Naga Sakti Sungai Kuning Jilid 27 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

MATAHARI mulai turun ke barat cuaca menjadi gelap ketika terjadi pertempuran yang amat seru. Para hwesio dan tosu itu adalah para pimpinan rata-rata mereka memiliki kepandaian tinggi sehingga banyak anak buah gerombolan dan juga anggauta pasukan pemerintah yang roboh, luka atau tewas.

Cui-beng Sai-kong sendiri dengan marah sudah keluar dibantu oleh Tu hai Cin-jin dan beberapa orang pembantu yang cukup lihai. Tung-hai Cin-jin dengan samurainya segera disambut oleh Han Beng. Pemuda ini dikepung dan dikeroyok oleh Tung-hai Cin-jin yang bantu oleh tiga orang tokoh sesat, namun, Han Beng dapat menandingi mereka dengan baik, menggunakan sebatang tongkat yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Ketika dia mengeluarkan sebuah sabuk dan memegang sabuk dengan tangan kirinya, dia bahkan segera dapat mendesak empat orang pengeroyoknya.

Sementara itu, Cui-beng Sai-kong dihadapi oleh Pek I Tojin sendiri! Tosu tua ini tersenyum dan bersikap tenang sekali ketika kakek raksasa itu dengan muka semakin hitam karena masih menghadapi dan memandang kepadanya dengan sinar mata mencorong.

"Hemmm, kiranya Pek I Tojin yang berdiri di belakang pemberontakan terhadap pemerintah!" kata Cui-beng Sai-Kong dengan nada suara mengejek. "Bagus! Seorang pertapa yang mengaku dirinya suci, tidak pernah mencampuri urusan dunia, sekarang begitu muncul menjadi pentolan pemberontak!"

Pek I Tojin tidak menjadi marah mendengar ejekan itu. Dia memandang seperti seorang tua memandang tingkah laku seorang anak-anak nakal. "Cui-beng Sai-kong dua puluh tahun yang lalu ketika engkau mengundurkan diri ke pegunungan sunyi, semua orang mengira dan mengharapkan bahwa engkau mau meninggalkan jalan sesat, memulihkan diri dan menebus dosa. Tidak tahunya sekarang engkau muncul kembali lebih jahat daripada sebelumnya. Engkau mengumpulkan tokoh-tokoh sesat bersekongkol dengan pemerintah dan mengadu domba antara para tosu dan para hwesio. Mereka bukan pemberontak engkau pun tahu akan hal ini, dan pinto sendiri yang tidak lagi membutuhkan apa-apa, untuk apa memberontak? Para hwesio dan tosu yang berjiwa pendekar itu tidak rela melihat rakyat jelata dikorbankan, yang ditentang adalah aturan yang menindas rakyat, bukan pemerintah!"

"Ahhh, banyak omong tidak akan menyelamatkan dirimu, Pek I Tojin! Lihat naga hitamku akan menelanmu bulat-bulat!"

Cui-beng Sai-kong membungkuk mencengkeram segenggam tanah dan dilontarkan tanah itu ke udara dan berbareng dengan meledaknya asap hitam nampak seekor naga yang dahsyat mengerikan hendak mencengkeram ke Pek I Tojin!

Pek I Tojin tetap berdiri tegak, tersenyum lembut dan matanya memandang kepada naga ciptaan yang menyeramkan Itu. Kemudian dia berkata lembut, "Cui-beng Sai-kong, tidak perlu bermain-main seperti anak kecil! Apa pun yang berasal dari tanah pasti kembali menjadi tanah!"

Berkata demikian, kakek pakaian putih ini menggunakan ujung tongkatnya mencokel tanah di depannya. Segumpal kecil tanah melayang dan nyambar ke arah "naga" itu dan asap hitam mengepul tebal, naga itu pun lenyap dan udara kembali terang di bawah sinar lampu-lampu yang digantung sekitar tempat itu.

Cui-beng Sai-kong marah sekali, mengeluarkan suara aumannya yang amat berbahaya itu. Namun, juga auman sama sekali tidak mempengaruhi Pek I Tojin, dan dia tetap berdiri tegak dengan penuh kewaspadaan. Maklum akan lihainya kakek berpakaian putih ini, beng Sai-kong lalu mencabut sebatang pedang dan menyerang dengan gencar dan dahsyat. Namun, semua sambaran sinar pedangnya membalik ketika bertemu dengan tongkat di tangan Pek I Tojin.

Sementara itu, Han Beng yang mengamuk dengan tongkatnya, berhasil merobohkan Tung-hai Cin-jin dan tiga orang kawannya. Nyaris pundak Han Beng terluka ketika Tung-hai Cin-jin, dengan sisa tenaga yang ada karena kakek ini sudah merasa lelah sekali, mengayun pedang samurainya. Pedang itu berat dan cara kakek itu bermain pedang, menguras banyak tenaganya, padahal lawannya Han Beng, memiliki gerakan yang lincah sekali sehingga semua serangannya tak pernah menyentuh lawan.

Ketika pedang samurai itu terayun, Han Beng sedang menendang roboh seorang pengeroyok terakhir, maka kakinya sedang terangkat dan tepat pada saat itulah pedang samurai datang menyambar lehernya. Dia cepat menekuk lututnya dan samurai itu menyambar lewat, dekat sekali dengan pundaknya sehingga terasa dingin sambaran pedang itu. Dia cepat meluncurkan tongkatnya ke samping, tepat ujung tongkatnya menotok pinggul dari kakek itu.

"Ahhh!" Seketika kaki kiri Tung-hai Cin-jin terasa lumpuh dan dia pun roboh, tangan yang memegang pedang samurai itu sudah lemas dan pedang yang berat itu pun meluncur ke bawah, hampir tak terkendalikan tangannya dan tahu-tahu pedang itu meluncur dan menusuk lehernya sendiri! Kakek itu berkelojotan dengan leher yang hampir putus!

Han Beng terbelalak ngeri. Sama sekali dia tidak bermaksud membunuh Tung-hai Cin-jin seperti itu. Dia cepat membuang muka dan pada saat itu, melihat betapa tongkat Pek I Tojin memukuli punggung dan pinggul Cui-be Sai-kong. Dia menjadi kagum bukan main. Dia sudah merasakan kelihaian Cui-beng Sai-kong yang bertangan kosong kini datuk sesat itu memegang pedang. Namun ternyata Pek I Tojin mampu mempermainkannya dan memukuli pinggang dan punggungnya seperti seorang guru memberi hukuman kepada seorang murid yang nakal!

Cui-beng Sai-kong melihat betapa pembantu utamanya, Tung-hai Cin-Jin telah roboh tewas dan para pembantunya juga banyak yang sudah roboh, Bahkan anak buahnya mulai kocar-kacir dihajar para hwesio dan tosu. Pasukan pemerintah itu pun tidak banyak dapat membantu karena mereka sendiri pun kewalahan menghadapi pengamukan para hwesio dan tosu. Karena itu, dia lalu melompat jauh meninggalkan Pek I Tojin dan melarikan diri.

Melihat betapa datuk sesat itu telah melarikan diri dan anak buahnya sudah dihajar, Pek I Tojin lalu berseru dengan suara nyaring. "Para hwesio dan tosu, kita tidak memusuhi pemerintah. Biang keladinya sudah melarikan diri! Mari kita tinggalkan tempat ini!"

Para hwesio dan tosu itu maklum bahwa tidak ada untungnya kalau mereka terus mengamuk dan membunuh banyak prajurit pasukan pemerintah. Tadi pun dalam pertempuran, mereka menjaga diri dan tidak ingin membunuh para perajurit. Kini mendengar seruan Pek I Tojin, mereka pun berloncatan meninggalkan tempat itu dan menghilang di dalam kegelapan malam.

Perwira yang menjadi komandan pasukan, berlari memberi aba-aba kepada pasukan untuk melakukan pengejaran. Akan tapi tentu saja hal ini tidak ada gunanya karena selain para penyerbu itu dapat berlari cepat sekali, juga para prajurit sudah merasa gentar dan tak berani mengejar tanpa mengandal banyak teman.

Peristiwa itu benar saja, seperti harapan Pek I Tojin, menjadi obat mujarab yang menyembuhkan dendam kebencian antara para hwesio dan para tosu. Sejak terjadinya peristiwa itu, para hwesio dan para tosu itu menyebarkan berita itu dengan luas di antara golongan masing-masing sehingga kedua pihak membuang jauh-jauh perasaan bermusuhan itu. Bahkan tidak jarang mereka itu bekerja sama untuk membela rakyat jelata yang tertindas oleh oknum-oknum yang mempergunakan kesempatan dalam pelaksanaan pekerjaan besar menggali terusan itu untuk mengeduk keuntungan sebesarnya dengan memaksa rakyat bekerja tanpa upah!

Sementara itu, jauh di luar hutan di tempat terbuka yang sunyi, dan diterangi oleh sinar bulan yang baru muncul. Han Beng berlutut di depan Pek I Tojin.

"Orang muda, pinto melihat bahwa ilmu silatmu sudah cukup tinggi dan engkau telah mewarisi inti sari dari ilmu kepandaian Liu Bhok Ki dan Sin-ciang Kai-ong. Mengapa pula engkau kini mohon untuk menjadi murid pinto?" tanya Kakek itu dengan suara yang lembut, sama sekali dia tidak memperlihatkan perasaan gembiranya yang timbul ketika melihat pemuda ini menyatakan hendak menjadi muridnya. Dia sendiri kagum kepada pemuda ini, maklum bahwa pemuda ini selain memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa sekali kuatnya, juga memiliki bakat yang baik dan watak yang tidak tercela.

"Maaf, Lo-cian-pwe. Sama sekali bukan berarti bahwa teecu meremehkan kedua ajaran dari kedua Suhu yang telah teecu terima. Akan tetapi ketika teecu bertanding melawan Cui-beng Sai-kong, terasa benar oleh teecu betapa pengetahuan teecu masih dangkal sekali. Kemudian teecu melihat betapa Lo-cian-pwe dengan amat mudahnya mampu menundukkan datuk sesat itu. Oleh karena itulah, teecu bertekad untuk memperdalam ilmu di bawah pimpinan Lo-cian-pwe, tentu saja kalau Lo-cian pwe sudi menerima teecu sebagai murid.”

