Jari Maut Pencabut Nyawa - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Jari Maut Pencabut Nyawa
Karya T. Hidayat
Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cerita silat serial Pendekar Naga Putih


SATU

“Hait... hiaaat...!”

Keheningan pagi yang sejuk, tiba-tiba saja dipecahkan teriakan-teriakan orang yang sedang berlatih silat. Untunglah suara teriakan itu sama sekali tidak merusak keindahan sang pagi. Seolah-olah suara itu memang bagian dari pagi itu sendiri, sehingga semakin menambah semarak suasana hari ini. Sesosok tubuh ramping tampak bergerak lincah disertai ayunan pedang hitamnya yang menimbulkan hawa maut. Dari gerakannya yang ringan dan bertenaga kuat, dapat diduga kalau sosok tubuh ramping itu memiliki kepandaian yang tidak rendah.

“Hiaaat...!” Dibarengi sebuah pekikan tinggi, tubuh ramping itu meluncur dan berputar ke depan bagai baling-baling. Sedangkan pedang hitam di tangannya menusuk dengan kecepatan yang menggetarkan!

Wuuung! Wuuung...!

Prasss! Prasss...!

Hebat sekali akibat yang ditimbulkan gerakan itu. Sebuah dahan pohon setinggi tiga tombak, terpapas habis daun-daunnya tanpa sebuah goresan pun terdapat di batangnya. Sebuah ilmu pedang yang tidak bisa dianggap enteng.

Setelah bersalto tiga kali di udara, sosok tubuh ramping itu mendaratkan kakinya ringan di tanah. Ternyata dia seorang gadis yang berparas sangat cantik! Kalau dilihat dari raut wajah, paling jauh usianya sekitar delapan belas tahun. Namun, kepandaian yang dimilikinya sudah demikian hebat! Benar-benar seorang gadis tak ada duanya.

“Ha ha ha...! Bagus...! Bagus, Cucuku! ‘Ilmu Pedang Bidadari Menabur Bunga’ yang kau mainkan tadi sudah cukup baik. Hanya saja dalam gerakan-gerakanmu tadi ada beberapa bagian yang perlu diperbaiki.” Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di belakang gadis itu telah berdiri seorang kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun.

“Eyang...!” Gadis bertubuh ramping yang mengenakan pakaian serba hijau itu berseru gembira. Dengan wajah beseri-seri, ia berlari menghampiri kakek itu. Rambutnya yang panjang dan berwarna hitam pekat itu bergoyang lembut mengikuti ayunan langkahnya. Langsung dijatuhkan dirinya, berlutut di hadapan kakek itu.

“Eyang, aku mohon petunjuk...,” pinta gadis jelita itu sambil berlutut. Suara yang keluar dari sela-sela bibir mungil itu demikian merdu, tak ubahnya nyanyian indah.

“Kenanga, Cucuku. Sifatmu yang selalu merendah dan tidak suka menonjolkan kelebihan, membuat Eyang semakin yakin bahwa engkau tidak mungkin akan menyalahgunakan kepandaian yang kuturunkan kepadamu. Dan sifat itu pulalah yang akan menjauhkan dirimu dari segala bencana dalam pengembaraanmu di dunia persilatan nanti,” ucap kakek itu sambil mengusap rambut kepala gadis yang bernama Kenanga. Kedua mata kakek itu sejenak meredup ketika mengucapkan kata-kata terakhir yang membuat hatinya bergetar.

“Eyang. Apa..., apa maksud Eyang...? Apakah Eyang sudah tidak menyayangiku lagi?” tanya Kenanga terkejut. Dengan gerakan pelahan, gadis itu segera bangkit berdiri. Ditatapnya sepasang mata tua di hadapannya itu, penuh ketidakmengertian.

Kakek tua itu cepat menguasai perasaan agar muridnya tidak mengetahui apa yang tengah dirasakannya saat ini. Dengan penuh kasih sayang diusap-usapnya rambut kepala muridnya. Tubuh tua itu kemudian berbalik dan melangkah pelahan-lahan menuju sebuah pondok kayu yang letaknya tidak jauh dari tempat muridnya biasa berlatih silat.

Kenanga yang hatinya masih dipenuhi tanda tanya itu termenung sejenak. Dan tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu pun bergegas menyusul gurunya. Disejajarkan langkahnya di sisi gurunya dengan kepala tertunduk dalam-dalam. Wajahnya yang semula berseri penuh kegembiraan, kini terlihat muram. Bahkan sang mentari pagi yang semula bersinar cerah mendadak meredup, seolah-olah ikut merasakan kemurungan dara jelita ini.

Sementara tanpa disadari mereka, tiga pasang mata tengah mengawasi dari balik semak-semak yang berjarak kurang lebih lima belas tombak di belakang.

“Duduklah, Cucuku,” ujar kakek itu lembut. “Angkatlah kepalamu. Janganlah suasana pagi yang indah ini dirusak oleh kemurunganmu. Tersenyumlah, Cucuku. Kuasailah hatimu dan janganlah mudah terhanyut oleh perasaan.”

Kenanga tersentak ketika mendengar ucapan gurunya. “Ahhh, mengapa aku jadi lupa pada pelajaran yang selalu Eyang berikan? Yahhh, Eyang benar! Aku tidak boleh terlalu larut dalam perasaan. Apalagi itu merupakan pantangan bagi orang yang memiliki ilmu silat,” ucap gadis jelita itu dalam hati.

Kakek tua itu tersenyum lebar ketika melihat wajah muridnya cerah kembali. Kegembiraan kakek itu bukanlah disebabkan berserinya wajah Kenanga, tapi karena muridnya ternyata telah mengerti maksud yang terkandung dalam ucapannya tadi.

“Maafkan aku, Eyang. Aku terlalu mengikuti perasaan. Habis ucapan Eyang tadi terlalu tiba-tiba datangnya,” ucap Kenanga dengan suara pelahan. Namun, wajahnya sudah berseri kembali karena sudah dapat menguasai perasaannya.

“Kenanga, kau masih muda dan masih punya banyak keinginan. Apakah ingin tinggal di hutan ini selamanya, dan tidak ingin melihat dunia ramai lagi? Kalau begitu, untuk apa gunanya mempelajari ilmu silat? Bukankah segala ilmu yang dimiliki harus diamalkan? Lalu, bagaimana akan mengamalkannya di tempat terasing seperti ini?” kakek itu melontarkan pertanyaan bertubi-tubi dengan lembut, namun mengandung kebenaran yang tidak bisa dibantah oleh Kenanga.

“Tapi, siapakah yang akan mengurus keperluan Eyang?” tanya gadis itu, masih berusaha mencari alasan karena hatinya masih merasa berat untuk meninggalkan gurunya.

“Ha ha ha...! Bukankah sebelum ada dirimu aku telah dapat memenuhi kebutuhanku sehari-hari? Nah, apa lagi alasanmu sekarang?”

“Tapi.... Tapi, Eyang....”

“Aaah! Sudahlah, Cucuku. Lebih baik sekarang persiapkan segala keperluanmu untuk bekal di perjalanan nanti. Lagipula, bukankah kau ingin cepat-cepat bertemu pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih yang dulu pernah kau ceritakan padaku,” goda kakek itu sambil tersenyum.

“Ah, Eyang...,” Kenanga tertunduk malu ketika diingatkan tentang Panji (Bagi Anda yang ingin mengetahui kisah pertemuan Kenanga dengan Panji, silakan baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode Tiga Iblis Gunung Tandur). Wajahnya dijalari rona merah ketika teringat pemuda pujaannya itu. Selintas tersirat di mata dara jelita itu butir-butir kerinduan yang telah lama terpendam dalam hati.

Samar-samar terdengar helaan napas berat berhembus dari hidungnya yang berbentuk indah itu. Begitu indahnya lamunan yang menghanyutkan gadis itu sehingga tidak sadar kalau gurunya telah meninggalkannya beberapa saat yang lalu. Ketika tersadar, gadis jelita itu pun bergegas meninggalkan tempat itu untuk menyusul gurunya yang telah kembali ke tempat tinggal mereka.

********************

Pada hari kedua setelah kepergian Kenanga, dua orang laki-laki tinggi besar melangkah mendatangi pondok tempat tinggal guru gadis itu.

“Hei, Raja Pedang Pemutus Urat! Keluar kau!” teriak salah satu dari mereka dengan suara mengguntur. Tubuhnya sedikit lebih tinggi dari kawannya. Wajahnya dipenuhi bulu hitam lebat sehingga nampak gagah dan menyeramkan.

Setelah hening sejenak, pintu pondok pun terkuak. Maka muncullah kakek tua yang menjadi guru Kenanga. Ternyata, dia berjuluk Raja Pedang Pemutus Urat. Sebuah julukan yang tidak asing lagi bagi kaum persilatan. Kening kakek itu agak berkerut seolah berusaha mengenali kedua pendatang itu.

“Hm.... Siapakah Kisanak berdua, dan ada keperluan apa mencariku?” tegur Raja Pedang Pemutus Urat, suaranya tenang dan lembut.

“Kami adalah dua saudara, berjuluk Gorila Batu. Dan maksud kedatangan kami untuk meminjam Kitab Jari Maut yang kau miliki,” kali ini yang berbicara adalah orang yang berkepala gundul.

Raja Pedang Pemutus Urat terkejut bukan main mendengar permintaan yang di luar dugaan itu. Cepat kakek itu menekan debaran dalam dadanya. “Hm..., apa maksud perkataanmu itu, Kisanak? Sama sekali tidak kumengerti?”

“Huh!” dengus laki-laki bercambang bawuk bagaikan seekor kerbau liar. “Jangan memancing-mancing kemarahan kami, kakek peot! Cepat serahkan kitab itu, atau ingin merasakan kepalan kami terlebih dahulu?”

“Aku sama sekali tidak tahu-menahu tentang kitab yang kau sebutkan itu. Kalaupun tahu, aku tidak akan memberikannya kepadamu!” jawab Raja Pedang Pemutus Urat tegas.

“Bangsat, tua bangka tidak tahu diuntung! Mampuslah kau! Hiaaat..!”

Dibarengi sebuah bentakan menggelegar, laki-laki bercambang bawuk itu menerjang Raja Pedang Pemutus Urat. Kepalannya yang sebesar kepala bayi itu mengaung dahsyat menuju dada lawan.

Wuuuttt!

Kepalan yang mengandung tenaga dalam tinggi itu mengenai tempat kosong ketika kakek itu menggeser tubuhnya ke belakang. Dan sebelum si brewok memperbaiki posisi, Raja Pedang Pemutus Urat langsung melancarkan tiga buah serangan beruntun.

Bukkk!

“Ugh...!”

“Aaah...!”

Tubuh tinggi besar itu terjajar mundur sejauh delapan langkah akibat tendangan kaki kanan lawan yang menghantam dadanya. Meskipun tidak terluka, namun si brewok cukup terkejut melihat kecepatan gerak lawan yang sama sekali tidak diduga itu.

Sedangkan Raja Pedang Pemutus Urat pun tidak kalah terkejutnya. Kaki kanannya bagaikan menghantam sebongkah besi padat sehingga menimbulkan rasa nyeri yang menyengat dan menjalar hingga ke lutut. Padahal sebagian tenaga dalamnya telah disalurkan waktu menyerang tadi. Diam-diam kakek itu merasa terkejut sekali melihat kekebalan tubuh lawan yang tinggi besar itu.

“Tua bangka keparat! Rupanya kau lebih suka memilih mati daripada menyerahkan Kitab Jari Maut itu. Kalau memang itu yang menjadi kemauanmu, baiklah! Jangan salahkan kalau kami berbuat kasar kepadamu,” ancam laki-laki brewok itu menggeram marah

“Hm...,” gumam Raja Pedang Pemutus Urat pelahan tanpa mempedulikan ucapan lawannya. Tanpa banyak cakap lagi, kakek itu segera mencabut keluar pedang yang tersampir di punggungnya.

"Sriiing!" Sebilah pedang bersinar kuning keemasan telah tergenggam di tangan Raja Pedang Pemutus Urat. Terdengar suara mengaung tajam ketika pedang bersinar kuning itu diputar-putar untuk melindungi dadanya. Kedua kakinya bergerak membentuk kuda-kuda. Tangan kirinya digerakkan ke depan dada, sedangkan tangan kanannya yang memegang pedang berada di atas kepalanya dengan siku ditekuk. Sebuah gerakan pembukaan jurus ‘Pedang Pemutus Urat’ yang telah menggegerkan rimba persilatan.

“Huh!” dengus laki-laki brewok itu kasar. Tanpa membuang-buang waktu lagi, orang tinggi besar itu segera meloloskan sebuah rantai baja berat yang melilit tubuhnya. Diputarnya rantai baja itu hingga menimbulkan angin keras menderu-deru.

“Hati-hati, Kakang Soma! Kepandaian Raja Pedang Pemutus Urat tidak boleh dipandang rendah,” seru saudaranya yang berkepala gundul itu mengingatkan. Sedangkan dia sendiri sudah pula mencabut keluar sebilah golok besar yang terlihat sangat berat dari punggungnya.

“Kalau kau merasa gentar, lebih baik kau mundur, Adi Ludira!” teriak laki-laki brewok yang ternyata bernama Soma itu geram. Bagaimanapun juga, Soma tidak senang mendengar adiknya membesar-besarkan lawannya

“Heaaa...!” Tiba-tiba Soma membentak keras sambil mengayunkan rantai baja ke arah Raja Pedang Pemutus Urat. Rantai baja itu mengaung dahsyat mengancam tubuh lawan.

Melihat serangan dahsyat itu, Raja Pedang Pemutus Urat segera merendahkan tubuhnya hingga serangan itu lewat di atas kepalanya. Tapi begitu kepalanya diangkat, datang serangan dari ujung rantai lain yang berdesing cepat bagai kilat. Laki-laki tua guru Kenanga itu mengayunkan senjatanya menangkis serangan yang datang.

Trang!

Bunga api berpijar ketika dua senjata yang mengandung tenaga dahsyat itu berbenturan keras. Keduanya terdorong mundur akibat benturan itu.

Raja Pedang Pemutus Urat terdorong sejauh enam langkah. Segera diperiksa senjatanya kalau-kalau rusak. Hati kakek itu menjadi lega ketika mendapati senjatanya masih utuh.

Sedangkan lawannya terdorong sejauh lima belas langkah. Dari sini saja sudah dapat diukur kalau tenaga Raja Pedang Pemutus Urat masih lebih tinggi dua tingkat daripada laki-laki brewok yang bernama Soma itu. Dan hal ini tentu saja sangat mengejutkan hatinya. Padahal selama ini dia selalu mengagungkan tenaganya. Tapi kini, ternyata laki-laki itu harus menerima kenyataan bahwa tenaga Raja Pedang Pemutus Urat masih lebih tinggi.

Dan belum lagi kakek itu mempersiapkan serangan berikut, tiba-tiba datang serangan dari adik si brewok itu dengan golok besarnya. Namun dalam beberapa jurus saja, laki-laki gundul itu sudah mulai kerepotan menghadapi serangan balasan Raja Pedang Pemutus Urat yang menggunakan ilmu andalannya. Ilmu yang tak ada duanya dalam rimba persilatan. Dapat dipastikan, dalam beberapa jurus lagi laki-laki gundul yang bernama Ludira itu tidak akan mampu untuk melindungi dirinya dari serangan ujung pedang yang selalu mengincar bagian-bagian tubuh yang mematikan.

Melihat keadaan adiknya yang terdesak itu, Soma langsung melompat dan melibatkan dirinya dalam pertarungan itu. Begitu tiba, laki-laki brewok itu segera melancarkan serangan dahsyat. Rantai bajanya meluncur ke arah kepala Raja Pedang Pemutus Urat yang tengah mendesak Ludira. Akibatnya, orang tua itu terpaksa melompat ke belakang menghindari rantai baja Soma.

Rupanya serangan yang dilancarkan Soma tidak berhenti sampai di situ saja. Sebab ke manapun Raja Pedang Pemutus Urat menghindar, rantai baja itu masih terus mencecarnya. Mau tidak mau kakek itu harus mengakui kehebatan lawannya yang satu itu. Beberapa kali senjata itu hampir menghajar tubuhnya, sehingga harus terpaksa ditangkis demi menahan serangan berbahaya itu.

Hati Soma bukan main terkejut ketika ujung rantai bajanya berbalik ke arahnya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera dilempar tubuhnya ke belakang untuk menyelamatkan diri dari ancaman ujung rantai miliknya sendiri itu. Setelah melakukan salto sebanyak empat kali, barulah laki-laki gundul itu terlepas dari ancaman maut senjatanya sendiri. Namun belum lagi sempat menarik napas lega, tahu-tahu saja pedang di tangan lawan sudah datang mengancam tenggorokannya.

“Heh?! Bangsat!” Terpaksa Soma menggulingkan tubuhnya menghindari ancaman ujung pedang lawan. Untunglah pada saat yang berbahaya itu, Ludira datang membantu sehingga dia terhindar dari ancaman maut itu.

Trang!

“Uuuh...!” Tubuh Ludira yang tinggi besar itu terjengkang ke belakang ketika menangkis pedang bersinar kuning keemasan yang dikibaskan Raja Pedang Pemutus Urat disertai pengerahan tenaga dalam itu. Laki-laki gundul itu langsung menggulingkan tubuh untuk berjaga-jaga dari serangan lawan berikutnya. Tubuhnya melenting berdiri ketika lawan tidak melakukan serangan susulan.

Saat itu Soma yang sudah dapat menguasai keadaan, kembali menerjang Raja Pedang Pemutus Urat. Kali ini laki-laki brewok itu benar-benar harus menguras seluruh kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang sangat lihai itu. Di pihak lain, Ludira pun sudah menggerakkan golok besarnya dan langsung melancarkan serangan ganas. Goloknya yang besar dan berat itu berdesingan di sekitar tubuh lawan.

Raja Pedang Pemutus Urat sama sekali tidak merasa gentar menghadapi keroyokan dua Gorilla Batu itu. Pedang bersinar kuning keemasan di tangannya bergerak secepat kilat membalas serangan dua orang lawannya. Pertempuran pun berjalan semakin seru dan mendebarkan!

Pada jurus yang ketiga puluh tujuh, rantai baja di tangan Soma meluncur mengancam kepala Raja Pedang Pemutus Urat. Melihat serangan tersebut, laki-laki tua itu segera menjejak bumi, maka tubuhnya langsung melambung tinggi. Sehingga serangan rantai baja lawan hanya lewat di bawah kakinya. Raja Pedang Pemutus Urat bersalto ke depan sambil menusukkan pedangnya ke dada lawan.

Ludira yang melihat saudaranya terancam bahaya, segera melompat memapak pedang lawan. Golok besarnya diayunkan, menebas pinggang Raja Pedang Pemutus Urat yang tengah meluncur ke arah Soma. Menyadari akan bahaya yang mengancam dirinya, Raja Pedang Pemutus Urat mengurungkan niatnya menyerang Soma. Segera dikelebatkan pedangnya menyambut serangan Ludira. Terdengar benturan yang memekakkan telinga dibarengi jatuhnya tubuh Ludira yang tidak mampu mengimbangi kekuatan tenaga lawan.

Sebelum laki-laki gundul itu dapat memperbaiki keadaannya, pedang di tangan lawan sudah meluncur datang mengancam tenggorokannya. Bergegas Ludira melempar tubuhnya ke samping. Namun Raja Pedang Pemutus Urat yang sudah telanjur jengkel itu terus mencecar lewat serangan-serangan cepat bagai kilat.

“Aaakh...!” Ludira meraung keras ketika pedang bersinar kuning keemasan itu menggores lambungnya. Darah segar mulai mengucur membasahi pakaiannya. Tubuhnya boleh jadi kebal terhadap senjata lawan, tapi tidak untuk pedang pusaka sinar emas yang berada di tangan Raja Pedang Pemutus Urat. Sehingga meskipun tubuhnya terlindung ilmu kebal, tetap saja tidak mampu menahan sabetan pedang pusaka sinar emas. Apalagi pedang itu berada di tangan tokoh sakti seperti Raja Pedang Pemutus Urat yang tidak disangsikan lagi kelihaiannya dalam menggunakan pedang. Pada saat yang sama, rantai baja di tangan Soma meluncur datang melibat tubuh Raja Pedang Pemutus Urat.

Prat!

“Hehhh...!” Rantai baja milik Soma itu cepat melibat tubuh Raja Pedang Pemutus Urat. Kakek sakti itu bertindak cepat! Kedua kakinya segera dipantek ke tanah, sedangkan rantai baja itu dicengkeramnya kuat-kuat. Terjadilah tarik-menarik yang menegangkan! Raja Pedang Pemutus Urat mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk mempertahankan dirinya agar tidak terseret tarikan Soma yang memang memiliki tenaga dalam tinggi itu. Butir-butir keringat mulai membasahi kening orang tua sakti itu.

Di lain pihak, keringat sebesar biji jagung mulai mengalir membasahi sekujur tubuh Soma. Samar-samar selapis uap tipis tampak mengepul dari ubun-ubun Soma. Itu tandanya dia telah mengerahkan tenaganya habis-habisan.

“Hiaaah...!” Mendadak, Raja Pedang Pemutus Urat mengulur tangannya menggenggam rantai yang melibat tubuhnya. Lalu disentakkan rantai itu sekuat tenaganya.

“Akh...!” Soma berteriak kaget, ketika secara tiba-tiba tubuhnya yang tinggi besar itu tersentak dan meluncur ke arah Raja Pedang Pemutus Urat. Dalam keadaan mengapung di udara, sepasang kaki lawan yang mengandung tenaga dalam dahsyat itu telak menghantam dadanya!

Bukkk!

“Ugh...!” Tubuh Soma terpelanting keras! Darah segar muncrat dari mulutnya. Namun kekuatan tubuh laki-laki brewok itu benar-benar luar biasa. Meskipun gerakannya terlihat limbung, namun masih bisa bangkit menghampiri Ludira yang tengah berjalan ke arahnya.

“Tunggu pembalasan kami, Raja Pedang Pemutus Urat...!” ancam Soma penuh kemarahan.

Raja Pedang Pemutus Urat termangu melihat kepergian dua orang laki-laki tinggi besar yang terluka Itu. Sementara angin lembut bertiup mempermainkan jenggot kakek itu yang panjang dan telah memutih. “Hhh.... Siapa sangka hari ini aku telah menanam bibit permusuhan baru. Entah dari golongan mana mereka...?” desah Raja Pedang Pemutus Urat sedih.

********************

DUA

“Uhk... hughk...!”

Sosok laki-laki muda tampak tengah melangkah tersuruk-suruk menerobos semak dan jalanan berbatu. Sebentar-sebentar langkahnya terhenti, lalu terbatuk-batuk hebat. Cairan merah menetes keluar dari celah-celah bibirnya yang pucat. Kelihatannya laki-laki muda itu terluka parah! Bajunya yang berwarna kuning cerah itu tampak dikotori noda darah di sana-sini. Beberapa bagian lainnya telah koyak hingga terlihat kulit dagingnya yang mengeluarkan darah. Jelas, itu bekas goresan benda tajam! Sambil terus melangkah dengan susah payah pemuda itu terbatuk kembali dengan hebatnya. Tubuhnya terbungkuk-bungkuk sambil menekap dadanya yang panas bagai terbakar.

“Uhk... uhk... uuuhhh...!”

Mungkin karena tak sanggup menahan luka yang diderita, pemuda itu terguling roboh di sebuah tanah lapang berumput tebal. Dibarengi keluhan pendek, kepalanya pun terkulai setelah terlebih dahulu memuntahkan segumpal darah kehitaman. Laki-laki muda berwajah tampan itu kini tergolek tak berdaya, pingsan.

Entah sudah berapa lama dia tak sadarkan diri. [img] Ketika matanya terbuka, terasa tubuhnya agak ringan dan hanya sedikit rasa nyeri yang masih tersisa. Diam-diam pemuda itu menjadi heran sekali. Bagaimana mungkin luka-lukanya yang begitu parah tahu-tahu saja telah hampir sembuh? Padahal ia tadi hanya pingsan. Namun, ketika kedua matanya dapat melihat jelas, pemuda itu menjadi heran. Ternyata dirinya terbaring pada sebuah dipan kayu, di sebuah kamar yang cukup bersih. Diedarkan pandang matanya berkeliling meneliti seluruh isi kamar itu.

“Hhh... Dimanakah aku...?” keluh pemuda itu mencoba bangkit dari pembaringan beralaskan tikar pandan itu.

“Ahhh.... Syukurlah kau sudah siuman, Anak Muda. Hampir setengah hari kau tak sadarkan diri. Apa yang terjadi pada dirimu, Anak Muda? Kulihat luka-lukamu parah sekali,” tiba-tiba terdengar suara yang begitu bijak. Di depan pintu kamar yang telah terkuak itu, tampak berdiri sosok tubuh renta. Suaranya terdengar halus dan sabar. Di tangannya tergenggam sebuah cawan bambu.

“Siapakah engkau, Kakek? Dan di mana aku sekarang?” tanya laki-laki muda itu.

“Tenanglah, Anak Muda. Jangan terlalu banyak bergerak dulu, karena lukamu masih belum sembuh benar. Nah, sekarang minumlah obat ini agar kesehatanmu cepat pulih,” ujar kakek itu sambil menyodorkan cawan berisi obat di tangannya.

Tanpa banyak cakap lagi, pemuda itu langsung menenggak habis obat yang diberikan penolongnya itu. Sekilas, terlihat seringai di wajahnya karena obat itu terasa pahit.

“Terima kasih, Kek. Entah apa jadinya diriku apabila tidak ditolong Kakek”

“Sudahlah, Anak Muda. Sekarang tidurlah agar nanti tubuhmu terasa segar kembali,” setelah berkata demikian, kakek itu pun bergegas meninggalkan tempat itu.

Tanpa berkata apa-apa lagi, pemuda itu merebahkan tubuhnya. Beberapa saat kemudian terdengar dengkuran halus, pertanda ia telah terlelap.

********************

Menjelang sore, laki-laki muda itu terbangun. Dicoba digerak-gerakkan lengan dan kakinya. Alangkah senangnya hati pemuda itu ketika tidak merasakan lagi kenyerian yang mengganggunya itu. Pelahan-lahan dilangkahkan kakinya ke arah pintu, dan dibukanya pelahan. Semburat kemerahan menerpa wajah sehingga membuatnya menjadi silau.

“Ha ha ha.... Bagaimana perasaanmu sekarang, Anak Muda?” tanya kakek penolongnya yang tiba-tiba muncul dari balik semak belukar.

“Ahhh..., Kakek mengejutkanku saja. Terima kasih, Kek. Rasanya tubuhku sudah mulai sehat. Sekali lagi kuucapkan banyak-banyak terima kasih atas kesediaan Kakek menolongku,” ucap pemuda itu sambil membungkukkan tubuhnya dalam-dalam. Suaranya terdengar sopan dan teratur rapi bagai seorang terpelajar.

“Sudahlah. Lebih baik kau ceritakan, siapa dirimu dan apa yang menyebabkan kau mengalami luka begitu parah?” tanya kakek yang tak lain adalah Raja Pedang Pemutus Urat.

Setelah menghela napas beberapa kali, barulah pemuda itu menceritakan apa yang telah terjadi terhadap dirinya. Waktu itu ia tiba-tiba saja dihadang dua orang laki-laki bertubuh tinggi besar yang sama sekali tidak dikenalnya. Tanpa bertanya-tanya lagi, kedua laki-laki itu langsung saja menyerangnya. Walaupun pemuda itu berusaha mengadakan perlawanan, namun karena kepandaiannya di bawah kedua lawannya, akhirnya malah menjadi bulan-bulanan.

“Kedua laki-laki tinggi besar itu baru berhenti menganiaya ketika aku telah tak sadarkan diri. Entah apa sebabnya dia menyerangku? Dan tampaknya mereka juga tengah menderita luka dalam cukup parah. Hhh... Benar-benar berbahaya kedua orang itu...,” pemuda itu mengakhiri ceritanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Kakek sakti yang berjuluk Raja Pedang Pemutus Urat itu menghela napas dalam-dalam. Kini mulai dimengerti duduk persoalannya. Dan ia pun tahu, apa yang menyebabkan kedua orang laki-laki bertubuh tinggi besar itu marah-marah.

“Yaaah.... Kedua orang itu memang sangat berbahaya. Kepandaian mereka sangat tinggi. Rasanya jarang sekali tokoh rimba persilatan yang dapat menandingi kepandaian mereka berdua. Entah dari mana mereka datang, sebab logatnya terdengar asing di telingaku.”

“Aaah! Kalau begitu, Kakek ini Raja Pedang Pemutus Urat? Sebab, mereka menyebut-nyebut julukan Kakek. Benarkah Kakek telah melukai mereka?” tanya pemuda itu.

“Tidak salah. Memang, akulah yang telah melukai mereka. Tapi itu pun baru dapat kulakukan setelah melalui sebuah pertarungan melelahkan...,” tutur Raja Pedang Pemutus Urat tak bergairah. Seolah-olah kejadian itu telah mendatangkan kesedihan di hati kakek sakti itu. “Eh! Siapa namamu, Anak Muda...?” tanya kakek itu mengalihkan percakapan.

“Namaku Jaya Sukma, Kek.”

“Nah, Jaya Sukma. Tinggallah di tempat ini untuk beberapa hari. Setelah kesehatanmu pulih, kau boleh melanjutkan perjalananmu yang tertunda itu,” pinta Raja Pedang Pemutus Urat halus.

“Mmm..., kalau Kakek mengijinkan, aku ingin tinggal di sini untuk mengurus Kakek. Toh, sekarang ini aku tidak mempunyai tujuan. Lagipula, kedua orang tuaku sudah tiada. Jadi, ijinkanlah aku tinggal di sini menemani Kakek..,” ucap Jaya Sukma sambil menundukkan kepala dalam-dalam.

Mendengar permintaan Jaya Sukma, Raja Pedang Pemutus Urat termenung sejenak. Dipandanginya wajah tampan di hadapannya seolah-olah ingin mengetahui, apa sebenarnya yang diingini pemuda itu. Beberapa saat kemudian, barulah dapat diputuskan untuk menerima permintaan Jaya Sukma.

“Yahhh.... Terserah kaulah, Jaya Sukma. Asal kau tahu, kalau aku tidak akan menerima murid lagi!” jelas Raja Pedang Pemutus Urat penuh ketegasan.

“Tak mengapa, Kek. Biarlah aku menjadi pelayan Kakek daripada aku berkeliaran tanpa tujuan.”

Maka mulai hari itu Jaya Sukma tinggal di tempat kediaman Raja Pedang Pemutus Urat. Pemuda yang bertutur kata sopan itu tidak pernah mengeluh dalam mengerjakan segala yang menjadi keperluan mereka sehari-hari. Wataknya yang pendiam dan jarang berbicara, sedikit banyak telah menimbulkan rasa simpati di hati Raja Pedang Pemutus Urat. Namun kakek sakti itu berusaha menyembunyikannya.

“Hait..., hiyaaa...!”

Seperti biasanya, setiap pagi Jaya Sukma selalu melatih ilmu-ilmu yang dimilikinya. Gerakannya terlihat cukup mantap dan bertenaga. Hampir setengah harian Jaya Sukma berlatih. Meskipun keringat telah membanjiri seluruh tubuhnya, tapi pemuda itu sama sekali tidak mengenal lelah. Memang, dia seorang pemuda yang keras hati.

Tanpa setahu Jaya Sukma, Raja Pedang Pemutus Urat selalu memperhatikannya saat sedang berlatih. Semakin lama diperhatikan, kakek itu semakin merasa suka dan kagum melihat ketekunan pemuda itu. Padahal setahunya, pemuda itu hanyalah melatih ilmu-ilmu biasa dan tidak memiliki keistimewaan apa pun. Namun pemuda itu demikian tekun, seakan-akan tengah melatih sebuah ilmu dahsyat. Diam-diam timbul rasa haru dan kasihan dalam hati Raja Pedang Pemutus Urat.

“Jaya...,” panggil Raja Pedang Pemutus Urat sambil melangkah menghampiri pemuda itu yang telah menyelesaikan latihannya. Rupanya kakek itu merasa tertarik juga, dan tidak mampu menahan perasaan hati terhadap pemuda itu.

“Ahhh..., Kakek,” seru pemuda itu terkejut. Bagaimana Jaya Sukma tidak terkejut? Padahal, selama ini ilmunya selalu dilatih di tempat tersembunyi yang letaknya cukup jauh dari pondok mereka. Dan sekarang, tahu-tahu saja Raja Pedang Pemutus Urat telah berada di dekatnya.

“Sedang apa kau, Jaya...?” tanya Raja Pedang Pemutus Urat pura-pura bodoh.

“Oh...! Eh..., aku.... Aku sedang mengambil air, Kek..,” jawab pemuda itu gugup.

“Hm.... Dari mana kau peroleh jurus-jurus itu, Jaya...?”

Mendengar pertanyaan itu, Jaya Sukma sadar kalau tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi. Lagipula, bukankah dia tidak melakukan kesalahan apa-apa? Jadi, mengapa harus merasa takut? “Hanya jurus-jurus biasa, Kek. Mendiang ayahku yang mengajarinya,” jawab Jaya Sukma terus terang.

“Hm.... Sudah lebih dari satu bulan kau tinggal bersamaku, bekerja mengurus segala keperluan sehari-hari tanpa mengeluh sedikit pun. Biarlah sebagai imbalannya, kau akan kuajarkan satu macam jurus. Tapi ingat, aku tidak ingin mengangkat murid! Jadi jangan sekali-kali memanggilku guru ataupun eyang!” kata Raja Pedang Pemutus Urat yang rupanya sudah merasa suka kepada Jaya Sukma.

“Oh..., terima kasih, Kek. Akan kutaati segala perintah Kakek,” ucap Jaya Sukma gembira.

“Nah! Sekarang, perhatikanlah baik-baik...,” setelah ucapannya selesai, Raja Pedang Pemutus Urat mulai bergerak lambat agar gerakannya dapat ditangkap jelas.

Beberapa kali Raja Pedang Pemutus Urat mengulangi gerakannya sehingga lama kelamaan Jaya Sukma pun sudah dapat mengikuti secara pelahan.

“Hm.... Sekarang, cobalah sendiri.”

“Baik, Kek...!” jawab Jaya Sukma penuh kegembiraan.

Melihat wajah pemuda itu yang bersinar-sinar penuh kegembiraan, diam-diam perasaan Raja Pedang Pemutus Urat semakin trenyuh. Tanpa berkata apa-apa lagi, kakek itu bergegas meninggalkan Jaya Sukma yang masih terus melatih ilmu yang diberikannya itu. Raja Pedang Pemutus Urat sengaja berpura-pura meninggalkan tempat itu, padahal dia tengah bersembunyi di balik semak belukar untuk memperhatikan tanggapan Jaya Sukma sepeninggalnya.

Biar bagaimanapun, kakek itu masih belum menaruh kepercayaan penuh terhadap pemuda yang belum lama dikenalnya itu. Tapi kecurigaan Raja Pedang Pemutus Urat rupanya tidak beralasan. Sebab meskipun tanpa dirinya, ternyata pemuda itu tidak bosan-bosannya melatih ilmu yang baru didapat itu. Menyaksikan hal itu, Raja Pedang Pemutus Urat menarik napas lega. Lalu segera melangkah meninggalkan tempat itu.

********************

Tiga bulan semenjak Raja Pedang Pemutus Urat menurunkan satu macam ilmu kepada Jaya Sukma, namun sifatnya sama sekali tidak berubah. Dia tetap sopan, rendah hati, dan selalu tekun melatih ilmu yang diberikan. Dan dalam tiga bulan terakhir ini, pemuda itu telah menunjukkan kemajuan pesat. Hingga pada suatu kesempatan, Raja Pedang Pemutus Urat memanggil Jaya Sukma sehubungan dengan apa yang menjadi pikirannya selama ini.

“Duduklah, Jaya...,” ujar kakek itu ketika Jaya Sukma memasuki pondok

Jaya Sukma duduk di hadapan Raja Pedang Pemutus Urat tanpa berkata sepatah pun. Pemuda itu menundukkan wajahnya dalam-dalam. Dalam hati ia takut kalau-kalau kakek sakti itu akan menyuruhnya pergi dari tempat yang sudah telanjur disukai itu. Hati pemuda itu berdebar menantikan ucapan yang keluar dari mulut Raja Pedang Pemutus Urat

“Jaya..., sudah berapa lama kau tinggal di tempat ini?” tiba-tiba Raja Pedang Pemutus Urat mengeluarkan pertanyaan yang membuat hati Jaya Sukma semakin berdebar kencang.

“Sudah lebih dari tiga bulan, Kek,” jawab pemuda itu agak gugup.

“Hm.... Selama ini kulihat sikapmu tidak pernah mengeluh. Bahkan aku tidak pernah menemukan satu kesalahan pun dalam sikapmu, “ujar kakek itu. “Maka, aku merasa yakin kalau kaulah yang pantas mendapat ilmu ‘Jari Maut’.”

Nampak sekali kalau Jaya Sukma menjadi terkejut bercampur girang, namun cepat-cepat menguasai perasaannya. Wajah pemuda itu memucat, dan bibirnya bergetar ketika mendengar kata-kata itu.

“Pewaris ilmu ‘Jari Maut’...!? Ahhh! Maafkan aku, Kek. Mana mungkin aku berani menerima ilmu itu? Lagipula, aku... aku....”

“Sudahlah...!” potong Raja Pedang Pemutus Urat cepat. “Dengar, Jaya Sukma! Aku sudah tua, dan hanya mempunyai seorang murid wanita. Ketahuilah, bahwa ilmu itu tidak bisa dipelajari oleh seorang wanita. Karena apabila dipelajari, maka wanita itu akan berubah menjadi seorang wanita iblis yang keji dan tak kenal ampun, akibat pengaruh ilmu ‘Jari Maut’ itu. Nah! Daripada ilmu itu jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab, bukankah lebih baik kuturunkan kepadamu. Lagipula aku sudah lama memperhatikanmu, Jaya Sukma. Rasanya kau cukup pantas untuk mewarisi ilmu itu,” jelas Raja Pedang Pemutus Urat panjang lebar.

“Baiklah, Kek. Kalau memang itu sudah menjadi keputusan Kakek, aku akan bersedia mematuhinya,” jawab pemuda itu tegas.

“Nah! Kalau kau sudah bersedia menerimanya, mari ikut aku.” Raja Pedang Pemutus Urat bergegas bangkit dari duduknya. Kakek sakti itu melangkah ke luar, diikuti Jaya Sukma. Mereka terus berjalan memasuki hutan yang berada di samping kiri pondok.

Kakek sakti itu menghentikan langkahnya pada sebuah batu besar yang menonjol menutupi sebuah mulut gua. Ditekannya sebuah alat pada dinding gua sehingga batu besar itu bergeser. Maka, tampaklah sebuah mulut gua yang cukup besar dan agak gelap. Raja Pedang Pemutus Urat melangkah memasukinya diikuti Jaya Sukma yang terbengong-bengong keheranan.

Sama sekali tidak disangka kalau tempat yang sering dilewatinya saat mengambil air itu, ternyata terdapat sebuah gua. Dan lebih mengejutkan lagi, ternyata itu adalah tempat penyimpanan Kitab Ilmu Jari Maut! Benar-benar sebuah tempat yang rapi dan tak terduga.

Setelah melewati beberapa tikungan, mereka tiba pada sebuah ruangan yang agak luas. Lima tombak di hadapan mereka nampak sebuah kerangka yang dalam posisi bersemadi di atas sebuah batu pipih berbentuk segi empat.

“Eyang..,” Raja Pedang Pemutus Urat berseru pelahan sambil menjatuhkan dirinya berlutut di hadapan kerangka itu. Rupanya kerangka manusia itu adalah kerangka guru Raja Pedang Pemutus Urat.

Beberapa saat kemudian, kakek itu bangkit dan berjalan ke arah sebuah peti yang berada tidak jauh dari kerangka gurunya. Segera diulurkan tangannya membuka tutup peti, lalu dikeluarkannya sebuah kitab berwarna kuning yang bertuliskan “Kitab Ilmu Silat Jari Maut”. Raja Pedang Pemutus Urat segera memeriksa isi kitab. Ketika yakin kalau isi kitab itu masih utuh, kakek itu bergegas menghampiri Jaya Sukma yang hanya diam berdiri memperhatikannya.

“Nah, Jaya Sukma. Untuk mempelajari isi kitab ini, kau harus berjanji di hadapan kerangka guruku. Berjanjilah kalau ilmu yang akan kaupelajari ini akan dipergunakan untuk kebaikan. Dan apabila janji itu dilanggar, maka kau akan mati secara mengerikan termakan ilmu itu sendiri. Bagaimana? Apakah kau bersedia?” tanya Raja Pedang Pemutus Urat. Suaranya terdengar tegas dan berwibawa.

Jaya Sukma mengangguk cepat, dan tanpa ragu-ragu lagi segera berlutut di hadapan kerangka manusia itu sambil mengucapkan janji yang diajarkan Raja Pedang Pemutus Urat tadi. Suara pemuda itu terdengar agak bergetar ketika mengucapkan janji maut itu.

“Hm..., lega hatiku sekarang Terimalah kitab ini, Jaya.

Dan kau harus menguasai isinya dalam waktu satu bulan. Setelah itu, barulah pelajari gerakannya. Ketahuilah, bahwa ilmu yang dulu kuajarkan kepadamu adalah dasar-dasar ilmu ‘Jari Maut’. Dan dengan demikian kau akan lebih mudah mempelajarinya. Dan sekarang, pintu gua akan kututup dari luar. Karena, apabila ilmu itu telah kau pelajari secara sempurna, maka batu itu bukanlah penghalang yang berarti bagimu. Kebutuhanmu selama mempelajari ilmu itu jangan dipikirkan. Pokoknya, semua sudah tersedia di dalam gua ini. Nah, sekarang aku akan pergi.” Setelah berkata demikian, Raja Pedang Pemutus Urat segera berkelebat lenyap dari pandangan Jaya Sukma. Gerakannya demikian cepat. Jelas, kalau ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai taraf kesempurnaan. Tidak lama kemudian terdengar suara bergemuruh tanda bahwa pintu gua telah tertutup kembali.

“Ha ha ha...! Akhirnya usahaku selama ini tidak sia-sia! Ha ha ha...!” Jaya Sukma tertawa terbahak-bahak, menari, dan melompat-lompat bagaikan orang yang kehilangan ingatan.

Sepeninggal Raja Pedang Pemutus Urat, Jaya Sukma cepat memeriksa dan membaca isi kitab itu. Bukan main gembira hatinya ketika mendapat kenyataan kalau ilmu yang bernama ‘Jari Maut’ itu benar-benar sebuah ilmu langka yang jarang terdapat di dunia persilatan. Pelahan-lahan mulai dibaca dan dihapalkannya isi kitab yang cukup tebal itu.

Dengan penuh ketekunan, Jaya Sukma mempelajari isi kitab itu tanpa mengenal waktu. Pemuda itu hanya berhenti apabila perutnya betul-betul terasa lapar. Apabila rasa laparnya sudah tak tertahankan lagi, Jaya Sukma bergegas memetik beberapa buah jamur yang banyak terdapat di belakang gua. Jamur itu terasa manis dan banyak mengandung air. Jadi dia tidak perlu takut kelaparan.

Karena ketekunannya yang luar biasa, dalam waktu kurang dari satu minggu, Jaya Sukma sudah dapat menghapal seluruh isi Kitab Jari Maut. Kini ia hanya tinggal mempelajari gerakan-gerakannya saja. Hal itu tidaklah terlalu sukar, karena dia telah dibekali dasar-dasar ilmu itu dari Raja Pedang Pemutus Urat. Benar-benar suatu keberuntungan baginya. Apalagi, diam-diam sebetulnya pemuda itu telah memiliki kepandaian yang cukup tinggi juga.

********************

TIGA

Waktu terus berputar, sesuai kodratnya. Tak terasa, Jaya Sukma telah lebih dari lima bulan tinggal di dalam gua. Dan memasuki bulan keenam, Jaya Sukma sudah hampir menyempurnakan ilmu ‘Jari Maut’ yang dipelajari tanpa mengenal lelah itu. Kemajuan yang diperolehnya memang begitu pesat. Meskipun tubuhnya agak kurus tidak terawat, namun dari sinar matanya yang mencorong tajam, dapat diduga kalau tenaga sakti yang dimilikinya telah meningkat jauh. Rambut, kumis dan jenggotnya semakin panjang, sehingga membuat Jaya Sukma telah berubah menjadi seorang pemuda menyeramkan.

Seperti biasanya Jaya Sukma terus melatih ilmu ‘Jari Maut’ yang terus disempurnakannya itu. Sambaran angin pukulannya yang berhawa panas itu benar-benar menggiriskan. Kedua tangannya yang kadang-kadang hanya menggunakan dua jari itu berkesiutan menyambar dengan kecepatan yang menggetarkan!

Wut! Cuiiit!

“Hahhh!” Suatu ketika pemuda itu membentak keras dibarengi tusukan kedua jari tangannya yang mengandung hawa panas itu. Bagaikan seekor ular hidup, tangan Jaya Sukma meliuk cepat menusuk sebuah batu sebesar perut kerbau.

"Creb!" Bagaikan segumpal benda lunak, batu besar itu mudah sekali ditembus dua jari tangan Jaya Sukma yang berisi tenaga tinggi sekali. Dengan wajah berseri-seri, pemuda itu segera menarik pulang tangannya yang amblas ke dalam batu besar itu. Sambil tertawa didekatinya batu tadi, dan langsung ditiupnya. Hebat! Batu besar itu kini hancur jadi tepung!

Buktinya, ketika ditiup, seketika beterbangan debu-debu halus, hingga batu sebesar perut kerbau itu lenyap seketika. Begitu melihat hasil dari ilmu yang selama ini ditekuni, Jaya Sukma terkesiap sebentar. Tak lama kemudian....

