Serial Pendekar Naga Putih
Episode Petualang Sakti
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode Petualang Sakti
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
SATU
SUARA gemericik air terdengar menggoda telinga. Ditingkahi dengan celoteh manja gadis-gadis desa yang tengah mencuci dan membersihkan tubuh di sungai. Semua menyatu dengan kebeningan dan kesegaran udara pagi itu. Namun, keceriaan dan keheningan pagi yang indah itu tiba-tiba dirusak oleh suara tawa parau yang tidak enak didengar.
Karuan saja gadis-gadis yang tengah berada di sungai terkejut! Mereka segera membenahi cuciannya ke dalam keranjang dan bergegas melangkah meninggalkan tempat itu. Karena....
“Hua ha ha...!”
Bersamaan dengan suara tawanya yang kembali terdengar, muncullah sesosok tubuh dari balik semak-semak. Dengan pongah, lelaki berwajah kasar yang sebelah matanya tertutup kulit binatang dan diikatkan ke kepalanya itu berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Matanya yang tinggal sebelah memandang ke arah gadis-gadis yang tengah berlarian seraya berteriak-teriak ketakutan.
“Gayatri, cepat benahi pakaianmu! Kita harus segera pergi sebelum orang jahat itu menghampiri tempat ini!” seorang gadis yang hendak berlari meninggalkan tempat itu berusaha mengingatkan kawannya akan adanya bahaya.
“Sebentar! Aduuuhhh!” Karena terburu-buru melangkah di atas bebatuan yang licin berlumut, gadis bernama Gayatri itu terpeleset dan jatuh ke sungai.
“Tolooong!” Gayatri berteriak dan berusaha menggapai apa saja yang terjangkau tangannya. Meskipun sungai itu tidak begitu dalam, hanya sebatas pinggang, namun dasarnya berbatu licin. Hingga gadis desa itu sulit untuk bangkit berdiri. Apalagi dalam keadaan panik seperti itu. Akibatnya, Gayatri terseret arus yang cukup deras.Tak satu pun dari kawan-kawannya yang mempedulikan nasib Gayatri. Mereka sibuk menyelamatkan diri masing-masing. Tinggallah gadis manis berkulit kuning langsat itu sendirian terbawa arus.
Nasib gadis desa itu rupanya masih cukup baik. Setelah terseret sejauh dua batang tombak, ia berhasil menjangkau sebuah batu yang menonjol di atas permukaan air. Cepat gadis itu menarik tubuhnya dan bersandar pada batu yang cukup besar itu. Dengan napas terengah-engah dan tubuh terasa lemas tak bertulang, Gayatri berpegangan erat memeluk batu itu. Sepasang matanya yang bening menatap berkeliling mencari tumpuan agar bisa naik ke tepi. Tapi....
“Ohhh...?!” Gayatri menutup mulutnya menahan jeritan ketika sepasang matanya membentur sesosok tubuh berwajah beringas. Wajah gadis itu langsung pucat pasi! Sepasang matanya berputar liar bagai seekor kelinci ketakutan!
“Naiklah, Gayatri. Aku akan menolongmu...,” ujar lelaki berwajah beringas dan bermata liar. Kendati matanya tinggal sebelah, tapi kelihatan menakutkan. Lelaki itu mengulur tangannya hendak menolong Gayatri.
“Tidak! Jangan dekati aku...! Pergi!” Rasa takut Gayatri semakin memuncak ketika lelaki itu mengulurkan tangannya. Gadis itu berteriak-teriak. Langkahnya surut ke belakang. Kepalanya digeleng-gelengkan dengan air mata mengalir turun membasahi wajahnya yang sudah basah oleh air sungai. Kasihan sekali gadis itu. Jelas ia sangat ketakutan dan hampir jatuh pingsan karena hebatnya rasa takut yang menyergapnya.
Tapi, lelaki berwajah beringas itu tidak peduli. Ia tertawa-tawa seperti mendapat mainan yang sangat menyenangkan. Ketika melihat gadis itu menjauh, lelaki itu pun turun ke sungai menghampiri gadis itu.
“Pergiii...! Pergiii...!”
Gayatri mengibas-ngibaskan tangannya mengusir lelaki beringas itu. la merasa serba salah. Mundur ke belakang dan melepaskan pegangannya pada batu itu jelas tubuhnya akan terseret arus sungai. Gayatri tidak menginginkan hal itu terjadi lagi. Sedangkan untuk maju, lelaki beringas itu sudah menanti dan siap menerkamnya seperti seekor harimau lapar! Akhirnya, Gayatri hanya bisa diam menunggu apa yang akan menimpa dirinya.
“Kena!” Lelaki berwajah beringas itu berteriak kegirangan. Ia berhasil mencekal lengan gadis malang itu. Tawa paraunya terdengar saat lelaki itu menyeret tubuh Gayatri ke tepi sungai.
“Jangan, Kakang...! Kasihani aku...!” Sambil berusaha melepaskan lengannya dari cekalan lelaki itu, Gayatri merintih memilukan. Untuk berteriak ia tidak sanggup lagi. Suaranya sudah habis dan serak. Gadis malang itu hanya bisa merintih dengan suara memelas mengharapkan lelaki itu mau melepaskannya.
“Jangan menangis, Gayatri. Aku tidak akan menyakitimu. Aku sayang dan suka kepadamu. Kita akan pergi ke dalam hutan agar tidak ada orang yang mengganggu...!” tanpa mempedulikan isak tangis gadis itu, dipondongnya tubuh Gayatri dan dibawa pergi dari tempat itu. Dekapannya demikian kuat, membuat usaha Gayatri untuk melepaskan diri sia-sia belaka.
Caranya bergerak dapat diketahui lelaki bermata satu itu memiliki kepandaian yang tidak rendah. Selang beberapa saat saja sosoknya sudah merupakan bayangan samar di kejauhan. Kemudian lenyap menuju arah tenggara.
Serombongan penduduk Desa Jatilarang berlarian melintasi jalan setapak yang di kiri dan kanannya ditumbuhi ilalang setinggi lutut Kemudian mereka bergerak turun ke dataran yang lebih rendah. Terdengar gemericik air yang menandakan kalau di tempat itu terdapat sungai.
“Gayatriii...!” Seorang anggota rombongan yang memegang golok pada tangan kanannya melompat sambil memanggil nama seorang gadis. Lalu berdiri tegak mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Namun, sosok yang dicarinya tidak terlihat.
“Di mana tadi kau meninggalkan putriku...?” karena tidak juga menemukan orang yang dicarinya, lelaki berwajah kehitaman itu mengalihkan pandangannya kepada seorang gadis. Dan bertanya dengan nada tinggi.
“Tadi ia terjatuh ke sungai...,” sahut gadis itu sedikit terkejut dengan pertanyaan bernada tinggi itu. Ia meremas jemari tangannya yang agak gemetar.
“Cepat menyebar ke timur! Barangkali Gayatri terbawa arus...!” perintah itu datang dari laki-laki lain yang berusia kira-kira empat puluh tahun. Tangan kanannya yang memegang pedang menuding ke arah timur.
Tanpa membuang-buang waktu, beberapa penduduk bergerak menuju arah yang ditunjuk. Sedang sebagian lainnya melangkah ke arah yang berlawanan. Sementara itu, ayah Gayatri melangkah turun ke sungai. Diambilnya beberapa potong pakaian yang tercecer di atas bebatuan.
“Gayatri...,” lelaki itu mengeluh pendek dengan suara serak. Ia mengenali pakaian yang dibawa putrinya. Karena tidak juga menemukan tanda-tanda adanya Gayatri di sungai itu, ia kembali bergerak naik. Kemudian mengedarkan pandangannya ke atas tepian sungai yang berupa hamparan semak belukar dan rerum- putan. Ada gambaran putus asa dalam wajah tua yang kehitaman itu.
“Paman...,” gadis yang datang bersama rombongan penduduk menghampiri lelaki tua itu. “Mungkin Gayatri dilarikan Mantara...,” sambungnya takut-takut.
Jelas terlihat orang tua itu terkejut ketika gadis itu menyebutkan nama Mantra. Dipandanginya gadis itu lekat-lekat Membuat yang ditatap semakin dalam menundukkan kepala. Sebelum lelaki tua itu mengucapkan sesuatu, terdengar langkah orang banyak mendatangi dari dua arah. Pancaran wajah mereka menunjukkan Gayatri belum diketemukan.
“Putriku dibawa lari Mantara...!” ujar lelaki tua itu seolah hendak memberi laporan kepada kawan-kawannya.
“Hm.... Benarkah orang gila itu muncul lagi di desa ini...?” laki-laki bertubuh gagah yang memegang pedang bergumam dengan kening berkerut. Setelah terdiam sesaat, ia kembali melanjutkan ucapannya. “Kalau benar Gayatri dilarikan Mantara, mari kalian semua ikut aku...”
Tanpa banyak cakap, rombongan penduduk itu pun bergerak menuju arah tenggara. Tampaknya lelaki gagah yang membawa pedang itu tahu di mana Mantara tinggal. Sementara yang lainnya menuju sebuah hutan di sebelah tenggara Desa Jatilarang, gadis berlesung pipit yang ikut dalam rombongan diantar pulang oleh salah seorang penduduk.
Tanpa setahu rombongan penduduk Desa Jatilarang, ada sesosok tubuh tegap mengikuti mereka sejak dari desa. Rupanya ia tertarik melihat rombongan orang desa berlarian dengan sebagian besar membawa senjata. Sosok itu mengikutinya sampai ke sungai. Bahkan saat rombongan penduduk bergerak menuju tenggara, ia masih mengikuti. Melihat gerakannya yang gesit, agaknya sosok terbungkus pakaian merah darah itu bukan orang sembarangan!
“Hua ha ha...!” Lelaki berwajah beringas dan bertubuh tinggi kekar dengan sebelah mata tertutup itu memperdengarkan tawanya yang parau. Langkahnya terdengar agak berdebum saat telapaknya yang besar bergantian menjejak tanah. Dan baru berhenti di sebuah gubuk sederhana tempat persinggahan para pemburu.
“Nah, kita sudah sampai, Adik Gayatri yang cantik...,” ujar lelaki bermata satu dengan suara parau dan berat. Kemudian melempar tubuh Gayatri keatas tumpukan jerami kering.
Gayatri mengeluh pendek. Walau tubuhnya tidak merasa sakit, namun hatinya terluka saat lelaki bermata satu itu melemparkannya ke atas tumpukan jerami kering.
“Kasihani aku, Kakang Mantara.... Jangan sakiti aku...,” Sambil menelungkupkan wajahnya di atas tumpukan jerami, Gayatri terus merintih dengan air mata berlinang membasahi wajahnya.
Tapi, Mantara hanya tertawa dan melompat-lompat seperti anak kecil. Melihat matanya yang liar serta sikapnya yang kurang ajar, jelas Mantara agak kurang waras. Dengan langkah lebar, Mantara bergerak menghampiri Gayatri. Pakaian rompinya dilepaskan, sehingga memperlihatkan dadanya yang kekar berotot dan ditumbuhi bulu-bulu halus. Kemudian tubuhnya dijatuhkan di samping gadis itu, yang menjadi semakin ketakutan. Apalagi ketika lengan yang besar dan berbulu itu melingkari tubuhnya. Gadis itu meronta dan berusaha melepaskan diri.
Perlawanan yang dilakukan Gayatri malah membuat Mantara semakin bernafsu. Jari-jari tangannya yang kasar menggerayangi tempat-tempat terlarang di tubuh gadis desa itu. Pakaian Gayatri pun direnggutnya!
Brettt..!
“Auuuwww...!” Gayatri berteriak ngeri merasakan pakaian pada bagian dadanya terkoyak, menampakkan dua bukit kembar yang putih mulus. Mantara pun semakin bertambah ganas dan kasar. Tidak dipedulikannya teriakan maupun sumpah-serapah gadis malang itu. Mantara benar-benar telah kerasukan setan!
Apalah daya gadis lemah seperti Gayatri menghadapi Mantara yang bertubuh kekar dan memiliki tenaga raksasa. Akhirnya gadis itu tak bisa lagi berteriak dan memberontak. Tubuhnya terasa lemas oleh pelukan Mantara. Suaranya pun sudah serak, nyaris tak terdengar lagi. Tapi pada saat Mantara hampir berhasil memuaskan nafsu setannya, tiba-tiba terdengar bentakan keras!
“Jahanam...!” Bersamaan dengan bentakan itu, seorang lelaki tua datang menerjang dengan golok telanjang! Senjata berkilat itu terayun deras ke punggung Mantara!
Wuttt, crakkk...!
“Aaakh...!” Mantara memekik kesakitan! Darah meleleh dari luka akibat bacokan itu. Tapi, ketajaman golok itu sepertinya tidak terlalu berarti bagi Mantara. Luka yang diderita lelaki kekar itu tak ubahnya sayatan pisau. Mirip sebuah goresan sepanjang setengah jengkal. Meskipun luka bacokan di punggungnya tidak begitu berarti, namun sudah cukup membuat Mantara meraung murka. Seketika itu juga nafsu iblisnya lenyap, berganti dengan kemarahan yang menggelegak dan menyesakkan dada. Mantara melompat bangkit dan berbalik dengan wajah merah padam!
“Ayaaah...?!” Gayatri yang nyaris menjadi korban kebiadaban Mantara berseru lirih. Tubuhnya diseret merapat ke dinding pondok. Kedua tangannya sibuk menaikkan pakaiannya yang terkoyak. Gadis itu berhasil menutupi bagian dadanya yang terbuka.
Sedangkan orang tua itu sendiri tidak lagi memperhatikan putrinya. Ia benar-benar marah melihat perbuatan lelaki kekar itu terhadap Gayatri. Dan tidak lagi teringat akan rasa takutnya pada orang gila itu.
“Kau sungguh biadab, Mantara! Rupanya kepergianmu selama ini bukannya membuat pikiranmu waras! Kegilaanmu malah semakin menjadi-jadi! Orang sepertimu tidak pantas dibiarkan hidup di atas muka bumi ini...!” bantah ayah Gayatri yang kemarahannya sudah mencapai ubun-ubun. Golok di tangan kanan-nya tampak bergerak, dan siap dihujamkan ke tubuh lelaki kekar yang kurang waras itu.
Mantara menggeram bagai banteng luka. Matanya yang hanya sebelah berputar liar. Saat itu ia sudah terkurung oleh kurang lebih dua puluh orang bersenjata!
“Hmh...!” Dengan menggeram keras, Mantara bergerak ke de-lpan mengayunkan kepalan kanannya ke arah orang tua Gayatri. Rupanya ia ingin membalas perbuatan orang tua itu.
Namun, orang tua yang tengah dilanda kemarahan hebat itu sedikit pun tidak merasa gentar. Disambutnya kepalan Mantara dengan tebasan golok. Ia ingin membabat putus lengan lelaki kekar itu. Dan....
Takkk!
“Uhhh...?!”
Tebasan golok orang tua itu tepat mengenai pergelangan tangan Mantara. Tapi yang terjadi kemudian benar-benar membuat penduduk Desa Jatilarang terperanjat dengan wajah pucat! Lengan Mantara tetap utuh! Justru golok lawanlah yang terpental balik. Tubuh orang tua itu terjajar mundur beberapa langkah!
“Gila...! Dia..., kebal terhadap senjata tajam?!” seru salah seorang penduduk yang bergerak mundur dengan hati gentar!
“Kurang ajar...!” rupanya setelah menjalani kehidupan liar di dalam hutan, tubuhnya bertambah kuat...!” lelaki gagah yang memegang pedang pun terperanjat kaget melihat kejadian yang tidak pernah disangkanya itu.
Mantara sedikit pun tidak mempedulikan seruan-seruan kaget pengepungnya. Ia segera menerkam tubuh lawan dengan sepasang lengan terkembang. Dan...
“Hekh !!.!” Sepasang lengan berjari-jari kokoh itu mencekik batang leher lawan. Orang tua itu meleletkan lidah merasakan jalan nafasnya tersumbat cekalan sekeras japitan baja!
“Hattt...!” Untunglah lelaki gagah itu tidak tinggal diam. Pedang di tangannya langsung disabetkan ke lengan Mantara.
Wuttt.., takkk!
Lagi-lagi lelaki gagah itu harus menerima kenyataan yang mengejutkan! Kendati cekalan Mantara berhasil lepas, namun lengan lelaki kekar itu tetap utuh! Hanya terdapat bilur-bilur merah bekas tebasan mata pedang. Jelas sudah Mantara memiliki kekebalan tubuh yang hebat!
Tapi meskipun kulit tubuhnya tidak mudah terluka, terutama saat Mantara mengerahkan tenaga, tapi rasa sakit tetap dirasakannya. Terbukti ia sempat mengusap lengannya yang terkena babatan pedang. Wajahnya pun berkerut seperti sedang menahan sakit. Mantara menatap garang lelaki gagah yang kini berdiri di hadapannya. Mulutnya bergerak-gerak seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi, yang terdengar hanya geraman kemarahan.
Lelaki gagah itu rupanya tahu apa yang hendak diucapkan Mantara. Sebab kemudian ia berkata kepada lelaki kekar yang tidak waras itu. “Kau masih ingat kepadaku, Mantara,” tegur lelaki gagah yang dijawab Mantara dengan menggeram keras! Urat-urat wajah lelaki kekar itu tampak mengembung. Sinar matanya memancarkan dendam yang dalam!
“Menyesal aku tidak membunuhmu pada waktu itu! Aku sengaja membuangmu ke dalam hutan. Karena aku masih berharap kau dapat sembuh dan kembali hidup normal. Ternyata setelah berdiam di hutan selama setahun lebih, kegilaanmu semakin menjadi-jadi! Sifatmu yang suka mengganggu dan menyakiti orang lain malah meningkat! Sekarang kau hendak menyakiti dan menodai kehormatan Gayatri! Untuk perbuatan biadab mu itu terpaksa kau harus dilenyapkan!” lanjut lelaki gagah itu yang rupanya pernah mengalahkan dan menghajar Mantara setahun yang silam, lalu membuangnya ke dalamhutan.
Sebenarnya sosok Mantara tidak asing lagi bagi mereka. Lelaki kekar itu adalah penduduk Desa Jatilarang. Pada dasarnya lelaki kekar itu memang sangat sombong dan sering berkelahi. Sehingga tidak ada satu pun penduduk yang berani menentangnya. Terlebih setelah Mantara gila. Setelah gagal mengikuti ujian menjadi perwira kerajaan.
Meskipun kegilaannya hanya kadang-kadang, namun sangat mengganggu ketenteraman penduduk. Sehingga, lelaki gagah yang menjadi tangan kanan Kepala Desa Jatilarang terpaksa turun tangan. Lelaki tinggi kekar itu akhirnya dibuang ke dalam hutan, dan diancam bila berani kembali ke desa.
Tapi setelah setahun lebih berdiam di dalam hutan, kegilaan Mantara semakin menjadi-jadi. Tidak jarang ia menghadang orang-orang yang lewat di pinggir hutan. Kemudian lari bersembunyi saat lelaki gagah itu datang bersama penduduk.
Siapa sangka kalau akhirnya Mantara berani memasuki desa. Malah menculik Gayatri, dan nyaris menodai gadis malang itu. Bahkan kali ini ia tidak kelihatan gentar menghadapi orang yang pernah menghajarnya. Selain itu, tubuh Mantara pun bertambah kuat. Sehingga, tidak mudah untuk dilukai senjata tajam bila sedang mengerahkan tenaganya. Kalau tadi punggungnya dapat terbeset golok, itu karena Mantara lengah.
Mantara tentu saja tidak lupa dengan orang yang telah menghajarnya habis-habisan itu. Dendam di dalam dadanya semakin dalam ketika kembali berhadapan dengan lelaki gagah yang bernama Ki Kalayan. Lelaki gagah itulah yang telah melenyapkan sebelah matanya setahun yang lalu. Maka tidak aneh jika saat ini Mantara siap membalas perlakuan Ki Kalayan. Itu terlihat jelas pada tatapan matanya.
Kali ini Ki Kalayan kelihatan tidak berani memandang remah Mantara. Ia telah merasakan kekebalan tubuh laki-laki kekar itu. Sikapnya sangat hati-hati melihat pancaran dendam dalam mata Mantara. Ki Kalayan dapat menduga Mantara siap membalas kekalahannya setahun silam.
“Grrmg...!” Mantara kembali memperdengarkan geraman- nya yang menakutkan. Wajahnya tampak beringas, dan siap melumat Ki Kalayan. Kaki-kakinya bergeser membentuk kuda-kuda kokoh. Meski kegilaannya semakin menjadi, Mantara tidak melupakan kepandaiannya. Bahkan Ki Kalayan menduga Mantara sekarang telah memiliki gerakan yang jauh lebih kokoh dan sempurna dibanding setahun silam. Melihat Mantara sudah mempersiapkan jurusnya, Ki Kalayan pun bergerak kekanan. Siap menghadapi lelaki gila itu.
“Hakhhh...!” Dengan berteriak aneh, Mantara melesat menerjang Ki Kalayan. Sepasang kepalanya yang besar dan mampu meremukkan batu sebesar kepala kerbau mencari sasaran dengan disertai sambaran angin menderu.
Ki Kalayan terkejut melihat kecepatan dan kekuatan Mantara. Cepat langkahnya digeser menghindari kepalan maut itu. Kemudian langsung membalas dengan sambaran pedang yang tajam. Sebentar saja kedua orang itu telah saling terjang dengan hebatnya!
Mantara kelihatan sangat bernafsu merobohkan lawan yang pernah mengalahkannya itu. Serangannya datang bertubi-tubi mengancam bagian-bagian terlemah tubuh lawan. Sehingga, dalam lima belas jurus saja Ki Kalayan mulai dibuat kewalahan. Hal itu tidak aneh. Ki Kalayan telah bertambah tua. Sedangkan Mantara yang hidup di alam liar semakin gesit dan kuat Ki Kalayan tahu ia akan kalah juga akhirnya.
“Hei, mengapa kalian diam saja seperti patung? Bantu aku melumpuhkan orang gila ini...!”
Sadar dirinya berada dalam ancaman maut, Ki Kalayan berteriak kepada penduduk yang hanya menonton. Mereka pun segera bergerak memasuki arena membantu Ki Kalayan. Datangnya bantuan di pihak lawan, sempat membuat tubuh Mantara dihujani beberapa bacokan. Meski tidak sampai melukai, namun Mantara menjadi gusar. Bacokan itu menimbulkan rasa nyeri. Bukan tidak mungkin lama-lama kulitnya akan robek juga.
“Hahhh...!” Rasa nyeri yang sedikit-sedikit itu membuat Mantara bertambah gusar. Teriakannya kembali membahana. Kepalan-kepalannya kali ini diselingi tendangan keras yang sanggup menjebolkan dada. Dan...!
Bukk, desss...!
Dua orang pengeroyok yang terlambat menyelamatkan diri terlempar deras terkena tendangan dan pukulan Mantara yang bagaikan palu godam! Kedua orang itu memutahkan darah segar. Nyawanya melayang seketika!
“Keparat...!” Melihat kejadian itu, Ki Kalayan marah bukan main! Pedangnya diputar sekuat tenaga, hingga mendatangkan deruan angin keras! Kemudian....
“Haaat..!”
Dibarengi teriakan keras, tubuh Ki Kalayan melayang ke udara! Pedangnya melancarkan serangkaian serangan yang mendatangkan angin tajam!
Cwittt, cwittt, wuttt!
Serangkaian serangan mematikan itu memaksa Mantara berlompatan menyelamatkan diri. Kendati kurang waras, namun pikirannya masih dapat digunakan dengan baik. Ia merebut senjata seorang lawannya yang dirobohkan dengan pukulan keras di kepala. Karuan saja orang itu jatuh ke tanah dan tewas tanpa ampun!
Trang! Trang!
Dengan golok di tangan, Mantara berani menyambut serangan Ki Kalayan. Bahkan mampu melancarkan serangan balasan yang tidak kalah berbahaya. Kecepatan geraknya pun pantas diperhitungkan Ki Kalayan.
“Yeaaah...!”
“Haaat..!”
Dua orang penduduk melesat dengan babatan senjatanya ketika melihat Ki Kalayan terdesak gempuran orang gila itu. Siapa sangka perbuatannya malah mencelakakan dirinya sendiri. Mantara yang mendengar teriakan itu langsung berbalik disertai kelebatan goloknya yang cepat bukan main!
Brettt, brettt..!
Dua orang malang itu menjerit lagi saat golok Mantara merobek perut dan lambung mereka. Darah segar menyembur keluar seiring dengan robohnya tubuh mereka.
Melihat kedua lawannya berkelojotan, Mantara cepat berlari memburu. Dengan buas, ia mengayunkan goloknya berkali-kali. Sehingga, kedua orang itu meraung setinggi langit. Mereka tewas dengan tubuh dipenuhi luka bacokan yang dalam, membuat wajah mereka tidak bisa dikenali lagi!
“Iblisss...! Kubunuh kauuu...!”
Melihat kekejaman Mantara, Ki Kalayan melupakan keselamatan dirinya. Tubuhnya langsung melayang dengan sambaran-sambaran mata pedangnya. Ki Kalayan telah bertindak nekat dan tidak lagi mempedulikan nyawanya untuk melenyapkan lelaki gila itu.
“Heaaahhh...!”
Mantara yang memang sangat dendam kepada orang tua itu sedikit pun tidak gentar. Ia bergerak maju menyambut serangan Ki Kalayan. Dan mampu mendesak lelaki gagah itu. Ki Kalayan terpaksa bermain mundur. Gerakannya kalah cepat dengan orang gila itu!
Wuttt...!
Golok Mantara melesat dengan kekuatan penuh. Tampaknya kali ini Ki Kalayan sulit untuk menyelamatkan diri. Kedudukannya sangat lemah!
“Aaahhh...?!” Lelaki tua itu memekik ngeri melihat cahaya perak datang mengancam tenggorokannya. Dan....
Plakkk, brettt!
“Aaakh...!”
Kejadian yang berlangsung sekejapan itu benar-benar mengejutkan! Pada saat nyawa Ki Kalayan hampir terbang, sesosok bayangan merah berkelebat laksana sambaran kilat! Ia bukan saja dapat menggagalkan serangan Mantara. Bahkan sempat mengirimkan sebuah gedoran telapak tangan ke dada lelaki kekar itu. Akibatnya, tubuh Mantara terjengkang ke belakang.
“Haaahhh!”
Begitu tubuhnya terbanting ke tanah, Mantara langsung melenting bangkit. Wajahnya menyeringai sambil menekan dada kirinya yang terasa sesak. Geraman kemarahannya kembali terdengar. Mata yang tinggal sebelah itu menatap ke depan, tempat sesosok bayangan merah meluncur turun.
Ki Kalayan menarik napas lega setelah sadar dirinya telah diselamatkan orang. Sayang sosok berpakaian merah darah itu berdiri membelakangi. Sehingga, Ki Kalayan tidak dapat melihat wajah penolongnya. Tapi, sosok penolongnya yang tegap membuat Ki Kalayan yakin orang itu berusia tidak lebih dari dua puluh lima tahun.
Dugaan Ki Kalayan tidak meleset jauh. Sosok berpakaian merah darah itu memang masih muda dan berwajah tampan. Alis matanya tebal dan hitam. Sayang pemuda itu memiliki sinar mata yang dingin. Hingga wajahnya terkesan murung dan agak suram. Pemuda itu berdiri tegak menatap Mantara dengan sepasang mata esnya.
Mantara kelihatannya marah besar terhadap lelaki muda berpakaian serba merah itu. Ia segera bergerak maju dengan golok di tangan. Dan langsung melancarkan serangan bertubi-tubi. Sayang semua dapat dielakkan lawan tanpa mengalami kesulitan yang berarti. Bahkan pemuda itu kembali menyarangkan sebuah tendangan ke perut Mantara.
Desss...!
“Hukh...!” Tendangan yang cepat dan kuat itu melemparkan tubuh Mantara dengan perut tertekuk. Sehingga, lelaki kekar itu tidak bisa lagi menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan....
Gusrakkk!
Tanpa ampun lagi, tubuh kekar itu jatuh berdebum ditanah berumput Mantara menyeringai kesakitan. Kemudian menggeliat bangkit dengan perut masih menekuk. Agaknya tendangan barusan telah membuatnya mulas!
“Setan keparat..!” karena marahnya, Mantara mengeluarkan makian kasar. Lalu menyumpah-nyumpah sambil menyemburkan ludah.
“Hm.... Rupanya kau belum merasa jera juga, Raksasa Gila...?” desis pemuda tampan itu datar tanpa tekanan. Sinar matanya tetap dingin membeku.
“Kisanak. Orang gila itu berbahaya sekali! Sebaiknya dilenyapkan saja agar tidak lagi mengganggu orang banyak...!” mendengar ucapan penolongnya. Ki Kalayan segera datang mendekat. Ucapan orang berpakaian merah itu menunjukkan ia tidak berniat membunuh Mantara. Tentu saja Ki Kalayan tidak menginginkan hal itu terjadi.
“Hm...” Pemuda tampan itu bergumam tak jelas. Bahkan tanpa tekanan. Hingga Ki Kalayan ragu.
“Kami sudah lama mengenalnya, Kisanak. Ia tidak pernah jera mengganggu dan menyakiti siapa saja. Kalau hari ini dilepaskan, besok pasti ia akan membuat ulah lagi...,” tukas Ki Kalayan berusaha meyakinkan penolongnya.
Pemuda itu tetap tidak memberikan jawaban. Tapi melihat kakinya melangkah mendekati Mantara, Ki Kalayan menduga penolongnya akan mengikuti anjurannya. Dan ketika Mantara kembali menerjang maju, Ki Kalayan bergerak menepi, la berdiri menonton bersama penduduk yang masih selamat
Kali ini pertarungan berlangsung lebih seru! Mantara mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk merobohkan pemuda tampan berpakaian serba merah. Serangan-serangannya datang demikian deras bagai gelombang lautan yang tak pernah putus.
Tapi lawan dapat menghadapi dengan baik. Bahkan beberapa kali pukulan pemuda berpakaian serba merah mendarat di tubuh Mantara. Hebatnya, setiap kali terdorong atau terjatuh, Mantara langsung bangkit dan kembali menerjang tanpa mengenal lelah! Rupanya lelaki kekar itu hendak bertarung mati-matian!
Kebandelan dan kekuatan daya tahan Mantara sempat menimbulkan rasa kagum pemuda tampan itu. Tapi, di balik kekaguman itu ia merasa penasaran. Sampai akhirnya kesabarannya habis! Pemuda itu mengerahkan kekuatannya untuk merobohkan Mantara!
“Haaat...!”
Dengan sebuah teriakan keras yang menggetarkan jantung, pemuda tampan berpakaian serba merah mendorongkan kedua telapak tangannya saat Mantara kembali menerjang ganas. Sehingga....
Bressshhh!
“Aaarghhh!” Raungan Mantara meningkahi suara pukulan yang menghantam tubuhnya. Tanpa dapat ditahan lagi, tubuh kekar itu terdorong ke belakang membentur pohon besar di belakangnya, yang langsung berderak roboh! Tubuh Mantara menggelepar sejenak bersandar pada patahan batang pohon. Lalu kepalanya terkulai. Nyawa lelaki tinggi kekar itu pergi meninggalkan raganya dengan dada remuk. Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya pukulan pemuda tampan berpakaian serba merah.
“Kisanak, tunggu!” Ki Kalayan segera berteriak mencegah ketika melihat pemuda berpakaian serba merah beranjak pergi tanpa berkata sepatah pun. Langkah pemuda itu tampak terhenti. Kendati demikian, tubuhnya tidak berbalik. Ia menunggu Ki Kalayan datang menghampiri.
“Mengapa begitu terburu-buru, Kisanak? Tidakkah sebaiknya singgah sebentar di desa kami? Kami ingin mengucapkan terima kasih atas pertolongan Kisanak kepada penduduk Desa Jatilarang,” ujar Ki Kalayan menghadang pemuda itu.
“Aku tidak membutuhkan ucapan terima kasih kalian. Selain itu aku sudah singgah di Desa Jatilarang. Kuminta biarkan aku lewat...,” tukas pemuda tampan berpakaian serba merah dingin. Matanya menatap lurus ke depan.
Kaget juga hati Ki Kalayan mendengar jawaban yang sedikit pun tidak menunjukkan sikap bersahabat. Tapi karena pemuda itu telah menyelamatkan nyawanya, Ki Kalayan berusaha tetap tersenyum untuk menyembunyikan kejengkelannya.
“Kisanak hendak pergi ke mana...?”
“Ke mana saja kakiku melangkah. Aku tidak mempunyai tujuan...,” sahut pemuda tampan itu tanpa tekanan. Keramahan Ki Kalayan tidak merubah, baik sikap maupun suaranya.
“Mmm.... Kalau boleh kami tahu, siapakah nama besar Kisanak yang gagah...?” kembali Ki Kalayan bertanya tanpa memperlihatkan sikap tersinggung sedikit pun.
“Panggil saja aku Kelana,” jawab pemuda itu singkat. “Aku harus pergi sekarang”
“Kelana...,” gumam Ki Kalayan mengerutkan kening mendengar nama yang cukup aneh itu. Lelaki tua itu kemudian menepi dan membiarkan Kelana lewat. “Mungkin nama itu diambil karena dirinya yang selalu berpetualang? Bukankah Kelana berarti petualang? Hm...,” Ki Kalayan termenung sambil bergumam seorang diri. Kemudian berbalik dan memandang sosok Ki Kalayan yang semakin menjauh.
“Kalau begitu, aku akan menyebutmu Petualang Sakti!”
Pemuda berpakaian serba merah menghentikan langkahnya sejenak. Lalu kembali mengayunkan langkah tanpa menoleh sekejap pun.
“Petualang Sakti...,” gumamnya mengulang julukan yang diberikan Ki Kalayan. "Terserah kau sajalah, Orang Tua...,” lanjutnya tersenyum tipis. Rupanya julukan itu cukup mengena di hatinya.
Ki Kalayan masih berdiri menatap tempat sosok Petualang Sakti menghilang. Beberapa saat kemudian, ia membalikkan tubuh dan mengajak kawan-kawannya kembali ke desa. Hatinya merasa lega karena pengganggu ketenteraman penduduk Desa Jatilarang sudah tiada.
“Berhenti! Hendak lari ke mana kau, Setan Betina...!”
Belasan orang prajurit yang dipimpin seorang perwira berteriak marah sambil berlari mengejar seorang gadis muda berwajah cantik. Tentu saja peristiwa itu membuat orang-orang menyingkir dan menatap heran. Beberapa di antaranya menatap tak senang kepada belasan prajurit itu. Karena yang mereka kejar seorang perempuan muda berwajah cantik.
Orang-orang yang menyaksikan kejar-mengejar itu lebih berpihak kepada perempuan cantik itu. Gadis cantik itu terus mempercepat larinya. Teriakan-teriakan di belakangnya yang bagai tidak pernah berhenti sama sekali tidak dipedulikan. Gadis itu terus berlari menuju gerbang kadipaten.
“Tangkap setan betina itu...!” Perwira berkumis lebat itu kembali berteriak saat buruannya hendak keluar kadipaten. Teriakan itu ditujukan kepada para penjaga pintu gerbang.
Enam orang penjaga pintu gerbang timur pun segera bergerak. Tombaknya ditodongkan ke arah sosok gadis muda yang dua tombak lagi melewati gerbang.
“Kurang ajar...!” Terdengar gadis muda itu menyumpah. Enam orang prajurit berjajar menutup jalan keluarnya. Sadar kalau ia tidak mungkin dapat lolos tanpa jalan kekerasan, gadis itu memperlambat larinya. Senyum sinis menghias wajahnya yang cantik. Tampaknya ia mendapat jalan keluar yang baik untuk menghadapi para penjaga pintu gerbang.
“Berhenti...!” salah seorang dari keenam penjaga membentak. Tombaknya tetap disiapkan untuk berjaga-jaga jika gadis muda itu melakukan perlawanan.
Apa yang diperkirakan prajurit-prajurit itu ternyata meleset! Gadis itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan melawan. Malah larinya berhenti sama sekali. Wajah cantiknya terlihat muram. Dan langkahnya terayun lesu. Tiga di antara keenam prajurit penjaga bergerak mendekat. Tombak mereka siap memanggang tubuh gadis itu bila ia melawan.
“Mengapa kau melarikan diri seperti pencuri, Nisanak? Kesalahan apa yang telah kau perbuat sampai diburu kawan-kawan kami..?” tegur salah seorang prajurit mewakili dua kawannya. Mereka berdiri berhadapan dalam jarak kurang dari satu tombak.
“Mereka hendak berbuat kurang ajar kepadaku! Tentu saja aku tidak terima dan terpaksa melawan. Habis mereka terlalu memaksa...,” kata gadis muda itu dengan manja sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya ke kiri dan kanan. Kepalanya ditundukkan. Dan jari-jari tangannya mempermainkan ujung baju. Kelakuan itu membuat tiga orang prajurit yang menghadangnya menjadi heran, dan saling bertukar pandang satu sama lain.
“Kami bisa memaklumi sikap mereka, Nisanak. Kau terlalu cantik dan menggairahkan...,” ujar prajurit itu. Keisengannya timbul ketika melihat sikap manja gadis muda itu. Sambil berkata begitu, ia melangkah maju dan mengulurkan tangannya hendak menyentuh dagu gadis itu.
“Aaa...” Gadis cantik merengek manja dan menggeser tubuhnya ke samping. Sehingga prajurit itu penasaran. Melihat sikap manja itu, ketiganya tertawa menyeringai. Kewaspadaan mereka hilang. Begitu pula tiga penjaga yang berdiri di depan pintu gerbang. Mereka tertawa melihat perbuatan kawan-kawannya.
“Hei, hati-hati!” Perwira yang hampir tiba di tempat itu berseru memperingatkan kawan-kawannya. Sayang peringatan itu terlambat! Karena tiba-tiba....
“Haiiit..!” Laksana seekor burung camar, gadis cantik itu melayang dengan tamparan yang cepat dan mendatangkan angin keras!
Plakkk, plakkk, plakkk!
Karena tidak menduga gadis manja itu bisa berubah ganas, ketiga prajurit itu tidak sempat menyelamatkan diri. Tubuh mereka terlontar ke kiri dan kanan. Jatuh mencium tanah dengan wajah bengkak.
Perwira yang berada dua tombak di belakang gadis muda itu terkejut! Apalagi saat gadis berpakaian serba merah itu melayang ke arah tiga penjaga lainnya, yang juga tidak bersiaga. Sehingga....
“Hiyaaat..!”
Gadis cantik itu membagi-bagi tamparannya, membuat ketiga prajurit itu terpelanting roboh! Hebat dan cepat bukan main gerakan gadis cantik yang lincah dan banyak akal itu. Padahal kalau keenam penjaga itu tidak terpengaruh sikap gadis itu belum tentu mereka dapat dirobohkan semudah itu. Paling tidak gadis itu memerlukan lima enam jurus untuk merobohkan lawan-lawannya. Dan itu berarti pengejarnya sudah keburu tiba. Kemungkinan itu yang hendak dihindarkan gadis cantik berpakaian serba merah.
“Sampai jumpa lagi...!’” gadis cantik itu masih sempat melambaikan tangan sebelum lenyap di kejauhan.
“Bodoh...! Mengapa kalian sampai dapat diakali gadis setan itu!” perwira berkumis tebal yang tiba di pintu gerbang memaki dengan geram. Bukan cuma mulutnya saja yang berbicara. Tangannya pun melayang berkali-kali.
Plakkk, plakkk, plakkk!
Keenam prajurit itu masing-masing mendapat bagian di wajahnya. Mereka mengaduh kesakitan. Bekas tamparan gadis berpakaian serba merah tadi belum lagi hilang. Kini ditambah dengan tamparan perwira mereka. Karuan saja prajurit itu menyumpah-nyumpah gadis kurang ajar itu. Tapi tentu saja sumpah-serapah itu hanya mereka sendiri yang dengar. Karena diteriakkan di dalam hati.