Kakek itu tersenyum. "Dunia menghadapi masa suram dan memang amat dibutuhkan orang-orang muda seperti engkau, Si Han Beng. Baiklah, dalam usia pinto yang sudah tua ini, pinto akan mencoba untuk menambah bimbingan sedapatnya kepadamu. Mari, engkau ikutlah aku ke Thai-san."

Dengan girang Han Beng lalu memberi hormat delapan kali sebagai tanda pengangkatan guru dan malam itu juga guru dan murid ini melanjutkan perjalanan menuju ke Thai-san.

********************

Pemuda itu menangis sambil berlutut di depan kakek raksasa hitam yang duduk bersila di depannya, dalam sebuah gua. Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun. Tubuhnya sedang dadanya bidang dan wajahnya yang putih itu nampak tampan dan lembut. Rambutnya disisir rapi, dan pakaian yang seperti seorang pelajar itu pun terbuat dari sutera halus, rapi dan mewah, seperti seorang pelajar dari kota putera seorang hartawan atau seorang bangsawan.

Melihat rambutnya yang rapi, pakaian yang bersih, sepatu yang mengkilap, dapat dilihat bahwa dia seorang pemuda yang pesolek. Sikap lemah lembut, dan hidungnya yang besar mancung, bibirnya yang merah penuh gairah, matanya yang dapat memandang dengan sayu, sungguh pemuda ini memiliki daya tarik yang amat kuat bagi wanita pada umumnya.

"Suhu... ah, Suhu... kenapa suhu begitu begitu tega menyuruh teecu pergi dari sini? Semua perintah Suhu telah teecu lakukan. Latihan-latihan yang teramat berat, mempertaruhkan nyawa sudah teecu laksanakan dengan baik, akan yang terakhir, Suhu menyuruh teecu bertapa seperti mayat di dalam kuburan, diantara makam orang mati, sampai sebulan lamanya. Teecu merasa seram dan takut setengah mati, akan tetapi sudah teecu lakukan juga... semua itu untuk mentaati perintah Suhu. Dan sekarang... sekarang Suhu menyuruh teecu pergi..." Pemuda itu menangis.

Sungguh mengherankan sekali. Pemuda itu demikian gagah perkasa, akan tetapi kini dapat menangis seperti seorang anak kecil. Begitu cengengnya!

"Hong San, hentikan tangismu itu!" kata Kakek Raksasa yang bersila di depannya. "Engkau tahu, semua yang kau lakukan itu bukan hanya untuk mentaati perintahku, melainkan demi kepentinganmu sendiri! Selama ini engkau kugembleng sampai habis semua ilmuku kuberikan kepadamu, bahkan kubuka rahasia menghimpun tenaga rahasia dengan jalan bertapa, semua itu untukmu! Kini engkau miliki tingkat kepandaian yang tidak kalah olehku!"

Mendengar ini, seketika pemuda itu menghentikan tangisnya dan dia memandang kepada gurunya sambil tersenyum! Dan senyumnya sungguh manis sekali! Kalau ada yang melihatnya, tentu orang itu akan tertegun. Baru saja menangis begitu sedihnya, kini sudah dapat tersenyum manis!

”Benarkah Suhu? Benarkah, bahwa tingkat kepandaian teecu kini tidak kalah oleh Suhu?" katanya dengan sikap manja seperti anak kecil. Akan tetapi harus diakui bahwa kini wajahnya tampan sekali, berseri-seri, mulutnya tersenyum dan bibir merah itu Penuh gairah, sepasang matanya indah cemerlang.

Kakek itu berusia enam puluh tahun. Tinggi besar seperti raksasa. Tubuh yang kokoh kuat itu berkulit hitam, rambutnya brewok di mukanya yang tebal dan awut-awutan, masih hitam, mukanya seperti singa persegi empat, dan matanya mencorong. Kakek ini bukan lain adalah Cu-beng Sai-kong!

Setelah dikalahkan oleh Pek I Tojin dan anak buahnya dibasmi, kakek ini merasa kecewa, penasaran dan sakit hati sekali, akan tetapi, dia pun harus mengakui bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan Pek I Tojin. Maka untuk menghilangkan rasa malunya, dia melarikan diri dan bersembunyi di dalam sebuah gua di Pegunungan Himalaya. Di tempat ini, dia bertemu dengan muridnya yang memang di suruh berlatih seorang diri di tempat sunyi itu.

Pemuda itu bernama Can Hong San. sendiri tidak tahu siapa ayah ibunya karena semenjak dia dapat mengingat tentang dirinya, dia sudah menjadi murid Cui-beng Sai-kong. Gurunya itu hanya dikenalnya sebagai seorang kakek sakti yang berjuluk Cui-beng Sai-kong, tanpa dia ketahui siapa namanya yang sesungguhnya. Tadinya, dia dan gurunya tinggal di gua besar itu dan dia gembleng dengan berbagai ilmu.

Gurunya demikian sayang kepadanya sehingga bukan saja dia digembleng dengan ilmu silat, bahkan ketika dia berumur sepuluh tahun, dia diajak pergi ke sebuah dusun di kaki pegunungan, gurunya menyuruh dia mempelajari kesusastraan dari seorang sastrawan yang mengasingkan diri. Sastrawan ini berbangsa peranakan Han dan Tibet, lama lebih dari lima tahun Hong belajar membaca dan menulis, juga kesusastraan Han dipelajarinya. Bukan saja, juga suhunya memanggil seorang ahli lukis dan main suling, sehingga muridnya itu mempelajari pula dua macam kesenian ini.

Untuk keperluan muridnya, Cui-beg Sai-kong mendatangkan banyak orang pandai yang mengajar muridnya. Sejak kecil pun muridnya itu disuruh menggunakan pakaian serba indah, pakaian pelajar dan sastrawan dan diajar pula berdandan diri sehingga selalu kelihatan gagah dan tampan seperti seorang putera bangsawan!

"Engkau berdarah bangsawan, Hong San." hanya itulah keterangan yang, lalu diberikan kepada muridnya kalau murid itu bertanya siapa orang tua. Ucapan ini mendatangkan kesan mendalam sehingga setelah dewasa, Hong San merasa bahwa dia seorang pemuda bangsawan, maka dia pun selalu ingin menyesuaikan diri dengan derajatnya dan lagaknya dia atur sehingga dia pantas menjadi seorang putera bangsawan seperti yang dia kenal dari bacaan kitab-kitab kesusastraan.

Demikianlah, setelah Hong San berusia dua puluh tiga tahun, dia telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah, memiliki banyak ilmu kepandaian, baik bu (silat) maupun bun (sastra). Akan tetapi, kehidupan di dusun itu, ketika dia belajar kesusastraan, mengakibatkan dia mengenal pergaulan masyarakat luas.

Dan karena gurunya selalu memanjakannya memberi uang berlebihan, emas dan perak tak pernah kosong dari sakunya, maka banyak orang-orang muda yang suka berkawan dengan Hong San. Dan dari hubungan ini, Hong San mulai mengenal bermacam kesenangan, di antaranya kesenangan hubungan dengan wanita. Mulai usia belasan tahun saja dia telah diajak oleh teman-temannya untuk mendatangi wanita-wanita pelacur dan kesenangan ini kemudian menjadi kelemahan bagi Hong San.

Dia, setelah dewasa, selain tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah, juga menjadi seorang laki-laki pesolek dan cabul yang senang menghambakan kepada nafsu berahi secara berlebih-lebihan! Dia menjadi seorang mata keranjang yang tidak ketulungan lagi.

Setiap melihat wanita cantik yang agak lebih dari wanita biasa, berahinya timbul dan dia belum merasa puas kalau belum menundukkan wanita itu dan menyeretnya ke dalam pelukannya, jarang ada wanita yang mampu menolaknya. Dia seorang pemuda yang tampan gagah perkasa, jantan, dan pandai sajak, pandai bernyanyi, pandai pula meniup suling, ahli merayu dan yang terakhir, royal dan banyak uang!

Cui-beng Sai-kong tentu saja mengetahui akan kesukaan muridnya itu. Akan tetapi, dia sendiri seorang datuk ssesat dan kesenangan seperti itu dianggapnya lumrah, bahkan dia merasa senang dan bangga mendengar betapa muridnya menjadi rebutan para perawan dusun dan kota. Kesenangan seperti itu dianggapnya "menyehatkan" dan membuktikan bahwa Hong San benar-benar seorang 'laki-laki jantan!

Dia tidak melarang atau menegur, bahkan tanpa malu-malu lagi dia mengajarkan semacam ilmu untuk menundukkan hati wanita! Dalam bidang itu pun bagi Cui-beng Sai-kong terdapat ilmunya! Tentu saja Hong San menjadi semakin gila!

Dua tahun yang lalu, yaitu ketika Hong San berusia dua puluh tiga tahun, gurunya pergi meninggalkannya dan meninggalkan setumpuk latihan untuknya, latihan aneh-aneh untuk menghimpun kekuatan dan kesaktian. Hong San yang memiliki kemauan keras dan keinginan uuk menjadi jagoan tanpa tanding, melaksanakan semua petunjuk suhunya dan berlatih dengan amat tekunnya.

Latihan yang mendekati ilmu hitam, yang amat menyeramkan, seperti bertapa dalam tanah seperti mayat, di tanah kuburan, juga dilaksanakan sampai berhasil. Maka ketika suhunya akhirnya muncul kembali, dua tahun kemudian, dia sudah menjadi seorang yang benar-benar lihai bukan main. Akan tetapi, begitu datang, suhu itu memanggilnya dan mengatakan bahwa sudah tiba saatnya bagi Hong San untuk meninggalkan tempat pertapa meninggalkan gurunya!

Pemuda yang wataknya aneh, mudah sekali bergembira akan tetapi juga mudah menangis, menandakan bahwa batinnya sesungguhn amat lemah dan tidak berdaya dipermainkan oleh nafsu-nafsunya, mula-mula menangis akan tetapi ketika mendeng dari suhunya bahwa tingkat kepandaia nya sudah menyamai suhunya, dia tersenyum gembira dan bangga!

"Hong San, sekarang dengarlah baik-baik, aku akan bercerita kepadamu." kata Kakek Tinggi Besar berkulit hitam itu.

Hong San yang kini sudah duduk bersila, berhadapan dengan gurunya, mengangguk dan mendengarkan penuh perhatian. Dia memang selama ini menjadi murid yang amat taat dan baik sekali.

