Naga Beracun Jilid 34 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Kui Eng bangkit duduk dan membereskan sanggul rambutnya yang terlepas dan terurai. Ketika kedua tangannya di angkat ke atas membereskan rambutnya, gerakan itu sungguh penuh kelembutan, gerakan khas wanita dan sang pangeran terpesona.

"Kiat-ko, engkau begini baik kepadaku... rasanya aku sebagai seorang hina yang tidak berharga sekali... tidak berharga untuk menerima cinta seorang pangeran sepertimu. Ah, betapa kejamnya suheng...!"

"Eng-moi, harap engkau jangan berpikir seperti itu. Sesungguhnya, suhengmu itu sama sekali bukan orang kejam, bahkan dia telah bertindak bijaksana ketika bicara begitu terus terang dan jujur. Bayangkan saja, Eng-moi, andaikata dia tidak sejujur itu, andaikata dia tidak berani melakukan pengakuan yang amat jujur dan terdengar keras itu, dia akan merusak kehidupan empat orang sekaligus!"

Kui Eng terbelalak. "Merusak kehidupan empat orang? Siapa yang engkau maksudkan, koko? Dan mengapa merusak kehidupan mereka?"

"Orang pertama yang akan rusak hidupnya adalah engkau sendiri. Ingat perjodohan yang membuat dua orang hidup bersama selamanya, hanya akan membahagiakan kedua orang itu kalau mereka saling mencinta. Kalau hanya clnta sebelah pihak, maka akhirnya perjodohan itu akan hancur dan kalau kelak engkau mendapat kenyataan bahwa suamimu tidak mencintamu, apakah hal itu bukan berarti menghancurkan hatimu? Orang ke dua tentu saja kehidupan suhengmu sendiri. Dia akan hidup menderita batin karena dia harus hidup sebagai suami dari seorang isteri yang tidak dicinta ya sebagai Isteri, melainkan sebagai adik dan dia harus berjauhan dengan wanita yang sesungguhnya dia cinta. Orang ke tiga adalah nona Kam Cin karena nona itu terpaksa harus berpisah dari suhengmu, pria yang diclntanya. Orang ke empat tentu saja aku sediri, karena hidupku akan terasa rusak apa bila engkau menjadi isteri suhengmu, berarti akan berpisah dariku. Nah, indakan suhengmu itu sama sekali bukan suatu kekejaman, melainkan suatu kebijaksanaan."

Kui Eng diam saja, menunduk dan dapat mulai memahami kebenaran ucapan pangeran itu. Dan iapun teringat betapa cinta kasih Cin Cin terhadap suhengnya itu tentulah besar sekali sehingga biarpun tangannya dibuntungi Thian Ki, gadis Itu tetap mencintanya! Pada hal ia sendiri, baru mendengar Thian Ki nencinta gadis lain saja sudah marah-marah dan tidak senang, menganggap Thian Ki kejam!

Dan Thian Ki bukan benci kepadanya, melainkan menyayangnya, sebagai seorang kakak, ia tidak akan kehilangan Thian Ki sebagai suheng dan sebagai kakaknya, dan ia bahkan mendapatkan seorang lain yang juga amat mencintanya, yaitu Pangeran Li Cu Kiat. Pangeran itu telah membelanya, melindunginya, merawatnya, bahkan tidak menjadi marah ketika mengetahui bahwa pernah mencinta dan bahkan bertunangan dengan suhengnya!

Melihat sikap Kui Eng yang diam saja dan kini wajah gadis itu tidak murung seperti tadi, diam-diam Pangeran Li Cu Kiat merasa lega. "Sudahlah, Eng moi, jangan memikirkan hal itu lagi. Perlahan-lahan engkau akan mengerti dan engkau akan dapat mempertimbangkan semua ucapanku tadi, dan mudah-mudahan saja Tuhan telah menentukan bahwa jodohku adalah engkau, karena hal itu akan membuat hidupku penuh kebahagiaan Sekarang, sebaiknya engkau rebah lagi dan beristirahat, engkau sudah duduk terlalu lama..."

Dan baru sekarang pangeran itu menyadari bahwa gadis itu telah duduk terlalu lama sekali, hal yang tidak wajar karena biasanya, duduj sebentar saja sudah merasa pening.

"Heii...!! Aku tidak merasa pening lagi, koko! Dan tubuhku terasa ringan dan nyaman. Rasa berat dan panas di dalam dadaku lenyap... apakah ini barangkali...”

Mereka saling pandang dan Kui Eng meloncat turun dari atas pembaringan dan tentu akan roboh kalau tidak cepat ditangkap dan dirangkul pangeran itu. Akan tetapi Kui Eng tidak pening, dan tertawa. "Heii, tubuhku sungguh menjadi ringan seperti tidak bertenaga, akan tetapi terasa nyaman." Ia melepaskan rangkulan pangeran itu dan duduk di tepi pembaringan. "Koko, aku sudah sembuh!"

Pangeran Li Cu Kiat memandang dengan wajah berseri. "Tak salah lagi, tentu mereka telah berhasil menemukan dan menghajar tosu iblis itu!" teriak-nya, dan pada saat itu, ibu dan neneknya memasuki kamar.

"Kui Eng, kenapa engkau, duduklah istirahat saja dulu..." kata Nyonya Li Seng Tek, ibu pangeran itu.

"Ibu! Nenek! Eng-moi sudah sembuh, agaknya Coa-toako dan nona Kam telah berhasil menghajar tosu iblis itu!" teriak Pangeran Li Cu Kiai gembira.

"Syukurlah...!" kata ibunya.

"Bagus! Mudah-mudahan saja tosu dukun lepus itu telah dibikin remuk kepalanya, dipenggal batang lehernya dan sekarang sudah mampus!" kata si nenek galak.

Kui Eng yang merasa sehat dan gembira, segera berganti pakaian, mandi dan kemudian dengan lahap ia makan hidangan yang disajikan, ditemani oleh keluarga itu yang tertawa-tawa gembira melihat betapa Kui Eng makan dengan lahapnya. Setelah selesai makan, Kui Eng mengajak Pangeran Li Cu Kiat untuk pergi menyusul suhengnya, akan tetapi baru mereka berada di beranda depan, muncullah Thian Ki dan Cin Cin.

Sebelum mereka bicara, kedua pihak sudah tahu apa yang terjadi. Kui Eng yakin bahwa tentu suhengnya telah berhasil menghajar Im Yang Sengcu, Sebaliknya Thian Ki dan Cin Cin juga sudah dapat menduga bahwa Kui Eng telah sembuh sama sekali.

"Bagaimana, suheng? Apakah engkau sudah berhasil menghajar tosu siluman itu?” tanya Kui Eng dan dengan sikap manja seperti biasa sejak mereka masih kanak-kanak, ia menghampiri Thian Ki dan memegang tangan pemuda itu.

Melihat sikap gadis ini, Thian Ki tersenyum girang. Jelas bahwa gadis itu memperlihatkan kasih sayang dan kemanjaan seorang adik, seperti dahulu sebelum mereka dltunangkan oleh ayah kandung gadis itu. Diapun mengelus rambut adiknya itu dengan rasa sayang. "Dan engkau tentu telah sembuh bukan? Ketahuilah, sumoi, Im Yang Sengcu telah terbunuh dalam pertandingan melawan..."

"Melawan engkau, siapa lagi?” Kui Eng memotong. "Sayang, aku tidak dapat menyaksikannya, suheng."

"Dugaanmu keliru, bukan aku yang bertanding dengan dia."

"Ehh? Bukan engkau? Lalu siapa?”

Thian Ki menoleh kepada Cin Cin yang menjadi kemerahan mukanya. "Cin moi inilah yang tak dapat menahan kemarahannya dan mendahului aku menantang tosu itu. Mereka bertanding, disaksikan oleh Sri baginda Kaisar sendiri dan tosu itu tentu saja kalah oleh Cin-moi yang lihai."

“Ihh, engkau pandai memuji saja...“ Cin Cin tersipu.

“Enci Cin! Engkau yang membalaskan dendamku?”

Cin Cin mengangguk dan menghampiri gadis itu. "Aku tidak dapat menahan kemarahanku melihat tosu siluman itu menggunakan ilmu sihir di meja sembahyang untuk mencelakaimu, adik Eng. Karena itu, ketika Sribaginda muncul dan mengusulkan pertandingan satu lawan satu, aku segera maju menantang tosu itu. Aku... tidak tahu cara lain untuk membuktikan padamu bahwa aku tidak mempunyai perasaan permusuhan denganmu, adik Eng."

"Enci Cin...!" Kui Eng merangkulnya dan merekapun menjadi akrab. Meihat ini, Thian Ki saling pandang dengan Pangeran Li Cu Kiat dan keduanya merasa gembira sekali.

"Sribaginda sendiri yang menjadi saksi dan mengadu kalian dengan dukun lepus itu?" Nenek Song bertanya. "Sungguh menarik sekali. Ceritakan bagaimana peristiwa itu terjadi!"

"Aih nenek, mari kita semua masuk ke dalam dan bicara di sana saja. Tidak baik bicara sambil berdiri diberanda," kata Pangeran Li Cu Kiat yang lalu menggandeng nereknya yang tertawa-tawa dan merekapun semua masuk ke dalam dengan wajah gembira.

Setelah mereka berada di ruangan sebelah dalam, Thian Ki menceritakan pengalaman mereka di kuil Thian-Sengcu, dan betapa Sri baginda Kaisar sendiri yang menghendaki agar perselisihan di antara mereka dan tosu itu diselesaikan melalui pertandingan. Betapa kemudian Cin Cin berhasil menewaskan tosu itu yang agaknya keracunan oleh asap beracunnya sendiri dan diapun menceritakan dengan gembira bahwa dia telah berhasil mendapatkan pedang pusaka milik ayah tiri dan juga gurunya, mendapatkan pula obat penawar racun yang diberikan sendiri oleh Kaisar.

