Bahkan Panji masih menyusulnya dengan sebuah tendangan kilat...

“Hih...!”

Bukkk!

“Huakkhh!”

Blukk!

Golok Tanpa Bayangan yang gelagapan karena bubuk Racun Kelabang Hijau berbalik dan mengenai wajahnya, langsung terjungkal muntah darah akibat tendangan keras itu. Tubuhnya terbanting ke tanah dengan suara berdebuk. Tokoh sesat bertubuh jangkung itu bergulingan di tanah, karena bubuk racun itu pun telah mengenai kedua matanya.

“Aaaa...!”

Terdengar suara seperti api yang diceburkan ke dalam air. Dan dari sepasang mata Golok Tanpa Bayangan yang terpejam, tampak mengepul asap tipis berbau busuk. Rupanya bubuk beracun itu telah membutakan kedua mata majikannya. Hal itu membuat Golok Tanpa Bayangan langsung sekarat. Dirinya tak sempat mengingat untuk mengambil obat penangkal racun yang ada di dalam pakaiannya. Sehingga, dalam waktu yang tak terlalu lama, tubuh lelaki jangkung itu pun menggelepar lalu tewas termakan racunnya sendiri. Karena hampir semua racun yang ditebarkan terisap ke dalam tubuhnya.

Menyaksikan pimpinannya tewas, wajah para pengeroyok yang lain pucat ketakutan. Mereka yang masih tersisa kurang lebih enam orang, langsung saja mengambil langkah seribu mencari selamat masing-masing.

Pendekar Naga Putih berusaha untuk tidak melakukan pengejaran. Dirinya merasa lebih penting mencari Juragan Labang, yang menjadi biang keladi dari semua kesengsaraan penduduk Desa Kranggan. Maka, langsung saja tubuhnya melesat ke dalam bangunan.

Bagian dalam bangunan itu ternyata berisi barang-barang mahal yang kebanyakan berupa benda lukisan berbentuk indah. Pendekar Naga Putih menggeleng-geleng kepala melihat kemewahan hidup juragan tanah itu. Diperiksanya kamar-kamar yang cukup banyak terdapat di dalam bangunan. Sampai akhirnya dia menemukan seorang lelaki setengah baya berkepala setengah botak dan berperut buncit. Lelaki itu tengah bersembunyi di balik lemari pakaian, di salah satu kamar yang dihuni gundiknya.

“Ampun..., ampunkan aku, Tuan Pendekar...! Ambillah semua hartaku asalkan aku tak dibunuh...!” ratap Juragan Labang ketika Panji mencengkeram leher bajunya. Lalu diseretnya dari dalam kamar, tanpa mempedulikan perempuan setengah telanjang yang tampak ketakutan di sudut pembaringan.

“Aku bukan sebangsa perampok sepertimu, Juragan Labang! Tapi semua ini buah dari perbuatan serakah mu sendiri yang berbuat sewenang-wenang mengandalkan tukang-tukang pukulmu yang galak dan kejam itu!” bentak Panji sambil terus menyeret tubuh Juragan Labang keluar dari rumahnya.

Baru saja Panji tiba di ambang pintu, tampak Dewi Kematian berlari menyongsongnya. Rupanya gadis itu telah berhasil mengatasi kedua orang lawan. “Kerbau Mata Satu dan Setan Cebol berhasil melarikan diri dengan cara yang sangat licik!” tanpa diminta, Dewi Kematian langsung saja menjelaskan tentang kedua orang lawannya. Kemudian mengalihkan pandang kepada lelaki setengah baya berkepala setengah botak itu. “Hm..., inikah orang yang bernama Juragan Labang...?” tanyanya seraya menatap tajam penuh kebencian.

Panji tak perlu memberikan jawaban. Sebab, lelaki setengah baya yang dilepaskannya itu, langsung menjatuhkan diri berlutut di hadapan Dewi Kematian. Rupanya ia sudah mendengar dari para pembantu siapa sebenarnya wanita muda berwajah cantik itu.

“Hm..., manusia sepertimu tak pantas dibiarkan hidup lebih lama! Terimalah kematianmu, Jahanam!” begitu ucapannya selesai, Dewi Kematian langsung mengayunkan tangan siap mematahkan batang leher Juragan Labang. Namun, serangan itu tak sampai pada sasarannya, karena Panji lebih dulu menangkap lengan gadis cantik itu.

"Tunggu! Masih ada sedikit persoalan yang hendak kutanyakan kepadanya...!” cegah Panji ketika melihat sinar mata menentang dari Dewi Kematian.

Dengan helaan napas berat, Dewi Kematian mau juga menuruti keinginan Panji. Matanya menatap tajam wajah lelaki setengah baya berperut buncit itu dengan penuh ancaman.

“Jelaskan, kau punya hubungan apa dengan Kerbau Mata Satu dan Setan Cebol?” tanya Panji setengah membentak, membuat tubuh Juragan Labang semakin gemetar ketakutan.

“Mereka... mempunyai sebuah perkumpulan yang memerlukan biaya. Dengan janji akan memberikan perlindungan kepada keluarga ku, mereka datang menagih uang setiap minggu. Karena mereka jagoan-jagoan yang hebat, aku berikan apa saja yang mereka minta. Dan apabila diperlukan, mereka siap membantuku,” tutur Juragan Labang, yang tampaknya tak berani berbohong, karena nyawanya tergantung dari jawaban itu.

Mendengar jawaban itu, Pendekar Naga Putih dan Dewi Kematian saling bertukar pandang sejenak. Mereka tentu saja dapat menduga perkumpulan yang dimaksud tentu merupakan perkumpulan kaum sesat. Dan ada kemungkinan mempunyai kaitan dengan kekacauan yang belakangan ini meresahkan kalangan persilatan.

“Sekarang biar kuhabisi nyawa bandot tua ini...!” ujar Dewi Kematian yang siap mengirim pukulan maut ke kepala Juragan Labang. Namun niatnya tak disetujui Panji. Tentu saja gadis itu merasa penasaran.

“Labang!” panggil Panji tanpa mempedulikan sinar mata menentang dari Dewi Kematian. “Apakah kau sanggup bersumpah untuk merubah semua kelakuanmu apabila dibebaskan dari hukuman mati?” tanya Panji seraya mengangkat bangkit lelaki tua itu.

Sejenak Juragan Labang seperti tak percaya. Matanya menatap wajah pemuda tampan yang menjanjikan kehidupan kepadanya. Kemudian ganti menatap wajah Dewi Kematian. Namun buru-buru ia menundukkan wajahnya, karena sepasang mata gadis cantik berpakaian serba putih itu terasa seperti ujung pisau yang menikam jantungnya.

“Aku berjanji, Tuan Pendekar...,” jawab Juragan Labang dengan suara tersendat, namun kelihatan bersungguh-sungguh.

“Hm..., bagaimana kalau kemudian kau mengingkarinya...?” Dewi Kematian menukas cepat dengan suara dingin.

