Naga Sakti Sungai Kuning Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

NAGA SAKTI SUNGAI KUNING
JILID 08
KARYA
KHO PING HOO

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning karya kho ping hoo
KETIKA mendengar betapa cucunya itu bersama gadis Sim Lan Ci bahkan tertawan oleh Liu Bhok Ki akan tetapi tidak dibunuh melainkan diberi obat perangsang ketika pingsan sehingga keduanya melakukan hubungan badan dan kini mereka menghadap untuk minta izin agar mereka berdua menikah, Coa Song menarik napas panjang dan ibu kandung Coa Siang Lee menangis.

“Hemmm, sungguh keparat jahanam Liu Bhok Ki itu! Dia tidak membunuhmu akan tetapi melakukan penghinaan dan melemparkan aib yang lebih hebat daripada maut! Hemmm, apa boleh buat, memang tidak ada jalan lain untuk membersihkan nama keluarga dari aib itu kecuali menikah dengan gadis ini. Pernikahan yang terpaksa! Hemmm, siapakah sebetulnya gadis ini dan mengapa pula ia bermusuhan dengan Liu Bhok Ki sehingga tertawan pula?”

“Namanya Sim lan Ci, Kong-kong, dan ia pun mencari Liu Bhok Ki untuk membalas dendam atas kematian bibinya, yaitu mendiang Phang Hui Cu.”

“Ah, isteri Liu Bhok Ki yang menjadi gara-gara itu!” Coa Song mengerutkan alisnya dan memandang tajam penuh perhatian kepada Sim Lan Ci. Seorang gadis yang cantik menarik, dengan pakaian serba hitam yang membuat kulit muka, leher dan tangannya nampak putih mulus.

“Benar, kong-kong. Lan Ci adalah keponakannya, ia adalah putrid tunggal dari enci mendiang Phang Hui Cu yang bernama Phang Bi Cu dan tinggal di Ceng-touw...”

“Apa? Kau maksudkan Phang Bi Cu dari Ceng-touw yang berjuluk Ban-tok Mo-li...??” Coa Song bertanya dengan suara kaget, setengah berteriak.

“Nona, benarkah engakau puteri Ban-tok Mo-li?” Kini Coa Song bertanya dengan sikap tenang kepada Lan Ci. Gadis itu dengan sikap tenang membalas pandang mata kakek itu dan mengangguk.

“Benar, saya adalah puteri tunggal dari ibu yang berjuluk Ban-to Mo-li.”

Wajah Coa Song berubah agak pucat dan matanya terbelalak, kemudian dia berkata kepada cucunya, “Siang Lee apakah engkau tidak tahu siapa adanya ban-tok Mo-li? Ia adalah seorang datuk sesat yang amat jahat, kejam seperti iblis! Tidak mungkin keluarg kita menerima ia sebagai anggota keluarga!”

Siang Lee mengerutkan alisnya. “Kong-kong, aku tidak menikah dengan Ban-to Mo-li, melainkan dengan puterinya!”

“Apa bedanya? Bagaimana mungkin kami harus berbesan dengan Ban-tok Mo-li? Apa akan kata orang di dunia persilatan kalau Hek-houw-pang yang selama ini menegakkan nama baiknya tiba-tiba berbesan dengan seorang datuk sesat seperti ban-to Mo-li?"

“Akan tetapi, Kong-kong. Lan Ci bukan seorang gadis jahat, dan kami sudah saling mencinta. Selain itu, kami berdua telah terkena aib, dan jalan satu-satunya adalah menjadi suami isteri.”

“Siang Lee, engkau masih muda dan tidak mengerti urusan! Ketahuilah bahwa kalau pernikahan itu kau lakukn berarti engkau menghindari Lumpur dengan masuk ke pencomberan! Aib yang telah kau derita karena perbuatan si Jahanam Liu Bhok Ki, tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan aib yang menimpa kalau kita berbesan dengan Ban-tok Mo-li! Seluruh Hek-houw-pang akan terseret.

“Kong-kong, bagaimanapun juga aku akan menikah dengan Sim lan Ci!” pemuda itu berseru dengan penasaran. Ibunya mulai menangis dan membujuk agar mentaati kakeknya.

“Tidak bisa, Ibu! Ini menyangkut kehidupan dan kebahagiaan sendiri. Perjodohan adalah urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri oleh siapapun juga. Kong-kong, aku tetap akan menikah dengan Sim Lan Ci.”

“Kalau begitu, kami tidak akan turut campur, aku dan ibumu tidak akan merestui dan pernikahan itu tidak kami anggap!” bentak kakek Coa Song marah sekali.

Tiba-tiba Sim Lan Ci bangkit berdiri dan berkata kepada Siang Lee. “Aku akan pergi! Aku pun tidak ingin sekali menjadi mantu Hek-houw-pang!” berkata demikian, gadis itu lalu melangkah keluar dengan alis berkerut.

“Lan Ci...! Moi-moi, tunggu…!” teriak Siang Lee.

“Siang lee, kalau engkau nekat, kami tidak mengakuimu lagi sebagai keturunan kami dan anggota Hek-houw-pang!” teriak pula kekek Coa Song dengan marah sekali.

Perlahan-lahan Siang Lee bangkit berdiri. “Apa boleh buat, kong-kong, ibu, aku harus menuruti suara hatiku. Bukan hanya karena aku sudah mencinta Lan Ci, juga karena kami bernasib sama, berduanya tertimpa aib. Aku harus membersihkan aib dari namanya, seperti hanya ia akan membersihkan namaku kalau-kalau menjadi isteriku. Selamat tinggal Kong-kong dan ibu, dan maafkan aku!”

Setelah berkata demikian, Siang lee meloncat keluar mengejar Sim Lan Ci. Ibunya berteriak memanggil dan menangis, namun pemuda itu tidak mau kembali, maklum bahwa kakeknya adalah seorang yang keras hati dan tidak akan mau mengubah keputusannya.

Tentu saja Lan Ci merasa girang sekali melihat Siang Lee menyusulnya, dan sambil bergandeng tangan kedua orang muda itu lalu pergi menuju ke Ceng-touw untuk menghadap ibu kandung gadis itu, ialah Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu. Mereka sudah saling mencinta dan sudah mengambil keputusan nekat untuk tetap bersatu, apa pun yang akan terjadi. Karena itu, dalam perjalanan yang cukup jauh ini pun mereka sudah hidup sebagai suami isteri saja sehingga cinta kasih mereka menjadi semakin kuat.

Ban-tok Mo-li menerima dua orang muda itu dengan mata berkilat dan alis berkerut. Ia memang selamanya bukan merupakan seorang ibu yang penuh kasih saying kepada puterinya, hasil perhubungan gelapa dengan pria lain ketika ia masih mempunyai seorang suami. Memang ia mengembleng Lan Ci dengan ilmu-ilmu silat yang tinggi, akan tetapi hal itu bukan terjadi karena ia ingin saying kepada Lan Ci, melinkan karena ia ingin mendapatkan seorang pembantu yang tangguh.

Bagi wanita ini, Lan Ci hanya seorang gadis saja, yang boleh diharapkan akan membantunya dengan setia. Bahkan kadang-kadang timbul rasa iri dalam hatinya melihat betapa Lan Ci makin besar menjadi semakin cantik. Ia kuatir kalau Lan Ci akan mengalahkannya dalam hal kecantikan sehingga sinar kecantikannya akan meredup! Kadang-kadang timbul rasa benci dan iri dalam hatinya terhadap Lan Ci, gadis yang dulu dikandung dan dilahirkannya sendiri!

Ban-tok Mo-li mendengarkan cerita Lan tentang kegagalannya membalas Sakit hati kepada Liu Bhok Ki, tentang tertawannya gadis itu dan kemudian bahkan oleh perbuatan Liu Bhok Ki, gadis itu melakukan hubungan badan dengan Coa Siang Lee yang juga tertawan oleh Liu Bhok Ki. Ia mendengar pula bahwa Coa Siang Lee adalah putera mendiang Coa Kun Tian, putera ketua Hek-houw-pang yang menjadi kekasih gelap Phang Hui Cu sehingga mengakibatkan mereka terbunuh oleh Liu Bhok Ki. Marahlah Ban-tok Mo-li walaupun mulutnya masih tersenyum dingin.

