Naga Sakti Sungai Kuning Jilid 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Sim lan Ci, yang mukanya berubah merah sekali karena teringat betapa ia telah menyerahkan diri bulat-bulat dan dengan suka rela kepada pemuda ini, betapa ia dirangsang oleh gairah yang memuncak, kini juga mengingat-ingat dan ternyata bahwa apa yang dialaminya persis seperti yang diceritakan pemuda itu kepadanya. Sampai lama ia termenung, kemudian ia mengangguk.

“Aku… Aku... percaya kepadamu.” Ia pun menjadi bersedih sekali karena ia telah kehilangan kehormatannya, kehilangan keperawanannya dan hal ini bagi seorang wanita gagah seperti ia, lebih hebat daripada kematian.

“Ah, si jahanam Liu Bhok Ki!” Siang Lee berseru sambil mengepal tinju dan menghadap kearah pondok itu. “Jelaslah sekarang, ini adalah perbuatannya. Dia merobohkan kita, membuat kita pingsan dan dalam keadaan pingsan itu, dia agaknya membawa kita kedalam pondok, diatas dipan kayu itu, dan agaknya dia menanggalkan pakaian kita dan meminumkan obat perangsang yang membuat kita berdua lupa segala. Tidak salah lagi Nona, itulah yang terjadi!”

“Jahanam Liu Bhok Ki!” Sim Lan Ci memaki dan ia pun mengepal tinju, percaya penuh bahwa memang demikianlah tentu yang telah terjadi dengan mereka.”

“Dia atau kita yang mati!” Tiba-tiba Siang Lee berseru dan dia pun sudah meloncat ke dalam pondok untuk mencari musuhnya, diikuti oleh Lan Ci yang sudah marah sekali.

Akan tetapi, mereka tidak menemukan Liu Bhok Ki dalam pondok itu, bahkan kepala Coa Kun Tian yang tadinya tergantung di tengah ruangan, dan kepala Phang Hui Cu yang terendam anggur dalam botol, tidak terdapat disitu. Yang mereka temukan adalah pedang-pedang mereka yang berada diatas meja. Mereka segera mengambil pedang masing-masing akan tetapi untuk apa? Musuh mereka rsudah pergi.

Sim Lan Ci dengan pedang ditangan, berdiri didepan pembaringan dan melihat noda merah tanda hilangnya kehormatannya sebagai seorang gadis, membuat ia tidak dapat menahan dirinya lagi dan menangislah Lan Ci sesunggukan.

Melihat keadaan gadis itu, Siang Lee berdiri bengong. Dia merasa kasihan, dan dia pun harus mengakui bahwa ia amat tertarik kepada gadis itu, apalagi membayangkan apa yang telah terjadi diantara mereka, membayangkan kemesraan sikap gadis itu, kemanisan dan kehangatannya. Dia merasa suka dan takkan malu untuk mengaku bahwa dia telah jatuh cinta seperti yang belum pernah dialaminya.

“Nona… maaf… mengapa engkau… menangis?” katanya lirih sambil menghampiri. Tangannya digerakkan, ingin rasanya untuk menyentuh, untuk memeluk dan menghibur hati gadis yang sedang berduka itu, namun dia tidak berani.

Mendengar pertanyaan itu, tiba-tiba Lan Ci membalikkan tubuh menghadapinya dengan air mata mengalir sepanjang kedua pipinya. “Mengapa? Engkau bisa Tanya mengapa? Aaahhh, bagimu seorang pria, peristiwa itu agaknya tidak berbekas apa-apa. Akan tetapi bagi aku dunia rasanya hancur. Aku telah ternoda, aku tertimpa aib, aku kehilangan kehormatan... dan engkau masih bertanya mengapa? Uhu-hu-huuuuh…”

Siang Lee memandang bingung dan merasa semakin iba kepada gadis yang kini menangis tersedu-sedu sambil menutupi muka dengan kedua tangan itu. gadis itu gagah perkasa, berilmu tinggi akan tetapi sekarang menangis seperti anak kecil.

“Nona, dengarlah baik-baik. Aku Coa Siang Lee, cucu ketua Hek-houw-pang sejak kecil sudah mendapat didikan agar menjadi orang gagah yang bertanggungjawab. Biarpun apa yang terjadi diantara kita tadi bukan merupakan perbuatanku yang kusengaja atau kusadari, biarpun hal itu terjadi karena kita berdua terjebak perangkap musuh, namun Coa Siang Lee bukan orang yang tidak bertanggungjawab. Aku mempertanggungjawabkan perbuatanku, nona. Dan kalau sekiranya engkau setuju… aku… aku ingin mengambilmu sebagai isteriku. Nah, dengan demikian, aib itu akan lenyap dari dirimu, Nona.”

Mendengar ucapan ini, lan Ci menurunkan kedua tangannya dan untuk sesaat melihat wajah pemuda itu dengan jelas, ia mengusap kedua matanya. Berapa kali, mengeringkan air matanya. Ia ingin melihat apakah ucapan itu keluar dari hati sanubari pemuda yang tampan dan gagah!

Biarpun hal itu belum cukup untuk membuat ia jatuh cinta, akan tetapi setelah apa yang terjadi antara mereka tadi, tidak ada jalan lain yang lebih baik daripada kalau mereka menjadi suami isteri yang sah! Iapun samara-samar teringat akan kemesraan diantara mereka tadi, dan wajahnya kembali menjadi semakin merah.

“Kau… kau ingin menjadi suamiku hanya karena kasihan dan ingin menghindarkan aku dari aib? Kalau begitu, perjodohan antara kita hanya seperti permainan sandiwara saja?” tanyanya mengambil jalan lain untuk menjenguk isi hati pemuda itu.

“Ah, tidak, nona. Terus terang saja aku telah amat tertarik dan kagum kepadamu sejak kemunculanmu tadi, dan… Setelah apa yang terjadi antara kita dan diluar kesadaran kita, aku… aku suka dan aku cinta kepadamu. Tentu saja kalau tidak terjadi peristiwa itu, aku tidak akan berani begitu lancang mengakui hal itu.”

Wajah lan Ci semakin merah dan jantungnya berdegup karena girang. Bukan saja ia akan mendapat jalan keluar untuk terhindar dari aib, akan tetapi juga ia mendapatkan seorang calon suami yang mencintainya. “Be… benarkah… kata-katamu itu…?” katanya, suaranya agak gemetar dan ia menundukkan muka, tidak berani menentang pandang mata pemuda itu.

Terdorong oleh perasaan hatinya, Siang Lee melangkah maju mendekati, kemudian dengan hati-hati dia menyentuh pundak gadis itu. tidak ada penolakan dan dilain saat dia telah merangkul dan memeluk tubuh gadis itu, mendekap kepala gadis itu, kedadanya. “Perlukah aku bersumpah?” bisiknya.

Lan Ci tidak menjawab melainkan menekan mukanya pada dada pemuda itu sambil membayangkan kemesraan tadi dan hatinya terasa girang bukan main. “Aku, aku percaya kepadamu. Tapi… kita belum saling berkenalan…”

Mendengar ucapan ini, Siang Lee tertawa dan Lan Ci juga tertawa. Keduanya tertawa geli dan rangkulan mereka menjadi semakin erat.

“Ha-ha, sungguh lucu sekali. Kita belum saling berkenalan, belum saling mengenal nama, akan tetapi sudah… sudah...”

“Sudah apa?” Lan Ci bertanya sambil mencubit.

“Sudah… seperti suami isteri. Dewiku yang tercinta, perkenalkanlah, aku bernama Coa Siang Lee. Ayahku Coa Kun Tian dibunuh oleh Liu Bhok Ki, ketika aku masih berada dalam kandungan ibuku, dan ayahku adalah putera ketua Hek-Houw-pang. Kini ibuku dan kakekku di Hek-houw-pang yang berada di dusun Ta-bun-cung, di sebelah selatan kota Po-yang, di lembah sungai kuning. Usiaku dua puluh satu tahun. Nah, sekarang bagianmu, moi-moi.”

Tanpa melepaskan mukanya yang bersandar pada dada pemuda itu, Lan Ci memperkenalkan diri. “Namaku Sim lan Ci, usiaku delapan belas tahun. Ibuku seorang janda bernama Phang Bi Cu, didunia persilatan dikenal dengan julukan Ban-to Mo-li. Kami tinggal di Ceng-houw, di propinsi Shantung, aku datang untuk membunuh Liu Bhok Ki karena dia telah membunuh bibiku, adik ibuku yang bernama Phang Hui Cu, yang dahulu adalah isterinya.”

