Naga Sakti Sungai Kuning Jilid 37 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Han Beng mempersilakan Giok Cu mengaso dalam bilik sempit itu, sedangkan dia sendiri duduk di kepala perahu bersama tukang perahu, bahkan membantunya mendayung perahu yang mengikuti aliran air yang tidak begitu deras. Giok Cu tidak rikuh lagi, lalu mengaso dan merebahkan diri telentang di dalam bilik perahu. Tak lama kemudian ia pun sudah tidur nyenyak karena memang tubuhnya terasa lelah sekali.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Giok Cu sudah terbangun dari tidurnya dan ia pun keluar dari dalam bilik itu. Melihat Han Beng masih duduk di kepala perahu bersama tukang perahu, ia lalu menghampiri.

"Engkau tidurlah. Semalam engkau tidak tidur, engkau tentu lelah," katanya.

Han Beng menggeleng kepalanya. "Aku tidak mengantuk dan semalam aku sudah duduk mengaso di sini. Alam indah bukan main dan rasa lelah pun hilang. Lihat, matahari demikian indahnya, Giok Cu," katanya, menunjuk ke depan.

Bagian sungai itu lebar sekali seperti lautan dan matahari nampak seperti sebuah bola merah yang amat besar, dan sinarnya belum menyilaukan mata. Giok Cu memandang bola yang perlahan-lahan muncul dari permukaan air di depan, ia kagum bukan main. Memang penglihatan itu indah sekali. Sukar membayangkan betapa bola kemerahan seperti emas yang indah dan redup itu sebentar lagi akan menjadi bola api yang selain panas, juga tidak mungkin dapat dipandang mata karena menyilaukan.

Lebih sukar untuk mengerti betapa bola api yang teramat jauh itu menjadi sumber tenaga, bahkan menjadi sumber kehidupan di permukaan bumi! Setiap kali kita melihat matahari, sepatutnya kita bersukur dan memuji nama Sang Maha Pencipta yang demikian penuh kuasa dan kasih sayang kepada seluruh alam semesta, terutama begitu kasih sayang kepada manusia.

Kini matahari telah berubah menjadi bola emas yang cerah sekali, mulai tak tahan mata memandang gemilangnya sinar matahari, dan bola emas itu membuat jalan emas di permukaan air Sungai Huang-ho. Bola emas yang mulai berkobar dan menggugah seluruh permukaan bumi dari tidur lelap.

Tiba-tiba perhatian Han Beng dan Giok Cu tertarik akan munculnya sebuah perahu besar yang datang dari tepi dan agaknya sengaja menghadang perjalanan perahu kecil mereka. Tukang perahu juga melihatnya dan tiba-tiba tukang perahu itu menggigil ketakutan.

"Celaka... kita dihadang bajak sungai...!" bisiknya.

Mendengar ini, Han Beng dan Giok Cu memandang penuh perhatian. Di atas perahu besar itu nampak belasan orang dan beberapa orang di antara mereka memegang golok besar. Wajah mereka beringas dan jelas nampak bahwa mereka adalah orang-orang kasar yang sudah biasa mempergunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka. Bajak sungai!

Dan pada layar perahu yang setengah berkembang itu terdapat gambar tengkorak putih. Terdengar para bajak itu mulai berteriak-teriak dan tertawa-tawa ketika mereka melihat seorang gadis cantik di atas perahu kecil yang mereka hadang. Kemudian nampak seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam menjenguk ke bawah dan melihat betapa para bajak itu minggir untuk memberi tempat Si Muka Hitam itu, mudah diduga bahwa tentulah dia itu kepalanya. Melihat Giok Cu, Si Muka Hitam juga tertawa dan terdengar dia berseru nyaring.

"Heiii, perahu yang di bawah! Serahkan gadis itu kepadaku, baru perahu boleh lewat dengan aman! Kalau tidak, gadis itu akan kami rampas dan kalian akan kami bunuh, kami jadikan umpan ikan, ha-ha-ha!"

Giok Cu marah sekali, akan tetapi ia didahului Han Beng yang berkata tenang, "Giok Cu, engkau tinggallah menjaga di sini, biar aku yang menghadapi mereka. Ini adalah wilayahku!" Setelah berkata demikian, sekali meloncat, Han Beng telah melayang ke atas perahu besar.

Giok Cu ingin menyusul, akan tetapi ia teringat bahwa Han Beng berjuluk Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning), maka ia pun tersenyum. Han Beng telah menjadi seorang pendekar yang mengambil sungai itu sebagai wilayahnya, di mana ia menentang semua kejahatan di sepanjang sungai!

Sementara itu, para bajak terkejut melihat pemuda tinggi besar dan tampan gagah itu melayang seperti terbang saja ke atas perahu mereka. Akan tetapi, karena mereka berjumlah enam belas orang, tentu saja mereka tidak takut dan segera mereka menyambut pemuda itu dengan bacokan-bacokan golok besar di tangan mereka.

Akan tetapi, begitu pemuda itu menggerakkan kaki dan tangannya, empat orang bajak berteriak kesakitan, golok mereka beterbangan dan tubuh mereka pun terlempar ke luar dari perahu besar. Air sungai muncrat ketika tubuh mereka menimpa air. Sementara itu, begitu para bajak laut menyerbu lagi, kembali empat orang terlempar oleh kaki tangan Han Beng dan tubuh mereka terbanting ke air.

Melihat betapa dalam dua gebrakan saja Han Beng telah melemparkan delapan orang anak buahnya keluar perahu, kepala bajak sungai yang bermuka hitam itu menjadi terkejut, akan tetapi juga marah sekali. Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan menyerang dengan senjatanya, yaitu sebatang tombak panjang yang besar dan berat. Ujung tombak yang runcing itu meluncur ke arah perut Han Beng!

Namun, pemuda ini dengan tenang saja miringkan tubuh sehingga tombak itu lewat di samping pinggangnya dan begitu ia menurunkan tangan kanan, dia telah menangkap tombak itu. Si Kepala Bajak mencoba untuk menarik tombaknya, namun sama sekali tidak berhasil. Dia semakin marah dan melepaskan tangan kanannya dari gagang tombak, melangkah maju dan menghantamkan tangan kanannya dengan kepalan yang besar itu ke arah muka Han Beng! Pemuda itu menyambutnya dengan tangan kiri yang terbuka.

"Plakkkk!" Kepalan tangan kanan kepala bajak yang kuat dan besar itu bertemu dengan telapak tangan Han Beng yang segera mencengkeram, dan kepala bajak itu menjerit-jerit kesakitan, mencoba untuk menarik tangannya namun tidak dapat terlepas. Dua orang bajak menyerang dengan golok, namun dua kali kaki Han Beng melayang dan tubuh dua orang itu pun terlempar keluar dari perahu!

"Aduh, ampun... aduhhhhh, ampun... Tai-hiap...!"

Kepala bajak itu mengaduh-aduh karena kepalan tangan yang dicengkeram itu seperti dipanggang dalam api saja rasanya. Panas dan nyeri bukan main, sampai menusuk ke tulang sumsum dan meremas jantung.

"Hemmm, orang macam engkau ini seharusnya dibasmi!" kata Han Beng sambil mendorongkan tangannya dan cengkeramannya dilepaskan. Kepala bajak itu terjengkang dan dia memegangi tangan kanannya yang tulang-tulangnya remuk itu dengan tangan kiri, mengaduh-aduh. Ketika dia melihat anak buahnya masih memegang goloknya, dia membentak.

"Buang senjata kalian dan berlutut minta ampun kepada Tai-hiap!"

Sisa bajak yang tinggal lima orang itu dengan ketakutan lalu membuang golok mereka dan menjatuhkan diri berlutut, mengangguk-angguk seperti sekumpulan ayam mematuki beras sambil minta ampun. Sepuluh orang bajak yang terlempar ke air sungai tadi tidak menderita luka. Mereka berenang dan menuju ke perahu kecil, dengan maksud untuk menangkap gadis cantik di perahu itu.

Akan tetapi, mereka disambut hantaman dayung oleh Giok Cu. Biarpun ada yang mencoba untuk menyelam dengan maksud menggulingkan perahu, namun dayung itu tetap saja dapat menghantam mereka dalam air dan berturut-turut, sepuluh orang bajak sungai itu pingsan dan tubuh mereka hanyut perlahan-lahan?

Han Beng melihat hal itu. Dia khawatir kalau bajak-bajak yang dipukuli dayung oleh Giok Cu itu tewas, maka dia pun berkata kepada para bajak, "Kalian selamatkan dulu kawan-kawan kalian itu!"

Kepala bajak yang masih meringis kesakitan karena buku-buku jari tangan kanannya patah-patah, memerintah, "Cepat tolong mereka!"

Dan lima orang anak buahnya itu berloncatan ke air, berenang dan masing-masing menjambak rambut dua orang kawan yang pingsan dan menyeret mereka ke perahu. Biarpun dengan susah payah, akhirnya mereka berhasil juga menyeret tubuh sepuluh orang bajak yang pingsan itu ke atas perahu.

"Ampun, Taihiap Kami seperti buta saja, tidak mengenal seorang gagah. Bukankah Tai-hiap ini Huang-ho Sin-liong?"

