Wasiat Darah Di Bukit Toyongga

Cersil Online Serial Joko Sableng Pendekar Pedang Tumpul 131 episode wasiat darah di bukit toyongga
Serial Joko Sableng Episode Wasiat Darah Di Bukit Toyongga

Cersil Online Serial Joko Sableng Pendekar Pedang Tumpul 131 episode wasiat darah di bukit toyongga


SATU

MATAHARI sudah berada satu tombak di atas bentangan laut saat satu sosok tubuh berlari cepat menuju kawasan pesisir. Begitu mencapai kawasan pesisir yang banyak ditumbuhi ranggasan tumbuhan laut, orang ini hentikan larinya. Ternyata dia adalah seorang laki-laki berusia cukup lanjut. Kepalanya ditumbuhi rambut putih yang dikelabang kecil-kecil. Sepasang matanya bulat besar dan menjorok ke luar seakan hendak meloncat dari dalam rongganya. Kumisnya lebat dan juga telah berwarna putih. Begitu lebatnya kumis orang, hingga siapa pun yang melihat, tidak akan pernah bisa melihat bentuk mulut orang!

Laki-laki tua ini mengenakan pakaian compang-camping. Tepat di bagian punggungnya, terlihat sebuah tambang yang lurus ke atas. Pada ujung tambang, terdapat sebuah batu berwarna putih. Di punggungnya pula, terlihat sebuah bumbung bambu agak besar berwarna kuning. Si kakek dongakkan kepala sesaat pandangi batu putih di ujung tambang. Kejap lain dia gerakkan kepala menunduk. Tambang yang berpangkal pada punggungnya perlahan-lahan bergerak melengkung. Batu putih di ujung tambang ikut bergerak ke bawah, lalu berhenti tepat di muka wajah orang, hingga paras wajah orang ini tidak kelihatan.

Si kakek tersenyum. Keduatangannya yang ternyata membopong satu sosok tubuh bergerak satu kali. Sosok yang berada di bopongannya mencelat mental. Anehnya, begitu setengah depa lagi sosok ini hendak menghantam pasir bawahnya, tiba-tiba luncurannya laksana tertahan kekuatan dahsyat, hingga si sosok yang mencelat mental jauh di atas pasir dengan perlahan-lahan, bahkan tidak perdengarkan suara!

Untuk beberapa saat, sosok yang berada di atas pasir diam tak bergerak. Dia adalah seorang perempuan setengah baya berwajah cantik. Rambutnya hitam lebat disanggul sedikit ke atas dan sebagian digeraikan pada pipi kanan kirinya. Bibirnya merah menyala dengan alis ditambah pewarna hitam. Di kepalanya terlihat sebuah mahkota bergambar bulan sabit berwarna kuning keemasan. Pada lehernya yang jenjang dan putih, terlihat tato bergambar bulan sabit pula. Perempuan ini mengenakan pakaian warna putih tipis hingga lekuk sekujur tubuhnya terpandang jelas.

Si kakek yang mukanya tertutup batu putih angkat tangan kanannya. Lalu digerakkan di atas udara. Saat bersamaan, sosok perempuan yang berada di depan sana membuat gerakan. Sepasang matanya yang sedari tadi terpejam rapat, perlahan-lahan membuka.

"Di mana aku?! Apa yang telah terjadi?!" Si perempuan perdengarkan gumaman dengan mata terus memandang ke hamparan langit yang sudah berubah warna kekuningan. Sepasang mata perempuan ini mengerjap beberapa kali, lalu menyipit tanda dia coba mengingat.

"Hem.... Aku berhasil menemukan Pendekar 131 Joko Sableng. Bahkan aku hampir saja bisa mengajaknya pergi.... Namun sayang, laki-laki gundul itu menghadangku! Lalu aku terlibat bentrok dengannya! Tapi.... Mengapa aku bisa berada di sini?!"

Perempuan ini meraba dadanya. "Aneh.... Saat bentrok, jelas kalau aku terluka dalam, namun mengapa sekarang aku tidak merasakan sakit sama sekali?!"

Si perempuan terdiam lagi beberapa saat. "Mungkinkah yang membawaku kemari adalah Pendekar 131?! Tapi bukankah dia akan pergi bersama pemuda berkebaya itu?!"

Karena setelah menduga-duga agak lama tidak juga menemukan jawaban pasti, akhirnya perempuan cantik ini bergerak duduk. Dia meneliti sekujur tubuhnya beberapa saat. Lalu kepalanya berpaling ke kiri. Dia tidak melihat siapa-siapa. Saat lain kepalanya bergerak menoleh ke kanan. Mendadak sepasang mata perempuan ini membelalak besar. Saat bersamaan dia bergerak bangkit.

"Dewa Cadas Pangeran!" gumamnya saat sepasang matanya mengenali siapa adanya laki-laki berpakaian compang-camping yang wajahnya tertutup batu putih di depannya. Dada perempuan ini berdegup keras. Paras wajahnya berubah tegang.

"Apakah dia yang membawaku ke tempat ini? Ataukah...." Si perempuan tidak lanjutkan kata hatinya, sebaliknya kepalanya bergerak memutar. Wajah perempuan cantik ini makin tegang ketika matanya tidak lagi mendapati orang lain di tempat itu.

"Celaka! Berarti dia yang membawaku kemari!" ujar si perempuan dalam hati. Lalu arahkan pandang matanya pada laki-laki di depan sana yang bukan lain adalah Dewa Cadas Pangeran.

Meski wajahnya tertutup batu putih di ujung tambang yang berada tepat di depan wajahnya, tampaknya Dewa Cadas Pangeran bisa membaca pandangan orang. Dia hendak perdengarkan suara. Namun sebelum suaranya terdengar, si perempuan telah angkat suara dengan membentak. "Mengapa kau membawaku ke tempat ini?! Apa maksudmu sebenarnya?! Kau memang tokoh berilmu tinggi, tapi jangan mimpi aku akan menyerah begitu saja padamu!"

"Harap tidak cepat menilai, Bidadari Bulan Emas.... Aku tidak bermaksud mengungkit budi. Tapi jika saja aku mau, aku bisa melakukan apa saja padamu ketika kau belum sadar...."

Si perempuan yang ternyata adalah Bidadari Bulan Emas mendengus. Dia tundukkan kepala meneliti sekujur tubuhnya. Bahkan mungkin kurang percaya, kedua tangannya bergerak meraba sebagian tubuhnya. Di depan sana, Dewa Cadas Pangeran perdengarkan tawa panjang. Batu putih di depan wajahnya bergerakgerak seirama gerakan kepalanya.

"Bidadari.... Kau jangan termakan ucapanku.... Saat kita bertemu tadi, aku memang berkata hendak mengajakmu pergi dan ingin menikmati rasanya bersenang-senang dengan mu. Tapi...."

Belum sampai Dewa Cadas Pangeran selesaikan ucapan, Bidadari Bulan Emas telah menyahut. "Katakan saja. Apa yang telah kau lakukan padaku?!"

"Aku hanya membawamu kemari...."

"Kau jangan berkata dusta!"

"Apa kau merasakan perubahan pada dirimu?!"

Bidadari Bulan Emas tidak segera menjawab. Dia telah meneliti sekujur tubuhnya, malah kedua tangannya ikut bergerak meraba sebagian tubuhnya. Dan dia memang tidak merasakan perubahan jika baru saja ada orang yang berbuat tidak senonoh padanya. Namun dia tidak begitu saja percaya pada perasaan. Apalagi dia tahu Dewa Cadas Pangeran adalah salah seorang tokoh dunia persilatan yang ilmunya sulit dijajaki. Orang seperti dia, bisa berbuat apa saja tanpa meninggalkan bekas. Berpikir sampai di situ, dengan ketus kembali Bidadari Bulan Emas perdengarkan bentakan.

"Dewa Cadas Pangeran! Aku tanya sekali lagi. Apa yang telah kau lakukan padaku?!"

"Aku hanya membawamu ke tempat ini!"

Seperti dituturkan dalam episode Dewi Bunga Asmara, Bidadari Bulan Emas muncul begitu terjadi bentrok antara Pendekar 131 Joko Sableng dengan Guru Besar Liang San. Bidadari Bulan Emas yang merasa maklum akan kepandaian murid Pendeta Sinting tidak lagi terang-terangan menginginkan peta wasiat yang berada di tangan Joko. Namun dia sengaja pasang jerat dengan kemolekan serta kemontokan tubuhnya. Lalu dia menjanjikan kemesraan dan mengajak Joko pergi dari tempat itu. Tapi sebelum sempat pergi, muncullah Dewa Cadas Pangeran.

Pendekar 131 yang sudah tahu gelagat dan jerat yang dipasang Bidadari Bulan Emas pada mulanya memang pura-pura terpikat dengan kemontokan serta janji Bidadari Bulan Emas. Tapi begitu muncul Dewa Cadas Pangeran, mendadak Joko urungkan niatnya bahkan memberikan kesempatan pada Dewa Cadas Pangeran untuk pergi bersama Bidadari Bulan Emas. Bidadari Bulan Emas tercengang dan khawatir, apalagi dia sudah dengar siapa adanya Dewa Cadas Pangeran.

Saat itulah muncul pemuda berkebaya. Kemunculan pemuda ini justru hendak mengajak pergi murid Pendeta Sinting. Hal ini makin membuat Bidadari Bulan Emas merasa cemas. Tanpa pikir panjang lagi Bidadari Bulan Emas segera berkelebat membawa Joko pergi. Namun Guru Besar Liang San tidak membiarkan begitu saja. Dia segera menghadang Bidadari Bulan Emas. Bentrok pun tak dapat dihindari.

Akhirnya Bidadari Bulan Emas harus mengakui keunggulan Guru Besar Liang San. Dia mencelat mental terhantam pukulan Guru Besar Liang San. Tapi sebelum sosoknya jatuh terjengkang di atas tanah, Dewa Cadas Pangeran melesat memapak sosoknya. Lalu berkelebat pergi. Guru Besar Liang San tidak peduli, karena saat itu si pemuda berkebaya telah berkelebat dan menyambar sosok murid Pendeta Sinting. Orang nomor satu di biara Perguruan Shaolin ini akhirnya mengejar pemuda berkebaya.

"Aku tidak percaya!" Bidadari Bulan Emas kembali perdengarkan suara keras.

"Aku tidak memaksamu untuk percaya! Aku hanya menjawab apa yang kau tanyakan!" Dewa Cadas Pangeran menyahut.

Sekali lagi Bidadari Bulan Emas teliti tubuhnya dengan mata terpejam seakan ingin merasakan perubahan pada dirinya. Dan begitu memang tidak merasakan adanya perubahan, perempuan cantik murid Hantu Bulan Emas ini angkat suara dengan mata menyengat tajam ke arah batu putih di depan wajah Dewa Cadas Pangeran seolah ingin tembusi raut wajah orang di belakangnya.

"Lalu apa maksudmu membawaku ke tempat ini, hah?!"

"Aku hanya ingin mengatakan sesuatu padamu...."

Bidadari Bulan Emas dongakkan kepala. "Hari hampir saja malam. Berarti apa pun yang akan kulakukan, sudah terlambat aku mengetahui ke mana perginya Pendekar 131 Joko Sableng! Apalagi tempat ini jauh dari tempat di mana aku tadi bertemu dengan pemuda itu! Hem.... Gara-gara Guru Besar Liang San dan pemuda berkebaya serta orang tua di depan sana itu, rencanaku berantakan tak karuan! Tapi bagaimanapun juga, aku harus mencari!"

"Dewa Cadas Pangeran!" kata Bidadari Bulan Emas setelah terdiam beberapa lama. "Aku tidak punya waktu banyak. Lekas katakan apa yang hendak kau utarakan!"

Ucapan Bidadari Bulan Emas bukannya membuat Dewa Cadas Pangeran segera buka mulut. Orang tua ini diam tidak perdengarkan suara dan tidak membuat gerakan. Bidadari Bulan Emas sebenarnya ingin ulangi perkataannya. Namun entah karena apa, perempuan ini tidak coba buka suara. Sebaliknya putar diri. Lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.

"Kau tak ingin dengar apa yang akan kukatakan?! Hal ini masih ada kaitannya dengan apa yang selama ini kau inginkan! Juga masih ada hubungannya dengan pemuda tampan yang memberikan kesempatan padaku...."

Gerakan Bidadari Bulan Emas terhenti seketika. Kepalanya disentakkan menghadap Dewa Cadas Pangeran. Saat bersamaan, Dewa Cadas Pangeran membuat gerakan satu kali. Kepalanya ditengadahkan. Batu putih di ujung tambang bergerak. Terdengar desiran halus. Batu putih melenting ke atas. Tambang yang berpangkal pada punggung Dewa Cadas Pangeran kini lurus tegak ke atas.

Karena batu putih telah bergerak ke atas, Bidadari Bulan Emas dapat melihat raut wajah orang tua di hadapannya. Dan untuk beberapa saat, sang Bidadari tampak memperhatikan dengan seksama seolah takut batu di ujung tambang akan segera kembali menutupi wajah orang. Namun, kali ini Dewa Cadas Pangeran tidak berusaha membuat gerakan hingga batu putih di ujung tambang tetap mengapung di atas udara. Mungkin karena tak sabar setelah ditunggu agak lama dan ternyata Dewa Cadas Pangeran tidak segera berkata lagi, Bidadari Bulan Emas angkat suara.

"Aku menunggumu untuk bicara!"

"Aku ingin tanya dahulu...!" ujar Dewa Cadas Pangeran.

Bidadari Bulan Emas pasang tampang beringas. "Kau tadi hendak mengatakan sesuatu padaku. Sekarang kau ingin bertanya! Kau hanya sia-siakan waktu ku!" Habis berkata begitu, Bidadari Bulan Emas palingkan kepalanya kembali ke arah jurusan lain. Dia masih menahan diri dengan tidak segera berkelebat pergi.

"Bidadari.... Kalau aku ingin bertanya dahulu, karena aku ingin tahu apakah yang akan kukatakan nanti masih ada manfaatnya bagimu.... Sebab jika tidak, ku rasa percuma apa yang akan kukatakan nanti...."

"Aku membatalkan niat untuk pergi dari sini begitu mendengar ucapanmu. Apakah itu belum cukup sebagai tanda jika apa yang hendak kau katakan ada manfaatnya bagiku, hah?!"

"Hem.... Baiklah!" ujar Dewa Cadas Pangeran dengan bibir sunggingkan senyum.

Bidadari Bulan Emas segera berbalik menghadap Dewa Cadas Pangeran. Perempuan cantik ini tidak bisa melihat senyum di bibir orang, karena bibir Dewa Cadas Pangeran tertutup kumisnya yang lebat. Dia hanya bisa melihat gerakan kumis orang saat Dewa Cadas Pangeran berkata. "Kau masih menginginkan peta wasiat itu?!"

"Kau tadi hendak berkata, bukan bertanya!" bentak Bidadari Bulan Emas saat Dewa Cadas Pangeran bukannya berkata melainkan ajukan tanya.

"Ini adalah kunci, apa yang hendak kukatakan nanti. Harap jawab saja...."

"Aku tak akan menjawab pertanyaanmu!"

Dewa Cadas Pangeran gerakkan kepala. Batu putih di ujung tambang bergerak lalu berhenti tepat di hadapan wajahnya, hingga Bidadari Bulan Emas tidak bisa lagi melihat raut wajah orang. "Bidadari..," kata Dewa Cadas Pangeran. "Karena kau tidak mau menjawab pertanyaanku, maka kuanggap saja kau masih inginkan peta wasiat itu. Dan kalau itu yang ada dalam benakmu, kuharap kau segera musnahkan keinginan itu..."

"Itu urusanku!" sahut Bidadari Bulan Emas dengan suara melengking setengah menjerit karena sudah tak tahan menahan rasa jengkel. "Sekarang aku bertanya. Ke mana perginya pemuda itu?!"

"Di sana ada dua orang pemuda. Yang mana yang kau maksud?!" tanya Dewa Cadas Pangeran.

Ucapan Dewa Cadas Pangeran membuat dada Bidadari Bulan Emas makin dibuncah rasa dongkol. Karena dia tahu Dewa Cadas Pangeran telah mengerti siapa pemuda yang dimaksudkannya. Mungkin karena tak mau berlama-lama dan ingin segera tahu ke mana perginya murid Pendeta Sinting, walau dengan rasa jengkel akhirnya Bidadari Bulan Emas berkata juga.

"Aku ingin tahu ke mana perginya pemuda asing itu!"

"Aku tak tahu ke mana dia pergi. Yang pasti, dia bersama pemuda berbibir merah dan berkebaya perempuan itu!"

"Kau tahu siapa dia?!" tanya Bidadari Bulan Emas dengan suara sedikit direndahkan.

"Yang kau maksud, dia yang mana?!"

"Setan! Siapa lagi kalau bukan pemuda berbibir merah mengenakan kain kebaya milik perempuan itu?!" sentak Bidadari Bulan Emas.

Dewa Cadas Pangeran perdengarkan tawa panjang. "Harap kau tidak merasa jengkel dengan pertanyaanku. Karena kau tahu sendiri. Di sana ada dua orang pemuda...."

"Sudah, jangan banyak mulut! Katakan saja siapa sebenarnya pemuda berbibir merah yang mengenakan kebaya itu!"

"Melihat sikap dan ucapannya serta dandanan yang dikenakan, kurasa dia adalah Hantu Pesolek!"

Sepasang mata Bidadari Bulan Emas memicing beberapa saat. Saat bersamaan mulutnya ajukan tanya. "Kau tidak mengada-ada?!"

"Aku sudah menduga pertanyaanmu. Dan aku sudah menyangka kau ragu-ragu. Namun demikianlah kenyataannya...."

Paras wajah Bidadari Bulan Emas berubah tegang. "Aku memang pernah mendengar Guru menyebut-nyebut nama Hantu Pesolek. Namun dari keterangan Guru, aku menduga Hantu Pesolek sudah tidak ada lagi! Tapi sekarang mengapa Dewa Cadas Pangeran mengatakan pemuda berkebaya itu adalah Hantu Pesolek?! Menurut keterangan Guru, Hantu Pesolek adalah seorang tokoh dunia persilatan angkatan tua. Berarti usianya sudah lanjut. Sedangkan orang yang dikatakan Dewa Cadas Pangeran sebagai Hantu Pesolek adalah seorang pemuda... Hem... Pasti Dewa Cadas Pangeran coba mengelabuiku!"

Berpikir begitu, Bidadari Bulan Emas segera angkat suara. "Dewa Cadas Pangeran! Jangan kau kira aku tak tahu siapa tokoh yang bergelar Hantu Pesolek! Aku sekarang jadi ingin tahu, apa sebenarnya maksudmu mengatakan orang lain sebagai Hantu Pesolek?!"

"Hem... Kau pasti salah mengerti. Selama ini memang banyak orang salah paham. Mereka menduga Hantu Pesolek adalah seorang laki-laki tua tapi berdandan menor... Bahkan banyak yang mengira dia telah tiada!" Dewa Cadas Pangeran hentikan ucapannya sejenak. Lalu melanjutkan. "Pada dasarnya, meski dia kelihatan sebagai seorang pemuda, namun usianya tak lebih muda dariku! Dan kalaupun pada sepuluh tahun terakhir ini dia jarang muncul, bukan berarti dia telah tiada!"

Keterangan Dewa Cadas Pangeran membuat Bidadari Bulan Emas kancingkan mulut rapat-rapat. Dadanya berdebar cemas. Bukan saja mengkhawatirkan lenyapnya peta wasiat namun entah karena apa, mulai muncul kecemasan tentang keselamatan Pendekar 131. Karena menurut keterangan Dewa Cadas Pangeran, Pendekar 131 Joko Sableng pergi bersama-sama dengan Hantu Pesolek! Rasa khawatir dan cemas membuat Bidadari Bulan Emas segera balikkan tubuh. Dan tanpa buka mulut lagi, perempuan bertubuh menggoda ini bergerak satu kali melesat tinggalkan tempat itu! Meski dia tidak tahu harus ke mana dia sekarang mencari.

Dewa Cadas Pangeran tengadahkan kepala. Tambang yang berpangkal pada punggungnya bergerak lurus ke atas. Batu putih di ujung tambang melenting ke atas kepalanya. Sepasang matanya yang kini sudah tidak lagi tertutup batu putih memperhatikan sesaat kelebatan sosok Bidadari Bulan Emas. Saat lain dia berkelebat tinggalkan tempat itu mengambil arah berlawanan dengan Bidadari Bulan Emas.

********************

DUA

TIGA hari kemudian...

Saat itu rembang petang telah menyungkup belahan bumi. Matahari baru saja turun. Satu sosok tubuh berkelebat cepat seakan berlomba dengan gerakan sang mentari yang baru saja tenggelam di kaki langit sebelah barat. Pada satu tempat, sosok ini hentikan larinya. Dia adalah seorang perempuan. Namun karena wajahnya ditutup dengan cadar hitam dan hanya meninggalkan dua lobang tepat di bagian matanya, orang tidak bisa mengenali siapa adanya perempuan ini. Tapi dari bentuk tubuh dan kulit yang kelihatan sebagian, orang bisa menduga kalau perempuan ini masih berusia muda. Apalagi rambutnya yang hitam lebat sengaja dibiarkan bergerai ke punggung dan sebagian ke pundak kanan kirinya. Perempuan ini mengenakan pakaian warna hitam panjang.

"Aku harus menunggu sesaat sampai hari benar-benar gelap. Ini akan memudahkan gerakanku dan membantuku untuk lebih tidak dikenali orang...," gumam si perempuan bercadar hitam seraya arahkan pandang matanya ke satu jurusan. Nun agak jauh di sana, ke mana mata si perempuan tengah memandang, tampak satu julangan sebuah bukit.

"Menurut yang kudengar, undangan dari daun itu sudah menebar ke mana-mana... Karena masih ada hubungannya dengan peta wasiat, pasti pemuda asing itu akan muncul di Bukit Toyongga itu! Tapi bagaimana kalau seandainya nanti dia tidak muncul?!"