“Bagus! Sungguh tidak tahu malu engkau Lan Ci! Engkau tidak ada bedanya dengan Phang Hui Cu, bibimu itu!”

Tak tahu malu! Hui Cu berpacaran dengan Coa Kun Tian, seharusnya mereka berdualah yang dapat membunuh Liu Bhok Ki yang menjadi penghalang. Akan tetapi tidak, mereka malah terbunuh oleh Liu Bhok Ki. Menyebalkan! Dan sekarang riwayatnya berulang. Engkau menyerahkan diri pada pemuda ini dan kalian tidak mampu membunuh Liu Bhok Ki malah dipermainkan dan dihina. Huh, tak tahu malu!

“Engkau boleh menjadi isteri pemuda ini kalau dia mampu ngalahkan aku!” berkata demikian, tiba-tiba tubuh Ban-to Mo-li sudah melayang kearah Siang Lee dan tanpa banyak cakap lagi ia sudah menyerang pemuda yang tadinya duduk bersila diatas lantai disebelah Lan Ci itu.

Jari tangan wanita itu menotok kearah ubun-ubun kepalanya. Serangan maut yang amat keji! Dia pun cepat melempar tubuh ke belakang lalu berguling keluar dari ruangan itu, tiba di luar ruangan yang lebih luas. Namun, Ban-to Mo-li agaknya bertekad untuk membunuhnya karena wanita itu sudah meloncat mengejar dan menghujankan serangan kilat dari jurus-jurus ilmu silat Ban-to Hwa-kun yang ampuh, silat tangan kosong yang amat indah seperti tarian saja.

Akan tetapi, sesuai dengan namanya, indah seperti bunga namun berbahaya mengandung racun, dibalik keindahan gerakan ilmu silat ini terkandung ancaman maut. Setiap totokan, tamparan, pukulan atau guratan kuku saja mengandung racun yang amat berbahaya.

Untung bagi Siang Lee bahwa ketika dia melakukan perjalanan dengan Lan Ci, di sepanjang perjalanan kekasihnya itu memberi keterangan dengan jelas tentang ilmu-ilmu ini, juga tentang bahayanya kuku jari tangan Ban-tok Mo-li. Maka, mendapat serangan bertubi-tubi yang amat hebat itu, Siang Lee tidak mau mengadu tangan, hanya mengelak saja ke sana-sini mengandalkan kelincahan gerakan tubuhnya.

Dan kalau terpaksa menangkis, dia selalu menangkis dari pergelangan tangan ke atas, melihat betapa beberapa serangannya yang bertubi tidak berhasil dan pemuda itu agaknya tahu akan rahasia tangannya yang berbahaya, Ban-tok Mo-li menjadi makin marah. Ia sama sekali bukan hendak menguji kepandaian Siang Lee, melainkan untuk membunuhnya!

Maka, melihat betapa pemuda itu cukup gesit dan lincah sehingga dapat menghindarkan serangannya yang bertubi-tubi, hal ini dianggap menghinanya dan merendahkannya, maka ia pun mengeluarkan bentakan nyaring dan tahu-tahu ia sudah mencabut pedang dan kipasnya!

Dengan geram ia menerjang dan Siang lee terkejut bukan main. Serangan pedang itu memang hebat, lebih berbahaya lagi karena disusul serangan kipas yang melakukan tiga totokan maut bertubi-tubi. Terpaksa dia membuang tubuhnya ke belakang, berjungkir balik dan terhuyung karena didesak terus.

Selagi dia terhuyung, pedang Ban-to Mo-li menyambar kearah lehernya, dan agaknya sukar bagi Siang Lee untuk meloloskan diri dari serangan yang dilakukan sepat sekali selagi tubuhnya terhuyung itu.

“Trangggg…!” sebatang pedang menangkis pedang ditangan Ban-to Mo-li dan nampak bunga api berpijar. Kiranya Lan Ci yang menangkis peang ibunya itu dengan pedangnya sendiri.

“Ibu, Coa Siang Lee telah menjadi suamiku dalam arti yang sebenarnya! Bahkan dalam perjalanan kami ke sini, kami telah menjadi suami isteri yang selalu tidur sekamar! Kalau ibu membunuh suamiku dan aku sebagai isterinya tentu saja tidak rela!”

Lan Ci berdiri tegak dengan pedang di tangan, agaknya ia siap untuk melawan ibunya sendiri demi membela orang yang dicintainya. Siang Lee juga melompat di samping Lan Ci dan biarpun dia belum mengeluarkan senjata namun jelas bahwa sikapnya juga siap untuk membantu kekasihnya yang sudah dianggap isterinya.

“Kau... kau...” Ban-to Mo-li menjadi agak pucat mukanya. Ia menghadapi persoalan yang sulit. Haruskah ia membunuh anak sendiri? Andaikata hal ini ia lakukan, ia harus menghadapi mereka berdua dan agaknya mereka itu amat tangguh. Bagaimna kalau sampai ia tidak mampu menangkan mereka?

“Kau… pergilah! Kalian pergi dari sini dan selamanya aku tidak mau melihat muka kalian lagi! Sekali melihat, pasti akan kubunuh kalian!” bentaknya marah sambil menudingkan pedangnya kearah pintu pekarangan depan.

Sim Lan Ci mengenal betul watak ibunya, maka mendengar ucapan ibunya itu, hatinya girang bukan main. Baru saja ia dan kekasihnya terhindar dari ancaman maut yang mengerikan. Ia pun lalu menarik pemuda itu untuk melarikan diri sambil berkata, “Terima kasih, ibu!”

“Aku bukan ibumu lagi!” bentak Ban-to Mo-li dan ketika dua orang muda itu pergi, diam-diam Ban-to Mo-li menghapus dua butir air mata yang membasahi pelupuk matanya. Ia mengeluarkan air mata bukankarena sedih ditinggal pergi puterinya, melainkan karena kecewa dan menyesal bahwa puterinya berani membangkang terhadap perintahnya. Ia kehilangan seorang murid dan pembantu yang boleh diandalkan.

Demikianlah keadaan Ban-to Mo-li dan seperti telah kita ketahui, iblis betina ini hadir pula di tepi sungai Huang-ho untuk ikut memperebutkan anak naga yang menurut perhitungan akan muncul di permukaan sungai kuning di daerah pusaran maut itu. kemudian, perebutan dua orang anak kecil yang menghisap darah anak naga itu. Ban-tok Mo-li berhasil membawa Giok Cu, seorang di antara dua orang anak yang diperebutkan itu dan membawanya pulang ke Ceng-touw.

“Bibi, aku ingin bertemu ayah dan ibuku!” kata Giok Cu ketika Ban-to Mo-li membawanya pergi dari tepi sungai itu. Mendengar ini, Ban-tok Mo-li yang tadinya menggendong anak itu, lalu memenurunkannya, memandang dengan alis berkerut dan mata berkilat marah.

“Jangan banyak lagak, Giok Cu! Engkau harus ikut dengan aku.”

Akan tetapi Giok Cu menentang pandangan mata wanita iblis itu tanpa rasa takut sedikitpun lalu menjawab, “Aku memang suka ikut denganmu, bibi, akan tetapi aku harus berpamitan dulu darih dan ibuku!”

Sejenak kedua orang itu saling pandang, sama-sama keras hati, dan akhirnya Ban-to Mo-li tersenyum. Anak ini memiliki kekerasan hati yang tidak kalah olehnya, dan sudah pasti lebih keras hati dan lebih berani dibandingkan Sim Lan Ci, puter yang telah diusir dan tidak diakuinya lagi itu! timbul rasa saying dihatinya, peasaan sayang yang belum pernah dirasakan sebelumnya, baik terhadap anak kandungnya sekalipun.

“Siapakah orang tuamu dan di mana mereka?” Tiba-tiba ia bertanya, senyumnya dingin dan akan mendirikan bulu roma orang-orang kang-ouw gagah mana pun kalau melihatnya karena senyum seperti itu mengandung kekejian yang luar biasa.

“Ayahku bernama Bu Hok Gi, seorang pejabat lurah di dusun Liong-cung dan kami sekeluarga, ayah, ibu, aku dan beberapa pembantu, sedang melarikan diri mengungsi karena ayah tidak mau melaksanakan kerja rodi kepada penduduk dusun. Kami seperahu, bersama keluarga Si Han Beng seperahu pula. Keluarga Si juga melarikan diri dari kerja paksa dan kami berkenalan di jalan. Kini ayah dan ibuku berada di perahu. Aku berpisah dari mereka ketika pancingku mendapatkan ular itu.”

