Naga Sakti Sungai Kuning Jilid 43 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Ban-tok Mo-li tersenyum, sikapnya tenang saja karena ia percaya akan kekuatan pihaknya. "Giok Cu, apakah engkau sudah menjadi gila? Engkau melihat sendiri bahwa aku tidak menyerang mereka. Mereka itu sudah keracunan ketika kita naik ke perahu mereka dan menurut pengakuan mereka, baru saja Liu Bhok Ki mengobati mereka, maka jelas bahwa Liu Bhok Ki yang meracuni mereka. Engkau tahu sendiri, bukan?"

"Bohong! Bohong dan fitnah yang kau katakan itu, Ban-tok Mo-li!" Han Beng berseru marah.

Ban-tok Mo-li memandang kepada pemuda itu dan sinar matanya mencorong marah. "Siapakah engkau? Hemmm, agaknya engkau yang dijuluki Huang-ho Sin liong itu. Benarkah?"

"Benar. Namaku Si Han Beng engkau bicara bohong tadi, Ban-tok li. Suhu Liu Bhok Ki tidak akan meracuni orang! Dia seorang pendekar besar, selamanya tidak menggunakan racun. Rajawali Sakti Liu Bhok Ki hanya mengandalkan kaki tangan dan sabuknya sama sekali tidak pernah menggunakan racun!"

"Huh, jadi engkau ini hanya murid Liu Bhok Ki saja? Tapi... aku pernah melihatmu. Benar...! Engkau... bukankah engkau anak yang dulu bersama Giok Cu telah menemukan anak naga dan menghisap darah anak naga itu?"

"Benar, Ban-tok Mo-li. Dan kuharap engkau cukup gagah untuk mengakui perbuatanmu dan mempertanggungjawabkan darinya, tidak melakukan fitnah kepada orang lain yang sama sekali tidak bersalah."

"Bu Giok Cu, engkau yang kudidik lama bertahun-tahun sebagai murid terkasih, engkau datang menuduhku dan engkau malah percaya kepada keterangan pemuda ini?" Ban-tok Mo-li berseru penasaran kepada Giok Cu.

"Aku telah mendengar sendiri keterangan Lo-cian-pwe Liu Bhok Ki dan aku percaya kepadanya! Dan aku memang lebih percaya bahwa engkau yang telah membunuh Ayah bundaku dengan racun, Ban-tok Mo-li. Pertama, karena engkaulah orang yang sudah biasa menggunakan racun, sesuai dengan julukanmu. Kedua, biarpun aku pernah menjadi muridmu, aku sudah mengenal watakmu yang jahat dan kejam, bahkan pernah aku nyaris tewas di tanganmu dan tangan pendeta palsu Lui Seng Cu ini. Ban-tok Mo-Ii apakah engkau demikian pengecut dan penakut untuk mengakui bahwa yang membunuh Ayah Ibuku adalah engkau?"

Wajah wanita itu berubah merah karena marah dimaki sebagai pengecut dan penakut oleh bekas muridnya sendiri. Bagi orang golongan sesat, membunuh bukan merupakan perbuatan yang mealukan atau dianggap buruk, bahkan dianggap sebagai perbuatan yang membanggakan hati! Maka, ia pun sama sekali tidak merasa malu, bahkan dengan sikap bangga ia mengakui perbuatannya.

"Bocah sombong Bu Giok Cu! Kalau benar demikian, habis engkau mau apa? Memang, aku telah membunuh Ayah Ibumu karena pada waktu itu aku menganggap mereka sebagai penghalang bagiku untuk mengambil engkau sebagai murid. Dan aku merasa menyesal mengapa engkau tidak kubunuh sekalian pada waktu itu sehingga sekarang engkau tidak hanya mendatangkan kepusingan saja."

Biarpun ia sudah menduga sebelumnya, tetap saja wajah Giok Cu berubah bucat seketika, kemudian menjadi merah sekali ketika ia mendengar pengakuan dari Ban-tok Mo-li itu. Dengan sinar mata mencorong seperti berapi, tubuh tegak lurus dan tangan kiri bertolak pinggang, telunjuk kanannya menuding ke arah muka Ban-tok Mo-li, Giok Cu berkata dengan suara yang nyaring dan penuh kemarahan.

"Ban-tok Mo-li! Bagus engkau telah mengakui perbuatanmu yang keji! Sekarang bersiaplah engkau! Aku datang untuk menagih hutang, membalas atas kematian Ayah Ibuku!" Giok Cu melangkah maju menghadapi wanita yang pernah menjadi gurunya itu.

"Bu Giok Cu, dengan sedikit isyaratku saja, engkau akan dikepung puluhan orang anak buahku dan engkau akan mati konyol, biarpun engkau dibantu oleh Huang-ho Sin-liong. Akan tetapi, kami dari Thian-te-pang adalah orang-orang gagah! Kalau memang engkau menantangku, beranikah engkau bertanding dengan aku di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) dan tidak di depan kuil ini agar tidak mengganggu mereka yang akan sembahyang dan mencemarkan pekarangan kuil yang suci?"

Giok Cu tersenyum mengejek. Ia dan Han Beng sudah berani datang ke tempat itu, ke sarang musuh, tentu saja mereka tidak takut, apalagi ditantang untuk bertanding di ruangan bermain silat. "Di mana pun dan kapan pun tantanganmu akan kuhadapi!"

Akan tetapi Han Beng cepat berkata. "Ban-tok Mo-li, kedatangan kami ini tidak ada hubungannya dengan Thia te-pang atau Thian-te-kauw. Dan aku pun tidak akan mencampuri pertandinganmu dengan Giok Cu. Akan tetapi, kalau sampai terjadi kecurangan, kalau engkau mengeroyok Giok Cu, terpaksa aku akan ikut campur dan mencegah kecurangan itu! Kami tidak ingin bermusuhan dengan Thian-te-kauw!"

Ban-tok Mo-li tertawa genit. "Hik-hik, aku akan bertanding melawan bekas muridku, perlu apa aku harus dibantu orang lain? Bahkan kalau perlu engkau boleh membantu Giok Cu, aku tidak takut menghadapi pengeroyokan kalian dua orang muda yang sombong ini!"

"Ban-tok Mo-li, tidak perlu banyak cerewet. Mari kita segera bertanding sampai seorang di antara kita roboh!" Giok Cu membentak.

Sambil tertawa Ban-tok Mo-li lalu masuk ke dalam, diikuti oleh Giok Cu dan Han Beng, juga diikuti Lui Seng Cu dan para pimpinan Perkumpulan itu. Giok Cu tentu saja masih hafal akan keadaan di rumah itu. Kiranya kuil itu dibangun di bagian depan dan menembus ke pinggir rumah bekas gurunya, dan lian-bu-thia yang dulu tidak begitu besar, kini telah dirombak dan menjadi sebuah ruangan yang luas, yang cukup untuk berlatih seratus orang!

Ruangan ini tertutup dan tidak mempunyai jendela, hanya ada sebuah pintu di depan, pintu besi yang kokoh. Dengan langkah tenang dan gagah, Giok Cu mengkuti Ban-tok Mo-li memasuki ruangan itu bersama Han Beng, diiringkan oleh para tokoh Thian-te-pang.

Setelah tiba di dalam ruangan langsung saja Giok Cu berdiri di tengah-tengah dengan sikap menantang. "Mari kita selesaikan urusan antara kita. Aku sudah siap, Ban-tok Mo-li!" katanya sambil memandang kepada wanita itu.

Han Beng berdiri di sudut dengan sikap tenang, namun waspada karena dia tetap merasa curiga bahwa orang-orang sesat itu dapat benar-benar bersikap gagah dan dapat dipercaya. Dia tidak khawatir sama sekali kalau memang terjadi pertandingan yang jujur, karena dia percaya sepenuhnya akan kelihaian Giok Cu. Yang dikhawatirkan adalah kalau orang-orang sesat itu menggunakan pengeroyokan atau jalan lain yang curang. Maka, biarpun dia nampak tenang saja berdiri sambil bersilang lengan di dada dia tetap waspada menjaga segala kemungkinan yang dapat terjadi.

Ban-tok Mo-li masih belum banyak tahu benar akan pemberitahuan Can Kongcu bahwa bekas muridnya itu kini memiliki kepandaian yang amat tinggi, jauh lebih lihai dibandingkan kepandaiannya sendiri! Ia tidak percaya! Dan ia pun tidak takut, karena di situ terdapat Lui Seng Cu dan para tokoh lain, bahkan di situ terdapat pula Can Kongcu yang masih belum muncul, akan tetapi yang ia tahu tentu sedang melakukan pengintaian.

Dengan langkah gemulai Ban-tok. Mo-li Phang Bi Cu menghampiri Giok Cu di tengah ruangan itu sambil mencabut pedang dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya tetap memegang kipasnya. Begitu pedang tercabut, nampak sinar merah. Itulah Ang-tok Po-kiam (Pedang Pusaka Racun Merah) yang ampuh sekali karena selain terbuat dari baja pilihan, juga pedang itu sudah direndam racun merah bertahun-tahun sehingga lawan yang terkena sekali goresan saja sudah terancam maut!

Namun Giok Cu sama sekali tidak merasa jerih. Ia sudah mengenal habis-habis semua senjata dan kepandaian bekas gurunya. Ia tahu benar keadaan pedang pusaka yang berwarna merah itu,bahkan ia pun mengenal kipas di tangan kiri lawan itu. Kipas itu nampaknya tidak berbahaya, namun ia tahu bah kipas itu lebih berbahaya daripada pedang karena kipas itu mengandung jarum-jarum halus beracun yang dapat menyambar dari dalam gagang kipas yang suda dipasangi alat.

Juga selain kedua ujung gagang kipas yang runcing mengandun racun pula, juga kebutan kipas itu mendatangkan bau harum yang juga dapat membuat kepala menjadi pening. Ia mengenal pula bekas gurunya sebagai manusia beracun sehingga pukulan tangannya, cakaran kukunya, bahkan ludahnya mengandung racun yang dapat mematikan lawan!

"Bu Giok Cu, sudah begitu bosan hidupkah engkau maka begini tergesa-gesa minta mati?" tegur Ban-tok Mo-li dengan senyum mengejek.

"Ban-tok Mo-li, dua belas tahun yang lalu engkau telah membunuh Ayah dan Ibuku yang sama sekali tidak bersalah kepadamu. Sekarang aku, Bu Giok Cu anak mereka, menuntut balas atas kematian mereka yang penasaran itu. Ban-ok Mo-li bersiaplah engkau untuk menghadap Ayah Ibuku dan mempertanggung-jawabkan perbuatanmu yang jahat dan kejam!"