“Ah, maksudmu… Yang kepalanya berada dalam botol anggur itu?" Tanya Siang Lee.

“Benar, dan bukankah yang tergantung di tengah itu kepala ayah kandungmu?” Tanya pula Lan Ci.

Siang Lee mengangguk. Keduanya diam. Mereka sama-sama tahu bahwa kedua orang itu dibunuh karena telah berzina. Tanpa melepaskan pelukannya, Siang Lee berkata, “Agaknya... Ayah kandungku itu dan bibimu... mereka saling mencinta.”

Lan Ci memepererat dekapannya. “Agaknya begitu. Dan kulihat muka ayahmu itu sama benar dengan wajahmu... Koko...!”

Disebut koko dengan suara demikian mesra, Siang Lee gembira bukan main. Dia memegang dagu dari muka yang bersandar pada dadanya itu, diangkatnya dan dia pun mencium mulut gadis itu, disambut oleh Lan Ci dengan mesra.

“Dan aku melihat bahwa bibimu itu persis wajahmu, sama cantik jelita dan manis.”

Lan Ci tersenyum. “Kalau begitu pantas kalau mereka itu saling jatuh cinta!”

Mereka berciuman lagi dan sambil bergandengan tangan, mereka lalu keluar dari dalam pondok.

“Lee-koko, sekarang marilah kau ikut bersama aku untuk menghadap ibuku, akan kuperkenalkan kepada ibu, sebagai calon mantunya.”

“Nanti dulu, Ci-moi. Karena tempatku lebih dekat, tidakkah sebaiknya kalau kita pergi menghadap ibuku dan kakekku lebih dulu? Akan kuperkenalkan engkau kepada mereka dan akan kuberitahukan mereka tentang keadaan kita, setelah itu, baru aku minta kakek dan ibuku mengajukan pinangan kepada ibumu secara resmi dan kita pergi menghadap ibumu.”

“Baiklah, koko. Dan setelah itu baru kita berdua pergi mencari musuh besar kita itu. kita berdua akan membunuhnya.”

“Benar, hanya melihat kelihaian Liu Bhok Ki, sebaiknya kalau kita minta bantuan orng-orang yang lebih pandai.”

“Aku akan mencoba membangkitkan kemarahan ibuku agar ia suka pergi menghadapi Liu Bhok Ki. Agaknya ibu akan mampu menandinginya dan mengalahkannya.”

Sambil bergandengan tangan, kedua orang muda itu meninggalkan pondok sunyi di lembah sungai Huang-ho itu. setelah membakarnya sebagai pelampiasan kemarahan mereka, dan Siang Lee menggali sebuah lubang besar dibantu oleh Lan Ci untuk mengubur jenazah tiga belas orang murid Hek-houw-pang.

Setelah mereka pergi, menjelang malam barulah Liu Bhok Ki keluar dari tempat sembunyinya. Dia tersenyum dan mengangguk-angguk gembira. Semua rencananya berjalan dengan baik sekali. Mereka berdua akan menjadi suami isteri. Bagus pikirnya. Dengan demikian, maka akan ada kesempatan baginya untuk membalas dendam secara memuaskan kelak.

Dan dia pun tidak peduli melihat pondoknya dibakar orang dan dia pun pergi meninggalkan tempat itu, membawa buntalan yang terisi pakaian, juga dua buah kepala berada dalam buntalan itu. Kepala Coa Kun Tian yang telah kering dan kepala Phang Hui Cu yang masih terendam anggur dalam botol besar!

********************

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning karya kho ping hoo

Pada waktu itu, yang menguasai Tiongkok sebelah utara dan sebagian besar daerah tengah adalah Kerajaan Sui (581-681). Setelah zaman Sam Kok (221-265), Tiongkok dilanda perang saudara yang tiada henti-hentinya. Negara itu terpecah-belah. Setiap orang gubernur atau jenderal yang berkuasa di suatu daerah, membentuk wangsa-wangsa sendiri, mendirikan kerajaan-kerajaan kecil yang saling gempur, maka terjadilah perang saudara yang kacau balau, memperebutkan wilayah dan kekuasaan.

Keadan ini membuka kesempatan bagi bangsa-bangsa asing dari utara dan barat untuk menyerbu ke pedalaman Tiongkok. Mereka adalah bangsa Sui-nu, Turki, Tibet dan bangsa Toba. Masih banyak lagi bangsa-bangsa nomad yang kecil-kecil menyerbu masuk dan menduduki wilayah kecil-kecil. Rakyatlah yang menjadi korban perebutan kekuasaan diantara para pembesar itu. kekacauan dan keadaan perang saudara seperti ini terjadi sampai berabad-abad lamanya sehingga catatan sejarah pun lenyap dalam kekacauan itu.

Pada tahun 581, seorang penguasa bernama Yang Cian berhasil mempersatukan para raja kecil yang saling berebut kekuasaan itu dan berdirilah wangsa baru, dinasti baru yang diberi nama dinasti atau kerajaan Sui. Mulailah Kaisar Yang Cian ini menyusun kekuatan dan berhasil mengamankan seluruh daerah dan rakyat mulai dapat hidup teratur dan tentram setelah selama beberapa generasi menderita terus-menerus sebagai akibat perang saudara yang tiada hentinya.

Kaisar Yang Cian adalah seorang kaisar yang bijaksana dan pandai. Dia menghapuskan beban rakyat berupa pajak-pajak yang tadinya secara semena-mena ditetapkan oleh penguasa setempat untuk menggendutkan perut sendiri, menggantikan dengan aturan pajak yang adil bahkan cukup ringan bagi rakyat.

Hukum Negara pun diadakan dan dijalankan dengan baik. Bahkan kaisar yang bijaksana ini mementingkan kebutuhan rakyat petani, maka dia pun memelopori usaha penggalian terusan-terusan yang menghubungkan Sungai Kuning (Huang-ho) dengan Sungai Yang-ce. Bukan hanya ini saja usaha Kaisar Yang Cian, bahkan dia pun memperkuat Negara dan mengembalikan kedaulatan Negara dengan menundukkan kembali daerah-daerah yang tadinya dirampas oleh bangsa-bangsa asing. Diantaranya, dia mengirim pasukan besar dan menundukkan kembali daerah Tongkin dan An-nam di selatan. Karena itu, sekali lagi Tiongkok menjadi sebuah Negara besar yang wilayahnya luas.

Kaisar Yang Cian meninggal dunia dalam tahun 604, dan pemerintahan dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Yang Ti. Kaisar baru ini melanjutkan usaha yang dirintis ayahnya, bahkan lebih aktif lagi daripada ayahnya. Dia memperluas penggalian terusan-terusan anatara Huang-ho dan Yang-ce, bahkan diteruskan sampai ke Hang-couw. Bukan ini saja, bahkan dalam hal memperluas wilayah dan merebut kembali wilayah-wilayah di pinggiran yang tadinya dikuasai bangsa asing diapun amat aktif. Dia seringkalai memimpin sendiri pasukan-pasukan besar, memerangi bagsa Toba, Turki dan Mingol.

Kaisar Yang Ti terkenal sebagai seorang kaisar yang gagah perkasa dan mencintai rakyatnya. Dia berpendapat bahwa sebuah pemerintahan tiada bedanya dengan sebatang pohon. Kekuatan dasar pohon itu terletak pada akar-akarnya yang harus dengan kokoh kuat tertanam didalam tanah sampai dalam. Demikian pula dengan pemerintahan, kekuatannya terletak pada rakyat jelata. Pemerintah yang mencintai dan dicintai rakyat, yang mempunyai hubungan mendalam dengan rakyat, pastilah menjadi pemerintah yang kuat.

Kekuatan ini yang akan menyuburkan pohon melalui akar-akarnya. Dan kalau pohonya subur, tentu ranting-rantingnya juga subur, dan akan menghasilkan bunga dan buah yang amat baik. Demikian pula, kalau pemerintahan kuat, kalau pemimpinnya yang tertinggi bijaksana dan dicinta rakyat, tentu akan muncul pejabat-pejabat yang bijaksana dan baik pula, dan pemerintahan itu akan menjadi sehat, subur dan menghasilkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat.