Ban-to Mo-li mengangguk-angguk. “Mari kuajak engkau mencari ayah dan ibumu!” katanya dan ia pun memondong Giok Cu lalu berlari secepat terbang menuju ke tepi sungai dimana semalam menjadi ramai oleh para tokoh kang-ouw yang berebutan anak naga.

Mula-mula Giok Cu terkejut dan ngeri juga ketika melihat dirinya dibawa lari seperti terbang, akan tetapi lama-lama ia merasa gembira. Tubuhnya sudah tidak begitu panas lagi dan tidak lagi disiksa oleh mual di perutnya. Memang tubuhnya kuat, dan darah ular itu biarpun amat kuat, tidak sampi membahayakan keselamatannya karena yang diminumnya tidaklah sebanyak yang dihisap Han Beng.

Bagaimanapun juga, masih ada rasa pening di kepalanya namun tidak begitu dirasakannya karena kegembiraan hatinya hendak bertemu kembali dengan ayah ibunya. Ketika mereka tiba di pantai yang semalam, keadaan si situ sudah sunyi sekali. Hanya nampak beberapa buah perahu nelayan yang ditumpangi para nelayan yang masih nampak takut-takut karena semalam terjadi peristiwa hebat dimana terdapat banyak korban.

Para nelayan itu menemukan mayat-mayat terapung hampir sepuluh orang banyaknya, belum dihitung mayat-mayat yang lenyap ditelan pusaran. Ada pula mayat beberapa orang menggeletak di pantai, agaknya mayat mereka tadinya terluka dan terjatuh ke air lalu berhasil berenang ke tepi akan tetapi tewas di tepi karena luka-luka yang diderita.

Setelah tidak berhasil mendapatkan orang tuanya di tepi sungai, Giok Cu minta kepada Ban-tok Mo-li agar mereka mencari di antara perahu-perahu nelayan di tengah sungai. Ban-to Mo-li menggunakan sebuah perahu dan mulai mencari. Tak lama kemudian, biarpun masih jauh jaraknya, Giok Cu menunjuk ke tengah sungai dan berseru.

“Itu mereka! Itu perahu ayah dan perahu keluarga Si!”

Ban-to Mo-li yang berpenglihatan tajam itu melihat ada dua buah perahu yang digandeng dengan tali, akan tetapi yang berada di sebuah perahu hanya tiga orang. Seorang memegang dayung dan yang dua orang nampak rebah di perahu. Sedangkan perahu kedua kosong. Cepat ia mendayung perahunya mendekat sampai menempel pada dua buah perahu itu.

“Ayah…! Ibu...” Giok Cu berseru memanggil ketika mengenal dua orang yang rebah di perahu itu adalah ayah ibunya.

“Nona datang…” teriak pelayan yang mendayung dengan girang sekali. Agaknya dia telah kelelahan mendayung terus berputar-putar mencari Giok Cu yang semalam terjatuh ke dalam air dan dibelit ular.

Bu Hok Gi dan isterinya bangkit duduk dan wajah mereka itu pucat seperti orang sakit. Namun, begitu melihat Giok Cu mereka berdua segera merangkulnya dan bertangisan. Diantara tangis mereka, Bu Hok Gi dan isterinya menceritakan kepada Giok Cu bahwa Si Kian dan isterinya menjadi korban, tewas oleh yang menyerang membabi buta.

“Kami sendiripun diserang, aku dan ibumu terluka, dan dua orang pembantu jatuh ke air. Hanya seorng pembantu selamat. Tadi pun muncul si Han Beng dan seorang kakek. Kami sudah ceritakan tentang tewasnya ayah ibunya, dan kakek itu, dia mengobati kami yang terluka.”

Tiba-tiba Ban-tok Mo-li berseri. “Wah, celaka! Kalian telah terkena racun hebat. Tentu Liu Bhok Ki itu yang meracuni kalian, membunuh kalian dengan dalih mengobatinya!”

Tanpa diketahui mata orang lain saking cepatnya gerakan tangannya, Ban-to Mo-li telah menjentik dua batang jarum dengan jari tangannya dan dua batang jarum itu melesat dan masuk kedalam dada Bu Hok Gi dan isterinya.

“Lihat, muka mereka berubah menghitam…!”

Bu Hok Gi dan isterinya mengeluarkan keluhan lirih dan mereka terkulai, rebah lagi diatas perahu. Tentu saja Giok Cu terkejut bukan main dan hendak menubruk ayah ibunya.

“Ayah! Ibu...” Akan tetapi Ban-to Mo-li memegang lengannya.

“Jangan sentuh mereka! Kalau kau sentuh, engkau pun akan terkena racun hebat yang akan membunuhmu!”

Giok Cu terbelalak, hendak nekat menubruk, akan tetapi ditahan Ban-to Mo-li dan anak ini melihat betapa ayah dan ibunya berkelonjotan sebentar, muka dan tubuh mereka berubah menghitam dan akhirnya kejang-kejang tubuh mereka terhenti dan mereka tewas dalam keadaan mengerikan!

“Ayah…! Ibuuuuu…!” Dan Giok Cu terkulai pingsan dalam pelukan Ban-tok Mo-li. Pembantu itu tentu saja menjadi terkejut dan bingung, hanya mampu menangis.

“Sudahlah, mereka sudah mati dan kita bawa mereka ke tepi untuk dikuburkan,” kata Ban-tok Mo-li

“Semalam di sini terjadi pertempuran antara orang-orang sakti. Racun-racun masih berkeliaran di tempat ini. Mungkin baru saja mereka merasakan pengaruh racun. Engkau pun, kalau tidak cepat pergi dari sini, bisa saja setiap saat terkena racun dan mati!”

Mendengar ini, orang itu cepat menggerakkan dayung dan dibantu oleh Ban-to Mo-li, mereka mendayung perahu itu ke tepi dan dengan wajah ketakutan pembantu keluarga Bu itu lalu menggali lubang besar dan mereka menguburan jenazah Bu Hok Gi dan isterinya. Giok Cu siuman dari pingsannya dan anak perempuan itu menangis sejadi-jadinya, berlutut di depan makam ayah dan ibunya.

Setelah selesai mengubur dua jenazah itu, Ban-tok Mo-li mengambil beberapa potong uang perak dan memberikan kepada pembantu keluarga Bu itu sambil berkata, “kulihat engkau pun terpengaruh hawa beracun. Cepat pergi dan cari tabib untuk mengobati dirimu. Nih, ambil uang ini dan pergilah!”

Tangan Ban-to Mo-li yang menyerahkan beberapa potong uang itu bergerak dan kuku jarinya menggores telapak tangan orang itu. Orang itu tidak merasakan apa-apa, menerima uang lalu berpamit meninggalkan tempat itu. giok Cu yang menangisi makam ayah ibunya, tidak mempedulikan kepergian pembantu itu. Ia tidak tahu bahwa dalam waktu dua hari, pembantu itu pun akan tewas tanpa dapat diobati lagi karena dia telah terkena goresan kuku beracun dari jari tangan Ban-to Mo-li. Agaknya iblis betina ini ingin melenyapkan semua orang yang berhubungan dengan Giok Cu.

“Bibi, apakah yang telah terjadi dengan Ayah ibu? Siapa yang membunuh mereka?”

“Mulai sekarang, jangan sebut aku Bibi, melainkan Su-bo (ibu Guru). Bukankah engkau ingin menjadi muridku, mempelajari ilmu silat agar kelak dapat kau pergunakan untuk membalas kematian Ayah ibumu?”

Giok Cu seorang anak yang cerdik. Ayah ibunya telah tewas dan ia tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini. Dan jelas bahwa ayah ibunya tewas tidak sewajarnya, melainkan ada yang membunuh mereka. Dan wanita di depannya ini, biarpun kejam, namun memiliki ilmu kepandaian tinggi, sehingga kalau ia akan mampu mencari pembunuh ayah ibunya dan membalaskan kematian mereka. Maka, mendengar ucapan wanita cantik itu, ia pun segera menjatuhkan diri berlutut.

