Naga Sakti Sungai Kuning Jilid 46 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

"Thian Ki...!" Han Beng memanggil ketika melihat seorang anak laki-laki berusia kurang lebih empat tahun bermain-main seorang diri di depan rumah itu. Anak itu sedang membuat boneka dari tanah liat sehingga kedua tangan, bahkan pakaiannya, berlepotan lumpur, juga mukanya. Nampak lucu sekali.

"Thian Ki, benar engkau Thian Ki!" kata pula Han Beng sambil mendekat.

Giok Cu juga ikut menghampiri, memandang kepada anak itu dengan kagum. Seorang anak laki-laki yang sehat, wajahnya putih kemerahan dan matanya tajam dan pandangnya lembut, juga membayangkan kecerdikan.

"Paman dan Bibi siapakah...?" tanya anak itu dan kembali Giok Cu kagum. Suara itu demikian nyaring dan bening, akan tetapi mengandung kelembutan pula!

Han Beng tertawa. Ketika dia mengangkat saudara dengan Coa Siang Lee setahun yang lalu, anak ini baru berusia tiga tahun sehingga tentu saja tak dapat mengenalnya. Dia menggoda. "Coba kau terka siapa aku ini, Coa Thian Ki .Tahukah engkau siapa aku?"

Anak itu memicingkan kedua matanya, nampak lucu dan mungil. Sepasang alisnya berkerut dan tiba-tiba dia membelalakkan matanya sambil berkata dengan wajah berseri. "Paman tentu Paman Si Han Beng, Huang-ho Sin-liong!"

Tawa Han Beng terhenti dan dia terbelalak. Juga Giok Cu semakin kagum. Dari Han Beng ia sudah mendengar tentang peristiwa kekasihnya itu dengan keluarga ini. Ia mendengar betapa guru kekasihnya, Sin-tiauw Liu Bhok Ki yang terkenal keras hati itu, menjadi luluh kekerasan hatinya oleh sikap dan ulah Thian Ki yang baru berusia tiga tahun.

"Heiiiii! Bagaimana engkau bisa tau bahwa aku adalah Pamanmu Si Han Beng?" Han Beng berseru heran.

Anak itupun tertawa senang ketika Han Beng mengangkatnya tinggi-tinggi, tanpa mempedulikan betapa kaki, tangan dan pakaian anak itu kotor oleh lumpur.

"Ayah dan Ibu bercerita banyak-banyak tentang Paman, tentang wajah Paman sehingga aku dapat mengenal Paman. Siapakah Bibi ini?"

"Aku Bibi Bu Giok Cu, Thian Ki. Aku calon isteri Pamanmu ini." kata Giok Cu tanpa sungkan lagi. Terhadap orang dewasa saja dara ini tidak sungkan bicara, apalagi terhadap seorang anak kecil berusia empat tahun!

"Wah, Adikku Han Beng...!" terdengar teriakan wanita dan muncullah seorang wanita cantik berusia tiga puluh tahun lebih. Pakaian wanita itu serba hitam sehingga kulitnya yang putih nampak semakin mulus, wajahnya cantik manis akan tetapi sikapnya sederhana dan lembut. Akan tetapi wanita itu menghentikan seruan dan sikapnya yang gembira ketika melihat Giok Cu, seorang gadis yang tidak dikenalnya.

"Ibu, Paman Han Beng datang bersama calon isterinya, Bibi Giok Cu...!" teriak Thian Ki yang masih berada dipondongan Han Beng.

"Ahhhhh... mari, mari, silakan masuk. Thian Ki, turun kau! Lihat, engkau membikin kotor pakaian Pamanmu!"

Han Beng menurunkan Thian Ki sambil tertawa dan pada saat itu muncul Coa Siang Lee yang berseru, "Siapa bilang Han Beng datang bersama calon isterinya?"

"Aku, Ayah. Nah, ini Bibi Giok Cu, calon isteri Paman!"

Mereka semua saling memberi hormat. "Aih, kalau begitu, kionghi (selamat) Adikku! Kami girang sekali dapat bertemu dengan calon Adik ipar kami!"

Coa Siang Lee yang pakaiannya serba putih, berlawanan dengan warna pakaian isterinya, menggandeng tangan Han Beng sedangkan Sim Lan Ci menggandeng tangan Giok Cu. Mereka semua memasuki rumah, diikuti oleh Thian Ki. Setelah mengajak tamu mereka duduk di ruangan dalam, Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci saling pandang. Hubungan antara suami isteri ini sedemikian akrabnya sehingga ada hubungan batin yang kuat di antara mereka sehingga pandang mata mereka saja sudah cukup untuk mereka saling mengutarakan isi hati mereka. Keduanya memandang kepada Thian Ki dan ayah anak itu berkata.

"Thian Ki, karena kegirangan engkau lupa memberi hormat kepada Paman dan Bibimu. Hayo beri hormat kepada mereka."

"Dan sesudah itu, pergi mencuci badanmu, dan bertukar pakaian. Boleh engkau bermain lagi di luar, akan tetapi jangan masuk di sini dulu sebelum kami panggil. Kami ingin bicara penting dengan Paman dan Bibimu." kata ibu anak itu.

Thian Ki lalu melangkah maju menghadapi Han Beng dan Giok Cu, mengangkat kedua tangan di depan dada dengan sikap hormat. "Paman Si Han Beng dan Bibi Giok Cu, terimalah hormat Coa Thian Ki!"

Han Beng dan Giok Cu saling pandang, lalu tertawa gembira Giok Cu mengangkat tubuh Thlan Ki dan menciumi kedua pipinya, lalu menurunkannya kembali. Thian Ki tersipu lalu berlari kekamarnya untuk mengambil pengganti pakaian dan pergi mandi seperti diperintahkan ibunya. Dia tidak membantah, tidak mengomel, melainkan taat dengan gembira. Sungguh seorang anak yang penuh pengertian!

"Nah, duduklah, Adik-adikku. Bagaimana kabarnya, Beng-te (Adik Beng) Sudah lama sekali kami merindukan kunjunganmu." kata Coa Siang Lee. "Di hari ini engkau muncul bersama calon isterimu yang begini gagah dan cantik. Sungguh kami merasa gembira dan bangga!"

"Adik Giok Cu memang cantik manis dan gagah perkasa, pantas sekali menjadi isterimu, Han Beng." kata pula Sin Lan Ci dengan akrab.

"So-so (Kakak Ipar Perempuan) tentu tidak menduga siapa Giok Cu ini, padahal ia masih Sumoi dari So-so sendiri.” kata Han Beng.

"Ahhhhh...?” Sin Lan Ci terbelalak memandang kepada Giok Cu, kini penuh selidik. "Be... benarkah itu...?"

Giok Cu tersenyum dan mendekatkan kursinya dengan kursi Sim Lan Ci, lalu memegang tangan wanita itu dengan sikap lembut. "So-so, kalau diijinkan, aku lebih suka menyebut so-so daripada su-ci. Memang harus kuakui bahwa aku pernah menjadi murid Ibumu, So-so, akan tetapi hal itu telah lewat dan..." Giok Cu tidak melanjutkan kata-katanya karena ia melihat betapa pandang mata wanita itu nampak membayangkan kepahitan.

Melihat keadaan yang tidak enak itu, Han Beng cepat berkata, "Memang Cu-moi pernah menjadi murid Ibumu, So-so, bahkan sejak usia sepuluh tahun sampai lima belas tahun. Akan tetapi, kemudian ia menjadi murid Lo-cian-pwe Hek-bin Hwesio dan tidak berhubungan dengan Ibumu lagi..."

Lan Ci menarik napas panjang dan kini ia yang memegang tangan gadis itu. ”Aku mengerti, Adikku yang baik. Aku mengenal siapa Ibuku. Bahkan engkau beruntung sekali dapat terlepas dari tangan Ban-tok Mo-li, Ibuku yang terkenal jahat dan kejam itu..."

"Maaf, So-so, aku tidak bermaksud menyinggungmu..."

"Ha-ha, tidak ada singgung-menyinggung di sini, Adikku!" kata Coa Sian Lee. "Kita berada di antara saudara sendiri. Segalanya perlu dibicarakan secara terbuka dan tidak akan ada yang menyinggung karena semua ucapan keluar dari hati yang jujur. Biarpun So-somu ini puteri kandung Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu, akan tetapi ia sama sekali tidak jahat! Sebaliknya malah, isteriku ini wanita yang paling hebat di dunia ini, paling cantik, paling lembut, paling mulia, paling..."

"Sssssttttt..." Di depan orang lain engkau masih mencoba untuk merayuku..." bentak Lan Ci.

Melihat dan mendengar ini, Han Beng dan Giok Cu tertawa geli seperti juga suami isteri itu. Buyarlah sudah suasana yang tadi dirasakan tidak enak ketika nama Ban-tok Mo-li disebut dan sekarang agaknya menyebut nama itupun tidak akan mendatangkan perasaan tidak enak lagi. Bagaimanapun juga, tetap saja Han Beng merasa sungkan dan tidak tahu bagaimana dia harus menanyakan tempat persembunyian Ban-tok Mo-li kepada Sim Lan Ci tanpa menceritakan tentang semua kejahatan yang telah dilakukan Ban-tok Mo-li terhadap diri Giok Cu!