Mendengar ini, Kui Eng berseru gembira. "Aih, kalau begitu, engkau akan sembuh dan dapat menikah dengan enci Cin, suheng!!" Semua orang terheran mendengar ini, akan tetapi Cin Cin ter sipu dengan muka kemerahan.

"Hemm, Kui Eng, apa artinya ucapanmu tadi? Hayo ceritakan, jangan simpan rahasia-rahasiaan dariku" kata nenek Song tak sabar.

"Memang tadinya merupakan rahasia pribadi suheng, Nenek, akan tetapi karena sekarang suheng telah mendapatkan obat dari Sri baginda Kaisar, maka tak perlu dirahasiakan lagi. Suhengku ini adalah seorang tok-tong (anak beracun) tubuhnya mengandung racun hebat dan sudah banyak tokoh sesat yang lihai tewas sendiri ketika memukulnya dan mereka keracunan sendiri. Bahkan enci Cin ini pernah menyerang suheng dan mencengkeram pundak suheng dan akibatnya, enci Cin keracunan tangan kirinya dan jalan satu-satunya untuk mennyelamatkannya hanyalah pemotongan tangan kirinya yang dilakukan pula oleh suheng. Tidak ada obat yang dapat memberslhkan hawa beracun dari tubuh suheng, dan kalau dia tidak terbebas dari hawa beracun itu, dia tidak akan dapat menikah, karena wanita yang menjadi isterinya akan tewas keracunan. Nah,sekarang dia telah menerima obat penawar dari Sribaglnda, maka aku perlu menghaturkan selamat kepada suheng dan enci Cin!"

Melihat Thian Ki dan Cin Cin tersipu malu, semua orang bergembira, terutama sekali Pangeran Li Cu Kiat merasa senang sekali karena sikap Kui Eng itu jelas membuktikan bahwa gadis itu tidak lagi menderita patah hati melihat suhengnya berjodoh dengan gadis lain! Dan Thian Ki sendiri, juga Cin Cin, merasa lega dan berbahagia melihat sikap Kui Eng seperti itu.

"Kalau begitu, kami menghendaki agar engkau mempergunakan obat penawar itu di sini, di rumah kami agar kami dapat membantumu kalau membutuhkan sesuatu, Thian Ki," kata Nenek Song yang kini sudah bersikap akrab dengan Thian Ki seolah-olah pemuda itu telah lama dikenalnya.

"Benar apa yang diminta oleh Nenek, suheng. Obat pusaka seperti itu tentu manjur sekali dan daya kerjanya juga keras. Di sini engkau akan aman mempergunakannya, pula aku sendiri dapat menjagamu kalau-kalau terjadi sesuatu setelah engkau menggunakan obat itu," kata Kui Eng.

Juga Pangeran Li Cu Kiat membujuk dan ketika Thian Ki menoleh kepada kekasihnya, Cin Cin juga mengangguk menyetujui. Memang lebih aman kalau kekasihnya itu mengobati dirinya di istana pangeran yang aman itu, dikelilingi orang-orang yang jelas akan membelanya kalau sewaktu-waktu timbul bahaya.

"Baiklah, dan sebelumnya saya menghaturkan banyak terima kasih kepada Pangeran dan keluarga di sini...“ Thian Ki berulang-ulang menjura dengan penuh hormat.

"Aihh, twako, tidak perlu sungkan. Kita berada di antara keluarga sendiri, bukan?" kata pangeran itu sambil memandang wajah Kui Eng dan gadis inipun tersenyum manis.

Pada hari itu juga, dalam sebuah kamar yang diperuntukkan Thian Ki, pemuda ini, dibantu Cin Cin dan Kui Eng memasukkan obat yang bentuknya seperti telur merah itu, yang merupakan sari dari pada racun katak merah yang sudah dikeringkan, ke dalam sebuah panci tanah dan menuangkan anggur merah sebanyak dua cawan ke dalam panci, lalu meletakkan panci itu di atas perapian yang kecil nyalanya. Obat itu dibiarkan mencair ketika anggur mulai mendidih, dan dibiarkan menguap sampai anggur itu tinggal setengahnya. Tercium bau yang amis bercampur bau harum anggur.

Setelah anggur itu tinggal setengahnya, diangkat lalu campuran obat dan anggur itu dituangkan ke dalam cawan arak, persis tinggal secawan penuh dan dibiarkan agak mendingin. Karena maklum bahwa yang akan diminumnya itu merupakan racun katak merah yang amat berbahaya, maka Thian Ki dipersilakan duduk bersila di atas pembaringan oleh Cin Cin. Pemuda itu lalu mengatur pernapasan dan menghimpun tenaga sakti dalam tubuhnya sambil menanti obat itu mendingin.

Setelah obat itu tidak begitu panas lagi, tinggal hangat-hangat, Cin Cin mengambil cawan itu dan menyerahkan kepada Thian Ki. Semua keluarga dalam rumah itu menyaksikan pengobatan ini. Thian Ki menerima cawan obat itu, memandang ke sekeliling sambil tersenyum. Kalau sampai obat Itu membunuhnya, dia ingin pandangan terakhir kali bagi matanya wajah orang-orang yang di sayangnya dan dihormatinya. Kemudian, dia memejamkan mata, menyerahkan jiwa raganya kepada Tuhan, lalu diminumnya obat itu dengan sekali teguk.

Cin Cin dan Kui Eng mengamati semua gerakan Thian Ki dengan hati was-was, juga Pangeran Li Cu Kiat, ibunya dan neneknya memandang dengan hati tegang. Mereka semua tahu bahwa obat penawar racun pemberian kaisar itu merupakan obat yang amat keras. Mereka semua sudah pernah mendengar bahwa katak merah adalah sejenis katak langka yang suka makan ular beracun dan bahwa sedikit saja bisa katak itu cukup untuk menewaskan orang yang bagaimana lihaipun. Akan tetapi mereka juga mendengar bahwa bisa katak itu dapat menawarkan segala macam racun yang paling jahatpun.

Setelah mengembalikan cawan kosong kepada Cin Cin, Thian Ki yang masih duduk bersila itu memejamkan mata kembali, duduk diam menanti bekerjanya racun Katak Merah di tubuhnya. Dan dia menanti tidak terlalu lama. Perlahan-lahan mukanya berubah kemerahan Warna kemerahan ini menjalar terus sampai ke seluruh permukaan tubuhnya dan semua orang merasa betapa ada hawa panas keluar dari tubuh Thian Ki, terasa oleh mereka semua. Dan perlahan-lahan, dari dalam tubuh itu mengepul uap hitam.

“Panas... panas... semua menjauh....!” terdengan suara Thian Ki lirih dan semua orang menaati permintaannya karena mereka dapat menduga bahwa uap hitam yang keluar dari tubuh pemuda itu tentu mengandung racun yang amat berbahaya. Mereka menjauh keluar kamar dan hanya menjenguk dari. luar pintu saja.

Belasan menit kemudian, terjadi perubahan pada tubuh Thian Ki yang tadinya tegang kepanasan dan berwarna kemerahan, kini tubuh itu mulai menggigil dan warna merah berubah menjadi putih pucat dan akhirnya tubuh itupun menggigil keras.

"Dingin... dingin..." kembali terdengar Thian Ki merintih lirih akan tetapi dari tubuhnya tetap saja mengepul uap kehitaman.

Di luar kamar, semua orang menonton dengan hati tegang. Kui Eng dan Cin Cin gelisah dan Kui Eng berbisik, "Suheng kedinginan, dia menderita hebat apakah tidak lebih baik kalau kita menyelimutinya...?"

"Jangan, adik Eng. Hal itu berbahaya, dapat menghambat keluarnya hawa beracun," bisik Cin Cin kembali.

Hawa dingin yang menguasai tubuh Thian Ki juga tidak lama, berubah lagi menjadi panas. Setelah menjadi permaian dua macam hawa yang berlawanan, sampai setengah hari lamanya, akhirnya uap menghitam itu semakin menipis dan akhirnya, setelah tidak ada lagi uap hitam mengepul keluar, tubuh Thian Ki terkulai di atas pembaringan.

Cin Cin dan Kui Eng meloncat ke dalam kamar dan menghampiri pembaringan, diikuti oleh Pangeran Li Cu Kiat, sedangkan Ibu dan nenek pangeran itu telah lama meninggalkan tempat itu untuk beristirahat.

Cin Cin cepat memeriksa nadi tangan kekasihnya dan hatinya lega. Thian Ki hanya kelelahan dan pingsan.Ia lalu membetulkan letak tubuh Thian Ki, dibiarkan rebah telentang di atas pembaringan dan menyusut muka, leher dan dada kekasihnya yang basah oleh keringat. Thian Ki seperti orang tidur saja, pernapasannya panjang dan sehat.

Tak lama kemudian, masih dijaga leh tiga orang itu, Thian Ki membuka kedua matanya. Melihat mereka, dia tersenyum, kemudian dengan wajah berseri berkata kepada Cin Cin, "Cin-moi... kita... kita berhasil..."

Bukan main lega rasa hati Cin Cin sehingga tak dapat ditahannya lagi, kedua matanya menjadi basah. "Ah, terima kasih kepada Tuhan..." dan tangannya yang tinggal sebelah itu menangkap tangan Thian Ki. Jari-jari tangan mereka saling cengkeram dan pandang mata mereka bertemu dan bertau penuh kebahagiaan.

