Serial Pendekar Naga Putih
Episode Macan Tutul Lembah Daru
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode Macan Tutul Lembah Daru
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
SATU
HEMBUSAN angin pagi silir-silir mengiringi langkah kaki seorang pemuda bertubuh tinggi tegap. Menilik dari langkah kakinya yang ringan dan mantap, jelas dia sudah terbiasa menempuh perjalanan jauh. Wajah pemuda itu bersih dan tampan. Alis matanya tebal, membentuk garis melengkung. Matanya bening dan tajam, menimbulkan perbawa kuat. Tarikan dagunya kokoh, menandakan jiwanya yang keras.
Tak berapa lama berjalan, tibalah pemuda itu pada sebuah aliran sungai. Sekali genjot saja, tubuhnya melayang bagaikan seekor burung besar. Ujung kakinya menotok batu-batu yang bertonjolan di atas permukaan air. Hebat sekali caranya menyeberangi sungai. Sebentar saja, ia telah berada diseberang sungai lebar itu.
Pemuda tampan bertubuh tinggi tegap itu memang bukan orang sembarangan. Konon kabarnya, dunia persilatan memberikan julukan kepada pemuda itu sebagai Macan Tutul Lembah Daru. Ia adalah anak yatim piatu yang dipungut Dewa Lembah Daru. Kedua orang tuanya tewas di tangan perampok yang pada saat itu tengah mengganas didesanya.
Setelah diperbolehkan turun gunung pada setahun lewat, pemuda itu telah mengukir nama besar dalam dunia persilatan. Nanggala, alias Macan Tutul Lembah Daru merupakan tokoh golongan putih yang sangat disegani golongannya, dan ditakuti golongan hitam. Sepak terjangnya yang menggiriskan, membuat namanya semakin ditakuti lawan dan disegani kawan.
Sesaat kemudian, tubuhnya pun melesat bagaikan sebatang anak panah yang lepas dari busur. Dalam beberapa saat saja, tubuh pemuda gagah yang mengenakan pakaian kulit macan tutul itu hanya tinggal bayang-bayang kabur, untuk kemudian lenyap ditelan kelebatan hutan.
Ditengah keheningan pagi yang bening, terdengar denting senjata yang ditingkahi teriakan-tenakan nyaring. Sesosok tubuh ramping mengenakan pakaian serba putih tampak berkelebatan dan menyelinap lincah diantara sambaran pedang lawan. Gerakan gadis itu terlihat demikian indah, sehingga tak ubahnya seorang dewi yang tengah menari.
“Haiiit..!”
Kembali gadis berwajah cantik itu mengelak diiringi teriakan merdunya. Sambaran sebatang pedang lawan yang meluncur lurus ke arah lambungnya, dapat dielakkan dengan memiringkan tubuh ke kiri. Bahkan dengan gerakan tidak kalah cepatnya, gadis cantik itu langsung mengirimkan serangan balasan.
Wuttt!
Sambaran pedang gadis cantik itu menimbulkan desingan tajam, dan nyaris melukai iga lawannya. Untunglah pada saat yang gawat, sebatang pedang lain datang, dan langsung membentur pedang gadis itu. Sehingga ujung pedangnya yang semula siap terhunjam, jadi menyeleweng menusuk angin kosong.
Belum lagi gadis cantik itu sempat menyadari keadaannya, tiba-tiba dari arah belakang meluncur sebatang pedang lainnya! Tentu saja hatinya menjadi terkejut ketika mendengar desingan angin tajam yang mengancam punggungnya. Maka, cepat-cepat tubuhnya diliukkan dengan menggunakan tenaga pinggang. Kemudian, tubuhnya dilempar ke samping, bagaikan baling-baling yang berputar. Sehingga, ia pun selamat dari ancaman pedang lawan. Namun, usaha yang dilakukan gadis itu ternyata sia-sia! Baru saja kakinya menjejak tanah, sebuah tendangan lawan yang keras telah menghantam belakang pinggangnya.
Bugkh!
“Uhhh...!”
Terdengar jeritan tertahan disertai terlemparnya tubuh gadis cantik itu beberapa tombak kedepan. Dan selagi tubuhnya terhuyung, lawan yang lain datang menyerbu dengan totokan-totokan saling susul. Dari sambaran angin totokan itu, jelas kalau kekuatan yang terkandung di dalamnya sangat kuat. Dapat dipastikan, tubuh gadis cantik itu akan roboh tak berkutik akibat totokan lawan.
Siuttt! Siuttt!
Jari-jari tangan laki-laki tinggi kurus bermuka tikus itu meluncur deras, mengancam titik-titik jalan darah di tubuh gadis cantik ini. Dan jelas, dia tidak mungkin lagi menghindarinya.
Pada saat yang gawat, tiba-tiba sesosok tubuh tinggi tegap melayang memasuki arena pertarungan. Begitu tiba, langsung telapak tangan kanannya didorongkan kearah laki-laki tinggi kurus yang tengah melancarkan serangan. Dan...
Plakkk!
“Uhhh...!”
Dorongan telapak tangan sosok tubuh tinggi tegap itu ternyata mengandung kekuatan hebat. Sehingga, totokan jari-jari tangan yang terhantam angin pukulannya, langsung menyeleweng dari sasaran. Bukan itu saja. Bahkan tubuh laki-laki tinggi kurus itupun berputar akibat tangkisan bertenaga dalam tinggi dari sosok tubuh itu.
“Bangsat! Manusia bosan hidup dari mana yang berani mencampuri urusan Empat Setan Muara Bangkai!” umpat laki-laki tinggi kurus itu dengan wajah geram. Sepasang matanya berkilat marah, menatap sosok tubuh tinggi tegap yang berdiri gagah melindungi gadis cantik itu.
“Macan Tutul Lembah Daru...!” bisik tiga orang yang berdiri agak jauh dari tempat laki-laki tinggi kurus itu. Wajah mereka jelas menyiratkan kegentaran ketika mengetahui, siapa sosok tubuh yang telah menyelamatkan lawan mereka.
Laki-laki tinggi kurus bermuka tikus itupun tersentak kaget ketika mengenali sosok tubuh yang telah memapak serangannya. Meskipun belum pernah berjumpa dengan pendekar muda yang terkenal itu, namun melihat dari pakaiannya yang terbuat dari kulit macan tutul, jelas kalau orang yang menolong lawannya memang Macan Tutul Lembah Daru. Tapi, justru kenyataan itu malah membuatnya semakin marah.
“Hm.... Jadi kau rupanya yang berjuluk Macan Tutul Lembah Daru? Bagus sekali sikapmu! Gadis itu sengaja kau selamatkan karena tertarik melihat kecantikannya, bukan? Dan kau sok jadi pahlawan agar mendapat pujian dari mulut yang indah itu!” ejek laki-laki tinggi kurus itu. Jelas ejekan yang menyakitkan itu sengaja dilontarkan, untuk memancing amarah Macan Tutul Lembah Daru.
Tapi sayang, ejekan itu sama sekali tidak membuat Nanggala marah. Malah, wajah pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun itu mengembangkan senyuman sabar. Sikapnya pun terlihat tenang. Tampaknya dia cukup berpengalaman dalam menghadapi keadaan ini.
“Hm. Kau pasti yang bernama Kalpika, orang tertua dari Empat Setan Muara Bangkai yang terkenal gagah itu,” tebak Nanggala, sengaja menekankan kata-kata 'gagah' untuk memancing sikapk satria laki-laki tinggi kurus itu. Hal itu dilakukan Nanggala, untuk menghindari pertempuran. Bukan karena Nanggala gentar, tapi menurutnya akan lebih baik apabila pertumpahan darah dapat dihindari. Hal itu memang sudah menjadi dasar pemikirannya.
“Maaf kalau aku telah lancang mencampuri urusan kalian. Tapi, rasanya tidak adil apabila seorang gadis muda seperti Nisanak ini dikeroyok kalian berempat. Dan karena melihat ketidak adilan inilah, maka urusan kalian terpaksa kucampuri,” lanjut Nanggala.
Macan Tutul Lembah Daru berhenti sebentar untuk melihat hasil pujiannya. Senyum pemuda gagah itu semakin mengembang ketika melihat wajah keempat tokoh sesat itu berseri setelah mendengar pujiannya. Dan itu merupakan pertanda baik, setidak-tidaknya menurut Nanggala.
“Hm.... Tahukah kau, apa sebabnya kami ingin menawan wanita setan itu? Ketahuilah, Macan Tutul Lembah Daru. Wanita cantik itu telah membunuh sepuluh orang anak buah kami. Jadi, apakah salah bila kami melakukan pembalasan dan ingin menawannya hidup-hidup? Cobalah katakan, kalau memang ada jalan lain untuk menyelesaikan persoalan ini,” jelas Kalpika.
Suaranya mulai terdengar wajar, dan seperti mencoba bersikap bijaksana. Jelas sikapnya telah termakan pujian Nanggala. Bahkan cara berdiri dan menatap pemuda itupun, terlihat agak dibuat-buat. Seolah-olah, ia memang ingin menunjukkan kalau dirinya seorang yang bijaksana dan memiliki kegagahan.
Tiba-tiba saja, gadis cantik berpakaian serba putih itu melangkah maju. “Huh! Enak saja menyalahkan orang, Muka Tikus! Kalau bukan karena anak buahmu yang memulai, tentu akupun tidak sudi melayani tikus-tikus busuk seperti anak buahmu. Dan jangan dikira aku takut menghadapi pembalasan darimu! Majulah kalian!Biar semua dapat kukirim ke neraka untuk menemani cecunguk-cecunguk peliharaanmu itu!”
Mendengar kata-kata itu, kontan wajah keempat tokoh sesat itu kembali menjadi gelap. Bukan hanya Empat Setan Muara Bangkai yang merasa terkejut dengan ucapan gadis itu. Bahkan, Nanggala pun sempat dibuat kaget oleh keberanian gadis cantik yang ternyata sangat galak. Karena sudah terlambat mencegah, maka Nanggala hanya bisa menatap gadis itu penuh kecemasan. Sebab, usaha perdamaian yang baru saja dimulainya, langsung hancur akibat ulah gadis cantik itu. Sehingga, Macan Tutul Lembah Daru hanya bisa menarik napas sambil bersiap melindungi gadis itu dari bahaya.
“Perempuan setan! Apa pun alasan yang kau ajukan, bagi kami tetap saja perbuatanmu salah! Kalau memang anak buah kami bersalah, tidak perlu kau turun tangan membunuhnya. Sebab, kami berempat masih bisa mengajarkan kepada mereka agar bersikap gagah!” sentak Kalpika.
Jelas ucapan itu mengandung kegeraman yang berusaha ditahannya. Itu dikarenakan, ia masih terbuai ucapan Nanggala yang memujinya sebagai orang gagah. Memang, hanya baru dari mulut pemuda itulah ia mendapat pujian demikian. Maka, wajar saja kalau Kalpika mencoba menahan kemarahannya. Meskipun untuk itu, ia harus menahan rasa sesak dalam rongga dadanya.
“Hi hi hi...! Kau tidak usah berpura-pura sebagai orang baik, Empat Setan Kudisan! Dari ucapanmu saja, sudah jelas. Kau tidak mempedulikan perbuatan anak buahmu itu. Tapi karena pemuda ini sudah memujimu sebagai orang gagah, maka kaupun mencoba pura-pura bersikap gagah. Hi hi hi...! Lucu sekali! Sekumpulan anjing buduk yang biasa mengais sampah, mencoba berkedok harimau hanya karena sebuah pujian kosong!” kembali gadis cantik itu mengeluarkan hinaan yang sangat menyakitkan hati.
“Nisanak, janganlah kau...”
“Jangan ikut campur!” bentak gadis cantik itu ketus, memotong ucapan Nanggala. “Hm.... Apakah kau pikir setelah menyelamatkan diriku, lalu bisa mengatur seenaknya? Huh! Kau ternyata sama saja dengan mereka! Berpura-pura menolong, padahal mempunyai pamrih di belakangnya. Rupanya, tuduhan si muka tikus itu benar. Kau menolong karena ingin mendapat pujian dariku, bukan? Nah! Kalau begitu, terimalah ucapan terima kasihku! Dan kau boleh pergi! Biar urusanku dengan mereka kuselesaikan sendiri!”
Tajam dan menghina sekali kata-kata yang diucapkan gadis cantik itu. Sehingga, Nanggala yang biasanya selalu tenang dan tabah dalam menghadapi kematian sekalipun, kali ini tidak bisa berkata-kata. Pemuda itu hanya berdiri bagaikan orang kehilangan akal. Sebab, memang baru pertama kali inilah ia menolong orang dengan balasan hinaan yang sangat menyakitkan.
Setelah melontarkan kata-kata yang menyakitkan kepada Nanggala, gadis cantik itu kembali melangkah maju. Pedang yang terhunus di tangan kanannya berkelebat membentuk kilatan menyilang.
“Majulah kalian, Empat Setan Kudisan! Hari ini, Untari akan mengirim kalian ke neraka!” bentak gadis cantik yang mengaku bernama Untari, tanpa rasa gentar sedikitpun. Pedang ditangannya menyilang didepan dada, untuk kemudian ditudingkan lurus-lurus ke arah empat orang lawannya.
Keberanian gadis cantik itu sebenarnya membuat hati Nanggala merasa kagum. Tapi sayang, sifat galak dan ketusnya tidak kalah dengan keberanian hatinya. Sehingga, diam-diam pemuda gagah yang berjuluk Macan Tutul Lembah Daru itu menyesali sifat jelek dalam diri Untari. Helaan napas yang mewakili kekecewaan hatinya, terdengar berat meluncur melalui hidung.
Pertempuran yang sepertinya tidak mungkin bisa dihindari lagi, tentu saja membuat hati Nanggala menjadi cemas. Diam-diam pemuda perkasa itu bersiap melindungi keselamatan Untari. Sebab biar bagaimana pun, hatinya lebih condong membela gadis cantik itu.
“Haiiit...!” Saat itu, Untari sudah mulai membuka serangan disertai teriakan nyaringnya. Tubuh ramping gadis itu pun melesat cepat menerjang keempat lawannya.
Wuttt! Wuttt!
Sekali menyerang, Untari langsung melepaskan dua sabetan pedangnya mengincar Kalpika dan Suraji, dua orang dari Empat Setan Muara Bangkai. Sambaran pedang gadis cantik itu demikian cepat dan kuat. Jelas, niatnya adalah menghabisi nyawa lawan-lawannya.
Baik Kalpika maupun Suraji, tentu saja tidak sudi tubuhnya dijadikan sasaran empuk senjata Untari. Maka ketika senjata lawan meluncur datang, kedua orang tokoh sesat itu cepat melompat ke samping dan berpencaran. Gerakan mengelak itu masih pula dibarengi sabetan pedang masing-masing yang langsung mengincar tubuh Untari.
Cepat Untari melempar tubuhnya kebelakang, begitu melihat sambaran kedua pedang lawannya. Pedangnya diputar membentuk gulungan sinar putih yang melindungi kepala. Hal itu dilakukan untuk menjaga-jaga bila serangan lawan tiba selagi ia melompat ke belakang. Melihat dari caranya bertempur, jelas kalau gadis cantik dan galak itu memiliki kecerdikan yang patut dipuji.
Nanggala sendiri mengangguk-anggukkan kepala melihat cara bertempur Untari. Meskipun demikian, pemuda itu tetap tidak menghilangkan kewaspadaannya. Kepandaiannya siap digunakan untuk menolong gadis cantik itu, apabila diperlukan.
Apa yang diperhitungkan Untari, ternyata tidak meleset. Saat gadis cantik itu melompat mundur, Kalpika dan Suraji membarenginya dengan sebuah lompatan panjang. Senjata mereka berputar sedemikian rupa, dan langsung bergerak menusuk dengan kecepatan tinggi.
Pedang di tangan Kalpika bergetar bagai terbelah menjadi beberapa bagian. Dan setiap ujung pedang itu memancarkan hawa maut yang menggetarkan jantung. Kemudian secara tak terduga, senjata laki-laki tinggi kurus itu meluncur cepat mengancam belahan dada tubuh Untari. Rupanya rasa marah membuat tokoh sesat itu merubah niatnya, dan hendak menghabisi nyawa gadis itu pula.
Sementara itu, Suraji melompat bergulingan dan melancarkan serangan dari bawah. Bahaya yang ditimbulkan tokoh bertubuh gemuk itu pun tidak kalah dengan Kalpika. Bahkan patut diakui serangan Suraji-lah yang lebih berbahaya. Karena, bagian bawah tubuh gadis itu sama sekali tidak terlindungi. Tentu saja kedua serangan itu membuat nyawa Untari terancam kematian.
Wuttt! Bettt! Trang! Trang!
Tusukan senjata Kalpika dan Suraji terpental balik, ketika sebuah benda bulat berwarna hitam menyambar cepat menyambut serangan mereka.
“Ahhh...!”
Tubuh kedua orang tokoh sesat itu bergetar hebat akibat tenaga sambitan yang amat kuat. Jemari tangan mereka yang menggenggam senjata, terasa nyeri dan linu. Tentu saja hal itu membuat mereka tersentak kaget, dan langsung menolehkan kepala kearah Macan Tutul Lembah Daru.
Nanggala atau lebih dikenal sebagai Macan Tutul Lembah Daru, menentang pandangan mata kedua tokoh sesat itu lekat-lekat. Jelas kalau pemuda perkasa itu memang sengaja hendak mencampuri urusan mereka.
“Maaf, aku terpaksa...,” ucap Nanggala yang segera melompat maju, menghadang di tengah arena. Dari cara dan sikapnya, jelas kalau Macan Tutul Lembah Daru telah mengambil keputusan untuk membela Untari. Karena, hatinya tidak tega melihat keselamatan gadis itu terancam di depan matanya.
“Hm. Sudah dua kali kau menyelamatkan gadis setan itu, Macan Tutul Lembah Daru! Sekarang kami tidak segan-segan lagi memberi pelajaran kepadamu! Bersiaplah...!” bentak Kalpika geram. Seketika sifat aslinya muncul setelah melihat sikap Nanggala. Wajahnya berubah bengis, menyiratkan nafsu membunuh!
Nanggala yang menyadari keadaannya, tidak lagi mempedulikan ancaman Kalpika. Ditariknya kaki kanan ke belakang, sejauh tiga jengkal. Dengan kuda-kuda rendah, kedua tangannya membentuk setengah mengepal di kedua sisi kepalanya. Rupanya, Nanggala sudah menyiapkan jurus 'Macan Tutul' untuk menghadapi keroyokan Empat Setan Muara Bangkai.
“Hm...,” Kalpika menggeram gusar. Sepasang tangannya mengibas kekiri-kanan, sebagai perintah kepada ketiga orang saudaranya untuk menyebar mengurung pemuda gagah itu.
Tanpa diperintah dua kali, Suraji dan kedua saudaranya bergerak mengurung Nanggala. Mereka masing-masing berdiri dalam sikap membentuk empat arah mata angin.
Sekali pandang saja, Nanggala sadar kalau keempat lawannya hendak mengeroyok menggunakan jurus paduan. Sepasang mata pemuda gagah itu bergantian melirik ke arah keempat lawan. Sikapnya tetap tenang, dan penuh kewaspadaan.
“Heaaattt..!”
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, Kalpika mulai membuka serangan. Tubuhnya melesat cepat disertai sambaran pedang yang menimbulkan deru angin tajam!
Apa yang dilakukan Kalpika rupanya hanya sebuah tipuan!Lelaki tinggi kurus itu ternyata hanya melakukan loncatan panjang beberapavjengkal diatasbkepala lawan. Dan pada saat yang hampir bersamaan, Suraji sudah melesat dari arah yang berbeda. Dan rupanya, gerakan itu juga merupakan sebuah tipuan! Seperti halnya tipuan yang dilakukan Kalpika, tubuh Suraji melompat tinggi melampaui kepala Nanggala.
Sekejap setelah tubuh Kalpika dan Suraji melakukan gerakan tipuan, dua orang Empat Setan Muara Bangkai yang terakhir mengiringi tidak kalah gesitnya. Mereka langsung menyabetkan senjata kearah Nanggala hampir bersamaan! Seorang menyerang dari bawah, sedang yang lainnya dari atas.
Wuttt! Syuuut!
Dua buah serangan yang dilancarkan dalam waktu hampir bersamaan itu memang berbahaya sekali. Apalagi pada saat itu perhatian Nanggala masih terpengaruh gerak tipu yang dilakukan Kalpika dan Suraji. Dan akibatnya, pemuda itu belum dapat menebak, apakah serangan itu juga merupakan gerak tipu, atau sungguhan.
Dan memang, justru di situlah letak keistimewaan barisan 'Empat Arah Mata Angin'. Tidak heran, barisan yang dimiliki Empat Setan Muara Bangkai sangat ditakuti kaum rimba persilatan. Karena, gerak barisan penyerangan dalam barisan itu benar-benar di luar dugaan.
Dan itu dialami Nanggala. Meskipun banyak memiliki pengalaman bertarung, tapi dalam menghadapi barisan 'Empat Arah Mata Angin' itu, sempat kelabakan juga. Sehingga, pada saat kedua orang Empat Setan Muara Bangkai terakhir melancarkan serangan, pemuda ituhanya menghindar dengan melompat ke samping. Untunglah gerakan pemuda itu masih sedikit lebih cepat daripada kedua orang lawannya. Kalau tidak, tentu tubuhnya sudah menjadi sasaran senjata lawan. Untuk gebrakan pertama, rupanya Nanggala masih beruntung.
Begitu telah melempar tubuh ke samping, Nanggala terus menjatuhkan tubuhnya dan bergulingan menjauh. Sebagaimana julukan yang diberikan kepadanya, pemuda itu ternyata mampu melompat seperti seekor macan tutul. Dengan sebuah lentingan tinggi yang indah, sepasang kakinya telah kembali berpijak di permukaan tanah.
“Yeaaat..!”
Namun, serangan yang dilakukan keempat orang lawannya itu ternyata tidak hanya sampai disitu saja. Baru saja kedua kaki Nanggala menginjak tanah, serangan gelompang kedua kembali membuatnya terperanjat. Tapi, kali ini Nanggala tidak tinggal diam dalam menghadapi barisan yang penuh gerak tipu. Maka, ketika salah seorang musuhnya meluruk, dia segera melesat dan langsung berjumpalitan mengikuti gerak penyerang pertama.
Akibatnya, ketiga orang lainnya sempat kaget melihat apa yang dilakukan Macan Tutul Lembah Daru. Nanggala yang berjumpalitan membarengi gerakan lawan, langsung mengirimkan pukulan 'Macan Tutul' nya kearah iga orang itu. Gerakannya yang cepat dan tak terduga, tentu saja membuat lawan terkejut. Walaupun sudah berkelit, tapi kalah cepat dengan gerakan pemuda gagah itu. Maka....
Duggg!
“Hugkh. !” Orang itu mengeluh pendek ketika pukulan 'Macan Tutul' yang dilancarkan Nanggala telak menghajar lambungnya. Akibatnya, tubuh orang itu terbanting jatuh menimbulkan suara berdebuk keras.
Jatuhnya salah seorang saudara mereka,t ernyata tidak mengurangi daya tempur Empat Setan Muara Bangkai. Pada saat yang sempit itu, Kalpika dan kedua orang lainnya melesat disertai sambaran pedang yang berkelebat susul-menyusul.
Wuttt! Wuttt!
Tiga batang pedang yang mengincar leher, dada, dan perut Nanggala, dapat dielakkan dengan melempar tubuh kesamping kanan. Dan, itupun masih dibarengi sebuah tendangan samping yang mengincar lambung Kalpika. Karena, orang tertua dari Empat Setan Muara Bangkai itulah yang berada disebelah kanan pemuda itu.
Tapi, kejelian mata Kalpika ternyata cukup cepat. Melihat tendangan yang begitu cepat ke arahnya, tubuhnya segera ditarik ke belakang dengan jalan menekuk lutut kanan yang memang berada dibelakang. Sambil berbuat demikian, Kalpika memutar pedang dan langsung melancarkan babatan mendatar. Maksudnya, hendak membabat putus kaki Nanggala.
Bettt!
Bacokan pedang itu tidak membuat Nanggala gugup. Dengan gerakan sigap, lututnya menekuk dan kembali menghantam dada Kalpika.
Buggg!
“Hegkh...!” Tak ayal lagi, tubuh lelaki tinggi kurus itu langsung terjengkang kebelakang. Hantaman lawanyang telak menghajar dadanya, membuat Kalpika terbatuk dan memuntahkan darah segar. Dan sebelum sempat berdiri tegak, Nanggala kembali melancarkan sebuah tendangan mengarah ke kepala lawannya.
Kalpika yang memang keadaannya masih lemah itu tidak dapat lagi mengelak. Lelaki tinggi kurus itu memejamkan mata, menanti datangnya maut. Rupanya Kalpika itu masih bernasib baik. Pada saat tendangan Nanggala hampir tiba, seberkas sinar putih yang berasal dari sambaran pedang Suraji, datang menyelamatkannya. Pedang itu meluncur cepat, mengancam lutut Macan Tutul Lembah Daru.
Tentu saja Nanggala tidak sudi mengorbankan sebelah kakinya. Cepat tendangan yang hampir menewaskan Kalpika ditariknya. Dan ketika pedang di tangan Suraji berputar menyambar perutnya, pemuda itu mengegos ke kiri. Langsung dikirimnya serangan balasan dengan pukulan 'Macan Tutul'nya. Hebat bukan main pukulan balasan yang dilakukan pemuda itu. Sehingga Suraji sempat tergagap dibuatnya! Dan...
Tukkk!
“Aaakh...!” Tubuh Suraji kontan terjajar limbung akibat sodokan jari-jari setengah mengepal yang telak menghajar iganya. Selagi tubuh Suraji hampir jatuh menimpa Kalpika, Nanggala telah mengirimkan dua buah pukulan yang menghajar rusuk dan dadanya.
Tukkk! Tukkk!
Suraji meraung keras. Tubuhnya yang gemuk itu terlempar beberapa batang tombak ke belakang. Darah segar seketika menyembur membasahi tanah berumput yang segera berubah menjadi merah! Dua buah hantaman telak yang bertenaga penuh, membuat Suraji tak mampu bangkit untuk selamanya. Lelaki gemuk itu tewas seketika. Gerakan yang dilakukan Nanggala ternyata masih berkelanjutan. Saat itu, dua orang lawan yang tengah meluncur datang, langsung disambut serangkaian pukulan 'Macan Tutul' disertai pengerahan tenaga dalam sepenuhnya.
“Yeaaat..!”
Bugk! Bugk! Tukkk!
“Aaakh...!”
“Hugkh...!”
Pukulan-pukulan Macan Tutul Lembah Daru secara telak menghajar kedua orang pengeroyoknya. Untunglah pada saat pukulan itu hampir tiba, Nanggala sempat mengurangi kekuatannya. Hal itu dilakukan ketika teringat kalau di antara dirinya dan mereka tidak mempunyai permusuhan pribadi. Sehingga, Nanggala tidak mempunyai alasan kuat untuk membunuh kedua orang itu. Cukuplah orang yang bernama Suraji saja yang menjadi korbannya. Tubuh dua orang dari Empat Setan Muara Bangkai itu langsung ambruk, disertai semburan darah segar. Setelah berkelojotan sesaat, kedua orang itu pun diam tak bergerak lagi. Pingsan!
Kalpika yang telah mengalami luka dalam cukup parah, berdiri dengan tubuh gemetar. Berbagai perasaan bercampur aduk didalam dadanya. Rasa marah, penasaran, dan dendam, membuat lelaki tinggi kurus itu tidak dapat berkata-kata. Hanya sepasang matanya saja yang menatap Nanggala penuh dendam.
“Pergilah, Kalpika. Dan kuharap, kau suka melupakan kejadian hari ini. Bawalah kedua orang saudaramu yang hanya kubuat pingsan itu. Juga, Suraji yang terpaksa harus tewas di tanganku. Maaf kalau perbuatanku telah membuat kau kehilangan seorang dari saudaramu,” ucap Macan Tutul Lembah Daru, tenang. Melihat dari sikapnya, jelas kalau Nanggala siap menanggung segala akibat atas perbuatannya.
Tidak sepatah katapun yang keluar dari mulut Kalpika sebagai jawaban. Setelah melepaskan tatapan penuh dendam, lelaki tinggi kurus itu menyadarkan kedua orang saudaranya. Dengan membawa mayat Suraji, mereka pun kini meninggalkan tempat itu.
Plok! Plok! Plok...!
Terdengar tepukan tangan Untari menyambut kemenangan Macan Tutul Lembah Daru. Gadis cantik itu melangkahkan kakinya, menghampiri Nanggala. Wajahnya yang cantik manis, jelas-jelas mengulaskan senyum mengejek.
“Hebat.., hebat..! Nama Macan Tutul Lembah Daru memang bukan nama kosong belaka,” terdengar suara pujian dari bibir merah menantang itu. Tapi sayang nadanya terdengar begitu menyakitkan bagi telinga Nanggala. “Apakah yang harus kulakukan untuk membalas budi baikmu ini, Tuan Pendekar?”
Nanggala menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela napas berulang-ulang. Ia benar-benar merasa kecewa melihat sikap yang ditunjukkan gadis itu kepadanya. Entah apa yang menyebabkan Untari demikian sinis kepadanya. Padahal, seingatnya mereka baru pertama kali berjumpa. Tentu saja ia tidak habis mengerti dibuatnya.
“Mengapa kau termenung, Tuan Pendekar? Ah! Kalau begitu, biarlah aku menyembah kepadamu sebanyak tiga kali. Kurasa, itu sudah cukup pantas sebagai imbalan atas pertolonganmu kepadaku.” Suara yang menyakitkan itu kembali terdengar memasuki liang telinga Nanggala. Kemudian, Untari menjatuhkan lututnya dan siap melaksanakan ucapannya.
“Ah...! Nisanak, janganlah bersikap begitu. Aku sama sekali tidak mengharapkan imbalan apa-apa darimu,” ujar Nanggala tersentak kaget. Cepat-cepat disambarnya kedua bahu Untari, lalu diajaknya bangkit berdiri. Namun, apa yang dilakukan Nanggala kembali salah! Untari memberontak melepaskan pegangan pemuda gagah itu pada bahunya. Jelas sekali, gadis itu tidak suka dengan apa yang dilakukannya.
“Huh! Apakah kau pikir setelah menolongku,lalu bisa bebas melakukan apa saja terhadap diriku? Pemuda tak tahu sopan!” maki Untari sambil mengebut-ngebutkan jemari tangannya pada bagian bahunya. Seolah-olah, semua bekas pegangan tangan pemuda itu ingin dihapusnya.
“Nisanak! Kau jangan sembarangan menuduh orang! Aku bukan orang yang berwatak rendah! Lagi pula, apa yang telah kulakukan kepadamu?” sergah Nanggala. Tentu saja Macan Tutul Lembah Daru menjadi terkejut setengah mati melihat perubahan sikap gadis itu yang sama sekali tidak diduganya. Selebar wajah pemuda itu merah dan pucat berganti-ganti. Kalau saja tidak mengingat orang yang memakinya itu wanita, mungkin sudah dihajarnya habis-habisan.
“Hei? Akan mungkir kau, ya? Lalu, apa maksudmu memegang-megang tubuhku?” balas Untari sambil bertolak pinggang. Wajah gadis cantik itupun telah dijalari warna merah. Sepertinya, ia benar-benar marah atas perbuatan Nanggala tadi. Padahal, jelas-jelas Nanggala semata-mata hanya mencegah Untari yang hendak menyembah pemuda penolongnya. Benar-benar aneh dan membingungkan sifat yang dimiliki gadis cantik itu.
“Ahhh...!” terkejut bukan main Nanggala mendengar tuduhan yang dilontarkan gadis itu.nMerasa tidak ada gunanya mendebat Untari, Nanggala pun diam tak menanggapinya. Setelah menundukkan wajahnya sejenak, kepalanya diangkat dan ditatapnya gadis itu dengan sinar mata dingin.
“Nisanak! Kalau perbuatanku kau anggap suatu kesalahan atau kekurangajaran, biarlah aku minta maaf padamu,” ucap Nanggala dengan suara rendah dan berat. Jelas, suara pemuda itu menggambarkan perasaan hatinya yang kecewa.
Untari pun sempat dibuat terkejut atas perubahan sikap pemuda gagah itu. Sinar kekecewaan yang terpancar dari sepatang mata Nanggala, sempat pula membuat wajah gadis itu berubah. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, hatinya menjadi bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Tapi, suasana yang hening dan kaku itu tidak berlangsung lama. Untari yang sudah dapat menguasai perasaannya, segera mengangkat kepala memandang Nanggala.
“Sudahlah, aku akan pergi. Terima kasih atas pertolonganmu,” ucap gadis galak itu berpamit. Anehnya, setelah mengucapkan kata-kata itu Untari melemparkan senyumnya yang termanis kepada Nanggala. Dan tanpa menoleh lagi, tubuh ramping itu pun melesat meninggalkan tempat itu.
Nanggala berdiri kaku menatap kepergian gadis cantik yang galak dan pandai bicara itu. Pandangannya masih saja tidak beralih, meskipun bayangan Untari telah lenyap di balik pepohonan dikejauhan.
“Hhh...,” terdengar helaan napas berat meluncur dari mulut pemuda itu. Aneh, Nanggala merasa hatinya kosong sekali. Seolah-olah semangat hidupnya terbang bersama hilangnya bayangan Untari. Hatinya terasa begitu nelangsa dan sunyi. Seluruh tubuhnya terasa lemas, bagaikan tak bertenaga. Tidak ada gairah sedikit pun yang tersisa dalam dirinya. Nanggala jadi kian tak mengerti, ketika merasakan tidak ada lagi niat dalam hatinya melanjutkan perjalanan.
“Gila! Apa sebenarnya yang terjadi dalam diriku!” umpat Nanggala kesal.
Ingin rasanya pemuda itu mengamuk dan merusakkan apa saja yang ada di hadapannya. Semua yang dipandangnya terlihat buruk dan tidak sedap. Sungguh, dia jadi bingung dengan apa yang tiba-tiba dirasakannya. Karena tidak tahu harus berbuat apa, Nanggala langsung menjatuhkan tubuhnya, duduk di atas rerumputan. Yang saat itu diinginkannya hanyalah termenung, termenung, dan terus termenung.
Alam pikirannya dibiarkan kembali berputar ke belakang. Nanggala teringat kembali pada perjumpaan pertamanya dengan Untari. Betapa gadis itu marah-marah setelah ditolong. Ucapan-ucapan yang ketika itu sangat menyakitkan, kini terngiang dan terasa indah ditelinga. Hal itu tentu saja membuatnya semakin keheranan. Sebab, selama ini hal yang aneh belum pernah terasakan dalam dirinya. Sehingga, ia tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya.
“Hhh..., mungkin aku telah gila...? Mengapa perasaan aneh yang menyiksa ini tiba-tiba datang? Mungkinkah ini yang dinamakan perasaan cinta...?” gumam Nanggala terus termenung bagai patung.
Nanggala si Macan Tutul Lembah Daru yang sangat terkenal dan ditakuti, mendadak seperti orang tolol. Pikirannya kembali menerawang kepada peristiwa yang baru saja dialaminya. Dan pemuda gagah itu semakin keheranan ketika ingatan-ingatan tentang Untari, mendatangkan suatu perasaan aneh yang nikmat di hatinya. Sehingga, tanpa disadarinya bibir pemuda itu membentuk senyuman.
“Hi hi hi..!”
Tiba-tiba terdengar suara tawa yang nadanya tertahan- tahan. Nanggala yang segera saja mengetahui pemilik suara tawa merdu itu, berubah pucat parasnya. Rasa jengkel dan malu karena segala tingkah laku dan perbuatannya dipergoki Untari, membuatnya langsung bergerak bangkit dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Ingin rasanya ia berlari sejauh-jauhnya, dan tidak berjumpa lagi dengan gadis cantik itu lagi.
Gerakan Nanggala yang berlari bagaikan orang kesetanan itu membuat tawa Untari semakin keras. Gadis cantik itu keluar dari persembunyiannya, setelah bayangan Nanggala tinggal bayang-bayang samar yang kian mengecil. Rupanya, Untari tidak benar-benar meninggalkan tempat itu tadi. Sebagai seorang gadis yang telah cukup dewasa dan memiliki banyak pengalaman, dapat diduga apa yang terkandung didalam hati pemuda penolongnya. Karena ingin mengetahuinya secara jelas, maka gadis cantik yang cerdik itu memutar arah larinya setelah merasa yakin Nanggala sudah tidak melihatnya. Dan, apa yang diduga gadis cantik itu ternyata tidak meleset! Semua tingkah laku pemuda itu dapat jelas dilihatnya dari tempat persembunyian. Hingga akhirnya, Untari tidak dapat menahan tawa ketika melihat Nanggala tersenyum sendiri seperti orang gila.
“Hm.... Aku ingin lihat, sampai dimana kau dapat menahan perasaanmu itu...,” gumam Untari seraya tersenyum penuh kepuasan. Setelah berkata demikian dalam hati, Untari pun melangkah meninggalkan tempat itu.
Siang ini matahari tepat berada di atas kepala. Sinarnya memancar terik, mengiringi langkah kaki dua sosok tubuh memasuki daerah perbukitan tandus. Hembusan angin kencang, membuat rambut dan pakaian mereka berkibaran keras. Debu-debu yang beterbangan, membuat kepala keduanya merundukvmelindungi mata.
Mereka terus melangkah tanpa mempedulikan debu-debu yang mengotori wajah dan pakaian. Terkadang tubuh mereka berbalik ketika hembusan angin keras yang membawa gumpalan-gumpalan debu tebal datang menerpa.
“Uhhh...!” sosok tubuh ramping berpakaian hijau mengeluh kesal. Dibersihkannya debu-debu yang menempel dipakaian dan rambutnya. Wajahnya yang cantik jelita itu tampak kecoklatan tertutup debu.
“Mengapa kita tidak mengambil jalan melewati hutan saja, Kakang? Bukankah akan lebih enak danbsegar?” tanya gadis jelita itu, bernada agak kesal.
“Sabarlah, Kenanga. Tidak lama lagi, kita akan segera sampai dimulut hutan depan itu,” sahut pemuda tampan yang mengenakan jubah berwarna putih.
Senyum pemuda itu mengembang melihat gadis teman seperjalanannya sibuk membersihkan debu yang menempel di pakaian dan rambutnya. Perlahan tangan pemuda yang tak lain Panji itu terulur membersihkan debu dibelakang pakaian gadis yang dipanggil Kenanga.
Mendengar jawaban Pendekar Naga Putih, Kenanga mengangkat wajahnya. Diikutinya arah jari telunjuk Panji yang menuding ke depan. Samar-samar terlihat pepohonan lebat beberapa puluh tombak di depannya.
“Ayo kita persingkat waktu, Kakang...,” ajak Kenanga. Setelah berkata demikian, tubuh gadis itu langsung berkelebat menuju mulut hutan.
Kembali Panji tersenyum. Dibiarkannya gadis jelita bertubuh ramping itu melesat meninggalkannya. Setelah kira-kira sepuluh tombak Kenanga berlari, tiba-tiba tubuh pemuda berjubah putih itu melesat bagaikan anak panah yang terlepas dari busur. Hebat sekali ilmu lari cepat yang dimiliki Pendekar Naga Putih. Sehingga, kedua kakinya bagaikan tidak menyentuh tanah. Tak lama kemudian, ia pun telah dapat melewati gadis didepannya dan bahkan lebih dulu tiba di mulut Hutan Branjangan.
“Wah! Ilmu lari cepatmu sudah semakin hebat saja, Kakang,” puji Kenanga begitu tiba di mulut Hutan Branjangan. Segera saja langkahnya terayun mendekati Pendekar Naga Putih yang tengah duduk di bawah sebatang pohon.
“Kaupun sudah banyak memperoleh kemajuan. Tadi saja, aku hampir tidak sanggup mengejarmu,” sahut Panji seraya tersenyum. Menilik dari nada bicaranya, jelas kalau dia tidak memiliki sifat sombong.
“Nyatanya, kau bisa melewatiku,” sergah Kenanga cepat sambil memandang wajah tampan yang tengah tersenyum kepadanya.
“Sudahlah. Ayo, kita lanjutkan perjalanan. Mudah-mudahan saja ada pedesaan di sekitar daerah ini. Bosan juga rasanya setiap hari bermalam didalam hutan,” ujar Panji, seraya bergerak bangkit dan mengulurkan tangannya untuk membantu Kenanga.
Beberapa saat kemudian, kedua orang pendekar itu mulai bergerak memasuki wilayah Hutan Branjangan yang terlihat cukup lebat. Mereka melangkah menyelusuri jalan yang sepertinya memang sengaja dibuat orang. Jelas, hutan itu seringkali didatangi atau dilewati manusia. Buktinya, jalan yang ditelusuri cukup lebar, dan dapat dilewati sebuah kereta kuda.
Setelah agak lama berjalan, tiba-tiba Pendekar Naga Putih menelengkan kepala, seolah-olah ingin memperjelas indra pendengarannya. Kening Panji terlihat agak berkerut ketika mendengar suara seperti orang bertempur.
“Ada apa, Kakang...?” tanya Kenanga.
Kenanga yang sudah hafal akan kebiasaan kekasihnya, segera mendekat. Kemudian, ia pun mencoba meniru kelakuan Panji. Tapi, kepalanya kembali ditegakkan karena telinganya sama sekali tidak mendengar apa-apa.
“Aku seperti mendengar orang bertempur,” sahut Panji. Kemudian Pendekar Naga Putih menegakkan kepalanya dan memandang berkeliling. Seolah-olah pemuda itu ingin memastikan asal suara pertempuran yang tertangkap indra pendengarannya.
“Tapi, aku tidak mendengar apa-apa...,” bantah Kenanga. Gadis itu memang belum dapat menangkap suara seperti halnya Panji. Sebab, tingkat kepandaiannya memang masih beberapa tingkat di bawah kekasihnya. Sehingga, ia hanya dapat memandang pemuda itu penuh rasa ingin tahu.
“Akupun hanya mendengarnya sesekali. Sepertinya, suara itu cukup jauh. Mungkin sekitar beberapa ratus tombak di sekitar kita. Ayo, kita ke depan untuk memastikannya,” ajak Panji, segera berlari tanpa menunggu persetujuan Kenanga.
Tanpa banyak tanya lagi, Kenanga pun bergegas mengikuti langkah Pendekar Naga Putih. Indra pendengarannya terus dipertajam untuk menangkap suara pertempuran yang dimaksud Panji tadi.
“Ke sebelah Barat..!”
Belum lagi Kenanga sempat mendengar suara pertempuran itu, tiba-tiba Panji berseru. Gadis jelita itu melihat tubuh kekasihnya berkelebat cepat menuju ke arah Barat Hutan Branjangan. Maka, ia pun bergegas mengikutinya.
Pendekar Naga Putih telah mengerahkan ilmu lari cepat sepenuhnya. Tapi ternyata masih juga terlambat. Pendekar muda itu memandang dengan wajah kecewa ke arah delapan sosok mayat termasuk seorang wanita. Mereka semua bergelimpangan mandi darah. Tentu saja kejadian itu mendatangkan rasa sesal dihati Panji. Baru saja Pendekar Naga Putih membungkuk hendak memeriksa salah satu dari mayat-mayat itu, pendengarannya yang tajam sempat menangkap suara gemerisik mencurigakan. Tanpa pikir panjang lagi, tubuhnya segera melesat ke arah suara mencurigakan itu.
“Hei, berhenti...!” sentak Panji setelah berlari beberapa tombak jauhnya. Didepan pemuda itu tampak seorang berpakaian serba hitam tengah berusaha melarikan diri. Melihat bentakannya tidak dihiraukan, Panji segera melesat dan bersalto beberapa kali di udara. Sesaat kemudian, tubuhnya telah berdiri menghadang jalan orang berpakaian serba hitam itu.
“Yeaaat..!”
Sadar kalau dirinya tidak mungkin dapat lolos, orang itu pun langsung menerjang Panji dengan golok masih berlumuran darah.
Wuttt!
Sambaran golok yang mengandung tenaga cukup kuat itu mengancam perut Panji. Hati Pendekar Naga Putih sempat diliputi kegeraman melihat ketelegasan orang itu. Sebab, tanpa persoalan sedikitpun, orang itu sudah langsung ingin membunuhnya. Padahal, belum tentu Panji bermaksud jahat kepada orang berpakaian serba hitam itu. Untunglah Pendekar Naga Putih sempat menyadarinya. Kalau tidak, orang itu pasti sudah dipukul tewas.
Pendekar Naga Putih yang sudah dapat mengukur kekuatan sambaran senjata itu, sama sekali tidak bergeser dari tempatnya. Ditunggunya mata golok itu mendekat. Sikap pemuda itu terlihat tenang, dan penuh percaya diri. Perbuatan Panji tentu saja membuat laki-laki berpakaian hitam itu terkejut, sekaligus gembira. Sudah terbayang dibenaknya, betapa tubuh pemuda itu akan tergeletak dengan perut terbelah.
Namun apa yang dibayangkan orang itu ternyata sangat jauh dari kenyataan. Meskipun benar sambaran goloknya mengenai perut lawan, namun senjata itu kembali berbalik. Bahkan tangannya yang menggenggam golok terasa ngilu bagaikan hendak patah.
“Set... tannn...!” Dengan wajah memucat dan tubuh gemetar, orang itu memandang terbelalak. Hampir saja dia jatuh pingsan melihat lapisan kabut bersinar putih keperakan yang membalut tubuh pemuda tampan itu. Dan memang, penampilan Pendekar Naga Putih saat itu tak ubahnya sosok hantu!
“Hm.... Mengapa kau berlari bagaikan orang dikejar setan? Apa kau telah melakukan kejahatan! Ayo jawab!” bentak Panji dengan suara dibuat berat. Pemuda itu sengaja menakut-nakuti, agar orang itu mau membuka suara.
Gertakan Pendekar Naga Putih terlihat mulai membawa hasil. Laki-laki bertubuh gendut yang bagian bajunya terbuka, semakin menggigil ketakutan. Apalagi, saat itu Panji memang tengah mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Maka, orang itu pun semakin yakin kalau pemuda yang berdiri dihadapannya memang setan. Mana mungkin manusia dapat menebarkan hawa yang begitu dingin dari tubuhnya.
