Naga Beracun Jilid 32

Cersil Online Karya Kho Ping Hoo Serial Naga Sakti Sungai Kuning Episode Naga Beracun Jilid 32
"Hamba sedang mengumpulkan bahan bahannya, Sri baginda. Sekarang sudah hampir lengkap. Kalau sudah lengkap, selain memberitahukan semua bahan dan cara pembuatannya, juga hamba akan mendemonstrasikan cara pembuatannya kepada paduka agar terbukti bahwa hamba bukan hanya bohong semata. Sebagai murid keturunan Tujuh Manusia Dewa Hutan Bambu, yang menjadi pendiri dan guru besar golongan kami sejak empatratus tahun lebih yang lalu, pantang bagi hamba untuk berbohong. Paduka tentu percaya kepada hamba, bukan?"

Kaisar Tang Tai Cung tertawa. “Tentu saja, totiang. Kalau tidak percaya bagaimana mungkin kita dapat berbincang-bincang di sini seperti dua orang sahabat?"

"Terima kasih. Yang Mulia," kata Im Yang Sengcu "Maafkan pertanyaan hamba ini. Hamba sudah melihat melalui perbintangan bahwa ada bayangan huruf Bu mengancam kerajaan paduka, akan tetapi mengapa paduka belum juga bertindak kalau paduka percaya kepada hamba."

Wajah kaisar itu berubah agak kemerahan dan dia menghela napas panjang "Memang pelaksanaannya sengaja kami tunda, totiang. Di antara para pejabat kami, banyak yang bermarga Bu, rasanya berat hati ini kalau harus menghukum mereka tanpa dosa. Kami menghendaki keyakinan lebih dahulu. Dan terutama sekali, Bu Mei Ling menjadi selir yang setia, bagaimana kami dapat menghukum seorang selir yang baru saja berjasa menyelamatkan nyawa kami?"

Im Yang Sengcu menghela napas, "Paduka masih kurang yakin dengan keterangan hamba? Kalau begitu, sebaiknya kalau paduka menyaksikannya sendiri. Hamba mohon disediakan meja sembahyang dan semua perlengkapannya."

Sri baginda Kaisar nampak gembira sekali dan dia segera bertepuk tangan memberi tanda memanggil pengawal. Atas perintah kaisar, sebentar saja di pondok itu telah berdiri meja sembahyang dengan semua perlengkapannya. Kaisar Tang Tai Cung sudah beberapa kali menyaksikan dan membuktikan sendiri ilmu yang dikuasai tosu sahabatnya itu dan dia memang sudah mempercayanya. Hanya karena dia merasa berat melaksanakan hukuman tanpa dosa terhadap seluruh marga Bu maka dia merasa tidak yakin.

Im Yang Sengcu segera melakukan upacara sembahyang yang aneh. Dia mengeluarkan manteram yang terdengar aneh dan tidak dimengerti oleh kaisar, akan tetapi doa mantramnya itu mendatangkan getaran yang amat kuat sehingga kaisar sendiri harus cepat mengerahkan sin-kang untuk melindungi dirinya. Seikat hio yang dipegang kedua angan Im Yang Sengcu, tiba-tiba mengeluarkan asap tebal sekali.

"Yang Mulia, harap perhatikan dan lihat baik-baik huruf apa yang akan nampak sebagai bukti bahwa ada marga tertentu yang mengancam kerajaan paduka!" terdengar suara tosu itu dan suaranya terdengar aneh, parau dan lapat-lapat seolah tosu itu berada di tempat yang jauh sekali.

Kaisar memandang ke arah asap bergulung-gulung itu penuh perhatian dan perlahan-lahan, asap itu benar-benar membentuk sebuah huruf yang besar dan jelas, huruf BU! Dan huruf dari asap itu perlahan-lahan bergerak ke arah kaisar, seolah seekor binatang atau mahluk buas yang hendak menyerangnya. Wajah Kaisar Tang Tai Cung berubah agak pucat. Dia seorang pendekar yang berilmu tinggi.

Jarang ada orang mampu menandinginya, akan tetapi kini dihampiri huruf BU dari asap hitam itu sungguh merupakan hal yang amat menyeramkan. Kaisar Tang Tai Cung lalu mengerahkan tenaga sin-kang dan bangkit lalu mendorong ke arah gumpalan asap itu sambil berteriak melengking. Dari kedua telapak tangannya menyambar hawa yang dahsyat ke arah huruf BU dari asap itu dan asap itupun membuyar, bentuk hurufnya terpecah-pecah dan tidak berbentuk lagi.

"Siancai...!" Im Yang Seng-cu berseru. "Demikianlah seharusnya yang paduka lakukan, yaitu memukul hancur marga Bu sebelum mereka benar-benar meru[akan ancaman bagi paduka!"

Kaisar mengangguk-angguk, wajahnya masih agak pucat. "Engkau benar, Totiang. Biarpun nampaknya kejam, akan tetapi hal ini perlu kami lakukan demi keselamatan Kerajaan Tang!"

KembaIi kaisar memanggil pengawal dan memerintakan agar pada saat itu juga pengawal memanggil Panglima Ciu, kepala pasukan keamanan kota raja. Akan tetapi, sebelum perintah itu dilaksanakan, Im Yang Sengcu cepat berkata mengingatkan.

"Maaf, Yang Mulia. Hamba kira urusan ini sebaiknya dilaksanakan saat ini juga sebelum beritanya bocor dan mereka melarikan diri. Tidakkah lebih tepat kalau paduka menuliskan perintah itu dan agar surat perintah itu ditaksanakan sekarang juga oleh panglima?"

Kaisar Tang Tai Cung mengangguk-angguk, lalu dia membuat surat perintah yang ditujukan kepada Panglima Ciu agar malam itu juga panglima membawa pasukan dan menangkapi lalu menghukum mati semua orang yang bermarga Bu, tidak perduli laki-laki maupun perempuan tua renta maupun masih bayi!

Pengawal cepat membawa surat perintah itu dan mengantarnya kepada Panglima Ciu yang terkejut setengah mati menerima perintah itu. Akan tetapi, dia hanya seorang bawahan yang harus patuh kepada kaisar. Maka, terjadilah pembantaian yang amat mengerikan di malam hari itu. Malam celaka yang sekaligus merupakan lembaran hitam dari riwayat Kaisar Tang Tai Cung yang dikenal sebagai seorang kaisar yang adil dan bijaksana.

Perbuatan malam hari itu dikutuk rakyat dan tercatat dalam sejarah sebagi kelaliman seorang kaisar yang sewenang-wenang membunuhi orang-orang tak berdosa, perbuatan yang amat kejam! Kaisar Tang Tai Cung sendiri terpukul hebat oleh perbuatan ini. Semalam suntuk dia tidak dapat pulas. Jiwa kependekarannya berontak terhadap diri sendiri. Namun apa artinya kesadaran pikiran kalau berhadapan dengan meraja- lelanya nafsu?

Nafsu mementingkan diri sendiri membuat manusia menjadi lupa daratan, hanya mementingkan diri dan dalam mengejar kepentingan dan keinginan diri, maka segala cara akan ditempuhnya! Kalau kesadaran timbul bahwa perbuatannya itu tidak benar dan jahat, lalu nafsu yang sudah mencengkeram pikiran menggunakan siasatnya yang teramat licik sehingga batin bahkan mencari cara untuk membela perbuatan yang dikendalikan nafsu itu.

Pikiran akan membela dengan segala cara pula. Seperti Kaisar Tang Tai Cung Ketika kesadarannya timbul dan membuat dia menyesali perbuatannya, batin yang sudah diperalat nafsu segera menghiburnya dan membela perbuatannya, membisikkan bahwa dia melakukan semua itu karena terpaksa, karena kerajaannya terancam, karena dia harus menyelamatkan Kerajaan Tang, harus menyelamatkan keluarganya, harus mencegah terjadinya pemberontakan yang akan mengorbankan rakyat banyak, dan selanjutnya lagi. Nafsu melalui pikiran akan berdaya upaya agar keburukan perbuatannya itu tertutup dan tidak nampak buruk lagi! Demikianlah kerjanya nafsu yang teramat cerdik mempermainkan kita.