"Nah, sekarang ceritakan semua pengalamanmu sampai engkau dapat memperoleh jodoh yang demikian hebat, Beng-te. Apa saja yang telah terjadi di dunia kang-ouw?" tanya Siang Lee dengan sikap gembira.

"Toako, sesungguhnya, sejak kecil dahulu, aku sudah menjadi sahabat Giok Cu. Ketika kecil kami saling berpisah dan baru bertemu setelah dewasa. Ketika kami saling berpisah, aku ikut Suhu Liu Bhok Ki seperti telah kalian tahu, dan ia ikut dengan gurunya, Ban-tok Mo-li..." Han Beng memandang kepada kakak iparnya.

Sim Lan Ci mengangguk-angguk. "Sekarang aku ingat. Ibu mempunyai murid seorang anak perempuan ketika ia mengusir kami berdua. Jadi engkaukah murid itu, Adik Giok Cu?"

"Benar, So-so. Akan tetapi, lima tahun kemudian, karena... eh, tidak cocok dengan cara hidup Subo... maka aku meninggalkannya dan kemudian bahkan... hemmmmm..."

"Mengapa, Adikku? Lanjutkan ceritamu."

"Tidak enak rasanya, So-so, karena itu adalah Ibumu."

Lan Ci tersenyum. "Kau kira aku tidak mengenal Ibuku sendiri? Aku sudah tahu siapa Ibuku, siapa Ban-tok Mo-li, oleh karena itu, semua berita tentang kejahatannya tidak akan mengejutkan hatiku lagi, dan tidak akan menyinggung hatiku."

Han Beng berkata, "Cu-moi, memang tidak ada jalan lain kecuali menceritakan semuanya kepada So-so, baru kita boleh mengharapkan bantuannya. Ceritakanlah semuanya."

Giok Cu mengangguk dan menarik napas panjang. "Baiklah kalau begitu, So-so, aku terpaksa melarikan diri karena aku akan dibunuh oleh Subo, karena dianggap menentang Thian-te-kauw dimana Subo menjadi anggautanya, bahkan kemudian menjadi ketuanya. Aku ditolong oleh Suhu Hek-bin Hwesio. Kemudian, aku mendapat kenyataan bahwa yang membunuh Ayah dan Ibu kandungku adalah Subo Ban-tok Mo-li sendiri. Kemudian, aku dan Beng-koko menentang Thian-te-kauw dan dengan bantuan pasukan pemerintah, kami berhasil membasminya. Para pimpinannya tertawan. Ketika Subo Ban-tok Mo-li bertanding denganku, aku berhasil merobohkannya. Akan tetapi Beng-koko mengingatkan aku akan kebaikannya yang pernah kuterima, maka aku tidak membunuhnya dan membiarkannya ia ditawan oleh pasukan pemerintah seperti para pimpinan Thian- te-kauw lainnya."

Giok Cu menghentikan ceritanya, merasa lega karena melihat betapa wajah Sim Lan Ci tenang-tenang saja mendengar akan kejahatan yang dilakukan ibu kandungnya itu.

"Sebetulnya, setelah Cu-moi mengampuni dan tidak membunuhnya, dan ia menjadi tawanan pemerintah, sudah tidak ada urusan lagi kami dengan Ban-tok Mo-li. Akan tetapi, sungguh di luar dugaanku, ternyata masih ada satu hal lagi yang amat hebat, bahkan yang menyangkut keselamatan hidup Giok Cu."

Siang Lee dan Lan Ci kelihatan terkejut sekali. "Hal apakah itu, Beng-te?" tanya Siang Lee.

Han Beng menarik napas panjang. Tiba gilirannya untuk melanjutkan cerita itu. "Dalam penyerbuan itu, kami dibantu oleh munculnya Lo-cian-pwe Hek-bin Hwesio dan Suhu Pek I Tojin. Kemudian, setelah Thian-te-kauw dapat dibasmi, kedua orang tua itu menjodohkan kami. Nah, setelah mendengar bahwa ia dijodohkan denganku, maka muncullah hal yang amat memusingkan kami ini, yaitu pengakuan Cu-moi bahwa ia tidak mungkin dapat menikah dengan aku atau dengan siapa pun juga."

"Eh, kenapa?"

Giok Cu cepat menggulung lengan baju yang kiri dan memperlihatkan bintik merah di siku lengan kirinya kepada Lan Ci. "Karena inilah, So-so." Suaranya mengandung getaran sedih.

"Itu... bintik merah tanda keperawanan!" kata Sim Lan Ci yang segera mengenal tanda itu.

"Itulah, So-so." kata Han Beng. "Mengapa kami datang kesini. Pertama untuk berkunjung dan memperkenalkan calon isteriku, dan kedua untuk mohon pertolongan So-so. Sebagai puteri Ban—tok Mo-li, kami yakin So-so akan mengetahui pula obat untuk menghilangkan bintik merah itu."

"Bintik merah itu tidak mungkin dapat dihilangkan selamanya!" kata Lan Ci sambil mengerutkan alisnya, memandang dan meraba bintik merah di lengan itu.

"Maksud So-so.....?" Giok Cu terbelalak, terkejut dan heran.

"Selama engkau masih perawan, bintik merah itu tidak akan dapat lenyap atau dihilangkan dengan apa pun. Akan tetapi..." Lan Ci tersenyum lebar dan kedua pipinya yang putih halus itu berubah kemerahan. "Tanda itu akan hilang dengan sendirinya pada malam pertama pernikahan kalian, hi-hik."

Akan tetapi Giok Cu tidak tersenyum bahkan nampak berduka. "Hal itu aku sudah tahu, So-so, dan aku tahu pula bahwa sebulan kemudian setelah menikah aku akan mati dan tidak ada obat yang akan dapat menyelamatkan aku! Karena! itu aku tidak mau menikah dengan Beng-koko. Untuk apa menikah dengan dia kalau sebulan kemudian aku harus meninggalkan dia selamanya dan membuat dia berduka?"

”Ahhh? Aku tidak pernah mendengar akan hal itu! Setahuku, tanda keperawanan itu tidak dapat dilenyapkan, akan tetapi akan lenyap dengan sendirinya pada malam pengantin yang pertama. Subo sendiri yang mengatakan demikian, dan ia adalah seorang ahli racun. Mungkin hal itu ia rahasiakan darimu, So-so."

"Hemmm, aku tidak yakin. Dahulu memang ia ingin memberi tanda itu dilenganku, akan tetapi aku menolaknya. Kalau memang benar akibatnya bukan hanya lenyapnya tanda di malam pengantin, akan tetapi juga membunuh sebulan kemudian, untuk apa dahulu ia ingin memberi tanda itu kepadaku, anaknya sendiri? Tak mungkin ia ingin melihat aku mati setelah sebulan menikah."

”Tentu ia memiliki obat pemusnahnya, dan akan memberikan obat itu kepadamu, So-so..."

Lan Ci mengerutkan alsinya, mengangguk-angguk. "Hemmm... mungkin juga kalau begitu..."

"So-so," kata Han Beng. "Kalau So-so tidak mempunyai obat pemunahnya, kami ingin mohon sebuah pertolongan lagi kepada So-so, harap So-so tidak menolaknya."

Melihat sikap yang serius dari pemuda itu, Sim Lan Ci menatap wajahnya dengan penuh perhatian. ”Tentu saja, Adikku. Tentu saja aku akan dengan sukahati menolong kalian kalau aku mampu melakukannya!"

"Begini, So-so. Setelah kami dijodohkan oleh dua orang guru kami kemudian aku mendengar pengakuan Giok Cu tentang bintik merah itu, kami segera mencari Ban-tok Mo-li di tempat tahanan. Akan tetapi, malam hari itu juga ia ternyata telah berhasil lolos dari tahanan dan melarikan diri. Kami sudah berusaha melakukan pengejaran dan pencarian jejaknya, namun hasilnya sia-sia belaka. Oleh karena itulah, kami mohon petunjuk So-so. Kemana kiranya kami harus mencari Ban-tok Mo-li, karena mungkin saja So-so mengetahui atau setidaknya dapat menduga kemana ia pergi bersembunyi..." Berkata demikian, Han Beng menatap wajah so-sonya dengan penuh perhatian. Juga Giok Cu memandang kepada wanita itu penuh harapan.

Sim Lan Ci menoleh dan bertukar pandang dengan suaminya. Hanya sebentar, lalu wanita itu memandang Giok Cu. "Adikku, andaikata aku dapat menunjukkan tempat di mana adanya Ban-tok Mo-li dan engkau pergi menemuinya, lalu apa yang akan kau lakukan?"

"Kami akan minta agar ia suka memberikan obat pemunah untuk melenyapkan bintik merah yang mengancam nyawa calon isteriku!" kata Han Beng penuh semangat.

"Andaikata ia tidak mau memberikan, lalu apa yang akan kalian lakukan?"

"Kami akan... akan...” Han Beng menghentikan kata-katanya, lalu saling pandang dengan Giok Cu.