Tubuh lelaki berperut buncit itu kembali menggigil ketakutan. “Nyawaku sebagai taruhannya...,” jawab Juragan Labang tanpa berpikir lagi. Sebab hatinya sudah merasa lega mendengar tawaran kebebasan dari kedua orang itu.

“Hm..., kau yang berjanji, Labang! Dan jika kudengar kau mengingkari janjimu, aku akan datang untuk mengambil kepalamu!” ujar Panji yang membuat lelaki tua itu bergidik membayangkan kepalanya akan dipenggal dari tubuhnya.

“Aku berjanji... aku berjanji...!” jawab Juragan Labang sambil manggut-manggut seperti burung pelatuk

Panji percaya melihat kesungguhan Juragan Labang. Dia pun yakin kalau juragan tanah itu akan merubah semua kelakuan buruknya. Dengan isyarat gerakan kepala, diajaknya Dewi Kematian untuk meninggalkan tempat itu. Gerakan keduanya yang nyaris tanpa suara, membuat lelaki setengah baya itu tak sadar dan masih tetap menunduk. Padahal Pendekar Naga Putih dan Dewi Kematian telah lenyap dari tempat itu.

“Hm..., kau terlalu lemah, Pendekar Naga Putih!” ujar Dewi Kematian saat keduanya menerobos keremangan dengan langkah tidak terburu-buru.

“Dewi Kematian,” ujar Panji tersenyum, “Kita harus melihat mana yang patut untuk dibunuh, dan mana yang harus dibiarkan hidup! Aku percaya kalau Juragan Labang akan merubah semua kelakuannya. Tadi kulihat kesungguhan dalam ucapan dan sikapnya. Lagi pula kalaupun ia mengingkari, apa susahnya untuk datang dan mengambil kepalanya seperti yang aku katakan? Jelasnya, tidak semua penjahat harus dibunuh!” tegas Panji sekaligus memberi nasihat terselubung. Karena dirinya juga bermaksud agar Dewi Kematian tak lagi selalu membunuh setiap penjahat yang dijumpai.

“Jangan menggurui aku, Pendekar Naga Putih! Aku tahu apa yang harus kulakukan terhadap manusia-manusia busuk yang kerjanya menyusahkan orang lain!” Dewi Kematian menukas cepat dengan suara dingin dan penuh tekanan.

Panji menghela napas berat, karena tahu kalau gadis itu memiliki watak yang keras dan tak mudah diluruskan. "Tentu saja aku tak menggurui mu, hanya sekadar memberikan pandangan. Aku tak akan memintamu untuk merubah sikap yang selama ini kau yakini itu,” ujar Panji dengan nada perlahan. Kemudian dilemparkan pandangannya ke langit yang mulai terselimut kegelapan. “Sebaiknya kita mencari tempat menginap. Esok, pagi-pagi sekali aku harus segera meninggalkan desa ini.”

“Kau hendak pergi ke Bukit Dewa...?” tanya Dewi Kematian. Wajahnya tampak berubah ketika mendengar ucapan Panji yang seolah mengatakan ingin pergi sendiri tanpa perlu ditemani olehnya.

Panji mengangguk tipis, dan tidak berkata apa-apa lagi. Dewi Kematian pun diam seribu bahasa. Kelihatannya gadis itu merasa malu untuk mengatakan bahwa ia ingin menyertainya. Ucapan itu hanya disimpan di dalam hati. Dirinya tak ingin Pendekar Naga Putih menuduhnya tak tahu malu, karena ingin menyertai pemuda itu, yang berarti ingin selalu berdekatan.

Malam mulai menyelimuti bumi. Rembulan muncul setengah, menggantung di langit kelabu. Panji dan Dewi Kematian memasuki sebuah rumah penginapan yang cuma ada satu-satunya di Desa Kranggan. Beruntung masih ada tiga kamar yang tersisa. Sehingga, mereka tidak perlu mencari rumah penduduk untuk melewatkan malam itu.

********************

TUJUH

“Berhenti...!”

Sepuluh orang lelaki gagah serentak berhenti ketika mendengar suara bentakan keras menggelegar. Untuk sesaat, mereka saling bertukar pandang satu sama lain. Wajah mereka mencerminkan keheranan. Kendati demikian, kesepuluh lelaki muda itu tetap bersikap tenang. Seolah sama sekali tak merasa khawatir oleh suara bentakan yang jelas mengandung tenaga dalam kuat itu.

Sekitar lima tombak di hadapan sepuluh lelaki gagah itu, tampak belasan sosok tubuh berdiri menghadang jalan. Dengan wajah bengis para penghadang itu seakan mengancam. Tentu saja sikap yang jelas tidak menampilkan itikad baik itu membuat sepuluh lelaki gagah bersikap waspada. Bahkan beberapa di antaranya tampak meraba gagang pedang di pinggang.

“Hendak ke mana, kalian? Kelihatannya begitu tergesa-gesa?” tegur seorang lelaki berwajah keras, dengan kumis lebat sambil berkacak pinggang dengan lagak sombong. Seolah-olah ia tengah bertanya kepada anak buahnya, sedikit pun tak memandang sebelah mata kepada rombongan lelaki yang rata-rata bersikap gagah itu.

Seorang anggota rombongan yang berada paling depan, melangkah maju beberapa tindak, mewakili kawan-kawannya. Wajahnya yang dihiasi cambang dan kumis tipis tampak memancarkan kewibawaan. Tatapan matanya demikian tenang, menandakan bahwa lelaki berpakaian kuning itu memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Dia memang sengaja mendahului kawan-kawannya demi untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan.

“Maaf, Kisanak sekalian! Kami tengah menghadapi sebuah persoalan yang sifatnya sangat mendesak sekali. Harap Kisanak sekalian suka memberi jalan kepada kami!” ucap lelaki berewok itu dengan sikap sopan namun terdengar tegas.

“Hm..., kau kira kami tak tahu ke mana tujuanmu, Pendekar Cambuk Halilintar? Jangan heran kalau aku mengenal julukanmu! Dan, hutan ini merupakan satu- satunya jalan untuk menuju kaki Bukit Dewa. Nah, apa dugaanku salah?" Lelaki berkumis lebat itu tersenyum sinis, membuat lelaki berewok yang berjuluk Pendekar Cambuk Halilintar merasa terkejut, dan sadar bahwa orang-orang itu memang sengaja hendak mencari perkara.

“Siapa kalian sebenarnya? Dan apa maksud kalian menghadang perjalanan kami?” salah seorang anggota rombongan yang merasa tersinggung mendengar perkataan itu, langsung melangkah maju. Ditentangnya pandang mata lelaki berkumis lebat itu tanpa rasa gentar sedikit pun.

“Benarkah kau ingin tahu, Kisanak? Nah, dengarlah baik-baik! Kami murid-murid Perguruan Bukit Dewa yang akan menghalangi siapa saja yang hendak naik ke bukit Bagi siapa yang membantah. Hm..., aku akan mengantarkannya ke... akherat! Hah hah hah...!” lelaki berkumis tebal dan berpakaian merah itu tertawa terbahak-bahak, diikuti pula kawan-kawan di belakangnya.