“Kalau lain kali kalian masih juga melakukan kesalahan seperti tadi, aku akan memecat kalian semua! Mengerti...!”
“Mengerti...”
Keenam prajurit itu menjawab serempak sambil menyeringai menahan sakit di wajahnya.
“Ketahuilah. Perempuan cantik tadi telah membunuh pemilik kedai di persimpangan jalan, tempat kalian biasa singgah! Jadi bila lain kali kalian melihatnya, langsung tangkap saja tidak perlu banyak tanya lagi...!” lanjut perwira itu menumpahkan kejengkelan hatinya. Setelah berkata begitu, perwira berkumis lebat itu memerintahkan mereka kembali bertugas. Ia sendiri meninggalkan tempat itu bersama belasan prajurit yang datang bersamanya tadi.
Tinggallah keenam prajurit pintu gerbang menyumpahi nasibnya yang sial. Tak ada orang lain, yang bisa disalahkan kecuali diri mereka, yang kena diakali oleh seorang gadis muda. Itu merupakan pelajaran agar lain kali tak mudah tergoda wajah cantik atau sikap manja yang memikat
Siang yang terik. Matahari memancar garang menjilati permukaan bumi. Hembusan angin yang sesekali keras membawa hawa pengap, membuat orang berpeluh. Jalan utama Desa Alur tampak sepi. Hanya satu dua orang saja yang terlihat melintas di jalan itu. Kebanyakan penduduk lebih suka tinggal di dalam rumah atau beristirahat di kedai minum.
“Hufff.... Panas sekali siang ini”
Seorang dara jelita berpakaian serba hijau mengeluh pendek sambil menyusut lelehan peluh yang membasahi kening dan lehernya. Wajahnya yang mempesona tampak kemerahan. Dalam keadaan seperti itu, kecantikannya justru terlihat semakin menonjol.
Dara jelita itu rupanya tidak sendiri. Di sebelahnya melangkah sosok lain. Seorang pemuda tampan bertubuh sedang, namun tegap dan berisi. Pakaiannya yang berupa jubah terbuat dari kain sederhana dan berwarna putih. Langkahnya tenang dengan sorot mata tajam menatap lurus ke depan. Ia hanya bergumam pelan menimpali keluhan dara jelita di sebelahnya. Saat itu keduanya tengah bergerak memasuki mulut Desa Alur. Jalan desa yang sepi tidak membuat mereka heran. Udara siang itu memang sangat panas.
“Kita singgah di kedai minum itu...,” ujar pemuda tampan berjubah putih menunjuk sebuah kedai di sebelah kiri jalan.
Gadis jelita itu mengangguk, dan mengikuti langkah kawannya. Mereka berhenti di ambang pintu kedai, memperhatikan ruangan kedai yang tampak dipadati pengunjung.
“Wah, kelihatannya tidak ada tempat lagi untuk kita, Kakang...,” gumam dara jelita berpakaian serba hijau kecewa. Semua kursi telah terisi. Tidak ada lagi tempat yang kosong.
"Kelihatannya begitu...,” sahut pemuda tampan berjubah putih setelah memperhatikan ruangan kedai. “Mari kita cari kedai lain...,” lanjutnya. Lalu berbalik dan meninggalkan kedai.
Tapi, baru saja keduanya melangkah setindak seorang pelayan kedai berlari-lari kecil menghampiri pasangan muda itu. Terdengar ia berteriak mencegah. “Kisanak, Tungguuu...!”
Tahu kalau teriakan itu ditujukan kepada mereka, keduanya segera berbalik. Kemudian menunggu pelayan itu tiba.
"Tidak perlu tergesa-gesa. Bukankah Kisanak berdua hendak singgah di sini...?” tegur pelayan itu tersenyum ramah. Lalu bergerak menyisi memberikan jalan kepada kedua orang tamunya.
“Hm.... Kulihat semua kursi sudah terisi, Paman? Di mana kami akan duduk...?” ujar pemuda berjubah putih dengan kening agak berkerut Kendati demikian, nada bicaranya tenang dan tidak tinggi.
“Ha ha ha.... Jangan khawatir! Kami menyediakan tempat lain yang bisa kalian pergunakan. Mari ikut aku...,” tukas pelayan kedai kemudian melangkah diikuti kedua tamunya.
Beberapa pasang mata yang semula sibuk dengan hidangannya, menyempatkan diri memperhatikan pasangan muda itu. Wajah dan penampilan keduanya terlalu menarik. Terutama gadis berpakaian serba hijau. Parasnya yang jelita seperti bidadari mengundang mata laki-laki untuk menikmati dan mengaguminya. Meskipun secara sembunyi- sembunyi.
Pasangan muda itu tahu mereka diperhatikan. Tapi keduanya tetap melangkah tenang, tidak mempedulikan pandangan yang tertuju ke arah mereka. Dan terus mengikuti langkah pelayan kedai menuju ruangan lain. Rupanya kedai minum itu menyediakan dua ruangan yang dibatasi sebuah pintu tertutup kain bercorak kembang-kembang dengan warna dasar merah. Ke ruangan itulah si pelayan membawa kedua tamunya.
Tapi baru saja pasangan muda itu duduk, tiba-tiba dari luar terdengar ribut-ribut. Suara bentakan-bentakan kasar itu membuat keduanya saling berpandangan. Lalu menoleh ke arah pelayan yang juga kelihatan terkejut
“Sepertinya di luar ada keributan, Paman...?” ujar pemuda tampan berjubah putih menatap pelayan kedai yang kebingungan. Ia tidak tahu apa yang menyebabkan keributan itu.
“Kisanak berdua tidak perlu khawatir. Tetaplah di sini. Biar aku yang melihatnya sekalian mengambilkan pesanan kalian...,” sahut pelayan kedai agak terburu-buru. Kemudian bergegas pergi sebelum pasangan muda itu kembali bertanya.
Pasangan muda yang tidak lain Kenanga dan Panji yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih bertukar pandang sejenak. Seperti telah mendapat kata sepakat, mereka bangkit hendak melihat penyebab keributan dan bentakan kasar tadi.
Apa yang kemudian terlihat di ruangan depan kedai membuat kening Kenanga dan Panji berkerut. Mereka melihat seorang lelaki berkepala botak dan bertubuh tinggi besar membentak-bentak pemilik kedai. Dua buah meja yang terbalik menumpahkan hidangan di atasnya ke lantai. Sudah pasti itu perbuatan lelaki berkepala botak. Bahkan salah seorang pelayan kedai tergeletak di sudut dengan wajah biru dan berdarah!
“Hei, Peot! Apa kau ingin aku mengusir semua orang yang berada di dalam ruangan ini! Ayo, jawab!” bentakan lelaki botak bertubuh tinggi besar itu kembali terdengar. Hingga tubuh pemilik kedai terlonjak saking kagetnya.
“Jangan, Tuan.... Jangan...” Pemilik kedai berkata terbata-bata dengan tubuh menggigil dan wajah seputih kertas. Kemudian tubuhnya dijatuhkan dan berlutut memeluk sebelah kaki lelaki tinggi besar itu.
“Kalau begitu, cepat berikan apa yang kuinginkan...!” bentak lelaki berkepala botak tanpa memperlihatkan rasa kasihan sedikit pun.
Sikap lelaki berkepala botak yang semakin beringas membuat beberapa pengunjung ketakutan dan siap meninggalkan tempat itu. Sedang yang lainnya hanya memandang dengan gelisah. Rupanya mereka telah mengenal lelaki botak itu, dan tahu apa yang diinginkannya. Terbukti mereka tidak bergerak dari kursinya. Menunggu kelanjutan sikap lelaki tinggi besar itu.
“Berhenti! Mau ke mana kalian!” Bentakan menggelegar yang sanggup membuat orang berpenyakit jantung tewas seketika itu juga menghentikan langkah pengunjung yang hendak meninggalkan tempat itu. Lalu menoleh takut-takut ke arah lelaki tinggi besar berkepala botak.
“Kami sudah selesai, Tuan.... Dan..., kami hendak melanjutkan perjalanan...,” salah seorang dari mereka menjawab takut-takut
“Hm...” Lelaki berkepala botak menggumam dengan nada mengejek dan tersenyum sinis. Langkahnya terayun menghampiri orang-orang itu, yang semakin ketakutan. “Jadi kalian bukan penduduk desa ini...?” tanya lelaki botak sambil merayapi wajah mereka satu persatu, membuat yang dipandang menjadi pucat dan gemetar.
“Be..., tul..., Tuan...,” kembali orang yang barusan berkata menyahuti.
“Apakah kalian sudah membayar pesanan kalian?”
“Su..., dah. Kami sudah membayarnya, Tuan...,” lelaki bertubuh kurus itu kembali menjawab gugup.
“Kalau begitu, kuminta kalian tinggalkan uang sebesar pembayaranmu untukku...,” ujar lelaki botak menadahkan tangannya dengan telapak membuka lebar.
‘Tapi..., kami sudah membayarnya tadi...?!” sambil menjawab, lelaki kurus melemparkan pandangan ke arah pemilik kedai. Seperti ingin meminta dukungan pemilik kedai itu. Tapi, yang ditatapnya malah memalingkan wajah tanpa berani menjawab.
“Hm... Cepat lakukan apa yang kuminta! Siapa saja yang berani membantah, akan tahu akibatnya...!” ancam lelaki botak dengan sepasang mata berkilat tajam. Jari-jari tangan kirinya mengusap gagang pedang yang tersembul di pinggang. Seolah ia siap membuktikan ucapannya.
Melihat gelagat tidak baik, beberapa di antaranya langsung menyiapkan permintaan lelaki botak. Jelas mereka lebih sayang nyawa daripada uang yang tidak seberapa. Karena uang dapat mereka cari. Sedangkan nyawa, tak seorang pun yang menjualnya.
Lelaki botak bertubuh tinggi besar itu memperdengarkan tawanya dengan sombong. Tangan kanannya tetap menadah. Sedangkan kepalanya mendongak menatap langit-langit. Sebelah kakinya bergerak-gerak, membuat tubuhnya bergoyang-goyang. Tapi.... Sebelum lelaki botak menerima uang itu, tiba-tiba....
"Tunggu...!”
Terdengar bentakan halus, namun berpengaruh hebat! Karena meskipun terdengar pelan, tapi membuat jantung orang-orang di ruangan kedai itu berdetak lebih cepat. Langsung saja seluruh mata di ruangan kedai itu menoleh ke arah asal suara. Dan....
Hampir setengah pengunjung kedai menggelengkan kepala sambil membuang napas berat Yang mengeluarkan bentakan tadi hanya seorang pemuda tampan. Meskipun tubuh pemuda itu kelihatan padat berisi, tapi bila dibandingkan dengan lelaki botak masih jauh berbeda. Pemuda itu kelihatan kurus dan lemah. Sepertinya akan jatuh hanya dengan sekali pukul saja.
Lain yang dipikirkan sebagian pengunjung kedai, lain pula pikiran lelaki botak itu. Yang menjadi perhatiannya bukanlah pemuda tampan berjubah putih yang mencegah tindakannya. Tapi, sosok di samping pemuda tampan itu yang membuat matanya melotot dan mulutnya menyeringai seperti singa lapar. Lelaki botak sampai menelan air liur berkali-kali!
“Haihhh.... Tidak kusangka hari ini aku menerima karunia yang sangat besar! Siapa sangka kedai jelek seperti ini menjadi tempat persinggahan seorang bidadari...! Benar-benar merupakan hari baikku. Setelah berkata demikian, lelaki botak mengayunkan langkahnya. Rupanya sosok Kenanga yang membuatnya demikian gembira.
Kenanga sendiri tidak berbuat apa-apa. Pendekar Naga Putih telah mengingatkannya agar jangan mengambil tindakan, dan menyerahkan persoalan itu kepadanya. Maka meskipun hatinya panas dan dadanya sesak oleh kemarahannya, Kenanga diam saja.
Lelaki botak mengayunkan langkahnya lebar-lebar tanpa mengalihkan pandangannya dari sosok Kenanga. Tapi pada saat hendak melewati Pendekar Naga Putih, pemuda itu langsung mengangkat tangan kanannya menghadang jalan. Tentu saja perbuatan itu membuat kening lelaki botak berkerut tak senang!
“Menyingkirlah, Bocah! Kalau saja tidak mengingat peruntunganku hari ini, lenganmu akan kupatahkan. Tapi, untuk hari ini aku akan memaafkan tindakanmu. Nah, menyingkirlah sebelum kau menyesali perbuatanmu!” ujar lelaki botak tanpa mengalihkan pandangan matanya dari sosok Kenanga yang sangat mempesona. Bahkan sekejap pun matanya tidak berkedip! Seolah khawatir Kenanga akan lenyap bila ia mengejapkan matanya, meski hanya sekali.
“Kisanak,” sahut Panji tenang dengan tatapan lurus ke depan, tanpa melihat wajah lelaki botak. “Kalau kau memang ingin lewat, singkirkanlah sendiri olehmu. Menurutku kau pasti tak akan mampu melakukannya”
“Hua ha ha...!”
Ucapan Pendekar Naga Putih membuat lelaki botak tergelak! Baginya apa yang dikatakan pemuda itu terasa sangat lucu. Mana mungkin ia tidak sanggup menyingkirkan lengan yang menghadang jalannya itu? Jangankan lengan, tubuh pemuda itu pun sanggup ia lemparkan keluar kedai. Apalagi cuma sebatang lengan yang menurutnya sekali cekal dapat dipatahkannya itu.
“Kau jangan main-main, Bocah! Sekali lagi kuperingatkan! Menyingkirlah! Atau aku terpaksa mematahkan lenganmu...!”
“Hm.... Tidak perlu mengumbar kesombongan. Sebaiknya perlihatkan saja kekuatanmu. Kalau kau memang sanggup menyingkirkan lenganku, lakukanlah! Kalau tidak, segera tinggalkan tempat ini, dan jangan perlihatkan lagi wajahmu di depanku...!” tukas Panji tanpa memandang wajah lelaki botak di hadapannya.
“Kurang ajar! Kau mencari penyakit, Bocah...!” merah padam wajah lelaki botak mendengar tantangan Panji. Terdengar geramannya yang menggetarkan jantung. Membuat semua orang yang berada di dalam kedai menjadi tegang!
Perbuatan Pendekar Naga Putih yang bagi sebagian pengunjung dianggap sangat berani telah mendatangkan berbagai pendapat. Beberapa di antara langsung berpihak kepada pemuda tampan berjubah putih itu, dan berharap agar lelaki botak dapat ditaklukkan. Sedang sebagian mencemooh, dan menyayangkan tindakan pemuda itu yang mereka anggap hanya mencari penyakit. Meskipun demikian, semua pengunjung ingin segera menyaksikan kelanjutan peristiwa itu.
“Hmh...!” Lelaki botak mendengus kasar. Lengan kirinya terulur dan mencekal pergelangan tangan Panji. Tapi....
“Ehhhh...?!” Sepasang mata lelaki botak tampak terbelalak! Lengan itu tidak dapat digesernya. Lengan yang memalangi jalannya itu seperti sebuah palang baja yang sangat berat. Hingga lelaki botak menjadi penasaran! Kali ini lelaki bertubuh tinggi besar itu menambahkan kekuatannya. Kemudian menyentakkan lengan pemuda berjubah putih ke atas dengan dibarengi bentakan keras dan menulikan telinga!
“Hahhh...!”
Apa yang terjadi kemudian benar-benar membuat para pengunjung terbelalak! Mereka yang semula membayangkan lengan pemuda itu akan terlepas dari sambungan bahunya ternyata salah! Lengan itu tetap terbentang. Tidak bergeming sedikit pun! Padahal lelaki botak sudah menambah kekuatannya. Kenyataan itu membuat pengunjung kedai ternganga heran!
“Keparat...!” Lelaki botak gusar bukan main! Sayang kenyataan itu tak membuatnya sadar kalau yang dihadapinya bukan pemuda sembarangan! Rasa malu mendengar beberapa pengunjung kedai tertawa, membuat wajah- nya semakin merah padam! Sehingga kali ini ia tidak menggunakan sebelah tangannya.
“Hahhh...!” Sambil membentak keras, lelaki botak menyentakkan tangan kirinya yang mencekal pergelangan Pendekar Naga Putih. Bersamaan dengan itu, tangan kanannya bergerak memukul dari atas ke bawah! Karuan saja para pengunjung kedai berseru kaget!
“Habislah pemuda itu sekarang...?!” gumam seorang pengunjung yang tegang bukan main! Ia tidak tega membayangkan lengan pemuda tampan itu patah. Apa yang dilakukan lelaki botak membuatnya menahan napas! Dan....
Wuttt, desss!
“Aaa...!”
Semua mata memandang tidak percaya ketika tubuh lelaki berkepala botak terpental diiringi jerit kesakitan. Bahkan beberapa di antaranya sampai mengerjapkan mata berulang-ulang. Kenyataan itu benar-benar di luar dugaan!
“Luar biasa...!”
“Mustahil...!”
Terdengar seruan-seruan pengunjung yang menyaksikan kejadian aneh itu. Betapa tidak? Apa yang mereka khawatirkan justru terjadi sebaliknya! Pemuda tampan berjubah putih tetap berdiri tegak dengan lengan kanan terkembang ke samping. Sedang tubuh lelaki botak yang memukul lengannya terpental seperti dilempar tangan-tangan raksasa yang tidak tampak! Padahal mereka melihat dengan jelas pemuda berjubah putih itu sama sekali tidak melakukan apa-apa saat lengannya disentakkan dan dipukul! Jelas itu sangat mustahil!
“Ilmu setan...!”
Lelaki berkepala botak memaki sambil bergerak bangkit dengan pinggang serasa hampir patah! Tubuhnya jatuh di atas meja, yang langsung patah berkeping-keping! Wajahnya kelihatan pucat! Bahkan lengan kanannya yang tadi digunakan untuk memukul, membengkak dan berwarna merah. Hingga mulut lelaki botak itu tidak henti-hentinya berdesis menahan sakit
“Apa... Apa yang kau lakukan padaku, Bocah Keparat..!” geram lelaki botak yang rupanya tidak tahu bagaimana ia dapat terlempar sampai menimpa mejadi belakangnya.
Pendekar Naga Putih tersenyum tipis menanggapi pertanyaan bodoh lelaki botak. Sebab Panji yakin orang itu tahu ia tidak melakukan apa-apa. Orang-orang yang berada di dalam kedai pun melihatnya dengan jelas. Meskipun begitu, Panji tetap menjawabnya dengan tenang.
“Hm.... Kau lihat sendiri bukan? Aku sama sekali tidak melakukan gerakan apa-apa. Justru kau sendirilah yang telah memukul dan menyentakkan lenganku ke atas. Nah, mengapa masih bertanya...?”
“Bohong...!” bentak lelaki botak yang kini sudah berdiri dan menatap Panji lekat-lekat. Rupanya ia belum menyadari kebodohan dirinya. Padahal seharusnya lelaki botak itu tahu kalau yang dihadapinya bukanlah pemuda sembarangan, dan memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya. Tapi, semua tertutup oleh kesombongan dan kemarahannya. Apalagi peristiwa itu terjadi di hadapan orang banyak. Ia tidak bisa menerima kenyataan itu.
“Hm.... Terserah bagaimana pendapatmu, Kisanak...,” tukas Panji seraya menatap tajam lelaki botak itu. Karena orang itu belum juga menyadari kebodohannya.
“Keparat! Hendak kulihat sampai di mana kehebatan ilmu setanmu itu...!” Rupanya lelaki botak itu masih penasaran! Setelah berkata demikian, tangannya, bergerak. Dan....
Srattt!
Seberkas sinar putih berkilauan ketika pedang dipinggang lelaki botak itu tercabut keluar dari sarungnya. Perbuatan itu membuat pengunjung kedai ketakutan! Beberapa di antara mereka berhamburan keluar meninggalkan tempat itu. Mereka tidak ingin menjadi sasaran kemarahan lelaki botak yang telah kalap itu.
“Hm...” Pendekar Naga Putih hanya bergumam pelan. Sedikit pun ia tidak khawatir, meski lawannya kali ini menggunakan senjata. Panji tahu lelaki botak itu hanya orang biasa yang memiliki tenaga besar. Untuk menghadapi orang seperti itu Pendekar Naga Putih dapat mengatasinya tanpa harus mencelakai orang lain.
“Kakang, lelaki itu sudah melewati batas! Kuminta Kakang menyingkir. Biar aku memberi pelajaran kepadanya...!” Kenanga marah melihat lelaki botak itu mencabut pedang. Gadis itu melangkah maju hendak melewati Panji.
"Tahan amarahmu, Kenanga...,” karena tidak ingin persoalan semakin berlarut, Panji menghadang jalan Kenanga dengan memalangkan lengannya. Sehingga langkah dara jelita itu tertunda. Sadar Panji tidak dapat menyerahkan persoalan itu kepadanya, Kenanga bergerak mundur. Tapi sepasang matanya tetap menyorot tajam ke arah lelaki botak di depannya.
Sementara lelaki botak bertubuh tinggi besar itu telah menggeser langkahnya ke kanan. Sepasang matanya berkilat memancarkan hawa membunuh. Pedang di tangannya bergerak menyilang menimbulkan kilatan sinar putih yang mengaung tajam. Meja di kiri dan kanannya dihempaskan agar ia dapat bergerak lebih leluasa. Sesaat kemudian....
“Haaattt!”
Disertai geraman keras, lelaki botak itu melompat ke depan. Pedang di tangannya menyambar cepat dengan kedudukan mendatar!
Bwettt!
Untuk menghindari serangan itu, Pendekar Naga Putih hanya memiringkan tubuh dengan menarik kaki kanannya ke belakang. Bersamaan dengan itu, tangan kirinya menampar pergelangan tangan lawan. Meskipun sebenarnya gerakan itu hanya perlahan, tapi lain bagi pandangan lawan. Sehingga....
Plakkk!
“Uhhh...?!” Bukan main kagetnya hati lelaki botak ketika mata pedangnya membalik dan mengancam tenggorokannya. Cepat ia melompat mundur. Wajahnya terlihat pucat dengan butir-butir keringat dingin mengalir di keningnya. Hampir saja nyawanya terbang. Kejadian itu membuat kemarahannya semakin menjadi-jadi!
“Keparat! Kubunuh kauuu...!”
Sambil memekik marah, lelaki botak kembali menerjang membabi buta! Serangan pedangnya tidak lagi terarah. Hal itu justru membuat Panji semakin mudah menundukkannya. Ancaman mata pedang yang datang bertubi-tubi itu hanya dielakkan Panji dengan geseran tubuhnya ke kiri dan kanan. Kemudian mengirimkan sebuah tamparan keras ke bahu.
Pakkk!
“Aaakh...?!”
Tamparan Pendekar Naga Putih berakibat cukup parah! Tubuh tinggi besar itu melintir dan jatuh menimpa meja di belakangnya. Meskipun masih mampu bangkit, namun wajahnya menggambarkan rasa sakit yang dideritanya. Tamparan Pendekar Naga Putih membuat bahunya terasa ngilu. Bahkan lengan kanannya sukar digerakkan.
“Kuharap peringatan itu sudah lebih dari cukup, Kisanak. Sebaiknya tinggalkanlah pekerjaan burukmu selama ini yang hanya membuat susah orang lain. Kukira masih banyak pekerjaan baik yang dapat kau lakukan...,” ujar Panji menentang pandangan mata lawannya yang sibuk memijat-mijat bahu.
“Hmh...! Keparat sombong! Kau kira aku sudah dapat kau taklukkan! Kau salah besar, Bocah! Aku baru menyerah kalau nyawaku sudah meninggalkan badan...!”
Benar-benar keras kepala lelaki botak itu. Peringatan Pendekar Naga Putih tidak membuatnya jera. Bahkan ia masih belum mau menyerah. Terbukti dari sikapnya yang telah siap melanjutkan perkelahian.
“Kerbau tolol...!” Kenanga mengumpat jengkel melihat sikap keras kepala lelaki itu. Hatinya benar-benar kesal. Lelaki botak itu masih juga tak sadar kalau lawannya jauh lebih kuat Tapi dara jelita itu tak bisa berbuat apa-apa.
Lain halnya dengan Panji. Pemuda tampan itu hanya tersenyum. Sikapnya sedikit pun tidak berubah. Tenang dan tanpa kemarahan. Panji ingin melihat sampai di mana kebandelan lelaki botak itu.
Para pengunjung kedai yang menyaksikan perkelahian itu menggelengkan kepala. Mereka menyesalkan tindakan lelaki botak yang belum juga mau mengakui kekalahannya. Padahal jelas kelihatan pemuda tampan berjubah putih itu bersikap mengalah. Kebandelan lelaki botak membuat mereka menunggu apa yang akan dilakukan pemuda tampan itu selanjutnya.
“Heiii...?!”
Beberapa pengunjung terpekik kaget! Pendekar Naga Putih sama sekali tidak mengelakkan serangan lawan! Tubuhnya berkali-kali menjadi sasaran pukulan. Dan....
“Aaah...?!”
Kembali terdengar teriakan-teriakan pengunjung. Kali ini kekagetan mereka bercampur keheranan besar! Mata mereka terbelalak menyaksikan kejadian yang sukar dapat diterima akal! Tubuh pemuda berjubah putih yang menurut mereka akan babak belur oleh pukulan dan tendangan lelaki botak ternyata yang terjadi justru kebalikannya!
“Kau.... Menggunakan ilmu setan...!” lagi-lagi lelaki botak itu mengumpat lawannya. Tangan dan kakinya yang digunakan memukul dan menendang bengkak-bengkak dan sakit bukan main! Lelaki botak itu tak henti-hentinya berdesis dengan wajah berkerut-kerut menahan sakit.
“Hm.... Kau sudah puas memukuli tubuhku, bukan? Nah, sekarang aku yang akan memukulmu sepuas hati...”
“Hahhh...?!” Lelaki botak terperangah. Langkahnya tersurut mundur. Kemudian menoleh ke kiri dan kanan hendak mencari selamat. Namun, sepasang matanya membentur wajah-wajah mencemooh, yang membuat harga dirinya bangkit seketika.
“Apa.... Apa yang akan kau lakukan?” pertanyaan bodoh itu meluncur begitu saja.
“Sama seperti yang baru saja kau perbuat kepadaku...,” jawab Panji tanpa senyum sedikit pun. Kakinya melangkah perlahan. Dan sinar matanya mengancam, siap membuktikan ucapannya.
Bayangan wajah-wajah mencemooh pengunjung kedai membuat lelaki botak mencoba bersikap tenang. Dadanya dibusungkan dengan bibir menyunggingkan senyum mengejek. Lelaki botak itu tidak mau menerima pukulan lawan begitu saja. Ia menyiapkan jurus untuk menghadapi serangan Panji.
Pendekar Naga Putih sendiri tampak tidak peduli dengan persiapan lawan. Ia terus melangkah dengan tenang. Kedua tangannya dikepalkan. Hingga wajah lelaki botak itu kembali dijalari ketegangan. Dan....
“Awaaas...!” Sambil membentak mengingatkan, Panji datang dengan pukulan pertamanya. Lelaki botak mencoba menggelak. Tapi....
Bukkk!
“Aaakh...?!”
Meskipun serangan itu hanya menggunakan kecepatan, namun lelaki botak berteriak kesakitan. Tubuhnya terjajar empat langkah ke belakang. Saat itu pukulan kedua Pendekar Naga Putih kembali meluncur datang! Lagi-lagi lelaki botak berteriak keras kesakitan! Pukulan tanpa pengerahan tenaga dalam itu terasa seperti sengatan lebah. Serangan itu sangat sukar dielakkan maupun ditangkis. Sampai akhirnya lelaki botak menjatuhkan diri berlutut di hadapan Pendekar Naga Putih.
“Ampun.... Aku menyerah.... Aku menyerah!” lelaki botak merintih menghiba. Berkali-kali keningnya dibenturkan ke lantai dengan kedua tangan dirangkapnya di atas kepala.
“Hm...” Panji hanya bergumam perlahan. Ia tidak melanjutkan serangannya. Langkahnya berhenti tepat di depan kepala lelaki botak. “Bangkitlah!”
Lelaki botak mengangkat kepalanya mendengar perintah Pendekar Naga Putih. Lalu bergerak bangkit dengan perlahan. Dan saat tubuhnya tegak di hadapan Panji, kepalanya ditundukkan menekuri lantai.
“Angkat kepalamu dan pandang aku...!” kembali Panji memberi perintah dengan suara mengandung perbawa kuat Kepala lelaki botak itu pun terangkat Sepasang matanya menatap wajah Panji dengan ragu-ragu dan menyembunyikan kegentaran hatinya.
“Benar kau sudah mengaku kalah...?”
“Be..., nar...,” sahut lelaki botak itu kembali menundukkan kepala, la tidak sanggup berlama-lama menentang pandangan mata pemuda tampan berjubah putih itu.
“Hm.... Apakah pengakuanmu itu juga berarti kau tidak akan mengulangi segala perbuatan jahatmu...?” kembali Pendekar Naga Putih melontarkan pertanyaan. Lelaki botak itu mengangguk pasti. Tapi Panji belum puas dengan jawaban itu. “Jawab pertanyaanku...,” desak Panji menuntut jawaban yang lebih pasti.
“Aku tidak akan mengulangi perbuatan jahat lagi. Dan akan mencoba mencari pekerjaan yang lebih baik...,” akhirnya lelaki botak itu menyahut dan memandang wajah Panji sekilas. Kemudian kembali menekuri lantai.
“Bisakah ucapanmu itu dipertanggungjawabkan...?”
“Nyawaku sebagai taruhannya...,” sahut lelaki botak itu yang rupanya sudah benar-benar takluk.
“Bagus! Jika demikian, kembalikanlah uang yang telah kau minta dari pengunjung kedai. Kemudian, mintalah maaf kepada pemilik kedai dan pelayan yang telah kau sakiti...,” perintah Panji ingin menguji kesadaran lelaki botak.
Kelihatannya tukang peras itu memang benar-benar hendak meninggalkan kejahatannya. Perintah Pendekar Naga Putih langsung dipatuhi. Uang pengunjung yang tadi dirampas, dikembalikannya tanpa dikurangi sepeser pun. Dan tanpa ragu-ragu ia meminta maaf kepada pemilik kedai serta pelayan kedai. Melihat itu Panji tersenyum lega dan puas.
“Mulai hari ini carilah pekerjaan yang baik. Aku yakin banyak orang bersedia menerimamu. Satu hal yang perlu kau ingat! Bila kudengar kau kembali melakukan perbuatan seperti ini, nyawamulah yang menjadi taruhannya...!” ujar Panji tegas, saat lelaki botak itu kembali menghampirinya.
“Aku berjanji...!” ujar lelaki botak itu tanpa keraguan sedikit pun.
“Hm...” Pendekar Naga Putih bergumam pelan. Kemudian bergerak meninggalkan kedai bersama Kenanga, dengan diiringi pandangan mata kagum dan penuh terima kasih semua orang yang berada di dalam kedai.
“Kisanak, tungguuu!”
Pendekar Naga Putih menoleh ke arah lelaki botak. Dilihatnya orang itu berlari mengejar. Panji dan Kenanga yang baru beberapa langkah meninggalkan pintu kedai menghentikan langkahnya dan menunggu.
“Ada apa lagi, Kisanak...?” tanya Panji begitu lelaki botak itu tiba di hadapannya.
“Kau pasti seorang pendekar. Bolehkah aku mengetahui julukanmu, agar dapat mengingat mu...?” tanya lelaki botak itu menatap Panji dengan sorot mata kagum dan tunduk.
“Apalah arti sebuah julukan, Kisanak. Kami berdua pengembara yang tidak memiliki kelebihan apa-apa...,” sahut Panji merendah dan tidak ingin menyebutkan julukannya.
Lelaki botak itu tersenyum kecut. Ia tidak berani memaksa. Mungkin saja jawaban pemuda tampan berjubah putih itu benar, pikirnya. Sehingga saat Pendekar Naga Putih dan Kenanga berbalik dan melangkah pergi, lelaki botak itu hanya bisa memandang sampai bayangan pasangan pendekar muda itu lenyap dari pandangan.
“Kisanak, harap perlahan sedikit..!”
Pendekar Naga Putih dan Kenanga yang baru saja melewati perbatasan desa menunda langkahnya. Mata keduanya bergerak mencari sumber suara tadi. Dan berhenti ketika membentur sosok yang tengah duduk di atas sebuah batu sebesar rumah di sebelah kanan jalan.
“Kaukah yang menegur kami, Kisanak...?” tanya Panji meneliti sosok yang bergerak bangkit tanpa men- galihkan pandangan matanya dari sosok Pendekar Naga Putih. Tahulah Panji kalau dirinya yang dituju sosok pemuda tegap dan menarik itu.
Pemuda tampan berwajah dingin itu meluncur turun dengan ringan. Dan mendarat tanpa menimbulkan suara di hadapan Panji dan Kenanga. Melihat hal itu pasangan pendekar muda itu maklum kalau pemuda tampan beralis mata tebal itu ahli dalam ilmu meringankan tubuh.
“Siapa kau, Kisanak? Ada perlu apa menghadang perjalanan kami...?” tanya Panji lagi.
Tapi, pemuda bermata dingin itu tidak menghiraukan pertanyaan Pendekar Naga Putih. Kakinya melangkah sambil meneliti sosok Panji dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Ciri-cirimu sangat mirip dengan orang yang kucari-cari selama ini...,” gumam pemuda tampan beralis tebal tanpa senyum sedikit pun. Bahkan sikapnya kelihatan meremehkan Panji. Padahal sepanjang ingatan Pendekar Naga Putih, ia belum pernah berjumpa dengan pemuda beralis tebal itu.
“Maaf kalau aku tidak ingat kepadamu, Kisanak. Tapi, rasanya kita belum pernah berjumpa...,” ujar Panji tetap tenang. Meskipun setiap pertanyaan yang dilontarkannya tidak pernah mendapat jawaban.
“Memang belum...,” sahut pemuda tegap itu dingin.
Kenanga tentu saja tidak bisa terima ada orang yang meremehkan kekasihnya. Tanpa sempat dicegah Pendekar Naga Putih, dara jelita itu melangkah maju sambil menudingkan telunjuknya yang runcing.
“Heh, Orang Gila! Seenaknya kau menghadang perjalanan orang! Mulutmu pun bicara tanpa tujuan! Apakah kau tuli hingga tidak mendengar pertanyaan yang diajukan kepadamu? Atau kau memang sengaja hendak mencari gara-gara dengan kami...!” bentak Kenanga. Sepasang matanya berkilat marah. Kalau tidak bersama Panji, Kenanga sudah menerjang pemuda tegap yang tidak tahu sopan-santun itu.
“Hm.... Cantik bagai bidadari, namun galak seperti perempuan liar...,” gumam pemuda bertubuh tegap seraya meneliti sosok Kenanga dengan pandang matanya yang dingin. Kali ini bibirnya menyunggingkan senyum sinis. Kata-katanya itu demikian pedas didengar telinga. Hingga wajah Kenanga menjadi merah.
“Kurang ajar...!”
“Kenanga, tahan...!”
Panji segera menangkap lengan kekasihnya yang siap menghajar pemuda tegap itu. Tapi dara jelita itu mencoba melepaskan cekalan kekasihnya. Kenanga benar-benar jengkel oleh tingkah dan ucapan pemuda tampan bertubuh tegap itu. Tapi hal itu tidak dibiarkan Pendekar Naga Putih. Ditatapnya dengan tajam dara jelita itu saat menoleh kepadanya.
“Tenanglah. Kita belum tahu apa yang diinginkan orang itu. Kelihatannya ia mempunyai persoalan denganku,” bisik Panji di telinga kekasihnya. Akhirnya Kenanga terpaksa mengalah dan membiarkan kekasihnya menangani persoalan itu.
“Hm.... Sungguh pasangan yang sangat serasi, dan patut dijadikan contoh. Sayang kalian orang-orang yang berhati kejam. Meskipun aku tahu kalian berdua bukan orang sembarangan...,” ujar pemuda tampan bertubuh tegap dengan nada yang sangat menyakitkan dan tidak enak didengar.
“Apa sebenarnya maksudmu, Kisanak...?” tanya Panji masih tetap bersabar. Karena ia belum tahu maksud pemuda tegap itu menghadang jalannya.
“Kepandaianmu memang mengagumkan, Kisanak. Aku telah menyaksikan sewaktu kau mempermainkan lelaki botak di kedai tadi,” kembali pemuda bertubuh tegap itu berkata tanpa menjawab pertanyaan Panji.
Ucapan pemuda itu tidak membuat Pendekar Naga Putih heran. Ia memang tidak memperhatikan orang-orang yang singgah di kedai. Satu hal yang membuatnya waspada. Pemuda tegap itu tiba lebih dulu di luar desa tanpa diketahuinya. Meskipun ia dan Kenanga hanya berjalan biasa saat meninggalkan Desa Alur.
Setelah beberapa kali bertanya, namun tidak mendapat sambutan seperti yang diharapkannya, Pendekar Naga Putih mulai kehilangan senyumnya. Sesabar-sabarnya manusia tentu mempunyai batas. Dan Panji mulai kehilangan kesabaran. Pemuda itu tidak peduli lagi dengan lawan bicaranya. Diajaknya Kenanga segera melanjutkan perjalanan.
“Berhenti...!”
Pemuda tampan bertubuh tegap itu membentak saat melihat Pendekar Naga Putih dan Kenanga bergerak tanpa mempedulikan dirinya. Tubuhnya langsung melayang dengan kecepatan mengagumkan. Dan meluncur turun satu tombak lebih di hadapan pasangan pendekar muda itu setelah berputar beberapa kali di udara.
Tapi langkah Pendekar Naga Putih dan Kenanga tidak terhenti. Keduanya bergeser ke tepi. Dan terus melangkah seolah bentakan itu tidak didengar mereka. Bahkan sosok di depannya tidak ditoleh sekejap pun!
“Kurang ajar...!” Pemuda tampan beralis tebal itu menjadi jengkel. Merasa dirinya disepelekan, tubuhnya kembali mencelat ke kiri menghadang jalan pasangan pendekar muda itu.
Namun, Pendekar Naga Putih tetap tidak mempedulikan. Saat pemuda tegap itu melompat menghadang, Panji langsung menjejak tanah sambil menggenggam lengan kekasihnya. Seketika itu juga, tubuh pasangan pendekar muda itu melayang melewati kepala penghadangnya. Kemudian meluncur turun tiga tombak dari tempat semula, dan terus melangkah tanpa menoleh sedikit pun!
“Setan...!” Pemuda bertubuh tegap menggeram marah. Cepat ia melesat mengejar. Namun begitu jarak mereka tinggal satu tombak lagi, Pendekar Naga Putih kembali melambung ke udara bersama kekasihnya. Kemudian meluncur turun dalam jarak semula. Sehingga, wajah dingin pemuda bertubuh tegap menjadi kemerahan. Sinar matanya berkilat marah.
“Haaat...!” Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuh pemuda tegap itu melayang ke udara. Kemudian berputaran beberapa kali. Begitu menjejak tanah, kembali melambung tinggi. Gerakan itu dilakukan berulang-ulang. Hingga akhirnya....
Jliggg!
“Hm Jangan bermimpi dapat pergi begitu saja dariku..!” desis pemuda tegap yang telah berdiri satu setengah tombak di hadapan Panji dan Kenanga.
“Apa sebenarnya yang kau kehendaki dari kami, Kisanak...?” tanya Panji. Akhirnya menghentikan langkah, dan menatap sosok di depannya dengan sorot mata mencorong tajam.
Untuk sesaat pemuda tegap itu terkejut melihat sorot mata Pendekar Naga Putih. Namun sikapnya kembali biasa. Rupanya ia dapat melawan pengaruh yang terpancar dari mata Pendekar Naga Putih. Itu membuktikan bahwa pemuda tampan bertubuh tegap itu memang bukan orang sembarangan. Sebab, tidak banyak orang yang mampu berlama-lama menentang pandang mata Panji.
“Huh! Rupanya kau ingin lari dari tanggung jawab, Pengecut!” desis pemuda itu lagi-lagi tidak menjawab pertanyaan Panji.