Han Beng mengangguk. "Sebetulnya, sudah menjadi tugasku untuk membunuh kalian semua!"

"Ampun, Tai-hiap, ampunkan kami... kami tidak mengenal Tai-hiap maka berani berbuat lancang..."

"Hmmm, keparat kau! Jadi kalau berhadapan dengan yang kuat kalian tidak berani, akan tetapi kalau berhadapan dengan orang lemah kalian lalu berbuat jahat dan sesuka hati kalian?"

"Ampun, kami tidak berani lagi..." kata kepala bajak.

Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat dan Giok Cu telah berdiri di perahu itu. Melihat ini, kepala bajak dan anak buahnya menjadi semakin terkejut. Baru mereka tahu bahwa bukan hanya Huang-ho Sin-liong yang lihai, bahkan nona yang cantik itu pun lihai bukan main. Dari caranya merobohkan sepuluh orang bajak di air dan caranya meloncat dari perahu kecil ke perahu besar saja sudah membuktikan kelihaiannya.

"Han Beng, kenapa tidak kau bunuh saja semua tikus sungai ini?" kata Giok Cu, sengaja berkata demikian untuk menakut-nakuti mereka.

Dan benar saja, mendengar ucapan itu, kepala bajak dan anak buahnya yang kini banyak yang sudah siuman dari pingsan, segera mengangguk-angguk sambil berlutut ke arah gadis itu.

"Lihiap, ampunkan kami... kami bertaubat..."

"Ingin kami mengetahui, bagaimana caranya kalian akan bertaubat. Kalau sekarang kami mengampuni kalian, lalu kalian kembali akan merajalela dengan perahu kalian ini dan menghadang orang-orang untuk dibajak?" tanya Han Beng.

"Ampun, kami tidak berani lagi. Dahulunya kami adalah nelayan yang mencari ikan dan menjual tenaga untuk mengangkut barang dagangan dengan perahu. Kami akan kembali bekerja seperti dulu..."

"Hemmm, hendak kami lihat apakah kalian akan memegang janji ini. Sekali ini kami suka membebaskan kalian, akan tetapi ingat, kalau satu kali lagi kami mendapatkan kalian membajak, kami tidak akan mengampuni kalian lagi!"

"Baik, Tai-hiap. Dan terima kasih, Tai-hiap, Li-hiap!" Kepala bajak itu dengan girang mengangguk-anggukkan kepalanya dan dia sudah lupa akan tangannya yang nyeri bukan main.

"Mari, Giok Cu, kita lanjutkan perjalanan." Mereka berdua lalu meloncat ke dalam perahu kecil mereka dan menyuruh tukang perahu mengembangkan layar agar pelayaran dapat dipercepat.

Akan tetapi tukang perahu itu bahkan mendayung perahunya ke tepi. "Maafkan, saya tidak berani lagi melanjutkan. Pengalaman tadi sudah cukup bagi saya. Saya harus mengingat nasib anak isteri di rumah. Kalau saya mati di dalam pelayaran ini, biarpun Ji-wi membayar banyak,apa gunanya uang?"

Giok Cu dan Han Beng saling pandang. Lalu Giok Cu berkata, "Kami membutuhkan perahu ini. Kalau engkau tidak berani mengantar kami pun tidak mengapa, akan tetapi perahumu ini harus diserahkan kepada kami. Akan kubeli, jangan khawatir. Kami bukan bajak-bajak macam tadi yang suka merampas milik orang lain!"

Mendengar ini, tukang perahu itu memandang dengan wajah berseri. Dia lalu memberi harga yang pantas dan tanpa menawar lagi Giok Cu membayarnya. Tukang perahu itu menghaturkan terima kasih dan cepat meninggalkan tempat yang dianggapnya amat berbahaya itu.

"Wah, engkau mengeluarkan banyak uang untuk membeli perahu ini, Giok Cu," kata Han Beng.

"Tidak mengapa, aku mempunyai uang, hasil menjual gelang emas pemberian Subo dahulu. Sekarang perahu ini milik kita, lebih leluasa dan dapat kita pergunakan selama kita masih membutuhkan. Kalau sudah tidak kita pakai, dapat dijual atau diberikan kepada nelayan miskin."

Kini mereka berdua melanjutkan perjalanan dan beberapa hari kemudian perahu mereka pun mereka daratkan di kaki Bukit Kim-hong-san. Tempat itu sunyi, maka Han Beng lalu menarik perahu itu ke darat dan menyembunyikannya ke semak belukar sehingga tidak nampak dari luar. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan mendaki bukit.

********************

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning karya kho ping hoo

Liu Tai-jin menerima laporan pembantunya, yaitu Tabib Kui Song dari Siong-an tentang pemberontakan itu dan tentang keterlibatan Cang Tai-jin dengan para pemberontak. Mendengar laporan yang lengkap ini, Liu Tai-jin merasa girang sekali.

"Di mana adanya Huang-ho Sin-liong dan Nona Pendekar itu sekarang?" tanyanya karena dia mempunyai keinginan untuk menarik dua orang muda perkasa yang sudah berjasa besar itu menjadi pembantunya.

"Sayang sekali, Tai-jin. Mereka berdua mengatakan bahwa mereka sudah cukup memenuhi kewajiban dan mereka tidak ingin terlibat dengan urusan pemerintah, juga mereka tidak mengharapkan balas jasa. Mereka telah pergi karena masih mempunyai banyak urusan pribadi yang harus mereka selesaikan."

Pejabat tinggi itu menarik napas. "Sudah kuduga, memang para pendekar itu lebih suka berkelana dengan bebas, tidak mau terikat. Bagaimanapun juga, selama masih ada pendekar-pendekar seperti mereka itu, negara menjadi aman dan kejahatan pun berkurang."

"Akan tetapi, Tai-jin, menurut keterangan yang saya dapatkan, di antara para pemberontak itu pun terdapat banyak mereka yang menamakan diri pejuang dan pendekar!"

"Ah, di mana ada pendekar menjadi pemberontak? Kalau memang rakyat tertindas, mereka akan menentang para penindas. Akan tetapi, sekarang ini rakyat tertindas oleh pejabat-pejabat yang korup. Kalau pemberontakan itu dimaksudkan untuk merebut kekuasaan dan mencari kedudukan, apalagi bersekutu dengan pejabat korup seperti Cang Tai-jin, jelas bahwa pendekar yang bergabung di situ adalah pendekar sesat! Orang yang pada dasarnya hanya mencari kesenangan pribadi dan berkedok sebagai pendekar. Lihat Huang-ho Sin-liong itu. Dialah seorang pendekar sejati! Tidak mau menerima imbalan jasa, tidak mempunyai pamrih keuntungan pribadi dalam sepak terjangnya. Sayang dia tidak mau membantu kita, kalau kita memiliki tenaga seperti dia, alangkah baiknya."

"Akan tetapi, kalau dia menjadi pembantu Tai-jin, berarti dia menjadi seorang petugas negara, bukan seorang pendekar lagi!"

Pembesar itu tersenyum. "Benar juga engkau. Nah, sekarang kita harus mempersiapkan pasukan untuk membasmi para pemberontak dan menangkap Cang Tai-jin!"

Liu Tai-jin lalu menghubungi panglima yang segera mempersiapkan pasukan yang terdiri tidak kurang dari tiga ribu orang. Berangkatlah pasukan itu dengan cepat menuju ke Siong-an dan sarang pemberontak di bukit itu dikepung!

Para pemberontak menjadi terkejut sekali karena tidak menduga bahwa rahasia mereka terbuka, tidak menduga bahwa tempat itu demikian cepat dikepung pasukan pemerintah. Kim-bwe-eng Gan Lok lalu memerintahkan para pembantunya untuk mengatur pasukan melakukan perlawanan. Juga orang-orang Hui, di bawah pimpinan Yalami Cin, melakukan perlawanan mati-matian. Namun, pertempuran itu hanya berlangsung setengah hari saja. Banyak pemberontak dapat ditewaskan atau dilukai dan lebih banyak lagi yang melarikan diri kocar-kacir.

. Kim-bwe-eng Gan Lok dan Kim-pauw-pang Pouw In Tiong tewas dalam pertempuran itu. Akan tetapi Can Hong San yang amat cerdik itu, sebelum keadaan terlalu berbahaya bagi dirinya, sudah lebih dulu lolos dan melarikan diri dari tempat itu. Begitu melihat bahwa persekutuan itu tidak mempunyai harapan, dia pun cepat meninggalkannya. Bahkan ketika dia pergi, dia masih sempat membawa sekantung emas dari kamar "beng-cu" Gan Lok sehingga kini di dalam buntalan pakaiannya, terdapat emas yang cukup banyak!

Dia maklum bahwa cita-cita besar itu telah runtuh dan dia harus dapat menemukan pegangan lain yang lebih kuat. Ayahnya telah tiada, dan dia sekarang hidup seorang diri, maka dia harus dapat menggantikan kedudukan ayahnya yang pernah jaya! Ayahnya telah gagal dalam usahanya memperoleh kedudukan tinggi. Selama dua tahun ayahnya meninggalkan dia, meninggalkan pertapaannya di Himalaya untuk bertualang.

Dan dari ayahnya dia mendengar bahwa ayahnya telah mendirikan suatu kelompok penganut atau penyembah Thian-te Kwi-ong (Raja Iblis Bumi Langit) dan menurut ayahnya, banyak orang yang sudah menjadi pengikutnya, dan yang menyebarkan kepercayaan itu, terutama sekali adanya seorang murid dan pembantunya, yaitu Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu! Dia itulah yang harus dicarinya. Dia harus menggantikan kedudukan ayahnya, mengepalai kelompok itu dan memperkuat diri!

Dia sama sekali tidak merasa menyesal bahwa dia telah membunuh ayahnya sendiri. Ayah kandungnya. Kalau tidak dibunuhnya, tentu dia yang mati di tangan ayahnya. Bahkan kebetulan sekali ayahnya mati, karena dia dapat malang, melintang, menggantikan kedudukan ayahnya. Dia pernah mendengar dari ayahnya akan nama tokoh-tokoh dunia kang-ouw yang kiranya akan dapat dijadikan sekutunya.

Mereka itu selain Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu, juga Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu, yang tinggal di Ceng-touw. Kemudian Siangkoan Hok, kepala bajak laut yang tinggal di Pulau Hiu, dan Ouw Kok Sian, majikan daerah pegunungan Liong-san. Dia harus menemui mereka, mengajak mereka bersekutu dengan menggunakan nama ayahnya. Kalau mereka tidak mau, akan dipaksanya!

Demikianlah, pada suatu pagi tibalah dia di kota Ceng-touw di Propinsi Shan-tung. Tidak sukar baginya untuk menemukan rumah Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu yang amat terkenal di dunia kang-ouw. Setelah menemukan rumah Ban-tok Mo-li, rumah yang megah dan indah itu, dia pun langsung saja memasuki pekarangan rumah dengan sikap yang amat tenang.

Memang rumah itu tempat tinggal Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu. Sekitar enam tujuh tahun yang lalu, Bu Giok Cu pernah tinggal di tempat itu sebagai murid Ban-tok Mo-li yang cantik dan lihai. Akan tetapi sekarang, keadaan wanita iblis itu sudah mengalami banyak perubahan. Kini Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu sudah berusia lima puluh tujuh tahun, sudah seorang nenek. Akan tetapi nenek yang bagaimana! Biarpun usianya sudah ima puluh tujuh tahun, ia masih nampak cantik pesolek, dengan pakaian mewah!

Dan tentang ilmu kepandaian, ia malah lebih lihai dan lebih matang dibandingkan tujuh tahun yang lalu. Seperti kita ketahui, tujuh tahun yang lalu, karena tidak cocok dengan perbuatan gurunya yang menjadi pengikut penyembah Thian-te Kwi-ong dan menjadi kekasih Lui Seng Cu, tokoh sesat yang memimpin kelompok penyembah Raja Iblis itu, Giok Cu, melarikan diri dari rumah itu. Ia dikejar oleh Ban-tok Mo-li dan Lui, Seng Cu, dan tentu sudah tertawan kembali kalau saja tidak ditolong oleh Hek-bin Hwesio dan kemudian menjadi muridnya.

Sejak dihajar oleh Hek-bin Hwesioi itulah, Ban-tok Mo-li dan Lui Seng Cu lebih banyak berdiam di rumah. Akan tetapi mereka tidak tinggal diam, sebaliknya mereka berdua itu menggembleng diri dengan bermacam ilmu, menggabungkan ilmu mereka berdua, dan selain itu juga mereka memperkembang-luaskan! penyembahan Thian-te Kwi-ong sehingga memperoleh banyak sekali pengikut! Dengan ilmu silat dan sihir yang dikuasa Lui Seng Cu, mereka dapat menarik minat banyak orang, terutama sekali dari dunia sesat.

Bahkan kini, untuk melakukan upacara sembahyang pemujaan Thian-te Kwi-ong, di samping kanan rumah Ban-tok Mo-li didirikan sebuah bangunan seperti kelenteng dan di sini ditaruh sebuah patung Thian-te Kwi-ong yang menyeramkan. Dan mulai terkenallah suatu aliran kepercayaan atau agama baru yang dikenal dengan sebutan Thian-te-kauw (Agama Bumi Langit)!

Namun, tidak seperti agama lain yang menganjurkan kehidupan beribadat dan saleh, di mana para petugasnya mengenakan pakaian sederhana bahkan ada yang diharuskan mencukur rambut, berpantang makanan bernyawa dan pantang kesenangan duniawi, para pengikut Thian-te-kauw ini tidak ada pantangan apa pun! Bahkan para anggauta yang bekerja di dalam kelenteng itu, baik prianya maupun wanitanya, terdiri dari orang-orang muda yang tampan dan cantik, mengenakan pakaian serba indah pesolek, berdandan dan berias muka! Satu-satunya tanda bahwa mereka adalah petugas dan anggauta Thian-te-kauw hanyalah adanya lencana di dada mereka, tanda gambar bulatan Im Yang berwarna merah dan putih!

Banyak orang berduyun datang untuk menjadi anggauta, atau sekedar untuk bersembahyang di dalam kelenteng itu minta berkah, minta ringan jodoh, obat, rejeki dan sebagainya. Atau ada yang hanya ingin mengagumi para pelayan kelenteng yang cantik-cantik dan tampan-tampan! Dan lebih daripada itu, mereka itu murah senyum, mudah bergaul dan mudah pula diajak kencan!

Akan tetapi, keadaan yang menyenangkan dan menarik minat masyarakat biasa ini hanya di luar saja. Di sebelah dalam, Lui Seng Cu yang dibantu Ban-tok Mo-li memperkuat diri! Mereka menarik banyak tokoh sesat untuk bergabung dan bersekutu, juga di samping itu, para anggauta yang sudah dipercaya, lalu digembleng ilmu silat sehingga kini jumlah anggauta Thian-te-kauw yang sudah lihai ilmu silatnya terdapat ratusan orang. Mereka ini lalu disebar ke daerah lain untuk memperkembangkan Thian-te-kauw.

Selama tujuh tahun saja, Thian-te-kauw meluas dan memiliki cabang di banyak tempat, dengan kelenteng-kelenteng yang mewah dan menyenangkan. Mulailah banyak uang mengalir masuk, karena pandainya para anggauta Thian-te-kauw menyebar berita bahwa kelenteng Thian-te-kauw amat manjur dan bahwa Thian-te Kwi-ong memenuhi segala permintaan orang. Mungkin karena amat percaya, maka banyak orang terkabul keinginan hati mereka setelah melakukan sembahyang di kelenteng Thian-te-kauw, dan untuk imbalan, mereka memberi sumbangan yang besar sehingga Thian-te-kauw, dalam waktu tujuh tahun saja, menjadi perkumpulan agama baru yang kaya!

Demikianlah keadaan Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu dan Lui Seng Cu sekarang. Lui Seng Cu dahulunya merupakan seorang perampok tunggal yang ditakuti karena dia lihai sekali. Terutama sekali permainan goloknya amat dahsyat. Golok besarnya itulah yang membuat dia di juluki orang Hok-houw Toa-to (Si Golok Besar Penaluk Harimau). Akan tetapi setelah dia bertemu dan ditalukkan oleh mendiang Cui-beng Sai-kong, dia lalu menjadi murid dan pembantu datuk besar itu, bahkan lalu menjadi penyebar kepercayaan baru yang memuja Thian-te Kwi-ong itu. Melalui kepercayaan ini pula dia berhasil memikat hati Ban-tok Mo-li yang kemudian menjadi pembantu dan juga kekasihnya. Bahkan tempat tinggal Ban-tok Mo-li di kota Ceng-touw dijadikan pusat Thian-te-kauw!

Ketika Can Hong San memasuki pekarangan dan melihat banyak orang mendatangi bangunan kuil di sebelah rumah besar itu, dia pun tertarik dan menuju ke kuil itu. Di depan kuil itu dia melihat papan yang bertulisan dengan huruf besar THIAN TE KAUW dan dia pun menahan senyumnya. Agaknya pembantu dan murid ayahnya, Hok-houw Toa-to Li Seng Cu bekerja dengan amat baiknya menyebar-luaskan agama baru itu, pikirnya. Kalau ayahnya masih hidup, tentu dia akan senang sekali. Kini karena ayahnya sudah tidak ada, dialah yang senang.

Thian-te-kauw! Inilah sesuatu yang dapat dijadikan dasar untuk memperkuat diri! Dan dia sudah sepatutnya menjadi ketua Thian-te-kauw! Kiranya, selain ayahnya, hanya dia seorang yang mampu mengubah diri menjadi Thian-te Kwi-ong! Dia lalu memasuki kuil dan melihat-lihat keadaan. Seorang anggauta Thian-te-kauw yang bertugas di kuil itu menghampirinya. Dia seorang pria muda yang tampan dan usianya kurang lebih dua puluh tahun, namun sikapnya ramah sekali, keramahan yang merupakan syarat dari tugasnya.

“Selamat pagi, Kongcu. Dapatkah saya membantumu? Hendak sembahyang apakah ? Pemujaan? Atau pernyataan syukur?"

Hong San tersenyum. Dia melihat betapa para petugas di kuil itu semua masih muda dan para tamu pria dilayani pelayan pria yang muda dan tampan, pura tamu wanita dilayani gadis-gadis yang manis pula. Tidak seperti kuil biasa. Mereka berpakaian seragam putih kuning, bukan jubah pendeta, dan hanya di dada mereka terdapat tanda anggauta Thian-te-kauw.