“Ha ha ha...! Sebentar lagi dunia akan terkejut dengan kemunculanku! Ha ha ha...! Julukan yang cocok untukku adalah.... Jari Maut Pencabut Nyawa!” suara pemuda itu bergema ke seluruh dinding gua, kemudian memantul ke tempat semula. Begitu lepas tawanya, dan begitu lepas kepuasannya.

Jaya Sukma menyimpan Kitab Jari Maut di balik bajunya, kemudian melangkah pelahan-lahan mendekati mulut gua yang tertutup batu besar itu. Untuk beberapa saat lamanya pemuda itu hanya meraba-raba dan memeriksa batu besar yang menyumbati mulut gua. Seolah-olah, ingin mengukur sampai di mana kekuatan batu besar itu.

Setelah puas memeriksa, kakinya melangkah mundur menjauhi mulut gua. Sinar matanya mencorong tajam bagaikan hendak menembus dunia di luar sana. Dengan kuda-kuda kokoh, Jaya Sukma mulai menyedot udara sebanyak-banyaknya. Kedua tangannya bergetar, sedangkan urat-urat di kedua lengannya nampak menonjol biru, pertanda segenap tenaga saktinya tengah dikerahkan.

“Heaaa....!” Dibarengi sebuah pekikan panjang, tubuh Jaya Sukma melesat ke arah mulut gua. Kedua tangannya meliuk-liuk susul-menyusul didahului terpaan angin panas menyengat kulit. Tiba-tiba dari jari-jari tangannya meluncur seberkas sinar kemerahan dan langsung menghantam batu besar yang menyumbat mulut gua. Dan....

"Glarrr!" Batu yang sangat besar itu hancur berkeping-keping akibat hantaman sinar merah yang keluar dari jari tangan Jaya Sukma. Itulah ilmu ‘Jari Maut’ tingkat terakhir yang telah sempurna dikuasai pemuda itu. Benar-benar sebuah ilmu ganas dan amat mengerikan!

“Ha ha ha...! Akulah si Jari Maut Pencabut Nyawa yang akan menguasai dunia persilatan. Ha ha ha...,” Jaya Sukma tertawa terbahak-bahak tanpa mempedulikan keadaan sekelilingnya.

Tanpa disadarinya, sesosok bayangan tinggi kurus tiba-tiba berkelebat mendekati mulut gua yang telah terbuka lebar itu. “Jaya Sukma! Apa maksud perkataanmu Itu?” seru sosok tinggi kurus yang ternyata Raja Pedang Pemutus Urat. Kakek itu langsung melesat ke arah gua ketika mendengar ledakan sangat dahsyat tadi. Dan dugaannya ternyata benar. Jaya Sukma rupanya telah berhasil mempelajari ilmu ‘Jari Maut’ lebih cepat dari waktu yang diberikan.

Melihat kehadiran kakek yang telah memberinya kitab sudah menghadang di mulut gua, Jaya Sukma sama sekali tidak berlutut. Malah sebaliknya, pemuda itu berdiri menantang. Sifat asli yang ditunjukkannya benar-benar bagai langit dan bumi. Jauh sekali dengan sifat yang selama ini diketahui Raja Pedang Pemutus Urat.

“Ha ha ha...! Selamat Tuan Muda. Selamat. Rupanya Tuan Muda telah berhasil menguasai ilmu ‘Jari Maut’ yang selama ini diidam-idamkan. Ha ha ha....” Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di tempat itu telah muncul dua sosok tubuh tinggi besar yang ternyata adalah dua saudara Gorilla Batu.

Bukan main terkejutnya hati kakek itu melihat kehadiran dua orang yang pernah dipecundanginya. Kini baru disadari kalau dirinya telah salah memilih Jaya Sukma sebagai pewaris tunggal ilmu ‘Jari Maut’ yang amat ganas dan mengerikan itu.

“Hm.... Rupanya kaulah yang dulu menyuruh dua orang itu untuk merebut Kitab Jari Maut dari tanganku. Hanya satu yang tidak kumengerti, mengapa saat kau kutemukan benar-benar mengalami luka dalam yang sesungguhnya?” tanya Raja Pedang Pemutus Urat lirih, seakan-akan untuk dirinya sendiri.

“Ha ha ha... Untuk dapat memperdayai orang sakti sepertimu, tubuhku harus rela dikorbankan oleh dua orang pembantuku ini,” sahut Jaya Sukma disertai senyuman penuh ejekan.

“Ahhh...! Betapa bodohnya aku si kakek pikun ini. Tapi sebelum kau membuat malapetaka dalam rimba persilatan, lebih baik sekarang kucabut saja ilmu ‘Jari Maut’ yang telah kau peroleh secara licik itu!”

Setelah berkata demikian, Raja Pedang Pemutus Urat mencabut keluar pedang bersinar kuning keemasan yang selalu tersampir di punggungnya. Disadari sepenuhnya kalau yang dihadapinya kali ini adalah orang yang telah berilmu dahsyat!

“Ha ha ha...! Majulah jika memang ingin cepat-cepat kukirim ke neraka, kakek peot,” ejek Jaya Sukma. Sinar matanya mencorong tajam memancarkan kebengisan.

“Hm!” Didahului sebuah dengusan pendek, Jaya Sukma bergerak memainkan jurus pembuka ilmu ‘Jari Maut’. Pemuda itu memang sengaja ingin mencoba keampuhan ilmu itu terhadap Raja Pedang Pemutus Urat yang telah dikenal dalam rimba persilatan.

“Heaaa...!” Sambil berteriak keras, Jaya Sukma melompat dan langsung melancarkan serangan-serangan yang menimbulkan udara panas. Kedua tangannya menusuk bergantian, memperdengarkan suara mencicit tajam. Jangankan terkena tusukan jari tangannya, bahkan angin pukulannya saja sudah cukup untuk membeset kulit lawan! Memang betapa hebat ilmu ‘Jari Maut’ yang telah dimiliki pemuda itu.

Raja Pedang Pemutus Urat terpaksa harus berlompatan menghindari jari-jari tangan yang berhawa maut itu. Sesekali kakek itu membalas dengan tusukan-tusukan pedangnya yang tidak kalah dahsyat. Sekejap saja dua tokoh berkepandaian tinggi itu sudah terlibat dalam suatu pertarungan mati-matian!

Belasan jurus telah mereka lewati. Sampai sejauh itu belum nampak tanda-tanda salah seorang yang terdesak. Keduanya mulai bertarung dalam tempo cepat! Bahkan mulai mengeluarkan ilmu-ilmunya pada tingkat yang lebih tinggi. Pertarungan pun semakin seru dan menegangkan!

“Yeaaat...!” Pada jurus kesembilan belas, Raja Pedang Pemutus Urat memperdengarkan pekikan melengking menusuk telinga. Bahkan disusul dengan kibasan pedang sinar emasnya yang bergulung-gulung menyilaukan mata. Dan secara tiba-tiba arena pertarungan tertutup sinar kuning keemasan yang terpancar dari pedang di tangan kakek itu.

Mengkelap hati Jaya Sukma menyaksikan kesaktian Raja Pedang Pemutus Urat yang jarang dipergunakan itu. Pemuda itu semakin kecut hatinya ketika merasakan urat-urat di seluruh tubuhnya melemah bagaikan lumpuh. Itulah ‘Ilmu Pedang Pemutus Urat’ tingkat tinggi yang menjadi andalan kakek sakti itu sehingga mendapat julukan Raja Pedang Pemutus Urat.

“Bangsat! Kakek keparat!” Jaya Sukma memaki-maki sambil terus mencoba melepaskan diri dari lingkaran sinar keemasan yang mengurungnya itu. Namun semakin berusaha untuk melepaskan diri, semakin kuat pula pengaruh yang merasuk ke dalam tubuhnya.

Pelahan-lahan Jaya Sukma mulai merasakan tenaganya makin berkurang. Darah di tubuhnya terasa semakin cepat mengalir. Satu persatu urat-urat di tubuhnya mulai mengembung dan menonjol ke luar. Rasanya tidak lama lagi pemuda itu akan tewas dan urat-urat di tubuhnya pasti putus!

Soma dan Ludira yang berjuluk Gorilla Batu itu tersentak kaget melihat kejadian yang sama sekali tidak diduga itu. Tanpa berpikir dua kali, kedua laki-laki bertubuh tinggi besar itu langsung melompat ke dalam arena pertarungan. Senjata-senjata di tangan mereka meluncur deras, mengancam keselamatan Raja Pedang Pemutus Urat yang tengah mendesak Jaya Sukma.

Trang! Tring!

“Uhhh...!” Raja Pedang Pemutus Urat membabatkan senjatanya dua kali berturut-turut untuk menangkis serangan dua orang bertubuh tinggi besar itu. Terdengar keluhan pendek keluar dari mulutnya. Tubuh kakek itu agak terhuyung akibat benturan yang sangat keras itu. Karena pada saat menangkis, pikirannya tengah terpusat kepada Jaya Sukma. Akibatnya, tenaga tangkisan yang dipergunakan pun banyak berkurang.

Demikian pula yang dialami Soma dan Ludira. Kedua orang itu terdorong akibat tangkisan Raja Pedang Pemutus Urat yang membuat lengan merek bergetar dan terasa nyeri. Akibatnya untuk beberapa saat keduanya terdiam sambil menyalurkan hawa murni untuk memunahkan rasa nyeri yang diderita. Lain halnya Jaya Sukma. Begitu merasa dirinya terlepas dari pengaruh lawan, cepat-cepat pemuda itu melompat mundur. Ditariknya napas dalam-dalam untuk menghilangkan pengaruh yang mengerikan itu Diam-diam hati pemuda itu bergidik ngeri membayangkan kesaktian lawannya yang sudah tua itu. Begitu tubuhnya terasa pulih, pemuda itu segera menyiapkan seluruh kesaktian yang dimiliki untuk menghadapi lawan yang juga sudah siap-siap melanjutkan pertarungan.

“Paman berdua, menyingkirlah. Biar kuhadapi sendiri kakek peot itu!” kata Jaya Sukma kepada kedua orang pembantunya sambil melirik ke arah Raja Pedang Pemutus Urat.

“Tuan Muda, jangan terlalu gegabah! Ilmu ‘Jari Maut’ yang Tuan Muda pelajari belum begitu sempurna. Sedangkan kepandaian Raja Pedang Pemutus Urat tinggi sekali, dan tidak bisa dibuat main-main. Bagaimana kami dapat berpangku tangan melihat keselamatan Tuan Muda terancam,” sergah Ludira.

“Benar, Tuan Muda!” timpal Soma. “Lagipula kita harus segera menyingkirkan kakek peot ini agar berita jatuhnya Kitab Jari Maut ke tangan Tuan Muda tidak cepat tersiar di dunia persilatan. Kalau berita ini sampai tersebar, jelas kita akan celaka. Paling tidak, banyak tokoh persilatan yang akan mencari Tuan Muda. Bukankah itu berbahaya sekali? Sedangkan ilmu ‘Jari Maut’ yang Tuan Muda pelajari belum lagi sempurna.”

Mendengar alasan yang cukup masuk akal itu, Jaya Sukma termangu beberapa saat. Diam-diam ia harus berterima kasih sekali kepada dua orang pembantunya yang demikian mengkhawatirkan keselamatannya itu.

“Baiklah! Kalau begitu, kalian berjaga-jaga saja kalau-kalau aku membutuhkan bantuan,” akhirnya Jaya Sukma mengalah juga. Sesudah berkata demikian Jaya Sukma segera melompat menerjang Raja Pedang Pemutus Urat yang sudah bersiap menyambut serangannya.

Kali ini kakek itu cukup terkejut melihat kecepatan dan kekuatan yang terkandung dalam serangan lawan. Karena telah mengetahui kehebatan ilmu ‘Jari Maut’, Raja Pedang Pemutus Urat tidak ingin lagi bersikap main-main. Sambil berteriak keras, pedangnya diputar-putar sepenuh tenaga. Angin keras menderu-deru mengiringi ayunan senjatanya.

Dan kini kedua orang itu kembali bertarung hebat. Jaya Sukma yang telah merasakan kehebatan lawan, mulai bertindak lebih hati-hati. Lontaran-lontaran serangannya tidak lagi membabi buta. Dan kini liukan-liukan tangannya lebih terarah dan berbahaya.

Cuiiit! Cuiiit!

Raja Pedang Pemutus Urat mengegoskan tubuhnya sehingga tusukan jari lawan yang menimbulkan angin panas itu lewat beberapa rambut di samping pinggangnya. Baju di bagian pinggang itu hancur bagai dimakan api. Sedangkan kulit pinggangnya hanya terasa pedih sekejap karena telah dilindunginya dengan penyaluran hawa murni. Secepat kilat kakek sakti itu menggerakkan pedangnya menebas siku lawan.

Singgg!

Tebasan Raja Pedang Pemutus Urat berhasil dihindari Jaya Sukma yang bertindak cepat menarik pulang tangannya. Pada saat yang bersamaan, jari-jari tangan kanan pemuda itu meluncur ke tenggorokan lawan. Cepat-cepat kakek sakti itu menggerakkan tangan kirinya menangkis serangan Jaya Sukma, dan sekaligus melepaskan tendangan kilat ke dada lawan.

Duk! Bug!

“Hughk...!” Tubuh Jaya Sukma terjungkal akibat tendangan Raja Pedang Pemutus Urat yang begitu telak menghantam dadanya. Pemuda itu berusaha bangkit sambil menekap dadanya yang terasa remuk! Cairan merah merembes dari celah-celah bibirnya. Memang hebat sekali daya tahan tubuh anak muda itu! Hanya dengan beberapa tarikan napas saja, tubuhnya telah kembali tegak seperti tidak pernah terjadi suatu apa-apa.

Sebaliknya, Raja Pedang Pemutus Urat sangat terkejut ketika melihat baju lengan kirinya telah hancur akibat menangkis serangan pemuda itu. “Hm.... Anak muda ini berbahaya sekali! Entah apa jadinya kalau ilmu ‘Jari Maut’ itu telah disempurnakannya? Pasti dunia persilatan akan gempar apabila pemuda ini tidak segera dilenyapkan!” kata hati Raja Pedang Pemutus Urat resah.

Dengan berpikiran demikian, kakek ini segera meluncur ke arah Jaya Sukma yang bersiap menanti serangannya. Kembali diputarnya pedang sinar emasnya dalam jurus ‘Pedang Pemutus Urat’. Sinar emas bergulung-gulung mengiringi serangannya.

Jaya Sukma rupanya sudah pula mempersiapkan Ilmu ‘Jari Maut’ tingkat terakhir yang baru saja diselesaikannya itu. Diiringi bentakan menggeledek, pemuda itu mendorongkan tangan kanannya dengan tiga buah jari diluruskan. Sebentuk sinar kemerahan meluncur keluar dari jari tangan Jaya Sukma, dan langsung menghantam sinar keemasan yang membungkus tubuh Raja Pedang Pemutus Urat.

Wusss! Bummm...!

“Arrrgh....!” Hebat sekali akibat benturan dua tenaga dahsyat itu! Bumi di sekitar pertarungan bagaikan dilanda gempa. Bunga-bunga api memercik ke segala arah. Beberapa pohon yang dekat dengan pertarungan berhamburan ke mana-mana. Benar-benar mengerikan akibat ledakan itu!

Jaya Sukma sendiri terbanting pingsan! Dari sela-sela bibirnya mengalir darah segar yang kental. Pemuda itu mengalami luka dalam yang cukup parah!

Demikian pula halnya Raja Pedang Pemutus Urat. Meskipun tidak terbanting sebagaimana halnya Jaya Sukma, namun dalam usianya yang telah lanjut itu, Raja Pedang Pemutus Urat tidak lagi sekuat dulu. Kakek sakti itu terbatuk-batuk hebat! Sudah tidak diperhatikan lagi, ke mana jatuhnya pedang pusaka sinar emas di tangannya. Raja Pedang Pemutus Urat berdiri limbung. Ia berusaha menahan rasa nyeri bagaikan ditusuki ribuan jarum pada bagian dadanya. Diaturnya napas pelahan-lahan mengusir nyeri yang menusuk itu.

Dan belum lagi dapat memulihkan kondisinya, tiba-tiba telinga Raja Pedang Pemutus Urat mendengar desiran angin tajam menuju lehernya. Segera saja direndahkan kepala sebisanya untuk menghindari bacokan golok besar Ludira. Untunglah serangan itu dapat dihindarinya. Tapi dari lain jurusan, rantai baja di tangan Soma sudah meluncur datang!

Wung...! Wung...!

Raja Pedang Pemutus Urat bergulingan menghindari serangan rantai baja yang terus mengejarnya itu. Sayang tubuh kakek itu dalam keadaan terluka. Kalau tidak, serangan itu akan dapat diatasi dengan baik.

"Bukkk!" Kakek Sakti itu terjengkang akibat hantaman rantai baja milik Soma pada punggungnya. Segumpal darah kental terlompat keluar dari bibirnya yang memucat. Belum lagi sempat berdiri tegak, datang serangan dari Ludira dengan bacokan yang mengarah bahu kanannya. Untunglah Raja Pedang Pemutus Urat masih sempat mengegoskan badannya sehingga golok besar itu hanya menyerempet bahu. Dengan pengerahan sisa-sisa tenaganya, kakek itu menghantamkan telapak tangannya ke arah pelipis Ludira.

Plak! “Aduuuhhh...!” Tak ayal lagi tubuh Ludira berputar bagai gasing akibat hantaman telapak tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi itu. Ternyata, meskipun dalam keadaan luka parah, kakek itu masih cukup berbahaya. Buktinya, Ludira sendiri pun sampai kecolongan! Namun kali ini Raja Pedang Pemutus Urat belum bisa menarik napas lega, karena tiba-tiba....

"Bukkk!" Kali ini kakek itu terjungkal akibat hantaman rantai baja yang menghantam dadanya. Ketika tengah berusaha bangkit kembali sebuah hantaman menghantam belakang tubuhnya. Raja Pedang Pemutus Urat kembali terguling. Darah semakin banyak menetes dari celah-celah bibirnya.

“Ha ha ha.... Raja Pedang Pemutus Urat! Terimalah kematianmu!” geram Soma disertai seringai buasnya.

“Manusia licik! Pengecut!” teriak Raja Pedang Pemutus Urat di sela-sela dengus napasnya yang memburu.

Sambil tertawa terbahak-bahak Soma menghantamkan rantai bajanya berkali-kali ke tubuh Raja Pedang Pemutus Urat yang sudah tidak berdaya itu. Darah seketika memercik membasahi bumi. Rumput tebal yang semula berwarna hijau itu kini berubah menjadi kemerahan. Setelah melihat tubuh kakek itu sudah tidak bergerak lagi, Soma menghentikan gerakannya. Diamatinya sejenak kalau-kalau lawannya masih hidup. Ketika tampaknya napas Raja Pedang Pemutus Urat sudah terhenti, bergegas dia meninggalkan tubuh tak berdaya itu.

Bersama Ludira yang sudah dapat menghilangkan rasa pening di kepala akibat tamparan kakek sakti tadi, mereka bergegas menghampiri tubuh Jaya Sukma yang sudah mulai bergerak-gerak. Beberapa saat kemudian, pemuda itu bangkit duduk sambil menekap dadanya yang terasa remuk! Dengan dibantu kedua orang bertubuh tinggi besar itu, Jaya Sukma meninggalkan tempat itu. Kini sang bayu bertiup keras seolah-olah mengusir ketiga orang manusia durjana yang telah menyebar maut di tempat itu. Alam pun kembali sunyi.

********************

EMPAT

Seorang pemuda tampan mengenakan jubah dan celana berwarna putih melangkah tenang menyusuri jalan setapak. Wajahnya yang bersih selalu menampakkan senyum cerah. Siapa lagi kalau bukan Panji atau lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih.

“Hm.... Menurut keterangan Eyang Tirtayasa, kalau tidak salah di daerah ini tinggal seorang tokoh sakti yang berjuluk Raja Pedang Pemutus Urat. Rasanya tidak ada salahnya kalau singgah sejenak untuk berkenalan dengan tokoh itu,” gumam Panji sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu.

Mendapat pikiran demikian, Panji pun berbalik menyusuri jalan berbatu yang dipenuhi semak belukar. Belum lagi jauh melangkah, pendengarannya yang tajam menangkap suara-suara mencurigakan. Panji menghentikan langkah sambil mempertajam indera pendengarannya. Namun sampai beberapa saat lamanya berdiam diri, tidak satu suara pun yang tertangkap pendengarannya.

“Ahhh, mungkin hanya suara angin saja yang kudengar tadi,” desah Pendekar Naga Putih. Lalu kembali dilangkahkan kakinya memasuki wilayah hutan kecil itu semakin dalam.

“Ooohhh..., uuuhhh....” Kembali terdengar rintihan halus yang lirih. Sehingga Panji menjadi tersentak dan berbalik penuh kesiagaan.

“Tidak salah lagi! Itu pasti rintihan orang terluka,” bisik Pendekar Naga Putih pelan. Dengan penuh kewaspadaan pemuda itu mulai mencari sumber suara itu.

Selang beberapa waktu kemudian, langkah Panji mulai memasuki daerah berbatu cadas menuju sebuah bukit kecil. Pemuda itu mengerutkan keningnya ketika melewati bekas-bekas pertempuran yang masih baru.

“Eh! Siapakah yang melakukan pertarungan di tempat ini? Kalau tidak salah, pastilah pertarungan ini demikian hebat! Tentulah mereka bukan tokoh sembarangan,” gumam Panji sambil menggeleng-gelengkan kepalanya penuh kekaguman.

“Uuuhhh....”

Secepat kilat tubuh Panji berkelebat ke arah semak-semak yang hanya beberapa-tombak terpisah di samping kirinya. Alangkah terperanjatnya hati pemuda itu ketika menemukan sesosok tubuh berlumuran darah yang tengah menanti ajal.

“Siapakah, Kakek? Apa yang terjadi di tempat ini?! Siapa yang melukai Kakek?” Panji memberondong dengan pertanyaan sambil berjongkok dan meletakkan kepala kakek itu ke atas pangkuannya.

Sekejap kakek yang tak lain adalah Raja Pedang Pemutus Urat itu membuka matanya yang telah redup tak bercahaya. Bibirnya bergerak-gerak seolah ingin berbicara. Namun yang terdengar hanya suara mengorok, disusul mengalirnya darah kehitaman dari sela-sela bibir yang pucat. Rupanya darah telah menyumbat kerongkongannya akibat luka dalam yang diderita itu.

Kedua tangan Panji bergerak cepat menotok beberapa jalan darah di sekitar leher kakek itu. Pelahan-lahan mata yang telah menutup kembali bergerak-gerak dan terbuka. Ketika melihat mulut kakek itu bergetar, bergegas Panji mendekatkan telinganya agar dapat mendengar lebih jelas.

“Ki... tab... Jari... Ma.... uuuttthhh... dddi... cuhhh... riii...,” setelah berkata dengan susah payah dan terputus-putus, kepala kakek itu terkulai di atas pangkuan Pendekar Naga Putih. Raja Pedang Pemutus Urat tewas dalam keadaan menyedihkan.

“Kek! Kakek...,” Panji mengguncang-guncang keras tubuh kakek itu. Perbuatannya baru dihentikan ketika menyadari kalau kakek itu telah tewas. Panji memandangi wajah kakek itu dalam-dalam. Ingatannya langsung tertuju pada ciri-ciri seseorang yang diceritakan Eyang Tirtayasa, atau si Malaikat Petir.

“Apakah kakek tua ini yang berjuluk Raja Pedang Pemutus Urat? Kalau memang benar dia, siapa pula yang telah membunuhnya? Bukan main hebatnya kepandaian orang itu. Hm.... Kitab Jari Maut.... Siapa pula pencurinya...? Tapi, biarlah aku akan mewakili kakek Raja Pedang Pemutus Urat ini untuk mencari dan menemukan kitab itu,” janji Panji dalam hati.

Setelah menguburkan mayat Raja Pedang Pemutus Urat sebagaimana layaknya, Panji bergegas meninggalkan tempat itu untuk mencari Kitab Jari Maut. Sebenarnya pemuda itu merasa bingung karena sama sekali tidak mempunyai petunjuk sedikit pun tentang pencuri itu. Maka mau tidak mau kepala pemuda tampan itu menjadi pusing tujuh keliling memikirkan hal itu.

“Aaahhh.... Bagaimana nanti sajalah,” ujar Panji sambil menepiskan pikiran yang memusingkan kepalanya itu.

********************

Siang ini udara cukup panas. Bukit Kendeng yang biasanya tersiram hujan, kini bagai terbakar. Namun demikian, suasana di Perguruan Kera Putih tidak terpengaruh oleh sengatan panas. Hanya ketenangan itu dipecahkan oleh tingkah seseorang.

Brakkk!

Tiba-tiba pintu gerbang Perguruan Kera Putih yang terbuat dari kayu tebal, hancur berantakan akibat tusukan jari-jari bertenaga kuat. Tampak seorang pemuda tampan bertubuh tinggi tegap melangkah memasuki halaman yang cukup luas. Pakaiannya yang terbuat dari sutra halus berwarna kuning gading itu melekat ketat di tubuhnya, sehingga kelihatan semakin gagah dan menarik. Sayang wajah tampan penuh brewok itu selalu terhias senyum mengejek yang membuat orang merasa kurang suka memandangnya.

Puluhan orang murid yang sedang berlatih ilmu silat, begitu kaget mendengar pintu gerbang pecah berantakan. Ketika melihat sosok pemuda itu, mereka serentak mengurungnya. Wajah mereka merah padam karena kemarahan telah memenuhi dada. Maka suasana yang panas itu, makin bertambah panas oleh kehadiran pemuda berbaju kuning gading itu. Namun, puluhan orang murid Perguruan Kera Putih itu tersentak mundur ketika melihat dua orang bertubuh tinggi besar berdiri angker di belakang pemuda itu.

“Siapa kalian, dan apa maksudnya datang-datang membuat onar di tempat kami?” tanya salah seorang murid Perguruan Kera Putih memberanikan diri.

“Hm. Cepat suruh keluar Pendekar Kera Putih! Katakan, si Jari Maut Pencabut Nyawa ingin mengadu kepandaian!” seru pemuda tampan yang tak lain adalah Jaya Sukma, penuh kesombongan.

Mendengar kata-kata yang bernada meremehkan itu, salah seorang murid kepala Perguruan Kera Putih melangkah ke depan. Meskipun rasa marah telah memenuhi rongga dadanya, namun berusaha untuk tetap tenang. “Anak Muda! Siapa pun kau adanya, jangan bertindak semaumu di perguruan ini. Lebih baik tinggalkan tempat ini sebelum aku melempar tubuhmu ke luar,” ancam salah seorang murid Perguruan Kera Putih.

Jaya Sukma menatap orang itu lekat-lekat. Sinar matanya mencorong tajam menimbulkan perbawa yang menyeramkan. Sehingga, tanpa sadar lawan bicaranya melangkah mundur dengan bulu kuduk meremang. “O, jadi begitu? Lalu, mengapa tidak cepat-cepat dibuktikan kata-katamu itu,” dingin sekali suara yang keluar dari bibir Jaya Sukma. Namun di balik kata-katanya, terkandung ancaman mengerikan.

Walaupun kegentaran dan kengerian telah mencengkeram hati murid Perguruan Kera Putih itu, tapi rasa tanggung jawab yang besar terhadap perguruan membuatnya membuang segala pikiran itu. “Kau terlalu sombong, Anak Muda. Jangan salahkan kalau aku berbuat kasar kepadamu!” nyata sekali kalau murid kepala Perguruan Kera Putih itu masih merasa gentar. Sehingga sengaja dilontarkan kata-katanya dengan suara keras untuk menyembunyikan kegugupannya. Namun, begitu ucapannya selesai, dia segera melompat ke depan. Kedua tangannya seketika dikembangkan, siap mencengkeram bahu Jaya Sukma.

“Hm...!” Pemuda itu memperdengarkan suara mendengus mengejek. Gerakannya terlihat sembarangan ketika kakinya bergeser. Anehnya serangan lawan luput dan mengenai tempat kosong. Tentu saja hal itu membuat lawannya semakin berang. Beberapa buah serangan kembali dilancarkannya secara berturut-turut, tapi tubuh pemuda itu tetap saja tidak dapat dijamahnya.

“Hm..., hanya sampai di situ sajakah kepandaian yang kau miliki?” ejek Jaya Sukma ketika melihat lawannya menghentikan serangan. Napas orang itu semakin memburu karena bercampur rasa marah dan penasaran. Hatinya merasa terhina sekali karena hal itu disaksikan puluhan pasang mata murid-murid lainnya.

“Bangsat! Rupanya kau sengaja hendak membuat keonaran di sini!” Setelah berkata demikian, orang itu kembali menerjang Jaya Sukma. Serangannya kali ini lebih cepat dan berbahaya.

“Cukup!” bentak Jaya Sukma, suaranya terdengar bagaikan ledakan halilintar di siang bolong.

Murid kepala Perguruan Kera Putih itu tersentak mundur seolah-olah terdorong kekuatan yang tak tampak. Wajahnya pucat bagai mayat! Dadanya bergelombang cepat karena debaran jantungnya bagai hendak copot. Dan sebelum menyadari keadaannya, tahu-tahu saja jari-jari tangan sekeras baja mencengkeram lehernya. Tubuh murid kepala Perguruan Kera Putih itu terlempar bagai disentakkan tenaga raksasa.

“Aaahhh...!” Murid kepala Perguruan Kera Putih itu berteriak ngeri. Setelah berkelojotan sesaat, dia diam tak bergerak lagi.

Tewas dengan tulang leher hancur! Puluhan orang murid lainnya pelahan-lahan mulai mundur dengan wajah pucat! Kejadian itu demikian singkat, sehingga untuk beberapa saat lamanya mereka hanya terpaku tak bergerak. Wajah-wajah mereka terbayang kengerian hebat!

“Hm.... Siapa yang membuat keonaran di tempatku,” tiba-tiba terdengar suara berat dan berwibawa. Dari kejauhan terlihat seorang laki-laki gagah bertubuh kekar melangkah cepat mendatangi. Sementara di belakangnya terlihat dua orang murid perguruan mengikutinya. Rupanya, dua orang murid itu telah mengadukan kejadian tersebut kepada gurunya.

Laki-laki gagah bertubuh kekar dan berusia sekitar empat puluhan tahun itu mengerutkan keningnya ketika melihat muridnya tergeletak tewas dengan tulang leher hancur. Ditariknya napas berulang-ulang untuk menenteramkan hatinya yang terguncang. Sinar kesedihan dan kegeraman sekilas terpancar di wajahnya. Pelahan-lahan dilangkahkan kakinya mendekati mayat muridnya tanpa menoleh kepada Jaya Sukma. Setelah mengamati mayat itu sejenak, laki-laki gagah itu mengalihkan pandangannya kepada Jaya Sukma.

“Apa kesalahan yang diperbuat muridku? Sehingga demikian mudahnya kau menurunkan tangan kejam padanya, Anak Muda?” tanya laki-laki gagah itu halus. Dalam pertanyaan itu terkandung rasa penasaran dan tuntutan yang dalam.

“Orang Tua, kaukah yang berjuluk Pendekar Kera Putih?” Jaya Sukma sama sekali tidak mempedulikan pertanyaan laki-laki gagah itu, dan malah balik bertanya dengan angkuhnya.

Merah seluruh wajah laki-laki gagah itu karena tidak dipandang sebelah mata pun oleh pemuda itu. Susah payah hatinya berusaha ditenangkan agar kemarahannya tidak terpancing. “Kalau kulihat dari cara bicara dan pakaianmu, kau pasti orang terpelajar, Anak Muda. Tapi hatiku menjadi ragu melihat lagakmu yang seperti perampok kelas rendah!”

Mendengar sindiran itu, dua orang tinggi besar yang menjadi pengawal Jaya Sukma bergegas melangkah maju. Kata-kata itu jelas menghina majikannya! Namun, mereka mengurungkan niatnya ketika Jaya Sukma mengembangkan tangannya menahan langkah mereka. Maka Soma dan Ludira bergerak mundur dengan wajah gusar.

“Tidak perlu banyak bicara! Jawab pertanyaanku, Orang Tua! Kaukah yang berjuluk Pendekar Kera Putih?!” tanya Jaya Sukma, suaranya terdengar semakin meninggi.

“Benar, Anak Muda. Akulah yang berjuluk Pendekar Kera Putih. Apa keperluanmu mencariku?” balas laki-laki gagah itu tegas.

“Hm..., kedatanganku ke sini karena tertarik oleh julukanmu! Dan aku ingin membuktikan, apakah julukan itu benar-benar patut kau sandang, atau hanya julukan kosong belaka? Nah! Bersiap-siaplah, Pendekar Kera Putih! Jari Maut Pencabut Nyawa akan menguji kepandaianmu!” tegas Jaya Sukma sambil mengayunkan langkahnya ke tengah-tengah halaman perguruan. Sebuah tantangan terbuka yang tidak bisa ditolak Pendekar Kera Putih.

Diikuti puluhan pandang mata muridnya, Pendekar Kera Putih melangkah tegap ke tempat Jaya Sukma menanti. Biarpun hatinya berat, tapi sebagai ahli silat dia juga ingin tahu sampai di mana kepandaian pemuda sombong itu. Bukan mustahil kalau pemuda itu hanya besar mulut saja, dan hanya mengandalkan dua orang laki-laki tinggi besar yang menjadi pengawalnya itu. Kedua tokoh persilatan itu berdiri berhadapan dalam jarak lima tombak. Mereka saling berpandangan seolah-olah ingin menilai kekuatan lawan masing-masing.

“Bersiaplah, Pendekar Kera Putih...,” ancam Jaya Sukma memperingatkan lawannya. Sambil berkata demikian, pemuda itu menggerakkan tangannya secara bersilang dalam posisi kuda-kuda rendah.

“Mulailah, Anak Muda. Sebagai tuan rumah, aku akan berusaha melayanimu sebaik-baiknya,” jawab Pendekar Kera Putih tenang. Sikap yang ditunjukkan pendekar itu seolah-olah ingin menunjukkan kepada lawannya kalau ia adalah seorang tokoh dari tingkat yang lebih tua. Dan tentu saja hal itu membuat Jaya Sukma jengkel.

“Hiaaat...!”

Bagai anak panah lepas dari busur, tubuh Jaya Sukma melesat ke arah lawannya. Kedua tangannya melancarkan pukulan-pukulan dan tamparan, disertai angin pukulan yang menderu. Ia sengaja tidak langsung mengeluarkan ilmu ‘Jari Maut’, untuk menjajagi sampai di mana tingkat kepandaian lawan. Pendekar Kera Putih menganggukkan kepalanya penuh kekaguman melihat gerakan pemuda itu yang cepat dan bertenaga. Begitu pukulan itu tiba, segera digeser tubuhnya sambil melepaskan tangkisan memapak pukulan yang mengancam dadanya. Sengaja pukulan itu disambut untuk mengukur tenaga lawannya.

Dukkk!

Masing-masing kedua orang itu melompat mundur sambil memegang lengannya yang bergetar akibat benturan tadi. Pada pertemuan tenaga itu, sama-sama diketahui kalau tenaga mereka berimbang. Rupangga atau yang lebih dikenal sebagai Pendekar Kera Putih itu cukup terkejut ketika mengetahui kalau tenaga dalam pemuda itu sangat tinggi. Diam-diam pendekar itu berjanji dalam hati untuk lebih berhati-hati dalam menghadapi lawan yang masih muda namun memiliki kepandaian tinggi itu.

Saat itu Jaya Sukma kembali melancarkan serangannya yang lebih cepat dan kuat. Dalam waktu yang bersamaan, pemuda itu telah melancarkan tiga buah serangan berturut-turut. Satu ke arah kepala, sedang lainnya mengancam dada dan perut. Sebuah serangan yang cukup berbahaya. Kali ini Rupangga harus bertindak secara lebih cermat. Serangan ke arah kepala dielakkan dengan memutar kepalanya setengah lingkaran. Dibarengi putaran tubuh ke samping, maka ketiga serangan itu berhasil dihindarinya.

Rupanya gerakan laki-laki gagah itu tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Bagaikan seekor kera yang lincah, tubuh pendekar itu melenting ke atas, mengincar ubun-ubun lawan menggunakan jari-jari tangan terbuka.

"Wuttt!" Hantaman telapak tangan itu berhasil dihindari Jaya Sukma yang langsung membalas dengan dorongan telapak tangan larinya.

Buk! Plak!

Pada saat yang berbahaya itu Pendekar Kera Putih memiringkan tubuhnya, lalu melepaskan sebuah tendangan kilat ke lambung lawan. Untunglah dorongan telapak tangan lawan hanya menyerempet dadanya. Namun itu pun telah cukup membuatnya terhuyung beberapa langkah ke belakang, meski tidak menderita luka.

Sebaliknya tubuh Jaya Sukma terdorong keras akibat tendangan lawan yang telak mengenai lambungnya. Pemuda itu mengusap lambungnya sambil menyeringai menahan rasa nyeri. Sekejap kemudian wajahnya berubah garang. Sinar matanya mencorong tajam menggetarkan jantung, penuh hawa kematian. Rupangga tersentak mundur ketika sepasang mata mencorong itu menatap wajahnya lekat-lekat. Tangan kanannya bergerak mengusap bulu kuduknya yang meremang.

“Gila! Sinar mata anak muda ini benar-benar mengandung perbawa yang mengerikan...!” desis Pendekar Kera Putih lirih.

Sementara Jaya Sukma sudah mulai mempersiapkan ilmu andalannya yang mengerikan. Ilmu ‘Jari Maut’. Serangkum angin panas bertiup dari kedua tangannya yang bergetar karena dipenuhi tenaga dahsyat. Diiringi lengkingan tinggi, tubuh pemuda itu melesat menerjang lawannya.

Sadar kalau serangan yang dilancarkan pemuda itu mengandung hawa maut, Pendekar Kera Putih berloncatan menghindar sambil sesekali melepaskan serangan balasan. Meskipun tusukan-tusukan jari Jaya Sukma belum berhasil menyentuh tubuhnya, namun pakaian yang dikenakan pendekar itu sudah hancur di beberapa bagian akibat hawa panas yang keluar dari tangan pemuda itu.

Cuiiit! Crebbb!

“Auhhh...!” Rupangga menjerit kesakitan ketika jari tangan lawan menancap di paha kirinya. Pendekar itu melompat ke belakang dengan langkah terpincang-pincang. Celana di bagian pahanya hancur. Samar-samar tercium bau daging terbakar. Darah kental berwarna kehitaman seketika menetes deras membasahi celananya. Beberapa saat kemudian, kelumpuhan mulai menjalari kaki kirinya.

“Guru...!”

Beberapa orang murid Perguruan Kera Putih berlari memapah tubuh Pendekar Kera Putih yang hanya berdiri mengandalkan kaki kanannya itu. Meskipun dalam keadaan terluka, Rupangga tidak ingin murid-muridnya terancam bahaya. Segera diusirnya murid-murid yang mencoba memapahnya.

“Menyingkirlah kalian! Cepaaat...!” teriak laki-laki gagah itu khawatir.

“Guru...!” kelima orang murid itu berteriak dengan suara agak serak Hati mereka bagai tersayat melihat keadaan gurunya yang menyedihkan itu. Memang, hati siapa yang tidak trenyuh melihat keadaan Pendekar Kera Putih yang dengan pakaian compang-camping dan langkah terpincang-pincang, namun masih memikirkan keselamatan murid-muridnya.

Saat itu Jaya Sukma sudah bersiap melontarkan pukulan maut untuk menghabisi lawannya. Urat-urat lengannya menegang keras karena tenaga dalam yang mengalir di kedua lengannya. Seberkas sinar kemerahan yang berhawa panas menyelimuti telapak tangannya.

“Hiaaahhh...!” Dibarengi teriakan mengguntur, pemuda itu melontarkan pukulannya dengan dua jari ditekuk.

Wusss! Blarrr!

“Aaa...!” Pendekar Kera Putih berteriak menyayat ketika seberkas sinar kemerahan yang amat panas menghantam dadanya. Tubuh pendekar itu terhempas bagai sehelai daun kering yang tertiup angin. Luncuran tubuhnya baru terhenti ketika menghantam sebuah pohon besar yang langsung berderak patah akibat kerasnya luncuran itu. Darah kental berwarna kehitaman mengalir deras dari sela-sela bibirnya. Pendekar Kera Putih langsung tewas! Seluruh kulit dan isi dadanya telah hangus akibat pukulan ilmu ‘Jari Maut’ yang dahsyat dan mengerikan itu.

“Guru...!”

Belasan orang murid Perguruan Kera Putih berlarian ke arah mayat guru mereka. Beberapa orang segera berjongkok dan mengangkat mayat gurunya itu. Sedangkan belasan lainnya segera menerjang Jaya Sukma dengan serangan membabi buta.

“Ha ha ha.... Rupanya kalian sudah tidak sabar ingin menyusul guru kalian. Ayo, majulah...!” seru Jaya Sukma diiringi tawa iblisnya yang bergema menggetarkan jantung. Sambil berkata demikian, pemuda itu segera membagi-bagikan pukulannya secara kejam.

Sinar merah berkelebatan dari jari-jari tangan pemuda itu menghantam siapa saja yang mendekati. Dalam waktu singkat saja, belasan orang murid Pendekar Kera Putih bergelimpangan tewas. Jaya Sukma benar-benar bagai iblis yang menebarkan hawa maut! Setelah sebagian murid Perguruan Kera Putih tidak ada yang menyerangnya, pemuda itu juga segera menghentikan serangannya.

Kini pemuda itu pun melangkah tenang meninggalkan Perguruan Kera Putih tanpa merasa berdosa sedikit pun. Sedangkan dua orang laki-laki tinggi besar yang selalu mengawalnya, bergegas mengikuti langkah tuan mudanya tanpa banyak bicara.

********************

LIMA

Tujuh orang laki-laki gagah itu melangkah tergesa-gesa. Mereka adalah tokoh Perguruan Delapan Naga yang mendapat tugas dari ketua mereka untuk menyelidiki tokoh sesat yang berjuluk Jari Maut Pencabut Nyawa. Memang, sejak kematian Pendekar Kera Putih di tangan tokoh sesat itu, julukan Jari Maut Pencabut Nyawa telah menggegerkan rimba persilatan. Dalam waktu singkat saja, julukan itu telah menjadi buah bibir, baik dari golongan putih maupun hitam. Apalagi dikabarkan kalau pemuda itu telah mencuri Kitab Jari Maut.

Dua orang yang berjalan di depan adalah tokoh utama perguruan itu. Sedangkan lima orang lainnya adalah murid-murid kepala yang kepandaiannya dapat diandalkan untuk tugas yang berbahaya itu. Orang yang bertubuh jangkung dan kekar itu, dikenal berjuluk Pendekar Tombak Sakti. Wajahnya terlihat keras. Sebaris kumis tipis menghias wajahnya sehingga nampak gagah dan menarik. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tombak terbuat dari baja putih sepanjang satu setengah depa. Setengah jengkal dari mata tombak terdapat sebuah kaitan tajam yang melengkung ke dalam.

Sedang tokoh yang lainnya berjuluk Pendekar Kapak Maut. Tubuhnya agak lebih pendek sedikit. Wajahnya lonjong, dihiasi bulu-bulu halus di kedua pipinya. Sikapnya pendiam dan tak banyak bicara. Kedua orang inilah yang merupakan tokoh-tokoh tingkat satu. Kepandaian mereka tidak kalah dengan ketua mereka sendiri. Bahkan boleh dibilang setingkat.

“Seperti apakah orang yang berjuluk Jari Maut Pencabut Nyawa itu? Ingin sekali aku menjajal kepandaiannya,” ujar Pendekar Tombak Sakti geram.

“Menurut kabar yang kudengar, orang itu masih sangat muda, Kakang. Lagipula penampilannya seperti seorang bangsawan,” sahut salah satu dari lima orang murid kepala yang berjalan di belakangnya.

“Tapi kepandaiannya sangat hebat dan mengerikan,” sahut yang lainnya menimpali.

“Ya! Bahkan Pendekar Kera Putih yang tersohor itu pun sampai tewas di tangannya. Entah sampai di mana tingginya kepandaian orang yang julukannya demikian menyeramkan itu?” ujar yang lainnya lirih.

“Biarpun kepandaiannya seperti iblis sekalipun, aku tidak takut!” tegas Pendekar Kapak Maut dingin. Rupanya ia tidak suka mendengar pembicaraan yang memuji Jari Maut Pencabut Nyawa itu.

Mendengar kata-kata yang bernada dingin itu, pembicaraan pun terhenti seketika. Kelima orang murid kepala itu saling pandang tak mengerti. Sedangkan Pendekar Tombak Sakti hanya mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti perasaan hati saudara seperguruannya itu. Selang beberapa waktu kemudian, tujuh tokoh Perguruan Delapan Naga itu mulai memasuki perbatasan Desa Talang Sari. Sebuah desa yang tak begitu ramai, tapi cukup makmur.

“Bagaimana kalau kita singgah sejenak untuk mengisi perut? Rasanya cacing-cacing di perutku ini sudah menagih minta diisi,” usul Pendekar Tombak Sakti sambil tersenyum.

Dan tanpa banyak bicara lagi, semuanya menganggukkan kepalanya. Bergegas mereka memasuki desa yang terlihat tertata apik. Setiap rumah, selalu dihiasi taman indah pada halamannya. Dan pada sebuah pengkolan tampak sebuah kedai makan yang tidak begitu ramai. Bergegas mereka memasukinya. Mereka segera memilih sebuah meja yang terletak agak ke sudut dan menghadap ke arah jendela, sehingga dapat memandang kesibukan di luar kedai. Memang kedai makan itu terletak dekat sebuah pasar yang saat itu masih didatangi pengunjung.

