Joko Sableng - Pesanggrahan KeramatKarya : Zaenal Fanani |
DI punggung Malaikat Lembah Hijau, Pendeta Sinting melihat guratan tulisan! Untuk beberapa lama kakek ini diam tak bergerak dengan mata memandang tak berkedip. Sementara Joko Sableng sendiri ikut-ikutan memandang ke arah punggung Malaikat Lembah Hijau. Entah karena masih tak mengerti, wajah anak ini tak menunjukkan rasa terkejut. Malah sebaliknya tersenyum seraya memasukkan jari keiingkingnya ke lubang telinganya hingga dia menggelinjang dan meringis.
Setelah dapat mengatasi ketersimaannya, Pendeta Sinting condongkan tubuhnya ke depan. Lalu membaca tulisan itu. Pedang Tumpul 131. Pesanggrahan Keramat. Puncak Bukit Sono Keling. Bulan Sepenggal.. Meski tulisan itu samar-samar dan buruk, namun Pendeta Sinting masih dapat membacanya. Bahkan orang tua ini membacanya beberapa kali. "Hm... Tak salah jika beberapa tokoh edan itu mengejar-ngejarnya. Ternyata dia memang membawa petunjuk tentang pedang mustika itu! Pasti tulisan ini dibuat oleh mendiang Ki Buyut Mangun Raksa tanpa sepengetahuan Bandung Bandawangsa..." Pendeta Sinting menghela napas panjang. Lalu melirik sekilas pada Joko Sableng yang kini asyik mengorek-ngorek lumut tebal hijau di sampingnya. Tiba-tiba kening Pendeta Sinting mengernyit. Dia teringat sesuatu. "Astaga! Bukankah hal yang kutemui saat ini hampir sama dengan mimpiku? Aku bermimpi didatangi seorang laki-laki dan seorang anak kecil. Si anak datang sambil mengacungkan tangan kirinya ke atas dengan telapak tangan terbuka, sementara si laki-laki datang dengan membawa sebuah pedang. Dan masih kuingat sebuah suara yang tiba-tiba menyeruak bersama kedatangan kedua orang itu. 'Anak ini yang kelak ditentukan untuk memiliki pedang itu. Rawat dan jagalah!' Hm... Sepertinya sebuah perintah. Ah... Mimpiku benar-benar jadi kenyataan. Jadi aku harus merawat dan menjaga anak ini. Dan menuntunnya untuk mendapatkan pedang itu jika sampai saatnya. Hmm..." Tiba-tiba Malaikat Lembah Hijau kembali perdengarkan erangan, membuat Pendeta Sinting terjaga dari lamunannya. Cepat, kakek ini tempelkan kedua tangannya pada punggung Malaikat Lembah Hijau yang memang berwarna biru akibat pukulan Hantu Makam Setan. Setelah agak lama Pendeta Sinting kerahkan tenaga dalam dan disalurkan pada punggung Malaikat Lembah Hijau, perlahan-lahan warna biru akibat pukulan Hantu Makam Setan sirna, dan bersamaan itu Malaikat Lembah Hijau kembali bergerak-gerak. Anehnya, bersamaan dengan sirnanya warna biru, tulisan di punggung Malaikat Lembah Hijau juga lenyap! "Aneh... Kalau bukan seseorang yang memiliki ilmu tinggi, tak mungkin bisa melakukan hal seperti ini..." desis Pendeta Sinting, lalu tarik kedua tangannya. Malaikat Lembah Hijau perlahan-lahan bergerak bangkit. Lalu duduk seperti semula. "Terima kasih, Pendeta... Ini pasti akibat pukulan Hantu Makam Setan yang kuceritakan padamu itu, Pendeta!" Pendeta Sinting tidak menanggapi ucapan Malaikat Lembah Hijau. Malah dia balik ajukan tanya. "Bandung Bandawangsa. Kutanya padamu. Tapi ingat, jangan kau berkata dusta padaku. Kau dengar?" Meski dengan wajah heran, Malaikat Lembah Hijau anggukkan kepalanya. "Tak ada untungnya aku bicara dusta padamu, Pendeta. Katakanlah!" "Apakah mendiang gurumu memang tak pernah cerita tentang pedang mustika itu?!" "Seperti yang tadi kukatakan. Guru Ki Buyut Mangun Raksa memang tak pernah cerita apa-apa tentang pedang itu, Pendeta. Kenapa pendeta menanyakan hal itu lagi?!" Pendeta Sinting tidak segera berkata. Memandang sejenak pada Malaikat-Lembah Hijau lalu tengadah. "Dengar. Aku telah menemukan petunjuk tentang pedang mustika itu pada dirimu!" Malaikat Lembah Hijau tercengang. Mungkin takut kalau disangka dia berkata dusta, laki-laki ini segera berkata. "Tapi, Pendeta. Guru memang benar-benar tak pernah memberikan petunjuk itu padaku. Dan aku pun tak tahu! Kalau tak keberatan, boleh aku tahu di mana dan bagaimana petunjuknya?!" "Sebelum kukatakan, jawab lagi pertanyaanku. Apakah gurumu pernah menulis sesuatu pada tubuhmu?!" Malaikat Lembah Hijau terdiam. Keningnya berkerut seakan mengingat. Lalu kepalanya menggeleng perlahan. "Rasa-rasanya tak pernah. Hanya saja..." "Hanya saja apa?!" tukas Pendeta Sinting. "Sewaktu latihan, aku pernah cidera di bagian punggung. Waktu itu Guru mengobati. Namun waktu itu aku merasa aneh, karena cara mengobatinya dengan menggunakan ijuk keras yang ditoreh-torehkan di punggungku. Padahal biasanya Guru mengobatiku dengan salurkan tenaganya lewat telapak tangan. Namun aku waktu itu diam saja." "Hm... Jika demikian, tulisan itu bisa dipercaya!" gumam Pendeta Sinting, membuat Malaikat Lembah Hijau makin penasaran. "Tulisan, Pendeta maksud tulisan mana?!" "Dengar, Bandung Bandawangsa. Di punggungmu aku melihat tulisan yang memberi petunjuk tentang beradanya Pedang Tumpul yang kini diperebutkan oleh orang-orang rimba persilatan. Dan mendengar ceritamu, aku yakin bahwa yang menulis itu adalah gurumu" Malaikat Lembah Hijau terperangah. Dia hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya. Namun sebelum laki-laki ini hilang rasa terkejutnya, Pendeta Sinting telah ajukan pertanyaan. "Apakah kau berniat memiliki senjata itu?!" "Pendeta... Kalau mendiang Guru tidak pernah mengatakan padaku, dan hanya menuliskan di punggungku, aku bisa menebak jika pedang itu tidak ditentukan untukku! Jadi percuma aku memburu atau berniat memilikinya! Biarlah pedang itu dimiliki oleh orang yang ditentukan untuk memilikinya!" "Hmm... Bagus. Orang sadar diri seperti kau sulit ditemui saat ini. Kebanyakan orang, mereka tak sadar dan terus memburu sesuatu yang di luar jangkauannya. Hingga mereka terperosok! Anehnya, dalam keterperosokannya itu mereka bangga! Gila..." Pendeta Sinting lantas melirik ke samping. Dilihatnya Joko telah tertidur di atas lumut hijau! Orang tua ini menggeleng, lalu berpaling pada Malaikat Lembah Hijau. Setelah batuk-batuk beberapa kali orang tua ini menceritakan mimpinya pada Malaikat Lembah Hijau. "Bagaimana menurutmu?!" tanyanya setelah menceritakan mimpinya. Malaikat Lembah Hijau coba menguasai diri dari rasa terkejutnya dahulu setelah mendengar cerita mimpi orang tua di hadapannya. Lalu berkata. "Menilik mimpimu, aku beranggapan bahwa memang anak ini yang ditentukan untuk memiliki pedang itu!" "Hmm... Dugaanmu sama dengan perkiraanku. Namun seperti suara yang kudengar, untuk sementara waktu anak ini akan kurawat, hingga tiba saatnya nanti. Lagi pula sambil jalan aku akan menyelidik apa makna tulisan di telapak tangan anak ini. Tentunya menyimpan sesuatu!" Beberapa saat berlalu, kedua orang ini lantas saling diam, seakan berpikir dengan perasaan masing-masing. Namun tak lama kemudian Malaikat Lembah Hijau angkat bicara. "Pendeta... Rasanya aku sudah agak baik. Perkenankan aku pamit." "Hmm... Begitu? Baik. Tapi kau harus tetap berhati-hati. Jiwamu masih menjadi incaran banyak orang. Apalagi jika berita itu telah menyebar kemana-mana." "Segala ucapanmu akan kuperhatikan, Pendeta!" ujar Malaikat Lembah Hijau pelan, lalu menyambung. "Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak kuinginkan, bisakah Pendeta menolong menghilangkan tulisan pada punggungku ini?!" Penghuni jurang Tlatah Perak ini tertawa mengekeh. "Kau ternyata belum kenal betul dengan gurumu!" "Maksud Pendeta...?!" "Bukan Ki Buyut Mangun Raksa jika bertindak bodoh. Tulisan itu telah lenyap begitu aku salurkan tenaga dalam lewat punggungmu!" "Ah..." hanya keluhan itu yang terdengar dari mulut Malaikat Lembah Hijau. Setelah terdiam beberapa saat, laki-laki ini menjura hormat, lalu berkata. "Jika demikian, aku pamit sekarang, Pendeta..." Pendeta Sinting anggukkan kepala. "Jangan lupa, temui pamannya Joko. Dan ceritakan apa adanya!" "Akan kulakukan, Pendeta... Aku mohon diri..." Malaikat Lembah Hijau bergerak bangkit. Merapikan pakaiannya sebentar, lalu tengadah. Tiba-tiba dia seakan baru sadar jika saat itu dirinya ada di dalam jurang yang dalam. "Astaga! Tak mungkin bagiku melewati tebing yang demikian dalam..." "Bandung Bandawangsa. Turutlah jalan setapak ini. Pada sebuah pohon beringin kembar kau belok ke kanan. Jalan terus melewati jalan setapak. Hingga kau menemukan aliran sungai. Dari sana kau bisa mendaki!" berkata Pendeta Sinting seolah mengerti apa yang ada dalam benak Malaikat Lembah Hijau. Malaikat Lembah Hijau mengangguk, lalu putar tubuhnya dan melangkah menapaki jalan yang telah disebutkan penghuni jurang Tlatah Perak itu. Sejak hari itulah Joko Sableng hidup di dalam jurang Tlatah Perak bersama Pendeta Sinting.