Ucapan pemuda tegap itu pembuat Pendekar Naga Putih menghela napas menekan kemarahan dalam dadanya. Kendati demikian, suaranya terdengar biasa saat ia berbicara. “Kisanak. Kalau aku hendak menghindar darimu, apa kau kira dapat mencegah kepergianku? Jika sekarang kau bisa menghadang, itu karena aku menghendakinya. Kalau tidak, jangan harap kau dapat menyusulku...!”
Karena merasa harga dirinya tersinggung. Pendekar Naga Putih terpaksa mengucapkan kata-kata yang belum pernah diucapkannya. Ucapan itu menyiratkan kesombongan. Padahal Panji hanya ingin pemuda tegap itu tahu apa yang dilakukannya. Tapi pemuda tegap itu seperti buta, dan tetap merasa lebih tinggi dari Panji. Itu yang Pendekar Naga Putih tidak suka.
“Hua ha ha...!” Mendengar ucapan Panji, pemuda tegap itu tertawa terbahak-bahak. Seolah ucapan itu sebuah lelucon. Sikap itu membuat Pendekar Naga Putih ingin membuktikan ucapannya. Dan....
“Heiii...?!”
Pemuda tampan bertubuh tegap ituberseru kaget! Tawanya langsung lenyap. Tahu-tahu saja tubuh pasangan pendekar muda yang ada di hadapannya lenyap dengan tiupan angin besar yang membuat rambutnya berkibar!
“Kurang ajar...!” lagi-lagi pemuda tegap itu mengumpat marah. Begitu kepalanya menoleh, tampak dua sosok bayangan samar berada beberapa belas tombak di depannya. Tahulah ia kalau kedua orang yang dihadangnya telah melarikan diri.
“Jangan harap kalian dapat lolos dariku...!” Sambil berteriak-teriak, pemuda tegap itu mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya untuk mengejar Panji dan Kenanga. Sebentar saja tubuhnya melesat bagai kilat. Sehingga yang terlihat hanya bayangan samar yang kian menjauh.
Pendekar Naga Putih tidak lagi mempedulikan teriakan pemuda yang dianggapnya tidak waras itu. Dengan membawa Kenanga tubuhnya terus melesat secepat terbang. Kedua pasang kaki mereka bagai tidak menyentuh tanah! Bahkan bayangannya pun sukar dilihat. Panji ingin membuktikan bahwa dirinya dapat pergi bila memang menghendaki.
Dalam ilmu lari cepat, tampaknya Pendekar Naga Putih memang sangat sukar dicari tandingannya. Buktinya pemuda tegap itu tidak mampu mengejarnya. Padahal ilmu lari cepat pemuda tegap itu cukup tinggi. Bahkan bisa dikatakan lebih tinggi dari Kenanga. Tapi bukan berarti ia dapat menyamai Pendekar Naga Putih. Terlebih jalan yang dilalui agak berbelok-belok dan tidak jarang mendaki. Akibatnya pemuda tegap itu kehilangan bayangan yang dikejarnya.
“Keparat..!”
Setelah beberapa belas tombak lagi berlari tidak juga menemukan bayangan di depannya, pemuda tegap itu menghentikan larinya. Makiannya terlontar saat ia membanting kaki kanannya ke tanah. Lalu melangkah gontai sambil menyusut peluh yang membasahi wajahnya. Nafasnya terdengar agak memburu. Tampaknya pemuda tegap itu telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mengejar Panji dan Kenanga.
"Tidak kusangka ilmu pemuda keparat itu demikian tinggi...,” desis pemuda tegap itu seraya melanjutkan langkahnya tanpa tujuan. Jalan di depannya terpecah menjadi tiga. Dan ia tidak tahu ke mana jalan yang diambil buruannya.
“Hik hik hik...!”
“Ehhh!” Bukan main terkejutnya hati pemuda itu mendengar suara tawa perempuan. Sepasang matanya berputar liar mencari sumber suara itu. Kemarahannya bangkit seketika. Ia mengira suara itu adalah tawa gadis jelita yang bersama pemuda tampan berjubah putih. Dugaan itu membuat semangatnya bangkit kembali.
“Hm.... Pantas kalian begitu cepat menghilang. Rupanya bersembunyi di sekitar tempat ini...,” gumam pemuda tegap tersenyum sinis. Tubuhnya berputar mencari tempat persembunyian buruannya.
“Hik hik hik...!”
Kembali suara tawa itu terdengar, membuat kening pemuda tegap itu berkerut dalam. Tubuhnya berputar. Suara tawa itu seperti datang dari delapan penjuru. Merasa dipermainkan, kemarahannya pun meledak!
“Hm.... Hendak kulihat apakah kalian masih tetap bersembunyi!” geram pemuda tegap itu. Lalu menyedot udara banyak-banyak! Maka....
Blarrr...!
Semak belukar di kanan jalan berhamburan dengan disertai ledakan keras saat pemuda tegap itu melontarkan pukulan udara kosongnya. Berkali-kali pukulan itu dilakukan. Hingga....
“Hik hik hik...!”
Pemuda tampan bertubuh tegap itu berbalik secepat kilat! Suara tawa kali ini datang dari belakangnya. Pukulannya siap terlontar. Tapi....
"Tunggu dulu sahabat yang tampan!”
Pukulan jarak jauhnya tertahan. Di depannya berdiri seorang gadis cantik dengan senyum menggoda. Wanita itu bukanlah orang yang dicarinya. Pemuda tegap itu tertegun. Pakaian yang dikenakan gadis cantik itu berwarna sama dengan pakaiannya.
“Siapa kau...?” tegur pemuda bertubuh tegap menatap penuh selidik.
“Aku...? Ya tentu saja manusia! Apa kau pikir aku ini kuntilanak? Atau memang rupaku begitu jelek, hingga kau menyangka aku kuntilanak...?” enak saja gadis cantik berpakaian serba merah itu menjawab. Dan mengakhiri ucapannya dengan kekeh yang renyah, membuat pemuda tegap gelagapan.
“Huh, aku tidak peduli siapa kau! Mau kuntilanak kek, kuntilnenek kek. Aku tidak mau tahu!” balas pemuda tegap berpakaian serba merah itu tidak mau kalah. Ia menarik pulang tenaga pukulannya yang telah dipersiapkan. Kemudian berbalik hendak meninggalkan tempat itu.
“Duh, galaknya. Apa kau tidak ingin tahu ke mana perginya dua orang yang berlari secepat setan tadi...?” tukas gadis cantik itu tidak meninggalkan senyum manisnya. Bahkan sepasang mata beningnya mengerjap berkali-kali saat pemuda tegap itu berbalik dan menatapnya dengan wajah penasaran.
“Hm.... Katakan ke mana mereka pergi...,” ujar pemuda tegap itu berusaha menyembunyikan perasaan hatinya yang agak tertarik pada gadis cantik yang lincah dan suka menggoda itu.
“Kau akan memberikan hadiah apa bila aku memberitahukan ke mana mereka pergi...?” tukas gadis cantik itu dengan sinar mata jenaka.
“Hadiah...?!”
“Ya, hadiah. Kau tentu tahu setiap perbuatan harus ada imbalannya, bukan...?” lanjut gadis cantik itu.
Pemuda tegap itu pun bingung seperti orang tolol. Ia tidak mengerti dengan sikap gadis itu. Untuk beberapa saat, pemuda itu tidak mampu menjawab. Hanya memandang wajah cantik yang masih dihiasi senyum manis.
“Wah, tidak kusangka pemuda setampan dan setegap ini ternyata sangat tolol! Padahal yang kukatakan tidak sulit untuk dimengerti” Setelah berkata demikian, gadis cantik itu melangkah jenaka dan berbelok ke jalan sebelah kiri.
“Hei, tunggu...,” pemuda tegap itu berseru mencegah. Rupanya ia baru sadar akan keadaan dirinya saat gadis cantik itu melangkah pergi.
Tapi gadis cantik itu tidak menghentikan langkahnya. Telapak kakinya yang mungil terus bergerak menyusuri jalan berbatu. Seolah seruan itu tidak didengarnya. Bahkan menunjukkan sikap tidak peduli saat mendengar suara langkah orang mengejar di belakangnya.
“Nisanak, tungguuu..!” kembali pemuda tegap berseru. Dan bergegas menghadang jalan gadis cantik berpakaian serba merah itu.
“Hm.... Ada apa?” tanya gadis cantik itu. Sikapnya berubah jauh. Kali ini tampak tenang. Bahkan hampir mendekati dingin dan tidak peduli. Senyumnya pun tidak terlihat lagi. Sementara sepasang mata beningnya menatap tajam pemuda di depannya. Perubahan sikap gadis itu membuat pemuda didepannya kelabakan. Tingkahnya jadi serba salah. Rupanya ia tidak menyangka akan mendapat sambutan yang jauh berbeda.
"Gila! Gadis itu benar-benar aneh dan sukar ditebak perasaannya. Sikapnya tadi demikian hangat dan pe- nuh godaan. Tapi sekarang..." gumam pemuda tegap itu dalam hati. Tanpa sadar dia terbengong-bengong didepan gadis cantik itu.
“Hik hik hik...!”
“Ehhh?!” Pemuda bertubuh tegap itu tersadar ketika mendengar kekeh gadis cantik itu di depannya. Wajahnya bersemu merah.
“Kau ini benar-benar aneh! Aku tanya, kau keheranan! Aku pergi malah mengejar. Apa sebenarnya yang kau pikirkan? Kau tertarik padaku, ya?” ujar gadis itu tertawa renyah.
"Gila...! Desis pemuda itu dalam hati. Gadis ini sungguh luar biasa! Enak saja berkata demikian tanpa dipikir lagi! Siapa gadis ini sebenarnya? Apa hadiah yang dimaksudkannya itu?"
“Nah, bengong lagi...”
“Eh! Oh.... Maaf...,” ujar pemuda tegap itu tidak sadar kembali terbengong di depan gadis cantik itu. “Mmm.... Apa hadiah yang kau maksud tadi, Nisanak?” tanya pemuda tegap itu mengalihkan pembicaraan.
“Namaku bukan Nisanak, tapi Savitri,” tukas gadis cantik itu memperkenalkan diri tanpa malu-malu.
“Eh.... Ya, Savitri. Mmm...”
“Apa yang ingin kau katakan? Sebutkan dulu namamu. Bukankah aku sudah memperkenalkan namaku?” potong gadis cantik itu.
“Baik, baik. Namaku Kelana,” sahut pemuda tegap terpaksa memperkenalkan namanya.
“Wah namamu aneh. Tapi terdengar gagah seperti orangnya...,” puji Savitri. Belum lagi pemuda itu sempat berkata, Savitri sudah melanjutkan ucapannya. “Aku tidak mendengar kau memuji namaku? Apakah namaku jelek dan tidak enak didengar?”
Deggg!
Bukan main gadis cantik bernama Savitri ini, Kelana benar-benar tidak berdaya dibuatnya. Wajahnya kembali dijalari warna merah. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
“Namaku pasti jelek. Kau tidak suka mendengarnya, kan?” Savitri kembali menyambung, membuat Kelana semakin salah tingkah.
“Ah, tidak.... Tidak begitu...,” potong Kelana serba salah.
“Maksudmu tentu tidak begitu bagus, bukan?”
“Bukan.... Bukan begitu maksudku”
“Jadi...?” Savitri tersenyum manis melihat Kelana kelabakan. Tapi, ia terus saja mendesaknya. Tampaknya ia memang ingin mendengar pengakuan Kelana.
“Namamu tentu saja bagus...,” ucap Kelana meski agak risi mengatakannya.
“Kalau begitu, kau menyukainya...?” desak Savitri lagi.
“Ya.... Aku menyukainya...”
“Jadi kau menyukaiku?”
Mati aku! Desis Kelana dalam hati. Pertanyaan yang sama sekali tidak diduganya itu membuat Kelana terbengong tak tahu harus menjawab apa. Kalau ia bilang ‘tidak’, sudah pasti Savitri akan marah. Sedangkan untuk menjawab ‘ya’ jelas tidak mudah. Meski ia tahu dirinya merasa tertarik dengan gadis yang tampak demikian polos itu. Kelana kembali bengong seperti ayam sakit.
“Huh! Rupanya kau tidak suka kepadaku...!” melihat Kelana terbengong-bengong seperti itu, Savitri merajuk dan memonyongkan bibirnya yang tipis. Kemudian melangkah meninggalkan Kelana yang semakin kebingungan.
Kelana sendiri tidak mengerti mengapa ia mau saja diperlakukan demikian oleh gadis cantik itu. Pemuda itu belum sadar sepenuhnya kalau ia sudah terpikat oleh kecantikan dan keanehan sifat Savitri. Kalau tak, bagaimana mungkin Kelana yang selalu bersikap dingin itu dapat dibuat kelabakan dan ‘mati kutu’.
Melihat Savitri hendak pergi, Kelana mengembangkan kedua lengannya. Aneh? Ia yang selama hidupnya hampir tidak pernah tersenyum, tiba-tiba bisa tersenyum begitu manisnya. Hingga Savitri tertawa kecil.
“Aiiih... Tidak kusangka kau memiliki senyum yang manis seperti itu, Kelana..,” ujarnya polos tanpa malu-malu.
“Kau cantik, Savitri. Aku..., menyukaimu,” Kelana akhirnya terpaksa mengucapkan kalimat itu. Meski ia belum yakin benar akan perasaan hatinya. Kalau kalimat itu ia ucapkan, karena ia tidak ingin melihat Savitri marah dan pergi meninggalkannya. Padahal itu memerlukan gadis cantik itu untuk mencari dua orang buruannya. Panji dan Kenanga.
“Hm.... Ucapan itu pasti terpaksa kau katakan, bukan? Karena kau ingin mengetahui ke mana perginya orang-orang yang kau cari itu...,” tukas Savitri seperti bisa membaca jalan pikiran Kelana. "Tapi tidak apa. Aku sudah cukup senang mendengar ucapanmu. Lagi pula hadiah yang kuminta sudah kau berikan...,” lanjut Savitri tersenyum.
“Ehhh...?!” Lagi-lagi Kelana terheran-heran. Ia tidak merasa telah memberikan hadiah kepada gadis cantik itu. Ucapannya semakin membuat Kelana yakin kalau gadis cantik yang dihadapinya memang sulit ditebak, dan mempunyai banyak keanehan yang tak terduga.
“Kau tentu merasa heran, bukan? Hadiah itu memang sudah kau berikan. Aku sudah mengenal namamu...,” ujar gadis cantik itu tanpa peduli keheranan di wajah Kelana.
Kelana hanya bisa menghela napas mendengar pengakuan Savitri. Anehnya, Kelana merasa semakin menyukai gadis cantik berpakaian serba merah itu. Karena memang tidak sulit untuk menyukai gadis cantik dan selincah Savitri. Apalagi gadis itu pandai berbicara dan bertingkah memikat Sehingga, Kelana yang biasanya selalu bersikap dingin terhadap siapa pun kini dapat tertawa lepas. Semua itu karena Savitri.
“Sekarang mari ikut aku...,” ajak Savitri melangkah mendahului pemuda tegap itu.
“Ke mana...?” tanya Kelana yang tanpa sadar mengeluarkan pertanyaan bodoh itu.
“Wah, sifat ketololanmu masih belum hilang juga rupanya...,” ujar Savitri tanpa menghentikan langkahnya.
“Mengapa kau berkata demikian...?” tanya Kelana berusaha menyejajari langkah gadis cantik itu.
“Nah, masih juga bertanya,” tukas Savitri menoleh dan tersenyum. “Bukankah kau ingin menemukan kedua orang yang kau cari itu...?”
“Benar?!”
“Ketahuilah, sekarang aku hendak membawamu bertemu dengan mereka. Aku melihat kedua orang yang kau cari itu berlari melewati jalan ini. Tentu saja mereka tidak tahu aku bersembunyi di balik semak-semak. Aku curiga mereka tengah menghindari sesuatu. Habis lari mereka demikian cepat seperti setan...,” jelas Savitri dengan manja. Bahkan enak saja menyambar dan menggenggam jemari Kelana. Pemuda itu terpaksa mendiamkan, takut gadis cantik itu marah lagi.
“Kau tahu siapa mereka...?” tanya Savitri tanpa menghentikan langkahnya.
“Tidak...”
“Pemuda berjubah putih yang sekelebatan kulihat itu adalah Pendekar Naga Putih! Hanya pemuda itulah yang mampu berlari demikian cepatnya”
“Pendekar Naga Putih...?!” Kelana tampak tidak menduga orang yang dikejarnya pendekar muda yang saat itu namanya menggetarkan rimba persilatan. Ucapan Savitri membuatnya terkejut!
“Kau terkejut..? Pendekar muda itu memang hebat sekali. Jarang ada yang bisa menandinginya. Kalau boleh tahu, apa yang membuatmu bermusuhan dengannya...?” tanya Savitri.
“Pemuda itu telah membunuh kedua orangtua ku...,” jawab Kelana yang merasa tidak perlu merahasiakan hal itu kepada Savitri. Apalagi kini mereka telah saling mengenal.
“Jadi Pendekar Naga Putih telah membunuh kedua orangtua mu?” tanya Savitri setengah tak percaya.
"Tadinya aku tidak tahu pembunuh orangtua ku orang yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Kalau saja kau tidak memberitahu, mungkin aku tidak akan pernah tahu...,” jawab Kelana yang kelihatan agak tegang ketika mengetahui siapa pemuda tampan berjubah putih yang menjadi musuhnya.
“Lalu, bagaimana kau bisa tahu pendekar muda itu yang telah membunuh orangtua mu?”
“Aku hanya mendapat keterangan tentang ciri-ciri si pembunuh. Dan, pemuda tampan berjubah putih itu mirip dengan gambaran pembunuh kedua orangtua ku. Sayang dia berhasil lolos. Padahal sudah setahun lebih aku berkelana mencarinya ,” jawab Kelana menjelaskan dari mana ia tahu tentang pembunuh orang-tuanya.
“Hm.... Jangan khawatir, Kelana. Pendekar Naga Putih memang sangat sombong! Aku akan membantumu membalas sakit hati kedua orang-tuamu...!” tukas Savitri dengan suara mengandung kemarahan dan kebencian. Sehingga Kelana agak kaget
“Apakah kau juga mempunyai dendam pada Pendekar Naga Putih?” tanya Kelana menegasi.
“Ya, meskipun bukan dendam pribadi...,” jawab Savitri tidak menyebutkan dendam yang ada dalam hatinya.
“Apa yang membuatmu mendendam pada Pendekar Naga Putih, Savitri...?” Kelana mencoba menegasi apa yang membuat gadis cantik itu kelihatan sangat membenci Pendekar Naga Putih.
“Hm... Kita sudah hampir sampai di perbatasan desa. Sebaiknya kita jangan muncul terang-terangan.” Savitri dengan pandai mengalihkan pembicaraan.
“Sebaiknya kita tidak perlu sembunyi-sembunyi. Aku akan langsung menghajarnya...!” tandas Kelana. Tanpa diketahuinya Savitri tersenyum.
“Baiklah, kalau begitu kemauanmu...,” ujarnya melanjutkan langkah memasuki batas desa.
Savitri gadis yang lincah dan banyak akal itu langsung bertanya pada seorang penduduk desa yang ditemuinya. Ia yakin orang yang tengah duduk di depan rumahnya itu pasti melihat bila ada orang asing lewat jalan utama desa itu. Dan perhitungannya tidak meleset Savitri mendapat jawaban yang memuaskan!
“Memang belum lama ada pemuda tampan berjubah putih dan seorang gadis seperti bidadari lewat di desa ini. Kelihatannya mereka tidak berniat singgah...,” jelas lelaki berusia empat puluh lima tahun itu kepada Savitri.
Tanpa mengucapkan terima kasih, Savitri segera menoleh ke arah Kelana. Kemudian berkata agak perlahan. “Mereka baru saja lewat di jalan ini. Ayo kita kejar...!”
Selesai berkata demikian, Savitri berkelebat mengerahkan ilmu lari cepatnya. Ternyata kepandaian gadis cantik itu sangat tinggi. Ilmu lari cepatnya tidak kalah dengan Kelana. Hingga rasa suka dan kekaguman pemuda tegap itu semakin bertambah.
“Gadis itu tidak saja cantik, tapi juga memiliki kepandaian tinggi. Jarang ada gadis seperti dia. Beruntung sekali aku bertemu dan berkenalan dengannya. Bantuannya jelas akan sangat berarti...,” gumam Kelana segera bergerak mengejar Savitri. Sebentar saja ia dapat menyejajari langkah gadis cantik itu.
Tinggallah lelaki setengah baya kebingungan! Wajahnya agak pucat ketika pasangan muda yang baru saja berada di depannya tiba-tiba lenyap seperti menghilang. Tubuhnya tampak gemetar!
“Mereka pasti setan-setan penasaran...!” desisnya segera bangkit dan bergegas masuk ke dalam rumah. Kemudian mengunci pintu rapat-rapat.
Sementara itu Savitri dan Kelana hampir tiba diperbatasan desa. Dari kejauhan keduanya melihat dua sosok bayangan tengah melangkah meninggalkan desa itu. Dari warna pakaiannya, Kelana langsung mengetahui kalau kedua orang itu adalah buruannya yang sempat lolos.
“Hei, mau lari ke mana pengecut...!” teriak Kelana menambah kecepatan larinya untuk menyusul Kenanga dan Panji.
Sebenarnya Panji sudah mendengar suara langkah orang berlari di belakangnya. Seruan itu membuat Panji dan Kenanga menoleh. Kening keduanya tampak berkerut. Mereka mengenali sosok pemuda tegap berpakaian serba merah yang tengah berlari itu.
“Hm.... Rupanya sekarang ia membawa teman...,” gumam Panji tidak berusaha melarikan diri. Pasangan pendekar muda itu hendak melihat apa yang akan dilakukan pemuda tegap berpakaian serba merah itu.
“Hm.... Kalian pikir dapat lolos begitu saja dari tanganku...!” geram Kelana begitu tiba dan menghentikan langkahnya satu tombak di hadapan Panji dan Kenanga.
“Kisanak, apa sebenarnya yang kau inginkan dari kami? Setahuku di antara kita tidak pernah berjumpa. Apa lagi mempunyai permusuhan...?” kembali Panji menegur ingin mendapat penjelasan tentang sikap pemuda tegap itu.
"Tidak perlu banyak bicara! Sebaiknya kau bersiap-siap menyusul kedua orangtua ku di akherat..!” kemudian Kelana melompat dengan serangan mautnya yang datang bertubi-tubi laksana gelombang lautan!
“Orang gila...!” desis Panji jengkel merasa tidak mempunyai permusuhan dengan Kelana.
Namun karena serangan itu tidak bisa dibuat main-main, Panji segera menggeser langkahnya ke kiri dan kanan menghindari. Kalau pada pertemuan pertama, sewaktu di Desa Alur, Panji tidak mau meladeni sebelum mendapat penjelasan, kali ini ia bersikap lain. Serangan Kelana langsung dibalas dengan jurus-jurus ampuhnya. Sehingga, sebentar saja kedua pemuda tampan itu sudah terlibat perkelahian yang seru dan mendebarkan!
“Haiiittt..!”
Kelana yang kelihatan sangat mendendam terhadap Panji tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk membangun serangan. Gempuran-gempurannya yang mendatangkan sambaran angin tajam membuktikan pemuda tegap berpakaian serba merah itu menginginkan kematian Panji. Tentu saja Panji tidak sudi menyerahkan tubuhnya untuk dijadikan sasaran lawan. Sehebat apa pun serangan Kelana selalu dapat diatasi Panji dengan baik. Bahkan sesekali Panji melontarkan serangan balasan. Tapi Kelana dapat melayaninya dengan baik. Kelana memang bukan pemuda sembarangan!
“Yeaaahhh...!”
Sadar kalau lawan menginginkan nyawanya, Panji tidak tinggal diam. Apalagi ketika serangan lawan semakin ganas. Jurus-jurus yang digunakan Kelana adalah jurus-jurus ampuh yang sangat hebat! Sayang, Pendekar Naga Putih tidak bisa menebak dari mana asal ilmu silat itu. Panji melihat jurus-jurus lawan campuran dari berbagai sumber. Agaknya Kelana telah mempelajari banyak jenis ilmu silat. Tidak aneh bila kepandaiannya sukar dicari tandingannya.
Ketika pertarungan menginjak jurus kelima puluh tiga, Panji menggunakan jurus ‘Ilmu Silat Naga Sakti’nya. Sebab serangan lawan semakin berbahaya. Dan Panji tidak ingin tubuhnya dijadikan sasaran pukulan lawan.
Plakkk...!
Suatu saat, lengan keduanya berbenturan keras hingga menimbulkan suara berdentang nyaring, seperti benturan dua batang besi.
“Uhhh...?!” Tubuh Kelana terjajar mundur sejauh enam langkah. Wajahnya tampak menggambarkan keheranan besar. Ia tidak menyangka tenaga dalam lawan demikian kuat! Demikian pula dengan Panji. Benturan keras itu membuat kuda-kudanya tergempur! Tubuhnya terjajar sejauh empat langkah! Ia pun tidak menduga kekuatan pemuda tegap berpakaian serba merah itu sangat hebat. Tidak banyak tokoh persilatan yang sanggup menandingi tenaga dalamnya.
“Hm.... Kau masih tidak mau menyebutkan masalahmu, Kisanak...?” tanya Panji penasaran. Karena sampai sejauh ini belum mengetahui penyebab pemuda tegap itu demikian dendam kepadanya.
“Jangan berpura-pura bodoh, Pendekar Naga Putih! Sebelum mayatmu mencium tanah, aku tidak akan tenang menjalani hidup di dunia ini...!” geram Kelana tidak juga mengatakan penyebab kebenciannya terhadap pendekar muda itu. Tampaknya ia menghendaki lawannya tewas dengan penasaran.
“Hm...” Melihat lawan sudah menyiapkan ilmu-ilmunya yang lebih tinggi, Panji tidak bertanya lagi. Ia tahu itu hanya akan menambah rasa penasaran di hatinya. Dan bukan mustahil ia bisa lengah karena memikirkan penyebab pertarungan itu. Tentu saja Panji tidak menginginkan hal itu terjadi.
“Tenaga Sakti Gerhana Bulan’...?!” desis Kelana. Rupanya Kelana telah mendengar tentang tenaga mukjizat Pendekar Naga Putih. Sosok Panji tampak diselimuti lapisan kabut bersinar putih keperakan. Itu adalah ciri-ciri ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’!
“Hm. .. Mari kita buktikan, apakah tenaga sakti mukjizatmu mampu mengungguli ‘Tenaga Sakti Gelombang Samudera’ milikku ini...!”
Setelah berkata demikian, Kelana menghirup napas banyak-banyak, angin keras berhembus saat sepasang lengan Kelana berputar ke kiri dan kanan. Kemudian dilanjutkan dengan gerakan seperti ombak berkejaran ke pantai. Jelas kekuatan yang dimiliki Kelana merupakan tenaga dalam pilihan. Panji sadar akan hal itu. Pemuda berpakaian serba merah ini memang hebat sekali...! Kelihatannya ia memiliki pengalaman yang sangat luas. Mungkinkah ia yang dijuluki orang Petualang Sakti...?! Tapi, apa yang membuatnya demikian mendendam kepadaku? Mengapa ia menuduhku sebagai pembunuh kejam...? Panji segera menepiskan semua pertanyaan yang mengganggu pikirannya. Saat itu Kelana telah datang dengan serangan mautnya!
“Haaat..!”
Bettt, bettt, bettt..!
Serangan Kelana datang disertai gulungan angin keras yang membuat arena pertarungan laksana diamuk badai lautan. Sepasang tangannya yang selalu berubah-ubah bergerak cepat mencari sasaran. Memang hebat serangan yang dilancarkan Kelana. Rasanya julukan Petualang Sakti bukan nama kosong belaka!
Tapi Panji bukanlah pemuda sembarangan! Julukan Pendekar Naga Putih yang disandangnya merupakan salah satu bukti ketangguhan pemuda berjubah putih itu. Serangan Kelana sedikit pun tidak membuatnya berkecil hati. Tubuhnya mencelat menyambut serangan lawan.
“Hiyaaat..!”
Dengan ilmu ‘Silat Naga Putih’nya yang telah banyak menjatuhkan lawan, Panji bergerak maju. Sepasang tangannya yang memiliki kecepatan gerak luar biasa merupakan benteng ampuh, yang sekaligus sebagai tangan-tangan maut perenggut nyawa! Pertarungan pun berjalan semakin hebat dan mengerikan!
Jurus demi jurus berlalu cepat Menginjak jurus kedelapan puluh sembilan, Pendekar Naga Putih memekik keras! Tubuhnya bergerak bagai baling-baling, yang terlihat hanya kilauan sinar putih keperakan. Dari lingkaran sinar itu mencuat cakar-cakar dan telapak tangan yang menimbulkan deruan angin dingin menusuk tulang! Hingga Kelana terkejut dibuatnya!
“Yeaaahhh...!”
Plakkk!
Mata Kelana rupanya cukup tajam, dan dapat melihat serangan telapak tangan yang mengancam dadanya. Cepat pemuda tegap itu menepiskan serangan itu. Sayang gerakan lawan terlampau cepat. Sehingga....
Desss, desss...!
Cakar Panji yang melenceng kembali berputar cepat dan langsung bersarang di bahu lawan. Tidak cukup hanya dengan tangan kiri, tangan kanannya menyusul dengan hantaman yang mengenai lambung Kelana!
“Hukhhh...!”
Tubuh Kelana terlempar deras sejauh dua tombak lebih. Semburan darah segar membasahi permukaan tanah. Kendati demikian, pemuda tegap itu masih sanggup mempertahankan keseimbangan tubuhnya dengan berputar dua kali di udara. Tapi, tubuhnya terhuyung delapan langkah ketika menjejak tanah. Dan baru berhenti karena ditahan oleh Savitri.
“Pemuda itu benar-benar hebat, Savitri Rasanya kau tidak mungkin dapat melawannya...,” ujar Kelana sambil menyeringai menahan sakit
“Mungkin Pendekar Naga Putih terlalu kuat untukmu, Kelana. Tapi belum tentu bagi kita berdua...,” ujar Savitri. Sepasang matanya memancarkan kemarahan.
“Sebaiknya kita pergi saja,” Savitri. Gadis berpakaian serba hijau itu tidak mungkin akan tinggal diam bila kita mengeroyoknya. Kurasa kepandaian gadis itu sangat tinggi,” bantah Kelana tidak ingin melanjutkan perkelahian.
“Belum tentu, Kelana. Kita lihat saja...,” Savitri melangkah maju menghadapi Panji, yang menatap gadis cantik itu dengan kening berkerut.
“Hm.... Siapa lagi gadis berpakaian serba merah itu...? Persoalan apa pula yang membuatnya memusuhiku...?” gumam Panji seraya meneliti sosok gadis cantik di hadapannya. Melihat gadis cantik berpakaian serba merah ikut maju ke arena, Kenanga segera mendekati kekasihnya. Tangan dara jelita itu sudah gatal, ingin segera turun tangan.
“Yang ini biar menjadi bagianku, Kakang...,” pinta dara jelita itu menatap kekasihnya dengan pandangan memohon.
“Sabar, Kenanga. Aku ingin tahu lebih dulu apa yang membuat gadis itu memusuhiku...,” ujar Panji belum mau menyerahkan gadis itu kepada Kenanga.
“Pendekar Naga Putih! Bersiaplah untuk menerima kematianmu...!” begitu kata-katanya terucap....
Srattt!
Pedang bersinar kemerahan yang menerbitkan hawa panas tercabut keluar dari sarungnya, dan tergenggam di tangan Savitri. Kelihatannya senjata gadis itu bukan pedang sembarangan.
“Harap bersabar dulu, Nisanak!” ujar Panji perlahan dengan sorot mata setajam pisau.
“Hm.... Kau ingin meninggalkan pesan terakhir sebelum kematianmu?” tukas Savitri tajam.
“Anggaplah begitu. Kuharap kau bersedia menjawab pertanyaanku,” jawab Panji sambil tetap meneliti sosok Savitri. Kalau-kalau ia pernah bertemu sebelumnya dengan gadis cantik itu.
“Cepat katakan...!” tandas Savitri tajam.
“Apa sebenarnya yang membuatmu demikian dendam terhadapku...?” tanya Panji menunggu jawaban.
“Hm.... Cukup kau ketahui bahwa kita bersilangan jalan. Titik!” sahut Savitri membuat Panji tak mengerti. Ia sama sekali tidak mengenal gadis cantik itu. Selain itu, alasan yang dikemukakan Savitri tidak kuat. Meski sudah bisa diraba, namun semua itu belum dapat dipastikan.
“Bisakah kau jelaskan lebih jauh, Nisanak...?”
"Tidak! Jawaban itu sudah lebih dari cukup! Kau pasti mengerti ke mana arah jawabanku...!” tegas Savitri tidak ingin berpanjang kata lagi.
Kelana yang telah berada di samping Savitri tidak berkata apa-apa. Sepasang matanya menatap Panji dengan penuh dendam. Tangan pemuda itu menggenggam sebilah pedang yang kelihatannya juga merupakan senjata pilihan. Karena pemegangnya seorang ahli ilmu silat
“Kakang, mereka hendak mengeroyokmu...,” bisik Kenanga khawatir ketika melihat kedua orang itu sudah siap untuk menghadapi Panji.
"Tidak, usah khawatir. Aku masih sanggup mengatasi mereka berdua...,” jawab Panji membuat Kenanga terdiam. Ia tahu akan percuma memaksa kekasihnya untuk mundur atau menyerahkan salah seorang lawan kepadanya. Kenanga menelan kedongkolan hatinya.
Savitri yang cerdik segera menggunakan kesempatan itu. Terdengar ucapannya yang tajam, dan membuat selebar wajah Kenanga menjadi merah.
“Hm.... Mengapa harus ragu untuk maju berdua, Pendekar Naga Putih? Biarkanlah kekasihmu membantu, agar kau tidak terlalu sulit menghadapi kami...,” kendati mulutnya berkata demikian, namun hati Savitri berkata lain. Ia memang hanya ingin memancing pasangan pendekar muda itu.
Mendengar ucapan itu, Kenanga tidak dapat lagi menahan kedongkolan hatinya. Dengan mata berapi-api ditudingnya wajah Savitri yang menyunggingkan senyum mengejek.
“Huh! Jangan kau kira kami suka mengandalkan keroyokan seperti yang kau lakukan, Perempuan Liar! Tanpa kubantu pun kalian tidak akan dapat berbuat banyak! Kalau kalian tidak percaya, silakan membuktikannya sendiri! Aku tidak akan turun ke arena...!” tegas Kenanga membuat hati Savitri lega. Biar bagaimanapun ia menganggap lebih baik hanya menghadapi Pendekar Naga Putih, daripada gadis jelita itu ikut terjun ke arena dan menyulitkan mereka berdua.
“Bagus! Seorang gagah pasti akan memegang janjinya sampai mati! Aku percaya kepadamu, Perempuan Gagah...,” tandas Savitri menyunggingkan senyum puas di bibirnya. Tubuhnya kemudian bergerak ke kanan. Sedang Kelana bergeser ke kiri. Mereka mengepung Pendekar Naga Putih dari dua arah yang berlawanan.
“Kalau kalian masih tetap bersikeras tidak ingin memberitahukan penyebab permusuhan ini, jangan salahkan aku bila kalian meninggalkan dunia dengan hati penasaran...!” ujar Panji
Kuda-kudanya direndahkan tanpa menggeser langkahnya. Sepasang matanya bergerak meneliti langkah-langkah kedua lawannya. Panji siap menghadapi keroyokan mereka dengan mengandalkan tangan kosong. Ia memang jarang sekali menggunakan senjata pusa- kanya kalau tidak dalam keadaan terdesak atau menghadapi lawan yang benar-benar tangguh dan sulit ditaklukkan.
“Bersiaplah menerima kematianmu, Pendekar Naga Putih...!” Dibarengi bentakan nyaring membahana, Savitri melesat ke depan. Pedang di tangannya membentuk gulungan sinar merah yang memancarkan hawa panas menyengat. Sebentar saja tempat itu bagai dipenuhi jilatan api.
Wuttt, wuttt...!
Serangan yang dilancarkan Savitri ternyata tidak bisa dipandang remeh. Ilmu pedang gadis cantik berpakaian serba merah itu jelas ilmu pilihan. Panji tidak berani bertindak gegabah dalam mengatasi serangan itu.
“Haiiit!”
Belum lagi serangan pedang Savitri tiba, Kelana telah menyusuli dengan putaran pedangnya. Terdengar suara mengaung tajam seperti ratusan lebah marah!
Sadar akan kehebatan kedua serangan lawan, Panji menghimpun tenaga. Seketika itu juga tubuhnya dilapisi kabut bersinar putih keperakan. Hawa dingin yang menyebar membuat tubuhnya tidak merasakan hawa panas yang datang dari pedang Savitri.
“Yeaaahhh...!”
Cwittt...!
Dengan memiringkan tubuhnya, Pendekar Naga Putih berhasil menghindari tusukan pedang Savitri. Kemudian langsung menepis dengan tangan kirinya saat senjata itu berputar ke atas mengancam leher
Plakkk...!
Tangkisan Pendekar Naga Putih yang dilakukan dengan mengerahkan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ mendorong tubuh Savitri beberapa langkah. Namun gadis-cantik itu mampu mengatasi keseimbangan tubuhnya. Bahkan kembali melesat dengan sambaran pedangnya yang bergerak menyilang dari bawah ke atas! Gerakan itu menunjukkan betapa tangguh dan cekatannya gadis cantik itu.
Panji yang saat itu tengah menghadapi gempuran Kelana terpaksa melompat jauh ke belakang. Kemudian mempersiapkan ilmu ‘Silat Naga Sakti’nya yang ampuh dan jarang menemui tandingan.
“Heaaat...!”
Dengan ‘Pekikan Naga Marah’, tubuh Pendekar Naga Putih melesat ke depan. Sepasang tangannya bergerak susul-menyusul dengan kecepatan yang sukar ditangkap mata. Sehingga, baik Savitri maupun Kelana harus menguras seluruh kepandaiannya untuk mengimbangi kehebatan Pendekar Naga Putih yang terken- al kepandaiannya itu.
Kenanga yang menyaksikan perkelahian itu dari tempat agak jauh sempat menggeleng kagum. Ia sedikit pun tidak menyangka orang-orang muda yang mengeroyok kekasihnya, adalah tokoh-tokoh tangguh rimba persilatan. Sehingga, pertarungan berjalan seru dan mendebarkan.
“Hm.... Mungkinkah Kakang Panji terpaksa menggunakan Pedang Naga Langit untuk menghadapi kedua orang itu...?” gumam Kenanga menduga-duga. Karena meski telah memasuki jurus ketujuh puluh, bellum tampak tanda-tanda siapa yang akan keluar sebagai pemenang.
Ternyata bukan hanya Kenanga yang merasa kagum akan kehebatan Kelana dan Savitri. Panji sendiri yang bertarung lebih dari tujuh puluh jurus harus mengakui ketangguhan kedua lawannya. Mereka dapat bekerja sama dengan baik dan saling menutupi kelemahan lawan setiap kali serangan Panji datang mengancam. Kerja sama mereka membuat Panji sulit untuk mendesak. Karena mereka selalu dapat menanggulangi setiap serangannya.
Ketika pertarungan menginjak jurus kedelapan puluh, timbul rasa penasaran di hati Panji. Apalagi kedua lawannya kelihatan sangat menginginkan kematiannya. Panji harus mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Itu kalau ia masih ingin selamat dari kematian.
“Hiyaaat..!”
Dengan didahului lengkingan panjang, Pendekar Naga Putih melesat ke belakang. Begitu kakinya menyentuh tanah, secepat itu pula tubuhnya kembali melayang ke depan dengan teriakan yang menggetarkan jantung!
Wusss...!
