Naga Sakti Sungai Kuning Jilid 35 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

WAJAH Han Beng menjadi kemerahan. "Aih, itu hanya pujian kosong saja dari mereka yang telah berhasil kutolong. Tidak ada artinya sama sekali, dan aku bukan seorang pendekar besar. Mungkin karena aku suka merantau di sepanjang Sungai Huang-ho, maka aku mendapat julukan seperti itu. Terlalu berlebihan!" Dia berhenti sebentar, dan melihat gadis itu tidak menjawab, hanya tersenyum, dia pun melanjutkan. "Sekarang, harap kau suka menceritakan tentang engkau dan mereka itu, Nona."

"Aku pun secara kebetulan saja lewat di Siong-an dan di dalam rumah makan Ho-tin, aku melihat penyogokan yang dilakukan Cang Tai-jin kepada Liu Tai-jin. Mengenai peti harta itu, aku tidak peduli. Akan tetapi melihat dua orang gadis remaja itu yang juga di hadiahkan kepada Liu Tai-jin, hatiku menjadi panas dan aku bermaksud untuk membebaskan dua orang gadis itu. Sama sekali tidak mempunyai sangkut-paut atau hubungan dengan yang lain-lain itu..."

"Akan tetapi, kulihat engkau bekerjasama dengan pemuda bercaping lebar itu. Dia lihai dan..."

"Ah, dia itu Can Hong San dan pun baru berkenalan dengan dia di rumah makan Ho-tin. Dia pun bermaksud menghadang dan menghajar Liu Tai-jin yang dianggapnya seorang pembesar korup pemakan sogokan. Dia hendak merampok peti harta itu."

"Kalau begitu, dia pun tidak tahu akan hal yang sebenarnya dan mengira Liu Tai-jin seorang pembesar korup. Kalau demikian halnya, seperti juga engkau, dia pun seorang pendekar yang menentang penindasan, bukankah demikian, Nona?"

"Hemmm, tadinya begitulah kusangka..."

"Apakah kenyataannya kemudian lain?"

"Ketika kami berdua mengejar kereta pembesar itu sampai di hutan, ternyata kereta itu telah diserang oleh sekelompok orang. Kami tidak mengenal siapa mereka, dan kami hendak turun tangan sendiri. Aku ingin membebaskan dua orang gadis dan Can Hong San itu hendak merampas peti harta, dan engkau muncul menggagalkan kami."

"Tapi, mengapa lalu engkau dikeroyok oleh mereka, Nona? Dan kulihat pemuda bercaping itu pun ikut mengeroyokmu..."

Giok Cu menarik napas panjang dan menggigit bibirnya karena gemas. Melihat deretan gigi putih rapi itu menggigit bibir bawah yang merah basah, Han Beng mengalihkan pandang matanya. Terlalu indah dan berbahaya bagi batinnya kalau dipandang terus, pikirnya. Baru memandang sekilas saja, darah mudanya sudah bergejolak dan jantungnya berdebar.

"Mereka itu adalah para pimpinan Pouw-beng-pang, perkumpulan yang katanya merupakan perkumpulan para pendekar yang melindungi rakyat yang tertindas. Mereka bersekutu dengan suku bangsa Hui yang dipimpin oleh orang Hui yang tinggi besar itu, dan orang-orang Pouw-beng-pang yang mengaku sebagai para pejuang itu juga bersekutu dengan Cang Tai-jin "

"Ahhh...! Kalau begitu benar dugaan Liu Tai-jin!" kata Han Beng dengan girang. Ternyata dari gadis ini dia telah mendengar segala yang hendak diketahuinya! "Lalu mengapa mereka itu mengeroyokmu dan hendak membunuhmu?"

"Can Hong San yang menjemukan itu!" Giok Cu berkata gemas. "Dia juga masuk menjadi sekutu mereka yang jelas hendak memberontak terhadap pemerintah dan mereka membujuk agar aku ikut lalu bersekutu dengan mereka. Aku menolak dan pergi. Mereka mengejar dan aku lalu mereka keroyok."

"Akan tetapi mengapa?"

"Mengapa? Mudah saja diketahui. Karena aku tidak mau menjadi sekutu mereka dan hendak pergi, mereka khawatir karena aku telah mengetahui rahasia mereka."

"Ah, begitukah? Sungguh keji mereka!"

"Dan engkau muncul menolongku! Hemmm, dilihat begitu, aku menjadi penasaran sekali. Pertama, kita pernah bertanding beberapa gebrakan, akan tetapi ketika itu aku mengeroyokmu bersama Can Hong San. Kemudian, engkau menghindarkan aku dari bahaya. Seolah-olah aku lemah sekali dan engkau yang jagoan!" Wajah Giok Cu menjadi merah dan ia memandang dengan mulut cemberut dan marah!

"Aih, siapa bilang begitu, Nona?"

"Aku yang bilang begitu!"

"Akan tetapi aku tidak menganggap begitu. Engkau lihai sekali dan aku..."

"Engkau kelihatan seperti lebih lihai dariku, akan tetapi aku belum mau percaya sebelum melihat buktinya engkau dapat mengalahkan aku. Hayo keluarkan senjatamu dan mari kita menguji kepandaian kita masing-masing!"

"Aku tidak pernah menggunakan senjata..." kata Han Beng dan dia mengerutkan alisnya. Gadis ini agak tinggi hati walaupun dia sudah yakin akan kelihaiannya dan diam-diam dia pun ingin sekali mencoba sampai di mana kehebatan gadis yang amat menarik hatinya ini. "Aku tidak ingin berkelahi, Nona."

"Siapa yang mengajakmu berkelahi. Tidak ada hal yang membuat kita bermusuhan, akan tetapi sebelum aku mengukur sendiri kepandaianmu, selamanya aku akan merasa penasaran. Hayo, kita coba dengan tangan kosong saja kalau begitu! Lihat pukulan!" Setelah berkata demikian, Giok Cu maju menyerang dengan tamparan kedua tangan yang dilakukan bertubi dari kanan dan kiri!

"Wuuuttttt! Wuuuttttt...!"

Han Beng kagum. Tamparan itu mendatangkan angin pukulan yang amat dahsyat, tanda bahwa gadis cantik ini memiliki tenaga sin-kang yang kuat. Dia mengelak dengan menarik tubuhnya ke belakang. Akan tetapi, gerakan gadis itu lincah dan cepat bukan main. Begitu kedua tamparannya luput, dara itu sudah menerjang lagi dengan kecepatan seperti seekor burung walet menyambar-nyambar! Kedua tangannya seolah berubah menjadi enam, menyerang Han Beng ke manapun tubuh pemuda ini menghindar.

"Plak! Plakkk!"