********************
BAB 9
ADALAH suatu hal yang aneh jika dalam sebuah tempat yang orang tak menyangka bakal dihuni manusia terjadi suatu pemandangan yang menakjubkan. Betapa tidak? Seorang pemuda berparas tampan, berambut panjang berurai dan acak-acakan sedang berdiri tegak di atas sebuah tonjolan batu pipih yang menonjol pada lamping jurang. Sejenak pemuda ini memandang liar ke bawah, di mana terlihat seorang kakek sedang duduk bersila seraya memejamkan mata. Namun mulutnya tak henti-hentinya komat-kamit, dan tak lama kemudian tertawa ngakak. Namun tiba-tiba saja kedua tangannya yang merangkap di depan dada bergerak dan memukul ke atas. Wuuuttt! Wuuuttt! Dua gelombang angin dahsyat segera melesat dengan diiringi suara menggemuruh. Di atas sana, sang pemuda ikut-ikutan tertawa, namun sebentar kemudian telah melesat bersamaan dengan sampainya pukulan si kakek. Suara berderak segera menyeruak. Lamping jurang itu hancur berantakan dan meninggalkan lubang sedalam setengah depa! Sang kakek melirik ke samping kanan, di mana si pemuda kini berada. Kedua tangannya lantas diangkat ke atas kepala. Serta-merta kedua tangannya dikembangkan dan disentakkan ke arah si pemuda. Dua berkas sinar melesat lalu mengembang dan serta-merta berhamburan membentuk beberapa pijaran. Pijaran itu lantas melesat dari segala arah menuju ke arah si pemuda! Sang pemuda tak tinggal diam. Kedua tangannya segera pula mengembang, lalu disentakkan. Dari kedua tangan si pemuda segera pula melesat dua sinar kuning keperakan. Bersamaan dengan itu, suasana berubah menjadi semburat warna kuning. Tak lama kemudian terdengar beberapa kali letupan keras tatkala bersitan sinar kuning tadi menghantam beberapa pijaran. Setiap kali letupan, tanah di tempat itu bergetar keras. Hingga di tempat itu laksana dilanda gempa beberapa kali. Tanah pun berhamburan, semak belukar tercerabut sampai akar-akarnya. Begitu tanah surut, si pemuda terlihat terhuyuhg-huyung, namun segera dapat kuasai diri. Sedangkan sang kakek tubuhnya bergoyang-goyang sebentar. Namun cuma sesaat. Sekejap kemudian tubuhnya telah diam seperti sediakala. Malah bersamaan dengan itu dari mulutnya terdengar suara tawa mengekeh panjang. Tiba-tiba si kakek putuskan tawanya. Kaki bergerak ke depan lalu ditekuk, hingga kakek ini duduk bersimpuh. Sepasang matanya yang kelabu sedikit memejam. Mulut berkemik. Tiba-tiba saja kedua tangan orang ini berubah menjadi kuning bercahaya. Sang pemuda terperangah. Sepasang matanya yang tajam memandang tak berkedip. "Busyet! Dia hendak lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'..." sungut si pemuda dengan dada berdebar. Dan tanpa menunggu si orang tua menggerakkan kedua tangannya, pemuda ini cepat pula mengambil sikap seperti si orang tua. Kedua tangan merangkap sejajar dada, sepasang mata sedikit terpejam dengan mulut komat-kamit. Seperti yang terjadi pada si orang tua, kedua tangan pemuda ini sekejap kemudian telah berubah menjadi kuning bercahaya! Wuuuttt! Wuuuttt! Di depan sana, sekonyong-konyong si orang tua buka rangkapan kedua tangannya. Dan serta-merta kedua tangannya dikembangkan dan disentakkan ke arah si pemuda! Tangan bergetar keras. Dua sinar kuning keperakan melesat keluar. Pada saat bersamaan, suasana ditempat itu berubah menjadi semburat warna kuning. Inilah pukulan sakti yang beberapa puluh tahun silam pernah menggemparkan rimba persilatan, yakni pukulan 'Lembur Kuning'! Di seberang sana, mendapati si orang tua telah lepaskan pukulan, sang pemuda tak tinggal diam. Kedua tangannya pun dikembangkan dan segera dihantamkan memapak pukulan si orang tua. Wuuuttt! Wuuuttt! Dua sinar kuning melesat dari kedua telapak tangan si pemuda lalu mengembang dan menggebrak memapak pukulan yang datang. Dua pukulan sakti 'Lembur Kuning' bentrok di udara. Hingga sekejap itu juga terdengar ledakan dahsyat, membuat semak belukar di sekitar tempata itu porak-poranda, tanah di sana-sini membentuk kubangan. Ranting dan dahan-dahan pohon berpatahan, rimbun dedaunan di atas sana langsung mengering hangus sebelum akhirnya gugur berhamburan. Ketika suasana terang kembali, si orang tua terlihat mengurut dada seraya batuk-batuk kecil, tubuhnya bergeser hingga beberapa langkah ke belakang. Dahi dan lehernya tampak dilelehi keringat. Di seberang, si pemuda terjajar hingga dua tombak dan terduduk di atas tanah. Wajahnya pucat pasi, kedua tangannya bergetar dengan sekujur tubuh telah basah kuyup oleh keringat. "Sontoloyo! Sini kau!" tiba-tiba si kakek memanggil dengan anggukkan kepalanya pada sang pemuda. Sang pemuda masukkan jari kelingkingnya pada lubang telinganya hingga wajahnya meringis. Lalu bangkit dan melangkah ke arah si kakek. "Duduk!" perintah si kakek. Sang pemuda menuruti perintah. Dia duduk namun tak henti-hentinya wajahnya meringis, karena jari kelingkingnya masih masuk ke dalam lubang telinganya, malah seolah disengaja, jari kelingking dimasukkan semakin dalam, hingga tubuhnya terangkat dengan cengengesan! Anehnya, sang kakek tidak marah, sebaliknya malah ikut-ikutan tertawa! Setelah puas tertawa, kakek ini memandang tajam pada sang pemuda. Lalu berkata. "Joko. Aku ingin bicara denganmu!" "Aha... Ingin bicara kenapa berkata dulu, Eyang...?" "Sontoloyo, Ini soal sungguhan! Tidak bercanda!" tukas si kakek dengan suara agak keras. Namun wajahnya tak menunjukkan perasaan marah. "Hmm... Soal apa Eyang?" tanya sang pemuda begitu melihat kesungguhaan pada wajah orang tua di hadapannya. "Joko. Tuhan menciptakan sesuatu berpasang-pasangan. Ada laki-laki ada perempuan. Ada siang ada malam. Ada luar ada dalam. Ada pertemuan ada perpisahan..." sejenak si kakek menghentikan ucapannya. Sementara sang pemuda terpekur, seakan masih tak mengerti dengan arah pembicaraan orang tua di hadapannya. "Hari ini, kita harus menjalani pasangan dari pertemuan!" "Maksud Eyang..." "Kurasa apa yang kuberikan padamu selama kau disini, sudah cukup. Pukulan 'Lebur Kuning' telah kau kuasai dengan baik, demikian pula jurus-jurus yang telah kuajarkan padamu! Tapi ingat. Apa yang sekarang telah kau miliki, tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan apa yang dimiliki Tuhan. Ilmu yang kau miliki, hanya sebagian kecil dari ilmunya Tuhan. Maka dari itu jangan kau bersifat sombong. Meremehkan orang lain!" "Saya mengerti, Eyang..." "Kembali pada ucapanku tadi, hari ini sudah saatnya kita harus berpisah! Sudah waktunya kau mengamalkan apa yang telah kau miiiki untuk ketenangan dan kedamaian umat manusia." "Tapi, Eyang..." "Tak ada tapi. Harus! Kau dengar? Harus!" sahut sang kakek tandas. Sang pemuda yang bukan lain adalah Joko Sableng, memandang lekat-lekat pada orang tua di hadapannya yang bukan lain adalah Pendeta Sinting. Memang, tanpa terasa, delapan tahun sudah Joko berdiam diri bersama Pendeta Sinting di dalam jurang Tlatah Perak. Selama itu pula, siang malam Joko mendapat gembelengan ilmu silat dari orang tua yang pada beberapa puluh tahun silam pernah menggegerkan rimba persilatan itu. Tubuh Joko pun kini telah berubah. Sosoknya kini tegap. Kedua tangannya berotot dengan kaki kokoh. "Joko. Ada satu hal yang harus kau kerjakan begitu kau menginjak tanah di luar sana. Ingat. Hal ini harus kau kerjakan! Tanpa berpaling pada masalah lain!" "Apa hal itu, Eyang...?!" sahut Joko dengan suara agak parau, karena pemuda ini sebenarnya tidak menyangka jika hari ini adalah hari terakhir baginya berada di dalam jurang Tlatah Perak. Dia seakan masih tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh gurunya itu. "Seperti yang sering kukatakan padamu, saat ini rimba persilatan sedang diguncang dengan berita tentang Pedang Tumpul yang dari dahulu hingga kini belum juga terbuka misterinya! Kau kutugaskan untuk melacak pedang mustika itu!" Joko Sableng manggut-manggut. Pendeta Sinting tengadahkan kepalanya. Lalu melanjutkan. "Kau masih ingat dengan Bandung Bandawangsa? Orang tua yang terjun ke jurang ini bersamamu dahulu?!" Joko mengangguk. Sementara Pendeta Sinting terus tengadah. "Orang itu membawa petunjuk tentang di mana beradanya pedang mustika itu!" Joko Sableng tersentak kaget. Matanya membesar. Namun