Gadis itu menggeleng kepalanya dengan senyum sedih, dan ia yang melanjutkan ucapan Han Beng tadi. "Kami hanya akan mohon pertolongan bekas guruku itu. Ia telah membunuh Ayah Ibuku, bahkan hampir membunuhku, dan sebaliknya ketika aku mengalahkannya, aku tidak membunuhnya. Mungkin saja ia akan memberikan obat pemunah itu. Akan tetapi andaikata ia berkeras tidak mau, kami pun tidak akan dapat berbuat apa-apa. Semoga Thian mengampuni semua dosanya!" Giok Cu merangkap kedua tangan di dada, teringat akan nasihat yang seringkali diberikan Hek-bin Hwesio kepadanya.

"Benar kata Giok Cu," sambung Han Beng. "Kalau memang Thian menghendaki demikian, kami tidak akan menikah, akan hidup bersama seperti kakak adik, tak terpisahkan lagi sampai mati. Kami berdua tidak akan menikah dengan orang lain. Itu merupakan sumpah batin kami berdua!"

Suami isteri itu memandang dengan hati terharu sekali. Sepasang mata Sim Lan Ci menjadi basah air mata. "Adik-adikku yang budiman, aku percaya kepada kalian. Dan andaikata kalian terlupa dan sampai membunuh Ibuku sekalipun, aku tidak akan menyesal karena memang apa yang telah dilakukan Ibuku terhadap Adik Giok Cu sudah melewati batas. Nah, Adik-adikku, tak jauh dari sini terdapat nikouw yang tinggal di kuil. Mari kuantar kalian." Sim Lan Ci bangkit berdiri.

"Aku juga ikut." kata pula Coa Siang Lee. Mereka berempat lalu keluar dari rumah itu. Lan Ci mencari puteranya, akan tetapi anak itu tidak nampak di luar.

"Tentu dia bermain di rumah tetangga." kata Siang Lee. Karena menghadapi urusan penting, mereka lalu pergi mendaki bukit yang berada di luar dusun itu. Dari bawah bukit sudah nampak tembok kuil itu. Tak lama kemudian, tibalah mereka di kuil itu, disambut oleh seorang nikouw muda.

"Beritahukan kepada Lo-nikouw yang bertapa diruangan belakang bahwa kami ingin datang berkunjung," kata Lan Ci.

Tanpa menjawab, nikouw itu hanya mengangguk, memberi hormat dengan membungkuk lalu pergi ke dalam kuil. Tak lama kemudian ia kembali sikapnya yang lembut dan hormat.

"Lo-subo (Ibu Guru Tua) mempersilakan Cu-wi (Anda Sekalian) masuk saja. Beliau sedang berada di taman belakang."

Dengan jantung berdebar Giok Cu dan Han Beng mengikuti suami isteri itu yang agaknya sudah mengenal baik tempat itu. Mereka memasuki taman dan melihat seorang nikouw tua duduk diatas bangku, memangku seorang anak kecil laki-laki.

"Thian Ki! Engkau sudah berada disini?" seru Coa Siang Lee.

Anak itu melompat turun dari atas pangkuan nikouw tua, lalu berlari menghampiri ayah ibunya. "Habis, Ayah dan Ibu tidak memperkenankan aku masuk menemui tamu, maka aku lari ke sini untuk bermain dengan Bo-bo (Nenek)!"

"Mari kita keluar, Thian Ki. Biarkan Nenek bicara dengan Paman dan Bibi.' kata Siang Lee sambil memondong anaknya. Isterinya juga ikut keluar setelah mengangguk ke arah nikouw tua itu yang masih duduk dengan sikap tenang sekali.

Kini tinggal mereka bertiga di situ, di taman yang sunyi. Han Beng dan Giok Cu berdiri di depan nikouw tua yang masih duduk di atas bangku. Seorang pendeta wanita gundul yang berwajah cantik dan masih nampak manis walaupun usianya sudah mendekati enam puluh tahun! Dan sekali pandang, Han Beng dan Giok Cu mengenal wajah itu. Wajah Ban-tok Mo-li tanpa bedak dan gincu!

Sungguh menggelikan, juga mengherankan melihat tokoh sesat yang baru saja menjadi ketua Thian-te-pang, kini tiba-tiba saja telah menjadi seorang pendeta wanita yang gundul, dengan sikap demikian tenang dan lembut, seolah-olah serigala itu kini benar-benar telah berubah menjadi domba!

"Ban-tok Mo-li...!" Hampir berbareng Han Beng dan Giok Cu menyebut nama itu.

Nikouw itu tersenyum dan merangkap kedua tangan di depan dadanya. "Omitohud... akhirnya kalian dapat juga menemukan pin-ni (aku). Kalau Tuhan sudah menghendaki, pin-ni juga tidak akan menghindar lagi. Akan tetapi jangan kalian memaksa pin-ni untuk menjadi orang tahanan karena hal itu akan mencemarkan agama. Kalau kalian ingin membunuh pin-ni, nah, lakukanlah. Pin-ni tidak akan melawan, bahkan akan menerimanya dengan gembira sebagai penebusan sebagian dari dosa pin-ni yang lalu."

Giok Cu melangkah maju dan memberi hormat. "Subo..."

"Giok Cu, engkau masih suka menyebut pin-ni dengan sebutan itu?" Nikouw tua itu tersenyum, wajahnya membayangkan kelembutan hati.

"Tee-cu (Murid) tidak mau menyebut Ban-tok Mo-Ii sebagai guru, akan tetapi Su-bo adalah seorang nikouw yang telah menginsafi dosa dan hendak menebusnya dengan kehidupan yang saleh. Subo, kedatangan teecu ini hanya untuk mohon pertolongan Subo..."

Wajah itu berseri dan nampaknya gembira bukan main. "Bagus, makin banyak yang dapat kulakukan untuk menolongmu, makin baik, Giok Cu, karena hal itu pun berarti akan meringankan dosa-dosaku! Nah, katakanlah, apa yang dapat pin-ni lakukan untukmu?"

Giok Cu menyingsingkan lengan bajunya dan memperlihatkan bintik merah itu kepada Ban-tok Mo-li yang kini dikenal dengan sebutan Lo Nikouw saja. "Subo, tee-cu hanya mohon agar Subo suka memberi obat pemunah untuk bintik merah ini."

Nikouw itu memandang ke arah bintik merah itu, kemudian kepada wajah Giok Cu dan ia menahan ketawanya, tersenyum lebar dan seperti orang yang merasa geli hati. "Ehhh? Kenapa? Itu tanda keperawananmu. Kalau engkau menikah akan hilang sendiri!"

"Memang kami hendak menikah, Su-bo. Mohon doa restu Subo," kata Giok Cu.

"Omitohud...! Kiong-hi, kiong-hi, semoga Tuhan memberkahi kalian dengan keturunan yang baik seperti Cucuku Thian Ki!"

"Tapi Subo. Bagaimana mungkin tee-cu mendapatkan keturunan kalau setelah menikah, dalam waktu sebulan teecu akan mati karena racun di lengan ini?"

"Omitohud! Siapa yang bilang begitu?"

"Subo sendiri! Dahulu ketika teecu berusia sepuluh tahun dan Subo menusukkan jarum sehingga timbul bintik merah ini, Subo mengatakan bahwa kalau keperawanan teecu hilang, maka bintik merah ini akan lenyap pula, akan tetapi akibatnya sebulan kemudian teecu akan mati dan tidak ada obat yang akan mampu menolong teecu."

"Omitohud... semoga Sang Buddha mengampuni hambanya..." Nikouw tua itu menutupi mulut dengan lengan bajunya yang lebar untuk menyembunyikan tawanya. Ia nampaknya geli sekali. kemudian, setelah tawanya yang disembunyikan itu mereda, ia memandang pada Giok Cu dengan sinar mata lembut.

"Muridku, anak yang baik. Maafkanlah. Dosa pin-ni memang bertumpuk-tumpuk. Apa yang pin-ni katakan dahulu semuanya bohong belaka. Pin-ni memberimu tanda merah dan mengancam dengan kematian itu karena pin-ni merasa kecewa dengan perginya Suci-mu Sim Lan Ci yang menjadi isteri Coa Siang Lee. Pin-ni tidak ingin kehilangan engkau, maka pin-ni sengaja memberi tanda keperawanan itu dengan ancaman agar engkau tidak berani menikah sebelum ada ijin dari pin-ni. Memang pi-ni jahat sekali, Giok Cu. Pin-ni menyesal sekali. Akan tetapi, mengenai ancaman kematian pada tanda keperawanan itu pin-ni hanya berbohong. Kalau engkau ingin menikah, lakukanlah dengan restu pin-ni, dan jangan khawatir. Engkau tidak akan kehilangan nyawa, hanya akan kehilangan tanda bintik merah saja!"

Bukan main lega dan girangnya rasa hati dua orang muda itu. Mereka percaya kepada keterangan ini, pertama karena tadi pun Sim Lan Ci sudah berkata demikian, dan kedua karena setelah kini Ban-tok Mo-li menjadi nikouw, sikap dan kata-katanya sangat menyakinkan. Betapapun juga, ketika Giok Cu menatap wajah bekas gurunya itu, nenek itu melihat keraguan di pandangan mata bekas muridnya.

"Omitohud... engkau masih ragu, Giok Cu? Apa gunanya pin-ni menggunduli rambut dan menjadi nikouw, kalau pin-ni masih suka berbohong? Tenangkan hatimu dan menikahlah kalian!"