Pagi-pagi sekali, selir baru kaisar, yaitu Bu Mei Ling atau Bu Houw mendapat berita dari Ji-thaikam, yaitu sida-sida yang menjadi-orang kepercayaannya akan peristiwa pembantaian orang-orang bermarga Bu. Wajah Bu Mei Ling menjadi pucat sekali dan iapun bergegas menghadap Kaisar Tang Tai Cung yang nampak lesu dan lelah karena semalam suntuk tidak dapat tidur barang sekejap matapun. Begitu diperkenankan masuk menghadap kaisar yang masih duduk di tepi pembaringan, selir cantik itu lari sambil menangis dan menjatuhkan diri berlutut di depan kedua kaki kaisar.

"Yang Mulia..." Bu Mei Ling terisak. "Apakah dosa marga Bu maka paduka menjatuhkan hukuman mati kepada mereka semua?”

Kaisar menghela napas panjang, pertanyaan itu seperti ujung belati menusuk perasaannya yang sudah gelisah, bimbang dan menyesal. "Mei Ling, aku melakukan itu untuk menyelamatkan kerajaan. Marga Bu adalah marga pemberontak yang akan menggulingkan kerajaan..."

"Ampun, Yang Mulia. Kalau ada yang terbukti bersalah dan memberontak, tentu-sudah sepantasnya kalau dihukum berat. Akan tetapi, mungkinkah seluruh keluarga yang bermarga Bu mememberontak? Dari kanak-kanak sampai kakek nenek? Yang Mulia..."

"Sudahlah, cukup" Kaisar Tang Tai Cung menutupi kedua telinganya degan telapak tangan. "Jangan bicarakan lagi urusan itu!"

Selir itu tetap berlutut dan menghapus air matanya. Ketika ia melihat betapa kaisar sudah menurunkan kedua tangannya dan nampak berduka sekali iapun berkata, "Yang Mulia, hamba adalah adalah Bu Mei Ling, hamba juga dari marga Bu. Kalau paduka menganggap bahwa hamba hendak pula memberontak, hamba siap menerima hukuman. Akan tetapi hamba tidak mau dibunuh oleh orang lain. Hamba mohon agar dibunuh oleh tangan paduka sendiri. Yang Mulia, hamba Bu Mei Ling siap menerima kematian dibawah tangan paduka!" Selir itu menengadahkan mukanya kepada kaisar, memandang dengan penuh kesedihan, siap menanti datangan pukulan maut.

Sejenak Kaisar Tang Tai Cung menatap wajah itu dan matanya mencorong lalu perlahan-lahan dia mengangkat tangan kanannya ke atas, siap memukul, "Engkau... engkau wanita she Bu... engkau akan merampas tahta kerajaan dari anak-anakku..."

Akan tetapi, ketika Bu Mei Ling memejamkan mata, siap menanti maut, tangan itu tak kunjung turun. Ia mendengar sedu sedan dan ketika ia membuka matanya, ia melihat kaisar menutupi mukanya dengan kedua tangan dan tersedu seperti orang menangis.

"Yang Mulia...!" Bu Mei Ling bangkit dan merangkul.

"Mei Ling...!!" Kaisar mendekapnya dan sekali ini kaisar benar-benar menangis di dadanya. "Mei Ling, aku hanya ingin menyelamatkan kerajaan. Aku bukan orang yang kejam, bukan kaisar lalim..."

Karena penyesalan yang mendalam, karena duka, kaisar menemukan hiburan dalam diri dan pelayanan Bu Mei Ling. Selir ini memang merasa kagum sekali kepada kaisar, bahkan ada juga api cinta membara dalam dadanya karena Kaisar Tang Tai Cung adalah seorang pria yang jantan dan perkasa, yang biasanya bersikap adil dan bijaksana. Kini, ia merasa kasihan sekali dan perasaan ini mendatangkan kemesraan yang pada saat itu amat dibutuhkan kaisar yang sedang risau itu.

Setelah Bu Mei Ling mengingatkan kaisar bahwa saat persidangan para menteri akan dimulai, barulah Kaisar Tang Tai Cung dengan bermalas-malasan bangkit dari pembaringan dan berganti pakaian dilayani oleh Mei Ling. Keadaan kaisar tidaklah serisau tadi.

Seorang thai-kam mengetuk daun pintu mohon melapor kaisar. Kaisar memberi isyarat dan Bu Mei Ling membuka daun pintu. Thaikam itu sambil berlutut melapor bahwa Im Yang Seng-cu mohon menghadap. Kaisar menyuruh thai-kam mempersilakan tosu itu memasuki ruangan depan kamar, dan diapun keluar dari kamar memasuki ruangan diikuti Bu Mei Ling yang merasa hatinya tegang mendengar munculnya tosu itu karena ia sudah mendengar dari Ji-thaikam bahwa pembantaian terhadap orang-orang bermarga Bu adalah atas nasihat tosu itu.

Im Yang Sengcu cepat memberi hormat dengan membungkuk kepada kaisar. ketika kaisar muncul bersama Bu Mei Ling. Hati kaisar yang tadinya risau dan agak terhibur oleh Mei Ling, kini menjadi lebih tenang ketika dia bertemu Im Yang Sengcu yang menghaturkan selamat pagi dan wajahnya nampak berseri.

"Hamba menghaturkan selamat. Sribaginda. Pembasmian rumput beracun telah dilaksanakan dengan baik malam tadi.”

"Mudah-mudahan saja bahaya yang mengancam kerajaan telah terhindar, totiang," kata kaisar.

“Ampunkan hamba, Sribaginda. Kalau boleh hamba bicara terus terang demi keamanan dan keselamatan kerajaan paduka..." Dia berhenti dan melirik ke arah Bu Mei Ling yang hanya berdiri mendengarkan saja.

"Tentu saja boleh, katakan, totiang," kata kaisar, alisnya berkerut dan hatinya merasa tidak enak.

“Sri baginda, membasmi rumput liar beracun haruslah dilakukan sampai bersih, tidak boleh tertinggal sebatangpun, karena kalau yang sebatang itu dibiarkan tumbuh, tak lama kemudian tentu akan berkembang biak lagi."

Jelaslah bagi Kaisar Tang Tai Cung siapa yang dimaksudkan oleh tosu itu karena kini tosu itu langsung saja memandang ke arah Bu Mei Ling. Diapun menjawab dengan sikap tenang, "Totiang rumput yang satu ini akarnya tumbuh di dalam hatiku. Bagaimana mungkin aku mencabutnya tanpa melukai dan merusak hatiku sendiri? Kami ingin minta pendapatmu bagaimana baiknya asal jangan disuruh mencabutnya, totiang."

Tosu itu tersenyum dan mengangguk-angguk, lalu melangkah hilir mudik di depan kaisar, akan tetapi matanya sering mengerling ke arah Bu Mei Ling. Selir ini mengerti akan maksud percakapan itu dan iapun menanti dengan jantung berdebar, bukan hanya karena tegang, melainkan terutama sekali karena kemarahan yang ditahan-tahan.

"Ah, hamba telah mendapatkannya, Sribaginda! Jawaban yang tepat telah hamba dengar dari bisikan batin hamba. Selama paduka masih menjadi kaisar, seorang wanita tidak akan dapat melakukan suatu bahaya dan setelah paduka tidak lagi berkenan memegang tahta kerajaan, maka seorang wanita takkan mampu lagi berbuat sesuatu yang merugikan kalau ia telah menjadi seorang nikouw (biarawati). Keputusan ini diumumkan dan disahkan sehingga kelak tidak ada seorangpun yang akan berani mengubahnya.”

Mendengar kata-kata itu. Kaisar Tang Tai Cung tertawa gembira, dan Bu Mei Ling sebaliknya memandang kepada tosu itu dengan mata terbelalak penuh kebencian. Kemudian, ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kaisar dan berkata,

"Yang Mulia, mohon pengampunan dan jangan hendaknya hamba kelak dijadikan seorang biarawati. Hamba lebih senang kalau hamba mati di tangan paduka.”

"Aih, nona Bu Mei Ling. Yang Mula telah memberi ampun kepadamu dan membiarkan engkau hidup, kenapa tidak cepat menghaturkan terima kasih?" Im Yang Seng-cu mencela.

Kaisar Tang Tai Cung mengangkat bangun selirnya. "Im Yang Sengcu berkata benar, Mei Ling. Selama aku menjadi kaisar, engkau akan tetap menjadi selirku tersayang. Kalau aku sudah tidak menjadi kaisar, apa salahnya engkau menjadi biarawati dan setiap saat bersembahyang untuk aku?"

