Hantu Laut Pajang - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Hantu Laut Pajang
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat serial Pendekar Naga Putih

SATU

HEMBUSAN angin di tepian pantai sebelah Utara Laut Pajang terasa agak keras menerpa kulit. Sesosok tubuh tinggi tegap tampak tengah berdiri kokoh pada bagian tebing karang pantai yang tidak begitu tinggi. Tubuh kekar itu tak ubahnya batu karang yang tidak pernah goyah oleh hantaman ombak. Rambutnya yang panjang dan tebal dibiarkan tergerai, dipermainkan tiupan angin.

Sosok itu terus menatap luas Lautan Pajang, tanpa mempedulikan percikan ombak di bawahnya yang sesekali membasahi pakaiannya. Tatapan matanya yang tajam, tertuju lurus bagaikan tengah menilai luasnya lautan itu. Bahkan keindahan sinar matahari pagi yang jatuh menimpa air laut pun, juga tidak menarik perhatiannya.

Sosok tubuh lelaki kekar itu sama sekali tidak bergerak meski cahaya matahari sudah merambat naik. Tubuhnya tetap tegak, seolah-olah ia bagai sebuah patung batu karang yang menjadi bagian pantai itu.

“Hhhh...” Terdengar helaan napas panjang dan berulang-ulang dari mulut dan hidung sosok tubuh tegap itu. Sepasang tangannya yang semula terlipat di depan dada, kini tersangga di kedua pinggangnya. Entah apa, yang membuat sosok lelaki tegap itu demikian terhanyut alam pikirannya yang bagai tak berkesudahan itu.

Setelah beberapa saat lamanya bersikap begitu, mendadak saja sosok tegap itu menengadahkan wajahnya, disertai tarikan napas berat. Dipandanginya langit kebiruan yang nampak cerah di pagi ini. Cukup lama hal itu dilakukan, seolah-olah pada awan itu ada sesuatu yang menarik hatinya.

“Bhirawa, bukan aku tidak menyetujui tekadmu itu. Tapi, perlu kau ingat. Istana Kerajaan Bantar Gebang merupakan tempat berkumpulnya jago-jago dari segala penjuru rimba persilatan yang datang untuk mengabdikan diri pada negeri ini. Tidak banyak yang dapat kulakukan selain menasihati mu agar tidak ceroboh dalam mengambil tindakan. Salah-salah, dirimu sendirilah yang akan celaka. Meski semua ilmuku telah dapat kau serap secara sempurna, tapi semua itu bukan jaminan kalau usahamu akan berhasil. Sekarang lagi, berhati-hatilah”

Pesan gurunya kembali mendengung memenuhi benak Bhirawa. Semua pesan itu disampaikan gurunya sehari sebelum ia meninggalkan tempat kediamannya selama menuntut ilmu olah kanuragan.

“Hhhh...” Sosok lelaki tegap yang ternyata bernama Bhirawa itu kembali menghela napasnya.

“Guru..., percayalah. Aku akan selalu berhati-hati dalam mengarungi kehidupan ini. Terlebih lagi, dalam menghadapi musuh-musuhku. Meskipun kau tidak menyertaiku, namun bekal yang telah kau berikan merupakan budi baik yang tidak mungkin dapat kulupakan begitu saja. Aku pamit, Guru.,” desah Bhirawa, mantap.

Setelah membungkukkan tubuhnya sebanyak tiga kali ke arah laut, lelaki tinggi tegap itu pun mengayun langkahnya meninggalkan Pesisir Pantai Laut Pajang.

********************

Sosok lelaki tegap berambut panjang terurai itu melangkah lambat memasuki pintu gerbang Kota Kerajaan Bantar Gebang. Sebuah caping bambu lebar tampak menutupi wajahnya, sehingga terlindung dari teriknya cahaya matahari. Keramaian Ibu Kota Kerajaan Bantar Gebang sama sekali tidak mengusik ketenangan langkahnya.

Kakinya terus terayun tanpa memperhatikan orang-orang yang lalu-lalang di sekelilingnya. Ia baru berhenti ketika tiba di sebuah bangunan megah milik salah seorang pejabat kerajaan. Sepasang matanya yang terlindung di balik caping bambu menatap tajam sekeliling bangunan megah itu.

Sikap sosok pemuda tegap itu tentu saja membuat dua orang prajurit penjaga pintu gerbang menjadi curiga. Keduanya meneliti mengawasi sosok tegap yang wajahnya terlindung caping. Karena cukup lama pemuda itu tidak juga beranjak, salah seorang prajurit segera menghampirinya

Dengan langkah yang dibuat berkesan seram, prajurit muda bertubuh gemuk itu menghampiri pemuda bercaping. Tangan kanannya meremas-remas sebatang tombak, seolah-olah hendak menakuti pemuda bercaping dengan senjatanya.

“Kisanak, ada yang bisa kubantu...?” tegur prajurit muda itu sambil mencoba menegasi wajah yang terlindung caping bambu. Namun karena pemuda itu telah menundukkan wajahnya, maka ia tidak berhasil menegasi.

“Ah! Tidak, Tuan. Aku hanya merasa kagum dengan bangunan yang demikian indah ini. Kalau boleh tahu, siapakah yang menghuni bangunan besar ini, Tuan...?” pemuda bercaping ini mengangguk sopan, sebelum menyahuti.

“Hm.... Kau tentu bukan penduduk kota ini, dari mana asalmu? Dan, apa tujuanmu datang ke kota ini...?” prajurit muda itu malah balik bertanya. Sikapnya jelas menandakan kalau pemuda bercaping itu dicurigainya.

“Benar, Tuan. Aku hanyalah orang dusun yang kebetulan singgah di kota besar ini. Desa ku tengah dilanda kemarau yang sangat panjang. Sehingga, para penduduknya banyak yang pergi mencari kehidupan yang lebih baik. Aku pun tidak berbeda dengan mereka, sehingga langkahku tiba di kota ini. Terus terang di desa ku tidak ada bangunan yang sebesar dan seindah ini. Makanya aku jadi tertarik dan merasa kagum. Penghuni bangunan besar ini pastilah seorang pejabat kerajaan...,” puji pemuda tegap bercaping itu, seolah-olah hendak mengulangi pertanyaannya dalam bentuk kalimat lain. Sehingga, prajurit muda itu teringat kembali akan pertanyaan yang tadi belum dijawabnya.

“Benar! Bangunan besar ini adalah tempat kediaman seorang pejabat tinggi Kerajaan Bantar Gebang. Tapi, beliau jarang sekali menempatinya. Sebagai seorang senapati, tentu saja beliau lebih banyak tinggal di istana. Sedangkan bangunan ini digunakan hanya sebagai tempat istirahat, apabila Senapati Gada Sura sedang tidak bertugas,” jelas prajurit muda itu, penuh kebanggaan.

“Senapati Gada Sura...?” gumam pemuda bercaping ini, seolah-olah tidak begitu yakin terhadap penjelasan prajurit muda itu.

“Benar. Jabatan itu baru tiga tahun dipegangnya. Mengapa kau kelihatan heran, Kisanak? Apakah penjelasanku salah...?” tanya prajurit muda itu ragu. Kelihatannya pemuda bercaping itu seperti tidak begitu percaya dengan keterangannya.

“Ah, tidak. Keterangan Tuan sangat jelas. Aku sangat berterima kasih atas keteranganmu. Karena dengan begitu, aku bisa menceritakannya kepada teman-teman di desa nanti. Maaf. Aku permisi, Tuan...,” pamit pemuda bercaping itu yang segera membungkuk hormat Kemudian, dia berlalu meninggalkan bangunan besar itu.

”Ya..., ya...,” sahut prajurit muda itu mengangguk-anggukkan kepala. Tampaknya prajurit itu tak mengerti melihat sikap pemuda bercaping yang dianggapnya cukup aneh. Begitu nama Senapati Gada Sura disebutnya, dia seperti terkejut. Sambil menggeleng-gelengkan kepala, prajurit muda itu kembali ke pos jaganya.

Sementara itu si pemuda bercaping terus melangkah dengan kepala tertunduk. Sepertinya, ia masih memikirkan keterangan yang baru didapatnya dari prajurit muda penjaga pintu gerbang tadi.

“Hei, minggir...! Minggir...!”

Tiba-tiba terdengar teriakan berulang-ulang yang membuat pemuda bercaping itu tersentak kaget dari lamunannya. Serentak kepalanya terangkat dan memandang ke depan melalui tepi caping bambunya. Bukan main terkejut hatinya ketika di depannya dalam jarak kurang dari dua tombak, tampak tiga ekor kuda tengah berlari kencang!

“Minggir kau, Gelandangan Busuk...!” maki seorang penunggang kuda yang terdepan. Sambil berkata demikian, cambuknya dilecutkan ke tubuh pemuda bercaping itu ketika lewat di sampingnya. Sepertinya, ia merasa jengkel melihat pemuda itu seperti enggan menyingkir!

Jtarrr...!

Tali cambuk kuda itu meledak ketika mengenai punggung si pemuda bercaping. Namun, yang terjadi selanjutnya membuat penunggang kuda itu menjadi marah. Ternyata cambuk yang digunakan untuk mendera pemuda bercaping itu terlihat pecah bagian ujungnya. Bahkan wajah penunggang kuda yang kira-kira berusia sekitar dua puluh tahun tampak meringis seperti merasakan nyeri pada telapak tangannya.

“Bedebah...!” maki pemuda tampan berpakaian mewah yang menunggang kuda berbulu hitam.

Seketika, pemuda itu menarik tali kekangnya, sehingga binatang tunggangannya berhenti dan meringkik keras. Kemudian bergegas memutar kudanya berbalik.

Dua orang penunggang kuda lain yang berada di sekitar satu tombak di belakang pemuda tampan itu, segera saja ikut menarik tali kekang kudanya. Kemudian, binatang tunggangannya ikut pula diputar balik menyertai pemuda tampan itu.

Sedangkan si pemuda bercaping yang sempat terjatuh akibat serangan yang mendadak tadi, telah bangkit sambil membersihkan debu-debu yang melekat di jubah coklatnya. Caping yang dikenakannya tetap bertengger di atas kepala, untuk menyembunyikan wajahnya.

“Hei, Orang Buta! Apa kau juga tuli, hingga tidak mau menyingkir ke tepi? Atau sengaja hendak memamerkan kepandaianmu di kota ini...?” maki pemuda tampan yang menunggang kuda hitam itu kalang kabut. Seolah-olah, kejadian tadi bukan merupakan kesalahannya. Jelas hal itu menandakan kesombongan dan sikapnya yang semena-mena.

“Maaf..., maaf. Aku benar-benar tidak sempat menyingkir, karena kuda Tuan begitu cepat berlari. Aku mohon maaf...,” ucap pemuda tegap bercaping itu sambil membungkuk-bungkuk.

Dari pakaian serta sikapnya, pemuda bercaping itu dapat menduga kalau orang yang membentaknya pastilah putra seorang pembesar atau juragan kaya-raya. Dan karena tidak ingin mencari persoalan, maka pemuda bercaping itu terpaksa mengalah.

“Hm Begitu caramu meminta maaf kepadaku?! Apakah kau tidak kenal siapa aku?! Lepas capingmu, dan menyembah sambil mengucapkan permintaan ampun. Dan bukan maaf...!” bentak pemuda berpakaian mewah itu.

Pemuda tampan yang sombong itu sepertinya tidak puas atas sikap lelaki tegap berjubah coklat itu. Permintaannya benar-benar keterlaluan!

Untuk beberapa saat lamanya, pemuda bercaping itu terdiam. Seolah-olah dia merasa keberatan atas permintaan pemuda tampan yang sombong itu. Tentu saja sikapnya semakin membuat marah pemuda kaya-raya penunggang kuda hitam itu.

“Bangsat! Kau berani membantah perintahku?! Kau memang patut dihajar!” Sambil membentak marah, pemuda tampan itu kembali melecutkan tali kekang kudanya ke tubuh pemuda bercaping bambu.

Wuuut...!

Kali ini pemuda tegap bercaping itu rupanya tidak sudi menerima perlakuan kejam itu begitu saja. Seketika tangan kanannya terulur, dan langsung menangkap ujung pecut yang siap menyengat tubuhnya.

Tappp...!

“Setan...! Kau ingin melawanku!” rutuk pemuda tampan itu. Bukan main murkanya pemuda tampan yang sombong itu. Dengan wajah kemerahan karena hawa marah telah naik ke kepalanya, segera saja tali pecut itu dibetot dengan pengerahan tenaganya! Karuan saja tali pecut itu menegang, karena pemuda bercaping itu tidak mau melepaskannya! Sehingga, terjadilah adu tarik-menarik beberapa saat lamanya!

“Bedebah...!”

Untuk kesekian kalinya lelaki muda berwajah tampan itu kembali melontarkan makian. Kemudian kekuatannya untuk menarik tali kekang itu di tambahnya. Akibatnya....

“Aaah...!”

Karena terlalu bernafsu untuk memenangkan adu tarik-menarik itu, maka tanpa dapat dicegah lagi tubuh pemuda tampan itu langsung terjatuh dari atas punggung kuda! Apalagi, pemuda bercaping itu telah melepaskan pegangannya pada ujung tali.

Bruggg...!

Tanpa ampun lagi, tubuh pemuda tampan itu langsung terbanting di tanah! Tentu saja peristiwa lucu itu membuat orang-orang yang menyaksikannya tertawa geli, tanpa dapat ditahan lagi.

“Tuan Muda Jata Sura !?”

Dua orang penunggang kuda lain yang sepertinya merupakan pengawal pemuda tampan itu, segera saja melompat turun dari atas punggung kuda. Bergegas mereka menolong pemuda itu bangkit.

“Huh! Benar-benar kurang ajar sekali orang itu...!” mulut pemuda tampan itu kembali mengomel panjang-pendek. Ia bangkit berdiri sambil mengebut-ngebutkan debu yang mengotori pakaian indahnya. Kemudian, wajahnya berpaling menatapi orang-orang yang berada di sekelilingnya. Karuan saja orang-orang itu segera beranjak pergi, melihat sinar mata penuh ancaman dari pemuda tampan itu.

“Hei, tunggu...!” cegah pemuda tampan bernama Jata Sura, keras.

Rupanya dia melihat pemuda bercaping tadi hendak meninggalkan tempat itu. Kemudian, kedua kakinya segera saja menjejak tanah! Seketika itu juga, tubuh pemuda tampan itu melambung, dan berputar melewati kepala si pemuda bercamping. Dan kini kakinya mendarat di depan pemuda itu.

“Maaf, aku benar-benar tidak sengaja...,” ucap pemuda bercaping itu sambil membungkukkan tubuhnya. Rupanya, ia tidak ingin memperpanjang persoalan ini.

"Tidak semudah itu, Gelandangan Busuk! Kau sudah berani menghina putra Senapati Gada Sura. Untuk itu, kau harus dihukum cambuk sebanyak seratus kali!” ancam Jata Sura dengan wajah merah padam. Jelas sekali kalau ia sangat mendendam terhadap pemuda bertubuh tegap itu. Sambil berkata demikian, sepasang matanya menatap tajam seperti hendak menilai pemuda bercaping itu.

"Tuan..., peristiwa tadi merupakan musibah kecil yang rasanya tidak perlu diperpanjang. Kalaupun Tuan menganggapku telah bersalah, rasanya ucapan maafku telah cukup sebagai hukumannya. Lalu, mengapa Tuan harus memberi hukuman sekejam itu kepada rakyat yang lemah seperti aku? Apalagi, Tuan adalah putra seorang pembesar kerajaan yang semestinya bisa jadi contoh bagi rakyat...”

Dengan panjang-lebar pemuda bercaping itu memberi pengertian kepada Jata Sura. Ucapannya kali ini bukan lagi menandakan kalau ia adalah seorang gelandangan bodoh. Dari kata-katanya yang tersusun rapi, menandakan kalau pemuda bercaping itu merupakan seorang yang terpelajar.

“Enak saja bicara, Gembel! Sadarkah kalau kau telah menghinaku di depan umum?! Dan itu tidak bisa dibayar hanya dengan ucapan maafmu! Mau atau tidak, kau harus menerima hukuman cambuk seratus kali!” Jata Sura tetap berkeras dengan keinginannya. Kemudian, ia menoleh kepada dua orang pengawalnya, “Cambuk gelandangan ini sampai dia menjerit-jerit minta ampun!”

Pemuda bercaping itu terdiam sejenak. Sadar kalau perkelahian tidak bisa dihindarkan lagi, maka ia segera melangkah mundur siap menghadapi segala kemungkinan. Tampak pemuda itu menarik napas penuh sesal. Seolah-olah kejadian itu membuatnya terpukul dan sangat kecewa.

“Yeaaah...!”

Jtarrr...! Ctarrr...!

Terdengar lecutan cambuk yang meledak-ledak memekakkan telinga. Menilik dari ledakan yang keras itu, kelihatannya si pemegang cambuk memiliki tenaga dalam yang sangat kuat!

Karena tidak rela tubuhnya dijadikan umpan cambuk, pemuda bercaping itu segera saja berlompatan mengelak. Sehingga, ujung cambuk yang melecut dan mematuk-matuk itu hanya mengenai tempat kosong. Karena, sasarannya telah menghindari sebelum ujung cambuk itu menyentuhnya.

“Danta, bantu dia...!” perintah Jata Sura.

Rupanya, pemuda tampan itu merasa penasaran melihat pembantunya tidak juga berhasil menghajar pemuda bercaping. Maka segera saja dia memerintah lelaki bertubuh gempal yang berwajah kasar. Yang dipanggil Danta. Tanpa diperintah dua kali, Danta segera saja maju ke tengah arena.

“Yeaaat..!”

Danta rupanya bukan hanya sekadar membantu saja. Lelaki bertubuh gempal dan berwajah kasar itu menerjang pemuda bercaping dengan serangan pukulan-pukulan yang menimbulkan sambaran angin menderu tajam. Tentu saja serangan itu bukan lagi merupakan hukuman, tapi lebih tepat seperti hendak membunuh si pemuda bercaping.

Tentu saja serangan-serangan Danta yang ganas dan berbahaya tidak bisa dihindari terus-menerus oleh pemuda bercaping itu, dia terpaksa melontarkan serangan balasan sesekali, untuk mencegah agar tidak terlalu terdesak.

Malangnya, perlawanan pemuda itu malah semakin menyulitkan dirinya. Jata Sura yang mulai terbuka matanya setelah melihat kepandaian pemuda itu tentu saja semakin bertambah geram. Segera saja dia berteriak memanggil empat orang prajurit kerajaan yang kebetulan lewat tidak jauh dari arena perkelahian.

“Hei, Prajurit...! Cepat kalian kemari...!” panggil Jata Sura mengulapkan tangannya memanggil keempat orang prajurit itu.

Begitu mengenali kalau yang memanggil adalah putra seorang pembesar yang sangat dihormati, langsung saja empat orang prajurit itu bergegas menghampiri.

“Ada apa, Tuan Muda...?” tanya salah seorang dari keempat prajurit itu sambil membungkuk hormat. Sedangkan ketiga kawannya tampak memandang perkelahian itu dengan kening berkerut.

“Kalian tangkap pengacau yang hendak memberontak itu. Cepat!” perintah Jata Sura yang langsung saja melontarkan tuduhan berat bagi pemuda bercaping bambu itu.

Benar-benar licik dan keji sekali pemuda tampan putra Senapati Gada Sura itu. Kesalahan yang kecil saja, bisa membuatnya tega mencelakakan orang yang sebenarnya tidak bersalah!

DUA

Terjunnya empat orang berseragam prajurit kerajaan, tentu saja membuat si pemuda bercaping menjadi terkejut. Apabila nekat melanjutkan perkelahian, bisa-bisa ia ditangkap. Bahkan dituduh sebagai pemberontak. Maka, begitu melihat keempat orang prajurit mulai ikut menyerang, pemuda yang sebenarnya adalah Bhirawa itu melesat ke kanan. Dia terus melarikan diri dari arena pertempuran.

Memang kalau didekati, pemuda bertubuh tegap dan memiliki hidung besar, dan mempunyai tanda kehitaman seperti bekas penyakit kulit pada bagian bawah matanya. Ciri-ciri itu memang membuktikan kalau dia adalah Bhirawa.

“Setan pemberontak! Mau lari ke mana kau...!” bentak Jata Sura. Rupanya, dia tidak rela melepaskan pemuda bercaping bambu itu. Maka, segera saja Jata Sura melesat dan langsung melontarkan serangan maut ke arah lawannya.

Bettt...!

“Haiiit...!” Bacokan sisi telapak tangan Jata Sura yang mengancam batang leher Bhirawa dapat dielakkan dengan melenting ke udara, dan terus kabur! Tapi Danta dan Barna Pati, dua orang pengawal Jata Sura, tidak tinggal diam. Kedua lelaki gagah itu melesat mengejar. Langsung mereka menghadang jalan keluar pemuda bercaping itu.

“Hm..” Apa kau pikir setelah menghina tuan muda kami, lalu dapat lolos begitu saja? Kau keliru pemuda pemberontak! Lebih baik menyerah saja dan terima hukumanmu...,” dengus Danta yang kini telah meloloskan senjatanya.

Sedangkan Barna Pati memutar-mutar cambuknya di atas kepala. Jelas, mereka tidak akan membiarkan Bhirawa melarikan diri.

“Hm.... Barna Pati, Danta...!” geram pemuda bercaping itu penuh dendam. “Rupanya kalian masih saja setia mengikuti manusia licik dan jahat seperti Jata Surabitu!”

Pemuda bercaping itu yang bernama Bhirawa ini seperti telah mengenal kedua orang pengawal, serta pemuda tampan yang bernama Jata Sura. Maka tentu saja ucapan itu membuat Jata Sura, Danta, dan Barna Pati menjadi tertegun.

“Bangsat! Siapa kau sebenarnya...?! Sepertinya kau telah mengenal kami. Hm Aku semakin penasaran ingin mengetahui wajah yang kau sembunyikan di balik caping buruk itu,” desis Barna Pati, mencoba menyimak wajah yang memang sebagian terlindung caping bambu itu.

“Hm...” Danta pun tidak kalah terkejutnya begitu mendengar pemuda bercaping itu menyebut namanya begitu saja. Padahal kalau diukur dari pangkat keprajuritan, kedua orang itu setingkat perwira. Dan, tidak seorang pun dari kalangan rakyat jelata yang berani menyebut namanya begitu saja tanpa embel-embel ‘tuan’. Maka hal itu tentu saja membuat Danta mengerutkan keningnya sambil menggeram marah.

Demikian pula halnya Jata Sura. Pemuda putra Senapati Gada Sura yang selalu dihormati orang itu kian bertambah penasaran, ketika mendengar pemuda itu menyebut namanya. Meskipun mungkin tadi pemuda itu sempat mendengarnya dari prajurit-prajurit kerajaan, tapi dari cara pengucapannya, jelas seperti orang yang telah lama mengenalnya. Dan itu membuat Jata Sura semakin bernafsu untuk menangkap pemuda itu.

Sedangkan Bhirawa, sudah bersiap-siap membela dirinya mati-matian. Keadaannya yang sudah terkepung itu, membuatnya sulit bisa lolos, kecuali melakukan perlawanan. Tapi untuk itu, Bhirawa terpaksa harus berhadapan dengan prajurit-prajurit kerajaan. Bahkan akibatnya, dia dianggap sebagai pemberontak.

“Hm...,” Bhirawa menggeram ketika melihat lawannya yang berjumlah tujuh orang itu telah bergerak merapatkan kepungan.

“Yeaaat..!”

Barna Pati berteriak nyaring, mengambil kesempatan pertama untuk menyerang. Lelaki gemuk yang wajahnya terhias cambang tipis itu melesat, disertai lecutan cambuknya yang meledak-ledak memekakkan telinga. Menilik dari ledakan cambuk dan sambaran angin yang menderu tajam, tampaknya kali ini Barna Pati bukan bermaksud sekadar memberi hajaran lagi. Bahkan sudah seperti hendak menewaskan pemuda bercaping itu.

Danta tidak ketinggalan. Lelaki gemuk berwajah bulat dengan sepasang mata sipit itu bergerak menyusul Barna Pati, disertai pedangnya yang mengaung-ngaung bagaikan ratusan lebah marah! Tentu saja serangan senjata lelaki itu pun tidak kalah berbahayanya dengan lecutan cambuk kawannya.

Sehingga sulit sekali dinilai, apakah Bhirawa akan mampu menghadapi keroyokan yang demikian ganas dan tidak tanggung-tanggung? Belum lagi menghadapi empat orang prajurit dan juga Jata Sura. Rasanya sulit sekali bagi pemuda itu untuk selamat kalau tidak mempunyai bekal ilmu silat yang cukup.

Tapi, kali ini Bhirawa tidak tanggung-tanggung lagi. Begitu melihat betapa ganasnya serangan para pengeroyoknya, caping yang selama ini menyembunyikan wajahnya dilepaskan. Dan....

“Hiaaah !” Berbarengan bentakan menggeledek dari mulutnya, pemuda itu mengibaskan lengannya disertai pen- gerahan tenaga dalam. Langsung saja caping bambu di tangannya melesat dengan kecepatan kilat, diiringi suara mengaung tajam. Benda itu terus berputar mengelilingi tempat pemuda berjubah coklat itu.

Wuuus...!

Karena dilemparkan oleh sebuah kekuatan hebat, maka caping yang hanya terbuat dari bambu itu ternyata bisa menjadi sebuah senjata berbahaya! Buktinya empat orang prajurit yang ikut mengeroyok dan tidak sempat menghindar, langsung tersungkur diiringi jerit kesakitan begitu terkena ujung caping bambu. Seketika pada dada mereka terdapat sebuah goresan panjang, hingga mengeluarkan darah! Meskipun tidak terlalu dalam, tapi cukup menghentikan perlawanan keempat orang prajurit tadi.

Jdarrr...! Jtarrr!

Bhirawa, segera menggeser tubuhnya menghindari lecutan cambuk Barna Pati. Kemudian dengan sebuah liukan indah, pemuda itu bergerak dengan langkah bagaikan orang mabuk, sambil melontarkan tusukan jemari tangannya yang mengancam tubuh lawan!

Sayang, saat itu Danta dan Jata Sura telah bergerak memotong jalan serangannya. Sehingga, serangan Bhirawa terpaksa harus ditarik mundur. Lalu, dia melompat ke belakang untuk mengatur jurus-jurus barunya.

“Yaaat...!”

Jata Sura yang demikian bernafsu untuk segera dapat menundukkan Bhirawa, cepat melanjutkan serangannya disertai pekikan nyaring! Hebat dan berbahaya sekali serangannya. Sambaran tangannya yang membentuk cakar harimau, bercuitan mengancam tubuh pemuda berwajah kehitaman itu. Sehingga mau tidak mau, Bhirawa terpaksa harus mengeluarkan jurus-jurus andalannya pula!

“Yeaaah...!”

Didahului sebuah pekikan melengking, Bhirawa menarik mundur kaki kanannya dengan kuda-kuda rendah. Sepasang tangannya yang mirip kepala ular, meliuk-liuk lincah dan luwes. Sehingga, sepasang tangannya tidak ubahnya seperti ular hidup saja

Bettt! Bettt! Bettt!

Disertai sambaran angin tajam yang merobek udara, sepasang tangan Bhirawa mematuk-matuk menyelinap di balik sambaran cakar harimau Jata Sura. Pemuda bangsawan putra Senapati Gada Sura itu cukup terkejut melihat kelincahan permainan sepasang tangan lawan. Meskipun cakar harimaunya tidak kalah berbahaya dari sepasang paruh ular, namun jelas kalau Jata Sura masih lebih mentah ilmunya ketimbang Bhirawa. Dan kekurangan yang sedikit itu membuat Bhirawa dapat mendesak lawannya.

Setelah bertarung selama dua puluh jurus lebih. Hanya karena di situ masih terdapat Danta dan Barna Pati sajalah, yang membuat Jata Sura tidak mudah ditundukkan. Memang, setiap kali pemuda tampan itu terdesak, kedua orang pembantu setianya selalu saja menyelamatkannya.

“Heyaaah...!”

Ketika pertarungan mulai menginjak jurus yang kelima puluh, mendadak saja tubuh Bhirawa melenting ke udara disertai pekikan yang mengejutkan! Sepasang tangannya kini tidak lagi membentuk paruh ular, tapi lebih tepat seperti sayap seekor burung elang yang tengah mengepak. Tentu saja perubahan mendadak itu sempat membuat ketiga pengeroyoknya melompat mundur!

“Berhenti...!”

Pada saat pertarungan sudah semakin memuncak, tiba-tiba terdengar sebuah seruan melengking, mirip suara seorang wanita. Karuan saja mereka yang tengah bertarung menghentikan gerakannya sejenak, kemudian menoleh ke arah asal suara.

Baik Bhirawa, Jata Sura, Danta, dan Barna Pati, sama-sama mengerutkan kening ketika melihat seorang wanita berpakaian biru muda tampak berlari ke arah pertempuran.

“Winarsih...!?” Jata Sura yang memang mengenali wanita berpakaian biru muda itu segera saja berseru. Kemudian, dia berdiri tegak dengan kening berkerut menanti kedatangannya.

Demikian pula halnya Bhirawa, Danta, dan Barna Pati. Ketiganya menghentikan pertempuran dan menanti tibanya gadis berpakaian biru muda. Melihat dari sikap Danta dan Barna Pati yang agak hormat, jelas kalau gadis yang baru datang itu juga merupakan majikannya.

“Gusti Ayu Winarsih...,” sapa Danta dan Barna Pati saat wanita yang ternyata berwajah cantik itu te- lah tiba di dekat mereka. Kedua orang lelaki gagah itu mengangguk hormat, kemudian menundukkan kepala agak takut-takut.

“Kakang! Keributan apa lagi yang kau buat kali ini?! Kau selalu mencari-cari perkara setiap hari. Apa kau tidak merasa bosan?” tegur dara yang ternyata bernama Winarsih itu dengan mulut memberengut penuh kemanjaan.

Melihat sikapnya, jelas kalau antara Winarsih dan Jata Sura terdapat hubungan erat. Kalau tidak, mana mungkin gadis itu berani menegur Jata Sura.

“Aaah...! Kau ini selalu saja mencampuri urusanku, Winarsih. Tapi perlu kau tahu. Yang kali ini kuhadapi bukan semata-mata karena kesalahanku. Lihatlah sendiri keempat orang prajurit yang terluka itu. Dan lihat pula gelandangan busuk pemberontak itu. Tahukah kau! Gelandangan bermuka hitam itu telah berani menghinaku di depan umum. Jadi sudah sepatutnya kalau kuberi sedikit pelajaran...,” ujar Jata Sura.

Jata Sura sepertinya mencoba membela diri dengan menjatuhkan fitnah kepada Bhirawa. Sedangkan Bhirawa menatap heran, karena Jata Sura seperti tidak berani bersikap keras terhadap gadis itu.

“Winarsih...?” gumam Bhirawa sambil menatap tajam wajah gadis itu. “Hm Kalau tidak salah ia pun putri Gada Sura. Pantas, Jata Sura seperti tidak berdaya menghadapinya. Rupanya rasa sayangnya membuat pemuda sombong itu tidak berani bertindak keras terhadap adiknya.

Bhirawa sepertinya juga mulai ingat, siapa gadis cantik berpakaian biru muda itu. Sedangkan dara cantik yang bernama Winarsih itu sudah berpaling menatapnya. Kemudian Winarsih melangkah menghampiri pemuda itu dengan menyipitkan matanya yang indah. Sepertinya, dia hendak melakukan penilaian terhadap sosok pemuda berwajah kehitaman dan agak buruk itu.

“Kisanak. Benarkah kau seorang pemberontak, dan yang memulai perkelahian ini...?” tanya Winarsih tanpa seorang pun berani mencegahnya, termasuk juga Jata Sura.

Bhirawa sama sekali tidak menjawab sepatah pun. Setelah mengangukkan kepala secara samar, pemuda itu pun berbalik. “Maaf, aku harus pergi...”

Setelah mengenakan kembali caping bambunya, pemuda berwajah buruk itu pun segera berkelebat tanpa ada yang bergerak mencegahnya. Semua itu terjadi karena adanya Winarsih di tempat itu. Sehingga, Bhirawa dapat meloloskan diri dengan selamat tanpa ada yang menghalang-halangi.

“Hm..., seorang pemuda yang aneh. Tapi, nampaknya ia tidak seburuk sangkaan Kakang Jata Sura.... Entah, siapa dia? Tatapan matanya terlihat begitu aneh...,” gumam Winarsih sambil menatapi bayangan Bhirawa yang semakin samar dan menjauh.

“Keparat! Lain kali kau tak akan kubiarkan lolos dari tanganku ,” geram Jata Sura.

Pemuda tampan itu hanya dapat memandang dengan perasaan dongkol ke arah bayangan Bhirawa, yang entah mengapa telah menimbulkan kebencian dalam hatinya. Maka tanpa banyak bicara lagi, pemuda itu segera mengajak orang-orangnya untuk meninggalkan tempat itu. Termasuk juga, Winarsih adik perempuan satu-satunya yang sangat disayanginya.

********************

Pemuda berjubah coklat yang mengenakan caping itu terus berlari meninggalkan Kotaraja Bantar Gebang. Kemudian, terus dilewatinya pintu gerbang dan menuju sebelah Barat. Pemuda itu baru memperlambat larinya ketika merasa telah cukup jauh meninggalkan kotaraja. Siapa lagi pemuda bertubuh tegap itu kalau bukan Bhirawa?

“Hhh...” Bhirawa menghempaskan pantatnya di rerumputan tebal di bawah sebatang pohon rindang. Hatinya betul-betul kecewa atas kejadian yang baru saja dialaminya di dalam kotaraja. Memang setelah kejadian itu, ia pasti akan sulit sekali mencari musuh-musuh di sana.

“Celaka...,” desis pemuda itu sambil membanting caping bambunya ke tanah,” Jata Sura pasti tak akan tinggal diam. Pemuda keparat itu mungkin akan terus mencariku. Apalagi, kini aku telah dianggap sebagai pemberontak. Kurang ajar sekali manusia berhati busuk itu! Ia benar-benar telah mewarisi sifat-sifat keji ayahnya!”

Bhirawa benar-benar geram dengan wajah duka. Dengan helaan napas berat yang panjang sebagai pelepas kekecewaannnya, tubuhnya disandarkan ke batang pohon. Terbayang kembali dalam benak pemuda itu nasib menyedihkan yang menimpa keluarganya pada sekitar empat atau lima tahun yang lewat. Semua itu masih tergambar jelas, seperti baru saja terjadi kemarin. Perlahan-lahan, tanpa disadari ada butiran air bening yang mengalir turun, membasahi pipinya yang berkulit kehitaman.

“Ayah... Ibu... Bantulah aku dalam melaksanakan dendam keluarga kita ini. Tolonglah beri jalan kepadaku, untuk dapat menjangkau manusia-manusia terkutuk itu. Semuanya kini menjadi serba sulit dan kacau. Apalagi, kalau sampai pemuda terkutuk itu mengadukan kepada pihak kerajaan tentang kejadian tadi. Tentu beban yang tersangga di pundakku akan semakin berat..,” desah Bhirawa dengan mata terpejam rapat

Jelas peristiwa tadi telah membuatnya berduka, karena musuh-musuh keluarganya yang kini telah menjabat sebagai pembesar Kerajaan Bantar Gebang, tentu akan semakin sulit diraihnya. Jangankan untuk dapat menemui mereka. Sedangkan untuk masuk ke dalam kotaraja pun kini hatinya merasa ragu. Sebab, bukan tidak mungkin kalau sekarang dirinya tengah dicari-cari pihak kerajaan. Semua pemikiran itu semakin membuatnya tenggelam dalam lautan duka dan keresahan.

Mendadak saja, telinga Bhirawa yang tajam mendengar adanya suara roda kereta kuda yang berasal dari sebelah kanannya. Bergegas pemuda itu melesat ke atas, dan bersembunyi di dalam kelebatan pohon besar tempatnya melepas lelah tadi

Bhirawa yang kini mudah curiga semenjak kejadian tadi, tidak perlu menunggu lama. Beberapa saat kemudian, di jalan yang tidak terlalu besar berjarak sekitar dua tombak di depannya, melintas sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Yang membuat kening pemuda itu berkerut, ternyata kereta itu bukan merupakan kereta barang atau kereta bangsawan. Tapi, justru menyerupai sebuah kereta tawanan. Itu bisa dilihat di sekeliling kereta yang terdapat jeruji besi dan pintunya terkunci.

Sepasang mata pemuda itu menyipit, saat melihat keenam orang gadis terdapat di dalamnya. Empat di antara mereka tampak masih terisak dengan wajah bersimbah air mata. Hal itu tentu saja membuat hati Bhirawa dipenuhi tandatanya.

“Mengapa gadis-gadis itu seperti tengah ditawan? Kesalahan apa yang telah mereka buat, sampai harus digiring dalam kerangkeng itu?” gumam Bhirawa dengan hati agak berdebar.

Kemudian perhatian pemuda tegap itu beralih ke arah delapan orang prajurit di depan dan belakang kereta tawanan. Setelah berpikir beberapa saat, Bhirawa segera memutuskan untuk mencari penjelasan apa yang menyebabkan gadis-gadis itu berada dalam kereta tahanan. Segera saja pemuda berkulit wajah agak kehitaman itu meluncur turun, dan berdiri menghadang jalan.

Tentu saja kening empat orang prajurit yang berada di depan jadi berkerut, melihat seorang pemuda yang tengah berdiri di tengah jalan dalam jarak tiga tombak. Maka langsung saja mereka meraba gagang pedang di pinggang.

Dengan berpura-pura seperti orang kurang ingatan, Bhirawa melangkah maju dengan kepala menggeleng-geleng. Sedangkan ekor matanya tetap melirik ke arah rombongan prajurit terdepan. Meski sikapnya terlihat sembarangan, tapi pemuda itu telah mempersiapkan ilmu-ilmunya untuk menghadapi segala kemungkinan.

Sedangkan kereta tawanan itu terus saja bergerak, meski kali ini terlihat sengaja diperlambat. Bahkan wajah-wajah para prajurit yang mengawal kereta tawanan, terlihat mulai menegang. Jelas mereka merasa curiga terhadap sosok tubuh bertubuh tinggi tegap yang menyembunyikan wajahnya di balik caping bambu.

********************

TIGA

Melihat adanya seorang pemuda bertingkah laku seperti pemabuk yang melangkah di tengah jalan, salah seorang prajurit segera melangkah mendekat. Menilik dari sikap dan pakaian yang dikenakan, jelas kalau prajurit itu merupakan kepala pengawal. Dengan lagak dibuat menyeramkan, kepala pengawal itu berhenti satu tombak di depan Bhirawa.

“Hei, Manusia Pemabukan! Menyingkirlah! Kami akan lewat! Atau, kami terpaksa harus melempar mu ke tepi jalan!” bentak kepala pengawal itu dengan suara dibesar-besarkan. Sedang tangan kanannya meraba gagang pedang untuk menakut-nakuti.

Mendengar teguran itu, Bhirawa mengangkat kepalanya dengan tubuh bergoyang-goyang. Tingkahnya benar-benar tak ubahnya orang mabuk. Bahkan sepasang matanya menatap sayu dengan sorot memancarkan ketidaksadaran. Kemudian, dia terus melangkah sambil tertawa dan menuding-nudingkan telunjuknya.

“He he he.... Ada rombongan penari yang mengawal monyet-monyet. Lucu... lucu...,” kata pemuda itu dengan nada pelo dan tak begitu jelas. Bahkan ketika berbicara, Bhirawa sengaja mempermainkan air liurnya, hingga jatuh menetes ke tanah. Tentu saja tingkahnya itu membuat kepala pengawal menjadi jengkel.

“Hm..., dasar pemuda pemabuk! Rupanya kau memilih dilemparkan ketimbang menyingkir secara baik-baik. Kalau memang begitu keinginanmu, baiklah...!” dengus kepala pengawal itu, geram. Setelah berkata demikian, ia melangkah maju dan mengulurkan tangannya hendak mencengkeram bahu Bhirawa.

“Eit..., tunggu dulu...,” cegah Bhirawa terkekeh dengan tubuh tetap bergoyang-goyang, “Ng..., bolehkah aku melihat monyet-monyet yang kau tangkap itu...? Siapa tahu, aku suka kepada salah satu dari hasil buruanmu itu. Dengan begitu, beban kalian akan berkurang” Setelah berkata demikian, Bhirawa melangkah ke tepi dan terus bergerak mendekati kereta berjeruji dengan tubuh oleng.

Bhirawa rupanya cukup cerdik untuk dapat mengetahui keadaan gadis-gadis itu. Para prajurit sama sekali tidak tahu kalau pemuda yang dianggap pemabukan itu telah mengirimkan suaranya dari jarak jauh. Karena tingkah-lakunya seperti pemabuk, maka para prajurit itu sama sekali tidak curiga melihat bibir pemuda itu berkemak-kemik tanpa suara.

“Nyai! Kalau kalian memang dibawa orang-orang ini secara paksa, berteriaklah. Makilah mereka. Tapi, kalau kalian memang dibawa secara suka rela, tak perlu kau pedulikan ucapanku. Jangan takut, aku hanya berpura-pura mabuk untuk mengetahui keadaan kalian yang sebenarnya...”

Suara yang dikirim Bhirawa terdengar jelas oleh salah seorang dari gadis-gadis itu. Semula, ia merasa takut karena mendengar suara tanpa wujud. Tapi setelah Bhirawa memberi keterangan, gadis itu segera saja menatap pemuda pemabuk itu dengan kening berkerut.

