Naga Beracun Jilid 06 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

"APAKAH engkau berani menjamin bahwa Cin Cin akan diperlakukan dan dirawat dengan baik oleh Cia Ma?"

Melihat pancingannya berhasil, Sui Su menjadi girang sekali. Kalau jual beli itu jadi, ia tentu Mendapat imbalan dari Cia Ma! "Tentu saja, kujamin dengan nyawaku, toako! Kau kira aku ini orang yang akan diam saja kalau melihat anak perempuan itu diperlakukan tidak baik? Aku yang akan menjaga dan melindunginya. Akan tetapi, kalau engkau setuju, aku harus melihat dulu wajah anak Itu, agar aku dapat melapor kepada Cia Ma!" Padahal, Sui Su Ingin melihat agar la dapat memasang harga untuk anak itu. Demi keuntungannya, tentu saja!

Lai Kun jatuh! Dia memang sedang kebingungan Cin Cin berkeras tidak mau diantar ke rumah pendekar Si Han Beng, berkeras minta pulang untuk mencari ibunya. Ini saja sudah merupakan masalah merepotkan baginya. Belum lagi kerewelan anak itu. Bagaimana dia akan mempertanggung-jawabkan kepada penduduk dusun Ta-bun-cung kalau dia pulang lagi bersama Cin Cin ke sana?

Malam itu Juga, Lai Kun mengajak Sui Su untuk pergi ke rumah penginapan. Hari sudah larut malam dan Sui Su lebih dahulu menemui Cia Ma, berbisik-bisik dan Cia Ma dengan wajah cerah mengijinkan Sui Su pergi bersama Lai Kun. Dengan hati-hati Lai Kun membuka pintu kamarnya dan ternyata Cin Cin tidur pulas, terlentag di atas pembaringan tanpa membuka sepatunya.

Lai Kun menyalakan dua batang lilin lagi di atas meja sehingga sinar lilin cukup terang, menerangi wajah Cin Cin yang agak menghadap keluar sehingga Sui Su dapat mengamati wajah itu sepenuhnya. Diam-diam ia kagum bukan main! Wajah itu demikian cantik, manis dan mungil, dan kulit muka dan leher itu demikian putih mulus! Seorang anak yang kelak pasti akan menjadi gadis yang cantik jelita Ini berarti la untung besar!

Sedikitnya Cia Ma akan berani membayar dua ratus perak untuk anak seperti ini, apalagi kalau disertai surat pernyataan "Jual beli". Dan ia akan menerima imbalan pula di samping keuntungannya sendiri! Sui Su memberi isyarat kepada Lai Kun untuk meniup lilin-lilin itu agar jangan mengganggu Cin Cin, kemudian mengajak pria itu keluar kamar.

"Bagaimana pendapatmu?" tanya Lai Kun dengan hati tegang, khawatir kalau sampai Cin Cin ditolak. Ketegangan Lai Kun ini saja membuat Sui Su diam-diam bersorak.

"Hem, tidak buruk, juga tidak terlalu istimewa. Akan tetapi akan kuusahakan agar Cia Ma suka membayar seratus duapuluh lima tail perak untuk anak itu."

"Seratus dua puluh lima tail? Aihhh kalau benar, akan kuhadiahkan sepuluh tail untukmu, Sui Su!"

Sui Su tersenyum. Hujan keuntungan berjatuhan dari depan belakang! Ia berbisik, "Harus diatur agar anak itu tidak curiga dan mau kau tinggalkan di sana. Aku malam ini juga akan bicara dengan Cia Ma. Engkau besok pagi-pagi bawa anak itu ke sana. Katakan bahwa engkau akan melakukan penyelidikan karena mendengar bahwa ibu anak itu berada di sekitar daerah ini, dan kau titipkan anak itu kepadaku, untuk sehari saja. Kalau mendengar bahwa engkau akan menyelidiki tentang Ibunya, tentu la tidak banyak rewel. Kemudian, engkau akan kutemui, akan kuserahkan uang itu dari Cia Ma. dan engkau hanya tinggal menandatangani surat penyerahan anak itu."

Lai Kun diam-diam merasa girang sekali. Dia akan menerima seratus duapuluh lima tail perak! Akan tetapi mendengar tentang penandatanganan itu alisnya berkerut. "Harus menanda tangani?"

Sui Su mengusap dagu pria itu dengan sikap mesra. "Tentu saja, toako Kalau tidak, salah-salah kami akan di tuduh menculik anak itu!"

Lai Kun mengangguk-angguk maklum, walaupun dia sama sekail tidak mengerti tentang urusan seperti itu. Sui Su memasuki tandu dan dipikul oleh empat orang pemikul tandu, pulang ke rumah pelesir Ang-hwa, sedangkan Lai Kun masuk lagi ke kamarnya. Namun, semalam dia tidak dapat tidur pulas. Bagaimanapun juga. dia merasa tegang. Pertama, dia akan menyerahkan Cin Cin kepada orang lain, bukan kepada pendekar sakti Si Han Beng. Untuk ini, kalau kelak ada pertanyaan, mudah saja baginya untuk membela diri.

Dia akan menyatakan bahwa karena Cin Cin tidak mau diajak kesana, terpaksa dia menyerahkan kepada orang lain yang berbalk hati untuk merawat dan mendidik Cin Cin. Dan dia tidak berbohong karena memang Cin Cin tidak mau diajak melanjutkan perjalanan berkeras ingin pulang mencari ibunya. Ke dua, dia akan menerima uang yang banyak. Sudah ada uang yang diterimanya dari kakek Coa Song, kini ditambah seratus duapuluh lima tail. Dia menjadi kaya!

Tentu saja dia menganggap demikian karena dia memang selama hidupnya belum pernah memegang uang sebanyak itu. Dia membayangkan menjadi pedagang yang berhasil dengan modal itu, hidup senang di tempat lain, hidup baru dan mungkin dia akan mengambil seorang wanita untuk menjadi isterinya. Yang secantik Sui Su, selembut dan sehangat Sui Su! Dan hidupnya akan berbahagia.

Lamunan ini yang membuat dia tidak dapat tidur. Sebetulnya, dia merasa kasihan kepada Cin Cin murid keponakan yang sudah dekat dengan dia sejak kecil itu. Akan tetapi, akan lebih menyedihkan lagi kalau Cin Cin diajak pulang ke Ta-bun-cung. Ayahnya sudah tewas dan ibunya dilarikan penjahat! Lebih baik Cin Cin hidup dekat Cia Ma dan terutama dekat Sui Su yang demikian lembut dan ramah. Tentu ia akan menjadi seorang gadis yang cantik dan bahagia kelak!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cin Cin sudah bangun, dan ia sudah menghampiri pembaringan Lai Kui dan menggoyang pundak orang itu. "Susiok. bangun! Susiok... cepat bangun!"

Belum ada dua jam Lai Kun dapat tertidur dan tentu saja ia terkejut ketika pundaknya diguncang. Ia terbangun dan bangkit duduk, memandang anak itu. "Susiok, mari kita berangkat. Pulang!"

"Hemm, nanti dulu, Cin Cin. Aku mempunyai kabar yang baik sekali."

Anak Itu mengerutkan alisnya dan menatap tajam, penuh curiga. "Kabar baik apa, Susiok? Aku ingin pulang dan mencari ibu!"

"Justeru ini kabar mengenai ibumu Cin Cin. Semalam aku berjalan-jalan dan aku mendengar tentang ibumu."

Wajah anak itu berseri dan pandang matanya penuh ketegangan. "Benarkah itu, paman? Di mana ibu?"

"Sabarlah, Cin Cin. Aku baru mendengar beritanya saja semalam dari orang-orang yang kupercaya. Katanya mereka melihat ibumu yang diculik oleh penjahat, di sekitar daerah ini..."

"Kalau begitu, mari sekarang juga kita ke sana, Susiok!"

"Ahh, bagaimana mungkin mengajakmu, Cin Cin? Ka utahu, penjahat itu berbahaya sekali. Aku harus menyelidikinya sendiri. Mungkin aku harus menyerang penjahat itu untuk menyelamatkan lbumu Karena itu, untuk satu hari saja engkau akan kutitipkan kepada orang-orang yang kupercaya itu."

"Engkau pergilah sekarang juga menolong ibuku, susiok. Aku akan menunggumu di sini..."

"Aih, mana bisa begitu? Kalau penjahat itu tahu engkau puteri ibumu, mungkin engkau akan diculiknya pula untuk memaksa ibumu! Tidak, sebaiknya engkau kutitipkan di rumah teman-temanku itu, agar hatiku tenang, ada yang menjagamu”

"Aku di sini saja! Aku tidak mau di tempat lain!" Cin Cin berkeras.

"Hemm, Cin Cin! Kenapa engkau selalu rewel dan tidak menurut kata-kataku. Aku harus melindungimu, bagaimana aku dapat meninggalkanmu seorang diri ditempat umum begini? Tidak, kalau engkau tidak mau kutitipkan kepada orang-orang yang kupercaya, akupun terpaksa tidak berani pergi meninggalkanmu. Aku tidak akan menyelidiki keadaan Ibumu!”

"Ih, jangan begitu, Susiok! Apakah Susiok tega membiarkan ibu di tangan penjahat? Baiklah, aku akan menunggu di rumah teman-temanmu. Akan tetapi siapakah mereka? Bagaimana Susiok yang baru saja tiba di sini dapat mempunyai teman-teman baik di sini?"

“Hemm, anak ini cerdik luar biasa. Aku harus berhati-hati, demikian pikir Lai Kun. "Memang baru semalam aku bertemu dengan mereka. Dan mereka itulah yang memberi kabar tentang ibumu itu kepadaku. Aku bertemu dengan seorang wanita di rumah makan. Melihat aku murung, ia bertanya dan kami bercakap-cakap. Dan iapun memberi kabar tentang ibumu itu. Kau bisa bertanya sendiri padanya kalau bertemu dengannya."

"Seorang wanita? Ah, aku mau pergi ke sana. Mari sekarang juga kita pergi Susiok, agar engkau dapat segera mencari ibuku."

Lai Kun lalu berkemas, membayar sewa kamar, kemudian mengajak Cin Cin pergi ke rumah pelesir. Ang-hwa. Pagi hari itu, rumah itu sunyi tidak ada tamu berkunjung, dan para gadis penghibur juga enggan keluar dari kamar di mana mereka masih tidur kelelahan. Akan tetapi Sui Su sudah berdandan rapi dan menunggu di ruangan depan. Begitu Lai Kun muncul bersama Cin Cin wanita Itu lalu menyambut dengan sikap ramah sekali.

"Aih, Lai-toako. Pagi benar engkau datang!" katanya. "Dan anak ini, siapakah ia? Anak yang baik, mari, duduk di sini, dekat bibi."

"Nona Sui Su, aku datang pagi-pagi untuk menitipkan murid keponakanku ini di sini, untuk sehari saja. Aku akan segera menyelidiki tentang isteri suhengku itu. Dan anak ini bernama Kam Cin, panggilannya Cin Cin, la puterl mendiang suheng."

"Aihh, Jadi Inikah yang kaucerita kan semalam? Kasihan sekali. Baiklah biar di sini la menunggu kau. Aku akan menjaganya baik-baik. Engkau cepat cari Ibu anak Ini, toako. Kasihan sekali..."

Pada saat Itu, Cia Ma muncul. Wanita yang gembrot ini mengamati Cin Cin dengan penuh selidik dan agaknya ia merasa puas. Ia tersenyum dan berkata. “Ah, kiranya tuan Lai Kun yang datang. Selamat pagi! Dan siapa anak ini?" Ia mendekat dan mengelus kepala Cin Cin dengan sikap menyayang. "Anak manis siapa namamu?"

Cin Cin merasa senang. Orang-orang di sini ramah, pikirnya. "Namaku Cin Cin!"

Lai Kun lalu berkata kepada Cin Cin "Cin Cin, engkau di sini dulu, ya' Tunggu aku sehari di sini, setelah berhasil aku akan menjemputmu..."

"Cin Cin, mari main-main di dalam! Engkau belum makan pagi, bukan? Ada bubur ayam di dalam, enak sekail mari kita makan minum di dalam, biar paman gurumu mencari ibumu. Mari, anak manis!" Cia Ma menggandeng tangan anak itu dan Cin Cin bangkit dari tempat duduknya. Akan tetapi sebelum masuk, la menoleh kepada Susioknya.

"Susiok, berhasil atau tidak, aku menunggumu sampai sore. Kalau sampai malam nanti engkau tidak datang, aku akan mencari sendiri!" katanya dengan nada mengancam. Lai Kun mengangguk dan lapun keluar bersama Sui Su yang membawa buntalan berat.

Sui Su menyerahkan uang seberat seratus limabelas tali perak dan berkata, "Ini seratus limabelas, sudah kupotong sepuluh tail seperti yang kau janjikan dan harap engkau suka menandatangani surat penyerahan ini..."

Lai Kun membaca surat itu yang mengatakan bahwa dia menyerahkan anak bernama Kam Cin kepada Cia Ma dengan Imbalan uang sebanyak duaratus tail perak dan bahwa sejak saat itu dia tidak boleh menemui Cin Cin, apa lagi mengajaknya pergi karena Cin Cin telah menjadi anak angkat Cia Ma!

“Dua ratus tail?” tanyanya dengan heran.

Sui Su tersenyum manis. “Aih seperi engkau tidak tahu saja urusan dagang, toako Dengan surat ini, andaikata ada orang yang mau menebus Cin Cin maka Cia Ma tentu saja menghendaki keuntungan."

Lai Kun percaya, apa lagi dia sudah merasa puas dengan jumlah yang di terimanya. Hanya tentu saja dia tidak menyangka bahwa yang tujuhpuluh lima tail merupakan bagian Sui Su yang mencatut harga itu! Karena dalam surat itu tidak diutarakan jual-beli maka diapun dapat pergi dengan hati ringan. Dia tidak menjual Cin Cin. melainkan menyerahkan kepada orang yang akan dapat merawatnya dengan baik. Dia tidak menjual, hanya menyerahkan dan dia menirma imbalan, bukan hasil penjualan! Demikian dia menghibur diri sendiri dan diapun cepat pergi meninggalkan rumah pelesir itu, dan langsung meninggalki kota Ji-goan!

"Aku harus pergi dari sini! Sekarang juga!" kata Cin Cin pada keesokan harinya, setelah malam tadi Cia Ma dan Sui Su berhasil membujuknya untuk meliwati semalam itu. Cin Cin sudah marah-marah dan semalam hampir tidak tidur. Maka pagi-pagi la terbangun, langsung la menanyakan apakah paman-gurunya sudah kembali. Ketika dijawab belum, la lalu marah dan nekat untuk meninggalkan tempat itu, membawa buntalan pakaiannya.

"Cin Cin, anak baik, engkau hendak pergi ke mana? Engkau tidak membawa bekal uang, dan perjalanan amat jauh!" Sui Su mencoba untuk membujuk.

“Semua uang dibawa oleh Susiok! Aku sekarang tahu, dia pasti menipuku! Aku tidak sudi bersama dia lagi. Aku mau pulang, aku mau mencari ibu!" kata anak itu sambil mengenakan sepatunya dan setelah mengikat buntalan pakaian di punggungnya, la lalu bergegas hendak keluar dari pintu kamarnya.

"Tidak, engkau tidak boleh pergi!' Sui Su kini tidak sabar lagi. Bagaimanapun juga, tentu saja anak Ini tdak boleh pergi.Ia sudah menyimpan delapanpuluh lima tali sebagal keuntungan nya! Ia kini memegang lengan anak itu untuk menahannya.

"Bibi Sui Su, lepaskan aku! Aku mau pergi dan siapapun tidak boleh menahan dan menghalangiku!" Cin Cin membentak marah.

"Cin Cin, engkau tidak boleh pergi sebelum paman gurumu kembali! Dia menitipkan engkau di sini. Kami bertanggung-jawab dan harus menahanmu di sini sampai dia kembali. Engkau tidak boleh pergi!" kata Sui Su dan pegangan pada lengan anak itu semakin kuat.

"Bibi Sui Su, sekali lagi. lepaskan aku. Engkau sudah bersikap baik jangan membuat aku marah dan menganggap engkau Jahat!"

"Cin Cin, engkaulah yang jahat kalau memaksa pergi. Kami bertanggung-jawab dan harus menahanmu di sini."

