Rahasia Pedang Naga Langit - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Rahasia Pedang Naga Langit
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat serial Pendekar Naga Putih

SATU

"Bakar...! Ayo, musnahkan seluruh isi desa ini...!"

Salah seorang dari tiga wanita cantik yang berada di atas punggung kuda tampak berteriak-teriak memberi perintah. Wajahnya yang cantik nampak berseri menyaksikan pemandangan di depannya. Sepasang matanya yang indah, menyiratkan kekejaman yang mengerikan. Sedangkan puluhan orang laki-laki berwajah bengis yang juga menunggang kuda, berlarian menyerbu rumah-rumah penduduk Desa Batu Apung. Beberapa di antaranya memegang obor menyala ditangan.

"Heaaa….!" Sambil berteriak-teriak, gerombolan laki-laki berwajah bengis itu melemparkan obor-obor ke atap rumah penduduk. Dalam sekejap saja, api pun berkobar melalap beberapa rumah.

"Tolong...! Tolooong...!"

Para penghuni rumah berlarian keluar sambil berteriak-teriak ketakutan. Namun begitu melewati pintu rumah, gerombolan penunggang kuda berwajah bengis itu langsung menyambut dengan senjata.

"Mampus kau...!" bentak salah seorang gerombolan itu sambil mengibaskan golok panjangnya.

Brettt... brettt!

"Aaakh...!"

Terdengar teriakan-teriakan ngeri ketika mata golok laki-laki kasar itu merobek tubuh beberapa orang penduduk yang berlari ke arahnya. Tanpa ampun lagi, tubuh orang-orang malang itu ambruk bermandikan darah segar.

Malam yang seharusnya hening, kini menjadi ramai oleh teriakan-teriakan menyayat penduduk Desa Batu Apung. Mereka berlarian ke sana kemari tak tentu arah. Tua muda, besar kecil, laki-laki perempuan, semuanya berbondong-bondong menyelamatkan diri. Tak ada lagi harta yang sempat dibawa.

Jangankan harta. Nyawa pun seperti tak luput dari incaran para perampok itu. Kekejaman yang dilakukan gerombolan itu tentu saja semakin membuat para penduduk Desa Batu Apung semakin kalang-kabut. Sadarlah mereka kalau orang-orang itu adalah gerombolan perampok kejam dan tak kenalampun.

"Biadab...! Kalian lebih patut menjadi penghuni neraka! Di sanalah tempat kalian bersama segala macam iblis dan dedemit!" maki seorang laki-laki setengah baya yang wajahnya ditumbuhi brewok. Dengan kemarahan meluap-luap, golok di tangannya diayunkan. Namun, kemarahan laki-laki brewok itu malah semakin membuat para perampok tertawa puas. Seorang di antaranya bergegas menyambut ayunan golok yang mengarah ke tubuhnya.

Tranggg...!

Terdengar benturan nyaring ketika dua batang senjata bertemu. Namun, laki-laki berwajah brewok itu rupanya berkepandaian juga. Begitu goloknya terbentur, secepat itu pula arah sambarannya diputar menggunakan tenaga benturan tadi.

Wuttt! Brettt!

"Aaakh...!"

Sambaran golok yang tak terduga itu membuat si perampok menjerit ngeri. Karena, mata golok laki-laki brewok itu telah merobek kulit tubuhnya. Maka tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya ambruk dalam keadaan tewas!

"Bangsat! Rupanya kau cukup berisi. Pantas saja berani bertingkah!" bentak salah seorang perampok lainnya. Dia sempat terkejut melihat tubuh kawannya tewas akibat sambaran pedang laki-laki brewok itu. Maka dengan wajah geram, empat orang rekannya diisyaratkan untuk mengeroyok laki-laki brewok itu. Dalam sekejap saja, laki-laki brewok itu sudah terkurung oleh lima orang gerombolan perampok.

"Majulah kalian, Manusia-Manusia Biadab! Aku, Galung tidak ,akan menyerah begitu saja!" tantang laki-laki brewok yang mengaku bernama Galung, tanpa rasa gentar sedikit pun.

Wuttt... wuttt...!

Galung memutar-mutar golok untuk melindungi tubuhnya. Sadar kalau tidak mungkin bisa meloloskan diri dari kematian, maka tekadnya pun semakin bulat. Beberapa orang dari para perampok itu harus dibunuh untuk menebus nyawanya.

"Heaaat...!"

Dibarengi teriakan nyaring, tubuh kelima orang perampok itu berloncatan menyerbu Galung. Senjata mereka langsung saja meluncur, mengancam lima bagian tubuh laki-laki gemuk brewok itu.

Namun tekad membaja yang tertanam di hati Galung sudah demikian kuat. Sehingga, tidak ada lagi rasa takut di dalam dirinya. Maka begitu lima batang senjata meluruk deras ke arahnya, laki-laki brewok itu menggeser tubuh sebisa mungkin untuk menghindari sambaran senjata lawan. Sayang, kepandaian yang dimiliki kelima orang perampok itu cukup lumayan. Apalagi kali ini dengan cara keroyokan. Maka, tentu saja Galung menjadi kerepotan. Sehingga, dalam beberapa jurus saja tubuh laki-laki brewok itu sudah dipenuhi luka akibat goresan senjata pengeroyoknva.

Brettt! Crattt!

"Aaargh...!"

Ketika pertarungan memasuki jurus yang kesepuluh, Galung tidak mampu menghindar lagi dari tebasan dua batang pedang lawan. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya pun terjungkal dan roboh mandi darah. Setelah berkelojotan sesaat, leher laki-laki brewok itu pun terkulai.Tewas!

Namun, kelima orang perampok itu sepertinya sangat mendendam kepada Galung. Meskipun laki-laki brewok itu telah tewas, tubuhnya masih juga dicincang dengan bengis! Benar-benar keji kelakuan kelima orang perampok itu. Jelas, hati mereka benar-benar telah mati dan tanpa perasaan. Sementara itu, tiga orang wanita cantik yang jelas merupakan pimpinan para perampok, kembali berteriak memberi perintah.

"Ayo, cepat...! Kita harus segera meninggalkan desa ini! Angkut semua barang berharga yang mereka miliki!" teriak salah seorang dari ketiga wanita cantik itu dengan suara nyaring dan lantang.

Puluhan laki-laki berwajah bengis yang masing-masing sudah menggondol buntalan berisi harta rampokan itu bergegas melompat ke atas punggung kuda. Namun sebelum sempat meninggalkan Desa Batu Apung, terdengar bentakan yang disusul berloncatan nya beberapa sosok tubuh menghadang perjalanan mereka.

"Mau lari ke mana kalian, Manusia-manusia Biadab?! Huh! Jangan harap dapat pergi begitu saja dari desa ini!" ancam seorang laki-laki tinggi kurus, namun memiliki sikap gagah dan jantan. Sedangkan di belakang laki-laki tinggi kurus itu, tampak belasan sosok tubuh bersenjata terhunus.

"Samilaga! Jangan biarkan mereka meninggalkan desa kita seenak perutnya!"

Terdengar seruan keras yang diiringi suara derap kaki kuda. Tak lama kemudian, tampak seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun di atas punggung kuda. Dia bergerak cepat mendatangi tempat itu. Melihat sikapnya yang berwibawa, jelas kalau laki-laki separuh baya itu merupakan orang terpandang di Desa Batu Apung. Sementara laki-laki tinggi kurus yang dipanggil Samilaga itu menolehkan kepala ke arah asal seruan nyaring tadi. Wajahnya tampak berseri begitu mengenali orang yang datang menunggang kuda hitam itu.

"Ki Wanareja...!" seru Samilaga dengan nada gembira. Bergegas disambutnya kedatangan lelaki penunggang kuda hitam yang ternyata bernama Ki Wanareja, penuh rasa hormat.

Melihat dari sikap yang ditunjukkan Samilaga, jelas kalau Ki Wanareja merupakan atasannya. Sikap hormat yang ditunjukkan Samilaga tentu saja tidak berlebihan. Memang, Ki Wanareja adalah Ke- pala Desa Batu Apung. Sedangkan ia sendiri sebagai kepala keamanan. Kedatangan Ki Wanareja tentu saja membuat hati Samilaga bertambah lega Sebab, kepala desa itu telah beberapa hari pergi menghadap Adipati Blambang kota kadipaten. Sehingga, kehadirannya memang sangat tepat pada saat yang diperlukan.

Namun bukan hanya Samilaga saja yang merasa lega. Bahkan belasan orang berseragam hitam yang merupakan anggota keamanan Desa Batu Apung bertambah keberaniannya. Maka rasa kegentaran terhadap banyaknya anggota perampok, seketika lenyap. Tapi ketiga wanita cantik yang memimpin gerombolan perampok itu ternyata tidak merasa khawatir. Malah salah seorang yang memakai pakaian serba kuning memperdengarkan tawanya yang merdu dan nyaring.

"Ha ha ha...! Untunglah kau cepat datang, Wanareja. Jadi kami tidak perlu susah-susah lagi mencarimu. Bagaimana kabar Adipati Tunggul Wulung? Bukankah kau baru saja menghadap adipati tolol itu?" kata wanita cantik itu, bernada mengejek. Melihat dari cara berbicaranya, jelas wanita itu telah cukup mengenal Kepala Desa Batu Apung.

"Hm.... Kiranya Tiga Dewi Pulau Setan yang datang berkunjung ke desaku ini. Apa yang telah membuat kalian sampai jauh-jauh ke sini? Atau kalian sudah tidak kerasan lagi tinggal di tempat yang menyeramkan itu?" sahut Ki Wanareja. Suaranya tetap tenang, dan tanpa hawa amarah.

"Hik hik hik.... Bagus kau masih mengenali kami, Wanareja. Dan kuharap, kau pun tidak terlalu pelit memberikan hartamu sebelum kami meninggalkan desa kotor ini," timpal wanita cantik yang mengenakan pakaian ungu.

Dia memiliki lesung pipit, sehingga tampak semakin menambah kemanisannya ketika tersenyum. Sayang, sinar mata yang dimilikinya tampak demikian sayu. Sepertinya mengandung undangan bercinta. Sehingga sekali pandang saja, orang sudah dapat menilai kalau dia bukanlah wanita baik-baik.

"Hm Tentu saja aku suka memberikannya kepada kalian. Hanya saja, aku ragu. Apakah kalian akan sanggup melangkahi mayatku dulu?" sahut Ki Wanareja sambil menyunggingkan senyum tenang.

Tentu saja ucapan yang lebih tepat sebuah tantangan, membuat wajah ketiga wanita cantik itu menjadi merah. Dengan sinar mata bengis, wanita yang mengenakan pakaian serba kuning, mengibaskan lengan kanannya kedepan.

"Anak-anak! Habisi orang-orang itu. Biar kakek peot yang sombong ini menjadi bagianku," perintah wanita cantik berpakaian serba kuning dengan suara nyaring. Setelah memberi perintah, tubuh ramping itu pun melayang turun. Kemudian, dia hinggap sejauh satu tombak di hadapan Ki Wanareja. Gerakannya indah, sehingga membuat Ki Wanareja terpukau.

"Bagus...!" puji Ki Wanareja. Mau tidak mau, dia menjadi terkejut juga melihat kehebatan ilmu meringankan tubuh calon lawannya. Meskipun telah lama mendengar kalau ilmu meringankan tubuh Tiga Dewi Pulau Setan cukup tinggi, namun ia sama sekali tidak menduga akan sehebat itu. Tentu saja kenyataan ini membuatnya harus mengambil sikap lebih berhati-hati dalam menghadapi gadis-gadis cantik yang terlihat lemah-lembut itu.

"Jangan cuma bengong seperti ayam sakit begitu, Wanareja. Lebih baik bersiap-siaplah. Agar kematianmu bisa terasa lebih nikmat," ujar wanita cantik itu dengan suara bengis.

Namun, meskipun ucapan gadis berpakaian kuning itu terdengar ketus, tapi bibirnya yang segar tampak mengembangkan senyum manis. Namun tidak demikian halnya Ki Wanareja. la yang telah cukup mengenal banyak tokoh rimba persilatan, tentu saja tidak merasa aneh atas sikap wanita cantik itu. Memang tidak salah apa yang telah didengarnya. Justru pada saat kemarahan tokoh cantik Pulau Setan itu semakin memuncak, maka akan semakin murahlah senyumnya diobral.

Namun demikian, di balik senyuman yang semakin manis itu, ternyata tersembunyi kekejaman yang mengerikan! Sehingga, bagi para tokoh persilatan yang telah mengenal perangainya akan semakin ciut nyalinya. Melihat senyum dara berpakaian serba kuning semakin bertambah manis, hati Ki Wanareja seketika bergetar tenang. Cepat ia melompat turun dari punggung kudanya.

Memang, selain memiliki kepandaian ilmu meringankan tubuh yang tinggi, kepandaian Tiga Dewi Pulau Setan dalam permainan senjata beracun pun sudah sangat terkenal. Tentu saja ingatan itu membuatnya semakin berhati-hati. Dan apa yang diduga Ki Wanareja ternyata cukup beralasan. Tepat pada saat tubuhnya di udara, dara cantik berpakaian serba kuning tampak mengibaskan tangan ke arahnya.

Wuttt...!

Serangkum angin lembut mengiringi luncuran puluhan jarum beracun. Sasarannya, Ki Wanareja. Untungnya lelaki setengah baya itu cepat mencapai tanah, dan langsung bersalto beberapa kali di udara. Sehingga, jarum-jarum beracun yang mematikan itu pun tidak sampai menghunjam tubuhnya. Hanya saja, kudanya harus rela jadi korban sasaran senjata rahasia itu.

"Gila! Wanita cantik itu benar-benar tidak berjantung!" desis Ki Wanareja sambil mengusap peluh dingin yang membasahi keningnya. Ngeri juga hatinya menyaksikan kuda tunggangannya kontan menggelepar tewas dalam keadaan tubuh hangus bagai terbakar.

"Hik hik hik Kau terkejut, Tua Bangka Peot?" ejek wanita cantik itu, sambil tertawa bagai iblis. Sepertinya, kematian kuda itu hanya merupakan lelucon yang menggelitik perutnya.

"Jangan keburu sombong dulu, Iblis Betina! Kelak kau akan merasakan tajamnya sepasang golokku ini!" sahut Ki Wanareja tanpa memperlihatkan kegentaran.

"Hm Aku ingin lihat, sampai di mana kehebatan sepasang golok bututmu itu?" tantang dara cantik berpakaian serba kuning itu, sinis. Usai berkata demikian, tubuhnya yang ramping itu berkelebat menerjang Kepala Desa Batu Apung.

"Haittt...!"

Ki Wanareja tentu saja tidak ingin tubuhnya dijadikan sasaran pukulan bertangan keji. Maka pada saat lengan halus itu hendak mencengkeram lehernya, Ki Wanareja bergerak menggeser ke samping. Gerakan itu masih diiringi tebasan golok di tangan kanannya.

Wuuut...!

Sambaran yang dilancarkan Ki Wanareja ternyata cukup cepat. Bahkan meskipun tebasan pertamanya dapat digagalkan lawan, lelaki setengah baya itu masih dapat menyusuli dengan serangan berikutnya.

"Heaaat...!"

Diiringi bentakan nyaring, tubuh Ki Wanareja berkelebat disertai sambaran sepasang goloknya. Cepat dan mantap sekali gerakannya. Sehingga mau tidak mau, dara berbaju kuning yang menjadi lawannya bergerak mundur. Meskipun serangan-serangannya telah membuat lawan terdesak, namun Ki Wanareja tidak mau terpancing amarahnya. Tebasan-tebasan yang dilakukannya pun, tetap terarah tepat. Bahkan terkadang masih ditambah dengan tendangan-tendangan kilat yang mendadak.

"Yeaaat..!"

Ketika pertarungan memasuki jurus keempat puluh, dara berpakaian serba kuning itu menjadi penasaran! Sambil berteriak melengking, tubuhnya berkelebat cepat dan menyelinap di antara sambaran golok lawan. Sedangkan sepasang tangannya meluncur cepat dengan cengkeraman-cengkeraman yang menebarkan bau amis.

Wuuut.... Wuuut...!

Bukan main terperanjatnya hati Ki Wanareja melihat serangan yang menimbulkan hawa beracun itu. Cepat tubuhnya dilempar hingga satu tombak ke belakang.

Whusss...!

"Akhhh...!" Sayang lemparan tubuh yang dilakukan Ki Wanareja masih kalah cepat dengan gerakan lawan. Sehingga, tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya siap menjadi sasaran pukulan lawan.

Bukkk...!

Ki Wanareja menjerit ketika tubuhnya terbanting ambruk di atas tanah. Pukulan dara berpakaian kuning itu tepat menghantam dadanya. Darah kental berwarna kehitaman, tampak mengalir dan mulutnya. Wajahnya pun perlahan-lahan berubah kehijauan.

"Hekhhh.... Hekhhh..."

Dan sungguh aneh akibat pukulan itu. Bagaikan orang gila, Ki Wanareja mencekik lehernya sendiri. Pengaruh racun yang memasuki tubuhnya, terasa bagai hawa panas tertelan olehnya. Sehingga, kerongkongannya terasa kering kerontang.

Samilaga yang saat itu juga tengah bertarung dengan para anggota perampok, cepat menoleh. Namun, wajahnya kontan memucat. Bergegas lelaki kurus itu melompat ke arah kepala desanya yang seperti tengah bertarung dengan diri sendiri.

"Ki...! Kau..., kau " Samilaga tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Bahkan dia langsung melompat mundur begitu melihat keadaan Ki Wanareja yang mengerikan itu.

Meskipun dalam keadaan sekarat seperti itu, ternyata Ki Wanareja masih sempat mendengar teriakan Samilaga. Maka, kepalanya pun berpaling cepat ke samping. Samilaga yang menjadi tangan kanan Ki Wanareja, kembali melompat mundur melihat tatapan mata kepala desa itu. Memang, sepasang mata Ki Wanareja berubah menjadi liar. Bahkan otaknya tak lagi menunjukkan kewarasan. Jelas, orang nomor satu di Desa Batu Apung itu telah menjadi gila, karena rasa sakit dan penderitaan yang menimpa.

"Hik hik hik.... Hayo lumatkan dia! Hancurkan saja tubuhnya!"

Dara berpakaian serba kuning yang merupakan salah seorang dan Tiga Dewi Pulau Setan, berteriak memerintah kepada Ki Wanareja untuk menerkam Samilaga. Tentu saja hal ini membuat lelaki tinggi kurus itu terkejut.

Dengan penuh amarah, Samilaga menolehkan kepala ke arah dara berbaju kuning itu. Sepasang matanya tampak menyiratkan luka yang menerbitkan dendam.

"Iblis keji! Kau benar-benar bukan manusia! Kau sepantasnya tidak hidup di dunia ini. Tempat yang cocok buat orang sepertimu hanyalah neraka!" maki Samilaga dengan sorot mata penuh dendam. Dan tanpa basa-basi lagi, tubuh lelaki tinggi kurus itu pun langsung melesat disertai tebasan goloknya.

Wuuut...!

Sambaran golok di tangan Samilaga, sama sekali tidak membuat dara berpakaian kuning itu kewalahan. Dengan gerakan yang sangat meremehkan, dia bergeser ke kiri sambil melepaskan sebuah tendangan kilat.

Zebbb....Desss...!

Tendangan dara berpakaian kuning yang tak terduga itu telak menghajar lambung Samilaga. Maka, tubuh tinggi kurus itu pun langsung terpental deras diiringi jerit kesakitannya. Sebenarnya, kalau Samilaga tidak terlalu termakan amarahnya, belum tentu dapat begitu mudah dijatuhkan lawan. Sayang, kemarahan telah membuatnya mata gelap. Sehingga, tendangan kilat itu tidak bisa dihindarinya lagi. Memang, yang terpikir saat itu hanyalah membunuh, dan mencincang tubuh lawan secepatnya. Tentu saja hal itu membuat kewaspadaannya hilang. Sehingga, kerugianlah yang harus diterima.

Dara cantik berpakaian serba kuning itu ternyata tidak membiarkan Samilaga begitu saja. Dengan bibir menyunggingkan senyum manis, dara cantik itu melangkahkan kakinya mendekati tubuh lawan yang hendak bergerak bangkit.

"Hik hik hik...! Kau boleh menyusulnya kalau memang suka...," ujar dara berpakaian kuning itu, disertai kerdipan matanya.

Kemudian, tangannya bergerak. Maka seketika bertebaran semacam bulu-bulu ke seluruh tubuh Samilaga. Kejadian yang menimpa Samilaga setelah tubuhnya terserang bulu-bulu halus, memang mengerikan sekali. Bagaikan orang gila, lelaki tinggi kurus itu mulai mendesis-desis sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya. Sepasang matanya membelalak. Seluruh kulit muka dan tubuhnya, merah bagai terpanggang api.

"Uhhh.... Uhhh.... Uhhh!"

Makin lama, suara mendesis yang keluar dari mulut Samilaga semakin cepat dan keras. Kemudian, ia mulai menggaruk satu bagian tubuhnya. Setelah itu berpindah ke lain tempat. Begitu seterusnya, seluruh tubuh dan wajahnya kebagian. Perbuatan Samilaga semakin menggila. Meskipun sekujur kulit wajah dan tubuhnya telah terkelupas, namun ia tetap saja menggaruk kuat-kuat. Sehingga, darah segar pun mulai mengalir dari luka-luka yang ditimbulkan akibat garukan itu.

"Hik hik hik...! Kau lucu sekali, Lelaki Gagah. Tingkahmu tak jauh berbeda dengan monyet Sayang, wajahmu jauh lebih jelek dari monyet," ejek dara berpakaian serba kuning itu sambil memperdengarkan tawa iblisnya. Setelah kedua orang tokoh Desa Batu Apung itu menggelepar tewas, barulah rombongan perampok itu bergerak meninggalkan desa. Tak seorang pun dari para pengawal kepala desa, ataupun penduduk yang dibiarkan hidup. Seluruhnya tewas dibantai para pengikut Tiga Dewi Pulau Setan.

Desa Batu Apung yang semula tenang dan penuh kedamaian, kini terlihat lengang dan sunyi. Sedang di jalan-jalan utama, hanyalah ceceran darah dan sosok-sosok mayat bergelimpangan tumpang-tindih. Rumah-rumah penduduk yang semula berjajar rapi, kini tinggal puing-puing hitam. Semua yang ada di Desa Batu Apung lenyap dalam sekejap, akibat keganasan gerombolan perampok yang dikepalai Tiga Dewi Pulau Setan.

*******************

DUA

"Kurang ajar...!"

Brakkk!

Bentakan keras yang disusul suara berderak itu, membuat beberapa orang yang duduk langsung menundukkan kepala dengan wajah memucat. Mereka seakan-akan tak berani menatap wajah laki-laki setengah baya yang tengah menahan amarah bergejolak. "Mereka benar-benar telah menginjak mukaku! Ini sudah keterlaluan, dan tidak boleh didiamkan! Kalau hari ini mereka sudah berani menjarah dan memusnahkan Desa Batu Apung, bukan tidak mungkin kalau esok atau lusa akan berani menginjak Kota Kadipaten. Dan kalau hal itu benar-benar terjadi, hancur sudah kewibawaan Kadipaten Blambang."

Kembali suara penuh kemarahan dari lelaki pendek gemuk berkepala botak itu, menggelegar di ruang pertemuan itu. Dia adalah Adipati Blambang. Namanya, Jala Tungga.

"Ampun Gusti Adipati. Hamba kira, hal ini hanya merupakan pancingan saja. Sengaja desa yang letaknya paling dekat dengan kadipaten ini dimusnahkan. Dan apabila kita mengirimkan pasukan untuk membasmi mereka, hamba rasa akan sia-sia saja, Paduka Gusti. Bahkan bukan tidak mungkin pada saat prajurit kita dalam perjalanan menuju Desa Batu Apung, gerombolan perampok itu akan menyerbu kadipaten. Nah, bukankah hal itu akan lebih berbahaya lagi, Gusti?" sergah salah seorang perwira. Dia berusia lima puluh tahun. Pakaiannya tampak dihiasi beberapa tanda jasa. Tampaknya, pengabdiannya pada Kadipaten Blambang telah cukup lama. Dan kini, kembali dia duduk di tempatnya semula.

"Mengapa kau menduga demikian, Pragala? Apakah kau pikir mereka akan dapat merebut kadipaten ini hanya dengan lima puluh orang? Huh! Jangankan baru lima puluh orang perampok, lima ratus orang prajurit terlatih pun belum tentu sanggup merebut Kota Kadipaten ini dan tanganku. Mengerti kau, Pragala?" sahut Adipati Jala Tungga. Jelas kalau ia merasa sangat keberatan atas usul yang diajukan perwira bernama Pragala itu.

"Maaf, Gusti Adipati. Dugaan hamba ini tentu saja didasari alasan kuat. Pertama, selama ini tidak pernah ada desa-desa terdekat yang mendapatkan gangguan perampok. Jangankan desa terdekat. Yang letaknya agak jauh dan kadipaten pun, tidak pernah ada gangguan. Jadi kalau sekarang ini ada gerombolan perampok gila yang berani mengacau desa paling dekat dengan Kadipaten Blambang ini, jelas kalau mereka memang mempunyai niat lain yang tersembunyi. Begitulah apa yang menjadi dugaan hamba, Gusti," jelas Pragala yang rupanya memiliki pandangan tertentu sehubungan peristiwa yang menimpa Desa Batu Apung.

"Tapi sepengetahuanku, yang menjadi kepala para perampok itu adalah tiga orang tokoh sesat yang mengiriskan. Menurut apa yang pernah kudengar, mereka adalah murid seorang nenek tua berwatak cabul yang menjadi penguasa Bukit Setan. Itulah sebabnya, mengapa ketiga orang muridnya yang cantik-cantik itu dijuluki sebagai Tiga Dewi Pulau Setan. Meskipun sangat cantik layaknya dewi kahyangan, namun kekejaman mereka justru melebihi kekejaman iblis neraka. Jadi menurut pendapat hamba, ya wajar saja. Tokoh-tokoh sesat berkepandaian tinggi seperti mereka tentu saja tidak merasa takut meski untuk mengacau Kota Kadipaten sekalipun...!" timpal seorang laki-laki lain yang juga berpakaian seorang perwira. Dan pendapat yang dikemukakannya, jelas sangat bertolak belakang dengan pendapat Pragala.

"Nah! Bagaimana pendapatmu, Pragala...? Apa yang diucapkan Lukanji itu, jelas lebih tepat. Dan kalau kita tetap diam diri saja, bukan tidak mungkin esok mereka akan datang mengacau Kota Kadipaten Blambang ini. Sudahlah, sebaiknya, sekarang seratus orang prajurit pilihan harus dikumpulkan. Basmi gerombolan perampok kurang ajar itu sampai tuntas. Dan, ingat! Kau kularang kembali sebelum para perampok laknat itu berhasil ditumpas. Masih keberatan, Pragala...?" ujar Adipati Jala Tungga sambil menatap wajah Pragala lekat-lekat.

"Tentu saja tidak, Gusti Adipati. Segala titah Gusti, akan hamba jalankan sebaik-baiknya," sahut perwira berusia sekitar lima puluh tahun itu dengan wajah tenang. "Kapan kami harus berangkat, Gusti...?"

"Secepatnya. Usai persiapan, langsung bawa pasukanmu ke Desa Batu Apung. Kuharap, kau dapat menjalankan tugasmu dengan sebaik-baiknya, Pragala," sahut Adipati Jala Tungga dengan suara berwibawa.

"Hamba, Gusti Adipati..." Setelah memberi hormat, Pragala pun beranjak keluar dari ruang pertemuan itu. Langkahnya terlihat lebar dan mantap. Jelas, lelaki bertubuh tegap itu merupakan seorang ahli silat yang cukup tangguh.

"Hamba ragu kalau dia akan dapat menjalankan tugas berat ini, Gusti…! Kata perwira berusia empat puluh tahun yang tadi dipanggil Lukanji. Mimik wajahnya jelas menggambarkan perasaan tak suka kepada Pragala.

"Hm.... Apakah kau merasa lebih mampu mengemban tugas ini?" sahut Adipati Jala Tungga. Nadanya seperti memperingatkan akan ucapan bawahannya itu.

Tentu saja Lukanji yang usulnya didengar Adipati Blambang tadi menjadi terkejut. Semula karena usulnya diperhatikan, perwira itu merasa lebih disukai ketimbang Pragala. Buktinya, nyata sekali kalau Adipati Jala Tungga membelanya tadi. Tapi, dugaannya ternyata meleset. Meskipun ucapan Pragala tadi tidak disukai sang Adipati, namun ternyata masih lebih dipercaya daripada Lukanji. Dan terus terang, perwira muda itu memang kurang begitu suka terhadap Pragala.

"Bagaimana, Lukanji? Apakah kau merasa lebih mampu daripada Pragala?" tanya Adipati Jala Tungga lagi ketika melihat perwira itu hanya memandanginya.

"Bukan begitu maksud hamba, Gusti Adipati. Hanya saja, Kakang Pragala terlihat sudah cukup berumur. Jadi, rasanya tugas yang diberikan kepadanya mungkin terlalu berat, Gusti," meski agak gugup, Lukanji tetap memberikan jawaban. Sedang sepasang matanya tampak gelisah mencari jalan keluar.

"Hm.... Jadi kau bermaksud hendak menggantikannya? Begitu?" desak sang Adipati lagi. Hingga wajah Lukanji tampak semakin gelisah.

"Maaf, Gusti. Sama sekali hamba tidak bermaksud demikian. Hamba hanya..., hanya.... Ah, lebih baik hamba pamit dulu, Gusti. Hamba masih mempunyai pekerjaan yang belum diselesaikan." Dan tanpa menunggu jawaban dari junjungannya, perwira yang mempunyai kemauan tinggi itu pun bergegas meninggalkan ruangan pertemuan tanpa menoleh lagi.

Adipati Jala Tungga hanya tersenyum melihat kelakuan perwira muda yang baru beberapa bulan menjadi pembantunya. Meskipun sang Adipati sendiri sudah mengetahui wataknya, namun tidak terlihat adanya sifat-sifat jelek yang ditunjukkan Lukanji. Jadi tidak ada alasan untuk memecat pembantunya yang memiliki kepandaian cukup tinggi dan bisa diandalkan.

Tiga orang pengawal rahasia Adipati Jala Tungga yang ikut hadir dalam pertemuan itu, tersenyum geli. Mereka memang diperbolehkan mengikuti pertemuan itu, namun tidak diperbolehkan mengutarakan pendapat. Ketiga orang pengawal rahasia itu bukan merupakan tentara kadipaten, namun keberadaannya sangat disegani baik oleh prajurit tingkat rendah, sampai perwira kadipaten sendiri.

Memang, mereka merupakan pengawal rahasia yang bertugas melindungi keselamatan Adipati Jala Tungga. Itulah yang menyebabkan ketiga orang itu berada di ruang pertemuan. Dan ketika sang Adipati sendiri mulai beranjak meninggalkan ruang pertemuan itu, maka ketiga orang pengawal rahasia itu pun bergegas mengikuti junjungannya.

*******************

Pragala, perwira tertua di Kadipaten Blambang itu membawa seratus orang prajurit pilihannya menuju Desa Batu Apung. Meskipun hal itu tidak terlalu disetujuinya, namun perintah junjungannya tetap dituruti. Biar bagaimanapun dia harus mengabdikan diri pada Kadipaten Blambang. Sebenarnya, Pragala bukanlah orang asing dalam dunia persilatan.

Sebagai murid sebuah perguruan yang cukup besar dan cukup terkenal dalam rimba persilatan, maka ia pun telah banyak mengenal tokoh rimba persilatan. Hanya saja, nama Tiga Dewi Pulau Setan memang belum pernah didengarnya. Dan itu memang wajar, karena ketiga orang tokoh sesat yang kabarnya cantik bagai seorang dewi itu jarang sekali muncul di dunia ramai. Mereka lebih suka menyembunyikan diri di pulau kediaman mereka. Maka kalau sampai keluar dan melakukan perampokan, tentu ada sesuatu yang menyebabkannya.

"Hm.... Aneh-aneh saja orang-orang rimba persilatan itu. Kalau memang benar mereka berwajah cantik bagai seorang dewi, mengapa harus merampok? Rasanya kalau mereka muncul di Kota Kadipaten, bukan tidak mungkin bisa mendapatkan jodoh seorang putra adipati. Bukankah itu lebih baik ketimbang menjadi perampok hina?" Batin Pragala tak habis mengerti akan ulah ketiga tokoh aneh yang dikabarkan sangat cantik itu.

Sementara, rombongan yang dibawa Pragala sudah mulai memasuki perbatasan Desa Batu Apung. Perwira setengah baya itu memerintahkan dengan isyarat tangan agar pasukan di belakangnya memperlambat langkah. Pragala menjalankan kudanya perlahan memeriksa sekeliling tempat itu. Sedang pasukan di belakangnya berhenti dan menunggu isyarat lagi. Sementara dua orang perwira lain yang masing-masing berusia tiga puluh tahun dan tiga puluh lima tahun, bergerak mendampingi Pragala.

Dengan naluri peka, Pragala seperti bisa merasakan kalau daerah di sekitar tempat itu sama sekali tidak mengandung ancaman bahaya. Meski di sekeliling mereka rapat ditumbuhi semak-semak, namun semua itu sama sekali tidak menimbulkan rasa tegang di hati Pragala. Tak lama setelah itu, Pragala mengibaskan lengan kanannya ke depan sebagai isyarat untuk maju. Sedangkan ia sendiri, terus melangkahkan kudanya perlahan di depan.

Kening perwira setengah baya itu baru berkerut ketika mereka hampir tiba di mulut Desa Batu Apung. Sepasang lengan Pragala memberi isyarat kepada para prajuritnya untuk menyebar dan mengurung mulut desa itu. Kemudian, setelah pasukan terpecah menjadi tiga kelompok, mereka pun mulai bergerak hati-hati memasuki desa.

"Aaaa…..!" Tiba-tiba terdengar jerit kematian yang memecah ketegangan para prajurit Kadipaten Blambang itu. Cepat bagai kilat, mereka berlompatan ke arah asal jeritan tadi.

Namun, apa yang disaksikan oleh para prajurit itu benar-benar membuat keberanian seketika lenyap! Di depan mereka, tampak lima orang prajurit berkelojotan sekarat Sekujur tubuh mereka berwarna kehijauan, dan dari mulut keluar lendir yang berbau busuk.

"Gila! Hati-hati! Desa ini telah dipenuhi racun jahat! Ayo, cepat keluar...!"

Pragala yang segera saja dapat membaca apa yang telah menimpa lima prajuritnya, cepat mengambil sikap. Diperintahkannya para prajurit yang lain untuk segera keluar dari dalam desa. Dan rasanya, Pragala tidak perlu mengulang perintahnya. Memang tanpa diperintah sekalipun, para prajurit yang sudah dicekam rasa ngeri itu pasti akan lari lintang-pukang meninggalkan desa itu. Dalam waktu singkat saja, puluhan orang prajurit Kadipaten Blambang telah keluar dari Desa Batu Apung. Dan kini mereka hanya berdiri menanti perintah perwira mereka.

"Bagaimana ini, Kakang? Apa yang harus kita perbuat?" tanya salah seorang perwira kepada Pragala yang merupakan pimpinan rombongan.

"Kita ambil jalan memutar melalui hutan didepan itu..." sahut Pragala sambil melepaskan pandangannya ke sebuah mulut hutan yang terpisah beberapa belas tombak dari tempat mereka berdiri.

"Bukankah hal itu akan lebih berbahaya, Kakang. Apa- lagi, kita sama sekali belum tahu keadaan hutan itu," salah seorang perwira bawahan Pragala, mencoba memberi pandangannya.

Jelas kalau ia sudah terpengaruh oleh kejadian yang baru saja menimpa lima orang prajuritnya. Sehingga kedua orang perwira itu bersikap lebih berhati-hati dalam mengambil langkah berikutnya.

"Hm.... Kurasa jalan itu akan lebih baik daripada harus melewati desa yang seluruhnya mungkin telah tercemar racun keji itu. Nah, menurutmu jalan mana yang lebih baik, Adi?" tanya Pragala meminta pendapat kedua orang pembantunya, meskipun sebenarnya ia tidak memberi pilihan pada kedua orang perwira itu.

"Yah.... Rasanya memang tidak ada pilihan lagi untuk kita, Kakang. Dan satu-satunya jalan, memang hutan di depan itulah yang harus kita tembus," sahut salah seorang perwira pembantu Pragala yang memiliki tahi lalat besar di pipi sebelah Kirinya. Dia bernama Jatalu.

"Hm.... Bagaimana, Jaladra? Apakah punya jalan keluar yang lebih baik?" tanya Pragala kepada perwira yang bernama Jaladra.

"Tidak, Kakang. Memang itulah satu-satunya jalan terdekat yang kita miliki saat ini," sahut Jaladra cepat.

"Kumpulkan mereka. Kita harus keluar dari dalam hutan itu saat hari belum gelap. Ayo kita berangkat," perintah Pragala yang segera melompat naik ke punggung kuda, dan menggebahnya perlahan-lahan.

Rombongan prajurit Kadipaten Blambang itu pun kembali bergerak. Kali ini mereka harus melewati hutan lebat, namun tidak terlalu besar. Sehingga, dapat dilalui tanpa harus bermalam di dalamnya. Matahari sudah semakin naik tinggi ketika rom- bongan yang di bawah pimpinan Pragala hampir melewati hutan lebat itu. Mereka terus bergerak tanpa mengenal lelah.

*******************

Tidak berapa lama kemudian, rombongan itu tiba diluar hutan. Namun baru saja rombongan terakhir keluar dari dalam hutan, terdengar teriakan ngeri yang disusul bertumbangannya beberapa orang prajurit. Jaladra, perwira bertubuh kekar itu, bergegas menghampiri enam sosok anak buahnya yang diam tak bergerak.

"Gila! Mereka tewas semua, Kakang. Entah apa yang menyebabkannya?" lapor Jaladra ketika melihat Pragala sudah berdiri di sebelahnya.

"Hm Mereka tergigit semut merah yang mengandung racun api. Kau lihat saja kulit tubuh mereka yang melepuh bagaikan terbakar itu," sahut Pragala yang segera mengedarkan pandangan ke tanah tempatnya berpijak.

"Ahhh...! Mundur...!" Pragala yang melihat barisan semut merah yang be- sarnya dua kali semut biasa, bergerak cepat merayap menuju ke arah rombongan.

"Hik hik hik...! Ayo, Manis. Nikmatilah makan soremu untuk hari ini."

Tiba-tiba terdengar suara merdu yang entah dari mana datangnya. Dan tahu-tahu saja, seorang dara cantik bagaikan seorang dewi telah duduk mencangkung di atas sebatang ranting pohon yang cukup tinggi.

"Keparat! Dasar kau iblis betina keji! Turunlah kalau memang ingin membunuh kami. Mengapa harus bersembunyi dan mengandalkan binatang beracun sebagai pelindungmu?!" tantang Pragala yang menjadi marah sekali ketika melihat gadis cantik itu di atas cabang pohon.

"Hik hik hik. Jangan takabur, Perwira Peot Lihatlah dirimu, apa yang kau andalkan untuk menghadapiku? Pasukanmu, bukan? Lalu, apa bedamu dengan aku yang hanya mengandalkan beberapa ratus ekor semut sebagai pelindung. Apakah itu salah?" balas wanita cantik berusia sekitar tiga puluh tahun itu.

Wanita itu mengenakan pakaian berwarna ungu. Itulah sebabnya, dia berjuluk Dewi Baju Ungu. Rambutnya yang tebal dan gemuk, tampak diikat sehelai selendang yang juga berwarna ungu. Benar-benar seorang wanita yang sangat cantik dan menarik!

"Bangsat! Anak-anak, hujani iblis wanita itu dengan anak panah. Cepat..!" teriak Pragala memerintah sambil menudingkan tangan kanannya ke tempat wanita itu duduk. Namun, sebelum para prajurit Pragala sempat menyiapkan anak panah dan busurnya, tiba-tiba terdengar suara mendengung laksana ribuan lebah mengamuk.

"Aaa…!"

"Aaakh...!"

Terdengar jeritan-jeritan kematian yang merobek ketenangan suasana sore itu. Kemudian, disusul berjatuhannya puluhan orang prajurit Kadipaten Blambang dalam keadaan tewas. Ternyata sebelum para prajurit Kadipaten Blambang sempat melepaskan anak panah, mereka telah dihujani puluhan batang anak panah dari empat penjuru. Dan sebelum yang lain sempat menyadari keadaan itu, tiba-tiba puluhan sosok tubuh berlompatan dari balik semak-semak di sekeliling mereka.

"Yeaaa...!"

"Heaaa...!"

Teriakan-teriakan parau dan jerit kematian pun susul menyusul ketika pertarungan besar-besaran itu tidak bisa dihindari lagi. Puluhan orang kasar yang ternyata memang gerombolan perampok di bawah pimpinan Tiga Dewi Pulau Setan, terus mendesak prajurit kadipaten tanpa memberi peluang sedikit pun. Sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, tentara Kadipaten Blambang sudah lebih dari separuhnya yang tewas. Jaladra dan Jatalu tengah berjuang mati-matian untuk dapat menyelamatkan diri dari ancaman senjata para pengeroyok

"Haiiit...!" Sambil berseru nyaring, Jaladra melompat Setinggi bahu dan langsung mengibaskan goloknya sekuat tenaga.

Bettt...! Brettt! Brettt!

Tanpa dapat dicegah lagi, dua orang pengepung yang berada di sebelah kanannya terjungkal mandi darah. Namun, sebelum Jaladra sempat memperbaiki keadaannya, sebuah bacokan keras telah membuat tubuhnya terhuyung dengan luka menganga di punggung.

"Aaakh...!" Jaladra meraung merasakan sakit luar biasa pada punggungnya. Namun sebelum sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu saja sebuah benda halus telah menjerat lehernya.

"Haaat ..!"

Terdengar sebuah bentakan nyaring yang dibarengi terangkatnya tubuh Jaladra. Tentu saja kenyataan ini membuat perwira itu semakin bertambah pucat. Saat itu juga langsung dapat ditebak ketika keharuman yang menebar dari selendang hijau yang melilit batang lehernya tercium. Dia adalah salah seorang dari Tiga Dewi Pulau Setan, yang berjuluk Dewi Baju Hijau. Tampak Dewi Baju Hijau yang berusia dua puluh tujuh tahun dan memiliki paras memikat itu tengah tertawa-tawa. Tangannya sibuk mempermainkan selendang hijau yang ujungnya melilit di leher Jaladra.

"Hait...!"

Tiba-tiba sambil memperdengarkan teriakan nyaring, Dewi Baju Hijau melecutkan selendang hijaunya ke bawah. Dan tentu saja gerakan selendang gadis itu membuat tubuh Jaladra meluncur deras ke atas tanah! Dan....

Prakkk!

Darah segar berhamburan ketika kepala Jaladra terjatuh menimpa sebuah batu cadas cukup besar. Tanpa ampun lagi, laki-laki pendek kekar itu pun menghembuskan napasnya yang terakhir dengan keadaan mengenaskan. Sedangkan Pragala yang merasa sangat dendam terhadap Dewi Baju Ungu sudah pula bertarung sengit Namun, bukan main terkejutnya hati perwira setengah baya itu ketika mendapat kenyataan kalau kepandaiannya masih berada di bawah dara jelita itu. Tentu saja kenyataan pahit itu menimbulkan kecemasan dalamh atinya.