Melihat ini, perlahan-lahan Pangeran Li Cu Kiat memegang tangan Kui Eng dan ditariknya gadis itu dengan lembut keluar kamar, meninggalkan sepasang kekasih yang sedang tenggelam dalam kebahagiaan itu. Ketika tiba di luar kamar, Pangeran Li Cu Kiat menghentikan langkahnya, memegang kedua pundak Kui Eng dani menatap wajahnya. Dia melihat sepasang mata Kui Eng juga basah air mata.

"Eng-moi, engkau sungguh seorang yang berhati mulia," bisiknya.

"Dan engkau, koko, engkau lebih mulia lagi..." kata Kui Eng dan ia pun memejamkan mata ketika pangeran itu menarik dan mendekap mukanya di dada pangeran itu. Mereka tidak bergerak, tidak berkata-kata, seolah pada saat itu semua perasaan dan hati mereka telah menjadi satu dalam dekapan itu.

********************

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning Episode Naga Beracun karya kho ping hoo

Bekas Pangeran Cian Bu Ong duduk di atas kursi dengan mukanya yang biasanya kemerahan itu kini menjadi lebih merah lagi seolah dia kebanyakan minum arak. Jenggotnya yang panjang itu seperti menjadi kaku dan jelas nampak bahwa dia marah sekali. Di sebelah kirinya duduk isterinya. Sim Lan Ci yang biarpun usianya sudah mendekati limapuluh tahun, masih nampak anggun dan segar. Nyonya ini mengerutkan alisnya dan pandang matanya membayangkan kekhawatiran melihat kemarahan suaminya.

Thian Ki dan Kui Eng nampak berlutut di depan kedua orang tua ini, sedangkan Cin Cin dan Pangeran Li Cu Kiat berdiri dengan menundukkan muka, di belakang kedua orang muda yang berlutut itu.

"Ucapan gila apakah yang kalian keluarkan tadi?" Kakek yang usianya sudah enampuluh tujuh tahun namun masih nampak kekar dan kuat itu membentak. Kalian membatalkan tali perjodohan di antara kalian? Aku yang menjodohkan kalian, dan kalian berani mengatakan bahwa kalian tidak setuju dengan perjodohan itu? Hayo katakan, mengapa kalian melakukan tindakan gila ini? Mengapa?!"

Thian Ki maklum bahwa ayah tirinya, juga gurunya, marah sekali. Akan tetapi dia dan Kui Eng sudah mengambil keputusan tetap untuk berterus terang, maka dengan suara tenang diapun berkata, "Saya harap ayah sudi mengampuni saya. Bukan sekali-kali saya hendak membantah perintah ayah, akan tetapi, kalau saya menaati perintah ayah untuk berjodoh dengan Eng-moi, maka hal itu hanya akan menyengsarakan hidup kami berdua, ayah."

"Setan! Kau hendak mengatakan bahwa engkau terlalu berharga untuk anakku? Apakah Kui Eng terlalu rendah bagimu? Begitu?"

"Sama sekali tidak, ayah! Akan tetapi, di antara kami terdapat kasih sayang antara kakak dan adik, bagaimana mungkin mengubah kasih-sayang antara kakak beradik ini menjadi cinta kasih suami isteri? Saya tidak akan pernah dapat melupakan bahwa Kui Eng adalah adik saya, bukan hanya sumoi. Ayah, bagaimana mungkin saya dapat mengawini adik sendiri?"

"la bukan adikmu! Gila kau! Dan engkau bagaimana, Kui Eng? Apakah engkau merasa terhina, merasa ditolak oleh Thian Ki? Katakan saja, aku akan menghancurkan kepalanya kalau dia berani menghinamu, berani menolakmu!"

"Tidak sama sekali, ayah. Aku setuju dengan pikiran suheng. Dia sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri dan sayangku kepadanya juga kesayangan seorang adik terhadap kakaknya. Akupun tidak dapat menjadi isterinya, ayah. Aku tidak mau menjadi isterinya, sama sekali bukan karena suheng menolakku."

"Anak durhaka! Apakah engkau juga ikut-ikutan seperti Thian Ki, hendak menentang kehendak ayahmu sendiri?" bekas pangeran itu membentak dan melotot.

"Ayah, sejak kecil aku sudah menganggap suheng seperti kakak sendiri, juga ibu kuanggap sebagai ibu kandungku. Bagaimana sekarang tiba-tiba aku harus menganggap suheng sebagai suami dan ibu sebagai ibu mertua?"

“Tidak aku tidak mau, ayah, dan pula. aku dan suheng sudah menentukan pilihan hati kami sendiri untuk menjadi jodoh kami.”

"Ahh...?? Apa pula ini? Thian Ki, benarkah engkau telah menentukan pilihanmu sendiri, dan siapa gadis yang kau pilih untuk menjadi calon jodohmu itu?" Cian Bu Ong masih marah! dan suaranya terdengar keras.

"Ampunkan saya, ayah. Memang semua yang dikatakan Eng-moi tadi benar. Saya sudah saling mencinta dan mengambil keputusan untuk menjadi suami dari adik Kam Cin ini." Dia menunjuk ke arah Cin Cin yang masih berdiri di belakang.

Bekas pangeran itu terbelalak. Dia merasa terheran-heran karena dia tahu benar bahwa gadis murid Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan itu menjadi buntung tangan kirinya karena keracunan ketika nyerang Thian Ki dan pemuda itu pula yang membuntungi tangan kirinya untuk menyelamatkan nyawanya. Dan gadis itu masih juga dapat jatuh cinta dan mau menjadi calon jodoh Thian Ki? Teringat dia akan bekas kekasihnya, Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan yang agaknya juga amat setia dalam cintanya terhadap dirinya.

"Dan engkau, Kui Eng? Siapa pula pilihan hatimu? Pemuda itukah? Siapa dia?" Matanya mencorong memandang ke arah Pangeran Li Cu Kiat.

"Benar, ayah. Aku telah saling jatuh cinta dengan dia. Dia adalah Pangeran Li Cu Kiat, keponakan Sribaginda Kaisar yang selama ini membelaku, menolongku, melindungiku bahkan menjagaku ketika aku jatuh sakit."

Pangeran Cian Bu Ong terbelalak memandang kepada Pangeran Li Cu Kiat dan isterinya yang duduk disampingnya, yang sudah amat mengenal watak suaminya, maklum bahwa kalau dibiarkan suaminya itu dapat melakukan hal-hal yang tidak baik. Maka iapun bangkit berdiri dan menghalangi di depan suaminya, berkata dengan suara lembut namun tegas.

"Suamiku, kita harus merasa berbahagia sekali dengan peristiwa ini Kita telah mendapatkan kehormatan besar dengan peristiwa ini. Semenjak engkau menjodohkan Thian Ki dengan Kui Eng, hatiku juga merasa risau akan tetapi aku tidak membantah keinginanmu karena tidak ingin membuat engkau kecewa, apa lagi aku melihat kedua orang anak kita itu tidak membantah. Akan tetapi sekarang mereka berterus terang, bahkan kembali dengan membawa pilihan hati masing-masing. Thian Ki memilih Kam Cin. hal ini sungguh membanggakan hatiku. Semenjak peristiwa buntungnya tangan Kam Cin, Thian Ki merasa hancur hatinya dan aku sudah menduga bahwa dia mencinta Cin Cin. Sekarang, ternyata mereka saling mencinta dan peristiwa buntungnya tangan itu tidak mendatangkan ganjalan dalam hati mereka, pertanda bahwa cinta mereka tulus dan aku yakin mereka akan dapat menjadi suami isteri yang saling mencinta dan saling setia, hidup berbahagia bersama membentuk keluarga. Dan tentang anak kita Kui Eng. la saling mencinta dengan pemuda itu, seorang pangeran! Pandang pemuda itu baik-baik, suamiku. Dia tampan dan gagah, dan dia seorang pangeran! Bukan karena aku gila pangkat dan kedudukan, melainkan justeru karena dia pangeran, keponakan Kaisar, hal itu membuat aku yakin bahwa cintanya terhadap anak kita pasti murni dan bersih. Kalau tidak demikian, tentu dia tidak sudi jatuh cinta kepada puterimu! Mengertikah engkau suamiku?"

Memang sejak tadi kemarahan Cian Bu Ong sudah mereda satelah mendengar alasan-alasan yang dikemukakan Thian Ki dan Kui Eng. Sekarang, dia memandang kepada Pangeran Li Cu Kiat. Tadi memang terkilas dalam pikirannya bahwa pangeran ini adalah keponakan dari musuh besar Kerajaan Sui. Akan tetapi sekarang dia menyadari kebenaran omongan isterinya. Hanya, apakah pangeran ini sudah tahu bahwa Cian Kui Eng adalah puterinya, bekas Pangeran Cian Bu Ong yang pernah memberontak untuk mempertahankan Kerajaan Sui?

"Hemm, engkau Pangeran Li Cu Kiat?" kini dia bertanya kepada pemuda itu yang segera maju lalu memberi hormat dengan anggun kepada kakek itu.

"Benar, paman. Saya Li Cu Kiat. Ayah saya adalah mendiang Pangeran Li Seng Tek."

"Apakah engkau tahu siapa gadis yang kau cinta ini? Apakah engkau tahu anak siapa ia ini?" tanya pula Cian Bu Ong sambil mengamati wajah tampan itu dengan pandang mata menyelidik.

Kembali pangeran itu menjawab tegas, "Saya tahu, paman, la bernama Cian Kui Eng, puteri kandung paman yang dahulu adalah Pangeran Cian Bu Ong dari Kerajaan Sui."

"Hemm, aku memang Pangeran Cian Bu Ong dari Kerajaan Sui, musuh besar Kerajaan Tang, bahkan aku dianggap pemberontak dan buronan pemerintah, dimusuhi pamanmu. Kaisar Tang Tai Cung. Tentu dia tidak akan menyetujui kalau engkau, keponakannya, menikah dengan puteriku."

"Paman, ada dua hal yang saya kira perlu paman ketahui benar. Pertama adalah bahwa saya tidak memerlukan ijin persetujuan Paman Kaisar untuk urusan perjodohan saya, karena itu adalah urusan pribadi saya. Ibu dan nenek saya sudah menyetujui, hal itu sudah lebih dari cukup, dan saya kira Paman Kaisar juga tidak akan mencampuri urusan itu. Adapun hal yang ke dua, keluarga kami tidak pernah menganggap paman sebagai pemberontak. Kami mengetahui dan memaklumi kalau paman melakukan perlawanan dan usaha untuk menegakkan kembali Kerajaan Sui. Itu adalah persoalan perang, yang ada hanya menang atau kalah dan tidak dapat dipersoalkan tentang benar atau salah."

"Ayah, dia berkata benar. Sribaginda Kaisar tidak pernah mempunyai perasaan dendam kebencian kepada ayah. Buktinya, pedang pusaka Liong-cu-kiam milik ayah, dengan suka rela beliau kembalikan."

"Ah, benarkah itu, Thian Ki?"

Thian Ki mengeluarkan pedang pusaka itu dari buntalan pakaiannya dan menyerahkannya kepada Cian Bu Ong. "Benar sekali, ayah. Sribaginda Kaisar mengembalikan pusaka ini kepada ayah."

Cian Bu Ong menyambut pedang itu dan menghunusnya, matanya bersinar-slnar, lalu meredup. "Aihh, agaknya memang sudah dikehendaki Tuhan bahwa Kerajaan Sui diganti dan dilanjutkan oleh Kerajaan Tang. Li Cu Kiat, bagaima kami tahu bahwa Ibumu dan nenekmu menyetujui perjodohanmu dengan anak kami?"

"Ayah, Bibi Li dan Nenek Song amat baik. Apa lagi Nenek Song yang juga memuji-muji ayah sebagai seorang gagah. Nenek Song juga seorang yang amat lihai, ayah dan mereka semua amat baik kepadaku. Kalau tidak ada mereka, mungkin sekarang aku telah tewas di tangan tosu iblis Im Yang Sengcu," kata Kui Eng.

Pangeran Li Cu Kiat mengeluarkan sesampul surat dan menyerahkannya kepada Cian Bu Ong. "Paman, sebagai bukti bahwa ibu dan nenek menyetujuinya, ini saya membawa surat dari nenek untuk paman. Dan apa bila paman menyetujuinya, kami akan mengirim utusan untuk mengajukan pinangan secara resmi."

"Ayah, harap ayah tidak lagi menganggap keluarga Kaisar Tang Tai Cung sebagai musuh, karena selain mengembalikan pedang pusaka Liong-cu-kiam milik ayah, juga Kaisar telah berkenan memberi obat penawar racun katak merah yang telah diminum oleh suheng sehingga dia telah sembuh dari hawa beracun di tubuhnya," kata pula Kui Eng.

Mendengar ini, Cian Bu Ong semakin gembira. Ah, kami juga telah mendapatkan Rumput Merah Pencuci Darah akan tetapi khasiatnya tidak akan menandingi racun katak merah. Syukurlah engkau telah sembuh, Thian Ki. Memang aku sudah mendengar bahwa sebelum menjadi kaisar, ketika masih menjadi Pangeran, bahkan sebelum itu. Li Si Bin terkenal sebagai seorang yang gagah perkasa dan berilmu, maka dia pandai menghargai orang-orang gagah. Baiklah! kalau memang engkau sendiri menyetujui Kui Eng, dan juga Thian Ki tidak berkeberatan, kami akan menerima pinangan keluarga Pangeran Li Cu Kiat."

Mendengar ini, langsung saja saking gembiranya, Pangeran Li Cu Kiat menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat kepada calon ayah mertuanya. Melihat seorang pangeran Kerajaan Tang berlutut di depan kakinya dan akan menjadi mantunya, suatu hal yang sama sekali tidak pernah dapat dia bayangkan, Cian Bu Ong menerima penghormatan itu sambil tertawa bergelak.

"Ayah, saya juga mohon doa restu dan persetujuan ayah dan ibu untuk berjodoh dengan Cin-moi!" tiba-tiba Thian Ki berkata, dan Kam Cin masih berdiri sambil menundukkan mukanya, merasa tegang dan risau, khawatir- kalau sampai perjodohan itu tidak disetujui orang yang pernah hendak dibunuhnya ketika ia menaati perintah subonya, yaitu Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan.

Kini Cian Bu Ong memandang kepada isterinya. "Engkau yang paling berhak menyatakan pendapatmu tentang permintaan putera kita itu."

Sim Lan Ci balas memandang wajah suaminya dengan sinar mata bersyukur dan berterima kasih. Suaminya ini selalu menghargai dan menghormatinya, dan ini merupakan tanda cinta kasih yang paling nyata, la mengangguk. "Cin Cin masih sanak dekat dengan ayah kandung Thian Ki, Ibunya sama-sama she Coa, keluarga pimpinan Hek-bouw-pang.Kalau mereka berdua sudah saling mencinta, akupun hanya dapat menyetujui, tentu saja keputusannya terserah kepadamu sebagai ayahnya."

Dengan ucapan ini, Sim Lam Ci juga membuktikan ketulusan hati dan penghormatannya terhadap suaminya itu. la yakin bahwa Cian Bu Ong amat menyayang Thian Ki seperti anak sendiri, bahkan telah menurunkan semua ilmunya kepada anak tiri itu.

Mendengar ucapan isterinya ini. Cian Bu Ong kembali tertawa bergelak karena gembira. "Kalau begitu, apa lagi yang perlu dipikirkan? Semua sudah setuju, akupun hanya setuju saja. Sekaligus aku mendapatkan dua orang mantu, Li Cu Kiat dan Kam Cin, kedua-duanya merupakan pendekar yang hebat. Dari sikap dan gerakanmu saja aku dapat mengetahui bahwa engkaupun bukan pemuda lemah, Li Cu Kiat. Dan engkau, Kam Cin, ha-ha-ha, ingin aku melihat bagaimana sikap Bhok Sui Lan kalau muridnya yang ia harapkan mau membunuhku itu kini bahkan menjadi mantuku, ha-ha-ha-ha!“

Cin Cin kini baru berani menjatuhkan diri berlutut menghadap suami isteri yang menjadi mertuanya itu dan saking gembira dan harunya, tak dapat ia menahan tangisnya.

Kui Eng yang berlutut di dekatnya, segera merangkul Cin Cin dan berbisik, "Enci Cin, engkau semestinya bergembira, kenapa malah menangis? Aneh sekali!"

Dalam tangisnya, Cin Cin memandang kepadanya dan merangkul setelah mencoba untuk tersenyum. "Aku menangis saking bahagia dan terharu, adik Eng "

"Li Cu Kiat, engkau harus segera mengirim utusan resmi untuk mengajukan pinangan sebagaimana mestinya, dan kami akan mengajukan pinangan atas diri Kam Cin kepada ayah tirinya dan ibunya," kata Cian Bu Ong gembira. Dia sudah tahu bahwa ayah tiri Kam Cin adalah Lie Koan Tek, pendekar Siau-lim-pai yang pernah menjadi pembantunya ketika dia mencoba menegakkan kembali kerajaan Sui yang telah jatuh.

Semua orang bergembira, apa lagi ketika Lie Koan Tek dan Coa Liu Hwa ayah tiri dan ibu kandung Cin Cin menyatakan persetujuan mereka dan menerima pinangan Cian Bu Ong.

Demikianlah, tanpa suatupun rintangan, pernikahan antara Coa Thian Ki dengan Kam Cin, juga Cian Kui Eng dengan Li Cu Kiat, dirayakan dengan meriah oleh keluarga Cian Bu Ong. Bukan main bangganya rasa hati Cian Bu Ong ketika perayaan itu dihadiri pula oleh Pandekar Naga Sakti Sungai Kuning Si Han Beng dan isterinya, juga puteri mereka. Si Hong Lan yang bekas puteri kaisar itu. Juga beberapa orang- pejabat tinggi dan pangeran ikut hadir sebagai pengantar mantunya, yaitu Pangeran Li Cu Kiat, dan Kaisar sendiri mengirim hadiah sumbangan yang indah.

Semua orang bergembira ria, hanya ada sebuah berita yang sempat membuat Thian Ki, Cin Cin, Li Cu Kiat dan Kui Eng saling pandang dengan alis berkerut, yaitu bahwa jenazah Im Yang Sengcu yang telah diangkut oleh anak buahnya ke dalam kuil, tahu-tahu dikabarkan lenyap tanpa meninggalkan bekas!

Kiranya, tosu yang pandai itu tidak mati seperti yang mereka kira, bahkan Kaisar sendiri dapat dikelabui. Agaknya tosu itu mempergunakan suatu racun yang dapat membuat dia “mati” untuk sementara. Beberapa jam kemudian, sebelum jenazahnya diperabukan, dia bangkit dari "kematiannya" itu dan melarikan diri tanpa diketahui siapapun!

Namun, hanya sejenak saja mereka terkejut. Kebahagiaan dua pasang pengantin itu tidak terganggu. Untuk sementara. Thian Ki dan isterinya, Kam Cin, tinggal bersama Cian Bu Ong di dusun Ke-cung tepi Sungai Kuning di kaki Kim-san, sedangkan Cian Kui Eng ikut suaminya tinggal di kota raja, di gedung tempat tinggal keluarga Pangeran Li Cu Kiat.

Sampai di sini, selesailah sudah kisah SI NAGA BERACUN ini, mudah-mudahan kisah ini ada manfaatnya bagi para pembaca dan sampai jumpa di kisah lainnya.

T A M A T

Naga Beracun Jilid 34

Kui Eng bangkit duduk dan membereskan sanggul rambutnya yang terlepas dan terurai. Ketika kedua tangannya di angkat ke atas membereskan rambutnya, gerakan itu sungguh penuh kelembutan, gerakan khas wanita dan sang pangeran terpesona.

"Kiat-ko, engkau begini baik kepadaku... rasanya aku sebagai seorang hina yang tidak berharga sekali... tidak berharga untuk menerima cinta seorang pangeran sepertimu. Ah, betapa kejamnya suheng...!"

"Eng-moi, harap engkau jangan berpikir seperti itu. Sesungguhnya, suhengmu itu sama sekali bukan orang kejam, bahkan dia telah bertindak bijaksana ketika bicara begitu terus terang dan jujur. Bayangkan saja, Eng-moi, andaikata dia tidak sejujur itu, andaikata dia tidak berani melakukan pengakuan yang amat jujur dan terdengar keras itu, dia akan merusak kehidupan empat orang sekaligus!"

Kui Eng terbelalak. "Merusak kehidupan empat orang? Siapa yang engkau maksudkan, koko? Dan mengapa merusak kehidupan mereka?"

"Orang pertama yang akan rusak hidupnya adalah engkau sendiri. Ingat perjodohan yang membuat dua orang hidup bersama selamanya, hanya akan membahagiakan kedua orang itu kalau mereka saling mencinta. Kalau hanya clnta sebelah pihak, maka akhirnya perjodohan itu akan hancur dan kalau kelak engkau mendapat kenyataan bahwa suamimu tidak mencintamu, apakah hal itu bukan berarti menghancurkan hatimu? Orang ke dua tentu saja kehidupan suhengmu sendiri. Dia akan hidup menderita batin karena dia harus hidup sebagai suami dari seorang isteri yang tidak dicinta ya sebagai Isteri, melainkan sebagai adik dan dia harus berjauhan dengan wanita yang sesungguhnya dia cinta. Orang ke tiga adalah nona Kam Cin karena nona itu terpaksa harus berpisah dari suhengmu, pria yang diclntanya. Orang ke empat tentu saja aku sediri, karena hidupku akan terasa rusak apa bila engkau menjadi isteri suhengmu, berarti akan berpisah dariku. Nah, indakan suhengmu itu sama sekali bukan suatu kekejaman, melainkan suatu kebijaksanaan."

Kui Eng diam saja, menunduk dan dapat mulai memahami kebenaran ucapan pangeran itu. Dan iapun teringat betapa cinta kasih Cin Cin terhadap suhengnya itu tentulah besar sekali sehingga biarpun tangannya dibuntungi Thian Ki, gadis Itu tetap mencintanya! Pada hal ia sendiri, baru mendengar Thian Ki nencinta gadis lain saja sudah marah-marah dan tidak senang, menganggap Thian Ki kejam!

Dan Thian Ki bukan benci kepadanya, melainkan menyayangnya, sebagai seorang kakak, ia tidak akan kehilangan Thian Ki sebagai suheng dan sebagai kakaknya, dan ia bahkan mendapatkan seorang lain yang juga amat mencintanya, yaitu Pangeran Li Cu Kiat. Pangeran itu telah membelanya, melindunginya, merawatnya, bahkan tidak menjadi marah ketika mengetahui bahwa pernah mencinta dan bahkan bertunangan dengan suhengnya!

Melihat sikap Kui Eng yang diam saja dan kini wajah gadis itu tidak murung seperti tadi, diam-diam Pangeran Li Cu Kiat merasa lega. "Sudahlah, Eng moi, jangan memikirkan hal itu lagi. Perlahan-lahan engkau akan mengerti dan engkau akan dapat mempertimbangkan semua ucapanku tadi, dan mudah-mudahan saja Tuhan telah menentukan bahwa jodohku adalah engkau, karena hal itu akan membuat hidupku penuh kebahagiaan Sekarang, sebaiknya engkau rebah lagi dan beristirahat, engkau sudah duduk terlalu lama..."

Dan baru sekarang pangeran itu menyadari bahwa gadis itu telah duduk terlalu lama sekali, hal yang tidak wajar karena biasanya, duduj sebentar saja sudah merasa pening.

"Heii...!! Aku tidak merasa pening lagi, koko! Dan tubuhku terasa ringan dan nyaman. Rasa berat dan panas di dalam dadaku lenyap... apakah ini barangkali...”

Mereka saling pandang dan Kui Eng meloncat turun dari atas pembaringan dan tentu akan roboh kalau tidak cepat ditangkap dan dirangkul pangeran itu. Akan tetapi Kui Eng tidak pening, dan tertawa. "Heii, tubuhku sungguh menjadi ringan seperti tidak bertenaga, akan tetapi terasa nyaman." Ia melepaskan rangkulan pangeran itu dan duduk di tepi pembaringan. "Koko, aku sudah sembuh!"

Pangeran Li Cu Kiat memandang dengan wajah berseri. "Tak salah lagi, tentu mereka telah berhasil menemukan dan menghajar tosu iblis itu!" teriak-nya, dan pada saat itu, ibu dan neneknya memasuki kamar.

"Kui Eng, kenapa engkau, duduklah istirahat saja dulu..." kata Nyonya Li Seng Tek, ibu pangeran itu.

"Ibu! Nenek! Eng-moi sudah sembuh, agaknya Coa-toako dan nona Kam telah berhasil menghajar tosu iblis itu!" teriak Pangeran Li Cu Kiai gembira.

"Syukurlah...!" kata ibunya.

"Bagus! Mudah-mudahan saja tosu dukun lepus itu telah dibikin remuk kepalanya, dipenggal batang lehernya dan sekarang sudah mampus!" kata si nenek galak.

Kui Eng yang merasa sehat dan gembira, segera berganti pakaian, mandi dan kemudian dengan lahap ia makan hidangan yang disajikan, ditemani oleh keluarga itu yang tertawa-tawa gembira melihat betapa Kui Eng makan dengan lahapnya. Setelah selesai makan, Kui Eng mengajak Pangeran Li Cu Kiat untuk pergi menyusul suhengnya, akan tetapi baru mereka berada di beranda depan, muncullah Thian Ki dan Cin Cin.

Sebelum mereka bicara, kedua pihak sudah tahu apa yang terjadi. Kui Eng yakin bahwa tentu suhengnya telah berhasil menghajar Im Yang Sengcu, Sebaliknya Thian Ki dan Cin Cin juga sudah dapat menduga bahwa Kui Eng telah sembuh sama sekali.

"Bagaimana, suheng? Apakah engkau sudah berhasil menghajar tosu siluman itu?” tanya Kui Eng dan dengan sikap manja seperti biasa sejak mereka masih kanak-kanak, ia menghampiri Thian Ki dan memegang tangan pemuda itu.

Melihat sikap gadis ini, Thian Ki tersenyum girang. Jelas bahwa gadis itu memperlihatkan kasih sayang dan kemanjaan seorang adik, seperti dahulu sebelum mereka dltunangkan oleh ayah kandung gadis itu. Diapun mengelus rambut adiknya itu dengan rasa sayang. "Dan engkau tentu telah sembuh bukan? Ketahuilah, sumoi, Im Yang Sengcu telah terbunuh dalam pertandingan melawan..."

"Melawan engkau, siapa lagi?” Kui Eng memotong. "Sayang, aku tidak dapat menyaksikannya, suheng."

"Dugaanmu keliru, bukan aku yang bertanding dengan dia."

"Ehh? Bukan engkau? Lalu siapa?”

Thian Ki menoleh kepada Cin Cin yang menjadi kemerahan mukanya. "Cin moi inilah yang tak dapat menahan kemarahannya dan mendahului aku menantang tosu itu. Mereka bertanding, disaksikan oleh Sri baginda Kaisar sendiri dan tosu itu tentu saja kalah oleh Cin-moi yang lihai."

“Ihh, engkau pandai memuji saja...“ Cin Cin tersipu.

“Enci Cin! Engkau yang membalaskan dendamku?”

Cin Cin mengangguk dan menghampiri gadis itu. "Aku tidak dapat menahan kemarahanku melihat tosu siluman itu menggunakan ilmu sihir di meja sembahyang untuk mencelakaimu, adik Eng. Karena itu, ketika Sribaginda muncul dan mengusulkan pertandingan satu lawan satu, aku segera maju menantang tosu itu. Aku... tidak tahu cara lain untuk membuktikan padamu bahwa aku tidak mempunyai perasaan permusuhan denganmu, adik Eng."

"Enci Cin...!" Kui Eng merangkulnya dan merekapun menjadi akrab. Meihat ini, Thian Ki saling pandang dengan Pangeran Li Cu Kiat dan keduanya merasa gembira sekali.

"Sribaginda sendiri yang menjadi saksi dan mengadu kalian dengan dukun lepus itu?" Nenek Song bertanya. "Sungguh menarik sekali. Ceritakan bagaimana peristiwa itu terjadi!"

"Aih nenek, mari kita semua masuk ke dalam dan bicara di sana saja. Tidak baik bicara sambil berdiri diberanda," kata Pangeran Li Cu Kiat yang lalu menggandeng nereknya yang tertawa-tawa dan merekapun semua masuk ke dalam dengan wajah gembira.

Setelah mereka berada di ruangan sebelah dalam, Thian Ki menceritakan pengalaman mereka di kuil Thian-Sengcu, dan betapa Sri baginda Kaisar sendiri yang menghendaki agar perselisihan di antara mereka dan tosu itu diselesaikan melalui pertandingan. Betapa kemudian Cin Cin berhasil menewaskan tosu itu yang agaknya keracunan oleh asap beracunnya sendiri dan diapun menceritakan dengan gembira bahwa dia telah berhasil mendapatkan pedang pusaka milik ayah tiri dan juga gurunya, mendapatkan pula obat penawar racun yang diberikan sendiri oleh Kaisar.

Mendengar ini, Kui Eng berseru gembira. "Aih, kalau begitu, engkau akan sembuh dan dapat menikah dengan enci Cin, suheng!!" Semua orang terheran mendengar ini, akan tetapi Cin Cin ter sipu dengan muka kemerahan.

"Hemm, Kui Eng, apa artinya ucapanmu tadi? Hayo ceritakan, jangan simpan rahasia-rahasiaan dariku" kata nenek Song tak sabar.

"Memang tadinya merupakan rahasia pribadi suheng, Nenek, akan tetapi karena sekarang suheng telah mendapatkan obat dari Sri baginda Kaisar, maka tak perlu dirahasiakan lagi. Suhengku ini adalah seorang tok-tong (anak beracun) tubuhnya mengandung racun hebat dan sudah banyak tokoh sesat yang lihai tewas sendiri ketika memukulnya dan mereka keracunan sendiri. Bahkan enci Cin ini pernah menyerang suheng dan mencengkeram pundak suheng dan akibatnya, enci Cin keracunan tangan kirinya dan jalan satu-satunya untuk mennyelamatkannya hanyalah pemotongan tangan kirinya yang dilakukan pula oleh suheng. Tidak ada obat yang dapat memberslhkan hawa beracun dari tubuh suheng, dan kalau dia tidak terbebas dari hawa beracun itu, dia tidak akan dapat menikah, karena wanita yang menjadi isterinya akan tewas keracunan. Nah,sekarang dia telah menerima obat penawar dari Sribaglnda, maka aku perlu menghaturkan selamat kepada suheng dan enci Cin!"

Melihat Thian Ki dan Cin Cin tersipu malu, semua orang bergembira, terutama sekali Pangeran Li Cu Kiat merasa senang sekali karena sikap Kui Eng itu jelas membuktikan bahwa gadis itu tidak lagi menderita patah hati melihat suhengnya berjodoh dengan gadis lain! Dan Thian Ki sendiri, juga Cin Cin, merasa lega dan berbahagia melihat sikap Kui Eng seperti itu.

"Kalau begitu, kami menghendaki agar engkau mempergunakan obat penawar itu di sini, di rumah kami agar kami dapat membantumu kalau membutuhkan sesuatu, Thian Ki," kata Nenek Song yang kini sudah bersikap akrab dengan Thian Ki seolah-olah pemuda itu telah lama dikenalnya.

"Benar apa yang diminta oleh Nenek, suheng. Obat pusaka seperti itu tentu manjur sekali dan daya kerjanya juga keras. Di sini engkau akan aman mempergunakannya, pula aku sendiri dapat menjagamu kalau-kalau terjadi sesuatu setelah engkau menggunakan obat itu," kata Kui Eng.

Juga Pangeran Li Cu Kiat membujuk dan ketika Thian Ki menoleh kepada kekasihnya, Cin Cin juga mengangguk menyetujui. Memang lebih aman kalau kekasihnya itu mengobati dirinya di istana pangeran yang aman itu, dikelilingi orang-orang yang jelas akan membelanya kalau sewaktu-waktu timbul bahaya.

"Baiklah, dan sebelumnya saya menghaturkan banyak terima kasih kepada Pangeran dan keluarga di sini...“ Thian Ki berulang-ulang menjura dengan penuh hormat.

"Aihh, twako, tidak perlu sungkan. Kita berada di antara keluarga sendiri, bukan?" kata pangeran itu sambil memandang wajah Kui Eng dan gadis inipun tersenyum manis.

Pada hari itu juga, dalam sebuah kamar yang diperuntukkan Thian Ki, pemuda ini, dibantu Cin Cin dan Kui Eng memasukkan obat yang bentuknya seperti telur merah itu, yang merupakan sari dari pada racun katak merah yang sudah dikeringkan, ke dalam sebuah panci tanah dan menuangkan anggur merah sebanyak dua cawan ke dalam panci, lalu meletakkan panci itu di atas perapian yang kecil nyalanya. Obat itu dibiarkan mencair ketika anggur mulai mendidih, dan dibiarkan menguap sampai anggur itu tinggal setengahnya. Tercium bau yang amis bercampur bau harum anggur.

Setelah anggur itu tinggal setengahnya, diangkat lalu campuran obat dan anggur itu dituangkan ke dalam cawan arak, persis tinggal secawan penuh dan dibiarkan agak mendingin. Karena maklum bahwa yang akan diminumnya itu merupakan racun katak merah yang amat berbahaya, maka Thian Ki dipersilakan duduk bersila di atas pembaringan oleh Cin Cin. Pemuda itu lalu mengatur pernapasan dan menghimpun tenaga sakti dalam tubuhnya sambil menanti obat itu mendingin.

Setelah obat itu tidak begitu panas lagi, tinggal hangat-hangat, Cin Cin mengambil cawan itu dan menyerahkan kepada Thian Ki. Semua keluarga dalam rumah itu menyaksikan pengobatan ini. Thian Ki menerima cawan obat itu, memandang ke sekeliling sambil tersenyum. Kalau sampai obat Itu membunuhnya, dia ingin pandangan terakhir kali bagi matanya wajah orang-orang yang di sayangnya dan dihormatinya. Kemudian, dia memejamkan mata, menyerahkan jiwa raganya kepada Tuhan, lalu diminumnya obat itu dengan sekali teguk.

Cin Cin dan Kui Eng mengamati semua gerakan Thian Ki dengan hati was-was, juga Pangeran Li Cu Kiat, ibunya dan neneknya memandang dengan hati tegang. Mereka semua tahu bahwa obat penawar racun pemberian kaisar itu merupakan obat yang amat keras. Mereka semua sudah pernah mendengar bahwa katak merah adalah sejenis katak langka yang suka makan ular beracun dan bahwa sedikit saja bisa katak itu cukup untuk menewaskan orang yang bagaimana lihaipun. Akan tetapi mereka juga mendengar bahwa bisa katak itu dapat menawarkan segala macam racun yang paling jahatpun.

Setelah mengembalikan cawan kosong kepada Cin Cin, Thian Ki yang masih duduk bersila itu memejamkan mata kembali, duduk diam menanti bekerjanya racun Katak Merah di tubuhnya. Dan dia menanti tidak terlalu lama. Perlahan-lahan mukanya berubah kemerahan Warna kemerahan ini menjalar terus sampai ke seluruh permukaan tubuhnya dan semua orang merasa betapa ada hawa panas keluar dari tubuh Thian Ki, terasa oleh mereka semua. Dan perlahan-lahan, dari dalam tubuh itu mengepul uap hitam.

“Panas... panas... semua menjauh....!” terdengan suara Thian Ki lirih dan semua orang menaati permintaannya karena mereka dapat menduga bahwa uap hitam yang keluar dari tubuh pemuda itu tentu mengandung racun yang amat berbahaya. Mereka menjauh keluar kamar dan hanya menjenguk dari. luar pintu saja.

Belasan menit kemudian, terjadi perubahan pada tubuh Thian Ki yang tadinya tegang kepanasan dan berwarna kemerahan, kini tubuh itu mulai menggigil dan warna merah berubah menjadi putih pucat dan akhirnya tubuh itupun menggigil keras.

"Dingin... dingin..." kembali terdengar Thian Ki merintih lirih akan tetapi dari tubuhnya tetap saja mengepul uap kehitaman.

Di luar kamar, semua orang menonton dengan hati tegang. Kui Eng dan Cin Cin gelisah dan Kui Eng berbisik, "Suheng kedinginan, dia menderita hebat apakah tidak lebih baik kalau kita menyelimutinya...?"

"Jangan, adik Eng. Hal itu berbahaya, dapat menghambat keluarnya hawa beracun," bisik Cin Cin kembali.

Hawa dingin yang menguasai tubuh Thian Ki juga tidak lama, berubah lagi menjadi panas. Setelah menjadi permaian dua macam hawa yang berlawanan, sampai setengah hari lamanya, akhirnya uap menghitam itu semakin menipis dan akhirnya, setelah tidak ada lagi uap hitam mengepul keluar, tubuh Thian Ki terkulai di atas pembaringan.

Cin Cin dan Kui Eng meloncat ke dalam kamar dan menghampiri pembaringan, diikuti oleh Pangeran Li Cu Kiat, sedangkan Ibu dan nenek pangeran itu telah lama meninggalkan tempat itu untuk beristirahat.

Cin Cin cepat memeriksa nadi tangan kekasihnya dan hatinya lega. Thian Ki hanya kelelahan dan pingsan.Ia lalu membetulkan letak tubuh Thian Ki, dibiarkan rebah telentang di atas pembaringan dan menyusut muka, leher dan dada kekasihnya yang basah oleh keringat. Thian Ki seperti orang tidur saja, pernapasannya panjang dan sehat.

Tak lama kemudian, masih dijaga leh tiga orang itu, Thian Ki membuka kedua matanya. Melihat mereka, dia tersenyum, kemudian dengan wajah berseri berkata kepada Cin Cin, "Cin-moi... kita... kita berhasil..."

Bukan main lega rasa hati Cin Cin sehingga tak dapat ditahannya lagi, kedua matanya menjadi basah. "Ah, terima kasih kepada Tuhan..." dan tangannya yang tinggal sebelah itu menangkap tangan Thian Ki. Jari-jari tangan mereka saling cengkeram dan pandang mata mereka bertemu dan bertau penuh kebahagiaan.

Melihat ini, perlahan-lahan Pangeran Li Cu Kiat memegang tangan Kui Eng dan ditariknya gadis itu dengan lembut keluar kamar, meninggalkan sepasang kekasih yang sedang tenggelam dalam kebahagiaan itu. Ketika tiba di luar kamar, Pangeran Li Cu Kiat menghentikan langkahnya, memegang kedua pundak Kui Eng dani menatap wajahnya. Dia melihat sepasang mata Kui Eng juga basah air mata.

"Eng-moi, engkau sungguh seorang yang berhati mulia," bisiknya.

"Dan engkau, koko, engkau lebih mulia lagi..." kata Kui Eng dan ia pun memejamkan mata ketika pangeran itu menarik dan mendekap mukanya di dada pangeran itu. Mereka tidak bergerak, tidak berkata-kata, seolah pada saat itu semua perasaan dan hati mereka telah menjadi satu dalam dekapan itu.

********************

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning Episode Naga Beracun karya kho ping hoo

Bekas Pangeran Cian Bu Ong duduk di atas kursi dengan mukanya yang biasanya kemerahan itu kini menjadi lebih merah lagi seolah dia kebanyakan minum arak. Jenggotnya yang panjang itu seperti menjadi kaku dan jelas nampak bahwa dia marah sekali. Di sebelah kirinya duduk isterinya. Sim Lan Ci yang biarpun usianya sudah mendekati limapuluh tahun, masih nampak anggun dan segar. Nyonya ini mengerutkan alisnya dan pandang matanya membayangkan kekhawatiran melihat kemarahan suaminya.

Thian Ki dan Kui Eng nampak berlutut di depan kedua orang tua ini, sedangkan Cin Cin dan Pangeran Li Cu Kiat berdiri dengan menundukkan muka, di belakang kedua orang muda yang berlutut itu.

"Ucapan gila apakah yang kalian keluarkan tadi?" Kakek yang usianya sudah enampuluh tujuh tahun namun masih nampak kekar dan kuat itu membentak. Kalian membatalkan tali perjodohan di antara kalian? Aku yang menjodohkan kalian, dan kalian berani mengatakan bahwa kalian tidak setuju dengan perjodohan itu? Hayo katakan, mengapa kalian melakukan tindakan gila ini? Mengapa?!"

Thian Ki maklum bahwa ayah tirinya, juga gurunya, marah sekali. Akan tetapi dia dan Kui Eng sudah mengambil keputusan tetap untuk berterus terang, maka dengan suara tenang diapun berkata, "Saya harap ayah sudi mengampuni saya. Bukan sekali-kali saya hendak membantah perintah ayah, akan tetapi, kalau saya menaati perintah ayah untuk berjodoh dengan Eng-moi, maka hal itu hanya akan menyengsarakan hidup kami berdua, ayah."

"Setan! Kau hendak mengatakan bahwa engkau terlalu berharga untuk anakku? Apakah Kui Eng terlalu rendah bagimu? Begitu?"

"Sama sekali tidak, ayah! Akan tetapi, di antara kami terdapat kasih sayang antara kakak dan adik, bagaimana mungkin mengubah kasih-sayang antara kakak beradik ini menjadi cinta kasih suami isteri? Saya tidak akan pernah dapat melupakan bahwa Kui Eng adalah adik saya, bukan hanya sumoi. Ayah, bagaimana mungkin saya dapat mengawini adik sendiri?"

"la bukan adikmu! Gila kau! Dan engkau bagaimana, Kui Eng? Apakah engkau merasa terhina, merasa ditolak oleh Thian Ki? Katakan saja, aku akan menghancurkan kepalanya kalau dia berani menghinamu, berani menolakmu!"

"Tidak sama sekali, ayah. Aku setuju dengan pikiran suheng. Dia sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri dan sayangku kepadanya juga kesayangan seorang adik terhadap kakaknya. Akupun tidak dapat menjadi isterinya, ayah. Aku tidak mau menjadi isterinya, sama sekali bukan karena suheng menolakku."

"Anak durhaka! Apakah engkau juga ikut-ikutan seperti Thian Ki, hendak menentang kehendak ayahmu sendiri?" bekas pangeran itu membentak dan melotot.

"Ayah, sejak kecil aku sudah menganggap suheng seperti kakak sendiri, juga ibu kuanggap sebagai ibu kandungku. Bagaimana sekarang tiba-tiba aku harus menganggap suheng sebagai suami dan ibu sebagai ibu mertua?"

“Tidak aku tidak mau, ayah, dan pula. aku dan suheng sudah menentukan pilihan hati kami sendiri untuk menjadi jodoh kami.”

"Ahh...?? Apa pula ini? Thian Ki, benarkah engkau telah menentukan pilihanmu sendiri, dan siapa gadis yang kau pilih untuk menjadi calon jodohmu itu?" Cian Bu Ong masih marah! dan suaranya terdengar keras.

"Ampunkan saya, ayah. Memang semua yang dikatakan Eng-moi tadi benar. Saya sudah saling mencinta dan mengambil keputusan untuk menjadi suami dari adik Kam Cin ini." Dia menunjuk ke arah Cin Cin yang masih berdiri di belakang.

Bekas pangeran itu terbelalak. Dia merasa terheran-heran karena dia tahu benar bahwa gadis murid Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan itu menjadi buntung tangan kirinya karena keracunan ketika nyerang Thian Ki dan pemuda itu pula yang membuntungi tangan kirinya untuk menyelamatkan nyawanya. Dan gadis itu masih juga dapat jatuh cinta dan mau menjadi calon jodoh Thian Ki? Teringat dia akan bekas kekasihnya, Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan yang agaknya juga amat setia dalam cintanya terhadap dirinya.

"Dan engkau, Kui Eng? Siapa pula pilihan hatimu? Pemuda itukah? Siapa dia?" Matanya mencorong memandang ke arah Pangeran Li Cu Kiat.

"Benar, ayah. Aku telah saling jatuh cinta dengan dia. Dia adalah Pangeran Li Cu Kiat, keponakan Sribaginda Kaisar yang selama ini membelaku, menolongku, melindungiku bahkan menjagaku ketika aku jatuh sakit."

Pangeran Cian Bu Ong terbelalak memandang kepada Pangeran Li Cu Kiat dan isterinya yang duduk disampingnya, yang sudah amat mengenal watak suaminya, maklum bahwa kalau dibiarkan suaminya itu dapat melakukan hal-hal yang tidak baik. Maka iapun bangkit berdiri dan menghalangi di depan suaminya, berkata dengan suara lembut namun tegas.

"Suamiku, kita harus merasa berbahagia sekali dengan peristiwa ini Kita telah mendapatkan kehormatan besar dengan peristiwa ini. Semenjak engkau menjodohkan Thian Ki dengan Kui Eng, hatiku juga merasa risau akan tetapi aku tidak membantah keinginanmu karena tidak ingin membuat engkau kecewa, apa lagi aku melihat kedua orang anak kita itu tidak membantah. Akan tetapi sekarang mereka berterus terang, bahkan kembali dengan membawa pilihan hati masing-masing. Thian Ki memilih Kam Cin. hal ini sungguh membanggakan hatiku. Semenjak peristiwa buntungnya tangan Kam Cin, Thian Ki merasa hancur hatinya dan aku sudah menduga bahwa dia mencinta Cin Cin. Sekarang, ternyata mereka saling mencinta dan peristiwa buntungnya tangan itu tidak mendatangkan ganjalan dalam hati mereka, pertanda bahwa cinta mereka tulus dan aku yakin mereka akan dapat menjadi suami isteri yang saling mencinta dan saling setia, hidup berbahagia bersama membentuk keluarga. Dan tentang anak kita Kui Eng. la saling mencinta dengan pemuda itu, seorang pangeran! Pandang pemuda itu baik-baik, suamiku. Dia tampan dan gagah, dan dia seorang pangeran! Bukan karena aku gila pangkat dan kedudukan, melainkan justeru karena dia pangeran, keponakan Kaisar, hal itu membuat aku yakin bahwa cintanya terhadap anak kita pasti murni dan bersih. Kalau tidak demikian, tentu dia tidak sudi jatuh cinta kepada puterimu! Mengertikah engkau suamiku?"

Memang sejak tadi kemarahan Cian Bu Ong sudah mereda satelah mendengar alasan-alasan yang dikemukakan Thian Ki dan Kui Eng. Sekarang, dia memandang kepada Pangeran Li Cu Kiat. Tadi memang terkilas dalam pikirannya bahwa pangeran ini adalah keponakan dari musuh besar Kerajaan Sui. Akan tetapi sekarang dia menyadari kebenaran omongan isterinya. Hanya, apakah pangeran ini sudah tahu bahwa Cian Kui Eng adalah puterinya, bekas Pangeran Cian Bu Ong yang pernah memberontak untuk mempertahankan Kerajaan Sui?

"Hemm, engkau Pangeran Li Cu Kiat?" kini dia bertanya kepada pemuda itu yang segera maju lalu memberi hormat dengan anggun kepada kakek itu.

"Benar, paman. Saya Li Cu Kiat. Ayah saya adalah mendiang Pangeran Li Seng Tek."

"Apakah engkau tahu siapa gadis yang kau cinta ini? Apakah engkau tahu anak siapa ia ini?" tanya pula Cian Bu Ong sambil mengamati wajah tampan itu dengan pandang mata menyelidik.

Kembali pangeran itu menjawab tegas, "Saya tahu, paman, la bernama Cian Kui Eng, puteri kandung paman yang dahulu adalah Pangeran Cian Bu Ong dari Kerajaan Sui."

"Hemm, aku memang Pangeran Cian Bu Ong dari Kerajaan Sui, musuh besar Kerajaan Tang, bahkan aku dianggap pemberontak dan buronan pemerintah, dimusuhi pamanmu. Kaisar Tang Tai Cung. Tentu dia tidak akan menyetujui kalau engkau, keponakannya, menikah dengan puteriku."

"Paman, ada dua hal yang saya kira perlu paman ketahui benar. Pertama adalah bahwa saya tidak memerlukan ijin persetujuan Paman Kaisar untuk urusan perjodohan saya, karena itu adalah urusan pribadi saya. Ibu dan nenek saya sudah menyetujui, hal itu sudah lebih dari cukup, dan saya kira Paman Kaisar juga tidak akan mencampuri urusan itu. Adapun hal yang ke dua, keluarga kami tidak pernah menganggap paman sebagai pemberontak. Kami mengetahui dan memaklumi kalau paman melakukan perlawanan dan usaha untuk menegakkan kembali Kerajaan Sui. Itu adalah persoalan perang, yang ada hanya menang atau kalah dan tidak dapat dipersoalkan tentang benar atau salah."

"Ayah, dia berkata benar. Sribaginda Kaisar tidak pernah mempunyai perasaan dendam kebencian kepada ayah. Buktinya, pedang pusaka Liong-cu-kiam milik ayah, dengan suka rela beliau kembalikan."

"Ah, benarkah itu, Thian Ki?"

Thian Ki mengeluarkan pedang pusaka itu dari buntalan pakaiannya dan menyerahkannya kepada Cian Bu Ong. "Benar sekali, ayah. Sribaginda Kaisar mengembalikan pusaka ini kepada ayah."

Cian Bu Ong menyambut pedang itu dan menghunusnya, matanya bersinar-slnar, lalu meredup. "Aihh, agaknya memang sudah dikehendaki Tuhan bahwa Kerajaan Sui diganti dan dilanjutkan oleh Kerajaan Tang. Li Cu Kiat, bagaima kami tahu bahwa Ibumu dan nenekmu menyetujui perjodohanmu dengan anak kami?"

"Ayah, Bibi Li dan Nenek Song amat baik. Apa lagi Nenek Song yang juga memuji-muji ayah sebagai seorang gagah. Nenek Song juga seorang yang amat lihai, ayah dan mereka semua amat baik kepadaku. Kalau tidak ada mereka, mungkin sekarang aku telah tewas di tangan tosu iblis Im Yang Sengcu," kata Kui Eng.

Pangeran Li Cu Kiat mengeluarkan sesampul surat dan menyerahkannya kepada Cian Bu Ong. "Paman, sebagai bukti bahwa ibu dan nenek menyetujuinya, ini saya membawa surat dari nenek untuk paman. Dan apa bila paman menyetujuinya, kami akan mengirim utusan untuk mengajukan pinangan secara resmi."

"Ayah, harap ayah tidak lagi menganggap keluarga Kaisar Tang Tai Cung sebagai musuh, karena selain mengembalikan pedang pusaka Liong-cu-kiam milik ayah, juga Kaisar telah berkenan memberi obat penawar racun katak merah yang telah diminum oleh suheng sehingga dia telah sembuh dari hawa beracun di tubuhnya," kata pula Kui Eng.

Mendengar ini, Cian Bu Ong semakin gembira. Ah, kami juga telah mendapatkan Rumput Merah Pencuci Darah akan tetapi khasiatnya tidak akan menandingi racun katak merah. Syukurlah engkau telah sembuh, Thian Ki. Memang aku sudah mendengar bahwa sebelum menjadi kaisar, ketika masih menjadi Pangeran, bahkan sebelum itu. Li Si Bin terkenal sebagai seorang yang gagah perkasa dan berilmu, maka dia pandai menghargai orang-orang gagah. Baiklah! kalau memang engkau sendiri menyetujui Kui Eng, dan juga Thian Ki tidak berkeberatan, kami akan menerima pinangan keluarga Pangeran Li Cu Kiat."

Mendengar ini, langsung saja saking gembiranya, Pangeran Li Cu Kiat menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat kepada calon ayah mertuanya. Melihat seorang pangeran Kerajaan Tang berlutut di depan kakinya dan akan menjadi mantunya, suatu hal yang sama sekali tidak pernah dapat dia bayangkan, Cian Bu Ong menerima penghormatan itu sambil tertawa bergelak.

"Ayah, saya juga mohon doa restu dan persetujuan ayah dan ibu untuk berjodoh dengan Cin-moi!" tiba-tiba Thian Ki berkata, dan Kam Cin masih berdiri sambil menundukkan mukanya, merasa tegang dan risau, khawatir- kalau sampai perjodohan itu tidak disetujui orang yang pernah hendak dibunuhnya ketika ia menaati perintah subonya, yaitu Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan.

Kini Cian Bu Ong memandang kepada isterinya. "Engkau yang paling berhak menyatakan pendapatmu tentang permintaan putera kita itu."

Sim Lan Ci balas memandang wajah suaminya dengan sinar mata bersyukur dan berterima kasih. Suaminya ini selalu menghargai dan menghormatinya, dan ini merupakan tanda cinta kasih yang paling nyata, la mengangguk. "Cin Cin masih sanak dekat dengan ayah kandung Thian Ki, Ibunya sama-sama she Coa, keluarga pimpinan Hek-bouw-pang.Kalau mereka berdua sudah saling mencinta, akupun hanya dapat menyetujui, tentu saja keputusannya terserah kepadamu sebagai ayahnya."

Dengan ucapan ini, Sim Lam Ci juga membuktikan ketulusan hati dan penghormatannya terhadap suaminya itu. la yakin bahwa Cian Bu Ong amat menyayang Thian Ki seperti anak sendiri, bahkan telah menurunkan semua ilmunya kepada anak tiri itu.

Mendengar ucapan isterinya ini. Cian Bu Ong kembali tertawa bergelak karena gembira. "Kalau begitu, apa lagi yang perlu dipikirkan? Semua sudah setuju, akupun hanya setuju saja. Sekaligus aku mendapatkan dua orang mantu, Li Cu Kiat dan Kam Cin, kedua-duanya merupakan pendekar yang hebat. Dari sikap dan gerakanmu saja aku dapat mengetahui bahwa engkaupun bukan pemuda lemah, Li Cu Kiat. Dan engkau, Kam Cin, ha-ha-ha, ingin aku melihat bagaimana sikap Bhok Sui Lan kalau muridnya yang ia harapkan mau membunuhku itu kini bahkan menjadi mantuku, ha-ha-ha-ha!“

Cin Cin kini baru berani menjatuhkan diri berlutut menghadap suami isteri yang menjadi mertuanya itu dan saking gembira dan harunya, tak dapat ia menahan tangisnya.

Kui Eng yang berlutut di dekatnya, segera merangkul Cin Cin dan berbisik, "Enci Cin, engkau semestinya bergembira, kenapa malah menangis? Aneh sekali!"

Dalam tangisnya, Cin Cin memandang kepadanya dan merangkul setelah mencoba untuk tersenyum. "Aku menangis saking bahagia dan terharu, adik Eng "

"Li Cu Kiat, engkau harus segera mengirim utusan resmi untuk mengajukan pinangan sebagaimana mestinya, dan kami akan mengajukan pinangan atas diri Kam Cin kepada ayah tirinya dan ibunya," kata Cian Bu Ong gembira. Dia sudah tahu bahwa ayah tiri Kam Cin adalah Lie Koan Tek, pendekar Siau-lim-pai yang pernah menjadi pembantunya ketika dia mencoba menegakkan kembali kerajaan Sui yang telah jatuh.

Semua orang bergembira, apa lagi ketika Lie Koan Tek dan Coa Liu Hwa ayah tiri dan ibu kandung Cin Cin menyatakan persetujuan mereka dan menerima pinangan Cian Bu Ong.

Demikianlah, tanpa suatupun rintangan, pernikahan antara Coa Thian Ki dengan Kam Cin, juga Cian Kui Eng dengan Li Cu Kiat, dirayakan dengan meriah oleh keluarga Cian Bu Ong. Bukan main bangganya rasa hati Cian Bu Ong ketika perayaan itu dihadiri pula oleh Pandekar Naga Sakti Sungai Kuning Si Han Beng dan isterinya, juga puteri mereka. Si Hong Lan yang bekas puteri kaisar itu. Juga beberapa orang- pejabat tinggi dan pangeran ikut hadir sebagai pengantar mantunya, yaitu Pangeran Li Cu Kiat, dan Kaisar sendiri mengirim hadiah sumbangan yang indah.

Semua orang bergembira ria, hanya ada sebuah berita yang sempat membuat Thian Ki, Cin Cin, Li Cu Kiat dan Kui Eng saling pandang dengan alis berkerut, yaitu bahwa jenazah Im Yang Sengcu yang telah diangkut oleh anak buahnya ke dalam kuil, tahu-tahu dikabarkan lenyap tanpa meninggalkan bekas!

Kiranya, tosu yang pandai itu tidak mati seperti yang mereka kira, bahkan Kaisar sendiri dapat dikelabui. Agaknya tosu itu mempergunakan suatu racun yang dapat membuat dia “mati” untuk sementara. Beberapa jam kemudian, sebelum jenazahnya diperabukan, dia bangkit dari "kematiannya" itu dan melarikan diri tanpa diketahui siapapun!

Namun, hanya sejenak saja mereka terkejut. Kebahagiaan dua pasang pengantin itu tidak terganggu. Untuk sementara. Thian Ki dan isterinya, Kam Cin, tinggal bersama Cian Bu Ong di dusun Ke-cung tepi Sungai Kuning di kaki Kim-san, sedangkan Cian Kui Eng ikut suaminya tinggal di kota raja, di gedung tempat tinggal keluarga Pangeran Li Cu Kiat.

Sampai di sini, selesailah sudah kisah SI NAGA BERACUN ini, mudah-mudahan kisah ini ada manfaatnya bagi para pembaca dan sampai jumpa di kisah lainnya.

T A M A T