Kini Cin Cin memandang marah. "Bagus! Agaknya bibi bersekutu dengan susiok untuk menahanku di sini, ya?" Tiba-tlba Cin Cin menarik tangannya yang memegang kuat sehingga Sui Su mengerahkan tenaga menahan dan menarik. Mendadak Cin Cin memutar lengannya dan mendorong! Karena-saat Itu. Sui Su sedang mempertahankan dan menarik, maka dorongan yang tiba-tiba itu membuat ia terjengkang dan terhuyung, pegangannya terlepas!

Cin Cin yang sejak kecil sudah dilatih Ilmu silat oleh mendiang ayahnya itu, segera meloncat ke arah pintu untuk melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba di pintu muncul Cia Ma. Tubuhnya yang gembrot memenuhi pintu sehingga Cin Cin tidak dapat keluar.

"Eh, anak manis. Engkau hendak pergi ke manakah?" tanya Cia Ma sambil mengembangkan kedua lengannya sehingga makin penuhlah lubang pintu itu.

"Cia Ma, biarkan aku pergi dari sini! Susiok Lai Kun menipuku!" kata Cin Cin dengan sabar karena sejak kemarin nenek gendut itu bersikap amat baik dan ramah kepadanya.

"Cia Ma, tahan anak itu! Ia hendak memaksa melarikan diri!" Sui Su yang tadi terjatuh dan pantatnya terbanting agak keras di atas lantai sehingga terasa nyeri, kini merangkak bangun dan berteriak kepada Cia Ma.

"Ehh? Cin Cin, engkau tidak boleh pergi dari sini! Engkau sudah menjadi anak angkatku. Dengar, engkau sudah jadi anakku. Tempat tinggalmu disini dan engkau tidak boleh pergi dari sinl!" kata Cia Ma, kini tidak lagi manis dan lembut melainkan keras karena la tahu bahwa sekarang saatnya menggunakan kekerasan untuk menakut-nakuti Cin Cin.

Akan tetapi ia salah besar kalau hendak menakut-nakuti anak perempuan berusia lima tahun itu. Melihat sikap dan mendengar ucapan Cia Ma, Cin Cin membelalakkan matanya dan mengepal tinjunya. "Ah, kiranya engkaupun bersekongkol dengan suslok, nenek gendut Siapapun tidak boleh menahanku disini!" Dan la pun menerjang nenek itu, kakinya menendang.

"Tukk!" Sepatunya menendang tepat mengenai tulang kering kaki kiri Cia Ma.

“Aduh... aduh, aduhh... anak setan... aduhh...!" Cia Ma berjingkrak dengan kaki kanannya sambil berusaha mengelus atau memegang kaki kiri dengan kedua tangannya yang agaknya terlalu pendek.

“Minggir kau!" Cin Cin membentak dan ia menyeruduk ke depan, menggunakan pundaknya untuk menerjang nenek yang sedang berjingkrak dengan sebelah kaki itu.

“Aughhh... brukkk...!" tentu saja Cia Ma terjatuh, terpelanting dan pinggulnya yang besar itu menimpa meja tepat pada ujung meja segi empat yang runcing. Melihat kesempatan ini, Cin Cin lari keluar dari dalam kamar itu.

"Cin Cin, jangan lari!" teriak Sui Su sambil mengejar.

Dari ruangan luar menerobos masuk dua orang laki-laki yang usianya sekitar empatpuluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bersikap garang. Mereka adalah dua orang tukang pukul yang dipelihara oleh Cia Ma. Mereka mendengar teriakan majikan mereka, maka mereka la-i l ke dalam. Melihat mereka, Cia Ma berteriak-teriak.

"Tangkap anak itu! Tangkap, jangan sampai ia lari!"

Dua orang laki-laki itu segera menghadang di tengah jalan. "Mlnggir!" teriak Cin Cin berani dan menerjang di antara dua orang laki-laki itu. Akan tetapi, dua orang tukang pukul itu tertawa. Disangkanya ada bahaya, tidak tau hanya hanya seorang anak perempuan kecil yang hendak melarikan diri! Seorang diantara mereka, yang brewok dan bermuka hitam, menggerakkan tangan kiri dan sekali cengkeram, dia sudah menangkap punggung baju Cin Cin dan begitu tangannya diangkat keatas, tubuh Cin Cin tergantung di udara!

"Lepaskan aku, kau babi hitam! Lepaskan aku!" Cin Cin meronta-ronta dan memaki-maki, kakinya mencoba untuk menendang-nendang, kedua tangannya mencakar dan memukul.

"Ha-ha-ha-ha-ha! " Laki-laki ke dua yang bermuka bersih dan pucat kekuningan tertawa-tawa melihat anak perempuan itu memaki-maki temannya dengan sebutan babi hitam!

Si muka hitam mulai marah. Bukannya karena makian itu, akan tetapi juga karena Cin Cin menendang, mencakar memukul, bahkan mencoba untuk menggigit lengnnnya dan meludah ke arah mukanya!

"Eh-eh, anak setan, anak liar. Engkau minta ditampar, ya?" Tangan kanannya yang lebar sudah siap untuk memukul dengan tamparan.

"Heii, Hek-gu (Kerbau Hitam), Jangan pukul anakku! Awas kau, kalau berani memukulnya!" Cia Ma mengancam muka hitam sambil terseok-seok la menghampiri karena pinggulnya terasa nyeri.

"Ah, tidak. Cia Ma, aku hanya menakut-nakuti Habis, ia liar sekali” kata si muka hitam yang berjuluk Kebau Hitam itu.

"Kau, Kerbau Hitam, Anjing Hitam, Babi Hitam, lepaskan aku!" kembali Cin Cin meronta-ronta dengan marah. Anak ini memang memiliki keberanian luar biasa. Melihat ini, Cia Ma mengerutkan alisnya. Celaka, pikirnya. Ia sudah mengeluarkan uang duaratus tali perak dan memang anak ini mungil sekali, kelak pasti menjadi seorang gadis cantik yang menjadi sumber keuangan besar baginya. Akan tetapi sungguh tidak disangka, anak ini memiliki watak yang demikian keras dan bandel, sukar diurus. Harus dipergunakan kekerasan untuk anak sebengal ini.

"Sekap ia dalam kamarnya. Jaga jangan sampai dapat lari. Kalau perlu, Ikat kakinya dengan rantai!"

Cin Cin tidak dapat meronta pula karena kedua kaki tangannya diikat dengan sabuk dan ia dilempar ke atas pembaringan dalam kamarnya. Ia melotot, memakl-maki, akan tetapi tidak mampu meronta lagi. Anak ini memang bandel bukan main dan juga amat tabah. Dalam keadaan seperti itu, la tidak pernah menangis, hanya marah-marah dan memaki-maki!

Kalau Cia Ma tidak berpesan kepada dua orang tukang pukulnya agar jangan memukul anak itu, tentu Hek-gu (Kerbau Hitam) dan Pek-gu (Kerbau Putih) sudah menamparnya karena mereka dimaki-maki. Sampai habis suara Cin Cin dipakai memaki dan berteriak-teriak. Juga kedua kaki tangannya terasa nyeri dan lelah. Ia haus sekali, juga lapar, akan tetapi ia tidak mau mengatakan penderitaannya ini. Setelah tubuhnya lemaa, ia mendiamkan diri dan mencoba untuk tidur. Sementara itu, dua orang tukangi pukul menjaga di luar pintu.

Ketika siang hari itu seorang wanita pelayan datang mengantar makanan, Cin Cin tidak mau makan, tidak mau minum dan tidak mau bicara, hanya rebah dengan muka cemberut. Sebetulnya ia menangis, akan tetapi tangisnya ditahan! dan hanya kedua matanya saja basah, tidak ada keluhan keluar dari mulutnya.

Ia merasa haus bukan main, dan lapar, dan lelah. Akan tetapi semua itu ditahannya dan iapun mengenangkan semua peristiwa yang terjadi dengan dirinya. Biarpun ia baru berusia lima tahun akan tetapi la seorang anak cerdas. Ia kini yakin bahwa Susioknya, Lai Kun, telah menipunya. Ia memang oleh Susioknya diberikan kepada Cia Ma, dan kini entah ke mana perginya Susiok itu. Ia marah kepada Susioknya. Akan tetapi iapun tidak berdaya. Andaikata ia dapat kembali ke Ta-bun-cung, kepada siapa ia akan melaporkan perbuatan susioknya itu?

Kakek Coa Song telah tiada, demikian pula ayah dan ibunya. Supeknya, Coa Siang Lee juga tewas dan isteri supeknya bersama Thian Ki lenyap pula. Tidak, ia tidak dapat melaporkan kepada siapapun. Akan tetapi yang terpenting sekarang adalah mencari jalan untuk membebaskan diri dari kurungan ini. Akan tetapi, sampai terasa pening kepalanya, anak itu tidak dapat menemukan jalan.

Ia disekap dalam kamar, kaki tangannya diikat rantai, dan di depan kamarnya ada dua orang jahat dan kejam itu melakukan penjagaan secara bergiliran. Ia sungguh tidak berdaya. Ingin rasanya ia menangis, akan tetapi ditahannya. Ia demikian benci kepada mereka semua sehingga tidak ingin menyenangkan hati mereka dengan memperlihatkan kelemahannya! Sejak kecil, ayahnya menekankan perlunya sikap gagah bagi seorang calon pendekar!

Beberapa kali dalam sehari itu, Cia Ma menjenguknya dari pintu dan bicara lirih dengan penjaga. Dan nenek itu mengerutkan alis, menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. Melihat nenek itu marah-marah dan kecewa, ada perasaan lega yang merupakan hiburan di hati Cin Cin. Setidaknya, ia mampu membalas dengan membuat orang itu kecewa, pikirnya.

Malam itu, yang datang mengantar makanan, selain seorang pelayan wanita itu juga ikut masuk ke kamar itu Sui Su. Melihat wanita ini, Cin Cin membuang muka. Biarpun selama ini Sui Su memperlihatkan sikap baik kepadanya, namun mengingat bahwa pertama kali susioknya membawanya ke situ yang menerima adalah Sui Su, maka la menduga bahwa tentu wanita genit ini ikut pula menjadi komplotan yang menipunya. Sui Su duduk di tepi pembaringan Cin Cin menggulingkan tubuhnya, menghadap dinding membelakanginya.

"Sstt... Cin Cin, aku mau bicara denganmu. Penting untuk kebaikanmu sendiri..."

Cin Cin tidak perduli, atau setidaknya mengambil sikap tidak perduli walaupun kedua telinganya dipasang baik-baik untuk memperhatikan apa yang akan dikatakan wanita itu. "Anak baik, Jangan engkau bersikap seperti ini. Engkau menyiksa dirimu sendiri. Susiokmu bermaksud baik, menitip engkau di sini, dan kalau engkau taat, tentu engkau akan diperlakukan dengan baik, engkau akan dapat makan enak setiap hari, dapat pakaian yang bagus-bagus, dan engkau akan dihormati semua orang karena engkau telah menjadi anak angkat Cia Ma."

"Aku tidak sudi! Lebih baik aku mati!" kata Cin Cin ketus, akan tetapi kini ia membalikkan tubuhnya untuk memandang kepada wanita itu.

“Hussh, Cin Cin, jangan begitu bodoh," bisik Sui Su, "kalau engkau mati, berarti engkau akan membikin gembira hati mereka yang membencimu. Bodoh sekali..."

Kata-kata ini tepat sekali dan membuat Cin Cin terbelalak memandang kepada wanita itu. "Tapi... aku tidak mau di sini. Aku tidak mau menjadi anak Cia Ma. Aku ingin pulang, mencari ibuku!"

“Sssst... jangan berteriak-teriak” bisik lagi Sui Su. "Dengar baik-baik Cin Cin. Aku ingin menolongmu. Kalau engkau berkeras, bagaimana mungkin dapat lolos dari sini? Kalau engkau tidak mau makan minum tubuhmu akan menjadi lemas, mungkin akan sakit dan mati. Engkau harus makan minum agar kuat dan mencari kesempatan untuk kelak melarikan diri..."

"Apa... apa maksudmu, bibi...”

Senang rasa hati Sui Su. Sepanjang hari Cia Ma hanya marah-marah saja terutama kepadanya, mengatakan bahwa ia merasa tertipu dengan membeli anak itu. Tentu saja Sui Su merasa tidak enak hati, apa lagi mengingat bahwa ia memperoleh keuntungan banyak dalam jual beli anak itu. Sui Su diam-diam merasa kasihan kepada Cin Cin. Ia teringat akan nasibnya sendiri. lapun dahulu dijual oleh ayah ibunya yang melarat kepada Cia Ma, ketika la berusia lima tahun. la dirawat, dipelihara dan dididik menjadi pelacur oleh Cia Ma.

Setelah ia dewasa, ia dijual oleh Cia Ma, diperas habis-habis walaupun ia dapat hidup dalam kemewahan. Kini, setelah memperoleh banyak uang karena jual beli Cin Cin, ia ingin berdikari, ingin kembali ke dusun dan dengan modalnya itu la dapat hidup tanpa harus menjual dirinya. Ia merasa kasihan kepada Cin Cin, maka sambil berusaha untuk meredakan kemarahan Cia Ma dengan membujuk Cin Cin, iapun ingin memberi jalan dan nasehat bagi anak itu agar kelak dapat melarikan diri sebelum terjeblos seperti yang dialaminya.

"Cin Cin," kata Sui Su berbisik sambil berlagak mellrik ke luar seolah-olah ia tidak ingin suaranya terdengar oleh tukang pukul yang berjaga diluar. "Engkau harus pura-pura mentaati dan menjadi anak yang baik di sini. Engkau menjaga kesehatanmu dengan makan yang cukup, tidur yang cukup dan seolah-olah menikmati kehidupan di sini. Dengan sikapmu itu, lambat laun tentu Cia Ma akan percaya kepadamu. Nah, kalau engkau sudah mendapat kepercayaan sehingga tidak lagi dikeram, tidak lagi dijaga, dan mendapat kebebasan, pada suatu hari yang baik kalau ada kesempatan engkau tentu akan dapat melarikan diri dengan mudah. Bukankah ini akal yang baik sekali? Kalau kita tidak dapat menggunakan kekerasan, kita harus menggunakan akal, anak yang manis."

Wajah anak itu semakin cerah dan pun tersenyum sambil menganggukkan "Engkau benar, bibi, engkau benar, terima kasih. Aku harus bersabar menggunakan akal itu..." katanya lirih.

“Bagus! aku akan menyuruh mereka melepaskan ikatan kaki tanganmu dan engkau harus berlagak penurut, seperti seekor anak harimau yang memakai bulu domba..." Perumpamaan itu menyenangkan hati Cin Cin. Ia anak harimau! Akan tetapi demi keselamatannya, ia harus mengenakan bulu domba. Ia mengangguk-angguk maklum.

Sui Su menoleh ke pintu dan berteriak kepada Pek-gu yang kebetulan berjaga di situ, menggantikan Hek-gu “heii paman lPek-gu. Tolong kau lepaskan rantai-rantai ini. Cin Cin kini sudah mengerti dan ia tidak akan memberontak lagi"

Pek-gu memasuki kamar dan memandang kepada Cin Cin. "Benarkah? Anak setan ini tidak akan memaki-maki dan meronta lagi?”

Sepasang mata Cin Cin mengandung api kemarahan dan hampir saja ia memaki lagii kalau saja Sui Su tidak cepat merangkulnya. “Paman, hati-hatilah dengan omonganmu. Ingat, ia ini adalah Cing Siocia (nona Cing), puteri Cia Ma. Engkau harus menghormatinya kalau tidak ingin dimarahi Cia Ma!"

Pek-gu menghampiri Cin Cin dan melepaskan rantai-rantai yang mengikat kaki dan tangan anak itu. Melihat anak itu diam saja tidak meronta dan tidak mengeluarkan suara, Pek-gu yang berwajah putih pucat kekuningan itu tersenyum.

"Nah, begini baru anak baik, tidak membikin repot orang. Nona kecil, engkau kelak tentu akan menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan hidup serba kecukupan dan senang seperti nona Sui Su. Lihat, nona Sui Su ini cantik sekali, bukan? Eh, nona Sui Su. Sekali-kali perbolehkan aku bermalam di kamarmu! Bukankah kita sudah lama menjadi rekan sekerja disini?"

Sui Su tersenyum mengejek. “Sudah terlalu banyakkah uangmu, paman? Setahuku, semua, uangmu kau habiskan di meja Judi!"