"Sahabat, kami datang menolong...!"

Terdengar seruan nyaring yang disusul berkelebatnya belasan sosok tubuh yang mengenakan pakaian serba putih. Begitu tiba, belasan sosok tubuh itu langsung saja menerjunkan diri ke dalam kancah pertempuran.

"Heaaat...!"

Salah seorang dari mereka yang dari teriakan dan gerakannya jelas adalah seorang wanita, mengamuk hebat! Sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, enam orang anggota perampok Tiga Dewi Pulau Setan telah dapat dirobohkannya.

Tentu saja kenyataan itu membuat Pragala menarik napas lega. Bayangkan saja! la yang merasa sudah tidak mempunyai harapan hidup lagi, tiba-tiba saja datang belasan sosok jubah berpakaian serba putih yang langsung menerjunkan diri dalam pertempuran. Sedangkan ia sendiri sudah dibantu seorang berpakaian putih yang wajahnya ditumbuhi brewok.

Gerakan golok besar di tangan laki-laki brewok itu ternyata sanggup membendung serangan Dewi Baju Ungu. Maka, selamatlah nyawa Pragala dari kematian. Tengah para perampok itu terdesak hebat, terdengar suara siulan melengking panjang dan menggetarkan. Sehingga pertempuran yang tengah berlangsung sengit itu terhenti sejenak. Siulan melengking itu, rupanya merupakan isyarat bagi para perampok. Mendengar suara itu, Dewi Baju Hijau dan Dewi Baju Ungu serentak memberi isyarat kembali dengan nada yang sama. Saat itu juga keduanya meninggalkan arena pertempuran, diikuti para anggotanya.

Pragala dan orang-orang berpakaian serba putih tersentak kaget Ternyata sebelum meninggalkan arena pertarungan, Dewi Baju Ungu sempat melepaskan Semut Racun Api yang tadi telah dimasukkannya ke dalam bumbung bambu. Untunglah baik Pragala maupun laki-laki brewok yang menolongnya sempat melompat mundur. Sehingga, keduanya yang memang berada paling dekat dengan Dewi Baju Ungu dapat menyelamatkan dirt dari binatang-binatang beracun itu. Beberapa orang prajurit yang tak sempat menghindarkan diri, langsung menggelepar tewas dengan kulit tubuh melepuh. Tentu saja hal itu membuat yang lain menjadi kalang-kabut!

"Ayo, cepat tinggalkan tempat celaka ini...!" seru brewok, cepat mengambil tindakan tepat Kemudian, tubuhnya langsung melesat mendahului yang lain.

Mendengar seruan itu, Pragala pun tersadar dari keter- pakuannya. Cepat diperintahkannya para prajurit untuk segera menjauhi tempat itu. Tanpa diperintah dua kali, sisa para prajurit Kadipaten Blambang bergegas mengikuti pemimpinnya. Sebentar saja, tempat itu pun menjadi sunyi. Yang tinggal hanyalah mayat-mayat bergelimpangan sang tumpang tindih. Sementara, bau amis yang disertai bau anyir darah, menyebar memenuhi tempat itu.

*******************

TIGA

Seorang pemuda tampan mengenakan jubah berwarna putih, tengah melangkah diiringi hembusan angin pagi. Jubah panjangnya, berkibar dipermainkan angin. Rambutnya yang jatuh di bahu, bergoyang mengikuti ayunan kakinya. Menilik gerak-gerik maupun ayunan langkahnya yang ringan dan mantap, jelas kalau pemuda tampan itu bukan orang sembarangan. Sorot matanya yang tajam, menyiratkan perbawa dan kekuatan hebat. Apalagi jika orang melihat gagang pedang yang menyembul di balik bahunya. Jelas sudah kalau pemuda tampan itu memang seorang tokoh rimba persilatan.

Melihat ciri-ciri maupun Pedang Naga Langit yang tersampir di punggung, sudah dapat ditebak kalau pemuda itu pasti Panji yang lebih dikenal Pendekar Naga Putih. Ketika tiba pada sebuah tepi sungai, Panji menghentikan langkahnya sejenak. Pandangannya segera beredar ke sekeliling tempat itu. Pendekar Naga Putih teringat akan tugas yang diberikan Raja Obat, sehingga terpaksa harus berpisah, setelah berhasil meloloskan diri dari tokoh sesat yang berjuluk Malaikat Gerbang Neraka. Memang, Raja Obat menginginkan Panji agar menyelidiki tokoh yang mengiriskan itu. Dan tugas itu telah disanggupinya.

Raja Obat sendiri akan menghubungi tokoh-tokoh golongan putih lain, karena kehadiran tokoh sesat itu jelas merupakan ancaman bagi golongan putih. Dan Raja Obat berniat mengadakan pertemuan sehubungan dengan munculnya Malaikat Gerbang Neraka (Untuk mengetahui lebih jelas tentang pertemuan Pendekar Naga Putih dan Raja Obat, silakan mengikuti episode Malaikat Gerbang Neraka).

"Hm.... Apa sebenarnya yang tengah direncanakan para tokoh golongan sesat itu? Rasanya tidak mungkin kalau hanya sekadar menguasai dunia persilatan saja. Aku harus mencari keterangan tentang rencana mereka yang sebenarnya," gumam Panji menanamkan tekad dalam hati.

Setelah mengambil keputusan demikian, Pendekar Naga Putih pun mengayun langkahnya. Sungai lebar yang membentang di depan, sama sekali tidak menghalangi geraknya. Dengan bertumpu pada permukaan batu-batu yang menyembul di permukaan air, pemuda itu menyeberangi aliran sungai tanpa kesulitan. Bagaikan seekor burung besar yang tengah bermain-main di angkasa, tubuh Pendekar Naga Putih berloncatan menuju seberang sungai. Dalam beberapa kejapan mata saja, tubuhnya sudah tiba di seberang sana.

Tanpa terburu-buru, pendekar muda itu melanjutkan perjalanannya menyusuri dataran berumput tebal. Panji mengerutkan keningnya ketika tiba pada sebuah jalan lebar. Tampak orang berbondong-bondong tengah menuju ke arahnya. Kalau saja Panji tidak melihat raut wajah mereka yang ketakutan dan juga buntalan-buntalan besar di bahu mereka, tentu tidak akan mengambil peduli. Namun karena tingkah laku mereka demikian menarik perhatian, tentu saja pemuda itu pun menjadi ingin mengetahuinya. Ketika rombongan orang yang mirip pengungsi itu lewat di sampingnya, Panji bergegas merendengi salah seorang di antara mereka.

"Maaf, Kisanak. Boleh aku tahu? Hendak ke manakah tujuan kalian sebenarnya? Dan mengapa terlihat begitu terburu-buru?" tanya Panji sambil mengiringi langkah kaki salah seorang dan mereka yang berusia sekitar lima puluh tahun lebih.

"Kau sendiri, hendak menuju ke manakah, Anak Muda?" tanya laki-laki itu balik bertanya. Orang itu menatap wajah dan sekujur tubuh Pendekar Naga Putih. Keningnya terlihat berkerut ketika sepasang matanya tertumbuk pada gagang pedang di punggung pemuda itu. Jelas, sepasang mata itu menyiratkan rasa tidak suka melihat gagang pedang yang tersembul di balik bahu pemuda itu.

"Maaf, Paman. Kebetulan aku hendak menuju ke arah yang kalian tinggalkan. Jadi, aku ingin mengetahui apa yang tengah terjadi di desa depan sana?" sahut Panji sambil menuding kebelakang.

"Hm.... Kalau ingin mendapat celaka, pergilah ke sana. Di depan sana, bukan sebuah desa seperti yang kau kira. Tapi, sebuah kota kadipaten. Dan tempat itu sekarang telah menjadi neraka! Empat orang laki-laki berwatak seperti iblis, telah mengamuk dan menguasai Kadipaten Blambang. Tak lama setelah seluruh kota dikuasai, datang serombongan orang berkuda yang mungkin merupakan pengikutnya.

Dan ternyata rombongan orang itu lebih jahat lagi. Mereka merampok dan mengganggu anak gadis serta istri orang. Siapa saja yang melawan, dibunuh tanpa ampun. Itulah sebabnya, mengapa kami para penduduk kadipaten hendak mengungsi dan mencari tempat lain yang lebih aman," jelas laki-laki setengah baya itu tanpa menghentikan langkah sedikitpun.

"Apakah Paman tidak bisa mengenali, siapa adanya orang-orang itu? Dan ke mana perginya penguasa Kadipaten Blambang? Bukankah Gusti Adipati memiliki banyak prajurit tangguh? Mengapa mereka tidak melakukan perlawanan?" tanya Panji lagi merasa belum puas atas ke- terangan orang itu.

"Hm... Apakah kau tidak tahu, hampir sebagian prajurit pilihan telah dikerahkan untuk menumpas gerombolan perampok yang mengacau Desa Batu Apung. Nah, tak lama setelah kepergian para prajurit yang dipimpin perwira Pragala, datanglah keempat manusia iblis itu. Mereka mengamuk dan membunuhi seluruh prajurit yang mencoba melawan. Bahkan tiga orang jagoan kadipaten pun, kabarnya tak mampu membendung amukan mereka. Sampai-sampai Gusti Adipati sendiri harus tunduk di bawah kekuasaan keempat orang itu," tutur laki-laki setengah baya itu.

Laki-laki setengah baya itu menghentikan ceritanya sejenak. Di matanya, tampak memancar sinar ketakutan. Rupanya, peristiwa di Kadipaten Blambang sangat memukul batinnya. Betapa tidak? Anak gadisnya telah diperkosa anggota perampok, lalu dibunuh!

"Karena tidak ada lagi yang dapat diharapkan untuk melindungi keselamatan kami, maka para penduduk yang masih selamat bergegas meninggalkan kota kadipaten. Kalau boleh kunasihatkan, Anak Muda! Jika masih menyayangi nyawamu, sebaiknya tinggalkanlah tempat ini. Urungkan saja niatmu untuk melihat tempat yang kini telah menjadi sarang manusia iblis itu," lanjut lelaki setengah baya itu sambil menasihati Panji. Kemudian dia bergegas menyusul rombongannya.

Setelah merasa kalau keterangan yang didapat cukup lengkap, Panji pun menghentikan langkahnya. Dibiarkannya lelaki setengah baya itu melangkah terburu- buru menyusul kawan-kawannya yang lain. "Hm.... Orang-orang yang menguasai Kadipaten Blambang sudah hampir pasti para pengikut Malaikat Gerbang Neraka. Tahulah aku sekarang, mereka pasti bukan hanya sekadar ingin menguasai kadipaten itu. Tapi, mungkin saja tengah merencanakan sesuatu yang lebih besar lagi," gumam Panji sambil melangkah menyusuri jalan lebar yang berhubungan langsung dengan Kota Kadipaten Blambang. "Aku harus menyelidikinya."

Setelah mengambil keputusan demikian, tubuh Panji pun segera berkelebat cepat menuju Kota Kadipaten Blambang. Pemuda itu sengaja mengambil jalan melalui hutan kecil agar tidak berpapasan dengan para pengungsi ataupun gerombolan pengacau. Masalahnya, bukan tidak mungkin kalau para pengacau itu akan mengadakan pembersihan di sekitar daerah ini.

Pendekar Naga Putih menyelinap di balik semak-semak ketika tiba di gerbang sebelah Barat. Tampak beberapa belas orang tengah berjaga-jaga di sana. Panji memutar otaknya untuk mencari jalan agar dapat memasuki kota kadipaten tanpa harus mengalami kesulitan. Karena tidak juga menemukan jalan masuk, akhirnya pemuda itu memutuskan untuk menyelidiki kota pada waktu malam. Hanya kegelapan malamlah yang diharapkan dapat membantunya.

*******************

Saat itu, kegelapan sudah menyelimuti permukaan Kota Kadipaten Blambang. Tampak sesosok bayangan putih melesat melewati tempat-tempat sunyi dan gelap. Melihat dari sikapnya, jelas kalau kedatangannya tidak ingin diketahui orang. Dengan ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai titik kesempurnaan, sosok bayangan putih itu bergerak cepat di atas rumah-rumah penduduk. Karena gerakannya sangat cepat dan hanya merupakan kelebatan bayangan, maka tak seorangpun yang merasa tertarik. Apalagi ia selalu bergerak di tempat-tempat yang terlindung kegelapan. Maka sosok tubuh itu tidak sampai terlihat dari bawah.

Tak lama kemudian, sosok bayangan putih itu terlihat menghentikan gerakannya. Tubuhnya direndahkan untuk mengamati sebuah bangunan megah yang jelas merupakan tempat kediaman Adipati Jala Tungga. Dengan mengandalkan pancaran cahaya obor yang terpancang di depan bangunan megah itu, matanya melihat belasan sosok tubuh tengah hilir-mudik berjaga-jaga di depan gerbang.

Sosok bayangan putih itu kemudian melayang turun ketika beberapa orang penjaga tampak meninggalkan tempat itu untuk berkeliling. Maka kesempatan itu pun dipergunakannya untuk membungkam seorang penjaga yang kebetulan memisahkan diri dari kawan-kawannya. Tanpa mengalami kesulitan, dibekuknya penjaga yang tengah merapat ke semak-semak itu.

"Cepat katakan, siapa saja yang saat ini mendiami bangunan besar itu! Jawab kalau tidak ingin melayat ke akhirat!" ancam bayangan putih yang ternyata Pendekar Naga Putih, setelah menyeret orang itu ke semak-semak yang letaknya cukup jauh dari pintu gerbang.

Wajah orang itu pucat seperti mayat ketika melihat sosok tubuh bersinar putih keperakan menyergapnya. Kalau saja Pendekar Naga Putih tidak menyangganya, pastilah tubuh orang itu sudah melorot jatuh. Memang, kedua lutut orang itu terasa lemas bagaikan tak bertulang.

"Cepat jawab! Atau kau memang telah rindu dengan api neraka!" desis Panji ketika orang itu belum juga bisa menjawab pertanyaannya.

"Oh..., eh...! Datuk... Panglima Sesat, Memedi Karang Api..., Raja Iblis Baju Merah, dan.... Kuntilanak Bukit Mandau.... Mereka... itulah yang berada dalam gedung," jawab lelaki itu dengan suara terpatah-patah.

"Hm.... Apakah orang yang berjuluk Malaikat Gerbang Neraka ada bersama mereka?" tanya Panji lagi.

"Tidak. Pemimpin Agung kami belum datang," sahut orang itu lagi dengan suara semakin lemah.

"Bagaimana dengan Tengkorak Hutan Jati dan Garuda Mata Satu? Apakah keduanya tidak berada di tempat ini?"

"Ya, mereka juga di dalam gedung….”

"Terima kasih. Sekarang kau beristirahatlah di sini," ucap Panji, langsung melancarkan totokan pelumpuh. Tanpa sempat berteriak lagi, orang itu pun melorot jatuh dalam keadaan pingsan. Setelah menyembunyikan sosok tubuh itu di semak yang tersembunyi, tubuh Panji pun segera melesat menuju tembok samping bangunan megah itu.

Yakin kalau dirinya tidak terlihat oleh seorang pun, Panji segera menjejak tanah. Saat itu juga tubuhnya langsung melambung melewati tembok setinggi dua tombak. Begitu kakinya mendarat di halaman samping gedung, pemuda itu kembali melesat melewati taman yang terletak di samping gedung itu. Malang! Baru saja pemuda itu hendak menyelinap di balik sebatang pohon, sesosok tubuh memergokinya!

"Hei, berhenti...!" seru sosok tinggi kurus yang langsung melesat mengejar Panji.

"Celaka...! Bukankah orang itu yang berjuluk Tengkorak Hutan Jati…! Hm.... Aku harus segera membungkamnya," gumam Panji yang merasa terkejut ketika dapat mengenali orang itu.

Panji merapatkan tubuhnya dengan batang pohon sambil menanti kedatangan Tengkorak Hutan Jati. Dan begitu sosok tubuh tinggi kurus itu semakin mendekati tempatnya, tubuh pemuda itu langsung melesat dan melancarkan serangan maut!

Bettt...!

"Aaakh...!" Tengkorak Hutan Jati berseru kaget melihat da- tangnya serangan dahsyat itu. Cepat tubuhnya digeser kesamping sambil mengirim serangan balasan dengan jurus 'Cakar Penghancur Tulang'nya.

Namun, yang kali ini dihadapi adalah Pendekar Naga Putih, yang tidak bisa disamakan dengan lawan-lawannya terdahulu. Apalagi, saat itu Panji mengirimkan serangan yang tidak kepalang tanggung. Memang pemuda itu sadar kalau harus segera membungkam lawannya. Kalau tidak, maka kedudukannya akan sangat berbahaya.

Maka, begitu serangan pertamanya berhasil dihindari lawan, Panji langsung menyusul dengan hantaman telapak tangan yang meluncur deras mengancam dada, Sedangkan tendangan yang mengarah ke lambungnya, sama sekali tidak dipedulikan. Tapi, tentu saja Panji telah mengerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi lambung yang menjadi incaran serangan lawan.

Bukkk! Wuttt! Desss...!

Tendangan Tengkorak Hutan Jati yang telak menghajar lambung Panji, malah membuat orang itu menjerit kesakitan. Dan sebelum lawan terbebas dari rasa terkejutnya, telapak tangan pemuda itu telah menghajar dada kiri lawan. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh tinggi kurus itu pun terjengkang ke belakang. Darah segar langsung menyembur dari mulutnya. Tokoh sesat yang terkenal kejam dan jarang menemukan tandingan itu, terpaksa harus merelakan tubuhnya terbanting keras ketanah.

Bruggg!

"Hukkk...!" Terdengar keluhan pendek yang keluar dari mulut tokoh sesat bertubuh tinggi kurus itu. Namun, meskipun pinggang dan dadanya terasa sakit, Tengkorak Hutan Jati mencoba memaksa diri untuk bangkit berdiri. Pendekar Naga Putih yang memang tidak ingin memberi kesempatan kepada lawannya, kembali meluncur dengan disertai hantaman kepalannya.

Bettt! Plakkk!

"Ahhh !?" Panji memekik tertahan ketika kepalannya yang tengah meluncur ke dada lawan itu, tiba-tiba membentur sebuah lengan lain yang mengandung kekuatan hebat. Sehingga, tanpa dapat dicegah lagi, tubuh pemuda itu pun terjajar mundur sejauh setengah tombak lebih. Tentu saja kenyataan itu membuat hati Pendekar Naga Pulih bergetar!

"Hm.... Kiranya sang pendekar besar yang coba-coba mengacau tempat ini. Apakah yang kau cari di tempat ini, Pendekar Naga Putih?" tegur sosok tinggi kurus. Orang itu mengenakan jubah berwarna hitam. Sepasang mata yang tersembunyi di balik kerudung yang juga berwarna hitam itu, tampak memancarkan sinar kemerahan yang menggetarkan hati Pendekar Naga Putih.

"Malaikat Gerbang Neraka...!" desis Panji terkejut melihat kemunculan tokoh sesat berkepandaian tinggi itu.

Dan ketika pemuda itu mengedarkan pandangan, hatinya semakin tercekat! Betapa tidak? Ternyata di tempat itu telah pula berdiri beberapa sosok tubuh lainnya. Dua di antara mereka dikenali sebagai Datuk Panglima Sesat dan Memedi Karang Api. Sedangkan dua orang yang sama sekali belum pernah dilihatnya, namun sudah dapat ditebak. Siapa lagi kedua orang itu kalau bukan Datuk Selatan dan Datuk Utara.

Tentu saja kenyataan itu membuat hati Pendekar Naga Putih berdebar tegang! Jangankan dirinya yang hanya memiliki dua tangan dan kaki. Andaikata saat itu memiliki delapan tangan dan delapan kaki pun, rasanya tidak mungkin dapat meloloskan diri dari tempat itu.

"He he he.... ini namanya ular mencari penggebuk. Siapa sangka tokoh muda yang terkenal ini akan mencari kita," kata salah seorang dari mereka yang bertubuh pendek gemuk dan berjenggot lebat.

Panji segera saja dapat menebak, siapa laki-laki setengah baya yang bertubuh cebol dan berjubah merah itu. Siapa lagi kalau bukan Raja Iblis Baju Merah? Dialah yang merupakan penguasa golongan sesat di wilayah Selatan.

"Hik hik hik.... Pemimpin Agung, bolehkah aku mewakilimu untuk memberi pelajaran kepada bocah kurang ajar ini? Rasanya tanganku sudah gatal sekali hendak memecahkan kepalanya yang sombong itu," kata seorang nenek. Dia berusia sekitar tujuhpuluh tahun. Tubuhnya yang bungkuk udang itu tampak seperti seekor burung bangau yang berdiri di atas permukaan air. Sebatang tongkat hitam, tampak tergenggam di tangan kanannya.

"Hm.... Silahkan, Nyai. Tapi, ingat. Pemuda ini tidak boleh sampai tewas. Kau tahu, aku mempunyai se- buah rencana yang bagus untuknya," sambut Malaikat Gerbang Neraka yang segera melangkah mundur.

"Hati-hati, Nyai. Kabarnya pendekar muda itu telah mampu meloloskan diri dari keroyokan dua orang kawan kita ini. Benarkah begitu?" kata Raja Iblis Jubah Merah sambil mengerling penuh ejekan ke arah Datuk Panglima Sesat dan Memedi Karang Api. Jelas, ucapannya itu sengaja untuk menyindir kedua orang rekannya.

"Hm.... Tidak perlu aku berbantah denganmu, Manusia Cebol! Kalau memang merasa mampu, uruslah pemuda itu!" sahut Datuk Panglima Sesat dengan wajah memerah. Mungkin bila ketua mereka tidak berada di tempat itu, Datuk Panglima Sesat sudah menerjang lelaki cebol yang melontarkan penghinaan kepadanya.

Lain halnya Memedi Karang Api. Mendengar ejekan itu, ia hanya terkekeh pelan. Sedikit pun hatinya tidak merasa tersinggung oleh ucapan Raja Iblis Baju Merah. Sebaliknya, ia malah mengakui kehebatan Pendekar Naga Putih.

"He he he.... Pemuda itu memang lihai sekali. Kalau saja aku berhadapan sendiri dengannya, mungkin akan sulit sekali mencapai kemenangan. Entah bila kau berani menghadapinya seorang diri," aku Memedi karang Api dengan nada perlahan.

"Hm.... Meskipun harus menghadapinya seorang mengapa harus takut? Akan kubuktikan kalau pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih itu dapat kulumpuhkan tidak lebih dari lima puluh jurus. Lewat dari ketentuan itu, anggaplah kalau aku telah kalah olehnya. Bagaimana? Apakah kalian berani bertaruh?" tantang Raja Iblis Baju Merah, sombong.

"Sudahlah. Sekarang bukan waktunya bertengkar. Aku tidak mau tahu! Yang penting, kalian uruslah pemuda itu. Lumpuhkan dan bawa menghadap kepadaku di dalam markas."

Malaikat Gerbang Neraka yang tidak ingin mendengar perselisihan itu bergegas menengahi. Memang, kalau tidak, keempat datuk itu bisa bertarung satu sama lain. Kemudian tokoh sesat maha sakti itu melangkah memasuki bangunan besar itu. Untuk beberapa saat lamanya, keempat orang datuk sesat itu hanya dapat saling berpandangan. Jelas, kalau mereka tidak membantah perkataan tokoh mengiriskan itu.

Sepeninggal Malaikat Gerbang Neraka, keempat datuk sesat itu segera mengepung Pendekar Naga Putih. Untuk sejenak, mereka hanya berdiri mematung sambil menatap pemuda berjubah Putih yang telah menggenggam Pedang Naga Langit di tangan kanan. Jelas kalau Panji sudah bersiap menghadapi keroyokan empat orang datuk sesat itu.

EMPAT

"He he he.... Kalian lihat, apa yang berada di tangan pemuda sombong itu? Bukankah itu Pedang Naga Langit yang telah lenyap pada beberapa puluh tahun yang lalu? Entah bagaimana bisa berada di tangan pemuda itu?" ujar Raja Iblis Baju Merah yang menatap pedang di tangan Panji penuh minat

"Hei, benar! Pedang itu memang Pusaka Naga Langit! Hm.... Kalau begitu, pemuda ini memang bukan orang sembarangan. Buktinya, hanya orang-orang pilihanlah yang mampu memiliki pusaka keramat itu. Wah! Pemimpin Agung tentu akan gembira sekali apabila pusaka keramat itu kuhadiahkan kepadanya," seru Kuntilanak Bukit Mandau, ratu sesat di wilayah Utara.

"Sudahlah, tidak perlu banyak cakap. Lebih baik segera kita tangkap pemuda itu saja. Mengenai pusaka keramat itu, biarlah Pemimpin Agung yang menentukan," ujar Datuk Panglima Sesat yang kekesalannya masih belum hilang. Mendengar ucapan itu, Raja Iblis Baju Merah segera saja melompat ke arah Panji. Kedua tangannya berputaran cepat hingga menimbulkan angin keras laksana topan.

Bettt...!

Sambaran tangan kanan tokoh sesat bertubuh cebol itu ternyata sangat hebat. Serangkum angin keras berhembus membuat jubah Pendekar Naga Putih berkibar keras. Panji yang menyadari kalau harus bekerja keras untuk menghadapi keempat datuk sesat itu, bergegas menggeser tubuhnya ke samping kanan. Berbarengan gerakan itu, Pedang Naga Langitnya dikibaskan dengan kecepatan kilat.

Wuttt...!

Seketika berhembus hawa dingin yang menusuk tulang, disertai kilatan sinar keemasan yang berkeredep menyilaukan mata. Hebat dan berbahaya sekali sambaran pedang di tangan Pendekar Naga Putih. Sehingga, datuk sesat wilayah Selatan yang semula memandang rendah pemuda itu menjadi terkejut karenanya. Maka tubuhnya cepat dimiringkan sambil melepaskan tusukan jari-jari tangan terbuka, mengancam leher Panji.

Belum lagi Pendekar Naga Putih sempat menghindari serangan itu, Datuk Panglima Sesat melompat disertai tebasan tangan miringnya. Serangan tokoh Timur itu benar-benar hebat dan sangat cepat. Sehingga, pendekar muda itu cukup sibuk menghadapi dua buah serangan berbahaya yang menggencet dan dua arah. Namun, Panji bukanlah pendekar hijau yang baru turun gunung.

Pengalaman telah banyak mengajarkannya untuk tetap tenang meski dalam keadaan bagaimanapun sulitnya. Maka dalam menghadapi serangan kedua orang datuk sesat itu, cepat tubuhnya berguling. Pedangnya langsung disabetkan, membabat kaki Raja Iblis Baju Merah yang berada di depannya.

Syuuut...!

Datuk sesat bertubuh cebol itu kembali terkejut melihat kegesitan lawannya. Maka serangannya yang kandas itu cepat ditarik pulang. Kemudian, ia melompat ke belakang untuk menghindari sambaran pedang yang mengancam kakikanannya. Meskipun serangannya gagal, namun Pendekar Naga Putih terus menggulingkan tubuhnya menjauhi tempat itu. Setelah merasa cukup jauh, tubuhnya melenting bangkit disertai gerakan pedangnya yang bergulung menyelimuti tubuhnya.

"Heaaat...!"

Pada saat tubuh pemuda itu melenting bangkit, Kuntilanak Bukit Mandau bergerak cepat melancarkan serangan kilat ke arah Pendekar Naga Putih. Tongkat hitam di tangannya berputaran hingga lenyap menjadi gulungan sinar hitam yang menimbulkan angin menderu-deru.

Trang...!

Terdengar ledakan keras ketika gulungan sinar hitam dan sinar kuning keemasan saling berbenturan di udara. Bunga api memercik ketika kedua senjata yang sama-sama digerakkan tenaga sakti luar biasa saling berbenturan.

“Ahhh…!” Kuntilanak Bukit Mandau berseru tertahan. Tubuhnya yang tinggi kurus itu terjajar mundur hingga satu tombak lebih. Tentu saja kenyataan itu membuatnya terkejut. "Gila! Pemuda itu ternyata memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi! Untunglah aku telah berjaga-jaga sebelumnya. Kalau tidak, mungkin bisa terluka akibat benturan yang keras tadi," maki Kuntilanak Bukit Mandau, dalam hati.

Sedangkan Panji sendiri juga mengalami hal yang serupa. Meskipun kuda-kudanya hanya tergempur sejauh tiga langkah, namun kenyataan itu telah membuatnya terkejut. "Hm.... Untuk menghadapi nenek itu saja, aku harus membutuhkan waktu yang cukup lama. Lalu, bagaimana pula aku dapat lolos dari kepungan empat orang datuk sesat ini? Hm Apa pun yang terjadi, aku harus mempertahankan diri mati-matian," gumam Panji dalam hati.

Pendekar Naga Putih merasa tidak mempunyai kesempatan lagi untuk keluar dari tempat itu dengan selamat. Maka, seluruh kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dimilikinya segera dihimpun. Sesaat kemudian, lapisan kabut bersinar putih keperakan yang menyelimuti sekujur tubuh pemuda itu tampak semakin melebar. Hal itu menandakan kalau Panji telah mengerahkan seluruh kekuatan tenaganya untuk menghadapi keroyokan itu.

"Heaaat...!" Dibarengi sebuah teriakan dahsyat yang bagaikan hendak merobohkan bangunan besar itu, tubuh Panji melesat cepat ke arah Kuntilanak Bukit Mandau.

Wukkk... wukkk...!

Pedang Naga Langit di tangan pemuda itu berputaran menciptakan gelombang angin puting-beliung yang mengerikan. Sinar keemasan bergulung-gulung turun- naik bagaikan seekor naga murka. Kuntilanak Bukit Mandau terkejut bukan kepalang melihat dahsyatnya serangan yang dilancarkan pemuda itu. Cepat tongkat hitam di tangannya diputar. Sekejap saja, terciptalah sinar hitam yang bergulung- gulung. Sehingga, suasana di sekitar arena pertarungan semakin hiruk-pikuk. Tiga orang datuk sesat lainnya pun tidak tinggal diam. Serentak mereka bergerak dari tiga jurusan untuk meringkus Pendekar Naga Putih.

"Haiiit...!"

Teriakan nyaring itu dibarengi melesatnya Kuntilanak Bukit Mandau disertai putaran tongkat hitamnya. Panji yang saat itu juga tengah melompat disertai ayunan pedangnya, tentu saja tidak ingin terjebak serangan lawan. Diperkirakan, kalau ia nekat membentur tongkat hitam datuk Utara itu, jelas akan menderita kerugian yang tidak kecil. Maka, tubuhnya digeser untuk mengelakkan serangan tongkat hitam itu. Sambil melompat, pemuda itu mengibaskan pedang di tangannya ke arah Memedi Karang Api yang saat itu tengah melancarkan serangan dari sebelah kiri.

Wuttt...!

Babatan pedang pemuda itu hanya mengenai angin kosong. Sementara lawannya yang mengelak dengan mendoyongkan tubuh ke belakang, langsung mengirimkan sebuah tendangan kilat yang mengancam dadanya. Dan pada saat yang bersamaan, serangan Datuk Panglima Sesat, serta Raja Iblis Baju Merah telah datang dari dua arah. Sehingga, keadaan Pendekar Naga Putih benar-benar terjepit dan berbahaya. Namun meskipun ketiga serangan itu sama cepat dan berbahayanya, Panji tetap mencoba bersikap tenang. Tendangan kilat Memedi Karang Api ditepis dengan telapak tangan kirinya.

Plakkk!

Tepisan Panji yang dikerahkan lewat tenaga dalam sepenuhnya, membuat tendangan lawannya melenceng ke depan. Akibatnya, tubuh Memedi Karang Api terjajar mundur sejauh delapan langkah. Bersamaan dengan tepisan tangan Pendekar Naga Putih, hantaman telapak tangan Datuk Panglima Sesat telah menghajar bahu kanan Panji yang memegang pedang. Akibatnya, Pedang Naga Langit terlepas dari genggamannya. Dan selagi tubuh pemuda itu terhuyung, sebuah pukulan yang berisikan tenaga dalam amat kuat kembali datang menerpa dadanya.

Blakkk! Desss!

"Hugkh...!" Bagaikan layang-layang putus, tubuh Pendekar Naga Putih terlempar keras hingga dua tombak jauhnya. Darah segar kontan terlompat dari mulutnya.

"Huagkh….!" Darah segar kembali termuntah dari mulut pemuda itu. Sambil menyeringai menahankan rasa sakit pada dada dan bahunya, pendekar muda itu berusaha bangkit berdiri.

"Hhh..." Panji bangkit sambil mendorongkan telapak tangannya secara berbarengan ke depan, disertai hembusan napasnya. Wajah pemuda itu terlihat pucat dengan noda-noda darah yang mengotori pakaiannya. Sadar kalau luka dalam yang dideritanya cukup parah, cepat Pendekar Naga Putih menelan pil berwarna putih yang diambil dari dalam buntalan pakaiannya. Rasa sakit akibat pukulan kedua orang datuk sesat itu membuatnya terlupa kalau Pedang Naga Langit tidak lagi berada dalam genggaman. Panji baru sadar ketika mendengar suara tawa serak dari salah seorang lawannya.

"Ha ha ha...! Pendekar Naga Putih! Dengan terlepasnya pedang ini dari tanganmu, kau tak ubahnya seekor harimau yang kehilangan taringnya!"

Terdengar tawa berderai dari Datuk Panglima Sesat. Tokoh bertubuh raksasa itu tertawa-tawa sambil mengelus pedang bersinar keemasan yang berada dalam genggamannya. Tentu saja hal itu membuat Panji terkejut. Namun, untuk dapat merebut kembali senjata dari tangan datuk sesat itu, rasanya sangat mustahil. Dan Pendekar Naga Putih pun sadar akan hal itu, namun tetap saja bersikap tenang. Dan berusaha meloloskan diri dengan menggunakan ilmu tangan kosongnya.

Sambil menggeram lirih, Panji menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Pancaran matanya tampak tajam dan menggetarkan. Lapisan kabut yang bersinar putih keperakan pun, kembali membungkus seluruh tubuhnya. Melihat lapisan kabut yang agak tipis, jelas kalau tenaga dalam pemuda itu masih terhambat luka dalamnya.

"Hm Aku harus bisa meloloskan diri dari tempat ini. Biarlah pedang itu akan kucari kelak," kata batin Panji, menanamkan tekadnya kuat-kuat. Kemudian Pendekar Naga Putih menggeser kaki kanannya ke belakang. Sedangkan kedua. tangannya dengan telapak terbuka terangkat di atas kepala. Ujung jari-jarinya yang bersentuhan itu tampak bergetar karena tenaga sakti yang tersalur di dalamnya.

"Haaat...!" Dibarengi sebuah bentakan nyaring, tubuh pemuda itu melesat bagai kilat menerjang Memedi Karang Api yang berada di sebelah kirinya.

Wuttt.... Wuttt!

Hebat dan cepat sekali serangan yang dilancarkan pendekar muda itu. Sepasang tangannya yang membentuk cakar naga, saling susul-menyusul disertai sambaran angin dingin yang menusuk tulang. Melihat gerakannya, jelas kalau itulah jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi’. Ini merupakan salah satu jurus pamungkas dari rangkaian ilmu 'Naga Sakti' warisan Malaikat Petir.

Memedi Karang Api yang melihat tubuh pemuda itu meluruk cepat ke arahnya, sempat merasa terkejut! Sejenak ia hanya termangu melihat sepasang tangan lawan yang berputaran membentuk bulatan-bulatan besar kecil. Dan dalam bulatan-bulatan yang membingungkan itu, terkadang menyembul cakar-cakar maut yang siap merejam hancur tubuhnya.

"Yeaaat..!"

Pada saat serangan pemuda itu hampir tiba, Memedi Karang Api berteriak mengguntur. Tubuhnya yang kurus itu melesat dengan kecepatan menggetarkan. Sepasang tangannya berkelebat cepat diiringi arus gelombang angin yang amat kuat Jelas kalau ia bermaksud hendak memapak serangan lawan menggunakan jurus andalan yang dimilikinya, yakni 'Sepasang Kepalan Penggoncang Jagat'. Sebuah ilmu tangan kosong yang luar biasa hebat, dan telah membuat nama kakek itu semakin disegani kawan dan ditakuti lawannya.

Sebagai tokoh-tokoh sesat yang telah bergelar datuk, ternyata mereka masih tetap saja memiliki hati culas. Walaupun tahu kalau saat itu keadaan Pendekar Naga Putih sudah cukup parah, namun mereka tetap saja melompat dan melakukan serangan susul-menyusul. Padahal, saat itu belum tentu Pendekar Naga Putih dapat menang dari gempuran Memedi Karang Api. Apalagi, keadaannya memang sangat lemah.

Pendekar Naga Putih yang telanjur melancarkan serangan, tentu saja merasa terkejut melihat keadaan berbahaya itu. Namun karena tidak mempunyai kesempatan untuk menarik pulang serangan lagi, maka ia pun nekat mengadu kekuatan dengan Memedi Karang Api. Sementara itu Memedi Karang Api yang belum mengetahui keistimewaan jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi', tentu saja tidak sadar kalau saat itu tengah terancam bahaya. Maka tanpa rasa curiga sedikit pun, kakek itu menyambut serangan Pendekar Naga Putih dengan seluruh kekuatannya.

Whusss….!

Bukan main terperanjatnya hati Memedi Karang Api. Pada saat tangan mereka hampir berbenturan, secara mendadak sepasang cakar Panji berputar setengah lingkaran. Langsung dihantamnya sepasang lengan Memedi Karang Api dari samping. Berbarengan dengan itu, telapak tangan kanannya bergerak turun menghantam lambung kiri datuk dari Barat itu.

Dukkk! Blakkk..!

"Hugkh...!" Hantaman telak telapak tangan Panji, membuat tubuh tinggi kurus itu tersentak ke belakang bagaikan layang-layang putus! Darah segar kontan termuntah dari mulut kakek itu. Sedangkan tubuh Panji sendiri, terjajar mundur akibat menangkis serangan Memedi Karang Api. Saat itu pula, hantaman Raja Iblis Baju Merah, telak menghajar iga Pendekar Naga Putih.

Desss...!

Ugkh...!" Tubuh Panji langsung tersentak akibat hantaman dahsyat itu. Darah segar tampak mengalir dari sudut bibirnya yang pucat Belum lagi pemuda itu sempat menghentikan tubuhnya yang terhuyung, sebuah hantaman tongkat hitam di tangan Kuntilanak Bukit Mandau kembali menghajar punggungnya.

Bukkk!

"Huagkh...!" Darah segar kembali termuntah dari mulut Pendekar Naga Putih. Tubuhnya yang tengah terhuyung ke belakang tersentak ke depan. Sebelum tubuh pemuda itu sempat mencium tanah, Datuk Panglima Sesat mendaratkan kakinya beberapa langkah di hadapan pemuda itu. Datuk sesat bertubuh raksasa itu langsung mendorongkan sepasang telapak tangannya ke arah dada Panji.

Blaggg...!

"Hegkh...!" Tanpa ampun lagi, tubuh pendekar muda yang perkasa itu terhempas ke belakang. Kembali cairan merah termuntah keluar dari mulutnya.

Bruggg!

Tubuh pemuda itu terbanting ke atas tanah dalam keadaan pingsan. Wajah pemuda itu pucat bagaikan mayat. Dari sela-sela bibirnya yang juga telah memucat, darah segar mengalir tak henti-hentinya. Datuk-datuk sesat dari empat penjuru angin itu melangkah mendekati tubuh Pendekar Naga Putih. Dari pancaran mata mereka, jelas memancarkan kekaguman yang sangat dalam.

"Gila! Daya tahan tubuh pemuda ini benar-benar luar biasa sekali. Rasanya aku tidak sanggup menghadapinya seorang diri. Hm... Baru kali ini aku menemukan seorang pendekar muda yang benar-benar tangguh!" puji Memedi Karang Api yang wajahnya masih agak pucat. Dari seringai wajahnya, jelas kalau kakek itu masih merasakan akibat hantaman telapak tangan Panji tadi. Namun hatinya cukup kagum dengan kedigdayaan Pendekar Naga Putih.

"Ya! Kalau saja orang lain yang menerima hantaman kita tadi, rasanya pasti akan tewas tanpa ampun lagi. Sedangkan anak muda ini hanya pingsan saja. Benar-benar seorang pemuda mengagumkan. Kalau saja aku memiliki seorang murid seperti dia, betapa akan bangganya hatiku. Sayang, sampai saat in aku belum menemukan murid yang cocok," ucap Kuntilanak Bukit Mandau seraya menghela napas dalam-dalam. Wajahnya pun menyiratkan kesedihan.

"Benar-benar beruntung sekali Malaikat Petir itu. la telah mendapatkan seorang penerus yang sangat berbakat," Raja Iblis Baju Merah ikut menimpali. Jelas sekali ada pancaran rasa iri di wajahnya.

"Ah, sudahlah. Lebih baik bawa saja pemuda ini kepada Pemimpin Agung. Terserah apa yang akan beliau perbuat dengan anak muda ini? Kalau diserahkan kepadaku, sudah pasti akan kulenyapkan. Biar bagaimanapun, ia hanya jadi penghalang bagi rencana kita," selak Datuk Panglima Sesat yang rupanya tidak menyetujui semua ucapan rekan-rekannya. Nadanya pun terdengar kesal.

Ketiga orang datuk lainnya serentak menoleh ke arah Datuk Panglima Sesat. Ucapan tokoh bertubuh raksasa itu rupanya telah membuat mereka tersadar. Memang, pemuda yang tengah tergeletak pingsan itu sangat berbahaya untuk dibiarkan tetap hidup. Tanpa berkata sepatah pun, Datuk Panglima Sesat segera mengangkat tubuh Pendekar Naga Putih dan membawanya memasuki bangunan besar itu. Sedangkan ketiga datuk lainnya bergegas mengikuti.

LIMA

"Uhhh..." Pendekar Naga Putih mengeluh pendek, pertanda mulai tersadar dari pingsannya. Sepasang matanya mengerjap-ngerjap untuk memulihkan penglihatannya yang terasa berputar dan gelap.

"Hm.... Di mana aku...?" gumam pemuda tampan itu mencoba bergerak bangkit dari duduknya.

Namun, betapa terkejut hati Pendekar Naga Putih ketika merasakan sekujur tubuhnya tak dapat digerakkan. Jangankan untuk menggerakkan kaki tangannya, untuk menggerakkan lehernya pun tidak mampu.

"Sudah matikah aku...?" gumam Panji menyeringai merasakan dadanya panas dan nyeri. Seolah-olah di dalam dada Pendekar Naga Putih terdapat ratusan jarum yang menusuki dari dalam. Namun yang membuatnya lebih terkejut adalah, keadaan tubuhnya yang seperti tidak dapat lagi digerakkan. Sehingga, ia hanya dapat terkapar lemah tanpadaya.

"Hhh.... Entah racun apa yang dijejalkan ke dalam tubuhku, sehingga seluruh uratku menjadi lumpuh," desah pemuda itu seraya menghembuskan napas berat. "Sepertinya, inilah akhir petualanganku..."