Sayang bahwa kadang-kadang manusia lupa akan dirinya kalau sudah mabuk kekuasaan. Bukan hanya arak yang memabukkan, akan tetapi juga semua hal yang mendatangkan kesenangan dapat memabukkan seseorang. Harta, nama, kekuasaan dapat membuat orang menjadi mabuk dan lupa diri. Demikian pula halnya dengan Kaisar Yang Ti. Saking semangatnya, saking senangnya melihat kemajuan-kemajuan dan hasil-hasil yang diperolehnya, dia lupa diri dan mulailah terjadi tindakan yang berlebihan.

Untuk membangun terusan-terusan yang merupakan pekerjaan besar, berat dan sukar, demi melihat segera tercapainya hasil baik, dia melakukn tekanan kepada bawahannya sehingga para bawahan itu pun mulai menekan kebawah lagi.

Akibatnya, banyak rakyat dipaksa bekerja berat untuk membangun pembangunan terusan. Semacam kerja paksa atau kerja rodi! Tentu saja hal ini tidak diketahui oleh kaisar yang selalu sibuk itu dan mulailah terdapat golongan yang tidak setuju, bahkan mulai membenci pemerintah, terutama di kalangan para pendekar yang selalu memperhatikan keadaan rakyat jelata.

Memang benar bahwa terusan itu dibangun demi kepentingan pertanian, akan tetapi caranya membangun itu yang tidak menyenangkan hati para pendekar karena banyak rakyat yang ditekan, bahkan banyak pula yang menjadi korban dan tewas dalam pembangunan yang amat besar itu. Dan timbullah semacam dongeng diantara rakyat bahwa tentu akan ada anak naga yang keluar dari sungai Kuning. Biasanya, kalau terjadi sesuatu yang besar, tentu akan muncul seekor anak naga di bagian sungai itu yang dinamakan Pusaran naga!

Tempat itu merupakan sebuah kedung, bagian yang dalam dari sungai itu, di sebuah tikungan dan disitu terdapat pusaran yang amat kuat arusnya. Para nelayan tidak ada yang berani melintasi arus pusaran ini apabila sedang pasang, dan dalam keadaan biasa pun nelayan selalu menjauhi pusaran yang berada di tengah-tengah sungai yang membelok itu.

Ada yang mendongengkan bahwa pusaran ini menembus sampai kelaut timur. Entah sudah berapa banyak perahu yang tiba-tiba diserang air berpusing itu dan lenyap bersama para penumpangnya, tersedot kedalam pusaran dan terus kebawah entah kemana. Dan ditempat itulah dikabarkan munculnya anak naga selama beberapa puluh tahun sekali, atau kalau ada terjadi hal-hal besar yang menggegerkan rakyat. Dan setiap kali tanda-tandanya, yaitu bahwa pusaran itu pasang dan sedang keras-kerasnya sehingga air berpusing keras di tempat itu.

Tentu saja ada sebab-sebab yang tidak diketahui rakyat mengapa terjadi pusingan air yang demikian kerasnya pada waktu-waktu tertentu pula. Mungkin sekali ada hubungannya dengan perubahan musim, dengan bergantinya musim hujan dengan musim kering, atau bergantinya musim dingin yang digantikan musim panas. Mungkin ada pula terjadi pergerakan di bawah tanh, tepat di bawah air berpusing di Sungai Kuning itu.

Yang jelas, berita bahwa pada tahun itu akan muncul anak naga, segera terdengar oleh dunia kang-ouw dan tentu saja orang-orang yang paling tertarik oleh berita ini adalah para tokoh dunia persilatan. Hanya orang-orang dunia persilatan yang memiliki ilmu silat yang tinggi, ilmu kepandaian yang hebat saja merasa tertarik dan berani mendatangi tempat itu. Dan hanya orang-orang dunia persilatan saja yang berkepentingan dengan munculnya anak naga itu, untuk diperebutkan karena anak naga itu dianggap memiliki khasiat yang mukjijat bagi orang-orang dunia persilatan itu.

Bagi rakyat jelata, mendengar adanya berita tentang anak naga itu saja sudah mendatangkan rasa takut. Apalagi semua orang tahu belaka betapa berbahaya pusaran air di Sungai Kuning itu yang mereka sebut Pusaran Maut. Lebih lagi dengan berkumpulnya banyak tokoh dunia persilatan, tentu saja diantara mereka banyak pula tokoh kaum sesat disamping kaum pendekar, rakyat jelata semakin tidak berani mendekati.

Biasanya, kalau terjadi pertemuan antara kedua pihak itu, ada atau tidak adanya anak naga, tentu akan terjadi perkelahian besar-besaran dan rakyat merasa lebih aman kalau menjauhi tempat seperti itu. Memang mirip dongeng, akan tetapi nyata karena pada suatu hari, kedua tepi sungai besar itu nampak sibuk dengan banyak orang berdatangan dan hilir-mudik, lalu mereka semua itu menuju ketepi dimana terdapat pusaran air yang dihebohkan itu.

Besok malam adalah malam bulan purnama, sat dimana anak naga akan muncul, demikian menurut cerita dari mulut ke mulut dan turun temurun. Akan tetapi sehari sebelumnya, sudah banyak orang berkeliaran di sekitar tempat itu! dan bermacam-macam orang yang bermunculan disitu. Banyak diantara mereka yang kelihatan menyeramkan, baik mukanya maupun pakaiannya yang aneh-aneh dan nyentrik.

Ada pula yang berpakaian pengemis, pendeta, ada yang berpakaian sastrawan. Akan tetapi, mudah diduga bahwa mereka ini bukanlah pendeta, pengemis atau sastrawan biasa, karena biasanya siapa yang berani datang ke tempat itu, sudah pasti orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi atau setidaknya yang merasa memiliki kelihaian.

Diantara para toh kang-ouw yang aneh-aneh yang nampak berkeliaran di tempat itu, terdapat seorang laki-laki setengah tua yang tinggi besar dan gagah perkasa, namun berpakaian sederhana sekali. Tidak seperti orang-orang lain, laki-laki tinggi besar ini sejak muncul hanya duduk saja di tepi sungai dan selain sebuah buntalan besar yang diturunkan dari punggung dan diletakkan diatas tanah di dekatnya, dia pun membawa dua buah papan tebal.

Dia duduk bersila dan matanya dipejamkan, kadang-kadang dibuka untuk memandang kearah sungai dimana mulai terdapat orang-orang berperahu, akan tetapi selalu menjaga agar perahu mereka tidak memasuki daerah pusaran yang amat berbahaya itu, yang berada di tengah Sungai.

Laki-laki itu bukan lain adalah Liu Bhok Ki. Seperti kita ketahui, dia terluka oleh pedang Cui-mo Hek-kiam ditangan Sim Lan Ci, dan racun pedang ini jahat bukan main. Pengobatan biasa ditambah pengerahan sinkangnya tidak mampu mengusir hawa racun yang mengeram di pundaknya, dan karena menurut ucapan Sim Lan Ci, selain obat penawar yang ada pada ibunya, Ban-tok Mo-li, juga mustika di kepala naga akan dapat menyembuhkannya, maka Liu Bhok Ki segera pergi ke Pusaran Maut untuk ikut memperebutkan anak naga.

Kebetulan sekali kemunculan anak naga yang diharap-harapkan itu akan terjadi, hanya beberapa hari setelah dia terluka dan tempat tinggalnya tidak begitu jauh dari Pusaran Maut itu, hanya perjalan tiga hari saja. Diapun mengharapkan bahwa berita tentang anak naga itu akan menarik pula wanita yang berjuluk Ban-tok Mo-li ke tempat itu.

Dengan demikian, maka ada dua kemungkinan baginya untuk menyembuhkan lukanya. Pertama, merebut anak naga kalau benar muncul, dan kedua mencari Ban-tok Mo-li dan minta obat penawarnya! Dia pun sudah siap dengan sebuah perahu kecil yang disewanya dari seorang nelayan, diikatnya di sebuah patok dan dia akan mempergunakannya kalau perlu.

Karena sudah dua puluh tahun lebih Liu Bhok Ki tidak pernah muncul di dunia kang-ouw, maka tidak ada orang yang mengetahuinya. Dia sendiri masih mengenal beberapa orang yang kebetulan lewat disitu, antaranya Kiu-bwe-houw (Harimau kor Sembilan) Gan Lok, seorang jagoan dari Tai-goan, aliran utara yang dulu pernah bentrok dengan dia hanya dengan susah payah dia dapat mengalahkannya.