Karena tak mungkin mengelak terus dari serangan bertubi-tubi itu, Han Beng menangkis dua kali dan keduanya terkejut karena pertemuan Kedua tangan mereka mendatangkan getaran yang amat kuat. Han Beng mulai merasa gembira. Gadis ini ternyata memang hebat, pikirnya dan timbullah kegembiraannya untuk bertanding benar-benar, hitung-hitung berlatih dengan seorang lawan yang tangguh. Selama meninggalkan gurunya, Pek I Tojin di puncak Thai-san, belum pernah ia bertemu dengan lawan sedemikian tangguhnya, kecuali pemuda bercaping itu.

Dia pun kini membalas dan terjadilah pertandingan yang amat hebat dan seru. Angin menyambar-nyambar di sekeliling mereka, menggerakkan daun pada ujung ranting-ranting pohon, bahkan banyak daun berguguran, terdengar suara bersiutan nyaring dan tubuh kedua orang itu tidak lagi nampak bentuknya, berubah menjadi dua bayangan orang yang berkelebat. Pertandingan yang dahsyat, bagaikan dua ekor naga saja yang saling serang memrebutkan mustika!

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning karya kho ping hoo

Makin lama Han Beng menjadi semakin kagum. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis itu benar-benar merupakan lawan yang demikian hebatnya sehingga tidak akan mudah baginya untuk dapat mengalahkannya! Dia tahu setelah mereka bertanding selama puluhan jurus, bahwa hanya satu saja keunggulannya, yaitu dalam hal tenaga sin-kang.

Dia telah berkali-kali mengadu kekuatan ketika menangkis sedikit demi sedikit menambah tenaganya sampai dia dapat mengukur bahwa kekuatan sin-kang gadis itu masih berada di bawah kekuatannya sendiri. Kalau menghendaki, dengan keunggulan tenaga sakti ini, tentu dia akan mampu mengalahkannya. Akan tetapi tidak, dia tidak tega melakukan hal itu. Dia tidak ingin menyinggung perasaannya, membuatnya malu dan penasaran.

Di lain pihak, Giok Cu juga terkejut bukan main, di samping kekagumannya. Pemuda tinggi besar ini memang luar biasa! Pantas ketika ia membantu Hong San mengeroyoknya, mereka berdua tidak mampu mendesak pemuda ini. Memang hebat bukan main, kokoh kuat bagaikan batu karang. Dia merupakan satu-satunya lawan yang pernah dihadapinya, yang membuat ia kehabisan akal.

Semua ilmunya telah ia keluarkan, bahkan ilmu-ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari Ban-tok Mo-li ia keluarkan, namun tanpa hasil. Uap panas menghitam yang keluar dari tangannya, membuyar ketika bertemu dengan hawa pukulan yang keluar dari kedua telapak tangan pemuda itu, hawa yang lembut namun mengandung kekuatan yang dahsyat.

Beberapa kali, ketika mereka terpaksa mengadu telapak tangan, ia terhuyung mundur dan kedua tangannya terasa kesemutan! Makin bahwa dengan tangan kosong ia tidak akan mampu menang, Giok Cu yang masih penasaran dan ingin menguji sampai sepenuhnya, lalu meloncat ke belakang dan ia sudah menghunus pedangnya. Pedang Seng-kang-kiam yang tumpul!

"Sudah cukup mengadu ilmu silat, tangan kosong, mari kita coba dengan senjata...!" Giok Cu tidak dapat menahan napasnya yang terengah dan juga merasa betapa di dada bagian ulu hati terasa berat dan nyeri, la memejamkan mata sebentar dan napasnya memburu.

"Ah, Nona...! Engkau... engkau terluka dalam...! Sungguh aneh, aku... aku tidak memukulmu, tapi... jelas engkau menderita luka dalam. Cepat bersila nona dan kumpulkan hawa murni melakukan pernapasan dan perlahan-lahan usir hawa dalam dada itu!"

Giok Cu terkejut sekali dan ia merasakan sesuatu kelainan pada ulu hatinya yang terasa semakin nyeri. Teringatlah ia akan nasehat Hek-bin Hwesio ketika mengajarkan latihan pernapasan lan penghimpunan hawa sakti secara bersih, ketika hwesio sakti itu menggemblengnya. Hek-bin Hwesio memperingatkan agar ia tidak mempergunakan ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari Ban-tok Mo-li, terutama ilmu yang mengandung hawa beracun hitam.

"Ilmu itu membahayakan lawan, juga membahayakan dirimu sendiri, Giok Cu," demikian antara lain hwesio sakti itu berkata. "Kalau engkau mempergunakan ilmu itu dan bertemu dengan lawan tangguh yang memiliki sin-kang lebih kuat darimu, engkau dapat terluka oleh hawa beracun itu yang membalik."

Kini ia teringat akan nasehat itu, maka cepat ia pun menyarungkan pedangnya, dan duduk bersila sambil memejamkan mata. Kedua kaki bersila di atas paha, kedua jari manis bertemu dan duduknya seperti kedudukan Kwan Im Pouw-sat. Dengan cepat ia menghimpun tenaga murni dan membiarkan hawa murni berputar-putar di pusar, lalu perlahan-lahan, dengan sin-kang, ia mendorong keluar hawa yang menyesak di ulu hati Perlahan-lahan, hawa itu didorong luar melalui mulutnya sedikit demi dikit.

Han Beng terpesona. Melihat gadis itu membuka mulut dia seolah-olah melihat hawa beracun itu keluar, seperti air memancar dan hal ini mengingatkan dia akan sesuatu. Matanya terbelalak dan tak pernah berkedip dia mengamati wajah yang matanya terpejam itu, melihat hidung itu, mulut yang terbuka itu, kemudian perlahan-lahan dia menghampiri, mengitari dan memperhatikan kulit tengkuk yang kebetulan nampak karena rambut gadis itu agak awut-awutan dan bagian tengkuk terbuka sehingga nampaklah kulit tengkuk yang putih mulus akan tetapi di tengah-tengah nampak sebuah titik hitam sekali.

Sebuah tahi lalat hitam. Han Beng merasa betapa jantungnya berdebar tegang dan seperti orang kebingungan dia lari lagi ke depan disitu, kini dia berlutut agar dapat memandang dan mengamati wajah gadis itu lebih jelas lagi. Seperti sedang mimpi Han Beng mengamati wajah itu dan dia menjadi semakin yakin.

Giok Cu membuka matanya dan hampir ia menjerit ketika melihat pemuda tinggi besar itu berlutut di depannya, dekat hanya dalam jarak satu meter dan pemuda itu sedang mengamati wajahnya seperti orang mengamati sebuah lukisan yang aneh!

"Heiiiii! Apa yang kau lakukan ini? Mengapa engkau memandangku seperti itu?" la membentak dan suaranya nyaring mengejutkan.

Han Beng yang memang sedang termenung itu, sedang melayang kepada kenangan lama, terkejut sekali dan dengan gugup dia pun menjawab dengan kacau, menurutkan jalan pikirannya yang tadi mengenangkan peristiwa masa lalu.