"Terima kasih, aku ingin sembahyang dan ada permohonan," katanya.

Pelayan kuil itu mendekat dan bertanya dengan suara lirih. "Permohonan apakah, Kongcu? Jodoh? Rejeki? Pangkat? Obat?"

Hong San juga berbisik ketika menjawab, "Aku ingin mengajukan permohonan agar berhasil menjadi ketua sebuah perkumpulan."

Pemuda itu terbelalak dan menatap wajah Hong San. "Kongcu masih semuda ini sudah memiliki cita-cita besar! Sungguh mengagumkan! Kedudukan ketua? Kedudukan... itu sama dengan pangkat. Mari, Kongcu, jangan khawatir, saya akan memberi petunjuk bagaimana caranya melakukan sembahyang mengajukan permohonan."

Dengan cekatan dan menyenangkan, pemuda itu lalu menjadi penunjuk cara bersembahyang. Hong San menurut saja dan setelah bersembahyang mengajukan permohonannya untuk "menjadi ketua perkumpulan" tanpa menyebut nama perkumpulan itu, dia dianjurkan untuk mengambil jawaban melalui "ciam", yaitu batang-batang bambu yang bernomor. Setelah memperoleh nomor jawaban, pelayan kuil itu mengambilkan kertas bertulis yang nomornya sama dengan nomor batang bambu yang terpilih oleh Hong San. Hong San menerima kertas itu dan membaca syair yang ditulis dengan indahnya.

Bulan sedang cemerlang,langit tiada awan,hindari bayang-bayang, agar mencapai tujuan.

"Boleh saya tafsirkan syair jawaban ini untukmu, Kongcu?" tanya Si Petugas.

Hong San tersenyum. Tidak ditafsirkan pun dia sudah tahu, akan tetapi dia hendak melihat bagaimana petugas itu bergaya. Diberikannya kertas jawaban itu. Si Petugas yang masih muda membacanya lalu mengangguk-angguk dengan wajah cerah.

"Aih, ternyata Thian-te Kwi-ong memberkahimu, Kongcu. Permohonanmu terkabul! Coba dengarkan. Bulan sedang cemerlang, langit tiada awan, berarti bahwa waktunya amat baik bagi Kongcu dan tidak terdapat halangan sesuatu untuk mencapai tujuan. Akan tetapi di sini ada kalimat hindari bayang-bayang agar mencapai tujuan. Kongcu diperingatkan agar berhati-hati dan jangan tergoda, jangan goyah dan mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada kedudukan ketua yang hendak Kongcu capai. Nah, jawaban ini jelas dan juga amat baik, bukan?"

Hong San mengangguk dan tersenyum. Dia dapat menduga bahwa tentu semua jawaban di kuil itu mengandung harapan yang menyenangkan bagi para tamu, dengan diberi syarat tertentu. Kalau dia gagal, misalnya, maka jawaban itu tetap tepat karena bukankah di situ sudah diperingatkan tentang bayang-bayang yang harus dihindarkan? Kalau gagal berarti dia tidak berhasil menghindarkan bayang-bayang itu! Sungguh jawaban yang amat cerdik. Menyenangkan dan memberi harapan sekaligus juga bersyarat untuk menjaga kegagalan.

Dia mengucapkan terima kasih dan menyerahkan sumbangan yang cukup besar. Petugas itu menerima dengan gembira. "Semoga Thian-te Kwi-ong memberkatimu, Kongcu. Untung sekali Kongcu datang hari ini karena mulai besok, selama tiga hari, kuil akan tutup dan tidak menerima tamu."

"Eh, kenapa?"

"Perkumpulan kami akan mengadakan perayaan ulang tahun untuk ke tiga kalinya bagi Kauw-cu (Kepala Agama) kami."

"Kenapa harus ditutup?"

"Karena kami seluruh petugas harus menghadiri upacara perayaan itu yang akan diadakan di sini. Terpaksa tidak melayani umum selama tiga hari."

"Jadi yang boleh hadir hanyalah para anggauta Thian-te-kauw?"

"Benar, Kongcu. Tentu saja ada pula tamu-tamu yang diundang, yaitu sahabat dari para pimpinan kami. Nah, selamat jalan, Kongcu. Semoga Kongcu berhasil menjadi ketua perkumpulan itu. Oya, perkumpulan apakah itu, Kongcu?"

Sambil melangkah pergi, Hong San menjawab singkat, "Thian-te-kauw."

Petugas itu terbelalak dan bengong memandang Hong San yang melangkah pergi meninggalkan kuil. Dia ragu-ragu Keliru dengarkah dia? Ataukah ada nama perkumpulan yang sama? Ataukah pemuda yang nampaknya kaya raya itu memang sinting? Kemudian dia mengangkat pundak. Bagaimanapun juga, pemuda itu telah memberi derma yang cukup banyak untuk kuil mereka. Dia pun melupakan Hong San dan melayani tamu lain. Hari itu memang banyak tamu berkunjung ke kuil karena sudah tersiar kabar bahwa kuil Thian-te-kauw atau juga kuil Thian-te Kwi-ong akan berlibur dan ditutup selama tiga hari.

Mendengar laporan petugas tadi bahwa mulai besok Thian-te-kauw akan mengadakan perayaan ulang tahun dari kauw-cu, Hong San tidak jadi berkunjung kepada Ban-tok Mo-li. Sebaliknya, dia mencari keterangan tentang Thian-teauw kepada penduduk Ceng-touw dan mendengar bahwa kauw-cu (ketua agama) Thian-te-kauw adalah Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu, sedangkan Ban-tok Mo-li adalah pangcu (ketua perkumpulan) Thian-te-pang yang berdiri sebagai perkumpulan yang mengurus tentang Thian-te-kauw dan penyebarannya. Dia lalu kembali ke rumah penginapan di mana ia menyewa sebuah kamar.

Kini tahulah dia bahwa murid mendiang ayahnya itu mengangkat diri menjadi ketua Thian-kauw dan agaknya ada persekutuan antara dia dengan Ban-tok Mo-li yang nenjabat ketua perkumpulan Thian-te-pang. Baik sekali pikirnya dan dia mengambil keputusan untuk mengangkat diri menjadi ketua umum di atas kedua orang pemimpin itu, baik secara halus maupun Kasar. Untuk itu dia telah membuat persiapan.

Bagaimanapun juga, murid ayahnya itu masih setia menggunakan patung buatan ayahnya, yaitu patung Thian-te Kwi-ong yang menyeramkan, presis wajah patung itu dengan topeng yang dibawanya untuk keperluan mengubah diri menjadi Thian-te Kwi-ong! Ilmu mengubah diri dengan penyamaran yang amat rapi ini dia pelajari dari ayahnya, berikut ilmu sihir dan penggunaan obat pasang yang mengeluarkan asap tebal.

Keterangan yang diberikan petugas kuil kepada Hong San itu memang benar. Thian-te-kauw yang urusan luarnya dilaksanakan oleh perkumpulan Thian-te-pang, akan mengadakan perayaan ulang tahun dari ketua perkumpulan agama itu. Ketua Thian-te-kauw adalah Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu dan kalau semua anggauta mengenakan pakaian biasa walaupun para petugas kuil berseragam kuning putih.

Nmun ketuanya ini kalau bertemu dengan orang luar atau kalau kebetulan keluar dari kuil selalu mengenakan jubah longgar berwarna kuning walaupun rambutnya tidak dicukur. Tiga tahun yang lalu, setelah bersama Ban-tok Mo-li berhasil mengembangkan Thian-te-kauw, Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu secara resmi, disaksikan semua anggauta dan para tamu undangan, menyatakan dirinya sebagai kauw-cu (kepala agama) dari Thian-te-kauw. Sedangkan Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu diangkat menjadi pangcu (ketua perkumpulan) dari Thian-te-pang.

Karena kedua orang ketua ini dapat bekerja sama dengan amat baiknya dan keduanya memang merupakan tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi, maka Thian-te-pang menjadi perkumpulan yang besar dan berpengaruh, sedangkan Thian-te-kauw juga menarik banyak orang menjadi anggautanya. Kedua orang tokoh ini tidak bodoh. Mereka tidak mau lagi sembarangan melakukan upacara korban kepada Thian-Te Kwi-ong dengan darah pemuda dan perawan.

Kalau hal ini mereka lakukan, maka mereka melaksanakannya dengan sembunyi dan hanya untuk kepentingan mereka memperkuat ilmu hitam mereka saja. Bagi para anggauta dan penganut, korban berupa sumbangan barang berharga atau uang.

Untuk menyambut perayaan peringatan ulang tahun yang ke tiga, semua anggauta Thian-te-pang datang berkumpul. Jumlah mereka tidak kurang dari tiga ratus orang! Dan mereka juga mengundang sahabat-sahabat mereka yang terdiri dari tokoh-tokoh dunia kang-ouw para tokoh sesat yang biarpun tidak menjadi anggauta Thian-te-pang dan bukan penganut Thian-te-kauw, namun merupakan sahabat dari Ban-tok Mo-li atau dari Lui Seng Cu...

Naga Sakti Sungai Kuning Jilid 37

Han Beng mempersilakan Giok Cu mengaso dalam bilik sempit itu, sedangkan dia sendiri duduk di kepala perahu bersama tukang perahu, bahkan membantunya mendayung perahu yang mengikuti aliran air yang tidak begitu deras. Giok Cu tidak rikuh lagi, lalu mengaso dan merebahkan diri telentang di dalam bilik perahu. Tak lama kemudian ia pun sudah tidur nyenyak karena memang tubuhnya terasa lelah sekali.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Giok Cu sudah terbangun dari tidurnya dan ia pun keluar dari dalam bilik itu. Melihat Han Beng masih duduk di kepala perahu bersama tukang perahu, ia lalu menghampiri.

"Engkau tidurlah. Semalam engkau tidak tidur, engkau tentu lelah," katanya.

Han Beng menggeleng kepalanya. "Aku tidak mengantuk dan semalam aku sudah duduk mengaso di sini. Alam indah bukan main dan rasa lelah pun hilang. Lihat, matahari demikian indahnya, Giok Cu," katanya, menunjuk ke depan.

Bagian sungai itu lebar sekali seperti lautan dan matahari nampak seperti sebuah bola merah yang amat besar, dan sinarnya belum menyilaukan mata. Giok Cu memandang bola yang perlahan-lahan muncul dari permukaan air di depan, ia kagum bukan main. Memang penglihatan itu indah sekali. Sukar membayangkan betapa bola kemerahan seperti emas yang indah dan redup itu sebentar lagi akan menjadi bola api yang selain panas, juga tidak mungkin dapat dipandang mata karena menyilaukan.

Lebih sukar untuk mengerti betapa bola api yang teramat jauh itu menjadi sumber tenaga, bahkan menjadi sumber kehidupan di permukaan bumi! Setiap kali kita melihat matahari, sepatutnya kita bersukur dan memuji nama Sang Maha Pencipta yang demikian penuh kuasa dan kasih sayang kepada seluruh alam semesta, terutama begitu kasih sayang kepada manusia.

Kini matahari telah berubah menjadi bola emas yang cerah sekali, mulai tak tahan mata memandang gemilangnya sinar matahari, dan bola emas itu membuat jalan emas di permukaan air Sungai Huang-ho. Bola emas yang mulai berkobar dan menggugah seluruh permukaan bumi dari tidur lelap.

Tiba-tiba perhatian Han Beng dan Giok Cu tertarik akan munculnya sebuah perahu besar yang datang dari tepi dan agaknya sengaja menghadang perjalanan perahu kecil mereka. Tukang perahu juga melihatnya dan tiba-tiba tukang perahu itu menggigil ketakutan.

"Celaka... kita dihadang bajak sungai...!" bisiknya.

Mendengar ini, Han Beng dan Giok Cu memandang penuh perhatian. Di atas perahu besar itu nampak belasan orang dan beberapa orang di antara mereka memegang golok besar. Wajah mereka beringas dan jelas nampak bahwa mereka adalah orang-orang kasar yang sudah biasa mempergunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka. Bajak sungai!

Dan pada layar perahu yang setengah berkembang itu terdapat gambar tengkorak putih. Terdengar para bajak itu mulai berteriak-teriak dan tertawa-tawa ketika mereka melihat seorang gadis cantik di atas perahu kecil yang mereka hadang. Kemudian nampak seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam menjenguk ke bawah dan melihat betapa para bajak itu minggir untuk memberi tempat Si Muka Hitam itu, mudah diduga bahwa tentulah dia itu kepalanya. Melihat Giok Cu, Si Muka Hitam juga tertawa dan terdengar dia berseru nyaring.

"Heiii, perahu yang di bawah! Serahkan gadis itu kepadaku, baru perahu boleh lewat dengan aman! Kalau tidak, gadis itu akan kami rampas dan kalian akan kami bunuh, kami jadikan umpan ikan, ha-ha-ha!"

Giok Cu marah sekali, akan tetapi ia didahului Han Beng yang berkata tenang, "Giok Cu, engkau tinggallah menjaga di sini, biar aku yang menghadapi mereka. Ini adalah wilayahku!" Setelah berkata demikian, sekali meloncat, Han Beng telah melayang ke atas perahu besar.

Giok Cu ingin menyusul, akan tetapi ia teringat bahwa Han Beng berjuluk Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning), maka ia pun tersenyum. Han Beng telah menjadi seorang pendekar yang mengambil sungai itu sebagai wilayahnya, di mana ia menentang semua kejahatan di sepanjang sungai!

Sementara itu, para bajak terkejut melihat pemuda tinggi besar dan tampan gagah itu melayang seperti terbang saja ke atas perahu mereka. Akan tetapi, karena mereka berjumlah enam belas orang, tentu saja mereka tidak takut dan segera mereka menyambut pemuda itu dengan bacokan-bacokan golok besar di tangan mereka.

Akan tetapi, begitu pemuda itu menggerakkan kaki dan tangannya, empat orang bajak berteriak kesakitan, golok mereka beterbangan dan tubuh mereka pun terlempar ke luar dari perahu besar. Air sungai muncrat ketika tubuh mereka menimpa air. Sementara itu, begitu para bajak laut menyerbu lagi, kembali empat orang terlempar oleh kaki tangan Han Beng dan tubuh mereka terbanting ke air.

Melihat betapa dalam dua gebrakan saja Han Beng telah melemparkan delapan orang anak buahnya keluar perahu, kepala bajak sungai yang bermuka hitam itu menjadi terkejut, akan tetapi juga marah sekali. Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan menyerang dengan senjatanya, yaitu sebatang tombak panjang yang besar dan berat. Ujung tombak yang runcing itu meluncur ke arah perut Han Beng!

Namun, pemuda ini dengan tenang saja miringkan tubuh sehingga tombak itu lewat di samping pinggangnya dan begitu ia menurunkan tangan kanan, dia telah menangkap tombak itu. Si Kepala Bajak mencoba untuk menarik tombaknya, namun sama sekali tidak berhasil. Dia semakin marah dan melepaskan tangan kanannya dari gagang tombak, melangkah maju dan menghantamkan tangan kanannya dengan kepalan yang besar itu ke arah muka Han Beng! Pemuda itu menyambutnya dengan tangan kiri yang terbuka.

"Plakkkk!" Kepalan tangan kanan kepala bajak yang kuat dan besar itu bertemu dengan telapak tangan Han Beng yang segera mencengkeram, dan kepala bajak itu menjerit-jerit kesakitan, mencoba untuk menarik tangannya namun tidak dapat terlepas. Dua orang bajak menyerang dengan golok, namun dua kali kaki Han Beng melayang dan tubuh dua orang itu pun terlempar keluar dari perahu!

"Aduh, ampun... aduhhhhh, ampun... Tai-hiap...!"

Kepala bajak itu mengaduh-aduh karena kepalan tangan yang dicengkeram itu seperti dipanggang dalam api saja rasanya. Panas dan nyeri bukan main, sampai menusuk ke tulang sumsum dan meremas jantung.

"Hemmm, orang macam engkau ini seharusnya dibasmi!" kata Han Beng sambil mendorongkan tangannya dan cengkeramannya dilepaskan. Kepala bajak itu terjengkang dan dia memegangi tangan kanannya yang tulang-tulangnya remuk itu dengan tangan kiri, mengaduh-aduh. Ketika dia melihat anak buahnya masih memegang goloknya, dia membentak.

"Buang senjata kalian dan berlutut minta ampun kepada Tai-hiap!"

Sisa bajak yang tinggal lima orang itu dengan ketakutan lalu membuang golok mereka dan menjatuhkan diri berlutut, mengangguk-angguk seperti sekumpulan ayam mematuki beras sambil minta ampun. Sepuluh orang bajak yang terlempar ke air sungai tadi tidak menderita luka. Mereka berenang dan menuju ke perahu kecil, dengan maksud untuk menangkap gadis cantik di perahu itu.

Akan tetapi, mereka disambut hantaman dayung oleh Giok Cu. Biarpun ada yang mencoba untuk menyelam dengan maksud menggulingkan perahu, namun dayung itu tetap saja dapat menghantam mereka dalam air dan berturut-turut, sepuluh orang bajak sungai itu pingsan dan tubuh mereka hanyut perlahan-lahan?

Han Beng melihat hal itu. Dia khawatir kalau bajak-bajak yang dipukuli dayung oleh Giok Cu itu tewas, maka dia pun berkata kepada para bajak, "Kalian selamatkan dulu kawan-kawan kalian itu!"

Kepala bajak yang masih meringis kesakitan karena buku-buku jari tangan kanannya patah-patah, memerintah, "Cepat tolong mereka!"

Dan lima orang anak buahnya itu berloncatan ke air, berenang dan masing-masing menjambak rambut dua orang kawan yang pingsan dan menyeret mereka ke perahu. Biarpun dengan susah payah, akhirnya mereka berhasil juga menyeret tubuh sepuluh orang bajak yang pingsan itu ke atas perahu.

"Ampun, Taihiap Kami seperti buta saja, tidak mengenal seorang gagah. Bukankah Tai-hiap ini Huang-ho Sin-liong?"

Han Beng mengangguk. "Sebetulnya, sudah menjadi tugasku untuk membunuh kalian semua!"

"Ampun, Tai-hiap, ampunkan kami... kami tidak mengenal Tai-hiap maka berani berbuat lancang..."

"Hmmm, keparat kau! Jadi kalau berhadapan dengan yang kuat kalian tidak berani, akan tetapi kalau berhadapan dengan orang lemah kalian lalu berbuat jahat dan sesuka hati kalian?"

"Ampun, kami tidak berani lagi..." kata kepala bajak.

Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat dan Giok Cu telah berdiri di perahu itu. Melihat ini, kepala bajak dan anak buahnya menjadi semakin terkejut. Baru mereka tahu bahwa bukan hanya Huang-ho Sin-liong yang lihai, bahkan nona yang cantik itu pun lihai bukan main. Dari caranya merobohkan sepuluh orang bajak di air dan caranya meloncat dari perahu kecil ke perahu besar saja sudah membuktikan kelihaiannya.

"Han Beng, kenapa tidak kau bunuh saja semua tikus sungai ini?" kata Giok Cu, sengaja berkata demikian untuk menakut-nakuti mereka.

Dan benar saja, mendengar ucapan itu, kepala bajak dan anak buahnya yang kini banyak yang sudah siuman dari pingsan, segera mengangguk-angguk sambil berlutut ke arah gadis itu.

"Lihiap, ampunkan kami... kami bertaubat..."

"Ingin kami mengetahui, bagaimana caranya kalian akan bertaubat. Kalau sekarang kami mengampuni kalian, lalu kalian kembali akan merajalela dengan perahu kalian ini dan menghadang orang-orang untuk dibajak?" tanya Han Beng.

"Ampun, kami tidak berani lagi. Dahulunya kami adalah nelayan yang mencari ikan dan menjual tenaga untuk mengangkut barang dagangan dengan perahu. Kami akan kembali bekerja seperti dulu..."

"Hemmm, hendak kami lihat apakah kalian akan memegang janji ini. Sekali ini kami suka membebaskan kalian, akan tetapi ingat, kalau satu kali lagi kami mendapatkan kalian membajak, kami tidak akan mengampuni kalian lagi!"

"Baik, Tai-hiap. Dan terima kasih, Tai-hiap, Li-hiap!" Kepala bajak itu dengan girang mengangguk-anggukkan kepalanya dan dia sudah lupa akan tangannya yang nyeri bukan main.

"Mari, Giok Cu, kita lanjutkan perjalanan." Mereka berdua lalu meloncat ke dalam perahu kecil mereka dan menyuruh tukang perahu mengembangkan layar agar pelayaran dapat dipercepat.

Akan tetapi tukang perahu itu bahkan mendayung perahunya ke tepi. "Maafkan, saya tidak berani lagi melanjutkan. Pengalaman tadi sudah cukup bagi saya. Saya harus mengingat nasib anak isteri di rumah. Kalau saya mati di dalam pelayaran ini, biarpun Ji-wi membayar banyak,apa gunanya uang?"

Giok Cu dan Han Beng saling pandang. Lalu Giok Cu berkata, "Kami membutuhkan perahu ini. Kalau engkau tidak berani mengantar kami pun tidak mengapa, akan tetapi perahumu ini harus diserahkan kepada kami. Akan kubeli, jangan khawatir. Kami bukan bajak-bajak macam tadi yang suka merampas milik orang lain!"

Mendengar ini, tukang perahu itu memandang dengan wajah berseri. Dia lalu memberi harga yang pantas dan tanpa menawar lagi Giok Cu membayarnya. Tukang perahu itu menghaturkan terima kasih dan cepat meninggalkan tempat yang dianggapnya amat berbahaya itu.

"Wah, engkau mengeluarkan banyak uang untuk membeli perahu ini, Giok Cu," kata Han Beng.

"Tidak mengapa, aku mempunyai uang, hasil menjual gelang emas pemberian Subo dahulu. Sekarang perahu ini milik kita, lebih leluasa dan dapat kita pergunakan selama kita masih membutuhkan. Kalau sudah tidak kita pakai, dapat dijual atau diberikan kepada nelayan miskin."

Kini mereka berdua melanjutkan perjalanan dan beberapa hari kemudian perahu mereka pun mereka daratkan di kaki Bukit Kim-hong-san. Tempat itu sunyi, maka Han Beng lalu menarik perahu itu ke darat dan menyembunyikannya ke semak belukar sehingga tidak nampak dari luar. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan mendaki bukit.

********************

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning karya kho ping hoo

Liu Tai-jin menerima laporan pembantunya, yaitu Tabib Kui Song dari Siong-an tentang pemberontakan itu dan tentang keterlibatan Cang Tai-jin dengan para pemberontak. Mendengar laporan yang lengkap ini, Liu Tai-jin merasa girang sekali.

"Di mana adanya Huang-ho Sin-liong dan Nona Pendekar itu sekarang?" tanyanya karena dia mempunyai keinginan untuk menarik dua orang muda perkasa yang sudah berjasa besar itu menjadi pembantunya.

"Sayang sekali, Tai-jin. Mereka berdua mengatakan bahwa mereka sudah cukup memenuhi kewajiban dan mereka tidak ingin terlibat dengan urusan pemerintah, juga mereka tidak mengharapkan balas jasa. Mereka telah pergi karena masih mempunyai banyak urusan pribadi yang harus mereka selesaikan."

Pejabat tinggi itu menarik napas. "Sudah kuduga, memang para pendekar itu lebih suka berkelana dengan bebas, tidak mau terikat. Bagaimanapun juga, selama masih ada pendekar-pendekar seperti mereka itu, negara menjadi aman dan kejahatan pun berkurang."

"Akan tetapi, Tai-jin, menurut keterangan yang saya dapatkan, di antara para pemberontak itu pun terdapat banyak mereka yang menamakan diri pejuang dan pendekar!"

"Ah, di mana ada pendekar menjadi pemberontak? Kalau memang rakyat tertindas, mereka akan menentang para penindas. Akan tetapi, sekarang ini rakyat tertindas oleh pejabat-pejabat yang korup. Kalau pemberontakan itu dimaksudkan untuk merebut kekuasaan dan mencari kedudukan, apalagi bersekutu dengan pejabat korup seperti Cang Tai-jin, jelas bahwa pendekar yang bergabung di situ adalah pendekar sesat! Orang yang pada dasarnya hanya mencari kesenangan pribadi dan berkedok sebagai pendekar. Lihat Huang-ho Sin-liong itu. Dialah seorang pendekar sejati! Tidak mau menerima imbalan jasa, tidak mempunyai pamrih keuntungan pribadi dalam sepak terjangnya. Sayang dia tidak mau membantu kita, kalau kita memiliki tenaga seperti dia, alangkah baiknya."

"Akan tetapi, kalau dia menjadi pembantu Tai-jin, berarti dia menjadi seorang petugas negara, bukan seorang pendekar lagi!"

Pembesar itu tersenyum. "Benar juga engkau. Nah, sekarang kita harus mempersiapkan pasukan untuk membasmi para pemberontak dan menangkap Cang Tai-jin!"

Liu Tai-jin lalu menghubungi panglima yang segera mempersiapkan pasukan yang terdiri tidak kurang dari tiga ribu orang. Berangkatlah pasukan itu dengan cepat menuju ke Siong-an dan sarang pemberontak di bukit itu dikepung!

Para pemberontak menjadi terkejut sekali karena tidak menduga bahwa rahasia mereka terbuka, tidak menduga bahwa tempat itu demikian cepat dikepung pasukan pemerintah. Kim-bwe-eng Gan Lok lalu memerintahkan para pembantunya untuk mengatur pasukan melakukan perlawanan. Juga orang-orang Hui, di bawah pimpinan Yalami Cin, melakukan perlawanan mati-matian. Namun, pertempuran itu hanya berlangsung setengah hari saja. Banyak pemberontak dapat ditewaskan atau dilukai dan lebih banyak lagi yang melarikan diri kocar-kacir.

. Kim-bwe-eng Gan Lok dan Kim-pauw-pang Pouw In Tiong tewas dalam pertempuran itu. Akan tetapi Can Hong San yang amat cerdik itu, sebelum keadaan terlalu berbahaya bagi dirinya, sudah lebih dulu lolos dan melarikan diri dari tempat itu. Begitu melihat bahwa persekutuan itu tidak mempunyai harapan, dia pun cepat meninggalkannya. Bahkan ketika dia pergi, dia masih sempat membawa sekantung emas dari kamar "beng-cu" Gan Lok sehingga kini di dalam buntalan pakaiannya, terdapat emas yang cukup banyak!

Dia maklum bahwa cita-cita besar itu telah runtuh dan dia harus dapat menemukan pegangan lain yang lebih kuat. Ayahnya telah tiada, dan dia sekarang hidup seorang diri, maka dia harus dapat menggantikan kedudukan ayahnya yang pernah jaya! Ayahnya telah gagal dalam usahanya memperoleh kedudukan tinggi. Selama dua tahun ayahnya meninggalkan dia, meninggalkan pertapaannya di Himalaya untuk bertualang.