“Subo, harap kasihani kepada teecu. Siapakah yang telah membunuh ayah ibu?”

“Siapa lagi kalau bukan Liu Bhok Ki? Engkau mendengar sendiri keterangan pembantu ayahmu itu. Liu Bhok Kid an anak laki-laki itu datang, dan Liu Bhok Ki katanya mengobati ayah ibumu. Nah, kesempatan itulah dipergunakannya untuk membuat ayah ibumu terkena pukulan maut sehingga mereka tewas tadi.”

“Tapi, mengapa, Subo? Mengapa dia membunuh Ayah Ibuku? Dan siapakah Liu Bhok Ki itu?”

“Hemmm, siapa dapat menyelami hati Liu Bhok Ki? Dia orang aneh, dan jahat sekali. Isterinya sendiri dibunuhnya dan kepala isterinya itu direndam arak dan setiap hari dia minum arak rendaman kepala isterinya itu! kau bayangkan saja betapa jahatnya dia! Mungkin dia tidak ingin orang tuamu melihat dia membawa pergi anak laki-laki yang menghisap darah naga itu.”

“Si Han Beng…” kata Giok Cu.

“Hemmmmm, bahkan bukan aneh kalau yang membunh ayah ibu Si Han Beng adalah dia juga.”

Giok Cu mengerutkan alisnya. “Ah, betapa jahatnya Liu Bhok Ki itu! Dia itu orang macam apa, Subo?” Lalu ia bangkit duduk.

“Subo, maukah subo Menolong teecu? Mari kita cari Liu Bhok Ki itu dan Subo bunuh dia untuk membalaskan sakit hati teecu.”

“Hemmm, enak saja kau bicara, Giok Cu. Ketahuilah, Liu Bhok Ki itu berjuluk Sin-tiauw dan dia amat sakti. Aku sendiri belum tentu akan mampu mengalahkannya. Akan tetapi kelak, kalau engkau sudah dewasa dan engkau mempelajari ilmu silat dengan tekun, mungkin engkau akan mampu mengalahkannya. Eh, bukankah engkau juga menghisap darah anak naga?”

“Darah anak naga? Apa yang subo maksudkan?” Giok Cu bertanya heran, sama sekali tidak mengerti.

“Anak bodoh! Bukankah malam tadi engkau dibelit anak naga dan bersama Si Han Beng anak laki-laki itu kalian melawan anak naga dan menggigitnya, menghisap darahnya?”

Kini baru Giok Cu mengerti dan biarpun kepalanya masih pening, ia tertawa mendengar ini. “Anak naga? Heh-heh, Subo ini aneh-aneh saja. Semalam ketika aku mengail ikan di perahu, umpanku disambar seekor ular dan aku terseret ke dalam air. Ular itu membelitku dan untung ada Han Beng menolongku. Dia anak baik sekali, subo. Ular itu lalu menyerang Han Beng, bahkan aku melihat betapa ular itu menggigit pundak Han Beng. Juga kulihat Han Beng membalas dan menggigit leher ular. Karena aku ingin membantu han Beng, aku pun lalu menggigit ekor ular itu!”

“Dan kau hisap dan minum darah anak naga itu?”

“Subo, apakah ular itu benar-benar anak naga?”

“Ular atau anak naga, apakah engkau menghisap dan minum darahnya?”

Giok Cu tersenyum malu-malu. “Ketika aku menggigit sekuat tenaga, aku merasakan darah itu, hangat, agak asin dan manis dan amis membuat aku ingin muntah. Akan tetapi karena ingin menolong Han Beng, aku menggigit terus dan ya, aku menghisap dan menelan darahnya.”

“Banyak?” Ban-tok Mo-li bertanya penuh gairah.

“Entah, Subo. Mungkin beberapa teguk, dan kulihat Han Beng menggigit leher ular itu.”

“Hemmmm, tentu dia minum lebih banyak. Coba, kulihat tanganmu!”

Wanita itu memegang tangan Giok Cu, menggunakan kuku jari kelingking kiri, satu-satunya kuku yang putih bersih dan tidak mengandung racun, menorah kulit lengan bagian dalam. Darah menetes keluar dan Ban-to Mo-li cepat membawa lengan anak itu ke mulut, dihisapnya darah yang keluar. Dan ia pun kecewa.

Sebagai seorang ahli, ia pun dapat merasakan bahwa darah anak ini memang telah kemasukan hawa mukjijat darah anak naga, akan tetapi sedikit sekali. Tidak ada artinya dan tidak ada manfaatnya bagi orang lain, paling-paling darah anak perempuan ini hanya dapat menjadi obat penguat tubuh yang dapat ia peroleh dari akar bahar atau rempah-rempah yang lain. Akan tetapi bagi gadis itu sendiri, mungkin mendatangkan kekuatan yang lain.

“Giok Cu, coba kerahkan tenagamu dan pukul telapak tanganku ini.”

Giok Cu mentaati perintah gurunya. Dikepalnya tangan kanannya dan dipukulnya telapak tangan kiri wanita itu sekuat tenaga.

“Plakkkk…!” Ban-tok Mo-li terkejut. Bukan main, pikirnya.

Anak perempuan ini, tanpa setahunya, karena khasiat darah anak naga, kini memiliki pukulan yang luar biasa, kuat dan panas! Jago silat kebanyakan saja mungkin takkan kuat menahanpukulan tadi! Lengannya sendiri sampai tergetar. Dan ini dilakukan oleh Giok Cu tanpa disadarinya akan kekuatan yang tersembunyi di tubuhnya. Kalau anak itu sudah dapat mengendalikan tenaga mukjijat itu, tentu ia akan menjadi seorang yang amat tangguh!

Dan anak ini akan menjadi muridnya! Biarpun ia tidak dapat mempergunakan darah di tubuh anak ini untuk kepentingannya sendiri, namun setidaknya ia akan mendapatkan seorang murid yang istimewa, pengganti puterinya dan ia pun mempunyai perasaan suka kepada Giok Cu.

Ban-tok Mo-li mengajal Giok Cu pulang ke Ceng-touw. Anak perempuan ini merasa kagum dan gembira sekali mendapat kenyataan bahwa gurunya tinggal di rumah yang besar dan mewah, dilayani oleh belasan orang pelayan wanita. Tak disangkanya bahwa gurunya ini ternyata amat kaya raya! Dan gurunya demikian saying kepadanya.

Semenjak itu, mulailah Giok Cu dilatih dasar-dasar ilmu silat oleh Ban-to Mo-li. Anak itu cerdas sekali, rajin dan juga lincah jenaka sehingga makin menyenangkan hati Ban-to Mo-li. Akan tetapi diam-diam Ban-to Mo-li merasa kuatir setiap kali ia teringat kepada puterinya.

Giok Cu begini cantik jelita, manis sekali dan wataknya demikian lincah jenaka, gembira. Anak perempuan seperti ini amat romantis dan satu-satunya hal yang mungkin jadi kelemahannya adalah kalau ia tergoda pleh seorang pria yang menawan hatinya. Jangan-janganakan terulang kembali peristiwa seperti dialami oleh Lan Ci dan ia pun merasa kuatir sekali. Dipanggilnya Giok Cu.

“Muridku yang baik, mulai sekarang engkau harus tekun, rajin dan mentaati semua perintahku.”

“Tentu saja, Subo. Siapa lagi kalau bukan Subo yang kutaati. Aku tidak mempunyai orang lain kecuali Subo di dunia ini!” jawab Giok Cu gembira sambil memandang kepada gurunya dengan matanya yang indah, penuh kepercayaan. Ia samar-samar masih teringat betapa kejamnya guru yang cantik ini terhadap musuh-musuhnya, akan tetapi gurunya ini lihai sekali dan sayang kepadanya.

“Nah, kini bersiaplah untuk menahan nyeri sedikit. Aku akan memberi suatu tanda kepadamu, demi kebaikanmu sendiri di kemudian hari. Luruskan lengan kirimu!”

Tanpa rasa takut sedikit pun dan dengan pandang mata penuh kepercayaan kepada gurunya, Giok Cu meluruskan lengan kirinya. Ketika gurunya menyuruhnya, tanpa ragu ia pun menggulung lengan bajunya sehingga lengan kecil berkulit putih mulus itu nampak dari atas siku sampai ke tangan...