"Aku... aku sudah memijat-mijat perutmu sampai kempis kembali!" Han Beng kaget sendiri mendengar ucapannya itu, apalagi Giok Cu.

Gadis ini terbelalak, mukanya berubah merah sekali, matanya mencorong dan ia pun meloncat berdiri dan menghunus pedangnya. "Kau... kau berani kurang ajar padaku, ya? Kau kira aku sudah kalah tadi dan kau boleh membuka mulut mengeluarkan kata-kata yang bukan-bukan untuk menghinaku?"

"Eh, maaf... sabarlah... tenanglah sekali lagi maaf. Aku teringat akan masa lampau... engkau... bukankah engkau Giok Cu. Bu Giok Cu?"

Kini Giok Cu terbelalak memandang kepada pemuda itu, alisnya berkerut lalu ia menghardik. "Hemmm, engkau tentu sudah mendengar namaku disebut orang tadi, apa anehnya itu?"

"Tidak... tidak, Giok Cu. Ah, lupakah engkau kepadaku? Lupakah engkau ketika kita berdua di Sungai Huang-ho berkelahi melawan naga, eh, ular itu, kemudian perut kita kembung oleh air dan aku memijat perutmu agar airnya keluar dari perut? Kau lupa kepadaku?"

Kini sepasang mata yang jeli dan bersinar-sinar bagaikan sepasang bintang itu terbelalak, dengan penuh selidik mengamati wajah Han Beng dan terbayanglah peristiwa belasan tahun yang lalu itu. Terkenanglah ia akan peristiwa yang amat hebat itu, ketika nyawanya berada dalam cengkeraman maut yang mengerikan, berkelahi dengan ular di air Sungai Huang-ho, terancam pusaran air, dan dijadikan keroyokan banyak sekali tokoh-tokoh kang-ouw yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Di tempat itu pula ayah dan ibunya tewas, setelah menderita luka parah pukulan Sin-tiauw Liu Bhok Ki seperti yang diceritakan gurunya yang pertama, yaitu Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu. Tentu saja ia ingat kepada anak laki-laki yang menjadi kawan sependeritaan dalam peristiwa itu, anak laki-laki yang memang sudah menjadi sahabatnya sebelum terjadinya peristiwa itu karena orang tua mereka sama-sama pengungsi yang melarikan diri dari kerja paksa dan sama-sama menggunakan perahu dan bertemu di Sungai Kuning!

"Kau... aku Si Han Beng...?" Tanyanya, masih gagap karena ragu-ragu.

Han Beng tertawa, bukan main gembira rasa hatinya karena pertanyaan gadis itu membuktikan bahwa memang benar dia berhadapan dengan Giok Cu! "Benar, Giok Cu. Aku kawanmu senasib itu!"

"Han Beng...! Benar engkau ini? Ah, engkau telah menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa dan berilmu tinggi, bahkan aku... aku sendiri kalah olehmu...”

"Ah, tidak, Giok Cu. Engkau tidak kalah, hanya engkau menderita luka dalam, bukan karena pertandingan kita tadi. Dan engkau sendiri... wah, Giok Cu, sungguh tadinya bagaimana mungkin aku dapat mengenalmu? Engkau sekarang, telah menjadi seorang gadis yang... amat cantik jelita, dan memiliki ilmu kepandaian yang hebat pula! Eh, maafkan aku, Giok Cu, mungkin aku terlalu lancang dan harus menyebutmu nyonya...?"

Wajah Giok Cu berubah merah dan mulutnya cemberut, akan tetapi ia tidak marah. Bagaimana ia bisa marah kepada Han Beng, kawan baiknya ketika mereka masih kecil itu? Dahulu, setelah peristiwa hebat di Sungai Kuning yang membuat mereka saling berpisah, sering kali ia terkenang kepada kawan baiknya itu.

"Han Beng, jangan macam-macam! Aku belum menjadi nyonya, belum menikah."

Han Beng tertawa lepas dan gadis itu mengamati wajahnya. Masih seperti dulu tawanya, pikirnya, bebas dan membayangkan kejujuran. "Kenapa engkau mentertawakan aku?" la bertanya, alisnya berkerut.

"Aku senang sekali, Giok Cu!"

"Senang? Aku belum menikah dan engkau senang?"

Kini kedua pipi Han Beng yang menjadi kemerahan, dan dia menjawab gagap, "Oh, tidak...! Aku senang bertemu denganmu dan aku senang engkau masih galak seperti dulu!"

Giok Cu juga tertawa dan melihat gadis itu tertawa, jantung di dalam dada Han Beng berdebar keras. Alangkah manisnya Giok Cu! Ingin dia merangkul, ingin dia memondong, ingin dia membawa gadis itu menari-nari saking gembira, hatinya.

"Dan engkau masih canggung seperti dulu. Berapa anakmu sekarang, Han Beng?"

"Anak?" Sepasang mata yang lebar itu terbelalak. "Aku tidak beranak!"

"Tentu saja, anak bodoh! Bukan engkau yang beranak, akan tetapi isterimu." Giok Cu sudah terseret dan hanyut dalam suasana dahulu sehingga, seperti dahulu, ia berani memaki Han Beng anak bodoh!

Han Beng tersenyum, girang agaknya mendengar makian sayang ini. "Isteri siapa? Aku belum beristeri."

Wajah yang cantik jelita itu berseri dengan cerahnya dan hal ini nampak nyata oleh Han Beng. "Wah, aku girang sekali mendengar engkau belum menikah, Han Beng!" kata Giok Cu dan giginya yang berderet putih rapi itu tersembul di balik sepasang bibirnya yang merekah.

"Kenapa, Giok Cu? Kenapa hatiku girang mendengar engkau belum menikah dan engkau pun gembira mendengar aku belum menikah?"

Mendengar pertanyaan ini, kembali wajah Giok Cu menjadi kemerahan. "Ihhh, jangan menyangka yang bukan-bukan, engkau! Aku girang mendengar engkau belum menikah karena kalau sudah, isterimu tentu akan cemburu melihat kita bercakap-cakap!"

"Sungguh aneh, aku pun berpikir demikian!"

"Kau hanya tiru-tiru saja!"

Seperti dulu ketika mereka masih kecil, Han Beng yang selalu mengalah dan tersenyum menyudahi pertengkaran yang timbul. "Giok Cu, mari duduk yang enak dan kita saling menceritakan riwayat kita masing-masing semenjak kita saling berpisah di Sungai Huang-ho itu."

Mereka duduk berhadapan, di atas batu datar yang terdapat di tempat itu. Sejenak mereka saling pandang, penuh perhatian, penuh kegembiraan dan akhirnya Giok Cu menghela napas panjang. Mengenangkan masa lalu, ia teringat kepada ayah ibunya dan ia merasa berduka.