Kakek raksasa hitam itu lalu bercerita. Kurang lebih dua puluh enam tahun yang lalu, serombongan bangsawan Nepal bertamasya di dekat perbatasan Nepal dan Tibet. Perwira bersama isteri dan puterinya, berburu binatang sambil berpesiar di daerah pegunungan yang kaya akan binatang buruan itu. Tentu saja perwira itu tidak takut karena ada pasukan pengawal yang dua losin banyaknya menjaga keselamatan dia dan anak isterinya.

Akan tetapi, pada malam harinya, ketika rombongan itu berhenti dan membuat perkemahan di luar hutan, membuat api unggun dan dijaga oleh pasukan pengawal, tiba-tiba mereka diserang oleh segerombolan perampok yang melepaskan panah api. Tentu saja para pengawal menjadi panik. Terjadilah pertempuran di malam gelap, diterangi oleh sinar api unggun dan api yang membakar perkemahan.

Dalam kekacauan itu, para pengawal yang dipimpin oleh perwira itu mengadakan perlawanan mati-matian dan akhirnya gerombolan perampok itu dapat dihalau dan mereka melarikan diri dalam hutan. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya perwira itu ketika mendapat kenyataan bahwa dalam keributan itu, anak perempuannya sedang dewasa telah lenyap!

Dia mengerahkan pasukan pengawalnya untuk mencari, akan tetapi sia-sia saja karena hutan itu amat luasnya. Isterinya juga tidak dapat mengatakan ke mana adanya anak gadisnya. Dalam keributan itu isteri perwira ketakutan dan bersembunyi saja di dalam tenda. Sebaliknya, gadis itu ingin membantu ayahnya, membawa pedang dan keluar dari tenda. Lalu lenyap tanpa meninggalkan jejak.

Kiranya gadis itu dilarikan oleh pala perampok! Dan ternyata bahwa gerombolan perampok itu menyerang rombongan perwira Nepal bukan untuk merampok harta benda, melainkan memang untuk menculik gadis itu. Sudah sejak memasuki hutan, rombongan itu di ikuti oleh sepasang mata kepala perampok yang tergila-gila melihat kecantikan gadis Nepal itu.

Gadis itu meronta dan melawan mati-matian, namun apa dayanya menghadapi para perampok yang bertubuh raksasa ? Akhirnya ia menerima nasib dan menjadi isteri kepala perampok dengan terpaksa.

"Wah, gadis itu memang cantik manis bukan main. Belum pernah selama hidupnya kepala perampok itu bertemu dengan gadis seperti itu. Bagaikan setangkai mawar indah... penuh kelembutan, penuh kehangatan, penuh keharuman memikat, akan tetapi juga banyak durinya, bebas, liar dan mempesona...” Cui-beng Sai-kong mengakhiri ceritanya dengan puji-pujian kepada gadis yang diculik kepala perampok itu.

Hong San yang sejak tadi mendengarkan penuh perhatian, merasa kecewa, kiranya suhunya hanya menceritakan sebuah dongeng sederhana! Tentang seorang gadis Nepal yang diculik kepala rampok dan dipaksa menjadi isterinya! Akan tetapi dia seorang murid yang baik, tidak mau mengecewakan hati gurunya dan dia berlagak amat tertarik oleh cerita itu.

"Aduh, betapa senangnya kepala rampok itu, Suhu! Gadis cantik jelita memang tentu saja jauh lebih berharga daripada segala macam harta. Lalu bagaimana, Suhu? Apakah gadis itu akhirnya mau menjadi seorang isteri yang membalas cinta suaminya?"

Cui-beng Sai-kong tertawa bergelak sehingga tubuhnya yang tinggi besar terguncang, mukanya yang seperti singa nampak menyeramkan sekali. "Ha-ha-ha-ha, aku Cui-beng Sai-kong memang bukan seorang laki-laki yang haus wanita, akan tetapi sekali aku jatuh cinta dan menundukkan seorang wanita tentu bertekuk lutut dan menyerah sebulatnya, Ha-ha!"

Pemuda itu tertarik sekali sekarang, bukan pura-pura. "Wah, kiranya Suhu sendirikah kepala perampok itu?"

Cui-beng Sai-kong tersenyum lebar. "Dua puluh enam tahun yang lalu masih muda, seorang laki-laki yang gagah dan menarik walaupun ilmu kepandaianku belum berapa tinggi. Puteri bangsawan Nepal itu menyerah, menjadi istriku. Aku benar-benar jatuh cinta padanya, ia pun agaknya dapat membalas cintaku, akan tetapi..." Dan tiba-tiba saja kakek raksasa bermuka singa itu menangis menggerung-gerung seperti orang gila!

Hong San hanya memandang saja dan tidak menegur, akan tetapi dia merasa semakin tertarik. "Apakah yang telah terjadi, Suhu? Dimana Subo sekarang?" tanyanya walaupun dia sudah dapat menduga bahwa tentu subonya (ibu gurunya) itu agaknya sudah meninggal dunia sehingga kini terkenang akan isteri tercinta itu gurunya menangis. Kalau masih hidup tentu dia pernah bertemu dengan wanita itu.

Seperti juga ketika mulai, secara tiba-tiba saja Cui-beng Sai-kong menghentikan tangisnya dan kini sepasang mata yang lebar dan besar itu melototinya memandang kepada muridnya dengan sinar mata penuh kemarahan mencorong dari sepasang mata yang kemerahan itu.

"la sudah mati! Ahhh, ia sudah mati ketika melahirkan engkau, keparat! Karena itu aku harus membunuhmu untuk menebus dosamu yang menyebabkan kematian orang yang kukasihi!" Dan tiba-tiba saja Cui-beng Sai-kong menyerang dengan terkaman seperti seekor singa yang marah!

Pemuda itu merasa sangat terkejut. Pertama karena mendengar bahwa dia adalah putera wanita bangsawan Nepal yang menjadi isteri suhunya itu, berarti adalah putera suhunya, dan kedua karena tiba-tiba orang yang selama ini dianggap guru dan ternyata ayah kandungnya itu telah menyerangnya dengan amat dahsyat!

Cepat dia melempar tubuh ke belakang dan tubuhnya berjung balik membuat salto sampai lima kali barulah dia berhasil melepaskan diri serangkaian serangan yang dilakukan gurunya dengan dahsyat. Serangan kakek raksasa itu merupakan serangan maut yang mengarah nyawanya! Dengan muka agak pucat dan mata mencorong marah Hong San berseru.

"Suhu, apakah Suhu sudah gila?"

Akan tetapi, jawaban kakek itu adalah serangan yang lebih hebat lagi! Tubuhnya meliuk-liuk, kedua tangannya membentuk cakar naga, matanya seperti bernyala dan mulutnya yang terbuka itu mengeluarkan suara mendesis panjang dan ada uap tipis keluar dari mulutnya, yang mengandung hawa panas! Kemudian, dia mengeluarkan suara parau seperti suara burung gagak dan tubuhnya condong kedepan, kedua tangan yang membentuk cakar itu bergerak-gerak seperti menggaruk-garuk atau mencakar ke depan.

Hong San mengerutkan alisnya. Itulah Koai-liong-kun (Silat Naga Setan), yang merupakan ilmu silat tangan kosong yang paling dahsyat dari gurunya! Dia maklum bahwa dia tidak akan mungkin dapat menyelamatkan diri kalau menggunakan ilmu silat lain, maka dia meniru gerakan gurunya, tubuhnya meliuk-liuk dan kedua tangannya membenntuk cakar naga, mulutnya mendesir mengeluarkan hawa panas. Dia pun mu bersiap dengan ilmu Koai-liong-kun pula.

"Keparat? Pembunuh isteriku tercinta. Sudah lama kutunggu saat ini. Kau harus mampus di tanganku!" bentak Cui-be Sai-kong dengan suara menggeledek.

Hong San tersenyum mengejek, matanya berkilat. "Hemmm, coba saja kalau kau mampu!"

Diam-diam dia pun merasa penasaran bukan main. Orang ini adalah gurunya, bahkan mengaku sebagai ayah kandung, akan tetapi kini bersikeras hendak membunuhnya! Karena merasa disudutkan, dihimpit dan direndahkan bangkit kemarahan dalam hati pemuda yang wataknya juga amat aneh ini. Tahu betapa lihainya orang yang selama ini dianggap gurunya, dan dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannnya untuk melawan. Dia harus dapat membunuhnya lebih dulu sebelum dibunuh!

Cui-beng Sai-kong sudah menerjang lagi, dahsyat bagaikan seekor naga mengamuk. Akan tetapi sekali ini Hong San tidak hanya menghindar, melainkan mengelak lalu langsung membalas dan di lain saat, guru dan murid itu telah saling serang dengan hebatnya. Karena ilmu silat yang mereka pergunakan dalam pertandingan ini sama, maka dipandang sepintas lalu mereka itu seperti sedang berlatih saja.

Akan tetapi,sesungguh tidak demikian karena keduanya mengerahkan seluruh tenaga mereka dan perkelahian itu. Setiap jurus yang digerakkan mempunyai tujuan membunuh! Dari mulut mereka kini menyembur uap putih kemerahan yang amat panas, dan cengkeraman mereka semakin dahsyat, tendangan yang berupa jurus naga menyabetkan ekor itu pun kalau mengenai tubuh lawan tentu akan berakibat hebat!

Beberapa batang pohon yang tumbuh di kanan kiri gua itu seperti dilanda angin badai, dan karena mereka berkelahi di depan gua, maka suara angin pukulan mereka memasuki gua dan menimbulkan gema suara mengaung yang mengerikan.Tanah dan debu beterbangan di bawah kaki mereka.

Bagaimanapun juga, tentu saja ilmu yang dimiliki Cui-beng Sai-kong lebih matang dibandingkan Hong San, maka setelah lewat puluhan jurus, pemuda itu terdesak dan lebih banyak mengelak dan menangkis daripada menyerang. Namun pemuda ini mewarisi seluruh ilmu gurunya dan karena dia memang berbakat baik, maka dia telah mengusai ilmu-ilmu itu.