Bu Mei Ling bangkit berdiri dan menghadapi Im Yang Sengcu. "Totiang, yang jelas aku mengetahui bahwa karena engkau maka banyak orang tak berdosa terbunuh. Aku akan bersembahyang setiap saat agar Tuhan Yang Maha Kuasa menghukummu sesuai dengan dosa-dosamu!" Ucapan ini lembut namun berupa kutukan dan diam-diam tosu itu bergidik, akan tetapi dia menutup kengerian hatinya dengan tawa menyeringai.

Pada saat itu, seorang thai-kam melapor bahwa persidangan telah lengkap dihadiri para menteri dan pangeran. "Marilah kita ke ruangan persidangan, dan engkau juga ikut, Mei Ling. Aku akan mengumumkan tentang keputusanku atas dirimu. Dengan keputusan ini tak seorangpun dapat mengganggumu lagi."

"Nanti dulu, Sribaginda. Hamba khawatir kalau-kalau ada kekuasaan gelap yang akan mengancam paduka, oleh karena itu, hamba harus menuliskan hu (surat jimat) untuk melindungi paduka."

Kaisar tersenyum dan mengangguk. Tosu itu mengeluarkan kertas dan alat tulis yang agaknya telah disediakan di dalam saku jubahnya yang lebar, kemudian menuliskan atau melukiskan huruf jimat di atas sehelai kertas. Setelah selesai, dia menempelkan hu atau jimat itu di atas pintu kamar kaisar. Kaisar dan Bu Mei Ling memandang dan melihat huruf jimat itu, sebuah huruf aneh yang ditulis dengan tinta hitam di atas kertas kuning yang bentuknya seperti ini.

"Hamba akan buatkan sebanyak mungkin hu seperti ini, Sribaginda, agar ditempel di seluruh pintu di istana. Dengan adanya hu ini, maka tidak ada kekuatan gelap yang bagaimanapun berani memasuki istana."

Kaisar mengangguk dan tersenyum. Dia sudah sering kali menyaksikan keampuan tosu ini maka dia percaya sepenuhnya, akan tetapi Bu Mei Ling diam-diam merasa menyesal menyaksikan betapa kaisar yang dihormati, dicinta dan dikaguminya itu ternyata adalah seorang yang bodoh dan percaya akan tahyul.

Dalam persidangan itu, Kaisar Tang Tai Cung menerima protes dan teguran para menteri tua mengenai pembantaian yang dilakukan semalam, karena di antara para pembesar terdapat pula yang bermarga Bu dan mereka semua telah dibunuh. Namun, dengan adanya Im Yang Sengcu di sampingnya, kaisar tidak gentar menghadapi protes itu, bahkan kaisar lalu memberi penjelasan bahwa semua itu dilakukan demi keselamatan kerajaan Tang yang terancam oleh marga Bu.

Kemudian, kaisar juga menjatuhkan keputusannya terhadap selirnya, Bu Mei Ling, karena selirnya itu juga bermarga Bu, bahwa kalau dia sudah tidak lagi menjadi kaisar, selirnya itu harus menjadi biarawati di kuil istana. Dengan demikian, maka semua kemungkinan terjadinya ancaman marga Bu itu dapat dihindarkan.

Bu Mei Ling menerima keputusan itu dengan pasrah, la tidak memusingkan urusan masa depan. Yang terpenting, sekarang ia masih menjadi kekasih kaisar, dan itu saja sudah cukup baginya. Diam-diam, wanita yang cerdik ini juga memperhitungkan bahwa boleh mengandalkan Pangeran Mahkota yang masih mencintainya. Kelak, kalau Kaisar Tang Tai Cung tidak lagi menjadi kaisar, berarti Pangeran Li Ci atau Li Hong yang menjadi kaisar dan tentu kaisar baru itu tidak akan membiarkan kekasihnya tersiksa di dalam kuil sebagai seorang biarawati!

Ketika kaisar dan Im Yang Sengcu berada berdua saja, Im Yang Sengcu memberi tahu kepada kaisar bahwa ada lagi seorang wanita bermarga Bu yang dianggap amat berbahaya dan wanita itu sudah sepatutnya kalau dilenyapkan dari muka bumi ini, kalau kaisar menghendaki Kerajaan Tang benar-benar aman dari ancaman marga Bu.

"Totiang, bukankah Bu Mei Ling sudah terbelenggu dengan keputusan kami, dan iapun hanya seorang wanita lemah. Apa yang dapat ia lakukan? Sekarang ia hidup di sampingku, dan kelak ia menjadi biarawati."

"Bukan selir paduka yang hamba maksudkan. Wanita ini jauh lebih berbahaya karena ia memiliki ilmu silat yang amat tinggi, bahkan di dunia kang-ouw, jarang ada jagoan yang akan mampu menandingi dan mengalahkannya. lapun bermarga Bu dan kalau ia yang melakukan atau memimpin gerakan itu, benar benar kerajaan paduka terancam."

Kaisar Tang Tai Cung membusungkan dadanya. "Hemm, siapakah ada wanita she Bu yang demikian lihainya? Kurasa tidak ada pendekar wanita yang akan mampu menandingi aku!"

"Sribaginda, ia bernama Bu Giok Cu dan kelihaiannya dalam ilmu silat, biar hamba sendiri bukanlah tandingannya.”

"Bu Giok Cu? Siapa ia dan di mana tinggaInya?"

"la tinggal di dusun Hong-cun di tepi sungai Huang-ho, ia adalah isteri dari Huang-ho Sing-liong Si Han Beng.”

"Ahh...!!" Kaisar benar-benar terkejut mendengar ini. "Isteri... Naga Sakti Kuning? Tapi, tapi..."

Kaisar Tang Tai Cung nampak tertegun dan bingung. Dia teringat akan mendiang Kwa Bi Lan, selirnya yang menjadi kekasihnya sejak dia belum menjadi kaisar, selir terkasih dan juga amat setia yang telah mengorbankan nyawa demi membelanya ketika dia diserang oleh dua orang pembunuh. Dan dia teringat kepada Hong Lan, yang sejak kecil dianggap sebagai puterinya sendiri, padahal Hong Lan itu adalah Si Hong Lan, puteri Naga Sakti Sungai Kuning! Dan kini, Im Yang Sengcu memberi tahu bahwa ibu kandung Si Hong Lan bernama Bu Giok Cu, seorang wanita bermarga Bu yang diramalkan kelak akan menjatuhkan Kerajaan Tang!

"Wanita itu berbahaya sekali Sribaginda. la bermarga Bu, berilmu tinggi dan suaminya juga seorang yang amat lihai. Apa lagi kalau diingat bahwa Bu Giok Cu itu tentu tidak akan tinggal diam mendengar paduka membasmi orang-orang bermarga Bu. Oleh karena itu, dengan mengingat bahwa membasmi rumput liar beracun haruslah tidak tanggung-tanggung, maka akan bijaksanalah kalau paduka memerintahkan panglima untuk menangkap dan membunuh Bu Giok Cu itu. Kalau suaminya membela, diapun harus dienyahkan!"

Kaisar bangkit berdiri dan sambil menggendong kedua tangan dia mondar-mandir di pondok dalam taman itu, alisnya berkerut dan berulang kali dia menggeleng kepala, Im Yang Sengcu membiarkan saja dia dalam keadaan seperti itu sampai beberapa saat, kemudian dia berkata,

"Harap paduka mengampuni hamba kalau hamba bicara keliru."

Kaisar duduk kembali dan mengepal tangan kanan yang dia letakkan di atas meja. "Tidak, totiang. Engkau tidak keliru karena engkau hanya memikirkan keselamatan kerajaan. Akan tetapi bagaimana mungkin melakukan itu? Kau tahu Bu Giok Cu. isteri Naga Sakti Sungai Kuning itu adalah ibu kandung dari puteriku Hong Lan!"

Im Yang Sengcu terbelalak. "Ahhh...? Apa... apa maksud paduka...?"

Terpaksa kaisar membuka rahasia Hong Lan karena dia sudah terlanjur mengatakannya, pula dia amat percaya kepada tosu ini. “Kau tahu. Si Hong Lan yang sejak kecil kuanggap sebagai puteriku itu, sebetulnya bukan puteri kandungku. juga bukan anak kandung mendiang Kwa Bi Lan selirku, melainkan anak kandung Naga Sakti Sungai Kuning dan isterinya!" Lalu dengan singkat kaisar menceritakan tentang Hong Lan yang diculik dan dilarikan Kwa Bi Lan dari tangan kedua orang tua kandungnya.

