Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 27 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PADA waktu matahari telah muncul di permukaan air sungai sebelah timur, Sin Wan masih hanyut perlahan-lahan. Dia tidak berani melepaskan kayunya karena dia berada di tengah sungai, jauh dari daratan. Perlahan-lahan dia menggunakan tangannya untuk mendayung kayu itu ke tepi, akan tetapi selalu disambut arus sungai sehingga kembali ke tengah.

Ketika tiba di sebuah tikungan, arus menyeretnya ke tepi, akan tetapi di bagian yang amat dalam dan yang airnya hanya berputar-putar. Pada saat itu pula muncul dua buah perahu yang didayung oleh masing-masing tiga orang laki-laki. Sesudah dekat, Sin Wan terkejut melihat betapa mereka itu semuanya mengenakan topeng beraneka warna. Anak buah Si Kedok Hitam!

Dia hanya dapat memandang dengan hati khawatir, sambil mencari akal bagaimana dia akan mampu melawan mereka di air, di mana dia sudah tidak berdaya, kedinginan dan kelelahan. Kini dua buah perahu itu mengelilinginya.

"Heii, lihat, dia memang pemuda yang dimaksudkan Yang Mulia. Hayo tangkap dia!"

"Kita bunuh dia! Dia sudah hampir mati lemas!"

Sin Wan sudah merasa girang sekali. Harapan satu-satunya adalah agar perahu-perahu itu, atau sebuah di antara mereka, mendekat dan kalau dia berhasil naik ke atas perahu, dia pasti akan dapat mengatasi enam orang itu.

"Heiii, tahan, jangan kalian mendekat!" teriak seorang di antara enam orang itu. "Jauhkan perahu dan jangan sampai dia dapat mencapai perahu kita. Akan berbahaya kalau begitu. Kita serang dia selagi dia tidak berdaya di air!" Kini empat orang berloncatan ke air dan menyelam, sedangkan dua buah perahu itu dikendalikan dua orang di antara mereka.

Sin Wan terkejut bukan main. Matanya liar memandang ke kanan dan kiri karena dia tidak melihat adanya empat orang yang tadi meloncat ke dalam air. Tiba-tiba saja dia merasa betapa kedua kakinya dipegang oleh tangan-tangan dari bawah permukaan air. Dia cepat menggerakkan kedua kakinya untuk melepaskan kedua kaki itu dari cengkeraman.

Akan tetapi di dalam air gerakannya lemah dan tenaganya seperti hilang. Walau pun dia meronta-ronta, tetap saja kedua kakinya dipegang banyak tangan dan sekarang tubuhnya ditarik ke bawah!

Mati-matian Sin Wan menggunakan lengan kanan memeluk kayu pengapung, dan tangan kirinya berusaha meraih ke bawah untuk menangkap atau memukul para pengeroyoknya, namun tangannya tidak sampai ke bawah. Dia hanya bisa meronta-ronta dan menggerak-gerakkan kedua kakinya.

Tarikan dari bawah itu terlampau kuat, dilakukan empat orang yang sudah berpengalaman dan ahli bermain di air, maka akhirnya tubuh Sin Wan tertarik ke dalam air bersama kayu yang masih dirangkulnya. Dia gelagapan, namun berhasil mendorongkan kedua kakinya sekuat tenaga ke bawah sehingga tubuhnya kini dapat dapat timbul kembali.

Dia megap-megap dan meronta-ronta karena kembali para musuh di bawah menarik-narik kedua kakinya. Ia pun maklum bahwa dia berada dalam ancaman bahaya. Dia tentu akan tertawan atau terbunuh, tanpa berdaya untuk membela diri sebaiknya. Sudah empat kali Sin Wan terseret ke bawah permukaan air hingga gelagapan dan minum banyak air. Dia sudah lemas ketika berhasil timbul kembali setelah meronta sekuat tenaga di dalam air.

Pada saat yang sangat gawat itu tiba-tiba nampak sebuah perahu kecil meluncur datang, kemudian sebatang bambu panjang yang dipergunakan orang di dalam perahu itu untuk menggerakkan perahunya, dua kali menyambar. Dua orang penumpang perahu pertama berteriak, kemudian terpelanting ke dalam air. Si penunggang perahu itu lantas meloncat keluar dari perahunya dan bagaikan seekor ikan hiu dia pun menyelam.

Sin Wan hanya melihat betapa si penunggang perahu itu merobohkan dua orang dengan sebatang bambu, lantas melihat orang itu melompat ke air. Dia tidak dapat melihat jelas siapa orang itu dan apakah maunya, karena dia sendiri sudah lemas dan hampir seluruh perhatiannya dia curahkan ke bawah, ke arah empat orang lawan yang masih memegangi kedua kakinya dan berusaha menenggelamkannya.

Mendadak Sin Wan merasa betapa terjadi gerakan-gerakan kuat di bawah, lantas tangan-tangan yang tadi memegangi kedua kakinya menjadi kacau. Kemudian, satu demi satu, delapan buah tangan itu melepaskan kedua kakinya. Dia bebas!

Kemudian muncul orang tadi dan dia melihat tubuh enam orang itu terseret air. Tanpa mengeluarkan suara, orang yang telah menolongnya itu sudah mencengkeram punggung bajunya dan menariknya ke atas perahu yang masih terapung dan berputar di situ. Dalam keadaan setengah pingsan, dengan perut membesar penuh air, Sin Wan diangkat dan dilempar ke dalam perahu.

Orang itu lalu naik ke perahu, menelungkupkan tubuh Sin Wan di perahu itu, kemudian menduduki punggung Sin Wan dan menghimpit-himpit perutnya sehingga air dari di dalam perut Sin Wan keluar dari mulutnya seperti dituangkan!

Setelah perut Sin Wan mengempis, pemuda ini mengeluh. Karena orang itu sudah bangkit dari punggungnya yang tadi diduduki, dia pun merangkak dan bangkit duduk. Sesudah dia menoleh dan memandang, kiranya dia berhadapan dengan Akim!

"Kau...?" katanya lemah dan mengguncang kepalanya karena kepala itu masih berdenyut-denyut pening.

"Ya, aku! Engkau mau berkata apa sekarang?" kata Akim dengan sikap menantang dan gadis ini mendayung perahu ke arah selatan, ke tepi dari mana tadi mereka datang.

Sin Wan menarik napas panjang, kemudian menghimpun hawa murni untuk menyehatkan kembali tubuhnya. Peningnya lenyap dan tenaganya mulai pulih.

"Apa yang dapat kukatakan, Akim? Engkau yang medorong aku ke dalam air sehingga aku hampir mati karenanya, kemudian engkau pula yang menyelamatkan aku dari tangan mereka. Aku tidak mengerti akan sikap mu ini, Akim."

"Huh, engkau memang laki-laki yang tolol, bagaimana dapat mengerti?"