“Kami..., eh! Aku..., bersalah.... Ya..., aku bersalah...,” aku laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu, gagap.
“Kau telah membunuh delapan orang dan menghancurkan kereta kuda mereka, bukan? Siapa yang menyuruhmu?!” kembali Panji memanfaatkan rasa takut orang itu untuk memperoleh keterangan.
Mendengar suara yang semakin berat dan besar, laki-laki berpakaian serba hitam itu semakin menggigil ketakutan. Bahkan celana bagian bawahnya telah basah, dan menebarkan bau tak sedap. Untung saja Panji masih dapat menahan tawanya melihat tingkah orang itu yang menggelitik perut.
“Ya..., eh! Jur..., aaakh...!” Sebelum ucapan laki-laki berpakaian hitam itu selesai, terdengar jerit kematiannya yang menyayat. Tubuh gendut itu roboh seiring keluhan pendeknya.
“Eh...?!” Tentu saja robohnya orang itu membuat Panji keheranan. Cepat tangannya bergerak menangkap tubuh gendut itu agar tidak sampai terjatuh ketanah. Setelah merebahkan perlahan, bergegas Panji memeriksa keadaannya.
“Kenapa orang itu, Kakang...?” Kenanga yang baru datang, langsung saja melontarkan pertanyaan kepada kekasihnya. Rupanya setelah tiba ditempat pertempuran, gadis itu tidak melihat Panji. Maka ia segera mencarinya. Dan kedatangannya tepat pada saat pemuda itu tengah memeriksa tubuh seorang laki-laki berpakaian serba hitam.
“Dia telah tewas...,” sahut Panji setelah memeriksa jalan darah orang itu.
“Tapi, sepertinya ia tidak terluka, Kakang?” tanya gadis jelita itu keheranan. Lalu, ditelitinya sosok tubuh gendut yang sudah tidak bernyawa itu.
“Dia tewas akibat jarum beracun yang dilemparkan seseorang kebelakang pinggangnya. Entah racun jenis apa yang digunakan orang itu. Sehingga, racun ituhanya menghancurkan pembuluh-pembuluh darah di seluruh tubuhnya. Sementara kalau dilihat sepintas, orang pasti tidak tahu kalau mayat ini tewas akibat racun keji,” jelas Panji sambil memperlihatkan sebatang jarum halus yang berwarna merah.
Kenanga mengambil jarum berwarna merah darah dari tangan Panji, dan menelitinya beberapa saat. Setelah tidak mengenali dari mana asal jarum itu, segera dikembalikannya kepada Panji.
“Aku belum pernah mendengar tentang seorang tokoh yang mempergunakan jarum merah sebagai senjata rahasia. Entah tokoh mana yang telah berhasil menciptakan racun aneh dan keji itu,” kata Kenanga.
“Hm. Biarlah kusimpan saja senjata rahasia ini. Siapa tahu ada gunanya kelak,” desah Panji, kemudian segera menyimpan jarum merah itu dalam pakaiannya.
“Sebaiknya, sekarang kita menguburkan mayat-mayat itu.”
Pendekar Naga Putih dan Kenanga kemudian segera menggali tanah untuk menguburkan mayat-mayat itu. Berkat tenaga dalam mereka yang sudah tinggi, dalam waktu singkat telah tercipta sembilan liang kubur. Selesai mengubur semua mayat, Kenanga dan Panji kembali meneruskan perjalanan. Tapi, kali ini mereka mempunyai tujuan khusus, mencari pemilik jarum berwarna merah! Sebab sudah hampir pasti bahwa pemilik jarum itu mempunyai hubungan dengan terbunuhnya delapan orang disebelah Barat Hutan Branjangan.
Pemuda gagah berpakaian kulit macan tutul melangkah memasuki mulut Desa Pacitan. Setelah kepalanya menoleh merayapi sekitar mulut desa, bergegas dimasukinya sebuah kedai makan yang terlihat ramai pengunjung. Apalagi, saat itu hari sudah menjelang sore. Maka, wajar saja kalau kedai makan itu ramai. Sama sekali tidak dipedulikannya tatapan mata beberapa pengunjung kedai makan.
Memang disadari kalau orang-orang itu paling tidak hanya merasa heran dengan pakaian kulit macan tutul yang dikenakannya. Dan hal itu bukan sesuatu yang aneh lagi baginya. Setelah mendapati sebuah kursi kosong yang terletak di pojok ruangan, pemuda gagah yang tak lain Macan Tutul Lembah Daru itu segera memesan hidangan kepada seorang pelayan. Kemudian, dia kembali duduk menunggu dengan kepala tertunduk. Sebentar kemudian, pelayan itu datang kembali sambil membawa makanan yang dipesan Nanggala.
“Terima kasih...,” ucap Nanggala kepada pelayan setengah baya yang mengantarkan makanan pesanannya. Kemudian, segera disantapnya makanan itu dengan tenang. Nanggala yang tengah menikmati hidangannya itu mendadak menghentikan gerakan tangannya. Kepalanya lalu ditolehkan kearah pintu masuk kedai itu, karena saat itu hampir semua pengunjung kedai berbisik riuh. Dan apa yang dilihatnya, membuat dada pemuda itu berdebar.
Seraut wajah cantik manis milik seorang dara yang berdiri diambang pintu kedai itu, benar-benar membuat Nanggala kelabakan. Dan memang, gadis cantik itu tak lain adalah Untari. Sosok gadis memikat yang selama ini selalu mengganggu pikirannya. Tapi, Nanggala telah bertekad untuk melupakan gadis itu. Karena, disadari kalau mencintai gadis seperti Untari, hanya akan menyiksa perasaan saja. Lagi pula, belum tentu gadis itu sudi menerima cintanya.
Bergegas Nanggala menundukkan kepala dalam-dalam begitu mengenali gadis itu. Tangannya kembali sibuk memilih-milih hidangan dimejanya. Namun, dia jadi menyumpah-nyumpah dalam hati, ketika merasakan jari-jari tangannya gemetar saat menikmati hidangan. Kedatangan gadis yang telah mencuri hatinya itu benar-benar membuatnya kalang-kabut. Karena sulit menenangkan perasaannya, maka pemuda itu memejamkan mata rapat-rapat dan tenggelam menyatukan pikiran. Setelah merasa hatinya tenang, matanya pun kembali dibuka perlahan-lahan.
Tapi, dada Nanggala kembali memukul keras. Tanpa disadari, ekor matanya menangkap langkah kaki yang menuju kearahnya. Dari pakaian yang lebar dan berwarna putih itu, Nanggala segera menduga kalau orang itu pasti Untari. Langkah kaki gadis itu tepat berhenti didepan meja Nanggala. Pemuda itu terpaksa mengangkat wajah ketika sosok tubuh itu menarik kursi didepannya.
“Boleh duduk di sini...?” pinta gadis itu dengan suara lembut dan merdu.
Perkataan Untari membuat Nanggala terpaku bagai orang tolol. Dipandanginya wajah cantik itu setengah tak percaya. Entah berapa lama pemuda gagah itu hanya dapat memandang bagai orang linglung. Kesadarannya baru kembali setelah gadis cantik itu berdehem agak keras.
“Eh?!” Warna merah seketika menjalar di wajah Nanggala. Bukan main malunya hati pemuda itu setelah menyadari ketololannya. Ingin rasanya kedai makan itu ditinggalkannya, namun kakinya terasa berat untuk melangkah. Sehingga, dia terpaksa diam di tempatnya sambil menahan rasa malu.
“Kau.... Apa..., apa maumu...?” tanya Nanggala yang mulai dapat menguasai perasaannya.
“Hi hi hi...,” Untari menahan tawanya melihat kegugupan dan sikap ketololan pemuda gagah itu. Diam-diam hati gadis itu merasa bangga. Karena, pendekar muda yang dalam kalangan rimba persilatan sangat ditakuti, ternyata gugup menghadapinya. Tentu saja hal itu mendatangkan suatu kesan tersendiri dalam hati Untari.
“Aku tadi hanya bertanya. Apakah boleh duduk disini?” Untari mengulangi pertanyaannya. Senyum manis tampak menghias wajah cantik itu, sehingga Nanggala semakin silau dibuatnya.
“Oh, boleh. Silakan..., silakan...,” sambut Nanggala dengan nada sedikit heran. Pemuda itu benar-benar tidak mengerti apa sebenarnya yang diingini gadis ini. Mengingat akan sifat Untari yang aneh, maka Nanggala harus bersikap hati-hati. Siapa tahu gadis aneh itu berubah lagi sifatnya apabila ia salah bicara.
“Aku tidak menyangka kalau kita akan bertemu lagi,” kata gadis itu tanpa rasa canggung sedikitpun. “Mungkin ini yang dinamakan jodoh.”
Nanggala sempat terkejut dengan ucapan blak-blakan Untari. Namun, kekagetannya berusaha ditekan dengan bersikap wajar.
“Yah.... Mungkin dunia ini sudah terlalu sempit buat kita,” sahut Nanggala memasang sikap acuh tak acuh. Nada suara maupun wajahnya nampak sudah terlihat wajar. Bahkan ada sedikit nada dingin terselip dalam ucapan pemuda itu.
“Ng.... Bolehkah aku tahu namamu...?” tanya Untari lagi.
Deg! Terkejut juga hati Nanggala mendengar pertanyaan yang sama sekali tidak diduga itu. Cepat-cepat debaran dalam dada yang terdengar menggemuruh ditekannya.
“Namaku Nanggala...,” sahut pemuda itu, singkat.
“Wah, namamu gagah sekali. Dan kau pasti sudah tahu namaku,” ujar Untari polos. “Hm.... Macan Tutul Lembah Daru. Hebat dan gagah julukan yang diberikan untukmu.”
“Maaf, aku harus pergi. Sebentar lagi, hari akan gelap. Aku tidak ingin kemalaman dijalan. Sekali lagi, aku minta maaf.,” pamit Nanggala tiba-tiba. Kemudian, Nanggala memanggil pelayan setengah baya yang tadi melayaninya. Setelah membayar harga makanannya, pemuda gagah itu bergegas meninggalkan kedai.
“Hei?! Kau tidak ingin tahu rumahku...?” tanya Untari, segera bangkit dan menyambar lengan Nanggala. Sehingga langkah pemuda itu tertahan.
“Ah, Biarlah, lain waktu saja...,” sahut Nanggala cepat. Dan, tanpa menunggu pertanyaan berikutnya yang mungkin akan diajukan Untari, Nanggala segera melesat menggunakan ilmu lari cepatnya. Sehingga, tubuh pemuda itu bagaikan terbang saja layaknya.
“Pemuda gagah yang sangat menarik. Jarang sekali aku bertemu seorang pemuda seperti dia. Hm..., Nanggala.... Sebuah nama yang gagah...,” gumam Untari termenung.
Sepasang matanya yang bening dan indah, menatap bayang-bayang tubuh Nanggala hingga lenyap dari pandangan. Setelah tubuh pemuda itu lenyap, Untari kembali memasuki kedai. Senyumnya tampak masih belum meninggalkan wajah cantiknya. Jelas, ia merasa lucu mengingat perjumpaannya dengan pemuda itu untuk yang kedua kalinya.
Saatitu, kegelapan perlahan mulai turun menyelimuti permukaan mayapada. Hembusan angin senja yang sejuk bersilir lembut menemani datangnya kegelapan. Di dalam sebuah kamar yang terdapat dipenginapan Desa Pacitan, Nanggala duduk termenung. Semula, setelah berjumpa dengan Untari, ia berniat meninggalkan desa itu. Tapi, kegalauan hatinya membuat pemuda itu terpaksa kembali dan menginap di Desa Pacitan. Macan Tutul Lembah Daru tidak bisa menipu dirinya sendiri, bahwa hatinya benar-benar telah terenggut oleh wajah cantik Untari.
Sebelum mencari rumah penginapan, Nanggala menyempatkan diri datang ke kedai untuk menemui Untari. Tapi, gadis itu ternyata telah pergi dari kedai. Setelah bertanya kepada pelayan kedai, tahulah Nanggala kalau Untari adalah penduduk Desa Pacitan, dan merupakan anak tunggal seorang juragan terkaya didesa itu yang bernama Gerda Pasa.
“Hm..., perasaan ini akan terus menghantui apabila aku tidak segera menyatakannya. Daripada tersiksa, lebih baik kudatangi saja rumah gadis itu. Masalah diterima atau tidak, itu urusan belakang! Dan lagi, hal itu lebih baik daripada tanpa kepastian!” gumam Nanggala seraya mengepalkan tinjunya erat-erat. Kemudian pemuda gagah itu bangkit dari duduknya.
Dengan menguatkan perasaan, maka Nanggala berangkat menuju kediaman Juragan Gerda Pasa. Meskipun raut wajahnya terlihat sedikit tegang, namun langkahnya tetap dipaksakan untuk mencari kepastian. Tidak sulit bagi Nanggala mencari rumah Juragan Gerda Pasa. Dan memang, seluruh penduduk Desa Pacitan mengetahuinya. Dengan mengandalkan petunjuk salah seorang penduduk desa, maka tibalah Macan Tutul Lembah Daru di depan sebuah rumah besar yang dikelilingi pagar tembok setinggi satu tombak lebih.
Sementara itu, dua orang tukang pukul yang tengah bertugas menjaga pintu gerbang, bergegas menghampiri Nanggala. Mereka merasa curiga ketika melihat seorang pemuda berdiri tegak meneliti sekitar bangunan. Karena belum beranjak dari situ, maka salah seorang yang berkumis lebat menegurnya.
“Kisanak! Apa yang kau cari ditempat ini? Sejak tadi, kuperhatikan kau hanya berdiri mengawasi tempat ini. Apa ada sesuatu yang dapat kubantu?” tegur laki-laki berkumis lebat, lantang. Meskipun nadanya tidak terdengar kasar, namun mengandung ketegasan.
“Maaf, kalau kehadiranku telah mengundang kecurigaan kalian. Aku hanya ingin memastikan, benarkah disini kediaman Juragan Gerda Pasa? Dan, bisakah aku berjumpa dengan beliau?” tanya Nanggala dengan suara halus dan sopan.
“Benar. Disini rumah majikan kami yang bernama Gerda Pasa. Tapi untuk berjumpa dengannya sekarang, rasanya sulit sekali. Sebab pada waktu-waktu seperti ini, biasanya beliau tengah beristirahat. Jadi, kami tidak berani mengganggunya. Lebih baik, datang saja besok,” sahut penjaga pintu gerbang yang berkumis lebat, menolak permintaan Nanggala.
“Tapi, keperluanku mendesak sekali, Kisanak. Tolonglah beri tahu kepada beliau. Untuk itu, aku akan berterima kasih sekali kepadamu,” Nanggala mencoba mendesak, meski dengan nada yang tetap halus dan sopan.
Meskipun kata-kata Nanggala tetap bernada hormat, namun desakannya telah membuat wajah laki-laki berkumis lebat itu berubah agak bengis. Sekilas, terlihat kilatan kegeraman pada sepasang mata orang itu. Namun Nanggala yang telah memantapkan hatinya, sama sekali tidak peduli. Meskipun tatapan geram orang itu tidak ditentangnya, tapi dia tetap saja berdiri di tempatnya. Selangkah pun kakinya tidak bergeser dari pintu gerbang rumah Juragan Gerda Pasa.
“Maaf! Kami tidak bisa meluluskan permintaanmu, Kisanak. Dan sekarang, tinggalkanlah tempat ini, sebelum aku bertindak kasar!” ancam laki-laki berkumis lebat itu sambil meraba gagang pedangnya, untuk menakut-nakuti Nanggala.
“Sekali lagi, aku minta maaf. Karena kepentinganku sangat mendesak, maka terpaksa usiranmu tidak bisa kuturuti. Dan aku harus bertemu majikanmu sekarang juga,” tegas Nanggala, meski laki-laki berkumis lebat itu telah mengancamnya.
Sikap keras kepala Nanggala tentu saja membuat laki- laki berkumis lebat itu semakin marah. Dengan langkah lebar, didekatinya Nanggala. Langsung didorongnya tubuh pemuda itu dengan telapak tangan. Si kumis lebat yang sudah membayangkan tubuh pemuda itu akan jatuh terjengkang, seketika menjadi terkejut. Ternyata dorongan telapak tangannya yang disertai pengerahan tenaga dalam tidak membuat Nanggala terjatuh. Jangankan untuk jatuh. Bergeserpun tidak. Tentu saja laki-laki berkumis lebat itu menjadi penasaran. Sementara, penjaga gerbang yang seorang lagi hanya berdiri mengawasi. Amarahnya tampak belum terpancing.
“Hm.... Pantas saja berani berlagak. Rupanya kau memiliki sedikit kepandaian. Tapi, sekarang coba tahan yang ini!” bentak laki-laki berkumis lebat itu sambil mendorongkan telapak tangannya kembali.
Wuttt!
Dorongan telapak tangan orang itu meluncur cepat menimbulkan angin menderu. Rupanya kali ini ia tidak lagi berniat hanya memberi pelajaran, tapi justru ingin melukai pemuda itu. Nanggala yang belum mengetahui sampai di mana kekuatan yang dimiliki orang itu, tentu saja tidak berani bersikap ceroboh. Maka ketika dorongan telapak tangan itu hampir mencapai dadanya, cepat tubuhnya berkelit dan melakukan tangkisan dengan lengan kiri.
Dukkk!
“Uhhh...!”
Tangkisan perlahan yang dilakukan Nanggala dengan sedikit tenaga itu ternyata sangat mengejutkan lawan. Tubuh laki-laki berkumis lebat itu terjajar beberapa langkah ke belakang dengan wajah merah. Melihat dari pijatan-pijatan yang dilakukan pada lengannya, jelas kalau ia merasa kesakitan akibat tangkisan tadi.
“Bangsat! Rupanya kau memang sengaja mencari keributan!” bentak laki-laki berkumis lebat itu geram. Langsung pedang yang terselip dipinggangnya dicabut.
Sring!
Perbuatan laki-laki berkumis lebat itu, diikuti pulaoleh kawannya. Rupanya, melihat keadaan itu, amarahnya kini bangkit. Maka kini kedua orang tukang pukul Juragan Gerda Pasa itu langsung mengurung Nanggala dari kiri dan kanan.
“Sabarlah, Kisanak. Kedatanganku kemari, sama sekali bukan mencari keributan.” Nanggala berusaha mencegah terjadinya keributan. Sebab biar bagaimanapun, ia merasa tidak enak bilahal itu terjadi. Padahal kedatangannya ke tempat itu justru dengan maksud baik. Lalu apa kata Untari nanti bila keributan itu terjadi? Dan itu sama sekali tidak diinginkannya.
“Sudah, jangan banyak cakap! Bersiap-siaplah melayang ke akhirat!” bentak laki-laki berkumis lebat yang sepertinya mendendam sekali kepada Nanggala. Hal itu wajar saja. Sebab, dua kali ia dibuat malu di depan kawannya. Dan itu ingin ditebusnya dengan menyiksa pemuda itu sepuas-puasnya. Kedua orang itu sudah siap menyerang Nanggala. Kaki masing-masing sudah bergeser, siap melepaskan serangan.
“Berhenti...!”
Belum lagi kedua orang tukang pukul itu melancarkan serangannya, tiba-tiba terdengar bentakan keras yang mengejutkan. Berbarengan bentakan itu, sesosok tubuh ramping berpakaian serba putih melayang turun, dan langsung menjejakkan kakinya diantara mereka. Bentakan nyaring dan merdu itu sepertinya telah sangat dikenal kedua orang penjaga gerbang rumah Juragan Gerda Pasa. Hal itu terlihat dari sikap keduanya yang langsung melangkah mundur.
“Untari...!” desah Nanggala. Pemuda itu langsung mengenali, siapa adanya sosok tubuh ramping berpakaian serba putih itu.
Dia memang Untari, gadis yang selama ini telah menyita seluruh pikiran Nanggala. “Ah! Kiranya kau yang datang, Kakang Nanggala. Mengapa tidak memberitahukan aku sebelumnya. Kalau saja aku tidak keburu datang, mungkin kedua orang penjaga gerbang rumah ayahku ini sudah menggeletak menjadi mayat,” kata Untari disertai senyum manisnya. Bahkan gadis cantik itu telah memanggil kakang kepada Nanggala.
Tentu saja sebutan itu membuat dada pemuda gagah ini berdebar tak karuan. “Maafkan aku, Untari. Aku tidak bermaksud mencari keributan di sini. Kedatanganku pun dengan maksud baik- baik. Tapi, dua orang anak buah ayahmu bersikap kasar padaku. Jadi, terpaksa aku membela diri. Oh, ya. Ada sesuatu yang ingin kuceritakan kepadamu,” pinta Nanggala. Pemuda itu langsung saja mengutarakan keinginannya. Kebetulan ini adalah kesempatan baik. Dan tentu saja, Nanggala tidak ingin menyia-nyiakannya.
Mendengar permintaan pemuda itu, mau tak mau Untari menjadi heran. Tidak seperti biasanya, kali ini Nanggala terlihat begitu tenang. Bahkan berani mengajaknya. Tentu saja hal itu membuat Untari menduga-duga, apa gerangan yang ingin disampaikan pemuda itu kepadanya.
“Mengapa tidak di sini saja, Kakang?” tanya Untari. Kemudian, kepala gadis itu menoleh ke arah tukang pukul ayahnya yang tengah memperhatikan.
“Kalian boleh pergi,” lanjut gadis cantik itu kepada mereka.
“Baik,” sahut kedua tukang pukul itu serempak. Tanpa berkata sepatah pun, keduanya langsung meninggalkan Untari dan Nanggala.
“Nah! Sekarang ceritakanlah, Kakang,” ujar Untari menatap Nanggala penuh rasa ingin tahu.
“Mari, ikut aku...,” ajak Nanggala. Pemuda itu langsung berlari meninggalkan halaman luar tempat kediaman Juragan Gerda Pasa. Langkah kakinya terlihat tidak terlalu cepat, karena mengharapkan agar Untari mau mengikutinya.
Sejenak gadis cantik itu berdiri termangu melihat ketegasan sikap Nanggala. Namun karena rasa keingin- tahuannya demikian kuat menggoda, maka tanpa ragu- ragu lagi Untari bergegas mengikutinya. Nanggala menghentikan langkahnya pada sebuah tempat sunyi. Kemudian, ia berdiri menanti kedatangan Untari yang memang mengikutinya. Wajah pemuda itu terlihat sedikit agak pucat. Ketegangan hatinya jelas terlihat dari caranya menarik napas panjang beberapa kali.
“Ah! Kau ini ada-ada saja. Apa sih yang ingin diceritakan? Dan mengapa pula harus ditempat yang sepi seperti ini? Apa kau berniat menculikku?” omel Untari begitu tiba di tempat Nanggala berdiri. Sedikit pun tidak terlihat rasa canggung ataupun khawatir pada wajah gadis itu. Jelas kalau dia telah nenaruh kepercayaan penuh kepada Nanggala.
Nanggala atau si Macan Tutul Lembah Daru yang terkenal tidak pernah gentar menghadapi ancaman maut sekali pun, kali ini terlihat agak gugup dan tegang. Sebentar-sebentar, pemuda gagah yang amat disegani tokoh-tokoh persilatan itu terlihat menarik napas panjang. Bahkan hembusan napasnya terdengar berat dan bergemuruh. Jelas kalau hatinya tengah dilanda ketegangan hebat. Dengan langkah tenang, Untari datangmenghampiri Nanggala. Senyum manis yang biasanya sangatjarang terlihat, kini tampak selalu menghiasi wajahnya. Meskipun ada sedikit rasa ketegangan dihatinya, namun hal itu sama sekali tidak ditampakkan. Dan memang, gadis cantik itu pandai sekali menyembunyikannya, sehingga Nanggala sendiri tidak mengetahuinya.
“Ada apa, Kakang Nanggala...?” tanya gadis cantik itu pelan. Kemudian, Untari berdiri disamping Nanggala yang duduk dibawah sebatang pohon. Dengan sikap yang tetap tenang, tubuhnya disandarkan dipohon itu.
“Untari... Dengan memberanikan diri, aku datang menemuimu. Aku tak tahu, perasanku begitu gelisah setelah dua kali berjumpa denganmu. Dan perasaan itu sepertinya harus kuungkapkan. Tapi...”
“Tapi apa, Kakang? Katakanlah! Bukankah kita telah saling mengenal? Kalau memang ada sesuatu yang dapat kubantu, utarakanlah. Siapa tahu, aku dapat membantumu dalam menghadapi masalah itu,” desah Untari yang menjadi tidak sabar ketika melihat Nanggala menghentikan ucapannya.
“Untari.... Aku..., rasanya aku jatuh cinta kepadamu. Dan kumohon, jawablah sekarang juga. Apa pun jawabannya, aku telah siap menerimanya,” ungkap Nanggala tanpa ragu-ragu lagi. Dihembuskannya napas kuat-kuat. Macan Tutul Lembah Daru merasakan dadanya lapang setelah dapat mengutarakan isi hatinya yang selama ini dipendam dalam-dalam.
“Hi hi hi..! Kau ini lucu, Kakang...,” tawa Untari meledak mendengar ucapan Macan Tutul Lembah Daru.
Gadis yang memang memiliki sifat aneh itu sama sekali tidak mempedulikan Nanggala yang dihinggapi rasa bingung. Ia terus saja tertawa, seolah-olah apa yang disampaikan pemuda itu memang benar-benar sesuatu yang sangat lucu. Tentu saja tawa gadis cantik itu membuat Nanggala semakin pucat wajahnya. Dipandanginya wajah gadis itu dengan sikap ketololan. Benar-benar sulit dimengerti, mengapa Untari malah tertawa setelah mendengar pengakuannya? Apakah ucapannya itu benar-benar patut ditertawakan?
“Aku memang bodoh, Untari. Tidak sepantasnya mengutarakan perasaanku ini kepadamu. Aku memang pantas ditertawakan,” keluh Nanggala bergetar penuh kekecewaan. Betapa tidak? Kata-kata yang demikian sulit diucapkannya itu malah ditertawakan Untari. Tentu saja hal itu membuat hatinya terasa tertusuk-tusuk. Sadar kalau ia telah salah menilai orang, maka dengan wajah kecewa, Nanggala bergegas meninggalkan tempat itu.
“Hei? Kau mau kepergi kemana, Kakang? Bukankah kau belum mendengar jawabanku?” tegur Untari menghentikan tawanya ketika melihat Nanggala melangkah hendak meninggalkannya.
“Tidak perlu, Untari. Rasanya jawaban yang keluar dari mulutmu sudah dapat kutebak. Maaf, aku telah mengganggu waktumu,” ujar Nanggala tanpa menoleh sedikit pun. Langkahnya kembali terayun perlahan.
“Tapi, bagaimana kalau aku juga memiliki perasaan yang sama denganmu? Apakah kau akan tetap pergi? Kalau itu maumu, pergilah!” sentak Untari dengan suara agak keras. Setelah berkata demikian, gadis itu pun berbalikdan melangkah kearah yang berlawanan.
Mendengar jawaban yang sama sekali tidak diduga, tentu saja langkah Nanggala terhenti. Dan ketika melihat gadis itu berlari kearah yang berlawanan, langsung saja dikejarnya.
“Untari, tunggu...!” cegah Nanggala yang segera melesat menggunakan ilmu lari cepatnya. Sehingga dalam beberapa saat saja, gadis itu telah dapat terkejar.
“Ada apa lagi? Kau tidak jadi pergi...?” tegur Untari dengan sepasang mata membelalak marah.
“Untari... Kau. Katakanlah! Apakah kau juga mencintaiku?” desak Nanggala.
“Sudah kau dengar jawabanku tadi. Kalau memang mau pergi, pergilah! Aku tida kmelarangmu!” ketus sekali jawaban yang keluar dari bibir indah itu.
“Tidak... Aku tidak akan pergi. Aku..., aku akan melamarmu. Jawablah! Sudikah kau menjadi istriku?” tanya Nanggala.
Pemuda itu merasa yakin dengan jawaban yang akan diterimanya. Apalagi, ketika gadis itu sama sekali tidak berusaha melepaskan diri ketika Nanggala memegang bahunya. Itulah yang meyakinkan dirinya kalau Untari memiliki perasaan yang sama dengannya.
“Tidak tahu malu! Melamar orang ditengah jalan! Apa kau kira aku tidak punya orangtua!” jawab Untari, ketus. Namun, sepasang mata gadis itu jelas menyiratkan kebahagiaan. Dan sebelum Nanggala tersadar, gadis cantik itu sudah meronta dari pegangannya. Kemudian, dia berlari meninggalkan Nanggala yang tersenyum sendirian seperti orang gila.
“Hm.... Tunggulah! Aku akan melamarmu besok!” seru Nanggala yang tidak berusaha mengejar Untari.
Pada hari itu, rumah besar kediaman Juragan Gerda Pasa tampak diramaikan berbagai kesibukan. Halaman depan yang luas, tampak semarak oleh berbagai hiasan yang berwarna-warni. Sedangkan di halaman samping, beberapa orang laki-laki tampak sibuk membuat panggung. Panggung yang berukuran cukup luas itu dimaksudkan untuk pertandingan silat. Sebagaimana umumnya seorang tokoh persilatan mengadakan keramaian, panggung adu kekuatan selalu saja disediakan.
Demikian pula pesta pernikahan putri Juragan Gerda Pasa. Calon suaminya merupakan tokoh terkenal di kalangan rimba persilatan. Jadi tidak heran kalau juragan itu mengajukan usul agar disediakan sebuah panggung untuk meramaikan pesta. Dan usul itu disetujui oleh Untari, sang pengantin wanita.
Nanggala atau yang lebih dikenal sebagai Macan Tutul Lembah Daru, semula tidak begitu menyetujui usul mertuanya. Namun karena calon istrinya juga menyetujui rencana itu, dia terpaksa mengalah.
Hari sudah menjelang sore ketika para undangan mulai berdatangan. Mereka tidak hanya terdiri dari kalangan orang kaya saja. Banyak juga penduduk desa itu yang datang memenuhi undangan Juragan Gerda Pasa. Demikian pula tokoh-tokoh kalangan rimba persilatan. Undangan yang disebar dengan mengatasnamakan Macan Tutul Lembah Daru, membuat mereka berduyun-duyun mendatangi pesta pernikahan pendekar muda itu.
Maka, ramailah rumah kediaman Juragan Gerda Pasa oleh berbagai kalangan. Setelah semua undangan telah duduk ditempatnya masing-masing, seorang laki-laki tinggi besar berwajah brewok melangkah naik keatas panggung. Sejenak ia berdiri merayapi sekitarnya disertai senyum lebar. Dialah yang bernama Juragan Gerda Pasa.
“Para sahabat sekalian,” Juragan Gerda Pasa, mulai membuka pembicaraan. “Aku mengucapkan terima kasih atas kesediaan sahabat sekalian untuk datang memenuhi undangan ini. Dan silakan mencicipi hidangan yang telah disediakan. Semoga sahabat sekalian tidak kecewa atas pelayanan kami yang mungkin kurang memuaskan.”
Perkataaan Juragan Gerda Pasa langsung disambut tepuk tangan riuh. Kemudian laki-laki tinggi besar itupun kembali melangkah turun dari atas panggung.
“Wah! Kau beruntung sekali, Gerda Pasa. Entah bagaimana caranya kau bisa mendapatkan seorang menantu seperti Macan Tutul Lembah Daru. Iri rasanya aku melihat keberuntunganmu ini,” bisik salah seorang undangan. Ia langsung saja datang menghampiri Juragan Gerda Pasa yang baru turun dari atas panggung.
Melihat dari sikap dan pakaiannya yang mewah, jelas kalau laki-laki tinggi kurus itu seorang juragan juga. Matanya yang agak sipit itu kadang-kadang melirik Untari yang duduk bersanding dengan Nanggala di sebelah kiri panggung. Tampaknya, lelaki tinggi kurus itu seorang mata keranjang. Hal itu dapat terlihat dari caranya memandang pengantin wanita.
Juragan Gerda Pasa hanya tersenyum dikulum mendengar pujian laki-laki tinggi kurus itu. Setelah berbasa-basi sejenak, laki-laki tinggi besar berwajah brewok itu pun melangkah ketempatnya semula.
Dan kini para undangan mulai mencicipi hidangan yang telah disediakan. Sementara beberapa tokoh kalangan persilatan yang berusia muda seringkali melirik kearah pasangan pengantin dengan sinar mata penuh rasa iri. Dan mereka hanya bisa saling berbisik membicarakan keberuntungan Macan Tutul Lembah Daru yang dapat mempersunting gadis cantik putri Juragan Gerda Pasa itu. Bahkan ada diantaranya yang melontarkan kata-kata sinis. Tentu saja ucapan itu merupakan ungkapan rasa iri saja.
Suara gaduh yang semula ramai menyemarakkan suasana pesta, mendadak lenyap ketika seorang laki-laki gemuk pendek berdiri di atas panggung. Orang itu langsung saja bertepuk tangan sebanyak tiga kali untuk menarik perhatian para undangan.
“Para sahabat sekalian!” seru orang pendek gemuk itu setelah suasana gaduh sirna. “Kami sebagai wakil tuan rumah, akan menyampaikan acara yang segera dapat kita saksikan bersama nanti. Dan mudah-mudahan acara ini dapat menambah kegembiraan kita semua.”
Belum lagi ucapan laki-laki pendek gemuk itu selesai, para undangan segera bertepuk tangan riuh. Beberapa di antara mereka, bahkan sudah berseru tidak sabar.
“Tenang, tenang...!” ujar laki-laki diatas punggung itu untuk menenteramkan kebisingan yang tiba-tiba saja pecah. “Baiklah. Akan segera ditampilkan dua orang kawan kami, yang akan segera menghibur para sahabat sekalian!” lanjut laki-laki pendek gemuk itu untuk menenteramkan kegaduhan yang tak juga berhenti.
“Haiiit...!”
Terdengar seruan nyaring ketika laki-laki pendek gemuk itu menyebut sebuah nama. Berbarengan seruan itu, sesosok tubuh mengenakan pakaian serba merah melayang naik keatas panggung. Dengan gerakan lincah dan manis, kakinya mendarat didekat lelaki gemuk itu. Sosok berpakaian serba merah itu langsung membungkukkan tubuhnya dalam-dalam. Suara sorak-sorai pun bergemuruh menyambut orang itu.
“Terima kasih..., terima kasih...,” ucap sosok berpakaian serba merah itu. Usianya sekitar empat puluh tahun. Wajahnya yang lonjong, tampak terhias kumis dan jenggot tercukur rapi. Jelas kalau dia merupakan seorang laki-laki pesolek. Usai memberi hormat, kakinya melangkah ke sudut kiri panggung.
Tak lama setelah sosok berpakaian serba merah itu berdiri di sudut kiri panggung, sesosok bayangan hitam melenting dan berjumpalitan sebelum mendaratkan kakinya di lantai panggung.
“Namaku Panawa. Aku sengaja datang memenuhi undangan Macan Tutul Lembah Daru, dan sekaligus ikut memeriahkan pesta. Semoga sahabat sekalian tidak kecewa dengan penampilanku yang jelek ini,” kata laki-laki berusia tiga puluh tahun yang mengenakan pakaian serba hitam itu, dengan suara lantang. Setelah memperkenalkan diri, dia segera melangkah ke sudut kanan panggung.
Sosok berpakaian serba merah yang memperkenalkan diri dengan nama Ki Balung bergegas melangkah ke tengah panggung. Demikian pula Panawa. Mereka berdiri berhadapan setelah laki-laki pendek gemuk meninggalkan panggung. Kedua orang tokoh rimba persilatan itu saling membungkuk memberi hormat. Kemudian, mereka melangkah beberapa tindak ke belakang.
“Silakan, Sahabat..,” kata Panawa sambil bersiap memasang kuda-kuda silang. Tangan kanan laki-laki berpakaian hitam itu tampak berada diatas kepala dalam sikap mengepal. Sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka, berada beberapa jengkal didepan dada. Sepasang matanya tampak menatap lurus kedepan.
“Hm...,” Ki Balung menggeram sebelum membuka jurusnya. Diiringi geraman, kaki kanan Ki Balung bergeser ke depan menyerong. Sepasang tangannya bergerak naik ke atas kepala dengan kedua telapak merapat
“Yeaaat..!”
Ki Balung berseru nyaring mengiringi pukulan lurus dengan tusukan jari-jari tangan kiri mengarah dada lawan. Dan belum lagi tusukan jari-jari yang ternyata tipuan itu tiba, tangan kanannya bergerak menyusul. Sedangkan tangan kirinya segera berputar setengah lingkaran untuk memancing perhatian lawan.
Wuttt!
Dengan kecepatan mengejutkan, tahu-tahu saja tangan kanan Ki Balung yang semula meluncur, tertarik ke belakang! Kemudian, disusul dengan meluncurnya tebasan sisi telapak tangan miring menggunakan tangan kiri. Hebat, dan tak terduga perubahan serangan yang dilancarkan KiBalung itu. Sehingga, lawannya sempat dibuat terkejut!
Namun, laki-laki gagah berpakaian serba hitam itu ternyata cukup gesit. Datangnya sabetan sisi tangan miring lawan, disambut sebuah geseran kekiri. Dan gerakan mengelak itu masih disusul sebuah tendangan kilat yang cepat dan bertenaga.
Zebbb! Tendangan lurus yang mengancam lambung, berhasil dielakkan Ki Balung dengan menarik tubuh kebelakang. Dalam keadaan tubuh miring, lelaki tinggi kurus itu masih sempat juga menusukkan jari-jari tangan untuk memapaki tendangan lawan.
Pertarungan pun berjalan semakin ramai ketika tusukan jari tangan Ki Balung tidak mengenai sasaran. Keduanya kembali saling serang menggunakan jurus-jurus terampuh yang dimiliki. Sambaran-sambaran angin pukulan yang saling berkesiutan semakin menambah semaraknya pertempuran.
Plakkk! Plakkk!
Pada jurus yang ketiga puluh, terdengar suara keras ketika telapak tangan masing-masing saling berbenturan! Sekejap kemudian, bayangan merah dan hitam saling terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Hal itu menandakan kalau kekuatan masing-masing ternyata berimbang. Kedua sosok tubuh yang saling berlagacdiatas panggung itu saling bertatapan sejenak. Sepertinya, mereka sudah memaklumi kekuatan masing-masing. Sehingga, baik Ki Balung maupun Panawa terlihatclebih berhati-hati dalam melancarkan serangan.
“Haaat..!”
Ki Balung yang sepertinya lebih penasaran, kembali melompat disertai hantaman pukulan yang susul-menyusul mengincar bagian-bagian terlemah ditubuh lawan. Dari sambaran-sambaran angin pukulan yang berkesiutan, jelas kalau laki-laki tinggi kurus berpakaian serba merah itu telah menambah kekuatannya dalam serangan kali ini.
Bettt! Bettt! Bettt!
Tiga buah pukulan yang bertubi-tubi, datang mengancam tubuh Panawa. Namun, itu semua tidak membuatnya sibuk. Dengan sebuah gerakan manis, kakinya bergeser ke kanan, sejauh setengah tombak. Namun hal itu sepertinya sudah pula diperhitungkan Ki Balung. Maka begitu serangkaian pukulan yang dilancarkannya lolos, kaki kanan lelaki tinggi kurus itu sudah mencelat naik mengancam lambung Panawa. Begitu cepat dan mendadak sekali! Maka....
Desss!
“Hugkh. !” Tendangan keras Ki Balung telak menghantam lambung Panawa. Tubuh laki-laki tegap itulangsung terjengkang, dan hampir jatuh kebawah panggung. Untunglah kakinya masih sempat menjejak keras, dan tubuhnya melambung berjumpalitan beberapa kali di udara.
Tapi, Ki Balung sepertinya tidak sudi memberikan peluang kepada lawannya. Saat tubuh Panawa berputarbdi udara, laki-laki tinggi kurus itu sudah melompat melancarkan sebuah tendangan terbang yang cepat dan kuat. Tendangan yang dilancarkan Ki Balung tentu saja membuat Panawa terkejut. Keadaannya saat itu sangat tidak menguntungkan. Dan akibatnya, dia menjadi gugup. Sehingga....
Bugkh!
“Ngkkk. !” Tanpa dapat dicegah lagi, tendangan keras itupun tepat menghantam perut Panawa! Maka seketika tubuh laki-laki tegap itu terpental, dan meluncur ke bawah panggung.
Brugk!
Tubuh Panawa terbanting ke bawah panggung, sehingga menimbulkan suara berdebuk keras! Tapi lelaki gagah itu berusaha bangkit kembali, meskipun susah payah. Dari mulutnya tampak mengalir darah segar, yang menandakan kalau telah terluka cukup parah!
“Kau hebat, Ki Balung.... Aku mengaku kalah..,” ucap Panawa terputus-putus.
Setelah membungkuk hormat kearah laki-laki tinggi kurus yang berdiri tegak di atas panggung, Panawa melangkah ketempat duduknya semula. Meskipun telah dikalahkan di depan orang banyak, namun sama sekali tidak terlihat sinar dendam dimatanya. Bahkan pujiannya terhadap Ki Balung pun terdengar tulus.
“Kaupun hebat, Panawa. Kalau saja mataku tidak jeli, rasanya sukar sekali menundukkanmu,” sahut Ki Balung.
Dan memang, laki-laki tinggi kurus itu bukan orang sombong. Sikap dan ucapannya tentu saja dimaksudkan agar Panawa tidak terlalu merasa malu. Kemudian laki- laki tinggi kurus itu melangkah turun dari atas panggung, kembali ketempat duduknya semula.
Dan kini terdengar tepukan bergemuruh, menyambut kemenangan Ki Balung. Pertandingan kedua orang tokoh itu sepertinya telah membuat para tamu menjadi puas. Terdengar suara berbisik ramai membicarakan pertarungan yang memang berlangsung sangat seru tadi.
Masih ada beberapa pertunjukan lagi yang disajikan tokoh-tokoh persilatan yang berniat meramaikan pesta pernikahan. Namun dari sekian banyak pertarungan yang disajikan, hanya pertarungan antara Ki Balung dan Panawalah yang paling menarik. Sedangkan, pertarungan lainnya kebanyakan hanya mengandalkan tenaga kasardan tidak berseni.
Banyak undangan yang mulai meninggalkan tempat itu. Satu persatu mereka berpamitan. Padahal, acara belum seluruhnya selesai. Dan ketika malam sudah semakin larut, rumah kediaman Juragan Gerda Pasa telah sepi. Hanya beberapa orang pelayannya yang terlihat masih sibuk membereskan tempat itu.
Juragan Gerda Pasa sendiri telah memasuki kamarnya untuk beristirahat. Tubuhnya baru terasa lelah setelah pesta usai. Sebentar saja laki-laki tinggi besar berwajah brewok itu sudah terlelap di atas pembaringannya.
Demikian pula halnya pasangan pengantin, Nanggala dan Untari. Mereka telah lebih dahulu memasuki kamar, sebelum Juragan Gerda Pasa. Suasana malam yang semakin dingin dan sunyi, membuat pasangan itu semakin terelap dalam lautan kemesraan bagai tak bertepi.
Kehangatan sinar matahari pagi memancar lembut mengiringi iring-iringan kereta kuda. Tiga buah kereta yang masing-masing ditarik empat ekor kuda, bergerak perlahan menyusuri jalanan lebar. Di kiri-kanannya, tampak belasan orang mengenakan seragam biru muda tengah berjejer. Melihat dari lambang bendera yang dipegang salah seorang penunggang kuda terdepan, jelas kalau mereka merupakan pengawal pengantar barang. Dan mereka dikenal sebagai kelompok Macan Terbang, yang merupakan kelompok pengawal barang terkenal masa kini.
Sikap belasan orang berseragam biru muda itu rata-rata gagah dan berwibawa. Dan tampaknya, mereka bukanlah orang lemah. Apalagi sebagai pengawal pengantar barang. Tentu saja mereka rata-rata telah dibekali kepandaian silat demi lancarnya tugas yang dijalankan. Baru saja rombongan kereta kuda itu memasuki wilayah perbukitan tandus, tiba-tiba terdengar bentakan keras mengejutkan.
“Berhenti...!”
Bersamaan terdengarnya bentakan keras itu, tiga sosok tubuh mengenakan seragam hitam melayang menghadang perjalanan mereka. Melihat sikap ketiga sosok berpakaian hitam yang rata-rata bengis, jelas kalau niat mereka tidak baik.
Laki-laki tinggi gagah yang sepertinya kepala rombongan pengawal barang, bergegas melompat turun dari punggung kudanya. Dari ketenangannya, jelas kalau ia sama sekali tidak merasa khawatir dengan penghadangan itu.
“Bukankah kalian kelompok yang dipimpin Tiga Buaya Darat? Sampaikanlah hormat kami kepada beliau. Dan izinkanlah kami meneruskan perjalanan. Dan sepertinya, selama ini diantara kami dan ketiga ketua kalian telah terjalin persahabatan erat,” kata lelaki gagah itu sambil membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Tampaknya, dia telah mengenal baik orang yang berjuluk Tiga Buaya Darat itu.
“Benar! Kami adalah pengikut Tiga Buaya Darat. Tapi, hari ini beliau memerintahkan agar kalian suka meninggalkan barang-barang didalam kereta itu kepada kami. Dan, setelah itu kalian boleh pergi dengan tenang,” jawab salah seorang berpakaian serba hitam itu dengan lagak sombong dan memandang rendah.
“Hei?! Mengapa begitu? Coba hadapkan aku kepada ketua kalian. Kalau begitu, percuma setiap bulan aku selalu mengirimkan upeti kepada mereka,” tukas lelaki tinggi tegap itu dengan kening berkerut.
“He he he. Benar kau selalu setia mengirimkan upeti kepada kami, Ludira. Tapi kali ini dengan sangat terpaksa, kami harus mengambil barang-barang yang kalian bawa itu. Maka, sebaiknya kalian tinggalkanlah ketiga kereta kuda itu. Keselamatan kalian akan kami jamin,” tiba-tiba terdengar suara berat yang disusul munculnya tiga sosok tubuh berpakaian serba merah. Tubuh mereka rata-rata pendek gemuk. Demikian pula wajah ketiganya yang ditumbuhi cambangcbauk. Sehingga, mereka tak ubahnya bagaikan saudara kembar.