Pendekar Naga Putih merasa kecewa merasakan keadaannya yang tak ubahnya seperti kakek-kakek jompo. Tapi yang membuat hatinya lebih terpukul adalah, mengapa justru pada saat dunia tengah dilanda bahaya besar, dirinya tidak berdaya. Tentu saja pemuda itu tidak sadar kalau kelumpuhan yang diderita adalah akibat pukulan-pukulan dahsyat dari empat datuk sesat yang mengeroyoknya.

Ketika mendengar langkah kaki tengah mendekati tempatnya, Panji memejamkan mata. Seolah-olah, ia hendak mengetahui, apa yang akan dilakukan orang-orang itu apabila dirinya masih dalam keadaan pingsan. Suara derit daun pintu terdengar ribut, diiringi langkah kaki beberapa orang yang memasuki tempat Panji disekap. Dari suara langkah itu, Pendekar Naga Putih dapat menebak kalau mereka terdiri dari lima orang.

"Hm.... Pasti mereka Malaikat Gerbang Neraka dan keempat orang datuk sesat itu," Batin Panji menduga-duga. "Entah apa yang mereka inginkan dariku? Mengapa mereka tidak langsung membunuhku saja?"

"Yang Mulia, tidakkah sebaiknya pemuda ini dihabisi saja riwayatnya? Kami khawatir, kalau ia sembuh, jelas merupakan penghalang nomor satu bagi rencana kita," usul Datuk Panglima Sesat Sepertinya, Datuk Wilayah timur itu benar-benar membenci Pendekar Naga Putih.

"Benar, Yang Mulia. Lebih baik pendekar muda ini dibunuh saja, karena berbahaya sekali," timpal Raja Iblis Baju Merah. Malaikat Gerbang Neraka hanya tersenyum dingin mendengar usul kedua orang pembantunya. Sepasang matanya yang bersinar kemerahan tetap tertuju ke tubuh Pendekar Naga Putih.

Panji sendiri yang mendengar usul kedua orang datuk sesat itu menanti dengan hati tegang. Ditunggunya jawaban yang akan keluar dari mulut orang tinggi kurus yang dipanggil dengan sebutan Yang Mulia.

"Tidak... Aku masih membutuhkan tenaganya. Dia akan kuperalat untuk mengacaukan Kerajaan Mulawarta. Dengan kepandaian dan kekuatan yang akan kulipat gandakan, Pendekar Naga Putih pasti dapat membuat kerajaan itu kalang-kabut. Dengan demikian, tentu si keparat Pungga Lawa akan beralih perhatiannya, dan akan mengerahkan pasukan untuk membasmi tokoh-tokoh golongan putih. Nah, bukankah dengan demikian pekerjaan kita bisa lebih ringan? Sekali pukul saja, kita bisa menghancurkan dua kekuatan. Aku yakin, para tokoh golongan putih yang biasanya membantu kerajaan, akan menarik diri. Bahkan mungkin bisa saling hantam dengan tentara Kerajaan Mulawarta. Pada saat kekacauan itu terjadi, barulah kita bergerak menggempur istana. Sebenarnya, dengan kesaktian yang kuperoleh dari pertapa-pertapa sakti selama dalam pelarianku, bisa saja aku mengacaukan istana. Tapi, setelah kupertimbangkan kembali, rasanya akan lebih baik lagi kalau kita menggunakan orang lain yang berkemampuan tinggi. Begitu aku melihat pemuda ini, langsung saja pilihanku jatuh kepadanya," jelas Malaikat Gerbang Neraka panjang lebar.

Keempat orang datuk sesat itu sama-sama menganggukkan kepala mendengar keterangan Pemimpin Agungnya. Dan kini mereka kembali memuji kecerdikan tokoh sesat maha sakti itu.

"Kami benar-benar mengaku bodoh, Yang Mulia. Sama sekali tidak terpikir di otak kami akan rencana yang sangat baik itu," kata Datuk Panglima Sesat, baru terbuka pikirannya setelah mendengar penjelasan pimpinannya.

Panji sendiri yang mendengar rencana gila itu merasa terkejut bukan main! Memang, apabila rencana itu dapat terlaksana, tidak bisa dibayangkan, apa yang akan menimpa para tokoh golongan putih! Maka, sudah pasti mereka menjadi gempar atas kejadian itu. Sehingga, akan sulit bagi para tokoh itu untuk mengadakan pertemuan. Bisa-bisa, mereka dituduh sebagai pemberontak yang hendak menggulingkan kekuasaan Raja Agung Pungga Lawa.

"Ini tidak boleh terjadi!" desis hati Pendekar Naga Putih yang menjadi cemas apabila rencana Malaikat Gerbang Neraka dapat terbukti.

"Uhhh...!" Pendekar Naga Putih berpura-pura mengeluh pendek, agar para tokoh sesat itu menyangkanya baru tersadar. Suasana ruangan yang cukup gelap, membantu siasatnya itu.

"Hm.... Pemuda itu mulai tersadar dari pingsannya," gumam Raja Iblis Baju Merah yang melangkah mundur, siap menghadapi kemungkinan bila pemuda itu mengamuk.

"Hm Tidak usah kalian khawatir. Saat ini Pendekar Naga Putih tak ubahnya seorang kakek jompo. Luka-luka dalam yang diderita, membuatnya tidak lagi segarang dulu," jelas Malaikat Gerbang Neraka seraya. tersenyum sinis.

"Hei? Benarkah demikian, Yang Mulia ?" tanya Raja Iblis Baju Merah belum percaya sepenuhnya akan ucapan pemimpinnya itu. Dipandanginya wajah Pendekar Naga Putih dalam-dalam seperti menyelidik.

Demikian pula dengan datuk sesat lainnya. Mereka menatap pemuda yang tengah terbaring penuh selidik. Hati mereka baru percaya ketika melihat pemuda itu hanya terbaring tanpa berusaha bangkit. Hanya sepasang matanya saja yang menandakan kalau masih hidup. Sedangkan wajahnya sudah demikian pucat seperti mayat.

"Orang seperti dia, tidak akan kusekap di tempat ini kalau memang keadaannya masih sehat seperti biasa. Karena aku tahu ia sudah tidak berdaya. Maka, sengaja ia kusekap di kamar ini," jelas Malaikat Gerbang Neraka.

"Kalau begitu, kapan Yang Mulia akan mengirim pemuda ini untuk mengacau Kerajaan Mulawarta?" tanya Datuk Panglima Sesat sambil tetap memandangi Panji.

"Secepatnya, jika ramuan yang kubuat telah selesai. Kalian sabarlah. Untuk bisa terlaksananya rencana kita ini, harus dengan perhitungan masak. Yang pasti, aku tidak ingin mengalami kegagalan," tandas Malaikat Gerbang Neraka.

Setelah berkata demikian, tokoh sesat yang mengiriskan itu pun melangkah keluar dari kamar tahanan Panji. Dan tanpa banyak cakap lagi, keempat orang datuk sesat itu pun segera menyusul pemimpinnya. Sehingga, kamar tahanan itu pun kembali gelap, karena pintunya kembali tertutup rapat.

Sepeninggal lima orang tokoh sesat itu, Panji termenung memikirkan jalan keluar atas persoalan yang kini tengah dihadapinya. Beberapa kali dicobanya untuk mengerahkan tenaga dalam. Namun, yang didapat hanyalah rasa sakit yang menusuk dada. Bahkan cairan merah pun kembali mengalir dari sudut bibirnya. Panji mengeluh, merasakan sakit dan kenyerian yang menusuk-nusuk dadanya. Sadar kalau hal itu hanya akan mendatangkan siksaan pada dirinya, maka ia pun tidak berusaha mengerahkan tenaga dalamnya lagi.

"Hm.... Nampaknya memang tidak ada harapan lagi untuk hidup bagiku," desah Pendekar Naga Putih, pasrah. Sadar kalau tak mungkin dapat meloloskan diri dari kekuatan Malaikat Gerbang Neraka, Pendekar Naga Putih mencoba menyusuri pertualangannya selama ini. Terbayanglah semua peristiwa-peristiwa yang pernah dialami. Seulas senyum manis tampak terhias di bibirnya ketika pemuda itu teringat akan perjumpaan pertama dengan kekasihnya, Kenanga.

"Kenanga.... Aku tidak tahu, di mana sekarang kau berada? Semoga saja kau masih dalam perlindungan Tuhan," desah Panji lirih.

Ada rasa nyeri yang menggigit hati pemuda itu ketika teringat kekasihnya. Sedikit rasa sesal menyelinap, mengingat betapa ia tidak mungkin dapat berjumpa lagi den- gan dara jelita itu. Memang, apabila Malaikat Gerbang Neraka sudah menjejalkan ramuan yang dikatakannya, bukan tidak mungkin dirinya akan tewas setelah mengacau Kerajaan Mulawarta. Dan memang untuk itulah, dirinya diperalat tokoh sesat mengiriskan itu. Pendekar Naga Putih ditugaskan mengacau, dan berakhir dengan kematian.

Peristiwa demi peristiwa yang pernah dialami, satu- persatu terlintas dalam benak pemuda tampan itu. Lintasan pengalaman yang berputar dalam benaknya terhenti ketika teringat akan seorang tokoh sakti yang berjuluk Raja Iblis dari Utara. Dan akibat pertarungannya dengan tokoh sakti itu, dirinya telah terluka parah (Baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode Raja Iblis dari Utara).

"Pedang Pusaka Naga Langit...!" desah Panji tersentak dari lamunannya...“ Yah hanya senjata keramat itulah yang akan menyembuhkanku dari luka-luka yang kini ku derita. Tapi….pusaka itu pasti telah terjatuh ke tangan Malaikat GerbangNeraka. Dan dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin aku bisa merebutnya kembali. Sedangkan dalam keadaan biasa pun, aku masih ragu untuk dapat menandinginya”? Pendekar Naga Putih kembali dilanda kekecewaan, mendapati kenyataan seperti itu. Namun Panji kembali tersentak ketika teringat akan peristiwa yang membawanya mendapatkan pusaka keramat itu.

"Ya! Ke mana gerangan naga raksasa yang kutundukkan di Gunung Kembaran itu? Mengapa kini tidak pernah muncul lagi? Benarkah Pedang Pusaka Naga Langit itu jelmaan dari naga raksasa yang telah kukalahkan? Hm.... Kalau memang demikian, bukan mustahil senjata keramat itu dapat lenyap dari pandangan. Mungkinkah senjata itu dapat berubah lagi menjadi seekor naga raksasa?" berbagai dugaan melintas dalam benak Pendekar Naga Putih. Lupa sudah ia akan luka-lukanya ketika teringat peristiwa ajaib yang dialaminya.

Sambil mengingat-ingat peristiwa itu, Panji pun mengkajinya dengan teliti (Untuk mengetahui lebih jelas tentang peristiwa didapatkannya Pedang Pusaka Naga Langit, bacalah serial Pendekar Naga Putih dalam episode Bunga Abadi di Gunung Kembaran).

"Hm.... Kalau pedang itu memang benar hasil jelmaan naga raksasa yang kutemukan di Gunung Kembaran, bukan mustahil kalau sewaktu-waktu dapat berubah menjadi seekor naga raksasa kembali. Dan kini, hanya satu yang menjadi persoalan. Bagaimana caranya untuk dapat mewujudkan pedang itu menjadi seekor naga. Dan kalau itu terjadi, pastilah naga raksasa itu akan tahu, siapa orang yang menjadi majikannya!"

Batin pendekar muda itu terus mencari rahasia yang tersimpan dalam senjata keramat miliknya. Dan keyakinannya demikian bulat kalau pedang keramat itu pasti akan diperolehnya apabila rahasia yang menyelimutinya dapat dipecahkan. Tanpa mengenal putus asa, Pendekar Naga Putih memusatkan pikirannya. Otaknya membayangkan naga raksasa yang pernah ditundukkannya itu. Sehingga, semakin lama pemuda itu semakin tenggelam dalam alam pikirannya yang paling dalam.

Dengan mata terpejam rapat, Panji mencari bentuk naga raksasa jelmaan Pedang Naga Langit. Hingga akhirnya, ia berhasil menemukan bentuk binatang mengerikan yang semakin lama kian jelas. Kekuatan pemusatan pikiran pendekar muda itu tentu saja tidak bisa disamakan dengan orang-orang sembarangan. Kekuatan batin yang memang telah sedemikian kokoh, membuatnya tidak terlalu sulit menemu- kan bentuk binatang raksasa itu.

Panji yang tengah terlelap dalam pengerahan kekuatan tenaga batin, secara tidak sadar telah melatih suatu ilmu dahsyat yang hanya ada dalam dongeng! Dan dengan ilmu itu pulalah, batinnya dapat disatukan dengan naga raksasa yang dibentuknya. Sehingga tanpa disadari, pemuda itu telah dapat menggunakan kekuatan bawah sadarnya untuk menghubungi binatang mengerikan itu.

Selama dua hari dua malam Pendekar Naga Putih tenggelam dalam alam pemusatan pikirannya. Dan kini, tiba-tiba terasa serangkum hawa hangat yang merasuk ke dalam tubuhnya. Sadar kalau hawa mukjizat itu berasal dari sebuah benda hangat di tangannya, kedua mata Panji terbuka perlahan-lahan. Dan apa yang dilihatnya, benar-benar membuat pemuda itu hampir-hampir terlonjak.

"Pedang Naga Langit..!?" seru Pendekar Naga Putih hampir terpekik keras. Untunglah keadaan tubuhnya saat ini demikian lemah. Sehingga, seruan itu tak ubahnya sebuah desahan panjang.

Ingin rasanya pemuda itu berteriak kuat-kuat ketika pedang keramat miliknya telah bertengger di atas kedua lengannya yang terlipat di depan dada. Kenyataan yang dihadapinya, membuat Panji hampir melompat-lompat sebagai luapan kegembiraannya.

"Hm.... Dari mana pedang ini dapat masuk...? Sedangkan di dalam ruangan ini sama sekali tidak terdapat sebuah celah?" desah hati pemuda itu.

Seketika pandangannya beredar ke sekeliling. Keningnya berkerut dalam ketika tidak melihat adanya lubang di dalam ruang tahanannya. Tentu saja hal itu membuat pikirannya kembali menerawang, mencari jawaban. Dengan tatapan tajam, dipandanginya Pedang Naga Langit yang saat itu masih berada di atas kedua lengannya.

"Hm... Kalau dalam dua hari ini pikiranku dipusatkan untuk menghadirkanmu, kini akan kucoba memusatkan pikiran agar kau dapat berdiri dan mengelilingiku," gumam batin Panji sambil memejamkan matanya rapat-rapat.

Tak berapa lama kemudian, Pendekar Naga Putih kembali tenggelam dalam pemusatan tenaga batinnya. Dengan menyatukan alam bawah sadar, Panji mencoba mengadakan hubungan batin dengan pedang keramat itu. Lalu dengan kekuatan batin agar pedang yang berada di atas lengannya bergerak dan mengelilinginya. Tentu saja hal itu tidak dapat dilakukan dengan mudah. Bahkan Pendekar Naga Putih pun harus mengulangi keinginannya berkali-kali. Baru setelah beberapa waktu lamanya, Pedang Naga Langit di atas lengan Panji mulai bergerak dan berdiri tegak lurus.

Kemudian secara perlahan-lahan, pusaka keramat itu bergerak naik ke udara. Masih dengan gerakan perlahan, senjata itu bergerak di sekeliling tubuh Pendekar Naga Putih. Ketika terasa ada hawa yang semakin hangat mengelilingi tubuhnya, Panji pun membuka kedua matanya perlahan, sambil terus mengucapkan perintahnya dalam hati. Sepasang mata yang semula redup, terbelalak lebar ketika menyaksikan pemandangan di depan matanya.

"Hm.... Kini kau turunlah, dan kembali ke tempat semula di atas kedua lenganku," desah batin Pendekar Naga Putih kembali memberikan perintah.

Ajaib! Tanpa menunggu lama, pedang keramat yang tengah mengitari tubuh pemuda itu tiba-tiba saja terhenti Kemudian dengan gerakan tidak cepat, pedang itu pun kembali terbujur di atas kedua lengan Panji.

"Sekarang, aku memintamu untuk lenyap dari pandangan. Dan kalau memang kau memasuki kamar ini tanpa wujud, pasti juga bisa merasuk ke dalam tubuhku," ujar batin Panji yang terus mengulang perintahnya agar senjata keramat itu dapat merasuk ke dalam tubuhnya. Karena hanya dengan cara itulah, luka-luka yang diderita dapat diobatinya.

Kembali Panji harus memejamkan kedua matanya. Memang untuk mewujudkan permintaan, ia harus dalam keadaan kosong sama sekali. Hanya pikiran dan tenaga batinnya saja yang terpusat secara keseluruhan dengan senjata keramat yang ternyata memiliki rahasia tak terjangkau akal sehat.

Hati Pendekar Naga Putih berdebar ketika merasakan suatu hawa hangat yang amat kuat merasuk dan bergolak dalam tubuhnya. Kian lama, hawa hangat yang amat kuat itu semakin menyebar ke seluruh tubuhnya. Sehingga, mau tidak mau, Panji harus memusatkan pikiran sepenuhnya. Hal itu dilakukan untuk mengatur peredaran hawa hangat yang mungkin saja bisa membahayakan tubuhnya.

Makin lama, apa yang dirasakan Panji semakin membuat hatinya berdebar tegang. Betapa tidak? Ternyata apa yang kini dialaminya benar-benar tidak pernah terlintas dalam benak. Sehingga, harapannya untuk dapat terbebas dari tempat celaka itu terbayang nyata. Cukup lama hal yang menimpa Pendekar Naga Putih berlangsung. Hawa hangat yang semula kian memanas, perlahan berubah kembali menjadi hangat. Dan apa yang dirasakan Panji, benar-benar membuatnya hampir tidak percaya.

"Ah...! Kini tidak ada lagi rasa sakit dalam tubuhku!" seru Panji bagaikan seorang anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaannya. Bagaikan orang linglung, pemuda itu mencoba menggerak-gerakkan tangan dan kakinya. Senyum di wajah pemuda itu pun kian melebar ketika lengan maupun kakinya telah dapat digerakkan kembali.

"Hm..." Sambil bergumam lirih, Panji bergegas bangkit dari tidurnya. Sepasang matanya tampak bersinar kian tajam bagaikan seekor naga di kegelapan. Dan ketika mencoba mengerahkan tenaga sakti yang dimilikinya, ternyata 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya telah dapat dikerahkan kembali. Tentu saja hal itu membuatnya semakin gembira.

Setelah semua kesehatannya pulih kembali, Panji termenung memikirkan pedang yang kini telah menyatu dalam dirinya. Apa yang harus dilakukan untuk dapat menggunakan kekuatan tenaga inti Pedang Naga Langitnya? Ingin ia menggabungkan inti tenaga Pedang Naga Langit yang mengandung hawa panas itu dengan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dimilikinya. Dan untuk itu, ia harus mencari cara untuk menggabungkan kedua tenaga sakti yang memiliki sifat berlawanan itu.

Panji berjalan hilir mudik di dalam ruangan yang sempit itu. Otaknya terus berputar mencari pemecahan dari masalah yang dihadapinya. Karena belum juga menemukan jawaban, maka tubuhnya dihempaskan di atas jerami kering yang merupakan satu-satunya alas di dalam ruangan itu. Cukup lama Pendekar Naga Putih termenung memikirkan cara untuk menggabungkan kedua tenaga sakti itu. Hingga akhirnya, diputuskanlah untuk bersemadi dan mengerahkan kekuatan batin yang baru saja didapatkan tanpa sadar.

"Ah! Bodoh sekali aku ini!" maki Panji sambil menampar perlahan kepalanya. Mengapa aku tidak mencobanya seperti menyatukan Pedang Naga Langit ke dalam tubuhku? Bukankah percobaan-percobaan yang kulakukan tadi telah membawa hasil yang sangat baik."

Berpikir demikian, pemuda itu pun bergegas bangkit dari duduknya. Kemudian Panji mencoba memusatkan pikirannya untuk mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' pada lengan kanannya. Lalu, disalurkannya ke seluruh tubuh sebelah kanan.

Ajaib! Sesaat kemudian, terciptalah lapisan kabut bersinar putih keperakan yang hanya menyelimuti separuh tubuhnya di bagian kanan. Bukan main gembiranya hati Panji ketika melihat keberhasilan percobaannya. Lalu, kembali matanya dipejamkan dan pikirannya dipusatkan untuk membangkitkan kekuatan 'Tenaga Inti Panas Bumi' yang berasal dari kekuatan Pedang Naga Langitnya.

Sayang sebelum percobaannya memperoleh hasil seperti yang diinginkan, terdengar langkah kaki beberapa orang yang mendatangi tempat itu. Sehingga, Panji bergegas melompat ke atas tumpukan jerami dan kembali merebahkan tubuh seperti orang terluka. Suara derit pintu yang terbuka, membuat hati Pendekar Naga Putih berdebar tegang! Karena langkah kaki orang yang tengah mendekatinya pastilah Malaikat Gerbang Neraka dan dua orang datuk sesat. Memang, yang terdengar di telinga pemuda itu hanyalah langkah kaki tiga orang.

"Aku tidak habis pikir, mengapa pendekar muda seperti pemuda itu tidak dibinasakan saja? Bukankah kepandaian pemuda itu sangat tinggi. Bahkan kudengar pemuda itu adalah orang yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Nah, bukankah ia sangat berbahaya?" tanya salah seorang dari ketiga sosok tubuh yang tengah mendekati Panji.

"Ah! Apakah kau merasa lebih pintar dan Ketua Agung kita? Kalau beliau tidak membunuh pendekar muda ini, mungkin beliau mempunyai maksud lain yang tentu saja orang seperti kita tidak boleh mengetahuinya. Sudahlah! Tidak perlu banyak cakap. Kita turuti saja perintah Ketua Agung, untuk membawa pendekar ini kepadanya," sahut salah seorang dari ketiga laki-laki itu yang memiliki tubuh kekar berotot.

Panji yang mendengar suara mereka, tentu saja menjadi lega. Ternyata ketiga orang yang datang itu hanyalah para pengikut Malaikat Gerbang Neraka. Jadi tidak ada yang perlu dicemaskan dari ketiga orang begundal rendahan itu. Dan ketika ketiga orang itu telah berada di sisi tubuhnya, Panji tetap diam sambil menunggu kesempatan baik. Pada saat ketiga orang itu membungkuk hendak mengangkat tubuh Pendekar Naga Putih, mendadak tubuh pemuda itu bangkit dengan kecepatan kilat dan langsung melancarkan totokan yang tidak mungkin dapat dihindari lagi.

Tukkk! Tukkk! Tukkk!

Tanpa sempat menjerit lagi, tubuh ketiga orang laki-laki kasar itu pun ambruk ke atas tanah. Kejadian yang hanya sekejap mata tadi tentu saja tidak menimbulkan suara mencurigakan. Setelah merobohkan tiga orang penjaga itu, Panji pun bergegas menyelinap keluar kamar tempatnya ditahan. Tubuhnya terus melesat mencari jalan keluar dari dalam bangunan itu. Pemuda itu terpaksa merobohkan dua orang penjaga yang melintas di depan tempat persembunyiannya. Karena tidak sempat bertanya kepada ketiga orang yang dirobohkannya tadi, maka bergegas diseretnya salah seorang dari keduanya untuk mengorek keterangan.

Pendekar Naga Putih bergegas melesat ke lorong kanan, setelah mendapatkan petunjuk dari orang yang kemudian dibungkamnya. Ketika tiba pada sebuah lorong yang bersimpang empat, diambilnya jalan sebelah kiri. Memang, ia berniat meloloskan diri melalui belakang gedung kadipaten itu.

"Hei! Siapa kau...?!" teriak salah seorang dari empat penjaga yang memergoki Panji.

Namun sebelum keempat orang itu bertindak lebih jauh, tubuh Pendekar Naga Putih sudah melesat ke arah mereka. Sepasang tangan pemuda itu bergerak cepat melancarkan totokan kilat kearah empat orang penjaga yang terlongong bagai orang kehilangan akal. Dengan sekali gebrak saja, tubuh keempat penjaga yang bernasib sial itu langsung bertumbangan lumpuh. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Naga Putih kembali berkelebat bagai kilat menuju pintu keluar yang hanya beberapa langkah di depannya. Dia terus melesat ke arah taman belakang, untuk kemudian melompati tembok setinggi dua tombak.

Begitu tiba di luar tembok bangunan gedung Kadipaten Blambang, Panji terus melesat meninggalkan kadipaten itu. Tujuannya adalah Perguruan Pedang Perak yang telah ditetapkan Raja Obat sebagai tempat pertemuan para tokoh golongan putih.

*******************

"Gila! Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi!?" bentak laki-laki kurus yang mengenakan jubah berwarna hitam. Sepasang matanya menyorotkan api kemarahan kepada sembilan orang pengikutnya yang berdiri gemetar.

Wajah sembilan orang laki-laki kasar itu tampak pucat dengan bintik-bintik keringat sebesar biji jagung yang berlelehan turun. Jelas kalau mereka tengah dilanda rasa takut yang luar biasa.

"Huh! Gentong-gentong nasi tak berguna!" bentak laki-laki tinggi kurus yang tak lain Malaikat Gerbang Neraka, kasar.

Setelah berkata demikian, tangan kanannya mengibas bagaikan mengusir seekor lalat yang mengganggunya. Namun, akibat yang ditimbulkan mengerikan sekali. Tubuh kesembilan orang kasar itu terjungkal akibat sambaran hawa panas menyengat. Tanpa ampun lagi, mereka menggelepar tewas dengan sekujur tubuh hangus.

"Lemparkan mayat mereka kehutan! Ingat! Ini merupakan peringatan bagi kalian yang lalai dalam menjalankan tugas!" ancam Malaikat Gerbang Neraka dengan kemarahan yang menggelegak.

"Baik, Yang Mulia...," sahut beberapa orang laki-laki yang segera maju dan membawa kesembilan mayat yang berbau sangit itu.

"Bagaimana, Yang Mulia? Setelah Pendekar Naga Putih berhasil meloloskan diri, tentu rencana kita akan gagal. Apa langkah kita selanjutnya?" tanya seorang laki-laki tinggi besar berpakaian seorang panglima kerajaan. Siapa lagi kalau bukan Datuk Panglima Sesat.

"Rencana kita terpaksa harus dipercepat. Siapkan pasukan sekarang juga. Kita langsung berangkat menggempur Kerajaan Mulawarta. Hm... Apakah Tiga Dewi Pulau Setan telah tiba di tempat ini?" tanya Malaikat Gerbang Neraka kemudian.

"Belum, Yang Mulia. Kabarnya siang ini mereka akan tiba," sahut seorang laki-laki tinggi kurus yang hampir tidak berdaging. Orang itu tak lain adalah Tengkorak Hutan Jati.

Belum lagi Malaikat Gerbang Neraka sempat mengucapkan sesuatu, tiba-tiba terdengar seruan merdu yang nyaring.

"Kami telah tiba, Yang Mulia. Dan kami siap menjalankan perintah," tegas seorang di antara tiga wanita cantik yang melenggang memasuki ruang pertemuan itu.

Mereka tak lain adalah Tiga Dewi Pulau Setan, yang rupanya juga telah menjadi pengikut Malaikat Gerbang Neraka. Ketiga wanita cantik inilah yang ditugaskan untuk memancing pasukan Kadipaten Blambang dengan jalan melakukan kekacauan di Desa Batu Apung.

"Hm.... Kalau begitu, siapkan semua pasukan. Sekarang juga kita berangkat untuk menggempur Kerajaan Mulawarta," ujar Malaikat Gerbang Neraka yang segera bangkit dari kursinya.

"Baik, Yang Mulia...," sahut semua orang yang hadir sambil membungkuk hormat. Kemudian, mereka bergegas melangkah keluar untuk menyiapkan pasukan.

*******************

ENAM

Pemuda tampan yang mengenakan jubah berwarna putih itu melesat cepat menuju Selatan. Gerakannya yang ringan dan cepat menandakan kalau ia memiliki ilmu lari cepat yang hampir mencapai titik kesempurnaan. Hari memang sudah mulai gelap. Sehingga pemuda tampan itu harus menghentikan larinya ketika telah cukup jauh memasuki hutan.

Memang sulit untuk melakukan perjalanan dalam suasana gelap. Maka, dicarinya tempat yang agak terbuka untuk melewatkan malam. Di situ, ditemuinya pula sebuah aliran sungai yang bergemericik menerpa bebatuan. Hal ini membangkitkan pemuda itu untuk membersihkan tubuhnya.

Selesai membersihkan tubuh, pemuda itu tampak berdiri tegak dengan mata terpejam. Melihat dari ciri-ciri dan bentuk wajahnya yang bersih dan tampan, jelas kalau pemuda itu adalah Panji atau yang terkenal dengan julukan Pendekar Naga Putih!

Terlihat jelas Pendekar Naga Putih tengah memusatkan pikiran untuk mengerahkan tenaga sakti dalam dirinya. Sesaat kemudian, nampaklah lapisan kabut berwarna putih keperakan yang menyelimuti sebagian tubuh sebelah kanannya. Hal itu menandakan kalau Panji telah berhasil mengatur aliran 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang memang telah lama ditekuninya.

Tak lama setelah itu, pada bagian tubuh sebelah kirinya tampaklah lapisan sinar keemasan yang masih samar-samar. Meskipun demikian, jelas kalau Pendekar Naga Putih mulai menunjukkan hasil usahanya dalam menggabungkan kedua tenaga sakti yang berlainan unsur itu.

"Ah! Rupanya aku telah berhasil menggabungkan kedua unsur tenaga sakti yang berlainan sifat ini. Walaupun belum begitu sempurna, namun telah cukup memuaskan. Sekarang aku harus lebih tekun melatihnya agar penggabungan kedua inti tenaga sakti ini sempurna," desah Panji. Nadanya jelas menggambarkan kegembiraan. Sambil tetap memusatkan alam pikirannya, Panji mengalihkan pandangan pada sebongkah batu sebesar perut kerbau bunting di sebelah kanannya. Dengan penuh keyakinan, ditatapnya batu itu lekat-lekat.

"Heaaah...!" Dibarengi sebuah bentakan keras, Panji mendorongkan tangan kanannya ke depan dengan jari-jari terbuka.

Whusss...!

Serangkum angin dingin yang menusuk tulang, berhembus dari telapak tangan pemuda itu.

Blarrr...!

Terdengar ledakan menggelegar ketika angin pukulan pendekar muda itu telak menghajar batu besar yang berjarak sejauh dua tombak lebih. Dan apa yang terjadi, benar-benar membuat Panji menjadi puas. Bongkahan-bongkahan batu sebesar kepalan tangan itu seketika beterbangan ke udara. Sehingga, Panji menatapinya dengan senyum kepuasan. Memang, apa yang diinginkannya ternyata berhasil dengan baik. Dan untuk yang kedua kalinya, Pendekar Naga Putih kembali mengayunkan tangan kirinya ke arah sebatang pohon sebesar dua pelukan orang dewasa. Jarak antara keduanya terpisah sekitar satu setengah tombak.

Whesss...!

Hembusan angin hangat meluncur deras dari telapak tangan kiri pemuda itu, langsung menggempur batang pohon yang berada satu setengah tombak berada di depannya.

Brakkk...!

Angin pukulan berhawa panas yang keluar dari telapak tangan kiri Panji, telak menghajar batang pohon itu. Akibatnya, timbullah suara berderak ribut. Pohon besar itu bergetar hebat bagaikan diguncang tenaga raksasa yang tak tampak.

Setelah menghembuskan napas panjang, PendekarNaga Putih mengayun langkahnya menghampiri pohon besar yang masih berdiri tegak itu. Hanya beberapa daunnya saja yang rontok berguguran ke tanah. Sedangkan batang pohon itu sendiri masih berdiri kokoh.

"Hm.... Pohon ini masih tetap berdiri kokoh seperti semula. Hanya saja, pada bagian yang terkena hantaman angin pukulanku tampak lunak. Itu pun hanya sebagian saja. Tapi meskipun demikian, aku tetap harus bersyukur dengan apa yang telah kudapatkan. Dan aku tidak boleh patah semangat untuk menyempurnakan ilmu dahsyat ini," gumam Panji sambil kembali melangkah mundur ketempatnya semula.

Pendekar Naga Putih kembali berdiri tegak dalam jarak yang tidak berubah. Sepasang matanya kini tidak lagi terpejam. Sambil mengerahkan dan memusatkan pikirannya, pemuda itu kembali memancing keluar 'Tenaga Inti Panas Bumi' yang berasal dari Pedang Naga Langit. Sepertinya, untuk menyempurnakan ilmu yang baru saja diyakininya itu tidaklah terlalu sulit. Buktinya, Panji tidak perlu bersusah-payah menghimpun kekuatan 'Tenaga Inti Panas Bumi'nya. la hanya tinggal mengeluarkan tenaga yang memang kini telah berada di dalam tubuhnya. Dan hal itu tidak memerlukan waktu panjang.

"Hiaaah...!"

Kembali Pendekar Naga Putih membentak nyaring yang dibarengi dorongan telapak tangan kiri ke arah pohon besar itu. Selarik sinar keemasan melesat dari telapak tangan pemuda perkasa itu.

Whesss...!

Darrr...!

Terdengar ledakan keras yang terasa bagaikan hendak mengguncangkan hutan. Suara itu masih juga disusul tumbangnya pohon besar yang terkena hantaman pukulan jarak jauh Panji. Suara hiruk-pikuk itu bagi Pendekar Naga Putih bagaikan nyanyian merdu merasuk telinganya. Cepat tubuh Pendekar Naga Putih melesat ke arah tumbangnya pohon besar itu. Senyum di wajahnya tampak melebar ketika melihat adanya tanda hitam pada batang pohon yang terkena hantaman angin pukulannya tadi. Tentu saja Panji gembira, karena hal itu menandakan kalau 'Tenaga Inti Panas Bumi’ yang berada dalam tubuhnya telah mulai terpancing.

"Hm Sepertinya aku tinggal membiasakannya saja. Tapi, entah bagaimana apabila Pedang Naga Langit ini ku keluarkan? Apakah tenaga sakti ini masih berada dalam tubuhku?" tanya Panji dalam hati. Bingung juga hatinya ketika memikirkan hal itu. Mendapat pikiran demikian, Panji penasaran ingin mengetahuinya. Setelah duduk dalam sikap semadi, pemuda itu mulai memusatkan pikiran untuk mengerahkan tenaga batinnya.

"Sekarang tampakkanlah wujudmu, Pedang Naga Langit..," ujar batin Panji berbisik lirih, namun mengandung getaran tenaga batin yang amat kuat.

Hebat sekali kemajuan yang telah diperoleh pemuda ini. Hanya dalam beberapa hari saja, kekuatan batinnya telah meningkat demikian pesat. Tak berapa lama setelah berulang-ulang ucapan itu dikeluarkan, Panji mulai merasakan getaran aneh yang mengandung hawa hangat dalam tubuhnya. Gelombang tenaga aneh itu mula-mula menyebar di sekujur tubuhnya, kemudian bergerak naik dan berkumpul di belahan dadanya. Ada rasa nyeri yang menggigit dalam dadanya ketika gelombang tenaga sakti telah berkumpul, tiba-tiba lenyap tanpa bekas.

Perlahan Pendekar Naga Putih membuka matanya. Dan kini di hadapannya, dalam jarak sekitar satu tombak lebih, terlihat pedang keramat itu tergantung tegak lurus diudara. Namun apa yang dirasakan pada sekujur tubuhnya, membuat pemuda itu merasa sedikit kecewa. Betapa tidak? Tubuhnya kini terasa lemas! Seolah-olah, sebagian tenaganya ikut lenyap bersama keluarnya pedang keramat itu dari dalam tubuhnya. Dan ketika tenaga panas dalam tubuhnya coba dikerahkan, ternyata kosong.

Hanya satu kesimpulan yang didapat 'Tenaga Inti Panas Bumi' tercipta karena adanya Pedang Naga Langit dalam tubuhnya. Dengan lenyapnya senjata itu, berarti lenyap pula tenaga berhawa panas dari dalam tubuhnya. Dan kesimpulan itu telah membuat kekecewaan dalam hatinya lenyap. Sejenak dipandanginya Pedang Naga Langit yang berdiri tegak lurus itu. Perlahan, Panji kembali memejamkan matanya rapat-rapat. Kembali kekuatan batinnya dikerahkan dengan maksud hendak merubah wujud pedang keramat itu.

"Jika dugaanku benar, kalau kau adalah pedang jelmaan naga raksasa yang kutemui di Gunung Kembaran, tentu kau dapat berubah ke wujud aslimu dengan bantuan kekuatan batinku. Sekarang, dengan seluruh kekua-tan batin yang ada pada diriku, kuminta tunjukkan wujud aslimu itu...," desis batin Panji terus mengulangi ucapannya sambil memejamkan mata rapat-rapat.

Dari butir-butir keringat yang menitik di wajah, jelas kalau Panji tengah mengerahkan kekuatan batin sepenuhnya. Dan hal itu tentu saja sangat membutuhkan tenaga yang banyak. Setelah agak lama Panji mengerahkan kekuatan batinnya, hingga seluruh pakaiannya telah basah bersimbah peluh, terdengar ledakan keras namun terdengar cukup aneh.

Tasss...!

Ledakan nyaring yang disertai gumpalan asap tebal, bergulung-gulung memenuhi tempat itu. Tak lama setelah asap tebal itu kian menipis, terlihatlah bentuk seekor naga raksasa yang memekik-mekik menggetarkan seluruh isi hutan itu.

"Kreaaakkkh...!"

Hembusan angin menderu dan bergulung-gulung ketika binatang jelmaan Pedang Naga Langit memekik-mekik ribut. Pepohonan berderak-derak ribut bagaikan hendak roboh. Daun-daunnya berguguran mengotori permukaan bumi. Dalam sekejap saja, tempat itu telah dipenuhi ranting dan daun-daun pohon yang berjatuhan ke atas tanah. Panji yang semula tengah bersemadi, serentak bangkit berdiri. Dan pemandangan yang terbentang di depan matanya, benar-benar membuatnya berdebar keras.

"Naga Langit...," desis Panji penuh takjub. Apa yang terbentang di depan matanya membuat pemuda itu hampir tidak mempercayainya.

Naga raksasa itu memekik-mekik ribut ketika Panji menyebutnya. Dan ketika pemuda itu mengulur tangannya, kepala naga raksasa itu merendah untuk kemudian rata dengan tanah. Sehingga, Pendekar Naga Putih dapat mengelusnya dengan gerakan agak ragu-ragu. Baru setelah naga itu terlihat tidak menunjukkan perlawanan, Panji pun semakin bertambah berani. Puas membelai binatang langka yang ternyata bukan bayangan semu itu, bergegas Panji melompat mundur. Dengan menggunakan kuda-kuda menunggang kuda, Pendekar Naga Putih kembali mengerahkan kekuatan batinnya. Hanya saja, kali ini tidak lagi memejamkan matanya.

"Hm.... Kembalilah kau menjadi pedang..." Terdengar suara mendesis yang keluar dari bibir pemuda itu. Kali ini, Pendekar Naga Putih tidak hanya sekadar mengerahkan kekuatan batin tanpa suara. Suaranya terdengar jelas, dan mengandung kekuatan menggetarkan hati.

Setelah Pendekar Naga Putih mengulangi ucapannya sebanyak tiga kali, terdengarlah ledakan keras yang disusul gumpalan asap tebal bergulung-gulung. Dan gumpalan asap tebal yang bergulung-gulung menyelimuti binatang raksasa itu,meluncur sebatang pedang yang langsung melekat di tangan Pendekar Naga Putih.

Kalau saja saat itu ada orang yang menyaksikan, tentu pemuda itu akan disangka seorang ahli sihir. Hanya bedanya, Panji tidak menciptakannya berdasarkan khayalan. Tetapi, pemuda itu hanya mewujudkan apa yang sebenarnya telah ada. Itulah sebabnya, mengapa ia bisa demikian mudah memperolehnya dalam waktu singkat Padahal untuk memperolehkekuatan sihir, orang harus melatihnya bertahun-tahun. Itu pun masih harus dibantu berbagai persyaratan yang tidak ringan.

"Hm.... Ternyata penderitaan yang kuterima dari empat orang datuk sesat itu, membawa hikmah luar biasa. Kalau saja aku tidak mengalami penderitaan itu, rasanya tidak mungkin rahasia Pedang Naga Langit dapat terungkap," gumam Pendekar Naga Putih sambil merebahkan tubuh beralaskan rerumputan tebal. Sebentar saja, terdengar suara napas Pendekar Naga Putih yang halus. Tampaknya pemuda perkasa itu telah terlelap dalam buaian mimpi.

*******************

TUJUH

"Pendekar Naga Putih...!" seru dua orang penjaga pintu gerbang Perguruan Pedang Perak, dengan wajah berseri. Mereka langsung melangkah menyambut kedatangan seorang pemuda tampan yang mengenakan jubah putih itu.

Pemuda yang tak lain Panji itu bergegas mempercepat langkahnya. Pada jubahnya tidak lagi terdapat noda darah. Memang, pemuda itu telah mengganti jubahnya selama dalam perjalanan. Itu dilakukan agar tidak menimbulkan pertanyaan macam-macam dari para tokoh rimba persilatan yang berkumpul di tempat itu.

"Apakah Eyang Raja Obat telah berada di tempat ini...?" tanya Panji kepada salah seorang penjaga yang memiliki jenggot tercukur rapi. Memang, orang itulah yang telah ada di dekatnya lebih dahulu.

"Ya! Beliau dan yang lainnya sudah cukup lama menunggumu. Mari kami antarkan...," sahut laki-laki itu ramah. Tanpa banyak cakap lagi, orang itu pun membalikkan tubuh. Kemudian, mereka melangkah menuju ke dalam bangunan gedung perguruan itu bersama-sama.

"Kakang...!" Seruan merdu yang jelas mewakili kegembiraan dan kelegaan hati pemiliknya terdengar merasuk telinga Pendekar Naga Putih.

"Kenanga...!" panggil Panji begitu melihat sesosok tubuh ramping yang mengenakan pakaian serba hijau berlari menghampirinya. Wajah gadis jelita itu terlihat memancarkan kebahagiaan yang dalam. Tanpa rasa canggung lagi, Kenanga langsung menghambur ke dalam pelukan kekasihnya. Kerinduan dan kegelisahan yang selama ini mengganggu hatinya, lenyap seketika begitu berada dalam pelukan pendekar muda yang sangat dicintainya.

"Kakang..., ke mana saja? Aku sudah cemas sekali menantimu di sini. Apalagi ketika kudengar dari Eyang Raja Obat kalau kau pergi menyelidiki tokoh sesat yang berjuluk Malaikat Gerbang Neraka itu. Wah! Bukan main gelisahnya hatiku. Hampir saja aku menyusulmu ketika pada hari yang dijanjikan untuk datang ke tempat ini, ternyata kau belum juga kembali. Mengapa begitu lama...?" kata Kenanga. Nadanya penuh kemanjaan. Jelas terlihat pada pancaran mata indah itu bias-bias kerinduan yang dalam.

Panji tersenyum mendengar ucapan kekasihnya yang meluncur bagaikan tak ingin berhenti itu. Dibelainya rambut gadis jelita itu penuh kasih sayang. Bahagia rasa hatinya mendengar pertanyaan dan perhatian yang begitu terbuka dari kekasihnya. Dan gadis jelita itu sama sekali tidak merasa rikuh walaupun ada orang lain di dekat mereka.