"Engkau berceritalah dulu," katanya.

"Nanti dulu, Giok Cu. Sebelum itu perlu aku merasa yakin benar bahwa lukamu di dalam tubuh itu tidak berbahaya. Kalau perlu, mari kubantu engkau menghalau luka itu agar sembuh sama sekali."

Giok Cu menggeleng kepala. "Tidak perlu, bukan luka oleh pukulan musuh melainkan karena salahku sendiri, dan nanti kuceritakan tentang itu."

"Apakah tidak sebaiknya kalau kita pulang ke rumahmu dan bicara saja sana? Aku ingin sekali bertemu dengan Ayah Ibumu..."

Han Beng menghentikan bicaranya ketika melihat betapa tiba-tiba gadis itu memandang kepadanya dengan wajah berubah pucat dan mata muram. "Kenapa Giok Cu...?" tanyanya khawatir.

"Ayah Ibuku telah tewas!"

"Ohhh...! Kalau begitu sama dengan Ayah Ibuku..." kata Han Beng menyesal.

“Ahhh! Ayah Ibumu juga tewas, Han Beng?"

Pemuda itu mengangguk dan keduanya termenung. Kalau tadi mereka saling bertemu, keduanya menjadi gembira sekali, kini mereka merasa bahwa ada ikatan yang lebih erat di antara mereka karena mereka berdua ternyata memiliki nasib yang sama pula!

"Biar kuceritakan saja semua pengalamanku, Giok Cu. Ketika terjadi peristiwa hebat di sungai itu, ketika para tokoh kang-ouw yang tadinya berebutan anak naga, kemudian berbalik memperebutkan kita karena kita telah minum darah anak naga atau ular itu, kita saling berpisah. Aku tentu sudah tewas atau setidaknya ditawan orang jahat kalau saja tidak ditolong oleh Suhuku yang pertama. Suhu itu pun tentu takkan mampu melindungi aku kalau tidak dibantu oleh Suhuku ke dua. Dan didalam perebutan di sungai itulah Ayah dan Ibuku tewas, entah oleh siapa, Giok Cu. Aku lalu mengikuti Suhuku yang pertama selama lima tahun, lalu Suhu ke dua selama lima tahun, kemudian aku masih berguru lagi kepada seorang tosu. Baru saja aku turun dari Gunung Thai-san dan Suhu menasehati aku untuk membebas rakyat yang tertindas oleh adanya kerja paksa pembuatan terusan, juga untuk menentang kejahatan."

"Aih, gurumu tiga orang. Pantas sekali engkau menjadi begini lihai."

"Jangan terlalu memujiku, Giok Cu Sekarang ceritakanlah pengalamanmu. Ingin sekali aku mendengar."

"Pengalamanku biasa saja, tidak sehebat engkau. Tentu engkau telah menjadi seorang pendekar yang hebat, maka orang-orang Hui itu sampai begitu sayang kepadamu, bukan hanya menyebutmu Huang-ho Sin-liong, akan tetapi juga mereka tidak mau menentangmu."

"Engkau terlalu merendahkan dirimu Giok Cu. Sudahlah, jangan goda aku yang sudah ingin sekali mendengar riwayatmu. Ceritakanlah."

"Seperti engkau, ketika terjadi keributan di Sungai Huang-ho itu, aku pun diselamatkan oleh seorang wanita sakti yang kemudian menjadi guruku. Selama tujuh tahun aku digembleng oleh guruku itu. Kemudian, aku bertemu dengan guruku yang ke dua dan dari guruku ke dua ini, seorang hwesio tua yang lebih sakti lagi, aku dilatih selama lima tahun. Nah, aku turun gunung dan seperti engkau pula, Suhu menasehati aku untuk menentang kejahatan dan melindungi rakyat yang tertindas. Tentu saja aku menentang para pejabat yang memaksa rakyat untuk bekerja membuat terusan sebagai kerja paksa tanpa bayaran. Bukankah keluarga kita menderita malapetaka justeru karena adanya kerja paksa itu? Dan di dalam keributan itu, Ayah dan Ibu juga tewas oleh orang jahat."

Han Beng tidak puas mendengar cerita yang singkat itu. Dia tidak merasa bahwa dia sendiri pun tadi menceritakan pengalamannya dengan singkat pula, hanya garis besarnya saja. Dia memang pada dasarnya tidak pandai bicara.

"Lalu bagaimana engkau dapat menderita luka di sebelah dalam tubuhmu kalau tidak terkena pukulan lawan seperti kau katakan tadi?"

Giok Cu teringat akan subonya dan ia menarik napas panjang. Subonya ia adalah penolongnya, akan tetapi ternyata juga merupakan orang yang mencelakakannya. Memang, ia disayang dan diajari ilmu-ilmu milik subonya. Akan tetapi sejak ia kecil, subonya sudah memberi tanda merah pada lengannya itu. Tanda merah yang membuat ia selama hidupnya tidak akan berani menjadi isteri orang!

Dan sekarang, ternyata ilmu-ilmu dari subonya itu juga berbahaya bagi nyawanya. Tepat seperti dikatakan oleh Hek Bin Hwesio, gurunya kedua bahwa menggunakan ilmu-ilmu sesat dari subonya itu amat berbahaya. Kalau ia bertanding dengan orang yang memiliki kekuatan yang lebih besar, maka hawa beracun yang dipergunakan dalam pukulannya seperti yang diajarkan subonya itu akan dapat membalik dan melukai diri sendiri.

"Ah, itu memang salahku sendiri. Ketahuilah bahwa Suboku adalah seorang datuk sesat yang mengajarkan ilmu-ilmu yang mengandung hawa beracun kepadaku. Setelah aku berguru kepada hwesio tua itu, Suhu memberitahu bahwa amat berbahaya bagiku kalau mempergunakan ilmu-ilmu dari Subo itu dalam perkelahian melawan lawan yang tangguh. Aku tidak mentaati nasehatnya dan aku telah menggunakan ilmu-ilmu sesat itu sehingga aku terluka, maka itu adalah kesalahanku sendiri."

"Siapakah Subomu itu, Giok Cu?"

"Subo berjuluk Ban-tok Mo-li bernama Phang Bi Cu..."

"Ahhhhh...!" Han Beng berseru, kaget karena dia sudah amat mengenal nama datuk sesat itu. Bahkan puteri dari Ban-tok Mo-li itu, ialah Sim Lan Ci, adalah Nyonya Coa Siang Lee yang telah menjadi saudara angkatnya!

"Engkau sudah mengenal Subo?" tanya Giok Cu sambil memandang tajam penuh selidik.

"Tidak, akan tetapi aku sudah sering mendengar nama besarnya. Dan siapa nama Suhumu yang ke dua itu?"

"Nama Suhu adalah Hek bin Hwesio. Apakah engkau juga sudah mengenalnya...?"