Dari ucapannya, jelas jika si perempuan bercadar hitam tengah dilanda perasaan bimbang. Dia alihkan pandangannya ke arah lain. Lalu bergumam lagi. "Aku sendiri merasa aneh dan heran. Mengapa aku begitu mengkhawatirkan keselamatannya?! Bukankah aku baru saja bertemu sekali?! Lagi pula dia tampak tertarik dengan gadis itu! Sebaliknya, gadis itu juga cemburu padaku! Hem... Apa sebenarnya yang terjadi dengan diriku? Gadis itu pasti akan muncul juga di sana! Lalu apa yang harus kulakukan jika mereka benarbenar muncul?! Kepergianku ke bukit itu bukannya tertarik dan berniat dengan peta wasiat. Tapi...."

Si perempuan bercadar hitam putuskan gumaman. Kepalanya disentakkan ke satu arah dengan mata dibeliakkan. "Ada seseorang..." Perempuan bercadar hitam memperhatikan sesaat. Kejap lain dia berkelebat dan menyelinap sembunyi di balik satu gundukan batu agak besar yang banyak bertebaran di sekitar tempat itu.

Baru saja sosok perempuan bercadar menyelinap, tidak jauh dari tempat mana si perempuan bercadar hitam tadi tegak, mendadak telah berdiri satu sosok tubuh. Dia adalah seorang perempuan setengah baya berparas cantik bertubuh sintal berkulit putih. Rambutnya disanggul sedikit ke atas. Dia mengenakan pakaian warna putih tipis hingga menampakkan bayang lekukan tubuhnya. Perempuan ini memakai mahkota di kepalanya yang bergambar bulan sabit.

"Mataku jelas baru saja melihat seseorang tegak di tempat ini!" Si perempuan berbaju putih tipis dan bukan lain adalah Bidadari Bulan Emas putar kepala dengan mata menyiasati setiap jengkal tanah dan gundukan batu di sekitarnya. Lalu arahkan pandang matanya pada jajaran pohon di depan sana. Tapi sejauh ini dia belum dapat memastikan di mana beradanya orang meski dia yakin orang itu masih ada di sekitar tempat itu.

"Tiga hari aku mencari. Tapi belum juga aku menemukan titik terang. Kini tersiar kabar jika malam ini akan ada pertemuan di Bukit Toyongga... Apakah Pendekar 131 akan muncul di sana?! Aku tidak begitu percaya dengan kabar itu. Tapi tidak ada salahnya jika aku melihat ke sana!" Bidadari Bulan Emas membatin seraya putar kembali kepalanya.

"Dari tempatnya, jelas orang yang tadi tegak di sini hendak menuju ke Bukit Toyongga. Dan dari gerakannya, aku yakin dia membekal ilmu. Tapi mengapa dia lenyapkan diri sembunyi?! Hem... Kalau dia hendak ke Bukit Toyongga, pasti dia tahu ada apa sebenarnya di sana selain pertemuan!"

Mungkin karena ingin keterangan dari orang dan setelah ditunggu agak lama tidak juga ada tanda-tanda akan munculnya orang yang sembunyi, Bidadari Bulan Emas habis kesabaran. Dia segera angkat suara. "Siapa pun adanya kau, aku tahu kau berada di sekitar tempat ini! Mengapa kau takut tunjukkan diri?!"

Di balik gundukan batu, perempuan bercadar hitam kembali kelihatan ragu-ragu. Hingga untuk beberapa lama dia hanya diam tidak buka mulut atau membuat gerakan. "Siapa pun adanya kau, harap keluar!" Terdengar lagi teriakan Bidadari Bulan Emas. Malah mungkin karena tadi tidak ada sambutan, suara Bidadari Bulan Emas terdengar lebih keras dan bernada ketus.

Di balik gundukan batu, si perempuan bercadar hitam mendongak. "Kalau aku tidak segera selesaikan urusan di tempat ini, aku bisa terlambat sampai di Bukit Toyongga. Aku memang belum kenal suaranya, namun kalau dia hendak berbuat yang tidak-tidak, aku tahu bagaimana menyelesaikannya!"

Setelah berpikir begitu, perempuan bercadar hitam berkelebat dan tahu-tahu sosoknya telah tegak berdiri sepuluh langkah di hadapan Bidadari Bulan Emas. Untuk beberapa saat Bidadari Bulan Emas tampak terkesiap. Sepasang matanya segera menatap sekujur tubuh orang di hadapannya. Namun karena tak bisa mengenali siapa adanya orang, seraya memandang ke arah dua bola mata yang terlihat dari lobang di cadar orang, Bidadari Bulan Emas berucap.

"Dandananmu memberi isyarat kalau kau tak ingin dikenali! Tapi kuharap kau tidak menaruh prasangka padaku jika aku ingin tahu siapa kau sebenarnya!"

"Aku memang baru kali ini bertemu. Tapi dari mahkota yang dikenakan, aku sedikit banyak bisa menebak siapa adanya perempuan ini...." Si perempuan bercadar hitam membatin. Lalu berkata.

"Harap kau tidak kecewa. Kalau aku menutup wajahku dengan cadar, tentu aku tak ingin dikenali siapa saja, termasuk dirimu!"

"Hem...." Bidadari Bulan Emas menggumam. Matanya masih tidak beranjak dari cadar hitam orang, seolah ingin tembusi dan ingin tahu siapa sebenarnya orang di hadapannya. "Dari keberadaanmu, aku menduga kau hendak ke Bukit Toyongga. Benar?!" tanya Bidadari Bulan Emas.

"Dari arah yang kau ambil, aku menduga kau tengah menuju Bukit Toyongga juga. Betul?!" Si perempuan bercadar hitam balik bertanya membuat Bidadari Bulan Emas sedikit merasa jengkel apalagi selama Ini dia tengah dilanda kedongkolan luar biasa sebab tidak menemukan Pendekar 131 Joko Sableng meski telah tiga hari mencarinya.

Kalau perturutkan kata hati, ingin rasanya Bidadari Bulan Emas tumpahkan rasa geramnya pada orang di hadapannya. Namun setelah berpikir bahwa dia memerlukan keterangan, akhirnya Bidadari Bulan Emas coba menindih perasaan dan berkata. "Aku memang hendak ke Bukit Toyongga. Cuma saja..." Bidadari Bulan Emas sengaja tidak lanjutkan ucapan. Dia hendak memancing.

Tapi perempuan bercadar hitam tampaknya tahu gelagat. Dia bukannya penasaran dengan penggalan kata Bidadari Bulan Emas, sebaliknya berkata ajukan tanya. "Kalau tak salah, bukankah saat ini aku tengah berhadapan dengan Bidadari Bulan Emas?!"

Bidadari Bulan Emas sempat terkejut mendapati orang telah tahu siapa dirinya. Namun dia jadi penasaran karena perempuan bercadar hitam seolah tidak merasa ingin tahu lanjutan ucapannya yang dipenggal. Hingga dengan suara lantang dia berucap. "Kau telah tahu siapa aku. Aku tidak akan memaksamu untuk mengatakan siapa dirimu. Tapi kuharap kau mau menjelaskan padaku...."

"Menjelaskan apa?!"

"Malam ini, di Bukit Toyongga akan ada satu pertemuan. Apa benar?!"

"Dari mana kau tahu?!" tanya perempuan bercadar hitam.

"Aku bertemu beberapa orang. Mereka mengatakannya padaku. Namun aku tidak begitu saja percaya dengan ucapan orang! Kalaupun aku sekarang hendak ke sana, karena ada maksud lain!"

Perempuan bercadar hitam terdiam beberapa lama. Lalu berkata. "Boleh aku tahu apa maksud lain itu?!"

"Aku mencari seseorang!" ujar Bidadari Bulan Emas berterus terang. Dia tampak tak sabar menghadapi perempuan bercadar hitam yang seolah ingin menyelidik. "Namun jangan harap aku mengatakan siapa orang yang kucari!"

"Di bukit itu memang akan ada satu pertemuan!"

"Dari mana kau tahu?!" Kini balik Bidadari Bulan Emas yang ajukan tanya ingin tahu sekaligus menyelidik.

"Saat ini telah tersebar beberapa undangan..." Habis berkata begitu, perempuan bercadar hitam gerakkan tangan kanan menyelinap ke balik pakaiannya. Ketika tangannya ditarik keluar, Bidadari Bulan Emas melihat satu gulungan daun. Perempuan bercadar hitam ulurkan tangan kanan yang memegang gulungan daun pada Bidadari Bulan Emas.

Saat bersamaan, tanpa banyak mulut bertanya, Bidadari Bulan Emas cepat berkelebat. Tangan kanannya bergerak. Dan saat dia telah tegak di samping perempuan bercadar hitam, gulungan daun yang tadi berada di tangan perempuan bercadar hitam telah berada di tangannya. Seakan tak sabar, Bidadari Bulan Emas segera membuka gulungan daun. Mulutnya berkemik membaca tulisan yang tertera di atas daun.

"Malam ganda sepuluh. Bukit Toyongga. Peta wasiat akan disatukan!"

"Nada tulisannya memang tidak langsung berupa undangan. Namun isyaratnya jelas ingin agar orang datang ke bukit itu!" kata Bidadari Bulan Emas dengan tangan sedikit bergetar. "Sayang, perempuan bercadar hitam itu tidak mau mengatakan siapa dirinya. Jika saja dia mau berterus terang, mungkin aku bisa menduga apakah Pendekar 131 akan muncul di sana, dan undangan ini bukan satu jebakan! Karena dari siapa yang diberi undangan, sedikit banyak aku bisa mengira-ngira apakah semua ini bukan ulah iseng seseorang!"

Habis berkata dalam hati dan membaca sekali lagi tulisan di gulungan daun, Bidadari Bulan Emas arahkan pandang matanya ke bola mata perempuan bercadar hitam. Tangan kanannya menggulung kembali daun lalu diulurkan pada perempuan bercadar. "Terima kasih atas pemberitahuan ini! Sekarang aku harus lanjutkan perjalanan. Hanya saja, kalau kau masih mau menyebutkan diri, aku akan lebih senang...."

Si perempuan bercadar geleng kepala. "Aku juga tengah mencari seseorang. Dan aku tak ingin dikenali selama aku belum bertemu dengannya!"

"Hem.... Dari bentuk tubuh dan kulitmu, aku menduga kau seorang gadis muda.... Pancaran kedua bola matamu menandakan kau gadis berparas jelita. Aku memang tidak pandai menduga dengan tepat, tapi jika seorang gadis tidak ingin dikenali dan tengah mencari seseorang, yang dicari pasti seorang pemuda...! Lebih dari itu antara keduanya pasti telah terjadi sesuatu! Dan urusannya mungkin tak jauh dari soal asmara! Bagaimana dugaanku...?!" tanya Bidadari Bulan Emas dengan bibir sunggingkan senyum.

Kalau saja cadar hitam penutup wajah perempuan di hadapan Bidadari Bulan Emas terbuka, tentu Bidadari Bulan Emas akan melihat perubahan pada wajah orang. Dan dengan cepat sang Bidadari akan menduga jika apa yang dikatakannya tidak jauh meleset. "Bidadari.... Tidak semua dugaanmu tepat!" sambut perempuan bercadar hitam dengan suara agak bergetar.

Bidadari Bulan Emas tersenyum. "Suaramu menggambarkan apa yang kau ucapkan tidak seirama dengan apa yang ada dalam benakmu! Namun itu urusanmu. Hanya saja kalau kau mau mengatakan siapa pemuda yang tengah kau cari, tentu aku akan berusaha membantumu. Bukan karena aku ingin ikut campur, namun sebagai rasa terima kasihku atas pemberitahuanmu ini!" kata Bidadari Bulan Emas seraya anggukkan kepala seraya lebih dekatkan tangan kanannya yang mengulur memberikan gulungan daun pada perempuan bercadar hitam.

Perempuan bercadar hitam sambut kembali gulungan daun dari tangan kanan Bidadari Bulan Emas. Lalu memasukkannya lagi ke balik pakaiannya seraya berujar. "Aku sanggup mencarinya sendiri!"

"Hem... Kau menduga orang yang kau cari akan muncul di Bukit Toyongga?!"

"Itu hanya kemungkinan!"

"Hem... Kalau urusannya di Bukit Toyongga adalah urusan peta wasiat, dan perempuan ini menduga jika pemuda yang dicari akan muncul di sana, jangan-jangan yang dicari adalah..." Bidadari Bulan Emas sudah akan mengucapkan satu nama. Namun entah karena apa, mendadak murid tunggal Hantu Bulan Emas Ini batalkan niat untuk buka mulut. Dan diam-diam dia tarutkan kata hatinya.

"Apakah benar yang tengah dicari perempuan ini adalah Pendekar 131 Joko Sableng?! Jika urusannya berkaitan dengan peta wasiat, hanya ada satu pemuda yang pantas dan paling mendekati! Dia adalah pemuda asing itu! Ada hubungan apa antara perempuan ini dengan Pendekar 131?! Adakah keduanya adalah sepasang kekasih? Ataukah perempuan ini hanya menginginkan peta wasiat itu?!"

Berpikir sampai di situ, hati Bidadari Bulan Emas berdebar tidak enak. Sekali lagi dia pandangi cadar hitam penutup wajah perempuan di hadapannya. Dia sudah akan buka mulut, namun si perempuan bercadar hitam mendahului. "Apakah kau juga menduga orang yang tengah kau cari akan hadir di bukit itu?!"

"Aku tidak boleh berterus terang padanya!" gumam Bidadari Bulan Emas dalam hati. Lalu seraya alihkan pandang matanya dia berucap.

"Melihat dari urusannya, mungkin saja aku tidak akan menemukan orang yang kucari di bukit itu. Terpaksa aku harus batalkan niat ke sana! Aku akan mencarinya ke tempat lain!"

Habis berkata begitu, Bidadari Bulan Emas putar diri. Saat lain dia berkelebat tinggalkan tempat itu. Dia melesat ke arah dari mana dia tadi datang. Dan itu sudah memberi petunjuk pada perempuan bercadar hitam jika Bidadari Bulan Emas memang urungkan niatnya menuju Bukit Toyongga. Karena arah yang diambil berlawanan dengan jalan menuju bukit itu.

Perempuan bercadar hitam memperhatikan beberapa lama. "Ada satu keanehan... Dia seolah-olah tidak tertarik dengan undangan itu. Padahal di situ diterangkan akan disatukannya peta wasiat! Apakah dia memang tidak tertarik atau ini hanya siasat saja?! Ah... Mengapa aku memikirkan dia?! Hari sudah gelap, aku harus segera lanjutkan perjalanan!"

Si perempuan bercadar hitam pandangi sekali lagi sosok Bidadari Bulan Emas yang sudah tidak kelihatan lagi. Lalu balikkan tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat itu. Perempuan bercadar tidak tahu, begitu berkelebat balik, Bidadari Bulan Emas segera menyelinap saat dirasa perempuan bercadar tidak lagi bisa melihat sosoknya karena suasana telah dibungkus kegelapan malam. Dan begitu si perempuan bercadar hitam berkelebat, Bidadari Bulan Emas secara diam-diam mengikuti dari arah belakang

********************

TIGA

KITA tinggalkan dahulu Bidadari Bulan Emas yang secara diam-diam menguntit perempuan bercadar hitam. Kita kembali sejenak pada satu kawasan yang juga menuju ke Bukit Toyongga.

Seperti dituturkan, Pendekar 131 Joko Sableng menuju Bukit Toyongga bersama Dewi Bunga Asmara dan kakek yang selalu mengisap pipa. Mereka sempat bertemu dengan Mei Hua dan Mei Hua tampak terpukul melihat murid Pendeta Sinting bermesraan dengan Dewi Bunga Asmara. Pada akhirnya, Mei Hua tinggalkan tempat itu dengan membawa rasa cemburu yang membara dan niatnya yang semula hendak membantu Pendekar 131 jadi berubah. Malah ketika sempat bertemu dengan pemuda berkebaya, Mei Hua tidak segansegan mengatakan di mana keberadaan murid Pendeta Sinting bersama Dewi Bunga Asmara. Di lain pihak, begitu mendengar keterangan dari Mei Hua, pemuda berkebaya segera berkelebat pergi. Pada satu tempat, dia hentikan larinya dengan mata memandang jauh ke depan.

"Kalau saja tidak beredar undangan itu, malam ini aku akan mendatangi Perguruan Shaolin dan meminta pada Guru Besar Liang San separo dari peta wasiat! Hem... Sayangnya undangan telah tersebar. Aku tidak bisa menduga siapa yang membuat undangan itu. Tapi kalau dilihat dari kepentingannya, jelas si pembuat undangan itu Guru Besar Liang San. Aku ingin tahu, bagaimana caranya dia menyatukan peta wasiat seperti yang tertera dalam undangan itu..." Si pemuda berkebaya hentikan gumamannya beberapa saat sebelum akhirnya bergumam lagi.

"Pemuda asing bergelar pendekar 131 Joko Sableng sudah kuduga akan muncul di bukit itu. Aku tidak merasa heran jika dia bersama Dewi Bunga Asmara. Yang aneh, bagaimana dia bisa berteman dengan iblis tua itu? Mungkinkah...."

Si pemuda berkebaya tidak sempat lanjutkan gumamannya. Karena mendadak saja dia sentakkan kepala ke samping kanan. Saat bersamaan sosoknya digerakkan berputar mengikuti arah gerakan kepalanya. "Aku mencium aroma asap itu! Berarti dia tidak berada jauh dari tempat ini! Dan berarti keterangan gadis itu benar!"

Baru saja pemuda berkebaya berkata begitu, dari depan sana dia melihat kepulan asap putih yang membentuk lingkaran bergulung-gulung dan membubung tinggi ke angkasa. Beberapa saat si pemuda berkebaya memperhatikan gerakan asap. Lalu matanya dialihkan pada pangkal munculnya asap yang ternyata bergerak perlahanlahan ke arahnya!

"Sebelum kudapatkan semua peta wasiat itu, sebenarnya aku tidak ingin bertemu dengannya! Dan aku tadi sebenarnya hanya ingin membuktikan kebenaran ucapan gadis putri Panglima Muda Lie. Namun kini tampaknya sudah terlambat untuk menghindar...."

"Apa benar, Hantu Pesolek?! Kuharap satu hal. Pertemuan kita kali ini semata-mata hanya sebuah kebetulan..." Terdengar suara dari kepulan asap. Dan hampir bersamaan, begitu ucapan orang selesai, mendadak gulungan asap laksana disedot kekuatan dahsyat dan meluncur deras ke bawah dengan bentuk mengecil! Lalu lenyap di dua lobang pipa.

"Dewa Asap Kayangan!" seru si pemuda berkebaya yang tadi dipanggil Hantu Pesolek. Dia melihat seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan pakaian celana pendek putih kusam. Pakaian atasnya berupa rompi tanpa lengan. Bentuk mukanya lonjong. Sepasang matanya jereng besar. Rambutnya putih dan jarang serta jabrik. Pada mulutnya yang mungil, terlihat dua pipa di mana tadi gulungan asap masuk amblas dan lenyap. Orang tua ini juga mengenakan selempang berupa ikat pinggang besar di pundaknya. Ikat pinggang itu dihias beberapa pipa.

"Hantu Pesolek.... Syukur kalau kau masih mengenaliku!"

Hantu Pesolek tersenyum dingin seraya alihkan pandang matanya. Lalu berkata. "Seumur hidupku kelak, aku tidak akan melupakanmu, Dewa Asap Kayangan! Meski kau menyamar sebagai setan sekalipun!"

"Hem.... Begitu?! Perlu kau tahu satu hal. Sebenarnya aku telah melupakan peristiwa tidak enak yang terjadi antara kita beberapa puluh tahun silam! Harapanku, kalau kau memang tidak bisa melupakanku, itu bukan karena peristiwa yang telah terjadi!"

Hantu Pesolek tidak menyahut. Dewa Asap Kayangan hentikan langkah dua belas langkah di hadapan Hantu Pesolek. Sepasang matanya yang jereng besar memperhatikan sesaat. Lalu bertanya. "Boleh aku tahu, kau hendak ke mana?!"

Hantu Pesolek bukannya menjawab pertanyaan orang, sebaliknya ganti bertanya. "Kau hendak ke Bukit Toyongga, bukan?!"

"Sebenarnya aku tidak punya maksud pergi ke bukit itu. Tapi seorang sahabat lama tadi pagi memberikan satu undangan padaku. Sebagai sahabat, apalagi sudah beberapa tahun tidak bertemu, tidak enak kalau aku tidak menemuinya..."

"Jangan kau kira aku tidak tahu apa maksudmu sebenarnya! Kalau tidak ada kaitannya dengan peta wasiat itu, tidak mungkin kau akan muncul di bukit itu!" kata Hantu Pesolek masih tanpa memandang.

"Hem... Begitu?! Bagaimana kau bisa menduga demikian?!"

"Bukankah kau bersama pemuda asing itu?!"

Dewa Asap Kayangan tertawa. "Aku memang bertemu dan ada bersama dia. Tapi bukan berarti kebersamaanku ini ada hubungannya dengan peta wasiat! Aku tahu, pemuda asing itu tidak membawa peta wasiat! Yang dia bawa tongkat wasiat!"

"Hem... Aku tak ingin terus berdebat dengan manusia satu ini! Lagi pula aku tidak akan membuat perhitungan dengannya sebelum kudapatkan semua peta wasiat itu."

Berpikir begitu, akhirnya Hantu Pesolek putar diri. Lalu berkelebat seraya berkata. "Dewa Asap Kayangan! Aku senang melihat kau muncul lagi setelah sekian lama tidak kelihatan! Nikmatilah malam ini, karena malam ini adalah malam terakhir yang bisa kau lewati! Begitu muncul matahari esok pagi, kita akan lanjutkan urusan lama yang tertunda sekian tahun!"

"Tunggu! Kau tak ingin bertemu dulu dengan temanku pemuda asing itu?!" tanya Dewa Asap Kayangan.