"Kenanga.... Kau tidak sadar banyak orang di sini?" Panji mengingatkan.

Wajah Kenanga langsung bersemu merah. Baru disadari kalau di sekitarnya banyak orang.

"Kalau saja tidak sampai tertangkap mereka, mungkin beberapa hari yang lalu aku telah berada di tempat ini. Ayolah kita temui tokoh-tokoh yang lainnya. Kelak aku akan menceritakan sebuah pengalaman yang paling mengesankan dalam hidupku," Panji mengalihkan pembicaraan.

Namun, Pendekar Naga Putih tetap menatap wajah kekasihnya dengan kerinduan yang dalam. Lega hatinya ketika melihat dara pujaannya ternyata telah berada di tempat ini dalam keadaan selamat.

"Aku mengerti, Kakang. Ayolah kita temui Eyang Raja Obat dan yang lainnya. Saat ini mereka tengah berkumpul di ruang utama Perguruan Pedang Perak ini," sahut Kenanga. Segera tangan kekasihnya ditarik dan dibawanya pergi.

*******************

"Ah..., Panji. Syukurlah kau selamat. Kami sangat mengkhawatirkan dirimu. Bagaimana? Apakah kau mempunyai berita yang akan kau sampaikan kepada kami...?" sambut seorang laki-laki gemuk. Dia berwajah bulat bagai bulan purnama. Kumis dan jenggotnya tampak tercukur rapi. Sehingga wajah yang sebenarnya sudah cukup berumur itu terlihat jauh lebih muda. Dia tak lain adalah Jagaraksa atau yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Pedang Perak. Dialah yang menjadi tuan rumah dalam pertemuan para tokoh persilatan golongan putih itu.

"Maaf atas keterlambatanku.... Tapi dengan keterlambatanku ini, rasanya aku lebih beruntung. Sebab, secara tidak sengaja aku telah mendengar rencana besar orang yang berjuluk Malaikat Gerbang Neraka itu," jelas Pendekar Naga Putih yang segera mengambil kursi di sebelah Raja Obat. Kenanga juga mengambil tempat di dekat kekasihnya.

Dengan suara lantang dan jelas, Panji segera menceritakan pengalamannya. Tentu saja ada beberapa bagian yang sengaja disembunyikan. Menurutnya, hal itu adalah rahasia yang tidak perlu diketahui orang lain. Juga mengenai luka-lukanya yang tidak dipaparkan. la hanya menceritakan tentang pengeroyokan empat orang datuk sesat yang berhasil menawannya.

"Hehhh Syukurlah kau dapat menyelamatkan diri, Pendekar Naga Putih. Kalau tidak, mungkin sampai saat ini kami belum dapat meraba, apa sebenarnya yang diinginkan tokoh sesat maha sakti itu? Hm... Siapa sebenarnya tokoh itu?" ucap Jagaraksa.

Tidak ada yang menjawab pertanyaan itu. Memang tokoh sesat berjuluk Malaikat Gerbang Neraka masih terselimut teka-teki. Belum ada yang tahu, dari mana asal-usul tokoh itu.

"Setelah mengetahui rencana mereka, sebaiknya kita segera bergerak. Sebab, bukan tidak mungkin kalau Malaikat Gerbang Neraka dan para begundalnya telah lebih dahulu bergerak. Tentu mereka akan mempercepat penyerbuan, begitu mengetahui kau telah berhasil meloloskan diri, Saudara Panji. Bagaimana pendapat yang lain?" sambung Jagaraksa mengakhiri, sambil mengedarkan pandangan kepada para tokoh yang berkumpul di ruangan itu.

"Benar. Kita harus segera bergerak. Aku yakin, saat ini pun gerombolan Malaikat Gerbang Neraka pasti telah bergerak menuju Istana Kerajaan Mulawarta," sahut seorang laki-laki setengah baya. Dia memiliki bentuk wajah yang gagah dan menarik. Kumisnya yang tipis tampak teratur rapi. Tokoh ini tak lain adalah Pendekar Laut Selatan, yang ternyata juga ikut hadir dalam pertemuan itu.

Di sebelah kiri Pendekar Laut Selatan, tampak duduk murid utamanya yang berjuluk Nelayan Pulau Kambang. Tokoh berusia empat puluh tahun itu merupakan orang kedua di perguruan mereka. Kepandaiannya bahkan hampir tidak berselisih dengan Pendekar Laut Selatan sendiri. Meskipun jarang muncul dalam dunia persilatan, namun namanya telah cukup dikenal dan disegani.

"Bagaimana dengan Raja Obat? Apakah mempunyai pendapat lain...?" tanya Pendekar Pedang Perak yang didampingi adik seperguruannya yang berjuluk si Pedang Malaikat.

"Hm.... Rasanya keputusan itu sudah tepat sekali. Kalau memang semua sudah setuju, lebih baik kita mempersiapkan pemberangkatan. Apalagi, jarak yang akan kita tempuh bisa memakan waktu sampai tiga hari. Sedangkan gerombolan Malaikat Gerbang Neraka akan tiba lebih dulu daripada kita," sambung Raja Obat dengan suara tenang tanpa terburu-buru.

"Baiklah. Kalau begitu, kita tutup saja pertemuan ini. Silakan masing-masing menyiapkan pengikutnya. Kita langsung bergerak pagi ini juga," ujar Pendekar Pedang Perak yang segera bangkit dari duduknya.

Para tokoh yang lain pun, bergegas meninggalkan ruang utama perguruan itu. Sehingga, sebentar saja ruangan itu kembali sunyi. Sedangkan Panji, Kenanga dan Raja Obat pamit lebih dulu untuk menyelidiki keadaan.

*******************

Diiringi hembusan angin pagi yang bersilir lembut, Panji, Kenanga dan Raja Obat melesat cepat menuju arah Barat. Berbekal ilmu lari cepat yang telah mencapai tingkat tinggi, membuat perjalanan mereka menjadi lebih cepat. Hingga ketika matahari mulai naik tinggi, mereka, telah jauh meninggalkan Perguruan Pedang Perak saat ketiganya hendak memasuki hutan, tiba-tiba terdengar bentakan yang diiringi berloncatannya belasan sosok tubuh yang langsung mengurung ketiga orang sakti itu.

"Berhenti...!"

Teriakan yang mengandung tenaga dalam kuat itu, tentu saja membuat langkah Panji, Kenanga, dan Raja Obat terhenti seketika. Mereka menatap ke arah belasan sosok tubuh berpakaian serba putih yang telah mengepung.

"Siapa kalian...?! Dan apa keperluan kalian memasuki daerah hutan ini?!" bentak salah seorang. Orang itu pada bagian lengannya terdapat garis hitam. Sepertinya, garis hitam pada bagian pangkal lengan sebagai tanda kalau ia merupakan pimpinan belasan orang itu.

Untuk beberapa saat lamanya, Panji hanya menge- darkan pandangan penuh selidik kepada belasan orang yang mengepungnya. Setelah memastikan kalau mereka bukanlah orang jahat, barulah Pendekar Naga Putih melangkah maju beberapa tindak mendekati laki-laki gagah yang merupakan pimpinan belasan orang itu.

"Sahabat... Aku berjuluk Pendekar Naga Putih. Sedangkan kedua orang rekanku ini adalah Kenanga dan Raja Obat Kalau boleh bertanya, siapakah kalian? Dan apa maksud kalian menghadang perjalanan kami?" Panji balik bertanya setelah menjawab pertanyaan laki-laki gagah itu.

"Hm.... Keadaan pada masa sekarang ini sedang tidak aman. Mengapa kalian sebagai pendekar masih saja berkeliaran? Tidakkah sebaiknya kalian ikut mengamankan suasana?" ujar orang itu bernada menegur. Sedangkan pertanyaan Panji sama sekali tidak dijawabnya.

Kenanga yang merasa kesal melihat lagak orang itu langsung saja melangkah maju. Telinga gadis jelita itu sempat memerah mendengar teguran yang terasa menyinggung harga dirinya. "Hm.... Rupanya kalian adalah pendekar-pendekar pembela kebenaran. Tahukah kalian, bahaya apa yang saat ini tengah mengancam Kerajaan Mulawarta?! Orang lain tengah sibuk memikirkan cara untuk menghalau pemberontak-pemberontak itu, mengapa kalian masih sibuk mengatur orang lain?! Apakah kalian tidak mendengar tentang munculnya seorang tokoh sesat yang berjuluk Malaikat Gerbang Neraka? Dan apakah kalian tahu kalau saat ini tokoh itu bersama dengan bala tentaranya tengah bergerak menuju Kerajaan Mulawarta?" dengus Kenanga. Sehingga, laki-laki gagah itu sempat terkejut dibuatnya.

Belum lagi laki-laki berpakaian serba putih dan bercambang bauk lebat itu sempat menjawab ucapan Kenanga, mendadak terdengar suara lantang.

"Hm.... Benarkah apa yang kau ucapkan itu, Nisanak? Kalau memang benar demikian, mereka tentu harus berhadapan lebih dahulu dengan prajurit-prajurit Kadipaten Blambang. Sebab kadipaten itu merupakan jalan satu-satunya ke Kerajaan Mulawarta." Ucapan itu keluar dari mulut seorang laki-laki yang menunggang seekor kuda. Di belakangnya tampak mengiring belasan orang berpakaian prajurit. Sedangkan orang itu sendiri mengenakan pakaian seorang perwira.

"Apa yang dikatakan kawanku ini sama sekali tidak salah. Mereka telah menyapu habis seluruh kekuatan Kadipaten Blambang. Setelah itu, barulah mereka berangkat untuk menyerbu Istana Mulawarta. Demikianlah yang kudengar dari hasil penyelidikanku," sahut Panji yang segera menyahuti pertanyaan laki-laki gagah berpakaian perwira itu.

"Betulkah kau menyaksikannya sendiri, Anak Muda? Ataukah kau hanya mendengar berita dari orang lain?" tanya perwira yang tak lain dari Pragala itu. Tentu saja ia menjadi terkejut mendengar keterangan Panji.

"Benar, Paman Perwira. Sayang aku tidak mempunyai waktu untuk menceritakannya. Apalagi, saat ini kami bertiga tengah terburu-buru untuk segera tiba di Istana Kerajaan Mulawarta. Kami harus melihat keadaan terlebih dahulu sebelum kawan kami yang lain tiba di sana. Maka, biarkanlah kami meneruskan perjalanan, karena kami tidak ingin terlambat," jelas Panji.

Tentu saja berita yang didengarnya itu membuat Pragala terpaku bagaikan patung. Memang, melihat wajah tampan itu, ia yakin kalau apa yang dikatakan pemuda di depannya adalah benar.

"Sahabat, tunggu...!" seru Pragala mencegah Panji dan yang lainnya meninggalkan tempat itu.

"Maaf, kami tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Kalau memang kalian ingin membantu, tunggulah kedatangan rombongan kawan kami yang juga akan melewati hutan ini!" ujar Panji tanpa menghentikan larinya. Hingga akhirnya bayangan ketiga orang itu semakin menjauh dan menghilang dalam kelebatan pepohonan hutan.

"Hm... Saudara Lodana. Sebaiknya siapkan pasukan kita. Aku yakin apa yang diucapkan pemuda itu benar adanya. Sebaiknya, kita tunggu saja kawan anak muda itu, dan bergabung dengan mereka," usul Pragala kepada laki- laki bercambang bauk yang hanya mengangguk.

Lodana yang juga menyetujui usul Pragala, segera mengumpulkan orang-orangnya untuk bergabung dengan pasukan Pendekar Pedang Perak dan tokoh-tokoh persilatan yang menurut Panji akan melewati tempat itu. Ternyata penantian Pragala dan Lodana tidak terlalu lama. Buktinya, setelah orang-orangnya lengkap berkumpul, terdengarlah derap kaki kuda bergemuruh. Dari kepulan debu yang membumbung tinggi ke angkasa, jelas itu adalah rombongan orang berkuda yang tengah menuju ke arah mereka. Dan tentu dalam jumlah yang sangat besar.

Dan apa yang diduga Pragala maupun Lodana ternyata tidak meleset. Kini tampaklah rombongan orang berkuda yang tidak kurang dari seribu orang banyaknya. Heran juga hati Pragala melihat jumlah yang sangat besar itu. Bergegas mereka menyambut dan menggabungkan diri dengan rombongan yang hendak menuju Istana Kerajaan Mulawarta. Pendekar Pedang Perak yang telah cukup mengenal Lodana, tentu saja menerima mereka untuk bergabung. Maka rombongan yang semakin membengkak jumlahnya itu pun terus bergerak maju menerobos hutan lebat.

*******************

DELAPAN

"Ternyata dugaan Ki Jagaraksa tidak meleset! Malaikat Gerbang Neraka dan pasukannya benar-benar telah memasuki Ibu Kota Mulawarta. Seperti setan saja gerakan mereka," kata pemuda berjubah putih yang tak lain dari Panji, saat telah tiba di perbatasan Ibu Kota Mulawarta bersama Kenanga dan Raja Obat.

"Hm.... Kalau melihat bercak-bercak darah serta bekas-bekas pertempuran yang terjadi di perbatasan ini, rasanya mereka belum lama tiba," duga dara jelita berpakaian serba hijau yang sudah pasti Kenanga adanya. Gadis jelita itu tampak membungkuk memeriksa belasan mayat prajurit penjaga perbatasan yang bergeletakan tumpang tindih. Tampaknya di tempat itu belum lama terjadi pertempuran.

"Bagaimana ini, Eyang? Apakah kita langsung menuju istana, atau menunggu tibanya kawan-kawan kita yang lain?" tanya Panji meminta pendapat Raja Obat. Biar bagaimanapun, Pendekar Naga Putih harus menghormati orang tua itu untuk meminta petunjuknya. Walaupun telah tahu tentang apa yang harus diperbuatnya, namun tetap saja Panji meminta pendapat orang tua itu.

"Sebaiknya, kita langsung saja menuju istana. Walaupun kita cuma bertiga, namun tidak perlu takut. Dan lagi, kita hanya akan menghadapi gembong-gembong pemberontak itu. Sedangkan mengenai pasukan Malaikat Gerbang Neraka, mungkin saat ini tengah bertempur melawan para prajurit kerajaan. Jadi, tidak hanya sekadar menghadapi tokoh-tokoh sesat itu untuk melindungi Gusti Prabu Pungga Lawa," sahut Raja Obat yang segera melangkah meninggalkan perbatasan Ibu Kota Mulawarta.

Tanpa banyak cakap lagi, Panji dan Kenanga bergegas mengikuti kakek sakti itu. Tidak berapa lama kemudian, mereka berpapasan dengan para pengungsi yang tengah dibantai serombongan laki-laki kasar yang mirip gerombolan perampok. Tanpa banyak tanya lagi, mereka bergegas menerjang gerombolan laki-laki kasar yang diduga sebagai pengikut Malaikat Gerbang Neraka.

"Bedebah! Biarkan mereka pergi...!" bentak Panji yang langsung saja melompat disertai kibasan tangannya.

Bettt...!

Sekali tangan Panji mengibas, belasan orang laki-laki kasar itu langsung bertumbangan tanpa bangkit kembali. Mereka langsung bergeletakan pingsan dengan darah mengalir dari sudut bibir.

Kenanga dan Raja Obat pun tidak mau ketinggalan. Mereka segera mengamuk membagi-bagi pukulan dan tendangan yang mengandung kekuatan hebat Sehingga dalam beberapa gebrak saja, puluhan orang laki-laki kasar itu sudah bergeletakan tanpa daya.

"Ayo, kita segera menuju istana...!" ujar Raja Obat setelah gerombolan itu tak tersisa satu pun juga.

Setelah yakin kalau para pengungsi itu tidak lagi terganggu para pasukan Malaikat Gerbang Neraka, Panji dan Kenanga bergegas mengikuti Raja Obat. Karena mereka mengerahkan ilmu lari cepatnya, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama telah tiba di depan gerbang Istana Kerajaan Mulawarta. Sepanjang jalan yang terlihat hanyalah ratusan mayat dari kedua belah pihak yang saling tumpang tindih tak karuan. Sehingga, mau tak mau ketiga orang tokoh sakti itu menjadi sedih melihatnya.

Panji, Kenanga, dan Raja Obat terus melesat melewati pertempuran-pertempuran yang masih berkobar sengit. Memang, tujuan mereka hanyalah untuk mencari gembong-gembong golongan sesat yang sudah pasti sangat berbahaya bagi prajurit-prajurit kerajaan itu.

"Lihat! Bukankah itu Datuk Panglima Sesat!" seru Kenanga. Gadis itu langsung menunjuk seorang laki-laki bertubuh raksasa yang tengah mengamuk dikeroyok prajurit kerajaan dan sebelas orang perwira yang mengepungnya.

Namun, sepak terjang datuk sesat itu luar biasa sekali! Puluhan mayat prajurit tampak berserakan di sekitarnya. Siapa lagi yang berbuat kejam seperti itu kalau bukan Datuk Panglima Sesat? Bahkan di antara puluhan mayat itu terdapat mayat enam orang perwira yang rupanya juga telah tewas di tangan datuk iblis itu. Melihat keadaan para prajurit yang kacau-balau akibat amukan tokoh sesat mengiriskan itu, maka Raja Obat segera saja melesat untuk menahan keganasan datuk sesat itu.

"Kenanga! Bantulah para perwira yang tengah bertarung dengan Kuntilanak Bukit Mandau itu. Nampaknya, mereka memang memerlukan bantuan!" seru Raja Obat sambil menudingkan jari telunjuk ke arah sebelah kanan.

Tanpa diperintah dua kali, gadis jelita itu bergegas melayang ke arah yang ditunjuk Raja Obat Memang, di tempat itu tampak seorang nenek tinggi kurus tengah mengamuk dengan sebatang tongkat hitamnya. Begitu Kenanga ikut terjun ke dalam kancah pertempuran, barulah para perwira yang mengeroyok nenek iblis dapat menarik napas lega. Dan ternyata Kenanga mampu mengurangi amukan datuk sesat wilayah Utara itu.

Pendekar Naga Putih yang melihat kedua orang rekannya telah menemukan lawan masing-masing, bergegas terus masuk ke dalam lingkungan istana. Dua orang datuk lain yang terlihat tengah bertarung seru melawan para perwira yang sedikitnya berjumlah lima belas orang, tidak dipedulikannya. Kelihatannya para perwira itu cukup mampu menahan amukan datuk-datuk sesat itu sampai tibanya Pendekar Pedang Perak dan Pendekar Laut Selatan. Maka, Pendekar Naga Putih pun meneruskan langkahnya untuk mencari Malaikat Gerbang Neraka. Dan menurut dugaannya, mungkin tokoh sesat itu telah berada di dalam bangunan istana.

"Hm.... Tampaknya Tengkorak Hutan Jati dan Garuda Mata Satu pun dapat mereka atasi," gumam Panji ketika melihat kedua orang tokoh sesat itu tengah sibuk menghadapi para perwira dan prajurit Kerajaan Mulawarta.

Ketika Panji menoleh ke arah lain, keningnya tampak berkerut melihat tiga orang wanita cantik tengah bertempur sengit melawan puluhan orang laki-laki di dekat pintu utama Istana Kerajaan Mulawarta. Hati pendekar muda itu terkejut bukan main melihat amukan dahsyat ketiga orang wanita cantik itu. Bukan ilmu silat mereka yang membuat Pendekar Naga Putih terkejut. Tapi, keadaan mayat para prajurit itulah yang membuat Panji terpaksa menahan langkahnya.

"Racun keji…!" desis Panji geram. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuh pemuda itu segera melesat ke arah pertempuran yang menebarkan hawa maut berbau busuk itu.

"Haiiit ..!" Sambil berseru nyaring, Pendekar Naga Putih mengibaskan kedua tangannya ke arah ketiga orang wanita cantik yang menggunakan racun jahat itu.

Wusss...!

Serangkum angin berhawa dingin dan panas, langsung menerpa ke arah ketiga orang wanita itu dengan amat kuatnya. Tentu saja hal itu membuat Tiga Dewi Pulau Setan menjadi terkejut bukan kepalang.

"Hei…!" Terdengar seruan-seruan kaget dari ketiga orang wanita cantik itu. Serentak mereka berlompatan mundur menghindari sambaran angin pukulan yang berlainan sifat itu. Sayang gerakan yang dilakukan mereka masih kalah cepat dibanding gerakan Panji. Sehingga tanpa dapat dicegah lagi, tubuh ketiga orang wanita cantik itu terpental deras ke belakang.

Desss.... Desss.... Desss...!

Ketiga orang wanita cantik penghuni Pulau Setan itu terjungkal terbanting keras di atas tanah. Darah segar Yang mengalir di sudut bibir, menandakan kalau ketiga orang wanita cantik itu telah menderita luka dalam yang cukup parah!

Rupanya kesempatan yang sangat baik itu, tidak disia-siakan begitu saja oleh para prajurit Kerajaan Mulawarta yang tersisa. Langsung saja mereka berlompatan ke arah tiga sosok tubuh yang tengah berusaha bangkit itu. Dan....

Brettt.... Crakk… Crasss...!

"Wuaaa...!"

"Aaargh...!"

Jeritan-jeritan kematian terdengar saling susul menyusul ketika belasan orang prajurit kerajaan itu menusukkan dan membabatkan senjatanya ke tubuh Tiga Dewi Pulau Setan. Darah segar pun berhamburan membasahi permukaan bumi yang semakin lembab oleh darah-darah manusia.

Namun ketiga orang wanita cantik itu pun rupanya tidak mau mati secara sia-sia. Buktinya mereka membalas dengan sambaran senjata di tangan. Sehingga, enam orang prajurit yang paling dekat, langsung jatuh tersungkur mencium tanah dengan tubuh berlumuran darah. Setelah itu, baru Tiga Dewi Pulau Setan menghembuskan napasnya yang terakhir.

"Benar-benar berbahaya..." gumam Panji. Pendekar Naga Putih kemudian langsung melesat ke dalam bangunan istana, setelah melihat ketiga orang wanita cantik itu benar-benar sudah berakhir hidupnya.

Saat tiba di ruang utama istana, Panji terkejut bukan main. Tampak tokoh sakti yang dicarinya tengah mengamuk hebat. Dia dikeroyok oleh belasan orang perwira dan dua orang Senapati Kerajaan Mulawarta. Amukan tokoh tinggi kurus yang wajahnya selalu tersembunyi di balik kerudung hitam itu benar-benar mengiriskan. Puluhan mayat prajurit dan perwira, tampak bergeletakan di bawah kakinya. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat mengerikan dan mengiriskan sekali.

"Heaaat...!"

Dibarengi teriakan mengguntur, Malaikat Gerbang Neraka melesat sambil mengibaskan kedua tangannya ke kiri dan kanan. Gerakan tokoh sesat maha sakti itu benar-benar membuat orang tewas seketika. Dua orang senapati yang masing-masing berusia lima puluh dan tiga puluh tujuh tahun, tampak berbuat nekat. Mereka langsung menyambut kibasan tangan tokoh mengiriskan itu.

"Haaat ..!"

Sambil berseru keras, kedua orang senapati itu langsung saja melompat sambil mendorongkan tangannya untuk menyambut pukulan maut yang menimbulkan deru angin panas. Dan....

Blarrr...!

"Aaakh...!"

Ledakan dahsyat yang terasa bagaikan hendak merobohkan istana terdengar, ketika pukulan Malaikat Gerbang Neraka dan kedua orang senapati itu berbenturan keras. Kedua senapati andalan Kerajaan Mulawarta itu langsung terpental balik akibat benturan yang maha dahsyat! Tubuh mereka langsung terbanting jatuh ke atas lantai.

"Uhhh...!"

Benturan dahsyat tadi rupanya telah membuat dada keduanya terguncang. Hal itu jelas terlihat dari gerakan mereka pada saat hendak berusaha bangkit berdiri. Mereka kembali terjatuh sambil menekap dada yang terasa bagaikan tertusuk ribuan jarum halus. Dari cairan merah yang tampak mengalir di sela-sela bibir, dapat dipastikan kalau kedua orang itu telah mengalami luka dalam cukup parah.

Sedangkan Malaikat Gerbang Neraka sendiri sama se- kali tidak mengalami luka berarti. Benturan keras tadi hanya membuat kuda-kudanya tergempur beberapa langkah ke belakang. Tentu saja kenyataan itu mau tak mau membuat Pendekar Naga Putih yang sempat menyaksikannya menggeleng takjub.

"Orang ini benar-benar sudah seperti bukan manusia lagi! Kepandaiannya hebat dan mengiriskan sekali. Hm.... Kalau saja aku belum menemukan rahasia yang tersimpan dalam Pedang Naga Langit, rasanya mustahil dapat menandingi tokoh sesat yang satu ini. Sekarang pun, aku masih ragu untuk dapat menandinginya," desah Pendekar Naga Putih yang benar-benar kagum dengan kesaktian tokoh sesat penuh teka-teki itu.

Namun, Panji tidak sempat berpikir lama. Karena saat itu, belasan orang perwira yang mengeroyok tokoh sakti itu bertumbangan satu persatu bagaikan laron mendekati api. Tentu saja jeritan kematian yang susul-menyusul itu membuat Pendekar Naga Putih harus segera turun tangan mencegahnya. Dan sebagai taruhannya, adalah nyawa!

"Malaikat Gerbang Neraka! Kali ini kau harus benar-benar kuhentikan...!" seru Panji sambil melompat memapak hantaman telapak tangan kanan tokoh itu yang tengah meluncur deras mengancam empat orang pengeroyok di depannya.

Tokoh sakti yang berjuluk Malaikat Gerbang Neraka itu sempat tersentak mendengar seruan yang diketahuinya mengandung kekuatan dahsyat. Dan ketika matanya melirik, tampak kegusaran terpancar pada sepasang matanya. Jelas kalau tokoh mengiriskan itu tengah mengenali orang yang mengeluarkan seruan lantang tadi.

"Pendekar Naga Putih...?!" desisnya. Malaikat Gerbang Neraka tampak terperangah melihat kedatangan pemuda sakti itu. Memang, sampai saat itu pun ia masih belum bisa mengerti, bagaimana cara pemuda itu dapat meloloskan diri dari tahanannya padahal, ia tahu betul kalau keadaan pemuda itu sangat parah dan kemungkinan untuk sembuh hampir mustahil. Itulah yang menyebabkan hatinya terkejut melihat kemunculan Panji. Apalagi, keadaan pemuda itu tampak segar bugar.

Malaikat Gerbang Neraka yang melihat datangnya serangan pemuda itu, segera menyelewengkan hantaman telapak tangannya. Perhatiannya segera dialihkan ke arah Pendekar Naga Putih yang saat itu tengah meluruk ke arahnya. Panji yang sadar akan kedahsyatan ilmu lawannya, tentu saja tidak mau bertindak tanggung-tanggung. Langsung dikerahkannya seluruh kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dimiliki untuk menahan gempuran dahsyat itu.

Wusss...! Wukkk...! Blarrr...!

Hebat dan sangat mengerikan benturan dua gelombang tenaga raksasa yang saling bertemu di udara. Ruang utama Istana Kerajaan Mulawarta bagaikan diguncang gempa yang sangat hebat Sehingga, tembok-tembok yang mengelilingi ruangan itu sampai bergetar bagaikan hendak roboh. Bahkan pada bagian atap ruangan itu sempat rontok karenanya.

Belasan orang perwira kerajaan yang sempat menyaksikan benturan dahsyat itu, terlempar ke kiri dan kanan bagaikan dilanda angin topan dahsyat Dengan perasaan ngeri mencekam, para perwira itu serentak menyeret langkahnya menjauhi pertarungan mengerikan itu. Akibat yang diderita Panji pun cukup parah. Benturan dahsyat itu telah membuat tubuhnya terlempar deras, dan langsung menjebol dinding ruangan yang berada dua tombak di belakangnya. Untunglah lapisan kabut putih keperakan masih menyelimuti tubuhnya, sehingga tulang-tulangnya tidak sampai patah.

"Hm…" Pendekar Naga Putih menggeram gusar. Sepasang matanya menyorot tajam bagaikan mata seekor naga murka. Dengan gerakan perlahan, pemuda itu menyilangkan kedua tangan di depan dada. Kemudian masih dengan gerakan perlahan dan mengandung getaran kuat, kedua lengan pemuda itu bergerak naik melampaui kepalanya.

Tak lama kemudian, terlihatlah dua buah sinar yang membungkus tubuh pemuda berjubah putih itu. Masing-masing adalah sinar putih keperakan, dan sinar kuning keemasan. Kedua sinar itu menyelimuti tubuh Panji secara terpisah. Sehingga pemandangan aneh itu, sempat membuat Malaikat Gerbang Neraka mengerutkan keningnya.

"Gila! ilmu apa lagi yang dimiliki pemuda setan itu...? Hm, apa yang membuat tubuhnya sampai dapat mengeluarkan dua buah sinar aneh secara bersamaan?" gumam tokoh sesat itu yang merasa terkejut karenanya.

Sebagai seorang yang telah banyak mengetahui ilmu langka dunia persilatan, tokoh sakti itu sadar kalau orang yang telah mampu mengerahkan kedua unsur tenaga berlainan sifat secara bersamaan, sudah pasti memiliki kekuatan luar biasa sekali. Melihat pemuda itu dapat menggabungkan dua tenaga berlainan sifat secara sempurna, tentu saja Malaikat Gerbang Neraka menjadi gentar hatinya. Padahal, diketahuinya betul kalau pada beberapa hari yang lalu, lawannya sama sekali tidak menggunakan perpaduan tenaga itu. Dan diyakininya pula kalau pada waktu menahannya, Pendekar Naga Putih sama sekali belum memiliki kekuatan seperti itu. Malaikat Gerbang Neraka benar-benar menjadi tidak mengerti dengan keanehan pendekar muda itu.

"Hm... Kalau memang bukan seorang pengecut, marilah pertarungan kita dilanjutkan di tempat yang lebih leluasa, Malaikat Gerbang Neraka. Tapi kalau kau takut, tentu aku tidak akan memaksa," tantang Pendekar Naga Putih sengaja memanasi.

"Bedebah kau, Pendekar Naga Putih! Apa dikira dengan kepandaianmu kau sudah patut bersombong di depanku? Huh! Jangan mimpi, Bocah Setan! Hari ini juga, nama besarmu akan kuhapus dari dunia persilatan," desis Malaikat Gerbang Neraka, mengandung kegeraman yang dalam.

Seketika tubuh Pendekar Naga Putih segera melesat ke arah samping istana yang memiliki halaman cukup luas. Sedangkan Malaikat Gerbang Neraka pun bergegas mengejar. Baru saja Panji menjejakkan kakinya di tanah, Malaikat Gerbang Neraka sudah langsung melancarkan serangan dahsyat. Pukulannya yang menimbulkan deru angin mencicit tajam, datang bertubi-tubi bagai tidak ingin memberi kesempatan kepada pemuda itu.

Bettt..! Wuttt...!

Rentetan pukulan Malaikat Gerbang Neraka yang hebat bukan kepalang, tentu saja tidak bisa dipandang ringan. Apalagi dilancarkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Tentu saja kedahsyatannya sangatlah mengerikan. Panji pun bukan tidak tahu akan kedahsyatan serangan itu. Cepat tubuhnya bergeser dengan lompatan kesamping. Langsung dilancarkannya serangan balasan dengan tusukan jari-jari tangan kanan.

Syuuut..!

Tusukan jari-jari tangan Pendekar Naga Putih meluncur pesat mengancam lambung lawan. Serangkum angin dingin yang menusuk tulang mencicit tajam mengiringi tusukan jari tangan pemuda itu.

Malaikat Gerbang Neraka yang merasa sangat yakin akan kekuatan dahsyat tenaganya, langsung saja mengibaskan lengan kiri untuk memapak serangan Pendekar Naga Putih. Namun, Panji tentu saja tidak ingin bertindak ceroboh. Disadari kalau kekuatan yang dimiliki lawannya masih berada di sebelah atasnya. Maka tentu saja ia tidak sudi mengadu tenaga dengan lawannya. Ditariknya tusukan jari tangan yang meluncur mengancam lambung lawan. Secepat tangan kanannya ditarik pulang, tubuhnya bergerak menekuk doyong ke belakang sambil melancarkan tendangan kilat yang melesat ke arah perut Malaikat Gerbang Neraka.

Tass….!

Hebat dan cepat bukan main gerakan tokoh tinggi kurus itu. Dalam keadaan cukup berbahaya itu ternyata masih sempat memutar kibasan tangannya yang membentuk setengah lingkaran hingga sempat memapak tendangan Panji.

Benturan dua gelombang tenaga raksasa itu tentu saja akibatnya hebat sekali. Tubuh Pendekar Naga Putih melintir akibat tangkisan keras lawannya. Tapi walaupun demikian, keseimbangan tubuhnya masih sempat diatur dan kuda-kudanya dapat diperbaiki dalam keadaan siaga penuh.

"Heaaat... !" Malaikat Gerbang Neraka yang sempat bergetar mundur sampai empat langkah akibat benturan itu, kembali melesat disertai pekikannya yang menggetarkan jantung.

Para prajurit yang tengah bertempur dengan gerombolan pengikut tokoh sesat itu kontan terjungkal Memang, mereka bertempur tidak jauh dari pertempuran antara Panji melawan Malaikat Gerbang Neraka. Dari mulut, telinga, dan hidung mereka mengalir darah segar. Rupanya teriakan dahsyat Malaikat Gerbang Neraka telah menewaskan mereka. Dari kejadian itu saja dapat dilihat, betapa mengerikannya kekuatan yang dimiliki tokoh sesat itu.

Pendekar Naga Putih yang melihat sepasang telapak tangan lawan tengah meluncur mengancam dadanya, cepat menyilangkan sepasang tangannya. Juga langsung tenaga batinnya dipusatkan untuk menggabungkan dua kekuatan yang berada dalam tubuhnya.

Whusss...!

Dorongan sepasang tangan yang berkekuatan dahsyat itu lewat di samping tubuh Panji yang melompat ke samping. Namun, apa yang selanjutnya dilakukan tokoh sesat itu benar-benar membuat Panji tersentak. Ternyata sepasang telapak tangan yang lewat di samping tubuhnya itu tiba-tiba berputar cepat, dan langsung mengancam lambung kirinya.

Buggg...!

"Akhhh...!"

Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Pendekar Naga Putih langsung terpental bagaikan sehelai daun kering! Darah segar terlompat keluar dari mulutnya. Namun sebelum tubuhnya jatuh mencium tanah, pemuda itu masih sempat berjumpalitan dan mendaratkan kakinya. Hanya saja, kuda-kudanya sedikit goyah!

"Gila! Tokoh sesat satu ini memang benar-benar luar biasa! Nampaknya akan sulit sekali untuk dapat mengalahkannya," gumam Pendekar Naga Putih sambil menyusut cairan merah dengan lengan bajunya.

"Haaat...!"

Bagaikan orang kesetanan, Malaikat Gerbang Neraka kembali meluncur dengan serangan-serangan mematikan. Jelas kalau tokoh sesat itu memang sangat menginginkan kematian Pendekar Naga Putih. Kali ini Malaikat Gerbang Neraka jelas salah perhitungan. Semula, dikiranya Panji telah mengalami luka dalam akibat pukulannya. Tapi ternyata dugaannya meleset!

Memang, dengan telah bersatunya Pedang Naga Langit ke dalam tubuh Pendekar Naga Putih, tentu saja setiap pukulan yang menimbulkan luka telah langsung terhapus oleh inti kekuatan pedang keramat itu. Hal inilah yang tidak diketahui Malaikat Gerbang Neraka. Pendekar Naga Putih sendiri semula merasa heran ketika tidak merasakan akibat hantaman Malaikat Gerbang Neraka tadi. Sepertinya, pukulan tadi tidak berbekas dalam tubuhnya. Namun ketika teringat Pedang Naga Langit yang telah menyatu ke dalam tubuhnya, maka pemuda itu pun tersenyum lega.

Serangan Malaikat Gerbang Neraka yang telah kembali mengancam, sama sekali tidak membuat Panji gugup. Dengan menyatukan kekuatan batinnya, pemuda itu berdiri tegak menanti datangnya serangan lawan. Dan pada saat sepasang tangan tokoh tinggi kurus itu meluncur mengancam tubuhnya, Panji pun merendahkan tubuhnya sambil memantek kedua kakinya di atas tanah.

"Heaaattt...!" Disertai 'Pekikan Naga Marah', Pendekar Naga Putih mendorongkan sepasang tangannya ke depan. Serangkum angin pukulan yang mengandung hawa dingin dan panas, terlontar dari sepasang telapak tangan pemuda itu.

Whusss...!

Bresssh...!

Terdengar ledakan dahsyat ketika kedua pasang telapak tangan yang mengandung kekuatan raksasa saling berbenturan di udara! Tubuh kedua tokoh sakti itu terpental balik bagaikan selembar daun kering yang diterbangkan angin.

Derrr...!

Tubuh Malaikat Gerbang Neraka yang selama ini belum pernah terkalahkan, meluncur menghantam sebatang pohon besar yang berada di belakangnya. Dengan memperdengarkan suara berderak ribut, pohon besar itu langsung tumbang, karena bagian tengahnya terlanggar tubuh tinggi kurus itu.

Demikian pula halnya Pendekar Naga Putih. Tubuh Pendekar Naga Putih yang tengah meluncur ke arah dinding samping bangunan istana, terhempas keras hingga dinding itu pun jebol. Pendekar Naga Putih yang merasakan sekujur tubuhnya bagaikan remuk, cepat menyatukan pikiran. Dia duduk bersila sambil memejamkan mata, tanpa peduli dengan keadaan sekitarnya. Gempuran dahsyat yang telah mengakibatkan luka dalam, membuatnya berusaha untuk membangkitkan kekuatan tenaga batinnya. Memang disadari betul kalau lukanya hanya dapat disembuhkan oleh 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' yang berasal dari Pedang Pusaka Naga Langit.

Sedangkan Malaikat Gerbang Neraka ternyata tetap terkulai lemah tak berdaya. Dari sudut bibir tokoh tinggi kurus itu mengalir darah segar. Jelas, tokoh sakti itu pun telah mengalami luka dalam yang tidak ringan. Bahkan akibatnya, kesaktiannya kini telah punah! Dia seperti kakek-kakek jompo saja layaknya. Melihat hal ini, dua orang senapati dan beberapa orang perwira tinggi Kerajaan Mulawarta cepat mengamankan tokoh iblis itu. Mereka membawanya ke dalam bangunan istana, untuk meminta keputusanPrabu Pungga Lawa.

Sementara, pertempuran yang berlangsung antara pasukan Kerajaan Mulawarta melawan pasukan pemberontak sudah pula selesai. Para prajurit kerajaan yang dibantu tokoh-tokoh persilatan golongan putih telah berhasil menghentikan perlawanan para pemberontak. Yang tinggal hanyalah ribuan sosok mayat saling tumpang-tindih yang menebarkan bau anyir darah.

*******************

Pendekar Naga Putih yang baru saja menyelesaikan semadinya, menjadi heran ketika di sekelilingnya telah berkumpul tokoh persilatan. Sehingga, pemuda itu sempat menjadi rikuh karenanya.

"Bagaimana keadaanmu, Kakang...?" tanya Kenanga yang saat itu juga tengah menunggu kekasihnya. Wajah jelita bagai bidadari itu tampak penuh kecemasan.

"Aku tidak apa-apa, Kenanga. Kesehatanku sudah pulih seperti semula," sahut Panji sambil mengedarkan pandangan, seolah-olah mencari sesuatu.

"Malaikat Gerbang Neraka telah dapat kau lumpuhkan, Panji. Dan kini telah diamankan pihak istana. Menurut Gusti Prabu Pungga Lawa pada saat kami datang menghadap, tokoh sesat yang maha sakti itu ternyata seorang pangeran yang pada beberapa waktu lalu pernah memberontak. Ternyata nama asli Malaikat Gerbang Neraka adalah Pangeran Dwipa Karna. Dulu, dia berhasil meloloskan diri dari kejaran pihak kerajaan. Rupanya kali ini kembali mencoba melakukan pemberontakan untuk merebut kekuasaan dari tangan Gusti Prabu dengan bantuan para datuk sesat. Sayang rencananya kali ini pun harus gagal. Dan untuk kali ini, ia tidak akan bisa melarikan diri lagi dari hukuman mati. Besok sebelum matahari terbit, tokoh itu akan dihukum penggal. Demikian titah Gusti Prabu Pungga Lawa," jelas laki-laki gemuk berwajah.bulat, dengan kumis dan jenggot yang tercukur rapi. Orang itu tak lain adalah Ki Jagaraksa atau yang lebih dikenal sebagai Pendekar Pedang Perak. Rupanya tokoh ini pun ikut menunggui Panji yang tengah bersemadi.

"Bagaimana para datuk sesat itu? Apakah mereka tewas, atau dapat ditawan?" tanya Panji, bernada ingin tahu. Sebab, ia memang tidak mengetahui akan hal itu.

"Mereka berhasil meloloskan diri dengan meninggalkan pasukannya. Rupanya setelah melihat keadaan pasukan mereka terdesak, dan tidak mempunyai harapan untuk menang, mereka langsung pergi menyelamatkan diri masing-masing. Kecuali Tengkorak Hutan Jati dan Garuda Mata Satu. Mereka bersama pasukannya tewas digilas prajurit kerajaan dibantu murid-murid kami," jelas laki-laki setengah baya yang memiliki wajah menarik. Orang itu tak lain adalah Pendekar Laut Selatan. Dia datang bersama seluruh muridnya untuk membantu Kerajaan Mulawarta dalam menghadapi gerombolan pemberontak.

"Hhh.... Syukurlah kedatangan kalian tidak terlambat," desah Panji menarik napas lega. Namun, kening Pendekar Naga Putih kembali berkerut ketika tidak melihat Raja Obat di tempat itu.

"Setelah melihat semua keadaan di sini telah aman, Raja Obat berpamit untuk meneruskan pengembaraannya. Maaf! Kami tidak bisa menahannya sampai kau menyelesaikan semadimu, Panji. Dan beliau meminta maaf karena tidak bisa berpamit kepadamu," jelas Pendekar Pedang Perak yang rupanya dapat menebak isi hati pemuda perkasa itu.

"Ah! Kalau begitu, aku pun harus segera pamit kepada kalian. Sampaikan salam hormat dan maafku kepada Gusti Prabu Pungga Lawa. Ayo, Kenanga...," pamit Panji, segera mengajak kekasihnya meninggalkan Istana Kerajaan Mulawarta.

"Baik, Kakang...," sahut Kenanga. Gadis itu juga segera berpamit kepada semua tokoh persilatan yang berada di tempat itu.

"Pendekar Naga Putih...! Bagaimana kami harus mengatakan kalau Gusti Prabu Pungga Lawa menanyakan tentang dirimu?" seru Pendekar Pedang Perak yang tak kuasa mencegah kepergian kedua orang pendekar muda itu.

"Sampaikan salam hormat dan maafku, Paman!" teriak Panji.

Pendekar Naga Putih memang sudah semakin jauh meninggalkan tempat itu. Sehingga, para tokoh persilatan itu hanya dapat menatap hingga tubuh kedua orang pendekar muda itu lenyap ditelan keremangan senja.

