Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 22 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

MATA Ci Han terbelalak. Hampir dia lupa bahwa sekarang adiknya bukan anak kecil lagi! Adiknya ini sudah merupakan seorang gadis dewasa, berusia delapan belas tahun lebih! Tadinya dia menyangka bahwa adiknya, seperti juga dia sendiri, hanya merasa kagum kepada Sin Wan yang lihai dan sudah berjasa besar mempersatukan kembali keluarga ayah mereka. Baru sekarang matanya seperti dibuka sehingga dia dapat melihat bahwa perasaan adiknya terhadap Sin Wan kiranya lebih mendalam lagi, perasaan seorang gadis dewasa terhadap seorang pria yang dikaguminya.

"Hwa-moi, kau... kau cinta kepada Wan-toako?"

Wajah itu semakin merah dan makin menunduk, akan tetapi Ci Hwa masih mengangguk. Ci Han memegang kedua tangan adiknya dan tersenyum lebar. "Aihh, adikku yang manis. Jika engkau cinta kepadanya, kenapa engkau bersedih? Aku yang akan mendekati Wan-toako dan menceritakan tentang cintamu...”

"Jangan, koko!" Kini Ci Hwa mengangkat muka seperti orang terkejut. "Berjanjilah, jangan kau ceritakan kepadanya atau kepada siapa pun juga. Berjanjilah!"

Ci Han menggerakkan pundaknya. "Baiklah, baiklah. Akan tetapi katakan, kenapa cintamu itu membuat engkau bersedih?"

Sampai beberapa saat lamanya Ci Hwa hanya menundukkan mukanya, seolah jawaban pertanyaan itu amat sukar keluar dari mulutnya. Beberapa kali kakaknya mendesak dan akhirnya ia menjawab. "Koko, lupakah engkau akan sikap enci Lili terhadap Wan-twako?"

"Enci Lili...?" Ci Han mengerutkan alisnya dan dia pun teringat. Tentu saja dia ingat akan sikap itu dan sekarang mengertilah dia mengapa adiknya ini bersedih.

"Mereka... mereka saling mencinta... ahh, koko...!” Dan tak dapat ditahannya lagi Ci Hwa menangis lirih.

Ci Han, pemuda berusia dua puluh tahun yang juga belum berpengalaman dalam urusan cinta, kini hanya duduk diam dengan alis berkerut, merasa kasihan kepada adiknya akan tetapi tidak tahu harus berkata atau berbuat apa. Cemburu! Itulah yang menggoda hati Ci Hwa.

Sudah menjadi pendapat umum bahwa cemburu merupakan hal yang wajar bagi orang yang sedang jatuh cinta. Bahkan ada yang begitu yakin berpendapat bahwa cemburu merupakan kembangnya cinta, bahwa cemburu merupakan pertanda adanya cinta! Kalau pendapat ini dibenarkan, berarti di dalam cinta terkandung cemburu, atau cemburu sama dengan cinta!

Apa bila kita mau membuka mata melihat kenyataan, akan nampaklah bahwa apa yang dinamakan cinta itu, kalau disamakan dengan cemburu, maka cinta itu bukanlah cinta! Cemburu timbul karena nafsu, karena cemburu mendatangkan kekecewaan, kemarahan dan kebencian yang berakhir dengan penderitaan. Bukanlah cinta apa bila mendatangkan kesengsaraan atau penderitaan. Hanya ulah nafsu yang menyeret kita ke dalam jurang penderitaan.

Cemburu pasti timbul bila terdapat ikatan. Apakah ikatan itu membelenggu kita kepada benda, kepercayaan, kepada cita-cita, gagasan, atau pada seseorang. Ikatan membuat kita merasa berarti, membuat kita merasa memiliki. Kita tidak ingin kehilangan yang kita miliki itu, yang telah terikat kuat di dalam hati kita.

Jika kita merasa mencinta seseorang, kita terikat kepada orang itu dan kita tidak ingin kehilangan. Kita akan merasa sedih, merasa khawatir kalau-kalau orang yang kita miliki itu direnggut lepas dari diri kita, membuat kita tidak berarti karena tidak memiliki apa-apa lagi. Kekhawatiran inilah yang menimbulkan cemburu! Khawatir akan kehilangan orang yang membuat dirinya berarti. Yang beginikah yang dianggap sama dengan cinta?

Jika cinta itu bersifat memiliki, menguasai, atau ikatan, lalu mendatangkan kekhawatiran bila kehilangan, maka cinta seperti itu bukan lain adalah cinta nafsu belaka. Kalau cinta nafsu, tentu saja tiada bedanya dengan buah nafsu lainnya seperti ketakutan, kebencian, kemarahan, keinginan untuk senang sendiri, termasuk pula cemburu.

Kalau cinta kasih, bukan nafsu, seperti cahaya terang, maka cemburu adalah kegelapan. Kalau ada cahaya terang, maka takkan ada kegelapan. Kalau ada cinta kasih, tidak ada cemburu. Kalau ada cemburu, jelas nafsulah yang memegang peran, walau pun nafsu itu diberi pakaian indah yang disebut cinta!


"Hwa-moi, sikap mereka yang akrab belum menjadi bukti bahwa mereka saling mencinta. Enci Lili memang mempunyai watak terbuka dan ramah terhadap siapa saja. Aku belum yakin. Siapa tahu Wan-twako diam-diam juga membalas cintamu."

Mendengar ini seolah timbul harapan baru di dalam hati Ci Hwa, dan dia pun menyusut air matanya. "Mudah-mudahan begitu, koko. Akan tetapi kuminta kepadamu supaya jangan memberi tahukan siapa pun, terutama jangan sampai enci Lili mengetahui bahwa aku..."

Ci Han mengangguk-angguk. "Aku tahu, adikku, dan jangan khawatir."

Akan tetapi tentu saja diam-diam Ci Han merasa prihatin melihat keadaan adiknya dan sebagai kakak yang menyayangnya, tentu-saja dia ingin membela adiknya. Beberapa hari kemudian, pada suatu malam terang bulan yang cerah, ketika dia melihat Ci Hwa seorang diri berada di taman bunga, dia cepat menemui Sin Wan.

"Wan-twako, aku sungguh mengharapkan bantuanmu...," begitu bertemu dengan pemuda itu di dalam kamarnya, Ci Han berkata dengan sikap serius.

"Hemm, tentu saja setiap saat aku siap untuk membantumu, Han-te (adik Han). Apakah yang dapat kulakukan untuk membantumu?" Dengan sikap tenang Sin Wan bertanya dan mempersilakan pemuda itu duduk.

"Bukan aku yang membutuhkan bantuanmu, toako, melainkan Ci Hwa."