“Aih, sesama rekan masa pakai uang segala?"

"Enaknya! Sudah, keluar sana dan jangan ganggu kami. Nona Cin harus makan sekarang." Sui Su mengusir tukang pukul itu yang keluar sambil menyeringai, biarpun menjadi pelacur, mereka yang anak angkat Cia Ma memang dihormati orang karena Cia Ma yang galak itu selalu melindungi anak-anaknya.

Oleh bujukan Sui Su, Cin Cin mau makan dan minum. Baru terasa olehnya betapa lapar dan hausnya, sehingga ia makan dengan gembul, ditemani Sui Su yang melayaninya dengan sabar. Setelah makan kenyang, muncullah Cia Ma. Ia sejak tadi sudah diberitahu dan mengintip. Girang sekali ia melihat Sui Su berhasil membujuk Cin Cin. Tadi, Sui Su berkata kepadanya bahwa ia akan membujuk Cin Cin dengan halus, dan kalau berhasil, la minta diijinkan untuk mengambll cuti selama seminggu karena ia hendak pulang ke dusun menengok keluarga di dusun, walaupun kini ayah dan ibunya sudah tiada. Cia Ma menyanggupi, akan memberi ijin itu kalau benar Sui Su berhasil. Nenek ini sudah terlalu pusing melihat sikap Cin Cin dan ia membayangkan uangnya yang dua ratus tail perak itu!

Cin Ma memasuki kamar itu dengan wajah berseri "Aduh, anakku yang baik anakku yang manis. Cin Cin, engkau sudah suka makan dan minum. Bagus, aku datang membawakan pakaian yang bagus-bagus untukmu, nak!"

Cin Cin mengerling kepada Sui Su yang berkedip kepadanya. Biarpun ia merasa tidak senang kepada nenek gembrot itu, namun ia menahan perasaannya, teringat akan nasihat Sui Su tadi. la harus bersikap penurut dan manis memperoleh kepercayaan sehingga kelak dengan mudah ia akan dapat melarikan diri. Maka, ketika buntalan pakaian yang serba indah itu dibuka, Iapun memaksakan diri untuk tersenyum dan memperihatkan muka girang.

Demikianlah, Cin Cin yang biar berhati keras namun amat cerdik ia bersikap penurut dan ia mau saja ketika disuruh belajar menulis dan menyulamm, melukis, bahkan bernyanyi, menari, dan menabuh yang-kim (gitar) dan suling. Ia pun acuh saja ketika pada suatu hari Sui Su berpamlt kepadanya, katanya hendak cuti seminggu untuk menengok keluarganya di dusun.

"Ingat, jangan lari sebelum mendapat kesempatan yang baik sekail, karena kalau engkau tertangkap lagi, tentu akann dlperlakukan dengan buruk..." demikian nasihatnya kepada Cin Cin. dengan suara bisik bisik.

Benar saja seperti yang dikatakan Sui Su, setelah Cin Cin bersikap taat dan penurut, Cin Ma bersikap lembut dan manis kepadanya, bahkan memanjakanya. Apa lagi ketika ia melihat betapa Cin Cin amat cerdas. Segala yang diajarkan kepada anak itu, sebentar saja dapat dikuasainya. Dalam waktu setahun saja, anak Itu sudah pandal meniup suing, bermain yang-kim, bahkan menari. Juga dalan hal ilmu baca tulis, karena memang tadinya ia sudah mendapat pelajaran dari orang tuanya, ia maju pesat.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Cin Cin sudah menyelinap keluar dari rumah itu. Biarpun ia masih kecil, namun karena setiap hari melihat wanit wanita muda dan cantik bersenda-gurau dengan kaum pria, ia sudah dapat meraba bahwa para wanita itu tidak mengenal rasa malu dan menyebalkan sekali. Ia makin tidak betah dan setelah mendapatkan kepercayaan dan kebebasan, maka pada pagi hari itu iapun menyelinap luar ketika semua orang belum bangun tidur.

Malam tadi ia telah mempersiapkan segalanya. Membawa pakaian untuk bekal, dibuntalnya, juga meloloskan perhiasan yang diberikan Cia Ma kepadanya juga dimasukkan ke dalam buntal untuk bekal biaya perjalanannya. Tentu saja ia tidak ingat lagi jalan pulang ke Ta-bun-cung. Yang diingatnya hanyalah bahwa ketika ia melakukan perjalanan bersama Susiok-nya, mereka berjalan terus ke barat. Maka kini la tahu bahwa ia harus menuju ke timur, menyusuri tepi sebelah utara dari Sungai Hua ho untuk kembali ke dusunnya.

Pada waktu itu, pergantian pemerintahan dari dinasti Sui ke dinasti Tang baru berjalan kurang lebih tiga tahun saja. Keamanan belum pulih, terutama sekali di luar kota raja Lok-yang Pemerintah baru belum sempat mengatur daerah daerah dan belum membentuk pasukan keamanan untuk mengamankan kota-kota dan dusun-dusun. Biarpun kota Ji-goan masih termasuk daerah Lok-yang, namun pemerintahan di daerah itupun belum lancar benar sehingga keamanannya masih buruk. Para penjahat masih merajalela, melakukan pemerasan di sana sini, perampokan dan gangguan terhadap rakyat. Jaminan keamanan dari pemerintah belum lancar benar dan hampir setiap hari terjadi kejahatan.

Cin Cin sama sekali tidak tahu akan hal ini. Selama ini ia merasa aman semenjak melakukan perjalanan bersama susioknya karena Susioknya adalah murid Hek houw-pang yang memiliki kepandaian cukup tangguh. Apa lagi ketika ia berada dalam rumah besar Cia Ma, la tidak pernah keluar tanpa pengawalan. Di dalam rumah itu yang ada hanya kemewah dan pesta, maka ia selalu merasa aman. Dalam pikiran anak berusia enam tahun itu tentu saja belum mengerti tentang kejahatan manusia yang kadang melebihi kekejaman mahluk apapun juga binatangpun tidak sekejam manusia, dan hukum yang berlaku adalah siapa kuat dia menang dan siapa menang dia berkuasa, lalu siapa berkuasa dia selalu benar!

Sepagi itu selagi kota Ji-goan belum bangun, seorang anak perempuan berusia enam tahun melakukan perjalanan seorang diri, membawa buntalan besar tentu saja segera menarik perhatian orang yang kebetulan bertemu dengan Cin Cin. Kalau yang bertemu dengannya itu orang atau penduduk biasa, tentu orang itu hanya merasa heran saja.

Akan tetapi, sebelum ia keluar dari pintu gerbang kota Ji-goan, di sebuah lorong yang membelok, tiba-tiba saja ia berhadapan dengan seorang laki-laki kurus kering yang pakaiannya penuh tumbalan seperti jembel. Laki-laki itu berusia sekitar tiga puluh tahun dan matanya liar seperti mata maling. Ketika ia melihat Cin Cin, anak perempuan yang membawa buntalan besar, sedangkan di sekitar situ belum ada rumah yang membuka daun pintu, belum nampak ada orang di jalan. dia lalu menyeringai dan menghadang di depan Cin Cin.

"Aih, anak manis, engkau hendak kemanakah seorang diri di pagi buta ini?"

Tanpa menyangka buruk, Cin Cin menjawab, "Aku hendak keluar kota dan pergi ke timur...”

Sebelum anak itu habis bicara, tahu-tahu orang itu sudah menyambar dan merenggut lepas buntalan di punggung Cin Cin. Tentu saja anak itu terkejut dan marah sekali.

"Hei! Kembalikan buntalanku!" teriaknya dan Cin Cin mencoba untuk meraih dan merampas kembali. Akan tetapi orang itu sambil menyeringai memegang bunntalan dengan tangan kiri tlnggl-tinggi di atas kepala sehingga tentu saja Cin Cin tidak mampu meraihnya.

”Bukk!" Tangan kecil itu kini memukul mengenai lambung orang kurus yang merampas buntalannya "Kembalikan buntalanku, keparat!" ia memaki.

"Ehh...?" Laki-laki itu merasa nyeri terpukul lambungnya dan diapun marah. "Anak setan, kau ingin mampus?”

"Kembalikan buntalanku” Cin Cin kembali menerjang dengan pukulan kedua tangan. Akan tetapi sekali ini, laki laki yang sedikit banyak pernah belajar silat itu dapat mengelak, kemudian dari samping, kakinya menendang, keras sekali.

"Bukk...!" dada Cin Cin bagian samplng kena ditendang dan anak itupun terjengkang dan terbanting jatuh.

"Hei, A-kew, ada apakah?" tiba-tita muncul seorang laki-laki lain, juga pakaiannya penuh tambalan dan tubuhnya agak pendek, mukanya bulat dan kotor.

Si kurus yang dipanggil A-kew itu sibuk membuka buntalannya. "Wah, makanan empuk. A-cauw, lihat, pakaian bagus bagus dan ada perhiasan emas pula. Wah pesta sekali ini aku!"

"Hussh, engkau tidak melihat sesuatu yang lebih berharga lagi, A-kew?"

"Apa maksudmu?"

"Lihat itu!" Si pendek itu menuding kearah Cin Cin yang masih rebah setengah duduk sambil menyeringai kesakitan. Napasnya menjadi sesak terkena tendangan tadi. "Anak itu cantik sekali!"

”Ha-ha, A-cauw, mata keranjangmu tidak ketulungan lagi rupanya! Anak itu paling banyak baru enam tahun usianya, untuk apa? Ha-ha!"

"Hussh, dasar engkau yang tolol! Anak perempuan cantik itu akan mendatangkan uang sedikitnya duapuluh atau tigapuluh tali perak!"

Mata Akew yang sipit itu agak melotot, "Ehh?-Apa maksudmu?"

"Dasar bodoh, tetap tolol! Setiap orang majikan rumah pelesir akan suka membelinya..."

"Ah, benar! Aku sampai lupa karena kegrangan mendapatkan pakaian bagus dan perhiasan ini. Mari kita tangkap anak ini, kita bawa kepada rumah pelesir tentu diterima..."

"Lebih baik ke rumah pelesir Ang-hwa, Cia Ma suka sekali membeli anak-anak yang cantik." Dan si pendek itu menghampiri Cin Cin.

Mendengar percakapan mereka, wajah Cin Cin menjadi pucat. Percuma melarikan diri. Melawan seorang saja dari mereka, ia kalah, apa lagi dikeroyok dua. Maka iapun menjatuhkan diri berlutut setelah tadi mencoba bangun. "Paman-paman yang baik, kasihanilah aku... jangan bawa aku kepada Cia Ma...” Ia memohon.

Dua orang itu saling pandang. "Eh Engkau anak kecil sudah mengenal Cia Ma?" tanya Akew.

"Ha, aku tahu. Engkau tentu lari dari rumah Cia Ma, bukan?" kata Acauw.

Cin Cin tidak mampu membantah. ”Benar, paman. Aku lari karena aku hendak mencari ibuku. Bebaskanlah aku, buntalan itu untuk kalian, akan tetapi jangan bawa aku kembali ke sana”

"Pelarian dari Cia Ma?" Akew beseru. "Celaka benar. Cia Ma memelihara jagoan-jagoan seperti Hek-gu dan Pek gu, kalau mereka tahu aku yang mengambll buntalan ini, remuk kepalaku. Bagaimana baiknya ini."

”Jangan khawatir, tenang saja, Akew. Kita kembalikan anak ini kesana berikut buntalannya. Tentu kita akan mendapatkan hadiah yang mungkin tidak kalah besarnya."

"Baiklah," kata Akew agak kecewa karena tadinya dia sudah merasa beruntung sekali. Dia tidak berani main-main terhadap Cia Ma yang terkenal galak dan memiliki banyak tukang pukul yang lihai dan kejam itu.

Mendengar percakapan kedua orang itu, Cin Cin menjadi putus asa dan timbul kemarahannya. “Jahanam, kiranya kalian berdua juga hanya manusia-manusia keparat!" serunya dan iapun meloncat berdiri dan menyerang kalang kabut!

Dua orang laki-laki dewasa yang sudah biasa berkelahi dan menggunakan kekerasan itu, tentu saja memandang rendah anak berusia enam tahun. Akan tetapi karena Cin Cin nekat, bergerak dengan ilmu silat sebisanya, mencampur gerakan itu dengan menendang, memukul, mencakar, bahkan menggigit, dua orang itu menjadi repot.

"Wah wah, anak ini seperti seekor anak harimau” teriak Akew, meringis karena lengannya kena dicakar sampai berdarah.

"Tangkap kedua lengannya, biar kuikat dengan sabukku!" kata Acauw.

Akew berhasil menangkap kedua pergelangan tangan Cin Cin dan Acauw mengikatnya dengan sabuk kain. Cin Cin ronta-ronta, menendang dan memaki.

"Lepaskan aku, kalian dua anjing kotor! Lepaskan, babi busuk!"

"Wah, wah, anak ini benar-benar seperti iblis kecil!” kata Acauw.

"Mari kita bawa setan kecil ini kepada Cia Ma”

Demikianlah, usaha Cin Cin melarikan diri gagal sama sekali. Ketika Cia Ma menerimanya kembali dari dua orang jembel itu, ia marah sekali kepada Cin Cin. Juga ia berterima kasih kepada dua orang jembel yang segera diberinya imbalan yang cukup memuaskan hati mereka.

"Buka bajunya, la harus menerima hukuman" kata Cia Ma dan ia sendiri yang mencambuki punggung Cin Cin sampai tangannya terasa letih dan anak itu terkulai pingsan dengan kulit punggung pecah-pecah.

Lalu ia menyuruh pembantunya mengambil obat dan setelah Cin Cin siuman, dengan tangannya sendiri Cia Ma mengobati dan mengoles obat yang mendatangkan rasa dingin dan nyaman di kulit punggung yang pecah-pecah itu. Cin Cin tidak menangis, hanya meringis menahan sakit dan mendesis saja, atau menggigit bibirnya.

”Engkau anak nakal, engkau tidak meengenal budi. Bukankah selama setahun aku selalu bersikap baikkepadamu? memberimu makan, pakaian dan mendatangkan guru-guru kesenian untuk mendidikmu. Akan tetapi apa balasanmu? Engkau malah hendak melarikan diri! Begitu tega engkau menyakitkan hati Cia Ma-ma!" bujuk Cia Ma dengan suara lembut.

Cin Cin adalah seorang anak yang cerdik Ia tahu bahwa percuma saja mempergunakan kekerasan. Cia Ma mempunyai banyakk tukang pukul yang kuat dan kalau la melawan dengan kekerasan, akhirnya ia sendiri yang akan menderita, sayang bahwa Sui Su tidak berada lagi situ sehingga ia kehilangan seorang sahabat yang benar-benar menyayanginya. Ia teringat akan nasihat Sui Su. Akan lebih menguntungkan kalau ia pura-pura menurut dan patuh kepada Cia Ma sehingga selain memperoleh segala macam didikan dan kehidupan mewah. Juga memperoleh kebebasan.

"Akan tetapi, jangan sampai engkau masih berada disini kalau engkau sudah berusia empat belas tahun, sudah mulai dewasa. Karena setelah engkau berusia tlgabelas atau empatbelas tahun, engkau pasti akan dijual kepada laki-laki hidung belang menjadi permainan mereka dan menjadi sumber uang banyak bagi Cia Ma. Kalau engkau menolak, siksaan yang lebih hebat akan kau alami." Demikian nasihat Sui Su ketika itu.

"Carilah kelengahanya, dan sebelum berusia tigabelas tahun, sedapat mungkin larilah dari neraka yang berselubung sorga ini..."

Ia baru berusia enam tahun. Masih banyak waktu untuk hidup layak dan bebas, pikirnya. Maka, tiba-tiba Cin Cin menangis, hal yang biasanya tak pernah lakukan. Tentu saja Cia Ma menjadi girang melihat "kelemahan" ini dan ia merangkulnya. "Anak baik, kenapa menangis? Apa yang kau susahkan?"

Cin Cin menangis terisak-isak dan menyembunyikan mukanya di balik lengan baju Cia Ma. Suaranya bercampur tangis ketika ia berkata, "Nasibku yang buruk... uh-uh huuuu... ayah dibunuh orang, ibu diculik orang, dan disini aku dicambuki... hu-huuu..."

Cia Ma merangkulnya semakin kuat dan mengelus rambutnya. "Anak baik, kau kucambuki karena engkau melarikan diri. Kalau tidak begitu, aku sayang padamu. Bukankah selama ini aku tdak pernah memukul atau memakimu, akan tetapi amat sayang padamu?"