Naga Sakti Sungai Kuning Jilid 35

WAJAH Han Beng menjadi kemerahan. "Aih, itu hanya pujian kosong saja dari mereka yang telah berhasil kutolong. Tidak ada artinya sama sekali, dan aku bukan seorang pendekar besar. Mungkin karena aku suka merantau di sepanjang Sungai Huang-ho, maka aku mendapat julukan seperti itu. Terlalu berlebihan!" Dia berhenti sebentar, dan melihat gadis itu tidak menjawab, hanya tersenyum, dia pun melanjutkan. "Sekarang, harap kau suka menceritakan tentang engkau dan mereka itu, Nona."

"Aku pun secara kebetulan saja lewat di Siong-an dan di dalam rumah makan Ho-tin, aku melihat penyogokan yang dilakukan Cang Tai-jin kepada Liu Tai-jin. Mengenai peti harta itu, aku tidak peduli. Akan tetapi melihat dua orang gadis remaja itu yang juga di hadiahkan kepada Liu Tai-jin, hatiku menjadi panas dan aku bermaksud untuk membebaskan dua orang gadis itu. Sama sekali tidak mempunyai sangkut-paut atau hubungan dengan yang lain-lain itu..."

"Akan tetapi, kulihat engkau bekerjasama dengan pemuda bercaping lebar itu. Dia lihai dan..."

"Ah, dia itu Can Hong San dan pun baru berkenalan dengan dia di rumah makan Ho-tin. Dia pun bermaksud menghadang dan menghajar Liu Tai-jin yang dianggapnya seorang pembesar korup pemakan sogokan. Dia hendak merampok peti harta itu."

"Kalau begitu, dia pun tidak tahu akan hal yang sebenarnya dan mengira Liu Tai-jin seorang pembesar korup. Kalau demikian halnya, seperti juga engkau, dia pun seorang pendekar yang menentang penindasan, bukankah demikian, Nona?"

"Hemmm, tadinya begitulah kusangka..."

"Apakah kenyataannya kemudian lain?"

"Ketika kami berdua mengejar kereta pembesar itu sampai di hutan, ternyata kereta itu telah diserang oleh sekelompok orang. Kami tidak mengenal siapa mereka, dan kami hendak turun tangan sendiri. Aku ingin membebaskan dua orang gadis dan Can Hong San itu hendak merampas peti harta, dan engkau muncul menggagalkan kami."

"Tapi, mengapa lalu engkau dikeroyok oleh mereka, Nona? Dan kulihat pemuda bercaping itu pun ikut mengeroyokmu..."

Giok Cu menarik napas panjang dan menggigit bibirnya karena gemas. Melihat deretan gigi putih rapi itu menggigit bibir bawah yang merah basah, Han Beng mengalihkan pandang matanya. Terlalu indah dan berbahaya bagi batinnya kalau dipandang terus, pikirnya. Baru memandang sekilas saja, darah mudanya sudah bergejolak dan jantungnya berdebar.

"Mereka itu adalah para pimpinan Pouw-beng-pang, perkumpulan yang katanya merupakan perkumpulan para pendekar yang melindungi rakyat yang tertindas. Mereka bersekutu dengan suku bangsa Hui yang dipimpin oleh orang Hui yang tinggi besar itu, dan orang-orang Pouw-beng-pang yang mengaku sebagai para pejuang itu juga bersekutu dengan Cang Tai-jin "

"Ahhh...! Kalau begitu benar dugaan Liu Tai-jin!" kata Han Beng dengan girang. Ternyata dari gadis ini dia telah mendengar segala yang hendak diketahuinya! "Lalu mengapa mereka itu mengeroyokmu dan hendak membunuhmu?"

"Can Hong San yang menjemukan itu!" Giok Cu berkata gemas. "Dia juga masuk menjadi sekutu mereka yang jelas hendak memberontak terhadap pemerintah dan mereka membujuk agar aku ikut lalu bersekutu dengan mereka. Aku menolak dan pergi. Mereka mengejar dan aku lalu mereka keroyok."

"Akan tetapi mengapa?"

"Mengapa? Mudah saja diketahui. Karena aku tidak mau menjadi sekutu mereka dan hendak pergi, mereka khawatir karena aku telah mengetahui rahasia mereka."

"Ah, begitukah? Sungguh keji mereka!"

"Dan engkau muncul menolongku! Hemmm, dilihat begitu, aku menjadi penasaran sekali. Pertama, kita pernah bertanding beberapa gebrakan, akan tetapi ketika itu aku mengeroyokmu bersama Can Hong San. Kemudian, engkau menghindarkan aku dari bahaya. Seolah-olah aku lemah sekali dan engkau yang jagoan!" Wajah Giok Cu menjadi merah dan ia memandang dengan mulut cemberut dan marah!

"Aih, siapa bilang begitu, Nona?"

"Aku yang bilang begitu!"

"Akan tetapi aku tidak menganggap begitu. Engkau lihai sekali dan aku..."

"Engkau kelihatan seperti lebih lihai dariku, akan tetapi aku belum mau percaya sebelum melihat buktinya engkau dapat mengalahkan aku. Hayo keluarkan senjatamu dan mari kita menguji kepandaian kita masing-masing!"

"Aku tidak pernah menggunakan senjata..." kata Han Beng dan dia mengerutkan alisnya. Gadis ini agak tinggi hati walaupun dia sudah yakin akan kelihaiannya dan diam-diam dia pun ingin sekali mencoba sampai di mana kehebatan gadis yang amat menarik hatinya ini. "Aku tidak ingin berkelahi, Nona."

"Siapa yang mengajakmu berkelahi. Tidak ada hal yang membuat kita bermusuhan, akan tetapi sebelum aku mengukur sendiri kepandaianmu, selamanya aku akan merasa penasaran. Hayo, kita coba dengan tangan kosong saja kalau begitu! Lihat pukulan!" Setelah berkata demikian, Giok Cu maju menyerang dengan tamparan kedua tangan yang dilakukan bertubi dari kanan dan kiri!

"Wuuuttttt! Wuuuttttt...!"

Han Beng kagum. Tamparan itu mendatangkan angin pukulan yang amat dahsyat, tanda bahwa gadis cantik ini memiliki tenaga sin-kang yang kuat. Dia mengelak dengan menarik tubuhnya ke belakang. Akan tetapi, gerakan gadis itu lincah dan cepat bukan main. Begitu kedua tamparannya luput, dara itu sudah menerjang lagi dengan kecepatan seperti seekor burung walet menyambar-nyambar! Kedua tangannya seolah berubah menjadi enam, menyerang Han Beng ke manapun tubuh pemuda ini menghindar.

"Plak! Plakkk!"