Nikouw itu lalu merangkap kedua tangan, mulutnya berkemak-kemik membaca doa lalu meningalkan mereka yang memberi hormat dengan membungkuk. Setelah nikouw itu memasuki kuil dari pintu belakang, Han Beng merangkul kekasihnya. Giok Cu juga merangkulnya. Keduanya tidak berkata apa-apa, akan tetapi suatu kebahagiaan dan kelegaan menyusup ke dalam jantung mereka. Ketika mereka menceritakan hal itu kepada Siang Lee dan Lan Ci, suami isteri ini merasa bergembira sekali.

"Siauw-te (Adik), keluargamu hanya kami, maka kami yang wajib merayakan pernikahan kalian."

"Aih, Toako, kami hanya membikin repot saja...!" bantah Han Beng.

"Tidak! Engkau harus menerimanya Beng-te. Ingat, bukankah aku ini Kakakmu, pengganti orang tuamu? Engkau harus taat!" kata Siang Lee.

"Dan engkau juga Sumoiku, Adik Giok Cu. Engkaupun sepatutnya mentaati permintaanku, yaitu kalian harus melaksanakan pernikahan di sini, dan kami yang akan merayakannya..." kata pula Sim Lan Ci.

Tentu saja Giok Cu dan Han Beng merasa gembira bukan main. Karena suami isteri itu mendesak agar pernikahan segera dilangsungkan, maka mereka tidak sempat lagi untuk memberi kabar kepada Pek I Tojin dan Hek-bin Hwesio yang merantau ke Gunung Thai-san. Mereka mengambil keputusan untuk kelak saja setelah menikah mencari guru-guru mereka untuk memberitahu dan mohon doa restu mereka.

Pernikahan dilangsungkan dengan sederhana di dusun tempat tinggal Coa Siang Lee, namun cukup meriah walaupun hanya dihadiri para tetangga. Biarpun hanya sederhana, namun sebentar saja dunia kang-ouw sudah mendengar belaka berita itu, bahwa Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning) telah menikah dengan pendekar wanita Bu Giok Cu yang namanya mulai dikenali.

********************

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning karya kho ping hoo

Han Beng dan Giok Cu merasa berbahagia sekali ketika melihat bahwa tanda bintik merah di bawah siku lengan kiri Giok Cu benar-benar lenyap setelah malam pengantin pertama. Mereka hidup penuh kemesraan, dan Coa Siang Lee dengan isterinya sengaja menyewakan sebuah rumah mungil untuk mereka berdua agar mereka dapat berpengantinan tanpa ada gangguan.

Sepasang pengantin itu sudah yakin akan kebenaran keterangan Lo Nikouw maka mereka tidak pernah merasa was-was. Bahkan setelah batas waktu satu bulan itu makin mendekat, mereka sama sekali tidak mempedulikan, sama sekali tidak merasa khawatir. Dan memang, ternyata setelah lewat sebulan, tidak pernah terjadi apa-apa! Kesehatan Giok Cu sama sekali tidak terganggu, bahkan! ia nampak segar dan sehat, dengan kedua pipi kemerahan dan wajah yang mengeluarkan cahaya berseri, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar-mekarnya!

Akan tetapi, ketika sebulan lewat beberapa hari, Giok Cu mulai merasakan suatu kelainan, la sering merasa pening! Ketika ia memberitahukan hal ini kepada suaminya, tentu saja Han Beng menjadi pucat pasi. Jangan-jangan ancaman itu sedang berlangsung sekarang! Makin hari, keadaan Giok Cu semakin gawat. Bukan saja ia merasa pening bahkan seringkali merasa mual dan muntah-muntah! Tentu saja Han Beng menjadi semakin bingung.

Akhirnya, mereka yang tadinya masih segan dan rikuh untuk memberitahu kepada Sim Lan Ci karena khawatir kalau wanita itu tersinggung, tidak peduli lagi dan mereka pergi ke rumah Siang Lee. Mereka tidak dapat menahan lagi kekhawatiran hati mereka karena kini sudah dua hari Giok Cu tidak suka makan, setiap kali dicobanya makan selalu muntah. Itu tanda keracunan!

Siang Lee dan Lan Ci menyambut mereka dengan heran karena wajah pengantin baru itu tampak tegang dan cemas. Padahal mereka baru hampir dua bulan menjadi pengantin. Begitu bertemu dengan Lan Ci, Giok Cu langsung merangkulnya dan menangis.

"Eiiittt... ada apa ini? Apakah kalian yang baru menikah dua bulan sudah bertengkar? Terlalui" Lan Ci mengomel.

Akan tetapi Giok Cu yang merangkulnya menggeleng kepala dan terus menangis.

"Sssssttt... Beng-te. Ada apakah isterimu itu?" Siang Lee mendekati Han Beng dan berbisik.

Dengan wajah penuh kegelisahan, Han Beng menjawab. "Celaka, Toako. Agaknya ancaman itu bukan bohong belaka Isteriku... Giok Cu... selama beberapa hari ini memperlihatkan gejala yang amat mengkhawatirkan... pusing, mual dan muntah, tanda-tanda keracunan..."

"Ehhhhh?" Siang Lee memandang kepada isterinya yang masih ditangisi Giok Cu. Lan Ci juga mendengar laporan Han Beng tadi, dan ia berkata kepada suaminya. "Cepat sana, panggil Cui-ma! Cepat!"

"Baik...!" kata Siang Lee dan ia pun cepat lari keluar.

Han Beng mendekati Lan Ci. "So-so, bagaimana ini? Isteriku..."

"Tenanglah, Kakakmu sedang mengundang Cui-ma..."

"Siapa itu Cui-ma (Ibu Ma)?"

"la tabib yang paling pandai untuk mengobati penyakit keracunan macam ini." kata Lan Ci sambil menahan senyum.

Han Beng mengerutkan alisnya. Kenapa kini sikap Lan Ci demikian? Seperti main-main, seolah gembira melihat ancaman maut atas diri Giok Cu! Jangan-jangan puteri Ban-tok Mo-li ini...! Ah, hampir dia menampar muka sendiri ketika merasa betapa gilanya pikiran jahat timbul.

Pada saat itu, Siang Lee sudah kembali sambil menarik lengan seorang nenek yang usianya sudah ada tujuh puluh tahun, kurus akan tetapi masih gesit. Nenek itu tertawa-tawa dengan mulut yang tak bergigi lagi.

"Hayaaa... apa-apaan ini orang tua diseret-seret? Siapa yang harus kuperiksa?"

"Ini, Cui-ma. Pengantin baru ini yang sakit. Cepat periksa dikamarku!" Lan Ci merangkul Giok Cu, diajak masuk ke dalam kamar, diikuti nenek itu yang jalannya terpincang-pincang.

Han Beng mengerutkan alisnya. Nenek itu sama sekali tidak meyakinkan sebagai seorang tabib ampuh! Dia menunggu di luar kamar, duduk di kursi dengan alis berkerut. Dia berterima kasih kepada Siang Lee yang tidak mengajaknya bicara karena dia enggan bicara pada saat menegangkan seperti itu. Tak lama kemudian, terdengar suara Lan Ci tertawa dan ia nampak keluar bersama Giok Cu, diikuti pula oleh nenek itu.

"Bagaimana? Bagaimana keadaannya? Parahkan?" tanya Han Beng sambil meloncat berdiri dan memegang lengan isterinya.

"Parah!" kata Lan Ci yang tertawa-tawa. "Memang benar Giok Cu telah keracunan! Keracunan cinta sehingga ia mengandung sebulan lebih!"

"Meng... mengandung...??!" Han Beng berteriak.

Dan mendengar teriakan suaminya, Giok Cu mengangkat muka. Mereka saling pandang, lalu mereka mengeluarkan suara setengah menangis setengah tertawa, dan mereka saling rangkul dalam pelukan yang ketat. Mereka berciuman di depan Siang Lee, Lan Ci dan nenek itu tanpa mengenal malu lagi.

Nenek itu sampai terjongong. la sudah berpengalaman lima puluh tahun, sudah banyak melihat kegembiraan pada wajah calon ayah dan ibu yang mendengar berita baik ini, akan tetapi baru sekarang ini ia melihat calon ayah dan calon ibu demikian gembiranya sampai berpelukan dan berciuman sambil menangis dan tertawa!

Nenek itu tidak tahu. Akan tetapi Siang Lee dan Lan Ci tahu. Mereka pun tertawa dengan kedua mata basah. Mereka tahu bahwa Han Beng dan Giok Cu bukan saja berbahagia mendengar bahwa mereka akan memperoleh seorang keturunan, akan tetapi juga berbahagia karena kini mereka yakin bahwa tidak ada bahaya apa pun mengancam nyawa Giok Cu!

Mereka tidak sedang menghadapi bahaya maut atau bahaya apa pun, bahkan menghadapi peristiwa yang amat membahagiakan. Mereka akan menerima ganjaran yang tak ternilai harganya. Seorang anak! Fajar kehidupan baru mulai menyingsing bagi suami isteri ini, dan tidak atau belum nampak awan hitam di angkasa!

Sampai disini, pengarang mengakhiri kisah ini dengan harapan semoga ada manfaatnya bagi para pembaca, dan sampai jumpa di lain kisah...!