"Hi-hi-hik, engkau ini bekas muridku berani membuka mulut besar? Nah, kau makanlah pedangku!"

Berkata demikian, wanita itu sudah menusukkan pedangnya, tanpa memberi kesempatan pada bekas muridnya untuk mencabut senjatanya. Memang wanita ini licik sekali dan sama sekali tidak merasa malu untuk melakukan kecurangan. Sinar merah berkelebat menyambar ketika pedang Itu menusuk ke arah dada Giok Cu. Gadis ini cepat meloncat ke belakang dan ketika tangan kanannya bergerak, ia sudah mencabut pedang pusaka Seng-kang-kiam pemberian Hek Bin Hwesio. Melihat pedang yang tumpul itu, dan buruk, Ban-tok Mo-li terkekeh geli.

"Hi-hi-heh-heh, Giok Cu. Pedang apa yang kau keluarkan itu? Untuk memotong sayur pun belum tentu dapat, begitu tumpul dan buruk! Dan engkau hendak melawan Ang-tok Po-kiam dan kipas dengan pedang tumpul itu? Ha-ha!"

"Tak perlu banyak cerewet. Lihat pedang!" Giok Cu membentak dan sudah menyerang dengan pedangnya. Terdengar suara berdesing dari didahului angin menyambar keras, pedang itu sudah menyambar pula ke arah leher lawan.

Ban tok Mo-li yang masih tersenyum itu terkejut, senyumnya berubah dan ia cepat menggerakkan pedangnya menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya, dengan maksud begitu kedua pedang bertemu, ia akan membarerengi dengan serangan kipasnya.

"Tranggggg...!" Nampak bunga api berpijar dan Ban-tok Mo-li terhuyung dan hampir saja pedangnya terlepas dari tangannya! Tentu saja hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya sehingga rencana serangannya gagal sama sekali, bahkan hampir saja ia terpelanting! Dengan muka pucat, ia memungut pedang dari samping dan menyerang dengan dahsyat, penuh rasa penasaran dan kemarahan.

Melihat ini, Giok Cu mengelak. Akan tetapi, kipas itu menyambar, mengebut kearah mukanya. Giok Cu menahan napas agar tidak perlu menyedot bau harum beracun dari kipas itu, dan ketika ujung gagang kipas menyambar sebagai lanjutan penyerangan dengan totokan, kembali ia mengelak ke belakang. Pada saat itu, nampak sinar lembut hitam menyambar dari gagang kipas. Hal ini pun sudah diduga oleh Giok Cu maka gadis ini dengan mudah memutar pedang memukul runtuh semua jarum halus beracun.

"Huhhh, engkau memang hanya pandai menggunakan racun dengan curang! Tak tahu malu!" bentak Giok Cu dan kini ia pun menyerang dengan pedangnya. Ia sama sekali tidak sudi menggunakan ilmu yang pernah dipelajarinya dari Ban-tok Mo-li, melainkan menggunakan ilmu yang pernah dipelajarinya dari Hek-bin Hwesio. Dan tentu saja keadaan Giok Cu lebih untung. Semua serangan lawan sudah dikenalnya dengan baik, dan ia tahu bagaimana cara menghindarkan semua serangan itu.

Sebaliknya, Ban-tok Mo-li bingung menghadapi permainan pedang Giok Cu yang sama sekali tidak dikenalnya. Juga wanita sesat ini kalah jauh dalam kekuatan tenaga sakti, bahkan pedangnya yang biasanya amat diandalkan itu sekali ini kehilangan keampuhannya menghadapi pedang tumpul Seng kang-kiam!

Setelah lewat tiga puluh jurus, Ban tok Mo-li tak mampu membalas serangan lagi. la terdesak dan terhimpit hanya mampu memutar pedang melindungi tubuhnya dan main mundur terus. Melihat ini, tentu saja Lui Seng Cu tidak mau membiarkan saja pangcu itu terancam bahaya.

"Bu Giok Cu, lepaskan pedangmu. Tiba-tiba dia membentak. Sejak tadi kauw-cu ini memang sudah berkemak kemik membaca mantra dan mengerahkan kekuatan sihirnya, dan tiba-tiba ki dia melalui bentakannya hendak mengua sai Giok Cu dengan ilmu sihirnya.

Giok Cu merasa betapa jantungnya tergetar dan hanpir ia melepaskan pedang. Akan tetapi gadis ini pernah digembleng oleh Hek Bin Hwesio, dan ia sudah dilatih hebat sehingga kini memiliki kekuatan batin yang mampu menolak pengaruh sihir.

"Lui Seng Cu pendeta palsu!" Ia pun membentak dan pedangnya semakin mendesak Ban-tok Mo-li, sedikit pun ia tidak terpengaruh oleh kekuatan sihir yang melepaskan Thian-te Kauw-cu (Kepala Agama Thian-te-kauw) itu. Melihat itu Lui Seng Cu terkejut dan dia pun meloncat ke depan sambil mencabut golok besarnya.

"Heiiiii, tidak boleh curang main keroyokan!" bentak Han Beng sambil meloncat maju dan ketika tangan kanannya mendorong ke arah Lui Seng Cu, Kauwcu ini hampir terjengkang oleh sambaran angin dahsyat.

Pada saat itu terdengar ledakan disusul asap tebal dan muncullah seorang sosok tubuh yang menyeramkan. Arca Thian-te Kwi-ong agaknya telah hidup! Orang yang muka dan pakaiannya mirip patung Thian-te Kwi-ong yang disembah-sembah itu telah muncul di situ, membawa sebatang pedang kuno yang panjang dan berat.

Semua orang terkejut tak terkecuali Han Beng dan Giok yang segera berlompatan ke belakang dan mereka kini berdiri berdamping untuk saling melindungi. Mata mereka terbelalak memandang ke arah setan itu yang berdiri tegak. Semua pengurus dan anggauta Thian-te-kauw segera memberi hormat.

"Si Han Beng dan Bu Giok Cu! Menyerahlah kalian karena kalian sudah dikepung!" kata "Raja Setan" itu. "Kalau kalian menakluk, akan kami beri kedudukan yang baik, kalau kalian melawa kalian akan mati konyol!"

Dan tiba-tiba saja, pintu ruangan itu ditutup dan banyak asap berembus dari luar, memasuki lian-bu-thia itu.

"Han Beng, awas asap beracun! Kita harus menerjang keluar!" teriak Giok Cu.

Han Beng terkejut dan dia pun menahan napas. Akan tetapi, Ban-tok Mo-li sudah tertawa bergelak dan bersama Lui Sen Cu dan para tokoh sesat mereka menghadang dan mengeroyok dua orang pendekar muda itu sehingga mereka tidak dapat keluar. Apalagi pintu besi itu sudah ditutup dari luar, sementara itu asap beracun yang mengandung bius itu semakin tebal. Ternyata bahwa Ban-tok mo-li sudah memberi obat penawar kepada rekan-rekannya sehingga mereka itu menyedot asap tanpa pengaruh apa-apa.

Sebaliknya, Han Beng dan Giok Cu tidak berani bernapas. Mereka menahan napas, akan tetapi tentu saja mereka tidak mungkin dapat bertahan terlalu lama, apalagi mereka dikeroyok banyak lawan. Akhirnya, tanpa tersentuh senjata lawan, Han Beng dan Giok Cu roboh terpelanting dan pingsan!

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning karya kho ping hoo

Ketika Han Beng dan Giok Cu siuman kembali, mereka mendapatkan diri mereka sudah duduk di atas kursi dan masing-masing terbelenggu kaki tangan mereka, terikat pada kursi sehingga tidak mampu berkutik. Mereka masih berada di lian-bu-thia tadi, akan tetapi kini tidak ada lagi asap harum yang mengandung bius. Di depan mereka, dalam jarak sepuluh meter, nampak belasan orang itu duduk pula berjajar di atas kursi.

Yang paling depan adalah seorang pemuda yang tampan dan yang selalu tersenyum-senyum, didampingi oleh Kauwcu Lui Seng Cu di sebelah kirinya Pangcu Ban-tok Mo-li di sebelah kananya. Para pengurus lainnya dan para tokoh sesat duduk di belakang tiga orang ini. Sikap mereka seperti suatu paruturan pengadilan yang hendak menghakimi Han Beng dan Giok Cu sebagai pesakitan! Ketika Han Beng dan Giok Cu memandang kepada pemuda itu, mereka terbelalak.

"Engkau...!" Giok Cu dan Han Beng berseru, hampir berbareng saking herannya bertemu dengan musuh lama itu situ.

"Jangan kurang ajar!" bentak Ban tok Mo-li kepada dua orang tawanan itu "Kalian berhadapan dengan Can Kong penjelmaan dari Thian-te Kwi-ong. Bersikaplah hormat!"

Akan tetapi Giok Cu tersenyum mengejek. "Penjelmaan Thian-te Kwi-ong Hemmm, memang dia iblis cilik! Hong San, ular kepala dua yang pernah membantu gerombolan pemberontak yang gagal! Dan sekarang menyelundup ke dalam Thian-te Kwi-ong! Bagus-bagus!"

Hong San tidak marah, bahkan tertawa bergelak. "Bu Giok Cu, engkau makin cantik saja, ha-ha-ha. Dan engkau masih tetap bernyali besar tabah dan penuh semangat, pantang mundur walaupun sudah menjadi tawanan. Sungguh sikap seorang calon isteri ketua yang besar! Bu Giok Cu, ketahuilah bahwa aku ini telah menjadi pemimpin besar dari Thian-te-pang yang memiliki kekuasaan besar. Kami bukanlah perkumpulan orang jahat, melainkan perkumpulan yang gagah dan membela kepentingan umum. Aku tahu bahwa engkau dan juga Huang-ho Sin-liong Si Han Beng adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa. Oleh karena itu, biarpun kalian telah beberapa kali melakukan perbuatan yang menentangku, namun aku masih suka mengampuni kalian, kalau kalian suka membantu perjuangan kami. Kelak, kalau kita berhasil, kalian tentu akan mendapatkan bagian dan memperoleh kedudukan tinggi. Nah, Bu Giok Cu, kalian sudah tak berdaya. Kalau engkau suka menjadi isteriku yang terhormat, dan Si Han Beng suka menjadi pembantuku "

"Tutup mulutmu yang kotor!" bentak Bu Giok Cu. "Aku lebih suka mati daripada menjadi isteri seorang keji dan jahat macam engkau!"