Karena tak mungkin mengelak terus dari serangan bertubi-tubi itu, Han Beng menangkis dua kali dan keduanya terkejut karena pertemuan Kedua tangan mereka mendatangkan getaran yang amat kuat. Han Beng mulai merasa gembira. Gadis ini ternyata memang hebat, pikirnya dan timbullah kegembiraannya untuk bertanding benar-benar, hitung-hitung berlatih dengan seorang lawan yang tangguh. Selama meninggalkan gurunya, Pek I Tojin di puncak Thai-san, belum pernah ia bertemu dengan lawan sedemikian tangguhnya, kecuali pemuda bercaping itu.

Dia pun kini membalas dan terjadilah pertandingan yang amat hebat dan seru. Angin menyambar-nyambar di sekeliling mereka, menggerakkan daun pada ujung ranting-ranting pohon, bahkan banyak daun berguguran, terdengar suara bersiutan nyaring dan tubuh kedua orang itu tidak lagi nampak bentuknya, berubah menjadi dua bayangan orang yang berkelebat. Pertandingan yang dahsyat, bagaikan dua ekor naga saja yang saling serang memrebutkan mustika!

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning karya kho ping hoo

Makin lama Han Beng menjadi semakin kagum. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis itu benar-benar merupakan lawan yang demikian hebatnya sehingga tidak akan mudah baginya untuk dapat mengalahkannya! Dia tahu setelah mereka bertanding selama puluhan jurus, bahwa hanya satu saja keunggulannya, yaitu dalam hal tenaga sin-kang.

Dia telah berkali-kali mengadu kekuatan ketika menangkis sedikit demi sedikit menambah tenaganya sampai dia dapat mengukur bahwa kekuatan sin-kang gadis itu masih berada di bawah kekuatannya sendiri. Kalau menghendaki, dengan keunggulan tenaga sakti ini, tentu dia akan mampu mengalahkannya. Akan tetapi tidak, dia tidak tega melakukan hal itu. Dia tidak ingin menyinggung perasaannya, membuatnya malu dan penasaran.

Di lain pihak, Giok Cu juga terkejut bukan main, di samping kekagumannya. Pemuda tinggi besar ini memang luar biasa! Pantas ketika ia membantu Hong San mengeroyoknya, mereka berdua tidak mampu mendesak pemuda ini. Memang hebat bukan main, kokoh kuat bagaikan batu karang. Dia merupakan satu-satunya lawan yang pernah dihadapinya, yang membuat ia kehabisan akal.

Semua ilmunya telah ia keluarkan, bahkan ilmu-ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari Ban-tok Mo-li ia keluarkan, namun tanpa hasil. Uap panas menghitam yang keluar dari tangannya, membuyar ketika bertemu dengan hawa pukulan yang keluar dari kedua telapak tangan pemuda itu, hawa yang lembut namun mengandung kekuatan yang dahsyat.

Beberapa kali, ketika mereka terpaksa mengadu telapak tangan, ia terhuyung mundur dan kedua tangannya terasa kesemutan! Makin bahwa dengan tangan kosong ia tidak akan mampu menang, Giok Cu yang masih penasaran dan ingin menguji sampai sepenuhnya, lalu meloncat ke belakang dan ia sudah menghunus pedangnya. Pedang Seng-kang-kiam yang tumpul!

"Sudah cukup mengadu ilmu silat, tangan kosong, mari kita coba dengan senjata...!" Giok Cu tidak dapat menahan napasnya yang terengah dan juga merasa betapa di dada bagian ulu hati terasa berat dan nyeri, la memejamkan mata sebentar dan napasnya memburu.

"Ah, Nona...! Engkau... engkau terluka dalam...! Sungguh aneh, aku... aku tidak memukulmu, tapi... jelas engkau menderita luka dalam. Cepat bersila nona dan kumpulkan hawa murni melakukan pernapasan dan perlahan-lahan usir hawa dalam dada itu!"

Giok Cu terkejut sekali dan ia merasakan sesuatu kelainan pada ulu hatinya yang terasa semakin nyeri. Teringatlah ia akan nasehat Hek-bin Hwesio ketika mengajarkan latihan pernapasan lan penghimpunan hawa sakti secara bersih, ketika hwesio sakti itu menggemblengnya. Hek-bin Hwesio memperingatkan agar ia tidak mempergunakan ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari Ban-tok Mo-li, terutama ilmu yang mengandung hawa beracun hitam.

"Ilmu itu membahayakan lawan, juga membahayakan dirimu sendiri, Giok Cu," demikian antara lain hwesio sakti itu berkata. "Kalau engkau mempergunakan ilmu itu dan bertemu dengan lawan tangguh yang memiliki sin-kang lebih kuat darimu, engkau dapat terluka oleh hawa beracun itu yang membalik."

Kini ia teringat akan nasehat itu, maka cepat ia pun menyarungkan pedangnya, dan duduk bersila sambil memejamkan mata. Kedua kaki bersila di atas paha, kedua jari manis bertemu dan duduknya seperti kedudukan Kwan Im Pouw-sat. Dengan cepat ia menghimpun tenaga murni dan membiarkan hawa murni berputar-putar di pusar, lalu perlahan-lahan, dengan sin-kang, ia mendorong keluar hawa yang menyesak di ulu hati Perlahan-lahan, hawa itu didorong luar melalui mulutnya sedikit demi dikit.

Han Beng terpesona. Melihat gadis itu membuka mulut dia seolah-olah melihat hawa beracun itu keluar, seperti air memancar dan hal ini mengingatkan dia akan sesuatu. Matanya terbelalak dan tak pernah berkedip dia mengamati wajah yang matanya terpejam itu, melihat hidung itu, mulut yang terbuka itu, kemudian perlahan-lahan dia menghampiri, mengitari dan memperhatikan kulit tengkuk yang kebetulan nampak karena rambut gadis itu agak awut-awutan dan bagian tengkuk terbuka sehingga nampaklah kulit tengkuk yang putih mulus akan tetapi di tengah-tengah nampak sebuah titik hitam sekali.

Sebuah tahi lalat hitam. Han Beng merasa betapa jantungnya berdebar tegang dan seperti orang kebingungan dia lari lagi ke depan disitu, kini dia berlutut agar dapat memandang dan mengamati wajah gadis itu lebih jelas lagi. Seperti sedang mimpi Han Beng mengamati wajah itu dan dia menjadi semakin yakin.

Giok Cu membuka matanya dan hampir ia menjerit ketika melihat pemuda tinggi besar itu berlutut di depannya, dekat hanya dalam jarak satu meter dan pemuda itu sedang mengamati wajahnya seperti orang mengamati sebuah lukisan yang aneh!

"Heiiiii! Apa yang kau lakukan ini? Mengapa engkau memandangku seperti itu?" la membentak dan suaranya nyaring mengejutkan.

Han Beng yang memang sedang termenung itu, sedang melayang kepada kenangan lama, terkejut sekali dan dengan gugup dia pun menjawab dengan kacau, menurutkan jalan pikirannya yang tadi mengenangkan peristiwa masa lalu.