"Ehh? Apakah yang terjadi dengannya?"

"Selama beberapa hari ini adikku selalu bersedih. Aku sudah berusaha untuk menghibur dia, namun sia-sia. Dia tenggelam ke dalam kesedihan, dan aku khawatir kalau berlarut-larut dia dapat jatuh sakit."

"Ahh, pantas saja wajah Hwa-moi selalu kelihatan tidak gembira. Mengapa dia bersedih Han-te? Apakah yang terjadi?"

"Aku telah berkali-kali membujuk dan bertanya, akan tetapi dia hanya menggeleng kepala dan sekali pernah dia berkata lirih bahwa Wan-twako membencinya."

Sepasang mata Sin Wan terbelalak dan mulutnya tersenyum, tidak percaya dan heran. "Aku...? Membenci Hwa-moi...?”

"Aku juga merasa heran mendengarnya, Wan-twako. Mungkin dia merasa bahwa twako kurang memperhatikannya. Ci Hwa memang kadang masih seperti anak kecil. Tolonglah, twako, hiburlah dia dan katakan bahwa twako sayang kepadanya. Seperti sudah beberapa malam ini, sekarang dia sedang duduk termenung seorang diri di taman, tenggelam dalam kesedihannya. Maukah twako menolongnya?"

Sin Wan tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja, Han-te. Aku akan segera menemui dia dan menghiburnya."

Dengan hati girang Ci Han mengucapkan terima kasih, kemudian dia kembali ke dalam kamarnya sendiri. Dia telah melaksanakan tugasnya sebagai seorang kakak, dan kini dia hanya dapat mengharapkan agar adiknya tidak hanya bertepuk sebelah tangan di dalam cintanya. Dia sendiri setuju sepenuhnya apa bila Ci Hwa dapat berjodoh dengan Sin Wan yang dikaguminya.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Dengan hati merasa heran dan penasaran mengapa Ci Hwa menganggap dia membenci gadis itu, Sin Wan memasuki taman bunga keluarga itu. Malam itu bulan purnama dan cahayanya yang lembut mendatangkan suasana yang romantis.

Pergaulannya dengan keluarga itu sudah sedemikian akrabnya sehingga dia tidak merasa canggung untuk menemui Ci Hwa pada malam hari di taman bunga. Dia merasa bahwa Ci Hwa seperti adiknya sendiri. Hanya terhadap Lili sajalah dia merasa canggung dan tidak enak karena gadis itu bersikap jatuh cinta kepadanya.

Taman bunga keluarga Bhok itu indah karena terawat, apa lagi karena Ci Hwa memang suka sekali memperhatikan keadaan taman bunga itu, sering memberi petunjuk kepada tukang kebun bagaimana sebaiknya mengatur taman itu. Malam itu amat indah dan sunyi di situ, dan udara sejuk dan segar oleh keharuman bunga-bunga yang beraneka warna.

Sin Wan menghampiri Ci Hwa yang sedang duduk melamun seorang diri di atas bangku panjang dekat kolam ikan. Banyak ikan emas di kolam itu, dan Sin Wan melihat gadis itu duduk seorang diri memandang bulan yang berada di dalam air kolam. Gadis itu seolah sedang berada di dunia lain dalam lamunannya sehingga tidak tahu bahwa Sin Wan telah menghampiri dan berdiri di belakangnya.

Pemuda ini melangkah maju lagi sambil memandang wajah itu dari belakang kanan. Dari samping, wajah gadis itu nampak cantik jelita, apa lagi tertimpa cahaya bulan keemasan, membuat wajah itu seperti bercahaya pula.

"Hwa-moi...!" Sin Wan memanggil lirih agar tidak mengejutkan gadis itu.

Ci Hwa terkejut mendengar panggilan ini. Bagaikan baru sadar dari mimpi dia cepat-cepat bangkit berdiri lalu membalikkan tubuhnya. Ternyata Sin Wan telah berdiri di situ dan kini mereka berdiri berhadapan.

"Ahh, Wan-twako...," kata Ci Hwa lirih pula dan mukanya berubah kemerahan.

Mereka saling pandang. Sin Wan tersenyum lalu melangkah maju mendekati. "Hwa-moi, kenapa malam-malam begini engkau berada di taman seorang diri?"

Ci Hwa sudah bisa menguasai dirinya dan dia pun menjawab, "Aku sedang mencari hawa sejuk dan menikmati keindahan bulan purnama di taman ini, twako."

Sin Wan memperhatikan dan melihat bahwa memang ada perubahan pada diri Ci Hwa. Biasanya Ci Hwa adalah seorang gadis yang lincah jenaka, tetapi kini sikapnya pendiam dan bahkan lebih banyak menundukkan muka.

"Ci Hwa, selama beberapa hari ini setiap aku bertemu denganmu kulihat engkau nampak seperti orang yang bersedih. Kenapakah, Hwa-moi?"

Mendengar pertanyaan yang diucapkan dengan suara lembut itu, keluar dari mulut orang yang menjadi sebab kedukaannya, Ci Hwa merasa hatinya seperti diremas. Dia berusaha untuk menahan diri, tapi rasa iba diri membuat dia bersedih dan lemas. Dia menjatuhkan diri di atas bangku dan menutupi wajahnya untuk menyembunyikan tangisnya.

Sin Wan terkejut. Benar seperti yang dikatakan Ci Han, gadis ini sedang menderita sedih. Dia pun lalu duduk di atas bangku di sebelah gadis itu, maklum bahwa biar pun gadis itu menahan diri tidak mengeluarkan suara tangis dan menyembunyikan muka di balik kedua tangannya, namun sebenarnya dia sedang menangis. Kedua pundaknya terguncang dan air mata mengalir keluar dari celah jari-jari tangannya.

"Hwa-moi, kenapa engkau menangis? Apa yang membuat hatimu merasa sedih?" tanya Sin Wan dengan hati-hati.

Tetapi gadis itu tidak menjawab, hanya menggeleng kepala berkali-kali tanpa menurunkan kedua tangan dari depan mukanya. Karena sudah beberapa kali ditanya tetap tidak mau menjawab, Sin Wan teringat akan keterangan Ci Han bahwa gadis yang sedang menangis sedih di depannya ini mempunyai perasaan bahwa dia membencinya.

Bahkan Ci Han minta kepadanya agar dia menghibur Ci Hwa dan mengatakan bahwa dia sayang kepada gadis ini. Pengakuan seperti itu tidaklah sulit baginya karena memang dia sayang kepada Ci Hwa, gadis yang biasanya lincah jenaka dan baik budi ini.

"Hwa-moi, kalau ada hal-hal yang menyusahkan hatimu, kalau ada persoalan yang sudah mengganggumu, katakan kepadaku. Aku pasti akan membantumu, Hwa-moi. Aku sayang kepadamu, Hwa-moi, dan tidak ingin melihat engkau berduka..."

Mendengar ucapan itu tiba-tiba Ci Hwa membiarkan tangisnya pecah, tidak lagi berusaha membendungnya sehingga dia pun terisak-isak. Sin Wan lalu menyentuh pundak Ci Hwa untuk menghiburnya, dan sentuhan ini makin mengharukan hati Ci Hwa sehingga dia pun tersedu dan merangkul, menyandarkan mukanya di dada Sin Wan sambil sesenggukan.

"Twa-ko... hu… hu… huuhh, twako...," tangisnya.

Sin Wan menahan senyumnya, hatinya lega karena gadis itu sudah mau berbicara. "Bicaralah, Hwa-moi, sungguh tidak baik menekan kesedihan dalam hati. Katakanlah apa yang menyusahkan hatimu, sayang."

Gadis itu mengangkat muka memandang. Wajah yang cantik itu basah oleh air mata dan suaranya gemetar, "Wan-twako..., benarkah kata-katamu tadi...?”

Sin Wan mengelus rambut kepala gadis itu, merasa seakan dia menghibur hati seorang adik sendiri yang sedang rewel. "Kata-kataku yang mana?"

"Bahwa engkau... sayang padaku...?”

Sekarang barulah Sin Wan percaya kepada keterangan Ci Han yang tadinya dia anggap berlebihan. Gadis ini bersedih karena menyangka dia membencinya, atau setidaknya tidak suka kepadanya.

"Tentu saja, Hwa-moi!" katanya dengan suara tegas. "Tentu saja aku sayang kepadamu. Sejak kita berjumpa aku sudah sayang kepadamu dan akan tetap sayang padamu."

Apa sulitnya mengobral pernyataan sayang kepada seorang gadis seperti Ci Hwa! Bahkan bersumpah pun dia mau bahwa dia sayang kepada Ci Hwa. Siapa yang tak akan merasa sayang kepada seorang gadis yang begini cantik, lincah jenaka dan berbudi mulia?

Wajah yang masih basah air mata itu kini berseri-seri, mulut itu tersenyum dan mata yang bening itu sekarang bersinar-sinar walau pun masih agak merah oleh tangis tadi. Ci Hwa membenamkan mukanya ke dada itu, dua lengannya merangkul pinggang dan terdengar dia berbisik-bisik.

"Terima kasih, Wan-twako... terima kasih... aku pun sangat sayang padamu, aku... cinta sekali kepadamu...”

Sin Wan terbelalak. Hampir saja dia merenggut lepas dirinya yang dipeluk gadis itu, akan tetapi dia masih menyadari keadaan. Sekarang sudah jelas baginya. Ci Hwa mencintanya! Dengan caranya sendiri, seperti Lili, gadis ini telah jatuh cinta kepadanya.

Gadis ini salah paham, mengira bahwa sayangnya terhadap gadis ini sama dengan cinta seorang pria terhadap seorang wanita. Padahal dia menyayang Ci Hwa seperti seorang kakak menyayangi adiknya karena dia merasa iba. Maka terpaksa dia mendiamkan saja, karena dia maklum bahwa kalau saat itu dia melepaskan diri lantas mengaku bahwa dia tidak mencinta Ci Hwa tentu gadis ini akan merasa terpukul sekali, akan merasa malu dan mungkin akan putus asa.

Setelah sejenak membiarkan gadis itu tenggelam ke dalam kemesraan, dengan hati-hati dan perlahan-lahan Sin Wan melepaskan dirinya lalu berkata dengan lembut. "Hwa-moi, jangan begini. Kalau terlihat orang lain tentu tidak baik. Mari kita bicara dengan tenang."

Mendengar ini dan merasakan gerakan Sin Wan yang hendak melepaskan diri, Ci Hwa melepaskan rangkulan kedua lengannya dan kini dia duduk menghadapi Sin Wan, kedua pipinya kemerahan bagaikan setangkai bunga mawar yang baru saja bermandikan embun pagi yang sejuk segar.

"Wan-ko, aku tidak akan peduli andai kata ada orang lain yang melihatnya. Yang penting kita berdua saling mencinta...”

Sin Wan merasa betapa kepalanya pening. Celaka, pikirnya, ini kesalah pahaman yang sungguh berbahaya! Maju salah mundur salah! Dia tidak mencinta gadis ini seperti yang dimaksudkan Ci Hwa. Kesayangannya adalah perasaan sayang seorang kakak terhadap adiknya, atau rasa sayang seorang sahabat, bukan cinta kasih seorang laki-laki terhadap wanita yang mengharapkannya menjadi jodohnya.

Menerimanya berarti menjerumuskan diri sendiri ke dalam perjodohan yang pincang, apa lagi dia sama sekali belum memiliki niat untuk mengikatkan diri dengan perjodohan. Kalau dia menolak dan berterus terang menyatakan bahwa dia tidak mencinta gadis itu, berarti dia akan menghancurkan perasaan Ci Hwa. Sungguh serba salah.

Kembali dengan mesra kedua tangan Ci Hwa sudah menggenggam kedua tangannya. Sin Wan terpaksa menarik ke dua tangannya itu dan mulutnya tidak berani mewakili hatinya, hanya mengeluarkan kata-kata, "... tapi... tetapi...”

Tiba-tiba nampak sesosok bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di sana telah berdiri Lili! Gadis ini berdiri memandang kepada mereka seperti sebuah arca, tidak mengeluarkan suara dan hanya memandang dengan alis berkerut.

"Bagus sekali!"

Seruan ini membuat Ci Hwa terkejut, menengok dan terbelalak ketika melihat Lili berdiri di situ. Wajahnya berubah pucat dan dia bangkit berdiri, lalu berkata, suaranya gemetar,

"Enci, maafkan aku... kami... kami saling mencinta, enci..." Jelas nampak betapa Ci Hwa takut kalau enci tirinya itu marah karena dia tahu bahwa enci-nya ini mencinta Sin Wan pula.

"Ci Hwa, tidak ada yang perlu kumaafkan. Engkau tidak bersalah apa pun."

"Lili, aku... aku... kami..." Sin Wan yang juga terkejut bukan main melihat kemunculan Lili yang tiba-tiba itu, menjadi gugup dan meski pun hatinya ingin sekali menjelaskan keadaan yang sebenarnya, akan tetapi mulutnya tak mampu mengeluarkan pernyataan yang akan menghancurkan hati Ci Hwa itu.

Lili tersenyum. Senyum yang tulus sungguh pun matanya memandang penuh keheranan. "Aku tahu, Sin Wan. Engkau mencinta Ci Hwa! Ingatkah engkau ketika engkau mengobati lukaku dahulu? Ketika itu aku sudah menduga bahwa engkau mencinta Ci Hwa."

"Lili, engkau keliru, dan Ci Hwa juga salah paham. Aku... aku menyayang Ci Hwa seperti adikku sendiri, tidak mencinta seperti yang dimaksudkan..."

"Wan-koko...!" Ci Hwa menjerit sambil terbelalak, memandang kepada pemuda itu seperti melihat setan.

Sepasang alis Lili berkerut makin dalam, ada pun sinar matanya mencorong marah. "Sin Wan, apakah engkau hendak mengecewakan hatiku dan menjadi seorang pangecut yang tidak bertanggung jawab? Mataku sendiri menyaksikan adegan mesra tadi dan sekarang engkau berani mengatakan bahwa engkau tidak mencinta adikku Ci Hwa? Hemmm, Sin Wan. Kalau engkau tidak membalas cintaku, hal itu masih kuanggap ringan karena aku memang seorang gadis liar dan buruk. Akan tetapi engkau hendak menolak Ci Hwa, gadis cantik jelita dan berbudi? Engkau gila! Lantas apa artinya engkau tadi saling rangkul dan bermesraan dengan adikku? Apakah engkau hanya hendak mempermainkannya?"

"Lili, tenanglah dan jangan terburu nafsu. Aku sayang kepada Ci Hwa, sayang seorang kakak kepada adiknya, bukan cinta seperti yang kalian maksudkan."

"Wan-koko...” kembali Ci Hwa menjerit dan sekali ini dia menjatuhkan diri di atas bangku kemudian menangis.

Lili marah bukan main hingga mukanya menjadi merah. "Sin Wan, aku pernah jatuh cinta kepadamu dan engkau tidak menghiraukan aku. Hal itu masih bisa kumaafkan. Tetapi aku akan membunuhmu kalau engkau mempermainkan adikku Ci Hwa!"

"Lili, ini hanya suatu kesalah pahaman saja. Sungguh, aku tidak mempermainkan adik Ci Hwa. Tadi aku melihat dia sedang berduka, aku hanya ingin menghiburnya dan aku tidak pernah mengaku cinta kepadanya."

"Wan-koko...," seru Ci Hwa di antara isaknya. "...mengapa engkau bersikap seperti ini...? Tadi... tadi engkau begitu menyayangku... kurasakan itu dalam rangkulanmu... koko, tapi kenapa begini...?"

Ingin rasanya Sin Wan menampar kepalanya sendiri. Karena perasaan iba dan karena hendak menghibur hati Ci Hwa, dia tadi memperlihatkan kasih sayangnya dan kenapa dia tidak menolak ketika Ci Hwa merangkul dan menangis di dadanya? Tadi pun dia sudah menyadari bahwa adegan itu sangat berbahaya dan tidak benar, akan tetapi mengapa dia tidak tega untuk menolaknya? Dan sekarang dia harus menghadapi akibatnya!

"Tadi aku menyatakan suka dan sayangku kepadamu sebagai seorang sahabat, sebagai seorang saudara, sama sekali tidak terbayangkan olehku perasaan cinta seorang laki-laki terhadap

wanita seperti yang kau maksudkan."

Mendengar ucapan ini Ci Hwa hanya mampu menangis dengan hati perih seperti ditusuk-tusuk rasanya.

"Sin Wan, engkau benar-benar sudah keterlaluan! Engkau mempermainkan adikku! Aku tidak bisa membiarkannya saja. Akan kubunuh kau!" Lili mencabut pedang Ular Putih dan hendak menyerang Sin Wan dengan kemarahan berkobar.

"Enci...!” Ci Hwa telah menubruk dan menjatuhkan diri berlutut, merangkul kedua kaki Lili. "Enci Lili jangan... jangan bunuh dia. Bunuh saja aku, enci..." dan dengan hati sedih sekali Ci Hwa menangis tersedu-sedu di depan kaki Lili.

Pada saat itu terdengar suara banyak orang dan muncullah Bhok Cun Ki, Cu Sui In, Bhok Ci Han dan Nyonya Bhok. "Heii, apa yang terjadi ini? Lili, apa yang sudah terjadi?" tanya Sui In sambil meloncat ke dekat puterinya.

"Ci Hwa, apa yang sudah terjadi?" seru Nyonya Bhok kepada puterinya, sesudah melihat puterinya menangis di hadapan kaki Lili yang berdiri marah dengan pedang terhunus di tangan. Ci Hwa bangkit lalu berlari menubruk ibunya sambil menangis.

"lbuu...!" Nyonya Bhok merangkul puterinya yang terisak-isak dan tidak mampu bicara itu.

"Ibu, aku akan membunuh Sin Wan!" teriak Lili marah. "Laki-laki tidak tahu diri ini berani mempermainkan adik Ci Hwa. Kulihat sendiri tadi mereka saling bermesraan di sini, akan tetapi dia tidak mau mengaku cinta, dia mengingkari cintanya terhadap adik Ci Hwa!"

"Apa?" Sui In berseru marah. "Pemuda ini berani menghina anakku Ci Hwa? Kalau begitu, biar aku sendiri yang akan memberi hajaran kepadanya!" Sekali menggerakkan tubuh, wanita ini sudah melayang ke depan Sin Wan dan mengirim tamparan bertubi-tubi, gerakannya cepat dan amat kuat.

Melihat datangnya serangan yang amat berbahaya sehingga setiap tamparan merupakan cengkeraman maut, Sin Wan yang tidak diberi kesempatan untuk bicara cepat bergerak mengelak dan menangkis. Sampai tujuh kali berturut-turut dua tangan Cu Sui In bertubi-tubi menyambar, namun selalu dapat dihindarkan oleh Sin Wan.

"In-moi, tahan dulu...!” Bhok Cun Ki berseru kemudian meloncat ke depan, melerai dan memegang lengan kiri isterinya. "Harap jangan tergesa-gesa dan terburu nafsu. Kalau ada persoalan, mari kita bicarakan dulu dengan tenang." Karena dicegah suaminya, Cu Sui In terpaksa menurut ketika ditarik mundur ke belakang.

Bhok Cun Ki yang melihat gawatnya persoalan, segera mengambil alih pimpinan dan dia bertanya kepada puterinya. "Ci Hwa, katakan, apa yang telah terjadi di sini antara engkau dan Sin Wan."

Akan tetapi Ci Hwa tidak mampu menjawab, hanya menangis di dalam pelukan ibunya. Melihat betapa Ci Hwa hanya menggeleng-geleng kepala sambil sesenggukan...

Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 22

MATA Ci Han terbelalak. Hampir dia lupa bahwa sekarang adiknya bukan anak kecil lagi! Adiknya ini sudah merupakan seorang gadis dewasa, berusia delapan belas tahun lebih! Tadinya dia menyangka bahwa adiknya, seperti juga dia sendiri, hanya merasa kagum kepada Sin Wan yang lihai dan sudah berjasa besar mempersatukan kembali keluarga ayah mereka. Baru sekarang matanya seperti dibuka sehingga dia dapat melihat bahwa perasaan adiknya terhadap Sin Wan kiranya lebih mendalam lagi, perasaan seorang gadis dewasa terhadap seorang pria yang dikaguminya.

"Hwa-moi, kau... kau cinta kepada Wan-toako?"

Wajah itu semakin merah dan makin menunduk, akan tetapi Ci Hwa masih mengangguk. Ci Han memegang kedua tangan adiknya dan tersenyum lebar. "Aihh, adikku yang manis. Jika engkau cinta kepadanya, kenapa engkau bersedih? Aku yang akan mendekati Wan-toako dan menceritakan tentang cintamu...”

"Jangan, koko!" Kini Ci Hwa mengangkat muka seperti orang terkejut. "Berjanjilah, jangan kau ceritakan kepadanya atau kepada siapa pun juga. Berjanjilah!"

Ci Han menggerakkan pundaknya. "Baiklah, baiklah. Akan tetapi katakan, kenapa cintamu itu membuat engkau bersedih?"

Sampai beberapa saat lamanya Ci Hwa hanya menundukkan mukanya, seolah jawaban pertanyaan itu amat sukar keluar dari mulutnya. Beberapa kali kakaknya mendesak dan akhirnya ia menjawab. "Koko, lupakah engkau akan sikap enci Lili terhadap Wan-twako?"

"Enci Lili...?" Ci Han mengerutkan alisnya dan dia pun teringat. Tentu saja dia ingat akan sikap itu dan sekarang mengertilah dia mengapa adiknya ini bersedih.

"Mereka... mereka saling mencinta... ahh, koko...!” Dan tak dapat ditahannya lagi Ci Hwa menangis lirih.

Ci Han, pemuda berusia dua puluh tahun yang juga belum berpengalaman dalam urusan cinta, kini hanya duduk diam dengan alis berkerut, merasa kasihan kepada adiknya akan tetapi tidak tahu harus berkata atau berbuat apa. Cemburu! Itulah yang menggoda hati Ci Hwa.

Sudah menjadi pendapat umum bahwa cemburu merupakan hal yang wajar bagi orang yang sedang jatuh cinta. Bahkan ada yang begitu yakin berpendapat bahwa cemburu merupakan kembangnya cinta, bahwa cemburu merupakan pertanda adanya cinta! Kalau pendapat ini dibenarkan, berarti di dalam cinta terkandung cemburu, atau cemburu sama dengan cinta!

Apa bila kita mau membuka mata melihat kenyataan, akan nampaklah bahwa apa yang dinamakan cinta itu, kalau disamakan dengan cemburu, maka cinta itu bukanlah cinta! Cemburu timbul karena nafsu, karena cemburu mendatangkan kekecewaan, kemarahan dan kebencian yang berakhir dengan penderitaan. Bukanlah cinta apa bila mendatangkan kesengsaraan atau penderitaan. Hanya ulah nafsu yang menyeret kita ke dalam jurang penderitaan.

Cemburu pasti timbul bila terdapat ikatan. Apakah ikatan itu membelenggu kita kepada benda, kepercayaan, kepada cita-cita, gagasan, atau pada seseorang. Ikatan membuat kita merasa berarti, membuat kita merasa memiliki. Kita tidak ingin kehilangan yang kita miliki itu, yang telah terikat kuat di dalam hati kita.

Jika kita merasa mencinta seseorang, kita terikat kepada orang itu dan kita tidak ingin kehilangan. Kita akan merasa sedih, merasa khawatir kalau-kalau orang yang kita miliki itu direnggut lepas dari diri kita, membuat kita tidak berarti karena tidak memiliki apa-apa lagi. Kekhawatiran inilah yang menimbulkan cemburu! Khawatir akan kehilangan orang yang membuat dirinya berarti. Yang beginikah yang dianggap sama dengan cinta?

Jika cinta itu bersifat memiliki, menguasai, atau ikatan, lalu mendatangkan kekhawatiran bila kehilangan, maka cinta seperti itu bukan lain adalah cinta nafsu belaka. Kalau cinta nafsu, tentu saja tiada bedanya dengan buah nafsu lainnya seperti ketakutan, kebencian, kemarahan, keinginan untuk senang sendiri, termasuk pula cemburu.

Kalau cinta kasih, bukan nafsu, seperti cahaya terang, maka cemburu adalah kegelapan. Kalau ada cahaya terang, maka takkan ada kegelapan. Kalau ada cinta kasih, tidak ada cemburu. Kalau ada cemburu, jelas nafsulah yang memegang peran, walau pun nafsu itu diberi pakaian indah yang disebut cinta!


"Hwa-moi, sikap mereka yang akrab belum menjadi bukti bahwa mereka saling mencinta. Enci Lili memang mempunyai watak terbuka dan ramah terhadap siapa saja. Aku belum yakin. Siapa tahu Wan-twako diam-diam juga membalas cintamu."

Mendengar ini seolah timbul harapan baru di dalam hati Ci Hwa, dan dia pun menyusut air matanya. "Mudah-mudahan begitu, koko. Akan tetapi kuminta kepadamu supaya jangan memberi tahukan siapa pun, terutama jangan sampai enci Lili mengetahui bahwa aku..."

Ci Han mengangguk-angguk. "Aku tahu, adikku, dan jangan khawatir."

Akan tetapi tentu saja diam-diam Ci Han merasa prihatin melihat keadaan adiknya dan sebagai kakak yang menyayangnya, tentu-saja dia ingin membela adiknya. Beberapa hari kemudian, pada suatu malam terang bulan yang cerah, ketika dia melihat Ci Hwa seorang diri berada di taman bunga, dia cepat menemui Sin Wan.

"Wan-twako, aku sungguh mengharapkan bantuanmu...," begitu bertemu dengan pemuda itu di dalam kamarnya, Ci Han berkata dengan sikap serius.

"Hemm, tentu saja setiap saat aku siap untuk membantumu, Han-te (adik Han). Apakah yang dapat kulakukan untuk membantumu?" Dengan sikap tenang Sin Wan bertanya dan mempersilakan pemuda itu duduk.

"Bukan aku yang membutuhkan bantuanmu, toako, melainkan Ci Hwa."

"Ehh? Apakah yang terjadi dengannya?"

"Selama beberapa hari ini adikku selalu bersedih. Aku sudah berusaha untuk menghibur dia, namun sia-sia. Dia tenggelam ke dalam kesedihan, dan aku khawatir kalau berlarut-larut dia dapat jatuh sakit."

"Ahh, pantas saja wajah Hwa-moi selalu kelihatan tidak gembira. Mengapa dia bersedih Han-te? Apakah yang terjadi?"

"Aku telah berkali-kali membujuk dan bertanya, akan tetapi dia hanya menggeleng kepala dan sekali pernah dia berkata lirih bahwa Wan-twako membencinya."

Sepasang mata Sin Wan terbelalak dan mulutnya tersenyum, tidak percaya dan heran. "Aku...? Membenci Hwa-moi...?”

"Aku juga merasa heran mendengarnya, Wan-twako. Mungkin dia merasa bahwa twako kurang memperhatikannya. Ci Hwa memang kadang masih seperti anak kecil. Tolonglah, twako, hiburlah dia dan katakan bahwa twako sayang kepadanya. Seperti sudah beberapa malam ini, sekarang dia sedang duduk termenung seorang diri di taman, tenggelam dalam kesedihannya. Maukah twako menolongnya?"

Sin Wan tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja, Han-te. Aku akan segera menemui dia dan menghiburnya."

Dengan hati girang Ci Han mengucapkan terima kasih, kemudian dia kembali ke dalam kamarnya sendiri. Dia telah melaksanakan tugasnya sebagai seorang kakak, dan kini dia hanya dapat mengharapkan agar adiknya tidak hanya bertepuk sebelah tangan di dalam cintanya. Dia sendiri setuju sepenuhnya apa bila Ci Hwa dapat berjodoh dengan Sin Wan yang dikaguminya.

********************

Cerita silat serial Si Pedang Tumpul karya kho ping hoo

Dengan hati merasa heran dan penasaran mengapa Ci Hwa menganggap dia membenci gadis itu, Sin Wan memasuki taman bunga keluarga itu. Malam itu bulan purnama dan cahayanya yang lembut mendatangkan suasana yang romantis.

Pergaulannya dengan keluarga itu sudah sedemikian akrabnya sehingga dia tidak merasa canggung untuk menemui Ci Hwa pada malam hari di taman bunga. Dia merasa bahwa Ci Hwa seperti adiknya sendiri. Hanya terhadap Lili sajalah dia merasa canggung dan tidak enak karena gadis itu bersikap jatuh cinta kepadanya.

Taman bunga keluarga Bhok itu indah karena terawat, apa lagi karena Ci Hwa memang suka sekali memperhatikan keadaan taman bunga itu, sering memberi petunjuk kepada tukang kebun bagaimana sebaiknya mengatur taman itu. Malam itu amat indah dan sunyi di situ, dan udara sejuk dan segar oleh keharuman bunga-bunga yang beraneka warna.

Sin Wan menghampiri Ci Hwa yang sedang duduk melamun seorang diri di atas bangku panjang dekat kolam ikan. Banyak ikan emas di kolam itu, dan Sin Wan melihat gadis itu duduk seorang diri memandang bulan yang berada di dalam air kolam. Gadis itu seolah sedang berada di dunia lain dalam lamunannya sehingga tidak tahu bahwa Sin Wan telah menghampiri dan berdiri di belakangnya.

Pemuda ini melangkah maju lagi sambil memandang wajah itu dari belakang kanan. Dari samping, wajah gadis itu nampak cantik jelita, apa lagi tertimpa cahaya bulan keemasan, membuat wajah itu seperti bercahaya pula.

"Hwa-moi...!" Sin Wan memanggil lirih agar tidak mengejutkan gadis itu.

Ci Hwa terkejut mendengar panggilan ini. Bagaikan baru sadar dari mimpi dia cepat-cepat bangkit berdiri lalu membalikkan tubuhnya. Ternyata Sin Wan telah berdiri di situ dan kini mereka berdiri berhadapan.

"Ahh, Wan-twako...," kata Ci Hwa lirih pula dan mukanya berubah kemerahan.

Mereka saling pandang. Sin Wan tersenyum lalu melangkah maju mendekati. "Hwa-moi, kenapa malam-malam begini engkau berada di taman seorang diri?"

Ci Hwa sudah bisa menguasai dirinya dan dia pun menjawab, "Aku sedang mencari hawa sejuk dan menikmati keindahan bulan purnama di taman ini, twako."

Sin Wan memperhatikan dan melihat bahwa memang ada perubahan pada diri Ci Hwa. Biasanya Ci Hwa adalah seorang gadis yang lincah jenaka, tetapi kini sikapnya pendiam dan bahkan lebih banyak menundukkan muka.

"Ci Hwa, selama beberapa hari ini setiap aku bertemu denganmu kulihat engkau nampak seperti orang yang bersedih. Kenapakah, Hwa-moi?"

Mendengar pertanyaan yang diucapkan dengan suara lembut itu, keluar dari mulut orang yang menjadi sebab kedukaannya, Ci Hwa merasa hatinya seperti diremas. Dia berusaha untuk menahan diri, tapi rasa iba diri membuat dia bersedih dan lemas. Dia menjatuhkan diri di atas bangku dan menutupi wajahnya untuk menyembunyikan tangisnya.

Sin Wan terkejut. Benar seperti yang dikatakan Ci Han, gadis ini sedang menderita sedih. Dia pun lalu duduk di atas bangku di sebelah gadis itu, maklum bahwa biar pun gadis itu menahan diri tidak mengeluarkan suara tangis dan menyembunyikan muka di balik kedua tangannya, namun sebenarnya dia sedang menangis. Kedua pundaknya terguncang dan air mata mengalir keluar dari celah jari-jari tangannya.

"Hwa-moi, kenapa engkau menangis? Apa yang membuat hatimu merasa sedih?" tanya Sin Wan dengan hati-hati.

Tetapi gadis itu tidak menjawab, hanya menggeleng kepala berkali-kali tanpa menurunkan kedua tangan dari depan mukanya. Karena sudah beberapa kali ditanya tetap tidak mau menjawab, Sin Wan teringat akan keterangan Ci Han bahwa gadis yang sedang menangis sedih di depannya ini mempunyai perasaan bahwa dia membencinya.

Bahkan Ci Han minta kepadanya agar dia menghibur Ci Hwa dan mengatakan bahwa dia sayang kepada gadis ini. Pengakuan seperti itu tidaklah sulit baginya karena memang dia sayang kepada Ci Hwa, gadis yang biasanya lincah jenaka dan baik budi ini.

"Hwa-moi, kalau ada hal-hal yang menyusahkan hatimu, kalau ada persoalan yang sudah mengganggumu, katakan kepadaku. Aku pasti akan membantumu, Hwa-moi. Aku sayang kepadamu, Hwa-moi, dan tidak ingin melihat engkau berduka..."

Mendengar ucapan itu tiba-tiba Ci Hwa membiarkan tangisnya pecah, tidak lagi berusaha membendungnya sehingga dia pun terisak-isak. Sin Wan lalu menyentuh pundak Ci Hwa untuk menghiburnya, dan sentuhan ini makin mengharukan hati Ci Hwa sehingga dia pun tersedu dan merangkul, menyandarkan mukanya di dada Sin Wan sambil sesenggukan.

"Twa-ko... hu… hu… huuhh, twako...," tangisnya.

Sin Wan menahan senyumnya, hatinya lega karena gadis itu sudah mau berbicara. "Bicaralah, Hwa-moi, sungguh tidak baik menekan kesedihan dalam hati. Katakanlah apa yang menyusahkan hatimu, sayang."

Gadis itu mengangkat muka memandang. Wajah yang cantik itu basah oleh air mata dan suaranya gemetar, "Wan-twako..., benarkah kata-katamu tadi...?”

Sin Wan mengelus rambut kepala gadis itu, merasa seakan dia menghibur hati seorang adik sendiri yang sedang rewel. "Kata-kataku yang mana?"

"Bahwa engkau... sayang padaku...?”

Sekarang barulah Sin Wan percaya kepada keterangan Ci Han yang tadinya dia anggap berlebihan. Gadis ini bersedih karena menyangka dia membencinya, atau setidaknya tidak suka kepadanya.

"Tentu saja, Hwa-moi!" katanya dengan suara tegas. "Tentu saja aku sayang kepadamu. Sejak kita berjumpa aku sudah sayang kepadamu dan akan tetap sayang padamu."

Apa sulitnya mengobral pernyataan sayang kepada seorang gadis seperti Ci Hwa! Bahkan bersumpah pun dia mau bahwa dia sayang kepada Ci Hwa. Siapa yang tak akan merasa sayang kepada seorang gadis yang begini cantik, lincah jenaka dan berbudi mulia?

Wajah yang masih basah air mata itu kini berseri-seri, mulut itu tersenyum dan mata yang bening itu sekarang bersinar-sinar walau pun masih agak merah oleh tangis tadi. Ci Hwa membenamkan mukanya ke dada itu, dua lengannya merangkul pinggang dan terdengar dia berbisik-bisik.

"Terima kasih, Wan-twako... terima kasih... aku pun sangat sayang padamu, aku... cinta sekali kepadamu...”

Sin Wan terbelalak. Hampir saja dia merenggut lepas dirinya yang dipeluk gadis itu, akan tetapi dia masih menyadari keadaan. Sekarang sudah jelas baginya. Ci Hwa mencintanya! Dengan caranya sendiri, seperti Lili, gadis ini telah jatuh cinta kepadanya.

Gadis ini salah paham, mengira bahwa sayangnya terhadap gadis ini sama dengan cinta seorang pria terhadap seorang wanita. Padahal dia menyayang Ci Hwa seperti seorang kakak menyayangi adiknya karena dia merasa iba. Maka terpaksa dia mendiamkan saja, karena dia maklum bahwa kalau saat itu dia melepaskan diri lantas mengaku bahwa dia tidak mencinta Ci Hwa tentu gadis ini akan merasa terpukul sekali, akan merasa malu dan mungkin akan putus asa.

Setelah sejenak membiarkan gadis itu tenggelam ke dalam kemesraan, dengan hati-hati dan perlahan-lahan Sin Wan melepaskan dirinya lalu berkata dengan lembut. "Hwa-moi, jangan begini. Kalau terlihat orang lain tentu tidak baik. Mari kita bicara dengan tenang."

Mendengar ini dan merasakan gerakan Sin Wan yang hendak melepaskan diri, Ci Hwa melepaskan rangkulan kedua lengannya dan kini dia duduk menghadapi Sin Wan, kedua pipinya kemerahan bagaikan setangkai bunga mawar yang baru saja bermandikan embun pagi yang sejuk segar.

"Wan-ko, aku tidak akan peduli andai kata ada orang lain yang melihatnya. Yang penting kita berdua saling mencinta...”

Sin Wan merasa betapa kepalanya pening. Celaka, pikirnya, ini kesalah pahaman yang sungguh berbahaya! Maju salah mundur salah! Dia tidak mencinta gadis ini seperti yang dimaksudkan Ci Hwa. Kesayangannya adalah perasaan sayang seorang kakak terhadap adiknya, atau rasa sayang seorang sahabat, bukan cinta kasih seorang laki-laki terhadap wanita yang mengharapkannya menjadi jodohnya.

Menerimanya berarti menjerumuskan diri sendiri ke dalam perjodohan yang pincang, apa lagi dia sama sekali belum memiliki niat untuk mengikatkan diri dengan perjodohan. Kalau dia menolak dan berterus terang menyatakan bahwa dia tidak mencinta gadis itu, berarti dia akan menghancurkan perasaan Ci Hwa. Sungguh serba salah.

Kembali dengan mesra kedua tangan Ci Hwa sudah menggenggam kedua tangannya. Sin Wan terpaksa menarik ke dua tangannya itu dan mulutnya tidak berani mewakili hatinya, hanya mengeluarkan kata-kata, "... tapi... tetapi...”

Tiba-tiba nampak sesosok bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di sana telah berdiri Lili! Gadis ini berdiri memandang kepada mereka seperti sebuah arca, tidak mengeluarkan suara dan hanya memandang dengan alis berkerut.

"Bagus sekali!"

Seruan ini membuat Ci Hwa terkejut, menengok dan terbelalak ketika melihat Lili berdiri di situ. Wajahnya berubah pucat dan dia bangkit berdiri, lalu berkata, suaranya gemetar,

"Enci, maafkan aku... kami... kami saling mencinta, enci..." Jelas nampak betapa Ci Hwa takut kalau enci tirinya itu marah karena dia tahu bahwa enci-nya ini mencinta Sin Wan pula.

"Ci Hwa, tidak ada yang perlu kumaafkan. Engkau tidak bersalah apa pun."

"Lili, aku... aku... kami..." Sin Wan yang juga terkejut bukan main melihat kemunculan Lili yang tiba-tiba itu, menjadi gugup dan meski pun hatinya ingin sekali menjelaskan keadaan yang sebenarnya, akan tetapi mulutnya tak mampu mengeluarkan pernyataan yang akan menghancurkan hati Ci Hwa itu.