Badai salju yang membawa hawa dingin luar biasa tercipta saat Panji mendorongkan sepasang telapak tangannya ke depan. Hebat luar biasa serangan yang kali ini dilancarkan Panji! Pepohonan di sekitarnya berderak ribut bagai hendak tumbang! Dedaunan berguguran saat pemuda itu lewat di bawahnya. Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya gempuran Panji!
“Savitri, hati-hati...!” Kelana sadar akan kedahsyatan serangan Pendekar Naga Putih. Cepat ia berseru memperingatkan gadis cantik berpakaian merah yang berada satu tombak di sebelah kirinya.
Savitri terlihat mengangguk. Rupanya gadis cantik itu pun maklum akan bahaya yang tengah datang mengancam mereka berdua. “Kelana, pusatkan seluruh kekuatanmu ke badan pedang! Kita sambut serangan bersamaan...!” Savitri mengajukan usul. Kelana hanya mengangguk tipis. Ia juga mengerti bagaimana cara mengatasi serangan dahsyat itu.
“Yeaaa...!”
“Haiiit...!”
Saat hembusan angin dingin membekukan itu semakin dekat, Kelana dan Savitri berteriak melengking merobek angkasa. Tubuh keduanya meluncur dengan putaran pedang yang tidak lagi terlihat bentuknya, namun mendatangkan angin ribut yang sangat hebat. Sehingga....
Bressshhh!
Tanpa dapat dicegah lagi, terjadilah benturan dahsyat yang merontokkan dedaunan. Arena pertarungan bergoyang laksana dilanda gempa!
“Aiii...?!”
Kelana maupun Savitri berteriak ngeri! Tubuh mereka terlempar deras bagai dilontarkan tangan-tangan raksasa yang tak nampak! Dan jatuh bergulingan di tanah berdebu.
“Huakhhh..!”
“Hoekhhh..!”
Hampir berbarengan, Savitri dan Kelana memuntahkan darah kental kehitaman. Sadarlah mereka kalau benturan itu telah menyebabkan luka dalam yang cukup parah! Kendati tidak sampai mencemaskan, namun paling tidak mereka harus beristirahat selama beberapa belas hari.
Panji pun tidak luput dari bahaya. Tubuhnya yang juga terdorong akibat benturan dua gelombang tenaga dalam berputaran dan meluncur turun ke tanah. Tubuh Panji bergoyang-goyang beberapa saat. Dari kedua lengannya menetes cairan merah.
“Kakang...?!” Kenanga terkejut melihat tetesan darah keluar dari kedua lengan kekasihnya. Cepat ia melesat memburu Panji. Dara jelita itu tidak tahu seberapa parah luka kekasihnya, dan apa yang membuat Panji terluka.
"Tidak perlu cemas, Kenanga. Aku hanya tergores mata pedang mereka...,” Jelas Panji seraya memperlihatkan garis sepanjang setengah jengkal pada bagian luar kedua lengannya. Rupanya pada saat berbenturan kedua pedang lawan sempat menggores, kendati tidak terlalu dalam. Tenaga gabungan Kelana dan Savitri dapat menembus lapisan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’!
Tanpa banyak bicara, Kenanga segera melepas ikat pinggangnya. Lalu dipotong menjadi dua dan dibalutkan ke kedua lengan Panji yang terluka. Panji sendiri tidak berusaha menolak. Ia tidak ingin membuat dara jelita itu semakin cemas.
“Biar kuhabisi mereka sekarang juga, Kakang...!” geram dara jelita itu selesai membalut kedua luka di lengan kekasihnya. Kenanga bergerak menghampiri Kelana dan Savitri yang tengah menatap pasangan pendekar muda itu dengan sorot dendam yang semakin parah!
“Kali ini kami terpaksa mengakui kehebatanmu, Pendekar Naga Putih, lain kali kami akan membalas kekalahan ini...!” ancaman itu keluar dari mulut Kelana. Tampaknya kekalahan itu membuatnya semakin dendam kepada Pendekar Naga Putih.
“Benar. Lain kali kami akan mencarimu untuk membuat perhitungan!” timpal Savitri dengan sorot mata menyala bagai bara api.
“Jangan harap ada kesempatan lain bagi kalian...!” geram Kenanga seraya melangkah maju dan meloloskan Pedang Sinar Bulan yang melilit di pinggangnya. Terdengar suara mengaung saat pedang berhawa dingin itu berputar dengan kecepatan mengagumkan!
“Hm.... Jadi kau hendak membunuh lawan yang sudah tidak berdaya? Hebat sekali...! Mari. Majulah, Perempuan Haus Darah! Silakan bunuh kami berdua...!” tantang Savitri sedikit pun tidak kelihatan gentar.
Ucapan itu membuat langkah Kenanga tertahan. Diam-diam Kenanga mengutuk kelicikan gadis cantik berpakaian serba merah itu. Karena untuk membunuh lawan yang sudah tidak berdaya merupakan pantangan bagi orang-orang gagah. Rupanya Savitri cukup tahu akan peraturan tak tertulis itu. Hingga tidak merasa takut dengan ancaman dara jelita berpakaian serba hijau itu.
“Apa yang dikatakannya benar, Kenanga...,” ujar Panji melangkah dan berdiri di samping kekasihnya. “Kita tidak bisa berbuat apa-apa kalau mereka tidak melakukan perlawanan...”
"Tidak!” bantah Kenanga dengan mata berapi-api. “Ingin kulihat apakah mereka benar-benar pasrah menerima tusukan pedangku!” Baru saja ucapan itu selesai, tubuh Kenanga mencelat ke depan. Sinar putih keperakan berkilauan dengan ditandai suara mengaung tajam laksana ratusan lebah marah! Dan...
Wuttt...!
Ujung pedang Kenanga meluncur dengan kecepatan kilat Panji terlambat mencegah. Ia hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi. Tapi, Savitri memang seorang gadis yang memiliki kepandaian dan keberanian tidak lumrah, di samping keanehannya. Ancaman ujung pedang Kenanga sedikit pun tidak berusaha dielakkan. Bahkan sepasang matanya tidak berkedip. Dan senyum mengejek tersungging di bibirnya yang tipis menggemaskan!
“Aaah...?!” Sikap pasrah Savitri membuat Kenanga terkejut setengah mati! Ujung pedangnya terhenti setengah jengkal dari sasaran. Kenanga tidak sanggup melakukan perbuatan itu. Savitri memang tidak melakukan gerakan perlawanan sedikit pun!
“Setan licik...!” Kenanga hanya bisa mengumpat jengkel. Pedang Sinar Bulan kembali ditarik pulang dan tergantung lemas di sisi tubuhnya.
“Mari kita pergi, Kelana...,” ajak Savitri yang sempat mendengus ke arah Kenanga. Kemudian bergerak meninggalkan tempa itu dengan mengajak Kelana yang tentu saja semakin kagum dan suka pada Savitri.
“Biarkan mereka pergi Kenanga. Siapa tahu di tengah jalan mereka berubah pikiran dan melupakan permusuhan ini...,” hibur Panji menepuk perlahan bahu dara jelita itu, yang tidak mengalihkan pandangannya dari sosok Kelana dan Savitri yang kian menjauh.
"Tapi mereka merupakan ancaman bagi kita, Kakang...,” keluh Kenanga menghela napas panjang. Ia sadar pasangan orang muda musuh yang tangguh dan licik. Perjalanan mereka selanjutnya pasti akan selalu dibayangi maut!
“Yahhh.... Tapi yang lebih berbahaya gadis berpakaian serba merah itu. Ia jelas-jelas dari golongan sesat. Ilmu silat yang dimilikinya sangat keji dan mengandung tipuan-tipuan jahat. Tampaknya gadis itu murid seorang tokoh sesat tingkat tinggi. Namun yang membuatku heran. Pemuda berpakaian serba merah itu mempunyai kepandaian yang beragam dan sulit ditebak. Tidak sedikit ilmu-ilmu sesat mewarnai gerakannya. Entah dari golongan mana sebenarnya pemuda tampan dan tegap itu? Sayang ia tidak menjelaskan mengapa sampai demikian menaruh dendam kepadaku...?”
“Mengapa ia tidak mengatakannya kepada kita, Kakang...?”
“Hm.... Mungkin ia ingin membuatku penasaran. Dengan begitu, ia berharap dapat mengganggu ketenangan pikiranku. Bahkan mungkin ia akan tetap merahasiakannya meski aku sampai tewas di tangannya. Dari menjadi hantu penasaran...,” jelas Panji dapat menebak apa yang diinginkan pemuda tegap berpakaian serba merah itu.
“Kalau benar begitu, jelas ia sama kejam dan jahatnya dengan kuntilanak berpakaian merah itu...,” tukas Kenanga semakin geram. Sebab teka-teki kedua orang musuhnya itu masih juga belum terjawab.
“Sudahlah. Untuk apa memikirkan orang-orang gila seperti mereka. Kita harus segera melanjutkan perjalanan. Dengan adanya kejadian ini, kemungkinan besar maut akan selalu membayangi. Sebaiknya kita mencari tempat bermalam di perkampungan...,” ujar Panji yang menyadari sejak kejadian ini, kehidupan mereka terancam. Kelana dan Savitri telah mengucapkan ancaman itu.
Tanpa banyak tanya, Kenanga segera mengayun langkah menjajari Panji. Keduanya bergerak menjauhi perbatasan desa. Untuk menginap di desa yang telah mereka lewati jelas tidak mungkin. Bukan mustahil kedua lawannya bermalam di desa itu. Mereka tentu tidak menginginkan hal itu sampai terjadi.
Setelah beberapa hari melakukan perjalanan, hati Kenanga dan Panji mulai terasa tenang. Apa yang me- reka khawatirkan ternyata tidak terbukti. Gangguan- gangguan yang mereka sangka akan muncul tidak pernah datang. Sehingga, keduanya menduga sepasang orang muda berpakaian serba merah itu telah melupakan dendamnya.
“Kurang ajar...! Mereka benar-benar membuatku penasaran dan tak bisa tidur nyenyak...!” Kenanga merasa kesal dengan ancaman yang tidak pernah terbukti itu. Rupanya ia sangat mengharapkan orang-orang itu muncul mencari mereka berdua.
“Sudah kukatakan sebaiknya lupakan saja tentang mereka. Menurutku ucapan itu terlontar karena amarah yang tidak terkendali. “Mungkin saat ini mereka sudah melupakannya...,” tukas Panji menenangkan Kenanga.
“Belum tentu, Kakang. Siapa tahu mereka tengah mempersiapkan kekuatan untuk mencelakakan kita. Kalau mereka datang terang-terangan, jelas aku tidak takut menghadapinya. Yang aku khawatirkan kelicikan gadis berpakaian serba merah itu. Ia akan melakukan kecurangan-kecurangan untuk mencelakakan kita...,” bantah Kenanga merasa yakin musuh-musuh mereka masih menyimpan dendam. Kendati sampai hari ini belum terbukti, tapi suatu hari kelak Kenanga yakin mereka akan datang untuk melenyapkan mereka berdua.
“Hm...” Pendekar Naga Putih kelihatannya mulai dapat menerima kekhawatiran dara jelita itu. Mengingat gadis berpakaian merah itu golongan sesat, bukan mustahil perbuatannya akan diwarnai dengan kelicikan dan tipu muslihat serta segala macam cara untuk membalas dendamnya. Bisa jadi mereka akan muncul bersama tokoh-tokoh lain yang juga menaruh dendam pada Pendekar Naga Putih.
“Apa yang kau khawatirkan mungkin ada benarnya. Bukan mustahil gadis licik itu akan mempergunakan tangan orang lain untuk menghadapi kita ,” ujar Panji akhirnya menyetujui dugaan kekasihnya.
“Itu berarti kita belum terbebas dari ancaman sampai mereka dapat kita lenyapkan dari atas muka bumi ini,” tukas Kenanga.
Suaranya terdengar demikian geram seperti menaruh dendam kepada kedua musuhnya itu. Ancaman orang-orang itu membuat perjalanan mereka selalu diwarnai kewaspadaan. Terutama saat malam datang.
Saat ini cahaya bulan memancar redup. Bulan sabit menggantung di langit kelam. Panji dan Kenanga yang terjebak di dalam hutan, saat malam datang, terpaksa melewati malam di tempat itu. Mereka memilih daerah yang agak terbuka dan jarang ditumbuhi pepohonan.
“Hm...., Di tempat seperti inilah mungkin kedua orang jahat itu akan memulai ancamannya,” sebelum membaringkan tubuhnya dengan berbantalkan buntalan pakaian, dara jelita itu bergumam mengingatkan Panji.
“Sebaiknya kau beristirahat Kenanga. Buang pikiran itu jauh-jauh agar tidurmu tidak terganggu. Mengenai ancaman itu, kalau benar terbukti, biar aku yang menghadapi...,” hibur Panji yang sudah menyalakan api untuk mengusir dingin dan nyamuk-nyamuk hutan.
Kenanga hanya menghela napas perlahan. Kemudian mencoba membuang segala ancaman yang menghantui pikirannya. Matanya terpejam rapat ingin menikmati waktu istirahat dengan sebaik-baiknya.
Pendekar Naga Putih menoleh sekilas dan tersenyum melihat dara jelita itu telah memejamkan matanya. Beberapa saat kemudian, terdengar dengkurnya yang halus. Melihat jalan napas gadis itu, Panji yakin kekasihnya telah terlelap. Kenanga telah mematuhi petunjuknya. Dan mempercayakan segala sesuatu kepada kekasihnya. Pendekar Naga Putih yang tetap berjaga-jaga sesekali menambah kayu bakar agar tetap menyala. Sejauh itu ia tidak mendengar sesuatu yang mencurigakan. Kendati demikian, pendengarannya dikerahkan agar dapat menangkap suara dalam jarak puluhan tombak.
Malam terus beranjak tenang tanpa ada sesuatu yang dikhawatirkan Kenanga. Tapi, saat menjelang tengah malam Panji menangkap langkah-langkah halus menghampiri tempatnya bermalam. Kening pemuda itu berkerut ketika sadar langkah-langkah itu datang dari sekelilingnya. Tahulah Panji kalau tempat itu akan langsung terkepung saat pemilik langkah datang menampakkan diri.
“Hm.... Mendengar suara langkah kakinya, mereka pasti tidak kurang dari lima puluh orang. Anehnya, suara langkah mereka tidak menggambarkan ilmu yang tinggi. Kepandaian orang-orang itu hanya bertaraf lumayan, meski cukup terlatih untuk bergerak di malam hari. Mungkinkah mereka pengikut-pengikut sepasang orang muda yang dendam kepadaku...?” gumam Panji tetap memasang indera pendengarannya untuk berjaga-jaga. Kemudian bergerak perlahan menghampiri kekasihnya yang sedang terlelap.
“Ada apa, Kakang...?” tanya Kenanga tersentak kaget ketika Panji membangunkannya.
“Waspadalah. Kita akan kedatangan tamu yang tidak diundang...,” jawab Panji segera memberikan isyarat agar dara jelita itu tidak menimbulkan gerakan yang mencurigakan. Dan menunggu kemunculan pemilik suara langkah-langkah itu.
Suara burung malam terdengar saling bersahutan. Seolah-olah memberi pertanda tidak baik bagi pasangan pendekar muda itu. Hembusan angin malam yang dingin menyentuh kulit sesekali bertiup keras menggoyangkan ranting-ranting pohon. Namun suara gemerisik dedaunan tidak mengganggu pendengaran Panji. Telinganya tetap dapat membedakan suara langkah kaki yang didengarnya.
“Hm.... Sepertinya jumlah mereka cukup banyak, Kakang. Jangan-jangan mereka hanya gerombolan perampok tengik...,” bisik Kenanga ketika telinganya mulai mendengar suara langkah kaki orang banyak itu.
“Ku perkirakan jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh orang. Rata-rata memiliki kepandaian yang lumayan...,” ujar Panji menduga-duga.
Kenanga tidak berkata apa-apa. Demikian pula Panji. Keduanya tetap waspada menanti kemunculan gerombolan yang diduganya lawan. Mereka baru melayang ke atas sebuah pohon besar saat langkah kaki itu terdengar semakin dekat. Tidak berapa lama kemudian yang dinantikan pun muncul. Satu persatu sosok-sosok bayangan hitam bermunculan dari sekeliling tempat Panji dan Kenanga bermalam. Panji yakin mereka berdualah yang dituju orang-orang itu. Terbukti mereka seperti tengah mencari-cari sesuatu.
"Aneh...!? Ke mana perginya kedua orang itu...? Padahal jelas-jelas bermalam di tempat ini. Buktinya api itu belum dipadamkan. Mungkinkah mereka telah pergi...?” terdengar salah satu dari sosok-sosok tubuh itu berkata dengan heran.
"Tidak mungkin mereka dapat pergi tanpa setahu kita. Sekitar tempat ini telah terkurung...!” bantah sosok lainnya tak setuju. Meskipun demikian ada keraguan dalam ucapannya. Orang yang mereka cari memang tidak terlihat di sekitar tempat itu.
“Percuma! Mereka pasti telah pergi. Sebaiknya kita segera kembali. Tidak ada gunanya membuang-buang waktu...!” sosok bayangan hitam bertubuh tinggi kurus memerintah dengan suara lantang. Kemudian menggerakkan tangan kanannya memberi isyarat untuk pergi dari tempat itu.
Tanpa banyak cakap, sosok-sosok bayangan hitam yang jumlahnya ternyata hanya belasan orang itu bergerak pergi. Dalam sekejapan tempat itu kembali sepi. Hanya suara binatang malam dan siliran angin yang sesekali keras mengisi keheningan malam.
“Hm... Mungkinkah pendengaranku salah? Padahal ku perkirakan jumlah mereka paling tidak lima puluh orang? Mengapa yang muncul cuma beberapa belas saja...?” desis Panji heran. Pemuda itu termenung beberapa saat lamanya.
“Kelihatannya memang ada yang tidak wajar...,” desis Kenanga sependapat dengan Panji.
“Kalau begitu, kau tetaplah di sini. Aku akan turun memeriksanya...,” ujar Panji menatap kenanga menunggu jawaban.
“Baiklah, Kakang. Hati-hati.,..”
Setelah mendapat jawaban dari kekasihnya, Panji meluncur turun dari tempat persembunyian. Tubuhnya mendarat ringan tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun. Setelah berdiam sesaat memperhatikan sekelilingnya, Panji melangkah perlahan. Tapi....
Wuttt, wuttt, wuttt!
Pendekar Naga Putih menahan langkahnya ketika mendengar suara desingan menuju ke arahnya. Suara itu datang dari empat penjuru! Cepat ia menoleh untuk mengetahui benda apa yang menimbulkan suara de- ruan angin itu. Dan....
“Haiiit..!”
Dengan gerakan yang sukar diikuti mata, tubuh Pendekar Naga Putih melenting ke udara. Ia sempat menangkap adanya benda-benda panjang seperti ular meluncur ke arahnya. Pemuda itu baru bergerak turun setelah yakin benda-benda panjang itu tidak akan dapat menjangkaunya. Baru saja kedua kakinya menyentuh tanah, tiba-tiba....
Rrrt, rrrt, rrt..!
Terkejut bukan main hati Panji ketika merasakan ada sesuatu melilit kedua kakinya. Lalu kedua tangannya pun tak luput dari lilitan benda panjang itu.
“Kurang ajar...!” desis Panji ketika menyadari dirinya memang telah ditunggu-tunggu lawan-lawannya yang bersembunyi. Ia telah masuk ke dalam perangkap lawan. Kendati kaki dan tangannya telah terlilit benda-benda panjang yang ternyata tali-tali sebesar ibu jari. Pendekar Naga Putih tidak panik Yang pertama dilakukannya adalah menyentakkan tali yang melilit kedua tangannya.
“Heaaah...!”
Dua sosok tubuh yang bersembunyi di atas pepohonan langsung tersentak keluar dari tempat persembunyian. Tapi hal itu tampaknya memang disengaja. Sosok-sosok tubuh yang tersentak keluar itu terus menyeberang melewati tubuh Panji.
“Hm...” Pendekar Naga Putih bergumam jengkel. Dengan lompatan-lompatan orang-orang itu, tubuhnya semakin erat terlibat tali. Sadarlah Panji kalau orang-orang itu hendak mengikat tubuhnya.
“Haiiit..!”
Belum lagi Panji sempat melakukan gerakan kembali terdengar suara teriakan. Disusul kemudian dengan tubuh-tubuh yang berloncatan melewati kepalanya. Panji kagum. Mereka rata-rata memiliki ilmu meringankan tubuh cukup tinggi. Sehingga, apa yang mereka kehendaki menunjukkan hasil yang baik!
Semula Pendekar Naga Putih tidak khawatir. Ia mengira tali yang mengikat dirinya tidak memiliki keistimewaan apa-apa. Tapi saat hendak memberontak memutuskan tali-tali itu betapa terkejut Pendekar Naga Putih. Meski mengerahkan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ tali itu tidak mampu diputuskan! Tahulah Panji kalau tali itu terbuat dari jalinan kulit binatang yang telah direndam sejenis ramuan hingga tidak dapat di- putuskan dengan senjata tajam sekalipun.
“Gila...! Mengapa aku bertindak seceroboh ini!” desis Panji segera mempertahankan kedua kakinya agar tidak terikat seperti kedua tangannya yang tidak lagi dapat digerakkan.
“Heaaahhh...!”
“Hahhh...!”
Empat sosok tubuh yang melibatkan tali ke paha dan pergelangan kaki Panji bergerak memutari tubuh pemuda itu. Mereka hendak mengikat kedua kaki Pendekar Naga Putih, agar pemuda itu lumpuh dan terikat seluruh tubuhnya.
Pendekar Naga Putih tentu saja tidak ingin mengulang kecerobohannya. Ia merendahkan kuda-kudanya dan menekuk kedua lututnya. Sehingga meski tali-tali itu melibat kedua kakinya, namun tidak mampu menyatukan kedua kaki pemuda itu. Tubuh Panji berdiri dengan kedua kaki menekuk.bSaat Panji tengah mempertahankan diri agar tidak, dapat dilumpuhkan lawan, tiba-tiba terdengar sebuah jeritan. Terkejut bukan main pemuda itu. Jeritan itu sangat dikenalinya dengan baik!
“Kenanga...?!” desis Panji. Wajahnya berubah. Dari jeritannya, Pendekar. Naga Putih tahu kekasihnya tengah terdesak atau dalam bahaya. Seketika itu juga kemarahannya timbul. Sadar kekasihnya tengah terancam, Panji segera memejamkan mata rapat-rapat Jalan satu-satunya untuk membebaskan diri hanyalah dengan menggunakan ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’. Tinggal kekuatan mukjizat berhawa panas itulah harapannya. Maka....
“Hiyaaat..!” Dibarengi ‘Pekikan Naga Marah’, muncullah sinar kuning keemasan membungkus tubuh Panji. Seketika itu juga....
Brrrlll!
Tali-tali yang mengikat tubuh Pendekar Naga Putih memperdengarkan bunyi berkeretekan terbakar. Bahkan menjalar dengan cepat ke tangan pemiliknya. Sehingga....
“Aaa...!”
Delapan lelaki yang berada di sekeliling Panji langsung melepaskan tali yang tergenggam di tangannya. Mereka berlompatan mundur dengan wajah pucat sambil meniup-niup telapak tangannya yang terjilat api.
“Ilmu setan..!”
“Iblisss..!”
Terdengar desisan kedelapan orang itu, Kelihatan sekali pancaran kegentaran pada wajah-wajah mereka. Apa yang dilakukan Panji sangat mustahil!
Pendekar Naga Putih sendiri tidak mempedulikan kedelapan orang. itu. Yang dipikirkannya hanya keselamatan Kenanga. Maka seketika itu juga tubuhnya melayang meninggalkan tempat itu. Ia memang telah terseret jauh dari tempat semula.
Zing, zing, zing!”
Gerakan Panji dihalangi suara berdesingan yang datang dari segala penjuru. Mendengar suara desingannya, sadarlah Pendekar Naga Putih kalau dirinya dihujani anak panah. Cepat ia mengibaskan kedua lengannya ke kiri dan kanan. Hembusan angin keras berhawa panas membakar bertiup!
“Heaaa...!”
Hebat sekali akibat pengerahan ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ itu! Puluhan batang anak panah yang datang mengancam runtuh dalam keadaan hangus terbakar. Padahal jaraknya masih setengah tombak dari tubuh Panji. Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya kekuatan tenaga mukjizat itu!
Tanpa mempedulikan anak-anak panah yang runtuh ke tanah, Pendekar Naga Putih terus melanjutkan niatnya hendak melihat keadaan kekasihnya. Meski tidak mengerti mengapa Kenanga sampai berada jauh dari tempat persembunyiannya, semua itu tidak lagi dipikirkan. Yang penting ia harus segera tahu bagai- mana keadaan dari jelita itu.
“Haaat..!”
Tapi, lagi-lagi Pendekar Naga Putih harus menahan kegeraman Hatinya. Dari semak-semak di sekitar tempat itu, berlompatan sosok-sosok tubuh dengan mengenggam senjata terhunus! Mereka langsung menerjang pemuda itu.
“Kurang ajar...!” Lagi-lagi Panji hanya bisa mengumpat geram. Tubuhnya berkelebatan di antara sambaran pedang lawan. Sehingga, tak satu pun mata pedang dapat menyentuh tubuhnya. Para pengeroyok menjadi penasaran!
"Terima ini...!” Merasa jengkel dengan sikap keras kepala lawan-lawannya, Pendekar Naga Putih mulai kehilangan kesabaran. Tangan dan kakinya bergerak menghajar lawan. Sebentar saja empat sosok tubuh terjungkal tewas mencium tanah. Dalam kecemasannya akan nasib Kenanga, Pendekar Naga Putih telah menggunakan setengah dari tenaga mukjizatnya untuk menghajar lawan. Karuan saja tubuh keempat orang itu terpanggang hangus!
Tapi meskipun korban telah berjatuhan, semangat serta keberanian para pengeroyok itu tidak berkurang. Mereka tetap nekat mencegah tubuh pemuda itu yang hendak melewati mereka. Sehingga, mengamuklah Pendekar Naga Putih dengan pukulan-pukulan maupun tendangannya yang membawa hawa panas membakar!
“Aaa...!”
Lagi tiga orang lawan terjungkal dengan tubuh hangus! Kepalan serta tamparan Pendekar Naga Putih telah mengirim mereka ke neraka. Dan, hal itu terus berlanjut.
“Haiiit...!” Di saat Panji tengah mengamuk bagai naga murka terdengar pekikan melengking. Disusul suara ledakan memekakkan telinga!
Jtarrr, ctarrr...!
Pendekar Naga Putih melompat ke samping menghindari sebuah patukan benda panjang yang mengancam pelipisnya. Dari sambaran anginnya yang laksana dengung lebah marah, Panji tahu penyerangnya bukanlah orang sembarangan! Ia tidak berani bertindak gegabah sebelum mengetahui benda yang digunakan lawan untuk menyerang dirinya.
Darrr...!
“Haiiit..!”
Kembali Pendekar Naga Putih melompat jauh ke belakang. Untunglah gerakannya masih lebih cepat dari sambaran benda berbentuk mata tombak itu. Kalau tidak, besar kemungkinan tubuhnya berlubang seperti tanah tempatnya semula berpijak.
“Gila...!" desis Panji takjub melihat kehebatan senjata lawan. Kepalanya tengadah hendak melihat pemilik senjata yang belum diketahui bentuk keseluruhannya itu.
“Kau...! Bukankah kau yang berjuluk Cambuk Penakluk Naga...?!” seru Panji rupanya telah mengenal baik lawannya.. Itu diketahuinya setelah melihat cambuk yang pada bagian ujungnya berbentuk mata tombak. Siapa lagi tokoh itu kalau bukan Cambuk Penakluk Naga!
“Heh heh heh...! Sudah lama aku ingin merasakan kehebatanmu yang telah mengguncangkan rimba persilatan! Tidak tahunya kabar itu bukan isapan jempol belaka! Kau memang pantas menyandang gelar itu. Pendekar Naga Putih! Tapi, kali ini nagamu akan segera bertekuk lutut oleh ujung cambukku...!”
Terdengar suara tawa menggelegar dan suara parau tokoh berusia kira-kira tujuh puluh tahun itu. Tubuhnya tidak terlalu tinggi. Bercambang bauk yang meng- hiasi hampir seluruh wajahnya. Memang pantas kalau kakek berpenampilan menyeramkan itu menyandang julukan Cambuk Penakluk Naga. Permainan cambuknya sulit dicari tandingannya.
“Hm... Mengapa kau memusuhiku, Cambuk Penakluk Naga? Bukankah di antara kita tidak mempunyai urusan...?” tegur Panji dengan sorot mata mencorong tajam, membuat kakek itu bergidik juga menatapnya.
“Heh heh heh Mengapa masih bertanya lagi, Pendekar Naga Putih? Bukankah jalan kita bertentangan? Jadi tidak mungkin kita dapat hidup berdampingan, bukan?, Nah, salahkah kalau aku hendak melenyapkanmu...?” tukas Cambuk Penakluk Naga memperdengarkan tawanya yang menyebalkan.
“Jadi kedatanganmu dengan membawa pengikut bukan atas kehendak orang lain...?” tegas Panji ingin mengetahui apakah ada orang yang berdiri di belakang tokoh sesat itu.
“Cukup, Pendekar Naga Putih! Aku datang ke tempat ini bukan untuk melayani pertanyaanmu! Sebaiknya kau bersiaplah agar kematianmu tidak sia-sia...!” tandas Cambuk Penakluk Naga tak mau menjawab pertanyaan Panji. Tampaknya ia ingin melenyapkan Pendekar Naga Putih secepatnya.
Mendengar ucapan itu, Panji kembali teringat akan kekasihnya yang belum diketahui nasibnya. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, segera dipersiapkannya serangan untuk menghadapi Cambuk Penakluk Naga yang telah ia dengar kehebatannya.
“Haaat..!” Begitu membuka serangan, Panji langsung mengerahkan lebih dari tiga perempat ketaatan mukjizatnya. Sepasang tangannya mendorong ke depan dengan pukulan jarak jauh!
Wusss!
Bummm...!
Tanah di sekitar arena pertarungan bergoncang bagai terjadi gempar! Untunglah Cambuk Penakluk Naga telah lebih dulu meninggalkan tempatnya berpijak. Kalau tidak, niscaya tubuhnya hancur berkeping-keping oleh pukulan maut Pendekar Naga Putih.
Sebelum kepulan debu tebal itu menipis dan hilang terbawa hembusan angin malam, Panji berkelebat ke arah pertempuran lain yang tertangkap pendengarannya. Tentu saja perbuatan pemuda itu tidak didiamkan lawannya.
“Hendak lari ke mana kau, Pendekar Naga Putih...!” seru Cambuk Penakluk Naga segera melesat melakukan pengejaran. Dari belakang, cambuk mata tombaknya meluncur dengan cepat!
Sadar ada serangan yang datang mengancam dari belakang, Panji mengibaskan lengan kanannya dengan sepenuh tenaga tanpa menoleh. Sehingga....
Darrr!
Ujung cambuk bertemu dengan lengan Panji menimbulkan ledakan keras! Tubuh Cambuk Penakluk Naga terlempar mundur sejauh satu tombak. Namun, tokoh sesat itu dapat menggunakan keseimbangan tubuhnya dengan baik. Dan mendarat dengan kedua kaki lebih dulu. Kendati demikian, wajahnya terlihat agak pucat Nafasnya pun agak memburu.
Pendekar Naga Putih sendiri tidak mempedulikan lengannya yang terasa nyeri. Tubuhnya terus meluncur ke depan. Apa yang dilihatnya kemudian benar-benar membuat pemuda itu menggeram marah! Pendekar Naga Putih menyaksikan Kenanga tengah didesak habis-habisan oleh dua orang tubuh berpakaian serba merah. Siapa lagi kedua orang itu kalau bukan Kelana dan Savitri.
“Hiyaaat..!”
Tanpa membuang-buang waktu, Pendekar Naga Putih mengeluarkan pekikan naga marah! Tubuhnya melesat dengan kecepatan laksana sambaran kilat di angkasa. Sepasang tangannya bergerak susul-menyusul menyambut sebuah pukulan berbahaya yang saat itu mengancam tubuh kekasihnya!
Breshhh...!
“Aaakh...!” Savitri yang pukulannya nyaris mengenai sasaran terpekik kaget! Tubuhnya terlempar dan jatuh bergulingan di atas tanah. Pendekar Naga Putih telah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya untuk menyelamatkan nyawa kekasihnya.
“Kakang...!” Kenanga berseru lemah dengan napas memburu. Keringat membasahi tubuh dan wajah dara jelita itu. Kelihatan sekali betapa dara jelita itu sudah sangat kepayahan. Untunglah Panji datang pada saat yang tepat!
“Kenanga… Kau tidak apa-apa...?” tanya Panji memeluk tubuh kekasihnya dengan lengan kiri. Wajah pemuda itu kelihatan cemas ketika mendapati lelehan darah pada sudut bibir kekasihnya. Kenanga telah menerima beberapa pukulan lawan. Hal itu mendatangkan kemarahan di hati Panji.
“Kalian benar-benar manusia tak tahu diri! Rasanya hanya kematian yang dapat menyadarkan kalian dari kesesatan...!” geram Panji melepas rangkulan pada tubuh Kenanga. Kemudian mempersiapkan jurus menghadapi lawan-lawannya.
Saat itu Cambuk Penakluk Naga telah mendaratkan kakinya di arena pertempuran. Tampaknya kakek itu membantu Kelana dan Savitri untuk membalaskan dendamnya kepada Pendekar Naga Putih. Tapi Panji tidak tahu ada hubungan apa antara kedua orang muda berpakaian serba merah itu dengan Cambuk Penakluk Naga.
Panji menatap lawan-lawannya satu persatu. Ketiga orang itu jelas tidak bisa dipandang remeh. Belum lagi para pengikut Cambuk Penakluk Naga yang bukan mustahil akan berbuat curang saat ia bertempur menghadapi pemimpin mereka. Ia harus memperhitungkan segalanya dengan cermat.
“Kali ini riwayatmu akan tamat, Pendekar Naga Putih..!” geram pemuda tampan bertubuh tegap yang tidak lain Kelana. “Dengan begitu dendam ku terlunasi...!”
“Persetan dengan dendammu, Kisanak! Tapi, jangan harap kalian dapat menundukkan ku...!” tukas Panji merasa tidak perlu lagi bertanya tentang penyebab dendam pemuda tegap itu. Ia tahu itu sia-sia saja. Kelana tidak akan pernah menjawabnya.
“Hm...!” Begitu ucapannya selesai, Pendekar Naga Putih melipat kedua tangan dengan telapak melekat di dada. Sepasang matanya terpejam rapat memanggil senjata mukjizatnya. Untuk menghadapi ketiga lawannya yang berbahaya itu, ia harus menggunakan Pedang Naga Langit!
“Hahhh...!” Dibarengi bentakan menggelegar yang membuat lawan-lawannya terlongong, di tangan Pendekar Naga Putih tahu-tahu tercipta sebilah pedang terbungkus sinar kuning keemasan.
“Pedang Naga Langit...?!”
Cambuk Penakluk Naga dan Savitri berseru kaget. Sedangkan Kelana hanya memandang penuh takjub. Pemuda tegap itu memang belum mengetahui mengenai pedang mukjizat itu.
“Hm... Sekarang bersiaplah untuk melayat ke akherat...!” ujar Panji memutar pedangnya dengan gerakan menyilang. Terdengar suara mengaung disertai hawa panas membakar memenuhi arena pertarungan.
“Haaat...!” Ketika melihat lawan-lawannya telah merenggang mengepung dirinya, Pendekar Naga Putih membuka serangan dengan lengkingan menggeledek! Tubuhnya melayang disertai sambaran pedang mukjizatnya. Dan....
“Aaa...!” Enam orang pengikut Cambuk Penakluk Naga memekik ngeri saat tubuhnya terpapas mata pedang Pendekar Naga Putih. Sedangkan ketiga lawan Panji telah berlompatan menjauh, Mereka cukup sadar akan kelebatan Pedang Naga Langit.
Wukkk, wukkk!
Pendekar Naga Putih memutar pedangnya di atas kepala. Dedaunan langsung berguguran hangus bagai terbakar. Menyaksikan kejadian itu semakin gentarlah hati lawan-lawannya. Cambuk Penakluk Naga menggeser langkahnya mendekati Kelana. Terdengar bisikannya kepada pemuda tegap beralis tebal itu.
“Rasanya kita tidak bisa mengatasi pemuda gila itu, Kelana. Sebaiknya kita cari bantuan lebih banyak untuk melenyapkan Pendekar Naga Putih”
“Tapi, kelihatannya ia tidak akan membiarkan kita pergi begitu saja..,” bantah Kelana setuju dengan pendapat Cambuk Penakluk Naga.
"Tidak perlu khawatir. Sebaiknya kau pergi bersama yang lain. Aku menyusul belakangan. Jangan cemas. Aku pasti dapat mengelabuinya...,” ujar Cambuk Penakluk Naga membuat Pemuda itu menganggukkan kepala.
“Hei! Mau pergi ke mana kalian, Manusia-manusia Pengecut..!” seru Panji ketika melihat lawan-lawannya bergerak mundur. Tahulah Pendekar Naga Putih kalau mereka hendak melarikan diri.
“Jangan hiraukan mereka Pendekar Naga Putih! Sebaiknya kau sambut seranganku!” Cambuk Penakluk Naga segera mengalihkan perhatian Panji. Kakek itu memutar cambuknya sedemikian rupa hingga menimbulkan suara mengaung bagai ratusan lebah marah. Dan….
Jdarrr!
Pendekar Naga Putih melompat ke belakang ketika ujung cambuk berbentur mata tombak itu mengancam tubuhnya. Tanah tempat ia berpijak berhamburan, membuat arena pertarungan gelap seketika.
“Jaga kekasihmu, Pendekar Naga Putih!”
Pendekar Naga Putih tersentak kaget mendengar seruan Cambuk Penakluk Naga! Telinganya menangkap suara berdesir menuju ke arah Kenanga. Sementara dara jelita itu tengah bersandar kelelahan pada sebatang pohon besar.
“Keparat licik” Sambil mengumpat marah, Pendekar Naga Putih melesat ke arah kekasihnya. Pedang di pangannya, mengibas dengan raungan tajam. Beberapa jarum halus yang dilepaskan Cambuk Penakluk Naga jatuh ke tanah. Tapi....
“Aaakh?!”
“Kenanga...!” Bukan main terkejut hati Panji mendengar teriakan kekasihnya. Jeritan itu menunjukkan ada beberapa batang jarum mengenai sasaran. “Kenanga...!” panggil Panji cemas. Tidak dipedulikannya Cambuk Penakluk Naga yang melesat pergi sambil memperdengarkan tawa. Pendekar Naga Putih lebih mementingkan keselamatan kekasihnya. Lawan-lawannya dapat dicari kemudian.
“Kakang...,” rintih Kenanga dengan bibir mulai memucat.
Panji terlihat kaget melihat cara kerja racun itu yang sangat cepat. Tanpa ragu-ragu, Pendekar Naga Putih menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung Kenanga. Kemudian mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengeluarkan jarum-jarum halus itu. Hal itu tidak sulit dilakukan Panji. Tenaga dalamnya telah mencapai taraf sempurna. Sebentar saja jarum-jarum yang menancap di beberapa bagian tubuh Kenanga berlompatan keluar. Kemudian Pendekar Naga Putih memberikan pil penawar racun kepada dara jelita itu.
“Hm… Kelak aku akan mencari kalian Manusia-manusia Durjana...!” tekad Panji segera memondong tubuh kekasihnya, dan melesat pergi ke arah yang berlawanan dengan Cambuk Penakluk Naga dan teman-temannya. Sebentar saja tubuh Pendekar Naga Putih lenyap ditelan kegelapan malam...
Sampai di sini episode Petualang Sakti. Untuk mengetahui penyebab dendam Kelana, Savitri dan tokoh berjuluk Cambuk Penakluk Naga, serta rahasia-rahasia lainnya, silakan baca episode selanjutnya yang berjudul Pertarungan Dua Naga.