S E L E S A I

Rahasia Pedang Naga Langit

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Rahasia Pedang Naga Langit
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat serial Pendekar Naga Putih

SATU

"Bakar...! Ayo, musnahkan seluruh isi desa ini...!"

Salah seorang dari tiga wanita cantik yang berada di atas punggung kuda tampak berteriak-teriak memberi perintah. Wajahnya yang cantik nampak berseri menyaksikan pemandangan di depannya. Sepasang matanya yang indah, menyiratkan kekejaman yang mengerikan. Sedangkan puluhan orang laki-laki berwajah bengis yang juga menunggang kuda, berlarian menyerbu rumah-rumah penduduk Desa Batu Apung. Beberapa di antaranya memegang obor menyala ditangan.

"Heaaa….!" Sambil berteriak-teriak, gerombolan laki-laki berwajah bengis itu melemparkan obor-obor ke atap rumah penduduk. Dalam sekejap saja, api pun berkobar melalap beberapa rumah.

"Tolong...! Tolooong...!"

Para penghuni rumah berlarian keluar sambil berteriak-teriak ketakutan. Namun begitu melewati pintu rumah, gerombolan penunggang kuda berwajah bengis itu langsung menyambut dengan senjata.

"Mampus kau...!" bentak salah seorang gerombolan itu sambil mengibaskan golok panjangnya.

Brettt... brettt!

"Aaakh...!"

Terdengar teriakan-teriakan ngeri ketika mata golok laki-laki kasar itu merobek tubuh beberapa orang penduduk yang berlari ke arahnya. Tanpa ampun lagi, tubuh orang-orang malang itu ambruk bermandikan darah segar.

Malam yang seharusnya hening, kini menjadi ramai oleh teriakan-teriakan menyayat penduduk Desa Batu Apung. Mereka berlarian ke sana kemari tak tentu arah. Tua muda, besar kecil, laki-laki perempuan, semuanya berbondong-bondong menyelamatkan diri. Tak ada lagi harta yang sempat dibawa.

Jangankan harta. Nyawa pun seperti tak luput dari incaran para perampok itu. Kekejaman yang dilakukan gerombolan itu tentu saja semakin membuat para penduduk Desa Batu Apung semakin kalang-kabut. Sadarlah mereka kalau orang-orang itu adalah gerombolan perampok kejam dan tak kenalampun.

"Biadab...! Kalian lebih patut menjadi penghuni neraka! Di sanalah tempat kalian bersama segala macam iblis dan dedemit!" maki seorang laki-laki setengah baya yang wajahnya ditumbuhi brewok. Dengan kemarahan meluap-luap, golok di tangannya diayunkan. Namun, kemarahan laki-laki brewok itu malah semakin membuat para perampok tertawa puas. Seorang di antaranya bergegas menyambut ayunan golok yang mengarah ke tubuhnya.

Tranggg...!

Terdengar benturan nyaring ketika dua batang senjata bertemu. Namun, laki-laki berwajah brewok itu rupanya berkepandaian juga. Begitu goloknya terbentur, secepat itu pula arah sambarannya diputar menggunakan tenaga benturan tadi.

Wuttt! Brettt!

"Aaakh...!"

Sambaran golok yang tak terduga itu membuat si perampok menjerit ngeri. Karena, mata golok laki-laki brewok itu telah merobek kulit tubuhnya. Maka tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya ambruk dalam keadaan tewas!

"Bangsat! Rupanya kau cukup berisi. Pantas saja berani bertingkah!" bentak salah seorang perampok lainnya. Dia sempat terkejut melihat tubuh kawannya tewas akibat sambaran pedang laki-laki brewok itu. Maka dengan wajah geram, empat orang rekannya diisyaratkan untuk mengeroyok laki-laki brewok itu. Dalam sekejap saja, laki-laki brewok itu sudah terkurung oleh lima orang gerombolan perampok.

"Majulah kalian, Manusia-Manusia Biadab! Aku, Galung tidak ,akan menyerah begitu saja!" tantang laki-laki brewok yang mengaku bernama Galung, tanpa rasa gentar sedikit pun.

Wuttt... wuttt...!

Galung memutar-mutar golok untuk melindungi tubuhnya. Sadar kalau tidak mungkin bisa meloloskan diri dari kematian, maka tekadnya pun semakin bulat. Beberapa orang dari para perampok itu harus dibunuh untuk menebus nyawanya.

"Heaaat...!"

Dibarengi teriakan nyaring, tubuh kelima orang perampok itu berloncatan menyerbu Galung. Senjata mereka langsung saja meluncur, mengancam lima bagian tubuh laki-laki gemuk brewok itu.

Namun tekad membaja yang tertanam di hati Galung sudah demikian kuat. Sehingga, tidak ada lagi rasa takut di dalam dirinya. Maka begitu lima batang senjata meluruk deras ke arahnya, laki-laki brewok itu menggeser tubuh sebisa mungkin untuk menghindari sambaran senjata lawan. Sayang, kepandaian yang dimiliki kelima orang perampok itu cukup lumayan. Apalagi kali ini dengan cara keroyokan. Maka, tentu saja Galung menjadi kerepotan. Sehingga, dalam beberapa jurus saja tubuh laki-laki brewok itu sudah dipenuhi luka akibat goresan senjata pengeroyoknva.

Brettt! Crattt!

"Aaargh...!"

Ketika pertarungan memasuki jurus yang kesepuluh, Galung tidak mampu menghindar lagi dari tebasan dua batang pedang lawan. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya pun terjungkal dan roboh mandi darah. Setelah berkelojotan sesaat, leher laki-laki brewok itu pun terkulai.Tewas!

Namun, kelima orang perampok itu sepertinya sangat mendendam kepada Galung. Meskipun laki-laki brewok itu telah tewas, tubuhnya masih juga dicincang dengan bengis! Benar-benar keji kelakuan kelima orang perampok itu. Jelas, hati mereka benar-benar telah mati dan tanpa perasaan. Sementara itu, tiga orang wanita cantik yang jelas merupakan pimpinan para perampok, kembali berteriak memberi perintah.

"Ayo, cepat...! Kita harus segera meninggalkan desa ini! Angkut semua barang berharga yang mereka miliki!" teriak salah seorang dari ketiga wanita cantik itu dengan suara nyaring dan lantang.

Puluhan laki-laki berwajah bengis yang masing-masing sudah menggondol buntalan berisi harta rampokan itu bergegas melompat ke atas punggung kuda. Namun sebelum sempat meninggalkan Desa Batu Apung, terdengar bentakan yang disusul berloncatan nya beberapa sosok tubuh menghadang perjalanan mereka.

"Mau lari ke mana kalian, Manusia-manusia Biadab?! Huh! Jangan harap dapat pergi begitu saja dari desa ini!" ancam seorang laki-laki tinggi kurus, namun memiliki sikap gagah dan jantan. Sedangkan di belakang laki-laki tinggi kurus itu, tampak belasan sosok tubuh bersenjata terhunus.

"Samilaga! Jangan biarkan mereka meninggalkan desa kita seenak perutnya!"

Terdengar seruan keras yang diiringi suara derap kaki kuda. Tak lama kemudian, tampak seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun di atas punggung kuda. Dia bergerak cepat mendatangi tempat itu. Melihat sikapnya yang berwibawa, jelas kalau laki-laki separuh baya itu merupakan orang terpandang di Desa Batu Apung. Sementara laki-laki tinggi kurus yang dipanggil Samilaga itu menolehkan kepala ke arah asal seruan nyaring tadi. Wajahnya tampak berseri begitu mengenali orang yang datang menunggang kuda hitam itu.

"Ki Wanareja...!" seru Samilaga dengan nada gembira. Bergegas disambutnya kedatangan lelaki penunggang kuda hitam yang ternyata bernama Ki Wanareja, penuh rasa hormat.

Melihat dari sikap yang ditunjukkan Samilaga, jelas kalau Ki Wanareja merupakan atasannya. Sikap hormat yang ditunjukkan Samilaga tentu saja tidak berlebihan. Memang, Ki Wanareja adalah Ke- pala Desa Batu Apung. Sedangkan ia sendiri sebagai kepala keamanan. Kedatangan Ki Wanareja tentu saja membuat hati Samilaga bertambah lega Sebab, kepala desa itu telah beberapa hari pergi menghadap Adipati Blambang kota kadipaten. Sehingga, kehadirannya memang sangat tepat pada saat yang diperlukan.

Namun bukan hanya Samilaga saja yang merasa lega. Bahkan belasan orang berseragam hitam yang merupakan anggota keamanan Desa Batu Apung bertambah keberaniannya. Maka rasa kegentaran terhadap banyaknya anggota perampok, seketika lenyap. Tapi ketiga wanita cantik yang memimpin gerombolan perampok itu ternyata tidak merasa khawatir. Malah salah seorang yang memakai pakaian serba kuning memperdengarkan tawanya yang merdu dan nyaring.

"Ha ha ha...! Untunglah kau cepat datang, Wanareja. Jadi kami tidak perlu susah-susah lagi mencarimu. Bagaimana kabar Adipati Tunggul Wulung? Bukankah kau baru saja menghadap adipati tolol itu?" kata wanita cantik itu, bernada mengejek. Melihat dari cara berbicaranya, jelas wanita itu telah cukup mengenal Kepala Desa Batu Apung.

"Hm.... Kiranya Tiga Dewi Pulau Setan yang datang berkunjung ke desaku ini. Apa yang telah membuat kalian sampai jauh-jauh ke sini? Atau kalian sudah tidak kerasan lagi tinggal di tempat yang menyeramkan itu?" sahut Ki Wanareja. Suaranya tetap tenang, dan tanpa hawa amarah.

"Hik hik hik.... Bagus kau masih mengenali kami, Wanareja. Dan kuharap, kau pun tidak terlalu pelit memberikan hartamu sebelum kami meninggalkan desa kotor ini," timpal wanita cantik yang mengenakan pakaian ungu.

Dia memiliki lesung pipit, sehingga tampak semakin menambah kemanisannya ketika tersenyum. Sayang, sinar mata yang dimilikinya tampak demikian sayu. Sepertinya mengandung undangan bercinta. Sehingga sekali pandang saja, orang sudah dapat menilai kalau dia bukanlah wanita baik-baik.

"Hm Tentu saja aku suka memberikannya kepada kalian. Hanya saja, aku ragu. Apakah kalian akan sanggup melangkahi mayatku dulu?" sahut Ki Wanareja sambil menyunggingkan senyum tenang.

Tentu saja ucapan yang lebih tepat sebuah tantangan, membuat wajah ketiga wanita cantik itu menjadi merah. Dengan sinar mata bengis, wanita yang mengenakan pakaian serba kuning, mengibaskan lengan kanannya kedepan.

"Anak-anak! Habisi orang-orang itu. Biar kakek peot yang sombong ini menjadi bagianku," perintah wanita cantik berpakaian serba kuning dengan suara nyaring. Setelah memberi perintah, tubuh ramping itu pun melayang turun. Kemudian, dia hinggap sejauh satu tombak di hadapan Ki Wanareja. Gerakannya indah, sehingga membuat Ki Wanareja terpukau.

"Bagus...!" puji Ki Wanareja. Mau tidak mau, dia menjadi terkejut juga melihat kehebatan ilmu meringankan tubuh calon lawannya. Meskipun telah lama mendengar kalau ilmu meringankan tubuh Tiga Dewi Pulau Setan cukup tinggi, namun ia sama sekali tidak menduga akan sehebat itu. Tentu saja kenyataan ini membuatnya harus mengambil sikap lebih berhati-hati dalam menghadapi gadis-gadis cantik yang terlihat lemah-lembut itu.

"Jangan cuma bengong seperti ayam sakit begitu, Wanareja. Lebih baik bersiap-siaplah. Agar kematianmu bisa terasa lebih nikmat," ujar wanita cantik itu dengan suara bengis.

Namun, meskipun ucapan gadis berpakaian kuning itu terdengar ketus, tapi bibirnya yang segar tampak mengembangkan senyum manis. Namun tidak demikian halnya Ki Wanareja. la yang telah cukup mengenal banyak tokoh rimba persilatan, tentu saja tidak merasa aneh atas sikap wanita cantik itu. Memang tidak salah apa yang telah didengarnya. Justru pada saat kemarahan tokoh cantik Pulau Setan itu semakin memuncak, maka akan semakin murahlah senyumnya diobral.

Namun demikian, di balik senyuman yang semakin manis itu, ternyata tersembunyi kekejaman yang mengerikan! Sehingga, bagi para tokoh persilatan yang telah mengenal perangainya akan semakin ciut nyalinya. Melihat senyum dara berpakaian serba kuning semakin bertambah manis, hati Ki Wanareja seketika bergetar tenang. Cepat ia melompat turun dari punggung kudanya.

Memang, selain memiliki kepandaian ilmu meringankan tubuh yang tinggi, kepandaian Tiga Dewi Pulau Setan dalam permainan senjata beracun pun sudah sangat terkenal. Tentu saja ingatan itu membuatnya semakin berhati-hati. Dan apa yang diduga Ki Wanareja ternyata cukup beralasan. Tepat pada saat tubuhnya di udara, dara cantik berpakaian serba kuning tampak mengibaskan tangan ke arahnya.

Wuttt...!

Serangkum angin lembut mengiringi luncuran puluhan jarum beracun. Sasarannya, Ki Wanareja. Untungnya lelaki setengah baya itu cepat mencapai tanah, dan langsung bersalto beberapa kali di udara. Sehingga, jarum-jarum beracun yang mematikan itu pun tidak sampai menghunjam tubuhnya. Hanya saja, kudanya harus rela jadi korban sasaran senjata rahasia itu.

"Gila! Wanita cantik itu benar-benar tidak berjantung!" desis Ki Wanareja sambil mengusap peluh dingin yang membasahi keningnya. Ngeri juga hatinya menyaksikan kuda tunggangannya kontan menggelepar tewas dalam keadaan tubuh hangus bagai terbakar.

"Hik hik hik Kau terkejut, Tua Bangka Peot?" ejek wanita cantik itu, sambil tertawa bagai iblis. Sepertinya, kematian kuda itu hanya merupakan lelucon yang menggelitik perutnya.

"Jangan keburu sombong dulu, Iblis Betina! Kelak kau akan merasakan tajamnya sepasang golokku ini!" sahut Ki Wanareja tanpa memperlihatkan kegentaran.

"Hm Aku ingin lihat, sampai di mana kehebatan sepasang golok bututmu itu?" tantang dara cantik berpakaian serba kuning itu, sinis. Usai berkata demikian, tubuhnya yang ramping itu berkelebat menerjang Kepala Desa Batu Apung.

"Haittt...!"

Ki Wanareja tentu saja tidak ingin tubuhnya dijadikan sasaran pukulan bertangan keji. Maka pada saat lengan halus itu hendak mencengkeram lehernya, Ki Wanareja bergerak menggeser ke samping. Gerakan itu masih diiringi tebasan golok di tangan kanannya.

Wuuut...!

Sambaran yang dilancarkan Ki Wanareja ternyata cukup cepat. Bahkan meskipun tebasan pertamanya dapat digagalkan lawan, lelaki setengah baya itu masih dapat menyusuli dengan serangan berikutnya.

"Heaaat...!"

Diiringi bentakan nyaring, tubuh Ki Wanareja berkelebat disertai sambaran sepasang goloknya. Cepat dan mantap sekali gerakannya. Sehingga mau tidak mau, dara berbaju kuning yang menjadi lawannya bergerak mundur. Meskipun serangan-serangannya telah membuat lawan terdesak, namun Ki Wanareja tidak mau terpancing amarahnya. Tebasan-tebasan yang dilakukannya pun, tetap terarah tepat. Bahkan terkadang masih ditambah dengan tendangan-tendangan kilat yang mendadak.

"Yeaaat..!"

Ketika pertarungan memasuki jurus keempat puluh, dara berpakaian serba kuning itu menjadi penasaran! Sambil berteriak melengking, tubuhnya berkelebat cepat dan menyelinap di antara sambaran golok lawan. Sedangkan sepasang tangannya meluncur cepat dengan cengkeraman-cengkeraman yang menebarkan bau amis.

Wuuut.... Wuuut...!

Bukan main terperanjatnya hati Ki Wanareja melihat serangan yang menimbulkan hawa beracun itu. Cepat tubuhnya dilempar hingga satu tombak ke belakang.

Whusss...!

"Akhhh...!" Sayang lemparan tubuh yang dilakukan Ki Wanareja masih kalah cepat dengan gerakan lawan. Sehingga, tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya siap menjadi sasaran pukulan lawan.

Bukkk...!

Ki Wanareja menjerit ketika tubuhnya terbanting ambruk di atas tanah. Pukulan dara berpakaian kuning itu tepat menghantam dadanya. Darah kental berwarna kehitaman, tampak mengalir dan mulutnya. Wajahnya pun perlahan-lahan berubah kehijauan.

"Hekhhh.... Hekhhh..."

Dan sungguh aneh akibat pukulan itu. Bagaikan orang gila, Ki Wanareja mencekik lehernya sendiri. Pengaruh racun yang memasuki tubuhnya, terasa bagai hawa panas tertelan olehnya. Sehingga, kerongkongannya terasa kering kerontang.

Samilaga yang saat itu juga tengah bertarung dengan para anggota perampok, cepat menoleh. Namun, wajahnya kontan memucat. Bergegas lelaki kurus itu melompat ke arah kepala desanya yang seperti tengah bertarung dengan diri sendiri.

"Ki...! Kau..., kau " Samilaga tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Bahkan dia langsung melompat mundur begitu melihat keadaan Ki Wanareja yang mengerikan itu.

Meskipun dalam keadaan sekarat seperti itu, ternyata Ki Wanareja masih sempat mendengar teriakan Samilaga. Maka, kepalanya pun berpaling cepat ke samping. Samilaga yang menjadi tangan kanan Ki Wanareja, kembali melompat mundur melihat tatapan mata kepala desa itu. Memang, sepasang mata Ki Wanareja berubah menjadi liar. Bahkan otaknya tak lagi menunjukkan kewarasan. Jelas, orang nomor satu di Desa Batu Apung itu telah menjadi gila, karena rasa sakit dan penderitaan yang menimpa.

"Hik hik hik.... Hayo lumatkan dia! Hancurkan saja tubuhnya!"

Dara berpakaian serba kuning yang merupakan salah seorang dan Tiga Dewi Pulau Setan, berteriak memerintah kepada Ki Wanareja untuk menerkam Samilaga. Tentu saja hal ini membuat lelaki tinggi kurus itu terkejut.

Dengan penuh amarah, Samilaga menolehkan kepala ke arah dara berbaju kuning itu. Sepasang matanya tampak menyiratkan luka yang menerbitkan dendam.

"Iblis keji! Kau benar-benar bukan manusia! Kau sepantasnya tidak hidup di dunia ini. Tempat yang cocok buat orang sepertimu hanyalah neraka!" maki Samilaga dengan sorot mata penuh dendam. Dan tanpa basa-basi lagi, tubuh lelaki tinggi kurus itu pun langsung melesat disertai tebasan goloknya.

Wuuut...!

Sambaran golok di tangan Samilaga, sama sekali tidak membuat dara berpakaian kuning itu kewalahan. Dengan gerakan yang sangat meremehkan, dia bergeser ke kiri sambil melepaskan sebuah tendangan kilat.

Zebbb....Desss...!

Tendangan dara berpakaian kuning yang tak terduga itu telak menghajar lambung Samilaga. Maka, tubuh tinggi kurus itu pun langsung terpental deras diiringi jerit kesakitannya. Sebenarnya, kalau Samilaga tidak terlalu termakan amarahnya, belum tentu dapat begitu mudah dijatuhkan lawan. Sayang, kemarahan telah membuatnya mata gelap. Sehingga, tendangan kilat itu tidak bisa dihindarinya lagi. Memang, yang terpikir saat itu hanyalah membunuh, dan mencincang tubuh lawan secepatnya. Tentu saja hal itu membuat kewaspadaannya hilang. Sehingga, kerugianlah yang harus diterima.

Dara cantik berpakaian serba kuning itu ternyata tidak membiarkan Samilaga begitu saja. Dengan bibir menyunggingkan senyum manis, dara cantik itu melangkahkan kakinya mendekati tubuh lawan yang hendak bergerak bangkit.

"Hik hik hik...! Kau boleh menyusulnya kalau memang suka...," ujar dara berpakaian kuning itu, disertai kerdipan matanya.

Kemudian, tangannya bergerak. Maka seketika bertebaran semacam bulu-bulu ke seluruh tubuh Samilaga. Kejadian yang menimpa Samilaga setelah tubuhnya terserang bulu-bulu halus, memang mengerikan sekali. Bagaikan orang gila, lelaki tinggi kurus itu mulai mendesis-desis sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya. Sepasang matanya membelalak. Seluruh kulit muka dan tubuhnya, merah bagai terpanggang api.

"Uhhh.... Uhhh.... Uhhh!"

Makin lama, suara mendesis yang keluar dari mulut Samilaga semakin cepat dan keras. Kemudian, ia mulai menggaruk satu bagian tubuhnya. Setelah itu berpindah ke lain tempat. Begitu seterusnya, seluruh tubuh dan wajahnya kebagian. Perbuatan Samilaga semakin menggila. Meskipun sekujur kulit wajah dan tubuhnya telah terkelupas, namun ia tetap saja menggaruk kuat-kuat. Sehingga, darah segar pun mulai mengalir dari luka-luka yang ditimbulkan akibat garukan itu.

"Hik hik hik...! Kau lucu sekali, Lelaki Gagah. Tingkahmu tak jauh berbeda dengan monyet Sayang, wajahmu jauh lebih jelek dari monyet," ejek dara berpakaian serba kuning itu sambil memperdengarkan tawa iblisnya. Setelah kedua orang tokoh Desa Batu Apung itu menggelepar tewas, barulah rombongan perampok itu bergerak meninggalkan desa. Tak seorang pun dari para pengawal kepala desa, ataupun penduduk yang dibiarkan hidup. Seluruhnya tewas dibantai para pengikut Tiga Dewi Pulau Setan.

Desa Batu Apung yang semula tenang dan penuh kedamaian, kini terlihat lengang dan sunyi. Sedang di jalan-jalan utama, hanyalah ceceran darah dan sosok-sosok mayat bergelimpangan tumpang-tindih. Rumah-rumah penduduk yang semula berjajar rapi, kini tinggal puing-puing hitam. Semua yang ada di Desa Batu Apung lenyap dalam sekejap, akibat keganasan gerombolan perampok yang dikepalai Tiga Dewi Pulau Setan.

*******************

DUA

"Kurang ajar...!"

Brakkk!

Bentakan keras yang disusul suara berderak itu, membuat beberapa orang yang duduk langsung menundukkan kepala dengan wajah memucat. Mereka seakan-akan tak berani menatap wajah laki-laki setengah baya yang tengah menahan amarah bergejolak. "Mereka benar-benar telah menginjak mukaku! Ini sudah keterlaluan, dan tidak boleh didiamkan! Kalau hari ini mereka sudah berani menjarah dan memusnahkan Desa Batu Apung, bukan tidak mungkin kalau esok atau lusa akan berani menginjak Kota Kadipaten. Dan kalau hal itu benar-benar terjadi, hancur sudah kewibawaan Kadipaten Blambang."

Kembali suara penuh kemarahan dari lelaki pendek gemuk berkepala botak itu, menggelegar di ruang pertemuan itu. Dia adalah Adipati Blambang. Namanya, Jala Tungga.

"Ampun Gusti Adipati. Hamba kira, hal ini hanya merupakan pancingan saja. Sengaja desa yang letaknya paling dekat dengan kadipaten ini dimusnahkan. Dan apabila kita mengirimkan pasukan untuk membasmi mereka, hamba rasa akan sia-sia saja, Paduka Gusti. Bahkan bukan tidak mungkin pada saat prajurit kita dalam perjalanan menuju Desa Batu Apung, gerombolan perampok itu akan menyerbu kadipaten. Nah, bukankah hal itu akan lebih berbahaya lagi, Gusti?" sergah salah seorang perwira. Dia berusia lima puluh tahun. Pakaiannya tampak dihiasi beberapa tanda jasa. Tampaknya, pengabdiannya pada Kadipaten Blambang telah cukup lama. Dan kini, kembali dia duduk di tempatnya semula.

"Mengapa kau menduga demikian, Pragala? Apakah kau pikir mereka akan dapat merebut kadipaten ini hanya dengan lima puluh orang? Huh! Jangankan baru lima puluh orang perampok, lima ratus orang prajurit terlatih pun belum tentu sanggup merebut Kota Kadipaten ini dan tanganku. Mengerti kau, Pragala?" sahut Adipati Jala Tungga. Jelas kalau ia merasa sangat keberatan atas usul yang diajukan perwira bernama Pragala itu.

"Maaf, Gusti Adipati. Dugaan hamba ini tentu saja didasari alasan kuat. Pertama, selama ini tidak pernah ada desa-desa terdekat yang mendapatkan gangguan perampok. Jangankan desa terdekat. Yang letaknya agak jauh dan kadipaten pun, tidak pernah ada gangguan. Jadi kalau sekarang ini ada gerombolan perampok gila yang berani mengacau desa paling dekat dengan Kadipaten Blambang ini, jelas kalau mereka memang mempunyai niat lain yang tersembunyi. Begitulah apa yang menjadi dugaan hamba, Gusti," jelas Pragala yang rupanya memiliki pandangan tertentu sehubungan peristiwa yang menimpa Desa Batu Apung.

"Tapi sepengetahuanku, yang menjadi kepala para perampok itu adalah tiga orang tokoh sesat yang mengiriskan. Menurut apa yang pernah kudengar, mereka adalah murid seorang nenek tua berwatak cabul yang menjadi penguasa Bukit Setan. Itulah sebabnya, mengapa ketiga orang muridnya yang cantik-cantik itu dijuluki sebagai Tiga Dewi Pulau Setan. Meskipun sangat cantik layaknya dewi kahyangan, namun kekejaman mereka justru melebihi kekejaman iblis neraka. Jadi menurut pendapat hamba, ya wajar saja. Tokoh-tokoh sesat berkepandaian tinggi seperti mereka tentu saja tidak merasa takut meski untuk mengacau Kota Kadipaten sekalipun...!" timpal seorang laki-laki lain yang juga berpakaian seorang perwira. Dan pendapat yang dikemukakannya, jelas sangat bertolak belakang dengan pendapat Pragala.

"Nah! Bagaimana pendapatmu, Pragala...? Apa yang diucapkan Lukanji itu, jelas lebih tepat. Dan kalau kita tetap diam diri saja, bukan tidak mungkin esok mereka akan datang mengacau Kota Kadipaten Blambang ini. Sudahlah, sebaiknya, sekarang seratus orang prajurit pilihan harus dikumpulkan. Basmi gerombolan perampok kurang ajar itu sampai tuntas. Dan, ingat! Kau kularang kembali sebelum para perampok laknat itu berhasil ditumpas. Masih keberatan, Pragala...?" ujar Adipati Jala Tungga sambil menatap wajah Pragala lekat-lekat.

"Tentu saja tidak, Gusti Adipati. Segala titah Gusti, akan hamba jalankan sebaik-baiknya," sahut perwira berusia sekitar lima puluh tahun itu dengan wajah tenang. "Kapan kami harus berangkat, Gusti...?"

"Secepatnya. Usai persiapan, langsung bawa pasukanmu ke Desa Batu Apung. Kuharap, kau dapat menjalankan tugasmu dengan sebaik-baiknya, Pragala," sahut Adipati Jala Tungga dengan suara berwibawa.

"Hamba, Gusti Adipati..." Setelah memberi hormat, Pragala pun beranjak keluar dari ruang pertemuan itu. Langkahnya terlihat lebar dan mantap. Jelas, lelaki bertubuh tegap itu merupakan seorang ahli silat yang cukup tangguh.

"Hamba ragu kalau dia akan dapat menjalankan tugas berat ini, Gusti…! Kata perwira berusia empat puluh tahun yang tadi dipanggil Lukanji. Mimik wajahnya jelas menggambarkan perasaan tak suka kepada Pragala.

"Hm.... Apakah kau merasa lebih mampu mengemban tugas ini?" sahut Adipati Jala Tungga. Nadanya seperti memperingatkan akan ucapan bawahannya itu.

Tentu saja Lukanji yang usulnya didengar Adipati Blambang tadi menjadi terkejut. Semula karena usulnya diperhatikan, perwira itu merasa lebih disukai ketimbang Pragala. Buktinya, nyata sekali kalau Adipati Jala Tungga membelanya tadi. Tapi, dugaannya ternyata meleset. Meskipun ucapan Pragala tadi tidak disukai sang Adipati, namun ternyata masih lebih dipercaya daripada Lukanji. Dan terus terang, perwira muda itu memang kurang begitu suka terhadap Pragala.

"Bagaimana, Lukanji? Apakah kau merasa lebih mampu daripada Pragala?" tanya Adipati Jala Tungga lagi ketika melihat perwira itu hanya memandanginya.

"Bukan begitu maksud hamba, Gusti Adipati. Hanya saja, Kakang Pragala terlihat sudah cukup berumur. Jadi, rasanya tugas yang diberikan kepadanya mungkin terlalu berat, Gusti," meski agak gugup, Lukanji tetap memberikan jawaban. Sedang sepasang matanya tampak gelisah mencari jalan keluar.

"Hm.... Jadi kau bermaksud hendak menggantikannya? Begitu?" desak sang Adipati lagi. Hingga wajah Lukanji tampak semakin gelisah.

"Maaf, Gusti. Sama sekali hamba tidak bermaksud demikian. Hamba hanya..., hanya.... Ah, lebih baik hamba pamit dulu, Gusti. Hamba masih mempunyai pekerjaan yang belum diselesaikan." Dan tanpa menunggu jawaban dari junjungannya, perwira yang mempunyai kemauan tinggi itu pun bergegas meninggalkan ruangan pertemuan tanpa menoleh lagi.

Adipati Jala Tungga hanya tersenyum melihat kelakuan perwira muda yang baru beberapa bulan menjadi pembantunya. Meskipun sang Adipati sendiri sudah mengetahui wataknya, namun tidak terlihat adanya sifat-sifat jelek yang ditunjukkan Lukanji. Jadi tidak ada alasan untuk memecat pembantunya yang memiliki kepandaian cukup tinggi dan bisa diandalkan.

Tiga orang pengawal rahasia Adipati Jala Tungga yang ikut hadir dalam pertemuan itu, tersenyum geli. Mereka memang diperbolehkan mengikuti pertemuan itu, namun tidak diperbolehkan mengutarakan pendapat. Ketiga orang pengawal rahasia itu bukan merupakan tentara kadipaten, namun keberadaannya sangat disegani baik oleh prajurit tingkat rendah, sampai perwira kadipaten sendiri.

Memang, mereka merupakan pengawal rahasia yang bertugas melindungi keselamatan Adipati Jala Tungga. Itulah yang menyebabkan ketiga orang itu berada di ruang pertemuan. Dan ketika sang Adipati sendiri mulai beranjak meninggalkan ruang pertemuan itu, maka ketiga orang pengawal rahasia itu pun bergegas mengikuti junjungannya.

*******************

Pragala, perwira tertua di Kadipaten Blambang itu membawa seratus orang prajurit pilihannya menuju Desa Batu Apung. Meskipun hal itu tidak terlalu disetujuinya, namun perintah junjungannya tetap dituruti. Biar bagaimanapun dia harus mengabdikan diri pada Kadipaten Blambang. Sebenarnya, Pragala bukanlah orang asing dalam dunia persilatan.

Sebagai murid sebuah perguruan yang cukup besar dan cukup terkenal dalam rimba persilatan, maka ia pun telah banyak mengenal tokoh rimba persilatan. Hanya saja, nama Tiga Dewi Pulau Setan memang belum pernah didengarnya. Dan itu memang wajar, karena ketiga orang tokoh sesat yang kabarnya cantik bagai seorang dewi itu jarang sekali muncul di dunia ramai. Mereka lebih suka menyembunyikan diri di pulau kediaman mereka. Maka kalau sampai keluar dan melakukan perampokan, tentu ada sesuatu yang menyebabkannya.

"Hm.... Aneh-aneh saja orang-orang rimba persilatan itu. Kalau memang benar mereka berwajah cantik bagai seorang dewi, mengapa harus merampok? Rasanya kalau mereka muncul di Kota Kadipaten, bukan tidak mungkin bisa mendapatkan jodoh seorang putra adipati. Bukankah itu lebih baik ketimbang menjadi perampok hina?" Batin Pragala tak habis mengerti akan ulah ketiga tokoh aneh yang dikabarkan sangat cantik itu.

Sementara, rombongan yang dibawa Pragala sudah mulai memasuki perbatasan Desa Batu Apung. Perwira setengah baya itu memerintahkan dengan isyarat tangan agar pasukan di belakangnya memperlambat langkah. Pragala menjalankan kudanya perlahan memeriksa sekeliling tempat itu. Sedang pasukan di belakangnya berhenti dan menunggu isyarat lagi. Sementara dua orang perwira lain yang masing-masing berusia tiga puluh tahun dan tiga puluh lima tahun, bergerak mendampingi Pragala.

Dengan naluri peka, Pragala seperti bisa merasakan kalau daerah di sekitar tempat itu sama sekali tidak mengandung ancaman bahaya. Meski di sekeliling mereka rapat ditumbuhi semak-semak, namun semua itu sama sekali tidak menimbulkan rasa tegang di hati Pragala. Tak lama setelah itu, Pragala mengibaskan lengan kanannya ke depan sebagai isyarat untuk maju. Sedangkan ia sendiri, terus melangkahkan kudanya perlahan di depan.

Kening perwira setengah baya itu baru berkerut ketika mereka hampir tiba di mulut Desa Batu Apung. Sepasang lengan Pragala memberi isyarat kepada para prajuritnya untuk menyebar dan mengurung mulut desa itu. Kemudian, setelah pasukan terpecah menjadi tiga kelompok, mereka pun mulai bergerak hati-hati memasuki desa.

"Aaaa…..!" Tiba-tiba terdengar jerit kematian yang memecah ketegangan para prajurit Kadipaten Blambang itu. Cepat bagai kilat, mereka berlompatan ke arah asal jeritan tadi.

Namun, apa yang disaksikan oleh para prajurit itu benar-benar membuat keberanian seketika lenyap! Di depan mereka, tampak lima orang prajurit berkelojotan sekarat Sekujur tubuh mereka berwarna kehijauan, dan dari mulut keluar lendir yang berbau busuk.

"Gila! Hati-hati! Desa ini telah dipenuhi racun jahat! Ayo, cepat keluar...!"

Pragala yang segera saja dapat membaca apa yang telah menimpa lima prajuritnya, cepat mengambil sikap. Diperintahkannya para prajurit yang lain untuk segera keluar dari dalam desa. Dan rasanya, Pragala tidak perlu mengulang perintahnya. Memang tanpa diperintah sekalipun, para prajurit yang sudah dicekam rasa ngeri itu pasti akan lari lintang-pukang meninggalkan desa itu. Dalam waktu singkat saja, puluhan orang prajurit Kadipaten Blambang telah keluar dari Desa Batu Apung. Dan kini mereka hanya berdiri menanti perintah perwira mereka.

"Bagaimana ini, Kakang? Apa yang harus kita perbuat?" tanya salah seorang perwira kepada Pragala yang merupakan pimpinan rombongan.

"Kita ambil jalan memutar melalui hutan didepan itu..." sahut Pragala sambil melepaskan pandangannya ke sebuah mulut hutan yang terpisah beberapa belas tombak dari tempat mereka berdiri.

"Bukankah hal itu akan lebih berbahaya, Kakang. Apa- lagi, kita sama sekali belum tahu keadaan hutan itu," salah seorang perwira bawahan Pragala, mencoba memberi pandangannya.

Jelas kalau ia sudah terpengaruh oleh kejadian yang baru saja menimpa lima orang prajuritnya. Sehingga kedua orang perwira itu bersikap lebih berhati-hati dalam mengambil langkah berikutnya.

"Hm.... Kurasa jalan itu akan lebih baik daripada harus melewati desa yang seluruhnya mungkin telah tercemar racun keji itu. Nah, menurutmu jalan mana yang lebih baik, Adi?" tanya Pragala meminta pendapat kedua orang pembantunya, meskipun sebenarnya ia tidak memberi pilihan pada kedua orang perwira itu.

"Yah.... Rasanya memang tidak ada pilihan lagi untuk kita, Kakang. Dan satu-satunya jalan, memang hutan di depan itulah yang harus kita tembus," sahut salah seorang perwira pembantu Pragala yang memiliki tahi lalat besar di pipi sebelah Kirinya. Dia bernama Jatalu.

"Hm.... Bagaimana, Jaladra? Apakah punya jalan keluar yang lebih baik?" tanya Pragala kepada perwira yang bernama Jaladra.

"Tidak, Kakang. Memang itulah satu-satunya jalan terdekat yang kita miliki saat ini," sahut Jaladra cepat.

"Kumpulkan mereka. Kita harus keluar dari dalam hutan itu saat hari belum gelap. Ayo kita berangkat," perintah Pragala yang segera melompat naik ke punggung kuda, dan menggebahnya perlahan-lahan.

Rombongan prajurit Kadipaten Blambang itu pun kembali bergerak. Kali ini mereka harus melewati hutan lebat, namun tidak terlalu besar. Sehingga, dapat dilalui tanpa harus bermalam di dalamnya. Matahari sudah semakin naik tinggi ketika rom- bongan yang di bawah pimpinan Pragala hampir melewati hutan lebat itu. Mereka terus bergerak tanpa mengenal lelah.

*******************

Tidak berapa lama kemudian, rombongan itu tiba diluar hutan. Namun baru saja rombongan terakhir keluar dari dalam hutan, terdengar teriakan ngeri yang disusul bertumbangannya beberapa orang prajurit. Jaladra, perwira bertubuh kekar itu, bergegas menghampiri enam sosok anak buahnya yang diam tak bergerak.

"Gila! Mereka tewas semua, Kakang. Entah apa yang menyebabkannya?" lapor Jaladra ketika melihat Pragala sudah berdiri di sebelahnya.

"Hm Mereka tergigit semut merah yang mengandung racun api. Kau lihat saja kulit tubuh mereka yang melepuh bagaikan terbakar itu," sahut Pragala yang segera mengedarkan pandangan ke tanah tempatnya berpijak.

"Ahhh...! Mundur...!" Pragala yang melihat barisan semut merah yang be- sarnya dua kali semut biasa, bergerak cepat merayap menuju ke arah rombongan.

"Hik hik hik...! Ayo, Manis. Nikmatilah makan soremu untuk hari ini."

Tiba-tiba terdengar suara merdu yang entah dari mana datangnya. Dan tahu-tahu saja, seorang dara cantik bagaikan seorang dewi telah duduk mencangkung di atas sebatang ranting pohon yang cukup tinggi.

"Keparat! Dasar kau iblis betina keji! Turunlah kalau memang ingin membunuh kami. Mengapa harus bersembunyi dan mengandalkan binatang beracun sebagai pelindungmu?!" tantang Pragala yang menjadi marah sekali ketika melihat gadis cantik itu di atas cabang pohon.

"Hik hik hik. Jangan takabur, Perwira Peot Lihatlah dirimu, apa yang kau andalkan untuk menghadapiku? Pasukanmu, bukan? Lalu, apa bedamu dengan aku yang hanya mengandalkan beberapa ratus ekor semut sebagai pelindung. Apakah itu salah?" balas wanita cantik berusia sekitar tiga puluh tahun itu.

Wanita itu mengenakan pakaian berwarna ungu. Itulah sebabnya, dia berjuluk Dewi Baju Ungu. Rambutnya yang tebal dan gemuk, tampak diikat sehelai selendang yang juga berwarna ungu. Benar-benar seorang wanita yang sangat cantik dan menarik!

"Bangsat! Anak-anak, hujani iblis wanita itu dengan anak panah. Cepat..!" teriak Pragala memerintah sambil menudingkan tangan kanannya ke tempat wanita itu duduk. Namun, sebelum para prajurit Pragala sempat menyiapkan anak panah dan busurnya, tiba-tiba terdengar suara mendengung laksana ribuan lebah mengamuk.

"Aaa…!"

"Aaakh...!"

Terdengar jeritan-jeritan kematian yang merobek ketenangan suasana sore itu. Kemudian, disusul berjatuhannya puluhan orang prajurit Kadipaten Blambang dalam keadaan tewas. Ternyata sebelum para prajurit Kadipaten Blambang sempat melepaskan anak panah, mereka telah dihujani puluhan batang anak panah dari empat penjuru. Dan sebelum yang lain sempat menyadari keadaan itu, tiba-tiba puluhan sosok tubuh berlompatan dari balik semak-semak di sekeliling mereka.

"Yeaaa...!"

"Heaaa...!"

Teriakan-teriakan parau dan jerit kematian pun susul menyusul ketika pertarungan besar-besaran itu tidak bisa dihindari lagi. Puluhan orang kasar yang ternyata memang gerombolan perampok di bawah pimpinan Tiga Dewi Pulau Setan, terus mendesak prajurit kadipaten tanpa memberi peluang sedikit pun. Sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, tentara Kadipaten Blambang sudah lebih dari separuhnya yang tewas. Jaladra dan Jatalu tengah berjuang mati-matian untuk dapat menyelamatkan diri dari ancaman senjata para pengeroyok

"Haiiit...!" Sambil berseru nyaring, Jaladra melompat Setinggi bahu dan langsung mengibaskan goloknya sekuat tenaga.

Bettt...! Brettt! Brettt!

Tanpa dapat dicegah lagi, dua orang pengepung yang berada di sebelah kanannya terjungkal mandi darah. Namun, sebelum Jaladra sempat memperbaiki keadaannya, sebuah bacokan keras telah membuat tubuhnya terhuyung dengan luka menganga di punggung.

"Aaakh...!" Jaladra meraung merasakan sakit luar biasa pada punggungnya. Namun sebelum sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu saja sebuah benda halus telah menjerat lehernya.

"Haaat ..!"

Terdengar sebuah bentakan nyaring yang dibarengi terangkatnya tubuh Jaladra. Tentu saja kenyataan ini membuat perwira itu semakin bertambah pucat. Saat itu juga langsung dapat ditebak ketika keharuman yang menebar dari selendang hijau yang melilit batang lehernya tercium. Dia adalah salah seorang dari Tiga Dewi Pulau Setan, yang berjuluk Dewi Baju Hijau. Tampak Dewi Baju Hijau yang berusia dua puluh tujuh tahun dan memiliki paras memikat itu tengah tertawa-tawa. Tangannya sibuk mempermainkan selendang hijau yang ujungnya melilit di leher Jaladra.

"Hait...!"

Tiba-tiba sambil memperdengarkan teriakan nyaring, Dewi Baju Hijau melecutkan selendang hijaunya ke bawah. Dan tentu saja gerakan selendang gadis itu membuat tubuh Jaladra meluncur deras ke atas tanah! Dan....

Prakkk!

Darah segar berhamburan ketika kepala Jaladra terjatuh menimpa sebuah batu cadas cukup besar. Tanpa ampun lagi, laki-laki pendek kekar itu pun menghembuskan napasnya yang terakhir dengan keadaan mengenaskan. Sedangkan Pragala yang merasa sangat dendam terhadap Dewi Baju Ungu sudah pula bertarung sengit Namun, bukan main terkejutnya hati perwira setengah baya itu ketika mendapat kenyataan kalau kepandaiannya masih berada di bawah dara jelita itu. Tentu saja kenyataan pahit itu menimbulkan kecemasan dalamh atinya.