Selanjutnya, Serial Naga Sakti Sungai Kuning Seri Kedua:

NAGA BERACUN

Naga Sakti Sungai Kuning Jilid 46

"Thian Ki...!" Han Beng memanggil ketika melihat seorang anak laki-laki berusia kurang lebih empat tahun bermain-main seorang diri di depan rumah itu. Anak itu sedang membuat boneka dari tanah liat sehingga kedua tangan, bahkan pakaiannya, berlepotan lumpur, juga mukanya. Nampak lucu sekali.

"Thian Ki, benar engkau Thian Ki!" kata pula Han Beng sambil mendekat.

Giok Cu juga ikut menghampiri, memandang kepada anak itu dengan kagum. Seorang anak laki-laki yang sehat, wajahnya putih kemerahan dan matanya tajam dan pandangnya lembut, juga membayangkan kecerdikan.

"Paman dan Bibi siapakah...?" tanya anak itu dan kembali Giok Cu kagum. Suara itu demikian nyaring dan bening, akan tetapi mengandung kelembutan pula!

Han Beng tertawa. Ketika dia mengangkat saudara dengan Coa Siang Lee setahun yang lalu, anak ini baru berusia tiga tahun sehingga tentu saja tak dapat mengenalnya. Dia menggoda. "Coba kau terka siapa aku ini, Coa Thian Ki .Tahukah engkau siapa aku?"

Anak itu memicingkan kedua matanya, nampak lucu dan mungil. Sepasang alisnya berkerut dan tiba-tiba dia membelalakkan matanya sambil berkata dengan wajah berseri. "Paman tentu Paman Si Han Beng, Huang-ho Sin-liong!"

Tawa Han Beng terhenti dan dia terbelalak. Juga Giok Cu semakin kagum. Dari Han Beng ia sudah mendengar tentang peristiwa kekasihnya itu dengan keluarga ini. Ia mendengar betapa guru kekasihnya, Sin-tiauw Liu Bhok Ki yang terkenal keras hati itu, menjadi luluh kekerasan hatinya oleh sikap dan ulah Thian Ki yang baru berusia tiga tahun.

"Heiiiii! Bagaimana engkau bisa tau bahwa aku adalah Pamanmu Si Han Beng?" Han Beng berseru heran.

Anak itupun tertawa senang ketika Han Beng mengangkatnya tinggi-tinggi, tanpa mempedulikan betapa kaki, tangan dan pakaian anak itu kotor oleh lumpur.

"Ayah dan Ibu bercerita banyak-banyak tentang Paman, tentang wajah Paman sehingga aku dapat mengenal Paman. Siapakah Bibi ini?"

"Aku Bibi Bu Giok Cu, Thian Ki. Aku calon isteri Pamanmu ini." kata Giok Cu tanpa sungkan lagi. Terhadap orang dewasa saja dara ini tidak sungkan bicara, apalagi terhadap seorang anak kecil berusia empat tahun!

"Wah, Adikku Han Beng...!" terdengar teriakan wanita dan muncullah seorang wanita cantik berusia tiga puluh tahun lebih. Pakaian wanita itu serba hitam sehingga kulitnya yang putih nampak semakin mulus, wajahnya cantik manis akan tetapi sikapnya sederhana dan lembut. Akan tetapi wanita itu menghentikan seruan dan sikapnya yang gembira ketika melihat Giok Cu, seorang gadis yang tidak dikenalnya.

"Ibu, Paman Han Beng datang bersama calon isterinya, Bibi Giok Cu...!" teriak Thian Ki yang masih berada dipondongan Han Beng.

"Ahhhhh... mari, mari, silakan masuk. Thian Ki, turun kau! Lihat, engkau membikin kotor pakaian Pamanmu!"

Han Beng menurunkan Thian Ki sambil tertawa dan pada saat itu muncul Coa Siang Lee yang berseru, "Siapa bilang Han Beng datang bersama calon isterinya?"

"Aku, Ayah. Nah, ini Bibi Giok Cu, calon isteri Paman!"

Mereka semua saling memberi hormat. "Aih, kalau begitu, kionghi (selamat) Adikku! Kami girang sekali dapat bertemu dengan calon Adik ipar kami!"

Coa Siang Lee yang pakaiannya serba putih, berlawanan dengan warna pakaian isterinya, menggandeng tangan Han Beng sedangkan Sim Lan Ci menggandeng tangan Giok Cu. Mereka semua memasuki rumah, diikuti oleh Thian Ki. Setelah mengajak tamu mereka duduk di ruangan dalam, Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci saling pandang. Hubungan antara suami isteri ini sedemikian akrabnya sehingga ada hubungan batin yang kuat di antara mereka sehingga pandang mata mereka saja sudah cukup untuk mereka saling mengutarakan isi hati mereka. Keduanya memandang kepada Thian Ki dan ayah anak itu berkata.

"Thian Ki, karena kegirangan engkau lupa memberi hormat kepada Paman dan Bibimu. Hayo beri hormat kepada mereka."

"Dan sesudah itu, pergi mencuci badanmu, dan bertukar pakaian. Boleh engkau bermain lagi di luar, akan tetapi jangan masuk di sini dulu sebelum kami panggil. Kami ingin bicara penting dengan Paman dan Bibimu." kata ibu anak itu.

Thian Ki lalu melangkah maju menghadapi Han Beng dan Giok Cu, mengangkat kedua tangan di depan dada dengan sikap hormat. "Paman Si Han Beng dan Bibi Giok Cu, terimalah hormat Coa Thian Ki!"

Han Beng dan Giok Cu saling pandang, lalu tertawa gembira Giok Cu mengangkat tubuh Thlan Ki dan menciumi kedua pipinya, lalu menurunkannya kembali. Thian Ki tersipu lalu berlari kekamarnya untuk mengambil pengganti pakaian dan pergi mandi seperti diperintahkan ibunya. Dia tidak membantah, tidak mengomel, melainkan taat dengan gembira. Sungguh seorang anak yang penuh pengertian!

"Nah, duduklah, Adik-adikku. Bagaimana kabarnya, Beng-te (Adik Beng) Sudah lama sekali kami merindukan kunjunganmu." kata Coa Siang Lee. "Di hari ini engkau muncul bersama calon isterimu yang begini gagah dan cantik. Sungguh kami merasa gembira dan bangga!"

"Adik Giok Cu memang cantik manis dan gagah perkasa, pantas sekali menjadi isterimu, Han Beng." kata pula Sin Lan Ci dengan akrab.

"So-so (Kakak Ipar Perempuan) tentu tidak menduga siapa Giok Cu ini, padahal ia masih Sumoi dari So-so sendiri.” kata Han Beng.

"Ahhhhh...?” Sin Lan Ci terbelalak memandang kepada Giok Cu, kini penuh selidik. "Be... benarkah itu...?"

Giok Cu tersenyum dan mendekatkan kursinya dengan kursi Sim Lan Ci, lalu memegang tangan wanita itu dengan sikap lembut. "So-so, kalau diijinkan, aku lebih suka menyebut so-so daripada su-ci. Memang harus kuakui bahwa aku pernah menjadi murid Ibumu, So-so, akan tetapi hal itu telah lewat dan..." Giok Cu tidak melanjutkan kata-katanya karena ia melihat betapa pandang mata wanita itu nampak membayangkan kepahitan.

Melihat keadaan yang tidak enak itu, Han Beng cepat berkata, "Memang Cu-moi pernah menjadi murid Ibumu, So-so, bahkan sejak usia sepuluh tahun sampai lima belas tahun. Akan tetapi, kemudian ia menjadi murid Lo-cian-pwe Hek-bin Hwesio dan tidak berhubungan dengan Ibumu lagi..."

Lan Ci menarik napas panjang dan kini ia yang memegang tangan gadis itu. ”Aku mengerti, Adikku yang baik. Aku mengenal siapa Ibuku. Bahkan engkau beruntung sekali dapat terlepas dari tangan Ban-tok Mo-li, Ibuku yang terkenal jahat dan kejam itu..."

"Maaf, So-so, aku tidak bermaksud menyinggungmu..."

"Ha-ha, tidak ada singgung-menyinggung di sini, Adikku!" kata Coa Sian Lee. "Kita berada di antara saudara sendiri. Segalanya perlu dibicarakan secara terbuka dan tidak akan ada yang menyinggung karena semua ucapan keluar dari hati yang jujur. Biarpun So-somu ini puteri kandung Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu, akan tetapi ia sama sekali tidak jahat! Sebaliknya malah, isteriku ini wanita yang paling hebat di dunia ini, paling cantik, paling lembut, paling mulia, paling..."

"Sssssttttt..." Di depan orang lain engkau masih mencoba untuk merayuku..." bentak Lan Ci.

Melihat dan mendengar ini, Han Beng dan Giok Cu tertawa geli seperti juga suami isteri itu. Buyarlah sudah suasana yang tadi dirasakan tidak enak ketika nama Ban-tok Mo-li disebut dan sekarang agaknya menyebut nama itupun tidak akan mendatangkan perasaan tidak enak lagi. Bagaimanapun juga, tetap saja Han Beng merasa sungkan dan tidak tahu bagaimana dia harus menanyakan tempat persembunyian Ban-tok Mo-li kepada Sim Lan Ci tanpa menceritakan tentang semua kejahatan yang telah dilakukan Ban-tok Mo-li terhadap diri Giok Cu!