Gadis itu nampak marah-marah dan mendayung perahu sekuat tenaga. Perahu meluncur cepat sekali dan melihat gadis itu marah-marah, Sin Wan tidak berani mengeluarkan kata-kata, khawatir membuat gadis itu menjadi semakin marah. Dia lantas mengambil dayung yang terdapat di dalam perahu dan membantu gadis itu mendayung perahu. Dan ketika dia teringat akan enam orang tadi, dia pun memberanikan diri bertanya, suaranya halus dan tidak mengandung teguran karena dia tidak ingin menyinggung lagi hati gadis itu.

"Akim, kau bunuhkah mereka tadi?"

"Hemm, aku pukul mereka, entah mampus entah pingsan aku tidak peduli!" kata gadis itu ketus sambil terus mendayung.

Sin Wan juga memperkuat gerakan dayungnya sehingga sebentar saja perahu itu sudah tiba di tepi. Akim meloncat ke darat, disusul Sin Wan. Mereka berdiri berhadapan.

"Akim, maafkan kalau aku menyinggung perasaanmu dan membuat hatimu menjadi tidak senang. Dan terima kasih atas pertolonganmu tadi."

"Huhh! Kau laki-laki bodoh! Aku... aku... benci padamu!" Dan gadis itu lalu berkelebat pergi meninggalkan suara isak seperti menangis.

Sampai beberapa lamanya Sin Wan berdiri seperti patung. Betapa persisnya sikap Akim dengan sikap Lili. Tadinya menyatakan cinta dengan terus terang, kemudian cinta mereka berubah pernyataan benci! Cinta seorang gadis memang sangat aneh dan dia tetap tidak mengerti. Kui Siang sendiri pun tadinya sudah saling mencinta dengan dia, tetapi akhirnya gadis itu pun menjauhkan diri dan membencinya!

Haruskah semua cinta seorang wanita berakhir dengan kebencian? Dia benar-benar tidak mengerti. Ia sendiri hanya merasa kasihan kepada Lili, kepada Ci Hwa dan kepada Akim. Juga dia merasa kasihan kepada Kui Siang, rasa iba yang bercampur dengan rasa rindu dan duka.

Ketika teringat akan tugasnya, dia segera sadar dari lamunannya dan cepat meninggalkan tempat itu. Dia masih merasa penasaran kepada Jenderal Yauw Ti yang telah menangkap dan menahannya. Jenderal itu amat membencinya dan sungguh merupakan orang yang keras hati, juga tidak bijaksana. Meski pun Jenderal itu membencinya karena dia seorang Uighur, namun setidaknya jenderal itu harus ingat bahwa dia adalah utusan kaisar yang membawa leng-ki atau bendera tanda kekuasaan dari kaisar!

Tiba-tiba dia mendengar suara ribut-ribut di depan, maka cepat dia berlari menghampiri. Dia melihat tiga buah kereta berhenti dan banyak orang yang berkerumun, juga terdengar ribut-ribut suara orang yang marah-marah. Di antara mereka banyak pula terdapat gadis-gadis cantik dan bau harum tercium olehnya dari jarak yang cukup jauh itu.

Dia merasa heran sekali, lantas mengintai sambil menyelinap mendekati. Kini dia melihat betapa seorang laki-laki berkedok biru sedang mencengkeram pundak seorang setengah tua yang agaknya merupakan pemimpin rombongan tiga buah kereta itu, dan si kedok biru marah-marah. Dia mengguncang laki-laki setengah tua itu dan menghardik.

"Engkau tinggal menerima saja, tidak usah banyak bertanya atau akan kubunuhi semua rombongan ini! Aku hanya titip tiga orang ini agar ikut dalam rombongan penabuh musik, dan engkau berani menolak?"

Pria setengah tua itu nampak ketakutan, akan tetapi dia pun kukuh menolak. "Bagaimana kami berani menerima penyusupan orang luar? Kami dipercaya oleh para penguasa, jika sampai ketahuan tentu kami akan celaka."

"Itu kalau ketahuan! Kalau tidak, tentu tak apa-apa. Akan tetapi sekarang, ketahuan atau tidak, kalau engkau menolak, akan kubunuh kalian semua! Nah, pilih mana?"

Laki-laki setengah tua itu nampak kebingungan. Dia memandang kepada si topeng biru dan tiga orang laki-laki tinggi besar yang berwajah bengis itu, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Kemudian dia menengok dan memandang kepada anak buahnya yang terdiri dari delapan orang laki-laki pemain musik dan lima belas orang gadis cantik penyanyi dan penari, seperti ingin minta pendapat mereka.

Dari rombongan penari wanita yang cantik-cantik dengan gincu berwarna menyolok dan bedak tebal, muncul seorang gadis yang bertubuh ramping dan kini dia melangkah maju, kemudian sekali tangannya bergerak, pegangan orang bertopeng pada pundak pemimpin rombongan kesenian itu terlepas.

"Jahanam busuk! Beraninya engkau mengancam orang di tengah perjalanan? Engkau ini perampok busuk, pengecut besar. Buka kedokmu kalau memang engkau berani! Apa bila engkau tidak cepat-cepat pergi, maka terpaksa aku akan menghajar kalian berempat!"

Mendengar suara itu Sin Wan menjadi terkejut dan jantungnya berdebar. Lili! Wajah gadis itu dirias sedemikian rupa seperti para penari lain sehingga dia tidak dapat mengenalnya, akan tetapi suara itu! Suara yang bisik-bisik basah, suara khas Lili!

Si Kedok Biru marah bukan main, demikian pula tiga orang laki-laki tinggi besar yang akan diselundupkan ke dalam rombongan itu. Mereka berempat sama sekali tidak menyangka bahwa ada seorang gadis penari yang akan berani bersikap seperti itu kepada mereka.

"Engkau sudah bosan hidup!" bentak Si Topeng Biru dan dia pun menggerakkan tangan kanan menampar ke arah kepala Lili.

"Huhh! Kalian yang sudah bosan hidup!" kata gadis itu sambil tersenyum mengejek dan mendengus, suara dengusan yang sudah dikenal baik oleh Sin Wan.

Dari tempat pengintaiannya dia dapat membayangkan betapa kalau sudah mengeluarkan suara mendengus seperti itu, cuping hidung Lili pasti kembang kempis dengan lucunya. Dan senyumnya pasti menimbulkan lesung pipit yang amat manis, yang sekarang tentu saja tertutup oleh bedak tebal yang membuat kulit mukanya menjadi kaku.

Si Kedok Biru itu benar-benar mencari penyakit, pikir Sin Wan sambil tersenyum, namun diam-diam dia waspada dan siap membantu kalau sampai gadis itu terancam bahaya. Melihat tamparan itu Lili tidak mengelak, melainkan mengangkat tangan untuk menyambut sambil mengerahkan tenaganya.