"Can Hong San," kata Han Beng dengan suara tenang namun tegas. "Kalau engkau memang seorang laki-laki yang jantan, bebaskan kami dan mari kita mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang lebih kuat di antara kita. Sebaliknya, kalau engkau hanya seorang iblis yang licik dan curang, setidaknya engkau tentu mengenal malu untuk mencurangi seorang wanita. Bebaskan Bu Giok Cu dan kau siksa dan bunuh saja aku. Giok Cu tidak bersalah apa-apa kepadamu!"

"Tidak! Can Hong San manusia terkutuk! Si Han Beng hanya ikut dengan aku ke sini. Akulah yang memiliki urusan pribadi dengan Si Iblis Betina Ban-Tok Mo-li. Ia telah membunuh Ayah Ibuku dan aku akan mencabut nyawanya untuk melenyapkan penasaran Ayah dan Ibuku! Bebaskan Han Beng, aku yang bertangung jawab! Kalau engkau memang jantan, biarkan aku bertanding mengadu nyawa dengan Ban-tok Mo-li, kemudian engkau boleh menandingiku dan mengeroyok aku kalau engkau berani!"

Di maki dan dicela seperti itu, Hong San hanya tersenyum mengejek. "Ha-ha-ha, enak saja kalian bicara. Kalian adalah tawanan kami, kalian tidak berdaya dan kamilah yang menentukan syarat, bukan kalian."

Hong San tertawa-tawa mengamati pedang tumpul buruk milik Bu Giok Cu yang dirampasnya. Pedang itu butut dan tumpul, sama sekali tidak menarik, namun dia tahu bahwa itu adalah sebatang pedang pusaka yang ampuh. Memang, Seng-kang-kiam (Pedang Baja Bintang) milik Bu Giok Cu itu adalah sebatang pedang yang langka, pemberian dari Hek Bin Hwesio.

"Hemmm, agaknya kalian saling mencinta. Kalian saling berebut untuk mengorbankan diri asal yang lain dibebaskan. Mengagumkan sekali. Cinta kasih seperti itu jarang ditemui di jaman ini ha-ha-ha!"

Kembali Hong San tertawa. Dia sengaja bersikap demikian karena di ingin sekali mengambil hati dua ora muda yang dia tahu amat lihai itu. Mereka berdua itu jauh lebih lihai dibandingkan semua pembantunya. Kalau saja Si Han Beng dan Bu Giok Cu mau membantu dia, tentu kedudukannya akan menjadi semakin kuat dan dia tidak akan takut menghadapi siapapun juga.

Mendengar ucapan itu, wajah Bu Giok cu menjadi kemerahan. Juga Han Beng merasa betapa jantungnya berdebar keras. Betapa tepatnya ucapan Hong yang tentu saja hanya merupakan ejekan itu. Dia memang mencinta Giok Cu dan akan rela mengorbankan nyawanya untuk keselamatan gadis itu. Akan tetapi dia juga marah sekali karena tahu bahwa ucapan itu tentu saja merupakan hal yang amat memalukan Giok Cu, bahkan juga menghina.

"Maaf, Can Kongcu. Gadis itu pernah menjadi sahabatku, oleh karena itu, kalau Pangcu memperbolehkan, serahkan saja kepadaku. Aku cinta padanya dan aku akan membujuknya agar ia suka bekerjasama dengan kita." kata Ji Ban To, pemuda kurus kering bermuka pucat, murid Ouw Kok Sian yang dahulu pernah menggoda Giok Cu itu.

"Berikan saja kepadaku, Can Kong-cu. Aku sanggup menundukkan Giok Cu!" seru Siok Boan pemuda yang gendut dan mukanya seperti kanak-kanak itu. Dia murid dari Lui Seng Cu yang menjadi Kauw-cu dari Thian-te-kauw.

"Kepadaku saja, Can Kongcu! Aku dapat membikin ia jinak!" teriak pula Poa Kian So, sute dari Siok Boan, yang berhidung pesek dan bertubuh pendek. Memang dua orang murid dari Lui Seng Cu ini pernah tergila-gila kepada Giok Cu ketika gadis ini masih menjadi murid han-tok Mo-li, seperti juga Ji Ban To.

"Aih, sungguh kalian bertiga tidak tahu diri!" kata Siangkoan Tek, pemuda putera Siangkoan Bok yang juga menjadi pembantu utama di dalam perkumpulan Thian-te-pang itu. "Akulah yang pantas menjadi suami Bu Giok Cu. Can Kongcu berikan saja ia kepadaku!"

Melihat betapa empat orang pera pembantunya itu memperebutkan Giok Cu, Hong San tertawa. "Ha-ha-ha, engkau mendengar sendiri, Giok Cu dan Han Beng. Hanya ada dua pilihan bagi kalian. Pertama, kalian menakluk kepa kami dan berjanji menjadi pembantu kami yang setia, berjuang bersama kami dan mendapatkan kedudukan yang terhormat dan mulia. Dan ke dua, kalau kalian menolak, terpaksa aku membiarkan empat orang pemuda yang sudah tergila-gila kepada Giok Cu ini untuk memilikinya, mempermainkannya sepuas ha nya mereka di depan matamu, Han Beng. Mereka akan memperkosanya sampai gadis yang kaucinta ini mati di depan matamu, kemudian barulah kami akan menyiksamu sampai mati. Nah, kalian pilih yang mana?"

"Aku pilih mati daripada harus takluk padamu!" bentak Giok Cu dan tiba-tiba gadis itu mengerahkan tenaga dan bersama kursinya sudah meloncat ke depan. Ji Ban To yang ingin berjasa tertubruk untuk menangkapnya, akan tetapi gadis itu bersama kursinya menerjang ke arahnya dengan kekuatan hebat.

"Bresssss...!" Ji Ban To mengaduh dan tubuhnya terjengkang, bergulingan di terjang gadis yang masih terbelenggu kaki tangannya pada kursi itu!

"Itu pula jawabanku, keparat!" Han Beng berseru dan dia pun meniru perbuatan Giok Cu. Tubuhnya yang masih terbelenggu pada kursinya itu menerjang ke depan, ke arah Can Hong San. Akan tetapi pemuda sakti ini dengan mudah mengelak sambil menggerakkan kaki menendang sehingga tubuh Han Beng yang tidak mampu menggerakkan kaki tangan itu terpental ke samping oleh tendangan itu.

Siangkoan Tek yang mencabut pedang menubruk ke arah Han Beng dan menyerang dengan bacokan ke arah perut pemuda yang terbelenggu itu. Han Beng melihat kesempatan baik sekali. Diam-diam dia mengerahkan sin-kang sepenuhnya untuk melindungi kakinya dan ketika pedang menyambar, dia malah menyambut dengan kaki yang terbelenggu, pedang itu membabat belenggu ke kakinya. Pedang itu berkelebat.

"Brettttt!" Kain celana dan belenggu itu terbabat putus, dan kulit kaki kanan Han Beng tergores sedikit karena sudah dilindungi kekebalan. Kedua kakinya bebas! Han Beng meloncat dan sekali kaki kirinya menendang, tubuh Siangkoan Tek terlempar sampai lima meter jauhnya dan terbanting keras.

Padahal Siangkoan Tek memiliki tingkat kepandai yang cukup tinggi. Namun tendangan tadi merupakan tendangan yang khas dari ilmu silat Hui-tiauw Sin-kun sehingga Siangkoan Tek yang sudah memandang rendah lawan yang terbelenggu itu terkena tendangan. Untung yang tertendang pahanya sehingga dia tidak sampai terluka parah, hanya nyeri dan terkejut saja.

Dua orang tawanan itu mengamuk. Han Beng yang sudah bebas kedua kakinya, walaupun kedua tangan masih terbelenggu dan kursi itu masih melekat dipunggung, mengamuk dengan tendangannya dangan kedua kakinya. Giok Cu juga mengamuk. Gadis ini masih terbelenggu kaki tangannya pada kursi, akan tetapi kursi itu menerjang ke sana-sini dengan ganasnya!

Betapapun juga, dua orang tawanan ia tidak dapat bergerak leluasa dan di situ terdapat banyak orang lihai. Kalau Hong San dan para pembantunya menghendaki, tentu tidak terlalu sukar bagi mereka untuk menghentikan amukan duia orang itu dengan serangan yang mematikan.

"Jangan bunuh mereka!" beberapa kali Hong San berseru. "Tangkap dan lumpuhkan saja. Aku masih belum selesai dengan mereka!" Dalam seruannya ini terkandung kemarahannya. Dia akan menyikat dua orang musuh itu sepuas hatinya sebelum membunuhnya.

Hong San dan para pembantunya kini mengepung dua orang tawanan yang mengamuk itu dan kini baik Han Beng maupun Giok Cu menjadi bulan-bulanan kemarahan mereka. Mereka itu memukul, menendang dan dua orang itu terbanting-banting dan terguling-guling bersama kursi mereka. Dalam keadaan terbelenggu pada kursi itu, tentu saja gerakan mereka tidak leluasa sama sekali.

Namun mereka adalah dua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, memiliki tenaga dalam yang kuat sekali sehingga biarpun kaki tangan mereka terbelenggu, namun luncuran tubuh mereka dengan kursi itu masih berbahaya bagi lawan.

Apalagi karena Hong San beberapa kali memberi peringatan agar dua orang itu jangan dibunuh. Para pembantunya menyimpan senjata mereka dan hanya mencoba untuk menangkap kedua orang yang mengamuk itu dengan kaki tangan mereka. Inilah yang berbahaya karena siapa berani menghadapi terjangan Han Beng atau Giok Cu dengan tangan, tentu akan kena hantaman tubuh yang menjadi satu dengan kursi itu sehingga terjengkang dan terguling-guling!

"Yang lain mundur, biarkan aku, Pang-cu dan Kauw-cu bertiga saja yang menangkap mereka!" kata Hong San setelah melihat beberapa orang pembantunya empat roboh sampai terguling-guling. Dia sendiri membiarkan tubrukan Han Beng lewat dengan elakan, dan kakinya menyambar.

"Dukkk!" Tubuh Han Beng terpenting ketika dadanya kena ditendang tanpa dan mampu mengelak atau menangkis. Ban-tok Mo-li dan Lui Seng Cu juga berhasil menangkap Giok Cu dari kanan kiri, menangkap sandaran kursinya dan gadis perkasa itu tidak mampu berkutik pula.

Agaknya tidak ada harapan lagi bagi Han Beng dan Giok Cu untuk dapat menyelamatkan diri dari tangan para pim pinan Thian-te-pang itu dan mereka terancam bahaya maut, terutama sekali Giok Cu yang telah diancam akan di perkosa sampai mati di depan Han Beng kalau mereka berdua tidak mau menakluk dan membantu perkumpulan itu.