Cin Cin mengusap air matanya, dan mengangguk. Bukan main senangnya hati Cia Ma. ”Engkau berjanji tidak akan lari lagi?"

"Tidak, Cia Ma, aku menyesal. Tadinya, karena rindu kepada ibuku, aku ingin mencari ibuku... maafkan aku... aku tidak akan lari lagi."

"Bagus! Engkau memang anak baik, anak cantik manis. Aku akan menyuruh orang-orangku untuk mencari keterangan tentang ibumu. Dan engkau yang aman saja di sini, ya?"

Demikianlah, mulai hari ini, Cin Cin nampak taat dan penurut. Ia bahkan tekun mempelajari ilmu baca-tulis, menyulam, menari, bernyanyi dan menabuh Suling dan yang-kim, bahkan bersajak. Tentu saja Cia Ma menjadi girang bukan main karena makin tekun anak itu, makin pandai anak itu, ia melihat betapa tabungannya semakin gemuk dan kelak kaau sudah tiba saatnya, la tinggal memetik buahnya! Tentu Cin Cin akan menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan pandai sehingga harganyapun tentu akan amat mahal!

Keadaan itu berjalan dengan baiknya sampai dua tahun lagi sehingga sudah tiga tahun Cin Cin tinggal di rumah Cia Ma. Ia semakin besar, menjadi seorang gadis cilik yang amat manis dan amat pandai. Ia memang berbakat dalam kesenian sehingga selain pandai meniup suling menabuh yang-kim, Juga suaranya merdu kalau bernyanyi, dan tubuhnya lemah gemulai kalau menari. Ia pandai pula bersajak, lancar membaca dan menulis. Pendeknya, Jelas bahwa Kam Cin atau Cin Cin merupakan sekuntum bunga yang masih berkuncup namun sudah menjanjikan setangkai bunga yang akan mekar semerbak harum dan indah, lagi mahal harganya!

Pada suatu hari, rumah pelesir Cia menerima kunjungan seorang tamu agung. Rumah pelesir Ang-hwa (Bunga Merah) itu dinyatakan tertutup untuk umum karena pada hari itu, seorang pembear yang menjabat kedudukan penting di kota raja Lok-yang datang berkunjung! Sebelum pembesar itu datang, sudah lebih dulu utusannya datang memberiahu bahwa Coa Tai-Jin(Pembesar Coa) itu hendak berkunjung karena tertarik oleh nama Ang-hwa sebagai rumah pelesir kota Ji-goan yang kabarnya memiliki bunga-bunga yang cantik menarik.

Cia Ma segera mengumpulkan gadis-gadis penghibur dari seluruh kota, rumahnya juga segera dibersihkan dihias seperti hendak menyambut seorang mempelai pria! Bahkan Cin Cin suruh berpakaian yang paling indah dan di antara hiburan yang akan disajikan kepada Coa Tai-jin, diselipkan Cin Cin yang akan melakukan tarian dan nyanyiannya.

Sejak pagi, lima orang jagoan yang menjadi pengawal-pengawal Coa Tai-Jin Juga menjadi tukang pukulnya, sudah datang berkunjung dan melakukan persiapan agar perjalanan majikan mereka ke tempat itu aman. Dan setelah matahari naik tinggi, datanglah kereta yang membawa Coa TaJ-Jin, diiringi sepasukan pengawal terdiri dari selusin perajurit, dipimpin oleh lima orang Jago itu.

Setelah turun dari kereta, ternyata Coa Tai-jin yang disegani, di takuti dan dihormati itu hanyalah seorang laki laki berusia limapuluh tahun lebih yang kecil kurus seperti cecak kering karena terlalu banyak menghisap madat dan berpelesir. Menuruni tangga kereta saja dia harus dibantu tukang pukulnya agar tidak terpeleset jatuh dan sambil tersenyum "agung", senyum khas para pembesar yang merasa dirinya tinggi dan berkuasa, dia melangkah tertatih-tatih disambut oleh Cia Ma dan anak buahnya sambil berlutut!

Ini tidak aneh karena Coa Tai-jin berpangkat jaksa tinggi dan masih kerabat keluarga kaisar! Dengan lagak "murah hati" Coa Tai-jin menggerakkan keduaa tangan menyuruh mereka semua bangkit, kemudian diapun memasuki rumah pelesir Ang-hwa, disambut asap dupa harum dan bunyi musik lirih yang menyemarakkan suasana. Karena Cia Ma maklum benar bahwa, kunjungan seorang pejabat tinggi selalu mendatangkan kehormatan juga mendatangkan banyak uang baginya, maka ia berusaha sekuat tenaga untuk menyenangkan tamunya. Arak terbaik, hidangan termahal, disuguhkan oleh gadis-gadis pilihan yang manis-manis.

Coa Tai-jin gembira sekali dikelilingi nona-nona cantik itu, apa lagi dia makan minum sambil menonton pertunjukan tarian dan nyanyian yang dilakukan oleh penar penari cantik. Kesempatan ini dipergunakan untuk bermain mata dan melakukan pilihan-pilihan, siapa kiranya gadis gadis itu yang akan diminta untuk melayaninya sehari semalam di tempat pelesir itu. Setiap ada gadis yang dianggapnya menggetarkan perasaan hatinnya dia berbisik kepada seorang pengawal pribadinya sambil menunjuk gadis itu dengan pandang matanya.

Setelah selesai makan minum, sudah ada tujuh oranh gadis yang dipilihnya! Tujuh orang gadis yang akan menghiburnya sehari semalam itu! Cia Ma menggosok-gosok telapak kedua tangannya, menghitung hitung berapa kiranya akan diterimanya dari pembesar itu untuk tujuh orang gadisnya! Sedikitnya akan lima kali lipat harga biasa, belum termasuk hadiah pribadi.

Pertunjukan terakhir adalah tarian dan nyanyian yang harus dilakukan Cin Cin. Dengan dandanan sebagai seorang dewi, gadis cilik ini benar-benar mempesona semua penontonnya, termasuk Coa Tai-jin! Ia benar-benar seperti seorang dewi yang baru melayang turun dari kahyangan, tariannya demikian lemah mulai dan lembut, suara nyanyiannya dengan suara kanak-kanak itu masih bening dan merdu. Jantung Coa Tai-jin bergetar dibuatnya!

Kini dia memberi isyarat kepada kepala pengawalnya untuk mendekat, lalu la berbisik-bisik sampai lama di telinga pengawalnya Itu. Cia Ma tersenyum makin lebar, mengira bahwa tentu pembesar yang rakus akan wanita itu menambah lagi pilihannya, mungkin sampai sembilan atau sepuluh orang gadis yang diharuskan menghiburnya! Akan tetapi, ketika kepala pengawal itu menghampirinya dan membisikkan pesan Tai-jin, wajah Cia Ma berubah.

"Apa ?” Teriaknya dalam bisikan. "Akan tetapi Cin Cin baru berusia delapan tahun! Ia masih kanak-kanak! Bagaimana mungkin la dapat melayani yang mulia...?"

”Hushh, kenapa engkau sekarang begini tolol, Cia Ma?" Kepala pengawal yang sudah mengenalnya itu mencela. "Taijln ingin memindahkan tanaman, bunga yang manis itu ke dalam taman bunganya sendiri, bukan untuk dipetik sekarang. Kuncup itu belum mekar. Taijin juga tidak ingin memetiknya sekarang. Kalau sudah ditanam di taman bunganya kelak kalau sudah mekar, setiap saat taijin dapat memetiknya. Mengerti engkau?"

Tentu saja Cia Ma mengerti. Kalau tadi ia berpura-pura, sikap ini hanya merupakan gaya untuk menaikkan harga. "Tapi... Cin Cin adalah keponakanku sendiri! Kubesarkan ia sejak kecil dan aku... aku amat sayang padanya. Bagaimana yang mulia begitu tega untuk memisahkannya dariku...” Dan dari kedua mata Cia Ma benar-benar keluar air mata. Air mata buaya! Memang Cia Ma pandai sekali bersandiwara.

Kepala pengawal itu adalah seorang kangouw yang berpengalaman. Tentu saja tak mudah mengelabui orang seperti dia dan dia tahu bahwa bagi seorang manusia seperti Cia Ma, tidak ada lagi perasaan sayang kepada sesamanya, yang disayangnya hanyalah uang!

"Sudahlah, tak perlu banyak cakap, katakan saja, berapa harganya?" potongnya singkat.

Cia Ma tidak berpura-pura lagi. Ia tahu sudah membawa dagangannya kepada harga puncak, tinggal menentukan saja berapa. "Ahhh, kalau memang yang mulia sungguh-sungguh menginginkan keponakanku, biarlah akan kuhitung dulu malam ini, berapa biaya yang sudah kukeluarkan selama bertahun-tahun ini untuk mendidiknya menjadi seorang calon gadis yang paling hebat di seluruh Ji-goan, bahkan mungkin tidak ada bandingnya di seluruh negeri. Besok pagi-pagi akan kutentukan berapa biaya yang sudah kukeluarkan itu."

Permintaan ini pantas dan kepala pengawal itu menyampaikan dengan bisikan kepada Coa Tai-jin. Pembesar itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tesenyum sabar, dan leher kecil panjang itu seperti akan patah ketika dia angguk-angguk seperti itu. Yang penting baginya, Cia Ma menyetujui untuk "menjual" gadis cilik yang manis itu. Soal berapa harganya, itu bukan soal baginya. Setiap saat dia dapat mengambil uang yang dibutuhkannya, dari gudang hartanya yang berada di mana-mana. Setiap orang hartawan di kota raja sekali saja melihat dia menggerakkan telunjuknya, akan bergesa-gesa dan berlumba memenuhi kebutuhannya itu!

Demikianlah, sehari semalam itu Tai-jin berenang dalam lautan kesenangan, tenggelam dalam pemuasan nafsu.

********************

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning Episode Naga Beracun karya kho ping hoo

Nafsu menyeret kita ke dalam kesenangan, membuat kita mabok dan lupa diri! Kita lupa sama sekali karena telah mabok kesenangan, bahwa semua kesenangan bagaikan gelembung-gelembung yang beterbangan di udara. Nampak indah menarik, seperti gelembung-gelembung air sabun.

Namun, hanya selewat saja, untuk disusul oleh pecahnya gelembung-gelembung itu yang mendatangkan percikan-percikan air sabun yang pahit dan getir! Bagaikan langit dengan bumi perbedaan antara menikmati keadaan seadanya dan mengejar kenikmatan yang belum ada. Yang pertama, yaitu menikmati kehidupan berarti mensyukuri apa saja yang kita dapatkan dalam kehidupan ini!

Selama hal yang kita alami dalam hidup ini merupakan rangkaian romantika kehidupann dan kalau kita menghadapinya dengan perasaan syukur, dengan perasaan seyakinnya bahwa kesemuanya itu adalah kehendak dan karenanya berkah dari Tuhan, maka apapun yang ada akan mendatangkan perasaan nikmat dan bahagia dalam hati sanubari kita! Sebaliknya, pengejaran kesenangan timbul karena kita tidak puas dengan keadaan yang nyata, seadanya, dan pikiran kita membayangkan hal-hal yang belum ada. Inilah yang kita namakan kesenangan!

Tidak puas dengan apa adanya dan membayangkan hal-hal yang belum ada ini menciptakan gelembung-gelembung itu. Kalau sudah begini maka terjadilah kebalikan yang menyedihkan. Semestinya, menurut kodrat, manusia menjadi majikan, menunggang kuda nafsu agar dapat melakukan perjalanan hidup, Sesuai kodrat. Namun, kalau Sudah terjadi sebaliknya, kuda menunggangi majikan nafsu menunggangi manusia, akan celakalah!

Fungsi atau tugas hati akal pikir adalah untuk membantu manusia menanggulangl segala bentuk kesukaran dalam kehidupan, mendatangkan kecerdikan akal sehingga manusia dapat melindungi dirinya dari bahaya dan dapat bekerja untuk kelangsungan hidupnya. Namun, hati akal pikiran yang sudah di cengkeram nafsu, sudah bergelimang nafsu, menjadi alat daya-daya rendah sehingga menyimpang dari pada tugasnya. Bukan jadi alat yang baik dan bermanfaat, melainkan sebaliknya menjadi penggoda dengan bayangan-bayangan yang memikat hingga menyeret kita untuk mengejar bayangan-bayangan itu.

Dan kalau kita sudah terseret mengejar bayangan kesenangan, kita lupa diri, hati nurani kita tertutup dan segala hal mungkin kita lakukan untuk memperoleh apa yang kita kejar-kejar itu. Pengejaran kesenangan harta kekayaan memungkinkan kita lakukan korupsi, penipuan, pencurian, perampokan dan sebegainya untuk memperoleh harta yang kita kejar-kejar.

Pengejaran kesenangan sex memungkinkan kita melakukan perjinaan, pelacuran, perkosaan dan sebagainya untuk memperoleh kesenangan yang kita kejar-kejar, kesenangan yang kita bayangkan dapat datangkan oleh kekuasaan, kedudukan, memungkinkan kita untuk berebutan sehingga terjadi pertentangan, persaingan bahkan perang!

Lalu, apakah kita harus menjauhkan dari dari kesenangan? Menjauhkan diri PENGEJARAN KESENANGAN, memang benar. Akan tetapi bukan berarti menjauhkan diri dari kenikmatan kehidupan dengan segala romantikanya ini. Kita dilahirkan dengan segala perlengkapan yang memungkinkan kita menikmati kehidupan, bukan menjauhi kenikmatan kehidupan. Buktinya, telinga kita dapat nikmati bunyi-bunyian merdu, mata kita dapat menikmati penglihatan-penglihatan yang Indah, hidung kita dapat menikmati keharuman-keharuman yang sedap, mulut kita dapat menikmati rasa asin manis, masam dan sebagalinya dalam makanan. Kita hendak menikmati semua itu, karena itulah berkah Tuhan!

Kita berhak menikmati apa yang ada setiap saat, setiap detik. Bahkan setiap tarikan napas akan terasa nikmat sekali kalau kita ingat bahwa setiap tarikan napas merupakan berkah Tuhan! Apa saja yang ada merupakan sumber kenikmatan bagi orang mensyukuri kehendak Tuhan karena dalam segala hal, kalau Tuhan menghendaki, terdapat berkah dan kenikmatan!


Ketika pada keesokan harinya Cia menyebutkan jumlah uang yang katanya telah ia keluarkan sebagal biaya mendidik Cin Cin, dengan royal Coa Tai-jin membayarnya dengan tunai, bahkan menambahkan sejumlah hadiah yang melampaui bayangan Cia Ma sendiri. Tentu saja wanita gendut Itu girang bukan main. Kalau dihitung, selama tiga tahun mendidik Cin Cin, la menerima, keuntungan puluhan kali lipat! Akan tetapi, segera kegirangan ini disusul kekecewaan dan kemarahan karena ketika ia membujuk anak perempuan itu, Cin Cin berkeras tidak mau diserahkan kepada Coa Tai-jin.

"Anak tolol! Setiap anak perempuan di manapun akan berlumba untuk menjadi gadis pingitan di rumah seorang pembesar tinggi seperti Coa Tai-jin, dan egkau yang dipilih oleh beliau, berani menolak? Bodoh kau, Cin Cin. Engkau akan hidup mewah, mulia dan terhormat di sana. Apalagi kalau kelak diangkat menjadi selir Coa Tai-jin, ada kemungkinan untuk menjadi nyonya besar!" Cia Ma mencoba membujuk, akan tetapi bujukan ini salah alamat.

Bukannya tertarik oleh bujukan itu, Cin Cin menjadi makin marah. "Tidak, Cia Ma! Aku tidak sudi menjadi budak belian, biar di rumah istana kaisar sekalipun. Biar aku pergi saja dari sini kalau engkau tidak mau menerimaku lagi!"

Diam-diam Cin Cin nyesal mengapa tidak dari kemarin melarikan diri. Disangkanya, belum waktunya untuk melarikan diri, karena bukankah Sui Su pernah memesan kepadanya agar ia berhati-hati dan jangan tinggal di situ setelah berusia tiga belas tahun? Kini usianya baru delapan tahun dan ia sudah akan dijual! Ia tahu bahwa dirinya akan dijual kepada pembesar kurus kering yang semalam menonton ia menari dengan mata melotot dan mulut menyeringai...