Seorang laki-laki tua segera menghampiri mereka untuk menanyakan apa yang dipesan. Setelah Pendekar Tombak Sakti menyebutkan beberapa jenis makanan, laki-laki tua itu pergi ke belakang. Dan tak lama kemudian, dia kembali lagi sambil membawa makanan yang dipesan. Tengah mereka bersantap dengan lahap, tiba-tiba menerobos masuk tiga orang laki-laki. Dilihat dari pakaian yang dikenakan, sepertinya mereka berasal dari kaum persilatan. Lagaknya terlihat sombong sekali, seolah-olah merekalah yang berkuasa di desa itu.

Kelima orang murid kepala Perguruan Delapan Naga itu menoleh sejenak ke arah tiga orang yang baru masuk itu. Sekilas tertangkap sinar berkilat dari mata mereka. Namun kelima orang murid kepala itu segera meneruskan makannya ketika Pendekar Tombak Sakti memberi isyarat agar tidak mencari keributan di tempat itu.

“Hm..., Pak Tua! Rupanya hari ini kedaimu cukup ramai juga,” kata salah seorang dari ketiga laki-laki itu. Suaranya terdengar lantang dan dibuat galak agar terdengar menakutkan. “Apakah uang untuk kami sudah disediakan?”

Laki-laki tua yang tadi melayani murid-murid Perguruan Delapan Naga dan kelihatannya adalah pemilik kedai, tergopoh-gopoh menyambut tiga orang itu. Wajahnya terlihat cemas karena takut kalau-kalau mereka akan membuat keributan di kedainya.

“Sudah, Tuan. ini...,” sahut lelaki pemilik kedai seraya menyerahkan tiga keping uang yang digenggamnya.

“Hm..., mengapa hanya sebesar ini? Jangan terlalu pelit, Pak Tua. Hari ini kedaimu kulihat cukup ramai. Lekas tambah tiga keping lagi!” pinta laki-laki brewok yang mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam, sambil mengusap gagang golok panjang yang tersembul di pinggangnya.

“Aduh. Kasihanilah kami, Tuan Maespati. Hanya itulah yang baru kami dapat,” jawab pemilik kedai, gemetar. Seorang pemuda tampan berjubah putih yang duduk disudut sebelah kiri menolehkan kepalanya sejenak, kemudian kembali menikmati hidangannya dengan tenang.

“Baiklah kalau memang itu keinginanmu. Sekarang, cepatlah kau minta kepada tamu-tamumu untuk segera membayar harga makanan yang mereka pesan. Cepat...!”

“Tapi mereka belum selesai, Tuan...!” ratap pemilik kedai itu lirih.

“Ahhh, banyak bacot!” bentak si brewok yang bernama Maespati itu sambil mengayunkan kakinya menghantam pinggul pemilik kedai.

Bukkk!

“Aduuuh...!” Laki-laki setengah baya pemilik kedai itu terguling dan menjerit kesakitan. Sambil mengusap-usap pinggulnya, kakinya melangkah terpincang-pincang. Dia terpaksa menuruti perintah Maespati. Beberapa orang tamu segera membayar harga makanannya dan langsung keluar melalui pintu belakang.

“Katakan pada orang itu agar ia sendiri yang mengambil uang ini!” kata salah seorang murid kepala Perguruan Delapan Naga. Sambil berkata demikian, ditekannya tiga keping uang logam di tangannya ke atas permukaan meja, hingga melesak sedalam dua rambut.

Menyaksikan kejadian yang tak disangka-sangka itu, maka pemilik kedai itu terbelalak kaget. Dengan wajah pucat, bergegas dihampiri laki-laki brewok yang menyuruhnya tadi. Diceritakanlah kejadian itu padanya.

“Hm...!” Sambil mendengus kasar, Maespati melangkah lebar menghampiri meja tujuh tokoh Perguruan Delapan Naga. “Ayo, berikan uang harga makanan itu kepadaku!” bentak Maespati kasar.

“Ambillah sendiri,” jawab salah satu murid kepala Perguruan Delapan Naga yang membenamkan uang itu ke permukaan meja. Setelah berkata demikian, ia pun segera bangkit mengikuti yang lainnya keluar dari kedai makan itu.

Tinggallah Maespati berusaha setengah mati mencabut tiga keping uang logam yang melesak di atas permukaan meja. Setelah agak lama mencongkel dengan ujung golok panjangnya, barulah uang-uang itu berhasil dikeluarkannya.

“Bangsat! Rupanya mereka sengaja mempermainkan aku. Kejar mereka!” perintah Maespati kepada dua orang kawannya.

Tanpa diperintah dua kali, mereka segera berlari mengejar tujuh orang murid Perguruan Delapan Naga. Di belakangnya, Maespati ikut pula mengejar. “Hei, tunggu! Berhenti kalian!” seru Maespati ketika melihat tujuh orang itu beberapa langkah di depannya.

“Hm, mau apa lagi perampok kecil itu?” tanya salah seorang murid kepala yang bercambang bawuk lebat. Sementara, seluruh murid Perguruan Delapan Naga itu berhenti seketika, namun tetap bersikap tenang.

“Ada apa, Kisanak?” tanya salah seorang ketika Maespati sudah tiba di dekatnya.

“Huh! Kalian baru boleh pergi setelah menyerahkan pundi-pundi uang kalian itu kepadaku,” bentak Maespati dengan napas memburu.

“Bagaimana kalau kami tidak menuruti kemauanmu?” kali ini yang bertanya adalah murid kepala yang bertubuh pendek gempal.

“Akan kupaksa dengan kekerasan!” teriak Maespati geram.

“Nah, kalau begitu lakukanlah!” tantang orang bertubuh pendek gempal itu.

“Bangsat! Rupanya kalian sengaja mencari kematian! Mampuslah!” sambil membentak keras, Maespati mengayunkan golok panjangnya ke leher si pendek gempal. Hanya dengan memiringkan tubuhnya ke belakang, mata pedang lewat di depan wajah murid utama Perguruan Delapan Naga itu.

Wajah Maespati semakin merah melihat serangannya dapat dielakkan secara mudah. Sambil menggereng keras, kembali diayunkan goloknya ke pinggang lawan. Cepat-cepat si pendek gempal menggeser kaki kirinya ke samping, disusul dengan sebuah tendangan kilat ke dada Maespati.

Bukkk!

“Hughk...!” Tak ayal lagi tubuh Maespati terjengkang ke belakang. Laki-laki brewok itu terduduk lemas sambil menekap dadanya yang terasa remuk. Darah mengalir pelahan dari celah-celah bibirnya. Kelihatannya ia tak mampu bangkit berdiri lagi.

Melihat keadaan Maespati yang kelihatan bisa dicundangi, maka dua orang kawannya serentak menerjang dengan bacokan mengancam tubuh si pendek gempal. Laki-laki pendek murid kepala Perguruan Delapan Naga itu merendahkan tubuhnya disertai kembangan kedua tangannya untuk menangkis serangan itu. Kemudian, kedua tangannya langsung berputar mendorong dua orang lawannya sambil mengerahkan separuh tenaga dalamnya. Kedua orang kawan Maespati kontan terguling-guling akibat hantaman telapak tangan yang mengandung tenaga tinggi itu. Mereka merintih kesakitan tanpa mampu bangkit lagi.

“Hm.... Sebelum aku berubah pikiran, sebaiknya kalian cepat-cepat minggat dari hadapanku!” ancam si pendek gempal itu geram.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Maespati dan dua orang kawannya segera bergegas meninggalkan tempat itu. “Tunggulah pembalasan pemimpin besar kami. Asal tahu saja, pemimpin kami si Jari Maut Pencabut Nyawa pasti tidak akan diam saja menerima penghinaan ini!” teriak Maespati sambil melangkah tertatih-tatih.

Mendengar julukan itu disebut, Pendekar Kapak Maut segera menggenjot tubuhnya, langsung melayang mengejar ketiga orang itu. Dalam sekejap saja pendekar itu telah dapat mengejar Maespati dan kawan-kawannya. Mereka langsung terkejut setengah mati.

“Di mana orang yang berjuluk Jari Maut Pencabut Nyawa itu berada?! Jawab!” bentak Pendekar Kapak Maut sambil mencengkeram leher baju Maespati yang menjadi ketakutan.

“Aku..., aku tidak tahu...,” jawab Maespati dengan wajah pucat.

“Dusta! Kau tadi menyebut kalau si Jari Maut Pencabut Nyawa itu adalah pemimpin besarmu. Mustahil kalau tidak mengetahui di mana orang itu berada.”

“Aku betul-betul tidak tahu. Aku..., aku hanya mendengar namanya saja.”

“Keparat!” maki Pendekar Kapak Maut berang.

Plak!

“Aduhhh...!” Tubuh Maespati terbanting keras akibat tamparan Pendekar Kapak Maut yang menjadi jengkel karenanya. Darah mengucur deras karena bibirnya telah pecah akibat tamparan keras itu.

“Sudahlah, Adi Barga. Rupanya ia hanya menakut-nakuti saja. Mari kita pergi,” ajak Pendekar Tombak Sakti sambil menepuk-nepuk bahu Pendekar Kapak Maut yang ternyata bernama Barga itu.

“Huh!” Pendekar Kapak Maut berbalik sambil mendengus kasar, kemudian melangkah pergi bersama keenam orang kawannya meninggalkan tempat itu.

Tidak lama setelah kepergian tujuh orang tokoh Perguruan Delapan Naga, seorang pemuda tampan yang mengenakan jubah putih melangkah keluar dari dalam kedai. Jika melihat ciri-cirinya, jelas kalau pemuda tampan itu adalah Pendekar Naga Putih.

“Pelahan dulu, Kisanak!” seru Panji menghentikan langkah Maespati yang dipapah dua orang rekannya.

“Apa maksudmu menyuruh kami berhenti!?” bentak Maespati marah. Rupanya kemarahannya ingin ditumpahkan kepada pemuda yang menghadang perjalanannya itu.

“Sabarlah, Kisanak. Aku hanya ingin bertanya sedikit,” ujar Panji tersenyum sabar. Sambil berkata demikian, digerakkan tangannya ke depan seolah-olah hendak menyabarkan hati si brewok itu.

Maespati yang semula hendak menghajar pemuda itu tersentak kaget ketika merasakan serangkum hawa dingin menahan tubuhnya. Tubuh Maespati menggigil hebat. Sadar kalau pemuda di hadapannya ini bukan orang sembarangan, laki-laki brewok yang biasanya ditakuti orang itu mengeluh putus asa.

“Apa.... Apa maumu, Anak Muda?” tanya Maespati tak bersemangat.

“Benarkah kau tidak mengetahui, di mana orang yang berjuluk Jari Maut Pencabut Nyawa itu? Jawablah sejujurnya,” ujar Panji tanpa meninggalkan senyumnya.

“Aku.... Aku benar-benar tidak tahu, Anak Muda! Aku hanya mendengar dari kawan-kawanku kalau orang itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan mengerikan. Kabarnya ia selalu mendatangi tokoh-tokoh persilatan yang berkepandaian tinggi untuk menguji ilmunya.”

“Apakah kau mengetahui ciri-cirinya?” tanya Panji lagi.

“Kalau tidak salah, orang itu masih muda dan selalu mengenakan pakaian mewah. Dan ia juga selalu dikawal dua orang yang bertubuh tinggi besar. Hanya itulah yang kuketahui, Anak Muda,” jelas Maespati.

“Terima kasih atas keteranganmu, Kisanak. Satu lagi permintaanku,” ujar Panji. Kali ini sikapnya tampak tegas dan berpengaruh. “Tinggalkan pekerjaanmu selama ini, karena hanya akan mendatangkan petaka bagi dirimu! Cam kan itu!” Begitu ucapannya selesai, tubuh Panji berkelebat dan lenyap seketika di antara lebatnya pepohonan.

Maespati dan kedua orang kawannya terbelalak. Mulut mereka ternganga seolah-olah tak percaya dengan apa yang disaksikannya. “Apakah... apakah dia seorang dewa?” gumam Maespati bagai orang kehilangan ingatan. Diam-diam hatinya berjanji untuk merubah sikapnya yang tercela selama ini.

********************

Pendekar Naga Putih menghentikan larinya setelah melewati mulut Desa Talang Sari. Pemuda sakti itu tidak terlalu tergesa-gesa meneruskan perjalanannya. Dirayapinya daerah sekitarnya seolah ingin memastikan ke mana arah yang diambil tujuh orang laki-laki gagah tadi. Setelah berpikir sejenak, segera diambil keputusan untuk menyusuri jalan setapak yang menuju sebuah hutan kecil.

Panji mengerutkan keningnya ketika mencium bau anyir darah yang masih segar, terbawa hembusan angin lembut. Seluruh otot di tubuh pemuda itu menegang! Secara alamiah tenaga saktinya mulai menyebar, bersiap-siap menghadapi kemungkinan yang bakal terjadi. Tidak begitu lama Panji berjalan, di hadapannya terbentang sebuah padang rumput yang cukup luas. Pendekar Naga Putih berdiri terpaku menatap lima sosok tubuh yang tergeletak berlumuran darah. Bergegas pemuda itu menghampiri dan memeriksanya.

“Hm, darah ini masih nampak segar. Berarti pertempuran yang terjadi di sini belum lama berlalu,” gumam pemuda itu pelahan. “Hei!? Bukankah mereka adalah tujuh laki-laki gagah yang kulihat di kedai? Tapi, mengapa mayat ini hanya berjumlah lima orang? Ke mana yang dua orang lainnya?” Belum lagi sempat Panji memikirkannya, tiba-tiba.... “Pembunuh keji! Terimalah hukuman dariku...!” bentak sesosok bayangan hijau yang datang-datang langsung menyerang dengan sambaran pedang hitamnya.

Panji bergerak cepat menghindari sabetan pedang hitam yang menimbulkan hawa mengerikan itu. Namun sungguh tidak disangka kalau gerakan pedang itu begitu cepat. Setelah berhasil mengelakkan serangan yang pertama, tahu-tahu pedang hitam itu berputar dan kembali menyerangnya tiga kali berturut-turut.

“Eh! Eh.... Sabar dulu, Nini...!” cegah Panji sambil mengelak dari sambaran pedang lawan.

“Huh! Manusia kejam sepertimu tidak perlu dikasih hati!” bentak pemilik suara merdu itu yang terus mencecar tanpa menghiraukan ucapan Panji.

Plak!

“Aihhh...!” Wanita berpakaian serba hijau itu berseru tertahan ketika Panji menepis pergelangannya. Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang. Hawa dingin menjalar melalui pergelangannya yang ditepis Pendekar Naga Putih.

Sementara itu Panji sudah melompat ke belakang sejauh empat tombak. Pemuda itu berdiri tegak menatap seorang gadis cantik bagai bidadari. Sejenak Panji mengerutkan keningnya, untuk mencoba mengingat-ingat gadis di depannya. Mungkin saja, dia pernah bertemu sebelumnya.

Sedangkan wanita jelita yang mengenakan pakaian serba hijau itu berdiri terpaku bagaikan patung. Gadis jelita yang ternyata Kenanga itu menghentikan serangannya karena kenal betul terhadap tenaga berhawa dingin yang merasuk ke tubuhnya tadi. Bibir yang indah itu bergetar membisikkan sebuah nama yang tak pernah dilupakannya. Air mata kerinduan mulai menetes membasahi pipinya.

“Kau.... Kau..., Kakang Panji...!” teriak gadis jelita itu serak. Suaranya terdengar lirih karena butir-butir kerinduan yang menyesakkan dadanya.

Panji yang telah yakin akan penglihatannya, justru malah semakin tak percaya. Dia seperti terpaku, tak tahu harus berbuat apa. “Adik Kenanga...!” seru Panji seolah-olah tak mempercayai pandangannya. Entah siapa yang lebih dahulu bergerak, tahu-tahu saja kedua muda-mudi itu telah berpelukan erat, seolah-olah tidak ingin berpisah lagi.

Panji membelai rambut wanita yang selalu diimpikannya itu. Dadanya terasa hangat oleh air mata yang menetes, membasahi bajunya. Pelahan-lahan kedua tangan Pendekar Naga Putih bergerak mengangkat wajah jelita itu. Dipandanginya wajah gadis idamannya yang dibasahi air mata. Panji menundukkan wajahnya mengecup kedua mata indah yang menatapnya penuh rindu.

“Kakang, jangan tinggalkan aku lagi...!” desah gadis jelita itu lirih sambil memandang wajah Panji.

“Tidak, Adikku... tidak akan...,” bisik Panji. Kemudian dikecupnya bibir indah itu penuh perasaan.

“Kakang, bukankah mereka adalah tokoh Perguruan Delapan Naga? Aku pernah berjumpa dan berkenalan dengan mereka. Ternyata mereka adalah orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan. Ah.... Sayang, mereka harus tewas di tangan pembunuh biadab itu,” ujar Kenanga penasaran.

“Maksudmu, kau tahu siapa yang melakukan ini semua?” tanya Panji heran.

Bagaimana pemuda itu tidak heran melihat kekasihnya tahu-tahu muncul dan memiliki kepandaian tinggi. Padahal, baru satu tahun mereka tak bertemu. Bukan itu saja. Gadis jelita itu nampaknya sudah cukup lama berkecimpung dalam dunia persilatan. Buktinya, dia mengenal tokoh-tokoh Perguruan Delapan Naga.

“Melihat orangnya secara langsung, memang aku belum pernah. Tapi jika mendengar sepak terjangnya, aku yakin kalau mereka dibunuh oleh orang yang berjuluk Jari Maut Pencabut Nyawa. Tokoh sesat yang baru muncul ini kepandaiannya hebat sekali, Kakang. Entah sudah berapa banyak tokoh persilatan golongan putih yang tewas di tangannya. Orang itu harus cepat-cepat dilenyapkan dari muka bumi. Kalau tidak, ia akan terus seenaknya menyebar maut,” jelas Kenanga geram.

“Kenanga...,” panggil Panji tiba-tiba.

“Ya, Kakang...,” sahut gadis jelita itu lembut.

“Kulihat kepandaianmu sudah maju sedemikian pesatnya. Siapakah yang mengajarkanmu? Dan bagaimana kabarnya ayahmu sekarang?” tanya Panji sambil memegang bahu gadis itu.

“Ahhh.... Panjang sekali ceritanya, Kakang. Tiga hari setelah kepergianmu, desa kami didatangi segerombolan perampok. Lalu....”

Kenanga menceritakan kejadian yang dialaminya kepada pemuda pujaannya. Sementara Panji mendengarkan penuh perhatian.

“Demikianlah, Kakang. Karena aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi, maka aku menerima ajakan Kakek Raja Pedang Pemutus Urat dan tinggal bersamanya,” ujar gadis jelita itu menutup ceritanya.

“Raja Pedang Pemutus Urat...?!” ulang Panji sambil mengerutkan keningnya. “Apakah Kakek itu berusia sekitar tujuh puluh tahun, dan...,” Panji menuturkan semua ciri-ciri dan tempat tinggal Raja Pedang Pemutus Urat.

“Benar! Bagaimana Kakang mengetahuinya? Apakah Kakang sudah mengenal guruku? Ah..., sudah hampir setahun dia tidak kukunjungi. Entah bagaimana kabarnya Eyang sekarang,” gumam Kenanga, matanya memandang jauh bagaikan hendak melewati hamparan rumput dan bebukitan agar dapat mengetahui keadaan gurunya.

Panji menarik napas dalam-dalam melihat sinar mata kekasihnya yang berbinar ketika mendengar nama gurunya. Pendekar Naga Putih yang semula hendak menceritakan kejadian sesungguhnya, terpaksa menelan kembali kata-katanya karena tidak ingin merusak kebahagiaan gadis yang dicintainya itu.

“Tidak! Aku belum pernah berjumpa dengannya. Aku hanya mendengar tentang kehebatan ilmu pedang beliau. Ciri-ciri yang kuketahui pun juga dari Eyang Tirtayasa. Hanya itu saja yang kuketahui, tidak lebih,” kilah Panji, terpaksa berbohong.

“Ah! Matahari sudah semakin tinggi. Ayolah kita kubur mayat-mayat ini, Kakang! Setelah itu, baru kita lanjutkan perjalanan untuk mencari orang yang berjuluk si Jari Maut Pencabut Nyawa itu,” ajak dara jelita itu sambil menarik tangan Panji dengan sikap manja.

“Baik, ayolah!” sahut Panji tersenyum bahagia.

********************

ENAM

“Berhenti!”

Panji dan Kenanga yang tengah berjalan sambil berpegangan tangan itu menghentikan langkahnya. Di hadapan mereka menghadang sesosok tubuh tinggi tegap yang mengenakan pakaian indah. Rambutnya yang panjang itu dibiarkan tergerai lepas. Sehelai sutra berwarna kuning, menghias kepalanya. Wajahnya yang brewok tertata rapi, sehingga menambah kejantanannya.

“Hei, Paman! Lihatlah! Bukankah bidadari ini murid si Raja Pedang Pemutus Urat?” tanya laki-laki yang tak lain adalah Jaya Sukma itu. Sengaja suaranya dibuat keras, agar orang yang diajak bicara mendengarnya.

Dan tidak lama kemudian, muncullah dua orang bertubuh tinggi besar menakutkan. Mereka adalah dua Gorilla Batu. “Mana.... Mana, Tuan Muda? Ahhh..., benar! Tidak salah lagi, dialah murid kakek peot itu. Wah, cocok sekali kalau dijadikan istri Tuan Muda,” ujar Soma bergelak.

“Hei, kerbau kudisan! Lancang sekali ucapanmu! Apakah kau tidak pernah diajar adat!?” bentak Kenanga dengan wajah merah. Kalau saja saat itu Panji tidak mencegah, tentulah gadis jelita ini sudah melesat menerjang laki-laki brewok yang menyebalkan itu.

“Ha ha ha...! Ternyata bidadari itu sangat liar, Tuan Muda. Tuan tentu akan sukar sekali menjinakkannya!” kali ini Ludira yang berbicara.

“Ha ha ha...,” Jaya Sukma tertawa terbahak-bahak.

“Bangsat! Kurobek mulutmu yang kotor itu!” teriak Kenanga, wajahnya semakin memerah.

“Sabarlah, Adikku. Kau lihatlah, siapa mereka itu,” bisik Panji menyabarkan kekasihnya.

Sejenak gadis itu termangu sambil memperhatikan ketiga orang yang menghadang di tengah jalan itu. Pelahan-lahan wajah Kenanga berubah tenang ketika gadis jelita itu berusaha menguasai hatinya. “Kakang, apakah pemuda itu yang berjuluk Jari Maut Pencabut Nyawa?” tanya Kenanga berbisik lirih.

“Kurasa begitulah. Bukankah ciri-ciri Jari Maut Pencabut Nyawa itu adalah masih muda, tampan, berpakaian mewah, dan selalu dikawal dua orang tinggi besar. Nah! Bukankah ciri-cirinya sudah betul?!” sahut Panji masih dengan suara pelan.

“Hei, apa yang kalian rundingkan?! Paman, tolong tangkap gadis itu untukku. Sedangkan pemuda itu biarlah aku yang mengurusnya,” perintah Jaya Sukma kepada dua orang pengawalnya.

“Baik, Tuan Muda!” seru mereka gembira seolah diberi sebuah mainan menyenangkan.

“Tunggu...!” seru Kenanga keras dan tiba-tiba, sehingga kedua orang laki-laki tinggi besar itu menunda langkahnya.

“Hei, dua gorilla tolol! Kalian tahu, dengan siapa berhadapan saat ini?!” tanya Kenanga sambil kepalanya dilayangkan ke arah Panji.

“Aku sudah tahu tentang dirimu, Bidadari Cantik! Dan aku tidak peduli dengan bocah ingusan itu! Lebih baik menyerah saja secara baik-baik, Manis. Kelak kau pasti akan senang bersama majikan kami. Ha ha ha...,” sahut Soma seraya tertawa menyebalkan.

“Hm. Rupanya kau tidak peduli terhadap Pendekar Naga Putih!” ujar Kenanga mencoba menggertak lawan bicaranya.

“Eh! Apakah maksudmu bocah itu yang berjuluk Pendekar Naga Putih?!” tanya Ludira tersentak mundur. Biar bagaimanapun, nama Pendekar Naga Putih yang telah mengguncang dunia persilatan cukup menggetarkan hati mereka.

Soma dan Jaya Sukma pun tidak kalah terkejutnya. Hati mereka berdebar tegang sambil meneliti sosok Panji. “Hm..., jadi kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih?” tanya Jaya Sukma ragu. “Tahukah kau siapa adanya aku?”

“Benar! Akulah Pendekar Naga Putih. Sedangkan kau adalah seorang pengecut yang mengaku berjuluk Jari Maut Pencabut Nyawa. Apakah dugaanku keliru?” jawab Panji. Suaranya terdengar tenang tanpa nafsu amarah sedikit pun.

“Eh...!” Jaya Sukma sampai terlonjak mendengar dirinya disebut sebagai pengecut. Wajahnya seketika menjadi merah bagaikan terbakar. Kedua lengannya bergemeletuk karena tenaga saktinya mulai mengalir ke seluruh otot-ototnya.

“Bangsat! Rupanya kau memiliki kesombongan juga, Pendekar Naga Putih! Tapi jangan dikira aku akan menjadi gentar mendengar nama besarmu itu. Nah! Sambutlah seranganku! Hiaaat...!” tubuh Jaya Sukma meluncur ke arah Panji disertai serangan dahsyat.

Wusss!

Serangkum angin panas menyergap seluruh tubuh Pendekar Naga Putih. Untunglah, tenaga saktinya sudah bergolak melindungi tubuh, sehingga hawa panas yang menyerang Panji sama sekali tidak terasa. Cepat-cepat pemuda itu menggeser tubuhnya ke kiri sambil melepaskan sebuah pukulan disertai hawa dingin menggigit.

Cusss!

Terdengar suara seperti bara api tersiram air ketika dua pasang lengan yang sama-sama mengandung tenaga dahsyat itu saling berbenturan keras. Tubuh mereka masing-masing terdorong beberapa langkah ke belakang. Ternyata pada pertemuan tenaga itu mereka berimbang. Baik Panji maupun Jaya Sukma sama-sama terkejut setelah mengetahui kekuatan masing-masing. Mereka kembali berdiri berhadapan dalam jarak sekitar enam tombak. Kedua pemuda sakti itu saling tatap dengan sinar mata mencorong tajam.

“Paman! Cepat tangkap gadis itu, dan bawa ke pondok tempat peristirahatanku!” perintah Jaya Sukma kepada dua orang pengawalnya.

Tanpa diperintah dua kali, Soma dan Ludira segera bergerak menangkap Kenanga yang juga sudah siap-siap membela diri dengan pedang hitam yang tergenggam erat di tangan kanannya. Melihat kekasihnya terancam, Pendekar Naga Putih melesat menyambut serangan dua orang laki-laki bertubuh tinggi besar itu.

“Akulah lawanmu, Pendekar Naga Putih...!” sambil berseru demikian, tubuh Jaya Sukma melesat memotong luncuran tubuh Panji.

Melihat lawan memotong gerakannya, Panji segera memutar lengannya menangkis serangan itu. Mereka sama-sama kembali terpental ke udara. Namun dengan sebuah gerakan berputar, masing-masing dapat mendaratkan kakinya ke tanah.

Begitu kakinya menyentuh tanah, Pendekar Naga Putih kembali melancarkan serangan ke arah Jaya Sukma. Selapis kabut bersinar putih keperakan mulai menyelimuti tubuhnya. Jelas, Panji mulai mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya. Hawa sedingin salju pun segera menebar memenuhi arena pertarungan.

Jaya Sukma cukup terkejut menyaksikan tubuh lawan mengeluarkan sinar yang benar-benar di luar dugaannya. Cepat-cepat dikerahkan tenaganya untuk mengusir hawa dingin yang terasa menggigit kulitnya itu. Sekejap kemudian hawa panas pun mulai menebar dari tubuhnya.

Soma dan Ludira yang berusaha menangkap Kenanga, cepat-cepat menjauhi arena pertempuran ketika merasakan hawa dingin dan panas berganti-ganti merasuk ke dalam tubuh. Dan demikian pula dengan Kenanga. Diam-diam ketiganya bergidik merasakan pengaruh pertarungan antara dua orang pemuda tampan yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi itu.

Kenanga hanya dapat memandang kekasihnya dengan sinar mata cemas. Sesaat kemudian, perhatian gadis itu tercurah kepada dua orang laki-laki tinggi besar yang kembali menyerangnya. Secepat kilat digerakkan pedangnya untuk menghalau serangan lawan-lawannya. Bahkan gadis itu juga menyusuli dengan tiga buah tendangan berantai.

Wuttt! Wuttt!

Soma dan Ludira memiringkan tubuhnya sehingga serangan gadis itu mengenai tempat kosong. Kemudian mereka membalas dengan cengkeraman-cengkeraman yang tidak kalah cepatnya. Kenanga memang cukup kewalahan menghindari serbuan dua pasang lengan yang besar dan berbulu lebat itu.

Sebenarnya kepandaian Soma maupun Ludira tidaklah lebih tinggi dari Kenanga. Namun karena keduanya maju secara bersamaan, maka cukup kewalahan juga gadis jelita itu dibuatnya. Sehingga, lama-kelamaan kedua orang bertubuh tinggi besar itu mulai mendesaknya.

Singgg!

Suatu ketika pedang hitam di tangan gadis jelita itu bergerak mendatar membabat pinggang lawan. Suaranya mengaung disertai hawa maut yang menggetarkan jantung. Ludira yang menjadi sasaran pedang hitam itu berseru kaget. Cepat-cepat dibuang tubuhnya ke belakang untuk menghindari sambaran pedang yang menimbulkan hawa mengerikan itu.

Crattt!

“Aaakh...!” Ludira menjerit kesakitan ketika pedang hitam di tangan Kenanga masih juga menyerempet lengan kanannya. Tubuhnya bergulingan sampai beberapa tombak jauhnya. Kemudian dia berdiri limbung sambil memegangi luka akibat goresan pedang yang terasa pedih bukan main!

“Kakang Soma, awas! Pedang gadis itu mengandung racun ganas...!” teriak Ludira memperingatkan saudaranya yang kini menjadi sasaran pedang hitam milik Kenanga. Setelah berkata demikian, tangan Ludira bergerak mencabut golok besarnya. Sambil menggigit bibirnya kuat-kuat, diayunkan golok besar itu membacok tangannya sendiri hingga putus sebatas siku.

Ludira berdiri limbung, dan tangan kanannya sibuk menotok untuk menghentikan darah yang mengalir dari luka itu. Terpaksa tangan kirinya harus dikorbankan kalau masih ingin hidup lebih lama. Karena, racun yang terkandung dalam pedang gadis itu ternyata sangat ganas dan cepat daya kerjanya.

Desss!

Tuk! Tuk!

“Aaakh...!” Pedang hitam di tangan Kenanga terlempar akibat tangkisan Soma. Dan sebelum gadis itu menyadari keadaannya, dua buah totokan telah melumpuhkan tubuhnya. Tubuh gadis jelita itu roboh disertai sebuah keluhan pendek.

Bukan main cemasnya hati Panji ketika mendengar keluhan yang keluar dari mulut kekasihnya. Cepat kepalanya menoleh untuk memastikan apa yang telah terjadi terhadap dara pujaannya itu. Dan wajahnya terubah pucat ketika tampak tubuh kekasihnya sudah berada dalam pondongan salah seorang pengawal lawannya.

“Bangsat! Lepaskan gadis itu!” tiba-tiba saja tubuh Pendekar Naga Putih melayang meninggalkan lawannya.

Ternyata kesempatan yang hanya sekejap itu tidak disia-siakan Jaya Sukma. Selagi tubuh Panji melesat melancarkan serangan ke arah Soma yang tengah memondong Kenanga, Jari Maut Pencabut Nyawa segera melepaskan sebuah tendangan kilat yang begitu telak menghantam punggung Pendekar Naga Putih. Desss!

“Aaakh...! Huakkk...!”

Tak pelak lagi, tubuh Panji terlempar deras dan memuntahkan darah segar seketika. Tulang punggungnya terasa remuk akibat tendangan lawan yang mengandung tenaga dalam tinggi itu. Panji mencoba berdiri tegak meskipun kepalanya rasanya seperti berputar. Pendekar muda itu rupanya mengalami luka yang cukup parah.

“Pendekar Naga Putih! Kami datang membantu...!” tiba-tiba terdengar seruan nyaring yang disertai berkelebatnya dua sosok tubuh ke arena itu.

Jaya Sukma yang semula sudah bersiap melontarkan pukulan selanjutnya, tertegun sesaat. Hatinya bimbang ketika mengenali dua orang pendatang itu. “Hm. Menghadapi Pendekar Naga Putih saja aku sudah merasa repot, apalagi kalau ditambah mereka berdua,” kata pemuda itu dalam hati.

“Paman, mari kita pergi...!” teriak Jaya Sukma sambil melontarkan pukulan ‘Jari Maut’ ke arah dua orang yang baru datang itu. Namun dua orang yang menjadi sasaran itu cepat bergulingan menghindarinya.

"Glarrr!" Pohon sepelukan orang dewasa yang berada di belakang dua orang itu berderak patah ketika seberkas sinar kemerahan menghantamnya.

“Bangsat! Pemuda iblis itu berhasil meloloskan diri...,” ujar orang bertubuh tinggi kekar yang ternyata adalah Pendekar Tombak Sakti sambil membersihkan rumput kering yang melekat di pakaiannya.

“Hm.... Sampai ke ujung langit pun akan tetap kukejar!” seru yang seorang lagi. Siapa lagi kalau bukan Pendekar Kapak Maut. Suaranya terdengar geram sekali ketika mengucapkan kata-kata itu.

“Uhhh.... Kenanga..., maafkan aku. Aku tak dapat menolongmu. Kepandaian orang itu memang hebat sekali. Pantas saja kalau banyak tokoh persilatan tewas di tangannya,” tiba-tiba terdengar suara Pendekar Naga Putih.

“Ahhh, Pendekar Naga Putih! Menyesal sekali kami tidak dapat menyelamatkan gadis itu,” ucap Pendekar Tombak Sakti penuh penyesalan.

“Tidak apa-apa, Paman. Aku maklum. Tapi, lihat pembalasanku nanti! Oh, ya. Terima kasih atas pertolongan Paman berdua,” jawab Panji sambil membungkuk hormat.

“Bagaimana lukamu, Pendekar Naga Putih?” tanya Pendekar Kapak Maut secara sepintas.

“Sudah tidak terlalu mengkhawatirkan, Paman...,” jawab Panji tersenyum, namun seperti dipaksakan. Pikirannya terpusat penuh pada keselamatan Kenanga. Biar bagaimanapun, gadis itu harus cepat-cepat diselamatkan.

Suasana berubah hening sejenak. Ketiga orang pendekar itu sama-sama termenung terbawa arus pikiran masing-masing.

“Maaf, Paman. Bolehkah aku mengetahui nama besar Paman berdua?” tanya Panji tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka.

“Apalah artinya nama besar kami dibandingkan nama besar yang kau sandang itu, Pendekar Naga Putih. Tapi ada baiknya kalau memperkenalkan diri kepadamu. Aku yang renta ini dijuluki orang sebagai Pendekar Tombak Sakti. Sedang ini adalah saudara seperguruanku, berjuluk Pendekar Kapak Maut. Dan kami bertujuh mendapat tugas dari ketua untuk menghentikan kekejaman Jari Maut Pencabut Nyawa yang saat ini tengah membuat kekacauan di dunia persilatan. Sayang sekali lima orang kawan kami telah tewas ketika kami meninggalkan mereka di hutan. Dan dilihat dari luka-luka yang terdapat, kami yakin bahwa yang membunuh mereka adalah si Jari Maut Pencabut Nyawa. Oh, ya, Pendekar Naga Putih. Bolehkan kami tahu nama besar gurumu?” tiba-tiba saja Pendekar Tombak Sakti mengajukan pertanyaan yang membuat Panji terkejut.

“Menyesal sekali, Paman. Beliau tidak memperbolehkan aku untuk menceritakan apa pun tentang dirinya. Sekali lagi aku mohon maaf,” jawab Panji penuh penyesalan.

“Ahhh, tidak apa-apa. Lupakan pertanyaan tadi,” sahut Pendekar Tombak Sakti memaklumi.

“Baiklah. Aku pamit dulu, Paman. Aku harus cepat-cepat mengejar mereka,” ujar Panji sambil membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Setelah berkata demikian, pemuda itu bergegas melangkahkan kakinya meninggalkan dua orang tokoh Perguruan Delapan Naga itu.

“Hei! Pelahan dulu, Pendekar Naga Putih!” seru Pendekar Tombak Sakti menahan langkah Pendekar Naga Putih. “Apakah kau sudah mengetahui di mana iblis itu tinggal?”

“Aku akan mencarinya, Paman,” jawab Panji seraya tersenyum.

“Ke mana akan mencarinya?” tanya Pendekar Kapak Maut tiba-tiba.

“Entahlah. Tapi, biar bagaimanapun aku akan berusaha menemukan orang itu,” sahut Panji bersungguh-sungguh.

“Apakah kau keberatan kalau kami menyertaimu? Rasanya kami sudah dapat menduga dari mana si Jari Maut Pencabut Nyawa itu berasal,” usul Pendekar Tombak Sakti.

“Tentu saja tidak, Paman. Malah sebaliknya aku merasa berterima kasih sekali atas kesediaan Paman berdua sudah membantuku,” jawab Panji gembira karena tidak ingin menyinggung perasaan dua orang pendekar itu.

“Kalau begitu, marilah kita berangkat!” ajak Pendekar Tombak Sakti.

Panji dan Pendekar Kapak Maut menganggukkan kepalanya. Beberapa saat kemudian, ketiga orang pendekar itu pun bergegas meninggalkan tempat tersebut untuk menyusul kepergian Jari Maut Pencabut Nyawa.

********************

TUJUH

Angin pagi bertiup lembut mengikuti ayunan langkah tiga orang pendekar memasuki Desa Jati Larang. Mereka adalah Panji, Pendekar Tombak Sakti, dan Pendekar Kapak Maut.

“Aneh! Desa ini tampak begitu sepi dan mencurigakan,” gumam Pendekar Tombak Sakti sambil merayapi keadaan desa yang hanya beberapa tombak di hadapan mereka.

“Benar, Paman. Tampaknya kita harus hati-hati. Sepertinya, desa ini baru saja mengalami musibah,” sahut Panji yang juga merasa curiga.

“Eh! Kakang Rancapala, Panji, lihatlah! Beberapa buah rumah dekat mulut desa itu tampaknya belum lama terbakar. Asap-asap tipis masih tampak mengepul dari puing-puingnya. Ah! Mudah-mudahan saja itu hanya kebakaran yang disebabkan keteledoran penghuninya,” seru Barga atau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut sambil menunjuk beberapa buah rumah. Rumah-rumah yang ditunjuk Barga itu tampak menghitam dan samar-samar masih mengepulkan asap tipis.

“Wah! Mudah-mudahan saja perjalanan kita tidak mengalami hambatan karena hal itu,” keluh Rancapala atau Pendekar Tombak Sakti disertai helaan napas berat. “Panji, Adi Barga, kuharap kalian jangan bertindak dulu. Kalau ada sesuatu yang mencurigakan, biarlah aku saja yang mencoba mengatasinya. Semua ini untuk menghindarkan kesalahpahaman. Nah, bagaimana?” usul Rancapala.

Baik Panji maupun Barga mengangguk setuju atas keputusan yang diambil Pendekar Tombak Sakti. Mereka berdua menyadari sepenuhnya bahwa saat ini berada didaerah asing yang belum pernah didatangi sebelumnya. Dan tentu saja mereka harus bisa membawa diri agar terhindar dari segala sesuatu yang tidak diinginkan.

Setelah mengambil keputusan demikian, ketiganya bergegas memasuki mulut desa tanpa meninggalkan kewaspadaan. Begitu melewati mulut desa, tampak puluhan pasang mata menatap ke arah mereka penuh curiga. Rancapala, Barga, dan Panji mencoba bersikap ramah dan menganggukkan kepala kepada orang-orang itu. Tanpa mempedulikan anggukan itu dibalas ataupun tidak, ketiganya terus melangkah memasuki Desa Jati Larang.

Belum lagi jauh memasuki desa, tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring yang disertai berlompatannya sosok-sosok tubuh yang langsung mengurung tiga orang pendekar itu.

“Berhenti...!”

Rancapala, Barga, dan Panji segera menghentikan langkahnya. Ketiga orang pendekar itu tetap bersikap tenang meskipun dikurung belasan orang dengan senjata di tangan.

“Hei, orang asing! Siapa kalian dan apa maksudnya mendatangi desa kami?!” tanya seorang laki-laki berkulit hitam dan berhidung lebar. Suaranya terdengar lantang dan sama sekali tidak menunjukkan sikap bersahabat.

“Maafkan kami, Kisanak. Kami bertiga adalah perantau yang secara kebetulan saja lewat di desa ini, tanpa maksud-maksud tertentu,” jawab Pendekar Tombak Sakti mencoba bersikap ramah. Sikap yang ditunjukkan pendekar itu sama sekali bukan karena takut, melainkan karena tidak ingin mencari keributan.

Lain yang diinginkan Pendekar Tombak Sakti lain pula tanggapan laki-laki berkulit hitam itu. Sikap ramah yang ditunjukkan pendekar itu malah membuatnya semakin angkuh dan memandang rendah. “Hm.... Kalian pasti mata-mata perampok hina yang berjuluk Dedemit Jati Palas itu. Dan kedatangan kalian ke sini untuk melihat hasil pekerjaan semalam, bukan? Kalau itu yang ingin diketahui, katakan kepada Dedemit Jati Palas, kami seluruh penduduk Desa Jati Larang tidak akan sudi menyerah dan tunduk di bawah kekuasaannya. Nah, sekarang pergilah, sebelum kami kehilangan kesabaran!” bentak lelaki berkulit hitam itu sambil membusungkan dada.

“Sudah, Kakang Balingka. Untuk apa bertanya lagi? Bunuh saja mereka!” teriak seorang lelaki berwajah pucat yang berada di belakang laki-laki berkulit hitam bernama Balingka itu sambil mengacungkan goloknya.

“Ya, bunuh saja mereka...!” seru yang lainnya lagi.

“Tahan...!”

Tiba-tiba Pendekar Tombak Sakti berteriak keras. Suara teriakannya terdengar bagaikan ledakan petir menggelegar. Akibatnya, beberapa pengepungnya yang sudah melangkah maju, terpental bagaikan didorong tenaga kuat. Sedangkan yang lainnya tersurut mundur dengan wajah memucat, termasuk lelaki berkulit hitam yang bernama Balingka.

“Dengar, saudara-saudara! Kami tidak mengenal siapa itu Dedemit Jati Palas atau sebangsanya. Kalau kalian masih tidak percaya, hadapkan kami kepada kepala desa kalian! Bagaimana?” seru Rancapala sambil mengerahkan tenaga dalamnya, sehingga suaranya terdengar nyaring dan bergaung memekakkan telinga.

Balingka diam-diam merasa terkejut merasakan kehebatan tenaga dalam yang ditunjukkan Pendekar Tombak Sakti. Sejenak tergambar bayang keraguan di wajahnya. Namun meskipun demikian, dia tetap belum merasa yakin akan kebenaran ucapan laki-laki tinggi tegap itu.

“Maafkan kami, Kisanak. Biar bagaimanapun kami tetap belum dapat mempercayai kata-katamu. Dan apabila Kisanak ingin menghadap kepala desa, maka kami minta agar kalian suka menyerahkan senjata,” usul Balingka yang mulai surut kegalakannya. Namun demikian, dia berusaha menutupi dengan suaranya yang tenang.

“Tunggu...!” tiba-tiba terdengar teriakan dari belakang Pendekar Tombak Sakti. Teriakan itu rupanya berasal dari mulut Barga yang sudah melangkah maju. Sementara Balingka langsung melangkah mundur sambil menyilangkan pedangnya menjaga kemungkinan.

“Hm, Kisanak. Kau boleh tidak mengenal dan mencurigai kedatangan kami. Tapi bagaimana dengan nama Pendekar Naga Putih? Apakah kedatangan pendekar muda yang perkasa itu patut dicurigai?” tanya Barga yang tiba-tiba saja menemukan cara yang baik untuk meredakan ketegangan di antara mereka. Selain itu, dia juga ingin mengetahui apakah nama besar Pendekar Naga Putih sudah terdengar hingga ke daerah selatan ini.

“Oh! Pendekar Naga Putih...?!” Balingka dan beberapa orang lainnya tersentak kaget. Rupanya kedigdayaan pendekar muda yang memiliki ilmu-ilmu tinggi itu telah sampai pula ke telinga mereka.

“Kisanak! Apakah maksudmu bahwa kau datang bersama pendekar muda yang budiman itu...?” tanya Balingka ragu-ragu. Sementara matanya menatap sosok Panji penuh selidik. Pada sinar mata laki-laki berkulit hitam itu terpancar secercah harapan. Sesaat kemudian sinar mata dan raut wajah Balingka berubah mengeras. “Hm, jangan kau coba menipu kami dengan menjual nama pendekar muda itu. Tidak akan semudah itu kami dapat mempercayai omonganmu!”

Meskipun Barga merasa kagum akan sikap laki-laki berkulit hitam yang tidak mudah percaya begitu saja terhadap ucapannya, namun jelas pendekar itu terlihat agak jengkel.

“Saudara Panji, maukah kau memberikan bukti agar mereka yakin bahwa saat ini sedang berhadapan dengan Pendekar Naga Putih yang mereka kagumi itu?” pinta Pendekar Kapak Maut sambil menolehkan kepalanya ke arah Panji.