Siapakah sebenarnya pemuda bernama Kelana yang berjuluk Petualang Sakti? Dari mana pemuda itu berasal? Benarkah orang tuanya dibunuh Pendekar Naga Putih? Lalu, apa penyebabnya? Semua itu akan terjawab dalam episode:
Karuan saja gadis-gadis yang tengah berada di sungai terkejut! Mereka segera membenahi cuciannya ke dalam keranjang dan bergegas melangkah meninggalkan tempat itu. Karena....
“Hua ha ha...!”
Bersamaan dengan suara tawanya yang kembali terdengar, muncullah sesosok tubuh dari balik semak-semak. Dengan pongah, lelaki berwajah kasar yang sebelah matanya tertutup kulit binatang dan diikatkan ke kepalanya itu berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Matanya yang tinggal sebelah memandang ke arah gadis-gadis yang tengah berlarian seraya berteriak-teriak ketakutan.
“Gayatri, cepat benahi pakaianmu! Kita harus segera pergi sebelum orang jahat itu menghampiri tempat ini!” seorang gadis yang hendak berlari meninggalkan tempat itu berusaha mengingatkan kawannya akan adanya bahaya.
“Sebentar! Aduuuhhh!” Karena terburu-buru melangkah di atas bebatuan yang licin berlumut, gadis bernama Gayatri itu terpeleset dan jatuh ke sungai.
“Tolooong!” Gayatri berteriak dan berusaha menggapai apa saja yang terjangkau tangannya. Meskipun sungai itu tidak begitu dalam, hanya sebatas pinggang, namun dasarnya berbatu licin. Hingga gadis desa itu sulit untuk bangkit berdiri. Apalagi dalam keadaan panik seperti itu. Akibatnya, Gayatri terseret arus yang cukup deras.Tak satu pun dari kawan-kawannya yang mempedulikan nasib Gayatri. Mereka sibuk menyelamatkan diri masing-masing. Tinggallah gadis manis berkulit kuning langsat itu sendirian terbawa arus.
Nasib gadis desa itu rupanya masih cukup baik. Setelah terseret sejauh dua batang tombak, ia berhasil menjangkau sebuah batu yang menonjol di atas permukaan air. Cepat gadis itu menarik tubuhnya dan bersandar pada batu yang cukup besar itu. Dengan napas terengah-engah dan tubuh terasa lemas tak bertulang, Gayatri berpegangan erat memeluk batu itu. Sepasang matanya yang bening menatap berkeliling mencari tumpuan agar bisa naik ke tepi. Tapi....
“Ohhh...?!” Gayatri menutup mulutnya menahan jeritan ketika sepasang matanya membentur sesosok tubuh berwajah beringas. Wajah gadis itu langsung pucat pasi! Sepasang matanya berputar liar bagai seekor kelinci ketakutan!
“Naiklah, Gayatri. Aku akan menolongmu...,” ujar lelaki berwajah beringas dan bermata liar. Kendati matanya tinggal sebelah, tapi kelihatan menakutkan. Lelaki itu mengulur tangannya hendak menolong Gayatri.
“Tidak! Jangan dekati aku...! Pergi!” Rasa takut Gayatri semakin memuncak ketika lelaki itu mengulurkan tangannya. Gadis itu berteriak-teriak. Langkahnya surut ke belakang. Kepalanya digeleng-gelengkan dengan air mata mengalir turun membasahi wajahnya yang sudah basah oleh air sungai. Kasihan sekali gadis itu. Jelas ia sangat ketakutan dan hampir jatuh pingsan karena hebatnya rasa takut yang menyergapnya.
Tapi, lelaki berwajah beringas itu tidak peduli. Ia tertawa-tawa seperti mendapat mainan yang sangat menyenangkan. Ketika melihat gadis itu menjauh, lelaki itu pun turun ke sungai menghampiri gadis itu.
“Pergiii...! Pergiii...!”
Gayatri mengibas-ngibaskan tangannya mengusir lelaki beringas itu. la merasa serba salah. Mundur ke belakang dan melepaskan pegangannya pada batu itu jelas tubuhnya akan terseret arus sungai. Gayatri tidak menginginkan hal itu terjadi lagi. Sedangkan untuk maju, lelaki beringas itu sudah menanti dan siap menerkamnya seperti seekor harimau lapar! Akhirnya, Gayatri hanya bisa diam menunggu apa yang akan menimpa dirinya.
“Kena!” Lelaki berwajah beringas itu berteriak kegirangan. Ia berhasil mencekal lengan gadis malang itu. Tawa paraunya terdengar saat lelaki itu menyeret tubuh Gayatri ke tepi sungai.
“Jangan, Kakang...! Kasihani aku...!” Sambil berusaha melepaskan lengannya dari cekalan lelaki itu, Gayatri merintih memilukan. Untuk berteriak ia tidak sanggup lagi. Suaranya sudah habis dan serak. Gadis malang itu hanya bisa merintih dengan suara memelas mengharapkan lelaki itu mau melepaskannya.
“Jangan menangis, Gayatri. Aku tidak akan menyakitimu. Aku sayang dan suka kepadamu. Kita akan pergi ke dalam hutan agar tidak ada orang yang mengganggu...!” tanpa mempedulikan isak tangis gadis itu, dipondongnya tubuh Gayatri dan dibawa pergi dari tempat itu. Dekapannya demikian kuat, membuat usaha Gayatri untuk melepaskan diri sia-sia belaka.
Caranya bergerak dapat diketahui lelaki bermata satu itu memiliki kepandaian yang tidak rendah. Selang beberapa saat saja sosoknya sudah merupakan bayangan samar di kejauhan. Kemudian lenyap menuju arah tenggara.
********************
Serombongan penduduk Desa Jatilarang berlarian melintasi jalan setapak yang di kiri dan kanannya ditumbuhi ilalang setinggi lutut Kemudian mereka bergerak turun ke dataran yang lebih rendah. Terdengar gemericik air yang menandakan kalau di tempat itu terdapat sungai.
“Gayatriii...!” Seorang anggota rombongan yang memegang golok pada tangan kanannya melompat sambil memanggil nama seorang gadis. Lalu berdiri tegak mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Namun, sosok yang dicarinya tidak terlihat.
“Di mana tadi kau meninggalkan putriku...?” karena tidak juga menemukan orang yang dicarinya, lelaki berwajah kehitaman itu mengalihkan pandangannya kepada seorang gadis. Dan bertanya dengan nada tinggi.
“Tadi ia terjatuh ke sungai...,” sahut gadis itu sedikit terkejut dengan pertanyaan bernada tinggi itu. Ia meremas jemari tangannya yang agak gemetar.
“Cepat menyebar ke timur! Barangkali Gayatri terbawa arus...!” perintah itu datang dari laki-laki lain yang berusia kira-kira empat puluh tahun. Tangan kanannya yang memegang pedang menuding ke arah timur.
Tanpa membuang-buang waktu, beberapa penduduk bergerak menuju arah yang ditunjuk. Sedang sebagian lainnya melangkah ke arah yang berlawanan. Sementara itu, ayah Gayatri melangkah turun ke sungai. Diambilnya beberapa potong pakaian yang tercecer di atas bebatuan.
“Gayatri...,” lelaki itu mengeluh pendek dengan suara serak. Ia mengenali pakaian yang dibawa putrinya. Karena tidak juga menemukan tanda-tanda adanya Gayatri di sungai itu, ia kembali bergerak naik. Kemudian mengedarkan pandangannya ke atas tepian sungai yang berupa hamparan semak belukar dan rerum- putan. Ada gambaran putus asa dalam wajah tua yang kehitaman itu.
“Paman...,” gadis yang datang bersama rombongan penduduk menghampiri lelaki tua itu. “Mungkin Gayatri dilarikan Mantara...,” sambungnya takut-takut.
Jelas terlihat orang tua itu terkejut ketika gadis itu menyebutkan nama Mantra. Dipandanginya gadis itu lekat-lekat Membuat yang ditatap semakin dalam menundukkan kepala. Sebelum lelaki tua itu mengucapkan sesuatu, terdengar langkah orang banyak mendatangi dari dua arah. Pancaran wajah mereka menunjukkan Gayatri belum diketemukan.
“Putriku dibawa lari Mantara...!” ujar lelaki tua itu seolah hendak memberi laporan kepada kawan-kawannya.
“Hm.... Benarkah orang gila itu muncul lagi di desa ini...?” laki-laki bertubuh gagah yang memegang pedang bergumam dengan kening berkerut. Setelah terdiam sesaat, ia kembali melanjutkan ucapannya. “Kalau benar Gayatri dilarikan Mantara, mari kalian semua ikut aku...”
Tanpa banyak cakap, rombongan penduduk itu pun bergerak menuju arah tenggara. Tampaknya lelaki gagah yang membawa pedang itu tahu di mana Mantara tinggal. Sementara yang lainnya menuju sebuah hutan di sebelah tenggara Desa Jatilarang, gadis berlesung pipit yang ikut dalam rombongan diantar pulang oleh salah seorang penduduk.
Tanpa setahu rombongan penduduk Desa Jatilarang, ada sesosok tubuh tegap mengikuti mereka sejak dari desa. Rupanya ia tertarik melihat rombongan orang desa berlarian dengan sebagian besar membawa senjata. Sosok itu mengikutinya sampai ke sungai. Bahkan saat rombongan penduduk bergerak menuju tenggara, ia masih mengikuti. Melihat gerakannya yang gesit, agaknya sosok terbungkus pakaian merah darah itu bukan orang sembarangan!
********************
“Hua ha ha...!” Lelaki berwajah beringas dan bertubuh tinggi kekar dengan sebelah mata tertutup itu memperdengarkan tawanya yang parau. Langkahnya terdengar agak berdebum saat telapaknya yang besar bergantian menjejak tanah. Dan baru berhenti di sebuah gubuk sederhana tempat persinggahan para pemburu.
“Nah, kita sudah sampai, Adik Gayatri yang cantik...,” ujar lelaki bermata satu dengan suara parau dan berat. Kemudian melempar tubuh Gayatri keatas tumpukan jerami kering.
Gayatri mengeluh pendek. Walau tubuhnya tidak merasa sakit, namun hatinya terluka saat lelaki bermata satu itu melemparkannya ke atas tumpukan jerami kering.
“Kasihani aku, Kakang Mantara.... Jangan sakiti aku...,” Sambil menelungkupkan wajahnya di atas tumpukan jerami, Gayatri terus merintih dengan air mata berlinang membasahi wajahnya.
Tapi, Mantara hanya tertawa dan melompat-lompat seperti anak kecil. Melihat matanya yang liar serta sikapnya yang kurang ajar, jelas Mantara agak kurang waras. Dengan langkah lebar, Mantara bergerak menghampiri Gayatri. Pakaian rompinya dilepaskan, sehingga memperlihatkan dadanya yang kekar berotot dan ditumbuhi bulu-bulu halus. Kemudian tubuhnya dijatuhkan di samping gadis itu, yang menjadi semakin ketakutan. Apalagi ketika lengan yang besar dan berbulu itu melingkari tubuhnya. Gadis itu meronta dan berusaha melepaskan diri.
Perlawanan yang dilakukan Gayatri malah membuat Mantara semakin bernafsu. Jari-jari tangannya yang kasar menggerayangi tempat-tempat terlarang di tubuh gadis desa itu. Pakaian Gayatri pun direnggutnya!
Brettt..!
“Auuuwww...!” Gayatri berteriak ngeri merasakan pakaian pada bagian dadanya terkoyak, menampakkan dua bukit kembar yang putih mulus. Mantara pun semakin bertambah ganas dan kasar. Tidak dipedulikannya teriakan maupun sumpah-serapah gadis malang itu. Mantara benar-benar telah kerasukan setan!
Apalah daya gadis lemah seperti Gayatri menghadapi Mantara yang bertubuh kekar dan memiliki tenaga raksasa. Akhirnya gadis itu tak bisa lagi berteriak dan memberontak. Tubuhnya terasa lemas oleh pelukan Mantara. Suaranya pun sudah serak, nyaris tak terdengar lagi. Tapi pada saat Mantara hampir berhasil memuaskan nafsu setannya, tiba-tiba terdengar bentakan keras!
“Jahanam...!” Bersamaan dengan bentakan itu, seorang lelaki tua datang menerjang dengan golok telanjang! Senjata berkilat itu terayun deras ke punggung Mantara!
Wuttt, crakkk...!
“Aaakh...!” Mantara memekik kesakitan! Darah meleleh dari luka akibat bacokan itu. Tapi, ketajaman golok itu sepertinya tidak terlalu berarti bagi Mantara. Luka yang diderita lelaki kekar itu tak ubahnya sayatan pisau. Mirip sebuah goresan sepanjang setengah jengkal. Meskipun luka bacokan di punggungnya tidak begitu berarti, namun sudah cukup membuat Mantara meraung murka. Seketika itu juga nafsu iblisnya lenyap, berganti dengan kemarahan yang menggelegak dan menyesakkan dada. Mantara melompat bangkit dan berbalik dengan wajah merah padam!
“Ayaaah...?!” Gayatri yang nyaris menjadi korban kebiadaban Mantara berseru lirih. Tubuhnya diseret merapat ke dinding pondok. Kedua tangannya sibuk menaikkan pakaiannya yang terkoyak. Gadis itu berhasil menutupi bagian dadanya yang terbuka.
Sedangkan orang tua itu sendiri tidak lagi memperhatikan putrinya. Ia benar-benar marah melihat perbuatan lelaki kekar itu terhadap Gayatri. Dan tidak lagi teringat akan rasa takutnya pada orang gila itu.
“Kau sungguh biadab, Mantara! Rupanya kepergianmu selama ini bukannya membuat pikiranmu waras! Kegilaanmu malah semakin menjadi-jadi! Orang sepertimu tidak pantas dibiarkan hidup di atas muka bumi ini...!” bantah ayah Gayatri yang kemarahannya sudah mencapai ubun-ubun. Golok di tangan kanan-nya tampak bergerak, dan siap dihujamkan ke tubuh lelaki kekar yang kurang waras itu.
Mantara menggeram bagai banteng luka. Matanya yang hanya sebelah berputar liar. Saat itu ia sudah terkurung oleh kurang lebih dua puluh orang bersenjata!
“Hmh...!” Dengan menggeram keras, Mantara bergerak ke de-lpan mengayunkan kepalan kanannya ke arah orang tua Gayatri. Rupanya ia ingin membalas perbuatan orang tua itu.
Namun, orang tua yang tengah dilanda kemarahan hebat itu sedikit pun tidak merasa gentar. Disambutnya kepalan Mantara dengan tebasan golok. Ia ingin membabat putus lengan lelaki kekar itu. Dan....
Takkk!
“Uhhh...?!”
Tebasan golok orang tua itu tepat mengenai pergelangan tangan Mantara. Tapi yang terjadi kemudian benar-benar membuat penduduk Desa Jatilarang terperanjat dengan wajah pucat! Lengan Mantara tetap utuh! Justru golok lawanlah yang terpental balik. Tubuh orang tua itu terjajar mundur beberapa langkah!
“Gila...! Dia..., kebal terhadap senjata tajam?!” seru salah seorang penduduk yang bergerak mundur dengan hati gentar!
“Kurang ajar...!” rupanya setelah menjalani kehidupan liar di dalam hutan, tubuhnya bertambah kuat...!” lelaki gagah yang memegang pedang pun terperanjat kaget melihat kejadian yang tidak pernah disangkanya itu.
Mantara sedikit pun tidak mempedulikan seruan-seruan kaget pengepungnya. Ia segera menerkam tubuh lawan dengan sepasang lengan terkembang. Dan...
“Hekh !!.!” Sepasang lengan berjari-jari kokoh itu mencekik batang leher lawan. Orang tua itu meleletkan lidah merasakan jalan nafasnya tersumbat cekalan sekeras japitan baja!
“Hattt...!” Untunglah lelaki gagah itu tidak tinggal diam. Pedang di tangannya langsung disabetkan ke lengan Mantara.
Wuttt.., takkk!
Lagi-lagi lelaki gagah itu harus menerima kenyataan yang mengejutkan! Kendati cekalan Mantara berhasil lepas, namun lengan lelaki kekar itu tetap utuh! Hanya terdapat bilur-bilur merah bekas tebasan mata pedang. Jelas sudah Mantara memiliki kekebalan tubuh yang hebat!
Tapi meskipun kulit tubuhnya tidak mudah terluka, terutama saat Mantara mengerahkan tenaga, tapi rasa sakit tetap dirasakannya. Terbukti ia sempat mengusap lengannya yang terkena babatan pedang. Wajahnya pun berkerut seperti sedang menahan sakit. Mantara menatap garang lelaki gagah yang kini berdiri di hadapannya. Mulutnya bergerak-gerak seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi, yang terdengar hanya geraman kemarahan.
Lelaki gagah itu rupanya tahu apa yang hendak diucapkan Mantara. Sebab kemudian ia berkata kepada lelaki kekar yang tidak waras itu. “Kau masih ingat kepadaku, Mantara,” tegur lelaki gagah yang dijawab Mantara dengan menggeram keras! Urat-urat wajah lelaki kekar itu tampak mengembung. Sinar matanya memancarkan dendam yang dalam!
“Menyesal aku tidak membunuhmu pada waktu itu! Aku sengaja membuangmu ke dalam hutan. Karena aku masih berharap kau dapat sembuh dan kembali hidup normal. Ternyata setelah berdiam di hutan selama setahun lebih, kegilaanmu semakin menjadi-jadi! Sifatmu yang suka mengganggu dan menyakiti orang lain malah meningkat! Sekarang kau hendak menyakiti dan menodai kehormatan Gayatri! Untuk perbuatan biadab mu itu terpaksa kau harus dilenyapkan!” lanjut lelaki gagah itu yang rupanya pernah mengalahkan dan menghajar Mantara setahun yang silam, lalu membuangnya ke dalamhutan.
Sebenarnya sosok Mantara tidak asing lagi bagi mereka. Lelaki kekar itu adalah penduduk Desa Jatilarang. Pada dasarnya lelaki kekar itu memang sangat sombong dan sering berkelahi. Sehingga tidak ada satu pun penduduk yang berani menentangnya. Terlebih setelah Mantara gila. Setelah gagal mengikuti ujian menjadi perwira kerajaan.
Meskipun kegilaannya hanya kadang-kadang, namun sangat mengganggu ketenteraman penduduk. Sehingga, lelaki gagah yang menjadi tangan kanan Kepala Desa Jatilarang terpaksa turun tangan. Lelaki tinggi kekar itu akhirnya dibuang ke dalam hutan, dan diancam bila berani kembali ke desa.
Tapi setelah setahun lebih berdiam di dalam hutan, kegilaan Mantara semakin menjadi-jadi. Tidak jarang ia menghadang orang-orang yang lewat di pinggir hutan. Kemudian lari bersembunyi saat lelaki gagah itu datang bersama penduduk.
Siapa sangka kalau akhirnya Mantara berani memasuki desa. Malah menculik Gayatri, dan nyaris menodai gadis malang itu. Bahkan kali ini ia tidak kelihatan gentar menghadapi orang yang pernah menghajarnya. Selain itu, tubuh Mantara pun bertambah kuat. Sehingga, tidak mudah untuk dilukai senjata tajam bila sedang mengerahkan tenaganya. Kalau tadi punggungnya dapat terbeset golok, itu karena Mantara lengah.
Mantara tentu saja tidak lupa dengan orang yang telah menghajarnya habis-habisan itu. Dendam di dalam dadanya semakin dalam ketika kembali berhadapan dengan lelaki gagah yang bernama Ki Kalayan. Lelaki gagah itulah yang telah melenyapkan sebelah matanya setahun yang lalu. Maka tidak aneh jika saat ini Mantara siap membalas perlakuan Ki Kalayan. Itu terlihat jelas pada tatapan matanya.
Kali ini Ki Kalayan kelihatan tidak berani memandang remah Mantara. Ia telah merasakan kekebalan tubuh laki-laki kekar itu. Sikapnya sangat hati-hati melihat pancaran dendam dalam mata Mantara. Ki Kalayan dapat menduga Mantara siap membalas kekalahannya setahun silam.
“Grrmg...!” Mantara kembali memperdengarkan geraman- nya yang menakutkan. Wajahnya tampak beringas, dan siap melumat Ki Kalayan. Kaki-kakinya bergeser membentuk kuda-kuda kokoh. Meski kegilaannya semakin menjadi, Mantara tidak melupakan kepandaiannya. Bahkan Ki Kalayan menduga Mantara sekarang telah memiliki gerakan yang jauh lebih kokoh dan sempurna dibanding setahun silam. Melihat Mantara sudah mempersiapkan jurusnya, Ki Kalayan pun bergerak kekanan. Siap menghadapi lelaki gila itu.
DUA
“Hakhhh...!” Dengan berteriak aneh, Mantara melesat menerjang Ki Kalayan. Sepasang kepalanya yang besar dan mampu meremukkan batu sebesar kepala kerbau mencari sasaran dengan disertai sambaran angin menderu.
Ki Kalayan terkejut melihat kecepatan dan kekuatan Mantara. Cepat langkahnya digeser menghindari kepalan maut itu. Kemudian langsung membalas dengan sambaran pedang yang tajam. Sebentar saja kedua orang itu telah saling terjang dengan hebatnya!
Mantara kelihatan sangat bernafsu merobohkan lawan yang pernah mengalahkannya itu. Serangannya datang bertubi-tubi mengancam bagian-bagian terlemah tubuh lawan. Sehingga, dalam lima belas jurus saja Ki Kalayan mulai dibuat kewalahan. Hal itu tidak aneh. Ki Kalayan telah bertambah tua. Sedangkan Mantara yang hidup di alam liar semakin gesit dan kuat Ki Kalayan tahu ia akan kalah juga akhirnya.
“Hei, mengapa kalian diam saja seperti patung? Bantu aku melumpuhkan orang gila ini...!”
Sadar dirinya berada dalam ancaman maut, Ki Kalayan berteriak kepada penduduk yang hanya menonton. Mereka pun segera bergerak memasuki arena membantu Ki Kalayan. Datangnya bantuan di pihak lawan, sempat membuat tubuh Mantara dihujani beberapa bacokan. Meski tidak sampai melukai, namun Mantara menjadi gusar. Bacokan itu menimbulkan rasa nyeri. Bukan tidak mungkin lama-lama kulitnya akan robek juga.
“Hahhh...!” Rasa nyeri yang sedikit-sedikit itu membuat Mantara bertambah gusar. Teriakannya kembali membahana. Kepalan-kepalannya kali ini diselingi tendangan keras yang sanggup menjebolkan dada. Dan...!
Bukk, desss...!
Dua orang pengeroyok yang terlambat menyelamatkan diri terlempar deras terkena tendangan dan pukulan Mantara yang bagaikan palu godam! Kedua orang itu memutahkan darah segar. Nyawanya melayang seketika!
“Keparat...!” Melihat kejadian itu, Ki Kalayan marah bukan main! Pedangnya diputar sekuat tenaga, hingga mendatangkan deruan angin keras! Kemudian....
“Haaat..!”
Dibarengi teriakan keras, tubuh Ki Kalayan melayang ke udara! Pedangnya melancarkan serangkaian serangan yang mendatangkan angin tajam!
Cwittt, cwittt, wuttt!
Serangkaian serangan mematikan itu memaksa Mantara berlompatan menyelamatkan diri. Kendati kurang waras, namun pikirannya masih dapat digunakan dengan baik. Ia merebut senjata seorang lawannya yang dirobohkan dengan pukulan keras di kepala. Karuan saja orang itu jatuh ke tanah dan tewas tanpa ampun!
Trang! Trang!
Dengan golok di tangan, Mantara berani menyambut serangan Ki Kalayan. Bahkan mampu melancarkan serangan balasan yang tidak kalah berbahaya. Kecepatan geraknya pun pantas diperhitungkan Ki Kalayan.
“Yeaaah...!”
“Haaat..!”
Dua orang penduduk melesat dengan babatan senjatanya ketika melihat Ki Kalayan terdesak gempuran orang gila itu. Siapa sangka perbuatannya malah mencelakakan dirinya sendiri. Mantara yang mendengar teriakan itu langsung berbalik disertai kelebatan goloknya yang cepat bukan main!
Brettt, brettt..!
Dua orang malang itu menjerit lagi saat golok Mantara merobek perut dan lambung mereka. Darah segar menyembur keluar seiring dengan robohnya tubuh mereka.
Melihat kedua lawannya berkelojotan, Mantara cepat berlari memburu. Dengan buas, ia mengayunkan goloknya berkali-kali. Sehingga, kedua orang itu meraung setinggi langit. Mereka tewas dengan tubuh dipenuhi luka bacokan yang dalam, membuat wajah mereka tidak bisa dikenali lagi!
“Iblisss...! Kubunuh kauuu...!”
Melihat kekejaman Mantara, Ki Kalayan melupakan keselamatan dirinya. Tubuhnya langsung melayang dengan sambaran-sambaran mata pedangnya. Ki Kalayan telah bertindak nekat dan tidak lagi mempedulikan nyawanya untuk melenyapkan lelaki gila itu.
“Heaaahhh...!”
Mantara yang memang sangat dendam kepada orang tua itu sedikit pun tidak gentar. Ia bergerak maju menyambut serangan Ki Kalayan. Dan mampu mendesak lelaki gagah itu. Ki Kalayan terpaksa bermain mundur. Gerakannya kalah cepat dengan orang gila itu!
Wuttt...!
Golok Mantara melesat dengan kekuatan penuh. Tampaknya kali ini Ki Kalayan sulit untuk menyelamatkan diri. Kedudukannya sangat lemah!
“Aaahhh...?!” Lelaki tua itu memekik ngeri melihat cahaya perak datang mengancam tenggorokannya. Dan....
Plakkk, brettt!
“Aaakh...!”
Kejadian yang berlangsung sekejapan itu benar-benar mengejutkan! Pada saat nyawa Ki Kalayan hampir terbang, sesosok bayangan merah berkelebat laksana sambaran kilat! Ia bukan saja dapat menggagalkan serangan Mantara. Bahkan sempat mengirimkan sebuah gedoran telapak tangan ke dada lelaki kekar itu. Akibatnya, tubuh Mantara terjengkang ke belakang.
“Haaahhh!”
Begitu tubuhnya terbanting ke tanah, Mantara langsung melenting bangkit. Wajahnya menyeringai sambil menekan dada kirinya yang terasa sesak. Geraman kemarahannya kembali terdengar. Mata yang tinggal sebelah itu menatap ke depan, tempat sesosok bayangan merah meluncur turun.
Ki Kalayan menarik napas lega setelah sadar dirinya telah diselamatkan orang. Sayang sosok berpakaian merah darah itu berdiri membelakangi. Sehingga, Ki Kalayan tidak dapat melihat wajah penolongnya. Tapi, sosok penolongnya yang tegap membuat Ki Kalayan yakin orang itu berusia tidak lebih dari dua puluh lima tahun.
Dugaan Ki Kalayan tidak meleset jauh. Sosok berpakaian merah darah itu memang masih muda dan berwajah tampan. Alis matanya tebal dan hitam. Sayang pemuda itu memiliki sinar mata yang dingin. Hingga wajahnya terkesan murung dan agak suram. Pemuda itu berdiri tegak menatap Mantara dengan sepasang mata esnya.
Mantara kelihatannya marah besar terhadap lelaki muda berpakaian serba merah itu. Ia segera bergerak maju dengan golok di tangan. Dan langsung melancarkan serangan bertubi-tubi. Sayang semua dapat dielakkan lawan tanpa mengalami kesulitan yang berarti. Bahkan pemuda itu kembali menyarangkan sebuah tendangan ke perut Mantara.
Desss...!
“Hukh...!” Tendangan yang cepat dan kuat itu melemparkan tubuh Mantara dengan perut tertekuk. Sehingga, lelaki kekar itu tidak bisa lagi menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan....
Gusrakkk!
Tanpa ampun lagi, tubuh kekar itu jatuh berdebum ditanah berumput Mantara menyeringai kesakitan. Kemudian menggeliat bangkit dengan perut masih menekuk. Agaknya tendangan barusan telah membuatnya mulas!
“Setan keparat..!” karena marahnya, Mantara mengeluarkan makian kasar. Lalu menyumpah-nyumpah sambil menyemburkan ludah.
“Hm.... Rupanya kau belum merasa jera juga, Raksasa Gila...?” desis pemuda tampan itu datar tanpa tekanan. Sinar matanya tetap dingin membeku.
“Kisanak. Orang gila itu berbahaya sekali! Sebaiknya dilenyapkan saja agar tidak lagi mengganggu orang banyak...!” mendengar ucapan penolongnya. Ki Kalayan segera datang mendekat. Ucapan orang berpakaian merah itu menunjukkan ia tidak berniat membunuh Mantara. Tentu saja Ki Kalayan tidak menginginkan hal itu terjadi.
“Hm...” Pemuda tampan itu bergumam tak jelas. Bahkan tanpa tekanan. Hingga Ki Kalayan ragu.
“Kami sudah lama mengenalnya, Kisanak. Ia tidak pernah jera mengganggu dan menyakiti siapa saja. Kalau hari ini dilepaskan, besok pasti ia akan membuat ulah lagi...,” tukas Ki Kalayan berusaha meyakinkan penolongnya.
Pemuda itu tetap tidak memberikan jawaban. Tapi melihat kakinya melangkah mendekati Mantara, Ki Kalayan menduga penolongnya akan mengikuti anjurannya. Dan ketika Mantara kembali menerjang maju, Ki Kalayan bergerak menepi, la berdiri menonton bersama penduduk yang masih selamat
Kali ini pertarungan berlangsung lebih seru! Mantara mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk merobohkan pemuda tampan berpakaian serba merah. Serangan-serangannya datang demikian deras bagai gelombang lautan yang tak pernah putus.
Tapi lawan dapat menghadapi dengan baik. Bahkan beberapa kali pukulan pemuda berpakaian serba merah mendarat di tubuh Mantara. Hebatnya, setiap kali terdorong atau terjatuh, Mantara langsung bangkit dan kembali menerjang tanpa mengenal lelah! Rupanya lelaki kekar itu hendak bertarung mati-matian!
Kebandelan dan kekuatan daya tahan Mantara sempat menimbulkan rasa kagum pemuda tampan itu. Tapi, di balik kekaguman itu ia merasa penasaran. Sampai akhirnya kesabarannya habis! Pemuda itu mengerahkan kekuatannya untuk merobohkan Mantara!
“Haaat...!”
Dengan sebuah teriakan keras yang menggetarkan jantung, pemuda tampan berpakaian serba merah mendorongkan kedua telapak tangannya saat Mantara kembali menerjang ganas. Sehingga....
Bressshhh!
“Aaarghhh!” Raungan Mantara meningkahi suara pukulan yang menghantam tubuhnya. Tanpa dapat ditahan lagi, tubuh kekar itu terdorong ke belakang membentur pohon besar di belakangnya, yang langsung berderak roboh! Tubuh Mantara menggelepar sejenak bersandar pada patahan batang pohon. Lalu kepalanya terkulai. Nyawa lelaki tinggi kekar itu pergi meninggalkan raganya dengan dada remuk. Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya pukulan pemuda tampan berpakaian serba merah.
“Kisanak, tunggu!” Ki Kalayan segera berteriak mencegah ketika melihat pemuda berpakaian serba merah beranjak pergi tanpa berkata sepatah pun. Langkah pemuda itu tampak terhenti. Kendati demikian, tubuhnya tidak berbalik. Ia menunggu Ki Kalayan datang menghampiri.
“Mengapa begitu terburu-buru, Kisanak? Tidakkah sebaiknya singgah sebentar di desa kami? Kami ingin mengucapkan terima kasih atas pertolongan Kisanak kepada penduduk Desa Jatilarang,” ujar Ki Kalayan menghadang pemuda itu.
“Aku tidak membutuhkan ucapan terima kasih kalian. Selain itu aku sudah singgah di Desa Jatilarang. Kuminta biarkan aku lewat...,” tukas pemuda tampan berpakaian serba merah dingin. Matanya menatap lurus ke depan.
Kaget juga hati Ki Kalayan mendengar jawaban yang sedikit pun tidak menunjukkan sikap bersahabat. Tapi karena pemuda itu telah menyelamatkan nyawanya, Ki Kalayan berusaha tetap tersenyum untuk menyembunyikan kejengkelannya.
“Kisanak hendak pergi ke mana...?”
“Ke mana saja kakiku melangkah. Aku tidak mempunyai tujuan...,” sahut pemuda tampan itu tanpa tekanan. Keramahan Ki Kalayan tidak merubah, baik sikap maupun suaranya.
“Mmm.... Kalau boleh kami tahu, siapakah nama besar Kisanak yang gagah...?” kembali Ki Kalayan bertanya tanpa memperlihatkan sikap tersinggung sedikit pun.
“Panggil saja aku Kelana,” jawab pemuda itu singkat. “Aku harus pergi sekarang”
“Kelana...,” gumam Ki Kalayan mengerutkan kening mendengar nama yang cukup aneh itu. Lelaki tua itu kemudian menepi dan membiarkan Kelana lewat. “Mungkin nama itu diambil karena dirinya yang selalu berpetualang? Bukankah Kelana berarti petualang? Hm...,” Ki Kalayan termenung sambil bergumam seorang diri. Kemudian berbalik dan memandang sosok Ki Kalayan yang semakin menjauh.
“Kalau begitu, aku akan menyebutmu Petualang Sakti!”
Pemuda berpakaian serba merah menghentikan langkahnya sejenak. Lalu kembali mengayunkan langkah tanpa menoleh sekejap pun.
“Petualang Sakti...,” gumamnya mengulang julukan yang diberikan Ki Kalayan. "Terserah kau sajalah, Orang Tua...,” lanjutnya tersenyum tipis. Rupanya julukan itu cukup mengena di hatinya.
Ki Kalayan masih berdiri menatap tempat sosok Petualang Sakti menghilang. Beberapa saat kemudian, ia membalikkan tubuh dan mengajak kawan-kawannya kembali ke desa. Hatinya merasa lega karena pengganggu ketenteraman penduduk Desa Jatilarang sudah tiada.
********************
“Berhenti! Hendak lari ke mana kau, Setan Betina...!”
Belasan orang prajurit yang dipimpin seorang perwira berteriak marah sambil berlari mengejar seorang gadis muda berwajah cantik. Tentu saja peristiwa itu membuat orang-orang menyingkir dan menatap heran. Beberapa di antaranya menatap tak senang kepada belasan prajurit itu. Karena yang mereka kejar seorang perempuan muda berwajah cantik.
Orang-orang yang menyaksikan kejar-mengejar itu lebih berpihak kepada perempuan cantik itu. Gadis cantik itu terus mempercepat larinya. Teriakan-teriakan di belakangnya yang bagai tidak pernah berhenti sama sekali tidak dipedulikan. Gadis itu terus berlari menuju gerbang kadipaten.
“Tangkap setan betina itu...!” Perwira berkumis lebat itu kembali berteriak saat buruannya hendak keluar kadipaten. Teriakan itu ditujukan kepada para penjaga pintu gerbang.
Enam orang penjaga pintu gerbang timur pun segera bergerak. Tombaknya ditodongkan ke arah sosok gadis muda yang dua tombak lagi melewati gerbang.
“Kurang ajar...!” Terdengar gadis muda itu menyumpah. Enam orang prajurit berjajar menutup jalan keluarnya. Sadar kalau ia tidak mungkin dapat lolos tanpa jalan kekerasan, gadis itu memperlambat larinya. Senyum sinis menghias wajahnya yang cantik. Tampaknya ia mendapat jalan keluar yang baik untuk menghadapi para penjaga pintu gerbang.
“Berhenti...!” salah seorang dari keenam penjaga membentak. Tombaknya tetap disiapkan untuk berjaga-jaga jika gadis muda itu melakukan perlawanan.
Apa yang diperkirakan prajurit-prajurit itu ternyata meleset! Gadis itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan melawan. Malah larinya berhenti sama sekali. Wajah cantiknya terlihat muram. Dan langkahnya terayun lesu. Tiga di antara keenam prajurit penjaga bergerak mendekat. Tombak mereka siap memanggang tubuh gadis itu bila ia melawan.
“Mengapa kau melarikan diri seperti pencuri, Nisanak? Kesalahan apa yang telah kau perbuat sampai diburu kawan-kawan kami..?” tegur salah seorang prajurit mewakili dua kawannya. Mereka berdiri berhadapan dalam jarak kurang dari satu tombak.
“Mereka hendak berbuat kurang ajar kepadaku! Tentu saja aku tidak terima dan terpaksa melawan. Habis mereka terlalu memaksa...,” kata gadis muda itu dengan manja sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya ke kiri dan kanan. Kepalanya ditundukkan. Dan jari-jari tangannya mempermainkan ujung baju. Kelakuan itu membuat tiga orang prajurit yang menghadangnya menjadi heran, dan saling bertukar pandang satu sama lain.
“Kami bisa memaklumi sikap mereka, Nisanak. Kau terlalu cantik dan menggairahkan...,” ujar prajurit itu. Keisengannya timbul ketika melihat sikap manja gadis muda itu. Sambil berkata begitu, ia melangkah maju dan mengulurkan tangannya hendak menyentuh dagu gadis itu.
“Aaa...” Gadis cantik merengek manja dan menggeser tubuhnya ke samping. Sehingga prajurit itu penasaran. Melihat sikap manja itu, ketiganya tertawa menyeringai. Kewaspadaan mereka hilang. Begitu pula tiga penjaga yang berdiri di depan pintu gerbang. Mereka tertawa melihat perbuatan kawan-kawannya.
“Hei, hati-hati!” Perwira yang hampir tiba di tempat itu berseru memperingatkan kawan-kawannya. Sayang peringatan itu terlambat! Karena tiba-tiba....
“Haiiit..!” Laksana seekor burung camar, gadis cantik itu melayang dengan tamparan yang cepat dan mendatangkan angin keras!
Plakkk, plakkk, plakkk!
Karena tidak menduga gadis manja itu bisa berubah ganas, ketiga prajurit itu tidak sempat menyelamatkan diri. Tubuh mereka terlontar ke kiri dan kanan. Jatuh mencium tanah dengan wajah bengkak.
Perwira yang berada dua tombak di belakang gadis muda itu terkejut! Apalagi saat gadis berpakaian serba merah itu melayang ke arah tiga penjaga lainnya, yang juga tidak bersiaga. Sehingga....
“Hiyaaat..!”
Gadis cantik itu membagi-bagi tamparannya, membuat ketiga prajurit itu terpelanting roboh! Hebat dan cepat bukan main gerakan gadis cantik yang lincah dan banyak akal itu. Padahal kalau keenam penjaga itu tidak terpengaruh sikap gadis itu belum tentu mereka dapat dirobohkan semudah itu. Paling tidak gadis itu memerlukan lima enam jurus untuk merobohkan lawan-lawannya. Dan itu berarti pengejarnya sudah keburu tiba. Kemungkinan itu yang hendak dihindarkan gadis cantik berpakaian serba merah.
“Sampai jumpa lagi...!’” gadis cantik itu masih sempat melambaikan tangan sebelum lenyap di kejauhan.
“Bodoh...! Mengapa kalian sampai dapat diakali gadis setan itu!” perwira berkumis tebal yang tiba di pintu gerbang memaki dengan geram. Bukan cuma mulutnya saja yang berbicara. Tangannya pun melayang berkali-kali.
Plakkk, plakkk, plakkk!
Keenam prajurit itu masing-masing mendapat bagian di wajahnya. Mereka mengaduh kesakitan. Bekas tamparan gadis berpakaian serba merah tadi belum lagi hilang. Kini ditambah dengan tamparan perwira mereka. Karuan saja prajurit itu menyumpah-nyumpah gadis kurang ajar itu. Tapi tentu saja sumpah-serapah itu hanya mereka sendiri yang dengar. Karena diteriakkan di dalam hati.
“Kalau lain kali kalian masih juga melakukan kesalahan seperti tadi, aku akan memecat kalian semua! Mengerti...!”
“Mengerti...”