“Setan...!” geram lelaki muda berusia sekitar dua puluh delapan tahun yang marah mendengar perkataan itu. Sepasang matanya memancarkan api seperti hendak membakar hangus lelaki berkumis lebat yang masih terbahak-bahak itu. Bukan hanya pemuda tinggi tegap itu yang tak bisa menahan kemarahan. Hampir semua anggota rombongan tampak sudah siap untuk bertarung mati-matian. Namun, Pendekar Cambuk Halilintar mencegah kawan-kawannya dengan melintangkan lengan.

“Hm..., aku tak percaya kalau kalian murid-murid Ki Sela Panda! Sebaiknya berterus-terang saja, atau menyingkir dan membiarkan kami melanjutkan perjalanan!” Pendekar Cambuk Halilintar berkata dengan lantang dan tegas. Bahkan jari-jari tangan kanannya sudah meraba gagang cambuk yang melingkar di pinggangnya. Jelas ia siap bertindak apabila para penghadang tetap berkeras.

“Hmh!” Lelaki berkumis lebat itu mendengus kasar. Dengan cepat tangannya meloloskan pedang kembar yang tergantung di punggung.

Sriingngng!

Cepat dan kuat sekali gerakan lelaki ini ketika meloloskan pedangnya. Seolah ia hendak memamerkan kepandaiannya di hadapan Pendekar Cambuk Halilintar dan kawan-kawannya.

“Sepasang Pedang Darah...?!” Pendekar Cambuk Halilintar tampak kaget ketika melihat sepasang pedang berwarna merah darah itu. Kilatan sinarnya terasa panas seperti api. Sehingga, ia bergeser mundur. Dirinya pernah mendengar tentang kehebatan tokoh sesat dari wilayah utara itu.

Sembilan orang lelaki gagah rombongan tokoh-tokoh persilatan yang hendak menuntut keadilan kepada Ki Sela Panda itu pun tampak kaget. Meski nama Setan Pedang Darah belum mereka dengar, tetapi kilatan sinar sepasang pedang itu membuat sebagian semangat mereka terbang. Hingga wajah mereka terlihat pucat Karena Sepasang Pedang Darah memang memiliki pengaruh yang menggetarkan. Terlebih warnanya yang seperti bara api itu. Memandangnya saja seolah terasa panas sekujur tubuh. Tokoh berkumis lebat yang berjuluk Setan Pedang Darah ini tak banyak cakap lagi. Dengan suara dengusan kasar, ia memerintahkan para pengikutnya agar bergerak maju.

“Habisi yang lainnya! Biar Pendekar Cambuk Halilintar bagianku!” perintah Setan Pedang Darah, lalu melangkah lebar menghampiri Pendekar Cambuk Halilintar.

Pendekar Cambuk Halilintar pun sadar bahwa lawannya seorang tokoh sesat ternama yang berhati kejam. Namun hatinya tak mengerti mengapa tokoh itu hendak membunuhnya. Senjata andalannya sudah tergenggam erat

Whuukk! Whuukk!

Cambuk di tangan lelaki berwajah berewok itu diputar di atas kepala, menimbulkan suara menderu-deru. Sementara itu kawan-kawannya sudah bertarung dengan para pengikut Setan Pedang Darah. Dia sendiri siap menghadapi tokoh sesat wilayah utara itu.

“Saaattt!”

Setan Pedang Darah membentak nyaring. Tubuhnya bergerak ke depan dengan langkah menyilang yang aneh, tapi cepat bukan main. Sepasang pedangnya tampak membentuk dua buah gundukan merah yang menimbulkan hawa panas menyengat

“Heaaa...!”

Jtarrr!

Glaarrr...!

Wuut! Wuukk...!

Pendekar Cambuk Halilintar tak mau kalah gertak. Senjatanya meledak-ledak menimbulkan suara menggelegar yang memekakkan telinga. Kalau saja lawannya bukan orang yang memiliki tenaga dalam kuat, pasti sudah menggeloso ke tanah, tak sanggup menahan suara ledakan yang berdentum-dentum itu.

Dalam sekejap mata saja, kedua tokoh dari dua golongan berbeda ini sudah saling serang dengan ganasnya. Namun, setelah dua puluh jurus kemudian, Pendekar Cambuk Halilintar tampak mulai terdesak oleh sambaran sepasang pedang lawan. Tubuhnya sudah mulai dibasahi peluh yang terus membanjir. Hawa panas yang sangat mengganggu itu membuat pikirannya terpecah. Hingga, gerakan cambuknya lebih sering kacau dan tak terarah. Hal itulah yang membuat tubuhnya terdesak serangan gencar lawan. Sehingga terpaksa bermain mundur sambil memutar cambuk melindungi tubuh.

“Saaattt...!”

Setan Pedang Darah yang melihat lawan sudah tampak tak berdaya, semakin mempergencar serangan. Sepasang pedangnya menyambar-nyambar mengeluarkan hawa panas menyengat

Beett! Wuuttt! Slats!

“Aaahhh...?!” Pendekar Cambuk Halilintar terpekik ketika melihat dua bentuk cahaya merah meluncur ke tubuhnya. Dengan cepat dilecutkan cambuknya guna menghalau serangan maut itu. Tapi....

Tasss! Tasss!

Seraut wajah Pendekar Cambuk Halilintar pucat ketika senjatanya terbantai putus menjadi tiga. Sedang- kan sepasang pedang lawan terus meluncur datang mengancam nyawanya.

"Pergilah ke neraka...!” ejek Setan Pedang Darah yang merasa yakin bahwa kemenangan akan segera diperolehnya. Tapi....

Whuuusss!

Saat kedua ujung senjata Setan Pedang Darah tinggal satu jengkal dari sasarannya, tiba-tiba terdengar suara angin menderu keras. Dan sebelum ia sadar akan suara itu, tahu-tahu kedua lengannya terpental menyeleweng dari sasaran. Bahkan tubuhnya terhuyung-huyung akibat lontaran pukulan jarak jauh yang kuat itu. Belum lagi, Setan Pedang Darah sempat memperbaiki kedudukan kuda-kudanya, sesosok bayangan putih berkelebat laksana sambaran kilat. Sosok bayangan itu turun di hadapan Pendekar Cambuk Halilintar.

“Pendekar Naga Putih...?!” Pendekar Cambuk Halilintar berseru penuh kelegaan dan kegembiraan. Karena dirinya telah kenal benar sosok pemuda tampan berjubah putih yang telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut barusan.

Mendengar nama Pendekar Naga Putih, Setan Pedang Darah tersentak kaget. Diangkat wajahnya menatap sosok yang memang Panji. Kemunculan pendekar muda itu membuat Setan Pedang Darah kelihatan cemas. Kedatangan pemuda itu jelas membuat pihak lawan menjadi jauh lebih kuat. Dirinya sadar, untuk melanjutkan niatnya sama saja dengan mencari penyakit Maka, mulutnya segera mengeluarkan suitan nyaring, sebagai isyarat kepada para anak buah agar meninggalkan tempat itu.