Ada pula Kim-kauwpang Paouw In Tiang, ahli tongkat emas yang lihai ilmu tongkatnya, jagoan dari Luliang-san. Kedua orng ini usianya sekitar lima puluh dua sampai lima puluh lima tahun, tidak banyak selisihnya dengan usianya sendiri, namun karena sudah dua puluh tahun lebih tidak pernah bertemu, maka mereka itu agaknya sudah lupa padanya.

Dia dulu adalah seorang pemuda yang ganteng dan berpakaian rapi, tidak seperti sekarang, seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian sederhana, mendekati pakaian jembel. Diapun mengenal Tung-hai Cin-jin, seorang tosu perantau dari pantai timur yang bertubuh pendek kecil itu. Dia masih ingat betapa lihainya tosu ini yang sekarang sudah berusia tujuh puluh tahun dan masih nampak gesit dan sehat.

Ada lagi seorang yang amat mudah dikenalnya. Orang ini berusia enam puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan pakaiannya pengemis. Akan tetapi Liu Bhok Ki tahu bahwa orang itu bukanlah jembel sembarangan, melainkan berjuluk Sin-Ciang Kai-ong (Raja Jembel Bertangan Sakti), seorang datuk dari Hok-kian yang lihai sekali ilmu tangan kosongnya. Masih banyak yang dapat dikenalnya di tempat itu dan diam-diam dia merasa ikut gembira. Akan ramai sekali nanti kalau benar-benar ada anak naga yang muncul di permukaan air yang berbahaya itu.

Tiba-tiba dia melihat serombongan orang yang alisnya berkerut. Sialan, pikirnya karena dari jauh dia sudah mengenal bahwa rombongan Hek-houw-pang. Dia mengenal gambar harimau hitam didada baju mereka. Dia tidak ingin terjadi keributan selagi dia mencurahkan seluruh perhatiannya pada kemunculan anak naga, maka diapun cepat memanggul buntalan dan papan, dibawanya ke perahu, melepaskan ikatan perahu dan tak lama kemudian diapun mendayung perahunya ke tengah, akan tetapi tentu saja diapun menjauhi daerah Pusaran Maut karena biarpun seorang yang berkepandaian tinggi, menghadapi pusaran maut di hanya akan menjadi permainan yang tidak ada artinya.

Liu Bhok Ki mencari tepi sungai yang sunyi untuk dipakai tempat melewatkan malam. Besok malam baru bulan purnama akan muncul dan kabarnya, anak naga itu akan muncul apabila bulan sedang purnama, tepat ditengah malam, dan kemunculannya pun hanya beberapa jam saja, lalu lenyap kembali kedalam pusaran maut.

Makin banyak orang berdatangan pada keesokan harinya. Liu Bhok Ki tetap menjauhkan diri dari keramaian. Dan jelas nampak betapa para tokoh kangouw yang brkeliaran di tempat itu, kini untuk mempersiapkan diri. Makin dekat malam bulan purnama itu, makin tegang suasananya. Menjelang senja, banyak sudah perahu-perahu berseliweran akan tetapi selalu menjauhi daerah pusaran maut.

Menurut dongeng, anak naga itu akan keluar dai pusaran maut dan akan berenang keluar dari daerah pusaran air, bermain-main dan mencari ikan, setelah kenyang makan ikan, baru akan kembali ke Pusaran Maut.

Diantara perahu-perahu itu, terdapat dua buah perahu dan penumpang lain! Semua perahu ditumpangi oleh tokoh-tokoh kang-ouw, mereka yang sengaja mencoba peruntungan mereka, barangkali “Berjodoh” dengan anak naga yang diperebutkan. Setidaknya, mereka datang untuk melihat keadan dan bertemu dengan tokoh-tokoh besar dunia persilatan. Akan tetapi, dua buah perahu itu ditumpangi oleh dua keluarga dari dusun yang berlainan. Hanya kebetulan saja perahu mereka bertemu di dalam pelayaran dan mereka saling berkenalan lalu melanjutkan pelayaran bersama-sama dalam dua perahu agar lebih aman.

Sebuah diantaranya ditumpangi dari dusun Hon-cu. Si Kian berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun. Karena dia ditekan oleh pejabat daerahnya untuk ditarik sebagai pekerja paksa dan dikirim ke tempat pembangunan terusan sungai, dia nekat melarikan diri bersama isterinya dan seorang puteranya yang bernama Si Han Beng yang berusia dua belas tahun. Dia mendayung sendiri perahunya dibantu oleh Si Han Beng. Ayah dan anak ini tinggal di Lembah Sungai kuning, maka mereka tidak asing dengan pekerjaan mendayung perahu.

Akan tetapi karena tempat tinggal mereka jauh dari Pusaran Maut, mereka tidak pernah mendengar tentang tempat berbahaya itu. dia terpaksa melarikan diri karena sudah mendengar betapa banyak orang dusun yang tadinya dibujuk untuk bekerja di terusan, tidak dapat kembali ke dusunnya, bahkan banyk yang kabarnya mati di tempat pekerjaan mereka.

Adapun keluarga kedua adalah keluarga Bu Hok Gi. Berbeda dengan si Kian, Bu Hok Gi seorang pejabat melarkan diri karena ditekan oleh atasannya, dipaksa untuk dapat mengumpulkan sedikitnya dua puluh lima orang laki-laki dari dusunnya dijadikan pekerja paksa dengan ancaman dia akan ditangkap dan dihukum kalau tidak berhasil mendapatkan jumlah itu. Bu Hok Gi teringat akan kakaknya seorang pejabat tinggi dan dia melarikan diri hendak mengunjungi kakaknya dan minta bantuan kakaknya agar dia terlepas dari ancaman atasannya.

Kedua keluarga ini, yang masih tinggal di satu daerah karena dusun mereka bertetangga, bertemu di dalam pelayaran ketika keduanya berhenti melewatkan malam di sebuah dusun tepi sungai. Setelah mereka salaing memperkenalkan diri dan tahu bahwa keduanya menjadi korban peraturan kerja paksa, kedua pihak merasa senasib dan mereka pun bersahabat.

Keluarga Bu pergi melarikan diri karena takut atasan, sedangkan keluarga Si Takut kepada kepala dusun yang mengharuskan Si Kian menjadi pekerja paksa. Bu Hok Kian pergi bersama seorang isteri dan seorang anak perempuan yang bernama Bu Giok Cu dan berusia sepuluh tahun. Masih ada lagi seorang pembantu yang bertugas mengantar dan mendayung perahu.

Demikianlah, pada sore hari itu, mereka tiba di daerah yang amat ramai diluar pusaran Maut. Tentu saja kedua keluarga ini merasa heran melihat keramaian di tempat itu, betapa banyak perahu berseliweran. Karena tidak ingin mencampuri urusan orang lain, dan mereka dua keluarga sedang melarikan diri sehingga takut kalau-kalau dikenal orang walaupun tempat itu jauh sekali dari dusun mereka dan mereka sudah melakukan pelayaran selama setengah bulan lebih, maka kedua keluarga itu bersepakat untuk meminggirkan perahu mereka ke tempat yang agak jauh.

Hari sudah mulai gelap dan mereka ingin melewatkan malam di tepi sungai yang sepi. Juga perbekalan makan mereka sudah menipis dan mereka ingin mencari bekal makan tambahan dengan membeli di pedusunan tepi sungai. Bu Hok Gi dan Si Kian segera meninggalkan keluarga mereka setelah perahu mereka didaratkan dan mereka memesan kepada keluarga masing-masing agar berkumpul ditepi sungai yang sunyi itu dan jangan pergi kemana-mana, menanti sampai mereka berdua kembali.

Mereka berdua berlalu pergi ke perkampungan di tepi sungai sebelah bawah yang menjadi pusat keramaian orang-orang yang berkumpul di tempat itu. Ketika mereka tiba di perkampungan itu, mereka melihat ramai-ramai diantara perahu-perahu yang hilir mudik di bagian pinggir. Karena tertarik, mereka pun ikut meonton dan berdiri diantara banyak orang di tepi sungai. Cuacana masih belum gelap benar sehingga mereka pun dapat melihat apa yang sedang terjadi...