Keenam prajurit itu menjawab serempak sambil menyeringai menahan sakit di wajahnya.
“Ketahuilah. Perempuan cantik tadi telah membunuh pemilik kedai di persimpangan jalan, tempat kalian biasa singgah! Jadi bila lain kali kalian melihatnya, langsung tangkap saja tidak perlu banyak tanya lagi...!” lanjut perwira itu menumpahkan kejengkelan hatinya. Setelah berkata begitu, perwira berkumis lebat itu memerintahkan mereka kembali bertugas. Ia sendiri meninggalkan tempat itu bersama belasan prajurit yang datang bersamanya tadi.
Tinggallah keenam prajurit pintu gerbang menyumpahi nasibnya yang sial. Tak ada orang lain, yang bisa disalahkan kecuali diri mereka, yang kena diakali oleh seorang gadis muda. Itu merupakan pelajaran agar lain kali tak mudah tergoda wajah cantik atau sikap manja yang memikat
********************
TIGA
Siang yang terik. Matahari memancar garang menjilati permukaan bumi. Hembusan angin yang sesekali keras membawa hawa pengap, membuat orang berpeluh. Jalan utama Desa Alur tampak sepi. Hanya satu dua orang saja yang terlihat melintas di jalan itu. Kebanyakan penduduk lebih suka tinggal di dalam rumah atau beristirahat di kedai minum.
“Hufff.... Panas sekali siang ini”
Seorang dara jelita berpakaian serba hijau mengeluh pendek sambil menyusut lelehan peluh yang membasahi kening dan lehernya. Wajahnya yang mempesona tampak kemerahan. Dalam keadaan seperti itu, kecantikannya justru terlihat semakin menonjol.
Dara jelita itu rupanya tidak sendiri. Di sebelahnya melangkah sosok lain. Seorang pemuda tampan bertubuh sedang, namun tegap dan berisi. Pakaiannya yang berupa jubah terbuat dari kain sederhana dan berwarna putih. Langkahnya tenang dengan sorot mata tajam menatap lurus ke depan. Ia hanya bergumam pelan menimpali keluhan dara jelita di sebelahnya. Saat itu keduanya tengah bergerak memasuki mulut Desa Alur. Jalan desa yang sepi tidak membuat mereka heran. Udara siang itu memang sangat panas.
“Kita singgah di kedai minum itu...,” ujar pemuda tampan berjubah putih menunjuk sebuah kedai di sebelah kiri jalan.
Gadis jelita itu mengangguk, dan mengikuti langkah kawannya. Mereka berhenti di ambang pintu kedai, memperhatikan ruangan kedai yang tampak dipadati pengunjung.
“Wah, kelihatannya tidak ada tempat lagi untuk kita, Kakang...,” gumam dara jelita berpakaian serba hijau kecewa. Semua kursi telah terisi. Tidak ada lagi tempat yang kosong.
"Kelihatannya begitu...,” sahut pemuda tampan berjubah putih setelah memperhatikan ruangan kedai. “Mari kita cari kedai lain...,” lanjutnya. Lalu berbalik dan meninggalkan kedai.
Tapi, baru saja keduanya melangkah setindak seorang pelayan kedai berlari-lari kecil menghampiri pasangan muda itu. Terdengar ia berteriak mencegah. “Kisanak, Tungguuu...!”
Tahu kalau teriakan itu ditujukan kepada mereka, keduanya segera berbalik. Kemudian menunggu pelayan itu tiba.
"Tidak perlu tergesa-gesa. Bukankah Kisanak berdua hendak singgah di sini...?” tegur pelayan itu tersenyum ramah. Lalu bergerak menyisi memberikan jalan kepada kedua orang tamunya.
“Hm.... Kulihat semua kursi sudah terisi, Paman? Di mana kami akan duduk...?” ujar pemuda berjubah putih dengan kening agak berkerut Kendati demikian, nada bicaranya tenang dan tidak tinggi.
“Ha ha ha.... Jangan khawatir! Kami menyediakan tempat lain yang bisa kalian pergunakan. Mari ikut aku...,” tukas pelayan kedai kemudian melangkah diikuti kedua tamunya.
Beberapa pasang mata yang semula sibuk dengan hidangannya, menyempatkan diri memperhatikan pasangan muda itu. Wajah dan penampilan keduanya terlalu menarik. Terutama gadis berpakaian serba hijau. Parasnya yang jelita seperti bidadari mengundang mata laki-laki untuk menikmati dan mengaguminya. Meskipun secara sembunyi- sembunyi.
Pasangan muda itu tahu mereka diperhatikan. Tapi keduanya tetap melangkah tenang, tidak mempedulikan pandangan yang tertuju ke arah mereka. Dan terus mengikuti langkah pelayan kedai menuju ruangan lain. Rupanya kedai minum itu menyediakan dua ruangan yang dibatasi sebuah pintu tertutup kain bercorak kembang-kembang dengan warna dasar merah. Ke ruangan itulah si pelayan membawa kedua tamunya.
Tapi baru saja pasangan muda itu duduk, tiba-tiba dari luar terdengar ribut-ribut. Suara bentakan-bentakan kasar itu membuat keduanya saling berpandangan. Lalu menoleh ke arah pelayan yang juga kelihatan terkejut
“Sepertinya di luar ada keributan, Paman...?” ujar pemuda tampan berjubah putih menatap pelayan kedai yang kebingungan. Ia tidak tahu apa yang menyebabkan keributan itu.
“Kisanak berdua tidak perlu khawatir. Tetaplah di sini. Biar aku yang melihatnya sekalian mengambilkan pesanan kalian...,” sahut pelayan kedai agak terburu-buru. Kemudian bergegas pergi sebelum pasangan muda itu kembali bertanya.
Pasangan muda yang tidak lain Kenanga dan Panji yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih bertukar pandang sejenak. Seperti telah mendapat kata sepakat, mereka bangkit hendak melihat penyebab keributan dan bentakan kasar tadi.
Apa yang kemudian terlihat di ruangan depan kedai membuat kening Kenanga dan Panji berkerut. Mereka melihat seorang lelaki berkepala botak dan bertubuh tinggi besar membentak-bentak pemilik kedai. Dua buah meja yang terbalik menumpahkan hidangan di atasnya ke lantai. Sudah pasti itu perbuatan lelaki berkepala botak. Bahkan salah seorang pelayan kedai tergeletak di sudut dengan wajah biru dan berdarah!
“Hei, Peot! Apa kau ingin aku mengusir semua orang yang berada di dalam ruangan ini! Ayo, jawab!” bentakan lelaki botak bertubuh tinggi besar itu kembali terdengar. Hingga tubuh pemilik kedai terlonjak saking kagetnya.
“Jangan, Tuan.... Jangan...” Pemilik kedai berkata terbata-bata dengan tubuh menggigil dan wajah seputih kertas. Kemudian tubuhnya dijatuhkan dan berlutut memeluk sebelah kaki lelaki tinggi besar itu.
“Kalau begitu, cepat berikan apa yang kuinginkan...!” bentak lelaki berkepala botak tanpa memperlihatkan rasa kasihan sedikit pun.
Sikap lelaki berkepala botak yang semakin beringas membuat beberapa pengunjung ketakutan dan siap meninggalkan tempat itu. Sedang yang lainnya hanya memandang dengan gelisah. Rupanya mereka telah mengenal lelaki botak itu, dan tahu apa yang diinginkannya. Terbukti mereka tidak bergerak dari kursinya. Menunggu kelanjutan sikap lelaki tinggi besar itu.
“Berhenti! Mau ke mana kalian!” Bentakan menggelegar yang sanggup membuat orang berpenyakit jantung tewas seketika itu juga menghentikan langkah pengunjung yang hendak meninggalkan tempat itu. Lalu menoleh takut-takut ke arah lelaki tinggi besar berkepala botak.
“Kami sudah selesai, Tuan.... Dan..., kami hendak melanjutkan perjalanan...,” salah seorang dari mereka menjawab takut-takut
“Hm...” Lelaki berkepala botak menggumam dengan nada mengejek dan tersenyum sinis. Langkahnya terayun menghampiri orang-orang itu, yang semakin ketakutan. “Jadi kalian bukan penduduk desa ini...?” tanya lelaki botak sambil merayapi wajah mereka satu persatu, membuat yang dipandang menjadi pucat dan gemetar.
“Be..., tul..., Tuan...,” kembali orang yang barusan berkata menyahuti.
“Apakah kalian sudah membayar pesanan kalian?”
“Su..., dah. Kami sudah membayarnya, Tuan...,” lelaki bertubuh kurus itu kembali menjawab gugup.
“Kalau begitu, kuminta kalian tinggalkan uang sebesar pembayaranmu untukku...,” ujar lelaki botak menadahkan tangannya dengan telapak membuka lebar.
‘Tapi..., kami sudah membayarnya tadi...?!” sambil menjawab, lelaki kurus melemparkan pandangan ke arah pemilik kedai. Seperti ingin meminta dukungan pemilik kedai itu. Tapi, yang ditatapnya malah memalingkan wajah tanpa berani menjawab.
“Hm... Cepat lakukan apa yang kuminta! Siapa saja yang berani membantah, akan tahu akibatnya...!” ancam lelaki botak dengan sepasang mata berkilat tajam. Jari-jari tangan kirinya mengusap gagang pedang yang tersembul di pinggang. Seolah ia siap membuktikan ucapannya.
Melihat gelagat tidak baik, beberapa di antaranya langsung menyiapkan permintaan lelaki botak. Jelas mereka lebih sayang nyawa daripada uang yang tidak seberapa. Karena uang dapat mereka cari. Sedangkan nyawa, tak seorang pun yang menjualnya.
Lelaki botak bertubuh tinggi besar itu memperdengarkan tawanya dengan sombong. Tangan kanannya tetap menadah. Sedangkan kepalanya mendongak menatap langit-langit. Sebelah kakinya bergerak-gerak, membuat tubuhnya bergoyang-goyang. Tapi.... Sebelum lelaki botak menerima uang itu, tiba-tiba....
"Tunggu...!”
Terdengar bentakan halus, namun berpengaruh hebat! Karena meskipun terdengar pelan, tapi membuat jantung orang-orang di ruangan kedai itu berdetak lebih cepat. Langsung saja seluruh mata di ruangan kedai itu menoleh ke arah asal suara. Dan....
Hampir setengah pengunjung kedai menggelengkan kepala sambil membuang napas berat Yang mengeluarkan bentakan tadi hanya seorang pemuda tampan. Meskipun tubuh pemuda itu kelihatan padat berisi, tapi bila dibandingkan dengan lelaki botak masih jauh berbeda. Pemuda itu kelihatan kurus dan lemah. Sepertinya akan jatuh hanya dengan sekali pukul saja.
Lain yang dipikirkan sebagian pengunjung kedai, lain pula pikiran lelaki botak itu. Yang menjadi perhatiannya bukanlah pemuda tampan berjubah putih yang mencegah tindakannya. Tapi, sosok di samping pemuda tampan itu yang membuat matanya melotot dan mulutnya menyeringai seperti singa lapar. Lelaki botak sampai menelan air liur berkali-kali!
“Haihhh.... Tidak kusangka hari ini aku menerima karunia yang sangat besar! Siapa sangka kedai jelek seperti ini menjadi tempat persinggahan seorang bidadari...! Benar-benar merupakan hari baikku. Setelah berkata demikian, lelaki botak mengayunkan langkahnya. Rupanya sosok Kenanga yang membuatnya demikian gembira.
Kenanga sendiri tidak berbuat apa-apa. Pendekar Naga Putih telah mengingatkannya agar jangan mengambil tindakan, dan menyerahkan persoalan itu kepadanya. Maka meskipun hatinya panas dan dadanya sesak oleh kemarahannya, Kenanga diam saja.
Lelaki botak mengayunkan langkahnya lebar-lebar tanpa mengalihkan pandangannya dari sosok Kenanga. Tapi pada saat hendak melewati Pendekar Naga Putih, pemuda itu langsung mengangkat tangan kanannya menghadang jalan. Tentu saja perbuatan itu membuat kening lelaki botak berkerut tak senang!
“Menyingkirlah, Bocah! Kalau saja tidak mengingat peruntunganku hari ini, lenganmu akan kupatahkan. Tapi, untuk hari ini aku akan memaafkan tindakanmu. Nah, menyingkirlah sebelum kau menyesali perbuatanmu!” ujar lelaki botak tanpa mengalihkan pandangan matanya dari sosok Kenanga yang sangat mempesona. Bahkan sekejap pun matanya tidak berkedip! Seolah khawatir Kenanga akan lenyap bila ia mengejapkan matanya, meski hanya sekali.
“Kisanak,” sahut Panji tenang dengan tatapan lurus ke depan, tanpa melihat wajah lelaki botak. “Kalau kau memang ingin lewat, singkirkanlah sendiri olehmu. Menurutku kau pasti tak akan mampu melakukannya”
“Hua ha ha...!”
Ucapan Pendekar Naga Putih membuat lelaki botak tergelak! Baginya apa yang dikatakan pemuda itu terasa sangat lucu. Mana mungkin ia tidak sanggup menyingkirkan lengan yang menghadang jalannya itu? Jangankan lengan, tubuh pemuda itu pun sanggup ia lemparkan keluar kedai. Apalagi cuma sebatang lengan yang menurutnya sekali cekal dapat dipatahkannya itu.
“Kau jangan main-main, Bocah! Sekali lagi kuperingatkan! Menyingkirlah! Atau aku terpaksa mematahkan lenganmu...!”
“Hm.... Tidak perlu mengumbar kesombongan. Sebaiknya perlihatkan saja kekuatanmu. Kalau kau memang sanggup menyingkirkan lenganku, lakukanlah! Kalau tidak, segera tinggalkan tempat ini, dan jangan perlihatkan lagi wajahmu di depanku...!” tukas Panji tanpa memandang wajah lelaki botak di hadapannya.
“Kurang ajar! Kau mencari penyakit, Bocah...!” merah padam wajah lelaki botak mendengar tantangan Panji. Terdengar geramannya yang menggetarkan jantung. Membuat semua orang yang berada di dalam kedai menjadi tegang!
Perbuatan Pendekar Naga Putih yang bagi sebagian pengunjung dianggap sangat berani telah mendatangkan berbagai pendapat. Beberapa di antara langsung berpihak kepada pemuda tampan berjubah putih itu, dan berharap agar lelaki botak dapat ditaklukkan. Sedang sebagian mencemooh, dan menyayangkan tindakan pemuda itu yang mereka anggap hanya mencari penyakit. Meskipun demikian, semua pengunjung ingin segera menyaksikan kelanjutan peristiwa itu.
“Hmh...!” Lelaki botak mendengus kasar. Lengan kirinya terulur dan mencekal pergelangan tangan Panji. Tapi....
“Ehhhh...?!” Sepasang mata lelaki botak tampak terbelalak! Lengan itu tidak dapat digesernya. Lengan yang memalangi jalannya itu seperti sebuah palang baja yang sangat berat. Hingga lelaki botak menjadi penasaran! Kali ini lelaki bertubuh tinggi besar itu menambahkan kekuatannya. Kemudian menyentakkan lengan pemuda berjubah putih ke atas dengan dibarengi bentakan keras dan menulikan telinga!
“Hahhh...!”
Apa yang terjadi kemudian benar-benar membuat para pengunjung terbelalak! Mereka yang semula membayangkan lengan pemuda itu akan terlepas dari sambungan bahunya ternyata salah! Lengan itu tetap terbentang. Tidak bergeming sedikit pun! Padahal lelaki botak sudah menambah kekuatannya. Kenyataan itu membuat pengunjung kedai ternganga heran!
“Keparat...!” Lelaki botak gusar bukan main! Sayang kenyataan itu tak membuatnya sadar kalau yang dihadapinya bukan pemuda sembarangan! Rasa malu mendengar beberapa pengunjung kedai tertawa, membuat wajah- nya semakin merah padam! Sehingga kali ini ia tidak menggunakan sebelah tangannya.
“Hahhh...!” Sambil membentak keras, lelaki botak menyentakkan tangan kirinya yang mencekal pergelangan Pendekar Naga Putih. Bersamaan dengan itu, tangan kanannya bergerak memukul dari atas ke bawah! Karuan saja para pengunjung kedai berseru kaget!
“Habislah pemuda itu sekarang...?!” gumam seorang pengunjung yang tegang bukan main! Ia tidak tega membayangkan lengan pemuda tampan itu patah. Apa yang dilakukan lelaki botak membuatnya menahan napas! Dan....
Wuttt, desss!
“Aaa...!”
Semua mata memandang tidak percaya ketika tubuh lelaki berkepala botak terpental diiringi jerit kesakitan. Bahkan beberapa di antaranya sampai mengerjapkan mata berulang-ulang. Kenyataan itu benar-benar di luar dugaan!
“Luar biasa...!”
“Mustahil...!”
Terdengar seruan-seruan pengunjung yang menyaksikan kejadian aneh itu. Betapa tidak? Apa yang mereka khawatirkan justru terjadi sebaliknya! Pemuda tampan berjubah putih tetap berdiri tegak dengan lengan kanan terkembang ke samping. Sedang tubuh lelaki botak yang memukul lengannya terpental seperti dilempar tangan-tangan raksasa yang tidak tampak! Padahal mereka melihat dengan jelas pemuda berjubah putih itu sama sekali tidak melakukan apa-apa saat lengannya disentakkan dan dipukul! Jelas itu sangat mustahil!
“Ilmu setan...!”
Lelaki berkepala botak memaki sambil bergerak bangkit dengan pinggang serasa hampir patah! Tubuhnya jatuh di atas meja, yang langsung patah berkeping-keping! Wajahnya kelihatan pucat! Bahkan lengan kanannya yang tadi digunakan untuk memukul, membengkak dan berwarna merah. Hingga mulut lelaki botak itu tidak henti-hentinya berdesis menahan sakit
“Apa... Apa yang kau lakukan padaku, Bocah Keparat..!” geram lelaki botak yang rupanya tidak tahu bagaimana ia dapat terlempar sampai menimpa mejadi belakangnya.
Pendekar Naga Putih tersenyum tipis menanggapi pertanyaan bodoh lelaki botak. Sebab Panji yakin orang itu tahu ia tidak melakukan apa-apa. Orang-orang yang berada di dalam kedai pun melihatnya dengan jelas. Meskipun begitu, Panji tetap menjawabnya dengan tenang.
“Hm.... Kau lihat sendiri bukan? Aku sama sekali tidak melakukan gerakan apa-apa. Justru kau sendirilah yang telah memukul dan menyentakkan lenganku ke atas. Nah, mengapa masih bertanya...?”
“Bohong...!” bentak lelaki botak yang kini sudah berdiri dan menatap Panji lekat-lekat. Rupanya ia belum menyadari kebodohan dirinya. Padahal seharusnya lelaki botak itu tahu kalau yang dihadapinya bukanlah pemuda sembarangan, dan memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya. Tapi, semua tertutup oleh kesombongan dan kemarahannya. Apalagi peristiwa itu terjadi di hadapan orang banyak. Ia tidak bisa menerima kenyataan itu.
“Hm.... Terserah bagaimana pendapatmu, Kisanak...,” tukas Panji seraya menatap tajam lelaki botak itu. Karena orang itu belum juga menyadari kebodohannya.
“Keparat! Hendak kulihat sampai di mana kehebatan ilmu setanmu itu...!” Rupanya lelaki botak itu masih penasaran! Setelah berkata demikian, tangannya, bergerak. Dan....
Srattt!
Seberkas sinar putih berkilauan ketika pedang dipinggang lelaki botak itu tercabut keluar dari sarungnya. Perbuatan itu membuat pengunjung kedai ketakutan! Beberapa di antara mereka berhamburan keluar meninggalkan tempat itu. Mereka tidak ingin menjadi sasaran kemarahan lelaki botak yang telah kalap itu.
“Hm...” Pendekar Naga Putih hanya bergumam pelan. Sedikit pun ia tidak khawatir, meski lawannya kali ini menggunakan senjata. Panji tahu lelaki botak itu hanya orang biasa yang memiliki tenaga besar. Untuk menghadapi orang seperti itu Pendekar Naga Putih dapat mengatasinya tanpa harus mencelakai orang lain.
EMPAT
“Kakang, lelaki itu sudah melewati batas! Kuminta Kakang menyingkir. Biar aku memberi pelajaran kepadanya...!” Kenanga marah melihat lelaki botak itu mencabut pedang. Gadis itu melangkah maju hendak melewati Panji.
"Tahan amarahmu, Kenanga...,” karena tidak ingin persoalan semakin berlarut, Panji menghadang jalan Kenanga dengan memalangkan lengannya. Sehingga langkah dara jelita itu tertunda. Sadar Panji tidak dapat menyerahkan persoalan itu kepadanya, Kenanga bergerak mundur. Tapi sepasang matanya tetap menyorot tajam ke arah lelaki botak di depannya.
Sementara lelaki botak bertubuh tinggi besar itu telah menggeser langkahnya ke kanan. Sepasang matanya berkilat memancarkan hawa membunuh. Pedang di tangannya bergerak menyilang menimbulkan kilatan sinar putih yang mengaung tajam. Meja di kiri dan kanannya dihempaskan agar ia dapat bergerak lebih leluasa. Sesaat kemudian....
“Haaattt!”
Disertai geraman keras, lelaki botak itu melompat ke depan. Pedang di tangannya menyambar cepat dengan kedudukan mendatar!
Bwettt!
Untuk menghindari serangan itu, Pendekar Naga Putih hanya memiringkan tubuh dengan menarik kaki kanannya ke belakang. Bersamaan dengan itu, tangan kirinya menampar pergelangan tangan lawan. Meskipun sebenarnya gerakan itu hanya perlahan, tapi lain bagi pandangan lawan. Sehingga....
Plakkk!
“Uhhh...?!” Bukan main kagetnya hati lelaki botak ketika mata pedangnya membalik dan mengancam tenggorokannya. Cepat ia melompat mundur. Wajahnya terlihat pucat dengan butir-butir keringat dingin mengalir di keningnya. Hampir saja nyawanya terbang. Kejadian itu membuat kemarahannya semakin menjadi-jadi!
“Keparat! Kubunuh kauuu...!”
Sambil memekik marah, lelaki botak kembali menerjang membabi buta! Serangan pedangnya tidak lagi terarah. Hal itu justru membuat Panji semakin mudah menundukkannya. Ancaman mata pedang yang datang bertubi-tubi itu hanya dielakkan Panji dengan geseran tubuhnya ke kiri dan kanan. Kemudian mengirimkan sebuah tamparan keras ke bahu.
Pakkk!
“Aaakh...?!”
Tamparan Pendekar Naga Putih berakibat cukup parah! Tubuh tinggi besar itu melintir dan jatuh menimpa meja di belakangnya. Meskipun masih mampu bangkit, namun wajahnya menggambarkan rasa sakit yang dideritanya. Tamparan Pendekar Naga Putih membuat bahunya terasa ngilu. Bahkan lengan kanannya sukar digerakkan.
“Kuharap peringatan itu sudah lebih dari cukup, Kisanak. Sebaiknya tinggalkanlah pekerjaan burukmu selama ini yang hanya membuat susah orang lain. Kukira masih banyak pekerjaan baik yang dapat kau lakukan...,” ujar Panji menentang pandangan mata lawannya yang sibuk memijat-mijat bahu.
“Hmh...! Keparat sombong! Kau kira aku sudah dapat kau taklukkan! Kau salah besar, Bocah! Aku baru menyerah kalau nyawaku sudah meninggalkan badan...!”
Benar-benar keras kepala lelaki botak itu. Peringatan Pendekar Naga Putih tidak membuatnya jera. Bahkan ia masih belum mau menyerah. Terbukti dari sikapnya yang telah siap melanjutkan perkelahian.
“Kerbau tolol...!” Kenanga mengumpat jengkel melihat sikap keras kepala lelaki itu. Hatinya benar-benar kesal. Lelaki botak itu masih juga tak sadar kalau lawannya jauh lebih kuat Tapi dara jelita itu tak bisa berbuat apa-apa.
Lain halnya dengan Panji. Pemuda tampan itu hanya tersenyum. Sikapnya sedikit pun tidak berubah. Tenang dan tanpa kemarahan. Panji ingin melihat sampai di mana kebandelan lelaki botak itu.
Para pengunjung kedai yang menyaksikan perkelahian itu menggelengkan kepala. Mereka menyesalkan tindakan lelaki botak yang belum juga mau mengakui kekalahannya. Padahal jelas kelihatan pemuda tampan berjubah putih itu bersikap mengalah. Kebandelan lelaki botak membuat mereka menunggu apa yang akan dilakukan pemuda tampan itu selanjutnya.
“Heiii...?!”
Beberapa pengunjung terpekik kaget! Pendekar Naga Putih sama sekali tidak mengelakkan serangan lawan! Tubuhnya berkali-kali menjadi sasaran pukulan. Dan....
“Aaah...?!”
Kembali terdengar teriakan-teriakan pengunjung. Kali ini kekagetan mereka bercampur keheranan besar! Mata mereka terbelalak menyaksikan kejadian yang sukar dapat diterima akal! Tubuh pemuda berjubah putih yang menurut mereka akan babak belur oleh pukulan dan tendangan lelaki botak ternyata yang terjadi justru kebalikannya!
“Kau.... Menggunakan ilmu setan...!” lagi-lagi lelaki botak itu mengumpat lawannya. Tangan dan kakinya yang digunakan memukul dan menendang bengkak-bengkak dan sakit bukan main! Lelaki botak itu tak henti-hentinya berdesis dengan wajah berkerut-kerut menahan sakit.
“Hm.... Kau sudah puas memukuli tubuhku, bukan? Nah, sekarang aku yang akan memukulmu sepuas hati...”
“Hahhh...?!” Lelaki botak terperangah. Langkahnya tersurut mundur. Kemudian menoleh ke kiri dan kanan hendak mencari selamat. Namun, sepasang matanya membentur wajah-wajah mencemooh, yang membuat harga dirinya bangkit seketika.
“Apa.... Apa yang akan kau lakukan?” pertanyaan bodoh itu meluncur begitu saja.
“Sama seperti yang baru saja kau perbuat kepadaku...,” jawab Panji tanpa senyum sedikit pun. Kakinya melangkah perlahan. Dan sinar matanya mengancam, siap membuktikan ucapannya.
Bayangan wajah-wajah mencemooh pengunjung kedai membuat lelaki botak mencoba bersikap tenang. Dadanya dibusungkan dengan bibir menyunggingkan senyum mengejek. Lelaki botak itu tidak mau menerima pukulan lawan begitu saja. Ia menyiapkan jurus untuk menghadapi serangan Panji.
Pendekar Naga Putih sendiri tampak tidak peduli dengan persiapan lawan. Ia terus melangkah dengan tenang. Kedua tangannya dikepalkan. Hingga wajah lelaki botak itu kembali dijalari ketegangan. Dan....
“Awaaas...!” Sambil membentak mengingatkan, Panji datang dengan pukulan pertamanya. Lelaki botak mencoba menggelak. Tapi....
Bukkk!
“Aaakh...?!”
Meskipun serangan itu hanya menggunakan kecepatan, namun lelaki botak berteriak kesakitan. Tubuhnya terjajar empat langkah ke belakang. Saat itu pukulan kedua Pendekar Naga Putih kembali meluncur datang! Lagi-lagi lelaki botak berteriak keras kesakitan! Pukulan tanpa pengerahan tenaga dalam itu terasa seperti sengatan lebah. Serangan itu sangat sukar dielakkan maupun ditangkis. Sampai akhirnya lelaki botak menjatuhkan diri berlutut di hadapan Pendekar Naga Putih.
“Ampun.... Aku menyerah.... Aku menyerah!” lelaki botak merintih menghiba. Berkali-kali keningnya dibenturkan ke lantai dengan kedua tangan dirangkapnya di atas kepala.
“Hm...” Panji hanya bergumam perlahan. Ia tidak melanjutkan serangannya. Langkahnya berhenti tepat di depan kepala lelaki botak. “Bangkitlah!”
Lelaki botak mengangkat kepalanya mendengar perintah Pendekar Naga Putih. Lalu bergerak bangkit dengan perlahan. Dan saat tubuhnya tegak di hadapan Panji, kepalanya ditundukkan menekuri lantai.
“Angkat kepalamu dan pandang aku...!” kembali Panji memberi perintah dengan suara mengandung perbawa kuat Kepala lelaki botak itu pun terangkat Sepasang matanya menatap wajah Panji dengan ragu-ragu dan menyembunyikan kegentaran hatinya.
“Benar kau sudah mengaku kalah...?”
“Be..., nar...,” sahut lelaki botak itu kembali menundukkan kepala, la tidak sanggup berlama-lama menentang pandangan mata pemuda tampan berjubah putih itu.
“Hm.... Apakah pengakuanmu itu juga berarti kau tidak akan mengulangi segala perbuatan jahatmu...?” kembali Pendekar Naga Putih melontarkan pertanyaan. Lelaki botak itu mengangguk pasti. Tapi Panji belum puas dengan jawaban itu. “Jawab pertanyaanku...,” desak Panji menuntut jawaban yang lebih pasti.
“Aku tidak akan mengulangi perbuatan jahat lagi. Dan akan mencoba mencari pekerjaan yang lebih baik...,” akhirnya lelaki botak itu menyahut dan memandang wajah Panji sekilas. Kemudian kembali menekuri lantai.
“Bisakah ucapanmu itu dipertanggungjawabkan...?”
“Nyawaku sebagai taruhannya...,” sahut lelaki botak itu yang rupanya sudah benar-benar takluk.
“Bagus! Jika demikian, kembalikanlah uang yang telah kau minta dari pengunjung kedai. Kemudian, mintalah maaf kepada pemilik kedai dan pelayan yang telah kau sakiti...,” perintah Panji ingin menguji kesadaran lelaki botak.
Kelihatannya tukang peras itu memang benar-benar hendak meninggalkan kejahatannya. Perintah Pendekar Naga Putih langsung dipatuhi. Uang pengunjung yang tadi dirampas, dikembalikannya tanpa dikurangi sepeser pun. Dan tanpa ragu-ragu ia meminta maaf kepada pemilik kedai serta pelayan kedai. Melihat itu Panji tersenyum lega dan puas.
“Mulai hari ini carilah pekerjaan yang baik. Aku yakin banyak orang bersedia menerimamu. Satu hal yang perlu kau ingat! Bila kudengar kau kembali melakukan perbuatan seperti ini, nyawamulah yang menjadi taruhannya...!” ujar Panji tegas, saat lelaki botak itu kembali menghampirinya.
“Aku berjanji...!” ujar lelaki botak itu tanpa keraguan sedikit pun.
“Hm...” Pendekar Naga Putih bergumam pelan. Kemudian bergerak meninggalkan kedai bersama Kenanga, dengan diiringi pandangan mata kagum dan penuh terima kasih semua orang yang berada di dalam kedai.
“Kisanak, tungguuu!”
Pendekar Naga Putih menoleh ke arah lelaki botak. Dilihatnya orang itu berlari mengejar. Panji dan Kenanga yang baru beberapa langkah meninggalkan pintu kedai menghentikan langkahnya dan menunggu.
“Ada apa lagi, Kisanak...?” tanya Panji begitu lelaki botak itu tiba di hadapannya.
“Kau pasti seorang pendekar. Bolehkah aku mengetahui julukanmu, agar dapat mengingat mu...?” tanya lelaki botak itu menatap Panji dengan sorot mata kagum dan tunduk.
“Apalah arti sebuah julukan, Kisanak. Kami berdua pengembara yang tidak memiliki kelebihan apa-apa...,” sahut Panji merendah dan tidak ingin menyebutkan julukannya.
Lelaki botak itu tersenyum kecut. Ia tidak berani memaksa. Mungkin saja jawaban pemuda tampan berjubah putih itu benar, pikirnya. Sehingga saat Pendekar Naga Putih dan Kenanga berbalik dan melangkah pergi, lelaki botak itu hanya bisa memandang sampai bayangan pasangan pendekar muda itu lenyap dari pandangan.
********************
“Kisanak, harap perlahan sedikit..!”
Pendekar Naga Putih dan Kenanga yang baru saja melewati perbatasan desa menunda langkahnya. Mata keduanya bergerak mencari sumber suara tadi. Dan berhenti ketika membentur sosok yang tengah duduk di atas sebuah batu sebesar rumah di sebelah kanan jalan.
“Kaukah yang menegur kami, Kisanak...?” tanya Panji meneliti sosok yang bergerak bangkit tanpa men- galihkan pandangan matanya dari sosok Pendekar Naga Putih. Tahulah Panji kalau dirinya yang dituju sosok pemuda tegap dan menarik itu.
Pemuda tampan berwajah dingin itu meluncur turun dengan ringan. Dan mendarat tanpa menimbulkan suara di hadapan Panji dan Kenanga. Melihat hal itu pasangan pendekar muda itu maklum kalau pemuda tampan beralis mata tebal itu ahli dalam ilmu meringankan tubuh.
“Siapa kau, Kisanak? Ada perlu apa menghadang perjalanan kami...?” tanya Panji lagi.
Tapi, pemuda bermata dingin itu tidak menghiraukan pertanyaan Pendekar Naga Putih. Kakinya melangkah sambil meneliti sosok Panji dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Ciri-cirimu sangat mirip dengan orang yang kucari-cari selama ini...,” gumam pemuda tampan beralis tebal tanpa senyum sedikit pun. Bahkan sikapnya kelihatan meremehkan Panji. Padahal sepanjang ingatan Pendekar Naga Putih, ia belum pernah berjumpa dengan pemuda beralis tebal itu.
“Maaf kalau aku tidak ingat kepadamu, Kisanak. Tapi, rasanya kita belum pernah berjumpa...,” ujar Panji tetap tenang. Meskipun setiap pertanyaan yang dilontarkannya tidak pernah mendapat jawaban.
“Memang belum...,” sahut pemuda tegap itu dingin.
Kenanga tentu saja tidak bisa terima ada orang yang meremehkan kekasihnya. Tanpa sempat dicegah Pendekar Naga Putih, dara jelita itu melangkah maju sambil menudingkan telunjuknya yang runcing.
“Heh, Orang Gila! Seenaknya kau menghadang perjalanan orang! Mulutmu pun bicara tanpa tujuan! Apakah kau tuli hingga tidak mendengar pertanyaan yang diajukan kepadamu? Atau kau memang sengaja hendak mencari gara-gara dengan kami...!” bentak Kenanga. Sepasang matanya berkilat marah. Kalau tidak bersama Panji, Kenanga sudah menerjang pemuda tegap yang tidak tahu sopan-santun itu.
“Hm.... Cantik bagai bidadari, namun galak seperti perempuan liar...,” gumam pemuda bertubuh tegap seraya meneliti sosok Kenanga dengan pandang matanya yang dingin. Kali ini bibirnya menyunggingkan senyum sinis. Kata-katanya itu demikian pedas didengar telinga. Hingga wajah Kenanga menjadi merah.
“Kurang ajar...!”
“Kenanga, tahan...!”
Panji segera menangkap lengan kekasihnya yang siap menghajar pemuda tegap itu. Tapi dara jelita itu mencoba melepaskan cekalan kekasihnya. Kenanga benar-benar jengkel oleh tingkah dan ucapan pemuda tampan bertubuh tegap itu. Tapi hal itu tidak dibiarkan Pendekar Naga Putih. Ditatapnya dengan tajam dara jelita itu saat menoleh kepadanya.
“Tenanglah. Kita belum tahu apa yang diinginkan orang itu. Kelihatannya ia mempunyai persoalan denganku,” bisik Panji di telinga kekasihnya. Akhirnya Kenanga terpaksa mengalah dan membiarkan kekasihnya menangani persoalan itu.
“Hm.... Sungguh pasangan yang sangat serasi, dan patut dijadikan contoh. Sayang kalian orang-orang yang berhati kejam. Meskipun aku tahu kalian berdua bukan orang sembarangan...,” ujar pemuda tampan bertubuh tegap dengan nada yang sangat menyakitkan dan tidak enak didengar.
“Apa sebenarnya maksudmu, Kisanak...?” tanya Panji masih tetap bersabar. Karena ia belum tahu maksud pemuda tegap itu menghadang jalannya.
“Kepandaianmu memang mengagumkan, Kisanak. Aku telah menyaksikan sewaktu kau mempermainkan lelaki botak di kedai tadi,” kembali pemuda bertubuh tegap itu berkata tanpa menjawab pertanyaan Panji.
Ucapan pemuda itu tidak membuat Pendekar Naga Putih heran. Ia memang tidak memperhatikan orang-orang yang singgah di kedai. Satu hal yang membuatnya waspada. Pemuda tegap itu tiba lebih dulu di luar desa tanpa diketahuinya. Meskipun ia dan Kenanga hanya berjalan biasa saat meninggalkan Desa Alur.
Setelah beberapa kali bertanya, namun tidak mendapat sambutan seperti yang diharapkannya, Pendekar Naga Putih mulai kehilangan senyumnya. Sesabar-sabarnya manusia tentu mempunyai batas. Dan Panji mulai kehilangan kesabaran. Pemuda itu tidak peduli lagi dengan lawan bicaranya. Diajaknya Kenanga segera melanjutkan perjalanan.
“Berhenti...!”
Pemuda tampan bertubuh tegap itu membentak saat melihat Pendekar Naga Putih dan Kenanga bergerak tanpa mempedulikan dirinya. Tubuhnya langsung melayang dengan kecepatan mengagumkan. Dan meluncur turun satu tombak lebih di hadapan pasangan pendekar muda itu setelah berputar beberapa kali di udara.
Tapi langkah Pendekar Naga Putih dan Kenanga tidak terhenti. Keduanya bergeser ke tepi. Dan terus melangkah seolah bentakan itu tidak didengar mereka. Bahkan sosok di depannya tidak ditoleh sekejap pun!
“Kurang ajar...!” Pemuda tampan beralis tebal itu menjadi jengkel. Merasa dirinya disepelekan, tubuhnya kembali mencelat ke kiri menghadang jalan pasangan pendekar muda itu.
Namun, Pendekar Naga Putih tetap tidak mempedulikan. Saat pemuda tegap itu melompat menghadang, Panji langsung menjejak tanah sambil menggenggam lengan kekasihnya. Seketika itu juga, tubuh pasangan pendekar muda itu melayang melewati kepala penghadangnya. Kemudian meluncur turun tiga tombak dari tempat semula, dan terus melangkah tanpa menoleh sedikit pun!
“Setan...!” Pemuda bertubuh tegap menggeram marah. Cepat ia melesat mengejar. Namun begitu jarak mereka tinggal satu tombak lagi, Pendekar Naga Putih kembali melambung ke udara bersama kekasihnya. Kemudian meluncur turun dalam jarak semula. Sehingga, wajah dingin pemuda bertubuh tegap menjadi kemerahan. Sinar matanya berkilat marah.
“Haaat...!” Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuh pemuda tegap itu melayang ke udara. Kemudian berputaran beberapa kali. Begitu menjejak tanah, kembali melambung tinggi. Gerakan itu dilakukan berulang-ulang. Hingga akhirnya....
Jliggg!
“Hm Jangan bermimpi dapat pergi begitu saja dariku..!” desis pemuda tegap yang telah berdiri satu setengah tombak di hadapan Panji dan Kenanga.
“Apa sebenarnya yang kau kehendaki dari kami, Kisanak...?” tanya Panji. Akhirnya menghentikan langkah, dan menatap sosok di depannya dengan sorot mata mencorong tajam.
Untuk sesaat pemuda tegap itu terkejut melihat sorot mata Pendekar Naga Putih. Namun sikapnya kembali biasa. Rupanya ia dapat melawan pengaruh yang terpancar dari mata Pendekar Naga Putih. Itu membuktikan bahwa pemuda tampan bertubuh tegap itu memang bukan orang sembarangan. Sebab, tidak banyak orang yang mampu berlama-lama menentang pandang mata Panji.
“Huh! Rupanya kau ingin lari dari tanggung jawab, Pengecut!” desis pemuda itu lagi-lagi tidak menjawab pertanyaan Panji.