Dan dari ayahnya dia mendengar bahwa ayahnya telah mendirikan suatu kelompok penganut atau penyembah Thian-te Kwi-ong (Raja Iblis Bumi Langit) dan menurut ayahnya, banyak orang yang sudah menjadi pengikutnya, dan yang menyebarkan kepercayaan itu, terutama sekali adanya seorang murid dan pembantunya, yaitu Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu! Dia itulah yang harus dicarinya. Dia harus menggantikan kedudukan ayahnya, mengepalai kelompok itu dan memperkuat diri!

Dia sama sekali tidak merasa menyesal bahwa dia telah membunuh ayahnya sendiri. Ayah kandungnya. Kalau tidak dibunuhnya, tentu dia yang mati di tangan ayahnya. Bahkan kebetulan sekali ayahnya mati, karena dia dapat malang, melintang, menggantikan kedudukan ayahnya. Dia pernah mendengar dari ayahnya akan nama tokoh-tokoh dunia kang-ouw yang kiranya akan dapat dijadikan sekutunya.

Mereka itu selain Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu, juga Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu, yang tinggal di Ceng-touw. Kemudian Siangkoan Hok, kepala bajak laut yang tinggal di Pulau Hiu, dan Ouw Kok Sian, majikan daerah pegunungan Liong-san. Dia harus menemui mereka, mengajak mereka bersekutu dengan menggunakan nama ayahnya. Kalau mereka tidak mau, akan dipaksanya!

Demikianlah, pada suatu pagi tibalah dia di kota Ceng-touw di Propinsi Shan-tung. Tidak sukar baginya untuk menemukan rumah Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu yang amat terkenal di dunia kang-ouw. Setelah menemukan rumah Ban-tok Mo-li, rumah yang megah dan indah itu, dia pun langsung saja memasuki pekarangan rumah dengan sikap yang amat tenang.

Memang rumah itu tempat tinggal Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu. Sekitar enam tujuh tahun yang lalu, Bu Giok Cu pernah tinggal di tempat itu sebagai murid Ban-tok Mo-li yang cantik dan lihai. Akan tetapi sekarang, keadaan wanita iblis itu sudah mengalami banyak perubahan. Kini Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu sudah berusia lima puluh tujuh tahun, sudah seorang nenek. Akan tetapi nenek yang bagaimana! Biarpun usianya sudah ima puluh tujuh tahun, ia masih nampak cantik pesolek, dengan pakaian mewah!

Dan tentang ilmu kepandaian, ia malah lebih lihai dan lebih matang dibandingkan tujuh tahun yang lalu. Seperti kita ketahui, tujuh tahun yang lalu, karena tidak cocok dengan perbuatan gurunya yang menjadi pengikut penyembah Thian-te Kwi-ong dan menjadi kekasih Lui Seng Cu, tokoh sesat yang memimpin kelompok penyembah Raja Iblis itu, Giok Cu, melarikan diri dari rumah itu. Ia dikejar oleh Ban-tok Mo-li dan Lui, Seng Cu, dan tentu sudah tertawan kembali kalau saja tidak ditolong oleh Hek-bin Hwesio dan kemudian menjadi muridnya.

Sejak dihajar oleh Hek-bin Hwesioi itulah, Ban-tok Mo-li dan Lui Seng Cu lebih banyak berdiam di rumah. Akan tetapi mereka tidak tinggal diam, sebaliknya mereka berdua itu menggembleng diri dengan bermacam ilmu, menggabungkan ilmu mereka berdua, dan selain itu juga mereka memperkembang-luaskan! penyembahan Thian-te Kwi-ong sehingga memperoleh banyak sekali pengikut! Dengan ilmu silat dan sihir yang dikuasa Lui Seng Cu, mereka dapat menarik minat banyak orang, terutama sekali dari dunia sesat.

Bahkan kini, untuk melakukan upacara sembahyang pemujaan Thian-te Kwi-ong, di samping kanan rumah Ban-tok Mo-li didirikan sebuah bangunan seperti kelenteng dan di sini ditaruh sebuah patung Thian-te Kwi-ong yang menyeramkan. Dan mulai terkenallah suatu aliran kepercayaan atau agama baru yang dikenal dengan sebutan Thian-te-kauw (Agama Bumi Langit)!

Namun, tidak seperti agama lain yang menganjurkan kehidupan beribadat dan saleh, di mana para petugasnya mengenakan pakaian sederhana bahkan ada yang diharuskan mencukur rambut, berpantang makanan bernyawa dan pantang kesenangan duniawi, para pengikut Thian-te-kauw ini tidak ada pantangan apa pun! Bahkan para anggauta yang bekerja di dalam kelenteng itu, baik prianya maupun wanitanya, terdiri dari orang-orang muda yang tampan dan cantik, mengenakan pakaian serba indah pesolek, berdandan dan berias muka! Satu-satunya tanda bahwa mereka adalah petugas dan anggauta Thian-te-kauw hanyalah adanya lencana di dada mereka, tanda gambar bulatan Im Yang berwarna merah dan putih!

Banyak orang berduyun datang untuk menjadi anggauta, atau sekedar untuk bersembahyang di dalam kelenteng itu minta berkah, minta ringan jodoh, obat, rejeki dan sebagainya. Atau ada yang hanya ingin mengagumi para pelayan kelenteng yang cantik-cantik dan tampan-tampan! Dan lebih daripada itu, mereka itu murah senyum, mudah bergaul dan mudah pula diajak kencan!

Akan tetapi, keadaan yang menyenangkan dan menarik minat masyarakat biasa ini hanya di luar saja. Di sebelah dalam, Lui Seng Cu yang dibantu Ban-tok Mo-li memperkuat diri! Mereka menarik banyak tokoh sesat untuk bergabung dan bersekutu, juga di samping itu, para anggauta yang sudah dipercaya, lalu digembleng ilmu silat sehingga kini jumlah anggauta Thian-te-kauw yang sudah lihai ilmu silatnya terdapat ratusan orang. Mereka ini lalu disebar ke daerah lain untuk memperkembangkan Thian-te-kauw.

Selama tujuh tahun saja, Thian-te-kauw meluas dan memiliki cabang di banyak tempat, dengan kelenteng-kelenteng yang mewah dan menyenangkan. Mulailah banyak uang mengalir masuk, karena pandainya para anggauta Thian-te-kauw menyebar berita bahwa kelenteng Thian-te-kauw amat manjur dan bahwa Thian-te Kwi-ong memenuhi segala permintaan orang. Mungkin karena amat percaya, maka banyak orang terkabul keinginan hati mereka setelah melakukan sembahyang di kelenteng Thian-te-kauw, dan untuk imbalan, mereka memberi sumbangan yang besar sehingga Thian-te-kauw, dalam waktu tujuh tahun saja, menjadi perkumpulan agama baru yang kaya!

Demikianlah keadaan Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu dan Lui Seng Cu sekarang. Lui Seng Cu dahulunya merupakan seorang perampok tunggal yang ditakuti karena dia lihai sekali. Terutama sekali permainan goloknya amat dahsyat. Golok besarnya itulah yang membuat dia di juluki orang Hok-houw Toa-to (Si Golok Besar Penaluk Harimau). Akan tetapi setelah dia bertemu dan ditalukkan oleh mendiang Cui-beng Sai-kong, dia lalu menjadi murid dan pembantu datuk besar itu, bahkan lalu menjadi penyebar kepercayaan baru yang memuja Thian-te Kwi-ong itu. Melalui kepercayaan ini pula dia berhasil memikat hati Ban-tok Mo-li yang kemudian menjadi pembantu dan juga kekasihnya. Bahkan tempat tinggal Ban-tok Mo-li di kota Ceng-touw dijadikan pusat Thian-te-kauw!

Ketika Can Hong San memasuki pekarangan dan melihat banyak orang mendatangi bangunan kuil di sebelah rumah besar itu, dia pun tertarik dan menuju ke kuil itu. Di depan kuil itu dia melihat papan yang bertulisan dengan huruf besar THIAN TE KAUW dan dia pun menahan senyumnya. Agaknya pembantu dan murid ayahnya, Hok-houw Toa-to Li Seng Cu bekerja dengan amat baiknya menyebar-luaskan agama baru itu, pikirnya. Kalau ayahnya masih hidup, tentu dia akan senang sekali. Kini karena ayahnya sudah tidak ada, dialah yang senang.

Thian-te-kauw! Inilah sesuatu yang dapat dijadikan dasar untuk memperkuat diri! Dan dia sudah sepatutnya menjadi ketua Thian-te-kauw! Kiranya, selain ayahnya, hanya dia seorang yang mampu mengubah diri menjadi Thian-te Kwi-ong! Dia lalu memasuki kuil dan melihat-lihat keadaan. Seorang anggauta Thian-te-kauw yang bertugas di kuil itu menghampirinya. Dia seorang pria muda yang tampan dan usianya kurang lebih dua puluh tahun, namun sikapnya ramah sekali, keramahan yang merupakan syarat dari tugasnya.

“Selamat pagi, Kongcu. Dapatkah saya membantumu? Hendak sembahyang apakah ? Pemujaan? Atau pernyataan syukur?"

Hong San tersenyum. Dia melihat betapa para petugas di kuil itu semua masih muda dan para tamu pria dilayani pelayan pria yang muda dan tampan, pura tamu wanita dilayani gadis-gadis yang manis pula. Tidak seperti kuil biasa. Mereka berpakaian seragam putih kuning, bukan jubah pendeta, dan hanya di dada mereka terdapat tanda anggauta Thian-te-kauw.