Naga Sakti Sungai Kuning Jilid 03

Sim lan Ci, yang mukanya berubah merah sekali karena teringat betapa ia telah menyerahkan diri bulat-bulat dan dengan suka rela kepada pemuda ini, betapa ia dirangsang oleh gairah yang memuncak, kini juga mengingat-ingat dan ternyata bahwa apa yang dialaminya persis seperti yang diceritakan pemuda itu kepadanya. Sampai lama ia termenung, kemudian ia mengangguk.

“Aku… Aku... percaya kepadamu.” Ia pun menjadi bersedih sekali karena ia telah kehilangan kehormatannya, kehilangan keperawanannya dan hal ini bagi seorang wanita gagah seperti ia, lebih hebat daripada kematian.

“Ah, si jahanam Liu Bhok Ki!” Siang Lee berseru sambil mengepal tinju dan menghadap kearah pondok itu. “Jelaslah sekarang, ini adalah perbuatannya. Dia merobohkan kita, membuat kita pingsan dan dalam keadaan pingsan itu, dia agaknya membawa kita kedalam pondok, diatas dipan kayu itu, dan agaknya dia menanggalkan pakaian kita dan meminumkan obat perangsang yang membuat kita berdua lupa segala. Tidak salah lagi Nona, itulah yang terjadi!”

“Jahanam Liu Bhok Ki!” Sim Lan Ci memaki dan ia pun mengepal tinju, percaya penuh bahwa memang demikianlah tentu yang telah terjadi dengan mereka.”

“Dia atau kita yang mati!” Tiba-tiba Siang Lee berseru dan dia pun sudah meloncat ke dalam pondok untuk mencari musuhnya, diikuti oleh Lan Ci yang sudah marah sekali.

Akan tetapi, mereka tidak menemukan Liu Bhok Ki dalam pondok itu, bahkan kepala Coa Kun Tian yang tadinya tergantung di tengah ruangan, dan kepala Phang Hui Cu yang terendam anggur dalam botol, tidak terdapat disitu. Yang mereka temukan adalah pedang-pedang mereka yang berada diatas meja. Mereka segera mengambil pedang masing-masing akan tetapi untuk apa? Musuh mereka rsudah pergi.

Sim Lan Ci dengan pedang ditangan, berdiri didepan pembaringan dan melihat noda merah tanda hilangnya kehormatannya sebagai seorang gadis, membuat ia tidak dapat menahan dirinya lagi dan menangislah Lan Ci sesunggukan.

Melihat keadaan gadis itu, Siang Lee berdiri bengong. Dia merasa kasihan, dan dia pun harus mengakui bahwa ia amat tertarik kepada gadis itu, apalagi membayangkan apa yang telah terjadi diantara mereka, membayangkan kemesraan sikap gadis itu, kemanisan dan kehangatannya. Dia merasa suka dan takkan malu untuk mengaku bahwa dia telah jatuh cinta seperti yang belum pernah dialaminya.

“Nona… maaf… mengapa engkau… menangis?” katanya lirih sambil menghampiri. Tangannya digerakkan, ingin rasanya untuk menyentuh, untuk memeluk dan menghibur hati gadis yang sedang berduka itu, namun dia tidak berani.

Mendengar pertanyaan itu, tiba-tiba Lan Ci membalikkan tubuh menghadapinya dengan air mata mengalir sepanjang kedua pipinya. “Mengapa? Engkau bisa Tanya mengapa? Aaahhh, bagimu seorang pria, peristiwa itu agaknya tidak berbekas apa-apa. Akan tetapi bagi aku dunia rasanya hancur. Aku telah ternoda, aku tertimpa aib, aku kehilangan kehormatan... dan engkau masih bertanya mengapa? Uhu-hu-huuuuh…”

Siang Lee memandang bingung dan merasa semakin iba kepada gadis yang kini menangis tersedu-sedu sambil menutupi muka dengan kedua tangan itu. gadis itu gagah perkasa, berilmu tinggi akan tetapi sekarang menangis seperti anak kecil.

“Nona, dengarlah baik-baik. Aku Coa Siang Lee, cucu ketua Hek-houw-pang sejak kecil sudah mendapat didikan agar menjadi orang gagah yang bertanggungjawab. Biarpun apa yang terjadi diantara kita tadi bukan merupakan perbuatanku yang kusengaja atau kusadari, biarpun hal itu terjadi karena kita berdua terjebak perangkap musuh, namun Coa Siang Lee bukan orang yang tidak bertanggungjawab. Aku mempertanggungjawabkan perbuatanku, nona. Dan kalau sekiranya engkau setuju… aku… aku ingin mengambilmu sebagai isteriku. Nah, dengan demikian, aib itu akan lenyap dari dirimu, Nona.”

Mendengar ucapan ini, lan Ci menurunkan kedua tangannya dan untuk sesaat melihat wajah pemuda itu dengan jelas, ia mengusap kedua matanya. Berapa kali, mengeringkan air matanya. Ia ingin melihat apakah ucapan itu keluar dari hati sanubari pemuda yang tampan dan gagah!

Biarpun hal itu belum cukup untuk membuat ia jatuh cinta, akan tetapi setelah apa yang terjadi antara mereka tadi, tidak ada jalan lain yang lebih baik daripada kalau mereka menjadi suami isteri yang sah! Iapun samara-samar teringat akan kemesraan diantara mereka tadi, dan wajahnya kembali menjadi semakin merah.

“Kau… kau ingin menjadi suamiku hanya karena kasihan dan ingin menghindarkan aku dari aib? Kalau begitu, perjodohan antara kita hanya seperti permainan sandiwara saja?” tanyanya mengambil jalan lain untuk menjenguk isi hati pemuda itu.

“Ah, tidak, nona. Terus terang saja aku telah amat tertarik dan kagum kepadamu sejak kemunculanmu tadi, dan… Setelah apa yang terjadi antara kita dan diluar kesadaran kita, aku… aku suka dan aku cinta kepadamu. Tentu saja kalau tidak terjadi peristiwa itu, aku tidak akan berani begitu lancang mengakui hal itu.”

Wajah lan Ci semakin merah dan jantungnya berdegup karena girang. Bukan saja ia akan mendapat jalan keluar untuk terhindar dari aib, akan tetapi juga ia mendapatkan seorang calon suami yang mencintainya. “Be… benarkah… kata-katamu itu…?” katanya, suaranya agak gemetar dan ia menundukkan muka, tidak berani menentang pandang mata pemuda itu.

Terdorong oleh perasaan hatinya, Siang Lee melangkah maju mendekati, kemudian dengan hati-hati dia menyentuh pundak gadis itu. tidak ada penolakan dan dilain saat dia telah merangkul dan memeluk tubuh gadis itu, mendekap kepala gadis itu, kedadanya. “Perlukah aku bersumpah?” bisiknya.

Lan Ci tidak menjawab melainkan menekan mukanya pada dada pemuda itu sambil membayangkan kemesraan tadi dan hatinya terasa girang bukan main. “Aku, aku percaya kepadamu. Tapi… kita belum saling berkenalan…”

Mendengar ucapan ini, Siang Lee tertawa dan Lan Ci juga tertawa. Keduanya tertawa geli dan rangkulan mereka menjadi semakin erat.

“Ha-ha, sungguh lucu sekali. Kita belum saling berkenalan, belum saling mengenal nama, akan tetapi sudah… sudah...”

“Sudah apa?” Lan Ci bertanya sambil mencubit.

“Sudah… seperti suami isteri. Dewiku yang tercinta, perkenalkanlah, aku bernama Coa Siang Lee. Ayahku Coa Kun Tian dibunuh oleh Liu Bhok Ki, ketika aku masih berada dalam kandungan ibuku, dan ayahku adalah putera ketua Hek-Houw-pang. Kini ibuku dan kakekku di Hek-houw-pang yang berada di dusun Ta-bun-cung, di sebelah selatan kota Po-yang, di lembah sungai kuning. Usiaku dua puluh satu tahun. Nah, sekarang bagianmu, moi-moi.”

Tanpa melepaskan mukanya yang bersandar pada dada pemuda itu, Lan Ci memperkenalkan diri. “Namaku Sim lan Ci, usiaku delapan belas tahun. Ibuku seorang janda bernama Phang Bi Cu, didunia persilatan dikenal dengan julukan Ban-to Mo-li. Kami tinggal di Ceng-houw, di propinsi Shantung, aku datang untuk membunuh Liu Bhok Ki karena dia telah membunuh bibiku, adik ibuku yang bernama Phang Hui Cu, yang dahulu adalah isterinya.”