Ucapan pemuda tegap itu pembuat Pendekar Naga Putih menghela napas menekan kemarahan dalam dadanya. Kendati demikian, suaranya terdengar biasa saat ia berbicara. “Kisanak. Kalau aku hendak menghindar darimu, apa kau kira dapat mencegah kepergianku? Jika sekarang kau bisa menghadang, itu karena aku menghendakinya. Kalau tidak, jangan harap kau dapat menyusulku...!”
Karena merasa harga dirinya tersinggung. Pendekar Naga Putih terpaksa mengucapkan kata-kata yang belum pernah diucapkannya. Ucapan itu menyiratkan kesombongan. Padahal Panji hanya ingin pemuda tegap itu tahu apa yang dilakukannya. Tapi pemuda tegap itu seperti buta, dan tetap merasa lebih tinggi dari Panji. Itu yang Pendekar Naga Putih tidak suka.
“Hua ha ha...!” Mendengar ucapan Panji, pemuda tegap itu tertawa terbahak-bahak. Seolah ucapan itu sebuah lelucon. Sikap itu membuat Pendekar Naga Putih ingin membuktikan ucapannya. Dan....
LIMA
“Heiii...?!”
Pemuda tampan bertubuh tegap ituberseru kaget! Tawanya langsung lenyap. Tahu-tahu saja tubuh pasangan pendekar muda yang ada di hadapannya lenyap dengan tiupan angin besar yang membuat rambutnya berkibar!
“Kurang ajar...!” lagi-lagi pemuda tegap itu mengumpat marah. Begitu kepalanya menoleh, tampak dua sosok bayangan samar berada beberapa belas tombak di depannya. Tahulah ia kalau kedua orang yang dihadangnya telah melarikan diri.
“Jangan harap kalian dapat lolos dariku...!” Sambil berteriak-teriak, pemuda tegap itu mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya untuk mengejar Panji dan Kenanga. Sebentar saja tubuhnya melesat bagai kilat. Sehingga yang terlihat hanya bayangan samar yang kian menjauh.
Pendekar Naga Putih tidak lagi mempedulikan teriakan pemuda yang dianggapnya tidak waras itu. Dengan membawa Kenanga tubuhnya terus melesat secepat terbang. Kedua pasang kaki mereka bagai tidak menyentuh tanah! Bahkan bayangannya pun sukar dilihat. Panji ingin membuktikan bahwa dirinya dapat pergi bila memang menghendaki.
Dalam ilmu lari cepat, tampaknya Pendekar Naga Putih memang sangat sukar dicari tandingannya. Buktinya pemuda tegap itu tidak mampu mengejarnya. Padahal ilmu lari cepat pemuda tegap itu cukup tinggi. Bahkan bisa dikatakan lebih tinggi dari Kenanga. Tapi bukan berarti ia dapat menyamai Pendekar Naga Putih. Terlebih jalan yang dilalui agak berbelok-belok dan tidak jarang mendaki. Akibatnya pemuda tegap itu kehilangan bayangan yang dikejarnya.
“Keparat..!”
Setelah beberapa belas tombak lagi berlari tidak juga menemukan bayangan di depannya, pemuda tegap itu menghentikan larinya. Makiannya terlontar saat ia membanting kaki kanannya ke tanah. Lalu melangkah gontai sambil menyusut peluh yang membasahi wajahnya. Nafasnya terdengar agak memburu. Tampaknya pemuda tegap itu telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mengejar Panji dan Kenanga.
"Tidak kusangka ilmu pemuda keparat itu demikian tinggi...,” desis pemuda tegap itu seraya melanjutkan langkahnya tanpa tujuan. Jalan di depannya terpecah menjadi tiga. Dan ia tidak tahu ke mana jalan yang diambil buruannya.
“Hik hik hik...!”
“Ehhh!” Bukan main terkejutnya hati pemuda itu mendengar suara tawa perempuan. Sepasang matanya berputar liar mencari sumber suara itu. Kemarahannya bangkit seketika. Ia mengira suara itu adalah tawa gadis jelita yang bersama pemuda tampan berjubah putih. Dugaan itu membuat semangatnya bangkit kembali.
“Hm.... Pantas kalian begitu cepat menghilang. Rupanya bersembunyi di sekitar tempat ini...,” gumam pemuda tegap tersenyum sinis. Tubuhnya berputar mencari tempat persembunyian buruannya.
“Hik hik hik...!”
Kembali suara tawa itu terdengar, membuat kening pemuda tegap itu berkerut dalam. Tubuhnya berputar. Suara tawa itu seperti datang dari delapan penjuru. Merasa dipermainkan, kemarahannya pun meledak!
“Hm.... Hendak kulihat apakah kalian masih tetap bersembunyi!” geram pemuda tegap itu. Lalu menyedot udara banyak-banyak! Maka....
Blarrr...!
Semak belukar di kanan jalan berhamburan dengan disertai ledakan keras saat pemuda tegap itu melontarkan pukulan udara kosongnya. Berkali-kali pukulan itu dilakukan. Hingga....
“Hik hik hik...!”
Pemuda tampan bertubuh tegap itu berbalik secepat kilat! Suara tawa kali ini datang dari belakangnya. Pukulannya siap terlontar. Tapi....
"Tunggu dulu sahabat yang tampan!”
Pukulan jarak jauhnya tertahan. Di depannya berdiri seorang gadis cantik dengan senyum menggoda. Wanita itu bukanlah orang yang dicarinya. Pemuda tegap itu tertegun. Pakaian yang dikenakan gadis cantik itu berwarna sama dengan pakaiannya.
“Siapa kau...?” tegur pemuda bertubuh tegap menatap penuh selidik.
“Aku...? Ya tentu saja manusia! Apa kau pikir aku ini kuntilanak? Atau memang rupaku begitu jelek, hingga kau menyangka aku kuntilanak...?” enak saja gadis cantik berpakaian serba merah itu menjawab. Dan mengakhiri ucapannya dengan kekeh yang renyah, membuat pemuda tegap gelagapan.
“Huh, aku tidak peduli siapa kau! Mau kuntilanak kek, kuntilnenek kek. Aku tidak mau tahu!” balas pemuda tegap berpakaian serba merah itu tidak mau kalah. Ia menarik pulang tenaga pukulannya yang telah dipersiapkan. Kemudian berbalik hendak meninggalkan tempat itu.
“Duh, galaknya. Apa kau tidak ingin tahu ke mana perginya dua orang yang berlari secepat setan tadi...?” tukas gadis cantik itu tidak meninggalkan senyum manisnya. Bahkan sepasang mata beningnya mengerjap berkali-kali saat pemuda tegap itu berbalik dan menatapnya dengan wajah penasaran.
“Hm.... Katakan ke mana mereka pergi...,” ujar pemuda tegap itu berusaha menyembunyikan perasaan hatinya yang agak tertarik pada gadis cantik yang lincah dan suka menggoda itu.
“Kau akan memberikan hadiah apa bila aku memberitahukan ke mana mereka pergi...?” tukas gadis cantik itu dengan sinar mata jenaka.
“Hadiah...?!”
“Ya, hadiah. Kau tentu tahu setiap perbuatan harus ada imbalannya, bukan...?” lanjut gadis cantik itu.
Pemuda tegap itu pun bingung seperti orang tolol. Ia tidak mengerti dengan sikap gadis itu. Untuk beberapa saat, pemuda itu tidak mampu menjawab. Hanya memandang wajah cantik yang masih dihiasi senyum manis.
“Wah, tidak kusangka pemuda setampan dan setegap ini ternyata sangat tolol! Padahal yang kukatakan tidak sulit untuk dimengerti” Setelah berkata demikian, gadis cantik itu melangkah jenaka dan berbelok ke jalan sebelah kiri.
“Hei, tunggu...,” pemuda tegap itu berseru mencegah. Rupanya ia baru sadar akan keadaan dirinya saat gadis cantik itu melangkah pergi.
Tapi gadis cantik itu tidak menghentikan langkahnya. Telapak kakinya yang mungil terus bergerak menyusuri jalan berbatu. Seolah seruan itu tidak didengarnya. Bahkan menunjukkan sikap tidak peduli saat mendengar suara langkah orang mengejar di belakangnya.
“Nisanak, tungguuu..!” kembali pemuda tegap berseru. Dan bergegas menghadang jalan gadis cantik berpakaian serba merah itu.
“Hm.... Ada apa?” tanya gadis cantik itu. Sikapnya berubah jauh. Kali ini tampak tenang. Bahkan hampir mendekati dingin dan tidak peduli. Senyumnya pun tidak terlihat lagi. Sementara sepasang mata beningnya menatap tajam pemuda di depannya. Perubahan sikap gadis itu membuat pemuda didepannya kelabakan. Tingkahnya jadi serba salah. Rupanya ia tidak menyangka akan mendapat sambutan yang jauh berbeda.
"Gila! Gadis itu benar-benar aneh dan sukar ditebak perasaannya. Sikapnya tadi demikian hangat dan pe- nuh godaan. Tapi sekarang..." gumam pemuda tegap itu dalam hati. Tanpa sadar dia terbengong-bengong didepan gadis cantik itu.
“Hik hik hik...!”
“Ehhh?!” Pemuda bertubuh tegap itu tersadar ketika mendengar kekeh gadis cantik itu di depannya. Wajahnya bersemu merah.
“Kau ini benar-benar aneh! Aku tanya, kau keheranan! Aku pergi malah mengejar. Apa sebenarnya yang kau pikirkan? Kau tertarik padaku, ya?” ujar gadis itu tertawa renyah.
"Gila...! Desis pemuda itu dalam hati. Gadis ini sungguh luar biasa! Enak saja berkata demikian tanpa dipikir lagi! Siapa gadis ini sebenarnya? Apa hadiah yang dimaksudkannya itu?"
“Nah, bengong lagi...”
“Eh! Oh.... Maaf...,” ujar pemuda tegap itu tidak sadar kembali terbengong di depan gadis cantik itu. “Mmm.... Apa hadiah yang kau maksud tadi, Nisanak?” tanya pemuda tegap itu mengalihkan pembicaraan.
“Namaku bukan Nisanak, tapi Savitri,” tukas gadis cantik itu memperkenalkan diri tanpa malu-malu.
“Eh.... Ya, Savitri. Mmm...”
“Apa yang ingin kau katakan? Sebutkan dulu namamu. Bukankah aku sudah memperkenalkan namaku?” potong gadis cantik itu.
“Baik, baik. Namaku Kelana,” sahut pemuda tegap terpaksa memperkenalkan namanya.
“Wah namamu aneh. Tapi terdengar gagah seperti orangnya...,” puji Savitri. Belum lagi pemuda itu sempat berkata, Savitri sudah melanjutkan ucapannya. “Aku tidak mendengar kau memuji namaku? Apakah namaku jelek dan tidak enak didengar?”
Deggg!
Bukan main gadis cantik bernama Savitri ini, Kelana benar-benar tidak berdaya dibuatnya. Wajahnya kembali dijalari warna merah. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
“Namaku pasti jelek. Kau tidak suka mendengarnya, kan?” Savitri kembali menyambung, membuat Kelana semakin salah tingkah.
“Ah, tidak.... Tidak begitu...,” potong Kelana serba salah.
“Maksudmu tentu tidak begitu bagus, bukan?”
“Bukan.... Bukan begitu maksudku”
“Jadi...?” Savitri tersenyum manis melihat Kelana kelabakan. Tapi, ia terus saja mendesaknya. Tampaknya ia memang ingin mendengar pengakuan Kelana.
“Namamu tentu saja bagus...,” ucap Kelana meski agak risi mengatakannya.
“Kalau begitu, kau menyukainya...?” desak Savitri lagi.
“Ya.... Aku menyukainya...”
“Jadi kau menyukaiku?”
Mati aku! Desis Kelana dalam hati. Pertanyaan yang sama sekali tidak diduganya itu membuat Kelana terbengong tak tahu harus menjawab apa. Kalau ia bilang ‘tidak’, sudah pasti Savitri akan marah. Sedangkan untuk menjawab ‘ya’ jelas tidak mudah. Meski ia tahu dirinya merasa tertarik dengan gadis yang tampak demikian polos itu. Kelana kembali bengong seperti ayam sakit.
“Huh! Rupanya kau tidak suka kepadaku...!” melihat Kelana terbengong-bengong seperti itu, Savitri merajuk dan memonyongkan bibirnya yang tipis. Kemudian melangkah meninggalkan Kelana yang semakin kebingungan.
Kelana sendiri tidak mengerti mengapa ia mau saja diperlakukan demikian oleh gadis cantik itu. Pemuda itu belum sadar sepenuhnya kalau ia sudah terpikat oleh kecantikan dan keanehan sifat Savitri. Kalau tak, bagaimana mungkin Kelana yang selalu bersikap dingin itu dapat dibuat kelabakan dan ‘mati kutu’.
Melihat Savitri hendak pergi, Kelana mengembangkan kedua lengannya. Aneh? Ia yang selama hidupnya hampir tidak pernah tersenyum, tiba-tiba bisa tersenyum begitu manisnya. Hingga Savitri tertawa kecil.
“Aiiih... Tidak kusangka kau memiliki senyum yang manis seperti itu, Kelana..,” ujarnya polos tanpa malu-malu.
“Kau cantik, Savitri. Aku..., menyukaimu,” Kelana akhirnya terpaksa mengucapkan kalimat itu. Meski ia belum yakin benar akan perasaan hatinya. Kalau kalimat itu ia ucapkan, karena ia tidak ingin melihat Savitri marah dan pergi meninggalkannya. Padahal itu memerlukan gadis cantik itu untuk mencari dua orang buruannya. Panji dan Kenanga.
“Hm.... Ucapan itu pasti terpaksa kau katakan, bukan? Karena kau ingin mengetahui ke mana perginya orang-orang yang kau cari itu...,” tukas Savitri seperti bisa membaca jalan pikiran Kelana. "Tapi tidak apa. Aku sudah cukup senang mendengar ucapanmu. Lagi pula hadiah yang kuminta sudah kau berikan...,” lanjut Savitri tersenyum.
“Ehhh...?!” Lagi-lagi Kelana terheran-heran. Ia tidak merasa telah memberikan hadiah kepada gadis cantik itu. Ucapannya semakin membuat Kelana yakin kalau gadis cantik yang dihadapinya memang sulit ditebak, dan mempunyai banyak keanehan yang tak terduga.
“Kau tentu merasa heran, bukan? Hadiah itu memang sudah kau berikan. Aku sudah mengenal namamu...,” ujar gadis cantik itu tanpa peduli keheranan di wajah Kelana.
Kelana hanya bisa menghela napas mendengar pengakuan Savitri. Anehnya, Kelana merasa semakin menyukai gadis cantik berpakaian serba merah itu. Karena memang tidak sulit untuk menyukai gadis cantik dan selincah Savitri. Apalagi gadis itu pandai berbicara dan bertingkah memikat Sehingga, Kelana yang biasanya selalu bersikap dingin terhadap siapa pun kini dapat tertawa lepas. Semua itu karena Savitri.
“Sekarang mari ikut aku...,” ajak Savitri melangkah mendahului pemuda tegap itu.
“Ke mana...?” tanya Kelana yang tanpa sadar mengeluarkan pertanyaan bodoh itu.
“Wah, sifat ketololanmu masih belum hilang juga rupanya...,” ujar Savitri tanpa menghentikan langkahnya.
“Mengapa kau berkata demikian...?” tanya Kelana berusaha menyejajari langkah gadis cantik itu.
“Nah, masih juga bertanya,” tukas Savitri menoleh dan tersenyum. “Bukankah kau ingin menemukan kedua orang yang kau cari itu...?”
“Benar?!”
“Ketahuilah, sekarang aku hendak membawamu bertemu dengan mereka. Aku melihat kedua orang yang kau cari itu berlari melewati jalan ini. Tentu saja mereka tidak tahu aku bersembunyi di balik semak-semak. Aku curiga mereka tengah menghindari sesuatu. Habis lari mereka demikian cepat seperti setan...,” jelas Savitri dengan manja. Bahkan enak saja menyambar dan menggenggam jemari Kelana. Pemuda itu terpaksa mendiamkan, takut gadis cantik itu marah lagi.
“Kau tahu siapa mereka...?” tanya Savitri tanpa menghentikan langkahnya.
“Tidak...”
“Pemuda berjubah putih yang sekelebatan kulihat itu adalah Pendekar Naga Putih! Hanya pemuda itulah yang mampu berlari demikian cepatnya”
“Pendekar Naga Putih...?!” Kelana tampak tidak menduga orang yang dikejarnya pendekar muda yang saat itu namanya menggetarkan rimba persilatan. Ucapan Savitri membuatnya terkejut!
“Kau terkejut..? Pendekar muda itu memang hebat sekali. Jarang ada yang bisa menandinginya. Kalau boleh tahu, apa yang membuatmu bermusuhan dengannya...?” tanya Savitri.
“Pemuda itu telah membunuh kedua orangtua ku...,” jawab Kelana yang merasa tidak perlu merahasiakan hal itu kepada Savitri. Apalagi kini mereka telah saling mengenal.
“Jadi Pendekar Naga Putih telah membunuh kedua orangtua mu?” tanya Savitri setengah tak percaya.
"Tadinya aku tidak tahu pembunuh orangtua ku orang yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Kalau saja kau tidak memberitahu, mungkin aku tidak akan pernah tahu...,” jawab Kelana yang kelihatan agak tegang ketika mengetahui siapa pemuda tampan berjubah putih yang menjadi musuhnya.
“Lalu, bagaimana kau bisa tahu pendekar muda itu yang telah membunuh orangtua mu?”
“Aku hanya mendapat keterangan tentang ciri-ciri si pembunuh. Dan, pemuda tampan berjubah putih itu mirip dengan gambaran pembunuh kedua orangtua ku. Sayang dia berhasil lolos. Padahal sudah setahun lebih aku berkelana mencarinya ,” jawab Kelana menjelaskan dari mana ia tahu tentang pembunuh orang-tuanya.
“Hm.... Jangan khawatir, Kelana. Pendekar Naga Putih memang sangat sombong! Aku akan membantumu membalas sakit hati kedua orang-tuamu...!” tukas Savitri dengan suara mengandung kemarahan dan kebencian. Sehingga Kelana agak kaget
“Apakah kau juga mempunyai dendam pada Pendekar Naga Putih?” tanya Kelana menegasi.
“Ya, meskipun bukan dendam pribadi...,” jawab Savitri tidak menyebutkan dendam yang ada dalam hatinya.
“Apa yang membuatmu mendendam pada Pendekar Naga Putih, Savitri...?” Kelana mencoba menegasi apa yang membuat gadis cantik itu kelihatan sangat membenci Pendekar Naga Putih.
“Hm... Kita sudah hampir sampai di perbatasan desa. Sebaiknya kita jangan muncul terang-terangan.” Savitri dengan pandai mengalihkan pembicaraan.
“Sebaiknya kita tidak perlu sembunyi-sembunyi. Aku akan langsung menghajarnya...!” tandas Kelana. Tanpa diketahuinya Savitri tersenyum.
“Baiklah, kalau begitu kemauanmu...,” ujarnya melanjutkan langkah memasuki batas desa.
ENAM
Savitri gadis yang lincah dan banyak akal itu langsung bertanya pada seorang penduduk desa yang ditemuinya. Ia yakin orang yang tengah duduk di depan rumahnya itu pasti melihat bila ada orang asing lewat jalan utama desa itu. Dan perhitungannya tidak meleset Savitri mendapat jawaban yang memuaskan!
“Memang belum lama ada pemuda tampan berjubah putih dan seorang gadis seperti bidadari lewat di desa ini. Kelihatannya mereka tidak berniat singgah...,” jelas lelaki berusia empat puluh lima tahun itu kepada Savitri.
Tanpa mengucapkan terima kasih, Savitri segera menoleh ke arah Kelana. Kemudian berkata agak perlahan. “Mereka baru saja lewat di jalan ini. Ayo kita kejar...!”
Selesai berkata demikian, Savitri berkelebat mengerahkan ilmu lari cepatnya. Ternyata kepandaian gadis cantik itu sangat tinggi. Ilmu lari cepatnya tidak kalah dengan Kelana. Hingga rasa suka dan kekaguman pemuda tegap itu semakin bertambah.
“Gadis itu tidak saja cantik, tapi juga memiliki kepandaian tinggi. Jarang ada gadis seperti dia. Beruntung sekali aku bertemu dan berkenalan dengannya. Bantuannya jelas akan sangat berarti...,” gumam Kelana segera bergerak mengejar Savitri. Sebentar saja ia dapat menyejajari langkah gadis cantik itu.
Tinggallah lelaki setengah baya kebingungan! Wajahnya agak pucat ketika pasangan muda yang baru saja berada di depannya tiba-tiba lenyap seperti menghilang. Tubuhnya tampak gemetar!
“Mereka pasti setan-setan penasaran...!” desisnya segera bangkit dan bergegas masuk ke dalam rumah. Kemudian mengunci pintu rapat-rapat.
Sementara itu Savitri dan Kelana hampir tiba diperbatasan desa. Dari kejauhan keduanya melihat dua sosok bayangan tengah melangkah meninggalkan desa itu. Dari warna pakaiannya, Kelana langsung mengetahui kalau kedua orang itu adalah buruannya yang sempat lolos.
“Hei, mau lari ke mana pengecut...!” teriak Kelana menambah kecepatan larinya untuk menyusul Kenanga dan Panji.
Sebenarnya Panji sudah mendengar suara langkah orang berlari di belakangnya. Seruan itu membuat Panji dan Kenanga menoleh. Kening keduanya tampak berkerut. Mereka mengenali sosok pemuda tegap berpakaian serba merah yang tengah berlari itu.
“Hm.... Rupanya sekarang ia membawa teman...,” gumam Panji tidak berusaha melarikan diri. Pasangan pendekar muda itu hendak melihat apa yang akan dilakukan pemuda tegap berpakaian serba merah itu.
“Hm.... Kalian pikir dapat lolos begitu saja dari tanganku...!” geram Kelana begitu tiba dan menghentikan langkahnya satu tombak di hadapan Panji dan Kenanga.
“Kisanak, apa sebenarnya yang kau inginkan dari kami? Setahuku di antara kita tidak pernah berjumpa. Apa lagi mempunyai permusuhan...?” kembali Panji menegur ingin mendapat penjelasan tentang sikap pemuda tegap itu.
"Tidak perlu banyak bicara! Sebaiknya kau bersiap-siap menyusul kedua orangtua ku di akherat..!” kemudian Kelana melompat dengan serangan mautnya yang datang bertubi-tubi laksana gelombang lautan!
“Orang gila...!” desis Panji jengkel merasa tidak mempunyai permusuhan dengan Kelana.
Namun karena serangan itu tidak bisa dibuat main-main, Panji segera menggeser langkahnya ke kiri dan kanan menghindari. Kalau pada pertemuan pertama, sewaktu di Desa Alur, Panji tidak mau meladeni sebelum mendapat penjelasan, kali ini ia bersikap lain. Serangan Kelana langsung dibalas dengan jurus-jurus ampuhnya. Sehingga, sebentar saja kedua pemuda tampan itu sudah terlibat perkelahian yang seru dan mendebarkan!
“Haiiittt..!”
Kelana yang kelihatan sangat mendendam terhadap Panji tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk membangun serangan. Gempuran-gempurannya yang mendatangkan sambaran angin tajam membuktikan pemuda tegap berpakaian serba merah itu menginginkan kematian Panji. Tentu saja Panji tidak sudi menyerahkan tubuhnya untuk dijadikan sasaran lawan. Sehebat apa pun serangan Kelana selalu dapat diatasi Panji dengan baik. Bahkan sesekali Panji melontarkan serangan balasan. Tapi Kelana dapat melayaninya dengan baik. Kelana memang bukan pemuda sembarangan!
“Yeaaahhh...!”
Sadar kalau lawan menginginkan nyawanya, Panji tidak tinggal diam. Apalagi ketika serangan lawan semakin ganas. Jurus-jurus yang digunakan Kelana adalah jurus-jurus ampuh yang sangat hebat! Sayang, Pendekar Naga Putih tidak bisa menebak dari mana asal ilmu silat itu. Panji melihat jurus-jurus lawan campuran dari berbagai sumber. Agaknya Kelana telah mempelajari banyak jenis ilmu silat. Tidak aneh bila kepandaiannya sukar dicari tandingannya.
Ketika pertarungan menginjak jurus kelima puluh tiga, Panji menggunakan jurus ‘Ilmu Silat Naga Sakti’nya. Sebab serangan lawan semakin berbahaya. Dan Panji tidak ingin tubuhnya dijadikan sasaran pukulan lawan.
Plakkk...!
Suatu saat, lengan keduanya berbenturan keras hingga menimbulkan suara berdentang nyaring, seperti benturan dua batang besi.
“Uhhh...?!” Tubuh Kelana terjajar mundur sejauh enam langkah. Wajahnya tampak menggambarkan keheranan besar. Ia tidak menyangka tenaga dalam lawan demikian kuat! Demikian pula dengan Panji. Benturan keras itu membuat kuda-kudanya tergempur! Tubuhnya terjajar sejauh empat langkah! Ia pun tidak menduga kekuatan pemuda tegap berpakaian serba merah itu sangat hebat. Tidak banyak tokoh persilatan yang sanggup menandingi tenaga dalamnya.
“Hm.... Kau masih tidak mau menyebutkan masalahmu, Kisanak...?” tanya Panji penasaran. Karena sampai sejauh ini belum mengetahui penyebab pemuda tegap itu demikian dendam kepadanya.
“Jangan berpura-pura bodoh, Pendekar Naga Putih! Sebelum mayatmu mencium tanah, aku tidak akan tenang menjalani hidup di dunia ini...!” geram Kelana tidak juga mengatakan penyebab kebenciannya terhadap pendekar muda itu. Tampaknya ia menghendaki lawannya tewas dengan penasaran.
“Hm...” Melihat lawan sudah menyiapkan ilmu-ilmunya yang lebih tinggi, Panji tidak bertanya lagi. Ia tahu itu hanya akan menambah rasa penasaran di hatinya. Dan bukan mustahil ia bisa lengah karena memikirkan penyebab pertarungan itu. Tentu saja Panji tidak menginginkan hal itu terjadi.
“Tenaga Sakti Gerhana Bulan’...?!” desis Kelana. Rupanya Kelana telah mendengar tentang tenaga mukjizat Pendekar Naga Putih. Sosok Panji tampak diselimuti lapisan kabut bersinar putih keperakan. Itu adalah ciri-ciri ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’!
“Hm. .. Mari kita buktikan, apakah tenaga sakti mukjizatmu mampu mengungguli ‘Tenaga Sakti Gelombang Samudera’ milikku ini...!”
Setelah berkata demikian, Kelana menghirup napas banyak-banyak, angin keras berhembus saat sepasang lengan Kelana berputar ke kiri dan kanan. Kemudian dilanjutkan dengan gerakan seperti ombak berkejaran ke pantai. Jelas kekuatan yang dimiliki Kelana merupakan tenaga dalam pilihan. Panji sadar akan hal itu. Pemuda berpakaian serba merah ini memang hebat sekali...! Kelihatannya ia memiliki pengalaman yang sangat luas. Mungkinkah ia yang dijuluki orang Petualang Sakti...?! Tapi, apa yang membuatnya demikian mendendam kepadaku? Mengapa ia menuduhku sebagai pembunuh kejam...? Panji segera menepiskan semua pertanyaan yang mengganggu pikirannya. Saat itu Kelana telah datang dengan serangan mautnya!
“Haaat..!”
Bettt, bettt, bettt..!
Serangan Kelana datang disertai gulungan angin keras yang membuat arena pertarungan laksana diamuk badai lautan. Sepasang tangannya yang selalu berubah-ubah bergerak cepat mencari sasaran. Memang hebat serangan yang dilancarkan Kelana. Rasanya julukan Petualang Sakti bukan nama kosong belaka!
Tapi Panji bukanlah pemuda sembarangan! Julukan Pendekar Naga Putih yang disandangnya merupakan salah satu bukti ketangguhan pemuda berjubah putih itu. Serangan Kelana sedikit pun tidak membuatnya berkecil hati. Tubuhnya mencelat menyambut serangan lawan.
“Hiyaaat..!”
Dengan ilmu ‘Silat Naga Putih’nya yang telah banyak menjatuhkan lawan, Panji bergerak maju. Sepasang tangannya yang memiliki kecepatan gerak luar biasa merupakan benteng ampuh, yang sekaligus sebagai tangan-tangan maut perenggut nyawa! Pertarungan pun berjalan semakin hebat dan mengerikan!
Jurus demi jurus berlalu cepat Menginjak jurus kedelapan puluh sembilan, Pendekar Naga Putih memekik keras! Tubuhnya bergerak bagai baling-baling, yang terlihat hanya kilauan sinar putih keperakan. Dari lingkaran sinar itu mencuat cakar-cakar dan telapak tangan yang menimbulkan deruan angin dingin menusuk tulang! Hingga Kelana terkejut dibuatnya!
“Yeaaahhh...!”
Plakkk!
Mata Kelana rupanya cukup tajam, dan dapat melihat serangan telapak tangan yang mengancam dadanya. Cepat pemuda tegap itu menepiskan serangan itu. Sayang gerakan lawan terlampau cepat. Sehingga....
Desss, desss...!
Cakar Panji yang melenceng kembali berputar cepat dan langsung bersarang di bahu lawan. Tidak cukup hanya dengan tangan kiri, tangan kanannya menyusul dengan hantaman yang mengenai lambung Kelana!
“Hukhhh...!”
Tubuh Kelana terlempar deras sejauh dua tombak lebih. Semburan darah segar membasahi permukaan tanah. Kendati demikian, pemuda tegap itu masih sanggup mempertahankan keseimbangan tubuhnya dengan berputar dua kali di udara. Tapi, tubuhnya terhuyung delapan langkah ketika menjejak tanah. Dan baru berhenti karena ditahan oleh Savitri.
“Pemuda itu benar-benar hebat, Savitri Rasanya kau tidak mungkin dapat melawannya...,” ujar Kelana sambil menyeringai menahan sakit
“Mungkin Pendekar Naga Putih terlalu kuat untukmu, Kelana. Tapi belum tentu bagi kita berdua...,” ujar Savitri. Sepasang matanya memancarkan kemarahan.
“Sebaiknya kita pergi saja,” Savitri. Gadis berpakaian serba hijau itu tidak mungkin akan tinggal diam bila kita mengeroyoknya. Kurasa kepandaian gadis itu sangat tinggi,” bantah Kelana tidak ingin melanjutkan perkelahian.
“Belum tentu, Kelana. Kita lihat saja...,” Savitri melangkah maju menghadapi Panji, yang menatap gadis cantik itu dengan kening berkerut.
“Hm.... Siapa lagi gadis berpakaian serba merah itu...? Persoalan apa pula yang membuatnya memusuhiku...?” gumam Panji seraya meneliti sosok gadis cantik di hadapannya. Melihat gadis cantik berpakaian serba merah ikut maju ke arena, Kenanga segera mendekati kekasihnya. Tangan dara jelita itu sudah gatal, ingin segera turun tangan.
“Yang ini biar menjadi bagianku, Kakang...,” pinta dara jelita itu menatap kekasihnya dengan pandangan memohon.
“Sabar, Kenanga. Aku ingin tahu lebih dulu apa yang membuat gadis itu memusuhiku...,” ujar Panji belum mau menyerahkan gadis itu kepada Kenanga.
“Pendekar Naga Putih! Bersiaplah untuk menerima kematianmu...!” begitu kata-katanya terucap....
Srattt!
Pedang bersinar kemerahan yang menerbitkan hawa panas tercabut keluar dari sarungnya, dan tergenggam di tangan Savitri. Kelihatannya senjata gadis itu bukan pedang sembarangan.
“Harap bersabar dulu, Nisanak!” ujar Panji perlahan dengan sorot mata setajam pisau.
“Hm.... Kau ingin meninggalkan pesan terakhir sebelum kematianmu?” tukas Savitri tajam.
“Anggaplah begitu. Kuharap kau bersedia menjawab pertanyaanku,” jawab Panji sambil tetap meneliti sosok Savitri. Kalau-kalau ia pernah bertemu sebelumnya dengan gadis cantik itu.
“Cepat katakan...!” tandas Savitri tajam.
“Apa sebenarnya yang membuatmu demikian dendam terhadapku...?” tanya Panji menunggu jawaban.
“Hm.... Cukup kau ketahui bahwa kita bersilangan jalan. Titik!” sahut Savitri membuat Panji tak mengerti. Ia sama sekali tidak mengenal gadis cantik itu. Selain itu, alasan yang dikemukakan Savitri tidak kuat. Meski sudah bisa diraba, namun semua itu belum dapat dipastikan.
“Bisakah kau jelaskan lebih jauh, Nisanak...?”
"Tidak! Jawaban itu sudah lebih dari cukup! Kau pasti mengerti ke mana arah jawabanku...!” tegas Savitri tidak ingin berpanjang kata lagi.
Kelana yang telah berada di samping Savitri tidak berkata apa-apa. Sepasang matanya menatap Panji dengan penuh dendam. Tangan pemuda itu menggenggam sebilah pedang yang kelihatannya juga merupakan senjata pilihan. Karena pemegangnya seorang ahli ilmu silat
“Kakang, mereka hendak mengeroyokmu...,” bisik Kenanga khawatir ketika melihat kedua orang itu sudah siap untuk menghadapi Panji.
"Tidak, usah khawatir. Aku masih sanggup mengatasi mereka berdua...,” jawab Panji membuat Kenanga terdiam. Ia tahu akan percuma memaksa kekasihnya untuk mundur atau menyerahkan salah seorang lawan kepadanya. Kenanga menelan kedongkolan hatinya.
Savitri yang cerdik segera menggunakan kesempatan itu. Terdengar ucapannya yang tajam, dan membuat selebar wajah Kenanga menjadi merah.
“Hm.... Mengapa harus ragu untuk maju berdua, Pendekar Naga Putih? Biarkanlah kekasihmu membantu, agar kau tidak terlalu sulit menghadapi kami...,” kendati mulutnya berkata demikian, namun hati Savitri berkata lain. Ia memang hanya ingin memancing pasangan pendekar muda itu.
Mendengar ucapan itu, Kenanga tidak dapat lagi menahan kedongkolan hatinya. Dengan mata berapi-api ditudingnya wajah Savitri yang menyunggingkan senyum mengejek.
“Huh! Jangan kau kira kami suka mengandalkan keroyokan seperti yang kau lakukan, Perempuan Liar! Tanpa kubantu pun kalian tidak akan dapat berbuat banyak! Kalau kalian tidak percaya, silakan membuktikannya sendiri! Aku tidak akan turun ke arena...!” tegas Kenanga membuat hati Savitri lega. Biar bagaimanapun ia menganggap lebih baik hanya menghadapi Pendekar Naga Putih, daripada gadis jelita itu ikut terjun ke arena dan menyulitkan mereka berdua.
“Bagus! Seorang gagah pasti akan memegang janjinya sampai mati! Aku percaya kepadamu, Perempuan Gagah...,” tandas Savitri menyunggingkan senyum puas di bibirnya. Tubuhnya kemudian bergerak ke kanan. Sedang Kelana bergeser ke kiri. Mereka mengepung Pendekar Naga Putih dari dua arah yang berlawanan.
“Kalau kalian masih tetap bersikeras tidak ingin memberitahukan penyebab permusuhan ini, jangan salahkan aku bila kalian meninggalkan dunia dengan hati penasaran...!” ujar Panji
Kuda-kudanya direndahkan tanpa menggeser langkahnya. Sepasang matanya bergerak meneliti langkah-langkah kedua lawannya. Panji siap menghadapi keroyokan mereka dengan mengandalkan tangan kosong. Ia memang jarang sekali menggunakan senjata pusa- kanya kalau tidak dalam keadaan terdesak atau menghadapi lawan yang benar-benar tangguh dan sulit ditaklukkan.
TUJUH
“Bersiaplah menerima kematianmu, Pendekar Naga Putih...!” Dibarengi bentakan nyaring membahana, Savitri melesat ke depan. Pedang di tangannya membentuk gulungan sinar merah yang memancarkan hawa panas menyengat. Sebentar saja tempat itu bagai dipenuhi jilatan api.
Wuttt, wuttt...!
Serangan yang dilancarkan Savitri ternyata tidak bisa dipandang remeh. Ilmu pedang gadis cantik berpakaian serba merah itu jelas ilmu pilihan. Panji tidak berani bertindak gegabah dalam mengatasi serangan itu.
“Haiiit!”
Belum lagi serangan pedang Savitri tiba, Kelana telah menyusuli dengan putaran pedangnya. Terdengar suara mengaung tajam seperti ratusan lebah marah!
Sadar akan kehebatan kedua serangan lawan, Panji menghimpun tenaga. Seketika itu juga tubuhnya dilapisi kabut bersinar putih keperakan. Hawa dingin yang menyebar membuat tubuhnya tidak merasakan hawa panas yang datang dari pedang Savitri.
“Yeaaahhh...!”
Cwittt...!
Dengan memiringkan tubuhnya, Pendekar Naga Putih berhasil menghindari tusukan pedang Savitri. Kemudian langsung menepis dengan tangan kirinya saat senjata itu berputar ke atas mengancam leher
Plakkk...!
Tangkisan Pendekar Naga Putih yang dilakukan dengan mengerahkan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ mendorong tubuh Savitri beberapa langkah. Namun gadis-cantik itu mampu mengatasi keseimbangan tubuhnya. Bahkan kembali melesat dengan sambaran pedangnya yang bergerak menyilang dari bawah ke atas! Gerakan itu menunjukkan betapa tangguh dan cekatannya gadis cantik itu.
Panji yang saat itu tengah menghadapi gempuran Kelana terpaksa melompat jauh ke belakang. Kemudian mempersiapkan ilmu ‘Silat Naga Sakti’nya yang ampuh dan jarang menemui tandingan.
“Heaaat...!”
Dengan ‘Pekikan Naga Marah’, tubuh Pendekar Naga Putih melesat ke depan. Sepasang tangannya bergerak susul-menyusul dengan kecepatan yang sukar ditangkap mata. Sehingga, baik Savitri maupun Kelana harus menguras seluruh kepandaiannya untuk mengimbangi kehebatan Pendekar Naga Putih yang terken- al kepandaiannya itu.
Kenanga yang menyaksikan perkelahian itu dari tempat agak jauh sempat menggeleng kagum. Ia sedikit pun tidak menyangka orang-orang muda yang mengeroyok kekasihnya, adalah tokoh-tokoh tangguh rimba persilatan. Sehingga, pertarungan berjalan seru dan mendebarkan.
“Hm.... Mungkinkah Kakang Panji terpaksa menggunakan Pedang Naga Langit untuk menghadapi kedua orang itu...?” gumam Kenanga menduga-duga. Karena meski telah memasuki jurus ketujuh puluh, bellum tampak tanda-tanda siapa yang akan keluar sebagai pemenang.
Ternyata bukan hanya Kenanga yang merasa kagum akan kehebatan Kelana dan Savitri. Panji sendiri yang bertarung lebih dari tujuh puluh jurus harus mengakui ketangguhan kedua lawannya. Mereka dapat bekerja sama dengan baik dan saling menutupi kelemahan lawan setiap kali serangan Panji datang mengancam. Kerja sama mereka membuat Panji sulit untuk mendesak. Karena mereka selalu dapat menanggulangi setiap serangannya.
Ketika pertarungan menginjak jurus kedelapan puluh, timbul rasa penasaran di hati Panji. Apalagi kedua lawannya kelihatan sangat menginginkan kematiannya. Panji harus mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Itu kalau ia masih ingin selamat dari kematian.
“Hiyaaat..!”
Dengan didahului lengkingan panjang, Pendekar Naga Putih melesat ke belakang. Begitu kakinya menyentuh tanah, secepat itu pula tubuhnya kembali melayang ke depan dengan teriakan yang menggetarkan jantung!
Wusss...!