Dengan marah sekali Han Beng terguling-guling oleh tendangan Hong San tadi, mengerahkan lagi tenaganya dan tubuhnya meluncur kembali ke arah Hong San, bagaikan sebuah peluru besar yang ditembakkan dari mulut meriam. Tidak mungkin mengelak dari serangan peluru manusia seperti itu. Hong San menyambut dengan hantaman kedua tangannya sambil mengerahkan sin-kang. Ketika Han Beng meluncur ke arahnya, dia sudah siap memasang kuda-kuda dan kedua tangannya dengan jari terbuka menghantam ke arah lawan.

"Desssss...!!" Kembali Han Beng bersama kursinya terlempar oleh hantaman kedua tangan itu, bahkan nampak sandaran kursi itu patah-patah. Akan tetapi juga Hong San terhuyung ke belakang karena ketika dia memukul, Han Beng juga mengerahkan sin-kangnya sehingga pukulan lawan itu membalik.

Han Beng terbanting dan terguling-guling, matanya berkunang dan walaupun dia tidak sampat terluka parah, namun kepalanya terasa pening. Hantaman tadi kuat sekali. Ketika dia bergulingan, kebetulan sekali Giok Cu juga bergulingan di dekatnya.

"Han Beng, kau... kau larilah... jangan korbankan diri untuk aku... ini urusanku, biar aku yang mengamuk sampai mati." Giok Cu berkata dengan napas terengah-engah.

"Giok Cu, kalau perlu, kita akan mati bersama." bisik Han Beng kembali.

Mendengar ini, Giok Cu menahan tangisnya! la tahu bahwa mereka berdua tak berdaya dan kalau melanjutkan mengamuk dalam keadaan terbelenggu seperti itu akhirnya mereka berdua pasti akan tewas. Tidak ada harapan sama sekali untuk dapat meloloskan diri. Dan Han Beng mengatakan siap untuk mati bersama!

"Han Beng... aku... cinta... padamu..." Ia membuat pengakuan terakhir ini, bukan hanya untuk menyatakan rasa terima kasih dan keharuannya, melainkan untuk membuka rahasia hatinya sendiri.

"Aku juga cinta padamu, Giok Cu.” jawab Han Beng, suaranya terharu namun mengandung kebahagiaan besar walaupun dia tahu pula bahwa mereka berdua akan mati.

Mendengar percakapan singkat itu Hong San mengangkat tangan memberi isyarat kepada para pembantunya untuk berhenti menyerang. "Ha-ha-ha, Si Han Beng, bagus sekarang kalian saling menyatakan cinta. Kalau benar engkau mencinta Giok Cu, menyerahlah. Kalau kalian menyerah dan mau membantu kami, maka aku akan merayakan pernikahan kalian berdua. Kalian akan menjadi suami isteri yang hidup berbahagia bersama kami disini. sebaliknya, kalau kalian tetap menolak, kau akan melihat gadis yang kau cinta ini menderita penghinaan di depan matamu dan akhirnya kalian akan tersiksa sampai mati. Nah, pilihan yang mudah, bukan? Untuk yang terakhir kali, aku tawarkan kalian menakluk dan membantu kami..."

"Apa yang dikatakan Can Kongcu memang benar dan menguntungkan sekali untukmu, Giok Cu. Ingat, engkau adalah bekas muridku dan engkau tahu betapa aku sayang padamu. Menyerahlah, Giok Cu, muridku!" Ban-tok Mo-li ikut membujuk, tahu betapa Hong San yang ditakutinya itu ingin sekali agar dua orang pemuda perkasa itu menyerah dan bersekutu dengan mereka.

Giok Cu dan Han Beng saling pandang dan sejenak pandang mata mereka bertaut, penuh kasih sayang, juga penuh kebulatan tekad untuk melawan sampai akhir.

"Lebih baik mati daripada menyerah bentak Giok Cu.

"Can Hong San iblis busuk, kami adalah orang-orang yang rela mati mempertahankan kehormatan dan kebenaran Han Beng juga membentak dan kembali keduanya mengerahkan tenaga dan bergulingan dengan cepat untuk menyerang lawan dengan menghantamkan tubuh yang kaki tangannya terbelenggu itu kepada lawan. Han Beng menyerang kearah Hong San sedangkan Giok Cu menyerang kearah Ban-tok Mo-li. Akan tetapi, dua orang yang diterjang itu mengelak dengan loncatan ke samping, kemudian menendang.

Tubuh Han Beng dan Giok Cu kembali terlempar dan membentur dinding. Sejak tadi Han Beng dan Giok Cu berusaha melepaskan belenggu kaki tangan, akan tetapi tidak berhasil. Kalau saja belenggu itu dari besi, mungkin mereka akan mampu mematahkannya. Akan tetapi itu terbuat dari kulit kerbau yang kuat, ulet dan juga agak lentur sehingga tidak dapat dibikin putus.

Keadaan dua orang muda perkasa itu kini gawat sekali. Mereka dapat dijadikan bulan-bulanan tendangan atau pukulan tanpa mampu membalas, bahkan tentu saja para pimpinan Thian-te-pang yang lihai itu dengan mudah akan dapat menotok jalan darah mereka atau menggunakan asap pembius. Hanya karena Hong San ingin sekali menarik mereka menjadi sekutu yang untuk sementara menyelamatkan mereka, dan kini kenekatan mereka membuat para pimpinan Thian-te-pang menjadi kewalahan juga.

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar bunyi terompet dan tambur yang riuh tendah dan saling sahutan, terdengar datang dari empat penjuru. Tentu saja hal ini membuat Hong San dan para pembantunya di ruangan itu terkejut bukan main. Pada saat itu, lima orang anak buah mereka datang berlarian dengan muka pucat dan napas terengah-engah.

"Celaka... Kongcu... celaka... tempat kita sudah terkepung pasukan pemerintah yang besar jumlahnya!"

Mendengar laporan ini, wajah para pimpinan Thian-te-pang itu menjadi pucat. "Akan tetapi, bagaimana mungkin teriak Hong San. "Hubungan pasukan dengan kita amat baik...!"

"Aihhh, ini tentu karena gagalnya gadis-gadis itu ketika melantik Souw Ciangkun...!" kata Lui Seng Cu dengan suara penuh kekhawatiran.

"Benar... Kongcu... yang memimpin adalah Yap Ciangkun!" kata pula anak buah yang melapor. "Yap Ciangkun merintahkan agar semua pimpinan Thian te-pang menyerah."

Wajah Hong San yang tadinya pucat kini berubah merah. "Jahanam! Dikiranya kita takut? Dua orang yang menjadi biang keladi ini harus kubunuh lebih dulu!" bentaknya dan Hong San sudah mencabut pedang Seng-kang-kiam, pedang butut tumpul milik Giok Cu yang telah dirampasnya, lalu dia menghampiri Giok Cu yang masih rebah miring terbelenggu dengan kursi. Gadis itu memandang padanya dengan mata mencorong penuh kebencian dan keberanian, sedikit pun tidak merasa takut.

"Can Hong San keparat busuk, pengecut hina. Lepaskan belenggu ini dan mari kita berkelahi kalau memang engkau masih mempunyai nyali!" teriaknya.

"Perempuan tak tahu diuntung!" kata Hong San. "Karena keadaan darurat terpaksa kubunuh dulu engkau, kemudian pemuda kekasihmu itu!" Dia mengangkat tangan mengayun pedang dan Giok Cu Inenghadapi maut itu dengan mata terbuka. Pada saat pedang terayun, ada sinar hitam menyambar, tepat mengenai pergelangan tangan Hong San.

"Tukkk...!" Hong San terkejut dan melompat kebelakang, tidak jadi menggerakkan pedang untuk membunuh Giok Cu, dan pada saat itu, nampak dua bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang tosu tua dan seorang hwesio yang sama tuanya.

Tosu itu usianya tentu sudah mendekati delapan puluh tahun, rambut dan kumis jenggotnya putih, pakaiannya pun putih semua. Sedangkan hwesio itu usianya sebaya kulit dan mukanya hitam, perutnya gendut dan wajahnya cerah tersenyum lebar.

"Omitohud...! Seng-kang-kiam itu tidak boleh berada di tanganmu...!!” katanya kepada Hong San dan lengan kirinya bergerak, ujung lengan baju yang lebar itu sudah menyambar ke arah muka Hong San.

Pemuda itu bukan orang lemah. Melihat serangan yang dahsyat itu, yang didahului oleh angin pukulan yang amat kuat, dia cepat miringkan tubuhnya dan pedang di tangannya bergerak membacok. Akan tetapi, pedang itu bertemu dengan benda lunak dan ternyata itu adalah lengan baju yang kanan, yang telah menyambut pedang itu dan melibatnya, kemudian sekali membuat gebrakan sentakan pedang itu telah berpindah tangan! Hong San terkejut sekali dan melompat ke belakang.

"Suhu...!" kata Giok Cu girang melihat hwesio itu yang bukan lain adala Hek Bin Hwesio!

"Suhu...!" Han Beng juga berseri kepada tosu itu yang bukan lain adalah Pek I Tojin, susiok-couw dan juga suhunya itu.

"Omitohud, anak nekat...!" Hek Bin Hwesio menghampiri Giok Cu, menggerakkan pedang tumpul itu dan belenggu kaki tangan gadis itu pun putus semua.

Juga Pek I Tojin menghampir Han Beng, akan tetapi dia tidak melepaskan belenggu kaki tangan muridnya. "Siancai... apakah engkau tidak mampu melepaskan diri dari belenggu Itu, Han Beng?"

"Belenggu ini ulet dan lentur Suhu..."

"Hemmm, kalau begitu jangan mencoba untuk membikin putus, melainkan meloloskan tanganmu dengan Sia-kut-hoat mu (Ilmu Melepas Tulang Melemaskan Badan)."

Han Beng baru teringat akan ilmu yang pernah dipelajarinya itu. Tapi dalam keadaan terancam, dia tidak ingat untuk mempergunakan ilmu itu. Dengan ilmu itu, dia dapat melepaskan sambungan tulang, melemaskan otot-ototnya sehingga bagian tubuh seperti lengan atau kaki dapat menjadi lunak dan lemas, menjadi kecil sekali hanya seperti tulang terbungkus kulit saja.

Dia membuat kedua lengannya lemas. Otot-ototnya mengendur dan tulang-tulangnya seperti dapat terlepas dan dengan demikian, maka tidak begitu sukar baginya untuk menarik kedua tangannya lepas dari ikatan tali kerbau. Demikian pula dengan mudah dia melepaskan ikatan kakinya, lalu berlutut di depan Pek I Tojin seperti jug Giok Cu yang sudah berlutut di depan Hek Bin Hwesio...