Dan untuk menebus kekalahannya dalam pengalaman, pemuda ini lebih menang dalam hal napas tenaga. Gurunya sudah mulai berkerinngat dan napasnya memburu, sedangkan dia sendiri masih segar bugar! Hal ini agaknya disadari pula oleh Cui-beng Si kong, maka agar jangan sampai akhirnya kalah, dia mengeluarkan suara melengking panjang dan nampak sinar berkilauan ketika dia mencabut pedangnya!

Melihat ini, Hong San berseru, "Bagus, mari kita mengadu nyawa!" sambil membentak, dia pun mencabut pedangnya.

"Cring-tranggggg...!" Bunga api berpijar dan suara nyaring bergema kedalam gua ketika beberapa kali pedang-pedang itu saling bertemu. Kini mereka saling serang dengan pedang dan beberapa kali pedang mereka saling bertemu dengan amat kuatnya. Namun, setiap kali pedang bertemu, nampak tubuh Cui-beng Sai-kong tergetar!"

"Wuuuuuttttt... singgggg...!"

Hong San terkejut bukan main. Serangan gurunya tadi amat dahsyatnya sehingga nyaris lehernya terbabat putus! Untung dia masih sempat merendahkan tubuhnya sehingga hanya segumpal rambut saja yang terbabat dan rambut itu pun berhamburan. Pedang di tangan Cui-beng-kong itu masih meluncur terus kebelakangnya.

"Crokkkkk!!" Batang pohon di belakang pemuda itu terbabat dan tumbang! Demikian hebatnya sambaran pedang ditangan kakek raksasa itu.

"Singgggg...!" Hong San tidak mau membuang kesempatan itu dan pedangnya sudah meluncur ke depan, menusuk ke bawah pangkal lengan mengarah dada kanan gurunya.

"Tranggggg...!" Cui-beng Sai-kong masih mampu menangkis, akan tetapi tangkisan pedang itu yang agak lambat membuat dia terhuyung ke belakang. Hong San terus mendesak dan terjadilah lanjutan perkelahian yang lebih seru lagi. Dan karena ilmu pedang mereka pun sama, maka perkelahian seperti latihan saja, walaupun setiap pedang menyambar, selalu merupakan serangan maut.

Namun bagi Hong San pertandingan itu sama sekali bukan merupakan latihan, karena dia tahu bahwa kakek yang selama ini dianggap guru itu benar-benar berusaha keras hendak membunuhnya. Dia pun mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk melawan dan juga berusaha untuk merobohkan gurunya, kalau perlu membunuhnya!

Pertandingan berlangsung seru setelah lewat seratus jurus, mulai gerakan Cui-beng Sai-kong mengendur bukan hanya dia kehabisan tenaga, akan tetapi juga napasnya terengah-engah. Tubuhnya sudah basah oleh keringat dan gerakan kaki maupun tangannya sudah tidak mantap lagi. Melihat ini, Hong San bukan mengalah, bahkan dia mempercepat dan memperkuat serangan-serangan-sehingga kakek itu benar-benar terdesak hebat!

"Cringgg... tranggggg... Ceppp!"

Dua kali sepasang pedang itu bertemu dengan amat kerasnya dan pedang di tangan kakek itu terpental, disusul masuknya pedang di tangan Hong San yang menusuk ke depan dan memasuki dada gurunya, hampir menembus punggung.

Peristiwa ini hampir tidak nampak saking cepatnya gerakan pedang dan juga kakek itu nampak hanya berdiri mematung, pedangnya masih berada di tangan kanan sedangkan tangan kiri mendekap dada, matanya mendelik memandang ke arah Hong San, dan tiba-tiba saja dia tertawa bergelak!

"Bagus, ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Engkau telah dapat mengalahkan aku, ha-ha-ha! Engkau telah dapat membunuhku, berarti engkau telah mewarisi seluruh kepandaianku dan engkau telah siap untuk menjadi jagoan tak terkalahkan di dunia... ha-ha-ha!"

Mendengar ucapan ini dan melihat kakek itu terhuyung, pedangnya terlempar lalu roboh terguling, barulah Hong sadar bahwa gurunya tadi memang sengaja mengujinya sampai akhir, dengan taruhan nyawa! Dia pun cepat berlutut dekat tubuh suhunya.

"Suhu... benarkah Suhu juga... Ayah kandungku sendiri?"

Darah itu mengalir melalui celah-celah antara jari tangan kiri yang mendekap luka di dada. Wajah singa itu tersenyum lebar. "Kenapa tidak benar? Dulu sekali namaku adalah Can Siok, maka engkau she Can. Ibumu adalah puteri bangsawan Nepal itu. Aku... ah, aku menderita bertahun-tahun karena kehilangan wanita yang kucinta. Segala perbuatan kulakukan untuk menghibur diri dan melupakannya. Akan tetapi gagal, aku setiap malam bermimpi dan setiap siang terkenang. Hanya karena engkau-lah aku hidup sampai sekarang. Engkau mirip sekali Ibumu, maka aku mengemblengmu sampai tamat. Dan ujian hari ini... berarti engkau lulus dan engkau yang mengantar aku menyusul Ibumu... ha-ha-ha!"

Kakek itu tertawa terus sampai akhirnya suara ketawanya makin lemah, lalu diam tak terdengar lagi juga tubuhnya terkulai lemas. Ketika Hong San merabanya, tahulah dia hahwa gurunya, juga ayahnya, telah tewas! Dan tiba-tiba pemuda itu menangis menggerung-gerung memeluk mayat ayah kandungnya! Dia menangis bukan karena menyesal, melainkan karena merasa sengsara, sebatang kara di dunia.

Akan tetapi tidak lama dia menangis. Di lain saat dia sudah bangkit berdiri, memandang mayat ayahnya yang telentang itu. Sepasang mata yang lebar itu masih terbuka, mendelik, mulut itu agak ternganga dan bagian depan tubuh mayat itu berlepotan darah. Dan dia merasa bangga!

"Ha-ha-ha," dia tertawa, tidak senyaring ketawa ayahnya, melainkan suara Ketawa yang ditahan-tahan dan terdengar menyeramkan, "Aku telah dapat mengalahkan Cui-beng Sai-kong! Guruku dan Ayahku sendiri telah tewas di ujung pedangku. Apalagi orang lain! Terma kasih, Suhu! Terima kasih, Ayah! Bukan hanya untuk ilmu-ilmu yang kupelajari darimu, juga karena engkau mati ditanganku! Lebih baik engkau mati agar aku tidak usah mengaku engkau yang buruk sebagai ayah kandungku!"

Setelah berkata demikian, Hong memasuki gua, mengemasi semua barangnya dan tak lama kemudian dia keluar menggendong buntalan pakaian, kantung emas simpanan ayahnya, meninggalkan gua, membiarkan mayat ayahnya menggeletak telentang di depan gua begitu saja! Sebuah caping lebar yang bercat merah memayungi kepalanya dan dengan lenggang seenaknya pun menuruni bukit itu.

Hong San memang memiliki watak yang aneh, mungkin watak ini dia war isi pula dari gurunya yang ternyata juga ayah kandungnya. Biarpun dia tahu bahwa gurunya adalah ayahnya sendiri, sedikit pun dia tidak merasa menyesal bahwa dia telah menjadi sebab kematan ayahnya! Dia sama sekali tidak mempedulikan mayat ayahnya itu, bahkan begitu turun dari bukit, dia memasuki buah kota dan pertama yang dicarinya adalah seorang pelacur langganannya. Dia bermalam di tempat pelesir itu sampai tiga malam dan dia bersenang-senang dengan pelacur itu.

Setelah puas, baru dia meninggalkan tempat itu, untuk mulai dengan perantauannya karena dia bercita-cita untuk menaklukkan semua tokoh dunia persilatan dan mengangkat diri sendiri menjadi seorang tokoh besar, menggantikan gurunya atau juga ayahnya! Dia akan menyusuri sepanjang Su-gai Huang-ho (Kuning) untuk kemudian menuju ke kota raja!

********************

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning karya kho ping hoo

Mereka bertiga nampak bahagia sekali. Anak laki-laki berusia tiga tahun itu berlari-larian mengejar kupu-kupu di antara bunga-bunga yang sedang mekar indah. Ayah ibunya duduk di atas bangku, nampak mesra dan saling mencinta.

"Lihat, betapa gembiranya Thian Ki kata Sang Isteri.

Suaminya mengangguk-angguk. "Kalau dia memiliki gemblengan silat sejak bayi, tentu dia akan mudah menangkap kupu-kupu itu..." kata suaminya.

"Dan meremasnya hancur? Ihhh, mengerikan! Untung kita sudah mengambil keputusan untuk menjadikan dia seorang manusia yang berbudi baik, yang tidak mengenal kekerasan, tidak suka berkelahi."

Suami itu menggenggam tangan isterinya yang membalas genggaman itu. Dari getaran tangan mereka, keduanya maklum akan isi hati masing-masing merasa setuju. Memang, mereka telah mengambil keputusan, bahkan keduanya telah bersumpah ketika anak itu masih berada di dalam kandungan bahwa mereka berdua akan menjaga agar anak mereka kelak tidak menjadi seorang yang seperti mereka, yaitu orang yang pandai ilmu silat seperti mereka.

Mereka bersumpah bahwa anak mereka akan menjadi seorang terpelajar yang halus dan Yang sama sekali tidak mengenal dunia persilatan, tidak mengenal kekerasaan! Maka, setelah anak itu terlahir, seorang anak laki-laki yang sehat, mereka berdua menjaga agar anak itu sama sekali tidak mengenal ilmu silat.

Memang aneh sekali kalau diingat akan keadaan suami isteri ini. Mereka masih muda. Usia mereka baru tiga puluh tahun lebih sedikit. Pria itu tampan, biasa mengenakan pakaian putih, nampak gagah dan sikapnya jelas menunjukkan bahwa dia seorang ahli silat yang pandai. Memang tidak salah. Dia adalah Coa Siang Lee, keturunan pemimpin perkumpulan Hek-houw-pang, perkumpulan orang gagah yang pandai silat dan sejak kecil Coa Siang Lee telah digembleng dengan ilmu silat.

Adapun isterinya itu juga bukan orang sembarangan, bahkan memiliki ilmu silat yang lebih hebat daripada suaminya! Ia adalah Sim Lan Ci,seorang wanita cantik yang berpakaian serba hitam, la bukan lain adalah puteri dari Ban-tok Mo-li, dan sesat itu yang berjuluk Iblis Betina...