"Aku tak punya urusan dengan dia! Kita yang punya urusan! Dan aku percaya, kau bukan laki-laki pengecut yang takut menyelesaikan urusan lama!" teriak Hantu Pesolek. Suara pemuda berkebaya berbibir merah ini jelas masih terdengar meski sosoknya tidak kelihatan lagi.

Baru saja Hantu Pesolek berlalu, dua sosok bayangan berkelebat lalu tegak tidak jauh dari tempat Dewa Asap Kayangan. Untuk beberapa saat kedua orang yang baru muncul saling lontar pandang dan jelas pandang mata mereka membayangkan sedikit keheranan. Di sebelah kanan adalah seorang pemuda berwajah tampan mengenakan pakaian warna putih. Rambutnya panjang sedikit acak-acakan.

Sementara di sebelah kiri adalah seorang gadis muda berparas cantik mengenakan pakaian warna kuning. Pada bagian dadanya dibuat rendah dan diberi renda-renda hingga cuatan dadanya yang membusung tampak menggoda. Pinggulnya besar dilapis pakaian bawah yang sengaja diberi belahan pada bagian samping kanan kirinya, seolah ingin menampakkan kedua pahanya yang putih mulus dan padat. Sementara di pinggangnya, terlihat ikat pinggang dari kain yang juga berwarna kuning.

"Hem... Lagi-lagi dia melewatiku tanpa diketahui! Jangan-jangan orang tua ini sebenarnya sudah tahu mana jalan menuju Bukit Toyongga!" Membatin pemuda berambut putih gondrong. "Tapi baru saja kudengar dia berbicara dengan seseorang! Anehnya... Ternyata dia sendirian. Apakah telingaku yang menipu?!"

Jika si pemuda membatin begitu, gadis berbaju kuning diam-diam juga berkata dalam hati. "Kukira orang tua itu berpura-pura tidak tahu jalan menuju Bukit Toyongga. Karena meski tidak kuketahui bagaimana caranya, dia sudah mendahuluiku dan aranya tidak salah! Cuma saja, telingaku baru saja mendengar dia berkata. Namun dengan siapa?! Di sini tidak kulihat ada orang lain...."

Mungkin khawatir telinganya menipu, si pemuda berambut agak panjang sedikit acak-acakan dan bukan lain adalah murid Pendeta Sinting Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng, berbisik pada gadis berbaju kuning di sebelahnya yang bukan lain adalah Bang Sun Giok alias Dewi Bunga Asmara.

"Dewi.... Kau baru saja dengar orang berbicara?!"

Yang ditanya anggukkan kepala. "Hanya saja, dia tadi bicara dengan siapa...? Dan satu hal lagi, rupanya dia berdusta padamu! Dari arah yang diambil, aku yakin dia sudah tahu jalan menuju Bukit Toyongga! Jadi dia berbohong kalau bilang tidak tahu jalan menuju bukit itu!"

"Hem.... Apa maksud sebenarnya orang tua itu dengan berkata dusta dan pura-pura tidak tahu?!" gumam Joko lalu menatap berlama-lama pada Dewa Asap Kayangan.

Dewa Asap Kayangan berpaling dan balas memandang silih berganti pada Pendekar 131 dan Dewi Bunga Asmara. Namun sejauh ini dia belum juga buka mulut. Sebaliknya isap kedua pipa yang berada di mulutnya lalu disemburkan ke udara. Saat bersamaan, dari beberapa pipa yang menghiasi ikat pinggang besarnya menyembur asap putih.

Entah karena tidak sabar, Joko akhirnya angkat suara. "Kek! Jelas telingaku baru mendengar kau bicara dengan seseorang! Kuharap kau tidak sembunyikan sesuatu dariku lagi! Katakanlah, dengan siapa kau bicara?!"

Dewa Asap Kayangan anggukkan kepala seraya tersenyum. Namun baik murid Pendeta Sinting maupun Dewi Bunga Asmara hanya melihat samar-samar sosok si kakek, karena asap putih dari semua pipanya kini menyungkup sosoknya.

"Anak muda... Aku tidak sembunyikan apa-apa darimu...."

"Jika begitu, katakan padaku, dengan siapa kau bicara?!" sahut Joko sebelum Dewa Asap Kayangan selesaikan ucapannya.

"Aku baru saja bertemu dengan seorang teman lama. Aku tak ingat lagi, sudah berapa tahun aku tak jumpa dengannya...."

"Siapa dia?!" kembali Joko ajukan tanya.

"Hem... Nada pertanyaanmu tampaknya mengandung rasa curiga!"

"Kek! Terus terang saja. Aku sekarang memang menaruh curiga padamu!"

"Hem... Begitu?! Hanya karena aku bicara dengan seorang teman lama, lantas kau menaruh curiga padaku?! Aneh... Apa yang patut dicurigai dari diriku?!"

Habis berkata begitu, Dewa Asap Kayangan menghela napas. Asap putih yang menutupi sekujur tubuhnya laksana disedot. Lalu amblas masuk ke lobang pipa yang ada di ikat pinggang besarnya. Kini baik Joko dan Dewi Bunga Asmara dapat melihat lagi sosok orang tua di hadapan mereka.

"Aku curiga kau punya niat sendiri dengan bersikeras ikut denganku!"

"Hem... Begitu?!"

"Pada mulanya kau pura-pura tidak tahu ke mana arah menuju Bukit Toyongga! Tapi nyatanya kau selalu mendahuluiku, dan jalan yang kau tempuh adalah benar! Lalu kau bicara dengan seseorang yang kau katakan sebagai teman lama. Tapi begitu kami datang, temanmu sengaja lenyapkan diri!" Murid Pendeta Sinting hentikan ucapannya sejenak. Seraya melirik pada Dewi Bunga Asmara, dia lanjutkan ucapannya.

"Kek! Kita telah bersahabat. Sebelum kita sampai ke Bukit Toyongga, jika kau punya maksud tertentu, kuharap kau katakan sekarang saja!"

Dewa Asap Kayangan geleng kepala. "Aku tak punya maksud apa-apa... Dan harap kalian tidak salah paham. Kalau aku mendahului kalian dan jalan yang kuambil adalah benar, mungkin ini satu kebetulan belaka! Lagi pula, coba kalian lihat ke depan sana. Di sana sudah terlihat satu julangan bukit. Aku menduga itulah Bukit Toyongga. Dengan berpegang pada dugaan itulah sebenarnya aku melangkah!"

"Tapi kau melewati kami tanpa kami ketahui! Itu satu tanda jika kau tahu benar kawasan ini!" Yang angkat suara kali ini adalah Dewi Bunga Asmara.

Mendengar ucapan si gadis, Dewa Asap Kayangan tidak menyahut, membuat Pendekar 131 jadi penasaran. Hingga dia segera buka mulut. "Kek! Mengapa kau diam?!"

"Jangan menyangka yang bukan-bukan kalau aku diam tidak menyahut. Aku merasa malu untuk mengatakannya!"

"Kau jangan mencari dalih yang tak masuk akal! Mengapa kau malu mengatakannya?!" ujar Joko.

"Baiklah jika kau yang meminta. Sebenarnya aku lewat tidak jauh dari kalian..."

"Tidak mungkin!" Dewi Bunga Asmara sudah memotong. "Aku pasti akan melihatmu!"

Dewa Asap Kayangan tertawa dahulu sebelum akhirnya berkata. "Orang yang sedang dilanda asmara, kadang-kadang tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang mimpi! Mata seolah buta dan telinga seakan tuli! Dan itulah yang terjadi pada kalian berdua hingga kalian tidak melihatku saat lewat! Pada mulanya, aku memang ingin buka mulut menyapa agar kalian tahu kalau aku mendahului jalan. Namun karena aku takut dibilang usil, terpaksa aku lewat tanpa bicara! Bahkan aku coba menahan diri untuk tidak melihat ke arah kalian! Aku khawatir peristiwa di sana tadi akan terulang lagi!"

Pendekar 131 dan Dewi Bunga Asmara sama berpaling dan saling pandang dengan paras berubah. Seperti diketahui, Joko dan Dewi Bunga Asmara pernah kepergok tengah bermesraan oleh Dewa Asap Kayangan tanpa disadari oleh Joko maupun Dewi Bunga Asmara.

"Kek! Kau belum jawab pertanyaanku tadi!" kata Joko pada akhirnya setelah agak lama terdiam. "Siapa yang kau katakan sebagai teman lama dan bicara denganmu tadi?!"

"Hem... Kalau tidak salah, temanku itu juga telah mengenalmu!"

Kening Joko berkerut. Dadanya berdebar tidak enak. "Apakah Tiyang Pengembara Agung atau Dewa Cadas Pangeran?! Atau mungkinkah Bu Beng La Ma?! Sebagai orang tua, jika dia bilang teman lama, pasti temannya itu juga sudah berusia lanjut... Dan dari yang berusia lanjut, hanya mereka itu tadi yang sempat kukenal!"

Jika Joko menduga-duga, diam-diam Dewi Bunga Asmara juga membatin. "Siapa gerangan yang dimaksud orang tua ini?! Mungkinkah seorang gadis lagi?!"

Mungkin tidak bisa menduga dengan pasti, akhirnya Joko berkata lagi. "Kek! Harap katakan saja siapa dia!"

"Dia seorang pemuda berwajah sangat tampan... Hanya saja, sayang!"

Dada Joko berdegup keras. Di lain pihak, Dewi Bunga Asmara sunggingkan senyum dan menarik napas lega.

********************

EMPAT

Ucapan belum selesai. Tapi kulihat mukamu berubah. Jadi benar jika temanku itu mengatakan telah mengenalmu! Perubahan wajahmu menunjukkan kalau kau sudah bisa menebak siapa adanya pemuda temanku itu..." Dewa Asap Kayangan berujar sembari tengadahkan kepalanya sedikit.

"Dia mengenakan kain kebaya milik perempuan?!"

"Tidak salah!"

"Bibirnya merah dan pipi kanan kirinya diberi pewarna merah muda?!"

"Tidak keliru!"

"Tangan kanannya memegang sebuah kipas?!"

"Betul sekaliiiiii!"

Murid Pendeta Sinting tegak dengan mata mendelik angker. Sosoknya sedikit bergetar. "Pemuda berkebaya itulah yang mengambil peta wasiat dari tanganku tanpa kusadari! Ternyata dia temannya kakek ini! Janganjangan mereka sudah mengatur satu rencana...." Berpikir begitu, Joko segera angkat suara. "Kek! Katakan terus terang. Kau dan temanmu itu mengatur siasat apa padaku?!"

"Ah.... Kau jangan membuat dadaku tidak enak! Aku tidak mengatur apa-apa dengannya! Justru aku sekarang jadi heran. Mengapa kau sampai menduga sejauh itu?!"

Joko melirik pada Dewi Bunga Asmara. "Apakah aku harus berkata terus terang? Tapi bagaimana kalau Dewi Bunga Asmara tahu? Padahal aku tadi telah berkata padanya jika kepergianku ke bukit itu hanya ingin melihat. Lagi pula bagaimana kalau orang tua ini memang tidak tahu urusannya?!"

Berpikir begitu, akhirnya Joko batalkan niat untuk berkata terus terang. Sebaliknya diajukan tanya. "Kek! Kau tahu. Ke mana pemuda berkebaya itu akan pergi?!"

"Kalau tidak salah, dia juga sebut-sebut Bukit Toyongga!"

"Hem.... Bagus! Berarti aku tidak sia-sia datang ke bukit itu!" kata Joko dalam hati.

"Anak muda! Kau belum menjelaskan padaku mengapa kau sampai menduga jauh kalau aku mengatur siasat dengan temanku itu?! Ada apa di antara kalian?!"

"Aku tidak bisa menjelaskan di sini! Hanya saja, kuminta kau berterus terang jika kau memang punya sesuatu yang kalian rencanakan padaku!"

"Pertemuanku dengannya hanya satu kebetulan saja...."

"Kau adalah temannya! Sekarang katakan padaku. Siapa pemuda berkebaya itu sebenarnya?!"

"Kurasa percuma aku menjelaskan padamu siapa dia sebenarnya! Sebagai orang baru di negeri ini, penjelasan apa pun tidak akan membuatmu mengerti banyak!"

"Aku orang negeri ini!" Yang menyahut Dewi Bunga Asmara. "Aku jadi ingin tahu siapa pemuda berkebaya itu adanya!"

"Meski aku orang baru, tapi aku perlu tahu siapa dia sebenarnya! Terus terang, ada sesuatu yang harus kuselesaikan dengannya!" Joko timpali ucapan Dewi Bunga Asmara.

Dewa Asap Kayangan menatap silih berganti pada Joko dan Dewi Bunga Asmara. "Baiklah kalau itu kehendak kalian. Dia adalah seorang tokoh rimba persilatan yang dulu dikenal orang dengan Hantu Pesolek."

"Tunggu!" kata Joko. "Kau mengatakan dia adalah seorang tokoh rimba persilatan yang dulu dikenal orang dengan Hantu Pesolek. Yang kau maksud dulu itu kapan?!'

Di lain pihak, mendengar keterangan Dewa Asap Kayangan, paras wajah Dewi Bunga Asmara berubah seketika. "Aku pernah dengar nama tokoh itu dari mulut guruku! Tapi mungkinkah dia orangnya?! Tapi mengapa mereka sebut-sebut sebagai seorang pemuda?!"

Dewa Asap Kayangan alihkan pandang matanya ke jurusan lain. "Dia sudah dikenal orang semasa aku masih muda!"

Joko dan Dewi Bunga Asmara saling lempar pandang. Saat lain Joko arahkan pandangannya pada Dewa Asap Kayangan dan berkata. "Kek! Kalau dia sudah ada pada masa mudamu, bagaimana mungkin sekarang masih seperti seorang pemuda?!"

"Soal itu, nanti bisa kau tanyakan langsung jika kau bertemu dengannya! Yang jelas dia memang sudah ada dan dikenal orang semasa aku masih muda! Dan sejak dulu, dia juga begitu adanya! Tidak ada perubahan sama sekali hingga sekarang!"

Dewa Asap Kayangan berpaling pada murid Pendeta Sinting. Lalu berkata. "Anak muda! Aku telah menjelaskan apa yang kau minta. Kuharap sekarang kau mau menjelaskan padaku. Ada apa sebenarnya antara kau dengan Hantu Pesolek."

"Dia tidak mengatakannya padamu?!" Joko balik bertanya.

"Kalau dia memberi tahu, tak mungkin aku bertanya padamu!"

Joko terdiam beberapa lama. Lalu berkata. "Kek! Kau masih ingat ucapanmu?!"

"Ucapanku yang mana?!"

"Kau tidak akan bertanya ke mana aku akan pergi dan apa maksud tujuanku!"

"Hem... Begitu?! Baiklah. Aku tidak akan bertanya lagi..."

Joko berpaling pada Dewi Bunga Asmara. "Dewi... Kita harus segera sampai bukit itu!"

Dewi Bunga Asmara anggukkan kepala. Namun sebelum gadis ini bergerak, dia menoleh pada Pendekar 131 dan berbisik. "Kau juga tak mau mengatakan padaku apa urusanmu dengan Hantu Pesolek?!"

Murid Pendeta Sinting tidak menyahut. Dewi Bunga Asmara alihkan pandang matanya dan kembali berbisik. "Aku pernah dengar nama Hantu Pesolek dari guruku. Menurutnya, dia adalah seorang tokoh berilmu tinggi. Kalau kau memang punya urusan dengan Hantu Pesolek, lebih baik kita batalkan ke bukit itu! Kau akan kuajak ke tempatku untuk menunggu kedatangan guruku!"

Dewi Bunga Asmara sebenarnya mengkhawatirkan keselamatan Joko. Dia tidak mau kehilangan orang yang dicintainya. Apalagi Joko sudah berjanji hendak bertemu dengan gurunya. "Dewi... Kau tak usah cemas! Aku tidak punya urusan apa-apa dengan Hantu Pesolek! Dan kalaupun ada urusan, urusan itu bisa diselesaikan dengan bicara baik-baik!"

"Jangan bicara dusta... Perasaanku mengatakan, kau punya urusan besar dengan Hantu Pesolek! Aku tak bisa menduga dengan tepat. Namun kukira urusan itu tidak jauh dari masalah peta wasiat! Karena urusan itulah yang membuatmu sampai ke negeri ini!"

Joko gelengkan kepala. "Bukan itu masalahnya, Dewi. Nanti kau akan tahu sendiri..."

Meski masih tidak percaya dengan perkataan Joko, namun karena tidak enak jika harus memaksa Joko untuk batalkan niat ke Bukit Toyongga, akhirnya Dewi Bunga Asmara anggukkan kepala lalu berkelebat. Murid Pendeta Sinting melirik sesaat pada Dewa Asap Kayangan. Sebenarnya dia hendak menanyakan sesuatu, namun khawatir Dewi Bunga Asmara curiga dan takut pula kehilangan jejak, akhirnya Joko urungkan niat dan segera berkelebat menyusul Dewi Bunga Asmara. Saat bersamaan, Dewa Asap Kayangan membuat gerakan satu kali. Sosoknya ikut melesat di belakang Pendekar 131.

Sementara itu, sejarak dua ratus tombak dari tempat di mana Pendekar 131, Dewi Bunga Asmara, dan Dewa Asap Kayangan baru saja berbincang, tepatnya di sebuah bukit yang di daratan Tibet dikenal dengan Bukit Toyongga, dua sosok bayangan tampak berkelebat mendaki. Mencapai puncak bukit, orang yang berada di bagian depan hentikan larinya. Dia putar pandangannya sesaat. Lalu berpaling pada orang yang berlari di belakangnya dan kini telah tegak tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Orang yang tadi berlari di sebelah depan adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan. Kumisnya lebat. Jenggotnya juga lebat dan panjang. Kedua alls matanya mencuat ke atas. Sepasang matanya tajam. Rambutnya yang putih dan panjang digeraikan di bagian samping. Bagian belakangnya dikuncir tinggi ke atas. Laki-laki ini mengenakan pakaian berupa jubah panjang dari sutera berwarna merah. Dari pakaiannya, jelas kalau laki-laki ini adalah orang berkedudukan dan kaya. Orang ini bukan lain memang penguasa tanah Tibet yakni Yang Mulia Baginda Ku Nang.

Sementara di belakang Baginda Ku Nang adalah juga seorang laki-laki setengah baya. Wajahnya dingin. Sepasang matanya tajam. Pada bagian bawah mata kirinya terlihat tahi lalat agak besar. Seperti halnya Yang Mulia Baginda Ku Nang, laki-laki ini juga mengenakan pakaian mewah. Laki-laki ini tidak lain adalah Panglima Muda Lie.

"Panglima Muda Lie... Begitu orang yang kita tunggu datang, kau harus segera selesaikan tugasmu!"

Panglima Muda Lie bungkukkan tubuh dan menyahut. "Semua perintah akan kami laksanakan. Hanya saja, apakah tidak sebaiknya kita minta bala bantuan?"

Baginda Ku Nang tidak segera buka mulut. Dia putar kepalanya ke seantero puncak bukit. Walau saat itu kegelapan malam telah menjelang, namun karena perlahan-lahan rembulan sepertiga muncul dari kaki langit sebelah timur, ke mana mata memandang masih Juga bisa melihat.

"Kurasa hal itu tak perlu, Panglima! Aku tak mau dikatakan ikut campur tangan dalam kancah rimba persilatan! Bahkan untuk itulah, kau harus membunuh siapa saja yang telah tahu urusan kerajaan yang ada hubungannya dengan dunia persilatan!"

"Tapi, Yang Mulia. Para penyelidik kerajaan pagi tadi menemukan selebaran daun. Di sana tertera jika malam ini akan disatukan peta wasiat. Dan tempatnya adalah di bukit ini. Aku khawatir, akan banyak yang muncul di tempat ini."

Baginda Ku Nang manggut-manggut. "Aku sudah mendengar persoalan itu. Aku memang bertanya-tanya siapa gerangan yang membuat selebaran itu. Tapi itu satu keuntungan besar bagi pihak kerajaan. Dengan munculnya kita di tempat ini tanpa mengenakan pakaian kebesaran, mungkin akan bisa menjadi alasan kalau kita hadir di sini bukan sebagai orang kerajaan. Kita nanti juga bisa berdalih kalau kehadiran kita semata-mata ingin tahu duduk persoalan sebenarnya!"

"Tapi hal ini sangat berbahaya, Yang Mulia! Urusan peta wasiat telah menjadi urusan para tokoh yang bukan saja berasal dari golongan putih, namun juga para tokoh golongan hitam! Lebih dari itu, pasti Guru Besar Liang San akan muncul juga di tempat ini. Aku khawatir, jangan-jangan dia nanti membuka rahasia yang selama ini kita jaga!"

"Aku tahu bagaimana menyelesaikannya jika Guru Besar Liang San berkhianat! Dan justru Guru Besar Liang San yang akan mendapat celaka kalau sampai membuka rahasia! Karena dengan pengkhianatannya terhadap shaolin, dia telah korbankan beberapa orang saudaranya sendiri!"

Panglima Muda Lie terdiam mendengar ucapan Baginda Ku Nang. Baginda Ku Nang melangkah ke satu batangan pohon. Seraya terus putar pandangan, dia buka mulut.

"Apa selama ini belum ada kabar tentang pemuda asing itu?!"

"Belum ada, Yang Mulia... Tapi kalau undangan itu telah menyebar, pasti dia akan muncul di tempat ini. Bukankah separo peta wasiat di tangannya tidak ada gunanya jika malam ini tidak bisa mendapatkannya separonya lagi?"

"Hem... Benar! Dan jika begitu, rencana untuk Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara sementara ini kita tunda..."

"Maksud Yang Mulia!"

"Kita lihat keadaan dahulu. Kalau pemuda asing itu benar-benar datang, rencana untuk Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara kita undur. Tenaga keduanya kita manfaatkan dulu untuk melawan pemuda asing itu! Jika beres, kita teruskan rencana terhadap keduanya! Dan jika pemuda asing itu tidak muncul, malam ini juga selesaikan Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara! Soal Guru Besar Liang San, kita juga lihat suasana dahulu. Rencana terhadapnya bisa berubah sewaktu-waktu!"