“Kakang Begawa, apa maksud ucapanmu? Bukankah kita telah lama bersahabat? Dan biasanya, kalian selalu memperbolehkan kami lewat? Mengapa tiba-tiba berubah?” bantah laki-laki tinggi tegap yang dipanggil Ludira itu penasaran. Jelas kalau dia merasa keberatan atas permintaan itu.
“Sudahlah! Tidak perlu banyak tanya! Aku masih berbaik hati dengan membiarkan kalian pergi. Tapi kalau keadaan memaksa, apa boleh buat,” tegas salah seorang dari tiga laki-laki gemuk yang mengenakan ikat kepala hitam. Melihat dari sikap dan caranya, jelas kalau ia merupakan orang pertama dari Tiga Buaya Darat. Orang itu pulalah yang dipanggil Begawa.
“Tidak bisa, Begawa!” bantah Ludira yang langsung membuang sebutan kakang ketika melihat perubahan sikap orang itu yang dikenalnya selama ini. Sambil berkata demikian, Ludira mengangkat kedua tangan sebagai isyarat pada pengikutnya untuk bersiap menghadapi pertempuran.
Maka seketika itu terdengar suara gemerincing yang susul-menyusul ketika pedang-pedang belasan orang pengawal barang Macan Terbang diloloskan dari sarungnya. Serentak mereka berlompatan turun dari atas punggung kuda dengan pedang terhunus. Namun pada saat yang hampir bersamaan, belasan orang bertampang kasar telah berlompatan mengurung tempat itu. Mereka tak lain adalah para pengikut TigabBuaya Darat yang merupakan perampok terkenal dan sangat ditakuti.
Melihat keadaan itu, Ludira bergegas mundur kearah kawan-kawannya seraya menghunus senjata. Sadar kalau pertempuran tidak mungkin dihindari lagi, Ludira segera mengibaskan tangannya kekiri dan kanan. Gerakan tangan lelaki gagah itu rupanya telah sangat dipahami anggotanya. Serentak, belasan orang anggota Macan Terbang, bergerak menyebar.
“Serbuuu...!”
Begawa yang sudah menjadi marah, segera berteriak memberi perintah kepada para pengikutnya. Maka tanpa dapat dicegah lagi, terjadilah pertempuran kecil namun cukup sengit.
“Heaaat..!”
Para anggota perampok berteriak-teriak sambil mengibaskan senjatanya kearah belasan anggota Macan Terbang. Terdengar dentang senjata meningkahi teriakan- teriakan nyaring dan jerit kesakitan. Ludira sendiri sudah berhadapan langsung dengan Begawa. Pedang di tangannya berkelebat cepat mengincar tubuh lawan. Sambaran angin pedangnya menderu-deru, membuat Begawa tidak berani memandang remeh serangan laki-laki tegap itu. Maka, penggadanya mulai digerakkan untuk mengatasi serangan Ludira.
Bettt! Bettt!
Sambaran penggada Begawa yang menimbulkan deru angin keras itu, ternyata mampu menindih gerakan pedang Ludira. Sehingga dalam waktu singkat, kepala perampok itu telah dapat membuat lawan terdesak.
“Hahhh...!”
Memasuki jurus kedua puluh satu, Begawa melompat disertai bentakannya yang mengejutkan. Gerakan itu masih disertai pula sambaran penggada yang mengarah kepala lawan. Serangkum angin menderu mengiringi datangnya sambaran senjata itu.
Wuttt!
Ludira yang merasa terkejut mendengar bentakan itu semakin pucat ketika melihat datangnya hantaman lawan. Cepat kakinya bergeser ke samping disertai egosan tubuhnya. Sayang gerakan Ludira masih kalah cepat. Sehingga, meskipun berhasil menyelamatkan kepalanya, tetap saja penggada Begawa menghajar bahu kirinya.
Bugkh!
“Aaakh...!”
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh laki-laki tinggi tegap itu langsung terlempar sejauh satu batang tombak lebih! Belum lagi Ludira sempat berbuat seuatu, penggada lawan kembali meluncur deras menuju batok kepalanya.
Wuttt! Prakkk!
Terdengar suara berderak keras ketika penggada yang dihantamkan sekuat tenaga itu telak menghantam pecah kepala Ludira. Darah segar yang bercampur cairancputih, berhamburan membasahi batu-batu pada yangcberdebu. Ludira, kepala pengawal barang Macan Terbang tewas tanpa sempat berteriak lagi.
Tewasnya pimpinan pengawal barang Macan Terbang, tentu saja membuat para anggotanya menjadi terkejut. Keadaan mereka yang saat itu tengah terdesakvhebat, menjadi semakin kalang kabut.
Brettt! Crakkk!
“Aaargh...!”
Kembali dua orang anggota Macan Terbang menjerit ngeri! Tubuh mereka langsung ambruk bermandikan darah segar. Setelah berkelojotan sejenak, dua orang anggota itupun diam tak bergerak-gerak lagi.
Tujuh orang anggota pengantar barang yang masih selamat bergegas melompat mundur. Mereka berdiri berkelompok saling melindungi. Wajah-wajah mereka tampak pucat, dan telah dibasahi peluh. Sepertinya tak ada harapan lagi untuk dapat menyelamatkan diri. Para perampok Tiga Buaya Darat itu terkenal sangat kejam dan tidak mengenal ampun.
“Bagaimana ini, Kakang...?” tanya salah seorang anggota Macan Terbang kepada laki-laki berkumis tipis yang berada disebelah kanannya.
“Tidak ada jalan lain, Adi. Barang-barang kiriman Juragan Bartala ini harus dipertahankan dengan taruhan nyawa kita,” sahut laki-laki gemuk berkumis tipis dengan suara bergetar.
“Bunuh mereka....!” terdengar perintah Begawa kepada para pengikutnya. Sedangkan sebagian yang lain, telah berlari menyerbu kereta tanpa diperintah lagi.
“Heaaa...!”
Lima belas orang anggota perampok berteriak keras sambil berlari menyerbu ketujuh orang anggota Macan Terbang yang sudah kehilangan keberanian. Wajah-wajah para perampok itu terlihat menyeringaicbagalkancseekor singa lapar.
Sadar kalau untuk meminta ampun sudah jelas tidak mungkin, maka ketujuh orang sisa anggota Macan Terbang itu bertekad melawan sampai titik darah terakhir!
“Yeaaat..!”
Disertai sebuah teriakan parau, ketujuh orang sisa anggota Macan Terbang menyambut serangan musuh- musuhnya. Sambaran-sambaran angin pedang menderu, ditingkahi denting senjata beradu kembali terdengar. Sebentar saja, ketujuh orang anggota Macan Terbang itu sudah terdesak hebat. Beberapa diantara merekacnampak sudah terluka akibat sambaran senjata-senjata lawan.
“Haiiit..!”
Wuttt! Brettt! Brettt!
“Aaakh...!”
Terdengar jerit kematian yang disusul robohnya tubuh dua orang anggota Macan Terbang! Kedua orang itu langsung tewas dengan isi perut terburai. Robohnya kedua orang kawan mereka ternyatactidak mengurangi semangat tempur yang lain. Kelima orang anggota Macan Terbang yang masih tersisa, berusaha mempertahankan diri sebisa-bisanya.
Pada saat yang sangat berbahaya bagi kelima orang anggota Macan Terbang itu, tiba-tiba dua sosok tubuh melayang dan langsung menjejakkan kakinya ditengah arena pertempuran.
“Haiiit...!”
Begitu memasuki arena, sosok bayangan putih dan hijau itu langsung memporak-porandakan para perampok yang mengurung kelima orang anggota Macan Terbang.
Plakkk! Bukkk! Desss!
“Aaah...!”
“Wuaaa...!”
Sekali mendorong telapak tangan saja, delapan orang anggota perampok beterbangan bagai sehelai daun kering yang dihempas angin! Tubuh mereka langsung terbanting dan pingsan seketika itu juga. Dari sudut bibir mereka tampak mengalir cairan merah.
Hebat sekali terjangan-terjangan yang dilakukan kedua sosok tubuh yang baru tiba itu. Sehingga dalam beberapa jurus saja, para pengeroyok kelima orang anggota Macan Terbang tergeletak rebah tanpa dapat bangkit lagi.
Kedatangan kedua sosok tubuh yang ternyata memiliki kepandaian tinggi, tentu saja membuat kelima orang anggota Macan Terbang menjadi gembira. Dengan wajah bersimbah peluh dan darah, mereka langsung menjatuhkan diri berlutut di depan kedua sosok tubuh yang membelakangi mereka.
“Terima kasih kepada Tuan berdua yang telah menyelamatkan nyawa kami...,” ucap kelima orang itu bergantian sambil mengangguk-anggukkan kepala membentur tanah berdebu.
Dua sosok tubuh berpakaian putih dan hijau itu membalikkan tubuh ke arah lima orang sisa anggota Macan Terbang. Sosok berjubah putih yang ternyata seorang pemuda tampan itu bergerak melangkah dan membangunkan kelima orang yang masih bersujud.
“Bangkit, dan beristirahatiah kalian. Serahkan masalah ini kepada kami. Mudah-mudahan kami dapat menyelesaikannya dengan baik,” ujar pemuda tampan berjubah putih itu dengan suara halus dan wajah terhias senyum.
“Kereta barang kami..., mereka rampok...,” tutur laki- laki berkumis tipis yang dengan cerdik dapat memanfaatkan penolongnya.
“Sabarlah. Sahabatku ini akan membereskannya,”sahut pemuda tampan itu sambil menolehkan kepala kepada kawannya, yang ternyata adalah seorang dara jelita.
Mendengarcucapancpemudavberjubahvputih, daracjelita berpakaian hijau itu pun bergegas menghampiri kereta kuda yang tengah dikerubuti para perampok. Sedangkan pemuda itu sendiri, sudahvmelangkahkan kaki mendekati tiga orang lelaki pendek gemuk yang merupakan pimpinan para perampok.
Hadirnya kedua sosok tubuh yang langsung terjun kedalam kancah pertarungan, tentu saja membuat Tiga Buaya Darat menjadi terkejut. Apalagi setelah menyaksikan kehebatan mereka. Bahkan hanya dalam beberapa gebrakan saja, para pengikutnya dapat dibuat tak berdaya. Tentu saja hal ini membuat ketiganya membelalak marah.
Begawa sebagai orang tertua dari Tiga Buaya Darat, langsung saja melangkah maju menyambut kedatangan pemuda itu. Langkahnya terhenti dalam jarak satu setengah tombak dari lawannya. Dengan tatapan seperti hendak menelan tubuh pemuda itu bulat-bulat, Begawa menudingkan telunjuknya secara kasar.
“Siapa kau, Pemuda Setan! Mengapa begitu lancang mencampuri urusanku?!” bentak Begawa dengan suara menggelegar. Kemarahan Begawa dapat dimaklumi. Dan memang kedatangan pemuda berjubah putih dan kawannya itu, telah membuat rencananya berantakan. Maka seluruh kemarahannya ditumpahkan kepada pemuda itu.
“Hm...,” gumam pemuda tampan itu pelan sambil meneliti ketiga sosok tubuh di hadapannya. “Kaliankah yang telah membantai delapan orang yang tengah melewati Hutan Branjangan?” tanya pemuda yang tak lain dari Panji, dengan pandangan penuh selidik. Sedangkan pertanyaan Begawa sama sekali tidak dipedulikannya.
“Aku tidak tahu, apa yang kau maksudkan itu.Jawab saja pertanyaanku sebelum kau menggeletak jadi mayat!” bentak Begawa yang semakin memuncak amarahnya. Karena pemuda tampan itu sepertinya sama sekali memandang remeh padanya.
“Dugaanku pasti tidak meleset. Di sekitar daerah ini, hanya kalianlah para perampok yang mengenakan seragam serba hitam. Sedangkan dua kelompok lainnya menggunakan serba merah dan biru. Jadi, tidak perlu lagi kalian berdalih,” ujar Panji tanpa mempedulikan kemarahan Begawa.
Menilik dari sikap dan kata-katanya, jelas kalau Pendekar Naga Putih telah menyelidiki komplotanpara perampok di sekitar wilayah itu. Dan itu pula yang membuatnya merasa yakin akan dugaannya.
“Kau jangan menuduh sembarangan, Kisanak! Bisa saja kelompok yang kau selidiki itu berbohong, dan mereka melemparkan tuduhan kepada kami. Tapi jangan dikira kami takut mengakuinya, kalau memang kami yang melakukan pembunuhan itu,” sahut Begawa. Laki-laki itu akhirnya terpaksa mengikuti arah pembicaraan Pendekar Naga Putih, karena pertanyaan yang diajukannya sama sekali tidak dipedulikan.
“Hm..., kau masih ingin menyangkal?” gertak Panji yang segera melangkah maju bersikap mengancam.
“Kakang! Mengapa harus meladeni bocah gila itu? Beset saja mulutnya, habis perkara,” sahut salah seorang dari dua kawan Begawa yang seperti tidak sabar melihat perdebatan itu. Setelah berkata demikian, laki-laki gemuk berikat kepala merah yang merupakan orang kedua dari Tiga Buaya Darat, bergegas melompat dan menjejakkan kakinya beberapa langkah di hadapan Panji. Di tangan kanannya tampak tergenggam sebatang golok besar yang pada bagian matanya bergerigi.
“Mengapa tidak kau saja yang melakukannya, Kisanak?” tantang Panji sambil tersenyum. Diwajah Pendekar Naga Putih sama sekali terlihat kegentaran. Dan sikapnyapun tetap tenang. Sama sekali tidak bersiap, sebagaimana biasanya orang yang akan menghadapi pertarungan.
“Bangsat! Kurobek mulutmu yang lancang itu...!” Dengan kemarahan menggelegak, lelaki gemuk berikat kepala merah itu langsung melompat disertai sabetan senjata mengancam wajah Panji.
Wuttt!
Sambaran golok besar itu lewat beberapa jengkal, ketika Pendekar Naga Putih menggeser tubuhnya ke samping. Namun begitu senjatanya tidak mengenai sasaran,laki-laki berikat kepala merah itu memutar senjatanya dengan gerakan cepat dan kuat!
“Bagus...!” seru Panji yang mau tak mau harus memuji serangan lawan. Karena gerakan orang itu memang cepat dan tak terduga, sehingga membuat Pendekar Naga Putih mengaguminya.
Pujian yang dikeluarkan bukan berarti Pendekar Naga Putih tidak bisa mengatasi lawan. Sambaran golok yang bagi orang lain terlihat sangat cepat dan berbahaya, tentu saja bukan hal yang mencemaskan bagi Pendekar Naga Putih. Dengan gerakan indah dan tak terduga, pemuda tampan itu menarik kaki depan sambil mendoyongkan tubuh ke belakang. Dan begitu sambaran senjata lawan yang mengincar lehernya lewat, kaki yang semula tertarik ke belakang langsung mencelat naik mengancam lambung lawan.
Zebbb!
“Aihhh...!” Serangan balasan pemuda itu ternyata telah membuat lawan kelabakan. Betapa tidak? Sebab, datangnya tendangan yang dilancarkan Panji benar-benar tak terduga. Tahu-tahu saja, ujung kaki pemuda itutelah berada beberapa jengkal didepan lambung lawan. Dengan gerakan agak gugup, laki-laki gemuk berikat kepala merah itu melempar tubuh kebelakang. Langsung dia bersalto beberapa kali untuk menyelamatkandiri.
Sayang Pendekar Naga Putih tidak sudi lagi memberikan kesempatan kepada lawan untuk melanjutkan pertarungan. Maka pada saat tubuh gemuk itu tengah melambung di udara, pemuda itu bergegas mengejar disertai hantaman telapak tangan yang langsung mengincar dada lawan. Dan....
Bukkk!
“Hugkh. !” Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh orang itu terlempar deras ketika telapak tangan Pendekar Naga Putih menghantam telak dadanya. Jeritan kesakitan yang disertai semburan darah segar terlontar dari mulut lawannya. Tubuh gemuk itu langsung terbanting ambruk di tanah keras sekali.
“Adi Jambrong...!” Bukan main terkejutnya hati Begawa melihat adiknya dapat ditundukkan pemuda itu hanya dalam beberapa jurus saja. Cepat ia berlari menghambur kearah tubuh Jambrong bersama saudaranya yang paling muda.
“Bedebah! Kubunuh kau...!” bentak Begawa marah ketika melihat cairan merah yang mengalir disudut bibir Jambrong. Dengan kemarahan menggelegak, lelaki gemuk itu bangkit ketika mendapati adiknya yang pingsan akibat pukulan Pendekar Naga Putih.
“Kita habisi saja dia, Kakang!” seru orang ketiga dari Tiga Buaya Darat dengan wajah merah. Sambil berkata demikian, laki-laki berikat kepala biru itu langsung meloloskan senjatanya, berupa sepasang adik berukuran satu setengah jengkal.
“Bagus! Majulah kalian bersama-sama, biar urusan ini cepat selesai,” ujar Panji dengan suara tenang dan bibir tersenyum. Ucapan itu dimaksudkan Pendekar Naga Putih untuk membangkitkan kemarahan lawan. Sebab, bila penyerangan dilakukan dengan penuh amarah, biasanya kewaspadaan pasti akan berkurang. Dan itu akan mempermudah pekerjaannya.
“Setan...!” Begawa yang merasa tertantang, bergegas melompat disertai ayunan penggadanya yang menimbulkan deru angin keras! Dalam kemarahannya, laki-laki gemuk berikat kepala hitam itu telah menggunakan seluruh tenaga dalam serangannya kali ini. Orang ketiga dari Tiga Buaya Daratpun tidak mau ketinggalan. Tubuhnya segera melesat menyusuli kakak seperguruannya. Sepasang badiknya bergerak cepat saling susul-menyusul dengan kekuatan tidak bisa dipandang remeh.
Wukkk! Bettt! Bettt!
Serangan gencar bertubi-tubi yang dilepaskan kedua orang kakak beradik itu sama sekali tidak membuat Pendekar Naga Putih gentar. Dengan langkah-langkah pendek yang disertai gerakan tubuhnya, sambaran senjata lawan dapat dihindari dengan mudah. Bahkan setelah pertarungan menginjak jurus kesepuluh, pemuda itu mulai melancarkan serangan-serangan balasan yang cepat dan tak terduga.
Sebenarnya, kepandaian yang dimiliki dua orang dari Tiga Buaya Darat itu termasuk cukup tinggi. Bahkan boleh dikatakan sampai saat sebelum berjumpa Pendekar Naga Putih, mereka sama sekali belum terkalahkan. Tapi kali ini mereka terpaksa harus menelan pil pahit. Sebab,pemuda tampan yang sama sekali tidak mereka kenal telah membuat kalang-kabut! Tentu saja kenyataan itu membuat mereka semakin penasaran.
Memasuki jurus kelima belas, serangan-serangan yang dilancarkan Panji tampak semakin membuat kedua lawan kerepotan. Sehingga, mereka tidak sempat lagi melancarkan serangan-serangan balasan. Dan memang, pukulan-pukulan yang dilancarkan pemuda itu bagaikan datang dari berbagai penjuru dan mengurung mereka.
“Heaaah...!”
Pada suatu kesempatan baik, Panji membentak keras. Akibatnya, kedua lawan terkejut. Dan sebelum mereka sempat menyadari keadaan, sepasang tangan Pendekar Naga Putih bergerak cepat mengancam tubuh keduanya sekaligus!
Bettt! Bettt!
“Ihhh...!” Begawa dan adik seperguruannya tergagap melihat serangan yang meluncur mengancam tubuh mereka. Cepat keduanya melempar tubuh ke belakang, dan langsung menjatuhkan diri bergulingan menghindari serangan Pendekar Naga Putih.
Namun, kecepatan gerak Panji tidak dapat disamakan kecepatan mereka. Maka sekali melompat saja, tubuh pemuda itu telah dapat menyusuli kedua lawannya. Dan ketika tubuh mereka melenting bangkit, sepasang tangan pendekar muda itu telah menghajar telak tubuh keduanya.
Bukkk! Desss!
“Aaargh...!”
“Hugkh...!”
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua orang itu langsung terlempar sejauh satu tombak lebih.
“Uhhh...!” Begawa, orang pertama dari Tiga Buaya Darat itu rupanya memiliki daya tahan yang jauh lebih kuat daripada saudaranya. Lelaki gemuk berwajah brewok itu mencoba bangkit berdiri disertai keluhan yang terdengar dari mulutnya. Sedangkan disebelah kanannya tampak tubuh saudaranya telah tergeletak pingsan.
Panji yang melihat Begawa bergerak hendak bangkit, cepat melompat. Langsung ditekannya tubuh orang itu dengan menggunakan telapak kakinya. Hal itu dilakukan dengan pengerahan tenaga dalamnya, sehingga Begawa merasakan tubuhnya bagai dihimpit sebuah batu besar yang sangat berat
“Hm. Sepertinya kau tidak akan pernah jera terhadap kelakuanmu selama ini. Sebaiknya, orang sepertimu tidak boleh dibiarkan lama-lama, menikmati hidup ini,” geram Panji sambil menambah tekanan pada pijakan kakinya.
“Akh. !” Merasakan tekanan telapak kaki lawan semakin bertambah berat dan menyakitkan, Begawa kembali mengeluh. Cairan merah tampak mengalir semakin deras dari sudut bibirnya.
Panji menarik kakinya dari tubuh lawan. Sempat terlintas rasa iba dihatinya melihat seringai kesakitan di wajahlaki-laki gemuk itu. Setelah menatap wajah orang itu sejenak, tangan kanannya diangkat, siap mengirim Begawa ke akhirat
“Tunggu, Kisanak...!” seru Begawa yang melihat pemuda itu hendak menghabisi nyawanya. Seruan serak itu disusul suara batuk dan muntahan darah segar. Jelas kalau Begawa telah terluka dalam cukup parah akibat pukulan Panji tadi.
“Hm.... Kau mempunyai pesan untuk kusampaikan kepada anak buahmu?” tanya Panji.
Pendekar Naga Putih segera menurunkan telapak tangannya yang siap menghunjam tubuh gemuk itu. Dipandanginya wajah Begawa yang saat itu juga tengah menatapnya dengan sinar mata redup.
“Aku..., aku sebenarnya hanya seorang pengikut. Dan... kami masih mempunyai pimpinan lagi...,” jelas Begawa dengan suara terpatah-patah.
“Pimpinan? Maksudmu...?” tanya Panji. Pendekar Naga Putih segera mengangkat tubuh gemuk itu untuk bangkit duduk, lalu disandarkannya pada sebatang pohon.
“Aku..., aku hanya orang suruhan...,” aku Begawa lagi sambil menarik napas panjang-panjang. Seringai di wajahnya tampak kembali menggurat. Tangan kanannya bergerak menekap dada yang dirasakan semakin nyeri. Tentu saja ucapan itu tidak sepenuhnya dipercaya Panji. Namun karena menurutnya tidak ada ruginya mendengar keterangan itu, maka diberikannya obat luka dalam yang selalu dibawa dalam buntalan pakaiannya kepada Begawa.
“Ceritakanlah...,” pinta Panji. Pendekar Naga Putih telah menjejalkan obat luka dalam berwarna putih salju ke dalam mulut Begawa. Ditunggunya beberapa saat setelah obat pemberiannya menunjukkan gejala penyembuhan.
“Tiga tahun yang lalu, aku dan dua kelompok perampok lainnya didaerah ini merupakan raja-raja kecil yang memiliki daerah kekuasaan. Sampai kemudian, datang seorang laki-laki tinggi besar yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Orang yang berjuluk Hantu Teluk Jambe itu datang menaklukkan semua perampok di daerah ini,” Begawa menarik napas panjang dan menghentikan ceritanya sejenak.
“Kemudian, kami diperintah untuk membunuh setiap orang yang melewati daerah kekuasaan kami dan merampas semua bawaan mereka. Setiap hasil yang didapatkan harus dikirim ke Desa Pacitan. Hal itu kami lakukan dengan menyamar sebagai pengawal barang, agar tidak menimbulkan kecurigaan penduduk desa itu,” lanjut Begawa.
“Hm.... Siapakah orang itu? Dan apa jabatannya di Desa Pacitan?” tanya Panji tetap bersikap tenang dan sabar. Meskipun keterangan yang dibeberkan Begawa sangat jelas, namun Pendekar Naga Putih tidak mau mempercayai begitu saja. Sebab, bukan tidak mungkin kalau kepala rampok itu sengaja melontarkan fitnah untuk keselamatannya sendiri.
“Kau boleh tidak percaya dengan keteranganku ini, Kisanak. Tapi untuk membuktikan kebenaran ceritaku ini, sebaiknya datanglah ke Desa Pacitan. Disana, kau boleh menyelidiki seorang juragan yang bernama Gerda Pasa. Para penduduk desa itu memang tidak mengetahuinya. Bahkan mereka menganggap Gerda Pasa sebagai orang kaya yang baik hati. Kebusukannya disembunyikan dibalik kebaikan hatinya dengan memberi bantuan kepada para penduduk yang tidak mampu. Padahal, semua itu dilakukannya untuk mengeruk keuntungan dari para petani yang dibantunya,” tutur Begawa kembali melanjutkan ceritanya.
“Hm.... Maksudmu, Gerda Pasa membantu dengan memberikan pinjaman kepada mereka. Lalu, para petani diharuskan membayar berlipat ganda, begitu?” tanya Panji yang memang telah sering mendengar ulah para juragan tamak terhadap para penduduk desa. Baginya, cerita seperti itu sudah tidak aneh dan sering dijumpai dalam perantauan.
“Tidak! Gerda Pasa bahkan lebih licik dari itu. Ia memang memberi bantuan berupa bibit-bibit tanaman dan segala keperluan para petani miskin. Tapi setelah tumbuh subur, tanaman itu akan dirusaknya dengan menyebarkan racun, sehingga para petani gagal panen. Setelah kejadian itu, tentu para petani miskin tadi tidak akan sanggup membayar hutang-hutang mereka. Maka kemudian sawah atau ladang mereka dibeli Juragan Gerda Pasa dengan harga murah. Lalu, para petani disuruhnya menggarap sawah yang telah dibeli. Tentu saja mereka hanya sekadar orang upahan yang tidak berhak mencicipi hasil sawah ladang itu.”
“Hm.... Licik sekali orang itu. Dengan demikian, ia tidak akan dicurigai para petani. Sudah berapa banyak orang yang terjebak tipu kejinya itu? Jelas, kekayaan yang dimiliki Gerda Pasa semakin menumpuk,” geram Panji sambil mengepalkan tinjunya kuat-kuat. Seketika Pendekar Naga Putih teringat dengan pembunuhan keji yang ditemukannya di Hutan Branjangan beberapa hari yang lalu.
“Jadi delapan orang yang kau bantai di Hutan Branjangan itu, juga tengah mengantar barang?” tanya pemuda itu.
“Benar! Mereka adalah rombongan saudagar kaya yang hendak menjual hasil tanamannya kekadipaten. Mereka terpaksa kami bunuh untuk menghilangkan jejak. Barang- barang bawaan mereka kami rampas, dan dikirimkan kepada Juragan Gerda Pasa. Karena semua itu memang atas perintahnya,” Begawa akhirnya mengakui segala perbuatannya kepada Panji.
Semua itu dilakukan kepala perampok itu karena merasa benci terhadap Gerda Pasa yang telah memperalat dirinya dan anggota gerombolannya. Padahal, mereka tidak mendapatkan hasil sedikit pun dari pekerjaan itu. Maka, Begawa segera mengadukannya kepada pemuda lihai yang tak dikenalnya itu. Dengan harapan, Gerda Pasa dapat diringkus Pendekar Naga Putih.
“Hm..., baiklah. Sekarang, apa yang akan kau lakukan setelah semua kejadian ini? Apakah kau ingin kembali merampok?” tanya Panji. Pendekar Naga Putih merasa semua keterangan yang diperolehnya telah cukup. Namun, matanya tetap menatap wajah Begawa penuh selidik.
“Entahlah, Kisanak. Aku tidak memiliki kebisaan lain, selain berkelahi. Rasanya sulit sekali mencari nafkah dengan cara lain,” sahut Begawa. Kepala perampok itu sedikit heran mendengar pertanyaan pemuda dihadapannya. Sebab menurutnya, pertanyaan pemuda itu jelas mengandung arti yang khusus baginya. Begawa tidak berani memikirkannya, karena merasa telah terlalu kotor dan patut dihukum mati.
“Kau mau mendengar saranku...?” tanya Panji seraya menepuk lembut bahu laki-laki gemuk itu. Wajah pemuda itu sama sekali tidak memancarkan dendam. Bahkan seulas senyum persahabatan tampak menghias wajah tampannya.
“Apa.... Apa maksudmu, Kisanak...?” suara Begawa terdengar tegang dan penuh harap-harap cemas.
“Bergabunglah dengan mereka,” jawab Panji seraya menudingkan telunjuknya ke arah lima orang sisa anggota pengawal barang Macan Terbang yang hanya dapat memandang bingung. Dan memang, mereka sama sekali tidak mendengar pembicaraan kedua orang itu.
“Maksudmu...?” tegas Begawa mencoba memastikan ucapan pemuda itu.
“Ya! Jadilah pengawal barang seperti mereka. Dan sebagai permulaan, kau dapat mengantarkan kelima orang itu sampai ke tempat tujuan,” jawab Panji seraya tersenyum lembut
“Kau..., kau tidak akan membunuhku...?” tanya Begawa, seolah-olah tak percaya dengan apa yang terdengar telinganya.
“Kalau kau memang telah bertobat dan berjanji untuk tidak melanjutkan perbuatanmu yang lalu, tentu saja aku akan membebaskanmu,” senyum Panji semakin melebar melihat wajah Begawa yang berubah bagai orang tolol.
“Oh.... Terima kasih..., terima kasih, Kisanak. Aku..., aku..., ah! Aku berjanji akan meninggalkan pekerjaan kotor ini, dan akan menuruti nasihatmu. Semoga saja, apa yang kukerjakan nanti tidak akan mendapatkan cemooh dari masyarakat,” ucap Begawa.
Laki-laki itu segera menjatuhkan dirinya, berlutut di depan Panji. Air mata tampak mengembang di pelupuk matanya. Jelas kalau dia yang selama ini terkenal sebagai ketua gerombolan perampok ganas merasa terharu dengan apa yang dilakukan pemuda itu terhadapnya.
“Mengantarkan kelima orang itu hanya sebagai permulaan, Kisanak. Setelah itu, carilah tempat lain yang orang-orang tidak mengetahui masa lalumu. Dengan demikian, kau tidak perlu merasa takut terhadap pandangan orang lain,” sahut Panji memberikan nasihatnya.
Begawa semakin dalam menundukkan kepalanya. Setelah cukup lama, baru laki-laki gemuk itu mengangkat kepalanya dan memandang Pendekar Naga Putih penuh rasa syukur.
“Baiklah, Kisanak. Semua nasihatmu akan kujalankan. Tapi, bolehkah aku mengetahui nama atau julukanmu? Rasanya, janggal sekali kalau tidak mengetahui siapa orang yang telah mengangkatku dari semua kehinaan ini. Namaku adalah Begawa,” pinta Begawa dengan suara parau karena rasa haru yang dalam.
“Namaku Panji. Sedangkan orang-orang rimba persilatan menjulukiku sebagai Pendekar Naga Putih,” sahut Panji tanpa rasa bangga ataupun sombong sedikit pun.
“Ah...! Pendekar Naga Putih...! Pantas saja kau dapat menundukkan kami bertiga secara mudah! Ampunilah kami yang buta dan bodoh ini, Pendekar Naga Putih. Nama besarmu telah lama sampai ketelinga kami. Siapa sangka, hari ini aku mendapatkan kehormatan besar dapat berbincang-bincang denganmu,” desah Begawa yang sama sekali tidak menyembunyikan rasa gembiranya. Kembali laki-laki gendut itu menjatuhkan dirinya berlutut dihadapan Panji. Sehingga, pemuda itu terpaksa mengangkat bangkit Begawa dengan sedikit paksaan.
“Sudahlah, Paman Begawa. Jangan terlalu melebih- lebihkan. Bisa-bisa kepala ku menjadi sebesar gunung nanti,” ujar Panji, mencoba bergurau sambil mengangkat Begawa berdiri.
“Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Sekarang juga aku akan melaksanakan segala nasihatmu.” Setelah berkata demikian, Begawa melangkah kearah lima orang anggota Macan Terbang yang hanya bisa menatap bingung.
Sedangkan Panji sendiri sudah melangkah dan mengobati semua anggota Tiga Buaya Darat yang dilukainya. Termasuk, dua orang pimpinannya yang masih tergeletak pingsan. Kenanga sendiri sudah lama membereskan para perampok yang tengah mengerubuti kereta kuda. Sebagaimana yang dilakukan Panji, gadis jelita itupun menyadarkan lawan-lawannya. Mereka yang hanya dibuat pingsan, kembali bangkit dan berkumpul didekat Begawa.
“Mulai hari ini, pekerjaan keji ini harus ditinggalkan. Dan kita akan mencari pekerjaan lain yang lebih bersih. Siapa diantara kalian yang masih setia denganku, silakan ikut. Tapi bagi yang tidak bersedia ikut denganku, tidak ada paksaan. Silakan mencari jalan hidup sendiri-sendiri, asalkan bukan perbuatan jahat,” ujar Begawa lantang, sambil berdiri tegak dihadapan anggota gerombolannya.
Ternyata tidak seorangpun dari anggota perampok itu yang keluar dari barisan. Jelas, mereka semua lebih suka mengikuti sang Pemimpin. Tentu saja hal itu membuat Begawa tersenyum bangga. Namun tanpa disadari mereka, Pendekar Naga Putih dan Kenanga telah berkelebat cepat, menghilang dari situ. Dan memang, ilmu meringankan tubuh dua orang pendekar itu telah mencapai taraf kesempurnaan.
“Hei? Kemana Pendekar Naga Putih...?” tanya Begawa ketika tidak melihat Panji di tempat itu. Sadar kalau pemuda lihai itu merupakan seorang pendekar sejati, maka Begawa segera pergi dari situ untuk mengantarkan barang kiriman Macan Terbang.
Lima orang laki-laki gagah tampak melangkah memasuki mulut Desa Pacitan. Sikap mereka tampak angker dengan tatapan mata tajam menyiratkan kebengisan. Penduduk desa yang kebetulan berpapasan dengan mereka bergegas menepi, dan hanya dapat memandang bingung. Didepan kelima orang laki-laki gagah itu tampak dua orang laki-laki berwajah sembab berdarah. Pakaian mereka tampak lusuh dan kotor. Melihat perlakuan lima orang laki-laki gagah itu, jelas kalau kedua orang itu adalah tawanan.
“Percepat sedikit jalanmu, Bedebah!” hardik salah seorang dari lima laki-laki gagah itu.
Dia memiliki bentuk tubuh kekar berotot. Wajahnya yang terhias kumis tebal, tampak menyiratkan ketidak- sabaran. Dan hardikannya masih disertai pula dorongan yang membuat salah seorang tawanan terjerunuk hampir jatuh. Mendengar bentakan yang disertai dorongan keras, membuat kedua orang tawanan mempercepat langkahnya. Dengan setengah berlari, keduanya terus menyusuri jalan utama desa. Sekilas pun mereka tidak berani menolehkan kepala kepada laki-laki gagah bertubuh kekar itu. Tidak berapa lama kemudian, rombongan kecil itu tiba di depan sebuah bangunan besar yang terhitung paling megah di Desa Pacitan.
“Hm.... Inikah rumah majikanmu...?” tegur laki-laki berkumis lebat sambil melepaskan pandangan menilai rumah besar didepan matanya. Sikap dan ucapannya jelas membayangkan ketidak senangan.
“Betul..., Tuan...,” sahut salah seorang laki-laki berwajah sembab itu, menundukkan kepala. “Hm.... Mengapa kami tidak lekas kau bawa masuk...?” gumam laki-laki gagah berwajah keras yang mengenakan ikat kepala putih. Nada suaranya berat, bernada teguran dan ancaman.
“Kami... Kami tidak berani, Tuan...,” sahut salah seorang dari kedua tawanan yang memiliki cambang tebal dan berperut gendut. Suaranya lebih mirip keluhan daripada jawaban.
“Keparat! Rupanya kau lebih suka diperintah dengan ini!” bentak laki-laki berkumis lebat sambil meluncurkan kaki kanannya, menghajar tubuh orang itu. Dia memang merasa geram mendengar jawaban itu.
Desss!
“Akh...!”
Tawanan berperut gendut itu mengeluh tertahan ketika sebuah tendangan telak menghajar punggungnya. Sehingga, tubuhnya langsung terjerembab beberapa langkah kedepan, dan jatuh persis menghantam pintu gerbang rumah besar itu. Suara berdebuk nyaring yang berasal dari depan gerbang itu membuat dua orang penjaga bergegas menghampiri. Wajah keduanya berubah kelam melihat sesosok tubuh dengan wajah bersimbah darahcmeringkuk kesakitan.
“Bagol...! Kaukah itu...?” tegur salah seorang penjaga yang bertubuh tinggi kurus sambil membungkuk untuk memastikan dugaannya.
“Benar! Dia memang Bagol...!” seru penjaga bertubuh pendek, ketika kawannya mengangkat wajah bersimbah darah itu. Jelas kalau kedua orang penjaga itu memang telah mengenalnya dengan baik.
Saat keduanya tengah memeriksa tubuh laki-laki yang dipanggil Bagol itu, terdengar jerit kesakitan yang disusul melayangnya sesosok tubuh lain kearah mereka.
“Nih, satu lagi kukembalikan...!” terdengar seruan keras mengiringi sosok tubuh yang tengah melayang.
Namun penjaga yang bertubuh tinggi kurus ternyata cukup sigap. Begitu melihat sosok tubuh yang melayang ke arahnya, cepat kakinya melangkah mundur. Disertai bentakan nyaring, tubuh jangkung itu melesat menyambut sosok tubuh yang tengah mengapung di udara. Melihat dari sikapnya yang tanggap, jelas kalau seruan yang ditujukan kepadanya tadi telah didengarnya. Setelah berputar sebanyak dua kali diudara, tubuh tinggi kurus itu menjejakkan kaki ketanah. Menilik dari caranya menyambut dan menjatuhkan kaki di tanah dengan beban di kedua lengan, jelas kalau kepandaiannya tidak bisa dipandang rendah.
“Bagus...!” seru laki-laki tinggi kekar berkumis tebal memuji tindakan penjaga itu. Pujiannya masih disertai pula tepukan tangan yang cukup nyaring. Sayangnya, suara pujian yang keluar dari mulut laki-laki gagah itu agak sedikit menyiratkan kesinisan.
“Terima kasih atas pujianmu, Kisanak, Bolehkah aku tahu, siapa kalian sebenarnya? Dan mengapa sampai tega menyiksa kedua orang kawan kami ini?” tegur laki-laki tinggi kurus itu dengan wajah angker. Sepasang matanya tampak menyipit, seperti hendak menilai kelima orang laki-lagi gagah didepannya.
“Tidak perlu banyak cakap! Panggil saja majikanmu keluar! Katakan, sahabat-sahabat Saudagar Prakosa ingin bertemu!” jawab laki-laki berkumis lebat yang memang sudah tidak bisa menahan kemarahannya. Jelas kalau ucapannya mengandung ancaman.
“Hm.... Jangan disangka setelah menganiaya kedua orang kawan kami, kalian bisa berbuat seenaknya! Langkahi dulu mayat kami berdua, baru bisa menemui majikan kami,” tantang laki-laki tinggi kurus itu. Kemudian dia segera mencabut keluar golok panjang di pinggangnya. Perbuatannya diikuti penjaga lainnya, yang berdiri disebelah kiri laki-laki tinggi kurus itu.
“Nah! Kalau begitu, matilah kalian...!” bentak laki-laki berkumis lebat yang segera melompat disertai kibasan tangan ke arah dua orang penjaga pintu gerbang itu.
Wuttt!
Serangkum angin menderu, berhembus mengiringi kibasan tangan laki-laki gagah itu. Dari sambaran angin yang ditimbulkannya, jelas kalau ia memang hendak menurunkan tangan maut kepada dua orang penjaga yang siap menyambutnya.
“Yeaaat...!”
Dibarengi teriakan keras, kedua orang penjaga itu bergegas mengibaskan senjata menyambut serangan lawan. Tapi, laki-laki gagah itu ternyata cukup cerdik. Maka, tangan kanannya yang mengibas itu berputar setengah lingkaran. Kemudian, terus meluncur menyampok kedua senjata lawan.
Plak! Plak!
“Akh...!” Perubahan gerak yang cepat dan tak terduga dari laki- laki gagah itu, tak sempat lagi dicegah lawan. Terdengar suara keras yang disusul seruan tertahan dari kedua orang penjaga itu. Tubuh keduanya terjengkang ke belakang sejauh satu tombak. Demikian kuatnya tenaga sampokan laki-laki gagah itu, sehingga senjata mereka terlepas dari genggaman.
“Kurang ajar...!” umpat penjaga tinggi kurus yang segera melenting bangkit, dan siap menghadapi pertarungan kembali.
“Setan...!” maki penjaga yang bertubuh pendek. Seperti kawannya, tubuh laki-laki pendek itu pun melenting bangkit dengan wajah menyeringai kesakitan. Tangan kanannya bergerak mengelus pinggul yang terasa linu. Dan memang, pada saat terjatuh tadi, tubuhnya tepat menimpa batu sebesar kepalan tangan. Dan tentu saja kemarahannya semakin menggelegak.
Laki-laki kekar berwatak berangasan itu rupanya tidak ingin berlama-lama. Begitu kedua lawannya bergerak bangkit, dia langsung melompat disertai hantaman telapak tangan ke arah penjaga tinggi kurus.
Bugk!
“Hugkh...!”
Hantaman telapak tangan laki-laki kekar itu telak menghajar dada lawan yang tak berdaging. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh tinggi kurus itu tertolak kebelakang bagai dihentakkan tenaga raksasa yang tak nampak. Penjaga itu kemudian tewas, setelah terlebih dahulu menghantam dinding batu dibelakangnya.
Sedangkan gerakan laki-laki kekarcberkumisclebatcitu ternyata masih berkelanjutan. Begitu hantaman telapak tangannya mengenai sasaran, tubuhnya segera berputar. Langsung dilancarkannya tendangan lompat yang mengarah kepala penjaga satunya lagi. Penjaga bertubuh pendek yang saat itu masih merasakan nyeri di pinggulnya, tentu saja menjadi terkejut setengah mati. Belum lagi sempat menyadari, telapak kaki yang mengandung tenaga dalam kuat itu telah singgah di kepalanya.
Krakkk!
Bagaikan layang-layang putus, tubuh pendek itu melintir akibat kerasnya tendangan lawan yang menghajar kepalanya. Darah segar kontan menyembur dari mulutnya, disertai beberapa buah giginya yang tanggal. Sebelum tubuhnya sempat terjatuh, kembali sebuah tamparan keras membuat napasnya langsung putus.
Plakkk!
Tamparan keras yang telak menghajar pelipisnya, membuat penjaga bertubuh pendek itu terbanting keras ke atas tanah. Darah seketika tampak mengalir dari luka memanjang dipelipisnya. Tamparan yang menewaskancitu ternyata juga menimbulkan luka yang mengalirkan darah. Selesai menamatkan riwayat kedua lawannya, laki-laki tinggi kekar itu langsung melompat melewati pintu gerbang.
“Adi Sempana, tunggu..!” seru salah seorang daricempat laki-laki gagah yang berusia paling tua di antara mereka. Kemudian, tubuhnya langsung melesat mengejar. Tiga orang laki-laki gagah lainnya, bergegas menyusul. Gerakan mereka rata-rata gesit dan ringan, langsung bergerak memasuki pelataran rumah itu.
“Hey, siapa kalian?! Dan mau apa memasuki tempat ini...?!” terdengar bentakan nyaring yang membuat langkah lima orang laki-laki gagah itu terhenti. Begitu bentakan lenyap, delapan sosok tubuh berpakaian serba hitam berlompatan mengurung lima orang itu. Sikap kedelapan orang itu terlihat galak, dan memandang penuh ancaman. Senjata-senjata mereka pun telah dilolos dari sarungnya.
“Hm.... Cecunguk-cecunguk Gerda Pasa. Lebih baik kalian menyingkir sebelum kesabaranku hilang!” ancam laki-laki bertubuh kekar yang bernama Sempana. Sepasang matanya tampak menyorot tajam, membuat hati delapan orang itu bergetar dan melangkah mundur tanpa sadar.
“Keparat sombong! Kurobek mulutmu yang lancang itu!” bentak salah seorang diantara pengepung itu. Sambil berkata demikian, ia melangkah maju dua tindak. Tangan kanannya mengibas kekiri dan kanan sebagai perintah kepada kawannya untuk mulai bergerak.
“Hmh...!” Sempana menggeram gusar melihat kepungan itu. Sebelum orang-orang itu bergerak, tubuhnya sudah mencelat. Langsung dikirimkannya serangan kearah dua orang yang berada didepannya.
“Heaaat..!”
Dua orang tukang pukul Juragan Gerda Pasa yang melihat datangnya serangan lawan, cepat bergerak menghindar sambil mengibaskan senjata disertai pengerahan tenaga dalam.
Bettt! Bettt!
Sempana sama sekali tidak peduli terhadap serangan dua orang lawannya. Tubuhnya terus meluncur kedepan dengan pukulan-pukulan yang menimbulkan deru angin kuat. Tentu saja hal itu membuat kedua orang lawan menjadi terkejut. Namun, mereka tetap membabatkan senjatanya. Maksudnya, untuk membuntungi kedua lengan lawan. Bagaikan seekor belut, sepasang tangan Sempana meliuk menghindari sambaran dua batang senjata. Saat itu juga, tubuhnya mengegos ke kanan, dan langsung mengirimkan sebuah tendangan kilat
Begk!
“Hugkh...!”