“Ah, maksudmu… Yang kepalanya berada dalam botol anggur itu?" Tanya Siang Lee.

“Benar, dan bukankah yang tergantung di tengah itu kepala ayah kandungmu?” Tanya pula Lan Ci.

Siang Lee mengangguk. Keduanya diam. Mereka sama-sama tahu bahwa kedua orang itu dibunuh karena telah berzina. Tanpa melepaskan pelukannya, Siang Lee berkata, “Agaknya... Ayah kandungku itu dan bibimu... mereka saling mencinta.”

Lan Ci memepererat dekapannya. “Agaknya begitu. Dan kulihat muka ayahmu itu sama benar dengan wajahmu... Koko...!”

Disebut koko dengan suara demikian mesra, Siang Lee gembira bukan main. Dia memegang dagu dari muka yang bersandar pada dadanya itu, diangkatnya dan dia pun mencium mulut gadis itu, disambut oleh Lan Ci dengan mesra.

“Dan aku melihat bahwa bibimu itu persis wajahmu, sama cantik jelita dan manis.”

Lan Ci tersenyum. “Kalau begitu pantas kalau mereka itu saling jatuh cinta!”

Mereka berciuman lagi dan sambil bergandengan tangan, mereka lalu keluar dari dalam pondok.

“Lee-koko, sekarang marilah kau ikut bersama aku untuk menghadap ibuku, akan kuperkenalkan kepada ibu, sebagai calon mantunya.”

“Nanti dulu, Ci-moi. Karena tempatku lebih dekat, tidakkah sebaiknya kalau kita pergi menghadap ibuku dan kakekku lebih dulu? Akan kuperkenalkan engkau kepada mereka dan akan kuberitahukan mereka tentang keadaan kita, setelah itu, baru aku minta kakek dan ibuku mengajukan pinangan kepada ibumu secara resmi dan kita pergi menghadap ibumu.”

“Baiklah, koko. Dan setelah itu baru kita berdua pergi mencari musuh besar kita itu. kita berdua akan membunuhnya.”

“Benar, hanya melihat kelihaian Liu Bhok Ki, sebaiknya kalau kita minta bantuan orng-orang yang lebih pandai.”

“Aku akan mencoba membangkitkan kemarahan ibuku agar ia suka pergi menghadapi Liu Bhok Ki. Agaknya ibu akan mampu menandinginya dan mengalahkannya.”

Sambil bergandengan tangan, kedua orang muda itu meninggalkan pondok sunyi di lembah sungai Huang-ho itu. setelah membakarnya sebagai pelampiasan kemarahan mereka, dan Siang Lee menggali sebuah lubang besar dibantu oleh Lan Ci untuk mengubur jenazah tiga belas orang murid Hek-houw-pang.

Setelah mereka pergi, menjelang malam barulah Liu Bhok Ki keluar dari tempat sembunyinya. Dia tersenyum dan mengangguk-angguk gembira. Semua rencananya berjalan dengan baik sekali. Mereka berdua akan menjadi suami isteri. Bagus pikirnya. Dengan demikian, maka akan ada kesempatan baginya untuk membalas dendam secara memuaskan kelak.

Dan dia pun tidak peduli melihat pondoknya dibakar orang dan dia pun pergi meninggalkan tempat itu, membawa buntalan yang terisi pakaian, juga dua buah kepala berada dalam buntalan itu. Kepala Coa Kun Tian yang telah kering dan kepala Phang Hui Cu yang masih terendam anggur dalam botol besar!

********************

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning karya kho ping hoo

Pada waktu itu, yang menguasai Tiongkok sebelah utara dan sebagian besar daerah tengah adalah Kerajaan Sui (581-681). Setelah zaman Sam Kok (221-265), Tiongkok dilanda perang saudara yang tiada henti-hentinya. Negara itu terpecah-belah. Setiap orang gubernur atau jenderal yang berkuasa di suatu daerah, membentuk wangsa-wangsa sendiri, mendirikan kerajaan-kerajaan kecil yang saling gempur, maka terjadilah perang saudara yang kacau balau, memperebutkan wilayah dan kekuasaan.

Keadan ini membuka kesempatan bagi bangsa-bangsa asing dari utara dan barat untuk menyerbu ke pedalaman Tiongkok. Mereka adalah bangsa Sui-nu, Turki, Tibet dan bangsa Toba. Masih banyak lagi bangsa-bangsa nomad yang kecil-kecil menyerbu masuk dan menduduki wilayah kecil-kecil. Rakyatlah yang menjadi korban perebutan kekuasaan diantara para pembesar itu. kekacauan dan keadaan perang saudara seperti ini terjadi sampai berabad-abad lamanya sehingga catatan sejarah pun lenyap dalam kekacauan itu.

Pada tahun 581, seorang penguasa bernama Yang Cian berhasil mempersatukan para raja kecil yang saling berebut kekuasaan itu dan berdirilah wangsa baru, dinasti baru yang diberi nama dinasti atau kerajaan Sui. Mulailah Kaisar Yang Cian ini menyusun kekuatan dan berhasil mengamankan seluruh daerah dan rakyat mulai dapat hidup teratur dan tentram setelah selama beberapa generasi menderita terus-menerus sebagai akibat perang saudara yang tiada hentinya.

Kaisar Yang Cian adalah seorang kaisar yang bijaksana dan pandai. Dia menghapuskan beban rakyat berupa pajak-pajak yang tadinya secara semena-mena ditetapkan oleh penguasa setempat untuk menggendutkan perut sendiri, menggantikan dengan aturan pajak yang adil bahkan cukup ringan bagi rakyat.

Hukum Negara pun diadakan dan dijalankan dengan baik. Bahkan kaisar yang bijaksana ini mementingkan kebutuhan rakyat petani, maka dia pun memelopori usaha penggalian terusan-terusan yang menghubungkan Sungai Kuning (Huang-ho) dengan Sungai Yang-ce. Bukan hanya ini saja usaha Kaisar Yang Cian, bahkan dia pun memperkuat Negara dan mengembalikan kedaulatan Negara dengan menundukkan kembali daerah-daerah yang tadinya dirampas oleh bangsa-bangsa asing. Diantaranya, dia mengirim pasukan besar dan menundukkan kembali daerah Tongkin dan An-nam di selatan. Karena itu, sekali lagi Tiongkok menjadi sebuah Negara besar yang wilayahnya luas.

Kaisar Yang Cian meninggal dunia dalam tahun 604, dan pemerintahan dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Yang Ti. Kaisar baru ini melanjutkan usaha yang dirintis ayahnya, bahkan lebih aktif lagi daripada ayahnya. Dia memperluas penggalian terusan-terusan anatara Huang-ho dan Yang-ce, bahkan diteruskan sampai ke Hang-couw. Bukan ini saja, bahkan dalam hal memperluas wilayah dan merebut kembali wilayah-wilayah di pinggiran yang tadinya dikuasai bangsa asing diapun amat aktif. Dia seringkalai memimpin sendiri pasukan-pasukan besar, memerangi bagsa Toba, Turki dan Mingol.

Kaisar Yang Ti terkenal sebagai seorang kaisar yang gagah perkasa dan mencintai rakyatnya. Dia berpendapat bahwa sebuah pemerintahan tiada bedanya dengan sebatang pohon. Kekuatan dasar pohon itu terletak pada akar-akarnya yang harus dengan kokoh kuat tertanam didalam tanah sampai dalam. Demikian pula dengan pemerintahan, kekuatannya terletak pada rakyat jelata. Pemerintah yang mencintai dan dicintai rakyat, yang mempunyai hubungan mendalam dengan rakyat, pastilah menjadi pemerintah yang kuat.

Kekuatan ini yang akan menyuburkan pohon melalui akar-akarnya. Dan kalau pohonya subur, tentu ranting-rantingnya juga subur, dan akan menghasilkan bunga dan buah yang amat baik. Demikian pula, kalau pemerintahan kuat, kalau pemimpinnya yang tertinggi bijaksana dan dicinta rakyat, tentu akan muncul pejabat-pejabat yang bijaksana dan baik pula, dan pemerintahan itu akan menjadi sehat, subur dan menghasilkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat.