"Bagaimana dengan tokoh yang lain?"

"Itu serahkan padaku! Aku adalah bekas pemimpin perguruan silat dan telah lama pula malang melintang dalam kancah rimba persilatan. Aku menduga, tokoh yang akan muncul adalah orang-orang lama yang telah kukenal!"

Habis berkata begitu, Baginda Ku Nang selinapkan tangan kanannya ke balik jubah yang dikenakan. Bibirnya sunggingkan senyum. Diam-diam dia berkata sendiri dalam hati.

"Kalau malam ini peta wasiat berhasil kusatukan, aku bukan saja menjadi raja sebuah kerajaan, namun juga akan menjadi raja rimba persilatan!"

Baginda Ku Nang tarik pulang tangan kanannya dari balik jubahnya. Dia memandang lurus ke timur. Di mana rembulan sepertiga terus mendaki angkasa hingga membuat kegelapan yang menyelimut puncak Bukit Toyongga makin sirna.

"Aku hanya sedikit heran. Siapa sebenarnya yang menyebar undangan itu?! Mungkinkah..." Belum sampai Baginda Ku Nang teruskan kata hatinya, mendadak Panglima Muda Lie melompat dan berkata dengan suara ditekan.

"Yang Mulia... Ada seseorang mendaki bukit!"

"Hem... Kita tunggu siapa dia! Kita tak perlu sembunyi!" ujar Baginda Ku Nang lalu arahkan pandang matanya ke satu arah di mana samar-samar terlihat satu sosok tubuh berkelebat mendaki dengan cepat di antara jajaran pohon.

LIMA

PANGLIMA Muda Lie bergerak mendekati Baginda Ku Nang. Mulutnya membuka hendak berbisik. Namun mendadak si Panglima kancingkan mulutnya lagi. Sepasang matanya mendelik.

"Aneh... Meski samar-samar, aku baru saja masih bisa melihat gerakan sosoknya. Tapi sekarang aku tidak melihat lagi!"

Panglima Muda Lie membatin dengan mata terus memperhatikan ke bawah. Dia belum berani mengatakan apa yang dilihatnya pada Baginda Ku Nang. Dia khawatir sosok yang baru saja kelihatan masih terlindungi beberapa jajaran pohon yang banyak bertebaran di sekitar kaki bukit. Namun begitu ditunggu agak lama dan ternyata matanya memang tidak lagi melihat sosok orang, dia beranikan diri buka mulut berbisik.

"Yang Mulia... Aku merasakan satu keanehan..."

Baginda Ku Nang sendiri tampaknya tidak begitu peduli dengan ucapan Panglima Muda Lie. Karena seperti halnya si Panglima, dia merasa sedikit terkejut begitu sepasang matanya tidak lagi mendapati sosok orang yang baru saja berkelebat mendaki!

"Kau masih melihat sosok itu, Panglima?!" Akhirnya Baginda Ku Nang angkat suara. Namun sepasang matanya terus menembusi kesamaran suasana di samping bukit.

"Yang Mulia.... Orang itu tiba-tiba menghilang!"

"Hem.... Tampaknya dia sudah tahu kalau kita berada di sini!" gumam sang Baginda.

Panglima Muda Lie pentang mata sekali lagi. Kejap lain dia membuat gerakan satu kali. Sosoknya berkelebat. Namun sebelum lebih jauh, sang Baginda sudah buka suara.

"Panglima! Kau tak usah mencari tahu siapa dia! Kalau dia memang punya niat, tanpa dicari pun dia nanti akan muncul di puncak bukit ini!"

Panglima Muda Lie batalkan niat untuk teruskan kelebatannya yang hendak melesat turun. Saat itulah sepasang matanya kembali menangkap kelebatan satu sosok tubuh. "Hem.... Dari arah datangnya, ini bukan orang yang pertama tadi! Berarti sudah dua orang yang mendaki bukit ini!" Panglima Muda Lie membatin. Dan mungkin tidak mau lagi kehilangan orang yang dilihatnya, sang Panglima pentang matanya besar-besar dan coba terus memperhatikan sosok yang terus berkelebat mendaki.

"Yang Mulia... Ada orang lagi yang mendaki bukit! Dan aku yakin, dia bukanlah orang yang pertama tadi..."

"Hem... Aku juga telah melihatnya!" ujar sang Baginda. "Perhatikan dia! Meski nantinya kita akan tahu, tapi kalau kita tahu terlebih dahulu akan lebih enak!"

Baru saja Baginda Ku Nang berkata begitu, tiba-tiba sosok bayangan yang terlihat oleh Panglima Muda Lie dan Baginda Ku Nang sudah beberapa tombak di bawah keduanya.

“Luar biasa! Baru saja sosok bayangannya jauh di bawah sana. Sekarang tahu-tahu sudah dekat..." Panglima Muda Lie bergumam dengan paras sedikit terkejut.

Di sampingnya, meski terkesiap namun sang Baginda masih tampak tenang-tenang saja. Dan seraya terus memperhatikan, dia berbisik. "Panglima! Kau nanti tak usah ikut campur! Dan jangan memancing timbulnya kerusuhan! Kita harus tetap menjaga seolah-olah pihak kerajaan memang tidak ingin ikut campur dalam urusan rimba persilatan!"

Belum sampai ucapan sang Baginda selesai, satu sosok tubuh telah melesat. Dan tahu-tahu sejarak lima belas langkah dari Panglima Muda Lie, telah tegak seseorang! Panglima Muda Lie dan Baginda Ku Nang segera berpaling. Sesaat sang Baginda tampak terkejut. Namun saat lain bibirnya telah sunggingkan senyum. Di sebelahnya, sang Panglima memandang tak berkesip.

Sementara di seberang sana, orang yang baru muncul juga tampak terkesiap kaget. Namun begitu sang Baginda tersenyum, orang ini balas sunggingkan senyum meski tampak ragu-ragu. Orang ini adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya tipis putih dan panjang hingga punggung. Kedua alis matanya juga menjulai panjang hampir menutupi sepasang matanya yang melotot besar. Paras wajahnya bulat dengan kumis dan jenggot lebat. Tepat pada kedua alis matanya terlihat tato bergambar bulan sabit berwarna kekuningan. Laki-laki ini mengenakan pakaian berupa jubah panjang berwarna kuning. Pada bagian dada jubahnya juga terlihat gambar bulan sabit.

"Sahabat Hantu Bulan Emas.... Senang bisa bertemu denganmu lagi. Kau datang sendirian?!" Baginda Ku Nang memecah keheningan dengan ajukan tanya.

Laki-laki berjubah kuning dan bukan lain memang Hantu Bulan Emas adanya sesaat tidak menjawab. Dia membatin. "Bagaimana mungkin dia berada di sini?! Apakah urusan ini dia yang mengatur?! Tapi bukankah sebagai orang di pihak kerajaan, dia tak berhak ikut campur dalam urusan rimba persilatan?! Ataukah dia masih menganggap sebagai seorang pemimpin perguruan silat yang berarti masih punya hak untuk ikut campur dalam urusan peta wasiat?! Hem..."

"Yang Mulia..."

"Hantu Bulan Emas!" Baginda Ku Nang sudah memotong ucapan Hantu Bulan Emas. "Harap kau tidak bersikap begitu. Kehadiranku di sini bukan sebagai raja. Lagi pula kita sudah saling kenal!"

Hantu Bulan Emas angkat sedikit kepalanya yang saat berkata tadi coba menunduk hormat. Bibirnya tersenyum lalu sepasang matanya memperhatikan ke arah Baginda Ku Nang dan Panglima Muda Lie. Namun sejauh ini dia tidak berusaha lagi buka suara. Hingga Baginda Ku Nang kembali ajukan tanya.

"Hantu Bulan Emas. Kau datang sendiri?!"

"Benar, Yang Mulia!"

Baginda Ku Nang anggukkan kepala lalu melangkah maju. Dan berhenti sepuluh langkah di hadapan Hantu Bulan Emas. "Aku bertanya begitu, karena beberapa puluh tahun lalu, aku menyirap kabar jika kau telah mengangkat seorang murid!"

"Aku memang punya seorang murid. Namun karena urusan ini mengandung banyak bahaya, terpaksa aku datang seorang diri! Hanya saja, aku sedikit merasa terkejut melihatmu berada di tempat ini! Aku berharap, kehadiranmu di tempat ini hanya sebuah kebetulan!"

Baginda Ku Nang tertawa pendek. "Kuharap kau tidak kaget kalau kukatakan jika keberadaanku di sini bukanlah satu kebetulan! Tapi aku juga berharap, kau jangan menduga salah jika keberadaanku bukan satu kebetulan! Aku akan tetap berpegang pada peraturan jika pihak kerajaan tidak akan ikut campur! Dan kalaupun aku sampai datang, semata-mata hanya ingin tahu. Lebih dari itu, aku tak ingin nantinya terjadi halhal yang tidak kita Inginkan! Sebagai penguasa, aku tak ingin melihat pertumpahan darah!"

"Hem... Aku tahu siapa dia! Mana aku percaya dengan ucapannya?!" Hantu Bulan Emas diam-diam berkata sendiri dalam hati demi mendengar keterangan Baginda Ku Nang. Namun orang ini tak hendak memperlihatkan rasa tidak percaya. Dia anggukkan kepala lalu berkata. "Apakah undangan itu disebar pihak kerajaan?!"

"Kau telah dengar keteranganku, Hantu Bulan Emas. Selama ini aku masih berpegang teguh pada peraturan yang menggariskan jika pihak kerajaan tidak akan ikut campur urusan rimba persilatan!"

"Tapi dengan kedatanganmu di tempat ini, secara tak langsung kau melibatkan pihak kerajaan dalam urusan rimba persilatan!"

"Tidak, Hantu Bulan Emas. Kau lihat sendiri. Aku tidak mengenakan pakaian kebesaran! Demikian pula Panglima Muda Lie. Dan perlu kau dengar sekali lagi. Aku hanya ingin tahu dan tak ingin terjadi pertumpahan darah! Sebagai bekas orang rimba persilatan, aku sudah bisa menduga apa yang akan terjadi! Untuk itulah terpaksa aku datang!"

Saat Baginda Ku Nang dan Hantu Bulan Emas berbincang, mendadak Panglima Muda Lie yang sejak tadi hanya diam dan tegak lima langkah di belakang Baginda Ku Nang melangkah maju dengan mata melirik ke bawah. Begitu dekat, dia berbisik.

"Yang Mulia.... Dua orang tengah mendaki bukit! Sepertinya mereka adalah...."

Belum sampai Panglima Muda Lie selesaikan ucapan, Baginda Ku Nang sudah berpaling dengan mata mendelik dan segera memotong kata-kata sang Panglima. "Aku sudah menduga siapa yang datang!"

Habis berkata begitu, Baginda Ku Nang arahkan pandang matanya ke bawah. Dia memang melihat kelebatan dua sosok bayangan. Di lain pihak, Hantu Bulan Emas juga palingkan kepalanya ke lamping bukit. Tidak berapa lama, dua sosok bayangan tampak melesat dan tegak di puncak bukit tidak jauh dari tempat tegaknya Hantu Bulan Emas.

Di sebelah kanan adalah seorang laki-laki mengenakan pakaian hitam-hitam. Rambutnya hitam digelung tinggi ke atas. Raut wajahnya telah dihias kerutan tanda laki-laki ini sudah tidak muda lagi. Parasnya agak bulat dengan mata sipit. Kumis dan jenggotnya lebat serta hitam. Dan ternyata, bukan hanya pakaian dan rambutnya yang berwarna hitam, namun sekujur tubuh kulit laki-laki ini juga berwarna hitam legam!

Di samping laki-laki berwajah hitam yang bukan lain adalah Bayangan Tanpa Wajah, tegak seorang nenek mengenakan pakaian panjang berwarna hitam. Rambutnya putih, sepasang matanya sipit tanpa ditingkah alis mata di atasnya. Di pundaknya tampak menyelempang selendang panjang warna hitam yang menjulai menyapu tanah. Untuk beberapa saat, Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara saling lirik lalu sama memperhatikan pada Hantu Bulan Emas. Hantu Bulan Emas sendiri pasang tampang dingin dan arahkan pandangannya ke jurusan lain.

"Hem.... Ternyata kedatangan kita sudah agak terlambat!" Bayangan Tanpa Wajah berbisik. "Apa kita harus bicara terus terang saja pada Baginda Ku Nang?!"

"Kalau terlalu banyak basa-basi, berarti kita membuang waktu percuma! Katakan saja terus terang apa yang telah kita bicarakan tadi!" Ratu Selendang Asmara menyahut.

"Tapi ini adalah urusan rahasia antara kita dengan Baginda Ku Nang. Tak mungkin kita membicarakannya di hadapan orang lain!"

"Percuma kita menyimpan rahasia itu! Lagi pula, biar semua orang tahu jika pihak kerajaan sebenarnya telah ikut campur urusan rimba persilatan!"

"Nek! Kita tak boleh gegabah!"

"Hem.... Kau takut?! Takut sama siapa?! Sama Hantu itu?! Aku menduga, dia juga sepertimu! Orang-orang rimba persilatan yang diberi imbalan untuk mencari sesuatu! Jadi kau tak usah khawatir. Dia juga pasti sudah tahu kalau sebenarnya pihak kerajaan sudah terlibat dalam urusan kancah dunia persilatan!"

Bayangan Tanpa Wajah terdiam beberapa saat. Wajahnya tampak sekali membayangkan perasaan bimbang. Seperti diketahui, Bayangan Tanpa Wajah secara diam-diam memang diberi tugas oleh Baginda Ku Nang untuk mencari Pendekar 131 sekaligus merebut peta wasiat dari tangannya. Setelah berpikir agak lama, akhirnya Bayangan Tanpa Wajah melangkah maju seraya menjura pada Baginda Ku Nang. Di lain pihak, Baginda Ku Nang sendiri terlihat agak cemas. Hingga meski dia telah tahu kedatangan Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara, dia tetap belum buka suara.

"Yang Mulia...," kata Bayangan Tanpa Wajah seraya melirik pada Hantu Bulan Emas. "Kami...."

Bayangan Tanpa Wajah putuskan ucapannya tatkala sepasang matanya melihat isyarat tangan Baginda Ku Nang yang diangkat ke atas seraya berkata. "Aku senang kau bisa hadir di tempat ini, sahabatku Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara...! Aku memang sudah menduga jika kalian pasti akan hadir! Dan sebagaimana kukatakan pada sahabat Hantu Bulan Emas tadi, harap kalian tidak menaruh curiga atas kehadiranku di tempat ini!" Seraya berkata begitu, sepasang mata Baginda Ku Nang tampak melotot lalu melirik pada Hantu Bulan Emas.

Bayangan Tanpa Wajah tampaknya bisa menangkap isyarat. "Hem.... Tampaknya dia tak mau diketahui jika secara diam-diam memerintahku!" katanya dalam hati. Lalu anggukkan kepala dan berkata. "Yang Mulia.... Kami tidak curiga meski kami sebenarnya merasa heran!"

Baginda Ku Nang tersenyum mendapati kilah Bayangan Tanpa Wajah yang berarti telah dapat menangkap isyarat dan berpura-pura tidak ada perjanjian sebelumnya!

"Kalian tak usah heran. Aku datang bukan atas nama kerajaan! Aku hanya ingin tahu dan selebihnya berharap agar nantinya tidak terjadi apa-apa di tempat ini!"

"Sialan! Mengapa kau masih juga berbasa-basi padanya?!" Si nenek yang tampaknya tak sabaran segera berbisik pada Bayangan Tanpa Wajah. Bayangan Tanpa Wajah berpaling dengan mata mendelik dan balas berbisik dengan nada keras.

"Kau dengar ucapannya tadi?! Itu satu isyarat jika dia tak mau diketahui telah berhubungan dengan kita dalam urusan peta wasiat!"

"Dasar pengecut! Mengapa dia takut?!"

"Nek! Itu tak perlu kita perdebatkan di sini! Yang jelas, tampaknya rencana kita akan berjalan dengan mulus! Jadi untuk sementara ini biarlah kita berpura-pura tak pernah punya hubungan dengan pihak kerajaan! Lagi pula bukankah tujuan akhir kita adalah peta wasiat itu?!"

Di lain pihak, Baginda Ku Nang diam-diam membatin begitu melihat kemunculan Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara. "Hem.... Aku sekarang hampir yakin. Pasti mereka berdua yang punya ulah menyebar undangan itu! Karena yang tahu tempat pertemuan di bukit ini hanya mereka berdua! Mereka rupanya tidak tahu, justru ulahnya ini membawa keuntungan besar bagiku! Separo peta wasiat telah berada ditanganku! Aku tinggal mencari setengahnya. Dan dengan tersebarnya undangan itu, aku tidak perlu lagi mencari jauh-jauh! Aku yakin, salah seorang yang nantinya hadir di sini, pasti membawa setengahnya lagi!"

Habis membatin begitu, Baginda Ku Nang arahkan pandang matanya pada Hantu Bulan Emas yang sejak tadi berpaling tidak mau memandang pada Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara. "Hem.... Dari sikapnya, jelas jika antara Hantu Bulan Emas dengan Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara ada masalah! Mereka tidak saling bertegur sapa dan tatapan mereka tampak dingin! Hal inilah yang memang kuharapkan! Namun aku tidak boleh menunjukkan rasa gembira atas sikap mereka...." Membatin sampai di situ, akhirnya Baginda Ku Nang angkat suara.

"Sahabat Hantu Bulan Emas.... Kurasa kau tak lupa dengan dua sahabat yang baru datang itu, bukan?!"

Hantu Bulan Emas berpaling. Sepasang matanya menatap pada Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara silih berganti. Lalu bersuara. "Aku tidak akan lupa siapa mereka berdua! Lebih-lebih yang perempuan!"

ENAM

RATU Selendang Asmara mendengus dan segera sentakkan kepala ke arah Hantu Bulan Emas. Untuk beberapa lama kedua orang ini saling pandang. Bayangan Tanpa Wajah melirik pada si nenek lalu berbisik.

"Jangan buat urusan dahulu! Tak ada gunanya melayani dia! Peta wasiat itu tidak ada di tangannya!"

"Seharusnya kau tidak mencegahku saat hendak menggebuknya di Kuil Atap Langit!" ujar Ratu Selendang Asmara.

Seperti diketahui, saat berada di Kuil Atap Langit, terjadi ketegangan antara Hantu Bulan Emas dan Ratu Selendang Asmara. Bahkan mereka hampir-hampir saja terlibat bentrok jika Bayangan Tanpa Wajah tidak segera menengahi. (Lebih jelasnya baca serial Joko Sableng dalam episode Kuil Atap Langit)

"Sahabat sekalian...," kata Baginda Ku Nang setelah yakin dapat membaca jika antara Hantu Bulan Emas dan Ratu Selendang Asmara ada silang sengketa. "Kuharap kalian saling dinginkan kepala. Aku tahu, maksud tujuan kalian datang ke tempat ini bukan untuk selesaikan urusan kalian! Tapi ada sesuatu yang lebih penting!"

Yang Mulia Baginda Ku Nang sapukan pandang matanya pada ketiga orang di depan sana. Lalu lanjutkan ucapan. "Aku bukannya ingin ikut campur urusan yang akan kalian tuntaskan di tempat ini! Tapi kalau aku boleh usul...."

Sesaat sang Baginda hentikan ucapan-nya lagi seraya melirik pada Hantu Bulan Emas. Sang Baginda berharap Hantu Bulan Emas akan menyahut ucapannya. Namun ternyata Hantu Bulan Emas tetap kancingkan mulut. Hingga sang Baginda lanjutkan ucapan.

"Bagaimana kalau urusan ini kita selesaikan bersama-sama?!"

Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara tidak terkejut dengan ucapan sang Baginda, karena mereka berdua sudah tahu jika sang Baginda secara diam-diam juga menginginkan peta wasiat. Namun tidak demikian halnya dengan Hantu Bulan Emas. Dia segera angkat suara menyahut.

"Yang Mulia! Harap jelaskan apa maksudnya menyelesaikan bersama-sama?!"

Baginda Ku Nang tersenyum dahulu sebelum akhirnya berkata. "Aku tahu. Kalian datang demi peta wasiat itu. Dan aku juga tahu, di antara kalian bertiga tidak ada yang memegang peta wasiat itu! Dan pasti kalian juga sudah tahu kalau sebagian peta wasiat itu sekarang berada di tangan seorang pemuda asing! Aku menawarkan pada kalian untuk bergabung bersamaku merebut peta wasiat itu!"

"Yang Mulia! Bukankah kau tadi sudah mengatakan tidak akan ikut campur urusan rimba persilatan?!" Berkata Hantu Bulan Emas dengan suara agak keras.

"Sahabat Hantu Bulan Emas.... Sekarang aku akan berterus terang padamu! Pada mulanya aku memang hendak berpegang teguh pada peraturan. Namun setelah kutimbang-timbang, aku memutuskan untuk langsung terlibat dalam urusan peta wasiat ini! Ini bukan berarti aku mengingkari janji. Namun karena semata-mata aku tak Ingin barang pusaka negeri ini dimiliki oleh orang asing! Sebagai penguasa negeri ini dan juga sebagai bekas orang persilatan, aku terpanggil untuk melibatkan diri! Dan seandainya urusan ini tidak melibatkan pemuda asing, tentu aku tidak akan ikut campur!"

Hantu Bulan Emas tercenung beberapa lama. Entah apa yang dipikirkan. Namun yang jelas dia belum juga angkat suara sambuti tawaran sang Baginda. Di seberang depan, Baginda Ku Nang dongakkan kepala. Dia menghela napas sesaat lalu berkata.

"Hantu Bulan Emas.... Aku tidak memaksamu. Aku hanya menawarkan. Namun satu hal yang harus kau ketahui, kau menerima atau menolak, aku akan tetap melibatkan diri dalam urusan ini! Dan jika kau menerima tawaranku, aku menjanjikan imbalan buatmu!"