Naga Sakti Sungai Kuning Jilid 08

NAGA SAKTI SUNGAI KUNING
JILID 08
KARYA
KHO PING HOO

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning karya kho ping hoo
KETIKA mendengar betapa cucunya itu bersama gadis Sim Lan Ci bahkan tertawan oleh Liu Bhok Ki akan tetapi tidak dibunuh melainkan diberi obat perangsang ketika pingsan sehingga keduanya melakukan hubungan badan dan kini mereka menghadap untuk minta izin agar mereka berdua menikah, Coa Song menarik napas panjang dan ibu kandung Coa Siang Lee menangis.

“Hemmm, sungguh keparat jahanam Liu Bhok Ki itu! Dia tidak membunuhmu akan tetapi melakukan penghinaan dan melemparkan aib yang lebih hebat daripada maut! Hemmm, apa boleh buat, memang tidak ada jalan lain untuk membersihkan nama keluarga dari aib itu kecuali menikah dengan gadis ini. Pernikahan yang terpaksa! Hemmm, siapakah sebetulnya gadis ini dan mengapa pula ia bermusuhan dengan Liu Bhok Ki sehingga tertawan pula?”

“Namanya Sim lan Ci, Kong-kong, dan ia pun mencari Liu Bhok Ki untuk membalas dendam atas kematian bibinya, yaitu mendiang Phang Hui Cu.”

“Ah, isteri Liu Bhok Ki yang menjadi gara-gara itu!” Coa Song mengerutkan alisnya dan memandang tajam penuh perhatian kepada Sim Lan Ci. Seorang gadis yang cantik menarik, dengan pakaian serba hitam yang membuat kulit muka, leher dan tangannya nampak putih mulus.

“Benar, kong-kong. Lan Ci adalah keponakannya, ia adalah putrid tunggal dari enci mendiang Phang Hui Cu yang bernama Phang Bi Cu dan tinggal di Ceng-touw...”

“Apa? Kau maksudkan Phang Bi Cu dari Ceng-touw yang berjuluk Ban-tok Mo-li...??” Coa Song bertanya dengan suara kaget, setengah berteriak.

“Nona, benarkah engakau puteri Ban-tok Mo-li?” Kini Coa Song bertanya dengan sikap tenang kepada Lan Ci. Gadis itu dengan sikap tenang membalas pandang mata kakek itu dan mengangguk.

“Benar, saya adalah puteri tunggal dari ibu yang berjuluk Ban-to Mo-li.”

Wajah Coa Song berubah agak pucat dan matanya terbelalak, kemudian dia berkata kepada cucunya, “Siang Lee apakah engkau tidak tahu siapa adanya ban-tok Mo-li? Ia adalah seorang datuk sesat yang amat jahat, kejam seperti iblis! Tidak mungkin keluarg kita menerima ia sebagai anggota keluarga!”

Siang Lee mengerutkan alisnya. “Kong-kong, aku tidak menikah dengan Ban-to Mo-li, melainkan dengan puterinya!”

“Apa bedanya? Bagaimana mungkin kami harus berbesan dengan Ban-tok Mo-li? Apa akan kata orang di dunia persilatan kalau Hek-houw-pang yang selama ini menegakkan nama baiknya tiba-tiba berbesan dengan seorang datuk sesat seperti ban-to Mo-li?"

“Akan tetapi, Kong-kong. Lan Ci bukan seorang gadis jahat, dan kami sudah saling mencinta. Selain itu, kami berdua telah terkena aib, dan jalan satu-satunya adalah menjadi suami isteri.”

“Siang Lee, engkau masih muda dan tidak mengerti urusan! Ketahuilah bahwa kalau pernikahan itu kau lakukn berarti engkau menghindari Lumpur dengan masuk ke pencomberan! Aib yang telah kau derita karena perbuatan si Jahanam Liu Bhok Ki, tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan aib yang menimpa kalau kita berbesan dengan Ban-tok Mo-li! Seluruh Hek-houw-pang akan terseret.

“Kong-kong, bagaimanapun juga aku akan menikah dengan Sim lan Ci!” pemuda itu berseru dengan penasaran. Ibunya mulai menangis dan membujuk agar mentaati kakeknya.

“Tidak bisa, Ibu! Ini menyangkut kehidupan dan kebahagiaan sendiri. Perjodohan adalah urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri oleh siapapun juga. Kong-kong, aku tetap akan menikah dengan Sim Lan Ci.”

“Kalau begitu, kami tidak akan turut campur, aku dan ibumu tidak akan merestui dan pernikahan itu tidak kami anggap!” bentak kakek Coa Song marah sekali.

Tiba-tiba Sim Lan Ci bangkit berdiri dan berkata kepada Siang Lee. “Aku akan pergi! Aku pun tidak ingin sekali menjadi mantu Hek-houw-pang!” berkata demikian, gadis itu lalu melangkah keluar dengan alis berkerut.

“Lan Ci...! Moi-moi, tunggu…!” teriak Siang Lee.

“Siang lee, kalau engkau nekat, kami tidak mengakuimu lagi sebagai keturunan kami dan anggota Hek-houw-pang!” teriak pula kekek Coa Song dengan marah sekali.

Perlahan-lahan Siang Lee bangkit berdiri. “Apa boleh buat, kong-kong, ibu, aku harus menuruti suara hatiku. Bukan hanya karena aku sudah mencinta Lan Ci, juga karena kami bernasib sama, berduanya tertimpa aib. Aku harus membersihkan aib dari namanya, seperti hanya ia akan membersihkan namaku kalau-kalau menjadi isteriku. Selamat tinggal Kong-kong dan ibu, dan maafkan aku!”

Setelah berkata demikian, Siang lee meloncat keluar mengejar Sim Lan Ci. Ibunya berteriak memanggil dan menangis, namun pemuda itu tidak mau kembali, maklum bahwa kakeknya adalah seorang yang keras hati dan tidak akan mau mengubah keputusannya.

Tentu saja Lan Ci merasa girang sekali melihat Siang Lee menyusulnya, dan sambil bergandeng tangan kedua orang muda itu lalu pergi menuju ke Ceng-touw untuk menghadap ibu kandung gadis itu, ialah Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu. Mereka sudah saling mencinta dan sudah mengambil keputusan nekat untuk tetap bersatu, apa pun yang akan terjadi. Karena itu, dalam perjalanan yang cukup jauh ini pun mereka sudah hidup sebagai suami isteri saja sehingga cinta kasih mereka menjadi semakin kuat.

Ban-tok Mo-li menerima dua orang muda itu dengan mata berkilat dan alis berkerut. Ia memang selamanya bukan merupakan seorang ibu yang penuh kasih saying kepada puterinya, hasil perhubungan gelapa dengan pria lain ketika ia masih mempunyai seorang suami. Memang ia mengembleng Lan Ci dengan ilmu-ilmu silat yang tinggi, akan tetapi hal itu bukan terjadi karena ia ingin saying kepada Lan Ci, melinkan karena ia ingin mendapatkan seorang pembantu yang tangguh.

Bagi wanita ini, Lan Ci hanya seorang gadis saja, yang boleh diharapkan akan membantunya dengan setia. Bahkan kadang-kadang timbul rasa iri dalam hatinya melihat betapa Lan Ci makin besar menjadi semakin cantik. Ia kuatir kalau Lan Ci akan mengalahkannya dalam hal kecantikan sehingga sinar kecantikannya akan meredup! Kadang-kadang timbul rasa benci dan iri dalam hatinya terhadap Lan Ci, gadis yang dulu dikandung dan dilahirkannya sendiri!

Ban-tok Mo-li mendengarkan cerita Lan tentang kegagalannya membalas Sakit hati kepada Liu Bhok Ki, tentang tertawannya gadis itu dan kemudian bahkan oleh perbuatan Liu Bhok Ki, gadis itu melakukan hubungan badan dengan Coa Siang Lee yang juga tertawan oleh Liu Bhok Ki. Ia mendengar pula bahwa Coa Siang Lee adalah putera mendiang Coa Kun Tian, putera ketua Hek-houw-pang yang menjadi kekasih gelap Phang Hui Cu sehingga mengakibatkan mereka terbunuh oleh Liu Bhok Ki. Marahlah Ban-tok Mo-li walaupun mulutnya masih tersenyum dingin.