"Nah, sekarang ceritakan semua pengalamanmu sampai engkau dapat memperoleh jodoh yang demikian hebat, Beng-te. Apa saja yang telah terjadi di dunia kang-ouw?" tanya Siang Lee dengan sikap gembira.

"Toako, sesungguhnya, sejak kecil dahulu, aku sudah menjadi sahabat Giok Cu. Ketika kecil kami saling berpisah dan baru bertemu setelah dewasa. Ketika kami saling berpisah, aku ikut Suhu Liu Bhok Ki seperti telah kalian tahu, dan ia ikut dengan gurunya, Ban-tok Mo-li..." Han Beng memandang kepada kakak iparnya.

Sim Lan Ci mengangguk-angguk. "Sekarang aku ingat. Ibu mempunyai murid seorang anak perempuan ketika ia mengusir kami berdua. Jadi engkaukah murid itu, Adik Giok Cu?"

"Benar, So-so. Akan tetapi, lima tahun kemudian, karena... eh, tidak cocok dengan cara hidup Subo... maka aku meninggalkannya dan kemudian bahkan... hemmmmm..."

"Mengapa, Adikku? Lanjutkan ceritamu."

"Tidak enak rasanya, So-so, karena itu adalah Ibumu."

Lan Ci tersenyum. "Kau kira aku tidak mengenal Ibuku sendiri? Aku sudah tahu siapa Ibuku, siapa Ban-tok Mo-li, oleh karena itu, semua berita tentang kejahatannya tidak akan mengejutkan hatiku lagi, dan tidak akan menyinggung hatiku."

Han Beng berkata, "Cu-moi, memang tidak ada jalan lain kecuali menceritakan semuanya kepada So-so, baru kita boleh mengharapkan bantuannya. Ceritakanlah semuanya."

Giok Cu mengangguk dan menarik napas panjang. "Baiklah kalau begitu, So-so, aku terpaksa melarikan diri karena aku akan dibunuh oleh Subo, karena dianggap menentang Thian-te-kauw dimana Subo menjadi anggautanya, bahkan kemudian menjadi ketuanya. Aku ditolong oleh Suhu Hek-bin Hwesio. Kemudian, aku mendapat kenyataan bahwa yang membunuh Ayah dan Ibu kandungku adalah Subo Ban-tok Mo-li sendiri. Kemudian, aku dan Beng-koko menentang Thian-te-kauw dan dengan bantuan pasukan pemerintah, kami berhasil membasminya. Para pimpinannya tertawan. Ketika Subo Ban-tok Mo-li bertanding denganku, aku berhasil merobohkannya. Akan tetapi Beng-koko mengingatkan aku akan kebaikannya yang pernah kuterima, maka aku tidak membunuhnya dan membiarkannya ia ditawan oleh pasukan pemerintah seperti para pimpinan Thian- te-kauw lainnya."

Giok Cu menghentikan ceritanya, merasa lega karena melihat betapa wajah Sim Lan Ci tenang-tenang saja mendengar akan kejahatan yang dilakukan ibu kandungnya itu.

"Sebetulnya, setelah Cu-moi mengampuni dan tidak membunuhnya, dan ia menjadi tawanan pemerintah, sudah tidak ada urusan lagi kami dengan Ban-tok Mo-li. Akan tetapi, sungguh di luar dugaanku, ternyata masih ada satu hal lagi yang amat hebat, bahkan yang menyangkut keselamatan hidup Giok Cu."

Siang Lee dan Lan Ci kelihatan terkejut sekali. "Hal apakah itu, Beng-te?" tanya Siang Lee.

Han Beng menarik napas panjang. Tiba gilirannya untuk melanjutkan cerita itu. "Dalam penyerbuan itu, kami dibantu oleh munculnya Lo-cian-pwe Hek-bin Hwesio dan Suhu Pek I Tojin. Kemudian, setelah Thian-te-kauw dapat dibasmi, kedua orang tua itu menjodohkan kami. Nah, setelah mendengar bahwa ia dijodohkan denganku, maka muncullah hal yang amat memusingkan kami ini, yaitu pengakuan Cu-moi bahwa ia tidak mungkin dapat menikah dengan aku atau dengan siapa pun juga."

"Eh, kenapa?"

Giok Cu cepat menggulung lengan baju yang kiri dan memperlihatkan bintik merah di siku lengan kirinya kepada Lan Ci. "Karena inilah, So-so." Suaranya mengandung getaran sedih.

"Itu... bintik merah tanda keperawanan!" kata Sim Lan Ci yang segera mengenal tanda itu.

"Itulah, So-so." kata Han Beng. "Mengapa kami datang kesini. Pertama untuk berkunjung dan memperkenalkan calon isteriku, dan kedua untuk mohon pertolongan So-so. Sebagai puteri Ban—tok Mo-li, kami yakin So-so akan mengetahui pula obat untuk menghilangkan bintik merah itu."

"Bintik merah itu tidak mungkin dapat dihilangkan selamanya!" kata Lan Ci sambil mengerutkan alisnya, memandang dan meraba bintik merah di lengan itu.

"Maksud So-so.....?" Giok Cu terbelalak, terkejut dan heran.

"Selama engkau masih perawan, bintik merah itu tidak akan dapat lenyap atau dihilangkan dengan apa pun. Akan tetapi..." Lan Ci tersenyum lebar dan kedua pipinya yang putih halus itu berubah kemerahan. "Tanda itu akan hilang dengan sendirinya pada malam pertama pernikahan kalian, hi-hik."

Akan tetapi Giok Cu tidak tersenyum bahkan nampak berduka. "Hal itu aku sudah tahu, So-so, dan aku tahu pula bahwa sebulan kemudian setelah menikah aku akan mati dan tidak ada obat yang akan dapat menyelamatkan aku! Karena! itu aku tidak mau menikah dengan Beng-koko. Untuk apa menikah dengan dia kalau sebulan kemudian aku harus meninggalkan dia selamanya dan membuat dia berduka?"

”Ahhh? Aku tidak pernah mendengar akan hal itu! Setahuku, tanda keperawanan itu tidak dapat dilenyapkan, akan tetapi akan lenyap dengan sendirinya pada malam pengantin yang pertama. Subo sendiri yang mengatakan demikian, dan ia adalah seorang ahli racun. Mungkin hal itu ia rahasiakan darimu, So-so."

"Hemmm, aku tidak yakin. Dahulu memang ia ingin memberi tanda itu dilenganku, akan tetapi aku menolaknya. Kalau memang benar akibatnya bukan hanya lenyapnya tanda di malam pengantin, akan tetapi juga membunuh sebulan kemudian, untuk apa dahulu ia ingin memberi tanda itu kepadaku, anaknya sendiri? Tak mungkin ia ingin melihat aku mati setelah sebulan menikah."

”Tentu ia memiliki obat pemusnahnya, dan akan memberikan obat itu kepadamu, So-so..."

Lan Ci mengerutkan alsinya, mengangguk-angguk. "Hemmm... mungkin juga kalau begitu..."

"So-so," kata Han Beng. "Kalau So-so tidak mempunyai obat pemunahnya, kami ingin mohon sebuah pertolongan lagi kepada So-so, harap So-so tidak menolaknya."

Melihat sikap yang serius dari pemuda itu, Sim Lan Ci menatap wajahnya dengan penuh perhatian. ”Tentu saja, Adikku. Tentu saja aku akan dengan sukahati menolong kalian kalau aku mampu melakukannya!"

"Begini, So-so. Setelah kami dijodohkan oleh dua orang guru kami kemudian aku mendengar pengakuan Giok Cu tentang bintik merah itu, kami segera mencari Ban-tok Mo-li di tempat tahanan. Akan tetapi, malam hari itu juga ia ternyata telah berhasil lolos dari tahanan dan melarikan diri. Kami sudah berusaha melakukan pengejaran dan pencarian jejaknya, namun hasilnya sia-sia belaka. Oleh karena itulah, kami mohon petunjuk So-so. Kemana kiranya kami harus mencari Ban-tok Mo-li, karena mungkin saja So-so mengetahui atau setidaknya dapat menduga kemana ia pergi bersembunyi..." Berkata demikian, Han Beng menatap wajah so-sonya dengan penuh perhatian. Juga Giok Cu memandang kepada wanita itu penuh harapan.

Sim Lan Ci menoleh dan bertukar pandang dengan suaminya. Hanya sebentar, lalu wanita itu memandang Giok Cu. "Adikku, andaikata aku dapat menunjukkan tempat di mana adanya Ban-tok Mo-li dan engkau pergi menemuinya, lalu apa yang akan kau lakukan?"

"Kami akan minta agar ia suka memberikan obat pemunah untuk melenyapkan bintik merah yang mengancam nyawa calon isteriku!" kata Han Beng penuh semangat.

"Andaikata ia tidak mau memberikan, lalu apa yang akan kalian lakukan?"

"Kami akan... akan...” Han Beng menghentikan kata-katanya, lalu saling pandang dengan Giok Cu.