“Baiklah, Paman Barga. Akan kucoba meyakinkan agar kesalahpahaman ini tidak berlanjut,” jawab Panji tenang.

Setelah berkata demikian, pemuda itu segera mengempos seluruh tenaga dalamnya. Beberapa saat kemudian selapis kabut bersinar putih keperakan nampak menyelimuti seluruh tubuh Pendekar Naga Putih. Dan tubuh Panji meliuk-liuk mirip seekor naga putih. Hawa dingin berhembus membuat beberapa orang pengepung yang berada tidak jauh dari pemuda itu menggigil kedinginan.

“Ahhh.... Pendekar Naga Putih...!” teriak Balingka dan beberapa orang lainnya yang sudah mendengar tentang ciri-ciri pendekar muda yang sakti itu. Di wajah mereka jelas tergambar kegembiraan yang tidak dapat disembunyikan.

“Bagaimana, Kisanak? Apakah masih meragukannya...,” tanya Barga tersenyum bangga. Diam-diam hatinya juga merasa kagum dengan tingginya ilmu yang dimiliki pemuda itu.

“Ah, tentu saja tidak! Marilah, Pendekar Naga Putih. Marilah, Kisanak. Ki Dirga Sura tentu akan merasa gembira sekali melihat kehadiran kalian,” ajak Balingka sambil tersenyum gembira. Bagaimana Balingka tidak akan gembira? Dengan adanya pendekar muda itu, ia merasa yakin kalau musibah yang selama ini menghantui desanya akan dapat diatasi.

Dengan langkah tegap dan wajah berseri, Balingka mengantarkan tamu-tamunya untuk menghadap Ki Dirga Sura yang menjabat Kepala Desa Jati Larang. Panji, Rancapala, dan Barga yang ditemani Balingka dan empat orang anak buahnya menghentikan langkahnya di depan sebuah rumah yang cukup besar. Memang, itu adalah kediaman Kepala Desa Jati Larang.

“Silakan tunggu di sini, Kisanak. Aku akan melaporkan berita gembira ini kepada Ki Dirga Sura. Ha ha ha.... Beliau tentu akan merasa gembira sekali!” ujar Balingka tertawa. Sambil berkata demikian, lelaki berkulit hitam itu melangkah meninggalkan mereka.

“Hm.... Sudah kuduga kalau julukanmu akan terdengar sampai kedaerah ini, Panji. Itulah sebabnya sengaja kugunakan namamu untuk menghilangkan kecurigaan mereka kepada kita,” jelas Barga yang semakin merasa kagum atas sikap yang ditunjukkan Panji. Pemuda itu sama sekali tidak terlihat bangga ataupun besar kepala karena nama besarnya telah dikenal sampai sekian jauhnya. Benar-benar sikap seorang pendekar sejati!

“Ah! Sudahlah, Paman Barga. Bisa-bisa kepalaku meledak apabila sanjungan itu masih Paman teruskan,” sahut Panji pelan.

Saat itu terdengar suara pintu terkuak, disusul langkah-langkah kaki mendatangi tempat tiga orang pendekar itu menanti. Keempat orang anak buah Balingka mengangguk hormat kepada seorang laki-laki gagah berusia sekitar lima puluh tahun. Laki-laki gagah yang bernama Ki Dirga Sura itu melangkah diiringi Balingka dan seorang gadis cantik yang berusia kurang lebih sekitar delapan belas tahun.

“Selamat datang di desa kami, Kisanak. Maafkan kalau sambutan anak buahku tidak ramah tadi,” ujar Ki Dirga Sura. Suaranya terdengar halus dan ramah disertai senyum cerah yang menghias wajahnya.

“Ah! Tidak apa-apa, Ki. Hal itu dilakukan karena terpaksa,” jawab Rancapala sambil bangkit berdiri menyambut kedatangan kepala desa itu. Sikapnya itu diikuti pula oleh Barga dan Panji.

“Ah! Inikah pemuda tampan dan gagah yang dijuluki Pendekar Naga Putih? Selamat datang, Pendekar Muda. Merupakan suatu kehormatan besar bagi kami karena saudara....”

“Panji, Ki!” jawab Panji memperkenalkan diri.

“Ya, Saudara Panji. Merupakan suatu kehormatan bagi kami karena kau sudi untuk singgah di desa ini. Oh, ya, perkenalkan anakku yang manja dan nakal ini,” ujar Ki Dirga Sura sambil menoleh ke arah dara cantik yang hanya tersenyum itu.

“Ah, Ayah...!” rungut gadis itu sambil mencubit lengan ayahnya.

“Namanya Trijati...,” potong Ki Dirga Sura lagi tanpa mempedulikan cubitan pada lengannya.

Barga, Rancapala, dan Panji menganggukkan kepala ke arah gadis cantik yang bernama Trijati itu. Gadis itu tersenyum manis membalas anggukan ketiga orang pendekar itu.

“Kakang Panji, nama julukanmu sudah lama kami dengar. Dan Ayah selalu memuji-muji sepak terjangmu. Mmm..., bersediakah Kakang bermain-main denganku? Sebentaaar... saja. Boleh kan, Ayah?” tiba-tiba gadis itu berkata kepada Panji tanpa malu-malu. Tentu saja hal itu mengejutkan hati mereka yang berada di tempat tersebut.

“Trijati, jangan kurang ajar! Kau kira sedemikian hebatkah ilmu kepandaian yang kau miliki sehingga berani menantang Pendekar Naga Putih?!” Ki Dirga Sura memperingatkan putrinya yang sudah telanjur bicara itu. “Maafkan anakku, Saudara Panji. Jangan hiraukan ucapannya.”

“Ah! Tidak apa-apa, Ki,” sahut Panji maklum.

“Uuuh..., Ayah...!” Trijati memberengut manja sambil membanting-banting kakinya ke lantai. Ki Dirga Sura tidak mempedulikan sikap putrinya yang memang sangat manja itu. Kembali ditolehkan kepalanya ke arah tiga tamunya, lalu menceritakan tentang kejadian yang telah menimpa Desa Jati Larang beberapa hari terakhir ini.

“Semalam pun belasan orang anak buah Dedemit Jati Palas kembali membuat kerusuhan di desa ini. Beberapa buah rumah dibakar sebagai peringatan yang terakhir. Dan apabila kami masih belum bersedia tunduk, malam nanti Dedemit Jati Palas itu akan datang untuk membumihanguskan Desa Jati Larang. Itulah sebabnya, mengapa kedatangan Kisanak bertiga dicurigai,” jelas Ki Dirga Sura menutup ceritanya.

“Jadi selama ini Dedemit Jati Palas itu hanya mengutus anak buahnya saja?” tanya Rancapala menegaskan.

“Benar! Sedangkan menghadapi para pengikutnya saja kami sudah kewalahan. Entah bagaimana nasib desa ini apabila ia sendiri yang memimpin pengikutnya itu. Mungkin desa ini sudah jatuh di bawah kekuasaannya,” keluh Ki Dirga Sura sambil menghela napas berat dan panjang. “Ah..., siapa sangka pada saat yang gawat seperti ini Yang Maha Kuasa telah mengirimkan bantuannya dengan mengirimkan tiga orang pendekar gagah.”

“Baiklah, Ki. Kami akan berusaha membantu penduduk Desa Jati Larang ini sekuat tenaga,” ucap Pendekar Tombak Sakti merendah.

“Ha ha ha.... Aku yakin dengan bantuan kalian, Dedemit Jati Palas itu akan lari terbirit-birit.” kata kepala desa itu tertawa gembira.

“Nah, sekarang marilah kita membuat rencana,” usul Barga bersemangat.

********************

Malam itu langit tampak cerah. Bintang bertaburan bagaikan pelita penghias malam. Tiupan angin bersilir lembut membuat suasana malam itu semakin terasa indah. Desa Jati Larang tampak sepi. Sesekali terdengar lolongan anjing hutan di kejauhan. Beberapa sosok tubuh nampak bergerak menuju perbatasan Desa Jati Larang. Setelah keluar dari mulut desa, sosok-sosok bayangan itu bersembunyi di antara gerombolan semak di tepi jalan.

Ketika suasana malam semakin larut, terdengar gemuruh derap kaki kuda yang mendatangi Desa Jati Larang. Puluhan ekor kuda itu terhenti ketika orang yang berada di depan mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Jarak antara puluhan penunggang kuda dengan mulut desa hanya terpisah beberapa puluh tombak saja. Belum lagi si pemimpin rombongan mengucapkan sesuatu, tiba-tiba terdengar desingan tajam meluncur ke arah rombongan orang berkuda itu. Dan tanpa dapat dicegah lagi, kuda-kuda tunggangan mereka meringkik nyaring sambil mengangkat kedua kaki depannya. Sesaat kemudian, belasan ekor kuda terdepan langsung roboh setelah terlebih dahulu melemparkan penunggangnya.

Mendadak, di sekitar tempat itu telah bermunculan puluhan batang obor yang tergenggam di tangan para penduduk Desa Jati Larang. Sekejap saja, suasana di mulut desa itu menjadi terang benderang tak ubahnya seperti siang hari. Tentu saja kejadian yang tak terduga itu telah membuat para penunggang kuda itu menjadi terkejut setengah mati. Si pemimpin yang bertubuh tinggi dan berperut gendut itu berteriak menyumpah dan mengancam.

“Bangsat! Monyet jelek kau, Dirga Sura! Awas, kau! Akan kucincang hancur tubuhmu nanti. Akan kuhirup darahmu!” teriak laki-laki gendut itu sambil membanting kakinya ke tanah berulang-ulang.

“Ha ha ha..., Dedemit Jati Palas. Jangan hanya berteriak-teriak seperti nenek-nenek kehabisan sirih. Ayo, buktikan ucapanmu itu,” tiba-tiba terdengar sahutan yang disertai berkelebatnya beberapa sosok tubuh dari semak-semak di tepi jalan.

“Sebaiknya Paman tetap di sini. Biar kami saja yang menghadapi Dedemit Jati Palas itu sesuai janji kita,” ujar Panji sambil melesat ke arah rombongan Dedemit Jati Palas.

“Aku ikut, Kakang!” gadis cantik yang tak lain adalah Trijati itu langsung melompat tanpa menanti persetujuan Panji.

Ki Dirga Sura hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat putrinya sudah melesat ke arah gerombolan tersebut. Hati orang tua itu baru menjadi tenang ketika teringat adanya Pendekar Naga Putih bersama putri tersayangnya itu. Sementara itu pertarungan sudah berlangsung. Balingka yang menjadi tangan kanan Ki Dirga Sura mengamuk hebat dengan pedangnya. Setiap kali pedangnya terayun, terdengar jeritan kematian dari lawannya. Sepak terjang lelaki berkulit hitam itu benar-benar bagaikan algojo yang haus darah.

Rancapala atau Pendekar Tombak Sakti sudah pula bertempur dengan dua orang lelaki kembar yang merupakan pembantu utama dari Dedemit Jati Palas. Pendekar Tombak Sakti sama sekali tidak menduga kalau Dedemit Jati Palas ternyata banyak memiliki pembantu yang tangguh. Sehingga, tokoh utama Perguruan Delapan Naga itu harus mengeluarkan ilmu andalannya untuk menghadapi dua orang lawan yang bertarung saling mengisi itu.

Di bagian lain, tampak Pendekar Kapak Maut tengah mendesak lawannya yang bersenjatakan sebuah clurit yang dapat dilemparkan seperti bumerang. Namun kepandaian orang itu tampak masih di bawah tokoh Perguruan Delapan Naga itu. Terlihat jelas kalau orang yang bersenjata clurit itu kerepotan menghadapi sambaran sepasang kapak bermata dua yang merupakan senjata andalan Barga.

Sedangkan orang yang berjuluk Dedemit Jati Palas sendiri tengah mengamuk ganas! Teriakan-teriakan ngeri terdengar setiap kali tangannya menyambar. Darah berhamburan dan memercik membasahi pakaiannya yang berwarna hitam itu. Pancaran sinar obor menerangi wajahnya yang terlihat menyeringai penuh nafsu membunuh. Dedemit Jati Palas tak ubahnya seperti iblis yang tengah menebar maut.

“Akulah lawanmu, dedemit jelek!” teriak sesosok bayangan ramping yang langsung membabatkan pedangnya ke arah orang itu.

Takkk!

“Ihhh...,” sosok ramping yang ternyata Trijati itu berseru tertahan ketika mata pedangnya berbalik akibat sentilan jari-jari Dedemit Jati Palas yang mengandung tenaga dalam tinggi. Untunglah pada saat itu sesosok bayangan putih berkelebat menyambar tubuh gadis itu. Kalau tidak, tentu Trijati sudah terjatuh dalam tangan lawannya.

“Menyingkirlah, Adik Trijati. Biar aku yang menghadapinya,” kata Panji setelah meletakkan tubuh gadis itu ke tempat yang aman. Setelah berkata demikian, tubuh Pendekar Naga Putih kembali berkelebat ke arah Dedemit Jati Palas yang kembali tengah menyebar maut.

“Dedemit Jati Palas, sambutlah...!” sambil berteriak memperingatkan lawan, tubuh Panji sudah meluncur deras disertai sebuah pukulan yang menimbulkan desiran angin tajam.

Kepala rombongan yang berjuluk Dedemit Jati Palas itu mendengus mengejek. Meskipun tahu kalau angin pukulan serangan itu cukup berbahaya, namun kesombongan telah membutakan matanya. Dia benar-benar memandang rendah melihat usia lawannya yang masih muda itu.

Dukkk!

“Ehhh...!” tubuh tinggi besar berperut gendut itu tersentak mundur sejauh lima tindak. Dan hal itu benar-benar telah membangkitkan kemarahan di hatinya.

“Siapa kau, Anak Muda?! Apa hubunganmu dengan bangsat Dirga Sura itu?” bentak Dedemit Jati Palas. Tampak wajahnya merah padam.

“Namaku Panji. Dan aku tidak punya hubungan apa-apa dengan Ki Dirga Sura. Aku hanya seorang tamu yang kebetulan lewat di sini. Dan sebagai tamu, tentu saja harus membela tuan rumah yang sedang menghadapi pengacau yang mengaku berjuluk Dedemit Jati Palas,” jawab Panji tenang.

“Bangsat! Aku tidak butuh khotbahmu. Hm.... Apa julukanmu sehingga berani menantangku?!” teriak Dedemit Jati Palas geram.

“Ah! Itu tidak perlu ditanyakan. Dan rasanya tidak perlu kujawab. Lebih baik, bersiaplah untuk kukirim ke neraka,” jawab Panji yang membuat mata lawannya melotot bagaikan hendak ke luar.

“Bangsat! Kubunuh kau...!” diiringi bentakan menggeledek, tubuh Dedemit Jati Palas itu melesat ke arah Panji. Kedua tangannya langsung melancarkan tiga buah serangan secara berturut-turut.

Wut! Wut! Wut!

Panji memiringkan tubuhnya ke kiri dan kanan sehingga serangan lawan mengenai tempat kosong. Dan sebelum lawan menarik serangannya, kepalan Panji sudah meluncur menghantam dadanya.

Bukkk!

“Heghk...!” Dedemit Jati Palas terbanting ke tanah ketika dadanya terkena hantaman tangan Panji. Tubuh yang tinggi besar itu menggigil sesaat, dan baru dapat melepaskan pengaruh hawa dingin yang menusuk itu setelah mengerahkan hawa murninya. Diam-diam hati kepala gerombolan itu menjadi terkejut sekali ketika merasakan pukulan yang mengandung hawa dingin itu. Untunglah Panji hanya mengerahkan seperempat tenaga dalamnya, sehingga lawan masih dapat berdiri tegak.

“Siapa sebenarnya kau, Anak Muda...?!” tanya laki-laki gendut itu sambil meneliti sosok Panji dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Darah di tubuhnya berdesir ketika teringat tentang seorang pendekar muda yang memiliki pukulan sedingin es.

“Tidak perlu banyak cakap, Dedemit Jati Palas! Apakah kalau kuberitahu julukanku kau akan mundur?” ledek Panji.

“Bangsat! Setaaan...! Kubunuh kau..., hiaaat...!” teriak Dedemit Jati Palas.

Bukan main murkanya hati laki-laki gendut itu karena diejek sedemikian rupa. Diiringi teriakan nyaring, ia segera menerjang Panji. Kali ini serangannya tidak dapat dipandang remeh. Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu saja di tangannya telah tergenggam sebuah senjata berbentuk gada berduri.

“Hm...!” Panji mendengus pelahan sambil menghindari serangan lawan. Pemuda itu sengaja tidak membalas serangan. Sehingga Dedemit Jati Palas semakin memuncak kemarahannya. Memang itulah yang diinginkan Panji.

Karena pada saat kemarahan lawan semakin memuncak, akan semakin hilanglah pertahanan dirinya. Secara pelahan-lahan Pendekar Naga Putih mulai membalas sesekali. Akibatnya, serangan Dedemit Jati Palas seringkali berbalik akibat angin pukulan yang keluar dari dua tangan Panji. Beberapa kali laki-laki gemuk itu terdorong mundur dengan tubuh menggigil kedinginan, untuk kemudian menyerang kembali secara kalap.

Sementara itu Pendekar Tombak Sakti yang sudah menggunakan senjatanya, sudah mulai dapat mendesak lawan. Secara pelahan tapi pasti, kedua lawannya terkurung dalam serangan tombak baja putih pendekar itu.

Bret!

“Aaakh...!” Salah seorang lawan Pendekar Tombak Sakti menjerit kesakitan ketika ujung tombak pendekar itu tertancap di perutnya. Tubuh orang itu melambung setelah disentakkan ke atas, lalu terbanting ke atas tanah dan tewas seketika dengan perut hancur!

Pada saat yang bersamaan, ujung pedang lawannya yang seorang lagi telah berhasil menggores bahu Rancapala. Cepat-cepat pendekar itu menggulingkan tubuhnya untuk menghindari serangan berikut dari lawan. Dan ketika melihat lawannya melompat mengejarnya, Rancapala cepat-cepat menusukkan tombaknya dari bawah ke atas.

“Aaakh...!” Tombak berkait milik Rancapala telah menembus tubuh lawan. Langsung dicabut senjatanya sehingga kaitan yang berada dekat ujung tombak merobek perut lawannya yang tewas seketika itu juga. Darah langsung muncrat ke mana-mana.

Di bagian lain, Pendekar Kapak Maut sudah pula mengakhiri nyawa lawannya. Kapak yang memiliki mata pada kedua ujungnya itu telah membabat putus leher lawan! Begitu lawannya tewas, dia bergegas membantu yang lainnya.

Tidak ketinggalan pula Ki Dirga Sura. Senjatanya yang berupa golok panjang itu berkelebat mencari mangsa. Pakaiannya yang semula berwarna putih itu sudah tidak nampak warna aslinya, karena dipenuhi darah lawan. Keringat sudah mengalir deras membasahi pakaiannya. Namun Kepala Desa Jati Larang itu masih terus mengamuk tanpa mengenal lelah.

Di sebelah kirinya, Trijati pun ikut pula membantu ayahnya dengan pedang di tangan. Sesekali tangan dan kakinya melepaskan sebuah tendangan maupun pukulan yang langsung disusul sambaran pedangnya. Sehingga dalam pancaran sinar obor, gadis cantik itu nampak bagai seorang dewi yang sedang menyebar maut.

Setelah cukup lama pertempuran berlangsung, tampak para penduduk Desa Jati Larang mulai menguasai arena pertempuran. Untunglah para penduduk desa itu dibantu tokoh-tokoh utama Perguruan Delapan Naga. Kalau tidak, mana mungkin dapat memenangkan pertempuran itu? Yang jelas, mereka bukanlah orang persilatan seperti halnya musuh mereka.

Tidak lama kemudian, pertempuran pun berakhir. Para pengikut Dedemit Jati Palas yang sudah kehilangan keberaniannya terpaksa menyerah dan membuang senjatanya. Para penduduk Desa Jati Larang pun bersorak menyambut kemenangan itu.

Pada saat yang sama, pertempuran antara Pendekar Naga Putih melawan Dedemit Jati Palas pun sudah pula akan berakhir. Panji yang telah merasa cukup mempermainkan lawannya, segera melompat ke belakang dan bersiap mengakhiri pertarungan itu. Dedemit Jati Palas yang mengira lawannya ingin melarikan dia, bergegas mengejarnya. Tubuhnya meluncur disertai ayunan gada berdurinya yang menimbulkan desiran angin keras. Namun tubuh tinggi besar itu terpental kembali ketika senjatanya terbentur selapis kabut bersinar putih keperakan yang melindungi tubuh Panji. Tubuh Dedemit Jati Palas menggigil karena hawa dingin telah merasuk dalam tubuhnya.

“Pendekar Naga Putih...!” teriaknya parau. Hatinya mulai dihinggapi rasa takut ketika mengetahui siapa lawannya.

Pada saat itu tubuh Panji sudah melesat disertai ayunan tangannya yang berbentuk cakar naga. Serangkum angin dingin yang dapat membekukan tubuh, berhembus keras mengiringi pukulan Panji.

Bret!

“Aaarghhh...!” Diiringi raungan panjang menyayat, tubuh Dedemit Jati Palas terlempar keras bagai dilempar tangan raksasa. Tubuh yang tinggi besar itu jatuh deras menghantam tanah. Napasnya kontan putus dengan mata terbeliak.

“Kau tidak apa-apa, Kakang Panji...!” sesosok bayangan ramping yang tak lain adalah Trijati berlari menyongsong Panji.

“Tidak, Adik Trijati. Mari kita temui ayahmu,” ajak Panji yang jadi merasa kikuk mendapat perhatian begitu rupa dari gadis itu.

Malam itu juga Ki Dirga Sura memerintahkan penduduk desa untuk menguburkan mayat-mayat korban pertarungan. Dan kini mereka pun kembali ke desa.

********************

DELAPAN

Tiga sosok bayangan hitam tampak menyelinap di antara bayang-bayang pepohonan. Mereka tak lain adalah Panji, Rancapala, dan Barga. Ketiganya bergerak hati-hati mendekati sebuah pintu gerbang yang dikelilingi tembok tinggi.

“Tidak salah lagi! Inilah tempat kediaman si Jari Maut Pencabut Nyawa, seperti yang dikatakan Ki Dirga Sura itu,” bisik Rancapala.

“Tapi, mengapa tampak sepi sekali? Sedangkan menurut keterangan Ki Dirga Sura, tempat ini dijaga beberapa tukang pukul,” sergah Barga heran.

“Entahlah! Jangan-jangan mereka telah mengetahui kedatangan kita. Dan siapa tahu, ini merupakan sebuah jebakan!” sahut Rancapala seperti terpengaruh ucapan Barga.

Sementara Pendekar Naga Putih masih terus meneliti bagian luar gedung itu. Seolah-olah, pemuda itu tengah mencari jalan masuk yang aman dan tak terjaga. “Hm, rasanya sulit sekali menyelinap ke tempat itu tanpa diketahui penghuninya. Bagaimana pendapat Paman?” tanya Panji seraya menoleh kepada kedua orang pendekar itu.

Untuk beberapa saat lamanya, baik Rancapala maupun Barga hanya termenung mendengar pertanyaan Panji. Kemudian pandangan mereka kembali beralih ke arah bangunan itu.

“Yah! Memang sulit sekali untuk menyelinap masuk tanpa diketahui penghuninya. Apalagi kita belum mengetahui keadaan di balik pintu gerbang itu,” sahut Rancapala sambil terus berpikir keras.

“Apakah kau ada usul, Saudara Panji...?” tanya Barga tiba-tiba, seperti ingin mengetahui pikiran pemuda perkasa itu.

“Bagaimana kalau kita menyelinap masuk secara berpencar, Paman? Akan kucoba masuk melalui belakang bangunan itu. Sedangkan Paman berdua dapat melompat masuk melalui tembok di depan itu,” usul Panji sambil menunjuk ke arah pohon besar yang tumbuh di samping tembok.

Setelah berpikir sesaat lamanya, dua orang tokoh Perguruan Delapan Naga itu pun mengangguk menyetujui. Dan mereka langsung membuat rencana. Tidak lama kemudian, tampak Panji meninggalkan kedua orang itu, lalu melesat ke belakang bangunan tempat tinggal Jari Maut Pencabut Nyawa. Pemuda itu bergegas meneliti bagian belakang bangunan untuk mencari tempat masuk yang aman. Sekali menggenjotkan kakinya, tubuh Pendekar Naga Putih langsung melambung dan hinggap di atas tembok batu yang agak terlindung.

“Hm..., tepat seperti yang kuduga. Tempat seperti ini pastilah mempunyai taman pada sudutnya,” gumam Panji sambil tersenyum. Sejurus kemudian, tubuhnya sudah meluncur turun ke bagian belakang taman.

Keberuntungan rupanya tengah menyertai Pendekar Naga Putih. Di saat tengah kebingungan mencari tempat Kenanga disekap, seorang laki-laki setengah baya berpakaian seperti tukang kebun, melintas di dekatnya. Tanpa banyak kesukaran, Panji melumpuhkan orang itu, lalu menyeretnya ke semak-semak untuk mengorek keterangan dari mulut orang itu.

Beberapa saat kemudian, tubuh pemuda itu keluar dari semak-semak. Panji berlari sambil sesekali merapatkan tubuhnya ke dinding. Pendekar muda itu menyusuri jalanan berbatu kerikil yang menuju ke kandang kuda. Sebab menurut keterangan tukang kebun yang baru saja dilumpuhkannya tadi, ada seorang gadis jelita yang disekap di kamar yang letaknya dekat kandang kuda itu. Siapa lagi kalau bukan Kenanga?!

Sedangkan di bagian depan, Pendekar Tombak Sakti dan Pendekar Kapak Maut sudah memasuki halaman. Mereka bergerak cepat tanpa menimbulkan suara, menyelinap di balik batang pohon yang tumbuh di halaman. Baru saja Rancapala dan Barga bergerak ke samping gedung, tiba-tiba terdengar suara berdesing tajam yang meluncur ke arah mereka.

Singgg! Singgg...!

Trak! Trak...!

Empat batang anak panah langsung runtuh dalam keadaan patah! Di tangan masing-masing telah tergenggam senjata andalan mereka. Keduanya langsung bersiaga ketika menyadari kalau kedatangan mereka telah diketahui lawan. Ketika kembali terdengar suara desingan anak panah, Rancapala dan Barga menyimpan senjatanya. Cepat-cepat keduanya menangkis dengan menggunakan sisi telapak tangan miring. Empat batang anak panah itu kontan berbalik kepada tuannya.

“Aaakh...!”

Empat orang yang melepaskan anak panah itu langsung terjungkal tewas. Dada dan leher masing-masing telah ditembus sebatang anak panah yang mereka lepaskan tadi.

“Maling keparat! Siapa kalian?! Dan apa maksud kalian menyusup ke dalam gedung ini?!” bentak seorang laki-laki pendek gemuk sambil melintangkan senjatanya di depan dada.

“Siapa pun kami, bukan urusanmu! Lebih baik laporkan kepada majikanmu bahwa kami datang untuk mengambil nyawanya!” teriak Pendekar Tombak Sakti tak kalah garangnya.

“Bangsat! Kurobek mulutmu yang lancang itu!” setelah berkata demikian, orang itu langsung menerjang dua orang tokoh Perguruan Delapan Naga yang kemudian diikuti kawan-kawannya yang lain.

Dalam sekejap saja dihalaman samping gedung itu telah terjadi pertempuran sengit! Rancapala dan Barga tidak tanggung-tanggung lagi membalas serangan-serangan lawannya. Senjata-senjata mereka berkelebatan mengancam tubuh lawan yang berjumlah delapan orang itu.

Ternyata kedelapan orang itu memiliki kepandaian yang tidak rendah! Sepuluh jurus telah terlewati, namun dua orang pendekar itu belum juga mampu merobohkan seorang lawan pun. Tentu saja hal ini membuat Rancapala dan Barga menjadi penasaran. Padahal mereka dikenal sebagai tokoh-tokoh utama Perguruan Delapan Naga. Tapi, sampai sekian lama belum juga dapat melukai lawan. Hal itu benar-benar di luar perhitungan mereka.

“Hiaaat..!” Pendekar Kapak Maut berteriak melengking disertai ayunan kapaknya dalam jurus ‘Kapak Maut Pembelah Bumi’. Kedua mata kapak berkilatan menyilaukan mata lawan. Dan tanpa dapat dicegah lagi....

Cras! Cras!

Sepasang kapak maut di tangan Barga membeset perut dan leher seorang lawannya. Seketika itu juga, salah seorang pengeroyok tewas tanpa sempat berteriak karena kepalanya telah terpisah dari badan!

Tepat pada saat itu, tombak di tangan Rancapala meliuk bagaikan seekor ular menuju sasaran. Lawannya berkelit sehingga mata tombak itu tidak mengenai lehernya. Tapi justru itulah yang diinginkan Rancapala. Tepat pada saat itu, ditarik pulang tombaknya sehingga kaitan yang melengkung ke dalam, membeset urat leher lawannya. Darah segar menyembur keluar dari luka itu. Orang itu berkelojotan meregang nyawa untuk kemudian diam tak berkutik. Mati.

Dua orang tokoh utama Perguruan Delapan Naga itu terus merangsek lawan-lawannya. Jurus-jurus pilihan yang digunakan mereka benar-benar hebat dan menggiriskan sekali. Lewat tiga jurus kemudian, kembali dua orang pengeroyok itu menggelinding tewas.

Rancapala dan Barga seolah-olah sepakat untuk berlomba membunuh lawan sebanyak-banyaknya. Mereka seakan-akan bersaing dan saling mendahului merobohkan lawan, sehingga tindakan mereka tidak kepalang tanggung. Pada saat keduanya mulai mendesak lawannya, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan mengguntur yang dibarengi berkelebatnya dua sosok tubuh tinggi besar, dan langsung menerjunkan dirinya ke dalam arena.

“Ha ha ha...! Rupanya cecurut-cecurut dari Perguruan Delapan Naga telah berani mati memasuki sarang macan,” salah seorang dari kedua laki-laki tinggi besar yang ternyata adalah Soma itu tertawa mengejek.

“Ayo! Kita antarkan mereka ke neraka, Kakang,” seru seorang lagi yang tak lain adalah Ludira. Setelah berkata demikian, dia pun langsung menerjang Pendekar Kapak Maut.

Dengan masuknya dua orang pengawal Jari Maut Pencabut Nyawa itu, tentu saja Rancapala dan Barga menjadi kelabakan. Dalam beberapa jurus saja kedua orang pendekar itu terdesak hebat!

Bukkk!

“Akh...,” terdengar keluhan tertahan dari mulut Pendekar Tombak Sakti.nTampak tubuh Rancapala terpental bergulingan ketika kepalan Soma yang hampir sebesar kepala bayi itu menghantam dadanya. Pendekar itu cepat bangkit meski agak terhuyung. Dari bibirnya mengalir cairan merah membasahi pakaiannya. Rancapala menghirup udara banyak-banyak untuk mengusir rasa sesak di dadanya. Tombak berkaitnya melintang di depan dada, siap menghadapi segala kemungkinan.

Pada saat yang bersamaan, Pendekar Kapak Maut pun terpelanting akibat tendangan Ludira yang hinggap di lambungnya. Wajahnya menyeringai menahan sakit pada lambungnya. Pendekar itu cepat menggulingkan tubuhnya ke kiri ketika melihat lawannya kembali menerjang.

Derrr!" Tanah tempat Barga tadi terjatuh melesak akibat injakan kaki yang hampir sebesar kaki gajah itu. Kalau saja Barga tidak sempat menghindar, tentu perut pendekar itu telah remuk akibat injakan kaki Ludira!

“Aaarghhh...!” Tiba-tiba terdengar teriakan menyayat yang dibarengi terpentalnya empat orang pengeroyok pendekar itu. Keempat orang itu berkelojotan tewas akibat goresan dalam dan memanjang di tubuh mereka.

“Manusia-manusia pengecut!” bentak seorang wanita cantik mengenakan pakaian serba merah. Sebilah pedang bersinar kehijauan tergenggam erat di tangannya. Wanita itu tampak bagaikan seorang dewi yang turun dari langit untuk menyelamatkan mereka.

“Paman, aku datang membantu...!” seru seorang dara lain yang tidak kalah cantiknya dengan si baju merah. Di tangan dara itu pun tergenggam sebatang pedang bernoda darah.

“Dewi Tangan Merah...!” seru Pendekar Tombak Sakti gembira.

“Trijati...!? Mengapa kau menyusul kami?” teriak Barga cemas.

Namun, mereka tidak sempat untuk berpanjang kata lagi. Ternyata pada saat itu lawan sudah datang menyerbu. Tanpa banyak cakap lagi, keempat orang itu segera menyambut serangan lawan-lawan mereka. Pertarungan pun kembali berlangsung seru dan sengit

“Ha ha ha...! Apa yang kau cari, Pendekar Naga Putih?” tiba-tiba terdengar sebuah suara yang membuat Panji tersentak kaget.

Pemuda itu cepat menoleh ke arah tempat penyimpanan makanan kuda. Ditatapnya pemuda bertubuh tinggi tegap yang wajahnya ditumbuhi bulu-bulu lebat, namun tertata apik itu. Dia memang Jaya Sukma, yang tengah memandang sambil tersenyum mengejek.

“Jari Maut Pencabut Nyawa! Mari kita bertanding secara jantan, jangan hanya pandai menculik wanita!” tantang Panji. Wajahnya tetap tenang tanpa kemarahan. Hanya sinar matanya saja yang mencorong tajam bagaikan mata naga yang murka karena merasa terusik.

“Baik! Kita bertanding dengan taruhan gadis jelita itu. Bagaimana?” usul Jaya Sukma sambil melangkah tenang menghampiri Panji.

“Apa maksudmu, Jari Maut?” tanya Panji meski sebenarnya sudah mengerti ke mana arah pembicaraan orang itu.

“Begini. Kalau dalam pertandingan nanti aku kalah, kau boleh ambil gadis itu. Tapi jika aku menang, maka kau harus rela menyerahkannya untukku. Kalau kau merasa takut, silakan tinggalkan tempat ini sekarang juga!” tegas Jaya Sukma penuh kesombongan.

“Baik, aku terima usulmu,” jawab Panji setelah termenung beberapa saat lamanya.

“Ikuti aku,” ajak Jari Maut Pencabut Nyawa sambil melangkah ke sebuah tanah lapang berumput yang cukup luas.

Kedua orang pemuda tampan yang sama-sama memiliki kesaktian tinggi itu berdiri berhadapan dalam jarak empat tombak. Mereka saling tatap dengan sinar mata yang dapat merobohkan seorang berkemampuan rendah.

“Hiaaat..!” disertai teriakan melengking tinggi, Jaya Sukma menerjang Panji yang berdiri tegak siap menyambut serangan lawan. Serangkum angin panas menyebar ke sekitar arena pertarungan.

Melihat lawan telah langsung mengeluarkan ilmu andalan yang ganas dan mengerikan itu, bergegas Panji mengerahkan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ yang dahsyat. Selapis kabut bersinar putih keperakan tampak mulai menyelimuti tubuh. Hawa dingin menebar di sekitar tubuhnya.

"Wusss!" Tusukan jari Jaya Sukma yang berwarna kemerahan itu cepat dielakkan Panji dengan menggeser tubuhnya ke kiri. Sedangkan jari-jari tangan Pendekar Naga Putih yang berbentuk cakar naga itu menyambar cepat ke pelipis lawan, disusul tendangan kaki kanannya ke arah lambung.

Mendapat serangan balasan secara beruntun itu, tidak membuat Jaya Sukma gugup. Cepat-cepat ditarik kaki kanannya ke belakang disertai liukan tubuhnya. Sementara tangan kirinya meluncur ke arah tenggorokan lawan, cepat dan tak terduga.

Dukkkk!

Mereka masing-masing terdorong mundur ketika Panji menggerakkan tangannya menangkis serangan itu. Baik Pendekar Naga Putih maupun Jari Maut Pencabut Nyawa sama-sama merasakan kalau lengannya tergetar akibat pertemuan tenaga dalam tinggi itu.

“Hm...!” Sambil mendengus kasar, Jari Maut Pencabut Nyawa menarik kedua tangannya ke pinggang. Kemudian, didorong tangannya ke atas secara pelahan-lahan dan bersilangan. Terdengar suara bergemeletuk ketika tenaga saktinya mengalir di kedua lengannya. Cahaya kemerahan yang menebarkan hawa panas, menyelimuti lengan Jaya Sukma sebatas bahu. Rupanya si Jari Maut Pencabut Nyawa telah mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya.

Merasakan hawa panas yang menyengat kulit semakin kuat memenuhi arena pertarungan, bergegas Panji menghirup udara sebanyak-banyaknya. Lapisan kabut bersinar putih keperakan yang menyelimuti tubuhnya tampak semakin lebar dan menebal. Hawa dingin berhembus keras, sehingga pohon yang tumbuh tidak jauh dari situ tampak terlapisi butiran-butiran salju pada batang dan daunnya.

“Yeaaaa...!” dengan teriakan membahana, Jaya Sukma melesat ke arah Panji. Serangannya kali ini benar-benar menggiriskan. Daun-daun pohon yang berjarak dua meter dari tubuhnya langsung mengering akibat hawa panas yang berhembus dari tubuhnya. Kedua jari tangannya menusuk beberapa kali, sehingga menimbulkan suara mencicit tajam.

Panji yang memang sudah menduga kalau lawannya memiliki kepandaian sangat tinggi itu, bergerak cepat mengelakkan serangan. Langsung saja dibalas serangan itu dengan tidak kalah berbahayanya. Pertempuran dua pemuda yang sama-sama memiliki ilmu kesaktian luar biasa itu benar-benar hebat dan mendebarkan. Pohon-pohon yang berada di sekitar arena pertempuran itu satu-persatu tumbang dan saling tumpang tindih.

"Glarrr!" Sebuah pukulan Jari Maut Pencabut Nyawa menghantam pohon yang berada di belakang Pendekar Naga Putih. Pohon sepelukan orang dewasa itu langsung tumbang dalam keadaan hangus! Untunglah, Panji cepat-cepat menghindar jika tidak ingin tewas terlanggar pukulan maut itu.

Jurus demi jurus berlalu cepat. Dan tanpa disadari pertarungan telah memasuki jurus kesembilan puluh tujuh. Namun sampai sekian jauh, belum ada tanda-tanda siapa yang akan keluar sebagai pemenang.

Sementara di tepi arena, terlihat Rancapala, Barga, dan Trijati tengah menyaksikan pertarungan antara Panji melawan Jaya Sukma. Rupanya mereka telah berhasil mengakhiri perlawanan Soma, Ludira, dan para pembantunya. Hanya Dewi Tangan Merah yang tidak tampak.

Rancapala dan Barga tampak mengalami luka cukup parah. Noda-noda darah tampak terlihat di beberapa bagian pakaian mereka. Keduanya bersandar lemah pada sebatang pohon. Rupanya meskipun berhasil menghabisi lawan-lawannya, mereka pun tidak terlepas dari luka akibat serangan lawan. Sementara Trijati tampak memandang ke arah pertarungan dengan wajah cemas. Sesekali dara cantik itu menahan napas ketika Panji terdesak. Kemudian wajahnya kembali berseri pada saat Panji dapat menguasai Jaya Sukma.

“Trijati, jangan mendekat! Pertarungan itu berbahaya sekali!” seru Pendekar Tombak Sakti lemah ketika melihat dara itu hendak mendekati arena pertarungan maut itu.

Mendengar peringatan Rancapala, Trijati mengurungkan niatnya. Tapi, matanya tak lepas-lepas memandang ke arena pertarungan. Pada saat itu pertarungan sudah melewati jurus yang keseratus lima puluh, Jaya Sukma yang penasaran semakin memperhebat serangannya. Hingga pada suatu saat, pemuda itu melontarkan kedua tangannya ke dada Pendekar Naga Putih. Padahal padi saat bersamaan, Panji mendorongkan sepasang tangannya! Dan....

Blarrr!

“Aaakh...!”

Kedua orang yang mengadu tangan itu berseru tertahan. Ledakan keras yang terdengar begitu memekakkan telinga. Bahkan tanah di sekitar arena pertarungan bagaikan digoncang gempa!

Pendekar Naga Putih dan Jari Maut Pencabut Nyawa terlempar terguling-guling akibat benturan yang maha dahsyat itu. Cairan merah menetes dari sela-sela bibir mereka. Tubuh Jaya Sukma menggigil kedinginan, sedangkan Panji merasakan seluruh tubuhnya bagaikan terpanggang.

Dan kini mereka kembali berhadapan meski kuda-kuda masing-masing sudah tidak mantap lagi. Tiba-tiba Jaya Sukma mengebutkan tangan kanannya. Maka tiga buah sinar putih seketika meluncur deras ke arah Panji. Pada saat Pendekar Naga Putih melempar tubuhnya menghindari terjangan tiga buah sinar putih yang ternyata jarum beracun itu, Jaya Sukma melontarkan pukulan ‘Jari Maut’ secara licik. Seberkas sinar kemerahan menyambar tubuh Panji.

Cusss!

“Akh...!” Panji mengeluh tertahan. Meskipun Panji mencoba berkelit, namun sinar kemerahan itu masih juga menyerempet bahunya. Untunglah tubuhnya masih terlindung lapisan kabut keperakan, sehingga ilmu pukulan ‘Jari Maut’ tidak sampai melukai tubuhnya. Pemuda sakti itu terjajar mundur sambil memegangi bahu kirinya yang terasa nyeri dan agak panas.

“Hiyaaa...!” Disertai teriakan nyaring, tubuh Panji melesat dengan jurus ‘Naga Mengguncang Bumi’. Kedua tangannya bergerak cepat menimbulkan angin dingin yang menderu-deru.

Jaya Sukma terjajar mundur, dan tubuhnya bagaikan dikelilingi dinding-dinding salju yang tak tampak. Jari Maut Pencabut Nyawa itu tak sempat lagi menghindar ketika tangan kanan Panji telah menghantam lambungnya.

Brettt!

“Aaargh...,” Jaya Sukma menjerit kesakitan, dan tubuhnya terlempar sejauh tiga batang tombak. Lambungnya yang terkoyak akibat cakaran tangan kanan Panji tampak meneteskan darah kental berwarna agak kehitaman. Dan selagi berusaha bangkit, kedua tangan Pendekar Naga Putih telah menghantam dadanya.

Desss! Bukkk!

“Aaakh...!”

“Hughk..!”

Tubuh Jari Maut Pencabut Nyawa terhempas bagai sehelai daun kering diiringi jeritan menyayat. Setelah bergetar sesaat, tubuhnya diam tak berkutik lagi. Mati.

Namun akibat yang dialami Panji juga cukup parah. Tubuhnya terpelanting akibat tendangan kaki lawannya. Rupanya pada saat-saat terakhirnya, Jaya Sukma masih sempat melepaskan tendangan ke lambung Pendekar Naga Putih. Untunglah Panji bertindak cepat dengan menelan sebutir pil berwarna putih untuk mengobati luka di lambung. Dikerahkannya hawa murni untuk mempercepat penyembuhan luka dalam yang dideritanya.

“Kakang Panji! Kau..., kau terluka...?” tiba-tiba Trijati yang sejak tadi mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu segera berlari mendekati Panji yang sudah bergerak bangkit dari duduknya.

“Ohhh, hanya luka sedikit. Hei? Trijati! Mengapa kau berada di tempat ini?” tanya Panji terkejut. Pemuda itu merasa kikuk sekali ketika menyadari kedua lengan gadis itu bergayut di bahunya. Tangan Panji bergerak, menurunkan tangan gadis itu dari bahunya.

Namun, rupanya Trijati salah mengerti. Ketika merasa tangannya dipegang pemuda itu, gadis itu segera menyambut dan meremas tangan pemuda yang sangat dikaguminya itu. Sehingga secara sepintas, keduanya seperti sepasang kekasih yang sedang menumpahkan rindu.

Kenanga yang saat itu sedang menghampiri ditemani Dewi Tangan Merah yang telah membebaskannya dari kamar tempat dia disekap, menatap kaget, bibirnya bergetar penuh kemarahan. Terdengar isak tertahan keluar dari kerongkongannya. Dara jelita itu langsung berbalik dan berlari. Samar-samar terdengar isaknya yang memilukan.

Panji cepat menoleh ketika mendengar langkah orang berlari dari arah belakangnya. Wajah pemuda itu berubah pucat ketika mengenali gadis yang sedang berlari sambil terisak itu. “Kenanga...!” teriak Panji sambil berlari mengejar Kenanga yang terlihat mengecil karena mereka sudah terpisah cukup jauh.

“Kakang! Kau..., kau mau ke mana?” tiba-tiba sepasang tangan halus memegang erat lengan kanan Panji, sehingga pemuda itu terpaksa menahan langkahnya.

“Maafkan aku, Trijati. Gadis itu adalah tunanganku, dan aku harus mengejarnya,” jelas Panji. Wajahnya terlihat sedih. “Adik Sundari, tolong berikan obat ini kepada Paman Rancapala dan Paman Barga untuk mengobati luka mereka. Maaf, aku harus pergi dulu.”

Panji cepat menyerahkan dua buah pil berwarna putih kepada Dewi Tangan Merah. Setelah menemukan Kitab Jari Maut yang berada di balik jubah Jaya Sukma, Panji pun bergegas menyusul Kenanga. Dan sekali berkelebat, tubuh Pendekar Naga Putih hanya tinggal bayangan yang semakin lama semakin mengecil. Panji terus mengejar Kenanga yang berusaha menghindar darinya.

“Kakang Panji...!” tinggal Trijati berdesah lemah di antara isaknya. Dia menyadari bahwa Pendekar Naga Putih bukan miliknya. Ternyata pendekar itu telah memiliki wanita pujaannya sendiri...!