"Dukkk!" Akibat pertemuan kedua tangan itu, Si Kedok Biru terhuyung ke belakang dan Lili berdiri tertawa sambil bertolak pinggang, lalu dengan telunjuk kirinya memberi isyarat untuk maju kepada tiga orang tinggi besar anak buah Si Kedok Biru yang hendak diselundupkan itu. Sikapnya amat menantang dan mengejek sekali, telunjuknya digerak-gerakkan menyuruh mereka maju.

Dengan geram tiga orang itu mencabut senjata pedang yang mereka sembunyikan di balik jubah mereka lalu menyerang Lili. Akan tetapi gadis ini sudah siap. Dengan gerakan yang sangat lincah dan lucu, dengan tubuh yang ramping itu berlenggang-lenggok seperti tubuh ular, pinggulnya yang bulat itu bergoyang, maka semua tusukan dan bacokan tiga batang pedang itu berhasil dia hindarkan. Gerakannya nampak lucu dan aneh, akan tetapi semua serangan lawan luput. Begitu tubuhnya menyusup ke depan dan kaki tangannya bergerak, tiga orang itu langsung terpental seperti ditiup badai!

Mereka menjadi penasaran lantas menerjang lagi, akan tetapi sekali ini Lili tidak memberi ampun lagi. Tubuhnya seperti menyelinap di antara sinar golok, lalu terdengarlah teriakan-teriakan kesakitan ketika dia telah membagi-bagi tamparan yang cepatnya seperti patukan ular namun yang datangnya sangat keras karena mengandung tenaga sinkang sehingga tiga orang itu kini terpelanting keras dan terbanting sampai terguling-guling!

Si Kedok Biru menjadi semakin marah. Dia pun segera mencabut pedangnya dan begitu dia bergerak memainkan pedangnya, Lili terkejut sekali karena lawan ini mempunyai ilmu pedang yang cukup lihai. Maka dia pun cepat mencabut pedang yang disembunyikan di balik bajunya dan nampaklah sinar putih bergulung-gulung. Itulah Pek-coa-kiam (Pedang Ular Putih) yang amat ampuh.

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Si Kedok Biru juga terkejut menyaksikan kehebatan sinar pedang yang bergulung-gulung itu. Dia menyerang dengan pedangnya yang disambut oleh gulungan sinar putih sehingga terjadilah serang menyerang yang cukup hebat. Namun, belum sampai sepuluh jurus, Si Kedok Biru maklum bahwa gadis itu memang lihai bukan main dan tingkat ilmu pedangnya jauh lebih tinggi darinya.

"Tranggg...!"

Hampir saja tangannya yang memegang pedang terbabat jika dia tidak cepat melepaskan pedangnya yang terpukul jatuh. Dia pun melarikan diri, mengikuti tiga orang anak buahnya yang sudah lari lebih dahulu!

"Pengecut…!" Lili berseru namun dia tidak mengejar karena dia tidak mau meninggalkan rombongan pemusik itu.

Si Kedok Biru melarikan diri sambil berloncatan secepat dan selebar mungkin agar segera meninggalkan tempat yang berbahaya itu dan menjauhkan diri dari gadis yang membuat hatinya merasa ngeri itu. Namun tiba-tiba ada sebatang kaki yang panjang terjulur keluar dari balik semak-semak dan tanpa dapat dihindarkan lagi, Si Kedok Biru jatuh tersungkur!

Dia marah sekali. Dia berani menghadapi siapa pun juga kecuali terhadap dara cantik tadi. Akan tetapi, sesudah dia bangkit dan melihat siapa orangnya yang menjegalnya, melihat wajah Sin Wan, mata di balik kedok itu langsung terbelalak.

"Kau....!” Dia pun menggerakkan kaki hendak melarikan diri lebih cepat lagi. Akan tetapi tiba-tiba dia roboh terpelanting dalam keadaan lemas tertotok.

Sin Wan mencengkeram punggung baju Si Kedok Biru, lantas menyeret tubuh yang tinggi kurus itu ke arah rombongan pemusik yang tadi hanya menjadi penonton yang tegang dan ketakutan.

Lili sangat terkejut ketika melihat betapa Si Kedok Biru itu ditawan oleh seorang pemuda yang bukan lain adalah Sin Wan! Akan tetapi dia teringat bahwa dia dalam penyamaran sebagai seorang anggota penari, maka dia pura-pura tidak mengenalnya.

Melihat sikap Lili, Sin Wan tersenyum. Dia tahu bahwa Lili hendak mengelabuinya dengan mengandalkan bedak dan gincu tebal yang membuat wajahnya mirip seperti anak wayang sehingga tiada bedanya dengan para penari lain. Kalau tadi tidak mengenal suara Lili, dia sendiri tentu tidak akan tahu bahwa gadis ini adalah Lili.

Sin Wan melepaskan tubuh yang lemas itu ke depan kaki Lili. Tubuh itu roboh telentang dan tidak mampu bergerak, hanya mata di balik kedok itu nampak ketakutan. Sejenak Lili dan Sin Wan berhadapan dan saling pandang, keduanya pura-pura tidak saling mengenal!

Karena setelah melepaskan Si Kedok Biru itu Sin Wan diam saja dan hanya saling tatap dengannya, Lili mengerutkan alisnya dan bertanya, suaranya sungguh jauh berbeda dari tadi. Kini suaranya mendadak menjadi kecil dipaksakan, tidak berbisik-bisik basah seperti suara aslinya.

"Kenapa engkau menyeret dia ke sini?"

Diam-diam Sin Wan merasa geli sekali, akan tetapi menahan diri agar tidak tertawa. Dia mengikuti permainan sandiwara Lili itu, maka dia pun membungkuk. "Nona, engkau yang mengalahkannya, maka engkau pula yang berhak menentukan apa yang harus dilakukan terhadap orang berkedok ini."

Lili mengira bahwa Sin Wan tidak mengenalnya. Untung pemuda itu baru muncul, kalau sudah sejak tadi-tadi, tentu akan mengenal Pek-coa-kiam yang kini dia sembunyikan lagi di balik bajunya, pikirnya.

Tanpa menjawab Lili menggunakan tangan kiri merenggut lepas kedok biru yang menutupi muka orang itu. Lili mengerutkan alisnya.

"Hemmm, siapakah engkau dan apa maksudmu hendak menyelundupkan orang ke dalam rombongan kami? Siapa yang menyuruhmu?"

Orang itu tidak menjawab, hanya mengerutkan alisnya sambil mengatupkan bibirnya.

"Nona, dia adalah Bu-tek Kiam-mo, seorang di antara Bu-tek Cap-sha-kwi yang terkenal jahat," kata Sin Wan.

"Hemmm, ternyata penjahat kecil yang hanya besar namanya saja itu," kata Lili. Dia lalu memberi isyarat kepada seorang laki-laki pendek yang ikut di dalam rombongan penabuh gamelan. "Kau bawa dia pergi dan tahan dia, jangan sampai lari."

"Baik, nona," kata si pendek, lantas sekali menggerakkan tangan kiri, si pendek ini sudah mencengkeram punggung baju orang itu dan memanggul tubuh yang lemas sedemikian mudahnya, seakan tubuh yang tinggi kurus itu amat ringan baginya, kemudian dia berlari cepat sekali dan segera lenyap dari situ.