“Pendekar Naga Putih, jangan biarkan Setan Pedang Darah meloloskan diri! Ia harus menjelaskan alasannya menghadang kepergian kami ke Bukit Dewa...!” seru Pendekar Cambuk Halilintar.

Panji yang tak mengetahui duduk persoalannya, sejenak tertegun. Namun ketika teringat akan kekacauan yang belakangan ini telah meresahkan kaum persilatan khususnya golongan putih, langsung melesat mengejar Setan Pedang Darah. Pendekar Cambuk Halilintar tertegun menyaksikan kecepatan gerak Pendekar Naga Putih. Matanya dirasakan silau karena hanya sempat melihat kelebat bayangan putih. Tubuh Pendekar Naga Putih telah lenyap dari hadapannya.

“Luar biasa...! Pemuda itu dapat bergerak bagai kilat! Seolah ia pandai menghilang saja! Rasanya sangat sulit mencari orang yang setingkat dengannya. Padahal usianya masih terbilang sangat muda...!” gumam Pendekar Cambuk Halilintar dengan mata terbelalak kagum terhadap kecepatan gerak Pendekar Naga Putih.

“Setan Pedang Darah, berhentilah! Tak ada gunanya kau melarikan diri...!” bentak Panji ketika jarak di antara mereka tinggal tiga tombak lagi

Namun tampaknya tokoh sesat tak menuruti seruan Pendekar Naga Putih. Bahkan semakin menambah kecepatannya. Sehingga, jarak di antara mereka kembali terpisah sejauh enam tombak.

“Haiiitt...!”

Melihat Setan Pedang Darah semakin mempercepat larinya, Panji berseru nyaring. Seketika itu juga tubuhnya melambung ke udara. Dan setelah berjumpali-tan beberapa kali di udara tubuhnya meluncur turun. Begitu mendarat kakinya langsung menghentak, maka tubuhnya kembali melenting. Kali ini lewat di atas kepala lawannya.

Jlegg!

Setan Pedang Darah kaget bukan kepalang. Dirinya hanya merasakan sambaran angin di atas kepalanya. Namun tahu-tahu di depannya dalam jarak satu tombak, telah berdiri sosok Pendekar Naga Putih. Tokoh sesat itu tampak tertegun sesaat. Kemudian melesat menerjang maju dengan sepasang pedangnya yang menyambar-nyambar membawa hawa panas menyengat

Merasakan adanya hawa panas yang terasa menyengat kulit, Panji segera mengerahkan Tenaga Sakti Gerhana Bulan’-nya. Seketika itu pula tubuhnya terbungkus sinar putih keperakan yang menebarkan hawa dingin menusuk tulang. Dengan demikian, hawa panas yang keluar dari sepasang pedang lawan, tak lagi mengganggunya.

“Hih...!”

Bweet! Bweett!

“Hait!”

Ketika sepasang pedang yang berpijar seperti bara itu berkelebat menyambar, Panji menggeser tubuhnya ke kanan. Kemudian langsung mengirimkan sebuah tendangan cepat ke perut lawan.

Zzeebbb!

“Hait..!”

Setan Pedang Darah ternyata cukup tangkas. Melihat adanya tendangan yang datang mengancam perutnya, dengan cepat dilemparkan tubuhnya ke kiri. Gerakan itu disertai kibasan pedang di tangan kanannya, maksudnya hendak membabat kaki lawan. Sayang, lagi-lagi serangan itu gagal! Karena Panji sudah menarik pulang tendangan dengan menekuk lututnya. Dan begitu sambaran pedang lawan lewat, kakinya langsung dilepas kembali menghajar bahu kanan lawannya.

Buukkk!

Kendati tak terlalu telak, tendangan itu cukup untuk membuat tubuh Setan Pedang Darah terhuyung-huyung. Namun tokoh sesat itu mampu menguasai keseimbangan tubuhnya dengan baik. Dan kembali siap menghadapi lawannya.

“Sebaiknya kau menyerahlah, Setan Pedang Darah! Dan jelaskan apa yang membuatmu hendak membunuh Pendekar Cambuk Halilintar beserta rombongannya!” pinta Panji menatap tajam wajah lawannya, yang terpaksa menunduk. Sorot mata pemuda itu bersinar dan terasa menggetarkan dada dan membuat bulu kuduknya meremang.

“Mata pemuda itu seperti mata iblis saja...!” desis Setan Pedang Darah dalam hati. Dirinya tak mau menyerah begitu saja kepada Pendekar Naga Putih. Bahkan tanpa berkata sepatah kata pun dia menerjang maju dengan ganasnya.

“Hm..., rupanya kau lebih suka menghadapi kekerasan...!” desis Panji geram. Begitu pedang lawan tiba, tubuhnya langsung berkelebat lenyap, menyelinap di antara sambaran sepasang pedang maut itu. Kemudian sambil mengelak tangannya melancarkan tamparan yang menghembuskan hawa dingin menusuk tulang.

“Aaahhh...?!” Setan Pedang Darah terpekik kaget ketika kepalanya nyaris terkena tamparan pemuda itu. Dengan cepat dilemparkan tubuhnya lalu bergulingan sambil memutar pedang melindungi diri.

“Heaahh...!”

Melihat tubuh lawannya bergulingan menjauh, Panji cepat melompat lurus ke depan dengan menghentak kedua tangannya, melancarkan pukulan jarak jauh. Tepat pada saat itu tubuh Setan Pedang Darah melenting bangkit.

Breesshh...!

“Uuuhh...!” Setan Pedang Darah terpekik. Meskipun pukulan jarak jauh Pendekar Naga Putih berhasil diredam dengan kibasan sepasang pedangnya, tak urung tubuhnya terdorong mundur. Mulutnya meringis. Dirasakan dadanya begitu serak. Pendekar Naga Putih segera melancarkan serangan susulan, menendang perut lawan.

Buugk...!

“Huakkhh...!”

Tendangan keras mendarat telak pada sasarannya. Akibatnya tubuh Setan Pedang Darah terpental ke samping disertai semburan darah segar dari mulutnya. Tubuhnya terbanting ke tanah tanpa ampun. Sedangkan sepasang senjatanya terpental lepas dari genggaman. Dan sebelum sempat bangkit berdiri, Panji telah melepaskan totokan cepat yang membuat tokoh sesat itu mengeluh. Tubuhnya terkulai tak mampu bergerak. Hanya sinar matanya yang menatap Pendekar Naga Putih dengan penuh dendam dan kebencian.

Pendekar Cambuk Halilintar dan rombongannya berlarian mendatangi Panji. Rombongan itu tinggal delapan orang karena dua di antara mereka tewas terbunuh di tangan para pengikut Setan Pedang Darah, yang rata-rata berkepandaian tinggi.

“Syukurlah, kau berhasil menawannya, Pendekar Naga Putih...!” ujar Pendekar Cambuk Halilintar menghela napas lega melihat Setan Pedang Darah dalam keadaan terkulai lumpuh.