Hantu Bulan Emas tersenyum dingin. Tapi belum juga dia bukan suara. Di lain pihak, mendapati sikap Hantu Bulan Emas, sang Baginda segera angkat suara lagi.

"Sahabat Hantu Bulan Emas. Harap tidak berprasangka dulu! Imbalan yang kujanjikan bukan karena kau bergabung denganku. Namun semata-mata sebagai rasa terima kasih atas kesetiaanmu pada negeri ini!"

Dan mungkin karena tak sabar melihat sikap Hantu Bulan Emas yang masih juga belum buka mulut, akhirnya sang Baginda berkata lagi. "Perlu kau tahu, sahabat Hantu Bulan Emas. Sahabat Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara telah menerima tawaranku!"

Hantu Bulan Emas cepat berpaling pada Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara. "Hem... sebaiknya aku menerima atau menolak tawaran itu. Kalau Bayangan Tanpa Wajah dan nenek sialan itu telah bergabung, tentu sudah banyak tokoh lainnya yang juga telah bergabung!"

"Sahabat Hantu Bulan Emas. Bagaimana?! Kita tidak punya waktu banyak! Kau harus segera memutuskan berada di pihak mana! Sebentar lagi pasti akan muncul beberapa sahabat lain! Aku tak mau urusan denganmu tertunda karena kedatangan orang lain!"

"Baiklah, Yang Mulia! Untuk urusan satu ini aku menerima tawaranmu! Namun itu hanya terbatas pada urusan dengan pemuda asing itu! Dan kuharap, sebagai pihak penguasa, kau tidak ikut campur tangan bila ada urusan dalam rimba persilatan setelah urusan ini selesai!"

"Itu sudah jadi peraturan sejak lama, sahabat Hantu Bulan Emas. Dan sekali lagi kukatakan, kalau saja tidak ada hubungannya dengan pemuda asing, aku tidak akan ikut campur urusan ini!"

"Ada orang datang!" Mendadak Ratu Selendang Asmara berseru.

Semua kepala segera berpaling. Bersamaan dengan itu satu bayangan berkelebat dan semua orang melihat seorang laki-laki berpakaian compang-camping. Paras wajahnya tidak kelihatan karena tepat di depan wajahnya menggandul sebuah batu putih yang diikatkan pada sebuah tambang dan tambang itu berpangkal pada punggung orang. Begitu tegak, laki-laki yang wajahnya tertutup batu putih dan bukan lain adalah Dewa Cadas Pangeran, gerakkan tangan kanannya menelikung ke belakang. Saat bersamaan, semua orang melihat satu bumbung bambu agak besar melorot perlahan-lahan dari bagian punggungnya dan berhenti tepat di bawah selangkangannya. Tanpa buka mulut, Dewa Cadas Pangeran tarik pulang tangan kanannya ke depan. Lalu enak saja dia duduk di atas bumbung bambu. Kaki kanan diangkat lalu disilangkan di atas kaki kirinya.

"Dewa Cadas Pangeran!" bisik Ratu Selendang Asmara dengan paras sedikit tegang. Dia coba melirik pada Bayangan Tanpa Wajah. Yang dilirik tidak peduli karena tengah memperhatikan ke depan.

Di seberang samping, Hantu Bulan Emas juga tak kalah kagetnya mendapati siapa adanya orang yang muncul. Namun yang paling tampak terkesiap kaget adalah Baginda Ku Nang. "Hem.... Sebenarnya dia tidak masuk dalam hitunganku di antara orang-orang yang akan hadir di tempat ini! Tapi nyatanya perhitunganku meleset!"

Habis membatin begitu, sang Baginda memberi isyarat pada Hantu Bulan Emas, Bayangan Tanpa Wajah, dan Ratu Selendang Asmara agar tidak ada yang buka suara. la berpaling sesaat pada Panglima Muda Lie yang juga tampak tercengang dengan kemunculan Dewa Cadas Pangeran. Panglima Muda Lie memang belum mengenal Dewa Cadas Pangeran, namun membaca dari perubahan wajah beberapa orang di tempat itu, sudah cukup baginya memaklumi jika orang yang baru muncul patut diperhitungkan. Hingga begitu sang Baginda berpaling, dia melangkah mendekati dan berbisik.

"Yang Mulia.... Kurasa yang baru muncul tidak bisa disamakan dengan beberapa orang yang sudah hadir!"

"Hem.... Aku tahu, Panglima! Dan kuharap kau sigap untuk melakukan yang terbaik!"

Tanpa menunggu sambutan Panglima Muda Lie, Baginda Ku Nang arahkan pandang matanya ke arah Dewa Cadas Pangeran dan berkata. "Rasanya sudah lama sekali kita tidak saling bertemu, sahabat Dewa Cadas Pangeran. Dan aku sangat senang malam ini bisa bertemu denganmu!"

Dewa Cadas Pangeran dongakkan kepalanya sedikit. Batu putih yang menggantung di depan wajahnya ikut bergerak ke atas hingga wajahnya tetap tertutup. Saat berikutnya terdengar suara. "Yang Mulia.... Seperti halnya dirimu, aku juga begitu gembira dapat bertemu lagi denganmu meski kita sekarang sudah berada di pihak yang berlainan! Cuma, aku begitu kaget mendapati Yang Mulia berada di tempat ini. Karena kurasa tempat ini bukan lagi tempat yang layak untuk seorang Baginda...."

"Aku tahu maksudmu, sahabat Dewa Cadas Pangeran. Namun kuharap kau tidak kaget. Sekarang ini kita memang sudah berada di pihak yang berlainan. Aku sebagai pihak kerajaan dan kau tetap seperti dulu, sebagai salah seorang tokoh rimba persilatan. Tapi harap kau tahu. Kehadiranku di sini bukanlah sebagai seorang kerajaan. Dengan begitu, tempat ini masih layak bagi diriku!"

"Yang Mulia.... Boleh aku lancang hendak mengatakan sesuatu?!"

"Sahabatku.... Di tempat ini, aku bukan sebagai raja. Lagi pula sebelum ini kita sudah saling kenal. Harap kau tidak usah berbasa-basi kalau hanya ingin mengatakan sesuatu!"

Dewa Cadas Pangeran putar sedikit sosoknya menghadap lurus pada sang Baginda. Namun sebelum suaranya terdengar, di seberang sana mendadak berkelebat satu sosok tubuh. Selain kepala Dewa Cadas Pangeran, semua kepala di tempat Itu sama berpaling. Baginda Ku Nang tampak tersenyum. Hantu Bulan Emas menyeringai buruk. Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara saling pandang.

Orang yang baru muncul adalah seorang laki-laki bertubuh kekar berkepala gundul. Paras wajahnya agak tirus. Kumisnya tipis. Jenggotnya jarang tapi panjang. Sepasang matanya agak besar. Dia mengenakan pakaian selempang warna kuning panjang tanpa leher. Pada bagian pundaknya tampak kain warna merah yang terus dililitkan pada pinggangnya. Kedua tangannya diangkat dan ditakupkan di depan dada.

"Amitaba... Selamat jumpa lagi. Guru Besar..." Yang buka suara ternyata Dewa Cadas Pangeran.

Orang berkepala gundul yang baru muncul arahkan pandang matanya pada Dewa Cadas Pangeran. "Hem... Dugaanku dulu tidak meleset. Dia tempo hari bisa menebak dengan tepat apa yang tengah kujalankan karena dia memang dekat dengan Baginda. Ini juga satu bukti jika Baginda Ku Nang membocorkan rahasia!" Membatin orang berkepala gundul yang bukan lain adalah Guru Besar Liang San.

Seperti diketahui. Guru Besar Liang San sempat bertemu dengan Dewa Cadas Pangeran. Saat itu Dewa Cadas Pangeran bisa menebak apa yang tengah dilakukan bahkan rencana Guru Besar Liang San. Guru Besar Liang San curiga jika yang memberi tahu Dewa Cadas Pangeran adalah Baginda Ku Nang. Karena yang tahu rencananya hanyalah Baginda Ku Nang. Saat itu Guru Besar Liang San coba mengorek keterangan Dewa Cadas Pangeran dari mana dia tahu rencananya. Karena saat itu Dewa Cadas Pangeran tidak mau mengatakan, akhirnya terjadi bentrok. (Lebih jelasnya baca serial Joko Sableng dalam episode Dewa Cadas Pangeran)

Guru Besar Liang San coba menindih hawa kemarahan yang mulai melanda dadanya mendapati Dewa Cadas Pangeran sudah berada di situ bersama Baginda Ku Nang. Dia anggukkan kepala lalu tanpa buka mulut, dia berpaling pada sang Baginda. Meski sudah curiga dan merasa dikhianati, namun Guru Besar Liang San tidak mau bertindak ayal. Apalagi dia sudah tahu bagaimana ketinggian ilmu Dewa Cadas Pangeran. Dia anggukkan kepala pada sang Baginda lalu berkata.

"Amitaba.... Aku tidak menduga kalau Yang Mulia berada di sini!"

"Guru Besar Liang San...," kata sang Baginda. "Aku turut berduka atas peristiwa yang menimpa Perguruan Shaolin tempo hari. Dan aku sudah tahu kalau kau akan hadir di sini, karena urusannya ada kaitannya dengan Perguruan Shaolin!"

"Hem.... Dia masih menutupi siapa dirinya! Aku harus hati-hati. Dan sejauh ia tidak membuka apa yang pernah terjadi, aku akan tetap merahasiakannya meski aku tahu dia telah membuka rahasia ini pada orang lain!" Guru Besar Liang San membatin seraya sunggingkan senyum dan anggukkan kepala. "Hanya saja, dari sikapnya yang tidak berubah padaku, jelas jika dia belum tahu kalau peta wasiat itu telah kuambil dan berada di tanganku! Yang masih menjadi tanya, siapa gerangan yang menyebar undangan urusan peta wasiat itu?!"

Seperti diketahui, secara diam-diam Guru Besar Liang San ternyata sudah bertindak jauh dengan mengambil peta wasiat yang berada di kotak kulit yang dulu diperolehnya dari ruang penyimpanan bangunan shaolin dengan bantuan Baginda Ku Nang, meski sebelumnya sudah ada kesepakatan antara dia dengan Baginda Ku Nang jika di antara mereka berdua tidak boleh mengambil peta wasiat dari kotak kulit tanpa hadirnya salah satu dari mereka berdua.

"Yang Mulia...,"' kata Guru Besar Liang San setelah agak lama berdiam diri. "Harap mau jelaskan hingga sampai hadir di tempat ini!"

"Kalau saja urusan peta wasiat itu tidak melibatkan seorang pemuda asing, tentu aku tidak akan ada di tempat ini! Sekarang harap kau memberi penjelasan padaku. Apakah benar pemuda asing itu yang membawa peta wasiat?! Dan kau sudah menemukan pemuda itu?!"

"Amitaba.... Dari perjalanan yang kulewati, aku hampir yakin memang pemuda itu membawa peta wasiat. Hanya saja, sampai sejauh ini aku belum berhasil mendapatkan kembali peta wasiat dari tangan pemuda asing itu!"

"Hem.... Tampaknya dia mengalami kegagalan!" kata Baginda Ku Nang dalam hati. Lalu berkata. "Guru Besar Liang San.... Aku harap malam ini pemuda itu akan muncul! Dan urusannya bisa kita tuntaskan malam ini juga!"

"Tapi bukan berarti peta wasiat itu harus diserahkan padanya!"" Tiba-tiba satu suara menyahut. Ternyata yang buka mulut adalah Hantu Bulan Emas. Kepala Guru Besar Liang San menyentak ke arah Hantu Bulan Emas. Namun sebelum dia sempat buka suara, Hantu Bulan Emas sudah angkat suara lagi.

"Aku tahu. Pemuda asing itu hanya kambing hitam! Dan sebenarnya peta wasiat itu sekarang sudah berada di tangan orang lain! Pemuda asing itu sudah tidak membawa apa-apa lagi!"

Baginda Ku Nang sempat terkejut mendengar ucapan Hantu Bulan Emas. Dia melirik pada Guru Besar Liang San sesaat lalu berkata. "Sahabat Hantu Bulan Emas. Aku tidak paham dengan ucapanmu! Harap kau menjelaskannya!"

Hantu Bulan Emas tersenyum dingin. Tangan kanannya diangkat lalu telunjuknya diluruskan tepat ke arah Guru Besar Liang San.

TUJUH

“DIA bersekongkol dengan Bu Beng La Ma dan pemuda asing itu!" Hantu Bulan Emas berkata dengan suara keras.

Baginda Ku Nang terkejut. Dia kini alihkan pandangannya pada Guru Besar Liang San. Guru Besar Liang San tegak dengan tubuh bergetar. Kemarahannya sudah memuncak. Dia sudah membuat gerakan hendak berkelebat ke arah Hantu Bulan Emas. Namun Baginda Ku Nang mendahului dengan berkata.

"Guru Besar.... Apa benar?!"

Guru Besar Liang San urungkan niat. Dia hadapkan wajah pada sang Baginda. "Amitaba... Harap Baginda tidak termakan dengan fitnahnya!"

Mendengar ucapan Guru Besar Liang San, Hantu Bulan Emas tertawa dan kembali buka suara. "Kau lupa bertemu denganku di Kuil Atap Langit?!"

"Aku memang berada di sana. Tapi...” Sebelum Guru Besar Liang San selesaikan ucapannya, Hantu Bulan Emas sudah memotong.

"Jangan berdalih. Guru Besar! Siapa pun saat itu tahu jika pemuda asing itu berada di Kuil Atap Langit! Adalah hal aneh kalau keberadaanmu di sana hanya sebuah kebetulan belaka! Apalagi selama ini kau diketahui jarang bergaul, lebih-lebih dengan Bu Beng La Ma!"

"Kau jangan mengarang cerita! Aku benar-benar tak tahu kalau saat itu pemuda dari seberang itu ada di sana! Dan tujuanku ke sana pun semata-mata ingin memberitahukan tentang peristiwa yang baru saja terjadi!"

Lagi-lagi Hantu Bulan Emas tertawa mendengar ucapan Guru Besar Liang San. Saat lain dia kembali angkat suara seraya mendongak. "Alasanmu tidak masuk akal. Guru Besar! Tanpa kau beri tahu pun, kelak semua orang akan tahu dan mendengar! Dan kalaupun benar kau ingin memberi tahu, berarti ada yang tak beres dengan peristiwa di perguruanmu itu! Kau sengaja memberi tahu orang agar orang tidak merasa curiga jika kau ikut mendalangi peristiwa itu!"

"Tutup mulutmu!" bentak Guru Besar Liang San sambil melirik sesaat pada sang Baginda. Dia diam-diam merasa khawatir kalau sang Baginda percaya dengan ucapan Hantu Bulan Emas. Di lain pihak, Baginda Ku Nang sebenarnya merasa curiga begitu mendengar keterangan Hantu Bulan Emas.

"Hem.... Dia mendatangi Kuil Atap Langit. Sementara pemuda asing itu berada di sana! Jangan-jangan dia selama ini bermuka dua! Menjalin hubungan denganku untuk memperoleh separo peta wasiat yang berada di Perguruan Shaolin, lalu secara diam-diam menjalin hubungan pula dengan Bu Beng La Ma untuk mendapatkan separo peta wasiat yang disebut-sebut berada di tangan pemuda asing itu! Kalau benar begitu, berarti separo peta wasiat itu sudah berada di tangannya!"

Membatin sampai di situ, akhirnya sang Baginda berujar. "Guru Besar.... Agar tidak terjadi pertumpahan darah yang tidak berguna, harap kau mau berterus terang pada kami yang berada di sini!"

Dada Guru Besar Liang San berdebar tidak enak. "Berterus terang bagaimana, Yang Mulia?!" katanya dengan suara bergetar.

"Kau telah mendapatkan peta wasiat yang selama Ini dikabarkan berada di tangan pemuda asing itu! Dengan begitu, berarti urusan peta wasiat itu sudah selesai!"

"Amitaba.... Baginda percaya dengan ucapannya?!" kata Guru Besar Liang San seraya ganti arahkan telunjuk Jarinya pada Hantu Bulan Emas.

"Masalahnya bukan percaya atau tidak! Tapi kalau kau mau berterus terang, kita bisa cegah pertumpahan darah yang tiada gunanya! Karena kau sendiri pasti tahu, siapa pun orangnya yang akan hadir di tempat ini, past! tidak bukan ingin memiliki peta wasiat itu!"

"Yang Mulia! Peta wasiat itu tidak berada di tanganku! Dan kalaupun benar peta wasiat itu sudah ada di tanganku, tak mungkin aku datang ke tempat ini!"

Baginda Ku Nang tertawa pendek dengan gelengkan kepala. "Guru Besar... Bukannya aku tidak percaya padamu. Tapi aku sependapat dengan sahabat Hantu Bulan Emas. Adalah aneh kalau kau datang ke Kuil Atap Langit, sementara pemuda asing itu berada di sana! Dan kau berdalih kedatanganmu hanya perlu memberitahukan akan peristiwa yang terjadi! Seandainya kau tadi berkata kedatanganmu ke Kuil Atap Langit semata-mata mengejar pemuda asing itu, mungkin aku tidak merasa aneh!"

"Yang Mulia.... Harap tidak curiga, karena...."

"Guru Besar!" potong sang Baginda. "Kalau kau masih juga berdalih, itu membuatku makin curiga! Bahkan aku bisa menduga, kedatanganmu ke tempat ini hanya semata-mata agar kau tidak dituduh sudah mendapatkan peta wasiat itu! Sekarang berterus teranglah!"

"Yang Mulia boleh percaya atau tidak! Yang jelas, aku belum mendapatkan peta wasiat itu!"

Baru saja Guru Besar Liang San berkata begitu, satu sosok tubuh berkelebat dan tegak di sebelah ujung puncak bukit sana. Dia adalah seorang perempuan mengenakan pakaian warna hitam panjang. Paras wajahnya tidak bisa dikenali karena dia sengaja menutupi wajahnya dengan cadar hitam dan hanya menyisakan dua lobang tepat pada kedua pasang matanya.

Untuk beberapa saat, semua kepala di tempat itu berpaling. Hanya Dewa Cadas Pangeran yang tidak membuat gerakan menoleh. Sebaliknya orang tua ini melangkah ke arah sebatang pohon, lalu enak saja dia duduk bersandar setelah menarik bumbung bambu yang tadi dibuat duduk. Di lain pihak, begitu semua kepala berpaling ke arahnya, si perempuan bercadar sapukan pandang matanya ke semua orang.

"Hem... Nyatanya dia belum muncul! Apakah dia tidak tahu urusan di tempat ini?! Sebaiknya aku menunggu... Aku tidak akan ikut campur urusan orangorang itu. Karena kedatanganku bukan untuk peta wasiat itu!"

Habis bergumam begitu, perempuan bercadar hitam melangkah mendekati sebatang pohon tidak jauh dari Dewa Cadas Pangeran. Dia tegak bersandar di sana tanpa buka mulut bahkan alihkan pandangannya ke samping bukit seolah menunggu seseorang!

Kemunculan perempuan bercadar hitam membuat semua orang di tempat itu sempat bertanya-tanya, karena mereka memang belum pernah mengenali ada seorang tokoh yang berciri demikian. Namun karena saat itu semua tengah tenggelam oleh ketegangan antara Guru Besar Liang San dan Hantu Bulan Emas serta Baginda Ku Nang, mereka tidak pedulikan lagi tentang siapa adanya perempuan bercadar hitam. Malah begitu si perempuan melangkah mendekati pohon, Baginda Ku Nang sudah angkat bicara.

"Guru Besar.... Kurasa tidak ada gunanya kau terus berdusta! Lagi pula sebenarnya peta wasiat itu milik perguruanmu!"

"Itu cerita lama, Yang Mulia!" Hantu Bulan Emas menyahut. "Saat ini, siapa pun juga punya hak untuk memiliki peta wasiat itu!"

"Benar! Peta wasiat itu dibuat bukan semata-mata diperuntukkan bagi Perguruan Shaolin! Tapi bagi semua kalangan rimba persilatan!" Ratu Selendang Asmara yang sejak tadi diam, menimpali ucapan Hantu Bulan Emas.

Guru Besar Liang San menggeram marah. Dan karena pangkal dari semua tuduhan yang kini diarahkan padanya berasal dari ucapan Hantu Bulan Emas, Guru Besar Liang San tumpahkan kemarahannya pada Hantu Bulan Emas. Hingga tanpa buka mulut sambuti ucapan sang Baginda, Hantu Bulan Emas, serta Ratu Selendang Asmara, dia berkelebat ke arah Hantu Bulan Emas!

Tampaknya Hantu Bulan Emas bisa membaca gelagat. Begitu Guru Besar Liang San membuat gerakan, dia ikut berkelebat menyongsong. Namun belum sampai jauh bergerak, satu sosok bayangan berkelebat dan langsung memotong gerakan Guru Besar Liang San! Guru Besar Liang San cepat hentikan kelebatan dan tegak di atas tanah dengan tampang angker. Saat lain dia berpaling sedikit untuk mengetahui siapa sosok yang menghadang gerakannya. Saat bersamaan, Hantu Bulan Emas juga hentikan kelebatannya yang hendak menyongsong Guru Besar Liang San. Dia menoleh ke kanan. Dia terkesiap sejenak. Kejap lain dia melesat dan tegak di samping sosok yang baru saja menghadang gerakan Guru Besar Liang San.

"Ouw Kui Lan!" bisik Hantu Bulan Emas seraya perhatikan orang di sampingnya yang ternyata adalah seorang perempuan berparas cantik mengenakan pakaian warna putih tipis hingga lekukan sekujur tubuhnya terlihat jelas. Rambutnya yang hitam lebat disanggul sedikit ke atas dan sebagian digeraikan di pipi kanan kirinya. Pada kepalanya mengenakan sebuah mahkota berwarna kekuningan bergambar bulan sabit. Dia bukan lain adalah Ouw Kui Lan atau yang lebih dikenal orang dengan Bidadari Bulan Emas, murid tunggal Hantu Bulan Emas.