sebentar kemudian wajahnya berubah. Dia tampak ragu-ragu. Lalu mengutarakan apa yang diragukannya pada Pendeta Sinting. "Eyang, apakah petunjuk dari Bandung Bandawangsa bisa dipercaya?!" Penghuni jurang Tlatah Perak itu tertawa, lalu luruskan kepalanya. "Jangan tanyakan hal itu padaku. Aku tak dapat memastikannya. Hanya saja kelak kau akan mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu setelah kau menyelidik!" Joko terdiam. Dia lantas teringat sewaktu menolong Bandung Bandawangsa yang waktu itu dikejar-kejar oleh Hantu Makam Setan dan Dewi Asmara. Dia juga masih ingat, Hantu Makam Setan meminta sesuatu tentang petunjuk pedang mustika. "Kalau tokoh-tokoh hebat mengejar dia, rasa-rasanya tidak mustahil jika dia memang mempunyai petunjuk itu..." memikir sampai di situ keragu-raguan Joko sedikit hilang. Pemuda murid Pendeta Sinting ini lantas bertanya. "Katakanlah, Eyang. Di mana beradanya pedang mustika itu?" "Kau dengar baik-baik petunjuk yang pernah kubaca Itu. Pedang Tumpul 131. Pesanggrahan Keramat. Puncak Bukit Sono Keling. Bulan Sepenggal. Nah, kau jabarkan sendiri petunjuk itu!" Joko Sableng mengulangi petunjuk yang diucapkan Pendeta Sinting. Dahinya berkerut seakan mencari arti dari petunjuk itu. "Pedang Tumpul 131. Hm... Ini pasti nama pedang mustika itu. Pesanggrahan Keramat. Hmm... Pesanggrahan... Adalah tempat dimakamkannya seseorang yang dianggap sakti. Puncak bukit Sono Keling. Ini pasti tempat makam orang sakti itu. Bulan Sepenggal... Apa artinya ini?!" Belum sempat Joko menemukan arti kata-kata pada petunjuk terakhir itu Pendeta Sinting telah buka suara lagi. "Joko. Kau sudah siap berangkat?!" Joko anggukkan kepala meski hatinya masih ada beberapa pertanyaan. Dia sebenarnya hendak menanyakan hal itu pada gurunya namun dia batalkan. Karena dia tak mau dianggap manusia yang tak mau berpikir. Setelah memandang sejenak pada gurunya, Joko menjura dalam-dalam. Lalu bergerak bangkit. "Joko... Hari-hari di depanmu sangat berat dan sudah pasti sarat dengan berbagai cobaan dan tantangan karena rimba persilatan selalu dan selalu dihiasai dengan segala macam fitnah, kelicikan, dendam juga hasutan! Pergunakan otak bersih dan kepala dingin dalam menghadapi segala masalah! Segala masalah tujukan hanya demi untuk kedamaian dan ketenteraman umat manusia!" "Segala ucapan Eyang sedapat mungkin akan murid lakukan! Aku mohon pamit, Eyang..." Pendeta Sinting anggukkan kepalanya, lalu memandang tajam pada Joko Sableng. Joko Sableng menjura sekali lagi, lalu putar tubuhnya dan melangkah melewati jalan setapak. Kira-kira dapat lima belas langkah, kepalanya tengadah. Lalu berpaling sebentar pada Pendeta Sinting, namun ternyata orang tua itu sudah tidak ada lagi di tempatnya semula! Joko menggumam tak jelas, lalu tengadah lagi. Sekejap kemudian tubuhnya melesat ke atas, menjejak tonjolan batu di lamping jurang lalu mental lagi ke atas, menjejak lagi tonjolan pada lamping jurang sampai akhirnya menginjak tanah di bibir jurang. Masa delapan tahun di dalam jurang Tlatah Perak telah membuat pemuda itu hapal tonjolan-tonjolan tebing yang dapat dipijaknya. Sehingga Joko mampu mendaki tebing jurang yang dalam itu. Sejenak sepasang matanya memandang berkeliling. Lalu berpaling ke bawah. Hanya kegelapan yang terlihat. "Hm... Delapan tahun Paman kutinggalkan. Sebelum menjalankan tugas Guru, aku akan menemui Paman terlebih dahulu. Selain melepas rasa rindu, siapa tahu Paman tahu tempat yang hendak kutuju..." Setelah menghela napas panjang dan dalam pemuda ini berkelebat meninggalkan tempat itu.
********************
"Hmm... Kulihat telah banyak perubahan dengan kampung ini. Delapan tahun ternyata telah mampu membuatku hampir lupa karena begitu banyaknya perubahan... Kalau saja masa kecilku tidak di daerah sekitar sini, mungkin aku tidak akan bisa mengenali lagi kampung ini. Apakah Paman masih ingat dengan diriku?" Joko berkata sendiri dalam hati serayaa terus melangkah menyusuri Kampung Anyar dengan sepasang mata tak hentinya memperhatikan tempat-tempat yang dilewati. Sampai pada sudut kampung, tepatnya di depan sebuah rumah kayu yang letaknya berbatasan dengan jalan menuju hutan, Joko hentikan langkahnya sejenak. Sepasang matanya memandang tajam pada rumah kayu terpencil itu. "Rumah itu, masih tetap seperti delapan tahun yang lalu... Tak ada perubahan di sini..." gumam Joko lalu meneruskan langkah menuju rumah kayu yang pintunya tampak tertutup. "Paman...!" seru Joko begitu telah berada di depan pintu. Tak ada sahutan dari dalam rumah, namun sepasang telinga Joko yang telah terlatih dapat menangkap langkah-langkah kaki menuju ke pintu. Dada pemuda ini berdebar. Mungkin tak sabar, kedua tangannya segera bergerak ke depan mendorong pintu. Bersamaan dengan itu, dari dalam rumah, pintu itu ditarik membuka. Debaran dada Joko makin keras, sepasang matanya tak berkedip dengan mulut komat-kamit ketika di balik pintu yang telah terbuka, tampak berdiri seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya telah putih dengan mata sayu. Di balik pintu, si orang tua sejurus memandangi pemuda di hadapannya dengan mata menyipit dan membesar. Dahinya yang telah mengeriput makin berkerut. Sebelum orang tua ini keluarkan suara untuk menanyakan siapa adanya sang tamu, Joko telah melangkah masuk dan serta-merta menubruk orang tua itu. "Paman... Aku Joko..." desis Joko dengan suara parau dan tersendat. Entah karena terkesima atau terkejut, si orang tua hanya diam saja. "Paman... Aku Joko Sableng..." ulang Joko tatkala dilihatnya si orang tua hanya diam. "Joko Sableng..." gumam si orang tua mengulangi ucapan Joko. Serta-merta orang tua ini merangkul Joko dengan mulut komat-kamit tapi tak jelas apa yang diucapkan. Namun dari wajahnya jelas jika orang tua ini sangat gembira dan terharu. Hingga untuk beberapa lamanya, orang tua ini tak mau melepaskan rangkulan tangannya. Kedua orang ini sama melepaskan kerinduan. "Paman... Bagaimana keadaanmu selama ini?" "Aku baik-baik saja dan aku senang melihat kau segar bugar. Aku bahkan hampir tak mengenalimu lagi, karena kau telah berubah..." Paman Joko melepaskan rangkulannya. Lalu menarik sedikit tubuhnya ke belakang. Sepasang matanya yang sayu memandangi Joko dari atas hingga bawah. "Joko... Aku tak menduga jika semua ini terjadi..." ucap pamannya masih dengan mata tak berkedip seolah tak mempercayai penglihatannya. Joko tersenyum. Lalu menebarkan pandangannya ke seluruh ruangan. "Paman. Maafkan aku. Karena saat itu aku tak pamit padamu..." Sang paman menarik napas panjang seraya gelengkan kepala. "Tak ada yang perlu dimaafkan. Aku telah mendengar semuanya dari Pendekar Malaikat Lembah Hijau. Kau sungguh beruntung, Joko. Hanya pesanku. Kuharap kau tak berubah meski aku yakin, kau sekarang bukan lagi Joko yang delapan tahun lalu. Jangan kau bersifat jumawa walau kau sekarang telah diangkat murid oleh seorang tokoh silat yang kesohor!" "Segala nasihatmu akan terus kuingat, Paman..." "Bagus... Aku sangat gembira mendengarnya..." "Paman. Sebenarnya aku masih punya sesuatu yang harus kuselesaikan..." Sang paman menarik napas. Wajahnya sedikit murung. "Joko. Aku tahu. Tapi untuk menghilangkan rindu ini, kuharap kau malam ini mau menginap di sini. Meski aku telah mendengar ceritamu dari Pendekar Malaikat Lembah Hijau, aku masih ingin mendengar dari dirimu sendiri. Sekarang kau mungkin masih lelah. Beristirahatlah dulu. Nanti malam kita teruskan obrolan kita. Setelah itu kau boleh meneruskan perjalanan jika memang ada yang harus kau selesaikan." Karena tak mau mengecewakan orang tua yang telah merawat dan mendidiknya sejak kecil, murid Pendeta Sinting ini akhirnya anggukkan kepalanya dengan tersenyum. "Aku akan ke pancuran dulu, Paman. Aku kangen dengan situasi di situ!" Sang paman hanya tersenyum dan memandangi Joko yang telah putar tubuhnya dan melangkah menuju pancuran di dekat hutan. "Benar-benar tidak disangka... Hm... Semoga anak ini bisa membawa diri dan menjadi seorang pendekar muda yang berbudi..." ujar sang paman dengan memandangi langkah-langkah Joko sampai pemuda ini menghilang di tikungan jalan setapak menuju pancuran.