Naga Sakti Sungai Kuning Jilid 43

Ban-tok Mo-li tersenyum, sikapnya tenang saja karena ia percaya akan kekuatan pihaknya. "Giok Cu, apakah engkau sudah menjadi gila? Engkau melihat sendiri bahwa aku tidak menyerang mereka. Mereka itu sudah keracunan ketika kita naik ke perahu mereka dan menurut pengakuan mereka, baru saja Liu Bhok Ki mengobati mereka, maka jelas bahwa Liu Bhok Ki yang meracuni mereka. Engkau tahu sendiri, bukan?"

"Bohong! Bohong dan fitnah yang kau katakan itu, Ban-tok Mo-li!" Han Beng berseru marah.

Ban-tok Mo-li memandang kepada pemuda itu dan sinar matanya mencorong marah. "Siapakah engkau? Hemmm, agaknya engkau yang dijuluki Huang-ho Sin liong itu. Benarkah?"

"Benar. Namaku Si Han Beng engkau bicara bohong tadi, Ban-tok li. Suhu Liu Bhok Ki tidak akan meracuni orang! Dia seorang pendekar besar, selamanya tidak menggunakan racun. Rajawali Sakti Liu Bhok Ki hanya mengandalkan kaki tangan dan sabuknya sama sekali tidak pernah menggunakan racun!"

"Huh, jadi engkau ini hanya murid Liu Bhok Ki saja? Tapi... aku pernah melihatmu. Benar...! Engkau... bukankah engkau anak yang dulu bersama Giok Cu telah menemukan anak naga dan menghisap darah anak naga itu?"

"Benar, Ban-tok Mo-li. Dan kuharap engkau cukup gagah untuk mengakui perbuatanmu dan mempertanggungjawabkan darinya, tidak melakukan fitnah kepada orang lain yang sama sekali tidak bersalah."

"Bu Giok Cu, engkau yang kudidik lama bertahun-tahun sebagai murid terkasih, engkau datang menuduhku dan engkau malah percaya kepada keterangan pemuda ini?" Ban-tok Mo-li berseru penasaran kepada Giok Cu.

"Aku telah mendengar sendiri keterangan Lo-cian-pwe Liu Bhok Ki dan aku percaya kepadanya! Dan aku memang lebih percaya bahwa engkau yang telah membunuh Ayah bundaku dengan racun, Ban-tok Mo-li. Pertama, karena engkaulah orang yang sudah biasa menggunakan racun, sesuai dengan julukanmu. Kedua, biarpun aku pernah menjadi muridmu, aku sudah mengenal watakmu yang jahat dan kejam, bahkan pernah aku nyaris tewas di tanganmu dan tangan pendeta palsu Lui Seng Cu ini. Ban-tok Mo-Ii apakah engkau demikian pengecut dan penakut untuk mengakui bahwa yang membunuh Ayah Ibuku adalah engkau?"

Wajah wanita itu berubah merah karena marah dimaki sebagai pengecut dan penakut oleh bekas muridnya sendiri. Bagi orang golongan sesat, membunuh bukan merupakan perbuatan yang mealukan atau dianggap buruk, bahkan dianggap sebagai perbuatan yang membanggakan hati! Maka, ia pun sama sekali tidak merasa malu, bahkan dengan sikap bangga ia mengakui perbuatannya.

"Bocah sombong Bu Giok Cu! Kalau benar demikian, habis engkau mau apa? Memang, aku telah membunuh Ayah Ibumu karena pada waktu itu aku menganggap mereka sebagai penghalang bagiku untuk mengambil engkau sebagai murid. Dan aku merasa menyesal mengapa engkau tidak kubunuh sekalian pada waktu itu sehingga sekarang engkau tidak hanya mendatangkan kepusingan saja."

Biarpun ia sudah menduga sebelumnya, tetap saja wajah Giok Cu berubah bucat seketika, kemudian menjadi merah sekali ketika ia mendengar pengakuan dari Ban-tok Mo-li itu. Dengan sinar mata mencorong seperti berapi, tubuh tegak lurus dan tangan kiri bertolak pinggang, telunjuk kanannya menuding ke arah muka Ban-tok Mo-li, Giok Cu berkata dengan suara yang nyaring dan penuh kemarahan.

"Ban-tok Mo-li! Bagus engkau telah mengakui perbuatanmu yang keji! Sekarang bersiaplah engkau! Aku datang untuk menagih hutang, membalas atas kematian Ayah Ibuku!" Giok Cu melangkah maju menghadapi wanita yang pernah menjadi gurunya itu.

"Bu Giok Cu, dengan sedikit isyaratku saja, engkau akan dikepung puluhan orang anak buahku dan engkau akan mati konyol, biarpun engkau dibantu oleh Huang-ho Sin-liong. Akan tetapi, kami dari Thian-te-pang adalah orang-orang gagah! Kalau memang engkau menantangku, beranikah engkau bertanding dengan aku di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) dan tidak di depan kuil ini agar tidak mengganggu mereka yang akan sembahyang dan mencemarkan pekarangan kuil yang suci?"

Giok Cu tersenyum mengejek. Ia dan Han Beng sudah berani datang ke tempat itu, ke sarang musuh, tentu saja mereka tidak takut, apalagi ditantang untuk bertanding di ruangan bermain silat. "Di mana pun dan kapan pun tantanganmu akan kuhadapi!"

Akan tetapi Han Beng cepat berkata. "Ban-tok Mo-li, kedatangan kami ini tidak ada hubungannya dengan Thia te-pang atau Thian-te-kauw. Dan aku pun tidak akan mencampuri pertandinganmu dengan Giok Cu. Akan tetapi, kalau sampai terjadi kecurangan, kalau engkau mengeroyok Giok Cu, terpaksa aku akan ikut campur dan mencegah kecurangan itu! Kami tidak ingin bermusuhan dengan Thian-te-kauw!"

Ban-tok Mo-li tertawa genit. "Hik-hik, aku akan bertanding melawan bekas muridku, perlu apa aku harus dibantu orang lain? Bahkan kalau perlu engkau boleh membantu Giok Cu, aku tidak takut menghadapi pengeroyokan kalian dua orang muda yang sombong ini!"

"Ban-tok Mo-li, tidak perlu banyak cerewet. Mari kita segera bertanding sampai seorang di antara kita roboh!" Giok Cu membentak.

Sambil tertawa Ban-tok Mo-li lalu masuk ke dalam, diikuti oleh Giok Cu dan Han Beng, juga diikuti Lui Seng Cu dan para pimpinan Perkumpulan itu. Giok Cu tentu saja masih hafal akan keadaan di rumah itu. Kiranya kuil itu dibangun di bagian depan dan menembus ke pinggir rumah bekas gurunya, dan lian-bu-thia yang dulu tidak begitu besar, kini telah dirombak dan menjadi sebuah ruangan yang luas, yang cukup untuk berlatih seratus orang!

Ruangan ini tertutup dan tidak mempunyai jendela, hanya ada sebuah pintu di depan, pintu besi yang kokoh. Dengan langkah tenang dan gagah, Giok Cu mengkuti Ban-tok Mo-li memasuki ruangan itu bersama Han Beng, diiringkan oleh para tokoh Thian-te-pang.

Setelah tiba di dalam ruangan langsung saja Giok Cu berdiri di tengah-tengah dengan sikap menantang. "Mari kita selesaikan urusan antara kita. Aku sudah siap, Ban-tok Mo-li!" katanya sambil memandang kepada wanita itu.

Han Beng berdiri di sudut dengan sikap tenang, namun waspada karena dia tetap merasa curiga bahwa orang-orang sesat itu dapat benar-benar bersikap gagah dan dapat dipercaya. Dia tidak khawatir sama sekali kalau memang terjadi pertandingan yang jujur, karena dia percaya sepenuhnya akan kelihaian Giok Cu. Yang dikhawatirkan adalah kalau orang-orang sesat itu menggunakan pengeroyokan atau jalan lain yang curang. Maka, biarpun dia nampak tenang saja berdiri sambil bersilang lengan di dada dia tetap waspada menjaga segala kemungkinan yang dapat terjadi.

Ban-tok Mo-li masih belum banyak tahu benar akan pemberitahuan Can Kongcu bahwa bekas muridnya itu kini memiliki kepandaian yang amat tinggi, jauh lebih lihai dibandingkan kepandaiannya sendiri! Ia tidak percaya! Dan ia pun tidak takut, karena di situ terdapat Lui Seng Cu dan para tokoh lain, bahkan di situ terdapat pula Can Kongcu yang masih belum muncul, akan tetapi yang ia tahu tentu sedang melakukan pengintaian.

Dengan langkah gemulai Ban-tok. Mo-li Phang Bi Cu menghampiri Giok Cu di tengah ruangan itu sambil mencabut pedang dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya tetap memegang kipasnya. Begitu pedang tercabut, nampak sinar merah. Itulah Ang-tok Po-kiam (Pedang Pusaka Racun Merah) yang ampuh sekali karena selain terbuat dari baja pilihan, juga pedang itu sudah direndam racun merah bertahun-tahun sehingga lawan yang terkena sekali goresan saja sudah terancam maut!

Namun Giok Cu sama sekali tidak merasa jerih. Ia sudah mengenal habis-habis semua senjata dan kepandaian bekas gurunya. Ia tahu benar keadaan pedang pusaka yang berwarna merah itu,bahkan ia pun mengenal kipas di tangan kiri lawan itu. Kipas itu nampaknya tidak berbahaya, namun ia tahu bah kipas itu lebih berbahaya daripada pedang karena kipas itu mengandung jarum-jarum halus beracun yang dapat menyambar dari dalam gagang kipas yang suda dipasangi alat.

Juga selain kedua ujung gagang kipas yang runcing mengandun racun pula, juga kebutan kipas itu mendatangkan bau harum yang juga dapat membuat kepala menjadi pening. Ia mengenal pula bekas gurunya sebagai manusia beracun sehingga pukulan tangannya, cakaran kukunya, bahkan ludahnya mengandung racun yang dapat mematikan lawan!

"Bu Giok Cu, sudah begitu bosan hidupkah engkau maka begini tergesa-gesa minta mati?" tegur Ban-tok Mo-li dengan senyum mengejek.

"Ban-tok Mo-li, dua belas tahun yang lalu engkau telah membunuh Ayah dan Ibuku yang sama sekali tidak bersalah kepadamu. Sekarang aku, Bu Giok Cu anak mereka, menuntut balas atas kematian mereka yang penasaran itu. Ban-ok Mo-li bersiaplah engkau untuk menghadap Ayah Ibuku dan mempertanggung-jawabkan perbuatanmu yang jahat dan kejam!"