Naga Beracun Jilid 06

"APAKAH engkau berani menjamin bahwa Cin Cin akan diperlakukan dan dirawat dengan baik oleh Cia Ma?"

Melihat pancingannya berhasil, Sui Su menjadi girang sekali. Kalau jual beli itu jadi, ia tentu Mendapat imbalan dari Cia Ma! "Tentu saja, kujamin dengan nyawaku, toako! Kau kira aku ini orang yang akan diam saja kalau melihat anak perempuan itu diperlakukan tidak baik? Aku yang akan menjaga dan melindunginya. Akan tetapi, kalau engkau setuju, aku harus melihat dulu wajah anak Itu, agar aku dapat melapor kepada Cia Ma!" Padahal, Sui Su Ingin melihat agar la dapat memasang harga untuk anak itu. Demi keuntungannya, tentu saja!

Lai Kun jatuh! Dia memang sedang kebingungan Cin Cin berkeras tidak mau diantar ke rumah pendekar Si Han Beng, berkeras minta pulang untuk mencari ibunya. Ini saja sudah merupakan masalah merepotkan baginya. Belum lagi kerewelan anak itu. Bagaimana dia akan mempertanggung-jawabkan kepada penduduk dusun Ta-bun-cung kalau dia pulang lagi bersama Cin Cin ke sana?

Malam itu Juga, Lai Kun mengajak Sui Su untuk pergi ke rumah penginapan. Hari sudah larut malam dan Sui Su lebih dahulu menemui Cia Ma, berbisik-bisik dan Cia Ma dengan wajah cerah mengijinkan Sui Su pergi bersama Lai Kun. Dengan hati-hati Lai Kun membuka pintu kamarnya dan ternyata Cin Cin tidur pulas, terlentag di atas pembaringan tanpa membuka sepatunya.

Lai Kun menyalakan dua batang lilin lagi di atas meja sehingga sinar lilin cukup terang, menerangi wajah Cin Cin yang agak menghadap keluar sehingga Sui Su dapat mengamati wajah itu sepenuhnya. Diam-diam ia kagum bukan main! Wajah itu demikian cantik, manis dan mungil, dan kulit muka dan leher itu demikian putih mulus! Seorang anak yang kelak pasti akan menjadi gadis yang cantik jelita Ini berarti la untung besar!

Sedikitnya Cia Ma akan berani membayar dua ratus perak untuk anak seperti ini, apalagi kalau disertai surat pernyataan "Jual beli". Dan ia akan menerima imbalan pula di samping keuntungannya sendiri! Sui Su memberi isyarat kepada Lai Kun untuk meniup lilin-lilin itu agar jangan mengganggu Cin Cin, kemudian mengajak pria itu keluar kamar.

"Bagaimana pendapatmu?" tanya Lai Kun dengan hati tegang, khawatir kalau sampai Cin Cin ditolak. Ketegangan Lai Kun ini saja membuat Sui Su diam-diam bersorak.

"Hem, tidak buruk, juga tidak terlalu istimewa. Akan tetapi akan kuusahakan agar Cia Ma suka membayar seratus duapuluh lima tail perak untuk anak itu."

"Seratus dua puluh lima tail? Aihhh kalau benar, akan kuhadiahkan sepuluh tail untukmu, Sui Su!"

Sui Su tersenyum. Hujan keuntungan berjatuhan dari depan belakang! Ia berbisik, "Harus diatur agar anak itu tidak curiga dan mau kau tinggalkan di sana. Aku malam ini juga akan bicara dengan Cia Ma. Engkau besok pagi-pagi bawa anak itu ke sana. Katakan bahwa engkau akan melakukan penyelidikan karena mendengar bahwa ibu anak itu berada di sekitar daerah ini, dan kau titipkan anak itu kepadaku, untuk sehari saja. Kalau mendengar bahwa engkau akan menyelidiki tentang Ibunya, tentu la tidak banyak rewel. Kemudian, engkau akan kutemui, akan kuserahkan uang itu dari Cia Ma. dan engkau hanya tinggal menandatangani surat penyerahan anak itu."

Lai Kun diam-diam merasa girang sekali. Dia akan menerima seratus duapuluh lima tail perak! Akan tetapi mendengar tentang penandatanganan itu alisnya berkerut. "Harus menanda tangani?"

Sui Su mengusap dagu pria itu dengan sikap mesra. "Tentu saja, toako Kalau tidak, salah-salah kami akan di tuduh menculik anak itu!"

Lai Kun mengangguk-angguk maklum, walaupun dia sama sekail tidak mengerti tentang urusan seperti itu. Sui Su memasuki tandu dan dipikul oleh empat orang pemikul tandu, pulang ke rumah pelesir Ang-hwa, sedangkan Lai Kun masuk lagi ke kamarnya. Namun, semalam dia tidak dapat tidur pulas. Bagaimanapun juga. dia merasa tegang. Pertama, dia akan menyerahkan Cin Cin kepada orang lain, bukan kepada pendekar sakti Si Han Beng. Untuk ini, kalau kelak ada pertanyaan, mudah saja baginya untuk membela diri.

Dia akan menyatakan bahwa karena Cin Cin tidak mau diajak kesana, terpaksa dia menyerahkan kepada orang lain yang berbalk hati untuk merawat dan mendidik Cin Cin. Dan dia tidak berbohong karena memang Cin Cin tidak mau diajak melanjutkan perjalanan berkeras ingin pulang mencari ibunya. Ke dua, dia akan menerima uang yang banyak. Sudah ada uang yang diterimanya dari kakek Coa Song, kini ditambah seratus duapuluh lima tail. Dia menjadi kaya!

Tentu saja dia menganggap demikian karena dia memang selama hidupnya belum pernah memegang uang sebanyak itu. Dia membayangkan menjadi pedagang yang berhasil dengan modal itu, hidup senang di tempat lain, hidup baru dan mungkin dia akan mengambil seorang wanita untuk menjadi isterinya. Yang secantik Sui Su, selembut dan sehangat Sui Su! Dan hidupnya akan berbahagia.

Lamunan ini yang membuat dia tidak dapat tidur. Sebetulnya, dia merasa kasihan kepada Cin Cin murid keponakan yang sudah dekat dengan dia sejak kecil itu. Akan tetapi, akan lebih menyedihkan lagi kalau Cin Cin diajak pulang ke Ta-bun-cung. Ayahnya sudah tewas dan ibunya dilarikan penjahat! Lebih baik Cin Cin hidup dekat Cia Ma dan terutama dekat Sui Su yang demikian lembut dan ramah. Tentu ia akan menjadi seorang gadis yang cantik dan bahagia kelak!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cin Cin sudah bangun, dan ia sudah menghampiri pembaringan Lai Kui dan menggoyang pundak orang itu. "Susiok. bangun! Susiok... cepat bangun!"

Belum ada dua jam Lai Kun dapat tertidur dan tentu saja ia terkejut ketika pundaknya diguncang. Ia terbangun dan bangkit duduk, memandang anak itu. "Susiok, mari kita berangkat. Pulang!"

"Hemm, nanti dulu, Cin Cin. Aku mempunyai kabar yang baik sekali."

Anak Itu mengerutkan alisnya dan menatap tajam, penuh curiga. "Kabar baik apa, Susiok? Aku ingin pulang dan mencari ibu!"

"Justeru ini kabar mengenai ibumu Cin Cin. Semalam aku berjalan-jalan dan aku mendengar tentang ibumu."

Wajah anak itu berseri dan pandang matanya penuh ketegangan. "Benarkah itu, paman? Di mana ibu?"

"Sabarlah, Cin Cin. Aku baru mendengar beritanya saja semalam dari orang-orang yang kupercaya. Katanya mereka melihat ibumu yang diculik oleh penjahat, di sekitar daerah ini..."

"Kalau begitu, mari sekarang juga kita ke sana, Susiok!"

"Ahh, bagaimana mungkin mengajakmu, Cin Cin? Ka utahu, penjahat itu berbahaya sekali. Aku harus menyelidikinya sendiri. Mungkin aku harus menyerang penjahat itu untuk menyelamatkan lbumu Karena itu, untuk satu hari saja engkau akan kutitipkan kepada orang-orang yang kupercaya itu."

"Engkau pergilah sekarang juga menolong ibuku, susiok. Aku akan menunggumu di sini..."

"Aih, mana bisa begitu? Kalau penjahat itu tahu engkau puteri ibumu, mungkin engkau akan diculiknya pula untuk memaksa ibumu! Tidak, sebaiknya engkau kutitipkan di rumah teman-temanku itu, agar hatiku tenang, ada yang menjagamu”

"Aku di sini saja! Aku tidak mau di tempat lain!" Cin Cin berkeras.

"Hemm, Cin Cin! Kenapa engkau selalu rewel dan tidak menurut kata-kataku. Aku harus melindungimu, bagaimana aku dapat meninggalkanmu seorang diri ditempat umum begini? Tidak, kalau engkau tidak mau kutitipkan kepada orang-orang yang kupercaya, akupun terpaksa tidak berani pergi meninggalkanmu. Aku tidak akan menyelidiki keadaan Ibumu!”

"Ih, jangan begitu, Susiok! Apakah Susiok tega membiarkan ibu di tangan penjahat? Baiklah, aku akan menunggu di rumah teman-temanmu. Akan tetapi siapakah mereka? Bagaimana Susiok yang baru saja tiba di sini dapat mempunyai teman-teman baik di sini?"

“Hemm, anak ini cerdik luar biasa. Aku harus berhati-hati, demikian pikir Lai Kun. "Memang baru semalam aku bertemu dengan mereka. Dan mereka itulah yang memberi kabar tentang ibumu itu kepadaku. Aku bertemu dengan seorang wanita di rumah makan. Melihat aku murung, ia bertanya dan kami bercakap-cakap. Dan iapun memberi kabar tentang ibumu itu. Kau bisa bertanya sendiri padanya kalau bertemu dengannya."

"Seorang wanita? Ah, aku mau pergi ke sana. Mari sekarang juga kita pergi Susiok, agar engkau dapat segera mencari ibuku."

Lai Kun lalu berkemas, membayar sewa kamar, kemudian mengajak Cin Cin pergi ke rumah pelesir. Ang-hwa. Pagi hari itu, rumah itu sunyi tidak ada tamu berkunjung, dan para gadis penghibur juga enggan keluar dari kamar di mana mereka masih tidur kelelahan. Akan tetapi Sui Su sudah berdandan rapi dan menunggu di ruangan depan. Begitu Lai Kun muncul bersama Cin Cin wanita Itu lalu menyambut dengan sikap ramah sekali.

"Aih, Lai-toako. Pagi benar engkau datang!" katanya. "Dan anak ini, siapakah ia? Anak yang baik, mari, duduk di sini, dekat bibi."

"Nona Sui Su, aku datang pagi-pagi untuk menitipkan murid keponakanku ini di sini, untuk sehari saja. Aku akan segera menyelidiki tentang isteri suhengku itu. Dan anak ini bernama Kam Cin, panggilannya Cin Cin, la puterl mendiang suheng."

"Aihh, Jadi Inikah yang kaucerita kan semalam? Kasihan sekali. Baiklah biar di sini la menunggu kau. Aku akan menjaganya baik-baik. Engkau cepat cari Ibu anak Ini, toako. Kasihan sekali..."

Pada saat Itu, Cia Ma muncul. Wanita yang gembrot ini mengamati Cin Cin dengan penuh selidik dan agaknya ia merasa puas. Ia tersenyum dan berkata. “Ah, kiranya tuan Lai Kun yang datang. Selamat pagi! Dan siapa anak ini?" Ia mendekat dan mengelus kepala Cin Cin dengan sikap menyayang. "Anak manis siapa namamu?"

Cin Cin merasa senang. Orang-orang di sini ramah, pikirnya. "Namaku Cin Cin!"

Lai Kun lalu berkata kepada Cin Cin "Cin Cin, engkau di sini dulu, ya' Tunggu aku sehari di sini, setelah berhasil aku akan menjemputmu..."

"Cin Cin, mari main-main di dalam! Engkau belum makan pagi, bukan? Ada bubur ayam di dalam, enak sekail mari kita makan minum di dalam, biar paman gurumu mencari ibumu. Mari, anak manis!" Cia Ma menggandeng tangan anak itu dan Cin Cin bangkit dari tempat duduknya. Akan tetapi sebelum masuk, la menoleh kepada Susioknya.

"Susiok, berhasil atau tidak, aku menunggumu sampai sore. Kalau sampai malam nanti engkau tidak datang, aku akan mencari sendiri!" katanya dengan nada mengancam. Lai Kun mengangguk dan lapun keluar bersama Sui Su yang membawa buntalan berat.

Sui Su menyerahkan uang seberat seratus limabelas tali perak dan berkata, "Ini seratus limabelas, sudah kupotong sepuluh tail seperti yang kau janjikan dan harap engkau suka menandatangani surat penyerahan ini..."

Lai Kun membaca surat itu yang mengatakan bahwa dia menyerahkan anak bernama Kam Cin kepada Cia Ma dengan Imbalan uang sebanyak duaratus tail perak dan bahwa sejak saat itu dia tidak boleh menemui Cin Cin, apa lagi mengajaknya pergi karena Cin Cin telah menjadi anak angkat Cia Ma!

“Dua ratus tail?” tanyanya dengan heran.

Sui Su tersenyum manis. “Aih seperi engkau tidak tahu saja urusan dagang, toako Dengan surat ini, andaikata ada orang yang mau menebus Cin Cin maka Cia Ma tentu saja menghendaki keuntungan."

Lai Kun percaya, apa lagi dia sudah merasa puas dengan jumlah yang di terimanya. Hanya tentu saja dia tidak menyangka bahwa yang tujuhpuluh lima tail merupakan bagian Sui Su yang mencatut harga itu! Karena dalam surat itu tidak diutarakan jual-beli maka diapun dapat pergi dengan hati ringan. Dia tidak menjual Cin Cin. melainkan menyerahkan kepada orang yang akan dapat merawatnya dengan baik. Dia tidak menjual, hanya menyerahkan dan dia menirma imbalan, bukan hasil penjualan! Demikian dia menghibur diri sendiri dan diapun cepat pergi meninggalkan rumah pelesir itu, dan langsung meninggalki kota Ji-goan!

"Aku harus pergi dari sini! Sekarang juga!" kata Cin Cin pada keesokan harinya, setelah malam tadi Cia Ma dan Sui Su berhasil membujuknya untuk meliwati semalam itu. Cin Cin sudah marah-marah dan semalam hampir tidak tidur. Maka pagi-pagi la terbangun, langsung la menanyakan apakah paman-gurunya sudah kembali. Ketika dijawab belum, la lalu marah dan nekat untuk meninggalkan tempat itu, membawa buntalan pakaiannya.

"Cin Cin, anak baik, engkau hendak pergi ke mana? Engkau tidak membawa bekal uang, dan perjalanan amat jauh!" Sui Su mencoba untuk membujuk.

“Semua uang dibawa oleh Susiok! Aku sekarang tahu, dia pasti menipuku! Aku tidak sudi bersama dia lagi. Aku mau pulang, aku mau mencari ibu!" kata anak itu sambil mengenakan sepatunya dan setelah mengikat buntalan pakaian di punggungnya, la lalu bergegas hendak keluar dari pintu kamarnya.

"Tidak, engkau tidak boleh pergi!' Sui Su kini tidak sabar lagi. Bagaimanapun juga, tentu saja anak Ini tdak boleh pergi.Ia sudah menyimpan delapanpuluh lima tali sebagal keuntungan nya! Ia kini memegang lengan anak itu untuk menahannya.

"Bibi Sui Su, lepaskan aku! Aku mau pergi dan siapapun tidak boleh menahan dan menghalangiku!" Cin Cin membentak marah.

"Cin Cin, engkau tidak boleh pergi sebelum paman gurumu kembali! Dia menitipkan engkau di sini. Kami bertanggung-jawab dan harus menahanmu di sini sampai dia kembali. Engkau tidak boleh pergi!" kata Sui Su dan pegangan pada lengan anak itu semakin kuat.

"Bibi Sui Su, sekali lagi. lepaskan aku. Engkau sudah bersikap baik jangan membuat aku marah dan menganggap engkau Jahat!"

"Cin Cin, engkaulah yang jahat kalau memaksa pergi. Kami bertanggung-jawab dan harus menahanmu di sini."