"Terima kasih, aku ingin sembahyang dan ada permohonan," katanya.

Pelayan kuil itu mendekat dan bertanya dengan suara lirih. "Permohonan apakah, Kongcu? Jodoh? Rejeki? Pangkat? Obat?"

Hong San juga berbisik ketika menjawab, "Aku ingin mengajukan permohonan agar berhasil menjadi ketua sebuah perkumpulan."

Pemuda itu terbelalak dan menatap wajah Hong San. "Kongcu masih semuda ini sudah memiliki cita-cita besar! Sungguh mengagumkan! Kedudukan ketua? Kedudukan... itu sama dengan pangkat. Mari, Kongcu, jangan khawatir, saya akan memberi petunjuk bagaimana caranya melakukan sembahyang mengajukan permohonan."

Dengan cekatan dan menyenangkan, pemuda itu lalu menjadi penunjuk cara bersembahyang. Hong San menurut saja dan setelah bersembahyang mengajukan permohonannya untuk "menjadi ketua perkumpulan" tanpa menyebut nama perkumpulan itu, dia dianjurkan untuk mengambil jawaban melalui "ciam", yaitu batang-batang bambu yang bernomor. Setelah memperoleh nomor jawaban, pelayan kuil itu mengambilkan kertas bertulis yang nomornya sama dengan nomor batang bambu yang terpilih oleh Hong San. Hong San menerima kertas itu dan membaca syair yang ditulis dengan indahnya.

Bulan sedang cemerlang,langit tiada awan,hindari bayang-bayang, agar mencapai tujuan.

"Boleh saya tafsirkan syair jawaban ini untukmu, Kongcu?" tanya Si Petugas.

Hong San tersenyum. Tidak ditafsirkan pun dia sudah tahu, akan tetapi dia hendak melihat bagaimana petugas itu bergaya. Diberikannya kertas jawaban itu. Si Petugas yang masih muda membacanya lalu mengangguk-angguk dengan wajah cerah.

"Aih, ternyata Thian-te Kwi-ong memberkahimu, Kongcu. Permohonanmu terkabul! Coba dengarkan. Bulan sedang cemerlang, langit tiada awan, berarti bahwa waktunya amat baik bagi Kongcu dan tidak terdapat halangan sesuatu untuk mencapai tujuan. Akan tetapi di sini ada kalimat hindari bayang-bayang agar mencapai tujuan. Kongcu diperingatkan agar berhati-hati dan jangan tergoda, jangan goyah dan mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada kedudukan ketua yang hendak Kongcu capai. Nah, jawaban ini jelas dan juga amat baik, bukan?"

Hong San mengangguk dan tersenyum. Dia dapat menduga bahwa tentu semua jawaban di kuil itu mengandung harapan yang menyenangkan bagi para tamu, dengan diberi syarat tertentu. Kalau dia gagal, misalnya, maka jawaban itu tetap tepat karena bukankah di situ sudah diperingatkan tentang bayang-bayang yang harus dihindarkan? Kalau gagal berarti dia tidak berhasil menghindarkan bayang-bayang itu! Sungguh jawaban yang amat cerdik. Menyenangkan dan memberi harapan sekaligus juga bersyarat untuk menjaga kegagalan.

Dia mengucapkan terima kasih dan menyerahkan sumbangan yang cukup besar. Petugas itu menerima dengan gembira. "Semoga Thian-te Kwi-ong memberkatimu, Kongcu. Untung sekali Kongcu datang hari ini karena mulai besok, selama tiga hari, kuil akan tutup dan tidak menerima tamu."

"Eh, kenapa?"

"Perkumpulan kami akan mengadakan perayaan ulang tahun untuk ke tiga kalinya bagi Kauw-cu (Kepala Agama) kami."

"Kenapa harus ditutup?"

"Karena kami seluruh petugas harus menghadiri upacara perayaan itu yang akan diadakan di sini. Terpaksa tidak melayani umum selama tiga hari."

"Jadi yang boleh hadir hanyalah para anggauta Thian-te-kauw?"

"Benar, Kongcu. Tentu saja ada pula tamu-tamu yang diundang, yaitu sahabat dari para pimpinan kami. Nah, selamat jalan, Kongcu. Semoga Kongcu berhasil menjadi ketua perkumpulan itu. Oya, perkumpulan apakah itu, Kongcu?"

Sambil melangkah pergi, Hong San menjawab singkat, "Thian-te-kauw."

Petugas itu terbelalak dan bengong memandang Hong San yang melangkah pergi meninggalkan kuil. Dia ragu-ragu Keliru dengarkah dia? Ataukah ada nama perkumpulan yang sama? Ataukah pemuda yang nampaknya kaya raya itu memang sinting? Kemudian dia mengangkat pundak. Bagaimanapun juga, pemuda itu telah memberi derma yang cukup banyak untuk kuil mereka. Dia pun melupakan Hong San dan melayani tamu lain. Hari itu memang banyak tamu berkunjung ke kuil karena sudah tersiar kabar bahwa kuil Thian-te-kauw atau juga kuil Thian-te Kwi-ong akan berlibur dan ditutup selama tiga hari.

Mendengar laporan petugas tadi bahwa mulai besok Thian-te-kauw akan mengadakan perayaan ulang tahun dari kauw-cu, Hong San tidak jadi berkunjung kepada Ban-tok Mo-li. Sebaliknya, dia mencari keterangan tentang Thian-teauw kepada penduduk Ceng-touw dan mendengar bahwa kauw-cu (ketua agama) Thian-te-kauw adalah Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu, sedangkan Ban-tok Mo-li adalah pangcu (ketua perkumpulan) Thian-te-pang yang berdiri sebagai perkumpulan yang mengurus tentang Thian-te-kauw dan penyebarannya. Dia lalu kembali ke rumah penginapan di mana ia menyewa sebuah kamar.

Kini tahulah dia bahwa murid mendiang ayahnya itu mengangkat diri menjadi ketua Thian-kauw dan agaknya ada persekutuan antara dia dengan Ban-tok Mo-li yang nenjabat ketua perkumpulan Thian-te-pang. Baik sekali pikirnya dan dia mengambil keputusan untuk mengangkat diri menjadi ketua umum di atas kedua orang pemimpin itu, baik secara halus maupun Kasar. Untuk itu dia telah membuat persiapan.

Bagaimanapun juga, murid ayahnya itu masih setia menggunakan patung buatan ayahnya, yaitu patung Thian-te Kwi-ong yang menyeramkan, presis wajah patung itu dengan topeng yang dibawanya untuk keperluan mengubah diri menjadi Thian-te Kwi-ong! Ilmu mengubah diri dengan penyamaran yang amat rapi ini dia pelajari dari ayahnya, berikut ilmu sihir dan penggunaan obat pasang yang mengeluarkan asap tebal.

Keterangan yang diberikan petugas kuil kepada Hong San itu memang benar. Thian-te-kauw yang urusan luarnya dilaksanakan oleh perkumpulan Thian-te-pang, akan mengadakan perayaan ulang tahun dari ketua perkumpulan agama itu. Ketua Thian-te-kauw adalah Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu dan kalau semua anggauta mengenakan pakaian biasa walaupun para petugas kuil berseragam kuning putih.

Nmun ketuanya ini kalau bertemu dengan orang luar atau kalau kebetulan keluar dari kuil selalu mengenakan jubah longgar berwarna kuning walaupun rambutnya tidak dicukur. Tiga tahun yang lalu, setelah bersama Ban-tok Mo-li berhasil mengembangkan Thian-te-kauw, Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu secara resmi, disaksikan semua anggauta dan para tamu undangan, menyatakan dirinya sebagai kauw-cu (kepala agama) dari Thian-te-kauw. Sedangkan Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu diangkat menjadi pangcu (ketua perkumpulan) dari Thian-te-pang.

Karena kedua orang ketua ini dapat bekerja sama dengan amat baiknya dan keduanya memang merupakan tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi, maka Thian-te-pang menjadi perkumpulan yang besar dan berpengaruh, sedangkan Thian-te-kauw juga menarik banyak orang menjadi anggautanya. Kedua orang tokoh ini tidak bodoh. Mereka tidak mau lagi sembarangan melakukan upacara korban kepada Thian-Te Kwi-ong dengan darah pemuda dan perawan.

Kalau hal ini mereka lakukan, maka mereka melaksanakannya dengan sembunyi dan hanya untuk kepentingan mereka memperkuat ilmu hitam mereka saja. Bagi para anggauta dan penganut, korban berupa sumbangan barang berharga atau uang.

Untuk menyambut perayaan peringatan ulang tahun yang ke tiga, semua anggauta Thian-te-pang datang berkumpul. Jumlah mereka tidak kurang dari tiga ratus orang! Dan mereka juga mengundang sahabat-sahabat mereka yang terdiri dari tokoh-tokoh dunia kang-ouw para tokoh sesat yang biarpun tidak menjadi anggauta Thian-te-pang dan bukan penganut Thian-te-kauw, namun merupakan sahabat dari Ban-tok Mo-li atau dari Lui Seng Cu...