"Kedatanganmu ke tempat ini satu bukti jika kau gagal dengan pekerjaanmu!"

Bidadari Bulan Emas sapukan pandangannya dahulu pada semua orang yang berada di tempat itu, Lalu berpaling pada Hantu Bulan Emas dan berkata dengan sedikit bungkukkan tubuh. "Maaf, Guru! Aku telah berusaha...., Bahkan semua petunjukmu telah kulakukan. Dan hampir saja aku dapat menyelesaikan pekerjaan itu! Sayang.... Seseorang telah menggagalkan pekerjaanku!"

Bidadari Bulan Emas alihkan pandang matanya ke arah Guru Besar Liang San yang tegak tidak jauh di hadapannya. Saat bersamaan tangannya terangkat menunjuk pada Guru Besar Liang San dan berseru lantang. "Dialah orangnya!"

Hantu Bulan Emas sengatkan sepasang matanya ke batok kepala Guru Besar Liang San. Tanpa buka mulut lagi dia melesat. Namun Baginda Ku Nang telah mendahului berkelebat bergerak dan tegak di hadapan Guru Besar Liang San seraya berkata.

"Aku tidak ingin terjadi silang sengketa! Dan jalan satu-satunya adalah, kuharap Guru Besar Liang San mau serahkan peta wasiat itu padaku! Tapi semua harap tidak punya rasa prasangka padaku!" Baginda Ku Nang sapukan pandangannya pada semua orang yang ada di tempat itu. lalu lanjutkan ucapan.

"Aku tahu, semua orang menginginkan peta wasiat itu! Dan hal ini pasti akan menimbulkan pertikaian yang berakhir dengan pertumpahan darah! Aku...."

"Apakah dengan peta wasiat di tangan penguasa, berarti keadaan akan bisa lebih aman?! Apakah kalau peta wasiat berada di tangan Yang Mulia, berarti pertumpahan darah bisa dihindari?! Apakah jika peta wasiat di tangan pihak kerajaan, berarti perebutan ini bisa diakhiri?!" Guru Besar Liang San sudah menyahut dengan suara keras sebelum Baginda Ku Nang selesai dengan ucapannya.

Baginda Ku Nang terlihat marah. Namun dia masih coba menindih perasaan. Seraya pentangkan mata dia berkata. "Aku minta peta wasiat itu bukan untuk disimpan, lebih-lebih untuk kumiliki! Karena hal itu tidak menyelesaikan urusan! Karena hal itu tidak akan membuat keadaan bisa lebih aman! Karena hal itu tidak bisa hindarkan dari pertumpahan darah! Karena hal itu tidak bisa mengakhiri perebutan!" Suara sang Baginda terdengar bergetar dan keras membahana seolah menyentak kesunyian puncak Bukit Toyongga.

"Lalu untuk apa?!" Tiba-tiba satu suara menyahut. Suara ini juga tak kalah bergetar dan kerasnya.

Hanya saja semua orang di tempat itu tahu, jika suara yang baru saja terdengar disuarakan oleh seorang perempuan! Anehnya, meski semua orang di tempat itu sama putar kepala selain kepala Dewa Cadas Pangeran, mereka tidak menemukan si orang yang baru saja buka suara! Keadaan mendadak sunyi laksana kuburan. Hanya beberapa mata yang terlihat saling lontar pandang dengan penuh curiga. Dan belum sampai ada yang angkat suara lagi, tiba-tiba puncak Bukit Toyongga kembali dipecah dengan terdengarnya satu suara.

"Aku bertanya! Mengapa tidak ada yang memberi jawaban?! Untuk apa, hah?! Untuk apa peta wasiat itu?!"

Semua orang sempat terkejut. Kalau suara yang pertama tadi jelas diperdengarkan oleh perempuan, kali ini suara itu jelas diperdengarkan oleh laki-laki!

Bidadari Bulan Emas dan Guru Besar Liang San kerutkan kening masing-masing. Dan hampir bersamaran, mereka bergumam.

"Pemuda berkebaya itu!"

Mereka jelas tahu, karena mereka berdua sudah pernah mendapati hal yang sama beberapa hari yang lalu. Mereka berdua kembali gerakkan kepala mencari. Namun sejauh ini mereka belum juga bisa menemukan sosok orang yang dicari. Di lain pihak, Baginda Ku Nang sempat hendak berkelebat. Namun entah karena apa, tiba-tiba dia batalkan niat. Sebaliknya dia kerahkan sedikit tenaga dalamnya lalu berteriak.

"Kau bertanya! Aku yang akan jawab! Peta wasiat itu kuminta untuk kumusnahkan! Dengan begitu, tidak akan ada lagi perebutan apalagi pertumpahan darah!"

Terdengar suara orang tertawa panjang. Lalu terdengar lagi ucapan yang tak kalah lantangnya dengan jawaban Baginda Ku Nang. "Peta wasiat itu dibuat bukan untuk dimusnahkan! Tapi diperuntukkan bagi siapa saja yang mampu untuk memegangnya! Dan kalaupun hal itu akan membawa pertumpahan darah, itu akibat bodohnya orang yang merebut! Lagi pula tidak akan ada rimba persilatan tanpa tetesan darah yang mengalir!"

"Kalian berani berkata lantang! Tapi mengapa tidak berani unjuk muka?!" kata Baginda Ku Nang. Sang Baginda menduga yang perdengarkan suara adalah dua orang.

Sementara itu begitu yakin siapa orang yang perdengarkan suara, diam-diam Guru Besar Liang San membatin. "Pemuda asing bergelar Pendekar 131 Joko Sableng itu mengatakan peta wasiat telah diambil pemuda berkebaya yang suaranya baru saja terdengar. Hem... Aku belum percaya benar, tapi dari sikapnya, jelas aku bisa membaca jika ucapannya tidak berdusta! Ini saatnya aku merebut dari tangan pemuda berkebaya itu!"

Guru Besar Liang San takupkan kedua tangan di depan dada. Sepasang matanya dipejamkan. Kejap lain dia buka kelopak matanya dan perlahan-lahan dia bergerak memutar ke satu arah. Saat berikutnya dia membuat gerakan. Sosoknya berkelebat.

Semua orang di tempat itu sama terkejut. Lebih-lebih Baginda Ku Nang dan si Panglima. Mereka berdua khawatir jika Guru Besar Liang San berkelebat melarikan diri. Hingga begitu Guru Besar Liang San berkelebat, sang Baginda dan sang Panglima segera pula mengejar. Namun bersamaan dengan itu, tepat ke arah mana Guru Besar Liang San berkelebat, satu sosok tubuh melesat menyongsong sosok Guru Besar Liang San!

DELAPAN

MESKI tengah berkelebat dan sosok yang menyongsongnya juga berkelebat, namun hebatnya, dengan sekali pandang saja Guru Besar Liang San sudah dapat memastikan siapa adanya sosok yang menyongsongnya. Dan dengan cepat dia angkat tangan kanan kirinya. Lalu disentakkan ke arah sosok yang menyongsong ke arahnya!

"Wuutt! Wuutt!" Dua gelombang dahsyat berkiblat. Terdengar suara menderu keras. Tanah yang terlewati gelombang, muncrat semburat.

Sosok yang menyongsong tidak tinggal diam. Begitu mendapati tangan Guru Besar Liang San bergerak lepaskan pukulan, dia gerakkan tangan kanannya yang ternyata memegang sebuah kipas.

"Wuuutttt!" Satu gelombang menderu menghadang gelombang yang melesat dari kedua tangan Guru Besar Liang San.

Saat lain terdengar ledakan keras. Sosok Guru Besar Liang San terhenti. Kejap lain sosoknya tersapu ke belakang. Terhuyung sesaat namun segera bisa kuasai diri. Di lain pihak, sosok yang tadi menyongsong juga tampak tersapu. Sosoknya mencelat balik. Tapi sosok ini cepat membuat gerakan berputar dua kali di udara. Kejap lain tegak di atas puncak bukit dengan tangan bergerak pulang balik mainkan kipas di depan dadanya!

Baginda Ku Nang dan Panglima Muda Lie yang tahu adanya bentrok, segera melesat menghindar. Dan begitu tegak kembali di atas tanah, mereka segera arahkan pandangannya pada sosok yang berkipas-kipas. Dia adalah seorang pemuda berparas tampan. Namun bibirnya diberi warna polesan merah. Pipi kanan kirinya juga disaput dengan pewarna merah muda. Rambutnya digeraikan ke samping pundak kanan kirinya. Tangan kanannya memegang sebuah kipas. Pemuda ini mengenakan kain kebaya!

"Hantu Pesolek!" gumam sang Baginda mengenali siapa adanya pemuda berkebaya. Sebagai bekas orang dunia persilatan dan pemimpin sebuah perguruan silat, tidak mengherankan kalau Baginda Ku Nang mengenali beberapa tokoh rimba persilatan. Hanya saja kali ini dia sempat tidak percaya dengan pandangan matanya. Dia pentang matanya besar-besar memperhatikan sekali pada sosok pemuda berkebaya yang bukan lain memang seorang tokoh rimba persilatan yang pada beberapa puluh tahun silam pernah dikenal orang dengan gelaran Hantu Pesolek.

"Mungkinkah dia Hantu Pesolek?! Ataukah ada orang yang mengenakan ciri seperti Hantu Pesolek?! Saat bertemu pada beberapa tahun silam, dia masih muda. Namun mungkinkah berlalunya waktu tidak membuat wajahnya berubah?! Lagi pula selama ini kudengar Hantu Pesolek telah tewas!"

"Yang Mulia! Selamat bertemu lagi!" Hantu Pesolek angkat suara dengan masih mainkan kipasnya. Bibirnya yang merah tersenyum.

"Hem.... Suaranya bisa berubah-ubah! Berarti ini satu bukti kalau dia adalah Hantu Pesolek!" Kata Baginda Ku Nang dalam hati. Namun mungkin karena masih terkesima, sang Baginda tidak segera sambuti ucapan Hantu Pesolek.

Hantu Pesolek melangkah maju, lalu angkat suara lagi. "Lama tidak berjumpa kadangkala membuat mata jadi ragu-ragu, Yang Mulia!"

"Hem.... Sungguh aku tidak menduga kalau kau juga hadir di tempat ini, sahabat Hantu Pesolek! Namun sayang, tampaknya kita tidak sependapat!"

Mendengar sang Baginda menyebut nama orang, selain Dewa Cadas Pangeran dan Bidadari Bulan Emas serta Hantu Bulan Emas, tampak melengak kaget! Paras mereka berubah tegang.

"Hem.... Jadi benar keterangan orang tua yang wajahnya tertutup batu putih itu!" gumam Bidadari Bulan Emas. Hantu Bulan Emas yang berada di samping Bidadari Bulan Emas berpaling. "Kau telah mengenalnya?!"

"Dewa Cadas Pangeran yang memberi ku keterangan!" Lalu dengan berbisik, Bidadari Bulan Emas menceritakan pertemuannya dengan Pendekar 131, Guru Besar Liang San, Hantu Pesolek, dan Dewa Cadas Pangeran.

"Hem.... Jadi kau yakin, pemuda itu masih memegang peta wasiat?!"

"Aku memang tidak melihatnya. Namun dari gelagatnya, aku hampir merasa yakin jika pemuda itu masih memegangnya!" (Tentang pertemuan Bidadari Bulan Emas, Guru Besar Liang San, Pendekar 131 Joko Sableng, serta Hantu Pesolek, dan Dewa Cadas Pangeran, silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Dewa Cadas Pangeran)

Di seberang sana, begitu mendengar ucapan sang Baginda, Hantu Pesolek tampak sunggingkan senyum. "Aku memang tidak setuju dengan pendapatmu, Yang Mulia! Bertahun-tahun aku sengaja tidak turun ke gelanggang dunia persilatan hanya karena menunggu malam ini! Jadi kalau kau akan memusnahkan peta wasiat itu, akan jadi sia-sia penantianku selama ini! Lagi pula, aku tidak percaya kalau peta wasiat itu akan dimusnahkan! Kalaupun dimusnahkan, pasti hanya duplikatnya! Sementara yang asli akan tetap abadi disimpan!"

Tampang sang Baginda berubah merah mengelam. Pelipisnya bergerak-gerak. Namun orang ini masih coba menahan diri. "Hantu Pesolek! Peta wasiat itu akan kumusnahkan di hadapanmu! Malam ini juga! Agar tidak ada keraguan lagi!" seru sang Baginda.

"Hem.... Begitu?! Lalu siapa gerangan yang sekarang membawa peta wasiat itu?!"

Baginda Ku Nang berpaling pada Guru Besar Liang San. Guru Besar Liang San balas menatap. Lalu berkata, sebelum sang Baginda buka mulut.

"Aku tidak membawa peta wasiat itu!"

"Aku tidak percaya!" Hantu Bulan Emas menyahut.

"Aku tidak menyuruhmu percaya!" Guru Besar Liang San menghardik. "Tapi yang jelas Hantu Pesolek telah merebutnya dari pemuda asing itu!"

Kini semua mata mengarah pada Hantu Pesolek. Namun pemuda berkebaya ini tampak tenang-tenang saja. Dia tetap mainkan tangan kanannya pulang balik di depan dada berkipas-kipas. Saat berikutnya dia buka mulut. "Aku memang sempat bertemu dengan pemuda asing itu! Tapi menurut dia, peta itu sudah diserahkan pada Guru Besar Liang San!"

"Hantu Pesolek! Kau jangan mengada-ada berkata dusta!" bentak Guru Besar Liang San.

"Apa pun ucapanmu, yang pasti itulah keterangan yang kuperoleh dari pemuda asing itu!" ujar Hantu Pesolek masih dengan sunggingkan senyum.

"Guru Besar Liang San.... Dua sahabat di sini sudah kau dengar ucapannya! Mengapa kau masih juga tidak mau berterus terang dan menyerahkan peta itu padaku?!" Berkata Baginda Ku Nang seraya melangkah mendekati Guru Besar Liang San.

"Harap tidak teruskan langkah!" teriak Guru Besar Liang San, membuat sang Baginda hentikan tindakan. Namun bersamaan itu tangan kanannya bergerak menguntir ke depan membuat gerakan orang meminta seraya berkata.

"Aku telah turuti kemauanmu, Guru Besar! Sekarang harap kau turuti apa yang kuinginkan! Serahkan peta wasiat itu padaku!"

"Aku tidak membawanya!"

"Hem.... Lalu kau simpan di mana?!"

"Aku tidak menyimpannya! Karena aku tidak mempunyai peta wasiat itu! Ucapan dan keterangan jahanam-jahanam itu dusta!" teriak Guru Besar Liang San tak dapat lagi kuasai gemuruh kemarahan. Tangan kirinya diangkat diluruskan silih berganti pada Hantu Bulan Emas dan Hantu Pesolek.

"'Guru Besar! Aku telah bersikap sebaik mungkin padamu! Tapi kalau kau masih juga tak mau mengerti, aku bisa bersikap tak baik!"

Mungkin karena tak bisa lagi kuasai diri, akhirnya Guru Besar Liang San dongakkan kepala seraya berkata lantang. "Yang Mulia! Harap tidak memaksa dan mengancam! Atau aku akan membuka apa yang terjadi sebenarnya!""

Selain Dewa Cadas Pangeran, semua orang di tempat itu sama terkejut. Kini beberapa pasang mata beralih menatap ke arah Baginda Ku Nang. Anehnya, sang Baginda tampak tenang-tenang saja, bahkan sunggingkan senyum kala dia berkata.

"Aku berdiri di sini bukan sebagai penguasa kerajaan! Jadi jangan sungkan-sungkan untuk mengatakan sesuatu. Guru Besar Liang San!"

Mendengar ucapan sang Baginda yang terdengar tanpa beban, membuat Guru Besar Liang San bertanya-tanya dalam hati. Dan justru ucapan sah Baginda membuat Guru Besar Liang San jadi serba salah. Kalau dia berterus terang mengatakan jika selama ini pihak kerajaan sudah banyak terlibat dalam urusan rimba persilatan, dia khawatir sang Baginda akan membalik lidah dan bahkan akan membongkar pesekongkolannya hingga membuat tewasnya Guru Besar Pu Yi dan Maha Guru Besar Su Beng Siok. Kebimbangan Guru Besar Liang San tak disia-siakan begitu saja oleh sang Baginda. Dia sapukan pandangannya sesaat sebelum akhirnya berkata.

"Guru Besar! Kau masih merasa sungkan untuk mengatakan?! Atau aku yang harus mengatakannya?!"

Dada Guru Besar Liang San berdebar. Tampangnya tegang. Sesaat itulah tiba-tiba terdengar suara orang.

"Jangan sekarang! Kita tunggu saja nanti! Bukankah kedatanganmu ke sini hanya ingin tahu?!" Suara ini merdu dan jelas diperdengarkan seorang gadis.

"Tapi aku harus bicara dengan mereka!" satu suara menyahut.

"Hai! Apakah kau lupa! Kau ke sini bukan untuk bicara dengan mereka, tapi untuk menghadap dan bicara dengan guruku!"

Semua kepala di tempat itu sesaat berpaling ke arah suara yang baru saja terdengar. Suara itu jelas bersumber dari samping bukit sebelah kanan. Namun yang paling tampak terkesiap adalah Ratu Selendang Asmara. Diam-diam nenek ini membatin.

"Telingaku sepertinya pernah mendengar suara perempuan itu?! Ah, tapi tidak mungkin. Apalagi dia bersama seorang laki-laki!"

"Aku memang ingin menghadap gurumu. Tapi aku juga perlu dengan mereka!" terdengar lagi suara. "Kau tunggulah di sini!"

"Hai! Tunggu!" terdengar suara perempuan menahan. Namun nyatanya seruan itu tidak dipedulikan orang, karena mendadak dari lamping bukit sebelah kanan, satu sosok tubuh melesat dan tegak di puncak bukit tidak jauh dari tempat tegaknya Hantu Pesolek! Baru saja si sosok itu tegak, satu sosok bayangan berkelebat. Kedua tangannya langsung bergerak menyeret sosok yang baru muncul. Namun orang yang diseret segera tepiskan kedua tangan yang memegang lengannya. Orang yang diseret adalah seorang pemuda berparas tampan berpakaian warna putih-putih. Rambutnya panjang sedikit acak-acakan.

Sementara orang yang menyeret adalah seorang gadis muda berwajah cantik jelita berambut panjang yang digeraikan hingga punggung. Sepasang matanya bulat. Kulitnya putih. Dia mengenakan pakaian kuning. Pada bagian dadanya dibuat agak rendah dan diberi renda-renda seakan ingin menunjukkan lembahan yang kencang dan mulus. Pinggulnya besar ditingkah pakaian bawah yang sengaja diberi belahan pada kedua sisinya. Hingga saat gadis itu tegak, terlihat jelas pahanya yang kencang dan padat. Pada pinggangnya terlihat sebuah ikat pinggang dari kain berwarna kuning. Dan tepat di sisi kirinya menyelinap sebuah pedang pendek bergagang batu berwarna kuning pula.

Semua orang di tempat itu, selain Dewa Cadas Pangeran, tampak terkesiap. Namun yang paling tampak terkejut adalah Ratu Selendang Asmara. Sepasang mata nenek ini langsung mendelik angker. Bahkan mungkin karena sudah tak sabar, si nenek melompat dan tegak tidak jauh dari si gadis berpakaian kuning. Bukan hanya sampai di situ, begitu tegak, dia langsung berteriak setengah menjerit.

"Bang Sun Giok! Apa yang telah kau lakukan, hah?!"

Si gadis lepaskan cekalan kedua tangannya pada lengan si pemuda. Lalu berpaling pada si nenek. Dengan tundukkan kepala, dia berkata. "Guru...."

"Perbuatan gila apa yang telah kau lakukan, hah?! Kau tahu siapa pemuda itu?!"

Si gadis berbaju kuning yang dipanggil dengan Bang Sun Giok, atau yang lebih dikenal dengan Dewi Bunga Asmara tidak segera menjawab. Dia memandang sesaat pada Ratu Selendang Asmara yang bukan lain adalah gurunya. Lalu melirik pada si pemuda di sampingnya yang tidak lain adalah murid Pendeta Sinting, Pendekar 131 Joko Sableng.

Sementara di seberang sana, begitu muncul Pendekar 131 dan Dewi Bunga Asmara, perempuan bercadar hitam yang tegak tidak jauh dari Dewa Cadas Pangeran perdengarkan gumaman tak jelas. Namun sepasang matanya tampak membelalak.

"Hem.... Sikapmu berubah! Ada apa, Gadis Cantik?! Dari tadi, meski terlihat ketegangan di depan sana, kau tampak tenang-tenang saja. Namun sekarang kau kelihatan terkejut. Padahal tidak ada ketegangan...."

Perempuan bercadar hitam melengak. Dia berpaling pada Dewa Cadas Pangeran yang duduk bersandar pada batangan pohon tidak jauh dari tempatnya. "Aneh.... Apakah dia bicara denganku?! Ataukah dia bicara sendiri?! Tapi mengapa dia menyebut-nyebut gadis cantik?!" Perempuan bercadar hitam coba menenangkan diri. Lalu arahkan pandangannya ke depan lagi. Namun baru saja kepalanya bergerak, Dewa Cadas Pangeran sudah bersuara lagi.

"Kau mengenal pemuda tampan itu?!"

Si perempuan bercadar hitam berpaling lagi. "Kau bicara denganku?!"

"Ah.... Apakah ada yang lebih terkejut di tempat ini dengan munculnya pemuda dan gadis itu selain nenek angker itu dan dirimu?"

"Aku tidak mengenalnya!" kata perempuan bercadar dengan suara agak ketus. Saat berikutnya dia berpaling memandang ke arah murid Pendeta Sinting di depan sana. Dan entah karena apa, si perempuan bercadar hanya sesaat arahkan pandang matanya ke depan. Dia melirik pada Dewa Cadas Pangeran, lalu mendongak dengan perdengarkan gumaman. Saat berikutnya dia beranjak melangkah menjauhi Dewa Cadas Pangeran.