********************
BAB 10
MUNGKIN karena satu-satunya yang ada, kedai di sudut desa yang tidak terlalu besar dan sedikit kotor itu banyak didatangi para pengunjung. Beberapa ekor kuda tampak ditambatkan di sebelah samping kedai, memberi petunjuk jika pengunjung kedai itu bukan hanya datang dari kampung sekitar daerah itu saja, melainkan juga datang dari kampung lain. Dari arah barat kedai, seorang pemuda terlihat melangkah pelan seraya memperhatikan keadaan sekitar yang dilewatinya. Beberapa kali kepalanya berpaling ke kanan kiri dengan mata sedikit dilebarkan, sementara mulutnya tak henti-hentinya bergumam tak jelas, seakan menunjukkan bahwa sang pemuda adalah bukan penduduk asli kampung itu. Pemuda ini mengenakan pakaian putih dengan ikat kepala berwarna putih juga. Rambutnya panjang sedikit acak-acakan, sepasang matanya tajam dengan alis mata tebal dan hitam. Dagunya kokoh dengan hidung sedikit mancung. Sosoknya tegap dengan dada bidang. Begitu sampai di halaman kedai, pemuda itu hentikan langkahnya. Sepasang matanya jelalatan ke sana kemari, lalu memandang lurus ke dalam kedai. Sejurus pemuda ini menghela napas panjang. Wajahnya jelas menampakkan keragu-raguan di hatinya, antara meneruskan langkah dan masuk kedai, karena beberapa kali pemuda ini melangkah mondar-mandir dengan mata memandang ke sebelah timur lalu berpaling ke arah kedai. Setelah berpikir agak lama, akhirnya pemuda ini melangkah ke arah kedai. Di pintu masuk, dia hentikan langkah. Sepasang matanya menyapu ke ruangan di mana banyak para pengunjung sedang menikmati hidangannya. Bibir si pemuda mengulas senyum, namun sesaat kemudian berubah menjadi ringisan. Puas memandang ke seluruh ruangan, dia meneruskan langkah masuk ke dalam kedai. Anehnya, dia tak segera mencari tempat duduk yang kosong, melainkan terus melangkah ke arah dalam, di mana banyak pelayan kedai sedang menyiapkan makanan pesanan pengunjung. Merasa ada orang tak dikenal melangkah hendak masuk ke dalam, pemiiik kedai buru-buru menyongsong dengan senyum tipis. Dahinya berkerut dan memperhatikan pada sang pemuda dengan mata penuh selidik. Karena selain celingak-celinguk seakan mencari sesuatu, pemuda ini cengengesan sendiri. Sang pemiiik kedai segera maklum, namun mau tak mau kepalanya menggeleng dengan mulut komat-kamit memperdengarkan ucapan tak jelas. Ternyata jari kelingking sang pemuda masuk ke dalam lubang telinganya. Hingga meski sendirian tak ada yang mengajak bicara, pemuda ini meringis dengan tubuh sedikit berjingkat. "Mau pesan apa, Den...?" sapa sang pemiiik masih dengan mata tak berkedip memperhatikan pemuda di hadapannya dari bawah hingga atas. Sang pemuda menggelinjang sebentar, lalu tarik jari kelingkingnya dari lubang telinganya. Setelah memandang sepintas lalu, dia angkat bicara. "Bapak pemiiik kedai ini?!" "Hmm... Pemuda ini tuli apa kurang waras? Ditanya mau pesan apa jawabnya malah tanya balik!" batin sang pemilik. Namun karena ingin segera menyambut beberapa pengunjung, sang pemilik anggukkan kepalanya. "Melihat banyaknya pengunjung, pasti pemilik ini sudah beberapa puluh tahun berjualan, dan bukan mustahil dia dilahirkan di sini, yang berarti hapal betul dengan daerah di sekitar tempat ini!" si pemuda berkata dalam hati, lalu hadapkan wajahnya pada sang pemiiik kedai dan berkata. "Bapak tak keberatan menjawab jika aku tanya sesuatu?!" Mendengar ucapan si pemuda, pemilik kedai kembali kernyitkan kening, namun wajahnya menunjukkan rasa tak senang. Tapi entah karena tak ingin membuat keributan atau agar si pemuda segera enyah dari hadapannya, pemilik kedai ini segera berujar. "Sebenarnya ini kedai bukan tempat untuk bertanya, tapi untukmu, aku masih dapat mengerti, karena kulihat kau bukan penduduk daerah sini. Lekas katakan apa yang ingin kau tanyakan!" Meski kata-kata sang pemilik kedai sedikit tak enak di telinga, si pemuda tak menampakkan raut wajah berubah. Sebaliknya makin tersenyum lebar dan balik menatap pemilik kedai yang saat itu tak lepas memandanginya. "Di mana letak bukit Sono Keling?!" Mendengar pertanyaan sang pemuda, paras muka sang pemilik kedai berubah seketika. Kedua matanya membelalak, mulutnya terkancing rapat. Tubuhnya sedikit berguncang. Rasa takut tak dapat disembunyikan dari wajahnya meski sesaat kemudian, pemilik kedai itu sunggingkan senyum dan membuka mulut. "Kau berniat menuju ke sana?!" Si pemuda tidak segera menjawab. Dia masih menduga-duga dalam hati apa yang membuat perubahan pada paras orang di hadapannya. Namun tak dapat menemukan dugaan yang pasti, akhirnya pemuda ini anggukkan kepala, membuat sang pemilik makin dibuat heran bercampur takut. Tiba-tiba si pemilik kedai melangkah maju. Serta-merta tangan kanan si pemuda digaetnya dan diajaknya ke dalam. Di pojok ruangan dalam, sang pemilik berhenti dan langsung ajukan pertanyaan. "Anak muda. Apa maksudmu hendak ke bukit Sono Keling?!" "Hmm... Aku tak boleh berterus terang pada siapa pun juga tentang apa tujuanku ke bukit Sono Keling," batin si pemuda lalu berkata. "Ayahku sedang sakit. Aku disuruh mencari daun-daunan di bukit itu! Di mana letaknya bukit itu?" Sejurus pemilik kedai memperhatikan seakan ragu-ragu dengan ucapan pemuda di hadapannya. "Kau tak berkata bohong?!" "Heran. Ada apa sebenarnya di bukit itu? Bukan hanya rasa takut yang tampak pada air muka orang ini, tapi juga banyak pertanyaan yang seharusnya tak ditanyakan..." si pemuda kembali menyimpulkan apa yang dilihatnya, lalu menjawab pertanyaan orang dengan gelengan kepala. Si pemilik kedai manggut-manggut. "Anak muda. Kalau mau kuingatkan, sebaiknya urungkan saja niatmu menuju bukit itu. Lebih baik kau cari di tempat lain saja apa yang kau butuhkan!" "Wah, hal itu tak dapat dilakukan. Karena aku telah mencobanya ke tempat lain, namun yang kucari tak kutemukan. Hanya di bukit Sono Keling adanya daun-daunan yang kubutuhkan itu!" Si pemuda hentikan ucapannya sejenak. Ketika ditunggu tak ada sambutan dari orang di hadapannya, si pemuda menyambung kata katanya. "Wajah Bapak berubah seolah takut. Ada apa sebenarnya di bukit itu?!" Si pemilik kedai terdiam. Setelah menghela napas panjang dia berujar. "Kau adalah salah satu dari beberapa orang yang menanyakan letak bukti itu padaku. Namun kau tahu, apa yang terjadi setelah mereka menuju ke bukit itu?!" Sekarang si pemuda yang balik jadi terdiam. Bukan karena ingin menduga apa yang terjadi dengan beberapa orang sebelumnya, namun karena khawatir jika ada orang yang telah mendahului. Melihat si pemuda tidak menjawab, si pemilik kedai menjawab pertanyaannya sendiri dengan suara sedikit bergetar. "Mereka tak ada yang pulang kembali! Padahal mereka bukan orang sembarangan, karena beberapa di antaranya pernah terlibat bentrok di sini. Mereka semua rata-rata memiliki ilmu silat hebat!" "Bagaimana kau tahu mereka tidak pernah kembali?!" "Di sebelah timur itu adalah satu-satunya jalan menuju ke bukit Sono Keling..." kata si pemiiik kedai seraya angkat tangannya dan menunjuk ke sebelah timur. "Kalau mereka pulang kembali, pasti aku mengetahuinya, setidak-tidaknya salah seorang pelayanku tahu, karena kedai ini buka sehari semalam. Sementara jalan satu-satunya adalah jalan itu!" Mendengar keterangan demikian, mau tak mau merinding juga kuduk si pemuda, malah mukanya berubah. Namun karena tekadnya telah bulat, keterangan si pemiiik kedai hanya