Naga Sakti Sungai Kuning Jilid 27

MATAHARI mulai turun ke barat cuaca menjadi gelap ketika terjadi pertempuran yang amat seru. Para hwesio dan tosu itu adalah para pimpinan rata-rata mereka memiliki kepandaian tinggi sehingga banyak anak buah gerombolan dan juga anggauta pasukan pemerintah yang roboh, luka atau tewas.

Cui-beng Sai-kong sendiri dengan marah sudah keluar dibantu oleh Tu hai Cin-jin dan beberapa orang pembantu yang cukup lihai. Tung-hai Cin-jin dengan samurainya segera disambut oleh Han Beng. Pemuda ini dikepung dan dikeroyok oleh Tung-hai Cin-jin yang bantu oleh tiga orang tokoh sesat, namun, Han Beng dapat menandingi mereka dengan baik, menggunakan sebatang tongkat yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Ketika dia mengeluarkan sebuah sabuk dan memegang sabuk dengan tangan kirinya, dia bahkan segera dapat mendesak empat orang pengeroyoknya.

Sementara itu, Cui-beng Sai-kong dihadapi oleh Pek I Tojin sendiri! Tosu tua ini tersenyum dan bersikap tenang sekali ketika kakek raksasa itu dengan muka semakin hitam karena masih menghadapi dan memandang kepadanya dengan sinar mata mencorong.

"Hemmm, kiranya Pek I Tojin yang berdiri di belakang pemberontakan terhadap pemerintah!" kata Cui-beng Sai-Kong dengan nada suara mengejek. "Bagus! Seorang pertapa yang mengaku dirinya suci, tidak pernah mencampuri urusan dunia, sekarang begitu muncul menjadi pentolan pemberontak!"

Pek I Tojin tidak menjadi marah mendengar ejekan itu. Dia memandang seperti seorang tua memandang tingkah laku seorang anak-anak nakal. "Cui-beng Sai-kong dua puluh tahun yang lalu ketika engkau mengundurkan diri ke pegunungan sunyi, semua orang mengira dan mengharapkan bahwa engkau mau meninggalkan jalan sesat, memulihkan diri dan menebus dosa. Tidak tahunya sekarang engkau muncul kembali lebih jahat daripada sebelumnya. Engkau mengumpulkan tokoh-tokoh sesat bersekongkol dengan pemerintah dan mengadu domba antara para tosu dan para hwesio. Mereka bukan pemberontak engkau pun tahu akan hal ini, dan pinto sendiri yang tidak lagi membutuhkan apa-apa, untuk apa memberontak? Para hwesio dan tosu yang berjiwa pendekar itu tidak rela melihat rakyat jelata dikorbankan, yang ditentang adalah aturan yang menindas rakyat, bukan pemerintah!"

"Ahhh, banyak omong tidak akan menyelamatkan dirimu, Pek I Tojin! Lihat naga hitamku akan menelanmu bulat-bulat!"

Cui-beng Sai-kong membungkuk mencengkeram segenggam tanah dan dilontarkan tanah itu ke udara dan berbareng dengan meledaknya asap hitam nampak seekor naga yang dahsyat mengerikan hendak mencengkeram ke Pek I Tojin!

Pek I Tojin tetap berdiri tegak, tersenyum lembut dan matanya memandang kepada naga ciptaan yang menyeramkan Itu. Kemudian dia berkata lembut, "Cui-beng Sai-kong, tidak perlu bermain-main seperti anak kecil! Apa pun yang berasal dari tanah pasti kembali menjadi tanah!"

Berkata demikian, kakek pakaian putih ini menggunakan ujung tongkatnya mencokel tanah di depannya. Segumpal kecil tanah melayang dan nyambar ke arah "naga" itu dan asap hitam mengepul tebal, naga itu pun lenyap dan udara kembali terang di bawah sinar lampu-lampu yang digantung sekitar tempat itu.

Cui-beng Sai-kong marah sekali, mengeluarkan suara aumannya yang amat berbahaya itu. Namun, juga auman sama sekali tidak mempengaruhi Pek I Tojin, dan dia tetap berdiri tegak dengan penuh kewaspadaan. Maklum akan lihainya kakek berpakaian putih ini, beng Sai-kong lalu mencabut sebatang pedang dan menyerang dengan gencar dan dahsyat. Namun, semua sambaran sinar pedangnya membalik ketika bertemu dengan tongkat di tangan Pek I Tojin.

Sementara itu, Han Beng yang mengamuk dengan tongkatnya, berhasil merobohkan Tung-hai Cin-jin dan tiga orang kawannya. Nyaris pundak Han Beng terluka ketika Tung-hai Cin-jin, dengan sisa tenaga yang ada karena kakek ini sudah merasa lelah sekali, mengayun pedang samurainya. Pedang itu berat dan cara kakek itu bermain pedang, menguras banyak tenaganya, padahal lawannya Han Beng, memiliki gerakan yang lincah sekali sehingga semua serangannya tak pernah menyentuh lawan.

Ketika pedang samurai itu terayun, Han Beng sedang menendang roboh seorang pengeroyok terakhir, maka kakinya sedang terangkat dan tepat pada saat itulah pedang samurai datang menyambar lehernya. Dia cepat menekuk lututnya dan samurai itu menyambar lewat, dekat sekali dengan pundaknya sehingga terasa dingin sambaran pedang itu. Dia cepat meluncurkan tongkatnya ke samping, tepat ujung tongkatnya menotok pinggul dari kakek itu.

"Ahhh!" Seketika kaki kiri Tung-hai Cin-jin terasa lumpuh dan dia pun roboh, tangan yang memegang pedang samurai itu sudah lemas dan pedang yang berat itu pun meluncur ke bawah, hampir tak terkendalikan tangannya dan tahu-tahu pedang itu meluncur dan menusuk lehernya sendiri! Kakek itu berkelojotan dengan leher yang hampir putus!

Han Beng terbelalak ngeri. Sama sekali dia tidak bermaksud membunuh Tung-hai Cin-jin seperti itu. Dia cepat membuang muka dan pada saat itu, melihat betapa tongkat Pek I Tojin memukuli punggung dan pinggul Cui-be Sai-kong. Dia menjadi kagum bukan main. Dia sudah merasakan kelihaian Cui-beng Sai-kong yang bertangan kosong kini datuk sesat itu memegang pedang. Namun ternyata Pek I Tojin mampu mempermainkannya dan memukuli pinggang dan punggungnya seperti seorang guru memberi hukuman kepada seorang murid yang nakal!

Cui-beng Sai-kong melihat betapa pembantu utamanya, Tung-hai Cin-Jin telah roboh tewas dan para pembantunya juga banyak yang sudah roboh, Bahkan anak buahnya mulai kocar-kacir dihajar para hwesio dan tosu. Pasukan pemerintah itu pun tidak banyak dapat membantu karena mereka sendiri pun kewalahan menghadapi pengamukan para hwesio dan tosu. Karena itu, dia lalu melompat jauh meninggalkan Pek I Tojin dan melarikan diri.

Melihat betapa datuk sesat itu telah melarikan diri dan anak buahnya sudah dihajar, Pek I Tojin lalu berseru dengan suara nyaring. "Para hwesio dan tosu, kita tidak memusuhi pemerintah. Biang keladinya sudah melarikan diri! Mari kita tinggalkan tempat ini!"

Para hwesio dan tosu itu maklum bahwa tidak ada untungnya kalau mereka terus mengamuk dan membunuh banyak prajurit pasukan pemerintah. Tadi pun dalam pertempuran, mereka menjaga diri dan tidak ingin membunuh para perajurit. Kini mendengar seruan Pek I Tojin, mereka pun berloncatan meninggalkan tempat itu dan menghilang di dalam kegelapan malam.

Perwira yang menjadi komandan pasukan, berlari memberi aba-aba kepada pasukan untuk melakukan pengejaran. Akan tapi tentu saja hal ini tidak ada gunanya karena selain para penyerbu itu dapat berlari cepat sekali, juga para prajurit sudah merasa gentar dan tak berani mengejar tanpa mengandal banyak teman.

Peristiwa itu benar saja, seperti harapan Pek I Tojin, menjadi obat mujarab yang menyembuhkan dendam kebencian antara para hwesio dan para tosu. Sejak terjadinya peristiwa itu, para hwesio dan para tosu itu menyebarkan berita itu dengan luas di antara golongan masing-masing sehingga kedua pihak membuang jauh-jauh perasaan bermusuhan itu. Bahkan tidak jarang mereka itu bekerja sama untuk membela rakyat jelata yang tertindas oleh oknum-oknum yang mempergunakan kesempatan dalam pelaksanaan pekerjaan besar menggali terusan itu untuk mengeduk keuntungan sebesarnya dengan memaksa rakyat bekerja tanpa upah!

Sementara itu, jauh di luar hutan di tempat terbuka yang sunyi, dan diterangi oleh sinar bulan yang baru muncul. Han Beng berlutut di depan Pek I Tojin.

"Orang muda, pinto melihat bahwa ilmu silatmu sudah cukup tinggi dan engkau telah mewarisi inti sari dari ilmu kepandaian Liu Bhok Ki dan Sin-ciang Kai-ong. Mengapa pula engkau kini mohon untuk menjadi murid pinto?" tanya Kakek itu dengan suara yang lembut, sama sekali dia tidak memperlihatkan perasaan gembiranya yang timbul ketika melihat pemuda ini menyatakan hendak menjadi muridnya. Dia sendiri kagum kepada pemuda ini, maklum bahwa pemuda ini selain memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa sekali kuatnya, juga memiliki bakat yang baik dan watak yang tidak tercela.

"Maaf, Lo-cian-pwe. Sama sekali bukan berarti bahwa teecu meremehkan kedua ajaran dari kedua Suhu yang telah teecu terima. Akan tetapi ketika teecu bertanding melawan Cui-beng Sai-kong, terasa benar oleh teecu betapa pengetahuan teecu masih dangkal sekali. Kemudian teecu melihat betapa Lo-cian-pwe dengan amat mudahnya mampu menundukkan datuk sesat itu. Oleh karena itulah, teecu bertekad untuk memperdalam ilmu di bawah pimpinan Lo-cian-pwe, tentu saja kalau Lo-cian pwe sudi menerima teecu sebagai murid.”