Sementara itu di depan sana, karena Dewi Bunga Asmara tidak segera menjawab, kemarahan si nenek tidak dapat dibendung lagi. Dia segera melompat lalu tangan kanannya bergerak menyeret sosok Dewi Bunga Asmara menjauh dari sisi Pendekar 131. Pendekar 131 sendiri tampak tidak peduli dengan perbuatan Ratu Selendang Asmara. Dia tegak dengan mata tertuju pada Hantu Pesolek. Di lain pihak, melihat siapa adanya yang muncul, Panglima Muda Lie yang sudah mengenali sosok murid Pendeta Sinting segera maju mendekati sang Baginda dan berbisik.

"Yang Mulia.... Itulah pemuda asing yang selama ini kita buru!"

"Hem.... Aku sudah menduganya!" gumam sang Baginda lalu arahkan matanya pada sosok murid Pendeta Sinting. "Tapi ada yang aneh. Mengapa dia bersama murid Ratu Selendang Asmara?! Mungkinkah selama ini nenek itu sengaja menyembunyikan sesuatu...? Ataukah ini semua hanya satu kebetulan belaka?!"

Sang Baginda menduga-duga dalam hati. Baginda Ku Nang berdehem beberapa kali. Lalu buka mulut. Namun sebelum suaranya terdengar, satu sosok tubuh berkelebat dan tegak di puncak Bukit Toyongga.

SEMBILAN

KALI ini yang paling tersentak adalah Panglima Muda Lie. Malah laki-laki ini tampak ketakutan ketika Baginda Ku Nang berpaling padanya. Apalagi sang Baginda tidak coba angkat bicara. Namun jelas pancaran bola matanya membayangkan rasa curiga. Rupanya Panglima Muda Lie dapat membaca suasana. Dia cepat mendekati sang Baginda dan berkata.

"Yang Mulia.... Harap tidak menduga terlalu jauh. Aku baru tahu sekarang kalau dia ikut campur dalam urusan ini!"

""Hem.... Jika begitu, kau tahu apa yang harus kau lakukan sekarang!"

Baru saja sang Baginda selesai berucap, Panglima Muda Lie sudah berkelebat ke arah sosok yang baru muncul. Dia adalah seorang gadis berparas jelita mengenakan pakaian warna merah muda. Rambutnya panjang digerai dan diberi hiasan pita.

"Mei Hua! Mengapa kau berlaku bodoh ikut muncul di tempat ini, hah?!" Panglima Muda Lie langsung perdengarkan bentakan pada gadis berpakaian merah muda yang ternyata bukan lain adalah Mei Hua, anaknya sendiri.

"Ayah.... Aku datang ke tempat ini untuk membantumu!" ujar Mei Hua dengan arahkan pandang matanya silih berganti pada murid Pendeta Sinting dan Dewi Bunga Asmara meski Dewi Bunga Asmara kini tegak di samping gurunya, Ratu Selendang Asmara.

"Jangan berlaku bodoh! Aku tak perlu bantuanmu! Cepatlah pergi dari sini!"

Mei Hua geleng kepala. "Aku tahu siapa yang membawa peta wasiat itu!"

Mendengar ucapan Mei Hua, Baginda Ku Nang sedikit terkejut namun senang. Saat lain dia ikut berkelebat mendekati Panglima Muda Lie dan berkata pelan. "Tampaknya putrimu ingin ikut berjasa dalam urusan ini! Biarkan dia berada di sini. Mungkin keterangannya bisa membantu!"

Habis berkata begitu, Baginda Ku Nang sapukan pandang matanya pada semua orang yang ada di puncak bukit. Lalu terdengarlah suaranya. "Sahabat sekalian! Aku ulangi perkataanku. Untuk mencegah agar tidak terjadi pertumpahan darah, aku harap siapa pun yang memegang peta wasiat itu menyerahkannya padaku! Bukan untuk kumiliki, tapi untuk kumusnahkan! Dengan begitu urusan peta wasiat akan selesai! Dengan begitu pula, tidak ada lagi permusuhan antara tokoh seperti yang selama ini terjadi!"

Suasana hening seketika. Tidak ada yang buka mulut sambuti ucapan sang Baginda atau membuat gerakan. Namun diam-diam Pendekar 131 arahkan pandang matanya pada Hantu Pesolek. Sementara di lain pihak, terjadi perang pandang antara Dewi Bunga Asmara dengan Mei Hua. Dan secara diam-diam pula, perempuan bercadar hitam terus arahkan pandangannya silih berganti pada Pendekar 131, Mei Hua, dan Dewi Bunga Asmara.

Mungkin karena tidak ada yang buka suara atau membuat gerakan, Baginda Ku Nang berpaling pada Guru Besar Liang San. Sang Baginda masih punya dugaan jika Guru Besar Liang San sudah mendapatkan peta wasiat yang separonya lagi. Namun sebelum sang Baginda sempat buka mulut lagi, Guru Besar Liang San sudah mendahului.

"Yang Mulia! Aku tidak memegang peta wasiat itu! Dia yang mendapatkannya!" Tangan kanan Guru Besar Liang San menunjuk pada Hantu Pesolek.

"Hem... Jadi Mei Hua itu adalah anaknya Panglima itu! Ah... Tidak kuduga sama sekali! Dan yang tegak di sampingnya adalah Baginda penguasa negeri ini! Hem..." Pendekar 131 membatin setelah sesaat tadi sempat terkejut mendapati siapa adanya Mei Hua. "Dan Guru Besar Liang San rupanya sudah tahu siapa adanya orang yang memegang separo peta wasiat itu..."

Sementara itu, mendengar kata-kata Guru Besar Liang San, Hantu Pesolek tersenyum. Dia sudah hendak angkat suara. Namun tiba-tiba seseorang mendahului.

"Bukan dia! Tapi gadis itu yang memegang peta wasiat!" Yang berteriak ternyata adalah Mei Hua. Tangan kanannya ditunjukkan lurus ke arah Dewi Bunga Asmara!

Dewi Bunga Asmara tertegun. Dia seolah masih tidak percaya dengan ucapan dan tudingan Mei Hua. Hingga untuk beberapa saat, murid Ratu Selendang Asmara ini terdiam gagu.

"Bang Sun Giok! Apakah benar ucapan gadis itu?!" Ratu Selendang Asmara menegur tanpa berpaling pada Dewi Bunga Asmara.

"Aku tidak memegang peta wasiat itu. Guru!"

"Tapi mengapa gadis itu berkata begitu, hah?! Kau jangan berkata dusta padaku! Dan kau nanti juga harus jelaskan padaku. Bagaimana kau sampai berduadua dengan pemuda sinting itu!"

Dewi Bunga Asmara sudah hendak menjawab. Namun Ratu Selendang Asmara sudah buka mulut lagi. "Keberadaanmu bersama pemuda itu, membuat aku hampir percaya dengan ucapan Anak Panglima itu! Bukankah separo dari peta wasiat memang berada di tangan pemuda asing itu?! Bang Sun Giok! Bicaralah terus terang!"

"Guru.... Kabar yang tersiar selama ini dusta adanya. Pemuda itu tidak memegang peta wasiat! Dan kedatangannya bersamaku ke tempat ini semata-mata hendak menemuimu! Tidak ada sangkut pautnya dengan urusan peta wasiat!"

Ratu Selendang Asmara berpaling dengan mata mendelik angker. "Kalian datang ke tempat ini hanya untuk menemuiku?! Gila! Untuk apa kau menemuiku?! Bukankah aku sudah berpesan padamu untuk menungguku sampai aku pulang?!"

"Pada mulanya aku memang berniat menunggumu. Tapi aku khawatir akan dirimu!"

"Aku tanya apa maksudmu hendak menemuiku bersama pemuda itu!" hardik si nenek dengan suara ditekan.

Dewi Bunga Asmara tidak segera menjawab. Sebaliknya melirik pada murid Pendeta Sinting dengan dada berdebar. Ratu Selendang Asmara tak sabar melihat muridnya tidak segera menjawab. Dia angkat suara lagi dengan mata makin melotot.

"Kau bercinta dengannya? Kau jatuh cinta padanya?! Dan kau hendak memperkenalkan kekasihmu itu padaku?!'

Jika saja pertanyaan si nenek diucapkan dengan nada biasa, tentu Dewi Bunga Asmara akan menjawab dengan bibir tersenyum dan berterus terang. Namun pertanyaan Ratu Selendang Asmara kali ini bernada ketus. Dan tampaknya Dewi Bunga Asmara sudah dapat menangkap gelagat tidak baik. Hingga untuk kedua kalinya gadis cantik ini tidak berani buka mulut menjawab.

"Bang Sun Giok! Pada mulanya, aku senang melihatmu muncul di tempat ini dengan pemuda itu! Kukira kau telah berhasil mendapatkan separo peta wasiat itu! Tapi nyatanya kau hanya mementingkan dirimu sendiri! Gilanya lagi, kau bercinta dengannya!"

"Guru.... Harap Guru ketahui, sebenarnya pemuda itu tidak memegang peta wasiat! Selain untuk menemuimu, kedatangannya ke sini untuk melihat bagaimana duduk persoalan peta wasiat itu!"

"Setan! Kau telah ditipu pemuda itu! Kau tak sadar jika kau diperalat!" bentak Ratu Selendang Asmara.

"Guru.... Kau nanti bisa membuktikan kebenaran ucapanku!"

"Jahanam! Matamu telah tertutup rasa cinta hingga kau tak bisa melihat dan membedakan mana yang benar dan mana yang salah! Mulutmu telah disumpal rasa cinta. Hingga apa pun ucapan orang, kau akan tetap membelanya!"

Mungkin karena tak bisa lagi menahan perasaan, si nenek berkata dengan suara keras melengking, hingga semua orang di tempat itu mendengarnya. Dan demi mendengar ucapan Ratu Selendang Asmara, Mei Hua yang sudah dirasuki rasa cemburu setelah melihat Dewi Bunga Asmara dan Pendekar 131 bermesraan, segera angkat suara menyambuti.

"Nek! Kau juga harus memberi peringatan sama muridmu! Bercinta memang tidak dilarang...." Mei Hua sengaja hentikan ucapannya sesaat agar si nenek berpaling padanya. Dan begitu Ratu Selendang Asmara benar-benar menoleh, Mei Hua lanjutkan ucapannya. "Bercinta memang tidak dilarang. Tapi setidaknya harus tahu tempat dan keadaan!"

"Apa maksudmu?!" tanya si nenek dengan bentakan keras karena masih dongkol dengan apa yang terjadi.

"Aku tak akan memberi penjelasan! Tapi pasti kau akan bisa mengartikan sendiri pertanyaanku. Apakah pantas seorang gadis dan pemuda bermesraan peluk cium di tempat terbuka?! Malah mereka seolah tidak pedulikan jika saat itu ada seorang sahabatnya yang melihat!"

Ratu Selendang Asmara tegak dengan tubuh bergetar. Dan laksana disentak tangan setan, kepalanya berpaling ke arah Dewi Bunga Asmara. Tangan kanannya terangkat. "Sebelum tanganku benar-benar menggebukmu, katakan padaku jika ucapan gadis itu tidak benar!"

"Busyet! Mengapa urusannya jadi berubah begini rupa?!" Diam-diam Joko membatin dengan melirik pada tangan kanan Ratu Selendang Asmara.

Sementara Dewi Bunga Asmara tampak merah padam. Sepasang matanya melotot. Bukan pada gurunya, melainkan pada Mei Hua. Kalau saja dia tak sadar tengah berada di mana, pasti dia sudah melesat dan membuat perhitungan dengan Mei Hua.

"Bang Sun Giok! Kau dengar ucapanku! Katakan bahwa apa yang dikatakan gadis itu tidak benar!" Si nenek kembali berteriak lantang. Tangan kanannya sudah mulai bergerak ke depan.

"Nek...! Harap tidak jatuhkan tangan dahulu! Sebagai orang tua, seharusnya kita maklum apa yang telah terjadi! Sebagai orang muda yang tengah jatuh cinta, kadang-kadang mereka lupa akan segalanya! Dan seharusnya kau bersyukur kalau mereka bermesraan di tempat terbuka! Dengan begitu, mereka pasti tak akan berbuat lebih jauh! Lain bila mereka bermesraan di tempat sepi dan tertutup, kemungkinan melakukan hal yang lebih jauh akan lebih besar!"

Ucapan orang belum selesai, satu sosok tubuh berkelebat. Lalu semua orang di tempat itu melihat seorang laki-laki berusia lanjut tegak tidak jauh dari tempat Dewa Cadas Pangeran yang dari tadi tetap duduk dengan bersandar pada batangan pohon. Orang tua ini berparas lonjong. Rambutnya putih, jarang serta jabrik. Sepasang matanya jereng besar. Pada mulutnya yang mungil terlihat dua pipa yang terus kepulkan asap. Orang ini mengenakan celana pendek warna putih kusam. Pakaian atasnya berupa rompi tanpa lengan. Di pundaknya menyelempang ikat pinggang besar yang dihias beberapa pipa. Hebatnya, kala si kakek isap pipa di mulutnya dan kepulkan asap, beberapa pipa yang menghiasi ikat pinggang di pundaknya ikut kepulkan asap pula! Hingga orang hanya bisa samarsamar melihat paras wajah si kakek.

"Ah, sahabatku Dewa Asap Kayangan.... Mengapa kau ikut-ikutan acara anak muda?!" Dewa Cadas Pangeran buka suara dengan dongakkan kepala. Batu putih di ujung tambang yang selalu menutupi wajahnya bergerak terangkat hingga semua orang di tempat itu bisa jelas melihat tampang Dewa Cadas Pangeran.

"Hem.... Begitu?! Sebenarnya aku tak hendak ikut acara itu. Tapi mereka perlu tahu satu hal. Bahwa meski saat itu aku berada di tempat mana mereka berdua bermesraan, namun sungguh aku tidak melihat mereka! Sebagai orang tua yang pernah mengalami masa muda, aku bisa memaklumi.... Dan ini kuharap jika bahan pertimbangan nenek itu sebelum jatuhkan tangan...."

"Dewa Asap Kayangan! Tampaknya dia berteman dengan pemuda itu!" gumam Ratu Selendang Asmara. Dan entah karena apa, perlahan-lahan nenek ini turunkan tangan kanannya.

"Guru.... Maafkan aku...," bisik Dewi Bunga Asmara.

"Tak perlu kata-kata itu kau ucapkan! Kalau kau sudah berani bermesraan di tempat terbuka, berarti kau sudah sering bermesraan di tempat sepi! Setelah urusan di tempat ini selesai, aku ingin keterangan dari mulutmu tentang tindakan gila apa yang telah kau lakukan dengan pemuda itu!"

"Guru.... Aku tidak pernah...."

"Diam! Aku tidak ingin bertanya jawab di sini! Yang harus kau jawab sekarang, apakah memang kau tidak memegang peta wasiat itu?!"

Dewi Bunga Asmara geleng kepala. "Aku tidak memegangnya, Guru...."

"Hem.... Pemuda asing itu?!" tanya Ratu Selendang Asmara.

Dewi Bunga Asmara melirik dulu pada Pendekar 131 sebelum berbisik pelan. "Menurut keterangannya, dia juga tidak memegang peta wasiat itu!"

"Dia yang memegangnya!" Mendadak satu teriakan terdengar. Yang berteriak bukan lain ternyata murid Pendeta Sinting seraya menunjuk pada Hantu Pesolek. Dan hampir bersamaan, laksana terbang, Pendekar 131 melesat ke arah Hantu Pesolek. Tangan kanannya membuat gerakan meminta dan berkata.

"Serahkan kembali peta wasiat itu!"

Hantu Pesolek tersenyum dan tetap berkipas-kipas. Saat lain dia tengadah dan berkata. "Harap kalian semua dengar! Aku sengaja muncul di sini dengan satu niat!"

"Jangan mimpi kalau ingin mendapatkan seluruh peta wasiat itu!" Bayangan Tanpa Wajah yang sejak tadi diam, angkat suara.

"Aku belum selesai berkata! Jangan ada yang memotong!" ujar Hantu Pesolek dengan melirik dingin pada Bayangan Tanpa Wajah. Kejap lain dia teruskan ucapan. "Aku tahu, peta wasiat itu tidak ada gunanya jika hanya separo. Dan terus terang saja. Separo dari peta wasiat sekarang ada di tanganku!"

"Hantu Pesolek! Jangan bicara bertele-tele! Katakan apa maksudmu sebenarnya! Dan tunjukkan kalau kau memang benar-benar memegang separo peta wasiat itu!" Ratu Selendang Asmara yang buka mulut.

"Aku bukan orang rakus yang ingin memiliki peta wasiat! Aku hanya ingin menyerahkan separo peta wasiat yang ada di tanganku pada orang yang memiliki separonya! Dengan begitu, urusan peta wasiat akan selesai! Dan bagi siapa yang tidak memiliki dan berarti tidak akan memperoleh peta wasiat itu, kuharap maklum dan sadar! Itu satu tanda jika tidak ada jodoh dengan peta wasiat itu!"

"Aku ingin bukti dahulu jika kau benar-benar memegang separo peta wasiat itu!' Yang buka suara adalah Panglima Muda Lie.

Hantu Pesolek lepas pandangan pada semua orang yang ada di tempat itu. Lalu tangan kanannya bergerak menyelinap ke balik pakaiannya. Semua orang, terutama Joko, pandangi gerakan tangan kiri Hantu Pesolek dengan mata tak berkesip. Dada mereka berdebar.

Sementara Dewi Bunga Asmara hanya memandang sesaat pada gerakan tangan kiri Hantu Pesolek. Saat lain dia melirik pada Ratu Selendang Asmara. Begitu dilihatnya si Guru tengah seksama memperhatikan pada Hantu Pesolek, Dewi Bunga Asmara segera arahkan pandang matanya pada Mei Hua!

Di lain pihak, seperti halnya Dewi Bunga Asmara, ternyata Mei Hua tidak begitu tertarik dengan gerakan Hantu Pesolek meski dugaannya selama ini keliru. Karena dia menduga separo peta wasiat itu berada di tangan Dewi Bunga Asmara. Mei Hua berpaling sesaat pada ayahnya, Panglima Muda Lie, lalu pada Pendekar 131. Saat berikutnya dia arahkan pandang matanya pada Dewi Bunga Asmara!

Hingga ketika semua orang arahkan pandangan pada Hantu Pesolek, Mei Hua dan Dewi Bunga Asmara sama saling lempar pandang dengan tampang beringas! Dan ternyata, perang pandang antara Mei Hua dan Dewi Bunga Asmara tak luput dari pandangan perempuan bercadar hitam. Perempuan ini, seperti halnya Mei Hua dan Dewi Bunga Asmara, hanya memandang sekilas pada Hantu Pesolek seolah tidak tertarik. Selebihnya dia terus memandang ke arah Pendekar 131. Lalu beralih pada Mei Hua dan Dewi Bunga Asmara!

SEPULUH

“Tuduhan Mei Hua mungkin hanya karena dia cemburu! Tapi bagaimana mungkin secepat itu Dewi Bunga Asmara dapat terlibat hubungan asmara dengan pemuda asing itu?! Hem.... Jangan-jangan pemuda itu hanya suka mempermainkan perempuan! Jika begini, apakah tidak lebih baik aku pergi saja dari tempat ini?! Bukankah sudah tidak ada lagi harapanku?! Tapi bagaimana bila terjadi sesuatu dengan ayah?! Yang ada di tempat ini bukan tokoh sembarangan meski aku hanya mendengar ceritanya!"

Mata perempuan bercadar hitam terus bergerak. Kini beralih menatap Bidadari Bulan Emas yang tegak tidak jauh dari gurunya, si Hantu Bulan Emas. "Hem... Aku tahu sekarang siapa sebenarnya yang dicari perempuan cantik ternyata adalah Bidadari Bulan Emas itu! Dari sikap dan caranya, pasti yang dicarinya juga adalah pemuda asing itu! Ah.... Aku tak mengerti mengapa banyak perempuan yang tertarik pada pemuda itu!"

Seperti diketahui, perempuan bercadar hitam sempat bertemu dengan Bidadari Bulan Emas. Mereka sempat bertanya jawab. Namun Bidadari Bulan Emas tidak mau berterus terang. Dia hanya mengatakan hendak ke Bukit Toyongga untuk mencari seseorang.

"Sahabat Dewa Asap Kayangan! Kurasa sahabat cantik kita yang wajahnya tertutup cadar hitam itu tengah melamun! Aku heran. Di tempat yang penuh ketegangan begini rupa, masih sempat-sempatnya dia luangkan waktu untuk melamun…!"

Dewa Cadas Pangeran angkat suara perlahan, namun masih jelas terdengar oleh telinga perempuan bercadar hitam. Namun entah karena ingin tahu sambutan orang yang diajak bicara, perempuan bercadar hitam tidak berpaling dan pura-pura tidak mendengar.

"Ah... Sahabat Dewa Cadas Pangeran. Itulah satu bukti kalau kedatangannya di tempat ini bukan tertarik dengan peta wasiat! Tapi ada sesuatu yang lebih menarik buatnya! Dan kalau kau katakan dia sahabat cantik, aku sudah bisa menduga apa yang menarik perhatiannya!" Dewa Asap Kayangan menyahut.

Dada perempuan bercadar hitam berdebar. Ingin rasanya dia berpaling. Namun dia coba untuk bertahan. Dia tetap tegak tanpa membuat gerakan, sementara matanya terus tertuju silih berganti pada Dewi Bunga Asmara dan Mei Hua yang terus perang pandang. Namun diam-diam perempuan ini membatin.

"Bagaimana mereka bisa tahu apa yang kulakukan?! Ah... Daripada aku nanti mendapat malu, lebih baik aku pergi dahulu!"

Meski berpikir begitu, nyatanya si perempuan bercadar tidak juga membuat gerakan untuk berkelebat pergi. Dia pasang telinga baik-baik ingin mendengarkan pembicaraan kedua orang yang tidak jauh dari tempat tegaknya itu.