"Aih, sungguh tidak terduga...” Im Yang Sengcu menggumam. "...dan sekarang Yang Mulia Puteri..."

"Hong Lan sudah tahu akan keadaan dirinya dan kini ia pergi untuk mencari ayah bundanya. Nah, bagaimana mungkin aku mengirim pasukan untuk membasmi keluarga Hong Lan yang kusayangi sebagai puteriku sendiri?"

Kembali Im Yang Seng-cu mondar-mandir dan alisnya berkerut. Sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa ada hal yang demikian kebetulan. Kiranya puteri Hong Lan adalah puteri kandung Naga Sakti Sungai Kuning! Padahal, sudah lama sekali dia menaruh dendam kepada suami isteri pendekar itu. Dia ingin mempergunakan kesempatan baik ini untuk membalas dendam kepada mereka yang dahulu, ketika masih muda pernah membasmi banyak rekannya di dunia kangouw. Akhirnya dia berhenti melangkah dan menghadapi Sri baginda Kaisar.

"Hamba telah mendapatkan jalan yang terbaik bagi paduka. Karena mereka adalah orang tua Puteri Hong Lan, maka tidak ada janggalnya kalau paduka mengundang mereka datang ke Istana bersama puteri mereka. Dalam pertemuan kekeluargaan itu paduka dapat memancing dan bertanya kepada Naga Sakti Sungai Kuning tentang ramalan perbintangan yang jelas menyatakan bahwa marga Bu, dan seorang wanita pula, merupakan ancaman besar bagi Kerajaan Tang. Nah, karena isterinya seorang wanita she Bu, maka paduka lihat saja bagaimana tanggapan pendekar itu. Dan kalau mereka sudah berada di sini, hamba akan mendapatkan akal untuk menghadapi mereka."

Sri baginda kaisar mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang yang gagah perkasa, bahkan ketika mudanya dia juga seorang pendekar yang membela keadilan dan kebenaran. Namun, setelah kini menjadi kaisar, berenang di dalam kemuliaan dan kekuasaan, yang terpenting dalam hidupnya adalah mempertahankan kekuasaannya itu!

Kekuasaannya sebagai kaisar menjamin kemenangan, kebenaran, kemuliaan, kemewahan dan segala macam kesenangan baginya, apapun yang dikehendakinya dapat terlaksana! Nafsu kesenangan sudah mencengkeramnya sampai mendarah daging, dan mempertahankan kesenangan ini merupakan tekad hidupnya. Bahkan, dia ingin mengabadikan kekuasaannya sehingga dia bersusah payah ingin mendapatkan obat yang dapat membuat dia hidup seribu tahun atau selamanya!

Kalaupun ini gagal, dia menghendaki agar kekuasaan itu dapat diwarisi dan dilanjutkan anak cucunya maka tentu saja dia tidak rela mendengar bahwa ada kekuatan baru, yaitu seorang wanita bermarga Bu, yang kelak akan mengambil alih kekuasaan itu. Kalau saja tidak demi mempertahankan kekuasaannya itu, tentu dia akan berpikir seribu kali untuk mengganggu sepasang suami isteri pendekar besar seperti Naga Sakti Sungai Kuning dan isterinya.

"Baik, akan kami kirim utusan ke sana mengundang mereka. Akan tetapi bagaimana dengan obat panjang usia itu, totiang? Sudah jadikah?"

"Kurang sedikit lagi, Sribaginda. Harus sempurna benar baru hasilnya akan pasti dan baik. Akan tetapi, unyuk cara pembuatan emas, sudah hamba persiapkan dan sekarang juga dapat paduka pelajeri."

"Bagusi Kami ingin sekali mempelajarinya!" kata Kaisar Tang Tai Cung. Dia membayangkan bahwa sekali ilmu membuat emas itu telah dikuasainya, maka negaranya akan menjadi negara terkuat di dunia ini. Dia akan dapat membuat emas sebanyaknya dan dengan "senjata" berupa emas ini, siapakah yang akan mampu melawannya? Segala apapun dapat dibeli dan dikuasai di dunia ini dengan logam mulia itu!

"Kalau begitu, Sr baginda, sebaiknya agar dijaga jangan sampai ada orang lain yang dapat melihat atau mendengarkan percakapan kita ini, dan lebih tepat lagi kalau paduka sendiri yang mencatat semua bahan dan cara pembuatan emas. Kelak, setelah paduka mempelajarinya dan sudah hafal, baru kita mencoba untuk mempraktekkannya dan membuatnya."

Dengan wajah berseri dan sinar mata mencorong, Kaisar Tang Tai Cung lalu meneriaki pengawal dan memerintahkan agar taman itu dijaga dan tidak boleh ada seorangpun memasuki taman, apa lagi mendekati pondok dengan ancaman hukuman mati. Kemudian, dia mempersiapkan kertas dan alat tulis, dan dengan hati tegang penuh gairah dia sudah duduk dan siap menulis.

Im Yang Sencu nampak duduk bersila dan memejamkan mata di atas dipan di depan kaisar, seolah dia sedang bersamadhi dan menghimpun kekuatan. Kemudian, dengan suara lirih namun jelas, Im Yang Sengcu mengeluarkan kata-kata yang dicatat dengan seksama oleh Kaisar Tang Tai Cung.

"Rahasia ini ditulis oleh Manusia Dewa Ko Hung dengan nama Poa Bu Cu, dan agar dilakukan dengan penuh ketaatan agar berhasil membuat emas. Bahan-bahannya dan cara pembuatannya adalah seperti berikut, harap dicatat baik-balk."

Im Yang Sengcu lalu mengeluarka kata-kata aneh seperti membaca mantra yang tidak dimengerti oleh Kaisar Tang Tai Cung yang menjadi tidak sabar. Akan tetapi, tosu itu lalu bicara lagi dengan bahasa yang jelas.

"Pergunakan sebuah kuali (periuk) besi bergaris tengah satu kaki dua inci dan tingginya juga satu kaki dua inci, dan sebuah kuali besi kecil dengan garis tengah dan tinggi enam inci. Ambil satu kati tanah liat merah yang lembut, satu kati (kurang lebih satu ons) sendawa, satu kati gamping, satu kati tepung besi dari Tai-couw (di propinsi Shansi), setengah kati belerang, dan satu kati es. Tumbuk semua ini menjadi satu sampai halus dan aduk sampai rata. Kemudian, olesi bagian dalam dari kuali besi kecil sampai setebal sepersepuluh inci dengan satu kati air raksa, setengah kati cinnabar (raksa kristal merah) dan setengah kati liang-fei."

"Apa itu liang-fei?" tanya kaisar yang menunda tulisannya.

"Liang-fei dibuat dengan cara memanaskan sepuluh kati timah dalam sebuah kuali besi di atas perapian, sampai keluar tiga ons air raksa dari timah yang mencair, dan ciduk ini dengan aebuah senduk besi. Itulah yang dinamakan liang-fei."

"Hemm, begitukah? Lanjutkan, totiang," kata kaisar penuh perhatian.

"Kemudian aduklah semua bahan tadi sampai rahsanya tidak nampak. Lalu masukkan campuran ini ke dalam kuali besi yang kecil, dan taburi dengan gamping lalu tutup dengan penutup besi dan letakkan kuali ke dalam kuali besar dan bakar di atas api. Timah yang mencair itu akan tenggelam ke dalam kuali besar. Kemudian dari kuali yang kecil, ambillah bagian atas campuran yang mencair itu setebal setengah inci bagian atas, dan panaskan ini di atas api besar selama tiga hari tiga malam. Ini akan menghasilkan apa yang sebut bubuk merah. Kemudian ambil timah yang sepuluh kati itu dan panaskan selama duapuluh hari siang malam, lalu pindahkan ke dalam sebuah kuali tembaga dan tambahkan bubuk merah tadi ke dalam timah yang mencair. Aduklah dengan sebuah sendok berukuran hati rnanusia yaitu satu inci persegi dan campuran-timah dan bubuk merah itu seketika akan berubah.menjadi emas!"