S E L E S A I

Jari Maut Pencabut Nyawa

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Jari Maut Pencabut Nyawa
Karya T. Hidayat
Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cerita silat serial Pendekar Naga Putih


SATU

“Hait... hiaaat...!”

Keheningan pagi yang sejuk, tiba-tiba saja dipecahkan teriakan-teriakan orang yang sedang berlatih silat. Untunglah suara teriakan itu sama sekali tidak merusak keindahan sang pagi. Seolah-olah suara itu memang bagian dari pagi itu sendiri, sehingga semakin menambah semarak suasana hari ini. Sesosok tubuh ramping tampak bergerak lincah disertai ayunan pedang hitamnya yang menimbulkan hawa maut. Dari gerakannya yang ringan dan bertenaga kuat, dapat diduga kalau sosok tubuh ramping itu memiliki kepandaian yang tidak rendah.

“Hiaaat...!” Dibarengi sebuah pekikan tinggi, tubuh ramping itu meluncur dan berputar ke depan bagai baling-baling. Sedangkan pedang hitam di tangannya menusuk dengan kecepatan yang menggetarkan!

Wuuung! Wuuung...!

Prasss! Prasss...!

Hebat sekali akibat yang ditimbulkan gerakan itu. Sebuah dahan pohon setinggi tiga tombak, terpapas habis daun-daunnya tanpa sebuah goresan pun terdapat di batangnya. Sebuah ilmu pedang yang tidak bisa dianggap enteng.

Setelah bersalto tiga kali di udara, sosok tubuh ramping itu mendaratkan kakinya ringan di tanah. Ternyata dia seorang gadis yang berparas sangat cantik! Kalau dilihat dari raut wajah, paling jauh usianya sekitar delapan belas tahun. Namun, kepandaian yang dimilikinya sudah demikian hebat! Benar-benar seorang gadis tak ada duanya.

“Ha ha ha...! Bagus...! Bagus, Cucuku! ‘Ilmu Pedang Bidadari Menabur Bunga’ yang kau mainkan tadi sudah cukup baik. Hanya saja dalam gerakan-gerakanmu tadi ada beberapa bagian yang perlu diperbaiki.” Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di belakang gadis itu telah berdiri seorang kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun.

“Eyang...!” Gadis bertubuh ramping yang mengenakan pakaian serba hijau itu berseru gembira. Dengan wajah beseri-seri, ia berlari menghampiri kakek itu. Rambutnya yang panjang dan berwarna hitam pekat itu bergoyang lembut mengikuti ayunan langkahnya. Langsung dijatuhkan dirinya, berlutut di hadapan kakek itu.

“Eyang, aku mohon petunjuk...,” pinta gadis jelita itu sambil berlutut. Suara yang keluar dari sela-sela bibir mungil itu demikian merdu, tak ubahnya nyanyian indah.

“Kenanga, Cucuku. Sifatmu yang selalu merendah dan tidak suka menonjolkan kelebihan, membuat Eyang semakin yakin bahwa engkau tidak mungkin akan menyalahgunakan kepandaian yang kuturunkan kepadamu. Dan sifat itu pulalah yang akan menjauhkan dirimu dari segala bencana dalam pengembaraanmu di dunia persilatan nanti,” ucap kakek itu sambil mengusap rambut kepala gadis yang bernama Kenanga. Kedua mata kakek itu sejenak meredup ketika mengucapkan kata-kata terakhir yang membuat hatinya bergetar.

“Eyang. Apa..., apa maksud Eyang...? Apakah Eyang sudah tidak menyayangiku lagi?” tanya Kenanga terkejut. Dengan gerakan pelahan, gadis itu segera bangkit berdiri. Ditatapnya sepasang mata tua di hadapannya itu, penuh ketidakmengertian.

Kakek tua itu cepat menguasai perasaan agar muridnya tidak mengetahui apa yang tengah dirasakannya saat ini. Dengan penuh kasih sayang diusap-usapnya rambut kepala muridnya. Tubuh tua itu kemudian berbalik dan melangkah pelahan-lahan menuju sebuah pondok kayu yang letaknya tidak jauh dari tempat muridnya biasa berlatih silat.

Kenanga yang hatinya masih dipenuhi tanda tanya itu termenung sejenak. Dan tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu pun bergegas menyusul gurunya. Disejajarkan langkahnya di sisi gurunya dengan kepala tertunduk dalam-dalam. Wajahnya yang semula berseri penuh kegembiraan, kini terlihat muram. Bahkan sang mentari pagi yang semula bersinar cerah mendadak meredup, seolah-olah ikut merasakan kemurungan dara jelita ini.

Sementara tanpa disadari mereka, tiga pasang mata tengah mengawasi dari balik semak-semak yang berjarak kurang lebih lima belas tombak di belakang.

“Duduklah, Cucuku,” ujar kakek itu lembut. “Angkatlah kepalamu. Janganlah suasana pagi yang indah ini dirusak oleh kemurunganmu. Tersenyumlah, Cucuku. Kuasailah hatimu dan janganlah mudah terhanyut oleh perasaan.”

Kenanga tersentak ketika mendengar ucapan gurunya. “Ahhh, mengapa aku jadi lupa pada pelajaran yang selalu Eyang berikan? Yahhh, Eyang benar! Aku tidak boleh terlalu larut dalam perasaan. Apalagi itu merupakan pantangan bagi orang yang memiliki ilmu silat,” ucap gadis jelita itu dalam hati.

Kakek tua itu tersenyum lebar ketika melihat wajah muridnya cerah kembali. Kegembiraan kakek itu bukanlah disebabkan berserinya wajah Kenanga, tapi karena muridnya ternyata telah mengerti maksud yang terkandung dalam ucapannya tadi.

“Maafkan aku, Eyang. Aku terlalu mengikuti perasaan. Habis ucapan Eyang tadi terlalu tiba-tiba datangnya,” ucap Kenanga dengan suara pelahan. Namun, wajahnya sudah berseri kembali karena sudah dapat menguasai perasaannya.

“Kenanga, kau masih muda dan masih punya banyak keinginan. Apakah ingin tinggal di hutan ini selamanya, dan tidak ingin melihat dunia ramai lagi? Kalau begitu, untuk apa gunanya mempelajari ilmu silat? Bukankah segala ilmu yang dimiliki harus diamalkan? Lalu, bagaimana akan mengamalkannya di tempat terasing seperti ini?” kakek itu melontarkan pertanyaan bertubi-tubi dengan lembut, namun mengandung kebenaran yang tidak bisa dibantah oleh Kenanga.

“Tapi, siapakah yang akan mengurus keperluan Eyang?” tanya gadis itu, masih berusaha mencari alasan karena hatinya masih merasa berat untuk meninggalkan gurunya.

“Ha ha ha...! Bukankah sebelum ada dirimu aku telah dapat memenuhi kebutuhanku sehari-hari? Nah, apa lagi alasanmu sekarang?”

“Tapi.... Tapi, Eyang....”

“Aaah! Sudahlah, Cucuku. Lebih baik sekarang persiapkan segala keperluanmu untuk bekal di perjalanan nanti. Lagipula, bukankah kau ingin cepat-cepat bertemu pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih yang dulu pernah kau ceritakan padaku,” goda kakek itu sambil tersenyum.

“Ah, Eyang...,” Kenanga tertunduk malu ketika diingatkan tentang Panji (Bagi Anda yang ingin mengetahui kisah pertemuan Kenanga dengan Panji, silakan baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode Tiga Iblis Gunung Tandur). Wajahnya dijalari rona merah ketika teringat pemuda pujaannya itu. Selintas tersirat di mata dara jelita itu butir-butir kerinduan yang telah lama terpendam dalam hati.

Samar-samar terdengar helaan napas berat berhembus dari hidungnya yang berbentuk indah itu. Begitu indahnya lamunan yang menghanyutkan gadis itu sehingga tidak sadar kalau gurunya telah meninggalkannya beberapa saat yang lalu. Ketika tersadar, gadis jelita itu pun bergegas meninggalkan tempat itu untuk menyusul gurunya yang telah kembali ke tempat tinggal mereka.

********************

Pada hari kedua setelah kepergian Kenanga, dua orang laki-laki tinggi besar melangkah mendatangi pondok tempat tinggal guru gadis itu.

“Hei, Raja Pedang Pemutus Urat! Keluar kau!” teriak salah satu dari mereka dengan suara mengguntur. Tubuhnya sedikit lebih tinggi dari kawannya. Wajahnya dipenuhi bulu hitam lebat sehingga nampak gagah dan menyeramkan.

Setelah hening sejenak, pintu pondok pun terkuak. Maka muncullah kakek tua yang menjadi guru Kenanga. Ternyata, dia berjuluk Raja Pedang Pemutus Urat. Sebuah julukan yang tidak asing lagi bagi kaum persilatan. Kening kakek itu agak berkerut seolah berusaha mengenali kedua pendatang itu.

“Hm.... Siapakah Kisanak berdua, dan ada keperluan apa mencariku?” tegur Raja Pedang Pemutus Urat, suaranya tenang dan lembut.

“Kami adalah dua saudara, berjuluk Gorila Batu. Dan maksud kedatangan kami untuk meminjam Kitab Jari Maut yang kau miliki,” kali ini yang berbicara adalah orang yang berkepala gundul.

Raja Pedang Pemutus Urat terkejut bukan main mendengar permintaan yang di luar dugaan itu. Cepat kakek itu menekan debaran dalam dadanya. “Hm..., apa maksud perkataanmu itu, Kisanak? Sama sekali tidak kumengerti?”

“Huh!” dengus laki-laki bercambang bawuk bagaikan seekor kerbau liar. “Jangan memancing-mancing kemarahan kami, kakek peot! Cepat serahkan kitab itu, atau ingin merasakan kepalan kami terlebih dahulu?”

“Aku sama sekali tidak tahu-menahu tentang kitab yang kau sebutkan itu. Kalaupun tahu, aku tidak akan memberikannya kepadamu!” jawab Raja Pedang Pemutus Urat tegas.

“Bangsat, tua bangka tidak tahu diuntung! Mampuslah kau! Hiaaat..!”

Dibarengi sebuah bentakan menggelegar, laki-laki bercambang bawuk itu menerjang Raja Pedang Pemutus Urat. Kepalannya yang sebesar kepala bayi itu mengaung dahsyat menuju dada lawan.

Wuuuttt!

Kepalan yang mengandung tenaga dalam tinggi itu mengenai tempat kosong ketika kakek itu menggeser tubuhnya ke belakang. Dan sebelum si brewok memperbaiki posisi, Raja Pedang Pemutus Urat langsung melancarkan tiga buah serangan beruntun.

Bukkk!

“Ugh...!”

“Aaah...!”

Tubuh tinggi besar itu terjajar mundur sejauh delapan langkah akibat tendangan kaki kanan lawan yang menghantam dadanya. Meskipun tidak terluka, namun si brewok cukup terkejut melihat kecepatan gerak lawan yang sama sekali tidak diduga itu.

Sedangkan Raja Pedang Pemutus Urat pun tidak kalah terkejutnya. Kaki kanannya bagaikan menghantam sebongkah besi padat sehingga menimbulkan rasa nyeri yang menyengat dan menjalar hingga ke lutut. Padahal sebagian tenaga dalamnya telah disalurkan waktu menyerang tadi. Diam-diam kakek itu merasa terkejut sekali melihat kekebalan tubuh lawan yang tinggi besar itu.

“Tua bangka keparat! Rupanya kau lebih suka memilih mati daripada menyerahkan Kitab Jari Maut itu. Kalau memang itu yang menjadi kemauanmu, baiklah! Jangan salahkan kalau kami berbuat kasar kepadamu,” ancam laki-laki brewok itu menggeram marah

“Hm...,” gumam Raja Pedang Pemutus Urat pelahan tanpa mempedulikan ucapan lawannya. Tanpa banyak cakap lagi, kakek itu segera mencabut keluar pedang yang tersampir di punggungnya.

"Sriiing!" Sebilah pedang bersinar kuning keemasan telah tergenggam di tangan Raja Pedang Pemutus Urat. Terdengar suara mengaung tajam ketika pedang bersinar kuning itu diputar-putar untuk melindungi dadanya. Kedua kakinya bergerak membentuk kuda-kuda. Tangan kirinya digerakkan ke depan dada, sedangkan tangan kanannya yang memegang pedang berada di atas kepalanya dengan siku ditekuk. Sebuah gerakan pembukaan jurus ‘Pedang Pemutus Urat’ yang telah menggegerkan rimba persilatan.

“Huh!” dengus laki-laki brewok itu kasar. Tanpa membuang-buang waktu lagi, orang tinggi besar itu segera meloloskan sebuah rantai baja berat yang melilit tubuhnya. Diputarnya rantai baja itu hingga menimbulkan angin keras menderu-deru.

“Hati-hati, Kakang Soma! Kepandaian Raja Pedang Pemutus Urat tidak boleh dipandang rendah,” seru saudaranya yang berkepala gundul itu mengingatkan. Sedangkan dia sendiri sudah pula mencabut keluar sebilah golok besar yang terlihat sangat berat dari punggungnya.

“Kalau kau merasa gentar, lebih baik kau mundur, Adi Ludira!” teriak laki-laki brewok yang ternyata bernama Soma itu geram. Bagaimanapun juga, Soma tidak senang mendengar adiknya membesar-besarkan lawannya

“Heaaa...!” Tiba-tiba Soma membentak keras sambil mengayunkan rantai baja ke arah Raja Pedang Pemutus Urat. Rantai baja itu mengaung dahsyat mengancam tubuh lawan.

Melihat serangan dahsyat itu, Raja Pedang Pemutus Urat segera merendahkan tubuhnya hingga serangan itu lewat di atas kepalanya. Tapi begitu kepalanya diangkat, datang serangan dari ujung rantai lain yang berdesing cepat bagai kilat. Laki-laki tua guru Kenanga itu mengayunkan senjatanya menangkis serangan yang datang.

Trang!

Bunga api berpijar ketika dua senjata yang mengandung tenaga dahsyat itu berbenturan keras. Keduanya terdorong mundur akibat benturan itu.

Raja Pedang Pemutus Urat terdorong sejauh enam langkah. Segera diperiksa senjatanya kalau-kalau rusak. Hati kakek itu menjadi lega ketika mendapati senjatanya masih utuh.

Sedangkan lawannya terdorong sejauh lima belas langkah. Dari sini saja sudah dapat diukur kalau tenaga Raja Pedang Pemutus Urat masih lebih tinggi dua tingkat daripada laki-laki brewok yang bernama Soma itu. Dan hal ini tentu saja sangat mengejutkan hatinya. Padahal selama ini dia selalu mengagungkan tenaganya. Tapi kini, ternyata laki-laki itu harus menerima kenyataan bahwa tenaga Raja Pedang Pemutus Urat masih lebih tinggi.

Dan belum lagi kakek itu mempersiapkan serangan berikut, tiba-tiba datang serangan dari adik si brewok itu dengan golok besarnya. Namun dalam beberapa jurus saja, laki-laki gundul itu sudah mulai kerepotan menghadapi serangan balasan Raja Pedang Pemutus Urat yang menggunakan ilmu andalannya. Ilmu yang tak ada duanya dalam rimba persilatan. Dapat dipastikan, dalam beberapa jurus lagi laki-laki gundul yang bernama Ludira itu tidak akan mampu untuk melindungi dirinya dari serangan ujung pedang yang selalu mengincar bagian-bagian tubuh yang mematikan.

Melihat keadaan adiknya yang terdesak itu, Soma langsung melompat dan melibatkan dirinya dalam pertarungan itu. Begitu tiba, laki-laki brewok itu segera melancarkan serangan dahsyat. Rantai bajanya meluncur ke arah kepala Raja Pedang Pemutus Urat yang tengah mendesak Ludira. Akibatnya, orang tua itu terpaksa melompat ke belakang menghindari rantai baja Soma.

Rupanya serangan yang dilancarkan Soma tidak berhenti sampai di situ saja. Sebab ke manapun Raja Pedang Pemutus Urat menghindar, rantai baja itu masih terus mencecarnya. Mau tidak mau kakek itu harus mengakui kehebatan lawannya yang satu itu. Beberapa kali senjata itu hampir menghajar tubuhnya, sehingga harus terpaksa ditangkis demi menahan serangan berbahaya itu.

Hati Soma bukan main terkejut ketika ujung rantai bajanya berbalik ke arahnya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera dilempar tubuhnya ke belakang untuk menyelamatkan diri dari ancaman ujung rantai miliknya sendiri itu. Setelah melakukan salto sebanyak empat kali, barulah laki-laki gundul itu terlepas dari ancaman maut senjatanya sendiri. Namun belum lagi sempat menarik napas lega, tahu-tahu saja pedang di tangan lawan sudah datang mengancam tenggorokannya.

“Heh?! Bangsat!” Terpaksa Soma menggulingkan tubuhnya menghindari ancaman ujung pedang lawan. Untunglah pada saat yang berbahaya itu, Ludira datang membantu sehingga dia terhindar dari ancaman maut itu.

Trang!

“Uuuh...!” Tubuh Ludira yang tinggi besar itu terjengkang ke belakang ketika menangkis pedang bersinar kuning keemasan yang dikibaskan Raja Pedang Pemutus Urat disertai pengerahan tenaga dalam itu. Laki-laki gundul itu langsung menggulingkan tubuh untuk berjaga-jaga dari serangan lawan berikutnya. Tubuhnya melenting berdiri ketika lawan tidak melakukan serangan susulan.

Saat itu Soma yang sudah dapat menguasai keadaan, kembali menerjang Raja Pedang Pemutus Urat. Kali ini laki-laki brewok itu benar-benar harus menguras seluruh kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang sangat lihai itu. Di pihak lain, Ludira pun sudah menggerakkan golok besarnya dan langsung melancarkan serangan ganas. Goloknya yang besar dan berat itu berdesingan di sekitar tubuh lawan.

Raja Pedang Pemutus Urat sama sekali tidak merasa gentar menghadapi keroyokan dua Gorilla Batu itu. Pedang bersinar kuning keemasan di tangannya bergerak secepat kilat membalas serangan dua orang lawannya. Pertempuran pun berjalan semakin seru dan mendebarkan!

Pada jurus yang ketiga puluh tujuh, rantai baja di tangan Soma meluncur mengancam kepala Raja Pedang Pemutus Urat. Melihat serangan tersebut, laki-laki tua itu segera menjejak bumi, maka tubuhnya langsung melambung tinggi. Sehingga serangan rantai baja lawan hanya lewat di bawah kakinya. Raja Pedang Pemutus Urat bersalto ke depan sambil menusukkan pedangnya ke dada lawan.

Ludira yang melihat saudaranya terancam bahaya, segera melompat memapak pedang lawan. Golok besarnya diayunkan, menebas pinggang Raja Pedang Pemutus Urat yang tengah meluncur ke arah Soma. Menyadari akan bahaya yang mengancam dirinya, Raja Pedang Pemutus Urat mengurungkan niatnya menyerang Soma. Segera dikelebatkan pedangnya menyambut serangan Ludira. Terdengar benturan yang memekakkan telinga dibarengi jatuhnya tubuh Ludira yang tidak mampu mengimbangi kekuatan tenaga lawan.

Sebelum laki-laki gundul itu dapat memperbaiki keadaannya, pedang di tangan lawan sudah meluncur datang mengancam tenggorokannya. Bergegas Ludira melempar tubuhnya ke samping. Namun Raja Pedang Pemutus Urat yang sudah telanjur jengkel itu terus mencecar lewat serangan-serangan cepat bagai kilat.

“Aaakh...!” Ludira meraung keras ketika pedang bersinar kuning keemasan itu menggores lambungnya. Darah segar mulai mengucur membasahi pakaiannya. Tubuhnya boleh jadi kebal terhadap senjata lawan, tapi tidak untuk pedang pusaka sinar emas yang berada di tangan Raja Pedang Pemutus Urat. Sehingga meskipun tubuhnya terlindung ilmu kebal, tetap saja tidak mampu menahan sabetan pedang pusaka sinar emas. Apalagi pedang itu berada di tangan tokoh sakti seperti Raja Pedang Pemutus Urat yang tidak disangsikan lagi kelihaiannya dalam menggunakan pedang. Pada saat yang sama, rantai baja di tangan Soma meluncur datang melibat tubuh Raja Pedang Pemutus Urat.

Prat!

“Hehhh...!” Rantai baja milik Soma itu cepat melibat tubuh Raja Pedang Pemutus Urat. Kakek sakti itu bertindak cepat! Kedua kakinya segera dipantek ke tanah, sedangkan rantai baja itu dicengkeramnya kuat-kuat. Terjadilah tarik-menarik yang menegangkan! Raja Pedang Pemutus Urat mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk mempertahankan dirinya agar tidak terseret tarikan Soma yang memang memiliki tenaga dalam tinggi itu. Butir-butir keringat mulai membasahi kening orang tua sakti itu.

Di lain pihak, keringat sebesar biji jagung mulai mengalir membasahi sekujur tubuh Soma. Samar-samar selapis uap tipis tampak mengepul dari ubun-ubun Soma. Itu tandanya dia telah mengerahkan tenaganya habis-habisan.

“Hiaaah...!” Mendadak, Raja Pedang Pemutus Urat mengulur tangannya menggenggam rantai yang melibat tubuhnya. Lalu disentakkan rantai itu sekuat tenaganya.

“Akh...!” Soma berteriak kaget, ketika secara tiba-tiba tubuhnya yang tinggi besar itu tersentak dan meluncur ke arah Raja Pedang Pemutus Urat. Dalam keadaan mengapung di udara, sepasang kaki lawan yang mengandung tenaga dalam dahsyat itu telak menghantam dadanya!

Bukkk!

“Ugh...!” Tubuh Soma terpelanting keras! Darah segar muncrat dari mulutnya. Namun kekuatan tubuh laki-laki brewok itu benar-benar luar biasa. Meskipun gerakannya terlihat limbung, namun masih bisa bangkit menghampiri Ludira yang tengah berjalan ke arahnya.

“Tunggu pembalasan kami, Raja Pedang Pemutus Urat...!” ancam Soma penuh kemarahan.

Raja Pedang Pemutus Urat termangu melihat kepergian dua orang laki-laki tinggi besar yang terluka Itu. Sementara angin lembut bertiup mempermainkan jenggot kakek itu yang panjang dan telah memutih. “Hhh.... Siapa sangka hari ini aku telah menanam bibit permusuhan baru. Entah dari golongan mana mereka...?” desah Raja Pedang Pemutus Urat sedih.

********************

DUA

“Uhk... hughk...!”

Sosok laki-laki muda tampak tengah melangkah tersuruk-suruk menerobos semak dan jalanan berbatu. Sebentar-sebentar langkahnya terhenti, lalu terbatuk-batuk hebat. Cairan merah menetes keluar dari celah-celah bibirnya yang pucat. Kelihatannya laki-laki muda itu terluka parah! Bajunya yang berwarna kuning cerah itu tampak dikotori noda darah di sana-sini. Beberapa bagian lainnya telah koyak hingga terlihat kulit dagingnya yang mengeluarkan darah. Jelas, itu bekas goresan benda tajam! Sambil terus melangkah dengan susah payah pemuda itu terbatuk kembali dengan hebatnya. Tubuhnya terbungkuk-bungkuk sambil menekap dadanya yang panas bagai terbakar.

“Uhk... uhk... uuuhhh...!”

Mungkin karena tak sanggup menahan luka yang diderita, pemuda itu terguling roboh di sebuah tanah lapang berumput tebal. Dibarengi keluhan pendek, kepalanya pun terkulai setelah terlebih dahulu memuntahkan segumpal darah kehitaman. Laki-laki muda berwajah tampan itu kini tergolek tak berdaya, pingsan.

Entah sudah berapa lama dia tak sadarkan diri. [img] Ketika matanya terbuka, terasa tubuhnya agak ringan dan hanya sedikit rasa nyeri yang masih tersisa. Diam-diam pemuda itu menjadi heran sekali. Bagaimana mungkin luka-lukanya yang begitu parah tahu-tahu saja telah hampir sembuh? Padahal ia tadi hanya pingsan. Namun, ketika kedua matanya dapat melihat jelas, pemuda itu menjadi heran. Ternyata dirinya terbaring pada sebuah dipan kayu, di sebuah kamar yang cukup bersih. Diedarkan pandang matanya berkeliling meneliti seluruh isi kamar itu.

“Hhh... Dimanakah aku...?” keluh pemuda itu mencoba bangkit dari pembaringan beralaskan tikar pandan itu.

“Ahhh.... Syukurlah kau sudah siuman, Anak Muda. Hampir setengah hari kau tak sadarkan diri. Apa yang terjadi pada dirimu, Anak Muda? Kulihat luka-lukamu parah sekali,” tiba-tiba terdengar suara yang begitu bijak. Di depan pintu kamar yang telah terkuak itu, tampak berdiri sosok tubuh renta. Suaranya terdengar halus dan sabar. Di tangannya tergenggam sebuah cawan bambu.

“Siapakah engkau, Kakek? Dan di mana aku sekarang?” tanya laki-laki muda itu.

“Tenanglah, Anak Muda. Jangan terlalu banyak bergerak dulu, karena lukamu masih belum sembuh benar. Nah, sekarang minumlah obat ini agar kesehatanmu cepat pulih,” ujar kakek itu sambil menyodorkan cawan berisi obat di tangannya.

Tanpa banyak cakap lagi, pemuda itu langsung menenggak habis obat yang diberikan penolongnya itu. Sekilas, terlihat seringai di wajahnya karena obat itu terasa pahit.

“Terima kasih, Kek. Entah apa jadinya diriku apabila tidak ditolong Kakek”

“Sudahlah, Anak Muda. Sekarang tidurlah agar nanti tubuhmu terasa segar kembali,” setelah berkata demikian, kakek itu pun bergegas meninggalkan tempat itu.

Tanpa berkata apa-apa lagi, pemuda itu merebahkan tubuhnya. Beberapa saat kemudian terdengar dengkuran halus, pertanda ia telah terlelap.

********************

Menjelang sore, laki-laki muda itu terbangun. Dicoba digerak-gerakkan lengan dan kakinya. Alangkah senangnya hati pemuda itu ketika tidak merasakan lagi kenyerian yang mengganggunya itu. Pelahan-lahan dilangkahkan kakinya ke arah pintu, dan dibukanya pelahan. Semburat kemerahan menerpa wajah sehingga membuatnya menjadi silau.

“Ha ha ha.... Bagaimana perasaanmu sekarang, Anak Muda?” tanya kakek penolongnya yang tiba-tiba muncul dari balik semak belukar.

“Ahhh..., Kakek mengejutkanku saja. Terima kasih, Kek. Rasanya tubuhku sudah mulai sehat. Sekali lagi kuucapkan banyak-banyak terima kasih atas kesediaan Kakek menolongku,” ucap pemuda itu sambil membungkukkan tubuhnya dalam-dalam. Suaranya terdengar sopan dan teratur rapi bagai seorang terpelajar.

“Sudahlah. Lebih baik kau ceritakan, siapa dirimu dan apa yang menyebabkan kau mengalami luka begitu parah?” tanya kakek yang tak lain adalah Raja Pedang Pemutus Urat.

Setelah menghela napas beberapa kali, barulah pemuda itu menceritakan apa yang telah terjadi terhadap dirinya. Waktu itu ia tiba-tiba saja dihadang dua orang laki-laki bertubuh tinggi besar yang sama sekali tidak dikenalnya. Tanpa bertanya-tanya lagi, kedua laki-laki itu langsung saja menyerangnya. Walaupun pemuda itu berusaha mengadakan perlawanan, namun karena kepandaiannya di bawah kedua lawannya, akhirnya malah menjadi bulan-bulanan.

“Kedua laki-laki tinggi besar itu baru berhenti menganiaya ketika aku telah tak sadarkan diri. Entah apa sebabnya dia menyerangku? Dan tampaknya mereka juga tengah menderita luka dalam cukup parah. Hhh... Benar-benar berbahaya kedua orang itu...,” pemuda itu mengakhiri ceritanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Kakek sakti yang berjuluk Raja Pedang Pemutus Urat itu menghela napas dalam-dalam. Kini mulai dimengerti duduk persoalannya. Dan ia pun tahu, apa yang menyebabkan kedua orang laki-laki bertubuh tinggi besar itu marah-marah.

“Yaaah.... Kedua orang itu memang sangat berbahaya. Kepandaian mereka sangat tinggi. Rasanya jarang sekali tokoh rimba persilatan yang dapat menandingi kepandaian mereka berdua. Entah dari mana mereka datang, sebab logatnya terdengar asing di telingaku.”

“Aaah! Kalau begitu, Kakek ini Raja Pedang Pemutus Urat? Sebab, mereka menyebut-nyebut julukan Kakek. Benarkah Kakek telah melukai mereka?” tanya pemuda itu.

“Tidak salah. Memang, akulah yang telah melukai mereka. Tapi itu pun baru dapat kulakukan setelah melalui sebuah pertarungan melelahkan...,” tutur Raja Pedang Pemutus Urat tak bergairah. Seolah-olah kejadian itu telah mendatangkan kesedihan di hati kakek sakti itu. “Eh! Siapa namamu, Anak Muda...?” tanya kakek itu mengalihkan percakapan.

“Namaku Jaya Sukma, Kek.”

“Nah, Jaya Sukma. Tinggallah di tempat ini untuk beberapa hari. Setelah kesehatanmu pulih, kau boleh melanjutkan perjalananmu yang tertunda itu,” pinta Raja Pedang Pemutus Urat halus.

“Mmm..., kalau Kakek mengijinkan, aku ingin tinggal di sini untuk mengurus Kakek. Toh, sekarang ini aku tidak mempunyai tujuan. Lagipula, kedua orang tuaku sudah tiada. Jadi, ijinkanlah aku tinggal di sini menemani Kakek..,” ucap Jaya Sukma sambil menundukkan kepala dalam-dalam.

Mendengar permintaan Jaya Sukma, Raja Pedang Pemutus Urat termenung sejenak. Dipandanginya wajah tampan di hadapannya seolah-olah ingin mengetahui, apa sebenarnya yang diingini pemuda itu. Beberapa saat kemudian, barulah dapat diputuskan untuk menerima permintaan Jaya Sukma.

“Yahhh.... Terserah kaulah, Jaya Sukma. Asal kau tahu, kalau aku tidak akan menerima murid lagi!” jelas Raja Pedang Pemutus Urat penuh ketegasan.

“Tak mengapa, Kek. Biarlah aku menjadi pelayan Kakek daripada aku berkeliaran tanpa tujuan.”

Maka mulai hari itu Jaya Sukma tinggal di tempat kediaman Raja Pedang Pemutus Urat. Pemuda yang bertutur kata sopan itu tidak pernah mengeluh dalam mengerjakan segala yang menjadi keperluan mereka sehari-hari. Wataknya yang pendiam dan jarang berbicara, sedikit banyak telah menimbulkan rasa simpati di hati Raja Pedang Pemutus Urat. Namun kakek sakti itu berusaha menyembunyikannya.

“Hait..., hiyaaa...!”

Seperti biasanya, setiap pagi Jaya Sukma selalu melatih ilmu-ilmu yang dimilikinya. Gerakannya terlihat cukup mantap dan bertenaga. Hampir setengah harian Jaya Sukma berlatih. Meskipun keringat telah membanjiri seluruh tubuhnya, tapi pemuda itu sama sekali tidak mengenal lelah. Memang, dia seorang pemuda yang keras hati.

Tanpa setahu Jaya Sukma, Raja Pedang Pemutus Urat selalu memperhatikannya saat sedang berlatih. Semakin lama diperhatikan, kakek itu semakin merasa suka dan kagum melihat ketekunan pemuda itu. Padahal setahunya, pemuda itu hanyalah melatih ilmu-ilmu biasa dan tidak memiliki keistimewaan apa pun. Namun pemuda itu demikian tekun, seakan-akan tengah melatih sebuah ilmu dahsyat. Diam-diam timbul rasa haru dan kasihan dalam hati Raja Pedang Pemutus Urat.

“Jaya...,” panggil Raja Pedang Pemutus Urat sambil melangkah menghampiri pemuda itu yang telah menyelesaikan latihannya. Rupanya kakek itu merasa tertarik juga, dan tidak mampu menahan perasaan hati terhadap pemuda itu.

“Ahhh..., Kakek,” seru pemuda itu terkejut. Bagaimana Jaya Sukma tidak terkejut? Padahal, selama ini ilmunya selalu dilatih di tempat tersembunyi yang letaknya cukup jauh dari pondok mereka. Dan sekarang, tahu-tahu saja Raja Pedang Pemutus Urat telah berada di dekatnya.

“Sedang apa kau, Jaya...?” tanya Raja Pedang Pemutus Urat pura-pura bodoh.

“Oh...! Eh..., aku.... Aku sedang mengambil air, Kek..,” jawab pemuda itu gugup.

“Hm.... Dari mana kau peroleh jurus-jurus itu, Jaya...?”

Mendengar pertanyaan itu, Jaya Sukma sadar kalau tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi. Lagipula, bukankah dia tidak melakukan kesalahan apa-apa? Jadi, mengapa harus merasa takut? “Hanya jurus-jurus biasa, Kek. Mendiang ayahku yang mengajarinya,” jawab Jaya Sukma terus terang.

“Hm.... Sudah lebih dari satu bulan kau tinggal bersamaku, bekerja mengurus segala keperluan sehari-hari tanpa mengeluh sedikit pun. Biarlah sebagai imbalannya, kau akan kuajarkan satu macam jurus. Tapi ingat, aku tidak ingin mengangkat murid! Jadi jangan sekali-kali memanggilku guru ataupun eyang!” kata Raja Pedang Pemutus Urat yang rupanya sudah merasa suka kepada Jaya Sukma.

“Oh..., terima kasih, Kek. Akan kutaati segala perintah Kakek,” ucap Jaya Sukma gembira.

“Nah! Sekarang, perhatikanlah baik-baik...,” setelah ucapannya selesai, Raja Pedang Pemutus Urat mulai bergerak lambat agar gerakannya dapat ditangkap jelas.

Beberapa kali Raja Pedang Pemutus Urat mengulangi gerakannya sehingga lama kelamaan Jaya Sukma pun sudah dapat mengikuti secara pelahan.

“Hm.... Sekarang, cobalah sendiri.”

“Baik, Kek...!” jawab Jaya Sukma penuh kegembiraan.

Melihat wajah pemuda itu yang bersinar-sinar penuh kegembiraan, diam-diam perasaan Raja Pedang Pemutus Urat semakin trenyuh. Tanpa berkata apa-apa lagi, kakek itu bergegas meninggalkan Jaya Sukma yang masih terus melatih ilmu yang diberikannya itu. Raja Pedang Pemutus Urat sengaja berpura-pura meninggalkan tempat itu, padahal dia tengah bersembunyi di balik semak belukar untuk memperhatikan tanggapan Jaya Sukma sepeninggalnya.

Biar bagaimanapun, kakek itu masih belum menaruh kepercayaan penuh terhadap pemuda yang belum lama dikenalnya itu. Tapi kecurigaan Raja Pedang Pemutus Urat rupanya tidak beralasan. Sebab meskipun tanpa dirinya, ternyata pemuda itu tidak bosan-bosannya melatih ilmu yang baru didapat itu. Menyaksikan hal itu, Raja Pedang Pemutus Urat menarik napas lega. Lalu segera melangkah meninggalkan tempat itu.

********************

Tiga bulan semenjak Raja Pedang Pemutus Urat menurunkan satu macam ilmu kepada Jaya Sukma, namun sifatnya sama sekali tidak berubah. Dia tetap sopan, rendah hati, dan selalu tekun melatih ilmu yang diberikan. Dan dalam tiga bulan terakhir ini, pemuda itu telah menunjukkan kemajuan pesat. Hingga pada suatu kesempatan, Raja Pedang Pemutus Urat memanggil Jaya Sukma sehubungan dengan apa yang menjadi pikirannya selama ini.

“Duduklah, Jaya...,” ujar kakek itu ketika Jaya Sukma memasuki pondok

Jaya Sukma duduk di hadapan Raja Pedang Pemutus Urat tanpa berkata sepatah pun. Pemuda itu menundukkan wajahnya dalam-dalam. Dalam hati ia takut kalau-kalau kakek sakti itu akan menyuruhnya pergi dari tempat yang sudah telanjur disukai itu. Hati pemuda itu berdebar menantikan ucapan yang keluar dari mulut Raja Pedang Pemutus Urat

“Jaya..., sudah berapa lama kau tinggal di tempat ini?” tiba-tiba Raja Pedang Pemutus Urat mengeluarkan pertanyaan yang membuat hati Jaya Sukma semakin berdebar kencang.

“Sudah lebih dari tiga bulan, Kek,” jawab pemuda itu agak gugup.

“Hm.... Selama ini kulihat sikapmu tidak pernah mengeluh. Bahkan aku tidak pernah menemukan satu kesalahan pun dalam sikapmu, “ujar kakek itu. “Maka, aku merasa yakin kalau kaulah yang pantas mendapat ilmu ‘Jari Maut’.”

Nampak sekali kalau Jaya Sukma menjadi terkejut bercampur girang, namun cepat-cepat menguasai perasaannya. Wajah pemuda itu memucat, dan bibirnya bergetar ketika mendengar kata-kata itu.

“Pewaris ilmu ‘Jari Maut’...!? Ahhh! Maafkan aku, Kek. Mana mungkin aku berani menerima ilmu itu? Lagipula, aku... aku....”

“Sudahlah...!” potong Raja Pedang Pemutus Urat cepat. “Dengar, Jaya Sukma! Aku sudah tua, dan hanya mempunyai seorang murid wanita. Ketahuilah, bahwa ilmu itu tidak bisa dipelajari oleh seorang wanita. Karena apabila dipelajari, maka wanita itu akan berubah menjadi seorang wanita iblis yang keji dan tak kenal ampun, akibat pengaruh ilmu ‘Jari Maut’ itu. Nah! Daripada ilmu itu jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab, bukankah lebih baik kuturunkan kepadamu. Lagipula aku sudah lama memperhatikanmu, Jaya Sukma. Rasanya kau cukup pantas untuk mewarisi ilmu itu,” jelas Raja Pedang Pemutus Urat panjang lebar.

“Baiklah, Kek. Kalau memang itu sudah menjadi keputusan Kakek, aku akan bersedia mematuhinya,” jawab pemuda itu tegas.

“Nah! Kalau kau sudah bersedia menerimanya, mari ikut aku.” Raja Pedang Pemutus Urat bergegas bangkit dari duduknya. Kakek sakti itu melangkah ke luar, diikuti Jaya Sukma. Mereka terus berjalan memasuki hutan yang berada di samping kiri pondok.

Kakek sakti itu menghentikan langkahnya pada sebuah batu besar yang menonjol menutupi sebuah mulut gua. Ditekannya sebuah alat pada dinding gua sehingga batu besar itu bergeser. Maka, tampaklah sebuah mulut gua yang cukup besar dan agak gelap. Raja Pedang Pemutus Urat melangkah memasukinya diikuti Jaya Sukma yang terbengong-bengong keheranan.

Sama sekali tidak disangka kalau tempat yang sering dilewatinya saat mengambil air itu, ternyata terdapat sebuah gua. Dan lebih mengejutkan lagi, ternyata itu adalah tempat penyimpanan Kitab Ilmu Jari Maut! Benar-benar sebuah tempat yang rapi dan tak terduga.

Setelah melewati beberapa tikungan, mereka tiba pada sebuah ruangan yang agak luas. Lima tombak di hadapan mereka nampak sebuah kerangka yang dalam posisi bersemadi di atas sebuah batu pipih berbentuk segi empat.

“Eyang..,” Raja Pedang Pemutus Urat berseru pelahan sambil menjatuhkan dirinya berlutut di hadapan kerangka itu. Rupanya kerangka manusia itu adalah kerangka guru Raja Pedang Pemutus Urat.

Beberapa saat kemudian, kakek itu bangkit dan berjalan ke arah sebuah peti yang berada tidak jauh dari kerangka gurunya. Segera diulurkan tangannya membuka tutup peti, lalu dikeluarkannya sebuah kitab berwarna kuning yang bertuliskan “Kitab Ilmu Silat Jari Maut”. Raja Pedang Pemutus Urat segera memeriksa isi kitab. Ketika yakin kalau isi kitab itu masih utuh, kakek itu bergegas menghampiri Jaya Sukma yang hanya diam berdiri memperhatikannya.

“Nah, Jaya Sukma. Untuk mempelajari isi kitab ini, kau harus berjanji di hadapan kerangka guruku. Berjanjilah kalau ilmu yang akan kaupelajari ini akan dipergunakan untuk kebaikan. Dan apabila janji itu dilanggar, maka kau akan mati secara mengerikan termakan ilmu itu sendiri. Bagaimana? Apakah kau bersedia?” tanya Raja Pedang Pemutus Urat. Suaranya terdengar tegas dan berwibawa.

Jaya Sukma mengangguk cepat, dan tanpa ragu-ragu lagi segera berlutut di hadapan kerangka manusia itu sambil mengucapkan janji yang diajarkan Raja Pedang Pemutus Urat tadi. Suara pemuda itu terdengar agak bergetar ketika mengucapkan janji maut itu.

“Hm..., lega hatiku sekarang Terimalah kitab ini, Jaya.

Dan kau harus menguasai isinya dalam waktu satu bulan. Setelah itu, barulah pelajari gerakannya. Ketahuilah, bahwa ilmu yang dulu kuajarkan kepadamu adalah dasar-dasar ilmu ‘Jari Maut’. Dan dengan demikian kau akan lebih mudah mempelajarinya. Dan sekarang, pintu gua akan kututup dari luar. Karena, apabila ilmu itu telah kau pelajari secara sempurna, maka batu itu bukanlah penghalang yang berarti bagimu. Kebutuhanmu selama mempelajari ilmu itu jangan dipikirkan. Pokoknya, semua sudah tersedia di dalam gua ini. Nah, sekarang aku akan pergi.” Setelah berkata demikian, Raja Pedang Pemutus Urat segera berkelebat lenyap dari pandangan Jaya Sukma. Gerakannya demikian cepat. Jelas, kalau ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai taraf kesempurnaan. Tidak lama kemudian terdengar suara bergemuruh tanda bahwa pintu gua telah tertutup kembali.

“Ha ha ha...! Akhirnya usahaku selama ini tidak sia-sia! Ha ha ha...!” Jaya Sukma tertawa terbahak-bahak, menari, dan melompat-lompat bagaikan orang yang kehilangan ingatan.

Sepeninggal Raja Pedang Pemutus Urat, Jaya Sukma cepat memeriksa dan membaca isi kitab itu. Bukan main gembira hatinya ketika mendapat kenyataan kalau ilmu yang bernama ‘Jari Maut’ itu benar-benar sebuah ilmu langka yang jarang terdapat di dunia persilatan. Pelahan-lahan mulai dibaca dan dihapalkannya isi kitab yang cukup tebal itu.

Dengan penuh ketekunan, Jaya Sukma mempelajari isi kitab itu tanpa mengenal waktu. Pemuda itu hanya berhenti apabila perutnya betul-betul terasa lapar. Apabila rasa laparnya sudah tak tertahankan lagi, Jaya Sukma bergegas memetik beberapa buah jamur yang banyak terdapat di belakang gua. Jamur itu terasa manis dan banyak mengandung air. Jadi dia tidak perlu takut kelaparan.

Karena ketekunannya yang luar biasa, dalam waktu kurang dari satu minggu, Jaya Sukma sudah dapat menghapal seluruh isi Kitab Jari Maut. Kini ia hanya tinggal mempelajari gerakan-gerakannya saja. Hal itu tidaklah terlalu sukar, karena dia telah dibekali dasar-dasar ilmu itu dari Raja Pedang Pemutus Urat. Benar-benar suatu keberuntungan baginya. Apalagi, diam-diam sebetulnya pemuda itu telah memiliki kepandaian yang cukup tinggi juga.

********************

TIGA

Waktu terus berputar, sesuai kodratnya. Tak terasa, Jaya Sukma telah lebih dari lima bulan tinggal di dalam gua. Dan memasuki bulan keenam, Jaya Sukma sudah hampir menyempurnakan ilmu ‘Jari Maut’ yang dipelajari tanpa mengenal lelah itu. Kemajuan yang diperolehnya memang begitu pesat. Meskipun tubuhnya agak kurus tidak terawat, namun dari sinar matanya yang mencorong tajam, dapat diduga kalau tenaga sakti yang dimilikinya telah meningkat jauh. Rambut, kumis dan jenggotnya semakin panjang, sehingga membuat Jaya Sukma telah berubah menjadi seorang pemuda menyeramkan.

Seperti biasanya Jaya Sukma terus melatih ilmu ‘Jari Maut’ yang terus disempurnakannya itu. Sambaran angin pukulannya yang berhawa panas itu benar-benar menggiriskan. Kedua tangannya yang kadang-kadang hanya menggunakan dua jari itu berkesiutan menyambar dengan kecepatan yang menggetarkan!

Wut! Cuiiit!

“Hahhh!” Suatu ketika pemuda itu membentak keras dibarengi tusukan kedua jari tangannya yang mengandung hawa panas itu. Bagaikan seekor ular hidup, tangan Jaya Sukma meliuk cepat menusuk sebuah batu sebesar perut kerbau.

"Creb!" Bagaikan segumpal benda lunak, batu besar itu mudah sekali ditembus dua jari tangan Jaya Sukma yang berisi tenaga tinggi sekali. Dengan wajah berseri-seri, pemuda itu segera menarik pulang tangannya yang amblas ke dalam batu besar itu. Sambil tertawa didekatinya batu tadi, dan langsung ditiupnya. Hebat! Batu besar itu kini hancur jadi tepung!

Buktinya, ketika ditiup, seketika beterbangan debu-debu halus, hingga batu sebesar perut kerbau itu lenyap seketika. Begitu melihat hasil dari ilmu yang selama ini ditekuni, Jaya Sukma terkesiap sebentar. Tak lama kemudian....