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh salah seorang lawan langsung terjungkal akibat tendangan keras Sempana. Darah segar langsung memercik membasahi pelararan rumah Juragan Gerda Pasa. Seketika orang itu berkelojotan tewas akibat tendangan dengan pengerahan tenaga dalam amat kuat.
Melihat tubuh kawannya terkapar tak bergerak, lawan yang seorang bergegas menebaskan senjata ke leher Sempana. Terdengar suara berdesing nyaring yang menandakan kalau sambaran golok itu cukup kuat. Belum lagi sambaran golok itu tiba, seorang berseragam hitam lainnya meluruk maju sambil menyabetkan pedang mengincar perut Sempana. Kekuatan sambaran itu tidak kalah kuat dengan yang pertama. Sepertinya, kedua orang itu memang sengaja hendak mengacaukan pikiran lawan dengan serangan dari dua arah yang berbeda.
Namun Sempana yang merupakan orang kedua dari lima tokoh berjuluk Lima Naga Sungai Gombang, bukanlah orang sembarangan. Pengalamannya dalam rimba persilatan tak terhitung lagi. Sehingga dalam menghadapi serangan dari dua arah itu, sama sekali tidak gugup. Bagaikan seekor ular, tubuh kekar itu meliuk dengan gerakan luwes. Sambil melangkahkan kaki kanan ke depan, tubuhnya menekuk kebelakang dengan kedua tangan hampir menyentuh tanah.
“Haiiit..!”
Sambil membentak nyaring, tubuh laki-laki kekar itu berbalik, setelah kedua batang senjata lawan lewat satu jengkal diatas perutnya. Gerakan membalik itu dibarengi tendangan kedua kakinya, langsung menghajar dagu dan dada lawan.
Bukkk! Desss!
“Hugkh...!”
“Uhhh...!”
Tentu saja kedua orang lawan sama sekali tidak menduga gerakan itu. Mereka langsung mengeluh dan langsung terpental. Lawan yang terhantam dadanya kontan roboh pingsan, sedangkan yang seorang lagi melintir sambil memegangi dagu yang remuk.
Rupanya tendangan itu belum membuat hati Sempana puas. Tubuhnya kembali melenting, setelah terlebih dahulu menjatuhkan kaki sebagai tolakan. Gerakannya yang bagaikan lompatan kera itu membuat lawan menjadi terkesima. Belum lagi rasa sakit akibat tendangan tadi lenyap, tahu-tahu sepasang kaki Sempana telah menjepit tubuhnya. Seketika dua buah telapak tangan yang kuat langsung menghajar kedua telinganya secara berbarengan.
Prakkk!
“Aaargh...!” Darah segar segera membanjir keluar dari hidung, mulut, dan kedua telinga. Tubuh orang itu ambruk, dan tewas setelah berkelojotan meregang nyawa.
Pada saat yang bersamaan, terdengar jerit kematian berturut-turut memecah keheningan siang itu, disusul berjatuhannya empat orang berseragam hitam terakhir. Mereka tewas ditangan empat orang Lima Naga Sungai Gombang, yang juga telah menyelesaikan pertarungan.
“Kakang Gumparan! Apakah kita harus berpencar...?” Sempana melangkah, menghampiri orang tertua diantara mereka.
“Tidak. Kita harus tetap bersama, Adi Sempana. Kudengar, manusia keji Gerda Pasa telah mengangkat Macan Tutul Lembah Daru sebagai menantu. Siapa tahu, pendekar muda itu akan membantunya. Sehingga, kita harus berhadapan dengannya terlebih dahulu,” sahut Ki Gumparan. Sinar matanya tampak menyiratkan rasa gentar ketika mengucapkan nama Macan Tutul Lembah Daru.
“Hei? Benarkah ucapanmu itu? Mengapa pendekar muda itu tidak mengundang kita?” tanya Sempana yang merasa terkejut juga ketika mendengar keterangan saudara tertuanya.
“Hm. Kita tidak pernah berjumpa dengan pendekar muda itu sebelumnya. Jadi, wajar saja kalau tidak mengundang kita pada hari pernikahannya,” jawab Ki Gumparan dengan nada sedikit kecewa.
“Sudahlah. Biarpun Macan Tutul Lembah Daru membantu juragan berhati iblis itu, kita tidak perlu mundur karenanya,” sahut salah seorang dari tiga lainnya, tak sabar. Jelas kalau ia merasa tidak suka pada nada gentar yang terkandung dalam ucapan kedua saudaranya.
“Ayolah...,” ajak Ki Gumparan yang langsung melangkahkan kakinya menaiki undakan anak tangga yang berhubungan kepintu utama rumah besar itu.
“Gerda Pasa, keluar kau...! Kami utusan Saudagar Prakosa ingin meminta tanggung jawabmu!” seru Ki Gumparan, lantang. Dan memang, suara itu dikirim lewat pengerahan tenaga dalam. Maka, gemanyapun terdengar hingga kebagian belakang rumah besar itu.
Tak lama kemudian,terdengar suara berderit yang disertai terbukanya pintu utama rumah besar itu. Seorang laki-laki tinggi besar yang wajahnya, dipenuhi cambang bauk tampak berdiri tegak diambang pintu.
“Siapa kalian? Dan apa maksudmu dengan tanggung jawab itu?” tanya orang yang tak lain Gerda Pasa. Suaranya berat dan berwibawa. Sepasang matanya yang bulat, tampak merayapi kelima orang laki-laki gagah yang berdiri tegak dengan sikap mengancam
“Hm.... Jangan berpura-pura bodoh, Gerda Pasa. Meskipun kau telah dapat menipu para petani dengan sikap dermawanmu, tapi kebusukanmu akan terbongkar hari ini. Kau telah mengirim lima anak buahmu untuk membakar perkebunan milik Saudagar Prakosa, sahabat baik kami. Dan tiga diantaranya, terpaksa kami kirim ke neraka. Sedangkan dua lainnya berada didepan pintu gerbangmu. Nah! Apakah kau masih ingin membantah?” kata Ki Gumparan yang mewakili saudara-saudaranya.
Sikap laki-laki setengah baya itu terlihat tenang dan sama sekali tidak menunjukkan amarah. “He he he.... Berapa kepeng kalian dibayar Prakosa, sehingga bisa-bisanya melemparkan fitnah keji itu kepadaku. Mengapa pula kalian mempercayainya?” sahut Juragan Gerda Pasa. Laki-laki setengah baya itu sama sekali tidak kelihatan gentar meskipun pandangan kelima orang itu terlihat penuh ancaman. Malah ia melangkah mendekati mereka disertai tawanya yang serak.
“Kau salah sangka, Gerda Pasa. Bukan Saudagar Prakosa yang melemparkan tuduhan itu. Tapi, kami sendirilah yang memergoki dan membekuk kelima orang-orangmu semalam. Kebetulan, saat itu kami tengah bertamu dan menginap dikediamannya. Kalau saja kami tidak disana semalam, mungkin saat ini saingan dagangmu telah jatuh bangkrut,” jelas Ki Gumparan sambil tersenyum penuh ejekan, karena apa yang diduga Gerda Pasa ternyata salah.
“Hm.... Kalian datang tentu untuk meminta sumbangan, bukan? Kalau begitu, biarlah. Aku akan memberi sumbangan yang lebih besar kepada kalian. Bagaimana? Dan, berapa yang kalian inginkan?” bujuk Juragan Gerda Pasa.
Kini dia merasa yakin kalau kelima orang laki-laki gagah itu memang benar-benar telah mengetahui rahasianya. Maka, tanpa ragu-ragu lagi, ditawarkannya bayaran yang lebih tinggi kepada mereka.
“Bagus! Tawaranmu kuterima!” Sempana yang sudah tidak bisa menahan sabar, langsung saja maju ke depan. “Dan kau boleh membayar dengan..., kepalamu!” sambung laki-laki berwatak beringas itu sambil melompat, dan langsung menebaskan sisi telapak tangan keleher laki- laki tinggi besar itu.
Wuttt!
Serangkum angin keras menderu, seiring sambaran sisi telapak tangan Sempana. Menilik dari sambaran pukulan itu, jelas kalau ia memang hendak mematahkan langsung batang leher Juragan Gerda Pasa yang masih berdiri tegak bagai tak mengetahui bahaya. Dan sebelum batang leher laki-laki tinggi besar itu patah akibat sambaran tangan Sempana, sesosok tubuh melayang dan langsung memapak tebasan telapak tangannya.
Plakkk!
“Uhhh...!” Bukan main terkejutnya hati Sempana ketika lengannya bagai dihantam besi baja. Tubuhnya terdorong mundur beberapa langkah kebelakang diiringi seruan kagetnya.
“Bangsat!” maki Sempana. Laki-laki beringas itu tampak memijat-mijat lengannya yang terasa nyeri akibat benturan tadi. Selebar wajahnya tampak memerah saking geramnya terhadap laki-laki tinggi kekar itu.
“Macan Tutul Lembah Daru...!” seru Ki Gumparan dan keempat orang saudaranya, termasuk Sempana. Mereka benar-benar terkejut melihat sosok tubuh tinggi tegap berpakaian kulit macan tutul. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Nanggala.
“Siapa mereka, Kakang...?” tanya wanita cantik berpakaian serba putih, yang begitu tiba langsung memeluk tubuh Nanggala.
Dia adalah Untari, istri Macan Tutul Lembah Daru. Rupanya suami istri yang menempati bagian belakang rumah besar itu bergegas kedepan setelah mendengar teriakan Ki Gumparan tadi. Dan suami istri itu menarik napas lega setelah mengetahui kalau orang tua mereka belum sempat dilukai kelima orang laki-laki yang menyatroni rumah besar ini
“Kalau tidak salah, mereka adalah Lima Naga Sungai Gombang,” jawab Nanggala.
Jawaban itu keluar setelah Macan Tutul Lembah Daru meneliti kelima orang laki-laki gagah itu. Meskipun belum pernah berjumpa dengan mereka, namun nama kelima orang itu telah lama didengar dan dikaguminya. Itulah sebabnya, mengapa Nanggala terlihat agak sedikit segan terhadap mereka. Sebab biar bagaimanapun, kelima orang itu masih segolongan dengannya. Dan hal itu membuatnya tidak menunjukkan sikap permusuhan.
“Benar, Macan Tutul Lembah Daru. Kami berlima dijuluki Lima Naga Sungai Gombang. Dan kuharap, kau tidak ikut campur dalam masalah ini. Perlu kau ketahui, Gerda Pasa telah melakukan perbuatan keji. Dia telah memakai tangan lima orang anak buahnya untuk membakar perkebunan milik sahabat kami yang bernama Saudagar Prakosa. Maka, kuharap kau menyingkir. Biar kami menyelesaikan urusan ini dengannya,” ujar Ki Gumparan, berwibawa.
Karena biar bagaimanapun, Ki Gumparan merasa tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi daripada Nanggala. Menurutnya, pemuda itu hanya seorang tokoh muda yang usianya baru seumur jagung. Maka, sudah sepatutnya kalau Macan Tutul Lembah Daru bersikap lebih hormat kepadanya.
Nanggala bukan tidak memandang Lima Naga Sungai Gombang. Tapi karena mereka hendak mencelakai ayah mertuanya, maka mau tak mau ia harus membela. Apalagi, semua tuduhan itu belum tentu benar. Sebab, selama tinggal di tempat kediaman ayah mertuanya, belum sekali pun orang tua itu terlihat berbuat jahat. Bahkan ayah mertuanya sering dilihat menolong petani-petani miskin yang kekurangan modal. Tentu saja Nanggala tidak bersedia mengikuti permintaan Ki Gumparan.
“Maaf, Ki. Kurasa hal itu hanya fitnah dari orang yang merasa tidak suka terhadap ayah mertuaku. Jadi sebaiknya hal ini dibicarakan dulu dengan kepala dingin. Mari, silakan masuk,” ajak Nanggala sambil menggeser tubuhnya memberi jalan kepada kelima orang itu untuk masuk.
“Tidak bisa. Apa yang kami katakan itu sama sekali bukan fitnah. Dan Gerda Pasa sendiri sudah mengakuinya tadi,” kembali Ki Gumparan melanjutkan ucapannya.
Wajah laki-laki setengah baya itu tampak sedikit gusar melihat sikap Nanggala yang jelas-jelas berada dipihak Gerda Pasa. Hal itu tentu saja membuatnya cemas. Tentu saja, karena pekerjaannya akan lebih sulit dengan adanya Macan Tutul Lembah Daru dipihak lawan.
Nanggala tidak segera menjawab perkataan Ki Gumparan. Pemuda itu menolehkan kepala kearah ayah mertuanya. Dan Untari pun melakukan hal yang sama.
“Ayah, benarkah apa yang diucapkan orang itu?” tanya Untari meminta penjelasan ayahnya. Wanita cantik itu sudah melangkah dan mendekati Gerda Pasa.
“Hhh.... Aku tidak bisa bilang apa-apa. Sekarang, tinggal terserah kalian berdua. Apakah lebih mempercayai Ayah, atau kelima orang tukang pukul Prakosa itu,” sahut Gerda Pasa yang dengan pandainya bersandiwara berpura- pura sedih.
“Tapi, Ayah tidak melakukannya, bukan?” desak Untari, meminta kepastian ayahnya.
“Tidak...,” jawab Gerda Pasa menggeleng lemah. Kemudian, sambil menundukkan kepala, laki-laki setengah baya itu melangkah menuju ke dalam rumahnya.
“Bedebah licik!” maki Sempana yang menjadi marah besar demi mendengar jawaban Gerda Pasa. Dengan kemarahan yang meluap-luap, laki-laki kekar itu langsung melompat dan menerjang Gerda Pasa yang hendak meninggalkan tempat itu.
Macan Tutul Lembah Daru tentu saja tidak membiarkan ayah mertuanya dilukai orang. Maka tubuhnya langsung bergerak menghalangi serangan Sempana. Langsung tangan kanannya diangkat untuk memapak serangan laki-laki kekar itu.
Melihat sikap Macan Tutul Lembah Daru yang jelas- jelas hendak membela orang yang dibencinya, Sempana pun menjadi gusar. Serangan yang semula ditujukan kepada Gerda Pasa, kini beralih mengancam kepada Nanggala. Kepalan itu berputar cepat, dan langsung menyambar dada pemuda berpakaian kulit macan tutul itu.
Nanggala pun tidak tinggal diam. Melihat perubahan serangan lawan yang kini mengancam dadanya, cepat kakinya melangkah ke belakang menghindarinya. Begitu serangan lawan luput, kaki yang semula berada di belakang itu langsung mencelat naik melepaskan sebuah tendangan kilat yang tak terduga.
Zebbb!
Sempana pun bukan tidak melihat tendangan itu. Dengan memiringkan tubuhnya sedikit, maka serangan lawanpun menyambar angin kosong. Gerakan mengelak yang dilakukan Sempana tidak hanya berhenti disitu saja. Sepasang tangannya langsung menyambar telapak kaki lawan, dan bermaksud memuntir patah. Gerakannya cukup cepat dan mengejutkan. Untunglah Nanggala menarik kakinya lebih cepat, sehingga cengkeraman lawan tidak membawa hasil.
Sadar kalau pertarungan tidak mungkin dapat dihindari lagi, Nanggala segera mempersiapkan ilmu andalannya. Karena saat itu, Ki Gumparan dan yang lainnya sudah datang menyerbu. Maka, repotlah Macan Tutul Lembah Daru menghadapi keroyokan Lima Nag aSungai Gombang yang terkenal lihai.
Untari yang melihat suaminya tampak kerepotan, cepat menerjunkan diri kedalam kancah pertempuran. Pedang ditangannya langsung dikibaskan kearah dua orang lawan yang paling dekat dengannya.
Wuttt!
“Uts...!”
Dua orang dari Lima Naga Sungai Gombang yang tidak menduga akan kehebatan Untari, menjadi terkejut setengah mati. Untunglah mereka masih sempat menarik tubuh ke belakang, sehingga ujung pedang gadis cantik itu hanya merobek baju pada bagian perut. Kenyataan itu tentu saja membuat keduanya terkejut setengah mati. Seketika wajah mereka pucat pasi. Untung saja pada saat-saat terakir, masih sempat menghindar. Kalau tidak, pasti tubuh keduanya sudah tergeletak mandi darah.
“Kurang ajar kau, Perempuan Liar...!” maki salah seorang dari mereka yang berwajah bulat dan berjenggot lebat. Ia yang tadi sempat mendengar kalau wanita itu adalah putri Gerda Pasa, tentu saja tidak menyangka kalau kepandaiannya tinggi. Mana mungkin anak seorang juragan kaya dapat memiliki ilmu silat? Dan hal itu ternyata telah membuatnya hampir tewas.
“Hm. Jangan mimpi untuk dapat menangkap ayahku, Kambing Bandot! Menghadapi pedangku saja, kau sudah seperti kakek-kakek kebakaran jenggot!” ejek Untari.
“Huh! Jangan sombong dulu, Nisanak! Kau akan merasakan kerasnya pukulanku nanti,” lanjut laki-laki bertubuh tegap dan berdada bidang itu, geram. Setelah berkata demikian, tubuhnya kembali bergerak mendekati Untari. Kedua tangannya yang membentuk cakarcnaga,cbergerak-gerak susul-menyusul. Langkah kakinya terlihat mantap dan beraturan.
“Haiiit..!” Untari berseru nyaring sambil menggeser tubuh ke samping kanan. Begitu sambaran tangan lawan lewatdi sampingnya, pedang gadis itu berkelebat cepat mengincar lambung lawan.
Wuttt!
Namun kali ini tidak mudah bagi Untari untuk menyentuh tubuh lawan. Pedang itu ternyata hanya lewat dan tidak mengenai sasaran. Bahkan sebelum senjatanya sempat ditarik pulang, cengkeraman tangan lawan sudah meluncur mengancam bahunya.
Melihat cengkeraman lawan datang, cepat Untari menarik mundur tubuhnya dengan kuda-kuda rendah. Dan belum lagi wanita itu sempat menarik napas lega, sebuah tendangan dari lawan yang lain datang mengancam iganya. Karena sudah tidak mungkin lagi bergerak menghindar, maka tubuhnya bergegas diputar dan dipapaknya tendangan lawan dengan tangan kiri.
Plakkk!
“Uhhh...!”
Tangkisan Untari memang berhasil menggagalkan tendangan lawannya. Tapi sayang, kedudukan gadis itu terlalu lemah. Sehingga, tubuhnya terdorong kesamping sejauh satu batang tombak.
“Haiiit..!” Namun, wanita cantik itu memang bukan orang sembarangan. Begitu terjajar mundur, cepat-cepat tubuhnya melenting ke udara dengan menggunakan jejakan kaki ketanah. Kembali kedua kakinya mendarat selamat ditanah.
Kedua orang lawan Untari ternyata tidak hanya berhenti sampai disitu saja. Begitu kaki wanita itu menjejak bumi, serangan mereka kembali tiba. Pertempuran pun kembali berlanjut sengit.
Sementara itu, pertarungan yang berlangsung antara Macan Tutul Lembah Daru melawan tiga orang dari Lima Naga Sungai Gombang, masih berlangsung sengit. Nanggala yang sadar kalau lawannya bukanlah orang-orang sembarangan, mengerahkan seluruh kepandaian untuk menahan gempuran lawan. Jurus 'Macan Tutul'nya yang telah mengangkat namanya dalam rimba persilatan, dikerahkan sepenuh tenaga. Maka dapat dibayangkan, betapa hebatnya gempuran-gempuran yang dilancarkan Nanggala terhadap ketiga lawannya itu.
Tubuh Macan Tutul Lembah Daru yang berkelebatan disertai serangan-serangannya, benar-benar membuat Ki Gumparan dan kedua saudaranya kewalahan. Sehingga, mereka harus mengerahkan seluruh ilmu yang dimiliki untuk menghadapi terjangan pendekar muda itu. Tentu saja, pertarungan yang terjadi diantara mereka semakin seru dan sengit.
“Heaaat..!”
Ketika pertarungan menginjak jurus yang ketujuh puluh tiga, Nanggala berseru nyaring disertai lesatannya. Sepasang tangannya bergerak cepat membagi-bagi serangan ketitik-titik terlemah ditubuh ketiga lawan. Gerakannya cepat dan memiliki banyak perubahan yang tak terduga. Akibatnya Ki Gumparan dan saudara-saudaranya benar-benar kelabakan. Nanggala yang melihat lawan berlompatan mundur dalam jarak yang terpisah, bergerak cepat mengejar Ki Gumparan. Pukulan 'Macan Tutul'nya meluncur deras mengincar pelipis dan dada kiri lawan.
Bettt! Bettt!
Pukulan yang dilancarkan Macan Tutul Lembah Daru benar-benar cepat dan berbahaya. Sehingga, Ki Gumparan yang menjadi incaran serangan Nanggala menjadi kerepotan dibuatnya. Dengan wajah agak pucat, laki-laki setengah baya itu menggeser tubuhnya ke samping, menghindari serangan lawan.
Namun sepasang mata pemuda itu ternyata sangat jeli. Melihat tubuh lawan bergeser ke samping, kedua serangannya segera ditarik pulang. Dan sebelum Ki Gumparan sempat menyadari, sebuah tendangan keras telah menghajar lambung kanannya.
Bukkk!
“Aaakh...!” Tendangan Nanggala yang sangat keras membuat tubuh Ki Gumparan terlempar hingga dua batang tombak jauhnya. Sebelum orang tertua dari Lima Naga Sungai Gombang itu dapat memperbaiki posisinya, tubuh Nanggala kembali melesat disertai tiga buah pukulan beruntun.
Untunglah pada saat yang berbahaya bagi keselamatan Ki Gumparan, Sempana datang memapak serangan Macan Tutul Lembah Daru. Laki-laki bertubuh kekar itu mengerahkan segenap tenaga dalamnya, untuk menangkis serangan Nanggala. Pada saat yang bersamaan, orang ketiga dari Lima Naga Sungai Gombang mengirimkan pukulan ketubuh Nanggala. Laki-laki gemuk yang berada dibagian belakang itu melepaskan dua buah pukulan sekaligus, mengarah ke bagian belakang Macan Tutul Lembah Daru.
Tentusaja dua buah sergapan yang dilakukan secara berbarengan sangat sulit untuk dielakkan Nanggala. Namun, nama Macan Tutul Lembah Daru memang bukan sekadar nama kosong. Dala mmenghadapi dua sergapan pengeroyoknya, dia sama sekali tidak gugup. Seketika ditundanya serangan yang semula ditujukan ke arah Ki Gumparan.
Dengan sebuah gerakan menakjubkan, tubuh pemuda itu tiba-tiba saja mencelat naik setinggi setengah tombak lebih. Tubuhnya yang dalam sikap tidur lurus, melakukan dua buah tendangan ke arah Sempana sambil mendorongkan sepasang tangannya untuk menyambut serangan lawan yang berada di belakang. Hebat, dan benar-benar mengejutkan sekali apa yang dilakukan pendekar muda itu.
Sempana yang tengah melakukan tamparan mendatar itu tentu saja terkejut sekali. Tangannya cepat berputar, melakukan tangkisan. Sayang, apa yang dilakukan laki-laki kekar itu tidak berhasil sepenuhnya. Selagi menangkis tendangan kaki kanan lawan, kaki kiri Nanggala lebih dulu meluncur dan menghantam telak dadanya. Pada saat yang bersamaan, sepasang tangan Nanggala yang berputar tak terduga itu telah bersarang didada laki-laki bertubuh gemuk.
Plakkk! Desss! Bresssh...!
“Hugkh...!”
“Akh...!”
Kedua orang lawan Macan Tutul Lembah Daru berteriak kesakitan. Tubuh mereka terpental kebelakang, sejauh dua batang tombak. Darah segar langsung menyembur dari mulut mereka.
“Keparat! Kau benar-benar telah menjadi iblis, Macan Tutul Lembah Daru! Hanya karena seorang wanita cantik, kau telah berubah haluan dan membela orang salah!” maki Ki Gumparan dengan wajah merah padam. Jelas kalau laki-laki setengah baya itu merasa geram melihat luka yang diderita kedua saudaranya.
Ki Gumparan yang sudah bertambah kalap, segera melesat dan mengirimkan serangan-serangan maut dengan sisa-sisa tenaganya. Sepertinya, ia hendak mengadu nyawa dengan Macan Tutul Lembah Daru yang menurutnya telah salah jalan.
“Heaaat..!”
Terjangan Ki Gumparan yang disertai pengerahan tenaga sepenuhnya sama sekali tidak membuat Nanggala gentar! Dengan tangkasnya, pemuda itu berkelit. Langsung dilancarkannya serangan balasan yang tidak kalah berbahayanya. Pertarungan kali ini berjalan tidak seimbang. Ki Gumparan yang saat itu masih dalam keadaan terluka, sepertinya tidak sanggup menahan gempuran-gempuran hebat yang dilancarkan lawan. Sehingga dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, laki-laki setengah baya itu terpaksa harus menerima hantaman Nanggala yang menghajar iganya.
Desss!
Ki Gumparan menjerit ngeri akibat pukulan jurus 'Macan Tutul' yang telak menghajar iganya. Tubuhnya kembali terbanting diatas tanah, sehingga menimbulkan suara berdebuk keras. Cairan merah nampak mengalir di sudut bibirnya.
Macan Tutul Lembah Daru menatapi ketiga orang lawannya yang tengah merintih kesakitan. Dan memang, tidak ada niat dihatinya untuk membunuh mereka. Maka, Nanggala pun tidak melanjutkan serangannya. Padahal kalau mau, hal itu sangat mudah dilakukannya.
Tiba-tiba saja kepala Nanggala terdongak ketika mendengar suara jerit kematian yang melengking membelah angkasa. Betapa terkejutnya hati pemuda itu ketika melihat dua sosok tubuh terlempar mandi darah. Dan dikenalinya betul, kalau kedua orang itu adalah orang yang mengeroyok istrinya. Tapi yang membuatnya lebih terkejut adalah, sebatang pedang berlumur darah yang tergenggam ditangan seorang laki-laki tinggi besarcdan berwajah brewok.
“Ayah...! Mengapa harus membunuh mereka...?” tegur Macan Tutul Lembah Daru ketika mengenali orang itu. Sebab, laki-laki tinggi besar itu memang Gerda Pasa.
“Terpaksa kulakukan, Nanggala. Atau kau lebih suka istrimu yang menjadi mayat? Seharusnya kau berterima kasih, bukannya menegurku?” sahut Gerda Pasa seraya mengerutkan alisnya yang tebal mendengar teguran menantunya.
Nanggala tak mau menanggapi pertanyaan ayah mertuanya. Sebab biar bagaimanapun, ia lebih suka mereka yang tewas ketimbang istrinya. Atau lebih baik lagi, kalau mereka cukup dilukai saja dan diusir pergi. Tapi, hal itu hanya ada dalam hatinya. Sedangkan mulutnya tetap bungkam tanpa kata-kata.
“Sebaiknya ketiga orang itu pun harus dilenyapkan! Mereka bisa mendatangkan kesulitan bagi kita di kemudian hari,” ujar Gerda Pasa lagi.
Sambil berkata demikian, laki-laki tinggi besar itu melangkah mendekati tiga orang lainnya yang hanya dapat memandang dengan sinar mata pasrah. Dan memang, keadaan mereka tidak lagi memungkinkan untuk melanjutkan pertarungan.
“Tapi, Ayah...”
“Jangan terlalu lemah batinmu, Nanggala,” potong Gerda Pasa. Dia memang tidak ingin memberikan kesempatan kepada pemuda itu untuk menyelesaikan kalimatnya.
“Orang seperti mereka tidak bisa diberi hati. Hariini kita bebaskan, besok akan kembali dengan kawannya yang lebih banyak. Apakah kau lebih suka kalau mereka yang akan menyiksa kita nanti?” lanjut Gerda Pasa, menyudutkan pemuda itu. Jelas kalau laki-laki setengah baya ini pandai bicara. Sehingga, Nanggala tidak mampu membantahnya.
“Benar, Kakang. Tadi kalau ayah tidak keburu datang menolongku, mungkin aku sudah jadi mayat,” Untari yang melihat sinar keraguan di mata suaminya, ikut pula membujuk.
Macan Tutul Lembah Daru menoleh kearah istrinya. Dan kening pemuda itu berkerut dalam ketika melihat pakaian istrinya banyak ternoda darah. Bahkan disudut bibir wanita cantik itu masih tersisa lelehan darahnya. Jelas, Untari telah mengalami luka-luka dalam setelah menghadapi lawannya tadi.
“Kau.... Kau tidak apa-apa, Untari...?” tanya Nanggala cemas. Jemari tangannya bergerak menghapus lelehan darah di sudut bibir istrinya.
“Untung ayah masih sempat menyelamatkanku. Nah, apakah sekarang kau masih merasa tidak tega kepada orang-orang jahat itu?” kata wanita cantik itu seraya mengerling tak senang.
Nanggala terpaksa membungkam. Rasa geramnya pun bangkit setelah melihat apa yang terjadi pada wanita yang disayanginya. Maka, ia pun tidak berusaha membantah ketika ayah mertuanya telah bersiap hendak menghabisi nyawa Ki Gumparan dan kedua saudaranya.
“He he he.... Badut-badut tukang fitnah! Sekarang kalian boleh pergi dengan tenang. Aku akan membebaskanmu dari kehidupan dunia ini. Percayalah, kalian pasti akan lebih tenteram dialam sana,” kata Gerda Pasa seraya menyeringai tajam. Kata-kata itu sengaja diucapkan perlahan, agar tidak terdengar Nanggala yang terpisah beberapa tombak dibelakangnya.
“Keparat kau, Manusia Keji! Jangan dikira aku takut menghadapi kematian! Kalau ingin membunuh, bunuhlah kami! Tidak perlu banyak cakap!” tantang Ki Gumparan penuh kegeraman. Setelah berkata demikian, laki-laki setengah baya itu bersiap mempertahankan selembar nyawanya.
“Mampuslah...!” bentak Gerda Pasa. Laki-laki itu benar-benar menjadi tidak sabar melihat sinar mata Ki Gumparan yang jelas-jelas menantangnya. Maka, golok besar ditangannya berkelebat cepat dengan sambaran angin yang berkesiutan.
Wuttt!
Suara sambaran golok yang berdesing nyaring itu membuat Ki Gumparan ternganga tak percaya. Sungguh tak disangka kalau Gerda Pasa memiliki kepandaian silat. Maka hatinya kontan terkejut bukan main. Sebab, dari suara sambaran senjata itu, dapat ditebak kalau kekuatan yang menggerakkannya pasti hebat sekali. Sehingga, laki- laki setengah baya itu terpaku bagaikan oran gpasrah menerima nasib.
“Tahan...!”
Pada saat maut sudah siap menjemput nyawa Ki Gumparan, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring menggelegar. Belum lagi gema suara itu lenyap, sesosok bayangan putih berkelebat bagaikan kilat, dan langsung memapak tebasan golok dengan pedangnya.
Trang!
Bunga api berhamburan diiringi dentang nyaring yang menulikan telinga. Tangkisan sosok tubuh itu ternyata membuat Gerda Pasa terjajar mundur sejauh satu tombak lebih. Meskipun demikian, golok besar ditangannya tetap tergenggam erat. Sedangkan sosok bayangan putih yang menyelamatkan Ki Gumparan dari kematian, telah berdiri tegak dengan sorot mata menggiriskan. Wajahnya yang bersih dan tampan, tampak tenang tanpa pancaran amarah sedikit pun.
“Hm. Siapa kau, Anak Muda? Mengapa mencampuri urusanku?” tegur Gerda Pasa, garang. Sepasang matanya yang bulat tampak berkilat tajam.
Ki Gumparan yang berada di belakang pemuda tampan itu kembali bergetar hatinya. Memang, dari pancaran mata Gerda Pasa, dapat dinilainya kehebatan tenaga dalam yang dimiliki laki-laki tinggi besar itu. Dan ia pun tahu, pancaran mata seperti itu hanya terlihat pada orang-orang yang telah memiliki tenaga dalam hampir sempurna. Tentu saja ia semakin tidak mengerti, mengapa sepasang mata seorang juragan bisa demikian menggetarkan.
Sedangkan pemuda tampan yang tak lain dari Pendekar Naga Putih hanya berdiri tegak sambil meneliti sosok Gerda Pasa. Seorang gadis jelita berpakaian serbah ijau sudah berdiri mendampingi Panji.
“Kau pasti orang yang berjuluk Hantu Teluk Jambe, dan bersembunyi dibalik nama Gerda Pasa, bukan? Tak perlu lagi berpura-pura di hadapanku, karena semuanya tentang dirimu telah kuketahui,” tebak Pendekar Naga Putih. Suaranya tetap tenang, dan wajar. Hanya sepasang matanya saja yang mencorong tajam bagaikan mata naga di kegelapan.
Gerda Pasa yang semula hendak marah karena pemuda itu tidak menjawab pertanyaannya, tentu saja menjadi terkejut setengah mati. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya ia hanya bisa ternganga heran.
Bukan cuma Gerda Pasa yang merasa terkejut atas ucapan Panji. Bahkan semua yang hadir ditempat itupun terkejut mendengar disebutnya julukan Hantu Teluk Jambe. Sebab, julukan itu telah menjadi momok beberapa tahun lalu. Namun karena julukan itu lenyap begitu saja, maka orang-orang rimba persilatan pun mulai melupakannya. Siapa sangka kini tiba-tiba saja terdengar kembali julukan yang menggetarkan itu. Tentu saja mereka menjadi setengah tak percaya.
“He he he. Apa yang kau ucapkan itu, Anak Muda? Yang kau hadapi saat ini adalah juragan yang bernama Gerda Pasa. Dan aku sama sekali tidak mengerti ucapan gilamu itu,” ejek Gerda Pasa menyembunyikan rasa terkejutnya. Hebatnya, wajah laki-laki tinggi besar itu pun telah wajar kembali.
“Hm.... Jangan banyak berlagak dungu, Hantu Teluk Jambe. Kau pikir, aku tidak tahu dari mana harta bertumpuk-tumpuk yang kau dapatkan itu? Salah seorang begundalmu yang berjuluk Tiga Buaya Darat telah kutaklukkan. Dan dari merekalah, keterangan tentang dirimu kudapat. Nah! Apakah masih ingin menyangkal?” desak Panji tidak mau kalah gertak.
“Ooo... Jadi kau mendapatkan keterangan palsu itu dari seorang raja perampok! Tidak sadarkah kau, Anak Muda? Mereka telah menipumu mentah-mentah untuk mencari selamat,” bantah Gerda Pasa kembali. Sehingga, hal itu membuat semua orang menjadi bingung. Termasuk juga Macan Tutul Lembah Daru yang mendengarkan perdebatan itu.
“Siapa bilang aku berbohong...?” tiba-tiba terdengar suara parau yang membuat Panji dan yang lain menoleh ke arah asal suara.
“Paman Begawa.!” seru Panji yang tentu saja menjadi gembira melihat kedatangan orang tertua dari Tiga Buaya Darat.
“Maaf, Pendekar Naga Putih. Aku terpaksa menyusul kemari, karena aku tahu Hantu Teluk Jambe akan menyangkal semua tuduhanmu. Aku sengaja memberikan tugas mengantar barang itu kepada kedua orang saudaraku. Dan aku sendiri hadir disini untuk menjadi saksi!” kata laki-laki gemuk bercambang bauk yang melangkah menghampiri Panji.
Untuk yang kesekian kalinya, orang-orang yang berada dihalaman itu ternganga heran. Sama sekali tidak disangka kalau pemuda tampan berjubah putih itu adalah Pendekar Naga Putih. Tentu saja semua pandangan orang yang ada disini kini beralih kepada Panji.
“Bedebah!” Terdengar makian keras yang membuat orang-orang di sekitarnya kembali terkejut. “Kau ternyata seorang pengkhianat Begawa! Dan untuk itu, kau harus menebus dengan nyawamu!” ancam Gerda Pasa. Dengan hadirnya Begawa, Gerda Pasa tidak bisa mengelak tuduhan itu lagi.
Gerda Pasa yang merasa kalau tidak ada gunanya lagi menyangkal, segera melompat dan langsung menyerang Begawa. Golok besar di tangannya berputar cepat menimbulkan desingan angin yang memekakkan telinga. Jelas kalau Gerda Pasa atau si Hantu Teluk Jambe hendak menghabisi nyawa orang itu sekali tebas.
Trang!
Kembali terdengar benturan nyaring yang disertai percikan bunga api di udara. Rupanya, Pendekar Naga Putih kembali memapaki tebasan golok besar itu dengan Pedang Naga Langit yang dipegangnya. Tentu saja hal itu menimbulkan kemarahan yang semakin berkobar didada Gerda Pasa.
“Bangsat kau, Pendekar Naga Putih! Jangan dikira dengan nama besarmu itu kau bisa bersikap sombong dihadapanku. Hmh...! Kau harus diberi pelajaran! Biar kau tahu, siapa sebenarnya Hantu Teluk Jambe itu!” geram Gerda Pasa melihat campur tangan Panji yang mencegah perbuatannya.
Sedangkan Macan Tutul Lembah Daru menjadi bingung. Ia tidak tahu, harus berpihak ke mana? Sehingga, pemuda itu hanya terpaku bagai orang bodoh disamping istrinya. Demikian pula Untari. Wanita itu memang sama sekali tidak tahu kalau ayahnya memiliki julukan demikian seram. Tuduhan-tuduhan yang semula tidak dipercayainya, kini membuatnya bingung. Akhirnya, ia hanya bisa memeluk tubuh suaminya untuk mencari ketenangan.
Saat itu, Pendekar Naga Putih sudah terlibat dalam sebuah perkelahian sengit. Keduanya saling serang dengan jurus-jurus andalan berbahaya. Sambaran-sambaran angin pukulan mereka membuat orang-orang yang menyaksikan perkelahian segera menjauhkan diri. Karena, tempat perkelahian itu sudah hampir tidak terlihat lagi.
“Heaaat..!”
Hantu Teluk Jambe memekik keras sambil mengirimkan pukulan jarak jauh dengan tangan kiri. Terdengar suara mencicit tajam yang menandakan betapa berbahaya serangannya.
Wusss! Blarrr...!
Tembok tebal pagar halaman rumah besar itu ambrol akibat hantaman pukulan yang dilancarkan Hantu Teluk Jambe. Kedahsyatan pukulan laki-laki tinggi besar itu tentu saja membuat orang-orang yang menyaksikannya menggeleng-gelengkan kepala. Betapa ngeri hati mereka membayangkan, apabila pukulan dahsyat itu sampai mengenai tubuh Pendekar Naga Putih.
Panji sendiri sempat terkejut melihat kehebatan pukulan lawan. Kenyataan itu membuatnya semakin berhati-hati, dan menambah pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dimiliki. Hembusan angin dingin pun semakin keras bertiup, bersamaan semakin melebarnya lapisan kabut bersinar putih keperakan yang menyelimuti tubuh Pendekar Naga Putih.
“Heaaah...!” Bagaikan seekor naga murka, Panji memekik nyaring disertai serangannya menggunakan jurus 'Naga Sakti'.
Wuttt! Wuttt!
Sambaran angin dingin yang menusuk tulang berhembus keras mengiringi serangan Pendekar Naga Putih yang susul-menyusul. Pedang Naga Langit di tangannya berkelebatan, tak ubahnya seekor naga yang bermain-main di angkasa. Sinar kuning keemasan yang terpancar dari badan pedang, bergulung-gulung membentuk gundukan sinar yang menyilaukan mata. Hebat sekali serangan pendekar muda itu, sehingga lawannya terdesak mundur tanpa mampu melancarkan serangan balasan.
Wuttt!
“Aihhh...!” Hantu Teluk Jambe memekik tertahan. Hampir saja tubuhnya termakan mata pedang lawan. Untung saja tubuhnya masih sempat ditarik ke kanan belakang, sehingga ujung pedang itu lewat beberapa jengkal di samping kiri perutnya. Laki-laki tinggi besar itu terus melempar tubuhnya dan melakukan beberapa kali putaran salto untuk menghindari kejaran mata pedang lawan. Begitu kedua kakinya menjejak tanah, golok besar ditangan kanannya berputar membentuk gulungan sinar putih yang melindungi seluruh tubuhnya.
“Haaat..!” Disertai teriakan yang membahana, tubuh Hantu Teluk Jambe meluncur deras disertai sambaran golok besarnya. Senjata ditangan Gerda Pasa meliuk dan berputar cepat mencari sasaran. Sepertinya, tokoh sesat ini telah mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki untuk menundukkan Pendekar Naga Putih.
Sayang, kali ini Hantu Teluk Jambe harus berhadapan dengan pendekar muda yang sudah sangat terkenal kehebatannya. Sehingga, meskipun pertarungan sudah menginjak jurus yang keseratus empat puluh, laki-laki tinggi besar itu belum juga berhasil mendesak lawan. Bahkan beberapa kali tubuhnya nyaris tersayat ujung pedang Pendekar Naga Putih. Tentu saja kenyataan pahit itu membuatnya semakin penasaran.
Demikian pula halnya Panji. Diam-diam ia semakin mengagumi kehebatan dan keuletan lawannya. Maka pemuda itu bergegas melompat ke belakang, pada saat pertarungan menginjak jurus yang keseratus lima puluh.
“Hm.... Mau lari ke mana kau, Pendekar Usil?!” bentak Hantu Teluk Jambe. Gerda Pasa mengira Panji hendak melarikan diri. Maka ia cepat melompat mengejar tubuh Pendekar Naga Putih yang terpisah empat tombak dari tempatnya berdiri.
“Jangan takabur dulu, Sobat. Sambutlah seranganku kali ini!” seru Panji mengatasi kebisingan suara sambaran golok besar lawannya. Usai berkata demikian, pemuda itu tampak menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Sepasang matanya mencorong tajam, menimbulkan perbawa menggiriskan.
“Haiiit..!” Dibarengi teriakan mengguntur, mendadak tubuh pemuda itu melenting naik. Tubuhnya berputar bagaikan baling-baling, dan langsung meluruk kearah lawan.
Bukan main terkejutnya hati Hantu Teluk Jambe ketika melihat gulungan sinar keemasan yang berpendar menyilaukan mata. Cepat-cepat goloknya dikibaskan memapak serangan aneh itu. Sayang, ia tidak mengetahui keistimewaan jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi' yang digunakan Pendekar Naga Putih. Seketika wajahnya pucat pias saat pedang lawannya berputar setengah lingkaran dan langsung membabat perutnya.
Brettt!
“Aaargh...!” Hantu Teluk Jambe meraung dahsyat ketika mata pedang Panji membeset perutnya. Darah segar kontan menyembur dari luka menganga yang panjang di perutnya. Dan tanpa dapat dicegah lagi, tubuh tinggi besar itupun ambruk menimbulkan suara berdebuk keras.
“Keparat kau, Pendekar Naga Putih! Terimalah pembalasanku..!” terdengar teriakan parau yang disusul melesatnya sesosok tubuh tegap. Begitu memasuki arena, sosok tubuh yang mengenakan pakaian kulit macan tutul itu langsung menerjang Pendekar Naga Putih dengan pedang ditangan.
Trang!
“Uhhh...!” Sosok yang tak lain Macan Tutul Lembah Daru terpental balik akibat tangkisan yang dilakukan Panji. Namun dengan kemarahan yang semakin memuncak, Nanggala menggerakkan senjatanya, siap melakukan penyerangan selanjutnya.
“Nanggala, jangan...!” Tiba-tiba terdengar seruan parau yang lemah, namun terdengar cukup jelas.
Tentu saja seruan itu membuat gerakan Nanggala terhenti. Cepat-cepat kepalanya menoleh ke arah asal suara itu. Ketika ayah mertuanya terlihat mengulapkan tangan, pemuda tegap itu pun bergegas menghampiri.
“Ayah...,” panggil Nanggala langsung menjatuhkan diri di samping Untari yang tengah terisak sambil memeluk tubuh ayahnya.
“Nanggala, Untari.... Kalian jangan lanjutkan kesesatanku. Aku memang pantas mendapatkan hukuman seperti ini. Satu hal yang perlu kau ketahui, Untari. Kau bukanlah anak kandungku. Saat itu, kau baru berusia empat tahun, ketika nafsu biadabku telah membuat ibu kandungmu bunuh diri. Karena merasa kasihan kepadamu, maka kau kupelihara. Kemudian, aku pindah ke Desa Pacitan ini dan melakukan kejahatan dengan menggunakan tangan orang lain. Hal itu kulakukan, agar kau tidak merasa malu karena kejahatanku. Sayang, ketamakanku membuataku semakin gila dalam menumpuk harta. Dan kini, aku telah mendapatkan balasan yang setimpal. Semua ini kuceritakan, karena aku sudah mendekati ajal.”
Gerda Pasa berhenti sebentar, dan menarik napas panjang. Sepasang matanya tampak terpejam rapat. Jelas kalau laki-laki itu tengah berusaha menahan keharuan yang menyeruak hatinya.
“Pesanku, jangan kau mendendam atas apa yang terjadi pada diriku. Sedangkan mengenai harta, tidak semuanya hasil kejahatan. Ambillah bagianmu untuk kebutuhan hidup bersama suamimu. Sisanya, bagi-bagikanlah kepada orang yang membutuhkan.”
“Ayah..., Ayah harus sembuh. Ayah tidak boleh pergi. Tari sangat mencintai Ayah, meskipun bukan ayah kandung...,” ratap Untari.
Tangis Untari meledak ketika melihat mata Gerda Pasa masih saja terpejam. Diguncang-guncangkannya tubuh Gerda Pasa dengan wajah bersimbah air mata. Sepertinya, wanita cantik itu tidak lagi mempedulikan kalau laki-laki yang telah sekarat itu adalah pembunuh ibu kandungnya.
“Nanggala.... Ja... jangan kau..., sia-siakan anakku...” Selesai berpesan demikian, kepala Gerda Pasa terkulai di atas pangkuan putrinya.
“Ayaaah...!” tangis Untari semakin menjadi-jadi ketika mengetahui ayahnya telah tiada.