Kini Cin Cin memandang marah. "Bagus! Agaknya bibi bersekutu dengan susiok untuk menahanku di sini, ya?" Tiba-tlba Cin Cin menarik tangannya yang memegang kuat sehingga Sui Su mengerahkan tenaga menahan dan menarik. Mendadak Cin Cin memutar lengannya dan mendorong! Karena-saat Itu. Sui Su sedang mempertahankan dan menarik, maka dorongan yang tiba-tiba itu membuat ia terjengkang dan terhuyung, pegangannya terlepas!

Cin Cin yang sejak kecil sudah dilatih Ilmu silat oleh mendiang ayahnya itu, segera meloncat ke arah pintu untuk melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba di pintu muncul Cia Ma. Tubuhnya yang gembrot memenuhi pintu sehingga Cin Cin tidak dapat keluar.

"Eh, anak manis. Engkau hendak pergi ke manakah?" tanya Cia Ma sambil mengembangkan kedua lengannya sehingga makin penuhlah lubang pintu itu.

"Cia Ma, biarkan aku pergi dari sini! Susiok Lai Kun menipuku!" kata Cin Cin dengan sabar karena sejak kemarin nenek gendut itu bersikap amat baik dan ramah kepadanya.

"Cia Ma, tahan anak itu! Ia hendak memaksa melarikan diri!" Sui Su yang tadi terjatuh dan pantatnya terbanting agak keras di atas lantai sehingga terasa nyeri, kini merangkak bangun dan berteriak kepada Cia Ma.

"Ehh? Cin Cin, engkau tidak boleh pergi dari sini! Engkau sudah menjadi anak angkatku. Dengar, engkau sudah jadi anakku. Tempat tinggalmu disini dan engkau tidak boleh pergi dari sinl!" kata Cia Ma, kini tidak lagi manis dan lembut melainkan keras karena la tahu bahwa sekarang saatnya menggunakan kekerasan untuk menakut-nakuti Cin Cin.

Akan tetapi ia salah besar kalau hendak menakut-nakuti anak perempuan berusia lima tahun itu. Melihat sikap dan mendengar ucapan Cia Ma, Cin Cin membelalakkan matanya dan mengepal tinjunya. "Ah, kiranya engkaupun bersekongkol dengan suslok, nenek gendut Siapapun tidak boleh menahanku disini!" Dan la pun menerjang nenek itu, kakinya menendang.

"Tukk!" Sepatunya menendang tepat mengenai tulang kering kaki kiri Cia Ma.

“Aduh... aduh, aduhh... anak setan... aduhh...!" Cia Ma berjingkrak dengan kaki kanannya sambil berusaha mengelus atau memegang kaki kiri dengan kedua tangannya yang agaknya terlalu pendek.

“Minggir kau!" Cin Cin membentak dan ia menyeruduk ke depan, menggunakan pundaknya untuk menerjang nenek yang sedang berjingkrak dengan sebelah kaki itu.

“Aughhh... brukkk...!" tentu saja Cia Ma terjatuh, terpelanting dan pinggulnya yang besar itu menimpa meja tepat pada ujung meja segi empat yang runcing. Melihat kesempatan ini, Cin Cin lari keluar dari dalam kamar itu.

"Cin Cin, jangan lari!" teriak Sui Su sambil mengejar.

Dari ruangan luar menerobos masuk dua orang laki-laki yang usianya sekitar empatpuluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bersikap garang. Mereka adalah dua orang tukang pukul yang dipelihara oleh Cia Ma. Mereka mendengar teriakan majikan mereka, maka mereka la-i l ke dalam. Melihat mereka, Cia Ma berteriak-teriak.

"Tangkap anak itu! Tangkap, jangan sampai ia lari!"

Dua orang laki-laki itu segera menghadang di tengah jalan. "Mlnggir!" teriak Cin Cin berani dan menerjang di antara dua orang laki-laki itu. Akan tetapi, dua orang tukang pukul itu tertawa. Disangkanya ada bahaya, tidak tau hanya hanya seorang anak perempuan kecil yang hendak melarikan diri! Seorang diantara mereka, yang brewok dan bermuka hitam, menggerakkan tangan kiri dan sekali cengkeram, dia sudah menangkap punggung baju Cin Cin dan begitu tangannya diangkat keatas, tubuh Cin Cin tergantung di udara!

"Lepaskan aku, kau babi hitam! Lepaskan aku!" Cin Cin meronta-ronta dan memaki-maki, kakinya mencoba untuk menendang-nendang, kedua tangannya mencakar dan memukul.

"Ha-ha-ha-ha-ha! " Laki-laki ke dua yang bermuka bersih dan pucat kekuningan tertawa-tawa melihat anak perempuan itu memaki-maki temannya dengan sebutan babi hitam!

Si muka hitam mulai marah. Bukannya karena makian itu, akan tetapi juga karena Cin Cin menendang, mencakar memukul, bahkan mencoba untuk menggigit lengnnnya dan meludah ke arah mukanya!

"Eh-eh, anak setan, anak liar. Engkau minta ditampar, ya?" Tangan kanannya yang lebar sudah siap untuk memukul dengan tamparan.

"Heii, Hek-gu (Kerbau Hitam), Jangan pukul anakku! Awas kau, kalau berani memukulnya!" Cia Ma mengancam muka hitam sambil terseok-seok la menghampiri karena pinggulnya terasa nyeri.

"Ah, tidak. Cia Ma, aku hanya menakut-nakuti Habis, ia liar sekali” kata si muka hitam yang berjuluk Kebau Hitam itu.

"Kau, Kerbau Hitam, Anjing Hitam, Babi Hitam, lepaskan aku!" kembali Cin Cin meronta-ronta dengan marah. Anak ini memang memiliki keberanian luar biasa. Melihat ini, Cia Ma mengerutkan alisnya. Celaka, pikirnya. Ia sudah mengeluarkan uang duaratus tali perak dan memang anak ini mungil sekali, kelak pasti menjadi seorang gadis cantik yang menjadi sumber keuangan besar baginya. Akan tetapi sungguh tidak disangka, anak ini memiliki watak yang demikian keras dan bandel, sukar diurus. Harus dipergunakan kekerasan untuk anak sebengal ini.

"Sekap ia dalam kamarnya. Jaga jangan sampai dapat lari. Kalau perlu, Ikat kakinya dengan rantai!"

Cin Cin tidak dapat meronta pula karena kedua kaki tangannya diikat dengan sabuk dan ia dilempar ke atas pembaringan dalam kamarnya. Ia melotot, memakl-maki, akan tetapi tidak mampu meronta lagi. Anak ini memang bandel bukan main dan juga amat tabah. Dalam keadaan seperti itu, la tidak pernah menangis, hanya marah-marah dan memaki-maki!

Kalau Cia Ma tidak berpesan kepada dua orang tukang pukulnya agar jangan memukul anak itu, tentu Hek-gu (Kerbau Hitam) dan Pek-gu (Kerbau Putih) sudah menamparnya karena mereka dimaki-maki. Sampai habis suara Cin Cin dipakai memaki dan berteriak-teriak. Juga kedua kaki tangannya terasa nyeri dan lelah. Ia haus sekali, juga lapar, akan tetapi ia tidak mau mengatakan penderitaannya ini. Setelah tubuhnya lemaa, ia mendiamkan diri dan mencoba untuk tidur. Sementara itu, dua orang tukangi pukul menjaga di luar pintu.

Ketika siang hari itu seorang wanita pelayan datang mengantar makanan, Cin Cin tidak mau makan, tidak mau minum dan tidak mau bicara, hanya rebah dengan muka cemberut. Sebetulnya ia menangis, akan tetapi tangisnya ditahan! dan hanya kedua matanya saja basah, tidak ada keluhan keluar dari mulutnya.

Ia merasa haus bukan main, dan lapar, dan lelah. Akan tetapi semua itu ditahannya dan iapun mengenangkan semua peristiwa yang terjadi dengan dirinya. Biarpun ia baru berusia lima tahun akan tetapi la seorang anak cerdas. Ia kini yakin bahwa Susioknya, Lai Kun, telah menipunya. Ia memang oleh Susioknya diberikan kepada Cia Ma, dan kini entah ke mana perginya Susiok itu. Ia marah kepada Susioknya. Akan tetapi iapun tidak berdaya. Andaikata ia dapat kembali ke Ta-bun-cung, kepada siapa ia akan melaporkan perbuatan susioknya itu?

Kakek Coa Song telah tiada, demikian pula ayah dan ibunya. Supeknya, Coa Siang Lee juga tewas dan isteri supeknya bersama Thian Ki lenyap pula. Tidak, ia tidak dapat melaporkan kepada siapapun. Akan tetapi yang terpenting sekarang adalah mencari jalan untuk membebaskan diri dari kurungan ini. Akan tetapi, sampai terasa pening kepalanya, anak itu tidak dapat menemukan jalan.

Ia disekap dalam kamar, kaki tangannya diikat rantai, dan di depan kamarnya ada dua orang jahat dan kejam itu melakukan penjagaan secara bergiliran. Ia sungguh tidak berdaya. Ingin rasanya ia menangis, akan tetapi ditahannya. Ia demikian benci kepada mereka semua sehingga tidak ingin menyenangkan hati mereka dengan memperlihatkan kelemahannya! Sejak kecil, ayahnya menekankan perlunya sikap gagah bagi seorang calon pendekar!

Beberapa kali dalam sehari itu, Cia Ma menjenguknya dari pintu dan bicara lirih dengan penjaga. Dan nenek itu mengerutkan alis, menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. Melihat nenek itu marah-marah dan kecewa, ada perasaan lega yang merupakan hiburan di hati Cin Cin. Setidaknya, ia mampu membalas dengan membuat orang itu kecewa, pikirnya.

Malam itu, yang datang mengantar makanan, selain seorang pelayan wanita itu juga ikut masuk ke kamar itu Sui Su. Melihat wanita ini, Cin Cin membuang muka. Biarpun selama ini Sui Su memperlihatkan sikap baik kepadanya, namun mengingat bahwa pertama kali susioknya membawanya ke situ yang menerima adalah Sui Su, maka la menduga bahwa tentu wanita genit ini ikut pula menjadi komplotan yang menipunya. Sui Su duduk di tepi pembaringan Cin Cin menggulingkan tubuhnya, menghadap dinding membelakanginya.

"Sstt... Cin Cin, aku mau bicara denganmu. Penting untuk kebaikanmu sendiri..."

Cin Cin tidak perduli, atau setidaknya mengambil sikap tidak perduli walaupun kedua telinganya dipasang baik-baik untuk memperhatikan apa yang akan dikatakan wanita itu. "Anak baik, Jangan engkau bersikap seperti ini. Engkau menyiksa dirimu sendiri. Susiokmu bermaksud baik, menitip engkau di sini, dan kalau engkau taat, tentu engkau akan diperlakukan dengan baik, engkau akan dapat makan enak setiap hari, dapat pakaian yang bagus-bagus, dan engkau akan dihormati semua orang karena engkau telah menjadi anak angkat Cia Ma."

"Aku tidak sudi! Lebih baik aku mati!" kata Cin Cin ketus, akan tetapi kini ia membalikkan tubuhnya untuk memandang kepada wanita itu.

“Hussh, Cin Cin, jangan begitu bodoh," bisik Sui Su, "kalau engkau mati, berarti engkau akan membikin gembira hati mereka yang membencimu. Bodoh sekali..."

Kata-kata ini tepat sekali dan membuat Cin Cin terbelalak memandang kepada wanita itu. "Tapi... aku tidak mau di sini. Aku tidak mau menjadi anak Cia Ma. Aku ingin pulang, mencari ibuku!"

“Sssst... jangan berteriak-teriak” bisik lagi Sui Su. "Dengar baik-baik Cin Cin. Aku ingin menolongmu. Kalau engkau berkeras, bagaimana mungkin dapat lolos dari sini? Kalau engkau tidak mau makan minum tubuhmu akan menjadi lemas, mungkin akan sakit dan mati. Engkau harus makan minum agar kuat dan mencari kesempatan untuk kelak melarikan diri..."

"Apa... apa maksudmu, bibi...”

Senang rasa hati Sui Su. Sepanjang hari Cia Ma hanya marah-marah saja terutama kepadanya, mengatakan bahwa ia merasa tertipu dengan membeli anak itu. Tentu saja Sui Su merasa tidak enak hati, apa lagi mengingat bahwa ia memperoleh keuntungan banyak dalam jual beli anak itu. Sui Su diam-diam merasa kasihan kepada Cin Cin. Ia teringat akan nasibnya sendiri. lapun dahulu dijual oleh ayah ibunya yang melarat kepada Cia Ma, ketika la berusia lima tahun. la dirawat, dipelihara dan dididik menjadi pelacur oleh Cia Ma.

Setelah ia dewasa, ia dijual oleh Cia Ma, diperas habis-habis walaupun ia dapat hidup dalam kemewahan. Kini, setelah memperoleh banyak uang karena jual beli Cin Cin, ia ingin berdikari, ingin kembali ke dusun dan dengan modalnya itu la dapat hidup tanpa harus menjual dirinya. Ia merasa kasihan kepada Cin Cin, maka sambil berusaha untuk meredakan kemarahan Cia Ma dengan membujuk Cin Cin, iapun ingin memberi jalan dan nasehat bagi anak itu agar kelak dapat melarikan diri sebelum terjeblos seperti yang dialaminya.

"Cin Cin," kata Sui Su berbisik sambil berlagak mellrik ke luar seolah-olah ia tidak ingin suaranya terdengar oleh tukang pukul yang berjaga diluar. "Engkau harus pura-pura mentaati dan menjadi anak yang baik di sini. Engkau menjaga kesehatanmu dengan makan yang cukup, tidur yang cukup dan seolah-olah menikmati kehidupan di sini. Dengan sikapmu itu, lambat laun tentu Cia Ma akan percaya kepadamu. Nah, kalau engkau sudah mendapat kepercayaan sehingga tidak lagi dikeram, tidak lagi dijaga, dan mendapat kebebasan, pada suatu hari yang baik kalau ada kesempatan engkau tentu akan dapat melarikan diri dengan mudah. Bukankah ini akal yang baik sekali? Kalau kita tidak dapat menggunakan kekerasan, kita harus menggunakan akal, anak yang manis."

Wajah anak itu semakin cerah dan pun tersenyum sambil menganggukkan "Engkau benar, bibi, engkau benar, terima kasih. Aku harus bersabar menggunakan akal itu..." katanya lirih.

“Bagus! aku akan menyuruh mereka melepaskan ikatan kaki tanganmu dan engkau harus berlagak penurut, seperti seekor anak harimau yang memakai bulu domba..." Perumpamaan itu menyenangkan hati Cin Cin. Ia anak harimau! Akan tetapi demi keselamatannya, ia harus mengenakan bulu domba. Ia mengangguk-angguk maklum.

Sui Su menoleh ke pintu dan berteriak kepada Pek-gu yang kebetulan berjaga di situ, menggantikan Hek-gu “heii paman lPek-gu. Tolong kau lepaskan rantai-rantai ini. Cin Cin kini sudah mengerti dan ia tidak akan memberontak lagi"

Pek-gu memasuki kamar dan memandang kepada Cin Cin. "Benarkah? Anak setan ini tidak akan memaki-maki dan meronta lagi?”

Sepasang mata Cin Cin mengandung api kemarahan dan hampir saja ia memaki lagii kalau saja Sui Su tidak cepat merangkulnya. “Paman, hati-hatilah dengan omonganmu. Ingat, ia ini adalah Cing Siocia (nona Cing), puteri Cia Ma. Engkau harus menghormatinya kalau tidak ingin dimarahi Cia Ma!"

Pek-gu menghampiri Cin Cin dan melepaskan rantai-rantai yang mengikat kaki dan tangan anak itu. Melihat anak itu diam saja tidak meronta dan tidak mengeluarkan suara, Pek-gu yang berwajah putih pucat kekuningan itu tersenyum.

"Nah, begini baru anak baik, tidak membikin repot orang. Nona kecil, engkau kelak tentu akan menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan hidup serba kecukupan dan senang seperti nona Sui Su. Lihat, nona Sui Su ini cantik sekali, bukan? Eh, nona Sui Su. Sekali-kali perbolehkan aku bermalam di kamarmu! Bukankah kita sudah lama menjadi rekan sekerja disini?"

Sui Su tersenyum mengejek. “Sudah terlalu banyakkah uangmu, paman? Setahuku, semua, uangmu kau habiskan di meja Judi!"