"Aku ingin tahu, apa dugaanmu sama dengan dugaanku! Coba katakan, apa yang menarik perhatian sahabat cantik kita itu?!" Dewa Cadas Pangeran kembali buka suara.

Dada perempuan bercadar hitam makin berdebar. Namun dia lebih tajamkan pendengaran. Dan lebih menahan diri karena dia seolah tak sabar ingin berpaling dan buka mulut menegur. Apalagi ternyata Dewa Asap Kayangan tidak segera menjawab pertanyaan Dewa Cadas Pangeran. Hampir saja perempuan bercadar hitam berpaling karena tak sabar menunggu jawaban Dewa Asap Kayangan. Namun sebelum kepala perempuan benar-benar bergerak, terdengar suara jawaban dari Dewa Asap Kayangan.

"Sahabatku.... Kau tadi menyebut sahabat kita seorang sahabat cantik. Aku memang belum melihat kebenarannya. Tapi kalau memang betul, aku menduga satu hal.... Di sini memang banyak makhluk laki-laki. Tapi meski aku juga laki-laki, tapi aku bisa menilai jika yang paling menarik hanyalah satu orang! Sebenarnya memang ada satu lagi yang menarik. Tapi kurasa dia terlalu berlebihan! Dia seolah tidak sadar kalau dirinya makhluk laki-laki, hingga berdandan slebor mirip seorang gadis imut-imut! Dia juga tidak mau maklum, karena siapa pun pasti tahu, meski dia tampak muda belia, tapi umurnya hampir sejajar dengan kita...." Dewa Asap Kayangan hentikan ucapannya sejenak.

"Hem... Yang dimaksud pasti pemuda berkebaya yang bergelar Hantu Pesolek itu! Dan..." Perempuan bercadar hitam tidak teruskan membatin, karena Dewa Asap Kayangan sudah terdengar bersuara lagi.

"Kalau sahabat di samping kita itu cantik dan seakan tidak tertarik dengan apa yang ada di sana, apalagi urusan yang tengah dilamunkannya kalau bukan urusan laki-laki yang paling menarik itu?!"

"Ah... Ternyata dugaan kita sama!" ujar Dewa Cadas Pangeran menyahut. "Tapi aku merasakan ada satu ganjalan!"

"Aku sendiri merasakan ganjalan itu! Tapi bagaimana lagi?! Sebagai orang baru di negeri ini, pasti dia banyak peminatnya! Sialnya, laki-laki itu seakan tidak peduli. Dia mau menerima siapa saja! Aku hampir yakin, semua gadis di depan itu pernah disinggahi hatinya! Jadi wajar saja kalau beberapa gadis sempat merasa cemburu!"

"Hem... Apa menurutmu sahabat cantik itu juga tengah dilanda perasaan cemburu?!" tanya Dewa Cadas Pangeran.

"Aku tak bisa menebak dengan pasti! Hanya saja, sebagai orang yang sudah banyak makan dunia, aku menduga dia juga...."

Belum sampai Dewa Asap Kayangan lanjutkan ucapan, perempuan bercadar hitam telah berpaling dan berkata dengan nada ketus. "Hai, Orang-orang Tua! Jangan bicara ngelantur! Siapa cemburu dengan pemuda itu?!"

Dewa Asap Kayangan berpaling pada Dewa Cadas Pangeran. Namun belum ada yang sempat buka suara, di depan sana terdengar suara bentakan keras membahana, membuat perempuan bercadar hitam alihkan pandangannya karena dia merasa kesal betul dengan suara yang membentak.

"Hantu Pesolek! Harap tidak membuang-buang waktu percuma! Buktikan kalau separo peta wasiat itu berada di tanganmu!"

Yang perdengarkan bentakan ternyata adalah Baginda Ku Nang, karena hingga ditunggu agak lama, tangan kiri Hantu Pesolek yang bergerak menyelinap ke balik pakaiannya tidak juga segera ditarik pulang. Padahal beberapa mata sudah memandang tak berkesip dan seolah tidak sabar.

"Sabar, Yang Mulia...," ujar Hantu Pesolek. Tangan kirinya yang menyelinap ke balik pakaiannya perlahan-lahan ditarik keluar. Saat itu juga semua orang di tempat itu melihat sebuah kantong berwarna putih.

"Hem.... Benar! Itulah kantong tempat separo peta wasiat disimpan!" kata Guru Besar Liang San dalam hati.

Di lain pihak, mata murid Pendeta Sinting makin mendelik saat tangan kiri Hantu Pesolek keluar dan menggenggam kantong putih yang telah dikenalnya. Dia sepertinya hendak terbang melompat dan merebut kembali kantong putih di tangan Hantu Pesolek. Namun saat itu juga Hantu Pesolek gerakkan tangan kirinya lagi menyelinap ke balik pakaiannya. Saat tangannya ditarik keluar, tangannya telah kosong.

"Kembalikan benda milikku itu!" Pendekar 131 berteriak.

Hantu Pesolek tertawa panjang. Masih terus berkipas-kipas dia berkata. "Kau adalah orang asing di negeri ini! Sementara kantong tadi adalah barang peninggalan tokoh negeri ini! Adalah aneh kalau kau mengatakan kantong itu adalah milikmu!"

"Tapi orang yang punya sudah memberikannya padaku!"

"Kau dengar peraturan negeri ini, Orang Asing! Di sini tidak peduli siapa pemiliknya! Yang jelas, barang siapa bisa mendapatkan, dialah yang berhak memiliki! Tapi aku bukanlah orang yang serakah. Aku akan memberikan kantong tadi yang berisi separo peta wasiat pada orang yang memiliki separonya lagi!"

Baginda Ku Nang berbisik pada sang Panglima. "Panglima! Kau yakin kantong putih tadi berisi separo peta wasiat yang selama ini kita kejar?!"

"Aku tak bisa memastikan! Tapi melihat sikap pemuda asing itu, jelas jika kantong putih tadi adalah berisi separo peta wasiat!"

Hantu Pesolek arahkan pandang matanya pada murid Pendeta Sinting. “Orang asing! Kau memiliki separonya lagi?! Jika kau memiliki, aku akan menyerahkan yang ada padaku pada dirimu!"

"Peduli setan aku memiliki atau tidak separonya lagi! Yang jelas kau harus mengembalikan kantong itu padaku!"

Habis berkata begitu, Pendekar 131 berkelebat. Dan tegak lima langkah di hadapan Hantu Pesolek. "Hantu Pesolek! Aku minta baik-baik padamu!"

"Aku telah memberi peraturan! Kalau kau memiliki yang separonya lagi, tanpa ancaman pun, aku akan suka rela memberikan apa yang kau minta!"

Habis berkata begitu, Hantu Pesolek membuat gerakan satu kali. Sosoknya berkelebat mundur menjauhi murid Pendeta Sinting. Lalu berkata. "Aku berkata sekali lagi. Kalau masih tidak ada yang mengaku memiliki separonya lagi, mungkin sampai di sini perjumpaan kita!"

Baginda Ku Nang dan Guru Besar Liang San tampak gelisah. Beberapa saat kedua orang ini saling pandang. "Bagaimana sekarang?! Apa sebaiknya aku berterus terang?! Dari gelagatnya, dia belum tahu jika isi kotak itu sudah kuambil! Tapi bagaimana nantinya kalau dia tahu?!" Diam-diam Guru Besar Liang San mem batin.

Di lain pihak, Baginda Ku Nang berkata dalam hati. “Apakah aku harus mengaku?! Tapi mungkinkah ucapan Hantu Pesolek bisa dipercaya?! Ah, sebaiknya aku menunggu apa yang akan dilakukan Guru Besar Liang San! Kalaupun dia tidak berbuat sesuatu, aku akan mencari jalan bagaimana mendapatkan peta wasiat yang ada di tangan Hantu Pesolek, karena sekarang aku sudah tahu siapa orang yang memegangnya!"

Seperti diketahui, secara diam-diam Guru Besar Liang San telah mengambil isi kotak kulit yang disimpannya bersama Baginda Ku Nang. Namun secara diam-diam pula, Baginda Ku Nang sebenarnya sudah mengganti isi kotak kulit yang disimpannya bersama Guru Besar Liang San. Karena tidak ada yang buka mulut menyambuti tawaran Hantu Pesolek, Hantu Pesolek balikkan tubuh. Namun diam-diam orang berkebaya ini juga didera perasaan gelisah dan heran.

"Aneh.... Apakah di antara mereka tidak ada yang memegang separonya lagi?! Guru Besar Liang San terlihat ragu-ragu, demikian pula Baginda Ku Nang. Ada apa ini? Ataukah waktu terjadi kerusuhan di Perguruan Shaolin, separo peta wasiat itu lenyap diambil orang luar?! Mungkinkah Guru Besar Wu Wen She?! Bukan-kah dia tidak ikut tewas dan sampai sekarang tidak ada kabar beritanya?! Hem.... Kalau memang di antara mereka tidak ada yang memegang separonya, berarti aku harus mencari Guru Besar Wu Wen She, sebab dia satu-satunya orang yang patut dicurigai membawa separo peta wasiat itu!" Membatin begitu, setelah melirik kanan kiri, terutama pada Pendekar 131, Hantu Pesolek berkelebat hendak meninggalkan tempat itu.

"Tunggu!" Terdengar dua suara menahan hampir bersamaan.

Hantu Pesolek urungkan niat berkelebat, lalu putar diri!

SEBELAS

SEMUA orang di tempat itu sama berpaling dengan dahi berkerut. Karena yang baru saja berteriak menahan kelebatan Hantu Pesolek adalah Guru Besar Liang San dan Baginda Ku Nang.

"Hem.... Sekarang jelas, jika peristiwa di shaolin melibatkan pihak kerajaan! Jika tidak, bagaimana mungkin mereka berdua bisa menahan berbarengan?!"

Murid Pendeta Sinting mulai dapat membaca keadaan. Apalagi selama ini yang memburunya bukan hanya beberapa tokoh dari rimba persilatan, namun sejak awal, dia telah diburu oleh pihak kerajaan. Di lain pihak. Guru Besar Liang San dan Baginda Ku Nang tampak gugup. Mereka berdua tidak menduga kalau teriakannya akan bersamaan. Namun sang Baginda lebih cerdik. Begitu Hantu Pesolek putar diri menghadap padanya, dia segera berkata.

"Aku hanya ingin tanya. Apakah ucapan dan janjimu bisa dipercaya?!"

Tanpa buka suara lagi, Hantu Pesolek keluarkan kantong putih dari balik pakaiannya. Lalu diacungkan ke depan seraya berkata. "Aku tak akan bicara banyak! Lagi pula waktuku terbatas! Siapa yang merasa memiliki, perlu menunjukkan saja. Setelah itu dia boleh mengambil kantong ini!"

"Aku perlu bukti dahulu akan isi kantong itu!" ujar Baginda Ku Nang.

"Hem.... Jadi Yang Mulia yang memiliki separonya lagi?!"

"Kau baru saja bilang waktumu terbatas! Jadi jangan banyak tanya. Buka saja kantong itu!"

"Heem.... Bagaimana ini?! Mengapa Baginda dan Guru Besar Liang San yang menahanku?! Mungkinkah separonya itu ada di tangan keduanya?! Tapi itu tak mungkin! Lalu?"

Belum sampai Hantu Pesolek mendapat jawaban dari pertanyaannya sendiri, Baginda Ku Nang sudah angkat suara lagi. "Setiap orang bisa memiliki kantong seperti yang ada di tanganmu, Hantu Pesolek! Tapi tidak semua orang bisa memiliki apa isi kantong itu, bila kantong itu benar-benar berisi peta wasiat!"

Ucapan dan sikap sang Baginda diam-diam membuat Guru Besar Liang San jadi bingung. Tapi sebelum dia tahu bagaimana sebenarnya maksud sang Baginda. Hantu Pesolek telah kibaskan tangan kanannya yang memegang kipas.

"Wuuttt!" Kipas di tangan kanan Hantu Pesolek menutup. Saat lain tangan kanannya bergerak membuka kantong. Dan dengan agak bergetar dan mata melirik pada Baginda Ku Nang dan Guru Besar Liang San, tangan kanan Hantu Pesolek bergerak masuk ke dalam kantong. Semua mata kembali tertuju pada gerakan tangan kanan Hantu Pesolek. Tidak ada yang buka suara atau membuat gerakan.

Hantu Pesolek tersenyum. Lalu tarik pulang tangan kanannya dari dalam kantong. Semua mata di tempat itu melihat selembar kain putih agak kusam. Kain itu lalu agak dipentangkan oleh tangan kanan kiri Hantu Pesolek. Anehnya, semua orang di tempat itu tidak melihat peta atau tulisan. Kain putih agak kusam itu kosong!

"Sebagai orang-orang yang memperebutkan kain putih ini, tentunya kalian semua tahu mengapa kain ini kosong! Aku tak perlu menjelaskan!" Habis berkata begitu, Hantu Pesolek lipat kembali kain putih kusam dan dimasukkan ke dalam kantong putih.

"Hem... Sepertinya asli!" kata Baginda Ku Nang dalam hati. Lalu melirik pada Guru Besar Liang San. "Sepertinya dia ingin melakukan sesuatu! Hem... Aku akan melihat dan menunggu!"

Hantu Pesolek menatap tajam pada sang Baginda. Namun kini sang Baginda malah alihkan pandang matanya ke jurusan lain! Dada Hantu Pesolek laksana dibakar. Namun dia tak mau bertindak bodoh. "Aku tak mau bertindak macam-macam sebelum kuketahui siapa sebenarnya yang memegang separo peta wasiat itu!" kata Hantu Pesolek dalam hati. Hingga meski dadanya mulai panas dengan sikap Baginda Ku Nang, namun dia tetap tersenyum ketika berkata.

"Tampaknya hari sudah larut. Aku harus segera pergi!" Hantu Pesolek kembali balikkan tubuh karena tidak ada yang mau mengaku memiliki apa yang ditawarkannya.

Guru Besar Liang San melirik pada Baginda Ku Nang lalu melihat gerakan Hantu Pesolek yang mulai melangkah. Dan ketika tahu Hantu Pesolek hendak berkelebat dan diliriknya sang Baginda tidak buka mulut. Akhirnya Guru Besar Liang San mengambil keputusan. Dia berteriak.

"Tahan!"

Karena khawatir kejadian seperti tadi terulang, tanpa balikkan tubuh, meski tahu siapa yang menahan, Hantu Pesolek angkat suara. "Guru Besar Liang San! Kau memiliki yang separonya itu?!"

"Benar! Aku memilikinya!"

Semua orang di tempat itu tidak terkejut dengan jawaban Guru Besar Liang San. Karena mereka semua tahu, sebagai guru besar di Perguruan Shaolin, sudah pasti separo peta wasiat di tangannya, meski selama ini tersiar kabar jika peta wasiat yang ada di Perguruan Shaolin ikut lenyap ketika terjadi peristiwa berdarah. Justru yang terlihat agak terkejut bukan lain adalah Baginda Ku Nang. Namun dia belum bisa berbuat sesuatu karena Guru Besar Liang San belum membuktikan ucapannya.

Hantu Pesolek tersenyum lebar mendengar keterangan Guru Besar Liang San. Kantong putih yang sesaat tadi hendak disimpan ke balik pakaiannya kembali ditarik keluar, lalu dia balikkan tubuh menghadap Guru Besar Liang San. "Kau mendapat rejeki besar. Guru Besar Liang San. Dan ternyata peta wasiat ini tidak akan keluar dari Perguruan Shaolin...."

Guru Besar Liang San memandang sekilas pada Baginda Ku Nang, lalu melangkah ke arah Hantu Pesolek. Namun baru saja mendapat dua tindak, Hantu Pesolek telah buka mulut.

"Yang Mulia Baginda Ku Nang tadi memintaku untuk membuktikan jika separo peta wasiat itu benar-benar ada di tanganku! Sebelum peta di tanganku kuserahkan padamu, harap kau mau tunjukkan dahulu kebenaran ucapanmu!"

Tampaknya Baginda Ku Nang tahu gelagat. Dia segera alihkan pandang matanya jauh ke depan sebelum Guru Besar Liang San memandang ke arahnya.

"Apa boleh buat!" gumam Guru Besar Liang San lalu selinapkan tangan kanannya ke balik jubah kuningnya. Saat tangannya ditarik keluar, semua orang di tempat itu melihat sebuah gelang agak besar dari baja berwarna putih.

"Yang Mulia... Dia benar-benar memilikinya!" Panglima Muda Lie berbisik pada Baginda Ku Nang.

Baginda Ku Nang berpaling ke arah Guru Besar Liang San. Sepasang matanya mendelik memperhatikan gelang baja di tangan Guru Besar Liang San. "Hem... Ternyata dia secara diam-diam telah mengambil gelang itu! Dia mengguntingku dari belakang! Hem... Dia tidak tahu jika aku tidak mudah dibodohi!" Baginda Ku Nang membatin lalu tertawa dalam hati.

Sementara semua orang di tempat itu laksana terkesima, hingga tidak ada yang buka suara atau membuat gerakan, Hingga keheningan itu akhirnya dipecah oleh suara Hantu Pesolek.

"Guru Besar Liang San. Gelang itu seperti halnya kantong putih ini! Semua orang bisa membuat dan memilikinya! Kurasa kau tahu maksudku, bukan?!"

Guru Besar Liang San melirik sekali lagi pada sang Baginda. Lalu dengan tegarkan hati, dia pegang gelang pada kedua sisi samping kanan kiri. Saat lain kedua tangannya bergerak membetot. Terdengar suara Takkk! Gelang dari baja itu laksana putus di antara kedua tangan Guru Besar Liang San. Lalu terlihat gulungan kain putih agak kusam. Perlahan-lahan Guru Besar Liang San menarik gulungan kain yang ada di dalam gelang.

Semua mata lagi-lagi terkesima dan terus memperhatikan ketika bagaimana Guru Besar Liang San menarik gulungan dari dalam gelang. Lalu angkat gulungan kain sedikit ke atas. Saat kemudian perlahanlahan Guru Besar Liang San membuka gulungan kain. Seperti halnya kain yang tadi ada dalam kantong putih di tangan Hantu Pesolek, kain yang berada di tangan Guru Besar Liang San juga tampak kosong!

"Hantu Pesolek! Kau telah membuktikan sendiri!" kata Guru Besar Liang San seraya menggulung kembali kain di tangannya lalu perlahan-lahan pula dimasukkan kembali ke dalam gelang. "Sekarang kuharap kau memenuhi janjimu!" Guru Besar Liang San lanjutkan ucapannya seraya menyimpan gelang ke balik jubah kuningnya.

"Baiklah, Guru Besar Liang San! Ambillah kantong ini!" kata Hantu Pesolek.

Guru Besar Liang San menatap sesaat pada Hantu Pesolek. Paras wajahnya jelas membayangkan kebimbangan. Namun begitu dilihatnya Hantu Pesolek tersenyum dan anggukkan kepala. Guru Besar Liang San bergerak melangkah. Namun belum sampai kakinya melangkah, tiba-tiba murid Pendeta Sinting mendahului maju dan berkata.

"Kantong itu milikku! Kau tak berhak menyerahkannya pada orang lain! Karena kau mengambilnya dariku!"

"Kau tidak memiliki syarat yang kuminta, Orang Asing! Kau harus sadar dan maklum!" kata Hantu Pesolek.

Mungkin karena tidak sabar, apalagi ingat kantong itu adalah barang wasiat yang telah diberikan padanya, Pendekar 131 segera melompat. Tangan kanannya bergerak menyambar kantong putih yang ada di tangan Hantu Pesolek.

Mendapati hal demikian. Guru Besar Liang San tidak tinggal diam. Hampir bersamaan dengan Joko, dia juga berkelebat menghadang gerakan Joko. Tangan kanannya bergerak lepas pukulan ke arah murid Pendeta Sinting. Joko urungkan niat menyambar. Sebaliknya dia segera kelebatkan tangan kanan menghadang pukulan Guru Besar Liang San.

"Bukkk!" Terdengar benturan keras. Sosok Joko dan Guru Besar Liang San sama terjajar satu langkah ke belakang. Paras keduanya sama berubah. Tapi tampaknya Guru Besar Liang San tak buang waktu. Begitu tegak kembali, ia cepat kerahkan tenaga dalam. Saat lain dia berkelebat ke arah Hantu Pesolek.

Namun bersamaan itu satu sosok tubuh melesat dan menghadang gerakan Guru Besar Liang San. Tanpa melihat siapa adanya sosok yang berkelebat menghadang. Guru Besar Liang San segera angkat kedua tangannya lalu dihantamkan pada sosok yang menghadang. Sosok yang menghadang tidak berdiam diri. Dia angkat pula kedua tangannya lalu dikelebatkan menghadang kedua tangan Guru Besar Liang San.

Bukkk! Bukkk!

Untuk kedua kalinya terdengar benturan keras. Sosok Guru Besar Liang San tersentak mundur di udara. Lalu melayang turun empat langkah. Paras wajahnya makin berubah. Namun dia segera pentang mata memandang ke depan. Dia sempat terkesiap begitu mendapati ketika adanya sosok yang baru saja menghadang.

“Yang mulia! harap tidak ikut campur urusan ini!" teriak Guru Besar Liang San dengan suara bergetar.

Sosok yang baru menghadang Guru Besar Liang San dan ternyata adalah Baginda Ku Nang, tersenyum dingin. "Aku tidak akan ikut campur kalau memang kau memiliki separo peta wasiat itu!"

"Kau telah melihatnya sendiri!"

Baginda Ku Nang geleng kepala. Lalu tangan kanannya bergerak menyelinap ke balik pakaiannya. Saat ditarik terlihat satu gelang dari baja yang bentuk maupun besarnya sama dengan gelang yang tadi dikeluarkan Guru Besar Liang San.

"Peta wasiat yang ada di tanganmu palsu. Guru Besar! Yang asli ada di tanganku!"

Guru Besar Liang San tegak dengan mata mendelik dan mulut terkancing. Sementara semua orang di tempat itu juga diam tak ada yang buka mulut atau membuat gerakan...!

S E L E S A I

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.