sebentar saja membuatnya dihantui rasa takut. Sesaat kemudian yang terlihat adalah semangatnya yang besar. Apalagi mendengar beberapa orang yang menuju ke sana belum ada yang pernah kembali, yang berarti mereka gagal mendapatkan apa yang dicari! "Bapak tahu, apa yang mereka cari di bukit itu?" Si pemiiik kedai gelengkan kepalanya. "Mereka tak mau mengatakan. Tapi dari sikap mereka, aku dapat menduga mereka mempunyai keperluan yang sangat penting sekali. Aku sendiri heran, apa yang mereka cari di sana? Padahal yang ada di sana hanyalah sebuah makam tua. Yang oleh orang-orang di sekitar sini dinamakan Pesanggrahan Keramat! Aku tak tahu, kenapa makam itu dinamakan demikian. Hanya menurut orang-orang tua, makam itu adalah makam seorang sakti yang telah meninggal pada beberapa ratus tahun yang silam..." "Terima kasih atas keteranganmu. Aku harus segera pergi!" kata si pemuda, lalu putar tubuh dan hendak melangkah meninggalkan ruangan itu. Namun langkahnya tertahan karena si pemilik kedai berseru. "Tunggu! Apakah kau akan melanjutkan niatmu?" Si pemuda palingkan wajahnya ke belakang. Bibirnya mengulas senyum. Kepalanya bergerak menggeleng. "Sebenarnya aku ingin sekali ke sana, namun mendengar keteranganmu, aku jadi berpikir dua kali untuk meneruskan niatku. Apalagi aku hanya seorang yang tidak memiliki ilmu silat. Aku belum merasakan enaknya hidup, juga belum menikmati bagaimana rasanya berdampingan dengan seorang gadis cantik. Terlalu sayang jika harus mati sebelum menikmati semua itu. Bukankan begitu?" Kali ini si pemiiik kedai tersenyum lebar, senang karena keterangannya dituruti orang. Dia lantas melangkah menghampiri si pemuda dan berbisik. "Apakah kau juga tak ingin menikmati makanan kedaiku?!" Si pemuda menyeringai. Tangan kanannya bergerak merogoh bagian dalam pakaiannya seakan hendak mengambil sesuatu. Namun diam-diam dalam hatinya berkata. "Sialan. Sebenarnya aku juga sudah lapar, tapi apa yang akan kubuat untuk membayar makananmu?" Mungkin menduga si pemuda sedang menghitung uang di balik pakaiannya, si pemiiik kedai segera menyambung ucapannya. "Ayolah duduk di sana. Kau akan menyesal pergi ke daerah sini jika tidak mencicipi makanan kedaiku! Harganya juga tidak mahal..." Tiba-tiba sang pemuda bungkukkan tubuhnya dengan tangan kiri merangkap di depan perut. Wajahnya meringis kesakitan. "Apa yang terjadi dengan dirimu?!" tanya si pemilik kedai dengan terkejut. "Di mana tempatnya membuang hajat?! Perutku mulas sekali! Biasa penyakit lamaku kumat lagi! Murus-murus..." Dengan memaki panjang pendek dalam hati si pemilik kedai angkat tangannya ke sebelah timur, jalan setapak yang menuju bukit Sono Keling. "Di situ kau akan menemukan sebuah parit kecil! Tumpahkan semuanya di situ!" habis berkata demikian, pemilik kedai putar tubuh dan melangkah ke ruangan dalam seraya mengomel. "Dasar pemuda geblek! Aku tahu, dia pura-pura. Padahal sebenarnya dia tak punya uang!" Si pemuda hendak mengucapkan terima kasih, namun begitu berpaling dan dilihatnya si pemilik kedai telah ngeloyor ke belakang, pemuda ini meneruskan langkah dengan terbungkuk-bungkuk dan sebelah tangannya mendekap perutnya dengan wajah meringis. Beberapa orang pengunjung kedai memandang ke arah si pemuda dengan pandangan heran bercampur geli. Karena meringisnya wajah si pemuda bukan karena perutnya yang sakit, namun karena jari kelingkingnya ditusuk-tusukkan pada lubang telinganya!
BAB 11
SI pemuda yang meringis terbungkuk-bungkuk terus melangkah terseret-seret ke arah timur. Begitu sepasang matanya melirik dan dilihatnya kedai itu tak kelihatan lagi, pemuda ini luruskan kembali tubuhnya dengan menghela napas panjang. "Sialan benar, punggungku serasa hendak putus saja! Tapi apa hendak dikata. Daripada harus malu di depan orang banyak. Makan tapi tak punya uang... He He He...!" gumam sang pemuda seraya tertawa cengengesan. Tangannya bergerak merentang ke samping kanan kiri dengan tubuh dipuntir. Terdengar keretekan tulang beberapa kali. "Hmm... Untung pemilik kedai itu menunjuk arah sini, jadi aku tak usah mencari jalan berputar untuk mengelabuinya..." desis sang pemuda seraya arahkan pandangannya ke sebelah timur. Samar-samar di sela kerapatan pohon sepasang matanya dapat menangkap julangan sebuah bukit. "Semoga keterangan pemilik kedai itu benar adanya. Belum ada orang yang pulang kembali dari bukit itu, yang berarti barang yang kucari belum tersentuh orang lain..." ujar si pemuda yang bukan lain adalah Joko Sableng, murid Pendeta Sinting dari jurang Tlatah Perak. "Aku harus segera mencapai puncak bukit itu mumpung hari belum gelap!" desisnya seraya mulai berlari menuju arah timur di mana tampak menjulang puncak bukit Sono Keling. Karena Joko Sableng berlari dengan mengerahkan ilmu peringan tubuh, bersamaan dengan tenggelamnya sang matahari di ujung langit sebelah barat, pemuda ini telah menginjakkan sepasang kakinya di puncak bukit Sono keling. Joko hanya memerlukan melangkah mengikuti jalan setapak satu kali putaran. Begitu menghentikan langkah, dia sampai pada sebuah tanah datar yang luasnya kira-kira dua puluh lima tombak berkeliling tanpa penghalang apa pun sebagai latar depan yang berhadapan dengan tebing bukit di bawahnya. Sebagai latar belakang, terlihat bentangan langit yang jauh di ufuk sana. Sejenak Joko Sableng tertegun seakan menikmati keindahan alam yang ada di hadapannya. Lalu sepasang matanya menangkap gundukan tanah memanjang yang di sebelah ujung-ujungnya terpancang sebuah batu pipih yang tingginya satu depa dengan lebar satu setengah jengkal. Tiba-tiba sepasang matanya membelalak dengan langkah surut satu tindak ke belakang. Dari mulutnya hampir saja terlontar seruan tertahan. Bukan karena melihat makam dengan batu nisan hitam yang ada di puncak bukit itu, tapi karena matanya melihat beberapa orang yang tergeletak di sekitar makam itu! Melihat keadaan serta sikapnya orang mudah ditebak jika beberapa orang itu telah tewas! Dan Joko Sableng baru saja menyadari ketika saat itu juga hidungnya mencium bau yang membuat perutnya mual dan ingin muntah. Dengan menggerendeng panjang pendek, Joko buru-buru tekap hidungnya. Lalu seraya bergidik. Sepasang kakinya bergerak melangkah ke arah makam yang di sekitarnya bergeletakan beberapa orang yang telah jadi mayat dan menebarkan bau busuk yang amat menyengat. Dibantu pantulan cahaya sinar matahari yang berwarna kuning kemerahan di langit sebelah barat, Joko dengan jelas dapat melihat, bahwa beberapa orang yang tewas itu mengalami luka-luka yang cukup parah. Beberapa senjata pedang dan tombak terlihat berserakan. Tanahnya pun terbongkar di sana sini. "Rupanya mereka terlibat dalam bentrok..." duga Joko seraya memperhatikan satu persatu mayat yang tergeletak itu. Pemuda ini lantas kerahkan tenaga dalamnya untuk mengatasi hawa busuk yang makin menyengat. Sepasang matanya nyalang jelalatan mengawasi sekitar puncak bukit. "Melihat petunjuk yang diberikan Guru, aku berada pada tempat yang tidak salah. Ini adalah Pesanggrahan Keramat yang terletak di puncak bukit Sono Keling. Tapi di mana pedang itu berada? Jangan-jangan seseorang telah mendahuluiku. Karena aku yakin, beberapa orang ini tujuannya pasti ingin mendapatkan senjata itu! Hmm..." Joko melangkah berkeliling dengan mata nyalang mengawasi setiap sudut. Karena malam telah menjelang, Joko terpaksa harus