“Aih, sesama rekan masa pakai uang segala?"

"Enaknya! Sudah, keluar sana dan jangan ganggu kami. Nona Cin harus makan sekarang." Sui Su mengusir tukang pukul itu yang keluar sambil menyeringai, biarpun menjadi pelacur, mereka yang anak angkat Cia Ma memang dihormati orang karena Cia Ma yang galak itu selalu melindungi anak-anaknya.

Oleh bujukan Sui Su, Cin Cin mau makan dan minum. Baru terasa olehnya betapa lapar dan hausnya, sehingga ia makan dengan gembul, ditemani Sui Su yang melayaninya dengan sabar. Setelah makan kenyang, muncullah Cia Ma. Ia sejak tadi sudah diberitahu dan mengintip. Girang sekali ia melihat Sui Su berhasil membujuk Cin Cin. Tadi, Sui Su berkata kepadanya bahwa ia akan membujuk Cin Cin dengan halus, dan kalau berhasil, la minta diijinkan untuk mengambll cuti selama seminggu karena ia hendak pulang ke dusun menengok keluarga di dusun, walaupun kini ayah dan ibunya sudah tiada. Cia Ma menyanggupi, akan memberi ijin itu kalau benar Sui Su berhasil. Nenek ini sudah terlalu pusing melihat sikap Cin Cin dan ia membayangkan uangnya yang dua ratus tail perak itu!

Cin Ma memasuki kamar itu dengan wajah berseri "Aduh, anakku yang baik anakku yang manis. Cin Cin, engkau sudah suka makan dan minum. Bagus, aku datang membawakan pakaian yang bagus-bagus untukmu, nak!"

Cin Cin mengerling kepada Sui Su yang berkedip kepadanya. Biarpun ia merasa tidak senang kepada nenek gembrot itu, namun ia menahan perasaannya, teringat akan nasihat Sui Su tadi. la harus bersikap penurut dan manis memperoleh kepercayaan sehingga kelak dengan mudah ia akan dapat melarikan diri. Maka, ketika buntalan pakaian yang serba indah itu dibuka, Iapun memaksakan diri untuk tersenyum dan memperihatkan muka girang.

Demikianlah, Cin Cin yang biar berhati keras namun amat cerdik ia bersikap penurut dan ia mau saja ketika disuruh belajar menulis dan menyulamm, melukis, bahkan bernyanyi, menari, dan menabuh yang-kim (gitar) dan suling. Ia pun acuh saja ketika pada suatu hari Sui Su berpamlt kepadanya, katanya hendak cuti seminggu untuk menengok keluarganya di dusun.

"Ingat, jangan lari sebelum mendapat kesempatan yang baik sekail, karena kalau engkau tertangkap lagi, tentu akann dlperlakukan dengan buruk..." demikian nasihatnya kepada Cin Cin. dengan suara bisik bisik.

Benar saja seperti yang dikatakan Sui Su, setelah Cin Cin bersikap taat dan penurut, Cin Ma bersikap lembut dan manis kepadanya, bahkan memanjakanya. Apa lagi ketika ia melihat betapa Cin Cin amat cerdas. Segala yang diajarkan kepada anak itu, sebentar saja dapat dikuasainya. Dalam waktu setahun saja, anak Itu sudah pandal meniup suing, bermain yang-kim, bahkan menari. Juga dalan hal ilmu baca tulis, karena memang tadinya ia sudah mendapat pelajaran dari orang tuanya, ia maju pesat.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Cin Cin sudah menyelinap keluar dari rumah itu. Biarpun ia masih kecil, namun karena setiap hari melihat wanit wanita muda dan cantik bersenda-gurau dengan kaum pria, ia sudah dapat meraba bahwa para wanita itu tidak mengenal rasa malu dan menyebalkan sekali. Ia makin tidak betah dan setelah mendapatkan kepercayaan dan kebebasan, maka pada pagi hari itu iapun menyelinap luar ketika semua orang belum bangun tidur.

Malam tadi ia telah mempersiapkan segalanya. Membawa pakaian untuk bekal, dibuntalnya, juga meloloskan perhiasan yang diberikan Cia Ma kepadanya juga dimasukkan ke dalam buntal untuk bekal biaya perjalanannya. Tentu saja ia tidak ingat lagi jalan pulang ke Ta-bun-cung. Yang diingatnya hanyalah bahwa ketika ia melakukan perjalanan bersama Susiok-nya, mereka berjalan terus ke barat. Maka kini la tahu bahwa ia harus menuju ke timur, menyusuri tepi sebelah utara dari Sungai Hua ho untuk kembali ke dusunnya.

Pada waktu itu, pergantian pemerintahan dari dinasti Sui ke dinasti Tang baru berjalan kurang lebih tiga tahun saja. Keamanan belum pulih, terutama sekali di luar kota raja Lok-yang Pemerintah baru belum sempat mengatur daerah daerah dan belum membentuk pasukan keamanan untuk mengamankan kota-kota dan dusun-dusun. Biarpun kota Ji-goan masih termasuk daerah Lok-yang, namun pemerintahan di daerah itupun belum lancar benar sehingga keamanannya masih buruk. Para penjahat masih merajalela, melakukan pemerasan di sana sini, perampokan dan gangguan terhadap rakyat. Jaminan keamanan dari pemerintah belum lancar benar dan hampir setiap hari terjadi kejahatan.

Cin Cin sama sekali tidak tahu akan hal ini. Selama ini ia merasa aman semenjak melakukan perjalanan bersama susioknya karena Susioknya adalah murid Hek houw-pang yang memiliki kepandaian cukup tangguh. Apa lagi ketika ia berada dalam rumah besar Cia Ma, la tidak pernah keluar tanpa pengawalan. Di dalam rumah itu yang ada hanya kemewah dan pesta, maka ia selalu merasa aman. Dalam pikiran anak berusia enam tahun itu tentu saja belum mengerti tentang kejahatan manusia yang kadang melebihi kekejaman mahluk apapun juga binatangpun tidak sekejam manusia, dan hukum yang berlaku adalah siapa kuat dia menang dan siapa menang dia berkuasa, lalu siapa berkuasa dia selalu benar!

Sepagi itu selagi kota Ji-goan belum bangun, seorang anak perempuan berusia enam tahun melakukan perjalanan seorang diri, membawa buntalan besar tentu saja segera menarik perhatian orang yang kebetulan bertemu dengan Cin Cin. Kalau yang bertemu dengannya itu orang atau penduduk biasa, tentu orang itu hanya merasa heran saja.

Akan tetapi, sebelum ia keluar dari pintu gerbang kota Ji-goan, di sebuah lorong yang membelok, tiba-tiba saja ia berhadapan dengan seorang laki-laki kurus kering yang pakaiannya penuh tumbalan seperti jembel. Laki-laki itu berusia sekitar tiga puluh tahun dan matanya liar seperti mata maling. Ketika ia melihat Cin Cin, anak perempuan yang membawa buntalan besar, sedangkan di sekitar situ belum ada rumah yang membuka daun pintu, belum nampak ada orang di jalan. dia lalu menyeringai dan menghadang di depan Cin Cin.

"Aih, anak manis, engkau hendak kemanakah seorang diri di pagi buta ini?"

Tanpa menyangka buruk, Cin Cin menjawab, "Aku hendak keluar kota dan pergi ke timur...”

Sebelum anak itu habis bicara, tahu-tahu orang itu sudah menyambar dan merenggut lepas buntalan di punggung Cin Cin. Tentu saja anak itu terkejut dan marah sekali.

"Hei! Kembalikan buntalanku!" teriaknya dan Cin Cin mencoba untuk meraih dan merampas kembali. Akan tetapi orang itu sambil menyeringai memegang bunntalan dengan tangan kiri tlnggl-tinggi di atas kepala sehingga tentu saja Cin Cin tidak mampu meraihnya.

”Bukk!" Tangan kecil itu kini memukul mengenai lambung orang kurus yang merampas buntalannya "Kembalikan buntalanku, keparat!" ia memaki.

"Ehh...?" Laki-laki itu merasa nyeri terpukul lambungnya dan diapun marah. "Anak setan, kau ingin mampus?”

"Kembalikan buntalanku” Cin Cin kembali menerjang dengan pukulan kedua tangan. Akan tetapi sekali ini, laki laki yang sedikit banyak pernah belajar silat itu dapat mengelak, kemudian dari samping, kakinya menendang, keras sekali.

"Bukk...!" dada Cin Cin bagian samplng kena ditendang dan anak itupun terjengkang dan terbanting jatuh.

"Hei, A-kew, ada apakah?" tiba-tita muncul seorang laki-laki lain, juga pakaiannya penuh tambalan dan tubuhnya agak pendek, mukanya bulat dan kotor.

Si kurus yang dipanggil A-kew itu sibuk membuka buntalannya. "Wah, makanan empuk. A-cauw, lihat, pakaian bagus bagus dan ada perhiasan emas pula. Wah pesta sekali ini aku!"

"Hussh, engkau tidak melihat sesuatu yang lebih berharga lagi, A-kew?"

"Apa maksudmu?"

"Lihat itu!" Si pendek itu menuding kearah Cin Cin yang masih rebah setengah duduk sambil menyeringai kesakitan. Napasnya menjadi sesak terkena tendangan tadi. "Anak itu cantik sekali!"

”Ha-ha, A-cauw, mata keranjangmu tidak ketulungan lagi rupanya! Anak itu paling banyak baru enam tahun usianya, untuk apa? Ha-ha!"

"Hussh, dasar engkau yang tolol! Anak perempuan cantik itu akan mendatangkan uang sedikitnya duapuluh atau tigapuluh tali perak!"

Mata Akew yang sipit itu agak melotot, "Ehh?-Apa maksudmu?"

"Dasar bodoh, tetap tolol! Setiap orang majikan rumah pelesir akan suka membelinya..."

"Ah, benar! Aku sampai lupa karena kegrangan mendapatkan pakaian bagus dan perhiasan ini. Mari kita tangkap anak ini, kita bawa kepada rumah pelesir tentu diterima..."

"Lebih baik ke rumah pelesir Ang-hwa, Cia Ma suka sekali membeli anak-anak yang cantik." Dan si pendek itu menghampiri Cin Cin.

Mendengar percakapan mereka, wajah Cin Cin menjadi pucat. Percuma melarikan diri. Melawan seorang saja dari mereka, ia kalah, apa lagi dikeroyok dua. Maka iapun menjatuhkan diri berlutut setelah tadi mencoba bangun. "Paman-paman yang baik, kasihanilah aku... jangan bawa aku kepada Cia Ma...” Ia memohon.

Dua orang itu saling pandang. "Eh Engkau anak kecil sudah mengenal Cia Ma?" tanya Akew.

"Ha, aku tahu. Engkau tentu lari dari rumah Cia Ma, bukan?" kata Acauw.

Cin Cin tidak mampu membantah. ”Benar, paman. Aku lari karena aku hendak mencari ibuku. Bebaskanlah aku, buntalan itu untuk kalian, akan tetapi jangan bawa aku kembali ke sana”

"Pelarian dari Cia Ma?" Akew beseru. "Celaka benar. Cia Ma memelihara jagoan-jagoan seperti Hek-gu dan Pek gu, kalau mereka tahu aku yang mengambll buntalan ini, remuk kepalaku. Bagaimana baiknya ini."

”Jangan khawatir, tenang saja, Akew. Kita kembalikan anak ini kesana berikut buntalannya. Tentu kita akan mendapatkan hadiah yang mungkin tidak kalah besarnya."

"Baiklah," kata Akew agak kecewa karena tadinya dia sudah merasa beruntung sekali. Dia tidak berani main-main terhadap Cia Ma yang terkenal galak dan memiliki banyak tukang pukul yang lihai dan kejam itu.

Mendengar percakapan kedua orang itu, Cin Cin menjadi putus asa dan timbul kemarahannya. “Jahanam, kiranya kalian berdua juga hanya manusia-manusia keparat!" serunya dan iapun meloncat berdiri dan menyerang kalang kabut!

Dua orang laki-laki dewasa yang sudah biasa berkelahi dan menggunakan kekerasan itu, tentu saja memandang rendah anak berusia enam tahun. Akan tetapi karena Cin Cin nekat, bergerak dengan ilmu silat sebisanya, mencampur gerakan itu dengan menendang, memukul, mencakar, bahkan menggigit, dua orang itu menjadi repot.

"Wah wah, anak ini seperti seekor anak harimau” teriak Akew, meringis karena lengannya kena dicakar sampai berdarah.

"Tangkap kedua lengannya, biar kuikat dengan sabukku!" kata Acauw.

Akew berhasil menangkap kedua pergelangan tangan Cin Cin dan Acauw mengikatnya dengan sabuk kain. Cin Cin ronta-ronta, menendang dan memaki.

"Lepaskan aku, kalian dua anjing kotor! Lepaskan, babi busuk!"

"Wah, wah, anak ini benar-benar seperti iblis kecil!” kata Acauw.

"Mari kita bawa setan kecil ini kepada Cia Ma”

Demikianlah, usaha Cin Cin melarikan diri gagal sama sekali. Ketika Cia Ma menerimanya kembali dari dua orang jembel itu, ia marah sekali kepada Cin Cin. Juga ia berterima kasih kepada dua orang jembel yang segera diberinya imbalan yang cukup memuaskan hati mereka.

"Buka bajunya, la harus menerima hukuman" kata Cia Ma dan ia sendiri yang mencambuki punggung Cin Cin sampai tangannya terasa letih dan anak itu terkulai pingsan dengan kulit punggung pecah-pecah.

Lalu ia menyuruh pembantunya mengambil obat dan setelah Cin Cin siuman, dengan tangannya sendiri Cia Ma mengobati dan mengoles obat yang mendatangkan rasa dingin dan nyaman di kulit punggung yang pecah-pecah itu. Cin Cin tidak menangis, hanya meringis menahan sakit dan mendesis saja, atau menggigit bibirnya.

”Engkau anak nakal, engkau tidak meengenal budi. Bukankah selama setahun aku selalu bersikap baikkepadamu? memberimu makan, pakaian dan mendatangkan guru-guru kesenian untuk mendidikmu. Akan tetapi apa balasanmu? Engkau malah hendak melarikan diri! Begitu tega engkau menyakitkan hati Cia Ma-ma!" bujuk Cia Ma dengan suara lembut.

Cin Cin adalah seorang anak yang cerdik Ia tahu bahwa percuma saja mempergunakan kekerasan. Cia Ma mempunyai banyakk tukang pukul yang kuat dan kalau la melawan dengan kekerasan, akhirnya ia sendiri yang akan menderita, sayang bahwa Sui Su tidak berada lagi situ sehingga ia kehilangan seorang sahabat yang benar-benar menyayanginya. Ia teringat akan nasihat Sui Su. Akan lebih menguntungkan kalau ia pura-pura menurut dan patuh kepada Cia Ma sehingga selain memperoleh segala macam didikan dan kehidupan mewah. Juga memperoleh kebebasan.

"Akan tetapi, jangan sampai engkau masih berada disini kalau engkau sudah berusia empat belas tahun, sudah mulai dewasa. Karena setelah engkau berusia tlgabelas atau empatbelas tahun, engkau pasti akan dijual kepada laki-laki hidung belang menjadi permainan mereka dan menjadi sumber uang banyak bagi Cia Ma. Kalau engkau menolak, siksaan yang lebih hebat akan kau alami." Demikian nasihat Sui Su ketika itu.

"Carilah kelengahanya, dan sebelum berusia tigabelas tahun, sedapat mungkin larilah dari neraka yang berselubung sorga ini..."

Ia baru berusia enam tahun. Masih banyak waktu untuk hidup layak dan bebas, pikirnya. Maka, tiba-tiba Cin Cin menangis, hal yang biasanya tak pernah lakukan. Tentu saja Cia Ma menjadi girang melihat "kelemahan" ini dan ia merangkulnya. "Anak baik, kenapa menangis? Apa yang kau susahkan?"

Cin Cin menangis terisak-isak dan menyembunyikan mukanya di balik lengan baju Cia Ma. Suaranya bercampur tangis ketika ia berkata, "Nasibku yang buruk... uh-uh huuuu... ayah dibunuh orang, ibu diculik orang, dan disini aku dicambuki... hu-huuu..."

Cia Ma merangkulnya semakin kuat dan mengelus rambutnya. "Anak baik, kau kucambuki karena engkau melarikan diri. Kalau tidak begitu, aku sayang padamu. Bukankah selama ini aku tdak pernah memukul atau memakimu, akan tetapi amat sayang padamu?"