“Ha ha ha...! Sebentar lagi dunia akan terkejut dengan kemunculanku! Ha ha ha...! Julukan yang cocok untukku adalah.... Jari Maut Pencabut Nyawa!” suara pemuda itu bergema ke seluruh dinding gua, kemudian memantul ke tempat semula. Begitu lepas tawanya, dan begitu lepas kepuasannya.

Jaya Sukma menyimpan Kitab Jari Maut di balik bajunya, kemudian melangkah pelahan-lahan mendekati mulut gua yang tertutup batu besar itu. Untuk beberapa saat lamanya pemuda itu hanya meraba-raba dan memeriksa batu besar yang menyumbati mulut gua. Seolah-olah, ingin mengukur sampai di mana kekuatan batu besar itu.

Setelah puas memeriksa, kakinya melangkah mundur menjauhi mulut gua. Sinar matanya mencorong tajam bagaikan hendak menembus dunia di luar sana. Dengan kuda-kuda kokoh, Jaya Sukma mulai menyedot udara sebanyak-banyaknya. Kedua tangannya bergetar, sedangkan urat-urat di kedua lengannya nampak menonjol biru, pertanda segenap tenaga saktinya tengah dikerahkan.

“Heaaa....!” Dibarengi sebuah pekikan panjang, tubuh Jaya Sukma melesat ke arah mulut gua. Kedua tangannya meliuk-liuk susul-menyusul didahului terpaan angin panas menyengat kulit. Tiba-tiba dari jari-jari tangannya meluncur seberkas sinar kemerahan dan langsung menghantam batu besar yang menyumbat mulut gua. Dan....

"Glarrr!" Batu yang sangat besar itu hancur berkeping-keping akibat hantaman sinar merah yang keluar dari jari tangan Jaya Sukma. Itulah ilmu ‘Jari Maut’ tingkat terakhir yang telah sempurna dikuasai pemuda itu. Benar-benar sebuah ilmu ganas dan amat mengerikan!

“Ha ha ha...! Akulah si Jari Maut Pencabut Nyawa yang akan menguasai dunia persilatan. Ha ha ha...,” Jaya Sukma tertawa terbahak-bahak tanpa mempedulikan keadaan sekelilingnya.

Tanpa disadarinya, sesosok bayangan tinggi kurus tiba-tiba berkelebat mendekati mulut gua yang telah terbuka lebar itu. “Jaya Sukma! Apa maksud perkataanmu Itu?” seru sosok tinggi kurus yang ternyata Raja Pedang Pemutus Urat. Kakek itu langsung melesat ke arah gua ketika mendengar ledakan sangat dahsyat tadi. Dan dugaannya ternyata benar. Jaya Sukma rupanya telah berhasil mempelajari ilmu ‘Jari Maut’ lebih cepat dari waktu yang diberikan.

Melihat kehadiran kakek yang telah memberinya kitab sudah menghadang di mulut gua, Jaya Sukma sama sekali tidak berlutut. Malah sebaliknya, pemuda itu berdiri menantang. Sifat asli yang ditunjukkannya benar-benar bagai langit dan bumi. Jauh sekali dengan sifat yang selama ini diketahui Raja Pedang Pemutus Urat.

“Ha ha ha...! Selamat Tuan Muda. Selamat. Rupanya Tuan Muda telah berhasil menguasai ilmu ‘Jari Maut’ yang selama ini diidam-idamkan. Ha ha ha....” Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di tempat itu telah muncul dua sosok tubuh tinggi besar yang ternyata adalah dua saudara Gorilla Batu.

Bukan main terkejutnya hati kakek itu melihat kehadiran dua orang yang pernah dipecundanginya. Kini baru disadari kalau dirinya telah salah memilih Jaya Sukma sebagai pewaris tunggal ilmu ‘Jari Maut’ yang amat ganas dan mengerikan itu.

“Hm.... Rupanya kaulah yang dulu menyuruh dua orang itu untuk merebut Kitab Jari Maut dari tanganku. Hanya satu yang tidak kumengerti, mengapa saat kau kutemukan benar-benar mengalami luka dalam yang sesungguhnya?” tanya Raja Pedang Pemutus Urat lirih, seakan-akan untuk dirinya sendiri.

“Ha ha ha... Untuk dapat memperdayai orang sakti sepertimu, tubuhku harus rela dikorbankan oleh dua orang pembantuku ini,” sahut Jaya Sukma disertai senyuman penuh ejekan.

“Ahhh...! Betapa bodohnya aku si kakek pikun ini. Tapi sebelum kau membuat malapetaka dalam rimba persilatan, lebih baik sekarang kucabut saja ilmu ‘Jari Maut’ yang telah kau peroleh secara licik itu!”

Setelah berkata demikian, Raja Pedang Pemutus Urat mencabut keluar pedang bersinar kuning keemasan yang selalu tersampir di punggungnya. Disadari sepenuhnya kalau yang dihadapinya kali ini adalah orang yang telah berilmu dahsyat!

“Ha ha ha...! Majulah jika memang ingin cepat-cepat kukirim ke neraka, kakek peot,” ejek Jaya Sukma. Sinar matanya mencorong tajam memancarkan kebengisan.

“Hm!” Didahului sebuah dengusan pendek, Jaya Sukma bergerak memainkan jurus pembuka ilmu ‘Jari Maut’. Pemuda itu memang sengaja ingin mencoba keampuhan ilmu itu terhadap Raja Pedang Pemutus Urat yang telah dikenal dalam rimba persilatan.

“Heaaa...!” Sambil berteriak keras, Jaya Sukma melompat dan langsung melancarkan serangan-serangan yang menimbulkan udara panas. Kedua tangannya menusuk bergantian, memperdengarkan suara mencicit tajam. Jangankan terkena tusukan jari tangannya, bahkan angin pukulannya saja sudah cukup untuk membeset kulit lawan! Memang betapa hebat ilmu ‘Jari Maut’ yang telah dimiliki pemuda itu.

Raja Pedang Pemutus Urat terpaksa harus berlompatan menghindari jari-jari tangan yang berhawa maut itu. Sesekali kakek itu membalas dengan tusukan-tusukan pedangnya yang tidak kalah dahsyat. Sekejap saja dua tokoh berkepandaian tinggi itu sudah terlibat dalam suatu pertarungan mati-matian!

Belasan jurus telah mereka lewati. Sampai sejauh itu belum nampak tanda-tanda salah seorang yang terdesak. Keduanya mulai bertarung dalam tempo cepat! Bahkan mulai mengeluarkan ilmu-ilmunya pada tingkat yang lebih tinggi. Pertarungan pun semakin seru dan menegangkan!

“Yeaaat...!” Pada jurus kesembilan belas, Raja Pedang Pemutus Urat memperdengarkan pekikan melengking menusuk telinga. Bahkan disusul dengan kibasan pedang sinar emasnya yang bergulung-gulung menyilaukan mata. Dan secara tiba-tiba arena pertarungan tertutup sinar kuning keemasan yang terpancar dari pedang di tangan kakek itu.

Mengkelap hati Jaya Sukma menyaksikan kesaktian Raja Pedang Pemutus Urat yang jarang dipergunakan itu. Pemuda itu semakin kecut hatinya ketika merasakan urat-urat di seluruh tubuhnya melemah bagaikan lumpuh. Itulah ‘Ilmu Pedang Pemutus Urat’ tingkat tinggi yang menjadi andalan kakek sakti itu sehingga mendapat julukan Raja Pedang Pemutus Urat.

“Bangsat! Kakek keparat!” Jaya Sukma memaki-maki sambil terus mencoba melepaskan diri dari lingkaran sinar keemasan yang mengurungnya itu. Namun semakin berusaha untuk melepaskan diri, semakin kuat pula pengaruh yang merasuk ke dalam tubuhnya.

Pelahan-lahan Jaya Sukma mulai merasakan tenaganya makin berkurang. Darah di tubuhnya terasa semakin cepat mengalir. Satu persatu urat-urat di tubuhnya mulai mengembung dan menonjol ke luar. Rasanya tidak lama lagi pemuda itu akan tewas dan urat-urat di tubuhnya pasti putus!

Soma dan Ludira yang berjuluk Gorilla Batu itu tersentak kaget melihat kejadian yang sama sekali tidak diduga itu. Tanpa berpikir dua kali, kedua laki-laki bertubuh tinggi besar itu langsung melompat ke dalam arena pertarungan. Senjata-senjata di tangan mereka meluncur deras, mengancam keselamatan Raja Pedang Pemutus Urat yang tengah mendesak Jaya Sukma.

Trang! Tring!

“Uhhh...!” Raja Pedang Pemutus Urat membabatkan senjatanya dua kali berturut-turut untuk menangkis serangan dua orang bertubuh tinggi besar itu. Terdengar keluhan pendek keluar dari mulutnya. Tubuh kakek itu agak terhuyung akibat benturan yang sangat keras itu. Karena pada saat menangkis, pikirannya tengah terpusat kepada Jaya Sukma. Akibatnya, tenaga tangkisan yang dipergunakan pun banyak berkurang.

Demikian pula yang dialami Soma dan Ludira. Kedua orang itu terdorong akibat tangkisan Raja Pedang Pemutus Urat yang membuat lengan merek bergetar dan terasa nyeri. Akibatnya untuk beberapa saat keduanya terdiam sambil menyalurkan hawa murni untuk memunahkan rasa nyeri yang diderita. Lain halnya Jaya Sukma. Begitu merasa dirinya terlepas dari pengaruh lawan, cepat-cepat pemuda itu melompat mundur. Ditariknya napas dalam-dalam untuk menghilangkan pengaruh yang mengerikan itu Diam-diam hati pemuda itu bergidik ngeri membayangkan kesaktian lawannya yang sudah tua itu. Begitu tubuhnya terasa pulih, pemuda itu segera menyiapkan seluruh kesaktian yang dimiliki untuk menghadapi lawan yang juga sudah siap-siap melanjutkan pertarungan.

“Paman berdua, menyingkirlah. Biar kuhadapi sendiri kakek peot itu!” kata Jaya Sukma kepada kedua orang pembantunya sambil melirik ke arah Raja Pedang Pemutus Urat.

“Tuan Muda, jangan terlalu gegabah! Ilmu ‘Jari Maut’ yang Tuan Muda pelajari belum begitu sempurna. Sedangkan kepandaian Raja Pedang Pemutus Urat tinggi sekali, dan tidak bisa dibuat main-main. Bagaimana kami dapat berpangku tangan melihat keselamatan Tuan Muda terancam,” sergah Ludira.

“Benar, Tuan Muda!” timpal Soma. “Lagipula kita harus segera menyingkirkan kakek peot ini agar berita jatuhnya Kitab Jari Maut ke tangan Tuan Muda tidak cepat tersiar di dunia persilatan. Kalau berita ini sampai tersebar, jelas kita akan celaka. Paling tidak, banyak tokoh persilatan yang akan mencari Tuan Muda. Bukankah itu berbahaya sekali? Sedangkan ilmu ‘Jari Maut’ yang Tuan Muda pelajari belum lagi sempurna.”

Mendengar alasan yang cukup masuk akal itu, Jaya Sukma termangu beberapa saat. Diam-diam ia harus berterima kasih sekali kepada dua orang pembantunya yang demikian mengkhawatirkan keselamatannya itu.

“Baiklah! Kalau begitu, kalian berjaga-jaga saja kalau-kalau aku membutuhkan bantuan,” akhirnya Jaya Sukma mengalah juga. Sesudah berkata demikian Jaya Sukma segera melompat menerjang Raja Pedang Pemutus Urat yang sudah bersiap menyambut serangannya.

Kali ini kakek itu cukup terkejut melihat kecepatan dan kekuatan yang terkandung dalam serangan lawan. Karena telah mengetahui kehebatan ilmu ‘Jari Maut’, Raja Pedang Pemutus Urat tidak ingin lagi bersikap main-main. Sambil berteriak keras, pedangnya diputar-putar sepenuh tenaga. Angin keras menderu-deru mengiringi ayunan senjatanya.

Dan kini kedua orang itu kembali bertarung hebat. Jaya Sukma yang telah merasakan kehebatan lawan, mulai bertindak lebih hati-hati. Lontaran-lontaran serangannya tidak lagi membabi buta. Dan kini liukan-liukan tangannya lebih terarah dan berbahaya.

Cuiiit! Cuiiit!

Raja Pedang Pemutus Urat mengegoskan tubuhnya sehingga tusukan jari lawan yang menimbulkan angin panas itu lewat beberapa rambut di samping pinggangnya. Baju di bagian pinggang itu hancur bagai dimakan api. Sedangkan kulit pinggangnya hanya terasa pedih sekejap karena telah dilindunginya dengan penyaluran hawa murni. Secepat kilat kakek sakti itu menggerakkan pedangnya menebas siku lawan.

Singgg!

Tebasan Raja Pedang Pemutus Urat berhasil dihindari Jaya Sukma yang bertindak cepat menarik pulang tangannya. Pada saat yang bersamaan, jari-jari tangan kanan pemuda itu meluncur ke tenggorokan lawan. Cepat-cepat kakek sakti itu menggerakkan tangan kirinya menangkis serangan Jaya Sukma, dan sekaligus melepaskan tendangan kilat ke dada lawan.

Duk! Bug!

“Hughk...!” Tubuh Jaya Sukma terjungkal akibat tendangan Raja Pedang Pemutus Urat yang begitu telak menghantam dadanya. Pemuda itu berusaha bangkit sambil menekap dadanya yang terasa remuk! Cairan merah merembes dari celah-celah bibirnya. Memang hebat sekali daya tahan tubuh anak muda itu! Hanya dengan beberapa tarikan napas saja, tubuhnya telah kembali tegak seperti tidak pernah terjadi suatu apa-apa.

Sebaliknya, Raja Pedang Pemutus Urat sangat terkejut ketika melihat baju lengan kirinya telah hancur akibat menangkis serangan pemuda itu. “Hm.... Anak muda ini berbahaya sekali! Entah apa jadinya kalau ilmu ‘Jari Maut’ itu telah disempurnakannya? Pasti dunia persilatan akan gempar apabila pemuda ini tidak segera dilenyapkan!” kata hati Raja Pedang Pemutus Urat resah.

Dengan berpikiran demikian, kakek ini segera meluncur ke arah Jaya Sukma yang bersiap menanti serangannya. Kembali diputarnya pedang sinar emasnya dalam jurus ‘Pedang Pemutus Urat’. Sinar emas bergulung-gulung mengiringi serangannya.

Jaya Sukma rupanya sudah pula mempersiapkan Ilmu ‘Jari Maut’ tingkat terakhir yang baru saja diselesaikannya itu. Diiringi bentakan menggeledek, pemuda itu mendorongkan tangan kanannya dengan tiga buah jari diluruskan. Sebentuk sinar kemerahan meluncur keluar dari jari tangan Jaya Sukma, dan langsung menghantam sinar keemasan yang membungkus tubuh Raja Pedang Pemutus Urat.

Wusss! Bummm...!

“Arrrgh....!” Hebat sekali akibat benturan dua tenaga dahsyat itu! Bumi di sekitar pertarungan bagaikan dilanda gempa. Bunga-bunga api memercik ke segala arah. Beberapa pohon yang dekat dengan pertarungan berhamburan ke mana-mana. Benar-benar mengerikan akibat ledakan itu!

Jaya Sukma sendiri terbanting pingsan! Dari sela-sela bibirnya mengalir darah segar yang kental. Pemuda itu mengalami luka dalam yang cukup parah!

Demikian pula halnya Raja Pedang Pemutus Urat. Meskipun tidak terbanting sebagaimana halnya Jaya Sukma, namun dalam usianya yang telah lanjut itu, Raja Pedang Pemutus Urat tidak lagi sekuat dulu. Kakek sakti itu terbatuk-batuk hebat! Sudah tidak diperhatikan lagi, ke mana jatuhnya pedang pusaka sinar emas di tangannya. Raja Pedang Pemutus Urat berdiri limbung. Ia berusaha menahan rasa nyeri bagaikan ditusuki ribuan jarum pada bagian dadanya. Diaturnya napas pelahan-lahan mengusir nyeri yang menusuk itu.

Dan belum lagi dapat memulihkan kondisinya, tiba-tiba telinga Raja Pedang Pemutus Urat mendengar desiran angin tajam menuju lehernya. Segera saja direndahkan kepala sebisanya untuk menghindari bacokan golok besar Ludira. Untunglah serangan itu dapat dihindarinya. Tapi dari lain jurusan, rantai baja di tangan Soma sudah meluncur datang!

Wung...! Wung...!

Raja Pedang Pemutus Urat bergulingan menghindari serangan rantai baja yang terus mengejarnya itu. Sayang tubuh kakek itu dalam keadaan terluka. Kalau tidak, serangan itu akan dapat diatasi dengan baik.

"Bukkk!" Kakek Sakti itu terjengkang akibat hantaman rantai baja milik Soma pada punggungnya. Segumpal darah kental terlompat keluar dari bibirnya yang memucat. Belum lagi sempat berdiri tegak, datang serangan dari Ludira dengan bacokan yang mengarah bahu kanannya. Untunglah Raja Pedang Pemutus Urat masih sempat mengegoskan badannya sehingga golok besar itu hanya menyerempet bahu. Dengan pengerahan sisa-sisa tenaganya, kakek itu menghantamkan telapak tangannya ke arah pelipis Ludira.

Plak! “Aduuuhhh...!” Tak ayal lagi tubuh Ludira berputar bagai gasing akibat hantaman telapak tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi itu. Ternyata, meskipun dalam keadaan luka parah, kakek itu masih cukup berbahaya. Buktinya, Ludira sendiri pun sampai kecolongan! Namun kali ini Raja Pedang Pemutus Urat belum bisa menarik napas lega, karena tiba-tiba....

"Bukkk!" Kali ini kakek itu terjungkal akibat hantaman rantai baja yang menghantam dadanya. Ketika tengah berusaha bangkit kembali sebuah hantaman menghantam belakang tubuhnya. Raja Pedang Pemutus Urat kembali terguling. Darah semakin banyak menetes dari celah-celah bibirnya.

“Ha ha ha.... Raja Pedang Pemutus Urat! Terimalah kematianmu!” geram Soma disertai seringai buasnya.

“Manusia licik! Pengecut!” teriak Raja Pedang Pemutus Urat di sela-sela dengus napasnya yang memburu.

Sambil tertawa terbahak-bahak Soma menghantamkan rantai bajanya berkali-kali ke tubuh Raja Pedang Pemutus Urat yang sudah tidak berdaya itu. Darah seketika memercik membasahi bumi. Rumput tebal yang semula berwarna hijau itu kini berubah menjadi kemerahan. Setelah melihat tubuh kakek itu sudah tidak bergerak lagi, Soma menghentikan gerakannya. Diamatinya sejenak kalau-kalau lawannya masih hidup. Ketika tampaknya napas Raja Pedang Pemutus Urat sudah terhenti, bergegas dia meninggalkan tubuh tak berdaya itu.

Bersama Ludira yang sudah dapat menghilangkan rasa pening di kepala akibat tamparan kakek sakti tadi, mereka bergegas menghampiri tubuh Jaya Sukma yang sudah mulai bergerak-gerak. Beberapa saat kemudian, pemuda itu bangkit duduk sambil menekap dadanya yang terasa remuk! Dengan dibantu kedua orang bertubuh tinggi besar itu, Jaya Sukma meninggalkan tempat itu. Kini sang bayu bertiup keras seolah-olah mengusir ketiga orang manusia durjana yang telah menyebar maut di tempat itu. Alam pun kembali sunyi.

********************

EMPAT

Seorang pemuda tampan mengenakan jubah dan celana berwarna putih melangkah tenang menyusuri jalan setapak. Wajahnya yang bersih selalu menampakkan senyum cerah. Siapa lagi kalau bukan Panji atau lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih.

“Hm.... Menurut keterangan Eyang Tirtayasa, kalau tidak salah di daerah ini tinggal seorang tokoh sakti yang berjuluk Raja Pedang Pemutus Urat. Rasanya tidak ada salahnya kalau singgah sejenak untuk berkenalan dengan tokoh itu,” gumam Panji sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu.

Mendapat pikiran demikian, Panji pun berbalik menyusuri jalan berbatu yang dipenuhi semak belukar. Belum lagi jauh melangkah, pendengarannya yang tajam menangkap suara-suara mencurigakan. Panji menghentikan langkah sambil mempertajam indera pendengarannya. Namun sampai beberapa saat lamanya berdiam diri, tidak satu suara pun yang tertangkap pendengarannya.

“Ahhh, mungkin hanya suara angin saja yang kudengar tadi,” desah Pendekar Naga Putih. Lalu kembali dilangkahkan kakinya memasuki wilayah hutan kecil itu semakin dalam.

“Ooohhh..., uuuhhh....” Kembali terdengar rintihan halus yang lirih. Sehingga Panji menjadi tersentak dan berbalik penuh kesiagaan.

“Tidak salah lagi! Itu pasti rintihan orang terluka,” bisik Pendekar Naga Putih pelan. Dengan penuh kewaspadaan pemuda itu mulai mencari sumber suara itu.

Selang beberapa waktu kemudian, langkah Panji mulai memasuki daerah berbatu cadas menuju sebuah bukit kecil. Pemuda itu mengerutkan keningnya ketika melewati bekas-bekas pertempuran yang masih baru.

“Eh! Siapakah yang melakukan pertarungan di tempat ini? Kalau tidak salah, pastilah pertarungan ini demikian hebat! Tentulah mereka bukan tokoh sembarangan,” gumam Panji sambil menggeleng-gelengkan kepalanya penuh kekaguman.

“Uuuhhh....”

Secepat kilat tubuh Panji berkelebat ke arah semak-semak yang hanya beberapa-tombak terpisah di samping kirinya. Alangkah terperanjatnya hati pemuda itu ketika menemukan sesosok tubuh berlumuran darah yang tengah menanti ajal.

“Siapakah, Kakek? Apa yang terjadi di tempat ini?! Siapa yang melukai Kakek?” Panji memberondong dengan pertanyaan sambil berjongkok dan meletakkan kepala kakek itu ke atas pangkuannya.

Sekejap kakek yang tak lain adalah Raja Pedang Pemutus Urat itu membuka matanya yang telah redup tak bercahaya. Bibirnya bergerak-gerak seolah ingin berbicara. Namun yang terdengar hanya suara mengorok, disusul mengalirnya darah kehitaman dari sela-sela bibir yang pucat. Rupanya darah telah menyumbat kerongkongannya akibat luka dalam yang diderita itu.

Kedua tangan Panji bergerak cepat menotok beberapa jalan darah di sekitar leher kakek itu. Pelahan-lahan mata yang telah menutup kembali bergerak-gerak dan terbuka. Ketika melihat mulut kakek itu bergetar, bergegas Panji mendekatkan telinganya agar dapat mendengar lebih jelas.

“Ki... tab... Jari... Ma.... uuuttthhh... dddi... cuhhh... riii...,” setelah berkata dengan susah payah dan terputus-putus, kepala kakek itu terkulai di atas pangkuan Pendekar Naga Putih. Raja Pedang Pemutus Urat tewas dalam keadaan menyedihkan.

“Kek! Kakek...,” Panji mengguncang-guncang keras tubuh kakek itu. Perbuatannya baru dihentikan ketika menyadari kalau kakek itu telah tewas. Panji memandangi wajah kakek itu dalam-dalam. Ingatannya langsung tertuju pada ciri-ciri seseorang yang diceritakan Eyang Tirtayasa, atau si Malaikat Petir.

“Apakah kakek tua ini yang berjuluk Raja Pedang Pemutus Urat? Kalau memang benar dia, siapa pula yang telah membunuhnya? Bukan main hebatnya kepandaian orang itu. Hm.... Kitab Jari Maut.... Siapa pula pencurinya...? Tapi, biarlah aku akan mewakili kakek Raja Pedang Pemutus Urat ini untuk mencari dan menemukan kitab itu,” janji Panji dalam hati.

Setelah menguburkan mayat Raja Pedang Pemutus Urat sebagaimana layaknya, Panji bergegas meninggalkan tempat itu untuk mencari Kitab Jari Maut. Sebenarnya pemuda itu merasa bingung karena sama sekali tidak mempunyai petunjuk sedikit pun tentang pencuri itu. Maka mau tidak mau kepala pemuda tampan itu menjadi pusing tujuh keliling memikirkan hal itu.

“Aaahhh.... Bagaimana nanti sajalah,” ujar Panji sambil menepiskan pikiran yang memusingkan kepalanya itu.

********************

Siang ini udara cukup panas. Bukit Kendeng yang biasanya tersiram hujan, kini bagai terbakar. Namun demikian, suasana di Perguruan Kera Putih tidak terpengaruh oleh sengatan panas. Hanya ketenangan itu dipecahkan oleh tingkah seseorang.

Brakkk!

Tiba-tiba pintu gerbang Perguruan Kera Putih yang terbuat dari kayu tebal, hancur berantakan akibat tusukan jari-jari bertenaga kuat. Tampak seorang pemuda tampan bertubuh tinggi tegap melangkah memasuki halaman yang cukup luas. Pakaiannya yang terbuat dari sutra halus berwarna kuning gading itu melekat ketat di tubuhnya, sehingga kelihatan semakin gagah dan menarik. Sayang wajah tampan penuh brewok itu selalu terhias senyum mengejek yang membuat orang merasa kurang suka memandangnya.

Puluhan orang murid yang sedang berlatih ilmu silat, begitu kaget mendengar pintu gerbang pecah berantakan. Ketika melihat sosok pemuda itu, mereka serentak mengurungnya. Wajah mereka merah padam karena kemarahan telah memenuhi dada. Maka suasana yang panas itu, makin bertambah panas oleh kehadiran pemuda berbaju kuning gading itu. Namun, puluhan orang murid Perguruan Kera Putih itu tersentak mundur ketika melihat dua orang bertubuh tinggi besar berdiri angker di belakang pemuda itu.

“Siapa kalian, dan apa maksudnya datang-datang membuat onar di tempat kami?” tanya salah seorang murid Perguruan Kera Putih memberanikan diri.

“Hm. Cepat suruh keluar Pendekar Kera Putih! Katakan, si Jari Maut Pencabut Nyawa ingin mengadu kepandaian!” seru pemuda tampan yang tak lain adalah Jaya Sukma, penuh kesombongan.

Mendengar kata-kata yang bernada meremehkan itu, salah seorang murid kepala Perguruan Kera Putih melangkah ke depan. Meskipun rasa marah telah memenuhi rongga dadanya, namun berusaha untuk tetap tenang. “Anak Muda! Siapa pun kau adanya, jangan bertindak semaumu di perguruan ini. Lebih baik tinggalkan tempat ini sebelum aku melempar tubuhmu ke luar,” ancam salah seorang murid Perguruan Kera Putih.

Jaya Sukma menatap orang itu lekat-lekat. Sinar matanya mencorong tajam menimbulkan perbawa yang menyeramkan. Sehingga, tanpa sadar lawan bicaranya melangkah mundur dengan bulu kuduk meremang. “O, jadi begitu? Lalu, mengapa tidak cepat-cepat dibuktikan kata-katamu itu,” dingin sekali suara yang keluar dari bibir Jaya Sukma. Namun di balik kata-katanya, terkandung ancaman mengerikan.

Walaupun kegentaran dan kengerian telah mencengkeram hati murid Perguruan Kera Putih itu, tapi rasa tanggung jawab yang besar terhadap perguruan membuatnya membuang segala pikiran itu. “Kau terlalu sombong, Anak Muda. Jangan salahkan kalau aku berbuat kasar kepadamu!” nyata sekali kalau murid kepala Perguruan Kera Putih itu masih merasa gentar. Sehingga sengaja dilontarkan kata-katanya dengan suara keras untuk menyembunyikan kegugupannya. Namun, begitu ucapannya selesai, dia segera melompat ke depan. Kedua tangannya seketika dikembangkan, siap mencengkeram bahu Jaya Sukma.

“Hm...!” Pemuda itu memperdengarkan suara mendengus mengejek. Gerakannya terlihat sembarangan ketika kakinya bergeser. Anehnya serangan lawan luput dan mengenai tempat kosong. Tentu saja hal itu membuat lawannya semakin berang. Beberapa buah serangan kembali dilancarkannya secara berturut-turut, tapi tubuh pemuda itu tetap saja tidak dapat dijamahnya.

“Hm..., hanya sampai di situ sajakah kepandaian yang kau miliki?” ejek Jaya Sukma ketika melihat lawannya menghentikan serangan. Napas orang itu semakin memburu karena bercampur rasa marah dan penasaran. Hatinya merasa terhina sekali karena hal itu disaksikan puluhan pasang mata murid-murid lainnya.

“Bangsat! Rupanya kau sengaja hendak membuat keonaran di sini!” Setelah berkata demikian, orang itu kembali menerjang Jaya Sukma. Serangannya kali ini lebih cepat dan berbahaya.

“Cukup!” bentak Jaya Sukma, suaranya terdengar bagaikan ledakan halilintar di siang bolong.

Murid kepala Perguruan Kera Putih itu tersentak mundur seolah-olah terdorong kekuatan yang tak tampak. Wajahnya pucat bagai mayat! Dadanya bergelombang cepat karena debaran jantungnya bagai hendak copot. Dan sebelum menyadari keadaannya, tahu-tahu saja jari-jari tangan sekeras baja mencengkeram lehernya. Tubuh murid kepala Perguruan Kera Putih itu terlempar bagai disentakkan tenaga raksasa.

“Aaahhh...!” Murid kepala Perguruan Kera Putih itu berteriak ngeri. Setelah berkelojotan sesaat, dia diam tak bergerak lagi.

Tewas dengan tulang leher hancur! Puluhan orang murid lainnya pelahan-lahan mulai mundur dengan wajah pucat! Kejadian itu demikian singkat, sehingga untuk beberapa saat lamanya mereka hanya terpaku tak bergerak. Wajah-wajah mereka terbayang kengerian hebat!

“Hm.... Siapa yang membuat keonaran di tempatku,” tiba-tiba terdengar suara berat dan berwibawa. Dari kejauhan terlihat seorang laki-laki gagah bertubuh kekar melangkah cepat mendatangi. Sementara di belakangnya terlihat dua orang murid perguruan mengikutinya. Rupanya, dua orang murid itu telah mengadukan kejadian tersebut kepada gurunya.

Laki-laki gagah bertubuh kekar dan berusia sekitar empat puluhan tahun itu mengerutkan keningnya ketika melihat muridnya tergeletak tewas dengan tulang leher hancur. Ditariknya napas berulang-ulang untuk menenteramkan hatinya yang terguncang. Sinar kesedihan dan kegeraman sekilas terpancar di wajahnya. Pelahan-lahan dilangkahkan kakinya mendekati mayat muridnya tanpa menoleh kepada Jaya Sukma. Setelah mengamati mayat itu sejenak, laki-laki gagah itu mengalihkan pandangannya kepada Jaya Sukma.

“Apa kesalahan yang diperbuat muridku? Sehingga demikian mudahnya kau menurunkan tangan kejam padanya, Anak Muda?” tanya laki-laki gagah itu halus. Dalam pertanyaan itu terkandung rasa penasaran dan tuntutan yang dalam.

“Orang Tua, kaukah yang berjuluk Pendekar Kera Putih?” Jaya Sukma sama sekali tidak mempedulikan pertanyaan laki-laki gagah itu, dan malah balik bertanya dengan angkuhnya.

Merah seluruh wajah laki-laki gagah itu karena tidak dipandang sebelah mata pun oleh pemuda itu. Susah payah hatinya berusaha ditenangkan agar kemarahannya tidak terpancing. “Kalau kulihat dari cara bicara dan pakaianmu, kau pasti orang terpelajar, Anak Muda. Tapi hatiku menjadi ragu melihat lagakmu yang seperti perampok kelas rendah!”

Mendengar sindiran itu, dua orang tinggi besar yang menjadi pengawal Jaya Sukma bergegas melangkah maju. Kata-kata itu jelas menghina majikannya! Namun, mereka mengurungkan niatnya ketika Jaya Sukma mengembangkan tangannya menahan langkah mereka. Maka Soma dan Ludira bergerak mundur dengan wajah gusar.

“Tidak perlu banyak bicara! Jawab pertanyaanku, Orang Tua! Kaukah yang berjuluk Pendekar Kera Putih?!” tanya Jaya Sukma, suaranya terdengar semakin meninggi.

“Benar, Anak Muda. Akulah yang berjuluk Pendekar Kera Putih. Apa keperluanmu mencariku?” balas laki-laki gagah itu tegas.

“Hm..., kedatanganku ke sini karena tertarik oleh julukanmu! Dan aku ingin membuktikan, apakah julukan itu benar-benar patut kau sandang, atau hanya julukan kosong belaka? Nah! Bersiap-siaplah, Pendekar Kera Putih! Jari Maut Pencabut Nyawa akan menguji kepandaianmu!” tegas Jaya Sukma sambil mengayunkan langkahnya ke tengah-tengah halaman perguruan. Sebuah tantangan terbuka yang tidak bisa ditolak Pendekar Kera Putih.

Diikuti puluhan pandang mata muridnya, Pendekar Kera Putih melangkah tegap ke tempat Jaya Sukma menanti. Biarpun hatinya berat, tapi sebagai ahli silat dia juga ingin tahu sampai di mana kepandaian pemuda sombong itu. Bukan mustahil kalau pemuda itu hanya besar mulut saja, dan hanya mengandalkan dua orang laki-laki tinggi besar yang menjadi pengawalnya itu. Kedua tokoh persilatan itu berdiri berhadapan dalam jarak lima tombak. Mereka saling berpandangan seolah-olah ingin menilai kekuatan lawan masing-masing.

“Bersiaplah, Pendekar Kera Putih...,” ancam Jaya Sukma memperingatkan lawannya. Sambil berkata demikian, pemuda itu menggerakkan tangannya secara bersilang dalam posisi kuda-kuda rendah.

“Mulailah, Anak Muda. Sebagai tuan rumah, aku akan berusaha melayanimu sebaik-baiknya,” jawab Pendekar Kera Putih tenang. Sikap yang ditunjukkan pendekar itu seolah-olah ingin menunjukkan kepada lawannya kalau ia adalah seorang tokoh dari tingkat yang lebih tua. Dan tentu saja hal itu membuat Jaya Sukma jengkel.

“Hiaaat...!”

Bagai anak panah lepas dari busur, tubuh Jaya Sukma melesat ke arah lawannya. Kedua tangannya melancarkan pukulan-pukulan dan tamparan, disertai angin pukulan yang menderu. Ia sengaja tidak langsung mengeluarkan ilmu ‘Jari Maut’, untuk menjajagi sampai di mana tingkat kepandaian lawan. Pendekar Kera Putih menganggukkan kepalanya penuh kekaguman melihat gerakan pemuda itu yang cepat dan bertenaga. Begitu pukulan itu tiba, segera digeser tubuhnya sambil melepaskan tangkisan memapak pukulan yang mengancam dadanya. Sengaja pukulan itu disambut untuk mengukur tenaga lawannya.

Dukkk!

Masing-masing kedua orang itu melompat mundur sambil memegang lengannya yang bergetar akibat benturan tadi. Pada pertemuan tenaga itu, sama-sama diketahui kalau tenaga mereka berimbang. Rupangga atau yang lebih dikenal sebagai Pendekar Kera Putih itu cukup terkejut ketika mengetahui kalau tenaga dalam pemuda itu sangat tinggi. Diam-diam pendekar itu berjanji dalam hati untuk lebih berhati-hati dalam menghadapi lawan yang masih muda namun memiliki kepandaian tinggi itu.

Saat itu Jaya Sukma kembali melancarkan serangannya yang lebih cepat dan kuat. Dalam waktu yang bersamaan, pemuda itu telah melancarkan tiga buah serangan berturut-turut. Satu ke arah kepala, sedang lainnya mengancam dada dan perut. Sebuah serangan yang cukup berbahaya. Kali ini Rupangga harus bertindak secara lebih cermat. Serangan ke arah kepala dielakkan dengan memutar kepalanya setengah lingkaran. Dibarengi putaran tubuh ke samping, maka ketiga serangan itu berhasil dihindarinya.

Rupanya gerakan laki-laki gagah itu tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Bagaikan seekor kera yang lincah, tubuh pendekar itu melenting ke atas, mengincar ubun-ubun lawan menggunakan jari-jari tangan terbuka.

"Wuttt!" Hantaman telapak tangan itu berhasil dihindari Jaya Sukma yang langsung membalas dengan dorongan telapak tangan larinya.

Buk! Plak!

Pada saat yang berbahaya itu Pendekar Kera Putih memiringkan tubuhnya, lalu melepaskan sebuah tendangan kilat ke lambung lawan. Untunglah dorongan telapak tangan lawan hanya menyerempet dadanya. Namun itu pun telah cukup membuatnya terhuyung beberapa langkah ke belakang, meski tidak menderita luka.

Sebaliknya tubuh Jaya Sukma terdorong keras akibat tendangan lawan yang telak mengenai lambungnya. Pemuda itu mengusap lambungnya sambil menyeringai menahan rasa nyeri. Sekejap kemudian wajahnya berubah garang. Sinar matanya mencorong tajam menggetarkan jantung, penuh hawa kematian. Rupangga tersentak mundur ketika sepasang mata mencorong itu menatap wajahnya lekat-lekat. Tangan kanannya bergerak mengusap bulu kuduknya yang meremang.

“Gila! Sinar mata anak muda ini benar-benar mengandung perbawa yang mengerikan...!” desis Pendekar Kera Putih lirih.

Sementara Jaya Sukma sudah mulai mempersiapkan ilmu andalannya yang mengerikan. Ilmu ‘Jari Maut’. Serangkum angin panas bertiup dari kedua tangannya yang bergetar karena dipenuhi tenaga dahsyat. Diiringi lengkingan tinggi, tubuh pemuda itu melesat menerjang lawannya.

Sadar kalau serangan yang dilancarkan pemuda itu mengandung hawa maut, Pendekar Kera Putih berloncatan menghindar sambil sesekali melepaskan serangan balasan. Meskipun tusukan-tusukan jari Jaya Sukma belum berhasil menyentuh tubuhnya, namun pakaian yang dikenakan pendekar itu sudah hancur di beberapa bagian akibat hawa panas yang keluar dari tangan pemuda itu.

Cuiiit! Crebbb!

“Auhhh...!” Rupangga menjerit kesakitan ketika jari tangan lawan menancap di paha kirinya. Pendekar itu melompat ke belakang dengan langkah terpincang-pincang. Celana di bagian pahanya hancur. Samar-samar tercium bau daging terbakar. Darah kental berwarna kehitaman seketika menetes deras membasahi celananya. Beberapa saat kemudian, kelumpuhan mulai menjalari kaki kirinya.

“Guru...!”

Beberapa orang murid Perguruan Kera Putih berlari memapah tubuh Pendekar Kera Putih yang hanya berdiri mengandalkan kaki kanannya itu. Meskipun dalam keadaan terluka, Rupangga tidak ingin murid-muridnya terancam bahaya. Segera diusirnya murid-murid yang mencoba memapahnya.

“Menyingkirlah kalian! Cepaaat...!” teriak laki-laki gagah itu khawatir.

“Guru...!” kelima orang murid itu berteriak dengan suara agak serak Hati mereka bagai tersayat melihat keadaan gurunya yang menyedihkan itu. Memang, hati siapa yang tidak trenyuh melihat keadaan Pendekar Kera Putih yang dengan pakaian compang-camping dan langkah terpincang-pincang, namun masih memikirkan keselamatan murid-muridnya.

Saat itu Jaya Sukma sudah bersiap melontarkan pukulan maut untuk menghabisi lawannya. Urat-urat lengannya menegang keras karena tenaga dalam yang mengalir di kedua lengannya. Seberkas sinar kemerahan yang berhawa panas menyelimuti telapak tangannya.

“Hiaaahhh...!” Dibarengi teriakan mengguntur, pemuda itu melontarkan pukulannya dengan dua jari ditekuk.

Wusss! Blarrr!

“Aaa...!” Pendekar Kera Putih berteriak menyayat ketika seberkas sinar kemerahan yang amat panas menghantam dadanya. Tubuh pendekar itu terhempas bagai sehelai daun kering yang tertiup angin. Luncuran tubuhnya baru terhenti ketika menghantam sebuah pohon besar yang langsung berderak patah akibat kerasnya luncuran itu. Darah kental berwarna kehitaman mengalir deras dari sela-sela bibirnya. Pendekar Kera Putih langsung tewas! Seluruh kulit dan isi dadanya telah hangus akibat pukulan ilmu ‘Jari Maut’ yang dahsyat dan mengerikan itu.

“Guru...!”

Belasan orang murid Perguruan Kera Putih berlarian ke arah mayat guru mereka. Beberapa orang segera berjongkok dan mengangkat mayat gurunya itu. Sedangkan belasan lainnya segera menerjang Jaya Sukma dengan serangan membabi buta.

“Ha ha ha.... Rupanya kalian sudah tidak sabar ingin menyusul guru kalian. Ayo, majulah...!” seru Jaya Sukma diiringi tawa iblisnya yang bergema menggetarkan jantung. Sambil berkata demikian, pemuda itu segera membagi-bagikan pukulannya secara kejam.

Sinar merah berkelebatan dari jari-jari tangan pemuda itu menghantam siapa saja yang mendekati. Dalam waktu singkat saja, belasan orang murid Pendekar Kera Putih bergelimpangan tewas. Jaya Sukma benar-benar bagai iblis yang menebarkan hawa maut! Setelah sebagian murid Perguruan Kera Putih tidak ada yang menyerangnya, pemuda itu juga segera menghentikan serangannya.

Kini pemuda itu pun melangkah tenang meninggalkan Perguruan Kera Putih tanpa merasa berdosa sedikit pun. Sedangkan dua orang laki-laki tinggi besar yang selalu mengawalnya, bergegas mengikuti langkah tuan mudanya tanpa banyak bicara.

********************

LIMA

Tujuh orang laki-laki gagah itu melangkah tergesa-gesa. Mereka adalah tokoh Perguruan Delapan Naga yang mendapat tugas dari ketua mereka untuk menyelidiki tokoh sesat yang berjuluk Jari Maut Pencabut Nyawa. Memang, sejak kematian Pendekar Kera Putih di tangan tokoh sesat itu, julukan Jari Maut Pencabut Nyawa telah menggegerkan rimba persilatan. Dalam waktu singkat saja, julukan itu telah menjadi buah bibir, baik dari golongan putih maupun hitam. Apalagi dikabarkan kalau pemuda itu telah mencuri Kitab Jari Maut.

Dua orang yang berjalan di depan adalah tokoh utama perguruan itu. Sedangkan lima orang lainnya adalah murid-murid kepala yang kepandaiannya dapat diandalkan untuk tugas yang berbahaya itu. Orang yang bertubuh jangkung dan kekar itu, dikenal berjuluk Pendekar Tombak Sakti. Wajahnya terlihat keras. Sebaris kumis tipis menghias wajahnya sehingga nampak gagah dan menarik. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tombak terbuat dari baja putih sepanjang satu setengah depa. Setengah jengkal dari mata tombak terdapat sebuah kaitan tajam yang melengkung ke dalam.

Sedang tokoh yang lainnya berjuluk Pendekar Kapak Maut. Tubuhnya agak lebih pendek sedikit. Wajahnya lonjong, dihiasi bulu-bulu halus di kedua pipinya. Sikapnya pendiam dan tak banyak bicara. Kedua orang inilah yang merupakan tokoh-tokoh tingkat satu. Kepandaian mereka tidak kalah dengan ketua mereka sendiri. Bahkan boleh dibilang setingkat.

“Seperti apakah orang yang berjuluk Jari Maut Pencabut Nyawa itu? Ingin sekali aku menjajal kepandaiannya,” ujar Pendekar Tombak Sakti geram.

“Menurut kabar yang kudengar, orang itu masih sangat muda, Kakang. Lagipula penampilannya seperti seorang bangsawan,” sahut salah satu dari lima orang murid kepala yang berjalan di belakangnya.

“Tapi kepandaiannya sangat hebat dan mengerikan,” sahut yang lainnya menimpali.

“Ya! Bahkan Pendekar Kera Putih yang tersohor itu pun sampai tewas di tangannya. Entah sampai di mana tingginya kepandaian orang yang julukannya demikian menyeramkan itu?” ujar yang lainnya lirih.

“Biarpun kepandaiannya seperti iblis sekalipun, aku tidak takut!” tegas Pendekar Kapak Maut dingin. Rupanya ia tidak suka mendengar pembicaraan yang memuji Jari Maut Pencabut Nyawa itu.

Mendengar kata-kata yang bernada dingin itu, pembicaraan pun terhenti seketika. Kelima orang murid kepala itu saling pandang tak mengerti. Sedangkan Pendekar Tombak Sakti hanya mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti perasaan hati saudara seperguruannya itu. Selang beberapa waktu kemudian, tujuh tokoh Perguruan Delapan Naga itu mulai memasuki perbatasan Desa Talang Sari. Sebuah desa yang tak begitu ramai, tapi cukup makmur.

“Bagaimana kalau kita singgah sejenak untuk mengisi perut? Rasanya cacing-cacing di perutku ini sudah menagih minta diisi,” usul Pendekar Tombak Sakti sambil tersenyum.

Dan tanpa banyak bicara lagi, semuanya menganggukkan kepalanya. Bergegas mereka memasuki desa yang terlihat tertata apik. Setiap rumah, selalu dihiasi taman indah pada halamannya. Dan pada sebuah pengkolan tampak sebuah kedai makan yang tidak begitu ramai. Bergegas mereka memasukinya. Mereka segera memilih sebuah meja yang terletak agak ke sudut dan menghadap ke arah jendela, sehingga dapat memandang kesibukan di luar kedai. Memang kedai makan itu terletak dekat sebuah pasar yang saat itu masih didatangi pengunjung.