“Bagus! Sungguh tidak tahu malu engkau Lan Ci! Engkau tidak ada bedanya dengan Phang Hui Cu, bibimu itu!”

Tak tahu malu! Hui Cu berpacaran dengan Coa Kun Tian, seharusnya mereka berdualah yang dapat membunuh Liu Bhok Ki yang menjadi penghalang. Akan tetapi tidak, mereka malah terbunuh oleh Liu Bhok Ki. Menyebalkan! Dan sekarang riwayatnya berulang. Engkau menyerahkan diri pada pemuda ini dan kalian tidak mampu membunuh Liu Bhok Ki malah dipermainkan dan dihina. Huh, tak tahu malu!

“Engkau boleh menjadi isteri pemuda ini kalau dia mampu ngalahkan aku!” berkata demikian, tiba-tiba tubuh Ban-to Mo-li sudah melayang kearah Siang Lee dan tanpa banyak cakap lagi ia sudah menyerang pemuda yang tadinya duduk bersila diatas lantai disebelah Lan Ci itu.

Jari tangan wanita itu menotok kearah ubun-ubun kepalanya. Serangan maut yang amat keji! Dia pun cepat melempar tubuh ke belakang lalu berguling keluar dari ruangan itu, tiba di luar ruangan yang lebih luas. Namun, Ban-to Mo-li agaknya bertekad untuk membunuhnya karena wanita itu sudah meloncat mengejar dan menghujankan serangan kilat dari jurus-jurus ilmu silat Ban-to Hwa-kun yang ampuh, silat tangan kosong yang amat indah seperti tarian saja.

Akan tetapi, sesuai dengan namanya, indah seperti bunga namun berbahaya mengandung racun, dibalik keindahan gerakan ilmu silat ini terkandung ancaman maut. Setiap totokan, tamparan, pukulan atau guratan kuku saja mengandung racun yang amat berbahaya.

Untung bagi Siang Lee bahwa ketika dia melakukan perjalanan dengan Lan Ci, di sepanjang perjalanan kekasihnya itu memberi keterangan dengan jelas tentang ilmu-ilmu ini, juga tentang bahayanya kuku jari tangan Ban-tok Mo-li. Maka, mendapat serangan bertubi-tubi yang amat hebat itu, Siang Lee tidak mau mengadu tangan, hanya mengelak saja ke sana-sini mengandalkan kelincahan gerakan tubuhnya.

Dan kalau terpaksa menangkis, dia selalu menangkis dari pergelangan tangan ke atas, melihat betapa beberapa serangannya yang bertubi tidak berhasil dan pemuda itu agaknya tahu akan rahasia tangannya yang berbahaya, Ban-tok Mo-li menjadi makin marah. Ia sama sekali bukan hendak menguji kepandaian Siang Lee, melainkan untuk membunuhnya!

Maka, melihat betapa pemuda itu cukup gesit dan lincah sehingga dapat menghindarkan serangannya yang bertubi-tubi, hal ini dianggap menghinanya dan merendahkannya, maka ia pun mengeluarkan bentakan nyaring dan tahu-tahu ia sudah mencabut pedang dan kipasnya!

Dengan geram ia menerjang dan Siang lee terkejut bukan main. Serangan pedang itu memang hebat, lebih berbahaya lagi karena disusul serangan kipas yang melakukan tiga totokan maut bertubi-tubi. Terpaksa dia membuang tubuhnya ke belakang, berjungkir balik dan terhuyung karena didesak terus.

Selagi dia terhuyung, pedang Ban-to Mo-li menyambar kearah lehernya, dan agaknya sukar bagi Siang Lee untuk meloloskan diri dari serangan yang dilakukan sepat sekali selagi tubuhnya terhuyung itu.

“Trangggg…!” sebatang pedang menangkis pedang ditangan Ban-to Mo-li dan nampak bunga api berpijar. Kiranya Lan Ci yang menangkis peang ibunya itu dengan pedangnya sendiri.

“Ibu, Coa Siang Lee telah menjadi suamiku dalam arti yang sebenarnya! Bahkan dalam perjalanan kami ke sini, kami telah menjadi suami isteri yang selalu tidur sekamar! Kalau ibu membunuh suamiku dan aku sebagai isterinya tentu saja tidak rela!”

Lan Ci berdiri tegak dengan pedang di tangan, agaknya ia siap untuk melawan ibunya sendiri demi membela orang yang dicintainya. Siang Lee juga melompat di samping Lan Ci dan biarpun dia belum mengeluarkan senjata namun jelas bahwa sikapnya juga siap untuk membantu kekasihnya yang sudah dianggap isterinya.

“Kau... kau...” Ban-to Mo-li menjadi agak pucat mukanya. Ia menghadapi persoalan yang sulit. Haruskah ia membunuh anak sendiri? Andaikata hal ini ia lakukan, ia harus menghadapi mereka berdua dan agaknya mereka itu amat tangguh. Bagaimna kalau sampai ia tidak mampu menangkan mereka?

“Kau… pergilah! Kalian pergi dari sini dan selamanya aku tidak mau melihat muka kalian lagi! Sekali melihat, pasti akan kubunuh kalian!” bentaknya marah sambil menudingkan pedangnya kearah pintu pekarangan depan.

Sim Lan Ci mengenal betul watak ibunya, maka mendengar ucapan ibunya itu, hatinya girang bukan main. Baru saja ia dan kekasihnya terhindar dari ancaman maut yang mengerikan. Ia pun lalu menarik pemuda itu untuk melarikan diri sambil berkata, “Terima kasih, ibu!”

“Aku bukan ibumu lagi!” bentak Ban-to Mo-li dan ketika dua orang muda itu pergi, diam-diam Ban-to Mo-li menghapus dua butir air mata yang membasahi pelupuk matanya. Ia mengeluarkan air mata bukankarena sedih ditinggal pergi puterinya, melainkan karena kecewa dan menyesal bahwa puterinya berani membangkang terhadap perintahnya. Ia kehilangan seorang murid dan pembantu yang boleh diandalkan.

Demikianlah keadaan Ban-to Mo-li dan seperti telah kita ketahui, iblis betina ini hadir pula di tepi sungai Huang-ho untuk ikut memperebutkan anak naga yang menurut perhitungan akan muncul di permukaan sungai kuning di daerah pusaran maut itu. kemudian, perebutan dua orang anak kecil yang menghisap darah anak naga itu. Ban-tok Mo-li berhasil membawa Giok Cu, seorang di antara dua orang anak yang diperebutkan itu dan membawanya pulang ke Ceng-touw.

“Bibi, aku ingin bertemu ayah dan ibuku!” kata Giok Cu ketika Ban-to Mo-li membawanya pergi dari tepi sungai itu. Mendengar ini, Ban-tok Mo-li yang tadinya menggendong anak itu, lalu memenurunkannya, memandang dengan alis berkerut dan mata berkilat marah.

“Jangan banyak lagak, Giok Cu! Engkau harus ikut dengan aku.”

Akan tetapi Giok Cu menentang pandangan mata wanita iblis itu tanpa rasa takut sedikitpun lalu menjawab, “Aku memang suka ikut denganmu, bibi, akan tetapi aku harus berpamitan dulu darih dan ibuku!”

Sejenak kedua orang itu saling pandang, sama-sama keras hati, dan akhirnya Ban-to Mo-li tersenyum. Anak ini memiliki kekerasan hati yang tidak kalah olehnya, dan sudah pasti lebih keras hati dan lebih berani dibandingkan Sim Lan Ci, puter yang telah diusir dan tidak diakuinya lagi itu! timbul rasa saying dihatinya, peasaan sayang yang belum pernah dirasakan sebelumnya, baik terhadap anak kandungnya sekalipun.

“Siapakah orang tuamu dan di mana mereka?” Tiba-tiba ia bertanya, senyumnya dingin dan akan mendirikan bulu roma orang-orang kang-ouw gagah mana pun kalau melihatnya karena senyum seperti itu mengandung kekejian yang luar biasa.

“Ayahku bernama Bu Hok Gi, seorang pejabat lurah di dusun Liong-cung dan kami sekeluarga, ayah, ibu, aku dan beberapa pembantu, sedang melarikan diri mengungsi karena ayah tidak mau melaksanakan kerja rodi kepada penduduk dusun. Kami seperahu, bersama keluarga Si Han Beng seperahu pula. Keluarga Si juga melarikan diri dari kerja paksa dan kami berkenalan di jalan. Kini ayah dan ibuku berada di perahu. Aku berpisah dari mereka ketika pancingku mendapatkan ular itu.”