Panji, Kenanga, Begawa, dan tigaorang dari Lima Naga Sungai Gombang sama-sama menundukkan kepala penuh haru. Hati mereka benar-benar tersentuh mendengar tangis Untari yang memilukan. Sementara itu sang bayu bertiup lembut mengusap wajah-wajah mereka yang tertunduk lesu. Sepertinya, tiupan sejuk itu hendak menghibur hati mereka.
Tak berapa lama berjalan, tibalah pemuda itu pada sebuah aliran sungai. Sekali genjot saja, tubuhnya melayang bagaikan seekor burung besar. Ujung kakinya menotok batu-batu yang bertonjolan di atas permukaan air. Hebat sekali caranya menyeberangi sungai. Sebentar saja, ia telah berada diseberang sungai lebar itu.
Pemuda tampan bertubuh tinggi tegap itu memang bukan orang sembarangan. Konon kabarnya, dunia persilatan memberikan julukan kepada pemuda itu sebagai Macan Tutul Lembah Daru. Ia adalah anak yatim piatu yang dipungut Dewa Lembah Daru. Kedua orang tuanya tewas di tangan perampok yang pada saat itu tengah mengganas didesanya.
Setelah diperbolehkan turun gunung pada setahun lewat, pemuda itu telah mengukir nama besar dalam dunia persilatan. Nanggala, alias Macan Tutul Lembah Daru merupakan tokoh golongan putih yang sangat disegani golongannya, dan ditakuti golongan hitam. Sepak terjangnya yang menggiriskan, membuat namanya semakin ditakuti lawan dan disegani kawan.
Sesaat kemudian, tubuhnya pun melesat bagaikan sebatang anak panah yang lepas dari busur. Dalam beberapa saat saja, tubuh pemuda gagah yang mengenakan pakaian kulit macan tutul itu hanya tinggal bayang-bayang kabur, untuk kemudian lenyap ditelan kelebatan hutan.
********************
Ditengah keheningan pagi yang bening, terdengar denting senjata yang ditingkahi teriakan-tenakan nyaring. Sesosok tubuh ramping mengenakan pakaian serba putih tampak berkelebatan dan menyelinap lincah diantara sambaran pedang lawan. Gerakan gadis itu terlihat demikian indah, sehingga tak ubahnya seorang dewi yang tengah menari.
“Haiiit..!”
Kembali gadis berwajah cantik itu mengelak diiringi teriakan merdunya. Sambaran sebatang pedang lawan yang meluncur lurus ke arah lambungnya, dapat dielakkan dengan memiringkan tubuh ke kiri. Bahkan dengan gerakan tidak kalah cepatnya, gadis cantik itu langsung mengirimkan serangan balasan.
Wuttt!
Sambaran pedang gadis cantik itu menimbulkan desingan tajam, dan nyaris melukai iga lawannya. Untunglah pada saat yang gawat, sebatang pedang lain datang, dan langsung membentur pedang gadis itu. Sehingga ujung pedangnya yang semula siap terhunjam, jadi menyeleweng menusuk angin kosong.
Belum lagi gadis cantik itu sempat menyadari keadaannya, tiba-tiba dari arah belakang meluncur sebatang pedang lainnya! Tentu saja hatinya menjadi terkejut ketika mendengar desingan angin tajam yang mengancam punggungnya. Maka, cepat-cepat tubuhnya diliukkan dengan menggunakan tenaga pinggang. Kemudian, tubuhnya dilempar ke samping, bagaikan baling-baling yang berputar. Sehingga, ia pun selamat dari ancaman pedang lawan. Namun, usaha yang dilakukan gadis itu ternyata sia-sia! Baru saja kakinya menjejak tanah, sebuah tendangan lawan yang keras telah menghantam belakang pinggangnya.
Bugkh!
“Uhhh...!”
Terdengar jeritan tertahan disertai terlemparnya tubuh gadis cantik itu beberapa tombak kedepan. Dan selagi tubuhnya terhuyung, lawan yang lain datang menyerbu dengan totokan-totokan saling susul. Dari sambaran angin totokan itu, jelas kalau kekuatan yang terkandung di dalamnya sangat kuat. Dapat dipastikan, tubuh gadis cantik itu akan roboh tak berkutik akibat totokan lawan.
Siuttt! Siuttt!
Jari-jari tangan laki-laki tinggi kurus bermuka tikus itu meluncur deras, mengancam titik-titik jalan darah di tubuh gadis cantik ini. Dan jelas, dia tidak mungkin lagi menghindarinya.
Pada saat yang gawat, tiba-tiba sesosok tubuh tinggi tegap melayang memasuki arena pertarungan. Begitu tiba, langsung telapak tangan kanannya didorongkan kearah laki-laki tinggi kurus yang tengah melancarkan serangan. Dan...
Plakkk!
“Uhhh...!”
Dorongan telapak tangan sosok tubuh tinggi tegap itu ternyata mengandung kekuatan hebat. Sehingga, totokan jari-jari tangan yang terhantam angin pukulannya, langsung menyeleweng dari sasaran. Bukan itu saja. Bahkan tubuh laki-laki tinggi kurus itupun berputar akibat tangkisan bertenaga dalam tinggi dari sosok tubuh itu.
“Bangsat! Manusia bosan hidup dari mana yang berani mencampuri urusan Empat Setan Muara Bangkai!” umpat laki-laki tinggi kurus itu dengan wajah geram. Sepasang matanya berkilat marah, menatap sosok tubuh tinggi tegap yang berdiri gagah melindungi gadis cantik itu.
“Macan Tutul Lembah Daru...!” bisik tiga orang yang berdiri agak jauh dari tempat laki-laki tinggi kurus itu. Wajah mereka jelas menyiratkan kegentaran ketika mengetahui, siapa sosok tubuh yang telah menyelamatkan lawan mereka.
Laki-laki tinggi kurus bermuka tikus itupun tersentak kaget ketika mengenali sosok tubuh yang telah memapak serangannya. Meskipun belum pernah berjumpa dengan pendekar muda yang terkenal itu, namun melihat dari pakaiannya yang terbuat dari kulit macan tutul, jelas kalau orang yang menolong lawannya memang Macan Tutul Lembah Daru. Tapi, justru kenyataan itu malah membuatnya semakin marah.
“Hm.... Jadi kau rupanya yang berjuluk Macan Tutul Lembah Daru? Bagus sekali sikapmu! Gadis itu sengaja kau selamatkan karena tertarik melihat kecantikannya, bukan? Dan kau sok jadi pahlawan agar mendapat pujian dari mulut yang indah itu!” ejek laki-laki tinggi kurus itu. Jelas ejekan yang menyakitkan itu sengaja dilontarkan, untuk memancing amarah Macan Tutul Lembah Daru.
Tapi sayang, ejekan itu sama sekali tidak membuat Nanggala marah. Malah, wajah pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun itu mengembangkan senyuman sabar. Sikapnya pun terlihat tenang. Tampaknya dia cukup berpengalaman dalam menghadapi keadaan ini.
“Hm. Kau pasti yang bernama Kalpika, orang tertua dari Empat Setan Muara Bangkai yang terkenal gagah itu,” tebak Nanggala, sengaja menekankan kata-kata 'gagah' untuk memancing sikapk satria laki-laki tinggi kurus itu. Hal itu dilakukan Nanggala, untuk menghindari pertempuran. Bukan karena Nanggala gentar, tapi menurutnya akan lebih baik apabila pertumpahan darah dapat dihindari. Hal itu memang sudah menjadi dasar pemikirannya.
“Maaf kalau aku telah lancang mencampuri urusan kalian. Tapi, rasanya tidak adil apabila seorang gadis muda seperti Nisanak ini dikeroyok kalian berempat. Dan karena melihat ketidak adilan inilah, maka urusan kalian terpaksa kucampuri,” lanjut Nanggala.
Macan Tutul Lembah Daru berhenti sebentar untuk melihat hasil pujiannya. Senyum pemuda gagah itu semakin mengembang ketika melihat wajah keempat tokoh sesat itu berseri setelah mendengar pujiannya. Dan itu merupakan pertanda baik, setidak-tidaknya menurut Nanggala.
“Hm.... Tahukah kau, apa sebabnya kami ingin menawan wanita setan itu? Ketahuilah, Macan Tutul Lembah Daru. Wanita cantik itu telah membunuh sepuluh orang anak buah kami. Jadi, apakah salah bila kami melakukan pembalasan dan ingin menawannya hidup-hidup? Cobalah katakan, kalau memang ada jalan lain untuk menyelesaikan persoalan ini,” jelas Kalpika.
Suaranya mulai terdengar wajar, dan seperti mencoba bersikap bijaksana. Jelas sikapnya telah termakan pujian Nanggala. Bahkan cara berdiri dan menatap pemuda itupun, terlihat agak dibuat-buat. Seolah-olah, ia memang ingin menunjukkan kalau dirinya seorang yang bijaksana dan memiliki kegagahan.
Tiba-tiba saja, gadis cantik berpakaian serba putih itu melangkah maju. “Huh! Enak saja menyalahkan orang, Muka Tikus! Kalau bukan karena anak buahmu yang memulai, tentu akupun tidak sudi melayani tikus-tikus busuk seperti anak buahmu. Dan jangan dikira aku takut menghadapi pembalasan darimu! Majulah kalian!Biar semua dapat kukirim ke neraka untuk menemani cecunguk-cecunguk peliharaanmu itu!”
Mendengar kata-kata itu, kontan wajah keempat tokoh sesat itu kembali menjadi gelap. Bukan hanya Empat Setan Muara Bangkai yang merasa terkejut dengan ucapan gadis itu. Bahkan, Nanggala pun sempat dibuat kaget oleh keberanian gadis cantik yang ternyata sangat galak. Karena sudah terlambat mencegah, maka Nanggala hanya bisa menatap gadis itu penuh kecemasan. Sebab, usaha perdamaian yang baru saja dimulainya, langsung hancur akibat ulah gadis cantik itu. Sehingga, Macan Tutul Lembah Daru hanya bisa menarik napas sambil bersiap melindungi gadis itu dari bahaya.
“Perempuan setan! Apa pun alasan yang kau ajukan, bagi kami tetap saja perbuatanmu salah! Kalau memang anak buah kami bersalah, tidak perlu kau turun tangan membunuhnya. Sebab, kami berempat masih bisa mengajarkan kepada mereka agar bersikap gagah!” sentak Kalpika.
Jelas ucapan itu mengandung kegeraman yang berusaha ditahannya. Itu dikarenakan, ia masih terbuai ucapan Nanggala yang memujinya sebagai orang gagah. Memang, hanya baru dari mulut pemuda itulah ia mendapat pujian demikian. Maka, wajar saja kalau Kalpika mencoba menahan kemarahannya. Meskipun untuk itu, ia harus menahan rasa sesak dalam rongga dadanya.
“Hi hi hi...! Kau tidak usah berpura-pura sebagai orang baik, Empat Setan Kudisan! Dari ucapanmu saja, sudah jelas. Kau tidak mempedulikan perbuatan anak buahmu itu. Tapi karena pemuda ini sudah memujimu sebagai orang gagah, maka kaupun mencoba pura-pura bersikap gagah. Hi hi hi...! Lucu sekali! Sekumpulan anjing buduk yang biasa mengais sampah, mencoba berkedok harimau hanya karena sebuah pujian kosong!” kembali gadis cantik itu mengeluarkan hinaan yang sangat menyakitkan hati.
“Nisanak, janganlah kau...”
“Jangan ikut campur!” bentak gadis cantik itu ketus, memotong ucapan Nanggala. “Hm.... Apakah kau pikir setelah menyelamatkan diriku, lalu bisa mengatur seenaknya? Huh! Kau ternyata sama saja dengan mereka! Berpura-pura menolong, padahal mempunyai pamrih di belakangnya. Rupanya, tuduhan si muka tikus itu benar. Kau menolong karena ingin mendapat pujian dariku, bukan? Nah! Kalau begitu, terimalah ucapan terima kasihku! Dan kau boleh pergi! Biar urusanku dengan mereka kuselesaikan sendiri!”
Tajam dan menghina sekali kata-kata yang diucapkan gadis cantik itu. Sehingga, Nanggala yang biasanya selalu tenang dan tabah dalam menghadapi kematian sekalipun, kali ini tidak bisa berkata-kata. Pemuda itu hanya berdiri bagaikan orang kehilangan akal. Sebab, memang baru pertama kali inilah ia menolong orang dengan balasan hinaan yang sangat menyakitkan.
Setelah melontarkan kata-kata yang menyakitkan kepada Nanggala, gadis cantik itu kembali melangkah maju. Pedang yang terhunus di tangan kanannya berkelebat membentuk kilatan menyilang.
“Majulah kalian, Empat Setan Kudisan! Hari ini, Untari akan mengirim kalian ke neraka!” bentak gadis cantik yang mengaku bernama Untari, tanpa rasa gentar sedikitpun. Pedang ditangannya menyilang didepan dada, untuk kemudian ditudingkan lurus-lurus ke arah empat orang lawannya.
Keberanian gadis cantik itu sebenarnya membuat hati Nanggala merasa kagum. Tapi sayang, sifat galak dan ketusnya tidak kalah dengan keberanian hatinya. Sehingga, diam-diam pemuda gagah yang berjuluk Macan Tutul Lembah Daru itu menyesali sifat jelek dalam diri Untari. Helaan napas yang mewakili kekecewaan hatinya, terdengar berat meluncur melalui hidung.
Pertempuran yang sepertinya tidak mungkin bisa dihindari lagi, tentu saja membuat hati Nanggala menjadi cemas. Diam-diam pemuda perkasa itu bersiap melindungi keselamatan Untari. Sebab biar bagaimana pun, hatinya lebih condong membela gadis cantik itu.
“Haiiit...!” Saat itu, Untari sudah mulai membuka serangan disertai teriakan nyaringnya. Tubuh ramping gadis itu pun melesat cepat menerjang keempat lawannya.
Wuttt! Wuttt!
Sekali menyerang, Untari langsung melepaskan dua sabetan pedangnya mengincar Kalpika dan Suraji, dua orang dari Empat Setan Muara Bangkai. Sambaran pedang gadis cantik itu demikian cepat dan kuat. Jelas, niatnya adalah menghabisi nyawa lawan-lawannya.
Baik Kalpika maupun Suraji, tentu saja tidak sudi tubuhnya dijadikan sasaran empuk senjata Untari. Maka ketika senjata lawan meluncur datang, kedua orang tokoh sesat itu cepat melompat ke samping dan berpencaran. Gerakan mengelak itu masih pula dibarengi sabetan pedang masing-masing yang langsung mengincar tubuh Untari.
Cepat Untari melempar tubuhnya kebelakang, begitu melihat sambaran kedua pedang lawannya. Pedangnya diputar membentuk gulungan sinar putih yang melindungi kepala. Hal itu dilakukan untuk menjaga-jaga bila serangan lawan tiba selagi ia melompat ke belakang. Melihat dari caranya bertempur, jelas kalau gadis cantik dan galak itu memiliki kecerdikan yang patut dipuji.
Nanggala sendiri mengangguk-anggukkan kepala melihat cara bertempur Untari. Meskipun demikian, pemuda itu tetap tidak menghilangkan kewaspadaannya. Kepandaiannya siap digunakan untuk menolong gadis cantik itu, apabila diperlukan.
Apa yang diperhitungkan Untari, ternyata tidak meleset. Saat gadis cantik itu melompat mundur, Kalpika dan Suraji membarenginya dengan sebuah lompatan panjang. Senjata mereka berputar sedemikian rupa, dan langsung bergerak menusuk dengan kecepatan tinggi.
Pedang di tangan Kalpika bergetar bagai terbelah menjadi beberapa bagian. Dan setiap ujung pedang itu memancarkan hawa maut yang menggetarkan jantung. Kemudian secara tak terduga, senjata laki-laki tinggi kurus itu meluncur cepat mengancam belahan dada tubuh Untari. Rupanya rasa marah membuat tokoh sesat itu merubah niatnya, dan hendak menghabisi nyawa gadis itu pula.
Sementara itu, Suraji melompat bergulingan dan melancarkan serangan dari bawah. Bahaya yang ditimbulkan tokoh bertubuh gemuk itu pun tidak kalah dengan Kalpika. Bahkan patut diakui serangan Suraji-lah yang lebih berbahaya. Karena, bagian bawah tubuh gadis itu sama sekali tidak terlindungi. Tentu saja kedua serangan itu membuat nyawa Untari terancam kematian.
Wuttt! Bettt! Trang! Trang!
Tusukan senjata Kalpika dan Suraji terpental balik, ketika sebuah benda bulat berwarna hitam menyambar cepat menyambut serangan mereka.
“Ahhh...!”
Tubuh kedua orang tokoh sesat itu bergetar hebat akibat tenaga sambitan yang amat kuat. Jemari tangan mereka yang menggenggam senjata, terasa nyeri dan linu. Tentu saja hal itu membuat mereka tersentak kaget, dan langsung menolehkan kepala kearah Macan Tutul Lembah Daru.
Nanggala atau lebih dikenal sebagai Macan Tutul Lembah Daru, menentang pandangan mata kedua tokoh sesat itu lekat-lekat. Jelas kalau pemuda perkasa itu memang sengaja hendak mencampuri urusan mereka.
DUA
“Maaf, aku terpaksa...,” ucap Nanggala yang segera melompat maju, menghadang di tengah arena. Dari cara dan sikapnya, jelas kalau Macan Tutul Lembah Daru telah mengambil keputusan untuk membela Untari. Karena, hatinya tidak tega melihat keselamatan gadis itu terancam di depan matanya.
“Hm. Sudah dua kali kau menyelamatkan gadis setan itu, Macan Tutul Lembah Daru! Sekarang kami tidak segan-segan lagi memberi pelajaran kepadamu! Bersiaplah...!” bentak Kalpika geram. Seketika sifat aslinya muncul setelah melihat sikap Nanggala. Wajahnya berubah bengis, menyiratkan nafsu membunuh!
Nanggala yang menyadari keadaannya, tidak lagi mempedulikan ancaman Kalpika. Ditariknya kaki kanan ke belakang, sejauh tiga jengkal. Dengan kuda-kuda rendah, kedua tangannya membentuk setengah mengepal di kedua sisi kepalanya. Rupanya, Nanggala sudah menyiapkan jurus 'Macan Tutul' untuk menghadapi keroyokan Empat Setan Muara Bangkai.
“Hm...,” Kalpika menggeram gusar. Sepasang tangannya mengibas kekiri-kanan, sebagai perintah kepada ketiga orang saudaranya untuk menyebar mengurung pemuda gagah itu.
Tanpa diperintah dua kali, Suraji dan kedua saudaranya bergerak mengurung Nanggala. Mereka masing-masing berdiri dalam sikap membentuk empat arah mata angin.
Sekali pandang saja, Nanggala sadar kalau keempat lawannya hendak mengeroyok menggunakan jurus paduan. Sepasang mata pemuda gagah itu bergantian melirik ke arah keempat lawan. Sikapnya tetap tenang, dan penuh kewaspadaan.
“Heaaattt..!”
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, Kalpika mulai membuka serangan. Tubuhnya melesat cepat disertai sambaran pedang yang menimbulkan deru angin tajam!
Apa yang dilakukan Kalpika rupanya hanya sebuah tipuan!Lelaki tinggi kurus itu ternyata hanya melakukan loncatan panjang beberapavjengkal diatasbkepala lawan. Dan pada saat yang hampir bersamaan, Suraji sudah melesat dari arah yang berbeda. Dan rupanya, gerakan itu juga merupakan sebuah tipuan! Seperti halnya tipuan yang dilakukan Kalpika, tubuh Suraji melompat tinggi melampaui kepala Nanggala.
Sekejap setelah tubuh Kalpika dan Suraji melakukan gerakan tipuan, dua orang Empat Setan Muara Bangkai yang terakhir mengiringi tidak kalah gesitnya. Mereka langsung menyabetkan senjata kearah Nanggala hampir bersamaan! Seorang menyerang dari bawah, sedang yang lainnya dari atas.
Wuttt! Syuuut!
Dua buah serangan yang dilancarkan dalam waktu hampir bersamaan itu memang berbahaya sekali. Apalagi pada saat itu perhatian Nanggala masih terpengaruh gerak tipu yang dilakukan Kalpika dan Suraji. Dan akibatnya, pemuda itu belum dapat menebak, apakah serangan itu juga merupakan gerak tipu, atau sungguhan.
Dan memang, justru di situlah letak keistimewaan barisan 'Empat Arah Mata Angin'. Tidak heran, barisan yang dimiliki Empat Setan Muara Bangkai sangat ditakuti kaum rimba persilatan. Karena, gerak barisan penyerangan dalam barisan itu benar-benar di luar dugaan.
Dan itu dialami Nanggala. Meskipun banyak memiliki pengalaman bertarung, tapi dalam menghadapi barisan 'Empat Arah Mata Angin' itu, sempat kelabakan juga. Sehingga, pada saat kedua orang Empat Setan Muara Bangkai terakhir melancarkan serangan, pemuda ituhanya menghindar dengan melompat ke samping. Untunglah gerakan pemuda itu masih sedikit lebih cepat daripada kedua orang lawannya. Kalau tidak, tentu tubuhnya sudah menjadi sasaran senjata lawan. Untuk gebrakan pertama, rupanya Nanggala masih beruntung.
Begitu telah melempar tubuh ke samping, Nanggala terus menjatuhkan tubuhnya dan bergulingan menjauh. Sebagaimana julukan yang diberikan kepadanya, pemuda itu ternyata mampu melompat seperti seekor macan tutul. Dengan sebuah lentingan tinggi yang indah, sepasang kakinya telah kembali berpijak di permukaan tanah.
“Yeaaat..!”
Namun, serangan yang dilakukan keempat orang lawannya itu ternyata tidak hanya sampai disitu saja. Baru saja kedua kaki Nanggala menginjak tanah, serangan gelompang kedua kembali membuatnya terperanjat. Tapi, kali ini Nanggala tidak tinggal diam dalam menghadapi barisan yang penuh gerak tipu. Maka, ketika salah seorang musuhnya meluruk, dia segera melesat dan langsung berjumpalitan mengikuti gerak penyerang pertama.
Akibatnya, ketiga orang lainnya sempat kaget melihat apa yang dilakukan Macan Tutul Lembah Daru. Nanggala yang berjumpalitan membarengi gerakan lawan, langsung mengirimkan pukulan 'Macan Tutul' nya kearah iga orang itu. Gerakannya yang cepat dan tak terduga, tentu saja membuat lawan terkejut. Walaupun sudah berkelit, tapi kalah cepat dengan gerakan pemuda gagah itu. Maka....
Duggg!
“Hugkh. !” Orang itu mengeluh pendek ketika pukulan 'Macan Tutul' yang dilancarkan Nanggala telak menghajar lambungnya. Akibatnya, tubuh orang itu terbanting jatuh menimbulkan suara berdebuk keras.
Jatuhnya salah seorang saudara mereka,t ernyata tidak mengurangi daya tempur Empat Setan Muara Bangkai. Pada saat yang sempit itu, Kalpika dan kedua orang lainnya melesat disertai sambaran pedang yang berkelebat susul-menyusul.
Wuttt! Wuttt!
Tiga batang pedang yang mengincar leher, dada, dan perut Nanggala, dapat dielakkan dengan melempar tubuh kesamping kanan. Dan, itupun masih dibarengi sebuah tendangan samping yang mengincar lambung Kalpika. Karena, orang tertua dari Empat Setan Muara Bangkai itulah yang berada disebelah kanan pemuda itu.
Tapi, kejelian mata Kalpika ternyata cukup cepat. Melihat tendangan yang begitu cepat ke arahnya, tubuhnya segera ditarik ke belakang dengan jalan menekuk lutut kanan yang memang berada dibelakang. Sambil berbuat demikian, Kalpika memutar pedang dan langsung melancarkan babatan mendatar. Maksudnya, hendak membabat putus kaki Nanggala.
Bettt!
Bacokan pedang itu tidak membuat Nanggala gugup. Dengan gerakan sigap, lututnya menekuk dan kembali menghantam dada Kalpika.
Buggg!
“Hegkh...!” Tak ayal lagi, tubuh lelaki tinggi kurus itu langsung terjengkang kebelakang. Hantaman lawanyang telak menghajar dadanya, membuat Kalpika terbatuk dan memuntahkan darah segar. Dan sebelum sempat berdiri tegak, Nanggala kembali melancarkan sebuah tendangan mengarah ke kepala lawannya.
Kalpika yang memang keadaannya masih lemah itu tidak dapat lagi mengelak. Lelaki tinggi kurus itu memejamkan mata, menanti datangnya maut. Rupanya Kalpika itu masih bernasib baik. Pada saat tendangan Nanggala hampir tiba, seberkas sinar putih yang berasal dari sambaran pedang Suraji, datang menyelamatkannya. Pedang itu meluncur cepat, mengancam lutut Macan Tutul Lembah Daru.
Tentu saja Nanggala tidak sudi mengorbankan sebelah kakinya. Cepat tendangan yang hampir menewaskan Kalpika ditariknya. Dan ketika pedang di tangan Suraji berputar menyambar perutnya, pemuda itu mengegos ke kiri. Langsung dikirimnya serangan balasan dengan pukulan 'Macan Tutul'nya. Hebat bukan main pukulan balasan yang dilakukan pemuda itu. Sehingga Suraji sempat tergagap dibuatnya! Dan...
Tukkk!
“Aaakh...!” Tubuh Suraji kontan terjajar limbung akibat sodokan jari-jari setengah mengepal yang telak menghajar iganya. Selagi tubuh Suraji hampir jatuh menimpa Kalpika, Nanggala telah mengirimkan dua buah pukulan yang menghajar rusuk dan dadanya.
Tukkk! Tukkk!
Suraji meraung keras. Tubuhnya yang gemuk itu terlempar beberapa batang tombak ke belakang. Darah segar seketika menyembur membasahi tanah berumput yang segera berubah menjadi merah! Dua buah hantaman telak yang bertenaga penuh, membuat Suraji tak mampu bangkit untuk selamanya. Lelaki gemuk itu tewas seketika. Gerakan yang dilakukan Nanggala ternyata masih berkelanjutan. Saat itu, dua orang lawan yang tengah meluncur datang, langsung disambut serangkaian pukulan 'Macan Tutul' disertai pengerahan tenaga dalam sepenuhnya.
“Yeaaat..!”
Bugk! Bugk! Tukkk!
“Aaakh...!”
“Hugkh...!”
Pukulan-pukulan Macan Tutul Lembah Daru secara telak menghajar kedua orang pengeroyoknya. Untunglah pada saat pukulan itu hampir tiba, Nanggala sempat mengurangi kekuatannya. Hal itu dilakukan ketika teringat kalau di antara dirinya dan mereka tidak mempunyai permusuhan pribadi. Sehingga, Nanggala tidak mempunyai alasan kuat untuk membunuh kedua orang itu. Cukuplah orang yang bernama Suraji saja yang menjadi korbannya. Tubuh dua orang dari Empat Setan Muara Bangkai itu langsung ambruk, disertai semburan darah segar. Setelah berkelojotan sesaat, kedua orang itu pun diam tak bergerak lagi. Pingsan!
Kalpika yang telah mengalami luka dalam cukup parah, berdiri dengan tubuh gemetar. Berbagai perasaan bercampur aduk didalam dadanya. Rasa marah, penasaran, dan dendam, membuat lelaki tinggi kurus itu tidak dapat berkata-kata. Hanya sepasang matanya saja yang menatap Nanggala penuh dendam.
“Pergilah, Kalpika. Dan kuharap, kau suka melupakan kejadian hari ini. Bawalah kedua orang saudaramu yang hanya kubuat pingsan itu. Juga, Suraji yang terpaksa harus tewas di tanganku. Maaf kalau perbuatanku telah membuat kau kehilangan seorang dari saudaramu,” ucap Macan Tutul Lembah Daru, tenang. Melihat dari sikapnya, jelas kalau Nanggala siap menanggung segala akibat atas perbuatannya.
Tidak sepatah katapun yang keluar dari mulut Kalpika sebagai jawaban. Setelah melepaskan tatapan penuh dendam, lelaki tinggi kurus itu menyadarkan kedua orang saudaranya. Dengan membawa mayat Suraji, mereka pun kini meninggalkan tempat itu.
Plok! Plok! Plok...!
Terdengar tepukan tangan Untari menyambut kemenangan Macan Tutul Lembah Daru. Gadis cantik itu melangkahkan kakinya, menghampiri Nanggala. Wajahnya yang cantik manis, jelas-jelas mengulaskan senyum mengejek.
“Hebat.., hebat..! Nama Macan Tutul Lembah Daru memang bukan nama kosong belaka,” terdengar suara pujian dari bibir merah menantang itu. Tapi sayang nadanya terdengar begitu menyakitkan bagi telinga Nanggala. “Apakah yang harus kulakukan untuk membalas budi baikmu ini, Tuan Pendekar?”
Nanggala menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela napas berulang-ulang. Ia benar-benar merasa kecewa melihat sikap yang ditunjukkan gadis itu kepadanya. Entah apa yang menyebabkan Untari demikian sinis kepadanya. Padahal, seingatnya mereka baru pertama kali berjumpa. Tentu saja ia tidak habis mengerti dibuatnya.
“Mengapa kau termenung, Tuan Pendekar? Ah! Kalau begitu, biarlah aku menyembah kepadamu sebanyak tiga kali. Kurasa, itu sudah cukup pantas sebagai imbalan atas pertolonganmu kepadaku.” Suara yang menyakitkan itu kembali terdengar memasuki liang telinga Nanggala. Kemudian, Untari menjatuhkan lututnya dan siap melaksanakan ucapannya.
“Ah...! Nisanak, janganlah bersikap begitu. Aku sama sekali tidak mengharapkan imbalan apa-apa darimu,” ujar Nanggala tersentak kaget. Cepat-cepat disambarnya kedua bahu Untari, lalu diajaknya bangkit berdiri. Namun, apa yang dilakukan Nanggala kembali salah! Untari memberontak melepaskan pegangan pemuda gagah itu pada bahunya. Jelas sekali, gadis itu tidak suka dengan apa yang dilakukannya.
“Huh! Apakah kau pikir setelah menolongku,lalu bisa bebas melakukan apa saja terhadap diriku? Pemuda tak tahu sopan!” maki Untari sambil mengebut-ngebutkan jemari tangannya pada bagian bahunya. Seolah-olah, semua bekas pegangan tangan pemuda itu ingin dihapusnya.
“Nisanak! Kau jangan sembarangan menuduh orang! Aku bukan orang yang berwatak rendah! Lagi pula, apa yang telah kulakukan kepadamu?” sergah Nanggala. Tentu saja Macan Tutul Lembah Daru menjadi terkejut setengah mati melihat perubahan sikap gadis itu yang sama sekali tidak diduganya. Selebar wajah pemuda itu merah dan pucat berganti-ganti. Kalau saja tidak mengingat orang yang memakinya itu wanita, mungkin sudah dihajarnya habis-habisan.
“Hei? Akan mungkir kau, ya? Lalu, apa maksudmu memegang-megang tubuhku?” balas Untari sambil bertolak pinggang. Wajah gadis cantik itupun telah dijalari warna merah. Sepertinya, ia benar-benar marah atas perbuatan Nanggala tadi. Padahal, jelas-jelas Nanggala semata-mata hanya mencegah Untari yang hendak menyembah pemuda penolongnya. Benar-benar aneh dan membingungkan sifat yang dimiliki gadis cantik itu.
“Ahhh...!” terkejut bukan main Nanggala mendengar tuduhan yang dilontarkan gadis itu.nMerasa tidak ada gunanya mendebat Untari, Nanggala pun diam tak menanggapinya. Setelah menundukkan wajahnya sejenak, kepalanya diangkat dan ditatapnya gadis itu dengan sinar mata dingin.
“Nisanak! Kalau perbuatanku kau anggap suatu kesalahan atau kekurangajaran, biarlah aku minta maaf padamu,” ucap Nanggala dengan suara rendah dan berat. Jelas, suara pemuda itu menggambarkan perasaan hatinya yang kecewa.
Untari pun sempat dibuat terkejut atas perubahan sikap pemuda gagah itu. Sinar kekecewaan yang terpancar dari sepatang mata Nanggala, sempat pula membuat wajah gadis itu berubah. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, hatinya menjadi bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Tapi, suasana yang hening dan kaku itu tidak berlangsung lama. Untari yang sudah dapat menguasai perasaannya, segera mengangkat kepala memandang Nanggala.
“Sudahlah, aku akan pergi. Terima kasih atas pertolonganmu,” ucap gadis galak itu berpamit. Anehnya, setelah mengucapkan kata-kata itu Untari melemparkan senyumnya yang termanis kepada Nanggala. Dan tanpa menoleh lagi, tubuh ramping itu pun melesat meninggalkan tempat itu.
Nanggala berdiri kaku menatap kepergian gadis cantik yang galak dan pandai bicara itu. Pandangannya masih saja tidak beralih, meskipun bayangan Untari telah lenyap di balik pepohonan dikejauhan.
“Hhh...,” terdengar helaan napas berat meluncur dari mulut pemuda itu. Aneh, Nanggala merasa hatinya kosong sekali. Seolah-olah semangat hidupnya terbang bersama hilangnya bayangan Untari. Hatinya terasa begitu nelangsa dan sunyi. Seluruh tubuhnya terasa lemas, bagaikan tak bertenaga. Tidak ada gairah sedikit pun yang tersisa dalam dirinya. Nanggala jadi kian tak mengerti, ketika merasakan tidak ada lagi niat dalam hatinya melanjutkan perjalanan.
“Gila! Apa sebenarnya yang terjadi dalam diriku!” umpat Nanggala kesal.
Ingin rasanya pemuda itu mengamuk dan merusakkan apa saja yang ada di hadapannya. Semua yang dipandangnya terlihat buruk dan tidak sedap. Sungguh, dia jadi bingung dengan apa yang tiba-tiba dirasakannya. Karena tidak tahu harus berbuat apa, Nanggala langsung menjatuhkan tubuhnya, duduk di atas rerumputan. Yang saat itu diinginkannya hanyalah termenung, termenung, dan terus termenung.
Alam pikirannya dibiarkan kembali berputar ke belakang. Nanggala teringat kembali pada perjumpaan pertamanya dengan Untari. Betapa gadis itu marah-marah setelah ditolong. Ucapan-ucapan yang ketika itu sangat menyakitkan, kini terngiang dan terasa indah ditelinga. Hal itu tentu saja membuatnya semakin keheranan. Sebab, selama ini hal yang aneh belum pernah terasakan dalam dirinya. Sehingga, ia tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya.
“Hhh..., mungkin aku telah gila...? Mengapa perasaan aneh yang menyiksa ini tiba-tiba datang? Mungkinkah ini yang dinamakan perasaan cinta...?” gumam Nanggala terus termenung bagai patung.
Nanggala si Macan Tutul Lembah Daru yang sangat terkenal dan ditakuti, mendadak seperti orang tolol. Pikirannya kembali menerawang kepada peristiwa yang baru saja dialaminya. Dan pemuda gagah itu semakin keheranan ketika ingatan-ingatan tentang Untari, mendatangkan suatu perasaan aneh yang nikmat di hatinya. Sehingga, tanpa disadarinya bibir pemuda itu membentuk senyuman.
“Hi hi hi..!”
Tiba-tiba terdengar suara tawa yang nadanya tertahan- tahan. Nanggala yang segera saja mengetahui pemilik suara tawa merdu itu, berubah pucat parasnya. Rasa jengkel dan malu karena segala tingkah laku dan perbuatannya dipergoki Untari, membuatnya langsung bergerak bangkit dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Ingin rasanya ia berlari sejauh-jauhnya, dan tidak berjumpa lagi dengan gadis cantik itu lagi.
Gerakan Nanggala yang berlari bagaikan orang kesetanan itu membuat tawa Untari semakin keras. Gadis cantik itu keluar dari persembunyiannya, setelah bayangan Nanggala tinggal bayang-bayang samar yang kian mengecil. Rupanya, Untari tidak benar-benar meninggalkan tempat itu tadi. Sebagai seorang gadis yang telah cukup dewasa dan memiliki banyak pengalaman, dapat diduga apa yang terkandung didalam hati pemuda penolongnya. Karena ingin mengetahuinya secara jelas, maka gadis cantik yang cerdik itu memutar arah larinya setelah merasa yakin Nanggala sudah tidak melihatnya. Dan, apa yang diduga gadis cantik itu ternyata tidak meleset! Semua tingkah laku pemuda itu dapat jelas dilihatnya dari tempat persembunyian. Hingga akhirnya, Untari tidak dapat menahan tawa ketika melihat Nanggala tersenyum sendiri seperti orang gila.
“Hm.... Aku ingin lihat, sampai dimana kau dapat menahan perasaanmu itu...,” gumam Untari seraya tersenyum penuh kepuasan. Setelah berkata demikian dalam hati, Untari pun melangkah meninggalkan tempat itu.
********************
TIGA
Siang ini matahari tepat berada di atas kepala. Sinarnya memancar terik, mengiringi langkah kaki dua sosok tubuh memasuki daerah perbukitan tandus. Hembusan angin kencang, membuat rambut dan pakaian mereka berkibaran keras. Debu-debu yang beterbangan, membuat kepala keduanya merundukvmelindungi mata.
Mereka terus melangkah tanpa mempedulikan debu-debu yang mengotori wajah dan pakaian. Terkadang tubuh mereka berbalik ketika hembusan angin keras yang membawa gumpalan-gumpalan debu tebal datang menerpa.
“Uhhh...!” sosok tubuh ramping berpakaian hijau mengeluh kesal. Dibersihkannya debu-debu yang menempel dipakaian dan rambutnya. Wajahnya yang cantik jelita itu tampak kecoklatan tertutup debu.
“Mengapa kita tidak mengambil jalan melewati hutan saja, Kakang? Bukankah akan lebih enak danbsegar?” tanya gadis jelita itu, bernada agak kesal.
“Sabarlah, Kenanga. Tidak lama lagi, kita akan segera sampai dimulut hutan depan itu,” sahut pemuda tampan yang mengenakan jubah berwarna putih.
Senyum pemuda itu mengembang melihat gadis teman seperjalanannya sibuk membersihkan debu yang menempel di pakaian dan rambutnya. Perlahan tangan pemuda yang tak lain Panji itu terulur membersihkan debu dibelakang pakaian gadis yang dipanggil Kenanga.
Mendengar jawaban Pendekar Naga Putih, Kenanga mengangkat wajahnya. Diikutinya arah jari telunjuk Panji yang menuding ke depan. Samar-samar terlihat pepohonan lebat beberapa puluh tombak di depannya.
“Ayo kita persingkat waktu, Kakang...,” ajak Kenanga. Setelah berkata demikian, tubuh gadis itu langsung berkelebat menuju mulut hutan.
Kembali Panji tersenyum. Dibiarkannya gadis jelita bertubuh ramping itu melesat meninggalkannya. Setelah kira-kira sepuluh tombak Kenanga berlari, tiba-tiba tubuh pemuda berjubah putih itu melesat bagaikan anak panah yang terlepas dari busur. Hebat sekali ilmu lari cepat yang dimiliki Pendekar Naga Putih. Sehingga, kedua kakinya bagaikan tidak menyentuh tanah. Tak lama kemudian, ia pun telah dapat melewati gadis didepannya dan bahkan lebih dulu tiba di mulut Hutan Branjangan.
“Wah! Ilmu lari cepatmu sudah semakin hebat saja, Kakang,” puji Kenanga begitu tiba di mulut Hutan Branjangan. Segera saja langkahnya terayun mendekati Pendekar Naga Putih yang tengah duduk di bawah sebatang pohon.
“Kaupun sudah banyak memperoleh kemajuan. Tadi saja, aku hampir tidak sanggup mengejarmu,” sahut Panji seraya tersenyum. Menilik dari nada bicaranya, jelas kalau dia tidak memiliki sifat sombong.
“Nyatanya, kau bisa melewatiku,” sergah Kenanga cepat sambil memandang wajah tampan yang tengah tersenyum kepadanya.
“Sudahlah. Ayo, kita lanjutkan perjalanan. Mudah-mudahan saja ada pedesaan di sekitar daerah ini. Bosan juga rasanya setiap hari bermalam didalam hutan,” ujar Panji, seraya bergerak bangkit dan mengulurkan tangannya untuk membantu Kenanga.
Beberapa saat kemudian, kedua orang pendekar itu mulai bergerak memasuki wilayah Hutan Branjangan yang terlihat cukup lebat. Mereka melangkah menyelusuri jalan yang sepertinya memang sengaja dibuat orang. Jelas, hutan itu seringkali didatangi atau dilewati manusia. Buktinya, jalan yang ditelusuri cukup lebar, dan dapat dilewati sebuah kereta kuda.
Setelah agak lama berjalan, tiba-tiba Pendekar Naga Putih menelengkan kepala, seolah-olah ingin memperjelas indra pendengarannya. Kening Panji terlihat agak berkerut ketika mendengar suara seperti orang bertempur.
“Ada apa, Kakang...?” tanya Kenanga.
Kenanga yang sudah hafal akan kebiasaan kekasihnya, segera mendekat. Kemudian, ia pun mencoba meniru kelakuan Panji. Tapi, kepalanya kembali ditegakkan karena telinganya sama sekali tidak mendengar apa-apa.
“Aku seperti mendengar orang bertempur,” sahut Panji. Kemudian Pendekar Naga Putih menegakkan kepalanya dan memandang berkeliling. Seolah-olah pemuda itu ingin memastikan asal suara pertempuran yang tertangkap indra pendengarannya.
“Tapi, aku tidak mendengar apa-apa...,” bantah Kenanga. Gadis itu memang belum dapat menangkap suara seperti halnya Panji. Sebab, tingkat kepandaiannya memang masih beberapa tingkat di bawah kekasihnya. Sehingga, ia hanya dapat memandang pemuda itu penuh rasa ingin tahu.
“Akupun hanya mendengarnya sesekali. Sepertinya, suara itu cukup jauh. Mungkin sekitar beberapa ratus tombak di sekitar kita. Ayo, kita ke depan untuk memastikannya,” ajak Panji, segera berlari tanpa menunggu persetujuan Kenanga.
Tanpa banyak tanya lagi, Kenanga pun bergegas mengikuti langkah Pendekar Naga Putih. Indra pendengarannya terus dipertajam untuk menangkap suara pertempuran yang dimaksud Panji tadi.
“Ke sebelah Barat..!”
Belum lagi Kenanga sempat mendengar suara pertempuran itu, tiba-tiba Panji berseru. Gadis jelita itu melihat tubuh kekasihnya berkelebat cepat menuju ke arah Barat Hutan Branjangan. Maka, ia pun bergegas mengikutinya.
Pendekar Naga Putih telah mengerahkan ilmu lari cepat sepenuhnya. Tapi ternyata masih juga terlambat. Pendekar muda itu memandang dengan wajah kecewa ke arah delapan sosok mayat termasuk seorang wanita. Mereka semua bergelimpangan mandi darah. Tentu saja kejadian itu mendatangkan rasa sesal dihati Panji. Baru saja Pendekar Naga Putih membungkuk hendak memeriksa salah satu dari mayat-mayat itu, pendengarannya yang tajam sempat menangkap suara gemerisik mencurigakan. Tanpa pikir panjang lagi, tubuhnya segera melesat ke arah suara mencurigakan itu.
“Hei, berhenti...!” sentak Panji setelah berlari beberapa tombak jauhnya. Didepan pemuda itu tampak seorang berpakaian serba hitam tengah berusaha melarikan diri. Melihat bentakannya tidak dihiraukan, Panji segera melesat dan bersalto beberapa kali di udara. Sesaat kemudian, tubuhnya telah berdiri menghadang jalan orang berpakaian serba hitam itu.
“Yeaaat..!”
Sadar kalau dirinya tidak mungkin dapat lolos, orang itu pun langsung menerjang Panji dengan golok masih berlumuran darah.
Wuttt!
Sambaran golok yang mengandung tenaga cukup kuat itu mengancam perut Panji. Hati Pendekar Naga Putih sempat diliputi kegeraman melihat ketelegasan orang itu. Sebab, tanpa persoalan sedikitpun, orang itu sudah langsung ingin membunuhnya. Padahal, belum tentu Panji bermaksud jahat kepada orang berpakaian serba hitam itu. Untunglah Pendekar Naga Putih sempat menyadarinya. Kalau tidak, orang itu pasti sudah dipukul tewas.
Pendekar Naga Putih yang sudah dapat mengukur kekuatan sambaran senjata itu, sama sekali tidak bergeser dari tempatnya. Ditunggunya mata golok itu mendekat. Sikap pemuda itu terlihat tenang, dan penuh percaya diri. Perbuatan Panji tentu saja membuat laki-laki berpakaian hitam itu terkejut, sekaligus gembira. Sudah terbayang dibenaknya, betapa tubuh pemuda itu akan tergeletak dengan perut terbelah.
Namun apa yang dibayangkan orang itu ternyata sangat jauh dari kenyataan. Meskipun benar sambaran goloknya mengenai perut lawan, namun senjata itu kembali berbalik. Bahkan tangannya yang menggenggam golok terasa ngilu bagaikan hendak patah.
“Set... tannn...!” Dengan wajah memucat dan tubuh gemetar, orang itu memandang terbelalak. Hampir saja dia jatuh pingsan melihat lapisan kabut bersinar putih keperakan yang membalut tubuh pemuda tampan itu. Dan memang, penampilan Pendekar Naga Putih saat itu tak ubahnya sosok hantu!
“Hm.... Mengapa kau berlari bagaikan orang dikejar setan? Apa kau telah melakukan kejahatan! Ayo jawab!” bentak Panji dengan suara dibuat berat. Pemuda itu sengaja menakut-nakuti, agar orang itu mau membuka suara.
Gertakan Pendekar Naga Putih terlihat mulai membawa hasil. Laki-laki bertubuh gendut yang bagian bajunya terbuka, semakin menggigil ketakutan. Apalagi, saat itu Panji memang tengah mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Maka, orang itu pun semakin yakin kalau pemuda yang berdiri dihadapannya memang setan. Mana mungkin manusia dapat menebarkan hawa yang begitu dingin dari tubuhnya.
“Kami..., eh! Aku..., bersalah.... Ya..., aku bersalah...,” aku laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu, gagap.