"Wah, kebetulan sekali. Sekarang rombongannya kurang satu orang, biar aku saja yang menggantikan si pendek tadi. Aku pun ingin menonton keramaian!" kata Sin Wan.

Lili diam saja, hanya memutar tubuh memandang kepada pria setengah tua yang menjadi pemimpin rombongan. Pria itu menghampiri Sin Wan, lalu dengan sikap hormat berkata,

"Maafkan kami, sicu (orang gagah). Kami tidak berani menerima sicu sebab kami sedang ditugaskan menghibur orang orang penting."

"Hemm, begitukah? Lalu mengapa di sini ada nona ini yang jelas bukan penari melainkan seorang yang menyusup dan menyamar sebagai anggota rombonganmu?" tanya Sin Wan sambil tersenyum mengejek. "Kalau aku melaporkan kepada kedua orang pangeran yang mengadakan pesta itu, bukankah engkau akan bersalah besar?"

Wajah pemimpin rombongan itu nampak ketakutan. Dia menoleh kepada Lili yang nampak tenang dan acuh saja. "Akan tetapi, sicu. Nona ini membawa surat perintah dari Jenderal Besar Shu Ta untuk melindungi mereka!"

"Bagus, dan aku mendapat perintah dari Sribaginda Kaisar sendiri! Apakah engkau masih berani menolak?"

Pemimpin rombongan itu menjadi bingung, kemudian menoleh kembali kepada Lili. Gadis ini juga memandang kepadanya lalu mengangguk.

"Dia boleh menggantikan pembantuku yang tadi membawa pergi Bu-tek Kiam-mo."

Mendengar ini pemimpin rombongan nampak lega. Dengan demikian gadis perkasa itulah yang akan bertanggung jawab atas masuknya Sin Wan ke dalam rombongan itu.

Agar dirinya tidak dikenal, Sin Wan lalu minta kepada kepala rombongan supaya mukanya dirias dan diubah sehingga pihak musuh takkan mengenalnya. Seorang di antara anggota rombongan yang memiliki keahlian merias segera menangani pekerjaan itu dan tidak lama kemudian, Sin Wan sudah menjadi seorang laki-laki setengah tua yang rambutnya penuh uban, berjenggot dan berkumis!

Rombongan kemudian melanjutkan perjalanan. Saat Sin Wan melihat betapa Lili berjalan seorang diri pada bagian belakang, dia sengaja mendekati namun hanya mengerling saja sambil terus berjalan di samping dara itu. Akan tetapi ketika melihat betapa Sin Wan terus menerus memandangnya sambil berjalan mendampinginya, Lili menggunakan suara yang meninggi itu untuk menegurnya.

"Mau apa engkau dekat-dekat dan memandang aku terus menerus?!" suara Lili memang berubah tinggi, tetapi nadanya galak, nada yang biasa diucapkan Lili kalau dia marah!

Sin Wan tersenyum dan sengaja meninggikan suaranya, "Maafkan aku, nona. Aku kagum melihat penyamaranmu!"

Lili memandang dengan sinar mata berkilat ketika mendengar betapa pemuda ini sengaja mengubah suaranya, meninggi seperti yang dilakukannya dalam penyamarannya.

"Hemm, apa-apaan dengan suaramu itu?!" bentaknya.

Sin Wan tertawa. "Ha-ha-ha, aku hanya menirumu, Lili."

Kini gadis itu terbelalak dan terdengar suaranya seperti biasa, berbisik basah, suara khas Lili. "Ehh, bagaimana engkau dapat mengenalku?"

Sin Wan tersenyum. "Tidak mungkin aku mampu mengenal wajahmu yang persis dengan wajah semua penari itu, Lili. Akan tetapi ketika tadi engkau berbicara dengan empat orang penjahat sebelum aku muncul, aku sempat mendengar dan bisa mengenal suaramu. Apa lagi sesudah engkau bicara padaku dengan suara yang berubah meninggi, aku pun dapat menduga bahwa engkau memang sengaja menyamar."

Lili menghela napas panjang. Tidak mudah mengelabui orang yang cerdik seperti Sin Wan ini. "Sudahlah, memang nasibku yang buruk harus bertemu denganmu dan bekerja sama denganmu. Kalau bukan ayah yang menyuruh, aku tidak sudi bertemu dan bekerja sama denganmu!"

Melihat gadis itu masih marah kepadanya, Sin Wan bersikap lunak. Dia merasa kasihan kepada Lili yang mencintanya tetapi yang tak dapat dibalasnya. Apa lagi Lili masih marah karena dia juga menolak untuk berjodoh dengan adik tiri gadis ini, Bhok Ci Hwa, seperti yang dikehendaki Lili dan ibunya.

"Aku memang sedang mencari jalan agar bisa menyusup ke perahu pesta, dan kebetulan bertemu rombongan ini. Akan tetapi kalau aku boleh mengetahui, bagaimana pula engkau dapat menjadi anggota rombongan kesenian ini, Lili? Benarkah kata paman pemimpin tadi bahwa engkau diutus oleh Jenderal Shu Ta?"

"Jenderal Shu Ta memerintahkan ayah untuk membantumu melakukan penyelidikan pada pertemuan antara Raja Muda Yung Lo dengan Pangeran Mahkota. Tetapi tidak mungkin ayah sendiri yang hadir karena dia dikenal semua orang, maka ayah menyuruh aku untuk mewakilinya dengan membawa surat kuasa Jenderal Shu Ta."

"Jadi engkau diutus untuk membantuku?" tanya Sin Wan gembira. "Aih, terima kasih, Lili."

"Sin Wan jangan engkau menganggap ringan pekerjaan ini. Menurut ayah, Jenderal Shu merasa khawatir sekali dan menaruh curiga kalau-kalau akan terjadi sesuatu yang dapat mengancam keselamatan Pangeran Mahkota. Oleh karena itu, Jenderal Yauw Ti sendiri mengawal dengan pasukan yang cukup besar. Namun Jenderal Shu khawatir kalau-kalau apa yang dikhawatirkan itu justru terjadi dari dalam, maka dia memerintahkan ayah untuk membantumu. Dan akulah yang dikirim ke sini, menyelundup dalam rombongan ini."

"Aihh, bagus sekali kalau begitu. Dengan menyamar sebagai anggota rombongan ini kita dapat melakukan penjagaan yang lebih baik dan lebih dekat."

Lili lalu menceritakan kepada Sin Wan bahwa rombongan itu adalah rombongan kesenian dari kota Cin-an yang paling terkenal. Mereka akan menghibur pesta dalam perahu yang diadakan oleh kedua orang bangsawan itu. Mereka diharuskan tiba lebih dahulu di perahu itu agar kalau kedua orang bangsawan itu tiba, mereka sudah disambut oleh musik yang merdu...

Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 27

PADA waktu matahari telah muncul di permukaan air sungai sebelah timur, Sin Wan masih hanyut perlahan-lahan. Dia tidak berani melepaskan kayunya karena dia berada di tengah sungai, jauh dari daratan. Perlahan-lahan dia menggunakan tangannya untuk mendayung kayu itu ke tepi, akan tetapi selalu disambut arus sungai sehingga kembali ke tengah.

Ketika tiba di sebuah tikungan, arus menyeretnya ke tepi, akan tetapi di bagian yang amat dalam dan yang airnya hanya berputar-putar. Pada saat itu pula muncul dua buah perahu yang didayung oleh masing-masing tiga orang laki-laki. Sesudah dekat, Sin Wan terkejut melihat betapa mereka itu semuanya mengenakan topeng beraneka warna. Anak buah Si Kedok Hitam!

Dia hanya dapat memandang dengan hati khawatir, sambil mencari akal bagaimana dia akan mampu melawan mereka di air, di mana dia sudah tidak berdaya, kedinginan dan kelelahan. Kini dua buah perahu itu mengelilinginya.

"Heii, lihat, dia memang pemuda yang dimaksudkan Yang Mulia. Hayo tangkap dia!"

"Kita bunuh dia! Dia sudah hampir mati lemas!"

Sin Wan sudah merasa girang sekali. Harapan satu-satunya adalah agar perahu-perahu itu, atau sebuah di antara mereka, mendekat dan kalau dia berhasil naik ke atas perahu, dia pasti akan dapat mengatasi enam orang itu.

"Heiii, tahan, jangan kalian mendekat!" teriak seorang di antara enam orang itu. "Jauhkan perahu dan jangan sampai dia dapat mencapai perahu kita. Akan berbahaya kalau begitu. Kita serang dia selagi dia tidak berdaya di air!" Kini empat orang berloncatan ke air dan menyelam, sedangkan dua buah perahu itu dikendalikan dua orang di antara mereka.

Sin Wan terkejut bukan main. Matanya liar memandang ke kanan dan kiri karena dia tidak melihat adanya empat orang yang tadi meloncat ke dalam air. Tiba-tiba saja dia merasa betapa kedua kakinya dipegang oleh tangan-tangan dari bawah permukaan air. Dia cepat menggerakkan kedua kakinya untuk melepaskan kedua kaki itu dari cengkeraman.

Akan tetapi di dalam air gerakannya lemah dan tenaganya seperti hilang. Walau pun dia meronta-ronta, tetap saja kedua kakinya dipegang banyak tangan dan sekarang tubuhnya ditarik ke bawah!

Mati-matian Sin Wan menggunakan lengan kanan memeluk kayu pengapung, dan tangan kirinya berusaha meraih ke bawah untuk menangkap atau memukul para pengeroyoknya, namun tangannya tidak sampai ke bawah. Dia hanya bisa meronta-ronta dan menggerak-gerakkan kedua kakinya.

Tarikan dari bawah itu terlampau kuat, dilakukan empat orang yang sudah berpengalaman dan ahli bermain di air, maka akhirnya tubuh Sin Wan tertarik ke dalam air bersama kayu yang masih dirangkulnya. Dia gelagapan, namun berhasil mendorongkan kedua kakinya sekuat tenaga ke bawah sehingga tubuhnya kini dapat dapat timbul kembali.

Dia megap-megap dan meronta-ronta karena kembali para musuh di bawah menarik-narik kedua kakinya. Ia pun maklum bahwa dia berada dalam ancaman bahaya. Dia tentu akan tertawan atau terbunuh, tanpa berdaya untuk membela diri sebaiknya. Sudah empat kali Sin Wan terseret ke bawah permukaan air hingga gelagapan dan minum banyak air. Dia sudah lemas ketika berhasil timbul kembali setelah meronta sekuat tenaga di dalam air.

Pada saat yang sangat gawat itu tiba-tiba nampak sebuah perahu kecil meluncur datang, kemudian sebatang bambu panjang yang dipergunakan orang di dalam perahu itu untuk menggerakkan perahunya, dua kali menyambar. Dua orang penumpang perahu pertama berteriak, kemudian terpelanting ke dalam air. Si penunggang perahu itu lantas meloncat keluar dari perahunya dan bagaikan seekor ikan hiu dia pun menyelam.

Sin Wan hanya melihat betapa si penunggang perahu itu merobohkan dua orang dengan sebatang bambu, lantas melihat orang itu melompat ke air. Dia tidak dapat melihat jelas siapa orang itu dan apakah maunya, karena dia sendiri sudah lemas dan hampir seluruh perhatiannya dia curahkan ke bawah, ke arah empat orang lawan yang masih memegangi kedua kakinya dan berusaha menenggelamkannya.

Mendadak Sin Wan merasa betapa terjadi gerakan-gerakan kuat di bawah, lantas tangan-tangan yang tadi memegangi kedua kakinya menjadi kacau. Kemudian, satu demi satu, delapan buah tangan itu melepaskan kedua kakinya. Dia bebas!

Kemudian muncul orang tadi dan dia melihat tubuh enam orang itu terseret air. Tanpa mengeluarkan suara, orang yang telah menolongnya itu sudah mencengkeram punggung bajunya dan menariknya ke atas perahu yang masih terapung dan berputar di situ. Dalam keadaan setengah pingsan, dengan perut membesar penuh air, Sin Wan diangkat dan dilempar ke dalam perahu.

Orang itu lalu naik ke perahu, menelungkupkan tubuh Sin Wan di perahu itu, kemudian menduduki punggung Sin Wan dan menghimpit-himpit perutnya sehingga air dari di dalam perut Sin Wan keluar dari mulutnya seperti dituangkan!

Setelah perut Sin Wan mengempis, pemuda ini mengeluh. Karena orang itu sudah bangkit dari punggungnya yang tadi diduduki, dia pun merangkak dan bangkit duduk. Sesudah dia menoleh dan memandang, kiranya dia berhadapan dengan Akim!

"Kau...?" katanya lemah dan mengguncang kepalanya karena kepala itu masih berdenyut-denyut pening.

"Ya, aku! Engkau mau berkata apa sekarang?" kata Akim dengan sikap menantang dan gadis ini mendayung perahu ke arah selatan, ke tepi dari mana tadi mereka datang.

Sin Wan menarik napas panjang, kemudian menghimpun hawa murni untuk menyehatkan kembali tubuhnya. Peningnya lenyap dan tenaganya mulai pulih.

"Apa yang dapat kukatakan, Akim? Engkau yang medorong aku ke dalam air sehingga aku hampir mati karenanya, kemudian engkau pula yang menyelamatkan aku dari tangan mereka. Aku tidak mengerti akan sikap mu ini, Akim."

"Huh, engkau memang laki-laki yang tolol, bagaimana dapat mengerti?"