Ban-to Mo-li mengangguk-angguk. “Mari kuajak engkau mencari ayah dan ibumu!” katanya dan ia pun memondong Giok Cu lalu berlari secepat terbang menuju ke tepi sungai dimana semalam menjadi ramai oleh para tokoh kang-ouw yang berebutan anak naga.

Mula-mula Giok Cu terkejut dan ngeri juga ketika melihat dirinya dibawa lari seperti terbang, akan tetapi lama-lama ia merasa gembira. Tubuhnya sudah tidak begitu panas lagi dan tidak lagi disiksa oleh mual di perutnya. Memang tubuhnya kuat, dan darah ular itu biarpun amat kuat, tidak sampi membahayakan keselamatannya karena yang diminumnya tidaklah sebanyak yang dihisap Han Beng.

Bagaimanapun juga, masih ada rasa pening di kepalanya namun tidak begitu dirasakannya karena kegembiraan hatinya hendak bertemu kembali dengan ayah ibunya. Ketika mereka tiba di pantai yang semalam, keadaan si situ sudah sunyi sekali. Hanya nampak beberapa buah perahu nelayan yang ditumpangi para nelayan yang masih nampak takut-takut karena semalam terjadi peristiwa hebat dimana terdapat banyak korban.

Para nelayan itu menemukan mayat-mayat terapung hampir sepuluh orang banyaknya, belum dihitung mayat-mayat yang lenyap ditelan pusaran. Ada pula mayat beberapa orang menggeletak di pantai, agaknya mayat mereka tadinya terluka dan terjatuh ke air lalu berhasil berenang ke tepi akan tetapi tewas di tepi karena luka-luka yang diderita.

Setelah tidak berhasil mendapatkan orang tuanya di tepi sungai, Giok Cu minta kepada Ban-tok Mo-li agar mereka mencari di antara perahu-perahu nelayan di tengah sungai. Ban-to Mo-li menggunakan sebuah perahu dan mulai mencari. Tak lama kemudian, biarpun masih jauh jaraknya, Giok Cu menunjuk ke tengah sungai dan berseru.

“Itu mereka! Itu perahu ayah dan perahu keluarga Si!”

Ban-to Mo-li yang berpenglihatan tajam itu melihat ada dua buah perahu yang digandeng dengan tali, akan tetapi yang berada di sebuah perahu hanya tiga orang. Seorang memegang dayung dan yang dua orang nampak rebah di perahu. Sedangkan perahu kedua kosong. Cepat ia mendayung perahunya mendekat sampai menempel pada dua buah perahu itu.

“Ayah…! Ibu...” Giok Cu berseru memanggil ketika mengenal dua orang yang rebah di perahu itu adalah ayah ibunya.

“Nona datang…” teriak pelayan yang mendayung dengan girang sekali. Agaknya dia telah kelelahan mendayung terus berputar-putar mencari Giok Cu yang semalam terjatuh ke dalam air dan dibelit ular.

Bu Hok Gi dan isterinya bangkit duduk dan wajah mereka itu pucat seperti orang sakit. Namun, begitu melihat Giok Cu mereka berdua segera merangkulnya dan bertangisan. Diantara tangis mereka, Bu Hok Gi dan isterinya menceritakan kepada Giok Cu bahwa Si Kian dan isterinya menjadi korban, tewas oleh yang menyerang membabi buta.

“Kami sendiripun diserang, aku dan ibumu terluka, dan dua orang pembantu jatuh ke air. Hanya seorng pembantu selamat. Tadi pun muncul si Han Beng dan seorang kakek. Kami sudah ceritakan tentang tewasnya ayah ibunya, dan kakek itu, dia mengobati kami yang terluka.”

Tiba-tiba Ban-tok Mo-li berseri. “Wah, celaka! Kalian telah terkena racun hebat. Tentu Liu Bhok Ki itu yang meracuni kalian, membunuh kalian dengan dalih mengobatinya!”

Tanpa diketahui mata orang lain saking cepatnya gerakan tangannya, Ban-to Mo-li telah menjentik dua batang jarum dengan jari tangannya dan dua batang jarum itu melesat dan masuk kedalam dada Bu Hok Gi dan isterinya.

“Lihat, muka mereka berubah menghitam…!”

Bu Hok Gi dan isterinya mengeluarkan keluhan lirih dan mereka terkulai, rebah lagi diatas perahu. Tentu saja Giok Cu terkejut bukan main dan hendak menubruk ayah ibunya.

“Ayah! Ibu...” Akan tetapi Ban-to Mo-li memegang lengannya.

“Jangan sentuh mereka! Kalau kau sentuh, engkau pun akan terkena racun hebat yang akan membunuhmu!”

Giok Cu terbelalak, hendak nekat menubruk, akan tetapi ditahan Ban-to Mo-li dan anak ini melihat betapa ayah dan ibunya berkelonjotan sebentar, muka dan tubuh mereka berubah menghitam dan akhirnya kejang-kejang tubuh mereka terhenti dan mereka tewas dalam keadaan mengerikan!

“Ayah…! Ibuuuuu…!” Dan Giok Cu terkulai pingsan dalam pelukan Ban-tok Mo-li. Pembantu itu tentu saja menjadi terkejut dan bingung, hanya mampu menangis.

“Sudahlah, mereka sudah mati dan kita bawa mereka ke tepi untuk dikuburkan,” kata Ban-tok Mo-li

“Semalam di sini terjadi pertempuran antara orang-orang sakti. Racun-racun masih berkeliaran di tempat ini. Mungkin baru saja mereka merasakan pengaruh racun. Engkau pun, kalau tidak cepat pergi dari sini, bisa saja setiap saat terkena racun dan mati!”

Mendengar ini, orang itu cepat menggerakkan dayung dan dibantu oleh Ban-to Mo-li, mereka mendayung perahu itu ke tepi dan dengan wajah ketakutan pembantu keluarga Bu itu lalu menggali lubang besar dan mereka menguburan jenazah Bu Hok Gi dan isterinya. Giok Cu siuman dari pingsannya dan anak perempuan itu menangis sejadi-jadinya, berlutut di depan makam ayah dan ibunya.

Setelah selesai mengubur dua jenazah itu, Ban-tok Mo-li mengambil beberapa potong uang perak dan memberikan kepada pembantu keluarga Bu itu sambil berkata, “kulihat engkau pun terpengaruh hawa beracun. Cepat pergi dan cari tabib untuk mengobati dirimu. Nih, ambil uang ini dan pergilah!”

Tangan Ban-to Mo-li yang menyerahkan beberapa potong uang itu bergerak dan kuku jarinya menggores telapak tangan orang itu. Orang itu tidak merasakan apa-apa, menerima uang lalu berpamit meninggalkan tempat itu. giok Cu yang menangisi makam ayah ibunya, tidak mempedulikan kepergian pembantu itu. Ia tidak tahu bahwa dalam waktu dua hari, pembantu itu pun akan tewas tanpa dapat diobati lagi karena dia telah terkena goresan kuku beracun dari jari tangan Ban-to Mo-li. Agaknya iblis betina ini ingin melenyapkan semua orang yang berhubungan dengan Giok Cu.

“Bibi, apakah yang telah terjadi dengan Ayah ibu? Siapa yang membunuh mereka?”

“Mulai sekarang, jangan sebut aku Bibi, melainkan Su-bo (ibu Guru). Bukankah engkau ingin menjadi muridku, mempelajari ilmu silat agar kelak dapat kau pergunakan untuk membalas kematian Ayah ibumu?”

Giok Cu seorang anak yang cerdik. Ayah ibunya telah tewas dan ia tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini. Dan jelas bahwa ayah ibunya tewas tidak sewajarnya, melainkan ada yang membunuh mereka. Dan wanita di depannya ini, biarpun kejam, namun memiliki ilmu kepandaian tinggi, sehingga kalau ia akan mampu mencari pembunuh ayah ibunya dan membalaskan kematian mereka. Maka, mendengar ucapan wanita cantik itu, ia pun segera menjatuhkan diri berlutut.