Setelah selesai menuliskan semua itu, berulang-ulang Kaisar Tang Tai Cung membacanya dan alisnya berkerut. “Totiang, benarkah sepuluh kati timah itu akan berubah menjadi emas?"

Im Yang Sengcu membuka matanya dan nampak lelah sekali. Akan tetapi mendengar pertanyaan kaisar.itu, dia mengerutkan alisnya. “Sribaginda, syarat utama untuk membuat emas seperti yang digambar oleh Manusia Dewa Ko Hung bergelar Pao Bu Cu adalah kepercayaan. Kita harus percaya agar kalau kita mencoba membuatnya, tidak akan mengalami kegagalan."

"Kalau begitu, kita harus secepatnya mencoba resep ini, totiang."

"Harap paduka suka bersabar dulu Sribaginda. Hamba sedang memusatkan-perhatian hamba kepada pembuatan obat panjang usia itu. Apa artinya segunung emas kalau usia kita tidak panjang?”

"Ah, engkau benar, totiang! Memang, sebaiknya engkau cepat selesaikan pembuatan obat itu."

"Hamba membutuhkan ketenangan untuk penyelesaiannya, Sri baginda. Akan tetapi akhir-akhir ini terlalu banyak persoalan yang mengganggu ketenangan hamba. Bahkan belum lama ini... Pangeran Li Cu Kiat... ahh, hamba tidak berani...” Tosu itu berdiam diri dan menundukkan mukanya yang nampak muram.

"Ehh? Ada apakah dengan keponaanku Li Cu Kiat, totiang? Apa yang hendak kau katakan tentang dia? katakan saja, dan jangan takut."

"Baiklah, Sribaginda. Hamba akan menceritakan sejujurnya, akan tetapi bukan maksud hamba untuk mengadu. Beberapa hari yang lalu, ketika seorang wanita muda yang mencurigakan naik ke bukit pondok hamba, Ia bentrok dengan murid hamba dan melukai murid hamba itu. Ketika hamba keluar la melarikan diri. Karena merasa curiga, hamba mengajak murid-murid hamba untuk melakukan pengejaran. Dan melihat ia menghilang di dekat gedung Pangeran Li Cu Kiat, hamba merasa khawatir sekali. Hamba teringat akan wanita jahat yang pernah mencoba untuk membunuh paduka. Maka, hamba lalu mohon menghadap keluarga Pangeran Li Cu Kiat untuk memperingatkan tentang lenyapnya gadis lihai itu di dekat gedung mereka, demi keamanan mereka. Akan tetapi... ahh, hamba tidak berani gmengatakan, takut kalau disangka hamba mengadu, Sribaginda."

"Totiang, katakanlah. Kalau memang ada yang bersalah, kami wajib untuk memberi teguran. Apa yang dilakukan oleh Cu Kiat kepadamu?"

"Pangeran Li Cu Kiat mengeluarkan kata-kata menghina, Sribaginda, terutama sekali Nyonya Song... hamba dimaki sebagai dukun lepus, peramal dan tukang sihir..."

"Hemm, anak itu perlu ditegur!" kata kaisar.

"Harap paduka jangan marah, pangeran itu hanya perlu diberi tahu agar lain kali jangan menghina orang tua lagi."

Dengan alasan hendak menyempurnakan pembuatan obat panjang usia, Yang Sengcu mengundurkan diri. Kao Tang Tai Cung termenung memegangi catatan pembuatan emas. Akhirnya, malam itu juga ia memanggil komandan pengawal dan menyuruh dia menyampaikan perintahnya kepada panglima untuk mengrim seregu pasukan mengundang Huang-Sin-liong Si Han Beng dan isterinya juga Si Hong Lan untuk menghadap ke istana. Juga dia memerintahkan seorang utusan untuk besok pagi-pagi memanggil pangeran Li Cu Kiat datang menghadap.

********************

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning Episode Naga Beracun karya kho ping hoo

Pada keesokan harinya, Pangeran Li Cu Kiat yang dipanggil kaisar, datang menghadap dan ditegur tentang sikapnya yang kurang hormat terhadap Im Yang Sengcu.

"Cu Kiat, engkau tentu mengetahui bahwa Im Yang Sengcu merupakan seorang pendeta dan sahabat kami yang sudah banyak berjasa. Kenapa engkau yang muda berani bersikap tidak hormat kepanya? Bukankah dia malam-malam datang kepadamu untuk menjaga keamanan keluarga ibumu agar jangan sampai terancam oleh seorang wanita yang dicurigai?" demikian antara lain Kaisar Tang Tai Cung menegur keponakannya.

"Mohon ampun, Pamanda Kaisar yang mulia. Sesungguhnya, sikap hamba dan nenek hamba hanya merupakan akibat saja dari pada sebab yang ditimbulkan oleh Im Yang Sengcu sendiri. Dia mencurigai keluarga kami menyembunyikan gadis itu. Karena itu, nenek dan hamba mengeluarkan kata-kata teguran kepadanya."

Kaisar mengangguk-angguk. "Hemm, kalau begitu hanya terjadi kesalah pahaman saja. Engkau harus dapat mempertimbangkan bahwa dalam keadaan mengejar penjahat, tentu saja Im Yang Seng-Cu mencurigai siapa saja, dan sebagai orang muda, lain kali seyogianya kalau engkau bersikap hormat terhadap orang tua agar kami sebagai pamanmu tidak ikut merasa rikuh. Mengerti?"

"Pesan dan perintah Pamanda akan hamba taati," kata Li Cu Kiat, diam-diam merasa mendongkol sekali kepada tosu itu yang agaknya telah mengadu pada kaisar.

Setelah pulang ke rumahnya sendiri dengan hati jengkel, Li Cu Kiat melihat Kui Eng berada di taman dan diapun segera memasuki taman. Kui Eng cepat bangkit dari bangku yang didudukinya ketika melihat pangeran itu pulang. Tadi ia merasa khawatir mendengar bahwa pemuda itu dipanggil kaisar karena ia menduga bahwa panggilan itu tentu ada hubungannya dengan peristiwa ketika ia dikejar Im Yang Sengcu sampai ke gedung keluarga itu.

"Engkau sudah pulang, pangeran? Lalu bagaimana kabarnya? Benarkah ke khwatiranku bahwa panggilan itu ada hubungannya dengan diriku?"

"Duduklah, nona, dan kuminta agar engkau tidak lagi memanggilku pangeran. Engkau sendiri pun puteri pangeran, kita sederajat kalau memang engkau membedakan tingkat dan derajat. Dan kami sekeluarga telah terlibat dengan dirimu sedemikian rupa sehingga engkau kami anggap seperti keluarga sendiri. Bagaimana kalau kita berkakak adik saja? Kau memanggil aku kakak dan aku memanggilmu adik?"

Kui Eng tersenyum. Sejak pertemuan pertama kali, ia memang sudah merasa kagum dan suka sekali kepada pangeran yang lembut hati dan manis budi ini, juga gagah perkasa. "Baiklah, twako. Nah, ceritakan, apa yang terjadi denganmu di Istana?"

Mereka duduk di bangku taman itu, sejenak saling pandang dan Cu Kiat menghela napas panjang. Betapa anggunnya gadis ini, pikirnya. Selama hidupnya, biar berulang kali didorong-dorong ibunya dan neneknya, belum pernah dia bergaul dengan wanita, apa lagi jatuh cinta. Akan tetapi sekali Ini, dia benar-benar telah jatuh cinta! Dia siap melakukan pengorbanan apa saja untuk gadis yang duduk di depannya ini.

"Eng-moi..." sebutan ini terasa ringan dibibirnya karena sejak pertemuan itu, setiap malam seringkali dia menggunakan sebutan itu, dalam renungan maupun di dalam mimpi. "Paman Kaisar hanya menegurku karena aku telah bersikap kasar terhadap Im Yang Sengcu."

"Apakah kaisar bertanya tentang diriku?"

"Tidak, Eng-moi. Pamanda Kaisar percaya kepadaku dan tidak mencurigaiku, dia hanya menegurku karena pengaduan Im Yang Sengcu." Lalu dia mencerikan pertemuannya dengan kaisar.