“Bagaimana dengan para pengikutnya?” tanya Panji kepada Pendekar Cambuk Halilintar.

“Mereka terpaksa kami bunuh! Karena sangat sulit untuk menawan mereka hidup-hidup. Dua orang kawan kami bernasib sial, tewas di tangan pengikut-pengikut Setan Pedang Darah...,” jelas Pendekar Cambuk Halilintar kepada Panji.

“Sebaiknya kita bawa saja Setan Pedang Darah ke atas Bukit Dewa. Biar dia akan menjelaskan maksud jahatnya di depan Ketua Perguruan Bukit Dewa,” usul Panji yang disambut anggukan kepala Pendekar Cambuk Halilintar dan kawan-kawannya.

“Benar, Pendekar Naga Putih! Karena Setan Pedang Darah ini semula telah mengaku sebagai murid Ki Sela Panda. Siapa tahu perbuatannya ini ada kaitan dengan sepak terjang Tongkat Delapan Naga yang telah menewaskan banyak tokoh persilatan, termasuk dua orang tokoh utama dari Perguruan Gunung Sumbing,” timpal Pendekar Cambuk Halilintar yang membuat Panji sempat terkejut.

Namun Pendekar Naga Putih menahan keinginannya untuk bertanya. Sebab, penjelasan tentang semua itu pasti akan didengarnya dari Setan Pedang Darah ataupun Ki Sela Panda, yang menjadi kakak seperguruan Tongkat Delapan Naga. Tanpa banyak cakap lagi, Panji langsung memondong tubuh Setan Pedang Darah. Bersama Pendekar Cambuk Halilintar dan rombongannya, mereka bergerak menuju Bukit Dewa.

********************

DELAPAN

“Saudara-saudara sekalian, harap kalian dapat bersabar dan menyerahkan persoalan ini kepadaku. Aku sendiri akan membawa adik seperguruanku yang telah berdosa itu ke hadapan kalian semua. Tapi, beri aku waktu untuk mencarinya...!”

Lelaki tua berusia sekitar tujuh lima tahun itu berkata dengan suara lantang. Di belakangnya tampak puluhan murid Perguruan Bukit Dewa berdiri dengan wajah diliputi ketegangan. Saat itu perguruan mereka kedatangan tokoh-tokoh persilatan yang menuntut keadilan atas tindakan Tongkat Delapan Naga, membunuhi banyak tokoh persilatan.

“Hei, Ki Sela Panda! Kami bukan tak percaya dengan kegagahan mu! Tapi, apa tak mungkin kau sengaja menyembunyikan adik seperguruanmu di dalam bangunan perguruan yang luas ini? Kalau kau merasa tuduhan kami tak benar, mengapa mencegah kami yang hendak menggeledah tempat ini? Sampai kapan kami harus menunggu janjimu itu?”

Seorang lelaki tinggi besar yang memegang sebuah kapak besar dan berat, berkata lantang, hingga didengar puluhan tokoh-tokoh persilatan yang hadir di tempat itu. Dan ucapannya mendapat dukungan dari lebih sebagian tokoh-tokoh yang ada di belakangnya.

“Saudara Kunta Laga!” ujar Ki Sela Panda dengan suara perlahan dan wajah membayangkan kedukaan yang dalam. Ditatapnya lelaki tinggi kekar itu dengan sinar mata sedih. “Sebagai seorang ketua perguruan, aku tentu tak akan mengingkari janji yang telah kuucapkan. Pantang bagiku berkata dusta! Harap kau beri kelonggaran kepada orang tua seperti aku ini! Aku berjanji akan menyeretnya ke hadapan kalian. Paling lambat sebelum purnama aku berusaha sudah menangkapnya...!”

"Tidak bisa! Kami minta agar kau menyerahkannya sekarang juga kepada kami!” seorang lelaki bermata sipit tampil ke depan. Wajahnya tampak menyiratkan kebencian dan dendam, "Tongkat Delapan Naga telah membunuh dua orang tokoh Perguruan Gunung Sumbing! Dan mereka adalah kakak-kakak seperguruanku! Tidakkah kau rasakan betapa sakit dan sedihnya hatiku ketika mengetahui bahwa pembunuh laknat itu seorang tokoh ternama yang jadi adik seperguruanmu!” lanjut murid Perguruan Gunung Sumbing itu berapi-api. Suara itu disambut para tokoh lainnya yang mendukung ucapan lelaki bermata sipit ini.

Mendengar ucapan itu, Ki Sela Panda menghela napas berat. Wajahnya tertunduk lesu. Dirinya merasa ikut berdosa atas perbuatan yang dilakukan adik seperguruannya. Meskipun belum menyaksikan sendiri, Ketua Perguruan Bukit Dewa tak kuasa mengatakan bahwa para tamunya berdusta dan hanya sekadar melempar fitnah.

"Tunggu apa lagi, ayo kita geledah tempat ini...!” lelaki bermata sipit itu berseru lantang, ketika melihat Ki Sela Panda tak bisa membantah ucapannya. Dan ia sudah bergerak maju diikuti puluhan tokoh persilatan, termasuk Ki Kunta Laga.

Melihat para tokoh persilatan itu memaksa hendak masuk, murid-murid Ki Sela Panda bergegas mencabut senjata dan berloncatan menghadang. Kedua belah pihak sudah sama-sama tegang dan siap saling serang. Tapi...,

“Hentikan semua ketololan ini...!”

Tiba-tiba terdengar sebuah seruan yang mengandung tenaga dalam yang luar biasa. Kedua belah pihak yang siap saling gempur, sama terkejut dan mengerahkan tenaga untuk menenangkan dada mereka yang terguncang. Kemudian sebelum orang-orang itu sadar dari keterkejutannya, tampak sesosok bayangan putih berkelebat dengan kecepatan luar biasa. Sosok bayangan itu mendarat ringan di hadapan tokoh-tokoh persilatan yang hendak menuntut keadilan.

“Pendekar Naga Putih...!”

Hampir setengah lebih dari tokoh-tokoh persilatan yang hadir di tempat itu berseni kaget. Karena sosok bayangan putih yang muncul itu ternyata Panji atau yang lebih dikenal sebagai Pendekar Naga Putih. Kehadiran tokoh muda yang banyak mendatangkan kekaguman di hati para tokoh persilatan itu sempat membuat ketegangan mereda untuk sementara.

“Kita tak boleh mengikuti amarah yang hanya akan mendatangkan penyesalan di kemudian hari! Aku berdiri di sini bukan untuk berpihak kepada siapa pun! Tapi, aku berpijak kepada kebenaran dan keadilan! Nah, marilah kita bicarakan hal ini dengan kepala dingin. Dan mudah-mudahan orang yang kubawa ini bisa memberikan keterangan penting yang kiranya akan dapat membawa titik terang bagi kita semua...!” ujar Panji dengan suara lantang, membuat semua tokoh yang hadir mau tak mau mendengarkan ucapan pendekar muda itu.