Seorang laki-laki tua segera menghampiri mereka untuk menanyakan apa yang dipesan. Setelah Pendekar Tombak Sakti menyebutkan beberapa jenis makanan, laki-laki tua itu pergi ke belakang. Dan tak lama kemudian, dia kembali lagi sambil membawa makanan yang dipesan. Tengah mereka bersantap dengan lahap, tiba-tiba menerobos masuk tiga orang laki-laki. Dilihat dari pakaian yang dikenakan, sepertinya mereka berasal dari kaum persilatan. Lagaknya terlihat sombong sekali, seolah-olah merekalah yang berkuasa di desa itu.

Kelima orang murid kepala Perguruan Delapan Naga itu menoleh sejenak ke arah tiga orang yang baru masuk itu. Sekilas tertangkap sinar berkilat dari mata mereka. Namun kelima orang murid kepala itu segera meneruskan makannya ketika Pendekar Tombak Sakti memberi isyarat agar tidak mencari keributan di tempat itu.

“Hm..., Pak Tua! Rupanya hari ini kedaimu cukup ramai juga,” kata salah seorang dari ketiga laki-laki itu. Suaranya terdengar lantang dan dibuat galak agar terdengar menakutkan. “Apakah uang untuk kami sudah disediakan?”

Laki-laki tua yang tadi melayani murid-murid Perguruan Delapan Naga dan kelihatannya adalah pemilik kedai, tergopoh-gopoh menyambut tiga orang itu. Wajahnya terlihat cemas karena takut kalau-kalau mereka akan membuat keributan di kedainya.

“Sudah, Tuan. ini...,” sahut lelaki pemilik kedai seraya menyerahkan tiga keping uang yang digenggamnya.

“Hm..., mengapa hanya sebesar ini? Jangan terlalu pelit, Pak Tua. Hari ini kedaimu kulihat cukup ramai. Lekas tambah tiga keping lagi!” pinta laki-laki brewok yang mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam, sambil mengusap gagang golok panjang yang tersembul di pinggangnya.

“Aduh. Kasihanilah kami, Tuan Maespati. Hanya itulah yang baru kami dapat,” jawab pemilik kedai, gemetar. Seorang pemuda tampan berjubah putih yang duduk disudut sebelah kiri menolehkan kepalanya sejenak, kemudian kembali menikmati hidangannya dengan tenang.

“Baiklah kalau memang itu keinginanmu. Sekarang, cepatlah kau minta kepada tamu-tamumu untuk segera membayar harga makanan yang mereka pesan. Cepat...!”

“Tapi mereka belum selesai, Tuan...!” ratap pemilik kedai itu lirih.

“Ahhh, banyak bacot!” bentak si brewok yang bernama Maespati itu sambil mengayunkan kakinya menghantam pinggul pemilik kedai.

Bukkk!

“Aduuuh...!” Laki-laki setengah baya pemilik kedai itu terguling dan menjerit kesakitan. Sambil mengusap-usap pinggulnya, kakinya melangkah terpincang-pincang. Dia terpaksa menuruti perintah Maespati. Beberapa orang tamu segera membayar harga makanannya dan langsung keluar melalui pintu belakang.

“Katakan pada orang itu agar ia sendiri yang mengambil uang ini!” kata salah seorang murid kepala Perguruan Delapan Naga. Sambil berkata demikian, ditekannya tiga keping uang logam di tangannya ke atas permukaan meja, hingga melesak sedalam dua rambut.

Menyaksikan kejadian yang tak disangka-sangka itu, maka pemilik kedai itu terbelalak kaget. Dengan wajah pucat, bergegas dihampiri laki-laki brewok yang menyuruhnya tadi. Diceritakanlah kejadian itu padanya.

“Hm...!” Sambil mendengus kasar, Maespati melangkah lebar menghampiri meja tujuh tokoh Perguruan Delapan Naga. “Ayo, berikan uang harga makanan itu kepadaku!” bentak Maespati kasar.

“Ambillah sendiri,” jawab salah satu murid kepala Perguruan Delapan Naga yang membenamkan uang itu ke permukaan meja. Setelah berkata demikian, ia pun segera bangkit mengikuti yang lainnya keluar dari kedai makan itu.

Tinggallah Maespati berusaha setengah mati mencabut tiga keping uang logam yang melesak di atas permukaan meja. Setelah agak lama mencongkel dengan ujung golok panjangnya, barulah uang-uang itu berhasil dikeluarkannya.

“Bangsat! Rupanya mereka sengaja mempermainkan aku. Kejar mereka!” perintah Maespati kepada dua orang kawannya.

Tanpa diperintah dua kali, mereka segera berlari mengejar tujuh orang murid Perguruan Delapan Naga. Di belakangnya, Maespati ikut pula mengejar. “Hei, tunggu! Berhenti kalian!” seru Maespati ketika melihat tujuh orang itu beberapa langkah di depannya.

“Hm, mau apa lagi perampok kecil itu?” tanya salah seorang murid kepala yang bercambang bawuk lebat. Sementara, seluruh murid Perguruan Delapan Naga itu berhenti seketika, namun tetap bersikap tenang.

“Ada apa, Kisanak?” tanya salah seorang ketika Maespati sudah tiba di dekatnya.

“Huh! Kalian baru boleh pergi setelah menyerahkan pundi-pundi uang kalian itu kepadaku,” bentak Maespati dengan napas memburu.

“Bagaimana kalau kami tidak menuruti kemauanmu?” kali ini yang bertanya adalah murid kepala yang bertubuh pendek gempal.

“Akan kupaksa dengan kekerasan!” teriak Maespati geram.

“Nah, kalau begitu lakukanlah!” tantang orang bertubuh pendek gempal itu.

“Bangsat! Rupanya kalian sengaja mencari kematian! Mampuslah!” sambil membentak keras, Maespati mengayunkan golok panjangnya ke leher si pendek gempal. Hanya dengan memiringkan tubuhnya ke belakang, mata pedang lewat di depan wajah murid utama Perguruan Delapan Naga itu.

Wajah Maespati semakin merah melihat serangannya dapat dielakkan secara mudah. Sambil menggereng keras, kembali diayunkan goloknya ke pinggang lawan. Cepat-cepat si pendek gempal menggeser kaki kirinya ke samping, disusul dengan sebuah tendangan kilat ke dada Maespati.

Bukkk!

“Hughk...!” Tak ayal lagi tubuh Maespati terjengkang ke belakang. Laki-laki brewok itu terduduk lemas sambil menekap dadanya yang terasa remuk. Darah mengalir pelahan dari celah-celah bibirnya. Kelihatannya ia tak mampu bangkit berdiri lagi.

Melihat keadaan Maespati yang kelihatan bisa dicundangi, maka dua orang kawannya serentak menerjang dengan bacokan mengancam tubuh si pendek gempal. Laki-laki pendek murid kepala Perguruan Delapan Naga itu merendahkan tubuhnya disertai kembangan kedua tangannya untuk menangkis serangan itu. Kemudian, kedua tangannya langsung berputar mendorong dua orang lawannya sambil mengerahkan separuh tenaga dalamnya. Kedua orang kawan Maespati kontan terguling-guling akibat hantaman telapak tangan yang mengandung tenaga tinggi itu. Mereka merintih kesakitan tanpa mampu bangkit lagi.

“Hm.... Sebelum aku berubah pikiran, sebaiknya kalian cepat-cepat minggat dari hadapanku!” ancam si pendek gempal itu geram.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Maespati dan dua orang kawannya segera bergegas meninggalkan tempat itu. “Tunggulah pembalasan pemimpin besar kami. Asal tahu saja, pemimpin kami si Jari Maut Pencabut Nyawa pasti tidak akan diam saja menerima penghinaan ini!” teriak Maespati sambil melangkah tertatih-tatih.

Mendengar julukan itu disebut, Pendekar Kapak Maut segera menggenjot tubuhnya, langsung melayang mengejar ketiga orang itu. Dalam sekejap saja pendekar itu telah dapat mengejar Maespati dan kawan-kawannya. Mereka langsung terkejut setengah mati.

“Di mana orang yang berjuluk Jari Maut Pencabut Nyawa itu berada?! Jawab!” bentak Pendekar Kapak Maut sambil mencengkeram leher baju Maespati yang menjadi ketakutan.

“Aku..., aku tidak tahu...,” jawab Maespati dengan wajah pucat.

“Dusta! Kau tadi menyebut kalau si Jari Maut Pencabut Nyawa itu adalah pemimpin besarmu. Mustahil kalau tidak mengetahui di mana orang itu berada.”

“Aku betul-betul tidak tahu. Aku..., aku hanya mendengar namanya saja.”

“Keparat!” maki Pendekar Kapak Maut berang.

Plak!

“Aduhhh...!” Tubuh Maespati terbanting keras akibat tamparan Pendekar Kapak Maut yang menjadi jengkel karenanya. Darah mengucur deras karena bibirnya telah pecah akibat tamparan keras itu.

“Sudahlah, Adi Barga. Rupanya ia hanya menakut-nakuti saja. Mari kita pergi,” ajak Pendekar Tombak Sakti sambil menepuk-nepuk bahu Pendekar Kapak Maut yang ternyata bernama Barga itu.

“Huh!” Pendekar Kapak Maut berbalik sambil mendengus kasar, kemudian melangkah pergi bersama keenam orang kawannya meninggalkan tempat itu.

Tidak lama setelah kepergian tujuh orang tokoh Perguruan Delapan Naga, seorang pemuda tampan yang mengenakan jubah putih melangkah keluar dari dalam kedai. Jika melihat ciri-cirinya, jelas kalau pemuda tampan itu adalah Pendekar Naga Putih.

“Pelahan dulu, Kisanak!” seru Panji menghentikan langkah Maespati yang dipapah dua orang rekannya.

“Apa maksudmu menyuruh kami berhenti!?” bentak Maespati marah. Rupanya kemarahannya ingin ditumpahkan kepada pemuda yang menghadang perjalanannya itu.

“Sabarlah, Kisanak. Aku hanya ingin bertanya sedikit,” ujar Panji tersenyum sabar. Sambil berkata demikian, digerakkan tangannya ke depan seolah-olah hendak menyabarkan hati si brewok itu.

Maespati yang semula hendak menghajar pemuda itu tersentak kaget ketika merasakan serangkum hawa dingin menahan tubuhnya. Tubuh Maespati menggigil hebat. Sadar kalau pemuda di hadapannya ini bukan orang sembarangan, laki-laki brewok yang biasanya ditakuti orang itu mengeluh putus asa.

“Apa.... Apa maumu, Anak Muda?” tanya Maespati tak bersemangat.

“Benarkah kau tidak mengetahui, di mana orang yang berjuluk Jari Maut Pencabut Nyawa itu? Jawablah sejujurnya,” ujar Panji tanpa meninggalkan senyumnya.

“Aku.... Aku benar-benar tidak tahu, Anak Muda! Aku hanya mendengar dari kawan-kawanku kalau orang itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan mengerikan. Kabarnya ia selalu mendatangi tokoh-tokoh persilatan yang berkepandaian tinggi untuk menguji ilmunya.”

“Apakah kau mengetahui ciri-cirinya?” tanya Panji lagi.

“Kalau tidak salah, orang itu masih muda dan selalu mengenakan pakaian mewah. Dan ia juga selalu dikawal dua orang yang bertubuh tinggi besar. Hanya itulah yang kuketahui, Anak Muda,” jelas Maespati.

“Terima kasih atas keteranganmu, Kisanak. Satu lagi permintaanku,” ujar Panji. Kali ini sikapnya tampak tegas dan berpengaruh. “Tinggalkan pekerjaanmu selama ini, karena hanya akan mendatangkan petaka bagi dirimu! Cam kan itu!” Begitu ucapannya selesai, tubuh Panji berkelebat dan lenyap seketika di antara lebatnya pepohonan.

Maespati dan kedua orang kawannya terbelalak. Mulut mereka ternganga seolah-olah tak percaya dengan apa yang disaksikannya. “Apakah... apakah dia seorang dewa?” gumam Maespati bagai orang kehilangan ingatan. Diam-diam hatinya berjanji untuk merubah sikapnya yang tercela selama ini.

********************

Pendekar Naga Putih menghentikan larinya setelah melewati mulut Desa Talang Sari. Pemuda sakti itu tidak terlalu tergesa-gesa meneruskan perjalanannya. Dirayapinya daerah sekitarnya seolah ingin memastikan ke mana arah yang diambil tujuh orang laki-laki gagah tadi. Setelah berpikir sejenak, segera diambil keputusan untuk menyusuri jalan setapak yang menuju sebuah hutan kecil.

Panji mengerutkan keningnya ketika mencium bau anyir darah yang masih segar, terbawa hembusan angin lembut. Seluruh otot di tubuh pemuda itu menegang! Secara alamiah tenaga saktinya mulai menyebar, bersiap-siap menghadapi kemungkinan yang bakal terjadi. Tidak begitu lama Panji berjalan, di hadapannya terbentang sebuah padang rumput yang cukup luas. Pendekar Naga Putih berdiri terpaku menatap lima sosok tubuh yang tergeletak berlumuran darah. Bergegas pemuda itu menghampiri dan memeriksanya.

“Hm, darah ini masih nampak segar. Berarti pertempuran yang terjadi di sini belum lama berlalu,” gumam pemuda itu pelahan. “Hei!? Bukankah mereka adalah tujuh laki-laki gagah yang kulihat di kedai? Tapi, mengapa mayat ini hanya berjumlah lima orang? Ke mana yang dua orang lainnya?” Belum lagi sempat Panji memikirkannya, tiba-tiba.... “Pembunuh keji! Terimalah hukuman dariku...!” bentak sesosok bayangan hijau yang datang-datang langsung menyerang dengan sambaran pedang hitamnya.

Panji bergerak cepat menghindari sabetan pedang hitam yang menimbulkan hawa mengerikan itu. Namun sungguh tidak disangka kalau gerakan pedang itu begitu cepat. Setelah berhasil mengelakkan serangan yang pertama, tahu-tahu pedang hitam itu berputar dan kembali menyerangnya tiga kali berturut-turut.

“Eh! Eh.... Sabar dulu, Nini...!” cegah Panji sambil mengelak dari sambaran pedang lawan.

“Huh! Manusia kejam sepertimu tidak perlu dikasih hati!” bentak pemilik suara merdu itu yang terus mencecar tanpa menghiraukan ucapan Panji.

Plak!

“Aihhh...!” Wanita berpakaian serba hijau itu berseru tertahan ketika Panji menepis pergelangannya. Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang. Hawa dingin menjalar melalui pergelangannya yang ditepis Pendekar Naga Putih.

Sementara itu Panji sudah melompat ke belakang sejauh empat tombak. Pemuda itu berdiri tegak menatap seorang gadis cantik bagai bidadari. Sejenak Panji mengerutkan keningnya, untuk mencoba mengingat-ingat gadis di depannya. Mungkin saja, dia pernah bertemu sebelumnya.

Sedangkan wanita jelita yang mengenakan pakaian serba hijau itu berdiri terpaku bagaikan patung. Gadis jelita yang ternyata Kenanga itu menghentikan serangannya karena kenal betul terhadap tenaga berhawa dingin yang merasuk ke tubuhnya tadi. Bibir yang indah itu bergetar membisikkan sebuah nama yang tak pernah dilupakannya. Air mata kerinduan mulai menetes membasahi pipinya.

“Kau.... Kau..., Kakang Panji...!” teriak gadis jelita itu serak. Suaranya terdengar lirih karena butir-butir kerinduan yang menyesakkan dadanya.

Panji yang telah yakin akan penglihatannya, justru malah semakin tak percaya. Dia seperti terpaku, tak tahu harus berbuat apa. “Adik Kenanga...!” seru Panji seolah-olah tak mempercayai pandangannya. Entah siapa yang lebih dahulu bergerak, tahu-tahu saja kedua muda-mudi itu telah berpelukan erat, seolah-olah tidak ingin berpisah lagi.

Panji membelai rambut wanita yang selalu diimpikannya itu. Dadanya terasa hangat oleh air mata yang menetes, membasahi bajunya. Pelahan-lahan kedua tangan Pendekar Naga Putih bergerak mengangkat wajah jelita itu. Dipandanginya wajah gadis idamannya yang dibasahi air mata. Panji menundukkan wajahnya mengecup kedua mata indah yang menatapnya penuh rindu.

“Kakang, jangan tinggalkan aku lagi...!” desah gadis jelita itu lirih sambil memandang wajah Panji.

“Tidak, Adikku... tidak akan...,” bisik Panji. Kemudian dikecupnya bibir indah itu penuh perasaan.

“Kakang, bukankah mereka adalah tokoh Perguruan Delapan Naga? Aku pernah berjumpa dan berkenalan dengan mereka. Ternyata mereka adalah orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan. Ah.... Sayang, mereka harus tewas di tangan pembunuh biadab itu,” ujar Kenanga penasaran.

“Maksudmu, kau tahu siapa yang melakukan ini semua?” tanya Panji heran.

Bagaimana pemuda itu tidak heran melihat kekasihnya tahu-tahu muncul dan memiliki kepandaian tinggi. Padahal, baru satu tahun mereka tak bertemu. Bukan itu saja. Gadis jelita itu nampaknya sudah cukup lama berkecimpung dalam dunia persilatan. Buktinya, dia mengenal tokoh-tokoh Perguruan Delapan Naga.

“Melihat orangnya secara langsung, memang aku belum pernah. Tapi jika mendengar sepak terjangnya, aku yakin kalau mereka dibunuh oleh orang yang berjuluk Jari Maut Pencabut Nyawa. Tokoh sesat yang baru muncul ini kepandaiannya hebat sekali, Kakang. Entah sudah berapa banyak tokoh persilatan golongan putih yang tewas di tangannya. Orang itu harus cepat-cepat dilenyapkan dari muka bumi. Kalau tidak, ia akan terus seenaknya menyebar maut,” jelas Kenanga geram.

“Kenanga...,” panggil Panji tiba-tiba.

“Ya, Kakang...,” sahut gadis jelita itu lembut.

“Kulihat kepandaianmu sudah maju sedemikian pesatnya. Siapakah yang mengajarkanmu? Dan bagaimana kabarnya ayahmu sekarang?” tanya Panji sambil memegang bahu gadis itu.

“Ahhh.... Panjang sekali ceritanya, Kakang. Tiga hari setelah kepergianmu, desa kami didatangi segerombolan perampok. Lalu....”

Kenanga menceritakan kejadian yang dialaminya kepada pemuda pujaannya. Sementara Panji mendengarkan penuh perhatian.

“Demikianlah, Kakang. Karena aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi, maka aku menerima ajakan Kakek Raja Pedang Pemutus Urat dan tinggal bersamanya,” ujar gadis jelita itu menutup ceritanya.

“Raja Pedang Pemutus Urat...?!” ulang Panji sambil mengerutkan keningnya. “Apakah Kakek itu berusia sekitar tujuh puluh tahun, dan...,” Panji menuturkan semua ciri-ciri dan tempat tinggal Raja Pedang Pemutus Urat.

“Benar! Bagaimana Kakang mengetahuinya? Apakah Kakang sudah mengenal guruku? Ah..., sudah hampir setahun dia tidak kukunjungi. Entah bagaimana kabarnya Eyang sekarang,” gumam Kenanga, matanya memandang jauh bagaikan hendak melewati hamparan rumput dan bebukitan agar dapat mengetahui keadaan gurunya.

Panji menarik napas dalam-dalam melihat sinar mata kekasihnya yang berbinar ketika mendengar nama gurunya. Pendekar Naga Putih yang semula hendak menceritakan kejadian sesungguhnya, terpaksa menelan kembali kata-katanya karena tidak ingin merusak kebahagiaan gadis yang dicintainya itu.

“Tidak! Aku belum pernah berjumpa dengannya. Aku hanya mendengar tentang kehebatan ilmu pedang beliau. Ciri-ciri yang kuketahui pun juga dari Eyang Tirtayasa. Hanya itu saja yang kuketahui, tidak lebih,” kilah Panji, terpaksa berbohong.

“Ah! Matahari sudah semakin tinggi. Ayolah kita kubur mayat-mayat ini, Kakang! Setelah itu, baru kita lanjutkan perjalanan untuk mencari orang yang berjuluk si Jari Maut Pencabut Nyawa itu,” ajak dara jelita itu sambil menarik tangan Panji dengan sikap manja.

“Baik, ayolah!” sahut Panji tersenyum bahagia.

********************

ENAM

“Berhenti!”

Panji dan Kenanga yang tengah berjalan sambil berpegangan tangan itu menghentikan langkahnya. Di hadapan mereka menghadang sesosok tubuh tinggi tegap yang mengenakan pakaian indah. Rambutnya yang panjang itu dibiarkan tergerai lepas. Sehelai sutra berwarna kuning, menghias kepalanya. Wajahnya yang brewok tertata rapi, sehingga menambah kejantanannya.

“Hei, Paman! Lihatlah! Bukankah bidadari ini murid si Raja Pedang Pemutus Urat?” tanya laki-laki yang tak lain adalah Jaya Sukma itu. Sengaja suaranya dibuat keras, agar orang yang diajak bicara mendengarnya.

Dan tidak lama kemudian, muncullah dua orang bertubuh tinggi besar menakutkan. Mereka adalah dua Gorilla Batu. “Mana.... Mana, Tuan Muda? Ahhh..., benar! Tidak salah lagi, dialah murid kakek peot itu. Wah, cocok sekali kalau dijadikan istri Tuan Muda,” ujar Soma bergelak.

“Hei, kerbau kudisan! Lancang sekali ucapanmu! Apakah kau tidak pernah diajar adat!?” bentak Kenanga dengan wajah merah. Kalau saja saat itu Panji tidak mencegah, tentulah gadis jelita ini sudah melesat menerjang laki-laki brewok yang menyebalkan itu.

“Ha ha ha...! Ternyata bidadari itu sangat liar, Tuan Muda. Tuan tentu akan sukar sekali menjinakkannya!” kali ini Ludira yang berbicara.

“Ha ha ha...,” Jaya Sukma tertawa terbahak-bahak.

“Bangsat! Kurobek mulutmu yang kotor itu!” teriak Kenanga, wajahnya semakin memerah.

“Sabarlah, Adikku. Kau lihatlah, siapa mereka itu,” bisik Panji menyabarkan kekasihnya.

Sejenak gadis itu termangu sambil memperhatikan ketiga orang yang menghadang di tengah jalan itu. Pelahan-lahan wajah Kenanga berubah tenang ketika gadis jelita itu berusaha menguasai hatinya. “Kakang, apakah pemuda itu yang berjuluk Jari Maut Pencabut Nyawa?” tanya Kenanga berbisik lirih.

“Kurasa begitulah. Bukankah ciri-ciri Jari Maut Pencabut Nyawa itu adalah masih muda, tampan, berpakaian mewah, dan selalu dikawal dua orang tinggi besar. Nah! Bukankah ciri-cirinya sudah betul?!” sahut Panji masih dengan suara pelan.

“Hei, apa yang kalian rundingkan?! Paman, tolong tangkap gadis itu untukku. Sedangkan pemuda itu biarlah aku yang mengurusnya,” perintah Jaya Sukma kepada dua orang pengawalnya.

“Baik, Tuan Muda!” seru mereka gembira seolah diberi sebuah mainan menyenangkan.

“Tunggu...!” seru Kenanga keras dan tiba-tiba, sehingga kedua orang laki-laki tinggi besar itu menunda langkahnya.

“Hei, dua gorilla tolol! Kalian tahu, dengan siapa berhadapan saat ini?!” tanya Kenanga sambil kepalanya dilayangkan ke arah Panji.

“Aku sudah tahu tentang dirimu, Bidadari Cantik! Dan aku tidak peduli dengan bocah ingusan itu! Lebih baik menyerah saja secara baik-baik, Manis. Kelak kau pasti akan senang bersama majikan kami. Ha ha ha...,” sahut Soma seraya tertawa menyebalkan.

“Hm. Rupanya kau tidak peduli terhadap Pendekar Naga Putih!” ujar Kenanga mencoba menggertak lawan bicaranya.

“Eh! Apakah maksudmu bocah itu yang berjuluk Pendekar Naga Putih?!” tanya Ludira tersentak mundur. Biar bagaimanapun, nama Pendekar Naga Putih yang telah mengguncang dunia persilatan cukup menggetarkan hati mereka.

Soma dan Jaya Sukma pun tidak kalah terkejutnya. Hati mereka berdebar tegang sambil meneliti sosok Panji. “Hm..., jadi kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih?” tanya Jaya Sukma ragu. “Tahukah kau siapa adanya aku?”

“Benar! Akulah Pendekar Naga Putih. Sedangkan kau adalah seorang pengecut yang mengaku berjuluk Jari Maut Pencabut Nyawa. Apakah dugaanku keliru?” jawab Panji. Suaranya terdengar tenang tanpa nafsu amarah sedikit pun.

“Eh...!” Jaya Sukma sampai terlonjak mendengar dirinya disebut sebagai pengecut. Wajahnya seketika menjadi merah bagaikan terbakar. Kedua lengannya bergemeletuk karena tenaga saktinya mulai mengalir ke seluruh otot-ototnya.

“Bangsat! Rupanya kau memiliki kesombongan juga, Pendekar Naga Putih! Tapi jangan dikira aku akan menjadi gentar mendengar nama besarmu itu. Nah! Sambutlah seranganku! Hiaaat...!” tubuh Jaya Sukma meluncur ke arah Panji disertai serangan dahsyat.

Wusss!

Serangkum angin panas menyergap seluruh tubuh Pendekar Naga Putih. Untunglah, tenaga saktinya sudah bergolak melindungi tubuh, sehingga hawa panas yang menyerang Panji sama sekali tidak terasa. Cepat-cepat pemuda itu menggeser tubuhnya ke kiri sambil melepaskan sebuah pukulan disertai hawa dingin menggigit.

Cusss!

Terdengar suara seperti bara api tersiram air ketika dua pasang lengan yang sama-sama mengandung tenaga dahsyat itu saling berbenturan keras. Tubuh mereka masing-masing terdorong beberapa langkah ke belakang. Ternyata pada pertemuan tenaga itu mereka berimbang. Baik Panji maupun Jaya Sukma sama-sama terkejut setelah mengetahui kekuatan masing-masing. Mereka kembali berdiri berhadapan dalam jarak sekitar enam tombak. Kedua pemuda sakti itu saling tatap dengan sinar mata mencorong tajam.

“Paman! Cepat tangkap gadis itu, dan bawa ke pondok tempat peristirahatanku!” perintah Jaya Sukma kepada dua orang pengawalnya.

Tanpa diperintah dua kali, Soma dan Ludira segera bergerak menangkap Kenanga yang juga sudah siap-siap membela diri dengan pedang hitam yang tergenggam erat di tangan kanannya. Melihat kekasihnya terancam, Pendekar Naga Putih melesat menyambut serangan dua orang laki-laki bertubuh tinggi besar itu.

“Akulah lawanmu, Pendekar Naga Putih...!” sambil berseru demikian, tubuh Jaya Sukma melesat memotong luncuran tubuh Panji.

Melihat lawan memotong gerakannya, Panji segera memutar lengannya menangkis serangan itu. Mereka sama-sama kembali terpental ke udara. Namun dengan sebuah gerakan berputar, masing-masing dapat mendaratkan kakinya ke tanah.

Begitu kakinya menyentuh tanah, Pendekar Naga Putih kembali melancarkan serangan ke arah Jaya Sukma. Selapis kabut bersinar putih keperakan mulai menyelimuti tubuhnya. Jelas, Panji mulai mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya. Hawa sedingin salju pun segera menebar memenuhi arena pertarungan.

Jaya Sukma cukup terkejut menyaksikan tubuh lawan mengeluarkan sinar yang benar-benar di luar dugaannya. Cepat-cepat dikerahkan tenaganya untuk mengusir hawa dingin yang terasa menggigit kulitnya itu. Sekejap kemudian hawa panas pun mulai menebar dari tubuhnya.

Soma dan Ludira yang berusaha menangkap Kenanga, cepat-cepat menjauhi arena pertempuran ketika merasakan hawa dingin dan panas berganti-ganti merasuk ke dalam tubuh. Dan demikian pula dengan Kenanga. Diam-diam ketiganya bergidik merasakan pengaruh pertarungan antara dua orang pemuda tampan yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi itu.

Kenanga hanya dapat memandang kekasihnya dengan sinar mata cemas. Sesaat kemudian, perhatian gadis itu tercurah kepada dua orang laki-laki tinggi besar yang kembali menyerangnya. Secepat kilat digerakkan pedangnya untuk menghalau serangan lawan-lawannya. Bahkan gadis itu juga menyusuli dengan tiga buah tendangan berantai.

Wuttt! Wuttt!

Soma dan Ludira memiringkan tubuhnya sehingga serangan gadis itu mengenai tempat kosong. Kemudian mereka membalas dengan cengkeraman-cengkeraman yang tidak kalah cepatnya. Kenanga memang cukup kewalahan menghindari serbuan dua pasang lengan yang besar dan berbulu lebat itu.

Sebenarnya kepandaian Soma maupun Ludira tidaklah lebih tinggi dari Kenanga. Namun karena keduanya maju secara bersamaan, maka cukup kewalahan juga gadis jelita itu dibuatnya. Sehingga, lama-kelamaan kedua orang bertubuh tinggi besar itu mulai mendesaknya.

Singgg!

Suatu ketika pedang hitam di tangan gadis jelita itu bergerak mendatar membabat pinggang lawan. Suaranya mengaung disertai hawa maut yang menggetarkan jantung. Ludira yang menjadi sasaran pedang hitam itu berseru kaget. Cepat-cepat dibuang tubuhnya ke belakang untuk menghindari sambaran pedang yang menimbulkan hawa mengerikan itu.

Crattt!

“Aaakh...!” Ludira menjerit kesakitan ketika pedang hitam di tangan Kenanga masih juga menyerempet lengan kanannya. Tubuhnya bergulingan sampai beberapa tombak jauhnya. Kemudian dia berdiri limbung sambil memegangi luka akibat goresan pedang yang terasa pedih bukan main!

“Kakang Soma, awas! Pedang gadis itu mengandung racun ganas...!” teriak Ludira memperingatkan saudaranya yang kini menjadi sasaran pedang hitam milik Kenanga. Setelah berkata demikian, tangan Ludira bergerak mencabut golok besarnya. Sambil menggigit bibirnya kuat-kuat, diayunkan golok besar itu membacok tangannya sendiri hingga putus sebatas siku.

Ludira berdiri limbung, dan tangan kanannya sibuk menotok untuk menghentikan darah yang mengalir dari luka itu. Terpaksa tangan kirinya harus dikorbankan kalau masih ingin hidup lebih lama. Karena, racun yang terkandung dalam pedang gadis itu ternyata sangat ganas dan cepat daya kerjanya.

Desss!

Tuk! Tuk!

“Aaakh...!” Pedang hitam di tangan Kenanga terlempar akibat tangkisan Soma. Dan sebelum gadis itu menyadari keadaannya, dua buah totokan telah melumpuhkan tubuhnya. Tubuh gadis jelita itu roboh disertai sebuah keluhan pendek.

Bukan main cemasnya hati Panji ketika mendengar keluhan yang keluar dari mulut kekasihnya. Cepat kepalanya menoleh untuk memastikan apa yang telah terjadi terhadap dara pujaannya itu. Dan wajahnya terubah pucat ketika tampak tubuh kekasihnya sudah berada dalam pondongan salah seorang pengawal lawannya.

“Bangsat! Lepaskan gadis itu!” tiba-tiba saja tubuh Pendekar Naga Putih melayang meninggalkan lawannya.

Ternyata kesempatan yang hanya sekejap itu tidak disia-siakan Jaya Sukma. Selagi tubuh Panji melesat melancarkan serangan ke arah Soma yang tengah memondong Kenanga, Jari Maut Pencabut Nyawa segera melepaskan sebuah tendangan kilat yang begitu telak menghantam punggung Pendekar Naga Putih. Desss!

“Aaakh...! Huakkk...!”

Tak pelak lagi, tubuh Panji terlempar deras dan memuntahkan darah segar seketika. Tulang punggungnya terasa remuk akibat tendangan lawan yang mengandung tenaga dalam tinggi itu. Panji mencoba berdiri tegak meskipun kepalanya rasanya seperti berputar. Pendekar muda itu rupanya mengalami luka yang cukup parah.

“Pendekar Naga Putih! Kami datang membantu...!” tiba-tiba terdengar seruan nyaring yang disertai berkelebatnya dua sosok tubuh ke arena itu.

Jaya Sukma yang semula sudah bersiap melontarkan pukulan selanjutnya, tertegun sesaat. Hatinya bimbang ketika mengenali dua orang pendatang itu. “Hm. Menghadapi Pendekar Naga Putih saja aku sudah merasa repot, apalagi kalau ditambah mereka berdua,” kata pemuda itu dalam hati.

“Paman, mari kita pergi...!” teriak Jaya Sukma sambil melontarkan pukulan ‘Jari Maut’ ke arah dua orang yang baru datang itu. Namun dua orang yang menjadi sasaran itu cepat bergulingan menghindarinya.

"Glarrr!" Pohon sepelukan orang dewasa yang berada di belakang dua orang itu berderak patah ketika seberkas sinar kemerahan menghantamnya.

“Bangsat! Pemuda iblis itu berhasil meloloskan diri...,” ujar orang bertubuh tinggi kekar yang ternyata adalah Pendekar Tombak Sakti sambil membersihkan rumput kering yang melekat di pakaiannya.

“Hm.... Sampai ke ujung langit pun akan tetap kukejar!” seru yang seorang lagi. Siapa lagi kalau bukan Pendekar Kapak Maut. Suaranya terdengar geram sekali ketika mengucapkan kata-kata itu.

“Uhhh.... Kenanga..., maafkan aku. Aku tak dapat menolongmu. Kepandaian orang itu memang hebat sekali. Pantas saja kalau banyak tokoh persilatan tewas di tangannya,” tiba-tiba terdengar suara Pendekar Naga Putih.

“Ahhh, Pendekar Naga Putih! Menyesal sekali kami tidak dapat menyelamatkan gadis itu,” ucap Pendekar Tombak Sakti penuh penyesalan.

“Tidak apa-apa, Paman. Aku maklum. Tapi, lihat pembalasanku nanti! Oh, ya. Terima kasih atas pertolongan Paman berdua,” jawab Panji sambil membungkuk hormat.

“Bagaimana lukamu, Pendekar Naga Putih?” tanya Pendekar Kapak Maut secara sepintas.

“Sudah tidak terlalu mengkhawatirkan, Paman...,” jawab Panji tersenyum, namun seperti dipaksakan. Pikirannya terpusat penuh pada keselamatan Kenanga. Biar bagaimanapun, gadis itu harus cepat-cepat diselamatkan.

Suasana berubah hening sejenak. Ketiga orang pendekar itu sama-sama termenung terbawa arus pikiran masing-masing.

“Maaf, Paman. Bolehkah aku mengetahui nama besar Paman berdua?” tanya Panji tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka.

“Apalah artinya nama besar kami dibandingkan nama besar yang kau sandang itu, Pendekar Naga Putih. Tapi ada baiknya kalau memperkenalkan diri kepadamu. Aku yang renta ini dijuluki orang sebagai Pendekar Tombak Sakti. Sedang ini adalah saudara seperguruanku, berjuluk Pendekar Kapak Maut. Dan kami bertujuh mendapat tugas dari ketua untuk menghentikan kekejaman Jari Maut Pencabut Nyawa yang saat ini tengah membuat kekacauan di dunia persilatan. Sayang sekali lima orang kawan kami telah tewas ketika kami meninggalkan mereka di hutan. Dan dilihat dari luka-luka yang terdapat, kami yakin bahwa yang membunuh mereka adalah si Jari Maut Pencabut Nyawa. Oh, ya, Pendekar Naga Putih. Bolehkan kami tahu nama besar gurumu?” tiba-tiba saja Pendekar Tombak Sakti mengajukan pertanyaan yang membuat Panji terkejut.

“Menyesal sekali, Paman. Beliau tidak memperbolehkan aku untuk menceritakan apa pun tentang dirinya. Sekali lagi aku mohon maaf,” jawab Panji penuh penyesalan.

“Ahhh, tidak apa-apa. Lupakan pertanyaan tadi,” sahut Pendekar Tombak Sakti memaklumi.

“Baiklah. Aku pamit dulu, Paman. Aku harus cepat-cepat mengejar mereka,” ujar Panji sambil membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Setelah berkata demikian, pemuda itu bergegas melangkahkan kakinya meninggalkan dua orang tokoh Perguruan Delapan Naga itu.

“Hei! Pelahan dulu, Pendekar Naga Putih!” seru Pendekar Tombak Sakti menahan langkah Pendekar Naga Putih. “Apakah kau sudah mengetahui di mana iblis itu tinggal?”

“Aku akan mencarinya, Paman,” jawab Panji seraya tersenyum.

“Ke mana akan mencarinya?” tanya Pendekar Kapak Maut tiba-tiba.

“Entahlah. Tapi, biar bagaimanapun aku akan berusaha menemukan orang itu,” sahut Panji bersungguh-sungguh.

“Apakah kau keberatan kalau kami menyertaimu? Rasanya kami sudah dapat menduga dari mana si Jari Maut Pencabut Nyawa itu berasal,” usul Pendekar Tombak Sakti.

“Tentu saja tidak, Paman. Malah sebaliknya aku merasa berterima kasih sekali atas kesediaan Paman berdua sudah membantuku,” jawab Panji gembira karena tidak ingin menyinggung perasaan dua orang pendekar itu.

“Kalau begitu, marilah kita berangkat!” ajak Pendekar Tombak Sakti.

Panji dan Pendekar Kapak Maut menganggukkan kepalanya. Beberapa saat kemudian, ketiga orang pendekar itu pun bergegas meninggalkan tempat tersebut untuk menyusul kepergian Jari Maut Pencabut Nyawa.

********************

TUJUH

Angin pagi bertiup lembut mengikuti ayunan langkah tiga orang pendekar memasuki Desa Jati Larang. Mereka adalah Panji, Pendekar Tombak Sakti, dan Pendekar Kapak Maut.

“Aneh! Desa ini tampak begitu sepi dan mencurigakan,” gumam Pendekar Tombak Sakti sambil merayapi keadaan desa yang hanya beberapa tombak di hadapan mereka.

“Benar, Paman. Tampaknya kita harus hati-hati. Sepertinya, desa ini baru saja mengalami musibah,” sahut Panji yang juga merasa curiga.

“Eh! Kakang Rancapala, Panji, lihatlah! Beberapa buah rumah dekat mulut desa itu tampaknya belum lama terbakar. Asap-asap tipis masih tampak mengepul dari puing-puingnya. Ah! Mudah-mudahan saja itu hanya kebakaran yang disebabkan keteledoran penghuninya,” seru Barga atau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut sambil menunjuk beberapa buah rumah. Rumah-rumah yang ditunjuk Barga itu tampak menghitam dan samar-samar masih mengepulkan asap tipis.

“Wah! Mudah-mudahan saja perjalanan kita tidak mengalami hambatan karena hal itu,” keluh Rancapala atau Pendekar Tombak Sakti disertai helaan napas berat. “Panji, Adi Barga, kuharap kalian jangan bertindak dulu. Kalau ada sesuatu yang mencurigakan, biarlah aku saja yang mencoba mengatasinya. Semua ini untuk menghindarkan kesalahpahaman. Nah, bagaimana?” usul Rancapala.

Baik Panji maupun Barga mengangguk setuju atas keputusan yang diambil Pendekar Tombak Sakti. Mereka berdua menyadari sepenuhnya bahwa saat ini berada didaerah asing yang belum pernah didatangi sebelumnya. Dan tentu saja mereka harus bisa membawa diri agar terhindar dari segala sesuatu yang tidak diinginkan.

Setelah mengambil keputusan demikian, ketiganya bergegas memasuki mulut desa tanpa meninggalkan kewaspadaan. Begitu melewati mulut desa, tampak puluhan pasang mata menatap ke arah mereka penuh curiga. Rancapala, Barga, dan Panji mencoba bersikap ramah dan menganggukkan kepala kepada orang-orang itu. Tanpa mempedulikan anggukan itu dibalas ataupun tidak, ketiganya terus melangkah memasuki Desa Jati Larang.

Belum lagi jauh memasuki desa, tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring yang disertai berlompatannya sosok-sosok tubuh yang langsung mengurung tiga orang pendekar itu.

“Berhenti...!”

Rancapala, Barga, dan Panji segera menghentikan langkahnya. Ketiga orang pendekar itu tetap bersikap tenang meskipun dikurung belasan orang dengan senjata di tangan.

“Hei, orang asing! Siapa kalian dan apa maksudnya mendatangi desa kami?!” tanya seorang laki-laki berkulit hitam dan berhidung lebar. Suaranya terdengar lantang dan sama sekali tidak menunjukkan sikap bersahabat.

“Maafkan kami, Kisanak. Kami bertiga adalah perantau yang secara kebetulan saja lewat di desa ini, tanpa maksud-maksud tertentu,” jawab Pendekar Tombak Sakti mencoba bersikap ramah. Sikap yang ditunjukkan pendekar itu sama sekali bukan karena takut, melainkan karena tidak ingin mencari keributan.

Lain yang diinginkan Pendekar Tombak Sakti lain pula tanggapan laki-laki berkulit hitam itu. Sikap ramah yang ditunjukkan pendekar itu malah membuatnya semakin angkuh dan memandang rendah. “Hm.... Kalian pasti mata-mata perampok hina yang berjuluk Dedemit Jati Palas itu. Dan kedatangan kalian ke sini untuk melihat hasil pekerjaan semalam, bukan? Kalau itu yang ingin diketahui, katakan kepada Dedemit Jati Palas, kami seluruh penduduk Desa Jati Larang tidak akan sudi menyerah dan tunduk di bawah kekuasaannya. Nah, sekarang pergilah, sebelum kami kehilangan kesabaran!” bentak lelaki berkulit hitam itu sambil membusungkan dada.

“Sudah, Kakang Balingka. Untuk apa bertanya lagi? Bunuh saja mereka!” teriak seorang lelaki berwajah pucat yang berada di belakang laki-laki berkulit hitam bernama Balingka itu sambil mengacungkan goloknya.

“Ya, bunuh saja mereka...!” seru yang lainnya lagi.

“Tahan...!”

Tiba-tiba Pendekar Tombak Sakti berteriak keras. Suara teriakannya terdengar bagaikan ledakan petir menggelegar. Akibatnya, beberapa pengepungnya yang sudah melangkah maju, terpental bagaikan didorong tenaga kuat. Sedangkan yang lainnya tersurut mundur dengan wajah memucat, termasuk lelaki berkulit hitam yang bernama Balingka.

“Dengar, saudara-saudara! Kami tidak mengenal siapa itu Dedemit Jati Palas atau sebangsanya. Kalau kalian masih tidak percaya, hadapkan kami kepada kepala desa kalian! Bagaimana?” seru Rancapala sambil mengerahkan tenaga dalamnya, sehingga suaranya terdengar nyaring dan bergaung memekakkan telinga.

Balingka diam-diam merasa terkejut merasakan kehebatan tenaga dalam yang ditunjukkan Pendekar Tombak Sakti. Sejenak tergambar bayang keraguan di wajahnya. Namun meskipun demikian, dia tetap belum merasa yakin akan kebenaran ucapan laki-laki tinggi tegap itu.

“Maafkan kami, Kisanak. Biar bagaimanapun kami tetap belum dapat mempercayai kata-katamu. Dan apabila Kisanak ingin menghadap kepala desa, maka kami minta agar kalian suka menyerahkan senjata,” usul Balingka yang mulai surut kegalakannya. Namun demikian, dia berusaha menutupi dengan suaranya yang tenang.

“Tunggu...!” tiba-tiba terdengar teriakan dari belakang Pendekar Tombak Sakti. Teriakan itu rupanya berasal dari mulut Barga yang sudah melangkah maju. Sementara Balingka langsung melangkah mundur sambil menyilangkan pedangnya menjaga kemungkinan.

“Hm, Kisanak. Kau boleh tidak mengenal dan mencurigai kedatangan kami. Tapi bagaimana dengan nama Pendekar Naga Putih? Apakah kedatangan pendekar muda yang perkasa itu patut dicurigai?” tanya Barga yang tiba-tiba saja menemukan cara yang baik untuk meredakan ketegangan di antara mereka. Selain itu, dia juga ingin mengetahui apakah nama besar Pendekar Naga Putih sudah terdengar hingga ke daerah selatan ini.

“Oh! Pendekar Naga Putih...?!” Balingka dan beberapa orang lainnya tersentak kaget. Rupanya kedigdayaan pendekar muda yang memiliki ilmu-ilmu tinggi itu telah sampai pula ke telinga mereka.

“Kisanak! Apakah maksudmu bahwa kau datang bersama pendekar muda yang budiman itu...?” tanya Balingka ragu-ragu. Sementara matanya menatap sosok Panji penuh selidik. Pada sinar mata laki-laki berkulit hitam itu terpancar secercah harapan. Sesaat kemudian sinar mata dan raut wajah Balingka berubah mengeras. “Hm, jangan kau coba menipu kami dengan menjual nama pendekar muda itu. Tidak akan semudah itu kami dapat mempercayai omonganmu!”

Meskipun Barga merasa kagum akan sikap laki-laki berkulit hitam yang tidak mudah percaya begitu saja terhadap ucapannya, namun jelas pendekar itu terlihat agak jengkel.

“Saudara Panji, maukah kau memberikan bukti agar mereka yakin bahwa saat ini sedang berhadapan dengan Pendekar Naga Putih yang mereka kagumi itu?” pinta Pendekar Kapak Maut sambil menolehkan kepalanya ke arah Panji.

“Baiklah, Paman Barga. Akan kucoba meyakinkan agar kesalahpahaman ini tidak berlanjut,” jawab Panji tenang.

Setelah berkata demikian, pemuda itu segera mengempos seluruh tenaga dalamnya. Beberapa saat kemudian selapis kabut bersinar putih keperakan nampak menyelimuti seluruh tubuh Pendekar Naga Putih. Dan tubuh Panji meliuk-liuk mirip seekor naga putih. Hawa dingin berhembus membuat beberapa orang pengepung yang berada tidak jauh dari pemuda itu menggigil kedinginan.

“Ahhh.... Pendekar Naga Putih...!” teriak Balingka dan beberapa orang lainnya yang sudah mendengar tentang ciri-ciri pendekar muda yang sakti itu. Di wajah mereka jelas tergambar kegembiraan yang tidak dapat disembunyikan.

“Bagaimana, Kisanak? Apakah masih meragukannya...,” tanya Barga tersenyum bangga. Diam-diam hatinya juga merasa kagum dengan tingginya ilmu yang dimiliki pemuda itu.

“Ah, tentu saja tidak! Marilah, Pendekar Naga Putih. Marilah, Kisanak. Ki Dirga Sura tentu akan merasa gembira sekali melihat kehadiran kalian,” ajak Balingka sambil tersenyum gembira. Bagaimana Balingka tidak akan gembira? Dengan adanya pendekar muda itu, ia merasa yakin kalau musibah yang selama ini menghantui desanya akan dapat diatasi.

Dengan langkah tegap dan wajah berseri, Balingka mengantarkan tamu-tamunya untuk menghadap Ki Dirga Sura yang menjabat Kepala Desa Jati Larang. Panji, Rancapala, dan Barga yang ditemani Balingka dan empat orang anak buahnya menghentikan langkahnya di depan sebuah rumah yang cukup besar. Memang, itu adalah kediaman Kepala Desa Jati Larang.

“Silakan tunggu di sini, Kisanak. Aku akan melaporkan berita gembira ini kepada Ki Dirga Sura. Ha ha ha.... Beliau tentu akan merasa gembira sekali!” ujar Balingka tertawa. Sambil berkata demikian, lelaki berkulit hitam itu melangkah meninggalkan mereka.

“Hm.... Sudah kuduga kalau julukanmu akan terdengar sampai kedaerah ini, Panji. Itulah sebabnya sengaja kugunakan namamu untuk menghilangkan kecurigaan mereka kepada kita,” jelas Barga yang semakin merasa kagum atas sikap yang ditunjukkan Panji. Pemuda itu sama sekali tidak terlihat bangga ataupun besar kepala karena nama besarnya telah dikenal sampai sekian jauhnya. Benar-benar sikap seorang pendekar sejati!

“Ah! Sudahlah, Paman Barga. Bisa-bisa kepalaku meledak apabila sanjungan itu masih Paman teruskan,” sahut Panji pelan.

Saat itu terdengar suara pintu terkuak, disusul langkah-langkah kaki mendatangi tempat tiga orang pendekar itu menanti. Keempat orang anak buah Balingka mengangguk hormat kepada seorang laki-laki gagah berusia sekitar lima puluh tahun. Laki-laki gagah yang bernama Ki Dirga Sura itu melangkah diiringi Balingka dan seorang gadis cantik yang berusia kurang lebih sekitar delapan belas tahun.

“Selamat datang di desa kami, Kisanak. Maafkan kalau sambutan anak buahku tidak ramah tadi,” ujar Ki Dirga Sura. Suaranya terdengar halus dan ramah disertai senyum cerah yang menghias wajahnya.

“Ah! Tidak apa-apa, Ki. Hal itu dilakukan karena terpaksa,” jawab Rancapala sambil bangkit berdiri menyambut kedatangan kepala desa itu. Sikapnya itu diikuti pula oleh Barga dan Panji.

“Ah! Inikah pemuda tampan dan gagah yang dijuluki Pendekar Naga Putih? Selamat datang, Pendekar Muda. Merupakan suatu kehormatan besar bagi kami karena saudara....”

“Panji, Ki!” jawab Panji memperkenalkan diri.

“Ya, Saudara Panji. Merupakan suatu kehormatan bagi kami karena kau sudi untuk singgah di desa ini. Oh, ya, perkenalkan anakku yang manja dan nakal ini,” ujar Ki Dirga Sura sambil menoleh ke arah dara cantik yang hanya tersenyum itu.

“Ah, Ayah...!” rungut gadis itu sambil mencubit lengan ayahnya.

“Namanya Trijati...,” potong Ki Dirga Sura lagi tanpa mempedulikan cubitan pada lengannya.

Barga, Rancapala, dan Panji menganggukkan kepala ke arah gadis cantik yang bernama Trijati itu. Gadis itu tersenyum manis membalas anggukan ketiga orang pendekar itu.

“Kakang Panji, nama julukanmu sudah lama kami dengar. Dan Ayah selalu memuji-muji sepak terjangmu. Mmm..., bersediakah Kakang bermain-main denganku? Sebentaaar... saja. Boleh kan, Ayah?” tiba-tiba gadis itu berkata kepada Panji tanpa malu-malu. Tentu saja hal itu mengejutkan hati mereka yang berada di tempat tersebut.

“Trijati, jangan kurang ajar! Kau kira sedemikian hebatkah ilmu kepandaian yang kau miliki sehingga berani menantang Pendekar Naga Putih?!” Ki Dirga Sura memperingatkan putrinya yang sudah telanjur bicara itu. “Maafkan anakku, Saudara Panji. Jangan hiraukan ucapannya.”

“Ah! Tidak apa-apa, Ki,” sahut Panji maklum.

“Uuuh..., Ayah...!” Trijati memberengut manja sambil membanting-banting kakinya ke lantai. Ki Dirga Sura tidak mempedulikan sikap putrinya yang memang sangat manja itu. Kembali ditolehkan kepalanya ke arah tiga tamunya, lalu menceritakan tentang kejadian yang telah menimpa Desa Jati Larang beberapa hari terakhir ini.

“Semalam pun belasan orang anak buah Dedemit Jati Palas kembali membuat kerusuhan di desa ini. Beberapa buah rumah dibakar sebagai peringatan yang terakhir. Dan apabila kami masih belum bersedia tunduk, malam nanti Dedemit Jati Palas itu akan datang untuk membumihanguskan Desa Jati Larang. Itulah sebabnya, mengapa kedatangan Kisanak bertiga dicurigai,” jelas Ki Dirga Sura menutup ceritanya.

“Jadi selama ini Dedemit Jati Palas itu hanya mengutus anak buahnya saja?” tanya Rancapala menegaskan.

“Benar! Sedangkan menghadapi para pengikutnya saja kami sudah kewalahan. Entah bagaimana nasib desa ini apabila ia sendiri yang memimpin pengikutnya itu. Mungkin desa ini sudah jatuh di bawah kekuasaannya,” keluh Ki Dirga Sura sambil menghela napas berat dan panjang. “Ah..., siapa sangka pada saat yang gawat seperti ini Yang Maha Kuasa telah mengirimkan bantuannya dengan mengirimkan tiga orang pendekar gagah.”

“Baiklah, Ki. Kami akan berusaha membantu penduduk Desa Jati Larang ini sekuat tenaga,” ucap Pendekar Tombak Sakti merendah.

“Ha ha ha.... Aku yakin dengan bantuan kalian, Dedemit Jati Palas itu akan lari terbirit-birit.” kata kepala desa itu tertawa gembira.

“Nah, sekarang marilah kita membuat rencana,” usul Barga bersemangat.

********************

Malam itu langit tampak cerah. Bintang bertaburan bagaikan pelita penghias malam. Tiupan angin bersilir lembut membuat suasana malam itu semakin terasa indah. Desa Jati Larang tampak sepi. Sesekali terdengar lolongan anjing hutan di kejauhan. Beberapa sosok tubuh nampak bergerak menuju perbatasan Desa Jati Larang. Setelah keluar dari mulut desa, sosok-sosok bayangan itu bersembunyi di antara gerombolan semak di tepi jalan.

Ketika suasana malam semakin larut, terdengar gemuruh derap kaki kuda yang mendatangi Desa Jati Larang. Puluhan ekor kuda itu terhenti ketika orang yang berada di depan mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Jarak antara puluhan penunggang kuda dengan mulut desa hanya terpisah beberapa puluh tombak saja. Belum lagi si pemimpin rombongan mengucapkan sesuatu, tiba-tiba terdengar desingan tajam meluncur ke arah rombongan orang berkuda itu. Dan tanpa dapat dicegah lagi, kuda-kuda tunggangan mereka meringkik nyaring sambil mengangkat kedua kaki depannya. Sesaat kemudian, belasan ekor kuda terdepan langsung roboh setelah terlebih dahulu melemparkan penunggangnya.

Mendadak, di sekitar tempat itu telah bermunculan puluhan batang obor yang tergenggam di tangan para penduduk Desa Jati Larang. Sekejap saja, suasana di mulut desa itu menjadi terang benderang tak ubahnya seperti siang hari. Tentu saja kejadian yang tak terduga itu telah membuat para penunggang kuda itu menjadi terkejut setengah mati. Si pemimpin yang bertubuh tinggi dan berperut gendut itu berteriak menyumpah dan mengancam.

“Bangsat! Monyet jelek kau, Dirga Sura! Awas, kau! Akan kucincang hancur tubuhmu nanti. Akan kuhirup darahmu!” teriak laki-laki gendut itu sambil membanting kakinya ke tanah berulang-ulang.

“Ha ha ha..., Dedemit Jati Palas. Jangan hanya berteriak-teriak seperti nenek-nenek kehabisan sirih. Ayo, buktikan ucapanmu itu,” tiba-tiba terdengar sahutan yang disertai berkelebatnya beberapa sosok tubuh dari semak-semak di tepi jalan.

“Sebaiknya Paman tetap di sini. Biar kami saja yang menghadapi Dedemit Jati Palas itu sesuai janji kita,” ujar Panji sambil melesat ke arah rombongan Dedemit Jati Palas.

“Aku ikut, Kakang!” gadis cantik yang tak lain adalah Trijati itu langsung melompat tanpa menanti persetujuan Panji.

Ki Dirga Sura hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat putrinya sudah melesat ke arah gerombolan tersebut. Hati orang tua itu baru menjadi tenang ketika teringat adanya Pendekar Naga Putih bersama putri tersayangnya itu. Sementara itu pertarungan sudah berlangsung. Balingka yang menjadi tangan kanan Ki Dirga Sura mengamuk hebat dengan pedangnya. Setiap kali pedangnya terayun, terdengar jeritan kematian dari lawannya. Sepak terjang lelaki berkulit hitam itu benar-benar bagaikan algojo yang haus darah.

Rancapala atau Pendekar Tombak Sakti sudah pula bertempur dengan dua orang lelaki kembar yang merupakan pembantu utama dari Dedemit Jati Palas. Pendekar Tombak Sakti sama sekali tidak menduga kalau Dedemit Jati Palas ternyata banyak memiliki pembantu yang tangguh. Sehingga, tokoh utama Perguruan Delapan Naga itu harus mengeluarkan ilmu andalannya untuk menghadapi dua orang lawan yang bertarung saling mengisi itu.

Di bagian lain, tampak Pendekar Kapak Maut tengah mendesak lawannya yang bersenjatakan sebuah clurit yang dapat dilemparkan seperti bumerang. Namun kepandaian orang itu tampak masih di bawah tokoh Perguruan Delapan Naga itu. Terlihat jelas kalau orang yang bersenjata clurit itu kerepotan menghadapi sambaran sepasang kapak bermata dua yang merupakan senjata andalan Barga.

Sedangkan orang yang berjuluk Dedemit Jati Palas sendiri tengah mengamuk ganas! Teriakan-teriakan ngeri terdengar setiap kali tangannya menyambar. Darah berhamburan dan memercik membasahi pakaiannya yang berwarna hitam itu. Pancaran sinar obor menerangi wajahnya yang terlihat menyeringai penuh nafsu membunuh. Dedemit Jati Palas tak ubahnya seperti iblis yang tengah menebar maut.

“Akulah lawanmu, dedemit jelek!” teriak sesosok bayangan ramping yang langsung membabatkan pedangnya ke arah orang itu.

Takkk!

“Ihhh...,” sosok ramping yang ternyata Trijati itu berseru tertahan ketika mata pedangnya berbalik akibat sentilan jari-jari Dedemit Jati Palas yang mengandung tenaga dalam tinggi. Untunglah pada saat itu sesosok bayangan putih berkelebat menyambar tubuh gadis itu. Kalau tidak, tentu Trijati sudah terjatuh dalam tangan lawannya.

“Menyingkirlah, Adik Trijati. Biar aku yang menghadapinya,” kata Panji setelah meletakkan tubuh gadis itu ke tempat yang aman. Setelah berkata demikian, tubuh Pendekar Naga Putih kembali berkelebat ke arah Dedemit Jati Palas yang kembali tengah menyebar maut.

“Dedemit Jati Palas, sambutlah...!” sambil berteriak memperingatkan lawan, tubuh Panji sudah meluncur deras disertai sebuah pukulan yang menimbulkan desiran angin tajam.

Kepala rombongan yang berjuluk Dedemit Jati Palas itu mendengus mengejek. Meskipun tahu kalau angin pukulan serangan itu cukup berbahaya, namun kesombongan telah membutakan matanya. Dia benar-benar memandang rendah melihat usia lawannya yang masih muda itu.

Dukkk!

“Ehhh...!” tubuh tinggi besar berperut gendut itu tersentak mundur sejauh lima tindak. Dan hal itu benar-benar telah membangkitkan kemarahan di hatinya.

“Siapa kau, Anak Muda?! Apa hubunganmu dengan bangsat Dirga Sura itu?” bentak Dedemit Jati Palas. Tampak wajahnya merah padam.

“Namaku Panji. Dan aku tidak punya hubungan apa-apa dengan Ki Dirga Sura. Aku hanya seorang tamu yang kebetulan lewat di sini. Dan sebagai tamu, tentu saja harus membela tuan rumah yang sedang menghadapi pengacau yang mengaku berjuluk Dedemit Jati Palas,” jawab Panji tenang.

“Bangsat! Aku tidak butuh khotbahmu. Hm.... Apa julukanmu sehingga berani menantangku?!” teriak Dedemit Jati Palas geram.

“Ah! Itu tidak perlu ditanyakan. Dan rasanya tidak perlu kujawab. Lebih baik, bersiaplah untuk kukirim ke neraka,” jawab Panji yang membuat mata lawannya melotot bagaikan hendak ke luar.

“Bangsat! Kubunuh kau...!” diiringi bentakan menggeledek, tubuh Dedemit Jati Palas itu melesat ke arah Panji. Kedua tangannya langsung melancarkan tiga buah serangan secara berturut-turut.

Wut! Wut! Wut!

Panji memiringkan tubuhnya ke kiri dan kanan sehingga serangan lawan mengenai tempat kosong. Dan sebelum lawan menarik serangannya, kepalan Panji sudah meluncur menghantam dadanya.

Bukkk!

“Heghk...!” Dedemit Jati Palas terbanting ke tanah ketika dadanya terkena hantaman tangan Panji. Tubuh yang tinggi besar itu menggigil sesaat, dan baru dapat melepaskan pengaruh hawa dingin yang menusuk itu setelah mengerahkan hawa murninya. Diam-diam hati kepala gerombolan itu menjadi terkejut sekali ketika merasakan pukulan yang mengandung hawa dingin itu. Untunglah Panji hanya mengerahkan seperempat tenaga dalamnya, sehingga lawan masih dapat berdiri tegak.

“Siapa sebenarnya kau, Anak Muda...?!” tanya laki-laki gendut itu sambil meneliti sosok Panji dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Darah di tubuhnya berdesir ketika teringat tentang seorang pendekar muda yang memiliki pukulan sedingin es.

“Tidak perlu banyak cakap, Dedemit Jati Palas! Apakah kalau kuberitahu julukanku kau akan mundur?” ledek Panji.

“Bangsat! Setaaan...! Kubunuh kau..., hiaaat...!” teriak Dedemit Jati Palas.

Bukan main murkanya hati laki-laki gendut itu karena diejek sedemikian rupa. Diiringi teriakan nyaring, ia segera menerjang Panji. Kali ini serangannya tidak dapat dipandang remeh. Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu saja di tangannya telah tergenggam sebuah senjata berbentuk gada berduri.

“Hm...!” Panji mendengus pelahan sambil menghindari serangan lawan. Pemuda itu sengaja tidak membalas serangan. Sehingga Dedemit Jati Palas semakin memuncak kemarahannya. Memang itulah yang diinginkan Panji.

Karena pada saat kemarahan lawan semakin memuncak, akan semakin hilanglah pertahanan dirinya. Secara pelahan-lahan Pendekar Naga Putih mulai membalas sesekali. Akibatnya, serangan Dedemit Jati Palas seringkali berbalik akibat angin pukulan yang keluar dari dua tangan Panji. Beberapa kali laki-laki gemuk itu terdorong mundur dengan tubuh menggigil kedinginan, untuk kemudian menyerang kembali secara kalap.

Sementara itu Pendekar Tombak Sakti yang sudah menggunakan senjatanya, sudah mulai dapat mendesak lawan. Secara pelahan tapi pasti, kedua lawannya terkurung dalam serangan tombak baja putih pendekar itu.

Bret!

“Aaakh...!” Salah seorang lawan Pendekar Tombak Sakti menjerit kesakitan ketika ujung tombak pendekar itu tertancap di perutnya. Tubuh orang itu melambung setelah disentakkan ke atas, lalu terbanting ke atas tanah dan tewas seketika dengan perut hancur!

Pada saat yang bersamaan, ujung pedang lawannya yang seorang lagi telah berhasil menggores bahu Rancapala. Cepat-cepat pendekar itu menggulingkan tubuhnya untuk menghindari serangan berikut dari lawan. Dan ketika melihat lawannya melompat mengejarnya, Rancapala cepat-cepat menusukkan tombaknya dari bawah ke atas.

“Aaakh...!” Tombak berkait milik Rancapala telah menembus tubuh lawan. Langsung dicabut senjatanya sehingga kaitan yang berada dekat ujung tombak merobek perut lawannya yang tewas seketika itu juga. Darah langsung muncrat ke mana-mana.

Di bagian lain, Pendekar Kapak Maut sudah pula mengakhiri nyawa lawannya. Kapak yang memiliki mata pada kedua ujungnya itu telah membabat putus leher lawan! Begitu lawannya tewas, dia bergegas membantu yang lainnya.

Tidak ketinggalan pula Ki Dirga Sura. Senjatanya yang berupa golok panjang itu berkelebat mencari mangsa. Pakaiannya yang semula berwarna putih itu sudah tidak nampak warna aslinya, karena dipenuhi darah lawan. Keringat sudah mengalir deras membasahi pakaiannya. Namun Kepala Desa Jati Larang itu masih terus mengamuk tanpa mengenal lelah.

Di sebelah kirinya, Trijati pun ikut pula membantu ayahnya dengan pedang di tangan. Sesekali tangan dan kakinya melepaskan sebuah tendangan maupun pukulan yang langsung disusul sambaran pedangnya. Sehingga dalam pancaran sinar obor, gadis cantik itu nampak bagai seorang dewi yang sedang menyebar maut.

Setelah cukup lama pertempuran berlangsung, tampak para penduduk Desa Jati Larang mulai menguasai arena pertempuran. Untunglah para penduduk desa itu dibantu tokoh-tokoh utama Perguruan Delapan Naga. Kalau tidak, mana mungkin dapat memenangkan pertempuran itu? Yang jelas, mereka bukanlah orang persilatan seperti halnya musuh mereka.

Tidak lama kemudian, pertempuran pun berakhir. Para pengikut Dedemit Jati Palas yang sudah kehilangan keberaniannya terpaksa menyerah dan membuang senjatanya. Para penduduk Desa Jati Larang pun bersorak menyambut kemenangan itu.

Pada saat yang sama, pertempuran antara Pendekar Naga Putih melawan Dedemit Jati Palas pun sudah pula akan berakhir. Panji yang telah merasa cukup mempermainkan lawannya, segera melompat ke belakang dan bersiap mengakhiri pertarungan itu. Dedemit Jati Palas yang mengira lawannya ingin melarikan dia, bergegas mengejarnya. Tubuhnya meluncur disertai ayunan gada berdurinya yang menimbulkan desiran angin keras. Namun tubuh tinggi besar itu terpental kembali ketika senjatanya terbentur selapis kabut bersinar putih keperakan yang melindungi tubuh Panji. Tubuh Dedemit Jati Palas menggigil karena hawa dingin telah merasuk dalam tubuhnya.

“Pendekar Naga Putih...!” teriaknya parau. Hatinya mulai dihinggapi rasa takut ketika mengetahui siapa lawannya.

Pada saat itu tubuh Panji sudah melesat disertai ayunan tangannya yang berbentuk cakar naga. Serangkum angin dingin yang dapat membekukan tubuh, berhembus keras mengiringi pukulan Panji.

Bret!

“Aaarghhh...!” Diiringi raungan panjang menyayat, tubuh Dedemit Jati Palas terlempar keras bagai dilempar tangan raksasa. Tubuh yang tinggi besar itu jatuh deras menghantam tanah. Napasnya kontan putus dengan mata terbeliak.

“Kau tidak apa-apa, Kakang Panji...!” sesosok bayangan ramping yang tak lain adalah Trijati berlari menyongsong Panji.

“Tidak, Adik Trijati. Mari kita temui ayahmu,” ajak Panji yang jadi merasa kikuk mendapat perhatian begitu rupa dari gadis itu.

Malam itu juga Ki Dirga Sura memerintahkan penduduk desa untuk menguburkan mayat-mayat korban pertarungan. Dan kini mereka pun kembali ke desa.

********************

DELAPAN

Tiga sosok bayangan hitam tampak menyelinap di antara bayang-bayang pepohonan. Mereka tak lain adalah Panji, Rancapala, dan Barga. Ketiganya bergerak hati-hati mendekati sebuah pintu gerbang yang dikelilingi tembok tinggi.

“Tidak salah lagi! Inilah tempat kediaman si Jari Maut Pencabut Nyawa, seperti yang dikatakan Ki Dirga Sura itu,” bisik Rancapala.

“Tapi, mengapa tampak sepi sekali? Sedangkan menurut keterangan Ki Dirga Sura, tempat ini dijaga beberapa tukang pukul,” sergah Barga heran.

“Entahlah! Jangan-jangan mereka telah mengetahui kedatangan kita. Dan siapa tahu, ini merupakan sebuah jebakan!” sahut Rancapala seperti terpengaruh ucapan Barga.

Sementara Pendekar Naga Putih masih terus meneliti bagian luar gedung itu. Seolah-olah, pemuda itu tengah mencari jalan masuk yang aman dan tak terjaga. “Hm, rasanya sulit sekali menyelinap ke tempat itu tanpa diketahui penghuninya. Bagaimana pendapat Paman?” tanya Panji seraya menoleh kepada kedua orang pendekar itu.

Untuk beberapa saat lamanya, baik Rancapala maupun Barga hanya termenung mendengar pertanyaan Panji. Kemudian pandangan mereka kembali beralih ke arah bangunan itu.

“Yah! Memang sulit sekali untuk menyelinap masuk tanpa diketahui penghuninya. Apalagi kita belum mengetahui keadaan di balik pintu gerbang itu,” sahut Rancapala sambil terus berpikir keras.

“Apakah kau ada usul, Saudara Panji...?” tanya Barga tiba-tiba, seperti ingin mengetahui pikiran pemuda perkasa itu.

“Bagaimana kalau kita menyelinap masuk secara berpencar, Paman? Akan kucoba masuk melalui belakang bangunan itu. Sedangkan Paman berdua dapat melompat masuk melalui tembok di depan itu,” usul Panji sambil menunjuk ke arah pohon besar yang tumbuh di samping tembok.

Setelah berpikir sesaat lamanya, dua orang tokoh Perguruan Delapan Naga itu pun mengangguk menyetujui. Dan mereka langsung membuat rencana. Tidak lama kemudian, tampak Panji meninggalkan kedua orang itu, lalu melesat ke belakang bangunan tempat tinggal Jari Maut Pencabut Nyawa. Pemuda itu bergegas meneliti bagian belakang bangunan untuk mencari tempat masuk yang aman. Sekali menggenjotkan kakinya, tubuh Pendekar Naga Putih langsung melambung dan hinggap di atas tembok batu yang agak terlindung.

“Hm..., tepat seperti yang kuduga. Tempat seperti ini pastilah mempunyai taman pada sudutnya,” gumam Panji sambil tersenyum. Sejurus kemudian, tubuhnya sudah meluncur turun ke bagian belakang taman.

Keberuntungan rupanya tengah menyertai Pendekar Naga Putih. Di saat tengah kebingungan mencari tempat Kenanga disekap, seorang laki-laki setengah baya berpakaian seperti tukang kebun, melintas di dekatnya. Tanpa banyak kesukaran, Panji melumpuhkan orang itu, lalu menyeretnya ke semak-semak untuk mengorek keterangan dari mulut orang itu.

Beberapa saat kemudian, tubuh pemuda itu keluar dari semak-semak. Panji berlari sambil sesekali merapatkan tubuhnya ke dinding. Pendekar muda itu menyusuri jalanan berbatu kerikil yang menuju ke kandang kuda. Sebab menurut keterangan tukang kebun yang baru saja dilumpuhkannya tadi, ada seorang gadis jelita yang disekap di kamar yang letaknya dekat kandang kuda itu. Siapa lagi kalau bukan Kenanga?!

Sedangkan di bagian depan, Pendekar Tombak Sakti dan Pendekar Kapak Maut sudah memasuki halaman. Mereka bergerak cepat tanpa menimbulkan suara, menyelinap di balik batang pohon yang tumbuh di halaman. Baru saja Rancapala dan Barga bergerak ke samping gedung, tiba-tiba terdengar suara berdesing tajam yang meluncur ke arah mereka.

Singgg! Singgg...!

Trak! Trak...!

Empat batang anak panah langsung runtuh dalam keadaan patah! Di tangan masing-masing telah tergenggam senjata andalan mereka. Keduanya langsung bersiaga ketika menyadari kalau kedatangan mereka telah diketahui lawan. Ketika kembali terdengar suara desingan anak panah, Rancapala dan Barga menyimpan senjatanya. Cepat-cepat keduanya menangkis dengan menggunakan sisi telapak tangan miring. Empat batang anak panah itu kontan berbalik kepada tuannya.

“Aaakh...!”

Empat orang yang melepaskan anak panah itu langsung terjungkal tewas. Dada dan leher masing-masing telah ditembus sebatang anak panah yang mereka lepaskan tadi.

“Maling keparat! Siapa kalian?! Dan apa maksud kalian menyusup ke dalam gedung ini?!” bentak seorang laki-laki pendek gemuk sambil melintangkan senjatanya di depan dada.

“Siapa pun kami, bukan urusanmu! Lebih baik laporkan kepada majikanmu bahwa kami datang untuk mengambil nyawanya!” teriak Pendekar Tombak Sakti tak kalah garangnya.

“Bangsat! Kurobek mulutmu yang lancang itu!” setelah berkata demikian, orang itu langsung menerjang dua orang tokoh Perguruan Delapan Naga yang kemudian diikuti kawan-kawannya yang lain.

Dalam sekejap saja dihalaman samping gedung itu telah terjadi pertempuran sengit! Rancapala dan Barga tidak tanggung-tanggung lagi membalas serangan-serangan lawannya. Senjata-senjata mereka berkelebatan mengancam tubuh lawan yang berjumlah delapan orang itu.

Ternyata kedelapan orang itu memiliki kepandaian yang tidak rendah! Sepuluh jurus telah terlewati, namun dua orang pendekar itu belum juga mampu merobohkan seorang lawan pun. Tentu saja hal ini membuat Rancapala dan Barga menjadi penasaran. Padahal mereka dikenal sebagai tokoh-tokoh utama Perguruan Delapan Naga. Tapi, sampai sekian lama belum juga dapat melukai lawan. Hal itu benar-benar di luar perhitungan mereka.

“Hiaaat..!” Pendekar Kapak Maut berteriak melengking disertai ayunan kapaknya dalam jurus ‘Kapak Maut Pembelah Bumi’. Kedua mata kapak berkilatan menyilaukan mata lawan. Dan tanpa dapat dicegah lagi....

Cras! Cras!

Sepasang kapak maut di tangan Barga membeset perut dan leher seorang lawannya. Seketika itu juga, salah seorang pengeroyok tewas tanpa sempat berteriak karena kepalanya telah terpisah dari badan!

Tepat pada saat itu, tombak di tangan Rancapala meliuk bagaikan seekor ular menuju sasaran. Lawannya berkelit sehingga mata tombak itu tidak mengenai lehernya. Tapi justru itulah yang diinginkan Rancapala. Tepat pada saat itu, ditarik pulang tombaknya sehingga kaitan yang melengkung ke dalam, membeset urat leher lawannya. Darah segar menyembur keluar dari luka itu. Orang itu berkelojotan meregang nyawa untuk kemudian diam tak berkutik. Mati.

Dua orang tokoh utama Perguruan Delapan Naga itu terus merangsek lawan-lawannya. Jurus-jurus pilihan yang digunakan mereka benar-benar hebat dan menggiriskan sekali. Lewat tiga jurus kemudian, kembali dua orang pengeroyok itu menggelinding tewas.

Rancapala dan Barga seolah-olah sepakat untuk berlomba membunuh lawan sebanyak-banyaknya. Mereka seakan-akan bersaing dan saling mendahului merobohkan lawan, sehingga tindakan mereka tidak kepalang tanggung. Pada saat keduanya mulai mendesak lawannya, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan mengguntur yang dibarengi berkelebatnya dua sosok tubuh tinggi besar, dan langsung menerjunkan dirinya ke dalam arena.

“Ha ha ha...! Rupanya cecurut-cecurut dari Perguruan Delapan Naga telah berani mati memasuki sarang macan,” salah seorang dari kedua laki-laki tinggi besar yang ternyata adalah Soma itu tertawa mengejek.

“Ayo! Kita antarkan mereka ke neraka, Kakang,” seru seorang lagi yang tak lain adalah Ludira. Setelah berkata demikian, dia pun langsung menerjang Pendekar Kapak Maut.

Dengan masuknya dua orang pengawal Jari Maut Pencabut Nyawa itu, tentu saja Rancapala dan Barga menjadi kelabakan. Dalam beberapa jurus saja kedua orang pendekar itu terdesak hebat!

Bukkk!

“Akh...,” terdengar keluhan tertahan dari mulut Pendekar Tombak Sakti.nTampak tubuh Rancapala terpental bergulingan ketika kepalan Soma yang hampir sebesar kepala bayi itu menghantam dadanya. Pendekar itu cepat bangkit meski agak terhuyung. Dari bibirnya mengalir cairan merah membasahi pakaiannya. Rancapala menghirup udara banyak-banyak untuk mengusir rasa sesak di dadanya. Tombak berkaitnya melintang di depan dada, siap menghadapi segala kemungkinan.

Pada saat yang bersamaan, Pendekar Kapak Maut pun terpelanting akibat tendangan Ludira yang hinggap di lambungnya. Wajahnya menyeringai menahan sakit pada lambungnya. Pendekar itu cepat menggulingkan tubuhnya ke kiri ketika melihat lawannya kembali menerjang.

Derrr!" Tanah tempat Barga tadi terjatuh melesak akibat injakan kaki yang hampir sebesar kaki gajah itu. Kalau saja Barga tidak sempat menghindar, tentu perut pendekar itu telah remuk akibat injakan kaki Ludira!

“Aaarghhh...!” Tiba-tiba terdengar teriakan menyayat yang dibarengi terpentalnya empat orang pengeroyok pendekar itu. Keempat orang itu berkelojotan tewas akibat goresan dalam dan memanjang di tubuh mereka.

“Manusia-manusia pengecut!” bentak seorang wanita cantik mengenakan pakaian serba merah. Sebilah pedang bersinar kehijauan tergenggam erat di tangannya. Wanita itu tampak bagaikan seorang dewi yang turun dari langit untuk menyelamatkan mereka.

“Paman, aku datang membantu...!” seru seorang dara lain yang tidak kalah cantiknya dengan si baju merah. Di tangan dara itu pun tergenggam sebatang pedang bernoda darah.

“Dewi Tangan Merah...!” seru Pendekar Tombak Sakti gembira.

“Trijati...!? Mengapa kau menyusul kami?” teriak Barga cemas.

Namun, mereka tidak sempat untuk berpanjang kata lagi. Ternyata pada saat itu lawan sudah datang menyerbu. Tanpa banyak cakap lagi, keempat orang itu segera menyambut serangan lawan-lawan mereka. Pertarungan pun kembali berlangsung seru dan sengit

“Ha ha ha...! Apa yang kau cari, Pendekar Naga Putih?” tiba-tiba terdengar sebuah suara yang membuat Panji tersentak kaget.

Pemuda itu cepat menoleh ke arah tempat penyimpanan makanan kuda. Ditatapnya pemuda bertubuh tinggi tegap yang wajahnya ditumbuhi bulu-bulu lebat, namun tertata apik itu. Dia memang Jaya Sukma, yang tengah memandang sambil tersenyum mengejek.

“Jari Maut Pencabut Nyawa! Mari kita bertanding secara jantan, jangan hanya pandai menculik wanita!” tantang Panji. Wajahnya tetap tenang tanpa kemarahan. Hanya sinar matanya saja yang mencorong tajam bagaikan mata naga yang murka karena merasa terusik.

“Baik! Kita bertanding dengan taruhan gadis jelita itu. Bagaimana?” usul Jaya Sukma sambil melangkah tenang menghampiri Panji.

“Apa maksudmu, Jari Maut?” tanya Panji meski sebenarnya sudah mengerti ke mana arah pembicaraan orang itu.

“Begini. Kalau dalam pertandingan nanti aku kalah, kau boleh ambil gadis itu. Tapi jika aku menang, maka kau harus rela menyerahkannya untukku. Kalau kau merasa takut, silakan tinggalkan tempat ini sekarang juga!” tegas Jaya Sukma penuh kesombongan.

“Baik, aku terima usulmu,” jawab Panji setelah termenung beberapa saat lamanya.

“Ikuti aku,” ajak Jari Maut Pencabut Nyawa sambil melangkah ke sebuah tanah lapang berumput yang cukup luas.

Kedua orang pemuda tampan yang sama-sama memiliki kesaktian tinggi itu berdiri berhadapan dalam jarak empat tombak. Mereka saling tatap dengan sinar mata yang dapat merobohkan seorang berkemampuan rendah.

“Hiaaat..!” disertai teriakan melengking tinggi, Jaya Sukma menerjang Panji yang berdiri tegak siap menyambut serangan lawan. Serangkum angin panas menyebar ke sekitar arena pertarungan.

Melihat lawan telah langsung mengeluarkan ilmu andalan yang ganas dan mengerikan itu, bergegas Panji mengerahkan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ yang dahsyat. Selapis kabut bersinar putih keperakan tampak mulai menyelimuti tubuh. Hawa dingin menebar di sekitar tubuhnya.

"Wusss!" Tusukan jari Jaya Sukma yang berwarna kemerahan itu cepat dielakkan Panji dengan menggeser tubuhnya ke kiri. Sedangkan jari-jari tangan Pendekar Naga Putih yang berbentuk cakar naga itu menyambar cepat ke pelipis lawan, disusul tendangan kaki kanannya ke arah lambung.

Mendapat serangan balasan secara beruntun itu, tidak membuat Jaya Sukma gugup. Cepat-cepat ditarik kaki kanannya ke belakang disertai liukan tubuhnya. Sementara tangan kirinya meluncur ke arah tenggorokan lawan, cepat dan tak terduga.

Dukkkk!

Mereka masing-masing terdorong mundur ketika Panji menggerakkan tangannya menangkis serangan itu. Baik Pendekar Naga Putih maupun Jari Maut Pencabut Nyawa sama-sama merasakan kalau lengannya tergetar akibat pertemuan tenaga dalam tinggi itu.

“Hm...!” Sambil mendengus kasar, Jari Maut Pencabut Nyawa menarik kedua tangannya ke pinggang. Kemudian, didorong tangannya ke atas secara pelahan-lahan dan bersilangan. Terdengar suara bergemeletuk ketika tenaga saktinya mengalir di kedua lengannya. Cahaya kemerahan yang menebarkan hawa panas, menyelimuti lengan Jaya Sukma sebatas bahu. Rupanya si Jari Maut Pencabut Nyawa telah mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya.

Merasakan hawa panas yang menyengat kulit semakin kuat memenuhi arena pertarungan, bergegas Panji menghirup udara sebanyak-banyaknya. Lapisan kabut bersinar putih keperakan yang menyelimuti tubuhnya tampak semakin lebar dan menebal. Hawa dingin berhembus keras, sehingga pohon yang tumbuh tidak jauh dari situ tampak terlapisi butiran-butiran salju pada batang dan daunnya.

“Yeaaaa...!” dengan teriakan membahana, Jaya Sukma melesat ke arah Panji. Serangannya kali ini benar-benar menggiriskan. Daun-daun pohon yang berjarak dua meter dari tubuhnya langsung mengering akibat hawa panas yang berhembus dari tubuhnya. Kedua jari tangannya menusuk beberapa kali, sehingga menimbulkan suara mencicit tajam.

Panji yang memang sudah menduga kalau lawannya memiliki kepandaian sangat tinggi itu, bergerak cepat mengelakkan serangan. Langsung saja dibalas serangan itu dengan tidak kalah berbahayanya. Pertempuran dua pemuda yang sama-sama memiliki ilmu kesaktian luar biasa itu benar-benar hebat dan mendebarkan. Pohon-pohon yang berada di sekitar arena pertempuran itu satu-persatu tumbang dan saling tumpang tindih.

"Glarrr!" Sebuah pukulan Jari Maut Pencabut Nyawa menghantam pohon yang berada di belakang Pendekar Naga Putih. Pohon sepelukan orang dewasa itu langsung tumbang dalam keadaan hangus! Untunglah, Panji cepat-cepat menghindar jika tidak ingin tewas terlanggar pukulan maut itu.

Jurus demi jurus berlalu cepat. Dan tanpa disadari pertarungan telah memasuki jurus kesembilan puluh tujuh. Namun sampai sekian jauh, belum ada tanda-tanda siapa yang akan keluar sebagai pemenang.

Sementara di tepi arena, terlihat Rancapala, Barga, dan Trijati tengah menyaksikan pertarungan antara Panji melawan Jaya Sukma. Rupanya mereka telah berhasil mengakhiri perlawanan Soma, Ludira, dan para pembantunya. Hanya Dewi Tangan Merah yang tidak tampak.

Rancapala dan Barga tampak mengalami luka cukup parah. Noda-noda darah tampak terlihat di beberapa bagian pakaian mereka. Keduanya bersandar lemah pada sebatang pohon. Rupanya meskipun berhasil menghabisi lawan-lawannya, mereka pun tidak terlepas dari luka akibat serangan lawan. Sementara Trijati tampak memandang ke arah pertarungan dengan wajah cemas. Sesekali dara cantik itu menahan napas ketika Panji terdesak. Kemudian wajahnya kembali berseri pada saat Panji dapat menguasai Jaya Sukma.

“Trijati, jangan mendekat! Pertarungan itu berbahaya sekali!” seru Pendekar Tombak Sakti lemah ketika melihat dara itu hendak mendekati arena pertarungan maut itu.

Mendengar peringatan Rancapala, Trijati mengurungkan niatnya. Tapi, matanya tak lepas-lepas memandang ke arena pertarungan. Pada saat itu pertarungan sudah melewati jurus yang keseratus lima puluh, Jaya Sukma yang penasaran semakin memperhebat serangannya. Hingga pada suatu saat, pemuda itu melontarkan kedua tangannya ke dada Pendekar Naga Putih. Padahal padi saat bersamaan, Panji mendorongkan sepasang tangannya! Dan....

Blarrr!

“Aaakh...!”

Kedua orang yang mengadu tangan itu berseru tertahan. Ledakan keras yang terdengar begitu memekakkan telinga. Bahkan tanah di sekitar arena pertarungan bagaikan digoncang gempa!

Pendekar Naga Putih dan Jari Maut Pencabut Nyawa terlempar terguling-guling akibat benturan yang maha dahsyat itu. Cairan merah menetes dari sela-sela bibir mereka. Tubuh Jaya Sukma menggigil kedinginan, sedangkan Panji merasakan seluruh tubuhnya bagaikan terpanggang.

Dan kini mereka kembali berhadapan meski kuda-kuda masing-masing sudah tidak mantap lagi. Tiba-tiba Jaya Sukma mengebutkan tangan kanannya. Maka tiga buah sinar putih seketika meluncur deras ke arah Panji. Pada saat Pendekar Naga Putih melempar tubuhnya menghindari terjangan tiga buah sinar putih yang ternyata jarum beracun itu, Jaya Sukma melontarkan pukulan ‘Jari Maut’ secara licik. Seberkas sinar kemerahan menyambar tubuh Panji.

Cusss!

“Akh...!” Panji mengeluh tertahan. Meskipun Panji mencoba berkelit, namun sinar kemerahan itu masih juga menyerempet bahunya. Untunglah tubuhnya masih terlindung lapisan kabut keperakan, sehingga ilmu pukulan ‘Jari Maut’ tidak sampai melukai tubuhnya. Pemuda sakti itu terjajar mundur sambil memegangi bahu kirinya yang terasa nyeri dan agak panas.

“Hiyaaa...!” Disertai teriakan nyaring, tubuh Panji melesat dengan jurus ‘Naga Mengguncang Bumi’. Kedua tangannya bergerak cepat menimbulkan angin dingin yang menderu-deru.

Jaya Sukma terjajar mundur, dan tubuhnya bagaikan dikelilingi dinding-dinding salju yang tak tampak. Jari Maut Pencabut Nyawa itu tak sempat lagi menghindar ketika tangan kanan Panji telah menghantam lambungnya.

Brettt!

“Aaargh...,” Jaya Sukma menjerit kesakitan, dan tubuhnya terlempar sejauh tiga batang tombak. Lambungnya yang terkoyak akibat cakaran tangan kanan Panji tampak meneteskan darah kental berwarna agak kehitaman. Dan selagi berusaha bangkit, kedua tangan Pendekar Naga Putih telah menghantam dadanya.

Desss! Bukkk!

“Aaakh...!”

“Hughk..!”

Tubuh Jari Maut Pencabut Nyawa terhempas bagai sehelai daun kering diiringi jeritan menyayat. Setelah bergetar sesaat, tubuhnya diam tak berkutik lagi. Mati.

Namun akibat yang dialami Panji juga cukup parah. Tubuhnya terpelanting akibat tendangan kaki lawannya. Rupanya pada saat-saat terakhirnya, Jaya Sukma masih sempat melepaskan tendangan ke lambung Pendekar Naga Putih. Untunglah Panji bertindak cepat dengan menelan sebutir pil berwarna putih untuk mengobati luka di lambung. Dikerahkannya hawa murni untuk mempercepat penyembuhan luka dalam yang dideritanya.

“Kakang Panji! Kau..., kau terluka...?” tiba-tiba Trijati yang sejak tadi mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu segera berlari mendekati Panji yang sudah bergerak bangkit dari duduknya.

“Ohhh, hanya luka sedikit. Hei? Trijati! Mengapa kau berada di tempat ini?” tanya Panji terkejut. Pemuda itu merasa kikuk sekali ketika menyadari kedua lengan gadis itu bergayut di bahunya. Tangan Panji bergerak, menurunkan tangan gadis itu dari bahunya.

Namun, rupanya Trijati salah mengerti. Ketika merasa tangannya dipegang pemuda itu, gadis itu segera menyambut dan meremas tangan pemuda yang sangat dikaguminya itu. Sehingga secara sepintas, keduanya seperti sepasang kekasih yang sedang menumpahkan rindu.

Kenanga yang saat itu sedang menghampiri ditemani Dewi Tangan Merah yang telah membebaskannya dari kamar tempat dia disekap, menatap kaget, bibirnya bergetar penuh kemarahan. Terdengar isak tertahan keluar dari kerongkongannya. Dara jelita itu langsung berbalik dan berlari. Samar-samar terdengar isaknya yang memilukan.

Panji cepat menoleh ketika mendengar langkah orang berlari dari arah belakangnya. Wajah pemuda itu berubah pucat ketika mengenali gadis yang sedang berlari sambil terisak itu. “Kenanga...!” teriak Panji sambil berlari mengejar Kenanga yang terlihat mengecil karena mereka sudah terpisah cukup jauh.

“Kakang! Kau..., kau mau ke mana?” tiba-tiba sepasang tangan halus memegang erat lengan kanan Panji, sehingga pemuda itu terpaksa menahan langkahnya.

“Maafkan aku, Trijati. Gadis itu adalah tunanganku, dan aku harus mengejarnya,” jelas Panji. Wajahnya terlihat sedih. “Adik Sundari, tolong berikan obat ini kepada Paman Rancapala dan Paman Barga untuk mengobati luka mereka. Maaf, aku harus pergi dulu.”

Panji cepat menyerahkan dua buah pil berwarna putih kepada Dewi Tangan Merah. Setelah menemukan Kitab Jari Maut yang berada di balik jubah Jaya Sukma, Panji pun bergegas menyusul Kenanga. Dan sekali berkelebat, tubuh Pendekar Naga Putih hanya tinggal bayangan yang semakin lama semakin mengecil. Panji terus mengejar Kenanga yang berusaha menghindar darinya.

“Kakang Panji...!” tinggal Trijati berdesah lemah di antara isaknya. Dia menyadari bahwa Pendekar Naga Putih bukan miliknya. Ternyata pendekar itu telah memiliki wanita pujaannya sendiri...!

S E L E S A I