"Hi-hi-hik, engkau ini bekas muridku berani membuka mulut besar? Nah, kau makanlah pedangku!"

Berkata demikian, wanita itu sudah menusukkan pedangnya, tanpa memberi kesempatan pada bekas muridnya untuk mencabut senjatanya. Memang wanita ini licik sekali dan sama sekali tidak merasa malu untuk melakukan kecurangan. Sinar merah berkelebat menyambar ketika pedang Itu menusuk ke arah dada Giok Cu. Gadis ini cepat meloncat ke belakang dan ketika tangan kanannya bergerak, ia sudah mencabut pedang pusaka Seng-kang-kiam pemberian Hek Bin Hwesio. Melihat pedang yang tumpul itu, dan buruk, Ban-tok Mo-li terkekeh geli.

"Hi-hi-heh-heh, Giok Cu. Pedang apa yang kau keluarkan itu? Untuk memotong sayur pun belum tentu dapat, begitu tumpul dan buruk! Dan engkau hendak melawan Ang-tok Po-kiam dan kipas dengan pedang tumpul itu? Ha-ha!"

"Tak perlu banyak cerewet. Lihat pedang!" Giok Cu membentak dan sudah menyerang dengan pedangnya. Terdengar suara berdesing dari didahului angin menyambar keras, pedang itu sudah menyambar pula ke arah leher lawan.

Ban tok Mo-li yang masih tersenyum itu terkejut, senyumnya berubah dan ia cepat menggerakkan pedangnya menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya, dengan maksud begitu kedua pedang bertemu, ia akan membarerengi dengan serangan kipasnya.

"Tranggggg...!" Nampak bunga api berpijar dan Ban-tok Mo-li terhuyung dan hampir saja pedangnya terlepas dari tangannya! Tentu saja hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya sehingga rencana serangannya gagal sama sekali, bahkan hampir saja ia terpelanting! Dengan muka pucat, ia memungut pedang dari samping dan menyerang dengan dahsyat, penuh rasa penasaran dan kemarahan.

Melihat ini, Giok Cu mengelak. Akan tetapi, kipas itu menyambar, mengebut kearah mukanya. Giok Cu menahan napas agar tidak perlu menyedot bau harum beracun dari kipas itu, dan ketika ujung gagang kipas menyambar sebagai lanjutan penyerangan dengan totokan, kembali ia mengelak ke belakang. Pada saat itu, nampak sinar lembut hitam menyambar dari gagang kipas. Hal ini pun sudah diduga oleh Giok Cu maka gadis ini dengan mudah memutar pedang memukul runtuh semua jarum halus beracun.

"Huhhh, engkau memang hanya pandai menggunakan racun dengan curang! Tak tahu malu!" bentak Giok Cu dan kini ia pun menyerang dengan pedangnya. Ia sama sekali tidak sudi menggunakan ilmu yang pernah dipelajarinya dari Ban-tok Mo-li, melainkan menggunakan ilmu yang pernah dipelajarinya dari Hek-bin Hwesio. Dan tentu saja keadaan Giok Cu lebih untung. Semua serangan lawan sudah dikenalnya dengan baik, dan ia tahu bagaimana cara menghindarkan semua serangan itu.

Sebaliknya, Ban-tok Mo-li bingung menghadapi permainan pedang Giok Cu yang sama sekali tidak dikenalnya. Juga wanita sesat ini kalah jauh dalam kekuatan tenaga sakti, bahkan pedangnya yang biasanya amat diandalkan itu sekali ini kehilangan keampuhannya menghadapi pedang tumpul Seng kang-kiam!

Setelah lewat tiga puluh jurus, Ban tok Mo-li tak mampu membalas serangan lagi. la terdesak dan terhimpit hanya mampu memutar pedang melindungi tubuhnya dan main mundur terus. Melihat ini, tentu saja Lui Seng Cu tidak mau membiarkan saja pangcu itu terancam bahaya.

"Bu Giok Cu, lepaskan pedangmu. Tiba-tiba dia membentak. Sejak tadi kauw-cu ini memang sudah berkemak kemik membaca mantra dan mengerahkan kekuatan sihirnya, dan tiba-tiba ki dia melalui bentakannya hendak mengua sai Giok Cu dengan ilmu sihirnya.

Giok Cu merasa betapa jantungnya tergetar dan hanpir ia melepaskan pedang. Akan tetapi gadis ini pernah digembleng oleh Hek Bin Hwesio, dan ia sudah dilatih hebat sehingga kini memiliki kekuatan batin yang mampu menolak pengaruh sihir.

"Lui Seng Cu pendeta palsu!" Ia pun membentak dan pedangnya semakin mendesak Ban-tok Mo-li, sedikit pun ia tidak terpengaruh oleh kekuatan sihir yang melepaskan Thian-te Kauw-cu (Kepala Agama Thian-te-kauw) itu. Melihat itu Lui Seng Cu terkejut dan dia pun meloncat ke depan sambil mencabut golok besarnya.

"Heiiiii, tidak boleh curang main keroyokan!" bentak Han Beng sambil meloncat maju dan ketika tangan kanannya mendorong ke arah Lui Seng Cu, Kauwcu ini hampir terjengkang oleh sambaran angin dahsyat.

Pada saat itu terdengar ledakan disusul asap tebal dan muncullah seorang sosok tubuh yang menyeramkan. Arca Thian-te Kwi-ong agaknya telah hidup! Orang yang muka dan pakaiannya mirip patung Thian-te Kwi-ong yang disembah-sembah itu telah muncul di situ, membawa sebatang pedang kuno yang panjang dan berat.

Semua orang terkejut tak terkecuali Han Beng dan Giok yang segera berlompatan ke belakang dan mereka kini berdiri berdamping untuk saling melindungi. Mata mereka terbelalak memandang ke arah setan itu yang berdiri tegak. Semua pengurus dan anggauta Thian-te-kauw segera memberi hormat.

"Si Han Beng dan Bu Giok Cu! Menyerahlah kalian karena kalian sudah dikepung!" kata "Raja Setan" itu. "Kalau kalian menakluk, akan kami beri kedudukan yang baik, kalau kalian melawa kalian akan mati konyol!"

Dan tiba-tiba saja, pintu ruangan itu ditutup dan banyak asap berembus dari luar, memasuki lian-bu-thia itu.

"Han Beng, awas asap beracun! Kita harus menerjang keluar!" teriak Giok Cu.

Han Beng terkejut dan dia pun menahan napas. Akan tetapi, Ban-tok Mo-li sudah tertawa bergelak dan bersama Lui Sen Cu dan para tokoh sesat mereka menghadang dan mengeroyok dua orang pendekar muda itu sehingga mereka tidak dapat keluar. Apalagi pintu besi itu sudah ditutup dari luar, sementara itu asap beracun yang mengandung bius itu semakin tebal. Ternyata bahwa Ban-tok mo-li sudah memberi obat penawar kepada rekan-rekannya sehingga mereka itu menyedot asap tanpa pengaruh apa-apa.

Sebaliknya, Han Beng dan Giok Cu tidak berani bernapas. Mereka menahan napas, akan tetapi tentu saja mereka tidak mungkin dapat bertahan terlalu lama, apalagi mereka dikeroyok banyak lawan. Akhirnya, tanpa tersentuh senjata lawan, Han Beng dan Giok Cu roboh terpelanting dan pingsan!

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning karya kho ping hoo

Ketika Han Beng dan Giok Cu siuman kembali, mereka mendapatkan diri mereka sudah duduk di atas kursi dan masing-masing terbelenggu kaki tangan mereka, terikat pada kursi sehingga tidak mampu berkutik. Mereka masih berada di lian-bu-thia tadi, akan tetapi kini tidak ada lagi asap harum yang mengandung bius. Di depan mereka, dalam jarak sepuluh meter, nampak belasan orang itu duduk pula berjajar di atas kursi.

Yang paling depan adalah seorang pemuda yang tampan dan yang selalu tersenyum-senyum, didampingi oleh Kauwcu Lui Seng Cu di sebelah kirinya Pangcu Ban-tok Mo-li di sebelah kananya. Para pengurus lainnya dan para tokoh sesat duduk di belakang tiga orang ini. Sikap mereka seperti suatu paruturan pengadilan yang hendak menghakimi Han Beng dan Giok Cu sebagai pesakitan! Ketika Han Beng dan Giok Cu memandang kepada pemuda itu, mereka terbelalak.

"Engkau...!" Giok Cu dan Han Beng berseru, hampir berbareng saking herannya bertemu dengan musuh lama itu situ.

"Jangan kurang ajar!" bentak Ban tok Mo-li kepada dua orang tawanan itu "Kalian berhadapan dengan Can Kong penjelmaan dari Thian-te Kwi-ong. Bersikaplah hormat!"

Akan tetapi Giok Cu tersenyum mengejek. "Penjelmaan Thian-te Kwi-ong Hemmm, memang dia iblis cilik! Hong San, ular kepala dua yang pernah membantu gerombolan pemberontak yang gagal! Dan sekarang menyelundup ke dalam Thian-te Kwi-ong! Bagus-bagus!"

Hong San tidak marah, bahkan tertawa bergelak. "Bu Giok Cu, engkau makin cantik saja, ha-ha-ha. Dan engkau masih tetap bernyali besar tabah dan penuh semangat, pantang mundur walaupun sudah menjadi tawanan. Sungguh sikap seorang calon isteri ketua yang besar! Bu Giok Cu, ketahuilah bahwa aku ini telah menjadi pemimpin besar dari Thian-te-pang yang memiliki kekuasaan besar. Kami bukanlah perkumpulan orang jahat, melainkan perkumpulan yang gagah dan membela kepentingan umum. Aku tahu bahwa engkau dan juga Huang-ho Sin-liong Si Han Beng adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa. Oleh karena itu, biarpun kalian telah beberapa kali melakukan perbuatan yang menentangku, namun aku masih suka mengampuni kalian, kalau kalian suka membantu perjuangan kami. Kelak, kalau kita berhasil, kalian tentu akan mendapatkan bagian dan memperoleh kedudukan tinggi. Nah, Bu Giok Cu, kalian sudah tak berdaya. Kalau engkau suka menjadi isteriku yang terhormat, dan Si Han Beng suka menjadi pembantuku "

"Tutup mulutmu yang kotor!" bentak Bu Giok Cu. "Aku lebih suka mati daripada menjadi isteri seorang keji dan jahat macam engkau!"