Kakek itu tersenyum. "Dunia menghadapi masa suram dan memang amat dibutuhkan orang-orang muda seperti engkau, Si Han Beng. Baiklah, dalam usia pinto yang sudah tua ini, pinto akan mencoba untuk menambah bimbingan sedapatnya kepadamu. Mari, engkau ikutlah aku ke Thai-san."

Dengan girang Han Beng lalu memberi hormat delapan kali sebagai tanda pengangkatan guru dan malam itu juga guru dan murid ini melanjutkan perjalanan menuju ke Thai-san.

********************

Pemuda itu menangis sambil berlutut di depan kakek raksasa hitam yang duduk bersila di depannya, dalam sebuah gua. Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun. Tubuhnya sedang dadanya bidang dan wajahnya yang putih itu nampak tampan dan lembut. Rambutnya disisir rapi, dan pakaian yang seperti seorang pelajar itu pun terbuat dari sutera halus, rapi dan mewah, seperti seorang pelajar dari kota putera seorang hartawan atau seorang bangsawan.

Melihat rambutnya yang rapi, pakaian yang bersih, sepatu yang mengkilap, dapat dilihat bahwa dia seorang pemuda yang pesolek. Sikap lemah lembut, dan hidungnya yang besar mancung, bibirnya yang merah penuh gairah, matanya yang dapat memandang dengan sayu, sungguh pemuda ini memiliki daya tarik yang amat kuat bagi wanita pada umumnya.

"Suhu... ah, Suhu... kenapa suhu begitu begitu tega menyuruh teecu pergi dari sini? Semua perintah Suhu telah teecu lakukan. Latihan-latihan yang teramat berat, mempertaruhkan nyawa sudah teecu laksanakan dengan baik, akan yang terakhir, Suhu menyuruh teecu bertapa seperti mayat di dalam kuburan, diantara makam orang mati, sampai sebulan lamanya. Teecu merasa seram dan takut setengah mati, akan tetapi sudah teecu lakukan juga... semua itu untuk mentaati perintah Suhu. Dan sekarang... sekarang Suhu menyuruh teecu pergi..." Pemuda itu menangis.

Sungguh mengherankan sekali. Pemuda itu demikian gagah perkasa, akan tetapi kini dapat menangis seperti seorang anak kecil. Begitu cengengnya!

"Hong San, hentikan tangismu itu!" kata Kakek Raksasa yang bersila di depannya. "Engkau tahu, semua yang kau lakukan itu bukan hanya untuk mentaati perintahku, melainkan demi kepentinganmu sendiri! Selama ini engkau kugembleng sampai habis semua ilmuku kuberikan kepadamu, bahkan kubuka rahasia menghimpun tenaga rahasia dengan jalan bertapa, semua itu untukmu! Kini engkau miliki tingkat kepandaian yang tidak kalah olehku!"

Mendengar ini, seketika pemuda itu menghentikan tangisnya dan dia memandang kepada gurunya sambil tersenyum! Dan senyumnya sungguh manis sekali! Kalau ada yang melihatnya, tentu orang itu akan tertegun. Baru saja menangis begitu sedihnya, kini sudah dapat tersenyum manis!

”Benarkah Suhu? Benarkah, bahwa tingkat kepandaian teecu kini tidak kalah oleh Suhu?" katanya dengan sikap manja seperti anak kecil. Akan tetapi harus diakui bahwa kini wajahnya tampan sekali, berseri-seri, mulutnya tersenyum dan bibir merah itu Penuh gairah, sepasang matanya indah cemerlang.

Kakek itu berusia enam puluh tahun. Tinggi besar seperti raksasa. Tubuh yang kokoh kuat itu berkulit hitam, rambutnya brewok di mukanya yang tebal dan awut-awutan, masih hitam, mukanya seperti singa persegi empat, dan matanya mencorong. Kakek ini bukan lain adalah Cu-beng Sai-kong!

Setelah dikalahkan oleh Pek I Tojin dan anak buahnya dibasmi, kakek ini merasa kecewa, penasaran dan sakit hati sekali, akan tetapi, dia pun harus mengakui bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan Pek I Tojin. Maka untuk menghilangkan rasa malunya, dia melarikan diri dan bersembunyi di dalam sebuah gua di Pegunungan Himalaya. Di tempat ini, dia bertemu dengan muridnya yang memang di suruh berlatih seorang diri di tempat sunyi itu.

Pemuda itu bernama Can Hong San. sendiri tidak tahu siapa ayah ibunya karena semenjak dia dapat mengingat tentang dirinya, dia sudah menjadi murid Cui-beng Sai-kong. Gurunya itu hanya dikenalnya sebagai seorang kakek sakti yang berjuluk Cui-beng Sai-kong, tanpa dia ketahui siapa namanya yang sesungguhnya. Tadinya, dia dan gurunya tinggal di gua besar itu dan dia gembleng dengan berbagai ilmu.

Gurunya demikian sayang kepadanya sehingga bukan saja dia digembleng dengan ilmu silat, bahkan ketika dia berumur sepuluh tahun, dia diajak pergi ke sebuah dusun di kaki pegunungan, gurunya menyuruh dia mempelajari kesusastraan dari seorang sastrawan yang mengasingkan diri. Sastrawan ini berbangsa peranakan Han dan Tibet, lama lebih dari lima tahun Hong belajar membaca dan menulis, juga kesusastraan Han dipelajarinya. Bukan saja, juga suhunya memanggil seorang ahli lukis dan main suling, sehingga muridnya itu mempelajari pula dua macam kesenian ini.

Untuk keperluan muridnya, Cui-beg Sai-kong mendatangkan banyak orang pandai yang mengajar muridnya. Sejak kecil pun muridnya itu disuruh menggunakan pakaian serba indah, pakaian pelajar dan sastrawan dan diajar pula berdandan diri sehingga selalu kelihatan gagah dan tampan seperti seorang putera bangsawan!

"Engkau berdarah bangsawan, Hong San." hanya itulah keterangan yang, lalu diberikan kepada muridnya kalau murid itu bertanya siapa orang tua. Ucapan ini mendatangkan kesan mendalam sehingga setelah dewasa, Hong San merasa bahwa dia seorang pemuda bangsawan, maka dia pun selalu ingin menyesuaikan diri dengan derajatnya dan lagaknya dia atur sehingga dia pantas menjadi seorang putera bangsawan seperti yang dia kenal dari bacaan kitab-kitab kesusastraan.

Demikianlah, setelah Hong San berusia dua puluh tiga tahun, dia telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah, memiliki banyak ilmu kepandaian, baik bu (silat) maupun bun (sastra). Akan tetapi, kehidupan di dusun itu, ketika dia belajar kesusastraan, mengakibatkan dia mengenal pergaulan masyarakat luas.

Dan karena gurunya selalu memanjakannya memberi uang berlebihan, emas dan perak tak pernah kosong dari sakunya, maka banyak orang-orang muda yang suka berkawan dengan Hong San. Dan dari hubungan ini, Hong San mulai mengenal bermacam kesenangan, di antaranya kesenangan hubungan dengan wanita. Mulai usia belasan tahun saja dia telah diajak oleh teman-temannya untuk mendatangi wanita-wanita pelacur dan kesenangan ini kemudian menjadi kelemahan bagi Hong San.

Dia, setelah dewasa, selain tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah, juga menjadi seorang laki-laki pesolek dan cabul yang senang menghambakan kepada nafsu berahi secara berlebih-lebihan! Dia menjadi seorang mata keranjang yang tidak ketulungan lagi.

Setiap melihat wanita cantik yang agak lebih dari wanita biasa, berahinya timbul dan dia belum merasa puas kalau belum menundukkan wanita itu dan menyeretnya ke dalam pelukannya, jarang ada wanita yang mampu menolaknya. Dia seorang pemuda yang tampan gagah perkasa, jantan, dan pandai sajak, pandai bernyanyi, pandai pula meniup suling, ahli merayu dan yang terakhir, royal dan banyak uang!

Cui-beng Sai-kong tentu saja mengetahui akan kesukaan muridnya itu. Akan tetapi, dia sendiri seorang datuk ssesat dan kesenangan seperti itu dianggapnya lumrah, bahkan dia merasa senang dan bangga mendengar betapa muridnya menjadi rebutan para perawan dusun dan kota. Kesenangan seperti itu dianggapnya "menyehatkan" dan membuktikan bahwa Hong San benar-benar seorang 'laki-laki jantan!

Dia tidak melarang atau menegur, bahkan tanpa malu-malu lagi dia mengajarkan semacam ilmu untuk menundukkan hati wanita! Dalam bidang itu pun bagi Cui-beng Sai-kong terdapat ilmunya! Tentu saja Hong San menjadi semakin gila!

Dua tahun yang lalu, yaitu ketika Hong San berusia dua puluh tiga tahun, gurunya pergi meninggalkannya dan meninggalkan setumpuk latihan untuknya, latihan aneh-aneh untuk menghimpun kekuatan dan kesaktian. Hong San yang memiliki kemauan keras dan keinginan uuk menjadi jagoan tanpa tanding, melaksanakan semua petunjuk suhunya dan berlatih dengan amat tekunnya.

Latihan yang mendekati ilmu hitam, yang amat menyeramkan, seperti bertapa dalam tanah seperti mayat, di tanah kuburan, juga dilaksanakan sampai berhasil. Maka ketika suhunya akhirnya muncul kembali, dua tahun kemudian, dia sudah menjadi seorang yang benar-benar lihai bukan main. Akan tetapi, begitu datang, suhu itu memanggilnya dan mengatakan bahwa sudah tiba saatnya bagi Hong San untuk meninggalkan tempat pertapa meninggalkan gurunya!

Pemuda yang wataknya aneh, mudah sekali bergembira akan tetapi juga mudah menangis, menandakan bahwa batinnya sesungguhn amat lemah dan tidak berdaya dipermainkan oleh nafsu-nafsunya, mula-mula menangis akan tetapi ketika mendeng dari suhunya bahwa tingkat kepandaia nya sudah menyamai suhunya, dia tersenyum gembira dan bangga!

"Hong San, sekarang dengarlah baik-baik, aku akan bercerita kepadamu." kata Kakek Tinggi Besar berkulit hitam itu.

Hong San yang kini sudah duduk bersila, berhadapan dengan gurunya, mengangguk dan mendengarkan penuh perhatian. Dia memang selama ini menjadi murid yang amat taat dan baik sekali.