Sayang bahwa kadang-kadang manusia lupa akan dirinya kalau sudah mabuk kekuasaan. Bukan hanya arak yang memabukkan, akan tetapi juga semua hal yang mendatangkan kesenangan dapat memabukkan seseorang. Harta, nama, kekuasaan dapat membuat orang menjadi mabuk dan lupa diri. Demikian pula halnya dengan Kaisar Yang Ti. Saking semangatnya, saking senangnya melihat kemajuan-kemajuan dan hasil-hasil yang diperolehnya, dia lupa diri dan mulailah terjadi tindakan yang berlebihan.

Untuk membangun terusan-terusan yang merupakan pekerjaan besar, berat dan sukar, demi melihat segera tercapainya hasil baik, dia melakukn tekanan kepada bawahannya sehingga para bawahan itu pun mulai menekan kebawah lagi.

Akibatnya, banyak rakyat dipaksa bekerja berat untuk membangun pembangunan terusan. Semacam kerja paksa atau kerja rodi! Tentu saja hal ini tidak diketahui oleh kaisar yang selalu sibuk itu dan mulailah terdapat golongan yang tidak setuju, bahkan mulai membenci pemerintah, terutama di kalangan para pendekar yang selalu memperhatikan keadaan rakyat jelata.

Memang benar bahwa terusan itu dibangun demi kepentingan pertanian, akan tetapi caranya membangun itu yang tidak menyenangkan hati para pendekar karena banyak rakyat yang ditekan, bahkan banyak pula yang menjadi korban dan tewas dalam pembangunan yang amat besar itu. Dan timbullah semacam dongeng diantara rakyat bahwa tentu akan ada anak naga yang keluar dari sungai Kuning. Biasanya, kalau terjadi sesuatu yang besar, tentu akan muncul seekor anak naga di bagian sungai itu yang dinamakan Pusaran naga!

Tempat itu merupakan sebuah kedung, bagian yang dalam dari sungai itu, di sebuah tikungan dan disitu terdapat pusaran yang amat kuat arusnya. Para nelayan tidak ada yang berani melintasi arus pusaran ini apabila sedang pasang, dan dalam keadaan biasa pun nelayan selalu menjauhi pusaran yang berada di tengah-tengah sungai yang membelok itu.

Ada yang mendongengkan bahwa pusaran ini menembus sampai kelaut timur. Entah sudah berapa banyak perahu yang tiba-tiba diserang air berpusing itu dan lenyap bersama para penumpangnya, tersedot kedalam pusaran dan terus kebawah entah kemana. Dan ditempat itulah dikabarkan munculnya anak naga selama beberapa puluh tahun sekali, atau kalau ada terjadi hal-hal besar yang menggegerkan rakyat. Dan setiap kali tanda-tandanya, yaitu bahwa pusaran itu pasang dan sedang keras-kerasnya sehingga air berpusing keras di tempat itu.

Tentu saja ada sebab-sebab yang tidak diketahui rakyat mengapa terjadi pusingan air yang demikian kerasnya pada waktu-waktu tertentu pula. Mungkin sekali ada hubungannya dengan perubahan musim, dengan bergantinya musim hujan dengan musim kering, atau bergantinya musim dingin yang digantikan musim panas. Mungkin ada pula terjadi pergerakan di bawah tanh, tepat di bawah air berpusing di Sungai Kuning itu.

Yang jelas, berita bahwa pada tahun itu akan muncul anak naga, segera terdengar oleh dunia kang-ouw dan tentu saja orang-orang yang paling tertarik oleh berita ini adalah para tokoh dunia persilatan. Hanya orang-orang dunia persilatan yang memiliki ilmu silat yang tinggi, ilmu kepandaian yang hebat saja merasa tertarik dan berani mendatangi tempat itu. Dan hanya orang-orang dunia persilatan saja yang berkepentingan dengan munculnya anak naga itu, untuk diperebutkan karena anak naga itu dianggap memiliki khasiat yang mukjijat bagi orang-orang dunia persilatan itu.

Bagi rakyat jelata, mendengar adanya berita tentang anak naga itu saja sudah mendatangkan rasa takut. Apalagi semua orang tahu belaka betapa berbahaya pusaran air di Sungai Kuning itu yang mereka sebut Pusaran Maut. Lebih lagi dengan berkumpulnya banyak tokoh dunia persilatan, tentu saja diantara mereka banyak pula tokoh kaum sesat disamping kaum pendekar, rakyat jelata semakin tidak berani mendekati.

Biasanya, kalau terjadi pertemuan antara kedua pihak itu, ada atau tidak adanya anak naga, tentu akan terjadi perkelahian besar-besaran dan rakyat merasa lebih aman kalau menjauhi tempat seperti itu. Memang mirip dongeng, akan tetapi nyata karena pada suatu hari, kedua tepi sungai besar itu nampak sibuk dengan banyak orang berdatangan dan hilir-mudik, lalu mereka semua itu menuju ketepi dimana terdapat pusaran air yang dihebohkan itu.

Besok malam adalah malam bulan purnama, sat dimana anak naga akan muncul, demikian menurut cerita dari mulut ke mulut dan turun temurun. Akan tetapi sehari sebelumnya, sudah banyak orang berkeliaran di sekitar tempat itu! dan bermacam-macam orang yang bermunculan disitu. Banyak diantara mereka yang kelihatan menyeramkan, baik mukanya maupun pakaiannya yang aneh-aneh dan nyentrik.

Ada pula yang berpakaian pengemis, pendeta, ada yang berpakaian sastrawan. Akan tetapi, mudah diduga bahwa mereka ini bukanlah pendeta, pengemis atau sastrawan biasa, karena biasanya siapa yang berani datang ke tempat itu, sudah pasti orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi atau setidaknya yang merasa memiliki kelihaian.

Diantara para toh kang-ouw yang aneh-aneh yang nampak berkeliaran di tempat itu, terdapat seorang laki-laki setengah tua yang tinggi besar dan gagah perkasa, namun berpakaian sederhana sekali. Tidak seperti orang-orang lain, laki-laki tinggi besar ini sejak muncul hanya duduk saja di tepi sungai dan selain sebuah buntalan besar yang diturunkan dari punggung dan diletakkan diatas tanah di dekatnya, dia pun membawa dua buah papan tebal.

Dia duduk bersila dan matanya dipejamkan, kadang-kadang dibuka untuk memandang kearah sungai dimana mulai terdapat orang-orang berperahu, akan tetapi selalu menjaga agar perahu mereka tidak memasuki daerah pusaran yang amat berbahaya itu, yang berada di tengah Sungai.

Laki-laki itu bukan lain adalah Liu Bhok Ki. Seperti kita ketahui, dia terluka oleh pedang Cui-mo Hek-kiam ditangan Sim Lan Ci, dan racun pedang ini jahat bukan main. Pengobatan biasa ditambah pengerahan sinkangnya tidak mampu mengusir hawa racun yang mengeram di pundaknya, dan karena menurut ucapan Sim Lan Ci, selain obat penawar yang ada pada ibunya, Ban-tok Mo-li, juga mustika di kepala naga akan dapat menyembuhkannya, maka Liu Bhok Ki segera pergi ke Pusaran Maut untuk ikut memperebutkan anak naga.

Kebetulan sekali kemunculan anak naga yang diharap-harapkan itu akan terjadi, hanya beberapa hari setelah dia terluka dan tempat tinggalnya tidak begitu jauh dari Pusaran Maut itu, hanya perjalan tiga hari saja. Diapun mengharapkan bahwa berita tentang anak naga itu akan menarik pula wanita yang berjuluk Ban-tok Mo-li ke tempat itu.

Dengan demikian, maka ada dua kemungkinan baginya untuk menyembuhkan lukanya. Pertama, merebut anak naga kalau benar muncul, dan kedua mencari Ban-tok Mo-li dan minta obat penawarnya! Dia pun sudah siap dengan sebuah perahu kecil yang disewanya dari seorang nelayan, diikatnya di sebuah patok dan dia akan mempergunakannya kalau perlu.

Karena sudah dua puluh tahun lebih Liu Bhok Ki tidak pernah muncul di dunia kang-ouw, maka tidak ada orang yang mengetahuinya. Dia sendiri masih mengenal beberapa orang yang kebetulan lewat disitu, antaranya Kiu-bwe-houw (Harimau kor Sembilan) Gan Lok, seorang jagoan dari Tai-goan, aliran utara yang dulu pernah bentrok dengan dia hanya dengan susah payah dia dapat mengalahkannya.