"Can Hong San," kata Han Beng dengan suara tenang namun tegas. "Kalau engkau memang seorang laki-laki yang jantan, bebaskan kami dan mari kita mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang lebih kuat di antara kita. Sebaliknya, kalau engkau hanya seorang iblis yang licik dan curang, setidaknya engkau tentu mengenal malu untuk mencurangi seorang wanita. Bebaskan Bu Giok Cu dan kau siksa dan bunuh saja aku. Giok Cu tidak bersalah apa-apa kepadamu!"

"Tidak! Can Hong San manusia terkutuk! Si Han Beng hanya ikut dengan aku ke sini. Akulah yang memiliki urusan pribadi dengan Si Iblis Betina Ban-Tok Mo-li. Ia telah membunuh Ayah Ibuku dan aku akan mencabut nyawanya untuk melenyapkan penasaran Ayah dan Ibuku! Bebaskan Han Beng, aku yang bertangung jawab! Kalau engkau memang jantan, biarkan aku bertanding mengadu nyawa dengan Ban-tok Mo-li, kemudian engkau boleh menandingiku dan mengeroyok aku kalau engkau berani!"

Di maki dan dicela seperti itu, Hong San hanya tersenyum mengejek. "Ha-ha-ha, enak saja kalian bicara. Kalian adalah tawanan kami, kalian tidak berdaya dan kamilah yang menentukan syarat, bukan kalian."

Hong San tertawa-tawa mengamati pedang tumpul buruk milik Bu Giok Cu yang dirampasnya. Pedang itu butut dan tumpul, sama sekali tidak menarik, namun dia tahu bahwa itu adalah sebatang pedang pusaka yang ampuh. Memang, Seng-kang-kiam (Pedang Baja Bintang) milik Bu Giok Cu itu adalah sebatang pedang yang langka, pemberian dari Hek Bin Hwesio.

"Hemmm, agaknya kalian saling mencinta. Kalian saling berebut untuk mengorbankan diri asal yang lain dibebaskan. Mengagumkan sekali. Cinta kasih seperti itu jarang ditemui di jaman ini ha-ha-ha!"

Kembali Hong San tertawa. Dia sengaja bersikap demikian karena di ingin sekali mengambil hati dua ora muda yang dia tahu amat lihai itu. Mereka berdua itu jauh lebih lihai dibandingkan semua pembantunya. Kalau saja Si Han Beng dan Bu Giok Cu mau membantu dia, tentu kedudukannya akan menjadi semakin kuat dan dia tidak akan takut menghadapi siapapun juga.

Mendengar ucapan itu, wajah Bu Giok cu menjadi kemerahan. Juga Han Beng merasa betapa jantungnya berdebar keras. Betapa tepatnya ucapan Hong yang tentu saja hanya merupakan ejekan itu. Dia memang mencinta Giok Cu dan akan rela mengorbankan nyawanya untuk keselamatan gadis itu. Akan tetapi dia juga marah sekali karena tahu bahwa ucapan itu tentu saja merupakan hal yang amat memalukan Giok Cu, bahkan juga menghina.

"Maaf, Can Kongcu. Gadis itu pernah menjadi sahabatku, oleh karena itu, kalau Pangcu memperbolehkan, serahkan saja kepadaku. Aku cinta padanya dan aku akan membujuknya agar ia suka bekerjasama dengan kita." kata Ji Ban To, pemuda kurus kering bermuka pucat, murid Ouw Kok Sian yang dahulu pernah menggoda Giok Cu itu.

"Berikan saja kepadaku, Can Kong-cu. Aku sanggup menundukkan Giok Cu!" seru Siok Boan pemuda yang gendut dan mukanya seperti kanak-kanak itu. Dia murid dari Lui Seng Cu yang menjadi Kauw-cu dari Thian-te-kauw.

"Kepadaku saja, Can Kongcu! Aku dapat membikin ia jinak!" teriak pula Poa Kian So, sute dari Siok Boan, yang berhidung pesek dan bertubuh pendek. Memang dua orang murid dari Lui Seng Cu ini pernah tergila-gila kepada Giok Cu ketika gadis ini masih menjadi murid han-tok Mo-li, seperti juga Ji Ban To.

"Aih, sungguh kalian bertiga tidak tahu diri!" kata Siangkoan Tek, pemuda putera Siangkoan Bok yang juga menjadi pembantu utama di dalam perkumpulan Thian-te-pang itu. "Akulah yang pantas menjadi suami Bu Giok Cu. Can Kongcu berikan saja ia kepadaku!"

Melihat betapa empat orang pera pembantunya itu memperebutkan Giok Cu, Hong San tertawa. "Ha-ha-ha, engkau mendengar sendiri, Giok Cu dan Han Beng. Hanya ada dua pilihan bagi kalian. Pertama, kalian menakluk kepa kami dan berjanji menjadi pembantu kami yang setia, berjuang bersama kami dan mendapatkan kedudukan yang terhormat dan mulia. Dan ke dua, kalau kalian menolak, terpaksa aku membiarkan empat orang pemuda yang sudah tergila-gila kepada Giok Cu ini untuk memilikinya, mempermainkannya sepuas ha nya mereka di depan matamu, Han Beng. Mereka akan memperkosanya sampai gadis yang kaucinta ini mati di depan matamu, kemudian barulah kami akan menyiksamu sampai mati. Nah, kalian pilih yang mana?"

"Aku pilih mati daripada harus takluk padamu!" bentak Giok Cu dan tiba-tiba gadis itu mengerahkan tenaga dan bersama kursinya sudah meloncat ke depan. Ji Ban To yang ingin berjasa tertubruk untuk menangkapnya, akan tetapi gadis itu bersama kursinya menerjang ke arahnya dengan kekuatan hebat.

"Bresssss...!" Ji Ban To mengaduh dan tubuhnya terjengkang, bergulingan di terjang gadis yang masih terbelenggu kaki tangannya pada kursi itu!

"Itu pula jawabanku, keparat!" Han Beng berseru dan dia pun meniru perbuatan Giok Cu. Tubuhnya yang masih terbelenggu pada kursinya itu menerjang ke depan, ke arah Can Hong San. Akan tetapi pemuda sakti ini dengan mudah mengelak sambil menggerakkan kaki menendang sehingga tubuh Han Beng yang tidak mampu menggerakkan kaki tangan itu terpental ke samping oleh tendangan itu.

Siangkoan Tek yang mencabut pedang menubruk ke arah Han Beng dan menyerang dengan bacokan ke arah perut pemuda yang terbelenggu itu. Han Beng melihat kesempatan baik sekali. Diam-diam dia mengerahkan sin-kang sepenuhnya untuk melindungi kakinya dan ketika pedang menyambar, dia malah menyambut dengan kaki yang terbelenggu, pedang itu membabat belenggu ke kakinya. Pedang itu berkelebat.

"Brettttt!" Kain celana dan belenggu itu terbabat putus, dan kulit kaki kanan Han Beng tergores sedikit karena sudah dilindungi kekebalan. Kedua kakinya bebas! Han Beng meloncat dan sekali kaki kirinya menendang, tubuh Siangkoan Tek terlempar sampai lima meter jauhnya dan terbanting keras.

Padahal Siangkoan Tek memiliki tingkat kepandai yang cukup tinggi. Namun tendangan tadi merupakan tendangan yang khas dari ilmu silat Hui-tiauw Sin-kun sehingga Siangkoan Tek yang sudah memandang rendah lawan yang terbelenggu itu terkena tendangan. Untung yang tertendang pahanya sehingga dia tidak sampai terluka parah, hanya nyeri dan terkejut saja.

Dua orang tawanan itu mengamuk. Han Beng yang sudah bebas kedua kakinya, walaupun kedua tangan masih terbelenggu dan kursi itu masih melekat dipunggung, mengamuk dengan tendangannya dangan kedua kakinya. Giok Cu juga mengamuk. Gadis ini masih terbelenggu kaki tangannya pada kursi, akan tetapi kursi itu menerjang ke sana-sini dengan ganasnya!

Betapapun juga, dua orang tawanan ia tidak dapat bergerak leluasa dan di situ terdapat banyak orang lihai. Kalau Hong San dan para pembantunya menghendaki, tentu tidak terlalu sukar bagi mereka untuk menghentikan amukan duia orang itu dengan serangan yang mematikan.

"Jangan bunuh mereka!" beberapa kali Hong San berseru. "Tangkap dan lumpuhkan saja. Aku masih belum selesai dengan mereka!" Dalam seruannya ini terkandung kemarahannya. Dia akan menyikat dua orang musuh itu sepuas hatinya sebelum membunuhnya.

Hong San dan para pembantunya kini mengepung dua orang tawanan yang mengamuk itu dan kini baik Han Beng maupun Giok Cu menjadi bulan-bulanan kemarahan mereka. Mereka itu memukul, menendang dan dua orang itu terbanting-banting dan terguling-guling bersama kursi mereka. Dalam keadaan terbelenggu pada kursi itu, tentu saja gerakan mereka tidak leluasa sama sekali.

Namun mereka adalah dua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, memiliki tenaga dalam yang kuat sekali sehingga biarpun kaki tangan mereka terbelenggu, namun luncuran tubuh mereka dengan kursi itu masih berbahaya bagi lawan.

Apalagi karena Hong San beberapa kali memberi peringatan agar dua orang itu jangan dibunuh. Para pembantunya menyimpan senjata mereka dan hanya mencoba untuk menangkap kedua orang yang mengamuk itu dengan kaki tangan mereka. Inilah yang berbahaya karena siapa berani menghadapi terjangan Han Beng atau Giok Cu dengan tangan, tentu akan kena hantaman tubuh yang menjadi satu dengan kursi itu sehingga terjengkang dan terguling-guling!

"Yang lain mundur, biarkan aku, Pang-cu dan Kauw-cu bertiga saja yang menangkap mereka!" kata Hong San setelah melihat beberapa orang pembantunya empat roboh sampai terguling-guling. Dia sendiri membiarkan tubrukan Han Beng lewat dengan elakan, dan kakinya menyambar.

"Dukkk!" Tubuh Han Beng terpenting ketika dadanya kena ditendang tanpa dan mampu mengelak atau menangkis. Ban-tok Mo-li dan Lui Seng Cu juga berhasil menangkap Giok Cu dari kanan kiri, menangkap sandaran kursinya dan gadis perkasa itu tidak mampu berkutik pula.

Agaknya tidak ada harapan lagi bagi Han Beng dan Giok Cu untuk dapat menyelamatkan diri dari tangan para pim pinan Thian-te-pang itu dan mereka terancam bahaya maut, terutama sekali Giok Cu yang telah diancam akan di perkosa sampai mati di depan Han Beng kalau mereka berdua tidak mau menakluk dan membantu perkumpulan itu.