Kakek raksasa hitam itu lalu bercerita. Kurang lebih dua puluh enam tahun yang lalu, serombongan bangsawan Nepal bertamasya di dekat perbatasan Nepal dan Tibet. Perwira bersama isteri dan puterinya, berburu binatang sambil berpesiar di daerah pegunungan yang kaya akan binatang buruan itu. Tentu saja perwira itu tidak takut karena ada pasukan pengawal yang dua losin banyaknya menjaga keselamatan dia dan anak isterinya.

Akan tetapi, pada malam harinya, ketika rombongan itu berhenti dan membuat perkemahan di luar hutan, membuat api unggun dan dijaga oleh pasukan pengawal, tiba-tiba mereka diserang oleh segerombolan perampok yang melepaskan panah api. Tentu saja para pengawal menjadi panik. Terjadilah pertempuran di malam gelap, diterangi oleh sinar api unggun dan api yang membakar perkemahan.

Dalam kekacauan itu, para pengawal yang dipimpin oleh perwira itu mengadakan perlawanan mati-matian dan akhirnya gerombolan perampok itu dapat dihalau dan mereka melarikan diri dalam hutan. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya perwira itu ketika mendapat kenyataan bahwa dalam keributan itu, anak perempuannya sedang dewasa telah lenyap!

Dia mengerahkan pasukan pengawalnya untuk mencari, akan tetapi sia-sia saja karena hutan itu amat luasnya. Isterinya juga tidak dapat mengatakan ke mana adanya anak gadisnya. Dalam keributan itu isteri perwira ketakutan dan bersembunyi saja di dalam tenda. Sebaliknya, gadis itu ingin membantu ayahnya, membawa pedang dan keluar dari tenda. Lalu lenyap tanpa meninggalkan jejak.

Kiranya gadis itu dilarikan oleh pala perampok! Dan ternyata bahwa gerombolan perampok itu menyerang rombongan perwira Nepal bukan untuk merampok harta benda, melainkan memang untuk menculik gadis itu. Sudah sejak memasuki hutan, rombongan itu di ikuti oleh sepasang mata kepala perampok yang tergila-gila melihat kecantikan gadis Nepal itu.

Gadis itu meronta dan melawan mati-matian, namun apa dayanya menghadapi para perampok yang bertubuh raksasa ? Akhirnya ia menerima nasib dan menjadi isteri kepala perampok dengan terpaksa.

"Wah, gadis itu memang cantik manis bukan main. Belum pernah selama hidupnya kepala perampok itu bertemu dengan gadis seperti itu. Bagaikan setangkai mawar indah... penuh kelembutan, penuh kehangatan, penuh keharuman memikat, akan tetapi juga banyak durinya, bebas, liar dan mempesona...” Cui-beng Sai-kong mengakhiri ceritanya dengan puji-pujian kepada gadis yang diculik kepala perampok itu.

Hong San yang sejak tadi mendengarkan penuh perhatian, merasa kecewa, kiranya suhunya hanya menceritakan sebuah dongeng sederhana! Tentang seorang gadis Nepal yang diculik kepala rampok dan dipaksa menjadi isterinya! Akan tetapi dia seorang murid yang baik, tidak mau mengecewakan hati gurunya dan dia berlagak amat tertarik oleh cerita itu.

"Aduh, betapa senangnya kepala rampok itu, Suhu! Gadis cantik jelita memang tentu saja jauh lebih berharga daripada segala macam harta. Lalu bagaimana, Suhu? Apakah gadis itu akhirnya mau menjadi seorang isteri yang membalas cinta suaminya?"

Cui-beng Sai-kong tertawa bergelak sehingga tubuhnya yang tinggi besar terguncang, mukanya yang seperti singa nampak menyeramkan sekali. "Ha-ha-ha-ha, aku Cui-beng Sai-kong memang bukan seorang laki-laki yang haus wanita, akan tetapi sekali aku jatuh cinta dan menundukkan seorang wanita tentu bertekuk lutut dan menyerah sebulatnya, Ha-ha!"

Pemuda itu tertarik sekali sekarang, bukan pura-pura. "Wah, kiranya Suhu sendirikah kepala perampok itu?"

Cui-beng Sai-kong tersenyum lebar. "Dua puluh enam tahun yang lalu masih muda, seorang laki-laki yang gagah dan menarik walaupun ilmu kepandaianku belum berapa tinggi. Puteri bangsawan Nepal itu menyerah, menjadi istriku. Aku benar-benar jatuh cinta padanya, ia pun agaknya dapat membalas cintaku, akan tetapi..." Dan tiba-tiba saja kakek raksasa bermuka singa itu menangis menggerung-gerung seperti orang gila!

Hong San hanya memandang saja dan tidak menegur, akan tetapi dia merasa semakin tertarik. "Apakah yang telah terjadi, Suhu? Dimana Subo sekarang?" tanyanya walaupun dia sudah dapat menduga bahwa tentu subonya (ibu gurunya) itu agaknya sudah meninggal dunia sehingga kini terkenang akan isteri tercinta itu gurunya menangis. Kalau masih hidup tentu dia pernah bertemu dengan wanita itu.

Seperti juga ketika mulai, secara tiba-tiba saja Cui-beng Sai-kong menghentikan tangisnya dan kini sepasang mata yang lebar dan besar itu melototinya memandang kepada muridnya dengan sinar mata penuh kemarahan mencorong dari sepasang mata yang kemerahan itu.

"la sudah mati! Ahhh, ia sudah mati ketika melahirkan engkau, keparat! Karena itu aku harus membunuhmu untuk menebus dosamu yang menyebabkan kematian orang yang kukasihi!" Dan tiba-tiba saja Cui-beng Sai-kong menyerang dengan terkaman seperti seekor singa yang marah!

Pemuda itu merasa sangat terkejut. Pertama karena mendengar bahwa dia adalah putera wanita bangsawan Nepal yang menjadi isteri suhunya itu, berarti adalah putera suhunya, dan kedua karena tiba-tiba orang yang selama ini dianggap guru dan ternyata ayah kandungnya itu telah menyerangnya dengan amat dahsyat!

Cepat dia melempar tubuh ke belakang dan tubuhnya berjung balik membuat salto sampai lima kali barulah dia berhasil melepaskan diri serangkaian serangan yang dilakukan gurunya dengan dahsyat. Serangan kakek raksasa itu merupakan serangan maut yang mengarah nyawanya! Dengan muka agak pucat dan mata mencorong marah Hong San berseru.

"Suhu, apakah Suhu sudah gila?"

Akan tetapi, jawaban kakek itu adalah serangan yang lebih hebat lagi! Tubuhnya meliuk-liuk, kedua tangannya membentuk cakar naga, matanya seperti bernyala dan mulutnya yang terbuka itu mengeluarkan suara mendesis panjang dan ada uap tipis keluar dari mulutnya, yang mengandung hawa panas! Kemudian, dia mengeluarkan suara parau seperti suara burung gagak dan tubuhnya condong kedepan, kedua tangan yang membentuk cakar itu bergerak-gerak seperti menggaruk-garuk atau mencakar ke depan.

Hong San mengerutkan alisnya. Itulah Koai-liong-kun (Silat Naga Setan), yang merupakan ilmu silat tangan kosong yang paling dahsyat dari gurunya! Dia maklum bahwa dia tidak akan mungkin dapat menyelamatkan diri kalau menggunakan ilmu silat lain, maka dia meniru gerakan gurunya, tubuhnya meliuk-liuk dan kedua tangannya membenntuk cakar naga, mulutnya mendesir mengeluarkan hawa panas. Dia pun mu bersiap dengan ilmu Koai-liong-kun pula.

"Keparat? Pembunuh isteriku tercinta. Sudah lama kutunggu saat ini. Kau harus mampus di tanganku!" bentak Cui-be Sai-kong dengan suara menggeledek.

Hong San tersenyum mengejek, matanya berkilat. "Hemmm, coba saja kalau kau mampu!"

Diam-diam dia pun merasa penasaran bukan main. Orang ini adalah gurunya, bahkan mengaku sebagai ayah kandung, akan tetapi kini bersikeras hendak membunuhnya! Karena merasa disudutkan, dihimpit dan direndahkan bangkit kemarahan dalam hati pemuda yang wataknya juga amat aneh ini. Tahu betapa lihainya orang yang selama ini dianggap gurunya, dan dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannnya untuk melawan. Dia harus dapat membunuhnya lebih dulu sebelum dibunuh!

Cui-beng Sai-kong sudah menerjang lagi, dahsyat bagaikan seekor naga mengamuk. Akan tetapi sekali ini Hong San tidak hanya menghindar, melainkan mengelak lalu langsung membalas dan di lain saat, guru dan murid itu telah saling serang dengan hebatnya. Karena ilmu silat yang mereka pergunakan dalam pertandingan ini sama, maka dipandang sepintas lalu mereka itu seperti sedang berlatih saja.

Akan tetapi,sesungguh tidak demikian karena keduanya mengerahkan seluruh tenaga mereka dan perkelahian itu. Setiap jurus yang digerakkan mempunyai tujuan membunuh! Dari mulut mereka kini menyembur uap putih kemerahan yang amat panas, dan cengkeraman mereka semakin dahsyat, tendangan yang berupa jurus naga menyabetkan ekor itu pun kalau mengenai tubuh lawan tentu akan berakibat hebat!

Beberapa batang pohon yang tumbuh di kanan kiri gua itu seperti dilanda angin badai, dan karena mereka berkelahi di depan gua, maka suara angin pukulan mereka memasuki gua dan menimbulkan gema suara mengaung yang mengerikan.Tanah dan debu beterbangan di bawah kaki mereka.

Bagaimanapun juga, tentu saja ilmu yang dimiliki Cui-beng Sai-kong lebih matang dibandingkan Hong San, maka setelah lewat puluhan jurus, pemuda itu terdesak dan lebih banyak mengelak dan menangkis daripada menyerang. Namun pemuda ini mewarisi seluruh ilmu gurunya dan karena dia memang berbakat baik, maka dia telah mengusai ilmu-ilmu itu.