Cin Cin mengusap air matanya, dan mengangguk. Bukan main senangnya hati Cia Ma. ”Engkau berjanji tidak akan lari lagi?"

"Tidak, Cia Ma, aku menyesal. Tadinya, karena rindu kepada ibuku, aku ingin mencari ibuku... maafkan aku... aku tidak akan lari lagi."

"Bagus! Engkau memang anak baik, anak cantik manis. Aku akan menyuruh orang-orangku untuk mencari keterangan tentang ibumu. Dan engkau yang aman saja di sini, ya?"

Demikianlah, mulai hari ini, Cin Cin nampak taat dan penurut. Ia bahkan tekun mempelajari ilmu baca-tulis, menyulam, menari, bernyanyi dan menabuh Suling dan yang-kim, bahkan bersajak. Tentu saja Cia Ma menjadi girang bukan main karena makin tekun anak itu, makin pandai anak itu, ia melihat betapa tabungannya semakin gemuk dan kelak kaau sudah tiba saatnya, la tinggal memetik buahnya! Tentu Cin Cin akan menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan pandai sehingga harganyapun tentu akan amat mahal!

Keadaan itu berjalan dengan baiknya sampai dua tahun lagi sehingga sudah tiga tahun Cin Cin tinggal di rumah Cia Ma. Ia semakin besar, menjadi seorang gadis cilik yang amat manis dan amat pandai. Ia memang berbakat dalam kesenian sehingga selain pandai meniup suling menabuh yang-kim, Juga suaranya merdu kalau bernyanyi, dan tubuhnya lemah gemulai kalau menari. Ia pandai pula bersajak, lancar membaca dan menulis. Pendeknya, Jelas bahwa Kam Cin atau Cin Cin merupakan sekuntum bunga yang masih berkuncup namun sudah menjanjikan setangkai bunga yang akan mekar semerbak harum dan indah, lagi mahal harganya!

Pada suatu hari, rumah pelesir Cia menerima kunjungan seorang tamu agung. Rumah pelesir Ang-hwa (Bunga Merah) itu dinyatakan tertutup untuk umum karena pada hari itu, seorang pembear yang menjabat kedudukan penting di kota raja Lok-yang datang berkunjung! Sebelum pembesar itu datang, sudah lebih dulu utusannya datang memberiahu bahwa Coa Tai-Jin(Pembesar Coa) itu hendak berkunjung karena tertarik oleh nama Ang-hwa sebagai rumah pelesir kota Ji-goan yang kabarnya memiliki bunga-bunga yang cantik menarik.

Cia Ma segera mengumpulkan gadis-gadis penghibur dari seluruh kota, rumahnya juga segera dibersihkan dihias seperti hendak menyambut seorang mempelai pria! Bahkan Cin Cin suruh berpakaian yang paling indah dan di antara hiburan yang akan disajikan kepada Coa Tai-jin, diselipkan Cin Cin yang akan melakukan tarian dan nyanyiannya.

Sejak pagi, lima orang jagoan yang menjadi pengawal-pengawal Coa Tai-Jin Juga menjadi tukang pukulnya, sudah datang berkunjung dan melakukan persiapan agar perjalanan majikan mereka ke tempat itu aman. Dan setelah matahari naik tinggi, datanglah kereta yang membawa Coa TaJ-Jin, diiringi sepasukan pengawal terdiri dari selusin perajurit, dipimpin oleh lima orang Jago itu.

Setelah turun dari kereta, ternyata Coa Tai-jin yang disegani, di takuti dan dihormati itu hanyalah seorang laki laki berusia limapuluh tahun lebih yang kecil kurus seperti cecak kering karena terlalu banyak menghisap madat dan berpelesir. Menuruni tangga kereta saja dia harus dibantu tukang pukulnya agar tidak terpeleset jatuh dan sambil tersenyum "agung", senyum khas para pembesar yang merasa dirinya tinggi dan berkuasa, dia melangkah tertatih-tatih disambut oleh Cia Ma dan anak buahnya sambil berlutut!

Ini tidak aneh karena Coa Tai-jin berpangkat jaksa tinggi dan masih kerabat keluarga kaisar! Dengan lagak "murah hati" Coa Tai-jin menggerakkan keduaa tangan menyuruh mereka semua bangkit, kemudian diapun memasuki rumah pelesir Ang-hwa, disambut asap dupa harum dan bunyi musik lirih yang menyemarakkan suasana. Karena Cia Ma maklum benar bahwa, kunjungan seorang pejabat tinggi selalu mendatangkan kehormatan juga mendatangkan banyak uang baginya, maka ia berusaha sekuat tenaga untuk menyenangkan tamunya. Arak terbaik, hidangan termahal, disuguhkan oleh gadis-gadis pilihan yang manis-manis.

Coa Tai-jin gembira sekali dikelilingi nona-nona cantik itu, apa lagi dia makan minum sambil menonton pertunjukan tarian dan nyanyian yang dilakukan oleh penar penari cantik. Kesempatan ini dipergunakan untuk bermain mata dan melakukan pilihan-pilihan, siapa kiranya gadis gadis itu yang akan diminta untuk melayaninya sehari semalam di tempat pelesir itu. Setiap ada gadis yang dianggapnya menggetarkan perasaan hatinnya dia berbisik kepada seorang pengawal pribadinya sambil menunjuk gadis itu dengan pandang matanya.

Setelah selesai makan minum, sudah ada tujuh oranh gadis yang dipilihnya! Tujuh orang gadis yang akan menghiburnya sehari semalam itu! Cia Ma menggosok-gosok telapak kedua tangannya, menghitung hitung berapa kiranya akan diterimanya dari pembesar itu untuk tujuh orang gadisnya! Sedikitnya akan lima kali lipat harga biasa, belum termasuk hadiah pribadi.

Pertunjukan terakhir adalah tarian dan nyanyian yang harus dilakukan Cin Cin. Dengan dandanan sebagai seorang dewi, gadis cilik ini benar-benar mempesona semua penontonnya, termasuk Coa Tai-jin! Ia benar-benar seperti seorang dewi yang baru melayang turun dari kahyangan, tariannya demikian lemah mulai dan lembut, suara nyanyiannya dengan suara kanak-kanak itu masih bening dan merdu. Jantung Coa Tai-jin bergetar dibuatnya!

Kini dia memberi isyarat kepada kepala pengawalnya untuk mendekat, lalu la berbisik-bisik sampai lama di telinga pengawalnya Itu. Cia Ma tersenyum makin lebar, mengira bahwa tentu pembesar yang rakus akan wanita itu menambah lagi pilihannya, mungkin sampai sembilan atau sepuluh orang gadis yang diharuskan menghiburnya! Akan tetapi, ketika kepala pengawal itu menghampirinya dan membisikkan pesan Tai-jin, wajah Cia Ma berubah.

"Apa ?” Teriaknya dalam bisikan. "Akan tetapi Cin Cin baru berusia delapan tahun! Ia masih kanak-kanak! Bagaimana mungkin la dapat melayani yang mulia...?"

”Hushh, kenapa engkau sekarang begini tolol, Cia Ma?" Kepala pengawal yang sudah mengenalnya itu mencela. "Taijln ingin memindahkan tanaman, bunga yang manis itu ke dalam taman bunganya sendiri, bukan untuk dipetik sekarang. Kuncup itu belum mekar. Taijin juga tidak ingin memetiknya sekarang. Kalau sudah ditanam di taman bunganya kelak kalau sudah mekar, setiap saat taijin dapat memetiknya. Mengerti engkau?"

Tentu saja Cia Ma mengerti. Kalau tadi ia berpura-pura, sikap ini hanya merupakan gaya untuk menaikkan harga. "Tapi... Cin Cin adalah keponakanku sendiri! Kubesarkan ia sejak kecil dan aku... aku amat sayang padanya. Bagaimana yang mulia begitu tega untuk memisahkannya dariku...” Dan dari kedua mata Cia Ma benar-benar keluar air mata. Air mata buaya! Memang Cia Ma pandai sekali bersandiwara.

Kepala pengawal itu adalah seorang kangouw yang berpengalaman. Tentu saja tak mudah mengelabui orang seperti dia dan dia tahu bahwa bagi seorang manusia seperti Cia Ma, tidak ada lagi perasaan sayang kepada sesamanya, yang disayangnya hanyalah uang!

"Sudahlah, tak perlu banyak cakap, katakan saja, berapa harganya?" potongnya singkat.

Cia Ma tidak berpura-pura lagi. Ia tahu sudah membawa dagangannya kepada harga puncak, tinggal menentukan saja berapa. "Ahhh, kalau memang yang mulia sungguh-sungguh menginginkan keponakanku, biarlah akan kuhitung dulu malam ini, berapa biaya yang sudah kukeluarkan selama bertahun-tahun ini untuk mendidiknya menjadi seorang calon gadis yang paling hebat di seluruh Ji-goan, bahkan mungkin tidak ada bandingnya di seluruh negeri. Besok pagi-pagi akan kutentukan berapa biaya yang sudah kukeluarkan itu."

Permintaan ini pantas dan kepala pengawal itu menyampaikan dengan bisikan kepada Coa Tai-jin. Pembesar itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tesenyum sabar, dan leher kecil panjang itu seperti akan patah ketika dia angguk-angguk seperti itu. Yang penting baginya, Cia Ma menyetujui untuk "menjual" gadis cilik yang manis itu. Soal berapa harganya, itu bukan soal baginya. Setiap saat dia dapat mengambil uang yang dibutuhkannya, dari gudang hartanya yang berada di mana-mana. Setiap orang hartawan di kota raja sekali saja melihat dia menggerakkan telunjuknya, akan bergesa-gesa dan berlumba memenuhi kebutuhannya itu!

Demikianlah, sehari semalam itu Tai-jin berenang dalam lautan kesenangan, tenggelam dalam pemuasan nafsu.

********************

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning Episode Naga Beracun karya kho ping hoo

Nafsu menyeret kita ke dalam kesenangan, membuat kita mabok dan lupa diri! Kita lupa sama sekali karena telah mabok kesenangan, bahwa semua kesenangan bagaikan gelembung-gelembung yang beterbangan di udara. Nampak indah menarik, seperti gelembung-gelembung air sabun.

Namun, hanya selewat saja, untuk disusul oleh pecahnya gelembung-gelembung itu yang mendatangkan percikan-percikan air sabun yang pahit dan getir! Bagaikan langit dengan bumi perbedaan antara menikmati keadaan seadanya dan mengejar kenikmatan yang belum ada. Yang pertama, yaitu menikmati kehidupan berarti mensyukuri apa saja yang kita dapatkan dalam kehidupan ini!

Selama hal yang kita alami dalam hidup ini merupakan rangkaian romantika kehidupann dan kalau kita menghadapinya dengan perasaan syukur, dengan perasaan seyakinnya bahwa kesemuanya itu adalah kehendak dan karenanya berkah dari Tuhan, maka apapun yang ada akan mendatangkan perasaan nikmat dan bahagia dalam hati sanubari kita! Sebaliknya, pengejaran kesenangan timbul karena kita tidak puas dengan keadaan yang nyata, seadanya, dan pikiran kita membayangkan hal-hal yang belum ada. Inilah yang kita namakan kesenangan!

Tidak puas dengan apa adanya dan membayangkan hal-hal yang belum ada ini menciptakan gelembung-gelembung itu. Kalau sudah begini maka terjadilah kebalikan yang menyedihkan. Semestinya, menurut kodrat, manusia menjadi majikan, menunggang kuda nafsu agar dapat melakukan perjalanan hidup, Sesuai kodrat. Namun, kalau Sudah terjadi sebaliknya, kuda menunggangi majikan nafsu menunggangi manusia, akan celakalah!

Fungsi atau tugas hati akal pikir adalah untuk membantu manusia menanggulangl segala bentuk kesukaran dalam kehidupan, mendatangkan kecerdikan akal sehingga manusia dapat melindungi dirinya dari bahaya dan dapat bekerja untuk kelangsungan hidupnya. Namun, hati akal pikiran yang sudah di cengkeram nafsu, sudah bergelimang nafsu, menjadi alat daya-daya rendah sehingga menyimpang dari pada tugasnya. Bukan jadi alat yang baik dan bermanfaat, melainkan sebaliknya menjadi penggoda dengan bayangan-bayangan yang memikat hingga menyeret kita untuk mengejar bayangan-bayangan itu.

Dan kalau kita sudah terseret mengejar bayangan kesenangan, kita lupa diri, hati nurani kita tertutup dan segala hal mungkin kita lakukan untuk memperoleh apa yang kita kejar-kejar itu. Pengejaran kesenangan harta kekayaan memungkinkan kita lakukan korupsi, penipuan, pencurian, perampokan dan sebegainya untuk memperoleh harta yang kita kejar-kejar.

Pengejaran kesenangan sex memungkinkan kita melakukan perjinaan, pelacuran, perkosaan dan sebagainya untuk memperoleh kesenangan yang kita kejar-kejar, kesenangan yang kita bayangkan dapat datangkan oleh kekuasaan, kedudukan, memungkinkan kita untuk berebutan sehingga terjadi pertentangan, persaingan bahkan perang!

Lalu, apakah kita harus menjauhkan dari dari kesenangan? Menjauhkan diri PENGEJARAN KESENANGAN, memang benar. Akan tetapi bukan berarti menjauhkan diri dari kenikmatan kehidupan dengan segala romantikanya ini. Kita dilahirkan dengan segala perlengkapan yang memungkinkan kita menikmati kehidupan, bukan menjauhi kenikmatan kehidupan. Buktinya, telinga kita dapat nikmati bunyi-bunyian merdu, mata kita dapat menikmati penglihatan-penglihatan yang Indah, hidung kita dapat menikmati keharuman-keharuman yang sedap, mulut kita dapat menikmati rasa asin manis, masam dan sebagalinya dalam makanan. Kita hendak menikmati semua itu, karena itulah berkah Tuhan!

Kita berhak menikmati apa yang ada setiap saat, setiap detik. Bahkan setiap tarikan napas akan terasa nikmat sekali kalau kita ingat bahwa setiap tarikan napas merupakan berkah Tuhan! Apa saja yang ada merupakan sumber kenikmatan bagi orang mensyukuri kehendak Tuhan karena dalam segala hal, kalau Tuhan menghendaki, terdapat berkah dan kenikmatan!


Ketika pada keesokan harinya Cia menyebutkan jumlah uang yang katanya telah ia keluarkan sebagal biaya mendidik Cin Cin, dengan royal Coa Tai-jin membayarnya dengan tunai, bahkan menambahkan sejumlah hadiah yang melampaui bayangan Cia Ma sendiri. Tentu saja wanita gendut Itu girang bukan main. Kalau dihitung, selama tiga tahun mendidik Cin Cin, la menerima, keuntungan puluhan kali lipat! Akan tetapi, segera kegirangan ini disusul kekecewaan dan kemarahan karena ketika ia membujuk anak perempuan itu, Cin Cin berkeras tidak mau diserahkan kepada Coa Tai-jin.

"Anak tolol! Setiap anak perempuan di manapun akan berlumba untuk menjadi gadis pingitan di rumah seorang pembesar tinggi seperti Coa Tai-jin, dan egkau yang dipilih oleh beliau, berani menolak? Bodoh kau, Cin Cin. Engkau akan hidup mewah, mulia dan terhormat di sana. Apalagi kalau kelak diangkat menjadi selir Coa Tai-jin, ada kemungkinan untuk menjadi nyonya besar!" Cia Ma mencoba membujuk, akan tetapi bujukan ini salah alamat.

Bukannya tertarik oleh bujukan itu, Cin Cin menjadi makin marah. "Tidak, Cia Ma! Aku tidak sudi menjadi budak belian, biar di rumah istana kaisar sekalipun. Biar aku pergi saja dari sini kalau engkau tidak mau menerimaku lagi!"

Diam-diam Cin Cin nyesal mengapa tidak dari kemarin melarikan diri. Disangkanya, belum waktunya untuk melarikan diri, karena bukankah Sui Su pernah memesan kepadanya agar ia berhati-hati dan jangan tinggal di situ setelah berusia tiga belas tahun? Kini usianya baru delapan tahun dan ia sudah akan dijual! Ia tahu bahwa dirinya akan dijual kepada pembesar kurus kering yang semalam menonton ia menari dengan mata melotot dan mulut menyeringai...