Gadis itu nampak marah-marah dan mendayung perahu sekuat tenaga. Perahu meluncur cepat sekali dan melihat gadis itu marah-marah, Sin Wan tidak berani mengeluarkan kata-kata, khawatir membuat gadis itu menjadi semakin marah. Dia lantas mengambil dayung yang terdapat di dalam perahu dan membantu gadis itu mendayung perahu. Dan ketika dia teringat akan enam orang tadi, dia pun memberanikan diri bertanya, suaranya halus dan tidak mengandung teguran karena dia tidak ingin menyinggung lagi hati gadis itu.

"Akim, kau bunuhkah mereka tadi?"

"Hemm, aku pukul mereka, entah mampus entah pingsan aku tidak peduli!" kata gadis itu ketus sambil terus mendayung.

Sin Wan juga memperkuat gerakan dayungnya sehingga sebentar saja perahu itu sudah tiba di tepi. Akim meloncat ke darat, disusul Sin Wan. Mereka berdiri berhadapan.

"Akim, maafkan kalau aku menyinggung perasaanmu dan membuat hatimu menjadi tidak senang. Dan terima kasih atas pertolonganmu tadi."

"Huhh! Kau laki-laki bodoh! Aku... aku... benci padamu!" Dan gadis itu lalu berkelebat pergi meninggalkan suara isak seperti menangis.

Sampai beberapa lamanya Sin Wan berdiri seperti patung. Betapa persisnya sikap Akim dengan sikap Lili. Tadinya menyatakan cinta dengan terus terang, kemudian cinta mereka berubah pernyataan benci! Cinta seorang gadis memang sangat aneh dan dia tetap tidak mengerti. Kui Siang sendiri pun tadinya sudah saling mencinta dengan dia, tetapi akhirnya gadis itu pun menjauhkan diri dan membencinya!

Haruskah semua cinta seorang wanita berakhir dengan kebencian? Dia benar-benar tidak mengerti. Ia sendiri hanya merasa kasihan kepada Lili, kepada Ci Hwa dan kepada Akim. Juga dia merasa kasihan kepada Kui Siang, rasa iba yang bercampur dengan rasa rindu dan duka.

Ketika teringat akan tugasnya, dia segera sadar dari lamunannya dan cepat meninggalkan tempat itu. Dia masih merasa penasaran kepada Jenderal Yauw Ti yang telah menangkap dan menahannya. Jenderal itu amat membencinya dan sungguh merupakan orang yang keras hati, juga tidak bijaksana. Meski pun Jenderal itu membencinya karena dia seorang Uighur, namun setidaknya jenderal itu harus ingat bahwa dia adalah utusan kaisar yang membawa leng-ki atau bendera tanda kekuasaan dari kaisar!

Tiba-tiba dia mendengar suara ribut-ribut di depan, maka cepat dia berlari menghampiri. Dia melihat tiga buah kereta berhenti dan banyak orang yang berkerumun, juga terdengar ribut-ribut suara orang yang marah-marah. Di antara mereka banyak pula terdapat gadis-gadis cantik dan bau harum tercium olehnya dari jarak yang cukup jauh itu.

Dia merasa heran sekali, lantas mengintai sambil menyelinap mendekati. Kini dia melihat betapa seorang laki-laki berkedok biru sedang mencengkeram pundak seorang setengah tua yang agaknya merupakan pemimpin rombongan tiga buah kereta itu, dan si kedok biru marah-marah. Dia mengguncang laki-laki setengah tua itu dan menghardik.

"Engkau tinggal menerima saja, tidak usah banyak bertanya atau akan kubunuhi semua rombongan ini! Aku hanya titip tiga orang ini agar ikut dalam rombongan penabuh musik, dan engkau berani menolak?"

Pria setengah tua itu nampak ketakutan, akan tetapi dia pun kukuh menolak. "Bagaimana kami berani menerima penyusupan orang luar? Kami dipercaya oleh para penguasa, jika sampai ketahuan tentu kami akan celaka."

"Itu kalau ketahuan! Kalau tidak, tentu tak apa-apa. Akan tetapi sekarang, ketahuan atau tidak, kalau engkau menolak, akan kubunuh kalian semua! Nah, pilih mana?"

Laki-laki setengah tua itu nampak kebingungan. Dia memandang kepada si topeng biru dan tiga orang laki-laki tinggi besar yang berwajah bengis itu, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Kemudian dia menengok dan memandang kepada anak buahnya yang terdiri dari delapan orang laki-laki pemain musik dan lima belas orang gadis cantik penyanyi dan penari, seperti ingin minta pendapat mereka.

Dari rombongan penari wanita yang cantik-cantik dengan gincu berwarna menyolok dan bedak tebal, muncul seorang gadis yang bertubuh ramping dan kini dia melangkah maju, kemudian sekali tangannya bergerak, pegangan orang bertopeng pada pundak pemimpin rombongan kesenian itu terlepas.

"Jahanam busuk! Beraninya engkau mengancam orang di tengah perjalanan? Engkau ini perampok busuk, pengecut besar. Buka kedokmu kalau memang engkau berani! Apa bila engkau tidak cepat-cepat pergi, maka terpaksa aku akan menghajar kalian berempat!"

Mendengar suara itu Sin Wan menjadi terkejut dan jantungnya berdebar. Lili! Wajah gadis itu dirias sedemikian rupa seperti para penari lain sehingga dia tidak dapat mengenalnya, akan tetapi suara itu! Suara yang bisik-bisik basah, suara khas Lili!

Si Kedok Biru marah bukan main, demikian pula tiga orang laki-laki tinggi besar yang akan diselundupkan ke dalam rombongan itu. Mereka berempat sama sekali tidak menyangka bahwa ada seorang gadis penari yang akan berani bersikap seperti itu kepada mereka.

"Engkau sudah bosan hidup!" bentak Si Topeng Biru dan dia pun menggerakkan tangan kanan menampar ke arah kepala Lili.

"Huhh! Kalian yang sudah bosan hidup!" kata gadis itu sambil tersenyum mengejek dan mendengus, suara dengusan yang sudah dikenal baik oleh Sin Wan.

Dari tempat pengintaiannya dia dapat membayangkan betapa kalau sudah mengeluarkan suara mendengus seperti itu, cuping hidung Lili pasti kembang kempis dengan lucunya. Dan senyumnya pasti menimbulkan lesung pipit yang amat manis, yang sekarang tentu saja tertutup oleh bedak tebal yang membuat kulit mukanya menjadi kaku.

Si Kedok Biru itu benar-benar mencari penyakit, pikir Sin Wan sambil tersenyum, namun diam-diam dia waspada dan siap membantu kalau sampai gadis itu terancam bahaya. Melihat tamparan itu Lili tidak mengelak, melainkan mengangkat tangan untuk menyambut sambil mengerahkan tenaganya.