"Aku... aku sudah memijat-mijat perutmu sampai kempis kembali!" Han Beng kaget sendiri mendengar ucapannya itu, apalagi Giok Cu.

Gadis ini terbelalak, mukanya berubah merah sekali, matanya mencorong dan ia pun meloncat berdiri dan menghunus pedangnya. "Kau... kau berani kurang ajar padaku, ya? Kau kira aku sudah kalah tadi dan kau boleh membuka mulut mengeluarkan kata-kata yang bukan-bukan untuk menghinaku?"

"Eh, maaf... sabarlah... tenanglah sekali lagi maaf. Aku teringat akan masa lampau... engkau... bukankah engkau Giok Cu. Bu Giok Cu?"

Kini Giok Cu terbelalak memandang kepada pemuda itu, alisnya berkerut lalu ia menghardik. "Hemmm, engkau tentu sudah mendengar namaku disebut orang tadi, apa anehnya itu?"

"Tidak... tidak, Giok Cu. Ah, lupakah engkau kepadaku? Lupakah engkau ketika kita berdua di Sungai Huang-ho berkelahi melawan naga, eh, ular itu, kemudian perut kita kembung oleh air dan aku memijat perutmu agar airnya keluar dari perut? Kau lupa kepadaku?"

Kini sepasang mata yang jeli dan bersinar-sinar bagaikan sepasang bintang itu terbelalak, dengan penuh selidik mengamati wajah Han Beng dan terbayanglah peristiwa belasan tahun yang lalu itu. Terkenanglah ia akan peristiwa yang amat hebat itu, ketika nyawanya berada dalam cengkeraman maut yang mengerikan, berkelahi dengan ular di air Sungai Huang-ho, terancam pusaran air, dan dijadikan keroyokan banyak sekali tokoh-tokoh kang-ouw yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Di tempat itu pula ayah dan ibunya tewas, setelah menderita luka parah pukulan Sin-tiauw Liu Bhok Ki seperti yang diceritakan gurunya yang pertama, yaitu Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu. Tentu saja ia ingat kepada anak laki-laki yang menjadi kawan sependeritaan dalam peristiwa itu, anak laki-laki yang memang sudah menjadi sahabatnya sebelum terjadinya peristiwa itu karena orang tua mereka sama-sama pengungsi yang melarikan diri dari kerja paksa dan sama-sama menggunakan perahu dan bertemu di Sungai Kuning!

"Kau... aku Si Han Beng...?" Tanyanya, masih gagap karena ragu-ragu.

Han Beng tertawa, bukan main gembira rasa hatinya karena pertanyaan gadis itu membuktikan bahwa memang benar dia berhadapan dengan Giok Cu! "Benar, Giok Cu. Aku kawanmu senasib itu!"

"Han Beng...! Benar engkau ini? Ah, engkau telah menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa dan berilmu tinggi, bahkan aku... aku sendiri kalah olehmu...”

"Ah, tidak, Giok Cu. Engkau tidak kalah, hanya engkau menderita luka dalam, bukan karena pertandingan kita tadi. Dan engkau sendiri... wah, Giok Cu, sungguh tadinya bagaimana mungkin aku dapat mengenalmu? Engkau sekarang, telah menjadi seorang gadis yang... amat cantik jelita, dan memiliki ilmu kepandaian yang hebat pula! Eh, maafkan aku, Giok Cu, mungkin aku terlalu lancang dan harus menyebutmu nyonya...?"

Wajah Giok Cu berubah merah dan mulutnya cemberut, akan tetapi ia tidak marah. Bagaimana ia bisa marah kepada Han Beng, kawan baiknya ketika mereka masih kecil itu? Dahulu, setelah peristiwa hebat di Sungai Kuning yang membuat mereka saling berpisah, sering kali ia terkenang kepada kawan baiknya itu.

"Han Beng, jangan macam-macam! Aku belum menjadi nyonya, belum menikah."

Han Beng tertawa lepas dan gadis itu mengamati wajahnya. Masih seperti dulu tawanya, pikirnya, bebas dan membayangkan kejujuran. "Kenapa engkau mentertawakan aku?" la bertanya, alisnya berkerut.

"Aku senang sekali, Giok Cu!"

"Senang? Aku belum menikah dan engkau senang?"

Kini kedua pipi Han Beng yang menjadi kemerahan, dan dia menjawab gagap, "Oh, tidak...! Aku senang bertemu denganmu dan aku senang engkau masih galak seperti dulu!"

Giok Cu juga tertawa dan melihat gadis itu tertawa, jantung di dalam dada Han Beng berdebar keras. Alangkah manisnya Giok Cu! Ingin dia merangkul, ingin dia memondong, ingin dia membawa gadis itu menari-nari saking gembira, hatinya.

"Dan engkau masih canggung seperti dulu. Berapa anakmu sekarang, Han Beng?"

"Anak?" Sepasang mata yang lebar itu terbelalak. "Aku tidak beranak!"

"Tentu saja, anak bodoh! Bukan engkau yang beranak, akan tetapi isterimu." Giok Cu sudah terseret dan hanyut dalam suasana dahulu sehingga, seperti dahulu, ia berani memaki Han Beng anak bodoh!

Han Beng tersenyum, girang agaknya mendengar makian sayang ini. "Isteri siapa? Aku belum beristeri."

Wajah yang cantik jelita itu berseri dengan cerahnya dan hal ini nampak nyata oleh Han Beng. "Wah, aku girang sekali mendengar engkau belum menikah, Han Beng!" kata Giok Cu dan giginya yang berderet putih rapi itu tersembul di balik sepasang bibirnya yang merekah.

"Kenapa, Giok Cu? Kenapa hatiku girang mendengar engkau belum menikah dan engkau pun gembira mendengar aku belum menikah?"

Mendengar pertanyaan ini, kembali wajah Giok Cu menjadi kemerahan. "Ihhh, jangan menyangka yang bukan-bukan, engkau! Aku girang mendengar engkau belum menikah karena kalau sudah, isterimu tentu akan cemburu melihat kita bercakap-cakap!"

"Sungguh aneh, aku pun berpikir demikian!"

"Kau hanya tiru-tiru saja!"

Seperti dulu ketika mereka masih kecil, Han Beng yang selalu mengalah dan tersenyum menyudahi pertengkaran yang timbul. "Giok Cu, mari duduk yang enak dan kita saling menceritakan riwayat kita masing-masing semenjak kita saling berpisah di Sungai Huang-ho itu."

Mereka duduk berhadapan, di atas batu datar yang terdapat di tempat itu. Sejenak mereka saling pandang, penuh perhatian, penuh kegembiraan dan akhirnya Giok Cu menghela napas panjang. Mengenangkan masa lalu, ia teringat kepada ayah ibunya dan ia merasa berduka.