“Kau telah membunuh delapan orang dan menghancurkan kereta kuda mereka, bukan? Siapa yang menyuruhmu?!” kembali Panji memanfaatkan rasa takut orang itu untuk memperoleh keterangan.
Mendengar suara yang semakin berat dan besar, laki-laki berpakaian serba hitam itu semakin menggigil ketakutan. Bahkan celana bagian bawahnya telah basah, dan menebarkan bau tak sedap. Untung saja Panji masih dapat menahan tawanya melihat tingkah orang itu yang menggelitik perut.
“Ya..., eh! Jur..., aaakh...!” Sebelum ucapan laki-laki berpakaian hitam itu selesai, terdengar jerit kematiannya yang menyayat. Tubuh gendut itu roboh seiring keluhan pendeknya.
“Eh...?!” Tentu saja robohnya orang itu membuat Panji keheranan. Cepat tangannya bergerak menangkap tubuh gendut itu agar tidak sampai terjatuh ketanah. Setelah merebahkan perlahan, bergegas Panji memeriksa keadaannya.
“Kenapa orang itu, Kakang...?” Kenanga yang baru datang, langsung saja melontarkan pertanyaan kepada kekasihnya. Rupanya setelah tiba ditempat pertempuran, gadis itu tidak melihat Panji. Maka ia segera mencarinya. Dan kedatangannya tepat pada saat pemuda itu tengah memeriksa tubuh seorang laki-laki berpakaian serba hitam.
“Dia telah tewas...,” sahut Panji setelah memeriksa jalan darah orang itu.
“Tapi, sepertinya ia tidak terluka, Kakang?” tanya gadis jelita itu keheranan. Lalu, ditelitinya sosok tubuh gendut yang sudah tidak bernyawa itu.
“Dia tewas akibat jarum beracun yang dilemparkan seseorang kebelakang pinggangnya. Entah racun jenis apa yang digunakan orang itu. Sehingga, racun ituhanya menghancurkan pembuluh-pembuluh darah di seluruh tubuhnya. Sementara kalau dilihat sepintas, orang pasti tidak tahu kalau mayat ini tewas akibat racun keji,” jelas Panji sambil memperlihatkan sebatang jarum halus yang berwarna merah.
Kenanga mengambil jarum berwarna merah darah dari tangan Panji, dan menelitinya beberapa saat. Setelah tidak mengenali dari mana asal jarum itu, segera dikembalikannya kepada Panji.
“Aku belum pernah mendengar tentang seorang tokoh yang mempergunakan jarum merah sebagai senjata rahasia. Entah tokoh mana yang telah berhasil menciptakan racun aneh dan keji itu,” kata Kenanga.
“Hm. Biarlah kusimpan saja senjata rahasia ini. Siapa tahu ada gunanya kelak,” desah Panji, kemudian segera menyimpan jarum merah itu dalam pakaiannya.
“Sebaiknya, sekarang kita menguburkan mayat-mayat itu.”
Pendekar Naga Putih dan Kenanga kemudian segera menggali tanah untuk menguburkan mayat-mayat itu. Berkat tenaga dalam mereka yang sudah tinggi, dalam waktu singkat telah tercipta sembilan liang kubur. Selesai mengubur semua mayat, Kenanga dan Panji kembali meneruskan perjalanan. Tapi, kali ini mereka mempunyai tujuan khusus, mencari pemilik jarum berwarna merah! Sebab sudah hampir pasti bahwa pemilik jarum itu mempunyai hubungan dengan terbunuhnya delapan orang disebelah Barat Hutan Branjangan.
********************
EMPAT
Pemuda gagah berpakaian kulit macan tutul melangkah memasuki mulut Desa Pacitan. Setelah kepalanya menoleh merayapi sekitar mulut desa, bergegas dimasukinya sebuah kedai makan yang terlihat ramai pengunjung. Apalagi, saat itu hari sudah menjelang sore. Maka, wajar saja kalau kedai makan itu ramai. Sama sekali tidak dipedulikannya tatapan mata beberapa pengunjung kedai makan.
Memang disadari kalau orang-orang itu paling tidak hanya merasa heran dengan pakaian kulit macan tutul yang dikenakannya. Dan hal itu bukan sesuatu yang aneh lagi baginya. Setelah mendapati sebuah kursi kosong yang terletak di pojok ruangan, pemuda gagah yang tak lain Macan Tutul Lembah Daru itu segera memesan hidangan kepada seorang pelayan. Kemudian, dia kembali duduk menunggu dengan kepala tertunduk. Sebentar kemudian, pelayan itu datang kembali sambil membawa makanan yang dipesan Nanggala.
“Terima kasih...,” ucap Nanggala kepada pelayan setengah baya yang mengantarkan makanan pesanannya. Kemudian, segera disantapnya makanan itu dengan tenang. Nanggala yang tengah menikmati hidangannya itu mendadak menghentikan gerakan tangannya. Kepalanya lalu ditolehkan kearah pintu masuk kedai itu, karena saat itu hampir semua pengunjung kedai berbisik riuh. Dan apa yang dilihatnya, membuat dada pemuda itu berdebar.
Seraut wajah cantik manis milik seorang dara yang berdiri diambang pintu kedai itu, benar-benar membuat Nanggala kelabakan. Dan memang, gadis cantik itu tak lain adalah Untari. Sosok gadis memikat yang selama ini selalu mengganggu pikirannya. Tapi, Nanggala telah bertekad untuk melupakan gadis itu. Karena, disadari kalau mencintai gadis seperti Untari, hanya akan menyiksa perasaan saja. Lagi pula, belum tentu gadis itu sudi menerima cintanya.
Bergegas Nanggala menundukkan kepala dalam-dalam begitu mengenali gadis itu. Tangannya kembali sibuk memilih-milih hidangan dimejanya. Namun, dia jadi menyumpah-nyumpah dalam hati, ketika merasakan jari-jari tangannya gemetar saat menikmati hidangan. Kedatangan gadis yang telah mencuri hatinya itu benar-benar membuatnya kalang-kabut. Karena sulit menenangkan perasaannya, maka pemuda itu memejamkan mata rapat-rapat dan tenggelam menyatukan pikiran. Setelah merasa hatinya tenang, matanya pun kembali dibuka perlahan-lahan.
Tapi, dada Nanggala kembali memukul keras. Tanpa disadari, ekor matanya menangkap langkah kaki yang menuju kearahnya. Dari pakaian yang lebar dan berwarna putih itu, Nanggala segera menduga kalau orang itu pasti Untari. Langkah kaki gadis itu tepat berhenti didepan meja Nanggala. Pemuda itu terpaksa mengangkat wajah ketika sosok tubuh itu menarik kursi didepannya.
“Boleh duduk di sini...?” pinta gadis itu dengan suara lembut dan merdu.
Perkataan Untari membuat Nanggala terpaku bagai orang tolol. Dipandanginya wajah cantik itu setengah tak percaya. Entah berapa lama pemuda gagah itu hanya dapat memandang bagai orang linglung. Kesadarannya baru kembali setelah gadis cantik itu berdehem agak keras.
“Eh?!” Warna merah seketika menjalar di wajah Nanggala. Bukan main malunya hati pemuda itu setelah menyadari ketololannya. Ingin rasanya kedai makan itu ditinggalkannya, namun kakinya terasa berat untuk melangkah. Sehingga, dia terpaksa diam di tempatnya sambil menahan rasa malu.
“Kau.... Apa..., apa maumu...?” tanya Nanggala yang mulai dapat menguasai perasaannya.
“Hi hi hi...,” Untari menahan tawanya melihat kegugupan dan sikap ketololan pemuda gagah itu. Diam-diam hati gadis itu merasa bangga. Karena, pendekar muda yang dalam kalangan rimba persilatan sangat ditakuti, ternyata gugup menghadapinya. Tentu saja hal itu mendatangkan suatu kesan tersendiri dalam hati Untari.
“Aku tadi hanya bertanya. Apakah boleh duduk disini?” Untari mengulangi pertanyaannya. Senyum manis tampak menghias wajah cantik itu, sehingga Nanggala semakin silau dibuatnya.
“Oh, boleh. Silakan..., silakan...,” sambut Nanggala dengan nada sedikit heran. Pemuda itu benar-benar tidak mengerti apa sebenarnya yang diingini gadis ini. Mengingat akan sifat Untari yang aneh, maka Nanggala harus bersikap hati-hati. Siapa tahu gadis aneh itu berubah lagi sifatnya apabila ia salah bicara.
“Aku tidak menyangka kalau kita akan bertemu lagi,” kata gadis itu tanpa rasa canggung sedikitpun. “Mungkin ini yang dinamakan jodoh.”
Nanggala sempat terkejut dengan ucapan blak-blakan Untari. Namun, kekagetannya berusaha ditekan dengan bersikap wajar.
“Yah.... Mungkin dunia ini sudah terlalu sempit buat kita,” sahut Nanggala memasang sikap acuh tak acuh. Nada suara maupun wajahnya nampak sudah terlihat wajar. Bahkan ada sedikit nada dingin terselip dalam ucapan pemuda itu.
“Ng.... Bolehkah aku tahu namamu...?” tanya Untari lagi.
Deg! Terkejut juga hati Nanggala mendengar pertanyaan yang sama sekali tidak diduga itu. Cepat-cepat debaran dalam dada yang terdengar menggemuruh ditekannya.
“Namaku Nanggala...,” sahut pemuda itu, singkat.
“Wah, namamu gagah sekali. Dan kau pasti sudah tahu namaku,” ujar Untari polos. “Hm.... Macan Tutul Lembah Daru. Hebat dan gagah julukan yang diberikan untukmu.”
“Maaf, aku harus pergi. Sebentar lagi, hari akan gelap. Aku tidak ingin kemalaman dijalan. Sekali lagi, aku minta maaf.,” pamit Nanggala tiba-tiba. Kemudian, Nanggala memanggil pelayan setengah baya yang tadi melayaninya. Setelah membayar harga makanannya, pemuda gagah itu bergegas meninggalkan kedai.
“Hei?! Kau tidak ingin tahu rumahku...?” tanya Untari, segera bangkit dan menyambar lengan Nanggala. Sehingga langkah pemuda itu tertahan.
“Ah, Biarlah, lain waktu saja...,” sahut Nanggala cepat. Dan, tanpa menunggu pertanyaan berikutnya yang mungkin akan diajukan Untari, Nanggala segera melesat menggunakan ilmu lari cepatnya. Sehingga, tubuh pemuda itu bagaikan terbang saja layaknya.
“Pemuda gagah yang sangat menarik. Jarang sekali aku bertemu seorang pemuda seperti dia. Hm..., Nanggala.... Sebuah nama yang gagah...,” gumam Untari termenung.
Sepasang matanya yang bening dan indah, menatap bayang-bayang tubuh Nanggala hingga lenyap dari pandangan. Setelah tubuh pemuda itu lenyap, Untari kembali memasuki kedai. Senyumnya tampak masih belum meninggalkan wajah cantiknya. Jelas, ia merasa lucu mengingat perjumpaannya dengan pemuda itu untuk yang kedua kalinya.
Saatitu, kegelapan perlahan mulai turun menyelimuti permukaan mayapada. Hembusan angin senja yang sejuk bersilir lembut menemani datangnya kegelapan. Di dalam sebuah kamar yang terdapat dipenginapan Desa Pacitan, Nanggala duduk termenung. Semula, setelah berjumpa dengan Untari, ia berniat meninggalkan desa itu. Tapi, kegalauan hatinya membuat pemuda itu terpaksa kembali dan menginap di Desa Pacitan. Macan Tutul Lembah Daru tidak bisa menipu dirinya sendiri, bahwa hatinya benar-benar telah terenggut oleh wajah cantik Untari.
Sebelum mencari rumah penginapan, Nanggala menyempatkan diri datang ke kedai untuk menemui Untari. Tapi, gadis itu ternyata telah pergi dari kedai. Setelah bertanya kepada pelayan kedai, tahulah Nanggala kalau Untari adalah penduduk Desa Pacitan, dan merupakan anak tunggal seorang juragan terkaya didesa itu yang bernama Gerda Pasa.
“Hm..., perasaan ini akan terus menghantui apabila aku tidak segera menyatakannya. Daripada tersiksa, lebih baik kudatangi saja rumah gadis itu. Masalah diterima atau tidak, itu urusan belakang! Dan lagi, hal itu lebih baik daripada tanpa kepastian!” gumam Nanggala seraya mengepalkan tinjunya erat-erat. Kemudian pemuda gagah itu bangkit dari duduknya.
Dengan menguatkan perasaan, maka Nanggala berangkat menuju kediaman Juragan Gerda Pasa. Meskipun raut wajahnya terlihat sedikit tegang, namun langkahnya tetap dipaksakan untuk mencari kepastian. Tidak sulit bagi Nanggala mencari rumah Juragan Gerda Pasa. Dan memang, seluruh penduduk Desa Pacitan mengetahuinya. Dengan mengandalkan petunjuk salah seorang penduduk desa, maka tibalah Macan Tutul Lembah Daru di depan sebuah rumah besar yang dikelilingi pagar tembok setinggi satu tombak lebih.
Sementara itu, dua orang tukang pukul yang tengah bertugas menjaga pintu gerbang, bergegas menghampiri Nanggala. Mereka merasa curiga ketika melihat seorang pemuda berdiri tegak meneliti sekitar bangunan. Karena belum beranjak dari situ, maka salah seorang yang berkumis lebat menegurnya.
“Kisanak! Apa yang kau cari ditempat ini? Sejak tadi, kuperhatikan kau hanya berdiri mengawasi tempat ini. Apa ada sesuatu yang dapat kubantu?” tegur laki-laki berkumis lebat, lantang. Meskipun nadanya tidak terdengar kasar, namun mengandung ketegasan.
“Maaf, kalau kehadiranku telah mengundang kecurigaan kalian. Aku hanya ingin memastikan, benarkah disini kediaman Juragan Gerda Pasa? Dan, bisakah aku berjumpa dengan beliau?” tanya Nanggala dengan suara halus dan sopan.
“Benar. Disini rumah majikan kami yang bernama Gerda Pasa. Tapi untuk berjumpa dengannya sekarang, rasanya sulit sekali. Sebab pada waktu-waktu seperti ini, biasanya beliau tengah beristirahat. Jadi, kami tidak berani mengganggunya. Lebih baik, datang saja besok,” sahut penjaga pintu gerbang yang berkumis lebat, menolak permintaan Nanggala.
“Tapi, keperluanku mendesak sekali, Kisanak. Tolonglah beri tahu kepada beliau. Untuk itu, aku akan berterima kasih sekali kepadamu,” Nanggala mencoba mendesak, meski dengan nada yang tetap halus dan sopan.
Meskipun kata-kata Nanggala tetap bernada hormat, namun desakannya telah membuat wajah laki-laki berkumis lebat itu berubah agak bengis. Sekilas, terlihat kilatan kegeraman pada sepasang mata orang itu. Namun Nanggala yang telah memantapkan hatinya, sama sekali tidak peduli. Meskipun tatapan geram orang itu tidak ditentangnya, tapi dia tetap saja berdiri di tempatnya. Selangkah pun kakinya tidak bergeser dari pintu gerbang rumah Juragan Gerda Pasa.
“Maaf! Kami tidak bisa meluluskan permintaanmu, Kisanak. Dan sekarang, tinggalkanlah tempat ini, sebelum aku bertindak kasar!” ancam laki-laki berkumis lebat itu sambil meraba gagang pedangnya, untuk menakut-nakuti Nanggala.
“Sekali lagi, aku minta maaf. Karena kepentinganku sangat mendesak, maka terpaksa usiranmu tidak bisa kuturuti. Dan aku harus bertemu majikanmu sekarang juga,” tegas Nanggala, meski laki-laki berkumis lebat itu telah mengancamnya.
Sikap keras kepala Nanggala tentu saja membuat laki- laki berkumis lebat itu semakin marah. Dengan langkah lebar, didekatinya Nanggala. Langsung didorongnya tubuh pemuda itu dengan telapak tangan. Si kumis lebat yang sudah membayangkan tubuh pemuda itu akan jatuh terjengkang, seketika menjadi terkejut. Ternyata dorongan telapak tangannya yang disertai pengerahan tenaga dalam tidak membuat Nanggala terjatuh. Jangankan untuk jatuh. Bergeserpun tidak. Tentu saja laki-laki berkumis lebat itu menjadi penasaran. Sementara, penjaga gerbang yang seorang lagi hanya berdiri mengawasi. Amarahnya tampak belum terpancing.
“Hm.... Pantas saja berani berlagak. Rupanya kau memiliki sedikit kepandaian. Tapi, sekarang coba tahan yang ini!” bentak laki-laki berkumis lebat itu sambil mendorongkan telapak tangannya kembali.
Wuttt!
Dorongan telapak tangan orang itu meluncur cepat menimbulkan angin menderu. Rupanya kali ini ia tidak lagi berniat hanya memberi pelajaran, tapi justru ingin melukai pemuda itu. Nanggala yang belum mengetahui sampai di mana kekuatan yang dimiliki orang itu, tentu saja tidak berani bersikap ceroboh. Maka ketika dorongan telapak tangan itu hampir mencapai dadanya, cepat tubuhnya berkelit dan melakukan tangkisan dengan lengan kiri.
Dukkk!
“Uhhh...!”
Tangkisan perlahan yang dilakukan Nanggala dengan sedikit tenaga itu ternyata sangat mengejutkan lawan. Tubuh laki-laki berkumis lebat itu terjajar beberapa langkah ke belakang dengan wajah merah. Melihat dari pijatan-pijatan yang dilakukan pada lengannya, jelas kalau ia merasa kesakitan akibat tangkisan tadi.
“Bangsat! Rupanya kau memang sengaja mencari keributan!” bentak laki-laki berkumis lebat itu geram. Langsung pedang yang terselip dipinggangnya dicabut.
Sring!
Perbuatan laki-laki berkumis lebat itu, diikuti pulaoleh kawannya. Rupanya, melihat keadaan itu, amarahnya kini bangkit. Maka kini kedua orang tukang pukul Juragan Gerda Pasa itu langsung mengurung Nanggala dari kiri dan kanan.
“Sabarlah, Kisanak. Kedatanganku kemari, sama sekali bukan mencari keributan.” Nanggala berusaha mencegah terjadinya keributan. Sebab biar bagaimanapun, ia merasa tidak enak bilahal itu terjadi. Padahal kedatangannya ke tempat itu justru dengan maksud baik. Lalu apa kata Untari nanti bila keributan itu terjadi? Dan itu sama sekali tidak diinginkannya.
“Sudah, jangan banyak cakap! Bersiap-siaplah melayang ke akhirat!” bentak laki-laki berkumis lebat yang sepertinya mendendam sekali kepada Nanggala. Hal itu wajar saja. Sebab, dua kali ia dibuat malu di depan kawannya. Dan itu ingin ditebusnya dengan menyiksa pemuda itu sepuas-puasnya. Kedua orang itu sudah siap menyerang Nanggala. Kaki masing-masing sudah bergeser, siap melepaskan serangan.
“Berhenti...!”
Belum lagi kedua orang tukang pukul itu melancarkan serangannya, tiba-tiba terdengar bentakan keras yang mengejutkan. Berbarengan bentakan itu, sesosok tubuh ramping berpakaian serba putih melayang turun, dan langsung menjejakkan kakinya diantara mereka. Bentakan nyaring dan merdu itu sepertinya telah sangat dikenal kedua orang penjaga gerbang rumah Juragan Gerda Pasa. Hal itu terlihat dari sikap keduanya yang langsung melangkah mundur.
“Untari...!” desah Nanggala. Pemuda itu langsung mengenali, siapa adanya sosok tubuh ramping berpakaian serba putih itu.
Dia memang Untari, gadis yang selama ini telah menyita seluruh pikiran Nanggala. “Ah! Kiranya kau yang datang, Kakang Nanggala. Mengapa tidak memberitahukan aku sebelumnya. Kalau saja aku tidak keburu datang, mungkin kedua orang penjaga gerbang rumah ayahku ini sudah menggeletak menjadi mayat,” kata Untari disertai senyum manisnya. Bahkan gadis cantik itu telah memanggil kakang kepada Nanggala.
Tentu saja sebutan itu membuat dada pemuda gagah ini berdebar tak karuan. “Maafkan aku, Untari. Aku tidak bermaksud mencari keributan di sini. Kedatanganku pun dengan maksud baik- baik. Tapi, dua orang anak buah ayahmu bersikap kasar padaku. Jadi, terpaksa aku membela diri. Oh, ya. Ada sesuatu yang ingin kuceritakan kepadamu,” pinta Nanggala. Pemuda itu langsung saja mengutarakan keinginannya. Kebetulan ini adalah kesempatan baik. Dan tentu saja, Nanggala tidak ingin menyia-nyiakannya.
Mendengar permintaan pemuda itu, mau tak mau Untari menjadi heran. Tidak seperti biasanya, kali ini Nanggala terlihat begitu tenang. Bahkan berani mengajaknya. Tentu saja hal itu membuat Untari menduga-duga, apa gerangan yang ingin disampaikan pemuda itu kepadanya.
“Mengapa tidak di sini saja, Kakang?” tanya Untari. Kemudian, kepala gadis itu menoleh ke arah tukang pukul ayahnya yang tengah memperhatikan.
“Kalian boleh pergi,” lanjut gadis cantik itu kepada mereka.
“Baik,” sahut kedua tukang pukul itu serempak. Tanpa berkata sepatah pun, keduanya langsung meninggalkan Untari dan Nanggala.
“Nah! Sekarang ceritakanlah, Kakang,” ujar Untari menatap Nanggala penuh rasa ingin tahu.
“Mari, ikut aku...,” ajak Nanggala. Pemuda itu langsung berlari meninggalkan halaman luar tempat kediaman Juragan Gerda Pasa. Langkah kakinya terlihat tidak terlalu cepat, karena mengharapkan agar Untari mau mengikutinya.
Sejenak gadis cantik itu berdiri termangu melihat ketegasan sikap Nanggala. Namun karena rasa keingin- tahuannya demikian kuat menggoda, maka tanpa ragu- ragu lagi Untari bergegas mengikutinya. Nanggala menghentikan langkahnya pada sebuah tempat sunyi. Kemudian, ia berdiri menanti kedatangan Untari yang memang mengikutinya. Wajah pemuda itu terlihat sedikit agak pucat. Ketegangan hatinya jelas terlihat dari caranya menarik napas panjang beberapa kali.
“Ah! Kau ini ada-ada saja. Apa sih yang ingin diceritakan? Dan mengapa pula harus ditempat yang sepi seperti ini? Apa kau berniat menculikku?” omel Untari begitu tiba di tempat Nanggala berdiri. Sedikit pun tidak terlihat rasa canggung ataupun khawatir pada wajah gadis itu. Jelas kalau dia telah nenaruh kepercayaan penuh kepada Nanggala.
Nanggala atau si Macan Tutul Lembah Daru yang terkenal tidak pernah gentar menghadapi ancaman maut sekali pun, kali ini terlihat agak gugup dan tegang. Sebentar-sebentar, pemuda gagah yang amat disegani tokoh-tokoh persilatan itu terlihat menarik napas panjang. Bahkan hembusan napasnya terdengar berat dan bergemuruh. Jelas kalau hatinya tengah dilanda ketegangan hebat. Dengan langkah tenang, Untari datangmenghampiri Nanggala. Senyum manis yang biasanya sangatjarang terlihat, kini tampak selalu menghiasi wajahnya. Meskipun ada sedikit rasa ketegangan dihatinya, namun hal itu sama sekali tidak ditampakkan. Dan memang, gadis cantik itu pandai sekali menyembunyikannya, sehingga Nanggala sendiri tidak mengetahuinya.
“Ada apa, Kakang Nanggala...?” tanya gadis cantik itu pelan. Kemudian, Untari berdiri disamping Nanggala yang duduk dibawah sebatang pohon. Dengan sikap yang tetap tenang, tubuhnya disandarkan dipohon itu.
“Untari... Dengan memberanikan diri, aku datang menemuimu. Aku tak tahu, perasanku begitu gelisah setelah dua kali berjumpa denganmu. Dan perasaan itu sepertinya harus kuungkapkan. Tapi...”
“Tapi apa, Kakang? Katakanlah! Bukankah kita telah saling mengenal? Kalau memang ada sesuatu yang dapat kubantu, utarakanlah. Siapa tahu, aku dapat membantumu dalam menghadapi masalah itu,” desah Untari yang menjadi tidak sabar ketika melihat Nanggala menghentikan ucapannya.
“Untari.... Aku..., rasanya aku jatuh cinta kepadamu. Dan kumohon, jawablah sekarang juga. Apa pun jawabannya, aku telah siap menerimanya,” ungkap Nanggala tanpa ragu-ragu lagi. Dihembuskannya napas kuat-kuat. Macan Tutul Lembah Daru merasakan dadanya lapang setelah dapat mengutarakan isi hatinya yang selama ini dipendam dalam-dalam.
“Hi hi hi..! Kau ini lucu, Kakang...,” tawa Untari meledak mendengar ucapan Macan Tutul Lembah Daru.
Gadis yang memang memiliki sifat aneh itu sama sekali tidak mempedulikan Nanggala yang dihinggapi rasa bingung. Ia terus saja tertawa, seolah-olah apa yang disampaikan pemuda itu memang benar-benar sesuatu yang sangat lucu. Tentu saja tawa gadis cantik itu membuat Nanggala semakin pucat wajahnya. Dipandanginya wajah gadis itu dengan sikap ketololan. Benar-benar sulit dimengerti, mengapa Untari malah tertawa setelah mendengar pengakuannya? Apakah ucapannya itu benar-benar patut ditertawakan?
“Aku memang bodoh, Untari. Tidak sepantasnya mengutarakan perasaanku ini kepadamu. Aku memang pantas ditertawakan,” keluh Nanggala bergetar penuh kekecewaan. Betapa tidak? Kata-kata yang demikian sulit diucapkannya itu malah ditertawakan Untari. Tentu saja hal itu membuat hatinya terasa tertusuk-tusuk. Sadar kalau ia telah salah menilai orang, maka dengan wajah kecewa, Nanggala bergegas meninggalkan tempat itu.
“Hei? Kau mau kepergi kemana, Kakang? Bukankah kau belum mendengar jawabanku?” tegur Untari menghentikan tawanya ketika melihat Nanggala melangkah hendak meninggalkannya.
“Tidak perlu, Untari. Rasanya jawaban yang keluar dari mulutmu sudah dapat kutebak. Maaf, aku telah mengganggu waktumu,” ujar Nanggala tanpa menoleh sedikit pun. Langkahnya kembali terayun perlahan.
“Tapi, bagaimana kalau aku juga memiliki perasaan yang sama denganmu? Apakah kau akan tetap pergi? Kalau itu maumu, pergilah!” sentak Untari dengan suara agak keras. Setelah berkata demikian, gadis itu pun berbalikdan melangkah kearah yang berlawanan.
Mendengar jawaban yang sama sekali tidak diduga, tentu saja langkah Nanggala terhenti. Dan ketika melihat gadis itu berlari kearah yang berlawanan, langsung saja dikejarnya.
“Untari, tunggu...!” cegah Nanggala yang segera melesat menggunakan ilmu lari cepatnya. Sehingga dalam beberapa saat saja, gadis itu telah dapat terkejar.
“Ada apa lagi? Kau tidak jadi pergi...?” tegur Untari dengan sepasang mata membelalak marah.
“Untari... Kau. Katakanlah! Apakah kau juga mencintaiku?” desak Nanggala.
“Sudah kau dengar jawabanku tadi. Kalau memang mau pergi, pergilah! Aku tida kmelarangmu!” ketus sekali jawaban yang keluar dari bibir indah itu.
“Tidak... Aku tidak akan pergi. Aku..., aku akan melamarmu. Jawablah! Sudikah kau menjadi istriku?” tanya Nanggala.
Pemuda itu merasa yakin dengan jawaban yang akan diterimanya. Apalagi, ketika gadis itu sama sekali tidak berusaha melepaskan diri ketika Nanggala memegang bahunya. Itulah yang meyakinkan dirinya kalau Untari memiliki perasaan yang sama dengannya.
“Tidak tahu malu! Melamar orang ditengah jalan! Apa kau kira aku tidak punya orangtua!” jawab Untari, ketus. Namun, sepasang mata gadis itu jelas menyiratkan kebahagiaan. Dan sebelum Nanggala tersadar, gadis cantik itu sudah meronta dari pegangannya. Kemudian, dia berlari meninggalkan Nanggala yang tersenyum sendirian seperti orang gila.
“Hm.... Tunggulah! Aku akan melamarmu besok!” seru Nanggala yang tidak berusaha mengejar Untari.
********************
LIMA
Pada hari itu, rumah besar kediaman Juragan Gerda Pasa tampak diramaikan berbagai kesibukan. Halaman depan yang luas, tampak semarak oleh berbagai hiasan yang berwarna-warni. Sedangkan di halaman samping, beberapa orang laki-laki tampak sibuk membuat panggung. Panggung yang berukuran cukup luas itu dimaksudkan untuk pertandingan silat. Sebagaimana umumnya seorang tokoh persilatan mengadakan keramaian, panggung adu kekuatan selalu saja disediakan.
Demikian pula pesta pernikahan putri Juragan Gerda Pasa. Calon suaminya merupakan tokoh terkenal di kalangan rimba persilatan. Jadi tidak heran kalau juragan itu mengajukan usul agar disediakan sebuah panggung untuk meramaikan pesta. Dan usul itu disetujui oleh Untari, sang pengantin wanita.
Nanggala atau yang lebih dikenal sebagai Macan Tutul Lembah Daru, semula tidak begitu menyetujui usul mertuanya. Namun karena calon istrinya juga menyetujui rencana itu, dia terpaksa mengalah.
Hari sudah menjelang sore ketika para undangan mulai berdatangan. Mereka tidak hanya terdiri dari kalangan orang kaya saja. Banyak juga penduduk desa itu yang datang memenuhi undangan Juragan Gerda Pasa. Demikian pula tokoh-tokoh kalangan rimba persilatan. Undangan yang disebar dengan mengatasnamakan Macan Tutul Lembah Daru, membuat mereka berduyun-duyun mendatangi pesta pernikahan pendekar muda itu.
Maka, ramailah rumah kediaman Juragan Gerda Pasa oleh berbagai kalangan. Setelah semua undangan telah duduk ditempatnya masing-masing, seorang laki-laki tinggi besar berwajah brewok melangkah naik keatas panggung. Sejenak ia berdiri merayapi sekitarnya disertai senyum lebar. Dialah yang bernama Juragan Gerda Pasa.
“Para sahabat sekalian,” Juragan Gerda Pasa, mulai membuka pembicaraan. “Aku mengucapkan terima kasih atas kesediaan sahabat sekalian untuk datang memenuhi undangan ini. Dan silakan mencicipi hidangan yang telah disediakan. Semoga sahabat sekalian tidak kecewa atas pelayanan kami yang mungkin kurang memuaskan.”
Perkataaan Juragan Gerda Pasa langsung disambut tepuk tangan riuh. Kemudian laki-laki tinggi besar itupun kembali melangkah turun dari atas panggung.
“Wah! Kau beruntung sekali, Gerda Pasa. Entah bagaimana caranya kau bisa mendapatkan seorang menantu seperti Macan Tutul Lembah Daru. Iri rasanya aku melihat keberuntunganmu ini,” bisik salah seorang undangan. Ia langsung saja datang menghampiri Juragan Gerda Pasa yang baru turun dari atas panggung.
Melihat dari sikap dan pakaiannya yang mewah, jelas kalau laki-laki tinggi kurus itu seorang juragan juga. Matanya yang agak sipit itu kadang-kadang melirik Untari yang duduk bersanding dengan Nanggala di sebelah kiri panggung. Tampaknya, lelaki tinggi kurus itu seorang mata keranjang. Hal itu dapat terlihat dari caranya memandang pengantin wanita.
Juragan Gerda Pasa hanya tersenyum dikulum mendengar pujian laki-laki tinggi kurus itu. Setelah berbasa-basi sejenak, laki-laki tinggi besar berwajah brewok itu pun melangkah ketempatnya semula.
Dan kini para undangan mulai mencicipi hidangan yang telah disediakan. Sementara beberapa tokoh kalangan persilatan yang berusia muda seringkali melirik kearah pasangan pengantin dengan sinar mata penuh rasa iri. Dan mereka hanya bisa saling berbisik membicarakan keberuntungan Macan Tutul Lembah Daru yang dapat mempersunting gadis cantik putri Juragan Gerda Pasa itu. Bahkan ada diantaranya yang melontarkan kata-kata sinis. Tentu saja ucapan itu merupakan ungkapan rasa iri saja.
Suara gaduh yang semula ramai menyemarakkan suasana pesta, mendadak lenyap ketika seorang laki-laki gemuk pendek berdiri di atas panggung. Orang itu langsung saja bertepuk tangan sebanyak tiga kali untuk menarik perhatian para undangan.
“Para sahabat sekalian!” seru orang pendek gemuk itu setelah suasana gaduh sirna. “Kami sebagai wakil tuan rumah, akan menyampaikan acara yang segera dapat kita saksikan bersama nanti. Dan mudah-mudahan acara ini dapat menambah kegembiraan kita semua.”
Belum lagi ucapan laki-laki pendek gemuk itu selesai, para undangan segera bertepuk tangan riuh. Beberapa di antara mereka, bahkan sudah berseru tidak sabar.
“Tenang, tenang...!” ujar laki-laki diatas punggung itu untuk menenteramkan kebisingan yang tiba-tiba saja pecah. “Baiklah. Akan segera ditampilkan dua orang kawan kami, yang akan segera menghibur para sahabat sekalian!” lanjut laki-laki pendek gemuk itu untuk menenteramkan kegaduhan yang tak juga berhenti.
“Haiiit...!”
Terdengar seruan nyaring ketika laki-laki pendek gemuk itu menyebut sebuah nama. Berbarengan seruan itu, sesosok tubuh mengenakan pakaian serba merah melayang naik keatas panggung. Dengan gerakan lincah dan manis, kakinya mendarat didekat lelaki gemuk itu. Sosok berpakaian serba merah itu langsung membungkukkan tubuhnya dalam-dalam. Suara sorak-sorai pun bergemuruh menyambut orang itu.
“Terima kasih..., terima kasih...,” ucap sosok berpakaian serba merah itu. Usianya sekitar empat puluh tahun. Wajahnya yang lonjong, tampak terhias kumis dan jenggot tercukur rapi. Jelas kalau dia merupakan seorang laki-laki pesolek. Usai memberi hormat, kakinya melangkah ke sudut kiri panggung.
Tak lama setelah sosok berpakaian serba merah itu berdiri di sudut kiri panggung, sesosok bayangan hitam melenting dan berjumpalitan sebelum mendaratkan kakinya di lantai panggung.
“Namaku Panawa. Aku sengaja datang memenuhi undangan Macan Tutul Lembah Daru, dan sekaligus ikut memeriahkan pesta. Semoga sahabat sekalian tidak kecewa dengan penampilanku yang jelek ini,” kata laki-laki berusia tiga puluh tahun yang mengenakan pakaian serba hitam itu, dengan suara lantang. Setelah memperkenalkan diri, dia segera melangkah ke sudut kanan panggung.
Sosok berpakaian serba merah yang memperkenalkan diri dengan nama Ki Balung bergegas melangkah ke tengah panggung. Demikian pula Panawa. Mereka berdiri berhadapan setelah laki-laki pendek gemuk meninggalkan panggung. Kedua orang tokoh rimba persilatan itu saling membungkuk memberi hormat. Kemudian, mereka melangkah beberapa tindak ke belakang.
“Silakan, Sahabat..,” kata Panawa sambil bersiap memasang kuda-kuda silang. Tangan kanan laki-laki berpakaian hitam itu tampak berada diatas kepala dalam sikap mengepal. Sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka, berada beberapa jengkal didepan dada. Sepasang matanya tampak menatap lurus kedepan.
“Hm...,” Ki Balung menggeram sebelum membuka jurusnya. Diiringi geraman, kaki kanan Ki Balung bergeser ke depan menyerong. Sepasang tangannya bergerak naik ke atas kepala dengan kedua telapak merapat
“Yeaaat..!”
Ki Balung berseru nyaring mengiringi pukulan lurus dengan tusukan jari-jari tangan kiri mengarah dada lawan. Dan belum lagi tusukan jari-jari yang ternyata tipuan itu tiba, tangan kanannya bergerak menyusul. Sedangkan tangan kirinya segera berputar setengah lingkaran untuk memancing perhatian lawan.
Wuttt!
Dengan kecepatan mengejutkan, tahu-tahu saja tangan kanan Ki Balung yang semula meluncur, tertarik ke belakang! Kemudian, disusul dengan meluncurnya tebasan sisi telapak tangan miring menggunakan tangan kiri. Hebat, dan tak terduga perubahan serangan yang dilancarkan KiBalung itu. Sehingga, lawannya sempat dibuat terkejut!
Namun, laki-laki gagah berpakaian serba hitam itu ternyata cukup gesit. Datangnya sabetan sisi tangan miring lawan, disambut sebuah geseran kekiri. Dan gerakan mengelak itu masih disusul sebuah tendangan kilat yang cepat dan bertenaga.
Zebbb! Tendangan lurus yang mengancam lambung, berhasil dielakkan Ki Balung dengan menarik tubuh kebelakang. Dalam keadaan tubuh miring, lelaki tinggi kurus itu masih sempat juga menusukkan jari-jari tangan untuk memapaki tendangan lawan.
Pertarungan pun berjalan semakin ramai ketika tusukan jari tangan Ki Balung tidak mengenai sasaran. Keduanya kembali saling serang menggunakan jurus-jurus terampuh yang dimiliki. Sambaran-sambaran angin pukulan yang saling berkesiutan semakin menambah semaraknya pertempuran.
Plakkk! Plakkk!
Pada jurus yang ketiga puluh, terdengar suara keras ketika telapak tangan masing-masing saling berbenturan! Sekejap kemudian, bayangan merah dan hitam saling terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Hal itu menandakan kalau kekuatan masing-masing ternyata berimbang. Kedua sosok tubuh yang saling berlagacdiatas panggung itu saling bertatapan sejenak. Sepertinya, mereka sudah memaklumi kekuatan masing-masing. Sehingga, baik Ki Balung maupun Panawa terlihatclebih berhati-hati dalam melancarkan serangan.
“Haaat..!”
Ki Balung yang sepertinya lebih penasaran, kembali melompat disertai hantaman pukulan yang susul-menyusul mengincar bagian-bagian terlemah ditubuh lawan. Dari sambaran-sambaran angin pukulan yang berkesiutan, jelas kalau laki-laki tinggi kurus berpakaian serba merah itu telah menambah kekuatannya dalam serangan kali ini.
Bettt! Bettt! Bettt!
Tiga buah pukulan yang bertubi-tubi, datang mengancam tubuh Panawa. Namun, itu semua tidak membuatnya sibuk. Dengan sebuah gerakan manis, kakinya bergeser ke kanan, sejauh setengah tombak. Namun hal itu sepertinya sudah pula diperhitungkan Ki Balung. Maka begitu serangkaian pukulan yang dilancarkannya lolos, kaki kanan lelaki tinggi kurus itu sudah mencelat naik mengancam lambung Panawa. Begitu cepat dan mendadak sekali! Maka....
Desss!
“Hugkh. !” Tendangan keras Ki Balung telak menghantam lambung Panawa. Tubuh laki-laki tegap itulangsung terjengkang, dan hampir jatuh kebawah panggung. Untunglah kakinya masih sempat menjejak keras, dan tubuhnya melambung berjumpalitan beberapa kali di udara.
Tapi, Ki Balung sepertinya tidak sudi memberikan peluang kepada lawannya. Saat tubuh Panawa berputarbdi udara, laki-laki tinggi kurus itu sudah melompat melancarkan sebuah tendangan terbang yang cepat dan kuat. Tendangan yang dilancarkan Ki Balung tentu saja membuat Panawa terkejut. Keadaannya saat itu sangat tidak menguntungkan. Dan akibatnya, dia menjadi gugup. Sehingga....
Bugkh!
“Ngkkk. !” Tanpa dapat dicegah lagi, tendangan keras itupun tepat menghantam perut Panawa! Maka seketika tubuh laki-laki tegap itu terpental, dan meluncur ke bawah panggung.
Brugk!
Tubuh Panawa terbanting ke bawah panggung, sehingga menimbulkan suara berdebuk keras! Tapi lelaki gagah itu berusaha bangkit kembali, meskipun susah payah. Dari mulutnya tampak mengalir darah segar, yang menandakan kalau telah terluka cukup parah!
“Kau hebat, Ki Balung.... Aku mengaku kalah..,” ucap Panawa terputus-putus.
Setelah membungkuk hormat kearah laki-laki tinggi kurus yang berdiri tegak di atas panggung, Panawa melangkah ketempat duduknya semula. Meskipun telah dikalahkan di depan orang banyak, namun sama sekali tidak terlihat sinar dendam dimatanya. Bahkan pujiannya terhadap Ki Balung pun terdengar tulus.
“Kaupun hebat, Panawa. Kalau saja mataku tidak jeli, rasanya sukar sekali menundukkanmu,” sahut Ki Balung.
Dan memang, laki-laki tinggi kurus itu bukan orang sombong. Sikap dan ucapannya tentu saja dimaksudkan agar Panawa tidak terlalu merasa malu. Kemudian laki- laki tinggi kurus itu melangkah turun dari atas panggung, kembali ketempat duduknya semula.
Dan kini terdengar tepukan bergemuruh, menyambut kemenangan Ki Balung. Pertandingan kedua orang tokoh itu sepertinya telah membuat para tamu menjadi puas. Terdengar suara berbisik ramai membicarakan pertarungan yang memang berlangsung sangat seru tadi.
Masih ada beberapa pertunjukan lagi yang disajikan tokoh-tokoh persilatan yang berniat meramaikan pesta pernikahan. Namun dari sekian banyak pertarungan yang disajikan, hanya pertarungan antara Ki Balung dan Panawalah yang paling menarik. Sedangkan, pertarungan lainnya kebanyakan hanya mengandalkan tenaga kasardan tidak berseni.
Banyak undangan yang mulai meninggalkan tempat itu. Satu persatu mereka berpamitan. Padahal, acara belum seluruhnya selesai. Dan ketika malam sudah semakin larut, rumah kediaman Juragan Gerda Pasa telah sepi. Hanya beberapa orang pelayannya yang terlihat masih sibuk membereskan tempat itu.
Juragan Gerda Pasa sendiri telah memasuki kamarnya untuk beristirahat. Tubuhnya baru terasa lelah setelah pesta usai. Sebentar saja laki-laki tinggi besar berwajah brewok itu sudah terlelap di atas pembaringannya.
Demikian pula halnya pasangan pengantin, Nanggala dan Untari. Mereka telah lebih dahulu memasuki kamar, sebelum Juragan Gerda Pasa. Suasana malam yang semakin dingin dan sunyi, membuat pasangan itu semakin terelap dalam lautan kemesraan bagai tak bertepi.
********************
ENAM
Kehangatan sinar matahari pagi memancar lembut mengiringi iring-iringan kereta kuda. Tiga buah kereta yang masing-masing ditarik empat ekor kuda, bergerak perlahan menyusuri jalanan lebar. Di kiri-kanannya, tampak belasan orang mengenakan seragam biru muda tengah berjejer. Melihat dari lambang bendera yang dipegang salah seorang penunggang kuda terdepan, jelas kalau mereka merupakan pengawal pengantar barang. Dan mereka dikenal sebagai kelompok Macan Terbang, yang merupakan kelompok pengawal barang terkenal masa kini.
Sikap belasan orang berseragam biru muda itu rata-rata gagah dan berwibawa. Dan tampaknya, mereka bukanlah orang lemah. Apalagi sebagai pengawal pengantar barang. Tentu saja mereka rata-rata telah dibekali kepandaian silat demi lancarnya tugas yang dijalankan. Baru saja rombongan kereta kuda itu memasuki wilayah perbukitan tandus, tiba-tiba terdengar bentakan keras mengejutkan.
“Berhenti...!”
Bersamaan terdengarnya bentakan keras itu, tiga sosok tubuh mengenakan seragam hitam melayang menghadang perjalanan mereka. Melihat sikap ketiga sosok berpakaian hitam yang rata-rata bengis, jelas kalau niat mereka tidak baik.
Laki-laki tinggi gagah yang sepertinya kepala rombongan pengawal barang, bergegas melompat turun dari punggung kudanya. Dari ketenangannya, jelas kalau ia sama sekali tidak merasa khawatir dengan penghadangan itu.
“Bukankah kalian kelompok yang dipimpin Tiga Buaya Darat? Sampaikanlah hormat kami kepada beliau. Dan izinkanlah kami meneruskan perjalanan. Dan sepertinya, selama ini diantara kami dan ketiga ketua kalian telah terjalin persahabatan erat,” kata lelaki gagah itu sambil membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Tampaknya, dia telah mengenal baik orang yang berjuluk Tiga Buaya Darat itu.
“Benar! Kami adalah pengikut Tiga Buaya Darat. Tapi, hari ini beliau memerintahkan agar kalian suka meninggalkan barang-barang didalam kereta itu kepada kami. Dan, setelah itu kalian boleh pergi dengan tenang,” jawab salah seorang berpakaian serba hitam itu dengan lagak sombong dan memandang rendah.
“Hei?! Mengapa begitu? Coba hadapkan aku kepada ketua kalian. Kalau begitu, percuma setiap bulan aku selalu mengirimkan upeti kepada mereka,” tukas lelaki tinggi tegap itu dengan kening berkerut.
“He he he. Benar kau selalu setia mengirimkan upeti kepada kami, Ludira. Tapi kali ini dengan sangat terpaksa, kami harus mengambil barang-barang yang kalian bawa itu. Maka, sebaiknya kalian tinggalkanlah ketiga kereta kuda itu. Keselamatan kalian akan kami jamin,” tiba-tiba terdengar suara berat yang disusul munculnya tiga sosok tubuh berpakaian serba merah. Tubuh mereka rata-rata pendek gemuk. Demikian pula wajah ketiganya yang ditumbuhi cambangcbauk. Sehingga, mereka tak ubahnya bagaikan saudara kembar.