“Subo, harap kasihani kepada teecu. Siapakah yang telah membunuh ayah ibu?”

“Siapa lagi kalau bukan Liu Bhok Ki? Engkau mendengar sendiri keterangan pembantu ayahmu itu. Liu Bhok Kid an anak laki-laki itu datang, dan Liu Bhok Ki katanya mengobati ayah ibumu. Nah, kesempatan itulah dipergunakannya untuk membuat ayah ibumu terkena pukulan maut sehingga mereka tewas tadi.”

“Tapi, mengapa, Subo? Mengapa dia membunuh Ayah Ibuku? Dan siapakah Liu Bhok Ki itu?”

“Hemmm, siapa dapat menyelami hati Liu Bhok Ki? Dia orang aneh, dan jahat sekali. Isterinya sendiri dibunuhnya dan kepala isterinya itu direndam arak dan setiap hari dia minum arak rendaman kepala isterinya itu! kau bayangkan saja betapa jahatnya dia! Mungkin dia tidak ingin orang tuamu melihat dia membawa pergi anak laki-laki yang menghisap darah naga itu.”

“Si Han Beng…” kata Giok Cu.

“Hemmmmm, bahkan bukan aneh kalau yang membunh ayah ibu Si Han Beng adalah dia juga.”

Giok Cu mengerutkan alisnya. “Ah, betapa jahatnya Liu Bhok Ki itu! Dia itu orang macam apa, Subo?” Lalu ia bangkit duduk.

“Subo, maukah subo Menolong teecu? Mari kita cari Liu Bhok Ki itu dan Subo bunuh dia untuk membalaskan sakit hati teecu.”

“Hemmm, enak saja kau bicara, Giok Cu. Ketahuilah, Liu Bhok Ki itu berjuluk Sin-tiauw dan dia amat sakti. Aku sendiri belum tentu akan mampu mengalahkannya. Akan tetapi kelak, kalau engkau sudah dewasa dan engkau mempelajari ilmu silat dengan tekun, mungkin engkau akan mampu mengalahkannya. Eh, bukankah engkau juga menghisap darah anak naga?”

“Darah anak naga? Apa yang subo maksudkan?” Giok Cu bertanya heran, sama sekali tidak mengerti.

“Anak bodoh! Bukankah malam tadi engkau dibelit anak naga dan bersama Si Han Beng anak laki-laki itu kalian melawan anak naga dan menggigitnya, menghisap darahnya?”

Kini baru Giok Cu mengerti dan biarpun kepalanya masih pening, ia tertawa mendengar ini. “Anak naga? Heh-heh, Subo ini aneh-aneh saja. Semalam ketika aku mengail ikan di perahu, umpanku disambar seekor ular dan aku terseret ke dalam air. Ular itu membelitku dan untung ada Han Beng menolongku. Dia anak baik sekali, subo. Ular itu lalu menyerang Han Beng, bahkan aku melihat betapa ular itu menggigit pundak Han Beng. Juga kulihat Han Beng membalas dan menggigit leher ular. Karena aku ingin membantu han Beng, aku pun lalu menggigit ekor ular itu!”

“Dan kau hisap dan minum darah anak naga itu?”

“Subo, apakah ular itu benar-benar anak naga?”

“Ular atau anak naga, apakah engkau menghisap dan minum darahnya?”

Giok Cu tersenyum malu-malu. “Ketika aku menggigit sekuat tenaga, aku merasakan darah itu, hangat, agak asin dan manis dan amis membuat aku ingin muntah. Akan tetapi karena ingin menolong Han Beng, aku menggigit terus dan ya, aku menghisap dan menelan darahnya.”

“Banyak?” Ban-tok Mo-li bertanya penuh gairah.

“Entah, Subo. Mungkin beberapa teguk, dan kulihat Han Beng menggigit leher ular itu.”

“Hemmmm, tentu dia minum lebih banyak. Coba, kulihat tanganmu!”

Wanita itu memegang tangan Giok Cu, menggunakan kuku jari kelingking kiri, satu-satunya kuku yang putih bersih dan tidak mengandung racun, menorah kulit lengan bagian dalam. Darah menetes keluar dan Ban-to Mo-li cepat membawa lengan anak itu ke mulut, dihisapnya darah yang keluar. Dan ia pun kecewa.

Sebagai seorang ahli, ia pun dapat merasakan bahwa darah anak ini memang telah kemasukan hawa mukjijat darah anak naga, akan tetapi sedikit sekali. Tidak ada artinya dan tidak ada manfaatnya bagi orang lain, paling-paling darah anak perempuan ini hanya dapat menjadi obat penguat tubuh yang dapat ia peroleh dari akar bahar atau rempah-rempah yang lain. Akan tetapi bagi gadis itu sendiri, mungkin mendatangkan kekuatan yang lain.

“Giok Cu, coba kerahkan tenagamu dan pukul telapak tanganku ini.”

Giok Cu mentaati perintah gurunya. Dikepalnya tangan kanannya dan dipukulnya telapak tangan kiri wanita itu sekuat tenaga.

“Plakkkk…!” Ban-tok Mo-li terkejut. Bukan main, pikirnya.

Anak perempuan ini, tanpa setahunya, karena khasiat darah anak naga, kini memiliki pukulan yang luar biasa, kuat dan panas! Jago silat kebanyakan saja mungkin takkan kuat menahanpukulan tadi! Lengannya sendiri sampai tergetar. Dan ini dilakukan oleh Giok Cu tanpa disadarinya akan kekuatan yang tersembunyi di tubuhnya. Kalau anak itu sudah dapat mengendalikan tenaga mukjijat itu, tentu ia akan menjadi seorang yang amat tangguh!

Dan anak ini akan menjadi muridnya! Biarpun ia tidak dapat mempergunakan darah di tubuh anak ini untuk kepentingannya sendiri, namun setidaknya ia akan mendapatkan seorang murid yang istimewa, pengganti puterinya dan ia pun mempunyai perasaan suka kepada Giok Cu.

Ban-tok Mo-li mengajal Giok Cu pulang ke Ceng-touw. Anak perempuan ini merasa kagum dan gembira sekali mendapat kenyataan bahwa gurunya tinggal di rumah yang besar dan mewah, dilayani oleh belasan orang pelayan wanita. Tak disangkanya bahwa gurunya ini ternyata amat kaya raya! Dan gurunya demikian saying kepadanya.

Semenjak itu, mulailah Giok Cu dilatih dasar-dasar ilmu silat oleh Ban-to Mo-li. Anak itu cerdas sekali, rajin dan juga lincah jenaka sehingga makin menyenangkan hati Ban-to Mo-li. Akan tetapi diam-diam Ban-to Mo-li merasa kuatir setiap kali ia teringat kepada puterinya.

Giok Cu begini cantik jelita, manis sekali dan wataknya demikian lincah jenaka, gembira. Anak perempuan seperti ini amat romantis dan satu-satunya hal yang mungkin jadi kelemahannya adalah kalau ia tergoda pleh seorang pria yang menawan hatinya. Jangan-janganakan terulang kembali peristiwa seperti dialami oleh Lan Ci dan ia pun merasa kuatir sekali. Dipanggilnya Giok Cu.

“Muridku yang baik, mulai sekarang engkau harus tekun, rajin dan mentaati semua perintahku.”

“Tentu saja, Subo. Siapa lagi kalau bukan Subo yang kutaati. Aku tidak mempunyai orang lain kecuali Subo di dunia ini!” jawab Giok Cu gembira sambil memandang kepada gurunya dengan matanya yang indah, penuh kepercayaan. Ia samar-samar masih teringat betapa kejamnya guru yang cantik ini terhadap musuh-musuhnya, akan tetapi gurunya ini lihai sekali dan sayang kepadanya.

“Nah, kini bersiaplah untuk menahan nyeri sedikit. Aku akan memberi suatu tanda kepadamu, demi kebaikanmu sendiri di kemudian hari. Luruskan lengan kirimu!”

Tanpa rasa takut sedikit pun dan dengan pandang mata penuh kepercayaan kepada gurunya, Giok Cu meluruskan lengan kirinya. Ketika gurunya menyuruhnya, tanpa ragu ia pun menggulung lengan bajunya sehingga lengan kecil berkulit putih mulus itu nampak dari atas siku sampai ke tangan...