Kui Eng menghela napas panjang "Aihhh, pangeran... eh, twako... sungguh aku merasa tidak enak sekali. Engkau telah begitu baik kepadaku, juga ibumu dan nenekmu, kalian telah begitu baik menerimaku. Bagaimana mungkin sekarang aku membiarkan diriku mendatangkan hal-hal yang tidak enak bagimu? Engkau sudah ditegur kaisar, engkau di curigai Im Yang Sengcu, mungkin keluargamu akan menghadapi ancaman yang lebih gawat lagi kalau aku tetap berada di sini. Karena itu, twako, sebaiknya kalau aku pergi saja meninggalkan gedung ini agar keluargamu terbebas dari pada kesulitan-kesulitan..."

"Eng-moi...!" Tiba-tiba pangeran itu menjulurkan tangan dan memegang tangan kanan Kui Eng dengan kedua tangannya. Gadis itu terkejut, mukanya berubah merah akan tetapi ia tidak melepaskan tangannya yang tergenggam karena tidak ingin menyinggung perasaan pangeran itu. "Eng-moi, kenapa engkau berkata demikian? Kami... aku... rela melakukan semua ini untukmu, bahan aku siap mengorbankan nyawaku demi untuk membela dan melindungimu..."

"Twako, apa yang kau katakan ini? Sadarlah...!" kata Kui Eng, perlahan menarik tangannya melepaskan dari genggaman tangan pangeran itu dengan lembut.

Li Cu Kiat nampak tersipu. "Maaf... ah, maafkan aku, Eng-moi, aku tadi terseret perasaan. Akan tetapi aku bersungguh-sungguh. Jangan engkau tinggalkan tempat ini begitu saja, bahaya akan mengancammu di mana-mana. Tidak Eng-moi, engkau tidak boleh pergi. Aku tidak akan pernah dapat memaafkan diriku sendiri kalau sampai engkau tertimpa bencana. Tinggallah dulu di sini sampai suasana menjadi aman bagimu. Kini, Im Yang Sengcu sudah berhasil mengadu kepada Pamanda Kaisar, maka kita harus lebih berhati-hati. Engkau tinggallah dulu di sini untuk sementara, dan aku akan mengerahkan semua pembantu dan temanku untuk mencari suhengmu. Kalau dia sudah berada di kota raja aku yakin kita akan dapat menemukannya. Kalau sudah tiba saatnya engkau harus keluar dari kota raja, aku yang akan mengaturnya agar engkau dapat keluar dengan selamat dan tidak diketahui Im Yang Sengcu dan anak buahnya."

Karena dibujuk dengan alasan yang kuat, akhirnya Kul Eng mengalah, “Baiklah, twako. Akan tetapi, sungguh aku merasa semakin banyak menerima limpahan budi yang bertumpuk-tumpuk darimu. Twako, kita baru saja bertemu dan kenalan, kenapa engkau, ibumu dan nenekmu begini baik terhadap diriku?"

Gadis itu mengangkat muka menatap wajah pangeran itu yang juga menatapnya. Dua pasang mata itu berpandangan dan bertaut, kemudian melihat betapa ada pancaran kasih sayang yang demikian jelas keluar dari sepasang mata pangeran itu, Kui Eng menundukkan mukanya yang terasa panas.

"Eng-moi, maafkan aku kalau aku berterus terang dan mungkin menyinggung perasaanmu. Entah mengapa, baru sekali ini selama hidupku aku mengalami perasaan seperti yang kualami sejak aku bertemu denganmu. Seolah selama ini aku sudah mengenalmu, seolah selama ini engkaulah orang yang selalu kunanti muncul dalam kehidupanku, Eng-moi, terus terang saja, aku mencintamu, dan aku tidak ingin berpisah darimu untuk lamanya. Eng-moi, maafkan aku, akan tetapi, sudikah engkau menerima cintaku?"

Wajah itu menjadi kemerahan pada saat itu, terbayanglah wajah Thian Ki di depan matanya. Kui Eng menunduk. "Twako, kita baru saja saling jumpa dan berkenalan dalam beberapa hari... rasanya masih terlalu pagi untuk bicara tentang itu. Aku... aku tidak tahu...”

"Maafkan aku, Eng-moi. Memang aku yang tergesa-gesa, karena aku khawatir sekali mendengar niatmu untuk pergi meninggalkan aku. Aku ingin engkau tahu lebih dulu sebelum pergi tentang isi hatiku. Nah, sekarang legalah hatiku karena sudah kucurahkan isi hatiku Sekarang, bagaimana, Eng-moi, maukah engkau untuk sementara bersembunyi dulu di sini sambil menanti hasil usahaku mencari suhengmu?"

Kui Eng mengangguk. Memang iapur tahu bahwa tanpa bantuan pangeran ini, tidak akan mudah pergi dari kota raja dan kalau sampai Im Yang Sengcu melihatnya, tentu ia akan terancam bahaya besar.

Dari balik pintu belakang, Nyonya Li dan Nenek Song mengintai dan mereka berdua tersenyum gembira melihat Pangeran Li Cu Kiat duduk berdua di atas bangku dalam taman bersama Kui Eng dan mereka nampak begitu akrab,

“mudah-mudahan cucuku menemukan jodohnya..." bisik Nenek Song dan puterinya hanya tersenyum.

Sementara itu, Kui Eng merasa cukup bicara dengan Pangeran Li Cu Kiat dan ia bangkit berdiri hendak kembali ke dalam rumah. Akan tetapi ia tiba-tiba mengeluh dan menggunakan kedua tangan memegangi kepalanya. Kepala itu terasa nyeri bukan main, seperti ditusuki jarum dari dalam.

"Ehh...! Engkau kenapa, Eng-moi...?" Pangeran Li Cu Kiat terkejut dan cepat menghampiri.

Tubuh Kui Eng terhuyung dan tentu ia sudah jatuh kalau tidak cepat dirangkul Li Cu Kiat. "Aduh... aughh... kepalaku... tertusuk-tusuk rasanya... aduhhh... aduhhh...!" Kui Eng menekan kepala dengan kedua tangannya.

"Eng-moi., apa yang terjadi, Kenapa kepalamu...?" Li Cu Kiat menjadi bingung dan khawatir sekali.

Nenek Song dan Nyonya Li juga melihat peristiwa itu dan mereka berdua cepat berlari menghampiri. "Apa yang terjadi? Kenapa Kui Eng?" tanya Nyonya Li dan iapun ikut merangkul gadis itu yang masih menggeliat-geliat kesakitan.

"Kalian mundur! Kui Eng, dengar baik-baik! Cepat engkau bersila mengerahkan sin-kangmu sekuat tenaga!! tiba-tiba Nenek Song berkata setelah dia memegang pergelangan tangan gadis itu. "Engkau tidak sakit, akan tetapi ada pengaruh hitam yang menguasai dirimu!"

Mendengar suara nenek itu, Kui Eng teringat. Tadi ia kaget bukan main dan menjadi panik karena kepalanya seperti ditusuk-tusuk dari dalam sehingga ia tidak tahu harus berbuat apa. Akan tetapi begitu mendengar ucapan nenek itu, iapun teringat, dan dengan menahan rasa nyeri yang hebat, diapun cepat duduk bersila di atas rumput dan mengerahkan seluruh kekuatan sin-kangnya untuk menolak pengaruh asing dan aneh yang membuat kepalanya seperti ditusuk-tusuk dari dalam itu.

Setelah mengerahkan sin-kangnya, rasa nyeri itu berkurang banyak, walaupun masih terasa tidak enak dan pening. Akan tetapi, lewat beberapa menit kemudian, rasa nyeri semakin berkurang dan akhirnya lenyap. la menarik napas panjang dan bangkit, lalu dengan agak pening ia membiarkan dirinya dituntun Li Cu Kiat dan duduk kembali ke atas bangku tadi.

Setelah gadis itu nampak normal kembali, Cu Kiat bertanya lembut. "Eng Moi, apa yang telah terjadi? Kenapa engkau mendadak kesakitan seperti itu?"

"Cu Kiat, apakah engkau tidak dapat menduga? Kui Eng telah diserang secara gelap, diserang dengan ilmu hitam, dengan sihir."

Pangeran, itu terbelalak, lalu mengepal tinju. "Jahanam busuk! Siapa lagi kalau bukan Im Yang Sengcu yang melakukan ini?" bentaknya marah. “Aku harus membuat perhitungan dengan dia! Berani dia menyerang Eng-moi dengan ilmu hitam!"

"Cu Kiat, tenanglah," kata nya halus. "Jangan bertindak sembrono. Kita tidak mungkin dapat menuduhnya tanpa adanya bukti. Sebaliknya dia akan menuduhmu menjatuhkan fitnah kepadanya dan tanpa bukti, engkau akan kalah."