Gadis itu menggeleng kepalanya dengan senyum sedih, dan ia yang melanjutkan ucapan Han Beng tadi. "Kami hanya akan mohon pertolongan bekas guruku itu. Ia telah membunuh Ayah Ibuku, bahkan hampir membunuhku, dan sebaliknya ketika aku mengalahkannya, aku tidak membunuhnya. Mungkin saja ia akan memberikan obat pemunah itu. Akan tetapi andaikata ia berkeras tidak mau, kami pun tidak akan dapat berbuat apa-apa. Semoga Thian mengampuni semua dosanya!" Giok Cu merangkap kedua tangan di dada, teringat akan nasihat yang seringkali diberikan Hek-bin Hwesio kepadanya.

"Benar kata Giok Cu," sambung Han Beng. "Kalau memang Thian menghendaki demikian, kami tidak akan menikah, akan hidup bersama seperti kakak adik, tak terpisahkan lagi sampai mati. Kami berdua tidak akan menikah dengan orang lain. Itu merupakan sumpah batin kami berdua!"

Suami isteri itu memandang dengan hati terharu sekali. Sepasang mata Sim Lan Ci menjadi basah air mata. "Adik-adikku yang budiman, aku percaya kepada kalian. Dan andaikata kalian terlupa dan sampai membunuh Ibuku sekalipun, aku tidak akan menyesal karena memang apa yang telah dilakukan Ibuku terhadap Adik Giok Cu sudah melewati batas. Nah, Adik-adikku, tak jauh dari sini terdapat nikouw yang tinggal di kuil. Mari kuantar kalian." Sim Lan Ci bangkit berdiri.

"Aku juga ikut." kata pula Coa Siang Lee. Mereka berempat lalu keluar dari rumah itu. Lan Ci mencari puteranya, akan tetapi anak itu tidak nampak di luar.

"Tentu dia bermain di rumah tetangga." kata Siang Lee. Karena menghadapi urusan penting, mereka lalu pergi mendaki bukit yang berada di luar dusun itu. Dari bawah bukit sudah nampak tembok kuil itu. Tak lama kemudian, tibalah mereka di kuil itu, disambut oleh seorang nikouw muda.

"Beritahukan kepada Lo-nikouw yang bertapa diruangan belakang bahwa kami ingin datang berkunjung," kata Lan Ci.

Tanpa menjawab, nikouw itu hanya mengangguk, memberi hormat dengan membungkuk lalu pergi ke dalam kuil. Tak lama kemudian ia kembali sikapnya yang lembut dan hormat.

"Lo-subo (Ibu Guru Tua) mempersilakan Cu-wi (Anda Sekalian) masuk saja. Beliau sedang berada di taman belakang."

Dengan jantung berdebar Giok Cu dan Han Beng mengikuti suami isteri itu yang agaknya sudah mengenal baik tempat itu. Mereka memasuki taman dan melihat seorang nikouw tua duduk diatas bangku, memangku seorang anak kecil laki-laki.

"Thian Ki! Engkau sudah berada disini?" seru Coa Siang Lee.

Anak itu melompat turun dari atas pangkuan nikouw tua, lalu berlari menghampiri ayah ibunya. "Habis, Ayah dan Ibu tidak memperkenankan aku masuk menemui tamu, maka aku lari ke sini untuk bermain dengan Bo-bo (Nenek)!"

"Mari kita keluar, Thian Ki. Biarkan Nenek bicara dengan Paman dan Bibi.' kata Siang Lee sambil memondong anaknya. Isterinya juga ikut keluar setelah mengangguk ke arah nikouw tua itu yang masih duduk dengan sikap tenang sekali.

Kini tinggal mereka bertiga di situ, di taman yang sunyi. Han Beng dan Giok Cu berdiri di depan nikouw tua yang masih duduk di atas bangku. Seorang pendeta wanita gundul yang berwajah cantik dan masih nampak manis walaupun usianya sudah mendekati enam puluh tahun! Dan sekali pandang, Han Beng dan Giok Cu mengenal wajah itu. Wajah Ban-tok Mo-li tanpa bedak dan gincu!

Sungguh menggelikan, juga mengherankan melihat tokoh sesat yang baru saja menjadi ketua Thian-te-pang, kini tiba-tiba saja telah menjadi seorang pendeta wanita yang gundul, dengan sikap demikian tenang dan lembut, seolah-olah serigala itu kini benar-benar telah berubah menjadi domba!

"Ban-tok Mo-li...!" Hampir berbareng Han Beng dan Giok Cu menyebut nama itu.

Nikouw itu tersenyum dan merangkap kedua tangan di depan dadanya. "Omitohud... akhirnya kalian dapat juga menemukan pin-ni (aku). Kalau Tuhan sudah menghendaki, pin-ni juga tidak akan menghindar lagi. Akan tetapi jangan kalian memaksa pin-ni untuk menjadi orang tahanan karena hal itu akan mencemarkan agama. Kalau kalian ingin membunuh pin-ni, nah, lakukanlah. Pin-ni tidak akan melawan, bahkan akan menerimanya dengan gembira sebagai penebusan sebagian dari dosa pin-ni yang lalu."

Giok Cu melangkah maju dan memberi hormat. "Subo..."

"Giok Cu, engkau masih suka menyebut pin-ni dengan sebutan itu?" Nikouw tua itu tersenyum, wajahnya membayangkan kelembutan hati.

"Tee-cu (Murid) tidak mau menyebut Ban-tok Mo-Ii sebagai guru, akan tetapi Su-bo adalah seorang nikouw yang telah menginsafi dosa dan hendak menebusnya dengan kehidupan yang saleh. Subo, kedatangan teecu ini hanya untuk mohon pertolongan Subo..."

Wajah itu berseri dan nampaknya gembira bukan main. "Bagus, makin banyak yang dapat kulakukan untuk menolongmu, makin baik, Giok Cu, karena hal itu pun berarti akan meringankan dosa-dosaku! Nah, katakanlah, apa yang dapat pin-ni lakukan untukmu?"

Giok Cu menyingsingkan lengan bajunya dan memperlihatkan bintik merah itu kepada Ban-tok Mo-li yang kini dikenal dengan sebutan Lo Nikouw saja. "Subo, tee-cu hanya mohon agar Subo suka memberi obat pemunah untuk bintik merah ini."

Nikouw itu memandang ke arah bintik merah itu, kemudian kepada wajah Giok Cu dan ia menahan ketawanya, tersenyum lebar dan seperti orang yang merasa geli hati. "Ehhh? Kenapa? Itu tanda keperawananmu. Kalau engkau menikah akan hilang sendiri!"

"Memang kami hendak menikah, Su-bo. Mohon doa restu Subo," kata Giok Cu.

"Omitohud...! Kiong-hi, kiong-hi, semoga Tuhan memberkahi kalian dengan keturunan yang baik seperti Cucuku Thian Ki!"

"Tapi Subo. Bagaimana mungkin tee-cu mendapatkan keturunan kalau setelah menikah, dalam waktu sebulan teecu akan mati karena racun di lengan ini?"

"Omitohud! Siapa yang bilang begitu?"

"Subo sendiri! Dahulu ketika teecu berusia sepuluh tahun dan Subo menusukkan jarum sehingga timbul bintik merah ini, Subo mengatakan bahwa kalau keperawanan teecu hilang, maka bintik merah ini akan lenyap pula, akan tetapi akibatnya sebulan kemudian teecu akan mati dan tidak ada obat yang akan mampu menolong teecu."

"Omitohud... semoga Sang Buddha mengampuni hambanya..." Nikouw tua itu menutupi mulut dengan lengan bajunya yang lebar untuk menyembunyikan tawanya. Ia nampaknya geli sekali. kemudian, setelah tawanya yang disembunyikan itu mereda, ia memandang pada Giok Cu dengan sinar mata lembut.

"Muridku, anak yang baik. Maafkanlah. Dosa pin-ni memang bertumpuk-tumpuk. Apa yang pin-ni katakan dahulu semuanya bohong belaka. Pin-ni memberimu tanda merah dan mengancam dengan kematian itu karena pin-ni merasa kecewa dengan perginya Suci-mu Sim Lan Ci yang menjadi isteri Coa Siang Lee. Pin-ni tidak ingin kehilangan engkau, maka pin-ni sengaja memberi tanda keperawanan itu dengan ancaman agar engkau tidak berani menikah sebelum ada ijin dari pin-ni. Memang pi-ni jahat sekali, Giok Cu. Pin-ni menyesal sekali. Akan tetapi, mengenai ancaman kematian pada tanda keperawanan itu pin-ni hanya berbohong. Kalau engkau ingin menikah, lakukanlah dengan restu pin-ni, dan jangan khawatir. Engkau tidak akan kehilangan nyawa, hanya akan kehilangan tanda bintik merah saja!"

Bukan main lega dan girangnya rasa hati dua orang muda itu. Mereka percaya kepada keterangan ini, pertama karena tadi pun Sim Lan Ci sudah berkata demikian, dan kedua karena setelah kini Ban-tok Mo-li menjadi nikouw, sikap dan kata-katanya sangat menyakinkan. Betapapun juga, ketika Giok Cu menatap wajah bekas gurunya itu, nenek itu melihat keraguan di pandangan mata bekas muridnya.

"Omitohud... engkau masih ragu, Giok Cu? Apa gunanya pin-ni menggunduli rambut dan menjadi nikouw, kalau pin-ni masih suka berbohong? Tenangkan hatimu dan menikahlah kalian!"