Ketika melihat semua tokoh yang hadir tak memberi tanggapan, Panji menoleh kepada Ki Sela Panda. Ketika itu matanya terbentur pada seraut wajah jelita seorang dara berpakaian serba hijau. Panji tersenyum, karena dara jelita itu tak lain Kenanga, kekasihnya. Dengan tersenyum, Kenanga bergerak menghampiri Panji.

“Syukurlah, kau keburu datang, Kakang! Sedikit saja kau terlambat, tempat ini pasti sudah menjadi lautan darah...,” ujar Kenanga yang tak menyembunyikan kebanggaannya atas perbuatan sang Kekasih yang telah mampu membuat suasana kembali tenang.

“Sudah kuduga, kau pun pasti ada di tempat ini, Kenanga...,” sambut Panji tersenyum menatap Kenanga yang sudah di depannya.

Pendekar Naga Putih kemudian didampingi kekasihnya menghadap Ki Sela Panda. Dirinya mengajukan usul untuk mengumpulkan tokoh-tokoh terkemuka guna membicarakan persoalan itu. Tak lupa Panji meminta maaf atas sikapnya yang telah lancang, tanpa izin dari Ki Sela Panda berbicara di depan tamu-tamu Perguruan Bukit Dewa.

Ki Sela Panda sendiri tersenyum penuh rasa syukur. Lelaki tua itu menyetujui usul pendekar muda yang semakin mendatangkan kekaguman di hatinya itu. Maka, segera diajaknya beberapa orang tokoh terkemuka untuk bersama-sama membahas masalah itu di dalam ruang pertemuan perguruan. Sedangkan tokoh-tokoh persilatan lain dipersilakan beristirahat menunggu keputusan yang akan disepakati bersama.

********************

Di bawah siraman sinar matahari yang terik, tampak serombongan orang bergerak meninggalkan bangunan Perguruan Bukit Dewa. Mereka adalah tokoh-tokoh persilatan yang hendak menyerbu markas golongan sesat, sekaligus mencari Tongkat Delapan Naga. Tokoh tua yang telah menggegerkan rimba persilatan dengan ulahnya. Kehadiran Pendekar Naga Putih yang berhasil meredam ketegangan serta permusuhan orang-orang segolongan itu, juga telah membawa titik terang.

Sebab, Setan Pedang Darah menceritakan segala hal yang dipertanyakan para tokoh persilatan di salah satu ruang Perguruan Bukit Dewa. Sebagai seorang tokoh golongan sesat, tentu saja Setan Pedang Darah lebih mementingkan keselamatan diri sendiri. Melihat betapa tokoh-tokoh sakti mengelilinginya dengan sinar mata penuh ancaman, tokoh sesat itu pun tak ragu-ragu untuk menjawab semua pertanyaan dengan jujur.

Apa yang diceritakan Setan Pedang Darah, membuat tokoh-tokoh persilatan menggeram marah. Tokoh sesat wilayah utara itu mengatakan bahwa golongan sesat segera bergabung setelah mendengar sepak terjang Tongkat Delapan Naga yang membunuhi kawan segolongan. Dengan licik, para tokoh sesat menemui Tongkat Delapan Naga dan mengangkat tokoh sakti itu menjadi pemimpin dari golongan sesat.

Tongkat Delapan Naga pun langsung menerima pengangkatan sebagai pemimpin itu. Padahal hal itu dilakukan golongan sesat dengan maksud untuk mengadu domba sesama golongan putih. Karena sepak terjang Tongkat Delapan Naga yang menggegerkan itu, tentu akan melibatkan Perguruan Bukit Dewa. Sehingga sudah pasti perguruan besar yang terkenal itu akan menjadi tumpahan kemarahan tokoh-tokoh persilatan golongan putih. Sayang, Tongkat Delapan Naga yang kelihatan agak kurang waras itu sama sekali tak menyadari kelicikan tokoh-tokoh sesat.

Setan Pedang Darah pun langsung memberikan petunjuk ketika Ki Sela Panda bertanya tentang letak markas yang didirikan kaum golongan sesat itu. Begitu mendapat gambaran, tokoh-tokoh persilatan yang dipimpin Ki Sela Panda, Pendekar Naga Putih, Pendekar Cambuk Halilintar, Kenanga, Ki Kunta Laga, dan banyak lagi tokoh-tokoh terkemuka lainnya, langsung bergerak menuju ke markas yang ditunjukkan Setan Pedang Darah. Tentu saja tokoh sesat itu dijadikan penunjuk jalan. Sebab, mereka belum yakin benar akan keterangan Setan Pedang Darah.

Kira-kira menjelang senja, tibalah rombongan tokoh persilatan itu di mulut sebuah hutan yang sangat lebat. Pepohonan besar tumbuh menjulang, membuat di dalam hutan itu hampir tak terkena cahaya matahari, saking rapatnya pepohonan yang tumbuh.

“Di dalam Hutan Kidul inilah markas kami didirikan...,” ujar Pedang Setan Darah yang menghentikan langkahnya di mulut hutan.

"Tunjukkan jalannya! Kami tentu belum percaya sepenuhnya kepadamu, Pedang Setan Darah! Siapa tahu hutan ini dipenuhi dengan jebakan maut!” ujar Panji sambil mendorong tokoh sesat itu agar lebih dulu masuk ke dalam hutan.

Setan Pedang Darah berjalan di depan. Para tokoh persilatan mengikutinya bergerak menerobos kelebatan pepohonan hutan. Ketika cukup dalam rombongan itu memasuki hutan, tanpa sepengetahuan tokoh-tokoh itu, Setan Pedang Darah sengaja menginjak sebuah jebakan yang memang banyak dipasang di sekitar hutan lebat itu.

Srats! Whuuukkk...!

“Haiittt..!”

Setan Pedang Darah sudah berseru dan melenting ke udara setelah menginjak jebakan itu. Saat itu juga, sebuah benda bulat yang besar dan dipenuhi benda-benda tajam, meluncur cepat ke arah rombongan.

“Awaaasss...!”

Panji yang sempat menangkap suara sambaran benda maut itu, segera berseru memperingatkan kawan-kawannya. Dan ketika melihat tubuh Setan Pedang Darah melesat hendak melarikan diri, langsung saja Panji mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk mengejar. Di udara ia melepaskan sebuah pukulan jarak jauh dengan pengerahan Tenaga Sakti Gerhana Bulan’-nya.

Wutt! Breesshh!

Pukulan jarak jauh yang sangat kuat itu menerjang tubuh bagian belakang Setan Pedang Darah. Hingga tubuh tokoh sesat yang licik itu terbanting ke tanah memuntahkan darah segar. Panji meluncur turun. Dengan telapak kaki, diinjaknya punggung Setan Pedang Darah yang hanya bisa meringis dengan wajah pucat. Namun apa yang tadi dilakukan Setan Pedang Darah ternyata telah membuat enam orang tokoh tewas.

Dua tersambar bola berduri karena tidak sempat menghindar. Empat lainnya yang melesat mengelak dari ancaman maut, telah menginjak jebakan lain saat mendarat di tanah. Dan jebakan itu mendatangkan belasan tombak yang meluncur dengan kecepatan tinggi. Sehingga, keempat tokoh itu tewas tertembus tombak.