"Dukkk!" Akibat pertemuan kedua tangan itu, Si Kedok Biru terhuyung ke belakang dan Lili berdiri tertawa sambil bertolak pinggang, lalu dengan telunjuk kirinya memberi isyarat untuk maju kepada tiga orang tinggi besar anak buah Si Kedok Biru yang hendak diselundupkan itu. Sikapnya amat menantang dan mengejek sekali, telunjuknya digerak-gerakkan menyuruh mereka maju.

Dengan geram tiga orang itu mencabut senjata pedang yang mereka sembunyikan di balik jubah mereka lalu menyerang Lili. Akan tetapi gadis ini sudah siap. Dengan gerakan yang sangat lincah dan lucu, dengan tubuh yang ramping itu berlenggang-lenggok seperti tubuh ular, pinggulnya yang bulat itu bergoyang, maka semua tusukan dan bacokan tiga batang pedang itu berhasil dia hindarkan. Gerakannya nampak lucu dan aneh, akan tetapi semua serangan lawan luput. Begitu tubuhnya menyusup ke depan dan kaki tangannya bergerak, tiga orang itu langsung terpental seperti ditiup badai!

Mereka menjadi penasaran lantas menerjang lagi, akan tetapi sekali ini Lili tidak memberi ampun lagi. Tubuhnya seperti menyelinap di antara sinar golok, lalu terdengarlah teriakan-teriakan kesakitan ketika dia telah membagi-bagi tamparan yang cepatnya seperti patukan ular namun yang datangnya sangat keras karena mengandung tenaga sinkang sehingga tiga orang itu kini terpelanting keras dan terbanting sampai terguling-guling!

Si Kedok Biru menjadi semakin marah. Dia pun segera mencabut pedangnya dan begitu dia bergerak memainkan pedangnya, Lili terkejut sekali karena lawan ini mempunyai ilmu pedang yang cukup lihai. Maka dia pun cepat mencabut pedang yang disembunyikan di balik bajunya dan nampaklah sinar putih bergulung-gulung. Itulah Pek-coa-kiam (Pedang Ular Putih) yang amat ampuh.

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Si Kedok Biru juga terkejut menyaksikan kehebatan sinar pedang yang bergulung-gulung itu. Dia menyerang dengan pedangnya yang disambut oleh gulungan sinar putih sehingga terjadilah serang menyerang yang cukup hebat. Namun, belum sampai sepuluh jurus, Si Kedok Biru maklum bahwa gadis itu memang lihai bukan main dan tingkat ilmu pedangnya jauh lebih tinggi darinya.

"Tranggg...!"

Hampir saja tangannya yang memegang pedang terbabat jika dia tidak cepat melepaskan pedangnya yang terpukul jatuh. Dia pun melarikan diri, mengikuti tiga orang anak buahnya yang sudah lari lebih dahulu!

"Pengecut…!" Lili berseru namun dia tidak mengejar karena dia tidak mau meninggalkan rombongan pemusik itu.

Si Kedok Biru melarikan diri sambil berloncatan secepat dan selebar mungkin agar segera meninggalkan tempat yang berbahaya itu dan menjauhkan diri dari gadis yang membuat hatinya merasa ngeri itu. Namun tiba-tiba ada sebatang kaki yang panjang terjulur keluar dari balik semak-semak dan tanpa dapat dihindarkan lagi, Si Kedok Biru jatuh tersungkur!

Dia marah sekali. Dia berani menghadapi siapa pun juga kecuali terhadap dara cantik tadi. Akan tetapi, sesudah dia bangkit dan melihat siapa orangnya yang menjegalnya, melihat wajah Sin Wan, mata di balik kedok itu langsung terbelalak.

"Kau....!” Dia pun menggerakkan kaki hendak melarikan diri lebih cepat lagi. Akan tetapi tiba-tiba dia roboh terpelanting dalam keadaan lemas tertotok.

Sin Wan mencengkeram punggung baju Si Kedok Biru, lantas menyeret tubuh yang tinggi kurus itu ke arah rombongan pemusik yang tadi hanya menjadi penonton yang tegang dan ketakutan.

Lili sangat terkejut ketika melihat betapa Si Kedok Biru itu ditawan oleh seorang pemuda yang bukan lain adalah Sin Wan! Akan tetapi dia teringat bahwa dia dalam penyamaran sebagai seorang anggota penari, maka dia pura-pura tidak mengenalnya.

Melihat sikap Lili, Sin Wan tersenyum. Dia tahu bahwa Lili hendak mengelabuinya dengan mengandalkan bedak dan gincu tebal yang membuat wajahnya mirip seperti anak wayang sehingga tiada bedanya dengan para penari lain. Kalau tadi tidak mengenal suara Lili, dia sendiri tentu tidak akan tahu bahwa gadis ini adalah Lili.

Sin Wan melepaskan tubuh yang lemas itu ke depan kaki Lili. Tubuh itu roboh telentang dan tidak mampu bergerak, hanya mata di balik kedok itu nampak ketakutan. Sejenak Lili dan Sin Wan berhadapan dan saling pandang, keduanya pura-pura tidak saling mengenal!

Karena setelah melepaskan Si Kedok Biru itu Sin Wan diam saja dan hanya saling tatap dengannya, Lili mengerutkan alisnya dan bertanya, suaranya sungguh jauh berbeda dari tadi. Kini suaranya mendadak menjadi kecil dipaksakan, tidak berbisik-bisik basah seperti suara aslinya.

"Kenapa engkau menyeret dia ke sini?"

Diam-diam Sin Wan merasa geli sekali, akan tetapi menahan diri agar tidak tertawa. Dia mengikuti permainan sandiwara Lili itu, maka dia pun membungkuk. "Nona, engkau yang mengalahkannya, maka engkau pula yang berhak menentukan apa yang harus dilakukan terhadap orang berkedok ini."

Lili mengira bahwa Sin Wan tidak mengenalnya. Untung pemuda itu baru muncul, kalau sudah sejak tadi-tadi, tentu akan mengenal Pek-coa-kiam yang kini dia sembunyikan lagi di balik bajunya, pikirnya.

Tanpa menjawab Lili menggunakan tangan kiri merenggut lepas kedok biru yang menutupi muka orang itu. Lili mengerutkan alisnya.

"Hemmm, siapakah engkau dan apa maksudmu hendak menyelundupkan orang ke dalam rombongan kami? Siapa yang menyuruhmu?"

Orang itu tidak menjawab, hanya mengerutkan alisnya sambil mengatupkan bibirnya.

"Nona, dia adalah Bu-tek Kiam-mo, seorang di antara Bu-tek Cap-sha-kwi yang terkenal jahat," kata Sin Wan.

"Hemmm, ternyata penjahat kecil yang hanya besar namanya saja itu," kata Lili. Dia lalu memberi isyarat kepada seorang laki-laki pendek yang ikut di dalam rombongan penabuh gamelan. "Kau bawa dia pergi dan tahan dia, jangan sampai lari."

"Baik, nona," kata si pendek, lantas sekali menggerakkan tangan kiri, si pendek ini sudah mencengkeram punggung baju orang itu dan memanggul tubuh yang lemas sedemikian mudahnya, seakan tubuh yang tinggi kurus itu amat ringan baginya, kemudian dia berlari cepat sekali dan segera lenyap dari situ.