Nikouw itu lalu merangkap kedua tangan, mulutnya berkemak-kemik membaca doa lalu meningalkan mereka yang memberi hormat dengan membungkuk. Setelah nikouw itu memasuki kuil dari pintu belakang, Han Beng merangkul kekasihnya. Giok Cu juga merangkulnya. Keduanya tidak berkata apa-apa, akan tetapi suatu kebahagiaan dan kelegaan menyusup ke dalam jantung mereka. Ketika mereka menceritakan hal itu kepada Siang Lee dan Lan Ci, suami isteri ini merasa bergembira sekali.

"Siauw-te (Adik), keluargamu hanya kami, maka kami yang wajib merayakan pernikahan kalian."

"Aih, Toako, kami hanya membikin repot saja...!" bantah Han Beng.

"Tidak! Engkau harus menerimanya Beng-te. Ingat, bukankah aku ini Kakakmu, pengganti orang tuamu? Engkau harus taat!" kata Siang Lee.

"Dan engkau juga Sumoiku, Adik Giok Cu. Engkaupun sepatutnya mentaati permintaanku, yaitu kalian harus melaksanakan pernikahan di sini, dan kami yang akan merayakannya..." kata pula Sim Lan Ci.

Tentu saja Giok Cu dan Han Beng merasa gembira bukan main. Karena suami isteri itu mendesak agar pernikahan segera dilangsungkan, maka mereka tidak sempat lagi untuk memberi kabar kepada Pek I Tojin dan Hek-bin Hwesio yang merantau ke Gunung Thai-san. Mereka mengambil keputusan untuk kelak saja setelah menikah mencari guru-guru mereka untuk memberitahu dan mohon doa restu mereka.

Pernikahan dilangsungkan dengan sederhana di dusun tempat tinggal Coa Siang Lee, namun cukup meriah walaupun hanya dihadiri para tetangga. Biarpun hanya sederhana, namun sebentar saja dunia kang-ouw sudah mendengar belaka berita itu, bahwa Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning) telah menikah dengan pendekar wanita Bu Giok Cu yang namanya mulai dikenali.

********************

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning karya kho ping hoo

Han Beng dan Giok Cu merasa berbahagia sekali ketika melihat bahwa tanda bintik merah di bawah siku lengan kiri Giok Cu benar-benar lenyap setelah malam pengantin pertama. Mereka hidup penuh kemesraan, dan Coa Siang Lee dengan isterinya sengaja menyewakan sebuah rumah mungil untuk mereka berdua agar mereka dapat berpengantinan tanpa ada gangguan.

Sepasang pengantin itu sudah yakin akan kebenaran keterangan Lo Nikouw maka mereka tidak pernah merasa was-was. Bahkan setelah batas waktu satu bulan itu makin mendekat, mereka sama sekali tidak mempedulikan, sama sekali tidak merasa khawatir. Dan memang, ternyata setelah lewat sebulan, tidak pernah terjadi apa-apa! Kesehatan Giok Cu sama sekali tidak terganggu, bahkan! ia nampak segar dan sehat, dengan kedua pipi kemerahan dan wajah yang mengeluarkan cahaya berseri, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar-mekarnya!

Akan tetapi, ketika sebulan lewat beberapa hari, Giok Cu mulai merasakan suatu kelainan, la sering merasa pening! Ketika ia memberitahukan hal ini kepada suaminya, tentu saja Han Beng menjadi pucat pasi. Jangan-jangan ancaman itu sedang berlangsung sekarang! Makin hari, keadaan Giok Cu semakin gawat. Bukan saja ia merasa pening bahkan seringkali merasa mual dan muntah-muntah! Tentu saja Han Beng menjadi semakin bingung.

Akhirnya, mereka yang tadinya masih segan dan rikuh untuk memberitahu kepada Sim Lan Ci karena khawatir kalau wanita itu tersinggung, tidak peduli lagi dan mereka pergi ke rumah Siang Lee. Mereka tidak dapat menahan lagi kekhawatiran hati mereka karena kini sudah dua hari Giok Cu tidak suka makan, setiap kali dicobanya makan selalu muntah. Itu tanda keracunan!

Siang Lee dan Lan Ci menyambut mereka dengan heran karena wajah pengantin baru itu tampak tegang dan cemas. Padahal mereka baru hampir dua bulan menjadi pengantin. Begitu bertemu dengan Lan Ci, Giok Cu langsung merangkulnya dan menangis.

"Eiiittt... ada apa ini? Apakah kalian yang baru menikah dua bulan sudah bertengkar? Terlalui" Lan Ci mengomel.

Akan tetapi Giok Cu yang merangkulnya menggeleng kepala dan terus menangis.

"Sssssttt... Beng-te. Ada apakah isterimu itu?" Siang Lee mendekati Han Beng dan berbisik.

Dengan wajah penuh kegelisahan, Han Beng menjawab. "Celaka, Toako. Agaknya ancaman itu bukan bohong belaka Isteriku... Giok Cu... selama beberapa hari ini memperlihatkan gejala yang amat mengkhawatirkan... pusing, mual dan muntah, tanda-tanda keracunan..."

"Ehhhhh?" Siang Lee memandang kepada isterinya yang masih ditangisi Giok Cu. Lan Ci juga mendengar laporan Han Beng tadi, dan ia berkata kepada suaminya. "Cepat sana, panggil Cui-ma! Cepat!"

"Baik...!" kata Siang Lee dan ia pun cepat lari keluar.

Han Beng mendekati Lan Ci. "So-so, bagaimana ini? Isteriku..."

"Tenanglah, Kakakmu sedang mengundang Cui-ma..."

"Siapa itu Cui-ma (Ibu Ma)?"

"la tabib yang paling pandai untuk mengobati penyakit keracunan macam ini." kata Lan Ci sambil menahan senyum.

Han Beng mengerutkan alisnya. Kenapa kini sikap Lan Ci demikian? Seperti main-main, seolah gembira melihat ancaman maut atas diri Giok Cu! Jangan-jangan puteri Ban-tok Mo-li ini...! Ah, hampir dia menampar muka sendiri ketika merasa betapa gilanya pikiran jahat timbul.

Pada saat itu, Siang Lee sudah kembali sambil menarik lengan seorang nenek yang usianya sudah ada tujuh puluh tahun, kurus akan tetapi masih gesit. Nenek itu tertawa-tawa dengan mulut yang tak bergigi lagi.

"Hayaaa... apa-apaan ini orang tua diseret-seret? Siapa yang harus kuperiksa?"

"Ini, Cui-ma. Pengantin baru ini yang sakit. Cepat periksa dikamarku!" Lan Ci merangkul Giok Cu, diajak masuk ke dalam kamar, diikuti nenek itu yang jalannya terpincang-pincang.

Han Beng mengerutkan alisnya. Nenek itu sama sekali tidak meyakinkan sebagai seorang tabib ampuh! Dia menunggu di luar kamar, duduk di kursi dengan alis berkerut. Dia berterima kasih kepada Siang Lee yang tidak mengajaknya bicara karena dia enggan bicara pada saat menegangkan seperti itu. Tak lama kemudian, terdengar suara Lan Ci tertawa dan ia nampak keluar bersama Giok Cu, diikuti pula oleh nenek itu.

"Bagaimana? Bagaimana keadaannya? Parahkan?" tanya Han Beng sambil meloncat berdiri dan memegang lengan isterinya.

"Parah!" kata Lan Ci yang tertawa-tawa. "Memang benar Giok Cu telah keracunan! Keracunan cinta sehingga ia mengandung sebulan lebih!"

"Meng... mengandung...??!" Han Beng berteriak.

Dan mendengar teriakan suaminya, Giok Cu mengangkat muka. Mereka saling pandang, lalu mereka mengeluarkan suara setengah menangis setengah tertawa, dan mereka saling rangkul dalam pelukan yang ketat. Mereka berciuman di depan Siang Lee, Lan Ci dan nenek itu tanpa mengenal malu lagi.

Nenek itu sampai terjongong. la sudah berpengalaman lima puluh tahun, sudah banyak melihat kegembiraan pada wajah calon ayah dan ibu yang mendengar berita baik ini, akan tetapi baru sekarang ini ia melihat calon ayah dan calon ibu demikian gembiranya sampai berpelukan dan berciuman sambil menangis dan tertawa!

Nenek itu tidak tahu. Akan tetapi Siang Lee dan Lan Ci tahu. Mereka pun tertawa dengan kedua mata basah. Mereka tahu bahwa Han Beng dan Giok Cu bukan saja berbahagia mendengar bahwa mereka akan memperoleh seorang keturunan, akan tetapi juga berbahagia karena kini mereka yakin bahwa tidak ada bahaya apa pun mengancam nyawa Giok Cu!

Mereka tidak sedang menghadapi bahaya maut atau bahaya apa pun, bahkan menghadapi peristiwa yang amat membahagiakan. Mereka akan menerima ganjaran yang tak ternilai harganya. Seorang anak! Fajar kehidupan baru mulai menyingsing bagi suami isteri ini, dan tidak atau belum nampak awan hitam di angkasa!

Sampai disini, pengarang mengakhiri kisah ini dengan harapan semoga ada manfaatnya bagi para pembaca, dan sampai jumpa di lain kisah...!

Selanjutnya, Serial Naga Sakti Sungai Kuning Seri Kedua:

NAGA BERACUN