“Kakang Begawa, apa maksud ucapanmu? Bukankah kita telah lama bersahabat? Dan biasanya, kalian selalu memperbolehkan kami lewat? Mengapa tiba-tiba berubah?” bantah laki-laki tinggi tegap yang dipanggil Ludira itu penasaran. Jelas kalau dia merasa keberatan atas permintaan itu.
“Sudahlah! Tidak perlu banyak tanya! Aku masih berbaik hati dengan membiarkan kalian pergi. Tapi kalau keadaan memaksa, apa boleh buat,” tegas salah seorang dari tiga laki-laki gemuk yang mengenakan ikat kepala hitam. Melihat dari sikap dan caranya, jelas kalau ia merupakan orang pertama dari Tiga Buaya Darat. Orang itu pulalah yang dipanggil Begawa.
“Tidak bisa, Begawa!” bantah Ludira yang langsung membuang sebutan kakang ketika melihat perubahan sikap orang itu yang dikenalnya selama ini. Sambil berkata demikian, Ludira mengangkat kedua tangan sebagai isyarat pada pengikutnya untuk bersiap menghadapi pertempuran.
Maka seketika itu terdengar suara gemerincing yang susul-menyusul ketika pedang-pedang belasan orang pengawal barang Macan Terbang diloloskan dari sarungnya. Serentak mereka berlompatan turun dari atas punggung kuda dengan pedang terhunus. Namun pada saat yang hampir bersamaan, belasan orang bertampang kasar telah berlompatan mengurung tempat itu. Mereka tak lain adalah para pengikut TigabBuaya Darat yang merupakan perampok terkenal dan sangat ditakuti.
Melihat keadaan itu, Ludira bergegas mundur kearah kawan-kawannya seraya menghunus senjata. Sadar kalau pertempuran tidak mungkin dihindari lagi, Ludira segera mengibaskan tangannya kekiri dan kanan. Gerakan tangan lelaki gagah itu rupanya telah sangat dipahami anggotanya. Serentak, belasan orang anggota Macan Terbang, bergerak menyebar.
“Serbuuu...!”
Begawa yang sudah menjadi marah, segera berteriak memberi perintah kepada para pengikutnya. Maka tanpa dapat dicegah lagi, terjadilah pertempuran kecil namun cukup sengit.
“Heaaat..!”
Para anggota perampok berteriak-teriak sambil mengibaskan senjatanya kearah belasan anggota Macan Terbang. Terdengar dentang senjata meningkahi teriakan- teriakan nyaring dan jerit kesakitan. Ludira sendiri sudah berhadapan langsung dengan Begawa. Pedang di tangannya berkelebat cepat mengincar tubuh lawan. Sambaran angin pedangnya menderu-deru, membuat Begawa tidak berani memandang remeh serangan laki-laki tegap itu. Maka, penggadanya mulai digerakkan untuk mengatasi serangan Ludira.
Bettt! Bettt!
Sambaran penggada Begawa yang menimbulkan deru angin keras itu, ternyata mampu menindih gerakan pedang Ludira. Sehingga dalam waktu singkat, kepala perampok itu telah dapat membuat lawan terdesak.
“Hahhh...!”
Memasuki jurus kedua puluh satu, Begawa melompat disertai bentakannya yang mengejutkan. Gerakan itu masih disertai pula sambaran penggada yang mengarah kepala lawan. Serangkum angin menderu mengiringi datangnya sambaran senjata itu.
Wuttt!
Ludira yang merasa terkejut mendengar bentakan itu semakin pucat ketika melihat datangnya hantaman lawan. Cepat kakinya bergeser ke samping disertai egosan tubuhnya. Sayang gerakan Ludira masih kalah cepat. Sehingga, meskipun berhasil menyelamatkan kepalanya, tetap saja penggada Begawa menghajar bahu kirinya.
Bugkh!
“Aaakh...!”
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh laki-laki tinggi tegap itu langsung terlempar sejauh satu batang tombak lebih! Belum lagi Ludira sempat berbuat seuatu, penggada lawan kembali meluncur deras menuju batok kepalanya.
Wuttt! Prakkk!
Terdengar suara berderak keras ketika penggada yang dihantamkan sekuat tenaga itu telak menghantam pecah kepala Ludira. Darah segar yang bercampur cairancputih, berhamburan membasahi batu-batu pada yangcberdebu. Ludira, kepala pengawal barang Macan Terbang tewas tanpa sempat berteriak lagi.
Tewasnya pimpinan pengawal barang Macan Terbang, tentu saja membuat para anggotanya menjadi terkejut. Keadaan mereka yang saat itu tengah terdesakvhebat, menjadi semakin kalang kabut.
Brettt! Crakkk!
“Aaargh...!”
Kembali dua orang anggota Macan Terbang menjerit ngeri! Tubuh mereka langsung ambruk bermandikan darah segar. Setelah berkelojotan sejenak, dua orang anggota itupun diam tak bergerak-gerak lagi.
Tujuh orang anggota pengantar barang yang masih selamat bergegas melompat mundur. Mereka berdiri berkelompok saling melindungi. Wajah-wajah mereka tampak pucat, dan telah dibasahi peluh. Sepertinya tak ada harapan lagi untuk dapat menyelamatkan diri. Para perampok Tiga Buaya Darat itu terkenal sangat kejam dan tidak mengenal ampun.
“Bagaimana ini, Kakang...?” tanya salah seorang anggota Macan Terbang kepada laki-laki berkumis tipis yang berada disebelah kanannya.
“Tidak ada jalan lain, Adi. Barang-barang kiriman Juragan Bartala ini harus dipertahankan dengan taruhan nyawa kita,” sahut laki-laki gemuk berkumis tipis dengan suara bergetar.
“Bunuh mereka....!” terdengar perintah Begawa kepada para pengikutnya. Sedangkan sebagian yang lain, telah berlari menyerbu kereta tanpa diperintah lagi.
“Heaaa...!”
Lima belas orang anggota perampok berteriak keras sambil berlari menyerbu ketujuh orang anggota Macan Terbang yang sudah kehilangan keberanian. Wajah-wajah para perampok itu terlihat menyeringaicbagalkancseekor singa lapar.
Sadar kalau untuk meminta ampun sudah jelas tidak mungkin, maka ketujuh orang sisa anggota Macan Terbang itu bertekad melawan sampai titik darah terakhir!
“Yeaaat..!”
Disertai sebuah teriakan parau, ketujuh orang sisa anggota Macan Terbang menyambut serangan musuh- musuhnya. Sambaran-sambaran angin pedang menderu, ditingkahi denting senjata beradu kembali terdengar. Sebentar saja, ketujuh orang anggota Macan Terbang itu sudah terdesak hebat. Beberapa diantara merekacnampak sudah terluka akibat sambaran senjata-senjata lawan.
“Haiiit..!”
Wuttt! Brettt! Brettt!
“Aaakh...!”
Terdengar jerit kematian yang disusul robohnya tubuh dua orang anggota Macan Terbang! Kedua orang itu langsung tewas dengan isi perut terburai. Robohnya kedua orang kawan mereka ternyatactidak mengurangi semangat tempur yang lain. Kelima orang anggota Macan Terbang yang masih tersisa, berusaha mempertahankan diri sebisa-bisanya.
Pada saat yang sangat berbahaya bagi kelima orang anggota Macan Terbang itu, tiba-tiba dua sosok tubuh melayang dan langsung menjejakkan kakinya ditengah arena pertempuran.
“Haiiit...!”
Begitu memasuki arena, sosok bayangan putih dan hijau itu langsung memporak-porandakan para perampok yang mengurung kelima orang anggota Macan Terbang.
Plakkk! Bukkk! Desss!
“Aaah...!”
“Wuaaa...!”
Sekali mendorong telapak tangan saja, delapan orang anggota perampok beterbangan bagai sehelai daun kering yang dihempas angin! Tubuh mereka langsung terbanting dan pingsan seketika itu juga. Dari sudut bibir mereka tampak mengalir cairan merah.
Hebat sekali terjangan-terjangan yang dilakukan kedua sosok tubuh yang baru tiba itu. Sehingga dalam beberapa jurus saja, para pengeroyok kelima orang anggota Macan Terbang tergeletak rebah tanpa dapat bangkit lagi.
Kedatangan kedua sosok tubuh yang ternyata memiliki kepandaian tinggi, tentu saja membuat kelima orang anggota Macan Terbang menjadi gembira. Dengan wajah bersimbah peluh dan darah, mereka langsung menjatuhkan diri berlutut di depan kedua sosok tubuh yang membelakangi mereka.
“Terima kasih kepada Tuan berdua yang telah menyelamatkan nyawa kami...,” ucap kelima orang itu bergantian sambil mengangguk-anggukkan kepala membentur tanah berdebu.
Dua sosok tubuh berpakaian putih dan hijau itu membalikkan tubuh ke arah lima orang sisa anggota Macan Terbang. Sosok berjubah putih yang ternyata seorang pemuda tampan itu bergerak melangkah dan membangunkan kelima orang yang masih bersujud.
“Bangkit, dan beristirahatiah kalian. Serahkan masalah ini kepada kami. Mudah-mudahan kami dapat menyelesaikannya dengan baik,” ujar pemuda tampan berjubah putih itu dengan suara halus dan wajah terhias senyum.
“Kereta barang kami..., mereka rampok...,” tutur laki- laki berkumis tipis yang dengan cerdik dapat memanfaatkan penolongnya.
“Sabarlah. Sahabatku ini akan membereskannya,”sahut pemuda tampan itu sambil menolehkan kepala kepada kawannya, yang ternyata adalah seorang dara jelita.
Mendengarcucapancpemudavberjubahvputih, daracjelita berpakaian hijau itu pun bergegas menghampiri kereta kuda yang tengah dikerubuti para perampok. Sedangkan pemuda itu sendiri, sudahvmelangkahkan kaki mendekati tiga orang lelaki pendek gemuk yang merupakan pimpinan para perampok.
********************
Hadirnya kedua sosok tubuh yang langsung terjun kedalam kancah pertarungan, tentu saja membuat Tiga Buaya Darat menjadi terkejut. Apalagi setelah menyaksikan kehebatan mereka. Bahkan hanya dalam beberapa gebrakan saja, para pengikutnya dapat dibuat tak berdaya. Tentu saja hal ini membuat ketiganya membelalak marah.
Begawa sebagai orang tertua dari Tiga Buaya Darat, langsung saja melangkah maju menyambut kedatangan pemuda itu. Langkahnya terhenti dalam jarak satu setengah tombak dari lawannya. Dengan tatapan seperti hendak menelan tubuh pemuda itu bulat-bulat, Begawa menudingkan telunjuknya secara kasar.
“Siapa kau, Pemuda Setan! Mengapa begitu lancang mencampuri urusanku?!” bentak Begawa dengan suara menggelegar. Kemarahan Begawa dapat dimaklumi. Dan memang kedatangan pemuda berjubah putih dan kawannya itu, telah membuat rencananya berantakan. Maka seluruh kemarahannya ditumpahkan kepada pemuda itu.
“Hm...,” gumam pemuda tampan itu pelan sambil meneliti ketiga sosok tubuh di hadapannya. “Kaliankah yang telah membantai delapan orang yang tengah melewati Hutan Branjangan?” tanya pemuda yang tak lain dari Panji, dengan pandangan penuh selidik. Sedangkan pertanyaan Begawa sama sekali tidak dipedulikannya.
“Aku tidak tahu, apa yang kau maksudkan itu.Jawab saja pertanyaanku sebelum kau menggeletak jadi mayat!” bentak Begawa yang semakin memuncak amarahnya. Karena pemuda tampan itu sepertinya sama sekali memandang remeh padanya.
“Dugaanku pasti tidak meleset. Di sekitar daerah ini, hanya kalianlah para perampok yang mengenakan seragam serba hitam. Sedangkan dua kelompok lainnya menggunakan serba merah dan biru. Jadi, tidak perlu lagi kalian berdalih,” ujar Panji tanpa mempedulikan kemarahan Begawa.
Menilik dari sikap dan kata-katanya, jelas kalau Pendekar Naga Putih telah menyelidiki komplotanpara perampok di sekitar wilayah itu. Dan itu pula yang membuatnya merasa yakin akan dugaannya.
“Kau jangan menuduh sembarangan, Kisanak! Bisa saja kelompok yang kau selidiki itu berbohong, dan mereka melemparkan tuduhan kepada kami. Tapi jangan dikira kami takut mengakuinya, kalau memang kami yang melakukan pembunuhan itu,” sahut Begawa. Laki-laki itu akhirnya terpaksa mengikuti arah pembicaraan Pendekar Naga Putih, karena pertanyaan yang diajukannya sama sekali tidak dipedulikan.
“Hm..., kau masih ingin menyangkal?” gertak Panji yang segera melangkah maju bersikap mengancam.
“Kakang! Mengapa harus meladeni bocah gila itu? Beset saja mulutnya, habis perkara,” sahut salah seorang dari dua kawan Begawa yang seperti tidak sabar melihat perdebatan itu. Setelah berkata demikian, laki-laki gemuk berikat kepala merah yang merupakan orang kedua dari Tiga Buaya Darat, bergegas melompat dan menjejakkan kakinya beberapa langkah di hadapan Panji. Di tangan kanannya tampak tergenggam sebatang golok besar yang pada bagian matanya bergerigi.
“Mengapa tidak kau saja yang melakukannya, Kisanak?” tantang Panji sambil tersenyum. Diwajah Pendekar Naga Putih sama sekali terlihat kegentaran. Dan sikapnyapun tetap tenang. Sama sekali tidak bersiap, sebagaimana biasanya orang yang akan menghadapi pertarungan.
“Bangsat! Kurobek mulutmu yang lancang itu...!” Dengan kemarahan menggelegak, lelaki gemuk berikat kepala merah itu langsung melompat disertai sabetan senjata mengancam wajah Panji.
Wuttt!
Sambaran golok besar itu lewat beberapa jengkal, ketika Pendekar Naga Putih menggeser tubuhnya ke samping. Namun begitu senjatanya tidak mengenai sasaran,laki-laki berikat kepala merah itu memutar senjatanya dengan gerakan cepat dan kuat!
“Bagus...!” seru Panji yang mau tak mau harus memuji serangan lawan. Karena gerakan orang itu memang cepat dan tak terduga, sehingga membuat Pendekar Naga Putih mengaguminya.
Pujian yang dikeluarkan bukan berarti Pendekar Naga Putih tidak bisa mengatasi lawan. Sambaran golok yang bagi orang lain terlihat sangat cepat dan berbahaya, tentu saja bukan hal yang mencemaskan bagi Pendekar Naga Putih. Dengan gerakan indah dan tak terduga, pemuda tampan itu menarik kaki depan sambil mendoyongkan tubuh ke belakang. Dan begitu sambaran senjata lawan yang mengincar lehernya lewat, kaki yang semula tertarik ke belakang langsung mencelat naik mengancam lambung lawan.
Zebbb!
“Aihhh...!” Serangan balasan pemuda itu ternyata telah membuat lawan kelabakan. Betapa tidak? Sebab, datangnya tendangan yang dilancarkan Panji benar-benar tak terduga. Tahu-tahu saja, ujung kaki pemuda itutelah berada beberapa jengkal didepan lambung lawan. Dengan gerakan agak gugup, laki-laki gemuk berikat kepala merah itu melempar tubuh kebelakang. Langsung dia bersalto beberapa kali untuk menyelamatkandiri.
Sayang Pendekar Naga Putih tidak sudi lagi memberikan kesempatan kepada lawan untuk melanjutkan pertarungan. Maka pada saat tubuh gemuk itu tengah melambung di udara, pemuda itu bergegas mengejar disertai hantaman telapak tangan yang langsung mengincar dada lawan. Dan....
Bukkk!
“Hugkh. !” Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh orang itu terlempar deras ketika telapak tangan Pendekar Naga Putih menghantam telak dadanya. Jeritan kesakitan yang disertai semburan darah segar terlontar dari mulut lawannya. Tubuh gemuk itu langsung terbanting ambruk di tanah keras sekali.
“Adi Jambrong...!” Bukan main terkejutnya hati Begawa melihat adiknya dapat ditundukkan pemuda itu hanya dalam beberapa jurus saja. Cepat ia berlari menghambur kearah tubuh Jambrong bersama saudaranya yang paling muda.
“Bedebah! Kubunuh kau...!” bentak Begawa marah ketika melihat cairan merah yang mengalir disudut bibir Jambrong. Dengan kemarahan menggelegak, lelaki gemuk itu bangkit ketika mendapati adiknya yang pingsan akibat pukulan Pendekar Naga Putih.
“Kita habisi saja dia, Kakang!” seru orang ketiga dari Tiga Buaya Darat dengan wajah merah. Sambil berkata demikian, laki-laki berikat kepala biru itu langsung meloloskan senjatanya, berupa sepasang adik berukuran satu setengah jengkal.
“Bagus! Majulah kalian bersama-sama, biar urusan ini cepat selesai,” ujar Panji dengan suara tenang dan bibir tersenyum. Ucapan itu dimaksudkan Pendekar Naga Putih untuk membangkitkan kemarahan lawan. Sebab, bila penyerangan dilakukan dengan penuh amarah, biasanya kewaspadaan pasti akan berkurang. Dan itu akan mempermudah pekerjaannya.
“Setan...!” Begawa yang merasa tertantang, bergegas melompat disertai ayunan penggadanya yang menimbulkan deru angin keras! Dalam kemarahannya, laki-laki gemuk berikat kepala hitam itu telah menggunakan seluruh tenaga dalam serangannya kali ini. Orang ketiga dari Tiga Buaya Daratpun tidak mau ketinggalan. Tubuhnya segera melesat menyusuli kakak seperguruannya. Sepasang badiknya bergerak cepat saling susul-menyusul dengan kekuatan tidak bisa dipandang remeh.
Wukkk! Bettt! Bettt!
Serangan gencar bertubi-tubi yang dilepaskan kedua orang kakak beradik itu sama sekali tidak membuat Pendekar Naga Putih gentar. Dengan langkah-langkah pendek yang disertai gerakan tubuhnya, sambaran senjata lawan dapat dihindari dengan mudah. Bahkan setelah pertarungan menginjak jurus kesepuluh, pemuda itu mulai melancarkan serangan-serangan balasan yang cepat dan tak terduga.
Sebenarnya, kepandaian yang dimiliki dua orang dari Tiga Buaya Darat itu termasuk cukup tinggi. Bahkan boleh dikatakan sampai saat sebelum berjumpa Pendekar Naga Putih, mereka sama sekali belum terkalahkan. Tapi kali ini mereka terpaksa harus menelan pil pahit. Sebab,pemuda tampan yang sama sekali tidak mereka kenal telah membuat kalang-kabut! Tentu saja kenyataan itu membuat mereka semakin penasaran.
Memasuki jurus kelima belas, serangan-serangan yang dilancarkan Panji tampak semakin membuat kedua lawan kerepotan. Sehingga, mereka tidak sempat lagi melancarkan serangan-serangan balasan. Dan memang, pukulan-pukulan yang dilancarkan pemuda itu bagaikan datang dari berbagai penjuru dan mengurung mereka.
“Heaaah...!”
Pada suatu kesempatan baik, Panji membentak keras. Akibatnya, kedua lawan terkejut. Dan sebelum mereka sempat menyadari keadaan, sepasang tangan Pendekar Naga Putih bergerak cepat mengancam tubuh keduanya sekaligus!
Bettt! Bettt!
“Ihhh...!” Begawa dan adik seperguruannya tergagap melihat serangan yang meluncur mengancam tubuh mereka. Cepat keduanya melempar tubuh ke belakang, dan langsung menjatuhkan diri bergulingan menghindari serangan Pendekar Naga Putih.
Namun, kecepatan gerak Panji tidak dapat disamakan kecepatan mereka. Maka sekali melompat saja, tubuh pemuda itu telah dapat menyusuli kedua lawannya. Dan ketika tubuh mereka melenting bangkit, sepasang tangan pendekar muda itu telah menghajar telak tubuh keduanya.
Bukkk! Desss!
“Aaargh...!”
“Hugkh...!”
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua orang itu langsung terlempar sejauh satu tombak lebih.
“Uhhh...!” Begawa, orang pertama dari Tiga Buaya Darat itu rupanya memiliki daya tahan yang jauh lebih kuat daripada saudaranya. Lelaki gemuk berwajah brewok itu mencoba bangkit berdiri disertai keluhan yang terdengar dari mulutnya. Sedangkan disebelah kanannya tampak tubuh saudaranya telah tergeletak pingsan.
Panji yang melihat Begawa bergerak hendak bangkit, cepat melompat. Langsung ditekannya tubuh orang itu dengan menggunakan telapak kakinya. Hal itu dilakukan dengan pengerahan tenaga dalamnya, sehingga Begawa merasakan tubuhnya bagai dihimpit sebuah batu besar yang sangat berat
“Hm. Sepertinya kau tidak akan pernah jera terhadap kelakuanmu selama ini. Sebaiknya, orang sepertimu tidak boleh dibiarkan lama-lama, menikmati hidup ini,” geram Panji sambil menambah tekanan pada pijakan kakinya.
“Akh. !” Merasakan tekanan telapak kaki lawan semakin bertambah berat dan menyakitkan, Begawa kembali mengeluh. Cairan merah tampak mengalir semakin deras dari sudut bibirnya.
Panji menarik kakinya dari tubuh lawan. Sempat terlintas rasa iba dihatinya melihat seringai kesakitan di wajahlaki-laki gemuk itu. Setelah menatap wajah orang itu sejenak, tangan kanannya diangkat, siap mengirim Begawa ke akhirat
“Tunggu, Kisanak...!” seru Begawa yang melihat pemuda itu hendak menghabisi nyawanya. Seruan serak itu disusul suara batuk dan muntahan darah segar. Jelas kalau Begawa telah terluka dalam cukup parah akibat pukulan Panji tadi.
“Hm.... Kau mempunyai pesan untuk kusampaikan kepada anak buahmu?” tanya Panji.
Pendekar Naga Putih segera menurunkan telapak tangannya yang siap menghunjam tubuh gemuk itu. Dipandanginya wajah Begawa yang saat itu juga tengah menatapnya dengan sinar mata redup.
“Aku..., aku sebenarnya hanya seorang pengikut. Dan... kami masih mempunyai pimpinan lagi...,” jelas Begawa dengan suara terpatah-patah.
“Pimpinan? Maksudmu...?” tanya Panji. Pendekar Naga Putih segera mengangkat tubuh gemuk itu untuk bangkit duduk, lalu disandarkannya pada sebatang pohon.
“Aku..., aku hanya orang suruhan...,” aku Begawa lagi sambil menarik napas panjang-panjang. Seringai di wajahnya tampak kembali menggurat. Tangan kanannya bergerak menekap dada yang dirasakan semakin nyeri. Tentu saja ucapan itu tidak sepenuhnya dipercaya Panji. Namun karena menurutnya tidak ada ruginya mendengar keterangan itu, maka diberikannya obat luka dalam yang selalu dibawa dalam buntalan pakaiannya kepada Begawa.
“Ceritakanlah...,” pinta Panji. Pendekar Naga Putih telah menjejalkan obat luka dalam berwarna putih salju ke dalam mulut Begawa. Ditunggunya beberapa saat setelah obat pemberiannya menunjukkan gejala penyembuhan.
“Tiga tahun yang lalu, aku dan dua kelompok perampok lainnya didaerah ini merupakan raja-raja kecil yang memiliki daerah kekuasaan. Sampai kemudian, datang seorang laki-laki tinggi besar yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Orang yang berjuluk Hantu Teluk Jambe itu datang menaklukkan semua perampok di daerah ini,” Begawa menarik napas panjang dan menghentikan ceritanya sejenak.
“Kemudian, kami diperintah untuk membunuh setiap orang yang melewati daerah kekuasaan kami dan merampas semua bawaan mereka. Setiap hasil yang didapatkan harus dikirim ke Desa Pacitan. Hal itu kami lakukan dengan menyamar sebagai pengawal barang, agar tidak menimbulkan kecurigaan penduduk desa itu,” lanjut Begawa.
“Hm.... Siapakah orang itu? Dan apa jabatannya di Desa Pacitan?” tanya Panji tetap bersikap tenang dan sabar. Meskipun keterangan yang dibeberkan Begawa sangat jelas, namun Pendekar Naga Putih tidak mau mempercayai begitu saja. Sebab, bukan tidak mungkin kalau kepala rampok itu sengaja melontarkan fitnah untuk keselamatannya sendiri.
“Kau boleh tidak percaya dengan keteranganku ini, Kisanak. Tapi untuk membuktikan kebenaran ceritaku ini, sebaiknya datanglah ke Desa Pacitan. Disana, kau boleh menyelidiki seorang juragan yang bernama Gerda Pasa. Para penduduk desa itu memang tidak mengetahuinya. Bahkan mereka menganggap Gerda Pasa sebagai orang kaya yang baik hati. Kebusukannya disembunyikan dibalik kebaikan hatinya dengan memberi bantuan kepada para penduduk yang tidak mampu. Padahal, semua itu dilakukannya untuk mengeruk keuntungan dari para petani yang dibantunya,” tutur Begawa kembali melanjutkan ceritanya.
“Hm.... Maksudmu, Gerda Pasa membantu dengan memberikan pinjaman kepada mereka. Lalu, para petani diharuskan membayar berlipat ganda, begitu?” tanya Panji yang memang telah sering mendengar ulah para juragan tamak terhadap para penduduk desa. Baginya, cerita seperti itu sudah tidak aneh dan sering dijumpai dalam perantauan.
“Tidak! Gerda Pasa bahkan lebih licik dari itu. Ia memang memberi bantuan berupa bibit-bibit tanaman dan segala keperluan para petani miskin. Tapi setelah tumbuh subur, tanaman itu akan dirusaknya dengan menyebarkan racun, sehingga para petani gagal panen. Setelah kejadian itu, tentu para petani miskin tadi tidak akan sanggup membayar hutang-hutang mereka. Maka kemudian sawah atau ladang mereka dibeli Juragan Gerda Pasa dengan harga murah. Lalu, para petani disuruhnya menggarap sawah yang telah dibeli. Tentu saja mereka hanya sekadar orang upahan yang tidak berhak mencicipi hasil sawah ladang itu.”
“Hm.... Licik sekali orang itu. Dengan demikian, ia tidak akan dicurigai para petani. Sudah berapa banyak orang yang terjebak tipu kejinya itu? Jelas, kekayaan yang dimiliki Gerda Pasa semakin menumpuk,” geram Panji sambil mengepalkan tinjunya kuat-kuat. Seketika Pendekar Naga Putih teringat dengan pembunuhan keji yang ditemukannya di Hutan Branjangan beberapa hari yang lalu.
“Jadi delapan orang yang kau bantai di Hutan Branjangan itu, juga tengah mengantar barang?” tanya pemuda itu.
“Benar! Mereka adalah rombongan saudagar kaya yang hendak menjual hasil tanamannya kekadipaten. Mereka terpaksa kami bunuh untuk menghilangkan jejak. Barang- barang bawaan mereka kami rampas, dan dikirimkan kepada Juragan Gerda Pasa. Karena semua itu memang atas perintahnya,” Begawa akhirnya mengakui segala perbuatannya kepada Panji.
Semua itu dilakukan kepala perampok itu karena merasa benci terhadap Gerda Pasa yang telah memperalat dirinya dan anggota gerombolannya. Padahal, mereka tidak mendapatkan hasil sedikit pun dari pekerjaan itu. Maka, Begawa segera mengadukannya kepada pemuda lihai yang tak dikenalnya itu. Dengan harapan, Gerda Pasa dapat diringkus Pendekar Naga Putih.
“Hm..., baiklah. Sekarang, apa yang akan kau lakukan setelah semua kejadian ini? Apakah kau ingin kembali merampok?” tanya Panji. Pendekar Naga Putih merasa semua keterangan yang diperolehnya telah cukup. Namun, matanya tetap menatap wajah Begawa penuh selidik.
“Entahlah, Kisanak. Aku tidak memiliki kebisaan lain, selain berkelahi. Rasanya sulit sekali mencari nafkah dengan cara lain,” sahut Begawa. Kepala perampok itu sedikit heran mendengar pertanyaan pemuda dihadapannya. Sebab menurutnya, pertanyaan pemuda itu jelas mengandung arti yang khusus baginya. Begawa tidak berani memikirkannya, karena merasa telah terlalu kotor dan patut dihukum mati.
“Kau mau mendengar saranku...?” tanya Panji seraya menepuk lembut bahu laki-laki gemuk itu. Wajah pemuda itu sama sekali tidak memancarkan dendam. Bahkan seulas senyum persahabatan tampak menghias wajah tampannya.
“Apa.... Apa maksudmu, Kisanak...?” suara Begawa terdengar tegang dan penuh harap-harap cemas.
“Bergabunglah dengan mereka,” jawab Panji seraya menudingkan telunjuknya ke arah lima orang sisa anggota pengawal barang Macan Terbang yang hanya dapat memandang bingung. Dan memang, mereka sama sekali tidak mendengar pembicaraan kedua orang itu.
“Maksudmu...?” tegas Begawa mencoba memastikan ucapan pemuda itu.
“Ya! Jadilah pengawal barang seperti mereka. Dan sebagai permulaan, kau dapat mengantarkan kelima orang itu sampai ke tempat tujuan,” jawab Panji seraya tersenyum lembut
“Kau..., kau tidak akan membunuhku...?” tanya Begawa, seolah-olah tak percaya dengan apa yang terdengar telinganya.
“Kalau kau memang telah bertobat dan berjanji untuk tidak melanjutkan perbuatanmu yang lalu, tentu saja aku akan membebaskanmu,” senyum Panji semakin melebar melihat wajah Begawa yang berubah bagai orang tolol.
“Oh.... Terima kasih..., terima kasih, Kisanak. Aku..., aku..., ah! Aku berjanji akan meninggalkan pekerjaan kotor ini, dan akan menuruti nasihatmu. Semoga saja, apa yang kukerjakan nanti tidak akan mendapatkan cemooh dari masyarakat,” ucap Begawa.
Laki-laki itu segera menjatuhkan dirinya, berlutut di depan Panji. Air mata tampak mengembang di pelupuk matanya. Jelas kalau dia yang selama ini terkenal sebagai ketua gerombolan perampok ganas merasa terharu dengan apa yang dilakukan pemuda itu terhadapnya.
“Mengantarkan kelima orang itu hanya sebagai permulaan, Kisanak. Setelah itu, carilah tempat lain yang orang-orang tidak mengetahui masa lalumu. Dengan demikian, kau tidak perlu merasa takut terhadap pandangan orang lain,” sahut Panji memberikan nasihatnya.
Begawa semakin dalam menundukkan kepalanya. Setelah cukup lama, baru laki-laki gemuk itu mengangkat kepalanya dan memandang Pendekar Naga Putih penuh rasa syukur.
“Baiklah, Kisanak. Semua nasihatmu akan kujalankan. Tapi, bolehkah aku mengetahui nama atau julukanmu? Rasanya, janggal sekali kalau tidak mengetahui siapa orang yang telah mengangkatku dari semua kehinaan ini. Namaku adalah Begawa,” pinta Begawa dengan suara parau karena rasa haru yang dalam.
“Namaku Panji. Sedangkan orang-orang rimba persilatan menjulukiku sebagai Pendekar Naga Putih,” sahut Panji tanpa rasa bangga ataupun sombong sedikit pun.
“Ah...! Pendekar Naga Putih...! Pantas saja kau dapat menundukkan kami bertiga secara mudah! Ampunilah kami yang buta dan bodoh ini, Pendekar Naga Putih. Nama besarmu telah lama sampai ketelinga kami. Siapa sangka, hari ini aku mendapatkan kehormatan besar dapat berbincang-bincang denganmu,” desah Begawa yang sama sekali tidak menyembunyikan rasa gembiranya. Kembali laki-laki gendut itu menjatuhkan dirinya berlutut dihadapan Panji. Sehingga, pemuda itu terpaksa mengangkat bangkit Begawa dengan sedikit paksaan.
“Sudahlah, Paman Begawa. Jangan terlalu melebih- lebihkan. Bisa-bisa kepala ku menjadi sebesar gunung nanti,” ujar Panji, mencoba bergurau sambil mengangkat Begawa berdiri.
“Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Sekarang juga aku akan melaksanakan segala nasihatmu.” Setelah berkata demikian, Begawa melangkah kearah lima orang anggota Macan Terbang yang hanya bisa menatap bingung.
Sedangkan Panji sendiri sudah melangkah dan mengobati semua anggota Tiga Buaya Darat yang dilukainya. Termasuk, dua orang pimpinannya yang masih tergeletak pingsan. Kenanga sendiri sudah lama membereskan para perampok yang tengah mengerubuti kereta kuda. Sebagaimana yang dilakukan Panji, gadis jelita itupun menyadarkan lawan-lawannya. Mereka yang hanya dibuat pingsan, kembali bangkit dan berkumpul didekat Begawa.
“Mulai hari ini, pekerjaan keji ini harus ditinggalkan. Dan kita akan mencari pekerjaan lain yang lebih bersih. Siapa diantara kalian yang masih setia denganku, silakan ikut. Tapi bagi yang tidak bersedia ikut denganku, tidak ada paksaan. Silakan mencari jalan hidup sendiri-sendiri, asalkan bukan perbuatan jahat,” ujar Begawa lantang, sambil berdiri tegak dihadapan anggota gerombolannya.
Ternyata tidak seorangpun dari anggota perampok itu yang keluar dari barisan. Jelas, mereka semua lebih suka mengikuti sang Pemimpin. Tentu saja hal itu membuat Begawa tersenyum bangga. Namun tanpa disadari mereka, Pendekar Naga Putih dan Kenanga telah berkelebat cepat, menghilang dari situ. Dan memang, ilmu meringankan tubuh dua orang pendekar itu telah mencapai taraf kesempurnaan.
“Hei? Kemana Pendekar Naga Putih...?” tanya Begawa ketika tidak melihat Panji di tempat itu. Sadar kalau pemuda lihai itu merupakan seorang pendekar sejati, maka Begawa segera pergi dari situ untuk mengantarkan barang kiriman Macan Terbang.
********************
TUJUH
Lima orang laki-laki gagah tampak melangkah memasuki mulut Desa Pacitan. Sikap mereka tampak angker dengan tatapan mata tajam menyiratkan kebengisan. Penduduk desa yang kebetulan berpapasan dengan mereka bergegas menepi, dan hanya dapat memandang bingung. Didepan kelima orang laki-laki gagah itu tampak dua orang laki-laki berwajah sembab berdarah. Pakaian mereka tampak lusuh dan kotor. Melihat perlakuan lima orang laki-laki gagah itu, jelas kalau kedua orang itu adalah tawanan.
“Percepat sedikit jalanmu, Bedebah!” hardik salah seorang dari lima laki-laki gagah itu.
Dia memiliki bentuk tubuh kekar berotot. Wajahnya yang terhias kumis tebal, tampak menyiratkan ketidak- sabaran. Dan hardikannya masih disertai pula dorongan yang membuat salah seorang tawanan terjerunuk hampir jatuh. Mendengar bentakan yang disertai dorongan keras, membuat kedua orang tawanan mempercepat langkahnya. Dengan setengah berlari, keduanya terus menyusuri jalan utama desa. Sekilas pun mereka tidak berani menolehkan kepala kepada laki-laki gagah bertubuh kekar itu. Tidak berapa lama kemudian, rombongan kecil itu tiba di depan sebuah bangunan besar yang terhitung paling megah di Desa Pacitan.
“Hm.... Inikah rumah majikanmu...?” tegur laki-laki berkumis lebat sambil melepaskan pandangan menilai rumah besar didepan matanya. Sikap dan ucapannya jelas membayangkan ketidak senangan.
“Betul..., Tuan...,” sahut salah seorang laki-laki berwajah sembab itu, menundukkan kepala. “Hm.... Mengapa kami tidak lekas kau bawa masuk...?” gumam laki-laki gagah berwajah keras yang mengenakan ikat kepala putih. Nada suaranya berat, bernada teguran dan ancaman.
“Kami... Kami tidak berani, Tuan...,” sahut salah seorang dari kedua tawanan yang memiliki cambang tebal dan berperut gendut. Suaranya lebih mirip keluhan daripada jawaban.
“Keparat! Rupanya kau lebih suka diperintah dengan ini!” bentak laki-laki berkumis lebat sambil meluncurkan kaki kanannya, menghajar tubuh orang itu. Dia memang merasa geram mendengar jawaban itu.
Desss!
“Akh...!”
Tawanan berperut gendut itu mengeluh tertahan ketika sebuah tendangan telak menghajar punggungnya. Sehingga, tubuhnya langsung terjerembab beberapa langkah kedepan, dan jatuh persis menghantam pintu gerbang rumah besar itu. Suara berdebuk nyaring yang berasal dari depan gerbang itu membuat dua orang penjaga bergegas menghampiri. Wajah keduanya berubah kelam melihat sesosok tubuh dengan wajah bersimbah darahcmeringkuk kesakitan.
“Bagol...! Kaukah itu...?” tegur salah seorang penjaga yang bertubuh tinggi kurus sambil membungkuk untuk memastikan dugaannya.
“Benar! Dia memang Bagol...!” seru penjaga bertubuh pendek, ketika kawannya mengangkat wajah bersimbah darah itu. Jelas kalau kedua orang penjaga itu memang telah mengenalnya dengan baik.
Saat keduanya tengah memeriksa tubuh laki-laki yang dipanggil Bagol itu, terdengar jerit kesakitan yang disusul melayangnya sesosok tubuh lain kearah mereka.
“Nih, satu lagi kukembalikan...!” terdengar seruan keras mengiringi sosok tubuh yang tengah melayang.
Namun penjaga yang bertubuh tinggi kurus ternyata cukup sigap. Begitu melihat sosok tubuh yang melayang ke arahnya, cepat kakinya melangkah mundur. Disertai bentakan nyaring, tubuh jangkung itu melesat menyambut sosok tubuh yang tengah mengapung di udara. Melihat dari sikapnya yang tanggap, jelas kalau seruan yang ditujukan kepadanya tadi telah didengarnya. Setelah berputar sebanyak dua kali diudara, tubuh tinggi kurus itu menjejakkan kaki ketanah. Menilik dari caranya menyambut dan menjatuhkan kaki di tanah dengan beban di kedua lengan, jelas kalau kepandaiannya tidak bisa dipandang rendah.
“Bagus...!” seru laki-laki tinggi kekar berkumis tebal memuji tindakan penjaga itu. Pujiannya masih disertai pula tepukan tangan yang cukup nyaring. Sayangnya, suara pujian yang keluar dari mulut laki-laki gagah itu agak sedikit menyiratkan kesinisan.
“Terima kasih atas pujianmu, Kisanak, Bolehkah aku tahu, siapa kalian sebenarnya? Dan mengapa sampai tega menyiksa kedua orang kawan kami ini?” tegur laki-laki tinggi kurus itu dengan wajah angker. Sepasang matanya tampak menyipit, seperti hendak menilai kelima orang laki-lagi gagah didepannya.
“Tidak perlu banyak cakap! Panggil saja majikanmu keluar! Katakan, sahabat-sahabat Saudagar Prakosa ingin bertemu!” jawab laki-laki berkumis lebat yang memang sudah tidak bisa menahan kemarahannya. Jelas kalau ucapannya mengandung ancaman.
“Hm.... Jangan disangka setelah menganiaya kedua orang kawan kami, kalian bisa berbuat seenaknya! Langkahi dulu mayat kami berdua, baru bisa menemui majikan kami,” tantang laki-laki tinggi kurus itu. Kemudian dia segera mencabut keluar golok panjang di pinggangnya. Perbuatannya diikuti penjaga lainnya, yang berdiri disebelah kiri laki-laki tinggi kurus itu.
“Nah! Kalau begitu, matilah kalian...!” bentak laki-laki berkumis lebat yang segera melompat disertai kibasan tangan ke arah dua orang penjaga pintu gerbang itu.
Wuttt!
Serangkum angin menderu, berhembus mengiringi kibasan tangan laki-laki gagah itu. Dari sambaran angin yang ditimbulkannya, jelas kalau ia memang hendak menurunkan tangan maut kepada dua orang penjaga yang siap menyambutnya.
“Yeaaat...!”
Dibarengi teriakan keras, kedua orang penjaga itu bergegas mengibaskan senjata menyambut serangan lawan. Tapi, laki-laki gagah itu ternyata cukup cerdik. Maka, tangan kanannya yang mengibas itu berputar setengah lingkaran. Kemudian, terus meluncur menyampok kedua senjata lawan.
Plak! Plak!
“Akh...!” Perubahan gerak yang cepat dan tak terduga dari laki- laki gagah itu, tak sempat lagi dicegah lawan. Terdengar suara keras yang disusul seruan tertahan dari kedua orang penjaga itu. Tubuh keduanya terjengkang ke belakang sejauh satu tombak. Demikian kuatnya tenaga sampokan laki-laki gagah itu, sehingga senjata mereka terlepas dari genggaman.
“Kurang ajar...!” umpat penjaga tinggi kurus yang segera melenting bangkit, dan siap menghadapi pertarungan kembali.
“Setan...!” maki penjaga yang bertubuh pendek. Seperti kawannya, tubuh laki-laki pendek itu pun melenting bangkit dengan wajah menyeringai kesakitan. Tangan kanannya bergerak mengelus pinggul yang terasa linu. Dan memang, pada saat terjatuh tadi, tubuhnya tepat menimpa batu sebesar kepalan tangan. Dan tentu saja kemarahannya semakin menggelegak.
Laki-laki kekar berwatak berangasan itu rupanya tidak ingin berlama-lama. Begitu kedua lawannya bergerak bangkit, dia langsung melompat disertai hantaman telapak tangan ke arah penjaga tinggi kurus.
Bugk!
“Hugkh...!”
Hantaman telapak tangan laki-laki kekar itu telak menghajar dada lawan yang tak berdaging. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh tinggi kurus itu tertolak kebelakang bagai dihentakkan tenaga raksasa yang tak nampak. Penjaga itu kemudian tewas, setelah terlebih dahulu menghantam dinding batu dibelakangnya.
Sedangkan gerakan laki-laki kekarcberkumisclebatcitu ternyata masih berkelanjutan. Begitu hantaman telapak tangannya mengenai sasaran, tubuhnya segera berputar. Langsung dilancarkannya tendangan lompat yang mengarah kepala penjaga satunya lagi. Penjaga bertubuh pendek yang saat itu masih merasakan nyeri di pinggulnya, tentu saja menjadi terkejut setengah mati. Belum lagi sempat menyadari, telapak kaki yang mengandung tenaga dalam kuat itu telah singgah di kepalanya.
Krakkk!
Bagaikan layang-layang putus, tubuh pendek itu melintir akibat kerasnya tendangan lawan yang menghajar kepalanya. Darah segar kontan menyembur dari mulutnya, disertai beberapa buah giginya yang tanggal. Sebelum tubuhnya sempat terjatuh, kembali sebuah tamparan keras membuat napasnya langsung putus.
Plakkk!
Tamparan keras yang telak menghajar pelipisnya, membuat penjaga bertubuh pendek itu terbanting keras ke atas tanah. Darah seketika tampak mengalir dari luka memanjang dipelipisnya. Tamparan yang menewaskancitu ternyata juga menimbulkan luka yang mengalirkan darah. Selesai menamatkan riwayat kedua lawannya, laki-laki tinggi kekar itu langsung melompat melewati pintu gerbang.
“Adi Sempana, tunggu..!” seru salah seorang daricempat laki-laki gagah yang berusia paling tua di antara mereka. Kemudian, tubuhnya langsung melesat mengejar. Tiga orang laki-laki gagah lainnya, bergegas menyusul. Gerakan mereka rata-rata gesit dan ringan, langsung bergerak memasuki pelataran rumah itu.
“Hey, siapa kalian?! Dan mau apa memasuki tempat ini...?!” terdengar bentakan nyaring yang membuat langkah lima orang laki-laki gagah itu terhenti. Begitu bentakan lenyap, delapan sosok tubuh berpakaian serba hitam berlompatan mengurung lima orang itu. Sikap kedelapan orang itu terlihat galak, dan memandang penuh ancaman. Senjata-senjata mereka pun telah dilolos dari sarungnya.
“Hm.... Cecunguk-cecunguk Gerda Pasa. Lebih baik kalian menyingkir sebelum kesabaranku hilang!” ancam laki-laki bertubuh kekar yang bernama Sempana. Sepasang matanya tampak menyorot tajam, membuat hati delapan orang itu bergetar dan melangkah mundur tanpa sadar.
“Keparat sombong! Kurobek mulutmu yang lancang itu!” bentak salah seorang diantara pengepung itu. Sambil berkata demikian, ia melangkah maju dua tindak. Tangan kanannya mengibas kekiri dan kanan sebagai perintah kepada kawannya untuk mulai bergerak.
“Hmh...!” Sempana menggeram gusar melihat kepungan itu. Sebelum orang-orang itu bergerak, tubuhnya sudah mencelat. Langsung dikirimkannya serangan kearah dua orang yang berada didepannya.
“Heaaat..!”
Dua orang tukang pukul Juragan Gerda Pasa yang melihat datangnya serangan lawan, cepat bergerak menghindar sambil mengibaskan senjata disertai pengerahan tenaga dalam.
Bettt! Bettt!
Sempana sama sekali tidak peduli terhadap serangan dua orang lawannya. Tubuhnya terus meluncur kedepan dengan pukulan-pukulan yang menimbulkan deru angin kuat. Tentu saja hal itu membuat kedua orang lawan menjadi terkejut. Namun, mereka tetap membabatkan senjatanya. Maksudnya, untuk membuntungi kedua lengan lawan. Bagaikan seekor belut, sepasang tangan Sempana meliuk menghindari sambaran dua batang senjata. Saat itu juga, tubuhnya mengegos ke kanan, dan langsung mengirimkan sebuah tendangan kilat
Begk!
“Hugkh...!”
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh salah seorang lawan langsung terjungkal akibat tendangan keras Sempana. Darah segar langsung memercik membasahi pelararan rumah Juragan Gerda Pasa. Seketika orang itu berkelojotan tewas akibat tendangan dengan pengerahan tenaga dalam amat kuat.