Badai salju yang membawa hawa dingin luar biasa tercipta saat Panji mendorongkan sepasang telapak tangannya ke depan. Hebat luar biasa serangan yang kali ini dilancarkan Panji! Pepohonan di sekitarnya berderak ribut bagai hendak tumbang! Dedaunan berguguran saat pemuda itu lewat di bawahnya. Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya gempuran Panji!
“Savitri, hati-hati...!” Kelana sadar akan kedahsyatan serangan Pendekar Naga Putih. Cepat ia berseru memperingatkan gadis cantik berpakaian merah yang berada satu tombak di sebelah kirinya.
Savitri terlihat mengangguk. Rupanya gadis cantik itu pun maklum akan bahaya yang tengah datang mengancam mereka berdua. “Kelana, pusatkan seluruh kekuatanmu ke badan pedang! Kita sambut serangan bersamaan...!” Savitri mengajukan usul. Kelana hanya mengangguk tipis. Ia juga mengerti bagaimana cara mengatasi serangan dahsyat itu.
“Yeaaa...!”
“Haiiit...!”
Saat hembusan angin dingin membekukan itu semakin dekat, Kelana dan Savitri berteriak melengking merobek angkasa. Tubuh keduanya meluncur dengan putaran pedang yang tidak lagi terlihat bentuknya, namun mendatangkan angin ribut yang sangat hebat. Sehingga....
Bressshhh!
Tanpa dapat dicegah lagi, terjadilah benturan dahsyat yang merontokkan dedaunan. Arena pertarungan bergoyang laksana dilanda gempa!
“Aiii...?!”
Kelana maupun Savitri berteriak ngeri! Tubuh mereka terlempar deras bagai dilontarkan tangan-tangan raksasa yang tak nampak! Dan jatuh bergulingan di tanah berdebu.
“Huakhhh..!”
“Hoekhhh..!”
Hampir berbarengan, Savitri dan Kelana memuntahkan darah kental kehitaman. Sadarlah mereka kalau benturan itu telah menyebabkan luka dalam yang cukup parah! Kendati tidak sampai mencemaskan, namun paling tidak mereka harus beristirahat selama beberapa belas hari.
Panji pun tidak luput dari bahaya. Tubuhnya yang juga terdorong akibat benturan dua gelombang tenaga dalam berputaran dan meluncur turun ke tanah. Tubuh Panji bergoyang-goyang beberapa saat. Dari kedua lengannya menetes cairan merah.
“Kakang...?!” Kenanga terkejut melihat tetesan darah keluar dari kedua lengan kekasihnya. Cepat ia melesat memburu Panji. Dara jelita itu tidak tahu seberapa parah luka kekasihnya, dan apa yang membuat Panji terluka.
"Tidak perlu cemas, Kenanga. Aku hanya tergores mata pedang mereka...,” Jelas Panji seraya memperlihatkan garis sepanjang setengah jengkal pada bagian luar kedua lengannya. Rupanya pada saat berbenturan kedua pedang lawan sempat menggores, kendati tidak terlalu dalam. Tenaga gabungan Kelana dan Savitri dapat menembus lapisan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’!
Tanpa banyak bicara, Kenanga segera melepas ikat pinggangnya. Lalu dipotong menjadi dua dan dibalutkan ke kedua lengan Panji yang terluka. Panji sendiri tidak berusaha menolak. Ia tidak ingin membuat dara jelita itu semakin cemas.
“Biar kuhabisi mereka sekarang juga, Kakang...!” geram dara jelita itu selesai membalut kedua luka di lengan kekasihnya. Kenanga bergerak menghampiri Kelana dan Savitri yang tengah menatap pasangan pendekar muda itu dengan sorot dendam yang semakin parah!
“Kali ini kami terpaksa mengakui kehebatanmu, Pendekar Naga Putih, lain kali kami akan membalas kekalahan ini...!” ancaman itu keluar dari mulut Kelana. Tampaknya kekalahan itu membuatnya semakin dendam kepada Pendekar Naga Putih.
“Benar. Lain kali kami akan mencarimu untuk membuat perhitungan!” timpal Savitri dengan sorot mata menyala bagai bara api.
“Jangan harap ada kesempatan lain bagi kalian...!” geram Kenanga seraya melangkah maju dan meloloskan Pedang Sinar Bulan yang melilit di pinggangnya. Terdengar suara mengaung saat pedang berhawa dingin itu berputar dengan kecepatan mengagumkan!
“Hm.... Jadi kau hendak membunuh lawan yang sudah tidak berdaya? Hebat sekali...! Mari. Majulah, Perempuan Haus Darah! Silakan bunuh kami berdua...!” tantang Savitri sedikit pun tidak kelihatan gentar.
Ucapan itu membuat langkah Kenanga tertahan. Diam-diam Kenanga mengutuk kelicikan gadis cantik berpakaian serba merah itu. Karena untuk membunuh lawan yang sudah tidak berdaya merupakan pantangan bagi orang-orang gagah. Rupanya Savitri cukup tahu akan peraturan tak tertulis itu. Hingga tidak merasa takut dengan ancaman dara jelita berpakaian serba hijau itu.
“Apa yang dikatakannya benar, Kenanga...,” ujar Panji melangkah dan berdiri di samping kekasihnya. “Kita tidak bisa berbuat apa-apa kalau mereka tidak melakukan perlawanan...”
"Tidak!” bantah Kenanga dengan mata berapi-api. “Ingin kulihat apakah mereka benar-benar pasrah menerima tusukan pedangku!” Baru saja ucapan itu selesai, tubuh Kenanga mencelat ke depan. Sinar putih keperakan berkilauan dengan ditandai suara mengaung tajam laksana ratusan lebah marah! Dan...
Wuttt...!
Ujung pedang Kenanga meluncur dengan kecepatan kilat Panji terlambat mencegah. Ia hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi. Tapi, Savitri memang seorang gadis yang memiliki kepandaian dan keberanian tidak lumrah, di samping keanehannya. Ancaman ujung pedang Kenanga sedikit pun tidak berusaha dielakkan. Bahkan sepasang matanya tidak berkedip. Dan senyum mengejek tersungging di bibirnya yang tipis menggemaskan!
“Aaah...?!” Sikap pasrah Savitri membuat Kenanga terkejut setengah mati! Ujung pedangnya terhenti setengah jengkal dari sasaran. Kenanga tidak sanggup melakukan perbuatan itu. Savitri memang tidak melakukan gerakan perlawanan sedikit pun!
“Setan licik...!” Kenanga hanya bisa mengumpat jengkel. Pedang Sinar Bulan kembali ditarik pulang dan tergantung lemas di sisi tubuhnya.
“Mari kita pergi, Kelana...,” ajak Savitri yang sempat mendengus ke arah Kenanga. Kemudian bergerak meninggalkan tempa itu dengan mengajak Kelana yang tentu saja semakin kagum dan suka pada Savitri.
“Biarkan mereka pergi Kenanga. Siapa tahu di tengah jalan mereka berubah pikiran dan melupakan permusuhan ini...,” hibur Panji menepuk perlahan bahu dara jelita itu, yang tidak mengalihkan pandangannya dari sosok Kelana dan Savitri yang kian menjauh.
"Tapi mereka merupakan ancaman bagi kita, Kakang...,” keluh Kenanga menghela napas panjang. Ia sadar pasangan orang muda musuh yang tangguh dan licik. Perjalanan mereka selanjutnya pasti akan selalu dibayangi maut!
“Yahhh.... Tapi yang lebih berbahaya gadis berpakaian serba merah itu. Ia jelas-jelas dari golongan sesat. Ilmu silat yang dimilikinya sangat keji dan mengandung tipuan-tipuan jahat. Tampaknya gadis itu murid seorang tokoh sesat tingkat tinggi. Namun yang membuatku heran. Pemuda berpakaian serba merah itu mempunyai kepandaian yang beragam dan sulit ditebak. Tidak sedikit ilmu-ilmu sesat mewarnai gerakannya. Entah dari golongan mana sebenarnya pemuda tampan dan tegap itu? Sayang ia tidak menjelaskan mengapa sampai demikian menaruh dendam kepadaku...?”
“Mengapa ia tidak mengatakannya kepada kita, Kakang...?”
“Hm.... Mungkin ia ingin membuatku penasaran. Dengan begitu, ia berharap dapat mengganggu ketenangan pikiranku. Bahkan mungkin ia akan tetap merahasiakannya meski aku sampai tewas di tangannya. Dari menjadi hantu penasaran...,” jelas Panji dapat menebak apa yang diinginkan pemuda tegap berpakaian serba merah itu.
“Kalau benar begitu, jelas ia sama kejam dan jahatnya dengan kuntilanak berpakaian merah itu...,” tukas Kenanga semakin geram. Sebab teka-teki kedua orang musuhnya itu masih juga belum terjawab.
“Sudahlah. Untuk apa memikirkan orang-orang gila seperti mereka. Kita harus segera melanjutkan perjalanan. Dengan adanya kejadian ini, kemungkinan besar maut akan selalu membayangi. Sebaiknya kita mencari tempat bermalam di perkampungan...,” ujar Panji yang menyadari sejak kejadian ini, kehidupan mereka terancam. Kelana dan Savitri telah mengucapkan ancaman itu.
Tanpa banyak tanya, Kenanga segera mengayun langkah menjajari Panji. Keduanya bergerak menjauhi perbatasan desa. Untuk menginap di desa yang telah mereka lewati jelas tidak mungkin. Bukan mustahil kedua lawannya bermalam di desa itu. Mereka tentu tidak menginginkan hal itu sampai terjadi.
********************
Setelah beberapa hari melakukan perjalanan, hati Kenanga dan Panji mulai terasa tenang. Apa yang me- reka khawatirkan ternyata tidak terbukti. Gangguan- gangguan yang mereka sangka akan muncul tidak pernah datang. Sehingga, keduanya menduga sepasang orang muda berpakaian serba merah itu telah melupakan dendamnya.
“Kurang ajar...! Mereka benar-benar membuatku penasaran dan tak bisa tidur nyenyak...!” Kenanga merasa kesal dengan ancaman yang tidak pernah terbukti itu. Rupanya ia sangat mengharapkan orang-orang itu muncul mencari mereka berdua.
“Sudah kukatakan sebaiknya lupakan saja tentang mereka. Menurutku ucapan itu terlontar karena amarah yang tidak terkendali. “Mungkin saat ini mereka sudah melupakannya...,” tukas Panji menenangkan Kenanga.
“Belum tentu, Kakang. Siapa tahu mereka tengah mempersiapkan kekuatan untuk mencelakakan kita. Kalau mereka datang terang-terangan, jelas aku tidak takut menghadapinya. Yang aku khawatirkan kelicikan gadis berpakaian serba merah itu. Ia akan melakukan kecurangan-kecurangan untuk mencelakakan kita...,” bantah Kenanga merasa yakin musuh-musuh mereka masih menyimpan dendam. Kendati sampai hari ini belum terbukti, tapi suatu hari kelak Kenanga yakin mereka akan datang untuk melenyapkan mereka berdua.
“Hm...” Pendekar Naga Putih kelihatannya mulai dapat menerima kekhawatiran dara jelita itu. Mengingat gadis berpakaian merah itu golongan sesat, bukan mustahil perbuatannya akan diwarnai dengan kelicikan dan tipu muslihat serta segala macam cara untuk membalas dendamnya. Bisa jadi mereka akan muncul bersama tokoh-tokoh lain yang juga menaruh dendam pada Pendekar Naga Putih.
“Apa yang kau khawatirkan mungkin ada benarnya. Bukan mustahil gadis licik itu akan mempergunakan tangan orang lain untuk menghadapi kita ,” ujar Panji akhirnya menyetujui dugaan kekasihnya.
“Itu berarti kita belum terbebas dari ancaman sampai mereka dapat kita lenyapkan dari atas muka bumi ini,” tukas Kenanga.
Suaranya terdengar demikian geram seperti menaruh dendam kepada kedua musuhnya itu. Ancaman orang-orang itu membuat perjalanan mereka selalu diwarnai kewaspadaan. Terutama saat malam datang.
Saat ini cahaya bulan memancar redup. Bulan sabit menggantung di langit kelam. Panji dan Kenanga yang terjebak di dalam hutan, saat malam datang, terpaksa melewati malam di tempat itu. Mereka memilih daerah yang agak terbuka dan jarang ditumbuhi pepohonan.
“Hm...., Di tempat seperti inilah mungkin kedua orang jahat itu akan memulai ancamannya,” sebelum membaringkan tubuhnya dengan berbantalkan buntalan pakaian, dara jelita itu bergumam mengingatkan Panji.
“Sebaiknya kau beristirahat Kenanga. Buang pikiran itu jauh-jauh agar tidurmu tidak terganggu. Mengenai ancaman itu, kalau benar terbukti, biar aku yang menghadapi...,” hibur Panji yang sudah menyalakan api untuk mengusir dingin dan nyamuk-nyamuk hutan.
Kenanga hanya menghela napas perlahan. Kemudian mencoba membuang segala ancaman yang menghantui pikirannya. Matanya terpejam rapat ingin menikmati waktu istirahat dengan sebaik-baiknya.
Pendekar Naga Putih menoleh sekilas dan tersenyum melihat dara jelita itu telah memejamkan matanya. Beberapa saat kemudian, terdengar dengkurnya yang halus. Melihat jalan napas gadis itu, Panji yakin kekasihnya telah terlelap. Kenanga telah mematuhi petunjuknya. Dan mempercayakan segala sesuatu kepada kekasihnya. Pendekar Naga Putih yang tetap berjaga-jaga sesekali menambah kayu bakar agar tetap menyala. Sejauh itu ia tidak mendengar sesuatu yang mencurigakan. Kendati demikian, pendengarannya dikerahkan agar dapat menangkap suara dalam jarak puluhan tombak.
Malam terus beranjak tenang tanpa ada sesuatu yang dikhawatirkan Kenanga. Tapi, saat menjelang tengah malam Panji menangkap langkah-langkah halus menghampiri tempatnya bermalam. Kening pemuda itu berkerut ketika sadar langkah-langkah itu datang dari sekelilingnya. Tahulah Panji kalau tempat itu akan langsung terkepung saat pemilik langkah datang menampakkan diri.
“Hm.... Mendengar suara langkah kakinya, mereka pasti tidak kurang dari lima puluh orang. Anehnya, suara langkah mereka tidak menggambarkan ilmu yang tinggi. Kepandaian orang-orang itu hanya bertaraf lumayan, meski cukup terlatih untuk bergerak di malam hari. Mungkinkah mereka pengikut-pengikut sepasang orang muda yang dendam kepadaku...?” gumam Panji tetap memasang indera pendengarannya untuk berjaga-jaga. Kemudian bergerak perlahan menghampiri kekasihnya yang sedang terlelap.
“Ada apa, Kakang...?” tanya Kenanga tersentak kaget ketika Panji membangunkannya.
“Waspadalah. Kita akan kedatangan tamu yang tidak diundang...,” jawab Panji segera memberikan isyarat agar dara jelita itu tidak menimbulkan gerakan yang mencurigakan. Dan menunggu kemunculan pemilik suara langkah-langkah itu.
********************
DELAPAN
Suara burung malam terdengar saling bersahutan. Seolah-olah memberi pertanda tidak baik bagi pasangan pendekar muda itu. Hembusan angin malam yang dingin menyentuh kulit sesekali bertiup keras menggoyangkan ranting-ranting pohon. Namun suara gemerisik dedaunan tidak mengganggu pendengaran Panji. Telinganya tetap dapat membedakan suara langkah kaki yang didengarnya.
“Hm.... Sepertinya jumlah mereka cukup banyak, Kakang. Jangan-jangan mereka hanya gerombolan perampok tengik...,” bisik Kenanga ketika telinganya mulai mendengar suara langkah kaki orang banyak itu.
“Ku perkirakan jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh orang. Rata-rata memiliki kepandaian yang lumayan...,” ujar Panji menduga-duga.
Kenanga tidak berkata apa-apa. Demikian pula Panji. Keduanya tetap waspada menanti kemunculan gerombolan yang diduganya lawan. Mereka baru melayang ke atas sebuah pohon besar saat langkah kaki itu terdengar semakin dekat. Tidak berapa lama kemudian yang dinantikan pun muncul. Satu persatu sosok-sosok bayangan hitam bermunculan dari sekeliling tempat Panji dan Kenanga bermalam. Panji yakin mereka berdualah yang dituju orang-orang itu. Terbukti mereka seperti tengah mencari-cari sesuatu.
"Aneh...!? Ke mana perginya kedua orang itu...? Padahal jelas-jelas bermalam di tempat ini. Buktinya api itu belum dipadamkan. Mungkinkah mereka telah pergi...?” terdengar salah satu dari sosok-sosok tubuh itu berkata dengan heran.
"Tidak mungkin mereka dapat pergi tanpa setahu kita. Sekitar tempat ini telah terkurung...!” bantah sosok lainnya tak setuju. Meskipun demikian ada keraguan dalam ucapannya. Orang yang mereka cari memang tidak terlihat di sekitar tempat itu.
“Percuma! Mereka pasti telah pergi. Sebaiknya kita segera kembali. Tidak ada gunanya membuang-buang waktu...!” sosok bayangan hitam bertubuh tinggi kurus memerintah dengan suara lantang. Kemudian menggerakkan tangan kanannya memberi isyarat untuk pergi dari tempat itu.
Tanpa banyak cakap, sosok-sosok bayangan hitam yang jumlahnya ternyata hanya belasan orang itu bergerak pergi. Dalam sekejapan tempat itu kembali sepi. Hanya suara binatang malam dan siliran angin yang sesekali keras mengisi keheningan malam.
“Hm... Mungkinkah pendengaranku salah? Padahal ku perkirakan jumlah mereka paling tidak lima puluh orang? Mengapa yang muncul cuma beberapa belas saja...?” desis Panji heran. Pemuda itu termenung beberapa saat lamanya.
“Kelihatannya memang ada yang tidak wajar...,” desis Kenanga sependapat dengan Panji.
“Kalau begitu, kau tetaplah di sini. Aku akan turun memeriksanya...,” ujar Panji menatap kenanga menunggu jawaban.
“Baiklah, Kakang. Hati-hati.,..”
Setelah mendapat jawaban dari kekasihnya, Panji meluncur turun dari tempat persembunyian. Tubuhnya mendarat ringan tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun. Setelah berdiam sesaat memperhatikan sekelilingnya, Panji melangkah perlahan. Tapi....
Wuttt, wuttt, wuttt!
Pendekar Naga Putih menahan langkahnya ketika mendengar suara desingan menuju ke arahnya. Suara itu datang dari empat penjuru! Cepat ia menoleh untuk mengetahui benda apa yang menimbulkan suara de- ruan angin itu. Dan....
“Haiiit..!”
Dengan gerakan yang sukar diikuti mata, tubuh Pendekar Naga Putih melenting ke udara. Ia sempat menangkap adanya benda-benda panjang seperti ular meluncur ke arahnya. Pemuda itu baru bergerak turun setelah yakin benda-benda panjang itu tidak akan dapat menjangkaunya. Baru saja kedua kakinya menyentuh tanah, tiba-tiba....
Rrrt, rrrt, rrt..!
Terkejut bukan main hati Panji ketika merasakan ada sesuatu melilit kedua kakinya. Lalu kedua tangannya pun tak luput dari lilitan benda panjang itu.
“Kurang ajar...!” desis Panji ketika menyadari dirinya memang telah ditunggu-tunggu lawan-lawannya yang bersembunyi. Ia telah masuk ke dalam perangkap lawan. Kendati kaki dan tangannya telah terlilit benda-benda panjang yang ternyata tali-tali sebesar ibu jari. Pendekar Naga Putih tidak panik Yang pertama dilakukannya adalah menyentakkan tali yang melilit kedua tangannya.
“Heaaah...!”
Dua sosok tubuh yang bersembunyi di atas pepohonan langsung tersentak keluar dari tempat persembunyian. Tapi hal itu tampaknya memang disengaja. Sosok-sosok tubuh yang tersentak keluar itu terus menyeberang melewati tubuh Panji.
“Hm...” Pendekar Naga Putih bergumam jengkel. Dengan lompatan-lompatan orang-orang itu, tubuhnya semakin erat terlibat tali. Sadarlah Panji kalau orang-orang itu hendak mengikat tubuhnya.
“Haiiit..!”
Belum lagi Panji sempat melakukan gerakan kembali terdengar suara teriakan. Disusul kemudian dengan tubuh-tubuh yang berloncatan melewati kepalanya. Panji kagum. Mereka rata-rata memiliki ilmu meringankan tubuh cukup tinggi. Sehingga, apa yang mereka kehendaki menunjukkan hasil yang baik!
Semula Pendekar Naga Putih tidak khawatir. Ia mengira tali yang mengikat dirinya tidak memiliki keistimewaan apa-apa. Tapi saat hendak memberontak memutuskan tali-tali itu betapa terkejut Pendekar Naga Putih. Meski mengerahkan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ tali itu tidak mampu diputuskan! Tahulah Panji kalau tali itu terbuat dari jalinan kulit binatang yang telah direndam sejenis ramuan hingga tidak dapat di- putuskan dengan senjata tajam sekalipun.
“Gila...! Mengapa aku bertindak seceroboh ini!” desis Panji segera mempertahankan kedua kakinya agar tidak terikat seperti kedua tangannya yang tidak lagi dapat digerakkan.
“Heaaahhh...!”
“Hahhh...!”
Empat sosok tubuh yang melibatkan tali ke paha dan pergelangan kaki Panji bergerak memutari tubuh pemuda itu. Mereka hendak mengikat kedua kaki Pendekar Naga Putih, agar pemuda itu lumpuh dan terikat seluruh tubuhnya.
Pendekar Naga Putih tentu saja tidak ingin mengulang kecerobohannya. Ia merendahkan kuda-kudanya dan menekuk kedua lututnya. Sehingga meski tali-tali itu melibat kedua kakinya, namun tidak mampu menyatukan kedua kaki pemuda itu. Tubuh Panji berdiri dengan kedua kaki menekuk.bSaat Panji tengah mempertahankan diri agar tidak, dapat dilumpuhkan lawan, tiba-tiba terdengar sebuah jeritan. Terkejut bukan main pemuda itu. Jeritan itu sangat dikenalinya dengan baik!
“Kenanga...?!” desis Panji. Wajahnya berubah. Dari jeritannya, Pendekar. Naga Putih tahu kekasihnya tengah terdesak atau dalam bahaya. Seketika itu juga kemarahannya timbul. Sadar kekasihnya tengah terancam, Panji segera memejamkan mata rapat-rapat Jalan satu-satunya untuk membebaskan diri hanyalah dengan menggunakan ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’. Tinggal kekuatan mukjizat berhawa panas itulah harapannya. Maka....
“Hiyaaat..!” Dibarengi ‘Pekikan Naga Marah’, muncullah sinar kuning keemasan membungkus tubuh Panji. Seketika itu juga....
Brrrlll!
Tali-tali yang mengikat tubuh Pendekar Naga Putih memperdengarkan bunyi berkeretekan terbakar. Bahkan menjalar dengan cepat ke tangan pemiliknya. Sehingga....
“Aaa...!”
Delapan lelaki yang berada di sekeliling Panji langsung melepaskan tali yang tergenggam di tangannya. Mereka berlompatan mundur dengan wajah pucat sambil meniup-niup telapak tangannya yang terjilat api.
“Ilmu setan..!”
“Iblisss..!”
Terdengar desisan kedelapan orang itu, Kelihatan sekali pancaran kegentaran pada wajah-wajah mereka. Apa yang dilakukan Panji sangat mustahil!
Pendekar Naga Putih sendiri tidak mempedulikan kedelapan orang. itu. Yang dipikirkannya hanya keselamatan Kenanga. Maka seketika itu juga tubuhnya melayang meninggalkan tempat itu. Ia memang telah terseret jauh dari tempat semula.
Zing, zing, zing!”
Gerakan Panji dihalangi suara berdesingan yang datang dari segala penjuru. Mendengar suara desingannya, sadarlah Pendekar Naga Putih kalau dirinya dihujani anak panah. Cepat ia mengibaskan kedua lengannya ke kiri dan kanan. Hembusan angin keras berhawa panas membakar bertiup!
“Heaaa...!”
Hebat sekali akibat pengerahan ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ itu! Puluhan batang anak panah yang datang mengancam runtuh dalam keadaan hangus terbakar. Padahal jaraknya masih setengah tombak dari tubuh Panji. Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya kekuatan tenaga mukjizat itu!
Tanpa mempedulikan anak-anak panah yang runtuh ke tanah, Pendekar Naga Putih terus melanjutkan niatnya hendak melihat keadaan kekasihnya. Meski tidak mengerti mengapa Kenanga sampai berada jauh dari tempat persembunyiannya, semua itu tidak lagi dipikirkan. Yang penting ia harus segera tahu bagai- mana keadaan dari jelita itu.
“Haaat..!”
Tapi, lagi-lagi Pendekar Naga Putih harus menahan kegeraman Hatinya. Dari semak-semak di sekitar tempat itu, berlompatan sosok-sosok tubuh dengan mengenggam senjata terhunus! Mereka langsung menerjang pemuda itu.
“Kurang ajar...!” Lagi-lagi Panji hanya bisa mengumpat geram. Tubuhnya berkelebatan di antara sambaran pedang lawan. Sehingga, tak satu pun mata pedang dapat menyentuh tubuhnya. Para pengeroyok menjadi penasaran!
"Terima ini...!” Merasa jengkel dengan sikap keras kepala lawan-lawannya, Pendekar Naga Putih mulai kehilangan kesabaran. Tangan dan kakinya bergerak menghajar lawan. Sebentar saja empat sosok tubuh terjungkal tewas mencium tanah. Dalam kecemasannya akan nasib Kenanga, Pendekar Naga Putih telah menggunakan setengah dari tenaga mukjizatnya untuk menghajar lawan. Karuan saja tubuh keempat orang itu terpanggang hangus!
Tapi meskipun korban telah berjatuhan, semangat serta keberanian para pengeroyok itu tidak berkurang. Mereka tetap nekat mencegah tubuh pemuda itu yang hendak melewati mereka. Sehingga, mengamuklah Pendekar Naga Putih dengan pukulan-pukulan maupun tendangannya yang membawa hawa panas membakar!
“Aaa...!”
Lagi tiga orang lawan terjungkal dengan tubuh hangus! Kepalan serta tamparan Pendekar Naga Putih telah mengirim mereka ke neraka. Dan, hal itu terus berlanjut.
“Haiiit...!” Di saat Panji tengah mengamuk bagai naga murka terdengar pekikan melengking. Disusul suara ledakan memekakkan telinga!
Jtarrr, ctarrr...!
Pendekar Naga Putih melompat ke samping menghindari sebuah patukan benda panjang yang mengancam pelipisnya. Dari sambaran anginnya yang laksana dengung lebah marah, Panji tahu penyerangnya bukanlah orang sembarangan! Ia tidak berani bertindak gegabah sebelum mengetahui benda yang digunakan lawan untuk menyerang dirinya.
Darrr...!
“Haiiit..!”
Kembali Pendekar Naga Putih melompat jauh ke belakang. Untunglah gerakannya masih lebih cepat dari sambaran benda berbentuk mata tombak itu. Kalau tidak, besar kemungkinan tubuhnya berlubang seperti tanah tempatnya semula berpijak.
“Gila...!" desis Panji takjub melihat kehebatan senjata lawan. Kepalanya tengadah hendak melihat pemilik senjata yang belum diketahui bentuk keseluruhannya itu.
“Kau...! Bukankah kau yang berjuluk Cambuk Penakluk Naga...?!” seru Panji rupanya telah mengenal baik lawannya.. Itu diketahuinya setelah melihat cambuk yang pada bagian ujungnya berbentuk mata tombak. Siapa lagi tokoh itu kalau bukan Cambuk Penakluk Naga!
“Heh heh heh...! Sudah lama aku ingin merasakan kehebatanmu yang telah mengguncangkan rimba persilatan! Tidak tahunya kabar itu bukan isapan jempol belaka! Kau memang pantas menyandang gelar itu. Pendekar Naga Putih! Tapi, kali ini nagamu akan segera bertekuk lutut oleh ujung cambukku...!”
Terdengar suara tawa menggelegar dan suara parau tokoh berusia kira-kira tujuh puluh tahun itu. Tubuhnya tidak terlalu tinggi. Bercambang bauk yang meng- hiasi hampir seluruh wajahnya. Memang pantas kalau kakek berpenampilan menyeramkan itu menyandang julukan Cambuk Penakluk Naga. Permainan cambuknya sulit dicari tandingannya.
“Hm... Mengapa kau memusuhiku, Cambuk Penakluk Naga? Bukankah di antara kita tidak mempunyai urusan...?” tegur Panji dengan sorot mata mencorong tajam, membuat kakek itu bergidik juga menatapnya.
“Heh heh heh Mengapa masih bertanya lagi, Pendekar Naga Putih? Bukankah jalan kita bertentangan? Jadi tidak mungkin kita dapat hidup berdampingan, bukan?, Nah, salahkah kalau aku hendak melenyapkanmu...?” tukas Cambuk Penakluk Naga memperdengarkan tawanya yang menyebalkan.
“Jadi kedatanganmu dengan membawa pengikut bukan atas kehendak orang lain...?” tegas Panji ingin mengetahui apakah ada orang yang berdiri di belakang tokoh sesat itu.
“Cukup, Pendekar Naga Putih! Aku datang ke tempat ini bukan untuk melayani pertanyaanmu! Sebaiknya kau bersiaplah agar kematianmu tidak sia-sia...!” tandas Cambuk Penakluk Naga tak mau menjawab pertanyaan Panji. Tampaknya ia ingin melenyapkan Pendekar Naga Putih secepatnya.
Mendengar ucapan itu, Panji kembali teringat akan kekasihnya yang belum diketahui nasibnya. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, segera dipersiapkannya serangan untuk menghadapi Cambuk Penakluk Naga yang telah ia dengar kehebatannya.
“Haaat..!” Begitu membuka serangan, Panji langsung mengerahkan lebih dari tiga perempat ketaatan mukjizatnya. Sepasang tangannya mendorong ke depan dengan pukulan jarak jauh!
Wusss!
Bummm...!
Tanah di sekitar arena pertarungan bergoncang bagai terjadi gempar! Untunglah Cambuk Penakluk Naga telah lebih dulu meninggalkan tempatnya berpijak. Kalau tidak, niscaya tubuhnya hancur berkeping-keping oleh pukulan maut Pendekar Naga Putih.
Sebelum kepulan debu tebal itu menipis dan hilang terbawa hembusan angin malam, Panji berkelebat ke arah pertempuran lain yang tertangkap pendengarannya. Tentu saja perbuatan pemuda itu tidak didiamkan lawannya.
“Hendak lari ke mana kau, Pendekar Naga Putih...!” seru Cambuk Penakluk Naga segera melesat melakukan pengejaran. Dari belakang, cambuk mata tombaknya meluncur dengan cepat!
Sadar ada serangan yang datang mengancam dari belakang, Panji mengibaskan lengan kanannya dengan sepenuh tenaga tanpa menoleh. Sehingga....
Darrr!
Ujung cambuk bertemu dengan lengan Panji menimbulkan ledakan keras! Tubuh Cambuk Penakluk Naga terlempar mundur sejauh satu tombak. Namun, tokoh sesat itu dapat menggunakan keseimbangan tubuhnya dengan baik. Dan mendarat dengan kedua kaki lebih dulu. Kendati demikian, wajahnya terlihat agak pucat Nafasnya pun agak memburu.
Pendekar Naga Putih sendiri tidak mempedulikan lengannya yang terasa nyeri. Tubuhnya terus meluncur ke depan. Apa yang dilihatnya kemudian benar-benar membuat pemuda itu menggeram marah! Pendekar Naga Putih menyaksikan Kenanga tengah didesak habis-habisan oleh dua orang tubuh berpakaian serba merah. Siapa lagi kedua orang itu kalau bukan Kelana dan Savitri.
“Hiyaaat..!”
Tanpa membuang-buang waktu, Pendekar Naga Putih mengeluarkan pekikan naga marah! Tubuhnya melesat dengan kecepatan laksana sambaran kilat di angkasa. Sepasang tangannya bergerak susul-menyusul menyambut sebuah pukulan berbahaya yang saat itu mengancam tubuh kekasihnya!
Breshhh...!
“Aaakh...!” Savitri yang pukulannya nyaris mengenai sasaran terpekik kaget! Tubuhnya terlempar dan jatuh bergulingan di atas tanah. Pendekar Naga Putih telah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya untuk menyelamatkan nyawa kekasihnya.
“Kakang...!” Kenanga berseru lemah dengan napas memburu. Keringat membasahi tubuh dan wajah dara jelita itu. Kelihatan sekali betapa dara jelita itu sudah sangat kepayahan. Untunglah Panji datang pada saat yang tepat!
“Kenanga… Kau tidak apa-apa...?” tanya Panji memeluk tubuh kekasihnya dengan lengan kiri. Wajah pemuda itu kelihatan cemas ketika mendapati lelehan darah pada sudut bibir kekasihnya. Kenanga telah menerima beberapa pukulan lawan. Hal itu mendatangkan kemarahan di hati Panji.
“Kalian benar-benar manusia tak tahu diri! Rasanya hanya kematian yang dapat menyadarkan kalian dari kesesatan...!” geram Panji melepas rangkulan pada tubuh Kenanga. Kemudian mempersiapkan jurus menghadapi lawan-lawannya.
Saat itu Cambuk Penakluk Naga telah mendaratkan kakinya di arena pertempuran. Tampaknya kakek itu membantu Kelana dan Savitri untuk membalaskan dendamnya kepada Pendekar Naga Putih. Tapi Panji tidak tahu ada hubungan apa antara kedua orang muda berpakaian serba merah itu dengan Cambuk Penakluk Naga.
Panji menatap lawan-lawannya satu persatu. Ketiga orang itu jelas tidak bisa dipandang remeh. Belum lagi para pengikut Cambuk Penakluk Naga yang bukan mustahil akan berbuat curang saat ia bertempur menghadapi pemimpin mereka. Ia harus memperhitungkan segalanya dengan cermat.
“Kali ini riwayatmu akan tamat, Pendekar Naga Putih..!” geram pemuda tampan bertubuh tegap yang tidak lain Kelana. “Dengan begitu dendam ku terlunasi...!”
“Persetan dengan dendammu, Kisanak! Tapi, jangan harap kalian dapat menundukkan ku...!” tukas Panji merasa tidak perlu lagi bertanya tentang penyebab dendam pemuda tegap itu. Ia tahu itu sia-sia saja. Kelana tidak akan pernah menjawabnya.
“Hm...!” Begitu ucapannya selesai, Pendekar Naga Putih melipat kedua tangan dengan telapak melekat di dada. Sepasang matanya terpejam rapat memanggil senjata mukjizatnya. Untuk menghadapi ketiga lawannya yang berbahaya itu, ia harus menggunakan Pedang Naga Langit!
“Hahhh...!” Dibarengi bentakan menggelegar yang membuat lawan-lawannya terlongong, di tangan Pendekar Naga Putih tahu-tahu tercipta sebilah pedang terbungkus sinar kuning keemasan.
“Pedang Naga Langit...?!”
Cambuk Penakluk Naga dan Savitri berseru kaget. Sedangkan Kelana hanya memandang penuh takjub. Pemuda tegap itu memang belum mengetahui mengenai pedang mukjizat itu.
“Hm... Sekarang bersiaplah untuk melayat ke akherat...!” ujar Panji memutar pedangnya dengan gerakan menyilang. Terdengar suara mengaung disertai hawa panas membakar memenuhi arena pertarungan.
“Haaat...!” Ketika melihat lawan-lawannya telah merenggang mengepung dirinya, Pendekar Naga Putih membuka serangan dengan lengkingan menggeledek! Tubuhnya melayang disertai sambaran pedang mukjizatnya. Dan....
“Aaa...!” Enam orang pengikut Cambuk Penakluk Naga memekik ngeri saat tubuhnya terpapas mata pedang Pendekar Naga Putih. Sedangkan ketiga lawan Panji telah berlompatan menjauh, Mereka cukup sadar akan kelebatan Pedang Naga Langit.
Wukkk, wukkk!
Pendekar Naga Putih memutar pedangnya di atas kepala. Dedaunan langsung berguguran hangus bagai terbakar. Menyaksikan kejadian itu semakin gentarlah hati lawan-lawannya. Cambuk Penakluk Naga menggeser langkahnya mendekati Kelana. Terdengar bisikannya kepada pemuda tegap beralis tebal itu.
“Rasanya kita tidak bisa mengatasi pemuda gila itu, Kelana. Sebaiknya kita cari bantuan lebih banyak untuk melenyapkan Pendekar Naga Putih”
“Tapi, kelihatannya ia tidak akan membiarkan kita pergi begitu saja..,” bantah Kelana setuju dengan pendapat Cambuk Penakluk Naga.
"Tidak perlu khawatir. Sebaiknya kau pergi bersama yang lain. Aku menyusul belakangan. Jangan cemas. Aku pasti dapat mengelabuinya...,” ujar Cambuk Penakluk Naga membuat Pemuda itu menganggukkan kepala.
“Hei! Mau pergi ke mana kalian, Manusia-manusia Pengecut..!” seru Panji ketika melihat lawan-lawannya bergerak mundur. Tahulah Pendekar Naga Putih kalau mereka hendak melarikan diri.
“Jangan hiraukan mereka Pendekar Naga Putih! Sebaiknya kau sambut seranganku!” Cambuk Penakluk Naga segera mengalihkan perhatian Panji. Kakek itu memutar cambuknya sedemikian rupa hingga menimbulkan suara mengaung bagai ratusan lebah marah. Dan….
Jdarrr!
Pendekar Naga Putih melompat ke belakang ketika ujung cambuk berbentur mata tombak itu mengancam tubuhnya. Tanah tempat ia berpijak berhamburan, membuat arena pertarungan gelap seketika.
“Jaga kekasihmu, Pendekar Naga Putih!”
Pendekar Naga Putih tersentak kaget mendengar seruan Cambuk Penakluk Naga! Telinganya menangkap suara berdesir menuju ke arah Kenanga. Sementara dara jelita itu tengah bersandar kelelahan pada sebatang pohon besar.
“Keparat licik” Sambil mengumpat marah, Pendekar Naga Putih melesat ke arah kekasihnya. Pedang di pangannya, mengibas dengan raungan tajam. Beberapa jarum halus yang dilepaskan Cambuk Penakluk Naga jatuh ke tanah. Tapi....
“Aaakh?!”
“Kenanga...!” Bukan main terkejut hati Panji mendengar teriakan kekasihnya. Jeritan itu menunjukkan ada beberapa batang jarum mengenai sasaran. “Kenanga...!” panggil Panji cemas. Tidak dipedulikannya Cambuk Penakluk Naga yang melesat pergi sambil memperdengarkan tawa. Pendekar Naga Putih lebih mementingkan keselamatan kekasihnya. Lawan-lawannya dapat dicari kemudian.
“Kakang...,” rintih Kenanga dengan bibir mulai memucat.
Panji terlihat kaget melihat cara kerja racun itu yang sangat cepat. Tanpa ragu-ragu, Pendekar Naga Putih menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung Kenanga. Kemudian mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengeluarkan jarum-jarum halus itu. Hal itu tidak sulit dilakukan Panji. Tenaga dalamnya telah mencapai taraf sempurna. Sebentar saja jarum-jarum yang menancap di beberapa bagian tubuh Kenanga berlompatan keluar. Kemudian Pendekar Naga Putih memberikan pil penawar racun kepada dara jelita itu.
“Hm… Kelak aku akan mencari kalian Manusia-manusia Durjana...!” tekad Panji segera memondong tubuh kekasihnya, dan melesat pergi ke arah yang berlawanan dengan Cambuk Penakluk Naga dan teman-temannya. Sebentar saja tubuh Pendekar Naga Putih lenyap ditelan kegelapan malam...
********************
Siapakah sebenarnya pemuda bernama Kelana yang berjuluk Petualang Sakti? Dari mana pemuda itu berasal? Benarkah orang tuanya dibunuh Pendekar Naga Putih? Lalu, apa penyebabnya? Semua itu akan terjawab dalam episode: