Keturunan Datuk Datuk Persilatan - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Keturunan Datuk-Datuk Persilatan
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat serial Pendekar Naga Putih

SATU

"Heyaaa... heyaaa...!"

Suara bentakan nyaring itu terdengar berkali-kali, merobek suasana siang yang sunyi. Debu mengepul mengiringi suara derap bergemuruh, yang diselingi suara berderit dari roda-roda kereta kuda, menggilas bebatuan.

Ctarrr.... Ctarrr...!

Suasana bising itu, masih diselingi pula ledakan cambuk sang Kusir, yang merobek-robek angkasa. Semua itu makin menambah riuhnya suasana. Kereta yang melaju pesat itu ditarik dua ekor kuda, dan diikuti beberapa penunggang kuda di belakangnya. Sedangkan di bagian depan, terdapat dua orang penunggang kuda lainnya. Jelas, rombongan orang berkuda itu merupakan pengawal dari kereta kuda itu.

Rombongan kecil yang membawa sebuah bendera kuning berlukiskan seekor harimau belang itu, bergerak cepat membelah jalan yang di kiri dan kanannya terdapat pepohonan. Melihat dari huruf-huruf yang tertera pada bagian samping kereta, jelas mereka sedang mengawal barang. Dalam dunia persilatan, rombongan pengawal barang Harimau Terbang memang sangat terkenal.

Dan, selama bertugas, tidak pernah sekali pun perkumpulan itu meninggalkan cacat. Setiap mendapat pesanan untuk mengantarkan sesuatu, mereka selalu menyelesaikan tugas dengan baik. Sehingga, nama pengawal barang Harimau Terbang makin terkenal dan dipercaya para saudagar kaya.

Kelompok pengawal barang yang bernaung di bawah bendera Harimau Terbang, bukan hanya dikenal di kalangan saudagar kaya saja. Tapi, kaum rimba persilatan pun banyak yang mengikat tali persahabatan dengan kelompok itu. Luasnya pergaulan kepala perkumpulan itulah yang membuat mereka selalu dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Karena, kaum perampok dan begal merasa segan untuk berurusan dengan Kelompok Harimau Terbang.

Bukan hanya keluasan hubungan ketua perkumpulan itu yang membuat para perampok dan begal segan mengganggunya. Tapi, kebaikan hati ketua perkumpulan itu pun membuat para perampok dan begal menghormatinya. Tidak jarang ketua perkumpulan itu memberi hadiah kepada mereka sebagai ikatan tali persaudaraan. Semua itu membuat Kelompok Harimau Terbang tidak pernah mendapatkan gangguan dari para perampok dan begal dalam menunaikan tugasnya.

Tapi, perkumpulan pengantar barang Harimau Terbang itu bukan sekumpulan orang-orang penakut dan lemah. Selain pemimpinnya seorang tokoh persilatan yang disegani, para anggotanya pun rata-rata memiliki kepandaian yang dapat diandalkan. Tidak jarang kelompok pengantar barang itu harus berurusan dengan para perampok yang tidak mau peduli dengan bendera maupun nama ketua mereka. Namun, semua itu dapat ditanggulangi dengan baik oleh Kelompok Harimau Terbang. Sehingga, nama mereka semakin terkenal dan disegani kawan maupun lawan.

Menjulangnya nama Kelompok Harimau Terbang, membuat para saudagar lebih mempercayakan barang-barangnya kepada mereka. Sehingga, hampir setiap hari kelompok itu harus mengantarkan barang dagang atau upeti para saudagar. Seperti biasanya, kali ini Kelompok Harimau Terbang mendapat kepercayaan dari seorang pelanggannya. Barang yang akan mereka antarkan, pesanan seorang saudagar kaya di kota kadipaten.

Setelah agak lama menyusuri jalan lebar yang cukup ramai oleh penduduk. Mereka mulai memasuki mulut sebuah hutan. Cuaca yang remang-remang karena cahaya matahari terhalang rimbun daun pepohonan, membuat rombongan itu bergerak lebih lambat dari semula. Ketika rombongan pengawal barang itu semakin dalam memasuki hutan, mendadak dua orang yang berada di depan mengangkat tangannya ke atas.

Karuan saja kusir kereta barang itu segera menarik tali kudanya. Dan, kereta pun berhenti. Dua orang dari enam rombongan yang berada di belakang, bergerak melarikan kudanya. Begitu tiba di samping penunggang kuda terdepan, ia segera menarik tali kudanya.

"Ada apa, Kakang?" tanya lelaki brewok yang datang dari belakang itu dengan nada heran. "Apa kau ingin kita beristirahat di dalam hutan ini?"

"Tidak, Adi Galing. Tapi, sepertinya aku mendengar sesuatu yang mencurigakan di sekitar daerah ini," sahut lelaki gagah berusia lima puluh tahun, yang sepertinya pimpinan rombongan kecil itu. Sambil berkata, ia mengedarkan pandangannya dengan sikap waspada.

"Ah, yang Kakang dengar tadi, mungkin suara binatang hutan. Mereka berlarian karena terganggu oleh kehadiran kita. Seperti kita ketahui, daerah hutan ini sama sekali tidak rawan. Jadi, kecurigaan Kakang itu sama sekali tidak beralasan," bantah lelaki brewok yang dipanggil dengan nama Galing itu. Menilik dari jawabannya, jelas kalau ia sama sekali tidak merasa cemas dengan ucapan pimpinannya.

"Hm...," lelaki gagah yang memimpin rombongan itu hanya bergumam pelan menanggapi bantahan anggotanya. "Apakah kau tidak mendengarnya, Adi Bana Raga?" tanyanya sambil berpaling ke arah kawannya yang berada di sebdah kiri.

Lelaki berusia empat puluh lima tahun yang merupakan orang kedua dalam rombongan itu, terdiam sejenak. Sepertinya lelaki yang bernama Ki Bana Raga itu hendak memastikan, sebelum menjawab pertanyaan pimpinannya. Setelah mendapatkan jawaban, baru ia berpaling ke arah pimpinannya.

"Mungkin aku pun sempat mendengarnya tadi, Kakang. Tapi, aku kurang yakin, apakah suara itu patut kita curigai. Selain itu, yang kudengar tadi, mungkin tidak sama dengan apa yang Kakang Mahinta dengar. Sebab, yang kudengar hanyalah suara-suara yang mirip jeritan seekor kera," jawab Ki Bana Raga dengan wajah yang tetap tenang. Meskipun sebenarnya ia merasa curiga, tapi perasaan itu lenyap begitu saja.

Seperti halnya Galing, Ki Bana Raga tahu kalau Hutan Grambang yang mereka lalui itu merupakan daerah yang aman. Dan, selama ia bergabung dengan kelompok pengawal barang Harimau Terbang, tak pernah sekalipun mereka mendapat halangan di hutan itu. Pengalaman itulah yang membuatnya bersikap tenang, tanpa rasa curiga sedikit pun.

"Aneh. Apa yang kudengar, justru berbeda. Bukan suara- suara itu yang kumaksudkan, Adi Bana Raga. Tapi, gerakan-gerakan yang mirip dengan langkah kaki manusia itulah yang membuat aku curiga," sanggah Ki Mahinta, pimpinan rombongan itu, dengan kening berkerut. Jawaban itu sepertinya bukti bahwa Ki Mahinta-lah yang mendengar suara itu.

Berbeda dengan Ki Bana Raga, Galing, atau anggota lainnya, Ki Mahinta adalah seorang yang sangat berpengalaman, dalam kelompok Harimau Terbang. Dan, jasanya terhadap perkumpulan pengantar barang itu pun tidak sedikit. Bahkan ketua perkumpulan itu sendiri sangat mengagumi Ki Mahinta.

Ki Mahinta memang memiliki kelebihan, terutama kekuatan nalurinya. Sehingga, tidak jarang lelaki gagah itu dapat menyelamatkan barang-barang antarannya, dengan cara memutar jalan guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Meski semua itu hanya bersandar pada kekuatan naluri Ki Mahinta, namun seringkali menjadi kenyataan.

"Hm..., mungkinkah di wilayah Hutan Grambang ini ada gerombolan perampok...?" gumam Ki Bana Raga yang jelas- jelas meragukan dugaan Ki Mahinta. Sambil bergumam, lelaki kunis itu mengedarkan pandangannya berkeliling dengan kening berkerut.

"Kemungkinan itu akan selalu ada, Adi Bana Raga. Bisa saja gerombolan perampok yang mengungsi dari daerahnya. Dan, mereka belum mengenal siapa kita. Jadi, kuharap kalian semua selalu waspada...," Ki Mahinta yang tetap mencurigai langkah-langkah yang didengarnya tadi, mengingatkan kepada anggotanya.

Setelah mendengar perkiraan itu, barulah Ki Bana Raga dan Galing mengangguk-anggukkan kepala. Sepertinya kedua orang itu mulai dapat menerima alasan yang dikemukakan pimpinannya.

"Kalau begitu aku harus mengingatkan kawan-kawan yang lain, Kakang...," ujar Galing yang segera mengajak kawannya melarikan kudanya ke belakang kereta.

Sepeninggal kedua orang anggotanya, Ki Mahinta kembali memerintahkan rombongannya untuk bergerak maju. Sambil tetap menjalankan kudanya perlahan, pimpinan rombongan itu tampak senantiasa memusatkan pikirannya. Jelas kalau lelaki gagah setengah baya itu telah siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Belum lagi rombongan kecil itu bergerak jauh, tiba-tiba terdengar suara berdesingan nyaring.

Swingngng... syuuut...!

"Awaaas...!"

Ki Mahinta yang memang sejak tadi telah bersiap, segera berseru mengingatkan anggotanya. Dan, lelaki setengah baya itu segera mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang kirinya. Diputarnya senjata itu hingga membentuk gulungan sinar yang membungkus sekujur tubuhnya.

Trakkk! Trakkk!

Terdengar suara benturan keras yang disusul bunyi berderak. Beberapa batang anak panah yang mengancam tubuh Ki Mahinta, langsung berjatuhan dalam keadaan patah!

Pada saat yang hampir bersamaan, terdengar jeritan susul-menyusul. Dua orang anggota Kelompok Harimau Terbang, terjungkal dari atas punggung kudanya. Tubuh mereka masing-masing tertancap empat batang anak panah! Sudah dapat dipastikan, kedua anggota Ki Mahinta itu tewas akibat serangan gelap!

"Cepat berlindung...!"

Ki Mahinta sebagai seorang pimpinan, memang patut mendapat acungan jempol. Lelaki gagah itu segera dapat menguasai keadaan, dan langsung memberikan jalan keluar kepada anggotanya yang masih selamat. Lelaki gagah pimpinan rombongan kecil itu sendiri, tidak tinggal diam. Setelah memperingatkan anggota-anggotanya, ia segera melesat dan berjumpalitan di udara dengan disertai putaran pedangnya. Kembali terdengar suara benda berpatahan, ketika tubuh Ki Mahinta masih berputar di udara. Entam batang anak panah berjatuhan dalam kedaan patah.

Melihat dari gerakan yang ditunjukkannya, jelas Ki Mahinta bukanlah orang yang mudah menjadi sasaran serangan gelap. Terbukti lelaki setengah baya itu dapat menyelamatkan nyawanya untuk yang kedua kali. Dan, untuk kesekian kalinya, Ki Mahinta kembali menunjukkan kehebatan ilmu meringankan tubuh. Benturan enam batang anak panah itu, ia gunakan sebagai jembatan untuk kembali berputaran, kemudian kedua kakinya mendarat tepat di samping kereta kuda.

"Hm..., siapa pun mereka, aku harus membuat perhitungan! Kematian kedua orang kita harus dapat ditebus dengan nyawa pengecut-pengecut licik itu, Kakang...," geram Ki Bana Raga yang sudah berada di samping kereta, sebelum Ki Mahinta tiba.

"Hal itu boleh saja, Adi. Tapi, kita harus waspada, dan jangan bertindak ceroboh. Selain kita tak mengetahui di mana mereka berada, juga kita belum mengetahui kekuatan mereka. Jadi, kuharap kau jangan bertindak gegabah," pesan Ki Mahinta. Meskipun ia menyetujui ucapan pembantunya, tapi tetap mengingatkan dengan penuh ketegasan.

Ki Bana Raga, lelaki berusia empat puluh lima tahun itu mengangguk pasti. Kendati rasa kemarahan telah memuncak, Ki Bana Raga tetap menghormati ucapan pimpinannya. Hal itu membuktikan kalau Ki Mahinta merupakan pimpinan yang disukai dan dihormati oleh anggotanya.

Ki Mahinta sendiri, tetap memerintahkan para anggotanya untuk berlindung di balik kereta barang. Walaupun saat itu serangan gelap dari lawan telah berhenti, Ki Mahinta tidak memperkenankan anggotanya bergerak.

Melihat Ki Mahinta seperti tengah memutar otak mencari jalan keluar dari intaian maut itu, para anggotanya, termasuk Ki Bana Raga dan Galing, sama sekali tidak berani mengganggu. Mereka tetap tenang, meskipun keadaan sepertinya sudah mulaiaman.

Kesunyian yang mencekam dan sangat meresahkan anggota pengantar barang Harimau Terbang itu, berlangsung cukup lama. Sehingga, beberapa orang di antaranya terlihat sudah tidak sabar untuk keluar dari persembunyian.

"Ingat! Jangan ada yang bergerak, atau keluar dari tempat persembunyian ini! Meski keadaan terlihat sudah aman, tapi siapa tahu musuh masih menunggu dengan anak-anak panahnya. Kuharap kalian semua dapat mengerti dan tidak bertindak menuruti kemauan sendiri," pesan Ki Mahinta lagi ketika matanya menangkap rasa gelisah beberapa orang anggotanya.

Meskipun Ki Mahinta sendiri tidak merasa tenteram dengan kesunyian yang mencekam itu, namun ia tetap menekan keinginannya untuk keluar dari persembunyian. Setelah beberapa saat kembali terlewat tanpa suatu gerakan Ki Mahinta bergerak dengan tubuh membungkuk menghampiri Ki Bana Raga.

"Bana Raga, kita harus bergerak, untuk memancing penyerang-penyerang gelap itu. Dengan demikian, mungkin kita bisa mengetahui di mana mereka berada. Kau siap?" tanya Ki Mahinta berbisik lirih.

"Bagaimana caranya, Kakang? Apakah kita harus melompat dan menghalau hujan panah mereka?" Ki Bana Raga yang sepertinya tidak bisa berpikir dengan baik, dan meminta petunjuk dari pimpinannya. Dalam menghadapi keadaan genting seperti itu, Ki Mahinta lebih berpengalaman daripada dirinya. Sehingga, ia pun menanyakan rencana Ki Mahinta.

"Hm..., sebelum kita memaksa mereka keluar dari persembunyiannya, kita terpaksa mengambil risiko menghadapi serangan anak panah mereka. Setelah itu, kita harus berusaha untuk mencapai kuda-kuda kita. Nah, dengan menunggangi kuda, kita paksa mereka untuk keluar," jelas Ki Mahinta menerangkan rencana yang telah dipikirkannya dengan matang.

"Baiklah, Kakang. Dan, untuk itu rasanya kita harus berpencar. Dengan demikian, kita bisa memecah perhatian mereka," ujar Ki Bana Raga yang mulai dapat berpikir setelah mendengar rencana pimpinannya itu.

"Bagus! Rupanya kau juga dapat berpikir baik, Bana Raga," puji Ki Mahinta sambil mengembangkan senyum. Sepertinya apa yang diusulkan pembantunya itu, memang sejalan dengan pikirannya.

Setelah mereka sepakat dengan rencana itu, Ki Mahinta dan Ki Bana Raga berpencar ke kiri dan kanan kereta. Pedang mereka telah tergenggam erat-erat. Jelas mereka telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan!

"Sekarang...!"

Setelah berseru demikian, Ki Mahinta melesat dengan kecepatan tinggi, sambil memutar pedangnya. Beberapa batang anak panah menyambut tubuhnya, dan langsung dipukul runtuh dengan putaran senjatanya! Kemudian, tubuhnya melesat ke arah seekor kuda yang tengah merumput di bawah sebatang pohon.

"Heyaaa...!"

Dengan sebuah bentakan nyaring, Ki Mahinta segera menggebah kudanya, begitu berada di atas punggung binatang itu. Sambil merunduk dengan menggunakan kuda sebagai perisai, Ki Mahinta membedal kudanya ke arah semak-semak, dari mana hujan anak panah itu berasal! Hampir bersamaan dengan Ki Mahinta, Ki Bana Raga pun telah pula berhasil menunggangi seekor kuda lainnya. Kemudian, ia terus membedal kudanya menuju kerimbunan semak. Karena, lelaki kurus itu menduga dari balik kerimbunan semak itulah hujan anak panah mengancam dirinya.

Perhitungan Ki Mahinta ternyata tidak meleset! Begitu kuda yang ditungganginya melesat ke arah rimbunan semak-semak, beberapa batang anak panah kembali menyambutnya. Sayang, meskipun ia berhasil menghalau anak panah yang mengancam dirinya, kuda tunggangannya meringkik kesakitan!

Enam batang anak panah menancap di lehernya. Tapi, nasib baik ternyata masih berpihak kepada lelaki setengah baya itu. Walaupun kuda tunggangannya terluka parah, namun ia terus saja menerobos semak belukar tempat para penyerang gelap itu bersembunyi.

"Heaaah...!"

Begitu terlihat beberapa sosok tubuh berpakaian serba hitam melompat dari semak-semak, Ki Mahinta segera menjejakkan kakinya ke punggung kuda. Seketika itu juga, tubuhnya langsung mencelat ke arah delapan orang lelaki yang keluar dari gerombolan semak belukar itu.

Trangngng! Brettt! Brettt!

Salah satu dari delapan orang berseragam hitam itu, langsung tersungkur dengan tubuh bermandi darah! Rupanya ia berhasil memapaki sabetan pertama dari senjata Ki Mahinta, tapi sabetan kedua tidak bisa dielakkan lagi. Sehingga, pedang di tangan lelaki setengah baya itu, merobek lambung lawannya.

Tujuh orang lelaki berseragam hitam lainnya, langsung mencabut pedang, dan mengurung Ki Mahinta. Namun, lelaki gagah itu menghadapi lawannya dengan putaran pedang yang cepat dan menggetarkan! Pertarungan sengit pun tidak bisa dihindarkan lagi!

Di tempat lain, Ki Bana Raga juga telah berhasil memaksa para penyerangnya keluar dari persembunyian. Meskipun untuk itu ia terpaksa kehilangan kudanya, namun lelaki tinggi kurus itu merasa puas! Maka, begitu orang-orang berseragam hitam yang menyerang secara gelap itu berloncatan ke segala arah, Ki Bana Raga segera merangsek maju.

Tapi, bukan main terkejut hati Ki Bana Raga ketika mendapat kenyataan lain. Tujuh orang lelaki berseragam hitam itu ternyata memiliki kepandaian yang tidak rendah! Sehingga, Ki Bana Raga harus bekerja keras untuk menghadapi keroyokan lawan-lawannya.

DUA

Pertempuran yang telah pecah itu, membuat para anggota Harimau Terbang yang lainnya bersorak gembira. Tanpa perlu menunggu aba-aba lagi, mereka langsung berlompatan keluar dari balik persembunyiannya. Lima orang anggota Harimau Terbang, termasuk Galing dan kusir kereta barang itu, langsung menyerbu ke arena pertempuran. Sudah pasti kelima orang itu di bawah pimpinan Galing. Karena lelaki brewok itu merupakan orang ketiga setelah Ki Mahinta dan Ki Bana Raga.

Namun, perbuatan Galing dan anggota lainnya itu mengejutkan hati Ki Mahinta. Lelaki gagah berusia setengah baya itu, merasa cemas dengan tindakan yang dilakukan anggotanya.

"Adi Galing...! Jaga kereta barang...!" sambil menghindari sabetan golok salah seorang pengeroyoknya, Ki Mahinta berseru mengingatkan anak buahnya yang berwajah brewok itu.

Seruan Ki Mahinta itu, tentu saja membuat Galing sadar kalau kereta barang tidak terjaga sama sekali. Maka, tanpa banyak cakap lagi, Galing langsung melesat ke arah kereta bersama salah seorang kawannya. Peringatan Ki Mahinta memang bukan sekadar omongan kosong. Lelaki setengah baya yang telah banyak pengalamah itu, sudah menduga para penghadang itu pasti mempunyai kawan-kawan yang lain. Dan, hal itu memang terbukti!

Galing dan lelaki tinggi kurus yang berlari dengan maksud untuk menjaga kereta barang, terkejut bukan main ketika mendengar sorak-sorai yang gegap gempita. Wajah lelaki brewok dan kawannya itu berubah tegang! Dari sebelah depan dan belakang kereta, tampak belasan lelaki berpakaian serba hitam menghambur dengan senjata di tangan!

"Celaka...!" desis Gilang dengan suara bergetar. Meskipun ada kilatan gentar di matanya, namun lelaki brewok itu bergegas menyilangkan senjatanya di depan dada. Sikapnya nampak gagah, meski ia sadar akan ancaman maut.

"Kita pertahankan isi kereta ini dengan taruhan nyawa, Kakang..," desis lelaki kurus di sebelah Galing, yang juga telah bersiap menghadapi maut!

"Tentu, Adi...," sahut Galing dengan suara mantap. Sepertinya lelaki brewok itu telah mengambil keputusan untuk mempertahankan barang kawalannya dengan taruhan nyawa!

"Yeaaa...!"

"Heaaa...!"

Galing dan kawannya berdiri saling membelakangi satu sama lain. Musuh yang datang menyerang sambil berteriak-teriak itu, langsung mereka sambut dengan gagah! Sehingga, sebentar saja tubuh kedua orang anggota pengawal barang Harimau Terbang itu lenyap di tengah kerumunan para pengeroyoknya.

Ki Mahinta dan Ki Bana Raga sempat menyaksikan kejadian itu, hati mereka merasa cemas bukan main! Terlebih lagi Ki Mahinta yang paling bertanggung jawab terhadap keselamatan kawan-kawannya mau pun barang kawalan mereka. Sehingga, wajah lelaki setengah baya itu berubah agak pucat!

Ketegangan dan kecemasan yang memuncak di hati lelaki gagah setengah baya itu, membuatnya semakin memperhebat serangan-serangan terhadap lawan. Pedang di tangannya berkelebatan menebarkan hawa maut! Sehingga, ketujuh orang lawannya sempat terkejut, dan berlompatan mundur karena amukan lelaki tua itu benar-benar berbahaya!

"Adi Bana Raga, 'Air Pasang'...!" sambil berlompatan ke arah kereta barang, Ki Mahinta berteriak nyaring dengan kata-kata yang hanya diketahui oleh setiap anggota Harimau Terbang

Brettt!

"Aaakh...!"

Karena perhatiannya terbagi-bagi, Ki Mahinta terpaksa harus menerima akibat dari kelalaiannya! Sebuah sabetan pedang salah seorang pengeroyoknya membeset pangkal lengan lelaki gagah itu. Meski tidak terlalu dalam, namun cukup membuat gerakkan Ki Mahinta agak terhambat.

"Haiiit...!"

Ki Mahinta berjumpalitan sambil mengayunkan pedangnya, merobek perut lawan yang hampir membuat kepalanya terpenggal!

Brettt!

"Aaargh...!"

Pembokong sial itu meraung keras ketika pedang Ki Mahinta membuat ususnya terburai keluar! Karuan saja tubuh lelaki itu ambruk ke tanah, dan tewas seketika. Ki Mahinta bergulingan mendekati kereta barang. Namun, delapan orang lelaki berseragam hitam yang semula mengeroyok dua orang anggotanya itu berbalik memapakinya. Dan, Ki Mahinta tidak mau membuang-buang waktu lagi. Pedang di tangannya langsung saja diputar bergulung, sehingga membentuk gundukan sinar yang turun naik bagaikan ombak laut!

Wuuuk! Wuuuk!

Amukan lelaki setengah baya itu rupanya cukup mengerikan. Terbukti kedelapan orang lawannya itu langsung berlompatan mundur! Lawannya menyadari kalau senjata di tangan lelaki setengah baya itu memang behar-benar berbahaya!

"Aaa...!"

Bukan main pucatnya wajah Ki Mahinta ketika mendengar jerit kematian yang susul-menyusul itu. Ia mengenali suara teriakan itu seperti ia mengenali suara teriakannya sendiri.

"Adi Galing...!" suara yang sebenarnya berupa teriakan itu, terdengar hampir menyerupai bisikan. Karena selain kesedihan, juga ada kemarahan yang terpendam dalam dada lelaki setengah baya itu. Sehingga, suara teriakannya tersumbat di kerongkongan.

Belum lagi berbagai perasaan yang bercampur-baur itu sempat ditumpahkannya, kembali terdengar jerit kematian dari sebelah belakangnya. Sepasang mata tua itu terbelalak menyaksikan tiga orang anggotanya, terlempar dengan tubuh dipenuhi luka. Karuan saja lelaki setengah baya itu menggereng seperti harimau luka.

"Biadab!" desis Ki Mahinta dengan kemarahan yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Dengan disertai pekikan nyaring, Ki Mahinta melesat sambil memutar senjatanya dengan sekuat tenaga.

Namun, apalah artinya kemarahan seorang Ki Mahinta dalam menghadapi keroyokan para perampok yang rata-rata gesit dan memiliki kepandaian cukup lumayan itu? Apalagi gerakan- gerakan mereka sangat kompak dan teratur. Maka, meskipun lelaki setengah baya itu mengamuk bagaikan harimau luka, tetap saja ia tidak mampu mendesak lawan-lawannya. Malah ia sendiri yang mulai terdesak oleh serangan lawan-lawannya.

Di tempat lain, Ki Bana Raga sendiri sudah terlihat kepayahan. Di beberapa bagian tubuhnya, tampak luka akibat goresan senjata lawannya. Dan, dari luka itu mengucur darah segar. Sehingga, pakaian yang dikenakannya sudah tidak dapat dikenali lagi warnanya.

Tapi, walaupun luka-lukanya terasa perih, Ki Bana Raga sama sekali tidak menyerah. Dengan gagah lelaki berusia empat puluh lima tahun itu, melakukan perlawanan yang tidak bisa dipandang remeh! Bahkan dalam keadaan seperti itu, ia masih mampu merobohkan beberapa penyerangnya yang terdekat! Sehingga, kegagahan dan perlawanan Ki Bana Raga sempat membuat lawan-lawannya berhati-hati, dan tidak menyerang sembarangan.

"Berhenti...!"

Di tengah bisingnya suara-suara teriakan dan denting senjata, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang menggelegar! Hebatnya, pertempuran yang tengah berlangsung sengit itu pun terhenti seketika!

Belum lagi gema bentakan itu lenyap, tahu-tahu muncul sosok tubuh raksasa yang mengenakan rompi dari kulit ular. Lengannya yang besar dan berotot itu, tampak ditumbuhi bulu- bulu halus. Demikian pula dengan wajahnya, dipenuhi oleh kumis, cambang, dan jenggot yang lebat, membuat penampilan lelaki itu semakin angker. Sedang di kiri dan kanannya tampak dua orang lelaki yang juga bertubuh kekar, namun sedikit lebih pendek berjalan mengiringi sosok bertubuh raksasa itu.

"Hidup Ketua Kalya Bantar si Raja Ular Emas...!"

Terdengar teriakan-teriakan memuji dari gerombolan lelaki berpakaian hitam yang mengeroyok Ki Mahinta dan Ki Bana Raga itu.

"Ha ha ha...! Mundur, Anak-anak. Biar aku sendiri yang akan menghabisi dua cecunguk yang sok jago ini," terdengar suara tawa serak dan parau dari lelaki raksasa yang bernama Kalya Bantar itu. Setelah menghentikan tawanya, ia melangkah menghampiri Ki Mahinta dan Ki Bana Raga yang telah berdiri saling berdampingan itu.

"Raja Ular Emas...!" desis Ki Mahinta ketika mendengar dan mengenali lelaki bertubuh raksasa dan berwajah bengis itu. Dalam nada ucapannya tersembunyi kegentaran. Jelas, Ki Mahinta mengetahui Kalya Bantar yang berjuluk Raja Ular Emas itu.

Gerombolan perampok Ular Emas memang bukan nama baru bagi telinga Ki Mahinta. Lelaki setengah baya yang semasa mudanya gemar berpetualang itu, sudah mengenal siapa sesungguhnya Kalya Bantar. Dialah seorang raja perampok yang sangat ditakuti di kalangan rimba persilatan. Selain kepandaian lelaki itu sendiri tidak rendah, juga para pengikutnya rata-rata berkepandaian tinggi. Sehingga, nama gerombolan perampok itu sangat ditakuti lawan dan disegani kawan.

Ki Mahinta menatap tajam sosok lelaki bertubuh raksasa itu. Ia sudah tahu sejak lama, wilayah Utara adalah daerah kekuasaan Raja Ular Emas. Karena itu ia tidak percaya kalau gerombolan perampok yang menakutkan itu muncul di daerah Selatan.

"Apa yang membuat gerombolan perampok gila ini sampai pindah ke Selatan? Hm..., pasti ada sesuatu yang menyebabkan mereka meninggalkan daerah ke kuasannya," gumam Ki Mahinta dengan kening berkerut dan sepasang mata menyipit.

Lelaki gagah itu sadar betul kalau nyawa mereka berdua seperti telur di ujung tanduk. Ia tahu betapa ganas dan kejinya Raja Ular Emas itu. Sepanjang pengetahuannya, tidak pernah ada seorang lawan pun yang dibiarkan hidup oleh lelaki bertubuh raksasa itu.

"Tidak ada pilihan lain bagi kita, kecuali melawan mereka mati-matian. Biar bagaimanapun mereka pasti tidak akan membiarkan kita berdua hidup," bisik Ki Mahinta kepada Ki Bana Raga, tanpa mengalihkan pandangannya kepada Raja UlarEmas.

Ki Bana Raga yang juga telah bergabung cukup lama di bawah bendera Harimau Terbang, tentu saja tahu akan risiko dari pekerjaannya. "Benar, Kakang. Kita harus mempertahankan diri sampai titik darah terakhir...," Ki Bana Raga balas berbisik dengan tatapan mata lurus ke depan.

"Tidak kuduga kalau kita akan berjumpa di sini, Mahinta. Kau tentu masih ingat kepadaku bukan? Ha ha ha..., sayang nama Pedang Bintang Timur harus terhapus dari dunia persilatan hari ini," ujar Kalya Bantar memperdengarkan suara tawanya yang berat dan parau.

Menilik dari ucapannya, jelas lelaki bertubuh raksasa itu mengenal Ki Mahinta yang memang berasal dari Utara. Kedua orang tokoh dari golongan yang berbeda itu, memang tidak asing satu sama lainnya. Meskipun di antara mereka tidak mempunyai dendam secara pribadi, tapi Kalya Bantar si Raja Ular Emas tetap menganggap orang-orang golongan putih sebagai musuh-musuhnya.

Walaupun mereka tak pernah bertemu dalam sebuah pertarungan, tapi hati kecil Kalya Bantar menginginkan perjumpaan itu. Tak mengherankan kalau ia memerintahkan anak buahnya mundur. Karena ia berkeinginan membunuh Ki Mahinta dengan tangannya sendiri.

"Raja Ular Emas," ujar Ki Mahinta mencoba bersikap tenang, "Apa yang membuatmu kesasar hingga sejauh ini? Apakah gerombolanmu dikejar-kejar kerajaan?"

Ki Mahinta memang sengaja melontarkan kata-kata seperti itu untuk membangkitkan kemarahan Raja Ular Emas. Sebagai orang tokoh tua yang berpengalaman, ia pun tahu kalau serangan yang dibarengi dengan kemarahan yang tinggi, akan menimbulkan kelalaian. Dan, keadaan seperti itulah yang dikehendaki Ki Mahinta.

"Ha ha ha..., ucapanmu tidak salah, Pedang Bintang Timur. Aku memang melarikan diri dari kejaran prajurit kerajaan. Tapi, daerah baru ini ternyata cukup menyenangkan. Buktinya, baru beberapa hari aku tiba, kau sudah datang mengantarkan barang-barang berharga untukku. Dan, aku sangat berterima kasih sekali bila kau juga mau menyerahkan kepalamu untukku," sambut Kalya Bantar yang ternyata tidak tersinggung dengan ejekan lawannya. Sehingga Ki Mahinta sempat kehilangan akal dibuatnya.

"Kau melupakan sesuatu, Raja Ular Emas. Sadarkah kalau perbuatanmu ini bisa mengundang kemarahan ketua kami? Apabila berita ini sampai terdengar, jangan kau sesali kalau dalam dua hari, ribuan anggota pengawal barang Harimau Terbang akan mengaduk-aduk seluruh isi hutan ini untuk membinasakanmu," gagal dengan ejekan, Ki Mahinta mencoba mengancam Raja Ular Emas dengan bayangan-bayangan yang menyeramkan.

Tapi, ucapan Ki Mahinta itu hanya disambut dengan tawa berkepanjangan. Bahkan beberapa orang anggota gerombolan Ular Emas ikut memperdengarkan suara tawanya. Sehingga, Ki Mahinta dan Ki Bana Raga mengerutkan kening dan merasa heran. Mereka benar-benar tak mengerti mengapa Raja Ular Emas dan pengikutnya malah menertawakan ancamannya.

"Kau jangan coba-coba menakut-nakuti, Mahinta. Apakah kau pikir aku begitu bodoh mau kau perdayai dengan ancaman palsumu itu? Agar kau tidak penasaran, baiklah kuberi tahu. Anggota kelompok pengawal barang Harimau Terbang berjumlah kurang lebih empat puluh orang. Bahkan ketua yang kau agung-agungkan itu, kini terbaring menanti ajal. Karena ia telah menderita keracunan akibat pertarungannya dengan seorang tokoh sesat. Meskipun tokoh sesat itu berhasil dibunuhnya, namun nyawa ketuamu tidak akan berumur panjang. Aku tahu kalian memang sengaja merahasiakan masalah ini dari telinga orang-orang persilatan. Tapi, aku si Raja Ular Emas, tidak pernah ketinggalan berita. Karena telingaku ada di mana-mana. Bahkan aku juga tahu gerombolan perampok mana yang paling berkuasa di wilayah Selatan ini. Dan, mereka pun sudah takluk di bawah benderaku. Ha ha ha...," jelas Kalya Bantar sambil memperdengarkan tawanya yang tidak enak didengar telinga.

Kaget bukan main Ki Mahinta saat mendengar ucapan lawannya. Ia tak menduga sama sekali kalau Kalya Bantar telah mengetahui rahasia yang disimpan rapat oleh kelompoknya. Ki Mahinta sadar kalau ia tidak mempunyai jalan lain, kecuali bertarung mati-matian.

"Kalau begitu, apa lagi yang kau tunggu, Raja Ular Emas? Mari kita selesaikan urusan ini tanpa campur tangan anak buahmu. Tapi, kalau memang kau takut mati, boleh kau merengek meminta bantuan para pengikutmu yang banyak itu,"

Ki Mahinta rupanya masih belum kehilangan akal. Dengan cerdiknya lelaki gagah setengah baya itu melontarkan perkataan, yang jelas-jelas akan membawa keuntungan bagi pihaknya. Kalau Raja Ular Emas maju seorang diri mereka mempunyai harapan untuk lolos. Bahkan ada kemungkinan mereka dapat merebut kembali barangnya.

Kalya Bantar pun bukanlah orang bodoh. Kalau ia berani menjawab tantangan Ki Mahinta, sudah pasti ada sesuatu yang diandalkannya. Dan, jawaban yang keluar dari mulut lelaki raksasa itu, ternyata tidak meleset dari harapan Ki Mahinta.

"Ha ha ha...! Kau memang sangat cerdik, Ki Mahinta. Tapi jangan khawatir. Aku akan meluluskan permintaan terakhirmu itu. Nah, sekarang bersiaplah untuk melayat ke akhirat," ujar Kalya Bantar sambil tertawa terkakak.

Girang bukan main hati Ki Mahinta mendengar jawaban itu. Dengan majunya Raja Ular Emas seorang diri. Ia yakin bisa menundukkan lelaki bertubuh raksasa itu. Sepengetahuannya, kepandaian yang dimiliki Raja Ular Emas itu, boleh dibilang berimbang dengan kepandaiannya. Meskipun itu beberapa tahun yang lalu.

Apalagi seorang kepala perampok seperti Raja Ular Emas. Tentu bukan kemajuan yang diperolehnya selama beberapa tahun terakhir. Bisa jadi malah kepandaian ataupun tenaga lelaki raksasa itu berkurang. Hal itu disebabkan Kalya Bantar sering membuang-buang hawa murninya dengan memuaskan nafsu bejadnya terhadap wanita-wanita. Pemikiran itulah yang membuat Ki Mahinta merasa yakin akan dapat menundukkan lawannya.

Sayang, penilaian Ki Mahinta meleset jauh. Raja Ular Emas yang kini dihadapinya, tidaklah dapat disamakan dengan beberapa tahun yang lalu. Malah kepandaian yang dimilikinya saat itu, mengalami kemajuan yang sangat pesat. Sebuah ilmu baru yang diciptakannya telah membuat Raja Ular Emas berani mencuri benda-benda pusaka istana. Itulah sebabnya mengapa ia sampai dikejar-kejar prajurit kerajaan, sehingga ia mengungsi ke Selatan.

"Bagaimana dengan kau sendiri, Mahinta? Apakah kau pun akan merengek meminta bantuan kawanmu itu untuk mengeroyokku?" Raja Ular Emas pun mencoba mencari keuntungan bagi pihaknya. Meskipun ia seorang diri yakin dapat menundukkan kedua orang calon lawannya. Namun, ia mencoba memancing harga diri calon lawannya.

Ucapan Kalya Bantar hanya disambut dengan senyum tipis oleh Ki Mahinta. Jelas, ia tidak dapat dikelabui dengan ucapan lawannya. "Raja Ular Emas. Sebenarnya aku sendiri mungkin akan dapat menundukkanmu tanpa harus bersusah-payah. Tapi, karena kami berdua sama-sama bertanggung jawab terhadap barang kawalan itu, tentu saja tak ada jalan lain bagi kami kecuali bersama-sama pula menghadapimu. Lain halnya kalau kau takut menghadapi kami berdua," balas Ki Mahinta dengan senyum lebar. Memang cerdik sekali lelaki setengah baya itu.

"Ha ha ha.... Marilah... marilah kalian berdua maju. Aku Raja Ular Emas tidak pernah takut menghadapi siapa pun," tegas Kalya Bantar tetap memperdengarkan tawanya yang serak. Setelah menghentikan tawanya, lelaki bertubuh raksasa itu melangkah beberapa tindak ke depan.

Ki Mahinta sendiri sudah merenggang dan bergerak ke kanan. Senjata di tangannya diputar sedemikian rupa, sehingga menimbulkan kilatan-kilatan sinar yang menyilaukan mata. Jelas, lelaki setengah baya yang gagah itu mengeluarkan ilmu 'Pedang Bintang Timur'nya, yang telah mengangkat namanya dalam dunia persilatan. Demikian pula halnya dengan Ki Bana Raga. Meskipun sekujur tubuhnya dipenuhi luka sayatan pedang akibat pertempuran tadi, namun lelaki gagah itu tetap bertekad untuk merebut kembali harta kawalan, yang dirampas oleh anak buah Raja Ular Emas.

Wuuut! Wuuut!

Meskipun ilmu pedang Ki Bana Raga tidak sehebat Ki Mahinta, tapi permainan senjatanya tidak kalah berbahaya dengan pimpinannya.

Raja Ular Emas yang diapit dari dua arah oleh kedua orang pentolan Harimau Terbang itu, berdiri pongah sambil memperdengarkan suara tawanya yang berkepanjangan. Sepertinya lelaki bertubuh raksasa itu merasa yakin dapat menundukkan lawan dengan kepandaian yang dimilikinya.

TIGA

"Heaaat…!"

Diiringi teriakan nyaring sebagai tanda pertempuran sudah dimulai, tubuh Ki Mahinta melesat seperti seekor burung besar, seraya memutar pedangnya.

Wuuut! Wuuut!

Sekali bergerak saja, Ki Mahinta langsung melancarkan serangkaian serangan beruntun yang susul-menyusul. Kilatan-kilatan sinar pedangnya berkelebatan kian kemari mengancam keselamatan lawannya!

Ki Bana Raga pun tidak mau ketinggalan. Begitu mendengar teriakan Ki Mahinta, ia segera melesat menyusul kawannya. Senjata di tangannya bergerak bersilangan dengan kecepatan yang tidak bisa dipandang ringan. Sekali bergerak, ia langsung melontarkan tiga buah serangan, yang mengarah ke jalan darah kematian di tubuh lawan.

Namun, sikap Kalya Bantar memang patut mendapat acungan jempol. Tokoh sesat Kepala Rampok Ular Emas itu, tetap berdiri tenang menanti serangan kedua orang lawannya. Meski terlihat lelaki bertubuh raksasa itu tidak menggunakan senjata, tapi jangan dikira ia akan berdiam diri dan menerima serangan kedua orang lawannya begitu saja.

"Haiiit...!"

Tepat kedua batang senjata itu tinggal sejengkal lagi di depan tubuhnya, Kalya Bantar bergegas menggerakkan tangan kanannya ke arah pinggang. Kemudian, sambil merendahkan tubuhnya, lelaki itu mengibaskan lengan kanannya sehingga menimbulkan ledakan-ledakan keras yang memekakkan telinga!

Jtarrr! Jtarrr...!

Bunga-bunga api memercik disertai dengan kepulan asap tipis, ketika sebentuk benda panjang bergerak-gerak dan meledak-ledak memapaki serangan Ki Mahinta dan Ki Bana Raga. Jelas, Kalya Bantar menggunakan sebuah cambuk sebagai senjata andalannya!

Baik Ki Mahinta maupun Ki Bana Raga sempat terkejut mendengar ledakan-ledakan keras yang memekakkan telinga itu. Menyadari kalau lawan menggunakan senjata, keduanya bergerak cepat merubah serangan-serangannya. Pedang di tangan kedua orang lelaki gagah itu, diputar setengah lingkaran, dan bergerak turun naik sambil menghindari sambaran cambuk lawan!

"Yeaaah...!" Jdarrr...!

Ki Mahinta melakukan lompatan pendek, guna menghindari lecutan cambuk yang mengincar kedua kakinya! Begitu tubuhnya bergulingan dengan lompatan harimau, detik berikutnya tubuh lelaki gagah itu mencelat, bagaikan seekor kera yang berpindah dari pohon yang satu, ke lain pohon. Gerakan Ki Mahinta memang cepat dan tak terduga sama sekali! Berbarengan dengan lompatan itu, pedang di tangannya berkeredep mengarah batang leher lawan! Jelas, lelaki gagah itu hendak memenggal batang leher Kalya Bantar.

Bettt!

Sebagai seorang tokoh sesat dan kepala rampok yang banyak pengalaman, Kalya Bantar tentu mengetahui kalau nyawanya tengah terancam maut. Tapi, lelaki bertubuh raksasa itu sama sekali tidak kelihatan gugup. Dengan sebuah gerakan indah, tubuhnya merendah disertai dengan uluran lengan kiri menyambut tebasan pedang lawan. Dan...

Trangngng.!

"Aiiih.!"

Terdengar benturan nyaring yang diiringi pijaran bunga api! Ki Mahinta sendiri berseru tertahan, tubuhnya terdorong mundur akibat terbentur lengan kiri lawan. Namun, dengan sebuah gerakan manis, lelaki gagah itu berjumpalitan guna mematahkan daya dorong benturan itu, dan mendarat dengan kedua kaki terlebih dahulu.

"Aaah..., mungkinkah raksasa gila itu memiliki ilmu 'Kebal'?" desis Ki Mahinta sambil meringis merasakan lengannya yang nyeri akibat benturan itu. Kenyataan itu membuat ia sadar kalau tenaga dalam lawan masih dua tingkat berada di sebelah atasnya.

Ki Mahinta yang merasa heran dengan kekebalan tubuh lawan, menatap tajam penuh selidik ke arah lawan yang tengah bertarung dengan Ki Bana Raga. Dan, lelaki gagah itu menarik napas lega ketika melihat kilauan cahaya, yang berpendar dari pergelangan tangan musuhnya.

"Pantas dia berani memapaki tebasan pedangku. Rupanya ia mengenakan lempengan baja pada kedua pergelangan tangannya. Hm..., benar-benar licik dan berbahaya sekali raksasa gila itu," gumam Ki Mahinta yang kekhawatirannya lenyap, begitu ia mengetahui apa yang membuat lawannya berani memapaki tebasan senjatanya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, lelaki gagah itu melesat membantu Ki Bana Raga yang terlihat sudah sangat terdesak!

Namun, usaha yang dilakukan Ki Mahinta ternyata sedikit terlambat! Sebelum ia tiba di arena pertempuran, terdengar pekik kesakitan, yang disusul dengan terlemparnya tubuh Ki Bana Raga dari arena pertempuran!

"Adi Bana Raga…!" Ki Mahinta, si Pedang Bintang Timur, terpaksa menunda serangannya. Cepat ia melesat menyambar tubuh kawannya, agar tidak sampai terbanting ke tanah.

"Ughhh...!" Ki Bana Raga terbatuk memuntahkan gumpalan darah segar dari mulutnya.

Melihat luka memanjang seperti terkena cakaran harimau itu, Ki Mahinta sadar kalau jiwa rekannya tidak mungkin dapat tertolong lagi. Karena luka memanjang itu sangat dalam, dan melihat pembengkakan di sepanjang luka itu, jelas kalau senjata yang digunakan Raja Ular Emas mengandung racun!

Sedangkan Raja Ular Emas yang menggunakan cambuk berduri dan mengandung racun itu, melecutkan senjatanya berkali-kali di udara. Seolah-olah lelaki raksasa itu ingin mengejek Ki Mahinta. Lelaki gagah yang dalam dunia persilatan berjuluk Pedang Bintang Timur itu memekik memanggil nama Ki Bana Raga, ketika melihat kepala lelaki itu terkulai lemas. Jelas, Ki Bana Raga telah menghembuskan napasnya yang terakhir di pelukan Ki Mahinta.

"Keparat keji...!" desis Ki Mahinta dengan wajah berduka. Hati lelaki gagah itu sangat terpukul dengan kematian kawan-kawannya di depan mata kepalanya sendiri.

"Ha ha ha... jangan merengek seperti anak kecil, Pedang Bintang Timur," ejek Kalya Bantar dengan suara sengaja ditekan pada julukan Ki Mahinta. Sehingga, Ki Mahinta segera membalikkan tubuh dan berdiri tegak menghadapi lelaki raksasa itu.

"Licik kau, Raja Ular Emas! Kau sengaja mengoleskan racun keji pada tubuh pecut berduri itu! Kau memang pantas untuk menjadi penghuni neraka!" maki Ki Mahinta dengan wajah merah. Tampak kalau kemarahan lelaki gagah itu terbangkit.

"Ha ha ha..., hati-hati, Pedang Bintang Timur. Kemarahanmu justru akan membawamu ke neraka. Atau kau memang sudah siap untuk melayat ke alam yang mengerikan itu?" kembali Kalya Bantar melontarkan ejekan-ejekan yang memanaskan hati lawannya.

Menyadari kemarahan akan merugikan dirinya, Ki Mahinta berusaha bersikap tenang dengan menarik napas berulang- ulang. Meskipun demikian, wajahnya tetap merah, menandakan kemarahannya sulit dibendung.

"Haaat..!"

Karena tak mampu menekan kemarahan di hatinya, Ki Mahinta langsung berteriak dan menerjang lawan. Senjata di tangan orang tua itu kembali berputaran dengan kilatan-kilatan cahaya, yang menyilaukan pandang mata lelaki bertubuh raksasa itu.

Namun, Raja Ular Emas telah siap menghadapi gempuran lawannya. Pecut berduri yang telah diolesi racun keji itu meledak-ledak dan berputaran menebarkan hawa maut!

"Hiaaah...!"

Dibarengi sebuah bentakan pendek yang menggelegar, pecut di tangan Raja Ular Emas meluncur cepat mengancam tubuh lawannya yang tengah melayang di udara.

Jtarrr...! Jtarrr...!

Ledakan yang susul-menyusul dengan disertai pijaran bunga api itu, memang benar-benar hebat. Karena mampu mengacaukan pikiran lawan. Terbukti serangan Ki Mahinta langsung kacau karena pengaruh ledakan cambuk dan pijaran bunga-bunga api yang bertebaran di sekitar tubuhnya. Kenyataan itu, mau tidak mau membuat lelaki tua itu merasa kagum akan kemajuan ilmu silat Raja Ular Emas. Dan, ia pun sadar kalau lelaki bertubuh raksasa itu bukan lagi tandingannya.

"Heaaah...!"

Menyadari kepandaian lawan berada di atas, Ki Mahinta pun makin memperhebat serangan-serangannya. Sehingga, bentuk senjatanya lenyap berganti dengan gulungan sinar bagaikan baling-baling raksasa!

Bettt! Wuuut!

"Hmh!" Raja Ular Emas hanya memperdengarkan suara di hidung, ketika ia melihat sabetan pedang lawan mengancam lambungnya. Dengan merendahkan tubuh dan menggeser langkah dua tindak ke kanan, lelaki bertubuh raksasa itu menarik pulang cambuknya sehingga membentuk gulungan di tangannya.

"Hiiih...!"

Begitu serangan lawan lewat Raja Ular Emas membentak nyaring seiring dengan melesatnya cambuk berduri di tangannya!

Rrrt... Brolll!

"Aaakh...!" Ki Mahinta menjerit keras ketika tangannya yang memegang pedang terkena babatan cambuk lawan, yang langsung ditarik pulang oleh Kalya Bantar. Sehingga tangan Ki Mahinta sebatas pergelangan, ikut terbawa oleh cambuk berduri lawannya!

Ki Mahinta terhuyung mundur dengan darah yang menyembur deras dari pergelangan tangannya yang putus! Wajah lelaki gagah itu menyeringai menahan rasa sakit yang luar biasa pada lukanya. Karena luka itu tampak membengkak. Jelas racun jahat pada senjata lawannya telah mulai bereaksi.

"Ha ha ha.... Aku tidak akan membunuhmu sekaligus, Mahinta! Tapi, aku ingin agar kau merasakan cambuk berduri ini pada sekujur tubuhmu!" ujar Raja Ular Emas tertawa berkakakan melihat lawannya tengah sibuk menotok pergelangan tangannya, untuk mencegah darah yang terus mengalir darilukanya.

"Biadab kau, Raja Ular Emas! Kalau mau bunuh, bunuhlah, aku tidak takut mati!" teriak Ki Mahinta dengan suara lantang. Lelaki gagah itu sadar betul, rengekan hanya akan membuat lawan semakin gembira menyaksikan penderitaannya. Itulah sebabnya, mengapa Ki Mahinta malah menantang Raja ULar Emas dengan suara lantang.

"Ha ha ha. Sudah tentu aku akan membunuhmu, Mahinta!" ujar Raja Ular Emas. Lalu ia berpaling kepada para pengikutnya dan berseru, "Anak-anak, kalian boleh saksikan pertunjukan menarik ini"

"Heaaah.!"

Dibarengi sebuah seruan nyaring, cambuk di tangan Raja Ular Emas meluncur dengan disertai ledakan-ledakan yang memekakkan telinga!

Ki Mahinta yang hanya tinggal menanti maut itu, menatap tajam tanpa rasa takut sedikit pun. Dinantinya ujung cambuk yang siap merobek tubuhnya itu dengan penuh ketabahan!

Prattt...!

Tepat pada saat yang sangat menegangkan bagi Ki Mahinta, tiba-tiba melesat sesosok bayangan ramping, yang langsung memukul balik luncuran cambuk Raja Ular Emas!

"Aaah...?!" Raja Ular Emas memekik tertahan, ketika merasakan tangannya yang memegang cambuk bergetar, akibat tangkisan yang dilakukan bayangan ramping itu. Dan, yang membuatnya tak percaya, kuda-kuda lelaki bertubuh raksasa itu tergempur. Sehingga, ia berdiri terpaku beberapa saat lamanya. Sedang sepasang matanya terbelalak ketika ia melihat sosok tubuh ramping berdiri di samping Ki Mahinta.

Sosok tubuh ramping berpakaian kuning cerah yang telah menyelamatkan Ki Mahinta itu, menatap dengan kening berkerut ke arah tangan lelaki gagah yang buntung itu. "Aaah..., luka tanganmu mengandung racun, Paman...," ujar sosok ramping itu agak terkejut. Menilik dari bentuk tubuh dan suaranya yang merdu, jelas sosok yang menyelamatkan Ki Mahinta itu adalah seorang wanita.

"Aaah, ya... ya...," Ki Mahinta yang belum hilang dari rasa terkejutnya, hanya bisa mengeluarkan ucapan itu. Sepertinya ia belum dapat mempercayai, seorang gadis muda yang pantas menjadi anaknya, ternyata dapat memukul balik senjata Raja Ular Emas. Benar-benar sukar untuk dipercaya! Kalau saja Ki Mahinta hanya mendengar cerita, mungkin orang yang bercerita itu akan ditertawakannya habis-habisan.

"Mari kuobati, Paman."

Tanpa menanti jawaban dari Ki Mahinta, gadis berpakaian kuning cerah itu langsung mengeluarkan sejenis obat bubuk berwama putih. Ditaburkannya obat itu pada luka di tangan Ki Mahinta. Kemudian, dengan cermat gadis itu merobek lengan baju lelaki gagah itu, setelah meminta maaf terlebih dahulu sebelumnya.

Untuk kedua kalinya Ki Mahinta kembali dibuat kagum oleh kesigapan gadis cantik itu. Sebentar saja, tangannya yang terluka telah terbalut rapi, dan tidak lagi merasa nyeri. "Terima kasih, Nisanak... Kau hebat dan mengagumkan sekali," puji Ki Mahinta yang secara tidak langsung memuji kecantikan gadis berpakaian kuning cerah itu.

"Mengapa Paman sampai berkelahi dengan raksasa itu...?" tanya gadis itu tanpa mempedulikan tatapan penuh kagum dari Ki Mahinta. Dan, ia tersenyum manis karena tatapan mata lelaki tua itu begitu tulus, tanpa maksud-maksud tertentu.

"Mereka merampok barang yang harus kami antar. Selain itu, mereka juga telah membantai semua kawan-kawanku. Kalau boleh kutahu, siapakah Nisanak? Dan, mengapa Nisanak menolongku?" ujar Ki Mahinta tanpa melepaskan pandang matanya dari sosok di depannya. Sosok gadis cantik dan berani yang telah menyelamatkan nyawanya dari kekejaman Raja Ular Emas.

"Namaku Aryani. Aku hanya tidak suka melihat kekejaman. Begitu aku melihat wajah Paman yang tidak nampak seperti orang jahat, maka aku langsung menolong Paman," sahut gadis berpakaian kuning cerah yang mengaku bernama Aryani itu.

"Namamu indah sekali. Kau seperti seorang dewi, yang turun dari langit untuk menyelamatkan diriku," desah Ki Mahinta seraya mengalihkan pandangannya ke arah Raja Ular Emas. Karena ia mendengar langkah kaki lelaki bertubuh raksasa itu ke arah mereka. Tampak sorot matanya penuh dengan ancaman.

Aryani yang juga mendengar langkah kepala rampok itu, segera membalikkan tubuhnya dan menatap tajam. Sepertinya gadis cantik itu tidak merasa gentar sama sekali terhadap Raja Ular Emas. Sikapnya demikian tenang dengan wajah terulas senyum tipis.

"Hati-hati, Aryani. Kepandaian raksasa gila itu hebat sekali. Dia juga kejam, dan tak mengenal ampun," bisik Ki Mahinta yang diam-diam merasa khawatir atas keselamatan gadis cantik yang telah menolongnya itu.

"Terima kasih, Paman. Tapi, rasanya aku mampu menghadapi raksasa jahat itu. Dia kelihatannya saja kuat dan galak. Padahal, ia tidak lebih dari seorang raksasa tolol," ujar Aryani dengan suara agak keras. Sepertinya ia memang sengaja agar Raja Ular mendengar suaranya.

"Ha ha ha... Tak kusangka di hutan lebat ini aku bisa berjumpa dengan seorang dewi. Hai, Nisanak. Aku akan memaafkanmu bila kau bersedia untuk menjadi gundikku. Bagaimana? Kau setuju tawaranku?" tanya Kalya Bantar yang tidak menjadi marah ketika melihat kecantikan gadis yang telah berani mencampuri urusannya itu. Bahkan sepasang matanya yang besar itu, sudah bergerak liar menjelajahi sekujur tubuh Aryani.

"Hm.... Ternyata kau bukan hanya tolol, Raksasa Jelek. Tapi mulutmu juga harus dibersihkan. Dan, kalau kau tidak sempat membersihkannya, biarlah aku yang akan membantumu. Agar lain kali kau bisa menjaga perkataanmu itu," cetus Aryani yang kedua pipinya menjadi merah mendengar ucapan yang jelas-jelas telah menyinggung harga dirinya sebagai seorang wanita. Maka, begitu ucapannya selesai, tubuh gadis cantik itu sudah melesat ke arah Raja Ular Emas.

Plakkk!

"Aaakh...!"vKalya Bantar memekik kesakitan, ketika telapak tangan mungil itu telah mendarat di pipi kirinya. Tanpa ampun lagi, pipi raksasa itu langsung membengkak. Bahkan bibirnya pecah akibat tamparan Aryani yang keras.

Bukan hanya Kalya Bantar yang tidak mengerti kalau ia bisa kena tampar sedemikian mudah. Bahkan Ki Mahinta pun sampai terbeliak matanya. Ia hampir tak mempercayai dengan apa yang disaksikannya. Gerakan gadis cantik itu memang sangat cepat, sehingga sulit ditangkap dengan mata biasa. Melihat kenyataan itu, Ki Mahinta sadar kalau Aryani ternyata bukan seorang pendekar wanita biasa. Mungkin kepandaian gadis cantik itu jauh berada di atas tingkat kepandaiannya.

"Bangsat! Perempuan sundal...!" Kalya Bantar memaki kalang kabut, sambil menyusut cairan merah yang membasahi jenggotnya. Raksasa yang sombong itu ternyata tidak menyadari kehebatan Aryani. Ia mengira hal itu terjadi hanya karena ia tidak siap.

"Eh, kenapa kau, Raksasa Tolol? Mengapa marah-marah seperti seorang kakek kebakaran jenggot? Seharusnya kau berterima kasih karena aku telah membantu membersihkan mulutmu," ujar Aryani sambil bertolak pinggang dan melontarkan senyum mengejek.

"Setan...! Kau akan rasakan akibat kekurangajaranmu, Gadis Busuk!" geram Raja Ular Emas sambil memutar cambuknya dengan sekuat tenaga.

Wuuuk! Wuuuk!

Angin keras menderu-deru mengiringi putaran cambuk berduri kepala rampok itu. Melihat dari tatapan matanya yang bengis, jelas bahwa ia benar-benar telah murka!

"Heaaah...!"

Berbarengan dengan suara bentakan menggelegar, cambuk di tangan Raja Ular Emas meledak-ledak keras memekakkan telinga. Kemudian meluncur deras mengancam tubuh ramping Aryani. Andai saja tubuh ramping itu terkena, dapat dipastikan tubuh molek itu akan rusak dan tak berujud lagi.

Ki Mahinta sendiri sudah bersiap ingin melindungi gadis cantik itu. Sepertinya lelaki gagah itu belum yakin akan kemampuan Aryani. Karena penampilan Raja Ular Emas benar-benar menyeramkan. Sehingga, ia sendiri tidak tega membiarkan gadis itu menghadapi maut.

"Tenanglah, Paman. Percayalah, raksasa itu pasti akan menjadi jinak sebentar lagi," ucap Aryani sambil mengembangkan tangan kanannya mencegah Ki Mahinta. Kemudian, lelaki tua itu bergerak mundur ketika Aryani memintanya.

Jtarrr...! Jtarrr...!"

Tanah di tempat Aryani berpijak meledak hingga membentuk beberapa buah lubang. Untunglah gadis cantik itu telah melesat menghindarinya. Sehingga, tanah di tempatnya berpijak itulah yang menjadi sasaran.

Ki Mahinta meleletkan lidahnya melihat akibat yang ditimbulkan lecutan cambuk Kalya Bantar. Kenyataan itu, menyadarkan Ki Mahinta kalau Raja Ular Emas belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Ketika ia bertempur dengan kepala perampok itu. Kalau gadis itu tidak menolongnya, mungkin ia sudah menjadi mayat. Tapi, gadis cantik itu sama sekali tidak merasa gentar, melihat akibat lecutan cambuk lawannya. Bahkan ia malah mengejek dengan kata-kata yang memanaskan telinga. Karuan saja kemarahan Raja Ular Emas makin menggelegak!

"Hik hik hik...! Hanya segitukah kehebatan cambuk mautmu?" ejek Aryani sambil berloncatan menghindari ujung cambuk yang meledak-ledak mengancamnya. Permainan cambuk yang mengerikan dari Raja Ular Emas itu, tidak lebih dari permainan anak-anak bagi Aryani.

EMPAT

Pertarungan antara Aryani dan Raja Ular Emas, masih berlangsung dengan sengit. Meskipun serangan cambuk Kalya Bantar sangat gencar menghujani tubuh gadis itu, namun sampai sepuluh jurus, belum sekali pun ujung cambuk itu menyentuh tubuh Aryani. Sehingga, Kalya Bantar semakin penasaran dibuatnya.

"Waktu untukmu menyerang sudah cukup, Raksasa Tengik! Sekarang aku akan mulai membalas. Bersiap-siapiah...," ujar Aryani yang segera menghindari lecutan cambuk ke arah dadanya. Kemudian ia berjumpalitan beberapa kali, sebelum kakinya mendarat sejauh satu setengah tombak dari tempatnya semula.

"Kuntilanak, mau lari ke mana kau...?" Kalya Bantar yang mengIra lawannya hendak meLarikan diri, segera mengejar dengan lecutan cambuknya yang meledak- ledak memercikkan bunga-bunga api. Sepertinya Raja Ular Emas memang berniat menghabisi lawannya.

Tapi kali ini Aryani tidak hanya sekadar mengelak. Dengan sepasang telapak tangan terbuka, gadis cantik itu mulai membalas serangan-serangan cambuk lawannya. Sambaran-sambaran angin berbau wangi mulai menebar, mengiringi setiap lontaran telapak tangan gadis cantik itu. Bahkan setap kali ujung cambuk dipapaki dengan pukulan telapak tangannya, selalu saja membalik, membuat Raja Ular Emas terkejut bukan kepalang.

"Heaaah...!"

Rasa penasaran dan kemarahan, membuat Raja Ular Emas menjadi kalap! Sambil menggereng seperti harimau luka, diputarnya cambuk berduri itu dengan seluruh kekuatan yang ada! Akibatnya tentu saja hebat! Sehingga, Aryani sendiri sempat mengagumi kepandaian kepala rampok bertubuh raksasa itu.

Setelah pertarungan menginjak jurus keempat puluh, Aryani mulai mendesak lawan dengan lontaran tendangan dan tamparan-tamparan maut! Kecepatan dan kekuatan yang ditunjukkan gadis cantik itu, benar-benar mengejutkan sekali! Sehingga, dalam waktu singkat. Raja Ular Emas dibuat tak berkutik oleh serangan-serangan gadis itu.

"Haiiit...!"

Tepat saat pertarungan menginjak jurus keempat puluh dua, Aryani memekik nyaring disertai lesatan tubuhnya yang benar-benar menggiriskan! Berbarengan dengan itu, telapak tangan kanannya meluncur ke depan diiringi wewangian yang menebar. Bahkan, dari telapak tangan gadis cantik itu terlihat warna kemerahan yang samar!

Desss...!

"Aaakh...!" Raja Ular Emas memekik ngeri ketika pukulan berbau harum yang memabukkan itu menghajar telak dadanya! Karuan saja tubuh raksasa itu terjungkal, dan jatuh berdebum di atas tanah!

"Huaaakh...!" gumpalan darah segar muncrat dari mulut Kalya Bantar. Melihat dari warna darahnya yang agak kehitaman, Kalya Bantar sadar kalau ia telah mengalami luka dalam yang mengandung racun. Raja Ular Emas berusaha bangkit meski dengan susah payah. Tiba-tiba matanya terbelalak ketika melihat rompi kulit ular yang dikenakannya, tampak robek di bagian dada. Sedangkan dada yang terkena pukulan gadis cantik itu, terdapat tanda telapak tangan berwarna kemerahan.

"Ilmu Pukulan Mawar Beracun?!" desis Kalya Bantar dengan wajah pucat! Jelas ia telah cukup mengenal ilmu pukulan yang dipergunakan lawan.

Aryani tersenyum tipis melihat kekagetan Raja Ular Emas. Dengan tenang, ia mengayunkan langkah menghampiri kepala rampok bertubuh raksasa itu, yang masih terduduk dengan napas tersengal-sengal.

"Kau... apa hubunganmu dengan Raja Racun Merah yang menjadi datuk sesat di wilayah Selatan ini...?" tanya Raja Ular Emas dengan wajah pucat. Menilik dari cara ia mengucapkan nama datuk sesat itu, jelas hati Kalya Bantar dicekam rasa takut.

Ki Mahinta sendiri terperangah ketika mendengar disebutnya nama datuk sesat yang menggiriskan itu. Meskipun dalam beberapa bulan terakhir ini, nama datuk sesat itu tidak lagi terdengar, namun setiap nama itu disebut orang, pengaruhnya tetap terasa bagi mereka yang berkecimpung di dalam dunia persilatan. Diam-diam lelaki gagah itu menatap penuh selidik dan mulai menduga-duga, siapa sesungguhnya gadis cantik yang sangat sakti itu.

"Dia adalah ayahku. Mengapa? Apakah kau ingin bertemu dengannya?" Aryani yang sudah dapat menerka ketakutan di wajah lelaki bertubuh raksasa itu, sengaja menakut-nakuti lawannya. Sepertinya gadis lincah itu ingin melihat sikap Raja Ular Emas kalau dikatakan ayahnya berada di sekitar tempat mereka bertarung.

"Kau, putri Raja Racun Merah...?! Dan..., ayahmu juga datang bersamamu..?" desis Raja Ular Emas dengan wajah semakin pucat. Bahkan ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling hutan itu dengan sepasang mata mendelik. Jelas, kalau ia sangat ketakutan!

Rasa takut yang menyelubungi hati Kalya Bantar tidaklah aneh. Karena datuk sesat yang berjuluk Raja Racun Merah itu memang terkenal sangat kejam dalam mengambil tindakan. Kalau sampai seorang kepala rampok yang kejam seperti Raja Ular Emas sudah sedemikian takutnya, dapat dibayangkan betapa kejamnya Raja Racun Merah itu.

"Ya, ayah datang bersamaku. Apakah kau mau kupanggilkan?" goda Aryani lagi dengan wajah sungguh- sungguh.

"Ah, tidak... tidak...," sambil berkata demikian, Kalya Bantar mengisyaratkan kedua orang pembantunya untuk menghampiri. Lalu, dengan dipapah kedua orang lelaki kekar itu, Raja Ular Emas bergegas meninggalkan tempat itu, dengan disertai seluruh anggotanya.

"Hik hik hik...! Dasar raksasa penakut..." ejek Aryani tertawa terpingkal-pingkal melihat raksasa itu bergegas lari meninggalkan tempat itu dengan wajah ketakutan.

Ki Mahinta menatapi kepergian Gerombolan Perampok Ular Emas dengan tarikan napas lega. Meskipun ia harus kehilangan para anggotanya, namun lelaki tua itu merasa bersyukur. Karena barang kawalannya telah selamat. Barang itulah yang lebih penting bagi kelompoknya. Sedangkan kematian kawan-kawannya memang sudah menjadi risiko bagi pekerjaan mereka.

"Aryani, benarkah kau putri datuk sesat yang berjuluk Raja Racun Merah...?" tanya Ki Mahinta setelah mereka selesai menguburkan mayat-mayat yang bergeletakan di tempat itu.

"Benar, Paman. Apakah Paman juga membenci ayahku...?" Aryani balik bertanya dengan sepasang mata menghunjam tepat di kedua bola mata Ki Mahinta. Jelas sekali gadis cantik itu ingin mengetahui perasaan hati lelaki gagah itu terhadap ayahnya.

"Hm..., secara pribadi, aku memang tidak membencinya. Tapi, kebanyakan dari kaum rimba persilatan golongan putih, sudah pasti mengecam apa yang pernah diperbuat Raja Racun Merah selama ini. Maaf, kalau kukatakan secara terus-terang bahwa ayahmu adalah seorang datuk yang kejam dan banyak menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang tak terhitung," desah Ki Mahinta sambil mengalihkan pandangan matanya ke arah lain.

Biar bagaimanapun, hati lelaki tua itu merasa tidak enak terhadap Aryani yang telah mati-matian menyelamatkan dirinya dan nama kelompok pengawal barang Harimau Terbang. Ki Mahinta sadar kalau tanpa pertolongan gadis cantik, putri datuk sesat itu, bukan hanya dirinya saja yang tewas. Bahkan kelompok pengawal barang Harimau Terbang mungkin akan hancur dan tidak lagi mendapat kepercayaan dari para pelanggannya.

"Aku sadar dengan kejahatan yang pernah dilakukan ayah pada waktu yang lalu. Tapi, apakah Paman percaya kalau sekarang ini ayahku telah mengundurkan diri, dan tidak pernah melakukan kejahatan lagi?" ujar Aryani meminta pendapat Ki Mahinta.

"Ah, jadi lenyapnya Raja Racun Merah tanpa kabar selama beberapa bulan terakhir ini, karena beliau sudah membersihkan diri?" Ki Mahinta sempat kaget mendengar penjelasan Aryani. Kalau saja orang lain yang mengatakannya, mungkin ia tidak mempercayai sepenuhnya. Tapi, gadis cantik yang jelas-jelas membelanya mati-matian, dan juga melihat dari sikap serta tutur katanya, mau tidak mau Ki Mahinta mempercayainya. Hanya saja ia agak terkejut dengan berita itu.

"Benar, Pedang Bintang Timur," tiba-tiba terdengar sebuah suara berat yang mengejutkan. Bersamaan dengan itu, munculah seorang lelaki berusia enam puluh tahun lebih yang bertubuh kurus dan mengenakan jubah berwarna merah darah.

"Ayah...!" Aryani yang semula hanya berbohong ketika mengejek Raja Ular Emas terkejut melihat kehadiran lelaki tua yang tidak lain dari ayahnya. Serentak gadis cantik itu menghambur menyambut kedatangan ayahnya.

"Aryani...," desah lelaki tua itu sambil memeluk tubuh putrinya dengan penuh kasih sayang.

"Mengapa Ayah berada di tempat ini...?" tanya gadis cantik itu bernada tak senang.

"Maaf, kalau aku terpaksa membuntuti perjalananmu selama ini, Anakku. Apakah aku tidak boleh mengkhawatirkan keselamatan putri yang satu-satunya?" bantah kakek itu tersenyum sambil menatap sepasang mata bening yang menentang pandang matanya.

"Ah, Ayah...," desah gadis cantik itu manja. Dalam saat seperti itu kelihatan sekali, betapa tidak berbedanya kedua tokoh sesat itu dengan manusia-manusia lain. Tidak nampak sedikit pun sinar kejahatan pada wajah keduanya.

Cukup lama seorang ayah dan anaknya itu melupakan kehadiran Ki Mahinta yang terpaku seperti patung. Sekilas ada kecurigaan dalam hatinya, ketika melihat kehadiran Raja Racun Merah. Batinnya mulai menduga kalau semua perbuatan Aryani tadi, hanyalah sebuah sandiwara belaka. Dan, munculnya datuk sesat yang sangat kejam itu, tentu ada hubungannya dengan kereta barang yang dibawanya. Dugaan yang membuat Ki Mahinta was-was itu, demikian kuat mencengkeram. Sehingga, ia tidak menyadari ketika dua pasang mata ayah dan anaknya itu telah menatapnya.

"Paman Mahinta. Kau kenapa...?" tanya Aryani yang baru teringat akan keberadaan orang tua itu. Bergegas gadis cantik itu menghampiri bersama ayahnya.

"Eh...!" Ki Mahinta tersentak sadar dari lamunannya. Wajahnya terlihat berubah tegang ketika Raja Racun Merah dan Aryani datang menghampiri.

"Mengapa, Paman...?" tanya Aryani yang tidak mengerti kenapa wajah Ki Mahinta tampak tegang. Tanpa curiga sedikit pun gadis itu mengulur tangannya bermaksud menyentuh bahu orang tua itu.

Tapi, apa yang dilakukan Ki Mahinta benar-benar membuat hati Aryani terkejut. Lelaki tua itu melompat menghindarkan diri. Seolah-olah uluran tangan gadis itu hendak mencekik lehernya.

"Paman, kau kenapa...?" rasa penasaran membuat Aryani memekik, karena ia benar-benar tidak mengerti mengapa Ki Mahinta berbuat demikian aneh.

"Eh, aku... ah, tidak apa-apa...," sahut Ki Mahinta berusaha bersikap wajar. Sayang, ketegangan masih terlihat jelas pada raut wajahnya.

"Hm...," Raja Racun Merah bergumam lirih. Sebagai orang tua, dan tokoh sesat yang berpengalaman, ia segera dapat membaca apa yang tengah terjadi dengan Ki Mahinta. Sekilas terlintas sinar penyesalan di mata orang tua itu.

"Ayah, kenapa dia...?" Aryani yang mendengar gumaman ayahnya, membalikkan tubuh dan bertanya kepada ayahnya. Sinar matanya yang bening menuntut jawaban jujur.

"Hhh..., Mahinta tidak bisa disalahkan, Anakku. Wajar kalau ia merasa curiga kepada kita. Ingat, kita adalah orang-orang sesat yang selalu berbuat kejahatan. Dia curiga, kehadiranku dan pertolonganmu tadi mempunyai hubungan, dan bukan kejadian yang kebetulan," ujar Raja Racun Merah dengan nada penuh penyesalan.

"Apa..., Paman Mahinta mencurigai kita? Mengapa? Apakah dia mengira kita akan merampok kereta barangnya? Kurang ajar...!" dari rasa penasaran dan tak mengerti, Aryani berubah menjadi marah. Sepertinya gadis cantik itu tidak bisa menerima tuduhan Ki Mahinta.

"Aryani, sudahlah...," Raja Racun Merah mencegah putrinya yang hendak menerjang Ki Mahinta. Dicekalnya pergelangan gadis cantik yang tengah murka itu.

"Paman, kau tega menuduh kami sekeji itu? Lalu, apa artinya aku menyelamatkanmu? Kau benar-benar tidak tahu budi!" Aryani berteriak-teriak marah dan menuding-nuding Ki Mahinta yang terlihat menundukkan kepalanya seperti orang yang merasa bersalah.

"Maafkan aku..., aku..., telah bersalah mempunyai dugaan yang kotor terhadap niat baikmu, Aryani. Aku..., menyesal..." ujar Ki Mahinta terpatah-patah agak serak.

"Kau sama sekali tidak bersalah, Mahinta. Aku dan anakku memang patut untuk dicurigai. Kami berdua memang pernah bersalah. Terlebih aku. Karena sebelumnya aku memang seorang manusia kotor yang sangat kejam. Tapi, apakah salah kalau aku berniat meninggalkan dunia sesat itu? Atau, salahkah seorang putri datuk sesat tidak mengikuti jejak ayahnya?" terdengar suara parau Raja Racun Merah. Sepertinya orang tua itu pun merasa kecewa dengan sikap Ki Mahinta yang mencurigai mereka.

"Maafkan aku, Raja Racun, Aryani. Aku..., menyesal sekali. Kalau saja kalian meminta nyawaku sebagai tanda penyesalan atas sikapku, aku siap," tegas Ki Mahinta yang sepertinya benar-benar sangat menyesal atas sikapnya, yang membuat ayah dan anaknya itu merasa terpukul.

Mendengar ucapan itu, Aryani yang tengah memeluk ayahnya, segera membalikkan tubuh, dan menatap orang tua itu penuh selidik. Sepasang mata indahnya sempat terbelalak melihat betapa di tangan kiri Ki Mahinta sudah tergenggam pedang telanjang. Bahkan mata pedang itu sudah ditempelkan dilehernya.

"Aku tidak akan meminta nyawamu, Paman Mahinta. Kalau kau memang benar-benar telah menyesali tuduhanmu itu, rasanya sudah cukup. Bantulah ayah untuk kembali ke jalan yang benar, Paman," pinta gadis cantik itu sambil menatap Ki Mahinta penuh harap.

"Ah, aku benar-benar telah berdosa sekali...," desah Ki Mahinta lagi, "Sikapmu telah menunjukkan bahwa kau tidak kalah dengan gadis-gadis pendekar, Aryani. Bahkan tidak sedikit orang-orang golongan putih yang bersikap sombong dan mau menang sendiri. Sekali lagi, aku mohon maaf atas sikapku yang telah menyakiti hati kalian berdua."

"Terima kasih, Paman. Aku percaya dengan semua ucapanmu itu," ujar Aryani dengan wajah yang kembali berseri. Kemudian, ia berpaling kepada ayahnya, "Ayah harap kembali saja, dan tidak perlu mengkhawatirkan aku. Kelak kalau aku sudah puas melihat-lihat dunia yang luas ini, aku akan segera kembali percayalah."

"Hm..., kalau memang itu yang kau inginkan, baiklah. Dan, kalau boleh Ayah tahu, ke manakah tujuanmu sekarang?" tanya Raja Racun Merah membelai rambut putri satu-satunya yang telah membuatnya sadar akan kehidupannya yang sesat selama ini.

"Entahlah, Ayah. Aku belum bisa memastikannya. Tapi, aku akan ikut bersama Paman Mahinta untuk mengantarkan barang yang ada di dalam kereta itu," jawab Aryani yang segera mengambil keputusan untuk mengikuti Ki Mahinta mengantarkan barang kawalannya.

"Hm..., kau bersedia kalau putriku ikut bersamamu, Mahinta?" tanya Raja Racun Merah sambil menatap Ki Mahinta.

"Bukan hanya bersedia, Raja Racun. Aku merasa sangat bahagia sekali dapat berjalan bersama putrimu, yang gagah dan cantik itu," sahut Ki Mahinta sambil membungkuk hormat kepada tokoh sesat yang telah sadar itu.

"Baiklah. Kutunggu kau di pertapaanku, Aryani...," belum lagi gema suara Raja Racun Merah itu lenyap, tubuh orang tua itu telah menghilang dari hadapan Aryani dan Ki Mahinta.

"Baik, Ayah...!" Aryani berseru menjawab perkataan ayahnya.

Ki Mahinta menggeleng-geleng kepala menyaksikan kesaktian Raja Racun Merah yang sukar diukur itu. Pertemuannya dengan ayah beranak itu, membuat Ki Mahinta merasa kepandaiannya sama sekali tidak berarti apa-apa. Jangankan dengan Raja Racun Merah. Dengan putrinya pun ia kalah jauh.

"Hhh..., demikian banyaknya orang sakti di dunia ini...," desah Ki Mahinta menghela napas panjang.

"Ayolah kita berangkat Paman," Aryani menyadarkan Ki Mahinta dari lamunannya. Tanpa banyak cakap lagi, orang tua itu segera melompat ke atas kereta, kemudian disusul oleh Aryani.

"Heaaah...!" Aryani yang meminta untuk menjadi kusir kereta itu berteriak dan melecutkan cambuk di tangannya. Kereta pun mulai bergerak meninggalkan hutan.

LIMA

Gadis cantik itu melangkah ringan menyusuri jalan lebar di Kota Kadipaten Jaga Karta. Rambutnya yang panjang dengan ikat kepala berwarna kuning cerah, bergoyang mengikuti ayunan langkah kakinya. Pakaian yang berwana kuning cerah, sangat serasi dengan kulit tubuhnya yang kuning langsat. Sehingga, wajah cantiknya tampak semakin memikat.

Sesekali gadis itu menolehkan kepala ke kiri dan kanan dengan senyum selalu menghias di wajahnya. Kelihatan sekali kalau gadis cantik, yang tidak lain dari Aryani itu, sangat menikmati suasana ramai di sekitarnya. Beberapa orang lelaki muda yang tengah duduk di depan kedai makan, melontarkan kata-kata godaan, ketika Aryani lewat di depannya. Namun, gadis cantik itu sama sekali tidak peduli. Ia terus melangkahkan kakinya.

Setelah mengantarkan Ki Mahinta ke kadipaten itu, Aryani memaksa untuk berpisah. Keikutsertaannya mengantarkan lelaki setengah baya itu, memang hanya untuk menjaga agar barang yang dibawa Ki Mahinta sampai di tempat tujuan. Sesudah tugas itu selesai, Aryani pun pamit. Karena ia hendak melanjutkan perantauannya seorang diri. Sehingga, meskipun dengan berat hati, Ki Mahinta terpaksa melepaskan kepergian gadis cantik yang telah menolongnya.

Ketika Aryani melewati sebuah kedai makan yang cukup besar dan tampak ramai, timbul selera gadis cantik itu untuk singgah dan menikmati hidangan. Ia pun mengayunkan langkah memasuki kedai makan.

"Silakan, Nisanak..."

Seorang pelayan berusia sekitar tiga puluh tahun dan berwajah ramah, menyambut kedatangan Aryani. Wajah pelayan itu sempat berubah ketika melihat sebilah pedang yang tergantung di pinggang kiri gadis cantik itu. Sekilas pandang pelayan itu pun sadar, kalau gadis cantik itu bukanlah gadis lemah.

Aryani duduk di sebuah meja kosong sambil menunggu hidangan yang telah dipesan. Sepasang matanya yang bening dan riang itu beredar di sekeliling ruangan yang ramai oleh pengunjung. Tengah ia menikmati keadaan di sekelilingnya, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut yang berasal dari luar kedai. Kening gadis cantik itu agak berkerut, ketika ia melihat empat orang lelaki muda tampak memasuki kedai. Lagak mereka terlihat angkuh. Sehingga, hati Aryani langsung tidak menyukainya.

"Silakan..., silakan, Tuan Muda...." Sepasang mata Aryani menyipit ketika mendengar pelayan yang tadi menyambutnya membungkuk-bungkuk hormat, menyebut salah seorang dari mereka sebagai 'tuan muda'.

Merasa penasaran, ditatapinya wajah empat pemuda itu satu persatu. Sepertinya ia ingin mengetahui, siapa gerangan yang disebut pelayan itu sebagai 'tuan muda'. Pada saat yang sama, secara kebetulan salah seorang dari empat pemuda itu tengah melepaskan pandang ke arah Aryani. Sehingga, tanpa sengaja mata keduanya pun bertemu.

"Hm..., diakah yang disebut sebagai Tuan Muda...?" gumam Aryani menatap tajam pemuda bertubuh jangkung yang wajahnya tampak bersih, namun tersirat sinar keangkuhan pada sepasang mata dan wajah itu. Cepat gadis itu mengalihkan matanya, ketika pemuda jangkung itu tidak juga berpaling. Senyum di bibir Aryani terkembang, ketika seorang pelayan datang membawakan pesanannya. Sambil meletakkan hidangan, pelayan yang usianya sekitar lima puluh tahun itu berbisik lirih.

"Nisanak, harap hati-hati. Salah seorang dari mereka yang bertubuh jangkung itu, putra ketua perguruan yang disegani di Kadipaten Jaga Karta ini. Kalau dia menggoda, harap jangan diladeni."

"Mengapa, Paman...," Aryani bertanya lirih, sambil berpura-pura sibuk ikut mengatur hidangan. Sekali lihat saja, gadis yang cerdik itu menangkap nada ketakutan dalam ucapan pelayan setengah baya itu. Maka, ia pun bertanya sambil berbisik.

"Lelaki jangkung itu, bermata keranjang. Harap Nisanak berhati-hati...," pesan pelayan itu sambil cepat-cepat berlalu. Dengan ekor matanya, ia melihat rombongan pemuda itu tengah menuju ke arahnya.

Tanpa banyak tanya lagi, Aryani segera menikmati hidangan yang telah dipesannya. Ia sama sekali tidak ambil peduli, ketika mendengar langkah langkah kaki berhenti di depannya.

"Aaah, untunglah masih ada tempat yang kosong. Kebetulan ada seorang bidadari di kedai ini. Benar-benar peruntunganmu baik sekali, Tuan Muda...," terdengar salah seorang yang bersuara seperti perempuan mengoceh. Lelaki muda yang bertubuh jangkung itu tersenyum, seraya sepasang matanya mengamati tubuh Aryani. Sambil menarik sebuah kursi, ia langsung duduk di hadapan putri datuk sesat itu. Ketiga kawannya yang lain serentak mengikuti.

"Boleh aku duduk di sini, Nisanak...?" tanya pemuda jangkung itu dengan lagak yang dibuat-buat

Aryani mengangkat kepalanya sejenak. Hatinya ingin memaki, karena ucapan pemuda jangkung itu jelas-jelas bermaksud menggodanya. Kalau tidak, mengapa setelah duduk baru meminta persetujuannya. Batin gadis cantik itu mengomel panjang pendek.

"Silakan, kalian bebas duduk di mana saja. Kedai ini bukan milikku," sahut Aryani ketus. Kemudian, ia kembali menunduk dan menikmati hidangannya. Meski selera makannya sudah lenyap dengan kehadiran empat orang pemuda itu, tapi ia berusaha tidak mendamprat mereka di kedai itu.

"Wah, matanya galak sekali... tapi, indah, dan menggemaskan...," celetuk pemuda berwajah bulat yang duduk di sebelah kanan Aryani. Terdengar gelak tawa mereka ketika mendengar ucapan itu.

"Hai, sayang kedai sebesar dan sebagus ini banyak dikerumuni lalat. Benar-benar menyebalkan...," ujar Aryani sambil bangkit, setelah meninggalkan uang sebagai pembayaran hidangan yang disantapnya.

"Kurang ajar...! Berhenti kau, Perempuan Sombong! Kau benar-benar kelewatan menyebut kami sebagai lalat-lalat menyebalkan! Kau harus minta maaf kepada Tuan Muda kami...!" pemuda berwajah bulat yang merasa tersinggung dengan umpatan Aryani, bergerak bangkit dan menangkap pergelangan gadis cantik yang hendak berlalu itu.

Meskipun hatinya sudah kesal karena mereka telah mengganggu selera makannya, namun Aryani tetap mencoba bersabar. Seperti tak disengaja, tangan kanannya yang akan dicekal pemuda itu bergerak ke depan, bersamaan dengan berbaliknya tubuh gadis cantik itu.

"Hei, siapa yang mengatakan kalau kalian adalah lalat? Apa aku berkata begitu? Aku hanya tidak suka melihat kedai ini dikerumuni lalat. Nah, apakah kalian berempat ini binatang yang bernama lalat?" tukas Aryani tak mau kalah. Sehingga, pemuda bertubuh gemuk yang wajahnya bulat itu terdiam dengan wajah ketololan. Kemudian mengharapkan bantuan kawan-kawannya.

Senyum sinis di bibir Aryani terkembang, ketika melihat pemuda berwajah bulat itu tak bisa menjawab kata-katanya. Dengan tenang ia kembali melangkah keluar kedai. Ia sama sekali tidak peduli dengan teriakan-teriakan pemuda itu yang berusaha mencegah kepergiannya.

"Hei, berhenti kau, Perempuan Sombong...!" tiba-tiba terdengar hardikan, yang kemudian disusul dengan berkelebatannya sosok-sosok tubuh menghadang jalan gadis itu. Dan, tahu-tahu keempat orang pemuda itu telah berdiri di depan Aryani.

"Apa mau kalian sebenarnya...?" ujar gadis cantik itu sambil memandang tajam wajah yang menghadangnya, karena saat itu sudah berdiri di luar kedai, maka Aryani pun berniat untuk memberi pelajaran kepada orang-orang itu.

"Setelah menghina kami, apakah kau kira dapat pergi begitu saja? Kau harus dihukum, sebelum meninggalkan tempat ini!" ujar salah seorang dari mereka sambil menudingkan telunjuknya ke wajah gadis cantik itu.

"Katakan, apa hukuman itu...?" pinta Aryani sambil menatap tajam lelaki berwajah bulat yang sepertinya sangat mendendam kepada gadis cantik itu.

"He he he... tidak sulit. Kau harus mencium kami berempat. Setelah itu, baru kau boleh pergi dengan bebas," sahut yang lainnya cepat sambil terkekeh menyebalkan.

Mendengar ucapan kurang ajar itu, wajah Aryani berubah merah. Tapi, dengan pandainya gadis cantik itu segera dapat menguasai kemarahannya. Lalu, ia melangkah ke arah lelaki yang mengajukan permintaan 'hukuman' itu dengan bibir tersenyum manis.

"Baik. Tapi dengan satu syarat, kalian semua harus memejamkan mata rapat-rapat, bagaimana?" ujar Aryani dengan nada wajar. Sehingga, keempat pemuda itu sama sekali tidak merasa curiga.

Jawaban yang sama sekali tidak disangka-sangka itu, membuat mereka terkekeh kegirangan. Sambil membayangkan nikmatnya sentuhan bibir gadis cantik itu, keempatnya segera memejamkan mata rapat-rapat.

"Hm..., kalian harus berdiri berjajar. Jadi, aku langsung bisa menyelesaikan hukuman itu secepatnya," kembali terdengar suara Aryani yang membuat keempat pemuda itu segera menuruti ucapannya.

"Rasakanlah kenikmatan ini...," desis Aryani sambil menggerakkan tangannya empat kali berturut-turut.

Plak! Plak! Plak...!

Keempat orang lelaki itu berteriak kesakitan! Tubuh mereka langsung terpelanting akibat kerasnya tamparan gadis cantik itu. Bahkan dua orang di antaranya sampai copot giginya!

"Bangsat...!"

Lelaki jangkung yang disebut sebagai 'tuan muda' itu, memaki kalang kabut. Tanpa banyak cakap lagi, ia langsung melompat menerjang Aryani. Nafsu bejadnya lenyap berganti dengan sakit hati yang bergolak di dalam dadanya. Sehingga, serangannya pun tidak bisa dipandang ringan.

Bettt! Bettt!

Serangakaian pukulan dan tendangan dilontarkan pemuda jangkung itu, dapat dielakkan secara mudah oleh Aryani. Sebagai putri seorang datuk sesat, tentu saja serangan- serangan itu tidak berarti sama sekali baginya. Bahkan dengan gesitnya ia langsung membalas serangan-serangan yang tidak kalah berbahaya.

"Haiiit..!"

Memasuki jurus yang kedua puluh, Aryani berseru nyaring sambil melontarkan sebuah pukulan ke dada lawan. Kecepatan geraknya yang memang jauh di atas lawan, membuat pukulan itu mendarat telak pada sasarannya.

Bukkk!

"Aaakh...!" Tanpa ampun lagi, tubuh jangkung itu terjungkal, dan terbanting jatuh ke tanah. Darah segar tampak meleleh di sudut bibirnya. Melihat seringai di wajahnya, jelas pukulan gadis itu cukup mendatangkan rasa sakit pada bagian dalam dada Tuan Muda itu.

"Bunuh gadis itu...!" merasa dipermalukan di depan orang banyak, pemuda jangkung itu langsung memerintahkan ketiga kawannya untuk membinasakan Aryani. Sedangkan ia sendiri sudah mencabut senjata dan langsung mengeroyok gadis cantik itu, tanpa malu-malu lagi.

Di tengah pertarungan yang berlangsung sengit tiba-tiba melayang sesosok tubuh tegap ke tengah arena. Sekali bergerak, tangan dan kakinya langsung merobohkan tiga orang pengeroyok gadis cantik itu.

"Cepat tinggalkan tempat ini! Kalau tidak, kau akan mendapat kesulitan besar...!" bisik sosok yang ternyata adalah seorang pemuda tampan. Sambil berkata, tangan pemuda itu bergerak mencekal pergelangan tangan Aryani. Dan, langsung melesat meninggalkan tempat itu.

Aryani yang sebelumnya mau memberontak, terpaksa menunda niatnya. Meski di kepalanya dipenuhi tanda tanya, namun gadis cantik itu diam saja ketika pemuda itu terus berlari keluar batas kadipaten. Tidak ada sedikit pun bantahan dari Aryani, karena gadis itu merasa penasaran, dan ingin mengetahui apa sebenarnya maksud pemuda itu menolongnya.

********************

Pemuda bertubuh tegap itu baru memperlambat larinya, ketika keduanya telah jauh meninggalkan kadipaten. Kemudian, ia menghentikan langkahnya. Seperti tidak sadar kalau jemarinya masih mencekal pergelangan tangan Aryani, pemuda itu enak saja menyandarkan tubuhnya pada sebuah batu besar di tepi jalan.

"Hm..., sekarang kau harus menjelaskan kepadaku, mengapa kau membawaku lari, dan mengapa kau begitu suka memegang tanganku?" tanya Aryani sambil menatap wajah pemuda itu lekat-lekat. Gadis cantik itu sejenak terpaku ketika melihat wajah pemuda itu sangat gagah dan tampan. Dan, yang paling membuat hatinya lega, ia tidak menemukan sinar kekurangajaran pada sepasang mata, yang terlindung alis hitam dan tebal itu. "Benar-benar seorang pemuda yang gagah dan menarik."

Ketika mendengar ucapan Aryani, pemuda itu baru sadar kalau ia masih saja menggenggam pergelangan tangan gadis cantik itu. Dengan wajah agak kemerahan, pemuda itu bergegas melepaskan genggamannya.

"Maaf...," desahnya dengan wajah penuh sesal. Kemudian, pemuda itu mengalihkan pandangan matanya, disertai dengan helaan napas panjang.

"Hei, kau belum menjawab pertanyaanku...?" ujar Aryani setengah memekik. Hatinya sempat kesal karena mengira pemuda itu sengaja mengacuhkan pertanyaannya.

"Oh, maaf..., maaf...," lagi-lagi hanya ucapan itu yang keluar dari mulutnya. Sehingga Aryani menjadi jengkel dibuatnya.

"Ooo, jadi hanya kata-kata itukah sebagai penjelasan atas sikapmu yang telah membawaku lari sejauh ini? Sadarkah kau kalau aku menghendaki, kepalamu bisa kupukul pecah, setelah bisa membawaku ke sini!" karena tidak sanggup menahan kejengkelan hatinya, Aryani menghardik pemuda itu dengan sepasang mata melotot.

"Tentu saja aku tahu, Nisanak. Tapi ketahuilah, aku sama sekali tidak bermaksud buruk. Sengaja aku membawamu lari menghindari perkelahian itu. Karena, lelaki jangkung yang bernama Pandala itu adalah putra Ketua Perguruan Gagak Putih, yang merupakan perguruan paling terkenal di Kota Kadipaten Jaga Karta. Pengaruh perguruan itu sampai ke dalam istana kadipaten. Dan, kalau sampai perkelahian itu dilihat prajurit kadipaten, mereka bisa menangkapmu, dan menuduhmu sebagai pemberontak," jelas pemuda tampan itu, yang membuat Aryani terbelalak. Sepertinya ia tidak mengira kalau akan sedemikian jauh akibat persolan sepele itu.

"Hm..., lalu, apakah kau kira aku takut untuk menghadapi prajurit Kadipaten Jaga Karta?" Aryani yang sepertinya tidak mau kalah itu, membantah dengan wajah tersenyum sinis. Dengan cerdik, ia menyimpan keterkejutan hatinya.

"Aku percaya kau tidak takut. Tapi, bukan itu yang kukhawatirkan. Tentu dengan kepandaianmu yang tinggi, kau dapat membinasakan puluhan, bahkan ratusan prajurit. Nah, untuk menghindari peristiwa berdarah itulah terpaksa aku memberanikan diri membawamu kemari," tutur pemuda itu sambil berusaha untuk tidak membuat Aryani menjadi marah.

"Hm..., kalau begitu kau benar-benar seorang pemuda yang baik. Menilik dari kepandaian dan sikapmu, tentulah kau orang- orang golongan putih yang menamakan dirinya sebagai pembela kebenaran, begitukah?" meski terdapat nada pujian dalam ucapan gadis itu, tapi jelas lebih banyak nada ejekan.

"Aku tidak berani mengatakan, diriku adalah seorang pendekar. Apabila sebagai pembela kebenaran yang budiman. Rasanya perkataan itu terlalu muluk. Namaku Puja Merta. Dan, aku hanya seorang pemuda bodoh, yang mengerti sedikit tentang ilmu silat. Kalau aku boleh tahu siapakah, Nisanak?" tanya pemuda gagah yang mengaku bernama Puja Merta itu, menatap Aryani dengan sepasang mata yang tajam. Nyata sekali sinar persahabatan di mata pemuda itu.

Aryani sendiri sempat tersenyum mendengar ucapan pemuda bernama Puja Merta itu. Hatinya sedikit lega merasakan betapa pemuda itu seorang yang sabar dan tak sombong. Bahkan dalam setiap perkataannya, pemuda itu selalu mengalah terhadapnya. Tentu tidak ada alasan lagi bagi gadis cantik itu untuk tidak menyukai pemuda seperti Puja Merta.

"Namaku Aryani. Aku, seorang pengembara yang datang dari jauh. Dan, apakah yang sedang kau kerjakan di Kota Kadipaten Jaga Karta itu? Atau kau memang tinggal di sana?" tanya Aryani setelah memperkenalkan namanya.

"Aku bukan penduduk kadipaten. Secara kebetulan aku berada di sana, karena kedua orang tuaku tengah singgah di istana kadipaten. Karena merasa tidak betah berada di dalam lingkungan itu, aku berniat melihat-lihat keramaian. Nah, di situlah aku melihatmu," jelas Puja Merta sambil melangkahkan kakinya perlahan menyusuri tanah berumput.

"Lalu, dari mana kau mengetahui tentang Perguruan Gagak Putih? Sedangkan kau bukan penduduk kadipaten," Aryani yang sepertinya merasa penasaran, meminta Puja Merta menjelaskan hal itu.

"Kedua orang tuaku merupakan sahabat Ketua Perguruan Gagak Putih. Itulah sebabnya aku mengenal pemuda itu, dan juga pengaruh ayahnya. Hm..., sejak tadi aku selalu menjawab pertanyaanmu. Kalau aku boleh bertanya, dari mana kau mempelajari ilmu silat? Melihat dari gerakanmu, pasti gurumu seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Siapakah beliau, Aryani?" tanya Puja Merta hati-hati. Sepertinya ia merasa sedikit tidak enak menanyakan hal itu. Karena berkesan menyelidik.

"Hm..., guruku adalah ayahku sendiri. Beliau dikenal dengan julukan Raja Racun Merah. Mungkin kau juga pernah mendengar namanya?" jelas Aryani tanpa rasa curiga sedikit pun.

Puja Merta yang mendengar, Aryani adalah putri datuk sesat yang berjuluk Raja Racun Merah, tentu saja terkejut bukan kepalang. Cepat ia menekan perasaannya yang terguncang, agar tidak menyinggung perasaan Aryani. Karena hal itu dapat menimbulkan kemarahan di hati gadis cantik itu. Tapi, belum lagi Puja Merta sempat menjawab pertanyaan Aryani, tiba-tiba terdengar suara berat yang mengejutkan mereka berdua. Sebelum gema suara itu sendiri lenyap, si empunya suara sudah muncul mendatangi Aryani dan Puja Merta.

"Hm..., aku mendengar disebutnya nama Raja Racun Merah. Di mana manusia iblis itu? Biar kupatahkan batang lehernya."

Aryani terkejut bukan main mendengar suara yang jelas-jelas menghina ayahnya. Wajar saja kalau gadis cantik itu menjadi marah besar. Karena ia memang sangat mencintai ayahnya. Lain halnya dengan Puja Merta. Ia mengenal baik suara berat yang mengejutkan itu. Dan, wajahnya semakin bertambah pucat ketika melihat dua sosok tubuh yang sangat ia kenal menghampiri mereka berdua.

ENAM

"Ayah.... Ibu...!" teriak Puja Merta dalam hati. Dan, pemuda tampan itu pun menjadi serba-salah, ketika mengetahui orang yang mengeluarkan ucapan tadi adalah orang tuanya sendiri. Pemuda itu semakin bingung ketika melihat Aryani yang jelas-jelas marah terhadap ayah dan ibunya.

"Hm..., Manusia Sombong! Berani sekali menghina ayahku?" ujar gadis cantik itu dengan suara lantang. Ia tidak mendengar ucapan Puja Merta, karena pemuda itu hanya mengatakannya dalam hati, tapi ia agak heran melihat pemuda itu salah tingkah.

"Puja Merta!" lelaki gagah berusia setengah baya itu berteriak dengan wajah gelap, ketika melihat putranya berada bersama dara cantik, yang ia dengar sebagai putri Raja Racun Merah, "Mengapa kau berada di sini? Apa yang kau lakukan dengan putri manusia sesat itu?"

"Kau mengenal kedua orang itu, Puja Merta...?" tanya Aryani ketika mendengar salah seorang dari mereka memanggil pemuda yang berdiri di sampingnya. Wajah gadis itu terkesan curiga ketika melihat Puja Merta gugup.

"Mereka... ayah ibuku, Aryani. Maafkanlah...," bisik Puja Merta lirih. Jelas, pemuda itu tidak ingin kalau suaranya sampai terdengar oleh kedua orang tuanya.

"Ooo..., jadi mereka orang tuamu?" tegas Aryani dengan senyum sinis yang menyakitkan hati Puja Merta, "Rupanya kau putra pasangan pendekar sombong, yang hanya selalu menghina orang lain!"

"Hei, Gadis Liar!" hardik orang tua perempuan Puja Merta sambil menudingkan jari telunjuknya ke wajah Aryani. "Ayahmu memang seorang manusia keji dan kotor! Apakah kau hendak menyangkalnya? Sebagai putri seorang bejad, kau pun pasti tidak berbeda dengan ayahmu."

"Huh, Nenek-nenek bermulut besar! Apakah kau seorang malaikat yang suci dan tidak mempunyai kesalahan? Melihat dari sikapmu yang sombong itu, aku sudah bisa menduga kalau kau menganggap dirimu paling bersih dan paling benar di dunia ini. Tapi, menurutku kalian berdualah yang lebih jahat dari ayahku!" sahut Aryani ketus tanpa mengenal rasa takut sedikit pun. Karena hatinya terasa sakit mendengar penghinaan orang tua Puja Merta.

"Aryani, mereka kedua orang tuaku! Mengapa kau sampai hati menghinanya?" Puja Merta yang mendengar hinaan gadis cantik itu terhadap kedua orang tuanya, tentu saja tidak bisa menerimanya. Ia menatap gadis cantik itu dengan pandangan menuntut agar Aryani menarik kembali kata-katanya.

"Oooh, jadi kalau mereka kedua orang tuamu, lalu aku harus mendiamkan mereka menghina ayahku? Puja Merta! Kalau kau tidak senang orang tuamu dihina orang, apakah kau pikir aku bisa mendiamkan orang-orang busuk yang menghina ayahku? Belalah orang tuamu yang sombong itu, aku tidak takut!" tantang Aryani yang juga menjadi marah melihat pemuda itu menyalahkan dirinya, dan bukan menegur kedua orang tuanya.

Puja Merta yang diam-diam telah menaruh hati kepada gadis cantik itu, tentu saja semakin bertambah bingung. Tapi, biar bagaimanapun, ia lebih condong membela kedua orang tuanya ketimbang gadis cantik, yang ternyata putri seorang datuk sesat itu. Keputusan itu membuatnya tidak mau kalah dengan Aryani.

"Gadis liar ini memang perlu diberi hajaran, agar ia tidak semakin kurang ajar...," belum lagi Puja Merta berbuat sesuatu, tiba-tiba saja wanita yang tidak lain adalah ibu pemuda itu, melesat mengirimkan sebuah tendangan ke wajah Aryani.

"Hm...," Aryani bergumam lirih, dan siap menyambut serangan wanita cantik berusia sekitar empat puluh tahun itu.

"Ibu.... Jangaaan...!"

Puja Merta tidak menyangka kalau perdebatannya dengan Aryani berlanjut menjadi perkelahian. Ia berusaha mencegah, tapi sayang ia tak mampu berbuat apa-apa. Sehingga, pertarungan pun tidak dapat dihindarkan lagi. Serangan-serangan yang dilancarkan orang tua perempuan Puja Merta, nampak semakin gencar dan cepat.

Rupanya wanita cantik, yang tampak jauh lebih muda dari usianya itu, merasa penasaran ketika mengetahui kepandaian gadis muda itu tidak bisa dipandang enteng. Terbukti, setiap serangan-serangannya selalu dapat diimbangi oleh gadis berpakaian kuning cerah itu. Bahkan serangan balasan gadis itu tidak kalah berbahaya!

Sebagai istri seorang pendekar berjuluk Tangan Malaikat, tentu saja wanita berpakaian merah muda itu merasa malu kalau tidak mampu menjatuhkan seorang gadis muda seperti Aryani. Sehingga, serangan-serangannya yang semula untuk memberi pelajaran kepada gadis cantik itu, telah berubah menjadi serangan maut yang mematikan! Sudah tentu suasana perkelahian makin menghebat yang membuat hati Puja Merta menjadi gelisah.

Pemuda tampan gagah itu berdiri dengan mimik wajah sedih. Ia tak tahu harus berbuat apa untuk melerai pertarungan yang kelihatan mulai mati-matian itu. Ditahannya keinginan untuk membela orang tuanya, karena hal itu pasti akan membuat Aryani semakin sakit hati.

Selain itu, ia pun tahu kalau ibunya yang memulai pertarungan. Keraguan itu membuatnya hanya berdiri mematung dengan wajah berduka. Lain halnya dengan orang tua laki-laki Puja Merta, yang berjuluk Tangan Malaikat itu. Kening lelaki separuh baya itu nampak berkerut ketika melihat istrinya mulai terdesak oleh serangan balasan lawannya, yang semakin hebat dan gencar.

"Hebat... Gadis itu benar-benar hampir mewarisi seluruh kesaktian Raja Racun Merah. Hm..., kalau tidak dicegah dari sekarang, kelak wanita itu akan menjadi ancaman bagi kehidupan manusia. Bukan tidak mungkin, dalam waktu beberapa tahun lagi, ia akan berubah menjadi iblis wanita yang lihai dan kejam," gumam Tangan Malaikat sambil mengelus-elus jenggotnya, yang tampak mulai berwarna putih itu.

Tangan Malaikat khawatir akan keselamatan istrinya. Dan, perasaan itu tidak meleset. Setelah bertarung selama kurang lebih empat puluh jurus, tampak Aryani telah menguasai lawannya. Gadis cantik putri Raja Racun Merah itu terlihat mencecar lawan dengan ilmu andalannya, 'Tangan Racun Merah'. Sehingga, istri Pendekar Tangan Malaikat, semakin kelabakan karena terkurung oleh bau harum yang menebar dari setiap lontaran pukulan lawan.

"Huh! Kau rasakan pukulanku, Wanita Jahat..!" sambil membentak keras, Aryani melontarkan pukulan-pukulannya dengan kekuatan penuh. Sehingga, lawan yang memang telah kepayahan itu terbelalak matanya. Sedangkan wajahnya pucat ketika melihat datangnya serangan maut!

Wuuus!

"Aiiih...?!" Hantaman telapak tangan kiri Aryani yang meluncur mengancam dada kiri lawan, sempat dielakkan meski dengan susah payah. Sayang, pukulan telapak tangan kanan yang datang menyusul seperti sambaran kilat itu, tidak sempat dihindarkan lawan. Dan....

Bresssh.!

Apa yang terjdi kemudian, benar-benar diluar dugaan Aryani. Pada saat hantaman telapak tangan kanannya meluncur deras, sesosok bayangan tinggi besar melesat menyambut pukulannya! Sehingga, terjadilah benturan keras yang membuat tubuh gadis cantik itu terpental balik dengan kerasnya!

"Aaakh.!" Aryani memekik tertahan! Kesadarannya hampir hilang, ketika merasakan tubuhnya melayang seperti dilemparkan tenaga raksasa! Kemudian ia terbanting keras di atas tanah berumput.

"Curang...!" desis Aryani begitu menyadari orang yang memapak serangannya. Dari lelehan darah yang mengalir di sudut bibirnya, jelas wanita cantik itu cukup menderita akibat benturan tenaga tadi.

"Aryani.!" Puja Merta yang juga tidak menyangka kejadian itu, bergegas memburu Aryani Pemuda itu segera membantu sahabat barunya. Namun, langkahnya terhenti seketika begitu mendengar ucapan Aryani.

"Mau apa kau...? Apakah kau juga akan mengeroyokku? Majulah! Aku tidak takut menghadapi keroyokan keluarga pendekar seperti kalian, Manusia-manusia Licik dan Sombong!" hardik Aryani yang bergegas bangkit, meski dengan langkah agak sempoyongan. Sepasang mata gadis cantik itu menatap tajam dan mengandung ejekan. Bahkan ia tampak siap menyambut serangan Puja Merta, yang sebenarnya berniat ingin menolongnya.

"Aryani..., kau selalu salah mengerti. Aku justru ingin menolongmu...," ujar Puja Merta dengan wajah agak pucat.

"Huh! Pergi saja kepada orang tuamu! Aku tidak butuh pertolongan seorang pendekar besar sepertimu!" kembali Aryani membentak dan melontarkan kata-kata yang menyakitkan hati Puja Merta.

"Puja Merta, kemari kau! Untuk apa berteman dengan calon wanita iblis jahat seperti dia!" Tangan Malaikat yang tentu saja merasa tidak senang dengan sikap putranya, membentak keras bagai guntur yang menggelegar. Jelas, kalau lelaki gagah itu marah melihat sikap putranya yang lemah.

"Ayah..., aku."

"Diam! Gadis itu jelas merupakan bibit kejahatan yang harus dilenyapkan! Kalau tidak, di kemudian hati ia akan berubah menjadi iblis wanita yang keji! Dan, kelak kau akan menyesal!" hardik orang tua itu memotong kalimat Puja Merta. Sehingga, meski agak segan, pemuda itu melangkah juga ke arah kedua orang tuanya.

"Orang tua, siapakah kau sebenarnya yang demikian sombong dan sangat merendahkan orang lain? Apakah kau orang yang paling benar di dunia, sehingga begitu rendahnya kau menilai orang lain! Apakah kau merasa sesuci malaikat?" desis Aryani dengan tubuh menggigil karena kemarahan yang telah mencapai ubun-ubunnya. Gadis cantik itu hampir menangis, karena hinaan-hinaan yang dilontarkan lelaki gagah itu serasa menusuk-nusuk jantungnya.

"Hm..., ayahmu tentu sudah mengenalku dengan baik. Aku adalah si Tangan Malaikat yang akan mencabut nyawa ayahmu, dan juga nyawamu! Kalau kau kubiarkan hidup, bukan tidak mungkin kau akan menyebarkan malapetaka di muka bumi ini. Bahkan mungkin jauh lebih jahat dan keji dari ayahmu sendiri. Aku tidak ingin menyesal di kemudian hari. Jadi, bersiaplah untuk pergi ke akhirat" Jelas lelaki gagah itu sambil melangkah perlahan-lahan menghampiri Aryani.

Tangan Malaikat memang bukan nama baru dalam dunia persilatan. Sepak terjangnya yang tidak mengenal ampun, membuat kaum sesat merasa jerih kepadanya. Jangankan golongan penjahat tingkat rendahan, bahkan para datuk-datuk kaum hitam pun, enggan berurusan dengan pendekar kosen itu.

Sayang, meskipun ia termasuk golongan putih, banyak tokoh-tokoh dari golongannya yang tidak suka kepada pendekar besar itu. Selain sikapnya yang keras dalam menghukum kaum sesat, Tangan Malaikat juga terkenal sebagai pendekar yang sombong dan tinggi hati. Sikapnya yang selalu memandang rendah orang-orang di bawahnya, sehingga membuat pendekar itu dijauhi oleh rekan-rekan segolongan.

Namun, tidak seorang pun yang berani berkata terus terang. Meskipun, mereka tidak menyukai sikap Tangan Malaikat. Sebagai tokoh golongan atas, tentu saja banyak kaum rimba persilatan yang takut menghadapi kemarahan orang tua sakti itu. Itulah sebabnya, mengapa ia membenci Raja Racun Merah, dan juga Aryani yang diduganya akan menjadi penurut kekejian dan kejahatan tokoh sesat itu.

Aryani sendiri yang cukup lama mengembara mencari pengalaman, baru kali ini berjumpa dengan seorang pendekar yang sombong, dan mudah sekali melontarkan hinaan kepada dirinya dan ayahnya. Sebenarnya gadis cantik itu merasa maklum, bila ada orang yang membenci ayahnya. Karena ia bukan tidak tahu kesalahan ayahnya di masa lalu. Yang tidak bisa ia terima adalah hinaan-hinaan terhadap dirinya.

Semua orang boleh saja membenci dan menghina ayahnya, yang memang bersalah dan jahat. Tapi, mengapa dirinya yang tidak pernah berbuat jahat ikut-ikutan dihina? Apakah tidak boleh seorang ayah yang jahat mempunyai anak yang tidak menuruni sifatnya. Apa sebenarnya kesalahan yang telah ia buat sehingga tokoh yang bernama Tangan Malaikat itu sangat membencinya? Benar-benar ia tidak dapat menerima penghinaan itu!

"Tangan Malaikat..," desis Aryani seperti hendak mengingat, kalau-kalau ayahnya pernah menyinggung tokoh itu dalam sebuah ceritanya.

"Hei, Perempuan Liar...!"

Aryani yang tengah mengingat-ingat tentang tokoh pendekar itu, tersentak kaget ketika mendengar bentakan Tangan Malaikat. Cepat ia menoleh dan membalas tatapan mata orang tua itu dengan sorot kebencian.

"Kuberi kau kesempatan untuk bertahan selama dua puluh jurus! Kalau kau mampu bertahan, kurelakan kau pergi dari tempat ini dengan selamat. Tapi, kalau kau tidak mampu menyelamatkan dirimu, jangan salahkan aku bila tanganku akan mencabut nyawamu," ujar Tangan Malaikat dengan suara berat dan mengandung perbawa kuat.

"Dengar, Orang Tua Sombong! Aku tidak butuh belas kasihmu! Kalaupun aku harus mati di tanganmu, aku tidak menyesal. Kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan bagiku! Seranglah aku, jangan hanya bicaramu saja yang besar!" sahut Aryani dengan suara ketus dan kasar.

Hal itu wajar saja. Meskipun pada dasarnya Aryani adalah seorang gadis yang lembut dan penuh belas kasih, namun karena sejak kecil dididik orang tuanya dalam lingkungan sesat, maka tidak heran kalau sikap atau ucapan gadis cantik itu cenderung kasar kalau disakiti.

"Baik. Tapi, kaulah yang harus menyerangku lebih dahulu. Sebagai orang yang lebih tua, tentu saja aku tidak mau kalau kelak ada orang yang menyalahkan aku, karena tidak memberi kesempatan kepadamu untuk membela diri. Mulailah," ujar Tangan Malaikat yang berdiri tegak tanpa persiapan. Sebagai seorang tokoh tua yang telah berpengalaman, tentu saja ia tidak perlu lagi memasang kuda-kuda sebelum bertarung. Karena dalam kedudukan bagaimanapun, itu merupakan sikap bertarung.

"Ayah, jangan mendesak Aryani. Aku percaya dia tidak sejahat orang tuanya. Tahanlah sikap Ayah, jangan sampai di kemudian hari akan mendatangkan sesal yang tak berujung," Puja Merta yang merasa kurang setuju dengan sikap ayahnya. Kemudian, ia segera berdiri di antara kedua orang yang telah siap bertarung itu. Menilik dari sikap dan ucapan-ucapannya, jelas Puja Merta sama sekali tidak menuruti sifat lelaki gagah itu. Bahkan, ia terkesan lembut meskipun diasuh oleh kedua orang tua pendekar besar yang terkenal tinggi hati itu.

"Puja Merta. Menyingkirlah! Beraninya kau menasihati Ayahmu? Kau masih terlalu muda untuk mengenal sifat-sifat licik dan keji orang-orang golongan sesat. Tapi aku, Ayahmu sudah lama berkecimpung di dalam dunia persilatan. Dan, aku tahu mana yang harus kutindak," hardik Tangan Malaikat dengan suaranya yang berat dan berpengaruh itu.

Bahkan, wajah orang itu sudah berubah gelap. Karena ia dinasihati oleh anaknya sendiri didepan orang lain.Tentu saja hal itu sangat memalukan dan merendahkan namanya. Untunglah di tempat itu hanya mereka berempat. Kalau saja ada tokoh persilatan yang lain menyaksikannya, bukan tidak mungkin berita itu akan tersebar di kalangan rimba persilatan.

"Ayah..., aku hanya."

"Cukup! Atau kau ingin melawan terhadap Ayahmu?" tukas Tangan Malaikat dengan suara menggelegar, karena kemarahannya telah memuncak. Bantahan putranya itu benar-benar membuat orang tua itu hampir menjadi gelap matanya.

"Puja, minggirlah. Gadis liar itu tidak patut kau bela...," terdengar suara orang tua perempuan Puja Merta. Wanita yang masih nampak cantik itu segera menyeret putranya untuk menjauh.

"Seranglah aku, Gadis Liar. Jangan membuat ucapan yang kuucapkan tadi berubah!" kemarahan karena bantahan putranya, ditumpahkan kepada Aryani yang dituduh sebagai biang keladi sikap bandel putranya itu. Sehingga, Aryani menjadi semakin benci dengan orang tua gagahitu.

"Baik! Kau pikir aku takut, Orang Tua Sombong!" bentak Aryani melengking karena marah. Begitu ucapannya selesai, tubuh gadis cantik itu langsung melesat menerjang lawannya.

"Tunggu!"

Tapi, sebelum serangan Aryani tiba, tiba-tiba berkelebat dua sosok tubuh yang diiringi sebuah bentakan menggelegar seperti akan mengguncangkan tempat itu. Baik Aryani, Tangan Malaikat, Puja Merta, maupun ibunya, serentak menatap sosok berjubah putih dan sosok ramping berpakaian hijau yang telah berdiri tegak di tengah arena.

"Pendekar Naga Putih.?!"

Tangan Malaikat dan istrinya berseru hampir berbarengan. Sebagai tokoh persilatan tingkat atas, tentu saja kedua orang itu telah mendengar munculnya seorang pendekar muda yang telah membuat kaum sesat kelabakan. Selain itu, ciri-ciri pendekar muda itu pun telah lama mereka ketahui. Maka, tidak heran begitu melihat ciri-ciri pemuda berjubah putih yang berdiri di tengah arena, pasangan pendekar besar itu langsung mengenalinya dengan baik.

"Benar, Ki. Aku adalah Panji. Orang-orang rimba persilatan menjulukiku sebagai Pendekar Naga Putih. Dan, aku pun sudah lama mendengar nama besar Tangan Malaikat, sebagai seorang pendekar gagah berbudi tinggi, yang selalu menolong orang-orang lemah. Terimalah sebagai tanda hormatku...," sambil berkata demikian, pemuda berjubah putih yang memang adalah Panji itu, segera membungkukkan tubuhnya ke arah Tangan Maiaikat dan istrinya. Dari perkataan maupun sikapnya, jelas pemuda itu cukup cerdik.

Kenanga yang berdiri tidak jauh dari Panji, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sekejap. Menilik dari sorot matanya gadis jelita itu tidak begitu suka dengan pasangan pendekar besar itu.

"Hm..., lalu apa keperluanmu mencampuri urusanku, Pendekar Naga Putih? Apakah kau ingin membela gadis liar itu?" dalam nada pertanyaan Tangan Malaikat terkandung perasaan sinis. Bahkan melihat dari gaya bicara dan sikapnya, orang tua itu merasa lebih tinggi tingkatannya dari Panji. Tapi, pemuda itu berpura-pura tidak tahu, dan tetap bersikap hormat.

"Maaf, menurutku persoalan ini bukanlah pribadi sifatnya. Aku cukup lama bersembunyi dan mendengar semua yang kalian ucapkan. Karena gadis yang berpakaian kuning, kalau tidak salah bernama Aryani ini, tidak berbuat kesalahan, maka aku terpaksa mencampuri persoalan kalian. Sebab masalahnya terletak pada pertentangan antara golongan hitam dan golongan putih. Melihat adanya ketidakadilan di sini, aku terpaksa memberanikan diri mencampuri persoalan kalian," jelas Panji dengan tutur kata yang teratur baik dan sopan.

Sehingga, Puja Merta menjadi kagum atas sikap pemuda yang berjutuk Pendekar Naga Putih itu. Demikian juga halnya dengan Aryani, putri tokoh sesat yang semula membenci golongan putih karena sikap Tangan Malaikat, menatap kagum ke arah pemuda tampan berjubah putih itu. Mendengar ucapan dan sikap pemuda itu, gadis ini mulai berubah pandangannya terhadap golongan putih.

"Pendekar Naga Putih...? Sepertinya ayah pernah bercerita tentang pendekar besar yang masih muda itu. Apa yang diceritakan ayah memang tidak berlebihan. Pemuda itu begitu lembut, sopan, dan sepertinya mempunyai pandangan yang lebih luas ketimbang orang tua sombong itu. Bahkan wibawanya pun tidak kalah dengan pendekar besar yang berpikiran sempit itu...," gumam Aryani sambil menatap lekat-lekat wajah Pendekar Naga Putih dari samping. Hatinya benar-benar kagum terhadap pemuda itu.

TUJUH

Tangan Malaikat mengerutkan keningnya dalam-dalam. Penjelasan Pendekar Naga Putih menurutnya terlalu berbelit- belit dan membuatnya tidak sabar. "Hm..., dengarlah, Pendekar Naga Putih. Gadis liar ini, putri seorang datuk sesat yang sangat jahat dan kejam. Aku ingin melenyapkan bibit kejahatan itu, sebelum membahayakan orang-orang tak berdosa dan kaum rimba persilatan. Sekarang, aku meminta ketegasanmu, dan bukan nasihatmu! Bersedia menyingkir, atau terpaksa aku akan menggempurmu!" tegas Tangan Malaikat sambil melangkah jauh beberapa tindak.

Pendekar yang sombong itu sepertinya sedang kumat penyakitnya. Sebagai tokoh-tokoh persilatan yang lain, senantiasa ingin menjajal ilmu silatnya, Tangan Malaikat pun ingin merasakan sampai di mana kehebatan pendekar muda yang digembar-gemborkan kaum persilatan itu.

"Maaf, Ki. Gadis ini meskipun keturunan seorang datuk sesat atau biang iblis sekalipun, tapi ia belum pernah melakukan kejahatan. Semua ini bisa kupastikan, baik dari tingkah lakunya maupun ucapan-ucapannya. Selain itu, ia pun belum tentu akan mengikuti jejak ayahnya yang sesat itu," ujar Panji lagi dengan sikap dan ucapan tetap lembut. Panji merasa enggan terlibat pertarungan dengan pendekar besar itu. Apalagi mereka merupakan orang segolongan.

"Tidak perlu banyak cakap! Sudah kukatakan tadi, aku tidak butuh nasihatmu!" tukas Tangan Malaikat lagi. Kali ini wajahnya tampak berubah gelap. Sepertinya keputusan pendekar itu tidak bisa diubah lagi.

"Pendekar Naga Putih...," Aryani yang semenjak tadi hanya diam mendengarkan perdebatan itu, melangkah maju, "Ayahku memang sebelumnya manusia kejam dan jahat. Tapi, kalau kau percaya, ayahku telah cukup lama mengundurkan diri. Ia telah sadar akan sikapnya selama ini." Hal itu dikarenakan ia telah menaruh kepercayaan kepada pemuda itu. Dan, ia juga yakin akan tanggapan Pendekar Naga Putih.

"Ha ha ha...!" Sebelum Panji menanggapi keterangan Aryani, Tangan Malaikat tertawa berkakakan. Tawa itu jelas dimaksudkan untuk mengejek keterangan gadis keturunan datuk sesat itu, tentu saja ia tidak percaya begitu saja mendengar ucapan gadis itu. Dan, sepertinya semuanya itu tetap tidak mengubah keputusan untuk melenyapkan Aryani.

"Aku tidak minta pendapatmu, Pendekar Sombong! Tapi, aku meminta pendapat Pendekar Naga Putih. Aku yakin pendekar yang meskipun masih muda ini mempunyai pandangan yang luas, dan jauh berbeda denganmu. Dan, aku percaya kepadanya!" seru Aryani yang merasa tersinggung mendengar suara tawa lelaki tua yang gagah itu.

"Hm..., rasanya keteranganmu bisa aku percaya, Aryani...," ujar Panji sambil menatap wajah Aryani. Pemuda itu juga tersenyum untuk meyakinkan Aryani kalau ia mempercayai ucapan gadis itu.

"Terima kasih, Pendekar Naga Putih...," ucap Aryani lirih. Sepertinya ia merasa lega setelah mendengar jawaban Panji.

"Dengar! Apa pun yang kalian katakan, itu tidak akan mengubah pikiranku!" hardik Tangan Malaikat dengan wajah merah.

"Maaf, aku terpaksa membelanya...," ujar Panji lirih.

"Benar, Kakang. Aku pun percaya kalau Aryani tidak bersalah, dan patut dibela," Kenaga yang semenjak tadi hanya diam, ikut angkat bicara. Jelas gadis jelita itu merasa yakin akan keputusan yang diambil kekasihnya.

"Hm..., kalau begitu bersiaplah...," geram Tangan Malaikat yang sepertinya sudah siap melancarkan serangan, "Aku pun ingin tahu, sampai di mana kehebatan pendekar muda yang tersohor itu," ujar Tangan Malaikat dengan nada sombong.

"Kenanga, Aryani, kalian pergilah. Cari desa yang terdekat dengan daerah ini, aku akan segera menyusul. Persoalan seperti ini tidak patut ditebus dengan nyawa. Berhati-hatilah," bisik Panji sambil mengedipkan matanya kepada Kenanga.

Kenanga dan Aryani segera beranjak meninggalkan tempat itu sebagai mana dibisikkan Panji. Kenanga mengerti kalau kekasihnya hanya berpura-pura saja melayani tantangan Tangan Malaikat. Ia pun menyadari kalau sampai pertempuran itu meminta nyawa, tentu kelanjutannya akan semakin rumit. Maka, tanpa banyak tanya lagi keduanya pun bergegas.

"Hei, tunggu! Mau ke mana kalian...?" seru Tangan Malaikat yang segera mencegah ketika melihat gadis berpakaian hijau itu mengajak Aryani meninggalkan tempat itu. Bersamaan dengan itu, tubuhnya pun melesat mengejar mereka.

"Biarkan mereka pergi, Ki...," ujar Panji yang segera melompat dan menghadang pengejaran Tangan Malaikat.

"Bedebah!" bentak lelaki tua itu sambil melontarkan pukulan jarak jauhnya ke arah Pendekar Naga Putih.

Wuuut!

Serangkum angin keras berhembus mengancam tubuh Panji. Cepat pemuda itu berkelit ke samping, guna menghindarkan pukulan maut lawannya. Kemudian ia segera melepaskan serangan balasan yang cepat dan susul-menyusul. Serangkaian serangan yang dilancarkan Panji bermaksud untuk mengalihkan perhatian Tangan Malaikat, ternyata membawa hasil yang baik. Lelaki gagah itu menjadi sibuk menghindarkan serangan-serangan Pendekar Naga Putih, yang memang tidak bisa diabaikan begitu saja. Sehingga, ia terpaksa menghadapi serangan pemuda itu, dan tidak mempedulikan buruannya lagi.

Namun, orang tua perempuan Puja Merta sepertinya tidak mau membiarkan gadis berpakaian kuning itu lolos. Tanpa mempedulikan seruan putranya, wanita cantik itu segera melesat, mengejar Kenanga dan Aryani. Tentu saja perbuatan wanita itu membuat Panji terkejut, ia pun segera melesat meninggalkan Tangan Malaikat, dan mencegah istri pendekar besar yang akan mengejar Aryani dan Kenanga.

"Haiiit..!" Karena tidak ingin dianggap membokong, Panji memberikan isyarat menyerang dengan teriakannya. Sehingga, wanita itu membatalkan pengejarannya, dan menyambut serangan Pendekar Naga Putih!

"Haaat..!"

Sambil berkelit, wanita cantik itu berseru nyaring dan melancarkan serangan balasan yang cepat dan kuat! Menilik dari angin pukulannya, jelas serangan yang dilontarkan lawan sangat berbahaya! Sedangkan serangan Panji hanya dimaksud untuk mencegah, dan bukan mencelakakan wanita itu.

"Setan...!" Tangan Malaikat yang merasa dipermainkan Panji, segera saja melompat dan langsung menerjang Pendekar Naga Putih dengan serangkaian pukulan maut! Jelas serangan-serangan itu dimaksudkan untuk membunuh!

Plakkk! Plakkk...!

Panji yang memang tidak bersungguh-sungguh menghadapi waniia itu, cepat merendahkan tubuhnya sambil melepaskan dua buah tamparan guna memapaki serangan Tangan Malaikat! Sehingga, benturan keras pun terjadi!

Duarrr!

"Kurang ajar...!"

Tangan Malaikat yang merasakan getaran akibat berbenturan dengan telapak tangan pemuda itu, mengumpat kalang-kabut. Namun, hatinya sempat dibuat kagum oleh kekuatan Pendekar NagaPutih. Kini matanya pun terbuka, setelah merasakan kehebatan tenaga sakti pemuda itu.

"Hebat..! Itukah 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang tersohor?" puji Tangan Malaikat sambil tersenyum sinis. Meskipun ia telah merasakan kehebatan tenaga dalam lawan, namun Tangan Malaikat tidak ingin membuat lawannya besar kepala. Sehingga, pujiannya terdengar bernada sinis.

Panji pun bukan tidak merasa akibat tangkisan itu. Namun, ia telah menyadari sebelumnya akan kesaktian lawan. Karena itu ia lebih dulu telah bersikap dan waspada. Sehingga, apa yang dirasakannya tidaklah terlalu berarti.

"Yeaaat..!"

Rupanya Tangan Malaikat tidak ingin membuang-buang waktu lagi. Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuhnya kembali melesat menerjang Panji. Sementara itu, istrinya telah mundur dari arena pertarungan. Karena ia tidak ingin disebut mengeroyok. Serangan yang dilontarkan lawan kali ini benar-benar membuat Panji terkejut! Kedua tangan lawan tampak seperti bayangan samar yang terkadang lenyap begitu saja, tanpa diketahui ke mana serangannya. Lelaki gagah itu sepertinya telah mulai mengeluarkan ilmu andalannya.

"Hebat! Inikah ilmu 'Tangan Malaikat' yang tersohor itu...?" desis Panji, yang tentu saja menjadi kagum bukan main melihat kehebatan ilmu lawannya.

Ilmu 'Tangan Malaikat' yang dimiliki lelaki gagah itu memang jauh berbeda dengan ilmu-ilmu tangan kosong lainnya. Cukup banyak Panji mengenal jenis-jenis ilmu pukulan tangan kosong seperti ilmu 'Tangan Seribu', 'Tinju Delapan Bayangan', dan sejenisnya. Semua ilmu-ilmu tangan kosong itu kebanyakan bisa merubah pandangan lawan. Sehingga gerakan tangannya tampak menjadi banyak, dan sulit ditebak, mana tangan yang sesungguhnya.

Namun, ilmu tangan kosong yang digunakan Tangan Malaikat kali ini, benar-benar aneh dan sangat jauh berbeda. Ilmu yang digunakan lawannya tampak aneh sekali, dan nyaris tidak masuk akal. Tangan itu sama sekali tidak nampak berputar, sebagaimana ilmu-ilmu tangan kosong lainnya. Sebaliknya, malah yang terlihat bayangan samar-samar, yang tampak jelas, tapi di lain saat lenyap dan tidak bisa dilihat oleh mata biasa. Sepertinya ilmu 'Tangan Malaikat', memang sengaja mengambil nama julukannya melalui gerakan-gerakan tangan, yang tak ubahnya seperti tangan malaikat.

Karuan saja Pendekar Naga Putih menjadi terdesak hebat oleh ilmu lawannya, yang memang aneh dan belum pernah dijumpainya. Melihat kedahsyatan dan keanehan ilmu tersebut, memang pantas kalau Tangan Malaikat ditakuti lawan dan disegani kawan. Karena ilmu andalan pendekar itu memang sukar untuk dilawan!

"Haiiit...!"

Ketika pertarungan menginjak jurus ke empat puluh lima, secara mengejutkan, Tangan Malaikat berseru nyaring. Berbarengan dengan seruan itu, tubuh lelaki setengah baya itu berputar secara aneh. Kemudian, tangan kanan lawan tiba-tiba telah mengancam dada Panji.

Wuuuk!

"Aiiih...?!" Panji sempat terpekik kaget karena serangan lawan yang mendadak itu. Untunglah ia masih sempat memiringkan tubuhnya. Sehingga, telapak tangan lawan lewat setengah jengkal di depan dadanya! Sayangnya, gerakan tangan lawan tidak berhenti di situ saja! Terbukti, secara aneh pergelangan tangan itu berputar, dan langsung menggedor dada kiri Panji!

Blakkk!

"Hukh...!"

Hantaman yang sangat keras itu menghajar telak dada kiri Panji! Akibatnya, tubuh pemuda itu terdorong sejauh satu tombak lebih. Untunglah lapisan kabut bersinar putih keperakan yang menyelimuti tubuhnya, membentengi tubuh pemuda itu. Biarpun pada sudut kiri bibirnya tampak cairan merah meleleh, tapi pemuda itu tidak mengalami luka dalam yang parah!

Pukulan lawan yang membuat tubuh Pendekar Naga Putih terdorong mundur cukup jauh itu, membuat pikiran Panji bekerja dengan baik. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda itu langsung melesat meninggalkan lawannya. Karena pemuda itu menggunakan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya, maka sekejap saja bayangannya telah lenyap di balik lebatnya pepohonan.

"Jangan lari kau, Pengecut..!"

Tangan Malaikat yang tidak menduga kalau Panji akan melarikan diri, tentu saja menjadi kaget. Walaupun ia berusaha mengejar, namun bayangan Pendekar Naga Putih sudah tidak nampak lagi. Lelaki tua itu hanya dapat menggeram marah, sambil membanting kakinya dengan kesal! Karena tidak berhasil mengejar Panji, Tangan Malaikat segera kembali ke tempat anak dan istrinya berada. Wajah lelaki gagah itu tampak gelap. Jelas ia merasa tak puas dengan kejadian yang dialaminya itu.

"Hm..., kelak kalau aku bertemu lagi dengan pendekar pengecut itu, akan kulumat tubuhnya!" geram Tangan Malaikat sambil mengepalkan tinjunya erat-erat.

"Menurutku, tindakan Pendekar Naga Putih justru sangat bijaksana, Ayah. Ia sama sekali bukan seorang pengecut, tapi perbuatannya itu justru menunjukkan kebesaran jiwanya. Dan, untuk melakukan perbuatan itu, ia tak takut dicap sebagai seorang pengecut" Puja Merta yang membenarkan tindakan Pendekar Naga Putih, membantah tuduhan ayahnya.

"Sudahlah, Puja. Kau hanya membuat Ayahmu tambah penasaran saja," tukas ibunya menasihati Puja Merta. Wanita itu rupanya tidak ingin lagi mendengar pertengkaran antara suami dan putranya.

"Kau rupanya sudah tergila-gila oleh kecantikan putri datuk sesat itu! Sadarkah kalau kau telah salah menjatuhkan pilihan?" ujar Tangan Malaikat dengan suara ketus.

"Sudahlah. Sebaiknya kita segera meninggalkan tempat ini. Untuk apa meributkan hal yang sudah lewat?" selak wanita yang wajahnya masih tampak cantik dan muda itu. Setelah berkata demikian, wanita itu segera menyeret putranyap ergi. Sebentar kemudian, tempat itu pun kembali sunyi. Hanya hembusan angin yang sesekali bertiup keras, dan menerbangkan daun-daun kering.

********************

"Aku belum mengerti, mengapa kita harus pergi? Apa sebenarnya yang direncanakan Pendekar Naga Putih...?" gadis cantik itu mengungkapkan ketidakpuasannya kepada gadis lainnya yang berwajah jelita, dan mengenakan pakaian serba hijau. Siapa lagi kedua gadis muda itu, kalau bukan Kenanga dan Aryani. Saat itu keduanya sudah hampir keluar dari perut hutan.

"Kakang Panji tidak menginginkan pertarungan yang mengakibatkan korban nyawa. Persoalan ini dianggapnya hanya sekadar salah penilaian saja. Kalau kita berdua tetap berada di tempat itu, berarti pertarungan akan memakan waktu lama, dan bukan tidak mungkin kalau salah satu bisa tewas. Kalau Kakang Panji tewas, tentu aku tidak tinggal diam. Sedangkan kalau Tangan Malaikat tewas, keluarganya sudah pasti akan menuntut balas. Nah, kalau sudah begitu, bukankah persoalan akan semakin rumit? Itu yang tidak dikehendaki Kakang Panji," ujar Kenanga menjelaskan kenapa mereka disuruh pergi.

Aryani mendengarkan penuh perhatian. Sepasang matanya memandangi wajah Kenanga.

"Dengan tidak adanya kita di tempat pertarungan, Kakang Panji akan lebih mudah meninggalkan lawannya," lanjut Kenanga. "Sedangkan langkah berikutnya, kita tunggu saja apa yang terjadi. Yang jelas, antara kau dan Tangan Malaikat tidak ada persoalan pribadi. Jadi, mustahil kalau pendekar besar itu sampai mengejar atau mencari-carimu."

"Bagaimana kalau pendekar tua yang sombong itu tetap berusaha untuk mencari dan melenyapkan aku?" pancing Aryani karena ingin mendengar tanggapan Kenanga.

"Kalau memang benar begitu, tentu akan lain persoalannya. Dan, kita tidak perlu lagi sungkan-sungkan untuk menghadapinya. Karena perbuatannya itu, jelas salah besar," ujar Kenanga dengan sikap tegas.

Aryani terlihat mengangguk puas mendengar jawaban Kenanga. Gadis cantik itu memang telah tertarik begitu melihat Kenanga, datang bersama Pendekar Naga Putih. Ia pun yakin, sebagai seorang sahabat dekat pendekar muda itu, Kenanga pasti juga mempunyai pandangan yang tidak jauh berbeda. Sehingga, Aryani merasa senang mendapat seorang sahabat seperti gadis jelita itu.

Demiklan pula halnya dengan Kenanga. Semakin lama ia mengenal gadis putri datuk sesat itu, semakin yakin hatinya kalau Aryani sama sekali tidak memliki niat jahat atau memiliki sifat licik. Cara bicara maupun sikap gadis itu telah membuat Kenanga semakin merasa sayang terhadap Aryani. Dan, itu membuat tekadnya semakin kuat untuk membela gadis cantik dan lincah itu dari incaran Tangan Malaikat, yang sudah lama ia dengar kesombongan dan kekerasan sikapnya dalam menindak kaum sesat.

"Kalau boleh kutahu, ke manakah tujuan kalian berdua jika Kakang Panji sudah menemukan kita?" tanya Aryani sambil lalu. Meskipun pertanyaan itu seperti basa-basi, tapi sepasang mata gadis cantik itu mengharapkan sekali jawaban.

"Entahlah. Kami tidak pernah menentukan arah tujuan. Ke mana kaki kami melangkah, itulah yang kami turuti," sahut Kenanga yang memang mereka berdua tidak pernah mempunyai tujuan.

"Jadi, kalian hanya melakukan perjalanan untuk meluaskan pengalaman, begitu?" tegas Aryani seperti masih kurang percaya.

"Kira-kira begitulah. Semenjak kecil Kakang Panji dididik untuk menjadi pelindung bagi orang-orang lemah. Setelah menamatkan pelajarannya, ia pergi merantau untuk mengamalkan ilmunya. Sedangkan aku tidak seperti dia. Aku hanya mengikuti ke mana Kakang Panji pergi," sahut Kenanga menolehkan kepalanya sambil tersenyum kepada Aryani.

"Hm..., kalian berdua sudah lama kenal...?" selidik Aryani lagi. Kali ini tampak nada menggoda dalam pertanyaannya.

"Yah..., cukup lama. Kakang Panji merupakan seorang penolongku," jawab Kenanga singkat. Meskipun ia mulai menduga arah kelanjutan keingintahuan gadis itu, tapi Kenanga berpura-pura tidak tahu.

"Aku yakin kau pasti kekasih Pendekar Naga Putih yang gagah dan tampan itu bukan? Wah, kau benar-benar beruntung sekali mempunyai seorang kekasih seperti pemuda itu. Kalau saja aku bisa mendapatkan seorang kekasih seperti Kakang Panji, bukan main bahagianya aku...," desah Aryani sambil menghela napas panjang. Terkesan nada iri dalam ucapan gadis itu. Namun, Kenanga menganggap hal itu suatu yang wajar.

Pada saat keduanya telah keluar dari dalam hutan, tiba-tiba Kenanga dan Aryani sama-sama menoleh ke belakang. Karena mereka mendengar suara langkah kaki yang lembut menuju ke arah mereka.

"Ah, itu Kakang Panji..," seru Kenanga yang merasa lega melihat kekasihnya telah menyusul mereka.

"Apakah mereka tidak mengejarmu..?" Aryani langsung saja menyambut kedatangan pemuda itu dengan pertanyaan. Sambil bertanya, kepalanya terjulur ke belakang melalui bahu Panji. Sepertinya ia ingin memastikan bahwa Tangan Malaikat dan keluarga tidak mengejar mereka.

"Tidak, aku berhasil mengelabui lelaki tua yang gagah itu. Sebelum meninggalkan tempat itu, aku terlebih dahulu bersembunyi. Setelah mereka pergi, baru aku menyusul kalian...," sahut Panji yang segera melangkah dan diikuti kedua orang gadis cantik itu.

"Hhh, syukurlah kalau begitu...," desah Kenanga sambil menghela napaslega.

Beberapa saat kemudian, suasana pun berubah hening. Ketiga orang muda ini melangkah menyusuri jalan yang semakin melebar. Hembusan angin yang lembut mengiringi langkah kaki mereka.

********************

DELAPAN

Sosok tubuh tegap itu melangkah gontai menyusuri jalan setapak. Pada wajahnya yang tampan dan gagah itu tersirat bayang kesedihan. Rambutnya yang panjang sebahu terurai lepas melambai-lambai dipermainkan hembusan angin yang sesekali bertiup keras. Sorot matanya tampak demikian sayu. Jelas, kalau pemuda itu tengah dilanda kedukaan.

Pemuda berjubah biru yang tidak lain daripada Puja Merta itu, menghela napas tanda hatinya sedang diamuk keresahan. Tangannya menyibak ke kiri dan kanan menyingkirkan ranting- ranting pohon yang terkadang menutupi jalan.

"Hhh.... Ke mana aku harus mencarimu, Aryani...?" bibir yang terkatup rapat itu bergumam pelan. Kepalanya menengadah menatap pucuk-pucuk dedaunan pohon. Mungkin ia ingin mencari jawaban atas pertanyaan itu.

Puja Merta yang merasa berdosa terhadap Aryani terpaksa meninggalkan tempat kediaman orang tuanya tanpa pamit. Hati kecilnya yang merasa yakin kalau gadis cantik itu sama sekali tidak memiliki sifat jahat dan kejam, membuatnya bertekad untuk mencari gadis cantik itu. Ia ingin meminta pengertian Aryani atas ucapan-ucapan ayahnya. Dan, ia ingin meminta maaf untuk kesalahan yang diperbuat kedua orang tuanya. Itulah yang menyebabkan Puja Merta minggat dari rumahnya, tanpa seizin ayah dan ibunya.

Setelah agak lama menyusuri hutan, tibalah pemuda itu di sebuah jalan lebar yang berbatu. Untuk beberapa saat, langkahnya terhenti dan melayangkan pandangan ke alam yang terbuka luas. Tapi, baru saja beberapa langkah kakinya menindak, tiba-tiba terdengar suara tawa yang mengejutkan. Cepat bagai kilat, pemuda itu berbalik dan mengedarkan pandangannya dengan sikap curiga.

"Hm,.., siapa pun kau, keluarlah! Jangan bersikap seperti perempuan!" seru Puja Merta tetap dalam keadaan siap menghadapi segala kemungkinan.

"Ha ha ha...!"

Suara tawa itu kembali terdengar berkepanjangan. Bahkan kali ini seperti datang dari delapan penjuru. Hal itu menandakan si empunya suara bukanlah orang sembarangan. Paling tidak ia memiliki ilmu tenaga dalam yang sangat tinggi.

"Hei, Manusia Pengecut! Kalau kau tidak berani menampakkan dirimu, lebih baik kau pergi, dan jangan ganggu aku!" Puja Merta kembali berteriak lantang dengan sikap gagah. Tampak pemuda itu sama sekali tidak merasa gentar, meskipun ia sadar orang yang tengah mempermainkannya itu memiliki kesaktian yang tinggi.

"Mengapa kau berteriak-teriak seperti itu, Anak Bodoh? Sejak tadi aku telah berdiri di sini. Apakah matamu buta?" terdengar suara berat dan parau yang berasal dari sebelah belakang pemuda itu.

Sehingga, Puja Merta segera berbalik dengan wajah agak tegang. Puja Merta mengerutkan keningnya ketika melihat sesosok tubuh gemuk pendek dan berkepala botak. Lelaki tua yang usianya paling tidak sebaya dengan ayahnya itu, terlihat berdiri dengan dada membusung. Tentu saja hal itu merupakan pemandangan yang lucu. Biarpun lelaki gemuk pendek itu berusaha tegak sambil mengempeskan perutnya, tetap saja perut buncit itu menonjol ke depan.

Belum lagi Puja Merta membuka suara untuk bertanya, tiba-tiba terdengar suara lain dari arah belakangnya. Kemudianvterdengar pula suara dari sebelah kiri dan kanannya. Sehingga tubuh pemuda itu, berputar ke kiri dan ke kanan dan ke belakang. Jelas, sekali orang-orang itu hendak mempermainkan dirinya. Dan, hati pemuda itu kian bertambah tegang ketika mendapati sosok lain yang kini berjumlah empat orang. Menilik dari sikap mereka, pemuda itu sadar kalau keempat orang itu pasti berniat tidak baik terhadapnya. Pikiran itu membuatnya semakin waspada.

"Siapa kalian? Mau apa kalian menghadang perjalananku?" tegur Puja Merta sambil menatap keempat sosok tubuh itu secara bergantian.

"Hm... kalau kau ingin tahu, kami adalah sahabat-sahabat Raja Racun Merah. Kudengar ayahmu yang sombong itu hendak membunuh putri sahabat kami itu. Jadi, kedatangan kami kemari untuk menunjukkan bahwa Raja Racun Merah tidak bisa dibuat main-main," sahut lelaki pendek gemuk berkepala botak itu dengan nada mengancam.

"Huh! Kalian kira aku mudah dibohongi begitu saja? Ketahuilah, Raja Racun Merah sudah tidak berurusan lagi dengan dunia sesat! Datuk itu telah sadar, dan ingin memperbaiki kesalahannya di masa lalu!" bantah Puja Merta yang mendengar semua itu dari mulut Aryani sendiri, ketika ia mengatakan kepada Pendekar Naga Putih.

"He he he...! Tentu-tentu. Sahabatku memang telah sadar akan kesalahannya. Tapi, ketika mendengar ayahmu menghina dan ingin membunuh putri satu-satunya, yang sangat disayang melebihi nyawanya sendiri, tentu saja ia tidak tinggal diam. Sekarang ia mungkin tengah berhadapan dengan orang tuamu yang sombong itu. Sedangkan kami, cukup membawamu untuk kami siksa. Karena penghinaan dan sikap ayahmu itu tidak bisa dimaafkan begitu saja!" ujar lelaki gemuk itu dengan suara lantang dan jelas.

Mendengar keterangan itu, Puja Merta ragu sejenak. Karena apa yang dikatakan lelaki gemuk pendek itu, memang dapat diterima akal sehat. "Siapa pula yang tidak marah mendengar kabar anak gadis satu-satunya akan dibunuh orang. Ayahnya sendiri yang merupakan tokoh golongan putih itu akan marah dan pasti akan mencabik-cabik orang yang ingin membunuh dirinya. Apalagi seorang tokoh sesat dan kejam seperti Raja Racun Merah? Sudah pasti datuk sesat itu akan mengamuk!" pikir Puja Merta bimbang.

"Tidak mungkin datuk sesat itu berani mendatangi kediamanku! Apalagi untuk menantang ayahku!" desis Puja Merta masih belum percaya penuh. Pemuda itu telah mengenal orang tuanya, dan tahu akan kesaktian ayahnya yang jarang menemui tandingan itu. Sedangkan Raja Racun Merah, meski ia belum begitu lama mendengar namanya disebut orang, kesaktiannya sama sekali belum diketahui, Sehingga, Puja Merta tidak yakin kalau datuk sesat itu berani mati mendatangi ayahnya.

"He he he... jangan kau kira kesaktian Raja Racun Merah berada di bawah kepandaian ayahmu. Lihat saja nanti, apakah datuk sesat itu berhasil membawa pulang kepala kedua orang tuamu atau tidak," tukas lelaki pendek gemuk itu lagi dengan keyakinan yang sangat kuat sekali.

Sehingga Puja Merta menjadi agak cemas. Cemas akan keadaan orang tuanya, Puja Merta berbalik dan berlari ke dalam hutan kembali. Sepertinya pemuda gagah itu hendak kembali ke rumahnya.

"Berhenti...!"

Terdengar bentakan nyaring, yang disusul berkelebatannya sosok tubuh gemuk pendek itu. Hebat sekali gerakan lelaki gemuk itu, sungguh tidak sesuai dengan bentuk tubuhnya yang bulat. Ternyata ia dapat bergerak cepat seperti kilat! Dalam dua kali lompatan saja, lelaki itu telah berdiri menghadang Puja Merta di mulut hutan!

"Heaaat...!"

Tanpa banyak cakap lagi, Puja Merta langsung melontarkan pukulan-pukulan untuk menerobos ke dalam hutan! Tapi lelaki gemuk pendek itu, ternyata sangat gesit dan lihai! Empat buah pukulan yang dilancarkan secara cepat dan susul-menyusul, dapat dielakkannya dengan geseran-geseran langkah aneh. Hebatnya, semua serangan itu, tidak satu pun yang dapat menyentuh tubuhnya. Padahal, gerak kakinya terlihat agak kacau, dan terkesan serampangan.

"Ringkus pemuda itu! Aku tidak sudi berhadapan dengan seorang bocah ingusan!" sambil berseru, lelaki gemuk pendek itu mencelat ke belakang, sejauh dua tombak lebih!

Puja Merta yang bermaksud mengejar lawan, kembali menarik mundur langkahnya. Karena ketiga orang kawan lelaki gemuk pendek itu, mencecarnya dengan pukulan-pukulan yang menimbulkan sambaran angin yang kuat sekali.

Bettt! Bettt! Bettt!

Serangkaian serangan yang dilontarkan ketiga orang itu secara bergelombang, cukup membuat Puja Merta sibuk untuk beberapa saat lamanya. Begitu melihat peluang, pemuda itu segera melompat jauh ke belakang, dan siap melakukan perlawanan. Sebagai seorang putra pendekar besar, tentu saja Puja Merta telah dibekali bermacam ilmu-ilmu tinggi. Bahkan ilmu 'Tangan Malaikat' yang menjadi andalan ayahnya pun, telah puta diwariskan kepada putra tunggalnya itu. Sehingga, tingkat kepandaian pemuda itu sudah sangat tinggi, dan tidak bisa disamakan dengan pemuda-pemuda sebayanya.

"Hm...," sambil menggeram, Puja Merta memutar tangannya ke samping dan ke depan. Gerakannya yang lemas, namun jelas mengandung kekuatan tenaga dalam yang tinggi itu, sejenak membuat ketiga orang pengeroyoknya mundur beberapa tindak. Sepertinya ketiga orang itu, mulai mengatur serangan untuk menghadapi pemuda tampan itu.

"Haiiit..!"

Dibarengi sebuah bentakan nyaring, tubuh pemuda tampan dan gagah itu bergerak dengan langkah-langkah cepat, sambil diiringi gerakan tangannya yang cepat pula. Sehingga menimbulkan sambaran angin kuat itu.

"He he he...! Hati-hati, Tiga Iblis Gundul. Ingat, pemuda itu, keturunan datuk golongan putih.

Kepandaiannya tentu tidak dapat dipandang ringan," ujar lelaki gemuk pendek itu terkekeh seraya mengingatkan kawannya.

Tiga lelaki bertubuh kekar yang berkepala gundul itu menggeram lirih. Serentak ketiganya berpencar dan membentuk tiga sudut. Sepertinya mereka ingin menggunakan jurus gabungan dalam menghadapi pemuda itu. Lelaki bertubuh kekar yang memiliki kumis seperti tikus, yang berdiri di depan pemuda itu, segera bergerak ke kanan menghindari pukulan yang mengancam tubuhnya. Gerakannya itu langsung disusul oleh kawannya yang berada di sebelah kanan, dan sekaligus menggantikantempatnya.

Pertarungan pun semakin seru, sehingga membuat lelaki gemuk pendek yang menyaksikannyamenggeleng-gelengkan kepala tak sabar. Sepertinya ia sudah merasa gatal ingin turun tangan langsung untuk menundukkan keturunan datuk golongan putih itu. Bahkan ia mulai meremas-remas tangannya, ketika pada jurus kedua puluh keadaan masih belum juga berubah.

"Ah, terlalu lamban, terlalu lamban...!" ucap lelaki pendek gemuk itu berulang-ulang. Setelah berkata demikian, tubuh gemuk pendek itu langsung melayang ke arah arena pertarungan.

Wuuut! Wuuut!

Begitu memasuki kancah pertarungan, lelaki pendek gemuk itu segera melontarkan serangan-serangan ke arah lawan. Menilik dari sambaran angin pukulannya yang mencicit tajam itu, jelas tenaga dalam yang dimiliki lawan sangat tinggi sekali! Sehingga, meskipun dua buah serangannya berhasil dihindari Puja Merta, tapi tubuh pemuda itu sempat terhuyung karena kuatnya sambaran angin pukulan lawan.

"Hm..., mengapa tidak sejak tadi kau ikut mengeroyokku, Cebol!" ejek Puja Merta setelah melakukan lompatan panjang ke belakang dan menyiapkan ilmu andalannya.

"He he he...! Aku harus meneliti dulu, sampai di mana ilmu yang telah kau pelajari dari ayahmu. Setelah itu, baru aku sendiri yang akan membekukmu...," tukas lelaki cebol itu terkekeh nyaring.vSuara tawanya terdengar sangat berbeda sekali. Rasanya suara yang melengking nyaring itu, lebih tepat dimiliki seorang perempuan.

Puja Merta tidak mempedulikan ocehan laki-laki pendek gemuk, yang dalam dunia persilatan berjuluk Bocah Iblis. Tokoh yang menggiriskan dan sangat kejam itu, sebenarnya seorang datuk sesat diwilayah Timur. Melihat dari angin pukulannya, yang mengandung tenaga dalam tingkat tinggi itu, rasanya memang pantas kalau laki-laki pendek gemuk itu menjadi seorang datuk.

"Hiaaah...!"

Puja Merta yang sudah menyiapkan ilmu 'Tangan Malaikat' merendahkan kuda-kudanya, ketika melihat lelaki cebol mendorongkan telapak tangannya ke depan. Menduga kalau lawan telah melepaskan pukulan jarak jauh, maka pemuda tampan itu bersiap menyambutnya. Sayang, apa yang diduga pemuda itu sama sekali meleset. Kesadarannya baru bangkit, ketika matanya menangkap sinar hitam yang menebar mengepung tubuhnya. Tapi, kesadaran itu datangnya terlambat! Tubuh pemuda itu tiba-tiba telah terbungkus jala halus yang sangat kuat!

Belum sempat pemuda itu berbuat sesuatu untuk membebaskan dirinya, ia telah merasakan sekujur tubuhnya lumpuh! Lelaki cebol yang berjuluk Bocah Iblis itu terkekeh penuh kemenangan. Rupanya berbarengan dengan dilepaskannya jala halus itu, tubuhnya pun ikut melesat cepat dan mengirim totokan yang membuat pemuda itu lumpuh!

"Hei, tahan...!"

Sebelum Bocah Iblis sempai membawa pergi ta-wanannya, tiba-tiba terdengar seruan nyaring yang mengejutkan! Sebelum gema suara itu lenyap, tiba-tiba muncul dua sosok tubuh, seorang pemuda dan seorang gadis cantik.

"Hei, tahan...!"

Sebelum datuk sesat yang berjuluk Bocah Iblis itu sempat membawa pergi tawanannya, tiba-tiba terdengar sebuah seruan nyaring yang mengejutkan! Sebelum gema suara itu lenyap dari pendengaran, tiba-tiba muncul dua sosok tubuh, seorang pemuda dan seorang gadis cantik.

"Hm..., bukankah yang kalian tawan itu keturunan Datuk Tangan Malaikat?" tegur pemuda tampan berjubah putih itu sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah Puja Merta yang meringkuk dalam keadaan pingsan.

"He he he.... Tidak kusangka kalau di tempat seperti ini, aku berjumpa dengan pendekar besar yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Apakah dugaanku keliru?" lelaki cebol itu terkekeh tanpa mempedulikan ucapan pemuda berjubah putih yang tidak lain Panji itu. Sedangkan sosok yang satunya lagi, sudah pasti Kenanga.

"Tidak salah. Dan, kalau aku tidak keliru, kau pasti Datuk sesat dari wilayah Timur, yang dijutuki orang Bocah Iblis...," ujar Panji yang rupanya telah banyak mendengar tentang tokoh sesat itu.

"He he he..., kau pun tidak salah. Akulah yang dijuluki Bocah Iblis itu. Anak-anak, bawa pergi pemuda keturunan Datuk Tangan Malaikat ini. Biar aku yang akan meladeni pendekar muda yang tersohor itu," ujar Bocah Iblis sambil menoleh kepada tiga orang anak buahnya.

"Tunggu! Kalau kalian ingin pergi tanpa kuganggu, tinggalkan pemuda itu...," tegas Panji mengancam. Sambil berkata, tubuh pemuda tampan itu langsung mencelat, dan mencegah Tiga Iblis Gundul yang akan membawa Puja Merta.

"Jangan hiraukan dia...!" seru lelaki cebol itu yang segera menghadang Pendekar Naga Putih. Tanpa banyak cakap lagi, Bocah Iblis langsung melontarkan serangan beruntun ke arah Panji. Sehingga, pemuda itu terpaksa melayaninya. Pertarungan tidak dapat dicegah lagi. Kenanga yang melihat kekasihnya telah bertarung dengan lelaki cebol itu, segera melesat merebut Puja Merta dari tangan Tiga Iblis Gundul.

"Haiiit..! Lebih balk kau mundur, Nisanak...," ujar lelaki cebol itu yang sempat melihat gerakan Kenanga, meski ia sedang bertarung. Dengan cepat ia mengibaskan tangan kirinya. Karuan saja gadis jelita itu melompat mundur, ketika mencium bau amis yang berbarengan dengan menyebarnya asap putih dari tangan Bocah Iblis. Rupanya tokoh sesat itu telah menggunakan bubuk beracun untuk mencegahKenanga.

Panji yang mendengar kekasihnya memekik sambil melindungi wajah dari semburan bubuk putih itu, tentu saja menjadi khawatir. Kelengahan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Bocah Iblis untuk melepaskan bubuk beracun ke arah Panji. Sehingga, Panji terpaksa mundur ketika sepasang matanya terasaperih.

"Licik...!" desis Panji yang segera mendorongkan telapak tangannya, guna mengusir bubuk beracun itu. Tapi, begitu ia membuka matanya, bayangan ibbs cebol itu sudah tidak nampak.

"Kurang ajar...! Mereka telah melarikan diri, Kakang," desis Kenanga geram. Gadis jelita itu tampak masih agak kabur pandangannya. Bahkan air matanya tampak mengalir akibat bubuk beracun yang mengenai matanya.

Demikian pula halnya dengan Pendekar Naga Putih. Pemuda itu tampak mengerjap-ngerjapkan kedua matanya yang berair. Dalam keadaan seperti itu, membuat mereka tidak berani mengejar lawan-lawannya. Karena dengan pandangan yang masih kabur itu, jelas sangat berbahaya mengejar seorang lawan yang lihai seperti datuk wilayah Timur itu.

"Hhh..., belum lagi kita dapat menemukan jejak Aryani, yang pergi entah ke mana. Kini muncul masalah baru yang cukup rumit. Mungkinkah kejadian itu merupakan buntut dari penghinaan Datuk Tangan Malaikat terhadap Raja Racun Merah?" gumam Panji seperti berkata dengan diri sendiri.

"Maksud Kakang, Raja Racun Merah mau membalas dendam atas penghinaan Datuk Tangan Malaikat terhadap dirinya itu? Tapi, bukankah datuk sesat wilayah Selatan itu telah bertobat?" ujar Kenanga yang sepertinya mulai merasa ragu dengan keterangan Aryani.

"Tapi, mengapa Aryani pergi tanpa pamit kepada kita? Kalau memang ia ingin melanjutkan pengembaraan seorang diri, toh kita tidak akan melarangnya. Ah..., aneh sekali sikap gadis keturunan datuk sesat itu," desah Panji dengan kening berkerut. Jelas, ia berpikir keras untuk mencari jawaban dari semua pertstiwa yang menurutnya sangat rumit itu.

"Keadaan pasti akan semakin rumit bila Tangan Malaikat mengetahui, putranya diculik orang...," ujar Kenanga lagi dengan disertai desahan napas panjang. Gadis jelita itu merasa pening dengan pertstiwa yang mereka hadapi kali ini. Karena semua masalahnya masih serba gelap.

"Hm..., sebaiknya kejadian itu tidak perlu kita beritahukan kepada Datuk Tangan Malaikat. Kita selidiki saja dulu, apa sebenarnya yang menjadi penyebab semua kejadian mi," usul Panji yang meminta persetujuan kekasihnya.

"Aku setuju, Kakang. Persoalan ini masih belum jelas. Siapa yang bersalah, kita belum bisa mengetahuinya. Ada baiknya memang kalau kita saja yang menyelidiki. Dengan demikian, mungkin kita dapat menghindarkan hal-hal yang tidak kita inginkan," jawab Kenanga penuh semangat.

"Kalau begitu, tunggu apa lagi...?" sambil berkata demikian, Panji menggenggam jemari tangan gadis jelita itu. Kemudian keduanya melangkah meninggalkan tempat itu, meski dengan mata terasa agak perih. Racun yang disebarkan Iblis Cebol itu rupanya tidak berbahaya.

Sepertinya senjata itu hanya digunakan untuk mengelabui lawan-lawannya, agar ia bisa meloloskan diri. Hal itu telah diketahui Pendekar Naga Putih, setelah merasakan tidak adanya pengaruh lain, kecuali rasa perih. Itu sebabnya pemuda itu tidak merasa khawatir dengan bubuk beracun yang memasuki mata mereka.

Ke manakah perginya Aryani? Apa yang membuat gadis keturunan datuk sesat itu pergi tanpa pamit? Apakah ada hubungannya dengan penculik Puja Merta? Bagaimana sikap Datuk Tangan Malaikat ketika mengetahui keturunan satu- satunya itu diculik orang? Lalu, apakah ucapan seorang datuk sesat seperti Raja Racun Merah yang hendak mengundurkan diri itu dapat dipercaya?

Terakhir, mampukah Pendekar Naga Putih mengungkapkan rahasia yang tersembunyi di balik semua perisriwa itu? Untuk mengetahui kelanjutannya, ikutilah kisah berikutnya dari penyelidikan Pendekar Naga Putih dalam episode Tewasnya Raja Racun Merah!

S E L E S A I

Keturunan Datuk Datuk Persilatan

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Keturunan Datuk-Datuk Persilatan
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat serial Pendekar Naga Putih

SATU

"Heyaaa... heyaaa...!"

Suara bentakan nyaring itu terdengar berkali-kali, merobek suasana siang yang sunyi. Debu mengepul mengiringi suara derap bergemuruh, yang diselingi suara berderit dari roda-roda kereta kuda, menggilas bebatuan.

Ctarrr.... Ctarrr...!

Suasana bising itu, masih diselingi pula ledakan cambuk sang Kusir, yang merobek-robek angkasa. Semua itu makin menambah riuhnya suasana. Kereta yang melaju pesat itu ditarik dua ekor kuda, dan diikuti beberapa penunggang kuda di belakangnya. Sedangkan di bagian depan, terdapat dua orang penunggang kuda lainnya. Jelas, rombongan orang berkuda itu merupakan pengawal dari kereta kuda itu.

Rombongan kecil yang membawa sebuah bendera kuning berlukiskan seekor harimau belang itu, bergerak cepat membelah jalan yang di kiri dan kanannya terdapat pepohonan. Melihat dari huruf-huruf yang tertera pada bagian samping kereta, jelas mereka sedang mengawal barang. Dalam dunia persilatan, rombongan pengawal barang Harimau Terbang memang sangat terkenal.

Dan, selama bertugas, tidak pernah sekali pun perkumpulan itu meninggalkan cacat. Setiap mendapat pesanan untuk mengantarkan sesuatu, mereka selalu menyelesaikan tugas dengan baik. Sehingga, nama pengawal barang Harimau Terbang makin terkenal dan dipercaya para saudagar kaya.

Kelompok pengawal barang yang bernaung di bawah bendera Harimau Terbang, bukan hanya dikenal di kalangan saudagar kaya saja. Tapi, kaum rimba persilatan pun banyak yang mengikat tali persahabatan dengan kelompok itu. Luasnya pergaulan kepala perkumpulan itulah yang membuat mereka selalu dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Karena, kaum perampok dan begal merasa segan untuk berurusan dengan Kelompok Harimau Terbang.

Bukan hanya keluasan hubungan ketua perkumpulan itu yang membuat para perampok dan begal segan mengganggunya. Tapi, kebaikan hati ketua perkumpulan itu pun membuat para perampok dan begal menghormatinya. Tidak jarang ketua perkumpulan itu memberi hadiah kepada mereka sebagai ikatan tali persaudaraan. Semua itu membuat Kelompok Harimau Terbang tidak pernah mendapatkan gangguan dari para perampok dan begal dalam menunaikan tugasnya.

Tapi, perkumpulan pengantar barang Harimau Terbang itu bukan sekumpulan orang-orang penakut dan lemah. Selain pemimpinnya seorang tokoh persilatan yang disegani, para anggotanya pun rata-rata memiliki kepandaian yang dapat diandalkan. Tidak jarang kelompok pengantar barang itu harus berurusan dengan para perampok yang tidak mau peduli dengan bendera maupun nama ketua mereka. Namun, semua itu dapat ditanggulangi dengan baik oleh Kelompok Harimau Terbang. Sehingga, nama mereka semakin terkenal dan disegani kawan maupun lawan.

Menjulangnya nama Kelompok Harimau Terbang, membuat para saudagar lebih mempercayakan barang-barangnya kepada mereka. Sehingga, hampir setiap hari kelompok itu harus mengantarkan barang dagang atau upeti para saudagar. Seperti biasanya, kali ini Kelompok Harimau Terbang mendapat kepercayaan dari seorang pelanggannya. Barang yang akan mereka antarkan, pesanan seorang saudagar kaya di kota kadipaten.

Setelah agak lama menyusuri jalan lebar yang cukup ramai oleh penduduk. Mereka mulai memasuki mulut sebuah hutan. Cuaca yang remang-remang karena cahaya matahari terhalang rimbun daun pepohonan, membuat rombongan itu bergerak lebih lambat dari semula. Ketika rombongan pengawal barang itu semakin dalam memasuki hutan, mendadak dua orang yang berada di depan mengangkat tangannya ke atas.

Karuan saja kusir kereta barang itu segera menarik tali kudanya. Dan, kereta pun berhenti. Dua orang dari enam rombongan yang berada di belakang, bergerak melarikan kudanya. Begitu tiba di samping penunggang kuda terdepan, ia segera menarik tali kudanya.

"Ada apa, Kakang?" tanya lelaki brewok yang datang dari belakang itu dengan nada heran. "Apa kau ingin kita beristirahat di dalam hutan ini?"

"Tidak, Adi Galing. Tapi, sepertinya aku mendengar sesuatu yang mencurigakan di sekitar daerah ini," sahut lelaki gagah berusia lima puluh tahun, yang sepertinya pimpinan rombongan kecil itu. Sambil berkata, ia mengedarkan pandangannya dengan sikap waspada.

"Ah, yang Kakang dengar tadi, mungkin suara binatang hutan. Mereka berlarian karena terganggu oleh kehadiran kita. Seperti kita ketahui, daerah hutan ini sama sekali tidak rawan. Jadi, kecurigaan Kakang itu sama sekali tidak beralasan," bantah lelaki brewok yang dipanggil dengan nama Galing itu. Menilik dari jawabannya, jelas kalau ia sama sekali tidak merasa cemas dengan ucapan pimpinannya.

"Hm...," lelaki gagah yang memimpin rombongan itu hanya bergumam pelan menanggapi bantahan anggotanya. "Apakah kau tidak mendengarnya, Adi Bana Raga?" tanyanya sambil berpaling ke arah kawannya yang berada di sebdah kiri.

Lelaki berusia empat puluh lima tahun yang merupakan orang kedua dalam rombongan itu, terdiam sejenak. Sepertinya lelaki yang bernama Ki Bana Raga itu hendak memastikan, sebelum menjawab pertanyaan pimpinannya. Setelah mendapatkan jawaban, baru ia berpaling ke arah pimpinannya.

"Mungkin aku pun sempat mendengarnya tadi, Kakang. Tapi, aku kurang yakin, apakah suara itu patut kita curigai. Selain itu, yang kudengar tadi, mungkin tidak sama dengan apa yang Kakang Mahinta dengar. Sebab, yang kudengar hanyalah suara-suara yang mirip jeritan seekor kera," jawab Ki Bana Raga dengan wajah yang tetap tenang. Meskipun sebenarnya ia merasa curiga, tapi perasaan itu lenyap begitu saja.

Seperti halnya Galing, Ki Bana Raga tahu kalau Hutan Grambang yang mereka lalui itu merupakan daerah yang aman. Dan, selama ia bergabung dengan kelompok pengawal barang Harimau Terbang, tak pernah sekalipun mereka mendapat halangan di hutan itu. Pengalaman itulah yang membuatnya bersikap tenang, tanpa rasa curiga sedikit pun.

"Aneh. Apa yang kudengar, justru berbeda. Bukan suara- suara itu yang kumaksudkan, Adi Bana Raga. Tapi, gerakan-gerakan yang mirip dengan langkah kaki manusia itulah yang membuat aku curiga," sanggah Ki Mahinta, pimpinan rombongan itu, dengan kening berkerut. Jawaban itu sepertinya bukti bahwa Ki Mahinta-lah yang mendengar suara itu.

Berbeda dengan Ki Bana Raga, Galing, atau anggota lainnya, Ki Mahinta adalah seorang yang sangat berpengalaman, dalam kelompok Harimau Terbang. Dan, jasanya terhadap perkumpulan pengantar barang itu pun tidak sedikit. Bahkan ketua perkumpulan itu sendiri sangat mengagumi Ki Mahinta.

Ki Mahinta memang memiliki kelebihan, terutama kekuatan nalurinya. Sehingga, tidak jarang lelaki gagah itu dapat menyelamatkan barang-barang antarannya, dengan cara memutar jalan guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Meski semua itu hanya bersandar pada kekuatan naluri Ki Mahinta, namun seringkali menjadi kenyataan.

"Hm..., mungkinkah di wilayah Hutan Grambang ini ada gerombolan perampok...?" gumam Ki Bana Raga yang jelas- jelas meragukan dugaan Ki Mahinta. Sambil bergumam, lelaki kunis itu mengedarkan pandangannya berkeliling dengan kening berkerut.

"Kemungkinan itu akan selalu ada, Adi Bana Raga. Bisa saja gerombolan perampok yang mengungsi dari daerahnya. Dan, mereka belum mengenal siapa kita. Jadi, kuharap kalian semua selalu waspada...," Ki Mahinta yang tetap mencurigai langkah-langkah yang didengarnya tadi, mengingatkan kepada anggotanya.

Setelah mendengar perkiraan itu, barulah Ki Bana Raga dan Galing mengangguk-anggukkan kepala. Sepertinya kedua orang itu mulai dapat menerima alasan yang dikemukakan pimpinannya.

"Kalau begitu aku harus mengingatkan kawan-kawan yang lain, Kakang...," ujar Galing yang segera mengajak kawannya melarikan kudanya ke belakang kereta.

Sepeninggal kedua orang anggotanya, Ki Mahinta kembali memerintahkan rombongannya untuk bergerak maju. Sambil tetap menjalankan kudanya perlahan, pimpinan rombongan itu tampak senantiasa memusatkan pikirannya. Jelas kalau lelaki gagah setengah baya itu telah siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Belum lagi rombongan kecil itu bergerak jauh, tiba-tiba terdengar suara berdesingan nyaring.

Swingngng... syuuut...!

"Awaaas...!"

Ki Mahinta yang memang sejak tadi telah bersiap, segera berseru mengingatkan anggotanya. Dan, lelaki setengah baya itu segera mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang kirinya. Diputarnya senjata itu hingga membentuk gulungan sinar yang membungkus sekujur tubuhnya.

Trakkk! Trakkk!

Terdengar suara benturan keras yang disusul bunyi berderak. Beberapa batang anak panah yang mengancam tubuh Ki Mahinta, langsung berjatuhan dalam keadaan patah!

Pada saat yang hampir bersamaan, terdengar jeritan susul-menyusul. Dua orang anggota Kelompok Harimau Terbang, terjungkal dari atas punggung kudanya. Tubuh mereka masing-masing tertancap empat batang anak panah! Sudah dapat dipastikan, kedua anggota Ki Mahinta itu tewas akibat serangan gelap!

"Cepat berlindung...!"

Ki Mahinta sebagai seorang pimpinan, memang patut mendapat acungan jempol. Lelaki gagah itu segera dapat menguasai keadaan, dan langsung memberikan jalan keluar kepada anggotanya yang masih selamat. Lelaki gagah pimpinan rombongan kecil itu sendiri, tidak tinggal diam. Setelah memperingatkan anggota-anggotanya, ia segera melesat dan berjumpalitan di udara dengan disertai putaran pedangnya. Kembali terdengar suara benda berpatahan, ketika tubuh Ki Mahinta masih berputar di udara. Entam batang anak panah berjatuhan dalam kedaan patah.

Melihat dari gerakan yang ditunjukkannya, jelas Ki Mahinta bukanlah orang yang mudah menjadi sasaran serangan gelap. Terbukti lelaki setengah baya itu dapat menyelamatkan nyawanya untuk yang kedua kali. Dan, untuk kesekian kalinya, Ki Mahinta kembali menunjukkan kehebatan ilmu meringankan tubuh. Benturan enam batang anak panah itu, ia gunakan sebagai jembatan untuk kembali berputaran, kemudian kedua kakinya mendarat tepat di samping kereta kuda.

"Hm..., siapa pun mereka, aku harus membuat perhitungan! Kematian kedua orang kita harus dapat ditebus dengan nyawa pengecut-pengecut licik itu, Kakang...," geram Ki Bana Raga yang sudah berada di samping kereta, sebelum Ki Mahinta tiba.

"Hal itu boleh saja, Adi. Tapi, kita harus waspada, dan jangan bertindak ceroboh. Selain kita tak mengetahui di mana mereka berada, juga kita belum mengetahui kekuatan mereka. Jadi, kuharap kau jangan bertindak gegabah," pesan Ki Mahinta. Meskipun ia menyetujui ucapan pembantunya, tapi tetap mengingatkan dengan penuh ketegasan.

Ki Bana Raga, lelaki berusia empat puluh lima tahun itu mengangguk pasti. Kendati rasa kemarahan telah memuncak, Ki Bana Raga tetap menghormati ucapan pimpinannya. Hal itu membuktikan kalau Ki Mahinta merupakan pimpinan yang disukai dan dihormati oleh anggotanya.

Ki Mahinta sendiri, tetap memerintahkan para anggotanya untuk berlindung di balik kereta barang. Walaupun saat itu serangan gelap dari lawan telah berhenti, Ki Mahinta tidak memperkenankan anggotanya bergerak.

Melihat Ki Mahinta seperti tengah memutar otak mencari jalan keluar dari intaian maut itu, para anggotanya, termasuk Ki Bana Raga dan Galing, sama sekali tidak berani mengganggu. Mereka tetap tenang, meskipun keadaan sepertinya sudah mulaiaman.

Kesunyian yang mencekam dan sangat meresahkan anggota pengantar barang Harimau Terbang itu, berlangsung cukup lama. Sehingga, beberapa orang di antaranya terlihat sudah tidak sabar untuk keluar dari persembunyian.

"Ingat! Jangan ada yang bergerak, atau keluar dari tempat persembunyian ini! Meski keadaan terlihat sudah aman, tapi siapa tahu musuh masih menunggu dengan anak-anak panahnya. Kuharap kalian semua dapat mengerti dan tidak bertindak menuruti kemauan sendiri," pesan Ki Mahinta lagi ketika matanya menangkap rasa gelisah beberapa orang anggotanya.

Meskipun Ki Mahinta sendiri tidak merasa tenteram dengan kesunyian yang mencekam itu, namun ia tetap menekan keinginannya untuk keluar dari persembunyian. Setelah beberapa saat kembali terlewat tanpa suatu gerakan Ki Mahinta bergerak dengan tubuh membungkuk menghampiri Ki Bana Raga.

"Bana Raga, kita harus bergerak, untuk memancing penyerang-penyerang gelap itu. Dengan demikian, mungkin kita bisa mengetahui di mana mereka berada. Kau siap?" tanya Ki Mahinta berbisik lirih.

"Bagaimana caranya, Kakang? Apakah kita harus melompat dan menghalau hujan panah mereka?" Ki Bana Raga yang sepertinya tidak bisa berpikir dengan baik, dan meminta petunjuk dari pimpinannya. Dalam menghadapi keadaan genting seperti itu, Ki Mahinta lebih berpengalaman daripada dirinya. Sehingga, ia pun menanyakan rencana Ki Mahinta.

"Hm..., sebelum kita memaksa mereka keluar dari persembunyiannya, kita terpaksa mengambil risiko menghadapi serangan anak panah mereka. Setelah itu, kita harus berusaha untuk mencapai kuda-kuda kita. Nah, dengan menunggangi kuda, kita paksa mereka untuk keluar," jelas Ki Mahinta menerangkan rencana yang telah dipikirkannya dengan matang.

"Baiklah, Kakang. Dan, untuk itu rasanya kita harus berpencar. Dengan demikian, kita bisa memecah perhatian mereka," ujar Ki Bana Raga yang mulai dapat berpikir setelah mendengar rencana pimpinannya itu.

"Bagus! Rupanya kau juga dapat berpikir baik, Bana Raga," puji Ki Mahinta sambil mengembangkan senyum. Sepertinya apa yang diusulkan pembantunya itu, memang sejalan dengan pikirannya.

Setelah mereka sepakat dengan rencana itu, Ki Mahinta dan Ki Bana Raga berpencar ke kiri dan kanan kereta. Pedang mereka telah tergenggam erat-erat. Jelas mereka telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan!

"Sekarang...!"

Setelah berseru demikian, Ki Mahinta melesat dengan kecepatan tinggi, sambil memutar pedangnya. Beberapa batang anak panah menyambut tubuhnya, dan langsung dipukul runtuh dengan putaran senjatanya! Kemudian, tubuhnya melesat ke arah seekor kuda yang tengah merumput di bawah sebatang pohon.

"Heyaaa...!"

Dengan sebuah bentakan nyaring, Ki Mahinta segera menggebah kudanya, begitu berada di atas punggung binatang itu. Sambil merunduk dengan menggunakan kuda sebagai perisai, Ki Mahinta membedal kudanya ke arah semak-semak, dari mana hujan anak panah itu berasal! Hampir bersamaan dengan Ki Mahinta, Ki Bana Raga pun telah pula berhasil menunggangi seekor kuda lainnya. Kemudian, ia terus membedal kudanya menuju kerimbunan semak. Karena, lelaki kurus itu menduga dari balik kerimbunan semak itulah hujan anak panah mengancam dirinya.

Perhitungan Ki Mahinta ternyata tidak meleset! Begitu kuda yang ditungganginya melesat ke arah rimbunan semak-semak, beberapa batang anak panah kembali menyambutnya. Sayang, meskipun ia berhasil menghalau anak panah yang mengancam dirinya, kuda tunggangannya meringkik kesakitan!

Enam batang anak panah menancap di lehernya. Tapi, nasib baik ternyata masih berpihak kepada lelaki setengah baya itu. Walaupun kuda tunggangannya terluka parah, namun ia terus saja menerobos semak belukar tempat para penyerang gelap itu bersembunyi.

"Heaaah...!"

Begitu terlihat beberapa sosok tubuh berpakaian serba hitam melompat dari semak-semak, Ki Mahinta segera menjejakkan kakinya ke punggung kuda. Seketika itu juga, tubuhnya langsung mencelat ke arah delapan orang lelaki yang keluar dari gerombolan semak belukar itu.

Trangngng! Brettt! Brettt!

Salah satu dari delapan orang berseragam hitam itu, langsung tersungkur dengan tubuh bermandi darah! Rupanya ia berhasil memapaki sabetan pertama dari senjata Ki Mahinta, tapi sabetan kedua tidak bisa dielakkan lagi. Sehingga, pedang di tangan lelaki setengah baya itu, merobek lambung lawannya.

Tujuh orang lelaki berseragam hitam lainnya, langsung mencabut pedang, dan mengurung Ki Mahinta. Namun, lelaki gagah itu menghadapi lawannya dengan putaran pedang yang cepat dan menggetarkan! Pertarungan sengit pun tidak bisa dihindarkan lagi!

Di tempat lain, Ki Bana Raga juga telah berhasil memaksa para penyerangnya keluar dari persembunyian. Meskipun untuk itu ia terpaksa kehilangan kudanya, namun lelaki tinggi kurus itu merasa puas! Maka, begitu orang-orang berseragam hitam yang menyerang secara gelap itu berloncatan ke segala arah, Ki Bana Raga segera merangsek maju.

Tapi, bukan main terkejut hati Ki Bana Raga ketika mendapat kenyataan lain. Tujuh orang lelaki berseragam hitam itu ternyata memiliki kepandaian yang tidak rendah! Sehingga, Ki Bana Raga harus bekerja keras untuk menghadapi keroyokan lawan-lawannya.

DUA

Pertempuran yang telah pecah itu, membuat para anggota Harimau Terbang yang lainnya bersorak gembira. Tanpa perlu menunggu aba-aba lagi, mereka langsung berlompatan keluar dari balik persembunyiannya. Lima orang anggota Harimau Terbang, termasuk Galing dan kusir kereta barang itu, langsung menyerbu ke arena pertempuran. Sudah pasti kelima orang itu di bawah pimpinan Galing. Karena lelaki brewok itu merupakan orang ketiga setelah Ki Mahinta dan Ki Bana Raga.

Namun, perbuatan Galing dan anggota lainnya itu mengejutkan hati Ki Mahinta. Lelaki gagah berusia setengah baya itu, merasa cemas dengan tindakan yang dilakukan anggotanya.

"Adi Galing...! Jaga kereta barang...!" sambil menghindari sabetan golok salah seorang pengeroyoknya, Ki Mahinta berseru mengingatkan anak buahnya yang berwajah brewok itu.

Seruan Ki Mahinta itu, tentu saja membuat Galing sadar kalau kereta barang tidak terjaga sama sekali. Maka, tanpa banyak cakap lagi, Galing langsung melesat ke arah kereta bersama salah seorang kawannya. Peringatan Ki Mahinta memang bukan sekadar omongan kosong. Lelaki setengah baya yang telah banyak pengalamah itu, sudah menduga para penghadang itu pasti mempunyai kawan-kawan yang lain. Dan, hal itu memang terbukti!

Galing dan lelaki tinggi kurus yang berlari dengan maksud untuk menjaga kereta barang, terkejut bukan main ketika mendengar sorak-sorai yang gegap gempita. Wajah lelaki brewok dan kawannya itu berubah tegang! Dari sebelah depan dan belakang kereta, tampak belasan lelaki berpakaian serba hitam menghambur dengan senjata di tangan!

"Celaka...!" desis Gilang dengan suara bergetar. Meskipun ada kilatan gentar di matanya, namun lelaki brewok itu bergegas menyilangkan senjatanya di depan dada. Sikapnya nampak gagah, meski ia sadar akan ancaman maut.

"Kita pertahankan isi kereta ini dengan taruhan nyawa, Kakang..," desis lelaki kurus di sebelah Galing, yang juga telah bersiap menghadapi maut!

"Tentu, Adi...," sahut Galing dengan suara mantap. Sepertinya lelaki brewok itu telah mengambil keputusan untuk mempertahankan barang kawalannya dengan taruhan nyawa!

"Yeaaa...!"

"Heaaa...!"

Galing dan kawannya berdiri saling membelakangi satu sama lain. Musuh yang datang menyerang sambil berteriak-teriak itu, langsung mereka sambut dengan gagah! Sehingga, sebentar saja tubuh kedua orang anggota pengawal barang Harimau Terbang itu lenyap di tengah kerumunan para pengeroyoknya.

Ki Mahinta dan Ki Bana Raga sempat menyaksikan kejadian itu, hati mereka merasa cemas bukan main! Terlebih lagi Ki Mahinta yang paling bertanggung jawab terhadap keselamatan kawan-kawannya mau pun barang kawalan mereka. Sehingga, wajah lelaki setengah baya itu berubah agak pucat!

Ketegangan dan kecemasan yang memuncak di hati lelaki gagah setengah baya itu, membuatnya semakin memperhebat serangan-serangan terhadap lawan. Pedang di tangannya berkelebatan menebarkan hawa maut! Sehingga, ketujuh orang lawannya sempat terkejut, dan berlompatan mundur karena amukan lelaki tua itu benar-benar berbahaya!

"Adi Bana Raga, 'Air Pasang'...!" sambil berlompatan ke arah kereta barang, Ki Mahinta berteriak nyaring dengan kata-kata yang hanya diketahui oleh setiap anggota Harimau Terbang

Brettt!

"Aaakh...!"

Karena perhatiannya terbagi-bagi, Ki Mahinta terpaksa harus menerima akibat dari kelalaiannya! Sebuah sabetan pedang salah seorang pengeroyoknya membeset pangkal lengan lelaki gagah itu. Meski tidak terlalu dalam, namun cukup membuat gerakkan Ki Mahinta agak terhambat.

"Haiiit...!"

Ki Mahinta berjumpalitan sambil mengayunkan pedangnya, merobek perut lawan yang hampir membuat kepalanya terpenggal!

Brettt!

"Aaargh...!"

Pembokong sial itu meraung keras ketika pedang Ki Mahinta membuat ususnya terburai keluar! Karuan saja tubuh lelaki itu ambruk ke tanah, dan tewas seketika. Ki Mahinta bergulingan mendekati kereta barang. Namun, delapan orang lelaki berseragam hitam yang semula mengeroyok dua orang anggotanya itu berbalik memapakinya. Dan, Ki Mahinta tidak mau membuang-buang waktu lagi. Pedang di tangannya langsung saja diputar bergulung, sehingga membentuk gundukan sinar yang turun naik bagaikan ombak laut!

Wuuuk! Wuuuk!

Amukan lelaki setengah baya itu rupanya cukup mengerikan. Terbukti kedelapan orang lawannya itu langsung berlompatan mundur! Lawannya menyadari kalau senjata di tangan lelaki setengah baya itu memang behar-benar berbahaya!

"Aaa...!"

Bukan main pucatnya wajah Ki Mahinta ketika mendengar jerit kematian yang susul-menyusul itu. Ia mengenali suara teriakan itu seperti ia mengenali suara teriakannya sendiri.

"Adi Galing...!" suara yang sebenarnya berupa teriakan itu, terdengar hampir menyerupai bisikan. Karena selain kesedihan, juga ada kemarahan yang terpendam dalam dada lelaki setengah baya itu. Sehingga, suara teriakannya tersumbat di kerongkongan.

Belum lagi berbagai perasaan yang bercampur-baur itu sempat ditumpahkannya, kembali terdengar jerit kematian dari sebelah belakangnya. Sepasang mata tua itu terbelalak menyaksikan tiga orang anggotanya, terlempar dengan tubuh dipenuhi luka. Karuan saja lelaki setengah baya itu menggereng seperti harimau luka.

"Biadab!" desis Ki Mahinta dengan kemarahan yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Dengan disertai pekikan nyaring, Ki Mahinta melesat sambil memutar senjatanya dengan sekuat tenaga.

Namun, apalah artinya kemarahan seorang Ki Mahinta dalam menghadapi keroyokan para perampok yang rata-rata gesit dan memiliki kepandaian cukup lumayan itu? Apalagi gerakan- gerakan mereka sangat kompak dan teratur. Maka, meskipun lelaki setengah baya itu mengamuk bagaikan harimau luka, tetap saja ia tidak mampu mendesak lawan-lawannya. Malah ia sendiri yang mulai terdesak oleh serangan lawan-lawannya.

Di tempat lain, Ki Bana Raga sendiri sudah terlihat kepayahan. Di beberapa bagian tubuhnya, tampak luka akibat goresan senjata lawannya. Dan, dari luka itu mengucur darah segar. Sehingga, pakaian yang dikenakannya sudah tidak dapat dikenali lagi warnanya.

Tapi, walaupun luka-lukanya terasa perih, Ki Bana Raga sama sekali tidak menyerah. Dengan gagah lelaki berusia empat puluh lima tahun itu, melakukan perlawanan yang tidak bisa dipandang remeh! Bahkan dalam keadaan seperti itu, ia masih mampu merobohkan beberapa penyerangnya yang terdekat! Sehingga, kegagahan dan perlawanan Ki Bana Raga sempat membuat lawan-lawannya berhati-hati, dan tidak menyerang sembarangan.

"Berhenti...!"

Di tengah bisingnya suara-suara teriakan dan denting senjata, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang menggelegar! Hebatnya, pertempuran yang tengah berlangsung sengit itu pun terhenti seketika!

Belum lagi gema bentakan itu lenyap, tahu-tahu muncul sosok tubuh raksasa yang mengenakan rompi dari kulit ular. Lengannya yang besar dan berotot itu, tampak ditumbuhi bulu- bulu halus. Demikian pula dengan wajahnya, dipenuhi oleh kumis, cambang, dan jenggot yang lebat, membuat penampilan lelaki itu semakin angker. Sedang di kiri dan kanannya tampak dua orang lelaki yang juga bertubuh kekar, namun sedikit lebih pendek berjalan mengiringi sosok bertubuh raksasa itu.

"Hidup Ketua Kalya Bantar si Raja Ular Emas...!"

Terdengar teriakan-teriakan memuji dari gerombolan lelaki berpakaian hitam yang mengeroyok Ki Mahinta dan Ki Bana Raga itu.

"Ha ha ha...! Mundur, Anak-anak. Biar aku sendiri yang akan menghabisi dua cecunguk yang sok jago ini," terdengar suara tawa serak dan parau dari lelaki raksasa yang bernama Kalya Bantar itu. Setelah menghentikan tawanya, ia melangkah menghampiri Ki Mahinta dan Ki Bana Raga yang telah berdiri saling berdampingan itu.

"Raja Ular Emas...!" desis Ki Mahinta ketika mendengar dan mengenali lelaki bertubuh raksasa dan berwajah bengis itu. Dalam nada ucapannya tersembunyi kegentaran. Jelas, Ki Mahinta mengetahui Kalya Bantar yang berjuluk Raja Ular Emas itu.

Gerombolan perampok Ular Emas memang bukan nama baru bagi telinga Ki Mahinta. Lelaki setengah baya yang semasa mudanya gemar berpetualang itu, sudah mengenal siapa sesungguhnya Kalya Bantar. Dialah seorang raja perampok yang sangat ditakuti di kalangan rimba persilatan. Selain kepandaian lelaki itu sendiri tidak rendah, juga para pengikutnya rata-rata berkepandaian tinggi. Sehingga, nama gerombolan perampok itu sangat ditakuti lawan dan disegani kawan.

Ki Mahinta menatap tajam sosok lelaki bertubuh raksasa itu. Ia sudah tahu sejak lama, wilayah Utara adalah daerah kekuasaan Raja Ular Emas. Karena itu ia tidak percaya kalau gerombolan perampok yang menakutkan itu muncul di daerah Selatan.

"Apa yang membuat gerombolan perampok gila ini sampai pindah ke Selatan? Hm..., pasti ada sesuatu yang menyebabkan mereka meninggalkan daerah ke kuasannya," gumam Ki Mahinta dengan kening berkerut dan sepasang mata menyipit.

Lelaki gagah itu sadar betul kalau nyawa mereka berdua seperti telur di ujung tanduk. Ia tahu betapa ganas dan kejinya Raja Ular Emas itu. Sepanjang pengetahuannya, tidak pernah ada seorang lawan pun yang dibiarkan hidup oleh lelaki bertubuh raksasa itu.

"Tidak ada pilihan lain bagi kita, kecuali melawan mereka mati-matian. Biar bagaimanapun mereka pasti tidak akan membiarkan kita berdua hidup," bisik Ki Mahinta kepada Ki Bana Raga, tanpa mengalihkan pandangannya kepada Raja UlarEmas.

Ki Bana Raga yang juga telah bergabung cukup lama di bawah bendera Harimau Terbang, tentu saja tahu akan risiko dari pekerjaannya. "Benar, Kakang. Kita harus mempertahankan diri sampai titik darah terakhir...," Ki Bana Raga balas berbisik dengan tatapan mata lurus ke depan.

"Tidak kuduga kalau kita akan berjumpa di sini, Mahinta. Kau tentu masih ingat kepadaku bukan? Ha ha ha..., sayang nama Pedang Bintang Timur harus terhapus dari dunia persilatan hari ini," ujar Kalya Bantar memperdengarkan suara tawanya yang berat dan parau.

Menilik dari ucapannya, jelas lelaki bertubuh raksasa itu mengenal Ki Mahinta yang memang berasal dari Utara. Kedua orang tokoh dari golongan yang berbeda itu, memang tidak asing satu sama lainnya. Meskipun di antara mereka tidak mempunyai dendam secara pribadi, tapi Kalya Bantar si Raja Ular Emas tetap menganggap orang-orang golongan putih sebagai musuh-musuhnya.

Walaupun mereka tak pernah bertemu dalam sebuah pertarungan, tapi hati kecil Kalya Bantar menginginkan perjumpaan itu. Tak mengherankan kalau ia memerintahkan anak buahnya mundur. Karena ia berkeinginan membunuh Ki Mahinta dengan tangannya sendiri.

"Raja Ular Emas," ujar Ki Mahinta mencoba bersikap tenang, "Apa yang membuatmu kesasar hingga sejauh ini? Apakah gerombolanmu dikejar-kejar kerajaan?"

Ki Mahinta memang sengaja melontarkan kata-kata seperti itu untuk membangkitkan kemarahan Raja Ular Emas. Sebagai orang tokoh tua yang berpengalaman, ia pun tahu kalau serangan yang dibarengi dengan kemarahan yang tinggi, akan menimbulkan kelalaian. Dan, keadaan seperti itulah yang dikehendaki Ki Mahinta.

"Ha ha ha..., ucapanmu tidak salah, Pedang Bintang Timur. Aku memang melarikan diri dari kejaran prajurit kerajaan. Tapi, daerah baru ini ternyata cukup menyenangkan. Buktinya, baru beberapa hari aku tiba, kau sudah datang mengantarkan barang-barang berharga untukku. Dan, aku sangat berterima kasih sekali bila kau juga mau menyerahkan kepalamu untukku," sambut Kalya Bantar yang ternyata tidak tersinggung dengan ejekan lawannya. Sehingga Ki Mahinta sempat kehilangan akal dibuatnya.

"Kau melupakan sesuatu, Raja Ular Emas. Sadarkah kalau perbuatanmu ini bisa mengundang kemarahan ketua kami? Apabila berita ini sampai terdengar, jangan kau sesali kalau dalam dua hari, ribuan anggota pengawal barang Harimau Terbang akan mengaduk-aduk seluruh isi hutan ini untuk membinasakanmu," gagal dengan ejekan, Ki Mahinta mencoba mengancam Raja Ular Emas dengan bayangan-bayangan yang menyeramkan.

Tapi, ucapan Ki Mahinta itu hanya disambut dengan tawa berkepanjangan. Bahkan beberapa orang anggota gerombolan Ular Emas ikut memperdengarkan suara tawanya. Sehingga, Ki Mahinta dan Ki Bana Raga mengerutkan kening dan merasa heran. Mereka benar-benar tak mengerti mengapa Raja Ular Emas dan pengikutnya malah menertawakan ancamannya.

"Kau jangan coba-coba menakut-nakuti, Mahinta. Apakah kau pikir aku begitu bodoh mau kau perdayai dengan ancaman palsumu itu? Agar kau tidak penasaran, baiklah kuberi tahu. Anggota kelompok pengawal barang Harimau Terbang berjumlah kurang lebih empat puluh orang. Bahkan ketua yang kau agung-agungkan itu, kini terbaring menanti ajal. Karena ia telah menderita keracunan akibat pertarungannya dengan seorang tokoh sesat. Meskipun tokoh sesat itu berhasil dibunuhnya, namun nyawa ketuamu tidak akan berumur panjang. Aku tahu kalian memang sengaja merahasiakan masalah ini dari telinga orang-orang persilatan. Tapi, aku si Raja Ular Emas, tidak pernah ketinggalan berita. Karena telingaku ada di mana-mana. Bahkan aku juga tahu gerombolan perampok mana yang paling berkuasa di wilayah Selatan ini. Dan, mereka pun sudah takluk di bawah benderaku. Ha ha ha...," jelas Kalya Bantar sambil memperdengarkan tawanya yang tidak enak didengar telinga.

Kaget bukan main Ki Mahinta saat mendengar ucapan lawannya. Ia tak menduga sama sekali kalau Kalya Bantar telah mengetahui rahasia yang disimpan rapat oleh kelompoknya. Ki Mahinta sadar kalau ia tidak mempunyai jalan lain, kecuali bertarung mati-matian.

"Kalau begitu, apa lagi yang kau tunggu, Raja Ular Emas? Mari kita selesaikan urusan ini tanpa campur tangan anak buahmu. Tapi, kalau memang kau takut mati, boleh kau merengek meminta bantuan para pengikutmu yang banyak itu,"

Ki Mahinta rupanya masih belum kehilangan akal. Dengan cerdiknya lelaki gagah setengah baya itu melontarkan perkataan, yang jelas-jelas akan membawa keuntungan bagi pihaknya. Kalau Raja Ular Emas maju seorang diri mereka mempunyai harapan untuk lolos. Bahkan ada kemungkinan mereka dapat merebut kembali barangnya.

Kalya Bantar pun bukanlah orang bodoh. Kalau ia berani menjawab tantangan Ki Mahinta, sudah pasti ada sesuatu yang diandalkannya. Dan, jawaban yang keluar dari mulut lelaki raksasa itu, ternyata tidak meleset dari harapan Ki Mahinta.

"Ha ha ha...! Kau memang sangat cerdik, Ki Mahinta. Tapi jangan khawatir. Aku akan meluluskan permintaan terakhirmu itu. Nah, sekarang bersiaplah untuk melayat ke akhirat," ujar Kalya Bantar sambil tertawa terkakak.

Girang bukan main hati Ki Mahinta mendengar jawaban itu. Dengan majunya Raja Ular Emas seorang diri. Ia yakin bisa menundukkan lelaki bertubuh raksasa itu. Sepengetahuannya, kepandaian yang dimiliki Raja Ular Emas itu, boleh dibilang berimbang dengan kepandaiannya. Meskipun itu beberapa tahun yang lalu.

Apalagi seorang kepala perampok seperti Raja Ular Emas. Tentu bukan kemajuan yang diperolehnya selama beberapa tahun terakhir. Bisa jadi malah kepandaian ataupun tenaga lelaki raksasa itu berkurang. Hal itu disebabkan Kalya Bantar sering membuang-buang hawa murninya dengan memuaskan nafsu bejadnya terhadap wanita-wanita. Pemikiran itulah yang membuat Ki Mahinta merasa yakin akan dapat menundukkan lawannya.

Sayang, penilaian Ki Mahinta meleset jauh. Raja Ular Emas yang kini dihadapinya, tidaklah dapat disamakan dengan beberapa tahun yang lalu. Malah kepandaian yang dimilikinya saat itu, mengalami kemajuan yang sangat pesat. Sebuah ilmu baru yang diciptakannya telah membuat Raja Ular Emas berani mencuri benda-benda pusaka istana. Itulah sebabnya mengapa ia sampai dikejar-kejar prajurit kerajaan, sehingga ia mengungsi ke Selatan.

"Bagaimana dengan kau sendiri, Mahinta? Apakah kau pun akan merengek meminta bantuan kawanmu itu untuk mengeroyokku?" Raja Ular Emas pun mencoba mencari keuntungan bagi pihaknya. Meskipun ia seorang diri yakin dapat menundukkan kedua orang calon lawannya. Namun, ia mencoba memancing harga diri calon lawannya.

Ucapan Kalya Bantar hanya disambut dengan senyum tipis oleh Ki Mahinta. Jelas, ia tidak dapat dikelabui dengan ucapan lawannya. "Raja Ular Emas. Sebenarnya aku sendiri mungkin akan dapat menundukkanmu tanpa harus bersusah-payah. Tapi, karena kami berdua sama-sama bertanggung jawab terhadap barang kawalan itu, tentu saja tak ada jalan lain bagi kami kecuali bersama-sama pula menghadapimu. Lain halnya kalau kau takut menghadapi kami berdua," balas Ki Mahinta dengan senyum lebar. Memang cerdik sekali lelaki setengah baya itu.

"Ha ha ha.... Marilah... marilah kalian berdua maju. Aku Raja Ular Emas tidak pernah takut menghadapi siapa pun," tegas Kalya Bantar tetap memperdengarkan tawanya yang serak. Setelah menghentikan tawanya, lelaki bertubuh raksasa itu melangkah beberapa tindak ke depan.

Ki Mahinta sendiri sudah merenggang dan bergerak ke kanan. Senjata di tangannya diputar sedemikian rupa, sehingga menimbulkan kilatan-kilatan sinar yang menyilaukan mata. Jelas, lelaki setengah baya yang gagah itu mengeluarkan ilmu 'Pedang Bintang Timur'nya, yang telah mengangkat namanya dalam dunia persilatan. Demikian pula halnya dengan Ki Bana Raga. Meskipun sekujur tubuhnya dipenuhi luka sayatan pedang akibat pertempuran tadi, namun lelaki gagah itu tetap bertekad untuk merebut kembali harta kawalan, yang dirampas oleh anak buah Raja Ular Emas.

Wuuut! Wuuut!

Meskipun ilmu pedang Ki Bana Raga tidak sehebat Ki Mahinta, tapi permainan senjatanya tidak kalah berbahaya dengan pimpinannya.

Raja Ular Emas yang diapit dari dua arah oleh kedua orang pentolan Harimau Terbang itu, berdiri pongah sambil memperdengarkan suara tawanya yang berkepanjangan. Sepertinya lelaki bertubuh raksasa itu merasa yakin dapat menundukkan lawan dengan kepandaian yang dimilikinya.

TIGA

"Heaaat…!"

Diiringi teriakan nyaring sebagai tanda pertempuran sudah dimulai, tubuh Ki Mahinta melesat seperti seekor burung besar, seraya memutar pedangnya.

Wuuut! Wuuut!

Sekali bergerak saja, Ki Mahinta langsung melancarkan serangkaian serangan beruntun yang susul-menyusul. Kilatan-kilatan sinar pedangnya berkelebatan kian kemari mengancam keselamatan lawannya!

Ki Bana Raga pun tidak mau ketinggalan. Begitu mendengar teriakan Ki Mahinta, ia segera melesat menyusul kawannya. Senjata di tangannya bergerak bersilangan dengan kecepatan yang tidak bisa dipandang ringan. Sekali bergerak, ia langsung melontarkan tiga buah serangan, yang mengarah ke jalan darah kematian di tubuh lawan.

Namun, sikap Kalya Bantar memang patut mendapat acungan jempol. Tokoh sesat Kepala Rampok Ular Emas itu, tetap berdiri tenang menanti serangan kedua orang lawannya. Meski terlihat lelaki bertubuh raksasa itu tidak menggunakan senjata, tapi jangan dikira ia akan berdiam diri dan menerima serangan kedua orang lawannya begitu saja.

"Haiiit...!"

Tepat kedua batang senjata itu tinggal sejengkal lagi di depan tubuhnya, Kalya Bantar bergegas menggerakkan tangan kanannya ke arah pinggang. Kemudian, sambil merendahkan tubuhnya, lelaki itu mengibaskan lengan kanannya sehingga menimbulkan ledakan-ledakan keras yang memekakkan telinga!

Jtarrr! Jtarrr...!

Bunga-bunga api memercik disertai dengan kepulan asap tipis, ketika sebentuk benda panjang bergerak-gerak dan meledak-ledak memapaki serangan Ki Mahinta dan Ki Bana Raga. Jelas, Kalya Bantar menggunakan sebuah cambuk sebagai senjata andalannya!

Baik Ki Mahinta maupun Ki Bana Raga sempat terkejut mendengar ledakan-ledakan keras yang memekakkan telinga itu. Menyadari kalau lawan menggunakan senjata, keduanya bergerak cepat merubah serangan-serangannya. Pedang di tangan kedua orang lelaki gagah itu, diputar setengah lingkaran, dan bergerak turun naik sambil menghindari sambaran cambuk lawan!

"Yeaaah...!" Jdarrr...!

Ki Mahinta melakukan lompatan pendek, guna menghindari lecutan cambuk yang mengincar kedua kakinya! Begitu tubuhnya bergulingan dengan lompatan harimau, detik berikutnya tubuh lelaki gagah itu mencelat, bagaikan seekor kera yang berpindah dari pohon yang satu, ke lain pohon. Gerakan Ki Mahinta memang cepat dan tak terduga sama sekali! Berbarengan dengan lompatan itu, pedang di tangannya berkeredep mengarah batang leher lawan! Jelas, lelaki gagah itu hendak memenggal batang leher Kalya Bantar.

Bettt!

Sebagai seorang tokoh sesat dan kepala rampok yang banyak pengalaman, Kalya Bantar tentu mengetahui kalau nyawanya tengah terancam maut. Tapi, lelaki bertubuh raksasa itu sama sekali tidak kelihatan gugup. Dengan sebuah gerakan indah, tubuhnya merendah disertai dengan uluran lengan kiri menyambut tebasan pedang lawan. Dan...

Trangngng.!

"Aiiih.!"

Terdengar benturan nyaring yang diiringi pijaran bunga api! Ki Mahinta sendiri berseru tertahan, tubuhnya terdorong mundur akibat terbentur lengan kiri lawan. Namun, dengan sebuah gerakan manis, lelaki gagah itu berjumpalitan guna mematahkan daya dorong benturan itu, dan mendarat dengan kedua kaki terlebih dahulu.

"Aaah..., mungkinkah raksasa gila itu memiliki ilmu 'Kebal'?" desis Ki Mahinta sambil meringis merasakan lengannya yang nyeri akibat benturan itu. Kenyataan itu membuat ia sadar kalau tenaga dalam lawan masih dua tingkat berada di sebelah atasnya.

Ki Mahinta yang merasa heran dengan kekebalan tubuh lawan, menatap tajam penuh selidik ke arah lawan yang tengah bertarung dengan Ki Bana Raga. Dan, lelaki gagah itu menarik napas lega ketika melihat kilauan cahaya, yang berpendar dari pergelangan tangan musuhnya.

"Pantas dia berani memapaki tebasan pedangku. Rupanya ia mengenakan lempengan baja pada kedua pergelangan tangannya. Hm..., benar-benar licik dan berbahaya sekali raksasa gila itu," gumam Ki Mahinta yang kekhawatirannya lenyap, begitu ia mengetahui apa yang membuat lawannya berani memapaki tebasan senjatanya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, lelaki gagah itu melesat membantu Ki Bana Raga yang terlihat sudah sangat terdesak!

Namun, usaha yang dilakukan Ki Mahinta ternyata sedikit terlambat! Sebelum ia tiba di arena pertempuran, terdengar pekik kesakitan, yang disusul dengan terlemparnya tubuh Ki Bana Raga dari arena pertempuran!

"Adi Bana Raga…!" Ki Mahinta, si Pedang Bintang Timur, terpaksa menunda serangannya. Cepat ia melesat menyambar tubuh kawannya, agar tidak sampai terbanting ke tanah.

"Ughhh...!" Ki Bana Raga terbatuk memuntahkan gumpalan darah segar dari mulutnya.

Melihat luka memanjang seperti terkena cakaran harimau itu, Ki Mahinta sadar kalau jiwa rekannya tidak mungkin dapat tertolong lagi. Karena luka memanjang itu sangat dalam, dan melihat pembengkakan di sepanjang luka itu, jelas kalau senjata yang digunakan Raja Ular Emas mengandung racun!

Sedangkan Raja Ular Emas yang menggunakan cambuk berduri dan mengandung racun itu, melecutkan senjatanya berkali-kali di udara. Seolah-olah lelaki raksasa itu ingin mengejek Ki Mahinta. Lelaki gagah yang dalam dunia persilatan berjuluk Pedang Bintang Timur itu memekik memanggil nama Ki Bana Raga, ketika melihat kepala lelaki itu terkulai lemas. Jelas, Ki Bana Raga telah menghembuskan napasnya yang terakhir di pelukan Ki Mahinta.

"Keparat keji...!" desis Ki Mahinta dengan wajah berduka. Hati lelaki gagah itu sangat terpukul dengan kematian kawan-kawannya di depan mata kepalanya sendiri.

"Ha ha ha... jangan merengek seperti anak kecil, Pedang Bintang Timur," ejek Kalya Bantar dengan suara sengaja ditekan pada julukan Ki Mahinta. Sehingga, Ki Mahinta segera membalikkan tubuh dan berdiri tegak menghadapi lelaki raksasa itu.

"Licik kau, Raja Ular Emas! Kau sengaja mengoleskan racun keji pada tubuh pecut berduri itu! Kau memang pantas untuk menjadi penghuni neraka!" maki Ki Mahinta dengan wajah merah. Tampak kalau kemarahan lelaki gagah itu terbangkit.

"Ha ha ha..., hati-hati, Pedang Bintang Timur. Kemarahanmu justru akan membawamu ke neraka. Atau kau memang sudah siap untuk melayat ke alam yang mengerikan itu?" kembali Kalya Bantar melontarkan ejekan-ejekan yang memanaskan hati lawannya.

Menyadari kemarahan akan merugikan dirinya, Ki Mahinta berusaha bersikap tenang dengan menarik napas berulang- ulang. Meskipun demikian, wajahnya tetap merah, menandakan kemarahannya sulit dibendung.

"Haaat..!"

Karena tak mampu menekan kemarahan di hatinya, Ki Mahinta langsung berteriak dan menerjang lawan. Senjata di tangan orang tua itu kembali berputaran dengan kilatan-kilatan cahaya, yang menyilaukan pandang mata lelaki bertubuh raksasa itu.

Namun, Raja Ular Emas telah siap menghadapi gempuran lawannya. Pecut berduri yang telah diolesi racun keji itu meledak-ledak dan berputaran menebarkan hawa maut!

"Hiaaah...!"

Dibarengi sebuah bentakan pendek yang menggelegar, pecut di tangan Raja Ular Emas meluncur cepat mengancam tubuh lawannya yang tengah melayang di udara.

Jtarrr...! Jtarrr...!

Ledakan yang susul-menyusul dengan disertai pijaran bunga api itu, memang benar-benar hebat. Karena mampu mengacaukan pikiran lawan. Terbukti serangan Ki Mahinta langsung kacau karena pengaruh ledakan cambuk dan pijaran bunga-bunga api yang bertebaran di sekitar tubuhnya. Kenyataan itu, mau tidak mau membuat lelaki tua itu merasa kagum akan kemajuan ilmu silat Raja Ular Emas. Dan, ia pun sadar kalau lelaki bertubuh raksasa itu bukan lagi tandingannya.

"Heaaah...!"

Menyadari kepandaian lawan berada di atas, Ki Mahinta pun makin memperhebat serangan-serangannya. Sehingga, bentuk senjatanya lenyap berganti dengan gulungan sinar bagaikan baling-baling raksasa!

Bettt! Wuuut!

"Hmh!" Raja Ular Emas hanya memperdengarkan suara di hidung, ketika ia melihat sabetan pedang lawan mengancam lambungnya. Dengan merendahkan tubuh dan menggeser langkah dua tindak ke kanan, lelaki bertubuh raksasa itu menarik pulang cambuknya sehingga membentuk gulungan di tangannya.

"Hiiih...!"

Begitu serangan lawan lewat Raja Ular Emas membentak nyaring seiring dengan melesatnya cambuk berduri di tangannya!

Rrrt... Brolll!

"Aaakh...!" Ki Mahinta menjerit keras ketika tangannya yang memegang pedang terkena babatan cambuk lawan, yang langsung ditarik pulang oleh Kalya Bantar. Sehingga tangan Ki Mahinta sebatas pergelangan, ikut terbawa oleh cambuk berduri lawannya!

Ki Mahinta terhuyung mundur dengan darah yang menyembur deras dari pergelangan tangannya yang putus! Wajah lelaki gagah itu menyeringai menahan rasa sakit yang luar biasa pada lukanya. Karena luka itu tampak membengkak. Jelas racun jahat pada senjata lawannya telah mulai bereaksi.

"Ha ha ha.... Aku tidak akan membunuhmu sekaligus, Mahinta! Tapi, aku ingin agar kau merasakan cambuk berduri ini pada sekujur tubuhmu!" ujar Raja Ular Emas tertawa berkakakan melihat lawannya tengah sibuk menotok pergelangan tangannya, untuk mencegah darah yang terus mengalir darilukanya.

"Biadab kau, Raja Ular Emas! Kalau mau bunuh, bunuhlah, aku tidak takut mati!" teriak Ki Mahinta dengan suara lantang. Lelaki gagah itu sadar betul, rengekan hanya akan membuat lawan semakin gembira menyaksikan penderitaannya. Itulah sebabnya, mengapa Ki Mahinta malah menantang Raja ULar Emas dengan suara lantang.

"Ha ha ha. Sudah tentu aku akan membunuhmu, Mahinta!" ujar Raja Ular Emas. Lalu ia berpaling kepada para pengikutnya dan berseru, "Anak-anak, kalian boleh saksikan pertunjukan menarik ini"

"Heaaah.!"

Dibarengi sebuah seruan nyaring, cambuk di tangan Raja Ular Emas meluncur dengan disertai ledakan-ledakan yang memekakkan telinga!

Ki Mahinta yang hanya tinggal menanti maut itu, menatap tajam tanpa rasa takut sedikit pun. Dinantinya ujung cambuk yang siap merobek tubuhnya itu dengan penuh ketabahan!

Prattt...!

Tepat pada saat yang sangat menegangkan bagi Ki Mahinta, tiba-tiba melesat sesosok bayangan ramping, yang langsung memukul balik luncuran cambuk Raja Ular Emas!

"Aaah...?!" Raja Ular Emas memekik tertahan, ketika merasakan tangannya yang memegang cambuk bergetar, akibat tangkisan yang dilakukan bayangan ramping itu. Dan, yang membuatnya tak percaya, kuda-kuda lelaki bertubuh raksasa itu tergempur. Sehingga, ia berdiri terpaku beberapa saat lamanya. Sedang sepasang matanya terbelalak ketika ia melihat sosok tubuh ramping berdiri di samping Ki Mahinta.

Sosok tubuh ramping berpakaian kuning cerah yang telah menyelamatkan Ki Mahinta itu, menatap dengan kening berkerut ke arah tangan lelaki gagah yang buntung itu. "Aaah..., luka tanganmu mengandung racun, Paman...," ujar sosok ramping itu agak terkejut. Menilik dari bentuk tubuh dan suaranya yang merdu, jelas sosok yang menyelamatkan Ki Mahinta itu adalah seorang wanita.

"Aaah, ya... ya...," Ki Mahinta yang belum hilang dari rasa terkejutnya, hanya bisa mengeluarkan ucapan itu. Sepertinya ia belum dapat mempercayai, seorang gadis muda yang pantas menjadi anaknya, ternyata dapat memukul balik senjata Raja Ular Emas. Benar-benar sukar untuk dipercaya! Kalau saja Ki Mahinta hanya mendengar cerita, mungkin orang yang bercerita itu akan ditertawakannya habis-habisan.

"Mari kuobati, Paman."

Tanpa menanti jawaban dari Ki Mahinta, gadis berpakaian kuning cerah itu langsung mengeluarkan sejenis obat bubuk berwama putih. Ditaburkannya obat itu pada luka di tangan Ki Mahinta. Kemudian, dengan cermat gadis itu merobek lengan baju lelaki gagah itu, setelah meminta maaf terlebih dahulu sebelumnya.

Untuk kedua kalinya Ki Mahinta kembali dibuat kagum oleh kesigapan gadis cantik itu. Sebentar saja, tangannya yang terluka telah terbalut rapi, dan tidak lagi merasa nyeri. "Terima kasih, Nisanak... Kau hebat dan mengagumkan sekali," puji Ki Mahinta yang secara tidak langsung memuji kecantikan gadis berpakaian kuning cerah itu.

"Mengapa Paman sampai berkelahi dengan raksasa itu...?" tanya gadis itu tanpa mempedulikan tatapan penuh kagum dari Ki Mahinta. Dan, ia tersenyum manis karena tatapan mata lelaki tua itu begitu tulus, tanpa maksud-maksud tertentu.

"Mereka merampok barang yang harus kami antar. Selain itu, mereka juga telah membantai semua kawan-kawanku. Kalau boleh kutahu, siapakah Nisanak? Dan, mengapa Nisanak menolongku?" ujar Ki Mahinta tanpa melepaskan pandang matanya dari sosok di depannya. Sosok gadis cantik dan berani yang telah menyelamatkan nyawanya dari kekejaman Raja Ular Emas.

"Namaku Aryani. Aku hanya tidak suka melihat kekejaman. Begitu aku melihat wajah Paman yang tidak nampak seperti orang jahat, maka aku langsung menolong Paman," sahut gadis berpakaian kuning cerah yang mengaku bernama Aryani itu.

"Namamu indah sekali. Kau seperti seorang dewi, yang turun dari langit untuk menyelamatkan diriku," desah Ki Mahinta seraya mengalihkan pandangannya ke arah Raja Ular Emas. Karena ia mendengar langkah kaki lelaki bertubuh raksasa itu ke arah mereka. Tampak sorot matanya penuh dengan ancaman.

Aryani yang juga mendengar langkah kepala rampok itu, segera membalikkan tubuhnya dan menatap tajam. Sepertinya gadis cantik itu tidak merasa gentar sama sekali terhadap Raja Ular Emas. Sikapnya demikian tenang dengan wajah terulas senyum tipis.

"Hati-hati, Aryani. Kepandaian raksasa gila itu hebat sekali. Dia juga kejam, dan tak mengenal ampun," bisik Ki Mahinta yang diam-diam merasa khawatir atas keselamatan gadis cantik yang telah menolongnya itu.

"Terima kasih, Paman. Tapi, rasanya aku mampu menghadapi raksasa jahat itu. Dia kelihatannya saja kuat dan galak. Padahal, ia tidak lebih dari seorang raksasa tolol," ujar Aryani dengan suara agak keras. Sepertinya ia memang sengaja agar Raja Ular mendengar suaranya.

"Ha ha ha... Tak kusangka di hutan lebat ini aku bisa berjumpa dengan seorang dewi. Hai, Nisanak. Aku akan memaafkanmu bila kau bersedia untuk menjadi gundikku. Bagaimana? Kau setuju tawaranku?" tanya Kalya Bantar yang tidak menjadi marah ketika melihat kecantikan gadis yang telah berani mencampuri urusannya itu. Bahkan sepasang matanya yang besar itu, sudah bergerak liar menjelajahi sekujur tubuh Aryani.

"Hm.... Ternyata kau bukan hanya tolol, Raksasa Jelek. Tapi mulutmu juga harus dibersihkan. Dan, kalau kau tidak sempat membersihkannya, biarlah aku yang akan membantumu. Agar lain kali kau bisa menjaga perkataanmu itu," cetus Aryani yang kedua pipinya menjadi merah mendengar ucapan yang jelas-jelas telah menyinggung harga dirinya sebagai seorang wanita. Maka, begitu ucapannya selesai, tubuh gadis cantik itu sudah melesat ke arah Raja Ular Emas.

Plakkk!

"Aaakh...!"vKalya Bantar memekik kesakitan, ketika telapak tangan mungil itu telah mendarat di pipi kirinya. Tanpa ampun lagi, pipi raksasa itu langsung membengkak. Bahkan bibirnya pecah akibat tamparan Aryani yang keras.

Bukan hanya Kalya Bantar yang tidak mengerti kalau ia bisa kena tampar sedemikian mudah. Bahkan Ki Mahinta pun sampai terbeliak matanya. Ia hampir tak mempercayai dengan apa yang disaksikannya. Gerakan gadis cantik itu memang sangat cepat, sehingga sulit ditangkap dengan mata biasa. Melihat kenyataan itu, Ki Mahinta sadar kalau Aryani ternyata bukan seorang pendekar wanita biasa. Mungkin kepandaian gadis cantik itu jauh berada di atas tingkat kepandaiannya.

"Bangsat! Perempuan sundal...!" Kalya Bantar memaki kalang kabut, sambil menyusut cairan merah yang membasahi jenggotnya. Raksasa yang sombong itu ternyata tidak menyadari kehebatan Aryani. Ia mengira hal itu terjadi hanya karena ia tidak siap.

"Eh, kenapa kau, Raksasa Tolol? Mengapa marah-marah seperti seorang kakek kebakaran jenggot? Seharusnya kau berterima kasih karena aku telah membantu membersihkan mulutmu," ujar Aryani sambil bertolak pinggang dan melontarkan senyum mengejek.

"Setan...! Kau akan rasakan akibat kekurangajaranmu, Gadis Busuk!" geram Raja Ular Emas sambil memutar cambuknya dengan sekuat tenaga.

Wuuuk! Wuuuk!

Angin keras menderu-deru mengiringi putaran cambuk berduri kepala rampok itu. Melihat dari tatapan matanya yang bengis, jelas bahwa ia benar-benar telah murka!

"Heaaah...!"

Berbarengan dengan suara bentakan menggelegar, cambuk di tangan Raja Ular Emas meledak-ledak keras memekakkan telinga. Kemudian meluncur deras mengancam tubuh ramping Aryani. Andai saja tubuh ramping itu terkena, dapat dipastikan tubuh molek itu akan rusak dan tak berujud lagi.

Ki Mahinta sendiri sudah bersiap ingin melindungi gadis cantik itu. Sepertinya lelaki gagah itu belum yakin akan kemampuan Aryani. Karena penampilan Raja Ular Emas benar-benar menyeramkan. Sehingga, ia sendiri tidak tega membiarkan gadis itu menghadapi maut.

"Tenanglah, Paman. Percayalah, raksasa itu pasti akan menjadi jinak sebentar lagi," ucap Aryani sambil mengembangkan tangan kanannya mencegah Ki Mahinta. Kemudian, lelaki tua itu bergerak mundur ketika Aryani memintanya.

Jtarrr...! Jtarrr...!"

Tanah di tempat Aryani berpijak meledak hingga membentuk beberapa buah lubang. Untunglah gadis cantik itu telah melesat menghindarinya. Sehingga, tanah di tempatnya berpijak itulah yang menjadi sasaran.

Ki Mahinta meleletkan lidahnya melihat akibat yang ditimbulkan lecutan cambuk Kalya Bantar. Kenyataan itu, menyadarkan Ki Mahinta kalau Raja Ular Emas belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Ketika ia bertempur dengan kepala perampok itu. Kalau gadis itu tidak menolongnya, mungkin ia sudah menjadi mayat. Tapi, gadis cantik itu sama sekali tidak merasa gentar, melihat akibat lecutan cambuk lawannya. Bahkan ia malah mengejek dengan kata-kata yang memanaskan telinga. Karuan saja kemarahan Raja Ular Emas makin menggelegak!

"Hik hik hik...! Hanya segitukah kehebatan cambuk mautmu?" ejek Aryani sambil berloncatan menghindari ujung cambuk yang meledak-ledak mengancamnya. Permainan cambuk yang mengerikan dari Raja Ular Emas itu, tidak lebih dari permainan anak-anak bagi Aryani.

EMPAT

Pertarungan antara Aryani dan Raja Ular Emas, masih berlangsung dengan sengit. Meskipun serangan cambuk Kalya Bantar sangat gencar menghujani tubuh gadis itu, namun sampai sepuluh jurus, belum sekali pun ujung cambuk itu menyentuh tubuh Aryani. Sehingga, Kalya Bantar semakin penasaran dibuatnya.

"Waktu untukmu menyerang sudah cukup, Raksasa Tengik! Sekarang aku akan mulai membalas. Bersiap-siapiah...," ujar Aryani yang segera menghindari lecutan cambuk ke arah dadanya. Kemudian ia berjumpalitan beberapa kali, sebelum kakinya mendarat sejauh satu setengah tombak dari tempatnya semula.

"Kuntilanak, mau lari ke mana kau...?" Kalya Bantar yang mengIra lawannya hendak meLarikan diri, segera mengejar dengan lecutan cambuknya yang meledak- ledak memercikkan bunga-bunga api. Sepertinya Raja Ular Emas memang berniat menghabisi lawannya.

Tapi kali ini Aryani tidak hanya sekadar mengelak. Dengan sepasang telapak tangan terbuka, gadis cantik itu mulai membalas serangan-serangan cambuk lawannya. Sambaran-sambaran angin berbau wangi mulai menebar, mengiringi setiap lontaran telapak tangan gadis cantik itu. Bahkan setap kali ujung cambuk dipapaki dengan pukulan telapak tangannya, selalu saja membalik, membuat Raja Ular Emas terkejut bukan kepalang.

"Heaaah...!"

Rasa penasaran dan kemarahan, membuat Raja Ular Emas menjadi kalap! Sambil menggereng seperti harimau luka, diputarnya cambuk berduri itu dengan seluruh kekuatan yang ada! Akibatnya tentu saja hebat! Sehingga, Aryani sendiri sempat mengagumi kepandaian kepala rampok bertubuh raksasa itu.

Setelah pertarungan menginjak jurus keempat puluh, Aryani mulai mendesak lawan dengan lontaran tendangan dan tamparan-tamparan maut! Kecepatan dan kekuatan yang ditunjukkan gadis cantik itu, benar-benar mengejutkan sekali! Sehingga, dalam waktu singkat. Raja Ular Emas dibuat tak berkutik oleh serangan-serangan gadis itu.

"Haiiit...!"

Tepat saat pertarungan menginjak jurus keempat puluh dua, Aryani memekik nyaring disertai lesatan tubuhnya yang benar-benar menggiriskan! Berbarengan dengan itu, telapak tangan kanannya meluncur ke depan diiringi wewangian yang menebar. Bahkan, dari telapak tangan gadis cantik itu terlihat warna kemerahan yang samar!

Desss...!

"Aaakh...!" Raja Ular Emas memekik ngeri ketika pukulan berbau harum yang memabukkan itu menghajar telak dadanya! Karuan saja tubuh raksasa itu terjungkal, dan jatuh berdebum di atas tanah!

"Huaaakh...!" gumpalan darah segar muncrat dari mulut Kalya Bantar. Melihat dari warna darahnya yang agak kehitaman, Kalya Bantar sadar kalau ia telah mengalami luka dalam yang mengandung racun. Raja Ular Emas berusaha bangkit meski dengan susah payah. Tiba-tiba matanya terbelalak ketika melihat rompi kulit ular yang dikenakannya, tampak robek di bagian dada. Sedangkan dada yang terkena pukulan gadis cantik itu, terdapat tanda telapak tangan berwarna kemerahan.

"Ilmu Pukulan Mawar Beracun?!" desis Kalya Bantar dengan wajah pucat! Jelas ia telah cukup mengenal ilmu pukulan yang dipergunakan lawan.

Aryani tersenyum tipis melihat kekagetan Raja Ular Emas. Dengan tenang, ia mengayunkan langkah menghampiri kepala rampok bertubuh raksasa itu, yang masih terduduk dengan napas tersengal-sengal.

"Kau... apa hubunganmu dengan Raja Racun Merah yang menjadi datuk sesat di wilayah Selatan ini...?" tanya Raja Ular Emas dengan wajah pucat. Menilik dari cara ia mengucapkan nama datuk sesat itu, jelas hati Kalya Bantar dicekam rasa takut.

Ki Mahinta sendiri terperangah ketika mendengar disebutnya nama datuk sesat yang menggiriskan itu. Meskipun dalam beberapa bulan terakhir ini, nama datuk sesat itu tidak lagi terdengar, namun setiap nama itu disebut orang, pengaruhnya tetap terasa bagi mereka yang berkecimpung di dalam dunia persilatan. Diam-diam lelaki gagah itu menatap penuh selidik dan mulai menduga-duga, siapa sesungguhnya gadis cantik yang sangat sakti itu.

"Dia adalah ayahku. Mengapa? Apakah kau ingin bertemu dengannya?" Aryani yang sudah dapat menerka ketakutan di wajah lelaki bertubuh raksasa itu, sengaja menakut-nakuti lawannya. Sepertinya gadis lincah itu ingin melihat sikap Raja Ular Emas kalau dikatakan ayahnya berada di sekitar tempat mereka bertarung.

"Kau, putri Raja Racun Merah...?! Dan..., ayahmu juga datang bersamamu..?" desis Raja Ular Emas dengan wajah semakin pucat. Bahkan ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling hutan itu dengan sepasang mata mendelik. Jelas, kalau ia sangat ketakutan!

Rasa takut yang menyelubungi hati Kalya Bantar tidaklah aneh. Karena datuk sesat yang berjuluk Raja Racun Merah itu memang terkenal sangat kejam dalam mengambil tindakan. Kalau sampai seorang kepala rampok yang kejam seperti Raja Ular Emas sudah sedemikian takutnya, dapat dibayangkan betapa kejamnya Raja Racun Merah itu.

"Ya, ayah datang bersamaku. Apakah kau mau kupanggilkan?" goda Aryani lagi dengan wajah sungguh- sungguh.

"Ah, tidak... tidak...," sambil berkata demikian, Kalya Bantar mengisyaratkan kedua orang pembantunya untuk menghampiri. Lalu, dengan dipapah kedua orang lelaki kekar itu, Raja Ular Emas bergegas meninggalkan tempat itu, dengan disertai seluruh anggotanya.

"Hik hik hik...! Dasar raksasa penakut..." ejek Aryani tertawa terpingkal-pingkal melihat raksasa itu bergegas lari meninggalkan tempat itu dengan wajah ketakutan.

Ki Mahinta menatapi kepergian Gerombolan Perampok Ular Emas dengan tarikan napas lega. Meskipun ia harus kehilangan para anggotanya, namun lelaki tua itu merasa bersyukur. Karena barang kawalannya telah selamat. Barang itulah yang lebih penting bagi kelompoknya. Sedangkan kematian kawan-kawannya memang sudah menjadi risiko bagi pekerjaan mereka.

"Aryani, benarkah kau putri datuk sesat yang berjuluk Raja Racun Merah...?" tanya Ki Mahinta setelah mereka selesai menguburkan mayat-mayat yang bergeletakan di tempat itu.

"Benar, Paman. Apakah Paman juga membenci ayahku...?" Aryani balik bertanya dengan sepasang mata menghunjam tepat di kedua bola mata Ki Mahinta. Jelas sekali gadis cantik itu ingin mengetahui perasaan hati lelaki gagah itu terhadap ayahnya.

"Hm..., secara pribadi, aku memang tidak membencinya. Tapi, kebanyakan dari kaum rimba persilatan golongan putih, sudah pasti mengecam apa yang pernah diperbuat Raja Racun Merah selama ini. Maaf, kalau kukatakan secara terus-terang bahwa ayahmu adalah seorang datuk yang kejam dan banyak menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang tak terhitung," desah Ki Mahinta sambil mengalihkan pandangan matanya ke arah lain.

Biar bagaimanapun, hati lelaki tua itu merasa tidak enak terhadap Aryani yang telah mati-matian menyelamatkan dirinya dan nama kelompok pengawal barang Harimau Terbang. Ki Mahinta sadar kalau tanpa pertolongan gadis cantik, putri datuk sesat itu, bukan hanya dirinya saja yang tewas. Bahkan kelompok pengawal barang Harimau Terbang mungkin akan hancur dan tidak lagi mendapat kepercayaan dari para pelanggannya.

"Aku sadar dengan kejahatan yang pernah dilakukan ayah pada waktu yang lalu. Tapi, apakah Paman percaya kalau sekarang ini ayahku telah mengundurkan diri, dan tidak pernah melakukan kejahatan lagi?" ujar Aryani meminta pendapat Ki Mahinta.

"Ah, jadi lenyapnya Raja Racun Merah tanpa kabar selama beberapa bulan terakhir ini, karena beliau sudah membersihkan diri?" Ki Mahinta sempat kaget mendengar penjelasan Aryani. Kalau saja orang lain yang mengatakannya, mungkin ia tidak mempercayai sepenuhnya. Tapi, gadis cantik yang jelas-jelas membelanya mati-matian, dan juga melihat dari sikap serta tutur katanya, mau tidak mau Ki Mahinta mempercayainya. Hanya saja ia agak terkejut dengan berita itu.

"Benar, Pedang Bintang Timur," tiba-tiba terdengar sebuah suara berat yang mengejutkan. Bersamaan dengan itu, munculah seorang lelaki berusia enam puluh tahun lebih yang bertubuh kurus dan mengenakan jubah berwarna merah darah.

"Ayah...!" Aryani yang semula hanya berbohong ketika mengejek Raja Ular Emas terkejut melihat kehadiran lelaki tua yang tidak lain dari ayahnya. Serentak gadis cantik itu menghambur menyambut kedatangan ayahnya.

"Aryani...," desah lelaki tua itu sambil memeluk tubuh putrinya dengan penuh kasih sayang.

"Mengapa Ayah berada di tempat ini...?" tanya gadis cantik itu bernada tak senang.

"Maaf, kalau aku terpaksa membuntuti perjalananmu selama ini, Anakku. Apakah aku tidak boleh mengkhawatirkan keselamatan putri yang satu-satunya?" bantah kakek itu tersenyum sambil menatap sepasang mata bening yang menentang pandang matanya.

"Ah, Ayah...," desah gadis cantik itu manja. Dalam saat seperti itu kelihatan sekali, betapa tidak berbedanya kedua tokoh sesat itu dengan manusia-manusia lain. Tidak nampak sedikit pun sinar kejahatan pada wajah keduanya.

Cukup lama seorang ayah dan anaknya itu melupakan kehadiran Ki Mahinta yang terpaku seperti patung. Sekilas ada kecurigaan dalam hatinya, ketika melihat kehadiran Raja Racun Merah. Batinnya mulai menduga kalau semua perbuatan Aryani tadi, hanyalah sebuah sandiwara belaka. Dan, munculnya datuk sesat yang sangat kejam itu, tentu ada hubungannya dengan kereta barang yang dibawanya. Dugaan yang membuat Ki Mahinta was-was itu, demikian kuat mencengkeram. Sehingga, ia tidak menyadari ketika dua pasang mata ayah dan anaknya itu telah menatapnya.

"Paman Mahinta. Kau kenapa...?" tanya Aryani yang baru teringat akan keberadaan orang tua itu. Bergegas gadis cantik itu menghampiri bersama ayahnya.

"Eh...!" Ki Mahinta tersentak sadar dari lamunannya. Wajahnya terlihat berubah tegang ketika Raja Racun Merah dan Aryani datang menghampiri.

"Mengapa, Paman...?" tanya Aryani yang tidak mengerti kenapa wajah Ki Mahinta tampak tegang. Tanpa curiga sedikit pun gadis itu mengulur tangannya bermaksud menyentuh bahu orang tua itu.

Tapi, apa yang dilakukan Ki Mahinta benar-benar membuat hati Aryani terkejut. Lelaki tua itu melompat menghindarkan diri. Seolah-olah uluran tangan gadis itu hendak mencekik lehernya.

"Paman, kau kenapa...?" rasa penasaran membuat Aryani memekik, karena ia benar-benar tidak mengerti mengapa Ki Mahinta berbuat demikian aneh.

"Eh, aku... ah, tidak apa-apa...," sahut Ki Mahinta berusaha bersikap wajar. Sayang, ketegangan masih terlihat jelas pada raut wajahnya.

"Hm...," Raja Racun Merah bergumam lirih. Sebagai orang tua, dan tokoh sesat yang berpengalaman, ia segera dapat membaca apa yang tengah terjadi dengan Ki Mahinta. Sekilas terlintas sinar penyesalan di mata orang tua itu.

"Ayah, kenapa dia...?" Aryani yang mendengar gumaman ayahnya, membalikkan tubuh dan bertanya kepada ayahnya. Sinar matanya yang bening menuntut jawaban jujur.

"Hhh..., Mahinta tidak bisa disalahkan, Anakku. Wajar kalau ia merasa curiga kepada kita. Ingat, kita adalah orang-orang sesat yang selalu berbuat kejahatan. Dia curiga, kehadiranku dan pertolonganmu tadi mempunyai hubungan, dan bukan kejadian yang kebetulan," ujar Raja Racun Merah dengan nada penuh penyesalan.

"Apa..., Paman Mahinta mencurigai kita? Mengapa? Apakah dia mengira kita akan merampok kereta barangnya? Kurang ajar...!" dari rasa penasaran dan tak mengerti, Aryani berubah menjadi marah. Sepertinya gadis cantik itu tidak bisa menerima tuduhan Ki Mahinta.

"Aryani, sudahlah...," Raja Racun Merah mencegah putrinya yang hendak menerjang Ki Mahinta. Dicekalnya pergelangan gadis cantik yang tengah murka itu.

"Paman, kau tega menuduh kami sekeji itu? Lalu, apa artinya aku menyelamatkanmu? Kau benar-benar tidak tahu budi!" Aryani berteriak-teriak marah dan menuding-nuding Ki Mahinta yang terlihat menundukkan kepalanya seperti orang yang merasa bersalah.

"Maafkan aku..., aku..., telah bersalah mempunyai dugaan yang kotor terhadap niat baikmu, Aryani. Aku..., menyesal..." ujar Ki Mahinta terpatah-patah agak serak.

"Kau sama sekali tidak bersalah, Mahinta. Aku dan anakku memang patut untuk dicurigai. Kami berdua memang pernah bersalah. Terlebih aku. Karena sebelumnya aku memang seorang manusia kotor yang sangat kejam. Tapi, apakah salah kalau aku berniat meninggalkan dunia sesat itu? Atau, salahkah seorang putri datuk sesat tidak mengikuti jejak ayahnya?" terdengar suara parau Raja Racun Merah. Sepertinya orang tua itu pun merasa kecewa dengan sikap Ki Mahinta yang mencurigai mereka.

"Maafkan aku, Raja Racun, Aryani. Aku..., menyesal sekali. Kalau saja kalian meminta nyawaku sebagai tanda penyesalan atas sikapku, aku siap," tegas Ki Mahinta yang sepertinya benar-benar sangat menyesal atas sikapnya, yang membuat ayah dan anaknya itu merasa terpukul.

Mendengar ucapan itu, Aryani yang tengah memeluk ayahnya, segera membalikkan tubuh, dan menatap orang tua itu penuh selidik. Sepasang mata indahnya sempat terbelalak melihat betapa di tangan kiri Ki Mahinta sudah tergenggam pedang telanjang. Bahkan mata pedang itu sudah ditempelkan dilehernya.

"Aku tidak akan meminta nyawamu, Paman Mahinta. Kalau kau memang benar-benar telah menyesali tuduhanmu itu, rasanya sudah cukup. Bantulah ayah untuk kembali ke jalan yang benar, Paman," pinta gadis cantik itu sambil menatap Ki Mahinta penuh harap.

"Ah, aku benar-benar telah berdosa sekali...," desah Ki Mahinta lagi, "Sikapmu telah menunjukkan bahwa kau tidak kalah dengan gadis-gadis pendekar, Aryani. Bahkan tidak sedikit orang-orang golongan putih yang bersikap sombong dan mau menang sendiri. Sekali lagi, aku mohon maaf atas sikapku yang telah menyakiti hati kalian berdua."

"Terima kasih, Paman. Aku percaya dengan semua ucapanmu itu," ujar Aryani dengan wajah yang kembali berseri. Kemudian, ia berpaling kepada ayahnya, "Ayah harap kembali saja, dan tidak perlu mengkhawatirkan aku. Kelak kalau aku sudah puas melihat-lihat dunia yang luas ini, aku akan segera kembali percayalah."

"Hm..., kalau memang itu yang kau inginkan, baiklah. Dan, kalau boleh Ayah tahu, ke manakah tujuanmu sekarang?" tanya Raja Racun Merah membelai rambut putri satu-satunya yang telah membuatnya sadar akan kehidupannya yang sesat selama ini.

"Entahlah, Ayah. Aku belum bisa memastikannya. Tapi, aku akan ikut bersama Paman Mahinta untuk mengantarkan barang yang ada di dalam kereta itu," jawab Aryani yang segera mengambil keputusan untuk mengikuti Ki Mahinta mengantarkan barang kawalannya.

"Hm..., kau bersedia kalau putriku ikut bersamamu, Mahinta?" tanya Raja Racun Merah sambil menatap Ki Mahinta.

"Bukan hanya bersedia, Raja Racun. Aku merasa sangat bahagia sekali dapat berjalan bersama putrimu, yang gagah dan cantik itu," sahut Ki Mahinta sambil membungkuk hormat kepada tokoh sesat yang telah sadar itu.

"Baiklah. Kutunggu kau di pertapaanku, Aryani...," belum lagi gema suara Raja Racun Merah itu lenyap, tubuh orang tua itu telah menghilang dari hadapan Aryani dan Ki Mahinta.

"Baik, Ayah...!" Aryani berseru menjawab perkataan ayahnya.

Ki Mahinta menggeleng-geleng kepala menyaksikan kesaktian Raja Racun Merah yang sukar diukur itu. Pertemuannya dengan ayah beranak itu, membuat Ki Mahinta merasa kepandaiannya sama sekali tidak berarti apa-apa. Jangankan dengan Raja Racun Merah. Dengan putrinya pun ia kalah jauh.

"Hhh..., demikian banyaknya orang sakti di dunia ini...," desah Ki Mahinta menghela napas panjang.

"Ayolah kita berangkat Paman," Aryani menyadarkan Ki Mahinta dari lamunannya. Tanpa banyak cakap lagi, orang tua itu segera melompat ke atas kereta, kemudian disusul oleh Aryani.

"Heaaah...!" Aryani yang meminta untuk menjadi kusir kereta itu berteriak dan melecutkan cambuk di tangannya. Kereta pun mulai bergerak meninggalkan hutan.

LIMA

Gadis cantik itu melangkah ringan menyusuri jalan lebar di Kota Kadipaten Jaga Karta. Rambutnya yang panjang dengan ikat kepala berwarna kuning cerah, bergoyang mengikuti ayunan langkah kakinya. Pakaian yang berwana kuning cerah, sangat serasi dengan kulit tubuhnya yang kuning langsat. Sehingga, wajah cantiknya tampak semakin memikat.

Sesekali gadis itu menolehkan kepala ke kiri dan kanan dengan senyum selalu menghias di wajahnya. Kelihatan sekali kalau gadis cantik, yang tidak lain dari Aryani itu, sangat menikmati suasana ramai di sekitarnya. Beberapa orang lelaki muda yang tengah duduk di depan kedai makan, melontarkan kata-kata godaan, ketika Aryani lewat di depannya. Namun, gadis cantik itu sama sekali tidak peduli. Ia terus melangkahkan kakinya.

Setelah mengantarkan Ki Mahinta ke kadipaten itu, Aryani memaksa untuk berpisah. Keikutsertaannya mengantarkan lelaki setengah baya itu, memang hanya untuk menjaga agar barang yang dibawa Ki Mahinta sampai di tempat tujuan. Sesudah tugas itu selesai, Aryani pun pamit. Karena ia hendak melanjutkan perantauannya seorang diri. Sehingga, meskipun dengan berat hati, Ki Mahinta terpaksa melepaskan kepergian gadis cantik yang telah menolongnya.

Ketika Aryani melewati sebuah kedai makan yang cukup besar dan tampak ramai, timbul selera gadis cantik itu untuk singgah dan menikmati hidangan. Ia pun mengayunkan langkah memasuki kedai makan.

"Silakan, Nisanak..."

Seorang pelayan berusia sekitar tiga puluh tahun dan berwajah ramah, menyambut kedatangan Aryani. Wajah pelayan itu sempat berubah ketika melihat sebilah pedang yang tergantung di pinggang kiri gadis cantik itu. Sekilas pandang pelayan itu pun sadar, kalau gadis cantik itu bukanlah gadis lemah.

Aryani duduk di sebuah meja kosong sambil menunggu hidangan yang telah dipesan. Sepasang matanya yang bening dan riang itu beredar di sekeliling ruangan yang ramai oleh pengunjung. Tengah ia menikmati keadaan di sekelilingnya, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut yang berasal dari luar kedai. Kening gadis cantik itu agak berkerut, ketika ia melihat empat orang lelaki muda tampak memasuki kedai. Lagak mereka terlihat angkuh. Sehingga, hati Aryani langsung tidak menyukainya.

"Silakan..., silakan, Tuan Muda...." Sepasang mata Aryani menyipit ketika mendengar pelayan yang tadi menyambutnya membungkuk-bungkuk hormat, menyebut salah seorang dari mereka sebagai 'tuan muda'.

Merasa penasaran, ditatapinya wajah empat pemuda itu satu persatu. Sepertinya ia ingin mengetahui, siapa gerangan yang disebut pelayan itu sebagai 'tuan muda'. Pada saat yang sama, secara kebetulan salah seorang dari empat pemuda itu tengah melepaskan pandang ke arah Aryani. Sehingga, tanpa sengaja mata keduanya pun bertemu.

"Hm..., diakah yang disebut sebagai Tuan Muda...?" gumam Aryani menatap tajam pemuda bertubuh jangkung yang wajahnya tampak bersih, namun tersirat sinar keangkuhan pada sepasang mata dan wajah itu. Cepat gadis itu mengalihkan matanya, ketika pemuda jangkung itu tidak juga berpaling. Senyum di bibir Aryani terkembang, ketika seorang pelayan datang membawakan pesanannya. Sambil meletakkan hidangan, pelayan yang usianya sekitar lima puluh tahun itu berbisik lirih.

"Nisanak, harap hati-hati. Salah seorang dari mereka yang bertubuh jangkung itu, putra ketua perguruan yang disegani di Kadipaten Jaga Karta ini. Kalau dia menggoda, harap jangan diladeni."

"Mengapa, Paman...," Aryani bertanya lirih, sambil berpura-pura sibuk ikut mengatur hidangan. Sekali lihat saja, gadis yang cerdik itu menangkap nada ketakutan dalam ucapan pelayan setengah baya itu. Maka, ia pun bertanya sambil berbisik.

"Lelaki jangkung itu, bermata keranjang. Harap Nisanak berhati-hati...," pesan pelayan itu sambil cepat-cepat berlalu. Dengan ekor matanya, ia melihat rombongan pemuda itu tengah menuju ke arahnya.

Tanpa banyak tanya lagi, Aryani segera menikmati hidangan yang telah dipesannya. Ia sama sekali tidak ambil peduli, ketika mendengar langkah langkah kaki berhenti di depannya.

"Aaah, untunglah masih ada tempat yang kosong. Kebetulan ada seorang bidadari di kedai ini. Benar-benar peruntunganmu baik sekali, Tuan Muda...," terdengar salah seorang yang bersuara seperti perempuan mengoceh. Lelaki muda yang bertubuh jangkung itu tersenyum, seraya sepasang matanya mengamati tubuh Aryani. Sambil menarik sebuah kursi, ia langsung duduk di hadapan putri datuk sesat itu. Ketiga kawannya yang lain serentak mengikuti.

"Boleh aku duduk di sini, Nisanak...?" tanya pemuda jangkung itu dengan lagak yang dibuat-buat

Aryani mengangkat kepalanya sejenak. Hatinya ingin memaki, karena ucapan pemuda jangkung itu jelas-jelas bermaksud menggodanya. Kalau tidak, mengapa setelah duduk baru meminta persetujuannya. Batin gadis cantik itu mengomel panjang pendek.

"Silakan, kalian bebas duduk di mana saja. Kedai ini bukan milikku," sahut Aryani ketus. Kemudian, ia kembali menunduk dan menikmati hidangannya. Meski selera makannya sudah lenyap dengan kehadiran empat orang pemuda itu, tapi ia berusaha tidak mendamprat mereka di kedai itu.

"Wah, matanya galak sekali... tapi, indah, dan menggemaskan...," celetuk pemuda berwajah bulat yang duduk di sebelah kanan Aryani. Terdengar gelak tawa mereka ketika mendengar ucapan itu.

"Hai, sayang kedai sebesar dan sebagus ini banyak dikerumuni lalat. Benar-benar menyebalkan...," ujar Aryani sambil bangkit, setelah meninggalkan uang sebagai pembayaran hidangan yang disantapnya.

"Kurang ajar...! Berhenti kau, Perempuan Sombong! Kau benar-benar kelewatan menyebut kami sebagai lalat-lalat menyebalkan! Kau harus minta maaf kepada Tuan Muda kami...!" pemuda berwajah bulat yang merasa tersinggung dengan umpatan Aryani, bergerak bangkit dan menangkap pergelangan gadis cantik yang hendak berlalu itu.

Meskipun hatinya sudah kesal karena mereka telah mengganggu selera makannya, namun Aryani tetap mencoba bersabar. Seperti tak disengaja, tangan kanannya yang akan dicekal pemuda itu bergerak ke depan, bersamaan dengan berbaliknya tubuh gadis cantik itu.

"Hei, siapa yang mengatakan kalau kalian adalah lalat? Apa aku berkata begitu? Aku hanya tidak suka melihat kedai ini dikerumuni lalat. Nah, apakah kalian berempat ini binatang yang bernama lalat?" tukas Aryani tak mau kalah. Sehingga, pemuda bertubuh gemuk yang wajahnya bulat itu terdiam dengan wajah ketololan. Kemudian mengharapkan bantuan kawan-kawannya.

Senyum sinis di bibir Aryani terkembang, ketika melihat pemuda berwajah bulat itu tak bisa menjawab kata-katanya. Dengan tenang ia kembali melangkah keluar kedai. Ia sama sekali tidak peduli dengan teriakan-teriakan pemuda itu yang berusaha mencegah kepergiannya.

"Hei, berhenti kau, Perempuan Sombong...!" tiba-tiba terdengar hardikan, yang kemudian disusul dengan berkelebatannya sosok-sosok tubuh menghadang jalan gadis itu. Dan, tahu-tahu keempat orang pemuda itu telah berdiri di depan Aryani.

"Apa mau kalian sebenarnya...?" ujar gadis cantik itu sambil memandang tajam wajah yang menghadangnya, karena saat itu sudah berdiri di luar kedai, maka Aryani pun berniat untuk memberi pelajaran kepada orang-orang itu.

"Setelah menghina kami, apakah kau kira dapat pergi begitu saja? Kau harus dihukum, sebelum meninggalkan tempat ini!" ujar salah seorang dari mereka sambil menudingkan telunjuknya ke wajah gadis cantik itu.

"Katakan, apa hukuman itu...?" pinta Aryani sambil menatap tajam lelaki berwajah bulat yang sepertinya sangat mendendam kepada gadis cantik itu.

"He he he... tidak sulit. Kau harus mencium kami berempat. Setelah itu, baru kau boleh pergi dengan bebas," sahut yang lainnya cepat sambil terkekeh menyebalkan.

Mendengar ucapan kurang ajar itu, wajah Aryani berubah merah. Tapi, dengan pandainya gadis cantik itu segera dapat menguasai kemarahannya. Lalu, ia melangkah ke arah lelaki yang mengajukan permintaan 'hukuman' itu dengan bibir tersenyum manis.

"Baik. Tapi dengan satu syarat, kalian semua harus memejamkan mata rapat-rapat, bagaimana?" ujar Aryani dengan nada wajar. Sehingga, keempat pemuda itu sama sekali tidak merasa curiga.

Jawaban yang sama sekali tidak disangka-sangka itu, membuat mereka terkekeh kegirangan. Sambil membayangkan nikmatnya sentuhan bibir gadis cantik itu, keempatnya segera memejamkan mata rapat-rapat.

"Hm..., kalian harus berdiri berjajar. Jadi, aku langsung bisa menyelesaikan hukuman itu secepatnya," kembali terdengar suara Aryani yang membuat keempat pemuda itu segera menuruti ucapannya.

"Rasakanlah kenikmatan ini...," desis Aryani sambil menggerakkan tangannya empat kali berturut-turut.

Plak! Plak! Plak...!

Keempat orang lelaki itu berteriak kesakitan! Tubuh mereka langsung terpelanting akibat kerasnya tamparan gadis cantik itu. Bahkan dua orang di antaranya sampai copot giginya!

"Bangsat...!"

Lelaki jangkung yang disebut sebagai 'tuan muda' itu, memaki kalang kabut. Tanpa banyak cakap lagi, ia langsung melompat menerjang Aryani. Nafsu bejadnya lenyap berganti dengan sakit hati yang bergolak di dalam dadanya. Sehingga, serangannya pun tidak bisa dipandang ringan.

Bettt! Bettt!

Serangakaian pukulan dan tendangan dilontarkan pemuda jangkung itu, dapat dielakkan secara mudah oleh Aryani. Sebagai putri seorang datuk sesat, tentu saja serangan- serangan itu tidak berarti sama sekali baginya. Bahkan dengan gesitnya ia langsung membalas serangan-serangan yang tidak kalah berbahaya.

"Haiiit..!"

Memasuki jurus yang kedua puluh, Aryani berseru nyaring sambil melontarkan sebuah pukulan ke dada lawan. Kecepatan geraknya yang memang jauh di atas lawan, membuat pukulan itu mendarat telak pada sasarannya.

Bukkk!

"Aaakh...!" Tanpa ampun lagi, tubuh jangkung itu terjungkal, dan terbanting jatuh ke tanah. Darah segar tampak meleleh di sudut bibirnya. Melihat seringai di wajahnya, jelas pukulan gadis itu cukup mendatangkan rasa sakit pada bagian dalam dada Tuan Muda itu.

"Bunuh gadis itu...!" merasa dipermalukan di depan orang banyak, pemuda jangkung itu langsung memerintahkan ketiga kawannya untuk membinasakan Aryani. Sedangkan ia sendiri sudah mencabut senjata dan langsung mengeroyok gadis cantik itu, tanpa malu-malu lagi.

Di tengah pertarungan yang berlangsung sengit tiba-tiba melayang sesosok tubuh tegap ke tengah arena. Sekali bergerak, tangan dan kakinya langsung merobohkan tiga orang pengeroyok gadis cantik itu.

"Cepat tinggalkan tempat ini! Kalau tidak, kau akan mendapat kesulitan besar...!" bisik sosok yang ternyata adalah seorang pemuda tampan. Sambil berkata, tangan pemuda itu bergerak mencekal pergelangan tangan Aryani. Dan, langsung melesat meninggalkan tempat itu.

Aryani yang sebelumnya mau memberontak, terpaksa menunda niatnya. Meski di kepalanya dipenuhi tanda tanya, namun gadis cantik itu diam saja ketika pemuda itu terus berlari keluar batas kadipaten. Tidak ada sedikit pun bantahan dari Aryani, karena gadis itu merasa penasaran, dan ingin mengetahui apa sebenarnya maksud pemuda itu menolongnya.

********************

Pemuda bertubuh tegap itu baru memperlambat larinya, ketika keduanya telah jauh meninggalkan kadipaten. Kemudian, ia menghentikan langkahnya. Seperti tidak sadar kalau jemarinya masih mencekal pergelangan tangan Aryani, pemuda itu enak saja menyandarkan tubuhnya pada sebuah batu besar di tepi jalan.

"Hm..., sekarang kau harus menjelaskan kepadaku, mengapa kau membawaku lari, dan mengapa kau begitu suka memegang tanganku?" tanya Aryani sambil menatap wajah pemuda itu lekat-lekat. Gadis cantik itu sejenak terpaku ketika melihat wajah pemuda itu sangat gagah dan tampan. Dan, yang paling membuat hatinya lega, ia tidak menemukan sinar kekurangajaran pada sepasang mata, yang terlindung alis hitam dan tebal itu. "Benar-benar seorang pemuda yang gagah dan menarik."

Ketika mendengar ucapan Aryani, pemuda itu baru sadar kalau ia masih saja menggenggam pergelangan tangan gadis cantik itu. Dengan wajah agak kemerahan, pemuda itu bergegas melepaskan genggamannya.

"Maaf...," desahnya dengan wajah penuh sesal. Kemudian, pemuda itu mengalihkan pandangan matanya, disertai dengan helaan napas panjang.

"Hei, kau belum menjawab pertanyaanku...?" ujar Aryani setengah memekik. Hatinya sempat kesal karena mengira pemuda itu sengaja mengacuhkan pertanyaannya.

"Oh, maaf..., maaf...," lagi-lagi hanya ucapan itu yang keluar dari mulutnya. Sehingga Aryani menjadi jengkel dibuatnya.

"Ooo, jadi hanya kata-kata itukah sebagai penjelasan atas sikapmu yang telah membawaku lari sejauh ini? Sadarkah kau kalau aku menghendaki, kepalamu bisa kupukul pecah, setelah bisa membawaku ke sini!" karena tidak sanggup menahan kejengkelan hatinya, Aryani menghardik pemuda itu dengan sepasang mata melotot.

"Tentu saja aku tahu, Nisanak. Tapi ketahuilah, aku sama sekali tidak bermaksud buruk. Sengaja aku membawamu lari menghindari perkelahian itu. Karena, lelaki jangkung yang bernama Pandala itu adalah putra Ketua Perguruan Gagak Putih, yang merupakan perguruan paling terkenal di Kota Kadipaten Jaga Karta. Pengaruh perguruan itu sampai ke dalam istana kadipaten. Dan, kalau sampai perkelahian itu dilihat prajurit kadipaten, mereka bisa menangkapmu, dan menuduhmu sebagai pemberontak," jelas pemuda tampan itu, yang membuat Aryani terbelalak. Sepertinya ia tidak mengira kalau akan sedemikian jauh akibat persolan sepele itu.

"Hm..., lalu, apakah kau kira aku takut untuk menghadapi prajurit Kadipaten Jaga Karta?" Aryani yang sepertinya tidak mau kalah itu, membantah dengan wajah tersenyum sinis. Dengan cerdik, ia menyimpan keterkejutan hatinya.

"Aku percaya kau tidak takut. Tapi, bukan itu yang kukhawatirkan. Tentu dengan kepandaianmu yang tinggi, kau dapat membinasakan puluhan, bahkan ratusan prajurit. Nah, untuk menghindari peristiwa berdarah itulah terpaksa aku memberanikan diri membawamu kemari," tutur pemuda itu sambil berusaha untuk tidak membuat Aryani menjadi marah.

"Hm..., kalau begitu kau benar-benar seorang pemuda yang baik. Menilik dari kepandaian dan sikapmu, tentulah kau orang- orang golongan putih yang menamakan dirinya sebagai pembela kebenaran, begitukah?" meski terdapat nada pujian dalam ucapan gadis itu, tapi jelas lebih banyak nada ejekan.

"Aku tidak berani mengatakan, diriku adalah seorang pendekar. Apabila sebagai pembela kebenaran yang budiman. Rasanya perkataan itu terlalu muluk. Namaku Puja Merta. Dan, aku hanya seorang pemuda bodoh, yang mengerti sedikit tentang ilmu silat. Kalau aku boleh tahu siapakah, Nisanak?" tanya pemuda gagah yang mengaku bernama Puja Merta itu, menatap Aryani dengan sepasang mata yang tajam. Nyata sekali sinar persahabatan di mata pemuda itu.

Aryani sendiri sempat tersenyum mendengar ucapan pemuda bernama Puja Merta itu. Hatinya sedikit lega merasakan betapa pemuda itu seorang yang sabar dan tak sombong. Bahkan dalam setiap perkataannya, pemuda itu selalu mengalah terhadapnya. Tentu tidak ada alasan lagi bagi gadis cantik itu untuk tidak menyukai pemuda seperti Puja Merta.

"Namaku Aryani. Aku, seorang pengembara yang datang dari jauh. Dan, apakah yang sedang kau kerjakan di Kota Kadipaten Jaga Karta itu? Atau kau memang tinggal di sana?" tanya Aryani setelah memperkenalkan namanya.

"Aku bukan penduduk kadipaten. Secara kebetulan aku berada di sana, karena kedua orang tuaku tengah singgah di istana kadipaten. Karena merasa tidak betah berada di dalam lingkungan itu, aku berniat melihat-lihat keramaian. Nah, di situlah aku melihatmu," jelas Puja Merta sambil melangkahkan kakinya perlahan menyusuri tanah berumput.

"Lalu, dari mana kau mengetahui tentang Perguruan Gagak Putih? Sedangkan kau bukan penduduk kadipaten," Aryani yang sepertinya merasa penasaran, meminta Puja Merta menjelaskan hal itu.

"Kedua orang tuaku merupakan sahabat Ketua Perguruan Gagak Putih. Itulah sebabnya aku mengenal pemuda itu, dan juga pengaruh ayahnya. Hm..., sejak tadi aku selalu menjawab pertanyaanmu. Kalau aku boleh bertanya, dari mana kau mempelajari ilmu silat? Melihat dari gerakanmu, pasti gurumu seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Siapakah beliau, Aryani?" tanya Puja Merta hati-hati. Sepertinya ia merasa sedikit tidak enak menanyakan hal itu. Karena berkesan menyelidik.

"Hm..., guruku adalah ayahku sendiri. Beliau dikenal dengan julukan Raja Racun Merah. Mungkin kau juga pernah mendengar namanya?" jelas Aryani tanpa rasa curiga sedikit pun.

Puja Merta yang mendengar, Aryani adalah putri datuk sesat yang berjuluk Raja Racun Merah, tentu saja terkejut bukan kepalang. Cepat ia menekan perasaannya yang terguncang, agar tidak menyinggung perasaan Aryani. Karena hal itu dapat menimbulkan kemarahan di hati gadis cantik itu. Tapi, belum lagi Puja Merta sempat menjawab pertanyaan Aryani, tiba-tiba terdengar suara berat yang mengejutkan mereka berdua. Sebelum gema suara itu sendiri lenyap, si empunya suara sudah muncul mendatangi Aryani dan Puja Merta.

"Hm..., aku mendengar disebutnya nama Raja Racun Merah. Di mana manusia iblis itu? Biar kupatahkan batang lehernya."

Aryani terkejut bukan main mendengar suara yang jelas-jelas menghina ayahnya. Wajar saja kalau gadis cantik itu menjadi marah besar. Karena ia memang sangat mencintai ayahnya. Lain halnya dengan Puja Merta. Ia mengenal baik suara berat yang mengejutkan itu. Dan, wajahnya semakin bertambah pucat ketika melihat dua sosok tubuh yang sangat ia kenal menghampiri mereka berdua.

ENAM

"Ayah.... Ibu...!" teriak Puja Merta dalam hati. Dan, pemuda tampan itu pun menjadi serba-salah, ketika mengetahui orang yang mengeluarkan ucapan tadi adalah orang tuanya sendiri. Pemuda itu semakin bingung ketika melihat Aryani yang jelas-jelas marah terhadap ayah dan ibunya.

"Hm..., Manusia Sombong! Berani sekali menghina ayahku?" ujar gadis cantik itu dengan suara lantang. Ia tidak mendengar ucapan Puja Merta, karena pemuda itu hanya mengatakannya dalam hati, tapi ia agak heran melihat pemuda itu salah tingkah.

"Puja Merta!" lelaki gagah berusia setengah baya itu berteriak dengan wajah gelap, ketika melihat putranya berada bersama dara cantik, yang ia dengar sebagai putri Raja Racun Merah, "Mengapa kau berada di sini? Apa yang kau lakukan dengan putri manusia sesat itu?"

"Kau mengenal kedua orang itu, Puja Merta...?" tanya Aryani ketika mendengar salah seorang dari mereka memanggil pemuda yang berdiri di sampingnya. Wajah gadis itu terkesan curiga ketika melihat Puja Merta gugup.

"Mereka... ayah ibuku, Aryani. Maafkanlah...," bisik Puja Merta lirih. Jelas, pemuda itu tidak ingin kalau suaranya sampai terdengar oleh kedua orang tuanya.

"Ooo..., jadi mereka orang tuamu?" tegas Aryani dengan senyum sinis yang menyakitkan hati Puja Merta, "Rupanya kau putra pasangan pendekar sombong, yang hanya selalu menghina orang lain!"

"Hei, Gadis Liar!" hardik orang tua perempuan Puja Merta sambil menudingkan jari telunjuknya ke wajah Aryani. "Ayahmu memang seorang manusia keji dan kotor! Apakah kau hendak menyangkalnya? Sebagai putri seorang bejad, kau pun pasti tidak berbeda dengan ayahmu."

"Huh, Nenek-nenek bermulut besar! Apakah kau seorang malaikat yang suci dan tidak mempunyai kesalahan? Melihat dari sikapmu yang sombong itu, aku sudah bisa menduga kalau kau menganggap dirimu paling bersih dan paling benar di dunia ini. Tapi, menurutku kalian berdualah yang lebih jahat dari ayahku!" sahut Aryani ketus tanpa mengenal rasa takut sedikit pun. Karena hatinya terasa sakit mendengar penghinaan orang tua Puja Merta.

"Aryani, mereka kedua orang tuaku! Mengapa kau sampai hati menghinanya?" Puja Merta yang mendengar hinaan gadis cantik itu terhadap kedua orang tuanya, tentu saja tidak bisa menerimanya. Ia menatap gadis cantik itu dengan pandangan menuntut agar Aryani menarik kembali kata-katanya.

"Oooh, jadi kalau mereka kedua orang tuamu, lalu aku harus mendiamkan mereka menghina ayahku? Puja Merta! Kalau kau tidak senang orang tuamu dihina orang, apakah kau pikir aku bisa mendiamkan orang-orang busuk yang menghina ayahku? Belalah orang tuamu yang sombong itu, aku tidak takut!" tantang Aryani yang juga menjadi marah melihat pemuda itu menyalahkan dirinya, dan bukan menegur kedua orang tuanya.

Puja Merta yang diam-diam telah menaruh hati kepada gadis cantik itu, tentu saja semakin bertambah bingung. Tapi, biar bagaimanapun, ia lebih condong membela kedua orang tuanya ketimbang gadis cantik, yang ternyata putri seorang datuk sesat itu. Keputusan itu membuatnya tidak mau kalah dengan Aryani.

"Gadis liar ini memang perlu diberi hajaran, agar ia tidak semakin kurang ajar...," belum lagi Puja Merta berbuat sesuatu, tiba-tiba saja wanita yang tidak lain adalah ibu pemuda itu, melesat mengirimkan sebuah tendangan ke wajah Aryani.

"Hm...," Aryani bergumam lirih, dan siap menyambut serangan wanita cantik berusia sekitar empat puluh tahun itu.

"Ibu.... Jangaaan...!"

Puja Merta tidak menyangka kalau perdebatannya dengan Aryani berlanjut menjadi perkelahian. Ia berusaha mencegah, tapi sayang ia tak mampu berbuat apa-apa. Sehingga, pertarungan pun tidak dapat dihindarkan lagi. Serangan-serangan yang dilancarkan orang tua perempuan Puja Merta, nampak semakin gencar dan cepat.

Rupanya wanita cantik, yang tampak jauh lebih muda dari usianya itu, merasa penasaran ketika mengetahui kepandaian gadis muda itu tidak bisa dipandang enteng. Terbukti, setiap serangan-serangannya selalu dapat diimbangi oleh gadis berpakaian kuning cerah itu. Bahkan serangan balasan gadis itu tidak kalah berbahaya!

Sebagai istri seorang pendekar berjuluk Tangan Malaikat, tentu saja wanita berpakaian merah muda itu merasa malu kalau tidak mampu menjatuhkan seorang gadis muda seperti Aryani. Sehingga, serangan-serangannya yang semula untuk memberi pelajaran kepada gadis cantik itu, telah berubah menjadi serangan maut yang mematikan! Sudah tentu suasana perkelahian makin menghebat yang membuat hati Puja Merta menjadi gelisah.

Pemuda tampan gagah itu berdiri dengan mimik wajah sedih. Ia tak tahu harus berbuat apa untuk melerai pertarungan yang kelihatan mulai mati-matian itu. Ditahannya keinginan untuk membela orang tuanya, karena hal itu pasti akan membuat Aryani semakin sakit hati.

Selain itu, ia pun tahu kalau ibunya yang memulai pertarungan. Keraguan itu membuatnya hanya berdiri mematung dengan wajah berduka. Lain halnya dengan orang tua laki-laki Puja Merta, yang berjuluk Tangan Malaikat itu. Kening lelaki separuh baya itu nampak berkerut ketika melihat istrinya mulai terdesak oleh serangan balasan lawannya, yang semakin hebat dan gencar.

"Hebat... Gadis itu benar-benar hampir mewarisi seluruh kesaktian Raja Racun Merah. Hm..., kalau tidak dicegah dari sekarang, kelak wanita itu akan menjadi ancaman bagi kehidupan manusia. Bukan tidak mungkin, dalam waktu beberapa tahun lagi, ia akan berubah menjadi iblis wanita yang lihai dan kejam," gumam Tangan Malaikat sambil mengelus-elus jenggotnya, yang tampak mulai berwarna putih itu.

Tangan Malaikat khawatir akan keselamatan istrinya. Dan, perasaan itu tidak meleset. Setelah bertarung selama kurang lebih empat puluh jurus, tampak Aryani telah menguasai lawannya. Gadis cantik putri Raja Racun Merah itu terlihat mencecar lawan dengan ilmu andalannya, 'Tangan Racun Merah'. Sehingga, istri Pendekar Tangan Malaikat, semakin kelabakan karena terkurung oleh bau harum yang menebar dari setiap lontaran pukulan lawan.

"Huh! Kau rasakan pukulanku, Wanita Jahat..!" sambil membentak keras, Aryani melontarkan pukulan-pukulannya dengan kekuatan penuh. Sehingga, lawan yang memang telah kepayahan itu terbelalak matanya. Sedangkan wajahnya pucat ketika melihat datangnya serangan maut!

Wuuus!

"Aiiih...?!" Hantaman telapak tangan kiri Aryani yang meluncur mengancam dada kiri lawan, sempat dielakkan meski dengan susah payah. Sayang, pukulan telapak tangan kanan yang datang menyusul seperti sambaran kilat itu, tidak sempat dihindarkan lawan. Dan....

Bresssh.!

Apa yang terjdi kemudian, benar-benar diluar dugaan Aryani. Pada saat hantaman telapak tangan kanannya meluncur deras, sesosok bayangan tinggi besar melesat menyambut pukulannya! Sehingga, terjadilah benturan keras yang membuat tubuh gadis cantik itu terpental balik dengan kerasnya!

"Aaakh.!" Aryani memekik tertahan! Kesadarannya hampir hilang, ketika merasakan tubuhnya melayang seperti dilemparkan tenaga raksasa! Kemudian ia terbanting keras di atas tanah berumput.

"Curang...!" desis Aryani begitu menyadari orang yang memapak serangannya. Dari lelehan darah yang mengalir di sudut bibirnya, jelas wanita cantik itu cukup menderita akibat benturan tenaga tadi.

"Aryani.!" Puja Merta yang juga tidak menyangka kejadian itu, bergegas memburu Aryani Pemuda itu segera membantu sahabat barunya. Namun, langkahnya terhenti seketika begitu mendengar ucapan Aryani.

"Mau apa kau...? Apakah kau juga akan mengeroyokku? Majulah! Aku tidak takut menghadapi keroyokan keluarga pendekar seperti kalian, Manusia-manusia Licik dan Sombong!" hardik Aryani yang bergegas bangkit, meski dengan langkah agak sempoyongan. Sepasang mata gadis cantik itu menatap tajam dan mengandung ejekan. Bahkan ia tampak siap menyambut serangan Puja Merta, yang sebenarnya berniat ingin menolongnya.

"Aryani..., kau selalu salah mengerti. Aku justru ingin menolongmu...," ujar Puja Merta dengan wajah agak pucat.

"Huh! Pergi saja kepada orang tuamu! Aku tidak butuh pertolongan seorang pendekar besar sepertimu!" kembali Aryani membentak dan melontarkan kata-kata yang menyakitkan hati Puja Merta.

"Puja Merta, kemari kau! Untuk apa berteman dengan calon wanita iblis jahat seperti dia!" Tangan Malaikat yang tentu saja merasa tidak senang dengan sikap putranya, membentak keras bagai guntur yang menggelegar. Jelas, kalau lelaki gagah itu marah melihat sikap putranya yang lemah.

"Ayah..., aku."

"Diam! Gadis itu jelas merupakan bibit kejahatan yang harus dilenyapkan! Kalau tidak, di kemudian hati ia akan berubah menjadi iblis wanita yang keji! Dan, kelak kau akan menyesal!" hardik orang tua itu memotong kalimat Puja Merta. Sehingga, meski agak segan, pemuda itu melangkah juga ke arah kedua orang tuanya.

"Orang tua, siapakah kau sebenarnya yang demikian sombong dan sangat merendahkan orang lain? Apakah kau orang yang paling benar di dunia, sehingga begitu rendahnya kau menilai orang lain! Apakah kau merasa sesuci malaikat?" desis Aryani dengan tubuh menggigil karena kemarahan yang telah mencapai ubun-ubunnya. Gadis cantik itu hampir menangis, karena hinaan-hinaan yang dilontarkan lelaki gagah itu serasa menusuk-nusuk jantungnya.

"Hm..., ayahmu tentu sudah mengenalku dengan baik. Aku adalah si Tangan Malaikat yang akan mencabut nyawa ayahmu, dan juga nyawamu! Kalau kau kubiarkan hidup, bukan tidak mungkin kau akan menyebarkan malapetaka di muka bumi ini. Bahkan mungkin jauh lebih jahat dan keji dari ayahmu sendiri. Aku tidak ingin menyesal di kemudian hari. Jadi, bersiaplah untuk pergi ke akhirat" Jelas lelaki gagah itu sambil melangkah perlahan-lahan menghampiri Aryani.

Tangan Malaikat memang bukan nama baru dalam dunia persilatan. Sepak terjangnya yang tidak mengenal ampun, membuat kaum sesat merasa jerih kepadanya. Jangankan golongan penjahat tingkat rendahan, bahkan para datuk-datuk kaum hitam pun, enggan berurusan dengan pendekar kosen itu.

Sayang, meskipun ia termasuk golongan putih, banyak tokoh-tokoh dari golongannya yang tidak suka kepada pendekar besar itu. Selain sikapnya yang keras dalam menghukum kaum sesat, Tangan Malaikat juga terkenal sebagai pendekar yang sombong dan tinggi hati. Sikapnya yang selalu memandang rendah orang-orang di bawahnya, sehingga membuat pendekar itu dijauhi oleh rekan-rekan segolongan.

Namun, tidak seorang pun yang berani berkata terus terang. Meskipun, mereka tidak menyukai sikap Tangan Malaikat. Sebagai tokoh golongan atas, tentu saja banyak kaum rimba persilatan yang takut menghadapi kemarahan orang tua sakti itu. Itulah sebabnya, mengapa ia membenci Raja Racun Merah, dan juga Aryani yang diduganya akan menjadi penurut kekejian dan kejahatan tokoh sesat itu.

Aryani sendiri yang cukup lama mengembara mencari pengalaman, baru kali ini berjumpa dengan seorang pendekar yang sombong, dan mudah sekali melontarkan hinaan kepada dirinya dan ayahnya. Sebenarnya gadis cantik itu merasa maklum, bila ada orang yang membenci ayahnya. Karena ia bukan tidak tahu kesalahan ayahnya di masa lalu. Yang tidak bisa ia terima adalah hinaan-hinaan terhadap dirinya.

Semua orang boleh saja membenci dan menghina ayahnya, yang memang bersalah dan jahat. Tapi, mengapa dirinya yang tidak pernah berbuat jahat ikut-ikutan dihina? Apakah tidak boleh seorang ayah yang jahat mempunyai anak yang tidak menuruni sifatnya. Apa sebenarnya kesalahan yang telah ia buat sehingga tokoh yang bernama Tangan Malaikat itu sangat membencinya? Benar-benar ia tidak dapat menerima penghinaan itu!

"Tangan Malaikat..," desis Aryani seperti hendak mengingat, kalau-kalau ayahnya pernah menyinggung tokoh itu dalam sebuah ceritanya.

"Hei, Perempuan Liar...!"

Aryani yang tengah mengingat-ingat tentang tokoh pendekar itu, tersentak kaget ketika mendengar bentakan Tangan Malaikat. Cepat ia menoleh dan membalas tatapan mata orang tua itu dengan sorot kebencian.

"Kuberi kau kesempatan untuk bertahan selama dua puluh jurus! Kalau kau mampu bertahan, kurelakan kau pergi dari tempat ini dengan selamat. Tapi, kalau kau tidak mampu menyelamatkan dirimu, jangan salahkan aku bila tanganku akan mencabut nyawamu," ujar Tangan Malaikat dengan suara berat dan mengandung perbawa kuat.

"Dengar, Orang Tua Sombong! Aku tidak butuh belas kasihmu! Kalaupun aku harus mati di tanganmu, aku tidak menyesal. Kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan bagiku! Seranglah aku, jangan hanya bicaramu saja yang besar!" sahut Aryani dengan suara ketus dan kasar.

Hal itu wajar saja. Meskipun pada dasarnya Aryani adalah seorang gadis yang lembut dan penuh belas kasih, namun karena sejak kecil dididik orang tuanya dalam lingkungan sesat, maka tidak heran kalau sikap atau ucapan gadis cantik itu cenderung kasar kalau disakiti.

"Baik. Tapi, kaulah yang harus menyerangku lebih dahulu. Sebagai orang yang lebih tua, tentu saja aku tidak mau kalau kelak ada orang yang menyalahkan aku, karena tidak memberi kesempatan kepadamu untuk membela diri. Mulailah," ujar Tangan Malaikat yang berdiri tegak tanpa persiapan. Sebagai seorang tokoh tua yang telah berpengalaman, tentu saja ia tidak perlu lagi memasang kuda-kuda sebelum bertarung. Karena dalam kedudukan bagaimanapun, itu merupakan sikap bertarung.

"Ayah, jangan mendesak Aryani. Aku percaya dia tidak sejahat orang tuanya. Tahanlah sikap Ayah, jangan sampai di kemudian hari akan mendatangkan sesal yang tak berujung," Puja Merta yang merasa kurang setuju dengan sikap ayahnya. Kemudian, ia segera berdiri di antara kedua orang yang telah siap bertarung itu. Menilik dari sikap dan ucapan-ucapannya, jelas Puja Merta sama sekali tidak menuruti sifat lelaki gagah itu. Bahkan, ia terkesan lembut meskipun diasuh oleh kedua orang tua pendekar besar yang terkenal tinggi hati itu.

"Puja Merta. Menyingkirlah! Beraninya kau menasihati Ayahmu? Kau masih terlalu muda untuk mengenal sifat-sifat licik dan keji orang-orang golongan sesat. Tapi aku, Ayahmu sudah lama berkecimpung di dalam dunia persilatan. Dan, aku tahu mana yang harus kutindak," hardik Tangan Malaikat dengan suaranya yang berat dan berpengaruh itu.

Bahkan, wajah orang itu sudah berubah gelap. Karena ia dinasihati oleh anaknya sendiri didepan orang lain.Tentu saja hal itu sangat memalukan dan merendahkan namanya. Untunglah di tempat itu hanya mereka berempat. Kalau saja ada tokoh persilatan yang lain menyaksikannya, bukan tidak mungkin berita itu akan tersebar di kalangan rimba persilatan.

"Ayah..., aku hanya."

"Cukup! Atau kau ingin melawan terhadap Ayahmu?" tukas Tangan Malaikat dengan suara menggelegar, karena kemarahannya telah memuncak. Bantahan putranya itu benar-benar membuat orang tua itu hampir menjadi gelap matanya.

"Puja, minggirlah. Gadis liar itu tidak patut kau bela...," terdengar suara orang tua perempuan Puja Merta. Wanita yang masih nampak cantik itu segera menyeret putranya untuk menjauh.

"Seranglah aku, Gadis Liar. Jangan membuat ucapan yang kuucapkan tadi berubah!" kemarahan karena bantahan putranya, ditumpahkan kepada Aryani yang dituduh sebagai biang keladi sikap bandel putranya itu. Sehingga, Aryani menjadi semakin benci dengan orang tua gagahitu.

"Baik! Kau pikir aku takut, Orang Tua Sombong!" bentak Aryani melengking karena marah. Begitu ucapannya selesai, tubuh gadis cantik itu langsung melesat menerjang lawannya.

"Tunggu!"

Tapi, sebelum serangan Aryani tiba, tiba-tiba berkelebat dua sosok tubuh yang diiringi sebuah bentakan menggelegar seperti akan mengguncangkan tempat itu. Baik Aryani, Tangan Malaikat, Puja Merta, maupun ibunya, serentak menatap sosok berjubah putih dan sosok ramping berpakaian hijau yang telah berdiri tegak di tengah arena.

"Pendekar Naga Putih.?!"

Tangan Malaikat dan istrinya berseru hampir berbarengan. Sebagai tokoh persilatan tingkat atas, tentu saja kedua orang itu telah mendengar munculnya seorang pendekar muda yang telah membuat kaum sesat kelabakan. Selain itu, ciri-ciri pendekar muda itu pun telah lama mereka ketahui. Maka, tidak heran begitu melihat ciri-ciri pemuda berjubah putih yang berdiri di tengah arena, pasangan pendekar besar itu langsung mengenalinya dengan baik.

"Benar, Ki. Aku adalah Panji. Orang-orang rimba persilatan menjulukiku sebagai Pendekar Naga Putih. Dan, aku pun sudah lama mendengar nama besar Tangan Malaikat, sebagai seorang pendekar gagah berbudi tinggi, yang selalu menolong orang-orang lemah. Terimalah sebagai tanda hormatku...," sambil berkata demikian, pemuda berjubah putih yang memang adalah Panji itu, segera membungkukkan tubuhnya ke arah Tangan Maiaikat dan istrinya. Dari perkataan maupun sikapnya, jelas pemuda itu cukup cerdik.

Kenanga yang berdiri tidak jauh dari Panji, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sekejap. Menilik dari sorot matanya gadis jelita itu tidak begitu suka dengan pasangan pendekar besar itu.

"Hm..., lalu apa keperluanmu mencampuri urusanku, Pendekar Naga Putih? Apakah kau ingin membela gadis liar itu?" dalam nada pertanyaan Tangan Malaikat terkandung perasaan sinis. Bahkan melihat dari gaya bicara dan sikapnya, orang tua itu merasa lebih tinggi tingkatannya dari Panji. Tapi, pemuda itu berpura-pura tidak tahu, dan tetap bersikap hormat.

"Maaf, menurutku persoalan ini bukanlah pribadi sifatnya. Aku cukup lama bersembunyi dan mendengar semua yang kalian ucapkan. Karena gadis yang berpakaian kuning, kalau tidak salah bernama Aryani ini, tidak berbuat kesalahan, maka aku terpaksa mencampuri persoalan kalian. Sebab masalahnya terletak pada pertentangan antara golongan hitam dan golongan putih. Melihat adanya ketidakadilan di sini, aku terpaksa memberanikan diri mencampuri persoalan kalian," jelas Panji dengan tutur kata yang teratur baik dan sopan.

Sehingga, Puja Merta menjadi kagum atas sikap pemuda yang berjutuk Pendekar Naga Putih itu. Demikian juga halnya dengan Aryani, putri tokoh sesat yang semula membenci golongan putih karena sikap Tangan Malaikat, menatap kagum ke arah pemuda tampan berjubah putih itu. Mendengar ucapan dan sikap pemuda itu, gadis ini mulai berubah pandangannya terhadap golongan putih.

"Pendekar Naga Putih...? Sepertinya ayah pernah bercerita tentang pendekar besar yang masih muda itu. Apa yang diceritakan ayah memang tidak berlebihan. Pemuda itu begitu lembut, sopan, dan sepertinya mempunyai pandangan yang lebih luas ketimbang orang tua sombong itu. Bahkan wibawanya pun tidak kalah dengan pendekar besar yang berpikiran sempit itu...," gumam Aryani sambil menatap lekat-lekat wajah Pendekar Naga Putih dari samping. Hatinya benar-benar kagum terhadap pemuda itu.

TUJUH

Tangan Malaikat mengerutkan keningnya dalam-dalam. Penjelasan Pendekar Naga Putih menurutnya terlalu berbelit- belit dan membuatnya tidak sabar. "Hm..., dengarlah, Pendekar Naga Putih. Gadis liar ini, putri seorang datuk sesat yang sangat jahat dan kejam. Aku ingin melenyapkan bibit kejahatan itu, sebelum membahayakan orang-orang tak berdosa dan kaum rimba persilatan. Sekarang, aku meminta ketegasanmu, dan bukan nasihatmu! Bersedia menyingkir, atau terpaksa aku akan menggempurmu!" tegas Tangan Malaikat sambil melangkah jauh beberapa tindak.

Pendekar yang sombong itu sepertinya sedang kumat penyakitnya. Sebagai tokoh-tokoh persilatan yang lain, senantiasa ingin menjajal ilmu silatnya, Tangan Malaikat pun ingin merasakan sampai di mana kehebatan pendekar muda yang digembar-gemborkan kaum persilatan itu.

"Maaf, Ki. Gadis ini meskipun keturunan seorang datuk sesat atau biang iblis sekalipun, tapi ia belum pernah melakukan kejahatan. Semua ini bisa kupastikan, baik dari tingkah lakunya maupun ucapan-ucapannya. Selain itu, ia pun belum tentu akan mengikuti jejak ayahnya yang sesat itu," ujar Panji lagi dengan sikap dan ucapan tetap lembut. Panji merasa enggan terlibat pertarungan dengan pendekar besar itu. Apalagi mereka merupakan orang segolongan.

"Tidak perlu banyak cakap! Sudah kukatakan tadi, aku tidak butuh nasihatmu!" tukas Tangan Malaikat lagi. Kali ini wajahnya tampak berubah gelap. Sepertinya keputusan pendekar itu tidak bisa diubah lagi.

"Pendekar Naga Putih...," Aryani yang semenjak tadi hanya diam mendengarkan perdebatan itu, melangkah maju, "Ayahku memang sebelumnya manusia kejam dan jahat. Tapi, kalau kau percaya, ayahku telah cukup lama mengundurkan diri. Ia telah sadar akan sikapnya selama ini." Hal itu dikarenakan ia telah menaruh kepercayaan kepada pemuda itu. Dan, ia juga yakin akan tanggapan Pendekar Naga Putih.

"Ha ha ha...!" Sebelum Panji menanggapi keterangan Aryani, Tangan Malaikat tertawa berkakakan. Tawa itu jelas dimaksudkan untuk mengejek keterangan gadis keturunan datuk sesat itu, tentu saja ia tidak percaya begitu saja mendengar ucapan gadis itu. Dan, sepertinya semuanya itu tetap tidak mengubah keputusan untuk melenyapkan Aryani.

"Aku tidak minta pendapatmu, Pendekar Sombong! Tapi, aku meminta pendapat Pendekar Naga Putih. Aku yakin pendekar yang meskipun masih muda ini mempunyai pandangan yang luas, dan jauh berbeda denganmu. Dan, aku percaya kepadanya!" seru Aryani yang merasa tersinggung mendengar suara tawa lelaki tua yang gagah itu.

"Hm..., rasanya keteranganmu bisa aku percaya, Aryani...," ujar Panji sambil menatap wajah Aryani. Pemuda itu juga tersenyum untuk meyakinkan Aryani kalau ia mempercayai ucapan gadis itu.

"Terima kasih, Pendekar Naga Putih...," ucap Aryani lirih. Sepertinya ia merasa lega setelah mendengar jawaban Panji.

"Dengar! Apa pun yang kalian katakan, itu tidak akan mengubah pikiranku!" hardik Tangan Malaikat dengan wajah merah.

"Maaf, aku terpaksa membelanya...," ujar Panji lirih.

"Benar, Kakang. Aku pun percaya kalau Aryani tidak bersalah, dan patut dibela," Kenaga yang semenjak tadi hanya diam, ikut angkat bicara. Jelas gadis jelita itu merasa yakin akan keputusan yang diambil kekasihnya.

"Hm..., kalau begitu bersiaplah...," geram Tangan Malaikat yang sepertinya sudah siap melancarkan serangan, "Aku pun ingin tahu, sampai di mana kehebatan pendekar muda yang tersohor itu," ujar Tangan Malaikat dengan nada sombong.

"Kenanga, Aryani, kalian pergilah. Cari desa yang terdekat dengan daerah ini, aku akan segera menyusul. Persoalan seperti ini tidak patut ditebus dengan nyawa. Berhati-hatilah," bisik Panji sambil mengedipkan matanya kepada Kenanga.

Kenanga dan Aryani segera beranjak meninggalkan tempat itu sebagai mana dibisikkan Panji. Kenanga mengerti kalau kekasihnya hanya berpura-pura saja melayani tantangan Tangan Malaikat. Ia pun menyadari kalau sampai pertempuran itu meminta nyawa, tentu kelanjutannya akan semakin rumit. Maka, tanpa banyak tanya lagi keduanya pun bergegas.

"Hei, tunggu! Mau ke mana kalian...?" seru Tangan Malaikat yang segera mencegah ketika melihat gadis berpakaian hijau itu mengajak Aryani meninggalkan tempat itu. Bersamaan dengan itu, tubuhnya pun melesat mengejar mereka.

"Biarkan mereka pergi, Ki...," ujar Panji yang segera melompat dan menghadang pengejaran Tangan Malaikat.

"Bedebah!" bentak lelaki tua itu sambil melontarkan pukulan jarak jauhnya ke arah Pendekar Naga Putih.

Wuuut!

Serangkum angin keras berhembus mengancam tubuh Panji. Cepat pemuda itu berkelit ke samping, guna menghindarkan pukulan maut lawannya. Kemudian ia segera melepaskan serangan balasan yang cepat dan susul-menyusul. Serangkaian serangan yang dilancarkan Panji bermaksud untuk mengalihkan perhatian Tangan Malaikat, ternyata membawa hasil yang baik. Lelaki gagah itu menjadi sibuk menghindarkan serangan-serangan Pendekar Naga Putih, yang memang tidak bisa diabaikan begitu saja. Sehingga, ia terpaksa menghadapi serangan pemuda itu, dan tidak mempedulikan buruannya lagi.

Namun, orang tua perempuan Puja Merta sepertinya tidak mau membiarkan gadis berpakaian kuning itu lolos. Tanpa mempedulikan seruan putranya, wanita cantik itu segera melesat, mengejar Kenanga dan Aryani. Tentu saja perbuatan wanita itu membuat Panji terkejut, ia pun segera melesat meninggalkan Tangan Malaikat, dan mencegah istri pendekar besar yang akan mengejar Aryani dan Kenanga.

"Haiiit..!" Karena tidak ingin dianggap membokong, Panji memberikan isyarat menyerang dengan teriakannya. Sehingga, wanita itu membatalkan pengejarannya, dan menyambut serangan Pendekar Naga Putih!

"Haaat..!"

Sambil berkelit, wanita cantik itu berseru nyaring dan melancarkan serangan balasan yang cepat dan kuat! Menilik dari angin pukulannya, jelas serangan yang dilontarkan lawan sangat berbahaya! Sedangkan serangan Panji hanya dimaksud untuk mencegah, dan bukan mencelakakan wanita itu.

"Setan...!" Tangan Malaikat yang merasa dipermainkan Panji, segera saja melompat dan langsung menerjang Pendekar Naga Putih dengan serangkaian pukulan maut! Jelas serangan-serangan itu dimaksudkan untuk membunuh!

Plakkk! Plakkk...!

Panji yang memang tidak bersungguh-sungguh menghadapi waniia itu, cepat merendahkan tubuhnya sambil melepaskan dua buah tamparan guna memapaki serangan Tangan Malaikat! Sehingga, benturan keras pun terjadi!

Duarrr!

"Kurang ajar...!"

Tangan Malaikat yang merasakan getaran akibat berbenturan dengan telapak tangan pemuda itu, mengumpat kalang-kabut. Namun, hatinya sempat dibuat kagum oleh kekuatan Pendekar NagaPutih. Kini matanya pun terbuka, setelah merasakan kehebatan tenaga sakti pemuda itu.

"Hebat..! Itukah 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang tersohor?" puji Tangan Malaikat sambil tersenyum sinis. Meskipun ia telah merasakan kehebatan tenaga dalam lawan, namun Tangan Malaikat tidak ingin membuat lawannya besar kepala. Sehingga, pujiannya terdengar bernada sinis.

Panji pun bukan tidak merasa akibat tangkisan itu. Namun, ia telah menyadari sebelumnya akan kesaktian lawan. Karena itu ia lebih dulu telah bersikap dan waspada. Sehingga, apa yang dirasakannya tidaklah terlalu berarti.

"Yeaaat..!"

Rupanya Tangan Malaikat tidak ingin membuang-buang waktu lagi. Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuhnya kembali melesat menerjang Panji. Sementara itu, istrinya telah mundur dari arena pertarungan. Karena ia tidak ingin disebut mengeroyok. Serangan yang dilontarkan lawan kali ini benar-benar membuat Panji terkejut! Kedua tangan lawan tampak seperti bayangan samar yang terkadang lenyap begitu saja, tanpa diketahui ke mana serangannya. Lelaki gagah itu sepertinya telah mulai mengeluarkan ilmu andalannya.

"Hebat! Inikah ilmu 'Tangan Malaikat' yang tersohor itu...?" desis Panji, yang tentu saja menjadi kagum bukan main melihat kehebatan ilmu lawannya.

Ilmu 'Tangan Malaikat' yang dimiliki lelaki gagah itu memang jauh berbeda dengan ilmu-ilmu tangan kosong lainnya. Cukup banyak Panji mengenal jenis-jenis ilmu pukulan tangan kosong seperti ilmu 'Tangan Seribu', 'Tinju Delapan Bayangan', dan sejenisnya. Semua ilmu-ilmu tangan kosong itu kebanyakan bisa merubah pandangan lawan. Sehingga gerakan tangannya tampak menjadi banyak, dan sulit ditebak, mana tangan yang sesungguhnya.

Namun, ilmu tangan kosong yang digunakan Tangan Malaikat kali ini, benar-benar aneh dan sangat jauh berbeda. Ilmu yang digunakan lawannya tampak aneh sekali, dan nyaris tidak masuk akal. Tangan itu sama sekali tidak nampak berputar, sebagaimana ilmu-ilmu tangan kosong lainnya. Sebaliknya, malah yang terlihat bayangan samar-samar, yang tampak jelas, tapi di lain saat lenyap dan tidak bisa dilihat oleh mata biasa. Sepertinya ilmu 'Tangan Malaikat', memang sengaja mengambil nama julukannya melalui gerakan-gerakan tangan, yang tak ubahnya seperti tangan malaikat.

Karuan saja Pendekar Naga Putih menjadi terdesak hebat oleh ilmu lawannya, yang memang aneh dan belum pernah dijumpainya. Melihat kedahsyatan dan keanehan ilmu tersebut, memang pantas kalau Tangan Malaikat ditakuti lawan dan disegani kawan. Karena ilmu andalan pendekar itu memang sukar untuk dilawan!

"Haiiit...!"

Ketika pertarungan menginjak jurus ke empat puluh lima, secara mengejutkan, Tangan Malaikat berseru nyaring. Berbarengan dengan seruan itu, tubuh lelaki setengah baya itu berputar secara aneh. Kemudian, tangan kanan lawan tiba-tiba telah mengancam dada Panji.

Wuuuk!

"Aiiih...?!" Panji sempat terpekik kaget karena serangan lawan yang mendadak itu. Untunglah ia masih sempat memiringkan tubuhnya. Sehingga, telapak tangan lawan lewat setengah jengkal di depan dadanya! Sayangnya, gerakan tangan lawan tidak berhenti di situ saja! Terbukti, secara aneh pergelangan tangan itu berputar, dan langsung menggedor dada kiri Panji!

Blakkk!

"Hukh...!"

Hantaman yang sangat keras itu menghajar telak dada kiri Panji! Akibatnya, tubuh pemuda itu terdorong sejauh satu tombak lebih. Untunglah lapisan kabut bersinar putih keperakan yang menyelimuti tubuhnya, membentengi tubuh pemuda itu. Biarpun pada sudut kiri bibirnya tampak cairan merah meleleh, tapi pemuda itu tidak mengalami luka dalam yang parah!

Pukulan lawan yang membuat tubuh Pendekar Naga Putih terdorong mundur cukup jauh itu, membuat pikiran Panji bekerja dengan baik. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda itu langsung melesat meninggalkan lawannya. Karena pemuda itu menggunakan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya, maka sekejap saja bayangannya telah lenyap di balik lebatnya pepohonan.

"Jangan lari kau, Pengecut..!"

Tangan Malaikat yang tidak menduga kalau Panji akan melarikan diri, tentu saja menjadi kaget. Walaupun ia berusaha mengejar, namun bayangan Pendekar Naga Putih sudah tidak nampak lagi. Lelaki tua itu hanya dapat menggeram marah, sambil membanting kakinya dengan kesal! Karena tidak berhasil mengejar Panji, Tangan Malaikat segera kembali ke tempat anak dan istrinya berada. Wajah lelaki gagah itu tampak gelap. Jelas ia merasa tak puas dengan kejadian yang dialaminya itu.

"Hm..., kelak kalau aku bertemu lagi dengan pendekar pengecut itu, akan kulumat tubuhnya!" geram Tangan Malaikat sambil mengepalkan tinjunya erat-erat.

"Menurutku, tindakan Pendekar Naga Putih justru sangat bijaksana, Ayah. Ia sama sekali bukan seorang pengecut, tapi perbuatannya itu justru menunjukkan kebesaran jiwanya. Dan, untuk melakukan perbuatan itu, ia tak takut dicap sebagai seorang pengecut" Puja Merta yang membenarkan tindakan Pendekar Naga Putih, membantah tuduhan ayahnya.

"Sudahlah, Puja. Kau hanya membuat Ayahmu tambah penasaran saja," tukas ibunya menasihati Puja Merta. Wanita itu rupanya tidak ingin lagi mendengar pertengkaran antara suami dan putranya.

"Kau rupanya sudah tergila-gila oleh kecantikan putri datuk sesat itu! Sadarkah kalau kau telah salah menjatuhkan pilihan?" ujar Tangan Malaikat dengan suara ketus.

"Sudahlah. Sebaiknya kita segera meninggalkan tempat ini. Untuk apa meributkan hal yang sudah lewat?" selak wanita yang wajahnya masih tampak cantik dan muda itu. Setelah berkata demikian, wanita itu segera menyeret putranyap ergi. Sebentar kemudian, tempat itu pun kembali sunyi. Hanya hembusan angin yang sesekali bertiup keras, dan menerbangkan daun-daun kering.

********************

"Aku belum mengerti, mengapa kita harus pergi? Apa sebenarnya yang direncanakan Pendekar Naga Putih...?" gadis cantik itu mengungkapkan ketidakpuasannya kepada gadis lainnya yang berwajah jelita, dan mengenakan pakaian serba hijau. Siapa lagi kedua gadis muda itu, kalau bukan Kenanga dan Aryani. Saat itu keduanya sudah hampir keluar dari perut hutan.

"Kakang Panji tidak menginginkan pertarungan yang mengakibatkan korban nyawa. Persoalan ini dianggapnya hanya sekadar salah penilaian saja. Kalau kita berdua tetap berada di tempat itu, berarti pertarungan akan memakan waktu lama, dan bukan tidak mungkin kalau salah satu bisa tewas. Kalau Kakang Panji tewas, tentu aku tidak tinggal diam. Sedangkan kalau Tangan Malaikat tewas, keluarganya sudah pasti akan menuntut balas. Nah, kalau sudah begitu, bukankah persoalan akan semakin rumit? Itu yang tidak dikehendaki Kakang Panji," ujar Kenanga menjelaskan kenapa mereka disuruh pergi.

Aryani mendengarkan penuh perhatian. Sepasang matanya memandangi wajah Kenanga.

"Dengan tidak adanya kita di tempat pertarungan, Kakang Panji akan lebih mudah meninggalkan lawannya," lanjut Kenanga. "Sedangkan langkah berikutnya, kita tunggu saja apa yang terjadi. Yang jelas, antara kau dan Tangan Malaikat tidak ada persoalan pribadi. Jadi, mustahil kalau pendekar besar itu sampai mengejar atau mencari-carimu."

"Bagaimana kalau pendekar tua yang sombong itu tetap berusaha untuk mencari dan melenyapkan aku?" pancing Aryani karena ingin mendengar tanggapan Kenanga.

"Kalau memang benar begitu, tentu akan lain persoalannya. Dan, kita tidak perlu lagi sungkan-sungkan untuk menghadapinya. Karena perbuatannya itu, jelas salah besar," ujar Kenanga dengan sikap tegas.

Aryani terlihat mengangguk puas mendengar jawaban Kenanga. Gadis cantik itu memang telah tertarik begitu melihat Kenanga, datang bersama Pendekar Naga Putih. Ia pun yakin, sebagai seorang sahabat dekat pendekar muda itu, Kenanga pasti juga mempunyai pandangan yang tidak jauh berbeda. Sehingga, Aryani merasa senang mendapat seorang sahabat seperti gadis jelita itu.

Demiklan pula halnya dengan Kenanga. Semakin lama ia mengenal gadis putri datuk sesat itu, semakin yakin hatinya kalau Aryani sama sekali tidak memliki niat jahat atau memiliki sifat licik. Cara bicara maupun sikap gadis itu telah membuat Kenanga semakin merasa sayang terhadap Aryani. Dan, itu membuat tekadnya semakin kuat untuk membela gadis cantik dan lincah itu dari incaran Tangan Malaikat, yang sudah lama ia dengar kesombongan dan kekerasan sikapnya dalam menindak kaum sesat.

"Kalau boleh kutahu, ke manakah tujuan kalian berdua jika Kakang Panji sudah menemukan kita?" tanya Aryani sambil lalu. Meskipun pertanyaan itu seperti basa-basi, tapi sepasang mata gadis cantik itu mengharapkan sekali jawaban.

"Entahlah. Kami tidak pernah menentukan arah tujuan. Ke mana kaki kami melangkah, itulah yang kami turuti," sahut Kenanga yang memang mereka berdua tidak pernah mempunyai tujuan.

"Jadi, kalian hanya melakukan perjalanan untuk meluaskan pengalaman, begitu?" tegas Aryani seperti masih kurang percaya.

"Kira-kira begitulah. Semenjak kecil Kakang Panji dididik untuk menjadi pelindung bagi orang-orang lemah. Setelah menamatkan pelajarannya, ia pergi merantau untuk mengamalkan ilmunya. Sedangkan aku tidak seperti dia. Aku hanya mengikuti ke mana Kakang Panji pergi," sahut Kenanga menolehkan kepalanya sambil tersenyum kepada Aryani.

"Hm..., kalian berdua sudah lama kenal...?" selidik Aryani lagi. Kali ini tampak nada menggoda dalam pertanyaannya.

"Yah..., cukup lama. Kakang Panji merupakan seorang penolongku," jawab Kenanga singkat. Meskipun ia mulai menduga arah kelanjutan keingintahuan gadis itu, tapi Kenanga berpura-pura tidak tahu.

"Aku yakin kau pasti kekasih Pendekar Naga Putih yang gagah dan tampan itu bukan? Wah, kau benar-benar beruntung sekali mempunyai seorang kekasih seperti pemuda itu. Kalau saja aku bisa mendapatkan seorang kekasih seperti Kakang Panji, bukan main bahagianya aku...," desah Aryani sambil menghela napas panjang. Terkesan nada iri dalam ucapan gadis itu. Namun, Kenanga menganggap hal itu suatu yang wajar.

Pada saat keduanya telah keluar dari dalam hutan, tiba-tiba Kenanga dan Aryani sama-sama menoleh ke belakang. Karena mereka mendengar suara langkah kaki yang lembut menuju ke arah mereka.

"Ah, itu Kakang Panji..," seru Kenanga yang merasa lega melihat kekasihnya telah menyusul mereka.

"Apakah mereka tidak mengejarmu..?" Aryani langsung saja menyambut kedatangan pemuda itu dengan pertanyaan. Sambil bertanya, kepalanya terjulur ke belakang melalui bahu Panji. Sepertinya ia ingin memastikan bahwa Tangan Malaikat dan keluarga tidak mengejar mereka.

"Tidak, aku berhasil mengelabui lelaki tua yang gagah itu. Sebelum meninggalkan tempat itu, aku terlebih dahulu bersembunyi. Setelah mereka pergi, baru aku menyusul kalian...," sahut Panji yang segera melangkah dan diikuti kedua orang gadis cantik itu.

"Hhh, syukurlah kalau begitu...," desah Kenanga sambil menghela napaslega.

Beberapa saat kemudian, suasana pun berubah hening. Ketiga orang muda ini melangkah menyusuri jalan yang semakin melebar. Hembusan angin yang lembut mengiringi langkah kaki mereka.

********************

DELAPAN

Sosok tubuh tegap itu melangkah gontai menyusuri jalan setapak. Pada wajahnya yang tampan dan gagah itu tersirat bayang kesedihan. Rambutnya yang panjang sebahu terurai lepas melambai-lambai dipermainkan hembusan angin yang sesekali bertiup keras. Sorot matanya tampak demikian sayu. Jelas, kalau pemuda itu tengah dilanda kedukaan.

Pemuda berjubah biru yang tidak lain daripada Puja Merta itu, menghela napas tanda hatinya sedang diamuk keresahan. Tangannya menyibak ke kiri dan kanan menyingkirkan ranting- ranting pohon yang terkadang menutupi jalan.

"Hhh.... Ke mana aku harus mencarimu, Aryani...?" bibir yang terkatup rapat itu bergumam pelan. Kepalanya menengadah menatap pucuk-pucuk dedaunan pohon. Mungkin ia ingin mencari jawaban atas pertanyaan itu.

Puja Merta yang merasa berdosa terhadap Aryani terpaksa meninggalkan tempat kediaman orang tuanya tanpa pamit. Hati kecilnya yang merasa yakin kalau gadis cantik itu sama sekali tidak memiliki sifat jahat dan kejam, membuatnya bertekad untuk mencari gadis cantik itu. Ia ingin meminta pengertian Aryani atas ucapan-ucapan ayahnya. Dan, ia ingin meminta maaf untuk kesalahan yang diperbuat kedua orang tuanya. Itulah yang menyebabkan Puja Merta minggat dari rumahnya, tanpa seizin ayah dan ibunya.

Setelah agak lama menyusuri hutan, tibalah pemuda itu di sebuah jalan lebar yang berbatu. Untuk beberapa saat, langkahnya terhenti dan melayangkan pandangan ke alam yang terbuka luas. Tapi, baru saja beberapa langkah kakinya menindak, tiba-tiba terdengar suara tawa yang mengejutkan. Cepat bagai kilat, pemuda itu berbalik dan mengedarkan pandangannya dengan sikap curiga.

"Hm,.., siapa pun kau, keluarlah! Jangan bersikap seperti perempuan!" seru Puja Merta tetap dalam keadaan siap menghadapi segala kemungkinan.

"Ha ha ha...!"

Suara tawa itu kembali terdengar berkepanjangan. Bahkan kali ini seperti datang dari delapan penjuru. Hal itu menandakan si empunya suara bukanlah orang sembarangan. Paling tidak ia memiliki ilmu tenaga dalam yang sangat tinggi.

"Hei, Manusia Pengecut! Kalau kau tidak berani menampakkan dirimu, lebih baik kau pergi, dan jangan ganggu aku!" Puja Merta kembali berteriak lantang dengan sikap gagah. Tampak pemuda itu sama sekali tidak merasa gentar, meskipun ia sadar orang yang tengah mempermainkannya itu memiliki kesaktian yang tinggi.

"Mengapa kau berteriak-teriak seperti itu, Anak Bodoh? Sejak tadi aku telah berdiri di sini. Apakah matamu buta?" terdengar suara berat dan parau yang berasal dari sebelah belakang pemuda itu.

Sehingga, Puja Merta segera berbalik dengan wajah agak tegang. Puja Merta mengerutkan keningnya ketika melihat sesosok tubuh gemuk pendek dan berkepala botak. Lelaki tua yang usianya paling tidak sebaya dengan ayahnya itu, terlihat berdiri dengan dada membusung. Tentu saja hal itu merupakan pemandangan yang lucu. Biarpun lelaki gemuk pendek itu berusaha tegak sambil mengempeskan perutnya, tetap saja perut buncit itu menonjol ke depan.

Belum lagi Puja Merta membuka suara untuk bertanya, tiba-tiba terdengar suara lain dari arah belakangnya. Kemudianvterdengar pula suara dari sebelah kiri dan kanannya. Sehingga tubuh pemuda itu, berputar ke kiri dan ke kanan dan ke belakang. Jelas, sekali orang-orang itu hendak mempermainkan dirinya. Dan, hati pemuda itu kian bertambah tegang ketika mendapati sosok lain yang kini berjumlah empat orang. Menilik dari sikap mereka, pemuda itu sadar kalau keempat orang itu pasti berniat tidak baik terhadapnya. Pikiran itu membuatnya semakin waspada.

"Siapa kalian? Mau apa kalian menghadang perjalananku?" tegur Puja Merta sambil menatap keempat sosok tubuh itu secara bergantian.

"Hm... kalau kau ingin tahu, kami adalah sahabat-sahabat Raja Racun Merah. Kudengar ayahmu yang sombong itu hendak membunuh putri sahabat kami itu. Jadi, kedatangan kami kemari untuk menunjukkan bahwa Raja Racun Merah tidak bisa dibuat main-main," sahut lelaki pendek gemuk berkepala botak itu dengan nada mengancam.

"Huh! Kalian kira aku mudah dibohongi begitu saja? Ketahuilah, Raja Racun Merah sudah tidak berurusan lagi dengan dunia sesat! Datuk itu telah sadar, dan ingin memperbaiki kesalahannya di masa lalu!" bantah Puja Merta yang mendengar semua itu dari mulut Aryani sendiri, ketika ia mengatakan kepada Pendekar Naga Putih.

"He he he...! Tentu-tentu. Sahabatku memang telah sadar akan kesalahannya. Tapi, ketika mendengar ayahmu menghina dan ingin membunuh putri satu-satunya, yang sangat disayang melebihi nyawanya sendiri, tentu saja ia tidak tinggal diam. Sekarang ia mungkin tengah berhadapan dengan orang tuamu yang sombong itu. Sedangkan kami, cukup membawamu untuk kami siksa. Karena penghinaan dan sikap ayahmu itu tidak bisa dimaafkan begitu saja!" ujar lelaki gemuk itu dengan suara lantang dan jelas.

Mendengar keterangan itu, Puja Merta ragu sejenak. Karena apa yang dikatakan lelaki gemuk pendek itu, memang dapat diterima akal sehat. "Siapa pula yang tidak marah mendengar kabar anak gadis satu-satunya akan dibunuh orang. Ayahnya sendiri yang merupakan tokoh golongan putih itu akan marah dan pasti akan mencabik-cabik orang yang ingin membunuh dirinya. Apalagi seorang tokoh sesat dan kejam seperti Raja Racun Merah? Sudah pasti datuk sesat itu akan mengamuk!" pikir Puja Merta bimbang.

"Tidak mungkin datuk sesat itu berani mendatangi kediamanku! Apalagi untuk menantang ayahku!" desis Puja Merta masih belum percaya penuh. Pemuda itu telah mengenal orang tuanya, dan tahu akan kesaktian ayahnya yang jarang menemui tandingan itu. Sedangkan Raja Racun Merah, meski ia belum begitu lama mendengar namanya disebut orang, kesaktiannya sama sekali belum diketahui, Sehingga, Puja Merta tidak yakin kalau datuk sesat itu berani mati mendatangi ayahnya.

"He he he... jangan kau kira kesaktian Raja Racun Merah berada di bawah kepandaian ayahmu. Lihat saja nanti, apakah datuk sesat itu berhasil membawa pulang kepala kedua orang tuamu atau tidak," tukas lelaki pendek gemuk itu lagi dengan keyakinan yang sangat kuat sekali.

Sehingga Puja Merta menjadi agak cemas. Cemas akan keadaan orang tuanya, Puja Merta berbalik dan berlari ke dalam hutan kembali. Sepertinya pemuda gagah itu hendak kembali ke rumahnya.

"Berhenti...!"

Terdengar bentakan nyaring, yang disusul berkelebatannya sosok tubuh gemuk pendek itu. Hebat sekali gerakan lelaki gemuk itu, sungguh tidak sesuai dengan bentuk tubuhnya yang bulat. Ternyata ia dapat bergerak cepat seperti kilat! Dalam dua kali lompatan saja, lelaki itu telah berdiri menghadang Puja Merta di mulut hutan!

"Heaaat...!"

Tanpa banyak cakap lagi, Puja Merta langsung melontarkan pukulan-pukulan untuk menerobos ke dalam hutan! Tapi lelaki gemuk pendek itu, ternyata sangat gesit dan lihai! Empat buah pukulan yang dilancarkan secara cepat dan susul-menyusul, dapat dielakkannya dengan geseran-geseran langkah aneh. Hebatnya, semua serangan itu, tidak satu pun yang dapat menyentuh tubuhnya. Padahal, gerak kakinya terlihat agak kacau, dan terkesan serampangan.

"Ringkus pemuda itu! Aku tidak sudi berhadapan dengan seorang bocah ingusan!" sambil berseru, lelaki gemuk pendek itu mencelat ke belakang, sejauh dua tombak lebih!

Puja Merta yang bermaksud mengejar lawan, kembali menarik mundur langkahnya. Karena ketiga orang kawan lelaki gemuk pendek itu, mencecarnya dengan pukulan-pukulan yang menimbulkan sambaran angin yang kuat sekali.

Bettt! Bettt! Bettt!

Serangkaian serangan yang dilontarkan ketiga orang itu secara bergelombang, cukup membuat Puja Merta sibuk untuk beberapa saat lamanya. Begitu melihat peluang, pemuda itu segera melompat jauh ke belakang, dan siap melakukan perlawanan. Sebagai seorang putra pendekar besar, tentu saja Puja Merta telah dibekali bermacam ilmu-ilmu tinggi. Bahkan ilmu 'Tangan Malaikat' yang menjadi andalan ayahnya pun, telah puta diwariskan kepada putra tunggalnya itu. Sehingga, tingkat kepandaian pemuda itu sudah sangat tinggi, dan tidak bisa disamakan dengan pemuda-pemuda sebayanya.

"Hm...," sambil menggeram, Puja Merta memutar tangannya ke samping dan ke depan. Gerakannya yang lemas, namun jelas mengandung kekuatan tenaga dalam yang tinggi itu, sejenak membuat ketiga orang pengeroyoknya mundur beberapa tindak. Sepertinya ketiga orang itu, mulai mengatur serangan untuk menghadapi pemuda tampan itu.

"Haiiit..!"

Dibarengi sebuah bentakan nyaring, tubuh pemuda tampan dan gagah itu bergerak dengan langkah-langkah cepat, sambil diiringi gerakan tangannya yang cepat pula. Sehingga menimbulkan sambaran angin kuat itu.

"He he he...! Hati-hati, Tiga Iblis Gundul. Ingat, pemuda itu, keturunan datuk golongan putih.

Kepandaiannya tentu tidak dapat dipandang ringan," ujar lelaki gemuk pendek itu terkekeh seraya mengingatkan kawannya.

Tiga lelaki bertubuh kekar yang berkepala gundul itu menggeram lirih. Serentak ketiganya berpencar dan membentuk tiga sudut. Sepertinya mereka ingin menggunakan jurus gabungan dalam menghadapi pemuda itu. Lelaki bertubuh kekar yang memiliki kumis seperti tikus, yang berdiri di depan pemuda itu, segera bergerak ke kanan menghindari pukulan yang mengancam tubuhnya. Gerakannya itu langsung disusul oleh kawannya yang berada di sebelah kanan, dan sekaligus menggantikantempatnya.

Pertarungan pun semakin seru, sehingga membuat lelaki gemuk pendek yang menyaksikannyamenggeleng-gelengkan kepala tak sabar. Sepertinya ia sudah merasa gatal ingin turun tangan langsung untuk menundukkan keturunan datuk golongan putih itu. Bahkan ia mulai meremas-remas tangannya, ketika pada jurus kedua puluh keadaan masih belum juga berubah.

"Ah, terlalu lamban, terlalu lamban...!" ucap lelaki pendek gemuk itu berulang-ulang. Setelah berkata demikian, tubuh gemuk pendek itu langsung melayang ke arah arena pertarungan.

Wuuut! Wuuut!

Begitu memasuki kancah pertarungan, lelaki pendek gemuk itu segera melontarkan serangan-serangan ke arah lawan. Menilik dari sambaran angin pukulannya yang mencicit tajam itu, jelas tenaga dalam yang dimiliki lawan sangat tinggi sekali! Sehingga, meskipun dua buah serangannya berhasil dihindari Puja Merta, tapi tubuh pemuda itu sempat terhuyung karena kuatnya sambaran angin pukulan lawan.

"Hm..., mengapa tidak sejak tadi kau ikut mengeroyokku, Cebol!" ejek Puja Merta setelah melakukan lompatan panjang ke belakang dan menyiapkan ilmu andalannya.

"He he he...! Aku harus meneliti dulu, sampai di mana ilmu yang telah kau pelajari dari ayahmu. Setelah itu, baru aku sendiri yang akan membekukmu...," tukas lelaki cebol itu terkekeh nyaring.vSuara tawanya terdengar sangat berbeda sekali. Rasanya suara yang melengking nyaring itu, lebih tepat dimiliki seorang perempuan.

Puja Merta tidak mempedulikan ocehan laki-laki pendek gemuk, yang dalam dunia persilatan berjuluk Bocah Iblis. Tokoh yang menggiriskan dan sangat kejam itu, sebenarnya seorang datuk sesat diwilayah Timur. Melihat dari angin pukulannya, yang mengandung tenaga dalam tingkat tinggi itu, rasanya memang pantas kalau laki-laki pendek gemuk itu menjadi seorang datuk.

"Hiaaah...!"

Puja Merta yang sudah menyiapkan ilmu 'Tangan Malaikat' merendahkan kuda-kudanya, ketika melihat lelaki cebol mendorongkan telapak tangannya ke depan. Menduga kalau lawan telah melepaskan pukulan jarak jauh, maka pemuda tampan itu bersiap menyambutnya. Sayang, apa yang diduga pemuda itu sama sekali meleset. Kesadarannya baru bangkit, ketika matanya menangkap sinar hitam yang menebar mengepung tubuhnya. Tapi, kesadaran itu datangnya terlambat! Tubuh pemuda itu tiba-tiba telah terbungkus jala halus yang sangat kuat!

Belum sempat pemuda itu berbuat sesuatu untuk membebaskan dirinya, ia telah merasakan sekujur tubuhnya lumpuh! Lelaki cebol yang berjuluk Bocah Iblis itu terkekeh penuh kemenangan. Rupanya berbarengan dengan dilepaskannya jala halus itu, tubuhnya pun ikut melesat cepat dan mengirim totokan yang membuat pemuda itu lumpuh!

"Hei, tahan...!"

Sebelum Bocah Iblis sempai membawa pergi ta-wanannya, tiba-tiba terdengar seruan nyaring yang mengejutkan! Sebelum gema suara itu lenyap, tiba-tiba muncul dua sosok tubuh, seorang pemuda dan seorang gadis cantik.

"Hei, tahan...!"

Sebelum datuk sesat yang berjuluk Bocah Iblis itu sempat membawa pergi tawanannya, tiba-tiba terdengar sebuah seruan nyaring yang mengejutkan! Sebelum gema suara itu lenyap dari pendengaran, tiba-tiba muncul dua sosok tubuh, seorang pemuda dan seorang gadis cantik.

"Hm..., bukankah yang kalian tawan itu keturunan Datuk Tangan Malaikat?" tegur pemuda tampan berjubah putih itu sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah Puja Merta yang meringkuk dalam keadaan pingsan.

"He he he.... Tidak kusangka kalau di tempat seperti ini, aku berjumpa dengan pendekar besar yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Apakah dugaanku keliru?" lelaki cebol itu terkekeh tanpa mempedulikan ucapan pemuda berjubah putih yang tidak lain Panji itu. Sedangkan sosok yang satunya lagi, sudah pasti Kenanga.

"Tidak salah. Dan, kalau aku tidak keliru, kau pasti Datuk sesat dari wilayah Timur, yang dijutuki orang Bocah Iblis...," ujar Panji yang rupanya telah banyak mendengar tentang tokoh sesat itu.

"He he he..., kau pun tidak salah. Akulah yang dijuluki Bocah Iblis itu. Anak-anak, bawa pergi pemuda keturunan Datuk Tangan Malaikat ini. Biar aku yang akan meladeni pendekar muda yang tersohor itu," ujar Bocah Iblis sambil menoleh kepada tiga orang anak buahnya.

"Tunggu! Kalau kalian ingin pergi tanpa kuganggu, tinggalkan pemuda itu...," tegas Panji mengancam. Sambil berkata, tubuh pemuda tampan itu langsung mencelat, dan mencegah Tiga Iblis Gundul yang akan membawa Puja Merta.

"Jangan hiraukan dia...!" seru lelaki cebol itu yang segera menghadang Pendekar Naga Putih. Tanpa banyak cakap lagi, Bocah Iblis langsung melontarkan serangan beruntun ke arah Panji. Sehingga, pemuda itu terpaksa melayaninya. Pertarungan tidak dapat dicegah lagi. Kenanga yang melihat kekasihnya telah bertarung dengan lelaki cebol itu, segera melesat merebut Puja Merta dari tangan Tiga Iblis Gundul.

"Haiiit..! Lebih balk kau mundur, Nisanak...," ujar lelaki cebol itu yang sempat melihat gerakan Kenanga, meski ia sedang bertarung. Dengan cepat ia mengibaskan tangan kirinya. Karuan saja gadis jelita itu melompat mundur, ketika mencium bau amis yang berbarengan dengan menyebarnya asap putih dari tangan Bocah Iblis. Rupanya tokoh sesat itu telah menggunakan bubuk beracun untuk mencegahKenanga.

Panji yang mendengar kekasihnya memekik sambil melindungi wajah dari semburan bubuk putih itu, tentu saja menjadi khawatir. Kelengahan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Bocah Iblis untuk melepaskan bubuk beracun ke arah Panji. Sehingga, Panji terpaksa mundur ketika sepasang matanya terasaperih.

"Licik...!" desis Panji yang segera mendorongkan telapak tangannya, guna mengusir bubuk beracun itu. Tapi, begitu ia membuka matanya, bayangan ibbs cebol itu sudah tidak nampak.

"Kurang ajar...! Mereka telah melarikan diri, Kakang," desis Kenanga geram. Gadis jelita itu tampak masih agak kabur pandangannya. Bahkan air matanya tampak mengalir akibat bubuk beracun yang mengenai matanya.

Demikian pula halnya dengan Pendekar Naga Putih. Pemuda itu tampak mengerjap-ngerjapkan kedua matanya yang berair. Dalam keadaan seperti itu, membuat mereka tidak berani mengejar lawan-lawannya. Karena dengan pandangan yang masih kabur itu, jelas sangat berbahaya mengejar seorang lawan yang lihai seperti datuk wilayah Timur itu.

"Hhh..., belum lagi kita dapat menemukan jejak Aryani, yang pergi entah ke mana. Kini muncul masalah baru yang cukup rumit. Mungkinkah kejadian itu merupakan buntut dari penghinaan Datuk Tangan Malaikat terhadap Raja Racun Merah?" gumam Panji seperti berkata dengan diri sendiri.

"Maksud Kakang, Raja Racun Merah mau membalas dendam atas penghinaan Datuk Tangan Malaikat terhadap dirinya itu? Tapi, bukankah datuk sesat wilayah Selatan itu telah bertobat?" ujar Kenanga yang sepertinya mulai merasa ragu dengan keterangan Aryani.

"Tapi, mengapa Aryani pergi tanpa pamit kepada kita? Kalau memang ia ingin melanjutkan pengembaraan seorang diri, toh kita tidak akan melarangnya. Ah..., aneh sekali sikap gadis keturunan datuk sesat itu," desah Panji dengan kening berkerut. Jelas, ia berpikir keras untuk mencari jawaban dari semua pertstiwa yang menurutnya sangat rumit itu.

"Keadaan pasti akan semakin rumit bila Tangan Malaikat mengetahui, putranya diculik orang...," ujar Kenanga lagi dengan disertai desahan napas panjang. Gadis jelita itu merasa pening dengan pertstiwa yang mereka hadapi kali ini. Karena semua masalahnya masih serba gelap.

"Hm..., sebaiknya kejadian itu tidak perlu kita beritahukan kepada Datuk Tangan Malaikat. Kita selidiki saja dulu, apa sebenarnya yang menjadi penyebab semua kejadian mi," usul Panji yang meminta persetujuan kekasihnya.

"Aku setuju, Kakang. Persoalan ini masih belum jelas. Siapa yang bersalah, kita belum bisa mengetahuinya. Ada baiknya memang kalau kita saja yang menyelidiki. Dengan demikian, mungkin kita dapat menghindarkan hal-hal yang tidak kita inginkan," jawab Kenanga penuh semangat.

"Kalau begitu, tunggu apa lagi...?" sambil berkata demikian, Panji menggenggam jemari tangan gadis jelita itu. Kemudian keduanya melangkah meninggalkan tempat itu, meski dengan mata terasa agak perih. Racun yang disebarkan Iblis Cebol itu rupanya tidak berbahaya.

Sepertinya senjata itu hanya digunakan untuk mengelabui lawan-lawannya, agar ia bisa meloloskan diri. Hal itu telah diketahui Pendekar Naga Putih, setelah merasakan tidak adanya pengaruh lain, kecuali rasa perih. Itu sebabnya pemuda itu tidak merasa khawatir dengan bubuk beracun yang memasuki mata mereka.

Ke manakah perginya Aryani? Apa yang membuat gadis keturunan datuk sesat itu pergi tanpa pamit? Apakah ada hubungannya dengan penculik Puja Merta? Bagaimana sikap Datuk Tangan Malaikat ketika mengetahui keturunan satu- satunya itu diculik orang? Lalu, apakah ucapan seorang datuk sesat seperti Raja Racun Merah yang hendak mengundurkan diri itu dapat dipercaya?

Terakhir, mampukah Pendekar Naga Putih mengungkapkan rahasia yang tersembunyi di balik semua perisriwa itu? Untuk mengetahui kelanjutannya, ikutilah kisah berikutnya dari penyelidikan Pendekar Naga Putih dalam episode Tewasnya Raja Racun Merah!

S E L E S A I