"Engkau berceritalah dulu," katanya.

"Nanti dulu, Giok Cu. Sebelum itu perlu aku merasa yakin benar bahwa lukamu di dalam tubuh itu tidak berbahaya. Kalau perlu, mari kubantu engkau menghalau luka itu agar sembuh sama sekali."

Giok Cu menggeleng kepala. "Tidak perlu, bukan luka oleh pukulan musuh melainkan karena salahku sendiri, dan nanti kuceritakan tentang itu."

"Apakah tidak sebaiknya kalau kita pulang ke rumahmu dan bicara saja sana? Aku ingin sekali bertemu dengan Ayah Ibumu..."

Han Beng menghentikan bicaranya ketika melihat betapa tiba-tiba gadis itu memandang kepadanya dengan wajah berubah pucat dan mata muram. "Kenapa Giok Cu...?" tanyanya khawatir.

"Ayah Ibuku telah tewas!"

"Ohhh...! Kalau begitu sama dengan Ayah Ibuku..." kata Han Beng menyesal.

“Ahhh! Ayah Ibumu juga tewas, Han Beng?"

Pemuda itu mengangguk dan keduanya termenung. Kalau tadi mereka saling bertemu, keduanya menjadi gembira sekali, kini mereka merasa bahwa ada ikatan yang lebih erat di antara mereka karena mereka berdua ternyata memiliki nasib yang sama pula!

"Biar kuceritakan saja semua pengalamanku, Giok Cu. Ketika terjadi peristiwa hebat di sungai itu, ketika para tokoh kang-ouw yang tadinya berebutan anak naga, kemudian berbalik memperebutkan kita karena kita telah minum darah anak naga atau ular itu, kita saling berpisah. Aku tentu sudah tewas atau setidaknya ditawan orang jahat kalau saja tidak ditolong oleh Suhuku yang pertama. Suhu itu pun tentu takkan mampu melindungi aku kalau tidak dibantu oleh Suhuku ke dua. Dan didalam perebutan di sungai itulah Ayah dan Ibuku tewas, entah oleh siapa, Giok Cu. Aku lalu mengikuti Suhuku yang pertama selama lima tahun, lalu Suhu ke dua selama lima tahun, kemudian aku masih berguru lagi kepada seorang tosu. Baru saja aku turun dari Gunung Thai-san dan Suhu menasehati aku untuk membebas rakyat yang tertindas oleh adanya kerja paksa pembuatan terusan, juga untuk menentang kejahatan."

"Aih, gurumu tiga orang. Pantas sekali engkau menjadi begini lihai."

"Jangan terlalu memujiku, Giok Cu Sekarang ceritakanlah pengalamanmu. Ingin sekali aku mendengar."

"Pengalamanku biasa saja, tidak sehebat engkau. Tentu engkau telah menjadi seorang pendekar yang hebat, maka orang-orang Hui itu sampai begitu sayang kepadamu, bukan hanya menyebutmu Huang-ho Sin-liong, akan tetapi juga mereka tidak mau menentangmu."

"Engkau terlalu merendahkan dirimu Giok Cu. Sudahlah, jangan goda aku yang sudah ingin sekali mendengar riwayatmu. Ceritakanlah."

"Seperti engkau, ketika terjadi keributan di Sungai Huang-ho itu, aku pun diselamatkan oleh seorang wanita sakti yang kemudian menjadi guruku. Selama tujuh tahun aku digembleng oleh guruku itu. Kemudian, aku bertemu dengan guruku yang ke dua dan dari guruku ke dua ini, seorang hwesio tua yang lebih sakti lagi, aku dilatih selama lima tahun. Nah, aku turun gunung dan seperti engkau pula, Suhu menasehati aku untuk menentang kejahatan dan melindungi rakyat yang tertindas. Tentu saja aku menentang para pejabat yang memaksa rakyat untuk bekerja membuat terusan sebagai kerja paksa tanpa bayaran. Bukankah keluarga kita menderita malapetaka justeru karena adanya kerja paksa itu? Dan di dalam keributan itu, Ayah dan Ibu juga tewas oleh orang jahat."

Han Beng tidak puas mendengar cerita yang singkat itu. Dia tidak merasa bahwa dia sendiri pun tadi menceritakan pengalamannya dengan singkat pula, hanya garis besarnya saja. Dia memang pada dasarnya tidak pandai bicara.

"Lalu bagaimana engkau dapat menderita luka di sebelah dalam tubuhmu kalau tidak terkena pukulan lawan seperti kau katakan tadi?"

Giok Cu teringat akan subonya dan ia menarik napas panjang. Subonya ia adalah penolongnya, akan tetapi ternyata juga merupakan orang yang mencelakakannya. Memang, ia disayang dan diajari ilmu-ilmu milik subonya. Akan tetapi sejak ia kecil, subonya sudah memberi tanda merah pada lengannya itu. Tanda merah yang membuat ia selama hidupnya tidak akan berani menjadi isteri orang!

Dan sekarang, ternyata ilmu-ilmu dari subonya itu juga berbahaya bagi nyawanya. Tepat seperti dikatakan oleh Hek Bin Hwesio, gurunya kedua bahwa menggunakan ilmu-ilmu sesat dari subonya itu amat berbahaya. Kalau ia bertanding dengan orang yang memiliki kekuatan yang lebih besar, maka hawa beracun yang dipergunakan dalam pukulannya seperti yang diajarkan subonya itu akan dapat membalik dan melukai diri sendiri.

"Ah, itu memang salahku sendiri. Ketahuilah bahwa Suboku adalah seorang datuk sesat yang mengajarkan ilmu-ilmu yang mengandung hawa beracun kepadaku. Setelah aku berguru kepada hwesio tua itu, Suhu memberitahu bahwa amat berbahaya bagiku kalau mempergunakan ilmu-ilmu dari Subo itu dalam perkelahian melawan lawan yang tangguh. Aku tidak mentaati nasehatnya dan aku telah menggunakan ilmu-ilmu sesat itu sehingga aku terluka, maka itu adalah kesalahanku sendiri."

"Siapakah Subomu itu, Giok Cu?"

"Subo berjuluk Ban-tok Mo-li bernama Phang Bi Cu..."

"Ahhhhh...!" Han Beng berseru, kaget karena dia sudah amat mengenal nama datuk sesat itu. Bahkan puteri dari Ban-tok Mo-li itu, ialah Sim Lan Ci, adalah Nyonya Coa Siang Lee yang telah menjadi saudara angkatnya!

"Engkau sudah mengenal Subo?" tanya Giok Cu sambil memandang tajam penuh selidik.

"Tidak, akan tetapi aku sudah sering mendengar nama besarnya. Dan siapa nama Suhumu yang ke dua itu?"

"Nama Suhu adalah Hek bin Hwesio. Apakah engkau juga sudah mengenalnya...?"