Dengan marah sekali Han Beng terguling-guling oleh tendangan Hong San tadi, mengerahkan lagi tenaganya dan tubuhnya meluncur kembali ke arah Hong San, bagaikan sebuah peluru besar yang ditembakkan dari mulut meriam. Tidak mungkin mengelak dari serangan peluru manusia seperti itu. Hong San menyambut dengan hantaman kedua tangannya sambil mengerahkan sin-kang. Ketika Han Beng meluncur ke arahnya, dia sudah siap memasang kuda-kuda dan kedua tangannya dengan jari terbuka menghantam ke arah lawan.

"Desssss...!!" Kembali Han Beng bersama kursinya terlempar oleh hantaman kedua tangan itu, bahkan nampak sandaran kursi itu patah-patah. Akan tetapi juga Hong San terhuyung ke belakang karena ketika dia memukul, Han Beng juga mengerahkan sin-kangnya sehingga pukulan lawan itu membalik.

Han Beng terbanting dan terguling-guling, matanya berkunang dan walaupun dia tidak sampat terluka parah, namun kepalanya terasa pening. Hantaman tadi kuat sekali. Ketika dia bergulingan, kebetulan sekali Giok Cu juga bergulingan di dekatnya.

"Han Beng, kau... kau larilah... jangan korbankan diri untuk aku... ini urusanku, biar aku yang mengamuk sampai mati." Giok Cu berkata dengan napas terengah-engah.

"Giok Cu, kalau perlu, kita akan mati bersama." bisik Han Beng kembali.

Mendengar ini, Giok Cu menahan tangisnya! la tahu bahwa mereka berdua tak berdaya dan kalau melanjutkan mengamuk dalam keadaan terbelenggu seperti itu akhirnya mereka berdua pasti akan tewas. Tidak ada harapan sama sekali untuk dapat meloloskan diri. Dan Han Beng mengatakan siap untuk mati bersama!

"Han Beng... aku... cinta... padamu..." Ia membuat pengakuan terakhir ini, bukan hanya untuk menyatakan rasa terima kasih dan keharuannya, melainkan untuk membuka rahasia hatinya sendiri.

"Aku juga cinta padamu, Giok Cu.” jawab Han Beng, suaranya terharu namun mengandung kebahagiaan besar walaupun dia tahu pula bahwa mereka berdua akan mati.

Mendengar percakapan singkat itu Hong San mengangkat tangan memberi isyarat kepada para pembantunya untuk berhenti menyerang. "Ha-ha-ha, Si Han Beng, bagus sekarang kalian saling menyatakan cinta. Kalau benar engkau mencinta Giok Cu, menyerahlah. Kalau kalian menyerah dan mau membantu kami, maka aku akan merayakan pernikahan kalian berdua. Kalian akan menjadi suami isteri yang hidup berbahagia bersama kami disini. sebaliknya, kalau kalian tetap menolak, kau akan melihat gadis yang kau cinta ini menderita penghinaan di depan matamu dan akhirnya kalian akan tersiksa sampai mati. Nah, pilihan yang mudah, bukan? Untuk yang terakhir kali, aku tawarkan kalian menakluk dan membantu kami..."

"Apa yang dikatakan Can Kongcu memang benar dan menguntungkan sekali untukmu, Giok Cu. Ingat, engkau adalah bekas muridku dan engkau tahu betapa aku sayang padamu. Menyerahlah, Giok Cu, muridku!" Ban-tok Mo-li ikut membujuk, tahu betapa Hong San yang ditakutinya itu ingin sekali agar dua orang pemuda perkasa itu menyerah dan bersekutu dengan mereka.

Giok Cu dan Han Beng saling pandang dan sejenak pandang mata mereka bertaut, penuh kasih sayang, juga penuh kebulatan tekad untuk melawan sampai akhir.

"Lebih baik mati daripada menyerah bentak Giok Cu.

"Can Hong San iblis busuk, kami adalah orang-orang yang rela mati mempertahankan kehormatan dan kebenaran Han Beng juga membentak dan kembali keduanya mengerahkan tenaga dan bergulingan dengan cepat untuk menyerang lawan dengan menghantamkan tubuh yang kaki tangannya terbelenggu itu kepada lawan. Han Beng menyerang kearah Hong San sedangkan Giok Cu menyerang kearah Ban-tok Mo-li. Akan tetapi, dua orang yang diterjang itu mengelak dengan loncatan ke samping, kemudian menendang.

Tubuh Han Beng dan Giok Cu kembali terlempar dan membentur dinding. Sejak tadi Han Beng dan Giok Cu berusaha melepaskan belenggu kaki tangan, akan tetapi tidak berhasil. Kalau saja belenggu itu dari besi, mungkin mereka akan mampu mematahkannya. Akan tetapi itu terbuat dari kulit kerbau yang kuat, ulet dan juga agak lentur sehingga tidak dapat dibikin putus.

Keadaan dua orang muda perkasa itu kini gawat sekali. Mereka dapat dijadikan bulan-bulanan tendangan atau pukulan tanpa mampu membalas, bahkan tentu saja para pimpinan Thian-te-pang yang lihai itu dengan mudah akan dapat menotok jalan darah mereka atau menggunakan asap pembius. Hanya karena Hong San ingin sekali menarik mereka menjadi sekutu yang untuk sementara menyelamatkan mereka, dan kini kenekatan mereka membuat para pimpinan Thian-te-pang menjadi kewalahan juga.

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar bunyi terompet dan tambur yang riuh tendah dan saling sahutan, terdengar datang dari empat penjuru. Tentu saja hal ini membuat Hong San dan para pembantunya di ruangan itu terkejut bukan main. Pada saat itu, lima orang anak buah mereka datang berlarian dengan muka pucat dan napas terengah-engah.

"Celaka... Kongcu... celaka... tempat kita sudah terkepung pasukan pemerintah yang besar jumlahnya!"

Mendengar laporan ini, wajah para pimpinan Thian-te-pang itu menjadi pucat. "Akan tetapi, bagaimana mungkin teriak Hong San. "Hubungan pasukan dengan kita amat baik...!"

"Aihhh, ini tentu karena gagalnya gadis-gadis itu ketika melantik Souw Ciangkun...!" kata Lui Seng Cu dengan suara penuh kekhawatiran.

"Benar... Kongcu... yang memimpin adalah Yap Ciangkun!" kata pula anak buah yang melapor. "Yap Ciangkun merintahkan agar semua pimpinan Thian te-pang menyerah."

Wajah Hong San yang tadinya pucat kini berubah merah. "Jahanam! Dikiranya kita takut? Dua orang yang menjadi biang keladi ini harus kubunuh lebih dulu!" bentaknya dan Hong San sudah mencabut pedang Seng-kang-kiam, pedang butut tumpul milik Giok Cu yang telah dirampasnya, lalu dia menghampiri Giok Cu yang masih rebah miring terbelenggu dengan kursi. Gadis itu memandang padanya dengan mata mencorong penuh kebencian dan keberanian, sedikit pun tidak merasa takut.

"Can Hong San keparat busuk, pengecut hina. Lepaskan belenggu ini dan mari kita berkelahi kalau memang engkau masih mempunyai nyali!" teriaknya.

"Perempuan tak tahu diuntung!" kata Hong San. "Karena keadaan darurat terpaksa kubunuh dulu engkau, kemudian pemuda kekasihmu itu!" Dia mengangkat tangan mengayun pedang dan Giok Cu Inenghadapi maut itu dengan mata terbuka. Pada saat pedang terayun, ada sinar hitam menyambar, tepat mengenai pergelangan tangan Hong San.

"Tukkk...!" Hong San terkejut dan melompat kebelakang, tidak jadi menggerakkan pedang untuk membunuh Giok Cu, dan pada saat itu, nampak dua bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang tosu tua dan seorang hwesio yang sama tuanya.

Tosu itu usianya tentu sudah mendekati delapan puluh tahun, rambut dan kumis jenggotnya putih, pakaiannya pun putih semua. Sedangkan hwesio itu usianya sebaya kulit dan mukanya hitam, perutnya gendut dan wajahnya cerah tersenyum lebar.

"Omitohud...! Seng-kang-kiam itu tidak boleh berada di tanganmu...!!” katanya kepada Hong San dan lengan kirinya bergerak, ujung lengan baju yang lebar itu sudah menyambar ke arah muka Hong San.

Pemuda itu bukan orang lemah. Melihat serangan yang dahsyat itu, yang didahului oleh angin pukulan yang amat kuat, dia cepat miringkan tubuhnya dan pedang di tangannya bergerak membacok. Akan tetapi, pedang itu bertemu dengan benda lunak dan ternyata itu adalah lengan baju yang kanan, yang telah menyambut pedang itu dan melibatnya, kemudian sekali membuat gebrakan sentakan pedang itu telah berpindah tangan! Hong San terkejut sekali dan melompat ke belakang.

"Suhu...!" kata Giok Cu girang melihat hwesio itu yang bukan lain adala Hek Bin Hwesio!

"Suhu...!" Han Beng juga berseri kepada tosu itu yang bukan lain adalah Pek I Tojin, susiok-couw dan juga suhunya itu.

"Omitohud, anak nekat...!" Hek Bin Hwesio menghampiri Giok Cu, menggerakkan pedang tumpul itu dan belenggu kaki tangan gadis itu pun putus semua.

Juga Pek I Tojin menghampir Han Beng, akan tetapi dia tidak melepaskan belenggu kaki tangan muridnya. "Siancai... apakah engkau tidak mampu melepaskan diri dari belenggu Itu, Han Beng?"

"Belenggu ini ulet dan lentur Suhu..."

"Hemmm, kalau begitu jangan mencoba untuk membikin putus, melainkan meloloskan tanganmu dengan Sia-kut-hoat mu (Ilmu Melepas Tulang Melemaskan Badan)."

Han Beng baru teringat akan ilmu yang pernah dipelajarinya itu. Tapi dalam keadaan terancam, dia tidak ingat untuk mempergunakan ilmu itu. Dengan ilmu itu, dia dapat melepaskan sambungan tulang, melemaskan otot-ototnya sehingga bagian tubuh seperti lengan atau kaki dapat menjadi lunak dan lemas, menjadi kecil sekali hanya seperti tulang terbungkus kulit saja.

Dia membuat kedua lengannya lemas. Otot-ototnya mengendur dan tulang-tulangnya seperti dapat terlepas dan dengan demikian, maka tidak begitu sukar baginya untuk menarik kedua tangannya lepas dari ikatan tali kerbau. Demikian pula dengan mudah dia melepaskan ikatan kakinya, lalu berlutut di depan Pek I Tojin seperti jug Giok Cu yang sudah berlutut di depan Hek Bin Hwesio...