Dan untuk menebus kekalahannya dalam pengalaman, pemuda ini lebih menang dalam hal napas tenaga. Gurunya sudah mulai berkerinngat dan napasnya memburu, sedangkan dia sendiri masih segar bugar! Hal ini agaknya disadari pula oleh Cui-beng Si kong, maka agar jangan sampai akhirnya kalah, dia mengeluarkan suara melengking panjang dan nampak sinar berkilauan ketika dia mencabut pedangnya!

Melihat ini, Hong San berseru, "Bagus, mari kita mengadu nyawa!" sambil membentak, dia pun mencabut pedangnya.

"Cring-tranggggg...!" Bunga api berpijar dan suara nyaring bergema kedalam gua ketika beberapa kali pedang-pedang itu saling bertemu. Kini mereka saling serang dengan pedang dan beberapa kali pedang mereka saling bertemu dengan amat kuatnya. Namun, setiap kali pedang bertemu, nampak tubuh Cui-beng Sai-kong tergetar!"

"Wuuuuuttttt... singgggg...!"

Hong San terkejut bukan main. Serangan gurunya tadi amat dahsyatnya sehingga nyaris lehernya terbabat putus! Untung dia masih sempat merendahkan tubuhnya sehingga hanya segumpal rambut saja yang terbabat dan rambut itu pun berhamburan. Pedang di tangan Cui-beng-kong itu masih meluncur terus kebelakangnya.

"Crokkkkk!!" Batang pohon di belakang pemuda itu terbabat dan tumbang! Demikian hebatnya sambaran pedang ditangan kakek raksasa itu.

"Singgggg...!" Hong San tidak mau membuang kesempatan itu dan pedangnya sudah meluncur ke depan, menusuk ke bawah pangkal lengan mengarah dada kanan gurunya.

"Tranggggg...!" Cui-beng Sai-kong masih mampu menangkis, akan tetapi tangkisan pedang itu yang agak lambat membuat dia terhuyung ke belakang. Hong San terus mendesak dan terjadilah lanjutan perkelahian yang lebih seru lagi. Dan karena ilmu pedang mereka pun sama, maka perkelahian seperti latihan saja, walaupun setiap pedang menyambar, selalu merupakan serangan maut.

Namun bagi Hong San pertandingan itu sama sekali bukan merupakan latihan, karena dia tahu bahwa kakek yang selama ini dianggap guru itu benar-benar berusaha keras hendak membunuhnya. Dia pun mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk melawan dan juga berusaha untuk merobohkan gurunya, kalau perlu membunuhnya!

Pertandingan berlangsung seru setelah lewat seratus jurus, mulai gerakan Cui-beng Sai-kong mengendur bukan hanya dia kehabisan tenaga, akan tetapi juga napasnya terengah-engah. Tubuhnya sudah basah oleh keringat dan gerakan kaki maupun tangannya sudah tidak mantap lagi. Melihat ini, Hong San bukan mengalah, bahkan dia mempercepat dan memperkuat serangan-serangan-sehingga kakek itu benar-benar terdesak hebat!

"Cringgg... tranggggg... Ceppp!"

Dua kali sepasang pedang itu bertemu dengan amat kerasnya dan pedang di tangan kakek itu terpental, disusul masuknya pedang di tangan Hong San yang menusuk ke depan dan memasuki dada gurunya, hampir menembus punggung.

Peristiwa ini hampir tidak nampak saking cepatnya gerakan pedang dan juga kakek itu nampak hanya berdiri mematung, pedangnya masih berada di tangan kanan sedangkan tangan kiri mendekap dada, matanya mendelik memandang ke arah Hong San, dan tiba-tiba saja dia tertawa bergelak!

"Bagus, ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Engkau telah dapat mengalahkan aku, ha-ha-ha! Engkau telah dapat membunuhku, berarti engkau telah mewarisi seluruh kepandaianku dan engkau telah siap untuk menjadi jagoan tak terkalahkan di dunia... ha-ha-ha!"

Mendengar ucapan ini dan melihat kakek itu terhuyung, pedangnya terlempar lalu roboh terguling, barulah Hong sadar bahwa gurunya tadi memang sengaja mengujinya sampai akhir, dengan taruhan nyawa! Dia pun cepat berlutut dekat tubuh suhunya.

"Suhu... benarkah Suhu juga... Ayah kandungku sendiri?"

Darah itu mengalir melalui celah-celah antara jari tangan kiri yang mendekap luka di dada. Wajah singa itu tersenyum lebar. "Kenapa tidak benar? Dulu sekali namaku adalah Can Siok, maka engkau she Can. Ibumu adalah puteri bangsawan Nepal itu. Aku... ah, aku menderita bertahun-tahun karena kehilangan wanita yang kucinta. Segala perbuatan kulakukan untuk menghibur diri dan melupakannya. Akan tetapi gagal, aku setiap malam bermimpi dan setiap siang terkenang. Hanya karena engkau-lah aku hidup sampai sekarang. Engkau mirip sekali Ibumu, maka aku mengemblengmu sampai tamat. Dan ujian hari ini... berarti engkau lulus dan engkau yang mengantar aku menyusul Ibumu... ha-ha-ha!"

Kakek itu tertawa terus sampai akhirnya suara ketawanya makin lemah, lalu diam tak terdengar lagi juga tubuhnya terkulai lemas. Ketika Hong San merabanya, tahulah dia hahwa gurunya, juga ayahnya, telah tewas! Dan tiba-tiba pemuda itu menangis menggerung-gerung memeluk mayat ayah kandungnya! Dia menangis bukan karena menyesal, melainkan karena merasa sengsara, sebatang kara di dunia.

Akan tetapi tidak lama dia menangis. Di lain saat dia sudah bangkit berdiri, memandang mayat ayahnya yang telentang itu. Sepasang mata yang lebar itu masih terbuka, mendelik, mulut itu agak ternganga dan bagian depan tubuh mayat itu berlepotan darah. Dan dia merasa bangga!

"Ha-ha-ha," dia tertawa, tidak senyaring ketawa ayahnya, melainkan suara Ketawa yang ditahan-tahan dan terdengar menyeramkan, "Aku telah dapat mengalahkan Cui-beng Sai-kong! Guruku dan Ayahku sendiri telah tewas di ujung pedangku. Apalagi orang lain! Terma kasih, Suhu! Terima kasih, Ayah! Bukan hanya untuk ilmu-ilmu yang kupelajari darimu, juga karena engkau mati ditanganku! Lebih baik engkau mati agar aku tidak usah mengaku engkau yang buruk sebagai ayah kandungku!"

Setelah berkata demikian, Hong memasuki gua, mengemasi semua barangnya dan tak lama kemudian dia keluar menggendong buntalan pakaian, kantung emas simpanan ayahnya, meninggalkan gua, membiarkan mayat ayahnya menggeletak telentang di depan gua begitu saja! Sebuah caping lebar yang bercat merah memayungi kepalanya dan dengan lenggang seenaknya pun menuruni bukit itu.

Hong San memang memiliki watak yang aneh, mungkin watak ini dia war isi pula dari gurunya yang ternyata juga ayah kandungnya. Biarpun dia tahu bahwa gurunya adalah ayahnya sendiri, sedikit pun dia tidak merasa menyesal bahwa dia telah menjadi sebab kematan ayahnya! Dia sama sekali tidak mempedulikan mayat ayahnya itu, bahkan begitu turun dari bukit, dia memasuki buah kota dan pertama yang dicarinya adalah seorang pelacur langganannya. Dia bermalam di tempat pelesir itu sampai tiga malam dan dia bersenang-senang dengan pelacur itu.

Setelah puas, baru dia meninggalkan tempat itu, untuk mulai dengan perantauannya karena dia bercita-cita untuk menaklukkan semua tokoh dunia persilatan dan mengangkat diri sendiri menjadi seorang tokoh besar, menggantikan gurunya atau juga ayahnya! Dia akan menyusuri sepanjang Su-gai Huang-ho (Kuning) untuk kemudian menuju ke kota raja!

********************

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning karya kho ping hoo

Mereka bertiga nampak bahagia sekali. Anak laki-laki berusia tiga tahun itu berlari-larian mengejar kupu-kupu di antara bunga-bunga yang sedang mekar indah. Ayah ibunya duduk di atas bangku, nampak mesra dan saling mencinta.

"Lihat, betapa gembiranya Thian Ki kata Sang Isteri.

Suaminya mengangguk-angguk. "Kalau dia memiliki gemblengan silat sejak bayi, tentu dia akan mudah menangkap kupu-kupu itu..." kata suaminya.

"Dan meremasnya hancur? Ihhh, mengerikan! Untung kita sudah mengambil keputusan untuk menjadikan dia seorang manusia yang berbudi baik, yang tidak mengenal kekerasan, tidak suka berkelahi."

Suami itu menggenggam tangan isterinya yang membalas genggaman itu. Dari getaran tangan mereka, keduanya maklum akan isi hati masing-masing merasa setuju. Memang, mereka telah mengambil keputusan, bahkan keduanya telah bersumpah ketika anak itu masih berada di dalam kandungan bahwa mereka berdua akan menjaga agar anak mereka kelak tidak menjadi seorang yang seperti mereka, yaitu orang yang pandai ilmu silat seperti mereka.

Mereka bersumpah bahwa anak mereka akan menjadi seorang terpelajar yang halus dan Yang sama sekali tidak mengenal dunia persilatan, tidak mengenal kekerasaan! Maka, setelah anak itu terlahir, seorang anak laki-laki yang sehat, mereka berdua menjaga agar anak itu sama sekali tidak mengenal ilmu silat.

Memang aneh sekali kalau diingat akan keadaan suami isteri ini. Mereka masih muda. Usia mereka baru tiga puluh tahun lebih sedikit. Pria itu tampan, biasa mengenakan pakaian putih, nampak gagah dan sikapnya jelas menunjukkan bahwa dia seorang ahli silat yang pandai. Memang tidak salah. Dia adalah Coa Siang Lee, keturunan pemimpin perkumpulan Hek-houw-pang, perkumpulan orang gagah yang pandai silat dan sejak kecil Coa Siang Lee telah digembleng dengan ilmu silat.

Adapun isterinya itu juga bukan orang sembarangan, bahkan memiliki ilmu silat yang lebih hebat daripada suaminya! Ia adalah Sim Lan Ci,seorang wanita cantik yang berpakaian serba hitam, la bukan lain adalah puteri dari Ban-tok Mo-li, dan sesat itu yang berjuluk Iblis Betina...