Melihat tubuh kawannya terkapar tak bergerak, lawan yang seorang bergegas menebaskan senjata ke leher Sempana. Terdengar suara berdesing nyaring yang menandakan kalau sambaran golok itu cukup kuat. Belum lagi sambaran golok itu tiba, seorang berseragam hitam lainnya meluruk maju sambil menyabetkan pedang mengincar perut Sempana. Kekuatan sambaran itu tidak kalah kuat dengan yang pertama. Sepertinya, kedua orang itu memang sengaja hendak mengacaukan pikiran lawan dengan serangan dari dua arah yang berbeda.
Namun Sempana yang merupakan orang kedua dari lima tokoh berjuluk Lima Naga Sungai Gombang, bukanlah orang sembarangan. Pengalamannya dalam rimba persilatan tak terhitung lagi. Sehingga dalam menghadapi serangan dari dua arah itu, sama sekali tidak gugup. Bagaikan seekor ular, tubuh kekar itu meliuk dengan gerakan luwes. Sambil melangkahkan kaki kanan ke depan, tubuhnya menekuk kebelakang dengan kedua tangan hampir menyentuh tanah.
“Haiiit..!”
Sambil membentak nyaring, tubuh laki-laki kekar itu berbalik, setelah kedua batang senjata lawan lewat satu jengkal diatas perutnya. Gerakan membalik itu dibarengi tendangan kedua kakinya, langsung menghajar dagu dan dada lawan.
Bukkk! Desss!
“Hugkh...!”
“Uhhh...!”
Tentu saja kedua orang lawan sama sekali tidak menduga gerakan itu. Mereka langsung mengeluh dan langsung terpental. Lawan yang terhantam dadanya kontan roboh pingsan, sedangkan yang seorang lagi melintir sambil memegangi dagu yang remuk.
Rupanya tendangan itu belum membuat hati Sempana puas. Tubuhnya kembali melenting, setelah terlebih dahulu menjatuhkan kaki sebagai tolakan. Gerakannya yang bagaikan lompatan kera itu membuat lawan menjadi terkesima. Belum lagi rasa sakit akibat tendangan tadi lenyap, tahu-tahu sepasang kaki Sempana telah menjepit tubuhnya. Seketika dua buah telapak tangan yang kuat langsung menghajar kedua telinganya secara berbarengan.
Prakkk!
“Aaargh...!” Darah segar segera membanjir keluar dari hidung, mulut, dan kedua telinga. Tubuh orang itu ambruk, dan tewas setelah berkelojotan meregang nyawa.
Pada saat yang bersamaan, terdengar jerit kematian berturut-turut memecah keheningan siang itu, disusul berjatuhannya empat orang berseragam hitam terakhir. Mereka tewas ditangan empat orang Lima Naga Sungai Gombang, yang juga telah menyelesaikan pertarungan.
“Kakang Gumparan! Apakah kita harus berpencar...?” Sempana melangkah, menghampiri orang tertua diantara mereka.
“Tidak. Kita harus tetap bersama, Adi Sempana. Kudengar, manusia keji Gerda Pasa telah mengangkat Macan Tutul Lembah Daru sebagai menantu. Siapa tahu, pendekar muda itu akan membantunya. Sehingga, kita harus berhadapan dengannya terlebih dahulu,” sahut Ki Gumparan. Sinar matanya tampak menyiratkan rasa gentar ketika mengucapkan nama Macan Tutul Lembah Daru.
“Hei? Benarkah ucapanmu itu? Mengapa pendekar muda itu tidak mengundang kita?” tanya Sempana yang merasa terkejut juga ketika mendengar keterangan saudara tertuanya.
“Hm. Kita tidak pernah berjumpa dengan pendekar muda itu sebelumnya. Jadi, wajar saja kalau tidak mengundang kita pada hari pernikahannya,” jawab Ki Gumparan dengan nada sedikit kecewa.
“Sudahlah. Biarpun Macan Tutul Lembah Daru membantu juragan berhati iblis itu, kita tidak perlu mundur karenanya,” sahut salah seorang dari tiga lainnya, tak sabar. Jelas kalau ia merasa tidak suka pada nada gentar yang terkandung dalam ucapan kedua saudaranya.
“Ayolah...,” ajak Ki Gumparan yang langsung melangkahkan kakinya menaiki undakan anak tangga yang berhubungan kepintu utama rumah besar itu.
“Gerda Pasa, keluar kau...! Kami utusan Saudagar Prakosa ingin meminta tanggung jawabmu!” seru Ki Gumparan, lantang. Dan memang, suara itu dikirim lewat pengerahan tenaga dalam. Maka, gemanyapun terdengar hingga kebagian belakang rumah besar itu.
Tak lama kemudian,terdengar suara berderit yang disertai terbukanya pintu utama rumah besar itu. Seorang laki-laki tinggi besar yang wajahnya, dipenuhi cambang bauk tampak berdiri tegak diambang pintu.
“Siapa kalian? Dan apa maksudmu dengan tanggung jawab itu?” tanya orang yang tak lain Gerda Pasa. Suaranya berat dan berwibawa. Sepasang matanya yang bulat, tampak merayapi kelima orang laki-laki gagah yang berdiri tegak dengan sikap mengancam
“Hm.... Jangan berpura-pura bodoh, Gerda Pasa. Meskipun kau telah dapat menipu para petani dengan sikap dermawanmu, tapi kebusukanmu akan terbongkar hari ini. Kau telah mengirim lima anak buahmu untuk membakar perkebunan milik Saudagar Prakosa, sahabat baik kami. Dan tiga diantaranya, terpaksa kami kirim ke neraka. Sedangkan dua lainnya berada didepan pintu gerbangmu. Nah! Apakah kau masih ingin membantah?” kata Ki Gumparan yang mewakili saudara-saudaranya.
Sikap laki-laki setengah baya itu terlihat tenang dan sama sekali tidak menunjukkan amarah. “He he he.... Berapa kepeng kalian dibayar Prakosa, sehingga bisa-bisanya melemparkan fitnah keji itu kepadaku. Mengapa pula kalian mempercayainya?” sahut Juragan Gerda Pasa. Laki-laki setengah baya itu sama sekali tidak kelihatan gentar meskipun pandangan kelima orang itu terlihat penuh ancaman. Malah ia melangkah mendekati mereka disertai tawanya yang serak.
“Kau salah sangka, Gerda Pasa. Bukan Saudagar Prakosa yang melemparkan tuduhan itu. Tapi, kami sendirilah yang memergoki dan membekuk kelima orang-orangmu semalam. Kebetulan, saat itu kami tengah bertamu dan menginap dikediamannya. Kalau saja kami tidak disana semalam, mungkin saat ini saingan dagangmu telah jatuh bangkrut,” jelas Ki Gumparan sambil tersenyum penuh ejekan, karena apa yang diduga Gerda Pasa ternyata salah.
“Hm.... Kalian datang tentu untuk meminta sumbangan, bukan? Kalau begitu, biarlah. Aku akan memberi sumbangan yang lebih besar kepada kalian. Bagaimana? Dan, berapa yang kalian inginkan?” bujuk Juragan Gerda Pasa.
Kini dia merasa yakin kalau kelima orang laki-laki gagah itu memang benar-benar telah mengetahui rahasianya. Maka, tanpa ragu-ragu lagi, ditawarkannya bayaran yang lebih tinggi kepada mereka.
“Bagus! Tawaranmu kuterima!” Sempana yang sudah tidak bisa menahan sabar, langsung saja maju ke depan. “Dan kau boleh membayar dengan..., kepalamu!” sambung laki-laki berwatak beringas itu sambil melompat, dan langsung menebaskan sisi telapak tangan keleher laki- laki tinggi besar itu.
Wuttt!
Serangkum angin keras menderu, seiring sambaran sisi telapak tangan Sempana. Menilik dari sambaran pukulan itu, jelas kalau ia memang hendak mematahkan langsung batang leher Juragan Gerda Pasa yang masih berdiri tegak bagai tak mengetahui bahaya. Dan sebelum batang leher laki-laki tinggi besar itu patah akibat sambaran tangan Sempana, sesosok tubuh melayang dan langsung memapak tebasan telapak tangannya.
Plakkk!
“Uhhh...!” Bukan main terkejutnya hati Sempana ketika lengannya bagai dihantam besi baja. Tubuhnya terdorong mundur beberapa langkah kebelakang diiringi seruan kagetnya.
“Bangsat!” maki Sempana. Laki-laki beringas itu tampak memijat-mijat lengannya yang terasa nyeri akibat benturan tadi. Selebar wajahnya tampak memerah saking geramnya terhadap laki-laki tinggi kekar itu.
“Macan Tutul Lembah Daru...!” seru Ki Gumparan dan keempat orang saudaranya, termasuk Sempana. Mereka benar-benar terkejut melihat sosok tubuh tinggi tegap berpakaian kulit macan tutul. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Nanggala.
“Siapa mereka, Kakang...?” tanya wanita cantik berpakaian serba putih, yang begitu tiba langsung memeluk tubuh Nanggala.
Dia adalah Untari, istri Macan Tutul Lembah Daru. Rupanya suami istri yang menempati bagian belakang rumah besar itu bergegas kedepan setelah mendengar teriakan Ki Gumparan tadi. Dan suami istri itu menarik napas lega setelah mengetahui kalau orang tua mereka belum sempat dilukai kelima orang laki-laki yang menyatroni rumah besar ini
“Kalau tidak salah, mereka adalah Lima Naga Sungai Gombang,” jawab Nanggala.
Jawaban itu keluar setelah Macan Tutul Lembah Daru meneliti kelima orang laki-laki gagah itu. Meskipun belum pernah berjumpa dengan mereka, namun nama kelima orang itu telah lama didengar dan dikaguminya. Itulah sebabnya, mengapa Nanggala terlihat agak sedikit segan terhadap mereka. Sebab biar bagaimanapun, kelima orang itu masih segolongan dengannya. Dan hal itu membuatnya tidak menunjukkan sikap permusuhan.
“Benar, Macan Tutul Lembah Daru. Kami berlima dijuluki Lima Naga Sungai Gombang. Dan kuharap, kau tidak ikut campur dalam masalah ini. Perlu kau ketahui, Gerda Pasa telah melakukan perbuatan keji. Dia telah memakai tangan lima orang anak buahnya untuk membakar perkebunan milik sahabat kami yang bernama Saudagar Prakosa. Maka, kuharap kau menyingkir. Biar kami menyelesaikan urusan ini dengannya,” ujar Ki Gumparan, berwibawa.
Karena biar bagaimanapun, Ki Gumparan merasa tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi daripada Nanggala. Menurutnya, pemuda itu hanya seorang tokoh muda yang usianya baru seumur jagung. Maka, sudah sepatutnya kalau Macan Tutul Lembah Daru bersikap lebih hormat kepadanya.
Nanggala bukan tidak memandang Lima Naga Sungai Gombang. Tapi karena mereka hendak mencelakai ayah mertuanya, maka mau tak mau ia harus membela. Apalagi, semua tuduhan itu belum tentu benar. Sebab, selama tinggal di tempat kediaman ayah mertuanya, belum sekali pun orang tua itu terlihat berbuat jahat. Bahkan ayah mertuanya sering dilihat menolong petani-petani miskin yang kekurangan modal. Tentu saja Nanggala tidak bersedia mengikuti permintaan Ki Gumparan.
“Maaf, Ki. Kurasa hal itu hanya fitnah dari orang yang merasa tidak suka terhadap ayah mertuaku. Jadi sebaiknya hal ini dibicarakan dulu dengan kepala dingin. Mari, silakan masuk,” ajak Nanggala sambil menggeser tubuhnya memberi jalan kepada kelima orang itu untuk masuk.
“Tidak bisa. Apa yang kami katakan itu sama sekali bukan fitnah. Dan Gerda Pasa sendiri sudah mengakuinya tadi,” kembali Ki Gumparan melanjutkan ucapannya.
Wajah laki-laki setengah baya itu tampak sedikit gusar melihat sikap Nanggala yang jelas-jelas berada dipihak Gerda Pasa. Hal itu tentu saja membuatnya cemas. Tentu saja, karena pekerjaannya akan lebih sulit dengan adanya Macan Tutul Lembah Daru dipihak lawan.
Nanggala tidak segera menjawab perkataan Ki Gumparan. Pemuda itu menolehkan kepala kearah ayah mertuanya. Dan Untari pun melakukan hal yang sama.
“Ayah, benarkah apa yang diucapkan orang itu?” tanya Untari meminta penjelasan ayahnya. Wanita cantik itu sudah melangkah dan mendekati Gerda Pasa.
“Hhh.... Aku tidak bisa bilang apa-apa. Sekarang, tinggal terserah kalian berdua. Apakah lebih mempercayai Ayah, atau kelima orang tukang pukul Prakosa itu,” sahut Gerda Pasa yang dengan pandainya bersandiwara berpura- pura sedih.
“Tapi, Ayah tidak melakukannya, bukan?” desak Untari, meminta kepastian ayahnya.
“Tidak...,” jawab Gerda Pasa menggeleng lemah. Kemudian, sambil menundukkan kepala, laki-laki setengah baya itu melangkah menuju ke dalam rumahnya.
“Bedebah licik!” maki Sempana yang menjadi marah besar demi mendengar jawaban Gerda Pasa. Dengan kemarahan yang meluap-luap, laki-laki kekar itu langsung melompat dan menerjang Gerda Pasa yang hendak meninggalkan tempat itu.
Macan Tutul Lembah Daru tentu saja tidak membiarkan ayah mertuanya dilukai orang. Maka tubuhnya langsung bergerak menghalangi serangan Sempana. Langsung tangan kanannya diangkat untuk memapak serangan laki-laki kekar itu.
Melihat sikap Macan Tutul Lembah Daru yang jelas- jelas hendak membela orang yang dibencinya, Sempana pun menjadi gusar. Serangan yang semula ditujukan kepada Gerda Pasa, kini beralih mengancam kepada Nanggala. Kepalan itu berputar cepat, dan langsung menyambar dada pemuda berpakaian kulit macan tutul itu.
Nanggala pun tidak tinggal diam. Melihat perubahan serangan lawan yang kini mengancam dadanya, cepat kakinya melangkah ke belakang menghindarinya. Begitu serangan lawan luput, kaki yang semula berada di belakang itu langsung mencelat naik melepaskan sebuah tendangan kilat yang tak terduga.
Zebbb!
Sempana pun bukan tidak melihat tendangan itu. Dengan memiringkan tubuhnya sedikit, maka serangan lawanpun menyambar angin kosong. Gerakan mengelak yang dilakukan Sempana tidak hanya berhenti disitu saja. Sepasang tangannya langsung menyambar telapak kaki lawan, dan bermaksud memuntir patah. Gerakannya cukup cepat dan mengejutkan. Untunglah Nanggala menarik kakinya lebih cepat, sehingga cengkeraman lawan tidak membawa hasil.
Sadar kalau pertarungan tidak mungkin dapat dihindari lagi, Nanggala segera mempersiapkan ilmu andalannya. Karena saat itu, Ki Gumparan dan yang lainnya sudah datang menyerbu. Maka, repotlah Macan Tutul Lembah Daru menghadapi keroyokan Lima Nag aSungai Gombang yang terkenal lihai.
Untari yang melihat suaminya tampak kerepotan, cepat menerjunkan diri kedalam kancah pertempuran. Pedang ditangannya langsung dikibaskan kearah dua orang lawan yang paling dekat dengannya.
Wuttt!
“Uts...!”
Dua orang dari Lima Naga Sungai Gombang yang tidak menduga akan kehebatan Untari, menjadi terkejut setengah mati. Untunglah mereka masih sempat menarik tubuh ke belakang, sehingga ujung pedang gadis cantik itu hanya merobek baju pada bagian perut. Kenyataan itu tentu saja membuat keduanya terkejut setengah mati. Seketika wajah mereka pucat pasi. Untung saja pada saat-saat terakir, masih sempat menghindar. Kalau tidak, pasti tubuh keduanya sudah tergeletak mandi darah.
“Kurang ajar kau, Perempuan Liar...!” maki salah seorang dari mereka yang berwajah bulat dan berjenggot lebat. Ia yang tadi sempat mendengar kalau wanita itu adalah putri Gerda Pasa, tentu saja tidak menyangka kalau kepandaiannya tinggi. Mana mungkin anak seorang juragan kaya dapat memiliki ilmu silat? Dan hal itu ternyata telah membuatnya hampir tewas.
“Hm. Jangan mimpi untuk dapat menangkap ayahku, Kambing Bandot! Menghadapi pedangku saja, kau sudah seperti kakek-kakek kebakaran jenggot!” ejek Untari.
“Huh! Jangan sombong dulu, Nisanak! Kau akan merasakan kerasnya pukulanku nanti,” lanjut laki-laki bertubuh tegap dan berdada bidang itu, geram. Setelah berkata demikian, tubuhnya kembali bergerak mendekati Untari. Kedua tangannya yang membentuk cakarcnaga,cbergerak-gerak susul-menyusul. Langkah kakinya terlihat mantap dan beraturan.
“Haiiit..!” Untari berseru nyaring sambil menggeser tubuh ke samping kanan. Begitu sambaran tangan lawan lewatdi sampingnya, pedang gadis itu berkelebat cepat mengincar lambung lawan.
Wuttt!
Namun kali ini tidak mudah bagi Untari untuk menyentuh tubuh lawan. Pedang itu ternyata hanya lewat dan tidak mengenai sasaran. Bahkan sebelum senjatanya sempat ditarik pulang, cengkeraman tangan lawan sudah meluncur mengancam bahunya.
Melihat cengkeraman lawan datang, cepat Untari menarik mundur tubuhnya dengan kuda-kuda rendah. Dan belum lagi wanita itu sempat menarik napas lega, sebuah tendangan dari lawan yang lain datang mengancam iganya. Karena sudah tidak mungkin lagi bergerak menghindar, maka tubuhnya bergegas diputar dan dipapaknya tendangan lawan dengan tangan kiri.
Plakkk!
“Uhhh...!”
Tangkisan Untari memang berhasil menggagalkan tendangan lawannya. Tapi sayang, kedudukan gadis itu terlalu lemah. Sehingga, tubuhnya terdorong kesamping sejauh satu batang tombak.
“Haiiit..!” Namun, wanita cantik itu memang bukan orang sembarangan. Begitu terjajar mundur, cepat-cepat tubuhnya melenting ke udara dengan menggunakan jejakan kaki ketanah. Kembali kedua kakinya mendarat selamat ditanah.
Kedua orang lawan Untari ternyata tidak hanya berhenti sampai disitu saja. Begitu kaki wanita itu menjejak bumi, serangan mereka kembali tiba. Pertempuran pun kembali berlanjut sengit.
DELAPAN
Sementara itu, pertarungan yang berlangsung antara Macan Tutul Lembah Daru melawan tiga orang dari Lima Naga Sungai Gombang, masih berlangsung sengit. Nanggala yang sadar kalau lawannya bukanlah orang-orang sembarangan, mengerahkan seluruh kepandaian untuk menahan gempuran lawan. Jurus 'Macan Tutul'nya yang telah mengangkat namanya dalam rimba persilatan, dikerahkan sepenuh tenaga. Maka dapat dibayangkan, betapa hebatnya gempuran-gempuran yang dilancarkan Nanggala terhadap ketiga lawannya itu.
Tubuh Macan Tutul Lembah Daru yang berkelebatan disertai serangan-serangannya, benar-benar membuat Ki Gumparan dan kedua saudaranya kewalahan. Sehingga, mereka harus mengerahkan seluruh ilmu yang dimiliki untuk menghadapi terjangan pendekar muda itu. Tentu saja, pertarungan yang terjadi diantara mereka semakin seru dan sengit.
“Heaaat..!”
Ketika pertarungan menginjak jurus yang ketujuh puluh tiga, Nanggala berseru nyaring disertai lesatannya. Sepasang tangannya bergerak cepat membagi-bagi serangan ketitik-titik terlemah ditubuh ketiga lawan. Gerakannya cepat dan memiliki banyak perubahan yang tak terduga. Akibatnya Ki Gumparan dan saudara-saudaranya benar-benar kelabakan. Nanggala yang melihat lawan berlompatan mundur dalam jarak yang terpisah, bergerak cepat mengejar Ki Gumparan. Pukulan 'Macan Tutul'nya meluncur deras mengincar pelipis dan dada kiri lawan.
Bettt! Bettt!
Pukulan yang dilancarkan Macan Tutul Lembah Daru benar-benar cepat dan berbahaya. Sehingga, Ki Gumparan yang menjadi incaran serangan Nanggala menjadi kerepotan dibuatnya. Dengan wajah agak pucat, laki-laki setengah baya itu menggeser tubuhnya ke samping, menghindari serangan lawan.
Namun sepasang mata pemuda itu ternyata sangat jeli. Melihat tubuh lawan bergeser ke samping, kedua serangannya segera ditarik pulang. Dan sebelum Ki Gumparan sempat menyadari, sebuah tendangan keras telah menghajar lambung kanannya.
Bukkk!
“Aaakh...!” Tendangan Nanggala yang sangat keras membuat tubuh Ki Gumparan terlempar hingga dua batang tombak jauhnya. Sebelum orang tertua dari Lima Naga Sungai Gombang itu dapat memperbaiki posisinya, tubuh Nanggala kembali melesat disertai tiga buah pukulan beruntun.
Untunglah pada saat yang berbahaya bagi keselamatan Ki Gumparan, Sempana datang memapak serangan Macan Tutul Lembah Daru. Laki-laki bertubuh kekar itu mengerahkan segenap tenaga dalamnya, untuk menangkis serangan Nanggala. Pada saat yang bersamaan, orang ketiga dari Lima Naga Sungai Gombang mengirimkan pukulan ketubuh Nanggala. Laki-laki gemuk yang berada dibagian belakang itu melepaskan dua buah pukulan sekaligus, mengarah ke bagian belakang Macan Tutul Lembah Daru.
Tentusaja dua buah sergapan yang dilakukan secara berbarengan sangat sulit untuk dielakkan Nanggala. Namun, nama Macan Tutul Lembah Daru memang bukan sekadar nama kosong. Dala mmenghadapi dua sergapan pengeroyoknya, dia sama sekali tidak gugup. Seketika ditundanya serangan yang semula ditujukan ke arah Ki Gumparan.
Dengan sebuah gerakan menakjubkan, tubuh pemuda itu tiba-tiba saja mencelat naik setinggi setengah tombak lebih. Tubuhnya yang dalam sikap tidur lurus, melakukan dua buah tendangan ke arah Sempana sambil mendorongkan sepasang tangannya untuk menyambut serangan lawan yang berada di belakang. Hebat, dan benar-benar mengejutkan sekali apa yang dilakukan pendekar muda itu.
Sempana yang tengah melakukan tamparan mendatar itu tentu saja terkejut sekali. Tangannya cepat berputar, melakukan tangkisan. Sayang, apa yang dilakukan laki-laki kekar itu tidak berhasil sepenuhnya. Selagi menangkis tendangan kaki kanan lawan, kaki kiri Nanggala lebih dulu meluncur dan menghantam telak dadanya. Pada saat yang bersamaan, sepasang tangan Nanggala yang berputar tak terduga itu telah bersarang didada laki-laki bertubuh gemuk.
Plakkk! Desss! Bresssh...!
“Hugkh...!”
“Akh...!”
Kedua orang lawan Macan Tutul Lembah Daru berteriak kesakitan. Tubuh mereka terpental kebelakang, sejauh dua batang tombak. Darah segar langsung menyembur dari mulut mereka.
“Keparat! Kau benar-benar telah menjadi iblis, Macan Tutul Lembah Daru! Hanya karena seorang wanita cantik, kau telah berubah haluan dan membela orang salah!” maki Ki Gumparan dengan wajah merah padam. Jelas kalau laki-laki setengah baya itu merasa geram melihat luka yang diderita kedua saudaranya.
Ki Gumparan yang sudah bertambah kalap, segera melesat dan mengirimkan serangan-serangan maut dengan sisa-sisa tenaganya. Sepertinya, ia hendak mengadu nyawa dengan Macan Tutul Lembah Daru yang menurutnya telah salah jalan.
“Heaaat..!”
Terjangan Ki Gumparan yang disertai pengerahan tenaga sepenuhnya sama sekali tidak membuat Nanggala gentar! Dengan tangkasnya, pemuda itu berkelit. Langsung dilancarkannya serangan balasan yang tidak kalah berbahayanya. Pertarungan kali ini berjalan tidak seimbang. Ki Gumparan yang saat itu masih dalam keadaan terluka, sepertinya tidak sanggup menahan gempuran-gempuran hebat yang dilancarkan lawan. Sehingga dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, laki-laki setengah baya itu terpaksa harus menerima hantaman Nanggala yang menghajar iganya.
Desss!
Ki Gumparan menjerit ngeri akibat pukulan jurus 'Macan Tutul' yang telak menghajar iganya. Tubuhnya kembali terbanting diatas tanah, sehingga menimbulkan suara berdebuk keras. Cairan merah nampak mengalir di sudut bibirnya.
Macan Tutul Lembah Daru menatapi ketiga orang lawannya yang tengah merintih kesakitan. Dan memang, tidak ada niat dihatinya untuk membunuh mereka. Maka, Nanggala pun tidak melanjutkan serangannya. Padahal kalau mau, hal itu sangat mudah dilakukannya.
Tiba-tiba saja kepala Nanggala terdongak ketika mendengar suara jerit kematian yang melengking membelah angkasa. Betapa terkejutnya hati pemuda itu ketika melihat dua sosok tubuh terlempar mandi darah. Dan dikenalinya betul, kalau kedua orang itu adalah orang yang mengeroyok istrinya. Tapi yang membuatnya lebih terkejut adalah, sebatang pedang berlumur darah yang tergenggam ditangan seorang laki-laki tinggi besarcdan berwajah brewok.
“Ayah...! Mengapa harus membunuh mereka...?” tegur Macan Tutul Lembah Daru ketika mengenali orang itu. Sebab, laki-laki tinggi besar itu memang Gerda Pasa.
“Terpaksa kulakukan, Nanggala. Atau kau lebih suka istrimu yang menjadi mayat? Seharusnya kau berterima kasih, bukannya menegurku?” sahut Gerda Pasa seraya mengerutkan alisnya yang tebal mendengar teguran menantunya.
Nanggala tak mau menanggapi pertanyaan ayah mertuanya. Sebab biar bagaimanapun, ia lebih suka mereka yang tewas ketimbang istrinya. Atau lebih baik lagi, kalau mereka cukup dilukai saja dan diusir pergi. Tapi, hal itu hanya ada dalam hatinya. Sedangkan mulutnya tetap bungkam tanpa kata-kata.
“Sebaiknya ketiga orang itu pun harus dilenyapkan! Mereka bisa mendatangkan kesulitan bagi kita di kemudian hari,” ujar Gerda Pasa lagi.
Sambil berkata demikian, laki-laki tinggi besar itu melangkah mendekati tiga orang lainnya yang hanya dapat memandang dengan sinar mata pasrah. Dan memang, keadaan mereka tidak lagi memungkinkan untuk melanjutkan pertarungan.
“Tapi, Ayah...”
“Jangan terlalu lemah batinmu, Nanggala,” potong Gerda Pasa. Dia memang tidak ingin memberikan kesempatan kepada pemuda itu untuk menyelesaikan kalimatnya.
“Orang seperti mereka tidak bisa diberi hati. Hariini kita bebaskan, besok akan kembali dengan kawannya yang lebih banyak. Apakah kau lebih suka kalau mereka yang akan menyiksa kita nanti?” lanjut Gerda Pasa, menyudutkan pemuda itu. Jelas kalau laki-laki setengah baya ini pandai bicara. Sehingga, Nanggala tidak mampu membantahnya.
“Benar, Kakang. Tadi kalau ayah tidak keburu datang menolongku, mungkin aku sudah jadi mayat,” Untari yang melihat sinar keraguan di mata suaminya, ikut pula membujuk.
Macan Tutul Lembah Daru menoleh kearah istrinya. Dan kening pemuda itu berkerut dalam ketika melihat pakaian istrinya banyak ternoda darah. Bahkan disudut bibir wanita cantik itu masih tersisa lelehan darahnya. Jelas, Untari telah mengalami luka-luka dalam setelah menghadapi lawannya tadi.
“Kau.... Kau tidak apa-apa, Untari...?” tanya Nanggala cemas. Jemari tangannya bergerak menghapus lelehan darah di sudut bibir istrinya.
“Untung ayah masih sempat menyelamatkanku. Nah, apakah sekarang kau masih merasa tidak tega kepada orang-orang jahat itu?” kata wanita cantik itu seraya mengerling tak senang.
Nanggala terpaksa membungkam. Rasa geramnya pun bangkit setelah melihat apa yang terjadi pada wanita yang disayanginya. Maka, ia pun tidak berusaha membantah ketika ayah mertuanya telah bersiap hendak menghabisi nyawa Ki Gumparan dan kedua saudaranya.
“He he he.... Badut-badut tukang fitnah! Sekarang kalian boleh pergi dengan tenang. Aku akan membebaskanmu dari kehidupan dunia ini. Percayalah, kalian pasti akan lebih tenteram dialam sana,” kata Gerda Pasa seraya menyeringai tajam. Kata-kata itu sengaja diucapkan perlahan, agar tidak terdengar Nanggala yang terpisah beberapa tombak dibelakangnya.
“Keparat kau, Manusia Keji! Jangan dikira aku takut menghadapi kematian! Kalau ingin membunuh, bunuhlah kami! Tidak perlu banyak cakap!” tantang Ki Gumparan penuh kegeraman. Setelah berkata demikian, laki-laki setengah baya itu bersiap mempertahankan selembar nyawanya.
“Mampuslah...!” bentak Gerda Pasa. Laki-laki itu benar-benar menjadi tidak sabar melihat sinar mata Ki Gumparan yang jelas-jelas menantangnya. Maka, golok besar ditangannya berkelebat cepat dengan sambaran angin yang berkesiutan.
Wuttt!
Suara sambaran golok yang berdesing nyaring itu membuat Ki Gumparan ternganga tak percaya. Sungguh tak disangka kalau Gerda Pasa memiliki kepandaian silat. Maka hatinya kontan terkejut bukan main. Sebab, dari suara sambaran senjata itu, dapat ditebak kalau kekuatan yang menggerakkannya pasti hebat sekali. Sehingga, laki- laki setengah baya itu terpaku bagaikan oran gpasrah menerima nasib.
“Tahan...!”
Pada saat maut sudah siap menjemput nyawa Ki Gumparan, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring menggelegar. Belum lagi gema suara itu lenyap, sesosok bayangan putih berkelebat bagaikan kilat, dan langsung memapak tebasan golok dengan pedangnya.
Trang!
Bunga api berhamburan diiringi dentang nyaring yang menulikan telinga. Tangkisan sosok tubuh itu ternyata membuat Gerda Pasa terjajar mundur sejauh satu tombak lebih. Meskipun demikian, golok besar ditangannya tetap tergenggam erat. Sedangkan sosok bayangan putih yang menyelamatkan Ki Gumparan dari kematian, telah berdiri tegak dengan sorot mata menggiriskan. Wajahnya yang bersih dan tampan, tampak tenang tanpa pancaran amarah sedikit pun.
“Hm. Siapa kau, Anak Muda? Mengapa mencampuri urusanku?” tegur Gerda Pasa, garang. Sepasang matanya yang bulat tampak berkilat tajam.
Ki Gumparan yang berada di belakang pemuda tampan itu kembali bergetar hatinya. Memang, dari pancaran mata Gerda Pasa, dapat dinilainya kehebatan tenaga dalam yang dimiliki laki-laki tinggi besar itu. Dan ia pun tahu, pancaran mata seperti itu hanya terlihat pada orang-orang yang telah memiliki tenaga dalam hampir sempurna. Tentu saja ia semakin tidak mengerti, mengapa sepasang mata seorang juragan bisa demikian menggetarkan.
Sedangkan pemuda tampan yang tak lain dari Pendekar Naga Putih hanya berdiri tegak sambil meneliti sosok Gerda Pasa. Seorang gadis jelita berpakaian serbah ijau sudah berdiri mendampingi Panji.
“Kau pasti orang yang berjuluk Hantu Teluk Jambe, dan bersembunyi dibalik nama Gerda Pasa, bukan? Tak perlu lagi berpura-pura di hadapanku, karena semuanya tentang dirimu telah kuketahui,” tebak Pendekar Naga Putih. Suaranya tetap tenang, dan wajar. Hanya sepasang matanya saja yang mencorong tajam bagaikan mata naga di kegelapan.
Gerda Pasa yang semula hendak marah karena pemuda itu tidak menjawab pertanyaannya, tentu saja menjadi terkejut setengah mati. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya ia hanya bisa ternganga heran.
Bukan cuma Gerda Pasa yang merasa terkejut atas ucapan Panji. Bahkan semua yang hadir ditempat itupun terkejut mendengar disebutnya julukan Hantu Teluk Jambe. Sebab, julukan itu telah menjadi momok beberapa tahun lalu. Namun karena julukan itu lenyap begitu saja, maka orang-orang rimba persilatan pun mulai melupakannya. Siapa sangka kini tiba-tiba saja terdengar kembali julukan yang menggetarkan itu. Tentu saja mereka menjadi setengah tak percaya.
“He he he. Apa yang kau ucapkan itu, Anak Muda? Yang kau hadapi saat ini adalah juragan yang bernama Gerda Pasa. Dan aku sama sekali tidak mengerti ucapan gilamu itu,” ejek Gerda Pasa menyembunyikan rasa terkejutnya. Hebatnya, wajah laki-laki tinggi besar itu pun telah wajar kembali.
“Hm.... Jangan banyak berlagak dungu, Hantu Teluk Jambe. Kau pikir, aku tidak tahu dari mana harta bertumpuk-tumpuk yang kau dapatkan itu? Salah seorang begundalmu yang berjuluk Tiga Buaya Darat telah kutaklukkan. Dan dari merekalah, keterangan tentang dirimu kudapat. Nah! Apakah masih ingin menyangkal?” desak Panji tidak mau kalah gertak.
“Ooo... Jadi kau mendapatkan keterangan palsu itu dari seorang raja perampok! Tidak sadarkah kau, Anak Muda? Mereka telah menipumu mentah-mentah untuk mencari selamat,” bantah Gerda Pasa kembali. Sehingga, hal itu membuat semua orang menjadi bingung. Termasuk juga Macan Tutul Lembah Daru yang mendengarkan perdebatan itu.
“Siapa bilang aku berbohong...?” tiba-tiba terdengar suara parau yang membuat Panji dan yang lain menoleh ke arah asal suara.
“Paman Begawa.!” seru Panji yang tentu saja menjadi gembira melihat kedatangan orang tertua dari Tiga Buaya Darat.
“Maaf, Pendekar Naga Putih. Aku terpaksa menyusul kemari, karena aku tahu Hantu Teluk Jambe akan menyangkal semua tuduhanmu. Aku sengaja memberikan tugas mengantar barang itu kepada kedua orang saudaraku. Dan aku sendiri hadir disini untuk menjadi saksi!” kata laki-laki gemuk bercambang bauk yang melangkah menghampiri Panji.
Untuk yang kesekian kalinya, orang-orang yang berada dihalaman itu ternganga heran. Sama sekali tidak disangka kalau pemuda tampan berjubah putih itu adalah Pendekar Naga Putih. Tentu saja semua pandangan orang yang ada disini kini beralih kepada Panji.
“Bedebah!” Terdengar makian keras yang membuat orang-orang di sekitarnya kembali terkejut. “Kau ternyata seorang pengkhianat Begawa! Dan untuk itu, kau harus menebus dengan nyawamu!” ancam Gerda Pasa. Dengan hadirnya Begawa, Gerda Pasa tidak bisa mengelak tuduhan itu lagi.
Gerda Pasa yang merasa kalau tidak ada gunanya lagi menyangkal, segera melompat dan langsung menyerang Begawa. Golok besar di tangannya berputar cepat menimbulkan desingan angin yang memekakkan telinga. Jelas kalau Gerda Pasa atau si Hantu Teluk Jambe hendak menghabisi nyawa orang itu sekali tebas.
Trang!
Kembali terdengar benturan nyaring yang disertai percikan bunga api di udara. Rupanya, Pendekar Naga Putih kembali memapaki tebasan golok besar itu dengan Pedang Naga Langit yang dipegangnya. Tentu saja hal itu menimbulkan kemarahan yang semakin berkobar didada Gerda Pasa.
“Bangsat kau, Pendekar Naga Putih! Jangan dikira dengan nama besarmu itu kau bisa bersikap sombong dihadapanku. Hmh...! Kau harus diberi pelajaran! Biar kau tahu, siapa sebenarnya Hantu Teluk Jambe itu!” geram Gerda Pasa melihat campur tangan Panji yang mencegah perbuatannya.
Sedangkan Macan Tutul Lembah Daru menjadi bingung. Ia tidak tahu, harus berpihak ke mana? Sehingga, pemuda itu hanya terpaku bagai orang bodoh disamping istrinya. Demikian pula Untari. Wanita itu memang sama sekali tidak tahu kalau ayahnya memiliki julukan demikian seram. Tuduhan-tuduhan yang semula tidak dipercayainya, kini membuatnya bingung. Akhirnya, ia hanya bisa memeluk tubuh suaminya untuk mencari ketenangan.
Saat itu, Pendekar Naga Putih sudah terlibat dalam sebuah perkelahian sengit. Keduanya saling serang dengan jurus-jurus andalan berbahaya. Sambaran-sambaran angin pukulan mereka membuat orang-orang yang menyaksikan perkelahian segera menjauhkan diri. Karena, tempat perkelahian itu sudah hampir tidak terlihat lagi.
“Heaaat..!”
Hantu Teluk Jambe memekik keras sambil mengirimkan pukulan jarak jauh dengan tangan kiri. Terdengar suara mencicit tajam yang menandakan betapa berbahaya serangannya.
Wusss! Blarrr...!
Tembok tebal pagar halaman rumah besar itu ambrol akibat hantaman pukulan yang dilancarkan Hantu Teluk Jambe. Kedahsyatan pukulan laki-laki tinggi besar itu tentu saja membuat orang-orang yang menyaksikannya menggeleng-gelengkan kepala. Betapa ngeri hati mereka membayangkan, apabila pukulan dahsyat itu sampai mengenai tubuh Pendekar Naga Putih.
Panji sendiri sempat terkejut melihat kehebatan pukulan lawan. Kenyataan itu membuatnya semakin berhati-hati, dan menambah pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dimiliki. Hembusan angin dingin pun semakin keras bertiup, bersamaan semakin melebarnya lapisan kabut bersinar putih keperakan yang menyelimuti tubuh Pendekar Naga Putih.
“Heaaah...!” Bagaikan seekor naga murka, Panji memekik nyaring disertai serangannya menggunakan jurus 'Naga Sakti'.
Wuttt! Wuttt!
Sambaran angin dingin yang menusuk tulang berhembus keras mengiringi serangan Pendekar Naga Putih yang susul-menyusul. Pedang Naga Langit di tangannya berkelebatan, tak ubahnya seekor naga yang bermain-main di angkasa. Sinar kuning keemasan yang terpancar dari badan pedang, bergulung-gulung membentuk gundukan sinar yang menyilaukan mata. Hebat sekali serangan pendekar muda itu, sehingga lawannya terdesak mundur tanpa mampu melancarkan serangan balasan.
Wuttt!
“Aihhh...!” Hantu Teluk Jambe memekik tertahan. Hampir saja tubuhnya termakan mata pedang lawan. Untung saja tubuhnya masih sempat ditarik ke kanan belakang, sehingga ujung pedang itu lewat beberapa jengkal di samping kiri perutnya. Laki-laki tinggi besar itu terus melempar tubuhnya dan melakukan beberapa kali putaran salto untuk menghindari kejaran mata pedang lawan. Begitu kedua kakinya menjejak tanah, golok besar ditangan kanannya berputar membentuk gulungan sinar putih yang melindungi seluruh tubuhnya.
“Haaat..!” Disertai teriakan yang membahana, tubuh Hantu Teluk Jambe meluncur deras disertai sambaran golok besarnya. Senjata ditangan Gerda Pasa meliuk dan berputar cepat mencari sasaran. Sepertinya, tokoh sesat ini telah mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki untuk menundukkan Pendekar Naga Putih.
Sayang, kali ini Hantu Teluk Jambe harus berhadapan dengan pendekar muda yang sudah sangat terkenal kehebatannya. Sehingga, meskipun pertarungan sudah menginjak jurus yang keseratus empat puluh, laki-laki tinggi besar itu belum juga berhasil mendesak lawan. Bahkan beberapa kali tubuhnya nyaris tersayat ujung pedang Pendekar Naga Putih. Tentu saja kenyataan pahit itu membuatnya semakin penasaran.
Demikian pula halnya Panji. Diam-diam ia semakin mengagumi kehebatan dan keuletan lawannya. Maka pemuda itu bergegas melompat ke belakang, pada saat pertarungan menginjak jurus yang keseratus lima puluh.
“Hm.... Mau lari ke mana kau, Pendekar Usil?!” bentak Hantu Teluk Jambe. Gerda Pasa mengira Panji hendak melarikan diri. Maka ia cepat melompat mengejar tubuh Pendekar Naga Putih yang terpisah empat tombak dari tempatnya berdiri.
“Jangan takabur dulu, Sobat. Sambutlah seranganku kali ini!” seru Panji mengatasi kebisingan suara sambaran golok besar lawannya. Usai berkata demikian, pemuda itu tampak menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Sepasang matanya mencorong tajam, menimbulkan perbawa menggiriskan.
“Haiiit..!” Dibarengi teriakan mengguntur, mendadak tubuh pemuda itu melenting naik. Tubuhnya berputar bagaikan baling-baling, dan langsung meluruk kearah lawan.
Bukan main terkejutnya hati Hantu Teluk Jambe ketika melihat gulungan sinar keemasan yang berpendar menyilaukan mata. Cepat-cepat goloknya dikibaskan memapak serangan aneh itu. Sayang, ia tidak mengetahui keistimewaan jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi' yang digunakan Pendekar Naga Putih. Seketika wajahnya pucat pias saat pedang lawannya berputar setengah lingkaran dan langsung membabat perutnya.
Brettt!
“Aaargh...!” Hantu Teluk Jambe meraung dahsyat ketika mata pedang Panji membeset perutnya. Darah segar kontan menyembur dari luka menganga yang panjang di perutnya. Dan tanpa dapat dicegah lagi, tubuh tinggi besar itupun ambruk menimbulkan suara berdebuk keras.
“Keparat kau, Pendekar Naga Putih! Terimalah pembalasanku..!” terdengar teriakan parau yang disusul melesatnya sesosok tubuh tegap. Begitu memasuki arena, sosok tubuh yang mengenakan pakaian kulit macan tutul itu langsung menerjang Pendekar Naga Putih dengan pedang ditangan.
Trang!
“Uhhh...!” Sosok yang tak lain Macan Tutul Lembah Daru terpental balik akibat tangkisan yang dilakukan Panji. Namun dengan kemarahan yang semakin memuncak, Nanggala menggerakkan senjatanya, siap melakukan penyerangan selanjutnya.
“Nanggala, jangan...!” Tiba-tiba terdengar seruan parau yang lemah, namun terdengar cukup jelas.
Tentu saja seruan itu membuat gerakan Nanggala terhenti. Cepat-cepat kepalanya menoleh ke arah asal suara itu. Ketika ayah mertuanya terlihat mengulapkan tangan, pemuda tegap itu pun bergegas menghampiri.
“Ayah...,” panggil Nanggala langsung menjatuhkan diri di samping Untari yang tengah terisak sambil memeluk tubuh ayahnya.
“Nanggala, Untari.... Kalian jangan lanjutkan kesesatanku. Aku memang pantas mendapatkan hukuman seperti ini. Satu hal yang perlu kau ketahui, Untari. Kau bukanlah anak kandungku. Saat itu, kau baru berusia empat tahun, ketika nafsu biadabku telah membuat ibu kandungmu bunuh diri. Karena merasa kasihan kepadamu, maka kau kupelihara. Kemudian, aku pindah ke Desa Pacitan ini dan melakukan kejahatan dengan menggunakan tangan orang lain. Hal itu kulakukan, agar kau tidak merasa malu karena kejahatanku. Sayang, ketamakanku membuataku semakin gila dalam menumpuk harta. Dan kini, aku telah mendapatkan balasan yang setimpal. Semua ini kuceritakan, karena aku sudah mendekati ajal.”
Gerda Pasa berhenti sebentar, dan menarik napas panjang. Sepasang matanya tampak terpejam rapat. Jelas kalau laki-laki itu tengah berusaha menahan keharuan yang menyeruak hatinya.
“Pesanku, jangan kau mendendam atas apa yang terjadi pada diriku. Sedangkan mengenai harta, tidak semuanya hasil kejahatan. Ambillah bagianmu untuk kebutuhan hidup bersama suamimu. Sisanya, bagi-bagikanlah kepada orang yang membutuhkan.”
“Ayah..., Ayah harus sembuh. Ayah tidak boleh pergi. Tari sangat mencintai Ayah, meskipun bukan ayah kandung...,” ratap Untari.
Tangis Untari meledak ketika melihat mata Gerda Pasa masih saja terpejam. Diguncang-guncangkannya tubuh Gerda Pasa dengan wajah bersimbah air mata. Sepertinya, wanita cantik itu tidak lagi mempedulikan kalau laki-laki yang telah sekarat itu adalah pembunuh ibu kandungnya.
“Nanggala.... Ja... jangan kau..., sia-siakan anakku...” Selesai berpesan demikian, kepala Gerda Pasa terkulai di atas pangkuan putrinya.
“Ayaaah...!” tangis Untari semakin menjadi-jadi ketika mengetahui ayahnya telah tiada.
Panji, Kenanga, Begawa, dan tigaorang dari Lima Naga Sungai Gombang sama-sama menundukkan kepala penuh haru. Hati mereka benar-benar tersentuh mendengar tangis Untari yang memilukan. Sementara itu sang bayu bertiup lembut mengusap wajah-wajah mereka yang tertunduk lesu. Sepertinya, tiupan sejuk itu hendak menghibur hati mereka.
S E L E S A I