Rupanya, pilihan Bhirawa tidak meleset. Gadis yang dibisikannya dari jauh itu ternyata cukup cerdik. Dia bisa menangkap maksud baik pemuda yang dianggapnya pemabuk itu. Sehingga setelah berpikir sejenak gadis itu pun mulai berteriak dan memaki-maki.

“Tuan! Tolong lepaskan kami, Tuan. Kembalikanlah kami ke desa tempat asal kami. Kami tidak sudi dipaksa untuk jadi pemuas nafsu pejabat-pejabat pemerintah. Jangan paksa kami, Tuan.... Tolonglah bebaskan kami...,” gadis berpakaian merah muda yang rambutnya dikepang dua itu berteriak-teriak dengan cerdiknya.

Bhirawa. tersenyum dalam hati ketika melihat kecerdikan gadis itu. Kini jelas sudah gadis-gadis itu dibawa secara paksa dari desanya. Maka seketika itu juga, terdengarlah kekehnya yang berkepanjangan.

“He he he..., lihat. Mereka ternyata minta dibebaskan. Jadi, kalian sengaja mencuri monyet-monyet ini dari hutan? Apakah kalian tidak tahu kalau perbuatan itu dilarang...? Ayo, bebaskan mereka...,” ujar Bhirawa dengan lagak masih tetap tidak berubah. Bahkan, kali ini pemuda itu melangkah mendekati kereta tawanan. Tentu saja perbuatannya tidak didiamkan begitu saja oleh para prajurit.

“Hei, mau apa kau...! Ayo menyingkir. Atau, kutebas batang lehermu!” kepala pengawal itu marah bukan main melihat kelakuan Bhirawa. Maka dia segera saja melompat dengan pedang terhunus.

Tapi, Bhirawa tidak mau ayal-ayalan lagi. Meskipun untuk itu, ia akan mengalami kesukaran dalam melaksanakan dendam keluarganya. Namun, Bhirawa tidak peduli lagi. Sebagai orang yang memiliki kepandaian, tentu saja pemuda itu tidak bisa berpangku tangan melihat ketidakadilan yang terjadi di depan matanya.

“Kisanak...!” Kali ini, Bhirawa tidak lagi berpura-pura sebagai pemuda pemabukan. Sorot mata dan sikapnya telah berubah bagaikan langit dan bumi. Kalau tadi berdiri kakinya goyah dan sorot matanya sayu, kini sepasang kakinya terpancang kokoh bagaikan seekor singa yang sedang marah. Sedangkan sepasang matanya menyorot tajam menggetarkan jantung para prajurit. Karuan saja mereka terkejut melihat perubahan mendadak pemuda pemabuk itu.

“Keparat! Rupanya kau memang sengaja hendak menghadang kami dengan berpura-pura mabuk! Tapi jangan dikira kami takut, Pemuda Jelek. Sadarkah akibat perbuatanmu ini, kau bisa dianggap pemberontak! Kau akan mendapat kesulitan seumur hidup kalau sampai berani mengganggu kami...,” kepala pengawal itu mencoba menggertak Bhirawa. Rupanya, ia mulai sadar kalau pemuda tinggi tegap yang berpura-pura mabuk itu pasti bukan orang sembarangan. Kalau tidak mustahil berani menghadang rombongan prajurit kerajaan.

“Hm.... Jangankan baru menghadapi kalian para prajurit recehan. Seandainya yang melakukan hal ini orang besar seperti Senapati Gada Sura pun, aku tetap akan mencegah! Jadi, tidak ada gunanya kalian menggertak aku...,” ejek Bhirawa, gagah. Sambil berkata demikian, pemuda tegap itu melangkah seperti hendak membebaskan gadis-gadis muda yang berada dalam kerangkeng.

“Bangsat! Kau benar-benar cari mampus, Pemuda Gila...!” Sambil membentak marah, kepala pengawal itu segera saja menerjang Bhirawa. Bahkan prajurit-prajuritnya sudah diperintah untuk mengurung pemuda itu.

“Heaaat...!”

Wuuut...!

Dengan sikap tenang, Bhirawa menggeser mundur langkahnya sambil menarik tubuh ke belakang. Begitu mata golok lawan lewat di depan tubuhnya, tangannya bergerak cepat mencengkeram pergelangan tangan lawan yang memegang senjata. Sayang gerakan itu harus cepat ditarik pulang. Karena pada saat itu juga, sebilah pedang lain datang mengancam hendak menebas tangannya yang siap mencengkeram. Meskipun cengkeramannya gagal, Bhirawa tidak kehilangan akal. Cepat bagai kilat, tubuhnya berputar disertai tendangan kaki kanannya yang langsung menghajar perut salah seorang prajurit yang berada di kanannya!

Buggg...!

“Hukhhh...!”

Tanpa ampun lagi, tubuh prajurit itu langsung terjengkang muntah darah! Tendangan yang dialiri tenaga dalam kuat itu membuat lawan tidak mampu bergerak bangkit lagi. Tendangan Bhirawa langsung membuat korbannya tewas seketika.

Lelaki gemuk berkumis tebal yang menjadi pemimpin para prajurit tentu saja menjadi murka! Pedang di tangannya diputar sedemikian rupa, hingga memperdengarkan suara mengaung tajam! Kemudian, tubuhnya meluruk deras dengan tusukan kilat ke tubuh Bhirawa!

“Haiiit...!”

Untuk kesekian kalinya, Bhirawa kembali memutar tubuhnya menghindari sambaran pedang lawan. Kemudian, tubuhnya terus melenting ke samping dengan indahnya, lalu membagi dua buah pukulan telak ke arah dada dan perut dua orang pengeroyoknya! Tanpa ampun lagi, kedua orang prajurit itu langsung terjungkal dan tidak bangkit lagi!

Masih dengan gerakan yang sukar diikuti mata, telapak tangan Bhirawa berkelebatan susul-menyusul ke arah kepala dua orang pengeroyok! Dan....

Plakkk! Plakkk!

“Aaakh !”

Dua orang prajurit bernasib malang itu langsung terjungkal roboh dengan kepala pecah! Rupanya, Bhi- rawa yang merasa benci dengan kelakuan prajurit- prajurit, langsung saja menumpahkan kekesalannya. Akibatnya dua orang prajurit itu langsung tewas seketika terhantam pukulan kerasnya.

Kematian dua orang pengawal, tentu saja membuat lelaki gemuk yang memimpin pasukan kecil itu menjadi pucat! Apalagi, melihat kesaktian pemuda yang benar-benar mengejutkan hatinya. Kontan saja keberanian dan kegalakannya lenyap bagaikan asap yang tersaput angin.

“Yiaaah!”

Bhirawa yang sudah seperti orang kesetanan, tidak sudi membiarkan lolos lawan-lawannya. Merasa telanjur basah, pemuda itu berniat menceburkan dirinya sekaligus. Dia berpikir, apabila ada salah seorang prajurit yang lolos, bisa jadi ia akan semakin sulit memasuki kotaraja. Untuk itu, Bhirawa bertekad membunuh semua prajurit-prajurit

Kembali sisa prajurit yang tinggal dua orang menjerit ngeri ketika jari-jari tangan pemuda itu menembus batok kepala mereka! Karuan saja hal itu semakin membuat hati si kepala pengawal semakin ciut. Akhirnya, ia pun menjatuhkan diri, berlutut minta ampun kepada Bhirawa. Karena, semua prajuritnya telah habis digasak pemuda itu.

“Ampun, Tuan Pendekar.... Aku hanyalah orang suruhan yang terpaksa harus menuruti perintah majikan. Kalau tidak, jabatanku bisa copot. Ampuni aku, Tuan Pendekar. Kasihan anak istriku di rumah...,” ratap lelaki gemuk itu terisak-isak. Sepertinya, ia sudah tidak mempunyai rasa malu lagi untuk melakukan tindakan serendah itu agar nyawanya selamat.

“Hm.... Bangsat Tengik! Kau ingin mencari selamat sendiri, ya? Orang sepertimu seharusnya tidak boleh dibiarkan hidup! Kali ini meratap-ratap minta ampun, tapi lain kali kau kembali akan melakukannya! Lalu, apa gunanya penyesalanmu itu...?” hardik Bhirawa yang semakin bertambah geram melihat lelaki itu meratap-ratap memohon ampun.

“Ampun, Tuan Pendekar. Aku Pandara berjanji tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi. Aku tobat, Tuan Pendekar...” Lelaki gemuk yang mengaku bernama Pandara itu semakin ketakutan, sampai-sampai keningnya dibentur-benturkan ke tanah sebagai tanda benar-benar ingin bertobat

“Hm.... Bisakah janjimu kupercaya? Bagaimana bila kau diperintah lagi untuk melakukan kejahatan semacam ini? Apa yang akan kau katakan apabila majikanmu menanyakan tentang prajurit-prajurit yang tewas itu?” tanya Bhirawa. Pemuda itu rupanya mulai tergerak hatinya melihat kelakuan dan ratapan lelaki gemuk itu. Makanya, dia mencoba memancing.

“Sekarang aku tidak takut jabatanku dicopot, Tuan Pendekar. Biarlah. Lebih baik tidak memiliki jabatan, daripada selalu dipaksa melakukan kejahatan seperti ini. Sedangkan mengenai kawan-kawanku, bisa saja kukatakan kalau mereka diterkam binatang buas. Ampunilah aku, Tuan Pendekar...,” ratap Pandara bersungguh-sungguh ketika mendengar pertanyaan Bhirawa. Hati laki-laki gemuk itu mulai lega ketika mendengar nada ucapan Bhirawa yang sepertinya mulai lunak. Hatinya berdebar melihat adanya kemungkinan ia tidak dibunuh.

“Hm..., baiklah. Untuk sekali ini, kau kubebaskan. Tapi, ingat! Kalau lain kali kau berbuat seperti ini lagi, aku akan datang mencabut nyawamu! Sekarang, pergilah...,” ujar Bhirawa.

Pandara akhirnya memang dilepaskan, karena Bhirawa tidak tega melihat ratapannya. Yang membuat hatinya lemah adalah, ketika lelaki gemuk itu menyebutkan nasib anak istrinya. Hal itu mengingatkan dia akan kematian kedua orang tuanya, sehingga hatinya merasa tersentuh. Pandara membentur-benturkan kembali keningnya sambil berkali-kali mengucapkan terima kasih. Kemudian, dia terus berlari meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi.

Bhirawa sendiri segera menghampiri kereta tawanan setelah bayangan Pandara tidak nampak lagi. Kemudian, dibebaskannya enam orang gadis desa yang menangis bahagia karena terlepas dari ancaman yang lebih menakutkan daripada kematian.

“Terima kasih, Tuan Pendekar. Kami tidakakan melupakan budi baik Tuan,” ucap gadis berpakaian merah muda mewakili teman-temannya yang lain.

Bhirawa hanya tersenyum. Kemudian, diajaknya gadis-gadis itu untuk kembali ke desa tempat tinggalnya. Ada sedikit penyesalan di hati pemuda itu, karena lupa menanyakan tentang orang yang menyuruh Pandara membawa gadis-gadis itu ke kotaraja. Namun, ia bertekad menyelidiki masalah itu, dan ingin membasminya.

********************

EMPAT

Saat ini, malam sudah bertambah larut. Suara burung malam terdengar saling bersahutan. Saat itu, pintu gerbang Kotaraja Bantar Gebang sudah tertutup rapat. Sedang para prajurit penjaga hanya berdiam di dalam posnya di dekat gerbang.

Dalam kepekatan malam yang hanya diterangi cahaya bulan sepotong, tampak sesosok bayangan hitam bergerak melewati tembok Selatan kotaraja. Menilik dari gerakannya yang gesit dan cekatan, jelas ilmu meringankan tubuhnya tidak bisa dipandang rendah. Sosok tubuh tegap itu terus bergerak menuju pusat kota, melalui tempat-tempat yang tersembunyi dari kilatan cahaya obor. Tidak lama kemudian, tibalah sosok itu di bagian samping sebuah bangunan besar yang cukup gelap.

“Huppp!”

Dengan suara halus, tubuhnya melenting dan langsung mendarat di halaman dalam bangunan besar itu. Kemudian, dia terus mengendap-endap ke bagian belakang.

“Hm...,” gumam sosok bayangan hitam itu perlahan ketika melihat adanya bangunan-bangunan yang lebih kecil, terletak di samping gedung. Sepasang mata di balik genap rambut itu tampak berkilat seperti telah menemukan apa yang dicarinya.

Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, dia bergerak mendekati dua buah bangunan kecil disamping bagian belakang bangunan besar itu. Tubuhnya segera dirapatkan ke dinding batu ketika mendengar suara orang berbicara di dalam. Pendengarannya dipasang tajam-tajam untuk dapat menangkap pembicaraan yang diduga terdiri dari dua orang itu.

“Apa kau tidak bisa menduga, siapa” pemuda berwajah buruk itu, Kakang Barna? Atau mungkin, kau bisa mengenali dasar-dasar ilmu silat yang dimilikinya...?” Terdengar sebuah suara agak berbisik. Dan sosok bayangan hitam itu dapat jelas mendengarnya.

“Sulit untuk menduga, siapa pemuda berwajah buruk itu, Adi Danta,” sahut orang yang dipanggil Barna Pati lirih.

Siapa lagi kedua orang itu kalau bukan Danta dan Barna Pati. Mereka adalah pembantu Jata Sura, putra Senapati Gada Sura. Rupanya, bangunan samping itu merupakan tempat tinggal mereka.

Sepertinya sosok bayangan hitam itu tengah me- nahan napasnya, saat pembicaraan kedua orang itu berhenti sejenak. Tindakan itu jelas menandakan sikap hati-hatinya. Apalagi, kedua orang pembantu Jata Sura itu memang bukan orang-orang sembarangan. Dan sepertinya, sosok bayangan hitam itupun menyadari.

“Bagaimana mengenai ilmu silatnya? Aku seperti pernah mengenalnya. Hanya saja, aku tidak bisa menduganya secara pasti,” terdengar suara orang yang bernama Danta kembali bergaung pelan.

“Hm.... Melihat gerak-geriknya yang kokoh, ada kemungkinan pemuda berwajah buruk itu berasal dari daerah Utara. Buktinya, ilmu-ilmu silat dari Utara kebanyakan mengandalkan kekuatan, dan bukan keluwesan seperti halnya daerah Selatan. Dan menilik pakaiannya, dapat kupastikan kalau orang itu berasal dari daerah pantai...,” sahut Suara Barna Pati.

Nyatanya, pembicaraan itu membuat dada sosok bayangan hitam di luar jadi bergelombang. Jelas, hatinya merasa tegang mendengar pembicaraan itu.

“Pantai Utara...,” desah Danta, mengulang kata-kata itu sambil mengerutkan dahinya, “Hm.... Di daerah Pantai Utara Laut Pajang, bukankah ada seorang tokoh yang berjuluk...”

Krakkk!

Danta menghentikan ucapan ketika mendengar suara yang mengejutkan. Serentak mereka bergerak bangkit, dan langsung melesat keluar. Keduanya terkejut begitu melihat sesosok bayangan hitam melesat meninggalkan tempat itu.

“Hei...., berhenti...!” seru Barna Pati mencegah sosok bayangan hitam yang melarikan diri. Baru saja ia hendak bergerak mengejar, Danta mencekal lengannya. Sehingga, lelaki itu menahan gerakannya.

“Lebih baik panggil para penjaga saja...,” ujar Danta mengusulkan.

“Tidak ada waktu lagi. Kita harus segera mengejar orang itu,” sergah Barna Pati. Barna Pati tidak setuju, karena hal itu hanya akan menyebabkan sosok bayangan hitam tadi keburu jauh. Maka, segera saja diajaknya Danta untuk mengejar.

Kedua orang pengawal pribadi Jata Sura itu langsung saja berkelebat mengejar. Tubuh mereka bergerak cepat, menerobos kegelapan malam yang hanya diterangi sinar bulan redup.

Tapi, sepertinya sosok bayangan hitam itu memang tidak sungguh-sungguh hendak melarikan diri. Buktinya dalam waktu yang tidak terlalu lama, Danta dan Barna Pati sudah berada dalam jarak tiga tombak di belakangnya. Meski dalam keadaan agak gelap, kedua orang lelaki gagah itu tentu saja dapat menangkap bayangan buruannya. Apalagi, mata mereka tidak dapat disamakan dengan mata orang biasa. Sebagai seorang tokoh yang memiliki kepandaian cukup tinggi, mereka dapat mempertajam pandangan dengan pengerahan tenaga pada matanya.

Sosok bayangan hitam itu terus bergerak melewati tembok kotaraja. Kemudian, dia terus bergerak menuju sebuah hutan kecil di sebelah Selatan kotaraja. Sedangkan saat itu, jarak di antara mereka semakin dekat saja.

“Hm.... Jangan harap dapat lolos dari kejaran kami, Pengecut! Lebih baik menyerahlah...!” ujar Barna Pati yang berada di depan Danta, bernada geram. Terlihat lelaki gagah itu menambah kekuatannya untuk memperpendek jarak di antara mereka. Sedangkan Danta hanya mengikuti dari sebelah belakang, ka- rena kepandaiannya memang masih kalah setingkat dibanding rekannya.

Setelah memasuki hutan kecil, sosok bayangan itu tampak menghentikan larinya di sebuah tempat yang agak lapang. Sinar bulan redup yang jatuh menerangi tubuh, membuat sosok bayangan hitam yang bertubuh tegap itu nampak angker dan memancarkan perbawa. Jelas sudah, ia memang sengaja hendak memancing kedua orang itu agar mengejarnya.

“Hm Aku tidak akan melarikan diri dari kalian, Bangsat Terkutuk! Malam ini biarlah rembulan menjadi saksi atas kematian kalian...!” ancam sosok tubuh tinggi tegap yang berdiri kokoh bagaikan batu karang itu.

Sorot mata orang itu tampak demikian tajam, seolah hendak menelan tubuh kedua orang pengawal Jata Sura. Sehingga, hati kedua orang itu sempat bergetar karenanya. Namun sebagai orang yang mempunyai pengaruh di dalam wilayah kotaraja, baik Danta dan Barna Pati tetap menunjukkan sikap sombongnya. Apalagi, pihak lawan hanya seorang diri dan tidak terlihat tanda- tanda adanya kawan-kawannya yang lain. Tentu saja kedua orang itu berusaha membesar-besarkan hati.

“Hm.... Jadi kau sengaja memancing kami untuk mengejarmu? Apa sebenarnya maksudmu, Kisanak. Dan siapa kau sebenarnya...?” geram Barna Pati yang sedikit terkejut ketika mengenali sosok bayangan hitam itu.

“Dia pemuda yang pagi tadi membuat keributan itu...,” desis Danta ketika dapat melihat jelas wajah sosok bertubuh tinggi tegap berambut panjang terurai itu.

“Benar! Aku sengaja datang untuk mencabut nyawa kalian berdua! Kalian ternyata juga ikut membantu dalam menghancurkan keluargaku! Malam ini, dendamku harus ditebus dengan darah hitam yang berbau busuk dari tubuh kalian berdua...!” Terdengar suara datar sosok tubuh tegap yang memang Bhirawa. Rupanya, kedua orang pengawal pribadi Jata Sura itu termasuk dalam daftar musuh-musuh keluarganya.

“Kisanak, kami tidak mengenalmu. Dan sama sekali tidak tahu tentang kejadian yang menimpa keluargamu. Meskipun begitu, jangan dikira kami takut menghadapimu,” sahut Danta yang bergerak maju sambil menghunus senjatanya.

“Oh.... Jadi peristiwa di Laut Pajang yang terjadi lima tahun yang lalu, telah kalian lupakan begitu saja? Rupanya kalian pikir semua anggota keluarga itu telah tewas, bukan? Sekarang dengarlah baik-baik. Aku adalah Bhirawa, keturunan dari orang yang telah kalian bunuh secara licik! Tapi, kalian tidak akan mempunyai waktu lagi untuk memberitahukannya kepada kawan-kawanmu. Karena, setelah kalian tahu siapa aku, berarti kematianlah yang akan kalian dapatkan!” Setelah mengancam demikian, Bhirawa mencabut keluar sebilah pedang yang mengeluarkan sinar kebiruan.

“Hantu Laut Pajang...!?” desis Barna Pati dan Danta hampir berbarengan. Jelas mereka telah mengenal baik senjata yang terhunus di tangan pemuda berwajah buruk itu.

“Benar. Akulah Hantu Laut Pajang yang akan mencabut nyawa anjing kalian, Manusia-Manusia Busuk!” Setelah berkata demikian, Bhirawa menyilangkan pedangnya di depan dada. Sorot matanya tampak demikian tajam, dan mengiriskan!

“Hiaaat..!”

Tanpa banyak bicara lagi, Bhirawa segera melesat ke arah dua orang lawan disertai putaran senjatanya yang telah membentuk gundukan sinar kebiruan.

Bettt! Bettt! Bettt!

Kilatan sinar kebiruan tampak berkeredep menyambar-nyambar, memperdengarkan suara berdenging. Tapi, semua itu terjadi bukan karena kehebatan tenaga dalam Bhirawa, melainkan karena senjata pusaka di tangannya. Bahkan senjata itu memang dapat membuat perhatian lawan terpecah. Itulah salah satu keistimewaan senjata yang dimiliki Hantu Laut Pajang. Hanya yang tidak habis pikir, mengapa usia tokoh itu masih sangat muda?!

Padahal pada waktu mereka muda, nama tokoh itu telah lebih dahulu terkenal dalam dunia persilatan. Tapi, Bhirawa tidak membiarkan dua orang lawannya untuk memikirkan keanehan itu. Apalagi pedang di tangannya telah berkelebat mengancam tubuh kedua orang lawan. Sehingga, baik Danta dan Barna Pati terpaksa harus menghindari ancaman maut itu!

“Yeaaah...!”

Danta yang memang sudah siap dengan pedangnya, segera saja melontarkan serangan balasan yang tidak kalah ganas. Pedang di tangannya mengaung tajam, merobek kesunyian malam. Kilatan cahayanya yang berkeredep, ditimpa sinar redup sang rembulan menyambar-nyambar kian kemari dengan kecepatan mengagumkan. Jelas, kepandaian yang dimiliki Danta pun tidak bisa dipandang remeh!

Demikian pula halnya Barna Pati. Lelaki gagah itu sudah mencabut keluar senjatanya berupa sepasang trisula sepanjang satu setengah jengkal. Cara lelaki gagah itu memainkannya pun, sangat mengagumkan. Sehingga untuk beberapa saat lamanya, Bhirawa tampak kerepotan dalam menghadapi gempuran dua orang lawan.

Tapi, Bhirawa malam ini tidak dapat disamakan dengan Bhirawa yang tadi pagi. Kali ini, serangan-serangan maupun gerakannya terlihat jauh lebih sempurna dan mengejutkan. Gerakannya pun banyak memiliki perubahan mendadak yang tak terduga. Tentu saja kenyataan ini membuat kedua orang lawan menjadi terkejut, dan tak berani lagi menganggap enteng pemuda berwajah buruk itu!

Setelah pertarungan lewat dari dua puluh jurus, terlihat Bhirawa mulai menunjukkan kehebatannya. Serangan-serangannya semakin tajam dan berbahaya! Bahkan beberapa kali sambaran dan tusukan senjatanya, nyaris membuat Danta dan Barna Pati terluka. Karuan saja, kedua orang lelaki gagah itu semakin kerepotan!

“Haiiit...!”

Memasuki jurus yang keempat puluh lima, tiba-tiba saja Bhirawa mengeluarkan bentakan nyaring disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Dan pada saat kedua orang itu terkejut, tubuhnya cepat melenting ke udara disertai sambaran pedang secara mendatar!

Wuuut..! Jrasss...! Crakkk...!

Terdengar jerit kematian susul-menyusul ketika mata pedang di tangan Bhirawa merobek leher dan dada kedua orang lawan! Darah segar langsung muncrat dari kedua luka di tubuh Danta dan Barna Pati! Tubuh mereka terhuyung limbung, sebelum akhirnya ambruk tersabet pedang pemuda berwajah buruk itu!

“Aaa...!” Barna Pati kembali menjerit panjang ketika ujung padang Bhirawa melesak menembus jantungnya. Padahal, dia sudah tak berdaya di tanah. Tubuh lelaki gagah itu langsung berkelojotan. Tewas!

Kematian Barna Pati masih lebih beruntung kalau melihat cara kematian yang dialami Danta. Buktinya, tanpa ampun lagi Bhirawa langsung menebas putus kepala lelaki gemuk itu dengan sambaran pedangnya! Danta kontan tewas tanpa sempat mengeluh lagi, karena kepalanya telah terpisah dari badan!

Setelah yakin kalau kedua orang lawannya telah tewas, Bhirawa menengadahkan kepalanya menatap langit kelam. Terdengar bisikannya yang parau dan menggeletar.

“Ayah.... Ibu.... Semoga darah kedua orang manusia terkutuk ini dapat membuat arwah kalian tenang...,” desah Bhirawa dengan wajah penuh kepuasan. Sesaat kemudian, pemuda itu melesat meninggalkan tempat itu, yang kemudian kembali sunyi.

********************

LIMA

Malam ini, seorang lelaki gemuk berpakaian prajurit mendatangi bangunan indah milik Senapati Gada Sura. Lelaki gemuk yang tak lain Pandara itu minta untuk menghadap Jata Sura yang memang mendiami bangunan besar itu.

“Tolong katakan kepada Tuan Muda Jata Sura bahwa Pandara ingin menghadap...,” ujar lelaki gemuk itu kepada penjaga pintu gerbang.

Si penjaga mengangguk hormat kepada Pandara, karena tingkatan lelaki gemuk itu memang lebih tinggi. Tanpa banyak cakap lagi, salah seorang dari penjaga gerbang segera saja mengantarkan Pandara ketempat Jata Sura berada pada setiap pagi. Jata Sura mengangguk tipis, ketika prajurit pintu gerbang itu melaporkan. Kemudian, disuruhnya agar Pandara menemuinya di halaman samping.

“Hm.... Bagaimana, Pandara? Apa gadis-gadis itu sudah kau dapatkan...?” tanya Jata Sura. Suaranya terdengar rendah, seperti tidak ingin terdengar orang lain.

“Mmm.... Begini, Tuan Muda...,” sahut Pandara takut-takut. Lelaki gemuk itu tampak gugup dalam menjawab pertanyaan yang diajukan Jata Sura. Pandara yang merupakan orang kepercayaan pemuda itu dalam hal mencari gadis-gadis cantik pemuas nafsunya, terlihat agak bingung dan salah tingkah. Sehingga, kening Jata Sura jadi berkerut tak senang.

“Mengapa kau kelihatan gelisah, Pandara? Apa kau gagal membawa gadis-gadis itu ke sini? Sejak malam aku menunggumu. Mengapa baru muncul sekarang?” suara Jata Sura mulai terdengar agak meninggi, meski masih dalam tekanan rendah.

“Kami.... Kami gagal, Tuan Muda. Kami...”

“Goblok!” Jata Sura membentak marah, memotong kalimat Pandara yang belum selesai. Lelaki muda berwajah tampan itu bangkit dari kursinya dengan wajah memerah. Jelas sekali kalau ia merasa marah mendengar laporan itu.

“Kami telah dihadang seorang pemuda bertubuh tegap dan bercaping, Tuan Muda. Dan gadis-gadis itu dibawanya pergi. Tujuh orang prajurit tewas. Hanya tinggal aku seoranglah yang masih selamat,” tutur Pandara napasnya ditarik.

“Pemuda bercaping kau bilang?! Hhh... Lagi-lagi dia membuat aku gila! Belum kapok rupanya bangsat itu. Kalau begitu kerahkan lima puluh orang prajurit dan cari pemuda bercaping itu. Rebut kembali gadis-gadis yang telah dirampas itu. Perlu kau ingat, aku tidak sudi mendengar kegagalanmu lagi!” perintah Jata Sura dengan wajah berang.

“Tapi, Tuan Muda. Membawa prajurit sebanyak itu bisa menimbulkan kecurigaan. Dan kalau sampai terdengar ayah Tuan Muda atau pembesar lain, kita bisa celaka. Sedangkan pemuda itu sendiri sudah melarikan diri entah ke mana...,” Pandara memberi alasan yang cukup masuk akal, sehingga Jata Sura sempat terdiam, dan berpikir keras.

Pandara agak lega ketika melihat sikap pemuda itu terdiam ketika mendengar alasan yang dikemukannya. Tampaknya, Jata Sura tidak berani bertindak setelah mendengar nasihat Pandara. Memang, perbuatannya yang menculik paksa gadis-gadis dari desa-desa yang agak jauh letaknya dengan kotaraja, dilakukannya secara sembunyi-sembunyi. Dan kalau rencananya dilanjutkan, tentu bisa menimbulkan kegemparan dan tanda tanya besar bagi pembesar-pembesar kerajaan lainnya. Dan kalau kebusukannya sampai diketahui orang, tentu ayahnya sendirilah yang akan malu karena perbuatannya.

“Hm.... Lalu, apa yang harus kita lakukan, Pandara? Apakah perbuatan pemuda bercaping itu harus kita diamkan begitu saja?” tanya Jata Sura, bingung. Tampaknya ucapan Pandara tadi telah membuatnya tidak bisa berpikir dengan baik. Kembali Jata Sura berpikir keras. Dan tiba-tiba saja bibirnya tersenyum. Ternyata sebuah rencana mulai tersusun dibenaknya.

“Hm.... Bukankah pemuda itu telah kuanggap sebagai pemberontak? Ah.... Bodohnya aku. Biar saja ku kerahkan prajurit, dengan alasan mencari seorang pemberontak,” gumam Jata Sura seperti berkata-kata sendiri.

“Pemberontak? Memangnya, siapa pemuda itu, Tuan Muda?” tanya Pandara bingung.

“Pemuda itu tadi pagi memang telah membuat masalah padaku. Aku juga tidak tahu, siapa dia sesungguhnya. Tapi dia telah kuanggap sebagai pemberontak. Jadi dengan memakai alasan itu, tak ada yang akan mencurigai kita lagi,” jelas Jata Sura.

“Baiklah kalau begitu, Tuan Muda. Rasanya memang tak ada salahnya mengerahkan prajurit jika alasannya demikian,” kata Pandara.

“O ya, Pandara, di mana Paman Danta Dan Paman Barna Pati? Tolong panggilkan mereka. Aku ingin bicara.”

“Baik, Tuan Muda...,” sahut Pandara yang segera saja menjura memberi hormat, dan berlalu dari situ.

********************

Seorang pemuda tampan berjubah putih dan seorang dara jelita berpakaian serba hijau tengah melangkah tenang, memasuki Kotaraja Bantar Gebang. Orang-orang yang kebetulan berpapasan, selalu saja menoleh dengan sinar mata penuh kagum dan iri. Beberapa orang gadis cekikikan sambil berbisik satu sama lain. Sesekali, ekor mata mereka menyambar wajah pemuda tampan berjubah putih itu.

Jelas, mereka tengah membicarakan pasangan muda yang memang terlihat sangat cocok. Sehingga, wajar saja kalau keberadaan mereka mengundang berbagai pendapat dari orang-orang disekitarnya.

Sedangkan pasangan muda itu sama sekali tidak ambil peduli. Mereka terus melangkah lambat-lambat menyusuri jalan utama kota itu. Ketika melewati sebuah bangunan besar yang di depannya bertuliskan rumah makan dan penginapan, segera saja mereka bergerak masuk.

Setelah memesan hidangan, pasangan muda itu duduk sambil melepaskan pandangannya ke sekeliling ruangan. Kedai makan itu tampak agak sepi, karena saat itu hari baru menjelang sore. Tapi, justru suasana itulah yang mereka inginkan. Dengan demikian, mereka bisa tenang menikmati hidangan.

“Paman...,” pemuda berjubah putih itu memanggil pelayan setelah menyelesaikan hidangannya.

Ketika pelayan setengah baya itu datang mendekat, pemuda tampan ini menyatakan ingin memesan dua buah kamar untuk mereka. Karuan saja pelayan itu mengerutkan keningnya dengan wajah agak heran.

“Tapi, bukankah kalian suami istri? Mengapa memesan dua kamar? Di sini, kami juga menyediakan satu kamar yang dapat digunakan untuk pasangan suami istri. Tuan boleh melihat kamar itu. Soal kerapian dan kebersihan, jangan khawatir...,” kata pelayan itu sambil mengacungkan ibu jarinya disertai senyum manis.

“Tidak, Paman. Kami bukan suami istri. Jadi, tolong sediakan dua buah kamar yang berdampingan untuk kami berdua...,” jelas pemuda tampan berjubah putih ini, agar pelayan itu tidak banyak bicara lagi.

“Ooo. Kalau begitu, baiklah.... Mari...,” sahut pelayan itu. Segera dibawanya kedua orang tamunya ke bagian belakang bangunan. Memang, letak penginapan itu berada di bagian belakang. Sedangkan di bagian depan merupakan kedai makan bagi tamu penginapan, maupun orang-orang yang kebetulan lewat.

Tapi baru saja pelayan itu dan dua orang tamunya hendak menuju ke bagian belakang bangunan, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut. Kemudian disusul, masuknya belasan orang prajurit bersenjata terhunus. Tentu saja kedatangan para prajurit itu membuat beberapa orang tamu yang sedang menikmati hidangan menjadi ketakutan.

“Semua tetap tinggal di tempat, dan jangan coba-coba berbuat hal-hal yang mencurigakan! Kami tidak segan-segan menangkap dan menghukum siapa saja yang berani membantah...!” seorang lelaki tinggi besar bercambang bauk berseru memperingatkan.

Kini orang-orang yang semula hendak meninggalkan ruangan itu, kembali duduk di tempatnya semula. Termasuk juga pasangan muda yang baru saja hendak meninggalkan tempat itu.

“Hei, Pelayan! Coba panggil keluar semua tamu yang saat ini masih di dalam kamarnya...!” perintah lelaki tinggi besar itu lagi dengan suara berwibawa.

Tanpa banyak cakap lagi, pelayan setengah baya itu segera saja mematuhinya.

“Dengar! Kami tengah mencari seorang pemuda bercaping yang telah membunuh prajurit-prajurit pagi tadi. Dan kalau di antara kalian ada yang melihatnya, harap segera beri tahukan kepada pihak prajurit. Orang muda bercaping itu sangat berbahaya, dan kemungkinan tidak waras...,” kata lelaki tinggi besar itu kembali sambil melangkah mengitari ruangan rumah makan.

Sepasang matanya yang galak, meneliti orang-orang di ruangan itu penuh selidik. Dia berhenti pada wajah pemuda tampan berjubah putih yang duduk bersama dara berpakaian hijau.

Menyadari kalau lelaki tinggi besar bercambang bauk itu adalah seorang perwira kerajaan, maka pemuda tampan dan gadis jelita itu segera saja mengangguk hormat Kemudian, wajah mereka ditundukkan, karena tidak ingin menentang pandangan mata lelaki berpakaian perwira itu. Memang, mereka tahu kalau menentangnya, hanya akan mencari penyakit saja.

“Hm.... Coba tegakan kepala kalian...,” perintah lelaki tinggi besar yang sudah berdiri di depan meja pasangan muda itu.

Tanpa membantah, pemuda tampan berjubah putih itu menegakkan kepala dengan tatapan lurus ke depan. Sikapnya nampak tenang, sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan. Sehingga, perwira tinggi besar itu diam-diam mengagumi ketenangan pemuda tampan di depannya. Tapi ketika ia beralih ke arah dara jelita berpakaian serba hijau di sebelah pemuda itu. Keningnya baru berkerut tak senang. Ternyata gadis itu sama sekali tidak mematuhi perintahnya.

“Nisanak, angkat kepalamu. Kami hanya ingin memastikan kalau orang yang dicurigai bukanlah kalian. Untuk itu aku mengharap pengertianmu...,” tegur perwira tinggi besar itu dengan nada galak. Jelas, ia tidak suka melihat ada orang yang berani membantah perintahnya.

Mendengar teguran ini, rupanya pemuda berjubah putih itu baru sadar kalau kawannya tidak menuruti keinginan perwira tinggi besar di depan mereka. Segera saja disentuhnya tubuh dara jelita itu dengan ujung sikunya. Sentuhan perlahan itu ternyata cukup ampuh. Terbukti, dara jelita itu langsung mengangkat kepalanya meski dengan wajah cemberut. Sepertinya, ia tidak suka mendengar perintah itu. Gadis itu merasa kalau dirinya dianggap sebagai bawahan yang pantas diperintah seenak perutnya.

“Bagus...,” gumam perwira bercambang bauk itu tersenyum tipis ketika dara jelita di depannya menegakkannya wajahnya. Kemudian perwira itu berlalu setelah meneliti sejenak.

“Huh!” Dara jelita berpakaian serba hijau itu mendengus lirih, begitu si perwira tinggi besar tadi berlalu dari hadapannya. Rasa tidak senang masih tergambar jelas pada wajahnya yang cantik. Tentu saja, keinginan perwira bercambang bauk itu dituruti hanya karena isyarat pemuda berjubah putih di sebelahnya.

“Sombong sekali lelaki berpangkat perwira itu. Kalau saja ia tahu kalau orang di hadapannya adalah Pendekar Naga Putih, tentu tidak akan berani selancang barusan...,” omel dara jelita itu. Rupanya gadis itu tidak merasa puas sebelum mengeluarkan perasaan tidak senangnya melalui kata-kata. Jelas sudah, siapa dara jelita di sebelah pemuda berjubah putih yang dikenal sebagai Pendekar Naga Putih.

“Perwira itu sama sekali tidak salah, Kenanga. Ia hanya menuruti perintah atasannya. Kalau pun kata-katanya tadi terdengar agak kasar dan menyinggung perasaanmu, hal itu wajar saja. Sebagai seorang perwira, ia diharuskan selalu bertindak tegas tanpa harus mengikuti perasaan hati,” pemuda berjubah putih yang sudah pasti Panji itu, menasihati kekasihnya sambil tersenyum.

Tentu saja pembicaraan itu dilakukan secara berbisik, agar tidak sampai terdengar orang lain. Terutama perwira tinggi besar dan prajurit-prajurit kerajaan itu.

“Hm.... Boleh saja ia bertindak tegas dan berkata kasar kepada bawahannya. Tapi, apakah terhadap seorang wanita yang tidak termasuk anggota pasukannya juga harus bertindak setegas dan sekasar itu?! Rasanya tidak adil, Kakang. Coba saja kalau yang dibentak-bentak seorang wanita tokoh sesat. Pasti perwira itu tidak akan bisa melihat matahari esok pagi...” Kenanga masih saja mengomel karena, hatinya masih merasa sakit dibentak-bentak seperti oleh perwira tinggi besar itu tadi.

“Sudahlah. Jangan kau turuti perasaan marah mu itu. Mungkin saja orang yang tengah dicari memang benar-benar berbahaya, dan harus segera ditemukan. Kalau tidak, belum tentu ia membawa pasukan yang cukup lengkap. Heran. Orang gila dari mana yang berani mengacau kotaraja? Apa dia tidak tahu kalau kotaraja merupakan gudangnya orang-orang pandai?” gumam Panji.

Pendekar Naga Putih tidak habis mengerti kalau ada orang yang berani mengacau di kotaraja. Sebab, pemuda itu tahu kalau kotaraja banyak terdapat orang sakti yang mengabdikan dirinya pada kerajaan.

“Aku rasa, pengacau itu bukan orang gila, Kakang. Dia pasti mempunyai alasan kuat. Atau bisa juga prajurit-prajurit kerajaan itu sendiri yang sengaja mencari perkara. Rasanya tidak mungkin bila ia mengacau tanpa sebab. Apalagi sampai membunuh. Kalau prajurit-prajurit itu tidak keterlaluan, aku yakin ia tak akan membunuh. Buktinya, prajurit-prajurit barusan sudah merasa sok kuasa saja...,” bantah Kenanga.

Rupanya gadis itu malah berpihak kepada orang buruan yang dicari-cari tentara kerajaan. Tentu saja pendapat itu dikemukakan karena rasa ketidaksenangannya terhadap perwira tinggi besar tadi. Pembicaraan pasangan pendekar muda itu terhenti sejenak ketika melihat si perwira tinggi besar kembali lewat di depan meja mereka. Melihat dari raut wajahnya, jelas kalau si pengacau tidak ditemukan di rumah penginapan ini.

“Ingat, apa yang kukatakan tadi. Siapa saja yang melihat pemuda yang mengenakan caping, dan bertubuh tinggi tegap, harap segera melaporkannya kepada kami. Maaf, kalau kedatangan kami telah membuat kalian semua terganggu..”

Setelah berkata demikian, perwira tinggi besar itu pun meninggalkan ruangan kedai, diikuti para prajurit yang berjumlah sekitar dua puluh orang lebih.

Setelah bayangan para prajurit dan perwira tinggi besar itu tidak nampak lagi, barulah suasana di dalam ruang kedai menjadi bising. Mereka saling berbicara satu sama lain, seperti kumpulan lebah dekat sarangnya. Dalam suasana bagai puluhan ekor lebah itu, Panji segera mengajak Kenanga untuk menemui pelayan rumah penginapan. Mereka tidak segera masuk ke kamar masing-masing, tapi Kenanga memaksa untuk membicarakan soal buronan yang dicari pihak kerajaan di kamar kekasihnya.

“Kakang... apa kau tidak berniat menyelidiki si pengacau itu? Rasanya kita perlu tahu, apa alasannya si pengacau membunuh para prajurit kerajaan pagi tadi. Dan, menurutku, orang itu pasti mempunyai suatu alasan yang sulit diketahui. Hm.... Aku jadi tergerak untuk mengetahuinya...,” kata Kenanga ketika mereka telah berada di dalam kamar Panji.

Pemuda tampan itu hanya tersenyum ketika melihat sinar mata dara jelita itu berbinar seperti haus akan petualangan baru. “Hm.... Menurutku, kita harus menunggu kelanjutannya dulu. Mungkin saja orang yang menjadi buronan pemerintah hanya kebetulan singgah di kotaraja ini. Siapa tahu, ia telah pergi jauh dari sini untuk tidak kembali lagi. Nah! Kalau dugaanku benar, apa yang hendak kau selidiki...?” bantah Pendekar Naga Putih. Panji sepertinya tidak ingin bertindak, sebelum mengetahui persoalannya secara jelas. Hal itu tentu saja bisa dimengerti kekasihnya.

“Menurutmu, kita harus tinggal untuk beberapa hari di kotaraja ini...?” tanya Kenanga. Semangatnya tampak mulai mengendor. Memang penjelasan Panji itu pantas dipikirkan.

“Yah..., kira-kira begitulah.... Sekarang, sebaiknya kita istirahat saja dulu. Besok baru kita mengelilingi kotaraja ini untuk melihat-lihat, sambil mencari keterangan tentang kelanjutan peristiwa pagi tadi...,” sahut Panji.

Pendekar Naga Putih kemudian segera merebahkan diri di atas pembaringan. Sementara Kenanga hanya mengangguk-anggukkan kepala dan bergegas menuju kamarnya. Sebentar kemudian, senja pun berganti malam. Dan kini, rumah penginapan itu sudah mulai tampak sepi, karena para penghuninya telah memasuki kamar masing-masing. Hanya satu dua orang saja yang masih terlihat di dalam ruangan kedai. Itu pun tidak berlangsung lama. Mereka juga bergegas meninggalkan ruangan kedai untuk beristirahat, ketika malam semakin larut.


********************

Jata Sura menghempaskan tubuhnya di atas kursi. Terdengar helaan napas beratnya yang menandakan kekecewaan hati. Tapi tidak berapa lama kemudian, pemuda itu melompat bangkit ketika mendengar teriakan Pandara dari kejauhan. Bergegas pemuda itu menyambut kedatangan pembantunya yang bertubuh gemuk itu.

“Mengapa baru kembali sekarang, Pandara? Hanya mencari dua orang saja perlu waktu sehari. Huh! Lalu, sekarang mana Paman Danta dan Paman Barna Pati...?” tegur Jata Sura. Pemuda itu segera menyongsong kedatangan pembantunya. Wajahnya tampak semakin memerah, ketika melihat tidak adanya Danta dan Barna Pati yang menyertai Pandara.

“Mereka tidak kutemukan, Tuan Muda. Hamba telah mencari ke mana-mana tapi tidak berhasil. Seharian hamba mencari, ke tempat mereka biasa berkumpul...,” lapor lelaki gemuk itu dengan napas memburu. Meskipun begitu, dari sorot mata Pandara terlihat kelegaan. Jelas, ia merasa bersyukur karena tidak menemukan kedua orang pengawal pribadi tuan mudanya itu.

“Aneh! Tidak biasanya mereka pergi begini lama...? Bahkan biasanya mereka selalu melapor apabila hendak keluar...,” gumam Jata Sura dengan berbagai tanda tanya memenuhi benaknya. Memang, tidak biasanya kedua orang pengawal pribadinya itu keluar tanpa melapor terlebih dahulu kepadanya.

Jata Sura dan Pandara yang tengah berpikir keras, tiba-tiba tersentak ketika mendengar suara langkah kaki mendekati tempat mereka. Serentak keduanya menoleh dengan alis berkerut.

“Ada apa kau menghadap tanpa dipanggil...?” dalam kejengkelannya, Jata Sura membentak prajurit yang tergopoh-gopoh datang menghadap itu.

“Maaf, Tuan Muda.... Mmm..., Perwira Kala Sungga ingin menghadap...,” lapor prajurit itu, takut-takut. Tubuh prajurit itu tampak agak gemetar akibat bentakan Jata Sura. Hatinya baru lega ketika melihat junjungannya menganggukkan kepala. Kemudian prajurit itu berbalik, dan pergi dari situ. Namun, sebentar saja dia sudah kembali bersama seorang perwira bertubuh tinggi besar. Pada wajahnya tampak dihiasi cambang bauk yang lebat.

“Tuan muda! Aku Kala Sungga datang menghadap...,” perwira tinggi besar yang ternyata bernama Kala Sungga membungkuk hormat kepada pemuda itu. Lalu, segera saja diceritakan keperluannya.

“Apa...!? Danta dan Barna Pati tewas? Siapa yang membunuh mereka? Dan di mana kalian menemukan mayatnya...?!"

Terkejut bukan main Jata Sura ketika mendengar laporan perwira tinggi besar itu. Segera saja ia bergegas mengikuti Kala Sungga yang memang telah membawa mayat kedua orang pengawal pribadinya. Gemetar sekujur tubuh Jata Sura ketika melihat mayat kedua orang pengawal pribadinya. Apalagi, menyaksikan mayat Danta yang kepalanya terpisah dari badan. Karuan saja pemuda itu bertambah murka.

“Keparat! Manusia gila dari mana yang berani melakukan kekejian ini...!” desis Jata Sura mengepalkan tinjunya erat-erat. Hati Jata Sura sedih bukan main. Dua orang pengawal pribadinya ini telah mengabdikan diri semenjak ia kecil. Tapi kini, mereka tewas dengan kematian begitu menyedihkan, tanpa diketahui siapa yang telah melakukannya.

“Di tempat mayat mereka terbaring, kami menemukan tulisan Hantu Laut Pajang yang ditulis dengan darah. Rupanya sebelum kematiannya, Barna Pati sempat menuliskan nama pembunuh keji itu. Hanya saja aku merasa heran, sebab Hantu Laut Pajang telah lama hilang dari dunia persilatan. Tapi, orang yang sudah hampir mati tidak mungkin salah menuduh...,” kata Kala Sungga, menyadarkan Jata Sura dari kesedihannya.

“Hantu Laut Pajang...,” desis Jata Sura tanpa mempedulikan ucapan Kala Sungga, “Kau boleh pergi, Kala Sungga. Tapi jangan lupa, selidikilah siapa sebenarnya yang telah melakukan pembunuhan ini...”

Tanpa banyak membantah lagi, Kala Sungga segera saja bergegas meninggalkan Jata Sura. Pandara pun ikut meninggalkan tempat itu setelah memerintahkan para prajurit membawa mayat Danta dan Barna Pati, untuk segera dimakamkan. Kini tinggallah Jata Sura termenung seorang diri dengan wajah murung.

“Hm... Aku harus memberitahukan ayah tentang kejadian ini,” desis pemuda itu yang segera beranjak dan bersiap memberitahukan Senapati Gada Sura yang berada diistana.

********************

Senapati Gada Sura segera saja bergegas meninggalkan istana setelah menerima laporan dari putranya. Lelaki gagah bertubuh gemuk berwajah bersih itu tentu saja menjadi geram mendengar laporan putranya itu. Sebelum meninggalkan Istana Bantar Gebang, lelaki gagah itu mengajak dua orang jagoan istana untuk membantunya.

Untungnya, semua kejadian itu tidak sampai terdengar pejabat lain atau keluarga kerajaan. Hanya Senapati Gada Sura dan dua orang jagoan istana itu sajalah yang mengetahuinya. Kalau sampai terdengar, bukan mustahil akan menimbulkan kegemparan.

“Apa kau tidak salah dengar kalau yang melakukan pembunuhan itu adalah Hantu Laut Pajang...?” tanya Senapati Gada Sura setelah tiba di tempat kediamannya. Suara lelaki gemuk itu terdengar berat dan keras, sewajarnya seorang pembesar tinggi harus selalu berwibawa.

“Tidak, Ayah. Kalau Ayah masih kurang percaya, silakan tanya kepada Paman Kala Sungga. Dialah yang menemukan mayat dan tulisan dengan darah itu...,” sahut Jata Sura menoleh ke arah lelaki tinggi besar berwajah brewok yang juga telah dipanggil menghadap Senapati Gada Sura.

“Benar, Tuan. Hanya yang masih hamba herankan, tokoh yang berjuluk Hantu Laut Pajang itu telah lama lenyap dan tidak pernah terdengar lagi kabarnya...,” jelas Kala Sungga.

“Aku pun merasa heran, Kala Sungga. Dan memang, menurut apa yang kudengar pun demikian. Tapi untuk lebih jelasnya, aku akan menugaskan Adi Barangga dan Ki Tumbal Waru untuk menyelidikinya. Kalau memang Hantu Laut Pajang masih hidup dan benar melakukan pembunuhan terhadap kedua orangku, bunuh saja tokoh itu...,” kata Senapati Gada Sura sambil menoleh ke arah dua orang jagoan istana yang memang sengaja dibawanya untuk tugas itu.

“Jangan khawatir, Tuan Senapati. Kami berdua akan melaksanakan tugas ini sebaik-baiknya. Tidak sulit rasanya untuk mencari tokoh itu, karena mereka tinggal di daerah pantai sebelah Utara Laut Pajang. Bukan begitu, Adi Barangga...?” lelaki tua berusia sekitar enam puluh tahun yang bernama Ki Tumbal Waru itu menolehkan kepala ke arah lelaki gemuk dan berkepala agak botak yang bernama Barangga.

“Benar, Tuan Senapati. Serahkan saja persoalan ini kepada kami berdua. Percayalah. Dalam waktu dekat, kami akan segera mengabarkan hasilnya...,” janji lelaki gemuk bernama Barangga itu sambil terkekeh parau. Jelas, ucapannya itu menandakan kesombongan hatinya.

“Baiklah. Kapan kalian berangkat...?” tanya Senapati Gada Sura singkat. Sepertinya, ia ingin selalu bertindak cepat dalam segala sesuatu.

“Kalau diizinkan, sekarang juga kami akan berangkat,” langsung saja Ki Tumbal Waru menyahuti tanpa menunggu keputusan Senapati Gada Sura. Sedangkan Gada Sura mengangguk saja menyetujui.

Tanpa banyak cakap lagi, Senapati Gada Sura langsung memerintahkan agar mereka segera berkemas. Sedangkan ia sendiri segera saja memasuki kamar yang khusus untuk beristirahat apabila di istana sedang tidak adatugas. Ruang pertemuan itu pun kembali sunyi, setelah semua orang yang berada di dalamnya pergi mengemban tugas masing-masing.

********************

Dengan menggunakan ilmu lari cepatnya, dua orang jagoan Istana Kerajaan Bantar Gebang bergegas menuju Pantai Utara Laut Pajang. Tujuan mereka jelas. Mencari Hantu Laut Pajang untuk meminta penjelasan tokoh itu mengenai pembunuhan dua orang kepercayaan Senapati Gada Sura.

Ki Tumbal Waru dan Barangga tiba-tiba menghentikan larinya, saat mereka baru menginjakkan kaki di pantai sebelah Utara Laut Pajang. Memang, satu setengah tombak di depan mereka berdiri tegak seorang lelaki tegap yang melindungi wajahnya dengan caping bambu. Merasa kalau sosok bercaping itu sengaja menghadang jalan, Barangga segera saja menegurnya.

“Kisanak! Apakah kau ada keperluan dengan kami berdua?” tanya Barangga agak hati-hati sambil meneliti sosok tegap didepannya. Sepasang mata lelaki gemuk itu nampak agak menyipit seperti hendak menilai sosok bercaping bambu itu.

“Hm.... Seharusnya, akulah yang bertanya kepada kalian berdua. Apa keperluan kalian hingga sampai ke daerah kekuasaanku ini?” sahut sosok tegap yang wajahnya terlindung caping bambu itu. Sambil berkata demikian, tangannya bergerak menaikkan tepi caping. Tampaklah sepasang mata yang menyorot tajam menggetarkan.

“Hm.... Siapa kau, hingga berani-beraninya mengaku pantai ini merupakan daerah kekuasaanmu? Kami kenal, siapa pemilik Pantai Utara Laut Pajang ini. Dan kami pun tahu, orang itu bukanlah kau, Kisanak. Jadi, kau tidak mempunyai hak bertanya seperti itu!” Ki Tumbal Waru yang semenjak tadi hanya diam menatapi sosok bercaping itu, mulai angkat bicara. Nada suaranya demikian tegas dan tandas.

“Ha ha ha.... Begitukah? Lalu, tahukah kalian. Siapa orang yang kini berdiri menghadang jalan kalian?!” kata sosok bercaping itu, lebih mantap dan menggeletar. Jelas kalau ia telah mengerahkan tenaga dalamnya melalui suara itu.

“Pemilik tempat ini adalah sahabat kami yang berjuluk Hantu Laut Pajang. Dan, aku tidak tahu siapa dirimu. Maka sebaiknya menyingkirlah, sebelum terlambat...,” sahut Barangga dengan tekanan ancaman halus. Tampaknya lelaki gemuk jagoan Istana Kerajaan Bantar Gebang ini mulai tidak sabar menanggapi ucapan sosok bercaping itu.

Sosok tinggi tegap yang wajahnya terlindung di balik caping bambu itu kembali memperdengarkan suara tawanya, seraya menggerakkan tangannya untuk melepas caping yang menyembunyikan wajahnya. Tapak seraut wajah kehitaman yang di sebelah kiri wajahnya terdapat sebuah luka seperti bekas penyakit kulit. Tentu saja Ki Tumbal Waru dan Barangga semakin berkerut kening, karena sama sekali tidak mengenali seraut wajah yang jelas masih muda didepannya.

“Hm... Kalian pasti tidak kenal wajahku lagi yang telah menjadi buruk ini. Tapi, ketahuilah. Aku tidak pernah melupakan kebiadaban kalian yang telah membantai keluargaku secara keji di Laut Pajang. Untuk itulah aku menghadang kalian di tempat ini. Maksudku adalah hendak mencabut nyawa kalian berdua,” tegas sosok tegap berwajah buruk yang ternyata Bhirawa.

Rupanya, kedua orang jagoan istana itu termasuk dalam daftar musuh-musuh keluarganya. Makanya dia menghadang perjalanan Ki Tumbal Waru dan Barangga.

Baik Ki Tumbal Waru maupun Barangga agak tersentak mendengar ucapan pemuda itu. Meskipun peristiwa itu telah dapat diingat, tapi mereka sama sekali tidak bisa mengenali pemuda berwajah buruk yang berada di depannya itu.

“Maaf. Aku tetap tidak mengenalmu, Kisanak. Tapi kalau memang hendak membalas dendam, sebutkanlah namamu. Dan, apa hubunganmu dengan peristiwa itu...?” tanya Ki Tumbal Waru yang memang tidak bisa mengenali pemuda berwajah buruk yang memiliki sepasang mata mencorong tajam itu.

“Baik, namaku Bhirawa. Dan mengenai hubunganku dengan peristiwa itu maupun orang-orang yang kalian bantai secara kejam, rasanya tidak perlu lagi ku jelaskan...,” sahut Bhirawa datar namun penuh menyimpan dendam kesumat.

“Aaah...!?”

Barangga tersentak mundur dengan wajah agak berubah. Jelas, ia sangat terkejut mendengar nama pemuda bertubuh tegap itu. Sepasang matanya tampak melotot lebar, bagaikan orang melihat hantu di siang bolong!

“Mustahil...?!” desis Ki Tumbal Waru yang juga hampir tidak mempercayai pendengarannya. Berbeda dengan Barangga, Ki Tumbal Waru menatap tajam seolah-olah ingin memastikan kalau pemuda itu tidak berbohong atau sengaja menakut-nakutinya. Memang, Bhirawa yang mereka kenal, tentu saja berbeda jauh dengan pemuda buruk rupa itu.

“Sudahlah. Tidak perlu lagi kalian berpura-pura pikun sebaiknya, bersiaplah untuk menerima kematian...!” desis Bhirawa tanpa mempedulikan keterkejutan kedua orang musuh keluarganya.

Swing...!

Tahu-tahu saja, sebilah pedang bersinar kebiruan telah tergenggam ditangan kanan pemuda itu.

“Hantu Laut Pajang...?!”

Kedua orang jagoan istana itu tersentak mundur begitu mengenali senjata yang berada dalam genggaman Bhirawa. Jelas mereka sangat terkejut melihat adanya senjata yang sekarang berada di tangan pemuda berwajah buruk itu.

“Ya! Dan, senjata ini pulalah yang telah menghirup darah dua orang manusia busuk Danta dan Barna Pati semalam...,” desis Bhirawa datar.

Kemudian senjata Bhirawa dilintangkan di depan dada. Siap untuk menghirup darah musuh-musuh keluarganya yang masih tersisa.

ENAM

Ki Tumbal Waru dan Barangga cukup terkejut mendengar pengakuan pemuda buruk rupa itu. Untuk meyakinkan hatinya, kedua jagoan kerajaan itu kembali meneliti sosok tinggi tegap di depannya.

“Benarkah kau yang telah membunuh Danta dan Barna Pati dengan menyamar sebagai Hantu Laut Pajang...?” tanya Barangga masih tetap meragukan pengakuan Bhirawa.

Keraguan lelaki gemuk itu bukannya tanpa alasan. Ia sendiri cukup tahu, sampai di mana kepandaian kedua orang pengawal pribadi putra atasannya. Bahkan Barangga sendiri harus memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat menundukkan Danta dan Barna Pati. Jadi, wajar saja kalau ia tidak begitu yakin kalau pemuda buruk rupa itu yang telah membunuh Danta dan Barna Pati.

“Hm.... Percaya atau tidak, itu terserah kalian. Yang jelas, akulah yang telah menghukum kedua jahanam busuk itu! Dan aku tidak menyamar sebagai Hantu Laut Pajang, karena memang aku sendiri yang kini berjuluk Hantu Laut Pajang. Itu bisa kalian yakini dengan senjata kebesaran tokoh itu yang kini berada di tanganku,” jelas Bhirawa tanpa mempedulikan ketidakpercayaan lelaki gemuk itu.

“Jadi..., kau putra...?”

“Ya! Sekarang bersiaplah menerima kematian!” potong Bhirawa tanpa memberi kesempatan kepada Ki Tumbal Waru untuk menyelesaikan kalimatnya. Usai berkata demikian, pemuda berwajah buruk yang penuh perbawa itu bergerak ke kiri sambil menggerakkan pedangnya.

Yakin kalau pemuda itu memang benar-benar pembunuh yang dicarinya, maka Ki Tumbal Waru dan Barangga segera saja bergerak merenggang.

“Kalau begitu, kau bukan saja harus ditangkap. Tapi, kau juga harus menerima hukuman berat..,” desis Ki Tumbal Waru yang kini merasa geram.

Ki Tumbal Waru dan Barangga sepertinya tidak ingin menganggap remeh pemuda itu. Terbukti, mereka telah mencabut senjata masing-masing.

Wuuut! Wuuut!

Barangga menggeser langkahnya ke kanan sambil mengibaskan senjata di tangannya yang berupa sebilah pedang tipis. Terdengar suara mengaung ketika senjata di tangan lelaki gemuk itu berputar membentuk gulungan sinar memanjang.

Sedangkan Ki Tumbal Waru dengan sepasang pedang sepanjang dua jengkal, telah pula menggeser tubuhnya ke kiri pemuda itu. Sepasang pedang pendeknya berkesiutan membeset udara, ketika digerakkan. Jelas, kedua orang jagoan istana itu sama-sama memiliki tenaga dalam tinggi.

Bhirawa yang dikepung dari dua arah, tetap bersikap tenang. Langkah-langkahnya terlihat demikian kokoh dan mantap. Sepertinya, pemuda itu sangat yakin akan kepandaian yang dimiliki. Hal itu tergambar jelas dari pancaran mata dan raut wajahnya yang tenang.

“Haaat..!”

Barangga yang memang memiliki sikap tidak sabar, segera saja memulai serangan dengan sebuah bentakan nyaring. Seketika itu juga, tubuh gemuknya langsung bergerak maju dengan langkah-langkah pendek namun menampakkan kekokohan. Senjata di tangannya bergerak turun naik berkecepatan tinggi. Jelas, jurus yang digunakannya bukan ilmu pasaran!

Dengan selisih waktu yang tidak lebih dari sekejap mata, Ki Tumbal Waru pun telah pula membuka serangan. Tubuh lelaki tua berusia sekitar enam puluh tahun itu melenting ke udara diiringi pekikan nyaring.

Melihat gerakan dua orang itu yang sangat berbeda, sadarlah Bhirawa kalau lawan hendak memecah perhatiannya dengan serangan dari atas dan bawah.

“Heaaah...!”

Bhirawa berseru pendek sambil mengkelebatkan pedangnya dengan pengerahan tenaga dalam. Kemudian langsung disambutnya serangan dua orang lawan dengan menggeser langkah ke kiri dan kanan. Gerakan itu dimaksudkan untuk menipu, agar lawan-lawannya tak mudah menduga ke mana serangannya ditujukan.

Serangan Barangga tiba lebih dulu dengan kecepatan menggetarkan! Senjata di tangannya mengaung, membelah udara dengan ujungnya yang bergetar bagaikan mengincar beberapa jalan darah kematian di tubuh Bhirawa. Langsung saja pemuda berwajah buruk itu memutar senjatanya untuk menyambut ujung pedang lawan.

Wettt! Wettt!

Mendadak saja ketika ujung pedang itu hampir berbenturan, Barangga merubah gerakan dengan memutar pergelangan tangannya. Sehingga, ujung pedangnya berputar setengah lingkaran dan meluncur deras mengancam tenggorokan lawan!

Cuittt!

Tapi, Bhirawa rupanya sudah menduga akan gerakan tipu lawannya. Terbukti, ketika ujung pedang lawan berputar dan mengancam tenggorokannya, pemuda itu cepat menarik mundur tubuhnya satu langkah dengan kuda-kuda agak rendah. Sehingga, pedang lawan lewat di depan wajahnya, sejengkal lebih ke atas.

“Yiaaah...!”

Bhirawa yang tak ingin membuang setiap peluang yang dilihatnya, segera saja menusukkan pedang lurus-lurus ke depan, mengincar tepat di jantung lawan!

Swing...!

Sayang, Bhirawa tidak mempunyai banyak kesempatan untuk melanjutkan serangan mautnya. Karena pada saat yang bersamaan, Ki Tumbal Waru sudah datang menerjang dengan sepasang pedang pendeknya. Suara mendesing-desing yang ditimbulkan sambaran pedang pendek lelaki tua itu, membuat Bhirawa terpaksa harus memutar tubuhnya. Langsung pedangnya dikibaskan dalam keadaan berputar! Ki Tumbal Waru yang melihat serangan balasan pemuda itu, cepat mengangkat pedang di tangan kanannya untuk menangkis.

Trang...!

Terdengar benturan yang menimbulkan percikan bunga api. Tubuh keduanya tampak sama melompat mundur, sejauh satu setengah tombak. Jelas, baik Bhirawa maupun Ki Tumbal Waru sama memiliki tenaga dalam yang kuat dan seimbang. Bhirawa yang belum lagi sempat mengatur kuda-kudanya, cepat merendahkan tubuh. Karena, pada saat itu juga, pedang Barangga datang mengancam disertai suara mengaung tajam!

Cuiiit..!

“Aaah...!?” Bhirawa memekik tertahan ketika hampir saja mata pedang lawan menggores lehernya! Untungnya, pemuda itu masih sempat memiringkan kepala dengan membentuk kuda-kuda serong. Sehingga, mata pedang itu lewat tiga jari di samping kulit lehernya!

“Hihhh!”

Tindakan Bhirawa dalam melakukan serangan balasan rupanya memang patut dipuji. Kejelian matanya dalam memanfaatkan setiap peluang, membuat pemuda itu cepat tanggap. Maka pada saat berhasil menghindari sambaran mata pedang itu, langsung saja kaki kanannya terlontar menghajar tubuh Barangga!

Buggg!

“Hukhhh...!”

Tendangan yang keras itu telak menghajar perut Barangga yang memang tidak pernah menduga akan kejelian mata lawannya. Karuan saja tubuhnya langsung terjungkal ke belakang. Untungnya, lelaki gemuk itu bisa menguasai keadaan. Cepat tubuhnya melenting dan bersalto beberapa kali, untuk kemudian mendarat empuk sejauh dua tombak dari lawan. Meski demikian, terlihat wajahnya agak meringis menahan nyeri. Pada sudut bibirnya tampak lelehan darah segar, yang membuatnya semakin geram.

Saat itu, Bhirawa yang berniat menyusuli serangannya selagi tubuh lawan berada di udara, terpaksa harus menundanya. Karena pedang pendek Ki Tumbal Waru memang sudah mencegahnya!

Wettt! Wettt! Wettt!

Serangkaian sambaran pedang pendek di tangan Ki Tumbal Waru datang susul-menyusul diiringi decitan-decitan menyakitkan telinga. Untuk beberapa saat lamanya, Bhirawa terpaksa harus bermain mundur. Serangan orang tua itu memang cukup membuatnya kerepotan!

“Hiaaah...!”

Ki Tumbal Waru sepertinya tidak lagi ingin memberi peluang kepada lawan untuk membalas. Terbukti serangan sepasang pedang pendeknya tidak berhenti sampai di situ saja. Senjata sepanjang dua jengkal itu terus menyambar-nyambar hebat! Tentu saja Bhirawa semakin terdesak hebat!

Gencarnya serangan yang dilontarkan Ki Tumbal Waru sepertinya tidak sia-sia. Setelah selama sepuluh jurus lebih mencecar lawannya, akhirnya salah satu dari pedang pendeknya berhasil merobek lengan bagian atas pemuda itu!

Wuttt.... Crasss...!

“Aaakh...!” Bhirawa terpekik kaget saat ujung pedang pendek di tangan lawan mengenai bagian tubuhnya. Darah segar segera menyembur dari luka yang cukup dalam dan panjang itu. Bahkan Bhirawa sempat melintir dibuatnya!

“Haiiit...!”

Selagi tubuh lawan melintir akibat sambaran salah satu pedang pendeknya, Ki Tumbal Waru berseru keras sambil melontarkan tendangan berputar ke kepala lawannya. Namun dalam keadaan yang cukup sulit itu, rupanya Bhirawa sempat melihat datangnya tendangan maut. Langsung saja tubuhnya bergeser untuk menghindar. Sayang ia masih kalah cepat dengan lawannya. Sehingga....

Desss...!

Tendangan itu ternyata masih sempat menghajar punggungnya! Maka karuan saja tubuh pemuda terlempar, dan tersungkur mencium tanah! Darah segar semakin banyak mengalir dari lukanya. Tendangan keras tadi memang tepat mengenai dekat bagian lukanya.

“Uhhh...!” Bhirawa mengeluh sambil meringis menahan sakit pada lukanya. Tapi selagi pemuda itu bergerak hendak bangkit, Barangga datang menjejakkan kakinya ke tubuh pemuda itu!

Derrr!

Debu mengepul ketika telapak kaki yang disaluri tenaga dalam menjejak tanah di dekat tubuh Bhirawa. Karena, pemuda itu sempat menggulingkan tubuhnya untuk menghindar. Tapi, Barangga bukan orang bodoh. Maka begitu pijakannya luput, kaki itu langsung terlontar menghajar lambung Bhirawa!

Desss...!”

“Hukhhh...!”

Tendangan keras itu telak mengenai lambung Bhirawa. Seketika itu juga tubuhnya bagai disentak-kan bangkit secara paksa, dan tumbang kembali disertai keluhannya. Darah segar pun semakin banyak yang keluar dari mulut pemuda itu.

Barangga yang rupanya sangat bernafsu untuk menewaskan lawan, mengobat-abitkan pedangnya ke tubuh Bhirawa yang terus bergulingan menghindarkan diri. Meskipun demikian, tak urung beberapa buah goresan ujung pedang harus diterimanya. Dan akhirnya, Bhirawa tidak lagi mampu untuk menggulingkan diri. Pemuda itu hanya terdiam pasrah, menanti datangnya maut yang akan menjemput!

“Hiyaaa...!”

Wukkk...!

Pedang di tangan Barangga berkeredep menyilaukan mata, hendak membelah tubuh Bhirawa. Sedangkan pemuda itu menatap tak berkedip, pasrah menerima kematiannya. Mata pedang Barangga meluncur deras tanpa dapat dicegah lagi! Nampaknya, riwayat Hantu Laut Pajang harus tamat di tangan salah seorang jagoan Kerajaan Bantar Gebang.

Trang...!

“Aaah...!”

Mendadak, pada saat yang sangat gawat bagi keselamatan Bhirawa, meluncur seberkas sinar hitam dengan kecepatan tidak bisa ditangkap mata biasa. Kemudian, sinar itu langsung membentur pedang di tangan Barangga yang siap menamatkan riwayat Hantu Laut Pajang.

Benturan sinar hitam itu ternyata berakibat sangat mengejutkan! Bukan saja pedang di tangan Barangga dapat dibuat terpental lepas dari genggaman, bahkan tubuhnya hampir terjengkang jatuh! Tentu saja kenyataan itu hampir membuat Barangga tidak mempercayainya. Dia lalu bangkit, dengan mata tertuju ke arah penyerangnya.

“Siapa kau...?!” bentak Barangga.

Mata laki-laki gemuk itu melotot bagai hendak keluar ketika melihat seorang pemuda berjubah putih yang membantu Bhirawa bangkit. Wajah pemuda itu bersih dan tampan, dengan senyum ramah menghias wajahnya.

Bhirawa yang sama sekali tidak menduga kalau nyawanya bisa selamat, tertegun menatap pemuda tampan berjubah putih yang berusia sebaya dengannya. Bhirawa segera menundukkan wajahnya, tidak berani menentang pandangan mata pemuda tampan yang terlihat demikian tajam dan mengandung perbawa amat kuat.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak...,” ucap Bhirawa, tanpa mengangkat wajahnya. Dia juga masih belum percaya kalau nyawanya selamat.

Pemuda tampan berjubah putih itu hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum menerima ucapan terima kasih Bhirawa. Dibawanya pemuda itu bangkit, dan disandarkannya di dinding karang.

“Bagaimana dengan musuh-musuhku itu,Kisanak...?” tanya Bhirawa mengalihkan pandangan kearah dua orang jagoan Istana Kerajaan Bantar Gebang. Kening pemuda berwajah buruk itu tampak berkerut, ketika melihat adanya sesosok tubuh ramping terbungkus pakaian hijau yang tengah berdiri menghadapi kedua orang musuhnya.

“Gadis berpakaian hijau itu adalah kawanku. Jadi, tenangkanlah dirimu...,” jelas pemuda berjubah putih, sebelum sempat bertanya.

Pemuda berjubah putih itu memang Panji, yang dikalangan rimba persilatan dikenal sebagai Pendekar Naga Putih. Sedangkan gadis jelita berpakaian hijau yang tak lain dari Kenanga. Kemudian tanpa banyak cakap lagi Pendekar Naga Putih segera mengobati luka-luka di tubuh Bhirawa.

Kekaguman di hati Bhirawa semakin bertambah ketika merasakan betapa jemari tangan pemuda itu demikian lincah dalam melakukan pengobatan terhadap dirinya. Bahkan obot-obatan yang diberikan pemuda tampan itu sangat manjur. Maka tentu saja semua itu membuat Bhirawa jadi terbengong-bengong.

"Kau hebat sekali, Kisanak. Aku benar-benar kagum dan tunduk kepadamu...,” aku Bhirawa tulus dengan wajah berseri.

Pendekar Naga Putih hanya tersenyum menanggapi ucapan tulus pemuda berwajah buruk itu. “Sekarang kau istirahatlah. Biar kami yang akan menangani kedua orang itu...,” ujar Panji yang segera bergerak meninggalkan Bhirawa.

“Maaf. Kalau kami mencampuri urusan ini, Kisanak sekalian. Tapi melihat betapa teganya kalian menyiksa lawan yang sudah tidak berdaya, rasanya aku tidak bisa tinggal diam. Alangkah lebih baik apabila musuh yang sudah tidak berdaya, diampuni dan dibawa kembali ke jalan kebenaran. Dengan demikian, kalian berarti bukan saja telah menolong jiwanya, tapi juga menyelamatkan manusia-manusia lain. Karena, bisa saja pemuda itu jadi menyadari kesalahannya selama ini...,” kata Pendekar Naga Putih dengan tutur kata yang halus dan sopan. Sehingga, baik Barangga maupun Ki Tumbal Waru saling berpandang sejenak.

“Hm.... Siapakah kau, Kisanak. Usia dan penampilan mu mengingatkanku pada seorang pendekar yang telah menggemparkan dunia persilatan. Benarkah dugaanku kalau kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?” Ki Tumbal Waru yang semenjak tadi memang memperhatikan pemuda tampan itu secara teliti, segera saja mengungkapkan dugaannya meski agak ragu.

“Benar, Orang tua. Sahabatku ini adalah orang yang berjuluk Pendekar Naga Putih,” sahut gadis berparas jelita berpakaian serba hijau itu cepat.

“Hm.... Sebagai seorang pendekar besar yang selalu menentang setiap kejahatan, seharusnya kau tidak menghalangiku untuk melenyapkan pemuda laknat itu. Ketahuilah, pemuda berwajah buruk itu adalah seorang pemberontak yang telah melakukan pembunuhan terhadap dua orang pembantu Senapati Gada Sura. Bahkan dia pula yang telah membunuh beberapa prajurit pada beberapa hari yang lewat Nah! Apakah kau masih tetap ingin membela penjahat itu, Pendekar Naga Putih...?”

Barangga yang masih menyimpan kejengkelan terhadap campur tangan pemuda itu, menjelaskan duduk perkaranya. Tentu saja dengan maksud agar Pendekar Naga Putih tidak ikut campur tangan dalam perkara ini.

“Maaf. Sebelumnya, mungkin dugaanku akan sama dengan kalian. Tapi setelah melihat pedang yang menjadi lambang seorang tokoh sahabat guruku, maka aku merasa yakin kalau pemuda itu bukan seorang penjahat seperti yang kalian, tuduhkan. Kalaupun ia telah melakukan pembunuhan, pasti ada alasan kuat di balik semua perbuatannya. Kuharap, kalian berdua suka memaafkan perbuatannya. Berilah kepercayaan kepadaku untuk menyadarkannya,” kata Pendekar Naga Putih.

Panji yang kedatangannya memang bukan tanpa sebab, sepertinya masih tetap ingin membela pemuda berwajah buruk itu. Dan apa yang dikatakannya pun memang merupakan kebenaran. Memang tokoh yang berjuluk Hantu Laut Pajang itu merupakan sahabat lama gurunya. Kedatangannya ke tempat itu pun hendak mengunjungi tokoh sahabat gurunya.

“Pendekar Naga Putih! Apa pun alasanmu, pemuda itu merupakan ancaman yang sangat berbahaya bagi kami dan juga atasan kami. Untuk itu, kami ditugaskan untuk melenyapkannya. Kalau kau menentang kami, itu sama artinya hendak memberontak terhadap Kerajaan Bantar Gebang!” dengus Ki Tumbal Waru.

Laki-laki tua yang memang diberi tugas Senapati Gada Sura untuk mendapatkan pemuda itu hidup atau mati, tidak bisa menerima alasan Panji. Dan ia tetap berkeras hendak mengambil Bhirawa, meskipun untuk itu harus berhadapan dengan Pendekar Naga Putih yang kesaktiannya telah menggemparkan jagad.

Panji tersenyum dengan wajah tetap tenang. Sepertinya pemuda tampan itu sama sekali tidak gentar atas gertakan Ki Tumbal Waru yang mengatasnamakan Kerajaan Bantar Gebang. Dan Panji bukan pemuda bodoh. Kalau memang pemuda itu musuh kerajaan, tentunya bukan hanya mereka berdua yang akan dikirim untuk menangkapnya. Tapi, orang-orang berpakaian prajuritlah yang akan melakukan tugas itu.

Sekali melihat saja, Panji dapat menilai kalau Ki Tumbal Waru dan Barangga merupakan orang-orang kasar yang mungkin bekerja untuk kepentingan seseorang. Bukan untuk kerajaan. Pikiran itulah yang membuat Panji tidak gentar, meskipun kedua orang itu menggertaknya.

“Maaf. Apa pun alasannya aku tetap tidak akan membiarkan pemuda itu menjadi korban keganasan kalian,” tegas Panji yang sepertinya tetap ingin membela Bhirawa. Memang Pendekar Naga Putih dapat melihat pancaran kebaikan di hati Bhirawa.

“Kalau begitu, kami harus menggempurmu...,” geram Barangga dengan sikap mengancam. Sambil berkata demikian, lelaki gemuk itu bergerak merenggang. Demikian pula halnya Ki Tumbal Waru. Lelaki tua itu pun sudah siap hendak menyerang Pendekar Naga Putih.

TUJUH

Kenanga yang tadi hanya mendengarkan perdebatan kekasihnya dengan dua orang jagoan Kerajaan Bantar Gebang, melangkah maju. Rasa penasaran yang semenjak tadi ditahannya bangkit seketika.

“Biar aku yang memberi pelajaran kepada mereka, Kakang. Rasanya kalau hanya untuk menghadapi dua ayam sayur ini kau tidak perlu turun tangan,” ujar Kenanga sambil menatap kekasihnya meminta persetujuan. Biarpun marahnya demikian besar, namun gadis itu tidak berani melangkahi Panji.

Panji yang mengetahui sifat kekasihnya termenung sejenak. Disadari kalau pribadi gadis jelita itu lembut. Tapi dia sadar pula kalau Kenanga bila memberi hajaran kepada orang-orang yang tidak disukainya, atau berani menghina kekasihnya, dapat bersikap keras. Pikiran itulah yang membuat Panji termenung.

“Untuk kali ini, biarlah aku saja yang menghadapi mereka. Kau menyingkirlah, Kenanga...,” tolak Panji, setelah berpikir sesaat.

Tanpa membantah lagi, Kenanga segera saja bergerak menyingkir. Meskipun hatinya penasaran, namun ia tidak mau membantah ucapan kekasihnya. Pendekar Naga Putih melangkah maju, dan berdiri tegak menghadapi kedua orang lawannya dalam jarak satu tombak lebih. Sikap dan wajahnya tetap terlihat tenang, tanpa sorot kebencian atau permusuhan.

“Silakan kalian memulai...,” ucap Panji tanpa persiapan sedikit pun. Kedua kakinya sama sekali tidak menunjukkan kalau telah siap tempur.

Ki Tumbal Waru dan Barangga pun menyadari sikap pemuda itu. Tapi, justru sikap tenang tanpa persiapan pemuda itulah yang membuat mereka berhati-hati. Jelas, sikap itu menandakan kalau Pendekar Naga Putih memang sudah tidak perlu siap-siap dalam menghadapi pertarungan. Dalam keadaan bagaimanapun, seorang pendekar besar seperti pemuda tampan itu dapat saja bergerak ke mana saja ia suka. Itulah yang membuat Ki Tumbal Waru dan Barangga berhati-hati.

Dengan geseran telapak kaki lembut, kedua orang jagoan istana itu bergerak mengitari Pendekar Naga Putih. Sejauh itu, mereka belum menunjukkan tanda-tanda untuk memulai serangan. Sepertinya, mereka hendak mencari kelemahan pemuda tampan itu. Panji sendiri tetap berdiri tegak tanpa merubah kedudukannya. Hanya sepasang matanya saja yang bergerak mengikuti gerak-gerik kedua orang lawannya.

“Haiiit...!”

Dibarengi sebuah teriakan nyaring, Ki Tumbal Waru memulai serangannya dari samping kiri Pendekar Naga Putih. Terdengar suara berkeciutan ketika sepasang pedang pendek di tangan orang tua itu bergerak susul-menyusul dengan kecepatan sukar diikuti mata biasa.

Wettt! Wettt!

Pendekar Naga Putih menggeser kaki kanannya kebelakang dengan kuda-kuda rendah. Tubuhnya berputar ke samping menghindari tusukan dua bilah pedang pendek yang mengincarnya. Kemudian, Pendekar Naga Putih terus melangkah mundur dan bergerak ke kiri dan kanan ketika serangan Ki Tumbal Waru masih terus bersambungan.

“Haiiih...!” Pada suatu kesempatan, telapak tangan Panji menepiskan serangan, ketika senjata di tangan kanan lawan bergerak menuju tenggorokannya!

Plakkk!

“Uhhh...!” Ki Tumbal Waru mengeluh pendek. Tepisan yang kelihatannya sembarangan itu ternyata mampu membuat tubuhnya berputar. Tentu saja orang tua itu menjadi terkejut dibuatnya.

Tapi, tidak percuma Ki Tumbal Waru menjadi salah seorang jagoan di Istana Kerajaan Bantar Gebang. Putaran tubuhnya itu dapat dimanfaatkan untuk melanjutkan serangannya. Pedang pendek di tangan kanannya bergerak menusuk ke belakang, dan langsung mengancam dada kanan Pendekar Naga Putih.

Swiiit...!

Sayang, kali ini yang dihadapinya bukanlah seorang tokoh sembarangan. Bagi seorang pendekar seperti Panji, serangan itu sama sekali tidak membuatnya kaget. Dengan sebuah kelitan indah, tubuh Pendekar Naga Putih bergerak ke depan. Langsung sikunya disodokkan ke iga lawan. Namun sayang, serangan itu tidak bisa diteruskan. Karena pada saat itu juga, pedang di tangan Barangga datang mengancam dari atas ke bawah. Maksudnya untuk memapas putus lengan pemuda itu.

“Haiiit...!”

Kegagalan serangannya sama sekali tidak membuat Panji kehilangan akal. Dibarengi seruan nyaring, tubuh pemuda itu melenting berputar ke belakang Barangga. Bahkan terus mengirimkan sebuah tendangan kilat yang mengejutkan!

Plakk!

“Uhhh...!” Barangga memang berhasil menangkis tendangan lawan dengan menggunakan lengan kirinya. Tapi untuk tindakannya itu, ia harus menanggung rasa nyeri yang bagaikan menusuk ke dalam tulangnya. Sedangkan tubuhnya sendiri hampir terbanting jatuh. Untung saja ia bertindak cepat menguasai keseimbangan tubuhnya.

Pertarungan kembali berlangsung seru. Ki Tumbal Waru dan Barangga kembali melancarkan serangan-serangan maut ke arah lawannya. Kali ini, mereka dapat berkerja sama dengan baik dan saling melindungi satu sama lain. Sehingga, beberapa kali serangan Panji dapat digagalkan.

Ketika pertarungan menginjak pada jurus yang ketiga puluh, Pendekar Naga Putih mulai menebarkan pengaruh ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’. Kabut bersinar putih keperakan mulai menebarkan hawa dingin menusuk tulang. Sehingga, baik Ki Tumbal Waru maupun Barangga sangat merasa terganggu oleh pancaran hawa dingin yang keluar dari tubuh dan sambaran pukulan lawan. Akibatnya hal itu membuat mereka tidak lagi leluasa untuk melontarkan serangan-serangan. Dengan demikian, berarti gempuran- gempuran kedua orang tokoh istana itu mulai berkurang.

Pendekar Naga Putih tidak mau bersikap ayal-ayalan lagi. Dengan jurus-jurus ‘Naga Sakti’nya, pemuda itu mulai mendesak Ki Tumbal Waru dan Barangga. Sehingga dalam beberapa jurus saja, kedua orang jagoan Istana Kerajaan Bantar Gebang itu benar-benar dibuat kalang kabut!

“Gila...!” maki Barangga jengkel. Barangga tampaknya kali ini tidak mampu lagi melontarkan serangan-serangannya. Setiap kali melontarkan serangan, selalu saja membalik. Serangannya bagaikan terbentur lapisan benteng salju yang sukar ditembus.

Keadaan Ki Tumbal Waru pun tidak berbeda jauh. Lelaki tua itu tampak tidak lagi garang seperti semula. Sambaran-sambaran sepasang pedang pendeknya selalu saja gagal. Memang gerakan lawannya kali ini terasa terlalu cepat. Sehingga, untuk memburunya Ki Tumbal Waru harus memerlukan tenaga banyak. Tentu saja hal itu membuatnya cepat kehabisan tenaga.

“Hiaaat...!”

Ketika pertarungan menginjak jurus yang keempat puluh, terdengar pekikan nyaring dari Pendekar Naga Putih. Pada saat yang bersamaan terlihat tubuh pemuda berjubah putih itu bergerak cepat bagaikan sambaran kilat di angkasa. Maka seketika, hawa dingin menusuk tulang langsung menebar bagai men- gungkungi kedua jagoan istana itu.

Plaggg! Desss...!

Serangan dahsyat Pendekar Naga Putih tidak mampu lagi dihindari Barangga maupun Ki Tumbal Waru. Hantaman telapak tangan Panji telak menghajar dada dan punggung mereka! Ki Tumbal Waru dan Barangga memekik kesakitan! Tubuh kedua tokoh istana itu langsung terpental dan terbanting jatuh, menimbulkan suara berdebuk nyaring!

“Huakhhh...!”

Hampir berbarengan, mereka memuntahkan darah kental akibat pukulan hawa dingin Pendekar Naga Putih. Bahkan tubuh mereka terlihat masih menggigil, dan belum bisa bergerak bangkit.

Tanpa setahu Panji, Bhirawa yang berada tidak jauh dari tempat jatuhnya kedua orang tokoh istana itu diam-diam meraba pedangnya. Kebencian dan dendam di hati pemuda berwajah buruk itu, telah membuatnya menjadi gelap mata. Seketika itu juga, Bhirawa melompat dan langsung menyabetkan senjata ke arah leher Barangga. Bahkan juga langsung menusuk tubuh Ki Tubal Waru!

“Hei, tahaaan...!”

Tentu saja Panji terkejut bukan main melihat perbuatan pemuda berwajah buruk itu. Namun karena jarak pemuda itu dan kedua orang musuhnya memang sangat dekat, Panji tidak sempat mencegahnya.

Barangga terlihat menggelepar dengan tubuh tanpa kepala, lalu dia tak bergerak lagi. Sedangkan Ki Tumbal Waru menekap dadanya yang mengucurkan darah. Sebentar kemudian, lelaki tua itu pun tewas, karena tusukan pedang Bhirawa tepat mengenai jantungnya.

“Mengapa kau lakukan perbuatan rendah seperti ini...?” desis Panji menahan rasa sesal karena terlambat untuk mencegah perbuatan pemuda itu.

“Maaf, Pendekar Naga Putih. Dendamku kepada dua orang manusia terkutuk itu sudah terlalu berkarat. Sehingga, aku menjadi gelap mata...,” desah Bhirawa sambil menggenggam pedang yang telah berlumuran darah di tangan kanannya. Setelah berkata demikian, Bhirawa berbalik. Dia langsung berlari meninggalkan tempat itu.

“Kisanak, tunggu..!” seru Panji Pendekar Naga Putih segera melesat mengejar pemuda buruk rupa itu. Sekali melompat saja, tubuhnya telah berdiri menghadang jalan pemuda berwajah buruk itu.

“Oh, maaf kalau aku lupa mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu...,” ucap Bhirawa langsung saja membungkuk memberi hormat. Rupanya ia menganggap sikap Panji yang mencegah kepergiannya, karena belum mengucapkan terima kasih.

“Bukan itu yang kuinginkan, Kisanak. Kalau boleh aku tahu, siapakah namamu. Dan apa yang membuat kau demikian membenci mereka?” tanya Panji dengan sikap tenang, seperti tidak mempedulikan pandangan pemuda itu terhadapnya.

“Aku bernama Bhirawa. Tentang persoalan dendamku, maaf. Aku tidak bisa menceritakannya. Selamat tinggal...,” pamit Bhirawa. Pemuda itu segera melesat meski dengan langkah yang belum tetap. Karena, ia masih belum sembuh benar dari luka-lukanya.

Kali ini Panji tidak berusaha mencegah. Ia memang merasa tidak mempunyai hak untuk mengetahui persoalan orang lain. Lain halnya kalau pemuda itu menceritakan secara suka rela. Melihat kekasihnya termenung sambil menatap bayangan Bhirawa yang semakin jauh, Kenanga datang menghampiri.

“Hm.... Seorang pemuda yang keras kepala dan angkuh..,” desis Kenanga sambil ikut memandang ke arah yang sama.

“Tampaknya dia memang tidak ingin orang lain ikut campur dalam masalah yang tengah dihadapinya,” desah Panji tanpa mengalihkan pandangannya.

“Lalu, bagaimana tentang Hantu Laut Pajang? Apakah Kakang masih ingin menjumpainya?” tanya Kenanga, mengingatkan Panji akan tujuan mereka semula mendatangi Pantai Utara Laut Pajang.

“Untuk sementara, kita lupakan saja dulu. Aku khawatir pemuda keras kepala itu masih mempunyai musuh-musuh lain di kotaraja yang belum didatanginya. Dan mungkin juga, dia mempunyai hubungannya dengan Hantu Laut Pajang. Hanya saja, dia masih keras kepala hendak menyimpan rahasia itu sendiri...,” jawab Panji yang kini menoleh menatap kekasihnya.

“Jadi, Kakang berniat hendak melindunginya...?” desak Kenanga lagi ingin mengetahui tindakan Panji selanjutnya.

“Tidak pasti begitu. Yang jelas, pemuda itu sangat menaruh dendam terhadap musuh-musuhnya. Entah, apa yang dilakukan musuh-musuhnya terhadap pemuda itu di masa lalu,” sahut Panji lagi sambil melangkah menghampiri mayat Barangga dan Ki Tumbal Waru.

Ketika melihat Panji mengangkat mayat Barangga beserta kepalanya yang terpisah, Kenanga segera mengangkat mayat Ki Tumbal Waru. Dia mengikuti langkah Pendekar Naga Putih yang hendak mencari tempat yang baik untuk makam kedua orang itu.

Sepasang pendekar itu terus melangkah sambil membawa kedua mayat jagoan Istana Kerajaan Bantar Gebang. Mereka meninggalkan pantai untuk mencari daerah yang pantas sebagai makam kedua orang itu. Memang di sekitar mereka hanya terdapat tanah berpasir yang tentu saja tidak bisa digunakan untuk menguburkan mayat. Tidak berapa lama kemudian, mereka menghentikan langkah di sebuah daerah berbatu yang tanahnya tidak lagi mengandung pasir. Kenanga meletakkan mayat Ki Tumbal Waru dari bahunya, seperti halnya yang dilakukan Panji terhadap mayat Barangga.

“Hm Rasanya tempat ini cukup baik untuk peristirahatan terakhir mereka,” gumam Panji.

Kini Pendekar Naga Putih mulai menggali dengan menggunakan pedang kekasihnya. Karena pemuda itu menggunakan tenaga dalamnya, maka sebentar saja terciptalah dua buah lubang besar. Mendadak saja, sebelum Panji sempat memasukkan mayat-mayat itu ke dalam liang lahat, terdengar suara bergemuruh derap puluhan ekor kuda. Serentak mereka menoleh saling bertukar pandang. Kemudian, dinantikannya rombongan berkuda itu datang, lewat dekat mereka. Ketika rombongan berkuda itu mulai nampak, Panji sempat merasa tegang. Karena, rombongan berkuda itu ternyata terdiri dari prajurit Kerajaan Bantar Gebang.

“Celaka, Kakang. Kita bisa dipersalahkan dengan adanya mayat-mayat ini...,” desis Kenanga yang lang- sung saja menghubungkan prajurit berkuda itu dengan mayat dua orang jagoan istana yang ada bersama mereka.

Panji terdiam ketika mendengar kekhawatiran kekasihnya. Untuk lari menghindar, tentu saja pemuda itu tidak sudi. Maka, kakinya segera melangkah beberapa tindak, dan berdiri di situ. Seolah-olah Pendekar Naga Putih hendak menanti kedatangan prajurit kerajaan yang jumlahnya puluhan. Memang pemuda itu berniat menceritakan seadanya.

“Hooop...!”

Seorang lelaki gagah bercambang bauk berpakaian perwira, mengangkat tangan kanannya agar pasukan di belakangnya berhenti. Lalu matanya menatap ke arah pemuda berjubah putih dan gadis jelita berpakaian hijau yang membungkuk hormat kepadanya. Baik Panji maupun Kenanga segera dapat mengenali dengan baik, kalau perwira itu adalah orang yang memeriksa kedai tempat mereka menginap.

Perwira tinggi besar yang tak lain Kala Sungga itu menatap tajam ke arah pasangan muda di depannya. Ia yang mendapat perintah untuk segera menyusul Barangga dan Ki Tumbal Waru, segera saja membawa pasukannya ke Pantai Utara Laut Pajang. Karena, Senapati Gada Sura merasa khawatir kalau-kalau orang yang dicarinya memiliki banyak pengikut. Untuk itulah Kala Sungga sekarang berada di daerah Pantai Utara ini.

“Hahhh!? Bukankah itu Barangga dan Ki Tumbal Waru...!? Siapa yang telah melakukan kebiadaban itu...?” kata Kala Sungga, Laki-laki bercambang bauk itu terkejut bukan main ketika melihat adanya dua sosok mayat di belakang pasangan muda di depannya. Segera saja ia melompat turun dari atas punggung kuda dengan wajah setengah tak percaya.

Kala Sungga melangkah lebar agak terburu-buru. Dengan gerakan kasar, didorongnya Panji dan Kenanga yang untungnya segera menyingkir. Sehingga, mereka tidak sampai terjajar.

l “Gila! Ini benar-benar sudah keterlaluan!” teriak Kala Sungga, kalap. Kemudian perwira tinggi besar itu mengalihkan pandangan ke arah pemuda berjubah putih dan gadis jelita berpakaian hijau dengan sorot mengerikan!

“Kami menemukan kedua mayat itu di pantai, lalu membawa kemari untuk dimakamkan...,” jelas Panji, sedikit berbohong. Ia sengaja menjelaskan sebelum ditanya perwira tinggi besar itu.

“Bangsat! Siapa yang telah membunuh mereka...? Ayo, katakan padaku!” dengus Kala Sungga. Mendengar keterangan Panji, prajurit itu semakin bertambah murka. Bahkan tangannya terulur hendak mencengkeram bahu Panji. Dan tentu saja Pendekar Naga Putih tidak sudi diperlakukan demikian. Segera saja tubuhnya bergeser mundur satu langkah ke belakang. Sehingga, cengkeraman Kala Sungga hanya mengenai angin.

“Hahhh!?”

Untuk ke sekian kalinya, Kala Sungga kembali tertegun heran. Begitu sadar, kemarahannya pun menjadi berlipat-lipat. Karena perbuatan pemuda itu yang menghindari cengkeramannya, dianggap sebagai sikap membangkang.

“Kurang ajar! Rupanya kau memiliki sedikit kepandaian, ya! Aku yakin, kalian berdua pasti tahu orang yang telah melakukan pembunuhan terhadap dua orang jagoan istana itu! Kalian harus kami tangkap untuk diperiksa!” geram Kala Sungga dengan wajah semakin gelap.

Kenanga yang memang tidak suka terhadap sikap kasar perwira tinggi besar itu tentu saja menjadi bertambah dongkol. Tanpa mengenal takut, gadis jelita itu menudingkan jarinya ke wajah Kala Sungga.

“Dengar, Perwira Gila!” maki Kenanga tak kalah marahnya. “Aku tidak suka dijadikan tawanan! Dan, apa yang dikatakan kawanku ini memang benar. Kalau tidak percaya, terserah! Tapi, ingat! Aku tidak suka dibentak-bentak seperti orang pesakitan!”

Panji yang tidak sempat mencegah kemarahan dara jelita itu tentu saja cukup terkejut. Ucapan-ucapan Kenanga jelas-jelas seperti tengah menumpahkan semua kejengkelan. Maka cepat-cepat dia maju beberapa tindak untuk menjelaskan masalahnya.

“Hm.... Kau juga ingin memberontak rupanya,” desis Kala Sungga sebelum Panji sempat mengucap sepatah kata pun. “Tangkap kedua orang ini! Bunuh kalau mereka melawan!” Terdengar perintah perwira tinggi besar itu kepada puluhan orang prajuritnya. Maka segera saja mereka berlompatan turun dari atas punggung kuda dan mengepung kedua orang muda itu.

"Tunggu...!” cegah Panji. Pendekar Naga Putih tampaknya mencoba menghindari keributan dengan tentara kerajaan. Tapi, usahanya sia-sia belaka. Ternyata pasukan prajurit itu tetap bergerak mengepung dan siap menangkap mereka.

DELAPAN

“Heaaa...!”

“Yeaaa...!”

Prajurit Kerajaan Bantar Gebang yang berjumlah kurang lebih sekitar enam puluh orang itu menghambur maju ke arah Panji dan Kenanga.

Tentu saja hal itu membuat mereka harus cepat mengambil keputusan. Begitu rombongan prajurit itu hampir mendekat, Panji menahan kekasihnya yang hendak mencabut Pedang Sinar Bulan. Kemudian ditariknya gadis jelita itu ke samping. Dan bersamaan dengan itu, muncullah lapisan kabut bersinar putih keperakan. Kali ini, lapisan kabut itu tidak hanya menyelimuti sekujur tubuh Panji saja, tapi juga tubuh Kenanga.

“Aaakh...!”

“Aaa...!”

Terdengar teriakan-teriakan ngeri saat prajurit- prajurit itu menghantam senjatanya ke tubuh kedua orang korbannya. Senjata mereka langsung berbalik. Bahkan beberapa di antaranya langsung patah. Malah tubuh para penyerang itu pun terlempar bagaikan tertolak balik oleh suatu tenaga yang tak tampak.

“Kakang, lebih baik kita tinggalkan saja tempat ini...,” usul Kenanga. Memang, gadis itu ingin berlalu dari kerumunan prajurit-prajurit. Ia takut, tidak bisa menahan dirinya, dan melakukan perlawanan yang sudah pasti akan menimbulkan korban di antara para prajurit.

“Baiklah...,” sahut Panji menyetujui usul kekasihnya. Kemudian, pemuda itu mencari kepungan yang lebih mudah untuk diterobosnya.

Namun rupanya Kala Sungga sempat memperhatikan tingkah laku pemuda berjubah putih itu yang seperti hendak melarikan diri. Maka dengan empat orang perwira lainnya, lelaki tinggi besar itu pun segera saja menerjang Pendekar Naga Putih dan Kenanga.

“Yeaaat…!”

“Haaat...!”

Mendengar suara berdesingan yang lain dari desingan-desingan lainnya, Panji segera menoleh ke arah asal suara. Tampak perwira tinggi besar dan empat orang perwira lainnya tengah meluncur dengan senjata masing-masing. Sadarlah Panji kalau perwira tinggi besar itu sepertinya telah menduga maksudnya.

Wuettt... Trakkk!

“Uhhh...!” Kala Sungga yang tiba lebih dulu daripada empat orang kawannya, terkejut bukan main ketika pedang di tangannya bagaikan membentur sebuah dinding baja yang kokoh! Bahkan bukan hanya senjatanya saja yang terpental balik. Tubuhnya pun sempat menggigil, bagaikan orang terserang demam tinggi. Karena, hawa dingin yang amat kuat menyelusup melalui pedangnya dan terus merasuk ke dalamtubuh.

“Gila...?!” maki Kala Sungga yang hampir-hampir tidak mempercayai apa yang dialaminya. Seumur hidupnya, belum pernah ia mengalami hal yang demikian mengejutkan. Jangankan melihat serangan yang dapat membuat tubuhnya bagai orang terserang malaria. Untuk melihat orang yang mampu menahan hantaman senjatanya dengan tubuh telanjang pun, belum pernah ditemukannya. Tentu saja ketika pemuda itu dapat menahan senjata tanpa tameng, Kala Sungga mulai memperhitungkannya.

Bukan hanya Kala Sungga saja yang merasakan hal serupa itu. Perwira lainnya pun sama-sama merasakan. Mereka bahkan sampai terlempar, karena demikian bernafsu menamatkan riwayat pemuda berjubah putih itu. Akibatnya, mereka menderita lebih parah ketimbang Kala Sungga.

“Aaah...?!” Tiba-tiba saja Kala Sungga yang kembali bersiap menyerang dan mencoba mencari kelemahan lawan, terkejut ketika teringat sesuatu. Wajah lelaki tinggi besar itu berubah hebat seketika. Sepasang matanya terbelalak lebar, bagaikan melihat hantu di siang bolong.

“Dia.... Pendekar Naga Putih...!” seru laki-laki bercambang bauk itu.

Kala Sungga kini benar-benar teringat ciri-ciri seorang pendekar muda yang bergaung santer di kalangan rimba persilatan. Sementara itu empat orang kawan perwiranya, kini sama-sama membisikkan hal yang serupa. Wajah-wajah mereka tampak dilanda ketegangan dan kecemasan.

Sedangkan para prajurit bawahan mereka sepertinya tidak begitu tahu tentang kemunculan tokoh muda yang sangat sakti itu. Hanya ada beberapa di antara mereka yang sempat berbisik-bisik. Sepertinya, julukan itu pernah didengarnya meski samar-samar dan hanya sekilas.

Bagi Panji maupun Kenanga, keadaan seperti itu jelas merupakan peluang baik untuk melarikan diri. Cepat mereka berkelebat selagi Kala Sungga dan pasukannya tertegun bagaikan terkesima, ketika teringat orang-orang yang tengah mereka keroyok tadi.

“Hei...? Ke mana perginya mereka...?” teriak Kala Sungga, begitu sadar dari keterpakuannya.

Perwira bercambang bauk itu memang tidak menemukan pasangan muda itu di depannya. Tentu saja Kala Sungga tidak mungkin dapat menemukan mereka lagi, karena pasangan pendekar itu telah pergi menggunakan ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai tingkat tinggi. Sadar kalau Pendekar Naga Putih dan gadis jelita berpakaian hijau itu telah lenyap, Kala Sungga segera saja mengajak pasukannya untuk kembali.

Sepertinya, lelaki tinggi besar itu ingin melaporkan keterlibatan Pendekar Naga Putih dalam persoalan itu. Beberapa saat kemudian, terlihatlah iring-iringan pasukan bergerak kembali menuju kotaraja sambil membawa mayat Barangga dan Ki Tumbal Waru yang belum sempat dikuburkan oleh Pendekar Naga Putih.

********************

Saat itu malam sudah semakin larut. Sinar bulan yang redup tidak mampu menerangi gelapnya suasana malam itu. Namun, suasana seperti itu justru sangat disukai sesosok tubuh tegap terbungkus jubah panjang berwarna coklat tua. la terus bergerak gesit, menyelinap ke dalam bangunan kediaman Senapati Gada Sura. Tanpa mengalami kesulitan sedikit pun, sosok berjubah coklat itu melewati para penjaga di bawahnya dengan selamat. Menilik gerakannya yang lincah dan sangat ringan, jelas kalau sosok tegap itu memiliki kepandaian tinggi.

Ketika sosok ini tiba di bagian samping kanan bangunan besar itu, tubuhnya meluruk turun tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Kemudian, dia menyelinap masuk melalui pintu samping, dan terus bergerak menerobos ruang tengah. Tanpa mengalami kesulitan sedikit pun, sosok tegap itu pun tiba di tempat yang ditujunya.

Sementara seorang lelaki berperawakan gemuk yang tengah berada di ruang perpustakaan rumahnya, sepertinya sama sekali tidak sadar kalau dirinya tengah diintai. Lelaki itu terus saja membaca dengan tenang, tanpa memperhatikan keadaan sekelilingnya. Pada, saat itu orang yang mengintainya telah menyelinap masuk.

“Hiaaat..! Mampus kau pengkhianat busuk, Gada Sura...!”

Lelaki berperawakan gemuk yang ternyata Senapati Gada Sura itu sama sekali tidak kelihatan terkejut. Jelas, sikap tidak tahunya tadi seperti memang disengaja. Dan tampaknya, hal itu memang untuk memancing sosok tegap agar masuk ke dalam ruangan. Terbukti, ketika pedang di tangan sosok berjubah coklat tua itu membacoknya dari belakang, Senapati Gada Sura lebih dahulu menghindar dengan lompatan panjang kesamping.

Brakkk!

Meja dan kursi tempat semula senapati itu duduk kontan hancur berantakan, akibat hantaman keras dari sebilah pedang bersinar kebiruan yang digunakan sosok berjubah coklat

Senapati Gada Sura memang bukan orang sembarangan. Begitu melompat menghindari sambaran pedang yang sempat ditangkapnya tadi, lelaki gemuk itu langsung mengirimkan sebuah tendangan kilat yang telak menghantam iga lelaki berjubah coklat tua itu!

Bukkk!

“Aaakh...!” Tanpa ampun lagi, tendangan yang cukup keras langsung membuat sosok tegap itu terlempar keluar, setelah menabrak daun jendela hingga hancur berantakan!

“Yeaaat..!”

Derrr...!

Senapati Gada Sura langsung mengejar lawannya dengan jejakan keras. Dia semakin merasa geram ketika jejakan telapak kakinya ternyata tidak mengenai sasaran, karena sosok itu telah lebih dahulu bergulingan. Kemudian, sosok berpakaian coklat itu terus melenting disertai lompatan panjang ke belakang, dan siap melanjutkan perkelahian.

“Sudah kuduga, kau akan datang sendiri ke tempat ini untuk mencariku, Pembunuh! Hm... Sudah empat orang pembantu-pembantuku yang kau bunuh secara keji! Apa sebenarnya yang kau inginkan? Dan, siapa yang kau cari...?!” kata Senapati Gada Sura datar, dengan sikap merasa tinggi. Sambil berkata demikian, lelaki gemuk itu meneliti sosok dan wajah lawannya. Namun, keningnya berkerut ketika merasa tidak pernah mengenal sosok yang ternyata seorang pemuda berambut panjang dan berwajah buruk.

“Hm.... Gada Sura! Kau-lah pengecut busuk, pengkhianat yang tidak patut hidup! Kau kira kejadian lima tahun yang lalu di Laut Pajang sudah berakhir begitu saja?! Huh! Kau keliru, Gada Sura. Ayah-ibuku memang tewas oleh kebusukan dan kelicikanmu beserta kawan-kawanmu itu. Tapi, kau lupa. Saat terjatuh ke dalam laut, aku sama sekali belum tewas. Sayang, kau dan pembantu-pembantumu yang berhati busuk itu tidak mengetahuinya. Sekarang, kau harus menebusnya seperti empat orang kawanmu itu...!” ancam sosok tegap berjubah coklat yang tak lain dari Bhirawa. Rupanya, pemuda itu masih tetap nekat mendatangi musuh-musuhnya yang masih hidup. Apalagi kalau bukan untuk melampiaskan dendamnya?

“Kau... kau...,” Senapati Gada Sura tidak mampu melanjutkan ucapannya, karena hatinya terlalu terkejut mendengar pengakuan pemuda itu.

“Benar! Akulah Bhirawa putra tunggal Senapati Kalang Bawung, yang telah kau khianati itu! Rupanya, diam-diam kau mengincar jabatan senapati dalam Kerajaan Bantar Gebang ini. Kau manusia busuk yang tidak pernah puas dengan apa yang didapatkan, Gada Sura. Pangkat sebagai wakil senapati yang diberikan ayah rupanya tidak membuatmu berterima kasih. Padahal, kalau tidak ayahku yang mengusulkannya kepada Gusti Prabu, belum tentu kau bisa memegang jabatan itu! Tapi, ternyata kau tak lebih dari seekor ular yang tega membunuh, meski orang itu adalah majikanmu yang telah memberi kebaikan berlimpah- limpah! Kau memang tidak pantas hidup, Gada Sura...!” geram Bhirawa dengan sepasang mata mencorong kemerahan. Jelas, pemuda itu sangat mendendam terhadap Senapati Gada Sura yang menjadi musuh utamanya.

Mendengar ucapan-ucapan itu, tentu saja Senapati Gada Sura terkejut bukan main. Lelaki berperawakan gemuk itu menoleh ke kiri-kanan, seolah-olah takut ada yang mendengarnya. Setelah merasa tidak ada yang ikut mendengarkan ucapan Bhirawa, terlihat rona kelegaan pada wajah lelaki gemuk itu.

“Kalau begitu, bersiaplah untuk mampus, Bhirawa! Dengan demikian, rahasia ini tak akan terbongkar selamanya...,” desis Gada Sura dengan senyum iblis. Sambil berkata demikian, lelaki gemuk itu menyambar sebatang tombak berujung golok yang memang terpajang di rak senjata halaman samping bangunan itu.

Wuuut! Wuuut...!

Dengan lihainya, Senapati Gada Sura memutar tombak bermata golok di tangannya, hingga menimbulkan suara mengaung keras. Kemudian....

“Heaaat...!” Dibarengi teriakan nyaring, Senapati Gada Sura melesat dengan tusukan tombak bergoloknya.

“Yiaaah...!” Bhirawa tidak tinggal diam. Pemuda bertubuh tinggi tegap itu berseru keras sambil memutar pedang sinar kebiruan yang tergenggam di tangan kanannya. Senjata itu mengaung tajam, menimbulkan angin menderu. Gulungan sinar kebiruan pun terbentuk, dan bergerak turun naik bagaikan naga raksasa yang bermain-main di angkasa.

Bhirawa yang memang telah tahu kalau Senapati Gada Sura bekas pembantu ayahnya itu memiliki kepandaian tinggi, segera mengerahkan seluruh kemampuannya. Pedang di tangannya berkelebatan menyambar-nyambar disertai kilatan cahaya kebiruan. Namun sampai sejauh itu, tubuh lawan belum juga dapat disentuh. Bahkan gempuran tombak bergolok di tangan Senapati Gada Sura terlihat semakin bertambah cepat dan mengejutkan!

Wuettt..!

“Aihhh...!?” Bukan main terkejutnya Bhirawa ketika pada suatu kesempatan, tombak bergolok di tangan lawan bergerak menusuk dengan kecepatan kilat. Untungnya, ia masih sempat memiringkan kepala. Sehingga, lehernya selamat dari golok yang berada di ujung tombak lawannya.

“Yeaaah...!” Bhirawa yang selalu dapat memanfaatkan saat-saat tak terduga, berteriak nyaring disertai lompatan dan putaran tubuhnya ketika sabetan mendatar tombak bergolok Senapati Gada Sura lewat sebatas pinggangnya. Dalam melompat ke atas sambil berputar itu, pedang Bhirawa dikelebatkan untuk membabat dada lawan dari udara!

Brettt! Buggg!

“Aaark...! Senapati Gada Sura menjerit kaget ketika pedang lawan sempat menyerempet bahunya. Padahal, dia sudah berusaha menghindar! Namun dengan sigapnya, lelaki gemuk itu memutar balik gagang tombak bergoloknya. Bahkan langsung menghajar punggung lawan!

Meski hajaran itu tidak terlalu keras, tapi Bhirawa cukup merasa nyeri pada punggungnya. Pemuda keras hati yang tidak pernah menyerah itu kembali mengibaskan pedang di tangannya dengan putaran indah. Sepasang matanya tetap mencorong tajam menyiratkan dendam kesumat.

“Yeaaat..!” Kali ini, rupanya bukan Bhirawa yang lebih bernafsu untuk melenyapkan lawannya. Tapi justru Senapati Gada Sura-lah yang terlihat lebih ingin melenyapkan pemuda itu. Sepertinya, lelaki gemuk itu cukup sadar kalau Bhirawa satu-satunya ancaman yang bisa membuat jabatannya hilang. Itulah sebabnya, mengapa Senapati Gada Sura sangat bernafsu sekali untuk segera menghabisi nyawa Bhirawa.

Pertarungan pun terus berlanjut semakin seru. Keduanya memang memiliki tingkat kepandaian hampir berimbang, sehingga, pertarungan juga terlihat agak seimbang. Tapi suara teriakan-teriakan dan dentang senjata yang memekakkan telinga, ternyata telah mengundang seluruh penghuni bangunan besar itu. Terbukti, tidak berapa lama kemudian terlihat cahaya obor yang bergerombol diiringi suara riuh-rendah.

Bhirawa yang saat itu telah mampu mendesak Senapati Gada Sura menjadi terkejut bukan main, begitu tahu-tahu saja di sekeliling tempat itu telah dipenuhi prajurit kerajaan yang lengkap dengan senjata di tangan. Bahkan di satu sudut, juga terlihat Jata Sura dan Kala Sungga. Hanya Winarsih, putri Senapati Gada Sura yang tidak terlihat ditempat itu.

Sadar kalau tidak mungkin dapat lolos dari tempat itu, Bhirawa teringat pesan terakhir gurunya. Cepat dirabanya suatu benda yang tersembunyi di balik sabuknya. Selama ini ia memang tidak pernah menggunakan, karena gurunya yang berjuluk Hantu Laut Pajang telah berpesan sebelum kematiannya. Senjata maut itu hanya boleh digunakan bila pada saat yang amat genting.

Kini setelah tidak ada lagi kesempatan untuk lolos, Bhirawa pun segera teringat pesan mendiang gurunya itu. Namun sayang, ia tidak sempat menggunakannya. Karena saat itu, Senapati Gada Sura telah memerintahkan putra dan pengawal-pengawalnya untuk mengeroyok Bhirawa. Memang lelaki gemuk itu sendiri terlihat mulai kepayahan. Hal itu karena lelaki gemuk itu tidak pernah memperhatikan ilmu silatnya. Selama ini, ia hanya kesenangan, sehingga lupa akan pentingnya ilmu silat bagi orang berpangkat seperti dirinya.

Keroyokan itu tentu saja membuat Bhirawa terdesak hebat. Belum lagi, para prajurit yang telah siap dengan senjata di tangan. Maka semakin sulitlah bagi pemuda itu untuk selamat!

“Yiaaat..!”

Bukkk! Desss...!

“Aaakh...!” Sebuah tendangan Jata Sura dan hantaman telak Kala Sungga, membuat tubuh pemuda itu terjengkang memuntahkan darah segar. Belum lagi Bhirawa sem- pat bangkit, Senapati Gada Sura telah datang dengan ayunan tombak bergoloknya!

Wuuut!

Tombak bermata sebuah golok besar itu mengaung tajam, siap merencah tubuh Bhirawa. Karena masih merasakan luka pada tubuhnya, pemuda itu tidak lagi bisa menghindari tebasan golok besar yang diluncurkan Senapati Gada Sura. Namun pada saat yang sangat gawat bagi keselamatan nyawa Bhirawa, tiba-tiba melesat sesosok bayangan putih yang langsung menggagalkan tebasan tombak bergolok Senapati Gada Sura.

Plakkk!

“Aaakh...!” Hantaman telapak tangan sosok bayangan putih itu memang sangat hebat! Terbukti, tubuh Senapati Gada Sura terdorong, dan hampir terjungkal jatuh ke belakang! Wajah lelaki gemuk itu tampak menyeringai menahan sakit.

Bhirawa yang sempat menyaksikan kejadian itu tentu saja tidak ingin menyia-nyiakannya. Cepat bagai kilat tubuh, pemuda itu melesat dengan tusukan pedangnya ke tubuh Senapati Gada Sura!

Bresss...!

“Aaa...!” Senapati Gada Sura meraung tinggi! Darah segar mengalir membasahi pedang dan tanah di bawahnya, begitu pedang Bhirawa yang tepat menembus jantungnya dicabut pemiliknya. Lelaki gemuk itu memang tidak sempat lagi menghindar. Karena saat itu, ia belum lagi terbebas dari pengaruh tangkisan sosok berjubah putih yang menyelamatkan Bhirawa dari kematian.

Sedangkan sosok berjubah putih itu tidak sempat mencegahnya, karena pada saat itu tengah memperhatikan seorang perwira tinggi besar dan pemuda tampan tinggi kurus yang menerjangnya dari dua arah.

“Bhirawa...?!” seru sosok berjubah putih itu. Pemuda berjubah putih itu benar-benar terkejut ketika menoleh ke arah Bhirawa. Rupanya pemuda berwajah buruk itu tidak puas dengan tindakannya. Dia kini tengah memenggal kepala Senapati Gada Sura! Maka, cepat bagai kilat sosok berjubah putih itu segera melesat ke arah Bhirawa. Maksudnya, untuk membawa keluar pemuda itu dari kepungan prajurit Kerajaan Bantar Gebang.

Tapi, Kala Sungga dan Jata Sura tidak sudi membiarkan kedua orang itu meloloskan diri begitu saja. Mereka segera saja bergerak menyerbu sambil berteriak memerintah pasukannya untuk merapatkan kepungan. Bhirawa yang masih mendendam terhadap Jata Sura, segera saja berbalik dengan pedang di tangan. Kemudian, diterjangnya Jata Sura dengan putaran pedang yang menimbulkan deru angin berkesiutan.

“Bhirawa, kita harus pergi dari sini. Kalau tidak, kau akan ditangkap pihak kerajaan karena telah membunuh salah seorang pejabat penting...,” bisik sosok berjubah putih itu, yang segera menyambar tangan Bhirawa. Kemudian, Bhirawa dibawanya pergi meninggalkan kediaman Senapati Gada Sura.

"Tangkap...! Cegah mereka...!” Kala Sungga berteriak-teriak sambil berusaha mengejar sosok berjubah putih yang membawa lari Bhirawa.

Tapi, sepertinya pemuda berwajah buruk itu pun tidak memberontak. Karena, ia cukup merasa puas telah melepaskan dendam keluarga dengan tewasnya Senapati Gada Sura. Sehingga saat sosok berjubah putih itu membawanya lari, Bhirawa tidak membantah. Dan karena sosok berjubah putih menggunakan ilmu meringankan tubuh sepenuhnya, maka cepat sekali tubuhnya menghilang bersama Bhirawa.

Jata Sura, Kala Sungga, dan pasukannya terpaksa menghentikan pengejaran ketika bayangan kedua orang itu sudah tidak terlihat lagi. Baik Bhirawa maupun sosok berjubah putih itu bagai lenyap ditelan bumi. Apalagi, suasana benar-benar gelap. Gagalnya pengejaran itu membuat mereka kembali, karena harus mengurus mayat Senapati Gada Sura.

Sementara itu, Bhirawa dan sosok berjubah putih yang tak lain dari Pendekar Naga Putih terus berlari menembus kegelapan malam yang semakin melarut.

“Ehhh...?!” Bhirawa yang berlari di sebelah Panji, tertegun ketika melihat adanya sesosok tubuh yang berdiri menghadang jalan mereka. Karena keadaan cukup gelap, baik Panji maupun Bhirawa tidak mengenali sosok yang berdiri menghadang jalan itu.

“Winarsih...!? Sedang apa kau di sini...?” kata Bhirawa begitu sudah memperhatikan sosok itu.

Ternyata, sosok itu memang putri bungsu Senapati Gada Sura. Melihat hal itu Bhirawa sedikit tegang. Ia menduga, kemunculan gadis itu pasti ada hubungannya dengan kematian orang tuanya.

“Bhirawa.... Aku telah tahu semua tentang persoalan di antara keluarga kita. Tadi aku telah mendengar pembicaraanmu dengan ayahku. Dan kenyataan itu membuat aku merasa malu. Karena, ayahku ternyata seorang berhati kejam. Dia begitu tega mengkhianati orang yang telah begitu menaruh kepercayaan kepadanya. Ketika mendengar keributan terjadi di antara kalian, aku segera meninggalkan gedung tanpa tahu harus berbuat apa-apa...,” jelas Winarsih dengan air mata membasahi wajahnya.

“Lalu, mengapa kau menghadang kami...? Apakah kau pun ingin membalas dendam atas kematian ayahmu itu...?” tanya Bhirawa sambil menatap gadis cantik itu dengan sikap curiga.

Sedangkan Pendekar Naga Putih hanya berdiri di samping pemuda itu sambil menatap wajah gadis bernama Winarsih penuh selidik.

“Jadi, kau sudah berhasil membunuh ayahku...?” desis gadis cantik itu dengan bibir bergetar. Air mata Winarsih terlihat semakin banyak bergulir membasahi pipinya. Jelas sekali kalau dia begitu sedih mendengar kematian ayahnya. Sepasang mata indah yang basah itu menatap, tepat ke bola mata Bhirawa. Sehingga, pemuda itu terlihat agak bingung dibuatnya.

“Apakah kau pun akan membunuh Kakang Jata Sura dan aku...? Bukankah aku juga keturunan manusia jahat...?” kata Winarsih tanpa melepaskan pandangan matanya dari wajah Bhirawa.

“Tidak. Aku sudah cukup puas dengan kematian Senapati Gada Sura, orang tuamu itu. Tapi aku pun tidak akan lari dari tanggung jawab, apabila kau berniat membalas kematian ayahmu...,” sahut Bhirawa, siap menghadapi gadis cantik itu.

“Bagus. Kalau begitu, biarlah aku merelakan kematian ayahku. Kurasa itu cukup adil, bukan...?” kata Winarsih. Sepertinya, Winarsih agak heran mendengar jawaban Bhirawa yang ternyata tidak mendendam kepada Jata Sura maupun dirinya. Wajah berduka itu terlihat agak berseri sekejap.

“Aku pun tidak bermaksud melanjutkan dendam yang memusingkan ini. Kalau begitu, aku pergi Selamat tinggal, Winarsih. Berilah pengertian kepada kakakmu...,” ucap Bhirawa yang segera meninggalkan tempat itu diiringi Pendekar Naga Putih.

“Selamat jalan, Bhirawa. Aku akan berusaha memberi pengertian kepada Kakang Jata Sura agar melupakan dendam atas kematian ayah...,” sahut Winarsih sambil melambaikan tangannya ke arah Bhirawa dan Panji.

Gadis itu masih tetap terpaku di tempatnya, sebelum bayangan kedua orang itu lenyap dari pandangan. Sedangkan Panji dan Bhirawa terus berlari menuju rumah penginapan, tempat Kenanga menunggu di sana. Pemuda berjubah putih itu memang sengaja tidak mengajak kekasihnya, ketika berniat menyelidiki tempat kediaman Senapati Gada Sura. Dan Kenanga memang telah menanti mereka di taman belakang rumah penginapan itu. Kemudian, mereka bergerak meninggalkan Kotaraja Bantar Gebang.

“Kita harus cepat pergi meninggalkan negeri ini. Apalagi, kau sekarang telah membunuh seorang senapati kerajaan. Rasanya, tidak ada tempat lagi bagimu untuk tinggal di Kerajaan Bantar Gebang. Bahkan Pantai Utara Laut Pajang pun tidak bisa lagi ditinggali. Siapa tahu, pihak kerajaan akan mengobrak-abrik tempat itu...,” kata Panji, saat mereka baru saja melewati tembok kotaraja.

"Yaaah.... Aku pun memang tidak berniat menetap di Kerajaan Bantar Gebang. Aku ingin mengembara, meluaskan pengetahuan. Selamat berpisah, Pendekar Naga Putih," pamit Bhirawa.

Pemuda itu segera memisahkan diri dari Pendekar Naga Putih dan Kenanga. Tampak Bhirawa melambaikan tangannya sebelum bergerak menuju ke Timur. Pendekar Naga Putih dan kekasihnya hanya bisa membalas lambaian tangan pemuda itu, karena memang hendak menuju ke Barat. Memang mereka tidak setujuan, sehingga harus berpisah di sini.

“Sudah kuduga, dia pasti mempunyai alasan kuat atas semua perbuatannya...,” desah Kenanga saat mereka melangkah bersamaan. Panji hanya tersenyum sambil melingkarkan tangannya memeluk gadis jelita itu.

S E L E S A I

Hantu Laut Pajang

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Hantu Laut Pajang
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat serial Pendekar Naga Putih

SATU

HEMBUSAN angin di tepian pantai sebelah Utara Laut Pajang terasa agak keras menerpa kulit. Sesosok tubuh tinggi tegap tampak tengah berdiri kokoh pada bagian tebing karang pantai yang tidak begitu tinggi. Tubuh kekar itu tak ubahnya batu karang yang tidak pernah goyah oleh hantaman ombak. Rambutnya yang panjang dan tebal dibiarkan tergerai, dipermainkan tiupan angin.

Sosok itu terus menatap luas Lautan Pajang, tanpa mempedulikan percikan ombak di bawahnya yang sesekali membasahi pakaiannya. Tatapan matanya yang tajam, tertuju lurus bagaikan tengah menilai luasnya lautan itu. Bahkan keindahan sinar matahari pagi yang jatuh menimpa air laut pun, juga tidak menarik perhatiannya.

Sosok tubuh lelaki kekar itu sama sekali tidak bergerak meski cahaya matahari sudah merambat naik. Tubuhnya tetap tegak, seolah-olah ia bagai sebuah patung batu karang yang menjadi bagian pantai itu.

“Hhhh...” Terdengar helaan napas panjang dan berulang-ulang dari mulut dan hidung sosok tubuh tegap itu. Sepasang tangannya yang semula terlipat di depan dada, kini tersangga di kedua pinggangnya. Entah apa, yang membuat sosok lelaki tegap itu demikian terhanyut alam pikirannya yang bagai tak berkesudahan itu.

Setelah beberapa saat lamanya bersikap begitu, mendadak saja sosok tegap itu menengadahkan wajahnya, disertai tarikan napas berat. Dipandanginya langit kebiruan yang nampak cerah di pagi ini. Cukup lama hal itu dilakukan, seolah-olah pada awan itu ada sesuatu yang menarik hatinya.

“Bhirawa, bukan aku tidak menyetujui tekadmu itu. Tapi, perlu kau ingat. Istana Kerajaan Bantar Gebang merupakan tempat berkumpulnya jago-jago dari segala penjuru rimba persilatan yang datang untuk mengabdikan diri pada negeri ini. Tidak banyak yang dapat kulakukan selain menasihati mu agar tidak ceroboh dalam mengambil tindakan. Salah-salah, dirimu sendirilah yang akan celaka. Meski semua ilmuku telah dapat kau serap secara sempurna, tapi semua itu bukan jaminan kalau usahamu akan berhasil. Sekarang lagi, berhati-hatilah”

Pesan gurunya kembali mendengung memenuhi benak Bhirawa. Semua pesan itu disampaikan gurunya sehari sebelum ia meninggalkan tempat kediamannya selama menuntut ilmu olah kanuragan.

“Hhhh...” Sosok lelaki tegap yang ternyata bernama Bhirawa itu kembali menghela napasnya.

“Guru..., percayalah. Aku akan selalu berhati-hati dalam mengarungi kehidupan ini. Terlebih lagi, dalam menghadapi musuh-musuhku. Meskipun kau tidak menyertaiku, namun bekal yang telah kau berikan merupakan budi baik yang tidak mungkin dapat kulupakan begitu saja. Aku pamit, Guru.,” desah Bhirawa, mantap.

Setelah membungkukkan tubuhnya sebanyak tiga kali ke arah laut, lelaki tinggi tegap itu pun mengayun langkahnya meninggalkan Pesisir Pantai Laut Pajang.

********************

Sosok lelaki tegap berambut panjang terurai itu melangkah lambat memasuki pintu gerbang Kota Kerajaan Bantar Gebang. Sebuah caping bambu lebar tampak menutupi wajahnya, sehingga terlindung dari teriknya cahaya matahari. Keramaian Ibu Kota Kerajaan Bantar Gebang sama sekali tidak mengusik ketenangan langkahnya.

Kakinya terus terayun tanpa memperhatikan orang-orang yang lalu-lalang di sekelilingnya. Ia baru berhenti ketika tiba di sebuah bangunan megah milik salah seorang pejabat kerajaan. Sepasang matanya yang terlindung di balik caping bambu menatap tajam sekeliling bangunan megah itu.

Sikap sosok pemuda tegap itu tentu saja membuat dua orang prajurit penjaga pintu gerbang menjadi curiga. Keduanya meneliti mengawasi sosok tegap yang wajahnya terlindung caping. Karena cukup lama pemuda itu tidak juga beranjak, salah seorang prajurit segera menghampirinya

Dengan langkah yang dibuat berkesan seram, prajurit muda bertubuh gemuk itu menghampiri pemuda bercaping. Tangan kanannya meremas-remas sebatang tombak, seolah-olah hendak menakuti pemuda bercaping dengan senjatanya.

“Kisanak, ada yang bisa kubantu...?” tegur prajurit muda itu sambil mencoba menegasi wajah yang terlindung caping bambu. Namun karena pemuda itu telah menundukkan wajahnya, maka ia tidak berhasil menegasi.

“Ah! Tidak, Tuan. Aku hanya merasa kagum dengan bangunan yang demikian indah ini. Kalau boleh tahu, siapakah yang menghuni bangunan besar ini, Tuan...?” pemuda bercaping ini mengangguk sopan, sebelum menyahuti.

“Hm.... Kau tentu bukan penduduk kota ini, dari mana asalmu? Dan, apa tujuanmu datang ke kota ini...?” prajurit muda itu malah balik bertanya. Sikapnya jelas menandakan kalau pemuda bercaping itu dicurigainya.

“Benar, Tuan. Aku hanyalah orang dusun yang kebetulan singgah di kota besar ini. Desa ku tengah dilanda kemarau yang sangat panjang. Sehingga, para penduduknya banyak yang pergi mencari kehidupan yang lebih baik. Aku pun tidak berbeda dengan mereka, sehingga langkahku tiba di kota ini. Terus terang di desa ku tidak ada bangunan yang sebesar dan seindah ini. Makanya aku jadi tertarik dan merasa kagum. Penghuni bangunan besar ini pastilah seorang pejabat kerajaan...,” puji pemuda tegap bercaping itu, seolah-olah hendak mengulangi pertanyaannya dalam bentuk kalimat lain. Sehingga, prajurit muda itu teringat kembali akan pertanyaan yang tadi belum dijawabnya.

“Benar! Bangunan besar ini adalah tempat kediaman seorang pejabat tinggi Kerajaan Bantar Gebang. Tapi, beliau jarang sekali menempatinya. Sebagai seorang senapati, tentu saja beliau lebih banyak tinggal di istana. Sedangkan bangunan ini digunakan hanya sebagai tempat istirahat, apabila Senapati Gada Sura sedang tidak bertugas,” jelas prajurit muda itu, penuh kebanggaan.

“Senapati Gada Sura...?” gumam pemuda bercaping ini, seolah-olah tidak begitu yakin terhadap penjelasan prajurit muda itu.

“Benar. Jabatan itu baru tiga tahun dipegangnya. Mengapa kau kelihatan heran, Kisanak? Apakah penjelasanku salah...?” tanya prajurit muda itu ragu. Kelihatannya pemuda bercaping itu seperti tidak begitu percaya dengan keterangannya.

“Ah, tidak. Keterangan Tuan sangat jelas. Aku sangat berterima kasih atas keteranganmu. Karena dengan begitu, aku bisa menceritakannya kepada teman-teman di desa nanti. Maaf. Aku permisi, Tuan...,” pamit pemuda bercaping itu yang segera membungkuk hormat Kemudian, dia berlalu meninggalkan bangunan besar itu.

”Ya..., ya...,” sahut prajurit muda itu mengangguk-anggukkan kepala. Tampaknya prajurit itu tak mengerti melihat sikap pemuda bercaping yang dianggapnya cukup aneh. Begitu nama Senapati Gada Sura disebutnya, dia seperti terkejut. Sambil menggeleng-gelengkan kepala, prajurit muda itu kembali ke pos jaganya.

Sementara itu si pemuda bercaping terus melangkah dengan kepala tertunduk. Sepertinya, ia masih memikirkan keterangan yang baru didapatnya dari prajurit muda penjaga pintu gerbang tadi.

“Hei, minggir...! Minggir...!”

Tiba-tiba terdengar teriakan berulang-ulang yang membuat pemuda bercaping itu tersentak kaget dari lamunannya. Serentak kepalanya terangkat dan memandang ke depan melalui tepi caping bambunya. Bukan main terkejut hatinya ketika di depannya dalam jarak kurang dari dua tombak, tampak tiga ekor kuda tengah berlari kencang!

“Minggir kau, Gelandangan Busuk...!” maki seorang penunggang kuda yang terdepan. Sambil berkata demikian, cambuknya dilecutkan ke tubuh pemuda bercaping itu ketika lewat di sampingnya. Sepertinya, ia merasa jengkel melihat pemuda itu seperti enggan menyingkir!

Jtarrr...!

Tali cambuk kuda itu meledak ketika mengenai punggung si pemuda bercaping. Namun, yang terjadi selanjutnya membuat penunggang kuda itu menjadi marah. Ternyata cambuk yang digunakan untuk mendera pemuda bercaping itu terlihat pecah bagian ujungnya. Bahkan wajah penunggang kuda yang kira-kira berusia sekitar dua puluh tahun tampak meringis seperti merasakan nyeri pada telapak tangannya.

“Bedebah...!” maki pemuda tampan berpakaian mewah yang menunggang kuda berbulu hitam.

Seketika, pemuda itu menarik tali kekangnya, sehingga binatang tunggangannya berhenti dan meringkik keras. Kemudian bergegas memutar kudanya berbalik.

Dua orang penunggang kuda lain yang berada di sekitar satu tombak di belakang pemuda tampan itu, segera saja ikut menarik tali kekang kudanya. Kemudian, binatang tunggangannya ikut pula diputar balik menyertai pemuda tampan itu.

Sedangkan si pemuda bercaping yang sempat terjatuh akibat serangan yang mendadak tadi, telah bangkit sambil membersihkan debu-debu yang melekat di jubah coklatnya. Caping yang dikenakannya tetap bertengger di atas kepala, untuk menyembunyikan wajahnya.

“Hei, Orang Buta! Apa kau juga tuli, hingga tidak mau menyingkir ke tepi? Atau sengaja hendak memamerkan kepandaianmu di kota ini...?” maki pemuda tampan yang menunggang kuda hitam itu kalang kabut. Seolah-olah, kejadian tadi bukan merupakan kesalahannya. Jelas hal itu menandakan kesombongan dan sikapnya yang semena-mena.

“Maaf..., maaf. Aku benar-benar tidak sempat menyingkir, karena kuda Tuan begitu cepat berlari. Aku mohon maaf...,” ucap pemuda tegap bercaping itu sambil membungkuk-bungkuk.

Dari pakaian serta sikapnya, pemuda bercaping itu dapat menduga kalau orang yang membentaknya pastilah putra seorang pembesar atau juragan kaya-raya. Dan karena tidak ingin mencari persoalan, maka pemuda bercaping itu terpaksa mengalah.

“Hm Begitu caramu meminta maaf kepadaku?! Apakah kau tidak kenal siapa aku?! Lepas capingmu, dan menyembah sambil mengucapkan permintaan ampun. Dan bukan maaf...!” bentak pemuda berpakaian mewah itu.

Pemuda tampan yang sombong itu sepertinya tidak puas atas sikap lelaki tegap berjubah coklat itu. Permintaannya benar-benar keterlaluan!

Untuk beberapa saat lamanya, pemuda bercaping itu terdiam. Seolah-olah dia merasa keberatan atas permintaan pemuda tampan yang sombong itu. Tentu saja sikapnya semakin membuat marah pemuda kaya-raya penunggang kuda hitam itu.

“Bangsat! Kau berani membantah perintahku?! Kau memang patut dihajar!” Sambil membentak marah, pemuda tampan itu kembali melecutkan tali kekang kudanya ke tubuh pemuda bercaping bambu.

Wuuut...!

Kali ini pemuda tegap bercaping itu rupanya tidak sudi menerima perlakuan kejam itu begitu saja. Seketika tangan kanannya terulur, dan langsung menangkap ujung pecut yang siap menyengat tubuhnya.

Tappp...!

“Setan...! Kau ingin melawanku!” rutuk pemuda tampan itu. Bukan main murkanya pemuda tampan yang sombong itu. Dengan wajah kemerahan karena hawa marah telah naik ke kepalanya, segera saja tali pecut itu dibetot dengan pengerahan tenaganya! Karuan saja tali pecut itu menegang, karena pemuda bercaping itu tidak mau melepaskannya! Sehingga, terjadilah adu tarik-menarik beberapa saat lamanya!

“Bedebah...!”

Untuk kesekian kalinya lelaki muda berwajah tampan itu kembali melontarkan makian. Kemudian kekuatannya untuk menarik tali kekang itu di tambahnya. Akibatnya....

“Aaah...!”

Karena terlalu bernafsu untuk memenangkan adu tarik-menarik itu, maka tanpa dapat dicegah lagi tubuh pemuda tampan itu langsung terjatuh dari atas punggung kuda! Apalagi, pemuda bercaping itu telah melepaskan pegangannya pada ujung tali.

Bruggg...!

Tanpa ampun lagi, tubuh pemuda tampan itu langsung terbanting di tanah! Tentu saja peristiwa lucu itu membuat orang-orang yang menyaksikannya tertawa geli, tanpa dapat ditahan lagi.

“Tuan Muda Jata Sura !?”

Dua orang penunggang kuda lain yang sepertinya merupakan pengawal pemuda tampan itu, segera saja melompat turun dari atas punggung kuda. Bergegas mereka menolong pemuda itu bangkit.

“Huh! Benar-benar kurang ajar sekali orang itu...!” mulut pemuda tampan itu kembali mengomel panjang-pendek. Ia bangkit berdiri sambil mengebut-ngebutkan debu yang mengotori pakaian indahnya. Kemudian, wajahnya berpaling menatapi orang-orang yang berada di sekelilingnya. Karuan saja orang-orang itu segera beranjak pergi, melihat sinar mata penuh ancaman dari pemuda tampan itu.

“Hei, tunggu...!” cegah pemuda tampan bernama Jata Sura, keras.

Rupanya dia melihat pemuda bercaping tadi hendak meninggalkan tempat itu. Kemudian, kedua kakinya segera saja menjejak tanah! Seketika itu juga, tubuh pemuda tampan itu melambung, dan berputar melewati kepala si pemuda bercamping. Dan kini kakinya mendarat di depan pemuda itu.

“Maaf, aku benar-benar tidak sengaja...,” ucap pemuda bercaping itu sambil membungkukkan tubuhnya. Rupanya, ia tidak ingin memperpanjang persoalan ini.

"Tidak semudah itu, Gelandangan Busuk! Kau sudah berani menghina putra Senapati Gada Sura. Untuk itu, kau harus dihukum cambuk sebanyak seratus kali!” ancam Jata Sura dengan wajah merah padam. Jelas sekali kalau ia sangat mendendam terhadap pemuda bertubuh tegap itu. Sambil berkata demikian, sepasang matanya menatap tajam seperti hendak menilai pemuda bercaping itu.

"Tuan..., peristiwa tadi merupakan musibah kecil yang rasanya tidak perlu diperpanjang. Kalaupun Tuan menganggapku telah bersalah, rasanya ucapan maafku telah cukup sebagai hukumannya. Lalu, mengapa Tuan harus memberi hukuman sekejam itu kepada rakyat yang lemah seperti aku? Apalagi, Tuan adalah putra seorang pembesar kerajaan yang semestinya bisa jadi contoh bagi rakyat...”

Dengan panjang-lebar pemuda bercaping itu memberi pengertian kepada Jata Sura. Ucapannya kali ini bukan lagi menandakan kalau ia adalah seorang gelandangan bodoh. Dari kata-katanya yang tersusun rapi, menandakan kalau pemuda bercaping itu merupakan seorang yang terpelajar.

“Enak saja bicara, Gembel! Sadarkah kalau kau telah menghinaku di depan umum?! Dan itu tidak bisa dibayar hanya dengan ucapan maafmu! Mau atau tidak, kau harus menerima hukuman cambuk seratus kali!” Jata Sura tetap berkeras dengan keinginannya. Kemudian, ia menoleh kepada dua orang pengawalnya, “Cambuk gelandangan ini sampai dia menjerit-jerit minta ampun!”

Pemuda bercaping itu terdiam sejenak. Sadar kalau perkelahian tidak bisa dihindarkan lagi, maka ia segera melangkah mundur siap menghadapi segala kemungkinan. Tampak pemuda itu menarik napas penuh sesal. Seolah-olah kejadian itu membuatnya terpukul dan sangat kecewa.

“Yeaaah...!”

Jtarrr...! Ctarrr...!

Terdengar lecutan cambuk yang meledak-ledak memekakkan telinga. Menilik dari ledakan yang keras itu, kelihatannya si pemegang cambuk memiliki tenaga dalam yang sangat kuat!

Karena tidak rela tubuhnya dijadikan umpan cambuk, pemuda bercaping itu segera saja berlompatan mengelak. Sehingga, ujung cambuk yang melecut dan mematuk-matuk itu hanya mengenai tempat kosong. Karena, sasarannya telah menghindari sebelum ujung cambuk itu menyentuhnya.

“Danta, bantu dia...!” perintah Jata Sura.

Rupanya, pemuda tampan itu merasa penasaran melihat pembantunya tidak juga berhasil menghajar pemuda bercaping. Maka segera saja dia memerintah lelaki bertubuh gempal yang berwajah kasar. Yang dipanggil Danta. Tanpa diperintah dua kali, Danta segera saja maju ke tengah arena.

“Yeaaat..!”

Danta rupanya bukan hanya sekadar membantu saja. Lelaki bertubuh gempal dan berwajah kasar itu menerjang pemuda bercaping dengan serangan pukulan-pukulan yang menimbulkan sambaran angin menderu tajam. Tentu saja serangan itu bukan lagi merupakan hukuman, tapi lebih tepat seperti hendak membunuh si pemuda bercaping.

Tentu saja serangan-serangan Danta yang ganas dan berbahaya tidak bisa dihindari terus-menerus oleh pemuda bercaping itu, dia terpaksa melontarkan serangan balasan sesekali, untuk mencegah agar tidak terlalu terdesak.

Malangnya, perlawanan pemuda itu malah semakin menyulitkan dirinya. Jata Sura yang mulai terbuka matanya setelah melihat kepandaian pemuda itu tentu saja semakin bertambah geram. Segera saja dia berteriak memanggil empat orang prajurit kerajaan yang kebetulan lewat tidak jauh dari arena perkelahian.

“Hei, Prajurit...! Cepat kalian kemari...!” panggil Jata Sura mengulapkan tangannya memanggil keempat orang prajurit itu.

Begitu mengenali kalau yang memanggil adalah putra seorang pembesar yang sangat dihormati, langsung saja empat orang prajurit itu bergegas menghampiri.

“Ada apa, Tuan Muda...?” tanya salah seorang dari keempat prajurit itu sambil membungkuk hormat. Sedangkan ketiga kawannya tampak memandang perkelahian itu dengan kening berkerut.

“Kalian tangkap pengacau yang hendak memberontak itu. Cepat!” perintah Jata Sura yang langsung saja melontarkan tuduhan berat bagi pemuda bercaping bambu itu.

Benar-benar licik dan keji sekali pemuda tampan putra Senapati Gada Sura itu. Kesalahan yang kecil saja, bisa membuatnya tega mencelakakan orang yang sebenarnya tidak bersalah!

DUA

Terjunnya empat orang berseragam prajurit kerajaan, tentu saja membuat si pemuda bercaping menjadi terkejut. Apabila nekat melanjutkan perkelahian, bisa-bisa ia ditangkap. Bahkan dituduh sebagai pemberontak. Maka, begitu melihat keempat orang prajurit mulai ikut menyerang, pemuda yang sebenarnya adalah Bhirawa itu melesat ke kanan. Dia terus melarikan diri dari arena pertempuran.

Memang kalau didekati, pemuda bertubuh tegap dan memiliki hidung besar, dan mempunyai tanda kehitaman seperti bekas penyakit kulit pada bagian bawah matanya. Ciri-ciri itu memang membuktikan kalau dia adalah Bhirawa.

“Setan pemberontak! Mau lari ke mana kau...!” bentak Jata Sura. Rupanya, dia tidak rela melepaskan pemuda bercaping bambu itu. Maka, segera saja Jata Sura melesat dan langsung melontarkan serangan maut ke arah lawannya.

Bettt...!

“Haiiit...!” Bacokan sisi telapak tangan Jata Sura yang mengancam batang leher Bhirawa dapat dielakkan dengan melenting ke udara, dan terus kabur! Tapi Danta dan Barna Pati, dua orang pengawal Jata Sura, tidak tinggal diam. Kedua lelaki gagah itu melesat mengejar. Langsung mereka menghadang jalan keluar pemuda bercaping itu.

“Hm..” Apa kau pikir setelah menghina tuan muda kami, lalu dapat lolos begitu saja? Kau keliru pemuda pemberontak! Lebih baik menyerah saja dan terima hukumanmu...,” dengus Danta yang kini telah meloloskan senjatanya.

Sedangkan Barna Pati memutar-mutar cambuknya di atas kepala. Jelas, mereka tidak akan membiarkan Bhirawa melarikan diri.

“Hm.... Barna Pati, Danta...!” geram pemuda bercaping itu penuh dendam. “Rupanya kalian masih saja setia mengikuti manusia licik dan jahat seperti Jata Surabitu!”

Pemuda bercaping itu yang bernama Bhirawa ini seperti telah mengenal kedua orang pengawal, serta pemuda tampan yang bernama Jata Sura. Maka tentu saja ucapan itu membuat Jata Sura, Danta, dan Barna Pati menjadi tertegun.

“Bangsat! Siapa kau sebenarnya...?! Sepertinya kau telah mengenal kami. Hm Aku semakin penasaran ingin mengetahui wajah yang kau sembunyikan di balik caping buruk itu,” desis Barna Pati, mencoba menyimak wajah yang memang sebagian terlindung caping bambu itu.

“Hm...” Danta pun tidak kalah terkejutnya begitu mendengar pemuda bercaping itu menyebut namanya begitu saja. Padahal kalau diukur dari pangkat keprajuritan, kedua orang itu setingkat perwira. Dan, tidak seorang pun dari kalangan rakyat jelata yang berani menyebut namanya begitu saja tanpa embel-embel ‘tuan’. Maka hal itu tentu saja membuat Danta mengerutkan keningnya sambil menggeram marah.

Demikian pula halnya Jata Sura. Pemuda putra Senapati Gada Sura yang selalu dihormati orang itu kian bertambah penasaran, ketika mendengar pemuda itu menyebut namanya. Meskipun mungkin tadi pemuda itu sempat mendengarnya dari prajurit-prajurit kerajaan, tapi dari cara pengucapannya, jelas seperti orang yang telah lama mengenalnya. Dan itu membuat Jata Sura semakin bernafsu untuk menangkap pemuda itu.

Sedangkan Bhirawa, sudah bersiap-siap membela dirinya mati-matian. Keadaannya yang sudah terkepung itu, membuatnya sulit bisa lolos, kecuali melakukan perlawanan. Tapi untuk itu, Bhirawa terpaksa harus berhadapan dengan prajurit-prajurit kerajaan. Bahkan akibatnya, dia dianggap sebagai pemberontak.

“Hm...,” Bhirawa menggeram ketika melihat lawannya yang berjumlah tujuh orang itu telah bergerak merapatkan kepungan.

“Yeaaat..!”

Barna Pati berteriak nyaring, mengambil kesempatan pertama untuk menyerang. Lelaki gemuk yang wajahnya terhias cambang tipis itu melesat, disertai lecutan cambuknya yang meledak-ledak memekakkan telinga. Menilik dari ledakan cambuk dan sambaran angin yang menderu tajam, tampaknya kali ini Barna Pati bukan bermaksud sekadar memberi hajaran lagi. Bahkan sudah seperti hendak menewaskan pemuda bercaping itu.

Danta tidak ketinggalan. Lelaki gemuk berwajah bulat dengan sepasang mata sipit itu bergerak menyusul Barna Pati, disertai pedangnya yang mengaung-ngaung bagaikan ratusan lebah marah! Tentu saja serangan senjata lelaki itu pun tidak kalah berbahayanya dengan lecutan cambuk kawannya.

Sehingga sulit sekali dinilai, apakah Bhirawa akan mampu menghadapi keroyokan yang demikian ganas dan tidak tanggung-tanggung? Belum lagi menghadapi empat orang prajurit dan juga Jata Sura. Rasanya sulit sekali bagi pemuda itu untuk selamat kalau tidak mempunyai bekal ilmu silat yang cukup.

Tapi, kali ini Bhirawa tidak tanggung-tanggung lagi. Begitu melihat betapa ganasnya serangan para pengeroyoknya, caping yang selama ini menyembunyikan wajahnya dilepaskan. Dan....

“Hiaaah !” Berbarengan bentakan menggeledek dari mulutnya, pemuda itu mengibaskan lengannya disertai pen- gerahan tenaga dalam. Langsung saja caping bambu di tangannya melesat dengan kecepatan kilat, diiringi suara mengaung tajam. Benda itu terus berputar mengelilingi tempat pemuda berjubah coklat itu.

Wuuus...!

Karena dilemparkan oleh sebuah kekuatan hebat, maka caping yang hanya terbuat dari bambu itu ternyata bisa menjadi sebuah senjata berbahaya! Buktinya empat orang prajurit yang ikut mengeroyok dan tidak sempat menghindar, langsung tersungkur diiringi jerit kesakitan begitu terkena ujung caping bambu. Seketika pada dada mereka terdapat sebuah goresan panjang, hingga mengeluarkan darah! Meskipun tidak terlalu dalam, tapi cukup menghentikan perlawanan keempat orang prajurit tadi.

Jdarrr...! Jtarrr!

Bhirawa, segera menggeser tubuhnya menghindari lecutan cambuk Barna Pati. Kemudian dengan sebuah liukan indah, pemuda itu bergerak dengan langkah bagaikan orang mabuk, sambil melontarkan tusukan jemari tangannya yang mengancam tubuh lawan!

Sayang, saat itu Danta dan Jata Sura telah bergerak memotong jalan serangannya. Sehingga, serangan Bhirawa terpaksa harus ditarik mundur. Lalu, dia melompat ke belakang untuk mengatur jurus-jurus barunya.

“Yaaat...!”

Jata Sura yang demikian bernafsu untuk segera dapat menundukkan Bhirawa, cepat melanjutkan serangannya disertai pekikan nyaring! Hebat dan berbahaya sekali serangannya. Sambaran tangannya yang membentuk cakar harimau, bercuitan mengancam tubuh pemuda berwajah kehitaman itu. Sehingga mau tidak mau, Bhirawa terpaksa harus mengeluarkan jurus-jurus andalannya pula!

“Yeaaah...!”

Didahului sebuah pekikan melengking, Bhirawa menarik mundur kaki kanannya dengan kuda-kuda rendah. Sepasang tangannya yang mirip kepala ular, meliuk-liuk lincah dan luwes. Sehingga, sepasang tangannya tidak ubahnya seperti ular hidup saja

Bettt! Bettt! Bettt!

Disertai sambaran angin tajam yang merobek udara, sepasang tangan Bhirawa mematuk-matuk menyelinap di balik sambaran cakar harimau Jata Sura. Pemuda bangsawan putra Senapati Gada Sura itu cukup terkejut melihat kelincahan permainan sepasang tangan lawan. Meskipun cakar harimaunya tidak kalah berbahaya dari sepasang paruh ular, namun jelas kalau Jata Sura masih lebih mentah ilmunya ketimbang Bhirawa. Dan kekurangan yang sedikit itu membuat Bhirawa dapat mendesak lawannya.

Setelah bertarung selama dua puluh jurus lebih. Hanya karena di situ masih terdapat Danta dan Barna Pati sajalah, yang membuat Jata Sura tidak mudah ditundukkan. Memang, setiap kali pemuda tampan itu terdesak, kedua orang pembantu setianya selalu saja menyelamatkannya.

“Heyaaah...!”

Ketika pertarungan mulai menginjak jurus yang kelima puluh, mendadak saja tubuh Bhirawa melenting ke udara disertai pekikan yang mengejutkan! Sepasang tangannya kini tidak lagi membentuk paruh ular, tapi lebih tepat seperti sayap seekor burung elang yang tengah mengepak. Tentu saja perubahan mendadak itu sempat membuat ketiga pengeroyoknya melompat mundur!

“Berhenti...!”

Pada saat pertarungan sudah semakin memuncak, tiba-tiba terdengar sebuah seruan melengking, mirip suara seorang wanita. Karuan saja mereka yang tengah bertarung menghentikan gerakannya sejenak, kemudian menoleh ke arah asal suara.

Baik Bhirawa, Jata Sura, Danta, dan Barna Pati, sama-sama mengerutkan kening ketika melihat seorang wanita berpakaian biru muda tampak berlari ke arah pertempuran.

“Winarsih...!?” Jata Sura yang memang mengenali wanita berpakaian biru muda itu segera saja berseru. Kemudian, dia berdiri tegak dengan kening berkerut menanti kedatangannya.

Demikian pula halnya Bhirawa, Danta, dan Barna Pati. Ketiganya menghentikan pertempuran dan menanti tibanya gadis berpakaian biru muda. Melihat dari sikap Danta dan Barna Pati yang agak hormat, jelas kalau gadis yang baru datang itu juga merupakan majikannya.

“Gusti Ayu Winarsih...,” sapa Danta dan Barna Pati saat wanita yang ternyata berwajah cantik itu te- lah tiba di dekat mereka. Kedua orang lelaki gagah itu mengangguk hormat, kemudian menundukkan kepala agak takut-takut.

“Kakang! Keributan apa lagi yang kau buat kali ini?! Kau selalu mencari-cari perkara setiap hari. Apa kau tidak merasa bosan?” tegur dara yang ternyata bernama Winarsih itu dengan mulut memberengut penuh kemanjaan.

Melihat sikapnya, jelas kalau antara Winarsih dan Jata Sura terdapat hubungan erat. Kalau tidak, mana mungkin gadis itu berani menegur Jata Sura.

“Aaah...! Kau ini selalu saja mencampuri urusanku, Winarsih. Tapi perlu kau tahu. Yang kali ini kuhadapi bukan semata-mata karena kesalahanku. Lihatlah sendiri keempat orang prajurit yang terluka itu. Dan lihat pula gelandangan busuk pemberontak itu. Tahukah kau! Gelandangan bermuka hitam itu telah berani menghinaku di depan umum. Jadi sudah sepatutnya kalau kuberi sedikit pelajaran...,” ujar Jata Sura.

Jata Sura sepertinya mencoba membela diri dengan menjatuhkan fitnah kepada Bhirawa. Sedangkan Bhirawa menatap heran, karena Jata Sura seperti tidak berani bersikap keras terhadap gadis itu.

“Winarsih...?” gumam Bhirawa sambil menatap tajam wajah gadis itu. “Hm Kalau tidak salah ia pun putri Gada Sura. Pantas, Jata Sura seperti tidak berdaya menghadapinya. Rupanya rasa sayangnya membuat pemuda sombong itu tidak berani bertindak keras terhadap adiknya.

Bhirawa sepertinya juga mulai ingat, siapa gadis cantik berpakaian biru muda itu. Sedangkan dara cantik yang bernama Winarsih itu sudah berpaling menatapnya. Kemudian Winarsih melangkah menghampiri pemuda itu dengan menyipitkan matanya yang indah. Sepertinya, dia hendak melakukan penilaian terhadap sosok pemuda berwajah kehitaman dan agak buruk itu.

“Kisanak. Benarkah kau seorang pemberontak, dan yang memulai perkelahian ini...?” tanya Winarsih tanpa seorang pun berani mencegahnya, termasuk juga Jata Sura.

Bhirawa sama sekali tidak menjawab sepatah pun. Setelah mengangukkan kepala secara samar, pemuda itu pun berbalik. “Maaf, aku harus pergi...”

Setelah mengenakan kembali caping bambunya, pemuda berwajah buruk itu pun segera berkelebat tanpa ada yang bergerak mencegahnya. Semua itu terjadi karena adanya Winarsih di tempat itu. Sehingga, Bhirawa dapat meloloskan diri dengan selamat tanpa ada yang menghalang-halangi.

“Hm..., seorang pemuda yang aneh. Tapi, nampaknya ia tidak seburuk sangkaan Kakang Jata Sura.... Entah, siapa dia? Tatapan matanya terlihat begitu aneh...,” gumam Winarsih sambil menatapi bayangan Bhirawa yang semakin samar dan menjauh.

“Keparat! Lain kali kau tak akan kubiarkan lolos dari tanganku ,” geram Jata Sura.

Pemuda tampan itu hanya dapat memandang dengan perasaan dongkol ke arah bayangan Bhirawa, yang entah mengapa telah menimbulkan kebencian dalam hatinya. Maka tanpa banyak bicara lagi, pemuda itu segera mengajak orang-orangnya untuk meninggalkan tempat itu. Termasuk juga, Winarsih adik perempuan satu-satunya yang sangat disayanginya.

********************

Pemuda berjubah coklat yang mengenakan caping itu terus berlari meninggalkan Kotaraja Bantar Gebang. Kemudian, terus dilewatinya pintu gerbang dan menuju sebelah Barat. Pemuda itu baru memperlambat larinya ketika merasa telah cukup jauh meninggalkan kotaraja. Siapa lagi pemuda bertubuh tegap itu kalau bukan Bhirawa?

“Hhh...” Bhirawa menghempaskan pantatnya di rerumputan tebal di bawah sebatang pohon rindang. Hatinya betul-betul kecewa atas kejadian yang baru saja dialaminya di dalam kotaraja. Memang setelah kejadian itu, ia pasti akan sulit sekali mencari musuh-musuh di sana.

“Celaka...,” desis pemuda itu sambil membanting caping bambunya ke tanah,” Jata Sura pasti tak akan tinggal diam. Pemuda keparat itu mungkin akan terus mencariku. Apalagi, kini aku telah dianggap sebagai pemberontak. Kurang ajar sekali manusia berhati busuk itu! Ia benar-benar telah mewarisi sifat-sifat keji ayahnya!”

Bhirawa benar-benar geram dengan wajah duka. Dengan helaan napas berat yang panjang sebagai pelepas kekecewaannnya, tubuhnya disandarkan ke batang pohon. Terbayang kembali dalam benak pemuda itu nasib menyedihkan yang menimpa keluarganya pada sekitar empat atau lima tahun yang lewat. Semua itu masih tergambar jelas, seperti baru saja terjadi kemarin. Perlahan-lahan, tanpa disadari ada butiran air bening yang mengalir turun, membasahi pipinya yang berkulit kehitaman.

“Ayah... Ibu... Bantulah aku dalam melaksanakan dendam keluarga kita ini. Tolonglah beri jalan kepadaku, untuk dapat menjangkau manusia-manusia terkutuk itu. Semuanya kini menjadi serba sulit dan kacau. Apalagi, kalau sampai pemuda terkutuk itu mengadukan kepada pihak kerajaan tentang kejadian tadi. Tentu beban yang tersangga di pundakku akan semakin berat..,” desah Bhirawa dengan mata terpejam rapat

Jelas peristiwa tadi telah membuatnya berduka, karena musuh-musuh keluarganya yang kini telah menjabat sebagai pembesar Kerajaan Bantar Gebang, tentu akan semakin sulit diraihnya. Jangankan untuk dapat menemui mereka. Sedangkan untuk masuk ke dalam kotaraja pun kini hatinya merasa ragu. Sebab, bukan tidak mungkin kalau sekarang dirinya tengah dicari-cari pihak kerajaan. Semua pemikiran itu semakin membuatnya tenggelam dalam lautan duka dan keresahan.

Mendadak saja, telinga Bhirawa yang tajam mendengar adanya suara roda kereta kuda yang berasal dari sebelah kanannya. Bergegas pemuda itu melesat ke atas, dan bersembunyi di dalam kelebatan pohon besar tempatnya melepas lelah tadi

Bhirawa yang kini mudah curiga semenjak kejadian tadi, tidak perlu menunggu lama. Beberapa saat kemudian, di jalan yang tidak terlalu besar berjarak sekitar dua tombak di depannya, melintas sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Yang membuat kening pemuda itu berkerut, ternyata kereta itu bukan merupakan kereta barang atau kereta bangsawan. Tapi, justru menyerupai sebuah kereta tawanan. Itu bisa dilihat di sekeliling kereta yang terdapat jeruji besi dan pintunya terkunci.

Sepasang mata pemuda itu menyipit, saat melihat keenam orang gadis terdapat di dalamnya. Empat di antara mereka tampak masih terisak dengan wajah bersimbah air mata. Hal itu tentu saja membuat hati Bhirawa dipenuhi tandatanya.

“Mengapa gadis-gadis itu seperti tengah ditawan? Kesalahan apa yang telah mereka buat, sampai harus digiring dalam kerangkeng itu?” gumam Bhirawa dengan hati agak berdebar.

Kemudian perhatian pemuda tegap itu beralih ke arah delapan orang prajurit di depan dan belakang kereta tawanan. Setelah berpikir beberapa saat, Bhirawa segera memutuskan untuk mencari penjelasan apa yang menyebabkan gadis-gadis itu berada dalam kereta tahanan. Segera saja pemuda berkulit wajah agak kehitaman itu meluncur turun, dan berdiri menghadang jalan.

Tentu saja kening empat orang prajurit yang berada di depan jadi berkerut, melihat seorang pemuda yang tengah berdiri di tengah jalan dalam jarak tiga tombak. Maka langsung saja mereka meraba gagang pedang di pinggang.

Dengan berpura-pura seperti orang kurang ingatan, Bhirawa melangkah maju dengan kepala menggeleng-geleng. Sedangkan ekor matanya tetap melirik ke arah rombongan prajurit terdepan. Meski sikapnya terlihat sembarangan, tapi pemuda itu telah mempersiapkan ilmu-ilmunya untuk menghadapi segala kemungkinan.

Sedangkan kereta tawanan itu terus saja bergerak, meski kali ini terlihat sengaja diperlambat. Bahkan wajah-wajah para prajurit yang mengawal kereta tawanan, terlihat mulai menegang. Jelas mereka merasa curiga terhadap sosok tubuh bertubuh tinggi tegap yang menyembunyikan wajahnya di balik caping bambu.

********************

TIGA

Melihat adanya seorang pemuda bertingkah laku seperti pemabuk yang melangkah di tengah jalan, salah seorang prajurit segera melangkah mendekat. Menilik dari sikap dan pakaian yang dikenakan, jelas kalau prajurit itu merupakan kepala pengawal. Dengan lagak dibuat menyeramkan, kepala pengawal itu berhenti satu tombak di depan Bhirawa.

“Hei, Manusia Pemabukan! Menyingkirlah! Kami akan lewat! Atau, kami terpaksa harus melempar mu ke tepi jalan!” bentak kepala pengawal itu dengan suara dibesar-besarkan. Sedang tangan kanannya meraba gagang pedang untuk menakut-nakuti.

Mendengar teguran itu, Bhirawa mengangkat kepalanya dengan tubuh bergoyang-goyang. Tingkahnya benar-benar tak ubahnya orang mabuk. Bahkan sepasang matanya menatap sayu dengan sorot memancarkan ketidaksadaran. Kemudian, dia terus melangkah sambil tertawa dan menuding-nudingkan telunjuknya.

“He he he.... Ada rombongan penari yang mengawal monyet-monyet. Lucu... lucu...,” kata pemuda itu dengan nada pelo dan tak begitu jelas. Bahkan ketika berbicara, Bhirawa sengaja mempermainkan air liurnya, hingga jatuh menetes ke tanah. Tentu saja tingkahnya itu membuat kepala pengawal menjadi jengkel.

“Hm..., dasar pemuda pemabuk! Rupanya kau memilih dilemparkan ketimbang menyingkir secara baik-baik. Kalau memang begitu keinginanmu, baiklah...!” dengus kepala pengawal itu, geram. Setelah berkata demikian, ia melangkah maju dan mengulurkan tangannya hendak mencengkeram bahu Bhirawa.

“Eit..., tunggu dulu...,” cegah Bhirawa terkekeh dengan tubuh tetap bergoyang-goyang, “Ng..., bolehkah aku melihat monyet-monyet yang kau tangkap itu...? Siapa tahu, aku suka kepada salah satu dari hasil buruanmu itu. Dengan begitu, beban kalian akan berkurang” Setelah berkata demikian, Bhirawa melangkah ke tepi dan terus bergerak mendekati kereta berjeruji dengan tubuh oleng.

Bhirawa rupanya cukup cerdik untuk dapat mengetahui keadaan gadis-gadis itu. Para prajurit sama sekali tidak tahu kalau pemuda yang dianggap pemabukan itu telah mengirimkan suaranya dari jarak jauh. Karena tingkah-lakunya seperti pemabuk, maka para prajurit itu sama sekali tidak curiga melihat bibir pemuda itu berkemak-kemik tanpa suara.

“Nyai! Kalau kalian memang dibawa orang-orang ini secara paksa, berteriaklah. Makilah mereka. Tapi, kalau kalian memang dibawa secara suka rela, tak perlu kau pedulikan ucapanku. Jangan takut, aku hanya berpura-pura mabuk untuk mengetahui keadaan kalian yang sebenarnya...”

Suara yang dikirim Bhirawa terdengar jelas oleh salah seorang dari gadis-gadis itu. Semula, ia merasa takut karena mendengar suara tanpa wujud. Tapi setelah Bhirawa memberi keterangan, gadis itu segera saja menatap pemuda pemabuk itu dengan kening berkerut.

Rupanya, pilihan Bhirawa tidak meleset. Gadis yang dibisikannya dari jauh itu ternyata cukup cerdik. Dia bisa menangkap maksud baik pemuda yang dianggapnya pemabuk itu. Sehingga setelah berpikir sejenak gadis itu pun mulai berteriak dan memaki-maki.

“Tuan! Tolong lepaskan kami, Tuan. Kembalikanlah kami ke desa tempat asal kami. Kami tidak sudi dipaksa untuk jadi pemuas nafsu pejabat-pejabat pemerintah. Jangan paksa kami, Tuan.... Tolonglah bebaskan kami...,” gadis berpakaian merah muda yang rambutnya dikepang dua itu berteriak-teriak dengan cerdiknya.

Bhirawa. tersenyum dalam hati ketika melihat kecerdikan gadis itu. Kini jelas sudah gadis-gadis itu dibawa secara paksa dari desanya. Maka seketika itu juga, terdengarlah kekehnya yang berkepanjangan.

“He he he..., lihat. Mereka ternyata minta dibebaskan. Jadi, kalian sengaja mencuri monyet-monyet ini dari hutan? Apakah kalian tidak tahu kalau perbuatan itu dilarang...? Ayo, bebaskan mereka...,” ujar Bhirawa dengan lagak masih tetap tidak berubah. Bahkan, kali ini pemuda itu melangkah mendekati kereta tawanan. Tentu saja perbuatannya tidak didiamkan begitu saja oleh para prajurit.

“Hei, mau apa kau...! Ayo menyingkir. Atau, kutebas batang lehermu!” kepala pengawal itu marah bukan main melihat kelakuan Bhirawa. Maka dia segera saja melompat dengan pedang terhunus.

Tapi, Bhirawa tidak mau ayal-ayalan lagi. Meskipun untuk itu, ia akan mengalami kesukaran dalam melaksanakan dendam keluarganya. Namun, Bhirawa tidak peduli lagi. Sebagai orang yang memiliki kepandaian, tentu saja pemuda itu tidak bisa berpangku tangan melihat ketidakadilan yang terjadi di depan matanya.

“Kisanak...!” Kali ini, Bhirawa tidak lagi berpura-pura sebagai pemuda pemabukan. Sorot mata dan sikapnya telah berubah bagaikan langit dan bumi. Kalau tadi berdiri kakinya goyah dan sorot matanya sayu, kini sepasang kakinya terpancang kokoh bagaikan seekor singa yang sedang marah. Sedangkan sepasang matanya menyorot tajam menggetarkan jantung para prajurit. Karuan saja mereka terkejut melihat perubahan mendadak pemuda pemabuk itu.

“Keparat! Rupanya kau memang sengaja hendak menghadang kami dengan berpura-pura mabuk! Tapi jangan dikira kami takut, Pemuda Jelek. Sadarkah akibat perbuatanmu ini, kau bisa dianggap pemberontak! Kau akan mendapat kesulitan seumur hidup kalau sampai berani mengganggu kami...,” kepala pengawal itu mencoba menggertak Bhirawa. Rupanya, ia mulai sadar kalau pemuda tinggi tegap yang berpura-pura mabuk itu pasti bukan orang sembarangan. Kalau tidak mustahil berani menghadang rombongan prajurit kerajaan.

“Hm.... Jangankan baru menghadapi kalian para prajurit recehan. Seandainya yang melakukan hal ini orang besar seperti Senapati Gada Sura pun, aku tetap akan mencegah! Jadi, tidak ada gunanya kalian menggertak aku...,” ejek Bhirawa, gagah. Sambil berkata demikian, pemuda tegap itu melangkah seperti hendak membebaskan gadis-gadis muda yang berada dalam kerangkeng.

“Bangsat! Kau benar-benar cari mampus, Pemuda Gila...!” Sambil membentak marah, kepala pengawal itu segera saja menerjang Bhirawa. Bahkan prajurit-prajuritnya sudah diperintah untuk mengurung pemuda itu.

“Heaaat...!”

Wuuut...!

Dengan sikap tenang, Bhirawa menggeser mundur langkahnya sambil menarik tubuh ke belakang. Begitu mata golok lawan lewat di depan tubuhnya, tangannya bergerak cepat mencengkeram pergelangan tangan lawan yang memegang senjata. Sayang gerakan itu harus cepat ditarik pulang. Karena pada saat itu juga, sebilah pedang lain datang mengancam hendak menebas tangannya yang siap mencengkeram. Meskipun cengkeramannya gagal, Bhirawa tidak kehilangan akal. Cepat bagai kilat, tubuhnya berputar disertai tendangan kaki kanannya yang langsung menghajar perut salah seorang prajurit yang berada di kanannya!

Buggg...!

“Hukhhh...!”

Tanpa ampun lagi, tubuh prajurit itu langsung terjengkang muntah darah! Tendangan yang dialiri tenaga dalam kuat itu membuat lawan tidak mampu bergerak bangkit lagi. Tendangan Bhirawa langsung membuat korbannya tewas seketika.

Lelaki gemuk berkumis tebal yang menjadi pemimpin para prajurit tentu saja menjadi murka! Pedang di tangannya diputar sedemikian rupa, hingga memperdengarkan suara mengaung tajam! Kemudian, tubuhnya meluruk deras dengan tusukan kilat ke tubuh Bhirawa!

“Haiiit...!”

Untuk kesekian kalinya, Bhirawa kembali memutar tubuhnya menghindari sambaran pedang lawan. Kemudian, tubuhnya terus melenting ke samping dengan indahnya, lalu membagi dua buah pukulan telak ke arah dada dan perut dua orang pengeroyoknya! Tanpa ampun lagi, kedua orang prajurit itu langsung terjungkal dan tidak bangkit lagi!

Masih dengan gerakan yang sukar diikuti mata, telapak tangan Bhirawa berkelebatan susul-menyusul ke arah kepala dua orang pengeroyok! Dan....

Plakkk! Plakkk!

“Aaakh !”

Dua orang prajurit bernasib malang itu langsung terjungkal roboh dengan kepala pecah! Rupanya, Bhi- rawa yang merasa benci dengan kelakuan prajurit- prajurit, langsung saja menumpahkan kekesalannya. Akibatnya dua orang prajurit itu langsung tewas seketika terhantam pukulan kerasnya.

Kematian dua orang pengawal, tentu saja membuat lelaki gemuk yang memimpin pasukan kecil itu menjadi pucat! Apalagi, melihat kesaktian pemuda yang benar-benar mengejutkan hatinya. Kontan saja keberanian dan kegalakannya lenyap bagaikan asap yang tersaput angin.

“Yiaaah!”

Bhirawa yang sudah seperti orang kesetanan, tidak sudi membiarkan lolos lawan-lawannya. Merasa telanjur basah, pemuda itu berniat menceburkan dirinya sekaligus. Dia berpikir, apabila ada salah seorang prajurit yang lolos, bisa jadi ia akan semakin sulit memasuki kotaraja. Untuk itu, Bhirawa bertekad membunuh semua prajurit-prajurit

Kembali sisa prajurit yang tinggal dua orang menjerit ngeri ketika jari-jari tangan pemuda itu menembus batok kepala mereka! Karuan saja hal itu semakin membuat hati si kepala pengawal semakin ciut. Akhirnya, ia pun menjatuhkan diri, berlutut minta ampun kepada Bhirawa. Karena, semua prajuritnya telah habis digasak pemuda itu.

“Ampun, Tuan Pendekar.... Aku hanyalah orang suruhan yang terpaksa harus menuruti perintah majikan. Kalau tidak, jabatanku bisa copot. Ampuni aku, Tuan Pendekar. Kasihan anak istriku di rumah...,” ratap lelaki gemuk itu terisak-isak. Sepertinya, ia sudah tidak mempunyai rasa malu lagi untuk melakukan tindakan serendah itu agar nyawanya selamat.

“Hm.... Bangsat Tengik! Kau ingin mencari selamat sendiri, ya? Orang sepertimu seharusnya tidak boleh dibiarkan hidup! Kali ini meratap-ratap minta ampun, tapi lain kali kau kembali akan melakukannya! Lalu, apa gunanya penyesalanmu itu...?” hardik Bhirawa yang semakin bertambah geram melihat lelaki itu meratap-ratap memohon ampun.

“Ampun, Tuan Pendekar. Aku Pandara berjanji tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi. Aku tobat, Tuan Pendekar...” Lelaki gemuk yang mengaku bernama Pandara itu semakin ketakutan, sampai-sampai keningnya dibentur-benturkan ke tanah sebagai tanda benar-benar ingin bertobat

“Hm.... Bisakah janjimu kupercaya? Bagaimana bila kau diperintah lagi untuk melakukan kejahatan semacam ini? Apa yang akan kau katakan apabila majikanmu menanyakan tentang prajurit-prajurit yang tewas itu?” tanya Bhirawa. Pemuda itu rupanya mulai tergerak hatinya melihat kelakuan dan ratapan lelaki gemuk itu. Makanya, dia mencoba memancing.

“Sekarang aku tidak takut jabatanku dicopot, Tuan Pendekar. Biarlah. Lebih baik tidak memiliki jabatan, daripada selalu dipaksa melakukan kejahatan seperti ini. Sedangkan mengenai kawan-kawanku, bisa saja kukatakan kalau mereka diterkam binatang buas. Ampunilah aku, Tuan Pendekar...,” ratap Pandara bersungguh-sungguh ketika mendengar pertanyaan Bhirawa. Hati laki-laki gemuk itu mulai lega ketika mendengar nada ucapan Bhirawa yang sepertinya mulai lunak. Hatinya berdebar melihat adanya kemungkinan ia tidak dibunuh.

“Hm..., baiklah. Untuk sekali ini, kau kubebaskan. Tapi, ingat! Kalau lain kali kau berbuat seperti ini lagi, aku akan datang mencabut nyawamu! Sekarang, pergilah...,” ujar Bhirawa.

Pandara akhirnya memang dilepaskan, karena Bhirawa tidak tega melihat ratapannya. Yang membuat hatinya lemah adalah, ketika lelaki gemuk itu menyebutkan nasib anak istrinya. Hal itu mengingatkan dia akan kematian kedua orang tuanya, sehingga hatinya merasa tersentuh. Pandara membentur-benturkan kembali keningnya sambil berkali-kali mengucapkan terima kasih. Kemudian, dia terus berlari meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi.

Bhirawa sendiri segera menghampiri kereta tawanan setelah bayangan Pandara tidak nampak lagi. Kemudian, dibebaskannya enam orang gadis desa yang menangis bahagia karena terlepas dari ancaman yang lebih menakutkan daripada kematian.

“Terima kasih, Tuan Pendekar. Kami tidakakan melupakan budi baik Tuan,” ucap gadis berpakaian merah muda mewakili teman-temannya yang lain.

Bhirawa hanya tersenyum. Kemudian, diajaknya gadis-gadis itu untuk kembali ke desa tempat tinggalnya. Ada sedikit penyesalan di hati pemuda itu, karena lupa menanyakan tentang orang yang menyuruh Pandara membawa gadis-gadis itu ke kotaraja. Namun, ia bertekad menyelidiki masalah itu, dan ingin membasminya.

********************

EMPAT

Saat ini, malam sudah bertambah larut. Suara burung malam terdengar saling bersahutan. Saat itu, pintu gerbang Kotaraja Bantar Gebang sudah tertutup rapat. Sedang para prajurit penjaga hanya berdiam di dalam posnya di dekat gerbang.

Dalam kepekatan malam yang hanya diterangi cahaya bulan sepotong, tampak sesosok bayangan hitam bergerak melewati tembok Selatan kotaraja. Menilik dari gerakannya yang gesit dan cekatan, jelas ilmu meringankan tubuhnya tidak bisa dipandang rendah. Sosok tubuh tegap itu terus bergerak menuju pusat kota, melalui tempat-tempat yang tersembunyi dari kilatan cahaya obor. Tidak lama kemudian, tibalah sosok itu di bagian samping sebuah bangunan besar yang cukup gelap.

“Huppp!”

Dengan suara halus, tubuhnya melenting dan langsung mendarat di halaman dalam bangunan besar itu. Kemudian, dia terus mengendap-endap ke bagian belakang.

“Hm...,” gumam sosok bayangan hitam itu perlahan ketika melihat adanya bangunan-bangunan yang lebih kecil, terletak di samping gedung. Sepasang mata di balik genap rambut itu tampak berkilat seperti telah menemukan apa yang dicarinya.

Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, dia bergerak mendekati dua buah bangunan kecil disamping bagian belakang bangunan besar itu. Tubuhnya segera dirapatkan ke dinding batu ketika mendengar suara orang berbicara di dalam. Pendengarannya dipasang tajam-tajam untuk dapat menangkap pembicaraan yang diduga terdiri dari dua orang itu.

“Apa kau tidak bisa menduga, siapa” pemuda berwajah buruk itu, Kakang Barna? Atau mungkin, kau bisa mengenali dasar-dasar ilmu silat yang dimilikinya...?” Terdengar sebuah suara agak berbisik. Dan sosok bayangan hitam itu dapat jelas mendengarnya.

“Sulit untuk menduga, siapa pemuda berwajah buruk itu, Adi Danta,” sahut orang yang dipanggil Barna Pati lirih.

Siapa lagi kedua orang itu kalau bukan Danta dan Barna Pati. Mereka adalah pembantu Jata Sura, putra Senapati Gada Sura. Rupanya, bangunan samping itu merupakan tempat tinggal mereka.

Sepertinya sosok bayangan hitam itu tengah me- nahan napasnya, saat pembicaraan kedua orang itu berhenti sejenak. Tindakan itu jelas menandakan sikap hati-hatinya. Apalagi, kedua orang pembantu Jata Sura itu memang bukan orang-orang sembarangan. Dan sepertinya, sosok bayangan hitam itupun menyadari.

“Bagaimana mengenai ilmu silatnya? Aku seperti pernah mengenalnya. Hanya saja, aku tidak bisa menduganya secara pasti,” terdengar suara orang yang bernama Danta kembali bergaung pelan.

“Hm.... Melihat gerak-geriknya yang kokoh, ada kemungkinan pemuda berwajah buruk itu berasal dari daerah Utara. Buktinya, ilmu-ilmu silat dari Utara kebanyakan mengandalkan kekuatan, dan bukan keluwesan seperti halnya daerah Selatan. Dan menilik pakaiannya, dapat kupastikan kalau orang itu berasal dari daerah pantai...,” sahut Suara Barna Pati.

Nyatanya, pembicaraan itu membuat dada sosok bayangan hitam di luar jadi bergelombang. Jelas, hatinya merasa tegang mendengar pembicaraan itu.

“Pantai Utara...,” desah Danta, mengulang kata-kata itu sambil mengerutkan dahinya, “Hm.... Di daerah Pantai Utara Laut Pajang, bukankah ada seorang tokoh yang berjuluk...”

Krakkk!

Danta menghentikan ucapan ketika mendengar suara yang mengejutkan. Serentak mereka bergerak bangkit, dan langsung melesat keluar. Keduanya terkejut begitu melihat sesosok bayangan hitam melesat meninggalkan tempat itu.

“Hei...., berhenti...!” seru Barna Pati mencegah sosok bayangan hitam yang melarikan diri. Baru saja ia hendak bergerak mengejar, Danta mencekal lengannya. Sehingga, lelaki itu menahan gerakannya.

“Lebih baik panggil para penjaga saja...,” ujar Danta mengusulkan.

“Tidak ada waktu lagi. Kita harus segera mengejar orang itu,” sergah Barna Pati. Barna Pati tidak setuju, karena hal itu hanya akan menyebabkan sosok bayangan hitam tadi keburu jauh. Maka, segera saja diajaknya Danta untuk mengejar.

Kedua orang pengawal pribadi Jata Sura itu langsung saja berkelebat mengejar. Tubuh mereka bergerak cepat, menerobos kegelapan malam yang hanya diterangi sinar bulan redup.

Tapi, sepertinya sosok bayangan hitam itu memang tidak sungguh-sungguh hendak melarikan diri. Buktinya dalam waktu yang tidak terlalu lama, Danta dan Barna Pati sudah berada dalam jarak tiga tombak di belakangnya. Meski dalam keadaan agak gelap, kedua orang lelaki gagah itu tentu saja dapat menangkap bayangan buruannya. Apalagi, mata mereka tidak dapat disamakan dengan mata orang biasa. Sebagai seorang tokoh yang memiliki kepandaian cukup tinggi, mereka dapat mempertajam pandangan dengan pengerahan tenaga pada matanya.

Sosok bayangan hitam itu terus bergerak melewati tembok kotaraja. Kemudian, dia terus bergerak menuju sebuah hutan kecil di sebelah Selatan kotaraja. Sedangkan saat itu, jarak di antara mereka semakin dekat saja.

“Hm.... Jangan harap dapat lolos dari kejaran kami, Pengecut! Lebih baik menyerahlah...!” ujar Barna Pati yang berada di depan Danta, bernada geram. Terlihat lelaki gagah itu menambah kekuatannya untuk memperpendek jarak di antara mereka. Sedangkan Danta hanya mengikuti dari sebelah belakang, ka- rena kepandaiannya memang masih kalah setingkat dibanding rekannya.

Setelah memasuki hutan kecil, sosok bayangan itu tampak menghentikan larinya di sebuah tempat yang agak lapang. Sinar bulan redup yang jatuh menerangi tubuh, membuat sosok bayangan hitam yang bertubuh tegap itu nampak angker dan memancarkan perbawa. Jelas sudah, ia memang sengaja hendak memancing kedua orang itu agar mengejarnya.

“Hm Aku tidak akan melarikan diri dari kalian, Bangsat Terkutuk! Malam ini biarlah rembulan menjadi saksi atas kematian kalian...!” ancam sosok tubuh tinggi tegap yang berdiri kokoh bagaikan batu karang itu.

Sorot mata orang itu tampak demikian tajam, seolah hendak menelan tubuh kedua orang pengawal Jata Sura. Sehingga, hati kedua orang itu sempat bergetar karenanya. Namun sebagai orang yang mempunyai pengaruh di dalam wilayah kotaraja, baik Danta dan Barna Pati tetap menunjukkan sikap sombongnya. Apalagi, pihak lawan hanya seorang diri dan tidak terlihat tanda- tanda adanya kawan-kawannya yang lain. Tentu saja kedua orang itu berusaha membesar-besarkan hati.

“Hm.... Jadi kau sengaja memancing kami untuk mengejarmu? Apa sebenarnya maksudmu, Kisanak. Dan siapa kau sebenarnya...?” geram Barna Pati yang sedikit terkejut ketika mengenali sosok bayangan hitam itu.

“Dia pemuda yang pagi tadi membuat keributan itu...,” desis Danta ketika dapat melihat jelas wajah sosok bertubuh tinggi tegap berambut panjang terurai itu.

“Benar! Aku sengaja datang untuk mencabut nyawa kalian berdua! Kalian ternyata juga ikut membantu dalam menghancurkan keluargaku! Malam ini, dendamku harus ditebus dengan darah hitam yang berbau busuk dari tubuh kalian berdua...!” Terdengar suara datar sosok tubuh tegap yang memang Bhirawa. Rupanya, kedua orang pengawal pribadi Jata Sura itu termasuk dalam daftar musuh-musuh keluarganya.

“Kisanak, kami tidak mengenalmu. Dan sama sekali tidak tahu tentang kejadian yang menimpa keluargamu. Meskipun begitu, jangan dikira kami takut menghadapimu,” sahut Danta yang bergerak maju sambil menghunus senjatanya.

“Oh.... Jadi peristiwa di Laut Pajang yang terjadi lima tahun yang lalu, telah kalian lupakan begitu saja? Rupanya kalian pikir semua anggota keluarga itu telah tewas, bukan? Sekarang dengarlah baik-baik. Aku adalah Bhirawa, keturunan dari orang yang telah kalian bunuh secara licik! Tapi, kalian tidak akan mempunyai waktu lagi untuk memberitahukannya kepada kawan-kawanmu. Karena, setelah kalian tahu siapa aku, berarti kematianlah yang akan kalian dapatkan!” Setelah mengancam demikian, Bhirawa mencabut keluar sebilah pedang yang mengeluarkan sinar kebiruan.

“Hantu Laut Pajang...!?” desis Barna Pati dan Danta hampir berbarengan. Jelas mereka telah mengenal baik senjata yang terhunus di tangan pemuda berwajah buruk itu.

“Benar. Akulah Hantu Laut Pajang yang akan mencabut nyawa anjing kalian, Manusia-Manusia Busuk!” Setelah berkata demikian, Bhirawa menyilangkan pedangnya di depan dada. Sorot matanya tampak demikian tajam, dan mengiriskan!

“Hiaaat..!”

Tanpa banyak bicara lagi, Bhirawa segera melesat ke arah dua orang lawan disertai putaran senjatanya yang telah membentuk gundukan sinar kebiruan.

Bettt! Bettt! Bettt!

Kilatan sinar kebiruan tampak berkeredep menyambar-nyambar, memperdengarkan suara berdenging. Tapi, semua itu terjadi bukan karena kehebatan tenaga dalam Bhirawa, melainkan karena senjata pusaka di tangannya. Bahkan senjata itu memang dapat membuat perhatian lawan terpecah. Itulah salah satu keistimewaan senjata yang dimiliki Hantu Laut Pajang. Hanya yang tidak habis pikir, mengapa usia tokoh itu masih sangat muda?!

Padahal pada waktu mereka muda, nama tokoh itu telah lebih dahulu terkenal dalam dunia persilatan. Tapi, Bhirawa tidak membiarkan dua orang lawannya untuk memikirkan keanehan itu. Apalagi pedang di tangannya telah berkelebat mengancam tubuh kedua orang lawan. Sehingga, baik Danta dan Barna Pati terpaksa harus menghindari ancaman maut itu!

“Yeaaah...!”

Danta yang memang sudah siap dengan pedangnya, segera saja melontarkan serangan balasan yang tidak kalah ganas. Pedang di tangannya mengaung tajam, merobek kesunyian malam. Kilatan cahayanya yang berkeredep, ditimpa sinar redup sang rembulan menyambar-nyambar kian kemari dengan kecepatan mengagumkan. Jelas, kepandaian yang dimiliki Danta pun tidak bisa dipandang remeh!

Demikian pula halnya Barna Pati. Lelaki gagah itu sudah mencabut keluar senjatanya berupa sepasang trisula sepanjang satu setengah jengkal. Cara lelaki gagah itu memainkannya pun, sangat mengagumkan. Sehingga untuk beberapa saat lamanya, Bhirawa tampak kerepotan dalam menghadapi gempuran dua orang lawan.

Tapi, Bhirawa malam ini tidak dapat disamakan dengan Bhirawa yang tadi pagi. Kali ini, serangan-serangan maupun gerakannya terlihat jauh lebih sempurna dan mengejutkan. Gerakannya pun banyak memiliki perubahan mendadak yang tak terduga. Tentu saja kenyataan ini membuat kedua orang lawan menjadi terkejut, dan tak berani lagi menganggap enteng pemuda berwajah buruk itu!

Setelah pertarungan lewat dari dua puluh jurus, terlihat Bhirawa mulai menunjukkan kehebatannya. Serangan-serangannya semakin tajam dan berbahaya! Bahkan beberapa kali sambaran dan tusukan senjatanya, nyaris membuat Danta dan Barna Pati terluka. Karuan saja, kedua orang lelaki gagah itu semakin kerepotan!

“Haiiit...!”

Memasuki jurus yang keempat puluh lima, tiba-tiba saja Bhirawa mengeluarkan bentakan nyaring disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Dan pada saat kedua orang itu terkejut, tubuhnya cepat melenting ke udara disertai sambaran pedang secara mendatar!

Wuuut..! Jrasss...! Crakkk...!

Terdengar jerit kematian susul-menyusul ketika mata pedang di tangan Bhirawa merobek leher dan dada kedua orang lawan! Darah segar langsung muncrat dari kedua luka di tubuh Danta dan Barna Pati! Tubuh mereka terhuyung limbung, sebelum akhirnya ambruk tersabet pedang pemuda berwajah buruk itu!

“Aaa...!” Barna Pati kembali menjerit panjang ketika ujung padang Bhirawa melesak menembus jantungnya. Padahal, dia sudah tak berdaya di tanah. Tubuh lelaki gagah itu langsung berkelojotan. Tewas!

Kematian Barna Pati masih lebih beruntung kalau melihat cara kematian yang dialami Danta. Buktinya, tanpa ampun lagi Bhirawa langsung menebas putus kepala lelaki gemuk itu dengan sambaran pedangnya! Danta kontan tewas tanpa sempat mengeluh lagi, karena kepalanya telah terpisah dari badan!

Setelah yakin kalau kedua orang lawannya telah tewas, Bhirawa menengadahkan kepalanya menatap langit kelam. Terdengar bisikannya yang parau dan menggeletar.

“Ayah.... Ibu.... Semoga darah kedua orang manusia terkutuk ini dapat membuat arwah kalian tenang...,” desah Bhirawa dengan wajah penuh kepuasan. Sesaat kemudian, pemuda itu melesat meninggalkan tempat itu, yang kemudian kembali sunyi.

********************

LIMA

Malam ini, seorang lelaki gemuk berpakaian prajurit mendatangi bangunan indah milik Senapati Gada Sura. Lelaki gemuk yang tak lain Pandara itu minta untuk menghadap Jata Sura yang memang mendiami bangunan besar itu.

“Tolong katakan kepada Tuan Muda Jata Sura bahwa Pandara ingin menghadap...,” ujar lelaki gemuk itu kepada penjaga pintu gerbang.

Si penjaga mengangguk hormat kepada Pandara, karena tingkatan lelaki gemuk itu memang lebih tinggi. Tanpa banyak cakap lagi, salah seorang dari penjaga gerbang segera saja mengantarkan Pandara ketempat Jata Sura berada pada setiap pagi. Jata Sura mengangguk tipis, ketika prajurit pintu gerbang itu melaporkan. Kemudian, disuruhnya agar Pandara menemuinya di halaman samping.

“Hm.... Bagaimana, Pandara? Apa gadis-gadis itu sudah kau dapatkan...?” tanya Jata Sura. Suaranya terdengar rendah, seperti tidak ingin terdengar orang lain.

“Mmm.... Begini, Tuan Muda...,” sahut Pandara takut-takut. Lelaki gemuk itu tampak gugup dalam menjawab pertanyaan yang diajukan Jata Sura. Pandara yang merupakan orang kepercayaan pemuda itu dalam hal mencari gadis-gadis cantik pemuas nafsunya, terlihat agak bingung dan salah tingkah. Sehingga, kening Jata Sura jadi berkerut tak senang.

“Mengapa kau kelihatan gelisah, Pandara? Apa kau gagal membawa gadis-gadis itu ke sini? Sejak malam aku menunggumu. Mengapa baru muncul sekarang?” suara Jata Sura mulai terdengar agak meninggi, meski masih dalam tekanan rendah.

“Kami.... Kami gagal, Tuan Muda. Kami...”

“Goblok!” Jata Sura membentak marah, memotong kalimat Pandara yang belum selesai. Lelaki muda berwajah tampan itu bangkit dari kursinya dengan wajah memerah. Jelas sekali kalau ia merasa marah mendengar laporan itu.

“Kami telah dihadang seorang pemuda bertubuh tegap dan bercaping, Tuan Muda. Dan gadis-gadis itu dibawanya pergi. Tujuh orang prajurit tewas. Hanya tinggal aku seoranglah yang masih selamat,” tutur Pandara napasnya ditarik.

“Pemuda bercaping kau bilang?! Hhh... Lagi-lagi dia membuat aku gila! Belum kapok rupanya bangsat itu. Kalau begitu kerahkan lima puluh orang prajurit dan cari pemuda bercaping itu. Rebut kembali gadis-gadis yang telah dirampas itu. Perlu kau ingat, aku tidak sudi mendengar kegagalanmu lagi!” perintah Jata Sura dengan wajah berang.

“Tapi, Tuan Muda. Membawa prajurit sebanyak itu bisa menimbulkan kecurigaan. Dan kalau sampai terdengar ayah Tuan Muda atau pembesar lain, kita bisa celaka. Sedangkan pemuda itu sendiri sudah melarikan diri entah ke mana...,” Pandara memberi alasan yang cukup masuk akal, sehingga Jata Sura sempat terdiam, dan berpikir keras.

Pandara agak lega ketika melihat sikap pemuda itu terdiam ketika mendengar alasan yang dikemukannya. Tampaknya, Jata Sura tidak berani bertindak setelah mendengar nasihat Pandara. Memang, perbuatannya yang menculik paksa gadis-gadis dari desa-desa yang agak jauh letaknya dengan kotaraja, dilakukannya secara sembunyi-sembunyi. Dan kalau rencananya dilanjutkan, tentu bisa menimbulkan kegemparan dan tanda tanya besar bagi pembesar-pembesar kerajaan lainnya. Dan kalau kebusukannya sampai diketahui orang, tentu ayahnya sendirilah yang akan malu karena perbuatannya.

“Hm.... Lalu, apa yang harus kita lakukan, Pandara? Apakah perbuatan pemuda bercaping itu harus kita diamkan begitu saja?” tanya Jata Sura, bingung. Tampaknya ucapan Pandara tadi telah membuatnya tidak bisa berpikir dengan baik. Kembali Jata Sura berpikir keras. Dan tiba-tiba saja bibirnya tersenyum. Ternyata sebuah rencana mulai tersusun dibenaknya.

“Hm.... Bukankah pemuda itu telah kuanggap sebagai pemberontak? Ah.... Bodohnya aku. Biar saja ku kerahkan prajurit, dengan alasan mencari seorang pemberontak,” gumam Jata Sura seperti berkata-kata sendiri.

“Pemberontak? Memangnya, siapa pemuda itu, Tuan Muda?” tanya Pandara bingung.

“Pemuda itu tadi pagi memang telah membuat masalah padaku. Aku juga tidak tahu, siapa dia sesungguhnya. Tapi dia telah kuanggap sebagai pemberontak. Jadi dengan memakai alasan itu, tak ada yang akan mencurigai kita lagi,” jelas Jata Sura.

“Baiklah kalau begitu, Tuan Muda. Rasanya memang tak ada salahnya mengerahkan prajurit jika alasannya demikian,” kata Pandara.

“O ya, Pandara, di mana Paman Danta Dan Paman Barna Pati? Tolong panggilkan mereka. Aku ingin bicara.”

“Baik, Tuan Muda...,” sahut Pandara yang segera saja menjura memberi hormat, dan berlalu dari situ.

********************

Seorang pemuda tampan berjubah putih dan seorang dara jelita berpakaian serba hijau tengah melangkah tenang, memasuki Kotaraja Bantar Gebang. Orang-orang yang kebetulan berpapasan, selalu saja menoleh dengan sinar mata penuh kagum dan iri. Beberapa orang gadis cekikikan sambil berbisik satu sama lain. Sesekali, ekor mata mereka menyambar wajah pemuda tampan berjubah putih itu.

Jelas, mereka tengah membicarakan pasangan muda yang memang terlihat sangat cocok. Sehingga, wajar saja kalau keberadaan mereka mengundang berbagai pendapat dari orang-orang disekitarnya.

Sedangkan pasangan muda itu sama sekali tidak ambil peduli. Mereka terus melangkah lambat-lambat menyusuri jalan utama kota itu. Ketika melewati sebuah bangunan besar yang di depannya bertuliskan rumah makan dan penginapan, segera saja mereka bergerak masuk.

Setelah memesan hidangan, pasangan muda itu duduk sambil melepaskan pandangannya ke sekeliling ruangan. Kedai makan itu tampak agak sepi, karena saat itu hari baru menjelang sore. Tapi, justru suasana itulah yang mereka inginkan. Dengan demikian, mereka bisa tenang menikmati hidangan.

“Paman...,” pemuda berjubah putih itu memanggil pelayan setelah menyelesaikan hidangannya.

Ketika pelayan setengah baya itu datang mendekat, pemuda tampan ini menyatakan ingin memesan dua buah kamar untuk mereka. Karuan saja pelayan itu mengerutkan keningnya dengan wajah agak heran.

“Tapi, bukankah kalian suami istri? Mengapa memesan dua kamar? Di sini, kami juga menyediakan satu kamar yang dapat digunakan untuk pasangan suami istri. Tuan boleh melihat kamar itu. Soal kerapian dan kebersihan, jangan khawatir...,” kata pelayan itu sambil mengacungkan ibu jarinya disertai senyum manis.

“Tidak, Paman. Kami bukan suami istri. Jadi, tolong sediakan dua buah kamar yang berdampingan untuk kami berdua...,” jelas pemuda tampan berjubah putih ini, agar pelayan itu tidak banyak bicara lagi.

“Ooo. Kalau begitu, baiklah.... Mari...,” sahut pelayan itu. Segera dibawanya kedua orang tamunya ke bagian belakang bangunan. Memang, letak penginapan itu berada di bagian belakang. Sedangkan di bagian depan merupakan kedai makan bagi tamu penginapan, maupun orang-orang yang kebetulan lewat.

Tapi baru saja pelayan itu dan dua orang tamunya hendak menuju ke bagian belakang bangunan, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut. Kemudian disusul, masuknya belasan orang prajurit bersenjata terhunus. Tentu saja kedatangan para prajurit itu membuat beberapa orang tamu yang sedang menikmati hidangan menjadi ketakutan.

“Semua tetap tinggal di tempat, dan jangan coba-coba berbuat hal-hal yang mencurigakan! Kami tidak segan-segan menangkap dan menghukum siapa saja yang berani membantah...!” seorang lelaki tinggi besar bercambang bauk berseru memperingatkan.

Kini orang-orang yang semula hendak meninggalkan ruangan itu, kembali duduk di tempatnya semula. Termasuk juga pasangan muda yang baru saja hendak meninggalkan tempat itu.

“Hei, Pelayan! Coba panggil keluar semua tamu yang saat ini masih di dalam kamarnya...!” perintah lelaki tinggi besar itu lagi dengan suara berwibawa.

Tanpa banyak cakap lagi, pelayan setengah baya itu segera saja mematuhinya.

“Dengar! Kami tengah mencari seorang pemuda bercaping yang telah membunuh prajurit-prajurit pagi tadi. Dan kalau di antara kalian ada yang melihatnya, harap segera beri tahukan kepada pihak prajurit. Orang muda bercaping itu sangat berbahaya, dan kemungkinan tidak waras...,” kata lelaki tinggi besar itu kembali sambil melangkah mengitari ruangan rumah makan.

Sepasang matanya yang galak, meneliti orang-orang di ruangan itu penuh selidik. Dia berhenti pada wajah pemuda tampan berjubah putih yang duduk bersama dara berpakaian hijau.

Menyadari kalau lelaki tinggi besar bercambang bauk itu adalah seorang perwira kerajaan, maka pemuda tampan dan gadis jelita itu segera saja mengangguk hormat Kemudian, wajah mereka ditundukkan, karena tidak ingin menentang pandangan mata lelaki berpakaian perwira itu. Memang, mereka tahu kalau menentangnya, hanya akan mencari penyakit saja.

“Hm.... Coba tegakan kepala kalian...,” perintah lelaki tinggi besar yang sudah berdiri di depan meja pasangan muda itu.

Tanpa membantah, pemuda tampan berjubah putih itu menegakkan kepala dengan tatapan lurus ke depan. Sikapnya nampak tenang, sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan. Sehingga, perwira tinggi besar itu diam-diam mengagumi ketenangan pemuda tampan di depannya. Tapi ketika ia beralih ke arah dara jelita berpakaian serba hijau di sebelah pemuda itu. Keningnya baru berkerut tak senang. Ternyata gadis itu sama sekali tidak mematuhi perintahnya.

“Nisanak, angkat kepalamu. Kami hanya ingin memastikan kalau orang yang dicurigai bukanlah kalian. Untuk itu aku mengharap pengertianmu...,” tegur perwira tinggi besar itu dengan nada galak. Jelas, ia tidak suka melihat ada orang yang berani membantah perintahnya.

Mendengar teguran ini, rupanya pemuda berjubah putih itu baru sadar kalau kawannya tidak menuruti keinginan perwira tinggi besar di depan mereka. Segera saja disentuhnya tubuh dara jelita itu dengan ujung sikunya. Sentuhan perlahan itu ternyata cukup ampuh. Terbukti, dara jelita itu langsung mengangkat kepalanya meski dengan wajah cemberut. Sepertinya, ia tidak suka mendengar perintah itu. Gadis itu merasa kalau dirinya dianggap sebagai bawahan yang pantas diperintah seenak perutnya.

“Bagus...,” gumam perwira bercambang bauk itu tersenyum tipis ketika dara jelita di depannya menegakkannya wajahnya. Kemudian perwira itu berlalu setelah meneliti sejenak.

“Huh!” Dara jelita berpakaian serba hijau itu mendengus lirih, begitu si perwira tinggi besar tadi berlalu dari hadapannya. Rasa tidak senang masih tergambar jelas pada wajahnya yang cantik. Tentu saja, keinginan perwira bercambang bauk itu dituruti hanya karena isyarat pemuda berjubah putih di sebelahnya.

“Sombong sekali lelaki berpangkat perwira itu. Kalau saja ia tahu kalau orang di hadapannya adalah Pendekar Naga Putih, tentu tidak akan berani selancang barusan...,” omel dara jelita itu. Rupanya gadis itu tidak merasa puas sebelum mengeluarkan perasaan tidak senangnya melalui kata-kata. Jelas sudah, siapa dara jelita di sebelah pemuda berjubah putih yang dikenal sebagai Pendekar Naga Putih.

“Perwira itu sama sekali tidak salah, Kenanga. Ia hanya menuruti perintah atasannya. Kalau pun kata-katanya tadi terdengar agak kasar dan menyinggung perasaanmu, hal itu wajar saja. Sebagai seorang perwira, ia diharuskan selalu bertindak tegas tanpa harus mengikuti perasaan hati,” pemuda berjubah putih yang sudah pasti Panji itu, menasihati kekasihnya sambil tersenyum.

Tentu saja pembicaraan itu dilakukan secara berbisik, agar tidak sampai terdengar orang lain. Terutama perwira tinggi besar dan prajurit-prajurit kerajaan itu.

“Hm.... Boleh saja ia bertindak tegas dan berkata kasar kepada bawahannya. Tapi, apakah terhadap seorang wanita yang tidak termasuk anggota pasukannya juga harus bertindak setegas dan sekasar itu?! Rasanya tidak adil, Kakang. Coba saja kalau yang dibentak-bentak seorang wanita tokoh sesat. Pasti perwira itu tidak akan bisa melihat matahari esok pagi...” Kenanga masih saja mengomel karena, hatinya masih merasa sakit dibentak-bentak seperti oleh perwira tinggi besar itu tadi.

“Sudahlah. Jangan kau turuti perasaan marah mu itu. Mungkin saja orang yang tengah dicari memang benar-benar berbahaya, dan harus segera ditemukan. Kalau tidak, belum tentu ia membawa pasukan yang cukup lengkap. Heran. Orang gila dari mana yang berani mengacau kotaraja? Apa dia tidak tahu kalau kotaraja merupakan gudangnya orang-orang pandai?” gumam Panji.

Pendekar Naga Putih tidak habis mengerti kalau ada orang yang berani mengacau di kotaraja. Sebab, pemuda itu tahu kalau kotaraja banyak terdapat orang sakti yang mengabdikan dirinya pada kerajaan.

“Aku rasa, pengacau itu bukan orang gila, Kakang. Dia pasti mempunyai alasan kuat. Atau bisa juga prajurit-prajurit kerajaan itu sendiri yang sengaja mencari perkara. Rasanya tidak mungkin bila ia mengacau tanpa sebab. Apalagi sampai membunuh. Kalau prajurit-prajurit itu tidak keterlaluan, aku yakin ia tak akan membunuh. Buktinya, prajurit-prajurit barusan sudah merasa sok kuasa saja...,” bantah Kenanga.

Rupanya gadis itu malah berpihak kepada orang buruan yang dicari-cari tentara kerajaan. Tentu saja pendapat itu dikemukakan karena rasa ketidaksenangannya terhadap perwira tinggi besar tadi. Pembicaraan pasangan pendekar muda itu terhenti sejenak ketika melihat si perwira tinggi besar kembali lewat di depan meja mereka. Melihat dari raut wajahnya, jelas kalau si pengacau tidak ditemukan di rumah penginapan ini.

“Ingat, apa yang kukatakan tadi. Siapa saja yang melihat pemuda yang mengenakan caping, dan bertubuh tinggi tegap, harap segera melaporkannya kepada kami. Maaf, kalau kedatangan kami telah membuat kalian semua terganggu..”

Setelah berkata demikian, perwira tinggi besar itu pun meninggalkan ruangan kedai, diikuti para prajurit yang berjumlah sekitar dua puluh orang lebih.

Setelah bayangan para prajurit dan perwira tinggi besar itu tidak nampak lagi, barulah suasana di dalam ruang kedai menjadi bising. Mereka saling berbicara satu sama lain, seperti kumpulan lebah dekat sarangnya. Dalam suasana bagai puluhan ekor lebah itu, Panji segera mengajak Kenanga untuk menemui pelayan rumah penginapan. Mereka tidak segera masuk ke kamar masing-masing, tapi Kenanga memaksa untuk membicarakan soal buronan yang dicari pihak kerajaan di kamar kekasihnya.

“Kakang... apa kau tidak berniat menyelidiki si pengacau itu? Rasanya kita perlu tahu, apa alasannya si pengacau membunuh para prajurit kerajaan pagi tadi. Dan, menurutku, orang itu pasti mempunyai suatu alasan yang sulit diketahui. Hm.... Aku jadi tergerak untuk mengetahuinya...,” kata Kenanga ketika mereka telah berada di dalam kamar Panji.

Pemuda tampan itu hanya tersenyum ketika melihat sinar mata dara jelita itu berbinar seperti haus akan petualangan baru. “Hm.... Menurutku, kita harus menunggu kelanjutannya dulu. Mungkin saja orang yang menjadi buronan pemerintah hanya kebetulan singgah di kotaraja ini. Siapa tahu, ia telah pergi jauh dari sini untuk tidak kembali lagi. Nah! Kalau dugaanku benar, apa yang hendak kau selidiki...?” bantah Pendekar Naga Putih. Panji sepertinya tidak ingin bertindak, sebelum mengetahui persoalannya secara jelas. Hal itu tentu saja bisa dimengerti kekasihnya.

“Menurutmu, kita harus tinggal untuk beberapa hari di kotaraja ini...?” tanya Kenanga. Semangatnya tampak mulai mengendor. Memang penjelasan Panji itu pantas dipikirkan.

“Yah..., kira-kira begitulah.... Sekarang, sebaiknya kita istirahat saja dulu. Besok baru kita mengelilingi kotaraja ini untuk melihat-lihat, sambil mencari keterangan tentang kelanjutan peristiwa pagi tadi...,” sahut Panji.

Pendekar Naga Putih kemudian segera merebahkan diri di atas pembaringan. Sementara Kenanga hanya mengangguk-anggukkan kepala dan bergegas menuju kamarnya. Sebentar kemudian, senja pun berganti malam. Dan kini, rumah penginapan itu sudah mulai tampak sepi, karena para penghuninya telah memasuki kamar masing-masing. Hanya satu dua orang saja yang masih terlihat di dalam ruangan kedai. Itu pun tidak berlangsung lama. Mereka juga bergegas meninggalkan ruangan kedai untuk beristirahat, ketika malam semakin larut.


********************

Jata Sura menghempaskan tubuhnya di atas kursi. Terdengar helaan napas beratnya yang menandakan kekecewaan hati. Tapi tidak berapa lama kemudian, pemuda itu melompat bangkit ketika mendengar teriakan Pandara dari kejauhan. Bergegas pemuda itu menyambut kedatangan pembantunya yang bertubuh gemuk itu.

“Mengapa baru kembali sekarang, Pandara? Hanya mencari dua orang saja perlu waktu sehari. Huh! Lalu, sekarang mana Paman Danta dan Paman Barna Pati...?” tegur Jata Sura. Pemuda itu segera menyongsong kedatangan pembantunya. Wajahnya tampak semakin memerah, ketika melihat tidak adanya Danta dan Barna Pati yang menyertai Pandara.

“Mereka tidak kutemukan, Tuan Muda. Hamba telah mencari ke mana-mana tapi tidak berhasil. Seharian hamba mencari, ke tempat mereka biasa berkumpul...,” lapor lelaki gemuk itu dengan napas memburu. Meskipun begitu, dari sorot mata Pandara terlihat kelegaan. Jelas, ia merasa bersyukur karena tidak menemukan kedua orang pengawal pribadi tuan mudanya itu.

“Aneh! Tidak biasanya mereka pergi begini lama...? Bahkan biasanya mereka selalu melapor apabila hendak keluar...,” gumam Jata Sura dengan berbagai tanda tanya memenuhi benaknya. Memang, tidak biasanya kedua orang pengawal pribadinya itu keluar tanpa melapor terlebih dahulu kepadanya.

Jata Sura dan Pandara yang tengah berpikir keras, tiba-tiba tersentak ketika mendengar suara langkah kaki mendekati tempat mereka. Serentak keduanya menoleh dengan alis berkerut.

“Ada apa kau menghadap tanpa dipanggil...?” dalam kejengkelannya, Jata Sura membentak prajurit yang tergopoh-gopoh datang menghadap itu.

“Maaf, Tuan Muda.... Mmm..., Perwira Kala Sungga ingin menghadap...,” lapor prajurit itu, takut-takut. Tubuh prajurit itu tampak agak gemetar akibat bentakan Jata Sura. Hatinya baru lega ketika melihat junjungannya menganggukkan kepala. Kemudian prajurit itu berbalik, dan pergi dari situ. Namun, sebentar saja dia sudah kembali bersama seorang perwira bertubuh tinggi besar. Pada wajahnya tampak dihiasi cambang bauk yang lebat.

“Tuan muda! Aku Kala Sungga datang menghadap...,” perwira tinggi besar yang ternyata bernama Kala Sungga membungkuk hormat kepada pemuda itu. Lalu, segera saja diceritakan keperluannya.

“Apa...!? Danta dan Barna Pati tewas? Siapa yang membunuh mereka? Dan di mana kalian menemukan mayatnya...?!"

Terkejut bukan main Jata Sura ketika mendengar laporan perwira tinggi besar itu. Segera saja ia bergegas mengikuti Kala Sungga yang memang telah membawa mayat kedua orang pengawal pribadinya. Gemetar sekujur tubuh Jata Sura ketika melihat mayat kedua orang pengawal pribadinya. Apalagi, menyaksikan mayat Danta yang kepalanya terpisah dari badan. Karuan saja pemuda itu bertambah murka.

“Keparat! Manusia gila dari mana yang berani melakukan kekejian ini...!” desis Jata Sura mengepalkan tinjunya erat-erat. Hati Jata Sura sedih bukan main. Dua orang pengawal pribadinya ini telah mengabdikan diri semenjak ia kecil. Tapi kini, mereka tewas dengan kematian begitu menyedihkan, tanpa diketahui siapa yang telah melakukannya.

“Di tempat mayat mereka terbaring, kami menemukan tulisan Hantu Laut Pajang yang ditulis dengan darah. Rupanya sebelum kematiannya, Barna Pati sempat menuliskan nama pembunuh keji itu. Hanya saja aku merasa heran, sebab Hantu Laut Pajang telah lama hilang dari dunia persilatan. Tapi, orang yang sudah hampir mati tidak mungkin salah menuduh...,” kata Kala Sungga, menyadarkan Jata Sura dari kesedihannya.

“Hantu Laut Pajang...,” desis Jata Sura tanpa mempedulikan ucapan Kala Sungga, “Kau boleh pergi, Kala Sungga. Tapi jangan lupa, selidikilah siapa sebenarnya yang telah melakukan pembunuhan ini...”

Tanpa banyak membantah lagi, Kala Sungga segera saja bergegas meninggalkan Jata Sura. Pandara pun ikut meninggalkan tempat itu setelah memerintahkan para prajurit membawa mayat Danta dan Barna Pati, untuk segera dimakamkan. Kini tinggallah Jata Sura termenung seorang diri dengan wajah murung.

“Hm... Aku harus memberitahukan ayah tentang kejadian ini,” desis pemuda itu yang segera beranjak dan bersiap memberitahukan Senapati Gada Sura yang berada diistana.

********************

Senapati Gada Sura segera saja bergegas meninggalkan istana setelah menerima laporan dari putranya. Lelaki gagah bertubuh gemuk berwajah bersih itu tentu saja menjadi geram mendengar laporan putranya itu. Sebelum meninggalkan Istana Bantar Gebang, lelaki gagah itu mengajak dua orang jagoan istana untuk membantunya.

Untungnya, semua kejadian itu tidak sampai terdengar pejabat lain atau keluarga kerajaan. Hanya Senapati Gada Sura dan dua orang jagoan istana itu sajalah yang mengetahuinya. Kalau sampai terdengar, bukan mustahil akan menimbulkan kegemparan.

“Apa kau tidak salah dengar kalau yang melakukan pembunuhan itu adalah Hantu Laut Pajang...?” tanya Senapati Gada Sura setelah tiba di tempat kediamannya. Suara lelaki gemuk itu terdengar berat dan keras, sewajarnya seorang pembesar tinggi harus selalu berwibawa.

“Tidak, Ayah. Kalau Ayah masih kurang percaya, silakan tanya kepada Paman Kala Sungga. Dialah yang menemukan mayat dan tulisan dengan darah itu...,” sahut Jata Sura menoleh ke arah lelaki tinggi besar berwajah brewok yang juga telah dipanggil menghadap Senapati Gada Sura.

“Benar, Tuan. Hanya yang masih hamba herankan, tokoh yang berjuluk Hantu Laut Pajang itu telah lama lenyap dan tidak pernah terdengar lagi kabarnya...,” jelas Kala Sungga.

“Aku pun merasa heran, Kala Sungga. Dan memang, menurut apa yang kudengar pun demikian. Tapi untuk lebih jelasnya, aku akan menugaskan Adi Barangga dan Ki Tumbal Waru untuk menyelidikinya. Kalau memang Hantu Laut Pajang masih hidup dan benar melakukan pembunuhan terhadap kedua orangku, bunuh saja tokoh itu...,” kata Senapati Gada Sura sambil menoleh ke arah dua orang jagoan istana yang memang sengaja dibawanya untuk tugas itu.

“Jangan khawatir, Tuan Senapati. Kami berdua akan melaksanakan tugas ini sebaik-baiknya. Tidak sulit rasanya untuk mencari tokoh itu, karena mereka tinggal di daerah pantai sebelah Utara Laut Pajang. Bukan begitu, Adi Barangga...?” lelaki tua berusia sekitar enam puluh tahun yang bernama Ki Tumbal Waru itu menolehkan kepala ke arah lelaki gemuk dan berkepala agak botak yang bernama Barangga.

“Benar, Tuan Senapati. Serahkan saja persoalan ini kepada kami berdua. Percayalah. Dalam waktu dekat, kami akan segera mengabarkan hasilnya...,” janji lelaki gemuk bernama Barangga itu sambil terkekeh parau. Jelas, ucapannya itu menandakan kesombongan hatinya.

“Baiklah. Kapan kalian berangkat...?” tanya Senapati Gada Sura singkat. Sepertinya, ia ingin selalu bertindak cepat dalam segala sesuatu.

“Kalau diizinkan, sekarang juga kami akan berangkat,” langsung saja Ki Tumbal Waru menyahuti tanpa menunggu keputusan Senapati Gada Sura. Sedangkan Gada Sura mengangguk saja menyetujui.

Tanpa banyak cakap lagi, Senapati Gada Sura langsung memerintahkan agar mereka segera berkemas. Sedangkan ia sendiri segera saja memasuki kamar yang khusus untuk beristirahat apabila di istana sedang tidak adatugas. Ruang pertemuan itu pun kembali sunyi, setelah semua orang yang berada di dalamnya pergi mengemban tugas masing-masing.

********************

Dengan menggunakan ilmu lari cepatnya, dua orang jagoan Istana Kerajaan Bantar Gebang bergegas menuju Pantai Utara Laut Pajang. Tujuan mereka jelas. Mencari Hantu Laut Pajang untuk meminta penjelasan tokoh itu mengenai pembunuhan dua orang kepercayaan Senapati Gada Sura.

Ki Tumbal Waru dan Barangga tiba-tiba menghentikan larinya, saat mereka baru menginjakkan kaki di pantai sebelah Utara Laut Pajang. Memang, satu setengah tombak di depan mereka berdiri tegak seorang lelaki tegap yang melindungi wajahnya dengan caping bambu. Merasa kalau sosok bercaping itu sengaja menghadang jalan, Barangga segera saja menegurnya.

“Kisanak! Apakah kau ada keperluan dengan kami berdua?” tanya Barangga agak hati-hati sambil meneliti sosok tegap didepannya. Sepasang mata lelaki gemuk itu nampak agak menyipit seperti hendak menilai sosok bercaping bambu itu.

“Hm.... Seharusnya, akulah yang bertanya kepada kalian berdua. Apa keperluan kalian hingga sampai ke daerah kekuasaanku ini?” sahut sosok tegap yang wajahnya terlindung caping bambu itu. Sambil berkata demikian, tangannya bergerak menaikkan tepi caping. Tampaklah sepasang mata yang menyorot tajam menggetarkan.

“Hm.... Siapa kau, hingga berani-beraninya mengaku pantai ini merupakan daerah kekuasaanmu? Kami kenal, siapa pemilik Pantai Utara Laut Pajang ini. Dan kami pun tahu, orang itu bukanlah kau, Kisanak. Jadi, kau tidak mempunyai hak bertanya seperti itu!” Ki Tumbal Waru yang semenjak tadi hanya diam menatapi sosok bercaping itu, mulai angkat bicara. Nada suaranya demikian tegas dan tandas.

“Ha ha ha.... Begitukah? Lalu, tahukah kalian. Siapa orang yang kini berdiri menghadang jalan kalian?!” kata sosok bercaping itu, lebih mantap dan menggeletar. Jelas kalau ia telah mengerahkan tenaga dalamnya melalui suara itu.

“Pemilik tempat ini adalah sahabat kami yang berjuluk Hantu Laut Pajang. Dan, aku tidak tahu siapa dirimu. Maka sebaiknya menyingkirlah, sebelum terlambat...,” sahut Barangga dengan tekanan ancaman halus. Tampaknya lelaki gemuk jagoan Istana Kerajaan Bantar Gebang ini mulai tidak sabar menanggapi ucapan sosok bercaping itu.

Sosok tinggi tegap yang wajahnya terlindung di balik caping bambu itu kembali memperdengarkan suara tawanya, seraya menggerakkan tangannya untuk melepas caping yang menyembunyikan wajahnya. Tapak seraut wajah kehitaman yang di sebelah kiri wajahnya terdapat sebuah luka seperti bekas penyakit kulit. Tentu saja Ki Tumbal Waru dan Barangga semakin berkerut kening, karena sama sekali tidak mengenali seraut wajah yang jelas masih muda didepannya.

“Hm... Kalian pasti tidak kenal wajahku lagi yang telah menjadi buruk ini. Tapi, ketahuilah. Aku tidak pernah melupakan kebiadaban kalian yang telah membantai keluargaku secara keji di Laut Pajang. Untuk itulah aku menghadang kalian di tempat ini. Maksudku adalah hendak mencabut nyawa kalian berdua,” tegas sosok tegap berwajah buruk yang ternyata Bhirawa.

Rupanya, kedua orang jagoan istana itu termasuk dalam daftar musuh-musuh keluarganya. Makanya dia menghadang perjalanan Ki Tumbal Waru dan Barangga.

Baik Ki Tumbal Waru maupun Barangga agak tersentak mendengar ucapan pemuda itu. Meskipun peristiwa itu telah dapat diingat, tapi mereka sama sekali tidak bisa mengenali pemuda berwajah buruk yang berada di depannya itu.

“Maaf. Aku tetap tidak mengenalmu, Kisanak. Tapi kalau memang hendak membalas dendam, sebutkanlah namamu. Dan, apa hubunganmu dengan peristiwa itu...?” tanya Ki Tumbal Waru yang memang tidak bisa mengenali pemuda berwajah buruk yang memiliki sepasang mata mencorong tajam itu.

“Baik, namaku Bhirawa. Dan mengenai hubunganku dengan peristiwa itu maupun orang-orang yang kalian bantai secara kejam, rasanya tidak perlu lagi ku jelaskan...,” sahut Bhirawa datar namun penuh menyimpan dendam kesumat.

“Aaah...!?”

Barangga tersentak mundur dengan wajah agak berubah. Jelas, ia sangat terkejut mendengar nama pemuda bertubuh tegap itu. Sepasang matanya tampak melotot lebar, bagaikan orang melihat hantu di siang bolong!

“Mustahil...?!” desis Ki Tumbal Waru yang juga hampir tidak mempercayai pendengarannya. Berbeda dengan Barangga, Ki Tumbal Waru menatap tajam seolah-olah ingin memastikan kalau pemuda itu tidak berbohong atau sengaja menakut-nakutinya. Memang, Bhirawa yang mereka kenal, tentu saja berbeda jauh dengan pemuda buruk rupa itu.

“Sudahlah. Tidak perlu lagi kalian berpura-pura pikun sebaiknya, bersiaplah untuk menerima kematian...!” desis Bhirawa tanpa mempedulikan keterkejutan kedua orang musuh keluarganya.

Swing...!

Tahu-tahu saja, sebilah pedang bersinar kebiruan telah tergenggam ditangan kanan pemuda itu.

“Hantu Laut Pajang...?!”

Kedua orang jagoan istana itu tersentak mundur begitu mengenali senjata yang berada dalam genggaman Bhirawa. Jelas mereka sangat terkejut melihat adanya senjata yang sekarang berada di tangan pemuda berwajah buruk itu.

“Ya! Dan, senjata ini pulalah yang telah menghirup darah dua orang manusia busuk Danta dan Barna Pati semalam...,” desis Bhirawa datar.

Kemudian senjata Bhirawa dilintangkan di depan dada. Siap untuk menghirup darah musuh-musuh keluarganya yang masih tersisa.

ENAM

Ki Tumbal Waru dan Barangga cukup terkejut mendengar pengakuan pemuda buruk rupa itu. Untuk meyakinkan hatinya, kedua jagoan kerajaan itu kembali meneliti sosok tinggi tegap di depannya.

“Benarkah kau yang telah membunuh Danta dan Barna Pati dengan menyamar sebagai Hantu Laut Pajang...?” tanya Barangga masih tetap meragukan pengakuan Bhirawa.

Keraguan lelaki gemuk itu bukannya tanpa alasan. Ia sendiri cukup tahu, sampai di mana kepandaian kedua orang pengawal pribadi putra atasannya. Bahkan Barangga sendiri harus memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat menundukkan Danta dan Barna Pati. Jadi, wajar saja kalau ia tidak begitu yakin kalau pemuda buruk rupa itu yang telah membunuh Danta dan Barna Pati.

“Hm.... Percaya atau tidak, itu terserah kalian. Yang jelas, akulah yang telah menghukum kedua jahanam busuk itu! Dan aku tidak menyamar sebagai Hantu Laut Pajang, karena memang aku sendiri yang kini berjuluk Hantu Laut Pajang. Itu bisa kalian yakini dengan senjata kebesaran tokoh itu yang kini berada di tanganku,” jelas Bhirawa tanpa mempedulikan ketidakpercayaan lelaki gemuk itu.

“Jadi..., kau putra...?”

“Ya! Sekarang bersiaplah menerima kematian!” potong Bhirawa tanpa memberi kesempatan kepada Ki Tumbal Waru untuk menyelesaikan kalimatnya. Usai berkata demikian, pemuda berwajah buruk yang penuh perbawa itu bergerak ke kiri sambil menggerakkan pedangnya.

Yakin kalau pemuda itu memang benar-benar pembunuh yang dicarinya, maka Ki Tumbal Waru dan Barangga segera saja bergerak merenggang.

“Kalau begitu, kau bukan saja harus ditangkap. Tapi, kau juga harus menerima hukuman berat..,” desis Ki Tumbal Waru yang kini merasa geram.

Ki Tumbal Waru dan Barangga sepertinya tidak ingin menganggap remeh pemuda itu. Terbukti, mereka telah mencabut senjata masing-masing.

Wuuut! Wuuut!

Barangga menggeser langkahnya ke kanan sambil mengibaskan senjata di tangannya yang berupa sebilah pedang tipis. Terdengar suara mengaung ketika senjata di tangan lelaki gemuk itu berputar membentuk gulungan sinar memanjang.

Sedangkan Ki Tumbal Waru dengan sepasang pedang sepanjang dua jengkal, telah pula menggeser tubuhnya ke kiri pemuda itu. Sepasang pedang pendeknya berkesiutan membeset udara, ketika digerakkan. Jelas, kedua orang jagoan istana itu sama-sama memiliki tenaga dalam tinggi.

Bhirawa yang dikepung dari dua arah, tetap bersikap tenang. Langkah-langkahnya terlihat demikian kokoh dan mantap. Sepertinya, pemuda itu sangat yakin akan kepandaian yang dimiliki. Hal itu tergambar jelas dari pancaran mata dan raut wajahnya yang tenang.

“Haaat..!”

Barangga yang memang memiliki sikap tidak sabar, segera saja memulai serangan dengan sebuah bentakan nyaring. Seketika itu juga, tubuh gemuknya langsung bergerak maju dengan langkah-langkah pendek namun menampakkan kekokohan. Senjata di tangannya bergerak turun naik berkecepatan tinggi. Jelas, jurus yang digunakannya bukan ilmu pasaran!

Dengan selisih waktu yang tidak lebih dari sekejap mata, Ki Tumbal Waru pun telah pula membuka serangan. Tubuh lelaki tua berusia sekitar enam puluh tahun itu melenting ke udara diiringi pekikan nyaring.

Melihat gerakan dua orang itu yang sangat berbeda, sadarlah Bhirawa kalau lawan hendak memecah perhatiannya dengan serangan dari atas dan bawah.

“Heaaah...!”

Bhirawa berseru pendek sambil mengkelebatkan pedangnya dengan pengerahan tenaga dalam. Kemudian langsung disambutnya serangan dua orang lawan dengan menggeser langkah ke kiri dan kanan. Gerakan itu dimaksudkan untuk menipu, agar lawan-lawannya tak mudah menduga ke mana serangannya ditujukan.

Serangan Barangga tiba lebih dulu dengan kecepatan menggetarkan! Senjata di tangannya mengaung, membelah udara dengan ujungnya yang bergetar bagaikan mengincar beberapa jalan darah kematian di tubuh Bhirawa. Langsung saja pemuda berwajah buruk itu memutar senjatanya untuk menyambut ujung pedang lawan.

Wettt! Wettt!

Mendadak saja ketika ujung pedang itu hampir berbenturan, Barangga merubah gerakan dengan memutar pergelangan tangannya. Sehingga, ujung pedangnya berputar setengah lingkaran dan meluncur deras mengancam tenggorokan lawan!

Cuittt!

Tapi, Bhirawa rupanya sudah menduga akan gerakan tipu lawannya. Terbukti, ketika ujung pedang lawan berputar dan mengancam tenggorokannya, pemuda itu cepat menarik mundur tubuhnya satu langkah dengan kuda-kuda agak rendah. Sehingga, pedang lawan lewat di depan wajahnya, sejengkal lebih ke atas.

“Yiaaah...!”

Bhirawa yang tak ingin membuang setiap peluang yang dilihatnya, segera saja menusukkan pedang lurus-lurus ke depan, mengincar tepat di jantung lawan!

Swing...!

Sayang, Bhirawa tidak mempunyai banyak kesempatan untuk melanjutkan serangan mautnya. Karena pada saat yang bersamaan, Ki Tumbal Waru sudah datang menerjang dengan sepasang pedang pendeknya. Suara mendesing-desing yang ditimbulkan sambaran pedang pendek lelaki tua itu, membuat Bhirawa terpaksa harus memutar tubuhnya. Langsung pedangnya dikibaskan dalam keadaan berputar! Ki Tumbal Waru yang melihat serangan balasan pemuda itu, cepat mengangkat pedang di tangan kanannya untuk menangkis.

Trang...!

Terdengar benturan yang menimbulkan percikan bunga api. Tubuh keduanya tampak sama melompat mundur, sejauh satu setengah tombak. Jelas, baik Bhirawa maupun Ki Tumbal Waru sama memiliki tenaga dalam yang kuat dan seimbang. Bhirawa yang belum lagi sempat mengatur kuda-kudanya, cepat merendahkan tubuh. Karena, pada saat itu juga, pedang Barangga datang mengancam disertai suara mengaung tajam!

Cuiiit..!

“Aaah...!?” Bhirawa memekik tertahan ketika hampir saja mata pedang lawan menggores lehernya! Untungnya, pemuda itu masih sempat memiringkan kepala dengan membentuk kuda-kuda serong. Sehingga, mata pedang itu lewat tiga jari di samping kulit lehernya!

“Hihhh!”

Tindakan Bhirawa dalam melakukan serangan balasan rupanya memang patut dipuji. Kejelian matanya dalam memanfaatkan setiap peluang, membuat pemuda itu cepat tanggap. Maka pada saat berhasil menghindari sambaran mata pedang itu, langsung saja kaki kanannya terlontar menghajar tubuh Barangga!

Buggg!

“Hukhhh...!”

Tendangan yang keras itu telak menghajar perut Barangga yang memang tidak pernah menduga akan kejelian mata lawannya. Karuan saja tubuhnya langsung terjungkal ke belakang. Untungnya, lelaki gemuk itu bisa menguasai keadaan. Cepat tubuhnya melenting dan bersalto beberapa kali, untuk kemudian mendarat empuk sejauh dua tombak dari lawan. Meski demikian, terlihat wajahnya agak meringis menahan nyeri. Pada sudut bibirnya tampak lelehan darah segar, yang membuatnya semakin geram.

Saat itu, Bhirawa yang berniat menyusuli serangannya selagi tubuh lawan berada di udara, terpaksa harus menundanya. Karena pedang pendek Ki Tumbal Waru memang sudah mencegahnya!

Wettt! Wettt! Wettt!

Serangkaian sambaran pedang pendek di tangan Ki Tumbal Waru datang susul-menyusul diiringi decitan-decitan menyakitkan telinga. Untuk beberapa saat lamanya, Bhirawa terpaksa harus bermain mundur. Serangan orang tua itu memang cukup membuatnya kerepotan!

“Hiaaah...!”

Ki Tumbal Waru sepertinya tidak lagi ingin memberi peluang kepada lawan untuk membalas. Terbukti serangan sepasang pedang pendeknya tidak berhenti sampai di situ saja. Senjata sepanjang dua jengkal itu terus menyambar-nyambar hebat! Tentu saja Bhirawa semakin terdesak hebat!

Gencarnya serangan yang dilontarkan Ki Tumbal Waru sepertinya tidak sia-sia. Setelah selama sepuluh jurus lebih mencecar lawannya, akhirnya salah satu dari pedang pendeknya berhasil merobek lengan bagian atas pemuda itu!

Wuttt.... Crasss...!

“Aaakh...!” Bhirawa terpekik kaget saat ujung pedang pendek di tangan lawan mengenai bagian tubuhnya. Darah segar segera menyembur dari luka yang cukup dalam dan panjang itu. Bahkan Bhirawa sempat melintir dibuatnya!

“Haiiit...!”

Selagi tubuh lawan melintir akibat sambaran salah satu pedang pendeknya, Ki Tumbal Waru berseru keras sambil melontarkan tendangan berputar ke kepala lawannya. Namun dalam keadaan yang cukup sulit itu, rupanya Bhirawa sempat melihat datangnya tendangan maut. Langsung saja tubuhnya bergeser untuk menghindar. Sayang ia masih kalah cepat dengan lawannya. Sehingga....

Desss...!

Tendangan itu ternyata masih sempat menghajar punggungnya! Maka karuan saja tubuh pemuda terlempar, dan tersungkur mencium tanah! Darah segar semakin banyak mengalir dari lukanya. Tendangan keras tadi memang tepat mengenai dekat bagian lukanya.

“Uhhh...!” Bhirawa mengeluh sambil meringis menahan sakit pada lukanya. Tapi selagi pemuda itu bergerak hendak bangkit, Barangga datang menjejakkan kakinya ke tubuh pemuda itu!

Derrr!

Debu mengepul ketika telapak kaki yang disaluri tenaga dalam menjejak tanah di dekat tubuh Bhirawa. Karena, pemuda itu sempat menggulingkan tubuhnya untuk menghindar. Tapi, Barangga bukan orang bodoh. Maka begitu pijakannya luput, kaki itu langsung terlontar menghajar lambung Bhirawa!

Desss...!”

“Hukhhh...!”

Tendangan keras itu telak mengenai lambung Bhirawa. Seketika itu juga tubuhnya bagai disentak-kan bangkit secara paksa, dan tumbang kembali disertai keluhannya. Darah segar pun semakin banyak yang keluar dari mulut pemuda itu.

Barangga yang rupanya sangat bernafsu untuk menewaskan lawan, mengobat-abitkan pedangnya ke tubuh Bhirawa yang terus bergulingan menghindarkan diri. Meskipun demikian, tak urung beberapa buah goresan ujung pedang harus diterimanya. Dan akhirnya, Bhirawa tidak lagi mampu untuk menggulingkan diri. Pemuda itu hanya terdiam pasrah, menanti datangnya maut yang akan menjemput!

“Hiyaaa...!”

Wukkk...!

Pedang di tangan Barangga berkeredep menyilaukan mata, hendak membelah tubuh Bhirawa. Sedangkan pemuda itu menatap tak berkedip, pasrah menerima kematiannya. Mata pedang Barangga meluncur deras tanpa dapat dicegah lagi! Nampaknya, riwayat Hantu Laut Pajang harus tamat di tangan salah seorang jagoan Kerajaan Bantar Gebang.

Trang...!

“Aaah...!”

Mendadak, pada saat yang sangat gawat bagi keselamatan Bhirawa, meluncur seberkas sinar hitam dengan kecepatan tidak bisa ditangkap mata biasa. Kemudian, sinar itu langsung membentur pedang di tangan Barangga yang siap menamatkan riwayat Hantu Laut Pajang.

Benturan sinar hitam itu ternyata berakibat sangat mengejutkan! Bukan saja pedang di tangan Barangga dapat dibuat terpental lepas dari genggaman, bahkan tubuhnya hampir terjengkang jatuh! Tentu saja kenyataan itu hampir membuat Barangga tidak mempercayainya. Dia lalu bangkit, dengan mata tertuju ke arah penyerangnya.

“Siapa kau...?!” bentak Barangga.

Mata laki-laki gemuk itu melotot bagai hendak keluar ketika melihat seorang pemuda berjubah putih yang membantu Bhirawa bangkit. Wajah pemuda itu bersih dan tampan, dengan senyum ramah menghias wajahnya.

Bhirawa yang sama sekali tidak menduga kalau nyawanya bisa selamat, tertegun menatap pemuda tampan berjubah putih yang berusia sebaya dengannya. Bhirawa segera menundukkan wajahnya, tidak berani menentang pandangan mata pemuda tampan yang terlihat demikian tajam dan mengandung perbawa amat kuat.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak...,” ucap Bhirawa, tanpa mengangkat wajahnya. Dia juga masih belum percaya kalau nyawanya selamat.

Pemuda tampan berjubah putih itu hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum menerima ucapan terima kasih Bhirawa. Dibawanya pemuda itu bangkit, dan disandarkannya di dinding karang.

“Bagaimana dengan musuh-musuhku itu,Kisanak...?” tanya Bhirawa mengalihkan pandangan kearah dua orang jagoan Istana Kerajaan Bantar Gebang. Kening pemuda berwajah buruk itu tampak berkerut, ketika melihat adanya sesosok tubuh ramping terbungkus pakaian hijau yang tengah berdiri menghadapi kedua orang musuhnya.

“Gadis berpakaian hijau itu adalah kawanku. Jadi, tenangkanlah dirimu...,” jelas pemuda berjubah putih, sebelum sempat bertanya.

Pemuda berjubah putih itu memang Panji, yang dikalangan rimba persilatan dikenal sebagai Pendekar Naga Putih. Sedangkan gadis jelita berpakaian hijau yang tak lain dari Kenanga. Kemudian tanpa banyak cakap lagi Pendekar Naga Putih segera mengobati luka-luka di tubuh Bhirawa.

Kekaguman di hati Bhirawa semakin bertambah ketika merasakan betapa jemari tangan pemuda itu demikian lincah dalam melakukan pengobatan terhadap dirinya. Bahkan obot-obatan yang diberikan pemuda tampan itu sangat manjur. Maka tentu saja semua itu membuat Bhirawa jadi terbengong-bengong.

"Kau hebat sekali, Kisanak. Aku benar-benar kagum dan tunduk kepadamu...,” aku Bhirawa tulus dengan wajah berseri.

Pendekar Naga Putih hanya tersenyum menanggapi ucapan tulus pemuda berwajah buruk itu. “Sekarang kau istirahatlah. Biar kami yang akan menangani kedua orang itu...,” ujar Panji yang segera bergerak meninggalkan Bhirawa.

“Maaf. Kalau kami mencampuri urusan ini, Kisanak sekalian. Tapi melihat betapa teganya kalian menyiksa lawan yang sudah tidak berdaya, rasanya aku tidak bisa tinggal diam. Alangkah lebih baik apabila musuh yang sudah tidak berdaya, diampuni dan dibawa kembali ke jalan kebenaran. Dengan demikian, kalian berarti bukan saja telah menolong jiwanya, tapi juga menyelamatkan manusia-manusia lain. Karena, bisa saja pemuda itu jadi menyadari kesalahannya selama ini...,” kata Pendekar Naga Putih dengan tutur kata yang halus dan sopan. Sehingga, baik Barangga maupun Ki Tumbal Waru saling berpandang sejenak.

“Hm.... Siapakah kau, Kisanak. Usia dan penampilan mu mengingatkanku pada seorang pendekar yang telah menggemparkan dunia persilatan. Benarkah dugaanku kalau kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?” Ki Tumbal Waru yang semenjak tadi memang memperhatikan pemuda tampan itu secara teliti, segera saja mengungkapkan dugaannya meski agak ragu.

“Benar, Orang tua. Sahabatku ini adalah orang yang berjuluk Pendekar Naga Putih,” sahut gadis berparas jelita berpakaian serba hijau itu cepat.

“Hm.... Sebagai seorang pendekar besar yang selalu menentang setiap kejahatan, seharusnya kau tidak menghalangiku untuk melenyapkan pemuda laknat itu. Ketahuilah, pemuda berwajah buruk itu adalah seorang pemberontak yang telah melakukan pembunuhan terhadap dua orang pembantu Senapati Gada Sura. Bahkan dia pula yang telah membunuh beberapa prajurit pada beberapa hari yang lewat Nah! Apakah kau masih tetap ingin membela penjahat itu, Pendekar Naga Putih...?”

Barangga yang masih menyimpan kejengkelan terhadap campur tangan pemuda itu, menjelaskan duduk perkaranya. Tentu saja dengan maksud agar Pendekar Naga Putih tidak ikut campur tangan dalam perkara ini.

“Maaf. Sebelumnya, mungkin dugaanku akan sama dengan kalian. Tapi setelah melihat pedang yang menjadi lambang seorang tokoh sahabat guruku, maka aku merasa yakin kalau pemuda itu bukan seorang penjahat seperti yang kalian, tuduhkan. Kalaupun ia telah melakukan pembunuhan, pasti ada alasan kuat di balik semua perbuatannya. Kuharap, kalian berdua suka memaafkan perbuatannya. Berilah kepercayaan kepadaku untuk menyadarkannya,” kata Pendekar Naga Putih.

Panji yang kedatangannya memang bukan tanpa sebab, sepertinya masih tetap ingin membela pemuda berwajah buruk itu. Dan apa yang dikatakannya pun memang merupakan kebenaran. Memang tokoh yang berjuluk Hantu Laut Pajang itu merupakan sahabat lama gurunya. Kedatangannya ke tempat itu pun hendak mengunjungi tokoh sahabat gurunya.

“Pendekar Naga Putih! Apa pun alasanmu, pemuda itu merupakan ancaman yang sangat berbahaya bagi kami dan juga atasan kami. Untuk itu, kami ditugaskan untuk melenyapkannya. Kalau kau menentang kami, itu sama artinya hendak memberontak terhadap Kerajaan Bantar Gebang!” dengus Ki Tumbal Waru.

Laki-laki tua yang memang diberi tugas Senapati Gada Sura untuk mendapatkan pemuda itu hidup atau mati, tidak bisa menerima alasan Panji. Dan ia tetap berkeras hendak mengambil Bhirawa, meskipun untuk itu harus berhadapan dengan Pendekar Naga Putih yang kesaktiannya telah menggemparkan jagad.

Panji tersenyum dengan wajah tetap tenang. Sepertinya pemuda tampan itu sama sekali tidak gentar atas gertakan Ki Tumbal Waru yang mengatasnamakan Kerajaan Bantar Gebang. Dan Panji bukan pemuda bodoh. Kalau memang pemuda itu musuh kerajaan, tentunya bukan hanya mereka berdua yang akan dikirim untuk menangkapnya. Tapi, orang-orang berpakaian prajuritlah yang akan melakukan tugas itu.

Sekali melihat saja, Panji dapat menilai kalau Ki Tumbal Waru dan Barangga merupakan orang-orang kasar yang mungkin bekerja untuk kepentingan seseorang. Bukan untuk kerajaan. Pikiran itulah yang membuat Panji tidak gentar, meskipun kedua orang itu menggertaknya.

“Maaf. Apa pun alasannya aku tetap tidak akan membiarkan pemuda itu menjadi korban keganasan kalian,” tegas Panji yang sepertinya tetap ingin membela Bhirawa. Memang Pendekar Naga Putih dapat melihat pancaran kebaikan di hati Bhirawa.

“Kalau begitu, kami harus menggempurmu...,” geram Barangga dengan sikap mengancam. Sambil berkata demikian, lelaki gemuk itu bergerak merenggang. Demikian pula halnya Ki Tumbal Waru. Lelaki tua itu pun sudah siap hendak menyerang Pendekar Naga Putih.

TUJUH

Kenanga yang tadi hanya mendengarkan perdebatan kekasihnya dengan dua orang jagoan Kerajaan Bantar Gebang, melangkah maju. Rasa penasaran yang semenjak tadi ditahannya bangkit seketika.

“Biar aku yang memberi pelajaran kepada mereka, Kakang. Rasanya kalau hanya untuk menghadapi dua ayam sayur ini kau tidak perlu turun tangan,” ujar Kenanga sambil menatap kekasihnya meminta persetujuan. Biarpun marahnya demikian besar, namun gadis itu tidak berani melangkahi Panji.

Panji yang mengetahui sifat kekasihnya termenung sejenak. Disadari kalau pribadi gadis jelita itu lembut. Tapi dia sadar pula kalau Kenanga bila memberi hajaran kepada orang-orang yang tidak disukainya, atau berani menghina kekasihnya, dapat bersikap keras. Pikiran itulah yang membuat Panji termenung.

“Untuk kali ini, biarlah aku saja yang menghadapi mereka. Kau menyingkirlah, Kenanga...,” tolak Panji, setelah berpikir sesaat.

Tanpa membantah lagi, Kenanga segera saja bergerak menyingkir. Meskipun hatinya penasaran, namun ia tidak mau membantah ucapan kekasihnya. Pendekar Naga Putih melangkah maju, dan berdiri tegak menghadapi kedua orang lawannya dalam jarak satu tombak lebih. Sikap dan wajahnya tetap terlihat tenang, tanpa sorot kebencian atau permusuhan.

“Silakan kalian memulai...,” ucap Panji tanpa persiapan sedikit pun. Kedua kakinya sama sekali tidak menunjukkan kalau telah siap tempur.

Ki Tumbal Waru dan Barangga pun menyadari sikap pemuda itu. Tapi, justru sikap tenang tanpa persiapan pemuda itulah yang membuat mereka berhati-hati. Jelas, sikap itu menandakan kalau Pendekar Naga Putih memang sudah tidak perlu siap-siap dalam menghadapi pertarungan. Dalam keadaan bagaimanapun, seorang pendekar besar seperti pemuda tampan itu dapat saja bergerak ke mana saja ia suka. Itulah yang membuat Ki Tumbal Waru dan Barangga berhati-hati.

Dengan geseran telapak kaki lembut, kedua orang jagoan istana itu bergerak mengitari Pendekar Naga Putih. Sejauh itu, mereka belum menunjukkan tanda-tanda untuk memulai serangan. Sepertinya, mereka hendak mencari kelemahan pemuda tampan itu. Panji sendiri tetap berdiri tegak tanpa merubah kedudukannya. Hanya sepasang matanya saja yang bergerak mengikuti gerak-gerik kedua orang lawannya.

“Haiiit...!”

Dibarengi sebuah teriakan nyaring, Ki Tumbal Waru memulai serangannya dari samping kiri Pendekar Naga Putih. Terdengar suara berkeciutan ketika sepasang pedang pendek di tangan orang tua itu bergerak susul-menyusul dengan kecepatan sukar diikuti mata biasa.

Wettt! Wettt!

Pendekar Naga Putih menggeser kaki kanannya kebelakang dengan kuda-kuda rendah. Tubuhnya berputar ke samping menghindari tusukan dua bilah pedang pendek yang mengincarnya. Kemudian, Pendekar Naga Putih terus melangkah mundur dan bergerak ke kiri dan kanan ketika serangan Ki Tumbal Waru masih terus bersambungan.

“Haiiih...!” Pada suatu kesempatan, telapak tangan Panji menepiskan serangan, ketika senjata di tangan kanan lawan bergerak menuju tenggorokannya!

Plakkk!

“Uhhh...!” Ki Tumbal Waru mengeluh pendek. Tepisan yang kelihatannya sembarangan itu ternyata mampu membuat tubuhnya berputar. Tentu saja orang tua itu menjadi terkejut dibuatnya.

Tapi, tidak percuma Ki Tumbal Waru menjadi salah seorang jagoan di Istana Kerajaan Bantar Gebang. Putaran tubuhnya itu dapat dimanfaatkan untuk melanjutkan serangannya. Pedang pendek di tangan kanannya bergerak menusuk ke belakang, dan langsung mengancam dada kanan Pendekar Naga Putih.

Swiiit...!

Sayang, kali ini yang dihadapinya bukanlah seorang tokoh sembarangan. Bagi seorang pendekar seperti Panji, serangan itu sama sekali tidak membuatnya kaget. Dengan sebuah kelitan indah, tubuh Pendekar Naga Putih bergerak ke depan. Langsung sikunya disodokkan ke iga lawan. Namun sayang, serangan itu tidak bisa diteruskan. Karena pada saat itu juga, pedang di tangan Barangga datang mengancam dari atas ke bawah. Maksudnya untuk memapas putus lengan pemuda itu.

“Haiiit...!”

Kegagalan serangannya sama sekali tidak membuat Panji kehilangan akal. Dibarengi seruan nyaring, tubuh pemuda itu melenting berputar ke belakang Barangga. Bahkan terus mengirimkan sebuah tendangan kilat yang mengejutkan!

Plakk!