"Sahabat, kami datang menolong...!"

Terdengar seruan nyaring yang disusul berkelebatnya belasan sosok tubuh yang mengenakan pakaian serba putih. Begitu tiba, belasan sosok tubuh itu langsung saja menerjunkan diri ke dalam kancah pertempuran.

"Heaaat...!"

Salah seorang dari mereka yang dari teriakan dan gerakannya jelas adalah seorang wanita, mengamuk hebat! Sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, enam orang anggota perampok Tiga Dewi Pulau Setan telah dapat dirobohkannya.

Tentu saja kenyataan itu membuat Pragala menarik napas lega. Bayangkan saja! la yang merasa sudah tidak mempunyai harapan hidup lagi, tiba-tiba saja datang belasan sosok jubah berpakaian serba putih yang langsung menerjunkan diri dalam pertempuran. Sedangkan ia sendiri sudah dibantu seorang berpakaian putih yang wajahnya ditumbuhi brewok.

Gerakan golok besar di tangan laki-laki brewok itu ternyata sanggup membendung serangan Dewi Baju Ungu. Maka, selamatlah nyawa Pragala dari kematian. Tengah para perampok itu terdesak hebat, terdengar suara siulan melengking panjang dan menggetarkan. Sehingga pertempuran yang tengah berlangsung sengit itu terhenti sejenak. Siulan melengking itu, rupanya merupakan isyarat bagi para perampok. Mendengar suara itu, Dewi Baju Hijau dan Dewi Baju Ungu serentak memberi isyarat kembali dengan nada yang sama. Saat itu juga keduanya meninggalkan arena pertempuran, diikuti para anggotanya.

Pragala dan orang-orang berpakaian serba putih tersentak kaget Ternyata sebelum meninggalkan arena pertarungan, Dewi Baju Ungu sempat melepaskan Semut Racun Api yang tadi telah dimasukkannya ke dalam bumbung bambu. Untunglah baik Pragala maupun laki-laki brewok yang menolongnya sempat melompat mundur. Sehingga, keduanya yang memang berada paling dekat dengan Dewi Baju Ungu dapat menyelamatkan dirt dari binatang-binatang beracun itu. Beberapa orang prajurit yang tak sempat menghindarkan diri, langsung menggelepar tewas dengan kulit tubuh melepuh. Tentu saja hal itu membuat yang lain menjadi kalang-kabut!

"Ayo, cepat tinggalkan tempat celaka ini...!" seru brewok, cepat mengambil tindakan tepat Kemudian, tubuhnya langsung melesat mendahului yang lain.

Mendengar seruan itu, Pragala pun tersadar dari keter- pakuannya. Cepat diperintahkannya para prajurit untuk segera menjauhi tempat itu. Tanpa diperintah dua kali, sisa para prajurit Kadipaten Blambang bergegas mengikuti pemimpinnya. Sebentar saja, tempat itu pun menjadi sunyi. Yang tinggal hanyalah mayat-mayat bergelimpangan sang tumpang tindih. Sementara, bau amis yang disertai bau anyir darah, menyebar memenuhi tempat itu.

*******************

TIGA

Seorang pemuda tampan mengenakan jubah berwarna putih, tengah melangkah diiringi hembusan angin pagi. Jubah panjangnya, berkibar dipermainkan angin. Rambutnya yang jatuh di bahu, bergoyang mengikuti ayunan kakinya. Menilik gerak-gerik maupun ayunan langkahnya yang ringan dan mantap, jelas kalau pemuda tampan itu bukan orang sembarangan. Sorot matanya yang tajam, menyiratkan perbawa dan kekuatan hebat. Apalagi jika orang melihat gagang pedang yang menyembul di balik bahunya. Jelas sudah kalau pemuda tampan itu memang seorang tokoh rimba persilatan.

Melihat ciri-ciri maupun Pedang Naga Langit yang tersampir di punggung, sudah dapat ditebak kalau pemuda itu pasti Panji yang lebih dikenal Pendekar Naga Putih. Ketika tiba pada sebuah tepi sungai, Panji menghentikan langkahnya sejenak. Pandangannya segera beredar ke sekeliling tempat itu. Pendekar Naga Putih teringat akan tugas yang diberikan Raja Obat, sehingga terpaksa harus berpisah, setelah berhasil meloloskan diri dari tokoh sesat yang berjuluk Malaikat Gerbang Neraka. Memang, Raja Obat menginginkan Panji agar menyelidiki tokoh yang mengiriskan itu. Dan tugas itu telah disanggupinya.

Raja Obat sendiri akan menghubungi tokoh-tokoh golongan putih lain, karena kehadiran tokoh sesat itu jelas merupakan ancaman bagi golongan putih. Dan Raja Obat berniat mengadakan pertemuan sehubungan dengan munculnya Malaikat Gerbang Neraka (Untuk mengetahui lebih jelas tentang pertemuan Pendekar Naga Putih dan Raja Obat, silakan mengikuti episode Malaikat Gerbang Neraka).

"Hm.... Apa sebenarnya yang tengah direncanakan para tokoh golongan sesat itu? Rasanya tidak mungkin kalau hanya sekadar menguasai dunia persilatan saja. Aku harus mencari keterangan tentang rencana mereka yang sebenarnya," gumam Panji menanamkan tekad dalam hati.

Setelah mengambil keputusan demikian, Pendekar Naga Putih pun mengayun langkahnya. Sungai lebar yang membentang di depan, sama sekali tidak menghalangi geraknya. Dengan bertumpu pada permukaan batu-batu yang menyembul di permukaan air, pemuda itu menyeberangi aliran sungai tanpa kesulitan. Bagaikan seekor burung besar yang tengah bermain-main di angkasa, tubuh Pendekar Naga Putih berloncatan menuju seberang sungai. Dalam beberapa kejapan mata saja, tubuhnya sudah tiba di seberang sana.

Tanpa terburu-buru, pendekar muda itu melanjutkan perjalanannya menyusuri dataran berumput tebal. Panji mengerutkan keningnya ketika tiba pada sebuah jalan lebar. Tampak orang berbondong-bondong tengah menuju ke arahnya. Kalau saja Panji tidak melihat raut wajah mereka yang ketakutan dan juga buntalan-buntalan besar di bahu mereka, tentu tidak akan mengambil peduli. Namun karena tingkah laku mereka demikian menarik perhatian, tentu saja pemuda itu pun menjadi ingin mengetahuinya. Ketika rombongan orang yang mirip pengungsi itu lewat di sampingnya, Panji bergegas merendengi salah seorang di antara mereka.

"Maaf, Kisanak. Boleh aku tahu? Hendak ke manakah tujuan kalian sebenarnya? Dan mengapa terlihat begitu terburu-buru?" tanya Panji sambil mengiringi langkah kaki salah seorang dan mereka yang berusia sekitar lima puluh tahun lebih.

"Kau sendiri, hendak menuju ke manakah, Anak Muda?" tanya laki-laki itu balik bertanya. Orang itu menatap wajah dan sekujur tubuh Pendekar Naga Putih. Keningnya terlihat berkerut ketika sepasang matanya tertumbuk pada gagang pedang di punggung pemuda itu. Jelas, sepasang mata itu menyiratkan rasa tidak suka melihat gagang pedang yang tersembul di balik bahu pemuda itu.

"Maaf, Paman. Kebetulan aku hendak menuju ke arah yang kalian tinggalkan. Jadi, aku ingin mengetahui apa yang tengah terjadi di desa depan sana?" sahut Panji sambil menuding kebelakang.

"Hm.... Kalau ingin mendapat celaka, pergilah ke sana. Di depan sana, bukan sebuah desa seperti yang kau kira. Tapi, sebuah kota kadipaten. Dan tempat itu sekarang telah menjadi neraka! Empat orang laki-laki berwatak seperti iblis, telah mengamuk dan menguasai Kadipaten Blambang. Tak lama setelah seluruh kota dikuasai, datang serombongan orang berkuda yang mungkin merupakan pengikutnya.

Dan ternyata rombongan orang itu lebih jahat lagi. Mereka merampok dan mengganggu anak gadis serta istri orang. Siapa saja yang melawan, dibunuh tanpa ampun. Itulah sebabnya, mengapa kami para penduduk kadipaten hendak mengungsi dan mencari tempat lain yang lebih aman," jelas laki-laki setengah baya itu tanpa menghentikan langkah sedikitpun.

"Apakah Paman tidak bisa mengenali, siapa adanya orang-orang itu? Dan ke mana perginya penguasa Kadipaten Blambang? Bukankah Gusti Adipati memiliki banyak prajurit tangguh? Mengapa mereka tidak melakukan perlawanan?" tanya Panji lagi merasa belum puas atas ke- terangan orang itu.

"Hm... Apakah kau tidak tahu, hampir sebagian prajurit pilihan telah dikerahkan untuk menumpas gerombolan perampok yang mengacau Desa Batu Apung. Nah, tak lama setelah kepergian para prajurit yang dipimpin perwira Pragala, datanglah keempat manusia iblis itu. Mereka mengamuk dan membunuhi seluruh prajurit yang mencoba melawan. Bahkan tiga orang jagoan kadipaten pun, kabarnya tak mampu membendung amukan mereka. Sampai-sampai Gusti Adipati sendiri harus tunduk di bawah kekuasaan keempat orang itu," tutur laki-laki setengah baya itu.

Laki-laki setengah baya itu menghentikan ceritanya sejenak. Di matanya, tampak memancar sinar ketakutan. Rupanya, peristiwa di Kadipaten Blambang sangat memukul batinnya. Betapa tidak? Anak gadisnya telah diperkosa anggota perampok, lalu dibunuh!

"Karena tidak ada lagi yang dapat diharapkan untuk melindungi keselamatan kami, maka para penduduk yang masih selamat bergegas meninggalkan kota kadipaten. Kalau boleh kunasihatkan, Anak Muda! Jika masih menyayangi nyawamu, sebaiknya tinggalkanlah tempat ini. Urungkan saja niatmu untuk melihat tempat yang kini telah menjadi sarang manusia iblis itu," lanjut lelaki setengah baya itu sambil menasihati Panji. Kemudian dia bergegas menyusul rombongannya.

Setelah merasa kalau keterangan yang didapat cukup lengkap, Panji pun menghentikan langkahnya. Dibiarkannya lelaki setengah baya itu melangkah terburu- buru menyusul kawan-kawannya yang lain. "Hm.... Orang-orang yang menguasai Kadipaten Blambang sudah hampir pasti para pengikut Malaikat Gerbang Neraka. Tahulah aku sekarang, mereka pasti bukan hanya sekadar ingin menguasai kadipaten itu. Tapi, mungkin saja tengah merencanakan sesuatu yang lebih besar lagi," gumam Panji sambil melangkah menyusuri jalan lebar yang berhubungan langsung dengan Kota Kadipaten Blambang. "Aku harus menyelidikinya."

Setelah mengambil keputusan demikian, tubuh Panji pun segera berkelebat cepat menuju Kota Kadipaten Blambang. Pemuda itu sengaja mengambil jalan melalui hutan kecil agar tidak berpapasan dengan para pengungsi ataupun gerombolan pengacau. Masalahnya, bukan tidak mungkin kalau para pengacau itu akan mengadakan pembersihan di sekitar daerah ini.

Pendekar Naga Putih menyelinap di balik semak-semak ketika tiba di gerbang sebelah Barat. Tampak beberapa belas orang tengah berjaga-jaga di sana. Panji memutar otaknya untuk mencari jalan agar dapat memasuki kota kadipaten tanpa harus mengalami kesulitan. Karena tidak juga menemukan jalan masuk, akhirnya pemuda itu memutuskan untuk menyelidiki kota pada waktu malam. Hanya kegelapan malamlah yang diharapkan dapat membantunya.

*******************

Saat itu, kegelapan sudah menyelimuti permukaan Kota Kadipaten Blambang. Tampak sesosok bayangan putih melesat melewati tempat-tempat sunyi dan gelap. Melihat dari sikapnya, jelas kalau kedatangannya tidak ingin diketahui orang. Dengan ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai titik kesempurnaan, sosok bayangan putih itu bergerak cepat di atas rumah-rumah penduduk. Karena gerakannya sangat cepat dan hanya merupakan kelebatan bayangan, maka tak seorangpun yang merasa tertarik. Apalagi ia selalu bergerak di tempat-tempat yang terlindung kegelapan. Maka sosok tubuh itu tidak sampai terlihat dari bawah.

Tak lama kemudian, sosok bayangan putih itu terlihat menghentikan gerakannya. Tubuhnya direndahkan untuk mengamati sebuah bangunan megah yang jelas merupakan tempat kediaman Adipati Jala Tungga. Dengan mengandalkan pancaran cahaya obor yang terpancang di depan bangunan megah itu, matanya melihat belasan sosok tubuh tengah hilir-mudik berjaga-jaga di depan gerbang.

Sosok bayangan putih itu kemudian melayang turun ketika beberapa orang penjaga tampak meninggalkan tempat itu untuk berkeliling. Maka kesempatan itu pun dipergunakannya untuk membungkam seorang penjaga yang kebetulan memisahkan diri dari kawan-kawannya. Tanpa mengalami kesulitan, dibekuknya penjaga yang tengah merapat ke semak-semak itu.

"Cepat katakan, siapa saja yang saat ini mendiami bangunan besar itu! Jawab kalau tidak ingin melayat ke akhirat!" ancam bayangan putih yang ternyata Pendekar Naga Putih, setelah menyeret orang itu ke semak-semak yang letaknya cukup jauh dari pintu gerbang.

Wajah orang itu pucat seperti mayat ketika melihat sosok tubuh bersinar putih keperakan menyergapnya. Kalau saja Pendekar Naga Putih tidak menyangganya, pastilah tubuh orang itu sudah melorot jatuh. Memang, kedua lutut orang itu terasa lemas bagaikan tak bertulang.

"Cepat jawab! Atau kau memang telah rindu dengan api neraka!" desis Panji ketika orang itu belum juga bisa menjawab pertanyaannya.

"Oh..., eh...! Datuk... Panglima Sesat, Memedi Karang Api..., Raja Iblis Baju Merah, dan.... Kuntilanak Bukit Mandau.... Mereka... itulah yang berada dalam gedung," jawab lelaki itu dengan suara terpatah-patah.

"Hm.... Apakah orang yang berjuluk Malaikat Gerbang Neraka ada bersama mereka?" tanya Panji lagi.

"Tidak. Pemimpin Agung kami belum datang," sahut orang itu lagi dengan suara semakin lemah.

"Bagaimana dengan Tengkorak Hutan Jati dan Garuda Mata Satu? Apakah keduanya tidak berada di tempat ini?"

"Ya, mereka juga di dalam gedung….”

"Terima kasih. Sekarang kau beristirahatlah di sini," ucap Panji, langsung melancarkan totokan pelumpuh. Tanpa sempat berteriak lagi, orang itu pun melorot jatuh dalam keadaan pingsan. Setelah menyembunyikan sosok tubuh itu di semak yang tersembunyi, tubuh Panji pun segera melesat menuju tembok samping bangunan megah itu.

Yakin kalau dirinya tidak terlihat oleh seorang pun, Panji segera menjejak tanah. Saat itu juga tubuhnya langsung melambung melewati tembok setinggi dua tombak. Begitu kakinya mendarat di halaman samping gedung, pemuda itu kembali melesat melewati taman yang terletak di samping gedung itu. Malang! Baru saja pemuda itu hendak menyelinap di balik sebatang pohon, sesosok tubuh memergokinya!

"Hei, berhenti...!" seru sosok tinggi kurus yang langsung melesat mengejar Panji.

"Celaka...! Bukankah orang itu yang berjuluk Tengkorak Hutan Jati…! Hm.... Aku harus segera membungkamnya," gumam Panji yang merasa terkejut ketika dapat mengenali orang itu.

Panji merapatkan tubuhnya dengan batang pohon sambil menanti kedatangan Tengkorak Hutan Jati. Dan begitu sosok tubuh tinggi kurus itu semakin mendekati tempatnya, tubuh pemuda itu langsung melesat dan melancarkan serangan maut!

Bettt...!

"Aaakh...!" Tengkorak Hutan Jati berseru kaget melihat da- tangnya serangan dahsyat itu. Cepat tubuhnya digeser kesamping sambil mengirim serangan balasan dengan jurus 'Cakar Penghancur Tulang'nya.

Namun, yang kali ini dihadapi adalah Pendekar Naga Putih, yang tidak bisa disamakan dengan lawan-lawannya terdahulu. Apalagi, saat itu Panji mengirimkan serangan yang tidak kepalang tanggung. Memang pemuda itu sadar kalau harus segera membungkam lawannya. Kalau tidak, maka kedudukannya akan sangat berbahaya.

Maka, begitu serangan pertamanya berhasil dihindari lawan, Panji langsung menyusul dengan hantaman telapak tangan yang meluncur deras mengancam dada, Sedangkan tendangan yang mengarah ke lambungnya, sama sekali tidak dipedulikan. Tapi, tentu saja Panji telah mengerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi lambung yang menjadi incaran serangan lawan.

Bukkk! Wuttt! Desss...!

Tendangan Tengkorak Hutan Jati yang telak menghajar lambung Panji, malah membuat orang itu menjerit kesakitan. Dan sebelum lawan terbebas dari rasa terkejutnya, telapak tangan pemuda itu telah menghajar dada kiri lawan. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh tinggi kurus itu pun terjengkang ke belakang. Darah segar langsung menyembur dari mulutnya. Tokoh sesat yang terkenal kejam dan jarang menemukan tandingan itu, terpaksa harus merelakan tubuhnya terbanting keras ketanah.

Bruggg!

"Hukkk...!" Terdengar keluhan pendek yang keluar dari mulut tokoh sesat bertubuh tinggi kurus itu. Namun, meskipun pinggang dan dadanya terasa sakit, Tengkorak Hutan Jati mencoba memaksa diri untuk bangkit berdiri. Pendekar Naga Putih yang memang tidak ingin memberi kesempatan kepada lawannya, kembali meluncur dengan disertai hantaman kepalannya.

Bettt! Plakkk!

"Ahhh !?" Panji memekik tertahan ketika kepalannya yang tengah meluncur ke dada lawan itu, tiba-tiba membentur sebuah lengan lain yang mengandung kekuatan hebat. Sehingga, tanpa dapat dicegah lagi, tubuh pemuda itu pun terjajar mundur sejauh setengah tombak lebih. Tentu saja kenyataan itu membuat hati Pendekar Naga Pulih bergetar!

"Hm.... Kiranya sang pendekar besar yang coba-coba mengacau tempat ini. Apakah yang kau cari di tempat ini, Pendekar Naga Putih?" tegur sosok tinggi kurus. Orang itu mengenakan jubah berwarna hitam. Sepasang mata yang tersembunyi di balik kerudung yang juga berwarna hitam itu, tampak memancarkan sinar kemerahan yang menggetarkan hati Pendekar Naga Putih.

"Malaikat Gerbang Neraka...!" desis Panji terkejut melihat kemunculan tokoh sesat berkepandaian tinggi itu.

Dan ketika pemuda itu mengedarkan pandangan, hatinya semakin tercekat! Betapa tidak? Ternyata di tempat itu telah pula berdiri beberapa sosok tubuh lainnya. Dua di antara mereka dikenali sebagai Datuk Panglima Sesat dan Memedi Karang Api. Sedangkan dua orang yang sama sekali belum pernah dilihatnya, namun sudah dapat ditebak. Siapa lagi kedua orang itu kalau bukan Datuk Selatan dan Datuk Utara.

Tentu saja kenyataan itu membuat hati Pendekar Naga Putih berdebar tegang! Jangankan dirinya yang hanya memiliki dua tangan dan kaki. Andaikata saat itu memiliki delapan tangan dan delapan kaki pun, rasanya tidak mungkin dapat meloloskan diri dari tempat itu.

"He he he.... ini namanya ular mencari penggebuk. Siapa sangka tokoh muda yang terkenal ini akan mencari kita," kata salah seorang dari mereka yang bertubuh pendek gemuk dan berjenggot lebat.

Panji segera saja dapat menebak, siapa laki-laki setengah baya yang bertubuh cebol dan berjubah merah itu. Siapa lagi kalau bukan Raja Iblis Baju Merah? Dialah yang merupakan penguasa golongan sesat di wilayah Selatan.

"Hik hik hik.... Pemimpin Agung, bolehkah aku mewakilimu untuk memberi pelajaran kepada bocah kurang ajar ini? Rasanya tanganku sudah gatal sekali hendak memecahkan kepalanya yang sombong itu," kata seorang nenek. Dia berusia sekitar tujuhpuluh tahun. Tubuhnya yang bungkuk udang itu tampak seperti seekor burung bangau yang berdiri di atas permukaan air. Sebatang tongkat hitam, tampak tergenggam di tangan kanannya.

"Hm.... Silahkan, Nyai. Tapi, ingat. Pemuda ini tidak boleh sampai tewas. Kau tahu, aku mempunyai se- buah rencana yang bagus untuknya," sambut Malaikat Gerbang Neraka yang segera melangkah mundur.

"Hati-hati, Nyai. Kabarnya pendekar muda itu telah mampu meloloskan diri dari keroyokan dua orang kawan kita ini. Benarkah begitu?" kata Raja Iblis Jubah Merah sambil mengerling penuh ejekan ke arah Datuk Panglima Sesat dan Memedi Karang Api. Jelas, ucapannya itu sengaja untuk menyindir kedua orang rekannya.

"Hm.... Tidak perlu aku berbantah denganmu, Manusia Cebol! Kalau memang merasa mampu, uruslah pemuda itu!" sahut Datuk Panglima Sesat dengan wajah memerah. Mungkin bila ketua mereka tidak berada di tempat itu, Datuk Panglima Sesat sudah menerjang lelaki cebol yang melontarkan penghinaan kepadanya.

Lain halnya Memedi Karang Api. Mendengar ejekan itu, ia hanya terkekeh pelan. Sedikit pun hatinya tidak merasa tersinggung oleh ucapan Raja Iblis Baju Merah. Sebaliknya, ia malah mengakui kehebatan Pendekar Naga Putih.

"He he he.... Pemuda itu memang lihai sekali. Kalau saja aku berhadapan sendiri dengannya, mungkin akan sulit sekali mencapai kemenangan. Entah bila kau berani menghadapinya seorang diri," aku Memedi karang Api dengan nada perlahan.

"Hm.... Meskipun harus menghadapinya seorang mengapa harus takut? Akan kubuktikan kalau pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih itu dapat kulumpuhkan tidak lebih dari lima puluh jurus. Lewat dari ketentuan itu, anggaplah kalau aku telah kalah olehnya. Bagaimana? Apakah kalian berani bertaruh?" tantang Raja Iblis Baju Merah, sombong.

"Sudahlah. Sekarang bukan waktunya bertengkar. Aku tidak mau tahu! Yang penting, kalian uruslah pemuda itu. Lumpuhkan dan bawa menghadap kepadaku di dalam markas."

Malaikat Gerbang Neraka yang tidak ingin mendengar perselisihan itu bergegas menengahi. Memang, kalau tidak, keempat datuk itu bisa bertarung satu sama lain. Kemudian tokoh sesat maha sakti itu melangkah memasuki bangunan besar itu. Untuk beberapa saat lamanya, keempat orang datuk sesat itu hanya dapat saling berpandangan. Jelas, kalau mereka tidak membantah perkataan tokoh mengiriskan itu.

Sepeninggal Malaikat Gerbang Neraka, keempat datuk sesat itu segera mengepung Pendekar Naga Putih. Untuk sejenak, mereka hanya berdiri mematung sambil menatap pemuda berjubah Putih yang telah menggenggam Pedang Naga Langit di tangan kanan. Jelas kalau Panji sudah bersiap menghadapi keroyokan empat orang datuk sesat itu.

EMPAT

"He he he.... Kalian lihat, apa yang berada di tangan pemuda sombong itu? Bukankah itu Pedang Naga Langit yang telah lenyap pada beberapa puluh tahun yang lalu? Entah bagaimana bisa berada di tangan pemuda itu?" ujar Raja Iblis Baju Merah yang menatap pedang di tangan Panji penuh minat

"Hei, benar! Pedang itu memang Pusaka Naga Langit! Hm.... Kalau begitu, pemuda ini memang bukan orang sembarangan. Buktinya, hanya orang-orang pilihanlah yang mampu memiliki pusaka keramat itu. Wah! Pemimpin Agung tentu akan gembira sekali apabila pusaka keramat itu kuhadiahkan kepadanya," seru Kuntilanak Bukit Mandau, ratu sesat di wilayah Utara.

"Sudahlah, tidak perlu banyak cakap. Lebih baik segera kita tangkap pemuda itu saja. Mengenai pusaka keramat itu, biarlah Pemimpin Agung yang menentukan," ujar Datuk Panglima Sesat yang kekesalannya masih belum hilang. Mendengar ucapan itu, Raja Iblis Baju Merah segera saja melompat ke arah Panji. Kedua tangannya berputaran cepat hingga menimbulkan angin keras laksana topan.

Bettt...!

Sambaran tangan kanan tokoh sesat bertubuh cebol itu ternyata sangat hebat. Serangkum angin keras berhembus membuat jubah Pendekar Naga Putih berkibar keras. Panji yang menyadari kalau harus bekerja keras untuk menghadapi keempat datuk sesat itu, bergegas menggeser tubuhnya ke samping kanan. Berbarengan gerakan itu, Pedang Naga Langitnya dikibaskan dengan kecepatan kilat.

Wuttt...!

Seketika berhembus hawa dingin yang menusuk tulang, disertai kilatan sinar keemasan yang berkeredep menyilaukan mata. Hebat dan berbahaya sekali sambaran pedang di tangan Pendekar Naga Putih. Sehingga, datuk sesat wilayah Selatan yang semula memandang rendah pemuda itu menjadi terkejut karenanya. Maka tubuhnya cepat dimiringkan sambil melepaskan tusukan jari-jari tangan terbuka, mengancam leher Panji.

Belum lagi Pendekar Naga Putih sempat menghindari serangan itu, Datuk Panglima Sesat melompat disertai tebasan tangan miringnya. Serangan tokoh Timur itu benar-benar hebat dan sangat cepat. Sehingga, pendekar muda itu cukup sibuk menghadapi dua buah serangan berbahaya yang menggencet dan dua arah. Namun, Panji bukanlah pendekar hijau yang baru turun gunung.

Pengalaman telah banyak mengajarkannya untuk tetap tenang meski dalam keadaan bagaimanapun sulitnya. Maka dalam menghadapi serangan kedua orang datuk sesat itu, cepat tubuhnya berguling. Pedangnya langsung disabetkan, membabat kaki Raja Iblis Baju Merah yang berada di depannya.

Syuuut...!

Datuk sesat bertubuh cebol itu kembali terkejut melihat kegesitan lawannya. Maka serangannya yang kandas itu cepat ditarik pulang. Kemudian, ia melompat ke belakang untuk menghindari sambaran pedang yang mengancam kakikanannya. Meskipun serangannya gagal, namun Pendekar Naga Putih terus menggulingkan tubuhnya menjauhi tempat itu. Setelah merasa cukup jauh, tubuhnya melenting bangkit disertai gerakan pedangnya yang bergulung menyelimuti tubuhnya.

"Heaaat...!"

Pada saat tubuh pemuda itu melenting bangkit, Kuntilanak Bukit Mandau bergerak cepat melancarkan serangan kilat ke arah Pendekar Naga Putih. Tongkat hitam di tangannya berputaran hingga lenyap menjadi gulungan sinar hitam yang menimbulkan angin menderu-deru.

Trang...!

Terdengar ledakan keras ketika gulungan sinar hitam dan sinar kuning keemasan saling berbenturan di udara. Bunga api memercik ketika kedua senjata yang sama-sama digerakkan tenaga sakti luar biasa saling berbenturan.

“Ahhh…!” Kuntilanak Bukit Mandau berseru tertahan. Tubuhnya yang tinggi kurus itu terjajar mundur hingga satu tombak lebih. Tentu saja kenyataan itu membuatnya terkejut. "Gila! Pemuda itu ternyata memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi! Untunglah aku telah berjaga-jaga sebelumnya. Kalau tidak, mungkin bisa terluka akibat benturan yang keras tadi," maki Kuntilanak Bukit Mandau, dalam hati.

Sedangkan Panji sendiri juga mengalami hal yang serupa. Meskipun kuda-kudanya hanya tergempur sejauh tiga langkah, namun kenyataan itu telah membuatnya terkejut. "Hm.... Untuk menghadapi nenek itu saja, aku harus membutuhkan waktu yang cukup lama. Lalu, bagaimana pula aku dapat lolos dari kepungan empat orang datuk sesat ini? Hm Apa pun yang terjadi, aku harus mempertahankan diri mati-matian," gumam Panji dalam hati.

Pendekar Naga Putih merasa tidak mempunyai kesempatan lagi untuk keluar dari tempat itu dengan selamat. Maka, seluruh kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dimilikinya segera dihimpun. Sesaat kemudian, lapisan kabut bersinar putih keperakan yang menyelimuti sekujur tubuh pemuda itu tampak semakin melebar. Hal itu menandakan kalau Panji telah mengerahkan seluruh kekuatan tenaganya untuk menghadapi keroyokan itu.

"Heaaat...!" Dibarengi sebuah teriakan dahsyat yang bagaikan hendak merobohkan bangunan besar itu, tubuh Panji melesat cepat ke arah Kuntilanak Bukit Mandau.

Wukkk... wukkk...!

Pedang Naga Langit di tangan pemuda itu berputaran menciptakan gelombang angin puting-beliung yang mengerikan. Sinar keemasan bergulung-gulung turun- naik bagaikan seekor naga murka. Kuntilanak Bukit Mandau terkejut bukan kepalang melihat dahsyatnya serangan yang dilancarkan pemuda itu. Cepat tongkat hitam di tangannya diputar. Sekejap saja, terciptalah sinar hitam yang bergulung- gulung. Sehingga, suasana di sekitar arena pertarungan semakin hiruk-pikuk. Tiga orang datuk sesat lainnya pun tidak tinggal diam. Serentak mereka bergerak dari tiga jurusan untuk meringkus Pendekar Naga Putih.

"Haiiit...!"

Teriakan nyaring itu dibarengi melesatnya Kuntilanak Bukit Mandau disertai putaran tongkat hitamnya. Panji yang saat itu juga tengah melompat disertai ayunan pedangnya, tentu saja tidak ingin terjebak serangan lawan. Diperkirakan, kalau ia nekat membentur tongkat hitam datuk Utara itu, jelas akan menderita kerugian yang tidak kecil. Maka, tubuhnya digeser untuk mengelakkan serangan tongkat hitam itu. Sambil melompat, pemuda itu mengibaskan pedang di tangannya ke arah Memedi Karang Api yang saat itu tengah melancarkan serangan dari sebelah kiri.

Wuttt...!

Babatan pedang pemuda itu hanya mengenai angin kosong. Sementara lawannya yang mengelak dengan mendoyongkan tubuh ke belakang, langsung mengirimkan sebuah tendangan kilat yang mengancam dadanya. Dan pada saat yang bersamaan, serangan Datuk Panglima Sesat, serta Raja Iblis Baju Merah telah datang dari dua arah. Sehingga, keadaan Pendekar Naga Putih benar-benar terjepit dan berbahaya. Namun meskipun ketiga serangan itu sama cepat dan berbahayanya, Panji tetap mencoba bersikap tenang. Tendangan kilat Memedi Karang Api ditepis dengan telapak tangan kirinya.

Plakkk!

Tepisan Panji yang dikerahkan lewat tenaga dalam sepenuhnya, membuat tendangan lawannya melenceng ke depan. Akibatnya, tubuh Memedi Karang Api terjajar mundur sejauh delapan langkah. Bersamaan dengan tepisan tangan Pendekar Naga Putih, hantaman telapak tangan Datuk Panglima Sesat telah menghajar bahu kanan Panji yang memegang pedang. Akibatnya, Pedang Naga Langit terlepas dari genggamannya. Dan selagi tubuh pemuda itu terhuyung, sebuah pukulan yang berisikan tenaga dalam amat kuat kembali datang menerpa dadanya.

Blakkk! Desss!

"Hugkh...!" Bagaikan layang-layang putus, tubuh Pendekar Naga Putih terlempar keras hingga dua tombak jauhnya. Darah segar kontan terlompat dari mulutnya.

"Huagkh….!" Darah segar kembali termuntah dari mulut pemuda itu. Sambil menyeringai menahankan rasa sakit pada dada dan bahunya, pendekar muda itu berusaha bangkit berdiri.

"Hhh..." Panji bangkit sambil mendorongkan telapak tangannya secara berbarengan ke depan, disertai hembusan napasnya. Wajah pemuda itu terlihat pucat dengan noda-noda darah yang mengotori pakaiannya. Sadar kalau luka dalam yang dideritanya cukup parah, cepat Pendekar Naga Putih menelan pil berwarna putih yang diambil dari dalam buntalan pakaiannya. Rasa sakit akibat pukulan kedua orang datuk sesat itu membuatnya terlupa kalau Pedang Naga Langit tidak lagi berada dalam genggaman. Panji baru sadar ketika mendengar suara tawa serak dari salah seorang lawannya.

"Ha ha ha...! Pendekar Naga Putih! Dengan terlepasnya pedang ini dari tanganmu, kau tak ubahnya seekor harimau yang kehilangan taringnya!"

Terdengar tawa berderai dari Datuk Panglima Sesat. Tokoh bertubuh raksasa itu tertawa-tawa sambil mengelus pedang bersinar keemasan yang berada dalam genggamannya. Tentu saja hal itu membuat Panji terkejut. Namun, untuk dapat merebut kembali senjata dari tangan datuk sesat itu, rasanya sangat mustahil. Dan Pendekar Naga Putih pun sadar akan hal itu, namun tetap saja bersikap tenang. Dan berusaha meloloskan diri dengan menggunakan ilmu tangan kosongnya.

Sambil menggeram lirih, Panji menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Pancaran matanya tampak tajam dan menggetarkan. Lapisan kabut yang bersinar putih keperakan pun, kembali membungkus seluruh tubuhnya. Melihat lapisan kabut yang agak tipis, jelas kalau tenaga dalam pemuda itu masih terhambat luka dalamnya.

"Hm Aku harus bisa meloloskan diri dari tempat ini. Biarlah pedang itu akan kucari kelak," kata batin Panji, menanamkan tekadnya kuat-kuat. Kemudian Pendekar Naga Putih menggeser kaki kanannya ke belakang. Sedangkan kedua. tangannya dengan telapak terbuka terangkat di atas kepala. Ujung jari-jarinya yang bersentuhan itu tampak bergetar karena tenaga sakti yang tersalur di dalamnya.

"Haaat...!" Dibarengi sebuah bentakan nyaring, tubuh pemuda itu melesat bagai kilat menerjang Memedi Karang Api yang berada di sebelah kirinya.

Wuttt.... Wuttt!

Hebat dan cepat sekali serangan yang dilancarkan pendekar muda itu. Sepasang tangannya yang membentuk cakar naga, saling susul-menyusul disertai sambaran angin dingin yang menusuk tulang. Melihat gerakannya, jelas kalau itulah jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi’. Ini merupakan salah satu jurus pamungkas dari rangkaian ilmu 'Naga Sakti' warisan Malaikat Petir.

Memedi Karang Api yang melihat tubuh pemuda itu meluruk cepat ke arahnya, sempat merasa terkejut! Sejenak ia hanya termangu melihat sepasang tangan lawan yang berputaran membentuk bulatan-bulatan besar kecil. Dan dalam bulatan-bulatan yang membingungkan itu, terkadang menyembul cakar-cakar maut yang siap merejam hancur tubuhnya.

"Yeaaat..!"

Pada saat serangan pemuda itu hampir tiba, Memedi Karang Api berteriak mengguntur. Tubuhnya yang kurus itu melesat dengan kecepatan menggetarkan. Sepasang tangannya berkelebat cepat diiringi arus gelombang angin yang amat kuat Jelas kalau ia bermaksud hendak memapak serangan lawan menggunakan jurus andalan yang dimilikinya, yakni 'Sepasang Kepalan Penggoncang Jagat'. Sebuah ilmu tangan kosong yang luar biasa hebat, dan telah membuat nama kakek itu semakin disegani kawan dan ditakuti lawannya.

Sebagai tokoh-tokoh sesat yang telah bergelar datuk, ternyata mereka masih tetap saja memiliki hati culas. Walaupun tahu kalau saat itu keadaan Pendekar Naga Putih sudah cukup parah, namun mereka tetap saja melompat dan melakukan serangan susul-menyusul. Padahal, saat itu belum tentu Pendekar Naga Putih dapat menang dari gempuran Memedi Karang Api. Apalagi, keadaannya memang sangat lemah.

Pendekar Naga Putih yang telanjur melancarkan serangan, tentu saja merasa terkejut melihat keadaan berbahaya itu. Namun karena tidak mempunyai kesempatan untuk menarik pulang serangan lagi, maka ia pun nekat mengadu kekuatan dengan Memedi Karang Api. Sementara itu Memedi Karang Api yang belum mengetahui keistimewaan jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi', tentu saja tidak sadar kalau saat itu tengah terancam bahaya. Maka tanpa rasa curiga sedikit pun, kakek itu menyambut serangan Pendekar Naga Putih dengan seluruh kekuatannya.

Whusss….!

Bukan main terperanjatnya hati Memedi Karang Api. Pada saat tangan mereka hampir berbenturan, secara mendadak sepasang cakar Panji berputar setengah lingkaran. Langsung dihantamnya sepasang lengan Memedi Karang Api dari samping. Berbarengan dengan itu, telapak tangan kanannya bergerak turun menghantam lambung kiri datuk dari Barat itu.

Dukkk! Blakkk..!

"Hugkh...!" Hantaman telak telapak tangan Panji, membuat tubuh tinggi kurus itu tersentak ke belakang bagaikan layang-layang putus! Darah segar kontan termuntah dari mulut kakek itu. Sedangkan tubuh Panji sendiri, terjajar mundur akibat menangkis serangan Memedi Karang Api. Saat itu pula, hantaman Raja Iblis Baju Merah, telak menghajar iga Pendekar Naga Putih.

Desss...!

Ugkh...!" Tubuh Panji langsung tersentak akibat hantaman dahsyat itu. Darah segar tampak mengalir dari sudut bibirnya yang pucat Belum lagi pemuda itu sempat menghentikan tubuhnya yang terhuyung, sebuah hantaman tongkat hitam di tangan Kuntilanak Bukit Mandau kembali menghajar punggungnya.

Bukkk!

"Huagkh...!" Darah segar kembali termuntah dari mulut Pendekar Naga Putih. Tubuhnya yang tengah terhuyung ke belakang tersentak ke depan. Sebelum tubuh pemuda itu sempat mencium tanah, Datuk Panglima Sesat mendaratkan kakinya beberapa langkah di hadapan pemuda itu. Datuk sesat bertubuh raksasa itu langsung mendorongkan sepasang telapak tangannya ke arah dada Panji.

Blaggg...!

"Hegkh...!" Tanpa ampun lagi, tubuh pendekar muda yang perkasa itu terhempas ke belakang. Kembali cairan merah termuntah keluar dari mulutnya.

Bruggg!

Tubuh pemuda itu terbanting ke atas tanah dalam keadaan pingsan. Wajah pemuda itu pucat bagaikan mayat. Dari sela-sela bibirnya yang juga telah memucat, darah segar mengalir tak henti-hentinya. Datuk-datuk sesat dari empat penjuru angin itu melangkah mendekati tubuh Pendekar Naga Putih. Dari pancaran mata mereka, jelas memancarkan kekaguman yang sangat dalam.

"Gila! Daya tahan tubuh pemuda ini benar-benar luar biasa sekali. Rasanya aku tidak sanggup menghadapinya seorang diri. Hm... Baru kali ini aku menemukan seorang pendekar muda yang benar-benar tangguh!" puji Memedi Karang Api yang wajahnya masih agak pucat. Dari seringai wajahnya, jelas kalau kakek itu masih merasakan akibat hantaman telapak tangan Panji tadi. Namun hatinya cukup kagum dengan kedigdayaan Pendekar Naga Putih.

"Ya! Kalau saja orang lain yang menerima hantaman kita tadi, rasanya pasti akan tewas tanpa ampun lagi. Sedangkan anak muda ini hanya pingsan saja. Benar-benar seorang pemuda mengagumkan. Kalau saja aku memiliki seorang murid seperti dia, betapa akan bangganya hatiku. Sayang, sampai saat in aku belum menemukan murid yang cocok," ucap Kuntilanak Bukit Mandau seraya menghela napas dalam-dalam. Wajahnya pun menyiratkan kesedihan.

"Benar-benar beruntung sekali Malaikat Petir itu. la telah mendapatkan seorang penerus yang sangat berbakat," Raja Iblis Baju Merah ikut menimpali. Jelas sekali ada pancaran rasa iri di wajahnya.

"Ah, sudahlah. Lebih baik bawa saja pemuda ini kepada Pemimpin Agung. Terserah apa yang akan beliau perbuat dengan anak muda ini? Kalau diserahkan kepadaku, sudah pasti akan kulenyapkan. Biar bagaimanapun, ia hanya jadi penghalang bagi rencana kita," selak Datuk Panglima Sesat yang rupanya tidak menyetujui semua ucapan rekan-rekannya. Nadanya pun terdengar kesal.

Ketiga orang datuk lainnya serentak menoleh ke arah Datuk Panglima Sesat. Ucapan tokoh bertubuh raksasa itu rupanya telah membuat mereka tersadar. Memang, pemuda yang tengah tergeletak pingsan itu sangat berbahaya untuk dibiarkan tetap hidup. Tanpa berkata sepatah pun, Datuk Panglima Sesat segera mengangkat tubuh Pendekar Naga Putih dan membawanya memasuki bangunan besar itu. Sedangkan ketiga datuk lainnya bergegas mengikuti.

LIMA

"Uhhh..." Pendekar Naga Putih mengeluh pendek, pertanda mulai tersadar dari pingsannya. Sepasang matanya mengerjap-ngerjap untuk memulihkan penglihatannya yang terasa berputar dan gelap.

"Hm.... Di mana aku...?" gumam pemuda tampan itu mencoba bergerak bangkit dari duduknya.

Namun, betapa terkejut hati Pendekar Naga Putih ketika merasakan sekujur tubuhnya tak dapat digerakkan. Jangankan untuk menggerakkan kaki tangannya, untuk menggerakkan lehernya pun tidak mampu.

"Sudah matikah aku...?" gumam Panji menyeringai merasakan dadanya panas dan nyeri. Seolah-olah di dalam dada Pendekar Naga Putih terdapat ratusan jarum yang menusuki dari dalam. Namun yang membuatnya lebih terkejut adalah, keadaan tubuhnya yang seperti tidak dapat lagi digerakkan. Sehingga, ia hanya dapat terkapar lemah tanpadaya.

"Hhh.... Entah racun apa yang dijejalkan ke dalam tubuhku, sehingga seluruh uratku menjadi lumpuh," desah pemuda itu seraya menghembuskan napas berat. "Sepertinya, inilah akhir petualanganku..."