Lili tersenyum. Senyum yang tulus sungguh pun matanya memandang penuh keheranan. "Aku tahu, Sin Wan. Engkau mencinta Ci Hwa! Ingatkah engkau ketika engkau mengobati lukaku dahulu? Ketika itu aku sudah menduga bahwa engkau mencinta Ci Hwa."

"Lili, engkau keliru, dan Ci Hwa juga salah paham. Aku... aku menyayang Ci Hwa seperti adikku sendiri, tidak mencinta seperti yang dimaksudkan..."

"Wan-koko...!" Ci Hwa menjerit sambil terbelalak, memandang kepada pemuda itu seperti melihat setan.

Sepasang alis Lili berkerut makin dalam, ada pun sinar matanya mencorong marah. "Sin Wan, apakah engkau hendak mengecewakan hatiku dan menjadi seorang pangecut yang tidak bertanggung jawab? Mataku sendiri menyaksikan adegan mesra tadi dan sekarang engkau berani mengatakan bahwa engkau tidak mencinta adikku Ci Hwa? Hemmm, Sin Wan. Kalau engkau tidak membalas cintaku, hal itu masih kuanggap ringan karena aku memang seorang gadis liar dan buruk. Akan tetapi engkau hendak menolak Ci Hwa, gadis cantik jelita dan berbudi? Engkau gila! Lantas apa artinya engkau tadi saling rangkul dan bermesraan dengan adikku? Apakah engkau hanya hendak mempermainkannya?"

"Lili, tenanglah dan jangan terburu nafsu. Aku sayang kepada Ci Hwa, sayang seorang kakak kepada adiknya, bukan cinta seperti yang kalian maksudkan."

"Wan-koko...” kembali Ci Hwa menjerit dan sekali ini dia menjatuhkan diri di atas bangku kemudian menangis.

Lili marah bukan main hingga mukanya menjadi merah. "Sin Wan, aku pernah jatuh cinta kepadamu dan engkau tidak menghiraukan aku. Hal itu masih bisa kumaafkan. Tetapi aku akan membunuhmu kalau engkau mempermainkan adikku Ci Hwa!"

"Lili, ini hanya suatu kesalah pahaman saja. Sungguh, aku tidak mempermainkan adik Ci Hwa. Tadi aku melihat dia sedang berduka, aku hanya ingin menghiburnya dan aku tidak pernah mengaku cinta kepadanya."

"Wan-koko...," seru Ci Hwa di antara isaknya. "...mengapa engkau bersikap seperti ini...? Tadi... tadi engkau begitu menyayangku... kurasakan itu dalam rangkulanmu... koko, tapi kenapa begini...?"

Ingin rasanya Sin Wan menampar kepalanya sendiri. Karena perasaan iba dan karena hendak menghibur hati Ci Hwa, dia tadi memperlihatkan kasih sayangnya dan kenapa dia tidak menolak ketika Ci Hwa merangkul dan menangis di dadanya? Tadi pun dia sudah menyadari bahwa adegan itu sangat berbahaya dan tidak benar, akan tetapi mengapa dia tidak tega untuk menolaknya? Dan sekarang dia harus menghadapi akibatnya!

"Tadi aku menyatakan suka dan sayangku kepadamu sebagai seorang sahabat, sebagai seorang saudara, sama sekali tidak terbayangkan olehku perasaan cinta seorang laki-laki terhadap

wanita seperti yang kau maksudkan."

Mendengar ucapan ini Ci Hwa hanya mampu menangis dengan hati perih seperti ditusuk-tusuk rasanya.

"Sin Wan, engkau benar-benar sudah keterlaluan! Engkau mempermainkan adikku! Aku tidak bisa membiarkannya saja. Akan kubunuh kau!" Lili mencabut pedang Ular Putih dan hendak menyerang Sin Wan dengan kemarahan berkobar.

"Enci...!” Ci Hwa telah menubruk dan menjatuhkan diri berlutut, merangkul kedua kaki Lili. "Enci Lili jangan... jangan bunuh dia. Bunuh saja aku, enci..." dan dengan hati sedih sekali Ci Hwa menangis tersedu-sedu di depan kaki Lili.

Pada saat itu terdengar suara banyak orang dan muncullah Bhok Cun Ki, Cu Sui In, Bhok Ci Han dan Nyonya Bhok. "Heii, apa yang terjadi ini? Lili, apa yang sudah terjadi?" tanya Sui In sambil meloncat ke dekat puterinya.

"Ci Hwa, apa yang sudah terjadi?" seru Nyonya Bhok kepada puterinya, sesudah melihat puterinya menangis di hadapan kaki Lili yang berdiri marah dengan pedang terhunus di tangan. Ci Hwa bangkit lalu berlari menubruk ibunya sambil menangis.

"lbuu...!" Nyonya Bhok merangkul puterinya yang terisak-isak dan tidak mampu bicara itu.

"Ibu, aku akan membunuh Sin Wan!" teriak Lili marah. "Laki-laki tidak tahu diri ini berani mempermainkan adik Ci Hwa. Kulihat sendiri tadi mereka saling bermesraan di sini, akan tetapi dia tidak mau mengaku cinta, dia mengingkari cintanya terhadap adik Ci Hwa!"

"Apa?" Sui In berseru marah. "Pemuda ini berani menghina anakku Ci Hwa? Kalau begitu, biar aku sendiri yang akan memberi hajaran kepadanya!" Sekali menggerakkan tubuh, wanita ini sudah melayang ke depan Sin Wan dan mengirim tamparan bertubi-tubi, gerakannya cepat dan amat kuat.

Melihat datangnya serangan yang amat berbahaya sehingga setiap tamparan merupakan cengkeraman maut, Sin Wan yang tidak diberi kesempatan untuk bicara cepat bergerak mengelak dan menangkis. Sampai tujuh kali berturut-turut dua tangan Cu Sui In bertubi-tubi menyambar, namun selalu dapat dihindarkan oleh Sin Wan.

"In-moi, tahan dulu...!” Bhok Cun Ki berseru kemudian meloncat ke depan, melerai dan memegang lengan kiri isterinya. "Harap jangan tergesa-gesa dan terburu nafsu. Kalau ada persoalan, mari kita bicarakan dulu dengan tenang." Karena dicegah suaminya, Cu Sui In terpaksa menurut ketika ditarik mundur ke belakang.

Bhok Cun Ki yang melihat gawatnya persoalan, segera mengambil alih pimpinan dan dia bertanya kepada puterinya. "Ci Hwa, katakan, apa yang telah terjadi di sini antara engkau dan Sin Wan."

Akan tetapi Ci Hwa tidak mampu menjawab, hanya menangis di dalam pelukan ibunya. Melihat betapa Ci Hwa hanya menggeleng-geleng kepala sambil sesenggukan...