“Uhhh...!” Barangga memang berhasil menangkis tendangan lawan dengan menggunakan lengan kirinya. Tapi untuk tindakannya itu, ia harus menanggung rasa nyeri yang bagaikan menusuk ke dalam tulangnya. Sedangkan tubuhnya sendiri hampir terbanting jatuh. Untung saja ia bertindak cepat menguasai keseimbangan tubuhnya.

Pertarungan kembali berlangsung seru. Ki Tumbal Waru dan Barangga kembali melancarkan serangan-serangan maut ke arah lawannya. Kali ini, mereka dapat berkerja sama dengan baik dan saling melindungi satu sama lain. Sehingga, beberapa kali serangan Panji dapat digagalkan.

Ketika pertarungan menginjak pada jurus yang ketiga puluh, Pendekar Naga Putih mulai menebarkan pengaruh ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’. Kabut bersinar putih keperakan mulai menebarkan hawa dingin menusuk tulang. Sehingga, baik Ki Tumbal Waru maupun Barangga sangat merasa terganggu oleh pancaran hawa dingin yang keluar dari tubuh dan sambaran pukulan lawan. Akibatnya hal itu membuat mereka tidak lagi leluasa untuk melontarkan serangan-serangan. Dengan demikian, berarti gempuran- gempuran kedua orang tokoh istana itu mulai berkurang.

Pendekar Naga Putih tidak mau bersikap ayal-ayalan lagi. Dengan jurus-jurus ‘Naga Sakti’nya, pemuda itu mulai mendesak Ki Tumbal Waru dan Barangga. Sehingga dalam beberapa jurus saja, kedua orang jagoan Istana Kerajaan Bantar Gebang itu benar-benar dibuat kalang kabut!

“Gila...!” maki Barangga jengkel. Barangga tampaknya kali ini tidak mampu lagi melontarkan serangan-serangannya. Setiap kali melontarkan serangan, selalu saja membalik. Serangannya bagaikan terbentur lapisan benteng salju yang sukar ditembus.

Keadaan Ki Tumbal Waru pun tidak berbeda jauh. Lelaki tua itu tampak tidak lagi garang seperti semula. Sambaran-sambaran sepasang pedang pendeknya selalu saja gagal. Memang gerakan lawannya kali ini terasa terlalu cepat. Sehingga, untuk memburunya Ki Tumbal Waru harus memerlukan tenaga banyak. Tentu saja hal itu membuatnya cepat kehabisan tenaga.

“Hiaaat...!”

Ketika pertarungan menginjak jurus yang keempat puluh, terdengar pekikan nyaring dari Pendekar Naga Putih. Pada saat yang bersamaan terlihat tubuh pemuda berjubah putih itu bergerak cepat bagaikan sambaran kilat di angkasa. Maka seketika, hawa dingin menusuk tulang langsung menebar bagai men- gungkungi kedua jagoan istana itu.

Plaggg! Desss...!

Serangan dahsyat Pendekar Naga Putih tidak mampu lagi dihindari Barangga maupun Ki Tumbal Waru. Hantaman telapak tangan Panji telak menghajar dada dan punggung mereka! Ki Tumbal Waru dan Barangga memekik kesakitan! Tubuh kedua tokoh istana itu langsung terpental dan terbanting jatuh, menimbulkan suara berdebuk nyaring!

“Huakhhh...!”

Hampir berbarengan, mereka memuntahkan darah kental akibat pukulan hawa dingin Pendekar Naga Putih. Bahkan tubuh mereka terlihat masih menggigil, dan belum bisa bergerak bangkit.

Tanpa setahu Panji, Bhirawa yang berada tidak jauh dari tempat jatuhnya kedua orang tokoh istana itu diam-diam meraba pedangnya. Kebencian dan dendam di hati pemuda berwajah buruk itu, telah membuatnya menjadi gelap mata. Seketika itu juga, Bhirawa melompat dan langsung menyabetkan senjata ke arah leher Barangga. Bahkan juga langsung menusuk tubuh Ki Tubal Waru!

“Hei, tahaaan...!”

Tentu saja Panji terkejut bukan main melihat perbuatan pemuda berwajah buruk itu. Namun karena jarak pemuda itu dan kedua orang musuhnya memang sangat dekat, Panji tidak sempat mencegahnya.

Barangga terlihat menggelepar dengan tubuh tanpa kepala, lalu dia tak bergerak lagi. Sedangkan Ki Tumbal Waru menekap dadanya yang mengucurkan darah. Sebentar kemudian, lelaki tua itu pun tewas, karena tusukan pedang Bhirawa tepat mengenai jantungnya.

“Mengapa kau lakukan perbuatan rendah seperti ini...?” desis Panji menahan rasa sesal karena terlambat untuk mencegah perbuatan pemuda itu.

“Maaf, Pendekar Naga Putih. Dendamku kepada dua orang manusia terkutuk itu sudah terlalu berkarat. Sehingga, aku menjadi gelap mata...,” desah Bhirawa sambil menggenggam pedang yang telah berlumuran darah di tangan kanannya. Setelah berkata demikian, Bhirawa berbalik. Dia langsung berlari meninggalkan tempat itu.

“Kisanak, tunggu..!” seru Panji Pendekar Naga Putih segera melesat mengejar pemuda buruk rupa itu. Sekali melompat saja, tubuhnya telah berdiri menghadang jalan pemuda berwajah buruk itu.

“Oh, maaf kalau aku lupa mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu...,” ucap Bhirawa langsung saja membungkuk memberi hormat. Rupanya ia menganggap sikap Panji yang mencegah kepergiannya, karena belum mengucapkan terima kasih.

“Bukan itu yang kuinginkan, Kisanak. Kalau boleh aku tahu, siapakah namamu. Dan apa yang membuat kau demikian membenci mereka?” tanya Panji dengan sikap tenang, seperti tidak mempedulikan pandangan pemuda itu terhadapnya.

“Aku bernama Bhirawa. Tentang persoalan dendamku, maaf. Aku tidak bisa menceritakannya. Selamat tinggal...,” pamit Bhirawa. Pemuda itu segera melesat meski dengan langkah yang belum tetap. Karena, ia masih belum sembuh benar dari luka-lukanya.

Kali ini Panji tidak berusaha mencegah. Ia memang merasa tidak mempunyai hak untuk mengetahui persoalan orang lain. Lain halnya kalau pemuda itu menceritakan secara suka rela. Melihat kekasihnya termenung sambil menatap bayangan Bhirawa yang semakin jauh, Kenanga datang menghampiri.

“Hm.... Seorang pemuda yang keras kepala dan angkuh..,” desis Kenanga sambil ikut memandang ke arah yang sama.

“Tampaknya dia memang tidak ingin orang lain ikut campur dalam masalah yang tengah dihadapinya,” desah Panji tanpa mengalihkan pandangannya.

“Lalu, bagaimana tentang Hantu Laut Pajang? Apakah Kakang masih ingin menjumpainya?” tanya Kenanga, mengingatkan Panji akan tujuan mereka semula mendatangi Pantai Utara Laut Pajang.

“Untuk sementara, kita lupakan saja dulu. Aku khawatir pemuda keras kepala itu masih mempunyai musuh-musuh lain di kotaraja yang belum didatanginya. Dan mungkin juga, dia mempunyai hubungannya dengan Hantu Laut Pajang. Hanya saja, dia masih keras kepala hendak menyimpan rahasia itu sendiri...,” jawab Panji yang kini menoleh menatap kekasihnya.

“Jadi, Kakang berniat hendak melindunginya...?” desak Kenanga lagi ingin mengetahui tindakan Panji selanjutnya.

“Tidak pasti begitu. Yang jelas, pemuda itu sangat menaruh dendam terhadap musuh-musuhnya. Entah, apa yang dilakukan musuh-musuhnya terhadap pemuda itu di masa lalu,” sahut Panji lagi sambil melangkah menghampiri mayat Barangga dan Ki Tumbal Waru.

Ketika melihat Panji mengangkat mayat Barangga beserta kepalanya yang terpisah, Kenanga segera mengangkat mayat Ki Tumbal Waru. Dia mengikuti langkah Pendekar Naga Putih yang hendak mencari tempat yang baik untuk makam kedua orang itu.

Sepasang pendekar itu terus melangkah sambil membawa kedua mayat jagoan Istana Kerajaan Bantar Gebang. Mereka meninggalkan pantai untuk mencari daerah yang pantas sebagai makam kedua orang itu. Memang di sekitar mereka hanya terdapat tanah berpasir yang tentu saja tidak bisa digunakan untuk menguburkan mayat. Tidak berapa lama kemudian, mereka menghentikan langkah di sebuah daerah berbatu yang tanahnya tidak lagi mengandung pasir. Kenanga meletakkan mayat Ki Tumbal Waru dari bahunya, seperti halnya yang dilakukan Panji terhadap mayat Barangga.

“Hm Rasanya tempat ini cukup baik untuk peristirahatan terakhir mereka,” gumam Panji.

Kini Pendekar Naga Putih mulai menggali dengan menggunakan pedang kekasihnya. Karena pemuda itu menggunakan tenaga dalamnya, maka sebentar saja terciptalah dua buah lubang besar. Mendadak saja, sebelum Panji sempat memasukkan mayat-mayat itu ke dalam liang lahat, terdengar suara bergemuruh derap puluhan ekor kuda. Serentak mereka menoleh saling bertukar pandang. Kemudian, dinantikannya rombongan berkuda itu datang, lewat dekat mereka. Ketika rombongan berkuda itu mulai nampak, Panji sempat merasa tegang. Karena, rombongan berkuda itu ternyata terdiri dari prajurit Kerajaan Bantar Gebang.

“Celaka, Kakang. Kita bisa dipersalahkan dengan adanya mayat-mayat ini...,” desis Kenanga yang lang- sung saja menghubungkan prajurit berkuda itu dengan mayat dua orang jagoan istana yang ada bersama mereka.

Panji terdiam ketika mendengar kekhawatiran kekasihnya. Untuk lari menghindar, tentu saja pemuda itu tidak sudi. Maka, kakinya segera melangkah beberapa tindak, dan berdiri di situ. Seolah-olah Pendekar Naga Putih hendak menanti kedatangan prajurit kerajaan yang jumlahnya puluhan. Memang pemuda itu berniat menceritakan seadanya.

“Hooop...!”

Seorang lelaki gagah bercambang bauk berpakaian perwira, mengangkat tangan kanannya agar pasukan di belakangnya berhenti. Lalu matanya menatap ke arah pemuda berjubah putih dan gadis jelita berpakaian hijau yang membungkuk hormat kepadanya. Baik Panji maupun Kenanga segera dapat mengenali dengan baik, kalau perwira itu adalah orang yang memeriksa kedai tempat mereka menginap.

Perwira tinggi besar yang tak lain Kala Sungga itu menatap tajam ke arah pasangan muda di depannya. Ia yang mendapat perintah untuk segera menyusul Barangga dan Ki Tumbal Waru, segera saja membawa pasukannya ke Pantai Utara Laut Pajang. Karena, Senapati Gada Sura merasa khawatir kalau-kalau orang yang dicarinya memiliki banyak pengikut. Untuk itulah Kala Sungga sekarang berada di daerah Pantai Utara ini.

“Hahhh!? Bukankah itu Barangga dan Ki Tumbal Waru...!? Siapa yang telah melakukan kebiadaban itu...?” kata Kala Sungga, Laki-laki bercambang bauk itu terkejut bukan main ketika melihat adanya dua sosok mayat di belakang pasangan muda di depannya. Segera saja ia melompat turun dari atas punggung kuda dengan wajah setengah tak percaya.

Kala Sungga melangkah lebar agak terburu-buru. Dengan gerakan kasar, didorongnya Panji dan Kenanga yang untungnya segera menyingkir. Sehingga, mereka tidak sampai terjajar.

l “Gila! Ini benar-benar sudah keterlaluan!” teriak Kala Sungga, kalap. Kemudian perwira tinggi besar itu mengalihkan pandangan ke arah pemuda berjubah putih dan gadis jelita berpakaian hijau dengan sorot mengerikan!

“Kami menemukan kedua mayat itu di pantai, lalu membawa kemari untuk dimakamkan...,” jelas Panji, sedikit berbohong. Ia sengaja menjelaskan sebelum ditanya perwira tinggi besar itu.

“Bangsat! Siapa yang telah membunuh mereka...? Ayo, katakan padaku!” dengus Kala Sungga. Mendengar keterangan Panji, prajurit itu semakin bertambah murka. Bahkan tangannya terulur hendak mencengkeram bahu Panji. Dan tentu saja Pendekar Naga Putih tidak sudi diperlakukan demikian. Segera saja tubuhnya bergeser mundur satu langkah ke belakang. Sehingga, cengkeraman Kala Sungga hanya mengenai angin.

“Hahhh!?”

Untuk ke sekian kalinya, Kala Sungga kembali tertegun heran. Begitu sadar, kemarahannya pun menjadi berlipat-lipat. Karena perbuatan pemuda itu yang menghindari cengkeramannya, dianggap sebagai sikap membangkang.

“Kurang ajar! Rupanya kau memiliki sedikit kepandaian, ya! Aku yakin, kalian berdua pasti tahu orang yang telah melakukan pembunuhan terhadap dua orang jagoan istana itu! Kalian harus kami tangkap untuk diperiksa!” geram Kala Sungga dengan wajah semakin gelap.

Kenanga yang memang tidak suka terhadap sikap kasar perwira tinggi besar itu tentu saja menjadi bertambah dongkol. Tanpa mengenal takut, gadis jelita itu menudingkan jarinya ke wajah Kala Sungga.

“Dengar, Perwira Gila!” maki Kenanga tak kalah marahnya. “Aku tidak suka dijadikan tawanan! Dan, apa yang dikatakan kawanku ini memang benar. Kalau tidak percaya, terserah! Tapi, ingat! Aku tidak suka dibentak-bentak seperti orang pesakitan!”

Panji yang tidak sempat mencegah kemarahan dara jelita itu tentu saja cukup terkejut. Ucapan-ucapan Kenanga jelas-jelas seperti tengah menumpahkan semua kejengkelan. Maka cepat-cepat dia maju beberapa tindak untuk menjelaskan masalahnya.

“Hm.... Kau juga ingin memberontak rupanya,” desis Kala Sungga sebelum Panji sempat mengucap sepatah kata pun. “Tangkap kedua orang ini! Bunuh kalau mereka melawan!” Terdengar perintah perwira tinggi besar itu kepada puluhan orang prajuritnya. Maka segera saja mereka berlompatan turun dari atas punggung kuda dan mengepung kedua orang muda itu.

"Tunggu...!” cegah Panji. Pendekar Naga Putih tampaknya mencoba menghindari keributan dengan tentara kerajaan. Tapi, usahanya sia-sia belaka. Ternyata pasukan prajurit itu tetap bergerak mengepung dan siap menangkap mereka.

DELAPAN

“Heaaa...!”

“Yeaaa...!”

Prajurit Kerajaan Bantar Gebang yang berjumlah kurang lebih sekitar enam puluh orang itu menghambur maju ke arah Panji dan Kenanga.

Tentu saja hal itu membuat mereka harus cepat mengambil keputusan. Begitu rombongan prajurit itu hampir mendekat, Panji menahan kekasihnya yang hendak mencabut Pedang Sinar Bulan. Kemudian ditariknya gadis jelita itu ke samping. Dan bersamaan dengan itu, muncullah lapisan kabut bersinar putih keperakan. Kali ini, lapisan kabut itu tidak hanya menyelimuti sekujur tubuh Panji saja, tapi juga tubuh Kenanga.

“Aaakh...!”

“Aaa...!”

Terdengar teriakan-teriakan ngeri saat prajurit- prajurit itu menghantam senjatanya ke tubuh kedua orang korbannya. Senjata mereka langsung berbalik. Bahkan beberapa di antaranya langsung patah. Malah tubuh para penyerang itu pun terlempar bagaikan tertolak balik oleh suatu tenaga yang tak tampak.

“Kakang, lebih baik kita tinggalkan saja tempat ini...,” usul Kenanga. Memang, gadis itu ingin berlalu dari kerumunan prajurit-prajurit. Ia takut, tidak bisa menahan dirinya, dan melakukan perlawanan yang sudah pasti akan menimbulkan korban di antara para prajurit.

“Baiklah...,” sahut Panji menyetujui usul kekasihnya. Kemudian, pemuda itu mencari kepungan yang lebih mudah untuk diterobosnya.

Namun rupanya Kala Sungga sempat memperhatikan tingkah laku pemuda berjubah putih itu yang seperti hendak melarikan diri. Maka dengan empat orang perwira lainnya, lelaki tinggi besar itu pun segera saja menerjang Pendekar Naga Putih dan Kenanga.

“Yeaaat…!”

“Haaat...!”

Mendengar suara berdesingan yang lain dari desingan-desingan lainnya, Panji segera menoleh ke arah asal suara. Tampak perwira tinggi besar dan empat orang perwira lainnya tengah meluncur dengan senjata masing-masing. Sadarlah Panji kalau perwira tinggi besar itu sepertinya telah menduga maksudnya.

Wuettt... Trakkk!

“Uhhh...!” Kala Sungga yang tiba lebih dulu daripada empat orang kawannya, terkejut bukan main ketika pedang di tangannya bagaikan membentur sebuah dinding baja yang kokoh! Bahkan bukan hanya senjatanya saja yang terpental balik. Tubuhnya pun sempat menggigil, bagaikan orang terserang demam tinggi. Karena, hawa dingin yang amat kuat menyelusup melalui pedangnya dan terus merasuk ke dalamtubuh.

“Gila...?!” maki Kala Sungga yang hampir-hampir tidak mempercayai apa yang dialaminya. Seumur hidupnya, belum pernah ia mengalami hal yang demikian mengejutkan. Jangankan melihat serangan yang dapat membuat tubuhnya bagai orang terserang malaria. Untuk melihat orang yang mampu menahan hantaman senjatanya dengan tubuh telanjang pun, belum pernah ditemukannya. Tentu saja ketika pemuda itu dapat menahan senjata tanpa tameng, Kala Sungga mulai memperhitungkannya.

Bukan hanya Kala Sungga saja yang merasakan hal serupa itu. Perwira lainnya pun sama-sama merasakan. Mereka bahkan sampai terlempar, karena demikian bernafsu menamatkan riwayat pemuda berjubah putih itu. Akibatnya, mereka menderita lebih parah ketimbang Kala Sungga.

“Aaah...?!” Tiba-tiba saja Kala Sungga yang kembali bersiap menyerang dan mencoba mencari kelemahan lawan, terkejut ketika teringat sesuatu. Wajah lelaki tinggi besar itu berubah hebat seketika. Sepasang matanya terbelalak lebar, bagaikan melihat hantu di siang bolong.

“Dia.... Pendekar Naga Putih...!” seru laki-laki bercambang bauk itu.

Kala Sungga kini benar-benar teringat ciri-ciri seorang pendekar muda yang bergaung santer di kalangan rimba persilatan. Sementara itu empat orang kawan perwiranya, kini sama-sama membisikkan hal yang serupa. Wajah-wajah mereka tampak dilanda ketegangan dan kecemasan.

Sedangkan para prajurit bawahan mereka sepertinya tidak begitu tahu tentang kemunculan tokoh muda yang sangat sakti itu. Hanya ada beberapa di antara mereka yang sempat berbisik-bisik. Sepertinya, julukan itu pernah didengarnya meski samar-samar dan hanya sekilas.

Bagi Panji maupun Kenanga, keadaan seperti itu jelas merupakan peluang baik untuk melarikan diri. Cepat mereka berkelebat selagi Kala Sungga dan pasukannya tertegun bagaikan terkesima, ketika teringat orang-orang yang tengah mereka keroyok tadi.

“Hei...? Ke mana perginya mereka...?” teriak Kala Sungga, begitu sadar dari keterpakuannya.

Perwira bercambang bauk itu memang tidak menemukan pasangan muda itu di depannya. Tentu saja Kala Sungga tidak mungkin dapat menemukan mereka lagi, karena pasangan pendekar itu telah pergi menggunakan ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai tingkat tinggi. Sadar kalau Pendekar Naga Putih dan gadis jelita berpakaian hijau itu telah lenyap, Kala Sungga segera saja mengajak pasukannya untuk kembali.

Sepertinya, lelaki tinggi besar itu ingin melaporkan keterlibatan Pendekar Naga Putih dalam persoalan itu. Beberapa saat kemudian, terlihatlah iring-iringan pasukan bergerak kembali menuju kotaraja sambil membawa mayat Barangga dan Ki Tumbal Waru yang belum sempat dikuburkan oleh Pendekar Naga Putih.

********************

Saat itu malam sudah semakin larut. Sinar bulan yang redup tidak mampu menerangi gelapnya suasana malam itu. Namun, suasana seperti itu justru sangat disukai sesosok tubuh tegap terbungkus jubah panjang berwarna coklat tua. la terus bergerak gesit, menyelinap ke dalam bangunan kediaman Senapati Gada Sura. Tanpa mengalami kesulitan sedikit pun, sosok berjubah coklat itu melewati para penjaga di bawahnya dengan selamat. Menilik gerakannya yang lincah dan sangat ringan, jelas kalau sosok tegap itu memiliki kepandaian tinggi.

Ketika sosok ini tiba di bagian samping kanan bangunan besar itu, tubuhnya meluruk turun tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Kemudian, dia menyelinap masuk melalui pintu samping, dan terus bergerak menerobos ruang tengah. Tanpa mengalami kesulitan sedikit pun, sosok tegap itu pun tiba di tempat yang ditujunya.

Sementara seorang lelaki berperawakan gemuk yang tengah berada di ruang perpustakaan rumahnya, sepertinya sama sekali tidak sadar kalau dirinya tengah diintai. Lelaki itu terus saja membaca dengan tenang, tanpa memperhatikan keadaan sekelilingnya. Pada, saat itu orang yang mengintainya telah menyelinap masuk.

“Hiaaat..! Mampus kau pengkhianat busuk, Gada Sura...!”

Lelaki berperawakan gemuk yang ternyata Senapati Gada Sura itu sama sekali tidak kelihatan terkejut. Jelas, sikap tidak tahunya tadi seperti memang disengaja. Dan tampaknya, hal itu memang untuk memancing sosok tegap agar masuk ke dalam ruangan. Terbukti, ketika pedang di tangan sosok berjubah coklat tua itu membacoknya dari belakang, Senapati Gada Sura lebih dahulu menghindar dengan lompatan panjang kesamping.

Brakkk!

Meja dan kursi tempat semula senapati itu duduk kontan hancur berantakan, akibat hantaman keras dari sebilah pedang bersinar kebiruan yang digunakan sosok berjubah coklat

Senapati Gada Sura memang bukan orang sembarangan. Begitu melompat menghindari sambaran pedang yang sempat ditangkapnya tadi, lelaki gemuk itu langsung mengirimkan sebuah tendangan kilat yang telak menghantam iga lelaki berjubah coklat tua itu!

Bukkk!

“Aaakh...!” Tanpa ampun lagi, tendangan yang cukup keras langsung membuat sosok tegap itu terlempar keluar, setelah menabrak daun jendela hingga hancur berantakan!

“Yeaaat..!”

Derrr...!

Senapati Gada Sura langsung mengejar lawannya dengan jejakan keras. Dia semakin merasa geram ketika jejakan telapak kakinya ternyata tidak mengenai sasaran, karena sosok itu telah lebih dahulu bergulingan. Kemudian, sosok berpakaian coklat itu terus melenting disertai lompatan panjang ke belakang, dan siap melanjutkan perkelahian.

“Sudah kuduga, kau akan datang sendiri ke tempat ini untuk mencariku, Pembunuh! Hm... Sudah empat orang pembantu-pembantuku yang kau bunuh secara keji! Apa sebenarnya yang kau inginkan? Dan, siapa yang kau cari...?!” kata Senapati Gada Sura datar, dengan sikap merasa tinggi. Sambil berkata demikian, lelaki gemuk itu meneliti sosok dan wajah lawannya. Namun, keningnya berkerut ketika merasa tidak pernah mengenal sosok yang ternyata seorang pemuda berambut panjang dan berwajah buruk.

“Hm.... Gada Sura! Kau-lah pengecut busuk, pengkhianat yang tidak patut hidup! Kau kira kejadian lima tahun yang lalu di Laut Pajang sudah berakhir begitu saja?! Huh! Kau keliru, Gada Sura. Ayah-ibuku memang tewas oleh kebusukan dan kelicikanmu beserta kawan-kawanmu itu. Tapi, kau lupa. Saat terjatuh ke dalam laut, aku sama sekali belum tewas. Sayang, kau dan pembantu-pembantumu yang berhati busuk itu tidak mengetahuinya. Sekarang, kau harus menebusnya seperti empat orang kawanmu itu...!” ancam sosok tegap berjubah coklat yang tak lain dari Bhirawa. Rupanya, pemuda itu masih tetap nekat mendatangi musuh-musuhnya yang masih hidup. Apalagi kalau bukan untuk melampiaskan dendamnya?

“Kau... kau...,” Senapati Gada Sura tidak mampu melanjutkan ucapannya, karena hatinya terlalu terkejut mendengar pengakuan pemuda itu.

“Benar! Akulah Bhirawa putra tunggal Senapati Kalang Bawung, yang telah kau khianati itu! Rupanya, diam-diam kau mengincar jabatan senapati dalam Kerajaan Bantar Gebang ini. Kau manusia busuk yang tidak pernah puas dengan apa yang didapatkan, Gada Sura. Pangkat sebagai wakil senapati yang diberikan ayah rupanya tidak membuatmu berterima kasih. Padahal, kalau tidak ayahku yang mengusulkannya kepada Gusti Prabu, belum tentu kau bisa memegang jabatan itu! Tapi, ternyata kau tak lebih dari seekor ular yang tega membunuh, meski orang itu adalah majikanmu yang telah memberi kebaikan berlimpah- limpah! Kau memang tidak pantas hidup, Gada Sura...!” geram Bhirawa dengan sepasang mata mencorong kemerahan. Jelas, pemuda itu sangat mendendam terhadap Senapati Gada Sura yang menjadi musuh utamanya.

Mendengar ucapan-ucapan itu, tentu saja Senapati Gada Sura terkejut bukan main. Lelaki berperawakan gemuk itu menoleh ke kiri-kanan, seolah-olah takut ada yang mendengarnya. Setelah merasa tidak ada yang ikut mendengarkan ucapan Bhirawa, terlihat rona kelegaan pada wajah lelaki gemuk itu.

“Kalau begitu, bersiaplah untuk mampus, Bhirawa! Dengan demikian, rahasia ini tak akan terbongkar selamanya...,” desis Gada Sura dengan senyum iblis. Sambil berkata demikian, lelaki gemuk itu menyambar sebatang tombak berujung golok yang memang terpajang di rak senjata halaman samping bangunan itu.

Wuuut! Wuuut...!

Dengan lihainya, Senapati Gada Sura memutar tombak bermata golok di tangannya, hingga menimbulkan suara mengaung keras. Kemudian....

“Heaaat...!” Dibarengi teriakan nyaring, Senapati Gada Sura melesat dengan tusukan tombak bergoloknya.

“Yiaaah...!” Bhirawa tidak tinggal diam. Pemuda bertubuh tinggi tegap itu berseru keras sambil memutar pedang sinar kebiruan yang tergenggam di tangan kanannya. Senjata itu mengaung tajam, menimbulkan angin menderu. Gulungan sinar kebiruan pun terbentuk, dan bergerak turun naik bagaikan naga raksasa yang bermain-main di angkasa.

Bhirawa yang memang telah tahu kalau Senapati Gada Sura bekas pembantu ayahnya itu memiliki kepandaian tinggi, segera mengerahkan seluruh kemampuannya. Pedang di tangannya berkelebatan menyambar-nyambar disertai kilatan cahaya kebiruan. Namun sampai sejauh itu, tubuh lawan belum juga dapat disentuh. Bahkan gempuran tombak bergolok di tangan Senapati Gada Sura terlihat semakin bertambah cepat dan mengejutkan!

Wuettt..!

“Aihhh...!?” Bukan main terkejutnya Bhirawa ketika pada suatu kesempatan, tombak bergolok di tangan lawan bergerak menusuk dengan kecepatan kilat. Untungnya, ia masih sempat memiringkan kepala. Sehingga, lehernya selamat dari golok yang berada di ujung tombak lawannya.

“Yeaaah...!” Bhirawa yang selalu dapat memanfaatkan saat-saat tak terduga, berteriak nyaring disertai lompatan dan putaran tubuhnya ketika sabetan mendatar tombak bergolok Senapati Gada Sura lewat sebatas pinggangnya. Dalam melompat ke atas sambil berputar itu, pedang Bhirawa dikelebatkan untuk membabat dada lawan dari udara!

Brettt! Buggg!

“Aaark...! Senapati Gada Sura menjerit kaget ketika pedang lawan sempat menyerempet bahunya. Padahal, dia sudah berusaha menghindar! Namun dengan sigapnya, lelaki gemuk itu memutar balik gagang tombak bergoloknya. Bahkan langsung menghajar punggung lawan!

Meski hajaran itu tidak terlalu keras, tapi Bhirawa cukup merasa nyeri pada punggungnya. Pemuda keras hati yang tidak pernah menyerah itu kembali mengibaskan pedang di tangannya dengan putaran indah. Sepasang matanya tetap mencorong tajam menyiratkan dendam kesumat.

“Yeaaat..!” Kali ini, rupanya bukan Bhirawa yang lebih bernafsu untuk melenyapkan lawannya. Tapi justru Senapati Gada Sura-lah yang terlihat lebih ingin melenyapkan pemuda itu. Sepertinya, lelaki gemuk itu cukup sadar kalau Bhirawa satu-satunya ancaman yang bisa membuat jabatannya hilang. Itulah sebabnya, mengapa Senapati Gada Sura sangat bernafsu sekali untuk segera menghabisi nyawa Bhirawa.

Pertarungan pun terus berlanjut semakin seru. Keduanya memang memiliki tingkat kepandaian hampir berimbang, sehingga, pertarungan juga terlihat agak seimbang. Tapi suara teriakan-teriakan dan dentang senjata yang memekakkan telinga, ternyata telah mengundang seluruh penghuni bangunan besar itu. Terbukti, tidak berapa lama kemudian terlihat cahaya obor yang bergerombol diiringi suara riuh-rendah.

Bhirawa yang saat itu telah mampu mendesak Senapati Gada Sura menjadi terkejut bukan main, begitu tahu-tahu saja di sekeliling tempat itu telah dipenuhi prajurit kerajaan yang lengkap dengan senjata di tangan. Bahkan di satu sudut, juga terlihat Jata Sura dan Kala Sungga. Hanya Winarsih, putri Senapati Gada Sura yang tidak terlihat ditempat itu.

Sadar kalau tidak mungkin dapat lolos dari tempat itu, Bhirawa teringat pesan terakhir gurunya. Cepat dirabanya suatu benda yang tersembunyi di balik sabuknya. Selama ini ia memang tidak pernah menggunakan, karena gurunya yang berjuluk Hantu Laut Pajang telah berpesan sebelum kematiannya. Senjata maut itu hanya boleh digunakan bila pada saat yang amat genting.

Kini setelah tidak ada lagi kesempatan untuk lolos, Bhirawa pun segera teringat pesan mendiang gurunya itu. Namun sayang, ia tidak sempat menggunakannya. Karena saat itu, Senapati Gada Sura telah memerintahkan putra dan pengawal-pengawalnya untuk mengeroyok Bhirawa. Memang lelaki gemuk itu sendiri terlihat mulai kepayahan. Hal itu karena lelaki gemuk itu tidak pernah memperhatikan ilmu silatnya. Selama ini, ia hanya kesenangan, sehingga lupa akan pentingnya ilmu silat bagi orang berpangkat seperti dirinya.

Keroyokan itu tentu saja membuat Bhirawa terdesak hebat. Belum lagi, para prajurit yang telah siap dengan senjata di tangan. Maka semakin sulitlah bagi pemuda itu untuk selamat!

“Yiaaat..!”

Bukkk! Desss...!

“Aaakh...!” Sebuah tendangan Jata Sura dan hantaman telak Kala Sungga, membuat tubuh pemuda itu terjengkang memuntahkan darah segar. Belum lagi Bhirawa sem- pat bangkit, Senapati Gada Sura telah datang dengan ayunan tombak bergoloknya!

Wuuut!

Tombak bermata sebuah golok besar itu mengaung tajam, siap merencah tubuh Bhirawa. Karena masih merasakan luka pada tubuhnya, pemuda itu tidak lagi bisa menghindari tebasan golok besar yang diluncurkan Senapati Gada Sura. Namun pada saat yang sangat gawat bagi keselamatan nyawa Bhirawa, tiba-tiba melesat sesosok bayangan putih yang langsung menggagalkan tebasan tombak bergolok Senapati Gada Sura.

Plakkk!

“Aaakh...!” Hantaman telapak tangan sosok bayangan putih itu memang sangat hebat! Terbukti, tubuh Senapati Gada Sura terdorong, dan hampir terjungkal jatuh ke belakang! Wajah lelaki gemuk itu tampak menyeringai menahan sakit.

Bhirawa yang sempat menyaksikan kejadian itu tentu saja tidak ingin menyia-nyiakannya. Cepat bagai kilat tubuh, pemuda itu melesat dengan tusukan pedangnya ke tubuh Senapati Gada Sura!

Bresss...!

“Aaa...!” Senapati Gada Sura meraung tinggi! Darah segar mengalir membasahi pedang dan tanah di bawahnya, begitu pedang Bhirawa yang tepat menembus jantungnya dicabut pemiliknya. Lelaki gemuk itu memang tidak sempat lagi menghindar. Karena saat itu, ia belum lagi terbebas dari pengaruh tangkisan sosok berjubah putih yang menyelamatkan Bhirawa dari kematian.

Sedangkan sosok berjubah putih itu tidak sempat mencegahnya, karena pada saat itu tengah memperhatikan seorang perwira tinggi besar dan pemuda tampan tinggi kurus yang menerjangnya dari dua arah.

“Bhirawa...?!” seru sosok berjubah putih itu. Pemuda berjubah putih itu benar-benar terkejut ketika menoleh ke arah Bhirawa. Rupanya pemuda berwajah buruk itu tidak puas dengan tindakannya. Dia kini tengah memenggal kepala Senapati Gada Sura! Maka, cepat bagai kilat sosok berjubah putih itu segera melesat ke arah Bhirawa. Maksudnya, untuk membawa keluar pemuda itu dari kepungan prajurit Kerajaan Bantar Gebang.

Tapi, Kala Sungga dan Jata Sura tidak sudi membiarkan kedua orang itu meloloskan diri begitu saja. Mereka segera saja bergerak menyerbu sambil berteriak memerintah pasukannya untuk merapatkan kepungan. Bhirawa yang masih mendendam terhadap Jata Sura, segera saja berbalik dengan pedang di tangan. Kemudian, diterjangnya Jata Sura dengan putaran pedang yang menimbulkan deru angin berkesiutan.

“Bhirawa, kita harus pergi dari sini. Kalau tidak, kau akan ditangkap pihak kerajaan karena telah membunuh salah seorang pejabat penting...,” bisik sosok berjubah putih itu, yang segera menyambar tangan Bhirawa. Kemudian, Bhirawa dibawanya pergi meninggalkan kediaman Senapati Gada Sura.

"Tangkap...! Cegah mereka...!” Kala Sungga berteriak-teriak sambil berusaha mengejar sosok berjubah putih yang membawa lari Bhirawa.

Tapi, sepertinya pemuda berwajah buruk itu pun tidak memberontak. Karena, ia cukup merasa puas telah melepaskan dendam keluarga dengan tewasnya Senapati Gada Sura. Sehingga saat sosok berjubah putih itu membawanya lari, Bhirawa tidak membantah. Dan karena sosok berjubah putih menggunakan ilmu meringankan tubuh sepenuhnya, maka cepat sekali tubuhnya menghilang bersama Bhirawa.

Jata Sura, Kala Sungga, dan pasukannya terpaksa menghentikan pengejaran ketika bayangan kedua orang itu sudah tidak terlihat lagi. Baik Bhirawa maupun sosok berjubah putih itu bagai lenyap ditelan bumi. Apalagi, suasana benar-benar gelap. Gagalnya pengejaran itu membuat mereka kembali, karena harus mengurus mayat Senapati Gada Sura.

Sementara itu, Bhirawa dan sosok berjubah putih yang tak lain dari Pendekar Naga Putih terus berlari menembus kegelapan malam yang semakin melarut.

“Ehhh...?!” Bhirawa yang berlari di sebelah Panji, tertegun ketika melihat adanya sesosok tubuh yang berdiri menghadang jalan mereka. Karena keadaan cukup gelap, baik Panji maupun Bhirawa tidak mengenali sosok yang berdiri menghadang jalan itu.

“Winarsih...!? Sedang apa kau di sini...?” kata Bhirawa begitu sudah memperhatikan sosok itu.

Ternyata, sosok itu memang putri bungsu Senapati Gada Sura. Melihat hal itu Bhirawa sedikit tegang. Ia menduga, kemunculan gadis itu pasti ada hubungannya dengan kematian orang tuanya.

“Bhirawa.... Aku telah tahu semua tentang persoalan di antara keluarga kita. Tadi aku telah mendengar pembicaraanmu dengan ayahku. Dan kenyataan itu membuat aku merasa malu. Karena, ayahku ternyata seorang berhati kejam. Dia begitu tega mengkhianati orang yang telah begitu menaruh kepercayaan kepadanya. Ketika mendengar keributan terjadi di antara kalian, aku segera meninggalkan gedung tanpa tahu harus berbuat apa-apa...,” jelas Winarsih dengan air mata membasahi wajahnya.

“Lalu, mengapa kau menghadang kami...? Apakah kau pun ingin membalas dendam atas kematian ayahmu itu...?” tanya Bhirawa sambil menatap gadis cantik itu dengan sikap curiga.

Sedangkan Pendekar Naga Putih hanya berdiri di samping pemuda itu sambil menatap wajah gadis bernama Winarsih penuh selidik.

“Jadi, kau sudah berhasil membunuh ayahku...?” desis gadis cantik itu dengan bibir bergetar. Air mata Winarsih terlihat semakin banyak bergulir membasahi pipinya. Jelas sekali kalau dia begitu sedih mendengar kematian ayahnya. Sepasang mata indah yang basah itu menatap, tepat ke bola mata Bhirawa. Sehingga, pemuda itu terlihat agak bingung dibuatnya.

“Apakah kau pun akan membunuh Kakang Jata Sura dan aku...? Bukankah aku juga keturunan manusia jahat...?” kata Winarsih tanpa melepaskan pandangan matanya dari wajah Bhirawa.

“Tidak. Aku sudah cukup puas dengan kematian Senapati Gada Sura, orang tuamu itu. Tapi aku pun tidak akan lari dari tanggung jawab, apabila kau berniat membalas kematian ayahmu...,” sahut Bhirawa, siap menghadapi gadis cantik itu.

“Bagus. Kalau begitu, biarlah aku merelakan kematian ayahku. Kurasa itu cukup adil, bukan...?” kata Winarsih. Sepertinya, Winarsih agak heran mendengar jawaban Bhirawa yang ternyata tidak mendendam kepada Jata Sura maupun dirinya. Wajah berduka itu terlihat agak berseri sekejap.

“Aku pun tidak bermaksud melanjutkan dendam yang memusingkan ini. Kalau begitu, aku pergi Selamat tinggal, Winarsih. Berilah pengertian kepada kakakmu...,” ucap Bhirawa yang segera meninggalkan tempat itu diiringi Pendekar Naga Putih.

“Selamat jalan, Bhirawa. Aku akan berusaha memberi pengertian kepada Kakang Jata Sura agar melupakan dendam atas kematian ayah...,” sahut Winarsih sambil melambaikan tangannya ke arah Bhirawa dan Panji.

Gadis itu masih tetap terpaku di tempatnya, sebelum bayangan kedua orang itu lenyap dari pandangan. Sedangkan Panji dan Bhirawa terus berlari menuju rumah penginapan, tempat Kenanga menunggu di sana. Pemuda berjubah putih itu memang sengaja tidak mengajak kekasihnya, ketika berniat menyelidiki tempat kediaman Senapati Gada Sura. Dan Kenanga memang telah menanti mereka di taman belakang rumah penginapan itu. Kemudian, mereka bergerak meninggalkan Kotaraja Bantar Gebang.

“Kita harus cepat pergi meninggalkan negeri ini. Apalagi, kau sekarang telah membunuh seorang senapati kerajaan. Rasanya, tidak ada tempat lagi bagimu untuk tinggal di Kerajaan Bantar Gebang. Bahkan Pantai Utara Laut Pajang pun tidak bisa lagi ditinggali. Siapa tahu, pihak kerajaan akan mengobrak-abrik tempat itu...,” kata Panji, saat mereka baru saja melewati tembok kotaraja.

"Yaaah.... Aku pun memang tidak berniat menetap di Kerajaan Bantar Gebang. Aku ingin mengembara, meluaskan pengetahuan. Selamat berpisah, Pendekar Naga Putih," pamit Bhirawa.

Pemuda itu segera memisahkan diri dari Pendekar Naga Putih dan Kenanga. Tampak Bhirawa melambaikan tangannya sebelum bergerak menuju ke Timur. Pendekar Naga Putih dan kekasihnya hanya bisa membalas lambaian tangan pemuda itu, karena memang hendak menuju ke Barat. Memang mereka tidak setujuan, sehingga harus berpisah di sini.

“Sudah kuduga, dia pasti mempunyai alasan kuat atas semua perbuatannya...,” desah Kenanga saat mereka melangkah bersamaan. Panji hanya tersenyum sambil melingkarkan tangannya memeluk gadis jelita itu.

S E L E S A I