"Wah, kebetulan sekali. Sekarang rombongannya kurang satu orang, biar aku saja yang menggantikan si pendek tadi. Aku pun ingin menonton keramaian!" kata Sin Wan.

Lili diam saja, hanya memutar tubuh memandang kepada pria setengah tua yang menjadi pemimpin rombongan. Pria itu menghampiri Sin Wan, lalu dengan sikap hormat berkata,

"Maafkan kami, sicu (orang gagah). Kami tidak berani menerima sicu sebab kami sedang ditugaskan menghibur orang orang penting."

"Hemm, begitukah? Lalu mengapa di sini ada nona ini yang jelas bukan penari melainkan seorang yang menyusup dan menyamar sebagai anggota rombonganmu?" tanya Sin Wan sambil tersenyum mengejek. "Kalau aku melaporkan kepada kedua orang pangeran yang mengadakan pesta itu, bukankah engkau akan bersalah besar?"

Wajah pemimpin rombongan itu nampak ketakutan. Dia menoleh kepada Lili yang nampak tenang dan acuh saja. "Akan tetapi, sicu. Nona ini membawa surat perintah dari Jenderal Besar Shu Ta untuk melindungi mereka!"

"Bagus, dan aku mendapat perintah dari Sribaginda Kaisar sendiri! Apakah engkau masih berani menolak?"

Pemimpin rombongan itu menjadi bingung, kemudian menoleh kembali kepada Lili. Gadis ini juga memandang kepadanya lalu mengangguk.

"Dia boleh menggantikan pembantuku yang tadi membawa pergi Bu-tek Kiam-mo."

Mendengar ini pemimpin rombongan nampak lega. Dengan demikian gadis perkasa itulah yang akan bertanggung jawab atas masuknya Sin Wan ke dalam rombongan itu.

Agar dirinya tidak dikenal, Sin Wan lalu minta kepada kepala rombongan supaya mukanya dirias dan diubah sehingga pihak musuh takkan mengenalnya. Seorang di antara anggota rombongan yang memiliki keahlian merias segera menangani pekerjaan itu dan tidak lama kemudian, Sin Wan sudah menjadi seorang laki-laki setengah tua yang rambutnya penuh uban, berjenggot dan berkumis!

Rombongan kemudian melanjutkan perjalanan. Saat Sin Wan melihat betapa Lili berjalan seorang diri pada bagian belakang, dia sengaja mendekati namun hanya mengerling saja sambil terus berjalan di samping dara itu. Akan tetapi ketika melihat betapa Sin Wan terus menerus memandangnya sambil berjalan mendampinginya, Lili menggunakan suara yang meninggi itu untuk menegurnya.

"Mau apa engkau dekat-dekat dan memandang aku terus menerus?!" suara Lili memang berubah tinggi, tetapi nadanya galak, nada yang biasa diucapkan Lili kalau dia marah!

Sin Wan tersenyum dan sengaja meninggikan suaranya, "Maafkan aku, nona. Aku kagum melihat penyamaranmu!"

Lili memandang dengan sinar mata berkilat ketika mendengar betapa pemuda ini sengaja mengubah suaranya, meninggi seperti yang dilakukannya dalam penyamarannya.

"Hemm, apa-apaan dengan suaramu itu?!" bentaknya.

Sin Wan tertawa. "Ha-ha-ha, aku hanya menirumu, Lili."

Kini gadis itu terbelalak dan terdengar suaranya seperti biasa, berbisik basah, suara khas Lili. "Ehh, bagaimana engkau dapat mengenalku?"

Sin Wan tersenyum. "Tidak mungkin aku mampu mengenal wajahmu yang persis dengan wajah semua penari itu, Lili. Akan tetapi ketika tadi engkau berbicara dengan empat orang penjahat sebelum aku muncul, aku sempat mendengar dan bisa mengenal suaramu. Apa lagi sesudah engkau bicara padaku dengan suara yang berubah meninggi, aku pun dapat menduga bahwa engkau memang sengaja menyamar."

Lili menghela napas panjang. Tidak mudah mengelabui orang yang cerdik seperti Sin Wan ini. "Sudahlah, memang nasibku yang buruk harus bertemu denganmu dan bekerja sama denganmu. Kalau bukan ayah yang menyuruh, aku tidak sudi bertemu dan bekerja sama denganmu!"

Melihat gadis itu masih marah kepadanya, Sin Wan bersikap lunak. Dia merasa kasihan kepada Lili yang mencintanya tetapi yang tak dapat dibalasnya. Apa lagi Lili masih marah karena dia juga menolak untuk berjodoh dengan adik tiri gadis ini, Bhok Ci Hwa, seperti yang dikehendaki Lili dan ibunya.

"Aku memang sedang mencari jalan agar bisa menyusup ke perahu pesta, dan kebetulan bertemu rombongan ini. Akan tetapi kalau aku boleh mengetahui, bagaimana pula engkau dapat menjadi anggota rombongan kesenian ini, Lili? Benarkah kata paman pemimpin tadi bahwa engkau diutus oleh Jenderal Shu Ta?"

"Jenderal Shu Ta memerintahkan ayah untuk membantumu melakukan penyelidikan pada pertemuan antara Raja Muda Yung Lo dengan Pangeran Mahkota. Tetapi tidak mungkin ayah sendiri yang hadir karena dia dikenal semua orang, maka ayah menyuruh aku untuk mewakilinya dengan membawa surat kuasa Jenderal Shu Ta."

"Jadi engkau diutus untuk membantuku?" tanya Sin Wan gembira. "Aih, terima kasih, Lili."

"Sin Wan jangan engkau menganggap ringan pekerjaan ini. Menurut ayah, Jenderal Shu merasa khawatir sekali dan menaruh curiga kalau-kalau akan terjadi sesuatu yang dapat mengancam keselamatan Pangeran Mahkota. Oleh karena itu, Jenderal Yauw Ti sendiri mengawal dengan pasukan yang cukup besar. Namun Jenderal Shu khawatir kalau-kalau apa yang dikhawatirkan itu justru terjadi dari dalam, maka dia memerintahkan ayah untuk membantumu. Dan akulah yang dikirim ke sini, menyelundup dalam rombongan ini."

"Aihh, bagus sekali kalau begitu. Dengan menyamar sebagai anggota rombongan ini kita dapat melakukan penjagaan yang lebih baik dan lebih dekat."

Lili lalu menceritakan kepada Sin Wan bahwa rombongan itu adalah rombongan kesenian dari kota Cin-an yang paling terkenal. Mereka akan menghibur pesta dalam perahu yang diadakan oleh kedua orang bangsawan itu. Mereka diharuskan tiba lebih dahulu di perahu itu agar kalau kedua orang bangsawan itu tiba, mereka sudah disambut oleh musik yang merdu...