Pendekar Naga Putih merasa kecewa merasakan keadaannya yang tak ubahnya seperti kakek-kakek jompo. Tapi yang membuat hatinya lebih terpukul adalah, mengapa justru pada saat dunia tengah dilanda bahaya besar, dirinya tidak berdaya. Tentu saja pemuda itu tidak sadar kalau kelumpuhan yang diderita adalah akibat pukulan-pukulan dahsyat dari empat datuk sesat yang mengeroyoknya.

Ketika mendengar langkah kaki tengah mendekati tempatnya, Panji memejamkan mata. Seolah-olah, ia hendak mengetahui, apa yang akan dilakukan orang-orang itu apabila dirinya masih dalam keadaan pingsan. Suara derit daun pintu terdengar ribut, diiringi langkah kaki beberapa orang yang memasuki tempat Panji disekap. Dari suara langkah itu, Pendekar Naga Putih dapat menebak kalau mereka terdiri dari lima orang.

"Hm.... Pasti mereka Malaikat Gerbang Neraka dan keempat orang datuk sesat itu," Batin Panji menduga-duga. "Entah apa yang mereka inginkan dariku? Mengapa mereka tidak langsung membunuhku saja?"

"Yang Mulia, tidakkah sebaiknya pemuda ini dihabisi saja riwayatnya? Kami khawatir, kalau ia sembuh, jelas merupakan penghalang nomor satu bagi rencana kita," usul Datuk Panglima Sesat Sepertinya, Datuk Wilayah timur itu benar-benar membenci Pendekar Naga Putih.

"Benar, Yang Mulia. Lebih baik pendekar muda ini dibunuh saja, karena berbahaya sekali," timpal Raja Iblis Baju Merah. Malaikat Gerbang Neraka hanya tersenyum dingin mendengar usul kedua orang pembantunya. Sepasang matanya yang bersinar kemerahan tetap tertuju ke tubuh Pendekar Naga Putih.

Panji sendiri yang mendengar usul kedua orang datuk sesat itu menanti dengan hati tegang. Ditunggunya jawaban yang akan keluar dari mulut orang tinggi kurus yang dipanggil dengan sebutan Yang Mulia.

"Tidak... Aku masih membutuhkan tenaganya. Dia akan kuperalat untuk mengacaukan Kerajaan Mulawarta. Dengan kepandaian dan kekuatan yang akan kulipat gandakan, Pendekar Naga Putih pasti dapat membuat kerajaan itu kalang-kabut. Dengan demikian, tentu si keparat Pungga Lawa akan beralih perhatiannya, dan akan mengerahkan pasukan untuk membasmi tokoh-tokoh golongan putih. Nah, bukankah dengan demikian pekerjaan kita bisa lebih ringan? Sekali pukul saja, kita bisa menghancurkan dua kekuatan. Aku yakin, para tokoh golongan putih yang biasanya membantu kerajaan, akan menarik diri. Bahkan mungkin bisa saling hantam dengan tentara Kerajaan Mulawarta. Pada saat kekacauan itu terjadi, barulah kita bergerak menggempur istana. Sebenarnya, dengan kesaktian yang kuperoleh dari pertapa-pertapa sakti selama dalam pelarianku, bisa saja aku mengacaukan istana. Tapi, setelah kupertimbangkan kembali, rasanya akan lebih baik lagi kalau kita menggunakan orang lain yang berkemampuan tinggi. Begitu aku melihat pemuda ini, langsung saja pilihanku jatuh kepadanya," jelas Malaikat Gerbang Neraka panjang lebar.

Keempat orang datuk sesat itu sama-sama menganggukkan kepala mendengar keterangan Pemimpin Agungnya. Dan kini mereka kembali memuji kecerdikan tokoh sesat maha sakti itu.

"Kami benar-benar mengaku bodoh, Yang Mulia. Sama sekali tidak terpikir di otak kami akan rencana yang sangat baik itu," kata Datuk Panglima Sesat, baru terbuka pikirannya setelah mendengar penjelasan pimpinannya.

Panji sendiri yang mendengar rencana gila itu merasa terkejut bukan main! Memang, apabila rencana itu dapat terlaksana, tidak bisa dibayangkan, apa yang akan menimpa para tokoh golongan putih! Maka, sudah pasti mereka menjadi gempar atas kejadian itu. Sehingga, akan sulit bagi para tokoh itu untuk mengadakan pertemuan. Bisa-bisa, mereka dituduh sebagai pemberontak yang hendak menggulingkan kekuasaan Raja Agung Pungga Lawa.

"Ini tidak boleh terjadi!" desis hati Pendekar Naga Putih yang menjadi cemas apabila rencana Malaikat Gerbang Neraka dapat terbukti.

"Uhhh...!" Pendekar Naga Putih berpura-pura mengeluh pendek, agar para tokoh sesat itu menyangkanya baru tersadar. Suasana ruangan yang cukup gelap, membantu siasatnya itu.

"Hm.... Pemuda itu mulai tersadar dari pingsannya," gumam Raja Iblis Baju Merah yang melangkah mundur, siap menghadapi kemungkinan bila pemuda itu mengamuk.

"Hm Tidak usah kalian khawatir. Saat ini Pendekar Naga Putih tak ubahnya seorang kakek jompo. Luka-luka dalam yang diderita, membuatnya tidak lagi segarang dulu," jelas Malaikat Gerbang Neraka seraya. tersenyum sinis.

"Hei? Benarkah demikian, Yang Mulia ?" tanya Raja Iblis Baju Merah belum percaya sepenuhnya akan ucapan pemimpinnya itu. Dipandanginya wajah Pendekar Naga Putih dalam-dalam seperti menyelidik.

Demikian pula dengan datuk sesat lainnya. Mereka menatap pemuda yang tengah terbaring penuh selidik. Hati mereka baru percaya ketika melihat pemuda itu hanya terbaring tanpa berusaha bangkit. Hanya sepasang matanya saja yang menandakan kalau masih hidup. Sedangkan wajahnya sudah demikian pucat seperti mayat.

"Orang seperti dia, tidak akan kusekap di tempat ini kalau memang keadaannya masih sehat seperti biasa. Karena aku tahu ia sudah tidak berdaya. Maka, sengaja ia kusekap di kamar ini," jelas Malaikat Gerbang Neraka.

"Kalau begitu, kapan Yang Mulia akan mengirim pemuda ini untuk mengacau Kerajaan Mulawarta?" tanya Datuk Panglima Sesat sambil tetap memandangi Panji.

"Secepatnya, jika ramuan yang kubuat telah selesai. Kalian sabarlah. Untuk bisa terlaksananya rencana kita ini, harus dengan perhitungan masak. Yang pasti, aku tidak ingin mengalami kegagalan," tandas Malaikat Gerbang Neraka.

Setelah berkata demikian, tokoh sesat yang mengiriskan itu pun melangkah keluar dari kamar tahanan Panji. Dan tanpa banyak cakap lagi, keempat orang datuk sesat itu pun segera menyusul pemimpinnya. Sehingga, kamar tahanan itu pun kembali gelap, karena pintunya kembali tertutup rapat.

Sepeninggal lima orang tokoh sesat itu, Panji termenung memikirkan jalan keluar atas persoalan yang kini tengah dihadapinya. Beberapa kali dicobanya untuk mengerahkan tenaga dalam. Namun, yang didapat hanyalah rasa sakit yang menusuk dada. Bahkan cairan merah pun kembali mengalir dari sudut bibirnya. Panji mengeluh, merasakan sakit dan kenyerian yang menusuk-nusuk dadanya. Sadar kalau hal itu hanya akan mendatangkan siksaan pada dirinya, maka ia pun tidak berusaha mengerahkan tenaga dalamnya lagi.

"Hm.... Nampaknya memang tidak ada harapan lagi untuk hidup bagiku," desah Pendekar Naga Putih, pasrah. Sadar kalau tak mungkin dapat meloloskan diri dari kekuatan Malaikat Gerbang Neraka, Pendekar Naga Putih mencoba menyusuri pertualangannya selama ini. Terbayanglah semua peristiwa-peristiwa yang pernah dialami. Seulas senyum manis tampak terhias di bibirnya ketika pemuda itu teringat akan perjumpaan pertama dengan kekasihnya, Kenanga.

"Kenanga.... Aku tidak tahu, di mana sekarang kau berada? Semoga saja kau masih dalam perlindungan Tuhan," desah Panji lirih.

Ada rasa nyeri yang menggigit hati pemuda itu ketika teringat kekasihnya. Sedikit rasa sesal menyelinap, mengingat betapa ia tidak mungkin dapat berjumpa lagi den- gan dara jelita itu. Memang, apabila Malaikat Gerbang Neraka sudah menjejalkan ramuan yang dikatakannya, bukan tidak mungkin dirinya akan tewas setelah mengacau Kerajaan Mulawarta. Dan memang untuk itulah, dirinya diperalat tokoh sesat mengiriskan itu. Pendekar Naga Putih ditugaskan mengacau, dan berakhir dengan kematian.

Peristiwa demi peristiwa yang pernah dialami, satu- persatu terlintas dalam benak pemuda tampan itu. Lintasan pengalaman yang berputar dalam benaknya terhenti ketika teringat akan seorang tokoh sakti yang berjuluk Raja Iblis dari Utara. Dan akibat pertarungannya dengan tokoh sakti itu, dirinya telah terluka parah (Baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode Raja Iblis dari Utara).

"Pedang Pusaka Naga Langit...!" desah Panji tersentak dari lamunannya...“ Yah hanya senjata keramat itulah yang akan menyembuhkanku dari luka-luka yang kini ku derita. Tapi….pusaka itu pasti telah terjatuh ke tangan Malaikat GerbangNeraka. Dan dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin aku bisa merebutnya kembali. Sedangkan dalam keadaan biasa pun, aku masih ragu untuk dapat menandinginya”? Pendekar Naga Putih kembali dilanda kekecewaan, mendapati kenyataan seperti itu. Namun Panji kembali tersentak ketika teringat akan peristiwa yang membawanya mendapatkan pusaka keramat itu.

"Ya! Ke mana gerangan naga raksasa yang kutundukkan di Gunung Kembaran itu? Mengapa kini tidak pernah muncul lagi? Benarkah Pedang Pusaka Naga Langit itu jelmaan dari naga raksasa yang telah kukalahkan? Hm.... Kalau memang demikian, bukan mustahil senjata keramat itu dapat lenyap dari pandangan. Mungkinkah senjata itu dapat berubah lagi menjadi seekor naga raksasa?" berbagai dugaan melintas dalam benak Pendekar Naga Putih. Lupa sudah ia akan luka-lukanya ketika teringat peristiwa ajaib yang dialaminya.

Sambil mengingat-ingat peristiwa itu, Panji pun mengkajinya dengan teliti (Untuk mengetahui lebih jelas tentang peristiwa didapatkannya Pedang Pusaka Naga Langit, bacalah serial Pendekar Naga Putih dalam episode Bunga Abadi di Gunung Kembaran).

"Hm.... Kalau pedang itu memang benar hasil jelmaan naga raksasa yang kutemukan di Gunung Kembaran, bukan mustahil kalau sewaktu-waktu dapat berubah menjadi seekor naga raksasa kembali. Dan kini, hanya satu yang menjadi persoalan. Bagaimana caranya untuk dapat mewujudkan pedang itu menjadi seekor naga. Dan kalau itu terjadi, pastilah naga raksasa itu akan tahu, siapa orang yang menjadi majikannya!"

Batin pendekar muda itu terus mencari rahasia yang tersimpan dalam senjata keramat miliknya. Dan keyakinannya demikian bulat kalau pedang keramat itu pasti akan diperolehnya apabila rahasia yang menyelimutinya dapat dipecahkan. Tanpa mengenal putus asa, Pendekar Naga Putih memusatkan pikirannya. Otaknya membayangkan naga raksasa yang pernah ditundukkannya itu. Sehingga, semakin lama pemuda itu semakin tenggelam dalam alam pikirannya yang paling dalam.

Dengan mata terpejam rapat, Panji mencari bentuk naga raksasa jelmaan Pedang Naga Langit. Hingga akhirnya, ia berhasil menemukan bentuk binatang mengerikan yang semakin lama kian jelas. Kekuatan pemusatan pikiran pendekar muda itu tentu saja tidak bisa disamakan dengan orang-orang sembarangan. Kekuatan batin yang memang telah sedemikian kokoh, membuatnya tidak terlalu sulit menemu- kan bentuk binatang raksasa itu.

Panji yang tengah terlelap dalam pengerahan kekuatan tenaga batin, secara tidak sadar telah melatih suatu ilmu dahsyat yang hanya ada dalam dongeng! Dan dengan ilmu itu pulalah, batinnya dapat disatukan dengan naga raksasa yang dibentuknya. Sehingga tanpa disadari, pemuda itu telah dapat menggunakan kekuatan bawah sadarnya untuk menghubungi binatang mengerikan itu.

Selama dua hari dua malam Pendekar Naga Putih tenggelam dalam alam pemusatan pikirannya. Dan kini, tiba-tiba terasa serangkum hawa hangat yang merasuk ke dalam tubuhnya. Sadar kalau hawa mukjizat itu berasal dari sebuah benda hangat di tangannya, kedua mata Panji terbuka perlahan-lahan. Dan apa yang dilihatnya, benar-benar membuat pemuda itu hampir-hampir terlonjak.

"Pedang Naga Langit..!?" seru Pendekar Naga Putih hampir terpekik keras. Untunglah keadaan tubuhnya saat ini demikian lemah. Sehingga, seruan itu tak ubahnya sebuah desahan panjang.

Ingin rasanya pemuda itu berteriak kuat-kuat ketika pedang keramat miliknya telah bertengger di atas kedua lengannya yang terlipat di depan dada. Kenyataan yang dihadapinya, membuat Panji hampir melompat-lompat sebagai luapan kegembiraannya.

"Hm.... Dari mana pedang ini dapat masuk...? Sedangkan di dalam ruangan ini sama sekali tidak terdapat sebuah celah?" desah hati pemuda itu.

Seketika pandangannya beredar ke sekeliling. Keningnya berkerut dalam ketika tidak melihat adanya lubang di dalam ruang tahanannya. Tentu saja hal itu membuat pikirannya kembali menerawang, mencari jawaban. Dengan tatapan tajam, dipandanginya Pedang Naga Langit yang saat itu masih berada di atas kedua lengannya.

"Hm... Kalau dalam dua hari ini pikiranku dipusatkan untuk menghadirkanmu, kini akan kucoba memusatkan pikiran agar kau dapat berdiri dan mengelilingiku," gumam batin Panji sambil memejamkan matanya rapat-rapat.

Tak berapa lama kemudian, Pendekar Naga Putih kembali tenggelam dalam pemusatan tenaga batinnya. Dengan menyatukan alam bawah sadar, Panji mencoba mengadakan hubungan batin dengan pedang keramat itu. Lalu dengan kekuatan batin agar pedang yang berada di atas lengannya bergerak dan mengelilinginya. Tentu saja hal itu tidak dapat dilakukan dengan mudah. Bahkan Pendekar Naga Putih pun harus mengulangi keinginannya berkali-kali. Baru setelah beberapa waktu lamanya, Pedang Naga Langit di atas lengan Panji mulai bergerak dan berdiri tegak lurus.

Kemudian secara perlahan-lahan, pusaka keramat itu bergerak naik ke udara. Masih dengan gerakan perlahan, senjata itu bergerak di sekeliling tubuh Pendekar Naga Putih. Ketika terasa ada hawa yang semakin hangat mengelilingi tubuhnya, Panji pun membuka kedua matanya perlahan, sambil terus mengucapkan perintahnya dalam hati. Sepasang mata yang semula redup, terbelalak lebar ketika menyaksikan pemandangan di depan matanya.

"Hm.... Kini kau turunlah, dan kembali ke tempat semula di atas kedua lenganku," desah batin Pendekar Naga Putih kembali memberikan perintah.

Ajaib! Tanpa menunggu lama, pedang keramat yang tengah mengitari tubuh pemuda itu tiba-tiba saja terhenti Kemudian dengan gerakan tidak cepat, pedang itu pun kembali terbujur di atas kedua lengan Panji.

"Sekarang, aku memintamu untuk lenyap dari pandangan. Dan kalau memang kau memasuki kamar ini tanpa wujud, pasti juga bisa merasuk ke dalam tubuhku," ujar batin Panji yang terus mengulang perintahnya agar senjata keramat itu dapat merasuk ke dalam tubuhnya. Karena hanya dengan cara itulah, luka-luka yang diderita dapat diobatinya.

Kembali Panji harus memejamkan kedua matanya. Memang untuk mewujudkan permintaan, ia harus dalam keadaan kosong sama sekali. Hanya pikiran dan tenaga batinnya saja yang terpusat secara keseluruhan dengan senjata keramat yang ternyata memiliki rahasia tak terjangkau akal sehat.

Hati Pendekar Naga Putih berdebar ketika merasakan suatu hawa hangat yang amat kuat merasuk dan bergolak dalam tubuhnya. Kian lama, hawa hangat yang amat kuat itu semakin menyebar ke seluruh tubuhnya. Sehingga, mau tidak mau, Panji harus memusatkan pikiran sepenuhnya. Hal itu dilakukan untuk mengatur peredaran hawa hangat yang mungkin saja bisa membahayakan tubuhnya.

Makin lama, apa yang dirasakan Panji semakin membuat hatinya berdebar tegang. Betapa tidak? Ternyata apa yang kini dialaminya benar-benar tidak pernah terlintas dalam benak. Sehingga, harapannya untuk dapat terbebas dari tempat celaka itu terbayang nyata. Cukup lama hal yang menimpa Pendekar Naga Putih berlangsung. Hawa hangat yang semula kian memanas, perlahan berubah kembali menjadi hangat. Dan apa yang dirasakan Panji, benar-benar membuatnya hampir tidak percaya.

"Ah...! Kini tidak ada lagi rasa sakit dalam tubuhku!" seru Panji bagaikan seorang anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaannya. Bagaikan orang linglung, pemuda itu mencoba menggerak-gerakkan tangan dan kakinya. Senyum di wajah pemuda itu pun kian melebar ketika lengan maupun kakinya telah dapat digerakkan kembali.

"Hm..." Sambil bergumam lirih, Panji bergegas bangkit dari tidurnya. Sepasang matanya tampak bersinar kian tajam bagaikan seekor naga di kegelapan. Dan ketika mencoba mengerahkan tenaga sakti yang dimilikinya, ternyata 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya telah dapat dikerahkan kembali. Tentu saja hal itu membuatnya semakin gembira.

Setelah semua kesehatannya pulih kembali, Panji termenung memikirkan pedang yang kini telah menyatu dalam dirinya. Apa yang harus dilakukan untuk dapat menggunakan kekuatan tenaga inti Pedang Naga Langitnya? Ingin ia menggabungkan inti tenaga Pedang Naga Langit yang mengandung hawa panas itu dengan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dimilikinya. Dan untuk itu, ia harus mencari cara untuk menggabungkan kedua tenaga sakti yang memiliki sifat berlawanan itu.

Panji berjalan hilir mudik di dalam ruangan yang sempit itu. Otaknya terus berputar mencari pemecahan dari masalah yang dihadapinya. Karena belum juga menemukan jawaban, maka tubuhnya dihempaskan di atas jerami kering yang merupakan satu-satunya alas di dalam ruangan itu. Cukup lama Pendekar Naga Putih termenung memikirkan cara untuk menggabungkan kedua tenaga sakti itu. Hingga akhirnya, diputuskanlah untuk bersemadi dan mengerahkan kekuatan batin yang baru saja didapatkan tanpa sadar.

"Ah! Bodoh sekali aku ini!" maki Panji sambil menampar perlahan kepalanya. Mengapa aku tidak mencobanya seperti menyatukan Pedang Naga Langit ke dalam tubuhku? Bukankah percobaan-percobaan yang kulakukan tadi telah membawa hasil yang sangat baik."

Berpikir demikian, pemuda itu pun bergegas bangkit dari duduknya. Kemudian Panji mencoba memusatkan pikirannya untuk mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' pada lengan kanannya. Lalu, disalurkannya ke seluruh tubuh sebelah kanan.

Ajaib! Sesaat kemudian, terciptalah lapisan kabut bersinar putih keperakan yang hanya menyelimuti separuh tubuhnya di bagian kanan. Bukan main gembiranya hati Panji ketika melihat keberhasilan percobaannya. Lalu, kembali matanya dipejamkan dan pikirannya dipusatkan untuk membangkitkan kekuatan 'Tenaga Inti Panas Bumi' yang berasal dari kekuatan Pedang Naga Langitnya.

Sayang sebelum percobaannya memperoleh hasil seperti yang diinginkan, terdengar langkah kaki beberapa orang yang mendatangi tempat itu. Sehingga, Panji bergegas melompat ke atas tumpukan jerami dan kembali merebahkan tubuh seperti orang terluka. Suara derit pintu yang terbuka, membuat hati Pendekar Naga Putih berdebar tegang! Karena langkah kaki orang yang tengah mendekatinya pastilah Malaikat Gerbang Neraka dan dua orang datuk sesat. Memang, yang terdengar di telinga pemuda itu hanyalah langkah kaki tiga orang.

"Aku tidak habis pikir, mengapa pendekar muda seperti pemuda itu tidak dibinasakan saja? Bukankah kepandaian pemuda itu sangat tinggi. Bahkan kudengar pemuda itu adalah orang yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Nah, bukankah ia sangat berbahaya?" tanya salah seorang dari ketiga sosok tubuh yang tengah mendekati Panji.

"Ah! Apakah kau merasa lebih pintar dan Ketua Agung kita? Kalau beliau tidak membunuh pendekar muda ini, mungkin beliau mempunyai maksud lain yang tentu saja orang seperti kita tidak boleh mengetahuinya. Sudahlah! Tidak perlu banyak cakap. Kita turuti saja perintah Ketua Agung, untuk membawa pendekar ini kepadanya," sahut salah seorang dari ketiga laki-laki itu yang memiliki tubuh kekar berotot.

Panji yang mendengar suara mereka, tentu saja menjadi lega. Ternyata ketiga orang yang datang itu hanyalah para pengikut Malaikat Gerbang Neraka. Jadi tidak ada yang perlu dicemaskan dari ketiga orang begundal rendahan itu. Dan ketika ketiga orang itu telah berada di sisi tubuhnya, Panji tetap diam sambil menunggu kesempatan baik. Pada saat ketiga orang itu membungkuk hendak mengangkat tubuh Pendekar Naga Putih, mendadak tubuh pemuda itu bangkit dengan kecepatan kilat dan langsung melancarkan totokan yang tidak mungkin dapat dihindari lagi.

Tukkk! Tukkk! Tukkk!

Tanpa sempat menjerit lagi, tubuh ketiga orang laki-laki kasar itu pun ambruk ke atas tanah. Kejadian yang hanya sekejap mata tadi tentu saja tidak menimbulkan suara mencurigakan. Setelah merobohkan tiga orang penjaga itu, Panji pun bergegas menyelinap keluar kamar tempatnya ditahan. Tubuhnya terus melesat mencari jalan keluar dari dalam bangunan itu. Pemuda itu terpaksa merobohkan dua orang penjaga yang melintas di depan tempat persembunyiannya. Karena tidak sempat bertanya kepada ketiga orang yang dirobohkannya tadi, maka bergegas diseretnya salah seorang dari keduanya untuk mengorek keterangan.

Pendekar Naga Putih bergegas melesat ke lorong kanan, setelah mendapatkan petunjuk dari orang yang kemudian dibungkamnya. Ketika tiba pada sebuah lorong yang bersimpang empat, diambilnya jalan sebelah kiri. Memang, ia berniat meloloskan diri melalui belakang gedung kadipaten itu.

"Hei! Siapa kau...?!" teriak salah seorang dari empat penjaga yang memergoki Panji.

Namun sebelum keempat orang itu bertindak lebih jauh, tubuh Pendekar Naga Putih sudah melesat ke arah mereka. Sepasang tangan pemuda itu bergerak cepat melancarkan totokan kilat kearah empat orang penjaga yang terlongong bagai orang kehilangan akal. Dengan sekali gebrak saja, tubuh keempat penjaga yang bernasib sial itu langsung bertumbangan lumpuh. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Naga Putih kembali berkelebat bagai kilat menuju pintu keluar yang hanya beberapa langkah di depannya. Dia terus melesat ke arah taman belakang, untuk kemudian melompati tembok setinggi dua tombak.

Begitu tiba di luar tembok bangunan gedung Kadipaten Blambang, Panji terus melesat meninggalkan kadipaten itu. Tujuannya adalah Perguruan Pedang Perak yang telah ditetapkan Raja Obat sebagai tempat pertemuan para tokoh golongan putih.

*******************

"Gila! Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi!?" bentak laki-laki kurus yang mengenakan jubah berwarna hitam. Sepasang matanya menyorotkan api kemarahan kepada sembilan orang pengikutnya yang berdiri gemetar.

Wajah sembilan orang laki-laki kasar itu tampak pucat dengan bintik-bintik keringat sebesar biji jagung yang berlelehan turun. Jelas kalau mereka tengah dilanda rasa takut yang luar biasa.

"Huh! Gentong-gentong nasi tak berguna!" bentak laki-laki tinggi kurus yang tak lain Malaikat Gerbang Neraka, kasar.

Setelah berkata demikian, tangan kanannya mengibas bagaikan mengusir seekor lalat yang mengganggunya. Namun, akibat yang ditimbulkan mengerikan sekali. Tubuh kesembilan orang kasar itu terjungkal akibat sambaran hawa panas menyengat. Tanpa ampun lagi, mereka menggelepar tewas dengan sekujur tubuh hangus.

"Lemparkan mayat mereka kehutan! Ingat! Ini merupakan peringatan bagi kalian yang lalai dalam menjalankan tugas!" ancam Malaikat Gerbang Neraka dengan kemarahan yang menggelegak.

"Baik, Yang Mulia...," sahut beberapa orang laki-laki yang segera maju dan membawa kesembilan mayat yang berbau sangit itu.

"Bagaimana, Yang Mulia? Setelah Pendekar Naga Putih berhasil meloloskan diri, tentu rencana kita akan gagal. Apa langkah kita selanjutnya?" tanya seorang laki-laki tinggi besar berpakaian seorang panglima kerajaan. Siapa lagi kalau bukan Datuk Panglima Sesat.

"Rencana kita terpaksa harus dipercepat. Siapkan pasukan sekarang juga. Kita langsung berangkat menggempur Kerajaan Mulawarta. Hm... Apakah Tiga Dewi Pulau Setan telah tiba di tempat ini?" tanya Malaikat Gerbang Neraka kemudian.

"Belum, Yang Mulia. Kabarnya siang ini mereka akan tiba," sahut seorang laki-laki tinggi kurus yang hampir tidak berdaging. Orang itu tak lain adalah Tengkorak Hutan Jati.

Belum lagi Malaikat Gerbang Neraka sempat mengucapkan sesuatu, tiba-tiba terdengar seruan merdu yang nyaring.

"Kami telah tiba, Yang Mulia. Dan kami siap menjalankan perintah," tegas seorang di antara tiga wanita cantik yang melenggang memasuki ruang pertemuan itu.

Mereka tak lain adalah Tiga Dewi Pulau Setan, yang rupanya juga telah menjadi pengikut Malaikat Gerbang Neraka. Ketiga wanita cantik inilah yang ditugaskan untuk memancing pasukan Kadipaten Blambang dengan jalan melakukan kekacauan di Desa Batu Apung.

"Hm.... Kalau begitu, siapkan semua pasukan. Sekarang juga kita berangkat untuk menggempur Kerajaan Mulawarta," ujar Malaikat Gerbang Neraka yang segera bangkit dari kursinya.

"Baik, Yang Mulia...," sahut semua orang yang hadir sambil membungkuk hormat. Kemudian, mereka bergegas melangkah keluar untuk menyiapkan pasukan.

*******************

ENAM

Pemuda tampan yang mengenakan jubah berwarna putih itu melesat cepat menuju Selatan. Gerakannya yang ringan dan cepat menandakan kalau ia memiliki ilmu lari cepat yang hampir mencapai titik kesempurnaan. Hari memang sudah mulai gelap. Sehingga pemuda tampan itu harus menghentikan larinya ketika telah cukup jauh memasuki hutan.

Memang sulit untuk melakukan perjalanan dalam suasana gelap. Maka, dicarinya tempat yang agak terbuka untuk melewatkan malam. Di situ, ditemuinya pula sebuah aliran sungai yang bergemericik menerpa bebatuan. Hal ini membangkitkan pemuda itu untuk membersihkan tubuhnya.

Selesai membersihkan tubuh, pemuda itu tampak berdiri tegak dengan mata terpejam. Melihat dari ciri-ciri dan bentuk wajahnya yang bersih dan tampan, jelas kalau pemuda itu adalah Panji atau yang terkenal dengan julukan Pendekar Naga Putih!

Terlihat jelas Pendekar Naga Putih tengah memusatkan pikiran untuk mengerahkan tenaga sakti dalam dirinya. Sesaat kemudian, nampaklah lapisan kabut berwarna putih keperakan yang menyelimuti sebagian tubuh sebelah kanannya. Hal itu menandakan kalau Panji telah berhasil mengatur aliran 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang memang telah lama ditekuninya.

Tak lama setelah itu, pada bagian tubuh sebelah kirinya tampaklah lapisan sinar keemasan yang masih samar-samar. Meskipun demikian, jelas kalau Pendekar Naga Putih mulai menunjukkan hasil usahanya dalam menggabungkan kedua tenaga sakti yang berlainan unsur itu.

"Ah! Rupanya aku telah berhasil menggabungkan kedua unsur tenaga sakti yang berlainan sifat ini. Walaupun belum begitu sempurna, namun telah cukup memuaskan. Sekarang aku harus lebih tekun melatihnya agar penggabungan kedua inti tenaga sakti ini sempurna," desah Panji. Nadanya jelas menggambarkan kegembiraan. Sambil tetap memusatkan alam pikirannya, Panji mengalihkan pandangan pada sebongkah batu sebesar perut kerbau bunting di sebelah kanannya. Dengan penuh keyakinan, ditatapnya batu itu lekat-lekat.

"Heaaah...!" Dibarengi sebuah bentakan keras, Panji mendorongkan tangan kanannya ke depan dengan jari-jari terbuka.

Whusss...!

Serangkum angin dingin yang menusuk tulang, berhembus dari telapak tangan pemuda itu.

Blarrr...!

Terdengar ledakan menggelegar ketika angin pukulan pendekar muda itu telak menghajar batu besar yang berjarak sejauh dua tombak lebih. Dan apa yang terjadi, benar-benar membuat Panji menjadi puas. Bongkahan-bongkahan batu sebesar kepalan tangan itu seketika beterbangan ke udara. Sehingga, Panji menatapinya dengan senyum kepuasan. Memang, apa yang diinginkannya ternyata berhasil dengan baik. Dan untuk yang kedua kalinya, Pendekar Naga Putih kembali mengayunkan tangan kirinya ke arah sebatang pohon sebesar dua pelukan orang dewasa. Jarak antara keduanya terpisah sekitar satu setengah tombak.

Whesss...!

Hembusan angin hangat meluncur deras dari telapak tangan kiri pemuda itu, langsung menggempur batang pohon yang berada satu setengah tombak berada di depannya.

Brakkk...!

Angin pukulan berhawa panas yang keluar dari telapak tangan kiri Panji, telak menghajar batang pohon itu. Akibatnya, timbullah suara berderak ribut. Pohon besar itu bergetar hebat bagaikan diguncang tenaga raksasa yang tak tampak.

Setelah menghembuskan napas panjang, PendekarNaga Putih mengayun langkahnya menghampiri pohon besar yang masih berdiri tegak itu. Hanya beberapa daunnya saja yang rontok berguguran ke tanah. Sedangkan batang pohon itu sendiri masih berdiri kokoh.

"Hm.... Pohon ini masih tetap berdiri kokoh seperti semula. Hanya saja, pada bagian yang terkena hantaman angin pukulanku tampak lunak. Itu pun hanya sebagian saja. Tapi meskipun demikian, aku tetap harus bersyukur dengan apa yang telah kudapatkan. Dan aku tidak boleh patah semangat untuk menyempurnakan ilmu dahsyat ini," gumam Panji sambil kembali melangkah mundur ketempatnya semula.

Pendekar Naga Putih kembali berdiri tegak dalam jarak yang tidak berubah. Sepasang matanya kini tidak lagi terpejam. Sambil mengerahkan dan memusatkan pikirannya, pemuda itu kembali memancing keluar 'Tenaga Inti Panas Bumi' yang berasal dari Pedang Naga Langit. Sepertinya, untuk menyempurnakan ilmu yang baru saja diyakininya itu tidaklah terlalu sulit. Buktinya, Panji tidak perlu bersusah-payah menghimpun kekuatan 'Tenaga Inti Panas Bumi'nya. la hanya tinggal mengeluarkan tenaga yang memang kini telah berada di dalam tubuhnya. Dan hal itu tidak memerlukan waktu panjang.

"Hiaaah...!"

Kembali Pendekar Naga Putih membentak nyaring yang dibarengi dorongan telapak tangan kiri ke arah pohon besar itu. Selarik sinar keemasan melesat dari telapak tangan pemuda perkasa itu.

Whesss...!

Darrr...!

Terdengar ledakan keras yang terasa bagaikan hendak mengguncangkan hutan. Suara itu masih juga disusul tumbangnya pohon besar yang terkena hantaman pukulan jarak jauh Panji. Suara hiruk-pikuk itu bagi Pendekar Naga Putih bagaikan nyanyian merdu merasuk telinganya. Cepat tubuh Pendekar Naga Putih melesat ke arah tumbangnya pohon besar itu. Senyum di wajahnya tampak melebar ketika melihat adanya tanda hitam pada batang pohon yang terkena hantaman angin pukulannya tadi. Tentu saja Panji gembira, karena hal itu menandakan kalau 'Tenaga Inti Panas Bumi’ yang berada dalam tubuhnya telah mulai terpancing.

"Hm Sepertinya aku tinggal membiasakannya saja. Tapi, entah bagaimana apabila Pedang Naga Langit ini ku keluarkan? Apakah tenaga sakti ini masih berada dalam tubuhku?" tanya Panji dalam hati. Bingung juga hatinya ketika memikirkan hal itu. Mendapat pikiran demikian, Panji penasaran ingin mengetahuinya. Setelah duduk dalam sikap semadi, pemuda itu mulai memusatkan pikiran untuk mengerahkan tenaga batinnya.

"Sekarang tampakkanlah wujudmu, Pedang Naga Langit..," ujar batin Panji berbisik lirih, namun mengandung getaran tenaga batin yang amat kuat.

Hebat sekali kemajuan yang telah diperoleh pemuda ini. Hanya dalam beberapa hari saja, kekuatan batinnya telah meningkat demikian pesat. Tak berapa lama setelah berulang-ulang ucapan itu dikeluarkan, Panji mulai merasakan getaran aneh yang mengandung hawa hangat dalam tubuhnya. Gelombang tenaga aneh itu mula-mula menyebar di sekujur tubuhnya, kemudian bergerak naik dan berkumpul di belahan dadanya. Ada rasa nyeri yang menggigit dalam dadanya ketika gelombang tenaga sakti telah berkumpul, tiba-tiba lenyap tanpa bekas.

Perlahan Pendekar Naga Putih membuka matanya. Dan kini di hadapannya, dalam jarak sekitar satu tombak lebih, terlihat pedang keramat itu tergantung tegak lurus diudara. Namun apa yang dirasakan pada sekujur tubuhnya, membuat pemuda itu merasa sedikit kecewa. Betapa tidak? Tubuhnya kini terasa lemas! Seolah-olah, sebagian tenaganya ikut lenyap bersama keluarnya pedang keramat itu dari dalam tubuhnya. Dan ketika tenaga panas dalam tubuhnya coba dikerahkan, ternyata kosong.

Hanya satu kesimpulan yang didapat 'Tenaga Inti Panas Bumi' tercipta karena adanya Pedang Naga Langit dalam tubuhnya. Dengan lenyapnya senjata itu, berarti lenyap pula tenaga berhawa panas dari dalam tubuhnya. Dan kesimpulan itu telah membuat kekecewaan dalam hatinya lenyap. Sejenak dipandanginya Pedang Naga Langit yang berdiri tegak lurus itu. Perlahan, Panji kembali memejamkan matanya rapat-rapat. Kembali kekuatan batinnya dikerahkan dengan maksud hendak merubah wujud pedang keramat itu.

"Jika dugaanku benar, kalau kau adalah pedang jelmaan naga raksasa yang kutemui di Gunung Kembaran, tentu kau dapat berubah ke wujud aslimu dengan bantuan kekuatan batinku. Sekarang, dengan seluruh kekua-tan batin yang ada pada diriku, kuminta tunjukkan wujud aslimu itu...," desis batin Panji terus mengulangi ucapannya sambil memejamkan mata rapat-rapat.

Dari butir-butir keringat yang menitik di wajah, jelas kalau Panji tengah mengerahkan kekuatan batin sepenuhnya. Dan hal itu tentu saja sangat membutuhkan tenaga yang banyak. Setelah agak lama Panji mengerahkan kekuatan batinnya, hingga seluruh pakaiannya telah basah bersimbah peluh, terdengar ledakan keras namun terdengar cukup aneh.

Tasss...!

Ledakan nyaring yang disertai gumpalan asap tebal, bergulung-gulung memenuhi tempat itu. Tak lama setelah asap tebal itu kian menipis, terlihatlah bentuk seekor naga raksasa yang memekik-mekik menggetarkan seluruh isi hutan itu.

"Kreaaakkkh...!"

Hembusan angin menderu dan bergulung-gulung ketika binatang jelmaan Pedang Naga Langit memekik-mekik ribut. Pepohonan berderak-derak ribut bagaikan hendak roboh. Daun-daunnya berguguran mengotori permukaan bumi. Dalam sekejap saja, tempat itu telah dipenuhi ranting dan daun-daun pohon yang berjatuhan ke atas tanah. Panji yang semula tengah bersemadi, serentak bangkit berdiri. Dan pemandangan yang terbentang di depan matanya, benar-benar membuatnya berdebar keras.

"Naga Langit...," desis Panji penuh takjub. Apa yang terbentang di depan matanya membuat pemuda itu hampir tidak mempercayainya.

Naga raksasa itu memekik-mekik ribut ketika Panji menyebutnya. Dan ketika pemuda itu mengulur tangannya, kepala naga raksasa itu merendah untuk kemudian rata dengan tanah. Sehingga, Pendekar Naga Putih dapat mengelusnya dengan gerakan agak ragu-ragu. Baru setelah naga itu terlihat tidak menunjukkan perlawanan, Panji pun semakin bertambah berani. Puas membelai binatang langka yang ternyata bukan bayangan semu itu, bergegas Panji melompat mundur. Dengan menggunakan kuda-kuda menunggang kuda, Pendekar Naga Putih kembali mengerahkan kekuatan batinnya. Hanya saja, kali ini tidak lagi memejamkan matanya.

"Hm.... Kembalilah kau menjadi pedang..." Terdengar suara mendesis yang keluar dari bibir pemuda itu. Kali ini, Pendekar Naga Putih tidak hanya sekadar mengerahkan kekuatan batin tanpa suara. Suaranya terdengar jelas, dan mengandung kekuatan menggetarkan hati.

Setelah Pendekar Naga Putih mengulangi ucapannya sebanyak tiga kali, terdengarlah ledakan keras yang disusul gumpalan asap tebal bergulung-gulung. Dan gumpalan asap tebal yang bergulung-gulung menyelimuti binatang raksasa itu,meluncur sebatang pedang yang langsung melekat di tangan Pendekar Naga Putih.

Kalau saja saat itu ada orang yang menyaksikan, tentu pemuda itu akan disangka seorang ahli sihir. Hanya bedanya, Panji tidak menciptakannya berdasarkan khayalan. Tetapi, pemuda itu hanya mewujudkan apa yang sebenarnya telah ada. Itulah sebabnya, mengapa ia bisa demikian mudah memperolehnya dalam waktu singkat Padahal untuk memperolehkekuatan sihir, orang harus melatihnya bertahun-tahun. Itu pun masih harus dibantu berbagai persyaratan yang tidak ringan.

"Hm.... Ternyata penderitaan yang kuterima dari empat orang datuk sesat itu, membawa hikmah luar biasa. Kalau saja aku tidak mengalami penderitaan itu, rasanya tidak mungkin rahasia Pedang Naga Langit dapat terungkap," gumam Pendekar Naga Putih sambil merebahkan tubuh beralaskan rerumputan tebal. Sebentar saja, terdengar suara napas Pendekar Naga Putih yang halus. Tampaknya pemuda perkasa itu telah terlelap dalam buaian mimpi.

*******************

TUJUH

"Pendekar Naga Putih...!" seru dua orang penjaga pintu gerbang Perguruan Pedang Perak, dengan wajah berseri. Mereka langsung melangkah menyambut kedatangan seorang pemuda tampan yang mengenakan jubah putih itu.

Pemuda yang tak lain Panji itu bergegas mempercepat langkahnya. Pada jubahnya tidak lagi terdapat noda darah. Memang, pemuda itu telah mengganti jubahnya selama dalam perjalanan. Itu dilakukan agar tidak menimbulkan pertanyaan macam-macam dari para tokoh rimba persilatan yang berkumpul di tempat itu.

"Apakah Eyang Raja Obat telah berada di tempat ini...?" tanya Panji kepada salah seorang penjaga yang memiliki jenggot tercukur rapi. Memang, orang itulah yang telah ada di dekatnya lebih dahulu.

"Ya! Beliau dan yang lainnya sudah cukup lama menunggumu. Mari kami antarkan...," sahut laki-laki itu ramah. Tanpa banyak cakap lagi, orang itu pun membalikkan tubuh. Kemudian, mereka melangkah menuju ke dalam bangunan gedung perguruan itu bersama-sama.

"Kakang...!" Seruan merdu yang jelas mewakili kegembiraan dan kelegaan hati pemiliknya terdengar merasuk telinga Pendekar Naga Putih.

"Kenanga...!" panggil Panji begitu melihat sesosok tubuh ramping yang mengenakan pakaian serba hijau berlari menghampirinya. Wajah gadis jelita itu terlihat memancarkan kebahagiaan yang dalam. Tanpa rasa canggung lagi, Kenanga langsung menghambur ke dalam pelukan kekasihnya. Kerinduan dan kegelisahan yang selama ini mengganggu hatinya, lenyap seketika begitu berada dalam pelukan pendekar muda yang sangat dicintainya.

"Kakang..., ke mana saja? Aku sudah cemas sekali menantimu di sini. Apalagi ketika kudengar dari Eyang Raja Obat kalau kau pergi menyelidiki tokoh sesat yang berjuluk Malaikat Gerbang Neraka itu. Wah! Bukan main gelisahnya hatiku. Hampir saja aku menyusulmu ketika pada hari yang dijanjikan untuk datang ke tempat ini, ternyata kau belum juga kembali. Mengapa begitu lama...?" kata Kenanga. Nadanya penuh kemanjaan. Jelas terlihat pada pancaran mata indah itu bias-bias kerinduan yang dalam.

Panji tersenyum mendengar ucapan kekasihnya yang meluncur bagaikan tak ingin berhenti itu. Dibelainya rambut gadis jelita itu penuh kasih sayang. Bahagia rasa hatinya mendengar pertanyaan dan perhatian yang begitu terbuka dari kekasihnya. Dan gadis jelita itu sama sekali tidak merasa rikuh walaupun ada orang lain di dekat mereka.