"Ibumu benar, Cu Kiat. Memang akupun menduga bahwa Im Yang Sengcu. yang melakukan hal ini, akan tetapi, tanpa bukti, kita tidak berdaya. Sementara ini, agaknya sin-kang di tubuh Kui Eng cukup kuat untuk menyelamatkan dirinya. Akan tetapi kita harus mencari seorang ahli untuk menolak serangan ilmu hitam itu."

"Aih, aku hanya membikin repot keluarga yang mulia ini saja," keluh Kui Eng, "aku percaya, kalau suheng berada di sini, dia pasti akan dapat menolak pengaruh iblis itu."

"Mari kita masuk ke dalam dan kita atur bagaimana baiknya," kata Nenek Song.

Mereka semua masuk dan semenjak itu setiap hari Kui Eng mendapat serangan dalam kepalanya sampai beberapa kali. Biarpun dengan sin-kangnya ia mampu bertahan dan menolak, namun tetap saja ia menderita sekali dan hampir tidak dapat turun dari pembaringan karena kepalanya terasa berat dan pening. Setiap kali serangan datang di dalam kepalanya seperti ditusuk-tusuk jarum dan ia hanya mampu menolak serangan itu dengan sin-kangnya, akan tetapi hal itu amat melelahkan dirinya dan membuat ia rebah seperti dalam keadaan sakit berat.

Bahkan beberapa kali ia roboh pingsan dan setelah pingsan, serangan itupun lenyap, akan tetapi datang lagi kalau ia siuman. Beberapa orang ahli telah diundang oleh keluarga itu, akan tetapi agaknya para hwesio dan tosu yang dimintai tolong, tidak mempunyai tenaga cukup kuat untuk menolak serangan ilmu hitam itu. Pangeran Li Cu Kiat menjaga Kui Eng siang malam, bahkan tidur di lantai bawah pembaringan gadis itu.

Biarpun nenek dan ibunya membujuk agar dia beristirahat, dia menolak dan tetap menjaga Kui Eng dengan penuh perhatian melayani semua kebutuhan gadis itu membuat Kui Eng kalau sadar merasa terharu bukan main. Sementara itu, Pangeran Li Cu Kiat juga mengerahkan tenaga bantuan dari para komandan yang dikenalnya baik, untuk menyebar orang dan mencari. seorang pemuda bernama Coa Thian Ki dengan ciri-ciri seperti yang digambarkan oleh Kui Eng kepadanya.

********************

Berita tentang pembantaian semua orang bermarga Bu di kota raja dan sekitarnya, terbawa angin dengan cepatnya sehingga berita itu sampai pula ke Hong-cun, dusun tempat tinggal Huang-ho Sin-liong Si Han Beng dan isterinya. Bu Giok Cu. Suami isteri ini sudah lama mengasingkan diri dan tidak mencampuri urusan di dunia kangouw, akan tetapi ketika mereka mendengar berita itu, mereka terkejut juga, terutama sekali karena isteri pendekar itupun bermarga Bu!

Tanggapan Hong Lan lebih hebat lagi. Mendengar berita itu, iapun menangis tersedu-sedu. Suami isteri itu saling pandang dan Giok Cu merangkul puterinya dengan penuh kasih sayang.

“Lan Lan, kenapa engkau menangis mendengar berita mengerikan itu?"

"Ibu, betapa hatiku tidak akan sedih mendengar pembantaian orang-orang yang tidak berdosa itu. Aku tahu, semua ini tentu ulah Im Yang Sengcu, tosu ahli sihir itu. Aku tidak percaya ayah sekejam itu. Ayahanda kaisar adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang berwatak pendekar, menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Bagaimana mungkin dia melakukan kekejaman itu kalau bukan karena ulah Im Yang Sengcu! Aku harus ke kota raja, aku akan mengingatkan ayahanda kaisar agar jangan menuruti bujukan tosu siluman itu!”

“Hong Lan, tenanglah dulu dan kita harus mempertimbangkan baik-baik kehendakmu itu. Ingat, Hong Lan, sekarang kedudukanmu tidak lagi seperti dulu ketika engkau masih menjadi puteri kaisar. Bagaimana engkau akan kuat menentang pengaruh tosu itu yang telah menjadi penasihat kaisar seperti yang pernah kau ceritakan kepada kami? Dan ada suatu hal yang amat gawat sekali yang harus kau pertimbangkan baik-baik sebelum mengambil keputusan pergi ke kota raja."

Melihat suara ayahnya demikian serius, Hong Lan memandang ayahnya! “Sesuatu apakah yang begitu gawat, ayah?"

"Engkau lupa bahwa ibumu adalah seorang bermarga Bu juga."

"Ahh..." Hong Lan terbelalak, baru teringat bahwa ibu kandungnya bernama Bu Giok Cu. "Kalau begitu, aku bahkan harus cepat ke sana menemui kaisar, ayah. Tindakannya ini benar-benar akan menghancurkan nama baiknya, dan ia merasa berkewajiban untuk mengingatkannya, terutama sekali mengingatkan beliau akan bahayanya menurut bujukan seorang iblis seperti Im Yang Sengcu."

"Kalau engkau berkeras hendak ke kotaraja, kami tidak akan melepasmu begitu saja. Kami akan menemanimu dan kita bertiga bersama pergi ke sana," kata Si Han Beng.

"Akan tetapi, ayah!" Hong Lan memprotes. "Ibu bermarga Bu, bagaimana mungkin ibu ikut ke sana? Itu berbahaya sekali!"

"Lan Lan, engkau sendiri hendak ke sana. Kalau engkau memiliki keberatan untuk pergi ke sana, apa lagi ibu! Aku tidak takut akan ancaman, dari manapun juga datangnya," kata Bu Giok Cu.

"Ibumu benar, Hong Lan. Orang yang tidak merasa bersalah tidak perlu takut. Pula, kalau engkau khawatir, kita dapat memasuki kota raja dengan menyamar, ibumu ini memiliki ilmu penyamaran yang hebat."

"Benarkah itu, ibu?" Hong Lan sudah mendapatkan kembali kegembiraannya. Memang anak ini memiliki dasar lincah gembira.

"Kau lihat ibumu ini!" kata Bu Giok Cu dan ia pun membalikkan tubuh membelakangi puterinya, hanya dalam beberapa menit dan ketika ia membalikkan lagi tubuhnya menghadapi Hong Lan gadis itu menahan jeritnya saking kaget dan herannya. Ibunya telah berubah menjadi wanita yang wajahnya berbeda sama sekali!

"Ihh... ibu! Engkau harus mengajarkan ilmu menyamar ini kepadaku kata Hong Lan sambil tertawa dan merangkul ibunya.

Pada saat itu, nampak seorang laki setengah tua, tetangga mereka berlari-larian mengetuk pintu depan rumah pendekar itu. Ketika mereka bertiga ke luar, laki-laki itu dengan napas terengah-engah berkata,

"Si-taihiap. Ada serombongan pasukan kerajaan memasuki dusun kita dan bertanya-tanya tentang rumah taihiap. Mereka sedang menuju ke sini“ Setelah mengatakan laporan ini, tetangga itu lalu pergi menyembunyikan diri dengan ketakutan.

Keluarga pendekar itu terkejut mendengar ada seregu perajurit kerajaan mencari mereka, akan tetapi mereka masih bersikap tenang.

"Sebaiknya kalian berdua berkemas dan dengarkan percakapanku dengan pimpinan regu. Kalau aku mengatakan bahwa kalian tidak berada di rumah, cepat pergi tinggalkan rumah dari pintu belakang dan tunggu aku diluar dusun, di hutan kecil tepi sungai tempat biasa mengail ikan."

Ibu dan anak itu tidak perlu mendapat penjelasan lagi. Mereka segera memasuki kamar dan berkemas. Ketika rombongan pasukan kerajaan itu memasuki pekarangan rumah, mereka telah siap dengan buntalan pakaian di punggung dan mereka berdua mengintai dari dalam.

Dengan sikap tenang Si Han Beng menyambut rombongan perajurit itu. Mereka terdiri dari dua losin orang, menunggang kuda dan kini mereka semua meloncat dari punggung kuda, berdiri rapi dan membiarkan komandan mereka, seorang perwira tinggi, melangkah maju menghadapi Si Han Beng.

"Si Han Beng katanya dengan suara lantang dan berwibawa. "Sambutlah perintah dari Sribaginda Kaisar!"

Mendengar ini dan melihat perwira itu mengeluarkan segulung surat perintah kaisar, Han Beng terkejut diapun berlutut sebagaimana layaknya seorang rakyat menyambut perintah kaisarnya.

"Hamba Si Han Beng mendengarkan perintah Sribaginda Kaisar!" katanya.

Perwira itu lalu membentangkan gulungan surat perintah, membacanya dengan suara lantang. "Kami mengundang Huang-ho Sin-liong Si Han Beng dan isterinya, Bu Giok Cu, dan puteri mereka. Si Hong Lan, agar secepat mungkin datang berkunjung ke istana. Tertanda Kaisar Tang Tai Cung."

Komandan itu menggulung kembali surat perintah dan menyerahkannya kepada Si Han Beng yang menerimanya dengan kedua tangan, sambil berkata, "Kami harap agar Si-taihiap suka bersiap sekarang karena kami mendapat perintah untuk mengajak tai-hiap bertiga sekarang juga berangkat ke kota raja."

Si Han Beng bangkit berdiri setelah gulungan surat itu diterimanya. Kini yang dia hadapi hanyalah seorang perwira tinggi, seorang utusan karena cara penyambutan perintah kaisar secara resmi telah dilakukannya. "Harap ciangkun kembali lebih dahulu ke kota raja. Kami akan segera menyusul," katanya.

"Ah, hal itu tidak mungkin kami lakukan, taihiap!" Kami telah menerima perintah atasan kami bahwa kami harus mengajak taihiap sekarang juga ke kota raja, maksud kami, tai-hiap bertiga isteri dan puteri."

Han Beng mengerutkan alisnya dan mandang tajam wajah perwira itu. Seorang panglima muda yang usianya sekitar empat puluh tahun dan nampak gagah perkasa. "Ciangkun, Sribaginda mengundang kami, akan tetapi kenapa ciangkun seperti hendak memaksa kami?"

"Tai-hiap, kami hanya melaksanakan perintah atasan. Taihiap bertiga memang diundang ke istana, akan tetapi harus sekarang bersama kami."

"Hemm, kalau kami tidak mau berangkat sekarang bersamamu?"

"Maaf, terpaksa kami akan melaksanakan perintah, yaitu kalau tidak dapat mengajak taihiap bertiga sebagai tamu undangan, kami harus membawa taihiap bertiga sebagai tawanan!"

"Begitukah perintah Sribaginda? Tidak kubaca dalam surat undangan ini.”

"Ini merupakan perintah atasan kami!" panglima itu berkeras.

"Aku hanya menaati perintah Sri baginda Kaisar, bukan panglima yang manapun juga." Kata Si Han Beng dengan suara lantang dengan maksud agar terdengar oleh isteri dan anaknya. "Pula tidak mungkin kami berangkat sekarang karena isteri dan puteriku tidak berada di rumah saat ini!"

Ucapan ini tentu saja merupakan isyarat bagi Bu Giok Cu dan Si Hong Lan untuk cepat meninggalkan rumah melalui pintu belakang. Panglima itu mengerutkan alisnya memandang kepada pendekar itu dengan sinar mata tajam penuh selidik.

“Si Han Beng, kami minta agar engkau tidak berbohong kepada kami. Tadi kami sudah mendapat keterangan bahwa engkau sekeluarga berada di rumah, bagaimana sekarang tiba-tiba saja isteri dan putrimu tidak berada di rumah?" Dia lalu memerintahkan dua losin anak buahnya, "Geledah rumah Ini dan cari mereka!”

Para perajurit itu berserabutan masuk ke dalam rumah itu dan melakukan penggeledahan. Si Han Beng hanya menonton saja dari luar rumah dan menahan kesabarannya. Tentu saja dua losin orang perajurit itu tidak dapat menemukan Bn Giok Cu dan Si Hong Lan dan mereka keluar lagi, melapor kepada panglima itu bahwa yang mereka cari tidak dapat ditemukan di dalam rumah itu.

"Si Han Beng, apakah engkau hendak memberontak? Berani engkau membantah perintah Sri baginda Kaisar? Engkau menyembunyikan anak isterimu!" Bentak panglima itu.

Kini Si Han Beng tidak dapat menahan lagi kemarahannya. "Ciangkun, aku percaya bahwa Sri baginda Kaisar sendiri tidak akan berani bersikap seperti ini kepadaku. Engkau hanya seorang perwira, berani begini sombong melebihi Sribaginda. Engkau patut dihajar!”

Mendengar ucapan ini, panglima itu menjadi semakin marah dan dia memerintahkan anak buahnya dengan suara lantang. "Tangkap pemberontak ini!"

Dua losin anak buahnya itu serentak maju mengepung, akan tetapi sekali menggerakkan kaki tangannya. Si Han Beng membuat empat orang perajurit terlempar dan diapun sekali meloncat sudah berada di depan panglima itu. Sang panglima yang sombong itu sudah menggerakkan pedangnya untuk menyambut Han Beng dengan tusukan ke arah dada. Si Han Beng membiarkan pedang itu dekat, lalu tubuhnya miring dan sewaktu pedang meluncur di sisi tubuhnya, tangannya bergerak ke samping dan sekali tangkap, dia telah memegang pergelangan tangan yang membawa pedang dan terus diputar ke belakang. Karena lengan panglima itu kini tertelikung ke belakang dan terus didorong, maka tentu saja terasa nyeri hampir patah dan pedangnya terlepas.

"Pergilah!" bentak Si Han Beng dan panglima itu terdorong ke depan dan jatuh tertelungkup sehingga hidungnya berdarah.

Akan tetapi, panglima itu agaknya masih mengandalkan keduduk dan pasukannya. "Tangkap pemberontak itu! Bunuh!" perintahnya kepada anak buahnya sambil merangkak bangun.

"Hemm, agaknya engkau yang menjadi kaki tangan pemberontak!" Han Beng berseru dengan gemas dan sekali kakinya terayun, dagu panglima itu telah ditendangnya dan kini panglima itupun terpental dan jatuh pingsan. Han Beng lalu mengamuk dan enam orang perajurit yang berani mencoba untuk mengeroyoknya, dirobohkan dengan tamparan dan tendangan. Sisanya menjadi jerih dan hanya berdiri saja, tidak berani menyerang.

Han Beng tidak memperdulikan mereka, lalu menutup semua daun pintu menyerahkan rumahnya kepada dua orang pembantu, dan diapun pergi membawa buntalan pakaiannya, menyusul isteri dan puterinya. Tidak ada seorangpun dari para perajurit yang berani mengejarnya. Bu Giok Cu dan Si Hong Lan sudah menanti Han Beng di hutan kecil tepi sungai. Dengan singkat Han Beng menceritakan apa yang terjadi dan isterinya ikut merasa tak senang.

"Sungguh aneh," kata Hong Lan. "Ayahanda Kaisar adalah seorang yang pandai menghargai orang gagah dan kalau beliau mengundang kita, kenapa komandan pasukan yang menjadi utusan itu bersikap kasar dan sombong? Ini aneh sekali, dan biar nanti akan ku laporkan kepada ayahanda kaisar."

Han Beng lalu menyamar pula. Setelah terjadi peristiwa keributan dengan pasukan itu, berarti ada seseorang, mungkin atasan komandan pasukan itu, yang tidak senang kepada dia sekeluarga, dan kalau mereka bertiga masuk secara berterang di kotaraja, mungkin saja di sana ada bahaya besar mengancam mereka. Keluarga pendekar ini lalu melakukan perjalanan cepat menuju kotaraja.

********************

Coa Thian Ki dan Kam Cin tiba di kota raja. Mereka sengaja memasuki kota raja di waktu pagi dan malam tadi mereka bermalam di sebuah dusun di luar kota raja, dan begitu masuk kota raja, merekapun langsung saja menuju ke istana kaisar. Di gardu penjagaan depan lapangan luas yang merupakan pekarangan istana, mereka dihadang sepasukan pengawal. Seorang komandan yang bersikap ramah dan hormat melihat sikap pemuda dan gadis itu yang membayangkan kegagahan, segera bertanya,

"Ada keperluan apakah ji-wi (kalian berdua) hendak memasuki daerah istana...?"

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.