“Setan Pedang Darah, tunjukkan jalan lain yang lebih aman! Jangan coba main gila jika masih ingin melihat matahari esok pagi!” bentak Panji menambah tekanan pada telapak kakinya.

Setan Pedang Darah terpekik kesakitan. Berat kaki Pendekar Naga Putih yang menekan punggungnya bagaikan tindihan seekor gajah. Lelaki berpakaian merah dan berkumis tebal itu mengangguk lemah. Melihat kesungguhan dalam pandang mata pendekar muda yang sakti itu, dirinya tak berani main-main lagi. Perlahan tubuhnya bangkit lalu berjalan membawa rombongan itu melalui tempat yang aman, hingga tiba di dekat sebuah bangunan tua yang cukup besar.

Setelah menotok pingsan Setan Pedang Darah, Pendekar Naga Putih menyusun penyerangan bersama tokoh-tokoh terkemuka. Rombongan dipecah empat kelompok. Masing-masing dipimpin oleh Ki Sela Panda, Pendekar Cambuk Halilintar, Kenanga, dan Ki Kunta Laga. Pendekar Naga Putih bergerak sendiri, karena mendapat tugas khusus dari Ki Sela Panda untuk mencari adik seperguruannya. Memang kepada Panji seoranglah Ki Sela Panda menjelaskan mengapa Tongkat Delapan Naga berlaku demikian keji terhadap kawan segolongan.

Setelah keempat kelompok itu bergerak dari empat jurusan, Panji langsung berkelebat dan bergerak masuk dari bagian depan. Hal itu dilakukan setelah telinganya mendengar suara-suara pertempuran, tanda bahwa mereka telah menyerbu masuk. Dengan kepandaiannya yang tinggi, tak sulit bagi Panji untuk bergerak tanpa menemui kesulitan yang berarti.

Kakinya melangkah memasuki bagian dalam bangunan tua itu untuk mencari Tongkat Delapan Naga. Di arena pertempuran tadi Panji sempat melihat adanya Kerbau Mata Satu dan Setan Cebol. Namun, hal itu sama sekali tak membuatnya terkejut. Sejak semula telah diduganya kalau kedua orang tokoh sesat itu pasti mempunyai kaitan dengan kekacauan yang terjadi di dunia persilatan.

“Heaattt...!”

“Yeaaa...!”

Ketika Panji memasuki bagian tengah bangunan, dari balik dinding tiba-tiba muncul delapan orang lelaki berwajah bengis yang langsung menerjang dengan senjata terhunus. Pendekar Naga Putih sama sekali tak merasa gugup. Kendati dilihat dari cara menyerang, mereka rata-rata memiliki tenaga yang cukup kuat dan kelincahan yang mengagumkan, semua itu dapat di- atasinya dengan baik.

Sambil bergerak melompat ke kanan dan ke kiri serta meliuk untuk mengelak dari babatan senjata, Panji mengirimkan tamparan dan pukulan. Serangan balasan itu membuat lawannya roboh satu persatu. Hingga, dalam sepuluh jurus saja kedelapan lelaki berwajah bengis telah tergeletak dengan tubuh luka parah.

“Hyaaattt..!”

Panji yang baru saja hendak kembali melangkah untuk mencari Tongkat Delapan Naga, tersentak kaget ketika mendengar suara bentakan mengguntur. Belum lagi ia sempat melihat sosok penyerang itu, sebuah sambaran angin kuat membuat Panji harus melemparkan tubuhnya ke belakang.

Whuukkk!

Baru saja kedua kakinya menginjak tanah, angin keras kembali menyambar dengan kecepatan tinggi. Karena untuk mengelak tak ada waktu lagi, Panji bergegas mengerahkan tenaga saktinya dan mengangkat tangan kiri untuk memapaki.

Dukkk!

Pendekar Naga Putih terkejut ketika lengannya yang dipakai menangkis, terasa panas dan nyeri. Bahkan kuda-kudanya sempat tergempur dua langkah ke belakang. Dan dalam keadaan tubuh belum seimbang Panji menyempatkan diri untuk melihat penyerangnya yang ia tahu memiliki kepandaian tinggi itu.

“Tongkat Delapan Naga...!” seru Panji terkejut dan juga girang. Sebab, orang yang dicari-cari justru datang menghampirinya.

“Heh heh heh...! Selamat berjumpa lagi, Pendekar Naga Putih! Kali ini kau tak mungkin dapat lolos dari kematian...!” ujar lelaki tua yang tak lain si Tongkat Delapan Naga. Tawa paraunya terdengar meningkahi deruan putaran tongkat yang menimbulkan hawa dingin di tempat itu.

“Tongkat Delapan Naga, aku mendapat perintah dari Ki Sela Panda untuk membawamu kembali ke perguruan. Kuharap kau tak menyalahkan apabila aku terpaksa bertindak lancang...!” ujar Panji yang segera menyiapkan ‘Ilmu Silat Naga Sakti’nya. Kali ini disimpannya ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’, dan mengerahkan ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’.

Karena sebagaimana yang dikatakan Ki Sela Panda, Tongkat Delapan Naga telah menderita keracunan pada jalan darah besar di kepalanya. Semua itu akibat usaha keras berlatih sebuah ilmu yang sangat sulit untuk dipelajari. Itulah yang menyebabkan Tongkat Delapan Naga terganggu pikirannya. Dan ketika Panji berjanji untuk berusaha mengembalikan kewarasan Tongkat Delapan Naga, Ki Sela Panda langsung meminta pendekar muda itu agar jangan sampai membunuh adik seperguruannya. Karena pada dasarnya Tongkat Delapan Naga bukan orang jahat.

“Hyaattt..!”

Tongkat Delapan Naga yang kelihatan kaget begitu mendengar ucapan Pendekar Naga Putih, berubah menjadi kemarahan yang meledak-ledak. Seketika tokoh tua itu melancarkan serangan dahsyat dari jurus-jurus mukjizat yang telah membuat otaknya terganggu. Kali ini Panji tak mau lagi mengalah. Tugas dari Ki Sela Panda memang berat. Namun ia harus dapat melumpuhkan Tongkat Delapan Naga tanpa harus membuat kakek itu terluka berat

Ki Sela Panda sendiri sudah menguji kepandaian Pendekar Naga Putih sebelum mengutarakan permintaannya. Dan ketika mendapati kenyataan bahwa kepandaian Pendekar Naga Putih dapat diandalkan, Ketua Perguruan Bukit Dewa itu yakin kalau tugas yang diberikannya dapat dijalankan dengan baik. Lelaki tua itu juga meminta agar kalau bisa Pendekar Naga Putih tidak sampai menewaskan adik seperguruannya. Tugas itu memang tak mudah. Dengan kepandaian Tongkat Delapan Naga yang sedemikian tinggi, sulit bagi Panji untuk melumpuhkan kakek itu tanpa membuatnya terluka.