Ada pula Kim-kauwpang Paouw In Tiang, ahli tongkat emas yang lihai ilmu tongkatnya, jagoan dari Luliang-san. Kedua orng ini usianya sekitar lima puluh dua sampai lima puluh lima tahun, tidak banyak selisihnya dengan usianya sendiri, namun karena sudah dua puluh tahun lebih tidak pernah bertemu, maka mereka itu agaknya sudah lupa padanya.

Dia dulu adalah seorang pemuda yang ganteng dan berpakaian rapi, tidak seperti sekarang, seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian sederhana, mendekati pakaian jembel. Diapun mengenal Tung-hai Cin-jin, seorang tosu perantau dari pantai timur yang bertubuh pendek kecil itu. Dia masih ingat betapa lihainya tosu ini yang sekarang sudah berusia tujuh puluh tahun dan masih nampak gesit dan sehat.

Ada lagi seorang yang amat mudah dikenalnya. Orang ini berusia enam puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan pakaiannya pengemis. Akan tetapi Liu Bhok Ki tahu bahwa orang itu bukanlah jembel sembarangan, melainkan berjuluk Sin-Ciang Kai-ong (Raja Jembel Bertangan Sakti), seorang datuk dari Hok-kian yang lihai sekali ilmu tangan kosongnya. Masih banyak yang dapat dikenalnya di tempat itu dan diam-diam dia merasa ikut gembira. Akan ramai sekali nanti kalau benar-benar ada anak naga yang muncul di permukaan air yang berbahaya itu.

Tiba-tiba dia melihat serombongan orang yang alisnya berkerut. Sialan, pikirnya karena dari jauh dia sudah mengenal bahwa rombongan Hek-houw-pang. Dia mengenal gambar harimau hitam didada baju mereka. Dia tidak ingin terjadi keributan selagi dia mencurahkan seluruh perhatiannya pada kemunculan anak naga, maka diapun cepat memanggul buntalan dan papan, dibawanya ke perahu, melepaskan ikatan perahu dan tak lama kemudian diapun mendayung perahunya ke tengah, akan tetapi tentu saja diapun menjauhi daerah Pusaran Maut karena biarpun seorang yang berkepandaian tinggi, menghadapi pusaran maut di hanya akan menjadi permainan yang tidak ada artinya.

Liu Bhok Ki mencari tepi sungai yang sunyi untuk dipakai tempat melewatkan malam. Besok malam baru bulan purnama akan muncul dan kabarnya, anak naga itu akan muncul apabila bulan sedang purnama, tepat ditengah malam, dan kemunculannya pun hanya beberapa jam saja, lalu lenyap kembali kedalam pusaran maut.

Makin banyak orang berdatangan pada keesokan harinya. Liu Bhok Ki tetap menjauhkan diri dari keramaian. Dan jelas nampak betapa para tokoh kangouw yang brkeliaran di tempat itu, kini untuk mempersiapkan diri. Makin dekat malam bulan purnama itu, makin tegang suasananya. Menjelang senja, banyak sudah perahu-perahu berseliweran akan tetapi selalu menjauhi daerah pusaran maut.

Menurut dongeng, anak naga itu akan keluar dai pusaran maut dan akan berenang keluar dari daerah pusaran air, bermain-main dan mencari ikan, setelah kenyang makan ikan, baru akan kembali ke Pusaran Maut.

Diantara perahu-perahu itu, terdapat dua buah perahu dan penumpang lain! Semua perahu ditumpangi oleh tokoh-tokoh kang-ouw, mereka yang sengaja mencoba peruntungan mereka, barangkali “Berjodoh” dengan anak naga yang diperebutkan. Setidaknya, mereka datang untuk melihat keadan dan bertemu dengan tokoh-tokoh besar dunia persilatan. Akan tetapi, dua buah perahu itu ditumpangi oleh dua keluarga dari dusun yang berlainan. Hanya kebetulan saja perahu mereka bertemu di dalam pelayaran dan mereka saling berkenalan lalu melanjutkan pelayaran bersama-sama dalam dua perahu agar lebih aman.

Sebuah diantaranya ditumpangi dari dusun Hon-cu. Si Kian berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun. Karena dia ditekan oleh pejabat daerahnya untuk ditarik sebagai pekerja paksa dan dikirim ke tempat pembangunan terusan sungai, dia nekat melarikan diri bersama isterinya dan seorang puteranya yang bernama Si Han Beng yang berusia dua belas tahun. Dia mendayung sendiri perahunya dibantu oleh Si Han Beng. Ayah dan anak ini tinggal di Lembah Sungai kuning, maka mereka tidak asing dengan pekerjaan mendayung perahu.

Akan tetapi karena tempat tinggal mereka jauh dari Pusaran Maut, mereka tidak pernah mendengar tentang tempat berbahaya itu. dia terpaksa melarikan diri karena sudah mendengar betapa banyak orang dusun yang tadinya dibujuk untuk bekerja di terusan, tidak dapat kembali ke dusunnya, bahkan banyk yang kabarnya mati di tempat pekerjaan mereka.

Adapun keluarga kedua adalah keluarga Bu Hok Gi. Berbeda dengan si Kian, Bu Hok Gi seorang pejabat melarkan diri karena ditekan oleh atasannya, dipaksa untuk dapat mengumpulkan sedikitnya dua puluh lima orang laki-laki dari dusunnya dijadikan pekerja paksa dengan ancaman dia akan ditangkap dan dihukum kalau tidak berhasil mendapatkan jumlah itu. Bu Hok Gi teringat akan kakaknya seorang pejabat tinggi dan dia melarikan diri hendak mengunjungi kakaknya dan minta bantuan kakaknya agar dia terlepas dari ancaman atasannya.

Kedua keluarga ini, yang masih tinggal di satu daerah karena dusun mereka bertetangga, bertemu di dalam pelayaran ketika keduanya berhenti melewatkan malam di sebuah dusun tepi sungai. Setelah mereka salaing memperkenalkan diri dan tahu bahwa keduanya menjadi korban peraturan kerja paksa, kedua pihak merasa senasib dan mereka pun bersahabat.

Keluarga Bu pergi melarikan diri karena takut atasan, sedangkan keluarga Si Takut kepada kepala dusun yang mengharuskan Si Kian menjadi pekerja paksa. Bu Hok Kian pergi bersama seorang isteri dan seorang anak perempuan yang bernama Bu Giok Cu dan berusia sepuluh tahun. Masih ada lagi seorang pembantu yang bertugas mengantar dan mendayung perahu.

Demikianlah, pada sore hari itu, mereka tiba di daerah yang amat ramai diluar pusaran Maut. Tentu saja kedua keluarga ini merasa heran melihat keramaian di tempat itu, betapa banyak perahu berseliweran. Karena tidak ingin mencampuri urusan orang lain, dan mereka dua keluarga sedang melarikan diri sehingga takut kalau-kalau dikenal orang walaupun tempat itu jauh sekali dari dusun mereka dan mereka sudah melakukan pelayaran selama setengah bulan lebih, maka kedua keluarga itu bersepakat untuk meminggirkan perahu mereka ke tempat yang agak jauh.

Hari sudah mulai gelap dan mereka ingin melewatkan malam di tepi sungai yang sepi. Juga perbekalan makan mereka sudah menipis dan mereka ingin mencari bekal makan tambahan dengan membeli di pedusunan tepi sungai. Bu Hok Gi dan Si Kian segera meninggalkan keluarga mereka setelah perahu mereka didaratkan dan mereka memesan kepada keluarga masing-masing agar berkumpul ditepi sungai yang sunyi itu dan jangan pergi kemana-mana, menanti sampai mereka berdua kembali.

Mereka berdua berlalu pergi ke perkampungan di tepi sungai sebelah bawah yang menjadi pusat keramaian orang-orang yang berkumpul di tempat itu. Ketika mereka tiba di perkampungan itu, mereka melihat ramai-ramai diantara perahu-perahu yang hilir mudik di bagian pinggir. Karena tertarik, mereka pun ikut meonton dan berdiri diantara banyak orang di tepi sungai. Cuacana masih belum gelap benar sehingga mereka pun dapat melihat apa yang sedang terjadi...