"Kenanga.... Kau tidak sadar banyak orang di sini?" Panji mengingatkan.

Wajah Kenanga langsung bersemu merah. Baru disadari kalau di sekitarnya banyak orang.

"Kalau saja tidak sampai tertangkap mereka, mungkin beberapa hari yang lalu aku telah berada di tempat ini. Ayolah kita temui tokoh-tokoh yang lainnya. Kelak aku akan menceritakan sebuah pengalaman yang paling mengesankan dalam hidupku," Panji mengalihkan pembicaraan.

Namun, Pendekar Naga Putih tetap menatap wajah kekasihnya dengan kerinduan yang dalam. Lega hatinya ketika melihat dara pujaannya ternyata telah berada di tempat ini dalam keadaan selamat.

"Aku mengerti, Kakang. Ayolah kita temui Eyang Raja Obat dan yang lainnya. Saat ini mereka tengah berkumpul di ruang utama Perguruan Pedang Perak ini," sahut Kenanga. Segera tangan kekasihnya ditarik dan dibawanya pergi.

*******************

"Ah..., Panji. Syukurlah kau selamat. Kami sangat mengkhawatirkan dirimu. Bagaimana? Apakah kau mempunyai berita yang akan kau sampaikan kepada kami...?" sambut seorang laki-laki gemuk. Dia berwajah bulat bagai bulan purnama. Kumis dan jenggotnya tampak tercukur rapi. Sehingga wajah yang sebenarnya sudah cukup berumur itu terlihat jauh lebih muda. Dia tak lain adalah Jagaraksa atau yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Pedang Perak. Dialah yang menjadi tuan rumah dalam pertemuan para tokoh persilatan golongan putih itu.

"Maaf atas keterlambatanku.... Tapi dengan keterlambatanku ini, rasanya aku lebih beruntung. Sebab, secara tidak sengaja aku telah mendengar rencana besar orang yang berjuluk Malaikat Gerbang Neraka itu," jelas Pendekar Naga Putih yang segera mengambil kursi di sebelah Raja Obat. Kenanga juga mengambil tempat di dekat kekasihnya.

Dengan suara lantang dan jelas, Panji segera menceritakan pengalamannya. Tentu saja ada beberapa bagian yang sengaja disembunyikan. Menurutnya, hal itu adalah rahasia yang tidak perlu diketahui orang lain. Juga mengenai luka-lukanya yang tidak dipaparkan. la hanya menceritakan tentang pengeroyokan empat orang datuk sesat yang berhasil menawannya.

"Hehhh Syukurlah kau dapat menyelamatkan diri, Pendekar Naga Putih. Kalau tidak, mungkin sampai saat ini kami belum dapat meraba, apa sebenarnya yang diinginkan tokoh sesat maha sakti itu? Hm... Siapa sebenarnya tokoh itu?" ucap Jagaraksa.

Tidak ada yang menjawab pertanyaan itu. Memang tokoh sesat berjuluk Malaikat Gerbang Neraka masih terselimut teka-teki. Belum ada yang tahu, dari mana asal-usul tokoh itu.

"Setelah mengetahui rencana mereka, sebaiknya kita segera bergerak. Sebab, bukan tidak mungkin kalau Malaikat Gerbang Neraka dan para begundalnya telah lebih dahulu bergerak. Tentu mereka akan mempercepat penyerbuan, begitu mengetahui kau telah berhasil meloloskan diri, Saudara Panji. Bagaimana pendapat yang lain?" sambung Jagaraksa mengakhiri, sambil mengedarkan pandangan kepada para tokoh yang berkumpul di ruangan itu.

"Benar. Kita harus segera bergerak. Aku yakin, saat ini pun gerombolan Malaikat Gerbang Neraka pasti telah bergerak menuju Istana Kerajaan Mulawarta," sahut seorang laki-laki setengah baya. Dia memiliki bentuk wajah yang gagah dan menarik. Kumisnya yang tipis tampak teratur rapi. Tokoh ini tak lain adalah Pendekar Laut Selatan, yang ternyata juga ikut hadir dalam pertemuan itu.

Di sebelah kiri Pendekar Laut Selatan, tampak duduk murid utamanya yang berjuluk Nelayan Pulau Kambang. Tokoh berusia empat puluh tahun itu merupakan orang kedua di perguruan mereka. Kepandaiannya bahkan hampir tidak berselisih dengan Pendekar Laut Selatan sendiri. Meskipun jarang muncul dalam dunia persilatan, namun namanya telah cukup dikenal dan disegani.

"Bagaimana dengan Raja Obat? Apakah mempunyai pendapat lain...?" tanya Pendekar Pedang Perak yang didampingi adik seperguruannya yang berjuluk si Pedang Malaikat.

"Hm.... Rasanya keputusan itu sudah tepat sekali. Kalau memang semua sudah setuju, lebih baik kita mempersiapkan pemberangkatan. Apalagi, jarak yang akan kita tempuh bisa memakan waktu sampai tiga hari. Sedangkan gerombolan Malaikat Gerbang Neraka akan tiba lebih dulu daripada kita," sambung Raja Obat dengan suara tenang tanpa terburu-buru.

"Baiklah. Kalau begitu, kita tutup saja pertemuan ini. Silakan masing-masing menyiapkan pengikutnya. Kita langsung bergerak pagi ini juga," ujar Pendekar Pedang Perak yang segera bangkit dari duduknya.

Para tokoh yang lain pun, bergegas meninggalkan ruang utama perguruan itu. Sehingga, sebentar saja ruangan itu kembali sunyi. Sedangkan Panji, Kenanga dan Raja Obat pamit lebih dulu untuk menyelidiki keadaan.

*******************

Diiringi hembusan angin pagi yang bersilir lembut, Panji, Kenanga dan Raja Obat melesat cepat menuju arah Barat. Berbekal ilmu lari cepat yang telah mencapai tingkat tinggi, membuat perjalanan mereka menjadi lebih cepat. Hingga ketika matahari mulai naik tinggi, mereka, telah jauh meninggalkan Perguruan Pedang Perak saat ketiganya hendak memasuki hutan, tiba-tiba terdengar bentakan yang diiringi berloncatannya belasan sosok tubuh yang langsung mengurung ketiga orang sakti itu.

"Berhenti...!"

Teriakan yang mengandung tenaga dalam kuat itu, tentu saja membuat langkah Panji, Kenanga, dan Raja Obat terhenti seketika. Mereka menatap ke arah belasan sosok tubuh berpakaian serba putih yang telah mengepung.

"Siapa kalian...?! Dan apa keperluan kalian memasuki daerah hutan ini?!" bentak salah seorang. Orang itu pada bagian lengannya terdapat garis hitam. Sepertinya, garis hitam pada bagian pangkal lengan sebagai tanda kalau ia merupakan pimpinan belasan orang itu.

Untuk beberapa saat lamanya, Panji hanya menge- darkan pandangan penuh selidik kepada belasan orang yang mengepungnya. Setelah memastikan kalau mereka bukanlah orang jahat, barulah Pendekar Naga Putih melangkah maju beberapa tindak mendekati laki-laki gagah yang merupakan pimpinan belasan orang itu.

"Sahabat... Aku berjuluk Pendekar Naga Putih. Sedangkan kedua orang rekanku ini adalah Kenanga dan Raja Obat Kalau boleh bertanya, siapakah kalian? Dan apa maksud kalian menghadang perjalanan kami?" Panji balik bertanya setelah menjawab pertanyaan laki-laki gagah itu.

"Hm.... Keadaan pada masa sekarang ini sedang tidak aman. Mengapa kalian sebagai pendekar masih saja berkeliaran? Tidakkah sebaiknya kalian ikut mengamankan suasana?" ujar orang itu bernada menegur. Sedangkan pertanyaan Panji sama sekali tidak dijawabnya.

Kenanga yang merasa kesal melihat lagak orang itu langsung saja melangkah maju. Telinga gadis jelita itu sempat memerah mendengar teguran yang terasa menyinggung harga dirinya. "Hm.... Rupanya kalian adalah pendekar-pendekar pembela kebenaran. Tahukah kalian, bahaya apa yang saat ini tengah mengancam Kerajaan Mulawarta?! Orang lain tengah sibuk memikirkan cara untuk menghalau pemberontak-pemberontak itu, mengapa kalian masih sibuk mengatur orang lain?! Apakah kalian tidak mendengar tentang munculnya seorang tokoh sesat yang berjuluk Malaikat Gerbang Neraka? Dan apakah kalian tahu kalau saat ini tokoh itu bersama dengan bala tentaranya tengah bergerak menuju Kerajaan Mulawarta?" dengus Kenanga. Sehingga, laki-laki gagah itu sempat terkejut dibuatnya.

Belum lagi laki-laki berpakaian serba putih dan bercambang bauk lebat itu sempat menjawab ucapan Kenanga, mendadak terdengar suara lantang.

"Hm.... Benarkah apa yang kau ucapkan itu, Nisanak? Kalau memang benar demikian, mereka tentu harus berhadapan lebih dahulu dengan prajurit-prajurit Kadipaten Blambang. Sebab kadipaten itu merupakan jalan satu-satunya ke Kerajaan Mulawarta." Ucapan itu keluar dari mulut seorang laki-laki yang menunggang seekor kuda. Di belakangnya tampak mengiring belasan orang berpakaian prajurit. Sedangkan orang itu sendiri mengenakan pakaian seorang perwira.

"Apa yang dikatakan kawanku ini sama sekali tidak salah. Mereka telah menyapu habis seluruh kekuatan Kadipaten Blambang. Setelah itu, barulah mereka berangkat untuk menyerbu Istana Mulawarta. Demikianlah yang kudengar dari hasil penyelidikanku," sahut Panji yang segera menyahuti pertanyaan laki-laki gagah berpakaian perwira itu.

"Betulkah kau menyaksikannya sendiri, Anak Muda? Ataukah kau hanya mendengar berita dari orang lain?" tanya perwira yang tak lain dari Pragala itu. Tentu saja ia menjadi terkejut mendengar keterangan Panji.

"Benar, Paman Perwira. Sayang aku tidak mempunyai waktu untuk menceritakannya. Apalagi, saat ini kami bertiga tengah terburu-buru untuk segera tiba di Istana Kerajaan Mulawarta. Kami harus melihat keadaan terlebih dahulu sebelum kawan kami yang lain tiba di sana. Maka, biarkanlah kami meneruskan perjalanan, karena kami tidak ingin terlambat," jelas Panji.

Tentu saja berita yang didengarnya itu membuat Pragala terpaku bagaikan patung. Memang, melihat wajah tampan itu, ia yakin kalau apa yang dikatakan pemuda di depannya adalah benar.

"Sahabat, tunggu...!" seru Pragala mencegah Panji dan yang lainnya meninggalkan tempat itu.

"Maaf, kami tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Kalau memang kalian ingin membantu, tunggulah kedatangan rombongan kawan kami yang juga akan melewati hutan ini!" ujar Panji tanpa menghentikan larinya. Hingga akhirnya bayangan ketiga orang itu semakin menjauh dan menghilang dalam kelebatan pepohonan hutan.

"Hm... Saudara Lodana. Sebaiknya siapkan pasukan kita. Aku yakin apa yang diucapkan pemuda itu benar adanya. Sebaiknya, kita tunggu saja kawan anak muda itu, dan bergabung dengan mereka," usul Pragala kepada laki- laki bercambang bauk yang hanya mengangguk.

Lodana yang juga menyetujui usul Pragala, segera mengumpulkan orang-orangnya untuk bergabung dengan pasukan Pendekar Pedang Perak dan tokoh-tokoh persilatan yang menurut Panji akan melewati tempat itu. Ternyata penantian Pragala dan Lodana tidak terlalu lama. Buktinya, setelah orang-orangnya lengkap berkumpul, terdengarlah derap kaki kuda bergemuruh. Dari kepulan debu yang membumbung tinggi ke angkasa, jelas itu adalah rombongan orang berkuda yang tengah menuju ke arah mereka. Dan tentu dalam jumlah yang sangat besar.

Dan apa yang diduga Pragala maupun Lodana ternyata tidak meleset. Kini tampaklah rombongan orang berkuda yang tidak kurang dari seribu orang banyaknya. Heran juga hati Pragala melihat jumlah yang sangat besar itu. Bergegas mereka menyambut dan menggabungkan diri dengan rombongan yang hendak menuju Istana Kerajaan Mulawarta. Pendekar Pedang Perak yang telah cukup mengenal Lodana, tentu saja menerima mereka untuk bergabung. Maka rombongan yang semakin membengkak jumlahnya itu pun terus bergerak maju menerobos hutan lebat.

*******************

DELAPAN

"Ternyata dugaan Ki Jagaraksa tidak meleset! Malaikat Gerbang Neraka dan pasukannya benar-benar telah memasuki Ibu Kota Mulawarta. Seperti setan saja gerakan mereka," kata pemuda berjubah putih yang tak lain dari Panji, saat telah tiba di perbatasan Ibu Kota Mulawarta bersama Kenanga dan Raja Obat.

"Hm.... Kalau melihat bercak-bercak darah serta bekas-bekas pertempuran yang terjadi di perbatasan ini, rasanya mereka belum lama tiba," duga dara jelita berpakaian serba hijau yang sudah pasti Kenanga adanya. Gadis jelita itu tampak membungkuk memeriksa belasan mayat prajurit penjaga perbatasan yang bergeletakan tumpang tindih. Tampaknya di tempat itu belum lama terjadi pertempuran.

"Bagaimana ini, Eyang? Apakah kita langsung menuju istana, atau menunggu tibanya kawan-kawan kita yang lain?" tanya Panji meminta pendapat Raja Obat. Biar bagaimanapun, Pendekar Naga Putih harus menghormati orang tua itu untuk meminta petunjuknya. Walaupun telah tahu tentang apa yang harus diperbuatnya, namun tetap saja Panji meminta pendapat orang tua itu.

"Sebaiknya, kita langsung saja menuju istana. Walaupun kita cuma bertiga, namun tidak perlu takut. Dan lagi, kita hanya akan menghadapi gembong-gembong pemberontak itu. Sedangkan mengenai pasukan Malaikat Gerbang Neraka, mungkin saat ini tengah bertempur melawan para prajurit kerajaan. Jadi, tidak hanya sekadar menghadapi tokoh-tokoh sesat itu untuk melindungi Gusti Prabu Pungga Lawa," sahut Raja Obat yang segera melangkah meninggalkan perbatasan Ibu Kota Mulawarta.

Tanpa banyak cakap lagi, Panji dan Kenanga bergegas mengikuti kakek sakti itu. Tidak berapa lama kemudian, mereka berpapasan dengan para pengungsi yang tengah dibantai serombongan laki-laki kasar yang mirip gerombolan perampok. Tanpa banyak tanya lagi, mereka bergegas menerjang gerombolan laki-laki kasar yang diduga sebagai pengikut Malaikat Gerbang Neraka.

"Bedebah! Biarkan mereka pergi...!" bentak Panji yang langsung saja melompat disertai kibasan tangannya.

Bettt...!

Sekali tangan Panji mengibas, belasan orang laki-laki kasar itu langsung bertumbangan tanpa bangkit kembali. Mereka langsung bergeletakan pingsan dengan darah mengalir dari sudut bibir.

Kenanga dan Raja Obat pun tidak mau ketinggalan. Mereka segera mengamuk membagi-bagi pukulan dan tendangan yang mengandung kekuatan hebat Sehingga dalam beberapa gebrak saja, puluhan orang laki-laki kasar itu sudah bergeletakan tanpa daya.

"Ayo, kita segera menuju istana...!" ujar Raja Obat setelah gerombolan itu tak tersisa satu pun juga.

Setelah yakin kalau para pengungsi itu tidak lagi terganggu para pasukan Malaikat Gerbang Neraka, Panji dan Kenanga bergegas mengikuti Raja Obat. Karena mereka mengerahkan ilmu lari cepatnya, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama telah tiba di depan gerbang Istana Kerajaan Mulawarta. Sepanjang jalan yang terlihat hanyalah ratusan mayat dari kedua belah pihak yang saling tumpang tindih tak karuan. Sehingga, mau tak mau ketiga orang tokoh sakti itu menjadi sedih melihatnya.

Panji, Kenanga, dan Raja Obat terus melesat melewati pertempuran-pertempuran yang masih berkobar sengit. Memang, tujuan mereka hanyalah untuk mencari gembong-gembong golongan sesat yang sudah pasti sangat berbahaya bagi prajurit-prajurit kerajaan itu.

"Lihat! Bukankah itu Datuk Panglima Sesat!" seru Kenanga. Gadis itu langsung menunjuk seorang laki-laki bertubuh raksasa yang tengah mengamuk dikeroyok prajurit kerajaan dan sebelas orang perwira yang mengepungnya.

Namun, sepak terjang datuk sesat itu luar biasa sekali! Puluhan mayat prajurit tampak berserakan di sekitarnya. Siapa lagi yang berbuat kejam seperti itu kalau bukan Datuk Panglima Sesat? Bahkan di antara puluhan mayat itu terdapat mayat enam orang perwira yang rupanya juga telah tewas di tangan datuk iblis itu. Melihat keadaan para prajurit yang kacau-balau akibat amukan tokoh sesat mengiriskan itu, maka Raja Obat segera saja melesat untuk menahan keganasan datuk sesat itu.

"Kenanga! Bantulah para perwira yang tengah bertarung dengan Kuntilanak Bukit Mandau itu. Nampaknya, mereka memang memerlukan bantuan!" seru Raja Obat sambil menudingkan jari telunjuk ke arah sebelah kanan.

Tanpa diperintah dua kali, gadis jelita itu bergegas melayang ke arah yang ditunjuk Raja Obat Memang, di tempat itu tampak seorang nenek tinggi kurus tengah mengamuk dengan sebatang tongkat hitamnya. Begitu Kenanga ikut terjun ke dalam kancah pertempuran, barulah para perwira yang mengeroyok nenek iblis dapat menarik napas lega. Dan ternyata Kenanga mampu mengurangi amukan datuk sesat wilayah Utara itu.

Pendekar Naga Putih yang melihat kedua orang rekannya telah menemukan lawan masing-masing, bergegas terus masuk ke dalam lingkungan istana. Dua orang datuk lain yang terlihat tengah bertarung seru melawan para perwira yang sedikitnya berjumlah lima belas orang, tidak dipedulikannya. Kelihatannya para perwira itu cukup mampu menahan amukan datuk-datuk sesat itu sampai tibanya Pendekar Pedang Perak dan Pendekar Laut Selatan. Maka, Pendekar Naga Putih pun meneruskan langkahnya untuk mencari Malaikat Gerbang Neraka. Dan menurut dugaannya, mungkin tokoh sesat itu telah berada di dalam bangunan istana.

"Hm.... Tampaknya Tengkorak Hutan Jati dan Garuda Mata Satu pun dapat mereka atasi," gumam Panji ketika melihat kedua orang tokoh sesat itu tengah sibuk menghadapi para perwira dan prajurit Kerajaan Mulawarta.

Ketika Panji menoleh ke arah lain, keningnya tampak berkerut melihat tiga orang wanita cantik tengah bertempur sengit melawan puluhan orang laki-laki di dekat pintu utama Istana Kerajaan Mulawarta. Hati pendekar muda itu terkejut bukan main melihat amukan dahsyat ketiga orang wanita cantik itu. Bukan ilmu silat mereka yang membuat Pendekar Naga Putih terkejut. Tapi, keadaan mayat para prajurit itulah yang membuat Panji terpaksa menahan langkahnya.

"Racun keji…!" desis Panji geram. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuh pemuda itu segera melesat ke arah pertempuran yang menebarkan hawa maut berbau busuk itu.

"Haiiit ..!" Sambil berseru nyaring, Pendekar Naga Putih mengibaskan kedua tangannya ke arah ketiga orang wanita cantik yang menggunakan racun jahat itu.

Wusss...!

Serangkum angin berhawa dingin dan panas, langsung menerpa ke arah ketiga orang wanita itu dengan amat kuatnya. Tentu saja hal itu membuat Tiga Dewi Pulau Setan menjadi terkejut bukan kepalang.

"Hei…!" Terdengar seruan-seruan kaget dari ketiga orang wanita cantik itu. Serentak mereka berlompatan mundur menghindari sambaran angin pukulan yang berlainan sifat itu. Sayang gerakan yang dilakukan mereka masih kalah cepat dibanding gerakan Panji. Sehingga tanpa dapat dicegah lagi, tubuh ketiga orang wanita cantik itu terpental deras ke belakang.

Desss.... Desss.... Desss...!

Ketiga orang wanita cantik penghuni Pulau Setan itu terjungkal terbanting keras di atas tanah. Darah segar Yang mengalir di sudut bibir, menandakan kalau ketiga orang wanita cantik itu telah menderita luka dalam yang cukup parah!

Rupanya kesempatan yang sangat baik itu, tidak disia-siakan begitu saja oleh para prajurit Kerajaan Mulawarta yang tersisa. Langsung saja mereka berlompatan ke arah tiga sosok tubuh yang tengah berusaha bangkit itu. Dan....

Brettt.... Crakk… Crasss...!

"Wuaaa...!"

"Aaargh...!"

Jeritan-jeritan kematian terdengar saling susul menyusul ketika belasan orang prajurit kerajaan itu menusukkan dan membabatkan senjatanya ke tubuh Tiga Dewi Pulau Setan. Darah segar pun berhamburan membasahi permukaan bumi yang semakin lembab oleh darah-darah manusia.

Namun ketiga orang wanita cantik itu pun rupanya tidak mau mati secara sia-sia. Buktinya mereka membalas dengan sambaran senjata di tangan. Sehingga, enam orang prajurit yang paling dekat, langsung jatuh tersungkur mencium tanah dengan tubuh berlumuran darah. Setelah itu, baru Tiga Dewi Pulau Setan menghembuskan napasnya yang terakhir.

"Benar-benar berbahaya..." gumam Panji. Pendekar Naga Putih kemudian langsung melesat ke dalam bangunan istana, setelah melihat ketiga orang wanita cantik itu benar-benar sudah berakhir hidupnya.

Saat tiba di ruang utama istana, Panji terkejut bukan main. Tampak tokoh sakti yang dicarinya tengah mengamuk hebat. Dia dikeroyok oleh belasan orang perwira dan dua orang Senapati Kerajaan Mulawarta. Amukan tokoh tinggi kurus yang wajahnya selalu tersembunyi di balik kerudung hitam itu benar-benar mengiriskan. Puluhan mayat prajurit dan perwira, tampak bergeletakan di bawah kakinya. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat mengerikan dan mengiriskan sekali.

"Heaaat...!"

Dibarengi teriakan mengguntur, Malaikat Gerbang Neraka melesat sambil mengibaskan kedua tangannya ke kiri dan kanan. Gerakan tokoh sesat maha sakti itu benar-benar membuat orang tewas seketika. Dua orang senapati yang masing-masing berusia lima puluh dan tiga puluh tujuh tahun, tampak berbuat nekat. Mereka langsung menyambut kibasan tangan tokoh mengiriskan itu.

"Haaat ..!"

Sambil berseru keras, kedua orang senapati itu langsung saja melompat sambil mendorongkan tangannya untuk menyambut pukulan maut yang menimbulkan deru angin panas. Dan....

Blarrr...!

"Aaakh...!"

Ledakan dahsyat yang terasa bagaikan hendak merobohkan istana terdengar, ketika pukulan Malaikat Gerbang Neraka dan kedua orang senapati itu berbenturan keras. Kedua senapati andalan Kerajaan Mulawarta itu langsung terpental balik akibat benturan yang maha dahsyat! Tubuh mereka langsung terbanting jatuh ke atas lantai.

"Uhhh...!"

Benturan dahsyat tadi rupanya telah membuat dada keduanya terguncang. Hal itu jelas terlihat dari gerakan mereka pada saat hendak berusaha bangkit berdiri. Mereka kembali terjatuh sambil menekap dada yang terasa bagaikan tertusuk ribuan jarum halus. Dari cairan merah yang tampak mengalir di sela-sela bibir, dapat dipastikan kalau kedua orang itu telah mengalami luka dalam cukup parah.

Sedangkan Malaikat Gerbang Neraka sendiri sama se- kali tidak mengalami luka berarti. Benturan keras tadi hanya membuat kuda-kudanya tergempur beberapa langkah ke belakang. Tentu saja kenyataan itu mau tak mau membuat Pendekar Naga Putih yang sempat menyaksikannya menggeleng takjub.

"Orang ini benar-benar sudah seperti bukan manusia lagi! Kepandaiannya hebat dan mengiriskan sekali. Hm.... Kalau saja aku belum menemukan rahasia yang tersimpan dalam Pedang Naga Langit, rasanya mustahil dapat menandingi tokoh sesat yang satu ini. Sekarang pun, aku masih ragu untuk dapat menandinginya," desah Pendekar Naga Putih yang benar-benar kagum dengan kesaktian tokoh sesat penuh teka-teki itu.

Namun, Panji tidak sempat berpikir lama. Karena saat itu, belasan orang perwira yang mengeroyok tokoh sakti itu bertumbangan satu persatu bagaikan laron mendekati api. Tentu saja jeritan kematian yang susul-menyusul itu membuat Pendekar Naga Putih harus segera turun tangan mencegahnya. Dan sebagai taruhannya, adalah nyawa!

"Malaikat Gerbang Neraka! Kali ini kau harus benar-benar kuhentikan...!" seru Panji sambil melompat memapak hantaman telapak tangan kanan tokoh itu yang tengah meluncur deras mengancam empat orang pengeroyok di depannya.

Tokoh sakti yang berjuluk Malaikat Gerbang Neraka itu sempat tersentak mendengar seruan yang diketahuinya mengandung kekuatan dahsyat. Dan ketika matanya melirik, tampak kegusaran terpancar pada sepasang matanya. Jelas kalau tokoh mengiriskan itu tengah mengenali orang yang mengeluarkan seruan lantang tadi.

"Pendekar Naga Putih...?!" desisnya. Malaikat Gerbang Neraka tampak terperangah melihat kedatangan pemuda sakti itu. Memang, sampai saat itu pun ia masih belum bisa mengerti, bagaimana cara pemuda itu dapat meloloskan diri dari tahanannya padahal, ia tahu betul kalau keadaan pemuda itu sangat parah dan kemungkinan untuk sembuh hampir mustahil. Itulah yang menyebabkan hatinya terkejut melihat kemunculan Panji. Apalagi, keadaan pemuda itu tampak segar bugar.

Malaikat Gerbang Neraka yang melihat datangnya serangan pemuda itu, segera menyelewengkan hantaman telapak tangannya. Perhatiannya segera dialihkan ke arah Pendekar Naga Putih yang saat itu tengah meluruk ke arahnya. Panji yang sadar akan kedahsyatan ilmu lawannya, tentu saja tidak mau bertindak tanggung-tanggung. Langsung dikerahkannya seluruh kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dimiliki untuk menahan gempuran dahsyat itu.

Wusss...! Wukkk...! Blarrr...!

Hebat dan sangat mengerikan benturan dua gelombang tenaga raksasa yang saling bertemu di udara. Ruang utama Istana Kerajaan Mulawarta bagaikan diguncang gempa yang sangat hebat Sehingga, tembok-tembok yang mengelilingi ruangan itu sampai bergetar bagaikan hendak roboh. Bahkan pada bagian atap ruangan itu sempat rontok karenanya.

Belasan orang perwira kerajaan yang sempat menyaksikan benturan dahsyat itu, terlempar ke kiri dan kanan bagaikan dilanda angin topan dahsyat Dengan perasaan ngeri mencekam, para perwira itu serentak menyeret langkahnya menjauhi pertarungan mengerikan itu. Akibat yang diderita Panji pun cukup parah. Benturan dahsyat itu telah membuat tubuhnya terlempar deras, dan langsung menjebol dinding ruangan yang berada dua tombak di belakangnya. Untunglah lapisan kabut putih keperakan masih menyelimuti tubuhnya, sehingga tulang-tulangnya tidak sampai patah.

"Hm…" Pendekar Naga Putih menggeram gusar. Sepasang matanya menyorot tajam bagaikan mata seekor naga murka. Dengan gerakan perlahan, pemuda itu menyilangkan kedua tangan di depan dada. Kemudian masih dengan gerakan perlahan dan mengandung getaran kuat, kedua lengan pemuda itu bergerak naik melampaui kepalanya.

Tak lama kemudian, terlihatlah dua buah sinar yang membungkus tubuh pemuda berjubah putih itu. Masing-masing adalah sinar putih keperakan, dan sinar kuning keemasan. Kedua sinar itu menyelimuti tubuh Panji secara terpisah. Sehingga pemandangan aneh itu, sempat membuat Malaikat Gerbang Neraka mengerutkan keningnya.

"Gila! ilmu apa lagi yang dimiliki pemuda setan itu...? Hm, apa yang membuat tubuhnya sampai dapat mengeluarkan dua buah sinar aneh secara bersamaan?" gumam tokoh sesat itu yang merasa terkejut karenanya.

Sebagai seorang yang telah banyak mengetahui ilmu langka dunia persilatan, tokoh sakti itu sadar kalau orang yang telah mampu mengerahkan kedua unsur tenaga berlainan sifat secara bersamaan, sudah pasti memiliki kekuatan luar biasa sekali. Melihat pemuda itu dapat menggabungkan dua tenaga berlainan sifat secara sempurna, tentu saja Malaikat Gerbang Neraka menjadi gentar hatinya. Padahal, diketahuinya betul kalau pada beberapa hari yang lalu, lawannya sama sekali tidak menggunakan perpaduan tenaga itu. Dan diyakininya pula kalau pada waktu menahannya, Pendekar Naga Putih sama sekali belum memiliki kekuatan seperti itu. Malaikat Gerbang Neraka benar-benar menjadi tidak mengerti dengan keanehan pendekar muda itu.

"Hm... Kalau memang bukan seorang pengecut, marilah pertarungan kita dilanjutkan di tempat yang lebih leluasa, Malaikat Gerbang Neraka. Tapi kalau kau takut, tentu aku tidak akan memaksa," tantang Pendekar Naga Putih sengaja memanasi.

"Bedebah kau, Pendekar Naga Putih! Apa dikira dengan kepandaianmu kau sudah patut bersombong di depanku? Huh! Jangan mimpi, Bocah Setan! Hari ini juga, nama besarmu akan kuhapus dari dunia persilatan," desis Malaikat Gerbang Neraka, mengandung kegeraman yang dalam.

Seketika tubuh Pendekar Naga Putih segera melesat ke arah samping istana yang memiliki halaman cukup luas. Sedangkan Malaikat Gerbang Neraka pun bergegas mengejar. Baru saja Panji menjejakkan kakinya di tanah, Malaikat Gerbang Neraka sudah langsung melancarkan serangan dahsyat. Pukulannya yang menimbulkan deru angin mencicit tajam, datang bertubi-tubi bagai tidak ingin memberi kesempatan kepada pemuda itu.

Bettt..! Wuttt...!

Rentetan pukulan Malaikat Gerbang Neraka yang hebat bukan kepalang, tentu saja tidak bisa dipandang ringan. Apalagi dilancarkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Tentu saja kedahsyatannya sangatlah mengerikan. Panji pun bukan tidak tahu akan kedahsyatan serangan itu. Cepat tubuhnya bergeser dengan lompatan kesamping. Langsung dilancarkannya serangan balasan dengan tusukan jari-jari tangan kanan.

Syuuut..!

Tusukan jari-jari tangan Pendekar Naga Putih meluncur pesat mengancam lambung lawan. Serangkum angin dingin yang menusuk tulang mencicit tajam mengiringi tusukan jari tangan pemuda itu.

Malaikat Gerbang Neraka yang merasa sangat yakin akan kekuatan dahsyat tenaganya, langsung saja mengibaskan lengan kiri untuk memapak serangan Pendekar Naga Putih. Namun, Panji tentu saja tidak ingin bertindak ceroboh. Disadari kalau kekuatan yang dimiliki lawannya masih berada di sebelah atasnya. Maka tentu saja ia tidak sudi mengadu tenaga dengan lawannya. Ditariknya tusukan jari tangan yang meluncur mengancam lambung lawan. Secepat tangan kanannya ditarik pulang, tubuhnya bergerak menekuk doyong ke belakang sambil melancarkan tendangan kilat yang melesat ke arah perut Malaikat Gerbang Neraka.

Tass….!

Hebat dan cepat bukan main gerakan tokoh tinggi kurus itu. Dalam keadaan cukup berbahaya itu ternyata masih sempat memutar kibasan tangannya yang membentuk setengah lingkaran hingga sempat memapak tendangan Panji.

Benturan dua gelombang tenaga raksasa itu tentu saja akibatnya hebat sekali. Tubuh Pendekar Naga Putih melintir akibat tangkisan keras lawannya. Tapi walaupun demikian, keseimbangan tubuhnya masih sempat diatur dan kuda-kudanya dapat diperbaiki dalam keadaan siaga penuh.

"Heaaat... !" Malaikat Gerbang Neraka yang sempat bergetar mundur sampai empat langkah akibat benturan itu, kembali melesat disertai pekikannya yang menggetarkan jantung.

Para prajurit yang tengah bertempur dengan gerombolan pengikut tokoh sesat itu kontan terjungkal Memang, mereka bertempur tidak jauh dari pertempuran antara Panji melawan Malaikat Gerbang Neraka. Dari mulut, telinga, dan hidung mereka mengalir darah segar. Rupanya teriakan dahsyat Malaikat Gerbang Neraka telah menewaskan mereka. Dari kejadian itu saja dapat dilihat, betapa mengerikannya kekuatan yang dimiliki tokoh sesat itu.

Pendekar Naga Putih yang melihat sepasang telapak tangan lawan tengah meluncur mengancam dadanya, cepat menyilangkan sepasang tangannya. Juga langsung tenaga batinnya dipusatkan untuk menggabungkan dua kekuatan yang berada dalam tubuhnya.

Whusss...!

Dorongan sepasang tangan yang berkekuatan dahsyat itu lewat di samping tubuh Panji yang melompat ke samping. Namun, apa yang selanjutnya dilakukan tokoh sesat itu benar-benar membuat Panji tersentak. Ternyata sepasang telapak tangan yang lewat di samping tubuhnya itu tiba-tiba berputar cepat, dan langsung mengancam lambung kirinya.

Buggg...!

"Akhhh...!"

Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Pendekar Naga Putih langsung terpental bagaikan sehelai daun kering! Darah segar terlompat keluar dari mulutnya. Namun sebelum tubuhnya jatuh mencium tanah, pemuda itu masih sempat berjumpalitan dan mendaratkan kakinya. Hanya saja, kuda-kudanya sedikit goyah!

"Gila! Tokoh sesat satu ini memang benar-benar luar biasa! Nampaknya akan sulit sekali untuk dapat mengalahkannya," gumam Pendekar Naga Putih sambil menyusut cairan merah dengan lengan bajunya.

"Haaat...!"

Bagaikan orang kesetanan, Malaikat Gerbang Neraka kembali meluncur dengan serangan-serangan mematikan. Jelas kalau tokoh sesat itu memang sangat menginginkan kematian Pendekar Naga Putih. Kali ini Malaikat Gerbang Neraka jelas salah perhitungan. Semula, dikiranya Panji telah mengalami luka dalam akibat pukulannya. Tapi ternyata dugaannya meleset!

Memang, dengan telah bersatunya Pedang Naga Langit ke dalam tubuh Pendekar Naga Putih, tentu saja setiap pukulan yang menimbulkan luka telah langsung terhapus oleh inti kekuatan pedang keramat itu. Hal inilah yang tidak diketahui Malaikat Gerbang Neraka. Pendekar Naga Putih sendiri semula merasa heran ketika tidak merasakan akibat hantaman Malaikat Gerbang Neraka tadi. Sepertinya, pukulan tadi tidak berbekas dalam tubuhnya. Namun ketika teringat Pedang Naga Langit yang telah menyatu ke dalam tubuhnya, maka pemuda itu pun tersenyum lega.

Serangan Malaikat Gerbang Neraka yang telah kembali mengancam, sama sekali tidak membuat Panji gugup. Dengan menyatukan kekuatan batinnya, pemuda itu berdiri tegak menanti datangnya serangan lawan. Dan pada saat sepasang tangan tokoh tinggi kurus itu meluncur mengancam tubuhnya, Panji pun merendahkan tubuhnya sambil memantek kedua kakinya di atas tanah.

"Heaaattt...!" Disertai 'Pekikan Naga Marah', Pendekar Naga Putih mendorongkan sepasang tangannya ke depan. Serangkum angin pukulan yang mengandung hawa dingin dan panas, terlontar dari sepasang telapak tangan pemuda itu.

Whusss...!

Bresssh...!

Terdengar ledakan dahsyat ketika kedua pasang telapak tangan yang mengandung kekuatan raksasa saling berbenturan di udara! Tubuh kedua tokoh sakti itu terpental balik bagaikan selembar daun kering yang diterbangkan angin.

Derrr...!

Tubuh Malaikat Gerbang Neraka yang selama ini belum pernah terkalahkan, meluncur menghantam sebatang pohon besar yang berada di belakangnya. Dengan memperdengarkan suara berderak ribut, pohon besar itu langsung tumbang, karena bagian tengahnya terlanggar tubuh tinggi kurus itu.

Demikian pula halnya Pendekar Naga Putih. Tubuh Pendekar Naga Putih yang tengah meluncur ke arah dinding samping bangunan istana, terhempas keras hingga dinding itu pun jebol. Pendekar Naga Putih yang merasakan sekujur tubuhnya bagaikan remuk, cepat menyatukan pikiran. Dia duduk bersila sambil memejamkan mata, tanpa peduli dengan keadaan sekitarnya. Gempuran dahsyat yang telah mengakibatkan luka dalam, membuatnya berusaha untuk membangkitkan kekuatan tenaga batinnya. Memang disadari betul kalau lukanya hanya dapat disembuhkan oleh 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' yang berasal dari Pedang Pusaka Naga Langit.

Sedangkan Malaikat Gerbang Neraka ternyata tetap terkulai lemah tak berdaya. Dari sudut bibir tokoh tinggi kurus itu mengalir darah segar. Jelas, tokoh sakti itu pun telah mengalami luka dalam yang tidak ringan. Bahkan akibatnya, kesaktiannya kini telah punah! Dia seperti kakek-kakek jompo saja layaknya. Melihat hal ini, dua orang senapati dan beberapa orang perwira tinggi Kerajaan Mulawarta cepat mengamankan tokoh iblis itu. Mereka membawanya ke dalam bangunan istana, untuk meminta keputusanPrabu Pungga Lawa.

Sementara, pertempuran yang berlangsung antara pasukan Kerajaan Mulawarta melawan pasukan pemberontak sudah pula selesai. Para prajurit kerajaan yang dibantu tokoh-tokoh persilatan golongan putih telah berhasil menghentikan perlawanan para pemberontak. Yang tinggal hanyalah ribuan sosok mayat saling tumpang-tindih yang menebarkan bau anyir darah.

*******************

Pendekar Naga Putih yang baru saja menyelesaikan semadinya, menjadi heran ketika di sekelilingnya telah berkumpul tokoh persilatan. Sehingga, pemuda itu sempat menjadi rikuh karenanya.

"Bagaimana keadaanmu, Kakang...?" tanya Kenanga yang saat itu juga tengah menunggu kekasihnya. Wajah jelita bagai bidadari itu tampak penuh kecemasan.

"Aku tidak apa-apa, Kenanga. Kesehatanku sudah pulih seperti semula," sahut Panji sambil mengedarkan pandangan, seolah-olah mencari sesuatu.

"Malaikat Gerbang Neraka telah dapat kau lumpuhkan, Panji. Dan kini telah diamankan pihak istana. Menurut Gusti Prabu Pungga Lawa pada saat kami datang menghadap, tokoh sesat yang maha sakti itu ternyata seorang pangeran yang pada beberapa waktu lalu pernah memberontak. Ternyata nama asli Malaikat Gerbang Neraka adalah Pangeran Dwipa Karna. Dulu, dia berhasil meloloskan diri dari kejaran pihak kerajaan. Rupanya kali ini kembali mencoba melakukan pemberontakan untuk merebut kekuasaan dari tangan Gusti Prabu dengan bantuan para datuk sesat. Sayang rencananya kali ini pun harus gagal. Dan untuk kali ini, ia tidak akan bisa melarikan diri lagi dari hukuman mati. Besok sebelum matahari terbit, tokoh itu akan dihukum penggal. Demikian titah Gusti Prabu Pungga Lawa," jelas laki-laki gemuk berwajah.bulat, dengan kumis dan jenggot yang tercukur rapi. Orang itu tak lain adalah Ki Jagaraksa atau yang lebih dikenal sebagai Pendekar Pedang Perak. Rupanya tokoh ini pun ikut menunggui Panji yang tengah bersemadi.

"Bagaimana para datuk sesat itu? Apakah mereka tewas, atau dapat ditawan?" tanya Panji, bernada ingin tahu. Sebab, ia memang tidak mengetahui akan hal itu.

"Mereka berhasil meloloskan diri dengan meninggalkan pasukannya. Rupanya setelah melihat keadaan pasukan mereka terdesak, dan tidak mempunyai harapan untuk menang, mereka langsung pergi menyelamatkan diri masing-masing. Kecuali Tengkorak Hutan Jati dan Garuda Mata Satu. Mereka bersama pasukannya tewas digilas prajurit kerajaan dibantu murid-murid kami," jelas laki-laki setengah baya yang memiliki wajah menarik. Orang itu tak lain adalah Pendekar Laut Selatan. Dia datang bersama seluruh muridnya untuk membantu Kerajaan Mulawarta dalam menghadapi gerombolan pemberontak.

"Hhh.... Syukurlah kedatangan kalian tidak terlambat," desah Panji menarik napas lega. Namun, kening Pendekar Naga Putih kembali berkerut ketika tidak melihat Raja Obat di tempat itu.

"Setelah melihat semua keadaan di sini telah aman, Raja Obat berpamit untuk meneruskan pengembaraannya. Maaf! Kami tidak bisa menahannya sampai kau menyelesaikan semadimu, Panji. Dan beliau meminta maaf karena tidak bisa berpamit kepadamu," jelas Pendekar Pedang Perak yang rupanya dapat menebak isi hati pemuda perkasa itu.

"Ah! Kalau begitu, aku pun harus segera pamit kepada kalian. Sampaikan salam hormat dan maafku kepada Gusti Prabu Pungga Lawa. Ayo, Kenanga...," pamit Panji, segera mengajak kekasihnya meninggalkan Istana Kerajaan Mulawarta.

"Baik, Kakang...," sahut Kenanga. Gadis itu juga segera berpamit kepada semua tokoh persilatan yang berada di tempat itu.

"Pendekar Naga Putih...! Bagaimana kami harus mengatakan kalau Gusti Prabu Pungga Lawa menanyakan tentang dirimu?" seru Pendekar Pedang Perak yang tak kuasa mencegah kepergian kedua orang pendekar muda itu.

"Sampaikan salam hormat dan maafku, Paman!" teriak Panji.

Pendekar Naga Putih memang sudah semakin jauh meninggalkan tempat itu. Sehingga, para tokoh persilatan itu hanya dapat menatap hingga tubuh kedua orang pendekar muda itu lenyap ditelan keremangan senja.

S E L E S A I

Loading...