Menghadapi gempuran-gempuran hebat yang mengandung hawa mukjizat, Pendekar Naga Putih tampak terdesak dalam jurus-jurus awal. Pemuda itu hanya bisa mengelak tanpa mendapat kesempatan untuk membalas. Karena sebelum sempat melepaskan serangan balasan, tongkat berkepala naga lawan selalu mendahului, memotong geraknya. Sehingga, Panji terpaksa harus mengerahkan kelincahannya agar tidak sampai celaka di tangan lawan.

“Heeaaa...!” Wuutt! Wuutt!

Tongkat Delapan Naga sendiri merasa penasaran bukan main. Meskipun berhasil membuat lawan terdesak, sampai sejauh itu senjatanya belum juga berhasil mengenai sasaran. Dan ini membuat serangannya semakin bertambah ganas!

“Haaaiiittt..! Heaa...!”

Sadar bahwa kalau dibiarkan lama-lama dirinya bisa celaka, Pendekar Naga Putih memutuskan untuk mengerahkan jurus-jurus pamungkasnya. Tubuhnya melenting ke udara untuk kemudian meluncur turun dengan kecepatan kilat Sepasang tangannya berputaran cepat membentuk gulungan sinar yang menyilaukan mata, hingga lawan sulit menduga serangan itu. Sebab sepasang tangan bahkan tubuh Panji sangat sulit untuk dilihat jelas.

“Hih...!”

Brretts!

“Ehh...!”

Tapi, Tongkat Delapan Naga memang nyata bukan tokoh sembarangan! Jurus ‘Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi’ yang selama ini tak pernah gagal, dapat dihalau dengan baik oleh sambaran tongkat kepala naga kakek itu. Benturan keras pun tak dapat dihindarkan lagi. Meski serangan itu gagal, tubuh Tongkat Delapan Naga tak urung tergetar mundur sejauh satu tombak.

“Heeaattt..!”

Kesempatan baik itu tak dilewatkan begitu saja oleh Panji. Dengan cepat kedua tangannya bergerak melakukan dorongan sambil mengerahkan ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ seluruhnya.

Brressh!

“Aakh...!”

Blukk!

Tongkat Delapan Naga yang sama sekali tak menduga serangan itu, terpekik ngeri. Pukulan dahsyat lawan menghantam telak tubuhnya. Tubuh lelaki tua itu pun terlempar ke belakang hingga menabrak dinding, dan terbanting ke tanah. Sekujur tubuhnya terbungkus sinar kuning keemasan yang memancarkan hawa panas membakar.

Melihat hal itu, Pendekar Naga Putih menghela napas lega. Kakinya baru melangkah setelah sinar kuning keemasan yang membungkus tubuh lelaki tua itu lenyap, tanda bahwa tenaga mukjizat yang dilontarkan telah seluruhnya merasuk ke dalam tubuh lawan. Hati Panji yakin kalau kekuatan mukjizat yang ajaib itu akan dapat menyembuhkan kegilaan Tongkat Delapan Naga.

"Pendekar Naga Putih...!”

“Kakang...!”

Dua sosok tubuh bergerak menghampiri Pendekar Naga Putih tengah memondong tubuh Tongkat Delapan Naga. Mereka Ki Sela Panda dan Kenanga. Yang satu mengkhawatirkan adik seperguruannya, sedang yang satunya lagi mengkhawatirkan keselamatan ke- kasih pujaan hatinya.

“Syukurlah kau tidak apa-apa, Kakang,..!” Kenanga menghela napas lega seraya melingkarkan lengannya ke lengan Panji.

“Tidak perlu cemas, Ki. Ia cuma pingsan untuk beberapa saat saja. Dan setelah sadar nanti, mudah-mudahan ia akan sembuh seperti sediakala...!” jelas Panji ketika melihat kecemasan membayang di wajah Ki Sela Panda. Kemudian langsung menyerahkan tubuh Tongkat Delapan Naga kepada kakek itu. Tak lupa Panji menyerahkan beberapa butir pil berwarna putih salju yang berkhasiat untuk memulihkan tenaga dalam. Serta diberikan beberapa petunjuk cara pemakaian obat itu.

Tiba di luar bangunan, Pendekar Naga Putih melihat pertempuran telah selesai. Mayat-mayat bergelimpangan saling tumpang tindih. Sedangkan para tokoh persilatan tengah sibuk mengurus kawan-kawannya yang terluka ataupun tewas. Panji juga melihat adanya belasan orang tokoh sesat yang menyerah. Hatinya kagum terhadap sikap para tokoh persilatan itu karena ternyata masih mau mengampuni lawan-lawan yang menyerah kalah. Bahkan tokoh-tokoh sesat yang tertawan dibebaskan setelah berjanji akan mengubah jalan hidup yang selama ini dipenuhi dosa itu.

“Kurasa sudah waktunya kami mohon diri, Ki...” Pendekar Naga Putih menoleh kepada Ki Sela Panda, mohon pamit setelah merasakan bahwa Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ telah merasuk kembali ke dalam tubuhnya. Tak seorang pun yang mengetahui, juga Kenanga! Karena memang hanya dirinya yang tahu kepulangan tenaga mukjizat itu ke dalam tubuh. Dan itu pun berarti bahwa Tenaga Inti Panas Bumi telah dapat memusnahkan keracunan yang diderita tokoh ternama Perguruan Bukit Dewa itu.

Ki Sela Panda baru saja hendak mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Pendekar Naga Putih, ketika dilihatnya sosok pemuda perkasa itu telah berkelebat pergi membawa Kenanga, kekasihnya. Panji dan Kenanga sama sekali tak tahu betapa sepasang mata bening yang basah mengiringi kepergian mereka.

Pemilik mata yang menggambarkan kekecewaan itu tak lain Dewi Kematian, yang datang terlambat ke tempat itu. Saat ia datang, pertempuran sudah usai, dan ketika melihat sosok Pendekar Naga Putih berdiri di samping Ki Sela Panda serta dara jelita berpakaian serba hijau, dirinya tak berani menghampiri. Karena melihat betapa dara jelita berpakaian serba hijau itu memandang mesra dan manja kepada pemuda tampan berjubah putih yang diam-diam telah menawan hatinya itu.

“Hhhh...” Dewi Kematian menghela napas berat ketika bayangan pasangan pendekar muda itu lenyap dari pandangan. Kakinya melangkah gontai meninggalkan tempat itu. Dirinya tak lagi mempedulikan tokoh-tokoh persilatan yang saat itu masih sibuk menguburkan mayat-mayat kawan maupun lawannya.

Rasa kecewa melihat Pendekar Naga Putih ternyata telah mempunyai gadis pilihan yang cantik jelita bagaikan bidadari, membuat wajah Dewi Kematian menjadi semakin membeku. Bibirnya terkatup rapat, tak lagi mengulas senyum seperti ketika tengah melakukan perjalanan bersama Pendekar Naga Putih. Dan kini semua tinggal kenangan manis yang tak mungkin dapat terulang lagi.

S E L E S A I