membeliakkan matanya. Namun hingga matanya basah dan pedih, dia tak menemukan apa yang dicari! Mungkin karena lelah, Joko lantas duduk menggelosoh dengan mengambil tempat agak jauh dari tergeletaknya beberapa mayat. "Apa petunjuk itu bukan petunjuk yang menyesatan? Dan orang-orang ini, dari mana mereka mendapatkan petunjuk? Apa juga dari Bandung Bandawangsa? Atau..." Joko tak meneruskan kata hatinya, karena saat itu suasana yang gelap samar-samar agak terang. Joko segera tengadahkan kepalanya. Di atas langit sana, sang rembulan tampak melintas dari kurungan awan hitam. Hingga untuk beberapa saat lamanya keadaan dl buml sedikit terang. Tiba-tiba Joko teringat akan petunjuk yang diberikan Pendeta Sinting. "Pedang Tumpul 131. Pesanggrahan Keramat. Puncak bukit Sono Keling. Bulan Sepenggal. Hmm... Bulan Sepenggal..." gumam Joko mengulangi. Kepalanya terus mendongak memperhatikan bulan. Mendadak kepala pemuda ini bergerak manggut-manggut. "Bulan Sepenggal berarti bulan separo! Hmm... Padahal bulan itu masih belum mencapai separo. Mungkin masih sehari atau dua hari lagi. Terpaksa aku harus menunggu. Sambil menunggu lebih baik aku tiduran saja. Besok pagi mencari kelinci untuk mengisi perut. Waktu aku melintas tadi, banyak kelinci di bawah sana..." Berpikir sampai di situ, Joko lantas bergerak bangkit. Mencari tempat yang agak rata dan jauh dari mayat, lalu merebahkan diri. Mungkin karena lelah, sebentar kemudian terdengar dengkurnya seakan memecah kesunyian bukit Sono Keling!
*********************
Malam telah mulai menjelang. Dua hari sudah Joko Sableng berada di puncak bukit Sono Keling. Dia telah menyelidik di puncak bukit itu tanpa sejengkal pun tanah yang lolos dari matanya. Namun sejauh ini dia belum menemukan tanda-tanda akan mendapatkan barang yang dicari. Hingga mungkin khawatir jika pedang itu telah ditemuikan oleh beberapa mayat yang berada di situ, dengan menekan perasaan bergidik, Joko membalik dan meraba-raba beberapa mayat itu, lalu mengumpulkannya di suatu tempat, hingga tempat di sekitar makam itu telah bersih dari mayat yang berserakan. "Hm... Jika malam ini belum juga kutemukan pedang itu, berarti petunjuk itu tidak benar. Atau mungkin sudah ada orang lain yang mendahuluiku..." gumam Joko seraya memandang ke bawah. Yang tampak hanyalah rindangi pohon-pohon yang saling merapat di lereng bukit dan samar-samar berubah warna menjadi hijau kehitaman, karena malam telah turun melingkupi bumi. Sambil menarik napas dalam dan panjang, Joko balikkan tubuh, lalu melangkah ke arah makam. Tiga langkah dari gundukan tanah yang ujung-ujungnya terpancang batu nisan hitam itu, pemuda murid Pendeta Sinting ini hentikan langkah. Memandang lekat-lekat pada nisan makam yang tak bertuliskan. Lalu tengadahkan kepala. Sepasang matanya tiba-tiba sedikit membelalak. Di atas sana, langit tampak cerah. Awan tak secuil pun mengambang. Hingga bulan sepenggal yang mulai memanjat ke atas segera dapat memancarkan cahayanya. Namun bukan hal itu yang membuat mata Joko membelalak dan tubuh berguncang. Ternyata bulan itu tidak berwarna seperti biasanya, melainkan berwarna merah darah! Dan ada seberkas cahaya yang keluar dan langsung menyorot ke makam bernisan batu hitam! Bersamaan dengan itu angin berhembus kencang, makin lama makin keras, dan mengejuarkan suara menderu-deru dahsyat. Joko segera kerahkan tenaga dalam untuk mengatasi tubuhnya agar tak terhempas. Dan perlahan-lahan pula ia duduk di depan makam dengan kedua tangan merangkap di depan dada. Angin berhembus makin kencang, beberapa sosok mayat yang dikumpulkan Joko satu persatu terhempas dan melayang turun ke bawah bukit. Tanah di puncak bukit itu pun mulai berhamburan ke udara! Joko menambah tenaga dalamnya karena tubuhnya mulai bergoyang-goyang tersapu hembusan angin. "Sialan. Angin apa ini?" bisik Joko dalam hati seraya pejamkan sepasang matanya. Pemuda ini lipat gandakan tenaga dalamnya, karena hembusan angin makin kencang, namun hembusan angin itu ternyata sukar untuk ditaklukkan meski murid Pendeta Sinting telah kerahkan segenap tenaga dalamnya, hingga tak lama kemudian tubuhnya mulai bergeser, sesaat kemudian terseret ke samping makam dan jatuh bergulingan! "Sialan! Angin keparat!" maki Joko Sableng seraya bergerak bangkit. Namun lagi-lagi tubuhnya terseret dan kali ini bahkan hampir saja terhempas melayang ke bawah bukit. Untung murid Pendeta Sinting segera hujamkan kedua tangannya ke atas tanah hingga tanah Itu terbongkar dan kedua tangannya menancap amblas ke depan, membuat tubuhnya terhenti. Dengan kerahkan segenap tenaganya, baru murid Pendeta Sinting dari jurang Tlatah Perak ini bisa bergerak bangkit. Dan mungkin takut tubuhnya akan kembali terseret, dia mendekat kembali ke arah makam dengan jalan menyeret tubuhnya dengan perut sejajar tanah. Saat itulah tiba-tiba tanah berhamburan ke udara dengan derasnya. Joko Sableng cepat-cepat menutup kedua matanya, namun sebelum kedua kelopak matanya menutup, sepasang matanya masih bisa menangkap berkelebatnya dua benda hitam. Joko tak tahu benda apa itu, namun melihat desingannya yang lewat di sampingnya, murid Pendeta Sinting ini bisa menduga jika benda itu adalah benda keras. Beberapa saat berlalu. Angin terus berhembus namun makin lama makin berkurang. Dan begitu angin tak lagi berhernbus, Joko segera buka kelopak matanya. Tanah yang berhamburan telah surut. Sementara cahaya bulan terus memancarkan sinar kemerah merahan. Sepasang mata Joko mendadak terpentang lebar. Memperhatikan ke arah makam yang lima tombak di hadapannya. Ternyata gundukan tanah makam itu telah rata. Dua nisan batu hitam telah pula lenyap! Dan samar-samar murid Pendeta Sinting ini melihat lubang di bawah bekas gundukan tanah makam! "Benda hitam tadi pasti batu nisan yang ikut terhempas angin..." duga Joko seraya bergerak bangkit dan langsung meloncat ke arah makam yang kini telah terbongkar. Dengan bantuan cahaya rembulan yang memancarkan sinar kemerah-merahan, murid Pendeta Sinting dengan jelas dapat melihat lubang menganga di hadapannya. Sepasang mata pemuda ini mendelik besar dengan mulut menganga. Ternyata lubang bekas gundukan makam itu terbuat dari batu yang membentuk persegi panjang. Tapi yang membuat sepasang mata Joko terpentang tak berkedip, adalah memancarnya sinar kuning berkilau dari sisi samping batu persegi panjang itu. Dan mungkin masih tak percaya dengan pandangan matanya, murid Pendeta Sinting mengusap-usap kedua matanya, lalu dilebarkan dan memandang sekali lagi ke arah cahaya kuning berkilau. "Tidak bermimpikah aku...?!" gumamnya seakan tak percaya. Perlahan-lahan dia melangkah maju dan membungkuk. “Ternyata petunjuk itu benar adanya. Benda itu ada! Dan kini ada dihadapanku!" desis Joko seraya memperhatikan lebih seksama. Di salah satu sisi batu persegi panjang itu terlihat cahaya kuning berkilau memancar dari sebuah sarung pedang bergagang warna hijau masuk ke dalam batu. Dengan tubuh agak gemetar, Joko segera melangkah satu tindak, dan perlahan-lahan pula masuk ke dalam batu persegi panjang. Matanya tak berkedip memperhatikan, sementara kedua tangannya bergetar dan dada berdebar keras. Untuk beberapa saat lamanya murid Pendeta Sinting ini diam tak bergerak seakan masih menindih perasaan tak percaya dan terkesima. Setelah dapat menguasai perasaan yang menggelayut dadanya, pemuda ini gerakkan tangannya hendak mengambil pedang yang memancarkan sinar kuning berkilau itu. "Semoga Tuhan memberiku kekuatan..." bisiknya dalam hati. Kedua tangannya terus bergerak. Namunm sejengkal lagi kedua tangannya menyentuh pedang, tiba-tiba terdengar desiran angin dahsyat yang menusuk gendang telinga. Bersamaan dengan itu, batu persegi di mana Joko berada berguncang keras. Dan belum sempat murid Pendeta Sinting mengetahui apa yang terjadi, tubuhnya telah terhumbalang dan jatuh bergedebukan di dalam batu persegi panjang! Dengan kuduk merinding dan tubuh terguncang, Joko segera takupkan kedua tangannya untuk kerahkan tenaga dalam. Bersamaan dengan itu, guncangan di batu persegi panjang perlahan-lahan mereda. Murid Pendeta Sinting segera bergerak bangkit duduk. Kepalanya lantas tengadah. Bulan sepenggai tepat berada di atasnya. Dan sorotan cahayanya memancar ke lubang batu persegi panjang. Joko kembali luruskan kepalanya dan memperhatikan pedang yang kini ada di hadapannya. Dengan tangan masih gemetar dan dada berdebar, Joko segera geser duduknya perlahan-lahan ke depan, mendekat ke arah pedang. Kedua tangannya kembali bergerak hendak mengambil pedang berwarna kekuningan itu. Mungkin takut akan terjadi sesuatu yang tidak diduganya, pemuda ini kerahkan segenap tenaganya. Ternyata apa yang diduga tidak terjadi. Tidak ada desiran angin menggemuruh yang menusuk gendang telinga, juga tidak ada guncangan! Hingga meski dengan tubuh dan tangan gemetar, Joko teruskan niatnya untuk mengambil pedang. Kedua tangannya telah menyentuh pedang. Sejenak murid Pendeta Sinting ini menghela napas dalam-dalam. Sepasang matanya mengerjap, lantas dibuka kembali. Kedua tangannya pun menarik pedang yang terletak menjorok ke dalam batu. Namun pemuda ini melengak terkesiap. Kedua tangannya tak mampu menarik keluar pedang dari tempatnya! Joko lipat gandakan tenaga dalam dan disalurkan pada kedua tangannya, hingga tangannya berwarna kuning. Namun kedua tangannya masih juga tidak mampu membuat pedang itu lepas dari tempatnya! Murid Pendeta Sinting ini tak putus asa, dia terus berupaya kerahkan tenaga dalam dan mencoba menarik pedang dari tempatnya. Tubuh pemuda itu telah basah kuyup oleh keringat, namun usahanya belum juga menampakkan hasil. Malah goyang pun tidak! Padahal Joko telah kerahkan segala kemampuannya yang telah diwariskan Pendeta Sinting. "Hmm... Kalau pedang ini tak dapat ditarik, terpaksa aku akan menghantam tempat sekitar pedang ini! Hanya itu satu-satunya jalan!" pikir Joko seraya tarik kedua tangannya. Kedua tangannya lantas memukul-mukul tempat di sekitar pedang. Kepala pemuda ini mengangguk-angguk. Kedua tangannya lantas diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Serta-merta kedua tangannya dihantamkan ke batu yang ada disekitar pedang. Bukkk! Dukkk! Murid Pendeta Sinting ini berteriak keras. Kedua tangannya yang menghantam batu mental ke belakang. Pemuda ini segera memeriksa dengan paras meringis kesakitan. Kedua tangannya berubah merah dan sedikit menggembung! "Edan!" maki Joko dalam hati seraya memperhatikan batu yang baru saja dihantam. Jangankan retak, membekas pun tidak! Padahal hantaman Joko tadi biasanya mampu menghancurkan batu sebesar satu rangkulan tangan manusia. Merasa masih penasaran, Joko geser duduknya ke belakang. Kedua tangannya diangkat di depan dada. Lalu dikembangkan dan perlahan-lahan didorong ke arah batu di sekitar pedang. "Wuuuttt! Wuuuttt!" Dari kedua tangan Joko melesat sinar kuning keperakan. "Duuukkk! Duuukkk!" Pukulan 'Lembur Kuning' yang dllepaskan Joko menghantam batu di sekitar pedang dan keluarkan suara keras dua kali berturut-turut. Namun murid Pendeta Sinting tersirap darahnya. Mulutnya keluarkan seruan tertahan. Karena pukulannya membalik kearahnya! Hingga dengan menahan rasa tak percaya, pemuda ini segera membuat gerakan melesatkan tubuhnya ke udara. Namun angin yang membalik lebih cepat datangnya, hingga tanpa ampun lagi tubuhnya terjengkang ke belakang dan menghantam batu di belakangnya! Untuk beberapa lama dia tersandar di batu dengan mata berkunang-kunang. Tubuhnya bagian belakang serasa remuk. Dadanya pun berdenyut sakit. Perlahan-lahan dia geser tubuhnya agar bisa sedikit tegak bersandar. Saat itulah terdengar angin berdesir dari atas. Joko cepat mendongak. Kuduk pemuda ini makin merinding dan keringat makin membasahi sekujur tubuhnya, karena di atas sana Joko melihat asap putih mengurung lubang di mana dia berada! Dan sepasang mata Joko terpentang besar tatkala samar-samar dari sisi bagian depan di atas sana, asap putih itu menipis, lalu muncul sesosok tubuh! Mungkin karena terkejut, Joko serentak geser tubuhnya ke belakang. Namun karena di belakangnya adalah sisi batu yang persegi panjang, maka membuat pemuda ini terantuk sisi batu dibelakangnya! Belum hilang rasa terkejut murid Pendeta Sinting, sosok di atas Joko telah keluarkan suara, membuat Joko tersentak. "Siapa namamu, Anak Muda??!" Karena masih kaget, Joko tidak segera menjawab pertanyaan orang. Sebaliknya sepasang matanya menatap lurus pada sosok yang duduk di atas sana. Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Jenggotnya panjang menjulai sampai dada. Meski paras wajahnya samar-samar, namun Joko masih bisa menangkap jika wajah itu cerah berseri. Kakek ini mengenakan pakaian jubah putih dengan kepala memakai sorban juga berwarna putih. Anehnya, meski tampak duduk bersila, Namun kakinya tidak menyentuh tanah! Kakek ini duduk mengambang di udara dengan kedua tangan merangkap sejajar dada! Joko memperhatikan lebih seksama. Mulutnya bergerak komat-kamit namun tak ada suara yang terdengar. Sementara sepasang matanya tak berkedip! Keterkejutannya perlahan-lahan berubah menjadi rasa heran, karena Joko sepertinya tidak asing lagi dengan wajah orang tua di atasnya itu! Namun Joko tidak mengetahui di mana dia bertemu. Joko coba mengingat-ingat. Tiba-tiba matanya beralih pada telapak tangan kirinya. "Hm... Wajah orang tua di atas itu mirip dengan lukisan yang ada di telapak tangan kiriku... Hampir tak kupercaya...!" gumam Joko Sableng tak mengerti. "Anak Muda! Kau belum jawab pertanyaanku!" orang tua bersorban kembali keluarkan suara. Dengan mulut bergetar dan suara tersendat, Joko menjawab. "Namaku Joko..." Sebenarnya Joko ingin menanyakan siapa sebenarnya orang tua yang paras wajahnya mirip dengan lukisan yang ada di telapak tangan kirinya. Namun sebelum ucapannya terdengar, si orang tua telah kembali keluarkan suara. "Joko. Apa yang kau lihat di telapak tangan kirimu?!" Sejenak Joko tak memberi jawaban. Dia memandang silih berganti pada telapak tangan kirinya lalu pada orang tua yang duduk bersila di atas lubang. "Lukisan di telapak tanganku mirip sekali dengan wajahmu..." gumam Joko pada akhirnya. Si orang tua tersenyum. Lalu mengangguk-angguk. "Dengar baik-baik, Joko! Beratus-ratus tahun aku menunggu orang yang memiliki tanda seperti yang kau punyai. Dan dengan kedatanganmu, berarti masa penantianku malam ini akan segera berakhir. Kaulah manusia yang telah ditentukan untuk memiliki pedang itu!" orang tua itu hentikan ucapannya sejenak. Lalu melanjutkan. "Peganglah gagang pedang itu dengan telapak tangan kirimu. Jangan bernapas tatkala menyentuhnya!" Mungkin karena masih tertegun, Joko masih diam meski si orang tua telah memberi perintah. "Joko. Waktuku tidak banyak. Lekas lakukan apa yang kukatakan!" ujar si orang tua dengan naga tegas. Seakan baru tersadar, Joko buru-buru geser tubuhnya ke dekat pedang. Tangan kirinya bergerak dan langsung menempel pada gagang pedang, sementara napasnya ditahan. Joko tersedak. Begitu tangan kirinya menyentuh gagang pedang, terasa ada hawa dingin yang masuk melalui telapak tangannya. Anehnya bersamaan dengan itu rasa sakit di sekujur tubuhnya akibat benturan dengan batu persegi itu seketika lenyap. Pandangannya makin tajam. Sementara tenaga dalamnya seakan berlipat ganda! Keterkejutan Joko tidak hanya sampai di situ. Begitu telapak tangan kirinya menyentuh pedang, pedang itu bergerak-gerak! Masih dengan menahan napas, Joko segera mencabut pedang dari tempatnya. Kali ini dengan mudah pedang itu dapat ditarik dari tempatnya. Dengan tubuh bergetar dan dada berdebar, Joko tarik tangan kirinya yang telah menggenggam gagang pedang. Begitu pedang lepas dari tempatnya, seberkas sinar kuning berkilau memancar ke udara, hingga saat itu juga suasana di tempat itu berubah menjadi merah kekuningan. Pedang di tangannya dldekatkan. Perlahan-lahan pedang itu ditarik dari sarungnya. Sepasang matanya memperhatikan dengan seksama. Ternyata pedang itu berwarna kuning keemasan. Panjangnya cuma setengah depa. Lebarnya kira-kira dua pertiga jengkal. Ujung dan pangkal pedang sama besarnya. Sedangkan gagang pedang berwarna hijau terbuat dari batu giok. Pada tubuh pedang itu tergurat dengan jelas angka 131! "Joko. Yang berada di tanganmu itu adalah senjata mustika yang sulit dicari tandingannya. Sebuah pedang bernama Pedang Tumpul 131. Senjata itu tidak dapat digunakan oleh sembarang orang, karena untuk mempergunakannya diperlukan tenaga dalam yang kuat. Tanpa disertai tenaga dalam, senjata itu hanya akan seperti pedang biasa..." si orang tua hentikan sejenak penuturannya. Sepasang matanya memandang lekat-lekat pada murid Pendeta Sinting yang mendengarkan penuturannya dengan seksama. "Joko. Sebagai salah seorang pewaris yang ditentukan memiliki Pedang Tumpul 131, kau harus mengerti satu hal. Yakni pedang itu diciptakan dengan satu tujuan, yaitu untuk menegakkan kebenaran dan menghancurkan kejahatan! Pedang Tumpul 131 harus kau jaga dan kau rawat baik-baik layaknya kau menjaga dan merawat dirimu! Dan jangan coba-coba mempergunakannya di jalan yang tidak semestinya, karena kau akan menerima akibat yang mengenaskan!" "Eyang..." Joko tidak meneruskan ucapannya, karena saat itu dilihatnya si orang tua melintangkan telunjuk tangannya pada mulutnya, memberi isyarat agar Joko tak meneruskan kata-katanya. "Joko. Seperti kata-kataku tadi, waktuku tidak banyak. Sebelum aku pergi aku akan menjelaskan padamu dahulu apa yang ada di tubuh Pedang Tumpul 131 itu. Pedang Tumpul 131 dibuat lurus dengan pangkal dan ujung sama besar memberi isyarat bahwa kebenaran harus kau tegakkan semenjak kau lahir sampai kau menutup mata tanpa sedikit pun mengendor atau mengecil! Angka 131 menunjukkan bahwa menegakkan kebenaran itu sebenarnya tugas yang amat mulia yang datang dari Tuhan Yang Maha Esa. Itulah yang diisyaratkan dengan angka satu yang pertama. Namun ketahuilah, segala sesuatu pasti ada rintangannya. Apalagi jika sesuatu itu bernama kebenaran. Ketahuilah olehmu, ada tiga hal yang jika kau tidak berhati-hati hal tersebut akan mendatangkan bencana besar dalam hidupmu. Yang pertama adalah harta. Kedua tahta dan ketiga wanita! Tiga hal tersebut adalah pangkal bencana yang bisa membenamkan kebenaran jika dipergunakan secara salah! Itulah yang diisyaratkan dengan angka tiga. Sementara angka satu yang terakhir memberi isyarat pada diri manusia. Maksudnya, manusia akan terpisah dengan Tuhannya jika manusia itu membenamkan dirinya dalam-dalam pada tiga hal tersebut di atas! Jika kau ingin angka satu bersanding dengan angka satu lainnya, yang berarti kau ingin selalu dekat dengan Tuhan, hindarilah tiga hal itu! Sedangkan inti dari semuanya itu adalah setiap kebenaran pasti akan mendapat tantangan! Dan tantangan itu bisa diredam jika manusia itu selalu mendekatkan diri pada Tuhannya! Jadi pedang ini hanyalah alat, sementara akar dari semuanya adalah tergantung manusia yang menggunakan pedang ini! Harapanku, sebagai manusia yang ditentukan memegang alat, kau harus dapat menggunakannya sebagaimana mestinya!" Joko mendengarkan penuturan orang tua dengan seksama. Memasukkannya dalam otak dan mengingatnya baik-baik.b"Joko. Kuharap kau melakukan apa yang telah kukatakan. Sekarang aku harus pergi..." "Eyang..." ujar Joko dengan suara bergetar parau. Namun kata-katanya terputus, karena sosok orang tua itu samar-samar telah lenyap dari pandangannya! Asap yang melingkupi bagian atas lubang di mana Joko berada pun perlahan-lahan menipis sebelum akhirnya sirna. "Eyang... Segala petunjukmu akan kulaksanakan..." desis Joko seraya menjura dalam-dalam. Selagi murid Pendeta Sinting ini menjura, tiba-tiba telinganya mendengar deru angin, disusul kemudian dengan bergetarnya lubang di mana ia berada. Deru dan getaran tempat itu makin lama makin keras. Merasa ada gelagat tidak baik, pemuda murid dari jurang Tlatah ini cepat masukkan Pedang Tumpul 131 pada sarungnya lalu disimpan ke dalam balik pakaiannya. Baru saja pedang itu tersimpan, Joko terkesiap lalu memandang lekat-lekat pada telapak tangan kirinya. Ditelapak tangan itu kini selain samar-samar terlihat gambar orang tua bersorban juga menggurat angka 131! Namun keterkejutan Joko tidak berlangsung lama, karena pada saat bersamaan, batu persegi panjang di mana dia berada makin bergetar, dan dari atas tanah bukit berhamburan masuk ke dalam lubang. Sebelum tubuhnya terbenam dalam lubang yang perlahan-lahan ditimbuni tanah, Joko Sableng segera lesatkan dirinya ke atas. Murid Pendeta Sinting ini tersentak. Angin berhembus demikian kencang, hingga tubuhnya hampir saja terseret jika dia tak segera kerahkan tenaga dalam untuk mengatasi tubuhnya. Angin terus berhembus menghamburkan tanah di puncak bukit. Dan perlahan-lahan lubang bekas makam tadi tertimbun tanah. Begitu angin berhenti berhembus, tanah berlubang bekas makam di mana tadi tersimpan Pedang Tumpul 131 telah rata dengan tanah layaknya seperti tidak pernah ada makam! "Luar biasa..." desis Joko seraya tak berkedip memandangi bekas makam. Selagi murid Pendeta Sinting mengagumi apa yang baru saja terjadi, terdengar suara. "Pendekar Pedang Tumpul 131! Sejak malam ini, kau mempunyi tugas. Menegakkan kebenaran dan menghancurkan keangkaramurkaan! Tujuan hidupmu adalah mendamaikan umat manusia dan menumpas manusia yang membuat malapetaka di bumi!" Dengan menindih rasa terkejut, murid dari jurang Tlatah Perak ini arahkan pandangannya berkeliling. Tapi matanya tak dapat menangkap adanya seseorang! "Hmm... Pasti Eyang tadi... Suaranya masih kuingat betul..." gumam Joko dengan tengadahkan kepala memandang bulan. "Eyang... Segala ucapanmu akan kuingat dan kulakukan!" teriak Joko memecah kesunyian Pesanggrahan Keramat di puncak bukit Sono Keling. Namun kesunyian tidak lagi melingkupi, karena bersamaan dengan lenyapnya teriakan Joko, dari arah bawah terdengar derap langkah kaki-kaki kuda menuju ke atas bukit. Siapakah penungang kuda yang menuju Puncak Bukit Sono Keling? Untuk mengetahuinya, ikuti petualangan Joko Sableng Yang seru dan menggemparkan dalam episode Ratu Pemikat. |
Jilid selanjutnya;
|